+ All Categories
Home > Documents > Okh: ^aedhonn

Okh: ^aedhonn

Date post: 05-Dec-2021
Category:
Upload: others
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
18
MENCARI FORMAT IDEAL TEO-EKOLOGI DARI HUBUNGAN ANTAR AGAMA DAN SAINS Okh: ^aedhonn Abstract: This article attempts to describe the frame-works and approaches of science and religion. Al though both of these disciplines are difference in gaining their main goals, they have not to be opposite in dichotomies. The oppositions of scientific and religious thought have become a secular ist civilif^ation and have made some crisis. One of them is an ecological crisis. We can show relationship between science and religion in two models: both science and religion have difference methodology and approach; Science and T^ligion have same apparel or similar methodology and approach. In the last model, scientific and religious views can be harmonit^ed to build a new perspective of theology. From these views, the writer tries to show, and to developed mutual dialogue and integration of science and religion and to explore the urgency or significant meaning of process theology as a new Theo-ecology, especially in Islamic thought. OJ Jj (JLcJ a2j01 (Jl iiv?0^ ^ UV. SjLill ojLJa^l iJJUj dJLlif (_3j o\j1 «*-•»"• g: j 1^ ^ ^JS' ^»Jaj ttiJj tlr*J "U-oJLp pLj a*aJL)JIj jLo-s^ ij ^ jvJjJl iju ji .^U-l ^1 Keywords: Agama, Sains, Proses dialog-integratif Teo-ekologi ' Dosendan Peneliti di STAINU, Temanggung, Jawa Tengah
Transcript
Page 1: Okh: ^aedhonn

MENCARI FORMAT IDEAL TEO-EKOLOGI DARI

HUBUNGAN ANTAR AGAMA DAN SAINS

Okh: ^aedhonn

Abstract:

This article attempts to describe the frame-works and approaches of science and religion. Although both of these disciplines are difference in gaining their maingoals, they have not to beopposite in dichotomies. The oppositions ofscientific and religious thought have become a secularist civilif^ation and have made some crisis. One of them is an ecological crisis. We can showrelationship between science and religion in two models: both science and religion have differencemethodology and approach; Science and T^ligion have same apparel or similar methodology andapproach. In the last model, scientific and religious views can be harmonit^ed to build a newperspective of theology. From these views, the writer tries to show, and to developed mutualdialogue andintegration of science andreligion and to explore the urgency or significant meaningof process theology as a new Theo-ecology, especially in Islamic thought.

OJ Jj (JLcJ a2j01 (Jl iiv?0^

^ UV. SjLill ojLJa^l iJJUj

dJLlif

(_3j o\j1 «*-•»"• g: j 1̂ ^^JS'

^»Jaj ttiJj tlr*J "U-oJLp pLj a*aJL)JIj

jLo-s^ ij ^ jvJjJl iju ji

.^U-l ^1

Keywords: Agama, Sains, Proses dialog-integratif Teo-ekologi

' DosendanPeneliti diSTAINU, Temanggung,Jawa Tengah

Page 2: Okh: ^aedhonn

78 Millah Vol. VI, No. 2, Februari 2007

.A. Vendahuluan

Betbagai bencana alam yang telah menimpa negeri ini seperti banjir diibukotaJakarta dan daerah lain, tanah longsor, kebakaran hutan, tsunami di Aceh danPengandaran, gempa bumi di Yogyakarta dan Manado, serta di daerah lain telahmenjadi catatan sejarah tragedi bencana nasional. Belum lagi dalam skala global,manusia juga dihadapkan oleh keadaan lingkungan yang sangat serius danmengancam keselamatan hidup manusia, misalnya seperti jebolnya lapisan o2on diatas Kutub Selatan, naiknya permukaan air laut, turunnya hujan asam, naiknyasuhu udara, dan kacaunya iklim. Semua perubahan alam itu telah menimbulkanberbagai penafsiran dan kegelisahan tersendin bagi kalangan ilmuwan maupunagamawan. Para ilmuwan biasanya akan tertarik dengan peristiwa bencana itu dansisi fenomena alam dan perubahan-perubahan yang ditdmbulkannya. Sementarapara agamawan akan menjustifikasi peristiwa bencana tersebut sebagai campurtangan Tuhan atas prilaku-prilaku penyimpanagan dan kesemenaan ulah manusiaatas eksploitasi alam. Ilmuan (fisikawan) lebih tertarik dari sisi verifikasi atasfenomena alam dan perubahannya sedangkan agamawan biasanya lebih tertarikdengan sisi campur tangan Tuhan atas dosa-dosa manusia sebagai penghuni, penjaga,dan pewaris alam.

Hanya saja bila wilayah ilmuan dan agamawan tidak terjembatani akanmemunculkan ketegangan dan berlarutnya klaim kebenaran atas masing-masingwilayah penafsiran. Ketegangan hubungan antar agama dan sains, tampaknya jugatidak pemah selesai. Hal ini bukan saja karena dasar epistemologisnya yang betbeda,n^mnn juga dikarenakan cara melerai ketegangan itu. Para ilmwuan dan filosofmuslim memang pemah terlibat dalam ketegangan ini dan melerai ketegangan tersebutkptika agama hams berhadapan dengan filsafat Yunani, akhirnya mereka justrubisa memberi pencerahan di dalamnya.

Dari gambaran di atas, setidaknya Islam memang dari awal tidak inginmemisahkan hubungan antara agama dan sains, yang didunia Barat modem dikenalsekulatisasi. Hanya saja ketika dunia Islam dilampaui oleh Barat oleh berbagaikemenangan Hcilam sains, akhimya dialog dan integrasi agama dan sains ditasa semakinmendesak dan perlu. Abad ke 19 dan 20, ketegangan itu tampaknya muncul danmenguat kembali ketika agama ingin memberi respon terhadap sains. Akibatnya,kita bisa memahami ketika saintis seperti embriolog, Perancis semacam MouriceBaucaille untuk sementara waktu dianggap bisa melerai dan "memuaskan" kaumsaintis dan agamwan dengan mencoba membuktikan keserasian Kitab Suci (Bibeldan al-Quran) dengan sains tanpa bermaksud apologis.^ Pembuktian yang tanpamelihat berbagai ketegangan relasi antara kedua wilayah ini yang sering dipopulerkan

'Lihat Mounce Boucaille (1981), he Coran le Bible el laScience, Paris: Saghers.

Page 3: Okh: ^aedhonn

Mencari Format Ideal 79

dengan Buchailianisme.Meskipun di dunia Muslim dari dulu tidak ada maksud untuk memisahkan

agama dan sains, akhit-akhir ini kerinduan untuk mengharmoniskan kembali telasiagatna dan sains tampak menguat kembali dengan munculnya berbagai temuan-temuanmutakhir,dibidangneutologis, fisika, dan kedokteran. Orang-orangsemacamA.N.Whithehead, Ian Barbout (mewakili pandangan Kristdani) atau SH Nasr danZiauddin Sardat (mewakili Islam) dengan penekanan yang betbeda merupakanilmuan-teolog-spiritualis yang berusaha memberi masukan positif tentang idealisasihubimgan agama dan sains. Hanya saja ketika Nasr ingin mencoba memasukanpandangan metafisis (baca filsafat perenial) secara berlebihan atau ketika obsesiSardat hendakmerealisasikan Islamisasi sains, seolah-olah mereka telahmelampauiporsi kajian yang semestinya.Nasr tampak terkesan konservatif dan Sardar terkesan

•apologis, meskipun kntdkmereka atas ideologi sains modem dan masukan-masukanmereka dalam etika dan spiritualitas sains untuk konteks kontemporer jugasangatperludiperhatikan ditengah semakin destruktifnya perilaku manusia modern terhadapalam dan lingkungannya..

Sebagai muslim penulis justrulebihbersimpati padasosokAbdusSalam, peraihhadiah Nobel Fisika pada tahun 1970. Dia tanpa berambisi mengislamkan ataumensipiritualisasikan sains justru berkarya secara totalitas dengan spesialisasi dankeyakinannya. Dengan cara itu, Salam justru telah membuktikan ilmunya secarapraksis. Sebagaimuslimdia berpandangan,bahwa yakniberefleksi, berpikirdan menemukan hukum-bukum alam (sains) dan tasykir, yakni memperolehpenguasaan atasalam (dengan teknologi), keduanya merupakandorongan-doronganterpadu seluruh umat manusiadi sepanjangzaman. Sebagaibukti keagungan Islam,Al-Qur'an sejak Hint telah berulang kali menyuruh manusia untuk bertafakur danhct-taykir (mengejar sains dan teknologi) sebagai kewajiban bagi masyarakat Mus-lim.2

Dari pandangan "ilmuan-teolog" semacam itu, jika kemungkinan konflikmemang diakui dalam telasi Agama dan sains, maka yang perlu dibenahi kembaliadalah mengenalisumber masing-masing wilayah. Bilaada keyakinan bahwa KitabSuci (agama) dan Kitab Alam (sains) keduanyaberasaldariTuhan YangSatu, analisismasing-masing seharusnya menunjukkan bahwa keduanya tidak ada konflik antardua kebenaran dari sumber yang sama. Caranya tentu dengan memodifikasikantafsiranfilo'sofis atas teori ilmiahataupun'dengan merevisikajian teologisnya.^ Dalam

^Abdus Salam, Panji Ma '̂arakat, No. 400., p. 21.Sebagai Muslim Salam di era 60-an betsamaWeinberg dan Glashow juga telah mengembangkan "teori medangabungan" {utiijiedfield theory)^ teoriyang menyatakan bahwa semua gaya yang adadiduniainiberasal dari satu bahwa padasaatteijadi kira-kira 15milyar tahun yang lainsaatgaya elektromagnetik pemah berpadudengan gaya nuklir lemah. Tahun 1983 tim yang dipimpin oleh Carlo Rubbia dari Harvard Unhretsityjugatelahmembuktikan kebenaranteoriAbdusSalamdenganpenemuan partikelW dan "Z".

Page 4: Okh: ^aedhonn

82 Uillah Vol. VI, No. 2, Fehruan 2007

pada premis di luar disiplinnya. Misalnya anggapan bahwa sains hanya berurusandengan fakta dan deskripsi tentang alam sementara urusan agama- adalah soaldogma dan makna. Dengan ini keduanya tetpisah sama sekali dan konflik tidakakan terjadi.'

Denis Carol, seorang filosuf dan teologi modern juga berupaya meredamketegangan yang terjadi antara agama dan sains. Menurutnya diperlukan adanyasuatu pendekatan agama (teologi) yang mampu mengambil manfaat dari pandangan-pandangan ilmiah karena sains sebetulnya tidak memiliki paradigma yangmembahayakan norma agama. Manusialah yang membuat interpretasi terbadaptemuan-temuan ilmu. Teologi harus mampu mengambil manfaat danbasil temuanilmiah yang ada. Konsepsi Carol kemudian dinyatakan sebagai "teologipembebasan".^

Ketegangan antar sains dan agama tampaknya semakin terdamaikan denganupaya pendekatan Ian Barbour yang lebib bersipati kepada pendekatan Dialog danIntegrasi, meskipun sebelumnya ia banya lebib bersimpati pada pendekatan Integrasi.Upaya Barbour ini dengan karya-karyanya selain memberikan peta bagipengembangan sains dan agama juga memberikan keleluasaan masing-masing ilmuan(agamawan dan saintis) untuk bisa mengekplorasi spesiabsasinya tanpa perlumengoposisikan secara biner antara kebenaran agama dan sains. Upaya kerasBoarbour dalam membangun 'Hheolo^ of naturi' dalam makna terluasnya akbimyajuga mengimbas pada "mund-mund" dan para sarjana terkemuka, seperti WilliamJames, Neils Bobr, Sayyed Hussein Nasr, Annematie Scbimmel, Sallie Mc-Faguedan ilmniin lainya. Mc-Fague babkan menegaskan babwa Barbour bagi para teologadalab sababat yang mengajarkan perkembangan mutakbir sains dan Implikasimetafisisnya. Sementara bagi ilmuan ia menunjukkan relevansi teologis denganteori-teori ilmiab.^ Pernyataan semacam inilab tampaknya juga semakinmemantapkan secara psikologis masing-masing ilmuan untuk terus maju berkaryatanpa beban teologis.

Upaya yang ditempuh Carol atau Barbour di atas patut dibargai sebagai sebuabidealisasi teologi yang mempunyai watak lembut atau sebagai upaya barmonisasiantar sains dan agama yang dapat mengeliminir ketegangan-ketegangan. Denganupaya semacamitu, paling tidak bisa member! nuansa teologi yang berwatak bumanisdan ramab lingkungan.3. Bagaimana model ideal relasi agama dan sains ?

Dalam Teologi Filsafat {PhilosopJ^cal Theologf) teolog-ilmuan ingin membangunpengetabuan tentang kebenaran (Tuban) yang berpangkal dari pengalaman-pengalaman atau temuan-temuan manusia tentang kealaman atau dikenal sebagai

'Lihat Barbour Op. Cit. Terutama uraiannya tentang pendekatan Konflik dan Independensi.«Denis Carol, What isUberation Theolo^ (tth), Sydna: E.J. Dawyer, p.24.'Baqir, 'Tengantar", pp. 24-25. Juga Barbour, Op. Cit., p. 40 dst.

Page 5: Okh: ^aedhonn

Mencari format Ideal 83

man*s natural light. Kerangka.kerja teologi semacam ini merupakan man's mouvementtoward God}^ Proses bertafakkur semacam ini (meminjam istilah Abdus Salam diatas) dalam artianmembaca ayah al-kauniah atau tadahhur alamjugasangatdianjutkandalam Islam (Qur'an-Sunnah), Bahkan makna ayat sendiri dalam literatur arab jugaselalu dikaitkan dengan konteks Ke-Esaan Tuhan {tauhid). Terlepas dari apa namadan jenis teologi, penulis melihat bahwa memang adaperbedaan pandangan tentangrelasi agama (teologi) dan sains di abad modem, atau dengan kata lain sains lebihberutusan dengan persoalan "fakta", sementara agama lebih berkaitan denganpersoalan "makna". Karena itu, kalau dalam sisi pendekatan hubungan agama dansains Ian Barbour menawarkan empat pendekatan, yakni konflik, independen dialog dan interegrasi,^^ maka dari pendekatan ini Barbour mensinyahr ada tigapandangan utama: pertama^ bahwa agama tidak sejalan dengan sains, Kedua, agamasejalan dan seirama dengan sains, Ketiga, agama (keimanan, teologi) mendapatmasukan dan kontribusi positif dari ilmu pengetahuan.a) Antara agama dan sains berbeda sama sekali

Pandangan seperti ini, berpangkal pada pemiMran yang melihat sains secarapositivistik sebagai sebuah upaya yang menghasilkan pengetahuan teknis positifyang berbeda dengan konklusi-konklusi agama (teologis) secara luas. Dalampandangan ini, bahwametode-metode sains secara radikal berbeda dengan metodeagama. Keduanyaharus terpisah dan independen. Tidak hanya isi dan subject matter-nyayangtidakberkaitan, tetapicaramendapatkan kebenarannyapun berbeda. Karenaitu, konflik antara keduanya tidak mungkin terjadi karena isu yang dibicarakan didalamnya dirancang untuk masing-masing bukan keduanya secara bersamaan.Meskipun begitu, keduanya dapat memberi kontribusi satu sama lain. Titik bahasanteologi bukanmerupakan kajian ilmupengetahuan, salahsatunya tidakdapat diaksesolehyanglain. Sebaliknya, sains jugabukanrumusandogmayangharusdipertahankansecara mati-matian. Adapunkonflik yang pemah terjadi lebihkarenakegagalan dalammemahami perbedaan yang ada.

Dalam pandangan yang semacam ini, antara lain terdapat golongan: Neo-Ortodoksi dan Analisis Linguistik. Golongan pertama menekankan pertentanganantar wahyu dan temuan manusia. Sedangkan golongan kedua lebih menekankanpada pentingnya memahami pemakaian bahasa. Karena memang terdapat alasanuntukmenunjukkan keterputusan antarkonsep teologis dan sains. MenurutkelompokNeo-Ortodoksi, tipikal wahyu itu sendiri yang sejatinya membedakan dirinya daripenemuan-penemuan manusia. Sedangkan menurut golongan Analisis Linguistik,

"Lihat L.Muller, ed.(1972), God and Reason:A HistoricalApproach to PhiloshopycalTheofo^, NewYork: The MacMillan Company, p.12.

"LihatBarbour,^ Op. Cit.'̂ lan Barbour (1966), Issues in Science andReligion, USA: Prentice-Hall, Inc., p. 116

Page 6: Okh: ^aedhonn

84 Millah Vol. VI, No. 2, Februari 2007

titdk perbedaannya justru terletak pada fungsi bahasa agama dan sains -yang memangberbeda. Hanya saja untuk konteks pengembangan PTAI (Perguruan Tinggi AgamaIslam) di Indonesia menurut hemat penulis pendekatan seperti disebut di atas justruakan semakin membuat kesenjangan dalam dialog dan integrasi antara agama dansains.

b) Agama sejalan dan pararel dengan sainsPandangan lainnya melihat adanya kesamaan metodologis antara agama dan

sains dalam melihat kebenaran. Kesamaan im terdapat pada struktur dan bukanmateri, karena keduanya memiliki materi masing-masing yang independen. Ada duagolongan yang termasuk dalam kategori pemikiran ini; pertama, golongan pemildranagama (teologi) liberal {libtral theology). Kedua, golongan filsafat proses {processphiloshopj).1) Kelompok teologi liberal

Golongan ini mengasumsikan kesamaan prinsip pencarian informasikeagamaan dengan kesamaan prinsip penemuan sains. Menurut mereka, keyakinankeagamaan seseorang seharusnya merupakan interpretasi yang logis pada wilayah-wilayah pengalaman kemanusiaan dengan menggunakan pikiran kritis sebagaimanapara ilmuan dalam kerja ilmiahnya. Jadi Agama (teologi) harus bersifat ilmiah dalamarti rasional-empiris, terbuka {opennes^ dan bersifat sementara {tentativeness) yangbisa diterapkan oleh ilmuan pasti juga bisa diterapkan teolog."

Mengenai konsep wahyu, kelompok teolog liberal ini menggunakan duacara interpretasi. Fertama, dengan mengehminir keunikan wahyu. Cara tersebutdidasari atas asumsi bahwa Tuhan menstransmisikan wahyunya melalui beragamcara: misalnya sesuai dengan strukrut makhluk, sesuai dengan kesadaran moralmanusia dan tradisi keagamaan umum yang beraneka ragam. Kedua, denganmengapresiasikan secara positif-simultan temuan manusia. Cara ini berangkat danasumsi bahwa wahyu tunm pada manusia untuk dipahami dan tidak mustahilmanusia mendistorsi makna-makna dari wahyu tersebut lantaran keterbatasanpemahaman yang ada padanya.

Mazhab teologi liberal tersebut tampak lebih menekankan aspek imanensiTuhan daripada transendensinya. Berbeda dari golognan teologi liberal, golonganNeo-ortodoksi menekankan. pada konsep keterputusan, sementara kelompokliberalisme meyakini terhadap ketersambungan wahyu dan akal, keyakinan dan

, pengalaman manusia, Tuhan dan dunia, serta Kristen dan agama yang lain. Dadkonsep semacam im, bisa dipahami bila guru besar Islamic Studies di universitasSorbonne Nouveklle (Paris III), Mohammed Arkoun memaknai dan menterjemahkanwahyu sebagai kebenaran ilahiah yang secara kongkrit akan termanifestasikan dalam

Ibid., pp. 125-6.

Page 7: Okh: ^aedhonn

Mencari Format Ideal 85

realitas sejarah {^velation —Verite —realite historique).2) Aliran filsafat proses

Golongan ini mencoba mengembangkan sistem metafisika yang dapatdiapHkasikan ke semua aspek realitas yang meEputi Tuhan dan kejadian-kejadianhistoris di dunia ini. Kelompok ini dapat kritis terhadap pandangan positivismesains. Tokohyangberjasamensosialisasikan pandangan ini adalahAlfredNort White-head, juga Holmes Rolston. Whitehead berjasa membangnn wacana metafisika danfilsafat ilmu sehingga dapat memunculkan bangunan sistem ide yang membawakepentingan—kepentingan agama, moral, estetikakedalam sebuah hubungan denganpenerapan konsep-konsep dunia yang berasal dari ilmu alam.^"* Whiteheadberpandangan bahwametafisika merupakanpemahaman karakteristik kejadian yangpaling umum. Metafisika lazim bersifat koheren dan relevan dengan alam empirik.Dad pemahaman semacam itu, alam selalu mengembangkan bukti dan evidensiindependensinya yang kemudian dideskdpsikan oleh metafisika.^^

Ada tigapdnsip pokok dalamfilsafat proses.Pertama, pdnsip keunggulan waktu(the primecy of time). Artinya, bahwa dunia merupakan sebuah proses menjadi ( aproses ofbecoming). la merupakan sebuah akumulasi kejadian. Aktifitas dan transisilebih urgen dadpada substansi atau permanensi. Kedua pdnsip keterkaitan antarakejadian-kejadian. Bahwasanya dunia dipahami sebagai rangakain kejadian-kejadianberangkai dan menjadi jadngan sebuah sruktur jaringanyang kohesif. Ketiga adalahpdnsip organisme, dalam pengertian bahwarealitas inidilihat sebagai prosesorganik.^*^

Berangkat dad pandangan itu, Whitehead melihat agama seharusnya bersifatprogresif, termasuk di dalamnya adalah konsep teologi seidng dengan pandangankosmologi yang berproses secara organis. Menurut pengamatannya atas sejarahsains dan agama, pengaruh agama-agama dalam kehidupan manusia dewasa ini,tidak sekuat dan seefektif seperti masa-masa lalu. Agama-agama itu menurutnyatelah kehilangan daya cengkram atau pengaruhnya atas dunia, " tb^ have lost theirancient hold upon their world" '̂̂

" Lihat Mohammed. Arkoun, et. al. (1990), Uberte ^ligious dans UJudaism, le Cbristianisme etllslam, Paris:CERF, pp. 110-111. Juga MohammedArkoun(1993), "Le ConceptdesSocietes du Livre-livre"dalam Interpreter, No. 3, p. 213. Dalamkonteks teologi IslampandanganMohanjmadIqbalatauMohammed Arkoun, hemat penulis bisa dimasukkan dalam kelompokini,Lihat, MohammadIqbal(1977), ^construction ofReligious Thought in Islam, Lahore: M. Asraf, Juga Mohammed. Arkoun (1991),Lecturesdu Coran, ed. Tunis: Alif.

"AlfredN.Whitehead {\929), Proces andReali^,NewYoTk: The Macmillan. Co,p.vi. LihatjugaHolmeRolston(19S7), Sa'ence andRe^gion,A CriticalSurv^,Ne\vYotk :R.andom Housse,pp. 398-399.

'̂ Barbour, Op Cit., p. 128mid,p \29''Alfred N.Whitehead (1974), Reli '̂on in theMaking NewYork: NewAmerican Literary, Pernyataan

Whitehead diatas didasariatashsitorisitas duniaEropa dan Amerika ini muncul di tahun 1925.

Page 8: Okh: ^aedhonn

86 Millah Vol. VI, No, 2, Februari 2007

Kemetosotan agama-agama tersebut menurutnya disebabkan oleh dua haLFertama, adanya stagnasi atau kemandegan yang betujung pada sikap konservatismedan difensif terhadap segala perubahan yang disebabkan oleh perkembangan sainsdanteknologi.^^Kedua, ketidaksesuaianantara gambarantentangTuhan yangsecaratradisional cukup banyak dijelaskan oleh agama-agama yang ada dengan manusiamodern. Tuhan d^ikm gambaran tradisional adalah bagaikan sang raja absolut yangselalu harus ditakuti. Padahal dalam gambaran dunia modern Tuhan lebih dilihatsebagai kekuasaan kasih sayang yang memberi ruang kebebasan pada manusia untukmemikul tanggung jawab pribadinya.^^

Dari gambaran seperti itu, maka tidak mengherankan bila kita melihatpandangan manusia yang ambivalen terhadap posisi agama dan sains. Di satu sisiteologis banyak rekan muslim kita yang terjebak dalam pandangan yang fatalistis(model jabariah) di mana berbagai bencana alam yang terjadi di tanah air lebihdikarenakan oleh kehendak Tuhan semata atau sebagai suratan takdir. Sementaradi sisi laitij dad positivisme sains banyak manusia modem bisa mcngoptimalkankemampuan sains untuk mengekpoitasi alam secara semena-mena dan destruktifdemi kekayaan, kesenangan dan ambisi-ambisi pdbadinya. Pdlaku distruktif manusiaatas alam secara ekologis ini sebagai mumi ulah dan nafsu-nafsu liar manusia,sehingga menjadi semakin jelaslah berbagai kerusakan ekologis di muka bumi (Cf.QS, 30:41). Padahal secara agama (teologis) sebenarnya bumi ini ingin diwadskanTuhan pada hamba-hambanya yang shalih Qnna al-'ardhayurisuha min ihadiya as-shalihun), yakni bagi mereka yang bisa mengimbangi visi teologis dan kemampuansaintifisnya untnk kemakmuran, kesejahteraan dan kenyamanan manusia bersama.

Gambaran yang kurang responsif tentang kebaikan Tuhan tersebut padaakhimya tidak mampu membed motivasi pada manusia untuk bersikap aktifdinamis

menatap kehidupan. Wajah negatif agama semacam ini dalam konteks Islampemah diperbaiki misalnya oleh Iqbal melalui inovasi makna ^iihcid sebagai sebuahpengupayaan proses gerak sejarah secara dinamis dalam Islam.^ Begitu juga konsepsiFazlur Rahman tentang Tuhan dalam modernitas tampaknya selain ingin menjawabgambaran negatif Whitehead dalam visi teologis sebagai salah dalam memahamiIslam (Qudan). Rahman juga" ingin menjelaskan bahwa teologi Islam juga sangatmenghargai antroposentds. Karena Tuhan dalam Islam tidak sepertigambaran sarjanaBarat sebagai kekuatan yang kejam layaknya "raja yang lalim dan semena-mena{even as brute power - indeed as a carpricous tyrant). Selain itu, Rahman juga inginmenjelaskan bahwa ^ilam dan manusia pada hakekamya adalah muslim (tunduk padaTuhan), bedanya manusia masih bisa mengingkad perintah-pedntah-Nya sementara

Whitehead,Op. Cit., p. 188." 'Whitehead, Op. Gt., p. 40.^ Lihat Iqbal, Op. Gt.

Page 9: Okh: ^aedhonn

Mencari Formal Ideal 87

alam tidak. Karena itu petiatah kepada alam dalam analog manusia adalah petintahmoral ^engembangan makna taqivd)?^ yang di dalamnya tentu ada impetatif untukbersikap ramah terhadap lingkungan (sesama manusia dan alam) atau sebagaipenjabaran makna rahmatan It al-*alamin.

Dad konsep alternatif Whitehead tentang Tuhan dalam arti sebagai filsafatproses, yang kemudian dikembangkan oleh muridnya Ch. Hartahom ke dalamgagasan ideologi proses yang perlu ditegaskan —adalah bahwa semua yang ada initermuat dalam Tuhan di tengah harmonisasi paduan antara aspek primordial (sifatawaliyah) dan sifat akhirijah {consecuent)-^^^. Konsep semacam ini kemudian dikenaldengan panentheisme,^ yang dapat menjalin hubungan harmonis pandanganmakrokosmis melalui perkembangan sains dan.konsep teologi. Pandangan teologiproses ini juga diteruskan oleh Barbour. Alasan praktisnya karena ia lebih sesuaidengan teod-teon sains mutakhir, khususnya yang berkaitan dengan teod-teorievolusi dan kosmolgi.^c) Sains berkontdbusi terhadap agama

Golongan ketiga ini berkeyakinan bahwa sains dapat menjadi kontdbutorterhadap agama (teologi). Dengan ungkapan lain bahwa konsep-konsep dankesimpulan kesimpulan teologis terambil dari sains. Dengan demikian dalampandangan kelompok ini, eksistensi Tuhan dapat diketahui dengan mudah melaluigambaran dan karaktedstik alamsecara umumseperti dalampola dan keteraturannya,dan melalui temuan-temuan spesisifik fenomena kebedangsungan proses evolusialam dan karaktedstik fisika modem.

Karena itu, kalau dicermati secara saksama pandangan model ketiga inimerupakan kelahiran kembalidad bangunan teologiyangmenamakan didnya dengannatural teologi, yaitu sebuah bangunan teologi yang mendasarkan keyakinan-keyakinannya tentang eksistensi Tuhan pada pemahaman tentang reaUta danfenomena alam.

Model teologi seperti itu menempuh cara yang dibangun oleh sains, sehinggaThomas F. Terrance berpendapat bahwa baik teologi maupun sains sama samadibangun atas pengalaman manusia. Teologi sebenarnya menolong dan meyakinkankita semua d^m menyelidiki alam semesta, sementara sains membantu kita dalamhal metode. Dengan begitu, metode ilmiah dan metode teologi sebenarnya midp

Fazlur Rahman (1980) MajorThemes of theQur'an, Chicago:Bibliotheca Islamica, p. 1.Juga"FazlurRahman, Islam (1979), Chicago: Universityof Chicago,p. 34.

^A.N.Whitehead (1929), NewYork: The FreePress,p. .345. Konsep semacamini sebenarnya bukan hal yang baru, dalam dunia mistis Islam misalnyapemah dirintis dan dicetuskanoleh tokoh-tokoh sufi misalnyaIbnu Arabi atau al-Halaj. dengan konsep wihdatul mijud {tmion misticlpatheisme). Sedangakandi dunia misds Kristen Katholik misalnyapemah dicetuskanMeister Eckhart.

^Baqir, 'Tengantar" dalamBarbour,p. 35.

Page 10: Okh: ^aedhonn

88 MiUah Vol. VI, No. 2, Februari 2007

waku dakm bidang perhatian yang berbeda. '̂* Dari pemyataan Terrance di atasdapat dipahatni bahwa sains dan agama (dalam hal ini teologi) bukannyaberseberangan namun justru saling membeii kontribusi dan masukan positif bagaikanhubungan saudara kembar.

Mengingat kemunculan sains dan teologi sama-sama dibangun daripengalaman manusia dan keduanya bisa saling memberi kontribusi, maka dari agamajuga dinanti kontribusinya, khusunya dakm etika dan nikl-niki spiritualitas. Etikasains ini diperlukan karena melihat netralitas sains banyak disakhgimakan olehmanusia yang mengatasnamakan sebagai penemu dan pengembang sains. Darikonteks ini maka persoalannya lebih terletak pada Ttttn behind the sciences dan sangatterganmng dari pokmana manusianya mengikuti aliran filsafat. Konflik antara sainsdan agama seperti disebut di atas juga tedetak dari bangunan metafisikanya. Sainsyang ternyata tidak netral secara normatif karena k memang dibentuk oleh worldview (pandangan dunk) tertentu. Dari ketidaknetrakn semacam ini akhimya sainsbanyak menyudutkan agama. U.paya para teolog untuk membangun sains teistikentah apa namanya (sains Kristen, sains Iskm atau Iskmisasi sains) rupanya memangHakm rangka mengkritisi aplikasi penyimpangan-penyimpangan sains dan bagaimanaagama memberi masukan positif dan spiritualitas bagi sains.

Gagasan iskmisasi sains misalnya, meski oleh sebagian orang dknggapbersifat apologis atau semacam pekrian ke romantisme masa klu (kejayaan peradabanIskm) tasanya juga tetap diperlukan dalam artkn untuk terus membangkitkankecintaan terhadap sains dan membendung kecenderungan destrukttif ataspemanfaatan sains. Meskipun demikian, orang seperti Abdus Salam tetapmenyayangkan cara semacam itu. Karena sekin kaum Mushmin memang harusmengejar ketertinggakn dakm sains dart dunk Barat juga posisi agama terpaksaharus diseret-seret untuk menjustifikasi penemuan-penemuan sains. Sains yangberjakn begitu cepat bahkan aplikasinya bisa liar di satu sisi dan agama sebagailandasan tekstuahnormatif dan sebagai payung spiritualitas di sisi lain sudahsemenstinya saling menyapa. Keyakinan agama (teologi) yang sering dknggap statkdan dogmatis seharusnya bisa seklu berjakn harmonis dan sehat berdampingandengan sains meski kadang mengakmi ketegangan antara keduanya. Pengupayaankesenjangan budaya {culturalla^ dakm pengembangan sains dan agama dirasa sangatmendesak, mengingat bangunan epistemologis sains modem lebih didominasi olehmetafisika yang sekularisti, sehingga kecendrungan seperti tujuan yaiig bersifatmateralistis dan hedonistis bisa semakin dikurangi dan dieliminir. Karena sejarahtelah membuktikan bahwa berbagai krisis baik ekologi, sosial, budaya dan

2^Linda Smith &William Reaper (1991), Religious andPhiiosophycalldeas, Past andPresent, London:Oxford, p. 186

Page 11: Okh: ^aedhonn

Metjcati Format Ideal 89

kemanusiaan dalamperadaban modem ini lebih banyakdidominasioleh masyarakatmodem yang berjiwa serakah dengan semangatmemiliki secara materialyang tidakpernah puas.^^ Nafsu-nafsu semacam itu dalam prediksi al-Qut'an bila HiltafWan dandibiarkan terus bisa menajdi tuhan-tuhan baru (ittaba'a ilahahu hawaB) yang akhimyajuga akan mengalinieasi manusia dan merusak kenyamanan ekologis, balk sebagaimikrokosmos maupun keutuhan dan keseimbangan makrokosmos secara global.

Karenaitu sains sangatperlu merengkuhmetafisika agama. Sainsyangdibangunatas kemampuan akalmanusia dan agama yangberdasar wahyuKitab Sucimemangsejatinya berasal dari Tuhan, Dialah sebagai sumber ilmu dan kebenaran atauhikmah.Siapa yangdiberihikmah, makaia telahmemperoleh kebajikanyangbanyak.(QS; 2; 269). Sains tanpa didampingi agama rasanya akan semakin mempercepatproses "kiamat" dalam artian semakin merusak keharmonisan ekologis maupunsosial- "Sains without religion islame, religion without science is blind' kata seorangEinstein.Sains tanpaagama jugaakansemakin membuktikan skeptisme para ilmuwan sendiri,karena sains seperti yang telah banyak kita saksikan hanya lebih mengandalkankemampuan akal manusia. Fisikawan Werner Heinsberg juga pernah melontarkandunia sains yang lebih didasari prinsip ketidakpastian {principle ofuncertain^, bahwapengetahuan rasional hanya mentok pada kemungkinan statistik sehingga secarateologis, ilmu semacam itu oleh manusia modern sudah dianggap "malampaui masagunannya*'. Cibiran rasionalitas semacam ini juga telah menggugah kesadaranTheodore Roszak, dalam Where is Wasteland Ends, untuk mengingatkan manusiaagar kembali ke kepekaan nilai-nilai agama dan meresapi spiritualitasnya.

Berkaitan dengan bagaimana seharusnya memberlakukan sains dan agama,maka posisi Abdus Salam sebagai abdullah dan khalifatullah hemat penulis sudahsangatislami karena sebagai muslim, denganA^-^^/^rdia terus melakukan penelitiandan pengembangan sains dan dengantasykirdissi telahmemubuktikan upaya kerasnyadalammenjembataniketertinggalannya di bidang sains. Hanya saja kaum musliminmasih kekurangan beberapa "Abdus Salam" baru di berbagai bidang sains. Karenamuslim sejati adalah mereka yang dirinya telah diwamai oleh tafakkur dan taykirsebagai bagian dari cara Tuhan membentuk dan mewarnai spiritualitas hambanya(cf. QS: 2; 138).

^Kesetakahan dan semangat memiliki atas kesenamgan dankemewahan hal-hal yang bersifatwadag-material-duniawi itu dalam prespektif Islam bisa menjadi ancaman serius bagi masa depanmanusia bila tidak diimbangi olehnilai-nilai agama. Halinimisalnya telah diperingatkan oleh QS:102,1-2, "Bermewah-mewah telah melalaikan kamu, sampai kamumasuk ke liang kubur" juga dikuatkanhadist Nabi, 'Uaukana liibniadam wadijanimin d^ahabin, la'abtaghau tsalisan, layamla'ujaufibttiadamUfa al-tumb"(andaikaia manusia itu mempunyai dua bukit emas, nisctya iaakan menginginkan mempunyaijang ketiga dantidak akanpernah mengenyangkanperut manusia kecuali (ia telah dikubur) tanah/mati)

Page 12: Okh: ^aedhonn

90 Millah Vol. VI, No. 2, Vehmari 2007

4. Mencari format ideal teo-ekologi dari hubungan agama dan sainsDengan mempertimbangkan berbagai relasi dan percaturan agama dan sains

di atas, setidaknya bisa digansbawahi babwa konsepsi Islam ideal sejak awal memangtidak memisahkan hubungan ilmu-ilmu agama {ulumudditi) dan dmu umum atausains, baik itu natural sciences atau soaal sciences. Hanya saja antara ideal dan dta-citaitu tidak mudah untuk diwujudkan. Sementara di dunia Barat modem memang telahterjadi pemisahan keduannya, meskipun dengan plus-minusnya telah mengantarkanBarat pada "kemenangan-kemenangan" peradabannya melalui kemajuan sains danteknologi hingga akhirnya mereka mengakui bahwa pemisahan kedua wialyah inijustru semakin memperparah berbagai krisis. Padahal bila kita tengok sejarahperadaban ilmu {hadarah al-ilmij) sebenamya keduanya dibangun berdasarkanpengalaman realitas emptris kehidupan mnusia, baik itu ilmu-ilmu agama maupunulmu-ilmu umum {naturaland social sciences). Teologi Islam sebagai pijakan keyakinan,misalnya juga muncul dan dibangun dan pengalaman sejarah kehidupan manusia,yakni bagaimana mengangkat dan mengintepretasikan wilayah Tuhan, sebagaial-'alamin keyakinan kehidupan manusia.^^

Sementara kita sebagai bangsa yang secara teritorial-politis maupun pendidikanpemah terjajah oleh Barat, maka imbas pemisahan ilmu-ilmu agama {ulumuddin)dan ilmu-ilmu umum juga masih sangat terasa, terutama di PTAI (Perguruan TinggiAgama Islam) dan lebih-lebih lagi di pesantren-pesantren. Imbas ketetpisahan agamadan sains itu dalam konteks Indonesia - meski telah ada perubahan-perubahan -Tna<;ih sangat terasa hingga kini. Baru akhir-kahir mi, yakni priode ke-4 (1996 sampaisekaran^ temyata dikotomi dan apologi semacam im tetap tidak bisa menjawabberbagai persoalan lingkungan dan sosial kemanusiaan secara empiiis, sehingga Islamic Studies mau tidak mau mesti harus menjawab berbagai persoalan umat Islamkhususnya dan persoalan kemanusian umumnya dengan mendialogkan atau men-diadigkan (istilah SH Nasr) secara terus menerus melalui bantuan berbagaiperkembangan ilmu-ilmu sosial, humanities dan berbagai ilmu eksak (Iptek).Kerangka kerja semacam mi juga sudah mulai diterapkan oleh sejumlah pemikirmuslim kontemporer di berbagai wilayah duma.^^

^Di sini penulis tidak bermaksud menguraikan sejarah teologi Islam yang bermula darr persoalanpolitis, yakni semenjak peristiwa terbunuhnya Ustman bin Affan iftlnah al-kuhm al-uld) yang berianjutsampikepertempuranSiffin,peristiwatoA>ferm sehingga memunculkan aliran-aliran teologis(Khawarij, Murji'ah dan Syi'ah) sampai akhimya memunculkan berbagai persoalan dan pertanyaanteologis, seperti batas Islam-kafir, letak kemahakuasaan Tuhan yang menimbulkan persoalan>ee-Jw//,danpredestination dalam posisi kehidupan manusia dan sebagainya. Untuk uraian lihat misalnya, Baedhowi(2003), "Rasionalisme dan Tradisionlaisme dalam Teologi Islam: Merajut Antara Pemikiran Mu tazilahdan Asy'ariyyah", dalam Esensia, Vol. 4, No. 1, p. 86 dst. L. Gardet&M.M. Annawati {\9?,\)Mroductionala Theohgie muselmane, Paris: Libraire Philosophque J. Vrm, p. 47 dst. Juga Harun Nasution (1973),Teologi islamAliran-aliran Sejarah dan Terbandingan,]2kasi2r. Yayasan Penerbit UI, p. 7dst.

Page 13: Okh: ^aedhonn

Mencari Format Ideal 91

Penggunaan pendekatan dan metodologi semacam itu, bukan saja untukmenyambung kembali hubungah antara ilmu pengetahuan dan teknologi (TPTEIQyang telah terpisah bahkan seolah-olah tidak berinteraksi dari inti ajaran Islam {Urnal-qauliyah), namun juga untuk bisa memberikan respon positif, membetikan nilai-nilai notmatif dan spiritual bagi pengembangan sains khususnya serta naungan etisbagi peradaban kontemporer pada umumnya. Dengan cara itu, agama (baca Islamictheologies) akan menjadi tidak asing lagi dengan berbagai isu-isu kontemporer iairrentissued), seperti, ekologi ^ersolan lingkungan), demokrasi, HAM, gender, pluralismedan lain sebagainya.^

Daripengalaman historis semacam ini, fenomena berpapasannya budaya danperadaban yang berbeda, terutama Islamic studies di satu sisi dan ilmu-ilmu umum disisi lain memang telah menguji kaumberiman untuk tidak terhanyut dalam berbagaiketegangan emosional, lebih-lebih bersikapparoxial (kebanggaan semu dengan klaimkebenaran "teologis"nya sendin tanpa mau menerima masukan dari epistemologikeilmuan lain). Kaum believers terutamadari para lulusan pesantrendan PTAI justrudiharapkan menghargai paham-paham l^in secara dewasa lebih-lebih bisa membangundialog sains dan agama kemudian mengintegrasikannya sehingga tercipta polakehidupan yang sehat, dinamis dan dalam nuansa keberagamaan yang tetaphumanistis {healthy-dinamic-humanistic religiousi^. Dengan membangun dialog agamadan sains, kanm agamawan meski berangkat dari keyakinan teologis sendin jugadiharapkan bersikap lums danbersikap '̂̂ open ended* atas tafsiran-tafsiran teologisnya.Meteka akan memahami dari sisi perkembangan sains, bahwa kebenaran hasil temuansains ternyata tidak bersifat monolistik dan tunggal, tidak bersifat absolut dan abadi.Sejarah perjalanan sains temyata juga penuh dialektika dengan berbagai teori danpendekatan. Jadi kesejarahan sains tampaknya memang dinamis, bahkan tidak sepidflri persoalan problematis ketika bersentuhan dengan pandangan keagamaan. Begitu

^ Pergeseran danperubahan yang disebut diatas dilihat Amin Abdullah begitu mencolok padaperiode tahun sebelum 1950-an dan tahun 1951-1976-an. Pada priode pertama ilmu-ilmu agama{uiumudditi) masih sangat eksklusifdanasing dengan ilmu-ilmu diluardirinya. Sementara padaperiode1951-1976 meski Islamic Studies sudah mengenal ilmu-ilmu umum (sosial, humanities dan ilmu-ilmualam) namun keterpisahan H^^m independensi kedua wilayah masih sangat dominan. Baru padaperiodeke-3 {tahun 1976-1995) IslamicStudiessyx6dti mulai memsakan berbagai keterbatasannya, namun iriti dariulumuddin tersebut tetap ingin membetlakukan ilmu-ilmu umum secara monodik (meminjam istilah SHNasr) degan memonopoli wilayah tafsir atau dengan mengklaim, "mafaradnaftal-Kitabimin sai'tf (QS; 6:38) bila memakai bahasa ideologis kaum apolog muslim. Lihat Amin Abdullah (2003) "NewHorizonof Islamic Studies ThroughtSocio-Cultural Hermeneutics", dalam al-Jami'ah, '̂bl. 41,No.l. p.20-21.JtigaAminAbdidlah (2001), Ta'wil al-Ilmiy Menuju keArah penafsiran KitabSuci" dalam Vol 39,No. 2, pp. 363.-365. .

^ New; Horizon, Ibid., p. 16.khususnya keterkaitan Islamic Studies danilmu-ilmu lainnya dalammenangani persoalan-persoalan kontemporer, yakiu dalam ruanglingkup masyarakat multikultural danmulti relijius.

Page 14: Okh: ^aedhonn

92 Millah Vol. VI, No. 2, Febman 2007

juga kehidupan keberagamaan juga tidak steril dari berbagai problem kehidupanyang mengitari manusia, baik persoalan ekologis, sosial budaya dan kemanusiaan.

Porsi sains memang bukan untuk membed panduan moral dan filsafat lebih-lebih justifikasi teologis bagi kehidupan manusia, karena wilayah ini lebih merupakanwilayah agama. Sebaliknya Wahyu (baca Kitab Suci) meski banyak menginspirasikanuntuk pengembangan sains namun juga tidak berpretensi memberikan kepintaranempiris dan teknis dalammenjawab berbagaipersoalanilmu alam,sejarahkebudayaandan peradaban dalam kehidupan di kosmos ini. Dad kenyataan ini, hemat penulismemang pedu dipertajam analisis masing-masing dalam rangka pengembangan agamadan sains. Dengan cara ini, tetap dicad secara terus menerus dan dibangun format-format hubungan ideal dan harmonis melalui pendekatan agama dan sains. Denganhubimgan timbal-balik, take andgive secara harmonis, hemat penulis akan semakinmpngkayakfln wawasan dan mempertajam analasis masing-masing. Dengan cara itupula, persoalan teologi bukan lagi sebagai wacana "hiburan melainkan sebagaiwacana dan keyakinan "progresif" yang diharapkan bisa mencerahkan dalammemecahkan problem kongkrit kehidupan manusia, seperti persoalan pengrusakanlingkungan, kebodohan, kemiskinan, kesehatan dan sebagainya.

Dari model-model hubungan sains dan agama diatas sudah seharusnya agamamulai mendekati pandangan-pandangan sains, paling tidak memanfaatkan hasiltemuan sains untuk memperkaya wawasan dan mempertajam analisisnya. Lebihdiid itu, kanm believers semestinya juga semakin memprtajam interpretasmnya atasTeks-teks Suci (Wahyu) dengan membenturkan pada realitas kongkrit kehidupandan persoalan yang dihadapi manusia. Dari pengalaman semacamitu pula diharapkanbisa membentukdan memanifestasikan din kaum teologpada esensi keberagamaanyang lebih esoteris dan membumi. Begitu juga para saintis juga tidak perlumemperkecdl nilai-nilai agama, karena keduanya bisa saling mengisi nilai-nilai positifsecara gradual. Keengganan dan kegamangan untuk mendialogkan nilai-nilai positifkedua wilayah agama dan sains justru akan semakin memperkecil arti pentingkontribusi masing-masing. Agama akan bersifat defensif dan tertatdh-tatih mengikutikepesatan perkembangan sains, sementara sains akan semakm "menyombongkandiri" dengan pencapaian peradaban atas hasil-hasil temuan empirisnya meski didalathnya kering dan haus akan nilai-nilai normatif dan spirimal. Pengupayaan dialog agama dan sains semacam ini yang dilihat Arkoun sebagai manifestasi Wahyudalam artian sebagai proses panjang kebenaran dalam sejarah.

Dengan gambaran posisi wahyu semacam itu, konsep teologi (baca ilmu Kalamdalam Islam) bukan lagi berupa konsep-konsep yang hanya bersifat ideal-normati^abstrak, steril dari ruang dan waktu serta bersifat deduktif, namun teologi Islamsudah seharusnya membenahi din dan bersifat kritis terhadap realitas-realitas empirisyang terjadi di sekiling kita, baik secara mikrokosmos maupun secara makrokosmos.

Page 15: Okh: ^aedhonn

Mencari Format Ideal 93

Teologi Islam tradisional yang selama ini banyak menempatkan ayat-ayat Tuhan.secara tekstual, reflektif, dan deduktif hendaknya dibenahi dan diarahkan padarefleksiinduktif, difokuskan pada kesadaran kritis terhadap pengalaman-pengalamandan problem kongkrit manusia saat ini Teologi bukan lagi hanya mempersoalkandan mempolemikkan penafsiran wilayah Tuhan yang dianggap miring ke wilayahteosentris atau antroposentris yang oleh L. Gardet lebih dianggap sebagai semacampelarian, hiburan atau "apologi defensif", namun teologi Islam sudah semestinyamemasuki wilayah progresif yang berorientasi pada realitas masa kini dan masadepan yang berkaitan dengan semua persoalan kehidupan manusia di alam raya ini.

Karena itu, bila teologi Islam tidak ingin kehilangan elan vital dan dayacengkramnya atas dunia modemitas sebagaimana yang telah dirasakan dan dialamidunia Barat, maka ia semestinya bisa mendinamisir melalui dua cara: Pertama, teologiIslam mesti bersifat "open ended\ dan dinamis agar tidak terjerumus pada sikapkonservatif dan defensif atas persoalan-persoalan manusia modern akibatperkembangan dan kemajuan sains dan teknologi, yang mana keduannya saat initelah menjadi ideologi baru (meminjam istilah Herbamas). Keduanya (Iptek) telahmengubah bahkan mendikte sikap dan prilaku manusia modem, baik menuju yangpositif seperti pemanfaatan Iptek untuk kemakmuran, kesejahteraan, dankenyamanan hidup manusia maupun untuk maksud-maksud yang negatif dandestruktif seperti untuk kepentingan segelintdr keolmpok dan individu, sehinggamenimbulkan berbagai bala* dTin bencana {crucial crici^^ baik berbagai bencanaekologis maupun bencana kemanusiaan. Kedua Teologi Islam juga harus progresifdalam mengembangkan makna muslim dan taqiva miminjam konsep Fazlur Rahman.Muslim dalam artian posisi alam dan manusia pada hakekatnya tetap sama-samatunduk pada Tuhan, Sang Penguasa jagad raya dan penuh kasih sayang. Hanya sajamanusia dengan segala potensinya masih bisa mengingkati perintah-perintahNya,sedangkan alam tidak bisa mengingkari perintah-perintah-Nya. Sementara konseptaqwa^ y^iig dalam teologi klasili sering didefinisikan dengan "mengikuti seluruhperintah-perintah-Nya dan menjauhiseluruhlarangan-Nya" dalamkehidupn manusiamodem jugaberarti sebuah analog atas imperatif moral dalam pengembangan maknataqwa tersebut. Dengan begitu, muslim yang muttaqin siidah semestinya bukan sajasadar posisinya sebagai manusia dan hamba Tuhan {abdullaB) yang tanggap ataskondisi lingkungan ekologis dan sosial-budayanya," namun juga sadar akan posisidirinya sebagai pewaris dan pengembang potensi alam (baca khalifatullalj) dalamrangka pengoptimalan makna taqrva tersebut. Dengan begitu, dia bisa membetikemanfaatan dan kontribusi. maksimal atas potensi dirinya sebagai pewaris danpenjaga alam sekaligus bisa menaungi dengan payung moral bagi lingkungan ekotogisdan sosial kemanusiaan.

Sebagai bagian dari teologi proses,- teologi Islam juga tetap diharapkan bisa

Page 16: Okh: ^aedhonn

94 Millah Vol. VI, No. 2, Februari 2007

melerai dan mengharmoniskan dua kubu ekstriin epistemologi keilmuan, yakni antarasikap paroxial-teologis yang enggan menedma masukan dan temuan-temuan dari luardinnya dan arogansi saintifis yang mengklaim semua sebagai basil kepiawaian olahkeiknuan manusia semata. Dalam teologi semacam ini peran Tuhan tidak dimaknaisecara mutlak dan dominatifatas semua kejadian historis seperti pada teoXo^jabariahyang deterministis. Andil dan peran manusia juga menjadi bagian dan realitas historis.Karena teologi proses tetap sangat menghargai proses kiisiatifIlahi pada setiap entitasdan kehidupan secara tidak penuh dan mutlak. Di sinl peran kebebasn manusia jugadihargai sebagai saham dan faktor pembentuk sejarah masa lalu.^

Dengan demikian teologi proses diharapkan tetap bisa menggabungkantindakan Tuhan didalam alam dan dalam pengalaman keagamaan manusia. Dengancara ini kesadaran ekologis juga sangat terkait dari tindakan manusia. Karena itusemua kejadian historis tentang kerusakan ekologis juga sangat erat dan mental danperan tnanngtq yang destruktif, sebagaimana digambarakan oleh Qur'an, surat ar-Rum 41, "Telah nyatalah kerusakan yang terjadi di muka bumi dan di lautan akibatnliih perbuatan manusia." Darigambaran itu, kita juga bisa memahamibahwa teologiproses memang tetap menghargai Tuhan sebagai Sang Pencipta alam, namun dalamproses historis yang panjang keberadaan ekologis, dengan peran Tuhan sebagai SangPengendali dan Penguasa alam semesta juga berbagi dengan peran manusia.^"

Dari uraian di atas, proses kerusakan ekologis tampaknya lebih dimulaidari ulah perbuatan manusia secara evolutif dan akumulatif yang dalam prosespanjang akhimya berimbas dan mengakibatkan bencana ekologis. Dengan demikian,teologi proses selain ingin menyeimbangkan unsur imanensi dan transendensi Tuhanjuga sangat mendukung kelestarian dan penghargaan atas alam. Bahkan lebih jauh

®Secata lengkap lihatJohn B. Cobb &David Ray Griffin (1976), Process Theology, An Introduction,Philadelphia; WestminsterPress, bab3.

^ Sebagai muslim, penxilis dalam hal ini juga terinspirasi oleh tulisan al-Ghazali tentang riti^"wudlu" (betsud dari ked^ sebelum orang menjalankan sholat. Karena ritual ini selain bisadigunakan sebagai altematif f^dm-therapy (proses penyembuhan berbagai penyakit dengan air), jugasebelum memasuki syarat wajibnya, seperti niat, membasuh muka, membasuh kedua tangan hinggasiku,membasuhsebagiankepaladanmembasuhkeduakaki, Islam juga mensunahkan xmtiimembacado'a ketika awal membasuh kedua tangan (sebelum berkumur) dengan do'a, "Allahuma as'alukayumnamal-barakahwanaud:(ubikaminal-yu'umn>aal-halakafl'V^M3ik sayamemohon padaMukebahagiaan/keberuntungandan berkah (bertambahnyanilaikebajikan)dansaya mohon perlindungan pada-Mu atasberbagai pebuatan yang menimbulkan kemalangan (aktivitas negatif-destruktif) dan kerusakan/kehancuran). Dari proses ritual semacam ini, bila do'a itu saja memang dihayati, apalagi ditambah do'a-do'a ketika menjalani urutan ritual wudhu lainnya, maka seorang muslim sejak awal sudah diingatkanuntuk senantiasa berbuat hal yang positif-konstruktif dan dilarang berbuat secara negalif-destruktifsehingga menimbulkan berbagai kerusakan dan bencana, baik ekologi maupun bencana sosial-kemanusiaan. lihat, al-Ghazali, Abu Hamid (1346 H)/%' Ulumud^nyoX. I,Mesir :Mustafa Bab al-Halabi,p. 118.

Page 17: Okh: ^aedhonn

Mencari Format Ideal 95

lagi menurut hemat penulis teologi proses berpotensi bisa membagi danmengharmonikan hubungan antara wilayah Tuhan, manusia dan alam denganpengembangan konsep mistisnya. Pengalaman semacam ini pemah dilakukan olehtokoh sufi semisal Ibnu Atabiy (w. 261 H/875 M) dengan Wihdah al-mijadny^ ataumistdkus Katholik, seperti Meister Eckhart(1260-1327M) dengan konseppenetheisme.Pandangan futuristis mereka penulis lihat sebagai pandangan yang holistik terhadappoosisi manusia dalam mikrokosmos {alam al-saghir) maupun makrokosmos {alamal-kabiT)y yakni upaya harmonisasi terhdadap ekologi dalam ranah makrokosmosdan dakm rangka memberikan sumbangan spiritualitas atas peradaban, yang manasemua entitas dan keberadaan alam dan manusia senantiasa berada di bawah payung-payung keteduban ilahiyah. Dengan demikian pandangan mereka sebenamya jauh-jauh hari, baik secara eksplisit maupun implisit juga telah melampaui sikap praksisparapembela lingkungan yang menyerukan ^^back tonature" setelah adanya berbagaikesalahan kebijakan terhadap soal lingkungan, soal planologi dan kesengajaanpragmatis-hedonistis sehingga berujungpadakrisis dan bencana alam yang semuanyadiakibatkan oleh ulah, ambisi dan nafsu-nafsu keserakahan manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Amin Abdullah (2003), ''NewHorizon of Islamic Studies Throught Socio-CulturalHermeneutics" dalam al-Jamt'ahy Vol 41, No. 1, Journal of Islamic Studies,Yogyakarta: State of Islamic Studies (IAIN) Sunan Kalijaga

(2001), Al-Ta'adl al-llmij. Ke Arab Perubahan Penafsiran Kitab Suci, al-JamVahy Vol 39, No. 2, Journal of Islamic Studies, Yogyakarta: State of Islamic Studies (IAIN) Sunan Kalijaga.

Annawati, M.M. & L. Gardet (1981), Introduction a la Theologie Muselmandy Paris:Libraire PhilosophiqueJ Vrin.

Arkoun, Mohammed (1991), lectures du Coran, ed Tunis: Alifet. al. (1990), Uberte V^li^ous dans le Judaisme, le Christianisme et Hslamy Paris:

CERF.

(1993), "Le Concept des Societes du Livre-Iivre" dalam Interpretery No. 3.Bachtiar. Amsal (1999), Filsafat Agama, Jakarta: Logos.Baedhowi (2003), "Rasionalisme danTradisionalisme dalam Teologi Islam: Merajut

Antara Mii'tazilah danAsy'ariyyah" dalamEsensia, Vol. 4, No, 1,Journal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.

Barbour, Ian G. (1966) Issues in Science andF^ligions., U.S.A: Prentice Hall Inc(2002) ]urj{ Bicara Tuhan Antara Sains dan Agamay Terj. E.R. Muhammad,

Bandung: Mizan Pustaka

Page 18: Okh: ^aedhonn

96 Millah VoL VI, No. 2, Februan 2007

Baucaille Maurice (1981), .Le Btb/e, k Coran et la Science, Paris: SaghersCaheers.A.R (1983) Apa ituyang Dinamakan llmu, Jakarta: Hasta MitraCarol, Denis (tt) What isUheration Theology. Sydney: E.J. DawywrDepag RI (1977) Al-Qur'an dan Tetjemahannya, Jakarta: DepagAl-Ghazali, Abu Hamid (1346 H) IhyV XJlumuddin, VoL I, Mesir: Mustafa Bab al-

Halabi

Iqbal, Muhammad (1977) Reconstruction of Religious Thought in Islam, Lahore: M.Asraf.

John B. Cobb &David Ray Griffin (1976) Process Theology. An Introduction, Philadelphia: Westminster Press.

Linda Smith &William Reaper (1991) Religious and Philosophical Ideas. Past and Present,London: Oxford.

Ibnu Manzur (tt) Lisan alArab, tt. Juz. XVII, Bairut Dar Sadir,MuUer. L. (1972) God and Reason: a HistoricalApproach to Philosohopical Theology, New

York: The Macmillan Co.

Passemore, 'Xogical Positivisme" dalam Edward, ed., (1967) Fnyclopedia of Philoso-phg, Vol V, London: Rotledge.

Rahman, Fazlur. (1981) Major Themes of the QuPan, Chicago: Bibliotheca IslamicaRolston, Holmes (1987) Science and Religion, A Critical Survey, New York: Random

Hause

Salam. Abdus, ''Wawancara" dalam Tempo No. 400Thomas S. Kuhn. (1962) The Structure of Scientific Religion, Chicago: Chicago Univer

sity PressToffler. Alvin (1981) The Third Wave, London: Bantam BooksWhitehead. N. Alfred (1929) Process and Reality, New York: The Mcmillan Co

(1974) The Religion in Making, New York: New American Literary


Recommended