Jurnal Prajnaparamita 1
Copyright ©2020 Museum Nasional
All Rights Reserved
P- ISSN: 2355-5750
Edisi 09/2020 Page: 1-15
LUMBUNG DALAM PERSPEKTIF BUDAYA SUMATRA:
MENGINTEPRETASI KOLEKSI MUSEUM NASIONAL Granary in the Perspective of Sumatran Culture:
Interpreting the Museum Nasional’s Collection
Mawaddatul Khusna Rizqika1, Fajar Ichsan Hadianto2
Museum Nasional
Jln. Medan Merdeka Barat 12 Jakarta Pusat 10110 [email protected], [email protected]
Received: Sep 14, 2020 Accepted: Nov 10, 2020 Published: Dec 10,2020
Abstrak
Manusia dan lingkungan hidupnya merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Dalam
mempertahankan eksistensinya, manusia dengan segala kemampuan daya pikirnya melakukan
adaptasi dalam menghadapi kondisi alambsekitar. Salah satu upaya ini terlihat pada budaya materi
hasil kreasi manusia berupa lumbung. Tujuan dari kajian ini adalah mengungkapkan makna dari
keberadaan lumbung yang dalam perspektif budaya tidak hanya berhenti pada hal biologis dan
fisiologis semata terkait pangan, tetapi juga melibatkan serangkaian proses. Kajian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dan berbasis pada koleksi miniatur lumbung milik Museum
Nasional. Lumbung-lumbung tersebut berasal dari wilayah daratan Sumatra sebagai representasi
masyarakat agraris dengan kondisi lingkungan yang khas. Lumbung dalam kacamata arsitektur
vernakular memiliki benang merah kuat antara manusia, lingkungan hidupnya, dan ketersediaan
sumber daya alam. Lumbung memperlihatkan kesadaran manusia terhadap hari-hari mendatang
dan masa depan.
Kata Kunci: lumbung, pangan, adaptasi, vernakular, Museum Nasional
Abstract
Human and their environment are two inseparable entities. In maintaining their existence, human
uses their ability of thinking to adapt in any environment. One of human efforts to adapt is the
invention of the material culture known as lumbung. This research aims to reveal the meaning of
lumbung existence from the cultural perspective which not only discusses about biological and
physiological aspects related to food suplies but also involvement of series on cultural process.
This research uses qualitative method which based on Museum Nasional lumbung collection. The
lumbung collections are from Sumatra that represent the agrarian society with unique
environment. Furthermore, lumbung in the view of vernacular architecture has strong
Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020
p-ISSN: 2355-5750
2 Museum Nasional
relationship between humans with their environment as well as the availability of natural
resources. It can be said that lumbung is the evidence about human awareness of the up coming
days.
Keywords: lumbung, vernacular, adaptation, food, Museum Nasional
Lumbung Dalam Perspektif Budaya Sumatra: Mengintepretasi Koleksi Museum Nasional ______________________________________________________________________________________
Mawaddatul Khusna Rizqika & Fajar Ichsan Hadianto
Jurnal Prajnaparamita 3
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang
memiliki keberagaman budaya di setiap
daerahnya. Kehidupan masyarakat Indonesia
bertumpu pada dua kebudayaan besar, yakni
berbasis agraris dan maritim. Keduanya tidak
terpisahkan dan saling mendukung. Kondisi
alam Indonesia memungkinkan keduanya
saling bersinergi. Masyarakat agraris dominan
tinggal di dataran tinggi maupun rendah,
sedangkan kebudayaan maritim hidup pada
masyarakat pesisir pantai maupun sungai.
Secara lebih khusus, keberagaman budaya ini
terlihat pada pengetahuan arsitekturnya yang
terkait dengan lingkungan dan sumber daya
alam yang tersedia.
Arsitektur tradisional merupakan
simbol kebudayaan dari suatu masyarakat
yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
sekitar (Sulistyanto, 2017:9). Arsitektur
adalah ruang sosial dan simbolis antara
manusia sebagai pembuatnya dan lingkungan
hidupnya (Waterson, 2012:15). Miniatur
lumbung koleksi Museum Nasional yang
menjadi objek kajian pada artikel ini
merupakan simbol yang ingin disampaikan
oleh pembuatnya kepada masyarakat
penggunanya.
Keberadaan lumbung pada suatu pola
permukiman tradisional sangat dekat dengan
kebutuhan sehari-hari manusia, yakni pangan.
Pangan merupakan kebutuhan primer atau
paling mendasar dalam kehidupan manusia
supaya terus hidup. Namun tidak hanya itu,
lumbung mengandung makna yang lebih
dalam. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah
mendapatkan makna-makna tersebut sehingga
dapat menjadi gambaran kepada masyarakat
luas mengenai pentingnya lumbung sebagai
bagian dari sistem adaptasi dan ketahanan
pangan yang telah berlangsung sejak dahulu
pada masyarakat adat.
Landasan teori
Secara teoretis, keterkaitan antara manusia,
lingkungan alam, dan bangunan tradisional
telah menjadi perhatian para antropolog.
Analisis terhadap gejala ini diperkaya
dengan ilmu lain, khususnya arsitektur.
Dalam ilmu arsitekstur terdapat salah satu
cabang yang berfokus pada pemahaman
mengenai bangunan tradisional, yakni
arsitektur vernakular. Secara etimologi
vernakular berasal dari kata vernaculllus
yang berarti ‘lokal atau domestik’. Terdapat
beberapa ahli yang mendefinisikan
arsitektur venakular, seperti Simon J.
Bronner dalam Building Tradition: Control
and Authority in Vernacular Architecture
dia mengatakan, “Vernacular architecture
can be defined, in short, as buildings that
“belong to a place, that express the local or
regional dialect” (2006:23). Arsitektur
vernakular adalah bangunan yang dimiliki
suatu daerah yang mengekspresikan
keunikan daerahnya sendiri.
Sementara itu, pendapat lain berasal
dari Paul Oliver dalam Encyclopedia of
Vernacular Architecture of the World.
Arsitektur vernakular adalah hunian yang
di dalamnya terdapat bangunan-bangunan
yang terkait dengan lingkungan dan sumber
daya yang tersedia. Pembangunan tersebut
dikerjakan bersama-sama oleh pemilik atau
masyarakat sekitar dengan memanfaatkan
teknologi tradisional. Setiap bangunan
memenuhi kebutuhan secara spesifik, nilai-
nilai yang berlaku di daerah tersebut, aspek
ekonomi, serta cara hidup yang
mencerminkan budaya mereka (Oliver,
1997:ii). Kemudian, Amos Rapport
mengatakan dalam House Form and
Culture bahwa bentuk rumah dipengaruhi
oleh faktor utama yang merupakan kondisi
budaya masyarakat yang bersangkutan,
dengan faktor tambahan yang terdiri atas
kondisi iklim, metode konstruksi,
ketersedian material, dan tingkat teknologi
yang dimiliki (1969:47).
Berdasarkan beberapa definisi di
atas dapat dikatakan bahwa arsitektur
venakular adalah bangunan atau hunian
yang dibuat oleh masyarakat lokal dengan
berpegang pada kebudayaan yang berlaku.
Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020
p-ISSN: 2355-5750
4 Museum Nasional
Tidak hanya itu, faktor lingkungan,
ketersedian material, dan teknologi sangat
memengaruhi. Fungsi utama dari bangunan
atau hunian ini adalah untuk memenuhi
kebutuhan mereka, memperlihatkan cara
hidup, dan kehidupan sosial yang berlaku.
Arsitektur venakular ini dapat
menunjukkan identitas suatu masyarakat.
Pada artikel ini dibahas arsitektur
vernakular skala mikro, yakni lumbung dari
wilayah Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan
Jambi. Unit bangunan dilihat sebagai karya
arsitektur berdasarkan atas beberapa
elemen, meliputi bentuk atau potongan
bangunan dan bagian-bagiannya (kepala,
badan, dan kaki) (Purbadi, 2015:3).
Metode Penelitian
Kajian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan pernalaran bersifat
induktif. Basis dari pernalaran induktif ini
berupa hal-hal khusus, yakni koleksi-
koleksi miniatur lumbung milik Museum
Nasional, yang kemudian ditarik suatu
kesimpulan yang sifatnya umum.
Perspektif antropologi budaya terkait
arsitektur vernakular dipakai untuk
memudahkan dalam memahami isu terkait
lumbung, mendeskripsikan gejala, dan
mendapatkan kesimpulan. Kajian berbasis
koleksi miniatur lumbung, khususnya dari
wilayah Sumatra, ini dilakukan di Museum
Nasional. Terpilih 3 koleksi miniatur
lumbung yang berasal dari Jambi, Sumatra
Barat, dan Sumatra Utara. Pemilihan ini
didasarkan pada kuatnya wilayah-wilayah
tersebut dalam merepresentasikan
kebudayaan agraris di wilayah daratan
Pulau Sumatra (Sumatra) pada masa lalu
maupun kini.
Pengumpulan data dilakukan
melalui tahapan identifikasi koleksi untuk
mendapatkan data terkait deskripsi fisik
koleksi. Pendeskripsian ditekankan pada
material, dimensi, serta bentuk atau gaya
seni pada koleksi. Tahapan selanjutnya
merupakan studi literatur terhadap
dokumen penyerta koleksi (katalog) yang
dibuat pada era Bataviaasch Genootschap
voor Kunsten en Wetenschappen pada akhir
abad ke-19 hingga awal abad ke-20 untuk
mendapatkan gambaran mengenai konteks
awal koleksi. Tahapan berikutnya adalah
pengolahan data yang meliputi
penyeleksian data terkait kesesuaiannya
dengan kajian. Data disajikan secara
terstruktur dan dilengkapi dengan
deskripsinya. Informasi terkait juga didapat
dengan melakukan studi pustaka, baik
berupa buku, hasil penelitian pihak lain,
jurnal, dan sumber pustaka berbentuk
digital, maupun penjelasan dari narasumber
yang kompeten saat webinar. Tahapan
berikutnya, yakni penarikan kesimpulan
sebagai upaya interpretasi makna dengan
bertumpu pada data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sekilas tentang Museum Nasional
Museum Nasional terletak di Jalan Medan
Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Museum
milik pemerintah ini mempunyai jumlah
koleksi terbanyak dan terlengkap di
Indonesia. Di mata internasional, kekayaan
koleksi museum ini sangat diperhitungkan
dan menarik minat. Selain itu, museum ini
adalah salah satu lembaga yang bergerak
dalam upaya pelestarian warisan budaya
tertua di Indonesia. Menengok jauh ke
belakang, sejarah Museum Nasional terkait
dengan perhimpunan ilmiah bernama
Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en
Wetenschappen atau Batavia Society for
Arts and Sciences yang didirikan pada 24
April 1778 (Tjahjopurnomo, 2011:4).
Apabila dihitung sejak masa pendirian
tersebut, saat ini Museum Nasional sudah
berusia 242 tahun. Sebuah rentang masa
yang panjang dalam upaya turut merekam
sejarah kebudayaan Indonesia melalui
budaya materi, yakni koleksi-koleksinya.
Lumbung Dalam Perspektif Budaya Sumatra: Mengintepretasi Koleksi Museum Nasional ______________________________________________________________________________________
Mawaddatul Khusna Rizqika & Fajar Ichsan Hadianto
Jurnal Prajnaparamita 5
Organisasi ini pada awalnya
didirikan dan beranggotakan para ilmuwan
Belanda yang memiliki minat dan
ketertarikan terhadap alam dan kebudayaan
di wilayah jajahan mereka, yakni Hindia
Belanda. Pendirian museum awalnya
disebabkan oleh kegemaran anggota
Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en
Wetenschappen mengumpulkan benda-
benda alam maupun budaya di seluruh
wilayah jajahan Hindia Belanda. Benda-
benda tersebut sebagian besar bermuatan
sejarah dan kemudian disumbangkan ke
perhimpunan untuk menjadi koleksi dan
diteliti bersama para ahli. Berdasarkan
pencatatan, koleksi-koleksi tersebut
dikumpulkan secara aktif pada akhir abad
ke-19 hingga awal abad ke-20 melalui jalur
ekspedisi ilmiah, ekspedisi militer, misi
keagamaan, hibah, dan pembelian
(Tjahjopurnomo, 2011:15-16).
Pada masa perkembangan
selanjutnya, perubahan pengelolaan
museum berdampak pula pada pergantian
nama instansi. Pasca kemerdekaan
Republik Indonesia, pengelolaan museum
beralih ke tangan Pemerintah Republik
Indonesia. Setelah beberapa kali
mengalami pergantian nama, instansi ini
menjadi Museum Nasional sejak 28 Mei
1979 hingga sekarang. Dari sekian puluh
ribu koleksi Museum Nasional, terdapat
beberapa koleksi terkait pengetahuan
arsitektur tradisional di Indonesia. Koleksi-
koleksi tersebut berupa miniatur rumah
adat tradisional, termasuk pula bagian-
bagiannya, seperti lumbung dari berbagai
daerah di Indonesia.
Miniatur Lumbung Koleksi Museum
Nasional
Sebagai bagian dari pengetahuan mengenai
permukiman dan strategi bertahan hidup
masyarakat, posisi lumbung pada suatu
masyarakat menduduki posisi penting.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
daring pengertian lumbung adalah ‘tempat
menyimpan hasil pertanian (umumnya
padi), berbentuk rumah panggung, dan
dindingnya terbuat dari anyaman bambu’
(dalam kbbi.kemdikbud.go.id, 13 Agustus
2020). Indonesia merupakan negara agraris
yang kebanyakan masyarakatnya bekerja
pada sektor pertanian. Hasil pertanian
tersebut dapat berupa padi, jagung, umbi,
dan hasil panen lainnya.
Hampir setiap daerah di Indonesia
mengenal bangunan khusus atau lumbung
yang diperuntukkan sebagai tempat
penyimpanan hasil panen. Lumbung pada
tiap daerah memiliki nama lokal.
Masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat
menyebut lumbung sebagai rangkiang,
masyarakat Bali menyebutnya gelebeg atau
kelumpu, sedangkan masyarakat Sunda dan
Baduy di Jawa Barat dan Banten menyebut
leuit. Hal itu menunjukkan demikian luas
dan pentingnya kajian mengenai lumbung
dengan arsitektur tradisional di Indonesia.
Oleh sebab itu, diperlukan pembatasan
ruang lingkup objek kajian ini, yakni pada
miniatur lumbung dari Sumatra, khususnya
Sumatra (Sumatra) Utara, Sumatra Barat,
dan Jambi. Di bawah ini dijelaskan tiga
lumbung yang merupakan koleksi Museum
Nasional.Penjelasan disertai dengan
riwayat koleksi yang dapat memperlihatkan
konteks asal benda tersebut sebelum
menjadi koleksi Museum Nasional. Dalam
museologi dikenal konsep musealisasi yang
diperkenalkan oleh Zbyněk Stránský
(dalam Walz, 2016:48), yakni ketika suatu
benda berada dalam lingkungan konteks
Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020
p-ISSN: 2355-5750
6 Museum Nasional
asalnya kemudian diakusisi menjadi
koleksi museum, benda tersebut dapat
diberikan konteks baru sesuai dengan visi,
misi, atau tujuan museum tersebut. Koleksi
membawa nilai budaya dan memori.
Ditinjau dari sudut itu, koleksi Museum
Nasional tidak lepas dari sejarah museum
tersebut pada masa lalu. Noerhadi
Magetsari dalam bukunya Perspektif
Arkeologi Masa Kini dalam Konteks
Indonesia mengungkapkan Museum
Nasional didirikan oleh komunitas ilmuwan
yang ditujukan untuk kepentingan mereka,
yakni sebagai sarana pengembangan ilmu
pada konteks masa penjajahan kolonial
(2016:202).
Miniatur Rangkiang
Salah satu koleksi miniatur lumbung
Museum Nasional yang berasal dari
Sumatra Barat adalah miniatur rangkiang
dengan nomor inventaris 281. Koleksi ini
diklasifikasikan ke dalam koleksi etnografi.
Material koleksi ini berupa kayu, bambu,
dan ijuk. Dimensi koleksi, yaitu panjang
101 cm, tinggi 104 cm, dan lebar 51 cm.
Berdasarkan dokumen Inventaris Van De
Etnografische Verzameling(1939)
dijelaskan bahwa miniatur rangkiang ini
berbentuk bujur sangkar dengan empat
tiang, seluruh tiangnya memanjang hingga
bagian atap. Seluruh tiang-tiangnya
disatukan menggunakan balok. Lantai
koleksi dibuat dari bambu dengan bentuk
persegi. Sementara itu, badan miniatur
rangkiang berbentuk silindris yang terbuat
dari anyaman bambu. Plafon dan fasad
segitiga miniatur rangkiang terbuat dari
anyaman bambu. Seluruh bagian miniatur
rangkiang diikat dengan tali dari serat
tanaman untuk memperkuat struktur.
Berdasarkan penjelasan Silvia Dewi
(2020:3-5) konsep arsitektur rumah gadang
berbentuk klaster dengan satu bangunan
utama berbentuk rumah gadang dan
beberapa bangunan pelengkap lainnya.
Konsep rumah gadang merupakan kesatuan
antara bangunan dan lingkungannya,
termasuk pengaturan jenis-jenis tanaman
yang ditanam dalam satu klaster.
Rangkiang ini diletakkan di halaman depan
rumah, baik di bagian ujung, pangkal, dan
dapat berjejer jika lebih dari satu.
Keberadaan rangkiang merupakan
lambang kemakmuran bagi masyarakat
Minangkabau, selain menunjukkan rasa
saling membantu terhadap orang-orang
yang membutuhkan.
Gambar 1
Miniatur Rangkiang Koleksi Museum
Nasional No. Inv. 281
Sumber: Dok. Museum Nasional
Jumlah rangkiang pada
permukiman rumah gadang disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakatnya.
Arsitektur rangkiang memiliki kemiripan
dengan rumah gadang, yakni berbentuk
rumah panggung dengan atap gonjong.
Lumbung Dalam Perspektif Budaya Sumatra: Mengintepretasi Koleksi Museum Nasional ______________________________________________________________________________________
Mawaddatul Khusna Rizqika & Fajar Ichsan Hadianto
Jurnal Prajnaparamita 7
Bagian atas bangunan melebar atau lebih
besar dibandingkan dengan bagian bawah.
Ukuran rangkiang juga lebih kecil daripada
rumah gadang. Sementara itu, untuk jumlah
tonggak pada rangkiang terdapat dua tipe:
empat tonggak dan sembilan tonggak
(Dewi, 2010:78).
Menurut Marthala (2013:85)
terdapat tiga jenis rangkiang yang memiliki
bentuk dan fungsinya masing-masing.
Pertama adalah sitinjau lauik yang
memiliki fungsi untuk menyimpan padi
yang dapat digunakan dan dijual, sehingga
uangnya dapat digunakan untuk membeli
barang atau keperluan yang tidak bisa
dibuat sendiri, kebutuhan tamu yang datang
dari luar kampung, dan acara-acara adat.
Jenis rangkiang yang kedua adalah
sibayau-bayau. Padi yang disimpan di
sibayau-bayau digunakan untuk kebutuhan
sehari-hari keluarga yang bersangkutan.
Jenis rangkiang ketiga adalah sitangka
lapa. Rangkiang ini berfungsi untuk
menyimpan padi cadangan yang digunakan
ketika masa paceklik tiba. Bahan pangan
cadangan ini juga dibagikan kepada
masyarakat sekitar yang membutuhkan.
Sementara itu, menurut Harisman,
et.al. (2019:54) terdapat empat jenis
rangkiang yang dikenal oleh masyarakat
Minangkabau. Pertama rangkiang sitinjau
laui (sitinjau laut), memiliki empat tiang,
dan posisinya terletak di tengah-tengah atau
di antara rangkiang lain. Fungsi rangkiang
jenis ini adalah untuk menyimpan padi
yang digunakan untuk membeli barang dan
keperluan anggota keluarga. Kedua,
rangkiang sibayau-bayau memiliki enam
tiang dan berposisi di sebelah kanan. Padi
yang disimpan di rangkiang ini berfungsi
untuk dimakan oleh keluarga.
Ketiga, rangkiang sitenggang lapa
terdiri atas empat tiang dan terletak di
sebelah kiri. Fungsi utamanya adalah
menyimpan padi untuk cadangan ketika
masa paceklik dan membantu orang yang
membutuhkan. Terakhir, rangkiang
keempat adalah rangkiang kaciak. yang
berukuran lebih kecil daripada rangkiang
lain dan memiliki atap yang tidak
bergonjong. Fungsi rangkiang ini adalah
sebagai tempat menyimpan padi abuan
yang digunakan untuk benih dan
membiayai pekerjaan sawah pada musim
berikutnya. Rangkiang jenis ini memiliki
ukuran yang lebih kecil dan rendah
daripada rangkiang lain. Bentuknya tidak
selalu persegi, tetapi terdapat juga yang
berbentuk tabung.
Gambar 2.
Salah Satu Jenis Rangkiang di Batipuh
pada Tahun antara 1892--1905
Sumber: Dok. National Museum of World
Cultures
Rangkiang mempunyai satu pintu
sebagai akses untuk keluar dan masuk yang
terletak di bagian atas. Pintu tersebut dalam
bahasa lokal dikenal dengan singkok yang
bisa digapai menggunakan tangga. Bagian
Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020
p-ISSN: 2355-5750
8 Museum Nasional
dinding memiliki dua lapisan, yakni lapisan
luar dan dalam. Sementara itu, untuk bagian
lantai terdapat balok yang berfungsi
sebagai penahan padi yang ada di
dalamnya. Atap rangkiang terbuat dari
jalinan ijuk sebagai penahan panas
matahari dan tetesan air hujan.
Miniatur Bilik padi
Koleksi kedua yang menjadi objek kajian
ini adalah miniatur lumbung yang berasal
dari Jambi. Masyarakat lokal menyebut
lumbung ini dengan bilik padi. Koleksi ini
terdaftar dengan nomer inventaris 23736.
Dimensi koleksi tersebut, yaitu panjang 73
cm, lebar 44 cm, dan tinggi 56 cm. Material
koleksi berupa kayu. Berdasarkan dokumen
Inventaris Van De Etnografische
Verzameling (1940), koleksi miniatur bilik
padi ini dibuat dari jenis kayu berwarna
kemerahan. Bilik padi ini bertumpu pada
dua belas tiang yang memanjang ke bagian
atap bangunan. Terdapat lima tiang di
setiap sisi panjang dan satu di tengah setiap
sisi yang lebih pendek. Tiang-tiang itu
berdiri di atas batu datar (ditandai
dengan cakram kayu).
Lantai bilik padi terbuat dari bambu
pipih yang bertumpu pada balok melintang
yang telah ditempatkan tepat di atas tanah
melalui tiang. Dinding bilik padi miring ke
luar dan terdiri atas balok yang dipasang di
atas rak bawah yang lebar. Dinding di sisi
pendek bergabung dari atas menjadi
segitiga fasad yang sedikit menonjol. Pada
bagian depan ada pintu dan juga terdapat
tangga kecil. Tangga ini berfungsi sebagai
akses untuk mengambil padi. Bilik padi ini
juga memiliki bagian seperti kepala tiang,
pintu, tiang pintu, dan balok fasad segitiga
yang dihiasi ukiran.
Miniatur bilik padi ini diperkirakan
berasal dari awal abad ke-20. Koleksi ini
dibuat untuk Museum Nasional oleh Hadji
Abdul Hakim dan Mat Kitab melalui dr. L.
Margadant di Sungai Penuh, Jambi.
Berdasarkan dokumen Reegerings
Alamanak Voor Nederlandsch-Indie
(1940:336) dr. L. Margadant adalah
anggota dari asosiasi perawatan untuk
orang yang mengidap tuberkulosis di
Hindia Belanda. Selain itu, dr. L.
Margadant juga menjabat sebagai sekretaris
sanatorium dan menjadi inspektur untuk
daerah Sawahlunto.
Gambar 3
Miniatur Bilik Padi Koleksi Museum
Nasional No. Inv. 23736
Sumber: Dok. Museum Nasional
Bilik padi merupakan tempat
menyimpan hasil pertanian berupa padi dan
komoditas lainnya untuk pangan, seperti
sorgum (Nofrial, et.al., 2020:164). Padi
yang disimpan digunakan untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari dan sebagian benih
ada yang disimpan untuk digunakan pada
masa tanam selanjutnya. Model bangunan
bilik padi ini berjenis bangunan panggung
dengan bentuk dinding melebar ke atas.
Penempatan bilik padi ini terpisah dari
bangunan utama (rumah larik), biasanya
dibangun di seberang jalan atau belakang
bangunan utama. Bilik padi diatur agar
tetap berderet, tetapi satu dengan yang
lainnya terpisah. Jumlah bilik padi pada
Lumbung Dalam Perspektif Budaya Sumatra: Mengintepretasi Koleksi Museum Nasional ______________________________________________________________________________________
Mawaddatul Khusna Rizqika & Fajar Ichsan Hadianto
Jurnal Prajnaparamita 9
setiap keluarga berbeda-beda, bergantung
pada jumlah anggota keluarga dan
kemampuan ekonomi. Pada umumnya di
setiap rumah terdapat dua bilik padi.
Masyarakat di wilayah Kerinci
mendirikan bilik padi sesuai dengan ajaran
leluhur mereka. Padi tidak hanya dinilai
sebagai hasil pertanian yang digunakan
untuk memenuhi kehidupan sehari-hari
saja. Akan tetapi, padi dipandang sebagai
sumber kehidupan sehingga cenderung
disakralkan,dihormati, dan diperlakukan
dengan tata cara khusus mulai dari
pengolahan hingga penyimpanannya. Bilik
padi ini merupakan bentuk penghormatan
atau penghargaan mereka sehingga padi
disimpan di tempat khusus. Bentuk dan
fungsi dari bilik padi disesuaikan dengan
kondisi lingkungan yang ada di wilayah
Kerinci. Tidak hanya bentuk, material yang
digunakan juga memanfaatkan sumber
daya alam yang terdapat di sana. Reimar
Schefold menuliskan bahwa bilik padi
menjadi bagian dari arsitektur masyarakat
Jambi yang merupakan contoh yang secara
nyata dan kuat menampilkan konsep
arsitektur vernakular (2009:386).
Ciri khas dari bilik padi adalah
bentuk bangunannya yang membesar ke
atas dengan dinding yang dibuat miring.
Bentuk seperti itu, dalam istilah lokal,
disebut dengan sando imang. Bangunan ini
termasuk ke dalam bangunan panggung.
Material yang digunakan adalah kayu dan
bambu. Material bambu digunakan hanya
untuk beberapa bagian, seperti dinding
(sasok), lantai (palupoah), dan dudukan
lantai (jeriau). Bilik padi dibangun di atas
permukaan tanah yang dialasi batu sendi
atau umpak setinggi 40--55 cm (Nofrial
et.al., 2020:166).
Seluruh bangunan bilik padi
tertutup dan hanya terdapat satu pintu di
atas yang dapat dicapai dengan
menggunakan tangga. Terdapat dua tangga
dalam satu bilik padi, yaitu tangga dalam
ruangan dan di luar ruangan. Kedua tangga
tersebut bisa dibuat permanen atau tidak
bergantung pada bagaimana bilik padi itu
difungsikan. Tangga di dalam bilik padi
dibuat permanen jika berfungsi untuk
menyimpan dan mengambil padi untuk
kebutuhan sehari-hari. Sebaliknya, tangga
yang tidak dibuat permanen biasanya
digunakan untuk menyimpan padi yang
berfungsi untuk keperluan atau hajatan
tertentu. Bentuk tangga pada bilik padi
terdapat dua macam, yaitu yang pertama
tanggo jantan (tangga tunggal) yang
terbuat dari batang kayu yang sudah
dibentuk sedemikian rupa sehingga bisa
digunakan untuk pijakan. Kedua adalah
tanggo batino yang terbuat dari papan
dengan takah-takah atau anak tangga
(Nofrial, et.al., 2020:167).
Bilik Padi di Desa Lolo Gedang, Kerinci,
Jambi pada Tahun Antara 1914--1919
Sumber: Dok. National Museum of World
Cultures
Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020
p-ISSN: 2355-5750
10 Museum Nasional
Konstruksi bangunan bilik padi
tidak menggunakan paku, tetapi
menggunakan sistem pasak. Tiang-tiang
pada bilik padi memiliki jumlah berbeda
bergantung pada ukuran bangunannya.
Bilik paditerkecil dengan panjang 480--540
cm memiliki sembilan tiang dengan rincian
tiga tiang di samping kanan, tiga tiang di
samping kiri, dan tiga tiang di tengah.
Sedangkan bilik padi terbesar dengan
panjang 640--720 cm memiliki limabelas
tiang dengan rincian lima tiang di samping
kanan, lima tiang di samping kiri, dan lima
tiang di tengah. Pada umumnya tiang
tersebut berbentuk persegi delapan dengan
diameter 25-30 cm. Sementara itu, dinding
bilik padi dipasang untuk menutupi
keempat sisi bangunan yang dibuat miring.
Hal itu bertujuan untuk mempersulit
masuknya hama tikus. Lantai bilik padi
terbuat dari kayu atau bambu, terdapat
bambu bulat (jeriau) sebagai penahan
lantai. Untuk menahan jeriau digunakan
balok kayu yang tersambung dengan tiang-
tiang. Sementara itu, bagian atap
dinamakan lipak pandang (Nofrial, et.al.,
2020:165-166).
Padi yang disimpan dalam bilik
padi adalah padi masih bertangkai sehingga
mudah untuk disimpan atau dikeluarkan.
Tangkai-tangkai padi ini disusun dan diikat
sedemikian rupa. Penyimpanan padi di bilik
padi dibagi dalam beberapa sekat
berdasarkan kegunaannya. Pertama, padi
untuk kebutuhan sehari-hari; kedua, padi
untuk benih musim tanam selanjutnya;
ketiga, padi yang digunakan ketika masa
paceklik; dan yang terakhir padi untuk
persiapan bagi kerabat yang membutuhkan
dan upacara-upacara adat (Nofrial, dkk.,
2020, 167). Keunikan lain dari bilik padi ini
adalah adanya motif-motif ukir di beberapa
bagian bangunan. Umumnya ukiran ini
terdapat di tiang, dinding, balok bawah, dan
kasau. Motif ini diukir dengan teknik
tradisional menggunakan pahat dan pisau
ukir. Biasanya ukiran yang ada bermotif
tanaman sulur (ibid, 177). Berdasarkan
tulisan Irma Tambunan, pada
perkembangannya pola permukiman di
wilayah Kerinci diciptakan untuk
mengantisipasi wabah karena pada sekitar
tahun 1912 terjadi wabah cacar yang masif
di daerah Sumatra Barat. Mereka mengenal
istilah pahit bersudut mpat yang berarti
‘bangunan dengan empat sudut’. Di
sekeliling permukiman dibuatkan parit
yang sepanjang tepinya ditanami beberapa
jenis tanaman, mulai dari palem sekuang,
pandan berduri, aur berduri, dan tanaman
obat. Fungsi tanaman-tanaman ini untuk
menahan masuknya binatang buas, musuh,
dan penyakit. Salah satu bangunan yang
ada di pemukiman tersebut adalah lumbung
padi. Lumbung padi dibangun terpisah dari
rumah induk dan memiliki fungsi untuk
menyimpan makanan agar ketika terjadi
wabah maupun paceklik, masyarakat tidak
kelaparan (dalam interaktif.kompas.id, 28
Agustus 2020)
Miniatur Sopo
Koleksi miniatur lumbung selanjutnya
berasal dari Sumatra Utara dengan nomor
inventaris 17574 a. Dalam bahasa lokal,
bangunan itu disebut sopo. Miniatur sopo
memiliki ukuran panjang 74 cm, lebar 47
cm, dan tinggi 117 cm. Koleksi ini dibuat
dengan menggunakan material ijuk, kayu,
gamping (batu), dan bambu. Berdasarkan
dokumen Inventaris Van De Etnografische
Verzameling (1939), miniatur lumbung
padi ini memiliki dinding yang terbuat dari
kayu dan berposisi miring ke luar. Tiap-tiap
dinding dihiasi dengan dua motif cicak.
Lumbung Dalam Perspektif Budaya Sumatra: Mengintepretasi Koleksi Museum Nasional ______________________________________________________________________________________
Mawaddatul Khusna Rizqika & Fajar Ichsan Hadianto
Jurnal Prajnaparamita 11
Hiasan ini terbuat dari tali hitam yang
dibuat melalui lubang-lubang di papannya
dan diberi sentuhan cat merah. Untuk
dindingnya sendiri dicat putih. Atap sopo
terbuat dari ijuk dengan punggungan agak
bengkok dan ujung-ujungnya menonjol ke
atas. Fasad segitiga lumbung ditutup
dengan anyaman bercat merah dan putih.
Koleksi ini diakusisi pada 1939 sebagai
pemberian atau hibah dari F. E. Boissevain.
Dia adalah seorang pejabat perkebunan
pemerintah kolonial Hindia Belanda yang
bertugas di wilayah Sumatra Utara pada
awal abad ke-20.
Gambar 5
Miniatur Lumbung Koleksi Museum
Nasional No. Inv. 17574 a
Sumber: Dok. Museum Nasional
Secara struktur sopo termasuk ke
dalam kategori bangunan panggung.
Sargeant dan Sale (dalam Nurdiah,
2011:14) mendeskripsikan lumbung padi
ini terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama
adalah kolong (ruang bawah) digunakan
untuk kandang ternak. Bagian tengah
(balai) dipakai sebagai ruang
pertemuan,aktivitas sehari-hari, atau
tempat tidur para pemuda di malam hari.
Yang ketiga adalah
ruang atas yang digunakan sebagai tempat
penyimpanan padi dan bahan makanan
lainnya. Padi yang disimpan di dalam
lumbung adalah padi yang sudah dijemur
dan dikeringkan. Konstruksi tempat
penyimpanan padi dibuat supaya seminimal
mungkin terpapar udara luar. Hal itu
bertujuan agar padi yang sudah disimpan
tidak cepat mengalami kerusakan. Posisi
sopodibangun berhadapan dengan rumah
utama. Keduanya dipisahkan oleh pelataran
yang lebar, yang digunakan sebagai
halaman bermain bagi anak-anak, acara
kampung, dan tempat menjemur sesuatu
(Rambe,2019:51).
Gambar 6.
Lumbung di Desa Surbakti, Karo, Sumatra
Utara/
Sumber: Dok. National Museum of World
Cultures
Domening (dalam Nurdiah,
2011:12), mengatakan bahwa apabila
terjadi penambahan penduduk, sopo yang
ada diubah menjadi rumah sehingga
mampu menampung pertambahan jumlah
penduduk. Sopo juga memiliki keunikan
lain, yaitu terdapatnya hiasan yang terukir
di beberapa bagian. Dalam bahasa lokal,
hiasan tersebut dikenal dengan nama gorga.
Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020
p-ISSN: 2355-5750
12 Museum Nasional
Menurut Saragih dan Yulianto (2019:4)
gorga merupakan kesenian ukir yang
biasanya terdapat di bagian luar atau
eksterior rumah adat Batak dan benda-
benda lainnya. Hiasan gorga ini ada yang
berupa ukiran yang diberi warna dan ada
pula yang hanya gambar saja.
Warna yang digunakan untuk
hiasan gorga merupakan warna khas, yaitu
putih, hitam, dan merah. Dalam bahasa
Batak ketiga warna ini dikenal dengan
sebutan “sitoluburna”, tolu artinya ‘tiga’
dan burna adalah ‘warna’. Hiasan gorga
ada beberapa jenis, tetapi yang sering
dijumpai di sopo adalah gorga bermotif
binatang. Pertama, hoda-hoda yang
merupakan penggambaran dari kuda yang
sedang ditunggangi seseorang dan seorang
lagi sedang memegang tali kendali berdiri
di samping kuda. Hoda-hoda ini berada di
dinding bagian depan atau samping kiri dan
kanan sopo. Secara simbolis ragam hias ini
bermakna lambang kebesaran. Ukiran yang
kedua disebut dengan boraspati, yaitu
ukiran berupa cicak/kadal yang badannya
bergaris-garis dan ekornya bercabang.
Hiasan ini biasanya dibuat di sopo bagian
depan dengan jumlah masing-masing
empat di sebelah kiri dan kanan. Ornamen
ini melambangkan suatu kekuatan
perlindungan manusia dari marabahaya dan
memberikan berkah serta harta kekayaan
kepada manusia (Saragih dan Yulianto,
2019:5)
Lumbung: Adaptasi dan Ketersediaan
Pangan
Berdasarkan identifikasi terhadap ketiga
koleksi Museum Nasional di atas terdapat
beberapa aspek yang dapat dianalisis.
Pertama, aspek terkait pemilihan material
bangunan yang berkorelasi erat dengan
ketersediaan sumber daya alam. Pemilihan
tersebut sesuai dengan konteks lingkungan
tropis wilayah Sumatra yang berada di
sepanjang garis khatulistiwa (Widiastuti,
2020:112). Bahan bangunan lumbung
menggunakan kayu, tanaman lainnya, dan
bebatuan. Selain itu, digunakan beberapa
bagian tubuh dari fauna yang hidup di
lingkungan sekitar sebagai hiasan pada
lumbung.
Teknologi pembuatannya sangat
memperhatikan kondisi lingkungan dan
mencerminkan pandangan hidup
masyarakat setempat. Daya lindung
lumbung cukup baik untuk menghadapi
iklim tropis. Bentuk panggung memberikan
perlindungan terhadap serangan
kelembapan yang berasal dari tanah. Celah-
celah pada beberapa bagian memungkinkan
sirkulasi udara di dalam lumbung berjalan
dengan baik sehingga kualitas padi tetap
terjaga. Bentuk atap dan dinding yang
mengerucut membuat air hujan yang jatuh
akan langsung mengalir ke tanah dan tidak
menembus dinding lumbung. Struktur
paling bawah diperkuat dengan
digunakannya batu sebagai umpak
penyangga tiang yang memberikan ruang
jeda antara kayu dan tanah. Teknologi ini
dilihat sebagai strategi adaptasi terhadap
kelembapan yang tinggi, genangan air yang
dapat merusak tiang, dan terjadinya gempa
bumi.
Menilik pandangan Koji Sato dalam
tulisannya berjudul Menghuni Lumbung:
Beberapa Pertimbangan Mengenai Asal-
Usul Konstruksi Rumah Panggung di
Kepulauan Pasifik, langgam arsitektur
yang khas seperti pada ketiga koleksi
miniatur lumbung Museum Nasional ini
kemungkinan menyebar ke berbagai daerah
di Nusantara beriringan dengan meluasnya
peradaban budi daya padi. Pada awalnya
Lumbung Dalam Perspektif Budaya Sumatra: Mengintepretasi Koleksi Museum Nasional ______________________________________________________________________________________
Mawaddatul Khusna Rizqika & Fajar Ichsan Hadianto
Jurnal Prajnaparamita 13
manusia tinggal di dalam lumbungnya.
Kemudian, lumbung berkembang menjadi
struktur yang terpisah antara rumah sebagai
tempat tinggal dan lumbung untuk
menyimpan hasil panen. Perkembangan ini
menghasilkan gaya yang khas pada tiap-
tiap daerah selaras dengan kemampuan
manusia mengadaptasikan tempat
tinggalnya dengan kondisi permukaan
tanah (1991:44). Penempatan lumbung
yang terpisah dari rumah juga bertujuan
agar ketika terjadi bencana seperti
kebakaran, persediaan bahan pangan tetap
aman sebab bangunan tradisional terbuat
dari material yang mudah terbakar.
Pengelolaan lumbung
memperlihatkan strategi masyarakat agraris
memandang masa depan. Hal itu dapat
dilihat dari fungsi lumbung yang tidak
hanya digunakan untuk menyimpan bahan
pangan menghadapi masa paceklik, tetapi
juga untuk menyimpan benih yang akan
ditanam pada musim berikutnya. Jika
kondisi alam buruk dan tanaman rusak
sebelum masa panen, benih yang tersimpan
tetap aman dan dapat digunakan untuk
menanam kembali. Pengelolaan hasil panen
pun sangat dipikirkan. Mereka tidak mudah
menjual dan menggunakan hasil panen padi
untuk kepentingan yang tidak mendasar
atau mendesak.
Hasil panen digunakan pula untuk
kebutuhan sosial budaya, terutama saat
upacara adat. Ketika musim paceklik tiba,
mereka tidak segan memberikan hasil
panen kepada orang yang membutuhkan di
lingkungan sekitarnya. Pandangan hidup
dan sikap gotong royong serta tenggang
rasa mengakar pada masyarakat berbasis
agraris. Kemampuan beradaptasi dan
menyesuaikan diri merupakan komponen
kunci dalam bertahan menghadapi
perubahan kondisi, termasuk menghadapi
gangguan. Peralatan atau sistem yang
dibuat manusia dengan pengetahuan
budayanya akan membantu manusia
menghadapi perubahan yang terjadi
(Sarker, 2017:50). Lewis Binford, seperti
dikutip Victor Buchli dalam bukunya yang
berjudul An Anthropology of Architecture,
menjelaskan bahwa arsitektur dipahami
dengan mempertimbangkan konteks spasial
secara keseluruhan. Budaya material,
bentuk, dan teknik arsitektur tercipta dalam
konteks adaptasi lingkungan dan proses
evolusi (Buchli, 2020:51).
Penutup
Upaya masyarakat tradisional di Indonesia
pada masa lalu dalam beradaptasi dengan
lingkungan alamnya dan mewujudkan
ketahanan pangan lokalnya terekam dalam
budaya materi berupa koleksi miniatur
lumbung Museum Nasional. Lumbung
memperlihatkan karakter arsitektur
vernakular Nusantara yang sangat
mempertimbangkan aspek alam sebagai
kesatuan dari kehidupan. Lumbung
merupakan media penyimpanan memori
kolektif. Nilai-nilai yang terkandung di
dalam lumbung memperlihatkan
pandangan hidup masyarakat tradisional
berbasis kebudayaan agraris. Lumbung
dimaknai sebagai strategi adaptasi
masyarakat komunal dalam menghadapi
masa depan supaya kehidupan terus
berjalan. Jika mencermati kondisi saat ini,
terutama masa pandemi yang penuh
ketidakjelasan, pengelolaan lumbung dan
nilai-nilai di dalamnya, dapat menjadi
alternatif strategi adaptasi. Nilai-nilai
kebaikan, seperti gotong-royong, saling
Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020
p-ISSN: 2355-5750
14 Museum Nasional
membantu, serta yang tidak kalah penting
adalah mempersiapkan bekal menghadapi
kondisi masa depan menjadi sangat relevan
dengan kondisi dan situasi saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bronner, S. J. (2006). Building Tradition :
Control and Authority in Vernacular
Architecture. Vernacular Architecture
in the Twenty-First Century: Theory,
Education and Practice, 23-45.
Buchli, V. (2020). An Anthropology of
Architecture. London, New York:
Bloomsbury.
Dewi, G. (2010). Arsitektur Venakular
Minangkabau (Kajian Arsitektur dan
Eksistensi Rumah Gadang Dilihat dari
Pengaruh serta Perubahan Nilai
Budaya). Depok: Universitas Indonesia.
Harisman, & Suriyanti. (2019). Visualisasi
Rumah Gadang Dalam Ekspresi Seni
Lukis. Panggung Vol.29 No.1, 44-45.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/lumbung.
(2020, Agustus 13). Retrieved from
kbbi.kemdikbud.go.id:
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/lum
bung
Magetsari, N. (2016). Perspektif Arkeologi
Masa Kini dalam Konteks Indonesia.
Jakarta: Kompas.
Marthala, A. E. (2013). Rumah Gadang
Kajian Filsofi Arsitektur Minangkabau.
Bandung: Humaniora.
Nofrila, Prihatin, P., Wahyono, & Laksono,
M. A. (November 2019 - April 2020).
Bilik padi Tradisional Kerinci
(Arsitektur dan Seni). CORAK Jurnal
Seni Kriya Vol. 8 No.2, 161-177.
Nurdiah, E. A. (2011). Studi Struktur dan
Konstruksi Rumah Tradisional Suku
Batak Toba, Minangkabau dan Toraja.
Surabaya: Universitas Kristen Petra.
Oliver, P. (1997). Encyclopedia of Vernacular
Architecture of the World. New York:
Cambridge University Press.
Purbadi, D. (2015). Menelusuri dan
Memahami Arsitektur Vernakular
Nusantara. Seminar Nasional Arsitektur
Nusantara (pp. 1-7). Kupang: Program
Studi Arsitektur, Fakultas Teknik,
Universitas Widya Mandira.
R Tjahjopurnomo, A. A. (2011). Sejarah
Permuseuman di Indonesia. Jakarta:
Direktorat Permuseuman, Direktorat
Jenderal Sejarah dan Purbakala,
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif.
Rambe, Y. S. (2019). Analisis Arsitektur Pada
Rumah Tradisional Batak Toba di
Kabupaten Toba Samosir, Balige.
Journal of Architecture and Urbanism
Research (JAUR), 48-60.
Rapoport, A. (1969). House Form and
Culture. London: Pentice-Hall inc.
Saragih, D. A., Yulianto, & Pakpahan, R.
(2019). Kajian Ornamen Gorga di
Rumah Adat Batak Toba (Studi Kasus :
Di Kawasan Desa Wisata Tomok, Huta
Siallagan dan Huta Bolo di Kabupaten
Samosir). Jurnal Arsitektur ALUR Vol.2
No.1, 1-14.
Sarker, M. N. (2017). An Introduction to
Agricultural Anthropology: Pathway to
Sustainable Agriculture. Journal of
Sociology and Anthropology, Vol 1, 47-
52.
Sato, K. (1991). Menghuni Lumbung:
Beberapa Pertimbangan Mengenai
Asal-Usul Konstruksi Rumah
Panggung di kepulauan Pasifik. Jurnal
Antropologi Indonesia, No 49 (31-49).
Schefold, R. (2009). Kerinci Traditional
Architecture. From Distant Tales:
Archaeology and Ethnohistory in the
Highlands of Sumatra (383-401).
Lumbung Dalam Perspektif Budaya Sumatra: Mengintepretasi Koleksi Museum Nasional ______________________________________________________________________________________
Mawaddatul Khusna Rizqika & Fajar Ichsan Hadianto
Jurnal Prajnaparamita 15
Newcastle: Cambridge School
Publishing.
Sulistyanto, B. (2017). Prolog, Memaknai
Arsitektur Rumah Tradisional Banjar,
Kajian Semiotik. In B. S. Wasita,
Menggamit Rumah Adat Banjar (pp. 1-
19). Yogyakarta: Ombak.
Tambunan, I. (2020, Agustus 28).
https://interaktif.kompas.id/baca/nenek
-moyang-melawan-wabah/. Retrieved
from Interaktif.kompas.id:
https://interaktif.kompas.id/baca/nenek-
moyang-melawan-wabah/
Walz, M. (2016). Too Early, Too Late: The
Relevance of Zbynek Z. Stransky for
German Museology. Museologica
Brunensia, 44-50.
Waterson, R. (2012). Living House: An
Anthopology of Architecture in South-
East Asia. Vermont: Tuttle Publishing.
Widiastuti, I. (2020). Skemata Struktur
Konikal pada Struktur Bangunan di
Daerah Tropis di Asia Sebelah Selatan
dan Pasifik-Sebuah Pandangan
Reflektif. Seminar Struktur dalam
Arsitektur (pp. 111-117). Bandung:
Kelompok Keahlian Teknologi
Bangunan, SAPPK, Institut Teknologi
Bandung, Kelompok Kerja Struktur
Konstruksi IPBLI.