Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
65
HAK POLITIK PEREMPUAN:
Antara Tantangan dan Harapan
Oleh: Mila Karmilah1
Abstract
Efforts to build alliances and specialized cooperation is needed to change
perceptions regarding women's leadership, especially with female leadership disseminate
credible, effective, and better than men in various fields and at all levels of society. All
women should know that as a leader, he must wrestle with the responsibility and priority to
public world. As a person that women leaders also became parents and housewives, as well
as women traders or businessmen. Humans, no matter men or women, plays different roles
at different times. Women still tend to be more appreciative of his contributions in the
private space and the role of voluntary (unpaid) rather than the aspects related to the social
sphere.
Keywords: political rights, women's, gender.
A. Pendahuluan
“Kebebasan tidak akan dapat dicapai kecuali kalau perempuan telah
dimerdekakan dari segala bentuk penindasan. Kita semua berangkat dari sini
dan menegaskan bahwa tujuan program rekonstruksi dan pembangunan tidak
akan terwujud kecuali kalau kita memandangnya dalam bentuk-bentuk praktis
yang terlihat bahwa kondisi perempuan di Negara kita telah berubah secara
radikal menjadi lebih baik dan bahwa mereka telah diberdayakan untuk
berkiprah dalam segala aspek kehidupan yang sejajar dengan setiap anggota
masyarakat lainnya”. (Nelson Mandela, 24 Mei 1994)2
Pernyataan dari seorang Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela, dapat diambil
kesimpulan bahwa belum merdeka perempuan ketika masih didiskriminasikan oleh kaum
laki-laki dalam bentuk apapun dan masih juga terjadi kekerasan terhadap perempuan. Oleh
karenanya perempuan harus menjadi pemegang kebijakan untuk menjadikan perempuan
yang lainnya merasakan hawa kebebasan dan kemerdekaan. Dan tidak mungkin semua
1 Penulis adalah Staf Pengajar pada Fakultas Teknik UNISSULA Semarang dan Ketua PSG
UNISSULA 2 Mavivi Myakayaka Manzini, Pemberdayaan Perempuan di Afrika Selatan dalam YJP: Perempuan di
Parlemen: Bukan sekedar Jumlah, YJP, Jakarta: 1999, hal. 165
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
66
perempuan menjadi pemegang kebijakan dalam sebuah Negara yang berkaitan dengan
kepentingan kaum perempuan secara umumnya, jika kaum perempuan sendiri tidak turut
andil dalam pemilihan wakil rakyat dari kaum perempuan. Oleh karenanya diperlukan
pemilih-pemilih dari kaum perempuan untuk memilih perempuan sebagai wakil perempuan
untuk mengutamakan kepentingan perempuan dan anak-anak.
Perempuan, tidak akan mampu meraih hasil yang dicita-citakan dan memajukan
kepentingan mereka, jika sejak awal mereka tidak mengorganisasikan diri mereka ke dalam
kelompok-kelompok perempuan di dalam partai dalam arus multi partai. Mereka nantinya
juga diuntungkan oleh komitmen dan tindakan-tindakan perempuan di parlemen. Mereka
mampu melanjutkan kemajuan mereka berkat hubungan dan partisipasi mereka dalam
organisasi-organisasi perempuan dan ornop di civil society.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa perempuan jumlahnya lebih banyak
daripada laki-laki, karena koordinasinya lebih mudah, memobilisasinya juga mudah,
wadahnya juga jelas, akan tetapi sering kali partisipasi dan kebutuhan serta kepentingannya
sebagai perempuan tidak terakomodir, mengapa bisa terjadi demikian?
Hal ini karena bargaining perempuan kurang kuat: posisi legislatif tidak banyak,
sektor-sektor tertentu dalam eksekutif juga tidak banyak posisi strategis, perempuan dalam
berpolitik cenderung jujur tapi jujur dalam berpolitik beda dengan yang dipersepsikan oleh
perempuan. Hal ini ada kaitannya dengan bias gender dan politik
Berbagai persepsi perempuan tentang pemilu baik pemilu presiden pemilu kepala
daerah maupun pemilu legislatif, wakil rakyat atau wakil rakyat perempuan. Secara umum,
perempuan memandang pemilu sebagai ajang memilih wakil rakyat. Wakil rakyat dipahami
sebagai orang yang dapat dipercaya oleh rakyat, bisa menyampaikan suara rakyat dan
mampu membawa kehidupan rakyat Indonesia kearah yang lebih baik. Pendapat
perempuan tentang wakil rakyat yang menjabat saat ini adalah: sosok yang suka
mengabaikan rakyat, tidak peduli dengan kemiskinan, OKB (orang Kaya baru), mereka
cenderung tidak tahu malu, suka korupsi, suka pelesir ke luar negeri, suka janji-janji palsu
dan orang yang tidak bisa dipercaya.3
Sebagai pemilih, selama ini perempuan belum secara independen memilih calon wakil
rakyat, karena banyak alasan mereka memilih karena ikut pilihan kyai, pilihan suami,
pilihan saudara, teman atau lingkungan. Mayoritas kaum perempuan belum mengerti
urgensi keterwakilan perempuan di lembaga eksekutif maupun legislatif. Bagi mereka tidak
masalah presiden, gubernur, bupati, caleg laki-laki atau perempuan asal mau mengerti
penderitaan rakyat. Namun kaum perempuan sepakat bahwa memilih perempuan sebagai
pemimpin baik sebagai wakil rakyat maupun sebagai pemimpin daerah adalah sebuah
keharusan karena perempuan lebih peka dan lebih tahu kebutuhan perempuan dan
perempuan yang diinginkan bukan hanya berjenis kelamin perempuan tetapi perempuan
3Jurnal perempuan Vol. 34, Maret 2004, YJP, Jakarta, hal. 8
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
67
disini adalah perempuan yang secara ideologis memiliki kemampuan intelektual dan
emosional serta mau dan mampu memperjuangkan agenda perempuan. Perempuan yang
seperti inilah yang akan menyadarkan perempuan-perempuan lainnya akan hak-hak politik
perempuan yang harus diperjuangkan meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi
termasuk kondisi perempuan itu sendiri. Pada tulisan ini akan kami sampaikan berbagai
pengalaman penulis terhadap komunitas perempuan yang selama ini penulis amati dan
kami dampingi, bagaimana harapan perempuan dalam menggunakan hak politiknya,
sehingga diperoleh data dan sekaligus solusi yang penulis tawarkan berkaitan dengan hak
politik perempuan karena bagaimanapun perempuan mempunyai hak politik yang sama
dengan laki-laki dan harus diperjuangkan.4
B. Pembahasan
1. Bias Gender dan Politik
Bias gender adalah prasangka yang dibuat tanpa pengetahuan yang memadai atau
bukti-bukti yang kuat terhadap seseorang atau sekelompok masyarakat yang didasarkan
pada peran dan posisi gender laki-laki dan perempuan, misalnya ketika ada pertanyaan
mampukah bupati/ ketua DPRD perempuan memimpin masyarakat di suatu daerah?
Mengapa pertanyaan ini dilontarkan hanya kepada perempuan, mengapa kepada
bupati/ketua DPRD yang laki-laki tidak ada pertanyaan seperti itu. Jika di dunia kerja bias
gender juga berarti perlakuan tidak setara dalam memberikan kesempatan kerja atau
jabatan (promosi, upah atau gaji, keuntungan dan hak-hak istimewa) dan harapan-harapan
terhadap sikap dan tingkah laku yang didasarkan pada jenis kelamin seorang karyawan atau
sekelompok karyawan. Bias ini sangat berkaitan dengan keyakinan adanya pemisahan
antara ruang publik dan ruang privat. Ruang publik adalah tempat dan milik laki-laki baik
secara sosial, politik dan ekonomi, seperti lembaga publik, partai politik, parlemen dan
lainnya, sementara ruang privat adalah ranah perempuan, tempat mereka hadir dan
beraktivitas, seperti keluarga, merawat suami, anak, aktivitas rumah tangga. Pembagian
ruang ini menjadikan konsekuensi masalah kesetaraan dan keadilan tidak menjadi
perhatian dalam hubungan antar keluarga (suami-istri, orang tua-anak). Atas dasar itulah
sehingga ketika perempuan masuk dalam ranah publik menempati sebagai kepala daerah
ataupun parlemen dipermasalahkan kapasitas dan keahliannya sehingga ketika gagal
kesannya heboh tidak seperti laki-laki yang menjadi pemimpin yang mempunyai kapasitas
sama dengan perempuan.5
4 UNDP, Partisipasi politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang Baik: Tantangan Abad 21, Edisi
Bahasa Indonesia, Jakarta, UNDP, 2003, hal. 54 5. Jurnal perempuan No. 34, Maret 2004, YJP, Jakarta, 2004, hal.9
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
68
2. Beberapa bentuk bias gender dalam politik
Bias gender dalam politik terjadi karena ada beberapa pemikiran tentang politik
yang menjadi teori dalam ilmu politik yang terhegemoni sampai detik ini. Diantaranya
teori-teori tersebut adalah:
Pembicaraan politik selalu berkaitan dengan “ the exercise of power” yang ada di
pemerintahan atau institusi-institusi public lainnya. Harorld Laswell dalam bukunya
“ What Gets What, When and How” (Siapa Dapat Apa, Kapan dan Bagaimana),
definisi politik ini menunjuk pada semua aktivitas yang terjadi dan berlangsung di
ranah public milik laki-laki. Juga pendapat neo-evolusionis yang mempromosikan
paradigma androsentris, “ man as the the hunter “menunjukkan bahwa semua
perkembangan manusia dalam masyarakat bermula dari perburuan yang dilakukan
laki-laki.6
Pemikiran politik modern yang menekankan pentingnya kewarganegaraan universal
yang akan memperluas hak semua orang untuk teribat dalam partisipasi politik.
Kelihatannya ada prinsip keadilan akan tetapi hakekat perluasan kewarganegaraan
yang universal ini berasal dari pengalaman laki-laki yang berkarakter maskulin,
militeristik, rasionalitas, kemandirian, keagresifan, kekuatan, kekompetitifan, tawar
menawar yang diasosiasikan dengan laki-laki dan maskulinitas.7
Nuansa seksisme dalam teori-teori politik. Seksisme adalah hubungan social yang
menyokong otoritas laki-laki terhadap perempuan. Para pemikir politik
menganggap perempuan terlalu emosional, tidak rasional untuk membuat keputusan
atau kebijakan yang penting dan strategis, ada kecenderungan mysogny (sikap yang
tidak menyukai perempuan). Tetapi sungguh ironis sebagian besar akademisi
maupun politisi mengamini dan merujuk pada pemikiran tersebut sebagai cerminan
suara demokrasi padahal demokrasi tanpa suara perempuan di dalamnya bukanlah
demokrasi sejati.8
Teori- teori politik yang konvensional yang ada tidak bisa memandang gender
sebagai sebuah konstruksi atau kategori teoritis, konseptual dan analitis.
Padahal ada tiga asumsi yang diungkapkan berkaitan dengan persoalan perempuan
dan politik yaitu:9
Politik apapun definisinya memiliki dampak yang berbeda pada laki-laki dan
perempuan
Politik dalam proses-prosesnya sering mengubah hubungan gender antara laki-
laki dan perempuan.
6 Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan kesetaraan Vol. 46 Cetakan Pertama, Maret 2006, ibid, hal.
26 7 Ibid, hal.27 8 Ibid, hal.28 9 Ibid, hal. 30
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
69
Perempuan yang berpartisipasi sebagai subyek politik melakukan aktivitas
politik yang berbeda dengan laki-laki.
Dari gambaran tersebut, dapat dipahami sebenarnya politik adalah suatu tindakan
kebijakan untuk menyelesaikan masalah. Sehingga siapapun yang mampu dan
berkesempatan dapat berperan dalam melakukan kebijakan tersebut, tidak hanya laki-laki,
perempuan juga bisa. Tidak harus terpaku dengan umur dan usia, setiap orang yang
mampu punya kesempatan yang sama. Hanya yang perlu dipahami, kebijakan yang
dihadirkan politik adalah yang mempunyai ekses luas. Namun, catatan yang utama,
permasalahan-permasalahan yang ada dalam dunia perempuan selama ini hanya bisa
diselesaikan oleh perempuan dan laki-laki yang peduli pada perempuan. Yang terakhir
inilah yang harus dicermati.
3. Situasi Perempuan Jawa Tengah
Secara kuantitatif jumlah perempuan di legislatif meningkat, secara kualitas masih
dipertanyakan dan dapat dipastikan mereka akan learning by doing. Berdasarkan latar
belakang dan profesi mereka yang sangat beragam mulai dari bidan, selebritis sampai
politisi, dapat dipastikan lembaga legislatif hasil Pemilu 2009 telah didominasi wajah baru,
yaitu caleg perempuan yang baru pertama kali terpilih melalui dapil Jawa Tengah. Ada
sebesar 88,89%, DPD sebesar 75% dan DPRD Jawa Tengah sebesar 71,43%. (Peta Suara
Perempuan Jateng 2009; Ari Pradanawati)
Di lain sisi secara umum para pemilih Jawa Tengah yang tidak menggunakan hak
suaranya pun mengalami peningkatan. Dari catatan rekap suara per kabupaten /kota di
Jawa Tengah dalam pilgub tahun 2008 dan 2013, terlihat bahwa angka pemilih yang tidak
menggunakan hak pilihnya mencapai meningkat dari 41,55% pada tahun 2008 menjadi
44.27% pada tahun 2013. Secara spesifik, 5 kabupaten dan kota dari 35 kabupaten dan kota
di Jawa Tengah, tingkat pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya bahkan sampai 50%
atau lebih adalah (Kab. Jepara (56,20%), Kabupaten Pati (55,48%), Kabupaten Demak
(55,99%) dan Kabpaten Brebes (50,96%)). Kabupaten Temanggung adalah wilayah dengan
tingkat pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya paling rendah (17,11%) disusul oleh
Kabupaten Kudus sebesar (20.48%) (Sumber: KPU Provinsi Jawa Tengah, Rapat Pleno
Terbuka Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa
Tengah Tahun 2013, 4 Juni 2013).
Angka ini memberikan gambaran bahwa partisipasi politik masyarakat (dan
perempuan) terhadap pemilihan kepala daerah masih rendah. Rendahnya partisipasi
perempuan dalam politik disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya sistem perekrutan
pada partai politik belum memberikan ruang penuh kepada perempuan; kehidupan politik
dalam anggapan masyarakat adalah kehidupan yang hanya cocok untuk perempuan;
standar kehidupan politik masih menggunakan standar laki-laki; kurang percaya diri pada
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
70
perempuan untuk memasuki wilayah politik; dan lemahnya dukungan kepada perempuan
dalam berpolitik.
Beberapa catatan mengenai hak politik perempuan baik sebagai calon legislatif
maupun sebagai pemilih sebagai berikut akan dipaparkan.
a. Sebagai Calon Anggota Legislatif
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh KPI Jawa Tengah dan Kemitraan
(Patnership for Governance Reform in Indonesia), dalam rangka memberikan pendidikan
politik bagi calon legislative di Jawa Tengah, dimana kegiatan ini memberikan pemahaman
mengenai strategi kampanye, serta teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk menjaring
suara tanpa melakukan money politic. Hasil kajian ini memperlihatkan bahwa profil
beberapa anggota legislatif baik berdasarkan latar belakang, proses pencalegan, agenda
yang diusung pada saat kampanye dan apa yang akan dilakukan pada saat terpilih nantinya.
Walaupun apa yang dilakukan ini tidak mewakili seluruh Jawa Tengah namun gambaran
ini akan memberikan perspektif mengenai caleg perempuan yang ada di Jawa Tengah dan
menurut penulis secara kewilayahan dapat mewakili gambaran yang ada.
1. Latar Belakang Caleg
a. Tingkat Pendidikan
Terlihat bahwa potensi caleg perempuan Jawa Tengah yang mengikuti pelatihan
yang dilakukan oleh kemitraan dari sisi pendidikan yang diselesaikan tampak bahwa
potensi caleg perempuan sangatlah luar biasa hal ini dapat terlihat dengan tingginya caleg
perempuan yang menamatkan pendidikan strata 1 (S1) sebanyak 66.67 %, sedangkan
jumlah mereka yang menamatkan pendidikan Strata 2 (S2) sebasar 13 % dan sisanya
adalah tamatan SMA, dengan potensi ini akan mempercepat peluang keterwakilan
perempuan di lembaga legislatif, paling tidak sebagai persiapan tahun 2014.
b. Usia
Dari sisi usia terlihat bahwa usia calon legislatif (caleg) perempuan rata-rata
didominasi oleh caleg yang berusia 36-45 tahun (46.7%), serta caleg berusia antara 46-55
tahun (26.7%). Sedangkan Caleg termuda berusia 22 tahun dan caleg tertua berusia 63
tahun. Gambaran ini memberikan petunjuk dari sisi usia sebenarnya rentang antara usia
caleg perempuan berada pada rentang usia produktif, dan dalam derajat tertentu dianggap
sebagai usia matang dalam berpolitik, karena relatif telah bersentuhan dengan pengalaman
dalam masyarakat maupun dalam politik.
2. Latar Belakang Politik Caleg
Caleg perempuan relatif memiliki rekam jejak organisasi yang baik, ini dibuktikan
dengan besarnya keterlibatan mereka (100%) sebagai eksponen organisasi partai politik,
profesi, maupun sosial. Bahkan aktivitas di partai politik sangat dominan hampir
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
71
seluruhnya caleg perempuan berasal dari organisasi politik (73%), organisasi sosial (83%),
dan jumlah mereka yang berasal dari jumlah organisasi profesi juga cukup besar (41%).
Sebagian besar caleg (62%) yang aktif di organisasi politik merupakan bagian dari jajaran
induk partai.
Namun situasi agak berbeda terjadi pada aktivitas di organisasi sosial, caleg
perempuan yang memiki pengalaman di organisasi sosial jumlahnya jauh lebih besar, lebih
dari setengah dari sisi kuantitasnya (90%), ini menunjukkan sebelum kran gender
mainstreaming melalui tindakan khusus sementara untuk keterwakilan perempuan didunia
politik dibuka, sebagian besar dari mereka memilih aktif di organisasi sosial. Informasi lain
yang cukup bagus, adalah bahwa keterlibatan caleg perempuan didalam organisasi politik
maupun sosial sebagian besar adalah pengurus organisasi. Untuk organisasi politik bahkan
mereka hampir seluruhnya menjadi pengurus (100%), demikian juga organisasi sosial
(93%). Sementara yang hanya menjadi anggota dalam organisasi baik sosial maupun
politik berada direntang (14-17%). Termasuk dalam organisasi profesi mereka kurang dari
separuh adalah pengurus organisasi tersebut.
3. Proses Pencalegan
Banyaknya partai politik saat ini membuka peluang yang sangat besar untuk
mendaftarkan diri sebagai caleg. Sebagian besar caleg perempuan di Jawa Tengah telah
berpengalaman sebagai caleg lebih dari satu kali (53.3%), dan hanya (46,7%) yang belum
pengalaman sebagai caleg (kali ini merupakan pengalaman pertama). Jumlah caleg yang
berhasil menjadi anggota legislatif hanya 26,67%. Kemenangan pada pemilu 2009 ini bagi
mayoritas dari mereka (83%) merupakan pengalaman yang pertama sebagai anggota
legislatif dan 17% memiliki pengalaman kemenangan yang kedua. Sebagian besar caleg
merasa kecewa terhadap sistem dan keadaan negara ini. Keinginan mereka untuk
melakukan perubahan (67.67%) telah memotivasi mereka untuk menjadi caleg. Motivasi
lain yang medorong mereka menjadi anggota legistaif antara lain karena adanya dorongan
dari pihak lain (15%), ingin mencoba profesi/karier baru (10%), adanya keterwakilan
perempuan (5%) dan hanya ingin coba-coba (3%).
4. Agenda dan Isu yang Diusung oleh Para Caleg
Agenda dan isu yang diusung oleh para caleg memiliki porsi sangat besar dan
dominan adalah isu yang berkaitan dengan perempuan dan ekonomi. Isu ini diagendakan
oleh 79% caleg dan 41% menyatakan isu ini yang paling diminati. Isu pendidikan (71%),
Keterwakilan politik perempuan (88%), serta sosialisasi tata cara pemberian suara (73%),
sementara isu kekerasan dalam rumah tangga juga mendapat porsi meski tidak terlalu
dominan (41%) termasuk masalah kesehatan keluarga (56%). Namun dari beberapa isu
yang dilontarkan caleg perempuan isu yang paling diminati adalah perempuan dan
ekonomi (41%), hal ini memperlihatkan isu ekonomi dan kesejahteraan memang menjadi
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
72
isu magnet dan mainstreaming karena janji perbaikan ekonomi sangat dekat dengan
kalangan pemilih di pedesaan maupun perkotaan, disaat krisis ekonomi yang sedang
mendera negeri ini. Data ini juga dapat diambil besaran kesimpulan bahwa majunya caleg
perempuan tidak dengan kepala kosong, namun dengan agenda yang tertata.
5. Langkah yang Diambil Beberapa Caleg Setelah Terpilih
Langkah pertama bagi seorang caleg perempuan terpilih adalah menepati janji dan
berusaha semaksimal mungkin memperjuangkan tuntutan konstituen pemilih (40%), meski
pekerjaan ini bukan perkara yang mudah. Seperti pada saat bekerja mereka akan terpenjara
dalam kerangka kerja kekomisian yang kadangkala tidak sesuai dengan kebutuhan
konstituen pendukung. Oleh karena bekerja sebaik mungkin (27%), dengan mengeluarkan
regulasi yang berpihak pada kaum perempuan.
Bagi caleg perempuan, tampaknya kekalahan bukan berarti akhir segalanya,
kekalahan bukan juga kiamat bagi masa depan dan karier politik mereka. Sebagian besar
caleg perempuan justru menjadikan kekalahan sebagai bahan pembelajaran dan perenungan
(39%), dan memulai bekerja serius dengan kembali melakukan penggalangan politik,
termasuk mempersiapkan sedini mungkin ketersediaan finansial (23%). Semuanya
dilakukan dengan cara memulai kembali aktif di ormas maupun partai politik sebagai
lembaga pijakan untuk memasuki kembali pertarungan caleg tahun 2014.
Setelah para caleg terpilih menjadi anggota DPR/DPRD periode 2009-2014,
kebutuhan mendesak yang mereka inginkan adalah pelatihan dalam rangka pengembangan
kapasitas sebagai anggota DPR/DPRD yang baru (43%). Termasuk para caleg yang tak
terpilih juga menginginkan adanya penambahan kualitas diri melalui berbagai pelatihan
yang disediakan bagi dari dalam partai sendiri maupun lembaga-lembaga lain di luarnya.
b. Sebagai Pemilih Kritis dan Cerdas
Kondisi marginal perempuan baik sebagai pemilih maupun caleg tidak terlepas dari
lemahnya pendidikan pemilih dan kepemiluan khususnya bagi komunitas perempuan. Hasil
penelitian UNDP (2008) memaparkan bahwa secara umum, “aspek ini relatif kurang
mendapatkan perhatian. Ada sinyalemen bahwa semakin pemilih tidak paham dengan
sistem pemilihan, mekanisme penyusunan calon, sampai implikasi dari janji-janji
kampanye, maka semakin peserta Pemilu mendapatkan keuntungan. Pemilih yang pasif
hanya dijadikan sebagai alat legitimasi atas kekuasaan”. Lebih lanjut diungkapkan
pendidikan Elektoral kebanyakan ditargetkan pada publik umum tanpa kategori khusus
sesuai karakteristik pemilih dan daerah, kecuali dalam beberapa kasus. Dalam hal ini
komunitas perempuan marginal (ibu RT, pekerja informal, penyandang cacat, pekerja
migran, pembatu rumah tangga, lansia) sering luput dari target ini. Mereka dianggap dapat
memperoleh informasi atau dapat diwakili oleh suami/laki-laki. Hal ini menunjukan bahwa
pendidikan pemilih dan elektroral belum berperspektif gender. Perempuan sebagai
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
73
komunitas memiliki persoalan dan kebutuhan yang berbeda dengan laki-laki. Tidak
terwakilinya persoalan dan kebutuhan perempuan menjadikan mereka komunitas yang
dinomerduakan dalam pembangunan bangsa ini. Kemiskinan, eksplotasi, dan kekerasan
masih berwajah perempuan. Kurangnya pengetahuan tentang pemilu dan elektoral
menyebabkan mereka kurang mampu menyuarakan persoalan dan kebutuhannya serta
memberikan suaranya secara tepat dan rasional agar memperoleh solusi.
(www.menegpp.org).
Berdasarkan beberapa kajian yang dilakukan oleh KPI Jawa Tengah bekerjasama
dengan lembaga-lembaga lain (PSG UKSW Salatiga, Yayasan Parahita Salatiga, Lappis
Kudus) pada tahun 2009 terlihat bahwa secara kuantitatif maupun kualitatif perempuan
marginal yang menjadi wilayah sasaran adalah wilayah yang mempunyai tingkat partisipasi
pemilu kepala daerah maupun pemilu gubernurnya rata-rata rendah. Sehingga wilayah
yang terpilih akan merepresentasikan wilayah Jawa Tengah dengan tingkat partisipasi
penduduk dalam pemilu tersebut rendah. Berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan
terlihat bahwa, sebagian besar perempuan tersebut sangat kurang mendapatkan informasi
terkait dengan pemilu sehingga mereka merasa bahwa pemilu ini tidak akan berdamapk
bagi kehidupan mereka selanjutnya (masa bodoh). Selain itu tidak sedikit perempuan
marginal tersebut tidak dapat membaca dan menulis (buta huruf) dan ini juga berakibat
pada meningkatnya apatisme mereka untuk mengikuti pemilu.
Berikut ini beberapa hasil yang dilakukan oleh Penulis yang kebetulan aktif di KPI
(koalisi Perempuan Indonesia) bekerjasama dengan L@PPis dan PSG UKDW Salatiga
didalam membantu perempuan-perempuan marginal dalam melakukan pendidikan bagi
pemilih dan Kepemiluan dengan sasaran perempuan marginal dengan tema: Suara
Perempuan untuk Perubahan (menjadi Pemilih Cerdas yang Berwawasan Gender).
Dalam pelatihan ini disampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan Pemilu dan
bagaimana menjadi pemilih yang cerdas yang memilih bukan karena iming-iming calon
tetapi lebih mengedepankan program serta perbaikan-perbaikan kondisi masyarakat baik
secara fisik maupun non fisik.
Best practice dari kegiatan ini adalah peserta antusias menceritakan pengalamannya
bertemu dengan caleg dari beberapa partai. Mereka menceritakan caleg mendatangi mereka
dengan berbagai janji dan memberikan macam-macam barang, misalnya; kalender,
sembako, dll. Mereka menjadi tahu mana yang disebut pelanggaran dalam kampanye
(administratif dan pidana). Juga mereka mengungkapkan menjadi tahu pentingnya
keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan mulai dari desa sampai dengan
tingkat pusat. Beberapa peserta yang adalah buruh pabrik belajar bahwa kebutuhan untuk
perlindungan pekerjaan dengan sistem perburuhan yang tidak adil bagi buruh, terutama
perempuan. Mereka juga baru tahu bahwa jika mereka bisa bersatu, mereka bisa menuntut
keadilan upah bagi mereka. Selama ini upah minimum mereka sangat rendah dan tidak
cukup untuk kehidupan sebulan. Mereka belajar bahwa dengan memilih caleg yang mampu
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
74
memperjuangkan kebutuhan mereka ini, mereka berharap bahwa mereka akan memiliki
kehidupan yang lebih baik, terutama caleg yang berkeadilan gender baik itu perempuan
ataupun laki-laki. Dalam pelatihan ini juga disimulasikan bagaimana perempuan memilih
di dalam TPS (tempat pemungutan suara) serta berapa menit waktu yang diperguanakan
dalam mencoblos pilihan mereka supaya pada saat pemilihan tidak melakukan kesalahan
atau kebingungan dalam memilih.
Di wilayah ini ternyata masih banyak peserta yang Buta Aksara (16 orang). Mereka
mengungkapkan kebingungan dalam melakukan pemilu mendatang karena mereka tidak
bisa membaca dan belum pernah tahu seperti apa kartu suara yang digunakan. Dalam
pelatihan ini, mereka pertama kali mengetahui seperti apa kartu suara dan bagaimana cara
memberikan suara. Namun, mereka tetap ada kesulitan karena dalam kartu suara hanya
ada nomor partai, gambar partai, nomor urut dan nama caleg. Dalam pelatihan ini juga
mereka memperoleh informasi pentingnya suara perempuan dalam pemilu. Sebelumnya
mereka tidak pernah menyadarinya. Seperti Ibu Siti (bukan nama sebenarnya yang
berprofesi sebagai pengamen). Ia menjadi tulang punggung keluarga mencari uang karena
suami hanya bermalas-malasan di rumah (tidur dan menunggu makan). Ia hidup di jalanan,
mengamen, bekerja dengan waktu yang panjang (sampai malam), pendapatan tidak pasti,
kerasnya hidup di jalan menjadi kesehariannya (dikejar petugas, diusili laki-laki, bahkan
mengalami kekerasan), pulang di rumah juga menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, dan
termasuk memperoleh perlakuan kasar suami bila tidak dilayani. Dari pelatihan ini, Ia
menyadari pentingnya memberikan suara kepada caleg yang peduli pada nasibnya sebagai
perempuan marginal.
C. Kesimpulan
Permasalahan-permasalahan yang timbul berkaitan dengan perempuan tersebut
diatas tidak akan selesai ketika campur tangan perempuan diabaikan. Baik sebagai
pendorong kebijakan maupun sebagai pemegang kebijakan.
Berdasarkan kondisi dan pengalaman bekerja bersama dengan perempuan baik sebagai
calon anggota legislatif maupun perempuan pemilih marginal, maka beberapa kesimpulan
dapat disampaikan sebagai berikut:
1. Langkah Publik
Perlu dirumuskan kerangka waktu bagi pencapaian kesetaraan gender dalam
representasi politik di tahun 2014. Tujuan yang tidak dibatasi oleh waktu akan membuat
pemerintah, partai politik, para pelobi, dan kelompok perempuan kehilangan akuntabilitas.
Affirmative Action di Badan Legislatif
Affirmative action di dunia politik adalah langkah sementara yang diperlukan untuk
memperoleh keadilan dalam jangka panjang bagi perempuan secara sosial dan ekonomi, di
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
75
dunia privat maupun publik.10 Target minimum 30-33,3% tidaklah lebih dari masa kritis.
Hal itu masih jauh dari kesetaraan. Sebagian suatu kesetaraan pun masih diragukan.
Berbicara mengenai affirmative action, sebaiknya kita tengok kembali kutipan dari
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) tahun
1979.
“Penggunaan langkah sementara yang dilakukan pemerintah untuk memacu kesetaraan
laki-laki dan perempuan secara de facto tidak dapat dianggap sebagai diskriminasi, tetap
hal itu tidak boleh dilanggengkan karena sama dengan memelihara ketidaksetaraan dan
standar yang berbeda; langkah itu harus segera dihentikan ketika tujuan dari kesetaraan
kesempatan dan tindakan telah tercapai” (Pasal 4).
Partai Politik dan Reformasi Sistem Pemilu
Selama targetnya adalah di tingkat distrik ke atas, sistem partai telah lama menjadi
kendala bagi kepemimpinan perempuan. Selain affirmative action di tingkat legislatif,
partai politik harus memiliki komitmen terhadap kesetaraan dan menjamin bahwa jumlah
perempuan mencapai 50% dari keanggotaan partai, pemimpin, pejabat komite, dan calon
legislatif.
1. Pembentukan Aliansi
Pengalaman di India, Afrika Selatan, Uganda, serta di negara-negara industri
menunjukkan pentingnya membangun aliansi antar aktor di pemerintah lokal, nasional,
sektor swasta, dan masyarakat sipil dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan.
Proses pembangunan aliansi itu membutuhkan mitra untuk bekerjasama dalam berbagai isu
di semua aspek pemerintahan. Peran negara adalah memperbaiki kebijakan, semacam
affirmative action untuk mencapai kesetaraan gender di struktur pemerintahan. Kekuatan
masyarakat sipil terletak pada langkah-langkah yang akan meningkatkan kualitas
partisipasi politik perempuan, seperti pelatihan, lobi dan kerja lapangan. Keduanya
mempengaruhi sektor swasta, perempuan sudah menempati posisi manajemen senior
perusahaan. Mungkin yang lebih penting lagi adalah bahwa perempuan di seluruh dunia
semakin banyak yang menjadi pengusaha, baik usaha kecil maupun usaha menengah,
terutama pada bidang jasa dan retail yang modal awalnya lebih kecil daripada modal untuk
membangun bisnis manufaktur atau bisnis lain, dan e-commerce menawarkan keuntungan
tertentu.
Hampir di semua negara dibutuhkan penciptaan hubungan yang positif antara
politisi dan masyarakat sipil dan saling berbagi antara perempuan di berbagai bidang untuk
membentuk strategi pelengkap. Di samping itu keterlibatan dengan kelompok-kelompok
agama juga perlu untuk membangun dialog mengenai ketidaksetaraan gender dengan
pemimpin agama, terutama bila menyangkut interpretasi ayat suci yang menghambat
partisipasi perempuan.
10 Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan kesetaraan Vol. 34, Cetakan Pertama Maret 2004, hal. 113
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
76
Secara keseluruhan, membangun aliansi menjadi mekanisme yang efektif untuk:
Pertukaran informasi mengenai pengalaman perempuan dalam mengidentifikasi
syarat-syarat yang diperlukan untuk menciptakan hubungan yang berkelanjutan
diantara berbagai aktor pemerintahan.
Dialog antar semua aktor untuk meningkatkan dampak dari partisipasi politik
perempuan.
Membangun akuntabilitas perempuan diantara berbagai konstituen.
2. Pembagian Peran
Usaha membangun aliansi dan kerjasama khusus diperlukan untuk mengubah
persepsi yang menyangkut kepemimpinan perempuan, terutama dengan menyebarkan
informasi kepemimpinan perempuan yang kredibel, efektif, dan lebih baik daripada laki-
laki di berbagai bidang dan di seluruh lapisan masyarakat. Semua perempuan harus
mengetahui bahwa sebagai pemimpin, ia harus bergelut dengan tanggung jawab dan
mengutamakan dunia publik. Sebagai pribadi bahwa pemimpin perempuan juga menjadi
orang tua dan ibu rumah tangga, seperti halnya perempuan pedagang atau pengusaha.
Manusia, tak peduli laki-laki maupun perempuan, memainkan peran berbeda pada saat
yang berbeda. Perempuan masih cenderung lebih menghargai kontribusinya di ruang
pribadi dan peran sukarela (tidak dibayar) daripada aspek-aspek yang terkait dengan
lingkup sosial.
Peran media massa juga menentukan. Diperlukan dialog proaktif dan terus menerus
antara pemimpin perempuan dan lobi-lobi perempuan ke media massa. Hal itu tidak hanya
untuk menyoroti kepemimpinan perempuan saja, tetapi juga untuk meliput isu-isu yang
menyangkut ketimpangan gender, mulai dari perkawinan di bawah umur hingga alokasi
anggaran reset kesehatan. Contoh lain adalah perhatian besar yang diberikan oleh media
massa pada masalah perdagangan obat terlarang dalam skala nasional maupun
internasional. Sebaiknya perhatian itu tidak hanya pada dampak negatifnya terhadap
perempuan dan peranannya, tetapi juga pengalihan dana dari masalah pembangunan yang
lebih vital.
3. Merangkul Generasi Muda
Dapat disimpulkan bahwa upaya-upaya di atas masih menempatkan perempuan
dewasa sebagai sasaran. Namun untuk melangkah ke masalah bias gender yang sudah
terjadi selama dua milenium itu, kita tidak boleh melupakan pengkondisian awal. “Anak
adalah bapak setelah dewasa”, kata penyair Inggris William Wordsworth. “Beri aku anak,
hingga ia berumur enam tahun”, kata tokoh Jesuit Ignatius Loyola, “dan aku jadikan dia
laki-laki”. Kedua pendapat itu berlaku pula untuk perempuan. Bila pendidikan politik dan
peranan perempuan diberikan setelah mereka dirancukan oleh peran perempuan yang lain,
mengurus rumah dan kegiatan ekonomi (yang dibayar maupun tidak, di dalam atau di luar
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
77
rumah), transformasi sistem politik akan tetap berjalan lambat, mungkin baru tercapai
seabad atau satu milenium kemudian.
4. Ada perwakilan perempuan menjadi pemegang kebijakan baik yang duduk di legislatif
maupun di eksekutif serta yudikatif.
Ada perempuan yang menjadi wakil perempuan baik dalam legislatif maupun di
eksekutif serta yudikatif sangat membantu kemajuan perempuan dalam mewujudkan
kesetaraan gender dan memberikan peran yang sangat penting dalam mendorong
affirmative action dalam rangka menciptakan demokrasi yang sebenarnya.11
5. Menjadi pendorong kebijakan dengan memaksimalkan wadah-wadah yang ada untuk
mengawal, memperjuangkan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak melalui
penerapan anggaran yang responsif gender.
Strategi untuk mengintegrasikan isu gender ke dalam proses penganggaran dan
menerjemahkan komitmen pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan gender ke dalam
komitmen anggaran yang meliputi seperangkat alat/instrument dampak belanja dan
penerimaan pemerintah terhadap gender.
Berikut ini Kategori Anggaran Responsive Gender:12
i. Alokasi anggaran gender “ Spesific gender” → belanja yang diperlukan bagi
perempuan atau laki-laki dalam komunitas untuk memenuhi kebutuhannya
khususnya. Contoh : alokasi anggaran untuk kesehatan reproduksi perempuan,
alokasi anggaran untuk penyediaan alat kontrasepsi laki-laki, alokasi anggaran
untuk pap smears, alokasi untuk kanker prostat, alokasi untuk sunnatan missal.
ii. Alokasi anggaran gender untuk meningkatkan kesempatan setara dalam pekerjaan
→ sebagai affirmative action untuk mewujudkan kesempatan yang setara antar laki-
laki dan perempuan terutama dalam lingkungan pemerintahan atau dunia kerja
lainnya. Contoh: alokasi anggaran untuk pelatihan teknologi pertanian bagi
perempuan, alokasi anggaran untuk fasilitas penitipan anak di tempat kerja.
iii. Alokasi anggaran umum yang mainstreaming → alokasi anggaran umum yang
menjamin agar pelayanan public dapat diperoleh dan dinikmati oleh semua anggota
masyarakat (laki-laki dan perempuan)→ alokasi anggaran untuk penyediaan
fasilitas WC Umum yang proporsional terhadap jumlah pengguna (3 perempuan, 2
laki-laki), alokasi anggaran untuk gerbong terpisah bagi laki-laki dan perempuan,
dll.
11 Sutjipto, Ani., 2000., “Hak Politik Wanita dalam Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita”
(T.O. Ihromi ed) Alumni Bandung, hal. 113 12 UNDP, Partisipasi politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang Baik: Tantangan Abad 21, Edisi
Bahasa Indonesia, Jakarta, UNDP, 2003
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
78
6. Proses partisipasi mulai dari need assessment (pemetaan kebutuhan masyarakat)
sampai dengan advokasi) dengan melibatkan perempuan basis.
Meskipun secara formal telah ada proses perencanaan partisipatif yang melibatkan
masyarakat mulai dari tingkat kelurahan sampai dengan tingkat kota kabupaten, namun
pelaksanaannya hanya bersifat formalitas karena rendahnya tingkat akomodasi usulan
masyarakat di APBD dengan alasan dana pemerintah terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. “Partisipasi Politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang Baik Tantangan
Abad 21” United Nation Development Programme. 2003.
Anonimous. Laporan Final Interim “Pendidikan Pemilih dan Pemilu: Meningkatkan
Partisipasi Politik Perempuan di Jawa Tengah” PSG-UKSW Salatiga. 2009.
Anonimous. “Survey Profil Caleg Perempuan Pemilu 2009” Patnership for Governance
Reform in Indonesia Jakarta. 2009.
Amartya Sen. “More than 100 Million are Missing”, New York Review of Books. 1990.
Amartya Sen. “Development as freedom”, Alfred A Knopf, New York.
Miriam Budiarjo. “Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai” Yayasan Obor
Jakarta. 1999.
Henrietta Moore. ” Feminism and Antropology” Cambridge Polity Press, Cambridge.
1988.
Ani Sutjipto. “Hak Politik Wanita dalam Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita”
(T.O. Ihromi ed) Alumni Bandung. 2000.
Romany Sihite. “Perempuan Kesetaraan dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan
Gender” Raja Grafindo Perkasa Jakarta. 2007.
Heri Setiono. “Gender dan Demokrasi” Averroes Press Malang. 2008.
Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan kesetaraan Vol. 46 Cetakan Pertama, Maret 2006.
Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan kesetaraan Vol. 34, Cetakan Pertama Maret 2004.
UNDP, Partisipasi politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang Baik: Tantangan Abad
21, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta, UNDP, 2003.
UNIFEM Kantor Regional Asia selatan & Centre for Womens Research (Cenwor),
CEDAW: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan, Agustus 2004.