+ All Categories
Home > Documents > ABRI di Tengah Paradoks SosiatDominasi kekuasaan politik ABRI tersebut tercermin pada penguasaan...

ABRI di Tengah Paradoks SosiatDominasi kekuasaan politik ABRI tersebut tercermin pada penguasaan...

Date post: 16-Nov-2020
Category:
Upload: others
View: 1 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
8
ABRI di Tengah Paradoks Sosiat Suryo Adi Pramono *) Abstract Since the Indonesian A1111Ysuccessfirlly has increased nation-state eco- nomic and welfare level (hand in hand with technocrats and foreign capitals)} it has to face a new chaDeng~ that is "discontinuity track". Thishas been remarked by two social paradoxes: (1) global competitions that have expressed in several humanity issues (human right~ democracy, environment) in fTont of the existence of national development as political legitimation of the New Order rezim; (2) domestic phenomena: society's struggles in gaining autonomy space in front of centralization of power by the state through various instrumental ways. In this point, the A1111y has to react those challenge~ not only external (toward political, economic, judicial and cultural issues) but also intemal ways (self-regulation by scientific understanding and awareness of objectivity on humanity issues). Although facing a tricky real politic constelation} the Army has to answer those social paradoxes creatively and appropriately, it stiD wants to get political legitimation for it's power domination. FinaDy, the main problem is how to f01111ulate the correct answer should be done. Padasaat"badai belumberlalu"(baca:krisismoneterdanekonomi)kita menyaksikansejumlahperistiwapenting di republikini. Satu di antaranya adalah pernyataan berhenti Soeharto dari jabatan presiden yang telah diembannyasekitar 32 tahun, dan sekaligus membuka "lembaran barn" pemerintahanBJ. Habibieyangmenggantikannya. ") Suryo Adi Pramono adalah star pengajar pada JUNsan Sosiologi FakuItas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan anggota Peace and Social Justice Forum di Surakarta. JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998
Transcript
Page 1: ABRI di Tengah Paradoks SosiatDominasi kekuasaan politik ABRI tersebut tercermin pada penguasaan jabatan penting pengelolaan negara ke dalam "genggamantangan"nya. J. Kristiadi menunjukkan

ABRI di Tengah Paradoks Sosiat

Suryo Adi Pramono *)

Abstract

Since the Indonesian A1111Ysuccessfirlly has increased nation-state eco-nomic and welfare level (hand in hand with technocrats and foreign

capitals)} it has to face a new chaDeng~ that is "discontinuity track".Thishas been remarked by two social paradoxes: (1) global competitionsthat have expressed in several humanity issues (human right~ democracy,environment) in fTont of the existence of national development aspolitical legitimation of the New Order rezim; (2) domestic phenomena:society's struggles in gaining autonomy space in front of centralization

of power by the state through various instrumental ways. In this point,the A1111y has to react those challenge~ not only external (toward

political, economic, judicial and cultural issues) but also intemal ways(self-regulation by scientific understanding and awareness of objectivityon humanity issues). Although facing a tricky real politic constelation}the Army has to answer those social paradoxes creatively andappropriately, it stiD wants to get political legitimation for it's powerdomination. FinaDy, the main problem is how to f01111ulatethe correctanswer should be done.

Padasaat"badaibelumberlalu"(baca:krisismoneterdanekonomi)kitamenyaksikansejumlahperistiwapentingdi republik ini. Satu di antaranyaadalah pernyataan berhenti Soeharto dari jabatan presiden yang telahdiembannyasekitar 32 tahun, dan sekaligus membuka "lembaran barn"pemerintahanBJ. Habibieyang menggantikannya.

") Suryo Adi Pramono adalah star pengajar pada JUNsan Sosiologi FakuItas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan anggota Peace and Social Justice Forum di Surakarta.

JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

Page 2: ABRI di Tengah Paradoks SosiatDominasi kekuasaan politik ABRI tersebut tercermin pada penguasaan jabatan penting pengelolaan negara ke dalam "genggamantangan"nya. J. Kristiadi menunjukkan

ABRI di Tengah Paradoks Sosial Suryo Adi Pramono I Suryo Adi PramonoABRI di Tengah Paradoks Soszal

Pada peristiwapentingpagi hari tanggal21 Mei 1998 sekitar pukul09.00WIBdi IstanaMerdekatersebut,setelahB.J. Habibiemenerimaserah-terimajabatanpresidendariSoeharto,MenhankamlPangab,JenderalWirantomembacakansikap ABRI, yang satu di antaranyaadalah mendukungBJ.HabibiesebagaipresidenRIketiga,dansekaligusmemberikan"sinyal"bahwaABRImenganggappemerintahantersebutadalahsah, meskipunbanyakahlihukum masih berdebat tentang keabsahanpemerintahanbani itu sampaisekarang. Walaupunorang tahu, bahwabanyakpetinggi ABRI tidak sukaterhadappemunculanHabibiekepuncakkekuasaaneksekutif,tetapidenganpernyataan Wiranto tersebut, sebagaikonsekuensi,ABRI mau tidak mauharus mem-backup pemerintahanbaru tersebut. Padaposisi sulit demikianABRI harus menentukanperan apakah yang akan dilakukannya,terutamamengingatposisisentralyangdimilikinya,justru ketikaHabibietidakcukupbanyakmendapatkanlegitimasipolitikberbagaipihak.

Kemudian,berkaitandenganhal di atas: apakahyangakandilakukanoleh ABRIselanjutnyadi era reformasiini? Pertanyaanini menjadiurgenterutamamelihatposisisentralABRIdalammenstabilisirdanmendinamisirarus reformasiyang berhembusdi berbagaitempat.Hal itu'lebih-Iebihlagiharussegeradijawab,mengingatsejumlahpersoalanyangbertautandenganisyudemokratisasi,HAM,kemanusiaan,oranghilang,penjarahan,perkosaan,separasi wilayah, kasus 27 Juli 1996, bahkan "perpecahan internal" dikalanganTNI AngkatanDaratsendiri. KetepatanABRIdalammenuntaskanpersoalan-persoalan tersebut, kendatipun tidak selalu secara langsung(mengingatkompetensiyangdimiliki),sangatmenentukancitra, kredibilitas,legitimasidansignifikansiperanhankamdansospolABRI(baca:DwiFungsi)selama ini di hadapanmasyarakatyang semakinterdidik oleh apa yang iatahusecaralangsungberkatberbagaiperistiwasertapengetahuansecaratidaklangsungmelalui pemberitaanmediamassa tentang perkembanganpolitikdankenegaraankita.Dengandemikian,"manipulasi"dan"penggelapanfakta"tidak lagi dapat dengan mudah dilakukanoleh siapapundengan berbagaidalihyangdisampaikan,terutamauntukmelepaskandiridarisorotanperhatianmasyarakat.Pada titik inilah, jati diri ABRIdi era reformasi menemukanujiannya: masihkah ia secara konkret berpegangteguh pada Sapta Margadan SumpahPrajurit.

Menanggapitantangan sejarah inilah, dan terutama menyikapi erareformasi yang tengah bergulir di mana-mana,kiranya pengkajianulangperan ABRIdi republikini perlu diselenggarakan,terutamadenganmaksud

68 JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

olehaparatkeamanandanbirokrasisepertiyangdiungkapkansecarastatistikoleh AlexanderIrwan dan Edriana8).Instrumentasiproduk-produkhukum(antaralain "fusi partai" 1973,paketUU Politik 1985,"penelitiankhusus","recalling", "asas tunggal", serta "massamengambang")dan pelembagaanpolitik9 ("kokarmendagri", "korpri", "mono-Ioyalitas", dan beragampenunggalanorganisasisosialberskalanasional)JDeskipunsecarasubstansialseringkalibertentangandenganDUD 1945namunkarenadikukuhkanolehpemegangotoritasyuridis-formaldan kekuasaannegara,makakesemuanyaitu seakan-akan merupakan aturan derivatif atas dasar penafsiran danperumusanyangbenardariaturanperundangandi atasnya,yangberkulminasipada Pancasiladan DUD 1945(meskipunmengenaiyang terakhir inipun,menurutMarsilamSimanjuntak10, secarakonseptual-historismasihbersifatproblematis).

Dominasi kekuasaan politik ABRI tersebut tercermin pada penguasaanjabatanpentingpengelolaannegarake dalam"genggamantangan"nya.J. Kristiadimenunjukkanhal ini denganmencermatiproporsi anggotaABRI dalam kabinetdan jabatan gubernurll. Anggota ABRI yang sekarang ini berkisar sekitar300.000 personil (angka ini masih perlu dikonfirmasikan) telah menduduki:29,629 % jabatan pada Kabinet Pembangunan I; 23, 076 % jabatan KabinetPembangunan D; 41,176 %jabatan Kabinet Pembangunan Ill; 9,756 %jabatan

Thlisan atas dasar data statistik kecurangan clapat dilihat lebih dalam pada: Alexander Irwan dan Edriana,

Pelanggaran Pemilu 1992, Jakarta, Sinar Harapan, 1993.

Konsep politik ini berasa1 dari gagasan Samuel P. Huntington, seorang profesor politik dari universitasterkenal di Amerika Serikat, yaitu Harvard University, yangterkenal kembali karena buku kontroversialnyaThe Clash of Civilization. Pelembagaan politik dimaksudkan sebagai saluran aspirasi politik rakyat

yang diprediksikan akan semakinmenguat dan mencari saluran ke arab pembuat kebijakan setelah suatunegara berkembang berhasil meningkatkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraan warganya denganperan negara yang besar dan kuat. Agar tidak terjadi "pembusukan politik" (political decay) maka perludibuat pelembagaan politik sebagai insttumen demokrasi, sehingga artikulasi politik dapat dimasukkanke dalam "ruang dialog" (meminjam istilah Jurgen Habermas, seorang pewaris dan pengembang TeoriKritis dari Jerman) untuk diproses menjadi kebijakan publik. Pada implementasinya, Orde Barumenempatkan pelembagaan politik justru berkebalikan dari gagasan Huntington tersebut, yaitu dalamartian "korporatisme negara" menurut Sclunitter, yaitu penunggalan organisasi berlingkup nasional agarmengabdi pada tujuan dan kepentingan yang secara sepihak diformulasikan oleh negara (baca: pemerintah).

10 Baca: Marsillam Simandjuntak, Negara Integralistik, Jakarta, Sinar Harapan, 1995.

11 Lihat J. Kristiadi, "Peranan ABRI", dalam J. Soedjati Djiwandono dan T.A. Legowo, Revitalisasi SistemPolitik Indonesia, Jakarta, eSIS, 1996, halaman 103.

71JSP. Vol.I, No.3 - Maret 1998

Page 3: ABRI di Tengah Paradoks SosiatDominasi kekuasaan politik ABRI tersebut tercermin pada penguasaan jabatan penting pengelolaan negara ke dalam "genggamantangan"nya. J. Kristiadi menunjukkan

ABRI di Tengah Paradoks Sosial Suryo J\di Pramono I SuryoAdi Pramono ABRI di Tengah Paradoks Sosial

Kabinet Pembangunan IV; 9,523 %jabatan Kabinet Pembangunan V; 9,523 %jabatanKabinetPembangunanVI, dandalamjumlahlebihk~cilpadaKabinetPembangunanVII. SedangkanproporsiABRIpadajabatan Gubernur/KDHcukupbesarterutamapadaPelitaI sampaiV: 73,076%padaPelitaI; 76,923%padaPelitaII; 59,259%padaPelitaill; 51, 851%padaPelitaIVdan44,444%padaPelitaV. Meskipuntidakmeliputisemuabidangpolitik(danekonomi),namun data tersebut paling tidak telah menunjukkan,bahwa pengelolaanpemerintahannegara kita didominasioleh peran ABRIsecaracukupbesar.Bilakita cermatilebihlanjut,peranABRItersebut(baikABRIaktifmaupunpurnawirawan) terlihat semakin turun secara kuantitas, meskipun secarakualitaskita masih harusjujur mengakui,bahwaperan merekamasih tetapdominan,terutamamelaluipos-posjabatanstrategisyangdikuasai.Namun,menurutMacDougalJ12,distribusiparapejabatmilter dalambirokrasi, pal-ing tidakmenurut datatahun 1986,terkategorimeluasdandominan,denganrentangpersentase12% (PekerjaanUmum)sampaidengim100% (Hankam)di dalam 17 departemen,mulai jabatan Menko, MenteTi,Menteri Muda,Sekjen, Irjen, sampaidenganDirjen.Kitabelummencermatiefekpengaruhmerekapada tingkatyang palingrendah, terutamadesa dan dusun, melaluiaparat sipil yang berada di bawahdominasimereka,baik langsungmaupuntidak langsung.

Di tengahposisidominanyangselamaini dipegang,sejumlahmantanperwira tinggiABRIyangberpandangankritis danjauh ke depan (misalnyaA.H. Nasution13, KemalIdris,Soemitro,danRudiniuntukmenyebutbeberapacontoh)telahmelontarkanrefleksikritis, bahwaperanABRIdi bidangsosial-politiktelahsedemikianjauhdariyangdibayaIigkansemula,yangindikasinyasedemikianterang ketika SESKOADmengadakanpertemuanpara perwiratinggi daTigenerasi ke generasi pada pertengahandasawarsa 90-an. DaTidiskursusyangtertangkapolehpublik,agaknyasejumlahperwiratinggimiliterpun mulai menyadari bahwa dominasi itu akan berdampak negatif bagiperjalananbangsa-negaradi masa datang di hadapansemakin'menguatnyaisu kemanusiaanyang di dalamdomainpolitik dirumuskandengan.konsepdemokratisasi, HAM dan masyarakat sipil, yang menempati posisi

12 Baca J. Kristiadi, Ibid.., halarnan 102.

13 Menurut hemat penulis, ini dimaksudkan teNtama sebelum Pale Nas ditemui oleh B.J.Habibie, yang

pada akhimya berkulminasi pada penghormatan terhadapnya sebagai Jendera1 Besar berbintang lima.

72 JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

berkebalikan dengan perspektif ABRI (meskipun lebih bersifat posisionaldaripada ideologis). Karenanya, kerusuhan sosial dan kekerasan politikterutama selama tigatahun terakhir ini seharusnya ditafsirkan sebagai imbasdaTi penetrasi "semangat heroisme" (yang tidak jarang dikaitkan denganpatriotisme-militer) dalam wujudnya yang negatif ke dalam berbagai sendikehidupan masyarakat dan "kanalisasi" beraneka persoalan sosial yang belumterselesaikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat di dalam konteks"himpitan" sosial-ekonomi yang semakin "menyesakkan" kehidupan sebagiantertentu masyarakat.

Berdasarkan kecenderungan itu, perjalanan dominasi ABRI di masakini dan mendatang akan berada pada "lintasan diskontinuitas" yang berbedadari apa yang selama ini secara linier telah dilakukan dan dialami, sehinggamengharuskan adanya sikap dan pemikiran kritis serta kreatif agar bangsatercinta ini terhindar dari ancaman disintegratif yang mungkin muncul baikdaTilingkup domestik maupun global. Pada konteks ini, ABRI dituntut untukmenempatkan paradigma dan asumsi yang digunakan diletakkan di ataspemahaman akan adanya "diskontinuitas" yang telah merigabrogasiperkembangan "kontinuitas atau linier" yang sebelumnya menjadi pijakan(yang tercermin di dalam REPELIT A dan PIP).

PARADOKS SOSIAL

Lintasandiskontinuitasdiatassetidaknyahadirdi dalam dUBparadoksberikut: (1) tantanganbaruberupapersainganglobalyang mewujudkandiridalam beraneka isu kemanusiaan(HAM, demokratisasi, lingkungan danperburuhan)di hadapankelangsunganpembangunannasional (yang lebihbernuansaekonomistissebagaiproduk developmentalismeyangdibangundiataskonsepstabilitasnasionalsebagaipengendalisosial-politik)yangmenjadibasis legitimasi politik Orde Barn yang didominasioleh ABRI (dengandukunganpara teknokrat, pengusahadomestikdan modal asing), dan (2)tantangan domestik berupa otonomi masyarakat yang muncul sebagaikonsekuensilogis dari keberhasilanpembangunanselama ini di hadapansentralisasikekuasaannegaramelaluiinstrumentasihukum,politik,ekonomidan ideologi.

73JSP. Vol.I, No.3 - Maret 1998

Page 4: ABRI di Tengah Paradoks SosiatDominasi kekuasaan politik ABRI tersebut tercermin pada penguasaan jabatan penting pengelolaan negara ke dalam "genggamantangan"nya. J. Kristiadi menunjukkan

ABRI di Tengah Paradoks Sosial Suryo Adi Pramono I Suryo Adi Pramono ABRI di Tengah Paradoks Sosial

Kedua paradoks itu mengharuskan ABRI tidak lagi memb~rikan responatas dasar paradigmakontinuitassebagaimanayang dilakukanselama ini,sebaliknyamemaksanyauntuksecarakritisdankreatifmenemukanalternatifpendekatandankebijakanbarudi atasparadigma diskontinuitas.Karenanya,di dalam "era integrasiglobal" (meminjamistilahGeorgeSoros) sekarangini, paradigmadiskontinuitastersebutmengharuskanABRIberpikir secarasimultan pada dua tingkat: global dan domestik, yang konsekuensinyaiatidak lagi dapat mengatakanbahwaapapunyang terjadi di Indonesiaharusdiatasidenganstandardnilai Indonesiasendiriyang berbedadan steril darinila-nilai di belahan bumi lain di dalam apa yang dinamakanDemokrasiPancasila."Relativismekultural"macamini,yangberupayamerelatifirkulturnilai universal dengan argumen bahwa terdapat struktur nilai lokal yangspesifik dan berbeda dari kultur di belahan dunia lain, kiranya tidak lagidapat dipertahankaneksistensinya.Sebaliknya,kita harus secara sadar danrendahhatimengakui,bahwatibalahsaatnyabagikitauntukterbukaterhadapstandard nilai universal tersebut. Kehidupankita telah dilingkupi secarasimultanolehkehidupandunia,sehinggaapayangterjadidi negarakita akanmenjadibagianperhatiandarimasyarakatduniayanglain. Kitatelahmenjadibagian dari "desa buwana" dalam istilah MarshallMacLuhan. Dunia kitatidak lagi bersifat otonom dari pengaruhkekuatan-kekuatanlain di dunia,sebaliknyakesaling-tergantungandan saling mempengaruhitelah menjadibagianutamakehidupanglobalsekarangini.

ltulah sebabnya,pada aras domestik, keterpakuanpada pembakuankebijakandan orientasisosial-politik-ekonomiyangberlakuselamaini akanmembawaABRIke dalampalingsedikitdua krisis: "krisis legitimasi" dan"krisis otoritas" , yangpadagilirannyaakanmembawapulabangsa tercintake dalamsituasidisintegratifyangberkebalikandenganmisidan visi ABRIyangdibakukandi dalamSaptaMargadanSumpahPrajuritsebagaiekspresipatriotismedan nasionalismeyangberpretensi"merengkuh"persatuandankesatuanbangsa.Keduakrisis itu sebenarnyamenghadapkanarus tuntutanotonomimasyarakat yangbersentuhandanmenyatudenganisukemanusiaanglobal yang "bertiup kencang" dari luar negeri (baca: Barat) dengansentralisasi kekuasaan negara dalamberbagaiaspekkehidupanmasyarakatmelaluipalingtidakinstrumentasiprodukhukum,korporatisasipelembagaanpolitik,birokratisasi,dandominasikapitalisasiatasdasarhubungan'~patron-klien" (istilah Yoshihara Kunio: "kapitalismesemu", erzats capitalism).

74 JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998I

NicholasN. Kittriememahamiparadokstersebutsecaracermat,yaitubahwahal itu terjadi bukan saja pada level negara, melainkanpula pada berbagaibentukinstitusisosial lainsepertiinstitusikeagamaan,sekolah,tempatkerja,bahkankeluarga.la menggambarkanbahwaperkembanganmasyarakatakanmengarahpada tarik menarik antara otoritas pada berbagai level dengankeinginanuntukmenjauhdanterlepasdari "sekapan"otoritastersebut,yaituotonomi, yang terjadi pada berbagai institusi sosia!. TuntutanmasyarakatAceh dan Irian Jaya kiranya mempertegaspernyataanterakhir di atas, disampingmasyarakatTimorTimuryangmemintalebihdaripadaitu: referen-dum penentuannasib sendiri.

Dinamika tegangan antara otoritas dengan otonomi tersebut secaragaris besar dan kronologisdapatdipaparkanberikut ini. Kian menguatnyatuntutanotonomimasyarakatyangberorientasipadatranformasiformatsistempolitikyangsemakinluasmemberikankesempatankepadamasyarakatuntukberperan-sertayang pada realitanyatiada kunjungmendekatikeberhasilan,sebaliknya telah semakin menyadarkan mereka betapa lemahnya posisi,kekuatandandayatawaryangdimilikidihadapansedemikiankokohdominasidan hegemonipolitik ABRIdi dalamwujudpemerintahanOrdeBarn. Padatitik ini, sebagaimanayangdilakukanolehKiSurantiko(KiaiSamin)melaluigerakan Saminismedi sekitar daerah Blora-Cepupada era kolonialismeBelanda, maka masyarakat telah mengubaharah tuntutan yang ditujukanpada sistempolitikformal ke arah yang semakinmenjauh,yang terekamdidalam beraneka bentuk resistensi sosial-politikseperti "golongan putih","boikotpemilu", "kotakkosong", "KlPP", penolakanterhadapaktorpolitiktunjukandan pejabatpemerintah, "media alternatif', dan "mega bintang"untukmenunjukbeberapacontoh.Halsemacaminibila tidakditanganisecaraarif dengan mendasarkandiri pada asumsi diskontinuitasdi atas, makapemerintahan yang didominasi oleh ABRI ini akan mengalami "krisislegitimasi dan otoritas" (sebagaimanadialamioleh DPP PDI Soerjadi)dimasa mendatang, persis bersamaan dengan semakin kuatnya tekananpersainganglobal yang memintaperhatianlebih bila tidak ingin eksistensibangsadan negaramenjadi"goyah" karenanya.

Namundi sisi lain, tuntutanmasyarakattersebutpadaperkembanganberikut telah kembali mengubaharahnyamenujuke titik pusat kelemahanpemerintahterutamadi dalamkontekskrisis ekonomidenganmengobarkanisyureformasiekonomidanpolitik. Tuntutanyangterutamadisuarakanoleh

JSp. Vol. I, No.3 - Maret 1998 75

Page 5: ABRI di Tengah Paradoks SosiatDominasi kekuasaan politik ABRI tersebut tercermin pada penguasaan jabatan penting pengelolaan negara ke dalam "genggamantangan"nya. J. Kristiadi menunjukkan

ABRI di Tengah Paradoks Sosial Suryo Adi PramonoI Suryo Adi Pramono ABRI di Tengah Paradoks Sosial

kalanganterpelajar itu menjelmake dalamberbagaibentukunjuk rasa, baiktanpa maupundengankekerasan,sebagaimanaterlihatjelas pada aksi-aksidemonstrasidi berbagaikampusdengankorban fisik di keduabelah pihak.Cara terakhir ini diambil terutamakarena merekamelihat,bahwa tuntutanyangdilakukandengancara "ketidak-patuhan"("menjauhikekuasaan")danberbagaipernyataanmelaluiforaakademikternyatatidakmembuahkanhasilyangdiinginkan.Makaperubahandari "gerakmenjauh"untukmendapatkanotonomimenjadi"gerakmendekatsecarakritis" melalui"radikalisasimassa"dipandangperlu oleh mereka untuk menarik perhatian masyarakatdalamdan luar negeri, baik di dalam wujud peristiwa (misalnya: demonstrasi)maupunberita.

Radikalisasiberbagaiaksi yangdimotoriolehmahasiswaitu ternyatatelahmemunculkantanggapanmiliterdi dalamduabentuk:(1)tawarandialogpada tingkatelit dan (2) represi fisik pada tingkataparat militer lokal padasejumlahdaerahtertentu. Ini ternyatamembawadampakpada keterpecahancarapandangparaaktiviske dalamduakelompoksecaraumum:(1)kelompokmoderat (menerima tawaran dialog) dan (2) kelompok radikal (menolak dialogkarenamerasaitu adalahbagiandari formatpengkooptasianABRIterhadapaspirasi masyarakatyang hendakdiartikulasidan diagregasikanoleh paramahasiswatersebut, di sampingpengalamankekerasan-paksayang begitumembekas di dalam diri mereka ketika melakukan serangkaian aksidemonstrasibeberapawaktusebelumnya).Padatitik inilahsebenarnyaprosesdisintegratif tengah secara perlahan-Iahan"menggunting"integrasi sosialyang selamaini menjadikomitmenABRImenurutperspektifsubyektifnyasendiri.

Bila fenomenadi ataskita letakkanpadakontekskekinian,yaitupadasaat negara tercinta sedangdilandabukanhanya krisis moneterakan tetapijuga krisis ekonomisepertikita alamisekarangini, kiranyaABRIsemakinpula dituntutuntuk melakukantindakanreformatifyang paling tepat gunamemperbaikisituasi, sebagaimanayang telah ditungguoleh banyakpihak,terutama masyarakatkebanyakanyang semakin menderita tekanan inflasiharga sembilanbahan pokok ("sembako")dan masyarakatterpelajar yangmenuntut reformasi (bukan revolusi!) politik dan ekonomi. Kepercayaanmasyarakatakankembalitumbuhbilahat diatasdiagendakansecarasungguh-sungguh dengan melibatkansemakinbanyak unsur kekuatan masyarakat,baik di dalammaupundi luar strukturpemerintahan.

76 ..JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

Olehkarenaitu, usulandialogyangpernahdisampaikanolehPanglimaABRI(yangsekarangsekaligusmenjabatMenteriPertahanandanKeamanan)Ienderal Wiranto sebelumjatuhnya Soehartodari kursi presiden kiranyaperludisambutbaikolehberbagaipihak, untukdijadikansalahsatualternatifcarapenyelesaianmasalahkemasyarakatan,dansekaligusmengabrogasipolarepresi yuridis dan kekerasanyang pernah lamaditerapkandi republik ini.Namuntentusaja,pertemuanitubukanlahpertama-tamadimaksudkansebagaiwahanapengkooptasianpendapatkritis di luar struktur resmipemerintahan(sebagaimanapemerintahOrde Baru telah memperlakukan"pelembagaanpolitik" Huntington dalam artian "korporatisme negara" Schmitter),melainkanlebihsebagaikerjasamaseluruhkakuatannasionalyangadademiperbaikan kehidupanbangsa dan negara, termasuk kemungkinanadanya.programreformasipolitik,ekonomi,danbudaya.Menuruthematsaya,padaproses inilah peran ABRI sebagai dinamisator, yang selama ini selaludiucapkan dalam berbagai peristiwa penting sebagai pasangan peranstabilisator,benar-benarakandinantikandandiujikebenarannyaolehpublik.Pernyataan Wiranto, bahwa ABRI betsikap pro-perubahan (reformasi),meskipundenganbingkai:konstitusionaldangradual,kiranyasemakinbanyakditunggu pula realisasinya oleh masyarakat luas, yang akan semakinmengafirmasiperannyasebagaidinamisator.

Namun harapan itu masih harns diletakkanpada keniampuanABRI,terutama AngkatanDarat, dalam menyelesaikanperpecahaninternal yangdihadapi:penyelesaiankasusPrabowoSubiantodkk., bahkantidak tertutupkemungkinansampai ke persidangan MahkamahMiliter dan PengadilanUmumbagikurban-kurbankekerasanlainbila adabukti tindakpidanayangcukupkuat. Tentusaja, penjatuhansanksiadminiatratifterhadapPrabowo,MuchdidanChairawanbukanlahpenyelesaianakhir. Namun,bagaimanapunjuga harus dimengerti,bahwaselainmemintabanyakenergi, perhatiandanbiaya, kasus tersebut juga membawa ABRI pada posisi sulit: Menjaganamabaikkorpsyangberartihamstidaksepenuhnyamemberikantransparansikepadamasyarakatyangjuga menerimadampaknegatifnya,ataukahterbukaapa adanyadenganmau menanggungstereotypetertentu yang memandangABRIuntuksementarawaktutidak lagiberjalandi atas reI SaptaMargadanSumpahPrajurit, tetapi dalamjangka panjang ia akan menjadipihak yangdipercayaolehrakyatyangtelah"melahirkannya".Hal lainadalahberkenaandengankesulitanfinansialgunamembiayaikeseluruhanaktivitaskorps, yang

JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998 77

Page 6: ABRI di Tengah Paradoks SosiatDominasi kekuasaan politik ABRI tersebut tercermin pada penguasaan jabatan penting pengelolaan negara ke dalam "genggamantangan"nya. J. Kristiadi menunjukkan

ABRI di Tengah Paradoks Sosial Suryo Adi pramono

sebelumnya di antara mereka pernah menerima "pemanjaan" fasilitas melaluitangan kelompok Prabowo, Oleh karena itu, kompleksitastersebut akan sangatmenentukan peran apa yang hendak dilakonkan oleh ABRI pada saat ini danmendatang.

SOlUSI Al TERNATIF

Dari sekianalternatif yang mungkindirumuskan,paling tidak hasildiskursus para eksponen Orde Baru14,baik sipil maupun militer, pernahsampai pada sebuah alternatifyang kiranya sekarangmenjadiurgen untukdipelajari sebagai langkah alternatif dalam menghadapi tantangandiskontinuitasdiatas.Alternatifitusetelahdimodifikasisecaraumummeliputibeberapa hal sebagai berikut: (1) netralitas ABRI dalam politik danpenyelenggaraanpemerintahan negara, (2) tanpa "menutup mata" akankeberadaannyasebagaikekuatanpolitikriil, ABRIdiberi sejumlahkursi diMPR (tidak di DPR) agar memperolehkesempatanberperan-sertadalammenentukanarahkebijakanpolitikumumyangdirumuskandi dalamGBHN,(3) prosesreformasipolitik(baca:demokratisasi)dilakukansesegeramungkinseiringdengandipacunyaprosespembangunanekonomidenganmemberikanpeluangyang semakinluas kepadamasyarakatdalamberperan aktif dalamproses penyelenggaraanpemerintahannegara, terutamadalampengambilankeputusan,melaluilembaga-Iembagapolitik,baikinframaupunsupra-strukturpolitik, secara bebas (tidak melalui pelembagaan politik yang telahdikorporatisasioleh negara), meskipuntetap di dalam kerangka stabilitaspolitik yang selamaini diperjuangkanoleh ABRI,

Upaya demokratisasiyang tertera pada poin (3) di atas diterapkanpada dua aras: infra-strukturdan supra-strukturpolitik. Pada aras infra-strukturpolitik,upayatersebutkiranyadiarahkanpalingtidakpadabeberapahal berikut: penghapusankebijakan"massamengambang"(floatingmass);pemberiankebebasanbagi masyarakafuntuk berserikat(baikdalambentukormas maupun orpol); kebebasan untuk mengeluarkan pendapat danmenyampaikan informasi; pemberdayaan organisasi sosial dan politik;

14 Uraian lengkap lihat: Mohtar Mas'oed,Ekonomi dan Struktur PaUlik, Jakarta, LP3ES, 1989, halaman 138.

78 JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

Suryo Adi Pramono ABRI di Tengah Paradoks Sosial

penghapusan "korporatisasi" atas pelembagaan politik; jaminan kebebasanuntuk memilih afiliasi politik; serta peniadaan segala perekayasaan politikbaik personal, posisional, organisasional, yuridis-formal, maupun relasiantar organisasi. .

Pada aras supra-struktur politik, upaya tersebut mengarah pada:pemberdayaan MPR dan DPR; otonomi dan fungsionalisasi lembagayudikatif;pembatasandankontrolterhadapperandominatiflembagaeksekutif(melalui: legislative review, anticipatoryjudidal review, administrativetria[15);netralitas birokrasi; serta reformasi aturan yuridis yang membelangguperan supra-struktur politik, Bila harusjujur, reformasi kelembagaan tersebutkiranya tepat bila diawali dengan reformulasi terhadap pasal-pasal konstitusiyang memberikan kemungkinan terhadap dominasi lembaga eksekutif dalampemerintahan denganmelakukan sejumlah amandemen terhadapnya, Di dalamproses inilah, optimalisasi peran MPR dalam mengkaji ulang konstitusi agarsemakin relevan dan kontekstual semakin dinantikan oleh masyarakat luassebagai per.wujudan demokratisasi politik,

Mengikuti tesis Samuel Huntington, bahwa kesadaran politik akanmengikuti keberhasilanpembangunanekonomi, maka di bidangpolitik langkahalternatif di atas selayaknya dilakukan dengan proses pelembagaan politik"dari bawah" sesuai dengan aspirasi politik masyarakat. Namun,bagaimanapun juga agar tidak terjadi kekacauan politik, masa transisionaltersebut harus .dijaga oleh adanya pemerintahan yang kuat dan efektif yangmempunyai peran paling sedikit sebagaiberikut: (1) sebagaiop'eratorkemajuanekonomi dengan mengerahkan seluruh potensi yang ada, (2) mempersiapkanmasyarakat ke arah tatanan demokratis melalui pemberian kesempatan seluasmungkin bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses politik, sehingga hasil-hasil ekonomi yang dicapai akan dapat didistribusikan secara cukup memadaimelalui proses politik yang demokratis itu demi sebesar-besarnya kepentinganmasyarakat. [Kita menyaksikan betapa proses politik yang sentralistis telahmengakibatkan ketimpangan sosial-ekonomi, baik secara vertikal (adanyakelas atas, menengah dan bawah yang demikiansenjang hubungannya)maupun

horisontal (misalnyakesenjangandistribusi pembangunanek~no~ antaraIndonesiaBagianBaratdanIndonesiaBagianTimur, lebih iroms,mIsalnya,

IS Uraian lebih detilten1angtennonologi yuridis ini dapat di baca pada tuJisan M. Fajrul Falaakh, UNISIA.No. 36/XXIIIVl1998, halaman 33.35.

79JSP. Vol. I, No, 3 - Maret 1998

Page 7: ABRI di Tengah Paradoks SosiatDominasi kekuasaan politik ABRI tersebut tercermin pada penguasaan jabatan penting pengelolaan negara ke dalam "genggamantangan"nya. J. Kristiadi menunjukkan

ABRI di Tengah Paradoks Sosial Suryo Adi Pramono

Irian laya dan Kalimantan adalah dua wilayah penyumbang pemasukankeuangan negara yang demikian besar tetapi menerima distribusi ekonomiyang tidak sebanding)].

Secara internal, pendidikan dan pewarisan nilai yang dilembagakan didalam berbagai bentuk, mulai dari Akademi Militer, WAMIL, MILSUK,sampai dengan SESKOAD (AL dan AU) serta SESKOGAB, perlu ditinjauulang untuk disesuaikan dengan tuntutan jaman yang bergulir secara"diskontinyu". Oleh karena itu, bobot militerisme secara hardware (perangkatkeras: kekuatan senjata dan fisik)perlu diimbangi secara sangat berarti denganmuatan software (perangkat lunak: ilmu pengetahuan, baik abstrak-konseptualmaupun aplikatif; komitmen nilai-nilai demokrasi; HAM dan keadilan). Inimenjadi begitu penting, karena di abad mendatang dapat dipastikan bahwaancaman dari luar negeri secara militer sangat minimal, untuk tidakmengatakan tidak ada, sehingga tuntutan domestik yang berkaitan dengandemokratisasi, HAM dan keadilanlah yang akan mengemuka untuk disambutoleh ABRI, yang dalam hemat saya ketika mencermati fenomena sosialbelakangan ini telah membuktikan, bahwa ABRI sangat sulit mengimbangikemampuan pihak sipil. Tidak jarang, ABRI telah tergelincir ke dalam "jalankekerasan" yang melanggar HAM, yang banyak meminta perhatian baikmasyarakat ° domestik maupun internasional,yang berujungpada turunnyacitra ABRIsebagaikelompokyangtelahmemberikankontribusiyangsangatberarti pada republik ini. Ini semakinmenjaditengara yangdemikianjelasdenganadanya sinyalemenkekerasanoleh aparat keamananterhadapaksi-aksi demonstrasi mahasiswadan "orang hilang" (yang hampir semuanyaadalahaktivispro-demokrasi,yangbeberapadi antaranyatelaho"pulang"kerumah masing-masing: Pius Lustrilanang, Desmond I. Mahendra, danHaryantoTaslamdan yang termasukpalingakhir adalahAndi Ariet).

Dengan itu semua, kita berharap, bahwa "kekerasanjalanan" akandigantikan oleh "meja-meja dialog" untuk merumuskansolusi terhadappersoalan sosial, politik, ekonomidan budaya yang tengah menghadang.Dan dengan demikian, semakin lengkaplah "persenjataan" ABRI dalam"perangmodern"yangbanyakmendasarkandiripadapenguasaan"perangkatlunak" di atas.

80 JSP. Vol.I, No.3 - Maret 1998

Suryo Adi Pramono ABRI di Tengah Paradoks Sosial

Pada situasisepertidi atas, ABRIsebagaistabilisatordandinamisatormempunyaiperan penting dalam memainkanskenario alternatif tersebut,terutama sebagai respon positif terhadap perkembanganmasyarakatyangbersifatparadoksalitu. Persoalandi baliktawaranpolitikalternatifituadalah:Bagaimana ABRI mampu meretleksikan secara cermat perkembangantantangan sosial terbaru yang kian menekan;proses regulasi diri macamapakahyangsebaiknyadigulirkanagartidakdi"nina-bobok"kanolehprevileseekonomi-politikyangselamaini dinikmatinyadi hadapantantanganparadokssosial yang kian mendekat;sejauh mana reorientasikepada semangatawalyangdiwariskanparaperintisnya,yaitu"semangatkejuanganPanglimaBesarSudirman" yang kritis terhadap kekuasaan dan sebaliknya berorientasikerakyatan,telahdilakukanolehjajaranABRI;danpertimbanganapasajakahyang sebaiknyadiperhitungkandi dalamkonstelasipolitik dewasaini yang"terbentang", 'yang tentu tidak akan mudahbagi ABRIuntuk ke luar dari"sekapan"politikpraktisyang(akan)"mengundang"munculnyasedemikianbanyakspekulasidanantisipasipolitikolehbanyakpihakdi seputarkekuasaannegara dengankepentinganpolitik merekamasing-masing.Kiranya,justrupadaposisisulitdi atas, ABRIsemakinditantanguntukmenentukanlangkahpolitikyangcermatdidalamkonteksdiskontinuitas-paradoksalperkembanganmasyarakat,yangapabilakelirudalammenentukanlangkah,bukanmustahil"krisis legitimasidan otoritas" akan "menerpa" dirinya, apalagipada saatnegaradilandakrisisekonomi(bahkan"krisiskepercayaan",kataPak Hartodi sejumlahmediamassabelum lama berselang,beberapaminggusebelumia dipaksa "berhenti" sebagaiPresiden)yang telah mengakibatkancapaianpembangunan yang sedemikian besar selama ini secara berangsur telahmengalami set back, di samping kemungkinan hilangnya penghargaanmasyarakatakan kontribusiABRIselamaini di dalam wujudpemerintahanOrdeBaruyangdikendalikannya.Terkaitdenganitusemua,pluralismepolitikmasyarakatyangkinikianmenguat(salahsatunyaditandaidenganpemunculanlebih dari 56 partai politik barn) sudah barang tentu tidak dapat dijawabdengansentralisasidan represi kekuasaanlagi, sehinggaposisi ABRIyangseharusnya berada "di atas" semua golongan dan kelompok masyarakatmenjaditepat untuk diaplikasikanpadadataranpolitik riil.

81JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

Page 8: ABRI di Tengah Paradoks SosiatDominasi kekuasaan politik ABRI tersebut tercermin pada penguasaan jabatan penting pengelolaan negara ke dalam "genggamantangan"nya. J. Kristiadi menunjukkan

ABRI di Tengah Parado/cs Sosial Suryo Adi Pramono

Dattar Pustaka

Buku

Crouch, Harold, Milirer dan Politik di Indonesia, Jakarta, Sinar Harapan, 1983.

lewan, Alexander dan Edriana, Pelanggaran Pemilu 1992, Jakarta, Sinar Harapan,1993.

J. Soedjati Djiwandono dan T.A. Legowo, Revitalisasi Sistem Politik Indonesia,Jakarta, CSIS, 1996.

Kittrie, Nicholas N., The WarAgainst Authority: From the Crisis of Legitimacy toa New Social Contract, Baltimore/London, The John Hopkins UniversityPress, 1995.

Kunio, Yoshihara, Kapitalisme Semu di Asia Tenggara, Jakarta, Sinar Harapan, 1989.Mas'oed, Mohtar, Ekonomi dan Struktur Politik OrdeBaru, Jakarta, LP3ES, 1989.

Simandjuntak, Marsillam, Negara Integralistik, Jakana, Sinar Harapan, 1995.

Simatupang, Tahi Bonar, lAporan dari Banaran, Jakarta, Sinar Harapan, 1983.

Suryadinata, Leo, Golkar dan Milirer di Indonesia, Jakarta, Sinar Harapan, 1995.

Non-Buku

Djiwandono, J. Soedjati, "Civil-Military Relations in Indonesia: The Case of ABRI'sDual Function", paper tidak diterbitkan, November 1996.

KOMPAS, 20 Maret 1998.

UNISIA, No.36/XXIIIV/1998.

82 JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998


Recommended