PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 149
MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
(PHK) DI INDONESIA
Jamillah
Fakultas Hukum Universitas Medan Area
ABSTRACT.
One labour disputes according to Law 2 of 2004 on industrial relations dispute
settlement in lieu of Law 22 of 1957 on the settlement of labor disputes is the termination
of employment. birth of Law 2 of 2004 was originally expected to bring fresh air to law
enforcement, because of the existence of this law passing guarantee the existence of a rule
of law, especially in the resolution of labor disputes through this legislation in theory
enough within 110 days of the trial has been completed to the industrial relations to the
supreme Court. but in practice is not in accordance with the theory, and the fact that this
labor dispute could take 5 to 6 years, this means that there is no difference with the old
rules.
Keywords : Dispute Resolution, termination of employment.
A. PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat Indonesia akhirnya
merasa senang dengan kehadiran Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (PPHI), karena dalam
penyelesaian perselisihan perburuhan
yang selama ini sebagaimana yang diatur
di dalam UU No. 22 Tahun 1957
dirasakan belum memberi manfaat,
kepastian dan keadilan, bayangkan saja
menurut UU No. 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan,
bagi masyarakat pada umumnya dan bagi
tenaga kerja khususnya yang akan
mencari keadilan dalam pernyelesaian
sengketa ketenagakerjaan dalam hal
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
memakan waktu yang lama dan berbelit-
belit. Dikatakan waktu yang lama adalah
jika seorang buruh mengajukan perkara
melalui Departemen Tenaga Kerja (dulu,
sekarang Dinas Tenaga Kerja), kemudian
ke Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Daerah atau yang dikenal
dengan P4D, lalu banding ke Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat atau yang dikenal dengan P4P bisa
memakan waktu sampai bertahun-tahun
karena undang-undang ini tidak memberi
batas waktu konkrit. Sedangkan dikatakan
berbelit-belit adalah terhadap perkara
perburuhan ini masih dapat diajukan
gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN) dan sampai ke Mahkamah Agung
(MA). Dengan demikian undang-undang
ini bersifat lama dan memakan biaya yang
mahal.
UU No. 2 Tahun 2004 sangat
berbeda dengan undang-undang
sebelumnya, selain dari sifat undang-
undang ini adalah cepat (tidak lama), tepat
(tidak berbelit-belit), adil dan murah,
undang-undang ini juga banyak
memberikan manfaat yang besar bagi
tenaga kerja itu sendiri. Namun yang
sangat disayangkan ternyata dalam
praktiknya undang-undang ini belum
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 150
menciptakan atau mewujudkan kepastian
hukum baik bagi tenaga kerja/serikat
pekerja maupun bagi pengusaha/majikan.
Sengketa ketenagakerjaan khususnya
tentang Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) masih memakan waktu yang lama,
bahkan banyak dijumpai dalam
penyelesaian perkara PHK ini bisa
mencapai waktu 4 (empat) sampai 5
(lima) tahun. Sungguh tragis memang,
sehingga boleh dikatakan undang-undang
ini dalam praktiknya setali tiga uang
dengan peraturan yang lama, dan ini
merupakan suatu kelemahan.
TUJUAN PENULISAN
Penulisan makalah ini bertujuan
untuk mengetahui salah satu model
penyelesaian sengketa ketenagakerjaan
menurut UU No. 2 Tahun 2004 yaitu
model penyelesaian Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) di Indonesia.
URAIAN TEORETIS
a. Kompetensi Pengadilan Hubungan
Industri Menurut UU No. 2 Tahun
2004.
Pengadilan Hubungan Industrial
merupakan Pengadilan Khusus yang
eksistensinya berada di Peradilan
Umum (Pengadilan Negeri), sebagai
Pengadilan Khusus berdasarkan Pasal
56 UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industri (PPHI), pengadilan ini
menangani perkara yang berkaitan
dengan :
1. Perselisihan Hak, yaitu perselisihan
yang timbul karena tidak
dipenuhinya hak, akibat adanya
perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.
2. Perselisihan Kepentingan, yaitu
perselisihan yang timbul dalam
hubungan kerja karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai
pembuatan, dan atau perubahan
syarat-syarat kerja yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja, atau
peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
3. Perselisihan Pemutusan Hubungan
Kerja, yaitu perselisihan yang
timbul karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan oleh salah satu pihak, bisa
berasal dari pekerja (tenaga kerja)
atau berasal dari pengusaha
(majikan.
4. Perselisihan antar Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, yaitu
perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh dengan serikat
pekerja/serikat buruh lain hanya
dalam satu perusahaan, karena tidak
adanya persesuaian paham
mengenai keanggotaan, pelaksana
hak, dan kewajiban
keserikatpekerjaan.
Dalam penyelesaian perkara yang
berkaitan dengan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK), berdasarkan Pasal 136
ayat (1) menyebutkan bahwa :
“Penyelesaian perselisihan hubungan
industrial wajib dilaksanakan oleh
pengusaha dan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh secara
musyawarah untuk mufakat”, jadi
sebelum gugatan diajukan ke
Pengadilan Hubungan Industrial
terlebih dahulu dilakukan sebelumnya
penyelesaian oleh kedua belah pihak
antara Pekerja dengan Pengusaha, dan
penyelesaian ini disebut dengan
penyelesaian secara Bipartit.
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 151
Penyelesaian secara Bipartit
dimaksudkan untuk mencari jalan
keluar atas perselisihan perselisihan
hubungan industrial dengan cara
musyawarah mufakat secara internal
yaitu penyelesaian dilakukan
dilingkungan perusahaan antara pekerja
dengan majikan tanpa adanya ikut
campur pihak atau lembaga lain,
penyelesaian melalui lembaga Bipartit
ini sangat sesuai dengan nilai-nilai
philosofis Pancasila yaitu
mengutamakan musyawarah untuk
mufakat terlebih dahulu, sedangkan
penyelesaian melalui pengadilan
merupakan jalan terakhir. Sebenarnya
cara penyelesaian melalui lembaga
Bipartit ini sudah ada sebelum
berlakunya UU No. 4 Tahun 2004,
ketentuan UU No. 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan juga mensyaratkan bahwa
sebelum perselisihan antara pekerja
dengan majikan diajukan ke
Departemen Tenaga Kerja (sekarang
Dinas Tenaga Kerja) terlebih dahulu
dilakukan musyawarah mufakat, hanya
saja musyawarah untuk mufakat
menurut ketentuan lama tidak bersifat
wajib. Lainnya dengan ketentuan UU
No. 4 Tahun 2004 penyelesaian
Bipartit bersifat wajib, bukti wajib
tersebut dapat dilihat dari bunyi Pasal 4
ayat 2 menyebutkan : “Apabila bukti-
bukti sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak dilampirkan, maka
instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan
mengembalikan berkas untuk
dilengkapi paling lambat dalam 7
(tujuh) hari kerja terhitung sejak
tanggal diterimanya pengembalian
berkas”.
Jika dicermati secara seksama
ketentuan tentang penyelesaian secara
Bipartit menurut UU No. 2 Tahun 2004
ini terdapat pembatasan waktu secara
limitatif yaitu jika terjadi PHK,
kemudian pihak pekerja dan majikan
langsung mengadukan perkaranya ke
Dinas Tenaga Kerja, maka dalam
waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja para pihak yang bersengketa
(pekerja dan majikan) sudah harus
menyampaikan kepada Dinas Tenaga
Kerja hasil penyelesaian yang mereka
lakukan, barulah penyelesaian secara
Bipartit ini ditindak lanjuti oleh Dinas
Tenaga Kerja, namun alangkah baiknya
para pihak menyelesaikan terlebih
dahulu secara Bipartit sebelum
masalahnya diajukan ke Dinas Tenaga
Kerja.
Setelah bukti penyelesaian Bipartit
diterima oleh Dinas Tenaga Kerja,
maka Dinas Tenaga Kerja memberikan
penawaran kepada para pihak, apakah
sengketa mereka diselesaikan melalui
konsiliator (pihak yang terdaftar di
Dinas Tenaga Kerja yang diangkat oleh
Menteri Tenaga Kerja) atau mediator
(pegawai Dinas Tenaga Kerja yang
ditunjuk), dan biasanya dalam sengketa
PHK para pihak selalu menunjuk
Mediator sebagai pihak untuk
penyelesaian Biartit terlebih dahulu.
Ketika para pihak memilih Mediator
atau Konsiliator sebagai pihak yang
menyelesaikan sengketa PHK, maka
pada waktu itu dengan serta merta
Mediator atau Konsiliator segera
melaksanakan atau menjalankan
penyelesaian dengan perundingan, dan
perundingan ini termasuk dan
merupakan perundingan Tripartit.
Perundingan Tripartit merupakan
perundingan yang melibatkan pihak
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 152
ketiga yang netral, dan upaya
penyelesaian secara Tripartit ini baru
dapat dilakukan apabila usaha Bipartit
telah dilakukan. Mediator selambat-
lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari kerja sudah harus dapat
menyelesaikan dengan produk kerjanya
berupa Anjuran. Jadi ada sedikit
perbedaan antara penyelesaian
sengketa PHK antara Bipartit dengan
Mediasi (mediator), yaitu masuknya
unsur luar selain dari pihak yang
berselisih. Dalam Bipartit perundingan
dilakukan terbatas pada pihak-pihak
yang berselisih sementara dalam
Mediasi adanya pihak luar, yaitu
mediator yang masuk dan mencona
menyelesaikan perselisihan tersebut.
Anjuran yang diterbitkan oleh
mediator tidak disepakati oleh salah
satu pihak (antara perkerja dan
majikan), maka salah satu pihak dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI), dan dalam
jangka waktu 50 (lima puluh) hari kerja
terhitung sejak hari sidang pertama PHI
sudah harus mengeluarkan putusannya.
Apabila salah satu pihak tidak
menerima putusan PHI, maka pihak
yang tidak menerima dapat
mengajukan upaya Kasasi ke
Mahkamah Agung, disinilah makna
PHI itu merupakan pengadilan khusus,
karena dalam penyelesaian sengketa
PHI tidak dikenal adanya upaya
Banding ke Pengadilan Tinggi.
b. Teori Kepastian Hukum.
Salah satu tujuan hukum adalah
menciptakan atau mewujudkan adanya
suatu kepastian, lahirnya UU No. 2
Tahun 2004 tidak terlepas dari tujuan
hukum itu sendiri yaitu menjamin
adanya suatu kepastian, apalagi
peraturan yang selama ini yaitu UU
No. 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan,
belum dirasakan adanya suatu
kepastian, bayangkan saja penyelesaian
sengketa perburuhan menurut UU No.
22 Tahun 1957 harus melalui 3 (tiga)
tahap yaitu Pegawai Perantara
Departemen Tenaga Kerja, P4D dan
P4P, sedangkan di lembaga P4D dan
P4P merupakan lembaga yang terdiri
dari wakil-wakil pengusaha dan pekerja
ditambah lagi dari wakil pemerintah,
dengan adanya wakil pemerintah ini,
maka konsekwensi hukum atas
putusannya dikategorikan sebagai
putusan aparatur negara. Dengan
demikian berhubung UU No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara mengatur setiap putusan
aparatur negara yang bersifat final
dapat diselesaikan melalui Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN), maka
dengan sendirinya putusan P4D atau
P4P masih dapat diajukan perkaranya
ke PTUN, sedangkan putusan PTUN
masih bisa banding ke PTTUN dan
kasasi ke Mahkamah Agung, kondisi
ini jelas memakan waktu yang cukup
lama. Kedua, terdapat kewenangan
Menteri Tenaga Kerja untuk mem
“veto” putusan yang sudah diputus oleh
P4P, dengan adanya campur tangan
pemerintah berarti keadilan
(gerechtigheid) yang didambakan
masyarakat (will of the people) identik
dengan kekuasaan, bagi negara yang
merupakan negara hukum, hal
demikian sangat bertentangan, yaitu
keadilan tidak sama dengan kekuasaan,
selain dari itu semua yang dilalui
tersebut memakan waktu yang tidak
ditentukan batasnya, jadi jelas tidak
terdapat suatu kepastian hukum.
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 153
Indonesia yang pernah di jajah
Belanda, sedangkan Belanda
merupakan jajahan Prancis, dan Prancis
sendiri merupakan negara yang pernah
di jajah oleh Bangsa Romawi, maka
sistem hukum yang berlaku di
Indonesia tidak terlepas dari sistem
hukum yang pernah berlaku di
Romawi, Prancis dan Belanda.
Keseluruhan dari negara-negara jajahan
Romawi di Eropah tersebut menganut
Sistem Hukum Eropa Kontinental, dan
sistem hukum eropa kontinental ini
banyak dianut dan dikembangkan di
negara-negara eropa. Sistem hukum
eropa kontinental biasa disebut dengan
istilah “Civil Law” atau yang disebut
juga sebagai “Hukum Romawi”.
Sistem hukum ini disebut sebagai
hukum romawi karena sistem hukum
eropa kontinental memang bersumber
dari kodifikasi hukum yang digunakan
pada masa kekaisaran romawi tepatnya
pada masa pemerintahan Kaisar
Yustinianus yang memerintah romawi
pada sekitar abad ke-5 antara 527
sampai dengan 565 M.
Kodifikasi hukum tersebut
merupakan kumpulan berbagai kaidah
atau peraturan hukum yang telah ada
sebelumnya yang dikenal dengan
sebutan “Corpus Juris Civilis” atau
peraturan hukum yang terkodifikasi.
Dalam sistem hukum eropa
kontinental, hukum memliki kekuasaan
yang mengikat karena hukum yang
terdiri dari kaidah atau peraturan-
peraturan tersebut telah disusun secara
sistematis dan dikodifikasi
(dibukukan).
Hal yang mendasar dalam sistem
hukum eropa kontinental adalah
kepastian hukum merupakan tujuan
hukum, dimana tujuan hukum tersebut
hanya dapat diwujudkan apabila segala
interaksi dan perilaku manusia dalam
masyarakat diatur dengan peraturan
yang tertulis. Dalam sistem hukum
eropa kontinental dikenal adagium
yang berbunyi bahwa tidak ada hukum
selain undang-undang atau dengan kata
lain bahwa hukum merupakan undang-
undang itu sendiri.
Dalam sistem hukum eropa
kontinental tidak dikenal adanya
yurisprudensi yang menjadi ciri sistem
hukum Anglo Saxon atau Common
Law. Putusan hakim hanya berlaku dan
mengikat pihak-pihak yang
bersengketa saja atau pada satu kasus
tertentu dan tidak dapat mengikat
umum atau dijadikan sebagai dasar
untuk memutus perkara lainnya yang
serupa. Dalam hal ini hakim hanya
berperan sebagai pembuat keputusan
sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki dan penafsirannya terhadap
peraturan-peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Jadi keberadaan UU No.2 Tahun
2004 ini, jelas merupakan peraturan
yang memberikan suatu kepastian bagi
pencari keadilan, teruma bagi pekerja
dan pengusaha, karena dengan
keberadaan undang-undang ini tidak
ada lagi ke khawatiran yang selama ini
dirasakan bahwa penyelesaian sengketa
PHK tidak memiliki batas waktu yang
jelas, seperti bak kata slogan yang
menyebutkan penyelesaian sengketa
PHK bagaikan “penantian yang tak
berujung”, dengan adanya suatu
kepastian hukum akhirnya keberadaan
undang-undang ini dapat memberikan
kemanfaatan bagi pemerintah,
masyarakat dan individu, persoalannya
sekarang, apakah di dalam praktiknya
UU No. 2 Tahun 2004 ini benar-benar
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 154
telah memberikan suatu kepastian
hukum bagi pencari keadilan.
PEMBAHASAN
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
bisa berasal dari pengusaha dan bisa juga
berasal dari pekerja itu sendiri, artinya
PHK dapat dilakukan oleh
pengusaha/majikan dan dapat juga
dilakukan oleh tenaga kerja/buruh itu
sendiri, namun yang selalu terjadi adalah
PHK muncul berasal dari
majikan/pengusaha, dan bila hal ini
terjadi, pertanyaan yang muncul adalah
apa dan bagaimana model
penyelesaiannya.
Sekurang-kurangnya di dalam
praktik penyelesaian sengketa PHK
terdapat 5 (lima) lembaga yang harus
dilalui oleh pencari keadilan, yaitu :
1. Lembaga Bipartit (penyelesaian dua
belah pihak).
2. Lembaga Tripartit (penyelesaian oleh
pihak ketiga).
3. Lembaga PHI (penyelesaian melalui
gugatan).
4. Lembaga Kasasi (penyelesaian melalui
Mahkamah Agung), dan
5. Lembaga Peninjauan Kembali (Melalui
Mahkamah Agung atas putusan
Kasasi).
Dari kelima lembaga ini, UU No. 2
Tahun 2004 menentukan bahwa hanya
tiga lembaga yang memiliki batas waktu
penyelesaian sengketa, yaitu :
1. Lembaga tripartit, menurut Pasal 15,
menyebutkan bahwa “Mediator
menyelesaikan tugasnya dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak menerima
pelimpahan penyelesaian perselisihan”
2. Lembaga Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI), menurut Pasal 103,
menyebutkan bahwa “Majelis Hakim
wajib memberikan putusan
penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial dalam waktu selambat-
lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja
terhitung sejak sidang pertama.
3. Lembaga Kasasi, menurut Pasal 115,
menyebutkan bahwa “Perselisihan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
pada Mahkamah Agung selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan kasasi”.
Bila dilihat dari batas waktu
penyelesaian PHK dari ketiga lembaga di
atas, maka dalam tenggang waktu 110 hari
sengketa PHK telah selesai, sungguh
fantastik, karena selama ini menurut
ketentuan lama, persoalan PHK
kadangkala mencapai waktu tahunan,
yaitu sampai 5 atau 6 tahun. Benarkah ?
Berbicara waktu penyelesaian
menurut teori tentu tidak semudah yang
terjadi dimasyarakat (praktik). Karena
ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 inipun
bukanlah peraturan yang maha sempurna,
terbukti di dalam ketentuan undang-
undang ini tidak ada mengatur tentang :
1. Batas waktu penyelesaian bipartit
sebelum perkaranya dilimpahkan ke
Dinas Tenaga Kerja.
2. Batas waktu pengiriman berkas dari
PHI ke Mahkamah Agung dalam
proses kasasi.
3. Batas waktu putusan Peninjauan
Kembali di Mahkamah Agung.
4. Sanksi bagi pihak yang melanggar
batas waktu penyelesaian sengketa
PHK, misalnya sanksi bagi Mediator,
Hakim PHI, Hakim Mahkamah Agung
atau lembaga yang terlambat
mengirimkan berkas Kasasi.
Sehingga dengan tidak adanya
pengaturan di dalam undang-undang PPHI
tersebut, maka penyelesaian sengketa
PHK ini akhirnya memakan waktu yang
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 155
cukup lama, bahkan dalam praktiknya bisa
mencapai 5 sampai 6 tahun, apa bedanya
dengan undang-undang lama ?
a. Lembaga Bipartit
Lembaga bipartit atau yang lazim
disebut dengan perundingan secara
bipartit adalah perundingan antara
pekerja/buruh atau serikat
pekerja/buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial, dan lembaga ini identik
dengan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan (non litigasi). Perundingan
bipartit ini wajib dilaksanakan oleh
pihak pekerja dengan pengusaha, jika
perundingan bipartit ini tidak
dilaksanakan, maka Dinas tenaga kerja
sebagai institusi yang berwenang
menyelesaikan kasus PHK tidak akan
bersedia atau menolak sengketa PHK
yang di ajukan kepadanya sebagaimana
yang disebutkan dalam Pasal 136 ayat
(1).
Melalui lembaga bipartit ini,
terdapat 2 (dua) kemungkinan terjadi,
yaitu :
1. Dalam hal perundingan bipartit
gagal, maka salah satu atau kedua
belah pihak mencatat
penyelesaiannya untuk dijadikan
lampiran bagi instansi yang
bertanggung jawab dalam
penyelesaian ketenagakerjaan,
dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja
setelah para pihak mengajukan
perkaranya.
2. Dalam hal perundingan berhasil
dengan kesepakatan, maka kedua
belah pihak membuat Surat
Perjanjian Bersama (SPB) untuk
didaftarkan ke PHI, dengan tujuan
seandainya suatu saat salah satu
pihak ingkar janji, maka pihak
lainnya dapat melakukan eksekusi.
b. Lembaga Tripartit
Kewenangan lembaga tripartit
disebabkan kegagalan dari perundingan
bipartit, lembaga tripartit adalah tempat
perundingan yang melibatkan pihak
ketiga yang netral, sedangkan pihak
ketiga yang netral ini adalah Mediator
dan Konsiliator yang kedudukannya
berada di Dinas Tenaga Kerja,
sehingga kadangkala penyebutan
lembaga tripartit berarti keterlibatan
Dinas Tenaga Kerja sebagai lembaga
tripartit yang menyelesaikan sengketa
PHK. Mediator adalah pegawai instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan, sedangkan
Konsiliator adalah seseorang yang
memenuhi persyaratan sebagai
konsiliator yang ditetapkan oleh
Menteri Tenaga Kerja.
Pada umumnya para pihak dalam
melakukan perundingan ini selalu
menggunakan pihak Mediator sebagai
pihak ketiga, adapun mekanisme PPHI
dalam hal PHK melalui mediator ini
dapat di uraikan sebagai berikut :
1. Penyelesaian melalui Mediator
dilaksanakan paling lama 30 hari
kerja terhitung sejak menerima
pelimpahan penyelesaian
perselisihan.
2. Mediator dapat memanggil saksi
atau saksi ahli untuk hadir pada
sidang mediasi guna diminta dan
didengar keterangannya.
3. Bilamana ternyata dalam sidang
mediasi tercapai kesepakatan, maka
dibuat perjanjian bersama (SPB)
yang ditanda tangani oleh para pihak
dengan disaksikan oleh Mediator
untuk kemudian didaftarkan ke PHI
pada Pengadilan Negeri di wilayah
hukum pihak yang berselisih.
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 156
4. Jika ternyata dalam mediasi tidak
tercapai kata sepakat, maka
selambat-lambatnya 10 hari setelah
sidang mediasi, Mediator harus
sudah membuat anjuran.
5. Anjuran Mediator ini dikirmkan
kepada para pihak untuk ditanggapi
secara tertulis, dan jika kedua belah
pihak setuju dengan anjuran
Mediator tersebut, maka dalam
tenggang waktu selambat-lambatnya
3 hari Mediator sudah dapat
membuat Surat Perjanjian Bersama
(SPB) untuk didaftarkan ke PHI
setempat.
6. Namun jika anjuran dari Mediator
tidak disetujui oleh para pihak,
maka pihak-pihak yang merasa
kurang puas dapat mengajukan
gugatan perkara ke PHI.
c. Lembaga Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI).
PHI adalah pengadilan khusus
yang menangani perkara PHK,
kekhususan PHI ini memiliki
karakteristik yang berbeda dengan
Peeradilan lainnya yaitu unsur Majelis
Hakimnya yang terdiri dari 1 Hakim
karier dan 2 Hakim Ad.hoc, dan
kedudukannya berada pada Pengadilan
Negeri (peradilan umum).
Bagi pihak yang gagal
memperoleh kesepakatan setelah
melalui lembaga bipartit dan tripartit,
maka segala bukti-bukti yang sudah
dibuat melalui kedua lembaga ini harus
dilampirkan ketika gugatan diajukan,
bukti-bukti mana diluar dari bukti-bukti
lainnya yang akan diajukan oleh para
pihak, misalnya bukti gaji dan
sebagainya. Dalam Pasal 57
disebutkan, bahwa hukum acara yang
berlaku pada PHI ini adalah hukum
acara perdata yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum, kecuali yang diatur secara
khusus dalam undang-undang ini.
Adanya kata “kecuali diatur secara
khusus, maka berlaku hukum acara
perdata”, mengandung arti dalam
penyelesaian sengketa PHK berlakulah
hukum acara perdata (umum), dan jika
hukum acara perdata bertentangan
dengan UU No. 2 Tahun 2004
(khusus), maka hukum acara perdata
menjadi tidak berlaku. Misalnya di
dalam hukum acara perdata Pasal 118
HIR/142 RBG menyebutkan
“Pengadilan Negeri berwenang
memeriksa gugatan yang daerah
hukumnya meliputi tempat tinggal
Tergugat”, namun di dalam Pasal 81
UU No. 2 Tahun 2004 ,meyebutkan
“Gugatan perselisihan hubungan
industrial diajukan kepada PHI pada
Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat tinggal
pekerja/buruh”, jika pekerja/buruh
yang menggugat (sebagai Penggugat),
berarti menurut Pasal 81 ini, gugatan
diajukan di pengadilan tempat tinggal
Penggugat bukan Tergugat
sebagaimana Pasal 118/142 HIR/RBG,
jadi dengan demikian dalam hal
gugatan tidak berlaku hukum acara
HIR/RBG (umum), akan tetapi yang
diberlakukan adalam UU No. 2 Tahun
2004, hal inilah yang dimaksud dengan
arti khusus.
Berperkara di PHI tidak dikenakan
biaya gugatan (Pasal 58), kecuali di
dalam gugatan tercantum tuntutan
sebesar Rp. 150.000.000,- atau lebih,
sehingga Pasal 58 ini merupakan
prinsip murah dalam penanganan
sengketa ketenagakerjaan, sebenarnya
ketentuan ini bukan merupakan prinsip,
bayangkan saja, jika tuntutan yang
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 157
terdapat di dalam gugatan mencapai
Rp. 150.000.000,- atau lebih, maka si
Penggugat (buruh/pekerja) akan
dikenakan biaya sesuai dengan
ketentuan, demikian juga dengan
eksekusinya, padahal dalam berperkara
belum tentu gugatan akan dikabulkan,
akan tetapi di Penggugat sudah
dikenakan biaya, sehingga kebanyakan
pekerja/buruh bila si pekerja masih
dikenakan lagi biaya sementara mereka
sudah di PHK, maka akan
mengurungkan niatnya untuk tidak
berperkara, dengan demikian
pekerja/buruh sulit untuk mencapai
keadilan melalui gugatan ke PHI,
bukankah hal ini bertentangan dengan
prinsip murah sebagaimana yang
berlaku di dalam setiap peraturan yang
bersifat normatif ? dan sebaiknya jika
prinsip murah ingin diterapkan, maka
semua gugatan tanpa melihat jumlah
tuntutannya diberlakukan tanpa
dikenakan biaya gugatan.
Adapun mekanisme dan tahap-
tahap berperkara di PHI adalah sebagai
berikut :
1. Gugatan diajukan dan di daftarkan
melalui kepaniteraan bagian
hubungan industrial pada
Pengadilan Negeri ditempat tinggal
pekerja/buruh, bersamaan dengan
gugatan dilampirkan bukti-bukti
penyelesaian bipartit dan anjuran
dari lembaga tripartit, dan bila
menggunakan jasa kuasa, maka
dilampirkan juga identitas sebagai
kuasa bersamaan dengan surat
kuasanya.
2. Setelah gugatan di daftar, hakim
terlebih dahulu melakukan
pemeriksaan prapersidangan yaitu
pemeriksaan yang dilakukan
sebelum pemeriksaan terhadap
pokok perkara. Pemeriksaan
prapersidangan ini sangat penting
karena jika dalam pemeriksaaan
persidangan terdapat kekurangan,
maka hakim dapat meminta agar
Penggugat yang dibantu oleh
Panitera atau Panitera Pengganti
untuk menyempurnakan
gugatannya, jadi dengan adanya
pemeriksaan prapersidangan ini
tidak ada lagi celah kekurang
lengkapan gugatan, misalnya
dokumen-dokumen yang diperlukan
sebagai bukti-bukti.
3. Setelah gugatan terdaftar, dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari Ketua
Pengadilan Negeri sudah harus
menetapkan Majelis Hakim yang
terdiri dari Ketua dan hakim anggota
ad-hoc, setelah dilakukan penetapan
barulah sidang pertama dimulai
setelah dilakukan pemanggilan dan
sidang dihadiri oleh pihak-pihak.
4. Setelah kedua belah pihak hadir,
maka sebelum sidang dimulai dan
dibuka oleh hakim, maka Majelis
Hakim terlebih dahulu
menganjurkan agar kedua belah
pihak melakukan perdamaian.
Apabila para pihak tetap pada
pendiriannya untuk menyerahkan
penyelesaian sengketa melalui
Majelis Hakim, maka pemeriksaan
perkara dapat dilanjutkan.
5. Setelah gugatan dianggap tidak ada
kekurangan yang prinsip, maka
sidang dimulai dengan pembacaan
gugatan oleh Penggugat, kemudian
jawaban diberikan kesempatan bagi
Tergugat, demikian seterusnya
sebagaimana yang berlaku menurut
hukum acara perdata umum, hanya
perbedaannya dalam sengketa
ketenagakerjaan memiliki jangka
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 158
waktu putusan sampai dengan 50
(lima puluh) hari sejak gugatan
didaftarkan.
6. Bagi pihak-pihak yang merasa tidak
menerima putusan PHI ini, upaya
hukum yang dilakukan bukan
Banding ke Pengadilan Tinggi, akan
tetapi langsung Kasasi ke
Mahkamah Agung, disinilah letak
kekhususan dalam penyelesaian
sengketa PHK dalam perkara
ketenagakerjaan.
d. Lembaga Kasasi.
Pihak-Pihak yang merasa
dirugikan atas putusan PHI, tentu
masih diberikan kesempatan
mengajukan upaya hukum Kasasi guna
mencapai dan memperoleh nilai
keadilan, dan ada 3 alasan mengapa
para pihak mengajukan Kasasi, alasan
mana disebabkan karena Pengadilan
atau Hakim dianggap :
1. Tidak berwenang atau melampaui
batas wewenangnya, misalnya
putusan yang dibuat hakim melebihi
yang dituntut Penggugat.
2. Salah menerapkan atau melanggar
hukum yang berlaku, misalnya
pertimbangan dalam putusan hakim
bertentangan dengan Undang-
Undang atau Yurisprudensi.
3. Lalai memenuhi syarat syarat-syarat
yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang
mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang besangkutan,
misalnya syarat menurut undang-
undang Hakim tidak dibenarkan
menangani kasus dimana hakim
memiliki hubungan kekeluargaan
dengan salah satu pihak.
Pernyataan Permohonan Kasasi
harus sudah dilakukan bagi pihak yang
tidak sependapat dengan putusan PHI
dalam tenggang waktu 14 (empat
belas) hari sejak putusan dibacakan
atau diterima oleh para pihak, dan yang
tidak kalah pentingnya adalah
permohonan Kasasi harus diiringi
dengan adanya Memori Kasasi, artinya
Pemohon Kasasi wajib mengajukan
Memori (alasan) Kasasi dalam
tenggang waktu 14 (empat belas) hari
sejak diajukannya permohonan Kasasi,
demikian juga bagi pihak lain
diwajibkan pula membuat Kontra
Memori Kasasi sebagai jawaban dari
Memoro Kasasi.
e. Lembaga Peninjauan Kembali
Selain upaya hukum biasa dalam
perselisihan hubungan industrial adalah
Banding dan Kasasi, dikenal juga
upaya hukum luar biasa yaitu
Peninjauan Kembali (PK), Pengajuan
Permohonan Peninnjauan Kembali
adalah 180 (seratus delapan puluh) hari
dari putusan dijatuhkan atau
diberitahukan berdasarkan Surat
Pemberitahuan Isi Putusan. Istilah
Peninjauan Kembali (request civil)
tidak dikenal di dalam UU No. 2 Tahun
2004, namun mengingat PK merupakan
upaya hukum lain selain Banding dan
Kasasi, sedangkan upaya hukum itu
sendiri diakui menurut Hukum Acara
Perdata umum, maka dengan
sendirinya PK dapat dibenarkan dalam
proses penyelesaian sengketa
ketenagakerjaan. Upaya hukum
peninjauan kembali (request civil)
merupakan suatu upaya permohonan
untuk mementahkan putusan
pengadilan baik dalam tingkat
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
(Putusan Banding), maupun
Mahkamah Agung (Putusan Kasasi)
yang telah berkekuatan hukum tetap
(inracht van gewijsde) oleh Mahkamah
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 159
Agung. Hal ini diatur dalam Pasal 28
Ayat (1) huruf c undang-undang
tentang Mahkamah Agung (UU No. 14
th 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004).
Adapun yang dapat dijadikan alasan
dalam mengajukan PK adalah sebagai
berikut :
1. Putusan didasarkan pada
penipuan atau tipu muslihat
pihak lawan.
Kebohongan atau tipu muslihat itu
baru diketahui setelah perkara
diputus. Dengan kata lain, selama
proses pemeriksaan berlangsung
mulai dari tingkat pertama,
banding, dan kasasi kebohongan
atau tipu muslihat itu tidak
diketahui dan baru diketahui setelah
adanya putusan Berkekuatan
Hukum Tetap (BHT). Dan, atau
setelah putusan BHT muncul atau
terbit putusan pidana dalam
pengadilan pidana yang
menyatakan bukti-bukti atau salah
satu bukti yang diajukan pihak
lawan adalah palsu.
2. Ditemukan surat-surat bukti
yang bersifat menentukan
Bahwa ini tidak termasuk
keterangan saksi, baik saksi fakta
maupun saksi ahli yang dituangkan
dalam bentuk tulisan. Jadi yang
dimaksud surat bukti itu bukan
bukti baru, tetapi surat bukti yang
telah ada sebelum perkara
diperiksa, akan tetapi tidak
ditemukan selama proses
pemeriksaan berlangsung. Surat
bukti tersebut baru ditemukan
setelah putusan perkara yang
bersangkutan telah Berkekuatan
Hukum Tetap (BHT).
3. Jika diputus mengenai hal yang
tidak dituntut atau Jika putusan
melebihi yang dituntut
Putusan telah mengabulkan
suatu hal sedangkan hal tersebut
sama sekali tidak diminta oleh
penggugat dalam gugatan maupun
petitum. Putusan ini dikategorikan
mengandung ultra vires. Apabila
putusan mengabulkan melebihi
dari apa yang dituntut. Ketentuan
ini melanggar prinsip ultra partium
atau ultra petita. Hakim tidak boleh
mengabulkan melebihi dari apa
yang dituntut dalam petitum
gugatan (nemo plus jurist).
4. Terdapat suatu Bagian dari
Tuntutan yang belum diputus
tanpa dipertimbangkan
sebabnya
Misalnya, tidak diputus apakah
ditolak atau dikabulkan gugatan
provisi, permintaan sita atau
permintaan putusan serta merta
tanpa mempertimbangkan sebab-
sebabnya.
5. Terdapat putusan yang saling
bertentangan
Adanya dua atau lebih putusan
merupakan syarat mutlak
(condition sine qua non) lahirnya
putusan yang saling bertentangan
antara satu dengan yang lain.
Paling tidak harus ada dua putusan.
Saling bertentangan tersebut tidak
mesti putusan perdata dengan
perdata, tetapi bisa juga antara
putusan perdata dengan pidana.
6. Terdapat suatu Kekhilafan
Hakim atau Suatu kekeliruan
yang nyata.
Putusan yang bersangkutan
mengandung kekhilafan atau
kekeliruan yang nyata. Putusan
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 160
yang benar dan yang semestinya
ditegakkan adalah putusan yang
mengandung pertimbangan yang
sesuai dengan ketentuan hukum
(the rule of law).
Permohonan PK diajukan kepada
Mahkamah Agung melalui Ketua
Pengadilan Tingkat Pertama, maka
dalam tenggang waktu 14 (empat
belas) hari, panitera wajib memberikan
atau mengirimkan Salinan Permohonan
PK kepada pihak lawan. Dan sejak
salinan permohonan PK diterima oleh
pihak lawan, pihak lawan memiliki
waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari untuk memberikan jawaban atau
kontra Risalah PK. Sedangkan
mengenai batas waktu pengiriman
berkas PK dari Pengadilan ke
Mahkamah Agung tidak ada diatur,
bahkan putusan PK yang diterima telah
diterima oleh ahkamah Agung juga
tidak ditentukan batas waktunya,
sehingga kemungkinan besar
penyelesaian perkara PK bisa memakan
waktu bertahun-tahun, oleh karenanya
bukan suatu hal yang mustahil akhirnya
penyelesaian sengketa PHK terhadap
ketenagakerjaan ini memakan waktu 5
sampai 6 tahun, uniknya secara teori
PK tidak menghalangi eksekusi, namun
dalam praktiknya bilamana salah satu
pihak PK, maka PHI tidak mau
melaksanakan eksekusi, lalu apa
bedanya dengan peraturan yang lama ?
PENUTUP.
Model penyelesaian PHK di
Indonesia bagaikan bergantung tidak
bertali, para pihak baik dari pekerja/buruh
maupun pengusaha/majikan sangat
berharap penyelesaian PHK tidak berbelit-
belit dan tidak terlalu lama sebagaimana
yang tertuang dalam prinsip yaitu
mekanisme penyelesaian PHI bersifat
cepat, tepat, adil dan murah. Namun
dalam praktiknya penyelesaian PHK bisa
memakan waktu bertahun-tahun,
meskipun dalam teori bisa diselesaikan
dalam waktu 110 hari saja, penyebabnya
adalah tidak ada pengaturan batas waktu :
1. Pengiriman berkas dari PHI ke
Mahkamah Agung pada waktu Kasasi.
2. Pengiriman berkas dari PHI ke
Mahkamah Agung pada waktu
Peninjauan Kembali.
3. Putusan Peninjauan Kembali di
Mahkamah Agung.
4. Pemberitahuan Putusan Mahkamah
Agung dalam perkara Kasasi kepada
para pihak.
5. Pemberitahuan Putusan Mahkamah
Agung dalam perkara Peninjauan
Kembali kepada para pihak.
Oleh karenanya model penyelesaian
PHK di Indonesia bertentangan dengan
prinsip UU No. 2 Tahun 2004 yaitu tidak
cepat karena tidak ada batas waktu
terhadap hal-hal tertentu, tidak tepat
karena masih banyak melibatkan lembaga-
lembaga lain seperti Mahkamah Agung,
tidak adil karena para pihak khususnya
pekerja/buruh tidak dapat menikmati hasil
jerih payahnya, dan tidak murah karena
dalam perkara PHK memakan biaya yang
mahal dengan tidak adanya suatu
kepastian.
DAFTAR PUSTAKA.
Damanik, Sehat, Hukum Acara
Perburuhan, DSS Publishing,
2005.
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian
Kerja, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1995.
Djumialdji, Perjanjian Kerja, Bina
Aksara, Jakarta, 1977.
Husni, Lalu, Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial Melalui
Pengadilan & Di Luar
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)
JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 161
Pengadilan, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004.
Saleh, Mohammad dan Lilik Mulyadi,
Serawut Wajah Pengadilan
Hubungan Industrial
Indonesia, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2012.
Soepomo, Imam, Pengantar Hukum
Perburuhan, Djambatan,
Jakarta, 1992.
UU No. 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan.
UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (PPHI).