+ All Categories
Home > Documents > EKSISTENSI PESANTREN SEBAGAI SUB SISTEM...

EKSISTENSI PESANTREN SEBAGAI SUB SISTEM...

Date post: 03-Feb-2018
Category:
Upload: buitu
View: 221 times
Download: 4 times
Share this document with a friend
16
1 EKSISTENSI PESANTREN SEBAGAI SUB SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL; PERSPEKTIF SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA Muhammad Rais 1 Abstract: This article aims to reveal the existence of pesantren as a sub- national education systems were examined in the perspective of history of Islamic education in Indonesia. Historical aspects focused in order to reveal how schools into institutions of non-formal education in the archipelago first experienced dynamics of a long process to obtain formal recognition from the state. This article qualitatively assessed with historical perspective by revealing that the school is the beginning of Islamic educational institutions since the arrival of Islam in Indonesia and the 13th century progressed since the 17th century AD, and thereafter the 18 th century AD until the maturity of Islam. In addition, the pesantren as a sub system of national education in Indonesia has become an integral part of the religious institution by Act No. 20 of 2003 on National Education System and Government Regulation (PP) No. 55 of 2007 on Religious Education and Religious Education in which stated that schools diniyah education at primary and secondary level. Everything is aimed to educate the nation, making the man who is faithful and devoted to God Almighty, noble, healthy, knowledgeable, skilled, creative, independent and democratic citizenship and responsible. Key words: Existence, School, Sub-System, Education, Historical Perspective Pendahuluan Sejarah awal pendidikan Islam di Indonesia, berkaitan erat dengan sejarah awal datang dan masuknya Islam di negara ini. 2 Pendidikan Islam di Indonesia dalam 1 Dosen tetap Sejarah Peradaban Islam (SPI) di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Sorong-Papua Barat. E-mail: [email protected]. 2 Sidi Ibrahim Boechari, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau (Jakarta: Gunung Tiga, 1981), h. 32. Lihat juga Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. IV; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 17. Menurut catatan sejarah bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M atau bertepatan dengan tahun 1 Hijriah. Ini berdasarkan seminar masuknya agama Islam di Indonesia yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963, yang menyimpulkan sebagai berikut: (1). Islam pertama kali datang di Indonesia pada abad ke-7 M (abad ke-1 H), dibawa oleh pedagang dan muballig dari negeri Arab; (2) Daerah yang pertama dimasuki ialah pantai Barat Sumatera yaitu di daerah Baros, tempat kelahiran ulama besar bernama Hamzah Fansyuri. Adapun kerajaan Islam yang pertama ialah di Pasai; (3) Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang- orang Islam bangsa Indonesia ikut aktif mengambil bagian yang berperan dan proses itu berjalan secara damai; (4) Kedatangan Islam di Indonesia ikut mencedaskan rakyat dan
Transcript

1

EKSISTENSI PESANTREN SEBAGAI SUB SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL; PERSPEKTIF SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM

DI INDONESIA

Muhammad Rais1

Abstract: This article aims to reveal the existence of pesantren as a sub-national education systems were examined in the perspective of history of Islamic education in Indonesia. Historical aspects focused in order to reveal how schools into institutions of non-formal education in the archipelago first experienced dynamics of a long process to obtain formal recognition from the state. This article qualitatively assessed with historical perspective by revealing that the school is the beginning of Islamic educational institutions since the arrival of Islam in Indonesia and the 13th century progressed since the 17th century AD, and thereafter the 18 th century AD until the maturity of Islam. In addition, the pesantren as a sub system of national education in Indonesia has become an integral part of the religious institution by Act No. 20 of 2003 on National Education System and Government Regulation (PP) No. 55 of 2007 on Religious Education and Religious Education in which stated that schools diniyah education at primary and secondary level. Everything is aimed to educate the nation, making the man who is faithful and devoted to God Almighty, noble, healthy, knowledgeable, skilled, creative, independent and democratic citizenship and responsible. Key words: Existence, School, Sub-System, Education, Historical

Perspective

Pendahuluan

Sejarah awal pendidikan Islam di Indonesia, berkaitan erat dengan sejarah

awal datang dan masuknya Islam di negara ini.2 Pendidikan Islam di Indonesia dalam

1 Dosen tetap Sejarah Peradaban Islam (SPI) di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Sorong-Papua Barat. E-mail: [email protected].

2Sidi Ibrahim Boechari, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau (Jakarta: Gunung Tiga, 1981), h. 32. Lihat juga Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. IV; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 17. Menurut catatan sejarah bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M atau bertepatan dengan tahun 1 Hijriah. Ini berdasarkan seminar masuknya agama Islam di Indonesia yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963, yang menyimpulkan sebagai berikut: (1). Islam pertama kali datang di Indonesia pada abad ke-7 M (abad ke-1 H), dibawa oleh pedagang dan muballig dari negeri Arab; (2) Daerah yang pertama dimasuki ialah pantai Barat Sumatera yaitu di daerah Baros, tempat kelahiran ulama besar bernama Hamzah Fansyuri. Adapun kerajaan Islam yang pertama ialah di Pasai; (3) Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Islam bangsa Indonesia ikut aktif mengambil bagian yang berperan dan proses itu berjalan secara damai; (4) Kedatangan Islam di Indonesia ikut mencedaskan rakyat dan

2

perspektif sejarah memiliki keunikan tersendiri, dan berperan penting dalam

memajukan kebudayaan Islam. Pendidikan Islam tersebut, didefinisikan sebagai upaya

memberikan pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran-ajaran Islam kepada

masyarakat Islam di Indonesia,3 yang dimulai sejak datangnya Islam di negara ini,

khususnya pada masa kerajaan. Sejak itu, lembaga pendidikan Islam yang mulai

muncul adalah pesantren. Setidaknya terdapat beberapa pendapat yang menyatakan

bahwa pesantren sudah ada pada masa awal penyebaran Islam di nusantara, tepatnya

abad ke-13 sampai 17 M, dan sesudahnya yakni abad ke-18 M seterusnya sebagai

masa kematangan Islam, sekaligus eksistensi pesantren pun semakin matang

perkembangannya. Data Statistik Direktorat Jenderal Pendidikan Islam tahun 2011

sekarang ini, menunjukkan terdapat sekitar 24.000 Pondok Pesantren yang tersebar di

seluruh Indonesia.4

Secara historis, pesantren yang berbasis pendidikan agama (Islam) merupakan

lembaga pendidikan tradisonal, 5 yang sengaja didirikan agar masyarakat

menjadikannya sebagai tempat pembinaan umat yang utuh, lebih memahami,

membina karakter bangsa. Uraian lebih lanjut, lihat Zuhairini, et all, Sejarah Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Proyek Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), h. 133. Namun demikian, Abad ke-13 M disebut-sebut pendapat terkuat sebagai awal mula masuknya Islam di Indonesia, jadi bukan abad ke -7. Uraian lebih lengkap, lihat misalnya; Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas‟adi dengan judul, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Kesatu dan Dua (Cet. III; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), h. 728. Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h. 201-202.

3 H. Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Indonesia: Tantangan dan Peluang (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 2.

4 Kementerian Agama RI, Profil Pondok Pesantren Mu’adalah (Jakarta: Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, 2011), h. 144.

5Pendidikan tradisional meliputi dua aspek yaitu: Pertama pemberian pengajaran dengan struktur, metode, dan literatur tradisional. Pemberian pengajaran tradional ini dapat berupa pendidikan formal disekolah atau madrasah dengan jenjang pendidikan yang bertingkat-tingkat, maupun pemberian pengajaran dengan sistem halaqah dalam bentuk pengajian weton dan sorogan. Kedua, pemeliharaan tata nilai tertentu, yang untuk memudahkan dapat dinamai subkultur pesantren. Tata nilai ini ditekankan pada fungsi mengutamakan beribadah sebagai pengabdian dan memuliakan guru sebagai jalan untuk memperoleh pengetahuan agama yang hakiki dengan demikian, subkultur ini menetapkan pandangan hidupnya sendiri, yang bersifat khusus pesantren, berdiri atas landasan pendekatan ukhrawi pada kehidupan dan ditandai oleh ketundukan mutlak kepada ulama. Adapun ciri utama dari sistem pendidikan tradisional adalah banyak diberikannya pengajaran di luar kurikulum formalnya. Lihat Abdurrahman Wahid, Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren (Cet. I; Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 55

3

menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moralitas

dalam beragama sebagai pedoman hidup bermasyarakat. 6 Kini, dalam konteks

peningkatan kualitas lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, pesantren telah

dijadikan sebagai bagian integral lembaga pendidikan nasional di Indonesia, yang

kedudukannya sama dengan lembaga pendidikan Islam lainnya.7 Dengan demikian,

pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya

Indonesia, yang sampai saat ini semakin eksis keberadaannya dalam sistem

pendidikan nasional. Karenanya, eksistensi pesantren tersebut, menarik untuk

dicermati sebagaimana yang menjadi bahasan dalam tulisan ini.

Berdasarkan fakta mengenai eksistensi pesantren tersebut. Terdapat satu

masalah pokok yang menarik untuk dikaji dalam makalah ini, yakni bagaimana

eksistensi pesantren sebagai sub sistem pendidikan nasional yang ditinjau dari

perspektif sejarah pendidikan di Indonesia. Untuk menjawab permasalahan tersebut.

Tulisan ini akan menitik beratkan pembahasan pada dua persoalan pokok. Pertama,

Bagaimana pengertian pesantren dan sejarah perkembanganya di Indonesia?. Fokus

yang Kedua, dari tulisan ini adalah pada analisis bagaimana eksistensi pesantren dalam

sistem pendidikan nasional di Indonesia?

Pesantren; Defenisi dan Sejarah Perkembangannya di Indonesia

Kata “pesantren” berasal dari kata “santri” yang mendapat imbuhan “pe” dan

akhiran “an” yang tertulis “pesantrian” dan untuk memudahkan penyebutannya

diucapkan “pesantren”. Santri berasal dari kata “sastri” (bahasa Hindu) artinya “ahli

kitab suci agama Hindu” dengan asimilasi bahasa ke-Indonesiaan dan untuk

membedakan pengertiannya maka dikatakanlah “santri” artinya “ahli kitab suci agama

Islam”, 8 yang secara terminologis adalah “orang yang fokus belajar tentang ilmu

6Lihat Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Cet. I; Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 1994), h. 6.

7Lihat Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), sebagai hasil revisi Undang-Undang Sisdiknas No. 02 Tahun 1989. Lihat juga Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

8Departemen Agama RI, Grand Design Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren (Jakarta: Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, 2004), h. 17.

4

pengetahuan agama Islam”.9 Orang yang fokus belajar, dia harus konsen sehingga

santri mutlak memiliki pondok, mesjid, dan kiai (ulama) sebagai guru spiritual. Inilah

ciri khas pesantren sekaligus membedakan-nya dengan lembaga pendidikan Islam

lainnya.

Pesantren yang merupakan media dan lembaga pendidikan Islam di Indonesia

didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman. Sistem pendidikan yang

dikembangkan dapat dilihat dalam dua orientasi. Pertama, berorientasi terhadap

penguatan basis keagamaan bagi masyarakat muslim; Kedua, sebagai media konsolidasi

dan sosialisasi terhadap masyarakat nusantara yang belum sepenuhnya menganut

agama Islam. Keduanya dapat dijadikan alasan bahwa sesunggunya pondok

pesantren, selain dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiah juga sebagai

media penyebaran dan pengembangan ajaran Islam, meskipun kritikus, seperti

Hasbullah, 10 menyatakan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam

menjadi tolak ukur, bagaimana Islam dengan umatnya telah memainkan

peranannya dalam berbagai aspek sosial, politik, dan budaya. Hal ini

menunjukkan bahwa pesantren dapat difungsikan dalam segala aspek

kehidupan pada masa awal berdirinya, 11 sehingga berimplikasi lahirnya

kekuatan masyarakat Islam yang menyatu dari berbagai komunitas muslim yang

ada.

Dalam persfektif historis kultural, pondok pesantren dapat dikatakan sebagai

training center, sekaligus dijadikan sebagai cultural central Islam yang dilembagakan oleh

masyarakat Islam dan secara defakto tidak dapat diabaikan oleh pemerintah. Apalagi,

dalam sejarahnya, aktivitas dan proses awal pendidikan formal embrionya di masjid,

surau-surau, dan sebagian ulama dan guru mengajarkannya di rumah masing-masing.

Jadi, pendidikan formal dalam bentuk bangunan khusus belajar belum diciptakan.

Meskipun disadari bahwa sesungguhnya pondok pesantren telah menjadi pendidikan

formal satu-satunya di nusantara (Indonesia) pada saat itu. Namun, secara formil

sistem pendidikan kelembagaan mulai hadir ketika pemerintahan kolonial Belanda

9Ibid., lihat juga Mastuhu, op. cit., h. 3.

10 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Cet. I; Jakarta PT. Raja Grafindo, 1995), h. 16.

5

memperkenalkan sistem pendidikan baratnya 12 Kondisi ini kemudian

berasimilasi antara sistem kelembagaan pondok pesantren dengan sistem

pendidikan barat, baik secara fisik gedung belajar formalnya, juga terdapat

penyesuaian materi. Implikasinya adalah lahirnya pendidikan formal yang

dikelola pemerintah sebagai madrasah negeri (state school) dan madrasah swasta

(private school).

Kaburnya catatan sejarah mengenai kepastian tentang kehadiran pertama kali

pondok pesantren di Indonesia, di mana dan siapa pendirinya, relatif sulit ditemukan.

Pasalnya, aktivitas pembelajaran keagamaan - baik terbentuknya pendidikan formal

yang diistilahkan pesantren - telah berlangsung di mana-mana, seiring berlangsungnya

islamisasi ke sejumlah wilayah. Terdapat dua faktor yang membuat sejarah kehadiran

pesantren sulit diidentifikasi, yaitu; Pertama, faktor geografis yang sulit dilacak adanya

proses pembelajaran Islam di sejumlah wilayah di nusantara yang hampir pasti bahwa

di setiap kehadiran ulama di suatu tempat, maka dilakukan aktivitas pembinaan

keagamaan. Kedua, belum adanya kekuatan politik pemerintahan yang terintegrasi

dengan wilayah-wilayah yang telah diislamkan, sehingga sulit dilakukan komunikasi.

Namun, berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan oleh Kementerian Agama pada

1984-1987, diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada 1062 M. di

Pamekasan Madura dengan nama Pesantren Jan Tampes II, 13 akan tetapi hal ini

kemudian diragukan, karena ditemukan adanya pesantren Jam Tampes I yang lebih

tua.

Pada masa penjajahan kolonial Belanda, sekitar abad ke-18-an, nama pondok

pesantren sebagai lembaga pendidikan rakyat sangat populer terutama dalam bidang

penyiaran agama Islam. Aktivitas keagamaan inilah kerap menimbulkan kecurigaan di

pihak kolonial Belanda, apalagi bentuk dan proses pembinaan yang dilakukan

12Untuk melacak periodisasi pendidikan Islam di Indonesia, baik aspek pemikiran,

isi, pertumbuhan organisasi dan kelembagaannya, tidak mungkin dilepaskan dari fase-fase yang dilaluinya. Fase tersebut secara periodisasi dapat dibagi menjadi tujuh periode yaitu; 1). Periode masuknya Islam ke Indonesia; 2). Periode pengembangan dengan melalui proses adaptasi; 3). Periode kekuasaan kerajaan-kerajan Islam (proses politik); 4). Periode penjajahan Belanda; 5). Periode penjajahan Jepang; 6). Periode kemerdekaan I (orde lama); dan 7). Periode kemerdekaan II (orde baru) dan orde reformasi. Lihat, Ibid.

13Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 41.

6

disatukan dalam sebuah majelis. Faktor dilarangnya orang-orang yang berkumpul

dalam satu tempat dijadikan sebagai regulasi oleh pemerintah kolonial Belanda dalam

rangka memproteksi diri mereka dari kelompok-kelompok pemberontak atau yang

diistilahkan ekstrimis. Ini menunjukkan bahwa eksistensi pesantren sebagai lembaga

pendidikan Islam diawasi secara tidak langsung oleh pemerintah Belanda. Akhirnya,

pesantren tidak bebas melakukan aktivitas-aktivitas sosial keagamaan dengan

melibatkan jamaah dengan skala besar.

Kehadiran pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat tidak hanya

sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama dan sosial

keagamaan. Dengan sifatnya yang lentur (flexibel), sejak awal kehadirannya pondok

pesantren ternyata mampu mengadaptasikan diri dengan masyarakat serta memenuhi

tuntutan masyarakat. Walaupun pada masa penjajahan, pondok pesantren mendapat

tekanan dari pemerintah kolonial Belanda, pondok pesantren masih bertahan terus

dan tetap tegar berdiri, walaupun sebahagian besar berada di daerah pedesaan.

Peranan mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa tetap diembannya. Bahkan

pada saat-saat perjuangan kemerdekaan, banyak tokoh pejuang dan pahlawan-

pahlawan kemerdekaan yang berasal dari kaum santri.

Seiring dengan waktu, perkembangan pondok pesantren memang mengalami

peningkatan secara kuantitas. Pada zaman Belanda saja jumlah pesantren di Indonesa

yang telah teridentifikasi sebanyak 20.000 pesantren. 14 Perkembangan selanjutnya,

pesantren mengalami pasang surut. Namun, perkembangan yang paling akhir, dunia

pesantren menampakkan trend lain. Dalam konteks ini terdapat dua kluster pesantren

yang dimaksudkan, yaitu; pesantren yang mempertahankan sistem "tradisionalnya"15

dan sebagian yang lainnya membuka sistem madrasah, sekolah umum bahkan ada

14A. Timur Djailani, Peningkatan Mutu Pendidikan Pembangunan Perguruan Agama

(Jakarta: Dermaga, 1982), h. 18.

15Pranata (institusi) pendidikan tradisional memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya dapat dilihat pada; Pertama, kemampuan menciptakan sebuah sikap hidup universal yang merata, yang diikuti oleh semua warga pesantren sendiri. Kedua, kemampuan memelihara subkultur sendiri. Sedangkan kekurangannya, yaitu; Pertama, tidak adanya perencanaan terperinci dan rasional atas jalannya pendidikan itu sendiri. Kedua, tidak adanya keharusan untuk membuat kurikulum dalam susunan yang lebih mudah dicerna oleh anak didik. Namun yang menjadi ciri utama dari sistem pendidikan tradisional menurut hemat penulis adalah tidak terformalisasinya format pendidikan dari tahun ke tahun dan banyaknya diberikannya pengajaran di luar kurikulum formal. Lihat Abdurrahman Wahid, op. cit., h. 57.

7

diantaranya yang membuka semacam lembaga pendidikan kejuruan. 16 Tetapi tidak

terlepas dari penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dengan menekankan

pentingnya moralitas sebagai pedoman hidup untuk berdialektika dengan masyarakat.

Pada sistem penyelengaraan pendidikan Islam di pondok pesantren sekarang

ini, setidaknya dapat digolongkan kepada tiga bentuk sebagai berikut: Pertama,

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang

pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non

klasikal (sistem bandungan dan sorogan17), dimana seorang ulama mengajar santri-

santri berdasarkan kitab kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar

sejak abad pertengahan sedang santrinya tinggal dalam pondok atau asrama. Kedua,

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada

dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut di atas, tetapi para santrinya tidak

disediakan pondokan di kompleks pesantren. Di mana cara dan metode pendidikan

dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem weton, yaitu para santri datang

berduyun-duyun pada waktu tertentu. Dan ketiga, Pondok pesantren dewasa ini

merupakan lembaga gabungan antara sistem tradisional dan modern.18

Berdasarkan realitas tersebut, tampaknya sebagian pondok pesantren tetap

mempertahankan bentuk pendidikannya yang asli atau tradisional, sebahagian lagi

mengalami perubahan. Hal ini lebih disebabkan oleh tuntutan zaman dan

perkembangan pendidikan di tanah air. Karenanya, saat ini di samping terdapat

pesantren dengan karakteristik ketradisionalannya, juga bermunculan pesantren yang

berlabel modern. Sejalan dengan uraian itu, maka dipahami bahwa keberadaan

pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dan dengan berbagai ciri khas

16Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke

Zaman (Jakarta: LP3ES, 1979), h. 166.

17Istilah sorogan dan bandungan berasal dari bahasa jawa dan mempunyai perbedaan dari segi arti hal ini kita bisa melacak kedua arti tersebut yaitu; kata sorogan yang berarti "sodoran atau yang disodorkan". Maksudnya suatu sistem belajar secara individual dimana seorang santri berhadapan seorang guru (privatisasi), terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Sedangkan kata Bandungan sering disebut dengan halaqah (bugis Magaji Tudang), di mana dalam pengajian, kitab yang dibaca oleh kiai hanya satu, sedangkan para santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan kiai. Lihat . Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam , h. 50.

18Departemen Agama RI, Pedoman Pembinaan Pesantren (Jakarta: Dirjen Bimbingan Islam, 1985), h. 10.

8

serta unsur utamanya dapat dikatakan telah turut menghiasi sejarah pendidikan

nasional dan bahkan sejarah perjuangan bangsa melawan kolonial. Oleh karena itu,

pondok pesantren yang tersebar di seluruh pelosok negeri dengan satri yang ribuan

jumlahnya adalah aset nasional yang memerlukan pemikiran dan strategi

pengembangannya yang lebih maju dan tanpa mengabaikan citranya.

Eksistensi Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional

Pondok pesantren sebagai sub-sistem pendidikan nasional di Indonesia

merupakan bagian integral dari lembaga keagamaan yang secara unik memiliki

potensi yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Hal tersebut dapat disimak

dari uraian sebelumnya bahwa eksistensi pondok pesantren yang menegaskan bahwa

dari segi managament dan pengelolaannya bersentuhan langsung dengan pendekatan

keagamaan. Ini berkaitan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional, yang beberapa pasalnya menekankan penyelenggaraan

pendidikan keagamaan, seperti, pasal 30 ayat (1) bahwa:

“Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi

anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran

agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama”.19

Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007

tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada pasal 1 ayat (2)

disebutkan bahwa:

“Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik

untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan tentang ajaran

agama dan/atau menjadi ahli agama dan menjalankan ajaran agamanya”.20

Pendidikan keagamaan yang dimaksud di atas, adalah pondok pesantren

sebagaimana yang diatur dalam PP. 55 pasal 26 ayat (2) yang menyelenggarakan

pendidikan diniyah pada tingkat dasar dan menengah. Di samping itu pondok

pesantren yang tujuannya untuk menciptakan insan yang taqwa serta konponen

lainnya sebagai manusia yang memiliki keahlian dan keterampilan merupakan

19Departemen Pendidikan Nasional, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Nomor

20 Tahun 2003 (Cet.II; Bandung: Fokusmedia, 2003), h. 43.

20Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan, op. cit., h. 234.

9

indikator utama mengenai peran pesantren dalam sub sistem pendidikan Nasional di

Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dilihat dari segi kontekstualisasi UU Sisdiknas

No. 20 tahun 2003, pada bab II tentang “Dasar, Fungsi dan Tujuan” di mana UU

Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tersebut, terdiri dari dua pasal yakni pasal 2 dan 3. Dua

pasal dalam UU Sisdikanas No. 20 Tahun 2003, secara berturut-turut menjelaskan

tentang “dasar pendidikan nasional”, yakni UUD 1945, kemudian “fungsi dan tujuan

pendidikan nasional” yakni :

“Berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menajdi warga

negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.21

Berdasarkan kutipan di atas, dapat dipahami bahwa inti utama tujuan

pendidikan nasional kita adalah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam yang menjadi tujuan pondok

pesantren sebagaimana yang dirumuskan Ahmad Farhani, yakni:

الري املؤمن الفرد إًجاد فى ًكمن إذ إلاسالمي، للدًن الكبير الهدف لهرا ظل إلاسالمية للتربية الكبير والهدف

22 .الدنيا في ويسعد آلاخرة في ليفىز هعباد ويحسن ويتقيه هللا ًخش ى

Artinya: Tujuan utama diterapkannya pendidikan Islam adalah untuk

mencapai tujuan utama agama Islam itu sendiri. Karena itu, (pendidikan

Islam) diharapkan mampu membentuk kepribadian mu‟min yang patuh

kepada Allah, dan bertaqwa kepada-Nya, serta beribadah kepada-Nya

dengan baik demi meraih kebahagiaan di akhirat dan kesejahteraan

(hidupnya) di dunia.

Pribadi mu‟min yang dimaksud dalam pernyataan di atas memiliki makna

sama dengan redaksi “agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa”

sebagaimana disebutkan dalam UU Sisdiknas, yang sasarannya adalah pada

pembentukan pribadi muslim yang beriman dan bertakwa. Hal ini sejalan dengan

firman Allah dalam QS. Āli Imrān (3): 102, sebagai berikut :

21Lihat Tim Redaksi Fokusmedia, op. cit., h. 6-7.

22 Ish?āq Ah?mad Farh?ān, al-Tarbiyah al-Islāmiyah bayn al-As?ālah wa al-Ma’ās?irah (Cet. II; t.tp: Dār al-Furqān, 1983), h. 30.

10

Terjemahnya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah

sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali

dalam keadaan beragama Islam.23

Seruan kepada orang-orang beriman untuk bertakwa, bermuara pada

kemusliman sebagaimana yang termaktub dalam ayat di atas, mengindikasikan

bahwa orang yang beriman hendaknya menumbuhkan karakter taqwā pada dirinya.

Djamaluddin dan Abdullah Aly menjelaskan bahwa konteks iman dan takwa

dalam UU Sisdiknas tersebut memiliki tujuh perincian lebih lanjut; Pertama,

memercayai dan mengamalkan ajaran Tuhan dalam bidang ritual; Kedua, berbudi

pekerti luhur; Ketiga, berpengetahuan dan berketerampilan; Keempat, sehat jasmani

dan rohani; Kelima, berkepribadian yang mantap; Keenam, mandiri; dan Ketujuh,

memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.24 Bila diperhatikan

ketujuh perincian ini, ternyata telah mencerminkan tujuan pendidikan nasional

sebagaimana yang telah dikutip dalam UU Sisdiknas.

Pada sisi lain, tujuan inti dari UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang

berkaitan pendidikan agama Islam yang perankan pondok pesantren, sejalan

dengan sila utama dan pertama Pancasila sebagai asas bangsa ini, yakni Ketuhahan

Yang Maha Esa. Tujuan pendidikan nasional Indonesia ini, berdampak lagi pada

tujuan dalam rangka pengembangan kualitas pengetahuan, keterampilan, atau

kemampuan dan sikap yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik bangsa

Indonesia. Jadi tujuan pendidikan nasional yang juga menjadi tujuan dari

pendidikan yang diterapkan di pesantren adalah berupaya pada penciptaan,

pelaksanakan, perwujudan dan pemeliharaan perkembangan cita-cita kehidupan

bangsa Indonesia berdasarkan pada pengamalan ajaran Islam secara utuh dan

menyeluruh, dan secara bertanggung jawab.

23Departemen Agama RI, op. cit., h. 92.

24Djamaluddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h.41.

11

Selanjutnya dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pada bab III adalah

“prinsip penyelenggaraan pendidikan” yang terdiri atas enam ayat, 25 di dalamnya

termaktub pula tentang kedudukan Pendidikan Agama, yakni pendidikan di pondok

pesantren terutama bila dicermati ayat 1 yakni :

“Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak

diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,

nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.

“Nilai Keagamaan” dalam kutipan tersebut dalam konteks Islam adalah tentu

saja dimaksudkan sebagai pendidikan yang berbasis pesantren yang sarat dengan nilai-

nilai keislaman. Lebih dari itu, dan bila dianalisis lebih lanjut, tampak bahwa muatan

UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang berkenaan dengan pendidikan keagamaan

selalu berfokus pada satu tema yang saling terkait antara satu dengan lainnya.

Khususnya pada bab IV yang menjadi penekanannya adalah pada masalah peserta

didik yang batasannya pada ayat 1 bahwa setiap satuan pendidikan berhak

mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan

oleh pendidik yang seagama. Naskah inilah yang menjadi cita-cita luhur bagi setiap

pesantren untuk mendalami ilmu-ilmu agama agar tercipta generasi yang cerdas

secara intelektual dan memiliki iman taqwa yang handal serta moralitas sesuai dengan

ajaran Islam.

Naskah-naskah bab selanjutnya dalam UU Sisdiknas adalah tentang jalur,

jenjang dan jenis pendidikan dalam yang dijelaskan dalam bab VI, terdiri atas sebelas

bagian, khusus pada bagian kesembilan menjelaskan tentang “pendidikan

keagamaan” yakni pasal 30 (5 ayat). Ini berarti bahwa kedudukan pesantren dalam

sistem pendidikan nasional memiliki peran yang urgen dan signifikan sehingga perlu

pengembangan lebih lanjut. Dalam upaya pengembangan pondok pesantren,

25 Naskah enam ayat tersebut adalah: 1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa; 2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna ; 3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat; 4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, mem-bangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran; 5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat; 6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

12

tampaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu pengembangan dari segi

eksternal dan dari segi internal.

Pengembangan dari aspek eksternal dapat dilihat dalam tiga hal, yaitu;

Pertama, tetap menjaga agar citra pondok pesantren dimata masyarakat. Khususnya,

mutu keluaran atau output pondok harus mempunyai nilai tambah dari keluaran

pendidikan lainnya yang sederajat; kedua, santri-santri dalam pondok hendaknya

dipersiapkan untuk mampu berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk.

Setidaknya proses itu dapat dimulai sejak awal hingga diprediksi tingkat

keompetensinya sudah mampu; Ketiga, pondok hendaknya terbuka terhadap setiap

perkembangan pengetahuan dan temuan-temuan ilmiah dalam masyarakat, termasuk

temuan baru dalam dunia pendidikan.

Sedangkan pengembangan dari segi internal yang dapat dilakukan, yaitu;

Pertama, kurikulum pondok pesantren harus menepis anggapan yang bersifat

dikotomi dan memisahkan pengetahuan agama dengan pengetahuan umum. Dalam

konteks kekinian, kurikulum sebaiknya berdiferensiasi, yaitu kurikulum yang

direncanakan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan anak didik, kurikulum ini

sekaligus dapat menyatuhkan dengan baik antara aspek intelektual emosional, agama

spritual, dan kinerja psikomotor; Kedua, tenaga pengajar pada pondok pesantren.

Untuk pengembangan di masa mendatang, kiranya perlu kriteria-kriteria khusus

dalam merekrut tenaga pengajar. Setidaknya, ia mempunyai pengetahuan agama yang

cukup mantap, namun juga profesional dalam bidang ilmu yang diajarkan dan

memiliki kemampuan mentransfer ilmunya dengan baik. Ketiga, sarana pendidikan di

pondok, karena sarana sangat menentukan, hampir bisa dipastikan dengan sarana

yang lengkap dapat mencapai hasil yang maksimal. Misalnya ruang belajar yang baik,

perpustakaan yang lengkap dan media belajar yang lainnya.

Dengan mengembangkan pondok pesantren dari segi internal dan

eksternalnya akan memberikan warna dan corak khas dalam sub sistem pendidikan

Nasional di Indonesia, apalagi secara kultural pondok pesantren telah diterima dan

ikut serta membentuk dan memberikan peran dalam kehidupan dan pemberdayaan

masyarakat. Fungsinya sebagai salah satu lembaga pendidikan keagamaan di

Indonesia dianggap banyak memberikan andil dalam perjalanan bangsa dan

kenegaraan, baik pada masa kolonial hingga sekarang. Kondisi ini menunjukkan

13

bahwa eksistensi lembaga pendidikan pesantren masih dibutuhkan dalam rangka

mencerdaskan dan memberdayakan bangsa. Akhirnya, warga masih tetap diberikan

pilihan untuk menyekolahkan putra puttri mereka di lembaga pendidikan yang

diinginkan, termasuk pilihannya ke pesantren.

Potensi pondok pesantren dalam upaya pemberdayaan masyarakat, termasuk

upaya transformasi sosial, sangatlah besar. Setidaknya ada beberapa alasan, pertama;

potensi kuantitatif yang dapat diberdayakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kedua; keterikatan pondok pesantren dengan masyarakat yang sangat mengakar

melalui kharisma kyainya sekaligus tempat kepercayaan masyarakat pendukungnya

merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup pondok pesantren

sekarang ini. Ketiga; upaya pemberdayaan pondok pesantren sebagai pusat

pengembangan potensi umat, menjadikan sasaran pembangunan pendidikan nasional

yang signifikan. Keempat; sebagai lembaga pengembangan dan pembentukan watak,

pesantren dapat terus berdampingan hidup dengan masyarakat.

Penutup

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan

kesimpulan bahwa, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang

sejarah perkembangannya, dimulai sejak datangnya Islam di Indonesia abad ke 13

dan terus mengalami kemajuan sejak abad ke 17 M, dan sesudahnya yakni abad

ke-18 M seterusnya sebagai masa kematangan Islam. Sampai saat ini, tahun 2011

terdapat sekitar 24 ribu Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pesantren didirikan sebagai lembaga basis tafaqquh fi al-din yang dengannya

sehingga bertujuan untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam

dengan menekankan pentingnya moralitas dalam beragama sebagai pedoman

hidup bermasyarakat, dan pesantren dari sudut historis kultural dapat dikatakan

sebagai training center yang otomatis menjadi cultural central Islam yang disahkan

atau dilembagakan oleh masyarakat.

Eksistensi pondok pesantren dalam sub sistem pendidikan Nasional di

Indonesia menjadi bagian integral dari lembaga keagamaan berdasarkan konteks

Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal

itu tercakup pula dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007

14

tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan yang didalamnya secara

tegas dikemukakan bahwa pondok pesantren menyelenggarakan pendidikan

diniyah pada tingkat dasar dan menengah, tergolong dalam sub sistem pendidikan

Nasional di Indonesia yang bertujuan untuk mencerdaskan bangsa, menjadikan

manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menajdi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan pondok pesantren agar

tetap memiliki peran sebagai sub sistem pendidikan Nasional di Indonesia, maka yang

perlu dibenahi perannya secara eksternal dan dari segi internal. Dari segi eksternal

diupayakan adanya mutu keluaran atau output yang berkualitas, santri-santrinya

mampu berkompetisi dan pondok pesantren terbuka terhadap perkembangan dalam

dunia pendidikan. Dari segi internal adalah hendaknya kurikulum pondok pesantren

tidak ada dikotomi, tenaga pengajarnya memiliki kriteria-kriteria khusus, sarana

pendidikannya seharusnya mencukupi.[]

15

DAFTAR PUSTAKA

„ad‟ah āq.‟ān, Ish‟ Farh Irah, ālah wa al-Ma’ās?al-Tarbiyah al-Islāmiyah bayn al-As. Cet. II; t.tp: Dār al-Furqān, 1983.

Boechari, Sidi Ibrahim. Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan

Nasional di Minangkabau. Jakarta: Gunung Tiga, 1981. Departemen Agama RI. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Sistem Pendidikan

Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1992.

. Pedoman Pembinaan Pesantren. Jakarta: Dirjen Bimbingan Islam, 1985. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pendidikan di Indonesia dari zaman ke

zaman. Jakarta: LP3ES, 1979. Departemen Pendidikan Nasional. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,

Nomor 20 Tahun 2003. Cet.II; Bandung: Fokusmedia, 2003. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, t. Th. Djailani, A. Timur. Peningkatan Mutu Pendidikan Pembangunan Perguruan Agama .

Jakarta: Dermaga, 1982. Djamaluddin dan Abdullah Aly. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka

Setia, 2004. Hasbullah. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta:PT. Raja Grafindo

Persada, 1996. . Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan Dan

Perkembangan. Cet. I; Jakarta PT. Raja Grafindo, 1995. Kementerian Agama RI. Profil Pondok Pesantren Mu’adalah. Jakarta: Direktorat

Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, 2011. Lapidus, Ira M. A Hostory of Islamic Societies diterjemahkan oleh Ghufran A.

Mas‟adi dengan judul, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Kesatu dan Dua. Cet. III; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.

Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1994. Nata, H. Abuddin. Pendidikan Islam di Indonesia: Tantangan dan Peluang. Jakarta:

Gramedia, 2003.

16

Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.

Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren. Cet. I; Yogyakarta:

LkiS, 2001. Zuhairini, et all. Sejarah Pendidikan Islam. Cet. II; Jakarta: Proyek Prasarana dan

Sarana Perguruan Tinggi Agama, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986.


Recommended