SALIMIYA: Jurnal Studi Ilmu Keagamaan Islam Volume 2, Nomor 3, September 2021
e-ISSN: 2721-7078
https://ejournal.iaifa.ac.id/index.php/salimiya
Accepted:
April 2021
Revised:
Juli 2021
Published:
Septemnber 2021
Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith
dalam Perspektif Hukum Islam
(Studi Analisis terhadap Kewenangan Pengadilan Agama
Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama)
Sapri Ali
Institut Agama Islam Faqih Asy’ari Kediri, Indonesia
Email : [email protected]
Abstract
istilhaq" or it can also be called iqraru bi an-nasb, which means the voluntary
recognition of a man to a child, that he has a blood relation with the child,
either the child is out of wedlock or the child is unknown of origin. Which
becomes actual to be discussed because it is closely related to the absolute
competence of the religious judicial body on the settlement of the origin of the
child and the adoption of children formulated with the birth of Law No. 3 of
2006 on Amendments to Law No. 7 of 1989 on Religious Justice.The problem of
istilhaq is closely related to the position of extramarital children. In Law No. 1
of 1974 article 43 paragraphs (1) and (2) mentioned, that children born outside
of marriage only have a civil relationship with their mother, and their mother's
family, while the position of the extramarital child will be regulated in a
government regulation, but until now the government regulation has not yet
come down / issued, related to the issuance of government regulations in
question, Such a thing will cause legal uncertainty and injustice, especially felt
by the child and the mother who gave birth to it, while the impregnated man
seems less responsible for his actions that have led to the birth of a child called
an extramarital child.
Keywords: Istilhaq, Law No. 3 of 2006, Islamic law.
Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam
79
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
Abstrak
Istilhaq atau bisa juga disebut iqraru bi an-nasb, yang berarti pengakuan
seorang laki-laki secara sukarela terhadap seorang anak, bahwa ia mempunyai
hubungan darah dengan anak tersebut, baik anak tersebut berstatus di luar nikah
atau anak tersebut tidak diketahui asal usulnya. Yang menjadi aktual untuk
dibahas karena berkaitan erat dengan kewenangan mutlak (absolute
competence) badan peradilan agama tentang penyelesaian asal usul anak dan
pengangkatan anak yang terformulasikan dengan lahirnya Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Permasalahan istilhaq erat kaitannya dengan
kedudukan anak luar nikah. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal
43 ayat (1) dan (2) disebutkan, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, dan keluarga ibunya, sedangkan
kedudukan anak luar nikah tersebut akan diatur dalam suatu peraturan
pemerintah, namun sampai saat ini peraturan pemerintah tersebut belum juga
turun/terbit, berkaitan dengan belum terbitnya peraturan pemerintah dimaksud,
hal seperti itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan,
terutama dirasakan pihak anak dan ibu yang melahirkannya, sedangkan lelaki
yang menghamili terkesan kurang mendapat akibat tanggung jawab atas
perbuatannya yang telah menyebabkan kelahiran seorang anak yang disebut
anak luar nikah.
Kata Kunci: Istilhaq, UU No. 3 Tahun 2006, Islamic law
Pendahuluan
Penerjemahan ajaran Islam terutama aspek hukumnya dalam konteks
kekinian dan kemodernan dewasa ini merupakan keharusan yang tidak bisa
dihindari. Kompleksitas problematika kehidupan umat manusia yang
memerlukan solusi hukum Islam secara efektif, sejalan dengan perkembangan
dan kemajuan dunia modern, semakin rumit. Elastisitas dan fleksibilitas hukum
Islam yang sering dikumandangkan oleh para ahli hukum, (baca: ulama’) makin
dituntut pembuktiannya secara kongkrit. Karena itu, kajian Fiqh Islam
mengenai berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat modern
merupakan kajian menarik, aktual dan perlu terus dilakukan untuk lebih
membuktikan bahwa syari’at Islam adalah betul-betul mampu menjawab setiap
permasalahan hidup dan senantiasa peka zaman.
Syari’at Islam atau Hukum Islam adalah sebuah solusi tepat dari
persoalan kehidupan manusia, syari’at tersebut terformulasikan secara harfiah
dalam al-Qur’an dan teks hadits. Namun, aturan hukum yang ditetapkan Allah
secara harfiah jumlahnya sangat terbatas, pada umumnya menjawab
80 Sapri Ali
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
permasalahan yang timbul sewaktu al-Qur’an masih diturunkan, begitu juga
dengan hadits, membahas persoalan yang kala itu terjadi dan langsung
ditanyakan pada Rasulullah. Sedangkan permasalahan baru yang semakin
beragam meminta untuk tetap diselesaikan, disinilah peran para mujtahid dan
para hakim untuk mengisi kekosongan hukum tersebut dengan berijtihad.
Dalil-dalil syar’i yang dipakai untuk berijtihad mengacu pada 2 (dua)
sumber yaitu naqli dan ‘aqli.
Menurut Prof. Hasbie As-Siddiqie dalil naqli adalah al-Qur’an, sunnah
dan ijma’ mazhab shahabi (menurut sebagian ulama ushul). Sedangkan dalil
‘aqli, termasuk diantaranya adalah qiyas, istidlal dan yang dihubungkan dengan
keduanya, seperti istihsan, maslahat mursalat, syadz az-zari’ah dan sebagainya.
Aspek yang dituju dalam maqasid at-tasyri’ adalah mewujudkan
kemaslahatan yaitu kebaikan dan kesejahteraan yang meliputi tiga maslahat,
yaitu maslahat daruriyat (kemaslahatan utama), maslahat hajjiyat dan maslahat
tahsiniyat. Menurut pendapat Al-Syathibi, maslahat daruriyat adalah
kemaslahatan terhadap segala urusan yang menjadi kebutuhan pokok dan sendi
kehidupan manusia, yang mencakup lima hal, yakni: memelihara agama (hifz
addien), memelihara jiwa (hifz an-nafs), memelihara akal (hifz al ‘aqli),
memelihara keturunan (hifz an-nasl) dan memelihara harta (hifz al-mal).
Kelima hal tersebut adalah sumber pokok maqasid at-tasyri’.
Kemaslahatan yang kedua, yaitu maslahat hajjiyat adalah kemaslahatan
terhadap segala urusan yang memudahkan dan meringankan serta
menghilangkan kesukaran bagi manusia dalam menanggung beban hukum
(taklif). Jika tujuan ini tidak terwujud, tidak akan merusak tatanan masyarakat
secara luas, dan tidak akan terjadi meratanya kerusakan. Sedangkan maslahat
tahsiniyat adalah hal-hal yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan
dan keseragaman hidup bagi perorangan dan masyarakat. Jika kemaslahatan ini
tidak terwujud, maka tidak akan membawa kerusakan dalam kehidupan
masyarakat, melainkan hanya akan menimbulkan kesukaran kepada manusia
secara pribadi semata.
Kiranya perlu digaris bawahi, bahwa pemberlakuan syari’at pada
manusia, disadari atau tidak semua kembali pada kemaslahatan manusia itu
sendiri, baik dalam jangka waktu yang sementara, lama maupun selamanya.
Meminjam kata ahli hikmah, bahwa setiap syari’at hukum Islam dipastikan
mengandung nilai hikmah. Selain mengandung nilai maslahat untuk manusia
Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam
81
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
syari’at juga berisi menolak dan mencegah adanya kesulitan untuk manusia itu
sendiri.
Akhir-akhir ini sering penulis mendengar dan melihat pemberitaan baik
melalui media elektronika dan cetak tentang kasus-kasus anak yang dibuang di
depan rumah orang, di tempat sampah, ditinggalkan di rumah sakit begitu saja
oleh yang melahirkan dan lain-lain cara, semuanya berintikan melepaskan
tanggung jawab terhadap anak yang mereka lahirkan dari darah daging mereka
sendiri, apa penyebabnya? Mungkin tidak pada tempatnya, disini penulis
bicarakan. Di sisi lain ada pula kasus-kasus anak yang hilang karena di culik
atau terpisah dari orang tuanya, atau bahkan sengaja disembunyikan/dipisahkan
oleh salah satu dari orang tuanya agar terpisah dari orang tuanya pula (karena
suami-isteri tersebut bercerai dan anak menjadi rebutan mereka). Anak-anak
seperti itu, yang terpisah dengan orang tuanya, hidup sendirian tanpa ada
sandaran, walau dengan sebab-sebab yang beragam, pada terma besar termasuk
di bawah pengertian anak laqith (anak terlantar/anak pungut/ anak temuan).
Sesungguhnya kasus-kasus di atas, jika mau ditelaah dan dikaji menurut
hukum Islam masuk dalam tataran maqasid at-tasyrie’ perihal hifz an-nasl
(pemeliharaan keturunan). Menurut Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, nasab adalah
salah satu dari hak anak yang ada lima: yaitu: nasab, radha’ (susuan), hadanah
(pemeliharaan), walayah (perwalian/perlindungan) dan nafkah.
Sejalan dengan pendapat Wahbah yang mewakili urgensi perlindungan
anak dari arah hukum Islam, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak. Pelaksanaannya
menjadi kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, dan masyarakat
serta pemerintah dan negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak,
karena dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris
dan sekaligus sebagai potret masa depan bangsa di masa datang, generasi
penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari
tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Al-Qur’an sendiri juga telah menunjukkan hal itu sebagai tindakan sosial
dengan urgensi pertolongan dan perlindungan pada sesama, hal itu terdapat
dalam penggalan ayat dalam al-Qur’an yang berbunyi:
ي عا ا أحيا النماس ج ومن أحياها فكأنم
82 Sapri Ali
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya”
Terkait dengan fenomena tentang kondisi seorang anak di atas, dalam
kajian hukum Islam terdapat pokok bahasan yang bertema “istilhaq” atau bisa
juga disebut iqraru bi an-nasb, yang berarti pengakuan seorang laki-laki secara
sukarela terhadap seorang anak, bahwa ia mempunyai hubungan darah dengan
anak tersebut, baik anak tersebut berstatus di luar nikah atau anak tersebut tidak
diketahui asal usulnya. Yang menjadi aktual untuk dibahas karena berkaitan
erat dengan kewenangan mutlak (absolute competence) badan peradilan agama
tentang penyelesaian asal usul anak dan pengangkatan anak yang
terformulasikan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Di samping itu, secara sosiologis, walaupun belum pernah ada
penelitian ilmiah, dirasakan banyaknya anak-anak yang lahir di luar suatu
perkawinan yang sah, yang kemudian antara lain ditelantarkan begitu saja atau
bukan karena sebab seperti itu, kenyataan seperti ini suatu saat besar
kemungkinan akan menjadi kasus yang akan diajukan ke pengadilan agama
untuk diselesaikan dalam bentuk penetapan asal usul/pengakuan anak atau
diajukan dalam bentuk pengangkatan anak.
Permasalahan istilhaq erat kaitannya dengan kedudukan anak luar nikah.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 43 ayat (1) dan (2)
disebutkan, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya, dan keluarga ibunya, sedangkan kedudukan
anak luar nikah tersebut akan diatur dalam suatu peraturan pemerintah, namun
sampai saat ini peraturan pemerintah tersebut belum juga turun/terbit, berkaitan
dengan belum terbitnya peraturan pemerintah dimaksud, hal seperti itu akan
menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, terutama dirasakan
pihak anak dan ibu yang melahirkannya, sedangkan lelaki yang menghamili
terkesan kurang mendapat akibat tanggung jawab atas perbuatannya yang telah
menyebabkan kelahiran seorang anak yang disebut anak luar nikah.
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 pasal 49 disebutkan:
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama orang-orang yang beragama Islam di
bidang: Perkawinan, Waris; Wasiat; Hibah; Wakaf; Zakat; Infaq; Shadaqah;
dan Ekonomi syari’ah. Dalam penjelasannya menyebutkan, bahwa: Pasal 49:
Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam
83
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari’ah,
melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya. Yang dimaksud dengan
“antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan
hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada
hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama
sesuai dengan ketentuan Pasal ini.
Huruf a: Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur
dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku
yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain: Izin beristri lebih dari seorang;
dan Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua
puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat;
1. Dispensasi kawin;
2. Pencegahan perkawinan;
3. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
4. Pembatalan perkawinan
5. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
6. Perceraian karena talak;
7. Gugatan perceraian;
8. Penyelesaian harta bersama;
9. Penguasaan anak-anak;
10. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak yang seharusnya bertanggungjawab tidak mematuhinya;
11. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
12. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
13. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
14. Pencabutan kekuasaan wali;
15. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut;
16. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur
18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
17. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di
bawah kekuasaanya;
18. Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam;
84 Sapri Ali
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
19. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran;
20. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut
peraturan yang lain.
Dalam hal ini yang penulis kaji adalah perihal penetapan asal-usul
anak/biasa disebut pengakuan anak, karena masih jarang yang menjangkau
pembahasan ini, sedangkan perihal pengangkatan anak sudah jama’ dibahas,
baik dalam kajian ilmiah maupun seminar, selain itu yurisprudensi
pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam juga sudah banyak ditemukan,
sedangkan yurisprudensi penetapan asal-usul anak sepengetahuan kami belum
pernah ada.
Dengan asumsi, diharapkan kajian ini dapat menjadi bahan bagi Badan
Peradilan Agama dalam melaksanakan kewenangan barunya berdasarkan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 pasal 49 point (a) No. 20 dengan baik
sesuai yurisprudensi yang seharusnya
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif yaitu
menggambarkan atau melukiskan objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang
tampak atau sebagaimana adanya dengan mengambil data dari rangkaian
literatur berupa kumpulan peraturan perundangan dan peraturan lain di
bawahnya terutama yang berkaitan dengan OJK, pendapat para ahli yang
tertuang dalam buku maupun publikasi jurnal ilmiah
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pengertian Anak Istilhaq
Sebenarnya belum pernah ditemukan dalam sebuah literatur yang secara
tersendiri menjelaskan tentang pengertian anak istilhaq, kecuali pengertian yang
terdapat dalam kamus, bahwa istilhaq adalah terkait dengan sebuah prosedur
penasaban seorang anak yaitu:
ب الوالد إل ن فسه است لحق نس “Menyambungkan atau mendakwakan nasab seorang anak pada dirinya (si
pendakwa tersebut)”
Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam
85
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
Dilihat dari pengertian tersebut, bisa dipahami bahwa istilhaq
mengandung persamaan dengan pengertian ikrar bi an-nasb. Sehingga dapat
diambil pengertian bahwa anak istilhaq adalah anak yang didapat dengan proses
pendakwaan/pengikraran, baik karena anak tersebut hilang atau ada tindakan
dari pihak lain untuk menggelapkan status anak tersebut.
Membahas anak istilhaq tidak bisa dipisahkan dengan pembahasan nasab,
karena sasaran istilhaq adalah membuktikan adanya pertalian nasab antara si
pendakwa dengan si anak, baik yang membuktikan tersebut adalah pihak yang
berkepentingan langsung, maupun orang lain yang masih punya pertalian
dengannya.
Penetapan Nasab Anak
1. Pengertian Nasab
Nasab secara etimologis berasal dari Bahasa Arab “an-nasab”_ yang
berarti “keturunan, kerabat” ulama fiqh mengatakan bahwa nasab
merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam membina suatu kehidupan
rumah tangga yang bisa mengikat antar pribadi. Berdasarkan kesatuan darah.
Secara terminologis, terma nasab adalah keturunan atau ikatan
keluarga sebagai hubungan darah, baik karena hubungan darah ke atas
(bapak, kakek, ibu, nenek, dan seterusnya) atau ke bawah (saudara, paman
dan lain-lain).
Allah mengungkap nasab sebagai salah satu nikmat paling besar dalam
firman-Nya:
وهو المذي خلق من المآء بشرا فجعله نسبا وصهرا، وكان ربك قدي را“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan
manusia itu (punya) keturunan dan musaharan dan adalah Tuhanmu Maha
Kuasa”.
2. Cara Menetapkan Nasab
Anak adalah rahasia orang tua dan pemegang keistimewaannya, waktu
orang tua masih hidup anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua pulang
ke rahmatullah, anak sebagai pelanjut dan lambang keabadian. Oleh karena
itu, Allah mengharamkan zina dan mewajibkan pernikahan demi melindungi
nasab, sehingga anak bisa dikenal siapa ayahnya, dan ayah bisa dikenal siapa
anaknya.
86 Sapri Ali
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
Dengan perkawinan,seorang istri menjadi hak milik khusus suami dan
dilarang berkhianat, sehingga setiap anak yang dilahirkan dari perkawinan
itu, mutlak milik suami. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang artinya:
“Anak adalah milik yang seranjang, dan bagi yang berbuat zina adalah
dilempari batu”.
Dari sini seorang suami tidak boleh mengingkari anak yang dilahirkan
oleh istri yang seranjang dengannya dalam perkawinan yang sah, baik karena
suatu keraguan, dengan atau karena berita yang belum tentu benar.
Adapun apabila seorang istri menghianati suami dengan bukti dan
qarinah (tanda) yang tidak dapat ditolak, maka syariat Islam tidak
membiarkan seorang ayah harus memelihara seorang anak yang menurut
keyakinannya bukan darah dagingnya. Untuk memecahkan problema ini
dalam ilmu fiqh dikenal prosedur Li’an.
Namun ada baiknya sebelum dilakukan proses li’an karena akibat
hukum dari li’an yang begitu berat, atau karena hal lain yang disengketakan
berkaitan dengan pembuktian nasab. Imam Syafi’ie berpendapat, untuk
melakukan penelitian usia minimal dan maksimal kandungan terlebih
dahulu, karena batas usia minimal dan maksimal sangat mempengaruhi
keabsahan seorang anak. Beliau berpendapat, bahwa usia minimal
kandungan adalah enam bulan, hal ini juga telah menjadi kesepakatan para
ulama. Dasar pengambilan ketentuan tersebut adalah pemahaman dari dua
ayat al-Qur’an yakni ayat yang menerangkan tentang jumlah waktu yang
digunakan untuk wanita hamil dan menyusui, yaitu 30 bulan, sebagaimana
firman Allah:
هراووصمي نا الإنسان بوالديه إحسان حلته أمه كرها ووضعته كرها وحله وفصاله ثل ث ون “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua
orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah (pula), mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”
Sedangkan dalam ayat lain, Allah menjelaskan bahwa hendaknya
penyapihan anak dilakukan setelah anak tersebut berusia 2 tahun,
sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam
87
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
كرل ولوالديك ووصمي نا الإنسان بوالديه حلته أمه وهنا على وهن وفصاله ف عامي أن ا وإلم المصي
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada ibu bapakmu, dan hanya kepada-Ku kembalimu.”
Secara matematis dapat dipahami, jika secara keseluruhan jumlah
waktu yang digunakan untuk mengandung dan menyusui adalah 30 bulan.
Jumlah tersebut sama dengan waktu 2 tahun lebih 6 bulan. Sedangkan waktu
untuk menyapih anak adalah pada usia 2 tahun, maka tinggal 6 bulan, maka
secara tidak langsung dapat ditarik kesimpulan dari pemahaman 2 (dua) ayat
di atas, bahwasannya waktu yang digunakan untuk mengandung minimal
adalah 6 (enam) bulan. Sedangkan usia maksimal kandungan menurut Imam
Syafi’ie adalah 4 (empat) tahun, hal ini didasarkan pada kejadian di
masyarakat yang beliau teliti, yaitu wanita-wanita bani ‘Ajlan yang banyak
diantara mereka mengandung selama 4 (empat) tahun.
Sedangkan Hanafiah memberi batasan dua tahun, Muhammad bin
Hakam berpendapat satu tahun qomariah, adapula yang berpendapat bahwa
batasan maksimal kehamilan adalah sembilan bulan. Terlepas dari
perbedaan pendapat di atas, kenyataan umum saat ini masa kehamilan paling
lama adalah 9 bulan sampai 1 tahun. Jika ternyata ada yang lebih, hanyalah
sebuah pengecualian. Hal ini juga sama dengan ketentuan yang diberlakukan
oleh Mahkamah Syariah Mesir yang memutuskan: bahwa batas maksimal
kehamilan hanyalah satu tahun.
Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa apabila seorang istri
melahirkan anaknya kurang dari 6 bulan kehamilan,maka suami bisa
mengajukan keberatan atas anak yang dilahirkan itu dan secara yuridis bukan
merupakan anak sah. Begitu pula jika seorang wanita yang telah dicerai atau
ditinggal mati suaminya, tidak kawin lagi dengan laki-laki lain kemudian
melahirkan seorang anak dengan batas waktu lebih dari 4 tahun menurut
Syafi’ie, 2 tahun menurut Hanafi, 1 tahun qomariah menurut yang lain,
ataupun lebih dari 9 bulan menurut Zahiriah, maka bisa dikatakan anak itu
bukan anak dari mantan suami yang mencerainya/yang meninggal dunia.
Sementara menurut keumuman saat ini, kelahiran anak lebih dari 9 bulan
88 Sapri Ali
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
sampai satu tahun setelah perceraian tanpa menikah lagi setelah itu, maka
nasab anak tidak bisa disambungkan dengan suaminya yang dulu.
Selain dengan penelitian batas usia minimal dan maksimal kandungan,
penetapan nasab dapat dilaksanakan dengan cara pengakuan, dimana
terdapat dugaan bahwa anak yang diakui adalah bernasab pada si “ayah”_
yang diduga tersebut, namun pengakuan disini bisa dilakukan baik oleh si
isteri (ibu si anak) maupun si suami (ayah si anak).
Wahbah Zuhayli menyatakan ada tiga cara penetapan nasab, baik
karena anaknya hilang atau karena ada tindakan kesengajaan penggelapan
status anak tersebut, yaitu:
a. Membuktikan adanya perkawinan yang sah atau adanya perkawinan yang
fasid.
b. Mengajukan istilhaq / iqrar bi an-nasab
c. Pengajuan alat-alat bukti lain, seperti : saksi (proses ini dijalankan atau
diproses di hadapan majelis hakim) termasuk dalam hal ini keterangan
ahli qiyafah. Ahli qiyafah/Qoif bisa dikategorikan sebagai saksi ahli
yang mana untuk zaman sekarang perlu dipertimbangkan adanya bukti
selain saksi yaitu hasil pemeriksaan darah dan pemeriksaan DNA
(Deoxyribo Nucleic Acid) yang memerlukan adanya saksi ahli.
Prosedur Istilhaq atau Iqrar bi an-Nasab Terhadap Anak
Ketika ada kerancuan seorang anak bernasab pada siapa, karena berbagai
kemungkinan dan peristiwa atau ketika seseorang yakin bahwa seorang anak itu
bernasab kepadanya atau sebaliknya seorang anak yakin bahwa seseorang
sebagai bapaknya. Jika ketentuan pertama yaitu membuktikan adanya
perkawinan yang sah atau fasid dengan si ibu anak tersebut sulit dilakukan,
karena banyak sebab. Maka demi kejelasan statusnya, Iqrar bi an-nasab atau
istilhaq layak diajukan sebagai solusinya. Namun dalam hal ini yang boleh
mengajukan hanya dua orang :
1. Pengakuan oleh yang berkepentingan
Pengakuan anak disini bersifat langsung ( على نفس المقر ) baik oleh
ayah maupun si anak yang mengajukan, hal ini jika seseorang menyatakan
bahwa anak ini adalah anaknya atau orang lain adalah ayahnya. Ditemukan
keterangan dalam Fiqhul Islam wa Adillatuhu bahwa syarat-syarat
diterimanya pengakuan (ikrar) oleh pihak yang berkepentingan adalah:
Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam
89
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
1. Anak yang diakui tidak diketahui nasabnya. Jika diketahui nasabnya maka
pengakuan itu batal.
2. Pengakuan anak tersebut adalah pengakuan yang logis seperti perbedaan
umur yang wajar bagi hubungan ayah dan anak, dan tidak bertentangan
dengan pengakuan orang.
3. Anak yang diakui mensetujui atau tidak membantah. Jika anak yang diakui
sudah cukup umur untuk membenarkan atau menolak, hal ini menurut
ulama jumhur, tetapi menurut madzhab Maliki, syarat ini tidak
diberlakukan, karena nasab adalah hak anak kepada ayahnya.
4. Pada anak tersebut belum ada hubungan nasab dengan orang lain, artinya
jika pengakuan anak itu diajukan oleh seorang istri /atau seorang
perempuan beriddah, maka disyaratkan adanya persetujuan dari suaminya
tentang pengakuan tersebut.
Dalam literatur lain, ditemukan syarat selanjutnya, yaitu
Pengakuan anak tersebut bukan hasil perbuatan zina, artinya
pengakuan akan diterima sepanjang pengakuan tersebut adalah anak hasil
nikah sah. karena diterimanya penetapan nasab adalah merupakan nikmat
Allah, dan tidak mungkin nikmat akan diberikan dari proses yang
melanggar hukum-hukum Allah. Namun Ibnu Taimiyah termasuk ulama
fiqih yang membolehkan anak zina diakui melalui pengakuan istilhaq
mengingat di masyarakat justru kebanyakan terdapat anak zina daripada
anak li’an dan anak syubhat.
2. Pengakuan oleh orang lain
Pengakuan ini tidak diajukan oleh ayah atau anak yang bersangkutan,
tapi diajukan dan diikrarkan oleh orang lain. Yang disebut ( إقرار محمول على
,pengakuan ini seperti jika seseorang menyatakan ini saudaraku (غير المقر
ini pamanku dan sebagainya. Pengakuan seperti itu dapat diterima
sepanjang memenuhi empat persyaratan sebagaimana pengakuan anak oleh
diri sendiri ditambah syarat kelima : yakni harus ada pembenaran dari
orang lain. Menurut madzhab Hanafi, jika seseorang menyatakan bahwa
orang ini adalah saudaranya, maka pengakuan itu bisa diterima jika
dibenarkan oleh ayahnya, atau harus dikuatkan dengan pembuktian, atau
jika ayah tersebut sudah meninggal, dikuatkan oleh dua orang ahli
warisnya. Jika syarat-syarat tersebut tidak bisa dipenuhi, maka pengakuan
hanya berlaku terbatas untuk dirinya sendiri.
90 Sapri Ali
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
Menurut Ahmad Husni sebagaimana yang dikutip oleh Abdul
Manan:”apabila syarat-syarat pengakuan anak baik oleh diri sendiri
maupun untuk kepentingan orang lain sudah terpenuhi, maka sahlah
pengakuan/ikrar terebut secara hukum dan berlakulah seluruh aspek
keperdataan yang nyata baik dibidang kewarisan maupun perkawinan dan
seluruh aspek keperdataan yang lain”.
Pengajuan iqrar bin an-nasab atau istilhaq termasuk dalam prosedur
penetapan asal-usul anak yang dalam wilayah hukum perdata termasuk
dalam perkara Volunteer, namun ada kalanya perkara penetapan nasab atau
asal usul anak menjadi perkara contentious jika pihak-pihak yang terlibat
dalam pengakuan tersebut tidak terima, sehingga pemeriksaan pembuktian
dilaksanakan dengan cara pemeriksaan lengkap (Istbat nasab bil bayyinah).
Prosedur seperti itu terekam dalam prosedur beracara pemeriksaan perkara
di Pengadilan Agama yang akan diuraikan dalam bab selanjutnya.
Anak Laqith (temuan) dan Statusnya
Menurut Sayyid Sabiq dalam fiqhus sunnahnya yang dimaksud dengan
anak temuan adalah:
الطمريق ولا ي عرف نسبه الملقيط هو الطفل غي ر البالغ المذى ي وجد ف الشمارع أو ضال “Ialah anak kecil yang belum baligh yang ditemukan di jalan atau tersesat
di jalan, dan tidak diketahui keluarganya”.
Terkadang anak laqith dinamakan pula dengan redaksi malquth dan
manbudz, disebut manbudz karena adalah anak yang dibuang oleh ibu
bapaknya. Dari definisi dan pengertian di atas secara sederhana dapat dipahami
bahwa al-laqith adalah seorang anak yang hidup, yang dibuang keluarganya
karena merasa takut akan kemiskinan atau untuk lari dari tuduhan. Pengertian
seperti ini dilihat dari sebab anak itu dibuang, atau bukan karena sengaja
dibuang, tapi anak tersebut nestapa tanpa orang tua, karena keberadaan orang
tuanya yang tidak jelas, antara dia dan orang tuanya terpisah jauh tanpa jejak,
disebabkan musibah bencana alam, seperti banjir, longsor, tsunami, maupun
gunung meletus yang tidak dapat dideteksi apakah orang tuanya masih hidup
atau tidak, ataupun karena sebab berkecamuknya peperangan yang membawa
banyak korban penduduk sipil.
Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam
91
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
Orang yang pertama kali menemukan al-laqith berhak mengambilnya
dengan pertimbangan untuk menolong dan memberi kemaslahatan anak
tersebut berdasarkan firman Allah.
وت عاونوا على البر والت مقوى“Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan”.
Rukun dalam al-laqith ada tiga, yaitu التقاط (mengambil anak yang
dibuang) لقيط (anak yang dibuang) dan ملتقط (orang yang mengambil anak
tersebut).
Syarat orang yang menemukan adalah, merdeka, adil, dapat dipercaya dan
dewasa, dia wajib mendidik dan mengajarkannya. Sedangkan dalam pendapat
yang lain, ada lima syarat bagi seseorang yang menemukan laqith dan berhak
menjadi pemegang hadanah. Pertama, mukallaf, dapat bertindak hukum, kedua,
merdeka bukan budak, ketiga, muslim, untuk anak laqith yang ditemukan di
negeri berpenduduk muslim, keempat; adil dan amanah, lima, bukan orang
yang hidup mubadzir berfoya-foya atau dinyatakan di bawah pengampunan
pengadilan.
Selain hal-hal di atas, masih ada hal lain yang terkait dengan anak laqith
antara lain :
1. Nafkah anak laqith, apabila ditemukan bersamanya (laqith) harta yang bisa
untuk memenuhi kebutuhannya, maka pemeliharaan diambilkan dari harta
itu. Namun jika tidak ada sama sekali, pemeliharaan ditanggung oleh Bait
Al- mal, dan jika kas negara tersebut kosong atau untuk hal lain, nafkah
diserahkan pada orang yang mengetahui hal ihwal anak laqith.
2. Persaksian dalam memelihara anak laqith, memungut anak laqith dengan
tujuan merawat yang sebaik-baiknya juga menjaga kemerdekaan dan
nasabnya wajib dengan dipersaksikan, karena ditakutkan jika tanpa
persaksian justru anak laqith akan di ikrarkan sebagai anak kandungnya,
sebagaimana keterangan dalam mu’jam al-wasith bahwa wajib isyhad
(persaksian) atas laqith bagi pemungutnya, adapun orang yang punya
wewenang memberikan persaksian adalah hakim. Hal ini tentunya setelah
diumumkan dan ternyata tidak ada keluarga yang mengambil anak temuan
tersebut.
3. Warisan anak temuan, antara anak temuan (laqith) dan penemunya ketika
salah satu meninggal, tidak bisa ditetapkan hubungan saling mewaris. Jika
anak temuan meninggal, harta yang bersamanya menjadi milik Bait al- Mal,
92 Sapri Ali
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
namun untuk konteks sekarang perlu dipertimbangkan solusi wasiat wajibah,
karena disadari atau tidak antara laqith dan multaqith (penemu) bisa
dipastikan telah timbul hubungan psikologis kekeluargaan, yang tidak
mudah dipupuskan, karena interaksi pergaulan yang sudah terbina dan
terbiasa dalam kehidupan sehari-hari, dimana wasiat wajibah diberlakukan
pada keluarga yang secara syari’at bukan termasuk ahli waris yang berhak
mendapat warisan, dan anak temuan (laqith) yang sudah diasuh dan dirawat
sekian lama, bisa dikategorikan pada klasifikasi ahli waris yang seperti itu.
4. Pengakuan keluarga. Apabila anak temuan itu tiba-tiba diakui oleh seseorang
sebagai anggota keluarganya (sebagai anaknya yang telah hilang), maka
diserahkan dan dinasabkanlah anak itu kepadanya, sepanjang pengakuan itu
adalah pengakuan yang wajar. Namun jika yang mengajukan pengakuan
adalah lebih dari satu orang maka hubungan nasab diberikan kepada pihak
yang dapat menguatkan gugatan dengan proses qodlo’iy (peradilan) di
Pengadilan Agama. Anak temuan yang diakui dan diajukan sebagai anak
yang bernasab pada seseorang yang menemukannya dalam kajian hukum
Islam juga diistilahkan dengan anak istilhaq melalui proses Al-Iqrar bi an-
nasab yang pembahasannya akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
Penetapan Status Anak Istilhaq Terhadap Anak Laqith Sebagai Kewenangan
Pengadilan Agama dalam Perspektif Hukum Islam
1. Analisis Penetapan Anak Istilhaq pada Anak Laqith
Setelah sebelumnya memaparkan bagaimana hukum acara dari
perkara istilhaq pada anak laqith, selanjutnya penulis menganalisa
bagaimana hukum materiil perkara permohonan tersebut dalam kacamata
hukum Islam yang akan menjadi acuan majelis hakim dalam memeriksa
perkara permohonan istilhaq pada anak laqith.
Selama ini istilhaq hanya dikenal dan diketahui sebagai proses atau
cara pengakuan nasab pada seorang anak yang diduga terdapat hubungan
darah antara si anak dengan yang mengakui atau sebaliknya, sehingga
dalam prosesnya perlu adanya pembuktian, baik berupa saksi maupun
berupa akta otentik, dan yang paling terbaru sekarang dapat dibuktikan
dengan pemeriksaan golongan darah serta test DNA.
Namun pada kenyataannya objek permasalahan istilhaq dapat
diterapkan pada anak laqith yaitu anak temuan atau anak yang tidak
Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam
93
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
diketahui nasabnya. Karena setelah diteliti lebih lanjut, ternyata terdapat
celah yang dapat dimasuki oleh anak laqith untuk dimasukkan dalam kajian
anak istilhaq. Hal itu berdasarkan alur penelusuran dasar hukum, antara
lain firman Allah
ي عا ا أحيا النماس ج نم ومن أحياها فكاDan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Berdasarkan ayat di atas, maka jika seseorang menemukan anak
malang baik yang tersesat maupun sengaja dibuang adalah wajib untuk
menyelamatkannya dari malapetaka yang dikhawatirkan akan menimpanya.
Setelah itu berlakulah semua ketentuan hukum bagi anak laqith, baik dari
arah nafkah pemeliharaan, waris, nasab dan sebagainya sebagaimana yang
tertuang dalam kitab-kitab fiqih.
Terkecuali bagi anak laqith yang sudah diupayakan untuk ditelusuri
asal-usulnya, kemudian tetap saja menemui titik kebuntuan yang seakan
sudah tertutup jalan menuju terbukanya rahasia dari mana 搒i anak laqith _
berasal, maka demi penegasan nasab yang termasuk hifz an-nasl, karena
petunjuk identitas seseorang merupakan hak asasi setiap manusia
sebagaimana di amanatkan oleh pasal 27 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 27 (1): Bahwa identitas diri setiap
anak harus diberikan sejak kelahirannya”
Seseorang yang menemukan anak tersebut menurut penulis, boleh
saja mengajukan pengangkatan anak sekaligus berpeluang untuk meng
istilhaqkan anak, sejalan dengan Undang-Undang tersebut, Kompilasi
Hukum Islam seakan juga melegitimasi tindakan perlindungan pada anak
dengan jalan pengangkatan anak, hal itu terbaca dalam KHI pasal 171
huruf B
Bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk
hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung
jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan
keputusan pengadilan.
Kajian penulis dalam Tulisan ini terfokus pada pengangkatan anak
laqith yang sekaligus dapat dimungkinkan untuk ditetapkan menjadi anak
istilhaq. Terkhusus keinginan menjadikan anak laqith sebagai anak angkat
94 Sapri Ali
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
yang sekaligus diistilhaqkan, dari arah hukum Islam berhadapan dengan
dalil nash yang Qath’i, yaitu :
الله فإن لم ت علموأ اب ب ل ادعوهم ين ومواليكم ف الدر ءهم فإخوانكم ئهم هو أقسط عند Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu
tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya)
apa yang disengaja oleh hatimu.”
Juga uraian hadits Nabi:
ث نا ثن يي بن حدم الله بن ب ريدة حدم أبو معمر حدمث نا عبد الوارث عن السي عن عبد الله الله عنه أنمه سع النمبم صلمى ثه عن أب ذرر رضي ئلى حدم وسلمم يه عل ي عمر أنم أب الاسود الد
عى لغي أبيه وهو ي علمه الام كفر ومن ادمعى ق وما ليس له فهم نسب ي قول ليس من رجل ادر ف لي ت ب ومأ مقعده من النمار
Periwayatkan pada kita Abu Ma’mar, meriwayatkan pada kita Abdul
Warits dari Husain dari Abdillah bin Buraidah meriwayatkan kepadaku
Yahya bin Ya’mar bahwa sesungguhnya Abu Aswad Ad-duali
meriwayatkan kepadanya dari Abi Dzarr ra. Bahwasannya dia mendengar
Nabi Saw bersabda 揟idaklah seseorang itu mengaku kepada selain
ayahnya sedang dia mengetahuinya (itu bukan ayahnya) kecuali dia kafir
dan barang siapa yang mengaku kepada suatu kaum, sedang di kalangan
mereka tidak ada nasab kepadanya, maka hendaklah dia menempati tempat
duduknya di neraka_.
Dari kedua sumber hukum nash tersebut, kita perlu meneliti bahwa
Asbab an-Nuzul ayat tersebut adalah berkaitan dengan sirrah nabi yang
dulu pernah mengangkat seorang anak bernama Zaid yang ayahnya
bernama Haritsah. Pada waktu mengangkatnya, Rasulullah mengumumkan
di depan khalayak bahwa mulai saat itu Zaid bin Haritsah berganti nama
menjadi Zaid bin Muhammad, kemudian praktek seperti itu dibatalkan oleh
Allah dengan di turunkan ayat ke-5 surat Al Ahzab tersebut.
Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam
95
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
Dalam hal penasaban anak yang orang tuanya tidak diketahui sama
sekali, dan sulit untuk dilacak, kiranya layak kita telaah deTulisan Imam Al
Qurtubie dalam mengkomentari ayat tersebut di atas.
, النحاس : هذه الية نسخة لما كانوا عليه من الت مبنر, وهو من نسخ السنمة بلقرآن وقال عروف, فإن ل يكن له أب معروف نسبوه إل ولائ
, فإن ه فأمر ان يدعوا من دعوا إل أبيه الم
ا المؤم الله تعال "إنم ين, قال ن ون إخوة ل يكن له ولاء معروف قال له ي أخى, ي عن ف الدر " Berkata An Nuhas, ayat ini menasabkan akibat hukum tabaniy
dimasa lampau, yakni penasaban sunnah oleh Al Qur’an. Selanjutnya ayat
tersebut menyuruh agar seseorang dipanggil sesuai dengan nama bapaknya.
Jika bapaknya tidak dikenal, maka ia dinasabkan kepada walinya. Apabila
walinya tidak diketahui, katakan kepadanya hai saudaraku yakni saudara
seagama.”
Dari deskripsi penafsiran al Qurtubie di atas dapat diperoleh
pengertian bahwa dalam kasus anak yang tidak diketahui nasabnya,
penggilannya dapat menggunakan nama ayah angkatnya, karena ayah
angkat (orang yang menemukan) bisa disebut wali.
Keterangan bahwa ayah angkat bisa menjadi wali dapat ditemukan
dalam fiqih as sunnah.
يدا, وعليه أن ي قوم بت ربيته والمذى عدلا أمينا ر ده هو الول بضانة إذا كان حررا يي له قال: وجدت ملقوطا ف وت عليمه, روى سعيد بن منصور ف أت يت سننه أنم سني ابن ج
به عمر بن الخطماب, ف قال: عريفى ي أمي ر المؤمني إنمه رجل صالح ف قال عمر أكذلك ر ولك ولاؤه هو؟ قال: ن عم، قال: إذهب به, وهو ح
"Orang yang menemukan laqith lebih berhak untuk merawatnya jika
dia merdeka, adil, dipercaya dan bijaksana, wajin baginya untuk mendidik
dan mengajar laqith meriwayatkan Said bin Mansur dalam kitab
sunnahnya, meriwayatkan ; bahwa Sinin bin Jamilah berkata : Aku pernah
menemukan anak tersesat di jalan, kemudian aku bawa kepada Umar bin
Al Khattab ia lalu berkata kenalanku wahai amirul mukminin,
sesungguhnya dia adalah orang saleh_ Umar lalu berkata, Apakah
demikian dia, dia merdeka dan kau boleh menjadi wali dan pengasuhnya.
96 Sapri Ali
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
Kondisi anak angkat baik itu anak laqith maupun bukan, dengan
dipanggil sebagai anak dari ayah yang mengangkatnya sebenarnya telah
terjadi sejak zaman sahabat, diceritakan bahwa Miqdad bin Umar lebih
populer dipanggil dengan Miqdad bin Aswad, padahal Aswad bin Abdul
Yaguts mengambilnya sebagai anak angkat pada masa jahiliyah, setelah
turun surat Al-Ahzab: 4 tersebut dia mengumumkan 揝aya putra Umar_
namun demikian, dia tetap populer dengan Miqdad bin Aswad.
¬Implisit dari acuan-acuan tersebut, bahwa yang prinsip dilarang
adalah pemalsuan nasab, kalau yang secara jelas masih punya ayah nasab
saja tetap boleh dipanggil dengan ayah angkatnya, apalagi yang identitas
ayah dan keberadaannya tidak diketahui sama sekali? Jadi idealnya, dalam
kondisi apapun, seseorang harus tetap mempunyai nasab yang jelas, karena
nasab merupakan bagian dari identitas diri.
Sewaktu membahas hadits Rasulullah Saw tentang penegasan nasab
menurut syari’at bahwa nasab anak kepada bapaknya yaitu laki-laki yang
memiliki tempat tidur ibunya, Ash Shan’ani memberi komentar dalam
subul al Salam sebagai berikut:
الديث دليل على أنم لغي الب أن يست لحق الولد فإنم عبد بن زمعة إست لحق أخاه وف قه الورثة, ف بق راره سودة ل إنم بنم الفراش لبيه, وظاهر الررواية أنم ذلك يصح وإن ل يصدر
ق ولان: يذكر من ها تصديق ولا إنكار إلام أن ي قال سكوت ها قائم مقام الاق رار, وف المسئ لة الد ولا وارث ت لحق الومل أنمه إذا كان المست لحق غي ر الب ولا وارث غي ره وذلك كأن يس
صدق سواه صحم إق راره وث بت نسب المقرمبه, وكذلك إن كان المست لحق ب عض الورثة و .الباق ون
Sesungguhnya hadits ini menjadi dalil bahwa seseorang yang bukan
menjadi bapak boleh untuk mengistilhaqkan seorang anak. Sesungguhnya
Abd bin Zam’ah telah mengakui seseorang sebagai saudaranya dengan
alasan bapaknya yang memiliki tempat tidur ibu saudaranya itu, dalam
kenyataannya adalah sah hal itu walaupun ahli waris yang lain tidak
membenarkannya. Karena dalam masalah itu Saudah tidak menyebutkan
bahwa dia membenarkan atau menolak, maka diamnya itu diartikan sudah
iqrar, mengenai masalah ini terdapat dua Qoul, yang pertama jika yang
Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam
97
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
mengakui bukan bapak seperti jika yang mengakui adalah kakek dan tidak
ada ahli waris selain dia, maka Sahlah ikrar tersebut dan dinasabkan pihak
yang diakui kepada yang mengakui, begitu juga hukumnya, jika pihak yang
mengakui adalah sebagian ahli waris maka harus dibenarkan oleh ahli
waris lain_.
Jadi, dari uraian as-Shan’ani tadi dapat ditangkap adanya signal
bahwa Rasulullah memang menetapkan nasab berdasar فراش (yang
mempunyai tempat tidur) walaupun ada indikasi kemiripan bahwa anak
tersebut justru milik orang lain, walaupun dengan jalan zina. Karena
menurut Abu Hanifah, walaupun secara hukum anak zina adalah ajnabi,
namun pada hakikatnya ia tetap darah dagingnya, sehingga tetap haram
untuk dinikah.
Hal ini menjadi indikasi terang, kebolehan menasabkan anak pada
orang lain, selain ayahnya, tentunya dengan adanya penyebab yang
dibenarkan.
Jika anak hasil zina tetap dilindungi hak penasabannya maka menurut
penulis apalagi anak laqith yang keberadaannya yang terlantar itu bukan
karena kesalahan dia, bahkan mungkin juga bukan karena kesalahan orang
tuanya, jika terlantarnya dia karena musibah bencana alam, alangkah
baiknya kita menempatkan dia dalam posisi aman dengan memberi
perlindungan sebagai empati kemanusiaan dalam sebuah keluarga yang
jelas nasabnya. Bukankah Allah telah berfirman :
وازرة وزر أخرى ولاتزر Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
Ketentuan seperti ini bukan dengan asal-asalan diterapkan, tetap
harus ada kehati-hatian, yakni selama telah diupayakan melacak
keberadaan keluarganya, baik kedua orang tua maupun seluruh kerabatnya
dan cara-cara selain itu yang untuk saat ini mudah sekali ditempuh dengan
menggunakan kecanggihan teknologi dan informasi, baru ketika ada
keyakinan bahwa anak tersebut benar-benar terasing (arab:majhul an-nasb)
maka upaya istilhaq pada anak laqith bisa diajukan.
Dari penjelasan Wahbah Zuhaili tentang persyaratan Iqrar bi an-
Nasab atau Istilhaq pada bab II, titik temu sangat kuat untuk menjadikan
anak laqith dapat di istilhaqkan adalah pada persyaratan pertama yaitu anak
tersebut benar-benar tidak diketahui nasabnya, sekaligus paradigma
98 Sapri Ali
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
sebagian golongan Hanafiah dalam definisi Majhul an Nasab_ yaitu anak
yang nasabnya tidak diketahui sama sekali, dan dari negara mana dia dan
keluarganya berasal juga tidak diketahui.
Ketika keempat syarat dirasa telah terpenuhi, maka sahlah
ikrar/pengajuan istilhaq tersebut, sehingga seluruh akibat dan hubungan
keperdataan antara anak dan bapak tersebut menjadi sah pula.
Dalam titik singgung pembahasan hubungan keperdataan ketika anak
laqith telah diistilhaqkan, menuai banyak pro kontra, sebagian pendapat
yang ekstrim mengatakan bahwa setelah diistilhaqkan oleh Pengadilan
Agama itu artinya segala akibat hukum keperdataan antara si anak dan
yang mengistilhaqkan menjadi sah pula, seperti yang dikatakan oleh
Wahbah Zuhaili dalam Fiqh al-Islamnya, hal itu diperkuat dengan
keterangan, mengenai kewarisan, yaitu:
أن ثى الق به مت كان وجوده منه مكنا، لما فيه من مصلحة ادمعى نسبه من ذكر أو ومن اللمقيط دون ضرر ي لحق بغيه وحي نئذ ي ث بت نسبه وإرثه لمدعيه
Jika ada orang baik laki-laki maupun perempuan, yang mengakui
bahwa anak temuan itu adalah anaknya, maka dinasabkanlah (ulhiqo) anak
itu padanya, sepanjang pengakuan itu adalah pengakuan yang wajar. Hal
ini adalah untuk kemaslahatan anak tersebut, bukan untuk
kemadharatannya, dengan pengakuan itu, maka ditetapkanlah hubungan
nasab anak itu kepada orang yang mengakuinya, begitu juga hak
kewarisannya.”
Menurut pendapat kelompok lain, yang bersikeras tidak hanya
melarang akibat keperdataan anak laqith yang diistilhaqkan, namun secara
tegas melarang praktek istilhaq pada anak laqith, mereka beralibi bahwa
bagaimanapun kondisi anak laqith dilihat dari arah psikologis, sosiologis
dan lainnya dia tetap tidak berhak untuk dinasabkan pada orang tua
angkatnya. Hal ini untuk menjaga kehati-hatian.
Namun menurut penulis, menyikapi permasalahan anak laqith tidak
bisa dikatakan/diputuskan hukumnya dengan hitam atau putih, perlu
dianalisa dan dipetakan kondisi yang menyertai dan melingkupinya, juga
tidak boleh ceroboh untuk serta merta mengistilhaqkan tiap anak laqith
dengan seluruh aspek keperdataannya.
Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam
99
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
Penulis mengambil contoh dalam perihal waris, karena untuk
memaparkan seluruh aspek keperdataan, diperlukan pembahasan yang
lebih panjang dan tidak mencukupi untuk dibahas disini (baca: Tulisan).
Dalam perihal waris, perlu kehati-hatian karena perkara waris betul-
betul ditentukan karena hubungan darah, sedangkan pada anak laqith, jelas
tidak ada keterkaitan darah sama sekali, maka ketentuan waris dapat
berlaku pada anak laqith dalam keadaan seperti yang digambarkan oleh
Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya:
ي ث بت أق رم الميرت بلنمسب على غيه استحقم المقرله التركة إذا كان مهول النمسب ول إذاحيا وقت قرملهل ان يكون الم نسبه من الغي ول ي رجع المقر عن إق راره ويشرط ف هذا الا
موت المقرر أو وقت الكم بعتباره Apabila si mayit mengikrarkan nasab kepada orang lain, maka orang
yang diikrari itu berhak mendapatkan harta peninggalannya selama dia
memang tidak diketahui nasabnya dan dia tidak mempunyai/menetapkan
nasabnya pada orang lain dan yang ikrar tidak menarik ikrarnya,
disyaratkan disini agar orang yang di ikrar masih hidup ketika orang yang
mengikrarkannya telah mati_..
Maka ketika posisi anak angkat (laqith) tersebut tidak benar-benar
sendiri, masih ada yang lebih berhak sebagai ahli waris sesuai aturan fiqih,
maka perkara waris untuknya dapat diselesaikan dengan wasiat wajibah.
Dari keseluruhan penelusuran hukum yang telah penulis paparkan,
kalau dicarikan dasar pijakan pisau analisisnya, maka yang paling relevan
adalah maslahah mursalah, karena sebagaimana yang penulis tahu, bahwa
teori maslahat akan dipakai jika masih tetap pada koridor maqosid at
Tasyri’ dan tidak bertentangan dengan nash, sebagaimana pendapat Abu
Zahroh.
ليل قاصد الشمارع, ومن جنس ما أق رم الدمه من الثمان: أنم المصلحة إذا كانت ملئممة الم
, وإهال مصالح فإنم الخذ فيما يكون موافقا لمقاصده, وإهالا يكون إهالا لمقاصدهالشمارع بطل ف ذاته ف يجب الخذ بلمصلحة على أساس أن مها أصل قائم بذانه, مقاصد
.وهو ليس خارجا على الصول, بل هو متلق معها, غي ر منافر لا
100 Sapri Ali
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
Bahwa adanya maslahat sesuai dengan maqosid at-tasyri (tujuan
syariat),artinya dengan mengambil maslahat berarti sama dengan
merealisasikan maqosid at-tasyri, sebaliknya mengesampimgkan maslahat
berarti mengesampingkan maqosid asy-syari’. Sedangkan
mengesampingkan maqosid asy-syari’ adalah batal. Oleh karena itu adalah
wajib menggunakan dalil maslahat atas dasar bahwa ia adalah sumber
hukum pokok (ashal) yang berdiri sendiri,sumber hukum ini tidak dari
ushul (sumber pokok) bahkan terjasi sinkronisasi antara maslahat dan
maqosid at-tasyri_.
Praktek istilhaq pada anak laqith menurut penulis telah memenuhi
maqosid at tasyri’, karena dengan mengangkat anak sekaligus menasabkan
pada si pengangkat adalah termasuk hifz an- nasl sekaligus hifz ad-Dien,
karena jika tidak, anak-anak bernasib malang seperti itu akan rentan
terkena bahaya seperti pengeksplotasian anak yang sekarang makin marak
terutama yang paling berbahaya adalah pendangkalan aqidah yang
digencarkan oleh gerakan-gerakan misionaris agama lain. Sedangkan
dalam hal tidak bertentangan dengan nash, walaupun dzahirnya secara
sekilas jelas bertentangan, namun menurut hemat penulis, hal itu bukanlah
menafi-kan dalil nash, tapi sebuah bentuk Reaktualisasi penafsiran ulang
suatu ajaran agama yang justru menunjukkan vitalitas dan validitas nilai
normatif ajaran Islam. Karena pada hakekatnya yang dilarang dalam surat
Al-Ahzab : 5 adalah pemalsuan identitas dari orang tua /nasab yang masih
jelas, dan menjadikan anak orang lain, menjadi anak kandungnya dengan
segala akibat hukumnya, seperti praktek Tabanni masa jahiliyah, akan
sangat berbeda jika memang nasab dan keluarganya sudah sangat sulit dan
tidak mungkin untuk dilacak, karena itu bagaimanapun kondisinya untuk
mengistilhaqkan anak laqith harus memang pada waktu sangat darurat dan
telah diupayakan banyak cara,. karena masalah nasab adalah masalah
sangat urgent berkaitan dengan kesucian gen seseorang manusia. Karena
itu kebolehan dan legitimasi mengistilhaqkan anak laqith masih pada
tataran istilhaq khusus bukan istilhaq sempurna yang membawa efek
keperdataan secara menyeluruh seperti anak kandung. Sehingga dapat
dikatakan, upaya istilhaq pada anak laqith pada dasarnya adalah hadanah
plus dalam arti, semua beban pemeliharaan, mulai dari nafkah, pendidikan,
tanggung jawab keselamatan lahir batin sepenuhnya dimiliki oleh multaqith
Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam
101
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
atau mustalhiq (yang menemukan/yang mengangkat) disertai kebolehan
untuk memanggilnya (multaqith) oleh laqith dengan panggilan ayah
sebagaimana lazimnya tanpa keragu-raguan atau ketakutan dengan
ancaman neraka seperti diterangkan dalam hadits. Istilhaq anak laqith
merupakan yurisprudensi baru walaupun sebelumnya telah ada
yurisprudensi pengangkatan anak (adopsi) menurut Hukum Islam, karena
subyek hukum yang berbeda.
Penetapan Istilhaq pada Anak Laqith sebagai Kewenangan Pengadilan
Agama
Pengadilan agama sebagai lembaga bagi pencari keadilan dan lembaga
pemutus suatu permasalahan atas perkara yang termasuk wilayah kompetensi
absolutnya, bersifat pasif dan menunggu atas perkara yang diajukan,
sebagaimana yang disampaikan Mudzakir Shoelsap, tidak ada perkara, tidak
ada acara.
Dalam hal perkara pengajuan anak angkat yang sekaligus dinasabkan
pada pemohon, Pengadilan Agama harus menerima perkara permohonan
tersebut, sesuai yang diamanatkan dalam pasal 56 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989.
Pasal 56
(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang
jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya.
Perlu diperhatikan bahwa lembaga peradilan menurut definisi klasik
adalah.
ن يا إظهر الكم الشمرعير على وجه خاص ممن له الولاية فيما ي قع فيه الن مزاع )المصالح الدلتمداعى وقطعا للخصم ب ي النم( وذلك على سبيل الإلزام ختما ل
Bemunculan putusan hukum yang sah (menurut Islam), secara khusus
dari orang yang memiliki kekuasaan untuk itu, tentang sengketa yang terjadi
mengenai kepentingan-kepentingan dunia di kalangan manusia yang bersifat
mengikat, untuk mengakhiri dakwaan dan memutus perkara.
Terdapat penegasan bahwa:
يع القوق سواء أكانت حقوقا لله أم حقوقا للآدميري والقضاء يكون ف ج
102 Sapri Ali
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
Obyek peradilan itu menyangkut semua hak, baik itu hak Allah atau pun
hak anak Adam (hubungan antar individu).”
Dan hakim tidak boleh ragu-ragu ketika akan memutuskan produk hukum
dari perkara permohonan penetapan anak istilhaq terhadap anak laqith
berdasarkan hasil pemeriksaan pada persidangan, harus jelas apakah ditolak
ataukah diterima dan yakin sepenuhnya dengan keputusan tersebut dan
menggantungkan kebenaran hanya pada Allah, dasar pijakan hakim ketika
memutuskan perkara dengan tanpa ragu-ragu adalah berdasar hadits:
ث نا الله بن يزيد المقرئ المكير حدم الله بن عبد ثن يزيد بن عبد ريح حدم ث نا حب وه بن حدم اص،الاد مممد بن إب راهيم بن الرث عن بسر بن سعيد عن أب ق يس مول عمرو بن الع
الله الله عليه وسلم ي قول: إذا حكم الاكم عن عمروا بن العاص انمه سع رسول صلى ثت بذا فاجت هد ثم أصاب ف له أجران وإذا حكم فاجت هد ثم أخطاء ف له أجر قال فحدم
أب و سلمة بن عبد الرمحن عن هري رة بن عمر بن حزم ف قال هكذا حدمثن كر الديث أب ب Menceritakan kepada kami Abdullah bin Yazid al-Makky, menceritakan
Habwah bin Syuraih, menceritakan padaku Yazid bin Abdullah al-Hadi
Muhammad bin Ibrahim bin Al-Harits dari Busrin bin Sa’id bin Abi Qais
maulanya Amr bin ‘Ash dari ‘Amr bin ‘Ash bahwasannya dia mendengar
Rasulullah Saw. bersabda: jika hakim memutuskan perkara dan telah berijtihad
berusaha dengan sungguh-sungguh dan ternyata benar, maka baginya dua
pahala dan jika memutuskan perkara setelah berijtihad tapi ternyata salah, maka
baginya satu pahala (karena) telah berijtihad Aku ceritakan hadits ini kepada
Abu Bakar bin Umar bin Hazm dia berkata: hadits ini telah diceritakan padaku
oleh Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah.”
Menurut penulis, berdasarkan alur penelusuran hukum, penetapan anak
istilhaq bagi anak laqith dalam koridor Hukum Islam di atas, ditambah dengan
pengertian dan kewenangan Pengadilan Agama baik dalam kacamata Hukum
Islam dan Undang-Undang, maka Pengadilan Agama sangat berwenang untuk
menyelesaikan perkara atau kasus semacam ini, hakim sebagai individu paling
berperan dalam memberikan putusan dituntut untuk menciptakan putusan yang
berbobot dengan pertimbangan hukum yang kuat, karena itu hakim dituntut
untuk menguasai semua metode penerapan hukum seperti metode penafsiran,
konstruksi, penghalusan hukum dan sebagainya. khusus terhadap perkara
Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam
103
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
penetapan anak istilhaq pada anak laqith hakim perlu memperhatikan ijtihad
tathbiqy. Dengan metodologi muqoronah li madzahib dan Talfiq supaya
prodak putusan yang dihasilkan benar-benar mempertimbangan semua hierarki
hukum dan kemaslahatan semu
Penutup
Setelah penulis menguraikan tentang konsep nasab dalam hukum Islam
dan kewenangan Pengadilan Agama, lalu dilanjutkan analisis pada nasab anak
laqith yang diistilhaqkan kemudian diajukan permohonan Pengadilan Agama,
maka penulis dapat menyimpulkan :
1. Pengadilan Agama berwenang memeriksa permohonan pengajuan penetapan
anak istilhaq terhadap anak laqith karena perkara tersebut masih termasuk
absolute competence Pengadilan Agama sesuai dengan Pasal 49 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan prosedur beracara pada
perkara istilhaq anak laqith tetap mengacu pada Pasal 54 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama seperti halnya perkara-
perkara lainnya.
2. Bahwa sangat dimungkinkan bagi anak laqith (terlantar) ketika kondisi yang
sangat darurat dan telah diupayakan pencarian kedua orang tua dan
kerabatnya yang kemudian menemui jalan buntu, untuk dijadikan anak
istilhaq khusus. Dan hal itu bukan berarti melanggar teks sumber hukum
nash, karena yang terjadi bukanlah upaya pemalsuan nasab asli, namun
sebuah bentuk perlindungan atas hak asasi seorang anak yang ternyata
sejalan dengan muqosid at-Tasyri’
Daftar Pustaka
Al-Shiddieqy Hasbi, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980),
Haq Hamka, Al-Syathibi: Aspek Teologis Konsep Maslahat dalam Kitab al-
Muwafaqat, (Jakarta: Erlangga, 2007),
Zuhaily Wahbah az-, Ushul al Fiqh Al Islamy, cet ke 3 (Damaskus: Dar al-Fikr,
2001)
--------------, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, jilid VII, (Damaskus: Darul Fikr,
1989, cet. Ke III),
104 Sapri Ali
Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021
Mahkamah Agung RI, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
Lisan al-‘Arabi, Ibnu Manzhur, Jilid VI (Meir: Dar al-Ma’arif, t.t.).
Ensiklopedi Indonesia, Jilid IV, Cet. I (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994),
Sabiq Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Jilid III (Kairo : Dar Al Fath Lil ‘ilam Al-
Araby, 2000)
Abdillah Abu Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, “Bab Tafsir
al-Musyabbahat”_, Juz III (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 5, Hadits Nomor:
1008.
Qordhowi M. Yusuf, Al Halalu wa Al-Haram fi al-Islami Alih bahasa
Mu’ammal Hamidy, Halal dan Haram dalam Islam, (Surabaya : PT. Bina
Ilmu, 2007).
Mughniyyah M. Jawad, al-Fiqh Ala Madzhabi al-Khomsah, diterjemahkan
oleh: Masykur AB dkk, judul : Fiqh Lima Madzhab, cet IV edisi lengkap
(Jakarta : Lentera, 2000), 388.
Rahman Djamil Fathur, Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya,
dalam Chuzaimah T-Yanggo, Hafidz Anshary (editor), Problematika
Hukum Islam Kontemporer, cet. IV (Jakarta: LSIK, 2002).
Al-Bujairimi Sulaiman, Bujairimi ‘ala Al-Khotib, juz III (Beirut : Dar al-Fikr,
1981)
As-Shobuniy Ali, Rowai’ul Bayan Tafsir Ayat Ahkam min Al Qur’an. Juz II
(Beirut : Dar Al Kitab Al Islamiyah,tt ).
Abdillah Abu Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubie. Al Jami’li ahkam Al
Qur’an, Jilid XIII (Kairo : Dar al Kitab, 1967).
Zahroh Abu, Ushul Al Fiqh (Lebanon : Dar al- Fikr al-‘arobi, tt).
Copyright © 2021 Journal Salimiya: Vol. 2, No. 3, September 2021, e-ISSN; 2721-7078
Copyright rests with the authors
Copyright of Jurnal Salimiya is the property of Jurnal Salimiya and its content may not be
copied or emailed to multiple sites or posted to a listserv without the copyright holder's express
written permission. However, users may print, download, or email articles for individual use.
https://ejournal.iaifa.ac.id/index.php/salimiya