Date post: | 18-Jan-2016 |
Category: |
Documents |
Upload: | lintang-rurilestari |
View: | 28 times |
Download: | 0 times |
HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASIONAL, KEEFEKTIFAN
ORGANISASIONAL DAN KEPEMIMPINAN:
TELAAH PERSPEKTIF UNTUK RISET1
Oleh. Heru Kurnianto Tjahjono2
ABSTRACT
The purpose of this article is to arrange a main construct within three important constructs that often become an important topic in organization theory. Those are organizational culture, organizational effectiveness, and leadership. We often face problem of with the variety of definition of those three constructs in which then create difficulty in the measurement of research method that also closely relate to complexities of that construct. Keyword: organizational culture, organizational effectiveness and leadership
A. PENGANTAR
Tulisan dalam artikel ini bertujuan menyusun konstruksi hubungan antar tiga
konstruk penting dalam teori organisasi. Ketiga konstruk tersebut terdiri atas budaya
organisasional, keefektifan organisasional dan kepemimpinan. Langkah pertama
dimulai dengan elaborasi setiap konstruk dalam berbagai perspektif. Langkah
berikutnya adalah melakukan simulasi dan konstruksi hubungan antar konstruk
sehingga tersusun peta awal dari hubungan antar variabel tersebut.
1 Terima kasih kepada Bp. Hani Handoko, Ph.D atas perspektifnya dalam berbagai diskusi pada kelas program S32 Mahasiswa program S3 Manajemen SDM Universitas Gadjah Mada, dosen FE UMY
1
1. Konstruk “Budaya organisasional”
Pemaknaan budaya organisasional demikian luas dalam berbagai setting
sehingga istilah budaya dalam suatu perusahaan atau organisasi pernah menjadi suatu
“fashion” baik di kalangan manajer, konsultan dan bahkan juga di kalangan
akademisi. Namun demikian dalam perkembangannya, budaya organisasional
mendapat “tempat” penting dalam khasanah akademis, khususnya teori organisasi
seperti halnya struktur, strategi dan pengendalian (Hofstede, 1990).
Dalam terminologi akademis, “Budaya organisasional” merupakan suatu
konstruk, yang merupakan abstraksi dari fenomena yang dapat diamati dari banyak
dimensi. Sehingga banyak ahli ilmu-ilmu sosial dan manajemen belum memiliki
“communal opinio” mengenai definisi budaya organisasional. Mereka mendefiniskan
terminologi tersebut dari beragam perspektif dan dimensi.
Dalam pandangan Davis (1984) menyatakan bahwa budaya organisasional
merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai (values) organisasi yang difahami, dijiwai
dan dipraktikkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri
dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi. Schein (1992) mendefiniskan
budaya organisasional sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan,
diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar
organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalah yang timbul
akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup
baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar
2
untuk memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah
tersebut.
Dalam pandangan Schein (1992), budaya organisasional berada pada tiga
tingkat, yaitu artifacts, espoused values dan basic underlying assumptions (lihat
Gambar 1). Pada tingkat artifacts, budaya organisasional memiliki karakteristik
bahwa struktur dan proses organisasional dapat terlihat. Pada tingkat berikutnya,
espoused values, para anggota organisasi mempertanyakan “Apa yang seharusnya
dapat mereka berikan kepada organisasi”.
Gambar 1. Tingkatan Budaya Organisasional
Sumber: Schein (1992). Organization Culture and Leadership 2nd Edition
Pada tingkat ini organisasi dan anggotanya membutuhkan tuntunan strategi
(strategies), tujuan (goals) dan filosofi dari pemimpin organisasi untuk bertindak dan
berperilaku. Sedangkan pada tingkat basic underlying assumptions berisi sejumlah
keyakinan (beliefs) bahwa para anggota organisasi mendapat jaminan (take for
granted) bahwa mereka diterima baik untuk melakukan sesuatu secara benar dan cara
yang tepat.
3
ARTIFACTS
ESPOUSED VALUES
BASIC UNDERLYING ASSUMPTIONS
Kotter dan Hesket (1992), Sackmann (1992), Hofstede (1994) dan Maschi dan
Roger (1995) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat asumsi-
asumsi keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan persepsi-persepsi yang dimiliki para
anggota kelompok dalam suatu organisasi yang membentuk dan mempengaruhi sikap
dan perilaku kelompok tersebut.
Stoner et. al (1995) mendefiniskan budaya organisasional sebagai suatu
cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma perilaku dan harapan-
harapan yang disumbangkan anggota organisasi. Kreitner dan Knicky (1995)
menambahkan bahwa budaya organisasi berperan sebagai perekat sosial (social glue)
yang mengikat semua anggota organisasi secara bersama-sama. Pendapat Luthans
(1998) hampir senada dengan pendapat sebelumnya, bahwa budaya organisasional
merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota
organisasi.
Sedangkan sifat-sifat yang dimiliki budaya organisasional secara mendasar
dikemukakan Hofstede (1991) meliputi: 1) menyeluruh dan menjangkau dimensi
waktu yang panjang (holistic), 2) ditentukan atau mencerminkan catatan historis
perusahaan (historically determined), 3) berhubungan dengan sesuatu yang bersifat
ritual dan simbolik, 4) dihasilkan dan dipertahankan oleh kelompok-kelompok yang
secara bersama-sama membentuk organisasi (social constructed), 5) halus (soft) dan
6) sukar berubah (hard to change)
4
Smircich (1983) menunjukkan empat fungsi penting budaya organisasional,
yaitu: 1) memberikan suatu identitas organisasional kepada para anggota organisasi.,
2) memfasilitasi atau memudahkan komitmen kolektif, 3) meningkatkan stabilitas
sistem sosial, dan 4) membentuk perilaku dengan membantu anggota organisasi
memilih sense terhadap sekitarnya. Di ssamping itu budaya organisasional
disimpulkan pula sebagai “ruh” organisasi karena di sana bersemayam filosofi, misi
dan visi organisasi yang akan menjadi kekuatan penting untuk berkompetisi.
2. Keefektifan dan Kinerja Organisional
Konsep keefektifan seperti juga konsep budaya organisasinal, juga memiliki
pemaknaan yang beragam yang berimplikasi pada kesulitan dalam pemahaman
konsep dan metoda. Hal tersebut disebabkan belum adanya kesepakatan tentang
dimensi-dimensi dari konsep keefektifan, kriteria yang digunakan dalam pengukuran,
tingkat analisis yang appropriate dan kelompok kegiatan organisasional mana yang
mencerminkan pusat perhatian untuk studi keefektifan (Scott, 1977). Kondisi “chaos”
tentang konsep tersebut tidak membuat konsep keefektifan “hengkang” dari topik
organisasi.
Dalam pandangan Cameron dan Whetten (1983), ada tiga alasan meliputi
teoritis, empiris dan praktis. Pertama secara teoritis konsep keefektifan organisasional
secara teoritis terletak pada pusat semua model organisasional. Kedua, keefektifan
secara empiris berfungsi sebagai variabel penting dalam kegiatan riset dan konsep
penting dalam penafsiran fenomena organisasional. Dan ketiga, adanya kebutuhan
5
untuk membuat judgements tentang kinerja (performance) berbagai organisasi.
Namun demikian, paling tidak ada dua pandangan yang paling banyak digunakan
dalam mengevaluasi keefektifan kepemimpinan, yaitu dalam kaitannya dengan
konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan pemimpin tersebut bagi para
pengikutnya dan para stakeholder organisasi lainnya.
Pandangan lainnya dengan melihat berbagai jenis hasil yang telah digunakan,
termasuk di dalamnya kinerja dan pertumbuhan kelompok atau organisasi dari
pemimpin tersebut, kesediaannya untuk menanggapi tantangan-tantangan atau krisis-
krisis, kepuasan pengikut dengan pemimpinnya, komitmen pengikut terhadap
sasaran-sasaran kelompok, kesejahteraan psikologis dan pengembangan para
pengikut dan kemajuan pemimpin ke posisi kekuasaan yang lebih tinggi di dalam
organisasi. Beberapa model keefektifan organisasional yang berkembang dalam
khasanah akademik dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Model-model Keefektifan Organisasional
Model Definisi Kapan Bermanfaat?
Model Tujuan (Goal Model)
Mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
Tujuan-tujuan jelas, konsesual, berjangka waktu dan terukur
Model Sumber Daya Sistem (System resource Model)
Mampu memperoleh sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan
Ada kaitan jelas antara input dan kinerja
Model Proses Internal Fungsi-fungsi internal berjalan lancar
Ada kaitan jelas antara berbagai proses organisasional dan kinerja
6
Multiple Constituency Model
Semua pihak terkait terpuaskan Pihak-pihak terkait mempunyai pengaruh kuat terhadap organisasi
Competing Values Model
Memenuhi preferensi pihak-pihak terkait dalam hal empat kuadran yang berbeda
Organisasi tidak jelas kriterianya atau sering berubah kriteria
Model Legitimasi Kelangsungan hidup terjamin sebagai hasil pelaksanaan kegiatan legitimate
Kelangsungan hidup organisasi penting
Model Ketidakefektifan
Tidak mempunyai kelemahan-kelemahan atau sifat-sifat sumber ketidakefektifan
Kriteria keefektifan tidak jelas atau berbagai strategi perbaikan diperlukan.
Sumber: K.S. Cameron (1984)
Salah satu hal yang menyebabkan kurangnya pengembangan konsepsual
mengenai keefektifan adalah kesulitan dalam mengintegrasikan berbagai
konsepsualisasi organisasi yang berbeda. Oleh karena itu setiap upaya pengembangan
konsep keefektifan harus dimulai dengan suatu analisis teori organisasi yang menjadi
dasarnya (Goodman dan Penning, 1980).
3. Hubungan Budaya Organisasional dengan Keefektifan Organisasional
Tujuan seorang manajer dalam setiap organisasi secara logis menghendaki
peningkatan kinerja organisasional organisasi. Namun demikian banyak problem
organisasional dan ketidakpastian (uncertainty) baik internal maupun eksternal yang
seringkali mengganggu pencapaian kinerja organisasional. Bahkan banyak penelitian
menunjukkan kegagalan organisasi lebih sering disebabkan oleh permasalahan
manajerial organisasi secara internal (Koontz, 1991). Permasalahan tersebut
7
mendorong Peters dan Waterman (1982) menggagas pentingnya kebudayaan
organisasional untuk meningkatkan keefektifan dan kinerja organisasional. Menurut
Peters dan Waterman, setiap organisasi mempunyai kebudayaannya masing-masing.
Tiap kebudayaan tersebut dapat menjadi kekuatan positif dan negatif dalam mencapai
kinerja organisasionalonal. Dalam berbagai penelitian dan kajian manajemen
organisasi banyak para ahli telah meyakini keeratan hubungan antara budaya
organisasional (organizational culture) dan keefektifan organisasional, sehingga
hubungan keduanya hampir tidak diperdebatkan lagi.
Penelitian O’Reilly (1989) menunjukkan dukungan penting bagi proposisi di
atas bahwa budaya perusahaan mempunyai pengaruh terhadap keefektifan suatu
perusahaan terutama pada perusahaan yang mempunyai budaya yang sesuai dengan
strategi dan dapat meningkatkan komitmen karyawan terhadap perusahaan.
Kemudian Lusch dan Harvey (1994) mengatakan bahwa peningkatan kinerja
organisasional juga ditentukan oleh aktiva tidak berwujud, antara lain: budaya
organisasional, hubungan dengan pelanggan (customer elationship) dan citra
perusahaan (brand equity).
Pandangan tersebut sejalan dengan kajian sebelumnya yang dilakukan Kotter
dan Heskett (1992) bahwa budaya organisasional diyakini sebagai salah satu faktor
kunci penentu (key variable factors) kesuksesan kinerja organisasional seperti yang
disampaikan pada hasil studi mereka:
8
Berdasarkan penelitian terhadap 207 perusahaan dari 22 jenis industri di
Amerika Serikat, Kotter dan Heskett menemukan bahwa budaya organisasional
mempunyai dampak yang signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan untuk
jangka panjang. Secara lengkap empat peran utama budaya organisasional berhasil
dieksplorasi dari penelitian tersebut, meliputi: 1) memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kinerja ekonomi perusahaan, 2) menjadi faktor yang lebih menentukan
sukses atau gagalnya perusahaan pada masa mendatang, 3) dapat mendorong
peningkatan kinerja ekonomi jangka panjang jika di dalam perussahaan terdiri dari
orang-orang yang layak dan cerdas, dan 4) dibentuk untuk meningkatkan kinerja
perusahaan.
Demikian pula hasil penelitian sejumlah perusahaan di Amerika Serikat yang
melakukan merger pada dekade 1980-an yang menunjukkan bahwa merger seringkali
mengalami kegagalan karena tidak kompatibel dengan budaya organisasional
(Marren, 1993). Sehingga keselarasan antara nilai-nilai individu (individual values)
dengan nilai-nilai organisasi (organizational values) secara signifikan berhubungan
dengan komitmen organisasional, kepuasan kerja, keinginan berhenti dan turn over
seperti yang diperoleh dari sejumlah hasil riset empiris Kreitner dan Knicky (1995).
Pandangan di atas didukung pula oleh pandangan beberapa ahli ilmu-ilmu
sosial dan manajemen organisasi, seperti: Hofstede (1991), Sharplin (1992), Wilhelm
(1992), Martin (1992), Mody dan Noe (1996), Sobirin (1997), dan Luthans (1998).
9
Dalam kasus di Indonesia, studi tentang pengaruh budaya organisasional terhadap
keefektifan kinerja manajerial dan kinerja ekonomi organisasi telah banyak
dilakukan. Misalnya studi yang dilakukan oleh Supomo dan Indriantoro (1998) yang
meneliti 79 manajer dari berbagai departemen dalam perusahaan-perusahaan
manufaktur yang menemukan bukti empiris adanya pengaruh positif budaya
organisasional yang berorientasi pada orang terhadap keefektifan aanggaran
partisipatif dalam peningkatan kinerja manajerial. Bahkan penelitian yang dilakukan
Lako dan Irmawati (1997) menjelaskan keberhasilan organisasi
mengimplementasikan nilai-nilai (values) budaya organisasional dapat mendorong
organisasi tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan.
Sejumlah penelitian di atas menunjukkan bahwa budaya organisasional
memiliki peran yang sangat strategis untuk mendorong dan meningkatkan keefektifan
kinerja organisasional, termasuk di dalamnya kinerja manajerial, baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Di sini, budaya organisasional berperan penting
untuk menentukan arah organisasi, bagaimana mengalokasikan dan mengelola
sumber daya sebagai kekuatan internal dalam memanfaatkan peluang (opportunity)
dan mengantisipasi ancaman (threat).
Konstruk “Kepemimpinan” (Leadership)
Seperti halnya konstruk budaya organisasional, konstruk kepemimpinan juga
menjadi subyek yang senantiasa menarik dan diperbincangkan bagi banyak kalangan
yang kemudian berakibat pula pada pendefinisian yang beragam dan kadang kurang
10
tepat secara ilmiah. Telaah yang dilakukan para peneliti dalam mendefinisikan
konstruk berbasis pada perspektif-perspektif individu dan aspek dari fenomena
perhatian mereka yang paling menarik.
Menurut Hemhill & Coons (1957) kepemimpinan adalah perilaku dari
seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan
yang ingin dicapai bersama (shared goal). Tannenbaum, Weschler, dan Massarik
(1961) berpendapat bahwa kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang
dijalankan dalam suatu situasi tertentu serta diarahkan melalui proses komunikasi ke
arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu. Pandangan lain mengatakan
bahwa kepemimpinan adalah pembentukan awal serta pemeliharaan struktur dalam
harapan dan interaksi (Stogdill, 1974). Rauch dan Behling (1984) menggagas
pengertian kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah
kelompok yang diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan. Sedangkan Hosking
(1988) berpendapat bahwa para pemimpin adalah mereka yang secara konsisten
memberi kontribusi yang efektif terhadap orde sosial dan yang diharapkan dan
dipersepsikan melakukannya. Jacob dan Jacques (1990) mendefinisikan
kepemimpinan sebagai proses memberi arti terhadap usaha kolektif dan yang
mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai
sasaran.
Melihat demikian banyaknya pemahaman tentang kepemimpinan, Stogdill
(1974) menyimpulkan bahwa terdapat banyak definisi tentang kepemimpinan
11
sebanyak jumlah orang yang telah mencoba mendefinisikannya. Secara garis besar
menjelaskan bahwa kepemimpinan menyangkut proses pengaruh sosial (pengaruh
yang sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur
aktivitas-aktivitas serta hubungan-hubungan di dalam sebuah kelompok atau
organisasi (Yukl, 1989).
Di atas tampak bahwa studi kepemimpinan sangat tergantung pada preferensi
metoda dari peneliti dan konsep kepemimpinan. Di bawah ini Yukl (1989) mencoba
menelaah perspektif-perspektif dalam studi kepemimpinan.
1. Pendekatan berdasarkan ciri (trait approach), pendekatan ini menekankan
pada atribut-atribut pribadi para pemimpin. Asumsi pada pendekatan ini
bahwa beberapa orang pemimpin alamiah dianugerahi beberapa karakteristik
yang tidak dipunyai orang lain.
2. Pendekatan berdasarkan perilaku, terbagi ke dalam dua kategori. Kategori
pertama adalah penelitian mengenai sifat dari pekerjaan manajerial. Penelitian
ini menguji bagaimana para manajer memanfaatkan waktu mereka, dan
mencoba menjelaskan isi kegiatan-kegiatan manajer dengan menggunakan
kategori tentang isi seperti peran, fungsi dan tanggung jawab manajerial.
Berikutnya adalah penelitian terhadap pekerjaan manajerial, membandingkan
perilaku pemimpin yang efektif dan tidak efektif.
3. Pendekatan kekuasaan-pengaruh (power-influence approach), pendekatan ini
mencoba menjelaskan keefektifan kepemimpinan dalam kaitannya dengan
12
jumlah dan jenis kekuasaan yang dimiliki dan cara kekuasaan digunakan.
Kekuasaan tersebut dilihat sebagai hal penting bukan saja untuk
mempengaruhi bawahan, tetapi juga kawan sejawat, atasan maupun orang
yang berada di luar organisasi.
4. Pendekatan situasional, menekankan pentingnya faktor-faktor kontekstual
mempengaruhi studi kepemimpinan.
5. Kepemimpinan partisipatif, memberikan penekanan kepada pembagian
kekuasaan (power sharing) dan pemberian kewenangan kepada para
pengikut. Studi ini juga berakar dari tradisi pendekatan keperilakuan.
6. Kepemimpinan karismatik dan transformasional, menjelaskan mengapa para
pengikut dari pemimpin-pemimpin tertentu bersedia melakukan usaha yang
luar biasa dan pengorbanan pribadi untuk mencapai tujuan dan misi
organisasi/ kelompok.
7. Kepemimpinan dalam kelompok pengambil keputusan, menjelaskan
bagaimana kontribusi kepemimpinan di dalam kelompok pengambil
keputusan.
13
HUBUNGAN KEPEMIMPINAN DENGAN BUDAYA DAN KINERJA
ORGANISASIONAL
Kepemimpinan Mempengaruhi Budaya
Hubungan kepemimpinan mempengaruhi budaya dan kinerja organisasional
sudah cukup banyak ditelaah oleh para ahli organisasi. Dalam konteks tersebut
perspektif kepemimpinan transformasional dianggap paling relevan terhadap
pembentukan budaya. Pada perspektif transformasional dijelaskan banyak telaah
tentang bagaimana para pemimpin mengubah budaya dan struktur organisasi agar
lebih konsisten dengan strategi-strategi manajemen untuk mencapai sasaran
organisasional. Hal tersebut meliputi proses membangun komitmen terhadap sasaran
organisasi dan memberi kepercayaan kepada para pengikut untuk mencapai sasaran
tersebut.
Burns (1978) berpandangan bahwa kepemimpinan transformasional sebagai
sebuah proses yang padanya “para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke
tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi”. Menurut Burns, kepemimpinan
transformasional (transformational leadership) dapat diperlihatkan oleh siapa saja
dalam organisasi pada jenis posisi apa saja.
Pada sisi lain Burns membedakan dengan kepemimpinan transaksional
(transactional leadership) yang merupakan bentuk kepemimpinan terhadap bawahan
dengan menunjuk pada kepentingan diri mereka sendiri. Nilai-nilai pada konsep ini
bersandar pada nilai-nilai yang relevan bagi proses pertukaran. Bass (1986)
14
mengidentifikasi tiga dimensi yang memformulasikan teori kepemimpinan
transformasional meliputi: karisma, stimulasi intelektual (intellectual stimulation) dan
perhatian yang diindividualisasi (individualized consideration). Karisma adalah
sebagai proses yang padanya seorang pemimpin mempengaruhi para pengikut dengan
menimbulkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi dengan pemimpin tersebut.
Stimulasi intelektual adalah sebuah proses yang padanya para pemimpin
meningkatkan kesadaran terhadap masalah-masalah dan mempengaruhi para pengikut
untuk memandang masalah-masalah dari sebuah perspektif yang baru. Perhatian yang
diindividualisasi meliputi kegiatan: memberi dukungan, membesarkan hati, dan
memberi pengalaman-pengalaman tentang pengembangan kepada para pengikut. Satu
hal baru yang dikemukakan Bass dan Avioli (1990) dengan menambahkan perilaku
transformasional lainnya yang disebut inspirasi (atau “motivasi inspirasional”), yang
didefinisikan sebagai sejauh mana seorang pemimpin mengkomunikasikan sebuah
visi yang menarik, menggunakan simbol-simbol untuk untuk memfokuskan usaha-
usaha bawahan, dan memodelkan perilaku-perilaku yang sesuai. Perilaku-perilaku
kepemimpinan transformasional saling berhubungan untuk mempengaruhi
perubahan-perubahan pada para pengikut, dan efek-efek yang dikombinasikan
membedakan antara kepemimpinan transformasional dan karismatik.
Bass (1978) juga memandang kepemimpinan transaksional sebagai sebuah
pertukaran imbalan-imbalan untuk mendapatkan kepatuhan. Beberapa komponen
penting di dalamnya meliputi perilaku transaksional (disebut perilaku “contingent
15
reward”) mencakup kejelasan mengenai pekerjaan yang diminta untuk memperoleh
imbalan-imbalan, penggunaan insentif dan contingent rewards untuk mempengaruhi
motivasi. Komponen selanjutnya adalah “active management by exception” termasuk
pemantauan dari para bawahan dan tindakan-tindakan memperbaiki untuk
memastikan bahwa pekerjaan tersebut telah dilaksanakan secara efektif. Komponen
ketiga ditambahkan oleh Bass, et. al (1990) adalah “passive management by
exception” yang meliputi penggunaan contingent punishment dan tindakan-tindakan
memperbaiki lainnya sebagai tanggapan terhadap penyimpangan yang nyata dari
standar-standar kinerja yang dapat diterima. Dalam pandangan Bass, kepemimpinan
transaksional dan kepemimpinan transformasional sebagai proses yang berbeda,
namun tidak saling eksklusif, dan menurut Bass pemimpin yang sama dapat
menggunakan kedua jenis kepemimpinan tersebut pada waktu-waktu dan situasi yang
berbeda.
Bagaimana hubungan kepemimpinan transformasional dengan kepemimpinan
karismatik? Dalam pembentukan budaya, kedua model kepemimpinan ini menjadi
fenomena yang sering dibahas dalam organisasi. Namun demikian banyak ahli
mengatakan karisma hanya bagian dari kepemimpinan transformasional, sehingga
karisma tidak cukup dalam proses transformasional (Yukl, 1989). Hal negatif yang
membedakan kepemimpinan karismatik dengan kepemimpinan transformasional
adalah bahwa kepemimpinan karismatik mencoba untuk membuat para pengikutnya
16
tetap lemah dan tergantung. Pendekatan ini menekankan pada upaya menanamkan
kesetiaan pribadi dari pada komitmen terhadap cita-cita.
Dalam hubungan dengan budaya, Schein (1992) lebih memperjelas hubungan
pemimpin dan budaya. Menurutnya para pemimpin mempunyai potensi paling besar
dalam menanamkan dan memperkuat aspek-aspek budaya melalui lima mekanisme,
meliputi: 1) perhatian (attention), 2) reaksi terhadap krisis, 3) pemodelan peran, 4)
alokasi imbalan-imbalan, 5) kriteria menseleksi dan memberhentikan.
Trice dan Beyer (1991, 1993) sejalan dengan pandangan tersebut dengan
mengenalkan konsep kepemimpinan kultural (cultural leadership) dengan
menekankan inovasi kultural yang padanya seorang pemimpin mungkin melakukan
perubahan-perubahan yang drastis pada budaya yang ada atau memulai sebuah
organisasi baru dengan budaya yang berbeda.
Berdasarkan uraian di atas, model dari penelitian digambarkan sebagai
berikut:
17
kepemimpinan Budaya Organisasi
Kepemimpinan Sebagai Variabel Pemoderasi Hubungan Budaya & Kinerja
Organisasional
Sejarah telah menunjukkan pada kita bagaimana Nabi Muhammad S.A.W,
Mao Tse-tung dan Indira Gandhi telah meletakkan dasar dan visi pada komunitas
umatnya yang selanjutnya membentuk suatu budaya yang sedemikian kuat pada
mereka yang dipimpin. Mungkin saja mereka mempunyai karakteristik perilaku
transformasional yang luar biasa sehingga dapat mempengaruhi budaya masyarakat
mencapai cita-cita atau tujuan perjuangannya.
Fenomena di atas merupakan ilustrasi perilaku kepemimpinan
transformasional di mana variabel kepemimpinan mempengaruhi budaya, bahkan
secara lebih jauh membentuk budaya. Namun demikian banyak fenomena pemimpin
negara dan organisasi tidak cukup mempengaruhi secara langsung sistem dan budaya
organisasi dalam keefektifan pencapaian tujuan organisasi/ negara. Kondisi demikian
sering disebabkan tatanan budaya sudah sedemikian kuat melekat pada organisasi
tersebut.
Trice dan Beyer (1991,1993) memformulasikan sebuah model yang
membandingkan perubahan budaya dan kepemimpinan mempertahankan
(maintenance leadership). Pemimpin-pemimpin yang mempertahankan budaya
menegaskan nilai-nilai dan tradisi, tradisi yang berlaku cocok bagi keefektifan
organisasi.
18
Sejumlah studi tentang suksesi telah digunakan untuk menilai jumlah
perubahan yang terjadi terkait dengan kinerja organisasional menunjukkan bahwa
kepemimpinan tidak mempengaruhi secara penting terhadap tatanan budaya lama
dengan kinerja Pfeffer, (1977), Brown (1982) dan Meindl et al. (1985). Bukti
tambahan menunjukkan bahwa hubungan eksekutif puncak terhadap kinerja
menunjukkan bahwa para pemimpin baru kemungkinan tidak mempunyai banyak
efek terhadap kinerja kecuali mereka mempunyai keterampilan yang lebih baik.
Secara umum penelitian tentang suksesei masih sangat terbatas sehingga
kemungkinan untuk melakukan kajian lebih dalam (in depth) masih sangat
dibutuhkan.
Dalam konteks tersebut juga dimungkinkan bahwa kepemimpinan tidak
mempengaruhi budaya secara langsung, namun mempertegas hubungan antara
budaya organisasi dan keefektifan organisasional. Pendekatan mengenai ciri
pemimpin (traits) lebih menekankan pada aspek-aspek yang sifatnya (take for
granted) atau kehadirannya secara alamiah. Sehingga dalam pendekatan ini tidak
menekankan pada upaya merubah kepemimpinan untuk memprediksi kinerja. Hal
tersebut memungkinkan jenis ciri fisik, intelegensia dan psikologi menjadi variabel
situasional dalam kaitannya dengan hubungan antara budaya organisasional dan
keefektifan organisasional.
Dasar konstruksi di atas memungkinkan bahwa kepemimpinan merupakan
variabel pemoderasi terhadap hubungan budaya organisasional dan keefektifan
19
organisasional. Berdasarkan uraian di atas, konstruksi model dari penelitian
digambarkan sebagai berikut:
SIMPULAN
Bahasan dalam artikel ini merupakan suatu upaya menyampaikan gagasan
sederhana mengenai kemungkinan hubungan ketiga variabel yang meliputi budaya
organisasional, keefektifan organisasional dan kepemimpinan dalam suatu penelitian.
Hubungan dua variabel antara budaya organisasional dan keefektifan
organisasional relatif lebih robust, dengan konstruksi teori dan pengujian yang relatif
baik. Namun penelitian yang melibatkan tiga konstruk di atas masih terbuka ruang
yang luas untuk melakukan simulasi konstruksi teori sebagai dasar riset terkait
dengan berbagai isu.
Banyaknya konstruk dan hubungan antar konstruk yang melibatkan budaya
organisasional, kepemimpinan dan keefektifan organisasional memperlihatkan betapa
luasnya perspektif di antara hal tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh kompkleksitas
dalam ilmu sosial pada umumnya dan telaah subyektif para peneliti (Hubert &
Blalock, 1984)
20
Budaya Organisasional
Keefektifan Organisasional
kepemimpinan
Tingkat kompleksitas dari konstruk–konstruk di atas akan menyebabkan
ambiguitas konstruk-konstruk tersebut, khususnya dalam untuk kepentingan riset dan
pengukuran (measurement). Beberapa kelemahan konstruk-konstruk di atas antara
lain: konstruk masih sulit difahami dan berdimensi luas sehingga berakibat problem
konseptual serta ambiguitas, dan dan metoda riset masih lemah seperti penetuan
hubungan sebab akibat (causality), tingkat analisis dalam penelitian dan kerangka
waktu dalam penelitian tersebut. Dalam kaitannya dengan problem tersebut maka
konstruk-konstruk tersebut harus diterjemahkan menjadi variabel-variabel yang
terukur sehingga riset menjadi lebih kuat prediksinya.
Saran bagi penelitian di masa datang terkait dengan ketiga konstruk tersebut
adalah bahwa pada langkah awal, seorang peneliti harus dapat memahami research
problem ataupun research issue terkait dengan konstruk-konstruk tersebut pada
setting yang diteliti. Tahap selanjutnya mendefiniskan secara jelas ketiga konstruk di
atas dan menterjemahkan menjadi variabel operasional yang spesifik sehingga dapat
meningkatkan kemampuan prediksi menjadi lebih baik. Pendekatan kontingensi
mensupport pola di atas bahwa dalam kajian manajemen tidak pernah menganjurkan
“satu cara yang terbaik” mengingat banyak dan beragamnya setting yang dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA
21
Adler. 1986. International Dimensions of Organizational Behavior. Boston MA: Kent Publishing Company
Cameron, K.S. 1984. The Effectiveness Of Ineffectiveness. dalam B.M. Staw dan Cummings. Research in Organizational Behavior. Greenwich. CT: JAI Press. V.6. hal. 235-285
Campbell. 1977. On The Nature Of Organizational Effectiveness. dalam Goodman & Pennings (eds). New Perspectives on Organizational Effectiveness. San Fransisco: Jossey-Bass. hal. 13-55
Cooper, & Schnidler.2000. Business Research Methods. USA: McGraw-Hill Irwin
Davis. 1984. Managing Corporate Culture. Cambridge. Belinger
Dubin, R. 1976. Organizational Effectiveness: Some Dilemmas Of Perspectives. Organization and Administrative Science 7; hal 7-14
Dunnette, Campbell, & Hakel. 1967. Organizational Behavior and Human Performance. USA
Fisher D.C. 1980. On the Dubious Wisdom of Expecting Job Satisfaction to Correlate with Performance. Academy of Management Review, 5: 607-612.
Gibson, Ivancevich, & Donelly. 1985. Organisasi. Jilid 1 dan 2. Jakarta: Erlangga
Handoko TH. 1993. Berbagai Isu Dalam Penilaian Efektivitas Organisasional. JEBI UGM hal. 17-27
Hannan, & Freeman. 1977. Obstacles to Comparative Studies dalam Goodman & Pennings (eds). New Perspectives on Organizational Effectiveness. San Fransisco: Jossey-Bass. Hal. 106-131
Hofstede et.al. 1990. Measuring Organizational Cultures: A Qualitative and Quantitative Study Across Twenty Cases. Administrative Science Quarterly, 35 (1990): 286-316
Hofstede, Geerts. 1994. Cultures And Organizations: Software Of The Mind. London: HarperCollinsPublishers
Hubert, & Blalock. 1984. Basic Dilemmas In The Social Sciences. Sage Publications.
Indriantoro, N. & Supomo, B. 1999. Metodologi Penelitian Bisnis. Jogjakarta: BPFE UGM.
Koontz et. al. 1991. Manajemen. Cetakan ke-4. Jakarta, Penerbit Erlangga
Kotter, & Heskett. 1992. Corporate Cultures and Performance. Canada: Maxwell Macmillan
Thomas, Alan B. 1988. Does Leadership Make a Difference to Organizational Performance? Administrative Science Quarterly. 33: 388-400
Kreitner dan Knicky. 1995. Organizational Behavior.3rd Ed. Richard D. Irwin. Homewood. Illinois
22
Lako, Andreas. 2002. Budaya Organisasi Sebagai Variabel Kunci Kesuksesan Kinerja Manajerial dan Keuangan. Prosiding Unika Soegijapranata
Luthans, Fred. 1998. Organizational Behavior. USA: Irwin McGraw-Hill
Martin, J. 1992. Cultures In Organizations: Three Perspective. London: Oxford University Press
Meindl et al. 1985. The Romance of Leadership. Administrative Science Quarterly: 78-102
Miner B, Johns.1980. Theories of Organizational Behavior. USA: The Dryden Press
Noe dan Mondy. 1996. Human Resource Management. 6th Edition. Prentice Hall. New Jersey
Pfeffer, J. 1977 The Ambiguity of Leadership. Academy of Management Review: 402-414
Pfeffer, J. 1982. Organizations And Organization Theory. USA: Pitman Publishing Inc.
Robbins, Stephen P. 1996. Perilaku Organisasi: Konsep, kontroversi dan aplikasi. Jilid 1 dan 2. Jakarta: PT. Prenhallindo
Schein, E. 1992. Organizational Culture and Leadership. 2nd Ed. Jossey-Bass Publishers. San Fransisco
Scott. 1977. Effectiveness of Oeganizational Effectiveness Studies. dalam Goodman & Pennings (eds). New Perspectives on Organizational Effectiveness. San Fransisco: Jossey-Bass. hal. 63-95
Sharplin, A. 1995. Strategic Management. McGraw-Hill. New York
Smircich, Linda. 1983. Concept of Culture and Organizational Analysis. Administrative Science Quarterly. 28. 339-358
Sobirin, A. 1997. Organizational Culture: Konsep, Kontroversi dan Manfaatnya untuk Pengembangan Organisasi. Jurnal Akuntansi & Auditing Indonesia. Vol. 1 No. 2. September. Hal 152-173
Stoner et. al. 1995. Management. 6th Ed. Prentice Hall. New Jersey
Yukl, Gary A. 1989. Leadership In Organizations. 2nd Edition. Prentice Hall. New Jersey
Yukl, Gary A. 1989. Managerial Leadership: A Review of Theory and Research. Journal of Management. Vol 15. No. 2. 251-289
Zammuto. 1984. A Comparison of Multiple Constituency Models of Organizational Effectiveness. Academy of Management Review. Vol. 9. No. 4. hal. 606-616
23