1
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA RESILIENSI DENGAN STRES PADA
LANSIA YANG BERADA DI PANTI WREDA
Oleh:
Reni Setya Wardani
Rina Mulyati
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2014
2
3
4
RELATIONSHIP BETWEEN RESILIENCE AND ELDERLY’S STRESS
WHO LIVES IN NURSING HOME
Reni Setya Wardani
Rina Mulyati
ABSTRACT
This research aims to examine between resilience and elderly’s stress who lives in the nursing home. The hypothesis there is a relation between resilience and stress within the elderly who lives in nursing home. The more resilience, the lower stress they are, vice verse, the less they express resilience, the higher stress could be obtained in nursing home. Subjects of this research are 80 subjects, 38,8% male and 61,2% female in above 60 years old who lives in nursing home. This researh applies a theory of resilience scale. This scale is modified and translated by researcher before according to the aspecs which encountered by Grotberg, 1995 (16 items, α = 0,930) and stress scale, this scale is modified and translated researcher before according to the aspecs which encountered by Lovibond and Lovibond, 1995 (13 items, α = 0,898). Correlation test of product moment from the person shows that the number of correlations is r = -0,748 p = 0,000 ( p<0,01), which means there negative relationship between resilience and elderly’s stress who live in nursing home. Thus, the research hypothesis is proved.
Key words : Resilience, Stress
5
PENGANTAR
Hasil sensus penduduk nasional tahun 2009 (dalam Amigo, 2012)
menunjukkan bahwa persebaran penduduk lansia menurut provinsi, yang
terbanyak terdapat di DIY yaitu 14,02%. Jumlah penduduk lansia di DIY berkisar
6,13% - 9,2% dari total jumlah penduduk (tahun 2005 - 2007). Kemudian diikuti
oleh propinsi Jawa Tengah (10,99%), Jawa Timur (10,99%) dan Bali (10,79%).
Menurut WHO pada tahun 1995 bahwa tahun 2020 sampai 2050 diperkirakan
jumlah lansia di Indonesia sekitar 28 juta jiwa. Dibandingkan dengan tahun 1990
pertumbuhan penduduk lansia Indonesia mengalami pertumbuhan terbesar di
Asia, yaitu sebesar 414%, Thailand 337%, India 242% dan China 220% (Amigo,
2012). Hasil prediksi atau proyeksi tersebut tampak bahwa jumlah lansia akan
semakin banyak di Indonesia.
Peningkatan populasi para lansia tersebut diikuti berbagai persoalan-
persoalan bagi orang lanjut usia itu sendiri (Mariani dan Kadir dalam Sulandari,
2009). Persoalan yang dihadapi oleh para lansia yaitu perubahan yang dialami
lansia itu sendiri baik yang bersifat fisik, mental, maupun sosial. Oleh karena itu
dengan adanya berbagai persoalan bagi orang lansia, menyebabkan perlunya
perhatian pada orang lansia tersebut, agar orang lansia tidak hanya berumur
panjang, tetapi menikmati masa tuanya dengan bahagia, serta meningkatkan
kualitas hidup mereka. Perlunya perhatian yang lebih bagi para lansia tidak
terlepas dari peran keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
6
Tidak sedikit lansia yang beruntung bisa dirawat oleh anaknya sendiri.
Adanya kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan bagi anak untuk merawat
orang tuanya membuat pemerintah menetapkan kebijakan untuk membantu dan
menyantuni para lansia dengan menyediakan panti wreda yang diperuntukkan
untuk para lansia di Indonesia (Nawawi, 2009). Panti ini disediakan untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi para lansia,. Sehingga panti bisa sebagai
alternatif ketika ada kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan yang dialami oleh
para lansia.
Dari observasi yang telah dilakukan oleh peneliti di panti wreda Panti Sosial
Tresna Wreda Abiyoso yang beralamat di Jakal KM 17,5 Pakem, Sleman
Yogyakarta, rata-rata lansia yang masuk ke dalam panti memiliki latar belakang
masalah yang berbeda-beda. Ada 3 kelompok lansia yang masuk ke dalam panti.
Pertama adalah kelompok lansia yang terlantar (terkena garukan), lansia yang
berinisiatif memasukkan dirinya ke dalam panti, dan lansia yang dengan sengaja
dimasukkan oleh keluarganya sendiri ke dalam panti.
Kelompok lansia yan terlantar (terkena garukan) biasanya adalah para lansia
yang memiliki masalah sosial di dalam lingkungan masyarakat. Seperti
kemiskinan, tidak mau berbaur dengan warga, menarik diri dari orang lain,
ataupun terlantar karena tidak ada yang merawat akibat adanya kondisi-kondisi
yang tidak memungkinkan untuk lansia tinggal sendiri. Seperti ditinggalkan orang
yang disayangi seperti anak dan suami atau istri, kondisi anak yang tidak
memungkinkan seperti kemiskinan, anak berkebutuhan khusus dan lain
sebagainya. Kemudian masyarakat sekitar menghubungi dinas sosial untuk
7
memasukkan lansia tersebut ke dalam panti. Kedua adalah lansia yang berinisiatif
memasukkan dirinya ke dalam panti dengan alasan bahwa dirinya merasa
kesepian di rumah karena istri ataupun suaminya telah meninggal dunia, sehingga
lansia tersebut memilih untuk tinggal di panti karena menurut dia di panti lansia
tersebut akan memiliki banyak teman mengobrol, berkaktifitas dan lain
sebagainya. Terkahir adalah lansia yang dengan sengaja dimasukkan oleh
keluarganya sendiri ke dalam panti karena alasan keselamatan dan kesejahteraan
lansia itu sendiri, karena lansia tersebut merasa terancam oleh anaknya sendiri.
Kelompok lansia yang terlantar (terkena garukan) biasanya lebih rentan
stres dibandingkan kelompok lansia yang berinisiatif memasukkan dirinya ke
dalam panti dan lansia yang dengan sengaja dimasukkan oleh keluarganya sendiri
ke dalam panti dengan alasan keselamatan dan kesejahteraan orang tuanya.
Kelompok lansia yang terkena garukan, terpaksa menjani kehidupannya di dalam
panti. Mereka menjalani semua aktifitas sehari-harinya tanpa mereka inginkan.
Berbeda dengan para lansia yang memutuskan untuk tinggal di dalam panti karena
keinginan mereka sendiri ataupun dengan sengaja dimasukkan oleh keluarganya
sendiri, mereka melakukan semua kegiatan dalam panti secara suka rela dan tidak
terpaksa, sehingga mereka cenderung tidak mengalami stres.
Adanya lansia yang mengalami stres memberikan dampak yang negatif pada
kehidupan lansia itu sendiri, dari segi fisik, emosi, dan perilaku. Lansia Yang
mengalami stres menjadi menarik diri dari lingkungan sekitar panti, jarang
mengobrol dengan lansia lain, tidak mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di
panti, seperti pengajian, keterampilan dan seni, tidak mau melakukan check up
8
berkala di poliklinik yang disediakan pihak panti, mudah tersinggung. Senada
dengan Lovibond dan Lovibond (dalam Willemsen, Markey, dkk 2011) bahwa
stres berpengaruh pada kondisi emosional yang negatif pada diri seseorang dan
dapat berpengaruh pada kondisi fisik, emosi, dan perilaku seperti sulit bersantai,
mudah gelisah, mudah marah, dan tidak sabaran.
Adanya dampak negatif yang muncul pada lansia mengakibatkan kualitas
hidup mereka menurun dan kesejahteraan sosial mereka juga menurun. Untuk
tetap menjaga kualitas hidup lansia bagus dan tidak hanya berumur panjang, tetapi
menikmati masa tuanya dengan bahagia dan terhindar dari stres. Hal tersebut tidak
terlepas dari kapasitas lansia itu sendiri dalam menanggapi ataupun menangani
peristiwa-peristiwa yang membuatnya stres.
Keadaan dimana seseorang sukses dan mampu beradaptasi pada keadaan
yang sulit dan mampu bangkit kembali dari peristiwa-peristiwa yang membuat
individu tersebut terpuruk biasa disebut dengan resiliensi. Menurut Grotberg
(1995) resiliensi merupakan kapasitas penting bagi kehidupan manusia dalam
menjalani kehidupan, terutama menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hidup.
Kapasitas penting tersebut tidak terlepas dari faktor pelindung dan faktor resiko
dari resiliensi itu sendiri. Hal ini juga dijelaskan oleh Garmezy bahwa seseorang
yang resilien tidak terlepas dari ciri individu itu sendiri dalam mengatasi kesulitan
pada kehidupan yang menantang dan penuh dengan faktor resiko (Rutter, 1984;
Werner, 1992; dalam Sun & Stewart, 2007).
Beberapa penelitian telah mengeksplorasi hubungan antara resiliensi dan
kelangsungan hidup. Penelitian sebelumnya memperoleh perbandingan bahwa
9
lansia yang resilien lebih baik kesehatan mentalnya dan fungsi fisiknya Wagnild
dan Youn (dalam Shen & Zen, 2004). Resiliensi dianggap sebagai komponen
penting dalam pemulihan dari penyakit dan stres (Hardy & Gill 2002; Lamind
dkk. 2009; dalam Shen & Zeng, 2004). Ketika orang mencapai tingkat lanjut usia,
lansia akan banyak mengalami kondisi yang negatif pada seluruh proses penuaan,
seperti kesehatan dan kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ini mewakili
tantangan yang serius. Lansia yang resiliensinya baik mungkin memiliki kapasitas
yang lebih kuat dan berpotensi berhasil dalam menangani kesulitan tersebut (Jopp
& Rott, 2006; dalam Shen & Zeng, 2004 )
Major (dalam Zur & Gilbar, 2011) mengungkapkan bahwa resiliensi dapat
mengurangi tekanan setelah mengalami beberapa peristiwa yang membuat stres.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti tertarik melakukan
penelitian tentang hubungan antara resiliensi dengan stres pada lansia yang tinggal
di panti wreda.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Stres
Menururt Lovibond dan Lovibond 1995 (dalam Willemsen, Markey,
Declercq, dan Vanheule, 2011) mengungkapkan bahwa stres adalah sebuah
perasaan emosional negatif yang terdapat pada diri seseorang dan dapat
berpengaruh pada kondisi fisik, emosi, dan perilaku seperti sulit bersantai,
mudah gelisah, mudah marah, dan tidak sabaran. Sarafino (1990)
menjelaskan bahwa stres merupakan kondisi yang disebabkan ketika
perbedaan seseorang atau lingkungan yang berhubungan dengan individu,
10
yaitu antara situasi yang diinginkan dengan keadaan bilologis, psikologis atau
sistem sosial individu tersebut.
Menurut Lovibond dan Lovibond (1995) ada tiga aspek stres yaitu
aspek fisik, aspek emosi, dan aspek perilaku. Selain itu indikator stres yang
diungkapkan oleh Lovibond dan Lovibond (1995) yaitu fisik seperti
ketegangan otot, peningkatan tekanan darah, gelisah, sakit kepala, sakit perut,
gangguan pencernaan, dan lain-lain; emosi seperti murung, tidak fokus, ragu-
ragu, mudah marah, kaku berfikir tidak ada rasa humor, mudah tersinggung,
dan lain-lain ; perilaku seperti insomnia, perubahan nafsu makan, menarik
diri dari orang lain, kurang kontrol diri, dan lain-lain.
2. Resiliensi
Menurut Maneerat, Isaramalai dan Boonyasopun (2011) membedakan
antara kata resilience dan reseliency yaitu resilience mengacu pada keadaan
dimana seseorang sukses beradaptasi pada keadaan sulit, sedangkan resiliency
menyiratkan adanya ciri kepribadian.
Definisi resiliensi menurut Masten (Yi, Smith dan Vitaliano, 2005)
adalah kapasitas individu untuk mempertahankan kesejahteraan psikologis
dan fisik dalam menghadapi kesulitan. Wolin dan Wolin (dalam Kartika,
2010) menjelaskan resiliensi juga sebagai keterampilan coping saat
dihadapkan pada tantangan hidup atau kapasitas individu untuk tetap sehat
dan memperbaiki diri. Hal ini juga dijelaskan oleh Maneerat, dkk (2011)
dimana resilensi digunakan untuk menggambarkan kemampuan untuk
beradaptasi secara positif dalam menghadapi kesulitan dan melanjutkan
11
kehidupannya dengan baik. Wagnild dan Young (1995) mendefinisikan
resiliensi sebagai karakteristik personal yang dapat meningkatkan adaptasi
positif seseorang saat mengalami stres dan berada dalam kesengsaraan
sehingga orang tersebut mampu segera pulih atau bangkit kembali dan
memberikan manfaat bagi diri serta lingkungan sosialnya. Menurut Grotberg
(1995) resiliensi merupakan kapasitas penting bagi kehidupan manusia dalam
menjalani kehidupan, terutama menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hidup.
Resiliensi memungkinkan individu untuk tetap fokus pada persoalan yang
sesungguhnya dan tidak menyimpang ke dalam perasaan dan pikirann yang
negatif (Grotberg, 1995). Aspek-aspek dari resiliensi itu sendiri ada aspek I
Am, I Have, I Can.
METODE PENELITIAN
Subjek dalam penelitian ini adalah orang lanjut usia berusia lebih dari 60
tahun dan subjek tinggal di panti wreda. Subjek dalam penelitian ini sebanyak 80
orang, dimana subjek penelitian ini ditambahkan dari subjek try out sebelumnya
yang berjumlah 45 orang dan subjek data penelitian yang berjumlah 35 orang.
Subjek berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Masih mampu merespon dan
memahami aitem yang dibuat oleh peneliti. Pengambilan subjek dilakukan
dengan teknik purposive sampling yaitu menentukan subjek yang sesuai,
berdasarkan pada ciri-ciri tertentu yang dipandang memiliki hubungan erat dengan
ciri populasi yang sudah diketahui sebelumnya.
12
Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif. Teknik pengumpulan
data menggunakan dua skala yaitu skala stres dan skala resiliensi. Skala stres yang
digunakan merupakan adaptasi dari skala stres yaitu Depression Anxiety Stress
Scale (DASS) yang dikemukakan oleh Lovibond dan Lovibond (1995). Sedangkan
skala resiliensi yang digunakan merupakan adaptasi dari penelitian sebelumnya
yang mengacu pada skala resiliensi Grotberg (1995).
Metode analisis data dalam penelitian ini memakai koofisien korelasi
Pearson atau sering disebut korelasi product moment dimana korelasi product
moment ini digunakan untuk menguji hipotesis asosiatif (uji hubungan), yaitu
untuk mengetahui hubungan antara resiliensi dengan stres pada lansia yang berada
di panti wreda. Untuk mempermudah proses perhitungan statistik serta analisisnya
digunakan program statistik SPSS for Windows versi 18.00.
HASIL PENELITIAN
1. Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
Hasil uji normalitas yang dilakukan pada kedua variabel
menunjukkan distribusi yang normal. Dari hasil pengolahan data untuk
variabel Resiliensi, diperoleh nilai p = 0,200; (p>0,05). Hasil uji
normalitas tersebut menunjukkan bahwa data resiliensi terdistribusi
secara normal. Selain itu, dari hasil pengolahan data untuk variabel stres,
diperoleh nilai p = 0,053; (p>0,05) sehingga distribusi dinyatakan
normal. Hasil uji normalitas kedua variabel tersebut dapat dilihat sebagai
berikut:
13
Tabel 1 Hasil Uji Normalitas
Variabel Signifikansi (p) Normalitas Resiliensi 0,200 Normal Stres 0,053 Normal
b. Uji Linearitas
Hasil pengolahan data menunjukkan nilai F = 126,325 dengan p =
0,000; (p<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa hubungan antara resiliensi
dan stres memenuhi asumsi linearitas atau mengikuti satu garis lurus.
Untuk lebih jelasnya, hasil uji linearitas penelitian ini dapat dilihat ada
tabel berikut:
Tabel 2 Hasil Uji Linearitas Variabel Koefisien Linearitas
(F) Signifikasi
(p) Keterangan
Resiliensi terhadap Stres
126,325 0,000 Linear
2. Uji Hipotesis
Dari uji hipotesis yang dilakukan, didapat nilai koefisien korelasi (r)
sebesar -0,748dengan p = 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan
negatif antara resiliensi dengan stres pada lansia yang berada di panti wreda,
sehingga hipotesis yang diajukan dapat diterima. Disamping itu, nilai
koefisien determinasi (r2) sebesar 0,559, dimana hal tersebut menunjukkan
bahwa resiliensi memberi sumbangan sebesar 55,9% terhadap stres pada
lansia yang artinya 44,1% hasil stres dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak
dibahas dalam penelitian ini. Untuk lebih jelasnya, hasil uji hipotesis
penelitian ini dapat dilihat ada tabel berikut:
14
Tabel 3 Hasil Uji Hipotesis Variabel r r2 p Keterangan Resiliensi terhadap Stres
-0,748 0,559 0,000 Signifikan
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya hubungan negatif antara
resiliensi dengan stres pada lansia yang tinggal di panti wreda. Dari hasil
penelitian serta analisis yang telah dilakukan, uji korelasi menunjukkan nilai
koefisien korelasi (r) sebesar -0,748 dengan p = 0,000, dimana hal tersebut
menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara resiliensi dengan
stres pada lansia yang tinggal di panti wreda. Nilai r sebesar -0,748 menunjukkan
korelasi negatif antara kedua variabel tersebut. Hal itu berarti semakin tinggi
resiliensi yang dimiliki para lansia, maka semakin rendah stres pada diri mereka.
Sebaliknya, semakin rendah resiliensi yang dimiliki para lansia, maka semakin
tinggi stres pada diri mereka. Selain itu, berdasarkan hasil analisis data
penelitian, ditemukan nilai r2 = 0,559, dimana hal tersebut menunjukkan bahwa
variabel resiliensi memberi sumbangan sebesar 55,9% bagi variabel stres pada
lansia yang berada di panti wreda, yang artinya 44,1% hasil stres dipengaruhi oleh
faktor lain yang tidak dibahas dalam penelitian ini.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Wagnild dan Young (dalam Shen & Zeng, 2004) memperoleh perbandingan
bahwa lansia yang resilien, lebih baik kesehatan mentalnya dan fungsi fisiknya.
Hal ini membuktikan bahwa lansia yang mempunyai resilien yang baik akan lebih
sehat dan mampu mengerjakan aktifitasnya sendiri. Selain itu lansia yang resilien
15
akan lebih sehat mentalnya, sehingga terhindar dari stres. Menurut Hardy dan Gill
(Lamind dkk. 2009, dalam Shen & Zeng, 2004) resiliensi dianggap sebagai
komponen penting dalam pemulihan dari penyakit dan stres. Major
mengungkapkan bahwa resiliensi dapat mengurangi tekanan setelah mengalami
beberapa peristiwa yang membuat stres (dalam Zur & Gilbar, 2011). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa resiliensi yang di miliki oleh para lansia yang
tinggal di panti wreda cenderung pada tingkat tinggi yakni sebesar 48,8% dari
seluruh subjek penelitian. Sedangkan stres yang dimiliki oleh para lansia yang
tinggal di panti wreda cenderung pada tingkat sedang yakni sebesar 38,8% dari
seluruh subjek penelitian.
Menurut Luthar (Luthar & Cicchetti, 2000; dalam Sun & Stewart, 2007)
resiliensi digambarkan sebagai interaksi antara faktor pelindung dan faktor resiko.
Dimana interaksi antara kedua faktor tersebut adalah proses yang dihasilkan dari
reaksi individu untuk faktor resiko atau kerentanan yang ada dalam
lingkungannya. Individu yang mengalami stres biasanya tidak bisa menghadapi
faktor-faktor resiko tersebut, dimana faktor resiko adalah bahaya-bahaya yang
bekaitan dengan individu, lingkungan individu yang meningkatkan terjadinya
permasalahan. Namun individu yang resilien akan mampu melawan dan
menghadapi faktor resiko tersebut dengan baik. Faktor-faktor yang mampu
meningkatkan kemampuan individu untuk melawan dan menghadapi tekanan
hidup (faktor resiko) adalah faktor pelindung. Adapun faktor-faktor pelindung
yang dapat meningkatkan resiliensi seseorang yaitu faktor individual, faktor
16
keluarga, dan faktor masyarakat di sekitarnya (faktor lingkungan) (dalam Davis,
1999).
Pertama adalah faktor individual dibuktikan dengan adanya beberapa lansia
yang sering mengunjungi wisma lain untuk bermain, mengobrol dan berkeluh
kesah. Selain itu lansia yang resilien mempunyai kepercayaan diri yang cukup
baik, ini dibuktikan pada lansia yang selalu ikut dalam kegiatan-kegiatan yang
diadakan pihak panti, seperti karaoke, keterampilan gamelan,dan lain sebagainya.
Menurut Andrew Steptoe pada University College London, menjelaskan orang
yang lebih sering berhubungan sosial cenderung panjang umur karena akan lebih
mungkin bertahan hidup jika ada orang disekitar kita untuk meminta bantuan.
Faktor-faktor keluarga. di dapatkan bahwa ada beberapa lansia yang secara
berkala dijenguk oleh keluarganya dan sering ditelepon kelurganya dari jauh.
Selain itu ada juga lansia yang sering dikirimi uang setiap bulannya oleh
keluarganya. Ini didukung oleh peneliatian sebelumnya (Rinajumita, 2011)
mengatakan bahwa sebagian besar keluarga dapat menghargai dan menghormati
lansia sebagai orang tua mereka, jika orang tua jauh mereka dapat menjenguk
ataupun menanyakan kondisi orang tua mereka melalui telepon. Dalam penelitian
ini juga.
Faktor dari masyarakat yang memberikan pengaruh terhadap resiliensi pada
individu, yaitu mendapat perhatian dan lingkungan, aktif dalam organisasi
kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggalnya. Lingkungan juga berperan
penting dalam meningkatkan faktor pelindung dari resilinsi. Penelitian
sebelumnya (Sun & Stewart, 2007) mengatakan bahwa resiliensi tidak hanya
17
terdiri dari karakteristik individu itu sendiri, namun juga mencakup faktor
pelindung yang terdapat dalam lingkungan seperti dukungan orang dewasa di
sekolah, dukungan orang dewasa di rumah dan dukungan orang sebaya. Berbeda
dengan penelitian sebelumnya bahwa faktor pelindung pada lansia yang tinggal di
panti wreda berbeda, dimana faktor pelindung yang berada di panti wreda berasal
dari lingkungan sekitar panti seperti perawat, para lansia lain, psikolog, dan lain
sebagainya.
Berdasarkan kategorisasi yang diperoleh pada skala resiliensi yang diterima,
dari total 80 subjek ditemukan 37 subjek yang berada pada kategori sangat rendah
dengan persentase sebanyak 46,2%. Pada kategori sedang terdapat 1 subjek
dengan persentase sebanyak 1,2%. Pada kategori tinggi terdapat 3 subjek dengan
persentase sebanyak 3,8% dan sisanya 39 subjek berada pada kategori sangat
tinggi dengan persentase sebanyak 48,8%.
Berdasarkan kategorisasi yang diperoleh pada skala stres yang diterima, dari
total 80 subjek ditemukan 3 subjek yang masuk dalam kategori rendah dengan
persentase sebanyak 3,8%. Pada kategori rendah terdapat 19 subjek dengan
persentase sebanyak 23,8%. Pada kategori sedang terdapat 31 subjek dengan
persentase sebanyak 38,8%. Sedangkan pada kategori tinggi terdapat 27 subjek
dengan persentase sebanyak 33,8%
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa data yang telah dilakukan,
dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan negatif dan signifikan antara
18
resiliensi dengan stres pada lansia yang berada di panti wreda. Semakin tinggi
resiliensi maka semakin rendah stres yang akan dialami oleh para lansia yang
berada di panti wreda. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah resiliensi
maka semakin tinggi stres yang akan dialami oleh para lansia yang berada di
panti wreda.
2. Saran
a. Bagi Subjek
1) Para lansia yang berada di panti wreda diharapkan dapat menghadapi
kesulitan-kesulitan dalam dirinya seperti stres. Para lansia diharapkan
mampu meningkatkan adaptasi positif, sehingga para lansia mampu
menghadapi stres ataupun kesulitan-kesulitan dalam hidupnya dan
mampu melanjutkan kehidupannya dengan baik.
2) Para lansia yang berada di panti wreda diharapkan meninggalkan hal-
hal yang merugikan sendiri dan oran lain seperti mencela orang lain,
berbicara kasar dengan orang lain, berbohong, tidak memperdulikan
orang lain dan lain sebagainya.
b. Bagi Pihak Panti
1) Memberikan informasi yang tepat mengenai stres bagi lansia baik itu
dampak maupun cara menangani stres yang baik dan benar.
2) Sebaiknya pihak panti memanfaatkan ruang poliklinik untuk sharing
antara ahli dan individu minimal satu minggu sekali dilakukan kepada
individu yang bermasalah sehingga pihak panti mampu melihat
19
permasalahan yang dihadapi para lansia dan dapat memberikan solusi
yang tepat.
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan memakai alat ukur resiliensi yang
tepat untuk lansia, agar pengukuran resiliensi lebih akurat.
b. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengadakan penelitian
mengenai stres dengan menggunakan faktor-faktor lain yang mungkin
dapat mempengaruhi munculnya stres, misalnya status, jumlah anak,
alasan lansia masuk panti wreda, sudah berapa lama lansia berada di
panti wreda dan seberapa besar faktor tersebut berpengaruh pada
munculnya stres dan karakteristik lansia itu sendiri.
20
DAFTAR PUSTAKA
Amigo, T. A. E. (2012). Hubungan Karakteristik dan Pelaksanaan Tugas Keperawatan Kesehatan Keluarga dengan Status Kesehatan pada Aggregate Lansia dengan Hipertensi di Kecamatan Jetis Yogyakarta. Tesis (Diterbitkan). Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Program Magister Ilmu Keperawatan Depok
Azwar, S. (2005). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka pelajar
Calkins, S. D., Blandon, A. Y., Williford, A. P. & Keane, S. P. (2007). Biological, Behavioral, and Relational Levels Of Resilience In The Context Of Risk For Early Childhood Behavior Problems. Development and Psychopathology, 19, 675-700.
Davis, N. J. 1999. Subtance Abuse and Mental Health Services Administration Center for Mental Health Services Division of Program Development, Special Populations & Projects Special Programs Development Branch (301), pp.443-2844. Status of Research and Research-based Programs
Devi, P. S., Sawitri, K. A. & Nurhesti, P. O. Y. (2012). Pengaruh Terapi Warna Hijau Terhadap Stres Pada Lansia di Panti Sosial Tresna Wreda Wana Seraya Denpasar. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Grotberg, E. H. (1995). A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening the Human Spirit. The Bernard van Leer Foundation
Hamilton, A. (2007). The Power of Stress. Menciptakan Stres ditempat Kerja. Jakarta: Prestasi Pustaka Raya
Hurlock, E. B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga
Indriana, Y., Kristiana, I. F., Sonda, A. A. & Intanirian, A. (2010). Tingkat Stres Lansia di Panti Wredha “Pucang Gading” Semarang. Jurnal Psikologi Undip, 8(2).
Karnadi, J. (1999). Stres dalam Kehidupan Sehari-hari. Jakarta: Cermin Dunia
Kedokteran No 123
21
Kartika, D. A. (2011). Resiliensi pada Single mother Pasca Perceraian. Skripsi (Diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
Kartika, D. R. A. (2012). Resiliensi Pada Penderita Gagal Ginjal Terminal Ditinjau dari Dukungan Sosial dan Kebermaknaan Hidup. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.
Lovibond, S. H. & Lovibond, P.f. (1995). Manual for the Depression Anxiety Stress Scales. (2nd Ed) Sydney: Psychology Foundation
Mahsun. (2004). Bersahabat dengan Stres. Yogyakarta: Prisma Media
Maneerat, S., Isaramalai, S. & Boonyasopun, U. (2011). A conceptual structure of resilience among Thai elderly. Journal of behavioral science, 6(1) 25-40.
Nawawi, U. (2009). Sehat dan Bahagia di Usia Senja. Yogyakarta: Dianloka
Permana, C. A. (2013). Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Tingkat Stres Pada Lansia Andropause di Gebang Wilayah Kerja Puskesmas Patrang Kabupaten Jember. Skripsi (Diterbitkan). Jember: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Jember
Potter, P. A. & Perry, A. G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. (Edisi 4). Jakarta: EGC
Rinajumita (2011). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kemandirian Lansia Di Wilayah Kerja Puskesmas Lampasi Kecamatan Payakumbuh Utara. Thesis (Diterbitkan). Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang
Rosenthal, M. S. 2002. 50 Cara Mencegah dan Menghadapi Stres. Jakarta: Prestasi Pustaka
Saputri, M. A. W. & Indrawati, E. S. (2011). Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Depresi pada Lanjut Usia yang Tinggal di Panti Wreda Wening Wardoyo Jawa Tengah. Jurnal Psikologi Undip. Vol.9, No.1, 2011
22
Sarafino, E. P. (1990). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. 2nd Edition. United States of America: John Wiley and Sons, Inc
Segarahayu. R. D. 2013. Pengaruh Manajemen Stres Terhadap Penurunan Tingkat Stres Pada Narapidana Di LPW Malang. Jurnal Psikologi Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negri Malang, 2-5
Shen, K. & Zeng, Y. 2004. The association between resilience and survival
among Chinese elderly. Demographic Research, 23(5).
Siebert, A. (2005). The Resiliency Advantages. San Fransisco: Berret-Koehler Pubhliser Inc
Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Grasindo
Sulandari, S. 2009. Penyesuaian Diri Pada Lansia Yang Tinggal Di Panti Wredha. Skripsi (Diterbitkan). Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Sun, J. & Stewart, D. 2007. Development of population-based resilience measures in the primary school setting. Health education, 107(6), 575-599
Surbakti, E.P. 2008. Stres Dan Koping Lansia Pada Masa Pensiun Dikelurahan Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar Tahun 2008. Skripsi (Diterbitkan). Medan: Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan
Suryabrata, S. (1998). Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: C. V Andi Offset
Taylor, S.E. 2009. Health Psychology. New York: McGraw-Hill
Tugade, M. M. & Frederickson, B. L. (2004). Resilient Individuals use Positive Emotions to Bounce Back from Negative Emotional Experience. Journal of Personality and Social Psychology, 24(2), 320 -333
Wagnild, G. M. & Young, H. M. (1993). Development and Psychometric Evaluation of the Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement, 1(2), 1993
23
Widya, S. (2012). Inilah Daftar Panti Wreda di Provinsi DIY. TRIBUN JOGJA, 23 Juli 2012
Willemsen, J., Markey, S., Declercq, F. & Vanheule, S. (2010). Negative Emotionality in a Large Community Sample of Adolescents: The Factor Structure and Measurement Invariance of the Short Version of the Depression Anxiety Stress Scales (DASS-21). Stress and Health, 27: e120 – e128
Yenni, 2007. Hubungan Dukungan Keluarga dan Karakteristik Lansia dengan Kejadian Srtoke pada Lansia Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Perkotaan Bukit Tinggi. Tesis (Diterbitkan). Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Program Pascasarjana Ilmu Keperawatan
Yi, J. P., Smith, R. E. & Vitaliano, P. P. 2005. Stress-resilience, illness, and coping: A person-focused investigation of young women athletes. Journal Of Behavioral Medicine, 28(3), 0160-7715.
Zur, H. B. & Gilbar, O. 2011. Resilience and Distress: Israelis Respond to the Disengagement from Gaza and the Second Lebanese War. Journal of Community Mental Health, 47, 551-559.
24
Nama : Reni Setya Wardani
Alamat : Tegalmanding No. 3A, Jl. Kaliurang KM 14
Sleman, Yogyakarta
No HP : 085755521799
Email : [email protected]