+ All Categories
Home > Documents > VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat...

VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat...

Date post: 23-Jun-2018
Category:
Upload: ngohanh
View: 213 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
36
THE IMPLEMENTATION OF SPECIAL TARIFF FOR AGRICULTURAL PRODUCS AND ITS IMPACT ON SMALL MEDIUM ENTERPRISES OF INDONESIAN ACRICULTURAL PRODUCTS. Haryadi ABSTRACT The process of economic liberalization to create a free trade area in the world is becoming to be a reality after three pillars of agricultural negotiation involved domestic supports, export subsidies, and market access have been agreed to be eliminated by 2013. Nevertheless, this liberalization policy is believed to be able to create some opportunities and challenges. This policy is expected to change the trade map of all commodities in the world either manufactured or agricultural products including in small and medium scale enterprises. Indonesia is one of the countries that is expected to be infected by this policy, because agricultural sector is still becoming the key sector in Indonesian economy. This research intends to explore the impact of tariffs on special product prevailed by Indonesia. The GTAP model was used as the main tool of analysis. The results of the research Indicate that the simulation of special tariff prevailed by Indonesia on a certain products succeeds in reducing import, increasing domestic production, and also increasing export for agricultural sectors and small and medium scale enterprises. The implication of the result of this research is that Indonesia still needs to prevaile special tariff on certain product particularly on agricultural product. Through this policy, Indonesian government will be able to reduce import, increase domestic production, and increase export. Nevertheless, the effort to minimizing the negative impact should be implemented simultaneously. This policy can be
Transcript
Page 1: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

THE IMPLEMENTATION OF SPECIAL TARIFF FOR AGRICULTURAL PRODUCS AND ITS IMPACT ON SMALL MEDIUM ENTERPRISES OF

INDONESIAN ACRICULTURAL PRODUCTS.

Haryadi

ABSTRACT

The process of economic liberalization to create a free trade area in the world is becoming to be a reality after three pillars of agricultural negotiation involved domestic supports, export subsidies, and market access have been agreed to be eliminated by 2013. Nevertheless, this liberalization policy is believed to be able to create some opportunities and challenges. This policy is expected to change the trade map of all commodities in the world either manufactured or agricultural products including in small and medium scale enterprises. Indonesia is one of the countries that is expected to be infected by this policy, because agricultural sector is still becoming the key sector in Indonesian economy.

This research intends to explore the impact of tariffs on special product prevailed by Indonesia. The GTAP model was used as the main tool of analysis. The results of the research Indicate that the simulation of special tariff prevailed by Indonesia on a certain products succeeds in reducing import, increasing domestic production, and also increasing export for agricultural sectors and small and medium scale enterprises.

The implication of the result of this research is that Indonesia still needs to prevaile special tariff on certain product particularly on agricultural product. Through this policy, Indonesian government will be able to reduce import, increase domestic production, and increase export. Nevertheless, the effort to minimizing the negative impact should be implemented simultaneously. This policy can be implemented through forcing the competitive advantage for all products so the product is no longer depending on government protection.

Keywords: WTO, international trade, GTAP model

Page 2: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

PENERAPAN TARIF KHUSUS UNTUK PRODUK PERTANIAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN PRODUK

UMKM SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA 1

Haryadi 12

I. PENDAHULUAN

Sejak didirikan pada tahun 1995, Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organisation (WTO) hampir tak pernah lepas dari perdebatan. Debat antara yang mendukung dan yang menolak kehadiran WTO juga ditunjukkan oleh tulisan-tulisan yang dimuat di berbagai jurnal dan media masa (Haryadi, 2008). Dari tujuh kali Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO, tak jarang pula pertemuan berakhir dengan kegagalan. Peran negara-negara maju dan sikap yang tak mau mengalah terlihat begitu menonjol pada setiap pertemuan. Oleh karena itu tidak sedikit para ahli ekonomi yang memandang bahwa WTO hanyalah salah satu alat bagi negara-negara maju untuk melegalisir kebijakan yang menguntungkan kelompok tersebut (Hutabarat, 2004).

Dampak pemberlakuan perdagangan bebas atau liberalisasi perdagangan seperti yang dicanangkan oleh WTO sebenarnya sudah diteliti oleh banyak pakar. Haryadi (2008) menyatakan bahwa jauh sebelum WTO berdiri, para peneliti antara lain Michaely (1977), Heller dan Porter (1978), Balassa (1982), Tyler (1981), Kavoussi (1984), Feder (1992) telah melakukan studi tentang dampak liberalisasi perdagangan. Semuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi.

Setelah WTO berdiri, studi tentang dampak liberalisasi perdagangan pun masih tetap menjadi isu yang hangat. Penelitian tentang dampak WTO juga banyak dilakukan di Indonesia. Diantara banyak peneliti Indonesia, terdapat tiga studi yang mendukung liberalisasi perdagangan. Ketiga peneliti tersebut adalah Wijaya (2000), Oktaviani (2000), dan Hakim (2004). Secara umum, hasil penelitian ketiga peneliti ini menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan berpengaruh positif terhadap kinerja ekonomi baik kinerja ekonomi secara makro maupun sektoral. Dengan menggunakan lokasi yang berbeda, semuanya mendukung pendapat yang menyatakan bahwa liberalisasi perdagangan bermanfaat bagi suatu atau sekelompok negara terutama dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteran masyarakat.

Sebaliknya, yang menyatakan bahwa liberalisasi perdagangan berpotensi memunculkan dampak negatif banyak ditemui dalam studi peneliti-peneliti asing. Diantara beberapa hasil penelitian tersebut dikemukakan oleh Devaragan at.al. (1990), Matusz et al. (1999), Anggarwal dan Agmon dalam Wijaya (2000), Paulino (2000), Lopez (2003) , Jensen and Tarp (2003) , Walsh, Brockmeier dan Matthews (2005), dan Brooks dan Sugiyarto (2005).

1 Tulisan ini merupakan sebahagian dari hasil penelitian penulis mengenai Dampak Kesepakatan Tiga Pilar Negosiasi Sektor Pertanian WTO Terhadap Perekonomian Negara-negara Anggota melalui Program Hibah Bersaing yang dibiayai oleh DP2M Dikti.2 Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Jambi

2

Page 3: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

Topik perdebatan sebagian besar selalu pada sektor pertanian, baik pada pertemuan di level Menteri maupun pada pertemuan antar perwakilan negara. Masing-masing negara baik negara maju maupun negara berkembang sangat berkepentingan dengan sektor pertanian. Bagi negara berkembang, sektor pertanian adalah sektor yang mampu menampung banyak tenaga kerja serta menghidupi sebagian besar masyarakat. Sebaliknya bagi negara maju, sektor pertanian adalah sektor yang wajib dilindungi karena pada sektor ini hidup sejumlah petani yang berhak mendapatkan perlidungan.

Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) VI yang diselenggarakan di Hong Kong pada akhir Desember 2005, negara-negara anggota telah mencapai suatu kesepakatan yang dinilai oleh banyak pihak cukup berhasil. Keberhasilan dari KTM VI terletak pada poin penting yaitu disepakatinya pembahasan mengenai 3 (tiga) pilar di sektor pertanian yakni dukungan domestik (domestic support), subsidi ekspor (export subsidy), dan akses pasar (market access). Pada pertemuan tersebut dilakukan kesepakatan untuk menghapus semua kebijakan yang mendistorsi perdagangan tersebut secara gradual hingga tahun 2013.

Fakta menunjukkan bahwa saat ini liberalisasi perdagangan yang berlangsung diantara negara-negara maju dan negara-negara berkembang belum berjalan sesuai harapan. Distorsi perdagangan yang menjurus kepada ketidak-adilan masih dilakukan oleh negara-negara maju dan masih diperkenankan pula oleh WTO. Negara maju terutama Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang memberikan dua kebijakan berupa bantuan domestik dan subsidi ekspor yang cukup besar kepada produsen dan eksportir mereka. Kondisi ini diperparah pula oleh adanya pengenaan tarif impor terhadap produk yang berasal dari negara berkembang.

Disamping dua kebijakan tersebut, negara maju ternyata menerapkan tarif impor yang relatif cukup besar terhadap komoditi yang berasal dari negara berkembang. Jepang bahkan merupakan negara yang paling memprotek pertanian mereka dari impor. Negara ini bahkan menerapkan rata-rata tarif impor 80 persen (Database GTAP 6.2) dan tarif impor yang tertinggi di dunia. Perlakuan yang sama juga dilakukan oleh Uni Eropa. Tingkat tarif negara ini masih berada diatas tarif impor yang diberlakukan oleh kebanyakan negara-negara berkembang.

Berbalikan dengan negara maju, karena minimnya ketersediaan dana negara berkembang termasuk Indonesia mampu memberikan bantuan (dukungan domestik dan subsidi ekspor) kepada produsen dan eksportir di negara mereka. Kebijakan negara maju yang terlalu bersifat protektif terhadap produk-produk domestiknya telah menyebabkan perdagangan dunia menjadi tidak seimbang dan tidak adil. Kebijakan tersebut justru tidak mengarah kepada hakekat liberalisasi yang sebenarnya, bahkan cenderung berbalikan dengan tujuan awal WTO.

Perlakuan negara maju yang bersifat protektif seperti diatas jelas merugikan negara-negara berkembang, sementara usulan negara berkembang untuk diperkenankan menerapkan tarif khusus pada produk tertentu kurang mendapat respon positif dari negara maju. Sebaliknya negara maju malah mendesak negara berkembang agar menghapus semua tarif impor, sementara negara maju sendiri masih menerapkannya. Perlakuan seperti ini jelas akan merugikan negara berkembang termasuk pada sektor pertanian dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sikap keras negara maju begitu kentara dalam

3

Page 4: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

setiap pertemuan negara anggota WTO. Perlakuan yang tidak adil seperti ini berpotensi untuk menyebabkan semakin lebarnya ketimpangan kesejahteraan antara negara maju dan berkembang.

Menyadari ketidak-adilan ini, negara berkembang merespon dengan cara menolak permintaan dari negara maju. Negara berkembang terutama melalui kelompok G33 yang diketuai Indonesia tetap mengusulkan untuk membolehkan pemberlakuan tarif khusus atau special products (SP). Tujuan dari SP adalah agar adanya reformasi perdagangan sehingga negara berkembang lebih mampu menyesuaikan diri dalam memperkuat ketahanan pangan, mengurangi kemiskinan yang erat hubungannya dengan livelihood security, serta pembangunan perdesaan. Kebijakan ini penting mengingat sebagian besar anggota WTO adalah negara berkembang dengan tingkat pendapatan yang masih rendah.

Kebijakan negara maju yang masih mempertahankan dukungan domestik dan subsidi ekspor serta permintaan negara berkembang untuk mendapatkan perlakuan khusus telah menyebabkan pertemuan WTO selalu diwarnai perdebatan. Persoalan konflik kepentingan yang memunculkan perdebatan terlihat menonjol pada setiap pertemuan negara-negara anggota. Faktor ini pulalah yang menyebabkan pertemuan yang dilakukan oleh WTO seringkali tidak menghasilkan kesepakatan yang signifikan. Salah satu contoh konkrit adalah pertemuan para perwakilan negara pada konferensi Jenewa yang berlangsung dari tanggal 21 sampai dengan 27 Juli 2008. Pada pertemuan tersebut terdapat dua kutub yang saling berbeda pendapat. Negara berkembang tetap mempertahankan usulan mereka mengenai konsep SP.

Saat ini negara-negara anggota G33 telah diperkenankan oleh WTO untuk menerapkan SP dalam batas-batas tertentu. Namun demikian, anehnya Indonesia sendiri masih memberlakukan tarif impor untuk beberapa produk termasuk produk UKM sektor pertanian dibawah tarif yang diperkenankan oleh WTO. Pertanyaan yang mencuat adalah ”mengapa pemerintah masih memberlakukan tarif impor dibawah ambang batas yang diperkenankan WTO? apakah tingkat tarif yang ditetapkan oleh Indonesia tersebut sudah tepat?” atau ”apakah penerapan tarif sampai ambang batas yang diperkenankan oleh WTO akan merugikan Indonesia?”. Pertanyaan tersebut perlu dijawab dengan melakukan suatu studi ilmiah. Alasan inilah yang melatarbelakangi munculnya studi ini.

1.2. Perumusan Masalah

Liberalisasi perdagangan yang ditandai dengan penghapusan dukungan domestik, subsidi ekspor dan pembukaan akses pasar telah memunculkan dilema berupa peluang dan tantangan. Di satu sisi negara-negara anggota mendapatkan peluang untuk meningkatkan ekspor, namun di sisi lain negara yang tidak memiliki keunggulan komparatif akan berperan sebagai pemasok produk impor sehingga akan cenderung dirugikan. Oleh karena itu, liberalisasi perdagangan diyakini akan merubah peta aliran dan kekuatan perdagangan dunia.

Terlepas dari perdebatan mengenai dampak positif dan negatif dari liberalisasi perdagangan, secara teoritis liberalisasi tersebut diyakini akan memunculkan peluang dan tantangan. Selain itu, liberalisasi juga diyakini akan menyebabkan berubahnya peta perdagangan dunia. Perubahan tersebut diperkirakan akan cenderung merugikan negara berkembang termasuk Indonesia,

4

Page 5: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

mengingat sebagian besar produk pertanian Indonesia dihasilkan oleh UMKM. Beberapa peneliti, oleh karena itu, berpendapat bahwa setiap negara yang terlibat idealnya memiliki struktur ekonomi yang seimbang (Mukhtar, 2004). Jika hanya ada satu atau sekelompok negara saja yang unggul maka akan muncul suatu negara atau kelompok yang mendominasi bahkan menjadi pemangsa atau predator, sebaliknya negara yang lemah akan menjadi korban (victim) dan semakin tertinggal. Di antara negara-negara anggota WTO, perdagangan antara negara berkembang dan negara maju selama ini telah berjalan dengan tidak seimbang. Untuk mengatasi ketidak seimbangan perdagangan antara negara maju dan berkembang maka usulan penerapan tarif khusus perlu menjadi pertimbangan bagi keadilan dalam perdagangan. Oleh karena itu penerapan tarif khusus oleh Indonesia perlu dilakukan, agar dapat diketahui peluang yang dapat dimanfaatkan.

Haryadi (2009) meneliti tentang dampak dari semakin mengglobalnya perekonomian dunia. Temuannya menunjukkan bahwa globalisasi memang telah meningkatkan pertumbuhan ekonomi dunia. Namun demikian, peningkatan tersebut sebagian besar dinikmati oleh negara maju. Negara berkembang merupakan kelompok negara yang lebih banyak berperan sebagai importir termasuk untuk komoditi pertanian. Indonesia adalah salah satu contoh dari negara yang net importir sebagian besar kebutuhan produk pertaniannya dari luar negeri (Tabel 1). Fakta ini menunjukkan bahwa walaupun sesungguhnya Indonesia juga mengekspor produk pertanian yang sebagian besar dihasilkan oleh UMKM, namun bila dibandingkan dengan impor produk yang sama, maka nilai/volume impornya lebih besar dibandingkan dengan nilai/volume ekspornya. Posisi Indonesia tidak hanya sebagai net importir saja yang lebih ironis lagi adalah bila dilihat berdasarkan peringkat, impor Indonesia untuk produk-produk tersebut selalu berada pada peringkat 10 besar dunia.

Tabel 1. Peta Status dan Posisi Neraca Perdagangan Indonesia diantara Negara-negara/wilayah di dunia

(U$S Juta)

Komoditi Nilai Ekspor

NilaiImpor Status Posisi

Besar Defisit/surplus

Beras 24.8 180.5 Importir 2 -155.7Gandum 12.1 418.9 Importir 3 -406.8Jagung 6.2 137.3 Importir 6 -131.1Hortikultura 194.3 261.3 Importir 7 -67Kedele 15.7 349.2 Importir 4 -333.5Gula 19.5 168.8 Importir 6 -149.3Kapas 3.6 699.1 Importir 2 -695.5Ternak 432.8 246.3 Eksportir 6 186.5Kehutanan 347.3 37.6 Eksportir 5 309.7Minyak Nabati

1 560.2 39.8 Eksportir 3 1 520.4

Susu 107.7 356.7 Importir 9 -249Sumber: Database GTAP 6.2 (diolah)

5

Page 6: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

Haryadi (2009) ternyata konsisten dengan Arifin (2008) yang menyatakan globalisasi telah menyebabkan peran perusahaan multinasional semakin besar di negara berkembang termasuk di Indonesia. Seperti terlihat pada tabel 2.2. perusahaan-perusahaan domestik yang selama ini menjadi tuan rumah di negeri sendiri, sekarang sahamnya sebagian besar sudah dikuasai oleh perusahaan asing.

Sekilas memang terlihat bahwa kebutuhan terhadap produk agroindustri termasuk produk makanan tidak perlu lagi diusahakan oleh Indonesia. Produk tersebut dapat dipenuhi oleh perusahaan asing. Indonesia dapat memperolehnya dimana saja di negeri ini. Selain akses untuk mendapatkannya lebih mudah dan produknya yang berkualitas, akan tetapi harganya juga relative sangat terjangkau bagi masyarakat Indonesia, termasuk yang berpenghasilan rendah. Namun demikian bila dilihat lebih jauh, ternyata posisi Indonesia tidak lagi menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Indonesia telah menjadi konsumen yang baik, sementera pedagangnya adalah warga asing namun dengan nama perusahaan tetap menggunakan bahasa Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut menguasai lebih dari 70 persen pangsa pasar agroindustri di Indonesia.

Tabel 2. Perusahan Agroindustri Yang Dikuasai Perusahaan Multinasional

Nama Merek Produk Investor Saham PemilikABC Kecap H.J. Heinz (AS) 65% PT ABC Central FoodSariwangi Teh

CelupUnilever 100% PT Sariwangi

Bango Kecap Unilever 100% PT Sakira Aneka Food

Taro Makanan ringan

Unilever 100% PT Rasa Murni Utama

AQUA AMDK Danone (Prancis) 74% PT Tirta InvestamaHelios Nyam2 Biskuit Camp bel 100% PT Helios Aryo PutraADES AMDK Cocacola 100% PT Adel Affindo PSSGM Susu/

Makan bayi

NUMICO (Belanda)

82% PT Sari Husada

Dji Sam Soe A Mild

Rokok Kretek

Philip Moris (AS)

100% PT. HM Sampurna

Sumber: Kompas (2 September 2008)

1.3. Tujuan PenelitianSecara khusus penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak

pemberian perlakuan khusus dan berbeda melalui penerapan SP terhadap kinerja perdagangan pertanian dan UMKM di Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori dan Distorsi dalam Perdagangan InternasionalPerbedaan sumberdaya yang dimiliki menyebabkan setiap negara berusaha

menghasilkan produk yang bisa diproduksinya dengan biaya yang relatif lebih murah dibanding mengimpor, dan selanjutnya menjualnya ke negara lain yang

6

Page 7: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

memproduksinya dengan biaya yang relatif lebih mahal. Kondisi ini selanjutnya memunculkan spesialisasi dalam perdagangan, selanjutnya spesialisasi akan memberikan manfaat atau gain from trade pada setiap negara. (Caves et. al., 1993; Chacoliades, 1978; Krugman dan Obstfeld (2000) dan Salvatore, 2000).

Analisis tentang perdagangan internasional bisa dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan: Pertama, melalui pendekatan keseimbangan parsial. Kedua, melalui pendekatan keseimbangan umum. Pendekatan keseimbangan parsial menganalisis segala bentuk kebijakan perdagangan yang mendistorsi pasar di suatu pasar tertentu tanpa secara eksplisit memperhitungkan konsekuensi-konsekuaensi terhadap pasar-pasar lainnya, sementara analisis keseimbangan umum melihat pasar sebagai suatu sistem.

Pada pendekatan keseimbangan umum, perubahan dalam suatu pasar akan berakibat perubahan pula di pasar lainnya. Sebagai contoh, ketika pemerintah negara A mengenakan memberlakukan kebijakan tarif pada produk X1, maka harga relatif produk tersebut di domestik akan meningkat. Kenaikan harga relatif ini mendorong produsen domestik untuk meningkatkan produksi X1 dan mengurangi produksi X2. Bersamaan dengan itu, faktor produksi seperti tenaga kerja akan berpindah ke industri yang menghasilkan X1. Dalam keseimbangan parsial kejadian di industri lain tidak terlihat, padahal dengan mengasumsikan perekonomian berada dalam keadaan tenaga kerja penuh (full employment), maka produksi X2 akan menurun. Contoh lain adalah ketika impor negara A menurun karena pengenaan tarif. Negara lain yang terkena dampak ini akan menurun penerimaannya sehingga kemampuan mengimpornya juga akan turun. Untuk melakukan cara-cara yang komprehensif dalam melihat dampak tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan analisis keseimbangan umum.

Berikut akan dijelaskan dampak distorsi perdagangan internasional dengan menggunakan pendekatan keseimbangan umum. Secara grafis, terjadinya perdagangan antara dua negara, dapat dijelaskan melalui Gambar 1. Model ini merangkum seluruh informasi mengenai produksi, konsumsi, dan perdagangan antar kedua negara dalam kondisi keseimbangan (equilibrium) menjadi satu diagram yang utuh. Blok-blok produksi dari negara 1 dan 2 digabungkan pada satu tempat yang terpusat di titik E*, dimana kurva tawar-menawar antara kedua negara saling berpotongan.

Untuk menyederhanakan analisis, ansumsi-asumsi yang dipergunakan dalam pembahasan ini adalah: (1) hanya ada dua negara di dunia, yaitu negara A dan negara B atau gabungan negara-negara lainnya (rest of world atau ROW), (2) hanya terdapat dua produk dalam perdagangan, (3) pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna, dan (4) perekonomian berada dalam kondisi full employment.

Proses terjadinya perdagangan dapat dijelaskan seperti pada Gambar 1. Setelah perdagangan berlangsung, negara 1 akan memproduksi 130X dan 20Y (titik E yang identik dengan titik E*). Negara tersebut akan mengkonsumsi 70X dan 80Y (juga ditunjukkan oleh titik E yang sama namun ditarik dari pusat sumbu atau 0), sedangkan 60X dan 60Y sisanya akan diperdagangkan dengan negara 2. Sementara itu negara 2 memproduksi 40X dan 120Y (titik E’ yang juga identik dengan titik E*). Negara 2 mengkonsumsi 100X dan 60Y (juga disimbolkan oleh

7

Page 8: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

Y

X

120

100

80

60 40 20 20 40 60 80 100 120 140

60

40

20

0

20

40

60

80

Y

X

E

E’

E’

Negara 1

Negara 2

PB=PB’=11

2III

III’

titik E’ yang sama namun mengacu pada pusat sumbu atau 0), sementara sisanya akan diperdagangkan dengan negara 1.

Secara teoritis, sebagaimana pemikiran kaum klasik maupun neo-klasik, sistem perdagangan bebas antar negara akan dapat menciptakan manfaat yang maksimal. Namun demikian, mekanisme pasar tidak selalu berjalan secara sempurna. Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali terdapat campur tangan (intervensi) pemerintah yang berakibat pada munculnya distorsi pasar. Salah satu bentuk intervensi yang sering ditemukan antara lain adalah berupa pemberlakuan tarif impor.

Gambar 1. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara Sumber: Salvatore (2000)

2.2. Beberapa Studi Terdahulu Tentang Liberalisasi Perdagangan Terdapat beberapa peneliti yang sudah mengkaji dan menganalisis dampak liberalisasi terhadap kinerja perekonomian baik dalam konteks suatu negara maupun dalam konteks yang lebih luas. Sebagian menemukan dampak positif sementara sebagian lagi menemukan dampak negatif. Devaragan et.al. (1990) melihat dampak liberalisasi perdagangan dengan titik fokus pada model dua sektor. Dengan menggunakan persamaan simultan, ditemukan bahwa perubahan term of trade (TOT) pada negara-negara Afrika telah menimbulkan efek pendapatan yang menyebabkan permintaan barang untuk kebutuhan domestik meningkat dengan kecendrungan impornya lebih tinggi. Dengan demikian yang

8

Page 9: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

terjadi bukanlah perbaikan ekonomi negara-negara tersebut, akan tetapi adalah memburuknya neraca perdagangan. Temuan ini konsisten dengan Aggarwal dan Agmon dalam Wijaya (2000) dan Paulino dan Thirwall (2004). Pengujian terhadap dampak liberalisasi perdagangan juga dilakukan oleh Lopez (2003). Dalam kajiannya, Lopez menguji dampak dari liberalisasi perdagangan regional yang meliputi NAFTA terhadap neraca pembayaran dan neraca perdagangan Meksiko selama 1980-an. Lopez menemukan bahwa reformasi perdagangan selama 1980-an berpengaruh signifikan terhadap perdagangan, ekspor dan impor. Namun demikian, pengaruh NAFTA dapat diabaikan. Artinya, NAFTA ternyata tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap ekspor dan impor serta neraca pembayaran Meksiko. Ada dugaan bahwa perbedaan struktur ekonomi negara-negara anggota merupakan penyebab tidak munculnya dampak tersebut.

Dalam konteks AFTA, dampak liberalisasi perdagangan diteliti oleh Hakim (2004). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dampak AFTA cukup besar bagi perekonomian negara anggota. Dengan menggunakan Recursive Dynamic Multi-Region Computable General Equilibrium, liberalisasi perdagangan diprediksi akan meningkatkan perdagangan diantara negara-negara anggota ASEAN secara keseluruhan. Namun demikian, diantara negara-negara Anggota ASEAN, peningkatan real GDP Indonesia diperkirakan adalah yang terkecil.

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber DataPenelitian ini akan menggunakan data sekunder yang sebagian besar

berasal dari database General Trade Alayisis Project (GTAP) versi 6.2. Data pelengkap lainnya berasal dari Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Depertemen Luar Negeri dan lain-lain.

Alat analisis utama yang digunakan adalah CGE dengan model multinegara GTAP 6.2. Di dalam data dasar GTAP terdapat 87 negara/wilayah dan 57 sektor komoditi. Data negara/wilayah dan sektor yang banyak ini akan dikelompokkan dan dipisahkan sesuai dengan kepentingan penelitian ini. Proses pemilahan dan penggabungan ini (disagregasi dan agregasi) akan ditentukan oleh berbagai pertimbangan: (1) untuk negara-negara ASEAN, selagi negara-negara tersebut berdiri sendiri dalam data base GTAP, maka akan tetap dibiarkan berdiri sendiri, namun bila di dalam data base negara anggota ASEAN tersebut berada dalam suatu wilayah maka akan tetap dibiarkan bergabung karena biasanya kontribusinya di dalam perdagangan internasional cukup kecil. Kondisi yang sama juga akan diperlakukan pada sektor komoditi, (2) komoditi pertanian yang merepresentasikan UMKM akan dipisahkan berdasarkan kelompok-kelompok industri seperti yang terdapat dalam data dasar GTAP 6.2.

Dengan mendasarkan pada pertimbangan diatas, maka dalam penelitian ini direncanakan negara-negara atau wilayah akan diagregasi ke dalam 13 wilayah (Tabel 3), sementara komoditi akan dikelompokkan menjadi 16 (Tabel 4).

9

Page 10: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

Tabel 3. Agregasi Negara Berdasarkan Database General Trade Analisis Project Versi 6.2

A. Negara MajuNo Kode Keterangan Wilayah dalam GTAP

1 ANZ Australia, Selandia Baru

Australia, Selandia Baru

2 Jpg Jepang Jepang3 USA Amerika

SerikatAmerika Serikat

4 EU Uni Eropa Austria; Belanda; Belgia; Denmark; Finlandia; Francis; German; Inggris; Irlandia; Italia; Luxemburg; Portugal; Spanyol: Swedia; Yunani;

B. Negara Berkembang No Kode Deskripsi

1 Chn Cina Cina2 Idn Indonesia Indonesia3 Mys Malaysia Malaysia4 Phl Philipina Philipina5 Tha Thailand Thailand6 Vnm Vietnam Vietnam7

XseASEAN lainnya Negara-negara Asean diluar 6,7,8,9, dan 10.

8 G33 G33 Korea;India;Sri Lanka; Peru; Venezuela; Turki; Bostwana; Mozambique; Tanzania; Zambia; Zimbabwe; Madagaskar: Uganda.

9 ROW Selain negara/wilayah dari 1 sampai 8 diatas

Rest of Oceania; Hong Kong; Taiwan; Rest of East Asia; Kanada; Mexiko; Rest of North America; Kolumbia; Rest of Andrean Pact; Argentina; Brazil: Chili; Uruguay; Rest of South America; America Tengah; Cyprus; Hungaria; Malta; Polandia; Slovakia; Slovenia; Latvia; Lithuania;Rest of FTAA; Rest of The Carribian; Swiss; Rest of EFTA; Rest of Europe; Albania; Estonia; Czech Republic; Bulgaria; Kroasia; Romania; Federasi Russia; Rest of Former Soviet Union; Rest of Middle East; Maroko; Tunisia; Rest of North Africa; Afrika Selatan; Rest of South African CU; Malawi; Resto of Sub-Saharan Africa

Sementara itu, pertimbangan dalam menempatkan G33 sebagai suatu wilayah adalah karena kelompok ini memegang peran yang cukup penting dalam proses perundingan WTO. Kenyataan ini terlihat dari intensitas kelompok ini dalam mengajukan proposal termasuk dalam memperjuangkan perlakuan khusus dan berbeda melalui konsep SP dan SSM, meskipun peran mereka dalam konteks perdagangan produk pertanian dengan Indonesia tidak begitu menonjol.

10

Page 11: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

Tabel 4. memperlihatkan hasil agregasi sektor berdasarkan datadasar GTAP 6.2. Jumlah sektor diagregasi menjadi 17 (tujuh belas). Pemilihan sektor dilakukan melalui dua tahapan seleksi. Tahapan pertama adalah memilih sektor yang merupakan sektor strategis dan tersedia dalam database GTAP. Sektor-sektor ini dibuat berdiri sendiri (tidak dikelompokkan dengan sektor lain). Tahapan kedua adalah memilih sektor yang dinilai juga strategis namun tidak terdapat dalam database GTAP. Untuk sektor ini, digunakan agregasi agar posisi dan dampak penetapan tarif, subsidi ekspor, dan dukungan domestik bisa teridentifikasi. Sebagai contoh, untuk komoditas kelapa sawit dan olahannya yang merupakan komoditas strategis karena merupakan komoditas dengan tujuan ekspor dimana Indonesia adalah eksportir terbesar dunia. Namun demikian, karena komoditas ini tidak berdiri sendiri dalam database GTAP, maka dalam penelitian ini digunakan agregasi dengan cara memilih sektor dimana komoditas tersebut tergabung. Misalnya, untuk kelapa sawit, dipilih sektor minyak nabati sebagai sektor, karena dalam database GTAP, minyak kelapa sawit tergabung dalam kelompok minyak nabati. Begitu pula dengan komoditi-komoditi lain yang mana Indonesia juga merupakan produser terbesar sekaligus juga eksportir terbesar.

Tabel . 2 Agregasi sektor Berdasarkan Database General Trade Analisis Project Versi 6.2

No. Kode Sektor Keterangan Sektor dalam GTAP

1 Padi Padi-padian dan Pengolahannya

pdr pcr

2 Gandum Gandum wht 3 Jagung Jagung gro 4 Horti Sayur-sayuran v_f 5 Kedelai Kadele osd 6 Gula Tebu dan Gula c_b sgr 7 Kapas Kapas;rami;dll pfb 8 Ternak Ternak dan

dagingnyactl oap cmt omt

9 Susu Susu rmk mil 10 Pertanian

lainnya Pertanian lainnyaocr wol

11 Kehutanan frs 12 Perikanan fsh 13 Minyak

Nabati Minyak Nabativol

14 Makanan Food and Ag, inc. onion pizzas

ofd b_t

15 Sektor Primer lainnya

Sektor Primer lainnya

coa oil gas omn

16 Manufaktur Seluruh produk tex wap lea lum ppp p_c crp nmm i_s

11

Page 12: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

manufaktur nfm fmp mvh otn ele ome omf 17 Jasa Services and

activities NESely gdt wtr cns trd otp wtp atp cmn ofi isr obs ros osg dwe

3.2. Metode Pengolahan Data Model GTAP diolah dengan menggunakan software RunGTAP. Tahapan

pengolahan data dapat dijelaskan melalui Gambar 2. Proses agregasi sektor dan negara/wilayah dilakukan dengan menggunakan GTAPAgg. Proses pengolahan data dengan RunGTAP akan dilakukan dengan menggunakan penyesuaian closure (penutup model) dan shock sesuai dengan tujuan penelitian. Olahan data ini akan menghasilkan keluaran (out) seperti solution, volume changes, dan decomposition. Error: Reference source not found

Gambar 2. Pemanfaatan General Trade Analysis Project Dengan Alat RunGTAP

3.3. Metode Analisis DataData dianalisis baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis

deskriptif dimaksudkan untuk melihat perkembangan dan alur perdagangan masing-masing negara/wilayah. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui kontribusi negara-negara anggota dalam perdagangan intra dan ekstra ASEAN. Berdasarkan analisis ini akan dapat diketahui arah dan dapat pula diidentifikasi peluang yang bisa dimanfaatkan oleh Indonesia. Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengukur dampak kebijakan liberalisasi perdagangan yang telah disepakati ASEAN dengan menggunakan GTAP versi 6. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu, bahwa GTAP baik sebagai sumber data maupun sebagai alat analisis memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan model lain. Melalui alat ini dampak suatu kebijakan terhadap kinerja ekonomi baik makro maupun sektoral akan dapat terdeteksi secara cepat dan akurat. Model GTAP secara detail dapat dilihat pada Hertel (1997).

Model GTAP adalah model standar dengan banyak negara dan banyak komoditas dengan mengaplikasikan model ekonomi keseimbangan umum. Pada model GTAP secara eksplisit dilakukan permodelan pada margin transport internasional. Suatu global bank juga dibentuk dalam model sebagai intermediasi dari investasi dan tabungan dunia. Sistem permintaan konsumen diduga dengan menggunakan Constant Difference of elasticities (CDE) untuk menangkap kepekaan terhadap perbedaan harga dan pendapatan antar negara (Hertel, et.al., 1997).

Selain itu, aliran barang dalam perdagangan internasional mengikuti model Armingthon (1969) dimana setiap produk dibedakan berdasarkan asal negara. Setiap barang diasumsikan substitusi yang tidak sempurna satu sama lainnya untuk komoditas yang diproduksi di dalam negeri. Dengan asumsi ini, model dapat menangkap aliran perdagangan antar dua negara. Kelemahan model ini adalah mengasumsikan sistem pasar persaingan sempurna dan skala usaha yang konstan pada aktivitas produksi. Hertel and Kenney(2005) mengakui bahwa pada konteks negara kecil dan terbuka, asumsi pasar persaingan sempurna mengakibatkan simulasi dampak penurunan tariff menjadi lebih besar dari yang

12

Page 13: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

sesungguhnya. Seperti diperlihat kan pada Gambar 2, model GTAP dengan data basenya diolah dengan menggunakan software RunGTAP. 3.4. . Struktur Model GTAP

Model GTAP (Global Trade Analysis Project) dikembangkan oleh Pusat Analisis Perdagangan Global (the centre for global Trade Analysis). Departemen Ekonomi Pertanian, Universitas Purdue, Indiana. Model GTAP merupakan model keseimbangan umum (CGE) ekonomi global yang bersifat statis komparatif, multi-regiondan multi sektor. Dibanding dengan model single country, model multi-region memiliki kelebihan untuk menjelaskan interaksi antar ekonomi yang berbeda. Pengaruh pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktural yang terjadi di negara-negara lain terhadap perekonomian nasional dapat dinyatakan secara eksplisit dengan model multi-region (Oktaviani, 2000).

Struktur model GTAP terdiri dari persamaan-persamaan simultan yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: (1) Persamaan yang menggambarkan hubungan antara penerimaan dan pengeluaran oleh setiap agen ekonomi di suatu region (accounting relationship), dan (2) persamaan yang menjelaskan suatu perilaku agen ekonomi (behavioral equations). Semua set, sub-set, parameter dan variabel bentuk nominal (value/ levels form) dinotasikan dengan huruf kapital. Sedangkan variabel dalam bentuk persentase perubahan (percentage change) atau bentuk linier dinotasikan dengan huruf kecil. Sebagai contoh: adalah variabel bentuk level untuk harga pasar komoditi i di region r, dan = / adalah bentuk linier dari variabel harga tersebut. Untuk lebih jelas mengenai struktur model GTAP dapat dilihat pada Hertel (1997).

3.5. Simulasi KebijakanDalam menganalisis dampak kebijakan perlakuan khusus, akan dilakukan

beberapa simulasi dengan menggunakan beberapa skenario.1. Negara maju dan negara berkembang kecuali Indonesia

menghapus semua bentuk hambatan perdagangan, sementara Indonesia menerapkan tarif untuk SP.

2. Hambatan perdagangan dibiarkan seperti apa adanya, sementara Indonesia menerapkan SP.

3. Negara maju menghapus semua hambatan perdagangan sementara tarif SP diberlakukan pada semua negara berkembang dengan besaran yang sama.

4. Negara maju dan berkembang meneruskan kebijakan tarif yang diberlakukan pada saat ini, sementara Indonesia menerapkan kebijakan tarif sesuai keputusan Menteri (Kepmen Nomor 591Tahun 2004).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Dampak Tarif SP Terhadap Kinerja Output

13

Page 14: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

Simulasi ini bermaksud untuk menjawab pertanyaan tentang dampak penerapan tarif SP terhadap perubahan tingkat output UMKM sektor pertanian di Indonesia. Sebagaimana ditampilkan pada Tabel 5, bahwa semua sektor yang dikenakan tarif impor menunjukkan peningkatan output. Indikasi ini terlihat dari peningkatan output pada produksi padi, gandum, jagung, kedele, gula, ternak dan susu yang menunjukkan peningkatan impor lebih besar dari penerapan tarif SP secara total. Skenario 1 menunjukkan hasil yang terbaik diantara beberapa skenario yang dilakukan. Hasil yang baik tersebut terlihat dari meningkatnya output untuk semua komoditi yang diberlakukan tarif khusus untuk impor. Peningkatan terbesar terjadi pada komoditi susu 106,41%. Komoditi lain yang juga mengalami peningkatan yang cukup besar adalah kedele 29,32%, diikuti oleh gandum 11,59%, dan gula 8,39%.

Skenario lainnya, meskipun ada yang menunjukkan dampak positif atas perlakuan khusus terhadap negara Indonesia, namun dampak tersebut masih relatif lebih kecil dibandingkan dengan dampak pada skenario pertama. Skenario ketiga yang membiarkan kondisi hambatan perdagangan sebagaimana yang terjadi saat ini ternyata memberikan hasil yang paling buruk dalam konteks meningkatkan output. Hasil ini mengindikasikan bahwa perdagangan dalam kondisi sekarang tidak menguntungkan bagi Indonesia. Perlakuan tidak fair dari negara maju yang cenderung melindungi dan mensubsidi produsen dan eksportir mereka diperkirakan ikut memperburuk posisi perdagangan Indonesia.

Tabel 5. Perbandingan Antara Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan dan Penerapan SP Terhadap Output Produk UMKM Sektor Pertanian (%)

Komoditi/Skenario Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4

Padi 2.69 3.6 3.61 0.57Gandum 11.59 0.56 0.58 0.1Jagung 5.06 4.17 4.26 0.57Horti 2.44 2.69 2.7 0.16Kedelai 29.32 12.84 13.42 -0.11Gula 8.39 7.66 7.61 1.43Kapas -5.03 -4.65 -4.62 -0.47Ternak 4.22 2.16 1.96 -0.21Susu 106.41 101.13 101.05 0.81Kehutanan -3.07 -0.8 -0.79 -0.19Perikanan -0.58 -0.33 -0.31 0.34Minyak Nabati 10.02 -0.95 -0.56 -0.04Makanan -0.58 0.22 0.21 1.56Sektor Primer lainnya -3.04 -0.67 -0.66 -0.16Keterangan: 1. Dunia hapus total, Indonesia SP. 2. Dunia tetap, Indonesia SP. 3.

Dunia tetap, negara berkembang menerapkan tarif SP yang sama. 4. dunia tetap, Indonesia menerapkan sesuai dengan Kepmen Nomor 591 Tahun 2004.

14

Page 15: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

Tabel 5 juga memperlihatkan bahwa komoditi yang peningkatannya secara persentase relatif kecil adalah komoditi yang pada skenario penghapusan tarif menunjukkan penurunan. Komoditi-komoditi yang peningkatannya relatif kecil atau dibawah 10% yaitu padi, jagung, hortikultura, gula, dan kelompok sektor pertanian lainnya. Peningkatan yang relatif kecil ini mengindikasikan bahwa daya saing produk ini relatif rendah terhadap produk impor. Hal ini berarti bahwa untuk tujuan meningkatkan output ternyata penerapan SP oleh Indonesia sampai pada ambang batas tertinggi dinilai lebih baik.

Hasil simulasi ini mendukung pendapat yang menyatakan bahwa semakin tinggi tarif maka semakin tinggi pula peningkatan produksi dalam negeri. Pengenaan tarif terhadap produk impor akan lebih memberikan keleluasaan kepada produsen domestik untuk meningkatkan produksinya. Dengan mengenakan tarif terhadap produk impor maka harga produk impor tersebut akan meningkat di pasar domestik karena harga yang berlaku adalah (VOM) atau nilai output ditingkat pasar yang merupakan nilai output ditingkat agen (VOA) ditambah pajak (PTAX).

Peningkatan harga berdampak pada penurunan permintaan terhadap produk impor. Dampak selanjutnya adalah produsen dalam negeri terhindar dari persaingan dari produk impor. Kondisi seperti inilah yang diinginkan oleh produsen dalam negeri. Oleh sebab itu kebijakan tarif memiliki alasan yang kuat karena salah satu tujuannya adalah untuk melindungi produsen dalam negeri terhadap pesaing dari luar negeri. Konsumen dalam negeri akan cenderung memilih produk domestik yang relatif lebih murah harganya dibanding produk impor. Preferensi konsumen ini selanjutnya meningkatkan permintaan terhadap produk dalam negeri, sehingga merangsang produsen untuk meningkatkan produksinya.

4.2.2. Dampak Penerapan Tarif SP Terhadap Terhadap Impor Produk UMKM Sektor Pertanian

Hasil simulasi (Tabel 6) menjawab pertanyaan tentang dampak penerapan berbagai sknario SP terhadap perubahan impor Indonesia. Sebagaimana ditampilkan pada Tabel 6 bahwa semua sektor yang mengalami penerapan tarif SP berupa penghapusan tarif impor mengalami penurunan volume impor. Hasil simulasi ini mendukung pendapat yang menyatakan bahwa tarif impor cenderung menghambat perdagangan. Namun demikian, dampaknya tergantung kepada tujuan kebijakan. Jika tujuannya adalah untuk mendorong produksi dalam negeri maka kebijakan ini akan berdampak positif.

Jika skenario pertama yang dilakukan, maka akan terjadi penurunan impor pada hampir semua komoditi. Satu-satunya komoditi yang dikenakan pajak impor tapi masih mengalami peningkatan impor adalah gandum. Kenaikan impor ini diduga karena kebutuhan dalam negeri yang juga meningkat tajam sebagai dampak dari meningkatnya industri makanan. Peningkatan volume impor terbesar terjadi pada impor padi 111,95%, diikuti oleh susu 85,58%, gula 69,39%, ternak 56,21%, dan hortikultura 47%. Hasil simulasi ini menunjukkan bahwa kebijakan

15

Page 16: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

penerapan tarif SP relatif cukup baik untuk diterapkan jika tujuan pemerintah adalah untuk menekan impor dan meningkatkan produksi dalam negeri.

Berdasarkan Tabel 6, skenario dua menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding skenario lainnya. Semua komoditi yang dikenai pajak impor mengalami penurunan impor. Secara persentase, penurunannya impor pada skenario 2 (negara maju dan berkembang menerapkan tarif sebagaimana yang terjadi pada saat ini namun Indonesia menerapkan SP pada ambang batas tertinggi) lebih besar dibanding skenario lainnya.

16

Page 17: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

Tabel 6. Perbandingan Antara Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan dan Penerapan SP Terhadap Impor Produk UMKM Sektor Pertanian (%)

Komoditi/Skenario Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4

Padi -111.95 -126.17 -124.84 -15.97Gandum 2 -0.38 -0.31 1.11Jagung -24 -25.74 -25.76 0.79Horti -47.87 -48.84 -48.94 -1.39Kedelai -24.89 -30.71 -30.6 0.26Gula -69.39 -68.85 -68.9 -12.73Kapas 0.19 -0.45 -0.49 -0.08Ternak -56.21 -59.49 -59.89 -0.4Susu -85.58 -85.57 -85.61 -1.56Perikanan 3.68 -0.78 -0.71 1.13Minyak Nabati 24.06 4.34 2.86 0.24Sektor Primer Lainnya

-0.96 -1.11 -1.15 -0.24

Keterangan: 1. Dunia hapus total, Indonesia SP. 2. Dunia tetap, Indonesia SP. 3. Dunia tetap, negara berkembang menerapkan tarif SP yang sama. 4. dunia tetap, Indonesia menerapkan sesuai dengan Kepmen Nomor 591 Tahun 2004.

4.3. Dampak Penerapan Tarif SP Terhadap Ekspor Produk UMKM Sektor

PertanianHasil simulasi (Tabel 7) menjawab pertanyaan tentang dampak bebagai

skenario kebijakan penerapan tarif SP terhadap kinerja ekspor Indonesia. Sebagaimana ditampilkan pada Tabel tersebut, dampak penerapan berbagai skenario tersebut ternyata menyebabkan ekspor Indonesia turun. Secara teoritis dampak penerapan tarif terhadap ekspor tergantung kepada dua hal. Pertama, jika penerapan tarif impor oleh suatu negara diikuti pula oleh penerapan tarif yang sama oleh negara lain, maka hal ini tidak akan mendongkrak ekspor negara itu, walaupun tingkat produksi tersebut meningkat di dalam negeri.

Kondisi ini disebabkan karena produk-produk negara itu juga dikenakan tarif yang sama oleh negara lain. Ini berarti bahwa produk-produk negara itu juga mengalami penurunan daya saing karena kedua negara menerapkan perlakuan yang sama. Kedua, jika penerapan tarif hanya dilakukan secara sepihak, maka kebijakan penetapan tarif tersebut bisa berdampak pada meningkatnya ekspor. Penyebabnya adalah bahwa dengan tarif impor akan terjadi peningkatan produksi. Kenaikan produksi menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran di dalam negeri sehingga harga domestik, sehingga ekspor meningkat karena harga di luar negeri lebin mahal dibanding harga domestik.

Berdasarkan skenario pertama dalam hal mana semua negara di dunia menghapus tarif dan Indonesia menerapkan SP, terlihat bahwa sektor-sektor yang

17

Page 18: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

mengalami penurunan ekspor tersebut diantarnya adalah padi 632,83%. Sektor ini mengalami penurunan ekspor yang terbesar. Kondisi ini diperkirakan terjadi baik karena produksi dalam negeri lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Penurunan ekspor sektor padi cukup selaras dengan tujuan pemerintah untuk mememenuhi kebutuhan dalam negeri. Seperti telah disebutkan sebelumnya, sesungguhnya sektor padi mengalami peningkatan akibat pengenaan tarif impor, namun peningkatan tersebut relatif kecil 2,69%.

Tabel 7. Perbandingan Antara Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan dan Penerapan SP Terhadap Ekspor Produk UMKM Sektor Pertanian (%)

Komoditi/Skenario Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario

4Padi -632.83 -18.48 -4.82 -2.23Gandum -14.08 -6.72 -6.59 -0.58Jagung -6.77 -7.8 -6.82 -0.8Horti 21.56 -9.27 -12.42 -0.76Kedelai 5.54 -27.57 -24.63 -0.87Gula 27.21 -7.5 -11.25 -1.15Kapas 8.89 -5.97 -5.5 -0.44Ternak 129.04 -13.6 -26.51 -3.91Susu 43.69 -24.85 -42.05 -4.07Perikanan 7.6 0.27 0.14 -0.46Minyak nabati 84.14 -4.91 -1.97 -0.37Makanan -0.16 -2.32 1.81 -0.85Sektor Primer Lainnya

2.48 0.49 0.41 0.07

Keterangan: 1. Dunia hapus total, Indonesia SP. 2. Dunia tetap, Indonesia SP. 3. Dunia tetap, negara berkembang menerapkan tarif SP yang sama. 4. dunia tetap, Indonesia menerapkan sesuai dengan Kepmen Nomor 591 Tahun 2004.

Sektor lainnya yang mengalami penurunan ekspor cukup besar adalah ternak 129,04%. Peningkatan tersebut dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik sehingga dengan demikian berdampak pada menurunnya impor. Secara teoritis pengenaan tarif impor memang ditujukan untuk mendorong produksi domestik agar dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan produksi sendiri.

Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 7, sektor ternak adalah sektor yang mengalami peningkatan ekspor terbesar diantara sektor-sektor yang ada. Penerapan tarif SP mampu meningkatkan ekspor sektor ini 129,04%. Sektor lain yang ekspornya juga meningkat cukup besar setelah pemerintah mengenakan tarif impor terhadap produk yang sama adalah susu 43,69%, Gula 27,21%, hortikultura 21,56% dan kedele 5,54%.

18

Page 19: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

Penerapan tarif terhadap produk-produk yang tergolong ke dalam kelompok SP ternyata berdampak pula pada sektor-sektor lain. Hasil simulasi yang ditampilkan pada Tabel 7 juga memperlihatkan dampak penerapan tarif SP terhadap sektor-sektor yang tidak dikenakan tarif impor. Sebagai contoh adalah sektor minyak nabati yang meningkat 84,14%, namun secara persentase peningkatan ini masih lebih kecil dibandingkan jika pemerintah Indonesia juga ikut menghapuskan semua hambatan perdagangan. Hasil simulasi penghapusan semua hambatan perdagangan menunjukkan bahwa sektor minyak nabati mampu meningkat sebesar 93,10%.

V. KESIMPULAN

Dampak penerapan tarif SP oleh Indonesia secara keseluruhan menunjukkan hasil yang berbeda dibanding jika Indonesia juga menghapus semua hambatan perdagangan. Kebijakan ini mampu meningkatkan output dalam negeri terhadap produk-produk yang diproteksi dan juga penurunanan volume impor terhadap produk tersebut khususnya produk UMKM sektor Pertanian. Sementara itu Dampak kebijakan ini ternyata tidak begitu baik terhadap ekspor. Kondisi ini sebenarnya tidak menjadi masalah karena sebagaian besar output UMKM sektor pertanian domestik dipasarkan di dalam negeri. Ini berarti bahwa ada rangsangan bagi produsen dalam negeri untuk berinvestasi dalam rangka meningkatkan produksi dalam negeri. Kondisi ini relatif lebih baik dibandingkan dengan jika pemerintah Indonesia juga ikut menyepakati penghapusan hambatan perdagangan secara total. Penerapan tarif sekaligus mendukung kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk menurunkan mengurangi angka pengangguran.

Negara berkembang harus tetap mempertahankan posisi seperti yang terjadi pada setiap pertemuan WTO yaitu memperjuangkan tarif khusus dan mendesak negara maju menghapus dukungan domestik dan subsidi ekspor. Perlakuan khusus masih diperlukan untuk memberikan kesempatan kepada negara berkembang termasuk Indonesia dalam membenahi sektor pertaniannya. Liberalisasi perdagangan masih terlalu berbahaya bagi negara berkembang jika liberalisasi itu diartikan sebagai penerapan tarif nol.

Pemerintah harus mencari format yang tepat dan akurat dalam menentukan produk khusus yang akan dikenakan tarif, karena Keputusan Menteri Keuangan No 591 Tahun 2004 mengenai program harmonisasi tarif bea masuk ternyata tidak efektif dalam mendorong produksi domestik dan menekan impor. Penerapan tarif khusus selaras dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini yang berupaya untuk mengatasi permasalahan tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan. Peningkatan penyediaan lapangan kerja diperkirakan dapat membantu memecahkan persoalan tersebut, sembari memperkuat daya saing produk dalam negeri. 8.3. Implikasi Kebijakan

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka implementasi kebijakan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

Pemberlakuan tarif khusus terbukti mampu meningkatkan produksi dalam negeri, menekan impor serta meningkatkan lapangan kerja dalam negeri, meningkatkan TOT. Dampak ini cukup positif. Meskipun kebijakan ini juga berdampak negatif pada tingkat kesejahteraan dan PDB riil, namun secara

19

Page 20: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

persentase penurunannya relatif kecil bahkan dibawah 1 persen. Seiring dengan tujuan pemerintah untuk mengurangi pengangguran, kebijakan ini dinilai relatif baik untuk diimplementasikan. Kebijakan pemberlakuan tarif khusus tetap relevan untuk dilakukan sampai pada ambang batas tertinggi yang diperbolehkan oleh WTO. Hal ini amat penting mengingat komoditi yang mengalami peningkatan tersebut adalah komoditi strategis dan Indonesia amat berkepentingan agar mampu menjaga ketahanan pangan (food security), kelangsungan hidup (livelihood security), dan pembangunan perdesaan (rural development). Hal ini cukup beralasan mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di perdesaan dan berada di bawah garis kemiskinan.

Namun demikian, walaupun skenario 1 secara umum mampu memberikan dampak positif terbesar pada ekonomi secara sektoral, namun skenario tersebut relatif sulit untuk dilaksanakan. Disamping relatif kurang rasional (di saat negara lain menghapus tarif, Indonesia malah menerapkan tarif), kebijakan ini juga tidak mungkin terjadi karena negara berkembang lain juga masih memberlakukan tarif khusus. Skenario yang memungkinkan untuk dilakukan adalah skenario skenario 3, yakni dengan membiarkan negara lain memberlakukan tarif seperti yang terjadi saat ini, sementara itu Indonesia menerapkan tariff sampai pada ambang batas yang disepakati dengan WTO untuk produk-produk tertentu. Proses ini bisa berlangsung sampai dengan pelaksanan penghapusan hambatan perdagangan pada tiga pilar sektor pertanian tersebut betul-betul diimplementasikan. Namun demikian, bilamana skenario yang kedua yang terjadi, maka kebijakan ini relatif kurang memberikan dampak yang signifikan bagi berbagai sektor ekonomi Indonesia.

Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa Indonesia memang masih harus memberlakukan tarif terhadap produk-produk tertentu yang dianggap strategis, terutama untuk produk-produk yang dianggap perlu mendapatkan pengamanan bagi keberlangsungan hidup masyarakat banyak dan ini umumnya terjadi pada sektor pertanian. Mengingat skenario 4 yang menerapkan Kepmen Nomor 591 Tahun 2004 ternyata tidak efektif dan tidak signifikan dalam menciptakan dampak positif terhadap perekonomian Indonesia. Disarankan untuk merevisi ulang Kepmen tersebut. Hasil simulasi ini mampu menjawab pertanyaan tentang "siapkah Indonesia mengikuti perdagangan bebas?. Untuk saat ini ternyata kondisi tersebut belum memungkinkan.

DAFTAR PUSTAKA

Aggarwal, R. And T. Agmon. 1990. The International Success of Developing Country Firms: Role of Government Directted Comparative Advantage. Management International Review, 30 (2): 163-180.

Bhagwati, J. 1998. Free Trade: What Now?. Paper presented at the University of St. Gallen, Geneva. http://www.columbia.edu/~Jb/freedpm -Speech, The Case for Free Trade.pdf

20

Page 21: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

Balassa, B. 1982. Development Strategies in Semi-Industrial Economies. Oxford University Press, New York.

Brooks, D.H. and G. Sugiyarto. 2005. Can the Poor Benefit From Doha Agenda?: A Case for Indonesia. Asian Development Bank, Manila.

Chacoliades, M. 1978. International Trade: Theory and Policy. Mc Graw-Hill Book Company, London.

Coraton, C.B. and J. Cockburn. 2005. Trade Reform and Poverty in the Philippines: A Computable General Equilibrium Microsimulation Analysis. International Development Research Centre, Manila.

Crowley, M.A. 2003. An Introduction to the WTO and GATT. Economic Perspectives. Fourth Quarter. Federal Reserve Bank of Chicago, Chicago.

Devaragan, S., J.D. Lewis and S. Robinson. 1990. Policy Lessons from Trade Focussed: Two Sector Models. Journal of Policy Modelling, 12 (4): 625 -657.

Feder, G. 1982. The Impact of Export on Economic Growth. Journal of Development Economics,12 (3) : 59-73.

Feridhanusetyawan, T. and Pangestu, M. 2003. Indonesian Trade Liberalization: Estimating the gains. Bulletin of Indonesian Economics Studies, 39(1), 51-74.

Hakim, D.B. 2004. The Implication of the ASEAN Free Trade Area on Agricultural Trade: A Recursive Dynamic General Equilibrium Analysis. PhD Dissertation. Institut fur Agroeconomic Georg-August-Universitat Gottingen, Gottingen.

Hallet, A.J.H. 1994. The Impact of Economic on Trade in Developping Countries. The World Bank Research Observer, 9 (1): 121-146.

Haryadi. 2008. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Perekonomian Negara Maju dan Berkembang. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Heller, P.S. and M. Porter. 1978. Exports and Growth: An Empirical Reinvestigation. Journal of Development Economics, 5 (7): 191-193.

Hertel, T.W. 1997. Global Trade Analysis: Modelling and Applications. Cambridge University Press, Cambridge.

21

Page 22: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

Hertel, T.W. and R. Keeney. 2005. What’s at Stake: The Relative Importance of Import Barriers, Export Subsidies and Domestic Support. In Agricultural Trade Reform and the Doha Development Agenda. Palgrave Macmillan, New York.

Hutabarat, B., M.H. Sawit, Supriyati, B.M Rahmanto, A. Setiyanto and H.J. Purba. 2004. Bahan Advokasi Delegasi Indonesia Dalam Perundingan Multilateral. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Petanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.

Jensen, H.T. and F. Tarp. 2003. Trade Liberalisation and spatial Inequality: Methodological Innovations in A Vietnames perspective. United Nation University, New York.

Krugman, P. R. and M. Obstfeld. 2000. International Economics: Theory and Policy. Fifth Edition. Addison-Wesley Publishing Company, Boston.

Lopez, C. and P. Penélope. 2005. The Impact of Trade Liberalisation on Exports, Imports, the Balance of Payments and Growth: the Case of Mexico. Department of Economics, University of Kent, Canterbury.

Matusz, S.J. and D. Tarr. 1999. Adjusting to Trade Policy Reform. Policy

Research Working Paper 2142. The World Bank, Washington, D.C.

Oktaviani, R. 2000. The Impact of Trade Liberalization on Indonesian Economy and Its Agricultural Sector. PhD Thesis. Department of Agricultural Economics, University of Sydney, Sydney.

Paulino A.S. and A.P. Thirlwall. 2004. The Impact of Trade Liberalisation On Exports, Imports and The Balance of Payments of Developing Countries. The Economic Journal, 114 (02): F50–F72.

Salvatore, D. 1996. International Economics. Fifth Edition, Prentice Hall, New Jersey.

Walsh, K., M. Brockmeier and A. Matthews. 2005. Implications of Domestic Support Disciplines for Further Agricultural Trade Liberalization. IIIS Discussion Paper, 99 (10) : 102-138.

Wijaya, A. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Kinerja Ekonomi Indonesia: Suatu Pendekatan Makroekonometrika. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

World Bank. 2006. World Development Indicator Base. World Bank, Washington, D.C.

22

Page 23: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

World Trade Organization. 2003. Doha Ministerial Declaration. WTO Secretariat, Geneva.

________________________. 2005. Doha Work Programme Ministerial Conference in Hong Kong. Sixth Session. WTO Secretariat, Geneva.

________________________. 2006. Total Agregate Measure of Support. TN/AG/s/13. WTO Secretariat, Geneva.

23

Page 24: VI - Haryadi FE-UNJA · Web viewSemuanya optimis bahwa liberalisasi perdagangan akan dapat mendorong ekspor dan selanjutnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Setelah WTO

Selain mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Jambi dan beberapa perguruan tinggi swasta yang ada di Jambi, beliau juga mengajar pada Program Magister Ekonomika Pembangunan Universitas Jambi, Magister Manajemen Universitas Jambi. Pernah menjadi konsultan pada sebuah perusahaan Swedia (2000) serta PT Puri Consulting di Jakarta (2000-2003). Menjadi salah satu tim Asistensi Gubernur Jambi (2000), Kepala Promosi pada Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah (BAPEMPRODA) Provinsi Jambi (2000-2003), Ketua Kosentrasi Keuangan dan Perdagangan Internasional FE-UNJA. Direktur Eksekutif Center of Development for Regional Studies (CD-FORES) (2000-2003). Direktur Eksekutif pada Institute of Development Economic and Law. Menjadi tim ahli pada penyusunan program pembangunan daerah di beberapa Kabupaten dan Provinsi. Aktif pada berbagai organisasi kemasyarakatan. Saat ini beliau adalah Pembantu Dekan 3 Fakultas Ekonomi Universitas Jambi.

24

Haryadi, lahir di Sungai Tutung 01 April 1965. Pendidikan SD hingga SMA di tamatkannya di Sungai Penuh, Jambi dan Sarjana Ekonomi di raihnya dari Universitas Jambi pada tahun 1989. Pada tahun itu juga ia langsung diterima sebagai dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Jambi. Gelar Master diperolehnya dari University of Waikato, Hamilton (1998) dengan spesialisasi Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal Asing, sementara gelar doktor diraihnya dari Institut Pertanian Bogor (2008) dengan spesialisasi tataniaga dan perdagangan internasional.


Recommended