+ All Categories
Home > Documents > KAMIS, 9 SEPTEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA ... besar di Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut,...

KAMIS, 9 SEPTEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA ... besar di Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut,...

Date post: 20-Jun-2018
Category:
Upload: doantuyen
View: 212 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
1
Pre-Qualication 1. Services Name : TJB 3& 4 (660MW x 2) Coal Receiving and Jetty & Port Management (Capacity : 70,000ton) 2. Application of Qualication - Company Qualied by the laws of Indonesia in the relevant eld - With Experience of Coal Jetty and Port management for at least 20,000ton Capacity 3. Evaluation Items - Audited nancial statement for the last two years, - Coal Jetty & Port Management Experience - Technical staffs and related Equipment holding status - Quality management and Safety management, etc., 4. Bidding process - Selective tender among Qualied Applicant - The lowest price bidding will be awarded 5. Submission Document (original 1, copy 2) - Application Letter for Pre-Qualication 6. Application Form distribution(use below) - Request for Forms by E-mail individually [email protected] / [email protected] [email protected] / [email protected] - Web site download : http://www.komipo.co.kr/english/ - Telephone(mobile) +62-0856-744-0076, +62-0858-8324-1630 7. Submission / Date / Time / Venue - Applications shall be delivered directly to by hand (not mail) - Date / Time : 27 September, 2010. 18:00 - Submission Venue : PT KPJB Temporary Ofce Tanjung Jati B #3,4 Coal Fired Power Plant, Kabupaten Jepara Jawa Tengah, Indonesia. Sosok | 21 KAMIS, 9 SEPTEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Liliek Dharmawan Bekas tambak udang yang ditinggalkan benar-benar rusak.” S EMANGAT Thomas Heri Wahyono meme- dulikan lingkungan belum surut. Sudah be- lasan tahun, lelaki yang lahir dan besar di Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Ci- lacap, Jawa Tengah (Jateng), itu menghidupkan kembali hutan mangrove di lingkungannya. Kini, setelah wajah 45 tahun- nya mulai dihiasi keriput dan tenaganya sedikit susut, pohon- pohon mangrove itu menjulang tinggi. Lingkungan yang du- lunya panas karena langsung terpapar sinar matahari kini lebih adem. Di tengah-tengah lahan mangrove, ada satu pon- dok yang bisa digunakan untuk pertemuan dan bersantai. “Pada awalnya saya ingin menghijaukan lingkungan seki- tar saya. Makanya, saya tidak berani langsung mengajak warga. Cukup bersama dengan keluarga dulu. Waktu itu, saya dibantu saudara-saudara. Ada tujuh orang yang dapat saya ajak serta menghijaukan Desa Ujung Alang. Kebetulan mere- ka adalah kakak-kakak saya,” jelas Wahyono yang kini dise- gani di Ujung Alang, bahkan Kampung Laut. Alasan Wahyono sederhana saja. Ia ingin bernostalgia de- ngan rimbunnya pohon bakau saat dia masih kecil. Kala itu, hutannya masih bagus, sehing- ga udang dan ikan sangat gam- pang diperoleh. Kalau mem- buat rumah, cukup menebang mangrove secukupnya. Dari penebangan itu, kayu-kayu da- pat digunakan untuk membuat rumah panggung. “Hilangnya hutan mangrove membuat penduduk di sini harus membeli kayu ke Cilacap jika akan membuat rumah. Apalagi, ikan dan udang juga sulit ditemui,” katanya. Dari obrolan keluarga itulah kemudian muncul ide untuk membuat kelompok. “Ya, ke- lompoknya masih sederhana karena semuanya anggota ke- luarga. Waktu itu, saya mena- makan (kelompok itu) Keluarga Lestari. Sesuai dengan cita-cita kami, melestarikan kembali mangrove. Kelompok itu kami dirikan pada 2001 dan mulai menanam di lahan-lahan yang rusak,” ujar bapak beranak empat tersebut. Dia juga mengaku termoti- vasi anak-anaknya. “Saya tidak mau anak-anak saya kelak tidak lagi bisa menikmati rimbunnya hutan mangrove,” ujarnya. Tambak udang Wahyono mengungkapkan, kerusakan paling parah sebe- tulnya dipicu pembukaan lahan oleh para investor yang ramai- ramai masuk ke Kampung Laut, khususnya di Desa Ujung Alang, sekitar 1995-1996. Di daerah itu, sewa tanah sangat murah. Para pemilik modal bersama warga menyu- lap hutan mangrove menjadi tambak udang. “Awal budi daya udang, pendapatan warga meningkat. Tapi hutan mang- rove jadi rusak,” kata dia. Tahun 1997, lanjut Wahyono, merupakan masa keemasan budi daya tambak udang. Tetapi dua tahun setelah itu, usaha tambak udang menjadi lesu dan bangkrut sama sekali akibat virus. “Para investor gulung tikar, kemudian angkat kaki dari Ujung Alang. Bekas tambak udang yang diting- galkan benar-benar rusak dan tidak ada lagi pohon bakau tersisa,” jelas Wah- yono yang anak pertamanya telah menempuh ku- liah di perguruan tinggi. Kondisi itu sebe- lumnya tidak per- nah diduga warga. Mereka tidak per- nah berpikir bah- wa para pemodal bisa meninggalkan Ujung Alang begitu saja setelah usaha mereka gagal. “Masyarakat benar-benar terkena imbasnya. Kami tidak memperoleh lagi pendapatan dari budi daya udang. Terlebih, hutan sudah sangat rusak se- hingga semakin sedikit pohon bakau yang dapat dimanfaat- kan masyarakat,” katanya. Wahyono sadar, investor yang datang memang bisa langsung pergi begitu saja karena mereka bukan warga asli Ujung Alang. Mereka tidak akan merasakan dampak pas- carusaknya lingkungan. Perintis lingkungan Upaya Wahyono sempat dicibir. Satu tahun, dua tahun, mereka bertahan dan konsisten dengan kegiatan menghijaukan Ujung Alang. Ternyata selama dua tahun itu, ada juga warga di luar keluarga yang memper- hatikan sepak terjang kelompok Keluarga Lestari tersebut. “Tetapi sebelum mereka ma suk, saya katakan, kalau yang kami lakukan tidak memperoleh upah. Jangan harap ada pendapatan dari apa yang kami lakukan. Saya ka- takan itu berkali- kali kepada mere- ka yang mau ikut kelompok supaya tidak kecewa setelah berada di kelompok ini. Ternyata mereka mau, sehingga masuk kelom- pok Keluarga Lestari,” katanya lalu tersenyum. Karena anggotanya sudah tidak lagi keluarga, atas kesepa- katan bersama, nama Keluarga Lestari diganti menjadi Krida Wana Lestari. “Nama ini berarti bekerja untuk tujuan melestari- kan hutan. Kini anggota kelom- pok telah mencapai 33 orang dan mengadakan pertemuan rutin selapan (35 hari) sekali,” MI / LILIEK DHARMAWAN Nostalgia Bakau di Kampung Laut Menghidupkan kembali hutan mangrove bisa dimulai dari langkah kecil dan sederhana. Thomas Heri Wahyono memulainya dari keluarga, sebelum akhirnya menjadi gerakan warga desa. THOMAS HERI WAHYONO jelas tokoh Perintis Lingkungan Hidup tingkat Jateng tahun 2010 itu. Waktu terus berjalan. Tanpa terasa, pohon-pohon bakau yang ditanam kelompok terse- but mulai membesar. Ada jenis bakau, tancang, siapi-api, dan sebagainya. Mereka menghi- jaukan dengan mengumpulkan biji-biji tanaman mangrove. Biji-biji tersebut ditanam ke dalam polybag. Kemudian setelah cukup besar dan menjadi bibit tanam- an dengan usia sekitar 4 bu- lan, mereka memindahkan ke lokasi kosong di sekitar Ujung Alang. Kegiatan tersebut berulang- ulang dilakukan. Hingga saat ini, kelompok Krida Wana Lestari telah mampu menghi- jaukan sekitar 25-30 hektare lahan yang dulunya rusak. Keuntungan Dengan semakin bertum- buhkembangnya hutan man- grove, keuntungan pun datang. Sejak semula, dia bersama kelompoknya memang telah menyusun strategi supaya jarak tanamnya lebih mepet. “Hal ini kami lakukan supa- ya dapat dilakukan penjarang- an pohon mangrove. Sebab, dengan adanya penjarangan, warga tidak usah lagi membeli kayu untuk membuat rumah. Kalau lebih, malah memper- oleh keuntungan karena setiap satu batang kayu mangrove dengan ukuran selengan harga- nya Rp5.000,” katanya. Tetapi, Wahyono buru-buru menambahkan bahwa tujuan utamanya bukan itu. “Kayu yang dimanfaatkan hanya pada saat penjarangan saja, lainnya tidak boleh,” tegasnya. Penyadaran semacam itu sudah merasuk ke dalam benak anggotanya. Apalagi, ternyata dengan semakin bagusnya mangrove, air yang mengge- nangi hutan mangrove dapat menjadi media budi daya. “Kami berkali-kali mem- budidayakan, meski terka- dang masih gagal. Pernah kami membudidayakan bandeng, ke- mudian ikan nila, dan lainnya. Tetapi, karena masih dalam rangka percobaan, sering gagal. Meski demikian, kami tidak rugi karena hasilnya dapat untuk menutup sewaktu gagal panen. Kini, kami mengem- bangkan kepiting bakau, hasil- nya cukup lumayan,” ujarnya. Kebetulan, kata Wahyono, Kantor Pengelolaan dan Pem- berdayaan Segara Anakan (KPPSA) Cilacap menaruh perhatian yang lebih kepada Krida Wana Lestari, dengan memberikan pendampingan budi daya kepiting. Tak lama kemudian, Per- tamina Renery Unit (RU) IV Cilacap memberikan bantuan ‘basket’ (rumah kepiting yang terbuat dari plastik tebal) untuk budi daya kepiting. “Dalam membudidayakan kepiting, bibit dibeli dengan harga Rp20 ribu setiap kilogram (kg). Kalau beratnya 1 kg, ada sekitar 20 ekor kepiting kecil. Kepiting- kepiting itu dimasukkan ke dalam basket.” Kemudian basket tersebut dimasukkan ke air yang meng- genang di sela-sela hutan mang- rove. Setelah empat bulan, sudah dapat dipanen. Dari 1 kg bibit tersebut, mereka bisa memanen sekitar 3-4 kg kepi- ting dengan harga jual Rp40 ribu per kg. “Di sini bisa jadi 10-20 kg bibit,” jelas Wahyono yang masih menjabat kepala dusun tersebut. Menurutnya, masih harus ada pembenahan sehingga nantinya benar-benar akan menguntungkan. “Satu hal positif dari budi daya kepiting ini ialah warga tidak lagi berani membabat mangrove. Karena kalau mang- rove hilang, kepi ting tidak bakal berkembang.” Kini Wahyono terus melan- jutkan cita-cita memperluas hu- tan mangrove. Ia sadar mang- rove di Cilacap saat ini makin sedikit. Berdasarkan data dari KPPSA, kini hutan mengrove di Kawasan Segara Anakan hanya tinggal sekitar 8.000 hektare (ha). Padahal pada 1974, luasnya masih menca- pai 15 ribu ha lebih. Memang memprihatinkan. Namun, apa yang dilakukan Wahyono telah membuka harapan. (M-4) [email protected] THOMAS HERI WAHYONO Tempat, tanggal lahir: Cilacap, Jawa Tengah, 10 Agustus 1965 Pendidikan: Sekolah dasar (SD) Istri: Monika Tumirah Anak: Yufita Reni Windiyastuti, Antonius Jonny Riyanto Andreas Aji Wibowo, Claudius Mario Tegar Saputro Penghargaan: Perintis Lingkungan Hidup Jawa Tengah 2010
Transcript

Pre-Qualification1. Services Name : TJB 3& 4 (660MW x 2) Coal Receiving and Jetty & Port

Management (Capacity : 70,000ton)

2. Application of Qualification - Company Qualified by the laws of Indonesia in the relevant field - With Experience of Coal Jetty and Port management for at least 20,000ton

Capacity

3. Evaluation Items - Audited financial statement for the last two years, - Coal Jetty & Port Management Experience - Technical staffs and related Equipment holding status - Quality management and Safety management, etc.,

4. Bidding process - Selective tender among Qualified Applicant - The lowest price bidding will be awarded

5. Submission Document (original 1, copy 2) - Application Letter for Pre-Qualification

6. Application Form distribution(use below) - Request for Forms by E-mail individually ☞ [email protected] / [email protected][email protected] / [email protected] - Web site download : http://www.komipo.co.kr/english/ - Telephone(mobile) ☞ +62-0856-744-0076, ☞ +62-0858-8324-1630

7. Submission / Date / Time / Venue - Applications shall be delivered directly to by hand (not mail) - Date / Time : 27 September, 2010. 18:00 - Submission Venue : PT KPJB Temporary Office Tanjung Jati B #3,4

Coal Fired Power Plant, Kabupaten Jepara Jawa Tengah, Indonesia.

Sosok | 21KAMIS, 9 SEPTEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA

Liliek Dharmawan

Bekas tambak udang yang ditinggalkan benar-benar rusak.”

SEMANGAT Thomas Heri Wahyono me me-dulikan lingkungan belum surut. Sudah be-

lasan tahun, lelaki yang lahir dan besar di Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Ci-lacap, Jawa Tengah (Jateng), itu menghidupkan kembali hutan mangrove di lingkungannya.

Kini, setelah wajah 45 tahun-nya mulai dihiasi keriput dan tenaganya sedikit susut, pohon-pohon mangrove itu menjulang tinggi. Lingkungan yang du-lunya panas karena langsung terpapar sinar matahari kini lebih adem. Di tengah-tengah lahan mangrove, ada satu pon-dok yang bisa digunakan untuk pertemuan dan bersantai.

“Pada awalnya saya ingin menghijaukan lingkungan seki-tar saya. Makanya, saya tidak berani langsung mengajak warga. Cukup bersama dengan keluarga dulu. Waktu itu, saya dibantu saudara-saudara. Ada tujuh orang yang dapat saya ajak serta menghijaukan Desa Ujung Alang. Kebetulan mere-ka adalah kakak-kakak saya,” jelas Wahyono yang kini dise-gani di Ujung Alang, bahkan Kampung Laut.

Alasan Wahyono sederhana saja. Ia ingin bernostalgia de-ngan rimbunnya pohon bakau saat dia masih kecil. Kala itu, hutannya masih bagus, sehing-ga udang dan ikan sangat gam-pang diperoleh. Kalau mem-buat rumah, cukup menebang mangrove secukupnya. Dari penebangan itu, kayu-kayu da-pat digunakan untuk membuat rumah panggung.

“Hilangnya hutan mang rove membuat penduduk di sini harus membeli kayu ke Cilacap jika akan membuat rumah. Apalagi, ikan dan udang juga sulit ditemui,” katanya.

Dari obrolan keluarga itulah kemudian muncul ide untuk membuat kelompok. “Ya, ke-lom poknya masih sederhana karena semuanya anggota ke-luarga. Waktu itu, saya mena-makan (kelompok itu) Keluarga Lestari. Sesuai dengan cita-cita kami, melestarikan kembali mangrove. Kelompok itu kami dirikan pada 2001 dan mulai menanam di lahan-lahan yang rusak,” ujar bapak beranak empat tersebut.

Dia juga mengaku termoti-vasi anak-anaknya. “Saya tidak mau anak-anak saya kelak tidak lagi bisa menikmati rimbunnya hutan mangrove,” ujarnya.

Tambak udangWahyono mengungkapkan,

kerusakan paling parah sebe-tulnya dipicu pembukaan lahan oleh para investor yang ramai-ramai masuk ke Kampung Laut, khususnya di Desa Ujung Alang, sekitar 1995-1996.

Di daerah itu, sewa tanah sangat murah. Para pemilik modal bersama warga menyu-lap hutan mangrove menjadi tambak udang. “Awal budi daya udang, pendapatan warga meningkat. Tapi hutan mang-

rove jadi rusak,” kata dia.Tahun 1997, lanjut Wahyono,

merupakan masa keemasan budi daya tambak udang. Tetapi dua tahun setelah itu, usaha tambak udang menjadi lesu dan bangkrut sama sekali akibat virus. “Para investor gulung tikar, kemudian angkat kaki dari Ujung Alang. Bekas tambak udang yang diting-galkan benar-benar rusak dan tidak ada lagi pohon bakau tersisa,” jelas Wah-yono yang anak pertamanya telah menempuh ku-liah di perguruan tinggi.

Kondisi itu se be-lumnya tidak per-nah diduga warga. Mereka tidak per-nah berpikir bah-wa para pemodal bisa meninggal kan Ujung Alang begitu saja setelah usaha mereka gagal.

“Masyarakat benar-benar ter kena imbasnya. Kami tidak memperoleh lagi pendapatan dari budi daya udang. Terlebih, hutan sudah sangat rusak se-hingga semakin sedikit pohon bakau yang dapat dimanfaat-kan masyarakat,” katanya.

Wahyono sadar, investor yang datang memang bisa langsung pergi begitu saja karena mereka bukan warga asli Ujung Alang. Mereka tidak

akan merasakan dampak pas-carusaknya lingkungan.

Perintis lingkunganUpaya Wahyono sempat

dicibir. Satu tahun, dua tahun, me reka bertahan dan konsisten dengan kegiatan menghijaukan Ujung Alang. Ternyata selama dua tahun itu, ada juga warga di luar keluarga yang memper-hatikan sepak terjang kelompok Keluarga Lestari tersebut.

“Tetapi sebelum mereka ma suk, saya katakan, kalau yang kami lakukan tidak memperoleh upah. Jangan harap ada pendapatan dari apa yang kami lakukan. Saya ka-takan itu berkali-kali kepada mere-ka yang mau ikut kelompok supaya

tidak kecewa setelah berada di kelompok ini. Ternyata mereka mau, sehingga masuk kelom-pok Keluarga Lestari,” katanya lalu tersenyum.

Karena anggotanya sudah tidak lagi keluarga, atas kese pa-katan bersama, nama Keluarga Lestari diganti menjadi Krida Wana Lestari. “Nama ini berarti bekerja untuk tujuan melestari-kan hutan. Kini anggota kelom-pok telah mencapai 33 orang dan mengadakan per temuan rutin selapan (35 hari) sekali,”

MI / LILIEK DHARMAWAN

Nostalgia Bakau di Kampung Laut Menghidupkan kembali hutan mangrove bisa dimulai dari langkah kecil dan sederhana.

Thomas Heri Wahyono memulainya dari keluarga, sebelum akhirnya menjadi gerakan warga desa.

T H O M A S H E R I W A H Y O N O

jelas tokoh Perintis Lingkungan Hidup tingkat Jateng tahun 2010 itu.

Waktu terus berjalan. Tanpa terasa, pohon-pohon bakau yang ditanam kelompok terse-but mulai membesar. Ada jenis bakau, tancang, siapi-api, dan sebagainya. Mereka menghi-jaukan dengan mengumpulkan biji-biji tanaman mangrove. Biji-biji tersebut ditanam ke dalam polybag.

Kemudian setelah cukup besar dan menjadi bibit tanam-an dengan usia sekitar 4 bu-lan, mereka memindahkan ke lokasi kosong di sekitar Ujung Alang.

Kegiatan tersebut berulang-ulang dilakukan. Hingga saat ini, kelompok Krida Wana Les tari telah mampu menghi-jaukan sekitar 25-30 hektare lahan yang dulunya rusak.

KeuntunganDengan semakin bertum-

buhkembangnya hutan man-grove, keuntungan pun datang. Sejak semula, dia bersama kelompoknya memang telah menyu sun strategi supaya jarak tanamnya lebih mepet.

“Hal ini kami lakukan supa-ya dapat dilakukan penjarang-an pohon mangrove. Sebab, dengan adanya penjarangan, warga tidak usah lagi membeli kayu untuk membuat rumah. Kalau lebih, malah memper-oleh keuntungan karena setiap satu batang kayu mangrove dengan ukuran selengan harga-nya Rp5.000,” katanya.

Tetapi, Wahyono buru-buru menambahkan bahwa tujuan utamanya bukan itu. “Kayu yang dimanfaatkan hanya pada saat penjarangan saja, lainnya tidak boleh,” tegasnya.

Penyadaran semacam itu sudah merasuk ke dalam benak anggotanya. Apalagi, ternyata dengan semakin bagusnya mang rove, air yang mengge-nangi hutan mangrove dapat

menjadi media budi daya. “Kami berkali-kali mem-

budidayakan, meski terka-dang masih gagal. Pernah kami mem budidayakan bandeng, ke-mudian ikan nila, dan lainnya. Tetapi, karena masih dalam rangka percobaan, sering gagal. Meski demikian, kami tidak rugi karena hasilnya dapat untuk menutup sewaktu gagal panen. Kini, kami mengem-bangkan kepiting bakau, hasil-

nya cukup lumayan,” ujarnya.Kebetulan, kata Wahyono,

Kantor Pengelolaan dan Pem-berdayaan Segara Anakan (KPPSA) Cilacap menaruh perhatian yang lebih kepada Krida Wana Lestari, dengan memberikan pendampingan budi daya kepiting.

Tak lama kemudian, Per-tamina Refi nery Unit (RU) IV Cilacap memberikan bantuan ‘basket’ (rumah kepiting yang

terbuat dari plastik tebal) untuk budi daya kepiting. “Dalam membudidayakan kepiting, bibit dibeli dengan harga Rp20 ribu setiap kilogram (kg). Kalau beratnya 1 kg, ada sekitar 20 ekor kepi ting kecil. Kepiting-kepiting itu dimasukkan ke dalam basket.”

Kemudian basket tersebut di masukkan ke air yang meng -genang di sela-sela hutan mang-rove. Setelah empat bulan, su dah dapat dipanen. Dari 1 kg bibit tersebut, mereka bisa memanen sekitar 3-4 kg kepi-ting dengan harga jual Rp40 ribu per kg. “Di sini bisa jadi 10-20 kg bibit,” jelas Wah yono yang masih menjabat kepala dusun tersebut.

Menurutnya, masih harus ada pembenahan sehingga nantinya benar-benar akan meng untungkan.

“Satu hal positif dari budi daya kepiting ini ialah warga tidak lagi berani membabat mangrove. Karena kalau mang-rove hilang, kepi ting tidak bakal berkembang.”

Kini Wahyono terus melan-jutkan cita-cita memperluas hu-tan mangrove. Ia sadar mang -rove di Cilacap saat ini makin sedikit. Berdasarkan data dari KPPSA, kini hutan mengrove di Kawasan Segara Anakan hanya tinggal sekitar 8.000 hektare (ha). Padahal pada 1974, luasnya masih menca-pai 15 ribu ha lebih. Memang memprihatinkan. Namun, apa yang dilakukan Wahyono telah membuka harapan. (M-4)

[email protected]

THOMAS HERI WAHYONOTempat, tanggal lahir:

Cilacap, Jawa Tengah, 10 Agustus 1965

Pendidikan: Sekolah dasar (SD)

Istri: Monika Tumirah

Anak: Yufita Reni Windiyastuti, Antonius Jonny Riyanto

Andreas Aji Wibowo, Claudius Mario Tegar Saputro

Penghargaan: Perintis Lingkungan Hidup Jawa Tengah 2010

Recommended