Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 31
KONSEP SYARI’AH DAN FIQH
DALAM KAJIAN EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM
MA'SUM ANSHORI
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Bengkalis
Email: [email protected]
Abstract
The concept of Islammic legal epistemology both syari‟ah and fiqh frequently regarded
as uncompleted yet concept, such in its disorder usage among them. Thus this research
aimed to search and to explain these surely concepts both syri‟ah and fiqh in the
establishing process of Islamic legal. Thus, to gain the correct conception of both, the
method used in this work is library research with analisys content. The result of
research shows that both syari‟ah and fiqh has epistemologically distinguished in its
position of trilogy Islamic doctrine, Islam, iman, and ihsan. Besides that, both terms
constituted not similar, where syari‟ah regarded as the origin, the pure, the only devine,
and the uncontaminated with the opinion of human, while fiqh is the contrary of that,
not origin, not pure, and contaminated with the opinion of human, based on the efforts
of a Thinker (Mujtahid) which not same in their intellectual grade. The position of
syari‟ah though fiqh is as the base, the controll, and the wisdom. The fiqh can not free
of this position of syari‟ah, and then fiqh should not establish in a wild and blidn as the
result. This distinguished epistemology conception should extend the new opinion in
establishing Islamic legal on the earth, and automatically should cut down tha partial
view and order fanatism among Islamic community. The last conclution of this research
that both Syari‟ah and Fiqh in completing legal questions depends on the depth of the
understanding though Islamic trilogy doctrine, thus the establishing of it should extend
the actual benefit and merciful for the human life on this earth. The result are to make
Allah and His Messenger as the Judge, to carry back the objective of the law to His
wish, to dissappear the conflict of extreme opinion among Ulama, and to seat Ulama as
the heir of His Messenger.
___________________
Keywords: Syari’ah, Fiqh, and Islammic Legal Epistemology.
PENDAHULUAN
Dalam kajian hukum manapun, dimensi perbuatan yang dijadikan pokok kajian
hukum adalah perbuatan zahirnya (fi‟l al-mukallaf), bukan perbuatan batinnya (pikiran,
anggapan, atau persangkaan). Karena itu, pembicaraan mengenai hal ini harus sudah
dipahami sebagai dimensi zahir, sehingga segala hal yang bersifat gaib dan samar tidak
dijadikan sebagai fokus kajiannya.
Segala masalah perbuatan hukum (perbuatan zahir) di zaman Nabi masih hidup,
akan langsung dijawab oleh Baginda Nabi, baik jawaban itu dengan hujjah dari al-
Qur’an atau ijtihad Beliau sendiri. Jawaban Nabi itu belakangan di sebut hadits (bagian
dari Sunnah). Memang pada masa Nabi masih hidup, semua masalah hukum
Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 32
disandarkan kepada Beliau untuk penyelesaiannya. Para Sahabat pada masa itu juga
tidak mempersoalkan apakah jawaban yang diberikan Nabi itu rasional atau tidak,
kontekstual atau tidak. Nabi diyakini sebagai sosok “pengganti” Tuhan di bumi, dan
dianggap sebagai sumber kebenaran hukum zahir yang waijb diyakini dan diimani
kebenarannya oleh setiap Muslim.
Ketika kekuatan dan ekspansi Islam semakin meluas ke negeri-negeri yang lain,
mau tidak mau, terjadilah akulturasi budaya dan dialektika bahasa, dan bermunculan-lah
masalah-masalah hukum yang baru. Bagaimanapun, perbuatan hukum (zahir) manusia
akan semakin berkembang seiring dengan perkembangan teknologi, fasilitas, dan
filsafat yang ada di zamannya.
Dalam kajian-kajian hukum Islam, istilah fiqh terkadang diartikan sebagai
syari‟ah, dan syari‟ah diartikan sebagai fiqh. Istilah fiqh dan syari‟ah dianggap sama;
fiqh adalah syari‟ah, dan syari‟ah adalah fiqh. Bagi sebagian kalangan, hal ini bisa jadi
bukan masalah, terlebih bagi orang-orang yang hanya membicarakan produk
(substansi) hukum. Akan tetapi, bagi para pengkaji hukum (mujtahid), dalam upaya
mengeluarkan hukum dari sumbernya, diperlukan usaha atau ijtihad yang kuat
didukung oleh keilmuan yang mumpuni berkenaan dengan kaidah-kaidah bahasa,
kaidah ushuliyah, kaidah fiqhiyyah, dan dasar-dasar keilmuan lainnya.
PENGERTIAN SYARI’AH DAN FIQH
Secara etimologis syarî‟ah berarti jalan tempat keluarnya air untuk minum,1 atau
jalan tenang untuk diikuti (the clear path to the folowwed).2 Dalam pemakaian yang
bersifat religius kata ini mempunyai arti jalan menuju yang baik, yaitu nilai-nilai agama
yang diungkapkan secara fungsional dan dalam makna yang kongkrit yang bertujuan
untuk mengarahkan kehidupan manusia.
Kata syarî‟ah bila dikaitkan dengan sumber air menunjukkan betapa vitalnya
syarî‟ah tersebut sebab sumber mata air menurut orang Arab adalah menunjukkan
sesuatu yang luar biasa. Sementara itu dalam makna terminologis syarî’ah diartikan
sebagai segala ketentuan yang disyariatkan bagi hamba-hambaNya baik menyangkut
ibadah, akidah dan mu‟âmalah.3 Al-Qur‟ân menggunakan kata syarî‟ah dalam
pengertian dîn (agama) yang merupakan jalan lurus yang telah ditentukan oleh Allâh
swt. untuk manusia dan merupakan ketentuan yang harus dilaksanakan. Firman-Nya
dalam al-Qur’an:
مىنز
يعل
رينلا
ىىآءال
بعؤ
دجبعهاولا اج
مسف
نال سيعتم
ىش
ناكعل
جعل م
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Jatsiyah/45: 18).
1 Muhammad Farûq Nabhân, al-Madkhal li al-Tasy'rî' al-Islâmî, Jilid VIII, (Beirut:Dâr al- Shadir,
t.th), h. 10. 2 H.A.R Gibb and J.H Krames, Shorter Encyclopedia of Islam (London: Luzzac 1961), h. 102.
3 Mannâ al-Qaththân, al-Tasyrî' wa al Fiqh fî al-Islâm (Beirut: Mu‟assasah Risâlah, tth), h. 14.
Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 33
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, bahwa maksud syari‟ah dalam ayat di atas
adalah apapun yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, yang merupakan
bukan jalan kesyirikan, jalan untuk menyekutukan-Nya.4
Ketika Nabi Muhammad SAW ditanya tentang syarî‟ah beliau menjawab dengan
shalat, zakat dan haji.5 Hal ini membuktikan bahwa terminologi syarî‟ah pada masa
Nabi digunakan untuk menyebut makna–makna yang esensial dari ajaran Islâm. Dengan
demikian, syarî‟ah meliputi segala ketentuan hukum yang ada dalam Sunnah baik yang
berkaitan dengan akidah, akhlak atau perbuatan manusia dalam bentuk ibadah dan
muamalah. Sementara fiqh merupakan syarî‟ah yang bersifat amaliyah yang
diperolehdari dalil- dalil secara terperinci.6 Sementara itu al-Amidî berpendapat bahwa
fiqh adalah ilmu tentang seperangkat hukum syara' yang bersifat furu'iyah yang
diperoleh melalui penalaran dan istidlâl.7
TRILOGI AJARAN ISLAM
Trilogi ajaran Islam adalah islam, iman, dan ihsan. Menurut jumhur Ulama, islam
adalah fiqh (syari’at), iman adan akidah (tauhid), dan ihsan adalah tasawuf (hakikat).
Allah SWT menjelaskan, bahwa Islam saja, atau syari‟at saja, belum tentu Iman
kepada-Nya. Seluas dan sebesar apapun pengetahuan syariat, belum ada jaminan akan
kebesaran dan ketinggian keimanannya. Karena keimanan itu bukan perkara hapalan di
dalam memori otak, melainkan perkara qolbu, perkara batin, perkara ruhani.
مىبن
ليمانفيق
لال
ايدخ
مناول
طل
ؤ ىا
ىل
ننق
امنىاول
مج
لل
اق عسابءامن
ذال
الوإنق
حيم فىززاللهغ يئابن
مش
عمالن
نؤ مم
يلخن
هلا
طيعىااللهوزطىل
ج
“Orang-orang badui itu berkata: “Kami telah beriman!”. Katakanlah: “Kalian
belum beriman. Sebaiknya kalian katakan bahwa kami baru Islam, dan sementara
Iman belum masuk ke dalam qolbu kalian. Dan, jika kalian mentaati Allah dan
utusan-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun dari amal-amalmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Merahmati.” (QS. Al-
Hujurot/49: 14).
Dalam penjelasan Cecep Alba, agama Islam disebut sebagai sistem ajaran yang
sempurna. Kesempurnaan ajaran Islam itu disebabkan cakupan ajarannya yang mengenai
dimensi zahir dan batin, yang mengandung trilogi ajaran Islam, yaitu dimensi akidah (dimensi
keyakinan), dimensi syariat (dimensi hukum), dan dimensi hakikat (dimensi batin).8
4 Imadudin Abil Fida‟ Ibni Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim, jilid 12 (Kairo: Muassasah
Qurthubah, 1421H./2000M), h. 360-361. 5 Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 7.
6 Al-Allamah al-Bannânî, Hasyiyah al-Bannnânî 'alâ Syarh al-Mahallî ala Matn Jâmi' al- Jawâmi',
Jilid 1 (Beirut: Dâr al-Fikr 1402 H), h. 25. Lihat juga Abd al-Wahhab al-Khallâf, 'Ilm Ushûl al-Fiqh
(Kuwait: Dâr al–Qolam, 1978), h. 12.
7 Sayf al-Dîn al-Amîdî, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Jilid 1 (Kairo: Mu‟assasah al-Halabi, 1967,),
h. 8. 8 Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat: Dimensi Esoteris Islam (Bandung: Rosdakarya, 2014), h. 1.
Lih. juga dalam Asep Salahudin, Tasawuf: Etika dan Estetika Islam (Suryalaya: Pascasarjana IAILM dan
Latifah Press, 2016), h. 230-232.
Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 34
Trilogi ajaran Islam merupakan perpanjangan faham dari islam, iman, dan ihsan, yang
tersebut dalam Hadits Jibril yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bersumber dari sahabat
Umar bin al-Khaththab.9 Islam dibahas dalam kitab-kitab fiqih, dengan disiplin ilmu fiqih atau
ilmu syariat. Para ahlinya disebut fuqaha‟, dan lembaganya disebut madzhab (mazhab). Iman
dibahas dalam disiplin ilmu yang disebut ilmu tauhid atau kalam. Para ahlinya disebut
Mutakallimun, lembaga atau alirannya disebut firqah. Sedang dimensi ihsan dibahas dalam
disiplin ilmu tasawuf, para ahlinya disebut mutashawwifun, dan lembaga atau alirannya disebut
thariqah (tarekat).10
Asep Salahudin menjelaskan, bahwa triologi ini di zaman sekarang, diakui atau tidak,
berhenti sebatas nama (ilmu). Islam tidak diiringi ketundukan, atau islam minus kepasrahan.
Ilmu kalam berhenti sebatas abstraksi dan akrobat logika yang mengawang-awang malah
terkadang spekulatif. Tasawuf hanya banyak dipercakapkan, bahkan dijadikan silabus untuk
paket-paket pelatihan spiritual, namun tidak memberikan banyak perubahan yang bagi batin
untuk jangka panjang. Berdasarkan penjelasan di atas, maka ketiga dimensi dari islam, iman,
dan ihsan ini sangat penting bagi seorang Muslim demi mendapatkan kesempurnaan agamanya.
Tidak hanya dimensi syariat dan akidah, tetapi juga dimensi hakikat atau tasawuf. Karena
dimensi terakhir ini membicarakan masalah kebaikan hati (kebaikan spiritual), di mana bila
hatinya baik, maka baiklah dimensi yang lainnya.
URGENSI SYARI’AH DALAM HUKUM ISLAM
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pembahasan hukum Islam dapat dilihat dari
dua perspektif, yakni syari‟ah atau fiqh. Dimensi syari‟ah adalah dimensi hukum yang
asli, yang didasarkan pada dalil-dalil, yakni al-Qur’an dan hadits. Adapun dimensi fiqh
adalah dimensi yang lahir dari penggalian dan pemahanan terhadap dalil-dalil tadi, yang
dilakukan oleh para Ulama (Fuqaha). Dengan demikian, perbedaan kursial antara
syari‟at dan fiqh terletak pada sumbernya. Karena itu, tidak salah bila syari‟ah
memiliki urgensitas tersendiri di dalam sistem epistemologis hukum Islam.
Sebagian pemahaman umat Islam yang lebih mendasarkan pendapat hukumnya
pada mazhab fiqh ketimbang al-Qur’an dan hadits merupakan salah satu indikasi
ketidak-fahaman. Hakikat hukum Islam bukanlah fiqh tapi syari‟ah, maka seharusnya
pandangan hukum Islam didasarkan pada syari’ah (al-Qur’an dan hadits). Karena ulama
mazhab juga mendasarkan pemikiran fiqh-nya pada syari’ah.
Misalnya dalam perkara shalat, umat Islam memiliki cara shalat yang berbeda-
beda sesuai dengan mazhab fiqh yang dianutnya, sebagaimana dalam mengangkat
tangan saat takbirah al-ihram. Dalam pandangan Ulama Hanafiyah, ketika mengangkat
tangan, jempol hendaknya mengatasi telinganya, bagi laki- laki. Adapun bagi
perempuan, jempol cukup di depan pundaknya. Dalam pandangan Ulama Syafiiyah,
telapak tangan di hadapan atau mengatasi pundak. Kedua pendapat ini memiliki dasar
dari hadits Baginda Nabi SAW. Ulama Hanafiyah berdasarkan hadits yang bersumber
dari Wail bin Hajar, al-Barra‟ bin Azib, dan Anas bin Malik. Adapun Ulama Syafiiyah
9 Abu Zein as-Sajjdadi, Dzikir Cahaya di Atas Cahaya (Yogyakarta: Seven Books, 2016), h. 40-
43. 10
Kharisudin Aqib, Inabah: Jalan Kembali dari Narkoba, Stres, dan Kehampaan Jiwa, (Surabaya:
Bina Ilmu Surabaya, 2012), h. 5.
Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 35
mendasarkan pendapatnya pada hadits Ibnu Umar.11
Dari contoh tersebut dapat
difahami, bahwa masalah mengangkat tangan itu merupakan anjuran dari Baginda Nabi
SAW., bukan aturan yang dibuat oleh Ulama mazhab. Ulama mazhab hanya berselisih
mengenai posisi tangan ketika diangkat, apakah pas di telinga, atau di atas, atau di
bawahnya.
PERAN SYARI’AH DAN FIQH DALAM PENYELESAIAN HUKUM ISLAM
1. Peran Syari’ah dalam Penyelesaian Masalah Hukum
Peranan syari’ah di sini maksudnya adalah pelaku utama atau pembuat dari
syari’ah itu sendiri, yaitu Allah dan Nabi-Nya, yang tertulis di dalam al-Qur’an atau
Sunnah. dari sini kemudian akan diperoleh prinsip-prinsip yang berkenaan
dengannya, di antaranya:
a. Menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai Hakim
Sepintar dan secerdas apapun manusia, pada hakikatnya tidak pernah bisa
menjadi hakim di tengah-tengah manusia. Hakim yang sesungguhnya adalah
Allah dan Nabi-Nya. Karena itu, permasalahan hukum apapun dikembalikan
kepada keduanya, al-Qur’an atau Sunnah (syari’ah). Allah SWT berfirman:
مع الله بن واصبروا مزيحن ىب
روج ىا
لخفش
ف ناشعىا
جولا ه
وزطىل الله طيعىا
وؤ
ابسين الص“Dan patuhilah (aturan) Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian saling
berselisih yang menyebabkan kamu gentar, sehingga hilanglah kekuatan
(spiritual)mu, dan bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
sabar,” (QS. al-Anfal/8: 46).
b. Mengembalikan hukum kepada maksud dan kehendak-Nya
Agama Islam diturunkan bukan untuk meresahkan dan menggelisahkan,
tetapi untuk menjadi rahmatan, keselamatan, dan perdamaian di atas permukaan
bumi, yaitu melalui akhlak yang mulia. Allah SWT berfirman:
ين. عال
ل لزحمت
ناكبلا
زطل
ومأؤ
“Dan tidaklah engkau diutus (ya Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat
bagi sekalian alam,” (QS. al-Anbiya’/21: 107).
c. Menghilangkan pertikaian pendapat yang berlebihan di kalangan Ulama
Tidak dipungkiri adanya perdebatan pendapat di kalangan Ulama mazhab
yang menyebabkan terbawanya umat Islam (muttabi‟) dalam perselisihan dan pertikaian.
Di tengah masyarakat masih seringkali didapat fenomena ini, dan ini tentu saja sebagai
hasil pelajaran mereka kepada Ulama tertentu. Masjid yang ini adalah mazhab si fulan,
sedang masjid yang itu mazhab si fulan. Fenomena yang nyata, sama sekali tidak
memerlukan referensi ilmiah untuk mendapatkan informasi mengenai fenomena ini.
11
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid 1 (Beirut: Darul Fikr, 1405H./1985M.), h.
683-684.
Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 36
Sebagian Ulama ada yang hanya mempelajari fiqh pada mazhab tertentu, tapi abai
mempelajari landasan berpikir fiqh, yakni Ushul al- Fiqh. Ketika ia tamat dari
pelajarannya, dia kemudian menyebarkan keilmuannya yang tidak memiliki dasar-dasar
fiqh itu secara fanatik kepada umat. Umat pun menjadi pengikuti yang fanatik karenanya.
Tidak jarang fanatisme itu diselenggarakan pada sesama orang beragama (Muslim).
Menjadi tersamarlah agama yang sebenarnya, seakan-akan agama Islam ini tidak lagi
dibawah oleh Nabi-Nya, tapi oleh mazhab tertentu. Keadaan ini tentu saja sangat
meresahkan. Di sinilah pentinya pengetahuan tentang syari’ah, demi mengembalikan
keaslian agama langsung kepada pembawanya, seorang Nabi yang memang ditugaskan-
Nya untuk menyampaikan ajaran agama, yakni Nabi Muhammad SAW. Allah SWT
berfirman:
م حقبال نخاب
ال يو
نأبل
هصل
موؤ
احن
ف يه
عل ومهيمنا نخاب
ال من يديه بين ا
ل ا
ق صد
شسعت م
منن نا
جعل ل
له حق
ال من جأءك ا عم ىىآءىم
ؤ بع
دجاللهولا هصى
بمأؤ بينهم
ت م
ؤ م
نجعل
ل الله أء
ش ى
ول بقىاومنهاجا
اطد
ف م
ال
مأءاج في م
ىل
يبل
ل نن
ول
واحدة
مبينهمناحن
خلفىن.وؤ
خ
نخمفيهج
مبمال
ئن ينب
مجميعاف
ىاللهمسجعن
يراثبل
خ
ال
نيزىمؤ
ىىاءىمواحر
بعؤ
دجهصىاللهولا
ةنبمأؤ
يوف
هصىاللهبل
فخنىكعنبعضمأؤ
فاطقىن.اضل نالن ثيرام
ل ىبهموإن
هنيصيبهمببعضذ
مايسيداللهؤ ه
مؤ
اعل
ىاف
ىل
ج
مال
حظنمناللهحن
ىنومنؤ
تيبغ جاىلي
مال
حن
ف قىميىقنىن.ؤ
“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur‟an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan (syari‟ah)
dan jalan yang terang (minhaj). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya
kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa
yang telah kamu perselisihkan itu. Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di
antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka,
supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki
akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa
mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. al-
Maidah/5: 48-50).
Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 37
Berkenaan ayat di atas, di dalam Tafsir al-Jilani dijelaskan, bahwa bahwa
al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad itu kandungannya mencakup
seluruh kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, sekaligus membenarkan
apa-apa yang dikandung oleh kitab- kitab sebelumnya, dan akan senantiasa
terpelihara dari campur tangan pemikiran manusia (al-taghyir wa al-tahrif).
Karena itu, berhukum-lah dengan hukum Allah, sesuai dengan apa yang
diturunkan-Nya, dan jangan mengikuti pemikiran-pemikiran yang sesat yang
didasarkan pada hawa nafsu. Padahal kebenaran itu telah tegas dan nyata
diturunkan-Nya, sesuai dengan hikmah Ilahiyah yang diperlukan oleh hukum.
Segala sesuatunya telah dijadikan-Nya sebagai syir‟ah (jalan untuk menuju
tauhid-Nya) dan minhaj (cara yang jelas yang telah dijelaskan oleh Nabi-Nya).
Bila Dia menghendaki, Dia jadikan manusia dalam satu jalan menuju-Nya, namun
Dia jadikan banyak jalan, untuk menguji manusia di dalam perjalanan mereka
menuju tauhid kepada Allah. Yang terpenting itu, selalu berlomba- lomba dalam
kebaikan, dengan kesadaran bahwa setiap mereka akan kembali kepada-Nya, yang
kelak akan mempertanggung-jawabkan semua perbuatan yang telah dilakukannya.
Dia nanti yang akan memberikan penjelasan yang nyata mengenai apa-apa
yang selama ini mereka perselisihkan. Karena itu, berhukum-lah dengan hukum
Allah, sesuai yang diturunkan-Nya melalui Nabi-Nya, di dalam kitab-Nya. Jangan
memperturutkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan.
Hati-hatilah dari mereka yang mencampur-adukkan kebenaran ketuhanan dengan
pemikiran awam mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia banyak yang keluar
dari jalan hukum yang dikehendaki-Nya. Maka, apakah hukum jahiliah yang
mereka inginkan, yakni hukum yang keluar dari pemikiran-pemikiran yang rusak
dan menyesatkan, yang dihasilkan dari cara berpikir mereka yang terbatas,
sebagaimana yang banyak berkembang sekarang ini. Sesungguhnya hanya hukum
Allah yang terbaik, bagi orang-orang yang yakin, demi menguatkan keyakinan
mereka di dalam menempuh perjalanan menuju tauhid-Nya.
Ayat di atas sangat jelas menegaskan bahwa hukum Islam yang
sesungguhnya adalah hukum Allah (syari‟ah), bukan hukum buatan manusia
(fiqh), terlebih lagi yang keluar dari pemikiran yang didasarkan pada hawa nafsu.
Dengan kembali kepada syari’ah, kepada hukum Allah yang sesungguhnya,
keberagamaan akan semakin jelas pendudukannya, tidak samar. Karena itu,
khilafiyah yang terjadi di kalangan Ulama mazhab tidak menyebabkan seseorang
tercerabut akidah dan keimanannya kepada Baginda Nabi SAW. Ulama mazhab
pun didudukkan posisinya sebagai Ulama pewaris Nabi, bukan Nabi itu sendiri.
d. Mendudukkan Ulama sebagai Pewaris Nabi
Bagaimanapun, Ulama bukanlah Nabi. Ulama adalah manusia biasa yang
diberikan oleh Allah pemahaman yang lebih mengenai agama ketimbang
mayoritas umat. Di dalam rukun iman, umat Islam wajib beriman kepada Nabi-
Nya, dan tidak ada kewajiban untuk beriman kepada Ulama. Tentu saja penjelasan
Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 38
ini tidak dimaksudkan untuk merendahkan Ulama, akan tetapi adalah untuk
memberikan pengertian dan pemahaman yang jelas bahwa umat jangan sampai
terlalu fanatik kepada satu Ulama sehingga lalai bahwa ia adalah mengikut kepada
Baginda Nabi SAW.
Dalam fenomena yang sering terjadi di tengah masyarakat, seperti dalam hal
shalat. Seseorang mendirikan shalat didasarkan pada mazhab tertentu. Bila shalat
seperti ini, adalah mazhab ini; bila shalat seperti itu, adalah mazhab itu. Tidak
sedikit umat yang memegang teguh hal ini, sehingga tersamarlah bahwa shalat itu
bersumber dari Nabi, yang diturunkan-Nya melalui wahyu-Nya. Padahal Ulama
mazhab itu tidak mengajarkan shalat, hanya menjelaskan sifat shalat baginda Nabi
agar umat Islam mendirikan shalat sesuai dengan tuntunan Baginda Nabi. Jadi
Ulama mazhab itupun merujuk kepada Nabi mengenai cara-cara shalat. Karena
para pembesar (pendiri) mazhab, seringkali menyatakan, bahwa ijtihad fiqh yang
mereka lakukan bisa benar bisa salah, dan semuanya dikembalikan kepada
syari’ah (al-Qur’an dan Sunnah).
Karena itu, Ulama harus dihormati kedudukannya sebagai Ulama, yang
mereka adalah pewaris Nabi, dan mereka diberikan kemuliaan dengan
pengetahuan dan pengertian yang lebih tinggi ketimbangan kebanyakan umat. Di
tangan mereka-lah penjelasan-penjelasan agama yang musykil dan sulit, dan
melalui mereka pula umat bisa memahami agama ini dengan benar. Ulama tetap
harus dihormati dan dimuliakan sebagai pewaris Nabi SAW. Allah SWT
berfirman :
امائ
عل
ىاللهمنعبادوال
ش
مايخ به
“Sesungguhnya yang akan takut kepada Allah dari hamba-hamba- Nya
adalah para Ulama,” (QS. Fathir/35: 28).
Di dalam Tafsir al-Jilani, Ulama yang memiliki rasa takut (al- khasyyah)
dalam ayat di atas adalah Ulama yang Arif (Urafa‟).12
Dalam sebuah hadits yang
bersumber dari Abu Huraiah, Baginda Nabi SAW. bersabda:
ين.زواوابنماحه. ههفىالد يرايفق منيسداللهبهخ
“Siapa yang dikehendaki Allah baginya kebaikan, Allah akan
memahamkannya dalam agama.” (HR. Ibnu Majah).13
Shidqi Jamil Atthar, pen-tahqih kitab Sunan ini, memberikan penjelasan,
berkenaan hadits di atas:
اقف ل ا رييىزر
مال
عل
ينىىال هفىالد
جىازحىال
سوعل
زهسؤ
بويظ
قل
فىال
يت
ش
خ
ل
“Faham dalam agama itu merupakan pengertian yang dapat mewariskan
rasa takut di dalam hati, dan tampak refleksinya di anggota badan.”
12
Abdul Qadir Jilani, Tafsir al-Jilani, jilid 4, op.cit., 153-154. 13
Abu Abdillah Muhammad Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah (Beirut: Darul Fikr, 1424H./2003M.),
72.
Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 39
Berdasarkan penjelasan di atas, syari’ah di dalam proses penyelesaian
masalah hukum dijadikan sebagai landasan atau fondasi, dengan prinsip-prinsip
universal yang terkandung di dalamnya. Prinsip- prinsip universal itu sangat
penting di dalam proses penegakan hukum yang adil dan bijaksana.
2. Peran Fiqh dalam Penyelesaian Masalah Hukum
Fiqh atau pemahaman Ulama mengenai hukum Islam harus didasarkan pada al-
Qur’an dan Sunnah. Karena itu, fiqh merupakan penjelasan dari ayat-ayat al-Qur’an
dan Sunnah Nabi yang memuat tentang penjelasan-penjelasan yang juga bersifat
umum, global, dan universal. Keadaan ini merupakan sebagian dari keluasan dan
kelenturan syari’ah itu sendiri. Dalam sebuah kaidah disebutkan:
مننت. شمنتوال
رال ي
امبخغ
حه
رال ي
غ ح
“Perubahan hukum bersamaan dengan perubahan zaman dan tempat.”
Tentu saja maksud kaidah di atas tidak berkenaan dengan hukum-hukum yang
pasti (qath‟i dilalah), tetapi yang bersifat zhan, yang memberikan keluasan berpikir
(ijtihad) dan interpretasi epistemolgis di dalamnya. Karena itu, kaidah di atas tidak
berkenaan dengan syari’ah, tapi berkenaan dengan fiqh. Syari’ah di sini dijadikan
landasan dan fondasinya.
Sebagai contoh, di zaman sekarang, praktek jual beli dipengaruhi oleh
perkembangan teknologi digital dan online, dan tempatnya pun sekarang dalam
bentuk mall yang besar dan megah. Proses jual beli tidak lagi menggunakan akad
yang sarih, tapi hanya dengan melihat barang dan harga, lalu datang ke kasir sebagai
tanda ridha, dan membayarnya. Praktek jual beli seperti ini disebut jual beli
mu‟athah, yakni jual beli tanpa akad yang sarih. Dalam pandangan mazhab Syafi’i,
misalnya, dalam jual beli mensyaratkan adanya ijab dan qabul dalam akad dengan
lafaz yang jelas (sarih), dan bila tidak demikian, jual beli dianggap tidak sah.14
Tentu
saja pendapat seperti ini sudah tidak berlaku di zaman sekarang. Karena itu, hukum
ini dikembalikan kepada prinsip-prinsip universal yang terdapat dalam al-Qur’an
atau Sunnah, seperti jual beli yang dilakukan dengan suka sama suka („an taradhin).
Karena itu, seorang pembeli yang datang ke kasir dan membayarnya cukup untuk
menjadikan akad jual beli tersebut menjadi sahih.
Para Ulama fiqh di zaman sekarang telah banyak melakukan perubahan dan
amandemen hukum fiqh (produk hukum) dalam rangka untuk menyesuaikannya
dengan perubahan zaman dan tempat. Karena itu, dalam mazhab Syafi’i misalnya,
Ulama fiqh sekarang lebih menyandarkan pada ijtihad atau metode istimbat
(epistemologi) pendirinya ketimbang produk ijtihadnya, sebagai upaya
menyelesaikan masalah hukum yang terus menerus berkembang, yang didasarkan
pada al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas.
14
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid 4 (Beirut: Darul Fikr, 1405H./1985M.), h.
351.
Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 40
Secara lebih mendalam mengenai posisi Ulama di sisi Baginda Nabi, dijelaskan
oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani berikut:
ماهىا لأنهم بطسائيل، بنى مإهبياء ؤمخه علماء صم النبي شبه لشسيعتوإهما مخابعين
بجيان غير من احهاما ويالدوىا يجددوىا لنن الظلام، عليه مىس ى وىى السطل،
والنهيبشسيعتؤخسي.فهنراعلماءىروالمتيسطلىنلخىا المس لخجديد ص
مىضع القلب، وهي الشسيعت، ؤصل وجصفيت البلغ الخإليد على العمل واطخحهام
العسفت.
“Bahwasanya Nabi SAW mengumpamakan Ulama umat Beliau seperti para
Nabi di kalangan Bani Israil, yang mereka hanya mengikuti syari‟at Nabi yang
diutus, yaitu Nabi Musa. Tugas mereka (atau Ulama) adalah memperbaharui
dan menguatkannya hukum-hukumnya, tanpa mendatangkan syari‟at yang
baru. Demikian juga Ulama umat ini dari kalangan para Wali, yang diutus
untuk orang-orang khusus dalam rangka untuk melakukan pembaharuan
dalam perintah dan larangan, menetapkan hukum perbuatan dengan
sekuatnya, dan membersihkan fondasi syari‟ah, yang di hati, yang merupakan
tempat pengetahuan yang sebenarnya.”15
Berdasarkan penjelasan di atas, seorang Ulama yang sesungguhnya bukan
sekadar ahli dalam bidang keilmuan (ilmiah), tetapi juga ahli di dalam
mengamalkannya (amaliah), yang dalam istilah lain disebut Awliya‟. Dihubungkan
dengan trilogi ajaran Islam sebelumnya, mereka tidak hanya ahli dalam islam, tapi
juga iman dan ihsan. Karena apabila seorang Ulama hanya menyibukkan diri dalam
kajian-kajian keilmuan, maka keilmuannya bisa menjadi belenggu bagi umat yang
mempelajari keilmuannya, bersifat sempalan, parsial, dan fragmentaris. Keilmuan
yang tidak bersifat universal ini justeru akan menjadikan keilmuannya itu sebagai
alat untuk perselisihan, dan bahkan meruncing kepada pertentangan dan fanatisme
mazhab. Tidak menutup kemungkinan akan muncul pendakuan-pendakuan yang
tidak perlu di kalangan aliran atau mazhab tertentu, dan lebih parah lagi adalah
apabila satu mazhab dengan mazhab yang lainnya sudah saling menyalahkan.
Padahal perselisihan mereka itu hanya di tingkat cabang (furu‟) atau fiqh, tidak di
pangkal (ushul) atau syari’ah.
Syaikh Ahmad Shahibulwafa Tajul Arifin juga menjelaskan peran dan fungsi
Ulama di sisi Baginda Nabi SAW.
اىسينالظ دابالد
اضؤ عليمالن
مفىح
يهوطل
ىاللهعل
ابعنهصل ى
ىنباللهه
عازف
ةوال
بوال في
ركخ
عتحخاجل
هاج ن
اىسة،لأ
دابالظ
منال
صعبمنالا
ؤباطنت
دابال
اطنت.وال
حقدال من ت بي
قل
ال اجه
فوؤ خداعت
ال يا
ه الد سوز
وغ اهه
يط
وش فظه
ه ىىي و سء
ال بين
15
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, Sirrul Asrar (Kairo: Maidan Jami’ al-Azhar, tt.), h. 32-33.
Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 41
يرووال
فاقوغ ياءوالن عجبوالس
حظدوال
“Para Ulama bijak merupakan wakil-wakil Beliau SAW di dalam mengajarkan
manusia adab-adab agama, baik yang bersifat zahir maupun batin. Dan adab-
adab batin itu jauh lebih sulit diperoleh daripada adab-adab zahir. Karena
adab batin itu memerlukan perjuangan yang samar, yaitu perjuangan terhadap
dirinya, hawa nafsunya, syetannya, tipudaya dunia, dan kerusakan- kerusakan
hati yang disebabkan oleh dendam, irihati, ujub, riya, nifaq, dan
sebagainya.”16
Berdasarkan penjelasan di atas, syari’ah jelas diturunkan-Nya pada Nabi yang
tertentu, seperti kepada Nabi Musa dan Nabi Muhammad. Kedudukan dan peranan
para Ulama di kalangan umat Nabi Muhammad adalah untuk menguatkan dan
menegaskan syari’ah yang Beliau bawa, berdasarkan prinsip atau kaidah universal
yang dikandung di dalamnya. Dalam rangka untuk menguatkan dan menegaskan
eksistensi syari’ah, maka para Ulama melakukan ijtihad, istidlal, dan istinbath
terhadap dalil-dalil yang bersifat umum di dalam al-Qur’an dan Sunnah, berkenaan
dengan permasalahan hukum yang berkembang. Sehingga pada akhirnya, tidak ada
satu pun permasalahan hukum melainkan diperoleh penyelesaian dan jalan
keluarnya, yang tentu saja tetap didasarkan pada kaidah-kaidah universal tadi.
KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini, yaitu:
1. Secara epistemologis, syari‟ah dan fiqh di dalam proses penetapan hukum Islam
tidaklah sama. Syari’ah bersifat orisinil, murni, asli, wahyu, dan tidak terkontaminasi
oleh pemikiran manusia. Sementara fiqh bersifat cabang, baru, parsial, tidak murni,
yang didasarkan pada kemampuan ijtihad seorang Ulama yang masing-masing tidak
sama kualitasnya.
2. Kedudukan syari‟ah terhadap fiqh adalah sebagai landasan, kontrol, dan
kebijaksanaan. Fiqh tidak bisa dilepaskan tiga kedudukan syari’ah ini, sehingga fiqh
tidak berkembang secara liar dan membabibuta.
3. Peran syari‟ah dan fiqh dalam penyelesaian hukum Islam sangat bergantung pada
pemahaman yang mendalam terhadap trilogi ajaran Islam (islam, iman, dan ihsan).
Bersama dengan trilogi ini, maka penyelesaian hukum akan memberikan
kemaslahatan dan kerahmatan bagi kehidupan umat manusia di atas permukaan bumi
ini. Di antara peran itu ialah menjadikan Allah dan Nabi-Nya sebagai hakim,
mengembalikan hukum pada maksud dan kehendak-Nya, menghilangkan pertikaian
pendapat yang berlebihan di kalangan Ulama, dan mendudukkan Ulama sebagai
Pewaris Nabi.
16
Ahmad Shahibulwafa Tajul Arifin, Miftahus Shudur (Tasikmalaya: IAILM Suryalaya, 1990), h.
322-323.
Akademika: Vol. 15 No. 2 Desember 2019 42
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu Abdillah Muhammad Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah (Beirut: Darul Fikr,
1424H./2003M.)
Abu Zein as-Sajjdadi, Dzikir Cahaya di Atas Cahaya (Yogyakarta: Seven Books, 2016).
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (Bandung: Pustaka,
1984).
Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin, Miftahus Shudur (Tasikmalaya: IAILM Suryalaya,
1990).
Allamah al-Bannânî, Hasyiyah al-Bannnânî 'alâ Syarh al-Mahallî ala Matn Jâmi' al-
Jawâmi', Jilid 1 (Beirut: Dâr al-Fikr 1402 H).
Asep Salahudin, Tasawuf: Etika dan Estetika Islam (Suryalaya: Pascasarjana IAILM
dan Latifah Press, 2016).
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat: Dimensi Esoteris Islam (Bandung: Rosdakarya,
2014).
H.A.R Gibb and J.H Krames, Shorter Encyclopedia of Islam (London: Luzzac 1961).
Imadudin Abil Fida’ Ibni Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim, jilid 12 (Kairo: Muassasah
Qurthubah, 1421H./2000M).
Kharisudin Aqib, Inabah: Jalan Kembali dari Narkoba, Stres, dan Kehampaan Jiwa
(Surabaya: Bina Ilmu Surabaya, 2012).
Mannâ al-Qaththân, al-Tasyrî' wa al Fiqh fî al-Islâm (Beirut: Mu’assasah Risâlah, tth).
Sayf al-Dîn al-Amîdî, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Jilid 1 (Kairo: Mu’assasah al-
Halabi, 1967).
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid 1 (Beirut: Darul Fikr,
1405H./1985M.).
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid 4 (Beirut: Darul Fikr,
1405H./1985M.).