+ All Categories
Home > Documents > BukanSekadarSebuahWacana - Journal Portal

BukanSekadarSebuahWacana - Journal Portal

Date post: 24-Oct-2021
Category:
Upload: others
View: 2 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
14
Separatisme Etnis Bukan Sekadar Sebuah Wacana Muhammad Idrus An important step to attain good process for nationai integrity is to demolish some negative aspects of cultural behavior. The autonomy must be put In the hand of local government, psychological gap among public servants, 'distance' between the leaders and ordinary people must be minimized. Beside deblrocratizatlon is a compulsory, legal certaintymust be enforced. Indeed, the equal chance to get the rights must be available for everyone. Koentjaraningrat (1993) dalam catatannya mengungkap bahwa dari 175 negara yang tercatat di PBB, hanya 12 negara saja yang memiliki penduduk "agak" homogen. Indonesia ter- masuk di antara negara-negara yang tidak homogen, dengan kurang lebih 358 suku bangsa dan 200 sub-suku bangsa. Harus diakui pada satu sisi, plurai- isme suku bangsa di Indonesia merupakan potensi pembangunan dan keberkem- bangan yang luar biasa, dan selain itujuga dapat dimaknai sebagai pencerminan kekayaan budaya masyarakat bangsa Ini. Namun, di lain sisi pluralisme ini bukan tidak mungkin menjadi potensi destruktif bagi hadirnya model negara kesatuan seperti sekarang ini. Bervariasinya etnis dan budaya yang melebur dalam satu wadah negara kesatuan merupakan kelnginan mem- bangun bangsa berdasar keanekaragaman (kebhinekaan). Tentu saja pada kondisi ter- sebut dibutuhkan prasyarat yang mungkin UNISMNO. 47/XXVI/I/2003 saja merugikan kelompok tertentu, sisi lainnya menguntungkan kelompok lain. Budaya daerah akan menimbulkan perila- ku dan sikap mental yang khas kedaerah- an, yang terkadang hai tersebut berbeda dengan yang ada di daerah lain. Hal inilah yang dislnyaiir oleh Alflan (1986) sebagai satu hal yang kurang menguntungkan bagi pembangunan, sikap mental masyarakat Indonesia yang majemuk. Etnis dapat menjadi sebuah kekuat- an yang memicu perlawanan. Pada masa penjajahan dapat disaksikan betapa ikatan kedaerahan dan suku mampu menjadi salah satu cara efektif untuk menggalang kekuatan melawan kekuasaan pemerintah- an Kolonial. Dari sejarah ini dapat dislm- pulkan betapa etnis/suku/ras mampu menjadi pengikat untuk aksl menyempal balk dengan perlawanan bersenjata seperti kebanyakan yang diiakukan para pejuang daerah—, ataupun gerakan tanpa senjata seperti yang diiakukan Surosentiko Samin, dengan gerakan Saminnya. 83
Transcript
Page 1: BukanSekadarSebuahWacana - Journal Portal

Separatisme EtnisBukan Sekadar Sebuah Wacana

Muhammad Idrus

An important step to attain goodprocess for nationai integrity is to demolishsome negative aspects ofcultural behavior. The autonomy mustbe put In thehand oflocal government, psychologicalgap among public servants, 'distance'between the leaders and ordinary people must be minimized. Besidedeblrocratizatlon is a compulsory, legal certaintymust be enforced. Indeed, theequal chance toget the rightsmust be available foreveryone.

Koentjaraningrat (1993) dalamcatatannya mengungkap bahwadari 175 negara yang tercatat di

PBB, hanya 12 negara saja yang memilikipenduduk "agak" homogen. Indonesia ter-masuk di antara negara-negara yang tidakhomogen, dengan kurang lebih 358 sukubangsa dan 200 sub-suku bangsa.

Harus diakui pada satu sisi, plurai-isme suku bangsa di Indonesia merupakanpotensi pembangunan dan keberkem-bangan yang luar biasa, dan selain itu jugadapat dimaknai sebagai pencerminankekayaan budaya masyarakat bangsa Ini.Namun, di lain sisi pluralisme ini bukantidak mungkin menjadi potensi destruktifbagi hadirnya model negara kesatuanseperti sekarang ini.

Bervariasinya etnis dan budayayang melebur dalam satu wadah negarakesatuan merupakan kelnginan mem-bangun bangsa berdasar keanekaragaman(kebhinekaan). Tentu saja pada kondisi ter-sebut dibutuhkan prasyarat yang mungkin

UNISMNO. 47/XXVI/I/2003

saja merugikan kelompok tertentu, sisilainnya menguntungkan kelompok lain.Budaya daerah akan menimbulkan perila-ku dan sikap mental yang khas kedaerah-an, yang terkadang hai tersebut berbedadengan yang ada di daerah lain. Hal inilahyang dislnyaiiroleh Alflan (1986) sebagaisatu hal yang kurang menguntungkan bagipembangunan, sikap mental masyarakatIndonesia yang majemuk.

Etnis dapat menjadi sebuah kekuat-an yang memicu perlawanan. Pada masapenjajahan dapat disaksikan betapa ikatankedaerahan dan suku mampu menjadisalah satu cara efektif untuk menggalangkekuatan melawan kekuasaan pemerintah-an Kolonial. Dari sejarah ini dapat dislm-pulkan betapa etnis/suku/ras mampumenjadi pengikat untuk aksl menyempalbalk dengan perlawanan bersenjata —seperti kebanyakan yang diiakukan parapejuang daerah—, ataupun gerakan tanpasenjata seperti yang diiakukan SurosentikoSamin, dengan gerakan Saminnya.

83

Page 2: BukanSekadarSebuahWacana - Journal Portal

Topik ; Separatisme Elnis Bukan Sekedar Sebuah Wacana, Muhammad Idrus

Bermula dari gerakan Budi Utomo,yang sebenarnyajuga masih kental nuansakedaerahannya namun mulai mencanang-kan visi nasionalisme, mulailahidibangungerakan yang lebih menonjolkan nuansanasionalisme dengan beranggotakan ba-nyak etnis yang berbeda. Puncak kebersa-maan kedaerahan tersebut kemudian me-

lebur menjadi janji bersama 28 Oktober1928. Sejarah yang kemudian bergulirmem-buktikan kemampuan masyarakat bangsain! menyatu dalam satu negara kesatuan.

Etnis, Potensi Separatisme

Pasca pemerlntahan kolonial, me-mang tidak kitasaksikan gerakan-gerakanyang mengatasnamakan etnis yang me-nonjol. Begitu juga pada masa orde lamateriebih pada masa orde baru. Hal tersebutmungkin karena begitu kuatnya negara (pe-nguasa) meredam gerakan-gerakan sepa-ratis semacam itu, atau mungkin klasifikasiitu tidak kita temukan karena kerapnyanegara (penguasa) mengelompokkangerakan semacam itu pada satu istilahGP/C(Gerakan Pengacau Keamanan).

Gerakan menyempal atas namaetnis baru menyeruak pasca lengsernyaSoeharto sebagai presiden. Tuntutan akankemerdekaan mula-muia muncul dari ke-

lompokCNRT (Dewan Perlawanan Nasio-nai Bangsa Timor) dan GAM (GerakanAceh Merdeka)\ Diawali dari peluang yang

'Sejak ditandatanganinya. perjanjiandamai antara negara Republik Indonesia danGerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 9Desember 2002, maka secara tidak sengajasaat ini pemerintahan Megawati teiahmendudukkan GAM setara dengan negara.Tampaknya situasi ini akan semakin sullt untukmerengkuh Aceh sebagai bagian dari negaraRl di masa-masa akan datang.

84

diberikan B.J Habibie —selaku presidensaat itu—yang menawarkan opsi otonomipenuh atau merdeka bagi rakyat Timor-Timur, maka menjelang berakhirnya mile-nium kedua ini Indonesia harus melepassalah satu propinsinya, Timor-Timur untukmerdeka yang beralih nama menjadiNegara Timor Leste.

Peluang ini menjadi pemicu ke-inginan serupa pada beberapa etnis ter-tentu, sebut saja IrianJaya (sejak 1 Januari2000, secara resmi disebut Papua) yangberkeinginan mendirikan Papua Merdeka,masyarakat Sulawesi dengan 'Negara Indonesia Timur', 'Makasar Merdeka' khususuntuk Masyarakat Sulawesi Selatan, 'RiauMerdeka', Kalimantan Timur, ataupun Acehdengan 'Gerakan Atjeh Merdeka', danbelakangan inisekelompok warga Malukuyang menamakan dirinya RMS (RepublikMaluku Selatan). Meski para penuntut hakkemerdekaan tidak dapat sepenuhnya di-katakan mewakili keinginan seluruh masyarakat yang bersangkutan, namun feno-mena ini harus disikapi secara lebih bijak.

Sebenarnya kesadaran menjadisuatu bangsa bagi satu etnis, bukanlahpersoalan baru. Setidaknya sejarah telahmembuktikan bahwa pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara dahulu fenomena itutampak mendominasi alam pikiran paraelite pemegang kekuasaan. Dari sejarahtersebut kita belajar bahwa "dahulu" adabanyak bangsa (bukan suku) di Nusantaraini. Barangkali inilah yang oieh Eriksen(1993) dimaknai sebagai identitas sosiaP,

^Tajfel (dalam Berry, dkk, 1992)mernaknal identitas sosial sebagai bagian darikonsep dlri sebagai derivasi pemahamannyatentang keanggotaannya dalam kelompoksosial, termasuk nilai dan emosionai yangmelekat terhadap para anggotanya.

UmSIANO. 47/XXV1/I/200S

Page 3: BukanSekadarSebuahWacana - Journal Portal

Topik : Separatisme Etnis Bukan Sekedar Sebuah Wacana, Muhammad Idrus

yang membedakan bangsa satu dengandari bangsa lainnya.

Mentengarai menguatnyafenomenarasa nasionalisme dari etnis-etnis tertentu

pada akhlr-akhlr, pada satu sisi hal inimenunjukkan adanya kesadaran psikologis-sebagai etnic identity-, dan pada lain sisibukan hal yang mustahil justru menjadikeprihatinan. Sebagai kesadaran psikologis mengingat hal tersebut menunjukkanadanya kesadaran akan identitas kedirianpada masing-masing etnis, sedangkanakan menjadi sebuah keprihatinan tatkalapersoalan tersebut terpolusi dengan nuan-sa politis, yang pada ujung-ujungnya meng-arah pada masalah disintegrasi bangsa.

Fenomena konflik dengan berbasispada persoalan etnis bagi Donald L Horowitz (1985) merupakan fenomena yanghadir di banyak bangsa di seluruh dunia.Bahkan Toffler (1990) -sang futurolog—memprediksikan masalah suku bangsa iniakan terus berlanjut hingga abad XXI. Lan-tas, jika belakangan iniwacana etnonasio-nalisme Ini mengemuka, apakah hal inisenyatanya persoalan harga diri satu etnik,atau adakah persoalan lain yang lebihdikedepankan oleh para pembawa ide ini?

Menyadari adanya keragaman etnisdalam masyarakat bangsa Indonesia,maka sudah sewajarnya jika diskursus ten-tang persoalan etnonasionaiisme men-dapat perhatian yang serius. Sebab jikatidak, maka yang muncul adalah fenomenadisintegrasi yang menghendaki terpisahnyasatu etnis dari negara kesatuan Indonesiaini. Artinya, masalah yang terkait denganetnis hendaklah dibincangkan denganseksama dengan kesadaran untuk men-dukung tercapainya kesepakatan nasionalseperti yang pernah diungkap oleh parapendahulu pendiri republik ini. Banyak halyang terkait dengan wacana ini seperti

UNISIANO. 47/XXVI/I/2003

politik dan psikologis, serta relasi sosialyang mungkinmenjadikan kuatnya nuansaseparatisme pada etnis tertentu.

Tarik Ulur Dimensi Politik dan Psikologi

Harus diakui bahwa munculnyapersepsi bahwa etnikadalah bangsa tidakterlepas dari intetvensi politik. Inipulayangpernah dibangun oleh salah satu kelompokpartai dengan model Iramasuka (Irian,Maluku, Sulawesi dan Kalimantan). Paraindividuyang menggalang model ini meia-kukan identifikasi dirinya sebagai kelompoketnis tertentu, dan berharap bahwa munculdukungan dari etnis yang mereka identifikasi untuk dapat terus berlaga di kancahpolitik.

Jika hal itu harus dianggap sebagaisuatu perjuangan, maka yang diperjuang-kan adalah seputar masalah yang olehMitchell (1974) disebutnya sebagai privileges dan power. Disinilah tampak ter-jadinya kesenjangan distribusi kekuasaandan perlakuan antar etnis yang berbeda.Dalam tulisannya Arifin (2001) mensinyalirbahwa pelbagai kerusuhan yang munculdan keinginan beberapa propinsi untukmemisahkan diri lebih disebabkan oleh ke

senjangan sosial dan ketlmpangan pem-bangunan sosial, politikdan ekonomi antaraJakarta (Jawa) dan Luar Jawa (non-Jawa).

Arifin (2001) juga mengungkapterjadinya dominasi kekuasaan Jawa, danterjadinya proses Jawanisasl. Jawanisasibagi Arifin merupakan satu sikap arogan(dalam antropologi konsep inidikenal sebagai etnosentris), sebuah sikap yang meng-anggap budaya lain sebagai kurang ber-mutu, dan kurang sempurna. Tentu saja,Jawanisasi ini jelas-jelas melanggar apayang selama ini hendak dihilangkanpemerintah itu sendiri yaitu penghapusan

85

Page 4: BukanSekadarSebuahWacana - Journal Portal

Topik ; Separalisme Etnis Bukan Sekedar Sebuah Wacana, Muhammad Idrus

SARA (suku, agama, ras dan antar golong-an). Bahkan mungkin pula terjadi pelang-garan HAM, karena adanya unsur yang se-cara jelas menganggap remeh suku danras lain.

Beberapa proses Jawanisasi tampakdalam upaya negara menempatkan orang-orang asal Jawa sebagal pejabat di daerah-daerah luar Jawa. Atawa dengan banyak-nya penggunaan kosa kata Jawa padanamatempat/desatransmigran (MIsal SidaMulya -Sido Mulyo-, Sidareja -Sidorejo-,dan banyak lainnya yang lebih mengko-notasikan nama-nama desa di daerah

Jawa), nama-nama lembaga resmi miliknegara (seperti Dharma Wanita, KarangTaruna, Sasana Wiratama), nama gedungmilik negara {Bina Graha, Graha PumaYudha).Semboyan untuk lembaga atau program resmi pemerlntah {dales veva jayamahe, Yudha Dharma, tat twam asi, ingngarso sung tulodo Ing madya mbangunkarso, tut wuri handayani, adipura, kalpa-taru). Nilal-nilai hidup yang harus dlamal-kan {tepa salira, sabar, reia, narima), danbanyak lagi yang bagi orang luar Jawaterasa begitu asing di telinga, bahkancenderung aneh.

Dampak yang ditimbulkan darimodel Jawanisasi Itu, memang luar biasa.Safa'at (1996) manemukan beberapabentuk kerugian dan ekses penerapansistem pemerintahan desa, yaitu (1)merusak sistem kekerabatan; (2) memu-tuskan hubungan-hubungan sosial eko-nomi antara masyarakat adat dengantanah asalnya; (3) menghilangkan sistempolltik lokal yang mengatur wilayahkesatuan masyarakat adanya.

Hasil temuan Safa'at Ini setidaknyamembenarkan kondisi etnis tertentu yangbersikukuh untuk mempertahankan buda-yanya, dan tentu saja dengan mengisolasi

86

pengaruh budaya lain terhadap mereka.Kepada kelompok ini maka secara mudahdikelompokkan dalam kelompok etnis yangterbelakang (untuk tidak menyebutnyasebagal primitif). Dampak lebih jauh lagidapat terbaca pada fasilitas yang diperolehdaerah tersebut, yang belakangan diiden-tiflkasisebagai DesaTertinggal. Kesenga-jaan ataukah sebuah pilihanbagi etnis yanghendak mempertahankan identltasnya?Jika demikian, salahkan masyarakat GAMyang kemudian menyebut telah terjadikolonialisme Jawa di tanah mereka?

Fenomena ini kemudian pada akhir-nya menyadarkan banyak etnis akanadanya hegemoni kekuasaan kelompokmayoritas atas minoritas. Mayoritas danminoritas dalam terminologi ini penulislebih sepakat dalam makna yang diberikanoleh Young sebagaimana dikutip olehMartin dan Franklin (1973) sebagai kelompok inferior, yang memiliki posisi subordinatdalam masyarakat, dan bukan sekadarpersoalan jumlah komunitasnya, tapi lebihpada power. Mengingat posisinya, padaakhirnya kelompok-kelompok tersebutmengalami banyak kekurangan dalammenikmati "kue pembangunan" yangselama ini didengung-dengungkan.

Tentu saja pada ujung-ujungnyaterjadi interaksi sosial yang tidak harmonisantar etnis dalam negara, yang kemudianmemunoulkan sikap ethnosentris^. Pada

^Segall, dkk (1990) mengartikanethnosentrisme sebagai suatu perasaan positifterhadap kelompoknya sendirl (in-group), danperasaaan negatif terhadap kelompok lain (out-group). Secara lebih sederhana ethnosentrisdapat dimaknai sebagai sikap yang munculdalam diri setiap etnis yang memandang nilaiyang ada dalam etnisnya sebagai yang terbaik,dan nilai kelompok lain sebagai yang lebihrendah.

UNISIANO. 47/XXVI/I/2003

Page 5: BukanSekadarSebuahWacana - Journal Portal

Topik : Separalisme Etnis Bukan Sekedar Sebuah Wacana, Muhammad Idrus

giliran selanjutnya sikap ini akan menum-buhkan satu sikap prasangka sosial". Dapatdidugasaat.terjadi prasangka soslal nega-tif, maka akan memunculkan sikap diskri-minatif terhadap etnis yang dianggapnyalebih rendah. Dalam hal ini Liliwerl (1994)mengungkap ada tiga faktor utama yangdibentuk oleh sikap prasangka sosial ini,yaitu yang disebutnya sebagai (1) stere-otipe; (2) jarak sosial; dan (3) sikapdiskriminatif.

Stereotype merupakan gambaransubjektif dari golongan manusia yang lainterhadap manusia tertentu, dan gambarancirri-ciri subjektif yang diberikan oleh satusuku-bangsa kepada warga suku-bangsalain seacara khusus disebut sebagai stereotype etnik (Koentjaraningrat, 1982).Saat ini banyak berkembang di sekitar kitastereotype etnik tertentu, misalnya sukubangsa X identik dengan kekasarannya,sementara etnis Y dengan kehaiusan. Ada-pun stereotype manusia Indonesia diko-notaslkan sebagai bangsa yang ramah,bangsa yang mudah bergaul dan sebagai-nya. Pada masa pemerintahan orde baru,masyarakat Indonesia ideal adalahmanusia yang sesuai dengan nilai-nilaiPancasiia, atau secara lebih khusus me-miliki beberapa sikap seperti para tokohpewayangan. Terkait dengan hal ini mena-rik mengungkap tentang gugatan Arifin(2001) terkait dengan proses Jawanisasisikap.

"...bukan suatu rahasia bahwa

masyarakat Indonesia dididik untuk

" Prasangka sosial merupakan sikapperasaan orang-orang terhadap golongantertentu (ras, etnis, kebudayaan) yang berlainandengan dirinya. Prasangka sosial cenderungnegatif (Gerungan, 1988).

UNISIA NO. 47/XXVI/I/2003

memiliki sikap ksatria: mengatakan danmengakui salah jikalau salah; benar jikalaubenar. Akan tetapi, ketika pembantu-pembantu presiden jelas-jelas bersalahdankesalahan itu diketahui oleh publik, taksatupun dari para pembantunya yangdengan rendah hati mengakuinya danmeminta maaf atau bahkan mengundurkandiri. Pengunduran diri dianggap tidak memiliki alasan yang kuat. karena perbuatanitusama artinya dengan sikap tidak ksatria{tinggat glanggang colong playu, penulis).

Stereotype yang ingin dibentuk olehNegara terhadap masyarakatnya adalahmemunculkan model manusia Indonesiayang berjiwa ksatria. Seorang yang memiliki sikap dan periiaku luhur, menjunjungtinggi harkat dan martabatnya sebagaiksatria.

Hanya saja sebagaimana gugatanArifin, proses stereotype tersebut menjadibergeserdari aluryangdiharapkan.Terjadidualisme dalam model sikap ksatria yangsaat ini diterapkan oleh masyarakat bangsaIni. Satu sisi seorang manusia Indonesiadiharuskan tampil sebagai seorang ksatria,sebagaimana epos Mahabarata, ataupunRamayana, yang seialu membela kepen-tingan kaum lemah {dhuafa), dan berslkapsebagaimana layaknya seorang ksatriayang jika dirinya salah, maka akan denganarif dan bijak mengakui segala kesalahan-nya, tetapi jika pada posisi benar, makakebenaran akan dibelanya meski harusberkorban jiwa.

Namun tatkala terjadi penyimpang-an ataupun kesalahan yang dilakukan olehpara pembantu Presiden, justru sikap yangditampilkan bukanlah sikap seorangkstaria, namun sikap seorang /curaivayangbersikukuh dengan pendapatnya sendiri.Pemimpin tidak pernah melakukankesalahan, dan andai ada kesalahan, maka

Page 6: BukanSekadarSebuahWacana - Journal Portal

Topik ; Separatisme Etnis Bukan Sekedar Sebuah Wacana, Muhammad Idrus

bawahanlah yang salah mengintepretasiperintah yang diberlkan pemimpin ataukomandannya. Beberapa peristiwa sipildan miiiter menguatkan fenomena ini,bahwa hanya bawahan yang melakukankesalahan.

Terhadap parapemimpinnyamanu-sia Indonesia dituntut bersikap nyunggidhuwur, mendem jero. Sikap yang selalumenghormati p'emimpinnya, dan menutupsecara rapat segala kesalahan yang dibuatoleh para pemimpinnya. Dalam masya-rakat yang plural, situasi itu tidak mungkindapat dibenarkan.

Keinginan untuk transparansi di satusisi, dan mempertahankanprestigepeme-rintah menjadikan benlh subur munculnyarasa tidak percaya pada pemegang ke-kuasaan. Situasi inijika hanya terjadi padaindividu mungkin dapat secara mudahdiberangus pemerintah, dengan caramencapnya sebagai orang yang mbalelo.Hanya saja, jika itu kemudian menyebarpada komunitas etnis yang lebih iuas,maka yang muncui adalah perlawananetnis yang kemudian diistllahkan sebagaiGerakan Pengacau Keamanan (GPK) ataukeiompok separatis.

Dampak lain dari prasangka sosiaiadalah munculnya jarak sosiai {socialdistance). Liliweri (1994) mengungkapbahwa jarak sosiai antar etnis ditentukanoieh kesediaan individu dari etnis tertentu

untuk membangun interaksi denganindividu lain dari etnis yang berbeda.Interaksi sosiai daiam masyarakat individuharuslah dibangun dengan kesadaranbahwa setiap individu memiliki harkatdanderajat yang sama. Meskiuntuk beberapaetnis, relasi sosiai ini baik, tapi tidak jugamenutupi kenyatan bahwa relasi yangdibangun untuk etnis tertentu tidaklahsebagaimana diharapkan.

Relasi etnis Madura-Dayak, menjadisaiah satu contoh terjadinya jarak sosiaiyang begitu jauh. Untuk kedua etnis ter-sebut, harus diakui hingga kini masih kerapterjadi silang-sengketa dan keteganganyang terutama muncui di kaiangan masyarakat awam dengan tingkat pendidikanrendah. Pelbagai penyeiesaian yang yangdiupayakan keiompok elit etnis tersebutternyata beium menuntaskan persoaian diakar rumput. Hingga hari ini kita bisamenyaksikan hasii-hasil pertikaian keduaetnis ini. Sebenarnya mungkin bukan hanya kedua etnis ini saja yang memiiiki jaraksosiai begitu jauh, ada banyak etnis yangmungkin secara tidak sengaja memiiikijarak sosiai yang tidak dekat, hanya sajatampaknya tidak mengemuka dalam kon-fiik terbuka sebagaimana kedua etnis ini.

Jarak sosiai bukan ^hanya muncuidari sisi etnis saja, namun juga dari friksiantar organisasi baik keagamaan, sosiaiataupun organisasi partal politik. Sebagaimisal bagaimana jauhnya jarak sosiaiantara massa organisasi massa NahdatuIUlamadengan Muhammadiyah di kaiangan awam. Betapa untuk satu persoaianyang elite organisasi tersebut denganmudah memahaminya, tapi di kaianganbawah justru menjadi pemicu terjadinyakonflik yang sulit untuk reda. Atau contohlain beium sepakatnyapara pimpinan organisasi agama Budha untuk menunjukorang yang dianggap mewakii mereka diMPR. Kita lihat juga betapa para sim-patisan partai politik yang saiing bersi-tegang atau bahkan saiing baku hantamsaat kampanye menjelang pemilu beberapa tahun terakhir.

Juga kita saksikan betapa renggang-nya ikatan antara kelompok-kelompokyang mewakiii orang-orang kaya denganmereka yang miskin. Konfilik antara

UNISM NO. 47/XXVI/I/2003

Page 7: BukanSekadarSebuahWacana - Journal Portal

Topik : Separaiisme Etnis Bukan Sekedar Sebuah Wacana. Muhammad Idrus

pedagang dengan petugas Tibum padabeberapa pasar yang masing-masing ingineksistensinya dihargai. Kesemua contoh diatas menunjukkan betapa jaraksosial antarmasyarakat Indonesia masih rendah, danin! rawan serta menjadi benih suburtimbulnya konflik.

Kondisi terakhir yang muncul dariprasangka sosial adalah hadirnya perilakudiskriminasl. Para pejabat negara, peme-gang kekuasaan di indonesia belum selu-ruhnya dapat beriaku adil. Kolusi dan nepo-tisme adalah salah satu wujud terjadinyadiskriminasl. Semua aturan yang dibuat,selalu dicari celah untuk mewujudkankeinginan-keinginan yang bersifat primordial. Pada akhirnya terjadilah modelpenempatan pegawai, pejabat yangberorientasi suku-lsme. Bukan hanya itu,muncul pula model stereotype etnisnegatif, bahwa jika etnis tertentu yangmemegang poslsi punoak dianggap tidakmampu, dan akhirnya kepada yang ber-sangkutan tidak pernah mendapat promosijabatan punoak meski secara profesionaldirinya mampu.

Sistem kekuasaan yang sentralistikdan berpusat di Jakarta (Jawa), sehinggapersoalan birokrasi dan kebijaksanaandaerah diatur sejak dari pusat (Jakarta,Jawa). Pada sisi ini, kita lihat kerap terjadiposisi-posisi strategis jabatan di daerahdiisi oleh orang-orang Jakarta (Jawa), ataumereka yang dekat dengan kekuasaan diJakarta. Sementara kader daerah terka-

dang hanya sekadar pendamping peleng-kap semata. Yang kemudian terjadi adalahadanya tuntutan pengaturan model birokrasi dan kekuasaan secara mandiri, bah-

kan pada titik yang ekstrem daerahmenghendaki lepas dari pemerintah pusat(Jakarta).

Lagi-lagi ini menjadi cikal bakal

UNISIANO. 47/XXVIIH2003

terjadinya konflik vertikal antara etnistertentu dengan pemerintah pusat. Konflikiniternyata tidak mampu teredam sebagai-mana saat pemerintahan orde baru yangdengan sigap meredam -memusnahkan-embrio perlawanan kelompok etnis atauagama sekalipun. Lihat saja kegagalanyang dialami kelompok disident sepertipada peristiwa Talangsari (Lampung),peristiwa Bantaqiyah, peristiwa Situbondo,peristiwa plaza Medan, peristiwa Peka-longan yang kebetulan kental dengannuansa .agama, atau seperti peristiwaSanggau, Pontlanak yang meski juga di-picu oleh keinginan membela etnis, masihjuga ada nuansa Islam (Idrus, 1997).Pemerintah orde baru dengan sigap mem-berantas segala gerakan tersebut.

Mensikapi banyaknya gerakanseparatisme, pemerintah Indonesia dibawah presiden B.J Habibie beraksidengan menawarkan opsi otonomi seluas-luasnya. Memang harus diakui reaksipemerintahan Jakarta begitu reaktif -mungkin juga karena tekanan pemerintahan negara asing-. Respon yang munculdari daerah penuntut begitu variatif sebagaimisal Kaltim menghendaki adanya negarafederal, sementara TImor-timur dan Aceh(kecenderungannya) menghendaki lepasdari NKRI. Sejarah mencatat pada akhirnyaIndonesia harus melepas satu propinsiyang masuk belakangan dalam negarakesatuan malah justru melepaskan diriyang pertama, Timor-timur.

Mentengarai perjalanan sejarahgerakan separatis yang ada, tampakbetapa etnis Identity sebaga.] simbol jatidirietnis lebih dekat dengan nuansa politik.Sudah dapat diduga apa kelanjutan dariadanya persepsi ini, yaitu munculnyakeinginan berbangsa sendiri seperti yangpernah terjadi pada masa jaman kerajaan

89

Page 8: BukanSekadarSebuahWacana - Journal Portal

Topik ; Separalisme Etnis Bukan Sekedar Sebuah Wacana, Muhammad Idrus

dahulu, dan tentu saja hal ini akan meru-sakkan fohdasi kenegaraan yang telahsama dibangun selama lebih dari setengahabad ini.

Secara psikologis sebenarnya apayang menjadi basic need dari munculnyakeinginan tersebut? Apakah hal itu bukansekadarpelampiasan emosional, dari rasayang selama masa orde baru dipendam.Atau hanya ingin sekadar menunjukkanetnic identity? Lazimnya harus ada kese-pakatan bahwa identitas etnik memangharus dipertahankan bahkan ditegakkan,namun bukan dalam dimensi poiitis sematatetapi juga secara psikologis. Artinya padasetiap kita harus memiliki kesadaran darimana kita berasal, dan ada keinginan untuktetap menjunjung budaya etnis tersebut.Meski demikian, hal itu bukan menjadi satukeharusan untuk diwujudkan secara poiitisdengan menyempa! dari negara kesatuanyang telah ada.

Munculnya rasa etnonasionalismeekstrem pada akhlrnya hanya akanmenyumbang pada lahirnya negara yangtercabik-cabik sebagaimana yang terjadipada negara-negara Balkan. Sebab padadasarnya etnisitas lebih cenderung padagejala separatisms dibanding merajutuntaian persatuan. Dengan begitu yangharus disadari adalah bukan hanya sekadarmemandang persoalan etnik dari sis! politiksemata, namun unsur psikologis harus puladiajukan sebagai pembandingnya. Sebab,dari sisi psikologis kesadaran akan adanyarasa memiliki pada etnis memang diakui,namun dari sisi ini bukan laiu harus diwu

judkan dengan membentuk nation statekecil yang justru mencerai-beraikan talipersatuan. Kesadaran akan etnic identitydibangun agar setiap individu tidakmengalami lost identity.

Bahkan justru pada era global saat

90

ini, kesadaran akan etnic identity6\per\ukar\agar tidak terjadi seperti bangsa-bangsalain di negara berkembang yang kehilang-an kepribadian kebangsaannya. Hal tersebut setidaknya dapat disimak dari pelajaranterbuka dari Negara Philipina, ataupun India yang hingga hari ini masih merasakesulitan untuk membuat kesepakatantentang bahasa resmi yang digunakan.

Tampaknya saat ini dibutuhkanforum dalam skaia nasional yang dapatsecara "nyaman" membincangkan munculnya kesadaran akan etnonasionalisme

pada banyak suku di Indonesia. Hal in!penting, mengingat rajutan benang nasio-nalisme tampaknya semakin lama, se-makin terus diurai oleh banyak kalanganyang mengatasnamakan etnis. Di sampingitu adalah ketegasan plhak pemerintahuntuk memberlakukan hukum secara adil.

Dalam setiap penyeiesaian kasus, hendak-lah tidak terjadi proses pemihakan, yangakhinya akan menguntungkan satu pihaksaja.

Faktor Dominan Disintegrasi

Liddle (1970) dalam tulisannyamengungkap bahwa ditengarai adakendala dalam persoalan integrasi diIndonesia, yang secara singkat dirumus-kannya pada dua dimensi horizontal danvertlkal. Pada sisi horizontal muncul persoalan suku, ras, agama dan geografi,sedangkan sisi vertikal adalah adanyaperbedaan antar elite dan massa. Pada sisihorizontal Itulah yang diberikan Tuhanpada bangsa ini. Satu fenomena yang cenderung pada kodrati sebagaimana terung-kap dalam salah satu firmanNya menyata-kan bahwa Dia menciptakan manusia ber-mula dari satu keturunan dan daripadanyadijadikan suku-suku dan golongan. Pada

UNISIANO. 47/XXMmOO'S

Page 9: BukanSekadarSebuahWacana - Journal Portal

Topik : Separatisme Etnis Bukan Sekedar Sebuah Wacana, Muhammad Idrus

sisi ini harus disadari bahwa perbedaansuku, ras, agama dan geografi merupakansatu keniscayaan. meski demikian haltersebut bukan menjadi alasan untukmenjadikannyasebagai trigerbag] pecah-belahnya persatuan. Artinya pada sisi inipara pemegang kebijakan pada masing-masing etnis memiliki peran untuk meng-arahkan "gerbong etnis" yangdipimpinnya.

Berbeda memang dapat diartikanlain, namun hendakiahtidakdiartikan tidaksama (yang karena itu, tidak baik). Disadaribahwa setiap Individu dengan individulainnya, memang memiliki ke-khas-anyang menjadi ciri di antara mereka.Jangankan dari nasab yang berbeda,sedangkan dari bapak dan ibu yang samamasih terbuka melahirkan individu yangberbeda. Selama inisejujurnyalah selamaini muncul image di masyarakat kitabahwabeda selalu diidentikan dengan tidak sama(dengan saya), dan karena tidak samadengan dirinya lalu muncul konotasi bahwayangtidak sama itu jeiek, kurang baik. Haltersebut karena yang menjadi tolok ukuradalah dirinya subjektlf, bukan dirl yangobjektif. Dengan begitu akan terasa suiituntuk melihat "diri lain" darinya sebagaikebenaran, yang semestinya juga diterimaolehnya.^

Teriepas dari itu bahwa sebenarnya

sHarus diakui banyak di antara kita yangkerap melihat setiap persoalan hanya dariperspektif dalam (inner perspective) bahwasegala yang baik adalah muncul dari dirinya,dari kelompoknya, alau dari etnisnya.Sementara apapun yang muncul dari oranglain, kelompok (golongan) lain, etnis Iainadalah salah dan keliru. Kebenaran hanya milikdirinya saja, dan orang lain tidak memilikikebenaran. Situasi ini menjadi cikal bakalkonflik dalam segala situasi.

UNISIANO. 47/XXVI/I/2003

Dari yang "lain" itu sebenarnya ada yangsama, dan inllah yang hendakiah selaludiupayakan, mencari titik temu di antaraindividu. etnis, golongan. Barangkali inipula sebagai rahasia Tuhan mengapa Diamenciptakan manusia di dunia ini denganberagam suku, ras, agama, golongan,ataupun bangsa yang berbeda. Jika hen-dak kembali pada isyarat Tuhan, makakeharusan setiap individu satu denganindividu lainnya adalah "saling mengenal"(taaruf).

Dan sisi vertikai persoalan integrasibangsanni dapat gagal karena celahperbedaan antara elit dan massa. Dalamtulisannya tentang konsekuensi budayaHofstede (dalam Heckhausen dan Lang,1996) meneiiti respon individu terhadapnilai-nilai budaya di 40 negara danmembaginya menjadi 4 dimensi, yaitu: (1)Individual-collectivism (IC); (2) powerdistance (PD); (3) masculinity-feminity(MF); (4) uncertainty avoidance (UA). Diantara keempat dimensi budaya tiga diantaranya begitu kuat (tinggi) di Indoensia,dan satu yang cenderung rendah.

Pertama individual collectivism, inti

dari konsep ini adalah seberapa besarsuatu budaya memberikan otonomi padaanggotanya. Menerapkan konsep ini padarealita masyarakat Indonesia, tampaknyatingkat IC bangsa ini termasuk rendah.Artinya, masyarakat bangsa ini cenderungmemilih budaya koiektif, semua tanggung-jawab dibagi rata pada kelompok. Situasiinibegitu kentara saat berkuasanya peme-rintahan orde baru. Segala hal merupakankesepakatan bersama, penentuan segalasesuatu diiakukan secara bersama, danjikaada akibatyang muncul dari keputusantersebut akan ditanggung secara bersamapula.

Pada kondisi semacam itu, tampak

91

Page 10: BukanSekadarSebuahWacana - Journal Portal

Topik : Separatisme Etnis Bukan Sekedar Sebuah Wacana, Muhanimad Idrus

nyata tidak ada pembantu presiden yangmengundurkan diri karena kesalahanindividu yang dibuatnya. Sifat ksatriasebagai aturan main kelompok, menjadimandul dan tidak berguna sama sekali.Mundur dari jabatan merupakan satu halyang mustahil dalam situasi politik Indonesia. Situasi ini kembaii berulang,denganjatuhnya vonls pengadllan pada ketua DPRRl, Ir Akbar Tanjung. Adanya tuntutanmundur darl anggotanya, malah justruanggota tersebut dikenai sanksi.

Budaya kolektif yang djbangunpemerlntah orde baru meng'iriginkansegala sesuatu diatur dari pusat, modelpemerintahan yang sentralistik. Segalakebutuhan daerah telah diatur darlpemerlntah pusat Jakarta, padahal tidakselamanya pemerlntah pusat memahamipersoalan-persoalan daerah secara lebihdetii. Akhlrnya yang muncul adalah pera-saan sebagai "sapiperah"yang dikaryakanoleh pemerlntahpusat Jakarta. Tentu sajaperasaan-perasaan Inl pada akhlrnyamenumbuhkan kesadaran untukmengatursegala persoaian daerahnya secaramandiri. Inllah salah satu munculnya cikalbakal keinginan menyempal daripemerlntah daerah.

Harus diakui bahwa budaya kolektifmemiliki beberapa keunggulan sepertiadanya kebersamaan dalamsegala situasi,balk senang ataupun susah. Hanya sajakelemahannya jugabukan hal yang sepeie,seperti sullt untuk menemukan slapa yangbersaiah dalam satu peristiwa,. sebab ke-lompoknya akan melindungl dengan pel-bagal cara dengan dallhkebersamaan tadl.Atau seandalnya terjadi kesalahan, makaakan si pembuat salah tersebut akan mele-paskan dirl (cuci tangan) dan kemudlanmelemparkannya pada kelompok.

TIngginya power distance pada

92

suatu bangsa ditandal dengan beberapaciri seperti : (1) jauhnya jarak psikologisantara pejabat dengan rakyatnya ; (2)sistem birokrasi yang panjang ; (3)formalitas; (4) kondisi birokratis yang tetapterbawa hingga situasi di luar kantor.Mentengarai masyarakat bangsa initampak saat Ini begitu kentara, betapajarak psikologis antara pejabat sebagaipemegang kekuasaan dengan rakyatsebagai yang diperintah begitu jauh.

Sebagalmana dlpahaml modelkepemimplnan yang diterapkan dl Negaracenderung model feodal. Hal tersebutterllhat darl perllaku para pemimpin -yangmengldentikan dirlnya sebagai kelompokningrat (raja)- yang seialu ingin dllayani.Akibatnya, merasa bahwa dirlnya merupakan kelompok elite, maka terkadang ting-kah para pemimpin menyakitkan hatirakyat. Sebagai misal, saat rakyat men-derlta dengan situasi krisis, sekelompokanggota dewan yang katanyawakll rakyatmalah justru melakukan tur ke luar negerl.

Pemerintahan kerajaan memangmeningglkan jarak psikologis antarapemimpin dengan mereka yang diplmpin,dan seharusnyalah situasi itu tidak terjadipada negara yang menganut paham demo-kraslseperti Indonesia. Budayafeodallsmesebagai warlsan para penjajah ternyatabegitu dipellhara, dan hal inl sebenarnyasecara psikologis lebih menunjukkantentang kelemahan pimplnan. Artinya,mungkin saja situasi tersebut memangsengaja diclptakan untuk membangun image kewlbawaan yang mungkin tidakdimilikinya sebagai imbas ketidak-profeslonalan dirinya menjalankanstatusnya.

Model birokrasi yang diterapkanpemerlntah Indonesia memang tergolongsulit dan panjang. Banyak mejayang harus

UNISIA NO. 47/XXVI/I/2003

Page 11: BukanSekadarSebuahWacana - Journal Portal

Topik : Separatisme Etnis Bukan Sekedar Sebuah Wacana, Muhammad Idrus

dilalui untuk mengurus segala hal.Debirokratisasi yang coba diterapkandengan maksud untuk lebih mengkuruskanbirokrasi tampaknya tak memiliki dampaksignifikan. Banyak keluhan muncul darimasyarakat betapa sulit untuk menguruskeperluannya. Bukan hanya itu, modelbirokrasi yang diterapkan juga membukapeluang terjadinya korupsi di mana-mana.

Untuk masyarakat Indonesia, for-maiitas tampaknya tidak dapat dilepaskandari kehidupan bangsa ini. Sejak awalkelahiran seseorang hingga kematiannyaformalitas selalu menyertai dan menjadibagian dari dirinya. Sebagai contoh untuksituasi resmi di kantor, ternyata bagibawahan sulit untuk membedakan situasi

kantor dan bukan kantor. Hal ini karena

kemanapun perginya pimpinan kantortetap sebagai pemimpin individu bawahan-nya, meski itu sudah di luar situasi dinas.Hal ini tentu saja berimbas pada modelpelayanan yang harus mereka terima, jugaharus sama seperti di kantor. Para pemimpin tidak lag! dapat membedakan kapandia harus bersikap sebagai pemimpin, dankapan harus bersikap sebagai temandiskusi. Perlakuan dan penghargaan berle-blh terhadap pemimpin teiah melampauibatas kewenangan mereka sebagaipemimpin. Pada akhirnya budaya mohonpetunjuk muncui di mana-mana.

Budaya terakhir yang disinyalirHofstedeadalah uncertaityavoidanceyaWukecenderungan untuk menghindarkan dirldari ketidak pastian. Semakin tinggi satubudaya dalam hal uncertaity avoidance,semakin pasti aturan yang ada di masyarakat bangsa itu. Untuk masyarakat Indonesia, tampaknya kondisi uncertaity avoidance ini rendah. Hal ini tampak daribanyaknya ketidakpastian yang ada dimasyarakat bangsa ini. Sebagai misal jam

UNISM NO. 47/XXVI/I/2003

kerja untuk PNS, yang dimaknal secaravariasi. Mereka yang datang cepat danyang datang iambat, oleh lembaga disikapisecara sama. Mereka yang bekerja denganvolume pekerjaan lebih banyak denganyang minimal, menerima gaji denganaturan dan jumlah yang sama.

Dalam dunia hukum, saat ini tidak

lag! ditemukan satu kepastlan hukum.Banyak contoh betapa orang yang benarmalah dihukum, orang melapor malahmenjadi tersangka, orang yang tidak tahuujungpangkal satu kejadian harus men-dekam di penjara, sementara si pelakubebas melarikan diri. Sengkon dan Kartaadalah contoh dua manusia Indonesia yangmengalami ketidakpastian hukum, jugakeluarga Udin -wartawan Bernas- yanghingga saat ini menunggu penyeiesaiankasus yang menimpa Udin. Masyarakatselalu disuguhi "korban sementara"sebagai pembujuk bahwa pihak aparatbekerja dengan balk.

Hukum di Indonesia menjadi pasti,jika aparat penegak hukum sudah kon-sisten dalam penegakan hukum, dan tidakbicara di luar hukum. Sebab, pada saatmuncul diskusi di luar jaiur hukum, makayang muncul adalah slapa berani mem-bayar, berapa? Pada akhirnya sulit untukmenghadirkan kepastlan, dan justru ketidakpastian itulah menjadi satu kepastlan.

Terakhir adalah masculinity-feminity,budaya Indonesia hingga hari ini lebihbanyak mengagungkan kelompok laki-lakidi banding wanita. Banyak posisi yangtampaknya tertutup untuk kelompokwanita. Lagi-lagi hal ini banyak mengadop-si dari budaya Jawa yang menganggap-wanita sekadar konco wingking, yangkehadirannya hanya saat dibutuhkan saja,seiain itu tidak.

Dalam tulisannya Eriksen (1993)

93

Page 12: BukanSekadarSebuahWacana - Journal Portal

Topik : Separatisme Einis Bukan Sekedar Sebuah Wacana, Muhammad Idrus

mengungkap bahwa identitas jenis kelaminjuga dapat menjadi alasan dalam mem-bangun hubungan sosial yang luas danpanting dalam kelompok masyarakatmanusia, walaupun hal in!jarang diperban-dingkan dalam organisasi politik. Dalam ha!in! jenis kelamin dalam konteks etnisitasadalah suatu konteks budaya dan tidakdalam konteks blologi. Artinya genderbukan hanya sekadar fenomena biologisaja, tapi lebih pada budaya, dimana satubudaya tertentu lebih dikonotasi sebagaibudaya laki-lakidan budaya lain cenderungwanita, yang di dalamnya sebetulnyaterjadi dominasi budaya atas budayalainnya.

Agar terjadi proses integrasi yanglebih baik, maka budaya-budaya negatifharus mulal diubah. Berikan pada daerahotonomi sebagaimana seharusnya, ke-kuasaan mengatur daerah dlberiporsi lebihbanyak pada daerah, kurangi jarak psiko-logis atasan bawahan, pemimpin denganrakyat, lakukan debirokratisasi dengansungguh-sungguh, tegakkan kepastian danhindari ketidakpastian, berikan peluangyang sama pada seluruh rakyat untuk maju.

Etnis dengan segala budayanyadlberi peluang yang sama untuk maju, dandlberi perhatian yang sama pula. Mem-bangun integrasi antar etnis dilakukan tidakdengan cara menekan budaya satu danmeninggikan etnis lainnya, tap! justrudengan melakukan mobillsasi kesadaranmengenai adanya interdependensi dlantara etnis.

Terkait dengan proses integrasi ini,Gordon (1976) mengajukan model asi-milasi sebagai cara untuk melakukanintegrasi pada masyarkat yang plural.Asimilasi yang dimaksud Gordon adalah(1) asimiliasi kultural; (2) asimilasistruktural; (3) asimilasi marital; (4) asimilasi

94

identifikatif; (5) asimilasi sikap penerimaantanpa prasangka; (6) asimilasi tingkahlakutanpa diskriminasi; dan (7) asimilasikewarganegaraaan tanpa konflik nilai dankekuasaan.

Dalam bahasan tentang temaintegrasi iniGordon juga memberi wacanabahwa pelaksanaan asimilasi tersebutharus pula mengeliminir faktor-faktor yangsecara signifikan mempengaruhi prosesIntegrasi masyarakat yang disebutnyasebagai (1) bio-social development variables; (2) interaction process variables; (3)societal variables. Faktor pertama merujukpada varlabel-variabel yang memper-hitungkan kondisibiologisseseorang yangmenunjukkan kapasitasnya pada tigatingkatan aktlvitas, yakni kepuasan darikebutuhan psikologis, kesadaran ataupemahaman mengenai integrasi dantanggapan emosional atau sikap terhadapIntegrasi.

Tiga hal tersebut dianggap pentingbag! upaya sosialisaslyang membolehkanseseorang berperan dalam suatu masyarakat. Pada sisi Ini betapa perlunya mema-haml kebutuhan-kebutuhan yang sifatnyabiologisdan psikologis seseorang, di sam-plng nuansa politik tentang pemahaman-nya pada persoalan integrasi. Terpenuhi-nya sisi ini akan membuat seseorang me-miliki komitmen untuk membangun integrasi berdasar pada keragaman yang di-mllikinya. Artinya dengan utuhnya pemahaman tentang faktor ini akan menjadijaminan sikap seseorang untuk tetap me-megang teguh komitmen pada negarakesatuan.

Faktor kedua yang oleh Gordondisebutnya sebagai interaction processvariables mengacu pada harga diri dankehormatan dalam hubungan antar etnis,serta eksistensi stereotipe etnis. Selain itu

UNISUNO. 47/XXVII112003

Page 13: BukanSekadarSebuahWacana - Journal Portal

Topik : Separatisme Etnis Bukan Sekedar Sebuah Wacana, Muhammad Idrus

juga kecenderungan sikap yang tidakmembedakan status etnis dalam melaku-kan kontak antar etnis. Pada sis! ini,penghargaan etnis sebagaimana adanyamerupakan salah satu syarat mutlak bag!terjalinnya interaksi sosial yang harmonis.Penghargaan-penghargaantersebut harusdlwujudkan dari segi poiltik, dan psikologis.

Faktor ketiga yaitu societal variables, merujuk pada gejala demograflsuatu kelompok etnis tertentu, sepertiukuran absolut mengenai kelompokmayoritas dan minoritas. Dimensi lain dariaspek ini adalah penyebaran dankonsentrasi kelompok minoritas dan disuatu wilayah, pendudukdesa-kota. Disa-dari bahwa dari sisi penyebaran pendudukpada wilayah nusantara ini memang tidak-lah merata. Konsentrasi terbanyak penduduk pada wilayah perkotaan, dan dari sisipulauyang didlami pulauJawa menempatitempat pertama dari sisi kepadatan.

Sebagai upaya penyatuan, makawacana mayoritas dan minoritas bukan lagihal yang perlu didengung-dengungkan.Mereka yang mayoritas bukanlalu menjadipenguasa dan minoritas sebagai kelompokyang dikuasai, namun pembagian kekua-saan, peluang hendaknya lebih merujukpada sisi kemampuan profesional, danmenghindari praktek kolusi ataupun nepotisms seperti yang seiama ini masih terjadi.

Selain itu, membincangkan kesa-daran akan etnonasionalisme secara ariftampaknya perlu diupayakan dalam skalanasionai, agar tidak lagi berkembangniatan menyempal hanyasekadarmenurutimuatan emosi semata. Jika musyawarahselalu didengungkan sebagai sikap yangselalu dikedepankan bangsa ini, mengapamuncul keengganan untuk melakukannyasaat bangsa ini justru berada pada bidukyang mulai retak. Tentu saja beberapa fak

UmSM NO. 47IXXVIII/2003

toryangcenderung dominan bagi muncul-nya disintegrasi harus teriebih dahuludieleminir.

Jika pada bangsa Jerman telahberhasil menghilangkan sekat yang semulamembatasinya, negara Korea (Utara danSeiatan), Taiwan dan Cinasaat in! juga mulai menjajaki rujuk nasionalnya. Mengapakita hendak memutus tali silaturahmi yangtelah tersimpul manis. Alih-alih kita dapatbelajardarifenomena pelangi, yang justrumenjadikannya indah adalah keberagam-annya. Semoga kesadaran etnonasionalisme hanya sekadar wacana psikologi yangmurni dari inten/ensi politik, sehingga kitadapattetapmenikmati kejayaan bangsa ini.*

Daftar Pustaka

Alfian. 1986. Transformasi Sosial Budayadalam Pembangunan Nasionai.Jakarta: Ul Press.

Arifin, M. 2001. Proses Hegemoni Kebu-dayaan Jawa dalam Kehidupansosial, Budaya dan Poiltik Indonesia: Suatu Perspektif Antropologis.Retrieved From The World Wide

• Wfth:http://fisiD.unmul.ac.id/henemoni.html Oktober 8. 2001.

Berry, J.W., Poortinga, Y.H., Segali, M. H.,Dasen, P. 1992. Cross Cultural Psychology. Cambridge: CambridgeUniversity Press.

Castles, L. 1995. Etnisitas dan KeutuhanWilayah Negara-negara: Pandang-an Global. Dalam Sumbangan llmu-llmu Sosial terhadap KonsepsiKetahanan Nasionai. Ichlasul Amal

dan Armaidy Armawi (Ed). 199-203.Yogyakarta: UGM Press.

95

Page 14: BukanSekadarSebuahWacana - Journal Portal

Topik : Separaiisme Elnis Bukan Sekedar Sebuah Wacana, Muhammad Idrus

Eriksen, T. H. 1993. Ethnicity and Nationalism: Antropological Perspective.London: Pluto Press.

Gerungan, W.A. 1988. Psikoiogi sosial.Bandung: PT. Eresco.

Gordon, M.M. 1976. Toward a General

Theory of Racial and Ethnic GroupRelation. Dalam Glazer dan

Moynihan (Eds). (1976). Etnicity,Theory and Experience. Cambridge: Harvard University Press.

Heckhausen, J., & Lang, F.R. 1996. SocialConstruction and Old Ages Normative Conceptions and InterpersonalProcesses. Dalam Apliied SocialPsychology. Semin, G. R & Fiedler,K (Ed). London: SAGE Publica-tlons.1

Horowitizt, D.L. 1985. Toward a General

Theory of Racial and Ethnic GroupReiations. dalam Theory and Experience. Glazer dan Moynihan (ed).Cambridge: Harvard UniversityPress.

Idrus, Muhammad. 1997. Ukhuwah Islami-

yah sebuah peradaban baru?, dalamJurnal Mukadimah no. 4 Th. 111/1997.

Hal. 120-127. Yogyakarta: KopertaisWilayah III dan PTAIS DIY.

Koentjaraningrat, 1993. Masaiah Kesuku-bangsaan dan Integrasi Nasionai.Jakarta: Ul Press.

Liliweri, A. 1994. Prasangka Sosial danEfektivitas Komunikasi Antar Etnik

di Kupang. Daiam PerspektifPembangunan NTT: Dinamika danTantangan Pembangunan NTT. AloLiliweridan Gregor Neonbasu (Ed).Halaman 1-28. Kupang: PT. Yayas-an Citra Insan Pembaru.

Martin, J.G., & Franklin, C.W. 1973. Mi

nority Group Relations. Columbus,Ohio: Merrill Publishing Company.

Mitchell, J.C. 1974. "Perceptions ofEthnicity and Ethnic Behavior: AnEmperical Exploration." Dalam Urban Ethnicity. Abner Cohen (Ed). 1-35. London: Tavistock Publications.

Safa'at, R. 1996. Masyarakat Adat yangTersingkirkan dan Terpinggirkan.Dalam Laporan Observasi tentangDampak Undang-Undang No. 5Tahun 1979 tentang PemerintahanDesa terhadap Masyarakat Adat diIrian Jaya, Maluku, Nusa TenggaraTimur, Kalimantan Barat, dan

Kalimantan Timur. Jakarta ELSAM

Segall, M.H., Dasen, P.R., Berry, J.W.,Poortinga, Y.H. 1990. Human Behavior in Global Perspective: anIntroduction to CrossOcultural

Psychology. New York: PergamonGeneral Psychology Series.

n n •

96 UNISIA NO. 47/XXVI/I/2003


Recommended