Date post: | 23-Dec-2015 |
Category: |
Documents |
Upload: | vivitaslim |
View: | 8 times |
Download: | 2 times |
Mengatasi Gigi Anak dengan Kegemukan dan Obesitas:
Pemikiran dan Pedoman Praktis
Dr. Ray Tseng, DDS, PhD1[adjunct assistant professor], Dr. William F. Vann Jr, DMD,PhD2[research professor], and Dr. Eliana M. Perrin, MD, MPH3[associate professor]1Department of Pediatric Dentistry, University of North Carolina at Chapel Hill, Chapel Hill, NC.2Department of Pediatric Dentistry, University of North Carolina at Chapel Hill, Chapel Hill, NC.3Department of Pediatrics, University of North Carolina at Chapel Hill, Chapel Hill, NC.
Abstrak. Prevalensi anak obesitas telah meningkat drastis selama 3 dekade
terakhir. Tujuan penulisan jurnal ini untuk meninjau kesehatan dan keterlibatan
gigi; pedoman terbaru untuk persentase BMI pada anak dan mendiskusikan
langkah selanjutnya yang rasional untuk berkomunikasi dengan orang tua dan
professional medis lainnya. Implikasi kesehatan pada anak obesitas memerlukan
monitoring awal, diagnosis dan tatalaksana. Pola kunjungan anak ke dokter gigi
memberikan peranan besar dan penting untuk mengatasi masalah obesitas pada
anak melalui pemantauan berkala terhadap tinggi, berat badan dan persentase
BMI. Dokter gigi bekerja sama dengan dokter anak, ahli gizi, dan orang tua untuk
mendapatkan hasil yang potensial dalam mengatasi kerugian fisik dan psikososial
efek pada anak obesitas. Kita menganjurkan dokter gigi untuk menentukan tinggi,
berat badan dan persentase BMI pada pasien mereka setidaknya setiap tahun.
Dokter gigi harus merujuk pasien dengna berat badan yang tidak normal ke dokter
anak atau dokter keluarga dan mempertimbangkan dirujuk ke ahli gizi.
Kata kunci: obesitas; kelebihan berat badan; rujukan dan konsultasi indeks massa
tubuh; dokter gigi anak; nutrisi; karies.
Prevalensi anak obesitas / kelebihan berat badan telah meninggkat menjadi
proporsi epidemi di seluruh kategori usia diantara anak-anak dan remaja di
Amerika. Data prevalensi terbaru memperkirakan bahwa kelebihan berat badan
pada anak lebih dari tiga kali lipat sejak 19701 dan saat ini mempengaruhi hampit
32% dari semua anak-anak dan remaja. Selain tantangan medis yang berkaitan
dengan obesitas, anak-anak dengan kelebihan berat badan / obes juga mungkin
mengalami kesulitan phykososial yang signifikan2 dan kualitas hidup yang
rendah.3 Mereka juga lebih cenderung untuk menjadi orang dewasa yang gemuk.4
Meskipun adanya temuan yang menghawatirkan, para tenaga medis professional
di kedua bidang baik kedokteran umum dan kedokteran gigi lambat umtuk
mengimplementasikan protokol klinis untuk membantu dalam diagnosis dan
pengobatan pada anak obesitas / kelebihan berat badan.5-10 Hal ini mungkin
dikarenakan sifat yang sensitive berkaitan dengan berat badan, tetapi dapat juga
karena kurangnya efikasi diri, pengetahuan dan informasi yang diperlukan untuk
benar-benar mendiagnosa dan mengatasi masalah.
Para dokter gigi dan pembantu yang merawat anak-anak dan remaja telah lama
terlibat dengan konseling di kantor untuk pasien dengan masalah kesehatan
umum, termasuk pemantauan tekanan darah,14 merokok dan penghentian
penggunaan alcohol,15,16 dan deteksi terhadap kekesaran pada anak atau anak yang
terlantar.17 Banyak dari upaya ini menunjukan hasil positif yang signifikan.16,17,18
Selain itu, doktergigi dokter gigi yang memiliki sejarah bekerja sama dengan
dokter anak, menghasilkan pedoman professional pada kesadaran, rujukan untuk
karies pada anak usia dini dan aplikasi pernis floride.20-22 Dengan demikian,
dokter gigi adalah posisi yang baik untuk terlibat dalam skrining kelebihan berat
badan / obesitas dan menawarkan konseling dan rujukan pada pelayanan yang
tepat.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk memperjelas definisi dan meringkas efek
pada anak-anak dengan kelebihan berat badan / obesitas; meninjau alasan
keterlibatan dokter gigi dalam keterkaitannya dengan pengumpulan data berat
badan; menawarkan petunjuk untuk skrining tinggi dan berat badan dan
perhitungan indeks massa tubuh; dan mengusulkan rekomendasi untuk langkah
selanjutnya.
Diskusi
Penilaian Kelebihan Berat Badan / obesitas pada Anak melalui Indeks Massa Tubuh
(BMI)
Alat yang paling nyaman dan sering digunakan untuk menyaring kelebihan berat
badan/ obesitas adalah Body Mass Index (BMI) (kg/m2), ukuran berat badan
disesuaikan dengan tinggi badan.23 meskipun alat pengukuran lain seperti lingkar
pinggang mungkin indicator yang lebih sensitive untuk obesitas perut, BMI
merupakan alat yang paling mudah diintegrasikan dalam praktik.23 BMI bukan
merupakan alat ukur adipositas yang baik pada atlit berotot dan orang dewasa yang
telah kehilangan sejumlah besar massa otot,24 tetapi BMI memiliki validitas klinis
yang dapat diterima dan sensivitas yang tinggi untuk tingkat pubertas dari adipose.23
Karena perbedaan tinggi dan berat selama pertumbuhan dan perkembangan, persentil
BMI khusus umur dan jenis kelamin yang digunakan untuk menggambarkan status
berat badan anak.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) telah menerbitkan grafik BMI
standar umntuk menentukan persentil BMI untuk anak-anak,25 dan kalkulator BMI
berbasis internet secara gratis. pada consensus saat ini mengenai persentil BMI dan
kategori yang sesuai digambarkan pada tabel 1. Setiap kategori berat, selain “berat
badan yang sehat” (fifth-84th percentile) serta lintasan pertumbuhan BMI meningkat
pesar dan dapat menjadi penyebab keprihatinan dan diskusi antara penyedia, orang tua
dan pasien.
Konsekuensi Kesehatan pada Anak Kelebihan Berat Badan/Obesitas
“kelebihan berat badan/obesitas” adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan
rentang berat badan pada tinggi badan tertentu yang lebih besar dari apa yang
umumnya dianggap sehat.26 kategori ini berkaitan dengan kemungkinan peningkatan
masalah kesehatan yang memiliki konsekuensi langsung dan implikasi kesehatan
jangka panjang yang mungkin terjadi pada orang dewasa.27,28 hal ini termasuk sesak
saat tidur, tekanan darah tinggi, kolesterol darah dan trigliserida meningkat,
intoleransi glukosa dan peningkatan kadar enzim hati terkait dengan hati.4,28
Salah satu penyakit terkait dengan obesitas yang paling umum pada masa anak-anak
adalah diabetes tipe 2, sekarang terhitung sekitar 45% dari kasus baru didiagnosa
dengan diabetes mellitus, dengan mayoritas diagnose pada anak dengan kelebihan
berat badan.29 bersamaan dengan kenaikan berat badan pada anak dan tekanan darah
tinggi,30-32 batu empedu sebelumnya banyak ditemukan pada orang dewasa, dan mulai
meningkat pada usia sekolah.29,33-36 Perubahan pertumbuhan tulang,37 stigma
negative,38 kecemasan, depresi dan ketidakpuasaan ukuran tubuh menjadi masalah
lain yang ditemukan pada anak yang kelebihan berat badan daripada anak dengan
berat badan normal.39 akhirnya diakui bahwa hingga 63% dari anak-anak dengan
kelebihan berat badan dapat berkembang menjadi dewasa dengan kelebihan berat
badan/obesitas.40 untuk pertama kalinya dalam sejarah, anak-anak diharapkan
memiliki penurunan harapan hidup selama 5 sampai 20 tahun dibandingkan dengan
orang tua mereka.41
Kelebihan berat badan / obesitas juga memberika implikasi pada gigi untuk anak-
anak, termasuk percepatan dan perkembangan dalam pertumbuhan gigi, peningkatan
masalah karies permukaan halus pada gigi geraham permanen,42,43 dan peningkatan
resiko periodontitis kronik pada masa akhir remaja atau awal dewasa.44 Penelitian
yang meneliti hubungan antara masa anak-anak dengan kelebihan berat
badan/obesitas dengan karies, mengungkapkan hasil yang beragam,45-48 menunjukan
bahwa hubungan antara berat badan dan karies adalah multifaktoral dan kompleks.49
Peningkatan BMI dan adipositas pada anak merupakan tantangan yang signifikan
untuk sedasi pasien gigi anak, termasuk komplikasi pernafasan, komplikasi
kardiovaskular, meningkatkan kemungkinan untuk aspirasi dan kesulitan dalam
mencapai tingkat dan durasi sedasi yang diinginkan.50 perubahan psikososial juga
dapt mempengaruhi interkasi dan kepatuhan pada kesehatan professional termasuk
dokter gigi.
Peranan Dokter Gigi dalam Menangani Anak-anak dengan Kelebihan Berat
Badan/Obesitas
Secara historis, menilai dan menangani anak kelebihan berat badan/obesitas telah
menjadi lingkup dari dokter anak atau dokter keluarga. Peningkatan epidemic
obesitas, jelas bahwa skrining pada saat kunjungan mungkin tidak lagi menjadi
strategi yang layak untuk mengatasi masalah ini. Dokter gigi mungkin akan
membantu dalam mendiagbosis sebagian kecil anak dibandingkan persentase yang
didiagnosa oleh dokter. Keberhasilan ini kecil, namun membuat perbedaan yang
signifikan pada level populasi.51
Mengingat status berat badan dan diet yang berkorelasi terkait dengan kesehatan gigi,
dokter gigi memiliki kesempatan untuk bekerja sama dengan penyedia pelayanan
kesehatan lainnya seperti dokter anak, dokter keluarga dan ahli gizi untuk mengatasi
epidemic. Kepemimpinan dan pernyataan kebijakan dari American Academy of
Pediatrics, the American Academy of Pediatrics Dentistry, the American Dietetic
Association mendukung kolaborasi tersebut.52-54
Sebuah studi terbaru oleh Braithwaite menemukan bahwa mayoritas dokter
gigi pediatric di North Carolina mengatakan bahwa mereka memahami konsep
BMI dan pentingnya menangani anak kebelihan berat badan, namun hanya
sekitar 14% yang benar-benar bias mengidentifikasi komponen data untuk
penilaian BMI pada anak.9 Selain itu, hanya 7% melaporkan bahwa mereka
merasa nyaman menangani masalah berat badan pada orang tua.9 Perrin et al
menemukan bahwa dokter anak di NC memiliki rasa percaya diri yang rendah
untuk mengatasi epidemiologi obesitas yang berasal dari kurangnya pelatihan
dan pengalaman.10 studi ini menyoroti fakta bahwa kesehatan anak
professional sepakat bahwa kelebihan berat badan pada masa anak-anak
merupakan masalah kesehatan yang signifikan dan bersedia untuk membantu
masalah itu,9,10 tetapi dengan latihan yang lebih. Tampak jelas bahwa dokter
perlu meningkatkan pengetahuan dan kenyamanan untuk mengatasi masalah
tersebut.55
Langkah pertama dalam mengatasi kelebihan berat badan pada anak dengan
skrining tepat waktu. Hal ini memerlukan tinggi dan berat badan, kolaborasi
antara lokasi pengumpulan (dalam hal ini kalangan professional kesehatan
termasuk dokter anak dan dokter gigi) dan pemahaman tentang langkah
selanjutnya dalam diagnosis dan pengobatan pada obesitas.
Dokter gigi yang merawat anak-anak berada dalam posisi yang unik untuk
membantu mengatasi masalah epodemi obesitas karena beberapa alasan.
Pertama, dokter gigi dapat melihat anak pada usia 1 tahun, memberikan
kesempatan konseling dan pemantauan berat badan pada usia dini. Normal
persentil BMI tidak tersedia untuk anak-anak dibawah 2 tahun. Untuk anak-
anak ini, dokter gigi didorong untuk mengandalkan bimbingan antisipasi yang
mencakup diskusi tentang kebiasaan makan yang tepat, pentingnya
menghindari makanan yang padat kalori, makanan rendah nutrisi, dan
konsekuensi dari lintasan pertumbuhan nonideal yang mengarah pada
perkembangan kelebihan berat badan atau obesitas. Dimulai pada usia 2 tahun
atau cukup umur, dokter gigi harus mengukur dan mencatat tinggi, berat
badan dan persentil BMI secara berkala. Hal ini akan mempermudah
penyediaan data longitudinal tentang pertumbuhan dan perkembangan anak.
Kedua, dokter gigi memiliki kemungkinan lebih tinggi dari dokter anak untuk
melihat secara teratur untuk kunjungan berikutnya. Pada usia 3 tahun,
persentase anak dengan 1 atau lebih kunjungan ke dokter gigi (55%)56
melampaui anak-anak dengan 1 atau lebih kunjungan ke dokter anak (51%)13
tren ini berkelanjutan dengan perbedaan terbesar terjadi pada rentang usia 6-
12 tahun (55% untuk kunjungan ke dokter gigi dan 34% untuk kunjungan
medis). Dengan usia 6 tahun, sesuai dengan tahunan kunjungan, baik ke
dokter anak dan dokter keluarga menurun dari 81% menajdi 64% selama
tahun pertama kehidupan (tabel 2)13 dengan 6-12 tahun mengunjungi dokter
gigi rata-rata 4 kali lebih sering dibandingkan dokter anak (tabel 3).13,56
Implikasinya bukan berarti dokter gigi harus menggantikan dokter anak atau
dokter keluarga dalam menangani anak dengan kelebihan berat badan, tetapi
dokter gigi dapat memanfaatkan kunjungan tersebut untuk menambah
pemeriksaan dan konseling untuk melengkapi upaya seorang dokter dalam
menangani kelebihan berat badan atau obesitas.
Ketiga, dokter gigi merupakan sumber yang kredibel untuk konseling diet dan
nasehat tentang pencegahan karies. Kebanyakan dokter gigi yang merawat
anak-anak merasa bahwa konseling diet merupakan komponen penting dari
kesehatan mulut.57 Dorongan utama konseling diet dari dokter gigi,
bagaimanapun berfokus pada pengurangan makanan karbogenik dan
kebiasaan konsumsi.57 Dokter gigi dapat dengan mudah memperluas upaya
konseling diet untuk menekan implikasi dari pola makan yang buruk pada
kesehatan mulut dan sistemik yang meluas hingga dewasa. Hal ini mendorong
bahwa penelitian awal tentang konseling diet berbasis dokter gigi terbukti
berhasil, layak diterima dengan baik dan efektif dalam mengubah kebiasaan
makanan anak dan orang tua.58,59
Keempat, beberapa dokter gigi mengukur berat badan dan tinggi anak untuk
tujuan lain. Berat sangaty penting untuk menghitung dosis yang aman untuk
anestesi local dan untuk prosedur sedasi yang paling sadar atau rehabilitasi
gigi dengan anestesi umum. Untuk praktisi ini, perhitungan dan pelacakan
longitudinal BMI persentil hanya membutuhkan peruibahan kecil dalam
protocol rutin.
Kelima, peralatan minimal yang dibutuhkan untuk mengumpulkan
pengukuran berat badan/ tinggi badan yang dapat dikumpulkan dengan sedikit
gangguan dari pasien. Peralatan yang dibutuhkan BMI untuk mengukur
persentil hanya mencakup skala untuk mengukur berat badan dan stadiometer
untuk mengukur tinggi keduanya dapat diperoleh untuk biaya permulaan dan
perawatan yang rendah.
Halaman 6
Berat Badan yang Sehat (BMI ≥5-84%)
Studi epidemiologi dan intervensi pada manusia telah mengungkapkan hubungan erat
antara penyakit periodontal dan penyakit sistemik, seperti penyakit kardiovaskular (CVD)
(1-8), kelahiran prematur dengan berat lahir rendah (PTLBW) (9-14), diabetes mellitus
(15-18), infeksi saluran pernafasan (19), dan osteoporosis (20,21). Dari hasil tersebut,
tidak berlebihan bila dinyatakan bahwa infeksi periodontal merupakan faktor risiko yang
signifikan untuk terjadinya berbagai penyakit sistemik. Porphyromonas gingivalis telah
dilaporkan terlibat dalam perkembangannya menjadi penyakit sistemik akibat peradangan
sistemik dengan peningkatan sitokin yang beredar dan mediator, infeksi langsung,dan
reaktivitas silang / molekuler antara antigen bakteri dan self-antigen (22). Selain itu,
patogen periodontal termasuk P. gingivalis telah terdeteksi pada katup jantung dan plak
ateromatosa (5,6), cairan ketuban ibu hamil dengan ancaman persalinan prematur (11),
dan plasenta dari persalinan prematur (12,13). Meskipun peran definitif untuk P.
Gingivalis pada penyakit sistemik belum ditetapkan, keterlibatan kuat bakteri ini dalam
gangguan sistemik telah sangat erat kaitannya.
Ulasan ini memberikan gambaran tentang hubungan antara periodontitis kronis dan
penyakit sistemik, termasuk CVD, PTLBW, diabetes mellitus, penyakit pernapasan, dan
osteoporosis.
1. Periodontitis
Penyakit periodontal, termasuk gingivitis dan periodontitis kronis, adalah infeksi
serius yang bila tidak diobati, dapat menyebabkan lepasnya gigi. Penyakit periodontal
dilaporkan telah mengenai setidaknya satu gigi pada 80% orang dewasa di seluruh dunia
(23), dengan penyebab utama bakteri pada plak gigi (juga disebut biofilm), yang lengket,
yang mewarnai gigi (Gambar1). Manifestasi gingivitis berupa kemerahan, bengkak pada
gusi, dan perdarahan yang terjadi ketika menyikat gigi, dan dapat berkembang menjadi
periodontitis jika tidak diobati. Seiring waktu plak biofilm dapat menyebar dan tumbuh
pada area subgingival dan toksin yang dihasilkan oleh bakteri pada plak biofilm
mengiritasi gusi. Toksin tersebut menstimulasi respon inflamasi kronis, yang mana pada
tubuh, memegang peranan penting, dan merusak jaringan dan tulang yang menopang gigi.
Pada proses ini, gigi terpisah dari gigi dan membentuk celah periodontal (ruang
antara gigi dan gusi) yang menjadi terinfeksi. Seiring perkembangan penyakit, celah
menjadi lebih dalam dan lebih banyak jaringan gusi dan tulang yang rusak. Proses
dekstruktif ini sering menunjukan gejala yang minimal, yang pada akhirnya gigi dapat
goyang dan mungkin perlu dicabut. Di negara maju, periodontitis kronis telah
diperkirakan mengenai hingga 22% dari populasi orang dewasa, dengan bentuk sedang
dan berat mengenai 13% populasi (23). Meskipun etiologi periodontitis kronis adalah
multifaktorial, ada bukti yang menunjukkan bahwa bakteri gram-negatif spesifik dalam
plak biofilm subgingiva memainkan peran penting dalam perkembangan penyakit (23).
Dalam rongga mulut terdapat lebih dari 700 spesies bakteri yang berbeda dan lebih dari
400 spesies pada celah periodontal. Di antara berbagai spesies bakteri pada plak
subgingiva, bukti substansial menunjukkan terdapat 3 spesies yang berperan dalam
inisiasi dan perkembangan penyakit, yaitu P.gingivalis, Treponema denticola, dan
Tannerella forsythia, dengan P.gingivalis terlibat sebagai agen etiologi utama (24).
2. Penyebaran Oral - Hematogen dari Bakteri
Dalam rongga mulut, sistem pertahanan tubuh diduga bertindak dalam membatasi
penyebaran bakteri mulut dengan mempertahankan epitel gingiva tetap utuh, sebagai
barrier fisik. Epitel juga penting dalam pembentukan respon inflamasi host (25). Namun,
seiring perkembangan penyakit, epitel menjadi ulserasi sehingga mengekspos jaringan
ikat yang mendasari dan kapiler darah ke plak biofilm. Daerah ulseratif yang terkena,
yang memiliki luas berkisar 8-20 cm2 dalam rongga mulut dengan periodontitis sedang
(26,27), memfasilitasi langsung organisme biofilm untuk masuk ke sirkulasi selama
makan dan menyikat gigi. Penyebaran oral hematogen dari bakteri ini diduga menjadi
penyebab utama penyakit sistemik terkait periodontitis (Gambar 2). Selanjutnya, leukosit
polimorfonuklear perifer (PMNLs) dari pasien dengan periodontitis telah dilaporkan lebih
hiperaktif dibandingkan kontrol dengan pelepasan spesies oksigen reaktif (28) dan PMNL
spesifik protease (28).
Selain itu, tingkat marker inflamasi juga meningkat (29) dan pertahanan antioksidan
tampaknya terganggu (30). Perlu dicatat bahwa terapi periodontal anti-infeksi tradisional,
seperti scaling dan root planing, dengan atau tanpa antibiotik ajuvan, tidak hanya
memperbaiki gejala klinis periodontitis, tetapi juga memperbaiki status antioksidan lokal
dan disfungsi endotel vaskular sistemik (31) dan mengurangi hiper-reaktivitas PMNL
(28).
3. CVD
CVD mengacu pada sekelompok gangguan pada jantung dan pembuluh darah dan
termasuk tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongestif,
stroke, dan infark miokard (32). Penyakit ini tercatat menyebabkan sekitar 17 juta
kematian per tahun dan 40% dari semua kematian di seluruh dunia, dengan aterosklerosis
merupakan etiologi yang mendasari sebagian besar kasus (32). Selain faktor eksaserbasi
tradisional, seperti merokok, hiperkolesterol, hipertensi, dan diabetes mellitus (32),
periodontitis telah terbukti berhubungan dengan perkembangan aterosklerosis (23). Baru-
baru ini, sebuah konsensus tentang "Periodontitis dan Aterosklerotik pada Penyakit
Kardiovaskular" yang disajikan dalam American Journal of Cardiology dan Journal of
Periodontology mencatat hubungan yang signifikan antara periodontitis dan CVD
aterosklerosis (34, 35).
Hubungan antara PJK dan periodontitis pertama kali dilaporkan pada akhir tahun
1980-an (36). Kesehatan periodontal merupakan prediktor signifikan dari atheromatosis
koroner bersama dengan parameter berikut: usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi,
merokok, hipertensi, jumlah infark miokard sebelumnya, diabetes mellitus, indeks massa
tubuh, dan tingkat serum lipid (1). Sejak diketahui bahwa terdapat hubungan
epidemiologi yang signifikan pada waktu itu, investigasi etiologi tidak dilakukan untuk
menentukan apakah infeksi oral merupakan faktor risiko CVD atau apakah bakteri mulut
secara langsung mempengaruhi kondisi kardiovaskular. Namun, dalam dekade terakhir,
hubungan sebab akibat antara epidemiologi penyakit periodontal dan penyakit jantung
koroner telah dipertimbangkan kembali (2), dengan meta-analisis mengungkapkan bahwa
penyakit periodontal kemungkinan terkait dengan risiko PJK di masa depan, yang
meningkat pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun (3). DNA bakteri dari patogen
periodontal, seperti P. gingivalis, T. forsythia, T. denticola, Aggregatibacter
actinomycetemcomitans, dan Campylobacter rektus, telah terdeteksi di sampel plak arteri
koroner (4) yang mengalami stenosis dan pada dinding pembuluh darah dan jaringan
trombus yang aneurisma (5). Dalam studi terakhir, pasien dengan penyakit Buerger
memiliki titer serum IgG yang lebih tinggi secara signifikan terhadap T. denticola, P.
gingivalis, dan A. actinomycetemcomitans, sementara DNA bakteri tersebut telah
terdeteksi dalam jaringan arteri yang oklusi (6). Sebagai tambahan, adanya P. gingivalis
di stenosis spesimen plak arteri koroner dari pasien dengan periodontitis berat 5 kali lipat
lebih besar dibandingkan pada mereka dari pasien dengan periodontitis sedang (4).
Namun, hasil tersebut tidak pasti untuk langsung menyiratkan bahwa patogen periodontal
pada lesi langsung terlibat dalam pembentukan plak aterogenik. Dengan demikian,
percobaan pada hewan yang dilakukan, yang jelas menunjukkan bahwa infeksi oral
dengan P. gingivalis diperburuk atheromatosis (37-39). Tikus dengan defisiensi ApoE
dengan diet tinggi lemak memiliki plak aterogenik berkembang cepat menjadi
aterosklerosis bila terinfeksi P. gingivalis melalui jalur oral (37, 38). Selain itu, P.
gingivalis ditunjukkan untuk melokalisasi dalam berbagai jaringan oleh analisis
polymerase chain reaction (PCR), sementara penanda level P. gingivalis-spesifik IgG
dalam serum juga dilaporkan (39). Hasil tersebut menunjukkan bahwa organisme P.
gingivalis dapat menembus jaringan gingiva dan masuk ke aliran darah dan kemudian
memainkan peran langsung atau tidak langsung dalam perkembangan aterosklerosis.
Suatu ciri penting dalam perkembangan dini lesi aterosklerosis adalah penyerapan
kolesterol oleh makrofag untuk membentuk sel busa serta akumulasi lipid dalam ruang
subendothelial (7).
Gambar. 1. Penyebab periodontitis. Penyebab utama periodontitis adalah plak bakteri (juga
disebut biofilm), lengket, film yang tidak berwarna yang terus-menerus terbentuk pada gigi.
Seiring waktu, plak biofilm dapat menyebar dan tumbuh di bawah garis gusi, dan racun yang
dihasilkan oleh bakteri dalam
plak biofilm mengiritasi gusi. Racun merangsang respon inflamasi pejamu yang menginduksi
kerusakan epitel dan jaringan ikat, serta tulang pendukung gigi. Setelah itu, gusi terpisah dari gigi
dan membentuk kantung periodontal (ruang antara gigi dan gusi), tempat berlabuh berbagai
patogen periodontal. Selama perkembangan penyakit, kantong menjadi lebih dalam dan jaringan
gusi dan tulang yang hancur bertambah (1). Ilustrasi digambarkan oleh Shu Yoshimori (Kobe
Desain University, Kobe, Jepang).
Gambar. 2. Penyebab penyakit sistemik terkait periodontitis. Fungsi epitel gingiva sebagai
penghalang fisik bawaan untuk melindungi jaringan periodontal jaringan dari bakteri. Namun,
dengan berkembangnya penyakit, peradangan lokal mengulserasi epitel untuk mengekspos dasar
jaringan ikat dan kapiler darah menjadi plak biofilm. Daerah ulseratif yang terkena (8-20 cm2 yang
terkena dampak dalam rongga mulut) memfasilitasi langsung masuknya patogen biofilm ke dalam
sirkulasi selama
makan dan menyikat gigi. Akhirnya, patogen periodontal dapat untuk bermigrasi ke seluruh tubuh.
Penyebaran bakteri hematogen oral ini merupakan penyebab utama periodontitis yang diturunkan
penyakit sistemik.
Gambar. 3. P. gingivalis menginternalisasi dan merusak trofoblas. A: Fluorescent gambar
mikroskopis confocal trofoblast (merah) yang terinfeksi dengan P. gingivalis (hijau) pada
multiplisitas infeksi (moi) dari 100 selama 2 jam. Gambar 3 dimensi ini dibuat dengan perangkat
lunak Imaris. B: Infeksi P. gingivalis menginduksi perubahan morfologi dan menghambat
proliferasi dalam sel trofoblas. Gambar mikroskopis cahaya menunjukkan morfologi trofoblas
terinfeksi P. gingivalis pada moi dari 200 serta dengan Fusobacterium nucleatum pada moi dari
200 untuk 24 jam. F. nucleatum adalah spesies bakteri mulut Gram-negatif terkait dengan
perkembangan penyakit periodontal, tetapi tidak dianggap sebagai bonafide patogen periodontal
(24). Sel kontrol yang tidak terinfeksi. (Direproduksi dengan izin dari Ref. 14.)
Sel busa juga merangsang produksi sitokin pro-inflamasi, yang menyebabkan
perkembangan lebih lanjut dari aterosklerosis. Low-density lipoprotein (LDL) dilaporkan
mengikat protein spesifik P. gingivalis dan agregat ditemukan untuk menginduksi
makrofag murine untuk membentuk sel busa (8). Temuan itu juga menunjukkan
kemungkinan mekanisme P. gingivalis menyebabkan aterosklerosis dalam aliran darah.
Selain itu, studi terbaru kami menunjukkan mekanisme cholesterolin dependent terlibat
dalam pembentukan penyakit pembuluh darah yang berhubungan dengan P. gingivalis
(40,41). Rincian mekanisme tersebut dibahas dan disertakan ulasannya dalam buku ini
(42, 43).
5. Kelahiran prematur berat badan lahir rendah
Kelahiran prematur terjadi pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu, kecuali dalam
kasus batasan usia rendah kehamilan atau abortus spontan (44). Infeksi bakteri
merupakan salah satu penyebab utama kelahiran prematur berat badan lahir rendah dan
dilaporkan terkait dengan adanya spesies Mycoplasma, terutama Ureaplasma
urealyticum, dan banyak organisme lain dalam amnion, chorion, rongga amnion, dan
janin (44). Seperti infeksi bakteri lokal mengakibatkan bakteri vaginosis dan
korioamnionitis, yang dapat menyebabkan spontan kelahiran prematur pada kehamilan
awal (23, 44). Baru-baru ini, periodontitis telah diteliti sebagai kemungkinan penyebab
kelahiran prematur berat badan lahir rendah, dan berbagai studi epidemiologi
menunjukkan hubungan antara kesehatan periodontal dan kondisi(9), dengan odds ratio
berkisar 1,1-20 ditampilkan dengan meta-analisis, meskipun tidak semua studi fenomena
kompleks ini berhasil menemukan hubungan (10).
Patogen periodontal termasuk P. gingivalis yang dideteksi dengan menggunakan alat
tes PCR dalam cairan ketuban dari wanita hamil dengan diagnosis dini terancam
persalinan prematur (11) serta dalam plasenta wanita dengan preeklampsia (12). Dalam
pemeriksaan imunohistokimia, lokalisasi P. gingivalis juga ditunjukkan dalam jaringan
plasenta, termasuk syncytiotrofoblas, chorionic trofoblas, sel-sel desidua, dan epitel
amnion sel, serta sel-sel pembuluh darah, yang diperoleh dari wanita dengan
korioamnionitis pada kehamilan kurang dari 37 minggu (13). Organisme P. gingivalis
yang terus menerus terinfeksi melalui pembuluh kapiler di wilayah dorsolumbar dari
kelinci, setelah P. gingivalis ditemukan untuk mencapai bagian transplasenta (45). P.
gingivalis juga dilaporkan menyerang kedua ibu dan jaringan janin tikus, yang
mengakibatkan korioamnionitis dan placentitis (46). Selanjutnya, P. gingivalis
ditunjukkan menyerang plasenta trofoblas dan menginduksi apoptosis oleh penangkapan
siklus sel (14), seperti ditunjukkan pada Gambar. 3. Meskipun penyelidikan tambahan
diperlukan untuk membangun hubungan etiologi dari kelahiran kelahiran prematur berat
badan lahir rendah dengan periodontitis, penyebaran hematogen oral P. gingivalis
tampaknya menjadi salah satu penyebab dari kondisi. Oleh karena itu, kami mengusulkan
penghapusan terapi / penekanan P. gingivalis sebelum kehamilan sebagai faktor penting
untuk persalinan normal.
6. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus adalah suatu kondisi di mana tubuh tidak cukup menghasilkan, atau
tidak merespon dengan benar, insulin, hormon yang diproduksi di pankreas. Insulin
memungkinkan sel untuk menyerap glukosa untuk mengubahnya menjadi energi. Pada
diabetes mellitus, tubuh gagal merespon dengan benar insulin sendiri, tidak membuat
cukup insulin, atau keduanya. Hal ini menyebabkan glukosa menumpuk dalam darah,
yang sering menimbulkan berbagai komplikasi seperti infeksi akut / kronis, penyakit
pembuluh darah, neuropati, nefropati, dan retinopati (47). Jumlah orang dewasa di
seluruh dunia dengan diabetes mellitus diperkirakan peningkatannya hampir dua kali lipat
selama 25 tahun ke depan, dari sekitar 171 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta 2030
(47). Penyakit periodontal merupakan komplikasi potensial diabetes mellitus (23) dan
sifat kronis dari Infeksi dianggap berkontribusi memburuk status diabetes(48), sementara
keberhasilan perawatan periodontal telah disarankan untuk meningkatkan kontrol
metabolik diabetes (49). Sebaliknya, sebuah laporan baru-baru ini berdasarkan meta-
analisis data yang diperoleh dalam 10 percobaan intervensi (total 456 pasien)
mengungkapkan bahwa penurunan hemoglobin terglikasi A1c (HbA1c) setelah terapi
periodontal tidak signifikan secara statistik (50).
Diabetes melitus tipe 1 (sebelumnya dikenal sebagai insulin-dependent atau diabetes
onset anak) ditandai oleh kurangnya produksi insulin. Diabetes mellitus tipe 2
(sebelumnya disebut non-insulin-dependent atau diabetes onset dewasa) disebabkan oleh
penggunaan insulin yang tidak efektif oleh tubuh. Ini sering terjadi karena kelebihan berat
badan dan fisik tidak aktif (47). Tipe 1 diabetes mellitus telah disarankan untuk
meningkatkan kerentanan terhadap periodontitis, terutama dalam kasus-kasus dengan
kontrol metabolik yang buruk dan / atau komplikasi diabetes (16). Dalam studi lain,
terlepas dari peningkatan yang signifikan dalam infeksi periodontal setelah terapi
periodontal, laporan menunjukkan temuan mayoritas pasien diabaikan peningkatan
HbA1c (16). Pada diabetes mellitus tipe II, inflamasi serum sitokin, terutama tumor
necrosis factor (TNF) - α, memiliki efek terhadap sensitivitas insulin, sementara sitokin
yang disebabkan oleh periodontitis dianggap berhubungan dengan kelainan metabolik
yang berhubungan dengan diabetes mellitus (49). P. gingivalis dan komponen-
komponennya, termasuk fimbriae dan lipopolisakarida, dilaporkan mengaktifkan
berbagai sel inang, mengakibatkan pelepasan sitokin seperti interleukin (IL) -1, IL-6, IL-
8, dan TNF-α (51). Perawatan periodontal yang sukses telah disarankan untuk
meningkatkan kontrol metabolik diabetes, mungkin dengan menurunkan TNF-α dan
meningkatkan resistensi insulin (49).
Pemantauan kadar HbA1c untuk menilai managemen diabetes merupakan suatu hal
yang penting, karena buruknya kontrol glikemik dari waktu ke waktu telah dihubungkan
dengan perkembangan komplikasi mikrovaskuler diabetes (17). Menariknya, P.gingivalis
terdeteksi lebih sering pada subjek dengan peningkatan kadar HbA1c setelah perawatan
periodontal dibandingkan dengan yang kadar HbA1c-nya rendah. Selain itu, organisme
P.gingivalis dengan fimbrae tipe II hanya terdeteksi pada subjek dengan kadar HbA1c
meningkat, sedangkan peningkatan kadar HbA1c diamati hanya pada subjek tanpa klon
tipe II. Hasil ini memberi kesan kadar glikemik pada diabetes mellitus dipengaruhi oleh
adanya P.gingivalis pada poket periodontal, khususnya klon dengan fimbriae tipe II (18).
Serum AGEs (Advanced Glycation End Products) juga terbukti secara signifikan
berhubungan dengan kerusakan yang disebabkan oleh periodontitis (15) dan mungkin
merupakan suatu biomarker yang berguna untuk menilai periodontitis yang berhubungan
dengan diabetes mellitus.
7. Infeksi Saluran Pernapasan
Infeksi saluran pernapasan, seperti pneumonia dan PPOK (Penyakit Paru Obstruktif
Kronik) tertentu, terlibat dalam proses aspirasi bakteri dari orofaring ke saluran napas
bawah, dikarenakan suatu kelainan menelan (52). Banyak studi klinis melaporkan suatu
hubungan antara periodontitis dan penyakit saluran pernapasan (19,53), yang
menunjukkan bahwa aspirasi bakteri oral menginfeksi duktus respiratorius. Sebagai
tambahan, P.gingivalis telah terdeteksi pada sputum sampel dari subjek usia lanjut
dengan pneumonia aspirasi (53). Selain itu, infeksi oral karena bakteri ini tampaknya
menyebabkan inflamasi lokal yang berujung ke bronkopneumonia berat dan abses paru
pada tikus (54). Dengan demikian, patogen oral termasuk P.gingivalis merupakan salah
satu penyebab dari penyakit infeksi saluran pernapasan.
8. Osteoporosis
Osteoporosis adalah sebuah kelainan dari sistem skeletal yang ditandai dengan
melemahnya kekuatan tulang, yang menyebabkan meningkatnya resiko fraktur (55).
Dikarenakan baik osteoporosis dan periodontitis mempunyai prevalensi tinggi dan
berhubungan dengan penuaan (20), berbagai studi telah dilakukan untuk meneliti
hubungan antara penyakit-penyakit ini pada dekade terakhir (21). Contohnya, densitas
mineral tulang dalam hubungannya dengan kondisi periodontal diperiksa pada usia lanjut
atau wanita postmenopause pada beberapa studi (20,21). Pada penelitian hewan, tikus
menjadi sasaran untuk prosedur ovariektomi dan pembelajaran, dimana model hewan
osteopenik diketahui memiliki kemiripan perkembangan defisiensi estrogen-yang
diinduksi osteopenia pada manusia (56). Bagaimanapun, disamping berbagai studi
tersebut, belum terdapat hubungan yang jelas antara penyakit-penyakit ini.
9. Kesimpulan
Terdapat bukti yang kuat untuk menunjukkan hubungan erat antara periodontitis dan
beberapa penyakit sistemik, diantaranya atherosklerosis dan diabetes mellitus tipe 2 yang
paling mungkin berhubungan dengan periodontitis. Penyakit sistemik yang berhubungan
dengan periodontitis ini kemungkinan disebabkan oleh penyebaran hematogen bakteri
oral, dengan P.gingivalis yang dalam beberapa penelitian diduga memiliki peran
etiologis. Namun, beberapa mekanisme yang dianggap terlibat dalam penyakit sistemik
akibat P.gingivalis, masih dilakukan penyelidikan lebih lanjut. Namun demikian, terdapat
bukti yang jelas tentang hubungan epidemiologi antara periodontitis dan beberapa
penyakit sistemik, seperti yang dibahas di atas; maka pengendalian penyakit mulut sangat
penting untuk pencegahan dan pengelolaan kondisi sistemik. Dalam hal ekonomi medis,
pemahaman tentang hubungan antara peridontitis dan penyakit sistemik memiliki potensi
untuk mengubah kebijakan kesehatan, dengan manfaat ekonomi berikutnya.
Kepustakaan
1 Mattila KJ, Valle MS, Nieminen MS, Valtonen VV, Hietaniemi KL. Dental infections and
coronary atherosclerosis. Atherosclerosis. 1993;103:205–211.
2 Hujoel PP, Drangsholt M, Spiekerman C, Derouen TA. Examining the link between coronary
heart disease and the elimination of chronic dental infections. J Am Dent Assoc. 2001;132:
883–889.
3 Janket SJ, Baird AE, Chuang SK, Jones JA. Meta-analysis of periodontal disease and risk of
coronary heart disease and stroke. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod.
2003;95:559–569.
4 Ishihara K, Nabuchi A, Ito R, Miyachi K, Kuramitsu HK, Okuda K. Correlation between
detection rates of periodontopathic bacterial DNA in coronary stenotic artery plaque corrected
and in dental plaque samples. J Clin Microbiol. 2004;42:1313–1315.
5 Iwai T, Inoue Y, Umeda M, Huang Y, Kurihara N, Koike M, et al. Oral bacteria in the occluded
arteries of patients with Buerger disease. J Vasc Surg. 2005;42:107–115.
6 Nakano K, Nemoto H, Nomura R, Inaba H, Yoshioka H, Taniguchi K, et al. Detection of oral
bacteria in cardiovascular specimens. Oral Microbiol Immunol. 2009;24:64–68.
7 Ross R. The pathogenesis of atherosclerosis: a perspective for the 1990s. Nature. 1993;362:801–
809.
8 Kuramitsu HK, Kang IC, Qi M. Interactions of Porphyromonas gingivalis with host cells:
implications for cardiovascular diseases. J Periodontol. 2003;74:85–89.
9 Vettore MV, Leal M, Leão AT, da Silva AM, Lamarca GA, Sheiham A. The relationship
between periodontitis and preterm low birthweight. J Dent Res. 2008;87:73–78.
10 Wimmer G, Pihlstrom BL. A critical assessment of adverse pregnancy outcome and periodontal
disease. J Clin Periodontol. 2008;35:380–397.
11 Leon R, Silva N, Ovalle A, Chaparro A, Ahumada A, Gajardo M, et al. Detection of
Porphyromonas gingivalis in the amniotic fluid in pregnant women with a diagnosis of
threatened premature labor. J Periodontol. 2007;78:1249–1255.
12 Barak S, Oettinger-Barak O, Machtei EE, Sprecher H, Ohel G. Evidence of periopathogenic
microorganisms in placentas of women with preeclampsia. J Periodontol. 2007;78:670–676.
13 Katz J, Chegini N, Shiverick KT, Lamont RJ. Localization of P. gingivalis in preterm delivery
placenta. J Dent Res. 2009;88: 575–578.
14 Inaba H, Kuboniwa M, Bainbridge B, Yilmaz O, Katz J, Shiverick KT, et al. Porphyromonas
gingivalis invades human trophoblasts and inhibits proliferation by inducing G1 arrest and
apoptosis. Cell Microbiol. 2009;11:1517–1532.
15 Takeda M, Ojima M, Yoshioka H, Inaba H, Kogo M, Shizukuishi S, et al. Relationship of
serum advanced glycation end products with deterioration of periodontitis in type 2 diabetes
patients. J Periodontol. 2006;77:15–20.
16 Silvestre FJ, Miralles L, Llambes F, Bautista D, Solá-Izquierdo E, Hernández-Mijares A. Type
1 diabetes mellitus and periodontal disease: relationship to different clinical variables. Med
Oral Patol Oral Cir Bucal. 2009;14:E175–E179.
17 Tervonen T, Lamminsalo S, Hiltunen L, Raunio T, Knuuttila M. Resolution of periodontal
inflammation does not guarantee improved glycemic control in type 1 diabetic subjects. J Clin
Periodontol. 2009;36:51–57.
18 Makiura N, Ojima M, Kou Y, Furuta N, Okahashi N, Shizukuishi S, et al. Relationship of
Porphyromonas gingivalis with glycemic level in patients with type 2 diabetes following
periodontal treatment. Oral Microbiol Immunol. 2008;23:348–351.
19 Leuckfeld I, Obregon-Whittle MV, Lund MB, Geiran O, Bjørtuft Ø, Olsen I. Severe chronic
obstructive pulmonary disease: association with marginal bone loss in periodontitis. Respir
Med. 2008;102:488–494.
20 Reddy MS. Oral osteoporosis: is there an association between periodontitis and osteoporosis?
Compend Contin Educ Dent. 2002;23:21–28.
21 Groen JJ, Menczel J, Shapiro S. Chronic destructive periodontal disease in patients with
presenile osteoporosis. J Periodontol. 1968;39:19–23.
22 Seymour GJ, Ford PJ, Cullinan MP, Leishman S, Yamazaki K. Relationship between
periodontal infections and systemic disease. Clin Microbiol Infect. 2007;13:3–10.
23 Pihlstrom BL, Michalowicz BS, Johnson NW. Periodontal diseases. Lancet. 2005;366:1809–
1820.
24 Holt SC, Ebersole JL. Porphyromonas gingivalis , Treponema denticola , and Tannerella
forsythia : the “red complex”, a prototype polybacterial pathogenic consortium in periodontitis.
Periodontol 2000. 2005;38:72–122.
25 Milward MR, Chapple IL, Wright HJ, Millard JL, Mattews JB, Cooper PR. Differential
activation of NF- κ B and gene expression in oral epithelial cells by periodontal pathogens.
Clin Exp Immunol. 2007;148:307–324.
26 Hujoel PP, White BA, Garcia RI, Listgarten MA. The dentogingival epithelial surface area
revisited. J Periodontal Res. 2001; 36:48–55.
27 Kinane DF, Riggio MP, Walker KF, MacKenzie D, Shearer B. Bacteraemia following
periodontal procedures. J Clin Periodontol 2005;32:708–713.
28 Matthews JB, Wright HJ, Roberts A, Ling-Mountford N, Cooper PR, Chapple IL. Neutrophil
hyper-responsiveness in periodontitis. J Dent Res. 2007;86:718–722.
29 Loos BG. Systemic markers of inflammation in periodontitis. J Periodontol. 2005;76:2106–
2115.
30 Chapple IL, Brock GR, Milward MR, Ling N, Matthews JB. Compromised GCF total
antioxidant capacity in periodontitis: cause or effect? J Clin Periodontol. 2007;34:103–110.
31 Mercanoglu F, Oflaz H, Oz O, Gökbuget AY, Genchellac H, Sezer M, et al. Endothelial
dysfunction in patients with chronic periodontitis and its improvement after initial periodontal
therapy. J Periodontol. 2004;75:1694–1700.
32 Seymour GJ, Ford PJ, Cullinan MP, Leishman S, West MJ, Yamazaki K. Infection or
inflammation: the link between periodontal and cardiovascular diseases. Future Cardiol.
2009;5: 5–9.
33 Kusuyama T, Omura T, Nishiya D, Enomoto S, Matsumoto R, Takeuchi K, et al. Effects of
treatment for diabetes mellitus on circulating vascular progenitor cells. J Pharmacol Sci. 2006:
102:96–102.
34 Friedewald VE, Kornman KS, Beck JD, Genco R, Goldfine A, Libby P, et al. The american
journal of cardiology and journal of periodontology Editors’ consensus: periodontitis and
atherosclerotic cardiovascular disease. Am J Cardiol. 2009;104:59–68.
35 Friedewald VE, Kornman KS, Beck JD, Genco R, Goldfine A, Libby P, et al. The aJournal of
cardiology and journal of periodontology editors’ consensus: periodontitis and atherosclerotic
cardiovascular disease. J Periodontol. 2009;80:1021–1032.
36 Mattila KJ, Nieminen MS, Valtonen VV, Rasi VP, Kesäniemi YA, Syrjälä SL, et al.
Association between dental health and acute myocardial infarction. BMJ. 1989;298:1579–
1580.
37 Li L, Messas E, Batista EL Jr, Levine RA, Amar S. Porphyromonas gingivalis infection
accelerates the progression of atherosclerosis in a heterozygous apolipoprotein E-deficient
murine model. Circulation. 2002;105:861–867.
38 Lalla E, Lamster IB, Hofmann MA, Bucciarelli L, Jerud AP, Tucker S, et al. Oral infection
with a periodontal pathogen accelerates early atherosclerosis in apolipoprotein E-null mice.
Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2003;23:1405–1411.
39 Gibson FC 3rd, Hong C, Chou HH, Yumoto H, Chen J, Lien E, et al. Innate immune
recognition of invasive bacteria accelerates atherosclerosis in apolipoprotein E-deficient mice.
Circulation. 2004;109:2801–2806.
40 Inaba H, Hokamura K, Nakano K, Nomura R, Katayama K, Nakajima A, et al. Upregulation of
S100 calcium-binding protein A9 is required for induction of smooth muscle cell proliferation
by a periodontal pathogen. FEBS Lett. 2009;583:128–134.
41 Hokamura K, Inaba H, Nakano K, Nomura R, Yoshioka H, Taniguchi K, et al. Molecular
analysis of aortic intimal hyperplasia caused by Porphyromonas gingivalis infection in mice
with endothelial damage. J Periodontal Res. 2010;45:337–344.
42 Hokamura K, Umemura K. Roles of oral bacteria in cardiovascular diseases – from molecular
mechanisms to clinical cases: Porphyromonas gingivalis is the important role of intimal
hyperplasia in the aorta. J Pharmacol Sci. 2010;113:110–114.
43 Wada K, Kamisaki Y. Roles of oral bacteria in cardiovascular diseases – from molecular
mechanisms to clinical cases: Involvement of Porphyromonas gingivalis in the development of
human aortic aneurysm. J Pharmacol Sci. 2010;113:115–119.
44 Goldenberg RL, Culhane JF, Iams JD, Romero R. Epidemiology and causes of preterm birth.
Lancet. 2008;371:75–84.
45 Boggess KA, Madianos PN, Preisser JS, Moise KJ Jr, Offenbacher S. Chronic maternal and
fetal Porphyromonas gingivalis exposure during pregnancy in rabbits. Am J Obstet Gynecol.
2005;192:554–557.
46 Bélanger M, Reyes L, von Deneen K, Reinhard MK, Progulske- Fox A, Brown, MB.
Colonization of maternal and fetal tissues by Porphyromonas gingivalis is strain-dependent in
a rodent animal model. Am J Obstet Gynecol. 2008;199:e1–e7.
47 Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global prevalence of diabetes. Estimates for the
year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care. 2007;27:1047–1053.
48Taylor GW. Bidirectional interrelationships between diabetes and periodontal diseases: an
epidemiologic perspective. Ann Periodontol. 2001;6:99–112.
49 Grossi SG. Treatment of periodontal disease and control of diabetes: an assessment of the
evidence and need for future research. Ann Periodontol. 2001;6:138–145.
50 Janket SJ, Wightman A, Baird AE, Van Dyke TE, Jones JA. Does periodontal treatment
improve glycemic control in diabetic patients? A meta-analysis of intervention studies. J Dent
Res. 2005;84:1154–1159.
51 Amano A, Nakagawa I, Okahashi N, Hamada N. Variations of Porphyromonas gingivalis
fimbriae in relation to microbial pathogenesis. J Periodontal Res. 2004;39:136–142.
52 Amar S, Han X. The impact of periodontal infection on systemic diseases. Med Sci Monit.
2003;9:RA291–RA299.
53 Finegold SM, Strong CA, McTeague M, Marina M. The importance of black-pigmented gram
negative anaerobes in human infections. FEMS Immunol Med Microbiol. 1993;6:77–82.
54 Hajishengallis G, Wang M, Bagby GJ, Nelson S. Importance of TLR2 in early innate immune
response to acute pulmonary infection with Porphyromonas gingivalis in mice. J Immunol.
2008; 181:4141–4149.
55 Recker R, Lappe J, Davies KM, Heaney R. Bone remodeling increases substantially in the
years after menopause and remains increased in older osteoporosis patients. J Bone Miner Res.
2004; 19:1628–1633.
56 Orrico SR, Giro G, Gonçalves D, Takayama L, Pereira RM. Influence
of the period after ovariectomy on femoral and mandibular
bone density and on induced periodontal disease. J Periodontol.
2007;78:164–169.