+ All Categories
Home > Documents > MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN …

MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN …

Date post: 27-Oct-2021
Category:
Upload: others
View: 9 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
13
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print) JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 149 MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DI INDONESIA Jamillah Fakultas Hukum Universitas Medan Area [email protected] ABSTRACT. One labour disputes according to Law 2 of 2004 on industrial relations dispute settlement in lieu of Law 22 of 1957 on the settlement of labor disputes is the termination of employment. birth of Law 2 of 2004 was originally expected to bring fresh air to law enforcement, because of the existence of this law passing guarantee the existence of a rule of law, especially in the resolution of labor disputes through this legislation in theory enough within 110 days of the trial has been completed to the industrial relations to the supreme Court. but in practice is not in accordance with the theory, and the fact that this labor dispute could take 5 to 6 years, this means that there is no difference with the old rules. Keywords : Dispute Resolution, termination of employment. A. PENDAHULUAN PENDAHULUAN Latar Belakang Masyarakat Indonesia akhirnya merasa senang dengan kehadiran Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), karena dalam penyelesaian perselisihan perburuhan yang selama ini sebagaimana yang diatur di dalam UU No. 22 Tahun 1957 dirasakan belum memberi manfaat, kepastian dan keadilan, bayangkan saja menurut UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, bagi masyarakat pada umumnya dan bagi tenaga kerja khususnya yang akan mencari keadilan dalam pernyelesaian sengketa ketenagakerjaan dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) memakan waktu yang lama dan berbelit- belit. Dikatakan waktu yang lama adalah jika seorang buruh mengajukan perkara melalui Departemen Tenaga Kerja (dulu, sekarang Dinas Tenaga Kerja), kemudian ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau yang dikenal dengan P4D, lalu banding ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau yang dikenal dengan P4P bisa memakan waktu sampai bertahun-tahun karena undang-undang ini tidak memberi batas waktu konkrit. Sedangkan dikatakan berbelit-belit adalah terhadap perkara perburuhan ini masih dapat diajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan sampai ke Mahkamah Agung (MA). Dengan demikian undang-undang ini bersifat lama dan memakan biaya yang mahal. UU No. 2 Tahun 2004 sangat berbeda dengan undang-undang sebelumnya, selain dari sifat undang- undang ini adalah cepat (tidak lama), tepat (tidak berbelit-belit), adil dan murah, undang-undang ini juga banyak memberikan manfaat yang besar bagi tenaga kerja itu sendiri. Namun yang sangat disayangkan ternyata dalam praktiknya undang-undang ini belum
Transcript
Page 1: MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 149

MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

(PHK) DI INDONESIA

Jamillah

Fakultas Hukum Universitas Medan Area

[email protected]

ABSTRACT.

One labour disputes according to Law 2 of 2004 on industrial relations dispute

settlement in lieu of Law 22 of 1957 on the settlement of labor disputes is the termination

of employment. birth of Law 2 of 2004 was originally expected to bring fresh air to law

enforcement, because of the existence of this law passing guarantee the existence of a rule

of law, especially in the resolution of labor disputes through this legislation in theory

enough within 110 days of the trial has been completed to the industrial relations to the

supreme Court. but in practice is not in accordance with the theory, and the fact that this

labor dispute could take 5 to 6 years, this means that there is no difference with the old

rules.

Keywords : Dispute Resolution, termination of employment.

A. PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masyarakat Indonesia akhirnya

merasa senang dengan kehadiran Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial (PPHI), karena dalam

penyelesaian perselisihan perburuhan

yang selama ini sebagaimana yang diatur

di dalam UU No. 22 Tahun 1957

dirasakan belum memberi manfaat,

kepastian dan keadilan, bayangkan saja

menurut UU No. 22 Tahun 1957 tentang

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan,

bagi masyarakat pada umumnya dan bagi

tenaga kerja khususnya yang akan

mencari keadilan dalam pernyelesaian

sengketa ketenagakerjaan dalam hal

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

memakan waktu yang lama dan berbelit-

belit. Dikatakan waktu yang lama adalah

jika seorang buruh mengajukan perkara

melalui Departemen Tenaga Kerja (dulu,

sekarang Dinas Tenaga Kerja), kemudian

ke Panitia Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan Daerah atau yang dikenal

dengan P4D, lalu banding ke Panitia

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

Pusat atau yang dikenal dengan P4P bisa

memakan waktu sampai bertahun-tahun

karena undang-undang ini tidak memberi

batas waktu konkrit. Sedangkan dikatakan

berbelit-belit adalah terhadap perkara

perburuhan ini masih dapat diajukan

gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara

(PTUN) dan sampai ke Mahkamah Agung

(MA). Dengan demikian undang-undang

ini bersifat lama dan memakan biaya yang

mahal.

UU No. 2 Tahun 2004 sangat

berbeda dengan undang-undang

sebelumnya, selain dari sifat undang-

undang ini adalah cepat (tidak lama), tepat

(tidak berbelit-belit), adil dan murah,

undang-undang ini juga banyak

memberikan manfaat yang besar bagi

tenaga kerja itu sendiri. Namun yang

sangat disayangkan ternyata dalam

praktiknya undang-undang ini belum

Page 2: MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 150

menciptakan atau mewujudkan kepastian

hukum baik bagi tenaga kerja/serikat

pekerja maupun bagi pengusaha/majikan.

Sengketa ketenagakerjaan khususnya

tentang Pemutusan Hubungan Kerja

(PHK) masih memakan waktu yang lama,

bahkan banyak dijumpai dalam

penyelesaian perkara PHK ini bisa

mencapai waktu 4 (empat) sampai 5

(lima) tahun. Sungguh tragis memang,

sehingga boleh dikatakan undang-undang

ini dalam praktiknya setali tiga uang

dengan peraturan yang lama, dan ini

merupakan suatu kelemahan.

TUJUAN PENULISAN

Penulisan makalah ini bertujuan

untuk mengetahui salah satu model

penyelesaian sengketa ketenagakerjaan

menurut UU No. 2 Tahun 2004 yaitu

model penyelesaian Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK) di Indonesia.

URAIAN TEORETIS

a. Kompetensi Pengadilan Hubungan

Industri Menurut UU No. 2 Tahun

2004.

Pengadilan Hubungan Industrial

merupakan Pengadilan Khusus yang

eksistensinya berada di Peradilan

Umum (Pengadilan Negeri), sebagai

Pengadilan Khusus berdasarkan Pasal

56 UU No. 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industri (PPHI), pengadilan ini

menangani perkara yang berkaitan

dengan :

1. Perselisihan Hak, yaitu perselisihan

yang timbul karena tidak

dipenuhinya hak, akibat adanya

perbedaan pelaksanaan atau

penafsiran terhadap ketentuan

peraturan perundang-undangan,

perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama.

2. Perselisihan Kepentingan, yaitu

perselisihan yang timbul dalam

hubungan kerja karena tidak adanya

kesesuaian pendapat mengenai

pembuatan, dan atau perubahan

syarat-syarat kerja yang ditetapkan

dalam perjanjian kerja, atau

peraturan perusahaan, atau

perjanjian kerja bersama.

3. Perselisihan Pemutusan Hubungan

Kerja, yaitu perselisihan yang

timbul karena tidak adanya

kesesuaian pendapat mengenai

pengakhiran hubungan kerja yang

dilakukan oleh salah satu pihak, bisa

berasal dari pekerja (tenaga kerja)

atau berasal dari pengusaha

(majikan.

4. Perselisihan antar Serikat

Pekerja/Serikat Buruh, yaitu

perselisihan antara serikat

pekerja/serikat buruh dengan serikat

pekerja/serikat buruh lain hanya

dalam satu perusahaan, karena tidak

adanya persesuaian paham

mengenai keanggotaan, pelaksana

hak, dan kewajiban

keserikatpekerjaan.

Dalam penyelesaian perkara yang

berkaitan dengan Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK), berdasarkan Pasal 136

ayat (1) menyebutkan bahwa :

“Penyelesaian perselisihan hubungan

industrial wajib dilaksanakan oleh

pengusaha dan pekerja/buruh atau

serikat pekerja/serikat buruh secara

musyawarah untuk mufakat”, jadi

sebelum gugatan diajukan ke

Pengadilan Hubungan Industrial

terlebih dahulu dilakukan sebelumnya

penyelesaian oleh kedua belah pihak

antara Pekerja dengan Pengusaha, dan

penyelesaian ini disebut dengan

penyelesaian secara Bipartit.

Page 3: MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 151

Penyelesaian secara Bipartit

dimaksudkan untuk mencari jalan

keluar atas perselisihan perselisihan

hubungan industrial dengan cara

musyawarah mufakat secara internal

yaitu penyelesaian dilakukan

dilingkungan perusahaan antara pekerja

dengan majikan tanpa adanya ikut

campur pihak atau lembaga lain,

penyelesaian melalui lembaga Bipartit

ini sangat sesuai dengan nilai-nilai

philosofis Pancasila yaitu

mengutamakan musyawarah untuk

mufakat terlebih dahulu, sedangkan

penyelesaian melalui pengadilan

merupakan jalan terakhir. Sebenarnya

cara penyelesaian melalui lembaga

Bipartit ini sudah ada sebelum

berlakunya UU No. 4 Tahun 2004,

ketentuan UU No. 22 Tahun 1957

tentang Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan juga mensyaratkan bahwa

sebelum perselisihan antara pekerja

dengan majikan diajukan ke

Departemen Tenaga Kerja (sekarang

Dinas Tenaga Kerja) terlebih dahulu

dilakukan musyawarah mufakat, hanya

saja musyawarah untuk mufakat

menurut ketentuan lama tidak bersifat

wajib. Lainnya dengan ketentuan UU

No. 4 Tahun 2004 penyelesaian

Bipartit bersifat wajib, bukti wajib

tersebut dapat dilihat dari bunyi Pasal 4

ayat 2 menyebutkan : “Apabila bukti-

bukti sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) tidak dilampirkan, maka

instansi yang bertanggung jawab di

bidang ketenagakerjaan

mengembalikan berkas untuk

dilengkapi paling lambat dalam 7

(tujuh) hari kerja terhitung sejak

tanggal diterimanya pengembalian

berkas”.

Jika dicermati secara seksama

ketentuan tentang penyelesaian secara

Bipartit menurut UU No. 2 Tahun 2004

ini terdapat pembatasan waktu secara

limitatif yaitu jika terjadi PHK,

kemudian pihak pekerja dan majikan

langsung mengadukan perkaranya ke

Dinas Tenaga Kerja, maka dalam

waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh)

hari kerja para pihak yang bersengketa

(pekerja dan majikan) sudah harus

menyampaikan kepada Dinas Tenaga

Kerja hasil penyelesaian yang mereka

lakukan, barulah penyelesaian secara

Bipartit ini ditindak lanjuti oleh Dinas

Tenaga Kerja, namun alangkah baiknya

para pihak menyelesaikan terlebih

dahulu secara Bipartit sebelum

masalahnya diajukan ke Dinas Tenaga

Kerja.

Setelah bukti penyelesaian Bipartit

diterima oleh Dinas Tenaga Kerja,

maka Dinas Tenaga Kerja memberikan

penawaran kepada para pihak, apakah

sengketa mereka diselesaikan melalui

konsiliator (pihak yang terdaftar di

Dinas Tenaga Kerja yang diangkat oleh

Menteri Tenaga Kerja) atau mediator

(pegawai Dinas Tenaga Kerja yang

ditunjuk), dan biasanya dalam sengketa

PHK para pihak selalu menunjuk

Mediator sebagai pihak untuk

penyelesaian Biartit terlebih dahulu.

Ketika para pihak memilih Mediator

atau Konsiliator sebagai pihak yang

menyelesaikan sengketa PHK, maka

pada waktu itu dengan serta merta

Mediator atau Konsiliator segera

melaksanakan atau menjalankan

penyelesaian dengan perundingan, dan

perundingan ini termasuk dan

merupakan perundingan Tripartit.

Perundingan Tripartit merupakan

perundingan yang melibatkan pihak

Page 4: MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 152

ketiga yang netral, dan upaya

penyelesaian secara Tripartit ini baru

dapat dilakukan apabila usaha Bipartit

telah dilakukan. Mediator selambat-

lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh)

hari kerja sudah harus dapat

menyelesaikan dengan produk kerjanya

berupa Anjuran. Jadi ada sedikit

perbedaan antara penyelesaian

sengketa PHK antara Bipartit dengan

Mediasi (mediator), yaitu masuknya

unsur luar selain dari pihak yang

berselisih. Dalam Bipartit perundingan

dilakukan terbatas pada pihak-pihak

yang berselisih sementara dalam

Mediasi adanya pihak luar, yaitu

mediator yang masuk dan mencona

menyelesaikan perselisihan tersebut.

Anjuran yang diterbitkan oleh

mediator tidak disepakati oleh salah

satu pihak (antara perkerja dan

majikan), maka salah satu pihak dapat

mengajukan gugatan ke Pengadilan

Hubungan Industrial (PHI), dan dalam

jangka waktu 50 (lima puluh) hari kerja

terhitung sejak hari sidang pertama PHI

sudah harus mengeluarkan putusannya.

Apabila salah satu pihak tidak

menerima putusan PHI, maka pihak

yang tidak menerima dapat

mengajukan upaya Kasasi ke

Mahkamah Agung, disinilah makna

PHI itu merupakan pengadilan khusus,

karena dalam penyelesaian sengketa

PHI tidak dikenal adanya upaya

Banding ke Pengadilan Tinggi.

b. Teori Kepastian Hukum.

Salah satu tujuan hukum adalah

menciptakan atau mewujudkan adanya

suatu kepastian, lahirnya UU No. 2

Tahun 2004 tidak terlepas dari tujuan

hukum itu sendiri yaitu menjamin

adanya suatu kepastian, apalagi

peraturan yang selama ini yaitu UU

No. 22 Tahun 1957 tentang

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan,

belum dirasakan adanya suatu

kepastian, bayangkan saja penyelesaian

sengketa perburuhan menurut UU No.

22 Tahun 1957 harus melalui 3 (tiga)

tahap yaitu Pegawai Perantara

Departemen Tenaga Kerja, P4D dan

P4P, sedangkan di lembaga P4D dan

P4P merupakan lembaga yang terdiri

dari wakil-wakil pengusaha dan pekerja

ditambah lagi dari wakil pemerintah,

dengan adanya wakil pemerintah ini,

maka konsekwensi hukum atas

putusannya dikategorikan sebagai

putusan aparatur negara. Dengan

demikian berhubung UU No. 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara mengatur setiap putusan

aparatur negara yang bersifat final

dapat diselesaikan melalui Peradilan

Tata Usaha Negara (PTUN), maka

dengan sendirinya putusan P4D atau

P4P masih dapat diajukan perkaranya

ke PTUN, sedangkan putusan PTUN

masih bisa banding ke PTTUN dan

kasasi ke Mahkamah Agung, kondisi

ini jelas memakan waktu yang cukup

lama. Kedua, terdapat kewenangan

Menteri Tenaga Kerja untuk mem

“veto” putusan yang sudah diputus oleh

P4P, dengan adanya campur tangan

pemerintah berarti keadilan

(gerechtigheid) yang didambakan

masyarakat (will of the people) identik

dengan kekuasaan, bagi negara yang

merupakan negara hukum, hal

demikian sangat bertentangan, yaitu

keadilan tidak sama dengan kekuasaan,

selain dari itu semua yang dilalui

tersebut memakan waktu yang tidak

ditentukan batasnya, jadi jelas tidak

terdapat suatu kepastian hukum.

Page 5: MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 153

Indonesia yang pernah di jajah

Belanda, sedangkan Belanda

merupakan jajahan Prancis, dan Prancis

sendiri merupakan negara yang pernah

di jajah oleh Bangsa Romawi, maka

sistem hukum yang berlaku di

Indonesia tidak terlepas dari sistem

hukum yang pernah berlaku di

Romawi, Prancis dan Belanda.

Keseluruhan dari negara-negara jajahan

Romawi di Eropah tersebut menganut

Sistem Hukum Eropa Kontinental, dan

sistem hukum eropa kontinental ini

banyak dianut dan dikembangkan di

negara-negara eropa. Sistem hukum

eropa kontinental biasa disebut dengan

istilah “Civil Law” atau yang disebut

juga sebagai “Hukum Romawi”.

Sistem hukum ini disebut sebagai

hukum romawi karena sistem hukum

eropa kontinental memang bersumber

dari kodifikasi hukum yang digunakan

pada masa kekaisaran romawi tepatnya

pada masa pemerintahan Kaisar

Yustinianus yang memerintah romawi

pada sekitar abad ke-5 antara 527

sampai dengan 565 M.

Kodifikasi hukum tersebut

merupakan kumpulan berbagai kaidah

atau peraturan hukum yang telah ada

sebelumnya yang dikenal dengan

sebutan “Corpus Juris Civilis” atau

peraturan hukum yang terkodifikasi.

Dalam sistem hukum eropa

kontinental, hukum memliki kekuasaan

yang mengikat karena hukum yang

terdiri dari kaidah atau peraturan-

peraturan tersebut telah disusun secara

sistematis dan dikodifikasi

(dibukukan).

Hal yang mendasar dalam sistem

hukum eropa kontinental adalah

kepastian hukum merupakan tujuan

hukum, dimana tujuan hukum tersebut

hanya dapat diwujudkan apabila segala

interaksi dan perilaku manusia dalam

masyarakat diatur dengan peraturan

yang tertulis. Dalam sistem hukum

eropa kontinental dikenal adagium

yang berbunyi bahwa tidak ada hukum

selain undang-undang atau dengan kata

lain bahwa hukum merupakan undang-

undang itu sendiri.

Dalam sistem hukum eropa

kontinental tidak dikenal adanya

yurisprudensi yang menjadi ciri sistem

hukum Anglo Saxon atau Common

Law. Putusan hakim hanya berlaku dan

mengikat pihak-pihak yang

bersengketa saja atau pada satu kasus

tertentu dan tidak dapat mengikat

umum atau dijadikan sebagai dasar

untuk memutus perkara lainnya yang

serupa. Dalam hal ini hakim hanya

berperan sebagai pembuat keputusan

sesuai dengan kewenangan yang

dimiliki dan penafsirannya terhadap

peraturan-peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Jadi keberadaan UU No.2 Tahun

2004 ini, jelas merupakan peraturan

yang memberikan suatu kepastian bagi

pencari keadilan, teruma bagi pekerja

dan pengusaha, karena dengan

keberadaan undang-undang ini tidak

ada lagi ke khawatiran yang selama ini

dirasakan bahwa penyelesaian sengketa

PHK tidak memiliki batas waktu yang

jelas, seperti bak kata slogan yang

menyebutkan penyelesaian sengketa

PHK bagaikan “penantian yang tak

berujung”, dengan adanya suatu

kepastian hukum akhirnya keberadaan

undang-undang ini dapat memberikan

kemanfaatan bagi pemerintah,

masyarakat dan individu, persoalannya

sekarang, apakah di dalam praktiknya

UU No. 2 Tahun 2004 ini benar-benar

Page 6: MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 154

telah memberikan suatu kepastian

hukum bagi pencari keadilan.

PEMBAHASAN

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

bisa berasal dari pengusaha dan bisa juga

berasal dari pekerja itu sendiri, artinya

PHK dapat dilakukan oleh

pengusaha/majikan dan dapat juga

dilakukan oleh tenaga kerja/buruh itu

sendiri, namun yang selalu terjadi adalah

PHK muncul berasal dari

majikan/pengusaha, dan bila hal ini

terjadi, pertanyaan yang muncul adalah

apa dan bagaimana model

penyelesaiannya.

Sekurang-kurangnya di dalam

praktik penyelesaian sengketa PHK

terdapat 5 (lima) lembaga yang harus

dilalui oleh pencari keadilan, yaitu :

1. Lembaga Bipartit (penyelesaian dua

belah pihak).

2. Lembaga Tripartit (penyelesaian oleh

pihak ketiga).

3. Lembaga PHI (penyelesaian melalui

gugatan).

4. Lembaga Kasasi (penyelesaian melalui

Mahkamah Agung), dan

5. Lembaga Peninjauan Kembali (Melalui

Mahkamah Agung atas putusan

Kasasi).

Dari kelima lembaga ini, UU No. 2

Tahun 2004 menentukan bahwa hanya

tiga lembaga yang memiliki batas waktu

penyelesaian sengketa, yaitu :

1. Lembaga tripartit, menurut Pasal 15,

menyebutkan bahwa “Mediator

menyelesaikan tugasnya dalam waktu

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)

hari kerja terhitung sejak menerima

pelimpahan penyelesaian perselisihan”

2. Lembaga Pengadilan Hubungan

Industrial (PHI), menurut Pasal 103,

menyebutkan bahwa “Majelis Hakim

wajib memberikan putusan

penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial dalam waktu selambat-

lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja

terhitung sejak sidang pertama.

3. Lembaga Kasasi, menurut Pasal 115,

menyebutkan bahwa “Perselisihan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

pada Mahkamah Agung selambat-

lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja

terhitung sejak tanggal penerimaan

permohonan kasasi”.

Bila dilihat dari batas waktu

penyelesaian PHK dari ketiga lembaga di

atas, maka dalam tenggang waktu 110 hari

sengketa PHK telah selesai, sungguh

fantastik, karena selama ini menurut

ketentuan lama, persoalan PHK

kadangkala mencapai waktu tahunan,

yaitu sampai 5 atau 6 tahun. Benarkah ?

Berbicara waktu penyelesaian

menurut teori tentu tidak semudah yang

terjadi dimasyarakat (praktik). Karena

ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 inipun

bukanlah peraturan yang maha sempurna,

terbukti di dalam ketentuan undang-

undang ini tidak ada mengatur tentang :

1. Batas waktu penyelesaian bipartit

sebelum perkaranya dilimpahkan ke

Dinas Tenaga Kerja.

2. Batas waktu pengiriman berkas dari

PHI ke Mahkamah Agung dalam

proses kasasi.

3. Batas waktu putusan Peninjauan

Kembali di Mahkamah Agung.

4. Sanksi bagi pihak yang melanggar

batas waktu penyelesaian sengketa

PHK, misalnya sanksi bagi Mediator,

Hakim PHI, Hakim Mahkamah Agung

atau lembaga yang terlambat

mengirimkan berkas Kasasi.

Sehingga dengan tidak adanya

pengaturan di dalam undang-undang PPHI

tersebut, maka penyelesaian sengketa

PHK ini akhirnya memakan waktu yang

Page 7: MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 155

cukup lama, bahkan dalam praktiknya bisa

mencapai 5 sampai 6 tahun, apa bedanya

dengan undang-undang lama ?

a. Lembaga Bipartit

Lembaga bipartit atau yang lazim

disebut dengan perundingan secara

bipartit adalah perundingan antara

pekerja/buruh atau serikat

pekerja/buruh dengan pengusaha untuk

menyelesaikan perselisihan hubungan

industrial, dan lembaga ini identik

dengan penyelesaian sengketa di luar

pengadilan (non litigasi). Perundingan

bipartit ini wajib dilaksanakan oleh

pihak pekerja dengan pengusaha, jika

perundingan bipartit ini tidak

dilaksanakan, maka Dinas tenaga kerja

sebagai institusi yang berwenang

menyelesaikan kasus PHK tidak akan

bersedia atau menolak sengketa PHK

yang di ajukan kepadanya sebagaimana

yang disebutkan dalam Pasal 136 ayat

(1).

Melalui lembaga bipartit ini,

terdapat 2 (dua) kemungkinan terjadi,

yaitu :

1. Dalam hal perundingan bipartit

gagal, maka salah satu atau kedua

belah pihak mencatat

penyelesaiannya untuk dijadikan

lampiran bagi instansi yang

bertanggung jawab dalam

penyelesaian ketenagakerjaan,

dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja

setelah para pihak mengajukan

perkaranya.

2. Dalam hal perundingan berhasil

dengan kesepakatan, maka kedua

belah pihak membuat Surat

Perjanjian Bersama (SPB) untuk

didaftarkan ke PHI, dengan tujuan

seandainya suatu saat salah satu

pihak ingkar janji, maka pihak

lainnya dapat melakukan eksekusi.

b. Lembaga Tripartit

Kewenangan lembaga tripartit

disebabkan kegagalan dari perundingan

bipartit, lembaga tripartit adalah tempat

perundingan yang melibatkan pihak

ketiga yang netral, sedangkan pihak

ketiga yang netral ini adalah Mediator

dan Konsiliator yang kedudukannya

berada di Dinas Tenaga Kerja,

sehingga kadangkala penyebutan

lembaga tripartit berarti keterlibatan

Dinas Tenaga Kerja sebagai lembaga

tripartit yang menyelesaikan sengketa

PHK. Mediator adalah pegawai instansi

pemerintah yang bertanggung jawab di

bidang ketenagakerjaan, sedangkan

Konsiliator adalah seseorang yang

memenuhi persyaratan sebagai

konsiliator yang ditetapkan oleh

Menteri Tenaga Kerja.

Pada umumnya para pihak dalam

melakukan perundingan ini selalu

menggunakan pihak Mediator sebagai

pihak ketiga, adapun mekanisme PPHI

dalam hal PHK melalui mediator ini

dapat di uraikan sebagai berikut :

1. Penyelesaian melalui Mediator

dilaksanakan paling lama 30 hari

kerja terhitung sejak menerima

pelimpahan penyelesaian

perselisihan.

2. Mediator dapat memanggil saksi

atau saksi ahli untuk hadir pada

sidang mediasi guna diminta dan

didengar keterangannya.

3. Bilamana ternyata dalam sidang

mediasi tercapai kesepakatan, maka

dibuat perjanjian bersama (SPB)

yang ditanda tangani oleh para pihak

dengan disaksikan oleh Mediator

untuk kemudian didaftarkan ke PHI

pada Pengadilan Negeri di wilayah

hukum pihak yang berselisih.

Page 8: MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 156

4. Jika ternyata dalam mediasi tidak

tercapai kata sepakat, maka

selambat-lambatnya 10 hari setelah

sidang mediasi, Mediator harus

sudah membuat anjuran.

5. Anjuran Mediator ini dikirmkan

kepada para pihak untuk ditanggapi

secara tertulis, dan jika kedua belah

pihak setuju dengan anjuran

Mediator tersebut, maka dalam

tenggang waktu selambat-lambatnya

3 hari Mediator sudah dapat

membuat Surat Perjanjian Bersama

(SPB) untuk didaftarkan ke PHI

setempat.

6. Namun jika anjuran dari Mediator

tidak disetujui oleh para pihak,

maka pihak-pihak yang merasa

kurang puas dapat mengajukan

gugatan perkara ke PHI.

c. Lembaga Pengadilan Hubungan

Industrial (PHI).

PHI adalah pengadilan khusus

yang menangani perkara PHK,

kekhususan PHI ini memiliki

karakteristik yang berbeda dengan

Peeradilan lainnya yaitu unsur Majelis

Hakimnya yang terdiri dari 1 Hakim

karier dan 2 Hakim Ad.hoc, dan

kedudukannya berada pada Pengadilan

Negeri (peradilan umum).

Bagi pihak yang gagal

memperoleh kesepakatan setelah

melalui lembaga bipartit dan tripartit,

maka segala bukti-bukti yang sudah

dibuat melalui kedua lembaga ini harus

dilampirkan ketika gugatan diajukan,

bukti-bukti mana diluar dari bukti-bukti

lainnya yang akan diajukan oleh para

pihak, misalnya bukti gaji dan

sebagainya. Dalam Pasal 57

disebutkan, bahwa hukum acara yang

berlaku pada PHI ini adalah hukum

acara perdata yang berlaku pada

pengadilan dalam lingkungan peradilan

umum, kecuali yang diatur secara

khusus dalam undang-undang ini.

Adanya kata “kecuali diatur secara

khusus, maka berlaku hukum acara

perdata”, mengandung arti dalam

penyelesaian sengketa PHK berlakulah

hukum acara perdata (umum), dan jika

hukum acara perdata bertentangan

dengan UU No. 2 Tahun 2004

(khusus), maka hukum acara perdata

menjadi tidak berlaku. Misalnya di

dalam hukum acara perdata Pasal 118

HIR/142 RBG menyebutkan

“Pengadilan Negeri berwenang

memeriksa gugatan yang daerah

hukumnya meliputi tempat tinggal

Tergugat”, namun di dalam Pasal 81

UU No. 2 Tahun 2004 ,meyebutkan

“Gugatan perselisihan hubungan

industrial diajukan kepada PHI pada

Pengadilan Negeri yang daerah

hukumnya meliputi tempat tinggal

pekerja/buruh”, jika pekerja/buruh

yang menggugat (sebagai Penggugat),

berarti menurut Pasal 81 ini, gugatan

diajukan di pengadilan tempat tinggal

Penggugat bukan Tergugat

sebagaimana Pasal 118/142 HIR/RBG,

jadi dengan demikian dalam hal

gugatan tidak berlaku hukum acara

HIR/RBG (umum), akan tetapi yang

diberlakukan adalam UU No. 2 Tahun

2004, hal inilah yang dimaksud dengan

arti khusus.

Berperkara di PHI tidak dikenakan

biaya gugatan (Pasal 58), kecuali di

dalam gugatan tercantum tuntutan

sebesar Rp. 150.000.000,- atau lebih,

sehingga Pasal 58 ini merupakan

prinsip murah dalam penanganan

sengketa ketenagakerjaan, sebenarnya

ketentuan ini bukan merupakan prinsip,

bayangkan saja, jika tuntutan yang

Page 9: MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 157

terdapat di dalam gugatan mencapai

Rp. 150.000.000,- atau lebih, maka si

Penggugat (buruh/pekerja) akan

dikenakan biaya sesuai dengan

ketentuan, demikian juga dengan

eksekusinya, padahal dalam berperkara

belum tentu gugatan akan dikabulkan,

akan tetapi di Penggugat sudah

dikenakan biaya, sehingga kebanyakan

pekerja/buruh bila si pekerja masih

dikenakan lagi biaya sementara mereka

sudah di PHK, maka akan

mengurungkan niatnya untuk tidak

berperkara, dengan demikian

pekerja/buruh sulit untuk mencapai

keadilan melalui gugatan ke PHI,

bukankah hal ini bertentangan dengan

prinsip murah sebagaimana yang

berlaku di dalam setiap peraturan yang

bersifat normatif ? dan sebaiknya jika

prinsip murah ingin diterapkan, maka

semua gugatan tanpa melihat jumlah

tuntutannya diberlakukan tanpa

dikenakan biaya gugatan.

Adapun mekanisme dan tahap-

tahap berperkara di PHI adalah sebagai

berikut :

1. Gugatan diajukan dan di daftarkan

melalui kepaniteraan bagian

hubungan industrial pada

Pengadilan Negeri ditempat tinggal

pekerja/buruh, bersamaan dengan

gugatan dilampirkan bukti-bukti

penyelesaian bipartit dan anjuran

dari lembaga tripartit, dan bila

menggunakan jasa kuasa, maka

dilampirkan juga identitas sebagai

kuasa bersamaan dengan surat

kuasanya.

2. Setelah gugatan di daftar, hakim

terlebih dahulu melakukan

pemeriksaan prapersidangan yaitu

pemeriksaan yang dilakukan

sebelum pemeriksaan terhadap

pokok perkara. Pemeriksaan

prapersidangan ini sangat penting

karena jika dalam pemeriksaaan

persidangan terdapat kekurangan,

maka hakim dapat meminta agar

Penggugat yang dibantu oleh

Panitera atau Panitera Pengganti

untuk menyempurnakan

gugatannya, jadi dengan adanya

pemeriksaan prapersidangan ini

tidak ada lagi celah kekurang

lengkapan gugatan, misalnya

dokumen-dokumen yang diperlukan

sebagai bukti-bukti.

3. Setelah gugatan terdaftar, dalam

jangka waktu 7 (tujuh) hari Ketua

Pengadilan Negeri sudah harus

menetapkan Majelis Hakim yang

terdiri dari Ketua dan hakim anggota

ad-hoc, setelah dilakukan penetapan

barulah sidang pertama dimulai

setelah dilakukan pemanggilan dan

sidang dihadiri oleh pihak-pihak.

4. Setelah kedua belah pihak hadir,

maka sebelum sidang dimulai dan

dibuka oleh hakim, maka Majelis

Hakim terlebih dahulu

menganjurkan agar kedua belah

pihak melakukan perdamaian.

Apabila para pihak tetap pada

pendiriannya untuk menyerahkan

penyelesaian sengketa melalui

Majelis Hakim, maka pemeriksaan

perkara dapat dilanjutkan.

5. Setelah gugatan dianggap tidak ada

kekurangan yang prinsip, maka

sidang dimulai dengan pembacaan

gugatan oleh Penggugat, kemudian

jawaban diberikan kesempatan bagi

Tergugat, demikian seterusnya

sebagaimana yang berlaku menurut

hukum acara perdata umum, hanya

perbedaannya dalam sengketa

ketenagakerjaan memiliki jangka

Page 10: MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 158

waktu putusan sampai dengan 50

(lima puluh) hari sejak gugatan

didaftarkan.

6. Bagi pihak-pihak yang merasa tidak

menerima putusan PHI ini, upaya

hukum yang dilakukan bukan

Banding ke Pengadilan Tinggi, akan

tetapi langsung Kasasi ke

Mahkamah Agung, disinilah letak

kekhususan dalam penyelesaian

sengketa PHK dalam perkara

ketenagakerjaan.

d. Lembaga Kasasi.

Pihak-Pihak yang merasa

dirugikan atas putusan PHI, tentu

masih diberikan kesempatan

mengajukan upaya hukum Kasasi guna

mencapai dan memperoleh nilai

keadilan, dan ada 3 alasan mengapa

para pihak mengajukan Kasasi, alasan

mana disebabkan karena Pengadilan

atau Hakim dianggap :

1. Tidak berwenang atau melampaui

batas wewenangnya, misalnya

putusan yang dibuat hakim melebihi

yang dituntut Penggugat.

2. Salah menerapkan atau melanggar

hukum yang berlaku, misalnya

pertimbangan dalam putusan hakim

bertentangan dengan Undang-

Undang atau Yurisprudensi.

3. Lalai memenuhi syarat syarat-syarat

yang diwajibkan oleh peraturan

perundang-undangan yang

mengancam kelalaian itu dengan

batalnya putusan yang besangkutan,

misalnya syarat menurut undang-

undang Hakim tidak dibenarkan

menangani kasus dimana hakim

memiliki hubungan kekeluargaan

dengan salah satu pihak.

Pernyataan Permohonan Kasasi

harus sudah dilakukan bagi pihak yang

tidak sependapat dengan putusan PHI

dalam tenggang waktu 14 (empat

belas) hari sejak putusan dibacakan

atau diterima oleh para pihak, dan yang

tidak kalah pentingnya adalah

permohonan Kasasi harus diiringi

dengan adanya Memori Kasasi, artinya

Pemohon Kasasi wajib mengajukan

Memori (alasan) Kasasi dalam

tenggang waktu 14 (empat belas) hari

sejak diajukannya permohonan Kasasi,

demikian juga bagi pihak lain

diwajibkan pula membuat Kontra

Memori Kasasi sebagai jawaban dari

Memoro Kasasi.

e. Lembaga Peninjauan Kembali

Selain upaya hukum biasa dalam

perselisihan hubungan industrial adalah

Banding dan Kasasi, dikenal juga

upaya hukum luar biasa yaitu

Peninjauan Kembali (PK), Pengajuan

Permohonan Peninnjauan Kembali

adalah 180 (seratus delapan puluh) hari

dari putusan dijatuhkan atau

diberitahukan berdasarkan Surat

Pemberitahuan Isi Putusan. Istilah

Peninjauan Kembali (request civil)

tidak dikenal di dalam UU No. 2 Tahun

2004, namun mengingat PK merupakan

upaya hukum lain selain Banding dan

Kasasi, sedangkan upaya hukum itu

sendiri diakui menurut Hukum Acara

Perdata umum, maka dengan

sendirinya PK dapat dibenarkan dalam

proses penyelesaian sengketa

ketenagakerjaan. Upaya hukum

peninjauan kembali (request civil)

merupakan suatu upaya permohonan

untuk mementahkan putusan

pengadilan baik dalam tingkat

Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi

(Putusan Banding), maupun

Mahkamah Agung (Putusan Kasasi)

yang telah berkekuatan hukum tetap

(inracht van gewijsde) oleh Mahkamah

Page 11: MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 159

Agung. Hal ini diatur dalam Pasal 28

Ayat (1) huruf c undang-undang

tentang Mahkamah Agung (UU No. 14

th 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004).

Adapun yang dapat dijadikan alasan

dalam mengajukan PK adalah sebagai

berikut :

1. Putusan didasarkan pada

penipuan atau tipu muslihat

pihak lawan.

Kebohongan atau tipu muslihat itu

baru diketahui setelah perkara

diputus. Dengan kata lain, selama

proses pemeriksaan berlangsung

mulai dari tingkat pertama,

banding, dan kasasi kebohongan

atau tipu muslihat itu tidak

diketahui dan baru diketahui setelah

adanya putusan Berkekuatan

Hukum Tetap (BHT). Dan, atau

setelah putusan BHT muncul atau

terbit putusan pidana dalam

pengadilan pidana yang

menyatakan bukti-bukti atau salah

satu bukti yang diajukan pihak

lawan adalah palsu.

2. Ditemukan surat-surat bukti

yang bersifat menentukan

Bahwa ini tidak termasuk

keterangan saksi, baik saksi fakta

maupun saksi ahli yang dituangkan

dalam bentuk tulisan. Jadi yang

dimaksud surat bukti itu bukan

bukti baru, tetapi surat bukti yang

telah ada sebelum perkara

diperiksa, akan tetapi tidak

ditemukan selama proses

pemeriksaan berlangsung. Surat

bukti tersebut baru ditemukan

setelah putusan perkara yang

bersangkutan telah Berkekuatan

Hukum Tetap (BHT).

3. Jika diputus mengenai hal yang

tidak dituntut atau Jika putusan

melebihi yang dituntut

Putusan telah mengabulkan

suatu hal sedangkan hal tersebut

sama sekali tidak diminta oleh

penggugat dalam gugatan maupun

petitum. Putusan ini dikategorikan

mengandung ultra vires. Apabila

putusan mengabulkan melebihi

dari apa yang dituntut. Ketentuan

ini melanggar prinsip ultra partium

atau ultra petita. Hakim tidak boleh

mengabulkan melebihi dari apa

yang dituntut dalam petitum

gugatan (nemo plus jurist).

4. Terdapat suatu Bagian dari

Tuntutan yang belum diputus

tanpa dipertimbangkan

sebabnya

Misalnya, tidak diputus apakah

ditolak atau dikabulkan gugatan

provisi, permintaan sita atau

permintaan putusan serta merta

tanpa mempertimbangkan sebab-

sebabnya.

5. Terdapat putusan yang saling

bertentangan

Adanya dua atau lebih putusan

merupakan syarat mutlak

(condition sine qua non) lahirnya

putusan yang saling bertentangan

antara satu dengan yang lain.

Paling tidak harus ada dua putusan.

Saling bertentangan tersebut tidak

mesti putusan perdata dengan

perdata, tetapi bisa juga antara

putusan perdata dengan pidana.

6. Terdapat suatu Kekhilafan

Hakim atau Suatu kekeliruan

yang nyata.

Putusan yang bersangkutan

mengandung kekhilafan atau

kekeliruan yang nyata. Putusan

Page 12: MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 160

yang benar dan yang semestinya

ditegakkan adalah putusan yang

mengandung pertimbangan yang

sesuai dengan ketentuan hukum

(the rule of law).

Permohonan PK diajukan kepada

Mahkamah Agung melalui Ketua

Pengadilan Tingkat Pertama, maka

dalam tenggang waktu 14 (empat

belas) hari, panitera wajib memberikan

atau mengirimkan Salinan Permohonan

PK kepada pihak lawan. Dan sejak

salinan permohonan PK diterima oleh

pihak lawan, pihak lawan memiliki

waktu paling lambat 30 (tiga puluh)

hari untuk memberikan jawaban atau

kontra Risalah PK. Sedangkan

mengenai batas waktu pengiriman

berkas PK dari Pengadilan ke

Mahkamah Agung tidak ada diatur,

bahkan putusan PK yang diterima telah

diterima oleh ahkamah Agung juga

tidak ditentukan batas waktunya,

sehingga kemungkinan besar

penyelesaian perkara PK bisa memakan

waktu bertahun-tahun, oleh karenanya

bukan suatu hal yang mustahil akhirnya

penyelesaian sengketa PHK terhadap

ketenagakerjaan ini memakan waktu 5

sampai 6 tahun, uniknya secara teori

PK tidak menghalangi eksekusi, namun

dalam praktiknya bilamana salah satu

pihak PK, maka PHI tidak mau

melaksanakan eksekusi, lalu apa

bedanya dengan peraturan yang lama ?

PENUTUP.

Model penyelesaian PHK di

Indonesia bagaikan bergantung tidak

bertali, para pihak baik dari pekerja/buruh

maupun pengusaha/majikan sangat

berharap penyelesaian PHK tidak berbelit-

belit dan tidak terlalu lama sebagaimana

yang tertuang dalam prinsip yaitu

mekanisme penyelesaian PHI bersifat

cepat, tepat, adil dan murah. Namun

dalam praktiknya penyelesaian PHK bisa

memakan waktu bertahun-tahun,

meskipun dalam teori bisa diselesaikan

dalam waktu 110 hari saja, penyebabnya

adalah tidak ada pengaturan batas waktu :

1. Pengiriman berkas dari PHI ke

Mahkamah Agung pada waktu Kasasi.

2. Pengiriman berkas dari PHI ke

Mahkamah Agung pada waktu

Peninjauan Kembali.

3. Putusan Peninjauan Kembali di

Mahkamah Agung.

4. Pemberitahuan Putusan Mahkamah

Agung dalam perkara Kasasi kepada

para pihak.

5. Pemberitahuan Putusan Mahkamah

Agung dalam perkara Peninjauan

Kembali kepada para pihak.

Oleh karenanya model penyelesaian

PHK di Indonesia bertentangan dengan

prinsip UU No. 2 Tahun 2004 yaitu tidak

cepat karena tidak ada batas waktu

terhadap hal-hal tertentu, tidak tepat

karena masih banyak melibatkan lembaga-

lembaga lain seperti Mahkamah Agung,

tidak adil karena para pihak khususnya

pekerja/buruh tidak dapat menikmati hasil

jerih payahnya, dan tidak murah karena

dalam perkara PHK memakan biaya yang

mahal dengan tidak adanya suatu

kepastian.

DAFTAR PUSTAKA.

Damanik, Sehat, Hukum Acara

Perburuhan, DSS Publishing,

2005.

Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian

Kerja, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 1995.

Djumialdji, Perjanjian Kerja, Bina

Aksara, Jakarta, 1977.

Husni, Lalu, Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial Melalui

Pengadilan & Di Luar

Page 13: MODEL PENYELESAIAN SENGKETA PEMUTUSAN HUBUNGAN …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 161

Pengadilan, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2004.

Saleh, Mohammad dan Lilik Mulyadi,

Serawut Wajah Pengadilan

Hubungan Industrial

Indonesia, PT Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2012.

Soepomo, Imam, Pengantar Hukum

Perburuhan, Djambatan,

Jakarta, 1992.

UU No. 22 Tahun 1957 tentang

Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan.

UU No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan.

UU No. 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial (PPHI).


Recommended