+ All Categories
Home > Documents > LUMBUNG DALAM PERSPEKTIF BUDAYA SUMATRA: …

LUMBUNG DALAM PERSPEKTIF BUDAYA SUMATRA: …

Date post: 29-Jan-2022
Category:
Upload: others
View: 9 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
15
Jurnal Prajnaparamita 1 Copyright ©2020 Museum Nasional All Rights Reserved P- ISSN: 2355-5750 Edisi 09/2020 Page: 1-15 LUMBUNG DALAM PERSPEKTIF BUDAYA SUMATRA: MENGINTEPRETASI KOLEKSI MUSEUM NASIONAL Granary in the Perspective of Sumatran Culture: Interpreting the Museum Nasional’s Collection Mawaddatul Khusna Rizqika 1 , Fajar Ichsan Hadianto 2 Museum Nasional Jln. Medan Merdeka Barat 12 Jakarta Pusat 10110 1 [email protected], 2 [email protected] Received: Sep 14, 2020 Accepted: Nov 10, 2020 Published: Dec 10,2020 Abstrak Manusia dan lingkungan hidupnya merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Dalam mempertahankan eksistensinya, manusia dengan segala kemampuan daya pikirnya melakukan adaptasi dalam menghadapi kondisi alambsekitar. Salah satu upaya ini terlihat pada budaya materi hasil kreasi manusia berupa lumbung. Tujuan dari kajian ini adalah mengungkapkan makna dari keberadaan lumbung yang dalam perspektif budaya tidak hanya berhenti pada hal biologis dan fisiologis semata terkait pangan, tetapi juga melibatkan serangkaian proses. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan berbasis pada koleksi miniatur lumbung milik Museum Nasional. Lumbung-lumbung tersebut berasal dari wilayah daratan Sumatra sebagai representasi masyarakat agraris dengan kondisi lingkungan yang khas. Lumbung dalam kacamata arsitektur vernakular memiliki benang merah kuat antara manusia, lingkungan hidupnya, dan ketersediaan sumber daya alam. Lumbung memperlihatkan kesadaran manusia terhadap hari-hari mendatang dan masa depan. Kata Kunci: lumbung, pangan, adaptasi, vernakular, Museum Nasional Abstract Human and their environment are two inseparable entities. In maintaining their existence, human uses their ability of thinking to adapt in any environment. One of human efforts to adapt is the invention of the material culture known as lumbung. This research aims to reveal the meaning of lumbung existence from the cultural perspective which not only discusses about biological and physiological aspects related to food suplies but also involvement of series on cultural process. This research uses qualitative method which based on Museum Nasional lumbung collection. The lumbung collections are from Sumatra that represent the agrarian society with unique environment. Furthermore, lumbung in the view of vernacular architecture has strong
Transcript

Jurnal Prajnaparamita 1

Copyright ©2020 Museum Nasional

All Rights Reserved

P- ISSN: 2355-5750

Edisi 09/2020 Page: 1-15

LUMBUNG DALAM PERSPEKTIF BUDAYA SUMATRA:

MENGINTEPRETASI KOLEKSI MUSEUM NASIONAL Granary in the Perspective of Sumatran Culture:

Interpreting the Museum Nasional’s Collection

Mawaddatul Khusna Rizqika1, Fajar Ichsan Hadianto2

Museum Nasional

Jln. Medan Merdeka Barat 12 Jakarta Pusat 10110 [email protected], [email protected]

Received: Sep 14, 2020 Accepted: Nov 10, 2020 Published: Dec 10,2020

Abstrak

Manusia dan lingkungan hidupnya merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Dalam

mempertahankan eksistensinya, manusia dengan segala kemampuan daya pikirnya melakukan

adaptasi dalam menghadapi kondisi alambsekitar. Salah satu upaya ini terlihat pada budaya materi

hasil kreasi manusia berupa lumbung. Tujuan dari kajian ini adalah mengungkapkan makna dari

keberadaan lumbung yang dalam perspektif budaya tidak hanya berhenti pada hal biologis dan

fisiologis semata terkait pangan, tetapi juga melibatkan serangkaian proses. Kajian ini

menggunakan pendekatan kualitatif dan berbasis pada koleksi miniatur lumbung milik Museum

Nasional. Lumbung-lumbung tersebut berasal dari wilayah daratan Sumatra sebagai representasi

masyarakat agraris dengan kondisi lingkungan yang khas. Lumbung dalam kacamata arsitektur

vernakular memiliki benang merah kuat antara manusia, lingkungan hidupnya, dan ketersediaan

sumber daya alam. Lumbung memperlihatkan kesadaran manusia terhadap hari-hari mendatang

dan masa depan.

Kata Kunci: lumbung, pangan, adaptasi, vernakular, Museum Nasional

Abstract

Human and their environment are two inseparable entities. In maintaining their existence, human

uses their ability of thinking to adapt in any environment. One of human efforts to adapt is the

invention of the material culture known as lumbung. This research aims to reveal the meaning of

lumbung existence from the cultural perspective which not only discusses about biological and

physiological aspects related to food suplies but also involvement of series on cultural process.

This research uses qualitative method which based on Museum Nasional lumbung collection. The

lumbung collections are from Sumatra that represent the agrarian society with unique

environment. Furthermore, lumbung in the view of vernacular architecture has strong

Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020

p-ISSN: 2355-5750

2 Museum Nasional

relationship between humans with their environment as well as the availability of natural

resources. It can be said that lumbung is the evidence about human awareness of the up coming

days.

Keywords: lumbung, vernacular, adaptation, food, Museum Nasional

Lumbung Dalam Perspektif Budaya Sumatra: Mengintepretasi Koleksi Museum Nasional ______________________________________________________________________________________

Mawaddatul Khusna Rizqika & Fajar Ichsan Hadianto

Jurnal Prajnaparamita 3

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan yang

memiliki keberagaman budaya di setiap

daerahnya. Kehidupan masyarakat Indonesia

bertumpu pada dua kebudayaan besar, yakni

berbasis agraris dan maritim. Keduanya tidak

terpisahkan dan saling mendukung. Kondisi

alam Indonesia memungkinkan keduanya

saling bersinergi. Masyarakat agraris dominan

tinggal di dataran tinggi maupun rendah,

sedangkan kebudayaan maritim hidup pada

masyarakat pesisir pantai maupun sungai.

Secara lebih khusus, keberagaman budaya ini

terlihat pada pengetahuan arsitekturnya yang

terkait dengan lingkungan dan sumber daya

alam yang tersedia.

Arsitektur tradisional merupakan

simbol kebudayaan dari suatu masyarakat

yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan

sekitar (Sulistyanto, 2017:9). Arsitektur

adalah ruang sosial dan simbolis antara

manusia sebagai pembuatnya dan lingkungan

hidupnya (Waterson, 2012:15). Miniatur

lumbung koleksi Museum Nasional yang

menjadi objek kajian pada artikel ini

merupakan simbol yang ingin disampaikan

oleh pembuatnya kepada masyarakat

penggunanya.

Keberadaan lumbung pada suatu pola

permukiman tradisional sangat dekat dengan

kebutuhan sehari-hari manusia, yakni pangan.

Pangan merupakan kebutuhan primer atau

paling mendasar dalam kehidupan manusia

supaya terus hidup. Namun tidak hanya itu,

lumbung mengandung makna yang lebih

dalam. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah

mendapatkan makna-makna tersebut sehingga

dapat menjadi gambaran kepada masyarakat

luas mengenai pentingnya lumbung sebagai

bagian dari sistem adaptasi dan ketahanan

pangan yang telah berlangsung sejak dahulu

pada masyarakat adat.

Landasan teori

Secara teoretis, keterkaitan antara manusia,

lingkungan alam, dan bangunan tradisional

telah menjadi perhatian para antropolog.

Analisis terhadap gejala ini diperkaya

dengan ilmu lain, khususnya arsitektur.

Dalam ilmu arsitekstur terdapat salah satu

cabang yang berfokus pada pemahaman

mengenai bangunan tradisional, yakni

arsitektur vernakular. Secara etimologi

vernakular berasal dari kata vernaculllus

yang berarti ‘lokal atau domestik’. Terdapat

beberapa ahli yang mendefinisikan

arsitektur venakular, seperti Simon J.

Bronner dalam Building Tradition: Control

and Authority in Vernacular Architecture

dia mengatakan, “Vernacular architecture

can be defined, in short, as buildings that

“belong to a place, that express the local or

regional dialect” (2006:23). Arsitektur

vernakular adalah bangunan yang dimiliki

suatu daerah yang mengekspresikan

keunikan daerahnya sendiri.

Sementara itu, pendapat lain berasal

dari Paul Oliver dalam Encyclopedia of

Vernacular Architecture of the World.

Arsitektur vernakular adalah hunian yang

di dalamnya terdapat bangunan-bangunan

yang terkait dengan lingkungan dan sumber

daya yang tersedia. Pembangunan tersebut

dikerjakan bersama-sama oleh pemilik atau

masyarakat sekitar dengan memanfaatkan

teknologi tradisional. Setiap bangunan

memenuhi kebutuhan secara spesifik, nilai-

nilai yang berlaku di daerah tersebut, aspek

ekonomi, serta cara hidup yang

mencerminkan budaya mereka (Oliver,

1997:ii). Kemudian, Amos Rapport

mengatakan dalam House Form and

Culture bahwa bentuk rumah dipengaruhi

oleh faktor utama yang merupakan kondisi

budaya masyarakat yang bersangkutan,

dengan faktor tambahan yang terdiri atas

kondisi iklim, metode konstruksi,

ketersedian material, dan tingkat teknologi

yang dimiliki (1969:47).

Berdasarkan beberapa definisi di

atas dapat dikatakan bahwa arsitektur

venakular adalah bangunan atau hunian

yang dibuat oleh masyarakat lokal dengan

berpegang pada kebudayaan yang berlaku.

Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020

p-ISSN: 2355-5750

4 Museum Nasional

Tidak hanya itu, faktor lingkungan,

ketersedian material, dan teknologi sangat

memengaruhi. Fungsi utama dari bangunan

atau hunian ini adalah untuk memenuhi

kebutuhan mereka, memperlihatkan cara

hidup, dan kehidupan sosial yang berlaku.

Arsitektur venakular ini dapat

menunjukkan identitas suatu masyarakat.

Pada artikel ini dibahas arsitektur

vernakular skala mikro, yakni lumbung dari

wilayah Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan

Jambi. Unit bangunan dilihat sebagai karya

arsitektur berdasarkan atas beberapa

elemen, meliputi bentuk atau potongan

bangunan dan bagian-bagiannya (kepala,

badan, dan kaki) (Purbadi, 2015:3).

Metode Penelitian

Kajian ini menggunakan pendekatan

kualitatif dengan pernalaran bersifat

induktif. Basis dari pernalaran induktif ini

berupa hal-hal khusus, yakni koleksi-

koleksi miniatur lumbung milik Museum

Nasional, yang kemudian ditarik suatu

kesimpulan yang sifatnya umum.

Perspektif antropologi budaya terkait

arsitektur vernakular dipakai untuk

memudahkan dalam memahami isu terkait

lumbung, mendeskripsikan gejala, dan

mendapatkan kesimpulan. Kajian berbasis

koleksi miniatur lumbung, khususnya dari

wilayah Sumatra, ini dilakukan di Museum

Nasional. Terpilih 3 koleksi miniatur

lumbung yang berasal dari Jambi, Sumatra

Barat, dan Sumatra Utara. Pemilihan ini

didasarkan pada kuatnya wilayah-wilayah

tersebut dalam merepresentasikan

kebudayaan agraris di wilayah daratan

Pulau Sumatra (Sumatra) pada masa lalu

maupun kini.

Pengumpulan data dilakukan

melalui tahapan identifikasi koleksi untuk

mendapatkan data terkait deskripsi fisik

koleksi. Pendeskripsian ditekankan pada

material, dimensi, serta bentuk atau gaya

seni pada koleksi. Tahapan selanjutnya

merupakan studi literatur terhadap

dokumen penyerta koleksi (katalog) yang

dibuat pada era Bataviaasch Genootschap

voor Kunsten en Wetenschappen pada akhir

abad ke-19 hingga awal abad ke-20 untuk

mendapatkan gambaran mengenai konteks

awal koleksi. Tahapan berikutnya adalah

pengolahan data yang meliputi

penyeleksian data terkait kesesuaiannya

dengan kajian. Data disajikan secara

terstruktur dan dilengkapi dengan

deskripsinya. Informasi terkait juga didapat

dengan melakukan studi pustaka, baik

berupa buku, hasil penelitian pihak lain,

jurnal, dan sumber pustaka berbentuk

digital, maupun penjelasan dari narasumber

yang kompeten saat webinar. Tahapan

berikutnya, yakni penarikan kesimpulan

sebagai upaya interpretasi makna dengan

bertumpu pada data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sekilas tentang Museum Nasional

Museum Nasional terletak di Jalan Medan

Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Museum

milik pemerintah ini mempunyai jumlah

koleksi terbanyak dan terlengkap di

Indonesia. Di mata internasional, kekayaan

koleksi museum ini sangat diperhitungkan

dan menarik minat. Selain itu, museum ini

adalah salah satu lembaga yang bergerak

dalam upaya pelestarian warisan budaya

tertua di Indonesia. Menengok jauh ke

belakang, sejarah Museum Nasional terkait

dengan perhimpunan ilmiah bernama

Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en

Wetenschappen atau Batavia Society for

Arts and Sciences yang didirikan pada 24

April 1778 (Tjahjopurnomo, 2011:4).

Apabila dihitung sejak masa pendirian

tersebut, saat ini Museum Nasional sudah

berusia 242 tahun. Sebuah rentang masa

yang panjang dalam upaya turut merekam

sejarah kebudayaan Indonesia melalui

budaya materi, yakni koleksi-koleksinya.

Lumbung Dalam Perspektif Budaya Sumatra: Mengintepretasi Koleksi Museum Nasional ______________________________________________________________________________________

Mawaddatul Khusna Rizqika & Fajar Ichsan Hadianto

Jurnal Prajnaparamita 5

Organisasi ini pada awalnya

didirikan dan beranggotakan para ilmuwan

Belanda yang memiliki minat dan

ketertarikan terhadap alam dan kebudayaan

di wilayah jajahan mereka, yakni Hindia

Belanda. Pendirian museum awalnya

disebabkan oleh kegemaran anggota

Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en

Wetenschappen mengumpulkan benda-

benda alam maupun budaya di seluruh

wilayah jajahan Hindia Belanda. Benda-

benda tersebut sebagian besar bermuatan

sejarah dan kemudian disumbangkan ke

perhimpunan untuk menjadi koleksi dan

diteliti bersama para ahli. Berdasarkan

pencatatan, koleksi-koleksi tersebut

dikumpulkan secara aktif pada akhir abad

ke-19 hingga awal abad ke-20 melalui jalur

ekspedisi ilmiah, ekspedisi militer, misi

keagamaan, hibah, dan pembelian

(Tjahjopurnomo, 2011:15-16).

Pada masa perkembangan

selanjutnya, perubahan pengelolaan

museum berdampak pula pada pergantian

nama instansi. Pasca kemerdekaan

Republik Indonesia, pengelolaan museum

beralih ke tangan Pemerintah Republik

Indonesia. Setelah beberapa kali

mengalami pergantian nama, instansi ini

menjadi Museum Nasional sejak 28 Mei

1979 hingga sekarang. Dari sekian puluh

ribu koleksi Museum Nasional, terdapat

beberapa koleksi terkait pengetahuan

arsitektur tradisional di Indonesia. Koleksi-

koleksi tersebut berupa miniatur rumah

adat tradisional, termasuk pula bagian-

bagiannya, seperti lumbung dari berbagai

daerah di Indonesia.

Miniatur Lumbung Koleksi Museum

Nasional

Sebagai bagian dari pengetahuan mengenai

permukiman dan strategi bertahan hidup

masyarakat, posisi lumbung pada suatu

masyarakat menduduki posisi penting.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

daring pengertian lumbung adalah ‘tempat

menyimpan hasil pertanian (umumnya

padi), berbentuk rumah panggung, dan

dindingnya terbuat dari anyaman bambu’

(dalam kbbi.kemdikbud.go.id, 13 Agustus

2020). Indonesia merupakan negara agraris

yang kebanyakan masyarakatnya bekerja

pada sektor pertanian. Hasil pertanian

tersebut dapat berupa padi, jagung, umbi,

dan hasil panen lainnya.

Hampir setiap daerah di Indonesia

mengenal bangunan khusus atau lumbung

yang diperuntukkan sebagai tempat

penyimpanan hasil panen. Lumbung pada

tiap daerah memiliki nama lokal.

Masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat

menyebut lumbung sebagai rangkiang,

masyarakat Bali menyebutnya gelebeg atau

kelumpu, sedangkan masyarakat Sunda dan

Baduy di Jawa Barat dan Banten menyebut

leuit. Hal itu menunjukkan demikian luas

dan pentingnya kajian mengenai lumbung

dengan arsitektur tradisional di Indonesia.

Oleh sebab itu, diperlukan pembatasan

ruang lingkup objek kajian ini, yakni pada

miniatur lumbung dari Sumatra, khususnya

Sumatra (Sumatra) Utara, Sumatra Barat,

dan Jambi. Di bawah ini dijelaskan tiga

lumbung yang merupakan koleksi Museum

Nasional.Penjelasan disertai dengan

riwayat koleksi yang dapat memperlihatkan

konteks asal benda tersebut sebelum

menjadi koleksi Museum Nasional. Dalam

museologi dikenal konsep musealisasi yang

diperkenalkan oleh Zbyněk Stránský

(dalam Walz, 2016:48), yakni ketika suatu

benda berada dalam lingkungan konteks

Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020

p-ISSN: 2355-5750

6 Museum Nasional

asalnya kemudian diakusisi menjadi

koleksi museum, benda tersebut dapat

diberikan konteks baru sesuai dengan visi,

misi, atau tujuan museum tersebut. Koleksi

membawa nilai budaya dan memori.

Ditinjau dari sudut itu, koleksi Museum

Nasional tidak lepas dari sejarah museum

tersebut pada masa lalu. Noerhadi

Magetsari dalam bukunya Perspektif

Arkeologi Masa Kini dalam Konteks

Indonesia mengungkapkan Museum

Nasional didirikan oleh komunitas ilmuwan

yang ditujukan untuk kepentingan mereka,

yakni sebagai sarana pengembangan ilmu

pada konteks masa penjajahan kolonial

(2016:202).

Miniatur Rangkiang

Salah satu koleksi miniatur lumbung

Museum Nasional yang berasal dari

Sumatra Barat adalah miniatur rangkiang

dengan nomor inventaris 281. Koleksi ini

diklasifikasikan ke dalam koleksi etnografi.

Material koleksi ini berupa kayu, bambu,

dan ijuk. Dimensi koleksi, yaitu panjang

101 cm, tinggi 104 cm, dan lebar 51 cm.

Berdasarkan dokumen Inventaris Van De

Etnografische Verzameling(1939)

dijelaskan bahwa miniatur rangkiang ini

berbentuk bujur sangkar dengan empat

tiang, seluruh tiangnya memanjang hingga

bagian atap. Seluruh tiang-tiangnya

disatukan menggunakan balok. Lantai

koleksi dibuat dari bambu dengan bentuk

persegi. Sementara itu, badan miniatur

rangkiang berbentuk silindris yang terbuat

dari anyaman bambu. Plafon dan fasad

segitiga miniatur rangkiang terbuat dari

anyaman bambu. Seluruh bagian miniatur

rangkiang diikat dengan tali dari serat

tanaman untuk memperkuat struktur.

Berdasarkan penjelasan Silvia Dewi

(2020:3-5) konsep arsitektur rumah gadang

berbentuk klaster dengan satu bangunan

utama berbentuk rumah gadang dan

beberapa bangunan pelengkap lainnya.

Konsep rumah gadang merupakan kesatuan

antara bangunan dan lingkungannya,

termasuk pengaturan jenis-jenis tanaman

yang ditanam dalam satu klaster.

Rangkiang ini diletakkan di halaman depan

rumah, baik di bagian ujung, pangkal, dan

dapat berjejer jika lebih dari satu.

Keberadaan rangkiang merupakan

lambang kemakmuran bagi masyarakat

Minangkabau, selain menunjukkan rasa

saling membantu terhadap orang-orang

yang membutuhkan.

Gambar 1

Miniatur Rangkiang Koleksi Museum

Nasional No. Inv. 281

Sumber: Dok. Museum Nasional

Jumlah rangkiang pada

permukiman rumah gadang disesuaikan

dengan kebutuhan masyarakatnya.

Arsitektur rangkiang memiliki kemiripan

dengan rumah gadang, yakni berbentuk

rumah panggung dengan atap gonjong.

Lumbung Dalam Perspektif Budaya Sumatra: Mengintepretasi Koleksi Museum Nasional ______________________________________________________________________________________

Mawaddatul Khusna Rizqika & Fajar Ichsan Hadianto

Jurnal Prajnaparamita 7

Bagian atas bangunan melebar atau lebih

besar dibandingkan dengan bagian bawah.

Ukuran rangkiang juga lebih kecil daripada

rumah gadang. Sementara itu, untuk jumlah

tonggak pada rangkiang terdapat dua tipe:

empat tonggak dan sembilan tonggak

(Dewi, 2010:78).

Menurut Marthala (2013:85)

terdapat tiga jenis rangkiang yang memiliki

bentuk dan fungsinya masing-masing.

Pertama adalah sitinjau lauik yang

memiliki fungsi untuk menyimpan padi

yang dapat digunakan dan dijual, sehingga

uangnya dapat digunakan untuk membeli

barang atau keperluan yang tidak bisa

dibuat sendiri, kebutuhan tamu yang datang

dari luar kampung, dan acara-acara adat.

Jenis rangkiang yang kedua adalah

sibayau-bayau. Padi yang disimpan di

sibayau-bayau digunakan untuk kebutuhan

sehari-hari keluarga yang bersangkutan.

Jenis rangkiang ketiga adalah sitangka

lapa. Rangkiang ini berfungsi untuk

menyimpan padi cadangan yang digunakan

ketika masa paceklik tiba. Bahan pangan

cadangan ini juga dibagikan kepada

masyarakat sekitar yang membutuhkan.

Sementara itu, menurut Harisman,

et.al. (2019:54) terdapat empat jenis

rangkiang yang dikenal oleh masyarakat

Minangkabau. Pertama rangkiang sitinjau

laui (sitinjau laut), memiliki empat tiang,

dan posisinya terletak di tengah-tengah atau

di antara rangkiang lain. Fungsi rangkiang

jenis ini adalah untuk menyimpan padi

yang digunakan untuk membeli barang dan

keperluan anggota keluarga. Kedua,

rangkiang sibayau-bayau memiliki enam

tiang dan berposisi di sebelah kanan. Padi

yang disimpan di rangkiang ini berfungsi

untuk dimakan oleh keluarga.

Ketiga, rangkiang sitenggang lapa

terdiri atas empat tiang dan terletak di

sebelah kiri. Fungsi utamanya adalah

menyimpan padi untuk cadangan ketika

masa paceklik dan membantu orang yang

membutuhkan. Terakhir, rangkiang

keempat adalah rangkiang kaciak. yang

berukuran lebih kecil daripada rangkiang

lain dan memiliki atap yang tidak

bergonjong. Fungsi rangkiang ini adalah

sebagai tempat menyimpan padi abuan

yang digunakan untuk benih dan

membiayai pekerjaan sawah pada musim

berikutnya. Rangkiang jenis ini memiliki

ukuran yang lebih kecil dan rendah

daripada rangkiang lain. Bentuknya tidak

selalu persegi, tetapi terdapat juga yang

berbentuk tabung.

Gambar 2.

Salah Satu Jenis Rangkiang di Batipuh

pada Tahun antara 1892--1905

Sumber: Dok. National Museum of World

Cultures

Rangkiang mempunyai satu pintu

sebagai akses untuk keluar dan masuk yang

terletak di bagian atas. Pintu tersebut dalam

bahasa lokal dikenal dengan singkok yang

bisa digapai menggunakan tangga. Bagian

Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020

p-ISSN: 2355-5750

8 Museum Nasional

dinding memiliki dua lapisan, yakni lapisan

luar dan dalam. Sementara itu, untuk bagian

lantai terdapat balok yang berfungsi

sebagai penahan padi yang ada di

dalamnya. Atap rangkiang terbuat dari

jalinan ijuk sebagai penahan panas

matahari dan tetesan air hujan.

Miniatur Bilik padi

Koleksi kedua yang menjadi objek kajian

ini adalah miniatur lumbung yang berasal

dari Jambi. Masyarakat lokal menyebut

lumbung ini dengan bilik padi. Koleksi ini

terdaftar dengan nomer inventaris 23736.

Dimensi koleksi tersebut, yaitu panjang 73

cm, lebar 44 cm, dan tinggi 56 cm. Material

koleksi berupa kayu. Berdasarkan dokumen

Inventaris Van De Etnografische

Verzameling (1940), koleksi miniatur bilik

padi ini dibuat dari jenis kayu berwarna

kemerahan. Bilik padi ini bertumpu pada

dua belas tiang yang memanjang ke bagian

atap bangunan. Terdapat lima tiang di

setiap sisi panjang dan satu di tengah setiap

sisi yang lebih pendek. Tiang-tiang itu

berdiri di atas batu datar (ditandai

dengan cakram kayu).

Lantai bilik padi terbuat dari bambu

pipih yang bertumpu pada balok melintang

yang telah ditempatkan tepat di atas tanah

melalui tiang. Dinding bilik padi miring ke

luar dan terdiri atas balok yang dipasang di

atas rak bawah yang lebar. Dinding di sisi

pendek bergabung dari atas menjadi

segitiga fasad yang sedikit menonjol. Pada

bagian depan ada pintu dan juga terdapat

tangga kecil. Tangga ini berfungsi sebagai

akses untuk mengambil padi. Bilik padi ini

juga memiliki bagian seperti kepala tiang,

pintu, tiang pintu, dan balok fasad segitiga

yang dihiasi ukiran.

Miniatur bilik padi ini diperkirakan

berasal dari awal abad ke-20. Koleksi ini

dibuat untuk Museum Nasional oleh Hadji

Abdul Hakim dan Mat Kitab melalui dr. L.

Margadant di Sungai Penuh, Jambi.

Berdasarkan dokumen Reegerings

Alamanak Voor Nederlandsch-Indie

(1940:336) dr. L. Margadant adalah

anggota dari asosiasi perawatan untuk

orang yang mengidap tuberkulosis di

Hindia Belanda. Selain itu, dr. L.

Margadant juga menjabat sebagai sekretaris

sanatorium dan menjadi inspektur untuk

daerah Sawahlunto.

Gambar 3

Miniatur Bilik Padi Koleksi Museum

Nasional No. Inv. 23736

Sumber: Dok. Museum Nasional

Bilik padi merupakan tempat

menyimpan hasil pertanian berupa padi dan

komoditas lainnya untuk pangan, seperti

sorgum (Nofrial, et.al., 2020:164). Padi

yang disimpan digunakan untuk mencukupi

kebutuhan sehari-hari dan sebagian benih

ada yang disimpan untuk digunakan pada

masa tanam selanjutnya. Model bangunan

bilik padi ini berjenis bangunan panggung

dengan bentuk dinding melebar ke atas.

Penempatan bilik padi ini terpisah dari

bangunan utama (rumah larik), biasanya

dibangun di seberang jalan atau belakang

bangunan utama. Bilik padi diatur agar

tetap berderet, tetapi satu dengan yang

lainnya terpisah. Jumlah bilik padi pada

Lumbung Dalam Perspektif Budaya Sumatra: Mengintepretasi Koleksi Museum Nasional ______________________________________________________________________________________

Mawaddatul Khusna Rizqika & Fajar Ichsan Hadianto

Jurnal Prajnaparamita 9

setiap keluarga berbeda-beda, bergantung

pada jumlah anggota keluarga dan

kemampuan ekonomi. Pada umumnya di

setiap rumah terdapat dua bilik padi.

Masyarakat di wilayah Kerinci

mendirikan bilik padi sesuai dengan ajaran

leluhur mereka. Padi tidak hanya dinilai

sebagai hasil pertanian yang digunakan

untuk memenuhi kehidupan sehari-hari

saja. Akan tetapi, padi dipandang sebagai

sumber kehidupan sehingga cenderung

disakralkan,dihormati, dan diperlakukan

dengan tata cara khusus mulai dari

pengolahan hingga penyimpanannya. Bilik

padi ini merupakan bentuk penghormatan

atau penghargaan mereka sehingga padi

disimpan di tempat khusus. Bentuk dan

fungsi dari bilik padi disesuaikan dengan

kondisi lingkungan yang ada di wilayah

Kerinci. Tidak hanya bentuk, material yang

digunakan juga memanfaatkan sumber

daya alam yang terdapat di sana. Reimar

Schefold menuliskan bahwa bilik padi

menjadi bagian dari arsitektur masyarakat

Jambi yang merupakan contoh yang secara

nyata dan kuat menampilkan konsep

arsitektur vernakular (2009:386).

Ciri khas dari bilik padi adalah

bentuk bangunannya yang membesar ke

atas dengan dinding yang dibuat miring.

Bentuk seperti itu, dalam istilah lokal,

disebut dengan sando imang. Bangunan ini

termasuk ke dalam bangunan panggung.

Material yang digunakan adalah kayu dan

bambu. Material bambu digunakan hanya

untuk beberapa bagian, seperti dinding

(sasok), lantai (palupoah), dan dudukan

lantai (jeriau). Bilik padi dibangun di atas

permukaan tanah yang dialasi batu sendi

atau umpak setinggi 40--55 cm (Nofrial

et.al., 2020:166).

Seluruh bangunan bilik padi

tertutup dan hanya terdapat satu pintu di

atas yang dapat dicapai dengan

menggunakan tangga. Terdapat dua tangga

dalam satu bilik padi, yaitu tangga dalam

ruangan dan di luar ruangan. Kedua tangga

tersebut bisa dibuat permanen atau tidak

bergantung pada bagaimana bilik padi itu

difungsikan. Tangga di dalam bilik padi

dibuat permanen jika berfungsi untuk

menyimpan dan mengambil padi untuk

kebutuhan sehari-hari. Sebaliknya, tangga

yang tidak dibuat permanen biasanya

digunakan untuk menyimpan padi yang

berfungsi untuk keperluan atau hajatan

tertentu. Bentuk tangga pada bilik padi

terdapat dua macam, yaitu yang pertama

tanggo jantan (tangga tunggal) yang

terbuat dari batang kayu yang sudah

dibentuk sedemikian rupa sehingga bisa

digunakan untuk pijakan. Kedua adalah

tanggo batino yang terbuat dari papan

dengan takah-takah atau anak tangga

(Nofrial, et.al., 2020:167).

Bilik Padi di Desa Lolo Gedang, Kerinci,

Jambi pada Tahun Antara 1914--1919

Sumber: Dok. National Museum of World

Cultures

Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020

p-ISSN: 2355-5750

10 Museum Nasional

Konstruksi bangunan bilik padi

tidak menggunakan paku, tetapi

menggunakan sistem pasak. Tiang-tiang

pada bilik padi memiliki jumlah berbeda

bergantung pada ukuran bangunannya.

Bilik paditerkecil dengan panjang 480--540

cm memiliki sembilan tiang dengan rincian

tiga tiang di samping kanan, tiga tiang di

samping kiri, dan tiga tiang di tengah.

Sedangkan bilik padi terbesar dengan

panjang 640--720 cm memiliki limabelas

tiang dengan rincian lima tiang di samping

kanan, lima tiang di samping kiri, dan lima

tiang di tengah. Pada umumnya tiang

tersebut berbentuk persegi delapan dengan

diameter 25-30 cm. Sementara itu, dinding

bilik padi dipasang untuk menutupi

keempat sisi bangunan yang dibuat miring.

Hal itu bertujuan untuk mempersulit

masuknya hama tikus. Lantai bilik padi

terbuat dari kayu atau bambu, terdapat

bambu bulat (jeriau) sebagai penahan

lantai. Untuk menahan jeriau digunakan

balok kayu yang tersambung dengan tiang-

tiang. Sementara itu, bagian atap

dinamakan lipak pandang (Nofrial, et.al.,

2020:165-166).

Padi yang disimpan dalam bilik

padi adalah padi masih bertangkai sehingga

mudah untuk disimpan atau dikeluarkan.

Tangkai-tangkai padi ini disusun dan diikat

sedemikian rupa. Penyimpanan padi di bilik

padi dibagi dalam beberapa sekat

berdasarkan kegunaannya. Pertama, padi

untuk kebutuhan sehari-hari; kedua, padi

untuk benih musim tanam selanjutnya;

ketiga, padi yang digunakan ketika masa

paceklik; dan yang terakhir padi untuk

persiapan bagi kerabat yang membutuhkan

dan upacara-upacara adat (Nofrial, dkk.,

2020, 167). Keunikan lain dari bilik padi ini

adalah adanya motif-motif ukir di beberapa

bagian bangunan. Umumnya ukiran ini

terdapat di tiang, dinding, balok bawah, dan

kasau. Motif ini diukir dengan teknik

tradisional menggunakan pahat dan pisau

ukir. Biasanya ukiran yang ada bermotif

tanaman sulur (ibid, 177). Berdasarkan

tulisan Irma Tambunan, pada

perkembangannya pola permukiman di

wilayah Kerinci diciptakan untuk

mengantisipasi wabah karena pada sekitar

tahun 1912 terjadi wabah cacar yang masif

di daerah Sumatra Barat. Mereka mengenal

istilah pahit bersudut mpat yang berarti

‘bangunan dengan empat sudut’. Di

sekeliling permukiman dibuatkan parit

yang sepanjang tepinya ditanami beberapa

jenis tanaman, mulai dari palem sekuang,

pandan berduri, aur berduri, dan tanaman

obat. Fungsi tanaman-tanaman ini untuk

menahan masuknya binatang buas, musuh,

dan penyakit. Salah satu bangunan yang

ada di pemukiman tersebut adalah lumbung

padi. Lumbung padi dibangun terpisah dari

rumah induk dan memiliki fungsi untuk

menyimpan makanan agar ketika terjadi

wabah maupun paceklik, masyarakat tidak

kelaparan (dalam interaktif.kompas.id, 28

Agustus 2020)

Miniatur Sopo

Koleksi miniatur lumbung selanjutnya

berasal dari Sumatra Utara dengan nomor

inventaris 17574 a. Dalam bahasa lokal,

bangunan itu disebut sopo. Miniatur sopo

memiliki ukuran panjang 74 cm, lebar 47

cm, dan tinggi 117 cm. Koleksi ini dibuat

dengan menggunakan material ijuk, kayu,

gamping (batu), dan bambu. Berdasarkan

dokumen Inventaris Van De Etnografische

Verzameling (1939), miniatur lumbung

padi ini memiliki dinding yang terbuat dari

kayu dan berposisi miring ke luar. Tiap-tiap

dinding dihiasi dengan dua motif cicak.

Lumbung Dalam Perspektif Budaya Sumatra: Mengintepretasi Koleksi Museum Nasional ______________________________________________________________________________________

Mawaddatul Khusna Rizqika & Fajar Ichsan Hadianto

Jurnal Prajnaparamita 11

Hiasan ini terbuat dari tali hitam yang

dibuat melalui lubang-lubang di papannya

dan diberi sentuhan cat merah. Untuk

dindingnya sendiri dicat putih. Atap sopo

terbuat dari ijuk dengan punggungan agak

bengkok dan ujung-ujungnya menonjol ke

atas. Fasad segitiga lumbung ditutup

dengan anyaman bercat merah dan putih.

Koleksi ini diakusisi pada 1939 sebagai

pemberian atau hibah dari F. E. Boissevain.

Dia adalah seorang pejabat perkebunan

pemerintah kolonial Hindia Belanda yang

bertugas di wilayah Sumatra Utara pada

awal abad ke-20.

Gambar 5

Miniatur Lumbung Koleksi Museum

Nasional No. Inv. 17574 a

Sumber: Dok. Museum Nasional

Secara struktur sopo termasuk ke

dalam kategori bangunan panggung.

Sargeant dan Sale (dalam Nurdiah,

2011:14) mendeskripsikan lumbung padi

ini terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama

adalah kolong (ruang bawah) digunakan

untuk kandang ternak. Bagian tengah

(balai) dipakai sebagai ruang

pertemuan,aktivitas sehari-hari, atau

tempat tidur para pemuda di malam hari.

Yang ketiga adalah

ruang atas yang digunakan sebagai tempat

penyimpanan padi dan bahan makanan

lainnya. Padi yang disimpan di dalam

lumbung adalah padi yang sudah dijemur

dan dikeringkan. Konstruksi tempat

penyimpanan padi dibuat supaya seminimal

mungkin terpapar udara luar. Hal itu

bertujuan agar padi yang sudah disimpan

tidak cepat mengalami kerusakan. Posisi

sopodibangun berhadapan dengan rumah

utama. Keduanya dipisahkan oleh pelataran

yang lebar, yang digunakan sebagai

halaman bermain bagi anak-anak, acara

kampung, dan tempat menjemur sesuatu

(Rambe,2019:51).

Gambar 6.

Lumbung di Desa Surbakti, Karo, Sumatra

Utara/

Sumber: Dok. National Museum of World

Cultures

Domening (dalam Nurdiah,

2011:12), mengatakan bahwa apabila

terjadi penambahan penduduk, sopo yang

ada diubah menjadi rumah sehingga

mampu menampung pertambahan jumlah

penduduk. Sopo juga memiliki keunikan

lain, yaitu terdapatnya hiasan yang terukir

di beberapa bagian. Dalam bahasa lokal,

hiasan tersebut dikenal dengan nama gorga.

Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020

p-ISSN: 2355-5750

12 Museum Nasional

Menurut Saragih dan Yulianto (2019:4)

gorga merupakan kesenian ukir yang

biasanya terdapat di bagian luar atau

eksterior rumah adat Batak dan benda-

benda lainnya. Hiasan gorga ini ada yang

berupa ukiran yang diberi warna dan ada

pula yang hanya gambar saja.

Warna yang digunakan untuk

hiasan gorga merupakan warna khas, yaitu

putih, hitam, dan merah. Dalam bahasa

Batak ketiga warna ini dikenal dengan

sebutan “sitoluburna”, tolu artinya ‘tiga’

dan burna adalah ‘warna’. Hiasan gorga

ada beberapa jenis, tetapi yang sering

dijumpai di sopo adalah gorga bermotif

binatang. Pertama, hoda-hoda yang

merupakan penggambaran dari kuda yang

sedang ditunggangi seseorang dan seorang

lagi sedang memegang tali kendali berdiri

di samping kuda. Hoda-hoda ini berada di

dinding bagian depan atau samping kiri dan

kanan sopo. Secara simbolis ragam hias ini

bermakna lambang kebesaran. Ukiran yang

kedua disebut dengan boraspati, yaitu

ukiran berupa cicak/kadal yang badannya

bergaris-garis dan ekornya bercabang.

Hiasan ini biasanya dibuat di sopo bagian

depan dengan jumlah masing-masing

empat di sebelah kiri dan kanan. Ornamen

ini melambangkan suatu kekuatan

perlindungan manusia dari marabahaya dan

memberikan berkah serta harta kekayaan

kepada manusia (Saragih dan Yulianto,

2019:5)

Lumbung: Adaptasi dan Ketersediaan

Pangan

Berdasarkan identifikasi terhadap ketiga

koleksi Museum Nasional di atas terdapat

beberapa aspek yang dapat dianalisis.

Pertama, aspek terkait pemilihan material

bangunan yang berkorelasi erat dengan

ketersediaan sumber daya alam. Pemilihan

tersebut sesuai dengan konteks lingkungan

tropis wilayah Sumatra yang berada di

sepanjang garis khatulistiwa (Widiastuti,

2020:112). Bahan bangunan lumbung

menggunakan kayu, tanaman lainnya, dan

bebatuan. Selain itu, digunakan beberapa

bagian tubuh dari fauna yang hidup di

lingkungan sekitar sebagai hiasan pada

lumbung.

Teknologi pembuatannya sangat

memperhatikan kondisi lingkungan dan

mencerminkan pandangan hidup

masyarakat setempat. Daya lindung

lumbung cukup baik untuk menghadapi

iklim tropis. Bentuk panggung memberikan

perlindungan terhadap serangan

kelembapan yang berasal dari tanah. Celah-

celah pada beberapa bagian memungkinkan

sirkulasi udara di dalam lumbung berjalan

dengan baik sehingga kualitas padi tetap

terjaga. Bentuk atap dan dinding yang

mengerucut membuat air hujan yang jatuh

akan langsung mengalir ke tanah dan tidak

menembus dinding lumbung. Struktur

paling bawah diperkuat dengan

digunakannya batu sebagai umpak

penyangga tiang yang memberikan ruang

jeda antara kayu dan tanah. Teknologi ini

dilihat sebagai strategi adaptasi terhadap

kelembapan yang tinggi, genangan air yang

dapat merusak tiang, dan terjadinya gempa

bumi.

Menilik pandangan Koji Sato dalam

tulisannya berjudul Menghuni Lumbung:

Beberapa Pertimbangan Mengenai Asal-

Usul Konstruksi Rumah Panggung di

Kepulauan Pasifik, langgam arsitektur

yang khas seperti pada ketiga koleksi

miniatur lumbung Museum Nasional ini

kemungkinan menyebar ke berbagai daerah

di Nusantara beriringan dengan meluasnya

peradaban budi daya padi. Pada awalnya

Lumbung Dalam Perspektif Budaya Sumatra: Mengintepretasi Koleksi Museum Nasional ______________________________________________________________________________________

Mawaddatul Khusna Rizqika & Fajar Ichsan Hadianto

Jurnal Prajnaparamita 13

manusia tinggal di dalam lumbungnya.

Kemudian, lumbung berkembang menjadi

struktur yang terpisah antara rumah sebagai

tempat tinggal dan lumbung untuk

menyimpan hasil panen. Perkembangan ini

menghasilkan gaya yang khas pada tiap-

tiap daerah selaras dengan kemampuan

manusia mengadaptasikan tempat

tinggalnya dengan kondisi permukaan

tanah (1991:44). Penempatan lumbung

yang terpisah dari rumah juga bertujuan

agar ketika terjadi bencana seperti

kebakaran, persediaan bahan pangan tetap

aman sebab bangunan tradisional terbuat

dari material yang mudah terbakar.

Pengelolaan lumbung

memperlihatkan strategi masyarakat agraris

memandang masa depan. Hal itu dapat

dilihat dari fungsi lumbung yang tidak

hanya digunakan untuk menyimpan bahan

pangan menghadapi masa paceklik, tetapi

juga untuk menyimpan benih yang akan

ditanam pada musim berikutnya. Jika

kondisi alam buruk dan tanaman rusak

sebelum masa panen, benih yang tersimpan

tetap aman dan dapat digunakan untuk

menanam kembali. Pengelolaan hasil panen

pun sangat dipikirkan. Mereka tidak mudah

menjual dan menggunakan hasil panen padi

untuk kepentingan yang tidak mendasar

atau mendesak.

Hasil panen digunakan pula untuk

kebutuhan sosial budaya, terutama saat

upacara adat. Ketika musim paceklik tiba,

mereka tidak segan memberikan hasil

panen kepada orang yang membutuhkan di

lingkungan sekitarnya. Pandangan hidup

dan sikap gotong royong serta tenggang

rasa mengakar pada masyarakat berbasis

agraris. Kemampuan beradaptasi dan

menyesuaikan diri merupakan komponen

kunci dalam bertahan menghadapi

perubahan kondisi, termasuk menghadapi

gangguan. Peralatan atau sistem yang

dibuat manusia dengan pengetahuan

budayanya akan membantu manusia

menghadapi perubahan yang terjadi

(Sarker, 2017:50). Lewis Binford, seperti

dikutip Victor Buchli dalam bukunya yang

berjudul An Anthropology of Architecture,

menjelaskan bahwa arsitektur dipahami

dengan mempertimbangkan konteks spasial

secara keseluruhan. Budaya material,

bentuk, dan teknik arsitektur tercipta dalam

konteks adaptasi lingkungan dan proses

evolusi (Buchli, 2020:51).

Penutup

Upaya masyarakat tradisional di Indonesia

pada masa lalu dalam beradaptasi dengan

lingkungan alamnya dan mewujudkan

ketahanan pangan lokalnya terekam dalam

budaya materi berupa koleksi miniatur

lumbung Museum Nasional. Lumbung

memperlihatkan karakter arsitektur

vernakular Nusantara yang sangat

mempertimbangkan aspek alam sebagai

kesatuan dari kehidupan. Lumbung

merupakan media penyimpanan memori

kolektif. Nilai-nilai yang terkandung di

dalam lumbung memperlihatkan

pandangan hidup masyarakat tradisional

berbasis kebudayaan agraris. Lumbung

dimaknai sebagai strategi adaptasi

masyarakat komunal dalam menghadapi

masa depan supaya kehidupan terus

berjalan. Jika mencermati kondisi saat ini,

terutama masa pandemi yang penuh

ketidakjelasan, pengelolaan lumbung dan

nilai-nilai di dalamnya, dapat menjadi

alternatif strategi adaptasi. Nilai-nilai

kebaikan, seperti gotong-royong, saling

Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020

p-ISSN: 2355-5750

14 Museum Nasional

membantu, serta yang tidak kalah penting

adalah mempersiapkan bekal menghadapi

kondisi masa depan menjadi sangat relevan

dengan kondisi dan situasi saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bronner, S. J. (2006). Building Tradition :

Control and Authority in Vernacular

Architecture. Vernacular Architecture

in the Twenty-First Century: Theory,

Education and Practice, 23-45.

Buchli, V. (2020). An Anthropology of

Architecture. London, New York:

Bloomsbury.

Dewi, G. (2010). Arsitektur Venakular

Minangkabau (Kajian Arsitektur dan

Eksistensi Rumah Gadang Dilihat dari

Pengaruh serta Perubahan Nilai

Budaya). Depok: Universitas Indonesia.

Harisman, & Suriyanti. (2019). Visualisasi

Rumah Gadang Dalam Ekspresi Seni

Lukis. Panggung Vol.29 No.1, 44-45.

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/lumbung.

(2020, Agustus 13). Retrieved from

kbbi.kemdikbud.go.id:

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/lum

bung

Magetsari, N. (2016). Perspektif Arkeologi

Masa Kini dalam Konteks Indonesia.

Jakarta: Kompas.

Marthala, A. E. (2013). Rumah Gadang

Kajian Filsofi Arsitektur Minangkabau.

Bandung: Humaniora.

Nofrila, Prihatin, P., Wahyono, & Laksono,

M. A. (November 2019 - April 2020).

Bilik padi Tradisional Kerinci

(Arsitektur dan Seni). CORAK Jurnal

Seni Kriya Vol. 8 No.2, 161-177.

Nurdiah, E. A. (2011). Studi Struktur dan

Konstruksi Rumah Tradisional Suku

Batak Toba, Minangkabau dan Toraja.

Surabaya: Universitas Kristen Petra.

Oliver, P. (1997). Encyclopedia of Vernacular

Architecture of the World. New York:

Cambridge University Press.

Purbadi, D. (2015). Menelusuri dan

Memahami Arsitektur Vernakular

Nusantara. Seminar Nasional Arsitektur

Nusantara (pp. 1-7). Kupang: Program

Studi Arsitektur, Fakultas Teknik,

Universitas Widya Mandira.

R Tjahjopurnomo, A. A. (2011). Sejarah

Permuseuman di Indonesia. Jakarta:

Direktorat Permuseuman, Direktorat

Jenderal Sejarah dan Purbakala,

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi

Kreatif.

Rambe, Y. S. (2019). Analisis Arsitektur Pada

Rumah Tradisional Batak Toba di

Kabupaten Toba Samosir, Balige.

Journal of Architecture and Urbanism

Research (JAUR), 48-60.

Rapoport, A. (1969). House Form and

Culture. London: Pentice-Hall inc.

Saragih, D. A., Yulianto, & Pakpahan, R.

(2019). Kajian Ornamen Gorga di

Rumah Adat Batak Toba (Studi Kasus :

Di Kawasan Desa Wisata Tomok, Huta

Siallagan dan Huta Bolo di Kabupaten

Samosir). Jurnal Arsitektur ALUR Vol.2

No.1, 1-14.

Sarker, M. N. (2017). An Introduction to

Agricultural Anthropology: Pathway to

Sustainable Agriculture. Journal of

Sociology and Anthropology, Vol 1, 47-

52.

Sato, K. (1991). Menghuni Lumbung:

Beberapa Pertimbangan Mengenai

Asal-Usul Konstruksi Rumah

Panggung di kepulauan Pasifik. Jurnal

Antropologi Indonesia, No 49 (31-49).

Schefold, R. (2009). Kerinci Traditional

Architecture. From Distant Tales:

Archaeology and Ethnohistory in the

Highlands of Sumatra (383-401).

Lumbung Dalam Perspektif Budaya Sumatra: Mengintepretasi Koleksi Museum Nasional ______________________________________________________________________________________

Mawaddatul Khusna Rizqika & Fajar Ichsan Hadianto

Jurnal Prajnaparamita 15

Newcastle: Cambridge School

Publishing.

Sulistyanto, B. (2017). Prolog, Memaknai

Arsitektur Rumah Tradisional Banjar,

Kajian Semiotik. In B. S. Wasita,

Menggamit Rumah Adat Banjar (pp. 1-

19). Yogyakarta: Ombak.

Tambunan, I. (2020, Agustus 28).

https://interaktif.kompas.id/baca/nenek

-moyang-melawan-wabah/. Retrieved

from Interaktif.kompas.id:

https://interaktif.kompas.id/baca/nenek-

moyang-melawan-wabah/

Walz, M. (2016). Too Early, Too Late: The

Relevance of Zbynek Z. Stransky for

German Museology. Museologica

Brunensia, 44-50.

Waterson, R. (2012). Living House: An

Anthopology of Architecture in South-

East Asia. Vermont: Tuttle Publishing.

Widiastuti, I. (2020). Skemata Struktur

Konikal pada Struktur Bangunan di

Daerah Tropis di Asia Sebelah Selatan

dan Pasifik-Sebuah Pandangan

Reflektif. Seminar Struktur dalam

Arsitektur (pp. 111-117). Bandung:

Kelompok Keahlian Teknologi

Bangunan, SAPPK, Institut Teknologi

Bandung, Kelompok Kerja Struktur

Konstruksi IPBLI.


Recommended