+ All Categories
Home > Documents > FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM ASPEK PERLINDUNGAN …

FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM ASPEK PERLINDUNGAN …

Date post: 20-Feb-2022
Category:
Upload: others
View: 12 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
26
78 FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM ASPEK PERLINDUNGAN KORBAN UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH) SEBAGAI BENTUK PEMBAHARUAN HUKUM “Formulation of Criminal Law in The Aspect of Protection of Victims of Hate Speech As A Form of Legal Renewal” Ahmad Khairuddin Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo Korespondensi: [email protected] Info Artikel Abstrak Kata Kunci: Perlindungan Hukum; Korban; HateSpecch. Cara Mengutip (APA Citation Style): Khairuddin, A. (2021). Formulasi Hukum Pidana Dalam Aspek Perlindungan Korban Ujaran Kebencian (Hate Speech) Sebagai Bentuk Pembaharuan Hukum. Philosophia Law Review, 1 (1) : 78-103 Tujuan Penelitian untuk mengetahui dan menganalisis tentang perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate speech) sebagai salah satu aspek yang perlu untuk mendapatkan payung hukum yang jelas dalam mengakomodir hak-hak korban khsusnya dalam memperoleh perlindungan hukum dari negara ketika terjadi tindakan ujaran kebencian (hate speech) yang dilakukan oleh pelaku.Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan jalan penelusuran hukum positif dan dokumen yang berkaitan dengan fokus masalah yang diteliti dengan menggunakan pendekatan Penelitian undang-undang (Statute Approach), pendekatan kasus (Case Approach)dan Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) dengan analisis secara deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa masih terdapat kekosongan hukum (vacuum rechts) yang mengatur secara khusus dan tegas tentang aspek perlindungan hukum korban ujaran kebencian. Formulasi hukum yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate Speech), secara esensial dalam menjaga eksistensi sebuah negara hukum perlu untuk melahirkan norma-norma melalui revisi Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang harus secara eksplisit mengatur tentang perlindungan hukum bagi korban ujaran kebencian, sehingga proporsionalitas antara kedudukan pelaku dan korban dalam konteks kasus ujaran kebencian dapat terimplementasikan secara seimbang sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang menjadi salah satu tujuan hukum.
Transcript

78

FORMULASIHUKUMPIDANADALAMASPEKPERLINDUNGANKORBAN

UJARANKEBENCIAN(HATESPEECH)SEBAGAIBENTUK

PEMBAHARUANHUKUM

“FormulationofCriminalLawinTheAspectofProtectionofVictimsofHateSpeechAsAFormofLegalRenewal”

AhmadKhairuddin

MagisterIlmuHukumProgramPascaSarjanaUniversitasNegeriGorontalo,GorontaloKorespondensi:[email protected]

InfoArtikel Abstrak

KataKunci:PerlindunganHukum;Korban;HateSpecch.CaraMengutip(APACitationStyle):Khairuddin, A. (2021).FormulasiHukumPidanaDalam AspekPerlindungan KorbanUjaran Kebencian (HateSpeech) Sebagai BentukPembaharuan Hukum.Philosophia Law Review,1(1):78-103

Tujuan Penelitian untuk mengetahui dan menganalisis tentangperlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate speech)sebagaisalahsatuaspekyangperluuntukmendapatkanpayunghukumyang jelas dalam mengakomodir hak-hak korban khsusnya dalammemperoleh perlindungan hukum dari negara ketika terjadi tindakanujarankebencian(hatespeech)yangdilakukanolehpelaku.Penelitianinimenggunakan jenis penelitian hukum yuridis normatif yaitu penelitianyang dilakukan dengan jalan penelusuran hukum positif dan dokumenyangberkaitandenganfokusmasalahyangditelitidenganmenggunakanpendekatan Penelitian undang-undang (Statute Approach), pendekatankasus (Case Approach)dan Pendekatan Konseptual (ConceptualApproach) dengan analisis secara deskriptif. Hasil penelitian inimenunjukanbahwamasihterdapatkekosonganhukum(vacuumrechts)yang mengatur secara khusus dan tegas tentang aspek perlindunganhukum korban ujaran kebencian. Formulasi hukum yang berkaitandengan perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hateSpeech),secaraesensialdalammenjagaeksistensisebuahnegarahukumperlu untuk melahirkan norma-norma melalui revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Perlindungan Saksi danKorban yang harus secara eksplisit mengatur tentang perlindunganhukumbagi korbanujarankebencian, sehinggaproporsionalitas antarakedudukan pelaku dan korban dalam konteks kasus ujaran kebenciandapat terimplementasikan secara seimbang sesuai dengan nilai-nilaikeadilanyangmenjadisalahsatutujuanhukum.

79

@2021-Khairuddin,A.UnderthelicenseCCBY-SA4.0

1.Pendahuluan

SetiapwarganegaraIndonesiatanpaterkecualiberhakmendapatkanperlindugan

hukum, hal ini jelas tertuang di dalam Konstitusi Indonesia (UUD NRI Tahun 1945)

Pasal 28DAyat (1) yang secara terangmenyebutkanbahwa setiaporangberhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang samadihadapanhukum.Konsekuensi sebagainegarahukum (rechtsstaat) pada

dasarnyahukumdicitakandanbertujuanuntukmencapai kedamaianhidupbersama,

yangmerupakankeserasianantaraketertibandanketentraman,1yangmengandungarti

segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara diaturmenurut hukumyangberlaku,makaberdasarkanhal tersebut telah

jelasbahwasemuatindakanyangdilakukanolehmasyarakatselakuwarganegaratidak

terlepasdari instrumenthukumyangmengaturuntukmelindungioranglaindidalam

kehidupanbermasyarakat.OlehsebabitusetiapwarganegaraIndonesiaberhakuntuk

mendapatkan perlindugan hukum baik secara fisik maupun dari sisi

pisikologi/kejiwaanya. Hal ini juga sesuai dengan “tujuan negara Republik Indonesia

1SoejonoSoekanto.(2007).SosiologiSuatuPengantar.Jakarta:PT.RajaGrafindoPersada.Hlm.179

ArticleInfo

Abstract

Keywords:Legal Protection; Victim;HateSpecch.

Howtocite(APACitationStyle):Khairuddin, A. (2021).FormulasiHukumPidanaDalam AspekPerlindungan KorbanUjaran Kebencian (HateSpeech) Sebagai BentukPembaharuan Hukum.Philosophia Law Review,1(1):78-103

The purpose of the study is to find out and analyze legal protection forvictims of hate speech as one of the aspects that need to get clear legalprotection inaccommodatingtherightsofvictims,especially inobtaininglegal protection from the state when there is an act of hate speechcommitted by the perpetrator. This study uses normative juridical lawresearch, namely research conducted byway of tracing positive law anddocumentsrelatedtothefocusoftheproblemunderstudy.Thisstudyusesa legal research approach, a case approach and a Conceptual Approachwithdescriptiveanalysis.Theresultsofthisstudyindicatethatthereisstilla legal vacuum (vacuum rechts) that specifically and firmly regulatesaspects of legal protection for victims of hate speech. Legal formulationsrelated to legal protection for victims of hate speech, essentially inmaintaining theexistenceofa legal state, it isnecessary to createnormsthrough revisions to theCriminal Codeand the Lawon theProtection ofWitnesses and Victims which explicitly regulates legal protection forvictimsofhatespeech,sothattheproportionalitybetweenthepositionoftheperpetratorand thevictim in thecontextofhate speechcasescanbeimplementedinabalancedmannerinaccordancewiththevaluesofjusticewhichisoneoftheobjectivesofthelaw.

80

dimana didalamnya terdapat perlindungan bagi masyarakat dan ada hak-hak

masyarakatyangdijamindalamsetiapaspekkehidupannya.”2

Perlindungan berfungsi untuk melindungi dan mengayomi seseorang terhadap

orang yang lebih lemah.MenurutMuchsin, perlindunganhukummerupakan kegiatan

untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-

kaidahyangmenjelmadalamsikapdantindakandalammenciptakanadanyaketertiban

dalam pergaulan hidup antar sesamamanusia.3 Perlindungan hukum dapat diartikan

segalaupayapemerintahuntukmenjaminadanyakepastianhukumuntukmemberikan

perlindungan kepadawarganya agar hak-haknya sebagai seorangwarga negara tidak

dilanggar dan dikenakan sanksi bagi seseorang yang melanggar peraturan tersebut

sesuaidenganperaturanyangberlakusertaakanmendapatkankonsekuensiterutama

padahukumpidana.

Salah satu pihak yang sangat membutuhkan perlindungan dari suatu tindak

pidanaadalahkorban tindakpidana.Korbanbegitupentinguntukdiberikanperhatian

danperlindunganyangberanjakdaripemikiranbahwakorbanmerupakanpihakyang

dirugikan ketika terjadinya suatu kejahatan, sehingga harusmendapat perhatian dan

pelayanan dalam rangkamemberikan perlindungan terhadap kepentingannya seperti

pemulihan nama baik di dalam masyarakat, keluarga, kelompok,serta keseimbangan

batindanlain-lain.

Fenomena kasus ujaran kebencian (Hate speech), banyakmerugikan dikalangan

masyarakat terutama sebagai korban (Hate speech) yang pada dasarnya merupakan

pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, karena tidak memperoleh

perlindungan sesuai yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku ujaran

kebencian.Secarayuridisperbuatanujarankebencian(Hatespeech)diaturdalamKitab

Undang-Undang Hukum Pidana pasal 156, pasal 157, pasal 310 dan pasal 311.

Sementaradalamundang-undangkhususperbuatanujarankebenciandiaturpadapasal

28 dan pasal 45Undang-UndangRepublik IndonesiaNomor 19 Tahun 2016Tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

2M.R.U. Puluhulawa, J. Puluhulawa,M.F.H.N.Musa. (2019).KebijakanKriminal DalamPenanggulanganTindakPidanaPenganiayaanMenggunakanPanahWayerOlehAnakdiKotaGorontalo. JurnalYuridis.Vol6,No.2.Hlm.94

3 Setiono. (2004). Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu Hukum ProgramPascasarjanaUniversitasSebelasMaret.Hlm.3

81

40Tahun2008TentangPenghapusanDiskriminasiRas,danEtnisyanghalinidiangap

sebagai genus delik/dasar delik dan dikategorikan berdasarkan putusan Mahkamah

Konstitusitahun2008Nomor50/PUU-VI/2008yangdinyatakansebagaisuatubentuk

delik aduan. Beberapa pasal dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun undang-undang khusus

sebagaimana yang disebutkan di atas merupakan instrument peraturan yang

mempunyai hubungan erat dengan delik ujaran kebencian (Hate speech). Letak

hubungan beberapa aturan tersebut berada pada materi pasal pengaturan ujaran

kebencian danmedia yang digunakan dalammelakukan perbuatan ujaran kebencian

sertasasaranyangmenjaditujuandilakukannyaperbuatanujarankebencian.

Mencermati hubungan beberapa regulasi yang mengatur tentang perbuatan

ujaran kebencian (Hate speech), dalam eksistensinya hadirnya berbagai regulasi

tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh warga

Negara, namun dalam kenyataannya berbagai regulasi tersebut belum efektif dalam

memberikan perlindungan hukum terutama terhadap kedudukan korban yang dapat

terlihat dari penyelesaian kasus ujaran kebencian (Hate speech), yang secara umum

diselesaikandenganupayapermohonanmaaf(restorativejustice).Dimanahalinitidak

terlepas dari belum lahirnya peraturan yang mengatur secara eksplisit terhadap

kedudukan korban ujaran kebencian (Hate speech), sehingga kondisi inimemperjelas

dan mempertegas bahwa dalam kasus ujaran kebencian masih terdapat kekosongan

hukum (rechts vacuum)yang mengatur secara khusus tentang perlindungan hukum

terhadapkorbanujarankebencian(hatespeech).Telahjelasbahwakedudukankorban

ujaran kebencian (hate speech) untuk memperoleh perlindungan hukum belum

terpenuhi akibat masih terdapatnya kekosongan hukum (rechts vacuum), “padahal

hadirnyahukumdalamkehidupanmasyarakatsangatdiperlukangunamengkondisikan

suasana yang harmonis dan terorganisir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

bagimasyarakatnya.”4

Ujarankebencian(hatespeech),dalamtrendingkasusnyamerupakansalahsalah

satukasuspidanayangsangatmenyitaperhatianseiringdenganperkembanganzaman

seperti saat ini media sosial selalumenjadi platform yang terkadang disalahgunakan

4JufryantoPuluhulawa.(2016).ReformulasiPengaturanAplikasiI-DoserSebagaiNarkotikaDigital.ArenaHukum.Vol.9.No.3.Hlm.376

82

untukmenyebarkan ujaran kebencian, sudah saatnya Indonesia berbenah dan segera

beradaptasi dengan arus global perkembangan.5 Ujaran kebencian berdampak pada

sekolompokmasyarakatsepertikelompokminoritasmasyarakatadat,suku,agama,ras

danetnisberupakekerasanverbalyangmenyerangkondisibatinkorban,sehinggahal

ini perlu adanya sebuah tindakan responsif dalam menyikapi perbuatan ujaran

kebencian(hatespeech)yangmenjadisalahsatukasusyangberpotensiterjadiseperti

yang terlihat dalam data kasus yang diperoleh dari Bagian Reserse Kriminal Umum

PoldaGorontalosejaktahun2017sampaidengantahun2020denganspesifikasikasus

masing-masing pada tahun 2017 terdiri dari delik penghinaan 9 kasus, 2018 delik

penghinaan1kasus,delikpencemarannamabaik13kasus,2019delikpenghinaan1

kasus,delikpencemarannamabaik4kasus,tahun2020delikpenghinaan2kasusdan

delikpencemarannamabaik12kasus,yangakandisajikanpadatabelsebagaiberikut:6

Tabel.1DataKasusUjaraKebencianTahun2017-2020ReserseKriminalUmumPoldaGorontalo

No Tahun Penghinaan PencemaranNamaBaik Total Bentuk

Penyelesaian

1 2017 9kasus -9

kasusRestorativeJustice

2 2018 1kasus 13kasus14

kasusRestorativeJustice

3 2019 1kasus 4kasus5

kasusRestorativeJustice

4 2020 2kasus 12kasus14

kasusRestorativeJustice

Berdasarkan data kasus ujaran kebencian (hate speech) yang terhitung sejak

tahun 2017 sampai dengan tahun 2020, teridentifikasi bahwa dari total kasus (hate

speech), masih terdapat beberapa kasus ujaran kebencian (hate speech) yang proses

hukumnyamasih berada di tahap kepolisian. Perlindungan hukum bagi korban (hate

speech)secaramenyeluruhharusdidapatkanolehkorbanhatespeechkarenabiasanya

korban hate speech hanya mendapat perlindungan berupa penerapan sanksi bagi

5FentyU.Puluhulawa,JufryantoPuluhulawa,M.GufranKatili.(2021).LegalWeakProtectionofPersonalDatainthe4.0IndustrialEra.JamburaLawReview.Vol.2.No.2.Hlm.21

6 Data Kasus Ujaran Kebencian Sejak Tahun 2017-2020 yang Diperoleh dari Bagian Reserse KriminalUmumPoldaGorontalo

83

pelakuhate speech, sedangkanmasihbanyakhal yangbelumdidapatkanolehkorban

sepertipemulihannamabaik,keseimbanganbatindanlain-lain.

Bertolak dari uraian diatas menggambarkan adanya kecenderungan tidak

dilindunginya hak-hak korban hanya tertuju kepada pelaku saja, padahal masalah

keadilandanpenghormatanmasalahhakasasimanusiatidakhanyaberlakuterhadap

pelaku saja tetapi juga terhadap korban. Hal ini pada dasarnya tidak terlepas dari

eksistensi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perbuatan ujaran

kebencian (Hate speech) belum sepenuhnya memberikan perlindungan hukum

terhadapkedudukankorbansehinggahak-hakkorbanyangtelahdijaminolehNegara

bagi setiap warga Negaranya untuk mendapatkan perlindungan secara utuh dalam

konteks ini belum didapatkan.Dengan demikian dalammenyikapi kasus hukum yang

berkaitan dengan Tindak Pidana Ujaran Kebencian (Hate speech), baik permasalahan

Perlindungan, pengaturan maupun penerapannya diperlukan suatu ketentuan yang

lebihrincidanjelasmengenaihaltersebut.

2. RumusanmasalahBerdasarkan Latar belakang tersebut, dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap Korban hate speechdalam

PerspektifHukumPidana?

2. Bagaimana formulasihukumperlindungankorbandari tindakanhate speech

diProvinsiGorontalo?

3. MetodePenelitian

Penelitianiniadalahpenelitianhukumnormatifataupenelitianyuridisnormatif

(legal research). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

undang-undang (statute approach),pendekatan kasus (case uproach) dan pendekatan

konseptual (conceptual approach). Dimana isu permasalahan dikaji dan dianalisis

melalui instrumentperaturanperundang-undanganyangberkaitandenganisuhukum

yang hendak dipecahkan dengan melakukan analisis terhadap kasus tindak pidana

ujaran kebencian (hate speech)yang juga dilihat dari sisi formulasi hukum dalam

memberikanperlindunganterhadapkorbanujarankebencian(hatespeech).Datadalam

peneltian ini dianalisis secara deskriptif yakni dengan menggunakan pendekatan

kualitatifterhadapdatasekunderdandataprimer.

84

4. Pembahasan

4.1 PerlindunganHukumTerhadapKorbanHateSpeechDalamPerspektifHukumPidana

Jaminanperlindunganhukumterhadapsemuawarganegaramerupakansebuah

kewajiban bagi Negara. Hal ini secara tegas telah dijamin dalam konstitusi Negara

sebagaimana yang diatur pada pasal 28 (d) ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yangmenyatakan bahawa “setiap orang berhak atas

pengakuanjaminan,perlindungan,dankepastianhukumyangadilsertaperlakuanyang

sama di hadapan hukum.” Konstitusi sebagai hukum dasar Negara telahmenyatakan

secara tegas bahwa adanya keharusan bagi Negara untuk memberikan jaminan,

perlindungandankepastianhukumyangseadil-adilnyakepadasetiapwarganegaranya

termasuk bagi korban kejahatan. Perlindungan hukum terhadap korban ujaran

kebencian (hate speech) menjadi salah satu aspek penting yang perlu untuk

mendapatkanruangdalamsisihukumpidana.

Secara teoritis ujaran kebencian (hate speech) diartikan sebagai tindakan

komunikasiyangdilakukanolehsuatuindividuataukelompokdalambentukprovokasi,

hasutan,ataupunhinaankepadaindividuataukelompoklaindalamhalberbagaiaspek

sepertiras,warnakulit,gender,cacat,orientasiseksual,kewarganegaraan,agamadan

lain-lain.7

Ujaran kebencian (hate speech) merupakan sebuah fenomena permasalahan

hukum yang perlu untuk mendapatkan ruang pengaturan dalam hukum pidana

khsusnya bagi korban yang mendapatkan ujaran kebencian (hate speech). “Patut

dipahamibahwatanpakorbantidakmungkinterjadisuatukejahatan.Jadijelasbahwa,

pihak korban adalah partisipan utama memainkan peranan penting.”8 Dalam

orientasinyasaatinibagikorbanujarankebencian(hatespeech)secaraesensialbelum

mendapatkanperlindungandari sisi hukumpidanayangmerupakan instrumentyang

mengatur tentang perbuatan tindak pidana. Perlindungan hukum bagi korban yang

dimaksud dalam konteks kasus ujaran (hate speech) adalah adanya regulasi yang

7SuratEdaranKapolriNomor:SE/06/X/2015TentangPenangananUjaranKebencian(HateSpeech)Hlm.3

8 Silvony kakoe, Masruchin Ruba’I, Abdul Madjid. (2020). Perlindungan Hukum Korban PenipuanTransaksiJualBeliOnlineMelaluiGantiRugiSebagaiPidanaTambahan.JurnalLegalitas.Vol.13.No.2.Hlm.123

85

mengatursecaraeksplisittentangkedudukankorbanyangmengalamiujarankebencian

(hatespeech)terutamapadasaatmenjalaniproseshukumdiluarpersidangan.Dimana

dalamimplementasinyadapatdilihatbahwasetiapkasusujarankebencianyangterjadi

sebagianbesarhanyaselesaimelaluitahappermohonanmaaf(restorativejustice)yang

hal ini belummemenuhi aspek keseimbangan antara perbuatan yang dilakukan oleh

pelaku dengan kondisi korban yang mengalami tindakan ujaran (hate speech) yang

akibatnyalebihmengarahpadakondisibatinkorban.Dengandemikiandalamkonteks

ini prinsip keadilan yang menjadi salah satu tujuan hukum belum terpenuhi dengan

baik.

PenghinaandalamKitabUndang-UndangHukumPidanadiaturpadapasal310

sampaidenganpasal323. Jikadilihatdari jenisdeliknyamakaperbuatanpenghinaan

merupakan salah satu jenis delik yang masuk dalam jenis delik aduan. Artinya

perbuatan penghinaan akan menjadi sebuah delik apabila dalam hal ini terdapat

pengaduanolehkorbankepadapihakyangberwajibatasperbuatanpenghinaanyang

telahdilakukan.

Perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate speech)

merupakansalahsatuaspekyangperluuntukmendapatkanpayunghukumyangjelas

sertadapatmengakomodirhak-hakkorbankhsusnyadalammemperolehperlindungan

dariNegaraketikamendapatkantindakanujarankebencianyangdilakukanolehpelaku

khsusnya ketikamenjalani proses hukum di luar persidangan. Sebab saat ini korban

ujaran kebencian (hate speech)belummendapatkan perlindungan hukum akibat dari

adanyakeksosonganhukum(vacuumrechts)dalamkontekskasusujarankebencian.

Mengulastentangperlindunganhukumterhadapkorbanujarankebencian(hate

speech)pada dasarnya tidak terlepas dari kerangka hukum yangmenjadi instrument

perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian. Kerangka hukum yang

dimaksud dalam konteks ini adalah sejumlah peraturan perundang-undangan yang

memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya yang menjadi pijakan dalam

menyelesaikan setiap tahapan proses hukum dalam konteks perbuatan ujaran

kebencian (hate speech). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang

merupakansumberhukumformilhukumpidanahanya terdapatbeberapapasalyang

mencerminkanperlindunganhukumterhadapkorban.Pasal-pasaltersebutanataralain

86

Pasal80,Pasal108,Pasal133,Pasal134,Pasal160,Pasal98Ayat1,Pasal99Ayat1,2,

3,Pasal100Ayat1,2DanPasal101KitabUndang-UndangHukumAcaraPidana.

Minimnya pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang

memberikanperlindunganhukumterhadapkorbansebagaimanayangtelahdisebutkan

diatas,memberikangambaranbahwaperlindunganhukumtersebutbelummencakup

kedudukan perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate speech)

secarakeseluruhanterutamaketikamasihberadadi luarprosespersidangan.Dengan

demikianterhadaptindakpidanaujarankebencian(hatespeech)hinggasaatinibelum

terdapatnormayangmengatur secara spesifik terhadapkedudukanujarankebencian

(hate speech), sehingga dalam hal ini masih terdapat kekosongan hukum (vacuum

rechts).

Aspekperlindunganhukumterhadapkorbantindakpidanasecaraumumberada

dalamcakupanpengaturantentangperlindungansaksidankorbanyangsecarayuridis

diatur melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi

DanKorban.

Berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31

Tahun2014TentangPerubahanAtasUndang-UndangNomor13Tahun2006Tentang

PerlindunganSaksiDanKorbantelahdiaturbatasanpengertianyangtercantumdalam

undang-undangtersebutsebagaimanayangdiaturdalamBabIKetentuanUmumpasal

1huruf(b)yangmenyebutkanbahwayangdimaksuddengan“korbanadalahseseorang

yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang

diakibatkanolehsuatutindakpidana.

Konsep perlindungan hukum diberikan kepada subjek hukum dalam bentuk

instrumenbaikpreventifmaupunrepresif,baiklisanmaupuntertulis.Dengankatalain

dapat dikatakanbahwaperlindunganhukum sebagai gambaran tersendiri dari fungsi

hukum itu sendiri, yang mempunyai konsep bahwa hukum memberikan keadilan,

ketertiban, kepastian, kegunaan dan ketentraman.9Dalam menyelenggarakan dan

memberikanperlindunganhukumdiperlukansebuahsaranayangmenjadimediadalam

9FenceM.WantudanMohamadTaufikZulfikarSarson.(2020).LegalProtectionofWomenasVictimofDomesticViolence.IndonesianJournalofAdvocacyandLegalServices.Vol.1.No.2.Hlm.6

87

memberikanperlindunganhukum. Sebuah tempat atauwadahdalampelaksanaannya

sering disebut dengan sarana perlindungan hukum, sarana perlindungan hukum

dibedakanmenjadi dua jenis yaitu sarana perlindungan hukum secara preventif dan

saranaperlindunganhukumsecararepresif.10

Secaraumumperlindunganhukumbagikorbantindakpidanadalamsisihukum

pidana terbagi atas perlindungan secara fisik dan perlindungan secara psiskis, yang

keduanyawajibuntukmendapatkanperlindungandari sisihukumpidanabaikdalam

proses persidanganmaupun di luar proses persidangan. Perbuatan ujaran kebencian

(hatespeech)berupapenghinaanmerupakansebuahperbuatanpidanayangakibatnya

lebih dirasakan oleh batin korban, sehingga kerugian yang dialami oleh korban pun

adalahkerugiansecarapsikis.

Aspek perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate speech),

khsusnya di luar persidangan dari sisi yuridis hal ini belum terdapat regulasi yang

mengatur baik secara umum maupun secara khsusus. Dengan demikian aspek

perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate speech) secara yuridis

masihterdapatkekosonganhukum(vacuumrechts)terutamaperlindunganhukumbagi

korban ujaran kebencian (hate speech) dalam menjalani proses hukum di luar

persidangan.

Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi

Dan Korban secara substantive undang-undang ini tidak mencakup perlindungan

hukum terhadap saksi dan korban dalam semua jenis tindak pidana. Sebab secara

historis undang-undang perlindungan saksi dan korban lahir dengan tujuan untuk

memberikanperlindunganhukumterhadapsaksidankorbandalamkontekskejahatan

transnasionaldengantujuanagarsaksi,korbansertaseleuruhaparathukumyangikut

sertadalamprosespenyelesaianhukumtidakmendapatkan tekanandaripihakmana

pun.

Maksud perlindungan hukum terhadap saksi dan korban menurut Undang-

UndangRepublik IndonesiaNomor31Tahun2014TentangPerubahanAtasUndang-

Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan

10Ibid.Hlm.6

88

Korban sebagaimana yang diatur dalam pasal 4 undang-undang tersebut yaitu

berkaitandenganruanglingkupdanesensiperlindunganhukumyangdiberikankepada

saksidankorbankhususnyadalampersidangan,sehinggaperbuatanujarankebencian

(hate speech)yangdilakukandanmasihberadadi luarpersidanganPengadilan, pada

dasarnyasebagianbesarkasushanyaselesaimelaluiupayapermohonanmaaf(restorive

justice) yang dalam hal ini belum menggambarkan keseimbangan kedudukan

perlindunganhukumterhadapkorbanyangmengalamikerugianakibatadanyaujaran

kebencian (hate speech).Dengandemikianuntukmeniyikapihal inipentingnyauntuk

mengakomodir perlindunganhukum terhadapkorbanujaran kebencian (hate speech)

khususnyadiluarpersidanganmelaluipenuangannorma-normakedalamrevisiKitab

Undang-UndangHukumPidanayangbarudalaBabtersendiri.

Upaya untuk segera mencantumkan norma yang mengatur tentang materi

perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate speech) tidak terlepas

urgensi aspek perlindungan hukum bagi korban khususnya di luar persidangan

merupakan bagian dari hak-hak warga Negara yang wajib dilindungi oleh Negara

denganmelihatindikatorkasusujarankebencian(hatespeech)yangmarakterjadi.Hal

ini dapat dilihat dari sejumlah kasus penghinaan yang merupakan salah satu jenis

diantara beberapa jenis perbuatan ujaran kebencian sebagaimana yang ditegaskan

dalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran

kebencian (hate speech) khsususnya di wilayah Provinsi Gorontalo berada dalam

kategori yang cukup banyak, sehingga penting untuk segera memberikan payung

hukum terhadap aspek perlindungan hukum bagi korban ujaran kebencian (hate

speech).

Melihat kenyataan yang ada, bahwa sebagian kasus ujaran kebecian (hate

speech) seperti halnya penghinaan dan pencemaran nama baik yang hanya selesai

melaluiupayapermohonanmaaf (restorative justice)menggambarkanadanyaketidak

seimbangankedudukanpelakudanpertanggungjawabanpidananyadengankedudukan

korban yang mengalami kerugian psikis akibat perbuatan ujaran kebencian (hate

speech)berupapenghinaanataupencemarannamabaikyangdilakukanolehpelaku.

Kondisi ini sangat kontra dengan teori perlindungan hukum yakni aliran

neoklasik yang memandang Negara sangat manusiawi dan menggambarkan

perimbangan kepentingan secara proporsional. Karakteristiknya berupa modifikasi

89

doktrin kebebasan berkehendak atas dasar usia, patologi dan lingkungan, daad-

daderstrafrecht,menggalakkanexpert testimony/kesaksianahli,pengembanganhal-hal

yang meringankan dan memberatkan pemidanaan, pengembangan twintrack-system,

perpaduan antara justice model dari perlindungan terhadap hak-hak terdakwa-

terpidana termasuk pengembangan non-institutional treatment, de-kriminalisasi dan

depenalisasi.11

Mencermati aliran neoklasik yang mengacu kepada daad-daderstrafrecht atau

modelkeseimbangankepentinganmakahalinisangattepatdijadikansebagailandasan

teoritisdalammembahasaspekperlindunganhukumterhadapujarankebencian(hate

speech)khususnyadiluarpersidanganyangsaatinimasihterdapatkekosonganhukum

(vacuum rechts) terutama terhadap kedudukan korban yang mengalami tindakan-

tindakanujarankebencian sebagaimanayangdisebutkandalamSuratEdaranKapolri

Nomor :SE/06/X/2015TentangPenangananUjarankebencian (hate speech).Dimana

dalam implementasinya, penyelesaian kasus ujaran kebencian (hate speech) sebagian

besarhanyaselesaimelaluiupayapermohonanmaaf (restoraitive justice)yanghal ini

dipandang tidak memberikan efek jera bagi pelaku ujaran kebencian, sehingga

keseimbangan yang dimaksud dalam aliran neoklasik tidak terimpelementasikan.

Ujaran kebencian dalam beberapa waktu terakhir terus terjadi di wilayah Provinsi

Gorontalo,hal inidapatterlihatdaridatakasuspenghinaanyangdiperolehdariPolda

GorontaloBagianReserseKriminalUmumsepertiyangadadalamtebelberikut:

Tabel.2DataKasusPenghinaanTahun2018S/DTahun2020PoldadanPolresJajaranProvinsiGorontaloWilayahHukumPoldaGorontalo

No Institusi Tahun JumlahKasusPenghinaan

JumlahKasusSelesai

1 PoldaGorontalo2018 14 72019 5 82020 17 11

2 PolresGorontaloKota2018 32 362019 16 222020 9 6

3 PolresKab.Gorontalo2018 80 372019 49 432020 19 25

4 PolresKab.Boalemo 2018 17 13

11 C. Maya Indah S. Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi Dan Kriminologi. Edisi kedua,Cetakanke2.Jakarta:PrenadamediaGroup.Hlm.132

90

2019 18 132020 18 13

5 PolresKab.Pohuwato2018 20 192019 17 22020 16 7

6

PolresKab.BoneBolango

2018 41 112019 23 202020 21 18

Berdasarkantabelkasuspenghinaantersebutdiatas,yangterhitungsejaktahun

2018 sampai dengan tahun 2020 yang terdapat dalam wailayah hukum Polda dan

Polres Jajaran Provinsi Gorontalo Wilayah Hukum Polda Gorontalo dengan jumlah

keseluruhan kasus masing-masing pada tahun 2018 berjumlah 204 kasus dengan

penyelesaian berjumlah 123 kasus, tahun 2019 berjumlah 128 kasus dengan

penyelesaian berjumlah 108 kasus, tahun 2020 berjumlah 100 kasus dengan

penyelesaianberjumlah80kasus.Berdasarkan jumlahkasuspenghinaanyang terjadi

dalamsatutahunberkisarantara100sampaidengan200kasusdalamsetiaptahunnya,

makadalamhalinipentinguntuksegeramelahirkannormayangmengatursecarategas

tentang aspek perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate speech).

Sebabterhadapaspekperlindunganhukumbagikorbanujarankebencian(hatespeech)

dalameksistensinyamasihterdapatkekosonganhukum.

Keluarnya Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/06/X/2015 Tentang Penanganan

Ujarankebencian(hatespeech)dapatmenjadibuktikongritbahwasaat iniperbuatan

atau tindakan ujaran kebencian atau (hate speech) yang terjadi dimasyarakat sudah

menjadi salah satu trending kasus yang dinilai urgen untuk segera mendapatkan

pengaturansecarakhususdalamBabtersendirikedalamrevisiKitabUndang-Undang

HukumPidanayangbaru.Halinitidakterlepasdariperbuatanujarankebencian(hate

speech)yangdapatmenimbulkanbeberapaperistiwabesarberupaterjadinyatindakan

merendahkanharkat danmartabatmanusia dan kemanusiaan,mendorong terjadinya

kebenciankolektif,pengucilan,diskriminasi,kekerasandanbahkanpada tingkatyang

palingmengerikanpembantaianetnisataugenosidaterhadapkelompokyangmenjadi

sasaran ujaran kebencian serta hal-hal lain yang berkaitan dengan perbuatan ujaran

91

kebencian sebagaimana yang ditegaskan dalam Surat Edaran Kapolri Nomor :

SE/06/X/2015TentangPenangananUjarankebencian(hatespeech).12

Selainperaturan-peraturanyangmengaturtentangtindakpidanaterkaitdengan

ujaran kebencian dalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015, terdapat pula

beberapa peraturan yang tidak tercantum dalam surat edaran tersebut. Diantaranya

Pasal156aKUHP,Pasal45AUUNo.19Tahun2016tentangPerubahanAtasUUNo.11

Tahun2008tentangInformasidanTransaksiElektronik,danPasal4UUNo.40Tahun

2008tentangPenghapusanDiskriminasiRasdanEtnis.

UjarankebenciandapatberupatindakpidanayangdiaturdalamKitabUndang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang

berbentukantaralain:

a.Penghinaan;

b.Pencemarannamabaik;

c.Penistaan;

d.Perbuatantidakmenyenangkan;

e.Memprovokasi;

f. Menghasut;

g. Penyebaran berita bohong; dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa

berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau

konfliksosial.

Berbagai regulasi sebagaimana yang disebutkan di atas, baik dalam Kitab

Undang-UndangHukumPidanamaupunperaturanperundang-undangan lainnyatelah

terdapat norma-norma atau pasal-pasal yang mengatur tentang perbuatan ujaran

kebencian (hate speech), namun pasal-pasal tersebut lebih menekankan kepada

kedudukan pelaku sehingga tidak jarang kedudukan korban dalam hal ini untuk

mendapatkanperlindunganhukummasihterabaikankhsusnyadalammenjalaniproses

hukum di luar proses perseidangan. Artinya dalam konteks ini perlunya untuk

merepresentasikan perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate

speech)secara proporsional antara perbuatan pelaku dengan sanksi pidana yang

diterimabaikdalamprosespersidanganmaupundi luarprosespersidangan,sehingga

perlindunganhukum terhadapkorbanujarankebencianmenjadi terakomodirdengan

12SuratEdaranKapolriNomor:SE/06/X/2015TentangPenangananUjaranKebencian(HateSpeech)

92

baik sehingga nilai-naila keadilan yang menjadi tujuan utama penagakan hukum

menjaditerpenuhi.

4.2 Formulasi Hukum Perlindungan Korban Dari Tindakan Hate Speech di

ProvinsiGorontalo

Mengulas bentuk formulasi hukum yang akan dijadikan sebagai sarana dalam

memberikan perlindungan hukum terhadap korban yangmengalami tindakan ujaran

kebencian (hate speech) khsususnya di Provinsi Gorontalo, pada hakikatnya tidak

terlepas dari sejumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

pengaturan perbuatan ujaran kebecian (hate speech), namun dalam konteks ini yang

menjadi sasaran fokus lahirnya sebuah fomulasi hukumberkaitandengankedudukan

perlindungan korban ujaran kebencian (hate speech) yang mendapatkan tindakan

ujarankebenciansepertipenghinaannamunbagipelakunyatidakmendapatkansanksi

yangsepadandenganperbuatannyaakibatadanyakekosonganhukum(vacuumrechts)

terhadapkedudukankorbanujarankebencian.

Kekosongan hukum (vacuum rechts) terhadap norma yang mengatur korban

ujarankebencian(hatespeech)dalamsebuahNegarahukumsepertihalnyaIndonesia,

makasecaraesensialdalamhaliniuntukmenjagaeksistensikeberadaansebuahNegara

hukum maka perlu untuk melahirkan norma-norma melalui revisi Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana yang secara eksplisit mengatur tentang perlindungan hukum

bagi korban ujaran kebencian baik dalamproses persidanganmaupun di luar proses

persidangan. Upaya untuk melahirkan norma-norma melalui revisi Kitab Undang-

UndangHukumPidanayangmengatursecarakhusustentangperlindunganhukumbagi

korban ujaran kebencian (hate speech) pada hakikatnya tidak terlepas dari urgensi

permasalahan/kasus ujaran kebencian seperti halnya tindakan penghinaan dalam

proses penyelesaian hukum yang secara umum hanya berakhir dengan permohonan

maaf(restorativejustice)ditahapkepolisian,yanghalinidinilaibelummencerminkan

keseimbanganantarakedudukanpelakuyangmelakukanperbuatanujarankebencian

dankorbanyangmerasakanperbuatanujarankebencian.Sehingganilai-nilaikeadilan

dalamkonteksiniyangmenjadisalahsatutujuanhukumbelumdirepsentasikansesuai

denganesensikeadilan.

93

Pentingnya untuk melahirkan formulasi hukum perlindungan korban dari

tindakanujarankebencian(hatespeech)sepertihalnyapenghinaanpadadasarnyatidak

terlepas dari implikasi yang ditimbulkan oleh perbuatan ujaran kebencian yang

dilakukan oleh pelaku. Dimana perbuatan ujaran kebencian sebagaimana yang

ditegaskandalamSurat EdaranKapolriNomor SE/6/X/2015TentangPenangulangan

UjaranKebencian (hate speech)angka 2 huruf (f), perbuatan ujaran kebncian teridiri

dari tindakan penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak

menyenangkan,memprovokasi,menghasutdanmenyebarkanberitabohong13

Tindakanujaran kebencian (hate speech)merupakan sebuah fenomenahukum

yangterjadidimasyarakatdanhendaknyasegerauntukmendapatkanpayunghukum

khsususnya bagi korban agar benar-benar mendapatkan perlindungan hukum dari

tindakan ujaran kebencian, sebab hal ini bisa berdampak pada tindak dikriminasi,

kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial yang bertujuan untuk

menghasutdanmenyulutkebencianterhadapindividudan/ataukelompokmasyarakat

dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspeksuku,aliran keagamaan,

keyakinan/kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel

(cacat)danorientasiseksual.14

Perbuatanujarankebencian (hate speech)sebagaimanayangdisebtukandalam

SuratEdaranKapolriNomorSE/6/X/2015TentangPenangulanganUjaranKebencian

(hate speech) angka 2 huruf (f) yang ditujukan untuk menghasut dan menyulut

kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai

komunitassepertisuku,alirankeagamaan,keyakinan/kepercayaan,ras,antargolongan,

warnakulit,etnis,gender,kaumdifabel(cacat)danorientasiseksualsangatberpeluang

menjadipenyebabterjadinyaperbuatan/tindakandikriminasi,kekerasan,penghilangan

nyawa,dan/ataukonfliksosialyangimplikasinyaakandirasakanpulaolehmasyarakat

secaraluasyangdapatmenimbulkankegaduhandankekacauansehinggamenimbulkan

perpecahan yang berdampak pada terganggunya keutuhan dan kedaulatan Negara

Keasatuan Republik Indonesia.Sehingga berdasarkan hal ini, maka pentingnya untuk

segera melahirkan norma-norma yang mengatur secara khsusus dan tegas tentang

materi perlindungan korban dari tindakan ujaran kebencian (hate speech) yang

13 Badrodin Haiti, SuratEdaran Kapolri No.SE/6/X/2015 Penangulangan Ujaran Kebencian (Hatespeech)angka2huruff.

14SuratEdaranKapolriNo.SE/6/X/2015angka2hurufg

94

orientasinya lebih dirsakan oleh batin korban. Perbuatan ujaran kebencian (hate

speech)yangdimaksuddalamhal ini yangdapatmengarahpadaperbuatan/tindakan

dikriminasi,kekerasan,penghilangannyawa,dan/ataukonfliksosialadalahperbuatan

berupa tindakan penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak

menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan menyebarkan berita bohong yang

ditujukankepadaindividuataukelompoktertentu.

Ujaran kebencian (hate speech)merupakan perbuatanmenyerang kehormatan

ataunamabaikseseorangataukelompoktertentusehingganamabaikseseorangatau

kelompok tersebut tercemar atau rusak. Dalam menentukan adanya

penghinaan/pencemarannamabaikatauujarankebencianmenjadibagianyangsangat

penting untuk dipahami. Tercemarnya atau rusaknya nama baik seseorang secara

hakikihanyadapatdinilaiolehkorbanyangbersangkutan.Dengankatalain,korbanlah

yang dapat menilai secara subjektif tentang ujaran kebencian yang ia rasa telah

menyerangkehormatanreputasataunamabaiknya.

Membahas tentang formulasi hukum yang berkaitan dengan perlindungan

hukum terhadap korban tindakan ujaran kebencian (hate Speech), pada hakikatnya

tidak terlepas dari kebijakan hukum pidana (penal policy) dalam menanggulangi

kejahatan.Tujuandari formulasihukumadalahefektivitashukumdalamrangkauntuk

mencapai tujuan hukum.Pada hakikatnya tujuan kaidah hukum adalah untuk

menciptakan kedamaian hidup antar pribadi.15Ada kecenderungan dalammasyarakat

untukmematuhi hukum karena takut terkena sanksi negatif apabila hukum tersebut

dilanggar.Oleh karena itu dalam masyarakat muncul adagium bahwa hukum yang

mempunyai sanksi yang berat yang dapatmengendalikan ketertiban dimasyarakat.16

Dalamkaidahhukumsanksisebenarnyahanyasebagaiinstrumentterapiyangpenting

agar hukum itu efektif harus memperhatikan sistem keberlakuan normahukum.

Maksudnya suatu aturan berlaku karena tiga dasar utama yaitu aspek yuridis,

sosilologisdanfilosofosis.17

15 John Kenedi. (2020). Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Sistem Penegakan Hukum di

Indonesia.Yogyakarta:PustakaPelajar.Hlm.19516Ibid.Hlm.19517Ibid.Hlm.195

95

Pertama, terkait tentang landasan yuridis terdapat tiga pandangan teori yang

diutarakanolehparaahlidiantaranya:18

a. Hans Kelsen menjelaskan bahwa norma hukum dikatakan berlaku secara

yuridis, apabila norma itu mempunyai landasan/gantungan norma yang

palingtinggi.

b. W.Zevenbergenmenjelaskanbahwanormahukumdikatakanberlakusecara

yuridis,apabilanormaitudibuatberdasarkanprosedur(tatacara)yangtelah

ditentukan(EksekutifbersamaLegislatif).

c. Logemanmenjelaskanbahwanormahukumdikatakanberlakusecarayuridis,

apabila pada norma itu terdapat hubungan sebab akibat (kondisi

konsekuensi).

Kedua, terkait tentang landasan sosiologis. Dalam hal ini terdapat dua

pandangansebagaiberikut:

a. Pengakuan (anerkennus theorie) yang menyebutkan bahwa norma hukum

dikatakan berlaku secara sosiologis apabila norma hukum diakui oleh

masyarakat.

b. Kekuatan(macht theorie) yang mejelaskan bahwa norma hukum dikatakan

berlaku secara sosiologis, apabila norma hukum itu dapat dipaksakan oleh

penguasawalapunsesungguhnyamasyarakatmenolak.

Ketiga,tentanglandasanfilosofis.Dalamhalinidikatakanbahwanormahukum

berlakusecarafilososif,apabilanormahukumitusesuaidantidakbertentangandengan

nilai-nilaiyanghidupdimasyarakat.Berdasarkantigaaspekyangmenjadidasarutama

berlakunyasebuahinstrumenthukumyangterdiridariaspekyuridis,aspeksosilologis

dan aspek filosofis maka secara substansi, formulasi hukum yang berkaitan dengan

perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian(hate speech)secara esensial

juga tidak terlepas dari tiga aspek dasar berlakunya sebuah instrument hukum

(peraturan perundang-undangan) tersebut. Dalam konteks tindak pidana ujaran

kebencian (hate speech), upaya untuk melahirkan formulasi hukum terhadap

perlindungan korban, secara ideal hal ini harus mencakup aspek yuridis, aspek

sosiologisdanaspekfilosofisyangmenjadisyaratmutlaklahirnyanorma-normadalam

peraturanperundang-undangan.

18Ibid.Hlm.196-197

96

Secara yuridis pentingnya untuk melahirkan formulasi hukum yang berkaitan

dengan materi pengaturan perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian

(hate speech) berpijak dari kenyataan bahwa dalam konteks ini masih terdapat

ketiadaan norma atau kekosongan hukum (vacuum rechts) yang secara khusus dan

eksplisit mengatur tentang perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian

(hatespeech).

Hadirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi

DanKorbansecarasubstansiundang-undanginihanyamengatursecarakhusustentang

materiperlindungansaksidankorbandalamkontekskejahatanyangtermasukdalam

kejahatan transnasional. Hal ini dapat dilihat dari uraian konsideran Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban dalam perihal

menimbanghuruf(a)danhuruf(b).

Kekhususan perlindungan hukum terhadap saksi dan korban dalam Undang-

UndangRepublik IndonesiaNomor31Tahun2014TentangPerubahanAtasUndang-

UndangNomor13Tahun2006TentangPerlindungan SaksiDanKorban juga terlihat

pada pasal 6 dan pasal 7 undang-undang perlindungan saksi dan korban, dengan

demikian dari sisi yuridis dapat dipastikan bahwa perlindungan hukum terhadap

korban ujaran kebencian (hate speech) belum terakomodir dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor13Tahun2006TentangPerlindunganSaksiDanKorban,sehinggadalamhalini

perluadanyapenuanganaspekperlindunganhukumterhadapkorbanujarankebencian

(hatespeech)kedalamrevisiKitabUndang-UndangHukumPidanayangbaru.

Aspek sosiologis yang menjadi bagian penting dari perlindungan hukum

terhadapkorbanujarankebencian(hatespeech)yakniberkaitandenganruanglingkup

sosialsecara luasyang teridiridari individu,sekumpulanmasyarakat,golongan,suku,

aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis,

gender, kaum difabel (cacat) dan perkumpulan lainnya yangmenjadi sasaran korban

terhadap ujaran kebencian (hate speech).Secara sosiologis perlindungan hukum

terhadap korban ujaran kebencian (hate speech) bertujuan untuk memberikan rasa

amandantentrambagisetiapwargaNegarabaiksecara individuataukelompokyang

97

menjadisasaransubjekujarankebencian(hatespeech).Disampingitu,secarasosiologis

pentingnya untuk melahirkan formulasi perlindungan hukum terhadap ujaran

kebencian (hate speech)jugabertujuan untuk memberikan nilai-nilai edukasi kepada

masyarakat agar lebih beretika dan tetapmenghargai sesama sebagaimakhluk sosial

yangmemilikikedudukandanhakyangsamadihadapanhukum.

Salah satu hal yang juga menjadi aspek penting dalam melahirkan formulasi

perlindungan hukum terhadap ujaran kebencian (hate speech)adalah aspek filosofis.

Secarafilosofispentingnyauntukmelahirkanformulasiperlindunganhukumterhadap

ujarankebencian(hatespeech)padadasarnyabertujuanuntukmemberikanpencegahan

(preventif)kepadasetiap individumaupunkelompokagartidakmelakukanperbuatan-

perbuatan ujaran kebencian (hate speech)yang ditujukan kepada individu atau

kelompok dengan tujuan untuk melakukan penghinaan, pencemaran nama baik,

penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan

menyebarkan berita bohongyang dapat menimbulkan kerugian bagi korban secara

psikologi. Dengan demikian aspek filosofis dalam konteks memberikan perlindungan

terhadapkorbanujarankebencian(hatespeech)menjadisalahsatuaspekyangsangat

menentukandalammelahirkanformulasiperlindunganhukumterhadapkorbanujaran

kebencian(hatespeech).

Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa perumusan/formulasi

pembuatanperundang-undanganidentikdengankebijakanhukumdalamhalinihukum

pidana yangmerupakan bagian dari politik kriminal yangmerupakan upaya rasional

untukmencapaikesejahteraansosialdanperlindungankepadamasyarakat.Kebijakan

formulasimerupakankebijakan legislasi yangmengkaji,merencanakandanmembuat

produk-produk peraturan perundang-undangan melalui proses penyusunan sehingga

melahirkan kebijakan hukum yang diterima oleh masyarakat. Peraturan perundang-

undangan melalui proses penyusunan sehingga melahirkan kebijakan hukum yang

diterima oleh masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang berlaku mempunyai

fungsi yaitu fungsi yang dapat mengekspresikan nilai-nilai dan fungsi instrument.19

Berdasarkan kedua fungsi tersebut, kebijakan formulasi hukum pidana dapat

diimplementasikan melalui beberapa tahapan operasional/fungsionalisasi hukum

pidanayangterdiridari:

19Ibid.Hlm.182

98

a. Kebijakanformulasi/legislative,yaituperumusan/penyusunanhukumpidana.

b. Kebijakanaplikatif/yudikatif,yaitupenerapanhukumpidana.

c. Kebijakanadministrasi/eksekutif,yaitutahappelaksanaanhukumpidana.

Berangkat dari hal tersebut, bahwa kebijakan formulasi/legislatif merupakan

salahsatudaritigarangkaianproseskebijakanhukumpidanasebagaimanayangtelah

dijelaskan sebelumnya dan menjadi substansi/pokok dalam membahas kebijkan

formulasi.20 Politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari

politik sosial, dimana upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan

pendekatankebijakandalamarti,pertamaadaketerpaduan(integralitas)antarapolitik

criminal dan politik sosial, kedua ada keterpaduan (integralitas)anatar upaya

penanggulangankejahatandenganpenaldannonpenal.21prof.Muladimenanggulangi

kejahatan secara operasional dapat dilakukan baik melalui sarana penal mapun non

penal.Kedua sarana ini merupakan suatu pasangan yang satu sama lain tidak dapat

dipisahkan. Bahkan keduanya dapat dikatakan saling melengkapi dalam usaha

penanggulangankejahatandimasyarakat.22

Secara teoritis sebagaimana penjelasan yang telah diuraikan oleh John Kenedi

dalam bukunya yang berjudul Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Sistem

Penegakan Hukum Di Indonesia bahwa dalammenentukan arah (stressing) kebijakan

formulasi hukum pidana yang akan diaplikasikan ke dalam peraturan perundang-

undanganharusdapatmengekspresikannilai-nilaidan fungsi instrumentyang terdiri

dari kebijakan formulasi/legislatif, kebijakan aplikatif/yudikatif dan kebijakan

administrasi/eksekutif yang menjadi unsur-unsur penting dalam menentukan

komposisi dan substansi materi yang hendak akan dituangkan ke dalam norma

peraturan perundang-undangan. Dengan demikian untuk melahirkan formulasi

perlindunganhukum terhadapkorbanujarankebencian (penal policy) idealnyaharus

memenuhitigaunsuryaknikebijakanformulasi/legislatif,kebijakanaplikatif/yudikatif

dankebijakanadministrasi/eksekutifyangmerupakanhasilekspresidarinilai-nilaidan

fungsiinstrument.

Secara esensial perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana sangat

berkaitan erat dengan aspek penegakan hukum. Dimana proses penegakan hukum

20Ibid.Hlm.18321Ibid.Hlm.20222Ibid.Hlm.202

99

merupakan representasi dari perlindungan hukum bagi korban tindak pidana yang

telahmengalamikerugianbaik secaramaterilmaupun imateril.Dalamhukumpidana

penegakanhukumterbagiataspenegakanhukumpidanasecarapreventif(pencegahan)

dan penegakan hukum pidana secara represif (penanggulangan). Kedua jenis

penegakanhukuminimerupakanduametodepenegakanhukumpidanayangmenjadi

domaindalamprosespenegakanhukumpidana.

Penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan kriminal sebagai

salahsatukeseluruhankebijakanpenaggulangankejahatanmemangpenegakanhukum

pidanabukanmerupakansatu-satunyatumpahanharapanuntukdapatmenyelesaikan

atau menanggulangi kejahatan itu secara tuntas akan tetapi kehadirannya sangat

diharapkandiNegaraIndonesiayangberdasarkanatashukumgunamenegkkanhukum

pidanadiIndonesia.23Dalammenerapkanpenegakanhukumyangartiluasdiperlukan

fungsi penegakan hukum apabila ditinjau dari pendekatan tata tertib sosial (social

order)adalah:24

a. Penegakanhukumsecaraaktual(theactualenforcementlaw)meliputitindakan

penyelidikan (investigation), penangkapan (arrest), penahnan (detention),

persidangan pengadilan (trial)dan pemidanaan (punishment)kemudian

pemenjaraangunamemperbaikitingkahlakuindividuterpidana(correctingthe

behaviorofindividualoffender);

b. Efek preventif (preventifve effect), fungsi penegakan hukum diharapkan

mencegah orang (anggota masyarakat) melakukan tindak pidana. Malah

kehadiran dan eksistensi aparat penegak hukum di tengah-tengah kehidupan

masyarakat, karena dengan kehadiran aparat penegak hukum dianggap

mengandung preventifve effectyang memiliki daya cegah (different effort)

anggotamasyarakatuntukmelakukantindakancriminal.

Korelasiantaraaspekpenegakanhukumpidanasecarapreventifdanpenegakan

hukum secara represif dengan aspek perlindungan hukum terhadap korban tindak

pidana yakni terletak pada substansi yangmenjadi objek dan sasaran hukum pidana

dalam memberikan perlindungan dan rasa aman kepada seluruh masyarakat dalam

kontekspencegahanmaupunpenindakan.Artinyapenegakanhukumpidanabaiksecara

23Ibid.Hlm.20324Ibid.Hlm.208-209

100

preventifmaupun reprseif padadasarnyabertujuanuntukmemberikanperlindungan

hukumterhadapseluruhwargaNegarabaiksebelumterjadinyatindakpidanamaupun

setelahterjadinyatindakpidana.Dengandemikiandalamkonteksperlindunganhukum

terhadapkorbanujarankebencian(hatespeech)dapatdianalogikandandimaknaipula

sebagaiperlindunganhukumsecarapreventifdanperlindunganhukumsecararepresif

sepertihalnyapenegakanhukumpidana.

Mencermati upaya perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana yang

secaraesensial tidakterpisahkandariprosespenegakanhukumyangmerupakansatu

kesatuan dari representasi perlindungan hukum, maka dalam konteks pemberian

perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian dalam hal ini perlumerujuk

sistemperadilanpidanadalamkonsephukumprogresif.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu

sarana penanggulangan kejahatan yang di dalamnya terdapat sub-sub sistem yang

saling berkaitan. Dengan perkataan lain, sistem peradilan pidana dapat digambarkan

secarasingkatsebagaisuatusistemyangbertujuanuntuk“menanggulangikejahatan”,

salah satu usahamasyarakat untukmengendalikan terjadinya kejahatan agar berada

dalambatas-batastoleransiyangdapatditerimanya.25

Satu hal yang perlu ditegaskan dalam konteks formulasi perlindungan hukum

terhadap korban ujaran kebencian (hate speech) yakni berpijak dari urgensi materi

perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencianyang bertujuan untuk

melahirkan norma-norma melalui revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang

mempertegas aspek perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate

speech)sehinggalangkahpreventif(pencegahan)dalammenyikapiterjadinyatindakan

ujaran kebencian yang saat ini masih marak terjadi dapat lebih mencerminkan

keseimbangan antara kedudukan pelaku dan kedudukan korban ujaran kebencian,

sebab dengan lahirnya formulasi perlindungan hukum terhadap korban ujaran

kebencianyangmengatursecarategas,makasetiaporangmaupaunmasyarakatsebagai

subjekhukumakandipaksauntuklebihberetikadalamberperilakusebagaimananilai-

nilai kemanusiaan yang terkandung dalam pancasila sila kedua yang wajib untuk

direpresentasikan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga keinginan

untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate

25 Mardjono Reksodiputro. (1994). Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan

KeadilandanPengabdianHukumUniversitasIndonesia.Hlm.140

101

speech) menjadi lebih terakomodir. Terlaksanakannya formulasi hukum atas

perlindungan korban ujaran kebencian maka merupakan salah satu fungsi hukum

dalam memberikan perlindungan terhadap seluruh warga negaranya dapat

terimplementasikandenganbaik.

5.Kesimpulan

Perlindungan hukum terhadap korban ujaran kebencian (hate speech)

merupakansalahsatuaspekyangperluuntukmendapatkanpayunghukumyangjelas

yangdapatmengakomodirhak-hakkorbankhsusnyadalammemperolehperlindungan

hukumdariNegaraketikamendapatkantindakanujarankebencian(hatespeech)yang

dilakukan oleh pelaku. Sebab saat ini korban ujaran kebencian (hate speech) belum

mendapatkan perlindungan hukum akibat dari adanya keksosongan hukum (vacuum

rechts) yang mengatur secara khusus dan tegas tentang aspek perlindungan hukum

terhadapkorbanujarankebencian.

Formulasihukumyangberkaitandenganperlindunganhukumterhadapkorban

tindakan ujaran kebencian (hate Speech), secara esensial dalam menjaga eksistensi

sebuah Negara hukum perlu untuk melahirkan norma-norma melalui revisi Kitab

Undang-UndangHukumPidanadanrevisiUndang-UndangRepublik IndonesiaNomor

31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

TentangPerlindunganSaksiDanKorbanyangharussecaraeksplisitmengaturtentang

perlindungan hukum bagi korban ujaran kebencian, sehingga proporsionalitas antara

kedudukan pelaku dan korban dalam konteks kasus ujaran kebencian dapat

terimplementasikan secara seimbang sesuai dengan nilai-nilai keadilan yangmenjadi

salahsatutujuanhukum.

Referensi

Buku

C. Maya Indah S. Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi Dan Kriminologi.

Edisikedua,Cetakanke2.Jakarta:PrenadamediaGroup.

John Kenedi. 2020. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Sistem Penegakan

HukumdiIndonesia.Yogyakarta:PustakaPelajar.

102

MardjonoReksodiputro.1994.KriminologidanSistemPeradilanPidana. Jakarta:Pusat

PelayananKeadilandanPengabdianHukumUniversitasIndonesia.

Setiono. (2004). Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu Hukum

ProgramPascasarjanaUniversitasSebelasMaret.

SoejonoSoekanto.2007.SosiologiSuatuPengantar.Jakarta:PT.RajaGrafindoPersada.

Jurnal

Fence M. Wantu dan Mohamad Taufik Zulfikar Sarson. (2020). Legal Protection of

WomenasVictimofDomesticViolence.IndonesianJournalofAdvocacyandLegal

Services.Vol.1.No.2

Fenty U. Puluhulawa, Jufryanto Puluhulawa, M. Gufran Katili. (2021). Legal Weak

ProtectionofPersonalDatainthe4.0IndustrialEra. JamburaLawReview.Vol.2.

No.2.

Jufryanto Puluhulawa. (2016). Reformulasi Pengaturan Aplikasi I-Doser Sebagai

NarkotikaDigital.ArenaHukum.Vol.9.No.3

M.R.U. Puluhulawa, J. Puluhulawa, M.F.H.N. Musa. (2019). Kebijakan Kriminal Dalam

Penanggulangan Tindak Pidana Penganiayaan Menggunakan Panah Wayer Oleh

AnakdiKotaGorontalo.JurnalYuridis.Vol6,No.2.

Silvony kakoe, Masruchin Ruba’I, Abdul Madjid. (2020). Perlindungan Hukum Korban

PenipuanTransaksiJualBeliOnlineMelaluiGantiRugiSebagaiPidanaTambahan.

JurnalLegalitas.Vol.13,No.2.

PeraturanPerundang-Undangan

Undang-UndangDasarNRITahun1945

KitabUndang-UndangHukumPidanaIndonesia

Undang-UndangRepublikIndonesiaNomor1Tahun1965TentangPenodaanAgama.

Undang-UndangRepublikIndonesiaNomor32Tahun2002TentangPenyiaran.

103

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Tahun 2008 Tentang Penghapusan

DiskriminasiDanRasdanEtnis.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-UndangNomor13Tahun2006TentangPerlindunganSaksiDanKorban

Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 TentangInformasi Dan

TransaksiElektronik.

Surat EdaranKapolri Nomor : SE/06/X/2015Tentang PenangananUjaranKebencian

(HateSpeech)


Recommended