DampakDinamikaMukaAirTanahpadaBesaran…(BudiL.Triadi,dkk)
15
DAMPAKDINAMIKAMUKAAIRTANAHPADABESARANDANLAJUEMISICARBONDILAHANRAWAGAMBUTTROPIKA
THEIMPACTOFGROUNDWATERDYNAMICSONCARBONEMISSIONRATEOFTROPICALSWAMPDEPOSIT
L.BudiTriadi1)FengkyF.Adjie2)YudiLasmana3)
1)3) Puslitbang Sumber Daya Air, Jl.Ir. H. Juanda No.193 Bandung 2) Universitas Palangkaraya, Jl. Yos Sudarso, Jekan Raya, Palangkaraya, Kalimantan Tengah
e‐mail: [email protected]
Diterima:Desember2017;Direvisi:Januari2018;Disetujui:Mei2018
ABSTRAK
Pembukaan lahan gambut yang didahului dengan pembuatan saluran‐saluran (drainase) akanmenyebabkan turunnyamukaair tanah,hal iniakanmemacu lajudekomposisibahanorganikdanpadaakhirnya gambutmenjadi rentan terbakar dan teremisi.Oleh karena itu pengetahuan laju emisi carbonsangatpentinguntukperencanaansistemdrainase,dalamrangkamemeliharakelestariangambut.Metodeilmiah yang digunakan meliputi: perhitungan sebaran ketebalan/kedalaman gambut, volume gambutkering, volume gambut teroksidasi, berat C gambut kering dan CO2 equivalent. Laju emisi karbon (C)dihitung berdasarkan emisi karbon (C) danwaktu subsiden. Selanjutnya laju emisi C (Mton CO2/tahun)dihitung berdasarkan 4 (empat) buah konsep pemodelan/skenario, yaitu: kondisi aktual/eksisting,perkebunan, bendung (canal blocking), bendung (canal blocking) dan dengan penghutanan kembali.Kegiatan inidilakukandiSeiAhas,Kapuas,KalimantanTengahdanSungaiBuluh,Tanjung JabungTimur,Jambi. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa perubahan tata guna lahan akan sangatberpengaruh terhadapperubahanelevasimukaair tanahgambutyang turut sertamemacupeningkatanemisiCkeatmosfer.
Katakunci:Gambut,penggunaanlahan,mukaairtanah,emisiC
ABSTRACT
Drainageofpeatlandswilllowerthewatertable,decomposetheorganicsmatterandincreasesthefirerisk.ThereforeknowledgeofCemissionrateisveryimportantfordrainagesystemplanning,inordertopreservepeat. Scientificmethods that used in this study: calculation of thickness/ depth of the peat, peat volume,oxidizedpeatvolume,CdrypeatweightandCO2equivalent.TherateofemissionCiscalculatedonthebasisofemissionCandsubsidencetime.Furthermore,theemissionrateC(MtonCO2/yr)iscalculatedbasedon4(four)model/scenarioconcepts,i.e:actual/existingcondition,plantation,canalblockingandcanalblockingwithreforestation.Thisactivitywasconducted inSeiAhas,Kapuas,CentralKalimantanandSungaiBuluh,Tanjung JabungTimur, Jambi.Basedonresearch, itwas foundthat landusechangewillgreatlyaffectthechangeofgroundwaterlevelofpeatthatcontributestoincreasestheemissionofCtotheatmosphere.
Keywords:Peat,landuse,groundwatertable,carbonemission
JurnalSumberDayaAirVol.14No.1,Mei2018:15–30
16
PENDAHULUAN
Ekosistem hutan rawa gambut tropikaadalah tempat yang paling efisien untukmenangkap dan menyimpan cadangankarbon(C),dimanasekitar207.000km2lahangambutberadadi Indonesiayangtersebardibeberapa pulau besar (Page et al., 2008).Dalam beberapa tahun terakhir keberadaanekosistem rawa, terutama lahan gambut,menjadi salah satu fokus perhatian duniakarena dianggap memiliki kontribusi besarterhadappemanasanglobalakibatperubahaniklim. Perubahan tutupan lahan gambutIndonesia yang terjadi secara cepat dapatmenimbulkan implikasi nasional dan globalyangcukupberarti(Sumarga,E.etal.,2016).Saat ini Indonesiamenjadi sumberemisiGasRumah Kaca (GRK) terbesar dengankontribusi dari lahan gambut sebesar 45%dari total emisi Indonesia,dankontribusinyamenjadi lebih besar lagi menjadi 65 ‐ 70%pada saat musim kemarau panjang yangmenyebabkan terjadinya kebakaran gambut(Government of Indonesia,World Bank,May2011). Namun, gambut sendiri merupakansalah satu komponen dari total bahan bakarlahangambutdanberpotensimengakibatkankebakaran berulang selama bertahun‐tahun(Konecny et al., 2016). Oleh karena itukomitment Pemerintah Indonesia yangdituangkan dalam dokumen IntendedNationally Determined Contribution (INDC),2015 berjanji menurunkan 29% emisi GRKdibawah skenario business as usual (BAU)dengan tambahan 12% dengan bantuaninternasionalpadatahun2030,dimanatargetpenurunan ini setara dengan 0,848 Giga tonCO2equivalent dan 1.119 Giga tonCO2equivalent(InstituteforEssentialServicesReform(IESR),2015).
Alasan ilmiah yang menjadi dasardilaksanakannya penelitian ini, yaitu:ekosistem gambut bersifat rentan, upayareklamasi lahan gambut menyebabkanperubahansifat tanahdanpeningkatanemisikarbon (C) ke atmosfer. Hal ini dipacu olehpeningkatan oksidasi gambut sebagai akibatperubahan lahan untuk pertanian, terutamaperkebunan, yaitu kelapa sawit dan akasiayangterusberlanjut(Gunarsoetal.,2013).
Penelitian ini dilaksanakan di Sei Ahas,Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas,ProvinsiKalimantanTengah(111°BTdan0°45’ LU ‐ 3° 30’ LS) dan di Sungai Buluh,Tanjung JabungTimur, Jambi (0°53’ ‐ 1°41’LS dan 103° 23 ‐ 104° 31’ BT). Sei Ahas,Kalimantan Tengah terletak di tepi Sungai
Kapuas dan merupakan areal gambut relatifdangkal dengan kedalaman < 3 m, tetapisemakin jauh dari sungai kedalaman gambutbisa mencapai > 3 m. Lokasi ini merupakansalahsatuwilayaheksProyekLahanGambut(PLG) 1 juta ha yang dikembangkan tahun1995 ‐ 1998, yaitu berada di sebelah baratBlok A. Saat musim kemarau gambut di SeiAhas seringmengalamikebakaran,namundimusim hujan mengalami banjir akibatdrainase berlebih (over drainage) dansubsiden.
Sementara itu Sungai Buluh, KabupatenTanjung Jabung Timur, Provinsi Jambimempunyai luas5.445km²danberadapadaketinggianantara1‐5mdpl.PotensigambutdiKabupatenTanjungJabungTimurtersebardi 2 (dua) Kecamatan yaitu KecamatanMendahara dan Kecamatan Dendang. Darihasil penyelidikan diketahui bahwa tebalgambut di daerah ini berkisar antara 5 ‐ 13m.Sebagianbesar lokasi ini telahdikonversimenjadi lahanperkebunanakasiadankelapasawit dengan kondisi topografi umumnyadataranrendah(0–3mmukaairlautrerata),yaitu rawa/gambut dengan dialiri pasangsurutairlaut.
Konversi lahan gambut sebagai lahanpertanian dan perkebunan menyebabkanperubahan letak (turunnya) muka air tanahpadakedualokasiinisehinggameningkatkanproses oksidasi gambut, yang pada akhirnyameningkatkan emisi karbon (C) ke atmosfersebagai implikasi dari dekomposisi bahanorganik.Penelitianinidilaksanakanselama4(empat) bulan, yaitu bulan Juni – September2015 (musim kemarau). Lokasi penelitiandapatdilihatpadaGambar1.
Penelitianinibertujuanuntukmengetahuidampak dinamika muka air tanah di lahangambut terhadap besaran, laju dan waktuemisi C ke atmosfer. Ketinggian muka airtanah gambut sangat bergantung pada jenisperlakuan yang diterapkan pada lahantersebut, sebagai contoh pembangunanbendung atau penghutanan kembali akanmenaikkan muka air tanah sehingga terjadipenurunanbesaranemisikarbon.Bersamaandengan itu laju emisi C ke atmosfer yangberasal dari tanah gambut juga semakinmelambatdenganadanyaperlakuanterhadaplahan eksisting, yang secara langsung jugamemperbaiki kondisi hidrologi ekosistemlahangambut.Keduahaltersebutdiatasakandibuktikandalamkegiatanpenelitianini.
DampakDinamikaMukaAirTanahpadaBesaran…(BudiL.Triadi,dkk)
17
Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian Sei Ahas, Kalimantan Tengah dan Sungai Buluh, Jambi
KAJIANPUSTAKA
Lahan gambut memiliki potensi yangsangatbesardalampeningkatanemisiCatauyangdisebutjugaemisiGRKyangdisebabkanoleh meningkatnya konsentrasi gas rumahkaca (green houses gases), yaitukarbondioksida (CO2), methane (CH4) danNitrogenoksida (N2O). Salah satu penyebabterjadinya peningkatan GRK adalahpemanfaatanhutandanlahangambutdenganpembuatan drainase yang kurang bijaksana(Jauhiainen et al., 2005). Gambut terdiri darisekitar 90% air, oleh karena itu selainmenyebabkanpelepasanair yang lebih cepatdanberpotensimeningkatkanrisikobanjirdihilir, drainase jugamenyebabkan pemadatangambut, menyebabkan penurunan biasanyaantara1dan1,5mpadatahun‐tahunpertamasetelah drainase. Selanjutnya, gambut yangdikeringkan akan mengoksidasi,menyebabkan penurunan karena hilangnyabahan organik sebesar 3 sampai 5 cm per
tahun (Couwenberg dan Hooijer, 2013 ;Farmer et al., 2014). Drainase gambutmenyebabkan emisi CO2 tinggi; dalamkeadaan terdegradasi lahan gambut yangdikeringkan dan tidak dikonversi menjadipertanian, terjadi kehilangan karbon hingga463Mg (megagram) C / ha dalam 15 tahunpertama setelah drainase (Hooijer et al.,2014). Emisi lebih tinggi terjadi di daerahpertanian yang memiliki elevasi muka airlebih rendah. Degradasi hutan gambut jugamenyebabkan sekitar 50% peningkatan run‐offkarbonorganikfluvial(Mooreetal.,2013).Proses ini terjadi pada gambut di seluruhdunia dan telah dijelaskan dalam berbagaipublikasi(Prongeretal.,2014).Dalamjangkapanjang, drainase ini akan mengubahcadangan karbon ke emisi GRK (Food andAgicultureOrganizationoftheUnitedNations,2014).Untukituperlupemahamanyanglebihbaik mengenai emisi dari drainase kanal dilahan gambut (Kementerian Lingkungan
JurnalSumberDayaAirVol.14No.1,Mei2018:15–30
18
Hidup dan Kehutanan, 2015). EstimasikeseluruhankehilanganCdanemisiCO2darilahan gambut yang didrainase (pertanian)berkisar antara 40 t CO2/ha/th ‐ 60 tCO2/ha/th (Murdiyarso et al., 2010;Hergoualc’h dan Verchot, 2011) padakedalamanmukaairtanah0,7m.
Selain itu, kurangnya vegetasi tanamanyang tumbuh di atas gambut jugamenyebabkan CO2 yang dihasilkan olehrespirasi tanah langsungdilepaskeatmosfer,tanpaterjadiprosesfotosintesisolehtanamanuntuk mengubah CO2 menjadi karbonat danmelepaskanoksigenke atmosfer.Akibatdarikerusakan lahan (degradasi) gambut yangmenyebabkan lahan terbuka serta vegetasitanaman hilang akibat terbakar, akanmenyebabkan fungsi hutan di lahan gambutyang sebelumnya sebagai penyerap C,berubahmenjadipelepasCkeatmosfer.Studiemisi CO2 akibat kebakaran lahan gambut diIndonesia tahun 1997 (Page et al., 2002)memberikan angka 810 ‐ 2.470 juta ton Chilang(yaitu3000‐9000MegatonemisiCO2)untuksatukejadian,atau15%sampaidengan40%dariemisibahanbakarfosilditahunitu,yang berkontribusi pada peningkatankonsentrasi CO2 global tahunan terbesar diatmosfer sejak pencatatannya yang dimulaipadatahun1957(Pageetal.,2002).Selainituhasil penelitian yang dilakukan oleh BalaiRawa (2012)di daerahSeiAhas,KalimantanTengahemisiCdarigambutdiatasmukaairsungai selama musim kemarau adalah 4,55Mton (kandungankarbon50%)danemisi Cuntukgambutdi atasmukaairbanjirmusimhujan sebesar 3,96 Mega ton (kandungankarbon 50 %). Saat ini di daerah AsiaTenggara, kecepatan kehilangan C diketahuiturut berkontribusi terhadap peningkatanemisi gas rumah kaca (Hooijer et al., 2010;Couwenberg et al., 2010; Murdiyarso et al.,2010).
Emisi karbon (C) sangat ditentukan olehkedalamanmukaair tanah,dengandemikianpemanfaatan gambut untukpertanian/perkebunan harus dilakukandengan hati‐hati karena menurut Limin(2005) jika lahan gambut dibuka untukpertanian/perkebunan pasti diikuti denganpembuatan saluran drainase agar zonaperakaran tanaman bebas dari jenuh air.Penurunan permukaan air tanah akanmemperluasruangoksidasi,dimanaaktivitasmikroorganisme tanah menjadi lebih giatdalam melakukan proses dekomposisi yangmenghasilkan diantaranya CO2. Hasil
penelitian dari Hooijer et al., 2010, 2014;Couwenberg et al., 2010) menjelaskanterdapathubungantinggimukaairtanahdanemisi, termasuk juga biomassa hutan dankebakaran. Hubungan yang didapatkan olehJauhiainen et al. (2012) didasarkan padapengukuran CO2 flux harian di lahanperkebunanAkasiayangsamayangdilakukanoleh Hooijer et al. (2012). Jauhiainen et al.(2005, 2008)menemukan bahwa total emisiCO2 dari lahan gambut tropis basah sangatrendah pada kondisi jenuh air pada musimpenghujandanmeningkatnaiksaatairtanahturun pada saat musim kemarau. Selain itujuga menurut Hirano et al. (2014) bahwapeningkatan emisi karbon atau dekomposisigambut oksidatif pada kondisi air tanahrendah adalah karena penebalan zona tanahtak jenuh dan hasil dari peningkatan aerasi.Dari hasil penelitian yang dilakukansebelumnya oleh Triadi et al. (2013),pengaturan muka air tanah dengan caramembangun tabat dan penghutanan kembalidapat mengurangi laju emisi C dari lahangambuttersebut.
Peningkatan pengetahuan danpemahaman tentang sumber daya lahangambut tropis menjadi sangat pentingmengingat pesatnya laju pembangunan yangadasekarangini,khususnyadiAsiaTenggara.Berdasarkanhasilestimasi,±29GtCdi lepaske atmosfer yang dihasilkan dari lahangambut akibat oksidasi dan kebakaran lahanselama beberapa dekade (Page et al., 2011).Kemudian dengan mempertimbangkan skalaemisi C yang akandi lepas ke atmosferyangberasal dari gambut itu sendiri akibatkegiatan deforestasi atau degradasi, lahangambut tropis menjadi urutan yang utamadibandingdenganyangberasaldaribiomassayangadadiatasnya(Pageetal.,2011).
HasilyangdidapatolehPageetal.(2009),mempertegas bahwa lahan gambut tropismempunyai kandungan C yang sangat besardari semua ekosistem terrestrial yang ada.Oleh karena itu, diperlukan kebijakan untukmencegah agar tidak terjadi deforestasi dandegradasi lahan gambut dikemudian haridenganmelakukan rehabilitasigambut (Pageet al., 2009). Selanjutnya perlu diketahuibahwa pelepasan C ke atmosfer dari lahangambut juga dipengaruhi oleh kondisi fisiktanah, antara lain: berat volume (BV), ataubulk density, yaitu masa fase padat tanah(Ms) dibagi dengan volume total tanah (Vt).Volumetotaltanahadalahjumlahvolumedarifasepadatdanporitanahdalamkeadaanutuh
DampakDinamikaMukaAirTanahpadaBesaran…(BudiL.Triadi,dkk)
19
seperti di lapangan. Untuk mudahnya beratvolume (BV) atau bulk density (BD) dapatdiartikan sebagai berat per satuan volumeatau g/cm3 (Hanafiah, 2005). Nilai beratvolume (BV) atau BD (bulk density) tanahgambut umumnya berkisar antara 0,03 ‐ 0,3g/cm3. Namun demikian, dalam suatu profilgambut kadang‐kadang ditemukan bagianyanghampirberisiairsajadenganBV<0,01g/cm3,kondisiiniterutamaterjadipadatanahhutan. Sebaliknya, nilai berat volume lapisanpermukaan tanah gambut yang sudahdigunakanuntukpertanianselamabertahun‐tahun dapat meningkat mencapai 0,3 ‐ 0,4g/cm3(saprik).
METODOLOGI
Rancangan penelitian yang digunakanadalah melakukan pengukuran kedalamangambut, perhitungan volume gambut,pengambilan sampel tanah dan pengukuranletak muka air tanah pada berbagai kondisieksisting lahan. Selain itu dilakukanpengambilan sampel tanah (undisturbed)menggunakan ring sampel, dan selanjutnyadianalisadilaboratoriumuntukmendapatkanparameter tanah yang diperlukan dalamanalisis perhitungan emisi C. Data hasilpengukuran dan analisa laboratorium,kemudian dianalisis lebih lanjut denganmenggunakan persamaan empiris Hooijer etal. (2012) untuk mendapatkan besaran, lajudanwaktuemisiC.
Sementara itu metode yang digunakanmeliputi: studi pustaka, pengumpulan datasekunder dan primer (topografi lahan,kedalamangambut,dinamikamukaairtanah,luasan areal penelitian, pengikatan elevasi)yang disertai dengan pemasangan instrumenpemantaudinamikamukaairtanah(dipwells)sertapengambilansampeltanahgambut.
Pengukuran Kedalaman/ KetebalanGambut
Pengukurankedalamangambutdilakukandengancaramengebor tanahgambutdenganborgambutsampaikebatastanahkerasatautanah mineral. Pengukurankedalaman/ketebalan gambut di Sei Ahas,
Kapuas, Kalimantan Tengah dilakukansebanyak 26 (dua puluh enam) lubang/titikbor. Di Sungai Buluh, Jambi kegiatanpemboran hanya dapat dilakukan terbataspada15 (limabelas) lubang/titikborkarenakesulitan akses. Alat bor dan prosespemborandisajikanpadaGambar2.
InstrumenDipwelldanPengukuranMukaAirTanah(WaterTable)
InstrumendipwellmenggunakanpipaPVCyang dibalut dengan kawat kasa (untukmencegah butiran tanah masuk ke dalampipa), ditutup dengan penutup pada ujungatasnyadanditanamkedalamtanahgambut.Kemudian instrumen ini ditanam sampaidengan kedalaman tanah keras (tanahmineral).BentukperalatanDipweldanteknikpengamatan muka air tanah disajikan padaGambar3.
Montoringdinamikamukaair tanah telahdilakukan baik pada Sei Ahas maupun diSungai Buluh. Pada Sei Ahas, akibatbanyaknya instrumen yang hilang, makamonitoring hanya dilakukan pada 5 (lima)titik monitoring, sebanyak 2 kali monitoringdan di Sungai Buluh dilakukan pengukuranpada15(limabelas)titikmonitoring.
Pengambilan Sampel Tanah di Lapangandan Pengukuran Berat Volume/ Berat/BobotIsi
Dalam studi ini digunakan data yangdiperoleh dari analisis sampel tanah utuh(undisturbed) untuk memperoleh databerat/bobot isi tanah gambut. Ringsampel/contohdigunakanuntukpengambilancontohpadalapisanpermukaangambutyangmatang dan tidak jenuh air. Sampel tanahdenganmetodeundisturbeddiperolehdenganmembuatsumurgaliukuran1mx1,5mX3m.Gambar4memperlihatkansumurujidanletakpengambilansampeldilapangan.
Sampel tanah gambut diambil pada tiapkedalaman kelipatan 10 cm dalam arahvertikal pada tiap sisi pengambilan (Gambar4).Tabungpengambilansampel terbuatdaristainless steels yang berukuran tinggi 15 cmdan berdiameter 10 cm serta penutup daribahantriplek(lihatGambar5).
JurnalSumberDayaAirVol.14No.1,Mei2018:15–30
20
Gambar 2 Alat Bor Gambut dan Proses Pemboran Tanah Gambut
Gambar 3 Peralatan Dipwells untuk Mengamati Fluktuasi Muka Air Tanah Gambut
Gambar 4 Kegiatan Pembuatan Sumur Uji dan Dimensi Sumur Uji Pengambilan Sampel
DampakDinamikaMukaAirTanahpadaBesaran…(BudiL.Triadi,dkk)
21
Gambar 5 Tabung Silinder/Ring Sampel untuk Pengambilan Sampel Tanah Gambut
Sampel tanah gambut yang diambil darilokasi penelitian selanjutnya dianalisa diLaboratoriumUniversitasJambi(UNJAM)dandi Laboratorium Balai Penelitian LahanPertanian Rawa, Banjarmasin (BALITTRA).Dari hasil analisa laboratorium, selanjutnyadiperoleh nilai Baerat Volume (BV) atau BD(BulkDensity)sebagaiberikut:
BV= .......................................(1)
EmisiCdanLajuEmisiC
Dalam penelitian ini, volume gambutdihitung dengan berdasarkan peta elevasiyang dihasilkan dari pengolahan citra satelit(LIDAR), dimana sensor menggunakanteknologi laser (Kalimantan Forests andClimatePartnership,2014)dandata sebaranketebalan gambut. Data sebaran ketebalangambut di sekitar lokasi studi diperoleh dariPuslitanak (1992), KFCP (2011), dan BalaiRawa (2011‐2012). Pada kegiatan penelitianini, volumegambutdiartikansebagaivolumegambut keadaan kering yang berada di atasmuka air tanah (Triadi et al., 2013).Selanjutnya untuk kemudahan, perhitunganmenggunakanperangkatlunakGIS(QuantumGIS).
Perhitungan untuk volume gambut yangteroksidasi didapat dengan mengalikanketebalan gambut di atas muka air tanahdengan persentase volume gambut yangteroksidasi (80% untuk Sei Ahas) dan luaskeseluruhan area (Couwenberg, J., andHooijer,A.2013,Triadietal.,2013).
Perhitungan deposit karbon dari totalgambut kering dapat dilakukan denganmengalikan volume gambut yang teroksidasidenganberatvolumedanfaktorkandunganCyaitu 50‐55% (Hooijer et al., 2012), yangselanjutnya deposit karbon dapat dikonversi
menjadi emisi CO2 equivalent dengan faktor3,66.
Untuk memberikan gambaran yang lebihjelas, uraian diatas dapat dituliskan dalampersamaan(2).
Sementara itu laju emisi CO2 equivalentdapat dihitung dengan cara membagi emisiCO2 e quivalent dengan waktu penurunangambut(persamaan3).
Dalam hal ini, waktu penurunanpermukaan tanah gambut (subsidence)diperoleh dari ketebalan gambut dibagidengan laju penurunan permukaan tanahgambut (Triadi et al., 2015). Dari hasilperhitungan tersebut, terdapat hubunganantara laju emisi C yang akan dilepas keatmosfer sejalan dengan proses oksidasibahan organik yang disebabkan olehturunnya muka air tanah (water table) dilahangambut.
Selanjutnya untuk mendapatkangambaran laju emisi C yang dilepas keatamosfer (Mton CO2/tahun) untuk berbagaiintervensipengelolaanlahan,makadibuatlahkonsep pemodelan/skenario. Dalampenelitian ini digunakan 4 (empat) buahkonsep pemodelan/skenario, yaitu: kondisiaktual/eksisting, perkebunan, canal blocking,dan canal blocking dengan penghutanankembali. HASILDANPEMBAHASAN
Kedalaman/KetebalanGambut
DarihasilpengukurankedalamangambutdiperolehdatakedalamangambutdiSeiAhasberkisar 0,32 ‐ 6,74 m (dangkal – sangatdalam).SedangkandiSungaiBuluhbervariasidari 1,67 ‐ 4,25 m (sedang – sangat dalam).Kedalaman terdangkal berada di kawasanperkebunan kelapa sawit, sementarakedalaman gambut terdalam berada di
15 cm
JurnalSumberDayaAirVol.14No.1,Mei2018:15–30
22
kawasan HTI (Hutan Tanaman Industri ‐Perkebunan Akasia). Kedalaman pada setiapbentang lahan sangat tergantung pada: 1)prosespenimbunanyaitujenistanamanyangtumbuh, kerapatan tanaman dan lamapertumbuhan tanaman sejak terjadinyacekungan tersebut, 2) proses kecepatanperombakan/dekomposisi gambut, 3) proseskebakaran gambut, dan 4) perilaku manusiaterhadaplahangambut.
KedalamanMukaAirTanah(WaterTable)
Hasil pengukuran di lapanganmenunjukkan rata‐rata kedalaman muka airtanahrata‐ratadiSeiAhas=36,10cm(musimkemarau,10–11Juni2015)daripermukaantanahgambut.SementaraitudiSungaiBuluhdiperoleh, rata‐rata kedalaman muka airtanah=101,87cm(musimkemarau,26Juli–2Agustus2015).
DaridatadiatasterlihatkedalamanmukaairtanahdidaerahSungaiBuluhlebihdalamletaknya dari pada Sei Ahas. Hal inidikarenakan daerah Sungai Buluh telahdigunakan sebagai areal perkebunan kelapasawit, sedangkan SeiAhasmasihmerupakanlokasi hutan yang terdegradasi. Selain ituSungai Buluhmemiliki berat volume gambutyang lebih rendah dari Sei Ahas. Hal inimenandakan tingkat dekomposisi gambutyang masih rendah, dimana bila dilakukan
pengeringan maka secara cepat pula airkeluar dari gambut sebagai akibat pori‐poriyang berukuran besar (porous atau sarang).Sebagaitambahansifatgambutyangawalnyamenyerap air tinggi (hidrofilik) menjadibersifatmenolakair (hidrofobik),apalagi jikagambut tersebut sudah mengalami proseskering tak balik (irreversible drying) akibatpengeringan/drainaseyangsangatekstrim.
BeratVolumeatauBulkDensityDarihasilanalisalaboratoriumtanahBalai
Riset dan Standarisasi Industri, BadanPengkajian Kebijakan Iklim dan MutuIndustri, Banjar Baru, Kalimantan Selatanyang dilakukan pada tahun 2014 diperolehgambarannilaiBV(BulkDensity)rata‐rataSeiAhas sebesar 0,24 g/cm3. Sedangkan hasilanalisis Laboratorium Universitas Jambimenunjukkan rata‐rata nilai BV di SungaiBuluh0,15g/cm3.Daridatainiterlihatbahwanilai BV di Sungai Buluh lebih rendahdibandingkan dengan nilai BV di Sei Ahas,sesuai dengan uraian di atas (padaKedalaman/Ketebalan Gambut) hal inidikarenakan bahan penyusunnya gambutnyabelum terdekomposisi lanjut (woody). Hasillengkap analisa laboratorium disajikan padaGambar6.
EmisiCO2equivalent=80%VolumexBeratVolumexKandunganKarbonx3,66.............................(2)
..................(3)
Gambar6BeratVolume(BulkDensity)diSeiAhasdanSungaiBuluh
Sei Ahas, Kalimantan Tengah Sungai Buluh, Jambi
DampakDinamikaMukaAirTanahpadaBesaran…(BudiL.Triadi,dkk)
23
EmisiC
Hasil perhitungan emisi CO2 keseluruhanyangtelahdilakukandiSei.Ahas(10–11Juni2015) adalah 2.728.367ton CO2 dimana lajuemisiCO2nyaadalah167.518tonCO2/tahun.Sedangkan, emisi CO2 dari gambut di atasmuka air tanah saatmusim kemarau, adalah239.620 ton CO2 dimana laju emisi CO2 nyaadalah17.189tonCO2/tahun.Untuk jelasnyadapatdilihatpadaTabel1–7.
Sedangkandi lokasiSungaiBuluh (26 Juli– 2 Agustus 2015) emisi CO2 gambutkeseluruhan, adalah 24,195,697 ton CO2dimana laju emisi CO2 nya adalah 1,336,778ton CO2/tahun. Sedangkan emisi CO2 darigambut di atas muka air tanah saat musimkemarau adalah 8,970,268 ton CO2 dimanalaju emisi CO2 nya adalah 579,100 tonCO2/tahun.Untuk jelasnyadapatdilihatpadaTabel8–14.
Tabel 1 Hasil perhitungan volume gambut kering di Sei Ahas, Kalimantan Tengah (10 – 11 Juni
2015).
Uraian Volume Gambut (m3)
Volume gambut kering keseluruhan 16.880.788
Volume gambut kering di atas muka air tanah musim
kemarau
1.482.565
Tabel 2 Hasil perhitungan volume gambut kering yang teroksidasi di Sei Ahas, Kalimantan
Tengah (10 – 11 Juni 2015)
Uraian Volume Gambut
Teroksidasi (m3)
Volume gambut kering teroksidasi keseluruhan 13.504.630
Volume gambut kering teroksidasi di atas muka air
tanah musim kemarau
1.186.052
Tabel 3 Hasil perhitungan berat gambut kering teroksidasi di Sei Ahas, Kalimantan Tengah (10 –
11 Juni 2015)
Uraian Berat Gambut Kering Teroksidasi (ton)
Berat gambut kering keseluruhan 3.241.111
Berat gambut kering di atas muka air tanah musim kemarau
284.652
Tabel 4 Hasil perhitungan berat C gambut di Sei Ahas, Kalimantan Tengah (10 – 11 Juni 2015)
Uraian Berat Karbon Gambut (ton)
Berat karbon gambut keseluruhan 745.456
Berat karbon gambut di atas muka air tanah musim
kemarau
65.470
JurnalSumberDayaAirVol.14No.1,Mei2018:15–30
24
Tabel 5 Hasil perhitungan emisi CO2 di Sei Ahas, Kalimantan Tengah (10 – 11 Juni 2015)
Uraian Emisi Karbon Dioksida
(ton CO2)
Emisi karbon dioksida gambut keseluruhan 2.728.367
Emisi karbon dioksida gambut di atas muka air tanah
musim kemarau
239.620
Tabel 6 Hasil perhitungan emisi CO2 dalam 1 ha lahan di Sei Ahas, Kalimantan Tengah (10 – 11
Juni 2015)
Uraian Emisi Karbon Dioksida
(ton CO2/ha)
Emisi karbon dioksida gambut keseluruhan 6.648
Emisi karbon dioksida gambut di atas muka air tanah
musim kemarau
584
Tabel 7 Hasil perhitungan emisi CO2 dan laju emisi CO2 di Sei Ahas, Kalimantan Tengah (10 –
11 Juni 2016)
Uraian Emisi CO2‐Kandungan C‐
organik 23% (ton CO2)
Laju emisi CO2‐Kandungan
C‐organik 23%
(ton CO2/tahun)
Gambut Keseluruhan 2.728.368 167.518
Gambut di atas Muka Air Tanah
Musim Kemarau
239.620 17.189
Tabel 8 Hasil perhitungan volume gambut kering di Sungai Buluh, Jambi (26 Juli – 2 Agustus
2015)
Uraian Volume Gambut (m3)
Volume gambut kering keseluruhan 112.739.199
Volume gambut kering di atas muka air tanah
musim kemarau
41.786.792
Tabel 9 Hasil perhitungan volume gambut kering teroksidasi di Sungai Buluh, Jambi (26 Juli – 2
Agustus 2015)
Uraian Volume Gambut Kering
Teroksidasi (m3)
Volume gambut kering teroksidasi keseluruhan 90.191.359
Volume gambut kering teroksidasi di atas muka air
tanah musim kemarau
33.429.434
DampakDinamikaMukaAirTanahpadaBesaran…(BudiL.Triadi,dkk)
25
Tabel 10 Hasil perhitungan berat gambut kering teroksidasi di Sungai Buluh, Jambi (26 Juli – 2
Agustus 2015).
Uraian Berat Gambut Kering
Teroksidasi (ton)
Berat gambut kering keseluruhan 12.085.642
Berat gambut kering di atas muka air tanah musim
kemarau
4.479.544
Tabel 11 Hasil perhitungan berat C gambut di Sungai Buluh, Jambi (26 Juli – 2 Agustus 2016)
Uraian Volume Gambut (ton)
berat kandungan karbon gambut keseluruhan 6.610.846
berat kandungan karbon gambut di atas muka air tanah musim kemarau 2.450.893
Tabel 12 Hasil perhitungan emisi CO2 saat musim kemarau di Sungai Buluh, Jambi (26 Juli – 2
Agustus 2015).
Uraian Emisi Karbon Dioksida (ton CO2)
Emisi karbon dioksida gambut keseluruhan 24.195.697
Emisi karbon dioksida gambut di atas muka air
tanah musim kemarau
8.970.268
Tabel 13 Hasil perhitungan emisi CO2 saat musim kemarau dalam 1 ha lahan di Sungai Buluh,
Jambi (26 Juli – 2 Agustus 2015).
UraianEmisiKarbonDioksida
(tonCO2/ha)Emisikarbondioksidagambutkeseluruhan 5.899Emisikarbondioksidagambutdiatasmukaairtanahmusimkemarau
2.187
Tabel 14 Hasil perhitungan emisi CO2 dan laju emisi CO2 di Sungai Buluh, Jambi (26 Juli – 2
Agustus 2016)
Uraian
Emisi
CO2‐Kandungan
C‐organik 54.7%
(ton CO2)
Laju emisi
CO2‐Kandungan
C‐organik 54.7%
(ton CO2/tahun)
Gambut Keseluruhan 24.195.697 1.336.778
Gambut di atas Muka Air Tanah
Musim Kemarau
8.970.268 579.100
JurnalSumberDayaAirVol.14No.1,Mei2018:15–30
26
BerdasarkanhasilperhitunganemisiCO2diatas (Tabel 7 dan 14), emisi CO2 pada lokasiSungai Buluh lebih besar bila dibandingkandengan Sei Ahas. Hal ini disebabkan karenakondisihidrologiyangberbedadikedualokasitersebut.Sepertitelahdiuraikandiatas(padaKedalaman/ Ketebalan Gambut), kedalamanmuka air tanah di Sungai Buluh lebih dalamletaknya dari Sei Ahas, karena Sungai Buluhtelah digunakan sebagai areal perkebunankelapa sawit. Sedangkan Sei Ahas masihmerupakan lokasi hutan yang terdegradasi.Dengandemikian,emisiCO2berkorelasipositifdengan kedalaman muka air tanah, dimanamakin dalammuka air tanahmaka emisi CO2makinbesar.
Selain itu tingkat dekomposisi bahanorganik (gambut) dapat dilihat dengan nilaiberatvolume(BV),dimanaBVdiSungaiBuluh,JambilebihrendahdibandingkandenganBVdiSei Ahas, Kalimantan Tengah. Sebagaimanatelah disinggung di atas, hal ini menandakanbahwa dekomposisi gambut di Sei Ahas,Kalimantan Tengah relatif lebih lanjut biladibandingkan dengan Sungai Buluh, Jambisehingga mempengaruhi kondisi fisik tanahgambut di daerah ini. Air tanah akan mudahbergerak atau hilang baik secara lateralmaupun vertikal, bila lahan tersebut (dengannilai BV rendah) didrainase untuk berbagaikeperluan.Dalamhal ini kemampuan gambutdalam menyimpan atau menyerap air sangatditentukan oleh kondisi pori‐pori tanah.Kemampuan gambut yang tinggi dalammenyimpan air antara lain ditentukan olehporositas gambut yang bisa mencapai 95%.Dimana pada tingkat kematangan gambutyang rendah, gambut lebih banyak terdapatporimakro, sehingga begitu didrainasemakaairtanahakancepatsekalihilang.
Selanjutnya, mendukung hasil di atas,menurut Stockwell et al., 2014 ; 2015, emisisampel gambut dari Sumatra sangat berbeda
dengan emisi rata ‐ rata yang dihasilkan darisampelgambutKalimantan.
ProyeksiLajuEmisiC
Hasil perhitungngan analisis proyeksi lajuemisiCO2daritahunke‐0sampaitahunke‐50di lokasi Sei Ahas adalah pada kondisi aktual(0.085 – 0.025 Mton CO2/tahun), biladikembangkan sebagai lahan perkebunan(0.145 – 0.025Mton CO2/tahun), kondisi bilaada canal blocking (0.068 – 0.025 MtonCO2/tahun), dan bila ada canal blocking danpenghutanan kembali (0.062 – 0.002 MtonCO2/tahun). Untuk lebih jelasnya, hasilperhitunganlengkapdisajikanpadaGambar7.Selanjutnya dari hasil perhitungan terlihatbahwalajuemisiCpadakondisibilaadacanalblocking dan penghutanan kembali lebihrendah bila dibandingkan dengan kondisilahandikembangkansebagaiperkebunan,ataukondisiaktual/eksistingataupadakondisibilaadacanalblockingsaja.
Selanjutnya hasil analisis proyeksi lajuemisi C pada lokasi Sungai Buluh (Tabel 16danGambar 8) pada 4 (empat) skenario daritahun ke – 0 sampai dengan tahun ke – 50adalahpadakondisi aktual/eksisting (0.308–0.132 Mton CO2/tahun), bila dikembangkansebagailahanperkebunan(0.484–0.132MtonCO2/tahun), kondisi bila ada canal blocking(0.264 – 0.132Mton CO2/tahun), dan kondisibila ada canal blocking dan penghutanankembali (0.187 – 0.005 Mton CO2/tahun).Berdasarkan nilai laju emisi di Gambar 8,diperoleh perilaku yang cenderung samadenganSeiAhas,yaitubilaadacanalblockingdan penghutanan kembali lebih rendahdibandingkan dengan kondisi eksisting, ataukondisi bila dikembangkan sebagai lahanperkebunan, atau kondisi ada canal blockingsaja.
Gambar 7 Laju Emisi Karbon Sei Ahas pada 4 (empat) Skenario
0,0000,0500,1000,1500,200
0 20 40 60
LajuEmisiKarbon
(MtonCO2/tahun)
Tahunke
KondisiAktual
Perkebunan
Bendung
Bendung&PenghutananKembali
DampakDinamikaMukaAirTanahpadaBesaran…(BudiL.Triadi,dkk)
27
Gambar 8 Laju Emisi Karbon Sungai Buluh pada 4 (empat) Skenario
Jikadibandingkannilaiproyeksi lajuemisi
Cselama50tahununtuksemuakondisidiSeiAhasdanSungaiBuluhmenunjukanlajuemisiSei Ahas lebih rendah dari Sungai Buluh. Halinisesuaidenganhasilemisiyangdipengaruhioleh kedalamanmuka air tanah dan nilai BVsebagaimanatelahdiuraikansebelumnyapadaBabini.Disampingituterlihatperilakukedualaju emisi menunjukan kecenderungan yangsama. Dimana Lahan yang digunakan sebagaiperkebunanmenunjukanlajuemisiyanglebihbesardaripadasemuakondisilahanyanglain.
KESIMPULAN
Kedalamanmukaair tanahrata‐ratadiSeiAhas lebih tinggi dari Sungai Buluh, karenaSungai Buluh telah digunakan sebagai arealperkebunankelapasawit,sedangkanSeiAhasmasih merupakan lokasi hutan yangterdegradasi.SelainituSungaiBuluhmemilikiberat volume (BV) gambut yang lebih rendahdari Sei Ahas. Emisi CO2 di Sei Ahas lebihrendah dibandingkan dengan Sungai Buluh.Perbedaan ini disebabkan karena kondisihidrologi yang berbeda dikedua lokasitersebut.Pertamakarenakedalamanmukaairtanah di Sungai Buluh lebih dalam letaknyadari Sei Ahas, dan kedua nilai BV di SungaiBuluhlebihrendahdarinilaiBVdiSeiAhas.
Dinamika muka air tanah lahan gambutsangat berpengaruh terhadap besaran, lajudanwaktuemisiC.Mukaairtanahyangtinggiakan menghasilkan besaran dan laju emisi Cyang kecil, dan sebaliknya. Dari keempatskenario, disimpulkan bahwa dengandibangunnya bendung (canal blocking) danpenghutanan kembali menghasilkan besarandanlajuemisiCyangterendah.LajuemisiCO2selama 50 tahun di Sei Ahas pada semuakondisi lebih rendah dibandingkan dengan
lokasi Sungai Buluh. Hal ini sesuai dengankesimpulan nomor 2 dan 3. Ketinggianmukaairtanahgambutsangatbergantungpadajenisperlakuanyangditerapkandanlajuemisijugasemakinmelambatdenganadanyaperlakuan,yang secara langsung juga memperbaikikondisihidrologiekosistemlahangambut.
UCAPANTERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepadaBalai Litbang Rawa atas ijin penggunaaninformasi,datasertabahan‐bahandankepadaseluruh Tim Kegiatan Penelitian yang telahmelakukan pengamatan/ pengukuran dilapangan dan elaborasi data. PenghargaanyangtinggikamiberikankepadaBapakDr.Ir.AsmadiSaad(Universitas Jambi)yangbanyakmemberikan dukungan dan masukkan sertasemuapihak yang telahmendukung sehinggamakalahinidapattersusun.
DAFTARPUSTAKA
Couwenberg J, Dommain R, and Joosten H., 2010. Greenhouse gas fluxes from tropical peatlands in South East Asia, Global Change Biology, 16, 1715–1732.
Couwenberg, J., and Hooijer, A., 2013. Towards robust subsidence‐based soil carbon emission factors fro peat soils in south‐east Asia, with special reference to oil palm plantations. Mires and Peat, Volume 12 (2013), Article 01, 1‐13. ISSN 1819‐745X.
0,00
0,20
0,40
0,60
0 20 40 60
LajuEmisiKarbon
(MtonCO2/tahun)
TahunKe
KondisiAktual
Perkebunan
Bendung
JurnalSumberDayaAirVol.14No.1,Mei2018:15–30
28
Farmer, J., R. Matthews, P. Smith, and J. U. Smith, 2014. The tropical peatland plantation‐carbon assessment tool: estimating CO2 emissions from tropical peat soils under plantations. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change 19 (6):863‐885. http://dx.doi.org/10.1007/s11027‐013‐9517‐4
Food and Agiculture Organization of the United Nations, 2014. Towards climate‐responsible peatlands management. Mitigation of climate change in agriculture series 9, ISBN 978‐92‐5‐108546‐2 (print)E‐ISBN 978‐92‐5‐108547‐9 (PDF), www.fao.org/publication, Rome.
Government of Indonesia, World Bank. May 2011. Water management for climate change mitigation and adaptive development in the lowlands – WACLIMAD, Technical assistance ‐ Consultancy services, Wasap grant No. Tf 056597, Working paper – 5, Lowland regulation: resources base perspective.
Gunarso, P., M. E. Hartoyo, F. Agus, and T. J. Killeen. 2013. Oil palm and land use change in Indonesia, Malaysia and Papua New Guinea. The Technical Panels of the 2nd Greenhouse Gas Working Group of the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). RSPO, Kuala Lumpur, Malaysia.
Hanafiah K.A. 2005. Dasar‐Dasar ilmu tanah. Jakarta. Divisi Buku Perguruan Tinggi. PT. Raja Grafindo Persada.
Hergoualc’h and Verchot L.V., 2011. Stocks and fluxes of carbon associated with land use change in Southeast Asian tropical peatlands: A review. Global biogeochemical cycles Journal. Vol. 25. Issue 2. DOI: 10.1029/2009GB003718.
Hirano, T., K. Kusin, S. Limin, and M. Osaki, 2014. Carbon dioxide emissions through oxidative peat decomposition on a burnt tropical peatland. Global Change Biology 20, 555–565, doi: 10.1111/gcb.12296.
Hooijer A, Page S, Canadell J.G, Silvius M, Kwadijk J, Wösten H, and Jauhiainen J, 2010. Current and future CO2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia, Biogeosciences, 7, 1505–1514, doi:10.5194/bg‐7‐1505‐2010.
Hooijer A, Page S, Jauhiainen J, Lee W.A, Lu X.X, Idris A, and Anshari G., 2012. Subsidence and carbon loss in drained tropical peatlands. Biogeosciences, 9, 1053‐1071.
Hooijer, A., R. Vernimmen, I. Nasrul, S.E. Page, P. Navratil, G. Applegate, and N. Mawdsley. 2014. Determining subsidence and carbon emission due to biological oxidation in degraded tropical peatlands 15 years after drainage, in relation to land cover and water table depth. A summary of KFCP research results for practitioners, Scientific Report.
Institute for Essential Services Reform (IESR). 2015. A Brief Analysis of Indonesia's Intended Nationally Determined Contribution (INDC), https://www.google.co.id/?gws_rd=cr&ei=_EZDWcCEBsLxvgSoxIqYCQ#q=intended+nationally+determined+contributions+indonesia (akses, 15 Juni 2017)
Jauhiainen J, Takahashi H, Heikkinen J.E.P, Martikainen P.J, and Vasander H., 2005. Carbon fluxes from a tropical peat swamp forest floor. Global Change Biology, 11, 1788 ‐ 1797.
Jauhiainen J, S. Limin, S. Silvennoinen, and H. Vasander, 2008. Carbon dioxide and methane in drained tropical peat before and after hydrological restoration. Ecology, 89 (12): 3503 ‐ 3514.
Jauhiainen J, Hooijer A, and Page SE., 2012. Carbon dioxide emissions from an Acaciaplantation on peatland in Sumatra, Indonesia. Biogeosciences,9, 617– 630.
Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP). May 2014. Carbon Emission from Drained and Degraded Peatland in Indonesia and Emission Factors for Measureement Reporting and Verification (MRF) of Peatland Greenhouse Gas Emission, Scientific Report. A Summary of KFCP Research Results for Practitioners.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Inventarisasi Nasional Emisi dan Serapan Gas Rumah Kaca di Hutan dan Lahan Gambut Indonesia, Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS), Penerbit Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kampus Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi.
DampakDinamikaMukaAirTanahpadaBesaran…(BudiL.Triadi,dkk)
29
Konecny, K., Ballhorn, U., Navratil, P., Jubanski, J., Page, S. E., Tansey, K., Hooijer, A. A., Vernimmen, R., and Siegert, F., 2016. Variable carbon losses from recurrent fires in drained tropical peatlands, Global Change Biology, 22, 1469–1480, 2016.
Limin, SH, Saman, TN, Adi Jaya, and S. Alim, 2005. Giving full responsibility for local community as one way for fire management in Central Kalimantan: the TSA concept. Proceeding of The International Symposium and Workshop on Tropical Peatland “Restoration and Wise Use of Tropical Peatland: Problems of Biodiversity, Fire, Poverty and Water Management. Palangka Raya.
Moore, S., C. D. Evans, S. E. Page, M. H. Garnett, T. G. Jones, C. Freeman, A. Hooijer, A. J. Witshire, S. H. Limin, and V. Gauci, 2013. Deep instability of deforested tropical peatlands revealed by fluvial organic carbon fluxes. Nature 493:660‐664. http://dx. doi.org/10.1038/nature11818
Murdiyarso D, Hergoualch K, and Verchot L.V., 2010. Opportunities for reducing greenhouse gas emissions in tropical peatlands, Proceedings of The National Academy Science of he , United States of America, 107, 19655–19660.
Page S.E, S. Siegert, J.O. Rieley, H.D.V. Boehm, A. Jaya, and S.H. Limin, 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature, 420:61 – 65.
Page SE, C.J. Banks, J.O. Rieley, and R. Wust, 2008. Extent, significance and vulnerability of the tropical peatlands carbon pools; past, present, and the future prospect. Proceedings of the 13th International Peat Congress. After wise use – the future of peatlands. Vol. 1. Tullamore, Ireland. C. Farrel and Feehan (Eds.). 240‐244. International Peat Society.
Page S.E, Hoscilo A, and Jauhiainen J et al., 2009. Ecological restoration of tropical peatlands in Southeast Asia. Ecosystems, 12, 888‐905.
Page S.E, Rieley J.O, and Christopher J. Banks, 2011. Global and regional importance of the tropical peatland carbon pool, Global Change Biology, 17, 798‐818.
Pronger, J., L. A. Schipper, R. B. Hill, D. I. Campbell, and M. McLeod, 2014. Subsidence rates of drained agricultural peatlands in New Zealand and the relationship with time since drainage. Journal of Environmental Quality 43:1442‐1449. http://dx.doi. org/10.2134/jeq2013.12.0505
Sumarga, E., L. Hein, A. Hooijer, and R. Vernimmen, 2016. Hydrological and economic effects of oil palm cultivation in Indonesian peatlands. Journal of Ecology and Society 21(2):52. http://dx.doi.org/10.5751/ES‐08490‐210252
Sumarga, E., and L. Hein, 2016. Benefits and costs of oil palm expansion in Central Kalimantan, Indonesia, under different policy scenarios. Journal of Regional Environmental Change 16(4):1011‐1021.http://dx.doi.org/10.1007/s10113‐015‐0815‐0
Stockwell, C. E., Yokelson, R. J., Kreidenweis, S. M., Robinson, A. L., DeMott, P. J., Sullivan, R. C., Reardon, J., Ryan, K. C., Griffith, D.W. T., and Stevens, L., 2014. Trace gas emissions from combustion of peat, crop residue, domestic biofuels, grasses, and other fuels: configuration and Fourier transform infrared (FTIR) component of the fourth Fire Lab at Missoula Experiment (FLAME 4), Atmos. Chem. Phys., 14, 9727–9754, doi:10.5194/acp‐14‐9727‐2014.
Stockwell, C. E., Veres, P. R., Williams, J., and Yokelson, R. J., 2015. Characterization of biomass burning emissions from cooking fires, peat, crop residue, and other fuels with high‐resolution proton‐transfer‐reaction time‐of‐flight mass spectrometry, Atmos. Chem. Phys., 15, 845–865, doi:10.5194/acp‐15‐845‐2015, 2015.
JurnalSumberDayaAirVol.14No.1,Mei2018:15–30
30
Triadi L.B et. al., 2013. Hydraulic intervention impact on subsidence and carbon emissions in peatland as a disaster mitigation effort (Case study : Sei Ahas ‐ Central Kalimantan), Proceeding of the 4
th HATHI International
Seminar, 6 – 8 September 2013, Yogyakarta.
Triadi L. B., and Marpaung, M.F., 2015. Dampak Pengendalian Air Dalam Rangka Mengurangi Kecepatan Laju Subsiden Dan Besaran Emisi Karbon Pada Lahan Gambut Dangkal, Prosiding PIT XXXII HATHI, 9 – 11 Oktober 2015, Malang.