+ All Categories
Home > Documents > KONSEP SYARI’AH DAN FIQH DALAM KAJIAN EPISTEMOLOGI …

KONSEP SYARI’AH DAN FIQH DALAM KAJIAN EPISTEMOLOGI …

Date post: 27-Oct-2021
Category:
Upload: others
View: 14 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
12
Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 31 KONSEP SYARI’AH DAN FIQH DALAM KAJIAN EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM MA'SUM ANSHORI Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Bengkalis Email: [email protected] Abstract The concept of Islammic legal epistemology both syari‟ah and fiqh frequently regarded as uncompleted yet concept, such in its disorder usage among them. Thus this research aimed to search and to explain these surely concepts both syri‟ah and fiqh in the establishing process of Islamic legal. Thus, to gain the correct conception of both, the method used in this work is library research with analisys content. The result of research shows that both syari‟ah and fiqh has epistemologically distinguished in its position of trilogy Islamic doctrine, Islam, iman, and ihsan. Besides that, both terms constituted not similar, where syari‟ah regarded as the origin, the pure, the only devine, and the uncontaminated with the opinion of human, while fiqh is the contrary of that, not origin, not pure, and contaminated with the opinion of human, based on the efforts of a Thinker (Mujtahid) which not same in their intellectual grade. The position of syari‟ah though fiqh is as the base, the controll, and the wisdom. The fiqh can not free of this position of syari‟ah, and then fiqh should not establish in a wild and blidn as the result. This distinguished epistemology conception should extend the new opinion in establishing Islamic legal on the earth, and automatically should cut down tha partial view and order fanatism among Islamic community. The last conclution of this research that both Syari‟ah and Fiqh in completing legal questions depends on the depth of the understanding though Islamic trilogy doctrine, thus the establishing of it should extend the actual benefit and merciful for the human life on this earth. The result are to make Allah and His Messenger as the Judge, to carry back the objective of the law to His wish, to dissappear the conflict of extreme opinion among Ulama, and to seat Ulama as the heir of His Messenger. ___________________ Keywords: Syari’ah, Fiqh, and Islammic Legal Epistemology. PENDAHULUAN Dalam kajian hukum manapun, dimensi perbuatan yang dijadikan pokok kajian hukum adalah perbuatan zahirnya (fi‟l al-mukallaf), bukan perbuatan batinnya (pikiran, anggapan, atau persangkaan). Karena itu, pembicaraan mengenai hal ini harus sudah dipahami sebagai dimensi zahir, sehingga segala hal yang bersifat gaib dan samar tidak dijadikan sebagai fokus kajiannya. Segala masalah perbuatan hukum (perbuatan zahir) di zaman Nabi masih hidup, akan langsung dijawab oleh Baginda Nabi, baik jawaban itu dengan hujjah dari al- Qur’an atau ijtihad Beliau sendiri. Jawaban Nabi itu belakangan di sebut hadits (bagian dari Sunnah). Memang pada masa Nabi masih hidup, semua masalah hukum
Transcript
Page 1: KONSEP SYARI’AH DAN FIQH DALAM KAJIAN EPISTEMOLOGI …

Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 31

KONSEP SYARI’AH DAN FIQH

DALAM KAJIAN EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM

MA'SUM ANSHORI

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Bengkalis

Email: [email protected]

Abstract

The concept of Islammic legal epistemology both syari‟ah and fiqh frequently regarded

as uncompleted yet concept, such in its disorder usage among them. Thus this research

aimed to search and to explain these surely concepts both syri‟ah and fiqh in the

establishing process of Islamic legal. Thus, to gain the correct conception of both, the

method used in this work is library research with analisys content. The result of

research shows that both syari‟ah and fiqh has epistemologically distinguished in its

position of trilogy Islamic doctrine, Islam, iman, and ihsan. Besides that, both terms

constituted not similar, where syari‟ah regarded as the origin, the pure, the only devine,

and the uncontaminated with the opinion of human, while fiqh is the contrary of that,

not origin, not pure, and contaminated with the opinion of human, based on the efforts

of a Thinker (Mujtahid) which not same in their intellectual grade. The position of

syari‟ah though fiqh is as the base, the controll, and the wisdom. The fiqh can not free

of this position of syari‟ah, and then fiqh should not establish in a wild and blidn as the

result. This distinguished epistemology conception should extend the new opinion in

establishing Islamic legal on the earth, and automatically should cut down tha partial

view and order fanatism among Islamic community. The last conclution of this research

that both Syari‟ah and Fiqh in completing legal questions depends on the depth of the

understanding though Islamic trilogy doctrine, thus the establishing of it should extend

the actual benefit and merciful for the human life on this earth. The result are to make

Allah and His Messenger as the Judge, to carry back the objective of the law to His

wish, to dissappear the conflict of extreme opinion among Ulama, and to seat Ulama as

the heir of His Messenger.

___________________

Keywords: Syari’ah, Fiqh, and Islammic Legal Epistemology.

PENDAHULUAN

Dalam kajian hukum manapun, dimensi perbuatan yang dijadikan pokok kajian

hukum adalah perbuatan zahirnya (fi‟l al-mukallaf), bukan perbuatan batinnya (pikiran,

anggapan, atau persangkaan). Karena itu, pembicaraan mengenai hal ini harus sudah

dipahami sebagai dimensi zahir, sehingga segala hal yang bersifat gaib dan samar tidak

dijadikan sebagai fokus kajiannya.

Segala masalah perbuatan hukum (perbuatan zahir) di zaman Nabi masih hidup,

akan langsung dijawab oleh Baginda Nabi, baik jawaban itu dengan hujjah dari al-

Qur’an atau ijtihad Beliau sendiri. Jawaban Nabi itu belakangan di sebut hadits (bagian

dari Sunnah). Memang pada masa Nabi masih hidup, semua masalah hukum

Page 2: KONSEP SYARI’AH DAN FIQH DALAM KAJIAN EPISTEMOLOGI …

Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 32

disandarkan kepada Beliau untuk penyelesaiannya. Para Sahabat pada masa itu juga

tidak mempersoalkan apakah jawaban yang diberikan Nabi itu rasional atau tidak,

kontekstual atau tidak. Nabi diyakini sebagai sosok “pengganti” Tuhan di bumi, dan

dianggap sebagai sumber kebenaran hukum zahir yang waijb diyakini dan diimani

kebenarannya oleh setiap Muslim.

Ketika kekuatan dan ekspansi Islam semakin meluas ke negeri-negeri yang lain,

mau tidak mau, terjadilah akulturasi budaya dan dialektika bahasa, dan bermunculan-lah

masalah-masalah hukum yang baru. Bagaimanapun, perbuatan hukum (zahir) manusia

akan semakin berkembang seiring dengan perkembangan teknologi, fasilitas, dan

filsafat yang ada di zamannya.

Dalam kajian-kajian hukum Islam, istilah fiqh terkadang diartikan sebagai

syari‟ah, dan syari‟ah diartikan sebagai fiqh. Istilah fiqh dan syari‟ah dianggap sama;

fiqh adalah syari‟ah, dan syari‟ah adalah fiqh. Bagi sebagian kalangan, hal ini bisa jadi

bukan masalah, terlebih bagi orang-orang yang hanya membicarakan produk

(substansi) hukum. Akan tetapi, bagi para pengkaji hukum (mujtahid), dalam upaya

mengeluarkan hukum dari sumbernya, diperlukan usaha atau ijtihad yang kuat

didukung oleh keilmuan yang mumpuni berkenaan dengan kaidah-kaidah bahasa,

kaidah ushuliyah, kaidah fiqhiyyah, dan dasar-dasar keilmuan lainnya.

PENGERTIAN SYARI’AH DAN FIQH

Secara etimologis syarî‟ah berarti jalan tempat keluarnya air untuk minum,1 atau

jalan tenang untuk diikuti (the clear path to the folowwed).2 Dalam pemakaian yang

bersifat religius kata ini mempunyai arti jalan menuju yang baik, yaitu nilai-nilai agama

yang diungkapkan secara fungsional dan dalam makna yang kongkrit yang bertujuan

untuk mengarahkan kehidupan manusia.

Kata syarî‟ah bila dikaitkan dengan sumber air menunjukkan betapa vitalnya

syarî‟ah tersebut sebab sumber mata air menurut orang Arab adalah menunjukkan

sesuatu yang luar biasa. Sementara itu dalam makna terminologis syarî’ah diartikan

sebagai segala ketentuan yang disyariatkan bagi hamba-hambaNya baik menyangkut

ibadah, akidah dan mu‟âmalah.3 Al-Qur‟ân menggunakan kata syarî‟ah dalam

pengertian dîn (agama) yang merupakan jalan lurus yang telah ditentukan oleh Allâh

swt. untuk manusia dan merupakan ketentuan yang harus dilaksanakan. Firman-Nya

dalam al-Qur’an:

مىنز

يعل

رينلا

ىىآءال

بعؤ

دجبعهاولا اج

مسف

نال سيعتم

ىش

ناكعل

جعل م

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari

urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa

nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Jatsiyah/45: 18).

1 Muhammad Farûq Nabhân, al-Madkhal li al-Tasy'rî' al-Islâmî, Jilid VIII, (Beirut:Dâr al- Shadir,

t.th), h. 10. 2 H.A.R Gibb and J.H Krames, Shorter Encyclopedia of Islam (London: Luzzac 1961), h. 102.

3 Mannâ al-Qaththân, al-Tasyrî' wa al Fiqh fî al-Islâm (Beirut: Mu‟assasah Risâlah, tth), h. 14.

Page 3: KONSEP SYARI’AH DAN FIQH DALAM KAJIAN EPISTEMOLOGI …

Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 33

Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, bahwa maksud syari‟ah dalam ayat di atas

adalah apapun yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, yang merupakan

bukan jalan kesyirikan, jalan untuk menyekutukan-Nya.4

Ketika Nabi Muhammad SAW ditanya tentang syarî‟ah beliau menjawab dengan

shalat, zakat dan haji.5 Hal ini membuktikan bahwa terminologi syarî‟ah pada masa

Nabi digunakan untuk menyebut makna–makna yang esensial dari ajaran Islâm. Dengan

demikian, syarî‟ah meliputi segala ketentuan hukum yang ada dalam Sunnah baik yang

berkaitan dengan akidah, akhlak atau perbuatan manusia dalam bentuk ibadah dan

muamalah. Sementara fiqh merupakan syarî‟ah yang bersifat amaliyah yang

diperolehdari dalil- dalil secara terperinci.6 Sementara itu al-Amidî berpendapat bahwa

fiqh adalah ilmu tentang seperangkat hukum syara' yang bersifat furu'iyah yang

diperoleh melalui penalaran dan istidlâl.7

TRILOGI AJARAN ISLAM

Trilogi ajaran Islam adalah islam, iman, dan ihsan. Menurut jumhur Ulama, islam

adalah fiqh (syari’at), iman adan akidah (tauhid), dan ihsan adalah tasawuf (hakikat).

Allah SWT menjelaskan, bahwa Islam saja, atau syari‟at saja, belum tentu Iman

kepada-Nya. Seluas dan sebesar apapun pengetahuan syariat, belum ada jaminan akan

kebesaran dan ketinggian keimanannya. Karena keimanan itu bukan perkara hapalan di

dalam memori otak, melainkan perkara qolbu, perkara batin, perkara ruhani.

مىبن

ليمانفيق

لال

ايدخ

مناول

طل

ؤ ىا

ىل

ننق

امنىاول

مج

لل

اق عسابءامن

ذال

الوإنق

حيم فىززاللهغ يئابن

مش

عمالن

نؤ مم

يلخن

هلا

طيعىااللهوزطىل

ج

“Orang-orang badui itu berkata: “Kami telah beriman!”. Katakanlah: “Kalian

belum beriman. Sebaiknya kalian katakan bahwa kami baru Islam, dan sementara

Iman belum masuk ke dalam qolbu kalian. Dan, jika kalian mentaati Allah dan

utusan-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun dari amal-amalmu.

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Merahmati.” (QS. Al-

Hujurot/49: 14).

Dalam penjelasan Cecep Alba, agama Islam disebut sebagai sistem ajaran yang

sempurna. Kesempurnaan ajaran Islam itu disebabkan cakupan ajarannya yang mengenai

dimensi zahir dan batin, yang mengandung trilogi ajaran Islam, yaitu dimensi akidah (dimensi

keyakinan), dimensi syariat (dimensi hukum), dan dimensi hakikat (dimensi batin).8

4 Imadudin Abil Fida‟ Ibni Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim, jilid 12 (Kairo: Muassasah

Qurthubah, 1421H./2000M), h. 360-361. 5 Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 7.

6 Al-Allamah al-Bannânî, Hasyiyah al-Bannnânî 'alâ Syarh al-Mahallî ala Matn Jâmi' al- Jawâmi',

Jilid 1 (Beirut: Dâr al-Fikr 1402 H), h. 25. Lihat juga Abd al-Wahhab al-Khallâf, 'Ilm Ushûl al-Fiqh

(Kuwait: Dâr al–Qolam, 1978), h. 12.

7 Sayf al-Dîn al-Amîdî, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Jilid 1 (Kairo: Mu‟assasah al-Halabi, 1967,),

h. 8. 8 Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat: Dimensi Esoteris Islam (Bandung: Rosdakarya, 2014), h. 1.

Lih. juga dalam Asep Salahudin, Tasawuf: Etika dan Estetika Islam (Suryalaya: Pascasarjana IAILM dan

Latifah Press, 2016), h. 230-232.

Page 4: KONSEP SYARI’AH DAN FIQH DALAM KAJIAN EPISTEMOLOGI …

Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 34

Trilogi ajaran Islam merupakan perpanjangan faham dari islam, iman, dan ihsan, yang

tersebut dalam Hadits Jibril yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bersumber dari sahabat

Umar bin al-Khaththab.9 Islam dibahas dalam kitab-kitab fiqih, dengan disiplin ilmu fiqih atau

ilmu syariat. Para ahlinya disebut fuqaha‟, dan lembaganya disebut madzhab (mazhab). Iman

dibahas dalam disiplin ilmu yang disebut ilmu tauhid atau kalam. Para ahlinya disebut

Mutakallimun, lembaga atau alirannya disebut firqah. Sedang dimensi ihsan dibahas dalam

disiplin ilmu tasawuf, para ahlinya disebut mutashawwifun, dan lembaga atau alirannya disebut

thariqah (tarekat).10

Asep Salahudin menjelaskan, bahwa triologi ini di zaman sekarang, diakui atau tidak,

berhenti sebatas nama (ilmu). Islam tidak diiringi ketundukan, atau islam minus kepasrahan.

Ilmu kalam berhenti sebatas abstraksi dan akrobat logika yang mengawang-awang malah

terkadang spekulatif. Tasawuf hanya banyak dipercakapkan, bahkan dijadikan silabus untuk

paket-paket pelatihan spiritual, namun tidak memberikan banyak perubahan yang bagi batin

untuk jangka panjang. Berdasarkan penjelasan di atas, maka ketiga dimensi dari islam, iman,

dan ihsan ini sangat penting bagi seorang Muslim demi mendapatkan kesempurnaan agamanya.

Tidak hanya dimensi syariat dan akidah, tetapi juga dimensi hakikat atau tasawuf. Karena

dimensi terakhir ini membicarakan masalah kebaikan hati (kebaikan spiritual), di mana bila

hatinya baik, maka baiklah dimensi yang lainnya.

URGENSI SYARI’AH DALAM HUKUM ISLAM

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pembahasan hukum Islam dapat dilihat dari

dua perspektif, yakni syari‟ah atau fiqh. Dimensi syari‟ah adalah dimensi hukum yang

asli, yang didasarkan pada dalil-dalil, yakni al-Qur’an dan hadits. Adapun dimensi fiqh

adalah dimensi yang lahir dari penggalian dan pemahanan terhadap dalil-dalil tadi, yang

dilakukan oleh para Ulama (Fuqaha). Dengan demikian, perbedaan kursial antara

syari‟at dan fiqh terletak pada sumbernya. Karena itu, tidak salah bila syari‟ah

memiliki urgensitas tersendiri di dalam sistem epistemologis hukum Islam.

Sebagian pemahaman umat Islam yang lebih mendasarkan pendapat hukumnya

pada mazhab fiqh ketimbang al-Qur’an dan hadits merupakan salah satu indikasi

ketidak-fahaman. Hakikat hukum Islam bukanlah fiqh tapi syari‟ah, maka seharusnya

pandangan hukum Islam didasarkan pada syari’ah (al-Qur’an dan hadits). Karena ulama

mazhab juga mendasarkan pemikiran fiqh-nya pada syari’ah.

Misalnya dalam perkara shalat, umat Islam memiliki cara shalat yang berbeda-

beda sesuai dengan mazhab fiqh yang dianutnya, sebagaimana dalam mengangkat

tangan saat takbirah al-ihram. Dalam pandangan Ulama Hanafiyah, ketika mengangkat

tangan, jempol hendaknya mengatasi telinganya, bagi laki- laki. Adapun bagi

perempuan, jempol cukup di depan pundaknya. Dalam pandangan Ulama Syafiiyah,

telapak tangan di hadapan atau mengatasi pundak. Kedua pendapat ini memiliki dasar

dari hadits Baginda Nabi SAW. Ulama Hanafiyah berdasarkan hadits yang bersumber

dari Wail bin Hajar, al-Barra‟ bin Azib, dan Anas bin Malik. Adapun Ulama Syafiiyah

9 Abu Zein as-Sajjdadi, Dzikir Cahaya di Atas Cahaya (Yogyakarta: Seven Books, 2016), h. 40-

43. 10

Kharisudin Aqib, Inabah: Jalan Kembali dari Narkoba, Stres, dan Kehampaan Jiwa, (Surabaya:

Bina Ilmu Surabaya, 2012), h. 5.

Page 5: KONSEP SYARI’AH DAN FIQH DALAM KAJIAN EPISTEMOLOGI …

Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 35

mendasarkan pendapatnya pada hadits Ibnu Umar.11

Dari contoh tersebut dapat

difahami, bahwa masalah mengangkat tangan itu merupakan anjuran dari Baginda Nabi

SAW., bukan aturan yang dibuat oleh Ulama mazhab. Ulama mazhab hanya berselisih

mengenai posisi tangan ketika diangkat, apakah pas di telinga, atau di atas, atau di

bawahnya.

PERAN SYARI’AH DAN FIQH DALAM PENYELESAIAN HUKUM ISLAM

1. Peran Syari’ah dalam Penyelesaian Masalah Hukum

Peranan syari’ah di sini maksudnya adalah pelaku utama atau pembuat dari

syari’ah itu sendiri, yaitu Allah dan Nabi-Nya, yang tertulis di dalam al-Qur’an atau

Sunnah. dari sini kemudian akan diperoleh prinsip-prinsip yang berkenaan

dengannya, di antaranya:

a. Menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai Hakim

Sepintar dan secerdas apapun manusia, pada hakikatnya tidak pernah bisa

menjadi hakim di tengah-tengah manusia. Hakim yang sesungguhnya adalah

Allah dan Nabi-Nya. Karena itu, permasalahan hukum apapun dikembalikan

kepada keduanya, al-Qur’an atau Sunnah (syari’ah). Allah SWT berfirman:

مع الله بن واصبروا مزيحن ىب

روج ىا

لخفش

ف ناشعىا

جولا ه

وزطىل الله طيعىا

وؤ

ابسين الص“Dan patuhilah (aturan) Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian saling

berselisih yang menyebabkan kamu gentar, sehingga hilanglah kekuatan

(spiritual)mu, dan bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang

sabar,” (QS. al-Anfal/8: 46).

b. Mengembalikan hukum kepada maksud dan kehendak-Nya

Agama Islam diturunkan bukan untuk meresahkan dan menggelisahkan,

tetapi untuk menjadi rahmatan, keselamatan, dan perdamaian di atas permukaan

bumi, yaitu melalui akhlak yang mulia. Allah SWT berfirman:

ين. عال

ل لزحمت

ناكبلا

زطل

ومأؤ

“Dan tidaklah engkau diutus (ya Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat

bagi sekalian alam,” (QS. al-Anbiya’/21: 107).

c. Menghilangkan pertikaian pendapat yang berlebihan di kalangan Ulama

Tidak dipungkiri adanya perdebatan pendapat di kalangan Ulama mazhab

yang menyebabkan terbawanya umat Islam (muttabi‟) dalam perselisihan dan pertikaian.

Di tengah masyarakat masih seringkali didapat fenomena ini, dan ini tentu saja sebagai

hasil pelajaran mereka kepada Ulama tertentu. Masjid yang ini adalah mazhab si fulan,

sedang masjid yang itu mazhab si fulan. Fenomena yang nyata, sama sekali tidak

memerlukan referensi ilmiah untuk mendapatkan informasi mengenai fenomena ini.

11

Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid 1 (Beirut: Darul Fikr, 1405H./1985M.), h.

683-684.

Page 6: KONSEP SYARI’AH DAN FIQH DALAM KAJIAN EPISTEMOLOGI …

Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 36

Sebagian Ulama ada yang hanya mempelajari fiqh pada mazhab tertentu, tapi abai

mempelajari landasan berpikir fiqh, yakni Ushul al- Fiqh. Ketika ia tamat dari

pelajarannya, dia kemudian menyebarkan keilmuannya yang tidak memiliki dasar-dasar

fiqh itu secara fanatik kepada umat. Umat pun menjadi pengikuti yang fanatik karenanya.

Tidak jarang fanatisme itu diselenggarakan pada sesama orang beragama (Muslim).

Menjadi tersamarlah agama yang sebenarnya, seakan-akan agama Islam ini tidak lagi

dibawah oleh Nabi-Nya, tapi oleh mazhab tertentu. Keadaan ini tentu saja sangat

meresahkan. Di sinilah pentinya pengetahuan tentang syari’ah, demi mengembalikan

keaslian agama langsung kepada pembawanya, seorang Nabi yang memang ditugaskan-

Nya untuk menyampaikan ajaran agama, yakni Nabi Muhammad SAW. Allah SWT

berfirman:

م حقبال نخاب

ال يو

نأبل

هصل

موؤ

احن

ف يه

عل ومهيمنا نخاب

ال من يديه بين ا

ل ا

ق صد

شسعت م

منن نا

جعل ل

له حق

ال من جأءك ا عم ىىآءىم

ؤ بع

دجاللهولا هصى

بمأؤ بينهم

ت م

ؤ م

نجعل

ل الله أء

ش ى

ول بقىاومنهاجا

اطد

ف م

ال

مأءاج في م

ىل

يبل

ل نن

ول

واحدة

مبينهمناحن

خلفىن.وؤ

خ

نخمفيهج

مبمال

ئن ينب

مجميعاف

ىاللهمسجعن

يراثبل

خ

ال

نيزىمؤ

ىىاءىمواحر

بعؤ

دجهصىاللهولا

ةنبمأؤ

يوف

هصىاللهبل

فخنىكعنبعضمأؤ

فاطقىن.اضل نالن ثيرام

ل ىبهموإن

هنيصيبهمببعضذ

مايسيداللهؤ ه

مؤ

اعل

ىاف

ىل

ج

مال

حظنمناللهحن

ىنومنؤ

تيبغ جاىلي

مال

حن

ف قىميىقنىن.ؤ

“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur‟an dengan membawa kebenaran,

membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan

sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah

perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti

hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang

kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan (syari‟ah)

dan jalan yang terang (minhaj). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu

dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap

pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya

kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa

yang telah kamu perselisihkan itu. Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di

antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu

mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka,

supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah

diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah

diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki

akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa

mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang

lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. al-

Maidah/5: 48-50).

Page 7: KONSEP SYARI’AH DAN FIQH DALAM KAJIAN EPISTEMOLOGI …

Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 37

Berkenaan ayat di atas, di dalam Tafsir al-Jilani dijelaskan, bahwa bahwa

al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad itu kandungannya mencakup

seluruh kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, sekaligus membenarkan

apa-apa yang dikandung oleh kitab- kitab sebelumnya, dan akan senantiasa

terpelihara dari campur tangan pemikiran manusia (al-taghyir wa al-tahrif).

Karena itu, berhukum-lah dengan hukum Allah, sesuai dengan apa yang

diturunkan-Nya, dan jangan mengikuti pemikiran-pemikiran yang sesat yang

didasarkan pada hawa nafsu. Padahal kebenaran itu telah tegas dan nyata

diturunkan-Nya, sesuai dengan hikmah Ilahiyah yang diperlukan oleh hukum.

Segala sesuatunya telah dijadikan-Nya sebagai syir‟ah (jalan untuk menuju

tauhid-Nya) dan minhaj (cara yang jelas yang telah dijelaskan oleh Nabi-Nya).

Bila Dia menghendaki, Dia jadikan manusia dalam satu jalan menuju-Nya, namun

Dia jadikan banyak jalan, untuk menguji manusia di dalam perjalanan mereka

menuju tauhid kepada Allah. Yang terpenting itu, selalu berlomba- lomba dalam

kebaikan, dengan kesadaran bahwa setiap mereka akan kembali kepada-Nya, yang

kelak akan mempertanggung-jawabkan semua perbuatan yang telah dilakukannya.

Dia nanti yang akan memberikan penjelasan yang nyata mengenai apa-apa

yang selama ini mereka perselisihkan. Karena itu, berhukum-lah dengan hukum

Allah, sesuai yang diturunkan-Nya melalui Nabi-Nya, di dalam kitab-Nya. Jangan

memperturutkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan.

Hati-hatilah dari mereka yang mencampur-adukkan kebenaran ketuhanan dengan

pemikiran awam mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia banyak yang keluar

dari jalan hukum yang dikehendaki-Nya. Maka, apakah hukum jahiliah yang

mereka inginkan, yakni hukum yang keluar dari pemikiran-pemikiran yang rusak

dan menyesatkan, yang dihasilkan dari cara berpikir mereka yang terbatas,

sebagaimana yang banyak berkembang sekarang ini. Sesungguhnya hanya hukum

Allah yang terbaik, bagi orang-orang yang yakin, demi menguatkan keyakinan

mereka di dalam menempuh perjalanan menuju tauhid-Nya.

Ayat di atas sangat jelas menegaskan bahwa hukum Islam yang

sesungguhnya adalah hukum Allah (syari‟ah), bukan hukum buatan manusia

(fiqh), terlebih lagi yang keluar dari pemikiran yang didasarkan pada hawa nafsu.

Dengan kembali kepada syari’ah, kepada hukum Allah yang sesungguhnya,

keberagamaan akan semakin jelas pendudukannya, tidak samar. Karena itu,

khilafiyah yang terjadi di kalangan Ulama mazhab tidak menyebabkan seseorang

tercerabut akidah dan keimanannya kepada Baginda Nabi SAW. Ulama mazhab

pun didudukkan posisinya sebagai Ulama pewaris Nabi, bukan Nabi itu sendiri.

d. Mendudukkan Ulama sebagai Pewaris Nabi

Bagaimanapun, Ulama bukanlah Nabi. Ulama adalah manusia biasa yang

diberikan oleh Allah pemahaman yang lebih mengenai agama ketimbang

mayoritas umat. Di dalam rukun iman, umat Islam wajib beriman kepada Nabi-

Nya, dan tidak ada kewajiban untuk beriman kepada Ulama. Tentu saja penjelasan

Page 8: KONSEP SYARI’AH DAN FIQH DALAM KAJIAN EPISTEMOLOGI …

Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 38

ini tidak dimaksudkan untuk merendahkan Ulama, akan tetapi adalah untuk

memberikan pengertian dan pemahaman yang jelas bahwa umat jangan sampai

terlalu fanatik kepada satu Ulama sehingga lalai bahwa ia adalah mengikut kepada

Baginda Nabi SAW.

Dalam fenomena yang sering terjadi di tengah masyarakat, seperti dalam hal

shalat. Seseorang mendirikan shalat didasarkan pada mazhab tertentu. Bila shalat

seperti ini, adalah mazhab ini; bila shalat seperti itu, adalah mazhab itu. Tidak

sedikit umat yang memegang teguh hal ini, sehingga tersamarlah bahwa shalat itu

bersumber dari Nabi, yang diturunkan-Nya melalui wahyu-Nya. Padahal Ulama

mazhab itu tidak mengajarkan shalat, hanya menjelaskan sifat shalat baginda Nabi

agar umat Islam mendirikan shalat sesuai dengan tuntunan Baginda Nabi. Jadi

Ulama mazhab itupun merujuk kepada Nabi mengenai cara-cara shalat. Karena

para pembesar (pendiri) mazhab, seringkali menyatakan, bahwa ijtihad fiqh yang

mereka lakukan bisa benar bisa salah, dan semuanya dikembalikan kepada

syari’ah (al-Qur’an dan Sunnah).

Karena itu, Ulama harus dihormati kedudukannya sebagai Ulama, yang

mereka adalah pewaris Nabi, dan mereka diberikan kemuliaan dengan

pengetahuan dan pengertian yang lebih tinggi ketimbangan kebanyakan umat. Di

tangan mereka-lah penjelasan-penjelasan agama yang musykil dan sulit, dan

melalui mereka pula umat bisa memahami agama ini dengan benar. Ulama tetap

harus dihormati dan dimuliakan sebagai pewaris Nabi SAW. Allah SWT

berfirman :

امائ

عل

ىاللهمنعبادوال

ش

مايخ به

“Sesungguhnya yang akan takut kepada Allah dari hamba-hamba- Nya

adalah para Ulama,” (QS. Fathir/35: 28).

Di dalam Tafsir al-Jilani, Ulama yang memiliki rasa takut (al- khasyyah)

dalam ayat di atas adalah Ulama yang Arif (Urafa‟).12

Dalam sebuah hadits yang

bersumber dari Abu Huraiah, Baginda Nabi SAW. bersabda:

ين.زواوابنماحه. ههفىالد يرايفق منيسداللهبهخ

“Siapa yang dikehendaki Allah baginya kebaikan, Allah akan

memahamkannya dalam agama.” (HR. Ibnu Majah).13

Shidqi Jamil Atthar, pen-tahqih kitab Sunan ini, memberikan penjelasan,

berkenaan hadits di atas:

اقف ل ا رييىزر

مال

عل

ينىىال هفىالد

جىازحىال

سوعل

زهسؤ

بويظ

قل

فىال

يت

ش

خ

ل

“Faham dalam agama itu merupakan pengertian yang dapat mewariskan

rasa takut di dalam hati, dan tampak refleksinya di anggota badan.”

12

Abdul Qadir Jilani, Tafsir al-Jilani, jilid 4, op.cit., 153-154. 13

Abu Abdillah Muhammad Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah (Beirut: Darul Fikr, 1424H./2003M.),

72.

Page 9: KONSEP SYARI’AH DAN FIQH DALAM KAJIAN EPISTEMOLOGI …

Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 39

Berdasarkan penjelasan di atas, syari’ah di dalam proses penyelesaian

masalah hukum dijadikan sebagai landasan atau fondasi, dengan prinsip-prinsip

universal yang terkandung di dalamnya. Prinsip- prinsip universal itu sangat

penting di dalam proses penegakan hukum yang adil dan bijaksana.

2. Peran Fiqh dalam Penyelesaian Masalah Hukum

Fiqh atau pemahaman Ulama mengenai hukum Islam harus didasarkan pada al-

Qur’an dan Sunnah. Karena itu, fiqh merupakan penjelasan dari ayat-ayat al-Qur’an

dan Sunnah Nabi yang memuat tentang penjelasan-penjelasan yang juga bersifat

umum, global, dan universal. Keadaan ini merupakan sebagian dari keluasan dan

kelenturan syari’ah itu sendiri. Dalam sebuah kaidah disebutkan:

مننت. شمنتوال

رال ي

امبخغ

حه

رال ي

غ ح

“Perubahan hukum bersamaan dengan perubahan zaman dan tempat.”

Tentu saja maksud kaidah di atas tidak berkenaan dengan hukum-hukum yang

pasti (qath‟i dilalah), tetapi yang bersifat zhan, yang memberikan keluasan berpikir

(ijtihad) dan interpretasi epistemolgis di dalamnya. Karena itu, kaidah di atas tidak

berkenaan dengan syari’ah, tapi berkenaan dengan fiqh. Syari’ah di sini dijadikan

landasan dan fondasinya.

Sebagai contoh, di zaman sekarang, praktek jual beli dipengaruhi oleh

perkembangan teknologi digital dan online, dan tempatnya pun sekarang dalam

bentuk mall yang besar dan megah. Proses jual beli tidak lagi menggunakan akad

yang sarih, tapi hanya dengan melihat barang dan harga, lalu datang ke kasir sebagai

tanda ridha, dan membayarnya. Praktek jual beli seperti ini disebut jual beli

mu‟athah, yakni jual beli tanpa akad yang sarih. Dalam pandangan mazhab Syafi’i,

misalnya, dalam jual beli mensyaratkan adanya ijab dan qabul dalam akad dengan

lafaz yang jelas (sarih), dan bila tidak demikian, jual beli dianggap tidak sah.14

Tentu

saja pendapat seperti ini sudah tidak berlaku di zaman sekarang. Karena itu, hukum

ini dikembalikan kepada prinsip-prinsip universal yang terdapat dalam al-Qur’an

atau Sunnah, seperti jual beli yang dilakukan dengan suka sama suka („an taradhin).

Karena itu, seorang pembeli yang datang ke kasir dan membayarnya cukup untuk

menjadikan akad jual beli tersebut menjadi sahih.

Para Ulama fiqh di zaman sekarang telah banyak melakukan perubahan dan

amandemen hukum fiqh (produk hukum) dalam rangka untuk menyesuaikannya

dengan perubahan zaman dan tempat. Karena itu, dalam mazhab Syafi’i misalnya,

Ulama fiqh sekarang lebih menyandarkan pada ijtihad atau metode istimbat

(epistemologi) pendirinya ketimbang produk ijtihadnya, sebagai upaya

menyelesaikan masalah hukum yang terus menerus berkembang, yang didasarkan

pada al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas.

14

Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid 4 (Beirut: Darul Fikr, 1405H./1985M.), h.

351.

Page 10: KONSEP SYARI’AH DAN FIQH DALAM KAJIAN EPISTEMOLOGI …

Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 40

Secara lebih mendalam mengenai posisi Ulama di sisi Baginda Nabi, dijelaskan

oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani berikut:

ماهىا لأنهم بطسائيل، بنى مإهبياء ؤمخه علماء صم النبي شبه لشسيعتوإهما مخابعين

بجيان غير من احهاما ويالدوىا يجددوىا لنن الظلام، عليه مىس ى وىى السطل،

والنهيبشسيعتؤخسي.فهنراعلماءىروالمتيسطلىنلخىا المس لخجديد ص

مىضع القلب، وهي الشسيعت، ؤصل وجصفيت البلغ الخإليد على العمل واطخحهام

العسفت.

“Bahwasanya Nabi SAW mengumpamakan Ulama umat Beliau seperti para

Nabi di kalangan Bani Israil, yang mereka hanya mengikuti syari‟at Nabi yang

diutus, yaitu Nabi Musa. Tugas mereka (atau Ulama) adalah memperbaharui

dan menguatkannya hukum-hukumnya, tanpa mendatangkan syari‟at yang

baru. Demikian juga Ulama umat ini dari kalangan para Wali, yang diutus

untuk orang-orang khusus dalam rangka untuk melakukan pembaharuan

dalam perintah dan larangan, menetapkan hukum perbuatan dengan

sekuatnya, dan membersihkan fondasi syari‟ah, yang di hati, yang merupakan

tempat pengetahuan yang sebenarnya.”15

Berdasarkan penjelasan di atas, seorang Ulama yang sesungguhnya bukan

sekadar ahli dalam bidang keilmuan (ilmiah), tetapi juga ahli di dalam

mengamalkannya (amaliah), yang dalam istilah lain disebut Awliya‟. Dihubungkan

dengan trilogi ajaran Islam sebelumnya, mereka tidak hanya ahli dalam islam, tapi

juga iman dan ihsan. Karena apabila seorang Ulama hanya menyibukkan diri dalam

kajian-kajian keilmuan, maka keilmuannya bisa menjadi belenggu bagi umat yang

mempelajari keilmuannya, bersifat sempalan, parsial, dan fragmentaris. Keilmuan

yang tidak bersifat universal ini justeru akan menjadikan keilmuannya itu sebagai

alat untuk perselisihan, dan bahkan meruncing kepada pertentangan dan fanatisme

mazhab. Tidak menutup kemungkinan akan muncul pendakuan-pendakuan yang

tidak perlu di kalangan aliran atau mazhab tertentu, dan lebih parah lagi adalah

apabila satu mazhab dengan mazhab yang lainnya sudah saling menyalahkan.

Padahal perselisihan mereka itu hanya di tingkat cabang (furu‟) atau fiqh, tidak di

pangkal (ushul) atau syari’ah.

Syaikh Ahmad Shahibulwafa Tajul Arifin juga menjelaskan peran dan fungsi

Ulama di sisi Baginda Nabi SAW.

اىسينالظ دابالد

اضؤ عليمالن

مفىح

يهوطل

ىاللهعل

ابعنهصل ى

ىنباللهه

عازف

ةوال

بوال في

ركخ

عتحخاجل

هاج ن

اىسة،لأ

دابالظ

منال

صعبمنالا

ؤباطنت

دابال

اطنت.وال

حقدال من ت بي

قل

ال اجه

فوؤ خداعت

ال يا

ه الد سوز

وغ اهه

يط

وش فظه

ه ىىي و سء

ال بين

15

Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, Sirrul Asrar (Kairo: Maidan Jami’ al-Azhar, tt.), h. 32-33.

Page 11: KONSEP SYARI’AH DAN FIQH DALAM KAJIAN EPISTEMOLOGI …

Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 41

يرووال

فاقوغ ياءوالن عجبوالس

حظدوال

“Para Ulama bijak merupakan wakil-wakil Beliau SAW di dalam mengajarkan

manusia adab-adab agama, baik yang bersifat zahir maupun batin. Dan adab-

adab batin itu jauh lebih sulit diperoleh daripada adab-adab zahir. Karena

adab batin itu memerlukan perjuangan yang samar, yaitu perjuangan terhadap

dirinya, hawa nafsunya, syetannya, tipudaya dunia, dan kerusakan- kerusakan

hati yang disebabkan oleh dendam, irihati, ujub, riya, nifaq, dan

sebagainya.”16

Berdasarkan penjelasan di atas, syari’ah jelas diturunkan-Nya pada Nabi yang

tertentu, seperti kepada Nabi Musa dan Nabi Muhammad. Kedudukan dan peranan

para Ulama di kalangan umat Nabi Muhammad adalah untuk menguatkan dan

menegaskan syari’ah yang Beliau bawa, berdasarkan prinsip atau kaidah universal

yang dikandung di dalamnya. Dalam rangka untuk menguatkan dan menegaskan

eksistensi syari’ah, maka para Ulama melakukan ijtihad, istidlal, dan istinbath

terhadap dalil-dalil yang bersifat umum di dalam al-Qur’an dan Sunnah, berkenaan

dengan permasalahan hukum yang berkembang. Sehingga pada akhirnya, tidak ada

satu pun permasalahan hukum melainkan diperoleh penyelesaian dan jalan

keluarnya, yang tentu saja tetap didasarkan pada kaidah-kaidah universal tadi.

KESIMPULAN

Beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini, yaitu:

1. Secara epistemologis, syari‟ah dan fiqh di dalam proses penetapan hukum Islam

tidaklah sama. Syari’ah bersifat orisinil, murni, asli, wahyu, dan tidak terkontaminasi

oleh pemikiran manusia. Sementara fiqh bersifat cabang, baru, parsial, tidak murni,

yang didasarkan pada kemampuan ijtihad seorang Ulama yang masing-masing tidak

sama kualitasnya.

2. Kedudukan syari‟ah terhadap fiqh adalah sebagai landasan, kontrol, dan

kebijaksanaan. Fiqh tidak bisa dilepaskan tiga kedudukan syari’ah ini, sehingga fiqh

tidak berkembang secara liar dan membabibuta.

3. Peran syari‟ah dan fiqh dalam penyelesaian hukum Islam sangat bergantung pada

pemahaman yang mendalam terhadap trilogi ajaran Islam (islam, iman, dan ihsan).

Bersama dengan trilogi ini, maka penyelesaian hukum akan memberikan

kemaslahatan dan kerahmatan bagi kehidupan umat manusia di atas permukaan bumi

ini. Di antara peran itu ialah menjadikan Allah dan Nabi-Nya sebagai hakim,

mengembalikan hukum pada maksud dan kehendak-Nya, menghilangkan pertikaian

pendapat yang berlebihan di kalangan Ulama, dan mendudukkan Ulama sebagai

Pewaris Nabi.

16

Ahmad Shahibulwafa Tajul Arifin, Miftahus Shudur (Tasikmalaya: IAILM Suryalaya, 1990), h.

322-323.

Page 12: KONSEP SYARI’AH DAN FIQH DALAM KAJIAN EPISTEMOLOGI …

Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 42

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu Abdillah Muhammad Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah (Beirut: Darul Fikr,

1424H./2003M.)

Abu Zein as-Sajjdadi, Dzikir Cahaya di Atas Cahaya (Yogyakarta: Seven Books, 2016).

Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (Bandung: Pustaka,

1984).

Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin, Miftahus Shudur (Tasikmalaya: IAILM Suryalaya,

1990).

Allamah al-Bannânî, Hasyiyah al-Bannnânî 'alâ Syarh al-Mahallî ala Matn Jâmi' al-

Jawâmi', Jilid 1 (Beirut: Dâr al-Fikr 1402 H).

Asep Salahudin, Tasawuf: Etika dan Estetika Islam (Suryalaya: Pascasarjana IAILM

dan Latifah Press, 2016).

Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat: Dimensi Esoteris Islam (Bandung: Rosdakarya,

2014).

H.A.R Gibb and J.H Krames, Shorter Encyclopedia of Islam (London: Luzzac 1961).

Imadudin Abil Fida’ Ibni Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim, jilid 12 (Kairo: Muassasah

Qurthubah, 1421H./2000M).

Kharisudin Aqib, Inabah: Jalan Kembali dari Narkoba, Stres, dan Kehampaan Jiwa

(Surabaya: Bina Ilmu Surabaya, 2012).

Mannâ al-Qaththân, al-Tasyrî' wa al Fiqh fî al-Islâm (Beirut: Mu’assasah Risâlah, tth).

Sayf al-Dîn al-Amîdî, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Jilid 1 (Kairo: Mu’assasah al-

Halabi, 1967).

Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid 1 (Beirut: Darul Fikr,

1405H./1985M.).

Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid 4 (Beirut: Darul Fikr,

1405H./1985M.).


Recommended