+ All Categories
Home > Law > Jurnal iptek pertanahan BPN vol. 2 no. 1 - MEI 2012

Jurnal iptek pertanahan BPN vol. 2 no. 1 - MEI 2012

Date post: 22-Nov-2014
Category:
Upload: irvan-fernando
View: 668 times
Download: 23 times
Share this document with a friend
Description:
Jurnal Iptek Pertanahan. Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Volume 2, Nomor 1, Mei 2012.
131
JURNAL IPTEK PERTANAHAN ISSN 1411-1101 ISSN 1411-1101 Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Penanggung Jawab Redaktur Mitra Bestari Penyunting Pelaksana Desain Grafis & Fotografer Sekretariat Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Jl. H. Agus Salim No.58 Jakarta Pusat Telp./Fax. (021) 3909016, www.bpn.go.id e-mail : [email protected] Frekuensi terbit dua kali setahun, setiap bulan Mei dan Nopember Sekretaris Utama BPN RI Ilmu Tanah dan Pertanahan Fotogrametry dan Pengindraan Jarak Jauh Politik Agraria Hukum Administrasi Negara Politik Agraria Hukum Pertanahan Manajemen Pertanahan Manajemen Pertanahan Ekonomi Pembangunan Sumber Daya Agraria Hukum Bisnis Pelayanan Publik di Bidang Pertanahan Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc Efendi, SH., MH Ir. H. M. Najib Taufieq, MM Dr. Ir. Irawan Sumarto, M.Sc Dr. Noer Azam Achsani Dr. Budi Djatmiko, SH., MH Usep Setiawan, S.Sos., M.Si Ir. Sri Yatno, MM Munsyarief, A.Ptnh., M.Si Rahman Yuliardhi Sukamto, SH., M.Hum Arditya Wicaksono, S.IP Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI Kepala Bidang Kajian Kebijakan Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI Kepala Bidang Kajian Kebijakan Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI Umiyati, S.Si.T Robin Tua Halomoan Sijabat, S.Kom Eri Khaeruman Khuluki, SP Tri Siwi Kurniasari, A.Md Shofiatul Munawaroh, S.Kom Riska Aidina Pristiria, ST Dyah Ayu Mariana Handari, SE
Transcript

JURNAL

IPTEK PERTANAHAN

ISSN 1411-1101

Vol. 2No. 1Mei 2012

ISSN 1411-1101

Vol. 2No. 1Mei 2012

Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Penanggung Jawab

Redaktur

Mitra Bestari

Penyunting Pelaksana

Desain Grafis & Fotografer

Sekretariat

Pusat Penelitian dan PengembanganBadan Pertanahan Nasional Republik IndonesiaJl. H. Agus Salim No.58 Jakarta PusatTelp./Fax. (021) 3909016, www.bpn.go.ide-mail : [email protected] terbit dua kali setahun, setiap bulan Mei dan Nopember

Sekretaris Utama BPN RI

Ilmu Tanah dan Pertanahan

Fotogrametry dan Pengindraan Jarak Jauh

Politik Agraria

Hukum Administrasi Negara

Politik Agraria

Hukum Pertanahan

Manajemen Pertanahan

Manajemen Pertanahan

Ekonomi Pembangunan Sumber Daya Agraria

Hukum Bisnis

Pelayanan Publik di Bidang Pertanahan

Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc

Efendi, SH., MH

Ir. H. M. Najib Taufieq, MM

Dr. Ir. Irawan Sumarto, M.Sc

Dr. Noer Azam Achsani

Dr. Budi Djatmiko, SH., MH

Usep Setiawan, S.Sos., M.Si

Ir. Sri Yatno, MM

Munsyarief, A.Ptnh., M.Si

Rahman Yuliardhi Sukamto, SH., M.Hum

Arditya Wicaksono, S.IP

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI

Kepala Bidang Kajian Kebijakan Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RIKepala Bidang Kajian Kebijakan Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI

Umiyati, S.Si.T

Robin Tua Halomoan Sijabat, S.Kom

Eri Khaeruman Khuluki, SP

Tri Siwi Kurniasari, A.Md

Shofiatul Munawaroh, S.Kom

Riska Aidina Pristiria, ST

Dyah Ayu Mariana Handari, SE

PENGANTAR REDAKSI

Pembaca yang terhormat, selamat bertemu kembali dalam Jurnal IPTEK Pertanahan Volume II Nomor 1 Tahun 2012 mengambil tema ”Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. ”Dalam rangka menyambut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, kami mengusung tema ”Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum”.

Kebijakan pengadaan tanah untuk pembangunan sejak lama telah dikeluarkan baik oleh pemerintah Hindia Belanda maupun oleh Pemerintah Indonesia. Dimulai dengan Onteigenings Ordonantie (Staatblad 1920 nomor 574) sampai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012.

Dalam Jurnal ini disajikan beberapa tulisan: Pertama oleh Ratna Indriyastuti dengan judul “Rekam Jejak Kebijakan Peksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembanguanan Untuk Kepentingan Umum”. Penulis menguraikan kebijakan pengadaan tanah dari masa ke masa yang diatur dalam Onteigenings Ordonantie (Staatblad 1920 nomor 574), Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 hingga Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Mencermati tulisan ini diharapkan dapat menambah pengayaan dalam penyusunan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Tulisan kedua berjudul “Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Yang Berperikemanusiaan, Demokrasi dan Adil”, ditulis oleh Munsyarief. Penulis mengurai berbagai konflik dalam pengadaan tanah, diharapkan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum Untuk Pembangunan dapat dilakukan sesuai azas-azas yang tercantum di dalam undang-undang antar lain berperikemanusiaan, demokratis dan adil, sehingga cita-cita pengadaan tanah yang akan dilakukan secara cepat tetap memperhatikan hak-hak dari pemegang hak atas tanah yang terkena dampak pembangunan.

Tulisan ketiga berjudul “Strategi Penyederhanaan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum”, ditulis oleh Ika Dini Haryanti. Penulis memaparkan kritik dari berbagai kalangan yang mengkritisi peraturan yang ada selama ini hanya mementingkan kelompok pemodal besar dan mengabaikan hak-hak orang miskin. Hal tersebut ditandai dengan belum ditemukannya rumusan yang dapat memuaskan para pihak yang berkepentingan mengenai ganti rugi yang adil baik terhadap faktor fisik maupun non fisik. Penulis mencoba membangun dan mengembangkan kebijakan pengadaan tanah bagi kepentingan umum, yang dilakukan secara sederhana dengan tujuan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Tulisan keempat berjudul “Analisis Yuridis, Ekonomi, dan Politik Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum”, ditulis oleh Melia Yusri. Dalam tulisan ini Penulis menguraikan kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan yang dianalisa dari segi yuridis yang pada saat itu belum didasari oleh Undang-Undang. Tinjauan aspek ekonomi hampir selalu muncul rasa tidak puas terhadap ganti kerugian, disamping tidak berdaya di kalangan masyarakat yang hak atas tanahnya terkena proyek pembangunan tersebut. Dari aspek politik kebijakan pengambilalihan hak atas tanah dalam pembangunan untuk kepentingan umum, sering mengalami perubahan sejalan dengan rejim pemerintah yang sedang berkuasa. Diharapkan tulisan ini dapat menyumbangkan pemikiran bagi penyusunan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dari aspek pembangunan yang berkelanjutan (sustainable).

Tulisan kelima berjudul “Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan (Studi Kasus Pengadaan Tanah Lahan Gambut Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)”, ditulis oleh Umiyati. Penulis menguraikan pengadaan tanah untuk kepentingan umum khususnya dalam skala besar mengalami beberapa kendala dan permasalahan sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus, diantaranya berkaitan dengan implikasi yuridis pengambilalihan tanah yang kurang memperhatikan hak-hak atas tanah masyarakat. Pengalaman pelaksanaan pengadaan tanah sekala besar ini dapat memberikan masukan dalam penyusunan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Tulisan keenam berjudul ”Pelaksanaan Pengadaan Tanah Dan Kesiapan Pemerintah Daerah”, ditulis oleh Trie Sakti. Penulis mencoba melihat kesiapan pihak Pemerintah Daerah dalam melaksanakan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Substansi yang menjadi fokus bahasan dikupas mulai dari tahapan awal sampai dengan tahap penyelesaiannya. Disamping itu, pada rekomendasinya, pelaksanaan kegiatan ini menitikberatkan fungsi koordinatif baik dari instansi yang memerlukan tanah, Pemerintah Daerah, BPN maupun instansi terkait lainnya. Terkait hal itu, pembagian tugas perencanaan dan persiapan yang ada menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah, adapun institusi BPN RI hanya pada lingkup tugas pelaksanaan dan penyerahan hasil kepada instansi yang memerlukan tanah.

Tulisan ketujuh berjudul “Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum”, ditulis oleh Arditya Wicaksono. Penulis menguraikan tentang pengadaan tanah merupakan solusi praktis akan tetapi pengadaan tanah memerlukan prosedur dan pelaksanaan yang konkrit riil. Undang-undang pengadaan tanah No 2 Tahun 2012 merupakan jawaban pemerintah. Poin penting undang-undang ini adalah musyawarah untuk penentuan ganti rugi sebagai alternatif kebijakan apabila proses ganti rugi mengalami kebuntuan.

Semoga Jurnal Iptek Pertanahan ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan serta penyebarluasan hasil penelitian, pemikiran dan kajian yang dilaksanakan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI.

Terimakasih dan Selamat membaca

Salam dari Redaksi

JURNAL

IPTEK PERTANAHAN

ISSN 1411-1101

Vol. 2No. 1Mei 2012

ISSN 1411-1101

Vol. 2No. 1Mei 2012

Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

DAFTAR ISI

1. Rekam Jejak Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan Tanah BagiPembangunan Untuk Kepentingan Umum ......................................... 1 - 16Lusia Tri Harjanti

2. Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil ..................... 17 - 42Munsyarief

3. Strategi Penyederhanaan Pelaksanaan Pengadaan TanahUntuk Kepentingan Umum .................................................................. 43 - 58Ika Dini Haryanti

4. Analisis Yuridis, Ekonomi dan Politik Dalam Pengadaan TanahTanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk KepentinganUmum ................................................................................................. 59 - 72Melia Yusri

5. Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan(Studi Kasus Pengadaan Tanah Gambut Satu Juta HektarDi Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah) ..................................................... 73 - 88Umiyati

6. Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan PemerintahDaerah ................................................................................................ 89 - 112Trie Sakti

7. Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan UntukKepentingan Umum ............................................................................ 113 - 120Arditya Wicaksono

JURNAL

IPTEK PERTANAHAN

ISSN 1411-1101

Vol. 2No. 1Mei 2012

ISSN 1411-1101

Vol. 2No. 1Mei 2012

Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Lusia Tri Harjanti (Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jakarta)REKAM JEJAK KEBIJAKAN PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Jurnal IPTEK Pertanahan, Volume 2, Nomor 1, Mei 2012, Halaman : 1 - 16

ABSTRAKKebijakan pengadaan tanah dari masa ke masa yang diatur dalam Onteigenings Ordonantie (Staatblad 1920 Nomor 574), Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 hingga Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Mencermati tulisan ini diharapkan dapat menambah pengayaan dalam penyusunan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.Kata kunci : ontegenings ordonantie stb.1920/574, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2012.

Munsyarief (Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jakarta)PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM YANG BERPERIKEMANUSIAAN, DEMOKRATIS DAN ADIL

Jurnal IPTEK Pertanahan, Volume 2, Nomor 1, Mei 2012, Halaman : 17 - 42

ABSTRAKBerbagai konflik dalam pengadaan tanah diharapkan mampu diminimalisir dengan munculnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Bagi Pembangunan, sehingga pengadaan tanah dapat dilakukan secara cepat namun tetap dengan memperhatikan hak-hak dari pemegang hak atas tanah secara berperikemanusiaan, demokratis dan adil.Kata kunci : pengadaan tanah, berperikemanusiaan, demokratis dan adil.

Ika Dini Haryanti (Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jakarta) STRATEGI PENYERDERHANAAN PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Jurnal IPTEK Pertanahan, Volume 2, Nomor 1, Mei 2012, Halaman : 43 - 58

ABSTRAKKritik dari berbagai kalangan yang mengkritisi peraturan yang ada selama ini hanya mementingkan kelompok pemodal besar dan mengabaikan hak-hak orang miskin. Hal tersebut ditandai dengan belum ditemukannya rumusan yang dapat memuaskan para pihak yang berkepentingan mengenai ganti rugi yang adil baik terhadap faktor fisik maupun non fisik. Strategi pembangunan dan pengembangan kebijakan pengadaan tanah bagi kepentingan umum, yang dilakukan secara sederhana dengan tujuan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Kata kunci : strategi , pengadaan tanah, ganti kerugian.

Melia Yusri (Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jakarta)ANALISIS YURIDIS, EKONOMI DAN POLITIK DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Jurnal IPTEK Pertanahan, Volume 2, Nomor 1, Mei 2012, Halaman : 59 - 72

ABSTRAKKegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan yang dianalisa dari segi yuridis yang pada saat itu belum didasari oleh Undang-Undang. Tinjauan aspek ekonomi hampir selalu muncul rasa tidak puas terhadap ganti kerugian, disamping tidak berdaya di kalangan masyarakat yang hak atas tanahnya terkena proyek pembangunan tersebut. Dari aspek politik kebijakan pengambilalihan hak atas tanah dalam pembangunan untuk kepentingan umum, sering mengalami perubahan sejalan dengan rezim pemerintah yang sedang berkuasa. Diharapkan tulisan ini dapat menyumbangkan pemikiran bagi penyusunan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dari aspek pembangunan yang berkelanjutan (sustainable).Kata kunci : pengadaan tanah, analisis yuridis, ekonomi, politik

JURNAL

IPTEK PERTANAHAN

ISSN 1411-1101

Vol. 2No. 1Mei 2012

ISSN 1411-1101

Vol. 2No. 1Mei 2012

Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Umiyati (Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jakarta)PENGADAAN TANAH SKALA BESAR UNTUK PEMBANGUNAN (STUDI KASUS PENGADAAN TANAH LAHAN GAMBUT SATU JUTA HEKTAR DI KALIMANTAN TENGAH DAN WADUK KEDUNG OMBO DI WILAYAH KABUPATEN BOYOLALI, JAWA TENGAH)

Jurnal IPTEK Pertanahan, Volume 2, Nomor 1, Mei 2012, Halaman : 73 - 88

ABSTRAKPengadaan tanah untuk kepentingan umum khususnya dalam skala besar mengalami beberapa kendala dan permasalahan sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus, diantaranya berkaitan dengan implikasi yuridis pengambilalihan tanah yang kurang memperhatikan hak-hak atas tanah masyarakat. Pengalaman pelaksanaan pengadaan tanah skala besar ini dapat memberikan masukan dalam penyusunan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.Kata kunci : pengadaan tanah, lahan gambut, kepentingan umum

Trie Sakti (Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jakarta)PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH DAN KESIAPAN PEMERINTAH DAERAH

Jurnal IPTEK Pertanahan, Volume 2, Nomor 1, Mei 2012, Halaman : 89 - 112

ABSTRAKSelama ini pengadaan tanah yang dilaksanakan oleh Pemerintah dianggap kurang memberikan keadilan pada masyarakat terutama dalam hal penilaian atas ganti kerugian, kurangnya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, fluktuasi harga yang tidak menentu serta tenggang waktu pengadaan tanah yang tidak pasti. Sehubungan dengan hal itu maka Pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak. Dalam UU ini, Pengadaan Tanah dilaksanakan dalam 4 tahapan, pertama tahap perencanaan, setiap instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum membuat rencana pengadaan tanah dalam bentuk dokumen perencanaan, yang kemudian disampaikan kepada Gubernur; kedua, tahap persiapan, setelah menerima dokumen perencanaan pengadaan tanah, Gubernur membentuk tim persiapan; ketiga tahap pelaksanaan, pelaksanaan pengadaan tanah diselenggarakan oleh Kepala BPN, yang dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN selaku Ketua pelaksana pengadaan tanah; dan tahap penyerahan hasil, ketua pelaksana pengadaan tanah menyerahkan hasil pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah disertai data pengadaan tanah, paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak pelepasan hak objek pengadaan tanah.Kata kunci : pelaksanaan, pengadaan tanah, pemerintah daerah.

Arditya Wicaksono (Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jakarta)POTRET PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Jurnal IPTEK Pertanahan, Volume 2, Nomor 1, Mei 2012, Halaman : 113 - 120

ABSTRAKTanah merupakan aspek penting dalam pembangunan. Pengadaan tanah merupakan solusi praktis akan tetapi pengadaan tanah memerlukan prosedur dan pelaksanaan yang konkrit riil. Undang-undang pengadaan tanah No 2 Tahun 2012 merupakan jawaban pemerintah. Poin penting undang-undang ini adalah musyawarah untuk penentuan ganti rugi sebagai alternatif kebijakan apabila proses ganti rugi mengalami kebuntuan.Kata kunci : pengadaan tanah, undang-undang dan masyarakat

JURNAL

IPTEK PERTANAHAN

ISSN 1411-1101

Vol. 2No. 1Mei 2012

ISSN 1411-1101

Vol. 2No. 1Mei 2012

Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Lusia Tri Harjanti (Research and Development Center, National Land Agency Republic of Indonesia, Jakarta)TracK rEcord of IMPlEMENTaTIoN laNd’s ProcurEMENT PolIcy for PublIc INTErEsT dEVEloPMENT

Journal IPTEK Pertanahan, Volume 2, No. 1, May 2012, Page : 1 - 16

absTracTIt consists policy of Land’s Procurement from time to time which been regulated in Onteigenings Ordonantie (Staatblad 1920 No. 574), Presidential Regulation No. 36 in 2005, Presidential RegulationNo. 65 in 2006, and National’s Law No. 2 in 2012. This article could be a good consideration in process making of Head National Land Agency’s Regulation.Keywords : Onteigenings Ordonantie (Staatblad 1920 No. 574), Presidential Regulation No. 36 in 2005, Presidential

RegulationNo. 65 in 2006, and National’s Law No. 2 in 2012.

Munsyarief (research and development center, National land agency republic of Indonesia, Jakarta)laNd’s ProcurEMENT PolIcy for aN aPProPrIaTE, dEMocraTIc aNd faIr PublIc INTErEsT dEVEloPMENT

Journal IPTEK Pertanahan, Volume 2, No. 1, May 2012, Page : 17 - 42

absTracTConflicts in land acquisition is expected to be minimized with the advent of Law Number 2 Year 2012 on Land Acquisition for Public Interest for Development, so that land acquisition can be performed quickly while still taking into account the rights of the holders of land rights is inhuman, undemocratic and fair.Keywords : land’s procurement, appropriate, democratic and fair way.

Ika Dini Haryanti (research and development center, National land agency republic of Indonesia, Jakarta) sIMPlIfIcaTIoN sTraTEgy for IMPlEMENTaTIoN laNd’s ProcurEMENT PolIcy for PublIc INTErEsT dEVEloPMENT

Journal IPTEK Pertanahan, Volume 2, No. 1, May 2012, Page : 43 - 58

absTracTCritics who come from various segment of society said that the regulation only favors capitalist and big cooperation and marginalize the poor. It’s been marking the absence of formulation in calculating fair compensation, both physical and non-physical. Development and establishment strategy for implementation land’s procurement policy for public interest development are needed in the purpose of prosperity and commonwealth of society.Keywords : strategy, land’s procurement, compensation.

Melia Yusri (research and development center, National land agency republic of Indonesia, Jakarta)JurIdIcTIoN aNalysIsT, EcoNoMy aNd PolITIc IN IMPlEMENTaTIoN laNd’s ProcurEMENT PolIcy for PublIc INTErEsT dEVEloPMENT

Journal IPTEK Pertanahan, Volume 2, No. 1, May 2012, Page : 59 - 72

absTracTIt analyze land’s procurement activity from jurisdiction point of view, which been done before the publicity of National’s Law. In economy’s aspect, there’s always dissatisfaction in compensation been given and a feeling of powerless from land owner whom their rights been taken by the development’s project. In political aspect, the policy of land’s ownership takeover in land’s procurement for public interest development has change parallel with the change of government’s regime. This article hopefully could be a good consideration in process making of Head National Land Agency’s Regulation, from sustainable development aspect.Keywords : land’s procurement, jurisdiction analyst, economy, politic

JURNAL

IPTEK PERTANAHAN

ISSN 1411-1101

Vol. 2No. 1Mei 2012

ISSN 1411-1101

Vol. 2No. 1Mei 2012

Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Umiyati (research and development center, National land agency republic of Indonesia, Jakarta)bIg scalE of laNd’s ProcurEMENT for dEVEloPMENT (casE of sTudy : oNE MIllIoN HEcTarE Turf’s ProcurEMENT IN cENTral KalIMaNTaN aNd WaduK KEduNg oMbo IN boyolalI, cENTral JaVa)

Journal IPTEK Pertanahan, Volume 2, No. 1, May 2012, Page : 73 - 88

absTracTLand’s procurement for public interest, especially in the big scales, is facing few obstacles and problems so it needs special attention. It’s related with jurisdiction implication of land’s takeover, which not pay attention to people’s right of land. Experience in this implementation of big scale land’s procurement could give suggestion in process making of Head National Land Agency’s Regulation.Keywords : land’s procurement, turf, public interest

Trie Sakti (research and development center, National land agency republic of Indonesia, Jakarta)IMPlEMENTaTIoN laNd’s ProcurEMENT aNd local goVErNMENT rEadINEss

Journal IPTEK Pertanahan, Volume 2, No. 1, May 2012, Page : 89 - 112

absTracTThe land acquisition implemented by the Government was not give justice to the people, especially in the assessment of damages, the lack of participation and empowerment, an erratic price fluctuations as well as land acquisition period is uncertain. According to that, the Government has issued Law no. 2 Year 2012 on Land Concerning Acquisition of Land for Development in Public Interest. The aims to provide land for the implementation of development in order to improve the welfare and prosperity of the people, the state, and society by guaranteeing the legal interest of the entitled party. Land Acquisition can be divided into 4 stages, i.e planning, each agency needs the land for public land acquisition apply in the form of planning documents, then submitted to the Governor, second, the preparation, after receiving the documents procurement planning ground, the Governor formed a team preparation; third, execution, held by the Head of BPN, which is implemented by the Head Office of the Chief executive BPN as land acquisition; fourth, delivery, the chairman of the land acquisition submit results to the agency with the data of land not more than 7 (seven) days after the release of land acquisition rights object.Keywords : implementation, acquisition of land, regional government.

Arditya Wicaksono (research and development center, National land agency republic of Indonesia, Jakarta)PorTraIT of laNd ProcurEMENT for PublIc INTErEsT dEVEloPMENT

Journal IPTEK Pertanahan, Volume 2, No. 1, May 2012, Page : 113 - 120

AbstractLand is an important aspect of development. Land acquisition is a practical solution but it requires land acquisition procedures and the implementation of concrete and real. Land Acquisition Act No. 2 of 2012 is the government’s response. An important point of this law is a consensus for the determination of damages as an alternative if the compensation policy deadlock.Keywords : land acquisition, regulation of act and civil society

1

Rekam Jejak Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Lusia Tri Harjanti

PENDAHULUAN

latar belakangTanah merupakan bagian penting yang tidak

dapat terpisahkan dari kehidupan manusia. Tanah

merupakan tempat untuk hidup bagi manusia, tumbuh-

tumbuhan dan hewan. Adanya jumlah penduduk yang

semakin bertambah dengan tingkat kemakmuran

yang semakin baik, akan membutuhkan berbagai

fasilitas umum seperti jaringan/transportasi, fasilitas

pendidikan, peribadatan, sarana olahraga, fasilitas

keselamatan umum dan sebagainya. Pembangunan

fasilitas-fasilitas umum tersebut, memerlukan tanah

sebagai wadahnya. Apabila persediaan tanah masih

luas, penambahan pembangunan untuk fasilitas

umum tersebut tidak memiliki masalah. Namun, yang

menjadi masalah disini adalah bahwa tanah tersebut

merupakan sumberdaya alam yang sifatnya terbatas

dan tidak pernah bertambah luasnya. Tanah yang

tersedia sudah banyak yang dilekati dengan hak

atas tanah, dan tanah negara sudah sangat terbatas

persediannya.

Perkembangan hubungan manusia dengan tanah

semakin lama semakin luas dan kompleks dimulai

dengan tahap penguasaan individu terhadap tanah

REKAM JEJAK KEBIJAKAN PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN

UNTUK KEPENTINGAN UMUM

TracK rEcord of IMPlEMENTaTIoN laNd’s ProcurEMENT PolIcy for

PublIc INTErEsT dEVEloPMENT

Lusia Tri HarjantiPusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jalan H. Agus Salim Nomor 58, Jakarta,

[email protected]

ABSTRAKKebijakan pengadaan tanah dari masa ke masa yang diatur dalam Onteigenings Ordonantie (Staatblad 1920 nomor 574),

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 hingga Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2012. Mencermati tulisan ini diharapkan dapat menambah pengayaan dalam penyusunan Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Kata kunci : ontegenings ordonantie stb.1920/574, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2012.

absTracTIt consists policy of Land’s Procurement from time to time which been regulated in Onteigenings Ordonantie (Staatblad 1920

No. 574), Presidential Regulation No. 36 in 2005, Presidential RegulationNo. 65 in 2006, and National’s Law No. 2 in 2012.

This article could be a good consideration in process making of Head National Land Agency’s Regulation.

Keywords : Onteigenings Ordonantie (Staatblad 1920 No. 574), Presidential Regulation No. 36 in 2005, Presidential

Regulation No. 65 in 2006, and National’s Law No. 2 in 2012.

2

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 1-16Vol. 2 No. 1

sampai corak yang diciptakan oleh negara. Secara

konstitusional di Negara Indonesia masalah tanah

di permukaan bumi diatur dalam Pasal 33 ayat (3)

Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi :

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada tingkatan

tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi

kekuasaan seluruh rakyat Indonesia yang mempuyai

wewenang untuk :

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,

penggunaan, persediaan dan pemeliharaan

bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubun-

gan hukum antara orang-orang dengan bumi,

air dan ruang angkasa;

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubun-

gan hukum antara orang-orang dan perbuatan-

perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan

ruang angkasa.

Bertolak dari konsep hak menguasai Negara sesuai

dengan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor

5 Tahun 1960, Negara mempunyai kewenangan

untuk membuat suatu rencana umum mengenai

persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi,

air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang

terkandung didalamnya meliputi :

1. Untuk keperluan Negara;

2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-

keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar

Ketuhanan Yang Maha Esa;

3. Untuk Keperluan pusat-pusat kehidupan ma-

syarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kes-

ejahteraan;

4. Untuk keperluan perkembangan produksi per-

tanian, peternakan dan perikanan serta sejalan

dengan itu;

5. Untuk keperluan perkembangan industri, trans-

migrasi dan pertambangan.

Peruntukan tanah dalam pembangunan pada

kenyataannya banyak menimbulkan konflik

kepentingan yang menyangkut kepemilikan dan

penguasaan tanah menyebabkan permasalahan

tanah menjadi masalah yang lintas sektoral, bukan

saja menyangkut bidang pertanahan melainkan di

bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya,

dan pertahanan keamanan, sehingga diperlukan

upaya untuk mengatasi permasalahan yang ada.

Pelaksanaan kebijakan tersebut harus disesuaikan

dan memperhatikan perencanaan tata ruang,

tata guna tanah yang meliputi pemanfaatan yang

terkoordinasi dengan berbagai kepentingan dan

jenis penggunaannya, pelestarian lingkungan dan

pencegahan penggunaan tanah yang merugikan

kepentingan masyarakat dan kepentingan

pembangunan yang berkesinambungan serta

kepastian hukum hak atas tanahnya. Upaya

mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan

tanah selain berdasarkan ketentuan-ketentuan

teknis dan pengaturan penguasaan tanahnya juga

harus selalu dikaitkan dengan aspek-aspek hukum

serta perundang-undangan yang sesuai dengan

kepentingan umum.

Pada masa sekarang ini adalah sangat sulit

melakukan pembangunan untuk kepentingan umum

diatas tanah Negara, dan sebagai jalan keluar yang

ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah

hak. Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah

dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut

dengan pengadaan tanah (pasal 1 Keppres No. 55

Tahun 1993). Kegiatan pengadaan tanah ini sudah

sejak lama dilakukan, bahkan sudah dikenal sejak

jaman Hindia Belanda dahulu melalui Onteigenings

Ordonantie (Staatblad 1920 nomor 574).

Makna kepentingan umum menurut J.J. Rosseau,

hak-hak individu yang diserahkan kepada penguasa

untuk dilaksanakan yang meliputi, hak untuk hidup

3

Rekam Jejak Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Lusia Tri Harjanti

tentram, hak ketertiban, hak perlindungan hukum.

Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat

yang setiap individu tidak dapat melaksanakannya

sendiri-sendiri. Menurut Van Wijk, kepentingan

umum adalah tuntutan hukum masyarakat yang

harus dilayani oleh pemerintah, demi terwujudnya

kesejahteraan masyarakat. Koentjoro Poerbopranoto,

mengartikan kepentingan umum meliputi kepentingan

bangsa, masyarakat dan Negara. Kepentingan

umum mengatasi kepentingan individu, kepentingan

golongan dan daerah. Meskipun kepentingan umum

untuk mengatasi kepentingan individu sebagai

hakekat pribadi manusia, justu dalam kepentingan

umum terletak pembatasan terhadap individu, tetapi

kepentingan individu tercakup dalam kepentingan

umum atau kepentingan masyarakat dan nasional

yang bertumpu atas keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia.

Undang-Undang Pokok Agraria melalui Pasal 18,

memberikan landasan hukum bagi pengambilan

tanah hak ini dengan menentukan untuk kepentingan

umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara

serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas

tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian

yang layak menurut cara yang diatur dengan Undang-

Undang. Kemudian dikeluarkan Undang-Undang No.

20 Tahun 1961. Undang-Undang ini mengartikan

kepentingan umum secara luas yaitu :

1. Kepentingan bangsa dan Negara;

2. Kepentingan bersama dari rakyat;

3. Kepentingan Pembangunan (Pasal 1);

Selanjutnya menurut Undang-Undang ini kegiatan

kepentingan umum tidak hanya terbatas pada

kegiatan yang dilakukan Pemerintah tetapi juga

oleh swasta, asal usaha itu benar-benar untuk

kepentingan umum. Inpres No. 9 Tahun 1973 beserta

lampirannya memberikan pedoman-pedoman dalam

pelaksanaan pencabutan hak dan benda-benda yang

ada di atasnya, juga memberikan arti kepentingan

umum secara luas dengan menambah daftar bidang

kegiatan yang mempunyai sifat kepentingan umum,

namun masih membuka kemungkinan penafsiran

lebih lanjut (Pasal 1 Ayat (1) dan (2)).

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun

1975 tidak memberikan batasan yang jelas tentang

kepentingan umum, dan berdasarkan Permendagri

Nomor 2 Tahun 1976 yang dikeluarkan kemudian,

ketentuan mengenai acara pembebasan tanah untuk

kepentingan pemerintah menurut Pemendagri Nomor

15 Tahun 1975 diberlakukan juga untuk kepentingan

swasta. Keluarnya Keppres No. 55 Tahun 1993

membawa pengaturan yang jauh berbeda dengan

yang diatur dalam peraturan-peraturan perundang-

undangan sebelumnya baik tentang pengertian

kepentingan umum proses musyawarah maupun

tentang bentuk dan cara penentuan besarnya ganti

kerugian. Untuk melaksanakan Keppres tersebut

telah dikeluarkan Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993. Selanjutnya

diperbaharui lagi dengan lahirnya Peraturan

Presiden No. 36 Tahun 2005 yang diubah oleh

Perturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum. Dengan berlakunya

Keppres ini, maka Permendagri Nomor 15 Tahun

1975 dan Permendagri Nomor 2 Tahun 1976 serta

Permendagri Nomor 2 Tahun 1985 yang mengatur

pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan

swasta dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pengadaan tanah yang dilaksanakan oleh pemerintah

sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Presiden

Nomor 36 Tahun 2005 yang diubah oleh Peraturan

Presiden No. 65 Tahun 2006 untuk pengadaan yang

bersifat kepentingan umum ditempuh dengan dua

cara :

1. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah

oleh yang berhak atas tanah.

2. Jual beli, tukar menukar atau dengan cara lain

4

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 1-16Vol. 2 No. 1

yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pi-

hak yang bersangkutan (pihak yang berhak atas

tanah dengan pihak-pihak yang memerlukan).

Menurut Budi Harsono, baik Keppres No. 55

Tahun 1993 maupun Perpres No. 36 Tahun 2005

yang substansinya adalah mengatur pengadaan

tanah untuk pembangunan, dinilai sama-sama

belum memenuhi asas-asas umum yang berlaku.

Perpres No. 36 Tahun 2005 mengintroduksi kata-

kata ‘pencabutan hak atas tanah’ yang sebelumnya

tidak dikenal dalam Keppres No. 55 Tahun 1993.

Berpedoman kepada Perpres dengan alasan

pembangunan untuk kepentingan umum, pemerintah

melalui panitia pengadaan tanah dapat serta merta

mencabut hak atas tanah seseorang yang tidak

mau pindah dari tanah yang ditempati. Pencabutan

hak atas tanah adalah mekanisme yang dianut oleh

Perpres apabila tetap mengedepankan asas hukum

dan musyawarah. Berhasil tidaknya musyawarah

seharusnya tetap tidak melegalkan pencabutan

tanah dengan paksa oleh pemerintah.

Seiring dengan perkembangan, untuk menjamin

terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan

umum, diperlukan tanah yang pengadaannya

dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip

kemanusiaan, demokratis, dan adil. Peraturan

perundang-undangan di bidang pengadaan tanah

bagi pembangunan untuk kepentingan umum belum

dapat menjamin perolehan tanah untuk pelaksanaan

pembangunan dan belum mengikat pada hukum

perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh karena

itu, disusunlah Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

untuk Kepentingan Umum yang diharapkan dapat

mencakup ranah hukum yang lebih tinggi.

Perumusan MasalahBerdasarkan latar belakang sebagaimana telah

diutarakan maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut :

1. Bagaimana kebijakan pelaksanaan pengadaan

tanah bagi pembangunan untuk kepentingan

umum berdasarkan Peraturan Presiden Nomor

36 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 65

Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 2 Ta-

hun 2012?

2. Bagaimana pengaturan penetapan harga ganti

rugi tanah dalam pengadaan tanah bagi pem-

bangunan untuk kepentingan umum berdasar-

kan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005,

Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012?

Tujuan PenelitianSesuai dengan permasalahan yang dirumuskan,

maka penelitian ini bertujuan :

1. Mengetahui kebijakan pelaksanaan pengadaan

tanah bagi pembangunan untuk kepentingan

umum berdasarkan Peraturan Presiden No. 36

Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 65 Ta-

hun 2006 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2012.

2. Mengetahui pengaturan penetapan harga ganti

rugi tanah dalam pengadaan tanah bagi pem-

bangunan untuk kepentingan umum berdasar-

kan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005,

Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012.

HASIL DAN PEMBAHASAN

analisis Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan TanahPengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk

mendapatkan tanah dengan cara memberikan

ganti rugi kepada yang melepaskan atau yang

menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-

benda yang berkaitan dengan tanah.

Pengadaan tanah yang dilaksanakan oleh pemerintah

sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Presiden

5

Rekam Jejak Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Lusia Tri Harjanti

No. 36 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 65

Tahun 2006 untuk pengadaan tanah yang bersifat

kepentingan umum ditempuh dengan tiga cara :

1. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah

Konsep dasar pengadaan tanah melalui

pelepasan atau penyerahan hak atas tanah

dilakukan atas dasar musyawarah untuk

mencapai kesepakatan diantara pihak pemilik

tanah dan pihak yang membutuhkan tanah.

Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 6 Perpres

36 Tahun 2005 yaitu kegiatan melepaskan

hubungan hukum antara pemegang hak atas

tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan

memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.

Pengadaan tanah dengan menggunakan tata

cara ini dilakukan oleh panitia pengadaan tanah,

baik di tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi, atau

pusat sesuai dengan areal tanah yang akan

dilepaskan haknya dengan menerapkan prinsip

penghormatan hak atas tanah.

2. Pencabutan Hak Atas Tanah

Pengadaan tanah melalui pelepasan atau

penyerahan hak tidak berhasil dalam arti tidak

diperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan

besarnya ganti rugi maka dapat dilakukan

pencabutan hak atas tanah. Upaya ini jika

lokasi pembangunan yang bersangkutan tidak

dapat dipindahkan ke tempat lain. Pengadaan

tanah melalui pencabutan hak dilakukan oleh

Bupati/Walikota/Gubernur/Menteri Dalam

Negeri sesuai kewenangannya kepada

Presiden melalui Kepala Badan Pertanahan

Nasional dengan tembusan kepada Menteri dan

Instansi yang memerlukan tanah dan Menteri

Hukum dan Hak Azasi Manusia. Pencabutan

hak atas tanah berdasarkan UU No. 21 Tahun

1961 dilakukan dalam keadaan yang sangat

mendesak, yakni Proyek pembangunan tidak

mungkin dipindahkan ke tempat lain.

3. Jual beli, tukar menukar atau dengan cara lain

yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pi-

hak yang bersangkutan (pihak yang berhak atas

tanah dengan pihak-pihak yang memerlukan).

Pasal 20 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun

2005 menyebutkan bahwa pembangunan untuk

kepentingan umum yang memerlukan tanah yang

luasnya tidak lebih dari 1 (satu) Hektar dapat

dilakukan secara langsung oleh Instansi Pemerintah

yang memerlukan tanah dengan para pemegang

hak atas tanah dengan cara jual beli atau tukar

menukar atau cara lain yang disepakati oleh kedua

belah pihak. Dari ketentuan tersebut dapat terlihat

bahwa jika tanah yang diperlukan kurang dari 1

(satu) Hektar maka pelaksanaan pengadaan tanah

“dapat” dilakukan secara langsung melalui transaksi

yang lazim terjadi dalam lapangan hukum perdata.

Apabila ditempuh upaya jual beli atau tukar menukar

maka ketentuan yang berlaku bagi kedua belah pihak

adalah hukum perdata.

Undang-Undang Pokok Agraria merupakan

perundang-undangan yang dibentuk sebagai

penyempurna perundang-undangan sebelumnya

harus mampu memberikan keadilan bagi masyarakat

diseluruh wilayah Republik Indonesia. Tujuan

utamanya menciptakan kemakmuran yang adil dan

merata. Salah satu cara yang ditempuh adalah

dengan membentuk konsep fungsi sosial hak

atas tanah yang mewajibkan setiap pemegang

hak atas tanah untuk senantiasa memperhatikan

keseimbangan antara penggunaan tanahnya.

Undang-Undang Pokok Agraria menjembatani

keharmonisan hubungan antara individu yang satu

dengan individu yang lainnya.

Fungsi sosial hak atas tanah dinyatakan tentang

penguasaan oleh Negara antara lain:

1. Fungsi sosial hak milik bertujuan untuk menca-

pai kesejahteraan diri sendiri dan kesejahteraan

bersama harus diwujudkan dengan terpelihara

kelestarian tanah, setiap perbuatan merusak

barang atau benda yang berfungsi sosial di

dalamnya termasuk tanah adalah perbuatan

6

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 1-16Vol. 2 No. 1

tercela yang harus diberi sanksi (Pasal 15 jo.

Pasal 52 UUPA).

2. Perwujudan fungsi sosial bahwa untuk semen-

tara dalam kaitannya untuk kepentingan umum,

hendaknya dijaga agar kepentingan diri mereka

yang ekonominya lemah mendapat perlindun-

gan secara wajar.

3. prinsip suatu kegiatan dinyatakan benar-benar

untuk kepentingan umum, yaitu:

a. Kegiatan tersebut benar-benar dimiliki oleh

Pemerintah dengan kata lain pihak swasta

dan perorangan tidak dapat memiliki

jenis-jenis kegiatan kepentingan umum

yang membutuhkan pengadaan tanah,

pembebasan tanah dan pencabutan hak

atas tanah.

b. Kegiatan pembagunan dilakukan oleh

pemerintah bahwa proses pelaksanaan

dan pengelolaan suatu kegiatan untuk

kepentingan umum hanya dapat

diperankan oleh pemerintah.

c. Tidak mencari keuntungan bahwa fungsi

suatu kegiatan untuk kepentingan umum

benar-benar berbeda dengan kepentingan

swasta yang bertujuan mencari keuntungan

sehingga terkualifikasi kegiatan untuk

kepentingan umum sama sekali tidak boleh

mencari keuntungan.

Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian

baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat

pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah,

bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang

berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan

kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat

kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena

pengadaan tanah. Klasifikasi Kepentingan Umum

meliputi :

1. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (diatas

tanah, diruang atas tanah, ataupun diruang

bawah tanah), saluran air minum/air bersih, sal-

uran pembuangan air dan sanitasi);

2. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan ban-

gunan pengairan lainnya;

3. Pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api

dan terminal;

4. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul

penanggulangan banjir, lahar, dan lain-lain ben-

cana;

5. Tempat pembuangan sampah; Cagar alam dan

cagar budaya;

6. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Berikut ini adalah tabel yang membandingkan antara

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor

36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan

Umum dan Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor

36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan

Umum serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012

tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk

Kepentingan Umum. Berdasarkan dari tabel tersebut

dalam UU No. 2 Tahun 2012 sudah dicantumkan

tentang asas-asas dan tujuan pengadaan tanah

secara jelas pada Pasal 2 dan 3 sedangkan dalam

Perpres No. 36 Tahun 2005 dan Perpres No. 65

Tahun 2006 belum disebutkan secara jelas pada

pasal-pasalnya. Selain itu, terdapat pula perbedaan

pada Ketentuan Umum, pelaksanaan pengadaan

tanah dan fasilitas-fasilitas umum yang memerlukan

pengadaan tanah.

Keberadaan Perpres No. 65 Tahun 2006 bukanlan

mencabut atau menggantikan keberadaan Perpres

No. 36 Tahun 2005 tetapi sekedar mengubah dan/

atau menyempurnakannya. Dengan demikian

materi yang diatur dalam Perpres No. 36 Tahun

2005 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan

dengan materi yang diatur dalam Perpres No.

65 Tahun 2006. Dalam Pasal 2 Perpres No. 65

7

Rekam Jejak Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Lusia Tri Harjanti

Tahun 2006 disebutkan bahwa pengadaan tanah

dapat dilakukan untuk kepentingan umum maupun

selain kepentingan umum. Pengadaan tanah untuk

kepentingan umum dilakukan dengan cara pelepasan

hak atau penyerahan hak, sedangkan yang selain

untuk kepentingan umum dilakukan dengan cara jual

beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati

secara sukarela oleh para pihak yang bersangkutan.

Walaupun Perpres No. 65 tahun 2006 menyebut

adanya 2 (dua) macam pengadaan tanah yaitu

pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan

selain kepentingan umum. Pengadaan tanah selain

untuk kepentingan umum dalam pelaksanaannya

menggunakan prosedur yang diatur dalam Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 2 tahun 1999 tentang ijin lokasi serta

Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 1994 tentang

tata cara perolehan tanah bagi perusahaan dalam

rangka penanaman modal.

Tabel 1 : Matriks Perbandingan Pengadaan Tanah Menurut Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan UU Nomor 2 Tahun 2012

No Muatan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005

Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012

1. Ketentuan umum tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengada-an tanah.

Terdapat pada Pasal 1, dia-tur tentang pengertian Pemerin-tah Pusat, Pemerintah Daerah, Pengadaan tanah, Rencana Tata Ruang Wilayah, Kepentingan umum, pelepasan atau penyera-han hak atas tanah, pihak yang melepaskan atau menyerahkan tanah, hak atas tanah, panitia pengadaan tanah, musyawarah, ganti rugi dan lembaga/tim peni-lai harga tanah.

Terdapat pada Pasal 1, dengan muatan sama dengan pada Per-pres No. 36 Tahun 2005, peru-bahan hanya pada definisi peng-adaan tanah.

Terdapat pada Pasal 1, diatur tentang pengerti-an instansi, pengadaan tanah, pihak yang ber-hak, objek pengadaan tanah, hak atas tanah, kepentingan umum, hak pengelolaan, konsulta-si publik, pelepasan hak, ganti kerugian, penilai pertanahan, Pemerintah Pusat, Pemerintah Dae-rah dan Lembaga Per-tanahan, dengan muatan dan pengertian yang ber-beda dengan Perpres No. 36 Tahun 2005 dan Per-pres No. 65 Tahun 2006.

2. Asas-asas peng-adaan tanah un-tuk kepentingan umum.

Tidak disebutkan secara jelas da-lam pasal-pasalnya

Tidak disebutkan secara jelas dalam pasal-pasalnya.

Pada Pasal 2, berdasar-kan asas : kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutser-taan, kesejahteraan, ke-berlanjutan dan kesela-rasan.

3. Tujuan penga-daan tanah un-tuk kepentingan umum.

Tidak disebutkan secara jelas da-lam pasal-pasalnya.

Tidak disebutkan secara jelas dalam pasal-pasalnya.

Pada Pasal 3, pengada-an tanah untuk kepen-tingan umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangu-nan guna meningkatkan kesejahteraan dan ke-makmuran bangsa, Ne-gara dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.

8

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 1-16Vol. 2 No. 1

No Muatan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005

Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012

4. Cara melakukan pengadaan tanah bagi pelaksana-an pembangu-nan untuk ke-pentingan umum dan pengada-an tanah selain bagi pelaksana-an pembangunan untuk kepenting-an umum.

Terdapat pada Pasal 2, ayat (1) pengadaan tanah bagi pelak-sanaan pembangunan untuk ke-pentingan umum oleh Pemerin-tah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pe-lepasan atau penyerahan hak atas tanah atau pencabutan hak atas tanah; ayat (2) pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepenting-an umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar me-nukar atau cara lain yang disepa-kati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan

Sama dengan muatan pada Per-pres No. 36 Tahun 2005, peru-bahan ada pada Pasal 2 ayat (1) sehingga berbunyi penga-daan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepenting-an umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksana-kan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

Pasal 6, Pengadaan Tanah untuk Kepenting-an Umum diselenggara-kan oleh PemerintahPasal 13, Pengadaan Tanah untuk Kepenting-an Umum diselenggara-kan melalui tahapan: a. perencanaan; b. persiapan; c. pelaksanaan; dan d. penyerahan hasil.

5. Penjabaran Fasili-tas Umum.

Pasal 5, Pembangunan untuk ke-pentingan umum yang dilaksana-kan Pemerintah atau Pemerintah Daerah meliputi: e. jalan umum, jalan tol, rel kereta

api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;

f. waduk, bendungan, bendungan irigasi, dan bangunan pengairan lainnya;

g. rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat;

h. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;

i. peribadatan;j. pendidikan atau sekolah;k. pasar umum;l. fasilitas pemakaman umum;m. fasilitas keselamatan umum;n. pos dan telekomunikasi;o. sarana olahraga;p. stasiun penyiaran radio, televisi

dan sarana pendukungnya;q. kantor Pemerintah, Pemerintah

Daerah, Perwakilan Negara Asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan atau lembaga-lembaga Internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa;

r. fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya;

s. lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan;

t. rumah susun sederhana;u. tempat pembuangan sampah; v. cagar alam dan cagar budaya;w. pertamanan;x. panti sosial;y. pembangkit, transmisi,

distribusi tenaga listrik.

Pasal 5, Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaks-anakanPemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksuddalam Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi :a. jalan umum dan jalan tol,

rel kereta api (di atas tanah, diruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;

b. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;

c. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;

d. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;

e. tempat pembuangan sampah;f. cagar alam dan cagar budaya;g. pembangkit, transmisi,

distribusi tenaga listrik.”

Pasal 10, Tanah untuk Kepentingan Umum se-bagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan :a. pertahanan dan

keamanan nasional;b. jalan umum, jalan

tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;

c. waduk, bendungan, bendungan irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;

d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;

e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;

f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;

g. j a r i n g a n t e l e k o m u n i k a s i dan informatika Pemerintah;

h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;

i. rumah sakit P e m e r i n t a h /Pemerintah Daerah;

j. fasilitas keselamatan umum;

k. tempat pemakaman umum Pemerintah/ Pemerintah Daerah;

l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;

9

Rekam Jejak Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Lusia Tri Harjanti

No Muatan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005

Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012

m. cagar alam dan cagar budaya;

n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;

o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;

p. p r a s a r a n a pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;

q. prasarana olahraga P e m e r i n t a h /Pemerintah Daerah; dan pasar umum dan lapangan parkir umum.

6. Panitia Pengada-an Tanah

Pasal 6, (1) Pengadaan tanah untuk

kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota

(2) Panitia pengadaan tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur.

(3) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah provinsi yang dibentuk oleh Gubernur.

(4) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah provinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur pemerintah daerah terkait.

Pasal 6, (1) Pengadaan tanah untuk

kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota

(2) Panitia pengadaan tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur.

(3) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah provinsi yang dibentuk oleh Gubernur.

(4) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah provinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur pemerintah daerah terkait.

7. Pemberian Ganti Rugi

Pasal 12, Ganti rugi dalam rang-ka pengadaan tanah diberikan untuk:a. hak atas tanah;b. bangunan;c. tanaman;d. benda-benda lain yang

berkaitan dengan tanah.

Pasal 12, Ganti rugi dalam rang-ka pengadaan tanah diberikan untuk:a. hak atas tanah;b. bangunan;c. tanaman;d. benda-benda lain yang

berkaitan dengan tanah.

Pasal 33, Penilaian be-sarnya nilai Ganti Kerugi-an oleh Penilai sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dilaku-kan bidang per bidang tanah, meliputi:a. tanah; b. ruang atas tanah dan

bawah tanah;c. bangunan;d. tanaman;e. benda yang berkaitan

dengan tanah; dan/atau

f. kerugian lain yang dapat dinilai.

10

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 1-16Vol. 2 No. 1

No Muatan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005

Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012

8. Ganti Rugi Pasal 13 ayat (1) Bentuk ganti rugi dapat berupa:a. uang; dan/ataub. tanah pengganti; dan/ atauc. pemukiman kembali.

Pasal 13, Bentuk ganti rugi da-pat berupa:a. uang; dan/ataub. tanah pengganti; dan/atauc. pemukiman kembali, dan/ataud. gabungan dari dua atau

lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;

e. bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 36, Pemberian Ganti Kerugian dapat di-berikan dalam bentuk:a. uang;b. tanah pengganti;c. permukiman kembali;d. kepemilikan saham;

ataue. bentuk lain yang

disetujui oleh kedua belah pihak.

9. Jumlah Bab dan pasal

Ada 6 Bab dan 24 Pasal Tidak terdiri dari Bab-bab, langs-ung terdiri dari pasal-pasal, ada 18 pasal

Terdiri dari 8 Bab dan 61 Pasal

Sedangkan keberadaan Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2012 dengan sendirinya dapat menghapus

keberadaan Perpres No. 36 Tahun 2005 dan

Perpres No. 65 Tahun 2006 karena Undang-undang

mempunyai kekuatan hukum yang lebih tinggi

dibandingkan dengan Peraturan Presiden.

Pengaturan dan pengertian kepentingan umum

dalam pengadaan tanah sebelunnya dapat dilihat

dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 Pasal 1 angka

(5), Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan bahwa

kepentingan umum adalah kepentingan sebagian

besar lapisan masyarakat. Kata sebagian besar

ini mempunyai makna dan ruang lingkup yang

tidak menjangkau semua masyarakat, masih ada

sebagian masyarakat yang tidak ikut atau tidak bisa

menikmati hasil atau fasilitas yang dihasilkan dari

pembangunan untuk kepentingan umum. Dengan

demikian kepentingan umum menurut Perpres No. 36

Tahun 2005 bermakna General dan bukan bermakna

Universal. Ini berbeda dengan makna kepentingan

umum yang ada dalam Keppres No. 55 Tahun 1993

yang memberi makna kepentingan umum dalam

artian Universal seperti yang diatur dalam Pasal 1

angka (3) dengan uraian kepentingan umum sebagai

kepentingan seluruh lapisan masyarakat.

Pengaturan kepentingan umum dalam Pasal

1 angka (3) Perpres No. 36 Tahun 2005 dalam

pelaksanaannya tidak bisa dilepaskan dari

pengaturan pasal 5 Perpres No. 65 Tahun 2006 yang

menentukan bahwa pelaksanaan pengadaan tanah

harus dilaksanakan dan selanjutnya harus dimiliki

oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Lebih

lanjut pengertian pemerintah diatur dalam Peraturan

Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun

2007 yang keberadaannya merupakan Peraturan

Pelaksana dari Perpres No. 65 Tahun 2006 jo Perpres

no. 36 Tahun 2005.

Pengaturan dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 jo

Perpres No. 36 Tahun 2005 menunjukkan bahwa

subjek pengadaan tanah untuk kepentingan umum

adalah pemerintah (baik pusat maupun daerah)

tanpa mempersoalkan apakah kegiatan tersebut

mendatangkan atau berorientasi pada pencarian

keuntungan atau tidak. Kalau hal ini yang menjadi

kriteria maka kemungkinan yang timbul adalah :

1. Pemerintah atau pemerintah daerah setelah

memperoleh tanah-tanah hak kemudian me-

ngalihkan tanah-tanah tersebut kepada pihak

lain (perusahaan swasta).

2. Pihak perusahaan swasta dapat memperoleh

tanah dengan berlindung dibalik kepentingan

umum.

3. Perusahaan swasta dapat memanfaatkan

pemerintah atau pemerintah daerah untuk

memperoleh tanah guna kepentingannya.

Jika dibandingkan dengan pengaturan kepentingan

11

Rekam Jejak Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Lusia Tri Harjanti

ini yang ada dalam Perpres No. 65 tahun 2006 jo.

Perpres No. 36 Tahun 2005 dengan Perpres No.

55 Tahun 1993 nampak pengertian dan pengaturan

kepentingan umum yang ada dalam Keppres No.

55 tahun 1993 jauh lebih mendekati rasa keadilan

masyarakat, karena menempatkan posisi pemerintah

sebagai public service karenanya pengadaan tanah

yang dilakukan oleh pemerintah dengan maksud

untuk mencari keuntungan tidak dapat dikategorikan

sebagai pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Proses pembebasan tanah erat kaitannya dengan

permasalahan HAM. Kepemilikan tanah seseorang

nantinya harus direlakan untuk kepentingan yang

lebih besar lagi yang disebut sebagai kepentingan

pembangunan. Proses pembebasan tanah atau

sampai pada tahap yang terburuk yaitu pencabutan

hak atas tanah milik seseorang merupakan hal yang

bertalian erat dengan persoalan Hak Asasi Manusia

(HAM).

Secara sosial ekonomis, maka dalam proses

perencanaan diharapkan mempertimbangkan

beberapa hak dan sekaligus faktor penyeleksi dalam

penetapan program antara lain:

1. Kegiatan pelaksanaan pembangunan harus

merupakan pelaksanaan dan fungsi pemerintah

daerah dalam pelaksanaan otonomi di bidang

pembangunan.

2. Program yang dapat memacu laju perkemban-

gan kawasan.

3. Program yang dalam pelaksanaannya melibat-

kan masyarakat.

4. Program yang dalam pekasanaannya melibat-

kan masyarakaat.

5. Program yang bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

6. Program yang berhubungan dengan kegiatan

penataan ruang penyediaan kebutuhan ruang.

7. Program yang berkaitan dengan pemenuhan

kebutuhan penduduk yang mendesak.

Berdasarkan dari kriteria diatas selanjutnya

diimplementasikan melalui penyusunan tata ruang

kawasan yang dalam penyusunannya melibatkan

banyak intansi terkait dan harus komprehensif dalam

menyelesaikan setiap permasalahan daerah.

analisis Penetapan Harga ganti rugi Tanah dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan umumArti ganti rugi menurut Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 1 ayat (12) : “Ganti rugi

adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat

fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan

tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan,

tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan

dengan tanah yang dapat memberi kelangsungan

hidup yang lebih dari tingkat kehidupan sosial

ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah”.

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 36 Tahun 2005 dasar penetapan ganti rugi

dalam rangka pengadaan tanah diberikan untuk hak

atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda

lain yang berkaitan dengan tanah. Adapun dasar

perhitungan besarnya ganti rugi adalah :

1. Nilai Jual Obyek Pajak atau nilai nyata/sebena-

rnya dengan memperhatikan nilai jual obyek pa-

jak tahun berjalan berdasarkan penetapan lem-

baga tim penilai harga tanah yang ditunjuk oleh

panitia/penilaian lembaga atau tim penilai harga

tanah yang ditunjuk oleh panitia pengadaan ta-

nah;

2. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perang-

kat daerah yang bertanggung jawab/bergerak

dibidang pembangunan;

3. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat

daerah yang bertanggungjawab di bidang per-

tanian.

Penetapan ganti rugi secara normatif yang berlaku

hanya memberi ganti rugi kepada tanah, bangunan,

12

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 1-16Vol. 2 No. 1

tanaman dan benda-benda lain yang terkait oleh

pemerintah dengan harga standar yang ditetapkan

oleh Panitia Pengadaan Tanah. Pemberi ganti

rugi hanya bersifat material terhadap benda yang

dipergunakan oleh pemerintah, sedangkan yang

berbentuk kerugian akibat pengadaan tanah seperti

sisa tanah yang tidak bisa dimanfaatkan secara

ekonomi maupun sosial tidak termasuk perhitungan

dalam pemberian ganti rugi.

Dasar penetapan besarnya ganti rugi berdasarkan

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65

Tahun 2006 Pasal 15 huruf a adalah “Gabungan

yaitu harga nilai jual obyek pajak, dan nilai harga riil

dengan memperhatikan nilai jual obyek pajak pada

tahun yang berjalan, dengan memperhatikan hasil

tim penilai harga tanah sedangkan yang menyangkut

bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada

diatas tanah tidak disebutkan standar yang pasti.

Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

kepentingan umum melalui pencabutan hak atau

pelepasan hak atas tanah oleh pemegang hak

sebaiknya juga memperhatikan hak-hak pribadi.

Pelaksanaan kepentingan yang lebih luas atau

kepentingan Negara dalam pelaksanaan pengadaan

tanah harus memperhatikan asas-asas hukum yang

berlaku.Asas-asas hukum tersebut antara lain:

Asas KesepakatanSeluruh kegiatan pengadaan tanah terutama dalam

bentuk pelepasan hak atas tanah beserta segala

aspek hukumya seperti persoalan harga ganti

rugi, bentuk ganti rugi harus didasarkan pada asas

kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah

dengan pemegang hakatas tanah. Kesepakatan

dilakukan atas dasar penyesuaian kehendak kedua

belah pihak tanpa adanya unsur paksaan, kekhilafan

dan penipuan serta dilakukan dengan itikad baik.

Hal ini perlu dilakukan karena hubungan antara

kedua belah pihak adalah hubungan keperdataan

yang berasal dari perjanjian sehingga semua

unsur kesepakatan harus terpenuhi. Apabila dalam

pencapaian kesepakatan tersebut terdapat unsur

kekhilafan, paksaan dan penipuan maka kesepakatan

dapat dibatalkan.

Asas KeadilanKeadilan merupakan salah satu cita-cita hukum

yang berangkat dari nilai-nilai moral manusia.Dalam

rangka pengadaan tanah asas keadilan diletakkan

sebagai dasar penentuan bentuk dan besarnya

ganti rugi yang harus diberikan kepada pemilik tanah

dan orang-orang yang terkait dengan tanah yang

dibebaskan haknya untuk kepentingan umum.

Asas keadilan dikongkritkan dalam pemberian ganti

rugi, artinya dapat memulihkan kondisi sosial ekonomi

mereka minimal setara atau setidaknya masyarakat

tidak menjadi lebih miskin dari sebelumnya.

Prinsip keadilan juga harus meliputi pihak yang

membutuhkan tanah agar dapat memperoleh

tanah sesuai dengan rencana peruntukkannya dan

memperoleh perlindungan hukum.

Asas KemanfaatanPelepasan hak atas tanah pada prinsipnya harus

dapat memberikan manfaat bagi pihak yang

membutuhkan tanah dan masyarakat yang tanahnya

dilepaskan.Pengadaan tanah untuk kepentingan

umum dapat terwujud sehingga pembangunan

dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana untuk

berbagai fasilitas kepentingan umum.Disamping

itu pihak masyarakat pemilik tanah dapat diberikan

ganti rugi yang layak atau dapat diberikan tanah

pengganti dan pemukiman kembali sehingga tingkat

kehidupan sosial ekonominya dapat menjadi lebih

baik atau setidaknya tidak menjadi lebih miskin dari

sebelum tanah dilepaskan.Pada akhirnya kegiatan

pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat

bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya.

Asas Kepastian HukumPelaksaanaan pengadaan tanah harus memenuhi

asas kepastian hukum yakni dilakukan dengan

13

Rekam Jejak Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Lusia Tri Harjanti

cara yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan dimana semua pihak dapat mengetahui

dengan pasti hak dan kewajibannya masing-

masing. Disamping itu kepastian hukum juga harus

tertuju terhadap pemberian ganti rugi kepada pihak

pemilik tanah yang telah menderita kerugian atas

lepasnya hak atas tanahnya akibat dilepaskan

untuk pembangunan bagi kepentingan umum. Disisi

lain, pihak yang membutuhkan tanah juga harus

memperoleh kepastian untuk dapat menikmati atau

mengusahakan tanah tersebut tanpa mendapat

gangguan dari pihak manapun.

Asas MusyawarahMusyawarah dilakukan untuk mencapai kesepakatan

di antara kedua belah pihak dalam pelaksanaan

pengadaan tanah untuk pembangunan bagi

kepentingan umum. Musyawarah menunjuk pada

pembentukan kehendak bersama dalam urusan

mengenai kepentingan hidup bersama dalam

masyarakat yang bersangkutan sebagai keseluruhan,

sedangkan mufakat menunjuk pada pembentukan

kehendak bersama antara 2 orang atau lebih, dimana

masing-masing berpangkal dari perhitungan untuk

melindungi kepentingan masing-masing.

Asas KeterbukaanPeraturan mengenai pengadaan tanah harus

dikomunikasikan kepada masyarakat sehingga

masyarakat memperoleh pengetahuan mengenai

isi peraturan tersebut. Demikian pula mengenai

rencana pengadaan tanah untuk pembangunan

demi kepentingan umum harus dikomunikasikan

kepada masyarakat pemilik tanah mengenai tujuan,

peruntukan tanah dan besarnya ganti rugi, serta

tata cara pembayaran ganti rugi kerugian dan

seluruh proses administrasi atas pelepasan tanah

tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari

kesalahpahaman diantara semua pihak sehingga

dapat mencegah terjadinya kekeliruan yang dapat

menimbulkan konflik. Penyampaian informasi

mengenai rencana pengadaan tanah untuk

pembangunan bagi kepentingan umum dapat

dilakukan melalui penyuluhan hukum dan media

informasi yang dapat dijangkau oleh masyarakat

secara luas.

Asas PartisipasiPeran serta semua pihak yang terkait secara aktif

dalam proses pelepasan hak akan menimbulkan rasa

ikut memiliki dan dapat memperkecil kemungkinan

timbulnya penolakan terhadap kegiatan pengadaan

tanah untuk pembangunan bagi kepentingan

umum. Masyarakat pemilik tanah, masyarakat yang

terkena dampak yang ada di lokasi pengadaan

tanah dilibatkan dalam tahap awal sampai akhir

pelaksanaan proyek. Komunikasi dan konsultasi

dengan pihak yang terkait harus dilakukan secara

intensif dan berkesinambungan untuk memberi

masukan yang diperlukan.

Asas KesetaraanAsas ini dimaksudkan untuk menempatkan posisi

pihak yang memerlukan tanah dan pihak yang

tanahnya akan dilepaskan harus diletakkan secara

sejajar dalam seluruh proses pengambilalihan

tanah. Pihak yang membutuhkan tanah harus

menempatkan pemilik tanah pada posisi sederajat.

Apabila terdapat kesetaraan posisional antara pemilik

tanah diharapkan akan berhasil dengan baik karena

masing-masing pihak dapat mengajukan keinginan

dan menyampaikan tawaran sesuai kesederajatan

posisi mereka.

Asas Minimalisasi Dampak dan Kelangsungan Kesejahteraan EkonomiPengadaan tanah dilakukan dengan upaya untuk

meminimalkan dampak negatif atau dampak penting

yang mungkin timbul dari kegiatan pembangunan

tersebut. Disamping itu, juga harus diupayakan untuk

memperbaiki taraf hidup masyarakat yang terkena

proyek pembangunan atau yang tanahnya dilepaskan

haknya. Kesejahteraan ekonomi masyarakat yang

terkena proyek pembangunan minimal harus sama

14

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 1-16Vol. 2 No. 1

dengan sebelum terkena pengadaan tanah. Kalau

perlu, terjadi peningkatan taraf hidup masyarakat

menjadi lebih baik antara yang berkonsekuensi pada

hak atas tanah. Bentuk ganti rugi dapat berupa:

1. Uang dan/atau;

2. Tanah pengganti dan/atau;

3. Pemukiman kembali;

4. Gabungan dua atau lebih dari satu pihak-pihak

yang bersangkutan.

Sebagai upaya mewujudkan penghormatan kepada

hak-hak dan kepentingan perseorangan yang

telah dikorbankan untuk kepentingan umum harus

terdapat keseimbangan secara keseluruhan, jadi

ganti rugi tersebut dikatakan adil bila tidak membuat

seseorang menjadi lebih kaya atau lebih miskin dari

keadaan semula.

Dalam pemberian ganti rugi harus dipertimbangkan

beberapa hal yang diperkirakan justru akan

memperburuk keadaan dan taraf kehidupan

orang-orang yang tanahnya dibebaskan tersebut.

Seyogyanya dipikirkan agar kualitas kehidupan

mereka meningkat dan diupayakan agar ganti rugi

diberikan dalam bentuk yang tidak mengubah pola

hidup masyarakat dengan alih pemukiman ke lokasi

yang sesuai. Pemukiman dapat dilihat sebagai

dunia tersendiri tempat dimana warga-warganya

menentukan identitas mereka merasa sebagai

mahkluk sosial dan aman. Selain hal-hal yang

sungguh diderita dalam pemberian ganti rugi yang

harus dipertimbangkan juga faktor-faktor non fisik

atau immateril. Faktor yang bersifat non fisik atau

immaterial yang dapat memperburuk keadaan jika

tidak dipertimbangkan dalam menentukan besarnya

ganti rugi misalnya biaya pindah tempat atau pindah

pekerjaan, turunnya penghasilan pemegang hak

karena proses pengambilalihan yang lama dan

kerugian dalam hal tanah yang dibebaskan hanya

sebagian sehingga tanah yang tersisa sulit dijual.

Penentuan nilai tanah dan harga tanah yang layak

merupakan salah satu masalah dalam pelaksanaan

ganti kerugian. Biasanya harga atau nilai tanah

disuatu daerah hampir tidak diketahui dengan pasti

berapa besarnya walaupun harga tanah dipasar

dapat dimonitor perdaerah, hal tersebut terjadi

karena cara menentukan harga tanah baru dilakukan

bila ada permohonan dari pihak yang memerlukan

tanah untuk membebaskan tanah tersebut.

Secara formal sudah dijelaskan oleh beberapa

peraturan mengenai langkah-langkah yang harus

dilakukan oleh PPT dalam menentukan harga tanah,

namun harga yang ditetapkan PPT tersebut hanyalah

nilai tanah dalam lingkup yang sempit, yaitu harga

pasar dalam jual beli yang merupakan nilai fisik-

ekonomis tanah tersebut.

Selain itu, masalah yang umum terjadi adalah tidak

disepakatinya bentuk dan jenis ganti rugi tanah

antara pemegang hak atas tanah dengan instansi

yang memerlukan tanah. Dalam kasus tanah yang

diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum yang tidak dapat dipindahkan

lokasinya ke tempat lain sedangkan tidak ada

kesepakatan mengenai bentuk, jenis maupun

besarnya ganti rugi, maka ganti ruginya dititipkan ke

Pengadilan Negeri setempat. Tindakan pemerintah

tersebut sebagaimana yang sering dipublikasikan

dalam berbagai media masa, dianggap bertentangan

dengan hak asasi manusia. Masyarakat umumnya

merasa bahwa penguasa mengambil tanahnya

dengan cara tidak layak.

KESIMPULAN Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan

umum yang ada dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 jo

Perpres No. 36 Tahun 2005 jo UU No. 2 Tahun 2012

berbeda dengan kepentingan umum yang diatur

dalam Keppres No. 55 Tahun 1993. Pengaturan

yang ada dalam Perpres tidak mensyaratkan adanya

prinsip, tidak berorientasi pada pencapaian yang

mencari keuntungan, sehingga bisa jadi tindakan

yang dilakukan oleh pemerintah yang mencari

15

Rekam Jejak Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Lusia Tri Harjanti

keuntungan dapat dipahami sebagai tindakan yang

berdasarkan pada kepentingan umum sepanjang

bidang-bidang yang dilakukan sesuai dengan Pasal

5 Perpres No. 65 Tahun 2006 jo Pasal 10 UU No. 2

Tahun 2012.

Penentuan bentuk dan besar ganti rugi dalam

pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus

dilakukan melalui proses musyawarah mufakat

jika bentuk dan besar ganti ruginya berupa uang

maka musyawarah tentang besar ganti rugi harus

didasarkan pada hasil dari lembaga/tim penilai

khusus terhadap pengadaan tanah kepentingan

umum yang tidak dapat dipindahkan ke lokasi lain,

konsinyasi terhadap ganti rugi dapat dilakukan pada

mereka yang berkeberatan dengan besarnya ganti

rugi yang ditetapkan oleh panitia pengadaan tanah.

SARAN1. Pengaturan terhadap pelaksanaan pembangu-

nan untuk kepentingan umum yang ada dalam

Perpres No. 65 Tahun 2006 Jo Perpres No. 36

Tahun 2005 perlu ditinjau kembali mengingat

kata kepentingan umum semestinya menem-

patkan pemerintah selaku public service sehing-

ga prinsip non profit orientation harus menjadi

syarat yang mutlak dalam pengaturannya.

2. Untuk meminimalisir masalah dalam rangka

pengadaan tanah bagi pembangunan untuk ke-

pentingan umum, maka sebaiknya pemerintah

menetapkan harga tanah secara aktual tidak

hanya pada saat dilaksanakan pengadaan ta-

nah tetapi jauh sebelumnya. Dalam menetapkan

harga tanah PPT harus melakukannya secara

objektif dengan pertimbangan-pertimbangan

mengenai faktor sosial, ekonomi dan budaya

sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Faktor bu-

daya perlu diperhatikan dalam ganti rugi karena

jangan sampai dengan diadakan pembebasan

tanah untuk kepentingan umum budaya yang

tumbuh dalam suatu masyarakat menjadi hilang

karena tercerai berainya masyarakat tersebut.

Dengan demikian ganti rugi yang diberikan tidak

merugikan masyarakat pemegang hak atas ta-

nah tersebut.

3. Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tersebut dalam

Pasal 10 ayat (2) tampak adanya keputusan

sepihak mengenai harga tanah dan dengan

mudahnya dapat menitipkan uang ganti rugi ke

Pengadilan Negeri setempat, hal ini merupakan

suatu pemaksaan terhadap hak-hak masyara-

kat yang juga merupakan pelanggaran terhadap

hak asasi manusia walaupun ganti rugi diberi-

kan diatas NJOP sehingga perlu untuk ditinjau

kembali.

UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terimakasih kepada Kepala Pusat

Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia atas bimbingan dalam

penyusunan artikel ini.

DAFTAR ACUANKeputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang

Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor

65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas

Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

untuk Kepentingan Umum

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

untuk Kepentingan Umum

16

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 1-16Vol. 2 No. 1

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil

Munsyarief

17

PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM YANG

BERPERIKEMANUSIAAN, DEMOKRATIS DAN ADIL

laNd’s ProcurEMENT PolIcy for aN aPProPrIaTE, dEMocraTIc aNd faIr

PublIc INTErEsT dEVEloPMENT

MunsyariefPusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jalan Agus Salim Nomor 58, Jakarta, [email protected]

ABSTRAKBerbagai konflik dalam pengadaan tanah diharapkan mampu diminimalisir dengan munculnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Bagi Pembangunan, sehingga pengadaan tanah dapat dilakukan

secara cepat namun tetap dengan memperhatikan hak-hak dari pemegang hak atas tanah secara berperikemanusiaan,

demokratis dan adil.

Kata kunci : pengadaan tanah, berperikemanusiaan, demokratis dan adil.

absTracTAny conflicts in land’s procurement hopefully could be minimalized by the emerge of National’s Law No. 2 in 2012 about

Land’s Procurement Policy for Public Interest Development. By this law, land’s procurement not only could be done faster, but

also it will put more attention to land’s owner’ rights in appropriate, democratic and fair way..

Keywords : land’s procurement, appropriate, democratic and fair way.

PENDAHULUAN

latar belakangSetelah sekian lama menuai banyak kritik akibat

tidak tepatnya wadah pengaturan bagi pengadaan

tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum

yang hanya diatur dalam Peraturan Presiden,

akhirnya pada Januari 2012 RUU Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum. Undang-Undang

tentang Pengadaan Tanah yang telah disahkan

tersebut secara filosofis diharapkan memberi

angin segar bagi pelaksanaan pengadaan tanah

di Indonesia. Berbagai konflik dalam pengadaan

tanah diharapkan mampu diminimalisir dengan

munculnya Undang-Undang ini sehingga pengadaan

tanah dapat dilakukan secara cepat namun tetap

dengan memperhatikan hak-hak dari pemegang

hak atas tanah yang tanahnya terkena pengadaan

tanah. Sudah barang tentu, berbagai pendapat

pro dan kontra yang dikeluarkan oleh berbagai

elemen masyarakat, masing-masing memiliki dasar

alasan, argumentasi. Salah satu di antara pendapat

yang menolak saat Rancangan Undang-Undang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum ini dibahas di DPR-RI adalah

Idham Arsyad yang intinya menyatakan: pembahasan

Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1

18

Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

ini sebaiknya ditunda sampai penataan struktur

agraria dilakukan dengan mendorong pelaksanaan

reforma agraria1. Sebelumnya, harian Kompas juga

mewartakan bahwa Undang-Undang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum merupakan ancaman hak atas tanah karena

rawan diselewengkan untuk kepentingan bisnis

yang justru meminggirkan akses publik terhadap

hasil pembangunan, sehingga dinilai tidak berpihak

kepada kepentingan rakyat2.

Permasalahan Apakah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012

tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk

Kepentingan Umum tersebut merupakan produk

hukum yang responsif ataukah represif?

TujuanMengetahui dan menganalisis Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan untuk Kepentingan Umum tersebut

merupakan produk hukum yang responsif ataukah

represif. Tujuan diciptakannya hukum dalam negara

adalah untuk menciptakan stabilitas dan keteraturan.

HASIL DAN PEMBAHASANKonstruksi hukum penguasaan dan pemilikan tanah

di Indonesia berbeda dengan Negara-negara lain.

Pendekatan yang berbeda di setiap negara dalam

kebijakan pertanahan mencerminkan variabel

nasional, termasuk perencanaan sistem, struktur

kelembagaan dan kewenangannya, sosial-budaya

karakteristik, tekanan penduduk dan lingkungan.

Contoh-contoh kebijakan pertanahan di negara-

negara lain adalah sebagai berikut :

1 Periksa Idham Arsyad, Sesat Pikir RUU Pengadaan Tanah, KOMPAS, Jum’at 18 Maret 2011, hlm.6

2 Kompas Ancaman Hak Atas Tanah, Jum’at 11 Maret 2011 hlm.4

Pengelolaan Pertanahan di Amerika SerikatKewenangan pertanahan di Amerika Serikat berada

pada sebuah lembaga bernama The Bureau of Land

Management (BLM). Lembaga ini merupakan bagian

dari Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat

yang mengelola tanah publik Amerika, dengan total

nilai sekitar 253 juta hektar (1.020.000 km2), atau

seperdelapan dari luas daratan Amerika Serikat.

BLM juga mengelola 700 juta hektar (2.800.000

km2) mineral bawah permukaan yang mendasari

pemerintah federal, negara bagian, dan tanah

pribadi. Sebagian besar tanah publik yang terletak

di bagian barat negara bagian, termasuk Alaska

dengan sekitar 10.000 karyawan tetap dan hampir

2.000 karyawan musiman, ini berhasil menjadi lebih

dari 21.000 hektar (85 km2) per karyawan. anggaran

badan tersebut adalah US $960.000.000 untuk tahun

2010 ($3,79 per hektar permukaan, $9,38 per hektar).

Misi BLM adalah untuk mempertahankan kesehatan,

keragaman dan produktivitas tanah publik untuk

penggunaan dan kenikmatan generasi sekarang dan

mendatang.

BLM menjalankan aturan perundangan pertanahan

Amerika Serikat yang termaktub dalam The

Federal Land Policy and Management (FLPMA),

yang merupakan hukum federal yang mengatur

cara di mana tanah publik yang dikelola oleh BLM

dikelola. Hukum disahkan pada tahun 1976 oleh

Kongres 94 dan ditemukan di Amerika Serikat

Code bawah Judul 43. Kongres mengakui nilai dari

tanah publik, menyatakan bahwa tanah ini akan

tetap dalam kepemilikan umum. National Forest

Service, National Park Service, dan sekarang, Biro

Manajemen Tanah, yang ditugaskan pada FLPMA

untuk memungkinkan berbagai penggunaan di tanah

mereka (yang menjadi perhatian lebih besar untuk

BLM, yang adalah membatasi paling tidak dalam

hal penggunaan) sementara secara bersamaan

mencoba untuk melestarikan sumber daya alam di

dalamnya. Konsep ini paling baik diringkas dengan

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil

Munsyarief

19

istilah ‘ganda digunakan.’ “Beberapa penggunaan

‘didefinisikan dalam UU sebagai” pengelolaan tanah

publik dan nilai-nilai berbagai sumber daya mereka

sehingga mereka digunakan dalam kombinasi yang

terbaik akan memenuhi kebutuhan sekarang dan

masa depan rakyat Amerika. “ FLPMA membahas

topik seperti perencanaan penggunaan lahan,

pembebasan lahan, biaya dan pembayaran,

administrasi tanah federal, manajemen jangkauan,

dan hak pakai di atas tanah federal. FLPMA memiliki

tujuan tertentu dan jangka waktu di mana untuk

mencapai tujuan tersebut, memberikan kewenangan

yang lebih dan menghilangkan ketidakpastian

seputar peran BLM dalam penunjukan padang gurun

dan manajemen.

Bagian dari FLPMA berkaitan khusus untuk hutan

ditemukan di bawah pos manajemen yg telah

ditunjuk. Di sini, BLM juga diberikan kekuasaan

untuk menunjuk hutan dan diberikan 15 tahun untuk

melakukannya. BLM adalah untuk melakukan studi,

mengelompokkan daerah sebagai ‘daerah hutan

studi. “ Daerah ini bukan area hutan resmi tetapi,

untuk semua maksud dan tujuan, diperlakukan

seperti itu sampai adopsi formal sebagai hutan oleh

Kongres. Sekitar 8,8 juta hektar padang gurun BLM

saat ini termasuk dalam Sistem Pelestarian Hutan

Nasional sebagai hasil dari review padang gurun

diamanatkan oleh FLPMA. Mereka diperintahkan

untuk melaksanakan kebijakan dari FLPMA adalah

karyawan pemerintah yang terlatih menggunakan

pedoman secara tegas dinyatakan dalam tindakan

itu sendiri.Selanjutnya FLPMA yang digunakan untuk

mengatasi masalah-masalah pertanahan sebagai

kebutuhan orang-orang Amerika Serikat, telah

diperluas untuk mencakup sumber daya alam seperti

minyak di Tanah Federal.

Pengelolaan Pertanahan di ChinaYang terjadi di China adalah perubahan hukum-hukum

tanah dapat memberikan substantif pelajaran yang

mungkin berguna bagi negara lain untuk mencoba

menanggapi dengan cara yang konstruktif terhadap

tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan kondisi

ekonomi dan sosial dan kelangkaan lahan. Mengingat

kompleksitas isu dan kebutuhan untuk menemukan

solusi yang dapat secara fleksibel merespon

kebutuhan lokal yang mungkin berbeda secara luas

di seluruh daerah yang berbeda, pendekatan yang

dipilih oleh China didasarkan pada bertahap dan agak

pragmatis dalam pendekatannya, bersama dengan

pelaksanaan desentralisasi di tingkat lokal. Di Cina,

penekanan pada eksperimentasi dan percontohan

yang kemudian dapat dimodifikasi dan ditingkatkan

atau dibuang tergantung pada hasil yang dicapai.

Meskipun memerlukan pemerintah pusat dan

birokrasi untuk melepaskan banyaknya kekuasaan

diskresi, tampak bahwa pemberian tanggung jawab

kepada pemerintah daerah dengan cara ini telah

memberikan tidak hanya menggunakan fleksibilitas

yang diperlukan untuk mengatasi kebutuhan spesifik

lokasi tetapi juga memberikan dasar untuk bergerak

maju dengan penerapan yang jauh lebih cepat

daripada mencoba mengembangkan sebuah “ideal”

hukum yang tidak sinkron dengan realitas tanah.

China pernah mencoba untuk mendesentralisasikan

administrasi tanah tanpa mekanisme yang memadai

akuntabilitas dan kontrol dapat meningkatkan

daya diskresioner elit lokal, bukan penguatan hak

atas tanah. Bukti dari China, seperti dalam kasus

pembatasan secara bertahap kekuatan-kekuatan

pemerintah lokal untuk sewenang-wenang mengambil

tanah, menggambarkan bahwa desentralisasi tidak

sama dengan tidak adanya aturan pusat yang

dikenakan, bahkan itu adalah sebaliknya. Bukti

menunjukkan bahwa memiliki aturan yang jelas dan

menegakkannya sangat diperlukan.

Pengelolaan Pertanahan di GhanaAdministrasi pertanahan di Ghana diatur oleh praktek

adat dan undang-undang berlaku. Pada dasarnya

ada dua jenis kepemilikan tanah: publik atau negara

tanah dan tanah pribadi. Tanah publik atau negara

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1

20

didefinisikan sebagai tanah diperoleh secara wajib

oleh pemerintah melalui seruan undang-undang yang

sesuai, berada di tangan Presiden dan diadakan

diakui oleh Negara untuk seluruh rakyat Ghana.

Sebaliknya, lahan pribadi di sebagian besar negara

tersebut dalam kepemilikan komunal, diadakan di

percaya untuk komunitas atau kelompok sebagai

simbol otoritas tradisional, atau dengan keluarga.

Adapun di antara tanah publik dan swasta adalah

lahan pribadi, yang merupakan bentuk kepemilikan

yang memisakan antara negara dan para pemilik

tradisional.

Di seluruh Ghana tersebar sejumlah kelompok

tradisional yang melambangkan milik tanah komunal.

Pada dasarnya, kepemilikan tanah berdasarkan

kepemilikan mutlak atau permanen untuk,

kepentingan, atau hak atas tanah berasal. Dalam

hal ini pemerintah Ghana membentuk kerangka

administratif formal terdiri dari sejumlah lembaga

bidang pertanahan, terutama di bawah Departemen

Tanah dan Kehutanan, untuk memfasilitasi sistem

yang rasional dan tertib administrasi pertanahan.

Sistem ini diaktifkan oleh peraturan perundang-

undangan yang berlaku dan melakukan fungsi-fungsi

berikut :

1. Pemberian tanah publik,

2. Administrasi tanah pribadi,

3. Administrasi tanah adat/pemangku,

4. Penyelesaian sengketa tanah,

5. Pengumpulan dan penyaluran pendapatan ta-

nah adat/pemangku.

Pengelolaan Pertanahan di JermanJerman adalah negara yang sangat federal 16

negara bagian (Länder), Jerman memiliki batas-

batas tanah dengan delapan Anggota Uni Eropa

dan Swiss. Jerman pulih dari kehancuran Perang

Dunia II di Eropa untuk menjadi industri yang paling

menjadi pemimpin dalam pencapaian teknologi, kuat

di sektor manufaktur kendaraan, teknik, perbankan,

dan asuransi. Dengan berakhirnya Perang Dingin

reunifikasi dicapai sangat cepat, tapi masih ada

perbedaan standar hidup antara timur dan barat

dan pengangguran tetap merupakan masalah

utama di Timur. Sistem federal Jerman menawarkan

model yang relatif canggih untuk mendistribusikan

tanggung jawab antara tingkat pusat dan daerah,

yang mencoba untuk memberikan banyak daya dan

tetap menjaga kebijakan nasional yang koheren.

Tingkat pemerintahan di Jerman meliputi Pemerintah

Federal atau pusat kemudian di bawahnya ada

Negara Bagian (Länder) kemudian Pemerintah

Daerah dan kota/kabupaten. Dalam hal wewenang

perencanaan pertanahan pemerintah pusat sebagai

koordinator, pemerintah negara bagian berperan

membangun prinsip-prinsip dasar perencanaan

negara bagian, pemerintah daerah berperan dalam

mengkoordinasi dan membangun prinsi-prinsip

perencanaan di daerah, dan kota/kabupaten

berperan dalam merencanakan penataan skala kecil

di dalam ditail. Di Jerman tidak ada Departemen

Khusus yang membidangi perencanaan spasial yang

harus bertanggung jawab atau setidaknya menjadi

Departemen yang memimpin kebijakan pertanahan.

Kebijakan pertanahan di Jerman didasarkan kepada

undang-undang yang menandai kerangka kerja

hukum untuk hak penggunaan dan disposisi atas

tanah.

Pengelolaan Pertanahan di SwediaSalah satu negara yang paling maju di dunia,

masyarakat pasca-industri, dengan kemitraan publik-

swasta sebagai inti dari “Model Swedia”. Swedia

merupakan negara yang jarang penduduknya,

dengan 85 persen dari sembilan juta penduduk

sekarang tinggal di kota-kota. Banyak di daerah

terpencil terancam oleh stagnasi ekonomi dan

penurunan populasi. Kehutanan adalah penggunaan

lahan yang paling penting di Swedia, meliputi 55

persen luas lahan Swedia, dan kayu, pulp dan kertas

industri secara ekonomi signifikan. Tradisi lama yang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil

Munsyarief

21

hidup dari tanah dan sumber daya alam dapat

membantu menjelaskan secara luas komitmen

terhadap lingkungan. Swedia adalah salah satu

negara pertama menjadi aktif dalam kebijakan

lingkungan, dan benar-benar direformasi undang-

undang lingkungan pada tahun 1999 dengan tujuan

mempromosikan pembangunan berkelanjutan.

Kewenangan pertanahan di Swedia berada pada

Kementerian Lingkungan, yang bertanggung

jawab dalam membuat acuan perencanaan

nasional yang digunakan dalam pelaksanaan

kegiatan pertanahan untuk wilayah administrasi

di bawahnya. Struktur organisasi untuk kebijakan

lingkungan di Swedia dapat dinilai dalam dua

dimensi. Dimensi pertama adalah mengenai

hubungan antara kebijakan lingkungan dan

kekuatan modernisasi dalam industri, pertanian,

kehutanan, perencanaan fisik, transportasi dan

sebagainya.

Dimensi kedua menyangkut struktur undang-

undang lingkungan, kebijakan organisasi berhasil

ketika telah memiliki regulasi yang unik. Tidak ada

kebijakan tanpa organisasi dan tidak ada kebijakan

publik tanpa undang-undang. Organisasi dan teks

hukum menyatakan tentang realitas kebijakan.

Kenyataan ini muncul hanya dalam rincian praktek

operasi dan praktek hukum.

Kebijakan lingkungan Swedia didasarkan pada

empat karakteristik :

1. Sebuah platform pengetahuan disandarkan

pada dasar akademis yang kuat dari ilmu pen-

getahuan alam dan teknologi.

2. Aturan hukum seperti yang didefinisikan

dalam suatu sistem hukum independen, den-

gan transparansi, dasarnya tidak ada korupsi,

dan sarana yang kredibel penegakan dan pe-

mantauan.

3. Sebuah konsensus nasional yang luas ten-

tang pentingnya melindungi kesehatan manu-

sia dan lingkungan alam.

4. Pandangan masyarakat bersama tentang

perlunya sebuah negara kecil dengan pereko-

nomian terbuka berada di garda depan mod-

ernisasi ekonomi.

Pengelolaan Pertanahan di PerancisPerancis, meskipun menunjukkan tren terakhir

menuju regionalisasi, tetap menjadi pemerintahan

yang sentralistik. Untuk lingkungan, seperti subyek

lain, hukum dibahas dan dipilih oleh parlemen,

sesuai peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah

dengan nasional validitas. Perbedaan utama dengan

negara-negara Eropa lainnya tentang pelaksanaan

kerangka hukum tentang kebijakan pertanahan

terkait dengan prinsip dasar pendekatan Perancis:

yaitu, agar efektif, implementasi harus melibatkan

secara kooperatif seluruh pihak.

Organisasi administratif di Perancis didasarkan

pada tingkat nasional dan regional, yang

menunjukkan variasi yang signifikan dalam

pengambilan keputusan dalam kebijakan

pertanahan di Perancis. Di Perancis pada kurun

waktu tahun 1982-1983 mengalami desentralisasi

secara prerogatif dalam hal perencanaan kota.

Tahun 1980-an adalah dekade perubahan besar

dalam konteks kebijakan tanah. Perubahan

drastis ekonomi dan lingkungan perkotaan, serta

pengalihan hak istimewa perencanaan kota kepada

pihak berwenang setempat, secara bertahap

menghancurkan konsepsi tradisional kebijakan

pertanahan, dan kebijakan yang cenderung untuk

menghilangkan tanah dari ekonomi pasar dengan

mengerahkan kontrol publik yang kuat atas

penggunaan lahan. Konteks baru membawa akhir

dari proyek-proyek besar diimplementasikan di

pinggiran kota. Hal ini mengakibatkan pemerintah

lokal tidak bisa menjalankan aturan yang sudah

ada walaupun memiliki kontrol atas tanah, mereka

tidak memiliki sarana keuangan untuk menegakkan

aturan yang sudah ada. Untuk memperkuat kontrol

tanah pemerintah daerah, maka pemerintah

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1

22

Perancis membentuk Lembaga Tanah tingkat supra-

kota. Di daerah metropolitan di mana kerja sama kota

kurang, pemerintah pusat dapat mengambil inisiatif

dalam menciptakan lembaga-lembaga tersebut.

Pengelolaan Pertanahan Tentang Pendaftaran Kawasan Hutan di TurkiSalah satu yang paling berharga dan sumber-sumber

kekayaan yang paling penting dari negara adalah

tanah. Tanah selalu memiliki hubungan material

dan spiritual terkuat yang mengikat dengan fakta

kepemilikan. Oleh karena itu hubungan antara tanah

dan orang sangat berhubungan dengan masalah

sosial, politik dan ekonomi negara. Kadaster telah

menjadi alat utama untuk menentukan hubungan

antara tanah dan orang. Untuk menggunakan

pendaftaran tanah dan informasi kadaster sebagai

dukungan dasar tentang cara “ manajemen

pertanahan” adalah subjek utama. Hal ini perlu

memeriksa kadaster dan kepemilikan di pedesaan

daerah dari sudut pandangan pembangunan

berkelanjutan karena kepentingan dalam pertanian,

wilayah hutan dan padang rumput yang dikenal

sebagai daerah pedesaan telah meningkat dengan

meningkatnya populasi, teknologi berkembang,

urbanisasi berkembang, industri dan komersial

investasi.

Di Turki hutan adalah salah satu sumber daya alam

yang paling penting. Oleh karena itu salah satu mata

pelajaran dasar untuk pembangunan berkelanjutan

di daerah pedesaan. Hal kedua mempengaruhi

pedesaan pengembangan proses dan dipengaruhi

dari ini. Pada setiap istilah itu mencoba untuk

menyelamatkan hutan dan mengambil tindakan

untuk risiko pada kehabisan mereka dengan

pengaturan hukum dan aplikasi. Dalam penelitian

ini hukum pengaturan pada Periode Republik Turki,

khususnya hukum infrastruktur hutan setelah tahun

1960 ditinjau.

Menurut Pasal 168 dalam UUD 1982, “hutan”

adalah dalam kategori kekayaan alam dan sumber

daya alam, dan dalam kepemilikan pemerintah.

Konstitusi juga memiliki bagian khusus untuk

hutan dan kewajiban penduduknya untuk

melindungi dan mengembangkan hutan. Meskipun

demikian “Deforestasi” adalah masalah utama di

Turki. Pengelolaan hutan berkelanjutan adalah

diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sosial,

ekonomi, ekologi, budaya dan spiritual generasi

berikutnya. “Untuk melindungi dan mengamankan

kawasan hutan” adalah studi awal yang harus

dilakukan untuk pengelolaan hutan lestari.

Menurut Konstitusi dan Hukum Hutan, tanah

yang kehilangan karakteristik ilmiah hutan akan

dibawa ke luar kawasan hutan. Misalnya pertanian

bidang seperti lapangan, kebun anggur, taman,

kebun, kebun zaitun, daerah kemiri, kacang tanah

daerah, atau tanah yang berguna bagi ternak

seperti padang rumput, tempat terlindung, rumput

gunung, atau pemukiman daerah yang memiliki

kota, kota kecil dan struktur desa, ini berarti bahwa

tanah tidak dapat dipulihkan dan ditingkatkan

sebagai hutan sehingga tempat-tempat ini

sehingga dikeluarkan dari wilayah hutan dan bisa

didaftarkan.

Pengelolaan Pertanahan di IsraelHukum pertanahan Israel memiliki keunikan

tersendiri dibandingkan dengan hukum-hukum

pertanahan di negara-negara lain. Hal ini tentu

saja menjadi perhatian dari para peneliti masalah

pertanahan di dunia. Ada empat hukum Israel

yang membentuk dasar hukum dalam kebijakan

pertanahan :

1. Hukum Dasar: Pertanahan Israel (1960) me-

nyatakan bahwa semua tanah milik negara

Israel akan tetap dalam kepemilikan negara,

dan tidak akan dijual atau diberikan kepada

siapapun.

2. Hukum Pertanahan Israel (1960) rincian

pengecualian beberapa hukum dasar.

3. Israel Hukum Administrasi Pertanahan (1960)

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil

Munsyarief

23

menjelaskan rincian membentuk dan mengop-

erasikan Administrasi Tanah di Israel.

Kewenangan pertanahan di Israel berada pada

lembaga yang bernama Israel Land Administration

(ILA). Tujuan keseluruhan dari ILA adalah untuk

menjamin ketersediaan lahan yang diperlukan untuk

pembangunan negara dan penyerapan imigran, dan

untuk berkontribusi pelestarian lahan pertanian dan

keamanan nasional. Wewenang pertanahan di Israel

sebelumnya berada pada kementerian pertanian

yang menekankan kebijakan pengadaan tanah

untuk pembangunan perkotaan dan perumahan,

khususnya, bagi imigran baru dan kelompok sasaran

lainnya.

Prinsip dasar yang mengatur kebijakan pertanahan

oleh ILA adalah tanah yang tidak dapat dijual. Ini

hanya dapat disewakan, tanpa apakah pengguna

adalah orang pribadi, bisnis, atau sebuah publik

(Hukum Tanah Israel; Israel, 1960). Para pengguna

tanah statusnya sewa dengan jangka waktu selama

49 tahun dengan opsi perpanjangan selama periode

yang sama. Mengikuti rekomendasi dari Komite

Weitz (1963), sejumlah aturan yang dilembagakan

tentang tanah perkotaan , yang telah diatur kebijakan

pengelolaan ILA ini sampai sekarang. Tanah hanya

dapat disewa setelah selesainya proses perencanaan

dan setelah persetujuan diperbolehkannya

penggunaan. Selain itu, 91% dari nilai properti harus

prabayar, yang kemudian pembayaran sewa dibayar

sampai akhir masa sewa.

Pengelolaan Pertanahan di IndonesiaMenjelang akhir abad 20, masalah tanah makin

menjadi isu sentral bagi kehidupan masyarakat

Indonesia. Hampir setiap hari berita-berita di media

massa melaporkan konflik-konflik pertanahan yang

terjadi. Konflik-konflik ini adalah hasil dari perubahan-

perubahan cepat dalam struktur ekonomi sejak

pertengahan 1980-an. Dibandingkan dengan yang

terjadi di masa lalu, konflik-konflik yang terjadi saat ini

tidak hanya terjadi pada tanah yang digunakan untuk

pertanian, tetapi juga pada tanah yang digunakan

untuk semua jenis proyek pembangunan, seperti

kehutanan, real estate, pariwisata, pertambangan,

bendungan, kawasan industri, padang golf, dan

sebagainya. Kebanyakan dari konflik tersebut

dapat diartikan sebagai pertentangan hak dan

kepentingan antara penduduk lokal dengan

kekuatan-kekuatan luar yang berusaha keras

mencari keuntungan komersil dari proyek-proyek

tersebut. Dalam banyak kasus, kepentingan

penduduk lokal yang menetap atau menggarap

tanah yang bersangkutan dikorbankan atas

nama kepentingan umum demi pembangunan,

karena lemahnya atau kurangnya pengakuan

hukum terhadap tanah tersebut serta lemahnya

pengakuan hak-hak rakyat akan tanah.

Kebijakan agraria Masa Kekuasaan Kolonial

Para petani di Indonesia pertama kali diakui secara

formal oleh negara sebagai pemilik tanah individual

adalah ketika T. S. Raflles memperkenalkan

sistem sewa tanah di Jawa selama periode 1810-

an. Raflles menganggap bahwa negara sebagai

pemegang kedaulatan adalah pemilik tanah satu-

satunya di Jawa dan para petani adalah penggarap

tanah negara. Dengan pikiran ini, dia bermaksud

menciptakan suatu sistem perpajakan baru

dengan memungut sewa tanah dari petani sebagai

penggarap dan menghapuskan sistem yang telah

ditetapkan oleh penguasa Belanda sejak VOC.

Penetapan nilai pajak dilakukan untuk membuat

nilai tanah dengan mengukur tanah tiap penggarap

dan produktivitasnya. Sawah dan tegalan dipilah

dalam tiga kelas, yakni setengah, dua perlima

atau sepertiga hasil panen harus dikumpulkan

dari setiap kelas sawah, sementara dua perlima,

sepertiga atau seperempat hasil panen harus

dikumpulkan dari setiap kelas tegalan. Namun

demikian, karena kurangnya waktu dan tenaga

personil, survei yang akurat tak pernah dilakukan.

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1

24

Akibatnya, pemungutan pajak dilakukan secara

sembarangan berdasarkan penilaian fiktif. Selain

itu, kebanyakan penggarap yang didaftar sebagai

pembayar pajak pemilik tanah dalam survei

penetapan nilai pajak ini adalah penduduk desa

kelas atas. Dengan kata lain, para petani kelas

bawah tidak diakui sebagai pemegang tanah, karena

itu dikeluarkan dari sasaran pajak langsung. Bahkan

setelah pemulihan kekuasaan Belanda, sistem sewa

tanah itu tetap dipertahankan oleh pemerintah.

Namun demikian, informasi akurat mengenai luas

dan produktivitas pertanahan maupun luas usaha

dari tiap-tiap penggarap tetap saja tidak memadai.

Sebuah ordonansi pemerinah kolonial secara

terbuka menegaskan bahwa aturan-aturan Raflles

tidak pernah dijalankan sebagaimana mestinya,

namun diterapkan secara berubah-berubah atau

kadang-kadang sepenuhnya diabaikan oleh pejabat-

pejabat lokal dalam penilaian dan pemungutan pajak

sesungguhnya. Pemerintah kolonial menetapkan

bahwa sewa tanah harus dinilai berdasarkan

keseluruhan desa bukan berdasarkan penggarap-

penggarap individual sepanjang pengukuran dan

penilaian tanah yang akurat tidak bisa dilakukan.

Dalam sistem ini, jumlah sewa tanah yang dipungut

atas suatu desa harus ditetapkan berdasarkan

kontrak-kontrak dengan kepala-kepala desa lokal

dan tetua-tetua desa. Dengan kata lain, karena

kekurangan standar universal, maka ditetapkan

secara lokal setiap tahun melalui negosiasi dengan

kepala-kepala lokal tersebut.

Penilaian dan pengumpulan sewa tanah dengan

metode semacam ini dijalankan selama beberapa

dekade sejak saat itu. Alhasil, penerimaan

pemerintah dari pengumpulan sewa tanah sangat

tidak stabil, dan keadilan dalam perpajakan tidak

pernah terealisir. Hal ini disebabkan oleh variasi lokal

yang besar dalam penerapannya. Di sisi lain, para

petani juga harus dibebani oleh sistem tanam paksa

maupun berbagai jenis kerja bakti (heerendiensten)

oleh Belanda.3

Pada tahun 1854, diputuskan oleh pemerintah

kolonial yang baru bahwa sistem sewa tanah yang

berlaku saat itu adalah sistem sementara, dan

sebuah sistem yang lebih kuat akan diperkenalkan

di masa depan. Pada sisi yang lain, kecaman

publik Belanda terhadap sistem tanam paksa di

Indonesia bertambah keras. Akibatnya, peraturan-

peraturan agraria yang baru, diumumkan dalam

tahun 1870, yakni Agrarische Wet (Undang-

Undang Agraria) dan Agrarische Besluit (Peraturan

Agraria) untuk menjamin kebebasan ekonomi bagi

perusahaan–perusahaan perkebunan swasta dan

secara perlahan-perlahan menghapuskan sistem

tanam paksa yang berada di bawah monopoli

negara.4

Meskipun demikian, aturan-aturan ini tidak

pernah mengakui hak milik indvidual para petani.

Sebaliknya, mereka menyatakan bahwa semua

tanah tanpa kepemilikan yang disertifikasi, menjadi

milik negara (domein van den staat). Dalam hal

ini, tanah-tanah petani dianggap sebagai tanah

negara tak bebas, sementara semua tanah tak

bertuan/terlantar digolongkan sebagai tanah

negara bebas.

Walaupun dalam Undang-Undang Agraria

pemerintah dilarang untuk menjual tanah,

pemerintah dapat menyewakan tanah negara

bebas. Pada sisi yang lain, pemilikan tanah komunal

yang telah berkembang di sebagian besar wilayah

Jawa Tengah dan Jawa timur masih tetap berlaku

bahkan setelah penghapusan sistem tanam

paksa. Dalam pemilikan komunal ini, kebanyakan

tanah yang digarap adalah milik komunitas desa

dan dibagikan ke petani-petani baru yang disebut

dengan berbagai nama lokal seperti, sikep, kuli

kenceng, gogol dan lain sebagainya. Lembaga

semacam ini juga menghambat perkembangan 3 Prof. DR. Gunawan Wiradi, M. Soc. , 2000, Reforma Agraria

(Perjalanan yang belum berakhir), Pustaka Pelajar, Jogja-karta, hal 33

4 Sudargo Gautama, 1998, Tafsiran UUPA 1960, Rineka Cipta, Jakarta, hal 110

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil

Munsyarief

25

hak milik individual para petani.5

Kebijakan agraria Masa orde lama

Setelah kemerdekaan nasional dan pembentukan

negara Republik Kesatuan, tuntutan-tuntutan untuk

pembaharuan peraturan-perturan dalam persoalan

agraria makin keras. Akibatnya, penataan kembali

hubungan-hubungan antara negara, perkebunan,

dan petani dengan pembaharuan perundang-

undangan agraria menjadi tak terelakkan. Lalu

dirumuskanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau

lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria

(UUPA). Perumusan UUPA itu sendiri melalui proses

yang panjang selama 12 tahun dengan lima kali

pergantian panitia perumus peraturan keagrariaan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa perumusan

peraturan agraria dibuat secara serius dan hati-hati

di tengah-tengah situasi politik yang masih penuh

gejolak pada masa awal Indonesia merdeka.

UUPA 1960 dibuat bukan oleh Komisi DPR, tetapi oleh

panitia negara yang melibatkan berbagai pihak. Hal

ini mencerminkan betapa sangat pentingnya agraria

sebagai kebutuhan paling mendasar dari rakyat.

Pada tahun 1960, RUU Agraria yang sudah disiapkan

oleh panitia keempat di bawah pimpinan Sunaryo

diserahkan kepada Presiden Sukarno, namun

Presiden meminta RUU itu diuji dulu oleh perguruan

tinggi. Selanjutnya, DPR membentuk Panitia Ad Hoc

yang bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada.

Tim kerjasama inilah yang disebut dengan Panitia

Lima, yang hasilnya kemudian diserahkan kepada

presiden, dan biasa disebut sebagai Rancangan

Soedjarwo. Setelah disetujui oleh presiden, lalu

dilontarkan kepada DPR untuk disahkan pada

tanggal 24 September 1960.

Dilatarbelakangi oleh kejadian ini, Undang-Undang

Pokok Agraria (UUPA) yang diumumkan pada tahun

1960, menghapuskan Agrarische Wet dan Agrarische

Besluit Tahun 1870. Dengan perundang-undangan 5 Darsono, 1962, Dasar-Dasar Ekonomi-Politik Marxis, Ali Archam

Institute, Jakarta, hal 45

baru ini, dualisme dalam masalah-masalah agraria

diakhiri dan hukum-hukum adat lokal tunduk pada

kesatuan hukum nasional. Dalam hal penggunaan

tanah oleh perusahaan perkebunan, disatukan

ke dalam sebuah bentuk hak guna usaha baru

dan hanya diberikan kepada warga negara

Indonesia atau perusahaan domestik. Pemilikan

tanah komunal di desa-desa di Jawa juga

diakhiri dengan undang-undang atau peraturan

yang mengikutinya. Akibatnya, tanah desa yang

sebelumnya merupakan hak komunal berubah

menjadi tanah milik yang dimiliki oleh petani-petani

secara individual. Akan tetapi, hak milik tanah

tersebut sangat ketat dibatasi dengan ketentuan

bahwa hak milik tersebut dapat diambilalih negara

jika berlawanan dengan kepentingan umum.

Semua jenis tanah dianggap sebagai tanah milik

negara, walaupun itu bukan tanah milik negara.

Dalam pengertian ini, jiwa dari pernyataan negara

tetap diwarisi dari periode kolonial meskipun

peraturan agraria yang lama telah dihapuskan.

Di dalam UUPA itu sendiri, terkandung tujuan

‘landreform’ sebagai satu konsepsi struktur

agraria yang di dalamnya terdapat usulan

tentang perombakan dan penggunaan tanah.

Dewan Pertimbangan Agung menyatakan bahwa

landreform bertujuan untuk mencapai masyarakat

adil dan makmur, meningkatkan taraf hidup

penggarap tanah khususnya, dan rakyat jelata

pada umumnya, dan bertujuan untuk memperkuat

dan memperluas kepemilikan tanah bagi seluruh

rakyat Indonesia, terutama kaum tani.

Dengan landasan filosofi yang disebut konsepsi

tanah untuk rakyat, UUPA 1960 bertujuan bukan

saja demi kepastian hukum, atau jika dirumuskan

dengan istilah yang berbeda ‘unifikasi hukum’,

tetapi tujuan yang hakiki adalah mengubah

susunan masyarakat, dari suatu struktur warisan

stelsel feodalisme dan kolonialisme menjadi suatu

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1

26

masyarakat yang adil dan sejahtera. Mengingat

UUPA baru berisi peraturan-peraturan dasar dan

hanya mengenai hal-hal pokok, maka Undang-

Undang tersebut perlu dilengkapi dengan perangkat

peraturan dan perundang-undangan lanjutan. Oleh

karena itu, lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960

tentang penetapan luas tanah pertanian. Undang-

undang Nomor 56 Tahun 1960 ini secara populer

dikenal sebagai Undang-Undang Landreform.

Sesuai dengan tujuan tersebut, maka upaya untuk

mengubah susunan masyarakat itu dilakukan melalui

agenda landreform.

Dalam pidato pengantarnya pada pengesahan

UUPA tanggal 24 September tahun 1960 di hadapan

Sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat Gotong

Royong, Menteri Agraria, Soedjarwo, antara lain

menyatakan bahwa tujuan landreform di Indonesia

adalah untuk mengadakan pembagian yang adil

atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah,

dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil

pula. Merombak struktur pertahanan sama sekali

secara revolusioner guna merealisir keadilan sosial,

untuk melaksanakan prinsip tanah bagi kaum petani.

Agar tanah tidak menjadi alat pemerasan, dan untuk

memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah

bagi setiap warga Indonesia. Suatu pengakuan dan

perlindungan terhadap hak milik yang merupakan

hak yang terkuat yang bersifat perorangan dan turun

temurun, untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan

menghapus pemilikan dan penguasaan tanah secara

besar-besaran dengan cara menyelenggarakan

batas maksimum dan batas minimum untuk tiap

keluarga. Dengan demikian, dalam UUPA tersebut

ada pemberian perlindungan terhadap golongan

ekonomi lemah.

Hal ini juga diperkuat oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat Sementara di dalam ketetapannya, yaitu

TAP MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-

garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta

Berencana Tahun Pertama, 1961-1969. Pada pasal

4 ayat 3 TAP MPRS tersebut, disebutkan bahwa

landreform sebagai bagian mutlak dari revolusi

Indonesia adalah basis pembangunan semesta

yang berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat

produksi tidak boleh dijadikan alat penghisapan. Di

dalam kerangka meningkatkan pertanian rakyat,

maka UUPA menjadi pijakan kebijakan yang

penting dalam memperbesar kepastian hukum

mengenai kepemilikan tanah untuk para petani,

sehingga dengan demikian akan meningkatkan

produktivitas hasil pertanian. Memang diakui

sesuai dengan kondisi dan situasi pada waktu itu,

maka prioritas dalam menindaklanjuti UUPA 1960

itu adalah pada masalah pertanian rakyat, sehingga

yang dikenal sebagai landreform tersebut seolah-

olah hanya menyangkut pertanian rakyat. Sejak

awal sudah disadari bahwa sebenarnya landreform

tersebut mencakup semua sumber-sumber

agraria (perkebunan, kehutanan, pertambakan,

pertambangan, dan lain-lain). Hanya saja, sekali

lagi tahapan pertama dalam sebuah pelaksanaan

pembaharuan dalam bidang agraria meliputi

wilayah pertanian rakyat.

Perpu Nomor 56 Tahun 1960 itu sendiri kemudian

diperlengkapi dengan suatu perangkat atau

landasan hukum bagi langkah turunannya,

yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun

1961 tentang Objek Landreform, dan Peraturan

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang

Pengukuran Desa Lengkap6. Oleh karena itu, dalam

perumusannya pada masa pemerintahan Sukarno,

UUPA tersebut dapat berjalan dengan baik, namun

hal yang tersulit adalah melaksanakan UUPA itu

dalam kehidupan masyarakat. Pada masa-masa

sangat awal umur negara kita, ketika pemerintah

Republik Indonesia melakukan langkah-langkah

pendahuluan dalam perumusan UUPA 1960,

semuanya justru berjalan dengan lancar, karena

semua partai politik mendukungnya. Walaupun

masih dalam situasi politik yang bergejolak dalam

rangka konflik dengan Belanda, semua itu tetap

6 Gautama, Sudargo, Op Cit, hal 96

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil

Munsyarief

27

dapat dilaksanakan. Namun justru pada saat reforma

agraria yang sesungguhnya sudah dapat dirumuskan

dan tinggal pelaksanaannya yang dilandasi oleh

suatu perundang-undangan yang lebih bersifat

nasional dengan status hukum yang lebih kuat yakni

UUPA tahun 1960, pelaksanaanya justru mengalami

hambatan.

Berbagai hambatan dalam pelaksanaan pembaruan

agraria tersebut antara lain berasal dari perlawanan

tuan-tuan tanah yang memiliki tanah secara luas,

belum tuntas dan belum meratanya sosialisasi

mengenai konsep landreform dan UUPA 1960 dalam

kehidupan masyarakat, bahkan aparat pemerintah

dalam melaksanakan UUPA ataupun landreform

tersebut belum siap, apalagi wilayah geografis

Indonesia beragam dan luas. Ditambah lagi gejolak

politik akibat dinamika politik dalam pemerintahan

Sukarno menyebabkan konsentrasi pemikiran atau

perhatian terhadap pelaksanaan landreform menjadi

terpecah. Dinamika politik dunia dalam konteks

perang dingin yang makin menajam pada waktu itu

berdampak terhadap percaturan politik domestik,

sehingga sikap partai-partai politik terhadap

pelaksanaan landreform menjadi sangat beragam.

Aksi sepihak yang dilancarkan oleh PKI saat itu

menambah runyam keadaan, sehingga tercipta

suatu persepsi bahwa seolah-olah UUPA adalah

produk politik PKI.

Kebijakan Politik Pertanahan Pada Masa orde baru

Masalah landreform adalah salah satu isu pertama

yang muncul manakala pemerintah Orde Baru

ternyata menganut kebijaksanaan yang berbeda dari

rezim sebelumnya. Dalam beberapa tahun pertama,

ketika pemerintah secara bertahap mengembangkan

kebijaksanaan baru di segala bidang, rezim Orde

Baru lebih bersikap curiga dalam memandang

UUPA 1960. Meskipun demikian, pemerintah Orde

Baru membuat beberapa keputusan mendasar

menyangkut pemanfaatan tanah sebagai aset

nasional. Menghadapi kebutuhan mendesak

dalam pangan yang selama beberapa tahun

selalu diimpor dalam jumlah besar, pemerintah

memalingkan perhatiannya kepada teknologi

Revolusi Hijau. Revolusi hijau ini dilakukan dalam

rangka memenuhi kepentingan pangan, dengan

melakukan intensifikasi pertanian, investasi

besar-besaran dalam merehabilitasi irigasi, serta

teknik-teknik baru yang mencakup penggunaan

pupuk kimia dan penanaman varietas baru padi.

Pada kebijakan kedua menyangkut pemanfaatan

tanah, pemerintah Orde Baru melaksanakannya

dengan bentuk transmigrasi. Kebijakan tersebut

dilaksanakan secara hati-hati dalam skala kecil

sebagai program perluasan tanah yang akan

menarik tenaga kerja untuk meningkatkan produksi

pertanian, dan dengan demikian, mendorong

pertumbuhan ekonomi di luar Jawa.

Berdasarkan asumsi pemerintah Orde Baru,

pengembangan sumber daya manusia demi

kepentingan ekonomi nasional dapat berjalan

terus, walaupun tak ada perhatian pejabat

pemerintah terhadap tanah sebagai satu sumber

daya yang penting. Bahkan pertanyaan tentang

status hukum pemilikan tanah individual, di daerah

perkotaan dan pedesaan, tidak dipedulikan. Sangat

kecil perhatian pemerintah terhadap pencatatan

pemilikan dan perubahan kepemilikan tanah.

Undang-Undang Kehutanan Tahun 1967 yang

dikeluarkan oleh pemerintah memang berhasil

menambah pendapatan negara yang memang

diperlukan. Sayangnya, perencanaan tata guna

tanah yang efektif tetap tidak diperhatikan.

Telah dikemukakan di atas bahwa kebijakan

pembangunan Orde Baru lebih menitikberatkan

pembangunan berdasar pada pertumbuhan

ekonomi7. Oleh karena itu, kebijakan pertanahan

pun ditujukan dalam menyukseskan pertumbuhan

ekonomi. Sejak Orde Baru berkuasa, kebijakan 7 Endang Suhendar, 2002, Menuju Keadilan Agraria (70 tahun

Gunawan Wiradi), Akatiga, Bandung, hal 115

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1

28

pertanahan lebih dititikberatkan kepada upaya

mendukung pertumbuhan ekonomi yang ditujukan

untuk pemenuhan kepentingan dan kebutuhan

pembangunan sektoral (pertanian dan industri).

Dalam hal ini telah terjadi pergeseran fokus

kebijakan yang semula lebih ditujukan untuk

memfasilitasi pemodal dalam rangka mengejar

pertumbuhan ekonomi. Terutama pada tahun 80-

an, fokus kebijakan pertanahan lebih ditujukan

untuk memecahkan persoalan pertanahan yang

menghambat pelaksanaan kebijakan pembangunan.

Pemerintah Orde Baru memandang bahwa

peningkatan pertumbuhan ekonomi jauh lebih

penting dibandingkan dengan pelaksanaan

landreform. Landreform sebagai instrumen utama

dalam mencapai keadilan sosial tidak mendapatkan

tempat yang penting pada masa Orde Baru.

Dengan pendekatan ekonomi yang cenderung

kapitalistik dan rente, maka tanah dipandang sebagai

komoditi strategis yang terutama ditujukan bagi

tersedianya tanah yang sesuai bagi setiap sektor

pembangunan, sehingga dapat mendorong investasi

seluas-luasnya dan sebesar-besarnya dalam rangka

menunjang pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan

eksploitasi laba bagi kepentingan kroni. Hal ini berarti

bahwa tanah dipandang sebagai barang dagangan,

siapa yang memiliki uang dapat membelinya tanpa

harus dibatasi. Berarti pula para pemilik modal akan

menanamkan modalnya dalam bentuk tanah, karena

pada kondisi luas tanah yang semakin terbatas,

investasi berupa tanah sangat menguntungkan.

Yang paling penting adalah bahwa pada prinsipnya

pembangunan Orde Baru bukan didasarkan pada

penguasaan teknologi, tetapi pada tanah dan buruh

murah sebagai alat produksi. Sebagai konsekuensi

dari orientasi kebijakan pertanahan pada masa Orde

Baru, terdapat ciri umum sebagai berikut:8

1. Inkonsistensi dan ambivalensi.

Orientasi kebijakan pertanahan lebih cenderung 8 Endang, Suhendar, Ibid, hal 135

bercorak kapitalis, sementara dasar acuan

kebijakan pertanahan yang ada dan masih diakui

adalah UUPA yang bercorak populis, maka

terjadilah inkonsistensi kebijakan. Di satu pihak

pemerintah secara yuridis mengacu pada UUPA,

sementara subtansi dari kebijakan yang diambil

berbeda, bahkan bertentangan dengan jiwa dan

semangat UUPA sendiri.

2. Administratif dan legalistik.

Dalam arah kebijakan pertanahan yang berkaitan

dengan hukum pertanahan ditegaskan bahwa

pembangunan hukum pertanahan ditujukan

dalam rangka memantapkan dan mengamankan

pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya,

dilaksanakan dengan mengembangkan dan

membina kelengkapan perangkat peraturan

perundang-undangan di bidang pertanahan,

dilaksanakan dengan menyelenggarakan “Catur

Tertib Pertanahan”, yaitu tertib hukum pertanahan,

tertib admnistrasi pertanahan, tertib penggunaan

tanah, dan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan

hidup. Dalam konteks tersebut, jelas bahwa

pembangunan hukum pun lebih menitikberatkan

pada pengamanan pelaksanaan pembangunan,

yang berarti bahwa tertibnya hukum pertanahan

akan memudahkan pengadaan tanah untuk

kepentingan pembangunan yang berorientasi pada

pembangunan ekonomi. Pembangunan hukum

tidak ditujukan untuk melindungi kepentingan rakyat

dan kepastian hukum.

Konsepsi Hukum Pengadaan TanahDalam konsep berhukum, Philippe Nonet dan

Philip Selznick membedakan tiga jenis hukum,

yaitu hukum represif (repressive law), hukum

otonom (autonomous law), dan hukum responsif

(responsive law). Titik berat dari konsep berhukum

yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick tersebut

adalah aspek Jurisprudence and Social Sciences

dengan bertumpu pada Sociological Jurisprudenc.

Tujuan hukum represif menurut Nonet dan

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil

Munsyarief

29

Selznick adalah ketertiban. Peraturan perundang-

undangan pada hukum represif bersifat keras dan

rinci, namun tingkat keberlakuannya pada pembuat

hukum sangat lemah. Contoh hukum represif yang

dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto yaitu

hukum yang menyalahi moral konstitusionalisme

yang pengelolaan hukumnya berada di tangan para

pejabat pemerintah dan digunakan sebagai instrumen

legal untuk menjamin keutuhan dan keefektifan

kekuasaan pemerintah berdasarkan sanksi-sanksi

pemaksa. Tipe hukum represif banyak mengandalkan

penggunaan paksaan tanpa memikirkan kepentingan

yang ada di pihak rakyat.

Pada hukum otonom, peraturan perundang-

undangan dibuat luas dan terinci serta mengikat

penguasa maupun yang dikuasai. Tujuan dari hukum

otonom adalah sebuah legitimasi. Sifat-sifat dari

hukum otonom adalah penekanan pada aturan-

aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi

kekuasaan resmi, serta adanya manipulasi oleh

kekuasaan politik dan ekonomi.

Pada tataran hukum responsif, tujuan hukum yang

hendak dicapai adalah kompetensi. Pada perspektif

hukum responsif, hukum yang baik seharusnya

menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekedar

keadilan prosedural. Hukum yang baik harus

berkompeten dan juga adil, mampu mengenali

keinginan publik dan memiliki komitmen bagi

tercapainya keadilan substantif.

Hukum responsif merupakan hukum yang

mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan

masyarakat. Dalam proses pembuatan produk hukum

responsif, kelompok-kelompok sosial atau individu

dalam masyarakat diberikan peranan besar dan

partisipasi penuh. Hasil dari proses tersebut adalah

produk hukum yang bersifat respon terhadap seluruh

kepentingan, baik masyarakat maupun Pemerintah.

Karakteristik yang menonjol dari konsep hukum

responsif adalah pergeseran aturan penekanan dari

aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan, serta

pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan maupun

cara untuk mencapainya.

Menurut Satjipto Rahardjo, hukum responsif

merupakan hukum yang lebih peka terhadap

masyarakat. Dalam upaya mewujudkan kepastian

hukum, perlindungan hukum, dan keadilan dalam

pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan

untuk kepentingan umum, hendaknya pemikiran

untuk menerapkan hukum responsif menjadi

pertimbangan pada saat penyusunan RUU

Pengadaan Tanah serta meninggalkan cara-cara

penormaan yang bersifat represif dan otonom

sehingga undang-undang pengadaan tanah yang

baru saja disahkan tersebut merupakan produk

hukum yang responsif.

Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan

pada Pancasila, maka sekiranya pelaksanaan

pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

kepentingan umum harus pula memperhatikan nilai-

nilai yang terkandung dalam Pancasila. Penjabaran

nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan merupakan suatu keharusan

dan harus dilakukan secara holistik, tidak hanya

dari segi substansi, namun juga dari segi struktur

dan budaya hukumnya.

Pancasila merupakan bintang pemandu yang

berfungsi menguji dan memberi arah bagi hukum

positif. Nilai-nilai Pancasila mempunyai fungsi

konstitusif yang menentukan apakah tata hukum

Indonesia merupakan tata hukum yang benar,

serta mempunyai fungsi regulatif yang menentukan

apakah hukum positif di Indonesia merupakan

hukum yang adil atau tidak (A. Hamid S. Attamimi,

1991 : 24).

Produk Hukum responsif

Saat ini rancangan mengenai undang-undang

pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

kepentingan umum telah disahkan menjadi

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012.

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1

30

Berkaitan dengan Pancasila sebagai paradigma

pengembangan hukum, maka sekiranya undang-

undang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

kepentingan umum yang dibentuk tersebut tidak

boleh bertentangan dengan sila-sila yang terdapat

dalam Pancasila. Substansi hukumnya harus

merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila

yang terkandung dalam Pancasila, sehingga hal

tersebut berarti bahwa substansi undang-undang

pengadaan tanah yang dibentuk tersebut nantinya

merupakan karakter produk hukum yang responsif,

yakni untuk kepentingan rakyat dan merupakan

perwujudan aspirasi rakyat.

Berdasarkan Amanat Presiden (Ampres) No R-98/

Pres12/2010 tgl 15 Desember 2010. RUU Pengadaan

Tanah Untuk Kepentingan Umum menjadi Undang

Undang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum. Salah satu implikasi dari

perubahan judul itu adalah ‘diselipkannya’ pengaturan

pengadaan tanah untuk swasta. Kepala BPN RI

menyatakan bahwa pengaturan pengadaan tanah

untuk swasta dalam Undang Undang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum tersebut tidak mengurangi tujuan substansial

RUU, yaitu pengadaan tanah untuk kepentingan

umum. Selain itu, pengaturan pengadaan tanah

untuk swasta tersebut tidak perlu dikhawatirkan

karena pengadaan tanah untuk usaha swasta tetap

dilakukan dengan cara sukarela melalui mekanisme

peralihan hak, seperti: cara jual beli, pelepasan,

penyerahan atau cara lain sesuai kesepakatan

dengan pemilik tanah. Ditegaskan oleh Kepala BPN

RI: “Klausul tentang usaha swasta dalam draf RUU

hanya untuk mengatur wilayah publik yang tidak

boleh diganggu atau dilanggar dalam pengadaan

tanah untuk usaha swasta”9

Pokok-pokok gagasan mengenai operasionalisasi

tersebut terutama dikaitkan dengan penyempurnaan

dan dinamika yang berkembang dalam pembahasan 9 http://www.mataelang.net/2011/04/menguasai-tanah-atasnama-

kepentingan-umum, diunduh 17 Juli 2011

Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di DPR

RI, penulis memutuskan beberapa poin yang perlu

mendapat pembahasan dalam PK ini adalah seputar:

hakikat pelepasan hak sebagai cara pengadaan

tanah, penetapan lokasi sebagai tahapan kunci,10

lembaga pertanahan sebagai penanggung jawab

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum, dan ganti-kerugian dalam

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum.

Pelepasan Hak sebagai cara Pengadaan Tanah

Terminologi pengadaan tanah sesungguhnya tidak

dikenal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960, karena berdasarkan Pasal 27, Pasal 34 serta

40 mengenai berakhirnya hak milik atas tanah hanya

dikenal perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah

dan penyerahan hak atas tanah. Disamping itu

berdasar Pasal 18 dikenal pula perbuatan hukum

pencabutan hak atas tanah. Perbuatan pelepasan

hak atas tanah dilakukan bilamana subyek hak

atas tanah mendapatkan permintaan dari negara

yang dilakukan oleh pemerintah/ pemerintah daerah

yang menghendaki hak atas tanah untuk kegiatan

pembangunan bagi kepentingan umum (public

interests) berdasarkan ketentuan Pasal 6 bahwa

semua hak atas tanah berfungsi sosial. Sedangkan

penyerahan hak atas tanah terjadi bilamana hak

atas tanah selain hak milik diserahkan oleh subyek

haknya kepada negara (pemerintah) sebelum jangka

waktunya berakhir karena ketentuan Pasal 6 pula.

Implikasi hukum terkait dengan perbuatan hukum

pelepasan hak atas tanah maupun pelepasan hak

atas tanah sama yakni hapusnya hak atas tanah

dari subyek hukum yang bersangkutan dan status

hukum obyek tanahnya menjadi tanah yang dikuasai

oleh negara sebagaimana diatur Pasal 2 jo Pasal 4 10 Penulis memberanikan diri menyebutkan sebagai ‘tahapan kun-

ci’, oleh karena fungsi Penetapan Lokasi (PL) dalam RUU PTUP ini menjadi syarat untuk bisa melakukan tindakan perolehan ta-nah. Itu tersirat dari ketentuan yanga menyatakan bahwa jika PL sudah ditetapkan, maka tahapan PTUP selanjutnya menjadi bersifat imperatif.

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil

Munsyarief

31

Undang-undang Nomor 5 tahun 1960. Disamping itu

hal terpenting dari aktifitas atau perbuatan hukum

pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan

harus berpijak pada dasar konstitusional yakni

Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945

dan Pasal 28 H Ayat (4) yang dinyatakan:” setiap

orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan

hak milik tersebut tidak boleh diambil-alih secara

sewenang-wenang oleh siapapun11. Secara teoritis,

pengadaan tanah (land acquisition) terdiri atas

pengadaan tanah secara sukarela (voluntary

acquisition of land) dan pengadaan tanah secara

wajib (compulsory acquisition of land).12 Di Indonesia

sekarang ini, Pengadaan Tanah Secara Sukarela

(selanjutnya disingkat PTSS) meliputi, antara lain:

pemindahan hak dan penyerahan hak/pemindahan

hak (sebelumnya diistilahkan dengan ‘pembebasan

tanah’); sedangkan yang termasuk Pengadaan

Tanah Secara Wajib (selanjutnya disingkat PTSW)

adalah pencabutan hak atas tanah. Sejarah hukum

di Indonesia menunjukkan bahwa dinamika hukum

pengadaan tanah secara wajib (pencabutan hak atas

tanah) tidak berlangsung intensif. Perkembangan

hukum pengadaan tanah yang pesat terjadi pada

dimensi hukum pengadaan tanah secara sukarela

melalui cara pelepasan hak.

Kalau konsisten dengan UUPA sesungguhnya ‘cara’

pengadaan tanah yang ditempuh dalam PTSS

tidak hanya cara pelepasan hak, tetapi juga cara

11 Imam KoeswahyoNomor, Melacak Dasar Konstitusional Pen-gadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan Bagi Umum, dalam Jurnal Konstitusi PPK-FH Univ.Brawijaya Vol I Nomor 1 Agustus 2008, hlm.34-36

12 Perhatikan Douglas Brown Brown, “Land Acquisition An exami-nation of the principles of law governing the compulsory acquisi-tion of resumption of land in Australia and New Zealand”, Edisi Keempat, Penerbit Butterworths, Sydney-Adelaide-Brisbane-Canberra-Melbourne-Perth., 1996, hlm 1, yang mengatakan bahwa di Australia “The land may be acquired in one of two ways: by agreement with the owner; or by taking without the agreement of the owner. In the latter case the land is compulsory acquired. Dalam Di Indonesia, pengadaan tanah secara wajib disebut ‘Pencabutan Hak atas Tanah’, sedangkan dalam Bahasa Belanda diistilahkan dengan onteigening. Dalam perkemban-gan, dimungkinkan untuk memadukan cara pengadaan tanah secara sukarela dengan pengadaan tanah secara wajib di dalam suatu pengaturan yang diakomodasi dalam suatu ketentuan. Sekarang ini kecenderungan untuk memadukan pengaturan itu ditempuh berbagai negara. Douglas Brown, ibid, hlm 20, men-gatakan: “In the earlier resumption statutes purchase agreement was regarded as wholly separate from compulsory acquisition. The current land acquisition statutes recognise that land may be acquired in either way. In some instances the voluntary purchase of land is brought under the umbrella of the acquisition statute.”

penyerahan hak. Memang, terminologi pelepasan

atau penyerahan hak sebagai cara pengadaan

tanah sama sekali tidak memiliki perbedaan

pengertian. Keduanya merupakan perbuatan

hukum yang hakikatnya sama. Tentu menjadi

pertanyaan, jika hakikatnya sama, mengapa harus

menggunakan istilah yang berbeda? Oleh karena,

di dalam Pasal 27 UUPA dinyatakan bahwa

salah satu sebab hapusnya hak milik adalah

disebabkan karena ‘penyerahan sukarela’ oleh

pemiliknya. Selanjutnya, di dalam Pasal 34 dan

40 UUPA disebutkan bahwa salah satu penyebab

berakhirnya Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak

Guna Bangunan (HGB) adalah karena ‘dilepaskan’

oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya

berakhir. Tegasnya, walaupun kedua cara itu

menggunakan terminologi hukum yang berbeda,

namun merupakan tindakan hukum yang hakikatnya

sama, yakni sama-sama cara pengadaan tanah

yang mensyaratkan adanya persetujuan dari yang

empunya tanah. Perbedaannya, adalah bahwa

‘penyerahan hak’ merupakan cara pengadaan

tanah jika status tanah yang akan diperoleh adalah

Hak Milik sedangkan ‘pelepasan hak’ dilakukan jika

status tanah yang akan diperoleh adalah HGU dan

HGB.

Istilah pelepasan atau penyerahan hak sebagai

terminologi hukum dalam pengadaan tanah barulah

secara tegas diintroduksi oleh Keppres No. 55

Tahun 1993.13 Dapat dikatakan bahwa oleh Keppres

tersebut, istilah pembebasan tanah telah diubah

menjadi pelepasan atau penyerahan hak atas

tanah. Namun itu hanya perubahan istilah, bukan

perubahan hakikat sebagai perbuatan hukum.14

13 Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum , yang ditetapkan 17 Juni 1993, mencabut : (a) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah; (b) Per-aturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta; dan (c) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 ten-tang Tata Cara Pengadaaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan.

14 Mungkin perubahan itu perlu, karena sebelum berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993, rakyat yang akan “diambil” ta-nahnya seakan-akan trauma bila mendegar istilah pembe-basan tanah.

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1

32

Oleh karena, segi-segi hukum pelaksanaan

pelepasan atau penyerahan hak atas tanah pada

dasarnya sama dengan pembebasan tanah.

Tegasnya, dasar hukum material pelepasan atau

penyerahan hak sama dengan dasar hukum material

pembebasan tanah, yaitu: hukum perdata dalam hal

ini hukum perikatan. Kiranya dapat dikatakan bahwa

perbedaan penyerahan atau pelepasan hak dengan

pembebasan tanah hanyalah perbedaan sudut

pandang. Dilihat dari perbuatan yang memperoleh

tanah tindakan perolehan tanah itu merupakan

kegiatan ‘pembebasan tanah’; sedangkan dilihat

dari sisi yang empunya tanah merupakan tindakan

penyerahan atau pelepasan hak. Namun, oleh karena

persepsi masyarakat sejak tahun 1975 sampai 1993

terhadap istilah ‘pembebasan tanah’ tampaknya

tampaknya cenderung negatif, bahkan traumatis,

maka istilah pembebasan tanah akhirnya secara

tegas ditinggalkan. Selanjutnya, istilah hukum yang

resmi digunakan oleh Keppres No. 55 Tahun 1993

adalah istilah pelepasan atau penyerahan hak.15

Dibandingkan dengan penggunaan istilah ‘pelepasan

hak’ dalam aturan sebelumnya, penulis mensinyalir

ada “rasa hukum” yang berbeda ketika menggunakan

istilah pelepasan hak dalam RUU dan Draf Perkaban

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum. Di dalam Pasal 1 butir 7

RUU dan Draf Perkaban Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dinyatakan

bahwa pelepasan hak adalah kegiatan pemutusan

hubungan hukum antara pihak yang berhak kepada

negara melalui Lembaga Pertanahan. Definisi itu

terkesan mengirit(asi) makna pelepasan hak pada

rumusan pada aturan sebelumnya, sebagaimana

dirumuskan dalam Pasal 1 butir 2 Keppres No.

55 Tahun 1993 dan Pasal 1 butir 6 Perpres No.

36 Tahun 2005. Sebab, di dalam RUU dan Draf

PerKaban Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum, tidak ditegaskan bahwa

15 Pasal 1 butir 2 Keppres No. 55 Tahun 1993 merumuskan: “Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti keru-gian atas dasar musyawarah.”

pelepasan hak itu harus dilakukan berdasarkan

musyawarah. Di dalam Pasal 1 butir 2 Keppres

No. 55 Tahun 1993 dinyatakan bahwa pelepasan

atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan

melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak

atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan

memberikan ganti-kerugian atas dasar musyawarah.

Demikian pula di dalam Pasal 1 butir 6 Perpres No.

36 Tahun 2005 juga dirumuskan bahwa pelepasan

(atau penyerahan hak atas tanah) adalah kegiatan

melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak

atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan

memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.

Artinya, ditekankan bahwa pelepasan hak atas tanah

dilakukan atas dasar musyawarah. Musyawarah

dimaksud untuk mencapai kesepakatan mengenai

pelaksanaan pengadaan tanah tersebut, termasuk

tentang bentuk dan besarnya ganti kerugian.

Dengan demikian, maka dasar hukum material dari

tindakan hukum pelepasan hak (atau penyerahan

hak) dalam pengadaan tanah adalah Hukum

Perikatan atau Hukum Perjanjian. Artinya, keabsahan

atau ketidakabsahan pelepasan atau penyerahan hak

atas tanah sebagai cara pengadaan tanah ditentukan

oleh ada tidaknya kesepakatan diantara kedua belah

pihak. Dengan perkataan lain, bagi sah tidaknya

perbuatan hukum yang bersangkutan berlaku antara

lain syarat-syarat yang ditentukan dalam hukum

perjanjian (lihat Pasal 1320 KUHPerdata). Hak-hak

dan kewajiban para pihak, termasuk perlindungan

hukum yang tersedia bagi mereka masing-masing

diatur dalam hukum perjanjian.16 Tegasnya, cara

memperoleh tanah melalui acara pelepasan atau

penyerahan hak didasarkan pada persetujuan

bersama antara yang mempunyai tanah dengan

pihak yang memerlukan. Persetujuan tersebut harus

diperoleh melalui musyawarah untuk mencapai kata

sepakat, baik mengenai penyerahan tanah yang

bersangkutan maupun pemberian imbalannya. Boedi

16 Boedi Harsono, “Aspek-aspek Yuridis Penyediaan Tanah Dalam Rangka Pembangunan Nasional”, Makalah, 1990, hlm. 5.

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil

Munsyarief

33

Harsono menegaskan bahwa mengenai tercapainya

dan sahnya kesepakatan bersama itu berlaku asas-

asas dan ketentuan-ketentuan hukum perjanjian.

Dengan demikian, pihak yang mempunyai tanah dan

pihak yang memerlukan tanah merupakan pihak-

pihak, yang dalam musyawarah untuk mencapai

kesepakatan bersama tersebut mempunyai

kedudukan hukum sederajat. Sekalipun pihak yang

memerlukan adalah suatu instansi Pemerintah.17

Douglas Brown menegaskan: “…a voluntary

agreement entered into by two parties with equal

rights and bargaining power…”.18

Di dalam RUU dan Draf Perkaban Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum, tampaknya ada perubahan sikap hukum

dalam menempatkan si empunya tanah dengan

pihak yang membutuhkan tanah sebagai para

pihak yang mempunyai hak hukum yang sederajat

tampaknya. Hal itu, antara lain, terindikasi dari

rumusan pelepasan hak dalam Pasal 1 butir 7

RUU dan Draf Perkaban Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yakni

‘kegiatan pemutusan hubungan hukum antara

pihak yang berhak kepada negara melalui Lembaga

Pertanahan’. Di dalam rumusan tersebut sudah tidak

ditekankan lagi bahwa pemutusan hubungan hukum

itu dilakukan berdasarkan musyawarah. Ketiadaan

keberanian atau tekad atau komitmen Undang

Undang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum untuk menegaskan bahwa

pemutusan hubungan hukum dalam pelepasan hak

harus dilakukan dengan musyawarah inilah yang

membuat penulis memberanikan diri untuk menduga,

bahwa rasa-bahasa mengenai terminologi hukum

‘pelepasan hak’ dalam Undang Undang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum ini telah mengalami pengirit(asi)an makna.

Ketentuan yang menguatkan juga terindikasi dari 17 Boedi Harsono, Kasus-kasus Pengadaan Tanah Dalam Putu-

san Pengadilan Suatu Tinjauan Yuridis, Makalah pada Seminar Nasional “Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (Konsepsi Hukum, Permasalahan dan Kebijaksanaan Dalam Pemecahan-nya)”, Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Trisakti dengan Badan Pertanahan Nasional di Hotel Horison, Jakarta, 3 Desem-ber 1994, 1994, hlm. 7.

18 Douglas Brown, op. cit., hlm 20.

ketentuan Pasal 6 Undang Undang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum yang menyatakan bahwa pihak yang berhak

atas tanah ‘wajib melepaskan tanahnya’ pada saat

pelaksanaan pengadaaan tanah untuk kepentingan

umum. Artinya, pelepasan hak adalah sesuatu

yang wajib, bukan lagi sesuatu yang berdasarkan

kesepakatan.

Sikap hukum dalam rumusan Pasal 1 butir 7

RUU dan Draf Perkaban Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan

Pasal 6 Undang Undang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tersebut

kiranya akan berimplikasi terhadap aspek hukum

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum dalam Undang Undang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum ini. Dapat dikatakan bahwa

aspek hukum Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum dalam RUU ini lebih

bernuansa publik, sehingga meskipun dinyatakan

bahwa cara yang ditempuh untuk memutus hubungan

antara si empunya tanah dengan tanahnya adalah

cara pelepasan hak, namun pelepasan hak itu tidak

lagi sepenuhnya dibangun atas kesepakatan antara

yang empunya tanah dengan yang membutuhkan

tanah. Pelepasan hak itu lebih merupakan instrumen

pengadaan tanah yang dilakukan Pemerintah dalam

bingkai dan semangat yang bernuansa publik. Hal ini

menjadi lebih jelas ketika dicermati fungsi penetapan

lokasi sebagai suatu tahap kunci dalam Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

menurut Undang Undang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tersebut.

Penetapan lokasi sebagai Tahapan Kunci

Dalam Undang Undang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum terdapat

ketentuan yang menjadikan Penetapan Lokasi (PL)

sebagai titik-penentu dalam tahapan pelaksanaan

pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Jika PL

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1

34

sudah ditetapkan oleh lembaga pertanahan (Pasal

26 ayat (2)), maka adalah wajib bagi pemilik tanah

atau yang menguasai tanah untuk melepaskan

atau menyerahkan tanahnya bagi kepentingan

umum. Dalam konteks inilah dipahami ketentuan

Pasal 6 Undang Undang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang

menyatakan bahwa pihak yang berhak atas tanah

‘wajib melepaskan tanahnya’ pada saat pelaksanaan

pengadaaan tanah untuk kepentingan umum.

Ketentuan Pasal 6 inilah, antara lain, sesuatu yang

baru dari Undang Undang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yakni

dijadikannya PL sebagai unsur kunci dalam proses

pengadaan tanah. Setelah PL, tahapan selanjutnya

adalah sesuatu yang bersifat imperatif.

Setelah Dokumen Pengadaan Tanah disusun

oleh Instansi Yang Membutuhkan Tanah (IYMT),

maka dokumen itulah yang digunakan IYMT

untuk memberitahukan rencana pembangunan,

pendataan awal lokasi rencana pembangunan, dan

konsultasi publik rencana pembangunan. Konsultasi

publik (rencana pembangunan) dimaksudkan

untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana

pembangunan dari pihak yang berhak. Kesepakatan

itu dituangkan dalam Berita Acara Kesepakatan

(Pasal 22 ayat (1) dan (4) Undang Undang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum). Keberatan terhadap lokasi

rencana pembanguna.n dilaporkan oleh IYMT

kepada Menteri yang bertanggungjawab terhadap

perencanaan pembangunan nasional atau kepada

Gubernur (apabila IYMT adalah Pemerintah

Daerah). Untuk merespon keberatan tersebut,

Menteri atau Gubernur membentuk Tim Kajian Atas

Keberataan Lokasi Rencana Pembangunan. Hasil

kajian tim itu berupa rekomendasi mengenai diterima

tidaknya keberatan rencana lokasi pembangunan.

Berdasarkan rekomendasi itu, Menteri atau

Gubernur mengeluarkan penetapan diterima atau

tidak keberatan atas rencana pembangunan.19

Pertanyaannya, jika penetapan Menteri atau Gubernur

terhadap keberatan atas rencana pembangunan

diterima, apakah rencana pembangunan tetap bisa

berlangsung kepada PL? Pasal 17 Draf PerKaban

menyatakan bahwa apabila keberatan diterima,

maka Menteri atau Gubernur menyarankan kepada

IYMT untuk melakukan penyesuaian atau perubahan

sebagian rencana lokasi pembangunan. Selanjutnya,

berdasarkan saran Menteri atau Gubernur, IYMT

melakukan pengkajian ulang terhadap kelayakan

rencana lokasi pembangunan. Hasil pengkajian

ulang dapat berupa: (a) penyesuaian atau perubahan

rencana lokasi pembangunan dengan mengurangi

luas rencana lokasi pembangunan; (b) penyesuaian

atau perubahan rencana lokasi pembangunan

dengan mengadakan penggantian sebagian/

seluruh rencana lokasi pembangunan. Tentu, dalam

hal penyesuaian atau perubahan rencana lokasi

pembangunan dengan mengadakan penggantian

tanah rencana lokasi pembangunan, IYMT akan

menempuh lagi tahapan Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dari

awal. Pertanyaan yang masih perlu untuk dicarikan

solusinya adalah, bagaimana jika rencana lokasi

tidak bisa dipindahkan?

Pasal 26 Undang Undang Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

tampaknya memberi sinyal bahwa meskipun

penetapan Menteri atau Gubernur menerima

keberatan terhadap rencana lokasi pembangunan,

IYMT tetap menyerahkan rencana pengadaan tanah

kepada lembaga pertanahan. Rencana pengadaan

tanah tersebut dilengkapi dengan: dokumen rencana

pengadaan tanah, berita acara kesepakatan,

dan penetapan Menteri atau Gubernur terhadap

keberatan rencana lokasi pengadaan tanah. Setelah

19 Sebelum September 2010, sesungguhnya ada juga alternatif pe-mikiran agar keberatan terhadap rencana lokasi pembangunan itu diputuskan oleh pengadilan. Namun, pemikiran yang men-guat kemudian adalah, keberatan itu dilaporkan kepada otoritas perencanaan pembangunan.

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil

Munsyarief

35

itu, lembaga pertanahan menetapkan Lokasi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Pasal

26 ayat (3) Undang Undang Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum)

sebagai dasar proses pelaksanaan pengadaan

tanah. Ini pun berarti bahwa meskipun masih ada

yang keberatan terhadap rencana lokasi, hal itu

tidak menjadi penghalang bagi lembaga pertanahan

untuk menetapkan lokasi Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Sekali lagi ditegaskan bahwa konsultasi publik

dimaksudkan untuk mendapatkan kesepakatan

lokasi rencana pembangunan dari pihak yang

berhak. Jika sudah diperoleh maka, kesepakatan itu

dituangkan dalam Berita Acara Kesepakatan (Pasal

22 ayat (1) dan (4) Undang Undang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum). Keberatan yang sekiranya masih ada dalam

konsultasi publik diselesaikan oleh Menteri atau

Gubernur dengan penetapan terhadap keberatan.

Hal itu terindikasi dari ketentuan dari Pasal 26 ayat

(1) dan (2) Undang Undang Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

yang menyatakan bahwa IYMT menyerahkan

rencana pengadaan tanah yang dilengkapi dengan:

dokumen rencana pengadaan tanah, berita acara

kesepakatan, dan penetapan Menteri atau Gubernur

(terhadap keberatan atas rencana pembangunan).

Dilengkapinya rencana pengadaan tanah dengan

‘penetapan Menteri atau Gubernur’ (terhadap

keberatan atas rencana pembangunan) menunjukkan

bahwa keberatan sebagian dari masyarakat terhadap

rencana pembangunan bukanlah sesuatu yang dapat

menghambat pembangunan untuk kepentingan

umum. Sebab, sudah menjadi keniscayaan hukum

bahwa kepentingan umum di atas kepentingan

pribadi maupun golongan.20

Namun demikian, untuk mendapatkan kepastian

mengenai derajat akseptasi masyarakat terhadap

rencana pembangunan, kiranya RUU dan Ranc.

Perkaban Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum ini menentukan berapa

besar persentase dari pemilik/luas tanah yang telah

menyetujui rencana pembangunan tersebut, agar

suatu rencana lokasi pengadaan tanah dapat terus

dilanjutkan? Tegasnya, berapa besar persentase

yang sudah memberikan persetujuan rencana

pembangunan, agar lembaga pertanahan memiliki

otoritas untuk menerbitkan PL? Urgensi logika hukum

seperti inilah kiranya yang ditempuh oleh Pasal 34

PerKaban No. 3 Tahun 2007, yang menyatakan:

“Musyawarah rencana pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a dianggap telah tercapai kesepakatan, apabila paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen), dari :

a. luas tanah yang diperlukan untuk pembangunan telah diperoleh, atau

b. jumlah pemilik telah menyetujui bentuk dan/atau besarnya ganti rugi.”

Kiranya tidak dapat dipungkiri bahwa Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

adalah suatu bentuk kebijakan pertanahan dalam

perolehan tanah. Ketika akan mengimplementasikan

kebijakan tersebut, lembaga pertanahan lebih

memilih jalur Hukum Perikatan (Hukum Perdata)

daripada semata-mata secara sepihak dengan

20 Perhatikan Om Prakash Aggarwala, dkk “Compulsory Acquisi-tion of Land in India Commentary on the Acquisition of Land Act, I of 1894”, Penerbit The University Book Agency, New Delhi, In-dia, 1993, hlm. 16-17 dan Hendry Campbell Black, “Black’s Law Dictionary Definitions of the Terms and Phrases of American an English Jurisprudence, Ancient and Modern, Edisi Keenam, Penerbit West Publishing Co, St. Paul, Minn., USA., 1990, hlm. 16-17., yang menyatakan bahwa kewenangan untuk mem-peroleh tanah demi pelaksanaan pembangunan untuk kepentin-gan umum sesungguhnya bersifat universal. Prinsip-prinsip yang mendasari pengadaan tanah oleh pemerintah tersebut mengacu pada peribahasa (maxim): (a) ‘salus papuli est suprema lax’ (ke-sejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi); (b) ‘necessitas publica major est quam privata’ (kepentingan umum lebih be-sar daripada kepentingan pribadi); (c) ‘princeps et respublica ex justa causa possunt rem meam auferre/the prince and the com-monwealth, for a just cause, can take away my property’ (pen-guasa dan negara, dengan alasan yang layak/memadai, dapat mengambilalih kepentingan pribadi); (d) “The Law imposeth it on every subject that he prefers the urgent service of his Prince and Country, before the safety of his life” (hukum mewajibkan seseorang untuk mendahulukan kepentingan negara daripada keselamatan pribadinya).

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1

36

Hukum Administrasi Negara, melalui pranata

hukum ‘Pencabutan Hak’. Secara teoretis, hal itu

merupakan salah satu strategi penerapan kebijakan

pemerintah dengan harapan agar dapat ditingkatkan

derajat akseptasi masyarakat terhadap rencana

pembangunan yang akan dilaksanakan di atas

lokasi pembangunan.21 Dengan demikian, tindakan

perolehan tanah ini merupakan merupakan kebijakan

pertanahan yang diperjanjikan. Perjanjian sebagai

landasan pelaksanaan kebijakan itu diistilahkan oleh

D.A. Lubah dalam disertasinya sebagai perjanjian

kebijakan (beleidsovereenkomst).22 Selanjutnya,

dilihat dari pihak yang melakukan perjanjian dan sifat

perjanjiannya, kesepakatan yang akan dibangun

dalam konsultasi publik rencana pembangunan

juga kiranya dapat dikategorikan sebagai perjanjian

dengan penguasa (contracten met de overheid)23

Dalam perjanjian kebijakan atau perjanjian dengan

penguasa ini, kiranya dapat dipahami dan diterima

akal sehat, jika terdapat indikasi “sifat sepihak” dari

persyaratan itu kesepakatan, yaitu bahwa meskipun

tidak semua pemilik atau yang empunya tanah

menyetujui rencana pengadaan tanah, PL tetap

dapat diterbitkan oleh lembaga pertanahan. Sikap

hukum yang demikian perlu ditempuh mengingat

ada kepentingan yang lebih besar, yakni keinginan

mayoritas pemilik tanah (calon peserta) yang

sudah memberi persetujuan, agar lokasi rencana

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk 21 Indroharto, Perbuatan-perbuatan pemerintahan Menurut Hu-

kum Publik dan Hukum Perdata, Bahan Kuliah kepada angka-tan pertama Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum Bidang Peradilan Tata Usaha Negara pada Universitas Indonesia, 1992, hlm. 101, menyatakan bahwa keuntungan-keuntungan yang diperoleh jika memanfaatkan lembaga-lembaga keperdataan dalam mengimplementasikan kebijakan publik adalah: i) lebih dapat diterima, karena warga masyarakat, pengaturan perun-dang-undangan, dan bahkan yurisprudensi sejak dahulu sudah biasa berkecimpung dan menggunakan bentuk-bentuk lembaga keperdataan itu; ii) dapat diterapkan untuk segala keperluan dan kebutuhan, karena sifatnya yang sangat dapat fleksibel dan jelas sebagai suatu instrumen, seperti perhatikan perjanjian-perjanjian tak bernama (onbenoemde overeenkomsten), dan karena adanya kebebasan dalam menentukan isi perjanjian; iii) dapat memberi jalan keluar ketika jalur Hukum Publik menemui jalan buntu; iv) terkuranginya ketegangan yang disebabkan oleh tindakan yang selalu bersifat sepihak dari pemerintah; v) ham-pir selalu dapat memberikan jaminan-jaminan kebendaan (lihat pemberian ganti kerugian pada pencabutan izin atau dalam hal pemerintah tidak dapat memenuhi isi perjanjian yang telah dis-epakati.

22 D.A. Lubach sebagaimana dikutip H.M. Laica Marzuki, op. cit., hlm. 116.

23 Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan Bangunan, Edisi Pertama Cetakan Pertama, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 95.

Kepentingan Umum ditetapkan.

Sesuai Pasal 26 ayat (1) Undang Undang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

kewenangan PL berada pada lembaga pertanahan.

Ketentuan ini kelak akan mengoreksi berbagai

ketentuan mengenai penetapan lokasi dalam rangka

pengadaan tanah. Sebagaimana ditentukan Pasal

5 PerKaban No. 3 Tahun 2007, PL diterbitkan oleh

Bupati/ Walikota (atau Gubernur untuk wilayah DKI

Jakarta), atas rekomendasi instansi terkait dan

Kantor Pertanahan. Dengan demikian, RUU dan Draf

PerKaban Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum memberikan kewenangan

yang semakin besar kepada lembaga pertanahan

dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum, khususnya dalam hal dalam

PL. Oleh karena itu, sebelum PL diterbitkan kiranya

konsultasi publik perlu dilakukan secara efektif,

melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan.

Dalam konteks itulah, dipandang tepat ketentuan

Pasal 10 dan 11 Draf PerKaban Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum yang menyatakan bahwa konsultasi publik

rencana pembangunan dilaksanakan bersama

Pemda (Pemerintah Kabupaten/Kota setempat dan

Pemerintah Provinsi bila meliputi 2 (dua) Kabupaten/

Kota atau lebih).

lembaga Pertanahan : Tanggungjawab lebih besar

Semangat dan ketentuan Undang-Undang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum dan Draf PerKaban Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

tampak ingin memberikan tanggungjawab yang

lebih besar kepada lembaga pertanahan, sehingga

baik penetapan lokasi dan pelaksanaan pengadaan

tanah bisa dikatakan hampir semuanya berada pada

tanggung jawab lembaga pertanahan.

Pasal 31 Undang Undang Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil

Munsyarief

37

menyatakan bahwa berdasarkan PL lembaga

pertanahan melaksanakan pengadaan tanah.

Pelaksanaan pengadaan tanah dimaksud meliputi:

inventarisasi dan identifikasi P4T, penilaian ganti

kerugian, musyawarah penetapan ganti kerugian,

dan pembayaran ganti kerugian. Pasal 26 Draf

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum menyatakan bahwa dalam

rangka pelaksanaan pengadaan tanah dibentuk

Panitia Pengadaan Tanah dengan keputusan Kepala

Kantor Pertanahan. Keanggotaan Panitia Pengadaan

Tanah (Panitia Pengadaan Tanah) sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) berjumlah paling banyak 7

(tujuh) orang, dengan susunan sebagai berikut:

1. Kepala seksi yang membidangi pengadaan ta-

nah atau kepala seksi lain yang ditunjuk di ling-

kungan Kantor Pertanahan yang bersangkutan,

sebagai Ketua merangkap Anggota;

2. Kepala seksi yang membidangi pengukuran

atau kepala seksi lain yang ditunjuk di lingkun-

gan Kantor Pertanahan yang bersangkutan, se-

bagai Wakil Ketua merangkap Anggota;

3. Kepala Sub Bagian Tata Usaha atau pejabat

yang ditunjuk di lingkungan Kantor Pertanahan

yang bersangkutan, sebagai Sekretaris merang-

kap Anggota;

4. Pejabat/staf di lingkungan Kantor Pertanahan

yang bersangkutan, yang ditunjuk sebagai Ang-

gota.

Tampaknya, keanggotaan para anggota Panitia

Pengadaan Tanah pun hanya terdiri atas jajaran

lembaga pertanahan. Namun, penulis berpandangan

kiranya masih diperlukan Kepala Desa atau Lurah

dalam Panitia Pengadaan Tanah. Bukankah Kepala

desa ataupun lurah akan selalu dibutuhkan ketika

akan melakukan sosialisasi ataupun penyuluhan

dengan masyarakat yang terkena dampak

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum?24 Lagi pula, bukankah setiap

rencana lokasi pembangunan berada di desa atau

kelurahan? Kepala Desa atau lurahlah ujung tombak

dari setiap implementasi kebijakan pemerintah di

lapangan. Masuknya Kepala Desa atau lurah dalam

Panitia Pengadaan Tanah tampaknya cenderung

akan lebih bersifat melancarkan kegiatan pengadaan

tanah itu. Selain itu, kiranya camat pun perlu

dimasukkan dalam Panitia Pengadaan Tanah.

Dimasukkannya Camat dan Kepala Desa/Lurah

sebagai anggota dengan alasan bahwa tanah

di wilayah RI belum seluruhnya terdaftar sesuai

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah. Masih banyak tanah-tanah yang

dikuasai masyarakat berupa tanah milik adat, tanah

negara dan tanah-tanah lainnya. Dengan kondisi

tersebut perlu adanya Surat Keterangan serta

mungkin adanya warisan, jual beli yang belum tuntas

dengan diperlukan penandantanganan Kepala Desa/

Lurah dan Camat sebagai kelengkapan administrasi.

Dalam keadaan tertentu kiranya juga diperlukan

Satuan Tugas untuk membantu Panitia Pengadaan

Tanah. Dalam pelaksanaan inventarisasi di lapangan

atas bidang tanah perlu dibentuk satuan tugas untuk

mendukung kelancaran baik pengukuran, pemetaan

bidang serta status hak atas tanahnya yang terdiri

dari petugas dari BPN ditambah pegawai Desa/

Kelurahan sehigga akan memperoleh data bidang

tanah baik yang sudah didaftar maupun yang belum

terdaftar dengan status haknya.

ganti Kerugian

Pihak yang akan menerima ganti-kerugian

dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum adalah pihak yang

24 Selain, ada juga pemikiran bahwa pihak kecamatan pun dibu-tuhkan untuk masuk dalam Panitia Pengadaan Tanah, sebab akan ada kemungkinan, untuk kelancaran pelaksaaan, di dalam proses pengadaan tanah itu dibutuhkan informasi/ keterangan dari Camat. Namun, kalau Camat ditempatkan sebagai anggota Panitia Pengadaan Tanah, mungkin akan ada kendala psikologis karena posisinya sebagai Pejabat Esolon III, sedangkan Ketua Panitia Pengadaan Tanah adalah salah satu Pejabat Eselon IV.

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1

38

menguasai/memiliki objek Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tersebut

(Pasal 1 butir 3 Undang Undang Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum).

Dengan demikian, pihak yang dapat menerima ganti

kerugian adalah pemegang hak atas tanah (terdaftar

maupun belum terdaftar) dan pihak yang menguasai

tanah negara. Penjelasan Pasal 44 Undang Undang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum merinci bahwa pihak yang

berhak atas ganti kerugian adalah: pemegang hak

atas tanah, pemegang hak pengelolaan, nadzir untuk

tanah wakaf, pemilik tanah milik adat, masyarakat

hukum adat, pihak yang menguasai tanah negara

dengan itikad baik, pemegang dasar penguasaan

tanah, dan pemilik bangunan, tanaman atau benda-

benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Menyebutkan ‘yang menguasai tanah negara dengan

itikad baik’ sebagai salah satu pihak yang berhak atas

ganti kerugian adalah suatu perkembangan sikap

hukum yang realistis dan progresif. Disebut ‘realistis’

karena fakta menunjukkan bahwa kenyataan hukum

sekarang ini masih lebih banyak/luas tanah belum

terdaftar daripada sudah terdaftar. Sebagian dari

tanah yang belum terdaftar itu merupakan tanah yang

berstatus sebagai tanah negara. Namun, meskipun

berstatus tanah negara, pihak yang menguasai

tanah negara itu sudah banyak yang menguasainya

dalam jangka panjang dengan itikad baik, bahkan

dengan izin atau persetujuan otoritas pemerintahan

(desa atau kecamatan). Di Provinsi Sumatera Utara

misalnya, akan ditemukan banyak masyarakat

yang menguasai tanah negara berdasarkan ‘akta

pelepasan hak dan ganti rugi’, yang diterbitkan

oleh Camat. Di dalam akta itu dinyatakan secara

tegas bahwa status tanahnya adalah tanah negara.

Padahal, sudah merupakan kenyataan hukum bahwa

tanah yang demikian terus mengalami perpindahan

penguasaan. Perpindahan itu dilakukan oleh dan

di hadapan camat. Penguasaan tanah atas tanah

negara yang seperti ini bahkan banyak yang jangka

waktunya sudah lebih dari 20 tahun.

Pemberian ganti kerugian terhadap pihak ‘yang

menguasai tanah negara dengan itikad baik’ adalah

suatu sikap progresif dari Undang Undang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

ini. Bermaksud untuk memberikan ganti kerugian bagi

pihak ‘yang menguasai tanah negara dengan itikad

baik’, adalah suatu lompatan besar politik hukum

nasional. Lompatan besar ini secara simultan akan

menggapai nilai dasar hukum, yakni keadilan bagi

masyarakat yang menguasai tanah negara tersebut

dan kepastian hukum bagi otoritas pertanahan

yang akan melaksanakan ketentuan Undang

Undang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum ini. Kepastian hukum ini

akan melindungi otoritas pertanahan ketika akan

memberikan keadilan-substantif bagi masyarakat

yang menguasai tanah negara dengan itikad baik.

Pertanyaannya, bagaimanakah menilai itikad baik

penguasaan tanah negara ini? Menurut Pasal 8 Draf

PerKaban Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum, Pihak yang menguasai

tanah negara dengan itikad baik sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf f, antara lain:

1. bekas pemegang hak yang telah habis jangka

waktunya yang masih menggunakan atau me-

manfaatkan tanah yang bersangkutan;

2. pihak yang menguasai tanah negara berdasar-

kan hubungan hukum dengan instansi pemerin-

tah/pemerintah daerah; atau

3. pihak yang menggunakan atau memanfaatkan

tanah negara minimal 20 (dua puluh) tahun se-

cara turun temurun, baik secara terus menerus

atau karena peralihan penguasaan, dengan ti-

dak melanggar ketentuan peraturan perundang-

undangan, yang dibuktikan dengan surat ket-

erangan penguasaan fisik yang ditandatangani

oleh kepala desa/lurah, dan 2 (dua) orang saksi.

Terhadap Poin a di atas, selain memenuhi syarat

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil

Munsyarief

39

’masih menggunakan atau memanfaatkan tanah’,

kiranya peru memberikan batas waktu penguasaan

tanah negara tersebut. Batas waktu dimaksud adalah

jangka waktu yang patut untuk dapat memperoleh

hak atas tanahnya kembali. Bukankah dengan tidak

menindaklanjuti perolehan hak dari tanah negara

bekas tanah hak itu, berarti pihak yang menguasainya

sudah tidak beritikad baik?

Secara umum, untuk membangun tolok ukur

yang dapat digunakan bagi penentuan kelayakan

hukum pihak yang menguasai tanah negara

sebagai penerima ganti kerugian, kiranya perlu

dipertimbangkan apakah penguasaan tanah negara

itu termasuk dalam konsep land tenure dan land

tenancy. Kalau penguasaan tanah negara itu

termasuk dalam konsep land tenure, kiranya dapat

diberikan ganti kerugian. Tetapi kalau penguasaan

tanah negara (untuk kondisi tertentu demikian pula

tanah milik), masih terkategori sebagai land tenancy,

hal itu seyogianya tidak perlu mendapat ganti

kerugian.

KESIMPULANPelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan

umum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun

2012 sudah memenuhi responsif dari kepentingan

masyarakat dan instansi yang membutuhkan tanah

bagi pembangunan untuk kepentingan umum, hal ini

di akomodir dalam tahapan konsultasi publik dengan

format musayawarah yang ditandai dengan:

1. kesepakatan bersama antara pihak yang ber-

hak yang menguasai obyek dengan pihak yang

membutuhkan tanah;

2. penetapan lokasi pembangunan oleh pejabat

pelaksana pembangunan di daerah (Gubernur

dan Bupati/Walikota) sebagai tahapan kunci

yang bersifat sangat penting (imperatif);

3. Kewenangan pelaksanaan pengada an tanah

yang dibebankan kepada Lembaga Pertanahan

dalam hal ini Bdan Pertanahan Nasional.

SARAN1. Kesepakatan dalam konsultasi publik yang

merupakan hasil musyawarah harus benar-

benar dilaksanakan beberapa kali agar terjadi

kesepakatan yang utuh dan tidak menimbulkan

gejolak sosial.

2. Penetapan loksai sebagai kunci pelaksanaan

pengadaan tanah bagi pembangunan untuk ke-

pentingan umum, selain sebagai keputusan pe-

jabat publik juga merupakan keputusan politis.

Sehingga pada tahap perencanaan pembangu-

nan yang membutuhkan tanah perlu dilibatkan

lembaga legislatif sebagai lembaga politik.

3. Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga

pertanahan sesuai dengan amanat Pasal 1 ayat

(16) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012

dengan tanggung jawab yang besar sebagai pe-

nyelenggara pengadaan tanah, harus dilibatkan

dari mulai tahap persiapan sampai dengan ta-

hap penyerahan hasil.

UCAPAN TERIMA KASIHPenulis menyampaikan terimakasih kepada seluruh

pihak yang terlibat dalam penerbitan karya tulis

ilmiah in.

DAFTAR ACUAN

buku

Aminuddin Salle, Hukum Pengadaan Tanah untuk

Kepentingan Umum, Kreasi Total Media,

Yogyakarta, 2007.

Boedi Harsono, Kasus-kasus Pengadaan Tanah

Dalam Putusan Pengadilan Suatu Tinjauan

Yuridis, Makalah pada Seminar Nasional

“Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan

(Konsepsi Hukum, Permasalahan dan

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1

40

Kebijaksanaan Dalam Pemecahannya)”,

Kerjasama Fakultas Hukum Universitas

Trisakti dengan Badan Pertanahan

Nasional di Hotel Horison, Jakarta, 3

Desember 1994, 1994, hlm. 7.

Imam KoeswahyoNomor, Melacak Dasar

Konstitusional Pengadaan Tanah Untuk

Kepentingan Pembangunan Bagi Umum,

dalam Jurnal Konstitusi PPK-FH Univ.

Brawijaya Vol I Nomor 1 Agustus 2008,

hlm.34-36

Indroharto, Perbuatan-perbuatan pemerintahan

Menurut Hukum Publik dan Hukum

Perdata, Bahan Kuliah kepada angkatan

pertama Program Pendidikan Lanjutan

Ilmu Hukum Bidang Peradilan Tata Usaha

Negara pada Universitas Indonesia,

1992, hlm. 101, menyatakan bahwa

keuntungan-keuntungan yang diperoleh

jika memanfaatkan lembaga-lembaga

keperdataan dalam mengimplementasikan

kebijakan publik adalah:

Muhammad Yamin Lubis, Pencabutan Hak,

Pembebasan, dan Pengadaan Tanah, CV.

Mandar Maju, Bandung, 2011

Om Prakash Aggarwala, dkk “Compulsory Acquisition

of Land in India Commentary on the

Acquisition of Land Act, I of 1894”, Penerbit

The University Book Agency, New Delhi,

India, 1993.

Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Bangunan

Perjanjian Pemborongan Bangunan, Edisi

Pertama Cetakan Pertama, Penerbit

Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 95

SKH Kompas, Ancaman Hak Atas Tanah, Jum’at 11

Maret 2011 hlm.4

Douglas Brown Brown, “Land Acquisition An

examination of the principles of law

governing the compulsory acquisition

of resumption of land in Australia and

New Zealand”, Edisi Keempat, Penerbit

Butterworths, Sydney-Adelaide-Brisbane-

Canberra-Melbourne-Perth., 1996.

Idham Arsyad, Sesat Pikir RUU Pengadaan Tanah,

SKH KOMPAS, Jum’at 18 Maret 2011,

hlm.6

Dalam pembahasan dengan DPR-RI Sebelum

September 2010, ada alternatif pemikiran

agar keberatan terhadap rencana lokasi

pembangunan itu diputuskan oleh

pengadilan. Namun, pemikiran yang

menguat kemudian adalah, keberatan itu

dilaporkan kepada otoritas perencanaan

pembangunan yaitu Menteri atau Gubernur.

http://www.mataelang.net/2011/04/menguasai-

tanah-atasnama-kepentingan-umum,

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang No. 20 tahun 1961 tentang Tentang

Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan

Benda-benda yang ada di atasnya.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

untuk Kepentingan Umum.

Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang

Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk kepentingan Umum

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden

Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum.

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil

Munsyarief

41

Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007

tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Juncto

Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun

2006 tentang pengadaan tanah bagi

Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1

42

Strategi Penyerderhanaan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Ika Dini Haryanti

43

STRATEGI PENYERDERHANAAN PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

sIMPlIfIcaTIoN sTraTEgy for IMPlEMENTaTIoN laNd’s ProcurEMENT PolIcy for

PublIc INTErEsT dEVEloPMENT

Ika Dini HaryantiPusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jalan H. Agus Salim Nomor 58, Jakarta,

[email protected]

ABSTRAKKritik dari berbabgai kalangan yang mengkritisi peraturan yang ada selama ini hanya mementingkan kelompok pemodal

besar dan mengabaikan hak-hak orang miskin. Hal tersebut ditandai dengan belum ditemukannya rumusan yang dapat

memuaskan para pihak yang berkepentingan mengenai ganti rugi yang adil baik terhadap faktor fisik maupun non fisik.

Strategi pembangunan dan pengembangan kebijakan pengadaan tanah bagi kepentingan umum, yang dilakukan secara

sederhana dengan tujuan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Kata kunci : strategi , pengadaan tanah, ganti kerugian.

absTracTCritics who come from various segment of society said that the regulation only favors capitalist and big cooperation and

marginalize the poor. It’s been marking the absence of formulation in calculating fair compensation, both physical and

non-physical. Development and establishment strategy for implementation land’s procurement policy for public interest

development are needed in the purpose of prosperity and commonwealth of society.

Keywords : strategy, land’s procurement, compensation.

Dalam hal membangun dan mengembangkan

sejatinya dilakukan untuk kemakmuran dan

kesejahteraan masyarakat. Namun sebagian

kalangan mengkritisi dan menilai peraturan ini

sebaliknya, yaitu menuding pemerintah hanya

mementingkan kelompok modal besar dan

mengabaikan hak-hak orang miskin.

Dalam rangka pelaksanaan proses pengadaan

tanah, baik prosedur serta langkah-langkah

yang diambil pemerintah terlalu berbrlit-belit dan

birokratis mengenai pemeberian hak atas tanah

untuk masyarakat, badab hukum, baik swasta

maupun BUMN/ BUMD, belum ada aturan yang

jelas mengenai prosedur serta pembiayaan dalam

PENDAHULUAN

latar belakang MasalahDengan terbitnya peraturan Presiden Nomor 36

Tahun 2005 yang mengatur soal tanah sebagai

pengganti Keppres 55 tahun 1993, pemerintah boleh

mengambil tanah masyarakat, yakni mengatur tanah

agar bisa bermanfaat bagi kepentingan banyak orang,

sebab betapa banyak fasilitas umum yang mau tidak

mau, akan melewati tanah milik masyarakat. Dalam

kata untuk kepentingan umum, terkandung dua

makna yang satu sama lain saling berkaitan, yaitu

pembangunan dan pengembangan.

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 43-58Vol. 2 No. 1

44

rangka pelaksanaan kegiatan penyelesaian masalah

pertanahan.

Ditetapkan bahwa ganti kerugian (imbalan) dalam

rangka pengadaan tanah diberikan untuk hak atas

tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain

yang berkaitan dengan tanah. Bentuk ganti kerugian

dapat berupa uang, tanah pengganti, pemukiman

kembali, gabungan dari dua atau lebih untuk ganti

kerugian, dan bentuk lain yang disetujui oleh pihak-

pihak yang bersangkutan. Selanjutnya ditegaskan

bahwa cara perhitungan ganti kerugian ditetapkan

atas dasar harga tanah yang didasarkan atas nilai

nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan Nilai

Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan yang terakhir

untuk tanah yang bersangkutan. Akan tetapi sampai

saat ini belum dapat ditemukan suatu rumus yang

dapat memuaskan para pihak yang berkepentingan

yang dapat mengganti kerugian yang dialami pemilik

tanah baik atas faktor yang bersifat fisik maupun non

fisik.

Perumusan MasalahDengan adanya permasalahan di atas, maka

perumusan masalah dalam penelitian ini:

1. Bagaimanakah proteksi yuridis terhadap hak-

hak atas penguasaan tanah menurut sistem hu-

kum pertanahan?

2. Bagaimana implementasi yuridis dalam prose-

dur pengadaan tanah bagi pelaksanaan pem-

bangunan untuk kepentingan umum?

TujuanAdapun tujuan yang dikehendaki dalam penelitian ini:

1. Untuk mengetahui proteksi yuridis terhadap

hak-hak atas penguasaan tanah menurut sitem

hukum pertanahan;

2. Ingin mengetahui lebih jauh mengenai imple-

mentasi yuridis dalam prosedur pengadaan ta-

nah bagi pelaksanaan pembangunan untu ke-

pentingan umum.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perancanaan strategiMenurut Rangkuti (2004) strategi merupakan alat

untuk mencapai tujuan. Strategi dapat dikelompokkan

menjadi tiga tipe strategi :

1. Strategi manajeman yaitu strategi yang dapat

dilakukan oleh manajemen dengan orientasi

pengembangan strategi secara makro.

2. Strategi investasi merupkan kegiatan yang ber-

orientasi pada inventasi.

3. Strategi bisnis yaitu strategi yang berorientasi

pada fungsi-fungsi kegiatan manajemen.

Sedangkan menurut Muljadi (2006) perencanaan

strategik (RENSTRA) merupakan suatu cara untuk

mengendalikan “organisasi” secara efektif dan

efisien, sampai pada implementasi paling depan

dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang

bersangkutan. Dalam penyusunan rencana strategi

oraganisasi, harus memuat :

1. rumusan visi organisasi;

2. rumusan misi oraganisasi;

3. rumusan misi organisasi;

4. rumusan sasaran;

5. rumusan kebijakan;

6. rumusan program;

7. rumusan kegiatan.

Peruntukan Tanah untuk Kepentingan umumTata ruang merupakan hasil dari proses perencanaan

ruang yang dijabarkan dalam Rencana Tata Ruang

Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana tata ruang

wilayah Provinsi (RTRWN), dan Rencana tata Ruang

Wilayah Kabupaten/ Kota (RTRWK) (BPN : 2004).

Kemudian dalam upaya memberikan kepastian

lokasi dari ruang yang dapat dimanfaatkan, RTRWK

dirinci lebih lanjut dalam bentuk Rancana Detail Tata

Ruang (RDTR).

Strategi Penyerderhanaan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Ika Dini Haryanti

45

Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) digunakan oleh

sebagian besar kawasan perkotaan seperti Ibukota

Kabupaten/ Kota dan Ibukota kecamatan. Hal ini

dikarenakan di dalam RDTR tersebut telah memuat

arahan peruntukan dan kepastian penggunaan

tanah baik bagi perorangan, badan hukum yang

mempunyai hubungan hukum dengan tanah maupun

fasiitas untuk kepentingan umum.

Dalam rangka penyediaan dan peruntukan tanah

untuk kepentingan umum telah diterbitkan Peraturan

Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo. Peraturan

Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang pengadaan

tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum. Namun dalam pelaksanaannya

pengadaan tanah untuk kepentingan umum hanya

dapat dilaksanakan apabila penetapan rencana

pembangunan untuk kepeningan umum sesuai

dengan Rencana Tata Ruang dalm hal ini Rencana

Tata Ruang Detail (RDTR).

Masalah penting yang selalu aktual dalam kegiatan

pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah

pengertian mengenai “kepentingan umum”.

Dalam UU No.20 Tahun 1961 yang merupakan

pelaksanaan Pasal 18 UUPA menyandingkan kata

kepentingan umum dengan kata pembangunan.

Kedua undang-undang tersebut mengatur

kepentingan umum suatu pedoman umum.

Sedangkan Inpres No. 9 Tahun 1973 sebagai

pedoman pelaksanaan UU No. 20 Tahun1961

mengenai dua pendekatan, yakni pedoman umum

(Pasal 1 ayat 1) dan 13 daftar kegiatan (Pasal 1 ayat

2 Lampiran inpres). Pasal 18 UUPA berbunyi : “untuk

kepentingan umum, termasuk bangsa dan negara

serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak

atas tanah dapat dicabut dengan memberikan ganti

kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur

dengan undang-undang”.

Pasal 1 ayat 1 UU No. 20 tahun 1961 menyebutkan :

Untuk kepentingan umum termasuk kepentingan

bangsa dan negara serta kepentingan bersama

rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan,

maka presiden dalam keadaan yang memaksa telah

mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman

yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas

tanah dan benda-benda yang ada diatasnya.

Pasal 1 ayat 1 Lampiran Inpres No. 9 Tahun 1973

menyebutkan :

Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan

pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum,

apabila kegiatan tersebut menyangkut :

1. Kepentingan bangsa dan negara, dan/ atau

2. Kepentingan masyarakat luas

3. Kepentingan rakyat banyak/ bersama, dan/ atau

4. Kepentingan pembangunan.

Selanjutnya pasal 1 ayat 2 Lampiran Inpres No. 9

Tahun 1973 menyebutkan :

Bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang

mempunyai sifat kepentingan umum sebagai

dimaksud dalam ayat 1 pasal ini meliputi bidang-

bidang :

1. Pertanahan

2. Pekerjaan umum

3. Perlengkapan umum

4. Jasa umum

5. Keagamaan

6. Ilmu pengetahuan dan seni budaya

7. Kesehatan

8. Olahraga

9. Keselamatan umum terhadap bencana alam

10. Kesejahteraan sosial

11. Makam/ kuburan

12. Pariwisata dan rekreasi

13. Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi

kesejahteraan umum

Keppres 55 Tahun 1993 memberikan batasan berbeda

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 43-58Vol. 2 No. 1

46

mengenai kepentingan umum. Kepentingan umum

adalah kepentinngan seluruh lapisan masyarakat

dimana kegiatan yang dilakukan dan selanjutnya

dimiliki oleh pemerintah, serta tidak digunakan untuk

mencari keuntungan (pasal 1 angka 3). Meskipun

pengertian pengadaan tanah yang dirumuskan oleh

Keppres Nomor 55 Tahun 1993 Pasal 1, akan tetapi

lingkup pengadaan tanah tidak cukup hanya berhenti

sampai pada proses pemberian ganti rugi kepada

yang berhak atas tanah tersebut.

Perpres Nomor 36 Tahun 2005 sebagai suatu

pedoman bagi pelaksanaan pengadaan tanah

bagi kepentingan umum harus memperhatikan

kepentingan warga masyarakat yang terkena

dampak atas pelaksanaan pengadaan tanah

tersebut. Lingkup kegiatan pengadaan tanah harus

meliputi pula pada proses dimana mereka yang

terkena proyek pembangunan untuk kepentingan

umum tersebut tetap terpelihara kesejahteraan hidup

seperti semula bahkan lebih baik daripada sebelum

dilakukannya proyek tersebut.

Perkembangan selanjutnya Perpres No. 36 Tahun

2005 diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006.

Perpres 36 tahun 2005 membuka peluang pengadaan

tanah bagi pembangunan yang dilakukan oleh swasta

dengan difasilitasi oleh pemerintah. Hal inilah yang

kemudian banyak dikritik oleh berbagai kalangan,

karena pengertian kepentingan dikhawatirkan dapat

diartikan secara luas, sehingga dapat melanggar

hak-hak atas tanah, padahal sistem hukum

tanah Indonesia belum sepenuhnya memberikan

perlindungan yang maksimal bagi hak-hak atas

tanah. Selain itu hukum tanah Indonesia belum

dapat mengakomodasi kepentingan pembangunan.

Perpres No. 36 Tahun 2005 merupakan wadah

atau pedoman pelaksanaan pengadaan tanah bagi

pembangunan yang berkaitan dengan hak-hak

dasar manusia. Perubahan yang terpenting adalah

mengenai pedoman kepentingan umum atau kriteria

dan daftar kegiatan.

Pengertian kepentingan umum dalam Perpres No 65

tahun 2006 adalah kepentingan sebagian besar lapisan

masyarakat dan pembangunan untuk kepentingan

umum selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh

pemerintah atau pemerintah daerah. Dalam perpres

No. 65 Tahun 2006, kriteria kepentingan umum pada

dasarnya sudah menampakkan batasan yang tegas,

dengan hanya memberikan ruang bagi pemerintah

atau pemerintah daerah sebagai operator atau

sebagai pemilik dari pembangunan yang dilakukan.

Walaupun tidak secara tegas dinyatakan bahwa

kegiatan pembangunan tidak digunakan untuk

mencari keuntungan.

Adapun pembangunan untuk kepentingan umum

berdasarkan pasal 5 angka 1 Perpres Nomor 36

Tahun 2005 dibatasi untuk :

1. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api ( diatas

tanah, diruang atas tanah, maupun diruang

bawah tanah ) saluran air minum/ air bersih, sal-

uran pembuangan air dan sanitasi.

2. Waduk, bendungan, irigasi, dan bangunan pen-

gairan lainnya.

3. Rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan

masyarakat.

4. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api,

terminal

5. Peribadatan.

6. Pendidikan atau sekolahan.

7. Pasar umum.

8. Fasilitas pemakaman umum.

9. Fasilitas keselamatan umum.

10. Pos dan telekomunikasi.

11. Sarana olahraga

12. Stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana

pendukungnya.

13. Kantor pemerintah, pemerintah daerah, per-

wakilan negara asing, perserikatan bangsa-

bangsa, dan/ atau lembaga-lembaga interna-

sional dibawah naungan perserikatan bangsa-

Strategi Penyerderhanaan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Ika Dini Haryanti

47

bangsa.

14. Fasilitas TNI dan Polri sesuai dengan tugas po-

kok dan fungsinya.

15. Lembaga permasyarakatan dan rumah taha-

nan.

16. Rumah susun sederhana.

17. Tempat pembuangan sampah.

18. Cagar alam dan cagar budaya.

19. Pertamanan.

20. Panti sosial.

21. Pembangkit transmisi, distribusi tenaga listrik.

Penafsiran yang ketat tersebut diharapkan dapat

memberikan keadilan dan kepastian hukum karena

mengurangi kebebasan untuk menafsirkan yang

dapat berdampak merugikan para pemegang

hak. Dengan demikian dapat diharapkan adanya

penyederhanaan sistem pengadaan tanah untuk

kepentingan umum.

Rumusan definisi kepentingan umum harus lebih

terbuka dan menyuarakan aspirasi dari masyarakat

di mana pembangunan akan dilaksanakan

melalui peraturan Daerah yang ditetapkan

bersama Pemerintah Daerah dan DPRD yang

bersangkutan untuk menentukan apakah suatu

kegiatan itu tergolong kepentingan umum atau

bukan. Kepentingan umum didefinisaikan sebagai

kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang

banyak, berfungsi melayani dan memnuhi kebutuhan

masyarakat di mana hal-hal mengenai fungsi, kontrol,

tarif, pembagian keuntungan dan kepemilikannya

diatur dengan Peraturan Daerah.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum

pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan

umum adalah :

1. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum

dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam

perauran perundang-undangan, sehingga

semua pihak yang terkait dapat mengetahui hak

dan kewajiban masing-masing.

2. Diperlukan komunikasi dan konsultasi dian-

tara masyarakat dengan pihak (instansi) yang

memerlukan tanah secara intensif dan ber-

kesinambungan untuk saling memberikan ma-

sukan yang diperlukan sehingga masyarakaat

mengetahui informasi

3. Berkenaan dengan perencanaan pelaksanaan

dan pemantauan pengadaan tanah. Dengan

demikian peran serta masyarakat ini dilakukan

mulai tahap inventarisasi, penyuluhaan, dan

konsultasi, pelaksanaan pemberian imbalan.

4. Peran serta semua pihak (masyarakat dan pi-

hak yang memerlukan tanah secara aktif dalam

proses pengadaan tanah akan menimbulkan

rasa ikut memiliki dan dapat memperkecil ke-

mungkinan timbulnya penolakan terhadap ke-

giatan pengadaan tanah untuk pembangunan.

5. Musyawarah harus sungguh-sungguh dijadi-

kan sarana untuk mempertemukan perbedaan

kepentingan dan keinginan dari pihak yang me-

merlukan tanah dan pihak yang tanahnya diper-

lukan untuk kepentingan umum. Oleh karena

itu musyawarah dalam pengertian sebagai keg-

iatan yang mengandung proses saling menden-

gar, saling memberi dan menerima pendapat,

seta keinginan atas dasar kesukarelaan dan ke-

setaraan anatara pihak harus dilaksanakan se-

cara sukarela dan menjauhkan kondisi psikologi

yang menghalangi terjadinya proses tersebut.

6. Jenis imbalan harus memperhatikan faktor-fak-

tor yang bersifat fisik, seperti tanah, bangunan,

tanaman, benda-benda lain yang berkaitan den-

gan tanah dan bersifat non fisik. Bentuk imbalan

harus sesuai dengan kesepakatan yang dica-

pai dalam musyawarah. Dengan diterimanya

imbalan tersebut, maka kehidupan pihak yang

melepaskan tanah, menjadi lebih baik atau

minimal setara dengan tingkat kehidupan sosial

ekonomi sebelum tanahnya dilespakan untuk

pembangunan.

Pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 43-58Vol. 2 No. 1

48

umum menurut Keppres No. 55 tahun 1993 jo

Peraturan Menteri Agraria/ Ka BPN nomor 1/ 1994:

1. Penetapan lokasi pembangunan

Instansi pemerintah yang memerlukan tanah

mengajukan permohonan penetapan lokasi

pembangunan untuk kepentingan umum kepada

Bupati/ Walikota melalui Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/ kota. Permohonan ini dilengkapi dengan

keterangan mengenai:

a. Lokasi tanah yang dimohon.

b. Luas dan gambar kasar tanah yang

diperlukan

c. Penggunaan tanah pada saat permohonan

diajukan

d. Uraian rencana proyek yang akan

dibangun disertai keterangan mengenai

aspek pembiayaan, lamanya pelaksanaan

pembangunan.

Apabila permohonan diajukan kepada Bupati/

Walikota, setelah menerima permohonan itu, Bupati/

walikota memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/ Kota untuk mengadakan koordinasi

dengan Ketua Bapeda (kabupaten/ kota), Asisten

Sekretaris Wilayah Daerah Bidang Ketataprajaan

dan instansi terkait untuk secara bersama-sama

melakukan penelitian mengenai kesesuaian

peruntukan tanah yang dimohon dengan Rencana

Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah ada.

Apabila permohonan diajukan kepada Gubernur,

setelah menerima permohonan, Gubernur

memerintahkan Kepala Kantor Wilayah BPN untuk

mengadakan koordinasi dengan Ketua Bapeda

(provinsi) atau dians tata kota, Asisten Sekretaris

Wilayah Daerah Bidang Ketataprajaan dan instansi

terkait bersama-sama melakukan penelitian

mengenai kesesuaian peruntukan tanah yang

dimohon dengan RTRW yang telah ada.

Gubernur memberikan persetujuan penetapan

lokasi pembangunan untuk kepentingan umum yang

dipersiapakan oleh kepala kantor Wilayah BPN

Provinsi atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/

Kota setempat, sepanjang rencana penggunaan

tanahnya sesuai dengan dan berdasarkan pada

RTRW.

2. Panitia Pengadaan Tanah

Adapun keanggotaan panitia pengadaan tanah

terdiri dari unsur daerah terkait dan dari unsur Badan

Pertanahan Nasional. Dengan berlakunya Perpres

No. 65 Tahun 2006,susunan dan keberadaan panitia

pengadaan tanah diatur dalam peraturan Kepala

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

No.3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang

Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan

untuk kepentingan umum.

Susunan panitia Pengadaan Tanah dibagi menjadi

Panitia Pengadaan tanah propinsi dan panitia

pengadaan tanah kabupaten/ kota. Kepanitiaan

tersebut terbentuk atas dasar wilayah tanah

yang akan menjadi obyek pembangunan untuk

kepentingan umum. Panitia pengadaan tanah

propinsi dibentuk apabila tanah yang menjadi obyek

pembangunan terletak di lebih dari satu Kabupaten/

Kota dalam propinsi yang sama. Sedangkan panitia

pengadaan tanah kabupaten/kota dibentuk bila tanah

yang diperlukan untuk pembangunan hanya berada

di kabupaten/ kota yang bersangkutan.

Dalam tahap ini panitia pengadaan tanah yang telah

dibentuk membantu pemerintah atau pemerintah

daerah untuk mempertemukan dengan masyarakat.

Bantuan pada tahap awal dilakukan dengan

memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada

masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/

atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana

dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk

konsultasi publik baik melalui tatap muka, media

cetak, maupun media elektronik. Tujuannya agar

dapat diketahui masyarakat yang terkena rencana

pembangunan dan/ atau pemegang hak atas tanah.

Strategi Penyerderhanaan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Ika Dini Haryanti

49

Kemudian melakukan penelitian dan inventarisasi

atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda

lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya

akan dilepas; mengadakan penelitian mengenai

status hukum tanah yang hanya akan dilepas atau

diserahkan dan dokumen yang mendukungnya;

menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang

haknya akan dilepaskan/ diserahkan; mengadakan

musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah

dan instansi pemerintah dan/ atau pemerintah daerah

yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan

bentuk dan/ atau ganti rugi; menyaksikan pelaksanaan

penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak

atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda

lain yang ada di atas tanah; membuat berita acara

pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, dan

mengadministrasikan dan mendokumentasikan

semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan

kepada pihak yang berkompeten.

Tahap PenyuluhanMengenai penyuluhan ini diatur dalam peraturan

Kepala BPN No.3 Tahun 2007. Dalam tahap

ini Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/ Kota

bersama instansi pemerintah yang memerlukan

tanah melakukan penyuluhan untuk menjelaskan

manfaat, maksud, dan tujuan pembangunan kepada

masyarakat serta dalam rangka memperoleh

kesediaan dari pihak pemilik. Dalam hal penyuluhan

diterima oleh masyarakat, pengadaan tanah

dilanjutkan dan bila tidak diterima, maka panitia

melakukan penyuluhan kembali. Setelah dilakukan

penyuluhan kembali, tetapi tetap tidak diterima oleh

75 % dari pemilik tanah, sedangkan lokasi dapat

dipindahkan, instansi pemerintah yang memerlukan

tanah mengajikan alternatif lokasi lain. Bila lokasi

tidak dapat dipindahkan, maka panitia pengadaan

tanah menggunakan lembaga pencabutan hak atas

tanah.

Setelah penyuluhan diterima maka selanjutnya

Panitia Pengadaan Tanah melaksanakan identifikasi

dan inventarisasi. Hasil identifikasi dan inventarisasi

dituangkan dalam peta bidang tanah. Peta bidang

tanah diumumkan di kantor Lurah/ Desa dan Kantor

Pertanahan setempat atau melalui mass media.

Setelah pengumuman selasai, Peta bidang tanah

disahkan oleh panitia pengadaan tanah.

Untuk membantu tugas panitia, maka ditunjuklah

tim penilai harga tanah yang independen, yang

berwenang melakukan penilaian harga tanah

termasuk harga bangunan, tanamn, dan/ benda-

benda lain yang ada di atas tanah.

Adapun susunan anggota panitia pengadaan tanah

tingkat provinsi, menurut pasal 4 Peraturan Menteri

Agraria/ Ka BPN No. 1/ 1994 terdiri dari :

1. Ketua merangkap anggota: Gubernur atau peja-

bat yang ditunjuk

2. Wakil Ketua merangkap anggota: Kepala Kantor

Wilayah BPN provinsi

3. Anggota (Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jen-

deral Pajak, Kepala Instansi Pemerintah Provin-

si yang bertanggung jawab di bidang bangunan,

Kepala Instansi Pemerintah Provinsi yang ber-

tanggung jawab di bidang pertanian, Kepala In-

stansi Pemerintah Provinsi lainnya yang diang-

gap perlu)

4. Sekretaris I bukan anggota: Kepala Biro Tata

Pemerintahan

5. Sekretaris II: Kepala Bidang Hak-Hak Atas Ta-

nah Kantor Wilayah BPN

Tugas Panitia Pengadaan Tanah Provinsi :

1. Mengkoordinasikan pelaksanaan tugas Panitia

Pengadaan Tanah (Kabupaten/ Kota) apabila

lokasi pembangunan terletak di dua wilayah ka-

bupaten/ kota atau lebih;

2. Membantu Gubernur dalam mengambil keputu-

san mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi

(imbalan) dalam hal ada keberatan terhadap

keputusan Panitia Pengadaan Tanah Provinsi.

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 43-58Vol. 2 No. 1

50

Sedangkan susunan anggota Panitia Pengadaan

Tanah Kabupaten/ Kota menurut Pasal 7 Keppres 55

Tahun 1993 terdiri dari:

1. Ketua merangkap anggota: Bupati/ Walikota

2. Wakil Ketua merangkap anggota: Kepala Kantor

Pertanahan Kabu paten/Kotamadya

3. Anggota Kepala Instansi Pemda Bidang Bangu-

nan, Kepala Instansi Pemda Bidang pertanian,

Camat, Lurah/ Kepala Desa

4. Bukan Anggota (Asisten Sekretaris Wilayah

Daerah, Sekwilda/Kabag Bidang Pemerintahan

pada Kantor Bupati, Kepala Seksi pada Kantor

Pertanahan kabupaten/ Kotamadya.

Tahap Musyawarah, Penetapan, Pemberian ganti rugiMenurut Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993

musyawarah adalah proses atau kegiatan saling

mendengar dengan sikap saling menerima pendapat

dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan

antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak

yang memerlukan tanah, untuk memperoleh

kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti

kerugian. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri

Negara Agraria/ Kepala BPN No. 1 tahun 1994

diatur proses musyawarah itu yaitu diawali dengan

pengadaan penyuluhan kepada masyarakat yang

terkena lokasi pembangunan dengan maksud dan

tujuan pembangunan tersebut, di tempat yang

ditentukan Panitia Pengadaan Tanah, dan dalam

pembangunan tersebut mempunyai dampak yang

penting dan mendasar pada kehidupan masyarakat,

maka penyuluhan dilakukan dengna melibatkan

peran serta tokoh masyarakat dan pimpinan informal

setempat.

Sesuai dengan keperluannya, penyuluhan dapat

dilakksanakan lebih dari satu kali. Musyawarah yang

intinya untuk mencapai kesepakatan tentang bentuk

dan besarnya ganti kerugian (imbalan) tersebut

dilakukan secara langsung antara instansi yang

memerlukan tanah dengan para pihak setelah tahap

penyuluhan dan inventarisasi mengenai bidang

tanah yaang bersangkutan dilakukan.

Tahap musyawarah ini dilakukan antar pemegang

hak atas tanah, bangunan, tanaman, benda-benda

yang berkaitan dengan tanah dengan pemerintah

atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah

yang difasilitasi oleh panitia pengadaan tanah.

Musyawarah yang diadakan oleh panitia pengadaan

tanah dilakukan untuk memperoleh kesepakatan

mengenai pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum di lokasi tersebut dan mengenai

bentuk dan besarnya ganti rugi.

Dalam tahap ini, apabila jumlah pemegang hak

atas tanah tidak memungkinkan atau dengan kata

lain, pemegang hak atas tanah sangat banyak

jumlahnya, sehingga diangggap tidak akan efektif

bila melibatkan seluruhnya dalam musyawarah,

maka panitia pengadaan tanah mengadakan

musyawarah antara pemerintah atau pemerintah

daerah yang memerlukan tanah dengan perwakilan

para pemegang hak atas tanah yang bertindak untu

dan atas nama pemegang hak atas tanah lainnya,

berdasarkan surat kuasa yang dibuat secara tertulis

dan memenuhi syarat lainnya, seperti diketahui oleh

Kepala Desa atau surat dibuat dihadapan pejabat

yang berwenang dalam hal ini notaris.

Bila seluruh proses dalam melaksanakan musyawarah

telah dipenuhi, maka ketua panitia pengadaan tanah

memimpin jalannya musyawarah. Musyawarah ini

dilakukan dalam jangka waktu 120 hari, bila lokasi

kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum

tidak dapat dipindahkan atau dialihkan secara teknis

tata ruang ke lokasi lain 120 hari dihitung sejak tanggal

undangan musyawarah untuk pertama kali. Panitia

pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti rugi

hak atas tanah yang dilakukan oleh lembaga atau

tim penilai tanah yang didasari oleh NJOP atau nilai

nyata yang sebenarnya. Sedangkan untuk besarnya

ganti rugi bengunan dinilai atau ditaksir oleh

Strategi Penyerderhanaan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Ika Dini Haryanti

51

perangkat daerah yang bertanggungjawab di bidang

bangunan, dan untuk menaksir tanaman dilakukan

oleh perangkat daerah yang bertanggungjawab di

bidang pertanian. Berdasarkan taksiran nilai jual

tanah, bangunan dan tanaman tersebut, panitia

pengadaan tanh menetapkan besarnya ganti rugi

yang akan disampaikan kepada pemegang hak atas

tanah atau kuasanya untuk dimusyawarahkan.

Apabila jangka waktu sebagaimana telah ditetapkan

selama 10 hari telah dilewati, dan kesepakatan

belum tercapai, maka panitia pengadaan tanah

menetapkan besarnya ganti rugi dalam bentuk

uang dan menitipkannya kepada Pengadilan Negeri

yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang

bersangkutan. Namun sebaliknya bila dalam proses

musyawarah telah dicapai kesepakatan antara

pemegang hak atas tanah dengan pemerintah

atau pemerintah daerah yang memrlukan tanah,

panitia pengadaan tanah mengeluarkan keputusan

mengenai penetapan bentuk dan besarnya ganti rugi

sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai yang

sifatnya hanya memperkuat hasil musyawarah.

Pemegang hak atas tanah yang telah sepakat

mengenai pelaksanaan pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum dan

mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, akan

mendapatkan ganti rugi sesuai dengan nilai

dan bentuknya yang telah disepakati bersama

berdasarkan surat keputusan panitia pengadaan

tanah. Adapun bentuk ganti rugi selain uang, tanah,

pemukiman kembali dan/ atau gangguan dua atau

lebih bentuk ganti rugi dan ganti rugi dapat ditentukan

juga sesuai dengan kesepakatan para pihak.

Keputusan panitia pengadaan tanah yang tidak

diterima oleh pemegang hak atas tanah dapat diajukan

keberatan kepada Bupati/ Walikota atau Gubernur

atau Menteri Dalam Negeri disertai penjelasan

mengenai sebab-sebab dan alasan keberatan. Bupati/

Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri

melakukan upaya penyelesaian mengenai bentuk

dan besarnya ganti rugi dengan mempertimbangkan

pendapat dan keinginan pemegang hak atas tanah

atau kuasanya. Setelah mendengar dan mempelajari

pendapat dan keinginan pemegang hak atas tanh

dan pertimbangan panitia pengadaan tanah, Bupati/

Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri

mengeluarkan keputusan yang dapat mengubah atau

mengukuhkan keputusan panitia pengadaan tanah.

Apabila uapaya ini belum juga membuahkan hasil,

maka pencabutan hak atas tanah dapat dilakukan.

Penolakan ganti rugiMengenai pihak yang dapat menerima imbalan/

ganti rugi, Keppres Nomor 55 Tahun 1993 jo PMNA/

Ka BPN Nomor 1 Tahun 1994 menentukan pada

garis besarnya hanya ada tiga subyek yang dapat

menerima ganti kerugian, yaitu :

1. Pemegang hak atas tanah/ ahli warisnya yang

sah.

2. Nadzir, bagi tanah wakaf.

3. Mereka yang ditetapkan dalam pasal 20 PMNA/

Ka BPN/ 1994, yaitu :

a. Mereka yang memakai tanah sebelum

tanggal 16 Desember 1960 dimaksud UU

Nomor 51 Prp Tahun 1960.

b. Mereka yang memakai tanah bekas hak

berat, dimaksud dalam pasal 4 dan 5

Keppres 32/ 1979.

c. Bekas pemegang HGB yang tidak

memenuhi syarat sebagaimana dimaksud

dalam pasal 17 angka 3 huruf b.

d. Bekas pemegang HP yang tidak memenuhi

syarat sebagaiman dimaksud Pasal 17

angka 4 huruf c.

Masyarakat yang terkena dampak pembangunan,

yaitu orang-orang, badan hukum, lembaga atau

unit usaha yang kerena pelaksanaan pembangunan

untuk kepentingan umum mengalami atau akan

mengalami dampak pada :

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 43-58Vol. 2 No. 1

52

1. Faktor fisik (materiil) berupa hak dan pemilikan

atas sebagian atau seluruh tanah dan/ atau

bangunan dan/ atau benda-benda yang ada di

atasnya, untuk sementara atau selamanya.

2. Faktor non fisik (immaterial) yaitu keuntungan,

kenikmatan, atau manfaat/ kepentingan yang

sebelumnya diperoleh oleh masyarakat berupa

antara lain penghasilan dan tingkat kehidupan,

tempat kerja, unit usaha, lahan usaha dan atau

sarana lingkungannya, fasilitas umum dan tem-

pat ibadah.

Keppres Nomor 55 Tahun 1993 dan peraturan

pelaksanannya belum sepenuhnya menjamin

keamanan bagi pemegang hak yang tanahnya

terkena proyek pembangunan. Untuk memperoleh

suatu proses penegakan hukum yang baik dan

berjalan lancar, senantiasa tergantung dari kaitan

sedikitnya 4 fakta :

1. Ketentuan-ketentuan yang ada.

2. Kepribadian dan mentalitas penegak hukum.

3. Fasilitas pendukung penegakan hukum.

4. Tingkat ketaatan masyarakat dengan segenap

fakta yang mempengaruhinya.

Beberapa saat sejak terbitnya peraturan ini, muncul

berbagai reaksi dari berbagai kalangan. Reaksi

tersebut diwujudkan dalam bentuk tulisan maupun

demonstrasi. Hal-hal yang dikemukakan oleh pihak

yang berkeberatan antara lain :

1. Keluarnya Perpres Nomor 36 Tahun 2005 mem-

perlihatkan kecenderungan hukum yang gagal.

Secara subtantif, Perpres ini meneruskan per-

masalahan yang sama yakni Keputusan Pres-

iden Nomor 55 Tahun 1993 tentang pengadaan

tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum, dimana dalam Keppres ini

pengadaan tanah untuk pembangunan men-

gahdirkan dua persoalan yakni metode pem-

bebasan tanah dan untuk apa pembebasan

dilakukan. Pada tingkat metode negosiasi

pembebasan tanah lebih merupakan tindakan

tunggal pemerintah karena apa pun bukti atau

alasan yang dipresentasikan oleh rakyat tidak

bisa mengalahkan proyek pembangunan yang

digagas oleh pemerintah. Sementara alasan un-

tuk kepentingan umum didefinisaikan sebagai

kepentingan seluruh rakyat, tetapi pada giliran

praksis selalu sulit menjelaskan kehadiran raky-

at dalam pembangunan yang justru mengaki-

batkan banyak orang kehilangan tanah.

2. Kedua persoalan lama itu dijabarkan hampir

sama dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005.

Pertama, metode pengadaan tanah. Perpres

ini tidak menyebut musyawarah sebagai salah

satu cara pengadaan tanah (Pasal 1angka 3).

Musyawarah baru disebutkan dalam definisi

pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

Dalam hal ini, metode ini masih menyimpan

dua permasalahan pokok, yakni pengadaan ta-

nah merupakan monopoli pemerintah di mana

musyawarah dengan pemegang hak atas tanah

diabaikan. Berikutnya, musyawarah hanya di-

perlukan dalam pembahasan ganti rugi. Keten-

tuan ini kembali menegaskan bahwa rakyat tidak

berhak terlibat dalam diskusi perencanaan teta-

pi diminta dukungannya untuk mengesahkan

hasil (ganti rugi) akibat pembangunan. Kedua,

pembuat Perpres ini kelihatannya paham benar

bahwa dalam proses pelepasan atau penyerah-

an hak atas tanah hampir pasti terjadi deadlock.

Karena itu, perlu dikondisikan sedemikian rupa

agar negosiasi diarahkan pada persetujuan

pelepasan tanah (pasal 8 menyatakan bahwa

musyawarah dilakukan di tempat yang diten-

tukan dalam surat undangan). Ketiga, Perpres

ini melanggengkan konflik di tingkat praksis, di

mana aparat koersif negara selalu bertindak se-

bagai penjaga proses pembebasan tanah.

3. Dalam perpres Nomor 36 Tahun 2005 kekuasan

Presiden sangat besar, yakni presiden berhak

mencabut hak atas tanah yang dimiliki ses-

eorang atau kelompok, jika tak diperoleh kes-

epakatan antara pemegang hak atas tanah dan

Strategi Penyerderhanaan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Ika Dini Haryanti

53

pengembang.

Hanya saja dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dan melakukan pembangunan yang

diperuntukkan bagi kepeningan masyarakat umum

sering dihadapi adanya kendala dalam pengadaan

tanah untuk kepentingan tersebut. Dengan adanya

Perpres ini pemerintah ingin mendapatkan cara

terbaik bagi pengadaan tanah tersebut tanpa

merugikan siapapun. Pemerintah melalui pemerintah

daerah akan berhubungan langsung dengan para

pemilik tanah, untuk menentukan nilai ganti rugi

yang pantas dan tidak membuat pemilik tanah

hidup sengsara. Pemerintah tidak menginginkan

masyarakat yang diminta untuk menyerahkan

tanahnya bagi kepentingan pembangunan ini

kemudian hidupnya menjadi lebih sengsara. Mereka

justru harus memperoleh ganti kerugian yang

memungkinkan untuk hidup lebih baik.

Pasal 10 ayat 2 Perpres No. 65 Tahun 2006

menentukan bahwa apabila musyawarah yang

dilaksanakan telah melewati jangka waktu 120 hari

dan kesepakatan belum juga tercapai, maka panitia

pengadaan tanah menetapakan besarnya ganti

rugi dalam bentuk uang dan menitipkannya kepada

Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi

lokasi tanah yang bersangkutan.

Bupati/ Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam

Negeri setelah mempertim bangkan pendapat

dan keinginan dari pemegang hak atas tanah atau

kuasanya dan pertimbangan panitia pengadaan

tanah, mengeluarkan keputusan yang dapat

mengukuhkan atau merubah keputusan panitia

pengadaan tanah yang mengenai bentuk dan/ atau

besarnya ganti rugi yang akan diberikan . Apabila

upaya penyelesaian yang telah dilakukan oleh

Bupati/ Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam

Negeri tidak diterima juga oleh pemegang hak atas

tanah, dan dengan mengingat lokasi pembangunan

yang tidak dapat dipindahkan, Bupati/ Walikota atau

Gubernur atau Menteri Dalam Negeri mengajukan

usul penyelesaian dengan cara pencabutan hak atas

tanah yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang

No. 20 Tahun 1961.

Menurut pasal 2 PP no. 39 Tahun 1973, permintaan

banding tersebut diajukan kepada Pengadilan Tinggi

yang daerah kekuasannya meliputi tanah dan atau

benda-benda yang haknya dicabut, selambat-

lambatnya dalam waktu 1 bulan terhitung sejak

tanggal keputusan presiden dimaksud dalam pasal

5 dan 6 UU no. 20 Tahun 1961 tersebut disampaikan

kepada yang bersangkutan. Permintaan banding

tersebut harus disampaikan secara tertulis atau

dengan lisan kepada panitera Pengadilan Tinggi,

dengan membayar biaya yang ditetapkan Ketua

Pengadilan Tinggi.

Permohonan banding tersebut selambatnya 1 bulan

setelah diterimanya permohonan, perkara tersebut

harus sudah diperiksa oleh Pengadilan Tinggi,

Pemeriksaan dan putusan dijatuhkan dalam waktu

yang sesingkat-singkatnya. Dalam pemeriksaan

permohonan banding, Pengadilan Tinggi dapat

mendengar secara langsung semua pihak yang

bersangkutan dengan pencabutan hak atas tanah.

Pendengaran pihak-pihak tersebut dapat dilimpahkan

oleh pengadilan Tinggi kepada Pengadilan Negeri.

Putusan Pengadilan Tinggi selambatnya 1 bulan

setelah tanggal putusan perkara diberitahukan kepda

pihak-pihak yang bersangkutan.

Sejak tanggal 23 Oktober 1993, yaitu dengan

diterbitkannya Peraturan Menteri Negara Agraria/

Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1993 yang kemudian

dilengkapi dengan keputusan Menteri Negara

Agraria/ Kepala BPN Nomor 21 Tahun 1994, tata cara

perolehan tanah mengalami deregulasi. Menurut

ketentuan tersebut ada 2 cara perolehan tanah yang

dapat dilakukan terhadap sebidang tanah hak yang

tersedia, yaitu :

1. Pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah

dengan pemberian ganti kerugian kepada yang

berhak. Pada hakekatnya tata cara melepaskan

hak ini sama dengan pembebasan hak. Dimak-

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 43-58Vol. 2 No. 1

54

sud dengan penyerahan atau pelepasan hak ini

adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum

antara pemegang hak atas tanah dngan tanah

yang dikuasainya dengan pemberian imbalan

yang layak atas dasar musyawarah.

2. Pemindahan hak (yang didahului dengan pe-

rubahan hak)

Pemindahan hak biasanya dilakukan apabila status

tanah yang tersedia sesuai dengan status hukum

calon pemegang haknya. Berdasarkan ketentuan

yang baru ini, apabila status tanah yang tersedia

tidak sesuai dengan status hukum calon penerima

hak (misalnya status tanahnya hak milik dan status

hukum calon subyek pemegang haknya Perseroan

terbatas), para pihak diberikan pilihan apakah akan

melakukan pelepasan hak (yang sama dengan

pembebasan hak), atau akan melakukan pemindahan

hak.

Jika calon pemindahan hak yang dipilih maka terlrbih

dahulu harus dilakukan perubahan hak terhadap

tanah yang tersedia (misalnya tanah yang tersedia

berstatus hak milik, diubah terlebih dahulu menjadi

Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, sesuai dengan

keperluannya). Tata cara pemindahan hal yang

didahului dengan permohonan perubahan hak ini

dilakukan agar tidak menyalahi/ melanggar ketentuan

Pasal 26 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria.

Adapun yang dimaksud dengan perubahan hak

adalah penetapan pemerintah mengenai penegasan

bahwa sebidang tanah yang semula dipunyai dengan

sesuatu hak, atas permohonan pemegang haknya

menjadi tanah negara dan sekaligus memberikan

tanah tersebut kepadanya dengan hak yang lain

jenisnya daripada hak semula. Dari sini dapat

disimpulkan bahwa perubahan hak hak itu terjadi atas

dasar adanya permohonan dari pemilik tanah. Tata

cara pemindahan hak yang didahului oleh perubahan

hak ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan

bagi suatu pengembang atau penyelenggara

pembangunan suatu proyek yang memerlukan tanah

yang luas, sementara tanah yang tersedia berstatus

Hak milik.

Dengan dilakukannya tata cara ini, penyelenggara

pembangunan akan memperoleh keuntungan

baik dari segi penghematan biaya maupun waktu

yang diperlukan, dengan tetap memperhatikan

aturan-aturan hukum. Sebagaimana ketentuan

dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 21 Tahun

1994 menyebutkan langkah-langkah pemindahan

hak yang didahului dengan perubahan hak yang

dapat dilakukan oleh suatu pengembang atau

penyelenggara proyek diantaranya :

1. Penguasaan tanah oleh pengembang didahului

dengan pembayaran harga tanah yang telah

disepakati kepada pemilik tanah. Perbuatan

hukum ini dinyatakan dalam “Surat Pengikatan

Akan Jual Beli dan Pemberian Kuasa”.

2. Adapun isi dari Pengikatan akan jual beli dan

pemberian kuasa adalah :

a. Pemilik tanah menyerahkan tanahnya

kepada pihak pengembang/ penyelenggara

pembangunan.

b. Pemilik tanah bersedia mengajukan

permohonan kepada negara agar haknya

diubah menjadi Hak Guna Bangunan atau

Hak Pakai, kemudian menjual tanah Hak

Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut

kepada pihak pengembang/ penyelenggara

pembangunan.

c. Jual beli Hak Guna Bangunan atau Hak

Pakai tersebut terjadi dengan harga yang

telah disepakati bersama.

d. Pemilik tanah memberikan kuasa kepada

pihak pengembang/ penyelenggara

pembangunan untuk dan atas nama pemilik

tanah mengajukan dan menandatangani

surat permohonan perubahan hak milik

menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak

pakai.

e. Apabila proses perubahan hak selesai

Strategi Penyerderhanaan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Ika Dini Haryanti

55

dan tanah telah terdaftar atas nama

pemilik tanah, pemilik tanah memberikan

kuasa kepada pihak pengembang/

penyelenggara pembangunan untuk dan

atas nama pemilik tanah menandatangani

Akta jual beli di hadapan Pejabat Pembuat

Akta Tanah.

f. Pemilik tanah juga memberikan kuasa

kepada pihak pengembang/ penyelenggara

pembangunan untuk dan atas namanya

melakukan perbuatan-perbuatan hukum

lainnya yang dipandang perlu, yang

kesemuanya dalam rangka pemindahan

hak yang disertai dengan perubahan hak

tersebut.

3. Apabila permohonan perubahan hak disetujui,

maka Kepala Kantor Pertanahan akan melaku-

kan pencatatan pada Buku Tanah Hak Milik dan

sertipikat hak milik.

4. Setelah proses perubahan hak di Kantor Perta-

nahan selesai barulah dilakukan pemeindahan

hak (jual beli) di hadapan pejabat pembuat akta

tanah.

Setelah itu dilakukanlah pendaftaran jual beli tanah

hak tersebut di Kantor Pertanahan setempat.

Dengan demikian nama pemilik tanah dicoret dan

diganti dengan nama pemilik yang baru dalam hal ini

pengembang atau penyelenggara pembangunan.

Apabila tanah yang diperoleh dimaksudkan untuk

memenuhi keperluan pribadi (membangun rumah

tinggal), tidak diperlukan persyaratan tertentu

sebelum tata catra perolehan tanah dilalui. Lain

halnya dengan apabila tanah yang diperoleh

untuk kegiatan usaha (biasanya bentuk usahanya

Perseroan terbatas, yang sahamnya dimiliki swasta,

baik perusahaan dalam rangka penanaman modal

asing maupun penanaman modal dalam negeri) maka

sebelum melakukan kegiatan perolehan tanah itu,

diperlukan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi.

Persyaratan tertentu itu adalah pemilikan izin prinsip

dan izin lokasi. Tanpa izin-izin tersebut, perusahaan

yang bersangkutan dilarang melakukan kegiatan

memperoleh tanah bagi keperluan usahanya.

Pemerintah harus memberikan perlindungan

hukum kepada pemegang hak atas tanah terhadap

kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan dalam

rangka memperoleh tanah yang diperlukan, agar

tidak terjadi tindakan yang bertentengan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku,

misalnya adanya unsur paksaan ataupun penipuan.

Jika terbukti adanya hal tersebut, maka kesepakatan

yang dicapai oleh pemegang hak dan perusahaan

tersebut dibatalkan.

Pemerintah daerah hendaknya mengawasi agar

perusahaan yang melakukan kegiatan perolehan

tanah melaksanakannya secara musyawarah dan

tanpa ada paksaan maupun penipuan. Dan proses

pelepasan hak atas tanah tersebut hendaknya

berpatokan pada harga setempat, nilai jual obyek

pajak, serta memperhatikan kepantasan dan

keadilan dalam masyarakat karena masyarakat

yang yang terkena dampak dari proses pelepasan

hak atas tanahnya bagi proyek pembangunan untuk

kepentingan umum sulit mencari tanah pemukiman

baru karena melambungnya harga tanah sekarang.

KESIMPULANTerhadap perlindungan hukum kepada masyarakat

hak-hak atas tanh sertipikat memberikan bera gai

manfaat, dapat mengurangi kemungkinan timbulnya

sengketa dengan pihak lain, memperkuat posisi

tawar menawar apabila hak atas tanah diperlukan

pihak lain untuk kegiatan pembangunan serta

mempersingkat proses peralihan serta pembebanan

hak atas tanah, dibandingkan dengan alat bukti tulis

lain.

Hak menguasai negara atas tanah adalah hubungan

hukum yang kongkrit anatara ngara dengn tanah di

seluruh wilayah Republik Indonesia yang meliputi

baik tanah-tanah yang belum maupun yang sudah

memperoleh status hak dengan hak-hak perorangan.

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 43-58Vol. 2 No. 1

56

Dalam prosedur pendaftaran tanh menurut sistem

hukum tanah nasional stelsel pendaftaran tanh yang

dgunakan dalam Peratutan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 adalah sama seperti yang digunakan

dalam pendaftaran tanah menurut Peraturan

Pemeintah Nomor 10 tahun 1961, yaitu stelsel

negatif yang mengandung unsur positif karena

kan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak

yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat

sebagaimana dinyatakan dalam UUPA.

Dalam prose elepasan hak atas tanah bagi

pembangunan, dimaksudkan pembebasan hak

adalah setiap perbuatan untuk melepaskan

hubungan hukum antara pemegang hak dan tanah

haknya dengan disertai pemberian imbalan yang

disepakati bersama atas dasar musyawarah secara

langsung antara pihak yang memerlukan dengan

pemilik tanah mengenai besarnya imbalan atas

bidang tanah berikut bangunan ataupun benda-

benda yang melengkapi bangunan dimaksud. Pada

kenyataannya dalam proses pelepasan hak atas

tanh masih bertele-tele.

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tergolong

sebagai keputusan yang mengatur umum (besluiten

van algemene strekking), karena memenuhi unsur

umum, konkret, dan berlaku terus menerus. Ditinjau

dari segi fungsinya maka Perpres ini berfungsi

menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam

rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

Sedangkan ditinjau dari materi muatannya,

Perpres ini tergolong sebagai peraturan yang

materi muatannya bersifat antribusian. Dari hal ini

kiranya dapat dikatakan bahwa Perpres Nomor 36

Tahun 2005 merupakan peraturan yang berisikan

pedoman melaksanakan pengadaan tanah untuk

kepentingan umum. Perpres ini tidak mempunyai

daya ikat keluar, tetapi justru kedalam, sehingga

yang wajib menaatinya adalah pelaksana pengadaan

tanah, yang disebut sebagai Panitia Pengadaan

Tanah, sedangkam masyarakat yang tanahnya

akan dilepaskan guna pembangunan proyek untuk

kepentingan umum tidak terikat pada ketentuan

tersebut.

SARAN1. Diperlukan komunikasi dan konsultasi diantara

masyarakat dengan pihak (instansi) yang memr-

lukan tanah secara intensif dan berkesinambun-

gan untuk saling memberikan masukan yang

dipelukan, sehingga masyarakat mengetahui in-

formasi berkenaan dengan perencanaan pelak-

sanaan dan pemantauan pengadaan tanah.

Dengan demikian peran serta masyarakat ini

dilakukan mulai tahap inventarisasi, penyuluhan

dan konsultasi, pelaksanaan pemberian imba-

lan.

2. Hendaknya diperlukan peran serta semua pi-

hak (masyarakat dan pihak yang memerlukan

tanah) secara aktif dalam proses pengadaan

tanah akan menimbulkan rasa ikut memiliki dan

dapat memperkeil kemungkinan timbulnya pe-

nolakan terhadap kegiatan pengadaan tanah

untuk pembangunan.

3. Hendaknya musyawarah harus sungguh-sung-

guh dijadikan saran untuk mempertemukan

perbedaan kepentingan dan keinginan dari pi-

hak yang memerlukan tanah dan pihak yang

tanhnya diperlukan untuk kepentingan umum.

4. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 ini

perlu dikaji ulang. Meskipun ketentuan ini tidak

mengikat rakyat, dan hanya sebagai instruksi

atau pedoman bagi pelaksanaan pengadaan

tanah, namun karena pelaksanaannya sendiri

akan bersentuhan dengan masyarakat, keten-

tuan tersebut mengandung suatu keseimban-

gan antara hak-hak penguasaan atas tanah

yang berada di tangan rakyat dengan keperluan

pemerintah dalam mengadakan pembangunan

untuk kepentingan umum. Serta hendaknya

panitia dalam pengadaan tanah susunan ke-

anggotaannya adalah orang-orang yang inde-

penden yang melibatkan lembaga swadaya ma-

Strategi Penyerderhanaan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Ika Dini Haryanti

57

syarakat (LSM), Dewan Perwakilan Desa dan

panitia yang sudah ada agar penyerderhanaan

sistem pengadaan tanah untuk pembangunan

demi kepentingan umum dapat dilaksanakan.

UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terima kasih disampaikan kepada Pusat

Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia yang telah memberikan

peluang untuk ikut serta berpartisipasi menulis karya

ilmiah untuk Jurnal IPTEK Pertanahan 2012. Penulis

juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh

pihak yang terlibat dalam penerbitan jurnal ini.

DAFTAR ACUANPeraturan Menteri Agraria Nomor 21 Tahun 1994

tentang pemindahan hak atas tanah

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN

Nomor 2 Tahun 1993 juncto Keputusan

Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN

Nomor 21 Tahun 1994 tentang tata cara

perolehan tanah.

Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang

Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor

65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas

Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

untuk Kepentingan Umum

Peraturan Pemeintah Nomor 10 tahun 1961 juncto

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang

Pencabutan Hak Atas Tanah

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

untuk Kepentingan Umum

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 43-58Vol. 2 No. 1

58

Analisis Yuridis, Ekonomi dan Politik Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Melia Yusri

59

PENDAHULUAN

latar belakangDalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil,

makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pemerintah

perlu menyeleggarakan pembangunan. Salah

satu kerangka pembangunanan nasional yang

diselenggarakan Pemerintah adalah pembangunan

untuk kepentingan umum yaitu berupa pembangunan

infrastruktur berbagai fasilitas kepentingan

umum. Pembangunan infrastuktur merupakan hal

yang sangat penting dan sangat strategis dalam

perkembangan suatu wilayah guna menggerakkan

perekonomian masyarakat dan mewujudkan

kesejahteraan rakyat. Seiring dengan pesatnya

pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah,

kebutuhan akan tanah di Indonesia terus mengalami

peningkatan. Kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi

dengan mudah oleh pemerintah. Hal ini disebabkan

karena terbatasnya jumlah tanah negara yang

ANALISIS YURIDIS, EKONOMI DAN POLITIK DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN

PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

JurIdIcTIoN aNalysIsT, EcoNoMy aNd PolITIc IN IMPlEMENTaTIoN laNd’s ProcurEMENT

PolIcy for PublIc INTErEsT dEVEloPMENT

Melia YusriPusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jalan H. Agus Salim Nomor 58, Jakarta, [email protected]

ABSTRAKKegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan yang dianalisa dari segi yuridis yang pada saat itu belum didasari oleh

Undang-Undang. Tinjauan aspek ekonomi hampir selalu muncul rasa tidak puas terhadap ganti kerugian, disamping tidak

berdaya di kalangan masyarakat yang hak atas tanahnya terkena proyek pembangunan tersebut. Dari aspek politik kebijakan

pengambilalihan hak atas tanah dalam pembangunan untuk kepentingan umum, sering mengalami perubahan sejalan

dengan rezim pemerintah yang sedang berkuasa. Diharapkan tulisan ini dapat menyumbangkan pemikiran bagi penyusunan

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dari aspek pembangunan yang berkelanjutan (sustainable).

Kata kunci : pengadaan tanah, analisis yuridis, ekonomi, politik

absTracTIt analyze land’s procurement activity from jurisdiction point of view, which been done before the publicity of National’s Law.

In economy’s aspect, there’s always dissatisfaction in compensation been given and a feeling of powerless from land owner

whom their rights been taken by the development’s project. In political aspect, the policy of land’s ownership takeover in

land’s procurement for public interest development has change parallel with the change of government’s regime. This article

hopefully could be a good consideration in process making of Head National Land Agency’s Regulation, from sustainable

development aspect.

Keywords : land’s procurement, jurisdiction analyst, economy, politic

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 59-72Vol. 2 No. 1

60

tersedia. Agar pembangunan dapat terus berjalan,

khususnya pembangunan berbagai fasilitas

kepentingan umum yang memerlukan tanah, maka

upaya pemerintah untuk memperoleh tanah-tanah

tersebut adalah dengan cara melakukan pengadaan

tanah yang menurut Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2012 pelaksanaannya harus mengedepankan

prinsip yang terkandung di dalam Undang-Undang

Dasar Tahun 1945 dan hukum tanah nasional antara

lain prinsip kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan,

kepastiaan, keterbukaan, kesepakatan,

keikutsertaan, kesejahterahan, keberlanjutan dan

keselarasan.

Pengadaan tanah yang diatur dalam Peraturan

Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum, dan saat ini telah direvisi ke

dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.

Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat 3

dan 6, pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk

mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti

rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan

tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang

berkaitan dengan tanah, sedangkan dalam Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,

pengadaaan tanah adalah kegiatan menyediakan

tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang

layak dan adil kepada pihak-pihak yang berhak yaitu

pihak yang menguasai atau pemilik objek pengadaan

tanah.

Dalam setiap kegiatan pengadaan tanah untuk

pembangunan hampir selalu muncul rasa tidak puas

terhadap ganti kerugian, disamping tidak berdaya

di kalangan masyarakat yang hak atas tanahnya

terkena proyek tersebut. Tampaknya yang sering

dilupakan bahwa interpretasi asas fungsi sosial hak

atas tanah, disamping mengandung makna bahwa

hak atas tanah harus digunakan sesuai sifat dan

tujuan haknya, sehingga bermanfaat bagi si

pemegang hak dan masyarakat, juga berarti bahwa

harus terdapat keseimbangan antara kepentingan

perseorangan dengan kepentingan umum, dan

bahwa kepentingan perseorangan itu harus dihormati

dalam rangka kepentingan masyarakat secara

keseluruhan. Dalam kaitannya dengan masalah ganti

kerugian, tampak bahwa menemukan keseimbangan

antara kepentingan perseorangan dan kepentingan

masyarakat tidaklah mudah.

UUPA sebagai produk hukum pertanahan yang

pertama, walaupun falsafah dan orientasinya bersifat

populis, tetapi sebagian prinsip dasarnya belum

dioperasikan secara efektif. Salah satu contoh

belum optimalnya implementasi prinsip dasar UUPA

adalah perlindungan terhadap hak seseorang yang

tanahnya diambil oleh pihak lain, yakni instansi

pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan

umum. Korban penggusuran ini pada umumnya

belum dapat merasakan makna keadilan sesuai

dengan pengorbanannya, karena peraturan yang

ada belum dapat memberikan jaminan terhadap

kesetaraan kualitas hidup mereka sebelum dan

sesudah terjadinya pengambilalihan tersebut.

Oleh karena itu penulis mencoba melihat pelaksanaan

implementasi pengadaan tanah untuk kepentingan

umum yang ditinjau dari aspek yuridis ekonomi dan

politik.

rumusan Masalah Kajian1. Bagaimana pelaksanaan pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum di In-

donesia?

2. Bagaimana implementasi pengadaan tanah

ditinjau dari aspek yuridis, ekonomi dan politik?

3. Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah agar

proses pelaksanaan pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum dapat

terlaksana dengan baik dan berjalan optimal?

Analisis Yuridis, Ekonomi dan Politik Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Melia Yusri

61

Tujuan Kajian1. Mengetahui pelaksanaan pengadaan tanah

bagi pembangunan untuk kepentingan umum di

Indonesia.

2. Menganalisis implementasi pengadaan tanah

dari tinjauan aspek yuridis, ekonomi dan politik.

3. Mengetahui dan menganalisa pelaksanaan

pengadaan tanah bagi pembangunan untuk ke-

pentingan umum di Indonesia serta upaya-upa-

ya yang dilakukan pemerintah agar proses

pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangu-

nan untuk kepentingan umum dapat terlaksana

dengan baik dan berjalan optimal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan umum di IndonesiaPengadaan tanah di Indonesia telah dilaksanakan

dalam kurun waktu yang lama. Terkait hal ini

sudah banyak peraturan yang sudah diterbitkan

oleh pemerintah berkaitan dengan pelaksanaan

pengadaan tanah. Untuk menjamin terselenggaranya

kegiatan pembangunan, khususnya pembangunan

sebagai fasilitas kepentingan umum yang

memerlukan bidang tanah, maka upaya hukum

yang dilakukan pemerintah untuk memperoleh atau

menguasai tanah yang diperlukan dilakukan melalui

5 (lima) cara, yaitu:

1. permohonan hak khusus untu tanah negara;

2. perjanjian dengan pemegang hak atas tanah,

misalnya sewa menyewa;

3. pemindahan hak yang dapat berupa jual beli,

tukar menukar maupun hibah;

4. pelepasan hak atas tanah;

5. pencabutan hak.

Pelaksanaan perolehan tanah tersebut telah diberi

pedoman pada Garis-Garis besar Haluan Negara

(GBHN) dimasa lalu yang memuat hal-hal sebagai

berikut :

1. pengadaan tanah harus memenuhi syarat-

syarat tata ruang dan tata guna tanah;

2. pengadaan tanah tidak mengakibatkan keru-

sakan atau pencemaran terhadap kelestarian

alam dan lingkungan;

3. pembangunan tanah tidak merugikan kepent-

ingan masyarakat dan kepentingan pembangu-

nan;

4. penggunaan tanah oleh negara tidak menim-

bulkan sengketa tanah.

Secara teoritis, pengadaan tanah (land acquisition)

terdiri atas pengadaan tanah secara sukarela

(voluntary acquisition of land) dan pengadaan tanah

secara wajib (compulsory acquisition of land).1 Di

Indonesia sekarang ini, Pengadaan Tanah Secara

Sukarela (selanjutnya disingkat PTSS) meliputi,

antara lain: pemindahan hak dan pelepasan atau

penyerahan hak (sebelumnya diistilahkan dengan

‘pembebasan tanah’); sedangkan yang termasuk

Pengadaan Tanah Secara Wajib (selanjutnya

disingkat PTSW) adalah pencabutan hak atas tanah.

Sejarah hukum di Indonesia menunjukkan bahwa

dinamika hukum pengadaan tanah secara wajib

(pencabutan hak atas tanah) tidak berlangsung

intensif. Perkembangan hukum pengadaan tanah

yang pesat terjadi pada dimensi hukum pengadaan

tanah secara sukarela melalui cara pelepasan hak.

Pelepasan hak atas tanah tersebut dilakukan atas

dasar musyawarah. Musyawarah dimaksud untuk

mencapai kesepakatan mengenai pelaksanaan

pengadaan tanah tersebut, termasuk tentang bentuk

dan besarnya ganti kerugian. Pemerintah tidak

diperkenankan melakukan unsur paksaan dalam

bentuk apapun baik dalam penyerahan tanah oleh

masyarakat maupun dalam ganti kerugiannya.

1 Oloan Sitorus dan Yahman. Paper Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk Pem-bangunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI. Jakarta. 2011.

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 59-72Vol. 2 No. 1

62

Proses Pelaksanaan Kegiatan Pengadaan Tanah di Indonesia1. Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah (P2T).

Berdasarkan Pasal 14 s/d 18 Peraturan Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007,

Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah dengan

keputusan Bupati/Walikota jumlah anggota maksimal

9 (Sembilan) orang dengan ketentuan :

a. Sekretaris merangkap anggota P2T adalah

Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/

Kota atau pejabat Kantor Pertanahan

yang ditunjuk;

b. Pembentukan Sekretaris P2T dibentuk

dengan Keputusan Ketua P2T dengan

jumlah anggota maksimal 4 orang yang

terdiri dari 1 orang unsur Pemerintah

Kabupaten/Kota dan 3 orang dari unsur

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;

c. Pembentukan satuan tugas (satgas) yang

dibentuk dengan Keputusan Ketentuan

Ketua P2T dengan jumlah disesuaikan

kebutuhan.

Secara operasional pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum

dilaksanakan oleh P2T Kabupaten/ Kota setempat.

Sedangkan tugas P2T Provinsi memberikan arahan,

petunjuk, mengkoordinasikan, memaduserasikan

pelaksanaan pengadaan tanah serta melakukan

pengawasan dan pengendalian.

2. Penyuluhan

Setelah permohonan pengadaan tanah diterima

oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah,

P2T bersama sama dengan instansi pemerintah

yang memerlukan tanah mengadakan penyuluhan

secara langsung kepada masyarakat pemilik tanah,

bangunan, dan/atau tanaman dan benda-benda

lain yang ada diatasnya yaitu menjelaskan manfaat,

maksud dan tujuan pembangunan serta dalam

memperoleh kesediaan dari pemilik.

3. Identifikasi dan Inventarisasi

P2T membuat daftar identifikasi dan inventarisasi

tanah, bangunan, dan/atau tanaman dan benda-

benda lain berdasarkan identifikasi dan inventarisasi

satgas meliputi : penunjukan batas, pengukuran

rincian bidang tanah dan/ atau bangunan, pemetaan

bidang tanah dan/atau bangunan, pendataan

penggunaan dan pemanfaatan tanah, pendataan

penguasaan dan pemilikan tanah dan/atau

bangunan dan/atau tanaman, pendataan bukti-bukti

penguasaan dan pemilikan tanah dan/ atau bangunan

dan/atau tanaman, dan lain-lain yang dianggap perlu.

4. Pengumuman

Hasil identifikasi dan inventarisasi tersebut

diumumkan di kantor desa/ kelurahan atau di Kantor

Pertanahan Kabupaten/ Kota untuk memberikan

kesempatan bagi pihak berkepentingan untuk

mengajukan keberatan

5. Pengesahan Hasil Pengumuman

Setelah jangka waktu pengumuman berakhir dan

tidak terdapat keberatan, maka dibuatkan Berita

Acara Pengesahan Hasil Pengumuman yang

ditandatangani oleh seluruh anggota P2T yang

diketahui oleh Kepala Kantor Pertanahan kabupaten/

Kota, Kepala Desa/Lurah dan Camat dan/atau

pejabat yang terkait.

6. Penunjukan Lembaga Penilaian Tanah

Penentuan Lambaga Penilai Harga Tanah (Apraisal)

yang sudah mendapat lisensi dari Kepala BPN

dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah

berpedoman pada Keputusan Presiden Nomor 80

Tahun 2003.

7. Penilaian

Tim Penilai harga Tanah melakukan penilaian

harga tanah berdasarkan NJOP atau nilai nyata/

sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun

berjalan dan dapat berpedoman pada variabel-

variabel yaitu berupa : lokasi dan letak tanah, status

tanah, kesesuaian penggunaan tanah dan tata ruang,

Analisis Yuridis, Ekonomi dan Politik Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Melia Yusri

63

dan faktor lain yang mempengaruhi nilai tanah.

8. Musyawarah untuk menentukan bentuk dan

ganti rugi

9. Keputusan Panitia Pengadaan Tanah (P2T)

Berdasarkan hasil pelaksanaan musyawarah, P2T

menerbitkan keputusan mengenai bentuk dan/atau

besarnya ganti rugi dan dafar nominatif pembayaran.

10. Pembayaran Ganti Rugi dan Pelepasan Hak

11. Pelaksanaan Pembangunan Fisik.

12. Pemberkasan Dokumen Pengadaan Tanah

13. Evaluasi dan Supervisi

analisis yuridis Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan umumPenggunaan tanah untuk pembangunan sejalan

dengan ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-

Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa

bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Sudargo Gautama (1997:57) dalam Supriandi (2009)

memberikan komentar atas pasal tersebut bahwa

“bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara bukan dimaksudkan

sebagai pemilik, melainkan terkandung suatu

dinamika bahwa negara hanya mengatur dalam

penguasaan dan pengunaaan tanahnya untuk

rakyat banyak agar dapat terwujud kemakmuran dan

keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”

Selanjutnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

Pasal 2, atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat

(3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, adanya hak

menguasai oleh negara terhadap bumi, air, ruang

angkasa dan kekayaan alam yang terkandung

di dalamnya. Hak menguasai negara tersebut

memberi wewenang untuk :

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,

penggunaan, persediaan dan pemeliharaan

bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubun-

gan hukum antara orang-orang dengan bumi,

air dan ruang angkasa;

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubun-

gan hukum antara orang-orang dan perbuatan-

perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang

angkasa.

Pada pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960, pemerintah dalam rangka sosialisme

Indonesia membuat suatu rencana umum mengenai

persediaan, peruntukan, dan penggunaaan bumi,

air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang

terkandung didalamnya untuk :

1. keperluan negara;

2. keperluan peribadatan dan keperluan suci lain-

nya sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa;

3. keperluan pusat-pusat penghidupan masyara-

kat sosial, kebudayaan dan lain-lain kese-

jahterahan;

4. keperluan mengembangkan produksi pertanian,

peternakan dan perikanan serta sejalan dengan

itu;

5. keperluan mengembangkan industri, transmi-

grasi dan pertambangan.

Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

kepentingan umum secara formal telah ditetapkan

dengan peraturan perundang-undangan yang

mengatur pelaksanaannya, yaitu dimulai dengan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun

1975 tentang Pembebasan Tanah. Selanjutnya

peraturan tersebut disempurnakan dengan

Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993.

Dalam upaya mengakomodir berbagai tuntutan

masyarakat dan para pemangku kepentingan serta

atas pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridis

bahwa Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993

dipandang tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum

dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 59-72Vol. 2 No. 1

64

kepentingan umum, maka peraturan tersebut diganti

dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005

tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan

untuk Kepentingan Umum. Begitu pula halnya

dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005,

menuai kontroversi yang bersumber pada definisi

kepentingan umum yang terlalu luas dan jaminan

bagi kompensasi masyarakat yang tanahnya diambil

alih untuk kegiatan pembangunan demi kepentingan

umum. Untuk mengatasi perdebatan mengenai

substansi Peraturan Presiden tersebut dan untuk

lebih meningkatkan prinsip penghormatan terhadap

hak-hak atas tanah yang sah maka pemerintah

mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun

2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden

Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah

bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.2

Definisi kepentingan umum relatif lebih tegas dan

berkepastian hukum pada Peraturan Presiden

Nomor 65 Tahun 2006. Peraturan Presiden tersebut

mempersempit lingkup kepentingan umum, yaitu (1)

jalan umum, jalan tol, rek kerete api (di atas tanah,

di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah),

saluran air minum/air bersih, saluran pembangunan

air dan sanitasi; (2) waduk bendungan, bendungan

irigasi dan bangunan perairan lainnya; (3)

pelabuhan, bandar udara stasiun kereta api dan

terminal; (4) fasilitas keselamatan umum seperti

tanggul dan pengagulangan bahaya banjir, lahar

dan lain-lain; (5) tempat pembuangan sampah; (6)

cagar alam dan cagar budaya; serta (7) pembangkit,

transmisi, distribusi tenaga listrik. Penyempitan

definisi kepentingan umum tersebut ditujukan untuk

menghindari terjadinya polemik dalam pengadaan

tanah untuk pembangunan yang dilaksanakan

pemerintah. Untuk mengatur ketentuan teknis

pelaksanaan Peraturan Presiden tersebut, ditetapkan

peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007.

Kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan bagi

kepentingan umum sering mengalami permasalahan 2 Supriandi K. Tine. Analisis Hukum tentang Pelaksanaan Pen-

gadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembanguanan Untuk Kepent-ingan Umum di Kabupaten Gorontalo. Makassar 2009.hal 14

hukum, seperti halnya permasalahan dalam

pemberian ganti rugi atas tanah-tanah masyarakat

yang dibebaskan untuk pembangunan. Dalam

prakteknya mekanisme ganti rugi sering mengalami

kemandegan karena tidak tercapainya kesepakatan

diantara para pihak mengenai nilai tanah yang

akan diganti. Selain itu, penyimpangan prosedur

dan penyalahgunaan anggaran ganti rugi harga

tanah (mark up) yang sengaja dilakukan oleh aparat

birokrasi (penanggungjawab kegiatan dan panitia

pengadaan tanah) sehingga merugikan negara dan

masyarakat yang berakibat macetnya pembangunan

untuk kepentingan umum.

analisis Ekonomi Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan umumLambatnya proses penyelesaian pengadaan tanah

dapat menyebabkan kerugian baik bagi masyarakat

maupun bagi pemerintah. Dengan berlarut-larutnya

penyelesaian pengadaan tanah menunjukkan bahwa

pemerintah belum dapat menjalankan fungsinya

dengan baik karena masih ditemukan ketidakpuasan

dari masyarakat. Hal ini salah satunya disebabkan

aturan yang ada belum bisa diterapkan secara

optimal. Meskipun ganti rugi sudah dikonsinyasikan,

pelaksanaan pembangunan fisik belum dapat

dilaksanakan mengingat masih belum ada kesamaan

persepsi diantara instansi pelaksana, apakah

dikonsinyasikan ganti rugi di pengadilan sudah lepas

hubungan hukum antara orang dengan tanah yang

dimilikinya. Kerugian lain adalah bilamana terjadi

peralihan tahun maka akan selalu diikuti perubahan

harga pasaran.

Beberapa fenomena yang diamati menyangkut

implementasi kebijakan pemerintah mengenai

pengadaan tanah untuk pembangunan ditinjau dari

analisis Ekonomi dan Politik adalah3:

3 Karsono. Analisis Ekonomi Politik Pengadaan Tanah Jalan Tol Semarang-Solo Ruas Semarang-Bawen di Provinsi Jawa Ten-gah. Semarang 2010

Analisis Yuridis, Ekonomi dan Politik Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Melia Yusri

65

Perubahan Sosial MasyarakatPerubahan sosial ini dapat terjadi secara alamiah

maupun didorong dari kegiatan pembangunan yang

dilakukan oleh pemerintah sehingga perubahan

menjadi semakin cepat. Secara teori masyarakat

akan berkembang sesuai dengan tuntutan

jaman dan lingkungan, namun hal yang harus

diperhatikan adalah jangan sampai pembangunan

yang dilakukan pemerintah yang semula bertujuan

untuk menyejahterakan rakyatnya justru sebaliknya

membawa kemunduran bagi masyarakat, terutama

masyarakat yang tanahnya terkena proyek

pembangunan.

Tawar Menawar Masyarakat dengan Pihak yang Memerlukan TanahDalam setiap pengadaan tanah harus dilakukan

tawar menawar secara langsung antara pihak-

pihak yang berkepentingan dan dihindari campur

tangan dari spekulan tanah atau pihak lain yang

tidak mempunyai kepentingan langsung. Oleh

karena itu prosedurnya harus ditempuh dengan

benar dan transparan. Dalam bermusyawarah tidak

boleh dilakukan cara-cara kotor seperti intimidasi,

teror, pemaksaan kehendak dll. Oleh karena itu

peran panitia pengadaan tanah sangat penting di

dalam menjembatani kepentingan berbagai pihak.

Masyarakat tidak boleh diperlakukan sebagai korban/

obyek dari pembangunan, tetapi ditempatkan harkat

dan martabatnya sebagai pelaku dari pembangunan

itu sendiri. Untuk musyawarah guna menentukan

besarnya ganti rugi tidaklah mudah. Pemerintah

dibatasi oleh anggaran sementara masyarakat

menghendaki harga yang setinggi-tingginya, yang

berakibat pada pembangunan seringkali tidak

berjalan sesuai target waktu yang telah ditentukan.

Negara mempunyai peran yang penting dalam

mengelola kepentingan para pemilik modal, namun

dalam pelaksanaannya harus dapat melindungi

kepentingan masyarakat yang lebih luas dengan

membuat regulasi yang dapat memberikan

perlindungan dan jaminan kepastian hukum kepada

masyarakatnya. Para penganut Marxisme ada

yang memandang politik sebagai pemisah antara

masyarakat sipil dengan wilayah publik. Politik

sebagai peran negara dalam mengelola kepentingan

dan urusan kapital. Jaminan politik yaitu jaminan

negara terhadap hak kepemilikan dan politik sebagai

tawar menawar antara kaum pekerja dengan kaum

kapitalis untuk mengendalikan surplus ekonomi.

Jadi tawar menawar yang terjadi antara masyarakat

dengan para pemilik modal sepenuhnya mengikuti

mekanisme pasar. Artinya pemerintah tidak boleh

terlalu jauh mencampuri kepentingan para pihak.

analisis Politik Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan umum

Peran Politis Masyarakat Tanpa peran serta masyarakat, pemerintah tidak

dapat melaksanakan pembangunan. Dibutuhkan

kesediaan masyarakat untuk melepaskan tanahnya

guna kepentingan pembangunan. Dalam teori,

masyarakat adalah pelaku pembangunan yang

semata-mata bertindak demi satu tujuan yaitu

kesejahteraan. Pemerintah tidak boleh terlalu

mengintervensi hubungan antara pasar dengan

pilihan.

Sebagian kegiatan dalam proses politik dan

kenegaraan dilakukan dengan tujuan untuk

memaksakan keinginan dari kelompok yang satu

terhadap kelompok yang lain. Namun ekonomi-

politik neoklasik lebih memfokuskan pada pertukaran

sukarela dan optimalisasi pareto. Jadi tidak boleh

ada pemaksaan kehendak, tapi dilakukan atas dasar

kesepakatan bersama dan oleh karenanya perlu

peran serta masyarakat untuk mencapai hasil yang

optimal.

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 59-72Vol. 2 No. 1

66

Peran Politis PemerintahPemerintah mempunyai peran yang strategis dalam

proses pengadaan tanah untuk pembangunan

sebagai regulator. Pemerintah semestinya

menjembatani kepentingan kedua belah pihak

dan tidak boleh berpihak kepada pemilik modal

dengan mengorbankan kepentingan masyarakat.

Pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan

didasarkan pada norma-norma hukum yaitu

Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo.

Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 serta

Peraruran Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007,

meskipun peraturan ini dalam implementasinya di

lapangan masih terdapat kelemahan seperti ganti

rugi tanah yang tidak membedakan Hak Milik/Hak

Guna Bangunan/Hak Pakai, ganti rugi Tanah Negara,

serta tidak efektifnya lembaga konsinyasi sehingga

timbul kriminalisasi terhadap aparat pelaksana.

Menurut pandangan ekonomi klasik, dalam

kaitannya dengan wilayah urusan pribadi, negara

memiliki 3 tugas yang harus dijalankannya yaitu

melindungi kepentingan masyarakat dari kekerasan

yang dilakukan oleh masyarakat lainnya, melindungi

dengan sedapat mungkin semua anggota

masyarakat dari ketidakadilan atau penindasan, serta

membangun fasilitas-fasilitas umum dan mendirikan

lembaga-lembaga publik tertentu. Yang dimaksud

dengan fasilitas umum dan lembaga publik adalah

fasilitas atau lembaga yang berguna bagi kelancaran

perdagangan seperti jalan raya, jembatan, kanal, dan

peningkatan interaksi antar anggota masyarakat.

Para pemikir ekonomi klasik tidak membantah bahwa

ada sebuah kepentingan publik tertentu yang tidak

dapat dipandang sebagai kumpulan dari kepentingan

pribadi atau beberapa individu.

upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan umum Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah

agar proses pelaksanaan pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum dapat

terlaksana dengan baik dan berjalan optimal adalah

sebagai berikut:

Membentuk Panitia Pengadaan Tanah yang Profesional dan Tim Penilai Harga Tanah yang Independen.Dalam rangka melindungi hak-hak rakyat dari

penguasa dan pihak swasta dengan bersumber UUPA

telah dibuat perangkat ketentuan-ketentuan yang

mengatur tentang bagaimana penguasa dan swasta

dapat menguasai tanah yang diperlukan apabila

tanah tersebut dikuasai rakyat. Ketentuan-ketentuan

itu pada awalnya dikenal dengan Pembebasan Hak

Atas Tanah atau lebih dikenal dengan Pembebasan

Tanah yang diatur dengan PMDN Nomor 15 Tahun

1975 dan PMDN Nomor 2 Tahun 1976.

Selanjutnya sesuai dengan perkembangan dan

perubahan atas kebutuhan tanah untuk pembangunan

dan tuntutan masyarakat akan keadilan, diterbitkan

Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum, maka sejak itu semua

pengadaan tanah/pengambilalihan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan

berdasarkan peraturan ini. Berdasarkan Keppres ini

berarti bahwa pihak swasta untuk kepentingan bisnis

tidak dapat lagi menggunakan fasilitas pemerintah

untuk pembebasan tanah yang dikuasai masyarakat,

sehingga masyarakat tidak lagi mendapat tekanan

maupun intimidasi untuk melepas hak tanahnya

kepada swasta dan mendapat ganti rugi yang lebih

adil dan layak.

Dalam Keppres ini tidak digunakan lagi istilah

Analisis Yuridis, Ekonomi dan Politik Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Melia Yusri

67

Pembebasan Tanah sebagaimana lazimnya dikenal

dalam praktek sebagai salah satu pranata hukum

alternatif dari pencabutan hak atas tanah (UU Nomor

20 Tahun 1961). Dengan demikian penggunaan istilah

pembebasan tanah yang mengandung konotasi

negatif mulai dihindari. Hal ini didasari pengalaman

yang terjadi pada kasus-kasus sebelumnya yang

melibatkan Panitia Pengadaan Tanah dalam posisi

yang tidak seimbang dengan pihak pemilik tanah

yang notabene lemah hukum dan lemah perlindungan

dari aksi-aksi oknum aparat dan mafia tanah yang

diciptakan pihak swasta. Hal ini merupakan salah satu

kelemahan sebagai ekses dalam peranan Panitia

Pengadaan Tanah berdasarkan PMDN Nomor 15

Tahun 1975 dan PMDN Nomor 2 Tahun 1976. Istilah

Pembebasan Tanah diganti dengan istilah Pelepasan

Hak atau Penyerahan Hak, yang pengertiannya

adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum

antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang

dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas

dasar musyawarah.

Berdasarkan pengalaman empirik, berbagai kasus

yang mengiringi proses pengadaan tanah di masa

lalu hendaknya mengingatkan kembali pada 2 hal.

Pertama, bahwa walaupun orientasi kebijakan

ekonomi saat ini masih bertumpu pada pertumbuhan,

namun tercapainya keadilan sosial tetaplah harus

menjadi tujuan utama. Kedua, bahwa tanah

mempunyai fungsi ekonomi, sosial, politik, dan budaya

dan masih akan tetap berperan dalam kehidupan

sosial politik di Indonesia. Pengalaman di masa lalu

menunjukkan ekses-ekses pengambilalihan tanah

untuk berbagai kepentingan itu sebagian disebabkan

oleh kesenjangan antara “das solen” sebagaimana

tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku, dengan “das sein” berupa kenyataan yang

terjadi di lapangan.

Dalam rangka meminimalisir dampak-dampak

negatif pengadaan tanah di masa lalu dan semakin

derasnya tuntutan reformasi terutama hak-hak

atas tanah masyarakat yang akan diambil alih oleh

pemerintah bagi pembangunan untuk kepentingan

umum, pada tahun 2005 pemerintah menerbitkan

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yang

direvisi dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun

2006 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum.

Dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 jo. Peraturan

Presiden Nomor 65 Tahun 2006, pemerintah makin

memperkuat posisi tawar pemilik tanah melalui

musyawarah atas dasar sukarela dan kesetaraan

antara masyarakat dengan pemerintah yang berarti

penghormatan terhadap hak-hak masyarakat.

Disamping itu juga dibentuk lembaga/tim penilai

harga tanah yang profesional dan independen

untuk menentukan nilai/harga tanah yang akan

dipergunakan sebagai dasar kesepakatan sehingga

dapat memenuhi rasa keadilan dan kelayakan bagi

masyarakat yang terkena lokasi pengadaan tanah.

Untuk mengatur ketentuan teknis pelaksanaannya

diatur dengan Perkaban Nomor 3 Tahun 2007.

Namun mengingat bahwa pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum memiliki

dampak yang luas dan berimplikasi hukum yang

sangat kompleks, maka sebaiknya pengaturannya

diatur tidak hanya melalui Perpres tetapi dengan

Undang-Undang melalui kebijakan politik, sehingga

peraturan tersebut mengikat seluruh lembaga

pemerintahan dan memiliki legitimasi yang kuat

di masyarakat. Kemudian dalam pelaksanaan

dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah dan

Peraturan Daerah. Dengan demikian diharapkan

proses-proses pengadaan tanah untuk kepentingan

umum dapat disesuaikan dengan prinsip-prinsip

demokrasi, partisipatif, pemerataan keadilan, serta

potensi dan keanekaragaman daerah.

Melaksanakan Prinsip Penghormatan Terhadap Hak Atas TanahHak atas tanah yang dipunyai seseorang sesuai

dengan hukum tanah nasional dilindungi dari

gangguan pihak lain tanpa ada hak yang sah.

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 59-72Vol. 2 No. 1

68

Demikian juga hak atas tanah seseorang tidak

boleh dirampas dengan sewenang-wenang dan

secara melawan hukum, termasuk oleh pemerintah.

Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang HAM, semakin tampak usaha untuk

memberikan keseimbangan antara kepentingan

perorangan dengan kepentingan umum.

Selama ini peraturan perundang-undangan

yang berlaku terhadap pengadaan tanah belum

mengakomodai paradigma pembangunan ini. Hal

ini tampak dari ketidaksesuaian antara bentuk

pengaturan dan materi muatannya, karena materi

muatan terkait dengan hak dasar manusia terhadap

tanah yang dijamin oleh UUD Tahun 1945, maka

bentuk peraturannya yang tepat adalah Undang-

Undang.

Peraturan perundang-undangan yang ada juga

belum mengakomodasi peran aktif masyarakat dalam

proses pengadaan tanah. Keterlibatan masyarakat

hanya tampak pada tahap pelaksanaan kegiatan,

khususnya dalam proses musyawarah tentang

bentuk dan besarnya ganti kerugian. Jaminan

bahwa musyawarah berjalan sebagai proses untuk

tercapainya kesepakatan secara sukarela dan bebas

dari tekanan juga belum nampak. Hal ini disebabkan

karena syarat-syarat untuk tercapainya musyawarah

secara sukarela dan bebas itu belum ditetapkan.

Persyaratan yang diperlukan untuk tercapainya

musyawarah secara sukarela dan bebas menurut

Maria S.W. Sumandjono (2008) adalah:

1. Ketersediaan informasi yang jelas dan menyelu-

ruh tentang kegiatan tersebut

2. Suasana yang kondusif untuk musyawarah

3. Keterwakilan para pihak

4. Kemampuan para pihak untuk melakukan nego-

siasi

5. Jaminan bahwa tidak ada tipuan, kecurigaan

aparat, paksaan, intimidasi, atau kekerasan

dalam proses musyawarah dan pembayaran

ganti rugi

Bila hal-hal tersebut di atas dilanggar, maka yang

terjadi adalah kesepakatan semu. Belajar dari masa

lalu dapat dikatakan bahwa peraturan perundang-

undangan yang ada belum mengakomodasi

beberapa hal penting. Oleh karena itu, di dalam

Undang-Undang tentang pengadaan tanah yang

akan datang, sebaiknya memperhatikan hal-hal

berikut:

1. Perlunya penetapan asas-asas pengadaan

tanah bagi pembangunan untuk kepentingan

umum untuk melaksanakan seluruh proses pen-

gadaan tanah

2. Diperlukan survei dasar dan survei sosial eko-

nomi dalam kegiatan awal pengadaan tanah

yang diikuti dengan inventarisasi aset dan pene-

tapan lokasi pembangunan

3. Menetapkan syarat-syarat agar musyawarah

dapat terjadi secara sukarela dan bebas tekan-

an

4. Ganti kerugian tidak hanya terhadap kerugian

yang bersifat fisik tetapi juga meliputi ganti keru-

gian yang bersifat non fisik

5. Perlu disiapkan alternatif ganti rugi dalam ben-

tuk pemukiman kembali yang menyeluruh

6. Perlu dirinci bentuk ganti kerugian yang bersi-

fat non fisik, misalnya penyediaan lahan usaha

pengganti, persiapan alih kerja dan lapangan

kerja, bantuan pelatihan, fasilitas modal usaha

dll.

Dengan dimasukannya BPN dalam unsur Panitia

Pengadaan Tanah menunjukan peran BPN sangat

besar dalam menyukseskan kegiatan pengadaan

tanah, karena BPN yang mampu melakukan

pengukuran dengan cermat bidang-bidang tanah,

menafsir harga tanah, mengetahui asal usul tanah

sehingga mempelancar tugas panitia pengadaan

tanah.

BPN berperan terhadap penyediaan tanah untuk

pembangunan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya

Analisis Yuridis, Ekonomi dan Politik Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Melia Yusri

69

ijin lokasi. Dalam konsep hukum administrasi,

kegiatan tersebut harus diikuti dengan pengawasan.

Pengawasan pada dasarnya diarahkan kepada

pembentukan sistem yang mampu mengarahkan

dan membimbing pelaksanaan tugas serta mampu

mencegah terjadinya penyimpangan mengenai

pemanfaatan/peruntukan tanah yang tidak sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku sehingga merugikan masyarakat.

KESIMPULANPengadaan tanah di Indonesia telah dilaksanakan

dalam kurun waktu yang lama. Untuk menjamin

terselenggaranya kegiatan pembangunan di

Indonesia, khususnya pembangunan sebagai fasilitas

kepentingan umum yang memerlukan bidang tanah,

maka upaya hukum yang dilakukan pemerintah untuk

memperoleh atau menguasai tanah yang diperlukan

dilakukan melalui 5 (lima) cara, yaitu: permohonan

hak khusus untuk tanah negara; perjanjian dengan

pemegang hak atas tanah, misalnya sewa menyewa;

pemindahan hak yang dapat berupa jual beli, tukar

menukar maupun hibah; pelepasan hak atas tanah;

dan pencabutan hak.

Implementasi pengadaan tanah ditinjau dari aspek

yuridis, ekonomi dan politik.

Aspek yuridis, Pengadaan tanah bagi pembangunan

untuk kepentingan umum secara formal telah

ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan

yang mengatur pelaksanaannya. Kegiatan pengadaan

tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum

sering mengalami permasalahan hukum, seperti

halnya permasalahan dalam pemberian ganti rugi

atas tanah-tanah masyarakat yang dibebaskan untuk

pembangunan.

Aspek Ekonomi, pembangunan yang dilakukan

oleh pemerintah bertujuan untuk memberikan

perubahan kepada masyarakat menuju kehidupan

yang lebih baik. Pembangunan yang dilakukan

melalui pengadaan tanah tersebut diharapkan

tidak membawa kemunduran bagi masyarakat,

terutama masyarakat yang tanahnya terkena proyek

pembangunan.

Aspek Politik, peran serta masyarakat sangat

dibutuhkan, terutama kesediaan dalam melepaskan

tanah guna kepentingan pembangunan. Pelepasan

tanah dilakukan atas dasar kesepakatan bersama

dan tidak boleh ada pemaksaaan kehendak.

Pemerintah mempunyai peran yang stategis dalam

proses pengadaan tanah untuk pembangunan

yaitu sebagai regulator. Pemerintah harus

menjembatani kepentingan kedua belah pihak dan

tidak boleh berpihak kepada pemilik modal dengan

mengorbankan kepentingan masyarakat.

Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam

pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan

untuk kepentingan umum adalah membentuk panitia

pengadaan tanah yang profesional dan tim penilai

harga tanah yang independen dan melaksanakan

prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. BPN

selaku lembaga non kementerian yang diamanatkan

oleh UU untuk mengurusi masalah pertanahan

memiliki peranan yang sangat penting dalam

mensukseskan kegiatan pengadaan tanah, karena

BPN yang mampu melakukan pengukuran dengan

cermat bidang-bidang tanah, menafsir harga tanah,

mengetahui asal usul tanah sehingga mempelancar

tugas panitia pengadaan tanah.

SARAN1. Peranan pemerintah dalam pengadaan tanah

bagi pembangunan untuk kepentingan umum

tidak hanya bersifat normatif tetapi lebih kepada

sifat operasionalnya guna tercapainya pemban-

gunan bagi masyarakat yang sesuai dengan pe-

runtukannya.

2. Perlu dibentuk lembaga yang berfungsi untuk

memberikan pengawasan secara ketat kepada

lembaga penilai harga tanah (apraisal). Lemba-

ga ini berada di bawah jajaran Mahkamah Agung

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 59-72Vol. 2 No. 1

70

RI. Apraisal harus betul-betul obyektif di dalam

penilaiannya mengingat masalah besaran ganti

rugi tanah, bangunan, dan tanaman merupakan

masalah utama yang terjadi dalam pengadaan

tanah di Indonesia. Terhadap orang-orang yang

terkena dampak langsung pengadaan tanah

untuk kepentingan umum, kehidupannya harus

menjadi lebih baik.

3. Perlu mengakomodir di dalam Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2010 untuk membentuk panitia

pengadaan tanah yang profesional, tim peni-

lai harga tanah yang independen dan melak-

sanakan prinsip penghormatan hak atas tanah.

UCAPAN TERIMA KASIHTerima kasih disampaikan kepada Kepala Pusat

Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia beserta jajarannya,

mitra bestari dan penyunting atas pendampingan

dan masukannya untuk tulisan ini, juga kepada

pihak-pihak yang telah membantu dalam proses

penyempurnaan sehingga tulisan ini layak untuk

diterbitkan.

DAFTAR ACUAN

buku

Abdurachman (1978) Aneka Masalah Hukum Agraria

Dalam Pembangunan di Indonesia, Alumni,

Bandung.

Adrian, Sutedi (2007) Implementasi Prinsip

Kepentingan Umum Dalam Pengedaan

Tanah Untuk Kepentingan Umum, Cetakan

Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.

Aminuddin, Salle (2007) Hukum Pengadaan Tanah

Untuk Kepentingan Umum, Kreasi Total

Media, Jakarta.

Imroni (2009) Analisis Yuridis pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,

Tesis, Universitas Bandarlampung, Bandar

Lampung.

Karsono (2010) Analisis Ekonomi Politik Pengadaan

Tanah Jalan Tol Semarang-Solo Ruas

Semarang-Bawen di Provinsi Jawa

Tengah, Tesis, Universitas Diponegoro,

Semarang.

Sudargo, Gautama (1997) Tafsiran Undang-Undang

Pokok Agraria, Alumni, Bandung

Sudargo, Gautama dan Ellyda T. Soetiyanto (1996)

Komentar Atas Peraturan-Peraturan

pelaksanaan Undang-Undang Pokok

Agraria. Citra Aditya Bakti, Bandung

S.W. Sumardjono, Maria (2007) Kebijakan Pertanahan

Antara Regulasi dan Implementasi.

Tine, Supriadi K (2009) Analisis Hukum Tentang

Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum di Kabupaten

Gorontalo, Tesis, Universitas Muslim

Indonesia, Makassar.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang No. 20 tahun 1961 tentang Tentang

Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan

Benda-benda yang ada di atasnya.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

untuk Kepentingan Umum.

Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang

Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk kepentingan Umum

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang

Analisis Yuridis, Ekonomi dan Politik Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Melia Yusri

71

Perubahan Atas Peraturan Presiden

Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007

tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Juncto

Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun

2006 tentang pengadaan tanah bagi

Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 59-72Vol. 2 No. 1

72

Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan (Studi Kasus Pengadaan Tanah Gambut Satu Juta Hektar Di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)

Umiyati

73

PENDAHULUANMasalah tanah adalah masalah yang menyangkut

hak rakyat yang paling mendasar. Tanah disamping

mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, oleh

karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut

dikorbankan guna kepentingan umum. Ini dilakukan

dengan pelepasan hak atas tanah dengan mendapat

ganti rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi

juga berbentuk tanah atau fasilitas lain.

Seiring dengan perkembangan masyarakat dan

untuk memperlancar jalannya pembangunan untuk

kepentingan umum, di satu pihak pemerintah

memerlukan areal tanah yang cukup luas. Pada

pihak lain pemegang hak atas tanah yang akan

digunakan tanahnya oleh pemerintah untuk

kepentingan pembangunan tidak boleh dirugikan.

Untuk mengatur hal tersebut diperlukan adanya

suatu peraturan hukum yang dapat diterima oleh

masyarakat.

Pengadaan tanah merupakan perbuatan pemerintah

untuk memperoleh tanah untuk berbagai kepentingan

pembangunan, khususnya bagi kepentingan umum.

Pada prinsipnya pengadaan tanah dilakukan dengan

cara musyawarah antar pihak yang memerlukan

tanah dan pemegang hak atas tanah yang tanahnya

PENGADAAN TANAH SKALA BESAR UNTUK PEMBANGUNAN

(Studi Kasus Pengadaan Tanah Lahan Gambut Satu Juta Hektar Di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo

Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)

ProcurEMENT of largE laNd for dEVEloPMENT(land acquisition case study one Million Hectare Peatland in central

Kalimantan and Kedung ombo In region boyolali district, central Java)

UmiyatiPusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jalan Agus Salim Nomor 58, Jakarta, [email protected]

ABSTRAKPengadaan tanah untuk kepentingan umum khususnya dalam skala besar mengalami beberapa kendala dan permasalahan

sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus, diantaranya berkaitan dengan implikasi yuridis pengambilalihan tanah yang

kurang memperhatikan hak-hak atas tanah masyarakat. Pengalaman pelaksanaan pengadaan tanah sekala besar ini dapat

memberikan masukan dalam penyusunan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Kata kunci : pengadaan tanah, lahan gambut, kepentingan umum

absTracTLand’s procurement for public interest, especially in the big scales, is facing few obstacles and problems so it needs special

attention. It’s related with jurisdiction implication of land’s takeover, which not pay attention to people’s right of land. Experience

in this implementation of big scale land’s procurement could give suggestion in process making of Head National Land

Agency’s Regulation.

Keywords : land’s procurement, turf, public interest

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 73-88Vol. 2 No. 1

74

diperlukan untuk kegiatan pembangunan.

Proses pembebasan tanah tidak akan pernah lepas

dengan adanya masalah ganti rugi. Bila telah tercapai

suatu kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya

ganti rugi, maka baru dilakukan pembayaran ganti

rugi kemudian dilanjutkan dengan pelepasan atau

penyerahan hak atas tanah yang bersangkutan.

Apabila pembebasan tanah melalui musyawarah

tidak mendapatkan jalan keluar antara pemerintah

dengan pemegang hak atas tanah, sedangkan tanah

tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum,

maka dapat ditempuh dengan cara pencabutan

hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Undang-

undang Nomor 20 Tahun 1961.

Dalam perkembangannya, pengadaan tanah untuk

kepentingan umum khususnya dalam skala besar

mengalami beberapa kendala dan permasalahan

sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus.

Adapun permasalahan yang perlu mendapat perhatian

diantaranya yaitu berkenaan dengan implikasi yuridis

dari pengadaan tanah bagi pelaksanaan kegiatan

pembangunan Pengembangan Lahan Gambut Satu

Juta Hektar di Kabupaten Kapuas dan Pembangunan

Waduk Kedung Ombo di Wilayah Kabupaten

Boyolali. Dimana, dalam pengadaan tanah untuk

pembangunan lahan gambut pembangunan fisik

di lapangan belum sempat dilakukan inventarisasi

dan pendataan yang lengkap tentang kepemilikan

tanah telah tertutup bangunan saluran primer,

sekunder, tersier dan lahan transmigrasi berupa

lahan pekarangan dan lahan usaha. Disamping

masalah tersebut, dalam kasus pembangunan

Waduk Kedung Ombo di Wilayah Kabupaten Boyolali

dalam pelaksanaan pemberian ganti rugi, ada pihak

masyarakat yang tidak dapat menerima besaran ganti

rugi yang diberikan oleh pemerintah. Oleh karena itu

menjadi penting untuk dilakukan pengkajian masalah

pengadaan tanah sekala besar.

Perumusan MasalahRumusan masalah pengadaan tanah skala luas yang

besar pada proyek pengembangan lahan gambut

satu juta hektar di Kabupaten Kapuas dan proyek

pembangunan Waduk Kedung Ombo di wilayah

Kabupaten Boyolali, adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah akibat hukum dari pengadaan

tanah skala besar untuk pembangunan?

2. Bagaimana hambatan yang timbul dalam

pengadaan tanah skala besar untuk

pembangunan?

Tujuan 1. Mengetahui akibat hukum dari pengadaan ta-

nah skala besar untuk pembangunan.

2. Mengetahui hambatan yang timbul dalam pe-

ngadaan tanah skala besar untuk pembangu-

nan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Implikasi yuridis Hak atas Tanah Terhadap Pengembangan lahan gambut satu Juta Hektar di Kabupaten Kapuas dan Waduk Kedung ombo di Wilayah Kabupaten boyolali

Kedudukan Hak Atas Tanah Sebelum Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan UmumKondisi penguasaan masyarakat Kabupaten

Kapuas adalah tanah-tanah yang dikuasai atau

dilakukan pembukaan setelah tahun 1960. Apabila

berpijak kepada UUPA Nomor 5 Tahun 1960 maka

penguasaan masyarakat Kabupaten Kapuas dapat

digolongkan kepada penguasaan atas tanah negara.

Kondisi garapan masyarakat yang dikategorikan

kepada penggarapan atas tanah dan sistem pertanian

pasang surut yang menciptakan pola pertanian tidak

Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan (Studi Kasus Pengadaan Tanah Gambut Satu Juta Hektar Di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)

Umiyati

75

menetap/ladang berpindah (bero) akan menciptakan

kondisi ketidakpastian pemilikan hak atas tanah.

Maka penguasaan masyarakat tersebut tidak dapat

digolongkan kepada Tanah Ulayat dan kelompok

masyarakat handel/padang tersebut tidak dapat

dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat

sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/

Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun

1999.

Kondisi penguasaan pemilikan tanah di lokasi

sebelum waduk di bangun adalah tanah-tanah hak

milik adat yang dikuasai pemiliknya dan merupakan

garapan masyarakat setempat. Waduk mulai diari

pada 14 Januari 1989 menenggelamkan 37 desa,

7 kecamatan di 3 kabupaten (Sragen, Boyolali dan

Grobogan). Sebanyak 5.268 keluarga kehilangan

tanahnya akibat pembangunan waduk ini.

Kedudukan Hak Atas Tanah Sesudah Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan UmumBerpangkal pada Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1960

(UUPA), perkataan dikuasai dalam pasal ini bukanlah

berarti dimiliki, akan tetapi adalah pengertian yang

memberi wewenang kepada negara, sebagai

organisasi kekuasaan bangsa Indonesia, untuk pada

tingkatan tertinggi mengatur, menyelenggarakan,

menentukan peruntukan dan pemanfaatan tanah

pada masyarakat Indonesia dimana segala

sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat dalam rangka

masyarakat yang adil dan makmur.

Selanjutnya pasal 18 UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA)

dinyatakan bahwa untuk kepentingan umum

termasuk kepentingan bangsa dan negara serta

kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah

dapat dicabut, dengan Undang-undang. Pencabutan

hak atas tanah, akan tetapi terikat dengan syarat-

syarat yaitu harus disertai ganti rugi yang layak

atau penunjukkan tanah negara sebagai ganti yang

sepadan, ditinjau dari nilai, manfaat dan kemampuan

tanahnya.

Dalam PMDN No. 15/1975 tidak dikenal adanya istilah

Pengadaan tanah melainkan pembebasan tanah.

PMDN ini juga mengatur pelaksanaan atau tata cara

pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah

dan pembebasan tanah untuk kepentingan swasta.

Untuk pembebasan tanah bagi kepentingan

pemerintah, dibentuk Panitia Pembebasan Tanah

sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PMDN No.

15/1975. Sedangkan menurut Pasal 11 PMDN No.

15/1975 untuk kepentingan swasta tidak dibentuk

panitia khusus, pemerintah hanya mengawasi

pelaksanaan pembebasan tanah tersebut antara

para pihak yaitu pihak membutuhkan tanah dengan

pihak yang mempunyai tanah.

Sesuai dengan Keppres Nomor 55 tahun 1993 jo

Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum, dalam rangka pengadaan tanah

untuk kepentingan umum telah memberi perlindungan

hukum dan jaminan hak bagi warga pemilik tanah

yang terkena pembebasan. Hal ini berarti bahwa

keberadaan Keppres tersebut secara yuridis telah

mengikat dan menjadi dasar hukum yang kuat bagi

pemerintah untuk melaksanakan pengadaan tanah.

Pelaksanaan Pengadaan tanah menurut Keppres

No. 55 Tahun 1993 belum dapat mencerminkan

asas penghargaan terhadap hak-hak pemilik

tanah yang menjadi dasar dan atau pokok-

pokok kebijaksanaannya sendiri; karena belum

menempatkan rakyat pemilik tanah sebagai

unsur penting yang harus terlibat dalam susunan

kepanitiaan.

Esensi lain materi Keppres Nomor 55 Tahun 1993 yang

perlu mendapat telaah yuridis ialah dimungkinkannya

untuk dilakukan jual beli dan tukar menukar antara

instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan

pihak pemilik tanah. Hal ini secara jelas ditegaskan

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 73-88Vol. 2 No. 1

76

dalam Pasal 23 Keppres No. 55 Tahun 1993 bahwa

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan

umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak

lebih dari satu hektar, dapat dilakukan langsung oleh

instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan

para pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli

atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati oleh

kedua belah pihak. Peraturan mengenai pengadaan

tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum

sebagaimana diatur dalam Keppres Nomor 55 Tahun

1993 dinilai mengandung beberapa kelemahan

sehingga diganti dengan Perpres Nomor 36 Tahun

2005.

Implementasi dari Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan UmumTerlaksananya pembangunan secara efektif dan

efisien tidak terlepas dari efektifitasnya peraturan

hukum yang berlaku. Khusus bagi Kabupaten

Kapuas yang menjadi lokasi pembangunan lahan

gambut satu juta hektar menerima akibat dari

pergesekan kepentingan antara pemerintah dengan

masyarakat yang terkena lokasi tersebut. Hal ini

dapat dilihat dari besarnya jumlah tuntutan yang

diajukan masyarakat, tidak selesainya pembangunan

yang sudah direncanakan di lokasi lahan gambut

satu juta hektar tersebut dengan banyaknya warga

transmigrasi yang pergi atau keluar dari lokasi untuk

mencari nafkah penghidupannya.

Pembayaran santunan yang dilakukan oleh

pemerintah pusat diharapkan sebagai langkah

kedepan untuk lebih maju meneruskan rencana-

rencana pembangunan kembali lahan gambut satu

juta hektar di Kabupaten Kapuas. Masyarakat

diharapkan tidak lagi berpikir hanya menuntut hak

atas ganti rugi lahan tetapi menuntut supaya lokasi

tersebut direhabilitasi dan dikelola kembali sehingga

apa yang telah ditetapkan dalam tata ruang lokasi

PLG tersebut dapat terwujud.

Hukum Pengadaan tanah yang berlaku di Kabupaten

Kapuas adalah sesuai dengan Keppres Nomor

55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden Nomor

36 Tahun 2005 belum dilaksanakan secara penuh

karena belum ada peraturan pelaksanaan sebagai

ganti PMNA/Ka. BPN No. 1 Tahun 1994. Sedangkan

dasar hukum untuk Pengadaan Tanah Kedung Ombo

di Kabupaten Boyolali dengan PMDN No. 15/1975.

akibat Hukum dari Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan Proyek Pengembangan lahan gambut (PPlg) Waduk Kedung ombo

Sinkronisasi Aturan Hukum Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan UmumSalah satu syarat yang harus dipenuhi untuk

mencapai keberhasilan suatu pekerjaan dalam

mencapai tujuan yang diinginkan ialah harus adanya

sinkronisasi didalam aturan perundang-undangan.

Sinkronisasi yang dimaksud dalam konteks penulisan

ini diartikan sebagai kesesuaian atau keselarasan

yang bertujuan untuk mengungkapkan kenyataan

sampai sejauhmana perundang-undangan tertentu

serasi secara vertikal (pelbagai perundang-

undangan yang berbeda derajat yang mengatur

bidang kehidupan tertentu/yang sama), atau yang

mempunyai keserasian secara horizontal apabila

menyangkut perundang-undangan yang sederajat

mengenai bidang yang sama.

Sinkronisasi vertikal diartikan sebagai kesesuaian

atau keselarasan materi tentang pengadaan tanah

yang terdapat dalam UUD, Ketetapan MPR, UU

(Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan

Presiden serta Peraturan Daerah. Sementara

Sinkronisasi Horizontal diartikan sebagai kesesuaian

atau keselarasan materi Keppres Nomor 82 Tahun

1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut Untuk

Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah

dengan Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum.

Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan (Studi Kasus Pengadaan Tanah Gambut Satu Juta Hektar Di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)

Umiyati

77

Keppres Nomor 82 Tahun 1995 tentang

Pengembangan Lahan Gambut Untuk Pertanian

Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah merupakan

dasar hukum yang dikeluarkan pemerintah dalam

melakukan pembangunan lokasi eks PLG tanpa

dilakukannya terlebih dahulu pendataan dan

inventarisasi hak atas tanah. Pembangunan

dilakukan dalam bentuk pembangunan lahan

transmigrasi, saluran primer, sekunder, tersier, dan

sarana penunjang lainnya.

Memperhatikan dikeluarkannya Keppres Nomor

82 Tahun 1995 tersebut apabila dicermati tidak

ada mencantumkan pemberian ganti rugi terhadap

tanah-tanah milik masyarakat yang terkena kegiatan

PLG satu juta hektar di Kabupaten Kapuas. Hal

ini bertentangan dengan Keppres Nomor 55 Tahun

1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Dalam hal ini, telah terjadi dissinkronisasi dalam

penerbitan Keppres Nomor 82 Tahun 1995 dengan

Keppres Nomor 55 Tahun 1993. Dimana Keppres

Nomor 82 Tahun 1995 telah mengenyampingkan

aturan/prosedur didalam pengadaan tanah bagi

kepentingan umum. Memperhatikan tindakan hukum

yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten

Kapuas atas konflik kepentingan antara pemerintah

dengan masyarakat tetap melalui Keppres No. 55

Tahun 1993. Pilihan hukum ini sudah benar karena

sesuai dengan asas hukum Lex Spesialis Derogat

Lex Generalis, bahwa Keppres Nomor 82 Tahun

1995 hanya mengatur tentang penetapan kawasan

tersebut menjadi lokasi pembangunan lahan

pertanian. Sedangkan prosedur hukum pengadaan

tanahnya adalah melalui Keppres No. 55 Tahun 1993.

Pemerintah Daerah Kapuas sesuai dengan

Surat Keputusan Bupati Kapuas Nomor

16/580.1.BPN.42.2001 melakukan penambahan

struktur kepanitiaan dalam pengadaan tanah.

Hal ini dilakukan untuk menjalankan asas umum

pemerintah yang baik dimana salah satu unsurnya

adalah kecermatan. Mengingat lokasi yang akan

dilakukan ganti rugi sudah selesai dibangun

(karakteristik khusus, dan luas wilayah yang akan

diganti rugi tidak lagi memungkinkan hanya ditangani

oleh kepanitiaan sebagaimana yang diatur oleh

Keppres Nomor 55 Tahun 1993 juncto Permenag/Ka.

BPN No.1 Tahun 1994). khusus untuk pembangunan

Waduk Kedung Ombo pelaksanaannya dimulai

dengan menggunakan landasan hukum PMDN

No.15/1975 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai

Tata Cara Pembebasan Tanah yang pada prinsipnya

proses pembebasan tanah dilakukan dengan jalan

musyawarah. Apabila tidak terjadi kesepakatan

antara pemerintah dengan pihak pemilik tanah

mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian, maka

menurut ketentuan lokasinya dipindahkan ketempat

lain. Dengan berlakunya Keppres No.55/Tahun

1993, maka PMDN No.15/1975 telah disempurnakan/

diperbaiki kelemahan-kelemahan yang terdapat

didalamnya. Pasal 1 butir 7 Keppres No.55/1993

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ganti

rugi adalah penggantian atas nilai tanah dan/atau

benda-benda lain yang terkait dengan sebagai akibat

dari pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

Pembebasan tanah ini dilakukan oleh Panitia

Pembebasan Tanah yang dibentuk sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

ditetapkan sebagai bagian dari kegiatan Proyek Induk

Pengembangan Wilayah Sungai (PWS) Jragung,

Tuntang, Serang, Lusi dan Juwana (Jratunseluna).

Panitia Pengadaan Tanah di Pandang Dari Sudut Hukum PertanahanDengan pertimbangan terdapatnya lahan dengan

hamparan yang sangat luas (± 1,4 juta hektar) dalam

satu kesatuan yang tidak terpisah, ketersediaan air

dan akses transportasi (air), maka ditetapkan Propinsi

Kalimantan Tengah menjadi lokasi Pengembangan

lahan gambut untuk pertanian tanaman pangan

berdasarkan Keppres Nomor 82 Tahun 1995.

Berdasarkan Keppres tersebut ditetapkan lahan

Proyek Pengembangan Lahan Gambut seluas

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 73-88Vol. 2 No. 1

78

1.475.000 Ha yang meliputi wilayah Kabupaten

Kapuas (Sebagian besar wilayah PLG), Kab.

Barito Selatan dan Kota Palangkaraya. Pada

mulanya wilayah yang dipilih menjadi lokasi Proyek

Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) diperkirakan

oleh Pemerintah Pusat masih berstatus tanah negara

kosong tanpa pemilik. Kondisi nyata dilapangan

disebagian lahan yang digunakan untuk lokasi

PPLG, terutama di sepanjang pinggir sungai telah

digarap/dikuasai oleh masyarakat untuk lokasi kebun

rotan, karet, purun, buah-buahan, beje, tatah dan lain

sebagainya sebelum PPLG dilaksanakan.

Dengan terganggu atau hilangnya sumber pendapatan

tempat usaha masyarakat, maka mereka menuntut

ganti kerugian kepada pemerintah dan mengancam

pada saat itu untuk menyetop dan mengusir warga

transmigrasi yang telah ditempatkan dilokasi UPT-

UPT tersebut. Tuntutan masyarakat tersebut di

atas, serta sejalan dengan Keppres Nomor 55 Tahun

1993 yang menetapkan bahwa dalam kegiatan

pembangunan untuk kepentingan umum harus ada

ganti kerugian atas tanah, bangunan, tanaman dan/

atau benda-benda lain yang ada kaitannya dilakukan

pendataan dan inventarisasi pada tahun 2001.

Pelaksanaan Pengembangan lahan gambut untuk Tanaman Pangan di Kabupaten Kapuas dan Pembangunan Waduk Kedung ombo di Wilayah Kabupaten boyolaliIsfarianto (2012) menyatakan bahwa Bentuk

pelaksanaan mekanisme ganti rugi yang sah secara

yuridis dalam proses pengadaan tanah untuk

pembangunan sarana umum yakni meliputi:

1. Penyuluhan

Panitia pengadaan tanah bersama instansi yang

memerlukan tanah melaksanakan penyuluhan

untuk menjelaskan manfaat, maksud dan tujuan

pembangunan kepada masyarakat dalam rangka

memperoleh kesediaan dari para pemilik tanah. Dari

hasil penyuluhan, ada dua kemungkinan yang akan

terjadi, yakni bila diterima oleh masyarakat, maka

kegiatan pengadaan tanah ditindaklanjuti. Bila tidak

diterima masyarakat, maka dilakukan penyuluhan

ulang. Hasil penyuluhan ulang membuka adanya dua

kemungkinan, yaitu : (a) tetap ditolak oleh 75 persen

pemegang hak atas tanah dan lokasi tidak dapat

dipindahkan, dicari alternatif lokasi lain; (b) tetap

ditolak pemegang hak atas tanah, dan lokasi tidak

dapat dipindah, maka Panitia Pengadaan Tanah

mengusulkan kepada Bupati/Wali Kota/Gubernur

untuk menggunakan acara pencabutan hak atas

tanah menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun

1961. Hasil pelaksanaan penyuluhan dituangkan

dalam Berita Acara Hasil Penyuluhan.

2. Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah

3. Identifikasi dan Inventarisasi

4. Pembayaran Ganti Rugi. Yang berhak meneri-

ma ganti rugi adalah pemegang hak atas tanah,

nazir bagi tanah wakaf, ganti rugi untuk Hak

Guna Bangunan/hak Pakai yang diberikan di

atas tanah Hak Milik/Hak Pengelolaan diberikan

kepada pemegang Hak Milik/hak Pengelolaan,

ganti rugi bangunan dan/atau tanaman dan/atau

benda-benda yang ada di atas Tanah Hak Guna

Bangunan/Hak Pakai yang diberikan di atas ta-

nah Hak Milik/Hak Pengelolaan, diberikan ke-

pada pemilik bangunan dan/atau tanaman dan/

atau benda-benda tersebut.

Ganti rugi dalam bentuk uang diberikan dalam waktu

paling lama 60 hari sejak tanggal keputusan, untuk

ganti rugi yang tidak berupa uang, penyerahannya

dilakukan dalam jangka waktu yang disepakati para

pihak. Ganti rugi yang dititipkan atau tidak langsung

diserahkan karena sebab-sebab tertentu selain

karena pemegang hak atas tanah tetap menolak,

yaitu: (a) yang berhak atas ganti rugi tidak diketahui

keberadaannya; (b) tanah, bangunan, tanaman

dan/atau benda lain terkait dengan tanah sedang

menjadi objek perkara di pengadilan; (c) sengketa

Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan (Studi Kasus Pengadaan Tanah Gambut Satu Juta Hektar Di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)

Umiyati

79

pemilikan yang masih berlangsung dan belum ada

penyelesainnya; (d) tanah, bangunan tanaman dan

benda-benda lain yang terkait dengan tanah sedang

diletakkan sita oleh pihak yang berwenang. Penitipan

ganti rugi dilakukan dengan permohonan penitipan

kepada Ketua Pengadilan Negeri.

Khusus untuk pembangunan Waduk Kedung Ombo

pelaksanaannya dimulai dengan menggunakan

landasan hukum PMDN No.15/1975 tentang

Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara

Pembebasan Tanah yang pada prinsipnya proses

pembebasan tanah dilakukan dengan jalan

musyawarah. Apabila tidak terjadi kesepakatan

antara pemerintah dengan pihak pemilik tanah

mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian, maka

menurut ketentuan lokasinya dipindahkan ketempat

lain. Dengan berlakunya Keppres No.55/Tahun

1993, maka PMDN No.15/1975 telah disempurnakan/

diperbaiki kelemahan-kelemahan yang terdapat

didalamnya. Pasal 1 butir 7 Keppres No.55/1993

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ganti

rugi adalah penggantian atas nilai tanah dan/atau

benda-benda lain yang terkait dengan sebagai akibat

dari pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

Pembebasan tanah ini dilakukan oleh Panitia

Pembebasan Tanah yang dibentuk sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

ditetapkan sebagai bagian dari kegiatan Proyek Induk

Pengembangan Wilayah Sungai (PWS) Jragung,

Tuntang, Serang, Lusi dan Juwana (Jratunseluna).

Panitia Pembebasan Tanah telah mengadakan

musyawarah dengan sejumlah warga akan tetapi

tidak semua warga menyepakati hasil-hasil

musyawarah. Dari 100 responden, 60% menjawab

bahwa penduduk dipaksa menandatangani hasil

pendataan tanah, rumah dan bangunan, mereka

sama sekali tidak diajak bermusyawarah. Sedangkan

40 % responden menjawab tidak pernah diajak

bermusyawarah untuk membicarakan nilai ganti rugi,

warga hanya diundang kemudian disodori sebuah

amplop yang berisi uang serta tulisan ”jer basuki

mawa beya”.

Berdasarkan hasil penelitian, pelaksanaan

pemberian ganti rugi untuk pembebasan tanah dalam

rangka pembangunan Waduk Kedung Ombo (WKO)

dilaksanakan dengan cara antara lain pembayaran

melalui panitia pembebasan tanah yang dituangkan

dalam suatu berita acara pembayaran ganti rugi

dan pemberian konsinyasi yang dititipkan kepada

Pengadilan Negeri Boyolali.

Hambatan-hambatan yang Timbul dalam Pelaksanaan Pengembangan lahan gambut untuk Tanaman Pangan di Kabupaten Kapuas dan Pembangunan Waduk Kedung ombo di Wilayah Kabupaten boyolali

Penyebab Ketidaksepakatan Dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah Skala BesarPada akhir bulan September 1996 Pemerintah

Pusat memutuskan bahwa tidak ada ganti rugi

tanam tumbuh yang terkena kegiatan pembuatan

saluran PPLG. Sejak awal bulan Oktober 1996

kegiatan pendataan/inventarisasi tanam tumbuh

dihentikan dan bahkan hasil pendataan sementara

yang belum dibukukan juga tidak ditangani/diproses

lagi. Sedangkan kegiatan pembangunan PLG terus

berlangsung bahkan cenderung semakin luas.

Selanjutnya Bupati Kapuas membentuk Panitia

Pengadaan Tanah dengan Keputusan Bupati Kapuas

Nomor 132/580.1/BPN.42.2000 tanggal 29 November

2000 yang selanjutnya surat keputusan tersebut

direvisi beberapa kali dan terakhir direvisi dengan

Surat Keputusan Bupati Kapuas Nomor 16/580.1/

BPN.42.2001 tanggal 24 Maret 2001 tentang

Revisi Susunan Keanggotaan Panitia Pengadaan

Tanah dan Tim Pemeriksaan Lapangan dengan

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 73-88Vol. 2 No. 1

80

Surat Keputusan Bupati Kapuas Nomor 151/580.1/

BPN.42.2000 tanggal 16 Desember 2000, yang

selanjutnya surat keputusan tersebut direvisi kembali

dan terakhir direvisi dengan Surat Keputusan Bupati

Kapuas Nomor : 17/580.1/BPN.42.2001 tentang

Revisi Susunan Keanggotaan Tim Pemeriksaan

Lapangan.

Adapun komposisi Panitia Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan

Umum dan Penyelesaian Masalah Tuntutan

Santunan Tanam Tumbuh Milik Masyarakat Yang

Terkena Kegiatan PPLG 1 Juta Hektar di Kabupaten

Kapuas Provinsi Kalteng sesuai dengan Surat Bupati

Kapuas Nomor : 16/580.1/BPN.42.2001 tanggal

24 Maret 2001 adalah sebagai berikut : 1) Wakil

Bupati Kab. Kapuas, 2) Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten Kapuas, 3) Asisten Tatapraja pada

Setda Kab. Kapuas, 4) Ketua Tim Penyelesaian

Santunan Tanam Tumbuh Yang Terkena Kegiatan

Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) 1

Juta Hektar Kabupaten Kapuas (Tim 20), 5) Kepala

Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten

Kapuas, 6) Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten

Kapuas, 7) Kepala Dinas Perikanan Kabupaten

Kapuas, 8) Kabag Hukum Direktorat Sumber Daya

Air Wil. Tengah Dep. Pemukiman dan Prasarana

Wilayah RI, 9) Kasubdit Sumber Daya Air Wilayah

Tengah Direktorat Sumber Daya Air Departemen

Pemukiman dan Praswil RI, 10) Pemimpin Proyek

Pengembangan Daerah Rawa Lamunti – Dadahup

Kalteng, 11) Camat Kepala Wilayah setempat, 12)

Lurah/Kades setempat, 13) Kabag. Tapem Setda

Kab. Kapuas, 14) Kepala Seksi Hak-Hak Atas

Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten Kapuas

(Sumber : Laporan Akhir Pelaksanaan Inventarisasi

dan Pembayaran Santunan pada Lokasi Eks PPLG 1

Juta Hektar di Kabupaten Kapuas).

Diketahui bahwa konsentrasi permasalahan

pembebasan tanah (sekarang pelepasan atau

penyerahan hak) terletak pada besarnya ganti

kerugian. Di satu sisi pihak pemilik/yang menguasai

tanah menginginkan besarnya ganti-kerugian sesuai

dengan harga pasar setempat, sementara di sisi lain

masih terbatasnya dana Pemerintah yang tersedia

untuk pembebasan tanah.

Selama ini yang menjadi permasalahan dalam

pembebasan tanah bukanlah mengenai ada tidaknya

kesediaan pemilik atas tanah untuk melepaskan hak

atas tanahnya kepada pemerintah untuk kepentingan

umum, melainkan karena pemegang hak atas tanah

menganggap bahwa ganti kerugian yang ditawarkan

kepada mereka tidak sesuai dengan harga pasar

setempat (umum), sehingga dinilai terlalu rendah

atau tidak wajar.

Rendahnya jumlah ganti kerugian yang ditawarkan

dalam setiap pelaksanaan pembebasan tanah

selama ini (sebelum berlakunya Keppres

No.55/1993), karena memang PMDN No.15/1975

menyatakan bahwa dasar perhitungan ganti-

kerugian dalam musyawarah dengan memperhatikan

harga dasar. Padahal sebagaimana diketahui,

harga dasar selalu jauh dari harga pasar setempat.

Menyadari ketidakcocokan dasar perhitungan itulah,

maka Keppres No.55/1993 mengadakan perubahan

dengan menentukan bahwa dasar perhitungan ganti-

kerugian sekarang ini adalah musyawarah yang

didasarkan atas nilai nyata dan memperhatikan Nilai

Jual Obyek Pajak.

Penyelesaian KetidaksepakatanPenyelesaian ketidaksepakatan mengenai ganti-

kerugian menurut Keppres No.55/1993 pada

dasarnya dilakukan dengan 3 (tiga) tahap, yakni

: melalui keputusan Panitia, keputusan Gubernur

dan Usul Pencabutan Hak. Keputusan Panitia

pasal 19 Keppres No.55/1993 menyatakan bahwa

”Apabila musyawarah telah diupayakan berulangkali

dan kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya

ganti-kerugian tidak tercapai, Panitia Pengadaan

tanah mengeluarkan keputusan mengenai bentuk

dan besarnya ganti-kerugian, dengan sejauh

Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan (Studi Kasus Pengadaan Tanah Gambut Satu Juta Hektar Di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)

Umiyati

81

mungkin memperhatikan pendapat, keinginan,

saran dan pertimbangan yang berlangsung dalam

musyawarah”.

Ketentuan di atas hanya memberi wewenang

kepada panitia Pengadaan Tanah membuat

keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti-

kerugian manakala musyawarah telah diupayakan

berulangkali namun tidak tercapai kesepakatan.

Keputusan Panitia tentang bentuk dan besarnya

ganti-kerugian yang bermaksud menyelesaikan

ketidaksepakatan mengenai ganti kerugian, bukan

merupakan keputusan yang bersifat final dan dapat

dipaksakan kepada pemegang hak. Oleh karena

itu, terhadap putusan panitia tersebut dapat diajukan

keberatan kepada gubernur.

Tegasnya Pasal 20 ayat (1) Keppres No. 55 tahun

1993 menyatakan : “Pemegang hak atas tanah yang

tidak dapat menerima keputusan Panitia Pengadaan

Tanah dapat mengajukan keberatan kepada

Gubernur KDH Tk. 1 disertai dengan penjelasan

mengenai sebab-sebab dan alasan keberatan

tersebut”.

Setelah menerima keberatan yang dinyatakan secara

tegas oleh pihak yang tidak menyetujui ganti kerugian

atau laporan keberatan (bagi pihak yang “hanya

menolak saja”), gubernur meminta pertimbangan

Panitia Pengadaan Tanah Propinsi. Sebelum

Panitia Pengadaan Tanah Propinsi mengajukan usul

penyelesaian terhadap keberatan atas keputusan

panitia, maka Panitia Pengadaan Tanah Propinsi

meminta penjelasan kepada Panitia mengenai

proses pelaksanaan pengadaan tanah terutama

mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan

bilamana dianggap perlu dapat melakukan penelitian

ke lapangan.

Gubernur mengupayakan pemegang hak atas

tanah dan pemilik bangunan, tanaman dan/atau

benda-benda lain yang terkait dengan tanah yang

bersangkutan menyetujui bentuk dan besarnya ganti-

kerugian yang diusulkan Panitia Pengadaan Tanah

Propinsi. Namun apabila masih terdapat yang tidak

menyetujui penyelesaian sebagaimana diusulkan

Panitia Pengadaan Tanah Propinsi, gubernur

mengeluarkan keputusan bagi mereka dengan

mengukuhkan atau mengubah keputusan Panitia.

Kemudian para pihak (yang tidak menyetujui

keputusan panitia) menyampaikan pendapatnya

secara Tertulis kepada gubernur mengenai putusan

yang “mengukuhkan atau mengubah keputusan

Panitia” tersebut. Apabila masih terdapat pemegang

hak atas tanah, pemilik bangunan, tanaman dan/

atau benda-benda lain yang keberatan terhadap

keputusan Gubernur itu, instansi Pemerintah yang

memerlukan tanah melaporkan keberatan tersebut

dan meminta petunjuk mengenai kelanjutan rencana

pembangunan kepada Pimpinan Departemen/

Lembaga Pemerintah Non Departemen yang

membawahinya. Nantinya, Pimpinan Departemen/

Lembaga Pemerintah Non Departemen yang

membawahi instansi Pemerintah yang membutuhkan

tanah segera memberikan tanggapan secara tertulis

mengenai bentuk dan besarnya ganti-kerugian

tersebut serta mengirimkannya kepada Instansi

Pemerintah yang memerlukan tanah, dengan

ditembuskan kepada gubernur yang bersangkutan.

Apabila Pimpinan Departemen/Lembaga Pemerintah

Non Departemen dari Instansi Pemerintah yang

memerlukan tanah menyetujui permintaan pemegang

hak atas tanah, pemilik bangunan, tanaman dan/atau

benda-benda lain yang terkait dengan tanah yang

bersangkutan, Gubernur mengeluarkan keputusan

mengenai revisi bentuk dan besarnya ganti-kerugian

sesuai kesediaan atau persetujuan tersebut.

Dengan demikian, ada 2 (dua) keputusan Gubernur

tentang penyelesaian keberatan mengenai ganti-

kerugian yang diputuskan Panitia yakni :

1. Keputusan yang mengukuhkan atau mengubah

keputusan Panitia;

2. Keputusan mengenai revisi bentuk dan be-

sarnya ganti-kerugian sesuai dengan kesediaan

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 73-88Vol. 2 No. 1

82

atau persetujuan pimpinan Departemen/Lem-

baga Pemerintah Non Departemen yang mem-

bawahi instansi Pemerintah yang memerlukan

tanah.

Sesungguhnya keputusan Gubernur baik berupa

keputusan yang mengukuhkan atau mengubah

keputusan Panitia, ataupun keputusan revisi bentuk

dan besarnya ganti-kerugian, bukan merupakan

keputusan yang bersifat final dan dapat dipaksakan

kepada para pemegang hak atas tanah, pemilik

bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang

terkait dengan tanah yang bersangkutan.

Keppres No. 55 tahun 1993 menunjukan secara

jelas bahwa apa yang ditetapkan oleh Gubernur

dalam acara pelepasan atau penyerahan hak itu

bukanlah keputusan yang final. Dalam keadaan

yang mempunyai tanah tetap menolak, pilihan

adalah : proyek dibatalkan, dicarikan lokasi lain,

atau kalau tidak dapat diselenggarakan di lokasi lain

ditempuh acara pencabutan hak ditegaskan dalam

Pasal 21 ayat (1) Keppres No. 55 Tahun 1993. Pasal

27 PMNA/K.BPN No. 1 Tahun 1994 menambahkan

bahwa usul pencabutan hak atas tanah bisa, jika :

1. Lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan;

2. Sekurang-kurangnya 75% dari luas tanah yang

diperlukan atau 75% dari jumlah pemegang hak

telah dibayar ganti ruginya;

3. Pasal 21 ayat (1), (2), dan (3) Keppres No. 55

Tahun 1993 menentukan secara garis besar

tahapan usul pencabutan hak atas tanah sam-

pai dengan permintaan untuk melakukan pen-

cabutan hak atas tanah.

Pemikiran Penyelesaian lainSebelum Keppres No. 55 Tahun 1993

diberlakukan ada pemikiran Komisi II DPR yang

intinya menyarankan bahwa untuk mengatasi,

ketidaksepakatan mengenai besarnya ganti-kerugian

dalam pembebasan tanah, maka perlu diperbaiki

komposisi panitia Pengadaan tanah. Para pemilik

tanah atau kuasa hukumnya perlu diikutsertakan

dalam Panitia Pembebasan Tanah, menghindari

kesan bahwa dalam pembebasan tanah para pemilik

tanah menjadi pihak yang dirugikan (karena kecilnya

ganti-kerugian).

Boedi Harsono menyatakan bahwa mendudukkan

rakyat atau wakilnya sebagai anggota panitia

Pembebasan Tanah secara yuridis akan

memperlemah kedudukan para pemilik tanah, sebab

putusan Panitia Pembebasan Tanah akan mengikat

mereka selaku anggota.

Keppres No. 55 Tahun 1993 menyadari aspek hukum

pelepasan atau penyerahan itu, sehingga di dalam

komposisi keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah

tidak ditemukan wakil dari pemilik tanah. Sebab,

fungsi Panitia Pengadaan Tanah saat ini adalah

sebagai mediator antara pihak yang akan diambil

tanahnya dengan pihak yang akan memperoleh

tanah. Sesuatu misplace secara hukum jika

menempatkan pihak yang empunya tanah sebagai

mediator.

Selanjutnya, beberapa pelaksanan pembebasan

tanah yang menyelesaikan ketidaksepakatan ganti-

kerugian dengan menerapkan lembaga penawaran

yang diikuti dengan konsinyasi sudah mendapat

legitimasi dalam praktek pelaksanaan pembebasan

tanah, dapat dilihat dari Surat Edaran Dirjen

Anggaran No. SE. 124/A/1988 tanggal 1 Desember

1988 yang menyatakan agar bukti penitipan uang

ganti-rugi kepada Pengadilan Negeri dilampirkan

pada Surat Pertanggungjawaban (SPJP), sebagai

bukti pengeluaran uang proyek.

Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan (Studi Kasus Pengadaan Tanah Gambut Satu Juta Hektar Di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)

Umiyati

83

upaya Hukum yang dilakukan Pemerintah Maupun Masyarakat dalam Pelaksanaan Pengembangan lahan gambut untuk Tanaman Pangan di Kabupaten Kapuas dan Pembangunan Waduk Kedung ombo di Kabupaten boyolali

Upaya Hukum yang Dilakukan PemerintahMemperhatikan Peraturan Menteri Negara Agraria/

Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1994, susunan Panitia

Pengadaan Tanah untuk lokasi PLG satu juta hektar

telah mengalami perubahan berupa penambahan

jumlah keanggotaan kepanitiaan. Sebagaimana

disebutkan dalam Permenag/Ka.BPN tersebut hanya

berjumlah 9 orang tetapi menurut SK Bupati Nomor

16/580.1/BPN.42.2001 menjadi 14 orang. Adapun

susunan Panitia Pengadaan Tanah Sesuai dengan

Permenag/Ka.BPN No. 1 Tahun 1994 adalah : Wakil

Bupati Kabupaten Kapuas, Kepala Kantor Pertanahan

Kab. Kapuas, Kadis Pertanian dan Tanaman Pangan

Kab. Kapuas, Kadis. Perkebunan Kab. Kapuas, Kadis.

Perikanan Kab. Kapuas, Lurah/Kades Setempat,

Kepala Bagian Tapem Setda Kab. Kapuas, Kepala

Seksi Hak-Hak Atas Tanah pada Kantor Pertanahan

Kabupaten Kapuas. Membandingkan susunan

Kepanitiaan Pengadaan Tanah sebagaimana yang

diatur dalam Surat Keputusan Bupati Kapuas No.

16/580.1/BPN.42.201 dengan yang diatur dalam

Permenag/Ka.BPN No. 1 Tahun 1994 telah terjadi

penambahan dan perubahan jumlah keanggotaan

Panitia Pengadaan Tanah tersebut. SK. Bupati

No. 16/580.1/BPN.42.201 merupakan Keputusan

adminstrasi negara yang dibentuk sehubungan

adanya kebutuhan yang sangat mendesak akan

penyelesaian masalah tuntutan santunan tanam

tumbuh milik masyarakat yang terkena kegiatan

PLG satu juta hektar. SK tersebut dapat diasumsikan

sebagai Perda atas dasar pemenuhan tuntutan Surat

Menteri Pemukiman dan Praswil RI, kebutuhan

Pemda Kapuas untuk segera menyelesaikan tuntutan

masyarakat dan prinsip kebebasan bertindak yang

dibuat untuk mencapai suatu tujuan pemerintah yang

dibenarkan secara hukum. Aturan kebijakan lebih

bertolak pada aspek pencapai tujuan atau manfaat

(doelmatigheid) daripada dasar pembenaran secara

hukum. Tujuan manfaat (doelmatigheid) yang

hendak dicapai disini mengingat kondisi Lahan Satu

Juta Hektar yang telah terbangun sehingga akan

sulit untuk melakukan inventarisasi dan penelitian

lapangan untuk mengecek kebenaran tuntutan

masyarakat.

Adanya faktor kewenangan (bevoegheid) pada Bupati

sesuai dengan semangat otonomi daerah saat itu

(UU No. 22 Tahun 1999 sebelum diganti dengan UU

No. 32 Tahun 2004) yang memberikan kewenangan

yang luas dalam melakukan kebijakan di wilayahnya.

Kebijakan tersebut diterapkan oleh Bupati Kapuas

dengan menambah jumlah keanggotaan Panitia

Pengadaan Tanah dalam melakukan inventarisasi

dan pemeriksaan lapangan tuntutan masyarakat

yang diajukan kepada Pemerintah Pusat.

Salah satu model penyelesaian masalah

Kedungombo yang dilakukan Pemerintah Propinsi

Jawa Tengah adalah dengan cara merelokasi warga

ke lahan pengganti. Kebijakan ini bersifat spesifik,

karena hanya diberlakukan bagi warga kedungombo

yang belum bersedia/tidak mau menerima konsinyasi

ganti rugi. Sedangkan untuk kelompok warga lainnya

yang sebagian besar sudah menerima uang ganti rugi,

Pemerintah memberlakukan kebijakan rehabilitasi

yaitu memperbaiki atau membangun infrastruktur

di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial-

budaya, dan sebagainya.

Hal yang wajar apabila pemerintah lebih

memprioritaskan kebijakan relokasi ini bagi warga

yang belum bersedia menerima ganti rugi. Sebab,

seiring dengan penolakan tersebut, mereka

memutuskan hidup dikawasan sabuk hijau selama

belasan tahun. Padahal kawasan ini terlarang

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 73-88Vol. 2 No. 1

84

sebagai tempat hunian, sesuai aturan internasional

bahwa kawasan sabuk hijau terlarang untuk tempat

hunian, yang juga dipersyaratkan oleh Bank Dunia.

Pemerintah dimasa lalu sudah punya komitmen

dengan Bank Dunia dan tidak bisa diingkari oleh

pemerintah sekarang, sebab berdampak luas

terhadap perekonomian nasional.

Dari pertimbangan di atas tersaji dua fakta

sekaligus : kawasan sabuk hijau tak boleh dihuni,

tetapi pemerintah tidak boleh menyia-nyiakan

warga yang terlanjur tinggal di kawasan terlarang

itu. Dari bingkai inilah Pemerintah Propinsi Jawa

Tengah bergerak untuk mencari penyelesaian

yang bersifat menguntungkan kedua belah pihak

(win-win solution). Apabila kemudian Pemerintah

Propinsi Jateng memilih kebijakan relokasi, itu terjadi

secara bottom-up melalui forum rembug desa yang

menyerap aspirasi mayoritas warga kedungpiring.

Lebih dari itu, program relokasi menjadi solusi yang

menggambarkan win-win solution.

Untuk menjalankan konsep relokasi terhadap warga

kedungpring tersebut, Pemerintah yang didukung

sejumlah instansi terkait membagi tugas yang pada

intinya mencakup 3 kegiatan operasional, yakni :

1. Kegiatan Administratif

2. Identifikasi dan Peninjauan Lapangan

3. Penyusunan Rencana Aksi Persiapan Relokasi

Kegiatan administratif

1. Tanggal 24 April 2001 digelar rapat kajian ren-

cana relokasi bagi warga kedungpring, yang

berlangsung di kantor Kecamatan Kemusu.

2. Tanggal 4 April 2001 berlangsung rapat kajian

aspek hukum terhadap sikap warga yang me-

nolak uang konsinyasi. Forum ini menyepakati

bahwa secara prinsip (fakta hukum) ganti rugi

tanah telah selesai dengan adanya putusan MA

Reg. No. 650 PK/Pdt/1994.

3. Data per Mei 2001, jumlah uang ganti rugi yang

dikonsinyasikan di PN Boyolali dan belum diam-

bil tercatat Rp. 678.114.882, yang meliputi 642

bidang

Identifikasi dan Peninjauan Lapangan

1. Tanggal 8 mei 2001 diadakan identifikasi dan

peninjauan lapangan.

2. Lokasi yang dipilih Kelompok Mbah Jenggot

berada pada sisi tenggara dari dusun kedung-

pring, dan termasuk dalam petak 158 BKPH

Grenjengan, KPH Telawa, Desa Kedungrejo,

Kemusu. Lahan yang diperlukan sekitar 20 Ha.

Sedangkan lokasi yang dipilih Kelompok Darso-

no berada pada sisi utara Dusun Kedungpring,

termasuk dalam petak 143 BKPH Granjengan,

KPH Telawa, dengan luas lahan yang diperlu-

kan sekitar 14,5 Ha.

Penyusunan rencana aksi Persiapan relokasi

Program-program aksi yang dijalankan menggunakan

berbagai konsep pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan Kelompok Mbah Jenggot

a. Alokasi bantuan maksimal yang

diberikan pada kelompok ini sebesar Rp.

275.775.000,-

b. Kegiatan aksi lapangan yang dapat

dibiayai dengan dana tersebut adalah

: (a) bantuan biaya pindah bagi 24 KK

sebesar Rp. 36.000.000,-; (b) Bantuan

untuk pembangunan pondasi rumah 24

unit sebesar Rp. 70.625.000,-; (c) bantuan

perbaikan dan pembangunan kembali

rumah warga sebesar Rp. 169.150.000,-

2. Pendekatan Kelompok Darsono

a. Alokasi bantuan maksimal yang diberikan

kepada kelompok ini sebesar Rp.

809.100.000,-

b. Kegiatan aksi lapangan yang dapat

dibiayai dengan dana tersebut adalah

(a) bantuan biaya pindah bagi 62 KK

sebesar Rp. 93.000.000,-; (b) bantuan

Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan (Studi Kasus Pengadaan Tanah Gambut Satu Juta Hektar Di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)

Umiyati

85

untuk pembangunan pondasi rumah 62

unit sebesar Rp. 155.280.000,; (c) bantuan

perbaikan dan pembangunan kembali

rumah warga sebesar Rp. 560.820.000,-

Namun upaya untuk merealisasi rencana relokasi

mengalami beberapa kendala yang tidak ringan.

Misalnya pada tanggal 22 Januari 2002 Gubernur

mengirim surat kepada Menteri Kehutanan yang

isinya meminta izin membuka lahan di areal milik

perhutani. Namun sampai sekian lama belum ada

jawaban dari menhut, sehingga relokasi belum juga

bisa dilaksanakan. Akhirnya, Gubernur secara

tertulis mengeluarkan izin yang mendahului izin

Menteri Kehutanan.

upaya yang dilakukan Masyarakat Kedung ombo dalam PembelaanOleh karena belum semua warga menyepakati

nilai ganti rugi, maka masalah pembebasan tanah

mengalami hambatan yang serius. Oleh sebab itu,

Menteri PU mengeluarkan Surat Nomor –TN 01.20

Mn/725 tertanggal 29 Oktober 1988 yang ditujukan

kepada Mahkamah Agung (MA), untuk memohon

petunjuk pelaksanaan ganti rugi dalam rangka

pembebasan tanah untuk kepentingan proyek

pembangunan Waduk Kedungombo.

Atas permohonan tersebut, MA mengeluarkan fatwa

Nomor : 578/1320/88/11/UMTU/Pdt tertanggal 16

November 1988, yang menyatakan bahwa uang

ganti rugi tanah milik penduduk yang tidak atau belum

diambil warga dari Panitia Pelaksana Pembebasan

Tanah/Pemimpin Proyek, pelaksanaannya dilakukan

dengan menggunakan Lembaga Penawaran

Pembayaran, yang diikuti dengan konsinyasi lewat

Pengadilan Negeri (PN) terdekat.

Fatwa MA dan putusan yang diambil PN Boyolali soal

nilai ganti rugi dan sistem konsinyasinya ditentang

habis-habisan oleh sejumlah warga yang tergabung

dalam Paguyuban Warga Kedungombo (PWK), yang

saat itu dikomandani Darsono. Bahkan pada tanggal

13 Juni 1999, 54 warga Kedungpring yang mewakili

500 rekan-rekan senasib mengajukan permohonan

ganti rugi ke PN Semarang.

Substansi gugatan adalah Gubernur mengeluarkan

SK. No. 593.8/105/1988 tentang pedoman

penetapan nilai ganti rugi. Surat Keputusan yang

diterbitkan per tanggal 2 mei 1988 itu dianggap tanpa

sepengetahuan para penggugat. Padahal, ketika

itu belum ada persetujuan ganti rugi antara tergugat

dengan para penggugat. Tetapi PN. Semarang

mengambil putusan menolak permohonan pihak

Penggugat. Atas Putusan ini, warga mengajukan

banding ke Pengadilan Tinggi Semarang. Dalam

putusan tertanggal 19 April 1991, PT Semarang justru

menguatkan putusan Pengadilan Negeri Semarang.

Selain daripada itu perlawanan rakyat tanpa

kekerasan dilakukan secara simbolik dalam bentuk

menolak mengambil ikan dari waduk, serta menolak

pindah ke permukiman pengganti yang disediakan

pemerintah. Mereka juga melancarkan protes politis,

misalnya berunjuk rasa ke kantor Gubernur dan

Gedung DPRD Jawa Tengah, Kantor Bupati Boyolali,

dan berdemonstrasi di lokasi Waduk.

KESIMPULANBerdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa akibat hukum dari pengadaan

tanah terhadap hak atas tanah yang terdapat pada

areal PLG satu juta hektar terdiri dari tanah negara,

dikuasai secara Adat dan Tanah Ulayat dimana ganti

rugi yang diberikan berupa pembangunan Fasilitas

umum. Sedangkan pengadaan tanah yang telah

berstatus hak diberikan ganti rugi sesuai hak atas

tanah yang dimilikinya. Sedangkan untuk waduk

kedung ombo dengan cara merelokasi warga ke

lahan pengganti dan kebijakan rehabilitasi.

Pelaksanaan pengembangan lahan sejuta hektar di

Kapuas dan pembangunan Waduk Kedung Ombo di

Boyolali dilaksanakan dengan beberapa cara antara

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 73-88Vol. 2 No. 1

86

lain :

1. Dasar Hukum yang dipakai untuk pembangunan

waduk kedung ombo dalam pembebasan tanah

adalah PMDN No. 15/1975 tentang Ketentuan-

ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan

Tanah, sedangkan untuk lahan gambut sejuta

hektar dengan Keppres No. 55 tahun 1993 dan

PP No.36 Tahun 2005;

2. Bentuk-bentuk atau cara yang digunakan dalam

pemberian ganti rugi adalah (a) pemberian ganti

kerugian berupa uang; (b) merelokasi masyara-

kat ketempat yang telah disediakan.

3. Bagi para pemilik tanah yang belum atau tidak

mengambil uang ganti kerugian maka uang

tersebut dititipkan ke Pengadilan Negeri (Kon-

sinyasi).

SARAN1. Pada hakekatnya pada saat terjadi pembangu-

nan yang memerlukan tanah yang luas dilaku-

kan dengan pembebasan tanah, maka saat itu

pula telah tercipta masalah yang jauh lebih be-

sar dibidang pertanahan. Hal ini dikarenakan

pemilik tanah yang dibebaskan akan mencari

tempat baru untuk hidup dan berinteraksi den-

gan lingkungan barunya yang tentunya memba-

wa masalah yang lebih kompleks lagi. Sehingga

alangkah baiknya merelokasi masyarakat yang

tanahnya terkena pengadaan tanah.

2. Perlu dibuat aturan khusus di bidang Hukum

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pemban-

gunan Untuk Kepentingan Umum dimana pem-

bangunan dilakukan proses Inventarisasi dan

Pendataan hak atas tanah.

UCAPAN TERIMA KASIHPenulis mengucapkan terima kasih kepada kepada

tim redaksi atas bimbingannya sehingga tulisan ini

layak untuk diterbitkan.

DAFTAR ACUAN

buku

Ginting, J., 2006. Aspek Prosedural Pada Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum (Studi Terhadap

Proyek Pengembangan Lahan Gambut

Satu Juta Hektar). Tesis Program Pasca

Sarjana Universitas Lambung Mangkurat,

Banjarmasin.

Isfariyanto, 2012. Aspek Hukum Pemberian Ganti

Rugi Dalam Peraturan-peraturan Tentang

Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan

Kepentingan Umum., http://usfariyanto.

blogspot.com/2012/04/aspek-hukum-

pemberian-ganti-rugi-dalam.html, Diakses

tanggal 27 April 2012

Karmono, 2005. Pelaksanaan Pemberian Ganti Rugi

Dalam Rangka Pengadaan Tanah Untuk

Proyek Pembangunan Waduk Kedung

Ombo di Wilayah Kabupaten Boyolali

(Kajian Sosio-Yuridis pada efektifitas

hukum guna melindungi golongan yang

lemah dalam masyarakat., Tesis Program

Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,

Semarang.

Karsono (2010) Analisis Ekonomi Politik Pengadaan

Tanah Jalan Tol Semarang-Solo Ruas

Semarang-Bawen di Provinsi Jawa

Tengah, Tesis, Universitas Diponegoro,

Semarang.

Sudargo, Gautama (1997) Tafsiran Undang-Undang

Pokok Agraria, Alumni, Bandung

Sudargo, Gautama dan Ellyda T. Soetiyanto (1996)

Komentar Atas Peraturan-Peraturan

pelaksanaan Undang-Undang Pokok

Agraria. Citra Aditya Bakti, Bandung

S.W. Sumardjono, Maria (2007) Kebijakan Pertanahan

Antara Regulasi dan Implementasi.

Tine, Supriadi K (2009) Analisis Hukum Tentang

Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan (Studi Kasus Pengadaan Tanah Gambut Satu Juta Hektar Di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)

Umiyati

87

Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum di Kabupaten

Gorontalo, Tesis, Universitas Muslim

Indonesia, Makassar.

Peraturan dan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Ketentuan

Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang No. 20 tahun 1961 tentang Tentang

Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan

Benda-benda yang ada di atasnya.

Undang-Undang No. 2 tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum

Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang

Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk kepentingan Umum

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden

Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 73-88Vol. 2 No. 1

88

Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah

Trie Sakti

89

PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH DAN KESIAPAN PEMERINTAH DAERAH

IMPlEMENTaTIoN laNd’s ProcurEMENT aNd local goVErNMENT rEadINEss

Trie SaktiPusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jalan H. Agus Salim Nomor 58, Jakarta, [email protected]

ABSTRAKSelama ini pengadaan tanah yang dilaksanakan oleh Pemerintah dianggap kurang memberikan keadilan pada masyarakat

terutama dalam hal penilaian atas ganti kerugian, kurangnya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, fluktuasi harga

yang tidak menentu serta tenggang waktu pengadaan tanah yang tidak pasti. Sehubungan dengan hal itu maka Pemerintah

telah mengeluarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna

meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan. masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum

Pihak yang Berhak. Dalam UU ini, Pengadaan Tanah dilaksanakan dalam 4 tahapan, pertama tahap perencanaan, setiap

instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum membuat rencana pengadaan tanah dalam

bentuk dokumen perencanaan, yang kemudian disampaikan kepada Gubernur; kedua, tahap persiapan, setelah menerima

dokumen perencanaan pengadaan tanah, Gubernur membentuk tim persiapan; ketiga tahap pelaksanaan, pelaksanaan

pengadaan tanah diselenggarakan oleh Kepala BPN, yang dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN selaku Ketua

pelaksana pengadaan tanah; dan tahap penyerahan hasil, ketua pelaksana pengadaan tanah menyerahkan hasil pengadaan

tanah kepada instansi yang memerlukan tanah disertai data pengadaan tanah, paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak pelepasan

hak objek pengadaan tanah.

Kata kunci : pelaksanaan, pengadaan tanah, pemerintah daerah.

absTracTDuring this far, land’s procurement by government, been considered less fair to community, especially in compensation’s

value, lacking of community’s participation and empowerment, price fluctuation, and uncertain land’s procurement time.

Based on that situation, Government has published National’s Law No. 2 in 2012 about Land’s Procurement Policy for Public

Interest Development. It aims to provide land for development activity to enhance people’s prosperity by ensure legal rights of

land owner. In this Law, Land’s Procurement been enrolled in four steps. First, Planning; every institution who needs land for

their development make planning in form of planning’s documentation which be sent to Governor. Second, Preparation; after

receive the document, Governor arranges Preparation Team. Third, Action; land is been procured by Head of National Land

Agency, and been run by Head of Regional Bureau of National Land Agency as Head Operation Land’s Procurement. Fourth,

Results Submission; Head Operation Land’s Procurement submit land’s procurement result to the institution whom needed,

completed with land’s procurement data, at least in seven working days after the object rights of land procurement been given.

Keywords : action, land’s procurement, local government.

PENDAHULUANSetiap rencana pembangunan fisik yang

direncanakan Pemerintah sudah pasti diperlukan

bidang tanah, baik dalam skala besar, menengah atau

kecil. Namun kenyataan di lapangan membuktikan

bahwa Pemerintah selalu dihadapkan pada banyak

hambatan untuk memperoleh atau mendapatkan

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1

90

bidang tanah dimaskud. Sudah terlalu sulit untuk

memperoleh atau mendapatkan bidang tanah

berstatus tanah Negara bebas, terutama diwilayah

perkotaan. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk

Indonesia yang berdasarkan berita mencapai kurang

lebih sebanyak 220 juta jiwa, berakibat diseluruh

wilayah pedesaan pun sudah padat dengan

penduduk, kecuali bidang tanah yang dikuasai

langsung oleh lembaga pemerintah sendiri. Hak-

hak atas tanah milik penduduk sudah barang tentu

dilindungi oleh peraturan perundangan yang berlaku.

Hak-hak atas tanah milik penduduk tentunya

dilindungi oleh UUD 1945 setelah amandemen,

dinyatakan dalam pasal 28 H ayat (4) sebagai Hak

Asasi manusia, bahwa ”setiap orang mempunyai hak

milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil

alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Oleh

karenanya, tindakan pengurangan atau peniadaan

hak seseorang atas tanah karena diperlukan pihak

lain harus diatur dalam undang-undang.

Bagi bangsa Indonesia tanah adalah karunia Tuhan

Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan nasional,

serta hubungan antara bangsa Indonesia dengan

tanah bersifat abadi. Oleh karena itu harus dikelola

secara cermat pada masa sekarang maupun

untuk masa yang akan datang. Masalah tanah

adalah masalah yang menyangkut hak rakyat yang

paling dasar. Tanah disamping mempunyai nilai

ekonomis juga berfungsi sosial. Fungsi sosial disini

dimaksudkan apabila Pemerintah membutuhkan

tanah untuk kepentingan pembangunan maka

masyarakat harus memberikan tanahnya yang

kemudian akan diberikan ganti kerugian.

Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil,

makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, pemerintah perlu melaksanakan

pembangunan, dan untuk menjamin terselenggaranya

pembangunan untuk kepentingan umum, diperlukan

tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan

mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis,

dan adil. Selama ini pengadaan tanah yang

dilaksanakan oleh Pemerintah dianggap kurang

memberikan keadilan pada masyarakat terutama

dalam hal penilaian atas ganti kerugian, kurangnya

partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, fluktuasi

harga yang tidak menentu serta tenggang waktu

pengadaan tanah yang tidak pasti.

Oleh karena itu Pemerintah menganggap penting

untuk segera menyusun UU tentang Pengadaan

Tanah, dengan berprinsip pada a) Pemerintah

dan Pemda menjamin ketersediaan tanah untuk

kepentingan umum, b) hak masyarakat diakui dan

diperlakukan secara adil, c) mengatasi spekulasi

tanah.

Selama ini berbagai peraturan telah dikeluarkan

Pemerintah untuk mengatur pembebasan tanah,

yang kemudian istilah pembebasan tanah ini direvisi

dengan istilah pengadaan tanah sejak dikeluarkannya

Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang

Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan

Untuk kepentingan Umum. Keppres Nomor 55

tahun 1993 mendefinisikan kepentingan umum

sebagai kepentingan seluruh lapisan masyarakat,

sedangkan lingkup pembangunan untuk kepentingan

umum dibatasi untuk kegiatan pembangunan yang

dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta

tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam

bidang-bidang yang meliputi 14 item

Dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 34

tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang

Pertanahan, dimana dalam salah satu pasalnya

menyatakan :

1. sebagian kewenangan Pemerintah di bidang

pertanahan berupa penyelenggaraan pen-

gadaan tanah untuk kepentingan pembangunan

dilaksanakan oleh Pemerintah Kota/Kabupaten;

2. pelaksanaan pengadaan tanah dilakukan oleh

Bupati/Walikota;

3. BPN menetapkan standar dan norma pelaksa-

Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah

Trie Sakti

91

naan pengadaan tanah;

4. Panitia Pengadaan wajib melaporkan hasil

pelaksanaan kepada BPN.

Dengan demikian maka penyelenggaraan

pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan

dilaksanakan oleh Pemerintah Kota/Kabupaten.

Kemudian hal ini diatur pula dalam PP No. 34 tahun

2008 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi,

Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Keluarnya Peraturan Presiden Nomor 36 tahun

2005 untuk menyempurnakan Keppres Nomor 55

tahun 1993 karena Keppres tersebut dianggap

belum memenuhi kebutuhan pengadaan tanah bagi

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan

umum.Dalam konsiderans menimbang disebutkan

bahwa latar belakang diterbitkannya Perpres Nomor

36 tahun 2005 yaitu, a)dengan meningkatnya

pembangunan untuk kepentingan umum yang

memerlukan tanah, maka pengadaannya prlu

dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap

memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-

hak yang sah atas tanah;b)bahwa pengadaan tanah

bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan

umum sebagaimana telah ditetapkan dengan

Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 sudah

tidak sesuai sebagai landasan hukum dalam rangka

melaksanakan pembangunan untuk kepentingan

umum.

Pengadaan Tanah yang diatur dalam Perpres Nomor

36 tahun 2005 ada tiga jenis, yaitu 1) pengadaan

tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan oleh Pemerintah atau Pemerintah

Daerah yang luas tanahnya lebih dari satu hektar

disebut pengadaan tanah untuk kepentingan umum,

dilaksanakan dengan bantuan Panitia Pengadaan

Tanah; 2) pengadaan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan untuk kepentingan umum oleh

Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang luas

tanahnya kurang dari satu hektar disebut Pengadaan

tanah berskala kecil, dilaksanakan tanpa bantuan

Panitia Pengadaan Tanah dan; 3) pengadaan

tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan

untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau

Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli,

tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara

suka rela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Adanya kontroversi mengenai Perpres Nomor

36 tahun 2005 yang dinilai sangat merugikan

masyarakat, terutama mengenai persepsi

kepentingan umum, proses musyawarah dan

pencabutan hak mengakibatkan terjadinya revisi

terhadap Perpres tersebut dengan keluarnya Perpres

Nomor 65 tahun 2006 tentang Perubahan Terhadap

Perpres Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum.

Dalam Perpres ini terdapat beberapa perubahan

terutama mengenai materi kepentingan umum

mengalami pengurangan menjadi 7 (tujuh) item

meliputi a)jalan umum dan jalan tol, kereta api,

saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan

air dan saniatasi; b) waduk, bendungan, bendungan

irigasi dan bangunan pengairan lainnya; c)pelabuhan,

bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;

d)fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul

penanggulangan bahaya banjir, lahar danlain-lain

bencana; e) tempat pembuangan sampah; f) cagar

alam dan cagar budaya dan g) pembangkit,transmisi,

distribusi tenaga listrik.

Mekanismenya pun mengalami perubahan yakni

terdapat unsur Lembaga Penilai Independen

yang dalam Perpres Nomor 36 tahun 2005 dapat

menetapkan harga namun dalam revisinya lembaga

Independen hanya melakukan penilaian dasar ganti

rugi sedangkan penetapan besarnya ganti rugi

ditetapkan oleh Panitia pengadaan Tanah. Komposisi

Panitia Pengadaan Tanah juga mengalami perubahan

dengan masuknya unsur Badan Pertanahan Nasional

dalam keanggotaan Panitia Pengadan Tanah.

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1

92

Selama ini peraturan mengenai pengadaan

tanah dianggap belum mampu mengoptimalkan

pelaksanaan pengadaan tanah sehingga proyek

pembangunan banyak yang terhenti. Oleh karenanya

Pemerintah menganggap penting untuk segera

menyusun UU tentang Pengadaan Tanah, dengan

berprinsip pada a) Pemerintah dan Pemda menjamin

ketersediaan tanah untuk kepentingan umum, b) hak

masyarakat diakui dan diperlakukan secara adil, c)

mengatasi spekulasi tanah.

Sehubungan dengan hal itu maka Pemerintah telah

mengeluarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2012

tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum. Pengadaan Tanah untuk

Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah

bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan

kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara,

dan. masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan

hukum Pihak yang Berhak

Dasar konstitusional dan yuridis dari UU

Pengadaan Tanah adalah disusun dengan

memperhatikan :

1. Pemerintah atau Pemerintah Daerah menjamin

ketersediaan tanah untuk kepentingan umum.

a. pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi,

air dan kekayaan alam dikuasai oleh

Negara dan digunakan untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat;

b. pasal 28 ayat 2 UUD 1945 bahwa dalam

menjalankan hak dan kebebasannya setiap

orang wajib tunduk kepada pembatasan

yang ditetapkan dengan Undang-Undang

dengan maksud semata-mata untuk

menjamin pengakuan serta penghormatan

atas hak dan kebebasan orang lain dan

untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai

dengan pertimbangan moral, nilai-nilai

agama, keamanan dan ketertiban umum

dalam suatu masyarakat yang demokratis;

c. pasal 6 UUPA bahwa semua hak atas

tanah mempunyai fungsi sosial.

2. Hak Masyarakat diakui dan diperlakukan secara

adil.

a. Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945

Negara mengakui dan menghormati kesa-

tuan-kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya sepan-

jang masih hidup dan sesuai dengan per-

kembangan masyarakat dan prinsip Ne-

gara kesatuan Republik Indonesia, yang

diatur dalam UU.

b. Pasal 28 G ayat 1 UUD 1945

Setiap orang berhak atas perlindungan diri

pribadi, keluarga, kehormatan, martabat

dan harta benda yang dibawah kekuasa-

annya, serta berhak atas rasa aman, dan

perlindungan dari ancaman ketakutan

untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu

yang merupakan hak asasi.

c. Pasal 28 H ayat 4 UUD 1945

Setiap orang berhak untuk mempunyai hak

milik pribadi.

3. Pencegahan Spekulasi karena spekulasi ber-

tentangan dengan pancasila dan Pembangunan

UUD 1945.

ISTILAH DAN PENGERTIAN PENGADAAN TANAH SECARA KRONOLOGISSetiap rencana pembangunan fisik yang dilakukan

oleh Pemerintah pasti memerlukan bidang

tanah dalam skala besar maupun kecil. Dalam

praktek Pemerintah menjumpai banyak kesulitan

mendapatkannya, oleh karena minimnya tanah

negara, terutama di wilayah perkotaan, pada

umumnya bidang tanah sudah dibebani dengan

sesuatu jenis hak atas tanah oleh pihak ketiga.

Mengenai bagaimana tata cara memperoleh bidang

tanah yang telah dikuasai pihak ketiga itu, telah

banyak peraturan perundangan dikeluarkan oleh

Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah

Trie Sakti

93

Pemerintah, namun dengan istilah yang berbeda-

beda walaupun dengan tujuan yang sama. Apabila

dikaji, perbedaan istilah itu timbul karena adanya

pangkal berpikir atau maksud perbuatan untuk

memperoleh bidang tanah itu berbeda.

Dalam tinjauan pustaka ini, pengertian mengenai

istilah pengadaan tanah dibatasi dalam lingkup tata

cara perolehan bidang tanah secara musyawarah.

Di zaman Pemerintahan Hindia Belanda, masalah

tata cara memperoleh bidang tanah untuk

kepentingan pemerintah, diatur dalam Bijblad

(Tambahan Lembaran Negara) 11372 jo. 12746 yang

berjudul “Het verkrijgen van de vrije beschikking over

ten behoeve van de lande benoodigde gronden”. Ada

yang menterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

sebagai berikut: “pengambilan tanah untuk keperluan

Pemerintah”.

Di dalam surat Menteri Keuangan tgl 25 Agustus

1957 No. 158641/G.T. dan surat Menteri Agraria tgl

27 Januari 1958 No.Ka.34/I/14, terdapat penggunaan

istilah “pembelian tanah untuk keperluan dinas”.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria,

yang diatur adalah mengenai pencabutan hak atas

tanah, ialah diatur dalam Pasal 18.

Oleh karena Undang-undang Pokok Agraria tidak

secara khusus mengatur masalah pengambilan

tanah secara musyawarah, maka pada saat itu tetap

berlaku ketentuan dalam Bijblad 11372 jo.12746.

Hal ini didasarkan pada Pasal 58 Undang-Undang

Pokok Agraria yang berbunyi:

“Selama peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hak atas tanah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai

dengan itu.”

Berdasarkan ketentuan peralihan tersebut Pasal 58

di atas, maka Bijblad 11372 jo 12746 tetap berlaku

sampai dengan berlakunya Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-

Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah

Setelah berlakunya Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tersebut, istilah yang

dipergunakan adalah berubah. Pasal 1 ayat 1

berbunyi :

“Yang dimaksud dengan pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat di antara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi.”

Dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria

Departemen Dalam Negeri tgl.3 Desember 1975

No.Ba.12/108/12/75 sebagai pengantar peraturan

tersebut di atas dinyatakan mengenai pengertian

“pembebasan tanah” itu, sebagai berikut:

“Yang dimaksud dengan pembebasan tanah ialah setiap perbuatan yang bermaksud langsung atau tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang ada antara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak/penguasa atas tanah itu.”

Istilah yang digunakan di sini ialah “pembebasan

tanah”, tidak lagi menggunakan istilah pengambilan

atau pembelian tanah, walaupun tujuannya sama.

Selanjutnya dengan berlakunya Keputusan Presiden

Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah

Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan

Umum, istilah yang digunakan adalah “pengadaan

tanah”, bukan lagi dengan pembebasan tanah.

Adapun pengertian pengadaan tanah terdapat dalam

Pasal 1 angka 1 dan 2 yang berbunyi :

1. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk

mendapatkan tanah dengan cara memberikan

ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah

tersebut.

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1

94

2. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah

adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum

antara pemegang hak atas tanah dengan tanah

yang dikuasainya dengan memberikan ganti

rugi atas dasar musyawarah.

Dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993

ini dibedakan mengenai pengadaan tanah berskala

besar dan skala kecil. Adapun mengenai pengadaan

tanah dengan skala kecil diatur dalam pasal 21 yang

berbunyi:

“Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) Ha, dapat dilakukan langsung oleh instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli atau tukra menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak”. Sedangkan yang skala besar yaitu lebih dari satu hektar dilakukan melalui Panitia Pengadaan Tanah.

Mengenai pengadaan tanah skala kecil selanjutnya

diperjelas dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/

Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun

1994 pasal 41 sebagai peraturan pelaksanaan, yang

berbunyi :

“apabila tanah yang diperlukan luasnya tidak lebih dari 1 (satu) Ha, setelah menerima persetujuan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat 3, instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dapat melaksanakan pengadaan tanah tersebut secara langsung dengan pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman dan/atau benda lain yang terkait dengan tanah yang bersangkutan atas dasar kesepakatan”.

Berdasarkan ketentuan dalam Keputusan Presiden

Nomor 53 Tahun 1993 dan Peraturan Menteri Agraria/

Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun

1994 diatur 3 (tiga) jenis tata cara pengadaan tanah

sebagai berikut :

1. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pemban-

gunan untuk kepentingan umum oleh Pemerin-

tah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau

penyerahan hak atas tanah.

2. Pengadaan tanah oleh instansi Pemerintah yang

bukan untuk kegiatan pembangunan kepentin-

gan umum, dilaksanakan secara langsung oleh

instansi Pemerintah yang memerlukan tanah

atas dasar musyawarah dengan pemegang hak

atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman dan/

atau benda-benda lain yang terkait dengan ta-

nah yang bersangkutan.

3. Pengadaan tanah dalam skala kecil yang luas-

nya tidak lebih dari 1 (satu) Ha.

Dalam perkembangan selanjutnya ternyata

Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 itu dicabut

kembali dengan keluarnya Peraturan Presiden

Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah

Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan

Umum.

Adapun yang menjadi latar belakang dicabutnya

Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 itu, oleh

karena dianggap sudah tidak sesuai lagi sebagai

landasan hukum dalam rangka melaksanakan

pembangunan untuk kepentingan umum. Pengadaan

tanah perlu dilakukan secara cepat dan transparan

dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan

terhadap hak-hak yang sah atas tanah.

Namun demikian pengertian dan rumusan

pengadaan tanah berdasarkan Peraturan Presiden

Nomor 36 Tahun 2005 pada hakekatnya adalah sama

sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden

Nomor 55 Tahun 1993. Perbedaan yang ada terletak

pada ketentuan tentang penitipan uang ganti rugi

kepada Pengadian Negeri.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005,

soal pengadaan tanah dan pencabutan hak dirangkai

dalam satu ayat, tetapi dalam Keputusan Presiden

Nomor 55 Tahun 1993 kedua materi hukum itu

dipisah dalam 2 pasal. Pasal 1 angka 3 berbunyi:

Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda

Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah

Trie Sakti

95

yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.

Pasal 2 ayat 1 berbunyi:

Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara: a) pelepasan atau penyebaran hak atas tanah, atau; b) pencabutan hak atas tanah

Adanya berbagai reaksi terhadap pengertian

pengadaan tanah pada akhirnya melahirkan

Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun

2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Perubahan yang dilakukan antara lain meliputi

ketentuan :

1. pasal 1 angka 3 diubah sehingga berbunyi :

“Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk

mendapatkan tanah dengan cara memberikan

ganti rugi kepada yang melepaskan atau meny-

erahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-

benda yang berkaitan dengan tanah”.

2. Pasal 2 ayat 1 diubah sehingga berbunyi : “Peng-

adaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan

untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau

Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara

pelepasan atau penyerahan hak atas tanah”.

3. Pasal 3 sehingga berbunyi : “pelepasan atau

penyerahan hak atas tanah sebagaimana di-

maksud dalam pasal 2 dilakukan berdasarkan

prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah”.

4. Pasal 5 sehingga berbunyi : “Pembangunan un-

tuk kepentingan umum yang diaksanakan Pe-

merintah atau Pemerintah daerah sebagaimana

dimaksud dalam pasal 2, yang selanjutnya dimi-

liki atau akan dimiliki oleh Pemerintah Daerah,

meliputi :

a. jalan umum dan jalan tol, kereta api (di

atas tanah, diruang atas tanah, ataupun

di ruang bawah tanah), saluran air minum/

air bersih, saluran pembuangan air dan

sanitasi;

b. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan

bangunan pengairan lainnya;

c. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta

api dan terminal;

d. fasilitas keselamatan umum, seperti

tanggul penanggulangan bahaya banjir,

lahar dan lain-lain bencana;

e. tempat pembuangan sampah;

f. cagar alam dan cagar budaya; dan

g. pembangkit,transmisi, distribusi tenaga

listrik.

TAHAPAN PELAKSANAAN PENGADAAN TANAHPelaksanaan Undang-Undang Pengadaan Tanah

dilakukan berdasarkan asas:

1. kemanusiaan;

2. keadilan;

3. kemanfaatan;

4. kepastian;

5. keterbukaan;

6. kesepakatan;

7. keikutsertaan;

8. kesejahteraan;

9. keberlanjutan; dan

10. keselarasan.

Adapun Tanah untuk Kepentingan Umum yang akan

digunakan untuk pembangunan meliputi :

1. pertahanan dan keamanan nasional;

2. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta

api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi

kereta api;

3. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air

minum, saluran pembuangan air dan sanitasi,

dan bangunan pengairan lainnya;

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1

96

4. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;

5. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;

6. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan dis-

tribusi tenaga listrik;

7. jaringan telekornunikasi dan inforrnatika Pemer-

intah;

8. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;

9. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;

10. fasilitas keselamatan umum;

11. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemer-

intah Daerah;

12. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang ter-

buka hijau publik;

13. cagar alam dan cagar budaya;

14. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;

15. penataan perrnukiman kurnuh perkotaan dan/

atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk

masyarakat berpenghasilan rendah dengan sta-

tus sewa;

16. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/

Pemerintah Daerah;

17. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah

Daerah; dan

18. pasar umum dan lapangan parkir umum.

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

sebagaimana dimaksud diatas wajib diselenggarakan

oleh Pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki

Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Dalam hal

Instansi yang memerlukan Pengadaan Tanah untuk

Kepentingan Umum adalah Badan Usaha Milik

Negara, tanahnya menjadi milik Badan Usaha Milik

Negara. Pembangunan untuk Kepentingan Umum

wajib diselenggarakan Pemerintah dan dapat bekerja

sama dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan

Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta.

Dalam hal pembangunan pertahanan dan keamanan

nasional maka pembangunannya diselenggarakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

diselenggarakan melalui tahapan perencanaan,

persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil.

PerencanaanInstansi yang memerlukan tanah membuat

perencanaan Pengadaan Tanah untuk

Kepentingan Umum menurut ketentuan peraturan

perundangundangan. Perencanaan tersebut harus

didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah

dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam

Rencana Pembangunan Jangka Menengah,

Rencana Strategis, Rencana Kerja Pernerintah

Instansi yang bersangkutan.

Perencanaan tersebut disusun dalam bentuk

dokumen perencanaan Pengadaan Tanah, yang

paling sedikit rnemuat:

1. maksud dan tujuan rencana pembangunan;

2. kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang

Wilayah dan Rencana Pembangunan Nasional

dan Daerah;

3. letak tanah;

4. luas tanah yang dibutuhkan;

5. gambaran umum status tanah;

6. perkiraan waktu pelaksanaan Pengadaan Ta-

nah;

7. perkiraan jangka waktu pelaksanaan pemban-

gunan;

8. perkiraan nilai tanah; dan

9. rencana penganggaran.

Dokumen perencanaan Pengadaan Tanah

sebagaimana di atas disusun berdasarkan studi

kelayakan yang dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundangundangan, dan

ditetapkan oleh Instansi yang memerlukan tanah

serta diserahkan kepada pemerintah provinsi.

Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah

Trie Sakti

97

PersiapanLangkah yang harus dilakukan oleh Instansi yang

memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi

berdasarkan dokumen perencanaan Pengadaan

Tanah melaksanakan:

1. pemberitahuan rencana pembangunan;

2. pendataan awal lokasi rencana pembangunan;

dan

3. Konsultasi Publik rencana pembangunan.

Pemberitahuan Rencana PembangunanPemberitahuan rencana pembangunan disampaikan

kepada masyarakat pada rencana lokasi

pembangunan untuk Kepentingan Umum, baik

langsung maupun tidak langsung

Pendataan Awal Lokasi Rencana PembangunanPendataan awal lokasi rencana pembangunan

sebagaimana dimaksud meliputi kegiatan

pengumpulan data awal Pihak yang Berhak dan Objek

Pengadaan Tanah. Pendataan awaI dilaksanakan

daIam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja

sejak pemberitahuan rencana pembangunan. Hasil

pendataan awal lokasi rencana pembangunan

digunakan sebagai data untuk pelaksanaan

Konsultasi Publik

Konsultasi Publik Rencana PembangunanKonsultasi Publik rencana pembangunan

sebagaimana dimaksud dilaksanakan untuk

mendapatkan kesepakatan lokasi rencana

pembangunan dari Pihak yang Berhak. Konsultasi

Publik dilakukan dengan melibatkan Pihak yang

Berhak dan masyarakat yang terkena dampak serta

dilaksanakan di tempat rencana pembangunan

Kepentingan Umum atau di tempat yang disepakati.

Pelibatan Pihak yang Berhak dapat dilakukan melalui

perwakilan dengan surat kuasa dari dan oleh Pihak

yang Berhak atas lokasi rencana pembangunan

Kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk

berita acara kesepakatan. Atas dasar kesepakatan

maka Instansi yang memerlukan tanah mengajukan

permohonan penetapan lokasi kepada gubernur.

Dalam hal ini maka Gubernur menetapkan lokasi

dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja

terhitung sejak diterimanya pengajuan permohonan

penetapan oleh Instansi yang memerlukan tanah.

Konsultasi Publik rencana dilaksanakan dalam waktu

paling lama 60 (enam puluh) hari kerja. Apabila

sampai dengan jangka waktu 60 (enam puluh)

hari kerja pelaksanaan Konsultasi Publik rencana

pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana

lokasi pembangunan, dilaksanakan Konsultasi Publik

ulang dengan pihak yang keberatan paling lama 30

(tiga puluh) hari kerja.

Apabila dalam Konsultasi Publik ulang masih

terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana

lokasi pembangunan, Instansi yang memerlukan

tanah melaporkan keberatan dimaksud kepada

gubernur setempat.

Gubernur membentuk tim untuk melakukan kajian

atas keberatan rencana lokasi pembangunan. Tim

tersebut terdiri atas:

1. sekretaris daerah provinsi atau pejabat yang di-

tunjuk sebagai ketua merangkap anggota;

2. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Na-

sional sebagai sekretaris merangkap anggota;

3. instansi yang menangani urusan di bidang per-

encanaan pembangunan daerah sebagai ang-

gota;

4. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum

dan Hak Asasi Manusia sebagai anggota;

5. Bupati/wali kota atau pejabat yang ditunjukseb-

agai anggota; dan

6. akademisi sebagai anggota.

TugasTim di atas antara lain :

1. menginventarisasi masalah yang menjadi ala-

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1

98

san keberatan;

2. melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan

pihak yang keberatan; dan

3. membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya

keberatan.

Hasil kajian tim berupa rekomendasi diterima atau

ditolaknya keberatan rencana lokasi pembangunan

dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari

kerja terhitung sejak diterimanya permohonan oleh

gubernur. Gubernur berdasarkan rekomendasi

mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya

keberatan atas rencana lokasi pembangunan.

Jika keberatan atas rencana lokasi pembangunan

ditolak maka Gubernur menetapkan lokasi

pembangunan. Jika keberatan atas rencana

lokasi pembangunan diterima maka gubernur

memberitahukan kepada Instansi yang memerlukan

tanah untuk mengajukan rencana lokasi

pembangunan di tempat lain.

Jika setelah penetapan lokasi pembangunan masih

terdapat keberatan, Pihak yang Berhak terhadap

penetapan lokasi dapat mengajukan gugatan ke

Pengadilan Tata Usaha Negara setempat paling

lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dikeluarkannya

penetapan lokasi.

Mekanisme gugatan

1. Pengadilan Tata Usaha Negara memutus diteri-

ma atau ditolaknya gugatan dalam waktu paling

lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya

gugatan.

2. Pihak yang keberatan terhadap putusan Penga-

dilan Tata Usaha Negara sebagaimana dimak-

sud dalam waktu paling lama 14 (empat belas)

hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada

Mahkamah Agung Republik Indonesia.

3. Mahkamah Agung wajib memberikan putusan

dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari

kerja sejak permohonan kasasi diterima. Putu-

san pengadilan yang telah mempunyai kekua-

tan hukum tetap menjadi dasar diteruskan atau

tidaknya Pengadaan Tanah bagi pembangunan

untuk Kepentingan Umum.

Pengumuman

Penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan

Umum diberikan dalam waktu 2 (dua) tahun dan

dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun.

Dalam hal jangka waktu penetapan lokasi

pembangunan untuk Kepentingan Umum

sebagaimana dimaksud dalam tidak terpenuhi,

penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan

Umum dilaksanakan proses ulang terhadap sisa

tanah yang belum selesai pengadaannya.

Gubernur bersama Instansi yang memerlukan tanah

mengumumkan penetapan lokasi pembangunan untuk

Kepentingan Umum. Pengumuman dimaksudkan

untuk pemberitahuan kepada masyarakat bahwa di

lokasi tersebut akan dilaksanakan pembangunan

untuk Kepentingan Umum.

PelaksanaanBerdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk

Kepentingan Umum, Instansi yang memerlukan

tanah mengajukan pelaksanaan Pengadaan Tanah

kepada Lembaga Pertanahan.

Pelaksanaan Pengadaan Tanah meliputi:

1. inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pe-

milikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah;

2. penilaian Ganti Kerugian;

3. musyawarah penetapan Ganti Kerugian;

4. pemberian Ganti Kerugian; dan

5. pelepasan tanah Instansi.

Setelah penetapan lokasi pembangunan untuk

Kepentingan Umum, Pihak yang Berhak hanya

dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada

Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga

Pertanahan. Beralihnya hak dilakukan dengan

Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah

Trie Sakti

99

memberikan Ganti Kerugian yang nilainya ditetapkan

saat nilai pengumuman penetapan lokasi.

Inventarisasi dan Identifikasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan TanahInventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,

penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a meliputi

kegiatan:

1. pengukuran dan pemetaan bidang per bidang

tanah; dan

2. pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Ob-

jek Pengadaan Tanah.

Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,

penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam waktu

paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.

Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan,

pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah

sebagaimana dimaksud wajib diumumkan di kantor

desa/kelurahan, kantor kecamatan, dan tempat

Pengadaan Tanah dilakukan dalam waktu paling

lama 14 (empat belas) hari kerja.

Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan,

pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah

wajib diumumkan secara bertahap, parsial, atau

keseluruhan. Pengumuman hasil inventarisasi

dan identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat

meliputi subjek hak, luas, letak, dan peta bidang

tanah Objek Pengadaan Tanah.

Dalam hal tidak menerima hasil inventarisasi, Pihak

yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada

Lembaga Pertanahan dalam waktu paling lama 14

(empat belas) hari kerja terhitung sejak diumumkan

hasil inventarisasi.

Jika terdapat keberatan atas hasil inventarisasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan

verifikasi dan perbaikan dalam waktu paling lama 14

(empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya

pengajuan keberatan atas hasil inventarisasi.

Inventarisasi dan identifikasi dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hasil pengumuman atau verifikasi dan perbaikan

ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan dan selanjutnya

menjadi dasar penentuan Pihak yang Berhak dalam

pemberian Ganti Kerugian.

Penilaian Ganti KerugianLembaga Pertanahan menetapkan Penilai sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

hasilnya kemudian diumumkan untuk melaksanakan

penilaian Objek Pengadaan Tanah.

Penilai yang ditetapkan wajib bertanggung jawab

terhadap penilaian yang telah dilaksanakan.

Pelanggaran terhadap kewajiban Penilai dikenakan

sanksi administratif dan/ atau pidana sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1)

dilakukan bidang per bidang tanah, meliputi:

1. tanah;

2. ruang atas tanah dan bawah tanah;

3. bangunan;

4. tanaman;

5. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau

6. kerugian lain yang dapat dinilai.

Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai

merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan

lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil

penilaian Penilai disampaikan kepada Lembaga

Pertanahan dengan berita acara. Nilai Ganti Kerugian

berdasarkan hasil penilaian Penilai menjadi dasar

musyawarah penetapan Ganti Kerugian.

Dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena

Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak lagi

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1

100

dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan

penggunaannya, Pihak yang Berhak dapat meminta

penggantian secara utuh atas bidang tanahnya.

Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam

bentuk:

1. uang;

2. tanah pengganti;

3. permukiman kembali;

4. kepemilikan saham; atau

5. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pi-

hak.

Musyawarah Penetapan Ganti KerugianLembaga Pertanahan melakukan musyawarah

dengan Pihak yang Berhak dalam waktu paling lama

30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian dari

Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan

untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya Ganti

Kerugian berdasarkan hasil penilaian Ganti Kerugian.

Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi

dasar pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang

Berhak yang dimuat dalam berita acara kesepakatan.

Jika tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/

atau besarnya Ganti Kerugian :

1. Pihak yang Berhak dapat mengajukan ke-

beratan kepada pengadilan negeri setempat

dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari

kerja setelah musyawarah penetapan Ganti

Kerugian .

2. Pengadilan negeri memutus bentuk dan/atau

besarnya Ganti Kerugian dalam waktu paling

lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya

pengajuan keberatan.

3. Pihak yang keberatan terhadap putusan penga-

dilan negeri dalam waktu paling lama 14 (em-

pat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi

kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Mahkamah Agung wajib memberikan putusan

dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari

kerja sejak permohonan kasasi diterima.

Putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi

dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak

yang mengajukan keberatan.

Pemberian Ganti KerugianPemberian Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan

Tanah diberikan langsung kepada Pihak yang

Berhak. Ganti Kerugian diberikan kepada Pihak yang

Berhak berdasarkan hasil penilaian yang ditetapkan

dalam musyawarah dan/atau putusan pengadilan

negeri/Mahkamah Agung.

Pada saat pemberian Ganti Kerugian Pihak yang

Berhak menerima Ganti Kerugian wajib:

1. melakukan pelepasan hak; dan

2. menyerahkan bukti penguasaan atau kepemi-

likan.

Objek Pengadaan Tanah kepada Instansi yang

memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan.

Bukti penguasaan atau kepemilikan sebagaimana

dimaksud di atas merupakan satu-satunya alat bukti

yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu

gugat di kemudian hari.

Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian

bertanggung jawab atas kebenaran dan keabsahan

bukti penguasaan atau kepemilikan yang diserahkan.

Tuntutan pihak lain atas Objek Pengadaan Tanah

yang telah diserahkan kepada Instansi yang

memerlukan tanah menjadi tanggung jawab Pihak

yang Berhak menerima Ganti Kerugian.

Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/

atau besamya Ganti Kerugian berdasarkan hasil

musyawarah atau putusan pengadilan negeri/

Mahkamah Agung, Ganti Kerugian dititipkan di

pengadilan negeri setempat.

Penitipan Ganti Kerugian juga dilakukan terhadap:

1. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian

Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah

Trie Sakti

101

tidak diketahui keberadaannya; atau

2. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan

Ganti Kerugian:

a. sedang menjadi objek perkara di

pengadilan;

b. masih dipersengketakan kepemilikannya;

c. diletakkan sita oleh pejabat yang

berwenang; atau

d. menjadi jaminan di bank.

Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian

dan Pelepasan Hak telah dilaksanakan atau

pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di

pengadilan negeri, kepemilikan atau Hak Atas Tanah

dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat

bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya

inenjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian atau

Instansi yang memperoleh tanah dalam Pengadaan

Tanah untuk Kepentingan Umum dapat diberikan

insentif perpajakan.

Pelepasan Tanah InstansiPelepasan Objek Pengadaan Tanah untuk

Kepentingan Umum yang dimiliki pemerintah

dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang mengatur pengelolaan

barang milik negara/ daerah.

Pelepasan Objek Pengadaan Tanah untuk

Kepentingan Umum yang dikuasai oleh pemerintah

atau dikuasai/dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara/

Badan Usaha Milik Daerah dilakukan berdasarkan

Undang-Undang ini. Pelepasan Objek Pengadaan

Tanah dilakukan oleh pejabat yang berwenang

atau pejabat yang diberi pelimpahan kewenangan

untuk itu. Pelepasan Objek Pengadaan Tanah tidak

diberikan Ganti Kerugian, kecuali:

1. Objek Pengadaan Tanah yang telah berdiri ban-

gunan yang dipergunakan secara aktif untuk pe-

nyelenggaraan tugas pemerintahan;

2. Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai

oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha

Milik Daerah; dan I atau

3. Objek Pengadaan Tanah kas desa.

Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah

diberikan dalam bentuk tanah dan/ atau bangunan

atau relokasi. Nilai Ganti Kerugian tersebut

didasarkan atas hasil penilaian Ganti Kerugian.

Pelepasan objek Pengadaan Tanah dilaksanakan

paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak

penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan

Umum. Apabila pelepasan objek Pengadaan Tanah

belum selesai dalam waktu yang telah ditentukan

maka tanahnya dinyatakan telah dilepaskan dan

menjadi tanah negara dan dapat langsung digunakan

untuk pembangunan bagi Kepentingan Umum.

Lembaga Pelaksana Pengadaan TanahPelaksanaan pengadaan tanah dilaksanakan oleh

Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang dapat

dilaksanakan oleh Kepala Kanwil BPN Provinsi

selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah.

Susunan keanggotaan pelaksanaan pengadaan

tanah berunsurkan paling kurang :

1. Pejabat yang membidangi urusan pengadaan

tanah di lingkungan Kanwil BPN Provinsi;

2. Kepala kantor Pertanahan setempat pada lokasi

pengadaan tanah;

3. Pejabat satuan kerja perangkat daerah provinsi

yang membidangi urusan pertanahan;

4. Camat setempat pada lokasi pengadaan tanah;

5. Lurah/kepala desa atau nama lain pada lokasi

pengadaan tanah.

Adapun Kakanwil BPN Provinsi dapat menugaskan

Kepala kantor Pertanahan sebagai Ketua Pelaksana

Pengadaan tanah dengan mempertimbangkan

efisiensi, efektifitas, kondisi geografis, dan sumber

daya manusia. Dalam melaksanakan penyiapan

pelaksanaan Pengadaan Tanah dimaksud,

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1

102

Pelaksana Pengadaan Tanah melakukan kegiatan,

antara lain:

1. membuat agenda rapat pelaksanaan;

2. membuat rencana kerja dan jadwal kegiatan;

3. menyiapkan pembentukan satuan tugas yang

diperlukan dan pembagian tugas;

4. memperkirakan kendala-kendala teknis yang

mungkin terjadi dalam pelaksanaan;

5. merumuskan strategi dan solusi terhadap ham-

batan dan kendala dalam pelaksanaan;

6. menyiapkan langkah koordinasi ke dalam mau-

pun ke luar di dalam pelaksanaan;

7. menyiapkan administrasi yang diperlukan;

8. menyiapkan anggaran atau pembiayaan yang

diperlukan;

9. mempersiapkan pelaksanaan lelang Penilai;

10. membuat dokumen hasil rapat.

Penyiapan pelaksanaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), berupa rencana kerja yang memuat

antara lain:

1. rencana pendanaan pelaksanaan;

2. rencana waktu dan penjadwalan pelaksanaan;

3. rencana kebutuhan tenaga pelaksanaan;

4. rencana kebutuhan bahan dan peralatan Unit

Pelaksanaan;

5. inventarisasi dan alternatif solusi faktor-faktor

penghambat dalam pelaksanaan;

6. sistem monitoring pelaksanaan.

Dalam melaksanakan kegiatannya Ketua Pelaksana

Pengadaan Tanah dapat membentuk satuan tugas

yang membidangi inventarisasi dan identifikasi :

1. data fisik penguasaan, pemilikan, penggunaan

dan pemanfaatan tanah;

2. data pihak yang berhak dan obyek pengadaan

tanah.

Penyiapan pelaksanaan Pengadaan Tanah oleh

Satgas sebagaimana dimaksud meliputi kegiatan:

1. penyusunan rencana jadwal kegiatan;

2. penyiapan bahan;

3. penyiapan peralatan teknis;

4. koordinasi dengan perangkat kecamatan dan

desa/kelurahan;

5. penyiapan peta;

6. pemberitahuan kepada Pihak yang Berhak me-

lalui Kepala Desa/Lurah; dan

7. pemberitahuan rencana dan jadwal pelaksa-

naan pengumpulan data Pihak yang Berhak dan

Objek Pengadaan Tanah.

Satgas yang membidangi inventarisasi dan

identifikasi melaksanakan pengumpulan data Pihak

yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah, meliputi:

1. nama, pekerjaan, dan alamat Pihak yang Ber-

hak;

2. Nomor Induk Kependudukan Pihak yang Ber-

hak;

3. bukti penguasaan dan/atau pemilikan tanah,

bangunan, tanaman, dan/atau benda yang

berkaitan dengan tanah;

4. letak tanah, luas tanah dan nomor identifikasi

bidang;

5. status tanah dan dokumennya;

6. jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah;

7. pemilikan dan/atau penguasaan tanah dan/atau

bangunan dan/atau benda lain yang berkaitan

dengan tanah;

8. pembebanan Hak Atas Tanah; dan

9. ruang atas dan ruang bawah tanah;

Hasil inventarisasi dan identifikasi data Pihak yang

Berhak dan Objek Pengadaan Tanah sebagaimana

dimaksud dibuat dalam bentuk peta bidang tanah

dan daftar Nominatif dan ditandatangani oleh Ketua

Satuan Tugas, daftar nominatif ini yang digunakan

dalam proses penentuan nilai Ganti Kerugian.

Dalam hal Pihak yang Berhak tidak menerima hasil

inventarisasi dan identifikasi, dapat mengajukan

Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah

Trie Sakti

103

keberatan kepada Pelaksana Pengadaan Tanah

dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari

kerja terhitung sejak diumumkan hasil inventarisasi.

Penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan

oleh Ketua Pelaksana Pengadaan tanah berdasarkan

hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik. Penilai

bertugas melakukan penilaian besarnya Ganti

Kerugian bidang per bidang tanah, meliputi:

1. tanah;

2. ruang atas tanah dan bawah tanah;

3. bangunan;

4. tanaman;

5. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau

6. kerugian lain yang dapat dinilai.

Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil

penilaian oleh Penilai, oleh Penilai disampaikan

kepada Pelaksana Pengadaan Tanah dengan Berita

Acara Penyerahan Hasil Penilaian.

Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai

merupakan nilai pada saat Pengumuman Penetapan

Lokasi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud

merupakan nilai tunggal untuk bidang per bidang

tanah.

Nilai Ganti Kerugian berdasarkan penilaian Penilai

dijadikan dasar musyawarah mengenai Bentuk Ganti

Kerugian.

Jika terdapat sisa tanah yang tidak lagi dapat

difungsikan sesuai dengan peruntukan dan

penggunaannya, pihak yang berhak dapat meminta

penggantian secara utuh atas bidang tanahnya

MusyawarahPelaksana Pengadaan Tanah melaksanakan

musyawarah mengenai bentuk Ganti Kerugian

dengan Pihak yang Berhak dalam waktu paling lama

30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian dari

Penilai diterima oleh Ketua Pelaksana Pengadaan

Tanah. Pelaksana Pengadaan Tanah mengundang

Pihak yang Berhak untuk pelaksanaan musyawarah

melalui undangan yang harus disampaikan

paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum tanggal

pelaksanaan musyawarah penetapan ganti kerugian.

Musyawarah dilaksanakan secara langsung antara

Pelaksana Pengadaan Tanah dengan Pihak yang

Berhak.untuk menentukan bentuk ganti kerugian

berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian.

Dalam hal Pihak yang Berhak berhalangan hadir

dalam musyawarah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 76 ayat (2), dapat memberikan kuasa kepada:

1. seorang dalam hubungan darah ke atas, ke

bawah atau ke samping sampai derajat kedua

atau suami/istri bagi Pihak yang Berhak bersta-

tus perorangan; atau

2. seseorang yang ditunjuk sesuai dengan keten-

tuan anggaran dasar bagi pihak yang berhak

berstatus badan hukum,

3. Pihak yang berhak lainnya

Pihak yang berhak dapat memberikan kuasa kepada

1 (satu) orang penerima kuasa atas 1 (satu) atau

beberapa bidang tanah yang terletak pada 1 (satu)

lokasi pengadaan tanah. Dalam hal pihak yang

Berhak telah diundang secara patut tidak hadir dan

tidak memberikan kuasa, pihak yang berhak dianggap

menerima bentuk dan besarnya Ganti Kerugian

yang ditetapkan oleh Pelaksana Pengadaan Tanah.

Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi

dasar pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang

Berhak yang dituangkan dalam bentuk Berita Acara

Kesepakatan Bentuk Ganti Kerugian.

Berita acara kesepakatan ganti kerugian memuat :

1. Pihak yang berhak yang hadir atau kuasanya,

yang setuju beserta bentuk ganti kerugian yang

disepakati;

2. Pihak yang berhak yang hadir atau kuasanya,

yang tidak setuju; dan

3. Pihak yang berhak yang tidak hadir dan tidak

memberikan kuasa.

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1

104

Pemberian Ganti Kerugian

1. Ganti kerugian berupa uang diberikan dalam

bentuk mata uang rupiah, pemberiannya di-

lakukan oleh instansi yang memerlukan tanah

berdasarkan validasi dari Ketua Pelaksana Pen-

gadaan Tanah atau pejabat yang ditunjuk,

2. Ganti kerugian dalam bentuk tanah pengganti

diberikan untuk dan atas nama pihak yang

berhak oleh instansi yang memerlukan tanah

setelah mendapat permintaan tertulis dari Ketua

pelaksana pengadaan tanah,

3. Ganti kerugian dalam bentuk pemukiman kem-

bali diberikan untuk dan atas nama Pihak yang

berhak oleh instansi yang memerlukan tanah

setelah mendapat permintaan tertulis dari Ket-

ua pelaksana pengadaan tanah. Pemberian

ganti kerugian ini dilakukan bersamaan dengan

pelepasan hak oleh pihak yang berhak tanpa

menunggu selesainya pembangunan permu-

kiman kembali, dana penyediaan pemukiman

kembali dititipkan pada bank oleh dan atas

nama instansi yang memerlukan tanah. Pelak-

sanaan peneydiaan pemukiman kembali dilak-

sanakan paling lama satu tahun sejak peneta-

pan bentuk ganti kerugian oleh pelaksana pen-

gadaan tanah;

4. Ganti kerugian dalam bentuk kepemilikan sa-

ham diberikan oleh Badan Usaha Milik Neg-

ara yang berbentuk perusahaan terbuka dan

mendapat penugasan khusus dari Pemerintah,

pemberian ganti kerugian diberikan bersamaan

dengan pelepasan hak oleh pihak yang berhak;

5. Ganti kerugian dalam bentuk lain yang disetujui

oleh kedua belah pihak dapat berupa gabungan

dua atau lebih bentuk ganti kerugian.

Pemberian Ganti Kerugian sebagaimana dibuat

dalam Berita Acara Pemberian Ganti Kerugian. Berita

Acara Pemberian Ganti Kerugian dilampiri :

1. daftar Pihak yang Berhak penerima Ganti Keru-

gian;

2. bentuk dan besarnya Ganti Kerugian yang telah

diberikan;

3. daftar dan bukti pembayaran/ kwitansi; dan

4. Berita Acara Pelepasan hak Atas Tanah atau

Penyerahan Tanah.

Pemberian Ganti Kerugian dalam Keadaan KhususPihak yang Berhak membutuhkan ganti kerugian

dalam keadaan mendesak, maka pelaksana

Pengadaan Tanah memprioritaskan untuk menerima

Ganti Kerugian. Keadaan mendesak dimaksud

dibuktikan dengan surat keterangan dari Lurah /

Kepala Desa atau nama lain.

Penitipan Ganti KerugianPenitipan Ganti Kerugian dilakukan pada pengadilan

negeri tempat lokasi Pengadaan Tanah apabila:

1. Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau

besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil

musyawarah, dan tidak mengajukan keberatan

ke pengadilan dalam waktu setelah 14 (empat

belas) hari kerja terhitung sejak musyawarah

penetapan Ganti Kerugian selesai dilaksanakan;

2. Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau

besarnya Ganti Kerugian berdasarkan putu-

san Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

3. Pihak yang Berhak tidak diketahui keberadaan-

nya; atau

4. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan

Ganti Kerugian sedang menjadi objek perkara

di pengadilan, masih dipersengketakan kepemi-

likannya, diletakkan sita oleh pejabat yang ber-

wenang, atau menjadi jaminan di bank.

Ganti Kerugian yang dititipkan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk mata uang

rupiah, pelaksanaannya dibuat dalam bentuk berita

acara penitipan ganti kerugian.

Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/

Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah

Trie Sakti

105

atau besarnya Ganti Kerugian dan tidak mengajukan

keberatan maka Ganti Kerugian dapat diambil dalam

waktu yang dikehendaki oleh Pihak yang Berhak

dengan surat pengantar dari Ketua Pelaksana

Pengadaan Tanah.

Dalam hal Pihak yang Berhak menerima Ganti

Kerugian tidak diketahui keberadaannya, Pelaksana

Pengadaan Tanah menyampaikan pemberitahuan

mengenai ketidakberadaan Pihak yang Berhak

secara tertulis kepada Camat dan Lurah /Kepala

Desa atau nama lainnya.

Dalam hal Objek Pengadaan Tanah sedang menjadi

objek perkara di pengadilan, Ganti Kerugian dapat

diambil oleh Pihak yang Berhak setelah putusan

pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap

atau putusan perdamaian (dading).

Dalam hal Objek Pengadaan Tanah masih

dipersengketakan kepemilikannya maka

pengambilan Ganti Kerugian dilakukan setelah

adanya berita acara perdamaian (dading).

Dalam hal Objek Pengadaan Tanah diletakkan sita

jaminan oleh pengadilan, Ganti Kerugian dapat

diambil oleh Pihak yang Berhak setelah adanya

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap dan pengangkatan sita jaminan.

Dalam hal Obyek Pengadaan Tanah menjadi jaminan

di bank, Ganti Kerugian dapat diambil setelah adanya

surat pengantar dari Ketua Pelaksana Pengadaan

Tanah dengan persetujuan dari pihak bank.

Pelepasan Objek Pengadaan Tanah Pelepasan Hak Objek Pengadaan Tanah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110,

dilaksanakan oleh Pihak yang Berhak kepada negara

dihadapan Kepala Kantor Pertanahan setempat,

dan dibuat dalam berita acara pelepasan hak obyek

pengadaan tanah. Kegiatan Pelaksana Pengadaan

Tanah dalam Pelepasan Hak Objek Pengadaan

Tanah antara lain :

1. menyiapkan surat pernyataan pelepasan/peny-

erahan hak atas tanah atau penyerahan tanah

dan/atau bangunan dan/atau tanaman dan/atau

benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah;

2. menarik bukti penguasaan atau kepemilikan ob-

jek Pengadaan Tanah dari Pihak yang Berhak;

3. memberikan tanda terima pelepasan; dan

4. membubuhi tanggal, paraf, dan cap bahwa

telah dilepaskan kepada negara pada sertipikat

dan buku tanah bukti kepemilikan yang sudah

dilepaskan kepada negara.

Dalam Pelepasan Hak, penerima Ganti Kerugian

atau kuasanya wajib:

1. menanda tangani surat pernyataan Pelepasan/

penyerahan Hak atas tanah atau penyerahan

tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman

dan/atau benda-benda lain yang ada di atasnya;

2. menanda tangani berita acara Pelepasan Hak;

3. menyerahkan bukti-bukti penguasaan atau

kepemilikan Obyek Pengadaan Tanah kepada

Instansi yang memerlukan tanah melalui Pelak-

sana Pengadaan Tanah; dan

4. menyerahkan salinan/fotokopi identitas diri atau

identitas Kuasanya.

Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

diberikan kepada:

1. seorang dalam hubungan darah ke atas atau

ke bawah sampai derajat kedua atau suami/istri

bagi Pihak yang Berhak berstatus perorangan;

atau

2. seorang yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan

anggaran dasar bagi Pihak yang Berhak bersta-

tus badan hukum.

Dalam hal Pelepasan Hak Objek Pengadaan Tanah

merupakan milik atau dikuasai instansi, Ketua

Pelaksana Pengadaan tanah membuat berita acara

pelepasan hak objek pengadaan tanah.

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1

106

Pemutusan Hubungan Hukum antara Pihak yang berhak dengan Objek Pengadaan TanahObjek Pengadaan Tanah telah diberikan Ganti

Kerugian atau Ganti Kerugian telah dititipkan di

pengadilan negeri atau yang telah dilaksanakan

pelepasan hak objek pengadaan tanah, hubungan

hukum antara Pihak yang Berhak dan tanahnya

hapus demi hukum. Kepala Kantor Pertanahan

karena jabatannya, melakukan pencatatan hapusnya

hak pada buku tanah dan daftar umum pendaftaran

tanah lainnya selanjutnya memberitahukan kepada

para pihak terkait.

Dalam hal objek Pengadaan Tanah sebagaimana

dimaksud belum terdaftar, Ketua Pelaksana

Pengadaan Tanah menyampaikan pemberitahuan

tentang hapusnya hak dan disampaikan kepada

Kepala Desa/Lurah/Camat dan pejabat yang

berwenang yang mengeluarkan surat untuk

selanjutnya dicatat dan dicoret dalam buku

administrasi Kantor Kelurahan/ Desa atau nama lain

atau Kecamatan.

Dalam hal objek Pengadaan Tanah sedang menjadi

objek perkara di pengadilan dan Ganti Kerugian

dititipkan di pengadilan negeri, Ketua Pelaksana

Pengadaan Tanah menyampaikan pemberitahuan

kepada ketua pengadilan dan pihak-pihak yang

berperkara tentang hapusnya hak dan tidak

berlakunya alat bukti penguasaan/kepemilikan

serta putusnya hubungan hukum antara Pihak yang

Berhak dengan tanahnya.

Alat bukti penguasaan/kepemilikan sebagaimana

dimaksud di atas tetap berlaku sebagai pembuktian di

pengadilan sampai memperoleh putusan pengadilan

yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pendokumentasian Peta Bidang, Daftar Nominatif dan Data Administrasi Pengadaan TanahTugas pelaksana pengadaan tanah melakukan

pengumpulan, pengelompokan, pengolahan,

penyimpanan data pengadaan tanah, yang meliputi :

1. Peta bidang tanah;

2. Daftar nominatif;

3. Data administrasi.

Data pengadaan tanah sebagaimana dimaksud di

atas antara lain:

1. Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah;

2. Surat pemberitahuan rencana pembangunan;

3. Data Awal subyek dan Obyek;

4. Undangan dan Daftar hadir Konsultasi Publik;

5. Berita Acara Kesepakatan Konsultasi Publik;

6. Surat keberatan;

7. Rekomendasi Tim kajian;

8. Surat Gubernur (hasil rekomendasi);

9. Surat Keputusan Penetapan Lokasi Pembangu-

nan;

10. Pengumuman Penetapan Lokasi Pembangu-

nan;

11. Surat Pengajuan Pelaksanaan Pengadaan Ta-

nah;

12. Berita Acara Inventarisasi dan Identifikasi;

13. Peta Bidang Obyek Pengadaan Tanah dan Daf-

tar nominatif;

14. Pengumuman Daftar Nominatif;

15. Berita Acara Perbaikan dan Verifikasi;

16. Daftar Nominatif yang sudah disahkan;

17. Dokumen Pengadaan Penilai;

18. Dokumen Hasil Penilaian Pengadaan Tanah;

19. Berita Acara Penyerahan Hasil Penilaian;

20. Undangan dan daftar hadir Musyawarah Pene-

tapan Ganti Kerugian;

21. Berita Acara Kesepakatan Musyawarah Peneta-

pan Ganti Kerugian;

22. Putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung;

23. Berita Acara Pemberian Ganti Kerugian dan

Pelepasan hak;

24. Alat bukti penguasaan dan pemilikan Obyek

Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah

Trie Sakti

107

Pengadaan Tanah;

25. Surat Permohonan Penitipan Ganti Kerugian;

26. Penetapan Pengadilan Negeri Penitipan Ganti

Kerugian;

27. Berita Acara Penitipan Ganti Kerugian;

28. Berita Acara Penyerahan Hasil Pengadaan Ta-

nah.

29. Dokumentasi dan rekaman;

Data Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dijilid/dibundel dan disimpan,

didokumentasikan dan diarsipkan oleh Kepala Kantor

Pertanahan setempat, serta dapat dilaksanakan

digitalisasi untuk disimpan dalam bentuk data

elektronik untuk keperluan informasi Lembaga

Pertanahan.

Penyerahan HasilKetua Pelaksana Pengadaan Tanah menyerahkan

hasil Pengadaan Tanah kepada Instansi yang

memerlukan tanah disertai data pengadaan tanah

dalam 2 (dua) rangkap paling lama 7 (tujuh) hari

kerja. Penyerahan hasil Pengadaan Tanah dimaksud

berupa bidang tanah dan dokumen Pengadaan

Tanah, dan dilakukan dengan Berita Acara untuk

selanjutnya dipergunakan oleh Instansi guna

pendaftaran/pensertipikatan.

Lembaga Pertanahan menyerahkan hasil Pengadaan

Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah

setelah:

1. pemberian Ganti Kerugian kepada Pi-

hak yang Berhak dan Pelepasan Hak telah

dilaksanakan;dan/atau

2. pemberian Ganti Kerugian telah dititipkan di

pengadilan negeri

Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai

melaksanakan kegiatan pembangunan setelah

dilakukan serah terima hasil Pengadaan Tanah.

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum karena

keadaan mendesak akibat bencana alam, perang,

konflik sosial yang meluas, dan wabah penyakit

dapat langsung dilaksanakan pembangunannya

setelah dilakukan penetapan lokasi pembangunan

untuk Kepentingan Umum. Sebelum penetapan

lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum

terlebih dahulu disampaikan pemberitahuan kepada

Pihak yang Berhak. Dalam hal terdapat keberatan

atau gugatan atas pelaksanaan Pengadaan Tanah,

Instansi yang memerlukan tanah tetap dapat

melaksanakan kegiatan pembangunan.

HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN SERTA MASYARAKATDalam penyelenggaraan Pengadaan Tanah :

1. Pihak yang Berhak mempunyai hak :

a. mengetahui rencana penyelenggaraan

PengadaanTanah; dan

b. memperoleh informasi mengenai

Pengadaan Tanah.

2. setiap orang wajib mematuhi ketentuan Pen-

gadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Ke-

pentingan Umum.

3. masyarakat dapat berperan serta, an tara lain:

a. memberikan masukan secara lisan atau

tertulis mengenai Pengadaan Tanah; dan

b. memberikan dukungan dalam

penyelenggaraan Pengadaan Tanah.

KESIAPAN PEMERINTAH DAERAH MELAKSANAKAN PENGADAAN TANAHDari UU Nomor 2 tahun 2012 mengamanatkan tugas

pada tahapan perencanaan dan persiapan berada

pada Pemerintah Daerah.

Hal ini dijabarkan dalam pasal-pasal antara lain :

1. Pasal 19 ayat 4 menyatakan bahwa Dokumen

perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) diserahkan kepada

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1

108

pemerintah provinsi.

2. Pasal 19 ayat 6 menyatakan bahwa Gubernur

menetapkan lokasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (5) dalam waktu paling lama 14 (em-

pat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya

pengajuan permohonan penetapan oleh Instan-

si yang memerlukan tanah.

3. Pasal 21 ayat 2, mengamanatkan Gubernur

membentuk tim untuk melakukan kajian atas

keberatan rencana lokasi pembangunan seb-

agaimana dimaksud pada ayat (1).

4. Pasal 21 ayat 6, Gubernur berdasarkan reko-

mendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya ke-

beratan atas rencana lokasi pembangunan.

5. Pasal 26, Gubernur bersama Instansi yang me-

merlukan tanah mengumumkan penetapan lo-

kasi pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Pada dasarnya kegiatan pengadaan tanah untuk

pembangunan sudah diserahkan kepada Pemerintah

daerah berdasarkan Keputusan Presiden No. 34

tahun 2003 yang kemudian dikuatkan dengan PP Np.

38 tahun 2007.

Dengan lahirnya UU ini maka tupoksi dari Pemerintah

daerah lebih ditekankan pada tahapan perencanaan

dan persiapan pengadaan tanah, untuk itu perlu

adanya kesiapan aparat Pemerintah daerah untuk

melaksanakan UU Pengadaan Tanah.

Untuk mendukung kegiatan pengadaan tanah maka

Pemerintah Daerah perlu melakukan langkah-

langkah sebagai berikut :

1. Melakukan sosialisasi UU No. 2 tahun 2012 ter-

utama materi yang terkait dengan kesesuaian

dokumen perencanaan pengadaan tanah, yang

harus memuat antara lain :

a. Maksud dan tujuan rencana pembangunan;

b. Kesesuaian dengan RTRW dan prioritas

pembangunan;

c. Letak tanah;

d. Luas tanah yang dibutuhkan;

e. Gambaran umum status tanah;

f. Perkiraan Jangka waktu pelaksanaan

pengadaan tanah;

g. Perkiraan Jangka waktu pelaksanaan

pembangunan;

h. Perkiraan nilai tanah;

i. Rencana penganggaran;

Dokumen perencanaan pengadaan tanah

sebagaimana dimaksud disusun berdasarkan

studi kelayakan yang mencakup :

a. survey sosial ekonomi;

b. kelayakan lokasi;

c. analisis biaya dan manfaat pembangunan

bagi wilayah dan masyarakat;

d. perkiraan nilai tanah;

e. dampak lingkungan dan dampak sosial

yang mungkin timbul akibat dari pengadaan

tanah dan pembangunan;

f. studi lain yang diperlukan.

2. Pelaksanaan sosialisasi, dengan melibatkan

masyarakat dimana hasilnya dituangkan dalam

bentuk notulen pertemuan;

3. Pemberitahuan melalui media cetak maupun

media elektronik;

4. Ketersediaan prasarana dan sarana serta sum-

ber daya manusia (SDM) yang akan mendu-

kung pelaksanaan pengadaan tanah;

Hal ini berkaitan dengan pembentukan :

a. Tim Persiapan, tugas dari tim ini adalah

melakukan kegiatan pendataan awal lokasi

rencana pembangunan (terhitung mulai

tanggal notulen pertemuan) yang hasilnya

dituangkan dalam bentuk daftar sementara

lokasi rencana pembangunan yang

ditanda tangani Ketua Tim Persiapan dan

konsultasi publik di kantor kelurahan/desa

atau nama lain atau kantor kecamatan di

tempat rencana lokasi pembangunan atau

Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah

Trie Sakti

109

di tempat yang telah disepakati oleh Tim

Persiapan dan Pihak yang berhak.

b. Penjelasan Tim persiapan dalam

konsultasi publik mengenai : i) maksud

dan tujuan rencana pembangunan untuk

kepentingan umum; ii) tahapan dan waktu

proses penyelenggaraan pendaftaran

tanah; iii) Peran Penilai dalam menentukan

nilai ganti kerugian; iv) Insentif yang akan

diberikan kepada pemegang hak; v) obyek

yang dinilai ganti kerugian; vi) bentuk ganti

kerugian; vii) hak dan kewajiban pihak

yang berhak

c. sekretariat persiapan pengadaan tanah

yang berkedudukan di sekretariat daerah

provinsi,

d. Tim kajian keberatan untuk melakukan

kajian atas keberatan lokasi rencana

pembangunan, dimana tugasnya antara

lain : i) Menginventarisasi masalah

yang menjadi alasan keberatan, berupa

klasifikasi jenis dan alasan keberatan,

klasifikasi pihak yang keberatan dan

klasifikasi usulan pihak yang keberatan.

Inventarisasi ini disusun dalam bentuk

dokumen keberatan; ii) melakukan

pertemuan atau klarifikasi dengan pihak

yang keberatan, yang intinya : menyamakan

persepsi tentang materi/alasan keberatan

pihak yang keberatan dan menjelaskan

kembali maksud dan tujuan rencana

pembangunan. iii) membuat rekomendasi

diterima atau ditolaknya keberatan, yang

didasarkan atas hasil kajian dokumen

keberatan yang diajukan oleh pihak yang

berkebaratan terhadap : rencana tata ruang

wilayah dan prioritas pembangunan yang

tercantum dalam Rencana Pembangunan

jangka Menengah, rencana strategis dan

rencana kerja Pemerintah instansi yang

bersangkutan

e. Pengumuman penetapan lokasi

Pengumuman Penetapan Lokasi

Pembangunan memuat nomor dan tang-

gal Keputusan Penetapan Lokasi, Peta

Lokasi Pembangunan, maksud dan tujuan

pembangunan, letak dan luas tanah yang

dibutuhkan, perkiraan waktu pelaksanaan

pengadaan tanah dan perkiraan jangka

waktu pembangunan.

Pengumuman Penetapan Lokasi

Pembangunan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 47, dilaksanakan di kantor

desa/kelurahan atau nama lain, kantor ke-

camatan, dan/atau kantor kabupaten/kota

dan di lokasi pembangunan; dan melalui

media cetak atau media elektronik.

5. Pembiayaan dan Pengendalian

Perlunya kesiapan yang terkait dengan

pendanaan yang dibutuhkan serta pihak-pihak

yang akan mengontrol dan mengendalikan

hasil-hasil kegiatan tersebut

6. Dapat dilakukan pendelegasian persiapan pe-

ngadaan tanah dari Gubernur kepada Bupati /

Walikota.

KESIMPULANPelaksanaan pengadaan tanah bagi Pembangunan

untuk kepentingan Umum merupakan kegiatan yang

harus dilakukan secara koordinatif baik dari instansi

yang memerlukan tanah, Pemerintah Daerah, BPN

maupun instansi terkait lainnya.

Dalam Undang-undang ini mengamanatkan

pembagian tugas perencanaan dan persiapan

ada pada Pemerintah Daerah, sedangkan BPN

melaksanakan tugas pelaksanaan dan penyerahan

hasil kepada instansi yang memerlukan tanah.

SARANUntuk dapat terwujudnya pengadaan tanah

berdasarkan asas-asas yang dimuat dalam UU ini,

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1

110

maka penting untuk dilakukan sosialisasi terhadap

substansi UU baik kepada Pemerintah daerah, BPN,

Instansi yang memerlukan tanah, akademisi maupun

masyarakat luas.

UCAPAN TERIMA KASIHTerima kasih yang tak terhingga kepada Kepala Pusat

Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan

Nasional RI atas kesempatan yang diberikan kepada

penulis atas penerbitan tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

buku

Adrian, Sutedi (2007) Implementasi Prinsip

Kepentingan Umum Dalam Pengedaan

Tanah Untuk Kepentingan Umum, Cetakan

Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.

Abdurrahman, Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,

Cetakan Ke-1, Bandung, Penerbit PT Citra

Adtya Bakti,1994.

Badrulzaman, Mariam Darus, Kitab Undang-undang

Hukum Perdata Buku III tentang Hukum

Perikatan dengan Penjelasan, Bandung,

Penerbit Alumni, 1983

Harsono, Budi, Hukum Agraria Indonesia,

Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum

Agraria Indonesia, Jakarta: Penerbit

Djambatan,2000.

Aminuddin, Salle (2007) Hukum Pengadaan Tanah

Untuk Kepentingan Umum, Kreasi Total

Media, Jakarta.

Imroni (2009) Analisis Yuridis pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,

Tesis, Universitas Bandarlampung, Bandar

Lampung.

Karsono (2010) Analisis Ekonomi Politik Pengadaan

Tanah Jalan Tol Semarang-Solo Ruas

Semarang-Bawen di Provinsi Jawa

Tengah, Tesis, Universitas Diponegoro,

Semarang.

Sudargo, Gautama (1997) Tafsiran Undang-Undang

Pokok Agraria, Alumni, Bandung

Sudargo, Gautama dan Ellyda T. Soetiyanto (1996)

Komentar Atas Peraturan-Peraturan

pelaksanaan Undang-Undang Pokok

Agraria. Citra Aditya Bakti, Bandung

S.W. Sumardjono, Maria (2007) Kebijakan Pertanahan

Antara Regulasi dan Implementasi.

Tine, Supriadi K (2009) Analisis Hukum Tentang

Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum di Kabupaten

Gorontalo, Tesis, Universitas Muslim

Indonesia, Makassar.

Laporan Penelitian Penyelesaian Masalah

Pertanahan, Jakarta, Puslibang BPN,

2005.

Peraturan dan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Ketentuan

Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang No. 20 tahun 1961 tentang Tentang

Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan

Benda-benda yang ada di atasnya.

Undang-Undang No. 2 tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum

Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang

Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk kepentingan Umum

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang :

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah

Trie Sakti

111

Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden

Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1

112

Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Arditya Wicaksono

113

POTRET PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PorTraIT of laNd ProcurEMENT for PublIc INTErEsT dEVEloPMENT

Arditya WicaksonoPusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jalan Agus Salim Nomor 58, Jakarta,

[email protected]

ABSTRAKTanah merupakan aspek penting dalam pembangunan. Pengadaan tanah merupakan solusi praktis akan tetapi pengadaan

tanah memerlukan prosedur dan pelaksanaan yang konkrit riil. Undang-Undang Pengadaan Tanah Nomor 2 Tahun 2012

merupakan jawaban pemerintah. Poin penting undang-undang ini adalah musyawarah untuk penentuan ganti rugi sebagai

alternatif kebijakan apabila proses ganti rugi mengalami kebuntuan.

Kata kunci : pengadaan tanah, undang-undang dan masyarakat

absTracTLand is an important aspect of development. Land acquisition is a practical solution but it requires land acquisition procedures

and the implementation of concrete and real. Land Acquisition Act No. 2 of 2012 is the government’s response. An important

point of this law is a consensus for the determination of damages as an alternative if the compensation policy deadlock.

Keywords : land acquisition, regulation of act and civil society

PENDAHULUAN Tanah adalah salah satu harta yang sangat berharga

di muka bumi ini, yang dalam sepanjang sejarah

peradaban umat manusia tak henti-hentinya

memberikan problema-problema rumit. Indonesia,

yang memiliki daratan (tanah) yang sangat

luas, telah menjadikan persoalan tanah sebagai

salah satu persoalan yang paling urgen diantara

persoalan lainya. Pembangunan fasilitas-fasilitas

umum memerlukan tanah sebagai wadahnya.

pembangunan fasilitas umum tersebut tidak

menemui masalah apabila persediaan tanah masih

luas. Namun, yang menjadi permasalahan adalah

tanah merupakan sumber daya alam yang sifatnya

terbatas, dan tidak pernah bertambah luasnya.

Tanah yang tersedia saat ini telah banyak dilekati

dengan hak (tanah hak), sementara tanah negara

sudah sangat terbatas persediaannya. sangat sulit

melakukan pembangunan untuk kepetingan umum di

atas tanah negara, oleh karena itu jalan keluar yang

ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah

hak.

Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah

dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut

dengan pengadaan tanah. UUPA sendiri memberikan

landasan hukum bagi pengambilan tanah hak ini

dengan menentukan: Untuk kepentingan umum,

termasuk kepentingan bangsa dan negara serta

kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah

dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang

layak menurut cara yang diatur dengan Undang-

UndangPembangunan yang tengah giat dilakukan

pemerintah saat ini kerap kali berbenturan dengan

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 113-120Vol. 2 No. 1

114

masalah pengadaan tanah. Agar tidak melanggar

hak pemilik tanah, pengadaan tanah tersebut mesti

dilakukan dengan memerhatikan prinsip-prinsip

kepentingan umum (public interest) sesuai dengan

ketentuan hukum. Tulisan ini ingin mengungkap dua

pokok persoalan pertama, dampak terbitnya undang-

undang pengadaan tanah Nomor 2 Tahun 2012 dan

Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012; kedua

kesiapan kelembagaan badan pertanahan nasional

untuk melaksanakan peraturan baru tersebut dengan

pendekatan hukum empiris yang memadukan telaah

yuridis kemudian dianalisis dengan kemampuan

lembaga dalam membentuk format secara

kelembagaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persoalan Tanah di Indonesia Menurut Undang-Undang No 2 Tahun 2012 yang

dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah

kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi

ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak

yang berhak. Berkaca hal tersebut maka telah

terjadi pemutusan hubungan keperdataan antara

subyek dan obyek yang dikenai, atau istilah

umumnya pelepasan hak disertai biaya ganti rugi.

Untuk mensuport program strategis nasional dan

pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Indonesia undang-undang ini dan perangkat

pelaksananya merupakan jawaban atas persoalan

tersendatnya pembangunan akibat kurangnya tanah

hasil kajiang yang dilakukan oleh bank dunia tahun

2009 menyatakan1:

1. Infrastructure Indonesia is missing, or gets later

than otherwise, because of the land problem.

Although land is needed for new ports, airports,

railways, water-drainage canals, power plants,

and power-transmission lines, we simplify by

ignoring everything but roads. We consider a

road building program and suppose that the 1 Compiled Reports of World Bank Land Acquisition Research in

Indonesia, Working Paper, 1 of 1, pg 1-18, 2007/11/01 http://www-wds.worldbank.org

new roads would be built more quickly if the land

problem were solved. Specifically, we assume

that it would take 10 years for Indonesia to in-

crease its stock of roads by 5 percent under cur-

rent policy and that it would take only 5 years if

the land problem were solved. Thus we assume

that the problem of land acquisition delays but

doesn’t permanently prevent the construction of

roads.

2. the legal system in Indonesia is still emphasizes

the social aspect of the culture in which the state

does not have the full power to deprive the land

used for the implementation of land acquisition.

belumlagi compensation process protracted

create infrastructure and spatial acceleration

becomes constrained

Akibat dari mandeknya pembangunan dapat kita

rasakan bahwa dampak dari mandeknya pengadaan

tanah di indonesia berakibat pada Infrastructure

Competitiveness Index (ranking) indonesia yang

tidak begitu baik lihat Gambar 12.

Beberapa praktik di negara-negara lain dapat

disimpulkan tidak ada negara yang tidak

memiliki kewenangan untuk mengambil tanah

untuk kepentingan pembangunan. Kecepatan

pertumbuhan ekonomi di the new emerging market

tidak terlepas dari proses pengambilan tanah untuk

pembangunan infrastruktur dan wilayah perkotaan.

Negara-negara seperti Cina, Korea Selatan, dan

Singapura melakukan pembebasan tanah secara

masif untuk kepentingan transportasi, perkantoran,

fasilitas energi dan infrastruktur lainnya.

Beberapa literatur juga menujukkan trend penurunan

pengambilan tanah oleh pemerintah (Azuela,

2007). Pengambilan tanah oleh pemerintah bukan

saja makin menurun tapi juga semakin sulit untuk

dilakukan. Menurut Azuela, terdapat beberapa faktor

yang menyebabkan makin sulitnya pengambilan

tanah oleh pemerintah yaitu:

1. meluasnya ketidakpuasan masyarakat terhadap 2 World Economic Forum GCR 2011-2012

Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Arditya Wicaksono

115

praktik-praktik pengambilan tanah oleh pemer-

intah,

2. meningkatnya independensi lembaga peradilan,

Gambar 1 : Infrastructure Competitiveness Index (ranking)

3. menguatnya tekanan dari pemberitaan media

massa, dan

4. dampak implementasi perjanjian internasional.

Analisa terhadap masalah pengadaan tanah

untuk pembangunan di berbagai negara, dapat

disimpulkan: Pertama, hampir di seluruh negara

pengadaan tanah untuk pembangunan menjadi

semakin sulit dilakukan. Ketidakpuasan masyarakat,

makin independennya lembaga peradilan, tekanan

pers, dan perjanjian internasional menjadi faktor-

faktor sulitnya pembebasan tanah. Untuk Indonesia,

diperkirakan trend ini juga akan terjadi. Kedua, tidak

ada praktik pengadaan tanah untuk pembangunan

yang benar-benar sempurna. Hampir di semua negara

yang menjadi sampel mengalami permasalahan.

Hanya saja, tingkat kerumitan permasalahan dan

dampaknya pada penundaan proyek berbeda-beda.

Untuk Indonesia, saat ini adalah momentum untuk

perbaikan terhadap kebijakan, prosedur, dan praktik-

praktik pengadaan tanah untuk pembangunan.

Ketiga, pelaksanaan pembebasan tanah dapat

dipermudah dengan dua pendekatan. Yaitu dengan

meningkatkan keberpihakan dan penghormatan

terhadap pemilik hak atas tanah. Pendekatan ini

dilakukan dengan mengedepankan sosialisasi,

negosiasi, dan pemberian kompensasi yang lebih

komprehensif. Pendekatan lainnya adalah dengan

memperkuat kewenangan negara untuk mengambil

tanah pada harga yang ditetapkan walaupun tanpa

kerelaan pemilik tanah. Pendekatan ini dilakukan

dengan menggunakan kewenangan yang diberikan

undang-undang. Pendekatan yang mengedepankan

sosialisasi, negosiasi, dan pemberian kompensasi

yang lebih komprehensif memiliki konsekuensi pada

ketersediaan anggaran. Pemberian kompensasi

secara komprehensif membutuhkan dana yang besar.

Dengan demikian, penetapan kebijakan terhadap

komponen apa saja yang akan diperhitungkan

dan bagaimana metode perhitungannya harus

memperhatikan kemampuan keuangan negara.

Pendekatan yang mengedepankan kewenangan

pencabutan hak membutuhkan ketegasan sikap dan

wibawa pemerintah dan aparatnya. Penggunaan

kewenangan pencabutan hanya efektif dilaksanakan

oleh pemerintah dan aparatnya yang dikenal memiliki

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 113-120Vol. 2 No. 1

116

Gambar 2 : Penggunaan Kewenangan

integritas dan tidak memiliki vested interest dalam

setiap tindakannya. Rendahnya integritas dan

buruknya reputasi pemerintah dan aparatnya di

mata masyarakat akan menyebabkan resistensi dari

masyarakat. Mencapai titik optimal dari penghormatan

terhadap hak-hak pemilik tanah dengan kewenangan

untuk mencabut hak pemilik adalah salah satu titik

kritis dalam peraturan pengadaan tanah untuk

pembangunan.

Dari Grafik diatas, Indonesia sudah dalam posisi

yang moderat penggunaan kewenangan untuk

pencabutan hak atas tanah. Namun demikian, dalam

hal penghormatan terhadap hak-hak atas pemilik

tanah, kondisi di Indonesia belum sebaik di negara-

negara lain. Tata cara perhitungan kompensasi

Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara

lainnya3. Ada beberapa hal yang menyebabkan aspek

pemberian kompensasi dalam sistem Indonesia

belum sebaik negara lain. Pertama, dari sisi

komponen yang dijadikan perhitungan kompensasi

hanya hak atas tanah dan bangunan serta benda-

benda di atasnya. Kedua, berdasarkan NJOP atau

nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan 3 Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Mencari Solusi Perma-

salahan Pertanahan, Mempercepat Proses Pembangunan Nasi-onal Paramadina Public Policy Institute hal 3

NJOP tahun berjalan.

Berdasarkan tersebut, upaya pembenahan

pengadaan tanah untuk pembangunan sebaiknya

memberikan fokus pada peningkatan penghormatan

terhadap hak-hak atas tanah dan kewenangan

pencabutan hak atas tanah dengan prosedur

yang transparan, berwibawa, berintegritas, dan

memiliki kepastian hukum. Pembenahan tersebut

dapat dicapai dengan perbaikan pada peraturan

perundangan, sistem pengelolaan proses, serta

peningkatan integritas dan kapasitas aparat

pemerintah, baik secara keseluruhan maupun

yang terlibat langsung dalam pengadaan tanah

untuk pembangunanKegiatan pembangunan

yang dilaksanakan baik untuk kepentingan umum

maupun swasta selalu membutuhkan tanah sebagai

Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Arditya Wicaksono

117

wadah pembangunan. Saat ini pembangunan terus

meningkat sedangkan persediaan tanah tidak

berubah. Keadaaan ini berpotensi menimbulkan

konflik karena kepentingan umum dan kepentingan

perorangan saling berbenturan.

Keluarnya undang-undang 2 tahun 2012 dan perpres

71 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk

kepentingan umum hendaknya mampu membawa

perubahan mendasar dimana dampak yang ada selain

mempercepat proses pelaksanaaan pembangunan

infrastruktur tetapi disisi lain perlu melindungi warga

negara yang tanah nya menjadi lokasi pengadaan

tanah, sebab persoalan pengadaan tanah apabila

tidak menguntungkan pemilik tanah sebelumnya

bisa saja pemilik tanah melakukan banding,

sehingga sebelum proses pelaksanaan pemerintah

daerah hendaknya mampu untuk melakukan dialog,

sosialisasi dan musyawarah agar pelaksanaan

pengadaan tanah tanpa mengalami kendala berarti.

Masalah utamanya adalah karena tanah dan

kekayaan alam tidak menjadi alat bagi kesejahteraan

rakyat Indonesia. Hal ini disebabkan beberapa hal

: Pertama, reduksionisme persoalan tanah yang

hanya dipandang sebagai masalah ekonomi, tanpa

melekatkan dimensi sosial, kultural dan politik

di dalamnya. Artinya nilai tanah lebih ditentukan

melalui mekanisme pasar, akibatnya makna tanah

mengalami depolitisasi dan desosialisasi, sehingga

pembangunan terhambat tetapi kepemilikan tanah

tidak dapat dikontrol sehingga muncul kesenjangan

disisi lain kriteria tentang kepentingan umum juga

semakin rumit jika penguasaanya terbatas kepada

segelintir orang saja, pada dasarnya telah banyak

didiskusikan oleh para pakar pembangunan.

Setidaknya ada dua hal yang paling mendasar, yakni

: 1) bahwa manfaat dari objek kepentingan umum

tersebut harus dapat diakses oleh rakyat secara

merata dan melintasi batas-batas segmen sosial,

bukan untuk kepentingan sekelompok orang. 2)

Objek dari kepentingan umum tersebut tidak untuk

kepentingan komersial atau bisnis semata4. Padahal

dalam pasal 18 UUPA Untuk kepentingan umum,

termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta

kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah

dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang

layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-

undang.4 Gunawan Wiradi 2009

Tabel 1 : Perbandingan tingkat kenyamanan bagi pemilik tanah

Sumber : Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Mencari Solusi Permasalahan Pertanahan, Mempercepat Proses Pembangunan Nasional Paramadina Public Policy Institute hal 5

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 113-120Vol. 2 No. 1

118

Perlu mendapat perhatian pemerintah terkait yakni

pemerintah provinsi dan kabupaten karena ikatan-

ikatan non-ekonomis tidak lagi menjadi dasar

pertimbangan dalam menentukan harga tanah.

Karenanya tidak mengherankan bila pembangunan

sering diikuti dengan konflik agraria yang terbuka

dan tidak gampang mencari solusi penyelesaiannya.

Kedua, tanah sebagai alat spekulasi akumulasi kapital.

Tanah menjadi salah satu faktor produksi utama

menjadi sarana investasi. Bagi investor, pemilikan

atau penguasaan tanah merupakan investasi jangka

panjang yang sangat menguntungkan. Tentu saja,

berbagai upaya akan dilakukan oleh para ivestor

untuk melakukan penguasaan langsung tanah, baik

melalui intervensi aktif terhadap regulasi maupun

penguasaan melalui mekanisme perdagangan

produksi, barang dan jasa. Ketiga, konsentrasi

pemilikan dan penguasaan tanah semakin tidak

terkontrol, dan di sisi lain terjadi marginalisasi bagi

petani dan rakyat kecil pada umumnya. Salah satu

pemicunya adalah kewajiban bagi pemerintah untuk

mengakomodasi tuntutan investor asing dalam hal

pembangunan untuk pengembangan mesin-mesin

produksi kapitalisme.

Berbagai dimensi persoalan tersebut di ataslah yang

menurut para pakar menjadi pemicu konflik atas

tanah yang terjadi sepanjang masa. Dalam konteks

ini, makna pembangunan kemudian direduksi

maknanya dari apa yang telah dirumuskan oleh

tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dimana

pembangunan bermakna sebagai :1) membangkitkan

semangat kemandirian, membangun jiwa merdeka,

membebaskan diri dari mentaliras penjajah. 2)

Membangun susunan masyarakat baru yang bebas

dari penindasan, adil dan demokratis. 3) Membangu

secara fisik bagi kesejahteraan rakyat. (Gunawan

Wiradi;2000). Justru yang kita saksikan sebeliknya

bahwa pembangunan menjadi instrument pemiskinan

rakyat dan pengusuran. Proses pemahaman histori

penguasaan tanah ini penting sebab pemerintah di

luar BPN yang menjadi perencana awal pengadaan

tanah hendaknya mengetahui disparitas penguasaan

dan kepemilikan tanah yang timpang sehingga

kebijakan yang diambil setidaknya mampu mereduksi

persoalaan ini.

Posisi bPN dalam Pengadaan TanahAuthority (wewenang) juga didefinisikan sebagai

kekuasaan yang dilembagakan,5 sementara Lasswel

dan Kaplan mengartikan authority (wewenang)

sebagai kekuasaan formal dan menurut Andrain

wewenang mempunyai hubungan erat dengan nilai,

norma dan simbol-simbol eksploitatif masyarakat

berdasarkan Undang-Undang No 2 Tahun 2012

sebagaimana diatur dalam pasal 27 hanya sebagai

pelaksana hanya memberikan pertimbangan terkait

P4T, dan penilaian ganti kerugian, proses perubahan

dan pencabutan hak serta potensi kelayakan

sebuah tanah. Merujuk pada pandangan Maria

SW Sumardjono sudah waktunya dalam kebijakan

pengambilalihan tanah harus bertumpu pada prinsip

demokrasi dan menjunjung tinggi HAM (Human

Rights) dengan memperhatikan hal-hal berikut:

1. pengambilalihan tanah merupakan perbuatan

hukum yang berakibat terhadap hilangnya hak-

hak seseorang yang bersifat fisik maupun non

fisik dan hilangnya harta benda untuk semen-

tara waktu atau selama-lamanya;

2. ganti kerugian yang diberikan harus memperhi-

tungkan: 1.hilangnya hak atas tanah, bangunan,

tanaman, 2.hilangnya pendapatan dan sumber

kehidupan lainnya,3 bantuan untuk pindah ke

lokasi lain dengan memberikan alternative lo-

kasi baru yang dilengkapi dengan fasilitas yang

layak, 4.bantuan pemulihan pendapatan agar

dicapai keadaan setara dengan keadaan sebe-

lum terjadinya pengambilalihan

3. mereka yang tergusur karena pengambilalihan

tanah harus diperhitungkan dalam pemberian

ganti kerugian harus diperluas.

4. untuk memeperoleh data yang akurat tentang 5 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta,

1992, hal 96

Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Arditya Wicaksono

119

mereka yang terkena penggusuran dan be-

sarnya ganti kerugian mutlak dilaksanakan sur-

vai dasar & sosial ekonomi;

5. perlu diterapkan instansi yang bertanggung-

jawab untuk pelaksanaan pengambilalihan dan

pemukiman kembali;

6. cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan

harus ditumbuhkembangkan

7. perlu adanya sarana menampung keluhan dan

dan menyelesaikan perselisihan yang timbul

dalam proses pengambilalihan tanah

Sebagai suatu panduan agar maksud sebagaimana

diutarakan Sumardjono di muka, maka dalam

kontek sistem hukum dicantumkan azas/ prinsip

agar bilamana di dalam sistem hukum terjadi

sengketa, maka azas bertugas untuk menyelesaikan.

Berkenaan dengan kegiatan pengadaan tanah, maka

menurut Boedi Harsono terdapat enam azas hukum

pengadaan tanah yakni:

1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh sia-

papun dan untuk keperluan apapun harus ada

landasan haknya;

2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun

tidak langsung bersumber pada hak bangsa;

3. Cara memperoleh tanah yang sudah dihaki se-

seorang harus melalui kata sepakat antara para

pihak yang bersangkutan;

4. Dalam keadaan yang memaksa, jika jalan

musyawarah tidak dapat menghasilkan kata

sepakat, untuk kepentingan umum, penguasa

dalam hal ini Presiden diberi kewenangan oleh

hukum untuk mengambil tanah yang diperlukan

secara paksa

5. Baik dalam acara perolehan atas dasar kata

sepakat, maupun dalam acara pencabutan hak,

kepada pihak yang telah menyerahkan tanahn-

ya wajib diberikan imbalan yang layak;

6. Rakyat yang diminta menyerahkan tanahnya

untuk proyek pembangunan berhak untuk mem-

peroleh pengayoman dari pejabat birokrasi

Ditinjau dari dasar konstitusional Pasal 28 H Ayat

(4) Undang-undang Dasar 1945, maka perbuatan

hukum pengadaan tanah baik yang dilakukan

untuk kepentingan pemerintah atas nama negara

dengan motif untuk kepentingan umum apalagi

untuk kepentingan swasta harus menghormati

hak perorangan sepenuhnya. Penghormatan hak

perorangan atau individual merupakan sebuah

keniscayaan yang wajib diberikan oleh negara

khususnya kepada warga negara yang aset atau

miliknya hanya sebidang tanah tersebut. Hal inilah

merupakan persoalan esensial sepanjang sejarah

berdirinya negara Indonesia

Skelcher6 menyatakan bahwa dari sejumlah konsep

yang berkembang, terdapat 3 konsep yang sangat

penting dalam mengukur implementasi kebijakan

publik temasuk pertanahan, yaitu:

Economy - This refers to the standardized cost of resource inputs, including employees, buildings, equipment and supplies, to any focal authority activity. The Ausit Commission regards an economical operation as one which acquires these resources in the appropriate quantity and quality at the lowest cost”.

Efficiency- This concerns the relationship between the services or other outputs of the local authority’s activities and resources necessary to produce them. An efficient operation results in the maximum output for a given resource input, for example the quickest and most accurate assessment of housing benefit claims per staff member; or a given level of output for the minimum resource input, for Instance attaining the same quality of office cleaning while using a cheaper floor polish,

Effectiveness - This is a measure of the extent to which the organization is achieveing its objectives. It is an assessment of the relationship between the intentions of the authority and the effects or outcomes of its activity.

Konsep dalam mengukur implementasi kebijakan

publik yang dikemukakan oleh Skelcher7, yaitu

ekonomi, efisiensi, dan efektivitas, merupakan 3 hal

6 C.Skelcher. (1992). Managing For Service Quality. Essex : Long-man Group U.K. Ltd.

7 C.Skelcher, Ibid

JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 113-120Vol. 2 No. 1

120

utama yang tak dapat diabaikan dalam merumuskan

dan mengukur sebuah dampak kebijakan. Ketiga

hal ini merupakan bagian penting dalam sebuah

pelaksanaan kebijakan.

KESIMPULANProses Musyawarah menjadi point utama dan

pembeda dalam proses pengadaan tanah sehingga

perlu adanya pendekatan yang lehi humanis\

Pengadaan tanah ini merupakan uapaya pemerintah

untuk mempercepat laju pembangunan disertai

dengan infrastruktur

Perencanaan, pelaksanaan, pemberian ganti

rugi, dan penyediaan tanah harus menempatkan

masyarakat sebagai obyek yang mendapat manfaat

lebih bukan sebaliknya

UCAPAN TERIMA KASIHTerima kasih disampaikan kepada Kepala Pusat

Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia beserta jajarannya,

mitra bestari dan penyunting atas pendampingan

dan masukannya untuk tulisan ini, juga kepada

pihak-pihak yang telah membantu dalam proses

penyempurnaan sehingga tulisan ini layak untuk

diterbitkan.

DAFTAR ACUAN

buku

Abdurrahman, Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,

Cetakan Ke-1, Bandung, Penerbit PT Citra

Adtya Bakti,1994.

Badrulzaman, Mariam Darus, Kitab Undang-undang

Hukum Perdata Buku III tentang Hukum

Perikatan dengan Penjelasan, Bandung,

Penerbit Alumni, 1983

Harsono, Budi, Hukum Agraria Indonesia,

Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum

Agraria Indonesia, Jakarta: Penerbit

Djambatan,2000.

Laporan Penelitian Penyelesaian Masalah

Pertanahan, Jakarta, Puslibang BPN,

2005.

Peraturan dan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Ketentuan

Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang No. 20 tahun 1961 tentang Tentang

Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan

Benda-benda yang ada di atasnya.

Undang-Undang No. 2 tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum

Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang

Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk kepentingan Umum

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang :

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden

Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

JURNAL

IPTEK PERTANAHAN

ISSN 1411-1101

Vol. 2No. 1Mei 2012

ISSN 1411-1101

Vol. 2No. 1Mei 2012

Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

PEDOMAN PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH (KTI) DALAM PENERBITAN JURNAL IPTEK PERTANAHAN1. Standar Umum Penulisan Makalah Lengkap/Monografi/Komunikasi Pendek

a. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris;b. Judul, Abstrak dan Kata kunci harus ditulis dalam dua versi bahasa (Indonesia dan Inggris);c. Abstrak ditulis dalam satu paragraf dan paling banyak memuat 250 kata dalam bahasa Indonesia,

serta 200 kata dalam bahasa Inggris;d. Abstrak untuk Komunikasi Pendek paling banyak memuat 100 kata dan tidak mencantumkan kata

kunci;e. Ditulis dengan menggunakan MS Word pada kertas ukuran A4 (210 mm x 297 mm), font Arial ukuran

10, spasi 1,15, kecuali tabel (spasi 1). Batas atas 2,0 cm, bawah 2,0 cm, tepi kiri 2,5 cm dan kanan 2,0 cm. Jumlah maksimal tulisan adalah 20-25 halaman isi. Jumlah halaman tersebut tidak termasuk lampiran;

f. Penyebutan istilah di luar bahasa Indonesia atau Inggris harus ditulis dengan huruf cetak miring (italic);

g. Editor berhak mengedit, mengurangi, menambah (bila perlu) tanpa mengurangi pengertian yang sebenarnya;

h. Isi artikel sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

2. Sistematika Karya Tulis llmiah

Sistematika KTI yang disusun dalam format Makalah Lengkap dan Monografi memiliki unsur dan tersusun

menurut urutan sebagai berikut:a. Judul;b. Nama dan Alamat Penulis;c. Abstrak dan Kata Kunci;d. Pendahuluan (berisi latar belakang, permasalahan atau rumusan masalah, tujuan dan teori [opsional]);e. Metode (berisi waktu dan tempat, bahan/cara pengumpulan data, metode analisis data);f. Hasil dan Pembahasan;g. Kesimpulan;h. Saran [opsional];i. Ucapan Terima Kasih;j. Daftar Acuan;k. Lampiran [opsional].

Sistematika KTI yang disusun dalam format Komunikasi Pendek memiliki unsur dan tersusun menurut

urutan sebagai berikut:a. Judul;b. Nama dan Alamat Penulis;c. Abstrak;d. Pendahuluan (berisi latar belakang, permasalahan atau rumusan masalah, tujuan dan teori [opsional]);e. Metode (berisi waktu dan tempat, bahan/cara pengumpulan data, metode analisis data);f. Hasil dan Pembahasan;g. Ucapan Terima Kasih;h. Daftar Acuan.

3. Cara Penulisan Judul

Judul diketik dengan huruf kapital tebal (bold) dan mencerminkan inti tulisan. Apabila Judul ditulis dalam

JURNAL

IPTEK PERTANAHAN

ISSN 1411-1101

Vol. 2No. 1Mei 2012

ISSN 1411-1101

Vol. 2No. 1Mei 2012

Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

bahasa Indonesia maka dibawahnya ditulis ulang dalam bahasa Inggris; begitu juga sebaliknya,

4. Cara Penulisan Nama dan Alamata. Nama penulis diketik di bawah Judul, ditulis lengkap tanpa menyebutkan gelar;b. Alamat penulis (nama dan alamat instansi tempat bekerja) ditulis lengkap dengan jarak satu spasi

beserta e-mail di bawah nama penulis;c. Jika alamat lebih dari satu, maka harus diberi tanda asterisk * dan diikuti alamat sekarang. d. Jika penulis terdiri lebih dari satu orang maka harus ditambahkan kata penghubung ‘dan’ (bukan

lambang ‘&’).

5. Cara Penulisan Abstrak dan Kata Kuncia. Abstrak ditulis dalam satu paragraf, berjarak satu spasi;b. Maksimal 200 kata dalam bahasa Inggris, atau 250 kata dalam bahasa Indonesia;c. Kata kunci terdiri dari tiga sampai lima kata, ditulis dengan huruf cetak miring (italic);d. Jika Abstract dalam bahasa Inggris maka diikuti Keywords dalam bahasa Inggris;e. Jika Abstrak dalam bahasa Indonesia maka diikuti Kata kunci dalam bahasa Indonesia.

6. Cara Penyajian Tabela. Judul tabel ditampilkan di bagian atas tabel, rata kiri (bukan center), ditulis menggunakan font

Arial ukuran 12;b. Tulisan ‘Tabel’ dan ‘nomor’ ditulis tebal (bold), sedangkan judul tabel ditulis normal;c. Gunakan angka Arab (1, 2, 3, dst.) untuk penomoran judul tabel;d. Tabel ditampilkan rata kiri halaman (bukan center);e. Jenis dan ukuran font untuk isi tabel bisa disesuaikan menurut kebutuhan (Arial ukuran 8-10) dengan

jarak spasi tunggal;f. Pencantuman sumber atau keterangan diletakkan di bawah tabel, rata kiri, menggunakan font Arial

ukuran 10.

7. Cara Penyajian Gambar, Grafik, Foto, atau Diagrama. Keterangan gambar, grafik, foto, atau diagram ditulis di bawah ilustrasi, menggunakan font Arial

ukuran 12, ditempatkan di tengah (center);b. Tulisan ‘Gambar, Grafik, Foto, atau Diagram’ dan ‘nomor’ ditulis tebal (bold), sedangkan isi keterangan

ditulis normal;c. Gunakan angka Arab (1, 2, 3, dst.) untuk penomoran gambar, grafik, foto, atau diagram;d. Gambar, grafik, foto, atau diagram ditampilkan di tengah halaman (center);e. Pencantuman sumber atau keterangan diletakkan di bawah ilustrasi, rata kiri, rnenggunakan font Arial

ukuran 10;f. Gambar, grafik, foto, atau diagram dalam format file .jpg warna hitam putih, kecuali jika warna

menentukan arti.

8. Cara dan Contoh Penulisan Daftar Acuana. Urutan dalam daftar acuan ditulis berdasarkan alfabetis;b. Berikut adalah contoh cara penulisan Daftar Pustaka dari berbagai sumber yang berbeda.

1) Buku (satu penulis)Hasan, S. H. 2008. Evaluasi Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya.

2) Buku (dua hingga empat penulis) Bambang, D. dan R. Riana. 2005. Teknik Menulis Karya Tuiis llmiah. Jakarta: Rhineka Cipta. Ostergren, R. Clifford, C. L. Kluge, and H. Bungert. 2006. Wisconsin German Land and Life. Ma-dison: University of Wisconsin.

JURNAL

IPTEK PERTANAHAN

ISSN 1411-1101

Vol. 2No. 1Mei 2012

ISSN 1411-1101

Vol. 2No. 1Mei 2012

Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

3) Buku (lebih dari empat penulis)Maryanto, I. Dkk. 2007. Nama Daerah Mamalia di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.Turabian, K.L. et al. 2007. A Manual for Writers of Research Paper, Theses, and Dissertations (7th ed.). Chicago: University of Chicago Press.

4) Buku yang ditulis atas nama lembagaLembaga llmu Pengetahuan Indonesia. 2009, Standar Kompetensi Jabatan Fungsiona! Peneliti. Jakarta: LIPI.

5) Bunga RampaiImron, M. B. 2005. Pola Komunikasi Kepemimpinan Taufik Abdullah. Dalam M, Hisyam dkk. (Ed.). Sejarah dan Dialog Peradaban: 81—92. Jakarta: LIPI Press.

6) Majalah ilmiah dengan volume dan nomorKriswati, E. 2008. Detormasi Gunung Api Bromo pada Peningkatan Aktivitas Vulkanik 2006 – 2007. Widyariset, 11(1): 27-36.

7) ProsidingTang, M. 2007. Nilai-Nilai Budaya di dalam Sastra Daerah yang Mendasari Sekuritas Sosial Tra-disional Etnis Bugis. Presiding Kongres Intemasionat Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan Tahun 2007: 219—232. Makassar, 22-25 Juli 2007: Pusat Bahasa Sulawesi Selatan.

8) Skripsi, tesis, dan disertasiWijana, I. D. P. 2007. Bias Gender pada Bahasa Majalah Remaja. Tesis, Fakultas llmu Budaya. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

9) Laporan penelitianSumaryanto. 2008. Karakteristik Sosial Ekonomi Petani pada Berbagai Agroekosistem. Laporan Penelitian, Pusat Analisis Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor: Kementerian Pertanian.

10) Media massa (tanpa nama penulis)Kambing Hitam Kemiskinan. 2006. Kompas, 25 November: 33.

11) Media massa (terdapat nama penulis)Abimanyu, A. 2010. Kontroversi Dana Dapil, Republika, 7 Juni: 1

12) Tulisan bersumber dari internet (tanpa nama penulis)Guidelines for Proper Scientific Conduct in Research. 2010. (http://www.imperialac,uk/ secreta-riat/policiesandpublications/otherpoticies/properscientificconduct, diakses 25 Juni 2010).

13) Tulisan bersumber dari internet (terdapat nama penulis)Rustandy, T. 2006. Tekan Korupsi Bangun Bangsa. (http://www.kpk.qo.id/ modutes/ news/article.php?storyid=1291, diakses 14 Januari 2007).

14) Makalah dalam pertemuan ilmiah, kongres, simposium, atau seminar yang belum diterbitkanDarsono, P. 2004. Teripang Perlu Dilindungi. Makalah dalam Lokakarya Usulan Jenis Satwa dan Tumbuhan yang Perlu Dilindungi di Indonesia. Bogor, 8 Desember: Pusat Penelitian Biologi LIPI.


Recommended