+ All Categories
Home > Documents > Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Date post: 21-Nov-2021
Category:
Upload: others
View: 5 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
27
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol. 14 No. 1, Juli 2013: 82-108 ISSN 1411-5212 Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Efisiensi Teknis Perusahaan pada Industri Manufaktur Indonesia The Impact of Trade Liberalization on Technical Efficiency of Indonesian Manufacturing Firms Tsurayya Nurrahma a,* a Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia Abstract Having data sample in 1987, 1995, and 2008, this research aims to analyze the impact of trade liberalization on technical efficiency of Indonesian manufacturing firms since deregulation in the 1980s. In addition, the research also analyzes the impact of other efficiency determinants coming from firm characteristics and market structure. Technical inefficiency score is estimated by using stochastic production frontier model, whereas the impact of efficiency determinants is analyzed by using Ordinary Least Squared model (OLS). For each year observed, liberalization has different impacts on technical efficiency. However, as liberalization continues, it has facilitated firms to produce towards their full technical efficient production-level. Keywords: Trade Liberalization, Firm Technical Efficiency, Manufacturing Industry, Indonesia Abstrak Dengan mengambil sampel tahun 1987, 1995, dan 2008, studi ini dilakukan untuk menganalisis dampak liberalisasi perdagangan terhadap efisiensi teknis perusahaan dalam industri manufaktur Indonesia sejak deregulasi pada tahun 1980-an. Selain itu, dianalisis pula pengaruh faktor determinan efisiensi lainnya yang berasal dari karakteristik internal perusahaan dan struktur industri. Nilai inefisiensi teknis diestimasi dengan model stochastic production frontier, sedangkan analisis pengaruh faktor determinan efisiensi teknis menggunakan model Ordinary Least Squared (OLS). Hasil studi menunjukkan bahwa liberalisasi perdagang- an memiliki dampak berbeda terhadap efisiensi teknis pada setiap tahun yang diamati. Namun, liberalisasi akhirnya dapat memfasilitasi perusahaan dalam meningkatkan performanya, melalui peningkatan nilai efisiensi teknis. Kata kunci: Liberalisasi Perdagangan, Efisiensi Teknis Perusahaan, Industri Manufaktur, Indonesia JEL classifications: D24, F13, L60 Pendahuluan Sebelum tahun 1980-an, Indonesia memiliki kebijakan perdagangan yang sangat protek- tif. Tarif tinggi diterapkan pada barang impor yang dapat diproduksi oleh perusahaan domes- * Alamat Korespondensi: Jalan Mataram 1 Blok V No. 1 Pondok Mandala 1 Cimanggis, Depok 16951. E- mail : [email protected]. tik. Selain itu, pemerintah juga hanya membe- rikan hak monopoli impor pada beberapa pe- laku usaha tertentu (Astiyah et al., 2005). Na- mun, kebijakan protektif tersebut tidak dapat terus dilakukan seiring dengan perkembangan ekonomi global. Berakhirnya masa oil boom pa- da tahun 1980-an yang ditandai dengan anjlok- nya harga minyak dunia menjadi latar bela- kang utama dari transformasi kebijakan per- dagangan Indonesia. Anjloknya harga minyak
Transcript
Page 1: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan IndonesiaVol. 14 No. 1, Juli 2013: 82-108

ISSN 1411-5212

Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Efisiensi Teknis Perusahaanpada Industri Manufaktur Indonesia

The Impact of Trade Liberalization on Technical Efficiency of IndonesianManufacturing Firms

Tsurayya Nurrahmaa,∗

aFakultas Ekonomi, Universitas Indonesia

Abstract

Having data sample in 1987, 1995, and 2008, this research aims to analyze the impact of trade liberalizationon technical efficiency of Indonesian manufacturing firms since deregulation in the 1980s. In addition, theresearch also analyzes the impact of other efficiency determinants coming from firm characteristics andmarket structure. Technical inefficiency score is estimated by using stochastic production frontier model,whereas the impact of efficiency determinants is analyzed by using Ordinary Least Squared model (OLS).For each year observed, liberalization has different impacts on technical efficiency. However, as liberalizationcontinues, it has facilitated firms to produce towards their full technical efficient production-level.Keywords: Trade Liberalization, Firm Technical Efficiency, Manufacturing Industry, Indonesia

Abstrak

Dengan mengambil sampel tahun 1987, 1995, dan 2008, studi ini dilakukan untuk menganalisis dampakliberalisasi perdagangan terhadap efisiensi teknis perusahaan dalam industri manufaktur Indonesia sejakderegulasi pada tahun 1980-an. Selain itu, dianalisis pula pengaruh faktor determinan efisiensi lainnyayang berasal dari karakteristik internal perusahaan dan struktur industri. Nilai inefisiensi teknis diestimasidengan model stochastic production frontier, sedangkan analisis pengaruh faktor determinan efisiensi teknismenggunakan model Ordinary Least Squared (OLS). Hasil studi menunjukkan bahwa liberalisasi perdagang-an memiliki dampak berbeda terhadap efisiensi teknis pada setiap tahun yang diamati. Namun, liberalisasiakhirnya dapat memfasilitasi perusahaan dalam meningkatkan performanya, melalui peningkatan nilaiefisiensi teknis.Kata kunci: Liberalisasi Perdagangan, Efisiensi Teknis Perusahaan, Industri Manufaktur, Indonesia

JEL classifications: D24, F13, L60

Pendahuluan

Sebelum tahun 1980-an, Indonesia memilikikebijakan perdagangan yang sangat protek-tif. Tarif tinggi diterapkan pada barang imporyang dapat diproduksi oleh perusahaan domes-

∗Alamat Korespondensi: Jalan Mataram 1 Blok VNo. 1 Pondok Mandala 1 Cimanggis, Depok 16951. E-mail : [email protected].

tik. Selain itu, pemerintah juga hanya membe-rikan hak monopoli impor pada beberapa pe-laku usaha tertentu (Astiyah et al., 2005). Na-mun, kebijakan protektif tersebut tidak dapatterus dilakukan seiring dengan perkembanganekonomi global. Berakhirnya masa oil boom pa-da tahun 1980-an yang ditandai dengan anjlok-nya harga minyak dunia menjadi latar bela-kang utama dari transformasi kebijakan per-dagangan Indonesia. Anjloknya harga minyak

Page 2: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan... 83

membuat pendapatan negara menurun drastiskarena proporsi sumber pendapatan terbesarsaat itu berasal dari sektor migas. Dalam situa-si tersebut, deregulasi perdagangan yang meru-pakan bagian dari program deregulasi ekonomimenjadi salah satu solusi, di mana proteksi per-dagangan untuk industri domestik diturunkandengan tujuan peningkatan peran pihak swastadalam perekonomian (Sjahrir, 1994).

Setelah masa deregulasi tersebut, penurun-an proteksi terus berlanjut. Perekonomian In-donesia menjadi lebih terbuka terhadap per-ekonomian global melalui berbagai kebijakanpenurunan tarif dan penghapusan kebijakannontarif yang menghambat masuknya barangimpor. Hingga saat ini, keterbukaan ekonomimenjadi salah satu bentuk komitmen yang ha-rus dipenuhi Indonesia seiring dengan partisi-pasi dan keikutsertaan Indonesia dalam berba-gai organisasi dan kerja sama perdagangan in-ternasional (bilateral, regional, atau multilate-ral) seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA),Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC),World Trade Organization (WTO), Asean-China Free Trade Area (ACFTA), dan lain-lain.

Sektor industri manufaktur adalah salah sa-tu sektor yang mengalami proses liberalisa-si perdagangan. Hal tersebut tercermin da-lam nilai proteksi riil (effective rate protection(ERP)) dari berbagai kebijakan perdaganganyang diterapkan (tarif dan nontarif) pada in-dustri manufaktur Indonesia (Tabel 1). Nilaiproteksi riil terus mengalami penurunan daritahun 1975–2008, dari 74% hingga hanya men-capai 9,65%. Penurunan tingkat proteksi ini se-jalan dengan kebijakan penurunan tarif yangdilakukan untuk barang manufaktur. Penurun-an proteksi merupakan salah satu implementa-si dari transisi strategi industri dari substitusiimpor (proteksi tinggi) ke orientasi ekspor.

Kebijakan perdagangan pada dasarnya me-nempati posisi sentral dalam perkembangansektor industri karena sektor industri secaraumum memproduksi tradable goods. Oleh ka-

rena itu, kebijakan perdagangan yang diberla-kukan akan memengaruhi aliran barang manu-faktur. Selain itu, kebijakan perdagangan jugamenentukan bagaimana kompetisi yang tercip-ta dalam suatu industri, yang dianggap pentinguntuk menstimulasi efisiensi produksi perusa-haan (Kirkpatrick dan Weiss, 1992).

Dampak dari proses liberalisasi perdagangansampai sekarang masih diperdebatkan dan ber-ujung pada sebuah ketidakpastian. Liberalisa-si perdagangan diibaratkan sebagai two-edgedsword berisi peluang dan tantangan yang dapatberdampak positif maupun negatif bagi sebu-ah ekonomi, tergantung dari kesiapan para pe-laku ekonomi domestik negara tersebut (Wido-do, 2008). Liberalisasi perdagangan akan mem-buka pasar yang lebih luas bagi produsen do-mestik, namun juga akan meningkatkan tekan-an kompetisi dalam sebuah industri.

Studi ini berfokus melihat dampak liberalisa-si perdagangan terhadap tingkat efisiensi pro-duksi pada perusahaan manufaktur. Denganmengetahui seberapa efisiensi sebuah industri,dapat diekspektasikan seberapa besar pening-katan output yang dapat dilakukan oleh sebu-ah perusahaan atau industri hanya dengan me-ningkatkan efisiensinya, tanpa adanya penggu-naan dari sumber daya (faktor produksi) yanglain (Farrell, 1957).

Liberalisasi perdagangan selain dapat me-ningkatkan efisiensi pada proses produksi me-lalui peningkatan efisiensi alokasi sumber da-ya produksi, juga dapat menciptakan iklim in-dustri yang lebih kompetitif. Persaingan antaraperusahaan domestik dan luar negeri membu-at perusahaan domestik yang lebih tidak efisi-en akan keluar dari industri sehingga industritersebut secara keseluruhan akan menjadi le-bih efisien (Astiyah et al., 2005). Dengan ter-ciptanya industri yang lebih kompetitif, peru-sahaan domestik terdorong untuk berproduksipada tingkat output maksimal dari input danteknologi yang tersedia, dengan tujuan menca-pai efisiensi teknis secara penuh. Kompetisi ju-ga menuntut perusahaan untuk menggunakan

Page 3: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan...84

Tabel 1: Effective Rate Protection (ERP) Industri Manufaktur Indonesia

Tahun Rata-rata ERP (%) Sumber

1975 74 World Bank (1993)*1987 70 Fane dan Condon (1996)*1990 59 World Bank (1993)*1991 55,6 Widodo (2008)**1995 25 ; 45,6 Fane dan Condon (1996)*; Widodo (2008)**2000 25,7 Soesastro dan Basri (2005)*2001 23,4 Widodo (2008)**2005 11,6 Widodo (2008)**2008 9,65 Marks dan Rahardja (2012)**

Keterangan: * The weighted average;Keterangan: ** The simple average of ERP industry IO-codes.Sumber: Tahun 1975–2005 (Widodo, 2008) dan Tahun 2008 (Marks dan Rahardja, 2012)

input secara lebih efisien dan mengurangi biayaproduksinya. Proteksi yang lebih rendah akanmengurangi kegiatan rent-seeking yang diang-gap dapat mendisinsentif inovasi yang akan di-lakukan perusahaan.

Dampak lain dari liberalisasi perdaganganterhadap sektor industri adalah semakin terbu-kanya akses industri domestik terhadap pasarinternasional dan juga teknologi. Akses yanglebih luas pada pasar internasional didapat da-ri ekspansi pasar melalui ekspor sehingga skalaekonomi perusahaan dapat meningkat. Selainitu, perusahaan juga memiliki kesempatan un-tuk mendapatkan input perantara, mesin, atauteknologi melalui kegiatan impor yang sema-kin terbuka. Dengan iklim industri yang lebihkompetitif dan pangsa pasar yang lebih luas,perusahaan terdorong melakukan investasi pa-da teknologi baru untuk meningkatkan efisien-sinya (Chu dan Kalirajan, 2011).

Liberalisasi perdagangan selanjutnya dapatmemberikan peluang kepada perusahaan do-mestik untuk meningkatkan efisiensi produk-si dan skala ekonomi melalui iklim kompetitifyang tercipta. Namun, peluang tersebut seper-tinya belum dapat dimanfaatkan oleh produsendomestik. Hal tersebut terlihat dari rendahnyatingkat efisiensi produksi pada industri manu-faktur Indonesia. Menurut International Insti-tute for Management Development (IMD), ren-dahnya efisiensi yang terjadi dalam industri In-donesia menjadi salah satu dari empat hal po-

kok penyebab kinerja buruk pada daya saingIndonesia. Efisiensi yang rendah tersebut ter-cermin dari rendahnya tingkat produktivitas,belum optimalnya pasar tenaga kerja, minim-nya akses terhadap sumber daya keuangan, ser-ta belum profesionalnya praktik dan nilai ma-najerial (Bappenas, 2010).

Hubungan kontradiktif antara kebijakan li-beralisasi perdagangan Indonesia dan perfor-ma efisiensi perusahaan pada industri manu-faktur Indonesia menimbulkan sebuah perta-nyaan penting, yaitu apakah proses liberalisasiperdagangan Indonesia telah memfasilitasi pe-ningkatan efisiensi produksi perusahaan padaindustri manufaktur. Studi ini akan membahaspertanyaan tersebut dengan tujuan mengeta-hui bagaimana sebenarnya dampak proses libe-ralisasi perdagangan yang terjadi di Indonesiaterhadap tingkat efisiensi pada proses produk-si.

Studi ini mengukur liberalisasi perdagangandengan nilai proteksi tiap sektor industri me-lalui ERP di mana ERP mencerminkan net ef-fect dari struktur tarif (tarif barang jadi danbarang input) terhadap nilai tambah produksiindustri domestik. Di sisi lain, efisiensi produk-si difokuskan pada nilai efisiensi teknis. Efisien-si teknis menggambarkan kemampuan perusa-haan dalam melakukan produksi dengan mem-bandingkan produksi aktual dengan produk-si potensial (maksimal). Nilai efisiensi ini da-pat ditingkatkan tanpa adanya perubahan pa-

Page 4: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan... 85

da komposisi faktor produksi yang digunakan.Nilai efisiensi teknis perusahaan diestimasi de-ngan model stochastic production frontier, se-dangkan dampak liberalisasi perdagangan ter-hadap efisiensi teknis tersebut akan dianalisismelalui model regresi.

Studi ini menggunakan data cross-sectiondengan mengambil waktu studi pada tahun1987, 1995, dan 2008. Tahun 1987 termasuk da-lam periode awal masa liberalisasi perdagang-an Indonesia, di mana pada tahun ini mulaidibuat berbagai paket kebijakan yang terma-suk dalam kebijakan deregulasi perdaganganIndonesia. Dapat dilihat dalam Gambar 1, ta-rif rata-rata tahun ini, baik untuk seluruh sek-tor maupun sektor manufaktur, masih cukuptinggi mengingat periode ini kebijakan penu-runan tarif maupun kebijakan konversi ham-batan nontarif menjadi tarif baru dimulai padaperiode ini.

Tahun 1995 termasuk dalam awal periodepuncak masa liberalisasi perdagangan Indone-sia. Pada tahun ini, Indonesia mulai menja-lankan komitmen sebagai bagian dari WTOdan APEC sehingga berbagai jadwal penurun-an tarif dan penghapusan hambatan nontarifbanyak mulai dilakukan. Tahun ini juga ter-masuk dalam periode di mana penurunan tarifIndonesia dilakukan secara signifikan sebagai-mana ditunjukkan dalam Gambar 1.

Tahun 2008 termasuk dalam periode post-reform dari masa liberalisasi perdagangan In-donesia. Pada tahun ini, berbagai penurunantarif dan penghapusan hambatan nontarif su-dah dilaksanakan sebagai bentuk komitmen da-ri keikutsertaan Indonesia dalam organisasi in-ternasional dan kerja sama perdagangan secaramultilateral, regional, dan bilateral. Selanjut-nya, analisis hasil studi akan dilakukan secaraterpisah untuk setiap tahun tersebut.

Tinjauan Referensi

Efisiensi Teknis

Efisiensi pada proses produksi terbagi menja-di dua jenis, yaitu efisiensi teknis dan alokasi.Efisiensi yang terkait pada kuantitas fisik danhubungan teknis pada proses produksi seringdisebut dengan efisiensi teknis. Pada dasarnya,efisiensi teknis belum dapat secara jelas didefi-nisikan (Leibenstein, 1966). Namun, Gumbau-Albert dan Maudos (2002) mengatakan, efisi-ensi teknis menggambarkan kemampuan peru-sahaan untuk mencapai output produksi mak-simal dari input produksi yang tersedia (gi-ven) dengan membandingkan produksi aktualdengan produksi perusahaan pada tingkat efisi-ensi teknis penuh (frontier). Apabila terdapatperbedaan tingkat produksi aktual dan maksi-mal, hal tersebut disebut dengan tingkat inefi-siensi teknis. Dengan begitu, efisiensi teknis ju-ga menggambarkan tingkat kesuksesan sebuahperusahaan dalam melakukan utilisasi sumberdaya produktifnya.

Martin dan Page (1983) menyatakan inefi-siensi teknis sebagai sebuah kegagalan dalamproses produksi untuk menghasilkan output pa-da tingkat batas produksi maksimalnya sertakegagalan dalam mengalokasikan effort. Olehkarena itu, nilai efisiensi teknis merefleksikanefisiensi pada manajemen internal perusahaan.Selain itu, efisiensi teknis juga menjadi indi-kator kualitas input produksi yang digunakanoleh perusahaan (Farrell, 1957).

Apabila informasi mengenai harga input danoutput diketahui, jenis efisiensi yang kedua,yaitu efisiensi alokasi, dapat dihitung denganasumsi adanya maksimalisasi profit atau mi-nimalisasi biaya produksi. Efisiensi ini beru-pa penentuan kombinasi barang input produksiyang dapat menghasilkan output dengan bia-ya produksi minimal. Dengan begitu, efisiensialokasi menggambarkan kemampuan perusaha-an dalam menggunakan input dengan proporsiyang optimum dengan harga input dan tekno-logi yang tersedia (given). Penggabungan an-

Page 5: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan...86

Gambar 1: Average (Applied) Tariff Rate di Indonesia (%)

Sumber: World Bank Development Indicators Online

tara efisiensi teknis dan alokasi akan mengha-silkan perhitungan efisiensi ekonomi secara ke-seluruhan.

Dalam meningkatkan kinerja perusahaan,langkah awal penting yang perlu dilakukanadalah mengidentifikasi faktor-faktor yang me-nyebabkan perbedaan dalam tingkat efisiensisetiap perusahaan. Sayangnya, belum ada teoriekonomi yang dapat menjelaskan faktor-faktordeterminan efisiensi (Lovell et al., 1994). Studiyang terkait dengan tingkat efisiensi teknis in-dustri manufaktur di Amerika Serikat dan Aus-tralia pernah dilakukan oleh Caves dan Bar-ton (1990) dan Caves (1992). Beberapa fak-tor determinan efisiensi yaitu: 1) faktor eks-ternal perusahaan, seperti tingkat kompetisidalam industri di mana perusahaan tersebutberoperasi; 2) karakteristik internal perusaha-an, yaitu ukuran perusahaan, tipe organisasi,tingkat intensitas investasi (intensity of inves-tment), dan lokasi perusahaan; 3) gangguan di-namis atau deviasi dari keseimbangan jangkapanjang perusahaan. Hal ini dapat dihasilkandari perubahan permintaan barang yang diha-

dapi perusahaan atau strategi produksi peru-sahaan, misalnya melalui inovasi; dan 4) ke-pemilikan asing atau publik dalam perusaha-an. Tingkat intervensi publik dalam manaje-men perusahaan memengaruhi tingkat efisiensiperusahaan dalam menggunakan faktor inputproduksi (Gumbau-Albert dan Maudos, 2002).

Tidak jauh berbeda dengan hasil studi Ca-ves dan Barton (1990) dan Caves (1992), Chudan Kalirajan (2011) juga memaparkan faktor-faktor determinan efisiensi teknis perusahaan.Studi tersebut menyebutkan bahwa inefisien-si teknis yang ada pada perusahaan identikdengan karakteristik internal perusahaan ter-sebut. Karakteristik internal tersebut dapatmencakup umur, kepemilikan, dan kemampuanmanajerial perusahaan. Namun, pada perkem-bangannya inefisiensi teknis tidak hanya dapatberasal dari karakteristik internal perusahaan,tetapi dapat juga berasal dari faktor lingkung-an perusahaan tersebut (market-related enviro-nmental factors). Faktor eksternal tersebut da-pat berasal dari struktur industri (pasar) dankebijakan pemerintah terkait perusahaan ma-

Page 6: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan... 87

upun industri tersebut. Kebijakan liberalisasiperdagangan menjadi salah satu kebijakan pe-merintah yang secara langsung akan berdam-pak pada kegiatan produksi perusahaan dantingkat efisiensi teknis perusahaan

Liberalisasi Perdagangan dan EfisiensiTeknis

Penurunan proteksi yang terjadi sebagai bagi-an dari proses liberalisasi perdagangan dieks-pektasikan dapat meningkatkan efisiensi teknis(X-efficiency). Peningkatan efisiensi teknis ar-tinya perusahaan dapat memproduksi jumlahoutput tertentu dengan kuantitas input yanglebih sedikit atau memproduksi lebih banyakoutput dengan kuantitas input yang tetap. Ine-fisiensi teknis dapat timbul dari kegiatan rent-seeking (lobbying, bribery, dan lain-lain) daninsentif negatif lainnya, sebagai dampak darikeberadaaan proteksi perdagangan.

Liberalisasi perdagangan akan meningkat-kan kompetisi dalam sebuah industri atau se-ring disebut dengan import discipline (Havr-ylyshyn, 1990; Erdem dan Tybout (2003) da-lam Chu dan Kalirajan, 2011). Tekanan kom-petisi yang berasal dari peningkatan impordalam pasar domestik mendorong perusahaanuntuk meningkatkan kemampuan manajerial(managerial effort) dalam efisiensi pengguna-an input produksinya sehingga biaya produksimenurun (Rodrik, 1988; Phan, 2004). Oleh ka-rena itu, penurunan tingkat inefisiensi teknisdapat dilakukan melalui upaya manajerial per-usahaan dalam menghadapi kompetitor asing,di mana pada kebijakan liberalisasi perdagang-an akan membuat iklim industri menjadi lebihkompetitif (Corden, 1974; Tybout, 1991; Mar-tin dan Page, 1983).

Nishimizu dan Robinson (1984) menyata-kan bahwa kompetisi yang terjadi akibat ada-nya barang impor membawa dampak impli-sit ”challenge-response”, di mana perusahaanterdorong untuk meningkatkan efisiensi tek-nisnya dalam proses produksi. Tybout (1991)menambahkan bahwa ketidakhadiran kompeti-

tor asing dalam sebuah industri akan membu-at perusahaan tidak dapat (gagal) melakukanproduksi pada tingkat efisiensi teknis penuh,yaitu tingkat output maksimal yang dapat di-produksi dari sejumlah input produksi dan tek-nologi tertentu (given).

Pengurangan proteksi dalam perdaganganmampu mendorong perusahaan melakukaninovasi, sebagai solusi untuk dapat bertahanpada iklim industri kompetitif. Perusahaan ju-ga terinsentif untuk melakukan inovasi dalamproduksi karena kegiatan rent-seeking, yang di-anggap menjadi disinsentif perusahaan dalammelakukan inovasi, dapat berkurang akibat pe-nurunan proteksi dalam proses liberalisasi per-dagangan (Havrylyshyn, 1990).

Pendapat lain dikemukakan Romer (1993),yang menjelaskan dampak hambatan perda-gangan dengan pendekatan aliran barang yangmasuk ke dalam perekonomian domestik. De-ngan menggunakan analisis model klasik, dia-sumsikan bahwa tidak ada aliran barang masuksehingga tidak ada perubahan dalam komposi-si barang dalam perekonomian (given). Asum-si tersebut, underestimate, merupakan dampaknegatif dari proteksi sehingga hambatan per-dagangan akan meningkatkan efisiensi produk-si. Model klasik nyatanya tidak sesuai dengankondisi nyata di mana terdapat perdaganganyang membuka aliran barang, termasuk baranginput. Romer menambahkan bahwa barang ma-suk ke dalam perekonomian domestik dapatpula bersifat intangible, seperti new enginee-ring processes and innovations. Dengan ada-nya hambatan perdagangan, produsen menda-patkan kendala dalam memperoleh barang ter-sebut untuk proses produksi sehingga efisiensidan produktivitas menurun.

Corden (1974) menjelaskan hubungan libe-ralisasi perdagangan dan efisiensi teknis de-ngan pendekatan yang berbeda. Hasil studinyamenunjukkan bahwa sampai pada taraf ter-tentu perusahaan cenderung menyimpang da-ri tujuan memaksimalkan profit apabila bera-da pada industri domestik yang diberikan pri-

Page 7: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan...88

vileged berupa proteksi perdagangan. Protek-si tersebut berdampak pada penurunan ting-kat efisiensi karena proteksi meningkatkan pro-fit perusahaan terkait dan pendapatan riil bagimanajerial. Keuntungan pendapatan riil ter-sebut sering berimbas pada extra leisure ba-gi pihak manajemen perusahaan sehingga adakemunduran (slack) dalam meningkatkan ataumempertahankan efisiensi produksinya. Indus-tri yang diberikan proteksi akan membuat per-usahaan terbiasa (accustomed) dalam iklimkompetisi yang lebih monopolis. Ketika libera-lisasi perdagangan diberlakukan, keadaan akanberbalik arah, di mana perusahaan tidak me-miliki pilihan selain meningkatkan upaya da-lam produksi, memodernisasi atau memperba-iki teknis proses produksi, dan mengurangi bi-aya produksi untuk dapat berkompetisi denganproduk luar negeri (impor).

Namun, dampak liberalisasi perdaganganterhadap penurunan managerial leisure harusdiinterpretasikan dengan hati-hati karena padanyatanya hal tersebut tidak selalu terjadi. Un-tuk membuat penjelasan di atas terjadi, adabeberapa hal yang harus diasumsikan. Per-tama , efek substitusi lebih dominan daripadaefek pendapatan. Artinya, ketika harga barangperusahaan menjadi lebih tinggi akibat adanyaproteksi, manajemen perusahaan lebih memilihmelakukan efek subsitusi dengan meningkat-kan leisure dan menurunkan managerial effortdibandingkan meningkatkan pendapatan atauprofit. Kedua , kompetisi antarprodusen do-mestik tidak terlalu tinggi untuk dapat men-dorong perusahaan berproduksi secara kompe-titif.

Chu dan Kalirajan (2011) menyimpulkanbahwa liberalisasi perdagangan memiliki pe-ngaruh positif terhadap efisiensi teknis peru-sahaan karena menciptakan iklim kompetitif,baik secara langsung melalui import competi-tion maupun secara tidak langsung melalui do-mestic competition. Telah dijelaskan sebelum-nya bahwa mekanisme import competition ter-jadi ketika kehadiran barang impor dari pro-

dusen luar negeri mendorong peningkatan efi-siensi teknis dalam produksi. Selain itu, terjadijuga domestic competition, yaitu ketika semuaprodusen domestik ”berlomba” meningkatkanefisiensinya sehingga tekanan kompetisi dari se-sama produsen domestik meningkat.

Terakhir, Phan (2004) juga menyatakan me-kanisme learning by export dalam melihat dam-pak liberalisasi perdagangan terhadap efisiensiteknis. Perusahaan domestik yang melakukanekspor mendapatkan pengetahuan dari pihakimportir luar negeri terkait teknologi baru, sis-tem manajemen, desain produk, dan lain-lain.

Kebijakan Perdagangan Indonesia

Kebijakan perdagangan Indonesia terus meng-alami perubahan selama enam puluh tahun kebelakang. Indonesia menarik diri dari kegiatanperdagangan global pada awal tahun 1960-annamun bergeser menjadi perekonomian yanglebih terbuka dalam dekade berikutnya. Seca-ra umum, perkembangan kebijakan perdagang-an Indonesia semakin terbuka terhadap pere-konomian global dengan berbagai kebijakan li-beralisasi yang dilakukan. Fase ini dimulai pa-da awal tahun 1980-an, yang dianggap sebagaimasa awal transformasi kebijakan perdaganganIndonesia yang semakin terliberalisasi.

1) 1982–1985: Tahap Awal dari Liberali-sasi Perdagangan

Kebijakan proteksionis yang tinggi adalah ciriutama kebijakan perdagangan dan industri In-donesia sebelum tahun 1980. Tarif barang im-por sangat tinggi, terutama pada barang yangdiproduksi serupa oleh industri domestik. Ber-bagai hambatan nontarif menghalangi perda-gangan berbagai komoditas, misalnya denganterbatasnya importir yang diberikan izin untukmelakukan kegiatan impor. Mekanisme kegiat-an impor belum terlalu jelas hingga pada ta-hun 1982 ketika pemerintah akhirnya membu-at aturan terkait sistem impor Indonesia yangdisebut dengan ”Tata Niaga Impor”.

Page 8: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan... 89

Perkembangan perekonomian dunia saat ituternyata memengaruhi kebijakan ekonomi In-donesia. Sejak tahun 1982, harga minyak du-nia secara berkala mulai mengalami penurun-an. Penurunan harga minyak bumi ini menjadipenyebab utama transformasi arah kebijakanekonomi Indonesia. Sebagai salah satu anggo-ta Organization of Petroleum Exporting Coun-tries (OPEC), Indonesia juga menjadi korbananjloknya harga minyak bumi dunia. Sumberpendapatan negara menurun drastis karena se-lama ini sumber pendapatan negara banyak di-dapat dari sektor migas. Dengan kondisi eks-ternal seperti itu, langkah deregulasi menjadijawaban bagi para perumus kebijakan, di manaperan pihak swasta akan ditingkatkan semen-tara peran pemerintah dikurangi dan diubahdari pihak yang dahulu ”serba kuasa” menjadilebih sebagai fasilitator bagi suatu iklim usahayang lebih sehat. Dalam 13 langkah kebijakanderegulasi ekonomi yang dibuat, 5 kebijakanmencakup deregulasi pada sektor perdagang-an1. Hal ini memperlihatkan bahwa sektor per-dagangan memiliki posisi strategis dan prospekyang baik dalam perekonomian Indonesia.

Walaupun deregulasi ekonomi Indonesia su-dah dimulai pada masa ini, belum ada deregu-lasi spesifik untuk sektor perdagangan Indone-sia. Satu-satunya kebijakan terkait perdagang-an pada saat itu adalah paket kebijakan de-regulasi perdagangan pertama Indonesia, yangmencakup sistem pemungutan cukai yang we-wenang dan tanggung jawabnya dialihkan da-ri Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cu-kai Departemen Keuangan Republik Indonesia(RI) kepada sebuah perusahaan swasta Swiss,Societe Generale de Surveillance (SGS). Lang-kah kebijakan ini dimuat dalam Instruksi Pre-siden (Inpres) No. 4 Tahun 1985 Tentang Kebi-jaksanaan Kelancaran Arus Barang untuk Me-nunjang Kegiatan Ekonomi. Dengan kebijakanini, pemerintah berusaha mengurangi praktik

1Enam kebijakan termasuk deregulasi pada sektorkeuangan dan sisanya pada sektor lain yang minim ter-pengaruh oleh langkah kebijakan deregulasi ini.

korupsi yang pada saat itu banyak terjadi pa-da Ditjen Bea dan Cukai.

Pada Maret 1985, terdapat ketetapan yangberisi pengurangan tariff range dan tariff level,di mana tariff ceiling ditentukan sebesar 60%sehingga tariff range berkurang dari 0–225%menjadi 0–60%. Jumlah tariff level juga diku-rangi dari 25% ke 11%. Kebijakan ini menjadititik awal liberalisasi perdagangan Indonesia,di mana proteksi yang diberikan pemerintahkepada industri semakin dikurangi.

2) 1986–1990: Liberalisasi dengan Lajuyang Cepat dan Efektif

Anjloknya harga minyak dunia pada tahun1985–1986 menjadi tanda berakhirnya masa oilboom. Sejak saat itu, deregulasi terus dilaku-kan dengan serangkaian kebijakan termasukdalam sektor perdagangan. Dalam sektor per-dagangan, pemerintah melakukan deregulasidengan kebijakan konversi (mengubah) bentukproteksi yang diberikan kepada industri domes-tik dari hambatan perdagangan nontarif (ku-antitas) menjadi sistem tarif (harga). Selainitu, deregulasi ekonomi juga dilakukan denganmengurangi tingkat tarif barang impor yangakan secara langsung memengaruhi perekono-mian. Terakhir, dilakukan juga penguranganjumlah regulasi yang memudahkan pihak swas-ta dalam menjalankan usahanya. Dari semuarumusan kebijakan deregulasi ekonomi di atas,dapat disimpulkan bahwa deregulasi ekonomiyang terjadi pada sektor perdagangan adalahsebuah kondisi di mana industri domestik men-jadi lebih terbuka dengan perekonomian glo-bal melalui berbagai pengurangan bentuk danjumlah proteksi yang diberikan.

Sebagai kelanjutan dari Inpres No. 4 Tahun1985, pemerintah memberlakukan lima kebi-jakan deregulasi perdagangan lainnya. PaketKebijakan 6 Mei 1986 dibuat bersama olehMenteri Keuangan dan Menteri PerdaganganRI. Kebijakan ini membuka peluang bagi parapengusaha eksportir untuk mengimpor bahankebutuhan produksi. Mekanisme baru ini dise-

Page 9: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan...90

but dengan Badan Pelayanan Kemudahan Eks-por dan Pengolahan Data (BAPEKSTA). Se-belumnya, terdapat pembatasan dalam jumlahbarang impor (barang modal dan bahan baku)yang dapat dipergunakan dalam kegiatan pro-duksi. Walaupun pembatasan jumlah barangimpor belum sepenuhnya dihilangkan, ekspor-tir yang membutuhkan barang impor untukkegiatan produksinya diberi kebebasan untukmelakukan impor berdasarkan tarif impor ba-rang yang berlaku tanpa harus melalui impor-tir pemegang lisensi.

Paket kebijakan perdagangan kembali dibu-at pada 25 Oktober 1986. Dengan kebijakanini, untuk pertama kalinya pemerintah mem-buat langkah liberalisasi perdagangan yang le-bih mendasar dan substansial dengan pengu-rangan pembatasan jumlah barang impor danhambatan nontarif bagi beberapa komoditas.Hambatan perdagangan diganti dengan sistemtarif, artinya secara tidak langsung pemerintahmemberikan kemudahan untuk melakukan im-por berbagai barang kebutuhan termasuk ba-rang kebutuhan proses produksi bagi produsendomestik.

Sebagai kelanjutan dari Paket Kebijakan 25Oktober 1986, pemerintah mengeluarkan Pa-ket Kebijakan 15 Januari 1987. Kebijakanini secara lebih signifikan mengganti hambatanperdagangan yang sebelumnya bervariabel ku-antitas menjadi hambatan perdagangan yangbervariabel harga (tarif). Selain itu, kebijakanini juga memiliki tujuan pokok untuk mening-katkan kelancaran penyediaan barang keperlu-an produksi dan perlindungan industri dalamnegeri secara lebih efisien.

Kebijakan deregulasi perdagangan selanjut-nya adalah Paket Kebijakan 24 Desember1987 yang juga mencakup kelanjutan konversihambatan nontarif menjadi hambatan tarif. Se-lain itu, diberlakukan pula beberapa ketetapanterkait penyederhanaan perizinan usaha.

Paket Kebijakan 21 November 1988adalah kebijakan yang cukup berpengaruh be-sar dalam perkembangan liberalisasi perda-

gangan Indonesia. Kebijakan ini berisi banyakpenghapusan hambatan nontarif bagi berbagaikomoditas, salah satunya adalah plastik danbaja. Saat itu, plastik menjadi salah satu ko-moditas yang memiliki sensitivitas cukup ting-gi. Ketentuan impor plastik dimonopoli olehperusahaan milik negara yang dilakukan de-ngan bekerja sama dengan perusahaan swasta.Banyak pihak yang menilai terdapat kegiatanrent-seeking dalam industri plastik yang meng-untungkan beberapa pihak tertentu. Pengha-pusan hambatan nontarif pada plastik dan ba-ja menimbulkan dampak psikologis yang besardalam dunia usaha karena terlihat keseriusanpemerintah dalam melakukan kebijakan dere-gulasi.

Selanjutnya adalah Paket Kebijakan 28Mei 1990. Kebijakan ini bertujuan mening-katkan daya saing produk industri nasional de-ngan cara mengganti sistem tata niaga impormenjadi tarif bea masuk, penyederhanaan pro-sedur perizinan usaha, serta penurunan tarifdan bea masuk tambahan. Dengan deregulasiperdagangan tersebut, strategi industrialisasiIndonesia mulai berubah dari substitusi impormenjadi orientasi pada ekspor. Namun, peru-bahan arah kebijakan ini belum sepenuhnyaterlaksana karena tetap ditemukannya berba-gai hambatan perdagangan nontarif yang men-jadi proteksi dalam industri domestik Indone-sia (Sjahrir, 1994).

3) 1991–1995: Kejenuhan terhadap De-regulasi

Paket Kebijakan Juni 1991 menjadi kebi-jakan awal dalam periode ini, di mana terdapatkonversi hambatan nontarif menjadi tarif danpajak ekspor, penurunan general tariff levels,dan dibukanya beberapa sektor yang sebelum-nya tertutup terhadap investasi asing. Kebijak-an ini dilanjutkan oleh berbagai paket kebijak-an lain, yaitu Paket Kebijakan Juli 1992, Junidan Oktober 1993, Juni 1994, dan Mei 1995.Secara umum, paket kebijakan tersebut masihberisi berbagai penurunan tingkat tarif, peng-

Page 10: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan... 91

hapusan hambatan nontarif bagi beberapa ko-moditas, dan peningkatan fasilitas perdagang-an seperti dengan adanya duty draw back danbonded zones.

Paket Kebijakan 6 Juli 1992 bertujuanuntuk meningkatkan efisiensi perekonomian de-ngan melonggarkan tata niaga serta menurun-kan atau menghapus bea masuk dan bea ma-suk tambahan berbagai barang impor. Dengankebijakan tersebut, setiap produsen dapat me-lakukan kegiatan impor secara langsung tan-pa memerlukan rekomendasi dari DepartemenPerindustrian RI.

Selanjutnya, pemerintah memberlakukanPaket Kebijakan 10 Juni 1993 dan Pa-ket Kebijakan Debirokratisasi 23 Okto-ber 1993. Kebijakan tersebut meliputi penu-runan sejumlah tarif, pelonggaran tata niagaimpor, dan serangkaian ekspor nonmigas de-ngan tujuan meningkatkan investasi dan men-dorong industri domestik agar lebih efisien. Se-bagai tindak lanjut dari kesepakatan Urugu-ay Round serta ditandatanganinya persetujuanbaru General Agreement on Tariff and Trade(GATT), dibuat Paket Kebijakan 19 Mei1994 yang berisi penyempurnaan bea masukdan bea masuk tambahan, penghapusan harganormal, dan penghapusan tata niaga impor.

Namun, dibalik berbagai paket kebijakanperdagangan di atas, banyak pihak yang me-nyatakan bahwa Indonesia mengalami deregu-lation fatigue pada periode ini. Periode ini di-anggap sebagai periode kejenuhan akibat dere-gulasi signifikan yang terjadi sebelumnya. Pe-nurunan tarif pada periode ini tidak sebesarpenurunan tarif pada periode sebelumnya se-hingga tingkat tarif cenderung steady. Kebijak-an penghapusan hambatan nontarif, yang sebe-lumnya banyak dilakukan, juga berkurang se-cara kuantitas pada periode ini.

Salah satu hal yang menghambat penurunanproteksi dan hambatan nontarif pada perda-gangan Indonesia adalah karena adanya sektoryang bersifat sensitif, seperti agrikultur (gu-la, cengkeh, dan lain-lain) dan sektor manu-

faktur misalnya kendaraan bermotor, semen,dan plastik. Selain itu, salah satu alasan meng-apa kebijakan deregulasi melemah adalah har-ga minyak yang perlahan meningkat kembali.Selain itu, perhatian (concern) pemerintah ba-nyak tersita pada permasalahan pada sektorperbankan dan utang jangka pendek Indone-sia, yang pada saat itu meningkat tajam (Wie,2006a; 2006b).

Kejenuhan deregulasi pada periode ini ditu-tup dengan dikeluarkannya Paket KebijakanMei 1995. Dalam kebijakan ini, untuk perta-ma kalinya Indonesia membuat jadwal rencanapenurunan tarif untuk tahun 1995–2003. De-ngan rencana tersebut, pada tahun 2003 Indo-nesia akan memiliki tarif maksimum 10%, ke-cuali tarif pada industri otomotif dan kompo-nennya.

4) 1995–1997: Berlanjutnya LiberalisasiPerdagangan

Paket Kebijakan Mei 1995 menjadi tanda bah-wa masa liberalisasi perdagangan di Indone-sia telah kembali setelah sempat ada periodestagnan. Selain berisi jadwal rencana penurun-an tarif, kebijakan ini juga berisi penurunantarif (64% dari tariff lines). Selain itu, paketkebijakan liberalisasi perdagangan dibuat padatahun 1996 dengan menurunkan average unwe-ighted tariffs hingga 12%, hambatan nontarifterhadap tariff lines sebesar 3%, dan terhadapimpor sebesar 12%. Paket Kebijakan Mei 1995dibuat oleh pemerintah sebagai langkah kom-prehensif dalam keikutsertaan dan pemenuhankomitmen Indonesia untuk AFTA, di mana ta-rif yang diberlakukan dalam AFTA diturunkanhingga 0–5% pada tahun 2003. Selain itu, par-tisipasi Indonesia dalam organisasi dan kerjasama perdagangan internasional juga mewar-nai perkembangan kebijakan perdagangan In-donesia.

Pada 1 Januari 1995, Indonesia bergabungdalam organisasi perdagangan dunia, yaituWTO. Sebagai komitmen menjadi anggotaWTO, tarif Indonesia harus berada pada ting-

Page 11: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan...92

kat tarif maksimum 40%. Namun, komitmentersebut tidak memiliki pengaruh yang besarterhadap kebijakan perdagangan Indonesia ka-rena pada tahun 1994 rata-rata tarif Indone-sia telah berada pada kisaran 15%. Selain pa-da ceiling tariff rate, komitmen lain yang ha-rus dilakukan adalah penghapusan hambatannontarif dan penghapusan peraturan konten lo-kal yang saat itu diberlakukan pada beberapasektor industri. Terkait penghapusan hambat-an nontarif, Indonesia menghapus import pro-ducer licences pada beberapa sektor vital, se-perti industri baja, mesin dan alat berat lain-nya, serta barang elektronik. Dengan partisi-pasi dalam WTO tersebut, Indonesia menda-patkan benefit dengan mendapatkan akses pa-sar eksternal yang lebih terbuka. Selain itu, se-cara tidak langsung tercipta disiplin internalpada perekonomian domestik. Disiplin internaljuga tercipta akibat pemerintah tidak bisa la-gi menerapkan tarif yang tinggi sebagai bentukproteksi terhadap industri domestik.

Selain WTO, pada periode ini terdapat per-kembangan berarti dalam APEC. Walaupunsudah didirikan sejak 1989, peran organisasiini baru signifikan terlihat pada kisaran tahun1985. APEC bertujuan menciptakan liberalisa-si perdagangan dan investasi di kawasan AsiaPasifik tahun 2010 untuk anggota negara eko-nomi maju dan tahun 2020 untuk anggota ne-gara ekonomi berkembang. Untuk mewujud-kan tujuan tersebut, pada tahun 1994 dibuat ti-ga pilar dalam bentuk kerja sama yang dilaku-kan, yaitu (1) liberalisasi perdagangan dan in-vestasi, (2) fasilitasi bisnis, dan (3) kerja sa-ma ekonomi dan teknik. Selain itu, selama 2tahun (1995–1996) disusun pula kerangka danagenda nyata dalam liberalisasi, fasilitasi, dankerja sama sesama anggota APEC. Walaupunbanyak pihak yang mengkritik bahwa APECtidak memberikan tekanan dan disiplin untukmenjalankan proses liberalisasi, perkembanganAPEC pada periode ini menunjukkan bahwakerja sama internasional ini memiliki peran da-lam menciptakan dan memberikan iklim serta

peer pressure dalam proses perkembangan li-beralisasi perdagangan dan investasi masing-masing negara anggota APEC.

5) 1998–sekarang: Liberalisasi Perda-gangan yang Semakin Terintegrasi danTerakselerasi

Perkembangan ekonomi Indonesia sempat ter-puruk akibat krisis finansial pada tahun1997/1998. Kegagalan pemerintah Indonesiadalam melakukan stabilisasi nilai rupiah mem-buat Indonesia terlibat dalam program Inter-national Monetary Fund (IMF). Kesepakatanpertama (Letter of Intent (LOI)) disepakati pa-da Oktober 1997 yang berisi bantuan US$43miliar untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. LOIkedua dilakukan pada Januari 1998, di ma-na ada beberapa program yang harus dilaku-kan, salah satunya adalah komitmen Indonesiauntuk melakukan kebijakan liberalisasi perda-gangan. Indonesia melaksanakan reformasi ke-bijakan dalam perdagangan dan investasi de-ngan menurunkan tarif dan menghapus ba-nyak hambatan nontarif. Import-licensing requ-irement dan export restriction yang pada per-tengahan tahun 1990-an sulit diimplementasi-kan, menjadi lebih mudah dihapus pada akhirtahun 1997 sebagai komitmen dari LOI perta-ma. Berbagai hambatan nontarif dihapus, ke-cuali yang berkaitan dengan pertimbangan ke-sehatan, keamanan, dan standar lingkungan.Sektor sensitif yang sebelumnya belum tersen-tuh oleh kebijakan liberalisasi perdagangan In-donesia berhasil diregulasi sebagai bagian dariprogram IMF. Pada akhir program IMF ini, In-donesia diharapkan dapat menjadi negara yangmemiliki rezim perdagangan bebas, seperti Ci-na dan Singapura. Setelah masa krisis tersebut,Indonesia mulai berpartisipasi dalam berba-gai kerja sama perdagangan internasional, se-perti ASEAN-Korea, ASEAN-India, ASEAN-Selandia Baru, dan lain-lain. Sebagai hasil daripartisipasi Indonesia tersebut, terdapat berba-gai komitmen yang harus dipenuhi terutamadalam skema penurunan tarif.

Page 12: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan... 93

Metode

Studi ini menggunakan data industri manufak-tur tingkat perusahaan dari Statistika IndustriSedang dan Besar yang dikeluarkan setiap ta-hun oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Selaindata industri manufaktur, diperlukan pula da-ta nilai proteksi perdagangan sebagai refleksidari liberalisasi perdagangan Indonesia. Nilaiproteksi perdagangan ini dilihat melalui varia-bel ERP. Nilai ERP dapat diestimasi dari ni-lai nominal rate of protection2 (NRP) dan ko-efisien pada tabel input-output Indonesia. Stu-di ini tidak mencakup perhitungan nilai ERP,tetapi akan langsung menggunakan data ERPyang pernah diestimasi dalam berbagai studisebelumnya3. Klasifikasi sektor (industri) da-lam data Statistik Industri Sedang dan Besarberbeda dengan data tabel input-output Indo-nesia. Karena studi ini menggunakan data darikedua sumber tersebut, perlu dilakukan sinkro-nisasi kode berdasarkan pada concordance sek-tor industri yang berada pada lampiran datatabel input-output Indonesia4. Data-data ter-sebut diperlukan dalam studi ini setelah adaidentifikasi model yang akan digunakan, yaitusebagai berikut:

Model Pertama: Stochastic Produ-ction Frontier (SPF)

Studi ini menggunakan fungsi produksi translogdengan pertimbangan beberapa alasan. Per-tama, fungsi produksi translog melepas asum-si rigid yang ada pada fungsi produksi Cobb-Douglas, yaitu asumsi substitusi sempurna an-tarfaktor produksi atau kompetisi sempurnapada pasar faktor produksi (Klacek et al.,

2NRP diestimasi melalui data tarif dan impor Indo-nesia.

3ERP tahun 1987 dan 1995 dalam Fane dan Condon(1996) dan ERP tahun 2008 dalam Marks dan Rahardja(2012).

4Nilai ERP tahun 1987 berdasar pada data input-output (IO) tahun 1985, ERP tahun 1995 pada data IOtahun 1990, dan ERP tahun 2008 pada tahun 2005.

2007). Kedua, Pavalescu (2011) mengemuka-kan bahwa hubungan yang nonlinier antarafaktor produksi dan output dimungkinkan da-lam fungsi produksi translog. Kedua alasan ter-sebut membuat fungsi produksi ini lebih flek-sibel karena hanya ada beberapa restriksi yangdigunakan pada data (Ikhsan-Modjo, 2006).Selain itu, karakteristik industri manufakturyang terdiri dari berbagai industri dan per-usahaan yang beragam juga membuat fungsitranslog lebih cocok digunakan dibandingkanfungsi produksi yang lain (Chu dan Kalirajan,2011). Dalam studi terkait industri manufak-tur Indonesia, beberapa studi yang membahasproduksi frontier dengan pendekatan stokastikjuga menggunakan fungsi produksi translog da-lam mengestimasi persamaan fungsi produksiperusahaan, seperti pada Ikhsan-Modjo (2006),Margono dan Sharma (2006), serta Prabowodan Cabanda (2011).

Dengan pemilihan fungsi translog tersebut,estimasi model pertama – SPF menjadi Persa-maan (1):

lnV Ai = β0 + β1 lnLi + β2 lnKi +1

2β3[lnLi]

2

+1

2β4[lnKi]

2 +1

2β5[lnLiKi] + vi

− ui(1)

dengan:V A : nilai tambah (value added) produksi;L : jumlah tenaga kerja;K : total kapital;v : random error term;u : one sided non-negative error term (efisiensiteknis perusahaan).

Dalam model pertama, nilai tambah produk-si (V A) diposisikan sebagai variabel terikat, se-mentara jumlah tenaga kerja (L) dan total ka-pital (K) sebagai variabel bebas yang memben-tuk fungsi produksi translog. Tujuan dari mo-del pertama – SPF adalah mengestimasi nilaieror yang merefleksikan skor inefisiensi teknissetiap perusahaan. Dalam melakukan estimasi

Page 13: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan...94

tersebut, model pertama akan dilakukan ber-dasarkan model stochastic production frontieryang melakukan estimasi koefisien parameterdan eror pada model yang menggunakan me-tode maximum-likelihood.

Model Kedua: Model Inefisiensi

Untuk melihat bagaimana pengaruh liberalisa-si perdagangan dan faktor lainnya terhadap efi-siensi teknis perusahaan, langkah selanjutnyaadalah melakukan analisis dengan mengguna-kan model kedua (model inefisiensi atau tech-nical inefficiency effects), dengan mengguna-kan metode Ordinary Least Square (OLS). Mo-del ini dibangun dengan menjadikan nilai eroryang telah diestimasi pada model pertama se-bagai variabel terikat dalam sebuah persamaanmodel, di mana model tersebut memiliki berba-gai variabel bebas yang secara teori memenga-ruhi inefisiensi teknis perusahaan. Berdasar-kan tinjauan referensi, sumber inefisiensi teknisperusahaan diklasifikasikan menjadi dua jenis,yaitu yang berasal karakteristik internal peru-sahaan dan yang berasal dari faktor lingkunganeksternal.

Karakteristik internal perusahaan direflek-sikan dalam lima variabel bebas, yaitu (1) ca-pital intensity (CapInts); (2) rasio skilled laborterhadap total tenaga kerja (Skill); (3) ukur-an perusahaan (Firmsize); dan dua variabeldummy untuk kepemilikan perusahaan, yaitu(4) kepemilikan asing (Foreign); dan (5) ke-pemilikan pemerintah (Govt). Selain karakte-ristik internal perusahaan, determinan inefisi-ensi teknis perusahaan yang lain adalah faktorlingkungan eksternal. Faktor eksternal ini da-pat berasal dari struktur pasar, yang dicermin-kan dengan variabel tingkat konsentrasi indus-tri melalui Herfindahl-Hirschman Index (HHI)dan juga berasal dari kebijakan pemerintah,yang direfleksikan dengan nilai ERP sebagaivariabel liberalisasi perdagangan. Model ine-fisiensi yang digunakan pada studi ini adalah

Persamaan (2).

ui = δ0 + δ1CapIntsi + δ2Skilli + δ3Firmsizei

+ δ4Foreigni + δ5Govti + δ6HHIi

+ δ7ERPi + wi

(2)dengan:u : estimasi inefisiensi teknis perusahaan darimodel pertama;CapInts : capital-labor ratio (capital intensi-ty);Skill : shared of skilled labor in firm totalemployment ;Firmsize : ukuran perusahaan;Foreign : variabel dummy untuk perusahaankepemilikan asing;Govt : variabel dummy untuk perusahaankepemilikan pemerintah;HHI : Herfindahl-Hirschman Index dariindustri;ERP : effective rates of protection;w : error term.

Hasil dan Analisis

Analisis Efisiensi Teknis Perusahaan

Tabel 2 menunjukkan hasil pengolahan da-ta pada model pertama. Varians total eror(sigma2) pada setiap persamaan model berni-lai lebih dari 0, artinya tidak ada perusahaanmanufaktur yang telah mencapai efisiensi pe-nuh. Selain itu, dengan melihat hasil uji sig-nifikansi komponen inefisiensi teknis, dapat di-jelaskan keberadaan komponen eror inefisien-si teknis signifikan pada setiap persamaan mo-del yang direpresentasikan dengan nilai prob-chibar2 (probability chi-bar-squared) yang lebihkecil dari α (90%, 95%, dan 99%). Dengan ha-sil tersebut, model SPF dengan komponen eroryang terspesifikasi menjadi dua jenis (randomerror dan one sided non-negative error) lebihtepat digunakan dibandingkan dengan modelOLS dengan normal error term.

Page 14: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan... 95

Tabel 2: Hasil Pengolahan Data – Model Pertama (Stochastic Production Frontier)

Variabel1987 1995 2008

Koef. Std. Err Koef. Std. Err Koef. Std. Err

K 1,04234*** 0,0018648 -0,0918*** 0,0290807 0,7874*** 0,024922L -0,0147*** 0,0022113 1,6055*** 0,0512003 0,3537*** 0,0364498K2 -0,0034*** 0,0002231 0,0657*** 0,0039339 0,0183*** 0,0021806L2 -0,0006839 0,0006007 0,0033186 0,0141994 0,0434*** 0,0068541KL 0,0013*** 0,0003126 -0,0643*** 0,0064993 -0,0293*** 0,0034692Const -0,7727*** 0,0091113 4,9769*** 0,162736 0,3601*** 0,1583797/lnsig2v -9,3666*** 0,036699 -0,4360*** 0,016272 -3,9097*** 0,0515664/lnsig2u -5,5009*** 0,0219116 -1,4055*** 0,0446845 -1,4439*** 0,0231164sigma v 0,0092483 0,0001697 0,804687 0,0065486 0,1415*** 0,0036504sigma u 0,0638961 0,0007 0,4952183 0,0110643 0,4857*** 0,0056149sigma2 0,0041682 0,0000895 0,8927623 0,0103276 0,2560*** 0,0049383Lambda 6,908938 0,0007197 0,6154174 0,0156017 3,4312*** 0,0082626

Wald chi2(5) 6,11E+07 60525,45 579650,93Prob. > chi2 0,0000 0,0000 0,0000Prob. >= chibar2 0,0000 0,0000 0,0000Jumlah observasi 9.504 17.966 15.679

Keterangan: *** Siginifikan pada taraf 1%Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

Efisiensi teknis pada industri manufakfur In-donesia dianalisis berdasarkan peringkat rata-rata nilai skor inefisiensi perusahaan yang adapada industri tersebut. Karena diolah pada sis-tem model yang berbeda, besarnya nilai skorinefisiensi antartahun tidak dapat dibanding-kan. Oleh karena itu, metode terbaik untuk te-tap dapat melakukan analisis efisensi antarta-hun adalah dengan memberikan peringkat ber-dasarkan rata-rata nilai skor inefisiensi peru-sahaan dalam industri tersebut. Dengan begi-tu, dapat dilihat bagaimana perubahan efisien-si perusahaan dalam satu industri dibanding-kan dengan perusahaan dalam industri yang la-in.

Pada tahun 1987, perusahaan yang memilikinilai skor inefisiensi paling kecil adalah peru-sahaan dalam industri logam dasar (ISIC 37),artinya perusahaan dalam industri ini adalahperusahaan yang paling efisien secara teknis diantara perusahaan dalam industri yang lain.Sementara itu, perusahaan dalam industri ba-rang galian bukan logam, kecuali minyak bu-mi dan batu bara (ISIC 36) adalah perusaha-an yang paling inefisien karena memiliki nilaiskor inefisiensi paling besar, artinya gap antara

produksi aktual dan produksi potensial palingbesar dibanding dengan perusahaan pada in-dustri yang lain.

Perusahaan dalam industri logam dasar(ISIC 37) tetap mempertahankan predikat se-bagai perusahaan yang paling efisien secarateknis pada tahun 1995. Artinya, perusaha-an dalam industri logam dasar memiliki ke-mampuan paling baik dalam mencapai produk-si maksimalnya dibandingkan dengan kemam-puan sektor industri yang lain. Sementara itu,perusahaan yang paling inefisien pada tahun1995 adalah perusahaan dalam industri makan-an, minuman, dan tembakau (ISIC 31), artinyaterdapat perubahan dalam peringkat efisien-si perusahaan dibandingkan dengan peringkatpada tahun 1987.

Terakhir, pada tahun 2008, perusahaan da-lam industri pengolahan lainnya (ISIC 39) me-miliki tingkat efisiensi teknis yang paling ting-gi dibanding dengan perusahaan dalam indus-tri lain. Industri ini sulit untuk dikarakteristik-kan karena komposisi dari industri ISIC 39 ada-lah industri manufaktur yang belum bisa digo-longkan dalam industri ISIC manapun. Sela-in ISIC 39, perusahaan yang memiliki efisien-

Page 15: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan...96

si teknis paling tinggi adalah perusahaan da-lam industri barang galian bukan logam, kecu-ali minyak bumi dan batu bara (ISIC 36). Peru-sahaan yang memiliki tingkat inefisiensi teknispaling tinggi adalah perusahaan dalam industrimakanan, minuman, dan tembakau (ISIC 31),yang menempati peringkat ke-9 pada susunanperingkat efisiensi teknis perusahaan pada ta-hun 2008.

Berdasarkan penjelasan di atas dan perubah-an peringkat rata-rata efisiensi perusahaan pa-da Tabel 3, dapat dilihat bahwa industri yangperingkat efisiensi teknis perusahaannya terusnaik pada tahun 1987, 1995, dan 2008 ada-lah industri barang galian bukan logam, ke-cuali minyak bumi dan batu bara (ISIC 36).Pada tahun 1987, perusahaan dalam industriini adalah perusahaan yang paling inefisien di-bandingkan perusahaan pada industri lain. Na-mun pada tahun 1995, peringkat efisiensi teknisperusahaan dalam industri barang galian bu-kan logam naik ke peringkat 6 dan terus naikmenjadi peringkat 2 pada tahun 2008. Peru-bahan peringkat ini sebenarnya memiliki artiyang multitafsir. Pada satu sisi, kenaikan pe-ringkat mungkin dapat terjadi karena pening-katan efisiensi teknis perusahaan dalam indus-tri ini. Pada sisi lain, dapat juga berarti bahwaperusahaan industri lain mengalami penurunanefisiensi teknis sehingga peringkat efisiensi tek-nis perusahaan dalam industri ISIC 36 menjadinaik walaupun mungkin tingkat efisiensi tek-nis perusahaannya cenderung konstan. Namunyang pasti, seiring berjalannya waktu, industribarang galian bukan logam memiliki peringkatyang terus naik dalam hal efisiensi teknis pro-duksi perusahaannya dibandingkan dengan efi-siensi teknis perusahaan dalam industri lain.

Sementara itu, industri yang peringkat efisi-ensi teknis perusahaannya terus turun dari ta-hun 1987, 1995, dan 2008 adalah industri ma-kanan, minuman, dan tembakau (ISIC 31) danindustri logam dasar (ISIC 37). Industri ISIC31 berada pada peringkat 2 pada tahun 1987,namun pada tahun 1995 peringkatnya turun

menjadi peringkat akhir dan pada tahun 2008menjadi peringkat 8. Sementara itu, industriISIC 37 berada pada peringkat 1 sebagai per-usahaan dengan efisiensi paling tinggi di anta-ra perusahaan dalam industri lain pada tahun1987 dan 1995, namun peringkatnya turun sig-nifikan menjadi peringkat akhir paling inefisiendi antara industri yang lain. Seperti pemba-hasan sebelumnya, hasil ini juga berujung pa-da kesimpulan yang multitafsir. Penurunan pe-ringkat efisiensi teknis perusahaan dapat ber-arti penurunan efisiensi teknis perusahaan da-lam industri tersebut atau dapat juga berartitidak ada penurunan efisiensi teknis perusaha-an dalam industri tersebut namun perusahaandalam industri lain yang justru mengalami pe-ningkatan efisiensi teknis sehingga secara ke-seluruhan peringkat industri ISIC 31 dan 37menjadi turun. Namun, hasil analisis ini me-nunjukkan bahwa peringkat rata-rata efisiensiteknis kedua industri ini terus turun dari ta-hun 1987, 1995, dan 2008 dibandingkan denganperingkat efisiensi teknis perusahaan dalam in-dustri lainnya.

Analisis Dampak Liberalisasi Perda-gangan terhadap Efisiensi Teknis Per-usahaan

Pada tahun 1987, variabel ERP memiliki koe-fisien yang tidak signifikan dalam hasil regre-si (Tabel 4). Artinya, proteksi perdagangan ti-dak memiliki pengaruh yang signifikan terha-dap efisiensi teknis perusahaan. Berbeda de-ngan tahun 1987, variabel ERP memiliki koefi-sien yang signifikan dan bernilai negatif dalammodel inefisiensi tahun 1995. Dengan begitu,proteksi perdagangan memiliki pengaruh posi-tif yang signifikan dalam efisiensi teknis peru-sahaan. Hasil berbeda lainnya ditunjukkan da-lam model regresi tahun 2008 di mana varia-bel ERP memiliki koefisien yang bernilai po-sitif dan siginifikan. Dengan kata lain, padatahun tersebut proteksi perdagangan memilikipengaruh yang negatif terhadap kemampuanteknis produksi perusahaan. Hasil signifikansi

Page 16: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan... 97

Tabel 3: Rata-rata Nilai Skor dan Peringkat† Inefisiensi Teknis Perusahaan

ISICTahun 1987 Tahun 1995 Tahun 2008

Nilai Peringkat Nilai Peringkat Nilai Peringkat

31 0,0339 2 0,5568 9 0,6628 832 0,0491 3 0,506 7 0,3889 433 0,067 5 0,4632 4 0,4173 534 0,0804 6 0,471 5 0,3865 335 0,0535 4 0,4583 3 0,5383 736 0,1458 9 0,4892 6 0,3241 237 0,0322 1 0,4225 1 0,6782 938 0,0982 7 0,4317 2 0,4308 6

Keterangan: †Diperingkatkan dari nilai skor inefisiensi terkecil, artinyaKeterangan: industri yang lebih efisien memiliki peringkat lebih kecil;Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

Tabel 4: Hasil Pengolahan Data – Model Kedua (Model Inefisiensi)

Variabel1987 1995 2008

Koef. Std. Err Koef. Std. Err Koef. Std. Err

CapInts -0,0358037*** 0,0021887 0,0178299*** 0,0035218 0,1011058*** 0,004396Skill 0,126408*** 0,0144867 -0,1584955*** 0,0234177 -0,1330164*** 0,0238115Firm Size -0,004645*** 0,0013561 0,0177099*** 0,0027968 -0,0029654 0,0038704Foreign 0,0350753** 0,0058995 -0,0943815*** 0,0167958 -0,0939159*** 0,0167887Govt 0,0277564*** 0,0093934 0,0582331*** 0,0218887 -0,1451561*** 0,0237626HHI 0,0584922*** 0,0186745 0,303594*** 0,025641 -0,1794629*** 0,0241706ERP -4,73E-06 8,95E-06 -0,0000435*** 0,000014 0,0005053*** 0,000086const 0,322*** 0,0170422 0,2853715*** 0,0219611 0,6878656*** 0,0502157

F F(7, 9496) = 42,2 F(7,17958) = 43,92 F(7, 15671) = 79,32Prob. > F 0,0000 0,0000 0,0000R-squared 0,0757 0,0310 0,07Jumlah Observasi 9.504 17.966 15.679

Keterangan: ** Signifikan pada taraf 5%;Keterangan: *** Signifikan pada taraf 1%.Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

dan tanda koefisien yang berbeda dalam ketigatahun tersebut menunjukkan bahwa proses li-beralisasi perdagangan memiliki dampak yangberbeda terhadap efisiensi teknis perusahaan.Perbedaan dampak tersebut diduga ditentu-kan oleh berbagai kebijakan perdagangan yangdibuat oleh pemerintah pada tahun-tahun ter-sebut karena setiap kebijakan akan memenga-ruhi proteksi perdagangan yang tercipta dalamindustri domestik. Untuk itu, diperlukan pem-bahasan mengapa liberalisasi perdagangan me-miliki dampak yang berbeda dalam ketiga ta-hun tersebut terkait hubungannya dengan ber-bagai kebijakan perdagangan yang terjadi padaperiode tersebut.

Hasil regresi variabel ERP dalam model ine-fisiensi tahun 1987 nyatanya bertolak belakangdengan teori yang mengatakan bahwa liberali-sasi perdagangan akan mendukung kemampu-an perusahaan untuk berproduksi pada ting-katan yang lebih efisien secara teknis. Pada ke-nyataannya, liberalisasi perdagangan tidak me-miliki pengaruh yang signifikan terhadap efisi-ensi teknis perusahaan manufaktur Indonesiatahun 1987. Tahun 1987 termasuk dalam peri-ode awal masa liberalisasi perdagangan Indo-nesia, di mana industri domestik berada padamasa transisi dari kebijakan perdagangan yangsangat proteksionis ke arah kebijakan perda-gangan yang lebih terbuka terhadap perekono-

Page 17: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan...98

mian global. Pada masa transisi tersebut, kebi-jakan liberalisasi perdagangan nyatanya belumdapat memfasilitasi kegiatan produksi perusa-haan dalam industri manufaktur Indonesia un-tuk mencapai tingkat efisiensi yang lebih ting-gi. Dibutuhkannya waktu penyesuaian dalamproses produksi diduga menjadi salah satu pe-nyebab pengaruh yang tidak signifikan ini. Se-belumnya, perusahaan domestik terbiasa ber-operasi dalam iklim industri yang penuh pro-teksi sehingga dibutuhkan waktu untuk menye-suaikan dan mengubah proses produksi ke da-lam iklim industri yang baru. Oleh karena itu,proteksi perdagangan belum memiliki penga-ruh yang signifikan terhadap proses produksiperusahaan domestik, yang diukur dalam efisi-ensi teknis perusahaan tersebut.

Paket kebijakan perdagangan Indonesia ta-hun 1987 seharusnya berisi kebijakan penurun-an tarif dan konversi hambatan perdagangannontarif menjadi tarif. Namun, pada kenyata-annya paket kebijakan tersebut belum sepe-nuhnya dapat terlaksana karena masih ada-nya berbagai hambatan nontarif dalam indus-tri domestik Indonesia (Sjahrir, 1994). Kebi-jakan penurunan tarif memang diberlakukan,namun upaya tersebut nyatanya tidak berhasilmenciptakan harga efisien dalam pasar. Domi-nasi hambatan nontarif terhadap kontrol har-ga pada industri domestik menimbulkan dis-torsi harga yang signifikan dalam struktur har-ga domestik. Dengan keadaan tersebut, ter-lalu dini untuk menyatakan bahwa deregulasisektor perdagangan dalam periode ini (tahun1987) adalah sebuah kesuksesan karena pro-ses ini hampir tidak bermanfaat apabila penu-runan tarif yang dilakukan tetap diiringi de-ngan adanya hambatan nontarif dalam kebi-jakan perdagangan Indoensia.

Distorsi harga yang ditimbulkan oleh ham-batan nontarif tidak seluruhnya dapat diper-hitungkan dalam estimasi nilai proteksi dalamERP. ERP yang diestimasi hanya memperhi-tungkan paket kebijakan Januari 1987, tanpamemasukkan paket kebijakan pada Desember

1987 (Fane dan Phillips, 1991). Oleh karenaitu, masuk akal apabila liberalisasi perdagang-an belum berdampak signifikan terhadap efi-siensi produksi perusahaan manufaktur padatahun 1987.

Hasil yang berbeda ditunjukkan dalam hasilregresi tahun 1995. Pada tahun tersebut, pro-teksi perdagangan memiliki dampak yang posi-tif dan signifikan terhadap efisiensi teknis per-usahaan pada industri manufaktur Indonesia.Artinya, perusahaan yang berada pada indus-tri dengan tingkat proteksi lebih tinggi justruakan berproduksi pada tingkat efisiensi teknisyang lebih tinggi. Hasil ini tidak sejalan de-ngan penjelasan teori terkait hubungan libera-lisasi perdagangan dan efisiensi produksi peru-sahaan domestik. Periode deregulation fatigueyang terjadi sekitar tahun 1981 sampai awaltahun 1995 sepertinya dapat menjelaskan ha-sil ini. Pada periode tersebut, dikatakan ter-dapat kejenuhan dalam proses liberalisasi per-dagangan di Indonesia, yang terjadi secara pe-sat dan signifikan pada tahun 1986–1990, yangditunjukkan dengan proses liberalisasi perda-gangan yang melambat karena penurunan tarifyang cenderung stagnan. Imbas periode ini di-duga masih ada sampai tahun 1995, di manaperusahaan juga merasakan kejenuhan karenapenurunan proteksi yang sebelumnya dilaku-kan dengan sangat drastis. Akibatnya, terlihatbahwa liberalisasi perdagangan yang kembalidilanjutkan pada tahun 1995 membuat inefisi-ensi teknis perusahaan meningkat.

Pada tahun 1994–1997 pertumbuhan sek-tor manufaktur Indonesia berjalan melambat.Pertumbuhan tahunan nilai tambah manufak-tur menurun drastis dari 20% pada tahun1989–1993 menjadi 12% pada tahun 1994–1997(Dhanani, 2000). Penurunan ini disebabkanoleh perlambatan pertumbuhan ekspor manu-faktur Indonesia, termasuk pada ekspor hasilindustri padat karya yang menjadi keunggulankomparatif Indonesia pada saat itu. Kemuncul-an negara pesaing seperti Cina dan Vietnamyang mempunyai keunggulan komparatif yang

Page 18: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan... 99

sama dengan Indonesia dikemukakan sebagaisalah satu penyebab perlambatan ekspor terse-but. Dengan keadaan tersebut, produk manu-faktur Indonesia mungkin menjadi lebih berori-entasi pada pasar domestik sehingga kebijakanperdagangan yang protektif diduga menjadi sa-lah satu alternatif yang diperlukan oleh produ-sen domestik dan dapat meningkatkan efisiensiteknis produksi perusahaan.

Terakhir, liberalisasi perdagangan berdam-pak positif pada efisiensi produksi perusaha-an manufaktur Indonesia pada tahun 2008. Haltersebut ditunjukkan dalam hasil regresi di ma-na variabel ERP memiliki koefisien determinanyang positif terhadap nilai skor inefisiensi tek-nis perusahaan. Artinya, industri yang menda-patkan proteksi perdagangan yang lebih ting-gi akan membuat perusahaan dalam industritersebut berproduksi secara lebih inefisien. Halini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwaproses liberalisasi perdagangan dapat memfa-silitasi perusahaan domestik untuk mencapaiproduksi output maksimal dengan mengguna-kan input yang tersedia (given).

Tahun 2008 sudah termasuk masa post-reform dari liberalisasi perdagangan Indonesia.Banyak sektor yang sudah memiliki tarif MostFavoured Nation (MFN) sebesar 0–5%. Selainitu, sebagai komitmen partisipasi dalam berba-gai Preferential Trade Agreement (PTA), Indo-nesia juga memberlakukan berbagai penurunantarif (Marks dan Rahardja, 2012). Pada awaltahun 2008, berbagai penurunan tarif diberla-kukan sebagai pengaplikasian preferential tari-ff rate schedules pada skema ASEAN CommonEffecive Preferential Tariff (CEPT), ASEAN-Cina, dan ASEAN-Korea. Penurunan tarif inimembuat proteksi perdagangan terhadap in-dustri domestik semakin berkurang dan produ-sen luar negeri lebih mudah masuk ke dalampasar domestik. Dengan begitu, iklim indus-tri domestik semakin kompetitif dengan mun-culnya pemain (kompetitor) baru dalam pasar.Iklim yang lebih kompetitif membuat produsendomestik harus berproduksi secara lebih efisien

untuk dapat bertahan dalam pasar.Secara keseluruhan, industri manufaktur In-

donesia memiliki rasio bahan baku importerhadap keseluruhan biaya input sebesar25,61%5. Rasio tersebut menunjukkan tingkatketergantungan industri terhadap bahan bakuyang diimpor dari luar negeri. Dengan adanyaliberalisasi perdagangan, maka produsen do-mestik akan lebih mudah mendapatkan baranginput impor. Selain itu, terbuka juga peluanguntuk mendapatkan teknologi baru, pengeta-huan yang terkait dengan proses produksi, ma-najemen, desain produk, dan kualitas yang le-bih baik sehingga produksi menjadi lebih efisi-en.

Dari penjelasan di atas, iklim industri yanglebih kompetitif tidak hanya terjadi akibatkehadiran produsen luar negeri, tetapi jugaakibat usaha setiap produsen domestik da-lam menciptakan barang dengan produksi pa-ling efisien. Produsen domestik tidak memili-ki banyak pilihan, kecuali untuk meningkat-kan kapasitas produksinya, dengan hal yangpaling kecil seperti meningkatkan kemampu-an produksi hingga mendekati produksi mak-simal (efisiensi teknis). Pada tahun 2008, pro-teksi perdagangan akan menurunkan inefisiensiteknis perusahaan, di mana perusahaan dalamindustri yang less protection justru memilikitingkat efisiensi teknis yang lebih tinggi.

Pengaruh Faktor Determinan Lainterhadap Efisiensi Teknis Perusahaan6

a. Capital Intensity

Berdasarkan hasil regresi pada model inefisi-ensi, capital intensity memiliki pengaruh yangsignifikan terhadap efisiensi produksi perusa-haan, baik dalam tahun 1987, 1995, dan 2008.Pada tahun 1987, capital intensity memiliki ko-efisien negatif dan signifikan dalam model inefi-siensi, artinya variabel ini berpengaruh positif

5Kalkulasi data BPS oleh penulis.6Ringkasan signifikansi faktor determinan terhadap

efisiensi teknis dapat dilihat pada Tabel 5.

Page 19: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan...100

Tabel 5: Ringkasan Signifikansi Variabel pada Model Kedua (Model Inefisiensi)

Variabel Expected SignTahun

1987 1995 2008

Capital intensity - - + +Rasio skilled labor terhadap total tenaga kerja - + - -Ukuran perusahaan ? - + Tidak signifikanKepemilikan asing - + - -Kepemilikan pemerintah ? + + -Herfindahl-Hirschman Index + + + -Effective Rate of Protection + Tidak signifikan - +

Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

Gambar 2: Tren Capital Intensity dan Skilled Labor Perusahaan Manufaktur

Sumber: BPS, diolah

terhadap efisiensi teknis perusahaan. Denganbegitu, perusahaan yang memiliki capital in-tensity lebih tinggi akan memiliki efisiensi tek-nis yang lebih baik. Hubungan positif ini seja-lan dengan studi Mahadevan (2002) yang me-nyatakan bahwa capital intensity akan berpe-ngaruh positif terhadap efisiensi teknis perusa-haan.

Namun, hasil regresi menunjukkan pengaruhcapital intensity tidak selalu positif terhadapefisiensi teknis perusahaan. Pada tahun 1995dan 2008, variabel capital intensity memilikikoefisien positif dan signifikan terhadap inefisi-ensi teknis. Artinya, perusahaan yang memiliki

capital intensity lebih tinggi justru akan me-miliki tingkat efisiensi teknis lebih rendah. Ha-sil ini kontradiktif dengan studi teori dan hasilpada tahun 1987. Rendahnya rasio skilled la-bor terhadap total tenaga kerja perusahaan di-duga sebagai penyebab utama hubungan nega-tif antara capital intensity dan efisiensi teknis.Peningkatan kapital yang dicerminkan dalampeningkatan capital intensity perusahaan ter-nyata tidak diiringi dengan peningkatan rasioskilled labor yang dipekerjakan. Dari Gambar2, dapat dilihat bahwa perusahaan manufak-tur Indonesia memiliki tingkat capital intensityyang meningkat. Namun, peningkatan capital

Page 20: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan... 101

intensity tersebut tidak didukung dengan pe-ningkatan skilled labor yang dipekerjakan olehperusahaan. Tren jumlah skilled labor terhadaptotal tenaga kerja yang ada pada perusahaanjustru menurun. Dalam penjelasannya menge-nai pengaruh capital intensity terhadap efisi-ensi teknis, Mahadevan (2002) pernah meng-utarakan bahwa capital deepening yang tidakdiiringi dengan peningkatan skill tenaga ker-ja (atau rasio skilled labor dalam perusaha-an) akan meminimalkan pengaruh positif da-ri capital intensity terhadap efisiensi produksi.Fenomena tersebut sepertinya terjadi pada in-dustri manufaktur Indonesia, sehingga pening-katan capital intensity pada perusahaan tidakdapat menghasilkan efisiensi teknis yang lebihtinggi dalam proses produksi.

b. Rasio Skilled Labor terhadap Total Te-naga Kerja

Dalam ketiga tahun yang menjadi cakupan ta-hun studi, rasio skilled labor terhadap totaltenaga kerja memiliki pengaruh yang signifi-kan terhadap efisiensi perusahaan. Pada tahun1987, variabel rasio skilled labor terhadap to-tal tenaga kerja perusahaan memiliki koefisi-en yang positif dan signifikan. Hasil tersebutmenjelaskan bahwa rasio skilled labor memilikipengaruh negatif terhadap efisiensi produksi.Artinya, perusahaan dengan rasio skilled laborlebih tinggi justru akan menghasilkan tingkatefisiensi teknis lebih rendah pada proses pro-duksi. Gambar 3 memperlihatkan bahwa ting-kat labor intensity perusahaan pada industrimanufaktur Indonesia masih sangat tinggi se-hingga karakteristik industri pada saat itu le-bih bersifat padat karya dibanding padat mo-dal. Karakteristik industri Indonesia tersebutdiduga menjadi alasan di balik pengaruh nega-tif skilled labor terhadap efisiensi perusahaan,di mana industri padat karya lebih memerlukantenaga kerja yang lebih banyak dan cenderungunskilled.

Hasil berbeda ditunjukkan dalam model ine-fisien tahun 1995 dan 2008. Pada kedua ta-

hun tersebut, variabel rasio skilled labor me-miliki koefisien negatif terhadap nilai skor ine-fisiensi teknis perusahaan artinya variabel ter-sebut memiliki pengaruh positif terhadap efi-siensi teknis perusahaan, artinya, perusahaandengan rasio skilled labor lebih tinggi akan me-miliki produksi lebih efisien secara teknis. Halini sejalan dengan teori yang mengatakan bah-wa skilled labor adalah salah satu faktor pen-ting dalam kinerja proses produksi. Rasio skill-ed labor yang lebih tinggi dalam struktur tena-ga kerja perusahaan akan mendukung prosesproduksi dalam mencapai tingkat output mak-simalnya.

c. Ukuran Perusahaan

Ukuran perusahaan adalah salah satu karakte-ristik internal perusahaan yang menjadi faktordeterminan dari inefisiensi teknis perusahaan.Berdasarkan hasil regresi model inefisiensi, va-riabel ini memiliki signifikansi yang berbeda-beda dalam setiap model inefisiensi pada ta-hun 1987, 1995, dan 2008. Hal ini sesuai de-ngan perdebatan yang masih ada terkait pe-ngaruh ukuran perusahaan terhadap efisiensiteknis perusahaan7.

Pada tahun 1987, ukuran perusahaan memi-liki koefisien yang signifikan dan bernilai posi-tif. Artinya, semakin besar perusahaan, makasemakin besar pula inefisiensi teknis perusaha-an tersebut. Penyebab dari hasil tersebut dapatdijelaskan melalui empat kemungkinan. Perta-ma, adanya direct participation of owner da-lam perusahaan kecil, sedangkan struktur ma-

7Leibenstein (1966) dan Agell (2004) mengatakanperusahaan dengan ukuran lebih kecil akan lebih mam-pu berproduksi pada tingkat efisiensi teknis yang lebihtinggi. Namun, Kumar (2003) menyatakan bahwa per-usahaan besar akan cenderung lebih dapat berproduksimendekati tingkat output maksimumnya. Berbeda de-ngan lainnya, Biggs et al. (1996) menyatakan bahwahubungan ukuran perusahaan dengan efisiensi teknisberbentuk inverted U-shaped artinya di mana efisiensiteknis akan meningkat sampai mencapai ukuran peru-sahaan tertentu dan kemudian efisiensi tersebut akanmenurun seiring pertambahan ukuran perusahaan.

Page 21: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan...102

Gambar 3: Tren Labor Intensity Perusahaan Manufaktur

Sumber: BPS, diolah

najemen pada perusahaan besar justru menyu-litkan proses monitoring sehingga menimbul-kan potensi adverse selection dan moral hazard.Kedua, perusahaan kecil menanggung dampakyang lebih sedikit dari restriksi instusional (in-stutional restrictions) dan perubahan birokra-si (bureaucratic friction) dibandingkan denganperusahaan besar. Economic and welfare argu-ment dapat menjadi alasan yang ketiga, di ma-na tenaga kerja pada perusahaan yang lebihkecil akan lebih termotivasi dengan kompeti-si berbasis skema insentif, berbeda pada tena-ga kerja pada perusahaan besar. Dan kemung-kinan keempat adalah kenyataan bahwa apabi-la terdapat permasalahan akibat efisiensi tek-nis produksi yang rendah, perusahaan besar a-kan lebih dapat bertahan dibandingkan denganperusahaan kecil. Karena market selection ter-sebut, perusahaan kecil yang dapat bertahandalam industri adalah perusahaan dengan ting-kat efisiensi teknis yang secara rata-rata lebihtinggi daripada perusahaan besar itu sendiri.Oleh karena itu, tidak mengherankan apabilahasil regresi menunjukkan ukuran perusahaanmemiliki hubungan yang berbanding terbalikterhadap efisiensi teknis perusahaan tersebut.

Berbeda dengan tahun 1987, pada tahun1995 ukuran perusahaan memiliki dampak po-sitif terhadap kemampuan perusahaan untukberproduksi pada tingkat output maksimal-nya. Hal tersebut dicerminkan dengan koefisienyang bernilai negatif pada model regresi inefisi-en teknis perusahaan. Artinya, perusahaan be-sar memiliki peluang lebih besar dalam menca-pai tingkat efisiensi teknis yang lebih tinggi di-bandingkan perusahaan kecil. Hasil ini juga da-pat dijelaskan dengan beberapa argumen. Ar-gumen utama dan pertama yang mendukunganalisis ini adalah terkait skala ekonomi. Peru-sahaan besar memiliki kapasitas lebih besar da-lam melakukan penetrasi pasar sehingga skalaekonomi produksi lebih baik daripada perusa-haan kecil. Kedua, perusahaan besar juga lebihmampu mempekerjakan manajer dengan kuali-tas yang lebih baik sehingga sistem manajemendapat lebih baik. Ketiga, proses maintainingor improving efficiency akan membutuhkan bi-aya dari sisi manajemen perusahaan. Perusa-haan besar akan memiliki biaya per unit yanglebih kecil karena kapasitas produksinya lebihbaik daripada perusahaan kecil. Keempat danterakhir, perusahaan besar dengan keunggul-

Page 22: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan... 103

an efisiensi teknisnya akan bisa terus tumbuhdan bertahan dalam suatu industri, sedangkanperusahaan kecil yang cenderung inefisien akanstagnate or exit the industry. Oleh karena itu,pada tahun 1995 perusahaan yang lebih besarakan lebih unggul dalam tingkat efisiensi tek-nisnya dibandingkan dengan perusahaan kecil.

Ukuran perusahaan tidak lagi memiliki pe-ngaruh terhadap efisiensi teknis perusahaanpada tahun 2008. Artinya, ukuran perusahaantidak memengaruhi kemampuan produksi per-usahaan untuk mencapai tingkat output maksi-malnya. Hasil ini menjadi jalan tengah dalamperdebatan mengenai pengaruh ukuran peru-sahaan terhadap efisiensi produksi perusaha-an. Dengan hasil ini, dapat disimpulkan tidakada perbedaan benefit efisiensi teknis sigifikanyang berasal dari ukuran perusahaan tersebutsehingga benefit tersebut sama-sama ter-cancelout. Oleh karena itu, ukuran perusahaan bukankarakteristik internal yang memengaruhi efisi-ensi teknis dalam proses produksi.

d. Kepemilikan Perusahaan

Kepemilikan perusahaan dalam model inefisi-ensi diklasifikasikan menjadi tiga jenis kepemi-likan, yaitu asing, pemerintah, dan domestik(swasta nasional). Secara umum, kepemilikanperusahaan yang dicerminkan melalui variabeldummy Foreign dan Govt memiliki pengaruhyang signifikan dalam efisiensi produksi peru-sahaan, baik untuk tahun 1987, 1995, maupun2008. Kepemilikan perusahaan memiliki penga-ruh yang berbeda-beda dalam setiap tahun ter-sebut. Berdasarkan teori, perusahaan dengankepemilikan asing seharusnya memiliki efisien-si teknis yang lebih baik karena ada keunggul-an dalam penggunaaan teknologi dan sistemmanajemen keuangan. Sementara itu, penga-ruh kepemilikan perusahaan milik pemerintahmasih belum terlalu jelas. Oleh karena itu, per-lu analisis lebih lanjut terkait perkembanganiklim industri pada tahun-tahun tersebut un-tuk dapat mengetahui hal di balik pengaruhkepemilikan perusahaan terhadap efisiensi tek-

nis perusahaan.

Pada tahun 1987, perusahaan dengan kepe-milikan asing dan pemerintah sama-sama ber-dampak negatif terhadap kemampuan produk-si dalam mencapai tingkat output maksimal.Apabila diurutkan berdasarkan nilai koefisienpada variabel Foreign dan Govt, perusahaankepemilikan swasta nasional memiliki tingkatefisiensi teknis paling tinggi, diikuti dengan ke-pemilikan pemerintah, lalu kepemilikan asingdengan nilai koefisien yang paling besar. Hasilini dapat dihubungkan dengan adanya kegiat-an rent-seeking yang banyak terjadi pada ma-sa itu. Tahun 1987 adalah bagian dari periodeorde baru, di mana kalangan yang dekat de-ngan pemerintah banyak mendapatkan privile-ged dalam menjalankan kegiatan produksi. De-ngan begitu, tidak mengherankan apabila hasilmenunjukkan bahwa perusahaan kepemilikandomestik lebih memiliki keunggulan dalam sisiefisiensinya. Selain itu, intervensi pemerintahmasih begitu kental dalam industri manufak-tur membuat perusahaan yang ada campur ta-ngan pemerintah memiliki tingkat efisiensi tek-nis yang lebih besar dibandingkan dengan per-usahaan kepemilikan asing.

Hasil berbeda ditunjukkan dalam analisis re-gresi pada tahun 1995. Pada tahun ini, per-usahaan asing memiliki pengaruh yang posi-tif terhadap efisiensi produksi, yang ditunjuk-kan dengan koefisien regresi yang bernilai ne-gatif terhadap nilai skor inefisensi teknis peru-sahaan. Sedangkan, perusahaan milik pemerin-tah tetap seperti tahun 1987, memiliki dam-pak negatif dan kepemilikan swasta nasionalberdampak positif terhadap tingkat efisiensi.Berdasarkan nilai koefisien yang ada, perusaha-an yang memiliki efisiensi teknis paling tinggiadalah perusahaan dengan kepemilikan asing,swasta nasional, lalu dilanjutkan dengan per-usahaan milik pemerintah yang memiliki nilaiinefisiensi paling tinggi. Hasil tersebut sesuaidengan teori yang menyatakan bahwa perusa-haan asing memang seharusnya akan memilikitingkat efisiensi yang lebih baik karena kemam-

Page 23: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan...104

puannya mencari dukungan keuangan dari per-usahaan induk ataupun lembaga keuangan in-ternasional lain.

Selain itu, hubungan yang lebih besar de-ngan pasar internasional memungkinkan per-usahaan asing melakukan ekspor yang lebihtinggi. Di mana peningkatan penggunaan tek-nologi, proses produksi dan juga tenaga ker-ja yang lebih ahli juga didapatkan perusaha-an asing. Perusahaan milik pemerintah justrumendapatkan hambatan untuk mencapai efisi-ensi teknis lebih tinggi karena berbagai alas-an seperti kurangnya insentif manajemen per-usahaan berdasarkan produktivitas, kurangnyakontrol pemerintah, dan juga kurangnya fleksi-bilitas manajerial karena adanya peraturan ke-tat yang harus diikuti.

Terakhir, pada tahun 2008, perusahaan de-ngan kepemilikan asing dan pemerintah memi-liki dampak yang positif terhadap kemampuanproduksi perusahaan. Dampak positif kepemi-likan asing terhadap efisiensi teknis perusaha-an memang tidak perlu dipertanyakan lagi, de-ngan argumen yang telah dijelaskan sebelum-nya. Sementara itu, perusahaan dengan kepe-milikan pemerintah berhasil memiliki efisiensiyang lebih baik. Berdasarkan teori mikroekono-mi, perusahaan publik pada dasarnya memangmampu mencapai tingkat efisiensi yang samaseperti perusahaan lainnya apabila perusaha-an publik tersebut beroperasi pada prinsip me-maksimalkan laba dan kondisi persaingan sem-purna (Bappenas, 2010).

e. Tingkat Konsentrasi Industri

Variabel tingkat konsentrasi industri pada mo-del inefisiensi dicerminkan dalam nilai HHI.Variabel ini memiliki koefisien yang signifikandalam ketiga tahun studi, namun dengan pe-ngaruh yang berbeda. Pada tahun 1987 dan1995, variabel HHI memiliki koefisien yangpositif dan signifikan terhadap inefisiensi teknisperusahaan. Artinya, pada kedua tahun terse-but, perusahaan yang berada pada industri de-ngan konsentrasi lebih tinggi akan berproduksi

lebih inefisien. Sebaliknya, apabila perusahaanberada pada industri dengan tingkat konsen-trasi yang lebih rendah akan berproduksi lebihefisien. Hal ini sesuai dengan teori yang me-nyatakan bahwa industri yang memiliki kon-sentrasi lebih rendah akan meningkatkan efisi-ensi produksi perusahaan yang ada dalam in-dustri tersebut. Tingkat konsentrasi yang le-bih rendah membuat iklim industri yang lebihkompetitif dan memacu produksi perusahaanuntuk lebih efisien. Kompetisi antarperusaha-an dalam sebuah industri akan memaksa per-usahaan berproduksi lebih efisien untuk tetapbertahan dalam industri tersebut.

Pada tahun 2008, variabel HHI justru me-miliki pengaruh yang positif terhadap efisien-si teknis perusahaan. Berdasarkan hasil terse-but, perusahaan yang berada dalam industridengan konsentrasi lebih tinggi akan memilikitingkat efisiensi teknis yang lebih baik diban-dingkan dengan perusahan dalam industri de-ngan konsentrasi lebih rendah. Hal ini bertolakbelakang dengan teori dan hasil analisis tahun1987 dan 1995.

Penyebab dari perbedaan hasil tersebut di-duga disebabkan karena pada tahun 2008 in-dustri manufaktur Indonesia sudah sangat ter-buka terhadap pasar global. Sebagai gambaran,nilai NRP Indonesia tahun 2008 hanya sebesar3%, dibandingkan 10% pada tahun 1995. Ni-lai ERP Indonesia pun menurun signifikan da-ri 80% menjadi 4% dari tahun 1995 ke 2008.Dengan penurunan proteksi tersebut, jalan se-makin terbuka bagi para produsen luar negeriuntuk mengimpor barang hasil produksinya kepasar Indonesia.

Sementara itu, tingkat konsentrasi industriyang dihitung dari variabel HHI adalah kon-sentrasi industri yang berasal dari output pro-dusen domestik. HHI tersebut hanya mencer-minkan tingkat konsentrasi (kompetisi) inter-nal antara para produsen domestik. Seiring de-ngan keterbukaan ekonomi, barang yang diim-por dan diekspor ke pasar domestik dan lu-ar negeri meningkat. Peningkatan arus perda-

Page 24: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan... 105

gangan ini membuat kompetisi industri yangtercipta bukan hanya berasal dari produsen do-mestik saja melainkan juga dari produsen luarnegeri. Hasilnya adalah iklim industri yang le-bih kompetitif dan mendorong perusahaan un-tuk meningkatkan efisiensinya karena perusa-haan yang lebih inefisien akan memiliki pelu-ang besar untuk ”terusir” dari pasar. Sayang-nya, kejadian (fenomena) ini tidak dapat di-tangkap dalam proses perhitungan HHI padamodel inefisiensi ini. Dengan begitu, tingkatkonsentrasi industri yang diestimasi menjadilebih tinggi. Oleh sebab itu, masuk akal apabilaindustri dengan tingkat konsentrasi yang lebihtinggi justru terlihat dapat membuat perusa-haan dalam industri tersebut memiliki tingkatefisiensi teknis yang lebih tinggi.

Penjelasan dugaan di atas sesuai dengan per-nyataan Gumbau-Albert dan Maudos (2002)bahwa seiring dengan keterbukaan industridomestik melalui perdagangan internasional,dampak kompetisi eksternal (external compe-tition) yang ada dalam suatu industri harusdiperhitungkan dalam analisis dampak konsen-trasi industri terhadap efisiensi produksi peru-sahaan dalam industri tersebut. Dampak kom-petisi internal (internal competition) akan ber-kurang apabila pasar didominasi oleh impor-ting atau export-oriented firms. Untuk itu, di-perlukan perhitungan tingkat kompetisi ekster-nal dalam perdagangan internasional melaluitingkat keterbukaan ekonomi atau tingkat ke-cenderungan (propensity) untuk ekspor. Per-usahaan dalam industri yang memiliki ting-kat keterbukaan yang tinggi akan dipaksa (beforced) meningkatkan efisiensinya untuk dapatberkompetisi dengan produsen luar negeri. De-ngan begitu, tingkat kompetisi eksternal yanglebih tinggi akan mengurangi inefisiensi teknisdalam proses produksi.

Melalui variabel proteksi perdagangan(ERP ) dalam model inefisiensi ini, telahdiketahui bahwa penurunan proteksi perda-gangan (keterbukaan ekonomi) berdampakpositif terhadap efisiensi produksi perusaha-

an. Hasil tersebut dapat mendukung alasanmengapa tingkat konsentrasi yang lebih tinggi(kompetisi lebih rendah) justru dapat mening-katkan efisiensi teknis perusahaan manufakturIndonesia pada tahun 2008. Penemuan terse-but juga sesuai dengan penjabaran teori diatas yang menyatakan kehadiran kompetisieksternal akan membawa pengaruh positifterhadap efisien produksi perusahaan. Industridengan tingkat konsentrasi tinggi tidak selaluberarti luput dari kehadiran kompetisi. Tidakadanya (absence) hambatan masuk bagi padakompetitor potensial dapat juga menentu-kan competitive behavior dalam pasar yangterkonsentrasi tersebut.

Simpulan

Liberalisasi perdagangan memiliki dampakyang berbeda dalam setiap tahun yang diama-ti. Pada tahun 1987 yang merupakan awal ma-sa liberalisasi perdagangan, liberalisasi perda-gangan tidak memiliki dampak yang signifikanterhadap efisiensi teknis perusahaan. Masih do-minannya hambatan nontarif menjadi menjadisalah satu penyebab karena distorsi harga yangtercipta tidak dapat sepenuhnya ditangkap da-lam nilai estimasi ERP. Selain itu, produsendomestik juga membutuhkan waktu untuk me-nyesuaikan proses produksi dalam iklim indus-tri yang baru sehingga belum terlihat dampakpenurunan proteksi tersebut terhadap efisiensiteknis perusahaan.

Pada periode puncak liberalisasi perdagang-an, proteksi yang diberikan kepada produ-sen domestik justru berdampak negatif ter-hadap efisiensi teknis perusahaan. Perusahaanyang mendapatkan proteksi lebih tinggi justrudapat mencapai tingkat produksi yang lebihtinggi mendekati produksi potensial (frontier).Kontradiksi tersebut diduga disebabkan karenaperiode deregulation fatigue yang terjadi padatahun 1991 sampai awal tahun 1995 dan per-lambatan pertumbuhan sektor manufaktur pa-da tahun 1994–1997.

Page 25: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan...106

Pada tahun 2008, yang termasuk dalam peri-ode post-reform liberalisasi perdagangan Indo-nesia, liberalisasi perdagangan berdampak po-sitif dalam kemampuan perusahaan mencapaitingkat efisiensi maksimal. Perusahaan yangberada dalam industri dengan proteksi lebihtinggi akan memiliki tingkat inefisiensi yanglebih tinggi dibandingkan dengan perusahaanyang berada dalam industri dengan proteksi le-bih rendah. Kompetisi yang semakin tinggi, ba-ik akibat import discipline maupun peningkat-an kompetisi antarprodusen domestik, mampumendorong perusahaan untuk mencapai ting-kat efisiensi teknis yang lebih baik.

Walaupun pada awalnya liberalisasi belummemiliki dampak signifikan dan bahkan padapertengahan prosesnya justru berdampak ne-gatif terhadap efisiensi teknis perusahaan, da-pat disimpulkan bahwa pada akhirnya prosesliberalisasi perdagangan di Indonesia berdam-pak positif dalam kegiatan produksi. Penurun-an proteksi dapat memfasilitasi produsen ma-nufaktur domestik dalam mencapai tingkat efi-siensi teknis yang lebih tinggi. Artinya, peru-sahaan memiliki kemampuan yang lebih baikdalam mengurangi gap antara produksi aktu-al dan produksi maksimal yang dapat dicapai(potensial).

Sementara itu, variabel determinan yang lainmemiliki pengaruh yang berbeda-beda terha-dap tingkat efisiensi pada setiap tahun yang di-amati. Capital intensity, pada tahun 1987, me-miliki pengaruh positif terhadap efisiensi teknisperusahaan, namun berpengaruh yang negatifpada tahun 1995 dan 2008. Rendahnya rasioskilled labor diduga sebagai penyebab penga-ruh negatif tersebut karena capital deepeningyang tidak diiringi dengan peningkatan skill te-naga kerja akan meminimalkan pengaruh posi-tif dari capital intensity terhadap efisiensi pro-duksi.

Skilled labor memiliki pengaruh yang negatifterhadap efisiensi produksi pada tahun 1987,namun memilki pengaruh positif pada tahun1995 dan 2008. Karakteristik industri tahun

1987 mayoritas bersifat padat karya membu-at industri cenderung memerlukan tenaga kerjayang lebih banyak dan bersifat unskilled. Na-mun, seiring berjalannya waktu, skilled labormenjadi salah satu faktor penting dalam kiner-ja proses produksi sehingga rasio skilled laboryang lebih tinggi akan mendukung proses pro-duksi dalam mencapai tingkat output maksi-malnya.

Selanjutnya, sesuai dengan perdebatan yangmasih ada terkait pengaruh ukuran perusaha-an terhadap efisiensi teknis perusahaan, hasilstudi ini juga menunjukkan signifikansi yangberbeda-beda dalam setiap model inefisiensipada tahun 1987, 1995, dan 2008.

Kepemilikan asing dan pemerintah sama-sama berdampak negatif terhadap kemampuanproduksi dalam mencapai tingkat output mak-simal pada tahun 1987, sementara kepemilik-an swasta domestik memiliki tingkat efisiensiyang paling tinggi. Kegiatan rent-seeking yangbanyak terjadi pada masa itu diduga menjadialasan perusahaan kepemilikan swasta domes-tik lebih unggul tingkat efisiensinya. Pada ta-hun 1995, perusahaan asing memiliki pengaruhyang positif terhadap efisiensi produksi kare-na keunggulannya dalam sisi keuangan, tekno-logi, tenaga ahli, dan hubungan internasional.Sedangkan perusahaan milik pemerintah ber-dampak negatif dan perusahaan swasta domes-tik memilik dampak positif terhadap tingkatefisiensi walaupun tidak sebesar dampak positifpada kepemilikan asing. Pada tahun 2008, ke-pemilikan perusahaan memiliki pengaruh yangsignifikan dan positif terhadap efisiensi teknisperusahaan, di mana perusahaan swasta nasio-nal memiliki efisiensi paling tinggi, disusul olehperusahaan kepemilikan pemerintah dan asing.

Terakhir, konsentrasi industri memiliki pe-ngaruh yang negatif terhadap efisiensi teknisperusahaan pada tahun 1987 dan 1995. Arti-nya, perusahaan yang berada pada industri de-ngan konsentrasi lebih tinggi akan berproduksilebih inefisien. Hasil tersebut sesuai dengan te-ori yang menyebutkan industri yang lebih kom-

Page 26: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan... 107

petitif (konsentrasi rendah) akan mendorongperusahaan untuk meningkatkan efisiensi pro-duksinya. Namun, pada tahun 2008 konsentrasiindustri justru memiliki pengaruh yang negatifterhadap efisiensi teknis. Derasnya aliran ba-rang impor ke pasar domestik dan overestima-te nilai variabel HHI yang digunakan didugamenjadi alasan di balik hasil ini. Nilai HHIyang digunakan hanya mengestimasi tingkatkonsentrasi pasar akibat adanya barang domes-tik, tidak mengikutsertakan kehadiran barangimpor. Padahal barang impor tersebut mem-berikan tekanan besar kepada produsen untukmelakukan produksi secara lebih efisien.

Daftar Pustaka

[1] Agell, J. (2004). Why are Small Firms Different?Managers’ Views. The Scandinavian Journal ofEconomics, 106 (3), 437–452.

[2] Astiyah, S., Hutabarat, A. R., & Sianipar, D. V.(2005). Dampak Liberalisasi Perdagangan terha-dap Perilaku Pembentukan Harga Produk Indus-tri Melalui Structure-Conduct Performance Model.Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 7 (3),523–553.

[3] Bappenas. (2010). Perubahan Produktivitas In-dustri Manufaktur Indonesia dan Faktor-faktoryang Mempengaruhinya: Analisis Panel Da-ta 2000-2007. Laporan Akhir November 2010.Jakarta: Direktorat Evaluasi Kinerja Pemba-ngunan Sektoral. Kementerian PPN/Bappenas.http://www.bappenas.go.id/files/7813/

5063/5672/02ekps2010industrimanufaktur_

_20110530112013__3.pdf (Accessed April 5,2012).

[4] Biggs, T., Shah, M., & Srivastava, P. (1996). Tech-nological Capabilities and Learning in African En-terprises. World Bank Technical Paper, 288. AfricaTechnical Department Series. Regional Program ofEnterprise Development (REPD) Case Study Se-ries. Washington, D.C.: World Bank (Africa Re-gion).

[5] Caves, R. E. (1992). Determinants of TechnicalEfficiency in Australia. In R. E. Caves (Ed.), In-dustrial Efficiency in Six Nations. pp. 241–272.Cambridge, MA: MIT Press.

[6] Caves, R. E., & Barton, D. R. (1990). Efficiency inU.S. Manufacturing Industries. Cambridge, MA:MIT Press.

[7] Chu, S. N., & Kalirajan, K. (2011). Impact of Tra-de Liberalisation on Technical Efficiency of Viet-

namese Manufacturing Firms. Science, Technology& Society, 16 (3), 265–284.

[8] Corden, W. M. (1974). Trade Policy and EconomicWelfare. Oxford: Clarendon Press.

[9] Dhanani, S. (2000). Indonesia: Strategy for Manu-facturing Competitiveness, Vol. II. Main Report.UNDP/UNIDO Project No. NC/INS/99/004.Jakarta: United Nations Industrial Deve-lopment Organization (UNIDO). https:

//www.unido.org/fileadmin/user_media/

Publications/Pub_free/Indonesia_strategy_

for_manufacturing_competitiveness.pdf

(Accessed April 17, 2012).[10] Fane, G., & Condon, T. (1996). Trade Reform in

Indonesia, 1987-95. Bulletin of Indonesian Econo-mic Studies, 32 (3), 33–54.

[11] Fane, G., & Phillips, C. (1991). Effective Prote-ction in Indonesia in 1987 1. Bulletin of IndonesianEconomic Studies, 27 (1), 105-125.

[12] Farrell, M. J. (1957). The Measurement of Pro-ductive Efficiency. Journal of the Royal StatisticalSociety: Series A (General), 120 (3), 253–290.

[13] Gumbau-Albert, M., & Maudos, J. (2002). The De-terminants of Efficiency: The Case of the SpanishIndustry. Applied Economics, 34 (15), 1941–1948.

[14] Havrylyshyn, O. (1990). Trade Policy and Produ-ctivity Gains in Developing Countries: A Survey ofthe Literature. World Bank Research Observer, 5(1), 1–24.

[15] Ikhsan-Modjo, M. (2006). Total Factor Pro-ductivity in Indonesian Manufacturing: AStochastic Frontier Approach. ABERU Discus-sion Paper, 28. Australia: Monash University.http://www.buseco.monash.edu.au/units/dru/

papers/working-papers-06/2806-ikhsan.pdf

(Accessed April 5, 2012).[16] Kirkpatrick, C., & Weiss, J. (1992). Background

and Overview. In R. Adhikari, C. H. Kirkpatrick,& J. Weiss (Eds), Industrial and Trade Policy Re-form in Developing Countries. pp. 3–14. Manches-ter: Manchester United Press.

[17] Klacek, J., Vosvrda, M., & Schlosser, S. (2007).KLE Translog Production Function and Total Fa-ctor Productivity. Statistika, 87 (4), 261–274.

[18] Kumar, J. (2003). Ownership Structure and Cor-porate Firm Performance. Mumbai, India: In-dira Gandhi Institute of Development Rese-arch. http://128.118.178.162/eps/fin/papers/0304/0304004.pdf (Accessed April 5, 2012).

[19] Leibenstein, H. (1966). Allocative Efficiency vs.”X-Efficiency”. The American Economic Review,56 (3), 392–415.

[20] Lovell, C., Grosskopf, S., Ley, E., Pastor, J. T., Pri-or, D., & Eeckaut, P. V. (1994). Linear Program-ming Approaches to the Measurement and Ana-lysis of Productive Efficiency. TOP, 2 (2), 175–

Page 27: Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap E siensi Teknis ...

Tsurayya N./Dampak Liberalisasi Perdagangan...108

248. Official Journal of the Spanish Society of Sta-tistics and Operations Research.

[21] Mahadevan, R. (2002). Trade Liberalization andProductivity Growth in Australian ManufacturingIndustries. Atlantic Economic Journal, 30 (2),170-185.

[22] Margono, H., & Sharma, S. C. (2006). Efficiencyand Productivity Analyses of Indonesian Manufa-cturing Industries. Journal of Asian Economics, 17(6), 979–995.

[23] Marks, S. V., & Rahardja, S. (2012). Effective Ra-tes of Protection Revisited for Indonesia. Bulletinof Indonesian Economic Studies, 48 (1), 57–84.

[24] Martin, J. P., & Page, J. M. (1983). The Impact ofSubsidies on X-Efficiency in LDC Industry: Theoryand An Empirical Test. The Review of Economicsand Statistics, 65 (4), 608–617.

[25] Nishimizu, M., & Robinson, S. (1984). Tra-de Policies and Productivity Change in Semi-Industrialized Countries. Journal of Developmentof Economics, 16 (1-2), 177-206.

[26] Pavelescu, F. M. (2011). Some Aspects of theTranslog Production Function Estimation. Roma-nian Journal of Economics, 32 (1 (41)), 131–150.

[27] Phan, P. (2004). Trade Liberalisation andManufacturing Performance in Thailand1990-2000. PhD thesis. Australia: School ofEconomics and Information Systems, Eco-nomics Discipline, University of Wollongong.http://ro.uow.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?

article=1225&context=theses (Accessed April5, 2012).

[28] Prabowo, H. E. T., & Cabanda, E. (2011). Sto-chastic Frontier Analysis of Indonesian Firm Effi-ciency: A Note. International Journal of Bankingand Finance, 8 (2), Article 5.

[29] Rodrik, D. (1988). Closing the Technology Gap:Does Trade Liberalization Really Help? NBERWorking Paper Series, 2654. Cambridge, MA: Na-tional Bureau of Economic Research. http://www.nber.org/papers/w2654.pdf (Accessed April 5,2012).

[30] Romer, P. (1993). Idea Gaps and Object Gaps inEconomic Development. Journal of Monetary Eco-nomics, 32 (3), 543–573.

[31] Sjahrir. (1994). Kebijakan Negara MengantisipasiMasa Depan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

[32] Tybout, J. R. (1991). Researching the Trade-Productivity Link: New Directions, Volume 1.Policy, Research, and External Affairs WorkingPapers, WPS 638. Trade Policy. Washington, DC:Country Economics Department. World Bank.http://www-wds.worldbank.org/external/

default/WDSContentServer/IW3P/IB/1991/03/

01/000009265_3961001054027/Rendered/PDF/

multi0page.pdf (Accessed April 5, 2012).

[33] Widodo, T. (2008). The Structure of Protection inIndonesian Manufacturing Sector. ASEAN Econo-mic Bulletin, 25 (2), 161–178.

[34] Wie, T. K. (2006a). Technology and Indonesi-as Industrial Competitiveness. ADB InstituteResearch Paper Series, 72. Tokyo: Asian Deve-lopment Bank Institute. http://www.adbi.org/

files/2006.08.rp72.industrial.technology.

competitiveness.indonesia.pdf (Accessed April5, 2012).

[35] Wie, T. K. (2006b). Kemampuan Teknologi danPeningkatan Daya Saing Industri Indonesia. Pida-to ilmiah yang dipresentasikan pada Malam Penga-nugerahan Habibie Award pada 30 Nopember 2006di Jakarta.

[36] World Bank. (1993). The East Asian Miracle:Economic Growth and Public Policy (Vol. 1 of2): Main report. A World Bank policy researchreport. New York: Oxford University Press.http://www-wds.worldbank.org/external/

default/WDSContentServer/WDSP/IB/1993/09/

01/000009265_3970716142516/Rendered/PDF/

multi_page.pdf (Accessed April 5, 2012).


Recommended