+ All Categories
Home > Documents > Analisis Konflik Internasional Israel-Palestina

Analisis Konflik Internasional Israel-Palestina

Date post: 13-Oct-2015
Category:
Upload: fakhri-azzumar
View: 71 times
Download: 6 times
Share this document with a friend
Description:
Konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina telah terjadi sejak tahun 1960 hingga saat ini. Masalah yang dijadikan konflik antar dua negara mengenai batas wilayah serta kandungan didalam tanah antara negara Palestina dan Israel. Konflik ini menimbukan banyak korban jiwa, pengeluaran keuangan yang besar, kerusakan, serta membuat kedamaian dunia terganggu. PBB beserta negara peserta lainnya menjadi salah satu aktor utama untuk mendamaikan sengketa antara dua negara ini. Faktor Internal dan Eksternal telah terjadi di dalam konflik Israel dan Palestina. Dewan Keamanan PBB harus menjadi salah satu pilar dan tonggak dimana dapat diredamnya konflik bersenjata di antara kedua negara ini.
Popular Tags:

of 43

Transcript

HUKUM HUMANITER

KONFLIK ANTARA ISRAEL DAN PALESTINA

Violitta Gaby

2010 200 065

Risna Kustinah

2010 200 127

Bayu Kresnha Adhiyaksa

2010 200 205

Lucky Sanjaya

2010 200 211

Fakhri Azzumar

2010 200 232Annisa Nurdelimasari

2010 200 263

Seruni Firdaus

2010 200 275Riesta Apriliana

2010 200 283

KELAS

:A

DOSEN

:Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

BANDUNGDAFTAR ISI

BAB 1

(PENDAHULUAN) :

1.1. Latar Belakang...

1.2. Rumusan Masalah..

1.3. Tujuan Penelitian

BAB 2

(TINJAUAN PUSTAKA) :

2.1. Pengertian Hukum Humaniter..

2.2. Tujuan Hukum Humaniter

2.3. Asas dan Prinsip Hukum Humaniter

2.4. Sumber-sumber Hukum Humaniter

BAB 3

( PEMBAHASAN) :

3.1. Bentuk- bentuk pelanggaran Hukum Humaniter yang dilakukan Israel

terhadap Palestina

3.2. Tindakan PBB terhadap Konflik yang terjadi pada Israel dan PalestinaBAB 4 (KESIMPULAN DAN SARAN):

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG :

Konflik antara Israel dan Palestina sampai saat ini masih menjadi salah satu peristiwa yang menjadi perhatian dunia, khususnya PBB. Konflik yang masih berlangsung sampai saat ini, telah mengakibatkan banyak kerugian, baik itu moril maupun materiil bagi masyarakat di wilayah yang tempat tinggalnya dijadikan medan konflik. Konflik ini sebenarnya telah berlangsung cukup lama, tepatnya mulai dari tahun 1917, dimana sebagian wilayah Palestina yang pada masa itu merupakan daerah koloni Inggris diberikan kepada kaum Yahudi berdasarkan Deklarasi Balfour. Orang-orang Palestina dan Arab yang merupakan penduduk asli mengecam deklarasi itu karena beranggapan deklarasi ini sebagai alat untuk menberikan wilayah Palestina kepada kaum Yahudi. Meskipun ditentang, deklarasi ini tetap berjalan. Pada tahun 1947, PBB berinisiatif untuk mengatur ulang pembagian wilayah antara warga Yahudi dan Palestina agar tercipta pembagian yang adil dan merata. Pada tahun 1948, berdasarkan mandate PBB tahun 1947, kaum Yahudi mendirikan Negara Israel. Pendirian ini mendapat penolakan dari warga Palestina, karena wilayah yang diklaim oleh pihak Israel melebihi batas-batas wilayah yang telah ditetapkan dalam mandate PBB sebelumnya.Karena adanya penolakan itu, maka sehari setelah pendeklarasian Negara Israel, pasukan gabungan dari Libanon, Yordania, Mesir, Irak, dan negara Arab lainnya menyerang Israel. Di luar dugaan, pihak Israel dapat menahan serangan tersebut, bahkan memenangkan pertempuran dan pada akhirnya menguasai 70% dari luas total wilayah yang disengketakan. Pada tahun 1949, Israel dan pihak Negara-negara Arab pendukung Palestina setuju untuk menghentikan perseteruan dan melakukan gencatan senjata. Melalui gencatan senjata ini, tercapai kesepakatan mengenai luas wilayah bagi masing-masing pihak, walaupun masih belum sesuai dengan mandate PBB semula, yaitu Israel mendapat kelebihan 50% dari wilayah yang ditentukan dalam mandate.Setelah itu, pada rentang waktu antara 1956-1978, terjadi beberapa peristiwa yang semakin mengobarkan konflik antara Israel dan Palestina serta Negara-negara Arab lainnya, Beberapa peristiwa yang terjadi antara lain:

1. 1956: Konflik Suez, dimana terjadi perebutan kekuasaan terhadap Terusan Suez yang pada masa itu menjadi jalur pelayaran utama kapal-kapal dagang Eropa yang akan menuju ke Asia atau sebaliknya. Konflik ini melibatkan Inggris, Perancis, dan Israel melawan Mesir;2. 1964: PLO atau Organisasi Pembebasan Palestina didirikan dengan tujuan menghancurkan Israel dan merebut kembali wilayah-wilayah yang diduduki oleh Israel;3. 1967: Konflik Enam Hari, yang melibatkan Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab: Mesir, Yordania dan Suriah, yang mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Konflik ini pada akhirnya melahirkan Resolusi Khartoum yang isinya merupakan kesepakatan untuk melakukan gencatan senjata; 4. 1968: dibentuknya Perjanjian Nasional Palestina, yang isinya meminta dilakukan pembekuan terhadap Israel;5. 1970: War of Attrition meletus, dimana konflik ini terjadi karena tindakan pihak militer Mesir yang menyerang pasukan Israel yang sedang berpatroli di Terusan Suez;6. 1973: Konflik Yom Kippur, dimana konflik ini merupakan kelanjutan dari War Of Attrition. Konflik ini terjadi pada saat perayaan hari raya Yom Kippur, yaitu hari raya besar keagamaanorang Yahudi. Konflik ini melibatkan Israel melawan koalisi negara-negara Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah;7. 1978: setelah konflik yang cukup panjang, pada tahun 1978 terciptalah sebuah kesepakatan damai antara Israel dan Mesir. Kesepakatan damai ini merupakan hasil dari upaya Jimmy Carter melakukan pertemuan rahasia antara Presiden Mesir, Anwar Sadat, dan Perdana Menteri Israel, Menachem Begin. Kesepakatan ini sekarang lebih dikenal dengan sebutan Kesepakatan Camp David;

Setelah terbentuknya kesepakatan Camp David, konflik-konflik pun dapat diredam dalam tempo yang cukup lama. Pada tahun 1982 konflik kembali terjadi, kali ini konflik melibatkan Israel dan Lebanon. konflik ini bermula dari tindakan Israel yang menyerang daerah Lebanon selatan.Konflik ini berlanjut dengan terjadinya Konflik Teluk tahun 1990-1991. Pada tahun 1993, tercapailah kesepakatan Oslo, yang menandai era baru bagi pemerintahan Israel dan Palestina. Kesepakatan ini menyatakan perdamaian dan pengakuan atas pemerintahan dari masing-masing pihak.Pada tahun 1996, terjadi kembali ketegangan antara pihak Israel-Palestina dikarenakan tindakan Israel yang membuat terowongan di bawah Masjid Al Aqsha untuk menarik turis. Tindakan ini dikecam oleh Palestina karena dianggap membahayakan pondasi Masjid. Peristiwa ini menyebabkan konflik antara Israel dan Palestina berkobar kembali. Pada konflik kali ini, pihak Palestina dapat mengimbangi kekuatan Israel, terbukti pada 1997 Israel sepakat untuk menarik pasukannya di Hebron, Tepi Barat dan dilanjutkan dengan terciptanya perjanjian Wye River yang isinya penarikan pasukan Israel dari wilayah konflik dan pelepasan tahanan politik Palestina. Perjanjian ini dilanjutkan dengan diselenggaakannya KTT Camp David pada tahun 2000, yang isinya membahas ulang pelaksanaan kesepakatan Camp David 1978 dan juga status terkini masing-masing pihak.Usaha perundingan melalui KTT Camp David kembali terbentur oleh tindakan Israel yang dengan sengaja membangun tembok pertahanan di kawasan Tepi Barat, selain itu juga maraknya peristiwa teror melalui bom bunuh diri yang terjadinya diwilayah kota kota Umm Al-Fahm, Israel Utara dan juga dekat kota Yerusalem. Akibat banyaknya bom bunuh diri terjadi diwilayah Israel membuat PM Israel Ariel Sharon mengumumkan deklarasi perang pada 20 maret 2002, serta mengerahkan pasukannya lengkap dengan persenjataan dan alat-alat berat ke kota Ramallah, untuk mengepung Yasser Arafat. Selain itu, dibawah kepemimpinan PM Ariel Sharon, Israel justru menunjukan eskalasi militer dan Politik. Israel mengerahkan pasuka bersenjatanya ke tepi barat dan membantai orang-orang Palestina di kamp pengungsi di jenin, Balata, Rammalah, Aida, dir balah dan Deheish sejak awal hingga pertengahan Juni 2002;Palestina yang merasa terhina kemudian mengadukan hal tersebut kepada Mahkamah Internasional. Setelah melalui waktu cukup lama, pada tahun 2004 Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Israel bersalah dan harus merobohkan tembok pertahanan tersebut, tapi Israel tidak menggubris dan terus melanjutkan pembangunannya.Pada tahun 2005-2006, terjadi revolusi politik di Palestina, dimana presiden yang terpilih berasal dari Fatah, yaitu Mahmoud Abbas dan Dewan Legislatif yang berasal dari Hammas. Dewan Legislatif yang berasal dari Hammas ini merupakan pertama kalinya sejak 40 tahun terakhir, yang mana diharapkan mampu memberikan perubahan bagi nasib masyarakat Palestina. Pada tahun 2008, kembali terjadi ketegangan antara Israel dan Palestina. Ketegangan ini bermula dari tindakan Israel yang dengan sengaja memutus aliran gas dan listrik ke wilayah Palestina. Hal ini menimbulkan kemarahan dari warga Palestina, yang merasa kecewa dengan sikap dewan legislatif yang tidak dapat mencegah tindakan sewenang-wenang dari pihak Israel.Tindakan Israel ini dibalas oleh warga Palestina dengan melakukan serangan secara sporadis menggunakan roket-roket kecil ke wilayah Israel. Serangan ini rupanya ditanggapi Israel dengan melakukan agresi militer ke Jalur Gaza dengan kode operasi Oferet Yetsuka dan dilanjutkan dengan melakukan serangan ke wilayah-wilayah yang menjadi basis operasi Hammas menggunakan persenjataan berat (tank), mengirim pasukan ke wilayah Perbatasan, dan rudal-rudal udara Python yang berdanya ledak tinggi dan daya jangkau yang sangat luas. Sementara target yang dituju lebih sedikit daripada alat yang dipergunakan. Selain pengunaan senjata berat, Israel juga telah melanggar ketentuan penggunaan alat atau cara-cara tertentu pada penggunaan sejumlah senjata tertentu seperti, Penggunaan racun atau senjata beracun, senjata biologi, senjata kimia, zat-zat kendali huru hara sebagai cara berperang. Hal ini terlihat dari tindakan yang dilakukan Israel dengan mengguakan Bom Fosfor putih untuk menyerang Palestina yang menyebabkan luka bakar yang sangat parah.1.2. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah bentuk- bentuk pelanggaran Hukum Humaniter yang dilakukan Israel terhadap Palestina ? 2. Bagaimana Tindakan PBB terhadap Konflik yang terjadi pada Israel dan Palestina ?1.3. TUJUAN PENELITIANSuatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas dan merupakan pedoman dalam membuat suatu makalah. Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu :

a.Mengetahui pelanggaran pelangaran yang dilakukan leh Israel daham hal perang yang terjadi antara Israel dan Palestina dalam konteks hukum humaniter. baik mengacu terhadap asa dan prinsip umum juga mengacu pada sumber hukum humaniter yaitu Konvensi den Haque dan Konvesi Jenewa;b.Mengetahui langkah- langkah yang tepat dalam hal menindak lanjutin kejahatan perang yang dilakukan Israel melaku suatu keputusan PBB sebagai organisasi dunia.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENGERTIAN HUKUM HUMANITER Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini dikenal dengan istilah hukum humaniter.

Menurut Jean-Jacques Rouseau, dijelaskan prinsip-prinsip perkembangan perang antar negara, diartikan sebagai perang bukanlah suatu hubungan antar negara, dimana secara individual, karena individu yang menjadi musuh hanya karena kebetulan, tidak sebagai manusia atau sebagai warga negara, tetapi sebagai prajurit. Karena tujuan perang adalah menghancurkan negara musuh, adalah sah secara hukum apabila membunuh prajurit yang menjadi pertahanan terakhir musuh sejauh mereka membawa senjata, tetapi segera setelah mereka meletakkannya. Menurut Jean-Jacques Rouseau, dijelaskan prinsip-prinsip perkembangan perang antar negara, diartikan sebagai perang bukanlah suatu hubungan antar negara, dimana secara individual, karena individu yang menjadi musuh hanya karena kebetulan, tidak sebagai manusia atau sebagai warga negara, tetapi sebagai prajurit. Karena tujuan perang adalah menghancurkan negara musuh, adalah sah secara hukum apabila membunuh prajurit yang menjadi pertahanan terakhir musuh sejauh mereka membawa senjata, tetapi segera setelah mereka meletakkannya danmenyerah, mereka bukan lagi musuh, menadi orang biasa, dan tidak lagi sah secara hukum untuk mengambil kehidupan mereka.

Selain itu, Rouseau dan Marents menyusun prinsip - prinsip kemanusiaan dengan memformulasikan prinsip - prinsip pembedaan, prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu dan prinsip kepentingan kemanusiaan dan keperluan militer. Bahwa satu-satunya objek yang paling sah untuk dicapai oleh suatu negara selama masa perang adalah melemahkan angkatan bersenjata dari pihak lawan. Menurut prinsip ini objek tersebut akan dilampaui dengan penggunaan yang secara tidak perlu memperburuk penderitaan orang-orang yang tidak berdaya, atau membawa kematian tak terhindarkan bagi mereka.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum humaniter adalah bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri. Menurut panitia tetap Hukum Humaniter, Depatemen Hukum dan perundang- undangan dirumuskan Hukum Humaniter sebagai berikut: Hukum Humaniter sebagai segala ketentuan internasional yang tertulis maupun tidakter tulis yang mencakup hukum perang dan hak-hak asasi manusia, yang bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat danmartabat seseorang.

Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan aturan pokok, yaitu:

1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang(Hukum Den Haag/The Hague Laws), cara berperang yang tercantum dalam Pasal 23 (b) Hague Regulations (HR) yang melarang membunuh atau melukai orang dari pihak musuh secara curang atau berkhianat (treacherously). Larangan membunuh atau melukai musuh yang telah berstatus hors de combat atau yang telah menyerah, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 23(c) serta ketentuan dalam Pasal 25 HR mengenai larangan pemboman terhadap kota, pedesaan, daerah-daerah atau daerah yang tidak dipertahankan. Konvensi Den Haag tahun 1899 menghasilkan tiga Deklarasi yaitu: Pertama, melarang penggunaan peluru-peluru. Kedua, peluncurun proyektil - proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon selama jangka waktu lima tahun yang berakhir tahun 1905. Ketiga, penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun dilarang.

2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan danpenduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/The Geneva Laws).18Berkaitan dengan kedudukan dan perlakuan orang-orang yangdilindungi dalam konflik, mereka berhak akan:19

a. Penghormatan atas diri pribadi,

b. Hak kekeluargaan, keyakinan, praktek keagamaan,

c. Adat-istiadat dan kebiasaan.

Selanjutnya, dalam Pasal 27-34 Konvensi Jenewa ditentukan tindakan-tindakan yang dilarang yaitu:

a. Memaksa baik jasmani maupun rohani, untuk memperoleh keterangan,

b. Menimbulkan penderitaan jasmani,

c. Menjatuhkan hukuman kolektif,

d. Mengadakan intimidasi, terorisme, perampokan,

e. Tindakan pembalasan terhadap penduduk sipil,

f. Menangkap penduduk sipil untuk ditahan sebagai sandera.

Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai berikut:

1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengaturtentang dalam hal bagaimana negara dibenarkanmenggunakan kekerasan bersenjata;

2. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang,dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu:

a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang(condact of war). Bagian ini biasanya disebut TheHague laws.b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Ini lazimnya disebut The Genewa Laws.

2.2 TUJUAN HUKUM HUMANITER Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari sudut pandang hukumhumaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip- prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai kepustakaan, antara lain sebagaiberikut:

1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu(unnecessary suffering).

2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.

3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini, yang terpenting adalah asas perikemanusiaan.

2.3 ASAS DAN PRINSIP HUKUM HUMANITER

Hukum humaniter mengeenal asas- asas hukum humaniter yang harus diperhatikan pada saat mengadakan perang. Asas- asas utama dalam hukum humaniter tersebut terdiri dari :

a. Kepentingan Militer (military necessity), artinya para pihak yang bersenketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukan lawan demi terciptanya tujuan dan keberhasilan perang.

b. Asas perikemanusiaan (Humanity)

Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan dan penderitaan yang tidak perlu.

c. Asas Kesatiaan (Chivarly)

Asas ini, mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat- alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu khianata dilarang.

Selain ada tiga asas utama hukum humaniter, terdapat pula prinsip- prinsip yang harus diperhatikan dalam melakukan perang. Prinsi- prinsip tersebut adalah :

A. Prinsip Kemanusiaan (Humanity Principle)

Pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan prikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. Oleh karena itu prinsip ini sering juga disebut dengan unnecessary suffering principleB. Prinsip Kesatria (Chivalry)

Didalam perang, kejujuran harus diutamakan penggunaan alat alat yang tidak terhormat berbagai macam tipu muslihat dan cara cara yang bersifat khianat dilarang.

C. Prinsip Proposionalitas (Proportionality Princple)

Prinsip yang diterapkan untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh operasi militer dengan mengsyaratkan bahwa akibat dari sarana dan metoda berperang ya ng digunakan harus proposional dengan keuntungan militer yang diharapkan.Dalam peperangan penduduk sipil sangat beresiko untuk menanggung akibat serangan militer. Sebgai contoh dalam Perang Dunia II pengeboman Hiroshima dan Nagasaki oleh tentara sekutu dalam usaha menaklukan Jepang, namun terdapat ribuan penduduk sipil yang meninggal akibat bom tersebut. Akibat pemboman itu ternyata tidak hanya menyebabkan matinya ribuan orang. ternyata masih menyiksakan penderitaan yang berkepanjangan bagi penduduk Hiroshima dan Nagasaki.

D. Prinsip Pembatasan (Limitation Principle)

Bahwa metode dan persenjataan dalam peperangan adalah tidak tak terbatas. Larangan penggunaan senjata yang dapat menyebabkan luka-luka yang berlebihan (superfluous injury) dan penderitaan yang tidak perlu (Unnecessary Suffring)Prinsip pembatasan ini berkaitan dengan tiga hal yaitu :

1. Pembatasan sasaran lawan, artinya hanya lawan yang dapat diserang mengupayakan kekerasan maksimal.

2. Pembatasan sasaran wilayah, adanyan larangan menghancurkan tempat ibadah, peninggalan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan wilayah yang tak dipertahankan, rumah sakit, pasar, dan lain- lain.

3. Prinsip pembatasan sasaran keadaan, tindakan perang dilarang melakukan pengkhiatanan dlaam arti tindakan pura-pura atau menjebak lawan dan memberi cedera yang berlebihan.

E. Prinsip Pembedaan (Distinction Principle)

Prinsip pembedaan ini membedakan antara penduduk sipil (civilian) disatu pihak dengan combatant serta antara objek sipil disatu pihak dengan objek militer dilain pihak. Kombatan ada;ah penduduk yang secara aktif turut serta dalam perumusan dan boleh dijadikan sasaran perang, sedangkan penduduk sipil adalah penduduk yang tidak ikut aktif dalam perang sehingga tidak boleh dijadikan sasaran perang.

2.4 SUMBER-SUMBER HUKUM HUMANITERDari sudut pandang Hukum Humaniter, perang merupakan suatu keadaan yang tidak dapat dihindari sehingga Hukum Humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan memperhatikan prinsip- prinsip kemanusian atau memanusiawikan perang. Tujuan utama Hukum Humaniter adalah memberikan perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang menderita/ menjadi korban perang, baik mereka yang secara aktif turut serta dalam pemusuhan maupun yang tidak turut serta dalam pemusnahan.

Sumber utama Hukum Humaniter terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Hukum Den Haag terdiri dari dari, Konvensi den Haag 1899 dan 1907 mengenai cara dan alat berperang. Konvensi Den Haag 1899 terdiri daei 3 konvensi dan tiga deklarasi, antara lain Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di darat serta adanya deklarasi larangan penggunaan prokyektil- proyektil yang menyebabkan gas- gas cekik dan beracun dilarang. Sedangkan Konvensi Den Haag 1907 terdiri dari 13 Konvensi, konvensi yang penting anatara lain konvensi III tentang cara Memulai Permusuhan dan Konvensi IV ini sering disebut dengan Hague Regulation (HR). HR memberikan batasan yang lebih tegas terhadap pemakaian alat dan metode perang. Di samping itu di dalam terdapat Martens Clause, di mana dalam Martens Cluase dinyatakan bahwa dalam keadaan apapun diperhatikan perlakuan kemanusiaan.

Pasal 31 ayat 1 Statuta Mahkamah International. a. International convention, whether general or particular enstablishing rules expressly recognized by the contesting states.

b. Intenational custom, as evidance of a generla practice accepted as law.

c. The general principles of law recognized by civilized nations

d. Subect to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teaching of the most highly qualifed publicist of the various nations,as subsidiary means for the determinations of rules of law 2.4.1 Hukum Den Haag

Hukum Den Haag atau The Hague Laws adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan serangkaian ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenai alat (sarana) dan cara (metode) berperang (means and methods of warfare).Disebut denganThe Hague Laws, karena pembentukan ketentuan-ketentuan tersebut dihasilkan di kota Den Haag, Belanda. Hukum Den Haag terdiri dari serangkaian ketentuan yang dihasilkan dari Konferensi 1899 dan ketentuan-ketentuan yang dihasilkan dari konferensi1907.Konferensi Den Haag 1899 diadakan mulai tanggal 20 Mei 1899 hingga 29 Juli 1899 yang menghasilkan tiga konvensi (perjanjian internasional) dan tiga deklarasi (pernyataan) pada tanggal 29 Juli 1899.Adapun tiga konvensi tersebut adalah: a. Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai;Lahirnya konvensi I Den Haag 1899 tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai tidak terlepas dari upaya untuk sebisa mungkin menyelesaikan segala bentuk perselisihan dengan jalan damai tanpa perlu angkat senjata. Mengingat bahwa perang dilakukan dengan persenjataan yang mengakibatkan malapetaka yang lebih besar, maka tidaklah mengherankan apabila umat manusia berusaha sekuat-kuatnya menghapuskan perang, atau sekurang-kurangnya memperkecil timbulnya perang.Suasana jemu terhadap perang itulah yang melatar belakangi timbunya keinginan untuk membuat ketentuan dalam konvensi I Den Haag 1899 tentang Penyelesaian Sengkata Internasional secara Damai.Pada awalnya tahun 1874 atas prakarsa Czar Alexander II dari Rusia, mengundang 15 negara Eropa berkumpul di Brussels untuk mempelajari suatu draft tentangthe laws and customs of war,yang diajukan oleh pemerintah Rusia. Tetapi ke-15 negara yang diundang tersebut tidak mau meratifikasi Konferensi tersebut karena mereka tidak bersedia diikat oleh ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi itu. Akhirnya pada tahun 1899 di Den Haag atas prakarsa Rusia lagi dilangsungkan apa yang disebutFirst Hague Peace Conference. Salah satu tujuan Konferensi tersebut adalah untuk mengadakan revisi dari Konvensi yang sudah disetujui di Brussels pada tahun 1874.Ketentuan Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai ini tidak terlepas dari keinginan yang kaut untuk memelihara perdamaian umum. Konvensi ini mulai berlaku pada 4 September 1900.Pada judul I dari Konvensi ini tentangOn The Maintenance Of The Gereral Peace/ Pemeliharaan Perdamaian Umum yang terdiri dari satu pasal menegaskan bahwa untuk menghindarkan sejauh mungkin hal yang tidak diinginkan dalam hal adanya perbedaan antar negara, negara-negara yang menandatangani persetujuan ini, sepakatuntuk menggunakan upaya terbaik mereka untuk menjamin penyelesaianpersengketaaninternasional.

Dalam judul II tentangOn good Offices and Mediationterdapat 7 Pasal, dalam Pasal 2 menerangkan jika ada perselisihan atau konflik yang melanda suatu negara dengan negara lain, sebelum menggunakan angkatan bersenjata, negara-negara penandatangan sepakat untuk meminta bantuan, sejauh keadaan memungkinkan kepada satu atau lebih negara sahabat untuk memberikan jasa-jasa baik atau mediasi. Dalam Pasal 3 menjelaskan tentang bagaiamana suatu negara menawarkan jasa baik atau mediasi kepada negara yang berselisih, dalam Pasal 6 menjelaskan jasa baik atau mediasi yang dilakukan baik atas permintaan pihak yang berselisih atau atas inisiatif negara lain terhadap negara yang berselisih hanya bersifat saran dan tidak mengikat. Pada umumnya dalam judul II tentang jasa-jasa baik dan mediasi ini telah memberikan ketentuan yang jelas bagi negara-negara yang berselisih untuk menggunakan jasa-jasa baik atau mediasi sebelum mereka menggunakan angkatan bersenjata, dan bagi negara lain di perbolehkan mengambil langkah untuk menjadi penengah diantara negara yang berselisih.Dalam judul III tentangOn International Commissions of Inquaryterdapat 6 Pasal, menjelaskan tentang Komisi Penyelidikan Internasional yang memfasilitasi para pihak berselisih yang belum bisa mencapai kesepakatan melalui diplomasi dalam mencari fakta. Dalam Pasal 9 menjelasan bahwa sebuah lembaga bernama Komisi penyelidikan Internasional hadir untuk memfasilitasi dalammencari solusi dari perbedaan-perbedaan dengan mencari fakta-fakta melalui investigasi yang mengedepankan ketidak berpihakan dan ketelitian. Dengan kata lain Komisi Penyelidikan Internasional hadir sebagai pilihan kedua bilamana jasa-jasa baik dan mediasi tidak berhasil menyelesaikan perselisihan.Dalam judul IV tentangOn International Arbirationterdapat 3 (tiga) Bab.Bab I tentang Sistem Arbitraseterdiri dari 5 Pasal,Bab II tentang Pengadilan tetap Arbitraseterdiri dari 10 Pasal, danBab III tentang Prosedur Arbitraseterdiri dari 33 Pasal.b. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat; beserta Lampirannya;Konvensi yang terdiri dari 60 Pasal ini berlaku mulai 4 September 1900. Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan untuk menjaga perdamaian dan mencegah konflik bersenjata, namun tidak semua jalan pencegahan konflik bersenjata dapat dihentikan, maka perlu adanyapeninjauan kembali terhadap hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan umum dalam perang, baik dengan memberikan pengertian, atau meletakkan beberapa batasan tertentu dalam rangka untuk sejauh mungkin mengurangi kerusakan.Ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini diilhami oleh keinginan untuk menghilangkan kekejaman peperangan, sejauh kepentingan militer memungkinkan, dimaksudkan untuk dipergunakan sebagai suatu aturan umum bagi tindakan Belijeren dalam hubungannya dengan pihak lain dan masyarakat.Lampiran pada Konvensi ini mengenai peraturan menghormati hukum dan kebiasaan perang di darat dan terdiri dari 4 (empat) bagian, yaitu:

1. Pada Bagian I tentang pihak-pihak yang bersengketaterdapat 3 (tiga) Bab.Bab I membahas mengenai kualifikasi dari pihak-pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 1 menerangkan bahwa Hukum mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban berperang tidak hanya diterapkan kepada tentara, tetapi juga kepada milisi dan kelompok sukarelawan.

Sementara negara-negara di mana milisi atau kelompok sukarelawan merupakan atau menjadi bagian dari tentara, maka mereka termasuk dalam pengertian "Angkatan Darat".Dalam Pasal 2 menerangkan penduduk yang wilayahnya belum dikuasi musuh kemudian mengangkat senjata secara terbuka meski tidak terorganisir harus dianggap sebagai beligeren. Kemudian angkatan bersenjata yang dapat terdiri dari kombatan dan non-kombatan jika tertangkap oleh musuh maka keduanya mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang (Pasal 3).Bab II membahas mengenai Tawanan Perang.Pada Bab II ini terdapat 17 (tujuh belas) Pasal mengenai hak dan kewajiban dari tawanan perang dan bagaimana pemerintah musuh memperlakukan hal yang pantas pada tawanannya.Bab III mengenai orang-orang yang sakit dan luka-luka. Di dalam Pasal 21 dikatakan kewajiban para pihak yang berperang berkaitan dengan orang yang sakit dan luka-luka diatur oleh Konvensi Jenewa.2. Bagian II tentang Permusuhanterdapat 5 (lima) Bab.Bab I mengatur mengenai alat-alat melukai musuh, pengepungan dan pengeboman. Di dalamnya terdapat bagian terpenting, yaitu klausula pokok yang menyatakan bahwa :hak para pihak yang berperang untuk menggunakan alat-alat untuk melukai musuh adalah tidak tak berbatas (Pasal 22). Perturan-peraturan dasar diatas telah terbentuk menjadi kebiasaan yang diterima oleh negara-negara sebagai hukum kebiasaan internasional. Sementara tipu daya perang dan penggunaan cara-cara yang diperlukan untuk memperoleh informasi mengenai musuh dan negaranya diperbolehkan (Pasal 24). Sedangkan mengenai ketentuan bagaimana cara pengepungan dan pemboman diatur secara tegas dalam Pasal25 sampai dengan Pasal 27. Di Pasal 28 segala bentuk penjarahan terhadap sebuah kota atau tempat dilarang, walaupun diperoleh dengan cara penyerangan.Bab II tentang Mata-mata, dalam bagian ini dijelaskan tentang kualifikasi mereka yang tergolong sebagai mata-mata dan mereka yang bukan mata-mata (Pasal 29). Juga terdapat ketentuan bila tertangkapnya seorang mata-mata ketika ia melakukan tugasnya tidak dapat dihukum tanpa melalui proses pengadilannya sebelumnya (Pasal 30). Dari isi Pasal 30 tersebut dapat kita lihat bahwa perlakuan terhadap musuh yang melakukan mata-mata jika tertangkap tidak boleh diperlakukan secara sembarangan.Bab III tentang Bendera Gencatan Senjata, di Bab ini menjelaskan Seseorang dianggap sebagai pembawa bendera gencatan senjata, yang diberi kewenangan oleh salah satu Belijeren untuk berkomunikasi dengan pihak Belijeren lainnya dengan membawa bendera putih. la berhak untuk tidak diganggu-gugat, demikian pula peniup terompet, penabuh drum, pembawa bendera penerjemah yang mungkin menyertainya (Pasal 32).

Pembawa bendera gencatan senjata kehilangan hak tidak dapat digangu gugat apabila terbukti dengan jelas dan tidak dapat dibantah, telah mengambil keuntungan dari posisinya yang istimewa itu untuk menginterogasi atau melakukan pengkhianatan (Pasal 34).Bab IV tentang Penyerahan menjelaskan tentang Penyerahan-penyerahan yang disetujui antar negara yang melakukan perjanjian harus sesuai dengan aturan-aturan kehormatan militer. Setelah disetujui, perjanjian tersebut harus dengan saksama diawasi oleh kedua pihak (Pasal 35).Bab V tentangGencatan Senjata, menerangkan tentang Gencatan Senjata adalah penundaan operasi militer melalui kesepakatan bersama antara pihak yang berperang. Operasi militer bisa dilanjutkan kembali sesuai dengan durasi yang ditentukan melalui kesepakatan bersama (Pasal 36).c. Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut.Konvensi ini terdiri dari 14 (empat belas) Pasal. Pada Pasal I menjelaskan bahwaKapal rumah sakit militer, yakni: kapal yangdibangun atau ditugaskan oleh Negara-negarayangkhusus dan semata-mata untuk tujuan membantukorbanluka, sakit atau terdampar,yangmanaharus telah dikomunikasikankepadanegara-negara yangbersengketadi awal atau selamapersengketaan berlangsung, dan dalam hal apapun sebelum mereka bekerja, harusmenghormati dandilarang menangkap atau mengganggu kapal rumah sakitkarena mereka berlabuh pada pelabuhan yang netral. Sementara dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 14 mengatur ketentuan tentang keberadaan kapal rumah sakit militer yang harus dilindungi dari penangkapan dan penyerangan oleh pihak yang bersengketa, kewajiban kapal perang militer unrtuk mengupayakan bantuan-bantuan kepada yang terluka, sakit dan terdampar dari pihak yang berperang secara independen dari kebangsaan mereka. Kapal-kapal rumah sakit militer harus diberikan tanda pembeda pada catnya dan mengibarkan bendera putih dengan salib merah sesuai dengan ketentuan Konvensi Jenewa. Kemudian setiap staf agama, medis atau rumah sakit dari setiap kapal yang ditangkap tidak bisa dijadiakan sebagai tawanan perang.Pelaut dan prajurit yang diambil di atas kapal ketika sakit atau terluka, apa punnegara mereka, harus dilindungi dan dijaga oleh para penculik.Sementara dalam Pasal 11 terdapat ketentuan yang menarik, yakniAturan yang terdapat dalamPasalKonvensi ini hanyamengikatnegara-negara yang setuju dalam Konvensi ini, dalam kasus perang antara dua atau lebih dari mereka.Aturan akan berhenti mengikat ketika dalam sebuah perang antara pihaknegara-negara yang berselisih, salah satu pihaknya bergabung dengan negara yang tidak terikat dalam Konvensi ini.Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai Berikut :

a. Deklarasi tentang Larangan, untuk jangka waktu lima tahun, Peluncuran Proyektil-proyektil dan Bahan Peledak dari Balon, dan Cara-cara serupa lainnya;b. Deklarasi tentang Gas-gas yang mengakibatkan sesaknya pernafasan (gas cekik atau asphyxiating gases;c. Deklarasi tentang Peluru-peluru yang bersifat mengembang di dalam tubuh manusia (peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia).Deklarasi yang sudah tua ini, walaupun perumusan kalimatnya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan senjata yang digunakan sekarang, namun secara aktual deklarasi tersebut telah meletakkan prinsip-prinsip dasar Konvensi-konvensi Den Haag, yaitu tentang larangan penggunaan senjata proyektil atau bahan-bahan yang dapat menyebabkan penderitaan yang tidak perlu.

2.4.2 Konvensi Den Haag 1907 :The Second Hague Peace Conferencepada tanggal 18 Oktober 1907 menghasilkan 13 konvensi dan sebuah deklarasi. Konvensi-konvensi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai.2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menuntut Pembayaran Hutang yang berasal dari Kontrak.3. Konvensi III tentang Permulaan Perang.4. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, beserta Lampirannya.5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di Darat.6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Perang.7. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang.8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut.9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut pada saat Perang.10. Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut.11. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang di Laut.12. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan.13. Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut.Konvensi VI sampai dengan Konvensi XII Den Haag 1907 pada umumnyamengatur masalah kapal, kapal perang, jadi menyangkut perang di laut.

Adapun satu-satunya deklarasi yang dihasilkan dalam Konferensi Perdamaian II tersebut adalah Deklarasi yang melarang Penggunaan Proyektil-proyektil atau Bahan-bahan Peledak dari Balon.Hukum den haag merupakan serangkaian ketentuan yang berlaku dalam peperangan. Hukum ini ditujukan kepada para komandan militer beserta anak buahnya, yang menentukan hak dan kewajiban peserta tempur, dan oleh karena itu penerapannya terbatas hanya pada waktu pertempuran sedang berlangsung.Dalam hubungannya dengan ratifikasi Indonesia atas konvensi-konvensi Den Haag pada tahun 1907 itu maka F. Sugeng menjelaskan bahwa pada waktu berlangsungnya Konfrensi itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang merupakan jajahan Kerajaan belanda sehingga ratifikasi yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda dengan Undang-Undang (Wet) tanggal 1 Juli 1909 dan keputusan Kerajaan Hindia Belanda.

Ketika terjadi pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949, maka hak dan kewajiban hindia Belanda beralih kepada Republik Indonesia Serikat melalui Persetujuan Peralihan yang merupakan Lampiran Induk pada Perjanjian KMB di Den Haag.

Ketika susunan Negara mengalami perubahan dari Republik Indonesia kesatuan, maka ketentuan peralihan UUDS 1950 telah menjadi jembatan penghubung tetap ssahnya ratifikasi itu, Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1969, Pasal II Aturan Peralihan telah menampung hal-hal yang belum diatur oleh UUD 1945 termasuk Ratifikasi terhadap konvensi Den Haag tersebut.

2.4.3 Hukum Jenewa :Hukum Jenewa yang mengatur mengenai perlindungan korban peran terdiri dari empat perjanjian pokok:

a. Konvensi Jenewa I tentang Perbaikan keadaan tentara yang luka dan sakit di medan pertempuran darat.

b. Konvensi Jenewa II tentang Perbaikan keadaan Tentara yang luka dan Sakit di Medan Pertempuran laut.

c. Konvensi Jenewa III tentang Perlakuan Tawanan Perang

d. Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan Pendududuk Sipil di Waktu Perang.

Dalam Hukum Jenewa terdapat paturan aturan yang mengatur mengenai ketentuan dalam perang dan penyalahgunaan, hal tersebut terdapat di dalam pasal 50. Yang termasuk kedalam pelanggaran berat dalam perang terdiri dari 4, yaitu :

1. Pembunuhan yang disengaja;

2. Penganiayaan atau perlakuan tak berprikemanusian termasuk percobaan biologis;

3. Menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan.

4. Pembinasaaan yang luas dan tindakan atas kepemilikian atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilaksanakan dengan melawan hukum semena- mena.

Keempat konvensi Jenewa Tahun 1949 dalam tahun 1977 ditambahkan lagi dengan protokol tambahan 1977. Hal ini dikarenakan setelah Perang Dunia II, dunia ditandai dengan proses dekolonisasi, sehingga banyak peperangan tidak lagi bersifat internasional, namun tidak sedikit korban akibat bersenjata non international ini. Oleh karena itu perlu adanya pernyesuaian terhadap perkembangan pengertian sengketa bersenjata, petingnya perlindungan lebih lengkap bagi mereka yang luka, sakit, dan korban karam dalam suatu peperangan, serta antisipasi terhadap perkembangan mengenai alat dan cara berperang.. Masyarakat international sepakat untuk mengatur masalah- maslah baru tersebut dan dibentuklah Protokol Tambahan Konvesni Jenewa tahun 1977 yang dikenal dengan protokol tambahan I dan protokol Tambahan II tahun 1977. Protokol tambahan 1977 anatara lain adalah :

a. Protocol Addotional to the geneva Convention of 12 August 1949, and relating to the Protections of Victims of International Aremed Conflict (Protocol I);

b. Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, and relating to the Protections of Victims of Non Intenational Armed Conflict (Protocol II)

Protocol Tambahan I dibentuk disebabkan metode peperangan yang digunakan oleh negara- negara telah berkembang; demikian juga aturan- aturan mengenai tata cara berperang (Code of conduct). Hal hal yang dilarang dalam Protocol Tambahan I antara lain :

a. Melarang serangan yang membabibuta dan reprisal terhadap:

Penduduk sipil da orang orang sipil

Obyek- obyek yang sangat penting bagi kelangsungan hidup penduduk sipil

Benda benda budaya dan tempat tempat religius

Bangunan dan instalasi berbahaya

Lingkungan alam

b. Memperluas perlindungan yang sebelumnya telah diatur dalam Konvensi Jenewa kepada semua personil medis, unit- unit dan alat alat transportasi medis, baik yang berasal dari organisasi sipi atau militer.

c. Menentukankewajiban bagi pihak peserta agung untuk mencari orang orang yang hilang

d. Menegaskan ketentuan ketentuan mengenai suplai bantuan (relief supplies) yang ditunjukan pada penduduk sipil.

e. Memberikan perlindungan terhadap kegiatan- kegiatan organisasi pertahanan sipil.

f. Mengkhususkan adanay tindakan- tindakan yang harus dilakukan oleh negara- negara untuk memfasilitasi implementasi hukum humaniter

Protocol Tambahan II Terbentuk karena pada kenyataannya konflik-konflik yang terjadi sesdah perang dunia II adalah konflik yang bersifat International. Protocol II ini lebih mengatur kepada perang perang yang terjadi di dalam satu negara tetapi kejahatan perang itu juga perlu diatur sama pentingnya dengan perang yang terjadi antar negara.

Selain sumber- sumber utama hukum humaniter terdapat sumber sumber hukum lain yang mengatur alat dan mengatur alat dan metode berperang. Masyarakat internasional selalu berusaha untuk mengurangi penderitaan yang berlebihan yang ditimbulkan oleh perang antara lain yang telah dipekati:

a. the biological weapons Convention 1972

b. The United Nations Convension on Conventional Weapons and the Protocols 1980,

c. The chemical Weapons 1993

d. Convention on Prohibitions or restrictions on the Use certain Conventional Weapons Which Maybe Deenmed to excessivelly injuries or to have Indiscriminate Effects.

BAB 3

PEMBAHASAN3.1. BENTUK- BENTUK PELANGGARAN HUKUM HUMANITER YANG

DILAKUKAN ISRAEL TERHADAP PALESTINADengan mengetahui prinsip- prinsip hukum humaniter yang terkandung dalam Piagam dan konvensi PBB serta mengetahui sumber-sumber hukum dari Hukum Humaniter yaitu Hukum Den Haque dan Jenewa jelas bahwa agresi Isael terhadap Palestina telah melanggar aturan berperang yang diatur oleh hukum humaniter. Hal-hal yang dilanggar oleh Israel dalam konflik tersebut antara lain : 1. Pelanggaran yang dilakukan oleh Israel dalam konteks hukum humaniter terlihat dari banyaknya korban dari warga sipil baik korban luka ataupun korban yang tewas. Hal ini bertentangan dengan prinsip kemanusian, dimana dalam Prinsip Kemanusian mengatur perlindungan terhadap penduduk sipil agar tidak menjadi korban perang, dimana prinsip ini telah lama dikenal dalam membatasi korban karena peperangan. 2. Adanya penggunaan senjata yang tidak diperlu digunakan. Namun dalam serangan Israel terhadap Palestina. Israel menggunakan Bom pospor putih yang mengakibatkan luka bakar yang sangat berat hingga menembus tulang. Bom fospor putih merupakan senjata yang dilarang digunakan dalam perang. Hal ini dikarenkan bom fosfor putih mengakibatkan penderitaan yang sangat berlebihan, dan hal tersebut bertantangan dengan Prinsip Pembatasan. Mengenai aturan tentang adanya pembatasan penggunaan senjata. Hal ini telah secara tegas diatur dalam hukum Den Hague yang melarang penggunaan senjata yang menimbulkan luka-luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu..Hukum Den Hague mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag/The Hague Laws), cara berperang yang tercantum dalam pasal 23 (b) Hague Regulations (HR) yang melarang membunuh atau melukai orang dari pihak musuh secara curang atau berkhianat (treacherously). Larangan membunuh atau melukai musuh yang telah berstatus hors de combat atau yang telah menyerah, sebagimana yang tercantum dalam pasal 23 (c) serta ketentuan dalam pasal 25 Hague Regulations (HR) mengenai larangan pemboman terhadap kota, pedesaan, daerah-daerah atau daerah yang tidak dipertahankan.. Selanjutnya dalam protokol Tambahan berisi larangan perusakan lingkungan sebagai sarana dan metoda berperang.Disamping itu, peraturan-peraturan yang terdapat dalam hukum Den Hague terutama yang berdasarkan prinsip-prinsip umum tersebut, di dalam praktik melarang penggunaan alat atau cara-cara tertentu pada penggunaan sejumlah senjata tertentu seperti, Penggunaan racun atau senjata beracun, senjata biologi, senjata kimia, zat-zat kendali huru hara sebagai cara berperang, herbisida sebagai cara dalam berperang, peluru yang mengembang atau merata dengan mudah di dalam tubuh manusia, penggunaan peluru yang meledak di dalam tubuh manusia, senjata-senjata yang dampak utamanya adalah melukai dengan cara pecah menjadi serpihan serpihan yang tidak terdeteksi oleh sinar-X didalam tubuh manusia, booby-trap yang diletakkan atau dihubungkan dengan cara apapun pada benda atau orang yang berhak memperoleh perlindungan khusus berdasarkan Hukum Humaniter Internasional atau pada benda yang berpotensi memikat orang sipil untuk mendekat, dan senjata laser yang dirancang sedemikian rupa sehingga satu-satunya fungsi tempurnya atau salah satu fungsi tempurnya ialah menimbulkan kebutaan permanen hingga kerusakan penglihatan. Konflik antara Israel dengan Palestina yang berujung pada perang terbuka. Kuatnya tekad Israel memperluas wilayah negaranya ditunjukkan dengan mengerahkan segenap pasukannya ke wilayah perbatasan Israel-Palestina. Israel mengerahkan ratusan ribu pasukan ke perbatasan sebelah utara wilayahnya. Belum lagi sistem persenjataannya, yang sebagian dikembangkan sendiri oleh Israel, seperti rudal-rudal udara Python. Pemboman yang membabi buta juga dilakukan Israel dengan menggunakan rudal-rudal udara Python yang berdanya ledak tinggi dan daya jangkau yang sangat luas. Sementara target yang dituju lebih sedikit daripada alat yang dipergunakan, selain itu Israel juga telah melakukan pelanggaran karena dengan tanpa pandang bulu serangan Israel membabi buta diarahkan pada desa-desa yang menimbulkan korban para wanita dan anak-anak. Selain itu, dampak dari serangan Israel adalah hancurnya rumah-rumah sakit yang berisi orang-orang yang dikategorikan sebagai Hors de Combat atau telah tidak berdaya karena sakit. Sehingga hal ini jelas telah menunjukkan bahwa Israel telah melanggar ketentuan dalam hukum humanter khususnya pasal 23 (b) Hague Regulations (HR) yang melarang membunuh atau melukai orang dari pihak musuh secara curang atau berkhianat (treacherously).Bukan saja melanggar ketentuan pasal 23 (b) Hague Regulations (HR) yang melarang membunuh atau melukai orang dari pihak musuh secara curang atau berkhianat (treacherously), Israel juga telah melanggar ketentuan penggunaan alat atau cara-cara tertentu pada penggunaan sejumlah senjata tertentu seperti, Penggunaan racun atau senjata beracun, senjata biologi, senjata kimia, zat-zat kendali huru hara sebagai cara berperang. Hal ini terlihat dari tindakan yang dilakukan Israel dengan mengguakan Bom Fosfor putih untuk menyerang Palestina yang menyebabkan luka bakar yang sangat parah, dan hal ini jelas telah melanggar aturan yang terdapat dalam hukum internasional, khusnya hukum Den Hageu.3.2. TINDAKAN PBB TERHADAP KONFLIK YANG TERJADI PADA ISRAEL DAN

PALESTINAKonflik yang terjadi antara Israel dan palestina sebenarnya sudah menjadi permsalahan di dunia internasional. PBB sebagai organisasi internasional dapat melahirkan resolusi-resolusi penyelesaian bagi konflik-konflik yang terjadi dunia internasional Beberapa Resolusi-resolusi yang dikeluarkan PBB terhadap konflik Israel dan Palestina :

1. Resolusi tentang HAM Resolusi A/55/133. Mengenai tindakan tindakan Israel yang melakukan pelanggaran terhadap rakyat Palestina. (mengenai pencaplokan, pendirian perkampungan Yahudi dan Penutupan daerah). Majelis Umum memutuskan perlunya menjaga integritas territorial seluruh wilayah pendudukan Palestina, termasuk menghilangkan pembatasan yang dilakukan oleh Israe;.2. Resolusi A/55/128. Mengenai tanah kepemilikian Palestina sesuai dengan Prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan;

3. Resolusi A/56/142 mengenai hak rakyat Palestina dalam menentukan nasib sendiri;

4. Resolusi PBB No.181 tahun 1947 mengenai pembagian wilayah bagi bangsa Palestina dan Yahudi;

5. Pembentukan komis I khusus untuk mengatasi menangani masalah pengungsi Palestina, yaitu UN Conciliation Commission For Palestine ( UNCCP) yang kemudian pada tahun 1950 juga membentuk sebuah badan Pengungsi Palestina dengan nama UN Relief and Works Ageny (UNRWA);

6. Resolusi No. 194. Mengenai Majelis umum yang menegaskan bahwa harus di izinkan secepat mungkin bagi pengungsi yang ingin kembali kerumah mereka dan hidup damai dengan tetangganya, dan demikian juga harus mendapat ganti rugi dari harta benda yang ditinggalkan, dan mendapat ganti rugi dari kerugian atau kerusakan harta benda sesuai dengan hukum Internasional dan standar keadilan bagi mereka yang tidak ingin kembali lagi;

7. Resolusi No. 338. Penyeruan mengenai gencatan senjata bagi pihak yang bertikai dan mengakhiri aksi bersenjata kedua pihak;

8. Resolusi No. 1276. Meminta kedua pihak serius untuk mengentikan gencatan senjata.;

9. Resolusi no. 1322 Oktober 2000, dimana Dewan keamanan PBB menyatakan sangat Prihatin dalam peristiwa tragis yang membawa banyak kematian dan kerugian dan kebanyakan orang-orang Palestina. Dibawah kepemimpinan Ariel Sharon, Israel justru menunjukan eskalasi militer dan Politik. Israel mengerahkan pasuka bersenjatanya ke tepi barat dan membantai orang-orang Palestina di kamp pengungsi di jenin, Balata, Rammalah, Aida, dir balah dan Deheish sejak awal hingga pertengahan Juni 2002;

10. Pembentukan Road Map for Peace road map yaitu peta jalan perdamaian bagi konflik Israel dan Palestina yang disepakati oleh komite Kwartet, yaitu As, Rusia, Uni Eropa dan Sekjen PBB yang berlangsung pada 2002. Prinsip-prinsip dasar perdamaian ini dirancang oleh George W. Bush, yang saat itu menjabat sebagi presiden Amerika Serikat. Bush bahkan mengatakannya rencana ini adalah sebuah usaha untuk membebaskan Palestina dan sekaligus hidup rukun dengan tetangganya Israel dalam sebuah kedamaian. Roadmap ini diharapkan menjadi sebuah awal terjadinya perdamaian di Timur Tengah, selain itu agar keamanan di dua negara berkonflik tersebut aman, damai dan demokratis;

11. Resolusi no. 1937 12 maret 2002. Mengenai meminta agar segera menghentikan semua tindakan kekerasan (tindakan meneror, penghasutan dan pengrusakan) yang baru ditanggapi pada tanggal 20 maret dimana terjadinya aksi bom bunuh diri oleh pejuang Palestina di kota kota Umm Al-Fahm, Israel Utara dan juga dekat kota Yerusalem. Akibat hal tersebut PM Israel Ariel Sharon mengumumkan deklarasi perang, serta mengerahkan pasukannya lengkap dengan persenjataan dan alat-alat berat ke kota Ramallah, untuk mengepung Yasser Arafat.12. Resolusi No 1402 pada tangga 30 Maret 2002, secara aklamasi meminta kedua pihak melakukan gencata senjata dan meminta Israel menarik pasukannya dari kota Palestina, termasuk wilayah Istana pemimpin palestina Yaseer Arafat namun Israel tidak menarik pasukannya. Aksi penyanderaan Yaser Arafat diiringi dengan penghancuran hampir seluruh bangunan Istana Kepresidenan dengan penghancuran Bom;

13. Resolusi PBB N0. 1403 4 april 2002. Meja perundingan untuk perdamaian, dan menghasilkan Peta perdamaian 16 juli 2002 di New YORK;

14. Juli 2004 resolusi ES-10. Mengenai mendesak Israel untuk mengehentikan dengan segera pembangunan tembok pemisah antara Israel dan Palestina;Meskipun PBB telah mengeluarkan resolusi untuk penyelesaian konflik Israel dan Palestina, namun terkadang resolusi-resolusi itu tidak mampu untuk menyelesaikan konflik antara Israel dan palestina, hal ini terlihat dengan terus berlangsungnya konflik Israel dan Palestina hingga saat ini. Tidak berhasilnya Resolusi oleh PBB ini dikarenakan tindakan Israel yang seringkali tidak mematuhi ketentuan yang telah dibuat.BAB 4KESIMPULAN DAN SARAN4.1. KESIMPULAN

Dengan mengetahui prinsip- prinsip hukum humaniter yang terkandung dalam Piagam dan konvensi PBB serta mengetahui sumber-sumber hukum dari Hukum Humaniter yaitu Hukum Den Haque dan Jenewa jelas bahwa agresi Isael terhadap Palestina telah melanggar aturan berperang yang diatur oleh hukum humaniter. Hal-hal yang dilanggar oleh Israel dalam konflik tersebut adalah Pelanggaran yang dilakukan oleh Israel dilihat dari banyaknya korban dari warga sipil baik korban luka ataupun korban yang tewas, yang bertentangan dengan prinsip kemanusian, dimana dalam Prinsip Kemanusiaan dan juga adanya penggunaan senjata yang tidak perlu digunakan yaitu penggunaan bom pospor putih yang mengakibatkan luka bakar yang sangat berat hingga menembus tulang dan ini bertantangan dengan Prinsip Pembatasan.

Tujuan utama pembentukan Konvensi Jenewa 1949 adalah untuk memberikan perlindungan bagi korban perang terutama kepada penduduk sipil. Perlindungan ini berlaku dalam setiap konflik bersenjata baik itu konflik bersenjata internasional maupun non-internasional.

Hukum Humaniter Internasional mengenal suatu prinsip dasar yang disebut prinsip pembedaan. Prinsip ini membedakan antara penduduk sipil dan kombatan serta membedakan antara obyek sipil dan obyek militer. Obyek sipil dan penduduk sipil merupakan obyek yang dilindungi oleh karena itu setiap serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang.

Dalam konflik bersenjata non-internasional antara Israel dengan Palestina telah terjadi banyak ditemukan pelanggaran Hukum Humaniter Internasional. Dalam konflik ini penduduk sipil dan obyek-obyek sipil tidak mendapat perlindungan dan bahkan dijadikan sebagai sasaran serangan secara membabi buta oleh Israel maupun Palestina. Israel sengaja menyerang penduduk sipil karena menganggap semua penduduk sipil sudah mengungsi setelah mendapat peringatan dari Israel dan yang masih tinggal di daerah-daerah yang telah diperingatkan oleh Israel.

Perbuatan-perbuatan Israel maupun Palestina yang secara sengaja menyerang penduduk sipil tersebut bertentangan dengan prinsip pembedaan yang ada dalam Hukum Humaniter Internasional. Konflik antara Israel dengan Palestina ini telah menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa yang hampir seluruhnya merupakan penduduk sipil yang seharusnya perlu dilindungi dan juga telah menyebabkan kerusakan besar terhadap obyek-obyek sipil seperti jalan raya, rumah penduduk, sekolah, pembangkit listrik dan instalasi air yang vital bagi kelangsungan hidup penduduk sipil.

Prinsip-prinsip dasar Hukum Humaniter Internasional yaitu prinsip pembedaan dan prinsip proporsionalitas, Hukum Humaniter Internasional kebiasaaan dan Pasal 3 ketentuan yang bersamaan Konvensi Jenewa 1949 yang berlaku pada konflik bersenjata non-internasional tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh para pihak yang bertikai selama berlangsungnya konflik ini.4.2. SARAN

Seharusnya pihak Israel bisa menyelesaikan permasalahannya dengan Palestina baik itu mengenai perluasan wilayah atau masalah yang lainnya dengan cara damai dan tanpa melibatkan penduduk sipil yang tidak bersalah. Dengan tindakan Israel banyak sekali korban jiwa yang berjatuhan dan korban - korban tersebut tidak cukup untuk membereskan konflik ini. Konflik ini terus berlanjut tanpa adanya penyelesaian dan korban jiwa pun terus menerus bertambah dan terus menerus terjadi kerusakan pada fasilitas - fasilitas negara masing - masing.

Begitu juga bagi pihak Palestina seharusnya bisa menyelesaikan konflik ini dengan berunding dan cara damai tanpa membuat banyak kerusakan dan tanpa membuat lebih banyak lagi korban - korban jiwa yang seharusnya terlindungi. Konflik ini akan terus berlanjut apabila tidak ada salah satu pihak yg mengalah dan berusaha untuk berdamai juga berunding dan akan semakin banyak menelan korban serta semakin banyak membuat kerusakan dan kerugian bagi masing - masing pihak.DAFTAR PUSTAKA

1.Buku :

Arlina Permanasaridkk. 2009. Hukum Humaniter Intemasional, Jakarta, ICRC, Delegasi ICRC Jakarta, 2009 "Hukum Humaniter Intemasional, ,Jakarta, ICRC, Indonesia. DR,iur. Liona Nananng Supriatna, S.H.,M.HUM, Bahan Kuliah Hukum Humaniter , Fakultas Hukum , Universitas Katolik Parahyangan, Bandung Frederic de Mullinen. 1987. Handbook on the Law of the War for ArmedForces, ICRC, Geneva, Haryomataram, 1994 Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Surakarta Sebelas Maret University, Press, Haryomataram, 2005 Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: PT Rajawali Press Haryomataram, 2005 Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: PT Rajawali Press Masyhur Efendi. 2005 Perkembangan Dimensi Hak asasi Manusia (HAM) dan Proses Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Jakarta: Ghalia Indonesia Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Humaniter Internasional dalam Arlina Permanasari dkk,

2.Sumber Hukum

Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menuntut Pembayaran Hutang yang berasal dari Kontrak. Keempat konvensi Jenewa Tahun 1949 Protokol I dan II konvensi Jenewa Tahun 1979 3.Website yang dikunjungi http://www.unhas.ac.id/lkpp/hukum-2/Alma%20-%20tdk.pdf http://www.bbc.co.uk/ /indonesia/dunia/2012/11/121114_untruce.shtml http://indonesian.irib.ir http://icrcjakarta.info/ www.elsam.or.id/943823_Konvensi_Jenewa.doc.

arlina100.files.wordpres.com/translation-convention.

Arlina Permanasaridkk,2009, Hukum Humaniter Intemasional, Jakarta, ICRC, hlm.177

Delegasi ICRC Jakarta, 2009 "Hukum Humaniter Intemasional, ,Jakarta, ICRC, Indonesia, , hlm.7.

Prinsip Prinsip Hukum Humaniter

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Humaniter Internasional dalam Arlina Permanasari dkk,op.cit, hlm. 9.

Ibid hlm 10.

Haryomataram, 1994 Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Surakarta Sebelas Maret University, Press, hlm.1.

Haryomataram, Hukum Humaniter, C.V. Radjawali, Jakarta, 1994, hlm. 2-3.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Humaniter Internasional

DR,IUR. Liona Nananng Supriatna, S.H.,M.HUM, Bahan Kuliah Hukum Humaniter , Fakultas Hukum , Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

Arlina Permanasari, op, cit., hlm. 11

Masyhur Efendi 2005 Perkembangan Dimensi Hak asasi Manusia (HAM) dan Proses Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 197

Haryomataram, 2005 Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: PT Rajawali Press, hlm. 3

arlina100.files.wordpres.com/translation-convention.

arlina100.files.wordpres.com/translation-convention.

www.elsam.or.id/943823_Konvensi_Jenewa.doc


Recommended