+ All Categories
Home > Documents > Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

Date post: 15-Oct-2021
Category:
Upload: others
View: 5 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
21
1 Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di Kawasan Asia Timur Dewa Ayu Putu Eva Wishanti 1 Abstract East Asian economic characteristics that involve the role of the state as well as the development of the industry, has been relatively creates confidence in the market so that the flow of capital, goods, and services began to lead to the region since the late 20th century. The excess of the advance of China as the new political economic power is also growing wider market in Southeast Asia. The emergence of China as the dominant country in the world political economy are not purely derived from the ability of domestic governance, but also factor disclosure strategy in East Asian economies led by the extractive industry transformation towards manufacturing industry. This expansion translates into core industry sectors in East Asia. This article is intended as a preliminary study on the degree of China's industrial sector expansion in East Asia, as well as identifying the internal factors in the expansion of China's influence. By using the approach as well as the extended behavioralism regionalism as a tool of analysis , this article finds that China is a state actor who is more emphasis on manufacturing and trade sectors of consumer goods as a strategy into an economic hegemon in its own region , formerly controlled by Japan. Keywords; China, East Asia, economic expansion, industrial economy regionalism Pendahuluan Kebangkitan ekonomi China merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Hal tersebut secara khusus tercermin dari kebutuhan China akan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebagai penanda kebangkitannya. Pada abad ke-20, China mulai mengalami berbagai revolusi yang membuat stabilitas ekonomi domestiknya bergejolak, sehingga China melalui kepemimpinan sentralistiknya berupaya memodernisasi perekonomiannya dan menghasilkan kebijakan yang pragmatis. Pada masa pasca pemerintahan Mao Zedong, China mulai tumbuh sebagai kekuatan ekonomi yang terbuka bagi kerja sama internasional. Pada masa pemerintahan Deng Xiaoping setelahnya, keterbukaan ini semakin longgar, utamanya untuk merekonstruksi krisis ekonomi yang disebabkan oleh isolasi Penulis adalah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya
Transcript
Page 1: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

1

Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi

Internasional di Kawasan Asia Timur

Dewa Ayu Putu Eva Wishanti1

Abstract

East Asian economic characteristics that involve the role of the state as well as

the development of the industry, has been relatively creates confidence in the market so

that the flow of capital, goods, and services began to lead to the region since the late

20th century. The excess of the advance of China as the new political economic power

is also growing wider market in Southeast Asia. The emergence of China as the

dominant country in the world political economy are not purely derived from the ability

of domestic governance, but also factor disclosure strategy in East Asian economies led

by the extractive industry transformation towards manufacturing industry. This

expansion translates into core industry sectors in East Asia.

This article is intended as a preliminary study on the degree of China's

industrial sector expansion in East Asia, as well as identifying the internal factors in the

expansion of China's influence. By using the approach as well as the extended

behavioralism regionalism as a tool of analysis , this article finds that China is a state

actor who is more emphasis on manufacturing and trade sectors of consumer goods as

a strategy into an economic hegemon in its own region , formerly controlled by Japan.

Keywords; China, East Asia, economic expansion, industrial economy

regionalism

Pendahuluan

Kebangkitan ekonomi China merupakan hal yang menarik untuk dikaji.

Hal tersebut secara khusus tercermin dari kebutuhan China akan pertumbuhan

ekonomi yang tinggi sebagai penanda kebangkitannya. Pada abad ke-20, China

mulai mengalami berbagai revolusi yang membuat stabilitas ekonomi

domestiknya bergejolak, sehingga China melalui kepemimpinan sentralistiknya

berupaya memodernisasi perekonomiannya dan menghasilkan kebijakan yang

pragmatis. Pada masa pasca pemerintahan Mao Zedong, China mulai tumbuh

sebagai kekuatan ekonomi yang terbuka bagi kerja sama internasional. Pada

masa pemerintahan Deng Xiaoping setelahnya, keterbukaan ini semakin longgar,

utamanya untuk merekonstruksi krisis ekonomi yang disebabkan oleh isolasi

Penulis adalah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya

Page 2: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

2

perdagangan pada masa Mao. Keterbukaan ini juga disertai dengan perlahan

masuknya unsur demokrasi dalam tata kelola hubungan internasionalnya.

Pada abad-21, keterbukaan ini semakin menjurus pada tujuan kebijakan

ekonomi politik internasional China yang ekspansif dan hegemonik. Hu Jintao

mewujudkan tujuan ini dengan mencanangkan The Peaceful Rise of China,

yakni kebangkitan China yang damai, pada 22 Desember 2005 dalam dokumen

China Peaceful Development Road (yang dikenal dengan istilah heping fazhan

dalam bahasa Mandarin). Oleh Amerika Serikat (AS), dalam dokumen tersebut

China dipersepsikan memiliki lima strategi untuk meraih keunggulan ekonomi

dalam kerangka pembangunan (The State Council Information Office, 2006 : 1-

2), yakni a) Pembangunan yang berkedamaian merupakan cara yang tidak

terhindarkan dalam menuju modernisasi China; b) mempromosikan perdamaian

dan pembangunan dunia seiring dengan pertumbuhan China sendiri; c) reformasi

dan inovasi dalam pencarian keuntungan bersama dan pembangunan umum

dengan negara-negara lain; d) pengembangan dengan bergantung pada kekuatan

sendiri; serta e) membangun dunia yang harmonis dalam perdamaian yang

berkesinambungan dan kesejahteraan bersama.

China juga mulai memasuki era perdagangan multilateral setelah

memasuki World Trade Organization (WTO) secara resmi pada tahun 2005. Hal

ini merupakan manuver penting bagi China, karena China secara penuh telah

menerapkan prinsip-prinsip ekonomi pasar. Namun pada praktiknya, China

ditengarai tengah membangun keunggulan untuk menyaingi kekuatan ekonomi

AS.

Lini pertama untuk membangun persaingan itu ialah di kawasan Asia

Timur, karena secara geopolitis menguntungkan bagi China, akumulasi modal

AS yang cukup besar di kawasan tersebut, dan juga faktor beberapa negara

penting yang menjadi aliansi AS. Untuk itu China berusaha mendefinisikan

ulang tentang identitas Asia Timur seiring pula dengan kepentingan

ekonominya. Hal ini tercermin dari upaya-upaya China untuk menjadi pemimpin

dalam kerja sama ekonomi regional di Asia Timur pada abad ke-21 yang akan

dijabarkan selanjutnya dalam artikel ini.

Page 3: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

3

Terdapat tiga karakteristik yang patut diperhatikan di Asia Timur

(Yoshimatsu, 2008 : 8-9) menyebutkan, yakni a) politik great power yang

mengkonstruksi kerangka kerja dinamika regional di Asia Timur, yang

sebelumnya didirikan oleh AS melalui perang Pasifik; b) negara-negara besar

Asia Timur memiliki ketahanan yang kuat terhadap kedaulatannya masing-

masing dalam ranah sosial budaya, sehingga menghambat terbentuknya identitas

regional (Pempel, 2005 : 257 dalam Yoshimatsu, 2008); serta c) superioritas

negara dalam mengontrol masyarakat dan komunitas di dalamnya. Hal yang

tersirat dari karakteristik tersebut ialah bahwa Asia Timur merupakan suatu

kawasan yang memiliki relasi langsung dengan kepentingan AS, dan hubungan

tersebut difasilitasi oleh negara. Implikasi dari karakteristik tersebut secara

langsung dari segi globalisasi ekonomi ialah pertumbuhan pasar uang dan

transaksi keuangan yang secara simultan juga memberi dampak pada

restrukturisasi produksi transnasional dalam skala global. Bagi negara, akan

sangat menguntungkan apabila dapat memanfaatkan kedekatan geografis dengan

negara-negara besar di sekitarnya, karena akan mengurangi biaya perdagangan

dan pembangunan. Namun tidak selalu demikian dengan aliansi politik yang

relatif sulit dibangun, khususnya karena faktor karakteristik yang telah dibahas

sebelumnya. Untuk itu, sangat wajar jika China memiliki beberapa strategi

integrasi ekonomi yang memberi warna politik baru dalam pembentukan Asia

Timur dari kacamatanya sendiri sebagai suatu cara untuk mempromosikan

kebangkitan China ini.

Urgensi Kepemimpinan China di Asia Timur

Asia Timur merupakan kawasan yang sangat luas secara geografis dan

beragam secara demografis dan ideologis. Definisi mengenai kawasan Asia

Timur sangat beragam, baik secara geografis maupun definisi sosial politiknya.

Terdapat beberapa pemahaman mengenai kewilayahan Asia Timur dalam artikel

ini; yakni hanya China, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan; hingga perluasan

area yang juga melingkupi wilayah Rusia bagian timur, Korea Utara, dan Asia

Tenggara dalam ASEAN +3. Artikel ini menggunakan pemahaman yang disebut

terakhir, karena kedekatan hubungan geo-ekonomi dengan wilayah

Page 4: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

4

sekelilingnya. Terlebih lagi, konsep tersebut akan membuka kerja sama ekonomi

yang lebih bervariasi.

Terdapat beberapa peluang strategi kerja sama ekonomi yang telah

terbangun sebelumnya di Asia Timur. Peluang-peluang ini juga mencerminkan

opsi-opsi politik yang memiliki konsekuensi bagi sektor ekonomi. Pasca Perang

Dingin, kerja sama ekonomi Asia Timur banyak diwarnai dengan kerangka

regionalisme. Regionalisme tersebut terbangun dalam konteks bahwa

keberadaan negara tertentu berperan sebagai inti dari kerjasama yang masih

mengarahkan strategi pembangunan yang berbasis pada negara pemegang posisi

terkuat sebagai pengendali (Grimes, 2009 : 107).

Terdapat beberapa pendapat mengenai konsep Asia Timur, misalnya

sejatinya konsep Asia Timur sebagai suatu kawasan merupakan pemikiran yang

relatif baru, demikian juga dengan kepemimpinan di kawasan tersebut. Konsep

East Asia Economic Caucus (EAEC) yang dicetuskan Mahathir Mohammad

pada era 1990-an, Perdana Menteri Malaysia ketika itu, gagal dalam realisasi

(Terada, 2003 : 255-256) .

EAEC mengarahkan kerja sama ekonomi Asia Timur yang dimotori oleh

Jepang, karena Jepang sebagai negara anggota G7 dan negara dengan kekuatan

ekonomi terbesar kedua di dunia. Karena orientasi politik luar negerinya yang

koheren dengan AS, usulan Mahathir menjadi tidak berjalan, walaupun Malaysia

sangat membutuhkan tampilnya Jepang karena kesamaan orientasi kebijakan

ekonomi kedua negara. Jepang juga enggan untuk kembali memimpin secara

politik atau militer di Asia Timur, utamanya karena faktor sejarah Perang Pasifik

yang secara politis tidak akan menguntungkan bagi Jepang. Jepang banyak

mengarahkan kepentingannya dalam sektor ekonomi dan teknologi inovasi.

Integrasi Asia Timur harus dimulai dengan menganggap bahwa Asia

Timur adalah sebuah pabrik Factory Asia, yang setiap sub-wilayahnya berfungsi

baik sehingga menghasilkan produk yang bermutu. Namun Asia Timur

menghadapi kerentanan dalam pandangan tersebut, jika meninjau beberapa

faktor (Baldwin, 2008 : 449-478) yakni, (a) daya saing tiap negara yang hanya

akan meningkat jika perdagangan intra-regional di Asia Timur juga meningkat;

(b) masing-masing negara tidak dapat memotong tarif perdagangan secara

Page 5: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

5

unilateral karena terikat dengan peraturan WTO; (c) tidak hadirnya sebuah

manajemen tingkat atas selain dalam kerangka WTO, yang nantinya dapat

mencegah konflik perdagangan menyebar ke seluruh kawasan.

Gagasan mengenai ASEAN+3 tersusun berdasarkan konteks tatanan

resistensi tehadap resiko krisis. ASEAN+3 diharap mampu menjadikan dirinya

wadah bagi pertukaran budaya, bisnis, dan bahkan praktik diplomasi ekonomi

dan diplomasi komersial. Pasca krisis Asia 1997-1998, Chiang Mai Initiatives

(CMI) muncul sebagai alternatif menghadapi gelombang krisis yang mungkin

akan menyerang kembali, dalam kerangka kerja ASEAN+3 tahun 2000. Kerja

sama ini baru diperbarui menjadi Chiang Mai International Initiatives (CMII)

pada 2010 (Peterson Institute of International Economics, 2011). CMI adalah

usulan kerja sama currency swap atau pertukaran mata uang dalam konteks

finansial, terutama mengenai cadangan devisa suatu negara. Jika mata uang

suatu negara sedang lemah karena krisis, maka mekanisme konversi mata uang

dalam cadangan devisa ini menjadi pilihan yang bijak untuk tidak mengurangi

kuantitas nilai cadangan devisa. Melalui salah satu contoh tersebut, masalah

finansial merupakan masalah makro-ekonomi yang tak terhindarkan lagi untuk

dipertimbangkan kala menghadapi krisis.

Terdapat wacana pembentukan East Asian Economic Community

(EAEC), yang sekiranya diprediksikan akan terjadi pada tahun 2050. Kerangka

East Asian Economic Caucus terdahulu yang hanya berbasiskan negara-negara

Asia Timur, lebih menguntungkan bagi negara-negara kecil. Pasalnya, jika harus

membentuk sebuah kerja sama regional, bentuk East Asian Cooperation akan

lebih diutamakan, karena lebih bernuansa “Asia” daripada “Pasifik” yang

diusung oleh APEC. Karena agenda liberalisasi ekonomi yang dikemukakannya,

tentu akan berujung pada pembukaan pasar bebas yang luas. Sementara jika AS

dan Kanada juga telah tergabung dalam North American Free Trade Area

(NAFTA) yang telah mantap sebagai suatu pasar bebas regional. Hal tersebut

akan mungkin menjadikan posisi tawar negara Asia Timur lain menjadi

tersubordinasi.

Keempat peluang tersebut merupakan peluang bagi China untuk

mengembangkan dominasi di Asia Timur, karena secara perlahan China menjadi

Page 6: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

6

tolok ukur kebijakan luar negeri sektor ekonomi di kawasan. Uni Eropa (UE)

dan AS diramalkan akan tetap menjadi pasar terbesar, namun China akan

mampu mengimbangi Jerman pada dekade berikut dalam gross domestic

products (GDP) nominal nya. Salah satu indikator GDP ialah kemampuan suatu

negara meraup keuntungan perdagangan.Grafik di bawah ini merupakan

cerminan perkembangan GDP pada 2020.

Grafik 1. Prediksi Pembagian GDP Nominal Dunia tahun 2020

Sumber : WEO, 2007 dan Winters & Yusuf, 2007 dalam Baldwin & Carpenter, 2008

Dalam sektor keamanan regional, China masih terbelenggu beberapa

konflik teritorial yang cukup mengakar dengan negara-negara tetangganya,

namun melihat beberapa peluang di atas, China tetap berdiri sebagai entitas yang

masuk dalam perhitungan utama. China harus memperluas pasarnya secara

konstan untuk memperoleh pengaruh politik. Fungsi perluasan pasar ini

dijalankan di Asia Tenggara dengan meyakinkan negara-negara ASEAN untuk

mengikuti pola perdagangannya dengan strategi diplomasi regional dan

dorongan berupa insentif ekonomi (China Report 48, 3, 2012: 317–326) seperti

yang terjadi dalam kerangka ASEAN China Free Trade Area (ACFTA). Namun

hal ini bukan berarti wilayah di sekitar China mulai berorientasi sinosentris

Page 7: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

7

dalam perdagangan. Dengan masih kuatnya kepentingan ekonomi AS di Asia

Timur, akan sangat sulit bagi China untuk mempertahankan pasar yang telah

didapatnya. Untuk itulah, China perlu mengeluarkan banyak inisiatif multilateral

untuk membendung skenario multilateral AS di kawasan.

Status Ekonomi-Politik China di Kawasan Asia Timur

Kebijakan luar negeri China di abad ke-21 lebih mengemukakan prinsip

non konfrontasi namun tetap proaktif. Hal tersebut ditujukan untuk mencitrakan

China yang tidak agresif dan dapat bekerja sama dengan mudah. Prinsip tersebut

merupakan refleksi dari kepentingan domestik China dan Partai Komunis China

(PKC) melalui internal balancing dan soft balancing American Power. China

menitikberatkan pembangunan ekonomi sebagai upaya membendung

unipolaritas AS pasca Perang Dingin. Selain itu, penting bagi PKC untuk

mempertahankan legitimasinya melalui politik kesejahteraan setelah komunisme

mulai luntur di China (Wang, 2010 : 557-558).

Pembangunan ekonomi merupakan langkah mundur perlahan dari

kebijakan ekonomi terkendali, dimana negara mengatur pasar, dan pasar

mengatur badan-badan usaha. Kebijakan ini terwujud dalam penyelenggaraan

perdagangan, investasi, dan zona khusus perusahaan di provinsi-provinsi pesisir

(Hasan, 2008 : 580-587). Namun terdapat beberapa kondisi yang harus

diperhatikan perkembangannya sebagai barometer ambisi China untuk mengejar

posisi sentral di sektor ekonomi Asia Timur.

Pertama, China yang sedang bangkit juga mengejar strategi institusional

dan multilateral di luar kawasannya untuk mendesain kembali keteraturan

orderdi bidang ekonomi-politik. Kerja sama multilateral tersebut menempatkan

pemerintah Beijing sebagai titik sentralnya, misalnya China–Africa

Cooperation, the China–Caribbean Economy and Trade Cooperation Forum,

dan juga China–Arab Nations Cooperation Forum. Sebagai pendukung

pengaruh, China bahkan terlibat dalam pemberian konsultasi politik pada

Andean Community, Rio Group, dan MERCOSUR. Terlihat bahwa China lebih

memilih untuk membuka kerja sama baru daripada mengandalkan yang telah

terbangun (Sohn, 2012:77-82). Hal ini juga mencerminkan mentalitas great

Page 8: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

8

power dan exceptionalism China sebagai negara yang melihat negara lain

beroperasi dibawah pengaruhnya, sehingga segala kebijakan luar negerinya pun

betul-betul diarahkan ke dalam negeri (Zhang, 2013:306-323).

Sementara itu, China melihat wilayah Asia sebagai saluran strategis

untuk merangkul masyarakat internasional, dengan prinsip hexie yazhou yakni

“Asia yang Harmonis” baik secara multilateral, sub-regional, maupun bilateral.

China membidik Asia Selatan, Asia Tengah dan wilayah timur laut Asia, dengan

menawarkan konsep kesejahteraan bersama di kawasan dengan pendekatan

bilateral (Hwang dan Chen, 2010:109-110).

Kedua, China juga memainkan peranan penting dalam stabilitas

perdagangan dan finansial pasca krisis ekonomi global tahun 2008. Cadangan

devisanya yang besar memudahkan China bermanuver dalam hal ini. Pilihan

antara China dan Asia Timur untuk kerja sama kawasan ialah dengan

mengukuhkan new regionalism (Pangestu dan Gooptu, 2003:107). Beberapa

alasan yang dikemukakan antara lain a) motivasi negara-negara Asia Timur

untuk tidak terlarut dalam krisis finansial, b) negara-negara Asia Timur

cenderung ingin bekerja sama lebih erat dengan China, c) kepentingan bisnis

masing-masing negara untuk lebih terintegrasi ke pasar internasional, dan d)

pergerakan ekonomi skala sedang berkembang untuk meningkatkan daya saing.

Sementara itu, China lebih memilih untuk bermain aman dalam setiap gelaran

East Asia Summit karena masalah keanggotaan East Asia Community (EAC),

dimana negara-negara seperti India, Australia, dan Pasifik selalu terlihat

dibendung oleh China dalam upaya mereka untuk dimasukkan menjadi anggota.

Pasca krisis ekonomi global seputaran 2007-2008, negara anggota G3

yakni Uni Eropa, Jepang, dan AS mengalami perlambatan ekonomi. Padahal

pertumbuhan ekonomi agregat di Asia Timur saja telah mencapai rata-rata 8%

per tahun, sementara pertumbuhan ekonomi dunia hanya 4% per tahun pada

2010 (UNESCAP, 2011). Momentum perlambatan ekonomi AS juga merupakan

peluang besar bagi China untuk menumbuhkan kepercayaan Korea Selatan dan

Jepang sebagai sekutu utama di kawasan.

Ketiga, Pasca krisis finansial global, China juga mendapat kepercayaan

yang lebih baik untuk menanamkan modal asing, demikian pula dengan jumlah

Page 9: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

9

investasi asing yang masuk ke dalam negeri (World Investment Report, 2013).

Berikut ini sebaran aliran investasi asing langsung di kawasan Asia Timur.

Tabel 1.

Sebaran Aliran Investasi Asing di Antara Ekonomi Kawasan Asia Timur (2012)

Sumber : United Nations Conference on Trade and Development, 2013

Manuver China untuk menarik investasi pasca krisis perlu dicermati

sebagai upaya untuk menjadi hegemon ekonomi-politik di kawasan, bukan

hanya sebagai aksi profit-taking belaka, China memberikan pinjaman lunak

kepada negara-negara Asia Tenggara, sementara AS masih bersikukuh

mempertahankan kebijakan neoliberalnya untuk mendevaluasi mata uangnya.

Kepemimpinan China didominasi oleh soft-power utamanya sejak 1990-an,

dengan menampilkan kebijakan luar negeri yang merangkul dan lebih

konstruktif (Sohn, 2010:504-505).

Keempat, rivalitas China-Jepang dalam mendominasi kawasan Asia

Timur. Jepang sebagai perpanjangan kepentingan AS sangat mendominasi dalam

hal perkembangan teknologi, perindustrian, dan bantuan pembangunan di

kawasan ini pasca Perang Dingin. Terkait titik sentral dominasi tersebut,

Kroeber (2006) menyebutkan bahwa China merintis posisi dominan di periode

Page 10: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

10

post-communist emerging market di era Deng Xiaoping. Selain itu China juga

mengadopsi model East Asian Developmental State dengan meniru karakter

kunci dari pembangunan di Jepang pada tahun 1950-1960-an dan Korea pada

tahun 1970an. Kedua negara itu utamanya menerapkan kebijakan transformasi

industri. Situasi ekonomi di Asia Timur selama kurang lebih 20 tahun

belakangan, di mana pola kerja sama ekonomi industrial dipimpin oleh Jepang.

Selama itu pula Jepang bertindak sebagai aktor terdepan dalam formasi V atau

the flying geese formation dalam pola pembangunan. Namun, hal tersebut

menjadi kurang relevan di era kontemporer, karena China perlahan muncul

sebagai aktor strategis baru. Secara bertahap, pola interaksi antar wilayah

industri di Asia Timur menjadi berubah, fokusnya adalah pada kebangkitan

wilayah pantai China dalam mengarahkan ekonomi regional.

ASEAN dan Asia Tenggara menjadi medan perebutan pasar antara kedua

negara, sehingga ASEAN juga menjadi prioritas politik luar negeri China. Pada

tahun 2000, ACFTA diimplementasikan, dan satu dekade kemudian, China telah

menyumbangkan jumlah simpanan yang sama dengan Jepang (38,4 juta Dolar

AS) kepada Asian Currency Crisis Fund (120 milyar Dolar AS) di bawah

Chiang Mai Initiative Multilateralisation Agreement. China juga berupaya

menyeimbangkan posisi tawar dengan Jepang di berbagai forum multilateral.

Tabel di bawah ini berusaha menunjukkan kecenderungan tersebut.

Tabel 2.

Keanggotaan China dan Jepang dalam Organisasi Internasional/Multilateral

Sumber : Yang, 2010

Page 11: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

11

Proyeksi Strategi Ekonomi Multilateral China di Asia Timur

Dalam mempertimbangkan kesesuaian bentuk kerja sama, maka sangat

penting untuk melihat kembali kompleksitas suatu kawasan. Regionalisme,

harusnya menjadi sebuah bentuk kerja sama yang mencerminkan persamaan

identitas dan persamaan nasib, serta diikuti dengan pembentukan institusi yang

mencerminkan collective action. Namun, para aktor (terutama negara) di Asia

Timur terkesan lebih melihat ke arah mana konstelasi politik global akan

mengarah. Melihat kondisi tersebut, integrasi Asia Timur masih dalam bentuk

regionalisme terbuka atau open regionalism, dimana belum terdapat kesepakatan

yang mengikat dalam hal teknis maupun substansial. Asia Timur juga masih

dalam tahap pencarian bentuk kerja sama regional yang sesuai. Ketidakpastian

ini nampaknya dimanfaatkan secara afirmatif oleh China, dengan menampilkan

beberapa inisitaif yang menguntungkan negara tersebut.

Pertama, krisis ekonomi membawa banyak negara bersikap pragmatis

dan lebih proteksionis terhadap ekonominya, namun kawasan Asia Timur justru

mulai berbenah untuk membentuk “monetary regionalism” (Dieter dan Higgot,

2002). Hal tersebut juga dapat ditentang dengan berbagai argumen, namun perlu

untuk melihat celah perkembangan lain yang terdapat di dalamnya, dan apa saja

faktor penggeraknya. Namun China juga tetap berupaya mengamankan

kepemimpinannya di sektor keuangan dan investasi. Wakil Menteri Keuangan

China, Zhu Guangyao, menegaskan bahwa China mendukung terbentuknya

Asian Infrastructure Investment Bank, serta menyatakan niatan politik untuk

membangun infrastrukturnya di negara berkembang di Asia Timur (Xinhua,

Oktober 2013).

China memiliki lembaga yang tergabung dalam tiga serangkai formulator

kebijakan finansialnya seperti kebanyakan negara lain; yakni sektor perbankan,

sektor asuransi, dan komisi regulasi sekuritas. Namun standar kebijakan

keuangan China tidak berdasar pada neraca pembayaran foreign direct

investment (FDI) yang umum, sehingga laporan investasi China tidak seluruhnya

mencerminkan arus investasi riilnya (UNCTAD, 2007).

Page 12: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

12

Grafis 2. Arus FDI menuju China (1990-2005)

Sumber : UNCTAD, 2007

Inisiatif China untuk mengembangkan kerja sama regional di bawah

pengaruhnya akan memerlukan struktur finansial yang kuat, terlebih lagi

pertumbuhan ekonomi sebagai strategi sentralnya. Sebelumnya, jumlah FDI

yang masuk ke dalam negeri terbanyak diraih oleh Jepang, dimana China

merespon secara reaktif pada masa pemerintahan Deng Xiaoping tanpa strategi

tertentu dengan kebijakan Open Door Policy-nya. Hingga 2008, China telah

mampu menjadi negara dengan perekonomian yang didorong oleh produksi dan

mengalami pertumbuhan GDP sebesar 10% (Wang, 2011:200-201).

Menariknya, China juga menjadi anggota WTO, namun lebih memilih

menjalankan kerja sama ekonomi regional daripada multilateral karena

mempertimbangkan stagnasi WTO yang berkepanjangan (Zhang, 2010).

Strategi investasi tersebut juga disokong oleh kebijakan China

menginternasionalisasi mata uang Yuan Renminbi (RMB). Hal ini dibuktikan

dengan konsistensi China untuk tidak mendevaluasi RMB pasca krisis Asia

tahun 1997-1998 yang lalu, dimana nilai tukar RMB relatif stabil. Pengaruhnya,

negara-negara Asia Timur mampu memberikan kepercayaan yang lebih dalam

berinvestasi, utamanya investasi modal. Hal ini dilakukan untuk mengikis

Page 13: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

13

kepercayaan bahwa China ialah sebuah ancaman, sekaligus menumbuhkan

sektor keuangan China seperti terlihat pada Grafik 2 di atas.

Tidak jelas mengapa China terkesan kurang transparan dalam pemaparan

nilai investasi riilnya, namun justru anggaran pertahanan China yang meningkat

dapat diketahui dengan estimasi dalam berbagai rilis yang mengarah pada

peningkatan yang tajam. Kecenderungan yang dapat diamati ialah bahwa

negara-negara di kawasan Asia Timur mengalami China Shock karena

pertumbuhan ekonomi dan militernya yang berbasis nilai-nilai.

Kedua, inisiatif industri dan perdagangan. Kebanyakan dari seluruh

bentuk rezim kerja sama regional memiliki kekuatan dominan yang

mengarahkan prospek kerja sama itu sendiri, baik dari aktor negara maupun

poros aliansi tertentu. Kekuatan dominan tersebut akan relatif memengaruhi peta

persaingan, konflik, dan pola-pola interaksi antar aktor di dalamnya secara

umum. Demikian pula dengan wilayah Asia Timur, yang menitikberatkan peran

China yang sangat signifikan dalam menentukan pola hubungan antara delapan

wilayah ekonomi inti di Asia Timur. Kedelapan wilayah tersebut terdapat di

negara China (Zhujiang, Changjiang, Jing-Jin-Ji); Jepang (Kanto, Chubu,

Kinki); dan Korea Selatan (Seoul dan wilayah Yeongnam).

Grafis 2. Delapan Wilayah Inti Industri Asia Timur

Sumber : Kim, 2010

Page 14: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

14

Kim mengutip Akamatsu (1961) bahwa transfer teknologi dapat terjadi

dari impor produk yang dilakukan oleh negara-negara kurang berkembang dari

negara maju. Sedangkan Vernon (1966) memfokuskan bahwa industri hanya

berkembang di negara maju yang berpendapatan tinggi, yang berkembang

karena ekspornya meningkat. Namun terdapat kekurangan dalam konsep

tersebut, yang meminggirkan realita bahwa perdagangan saat ini terbingkai

dalam globalisasi ekonomi, yang melibatkan kerja sama multilateral. Kim

mempertegasnya dengan mengutip Bernard dan Ravenhill (1995) bahwa terlah

terbentuk jaringan produksi global yang melampaui batas-batas negara, sehingga

strategi kerja sama perlu bergeser dari inter-state menjadi inter-region. Kim

menyimpulkan, terdapat 3 level difusi sektor industri sebagai salah satu inti

aktivitas ekonomi di Asia Timur, yakni domestik, supranasional, dan inter-

regional relations.

Kedelapan wilayah tersebut terpencar dalam tiga negara : China, Jepang,

dan Korea Selatan. Jika melihat angka pendapatan bersih domestik regional/

gross regional domestic product (GDRP), daerah Kanto di Jepang unggul jauh.

Namun hal tersebut diukur dengan indikator nilai tukar mata uang. Di sisi lain,

jika diukur menggunakan ukuran daya beli masyarakat, Jepang disaingi secara

ketat oleh China. Padahal selama beberapa dekade Jepang telah merajai sektor

jaringan industri dan perdagangan di Asia Timur laut dan Asia Tenggara.

Tulisan ini juga memetakan bahwa sejak tahun 1980an China mulai sukses

berkecimpung di produksi manufaktur mengalahkan Jepang, namun Jepang

masih unggul di sektor jasa, dan bersama Korea, Jepang terdepan dalam sektor

finansial. Pada 2007, terdapat klasifikasi landscape ekonomi, yakni besar

(Kanto), sedang (Changjiang, Zhujiang termasuk Hong Kong), dan 5 daerah

sisanya yang termasuk memiliki pengaruh ekonomi kecil. Ukuran besar kecilnya

skala ekonomi dilihat dari persen sumbangan mereka terhadap agregat GDRP.

Namun terdapat perkiraan bahwa pada tahun 2020, akan terdapat

pergeseran klasifikasi di atas, landscape ekonomi besar adalah Kanto dan

Changjiang, ekonomi sedang hanya Zhujiang, dan sisanya tergolong skala

terkecil. Terlihat bahwa China sangat dominan dan semakin mengecilkan peran

wilayah lain. Untuk itu China hampir dapat dipastikan akan mengontrol kawasan

Page 15: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

15

ini melalui industri. Negara lain hanya dapat melakukan pembaharuan-

pembaharuan dalam bidang teknologi dan teknik, namun hanya untuk

menyesuaikan diri dengan gerakan-gerakan China. Untuk sekedar mampu

menyamai nampaknya relatif berat bagi Korea dan Jepang, terlebih lagi jika

hendak melewati kemajuan China.

Perluasan pengaruh politik di luar kawasan Asia Timur dapat dipandang

sebagai faktor penarik investasi. Strategi lain untuk meningkatkan keunggulan

China di Asia Timur adalah dengan ikut menerapkan pengelompokan sektor

industri atau cluster, yang melibatkan pemerintah lokal dan nasional. Di Jepang,

terdapat pengelompokan wilayah industri yang kuat dan terspesialisasi, dengan

fokus industri automobil, mengejar transformasi industri berteknologi tinggi

termasuk robot, luar angkasa, dan nano teknologi. Sementara Korea, berkutat

dalam teknologi informasi, perkapalan, dan lingkungan. China merespon dengan

membangun cluster dalam automobil, petrokimia, permesinan, elektronik, baja,

pakaian, tekstil dan makanan. Pemerintah China berencana menjadikan Beijing

sebagai pusat politik, keuangan, dan teknologi industri; beserta perangkat

industri lain yang berbasis pengetahuan.

Sementara itu, China berkembang menjadi mitra dagang teratas bagi

kebanyakan negara Asia Timur, dan kebanyakan hubungan dagang tersebut

digerakkan oleh delapan wilayah ekonomi inti di Asia Timur. Antara 2000-2007,

volume perdagangan Korea dan Jepang ke China makin meningkat, dan sekali

lagi berpusat pada kedelapan wilayah inti ekonomi itu. Namun bagi China,

Korea dan Jepang menjadi kurang diprioritaskan sebagai mitra dagang. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa wilayah pantai China merupakan aktor terpenting

dalam hubungan antar regional industri di Asia Timur, dan menjadi penghubung

inti setiap hubungan inter-regional domestik di kawasan.

China juga menjadi aktor penting dalam kerja sama ekonomi Selatan-

Selatan. Bukan hanya di wilayah Asia namun juga Amerika Latin, China

membuat konstelasi perdagangan dan regionalisme tidak lagi dibatasi oleh faktor

geografis, yang juga disebut the new geography of trade (UNCTAD, 2005) yang

dicirikan oleh a) naiknya pangsa pasar negara-negara berkembang dalam

perdagangan dunia; b) perdagangan komoditi dan manufaktur dan kerja sama

Page 16: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

16

ekonomi untuk mencapai critical mass atau kemampuan untuk berproduksi

secara berkelanjutan, serta c) perubahan nuansa interdependensi Utara-Selatan

dan persyaratan kerjasama.

Penerapan strategi open regionalism juga menjadi ciri pendekatan

pemerintah China dalam merangkul kawasan (Carl, 2001 dalam Jilberto dan

Hogenboom, 2007:324). Pendekatan ini juga dilakukan di kawasan Asia Timur,

sehingga upaya-upaya politik China menjadi lebih fleksibel, mengingat China

juga memiliki berbagai problem keamanan regional serta sengketa teritorial yang

mampu memberi konsekuensi negatif jika Asia Timur berada dalam

regionalisme tertutup.

Dalam bingkai perdagangan, China sangat konsisten dalam berekspansi

baik antar sub regional maupun hubungan langsung dari kota ke kota. Terdapat

dua poin unik dalam hubungan regional ini. Pertama adalah Jepang, yang

mengintensifkan perdagangan antar sub regional domestik Jepang dengan area

Kinki sebagai pusatnya. Hal ini tidak dilakukan di China maupun Korea.

Sedangkan yang kedua, Korea tidak dalam posisi memperluas pengaruh

terhadap wilayah lain, serta sangat pasif dalam menerima pengaruh wilayah lain.

Pemerintah China sendiri dikatakan tidak terlalu terpengaruh apakah Jepang dan

Korea intens berdagang ke negaranya. Wilayah Jing-Jin-Ji dan Chanjiang adalah

dua area pesisir China yang sangat berpengaruh di kawasan, karena mampu

meminimalisasi resiko bisnis dengan menjalin banyak kerja sama industrial.

Kesimpulan

Dari Grafik 1 di atas, dengan asumsi bahwa pada 2020 ekonomi China

akan menjadi pemimpin di Asia Timur, menarik untuk melihat bagaimana China

akan mencapainya daripada capaian China pada 2020. Pertumbuhan ekonomi

China akan semakin pesat di masa depan, karena kawasan pesisir China

mendominasi keseimbangan kekuatan (power balance) di Asia Timur. Akan

terjadi restrukturisasi dan penyesuaian terhadap segala pergerakan kawasan

ekonomi pesisir China sebagai motor ekonomi-politik di kawasan Asia Timur.

Penyesuaian tersebut juga akan terasa berat di sisi Chubu, Seoul, dan Yeongnam

Page 17: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

17

yang mengharuskan reposisi dan mengkondisikan wilayah mereka untuk

aktivitas ekonomi trans-border.

Namun memasuki abad ke-21, pergerakan globalisasi, perjanjian

perdagagan bebas, serta aktivitas transnasionalisme dalam politik global

berperan signifikan dalam membentuk perilaku para aktor di dalamnya, terutama

para pengambil keputusan. Untuk itu, Kim memberi spekulasi bahwa pemenang

dalam persaingan ekonomi regional ini adalah para aktor yang memiliki “bakat”

atau talent, serta teknologi. Hal tersebut dirasanya lebih penting bagi

pertumbuhan ekonomi daripada sekedar memerhatikan pembagian kerja atau

division of labor.

China memang menjadi aktor yang tangguh dalam bidang ekonomi

dengan meminimalisasi biaya produksi dan segala macam efisiensi yang terkait.

Sejak tahun 1978 pada masa pemerintahan Deng Xiaoping, China mulai terbuka

bagi perdagangan luar negeri yang tidak ekslusif walaupun hanya dalam

beberapa konteks. Hal tersebut kemudian diikuti oleh doktrin politik luar negeri

The Peaceful Rise of China yang dicanangkan pada tahun 2000-an untuk

memberi kesan pada dunia bahwa China bukan berdiri sebagai ancaman,

melainkan sebagai mitra negara-negara di dunia. Dengan mengedepankan soft

power diplomacy, China mengembangkan konsep negara yang bersahabat dan

turut bertanggung jawab terhadap perdamaian dunia.

Kesimpulan mengenai artikel ini dapat dimulai dari analisa situasional

kontemporer. Menilik keadaan politik terkini di Asia Timur dan sekitarnya,

berkembangnya China menyebabkan terjadinya dominasi dan hubungan luar

negeri yang asimetrik antar negara di Asia Timur, bahkan di belahan dunia lain.

Perilaku aktor lain di dalam kerangka delapan wilayah ekonomi regional inti,

sangat ditentukan oleh kebijakan yang diambil China. Pertanyaan besarnya

adalah, apakah dominasi ekonomi China akan semakin mengintegrasikan

kawasan Asia Timur, ataukah sebaliknya. Hal ini bisa menjadi paradoks yang

rentan berbalik pada China setiap waktu, jika tidak diimbangi dengan kalkulasi

perilaku di bidang keamanan regional yang diharapkan tidak agresif.

Aspek-aspek mengenai unggulnya China tak terbantahkan dalam tulisan

tersebut, namun pada kenyataannya negara-negara terbesar di Asia Timur seperti

Page 18: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

18

Jepang dan Korea Selatan seakan terabsorpsi, selain karena krisis ekonomi

global dan bencana alam telah merenggut kemajuan ekonomi mereka.

Intensitas perdagangan di wilayah Asia Timur cukup besar sejalan

dengan naiknya popularitas China di dunia. Tak pelak jika China menjadi sentra

dari perumusan kebijakan luar negeri berbagai negara. Pola interaksi dan kerja

sama di Asia Timur telah dalam kendali China. Dominasi wilayah zona industri

inti ini menjadikan konstelasi ekonomi-politik di Asia Timur menjadi statis,

karena kekurangan warna kompetisi terutama dalam menghadapi daya saing

China.

China memang fleksibel dalam pembangunan ekonomi dengan

mekanisme penyesuaian dirinya yang sangat cepat. Hal tersebut berarti

transformasi ekonomi juga mengalami penguatan. Namun berkaitan dengan

ekonomi-politik, cerminan sikap bandwagoning Jepang dan Korea dari artikel

ini mencerminkan kuatnya politik luar negeri China dalam bidang ekonomi,

terutama industri dan perdagangan.

Unifikasi regional dalam bidang ekonomi-politik nampaknya memiliki

kemungkinan, hanya apabila jika China mengarahkan dominasi ekonominya ini

kepada integrasi kawasan. Bentuk yang cukup sesuai dengan cita-cita politik

seperti ini ialah regionalisasi, yang didefinisikan sebagai ekspresi meningkatnya

transaksi komersial dan transaksi-transaksi lain yang dilakukan oleh manusia.

Sedangkan regionalisme kurang cocok dijadikan tujuan integrasi, jika tidak

hendak menafikan kemungkinan akan diwujudkan. Regionalisme merupakan

bentuk integrasi yang lebih canggih lagi, di mana terdapat perasaan persamaan

identitas dan persamaan nasib, serta diikuti dengan pembentukan institusi yang

mencerminkan collective action.

Sedangkan, dapat dikatakan bahwa karakteristik dari dominasi wilayah

pesisir China pada awalnya adalah suatu bentuk interdependence, dimana China

sangat membutuhkan pasar untuk produknya yang seringkali dihasilkan secara

massal. Sementara Jepang dan Korea juga perlu mengurangi ongkos produksi di

dalam negeri untuk bertahan dari kelesuan ekonomi yang belakangan menimpa

ekonomi global. Tidak mengherankan bila kemudian China juga tidak terlalu

berfokus untuk memasarkan produk industrinya ke Korea dan Jepang, serta

Page 19: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

19

mulai beralih ke negara-negara berkembang yang lain, karena pasar yang

ditarget akan lebih luas. Dengan fenomena seperti itu, hubungan

interdependence antar kawasan industri di kawasan Asia Timur dapat berubah

menjadi dependence Korea dan Jepang yang kemudian mendudukkan China

sebagai dominator.

Jika situasi dependence Korea dan Jepang tersebut terus berlangsung, hal

tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap integrasi kawasan Asia Timur.

Secara logis, implementasi kebijakan integrasi, baik secara utuh maupun

sektoral, akan mengorbankan sebagian kedaulatan dari suatu negara. Tidak

mengherankan jika China nantinya akan enggan menyetarakan posisi tawarnya

untuk mengembangkan integrasi di bidang ekonomi ini sendiri. Namun, di sisi

lain, dengan adanya dominasi, integrasi tersebut dapat saja terlaksana, dengan

syarat Korea dan Jepang rela menyesuaikan sebagian visi ekonominya di bawah

kendali China. Dengan sikap politik yang lebih akomodatif, akan lebih

menguntungkan bagi Jepang dan Korea untuk bekerja sama, daripada misalnya

menyiapkan strategi hambatan perdagangan yang merugikan dan konfliktual.

Namun, Jepang dan Korea hendaknya juga memerhatikan kompensasi politik

yang akan didapatkan, agar tetap tercipta stabilitas ekonomi di dalam negeri

masing-masing.

Pada akhirnya, hubungan kerja sama ekonomi di Asia Timur diwarnai

oleh kompetisi yang kentara namun tidak transparan dalam praktek-prakteknya,

seperti perlombaan target pasar di luar kawasan seperti JI-EPA, CAFTA,

ASEAN+3 dan lainnya. Terdapat pula indikasi perasaan terancam akan naiknya

popularitas China. Secara fungsional, jika kepercayaan politik belum terbentuk

diantara ketiga negara tersebut, akan sangat sulit membawa Asia Timur ke

dalam sebuah komunitas internasional yang terintegrasi, setidaknya dalam

koordinasi G-to-G atau antar pemerintahan.

Page 20: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

20

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Evans, Paul. 2005. Between Regionalism and Regionalization : Policy Networks and

The Nascent East Asian Institutional Identity. Dalam Pempel, T. J. (eds).

Remapping East Asia The Construction of A Region. New Jersey : Cornell

University Press

Jacob, Jabin T. 2012. China report :China in Southeast Asia: The Search for a Chinese

Model of International Relations. Sagepub online

Kim, Won Bae. 2010. The Rise Of Coastal China And Inter-Regional Relations Among

Core Economic Regions Of East Asia. Springer-Verlag.

UNCTAD. 2005. World Investment Report 2005: Transnational Corporations and the

Internationalization of R&D. New York and Geneva: United Nations.

Yoshimatsu, Hidetaka. 2008. The Political Economy of Regionalism in East Asia

Integrative Explanation for Dynamics and Challenges. New York : Palgrave

MacMillan

Jurnal

Baldwin, Richard E. 2008. Managing The Noodle Bowl: The Fragility Of East Asian

Regionalism. The Singapore Economic Review, Vol. 53, No. 3

Hasan, Rumy. 2008. Reflections on the Impact upon China's Polity from the Retreat

of State Capitalism. Jurnal Critical Sociology. Crit Sociol 2008 34: 575.

Hwang, Jaeho dan Chen Dongxiao. 2010. China's Harmonious Asia Strategy. Jurnal

International Area Studies Review 2010 13: 105

Jilberto, Alex E. Fernández dan Barbara Hogenboom. 2007. Developing Regions Facing

China in a Neoliberalized World. Journal of Developing Societies. 23: 305

Lee, Jae-Seung. 2002. Building an East Asian Economic Community. Jurnal Les Etudes

du CERI, no.87, Mei 2002. Centre d’etudeset de Recherces Internationales. Paris

: Sciences Po.

Sohn, Injoo. 2012. After Renaissance: China's Multilateral Offensive in the Developing

World. European Journal of International Relations Sage Publication

http://ejt.sagepub.com/content/18/1/77

Terada. Takashi. 2003. Constructing an ‘East Asian’ Concept and Growing Regional

Identity: from EAEC to ASEAN+3. Jurnal The Pacific Review , Vol. 16 No. 2.

Wang, Yuan Kang. 2010. China's response to Unipolar World : The Strategic Logic of

Peaceful Development. Journal of Asian and African Studies vol 45

http://jas.sagepub.com/content/45/5/554

Wang, Yuzhu. 2011. China, Economic Regionalism, and East Asian Integration.

Japanese Journal of Political Science 12 (2) 195–212

Yang, Jian. 2010. Japan's Decline Relative to China: Scenarios and Implications for

East Asia. Jurnal Political Science. Vol 62 : 146

Zhang, Feng. 2013. The Rise of Chinese Exceptionalism in International Relations.

European Journal of International Relations.

Page 21: Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di ...

21

http://ejt.sagepub.com/content/19/2/305

Zhang, Yunling. 2010. East Asian Cooperation Need Innovations, Guoji Jingji Pinglun

(International Economic Review), 1: 29–37.

UNCTAD Investment Brief. Number 2, 2007

Website

Kroeber, Arthur. China’s Industrial and Foreign Trade Policies: What Are They and

How Successful Have They Been?. 2006. Halaman 1 website :

<http://www.polsci.indiana.edu/China/papers/kroeber.pdf> diakses pada 2

Oktober 2011. Pukul 17.25

Pangestu, Mari dan Sudarshan Gooptu. 2003. New Regionalism, Options for China and

East Asia. Jurnal East Asia Integrates : A Trade Policy Agenda for Shared

Growth. 2003. World Bank Site Source Publications.

The Chiang Mai Initiatives. Institute for International Economics.

http://www.iie.com/publications/chapters_preview/345/3iie3381.pdf

White Paper on China's Peaceful Development Road. China Report 2006 42: 215.

Sagepubonline


Recommended