Vol. 2(2) Mei 2018, pp.408-419
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 2597-6885 (online)
408
RETALIASI DAN PENYELESAIAN SENGKETA WTO
(STUDI KASUS EUROPEAN COMMUNITIES – REGIME FOR THE
IMPORTATION, SALE AND DISTRIBUTION OF BANANAS)
Iqbal Perdana
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111
M. Putra Iqbal
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111
Abstrak - Disputes Settlement Body WTO bekerja berdasarkan Understanding on Rules and Procedures of
Disputes Settlement (DSU). Dalam sistem peraturan WTO dikenal praktek retaliasi yang sah. Sebagai negara
maju, Amerika Serikat pernah melakukan praktek retaliasi terhadap Uni Eropa. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahuidan mengkaji secara kritis tentang pengaturan retaliasi serta kedudukannya pada sistem penyelesaian
sengketa. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui pertimbangan WTO dalam memutuskan kasus
European Communities — Regime for the Importation, Sale and Distribution of Bananas dan retaliasi unilateral
yang dilakukan Amerika Serikat. Metodologi yang digunakan adalah hukum normatif yang menekankan pada
hukum yang berlaku.Retaliasi telah dilakukan Amerika Serikat dalam kasus Kasus European Communities –
Regime ForThe Importation, Sale and Distribution Of Bananas. WTO menemukan pelanggaran-pelanggaran
dalam praktek sistem pasar tunggal.Negara yang akan menggunakan hak retaliasinya harus tunduk pada pasal 22
DSU. Dasar keputusan badan panel WTO yang mewajibkan Uni Eropa menyesuaikan kembali aturannya
terhadap impor pisang telah sesuai fakta dan hasil penilaian yang berdasarkan pada ketentuan yang berlaku.
Kata Kunci: Retaliasi, Sistem Penyelesaian Sengketa, World Trade Organization
Abstract - Disputes Settlement Body of the WTO working under the Understanding on Rules and Procedures
Settlement of Disputes. Retaliation is part of dispute settlement mechanism. For developed countries, the United
States had imposed retaliation against the EU. This study aims to identify and assess critically about retaliation
arrangement and its position on the dispute settlement system. The research furthermore alsostudy the WTO
panel consideration in diciding The European Communities - Regime For The importation, Sale And
Distribution Of Bananas, the United State cases. The methodology apply is normative juridicial that emphasis
on existing law.WTO panel’s finding that the EU violated the single market system. Countries who will use
retaliation should be subject to article 22 of the DSU. According to the WTO, acts of retaliation carried the
United States against the European Union does have legal basis. WTO Panel body decision which obliges the
EU to re-adjust the rules on banana imports in accordance facts and the assessment results are based on the
applicable regulations.
Keywords: Retaliation, Dispute Settlement Mechanism, World Trade Organization
PENDAHULUAN
Kasus European Communities – Regime for the Importation, Sale and Distribution of
Bananas bermula persengketaannya pada tahun 1995, yakni pada tahun pertama World Trade
Organization(WTO) terbentuk. Walaupun demikian, kecaman terhadap kebijakan Uni Eropa
dalam hal perdagangan pisang telah dimulai sebelum tahun 1995, yaitu sejak perang dunia
pertama.1
Uni Eropa memiliki kebijakan impor yang sangat rumit dalam bidang perdagangan
pisang dimana Uni Eropa memberikan kekhususan dalam impor pisang dari negara-negara
1 Jessica L Spiegel, Law Review Journals, “Will the Great Banana War Ever End: Will the Tariff Only
System be the Solution?”, www.bc.edu, diakses 27 Maret 2016.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.2 Mei 2018 409
Iqbal Perdana, M. Putra Iqbal
eks koloni negara yang tergabung dalam Uni Eropa.2 Perlakuan khusus yang diberikan Uni
Eropa kepada negara-negara African, Caribbean, and Pacific (ACP) tertuang dalam
perjanjian The Lome I Convention.3
Pada bulan September 1995, Amerika Serikat, Guatemala, Meksiko, dan Honduras
mengajukan permintaan konsultasi kepada forum Dispute Settlement,WTO. Karena
konsultasi merupakan langkah awal penyelesaian sengketa dalam WTO.4
Karena tidak menemukan solusi, akhirnya Amerika Serikat bersama ketiga negara
diatas menggabungkan diri dan meminta WTO untuk segera membentuk badan panel dan
mulai bekerja menangani permasalahan peraturan impor pisang Uni Eropa tersebut.
Panel yang telah dibentuk tersebut kemudian mengeluarkan laporan yang isinya
secara umum menyatakan bahwa Uni Eropa dengan peraturan impornya telah melanggar
beberapa peraturan yang diamantkan dalam ketentuan WTO. Menanggapi laporan panel
tersebut Uni Eropa kemudian mengajukan banding ke Appelate Body atas laporan dan
kesimpulan yang dihasilkan oleh panel.
Pada tingkat banding di Appelate Body, ternyata Appelate Body mendukung
keputusan yang telah dihasilkan oleh panel, dan justru memperkuat putusan tersebut di dalam
laporan Appelate Body. Appelate Body dalam laporannya menyatakan bahwa memang benar
EU telah menerapkan kebijakan impor yang melanggar beberapa ketentuan dalam WTO.
Dengan adanya keputusan tersebut maka Uni Eropa harus membenahi peraturannya untuk
dapat selaras dengan ketentuan dalam WTO.5
Dalam banana cases, Uni Eropa kemudian menyesuaikan kebijakannya dan
memberikan kesempatan bagi negara lain termasuk Amerika Serikat untuk bisa mengekspor
buah pisang ke negara - negara anggota Uni Eropa. Perbedaan pandangan Uni Eropa dan
Amerika Serikat tentang kebijakan Uni Eropa yang baru ternyata membawa keduanya pada
perdebatan yang rumit, revisi yang dilakukan Uni Eropa ternyata tidak memuaskan Amerika
Serikat.6
Amerika Serikat lalu melakukan retaliasi yang dimulai dengan mengumumkan daftar
produk yang diproduksi Uni Eropa yang dikenai pajak 100 persen jika memasuki pasar
2 Freddy Josep Pelawi, Retaliasi Dalam Kerangka Penyelesaian Sengketa WTO, Buletin Kementrian
Perdagangan Republik Indonesia edisi 46, 2007. 3 Loc.Cit. 4 Diatur dalam Dispute Settlement Understanding, WTO. 5 Ibid, hlm 2. 6 Yuniarti, Jurnal Ilmiah Kosmopolitan Vol. 1 No.1, Penyelesaiaan Konflik Dagang Uni Eropa –
Amerika Serikat Melalui Mekanisme WTO (Studi Kasus: New Banana Regime 1993), Universitas Fajar, Januari
– April 2013.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.2 Mei 2018 410
Iqbal Perdana, M. Putra Iqbal
Amerika Serikat. Retaliasi yang dilakukan Amerika Serikat menyebabkan Uni Eropa
mengajukan tuntutan ke forum WTO tentang penolakan Uni Eropa terhadap sanksi yang akan
dijatuhkan sepihak oleh Amerika Serikat.7
Namun, tindakan unilateral dalam bentuk apapun melanggar beberapa pasal Dispute
Settlement Understanding (DSU); Pasal 21 ayat 38 dan pasal 239. Pada intinya WTO
melarang setiap anggotanya melakukan tindakan unilateral dalam situasi apa pun.
Sistem penyelesaian perselisihan di dalam WTO adalah elemen pokok dalam menjamin
keamanan dan kepastian sistem perdagangan dibawah naungan WTO. Para Anggota
mengakui bahwa sistem penyelesaian perselisihan WTO ini adalah untuk melindungi hak dan
kewajiban anggota berdasarkan persetujuan yang disepakati dan untuk menjelaskan ketentuan
yang lama dalam persetujuan sesuai dengan peraturan yang biasanya digunakan.10
DSU berada dalam Annex 2 dari The Agreement Establishing The WTO (Perjanjian
WTO). Pasal II perjanjian WTO sebagai dasar legalitas Annex 2 merupakan bagian
terintegrasi dengan perjanjian WTO.11 Artinya, kekuatan mengikat perjanjian ini sama
dengan perjanjian pokoknya, yaitu Perjanjian WTO.12
Rekomendasi dan keputusan dari Dispute Settlement Body (DSB) yang diatur di
dalam DSU tersebut tidak dapat menambah atau mengurangi hak dan kewajiban para anggota
WTO yang diatur dalam peresetujuan lainya.
Badan utama yang menyelesaikan sengketa di dalam WTO pada prinsipnya adalah
WTO sendiri. Namun pada tahap pelaksanaanya, sebagaimana tertera di dalam Dispute
7 Ibid, hlm 13. 8 Pasal 21.3 Dispute Settlement Understanding:The dispute settlement system of the WTO is a central
element in providing security and predictability to the multilateral trading system. The Members recognize that
it serves to preserve the rights and obligations of Members under the covered agreements, and to clarify the
existing provisions of those agreements in accordance with customary rules of interpretation of public
international law. Recommendations and rulings of the DSB cannot add to or diminish the rights and
obligations provided in the covered agreements. 9 Pasal 23 Dispute Settlement Understanding: When Members seek the redress of a violation of
obligations or other nullification or impairment of benefits under the covered agreements or an impediment to
the attainment of any objective of the covered agreements, they shall have recourse to, and abide by, the rules
and procedures of this Understanding. 10 Pasal 3.2 Dispute Settlement Understanding: The dispute settlement system of the WTO is a central
element in providing security and predictability to the multilateral trading system. The Members recognize that
it serves to preserve the rights and obligations of Members under the covered agreements, and to clarify the
existing provisions of those agreements in accordance with customary rules of interpretation of public
international law. Recommendations and rulings of the DSB cannot add to or diminish the rights and
obligations provided in the covered agreements. 11 Article II.2 GATT 1947: “The agreement and associated legal instruments included in Annexes 1,2
and 3 (here in after refered to as ‘Multilateral Trade Agreements’) are integrated parts of this agreement,
binding on all members” 12 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, ctk ke 3, Jakarta 2008, hal
141.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.2 Mei 2018 411
Iqbal Perdana, M. Putra Iqbal
Settlement Understanding menetapkan tiga badan utama penyelesaian sengketa: Pertama
adalah DSB (Dispute Settlement Body atau Badan Penyelesaian Sengketa), kedua Appellate
Body (Badan Banding) ketiga adalah Arbitrase.
Filosofi penyelesaian sengketa melalui WTO tersirat dalam pasal 3 Dispute Settlement
Understanding yang pada pokoknya mempunya tujuan:
a) Mengklarifikasi ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian WTO dengan
menggunakan interpretasi menurut hukum kebiasaan internasional publik.
Penyelesaian sengketa secara segera merupakan esensi untuk pendayagunaan WTO
dan menjaga keseimbangan yang adil antara hak dan kewajiban negara anggota WTO;
b) Bahwa hasil penyelesaian sengketa tidak boleh menambah atau mengurangi hak-hak
dan kewajiban-kewajiban negara anggota yang telah diatur dalam perjanjian-perjanian
WTO;
c) Menjamin solusi yang positif dan yang dapat diterima oleh pihak-pihak serta
konsisten dengan perjanjian-perjanjian WTO;
d) Memastikan penarikan tindakan negara pelanggar yang tidak sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian-perjanjian yang tercakup (covered agreements).
Tindakan retaliasi hanya digunakan sebagai upaya terakhir (last resort).13
Putusan yang diambil oleh Dispute Settelment Body (DSB) harus dilakukan secara
konsesus, mekanisme yang digunakan adalah reverse consensus. Artinya, DSB harus
dianggap mengambil suatu putusan jika tidak ada konsensus untuk tidak mengambil putusan
yang bersangkutan. Atau dengan kata lain pembentukan panel dan pengadopsian laporan
panel dapat secara otomatis berjalan, kecuali ada penolakan dari seluruh negara anggota.
Selain itu, Penyelesaian sengketa dalam WTO lebih berpijak kepada rule-based
approach daripada power-based approach dimana prinsip terakhir lebih terlihat dalam sistem
GATT. Sehingga dengan demikian, tiap negara anggota dapat merasa nyaman dengan
keberadaan mereka dalam keanggotaan WTO itu sendiri.14
Retaliasi atau tindakan pembalasan di bidang perdagangan antar negara dalam
kerangka WTO dilakukan oleh negara anggota sebagai akibat dari tidak tercapainya suatu
kesepakatan pada proses resolusi konflik. Retaliasi dilakukan sebagai upaya terakhir ketika
dalam proses resolusi konflik perdagangan, upaya pemenuhan konsesi tidak tercapai dalam
13 Tri Harnowo, Peninjauan Ulang Ketentuan Retaliasi sebagai Reformasi Aturan Penyelesaian Sengketa
WTO, Jurnal Hukum Internasional, Vol 5 No 2 (Januari 2008), hal 270. 14 Hatta, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO, (Bandung: PT Refika Aditama,
2006), hal. 116.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.2 Mei 2018 412
Iqbal Perdana, M. Putra Iqbal
waktu yang telah ditentukan.15 Ketentuan khusus dari DSU tentang pengaturan retaliasi diatur
dalam Pasal 3 butir 7, 22, dan 23 butir 2 (c).
Aturan yang dibuat di dalam DSU mengenai retaliasi menyatakan bahwa tujuan mekanisme
penyelesaian perselisihan adalah untuk memperoleh cara penyelesaian perselisihan yang
positif. Cara penyelesaian yang diterima timbal balik oleh para pihak dalam perselisihan dan
sesuai dengan persetujuan tersebut jelas lebih disukai. Bila tidak terdapat cara penyelesaian
perselisihan yang disepakati bersama, tujuan pertama dari mekanisme penyelesaian
perselisihan biasanya adalah untuk memastikan penarikan tindakan yang diketahui tidak
sesuai dengan ketentuan dalam setiap persetujuan WTO.16
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini termasuk ke dalam penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum kepustakaan yang
mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematik hukum, penelitian terhadap taraf
sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, serta sejarah hukum.17
Sedangkan Jenis Pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Peraturan (the
statute Approach), Pendekatan kasus (the Case Approach) dan Pendekatan Fakta (the fact
Approach). Analisis terhadap bahan-bahan hukum yang telah diperoleh dilakukan dengan
Teknik Deskripsi dan Teknik Argumentasi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Ketika suatu sengketa telah diputuskan oleh Panel dan Appelate Body WTO, maka
negara pelanggar diperintahkan untuk memperbaiki atau mengubah pelanggarannya terhadap
prinsip WTO. Negara penuntut berhak untuk meminta dibentuknya compliance panel untuk
menilai apakah negara pelanggar telah memenuhi keputusan Panel dan Appelate Body. Jika
Compliance Panel memutuskan bahwa negara pelanggar belum mengubah praktek
dagangnya sesuai keputusan, maka negara penuntut berhak untuk meminta hak retaliasi pada
Panel Arbitrasi.18
15 Freddy Joseph Pelawi, Retaliasi Dalam Kerangka WTO, KPI, Buletin 46, 2007, hal 1. 16 Sebagian terjemahan kalimat dari Pasal 3 ayat 7, Dispute Settlement Understanding dari
http://kemendag.go.id 17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat . PT .
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 12. 18 Pasal 3 ayat 7 DSU: Before bringing a case, a Member shall exercise its judgement as to whether
action under these procedures would be fruitful. The aim of the dispute settlement mechanism is to secure a
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.2 Mei 2018 413
Iqbal Perdana, M. Putra Iqbal
Berdasarkan Pasal 22 ayat 3 dari DSU yang mendeskripsikan retaliasi, secara
sederhana retaliasi dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a. Parallel Retaliation: negara penuntut harus melakukan retaliasi pada negara
pelanggar dalam sektor perdagangan yang sama di mana pelanggaran terjadi.
Retaliasi jenis ini tidak terbatas menaikkan tarif bagi komoditas sejenis, tetapi
juga bisa dalam bentuk meminta ganti rugi dengan sejumlah uang yang setara
dengan jumlah kerugian.19
b. Cross‐sector Retaliation: Negara penuntut dapat melakukan retaliasi pada negara
pelanggar dalam sektor berbeda di bawah perjanjian yang sama, jika retaliasi
dalam sektor yang sama terbukti tidak efektif. 20
c. Cross‐Agreement Retaliation: Jika situasi dianggap cukup serius dan retaliasi
beda sektor dianggap tidak efektif, maka negara penuntut dapat melakukan
retaliasi pada negara pelanggar dalam perjanjian perdagangan yang berbeda.21
Sistem perdagangan multilateral tidak lepas dari dinamika yang terjadi dari peran
aktor-aktor yang terlibat. Sepanjang tahun 1960 hingga 1970 persaingan ekonomi global yang
sangat kompetitif menghasilkan perimbangan kekuatan dari negara-negara di Eropa terutama
Eropa Barat atas Amerika Serikat, yang dalam kurun waktu tadi menjadi aktor ekonomi
terkuat.22 Negara-negara di Eropa khususnya di Eropa Barat – yang terkuat secara ekonomi –
yaitu Jerman, Perancis, Inggris dan Italia, terintegrasi ke dalam organisasi regional Uni Eropa
yang terbentuk pada tahun 1993. Uni Eropa juga memiliki rezim pasar tunggal terbesar di
dunia yang disebut Single European Market (SEM).23
positive solution to a dispute. A solution mutually acceptable to the parties to a dispute and consistent with the
covered agreements is clearly to be preferred. In the absence of a mutually agreed solution, the first objective of
the dispute settlement mechanism is usually to secure the withdrawal of the measures concerned if these are
found to be inconsistent with the provisions of any of the covered agreements. The provision of compensation
should be resorted to only if the immediate withdrawal of the measure is impracticable and as a temporary
measure pending the withdrawal of the measure which is inconsistent with a covered agreement. The last resort
which this Understanding provides to the Member invoking the dispute settlement procedures is the possibility
of suspending the application of concessions or other obligations under the covered agreements on a
discriminatory basis vis-à-vis the other Member, subject to authorization by the DSB of such measures. 19 Bown, CP. 2009, Self Enforcing Trde Developing Countries and WTO Dispute Settlement, Brooking
Instituion Press, Washington D.C. pp. 47-48. 20Ibid 21Ibid 22 Yanuar Ikbar, Ekonomi Politik Internasional 1: Konsep dan Teori, Buku, (Bandung: PT. Refika
Aditama, hlm. 135., 2006. 23Single European Market (SEM) terbentuk dari Treaty of Rome yang diaplikasikan oleh enam negara
utama pendiri European Economic Community (EEC) kemudian bernama Uni Eropa) dalam istilah common
market. Pada saat terbentuknya common market tahun 1957 masih terdapat fragmentasi dari keadaan ekonomi
nasional masing-masing negara Eropa sehingga perluasan kebijakan dilakukan untuk menyesuaikan dengan
keadaan ekonomi negara-negara dengan membentuk SEM sebagai lanjutan dari common market.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.2 Mei 2018 414
Iqbal Perdana, M. Putra Iqbal
Ketika terbentuknya SEM, Uni Eropa (UE) membentuk New Banana Regime (NBR)
untuk memastikan suplai pisang dalam pasar internal UE tercukupi. Akan tetapi ketika NBR
ini berlaku, dua perusahaan makanan AS, Chiquita dan Dole Food Co., kehilangan potensi
penjualan komoditi pisang sebanyak US$ 520 juta di awal tahun 1999.24Potensi yang hilang
ini kemudian menjadi dasar AS untuk dilaporkan pada forum GATT/WTO agar diselesaikan
berdasarkan ketentuan penyelesaian sengketa internasional.
NBR diberlakukan oleh UE pada Juli 1993 untuk menggantikan kebijakan
perdagangan pisang negara anggota secara individu setelah pembentukan pasar tunggal. NBR
mengkombinasikan dua tujuan, yaitu: (1) pembentukan pasar yang terintegrasi untuk pisang;
dan (2) memastikan akses ke pasar tersebut untuk produsen UE dan ACP.UE menciptakan
NBR yang pada prakteknya, kebijakan ini memberlakukan hambatan perdagangan terhadap
negara non-anggota.25Hal ini sangat bertentangan dengan filosofi terbentuknya GATT/WTO,
terbentuknya NBR secara langsung melanggar prinsip-prinsip dasar; Asas MFN, larangan
Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif, resiprositas, perlindungan melalui tarif.
Kebijakan ini juga mengatur tentang kuota tarif dan sistem lisensi. Sistem kuota tarif
memberi jaminan bebas impor untuk pensuplai tradisional ACP hingga 857.700 ton, dan
kuota 2,2 juta ton untuk ekspor Amerika Latin dengan pembebanan tarif sebesar ECU 75 per
ton jika jumlah melebihi kuota yang ditentukan. Lisensi impor yang dikenakan untuk impor
pisang dollar, sebanyak 30% dialokasikan untuk pedagang tradisional ACP. Dua kategori
pertama dibagi 5 kedalam tiga kategori kepemilikan, yaitu: pengolahan, impor pertama dan
impor kedua. Setiap perusahaan akan menerima beberapa lisensi impor setelah perhitungan
oleh Komisi Eropa untuk pembagian pasarnya. Sistem kompleks alokasi ini bertujuan untuk
membuat perbedaan biaya antara produsen ACP dan dollar.26
Sebelum kasus pisang dibahas ke dalam panel WTO dengan keterlibatan Amerika
Serikat, panel pertama diadakan melalui GATT pada tahun 1991 mengenai pembahasan akan
pembentukan SEM.27SEM digugat sebab kebijakan-kebijakan yang diterapkan akan
mendiskriminasi akses ekspor negara-negara di Amerika Latin ke pasar eropa. Hal ini
terbukti dari adanya sistem kuota tarif yang dibeda-bedakan.
24 Yuniarti, op, cit, hlm. 1. 25Ibid 26Ibid, hlm 5 27 Karen J. Alter, “Nested and Overlapping Regimes in the Transatlantic Banana Trade Dispute”, Jurnal,
London: Routlegde, hlm. 363-364., 2006.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.2 Mei 2018 415
Iqbal Perdana, M. Putra Iqbal
Konsultasi diajukan oleh negara-negara Amerika Latin terhadap Uni Eropa untuk
mencari solusi dibawah komitmen Uruguay Round on Free Trade. Konsultasi tidak menemui
jalan keluar dan tekanan semakin bermunculan dari negara-negara yang mengajukan protes
ketika Uni Eropa mengadopsi secara penuh kebijakan-kebijakan SEM pada tahun 1993. Panel
kedua diajukan pada 11 Februari 1994.28
AS meminta WTO membentuk panel untuk menyelesaikan konflik. Argumen AS dan
Amerika Latin adalah bahwa politik UE telah melanggar persyaratan utama kesepakatan
WTO, termasuk kesepakatan tentang perlakuan most favoured nations, dan perlakuan
nasional yang berhubungan dengan perdagangan barang dan jasa. Sistem lisensi ini
menghalangi arus masuk pisang AS ke pasar Eropa. Mei 1996, di Geneva, WTO membuka
panel dengan pihak-pihak yang terkait, yaitu: UE di satu pihak, dan AS, Guatemala,
Honduras, Ecuador dan Mexico di pihak lain. Panel menyelidiki kesesuaian mekanisme NBR
dengan prinsip-prinsip WTO.
Laporan panel interin WTO diserahkan kepada enam pihak yang akan berunding
Maret 1997. Sedangkan laporan final akan diberikan kepada seluruh anggota WTO bulan Mei
1997, waktu dimana penemuan panel akan disiarkan kepada publik.29
Laporan akhir keputusan panel WTO terhadap NBR 1993 dikeluarkan pada tanggal
22 Mei 1997.30 Keputusan WTO menyatakan bahwa kebijakan impor pisang UE merupakan
salah satu bentuk proteksionisme dan diskriminasi. Keputusan panel WTO ini baru diterima
UE pada bulan September 1997. Pelanggaran kebijakan UE terhadap WTO dirinci sebagai
berikut:
a. lisensi impor untuk pisang Amerika Latin ke perusahaan Perancis dan Inggris (yang di
awal bisnis hanya untuk distribusi pisang Eropa dan ACP), telah merugikan
perusahaan-perusahaan AS,
b. lisensi impor untuk pisang Amerika Latin ke perusahaan pengolahan pisang Eropa
juga merugikan bisnis perusahaan-perusahaan AS,
c. pembebanan persyaratan lisensi yang sangat berat untuk impor Amerika Latin, dan
d. alokasi akses ke pasar UE menjadi bagian-bagian berdasarkan tingkat lampau
perdagangan (yang menyebabkan distorsi perdagangan)
28 Maria Josephina Ruth Kezia Saudale, “Banana Wars: Menginterpretasi Limit Rezim Perdagangan
Bebas Multilateral dalam World Trade Organization (WTO)”, Jurnal Analisis Hubungan Internasional, vol. 3,
No 1. Hlm. 414., 2014. 29 Yuniarti, op, cit, hlm. 9 30 Yuniarti, op, cit, hlm. 9.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.2 Mei 2018 416
Iqbal Perdana, M. Putra Iqbal
Langkah awal retaliasi yang dilakukan AS dimulai dengan mengumumkan daftar
produk yang diproduksi UE yang dikenai pajak 100% jika memasuki pasar AS. USTR
meminta kepada setiap pihak yang berkepentingan dalamkasus ini mengikuti dengar pendapat
yang diselenggarakan USTR dan untuk memperoleh kesempatan untuk menuntut agar produk
mereka dihapus dari daftar. Setiap pihak diberi kesempatanuntuk membuat tuntutan tertulis
dan lisan. Hasil dengar pendapat ini diumumkan 15 Desember 1998.
Langkah yang dilakukan oleh AS ini merupakan sebuah pelanggaran, sebabsecara
eksplisit, Pasal 21 DSU WTO mengatakan bahwa jika ada ketidaksetujuan tentang
bertentangan atau tidaknya tindakan suatu negara anggota terhadap aturan WTO maka
prosedur perundingan WTO akan berlaku. Ini berarti bahwa hanya WTO yang berhak
menentukan apakah suatu negara mematuhi atau tidaknya ketentuan-ketentuannya. Pasal 23
DSU WTO menyatakan bahwa tidak satupun negara anggota WTO yang diberi hak untuk
melakukan tindakan unilateral dalam situasi apapun.
Meskipun ditentang UE dan ACP, retaliasi AS berhasil memaksa UE untuk
menyetujui dibentuknya kembali panel WTO. Pertengahan November 1998, AS membuat
proposal ketiga untuk mengumpulkan kembali panel dengan mempercepat jadwal yang akan
memungkinkan laporan panel diumumkan tanggal 21 Januari 1999. Jika panel menemukan
kebijakan UE tidak sesuai dengan aturan WTO maka AS tidak akan menunda konsesi
perdagangannya.31
KESIMPULAN
Langkah retaliasi diatur dalam ketentuan WTO melalui pasal 22 Dispute Setllement
Understanding. Namun demikian, langkah retaliasi merupakan upaya terakhir yang dilakukan
oleh negara yang merasa dirugikan. Tindakan ini diatur sangat ketat, mengingat dampak yang
akan muncul akan sangat memberi pengaruh yang cukup besar bagi situasi perdagangan
internasional. Negara yang akan menggunakan hak retaliasinya harus tunduk pada pasal 22
DSU.Namun demikian, pasal 22 DSU yang berisi tentang retaliasi bukanlah cara terbaik
untuk menyelesaikan sengketa perdagangan internasional. Karena yang lebih diharapkan dari
putusan dalam persengketaan adalah pihak pelanggar menyesuaikan aturannya yang keliru
serta bertentangan dengan visi dan misi WTO.Dalam Pasal 22 DSU juga telah diatur secara
terperinci tentang masa (jangka waktu) penyesuaian peraturan yang dinilai tidak sejalan
31 Yuniarti, op, cit, hlm. 14.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.2 Mei 2018 417
Iqbal Perdana, M. Putra Iqbal
dengan WTO (hasil keputusan). Dalam hal ini, pelanggar juga diberikan rekomendasi-
rekomendasi terkait kekeliriuan peraturan perdagangan yang terlanjur disahkan.
Rekomendasi untuk merevisi atau mencabut peraturan-peraturan itu dilakukan pada masa
yang telah diatur dalam pasal 22 DSU.
Dasar keputusan badan panel WTO yang pada intinya mewajibkan Uni Eropa
menyesuaikan kembali aturannya terhadap impor pisang telah sesuai fakta dan hasil penilaian
yang berdasarkan pada ketentuan yang berlaku. WTO menemukan pelanggaran-pelanggaran
dalam praktek sistem pasar tunggal (Single European Market) yang berlandaskan Treaty of
Rome. Hal ini menjadi dasar terbentuknya New Banana Regime (NBR), atau upaya
pengadaan pisang dari dan untuk negara-negara tertentu saja (dalam hal ini Uni Eropa dan
ACP) dan menerapkan hambatan (barrier) terhadap negara non-anggota.
.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.2 Mei 2018 418
Iqbal Perdana, M. Putra Iqbal
DAFTAR PUSTAKA
1. Instrumen Hukum
GATT. Understanding Regarding Notification, Consultation, Dispute Settlement and
Surveillance 1979.
GATT. Decision on Improvements to the GATT Dispute Settlement Rules and Procedures
1989.
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947.
Lomé Convention (Lomé I, II, III, IV) 1975 – 2000.
Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (Dispute
Settlement Understanding)
2. Buku
Adolf, Huala, 2005, Hukum Perdagangan Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Adolf, Huala, 2005, Penyelesaian Sengketa Dagang dalam World Trade Organization
(WTO), CV Mandar Maju, Bandung.
Fuady, Munir, 2004, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dariWTO), PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Gallagher, Peter, 2002, Guide to Dispute Settlement, Kluwer Law International, The
Hague.
Hatta. (2006).Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO, Bandung: PT
Refika Aditama.
Ibrahim, Jonny, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media
Publishing, Malang.
Mitsuo, Matsushita, Thomas J Schoenbaum & Petros C. Mavroidis. (2006). The World Trade
Organization, New York; Oxford University Press.
Palmeter, Daviddan Mavroidis, Petros C., 2004, Dispute Settlement in The World Trade
Organization, Cambridge University Press, New York.
Rakhmawati, N, Rosyidah, 2006, Hukum Ekonomi Internasional dalam Era Global, PT Bayu
media Publishing, Malang.
Wallace, Rebecca & Anne Holiday. (2006). Internasional Law (First Edition). London;
Sweet and Maxwell
3. Jurnal
Freddy Josep Pelawi. (2007). “Retaliasi Dalam Kerangka Penyelesaian Sengketa WTO”,
Buletin Kementrian Perdagangan Republik Indonesia Edisi 46, Indonesia.
Maslihati Nur Hidayati, Analisis Tentang Sistem Penyelesaian Sengketa WTO; Suatu
Tinjauan Yuridis Formal, Lex Jurnalica Vol 11 No 2, Agustus 2014.
Tri Harnowo, Peninjauan Ulang Ketentuan Retaliasi sebagai Reformasi Aturan Penyelesaian
Sengketa WTO, Jurnal Hukum Internasional, Vol 5 No 2 (Januari 2008).
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.2 Mei 2018 419
Iqbal Perdana, M. Putra Iqbal
Marta Josephina Ruth Kezia Saudale, Banana Wars: Menginterpretasi Limit Rezim
Perdagangan Bebas Multilateral Dalam WTO, Universitas Airlangga, Jurnal Analisis
Hubungan Internasional, Vol. 3, No.1, Maret 2014.
Yuniarti, Penyelesaian Konflik Dagang Uni Eropa – Amerika Serikat Melalui Mekanisme
WTO (Studi Kasus: New Banana Regime 1993), Jurnal Ilmiah Kosmopolitan Vol. 1
No.1, Universitas Fajar, Januari – April 2013.
Simi T. B, Atul Kaushik, The Banana War at the GATT/ WTO, 2008.
Hanrahan, Charles E., RS20130: The US –Ueropean Union Banana Dispute, 9 Desember
1999.
Dickson, Anna K., “The EU Banana Regime: History and Interest” (University of Durham,
2003).
Dewi Yetti Komalasari, The WTO Dispute Settlement System: Issues on Implementation,
Indonesian Journal of International Law, Vol 5:2, Januari 2008.
Robert Read, Dispute Settlement, Compensation, and Retaliation Under the WTO,
Cheltenham: Edward Elgar, 2005.
4. Putusan
Decision by The Arbitrators: European Communities - Regime For The Importation, Sale
And Distribution of Bananas - Recourse to Arbitration by The European Communities
Under Article 22.6 of The DSU (WT/DS27/ARB).
5. Skripsi Dan Tesis
Zahri, Ilham, “Analysis of Retaliation by the World Trade Organization Member Countries
Under its Dispute Settlement System.” Thesis Law Degree Syiah Kuala University.
Patricia Gultom, Sarah, “Analisis Yuridis Penggunaan Hak Retaliasi dalam Penyelesaian
Sengketa Perdagangan Internasional (Studi Kasus Tuduhan Dumping Terhadap
Produk Kertas Indonesia oleh Korea Selatan/ Kasus DS312).” Skripsi SH Universitas
Indonesia, 2015.
Siyu, YE. “The Legal Analysis of The Cross-Retaliation Under the WTO Framework.” Thesis
LLM Gent University, 2012.
6. Internet
European Communities – Regime for the Importation, Sale and Distribution of Bananas,
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds27_e.htm
Historic development of the WTO dispute settlement system,
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/disp_settlement_cbt_e/c2s1p1_e.htm
Understanding the WTO, https://www.wto.org/english/thewto_e/
whatis_e/tif_e/understanding_e.pdf