156
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
STRATEGI PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA BERBASIS TRADISI LISAN (PBSI-BETIS)
Sarmadan
FKIP Universitas Sembilanbelas November Kolaka
ABSTRACT
In Indonesian language and literary learning in school, oral tradition content
relatively lack of attention. In the middle of globalization, oral tradition should
become Indonesian language and literary learning. The aim of this study are (1)
describe forms of oral tradition which contain lofty values, and (2) how the
implementation strategy of oral tradition in Indonesian language and literary. This
study use qualitative method by using structural approach and culture
anthropology approach. Based on data analysis result, it can be concluded that
oral tradition pogau toba in custom ceremony katoba contain religious tenet
(Islam) and custom tenet which contain lofty values. It is need an effort to
integrate lofty values of this oral tradition in Indonesian language and literary
learning. As for strategy which can be used in Indonesian Language and Literary
Learning Based on Oral Tradition, namely:1) identification of culture elements, 2)
identification of culture problem, 3) culture exploration, 4) interpretation and
analysis of culture form and value, 5) evaluation, and 6) culture recreation.
Keywords:Strategy, Indonesian Language and Literary Learning, Oral Tradition.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Permasalahan yang dihadapi
bangsa Indonesia di era globalisasi
sekarang ini sudah mengarah pada krisis
multidimensi. Permasalahan yang
terjadi tidak saja menyentuh
lingkungan fisik semata, tetapi juga
berkaitan dengan perubahan dan
pergeseran budaya dan tata perilaku
sosial masyarakat. Perubahan pada
hakikatnya mengarah kepada dua
arah, yakni ke arah positif dan ke arah
yang negatif. Adakalanya perubahan
cenderung menimbulkan masalah.
Salah satu masalah yang sedang
dialami oleh bangsa ini adalah
masalah moral. Beberapa kalangan
beranggapan bahwa merosot dan
rendahnya moral generasi muda
disebabkan lunturnya apresiasi dan
kecintaan terhadap nilai-nilai budaya
dan kearifan lokal.
157
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
Tradisi lisan merupakan
wujud budaya dan kearifan lokalsuatu
masyarakat tertentu, di dalamnya
mengandung nilai-nilai yang luhur.
Begitupun dengan globalisasi juga
merupakan wujud budaya, yakni
budaya masyarakat modern. Akan
tetapi, perubahan pola kehidupan
masyarakat oleh karena tawaran
globalisasi semestinya tidak membuat
kita terkejut. Mengedepankan sikap
fleksibel menerima modernitas tanpa
melepas kekuatan lokal akan
membawa masyarakat ke dalam
konteks kehidupan yang lebih maju.
Pada prinsipnya, harus ada upaya
mensinergikan antara lokal dan global
agar kebutuhan masyarakat di tengah
zaman yang terus bergulir
terakomodasi.Bangsa Indonesia
sepatutnya memandang dan
menyikapi, serta memilah antara
budaya bangsa dan globalisasi secara
cerdas dengan melihat nilai-nilai
substansi setiap fenomena sosial-
budaya yang patut dicontohi dan
dilaksanakan.
Dunia pendidikan dapat
menjadi media untuk menanamkan
dan membelajarkan nilai-nilai luhur
budaya kepada peserta didik. Di pihak
lain, pendidikan kita sekarang ini
kurang memiliki kekuatan untukdapat
menyokong tujuan pendidikan
nasionaltersebut.Lebih ekstrim
dikatakan tidak berdaya memfasilitasi
kebutuhan esensi pendidikan.
Kurikulum pendidikan di Indonesia
belum mandiri untuk mengakomodasi
tuntutan zaman. Akibatnya arah
tujuan pendidikan nasional belum
dipahami dan dijabarkan sebagai
suatu usaha untuk memanusiakan
manusia Indonesia seutuhnya. Oleh
karena itu, kiranya penting
pendidikan nasional dirancang
dengan menerapkan kurikulum,
strategi, dan model pembelajaran,
serta komponen belajar lainnya yang
berbasis pada nilai-nilai tradisi lisan.
Pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia berbasis tradisi lisan
akan menjadi titik tolak dari wacana
yang dihembuskan di atas. Perlu
usaha pelestarian, pemertahanan, dan
revitalisasi kebudayaan bangsa
dengan berbagai bentuk kegiatan,
termasuk dalam konteks pendidikan.
Diharapkan implementasi kebijakan
dengan cara inovasi
158
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
pendidikanberbasis tradisi lisan akan
membawa pembelajaranbahasadan
sastra Indonesia menjadi
pembelajaran yang bermakna. Dalam
aplikasinya, basis tradisi lisanakan
disesuaikan dengan konteks budaya di
tiap-tiap daerah. Hal ini dapat
dioperasionalkan dalam Kurikulum
2013.
Penelitian terdahulu yang
relevan dengan penelitian ini pernah
dilakukan oleh La Niampe (2008)
yang dipresentasikan dalam Seminar
Internasional Lisan VI Wakatobi
dengan judul “Tuturan Tentang
Katoba dalam Tradisi Lisan Muna:
Deskripsi Nilai dan Fungsi”.
Sarmadan (2011) dalam skripsi
dengan judul “Makna Tuturan dalam
Upacara Adat Katoba pada
Masyarakat Muna.” Kemudian La
Tanampe (2012) dalam tesis dengan
judul “Katoba Kajian Nilai-Nilai
Budaya dan Pembentukan Karakter
Anak pada Suku Muna”. Masing-
masing penelitian tersebut lebih
menitikberatkan dan fokus pada
makna, fungsi dan nilai-nilai
pendidikan dalam Tuturan Katoba.
Dalam artian bahwa kajiannya belum
signifikan menyentuh aspek implikasi
dalam pendidikan pada tataran
teoretis maupun praktis. Selain itu,
dari aspek pendekatan analisis
penelitian masing-masing juga
berbeda. Dalam penelitian iniuntuk
analisis teks peneliti menggunakan
pendekatan struktural yang
dikemukakan oleh van Dijk (Sibarani,
2012).
Melalui penelitian ini,
diharapkan dapat berkontribusi untuk
memperkuat dan mengembangkan
beragam model pembelajaran, media,
sumber belajar, dan/atau perangkat
pembelajaran berbasiskan budaya dan
kearifan lokal dalam konstruksi kultur
ipteks – yang bermanfaat bagi kehidupan
masyarakat bangsa Indonesia.
Argumen yang dikemukakan
di atas memungkinkan bahwa saat ini
diperlukan penelitian dan kajian
terhadap tradisi lisan yang kelak
dapat digunakan untuk membuka
wawasan kebangsaan, mendongkrak
identitas kebudayaan, kesadaran
berbangsa, dan pendidikan karakter,
serta perekat bangsa. Oleh karena itu,
peneliti memformulasikan judul
“Strategi Pembelajaran Bahasa dan
159
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
Sastra Indonesia BerbasisTradisi
Lisan (PBSI-Betis)”.
2. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian di atas,
maka rumusan masalah penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1) Bagaimanakah hakikat, proses,
dan tuturan pogau toba dalam
pelaksanaan upacara adat katoba
pada masyarakat Muna?
2) Bagaimanakah nilai-nilai luhur
tuturanpogau toba dalam upacara
adat katoba pada masyarakat
Muna?
3) Bagaimanakah strategi
implementasi tradisi lisan
(ungkapan tradisional poga
toba)dalam pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia?
3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan hakikat, proses,
dan tuturan pogau toba dalam
pelaksanaan upacara adat katoba
pada masyarakat Muna?
2) Mendeskripsikan nilai-nilai luhur
tuturanpogau toba dalam upacara
adat katoba pada masyarakat
Muna?
3) Mendeskripsikan strategi
implementasi tradisi lisan
(ungkapan tradisional poga
toba)dalam pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia?
4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat bagi
khalayak pembaca. Secara lebih
spesifik manfaat tersebut adalah
sebagai berikut.
1) Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil
penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat sebagai berikut.
a. Merefleksikan jejak-jejak
budaya yang pernah diukir
oleh nenek moyang tentang
pola hidup dan eksistensi
mereka dalam kehidupan di
zamannya.
b. Memberikan wawasan kepada
semua pihak, khususnya
penggiat ilmu budaya atau
160
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
tradisi lisan tentang khazanah
budaya dan tradisi lisan
Nusantara.
c. Mengenalkan kepada khalayak
pembaca bahwa tradisi lisan
„upacara adat katoba‟ sarat
dengan nilai-nilai kultural
sehingga perlu dilestarikan di
tengah-tengah kehidupan
masyarakat pendukungnya.
d. Mengembangkan dan
mempublikasikan nilai-nilai
positif, kebenaran moral, nilai
edukatif, sikap sosial, kearifan
lokal kepada generasi kini dan
generasi masa depan.
2) Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini
diharapkan dapat memberi manfaat
sebagai berikut.
a. Bagi masyarakat hasil
penelitian ini dapat
menumbuhkan motivasi dan
sikap kepemilikan budaya,
serta memberikan identitas
kultural masyarakat
pendukungnya.
b. Bagi pendidikan formal hasil
penelitian ini dapat menjadi
inspirasi model pembelajaran
di sekolah. Dalam perkataan
lain, hasil penelitian ini akan
diimplementasikan dalam
pengajaran bahasa dan sastra
Indonesia berbasis tradisi
lisan, khususnya apresiasi
sastra lama.
c. Bagi masa depan budaya hasil
penelitian ini dapat menjadi
usaha revitalisasi dalam
mencegah item-item budaya
yang terancam punah di
tengah kehidupan zaman yang
terus bergulir.
d. Bagi peneliti selanjutnya hasil
penelitian ini dapat dijadikan
sebagai bahan acuan dan
referensi untuk meneliti objek-
objek yang relevan dengan
penelitian ini.
B. KAJIAN TEORI
Anthony Giddens
mengemukakan bahwa globalisasi
adalah intensifikasi hubungan sosial
world-wide, yang saling
menghubungkan lokalitas yang jauh.
Akibatnya, sesuatu yang bersifat lokal
selalu dipengaruhi apa yang terjadi di
161
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
dunia luar. Sementara Wallerstein
menyebut globalisasi sebagai “proses
integrasi tiada akhir”.Bahkan diyakini
proses ini telah bergerak bebas
menjangkau batas fisik dan imajiner
negara-bangsa. Hal ini sejalan dengan
apa yang dinyatakan oleh Benedict
Anderson tentang nationalism and
imagined community (Giddens, 1990:
64-65). Globalisasi menciptakan
suatu kondisi budaya baru yang
dianggap sebagai budaya modern
dengan berbagai standar yang telah
dikonstruksi dan dicitrakanseolah-
olah menjadi kebutuhan dasar
masyarakat.
Globalisasi beserta
dampaknya merupakan tantangan
bagi dunia pendidikan dan
menciptakan peluang baru lahirnya
inovasi-inovasi pendidikan.
Kesadaran dan pemahaman terhadap
globalisasi dengan segala aspeknya
merupakan langkah strategis untuk
memperbaiki aspek pendidikan.
Sebaliknya pendidikan juga memiliki
peran penting dalam menciptakan
pemahaman seseorang. Gardner
(2004: 252-258) menyatakan bahwa
tantangan globalisasi terhadap
pendidikan adalah ditandai adanya
ketegangan antara laju perubahan
kelembagaan pendidikan dan
organisasi sosial, ekonomi dengan
transformasi budaya yang cenderung
cepat.
Pendidikan mengalami
perubahan karena adanya pergeseran
nilai-nilai dan temuan ilmiah,
sehingga berimplikasi terhadap
pemahaman kerangka pikir manusia.
Sebagaimana dijelaskan Harvey
(1996: 250-251) bahwa salah satu
wacana dominan era globalisasi
adalah hipotesis tentang
“homogenitas budaya”. Prediksi ini
didasarkan asumsi bahwa proses
perubahan global yang didukung
perkembangan pengetahuan dan
media teknologi akan melahirkan
budaya dunia yang homogen. Pada
akhirnya, perubahan tersebut akan
mengakibatkan hilangnya
pengalaman, pemahaman, dan
kepercayaan generasi muda terhadap
keragaman budaya.
Kuatnya arus globalisasi yang
dapat melemahkan nilai-nilai dan
tradisi masyarakat lokal, mendorong
manusia untuk berkreasi dan berkarya
162
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
secara kreatif dengan berlandaskan
pada moral dan nilai yang diyakini
kebenarannya, serta keterujiannya.
Upaya menggali, menemukan,
membangun, mengembangkan, dan
mentranforisikan moral dan nilai
berasal dari keunggulan lokal karena
kearifannya menjadi suatu kebutuhan
(Maryani, 2011: 45). Nilai-nilai
budaya lokal yang unggul harus
dipandang sebagai warisan sosial.
Manakala budaya tersebut diyakini
memiliki nilai yang berharga bagi
kebanggaan dan kebesaran martabat
bangsa, maka transmisi nilai budaya
kepada generasi penerus merupakan
suatu keniscayaan. Namun pada
kenyataan saat ini budaya lokal yang
lebih sesuai dengan karakter bangsa
semakin sulit diwujudkan, sementara
itu budaya global lebih mudah
merusak kehidupan masyarakat
(Judistira, 2008: 35-37).
Freire (2002: 82)
mengemukakan bahwa konsep
pendidikan harus terbuka pada
pengenalan realitas diri, atau praktik
pendidikan harus mengimplikasikan
konsep tentang manusia dan
dunianya, agar manusia menjadi
subyek bagi dirinya sendiri. Perlu
adanya model pendidikan dan
pembelajaran yang tepat, agar siswa
tidak terasing dari akar budayanya.
Upaya mengintegrasikan nilai-nilai
budaya dalam proses pembelajaran
untuk menumbuhkan apresiasi
budaya sejak dini melalui pendidikan
telah menjadi keinginan semua pihak.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
Kusmahidaya (2010: 12) bahwa
budaya dan seni perlu dijadikan
bagian penting dalam proses
pendidikan di sekolah. Namun
demikian dalam mengelola nilai-nilai
tradisi lokal perlu daya kreatifitas
sehingga nilai-nilai tersebut dapat
diaplikasikan secara efektif.
Nilai-nilai tradisi lokal tersirat
dalam berbagai tradisi lisan. Tradisi
lisan menurut rumusan UNESCO
(Hutomo, 1991: 11) bahwa yang
dinamakan tradisi lisan itu adalah
”those traditions which have been
transmitted in time and space by the
word and act”, yang artinya kurang
lebih bahwa tradisi yang ditransmisi
dalam waktu dan ruang dengan ujaran
dan tindakan.
163
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
Dalam kerangka besar korpus
tradisi lisan terdapat filsafat, sejarah,
nilai-nilai moral, etika, religius,
hukum adat, struktur dan organisasi
sosial, sastra, dan estetika (Djuweng,
2008: 169). Tradisi lisan secara
langsung maupun tidak langsung
dapat menghubungkan generasi masa
lalu, masa sekarang, dan masa depan.
Tradisi lisan tertentu menjadi
pedoman berpikir, bersikap, dan
berperilaku dalam konteks kehidupan
kolektif masyarakat pemiliknya. Jika
hal itu dilakukan sebagai sesuatu
yang positif, maka fungsi tradisi lisan
sudah menjadi konkrit sebagai suatu
kearifan lokal.
C. METODOLOGI PENELITIAN
Ada beberapa hal yang
sepertinya menjadi spesifikasi dari
ranah kajian tradisi lisan bahwa
kajian ini merupakan kajian yang
cukup kompleks. Kekompleksan
kajian tradisi lisan dapat disebabkan
oleh nuansa tuturan verbal, simbol
tertentu, gerakan, dan makna yang
terintegrasi dalam sebuahbentuk
kegiatan sakral. Dapat dikatakan jika
penelitian tradisi lisan merupakan
perpaduan antara kajian sastra dan
kajianantropologi. Oleh sebab itu,
dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode kualitatif
dengan pendekatan strukturaldan
pendekatanantropologi
budaya.Pendekatan struktural adalah
kajian tentang teks sastra untuk
menggali makna teks dan keseluruhan
komponen yang membangun sistem
(bentuk dan isi), baik yang tersurat
maupun yang tersirat, sedangkan
pendekatan antropologi budaya
sebagaimana pada umumnya adalah
kajian tentang manusia ditinjau dari
sudut sejarah kebudayaannya
(konteks budaya masyarakat) untuk
menggali makna estetik dan filosofis
suatu kebudayaan masyarakat
tertentu.
Penelitian ini berada di
wilayah Kota Kendari di mana
peneliti menetapkan simpul-simpul
komunitas orang Muna. Adapun data
terdiri atas dua macam, yakni data
primer dan data sekunder. Data
primer dalam penelitian ini adalah
data-data uraian mengenai unsur-
unsur tradisi lisan (upacara adat
katoba). Adapunpemerolehan
164
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
datanyadilakukan melalui observasi
partisipan, dokumentasi dan
wawancara dengan para informan
(data lisan). Data sekunder adalah
berasal dari referensi buku, makalah,
jurnal, atau bahan bacaan lainnya
(data tertulis) yang relevan dengan
penelitian. Setelah seluruh data dari
bentuk tradisi lisan dikumpulkan,
tahap selanjutnya adalah tahap
analisis data. Pada tahap ini dilakukan
beberapa kegiatan yakni: (1)
pemilihan data, baik data lisan
maupun data tertulis, (2) reduksi data,
(3) interpretasi data, (4)
pendeskripsian data, dan (5)
penulisan hasil penelitian dan
pembahasan. Setelah penulisan
hasilpenelitian dan pembahasan, akan
dilanjutkan dengan uraian
implikasinya terhadap dunia
pendidikan. Implikasi tersebut akan
dirancang sedemikian rupa untuk
dimanfaatkan pada pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia dalam
kurikulum 2013.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hakikat, Proses, dan Tuturan
Pogau Toba dalam Pelaksanaan
Upacara Adat Katobapada
Masyarakat Muna
Dalam tradisi masyarakat
suku Muna, katoba merupakan bagian
dari prosesi pengislaman bagi anak-
anak (laki-laki maupun perempuan)
yang baru beranjak usia dewasa (7 –
10 tahun). Menurut riwayatnya,
tradisi ini telah dimulai sejak zaman
pemerintahan raja Muna ke-16
bernama La Ode Abdul Rahman gelar
Sangia Latugho (1671 – 1718).
Diperkirakan La Ode Abdul Rahman
menerima tradisi ini dari salah
seorang sufi keturunan Arab bernama
Syarif Muhammad yang biasa dikenal
pula dengan nama Saidhi Raba (La
Niampe, 2008: 1).
Prosesi katoba didahului
dengan tahap penyunatan atau
pengkhitanan. Menurut pandangan
adat Muna, penyunatan yang
dirangkaikan dengan katoba adalah
wajib bagi setiap anak yang
menjelang dewasa. Setelah melalui
prosesi ini barulah dinyatakan sah
memeluk agama Islam terutama
belajar membaca kitab suci Al-Qur‟an
dan belajar melaksanakan sholat
wajib, serta belajar adat terutama
165
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
diawali dengan mendengarkan nasihat
atau ajaran dari kedua orang tua (La
Niampe, 2008: 1).
Upacara katoba dapat
dilaksanakan secara perseorangan dan
dapat pula dilaksanakan secara
berkelompok (antarkeluarga dalam
satu rumpun), tergantung hasil
kesepakatan dan kemampuan
ekonomi orang tua atau rumpun
keluarga tersebut. Upacara katoba
dapat dilaksanakan semeriah
mungkin, namun dapat pula
dilaksanakan sesederhana mungkin.
Terpenting adalah hadirnya empat
unsur pokok; tokoh agama merangkap
tokoh adat (penutur katoba), anak
yang ditoba (objek tuturan), kerabat
terdekat yang memangku sang anak
pada waktu ditoba, dan keluarga
terdekat yang bertindak sebagai saksi
pelaksanaan prosesi katoba (La
Niampe, 2008: 1).
Katoba pada masyarakat suku
Muna merupakan perwujudan dari
kegiatan-kegiatan kehidupan dari para
warga masyarakat Muna yang
bersumber dari warisan kebudayaan
suku bangsa itu. Dalam
pelaksanaannya, katobamenggunakan
media bahasa lisan/tuturan yang
pokok ajarannya adalah pesan
kemanusiaan untuk memahami dan
mengimplementasikan hal-hal yang
boleh dan tidak boleh dilakukan
menurut ajaran agama (Islam) dan
ajaran adat yang diakui secara
kolektif.
Tradisi katoba adalah
persiapan mental seorang anak yang
akan memasuki usia menjelang
dewasa. Kepadanya diberikan bekal
pengetahuan bagaimana
memperlakukan orang tua, saudara-
saudaranya, serta perilaku dalam
lingkungannya sebagai manifestasi
dari pengamalan ajaran agama. Di
samping itu, juga diberikan petuah-
petuah bagaimana menjauhi hal-hal
terlarang menurut adat dan agama.
Semua itu dilakukan dalam upaya
menjadikan anak menjadi manusia
yang berguna, dan tidak menjadi
manusia yang sia-sia (Magara, 2010:
16-17).
Upacara adat katoba sebagai
bagian dari budaya masyarakat Muna
memiliki muatan ajaran agama dan
nasihat karakter atau ajaran moral.
Semua prosesi dan tuturan dari
166
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
upacara adat ini merupakan suatu
konvensi yang dipegang teguh oleh
masyarakat pendukungnya yang
diharapkan memberikan rahmat dan
petunjuk hidup bagi yang
melaksanakannya.Seperti pada
upacara-upacara adat lainnya, upacara
adat katoba masyarakat suku Muna
dalam pelaksanaannya bersifat
tradisional. Dalam hal ini, segala
bentuk properti upacara dan tata cara
pelaksanaannya masih
mempertahankan nuansa tradisional.
Tentunya, karena adanya pengaruh
Islam, jadi segala sesuatu yang ada di
dalamnya dibungkus oleh syariat
Islam. Istilah katoba pada masyarakat
suku Muna juga populer disebut
dengan istilah ”pengislaman” Dengan
demikian, upacara adat katoba pada
masyarakat Muna merupakan upacara
yang bernuansa Islam dan bersifat
tradisional yang pelaksanaannya
diyakini memiliki nilai kesakralan,
berisi pesan kemanusiaan,
mengandung nilai-nilai luhur, dan
dianggap penting sebagai landasan
seseorang dalam mengarungi bahtera
kehidupan.
Adapun isi tuturan pogau toba
dalam upacara adatkatoba adalah
sebagai berikut.
a. Kata Pembuka
Pada bagian ini, imam
menyampaikan kepada hadirin (orang
tua atau wali anak yang ditoba,
kerabat dekat dan pemangku anak)
perihal menyampaikan kata-kata tobat
kepada anak yang akan ditoba.
Adapun isi tuturannya debagai
berikut:
Imam: Datumobadamo anahi ini
(kolektif)
„Akan ditoba anak-anak ini‟
Hadirin : Umbe (serentak)
‟ya‟
Imam : atumobaemo anahi ini
(tunggal)
„Akan ditoba anak-anak ini‟
Hadirin : Umbe (serentak)
‟ya‟
Imam : Atumobakoomo ini
(kolektif)
„Akan saya toba kalian ini‟
Anak-anak : Umbe (serentak)
‟ya‟
Imam : atumobakomo ini
(tunggal)
„Akan saya toba kalian ini‟
Anak-anak : Umbe (tunggal)
‟ya‟
b. Mengucapkan Kalimat
Istigfar
Setelah mengucapkan kata-
kata pembukaan, baik yang ditujukan
167
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
kepada hadirin maupun kepada anak
yang akan ditoba, kemudian
mengucapkan kalimat istighfar yang
ditujukan kepada anak-anak yang
ditoba. Kalimat ini disampaikan
sampai tiga kali, setiap kali diulangi
atau ditirukan oleh anak-anak yang
ditoba. Adapun isi tuturannya sebagi
berikut:
Imam : astagfirullahul Adzim
Anak : astagfirullahul Adzim
Imam : astagfirullahul Adzim
Anak : astagfirullahul Adzim
Imam : astagfirullahul Adzim
Anak : astagfirullahul Adzim
c. Mengucapkan Dua Kalimat
Syahadat
Pengucapan lafal dua kalimat
syahadat oleh imam sama dengan
pengucapkan pada lafal kalimat
istighfar, yaitu diucapkan selama tiga
kali, kemudian setiap kali diulangi
atau ditirukan oleh anak-anak yang
ditoba. perbedaannya adalah kalimat
istighfar diucapkan satu kesatuan
sedangkan pengucapnya dua kalimat
syahadat tidak dilakukan dalam satu
kesatuan, akan tetapi terdapat satu
kali penghentian seperti berikut ini:
Imam : Asyhadu Allah ilaha Ilallah
Anak : Asyhadu Allah ilaha Ilallah
Imam : wa ashadu anna
Muhammadar Rasulullah
Anak : wa ashadu anna
Muhammadar Rasulullah
Imam : Asyhadu Allah ilaha Ilallah
Anak : Asyhadu Allah ilaha Ilallah
Imam : wa ashadu anna
Muhammadar Rasulullah
Anak : wa ashadu anna
Muhammadar Rasulullah
Imam : Asyhadu Allah ilaha Ilallah
Anak : Asyhadu Allah ilaha Ilallah
Imam : wa ashadu anna
Muhammadar Rasulullah
Anak : wa ashadu anna
Muhammadar Rasulullah
d. Mengucapkan Arti Kalimat
dalam Bahasa Muna
Setelah mengucapkan dua
kalimat syahadatdalam bahasa Arab
kemudian imam mengucapkan artinya
dalam bahasa Muna. pengucapan ini
tidak lagi ditirukan atau diulangi oleh
anak-anak yang ditoba sebagaimana
pengucapkan pada kalimat istighfar
dan dua kalimat syahadat seperti
tersebut di atas, akan tetapi anak-anak
menjawab dengan jawaban
”umbe”atau ”ya”. Adapun isi tuturan
adalah sebagai berikut:
Imam : Asumakusiimo, sakotu-
kotughuno mina bhe ompu
soni somba sapaeno ompu
Allah Taala
‟Aku bersaksi sebenar-
benarnya tidak ada Tuhan
yang disembah selain Allah
Taala‟
Anak : Umbe
168
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
‟ya‟
Imam : Maka asumakusiigho tora,
sakotu-kotughuno mina bhe
omputo anabi Muhammadi
kantudu-ntuduno Allah
Taala soni.
‟Kemudian aku bersaksi
pula, sebenar-benarnya
Nabi Muhammad adalah
suruh-suruhan Allah Taala‟
Anak : Umbe
‟ya‟
e. Menyampaikan Nasihat
tentang Ajaran Adat dan
Agama Secara Terintegrasi
Nasihat ini disampaikan oleh
imam kepada anak yang ditoba, anak
menjawab ”Umbe” sebagai pertanda
pengakuan atau keyakinan. adapun isi
tuturannya adalah sebagai berikut:
Imam : Motehie amamu, kapae
amamu itu lansaringino
kabolosino ompu Allah
Taala.
‟Takutilah ayahmu, karena
ayahmu itu ibarat penggati
Allah Taala‟
Anak : Umbe
‟ya‟
Imam : Motehie inamu, kapae inamu
itu lansaringino kabolosino
anabi Muhammadi.
‟Takutilah ibumu, karena ibumu
itu ibarat penggati Nabi
Muhammad‟
Anak : Umbe
‟ya‟
Imam : Motehie isamu, kapae isamu
itu lansaringino kabolosino
malaekati
‟Takutilah kakakmu,
karena kakakmu itu ibarat
penggati malaikat‟
Anak : Umbe
‟ya‟
Imam : Moasiane aimu, kapae
aimu itu lansaringino
kabolosino muumini
‟Sayangilah adikmu,
karena adikmu itu ibarat
penggati mukminin‟
Anak : Umbe
‟ya‟
Kemudian imam melanjutkan
dengan penjelasannya secara singkat
seperti tuturan berikut:
Imam : Omoghondohi Ompu Allah
Taala omaiane nehamai; amamu
itu kabolosino Ompu Allah Taala
mentaleano. Nikondando ama
maitu suano kaawu amamuoomu
sakotu-kotughuno, taaka lahae-
lahae membalino kamokula
moghane amamuo itu tabeano
dotehie itu.
‟Mencari Tuhan Allah Taala akan
didapat di mana, ayahmu itu
perumpamaan penggantinya yang
nyata, yang disebut ayah itu bukan
saja ayah yang sesungguhnya,
akan tetapi siapa saja laki-laki
yang sudah tua, melainkan ditakuti
itu‟
Anak : Umbe
‟ya‟
Imam : Omoghondohi omputo anabi
Muhammadi omaiane nehamai;
inamuo itu kabolosino Omputo
anabi mentaleano. Nikonando
inandomo itu suano kaawu ina
mentobusaangko ne dunia ini, taaka
lahae-lahae membalino kamokula
169
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
robhine, inamuo dua itu, tabeano
dotehie itu.
‟Mencari nabi Muhammad, dimana
akan didapat, ibumu itulah penganti
nabi Muhammad yang nyata. yang
disebut oerang tua perempuan itu
bukan hanya ibu yang melahirkan
kita di dunia ini, akan tetapi siapa-
siapa perempuan yang telah tua,
ibumu juga itu, melainkan ditakuti
juga.‟
Anak : Umbe
‟ya‟
Imam : Omoghondohi malaikati
omaiane nehamai; isamuo itu
kabolosino malaikati
mentaleano. Nikonando
isando itu suano kaawu
kapokakutahando ghule, taaka
lahae-lahae foliuno umuru
isamuo dua itu, tabeano
dotehie itu.
‟Mencari malaikat akan
didapat di mana, kakakmu
itulah penggati malaikat yang
nyata. yang disebut kakak itu,
bukan saja kakak saudara
kandung kita, akan tetapi siapa
saja yang melebihi umurmu
kakakmu juga itu, melainkan
ditkuti juga.‟
Anak : Umbe
‟ya‟
Imam : Okoasigho o ne ai maitu bea
dapotooane be kaasigho ne
mie bhari. Nikonando ai maitu
suano kaawu ai kapokakutaha
ghule, taaka lahae-lahae
niliumu umuru, aimuo itu,
tabeano doasiane itu.
‟Kasihsayang kepada adik-adik itu
disamakan dengan kasih sayang
dengan orang banyak. Yang
disebut adik itu, bukan saja adik
kandungmu, akan tetapi siapa saja
di bawah umurmu, sudah adikmu
itu, melainkan disayangi itu.
2. Nilai-Nilai Luhur
TuturanPogau Toba dalam
Upacara Adat Katoba pada
Masyarakat Muna
Tuturan katoba yang
disampaikan secara lisan oleh imam
(penutur) kepada anak-anak (objek
tuturan) yang beranjak dewasa (7-10
tahun) pada hakikatnya merupakan
bagian dari tradisi pengislaman di
Muna yang telah berlangsung secara
turun-temurun. Pertama-tama imam
mengajarkan kalimat istighfar dengan
menggunakan metode penyampaian
secara lisan. Agar menjadi jelas,
imam mengucapkan sampai tiga kali
dan anak pun menirukan ucapan
imam sampai tiga kali pula. Setelah
itu imam mengajarkan dua kalimat
syahadat dengan menggunakan
metode penyampaian secara lisan
pula, diucapkan sebanyak tiga kali
dan anak pun menirukan ucapan
imam sebanyak tiga kali pula. Setelah
mengikrarkan dua kalimat syahadat
ini, kemudian dilanjutkan dengan
tuturan katoba yang mengandung
ajaran budi pekerti yang bersifat
170
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
Islami. Imam mengajarkan agar takut
kepada Tuhan, takut kepada nabi
Muhammad, takut kepada malaikat
dan menyayangi sesama umat
manusia. Agar hal-hal tersebut
menjadi lebih dekat dan nyata dalam
kehidupan sang anak, imam
menggunakan pendekatan tassawuf,
filsafati, atau yang dalam dunia
pengajaran modern dikenal dengan
pendekatan kontekstual, yaitu hal-hal
yang bersifat abstrak diwujudkan
dalam bentuk yang konkret sehingga
anak mudah memahaminya. Takut
kepada Tuhan ditamsilkan takut
kepada orang tua laki-laki, takut
kepada nabi Muhammad ditamsilkan
takut kepada orang tua perempuan,
takut kepada malaikat ditamsilkan
takut kepada yang lebih kakak dan
menyayangi sesama manusia
ditamsilkan menyayangi yang lebih
muda usia.
Setelah melalui prosesi
katoba, kemudian anak-anak itu
diwajibkan belajar membersihkan
tinja (alano oe), belajar membaca
kitab suci Al-Qur‟an, belajar sholat
yang wajib, serta wajib
mendengarkan nasihat orang tua,
tokoh-tokoh agama serta orang-orang
tua adat dalam kampung. Sebelum
melalui prosesi katoba, dan
memahami cara membersihkan tinja
sebagaimana ajaran guru tinja (alano
oe) maka anak-anak belum
diwajibkan membaca Al-Qur‟an,
melaksanakan sholat wajib serta
mendengarkan nasihat tentang ajaran
agama dan ajaran adat.
Menurut pandangan tokoh-
tokoh adat di Muna, sejauh mana
keberhasilan seorang anak memahami
tuturan tentang katoba akan diketahui
melalui tingkah laku, perbuatan, dan
tutur kata keseharian anak itu setelah
menunjukkan usia dewasa. Dalam
usia yang sudah dewasa itu, ternyata
ia memperlihatkan sopan-santun yang
baik, perbuatan terpuji, bertutur kata
yang baik yang berwujud pada sifat
takut kepada orang yang memiliki
kelebihan taat menjalankan ajaran
agama Islam, maka tokoh-tokoh
agama dan para tokoh adat akan
mengatakan bahwa orang itulah yang
memahami makna tuturan katobanya.
Akan tetapi apabila anak itu
memperlihatkan sifat yang tidak
terpuji, tutur kata dan perbuatan yang
171
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
tidak baik, seperti memperlihatkan
sifat tidak takut kepada orang yang
lebih tua, tidak memelihara hati orang
sesama usianya, tidak menyayangi
orang yang lebih muda usianya, iri
kepada orang yang memiliki
kelebihan, apabila telah kawin sering
menyakiti hati dan fisik istrinya,
menceraikan istrinya, sering kawin
cerai, dan lain-lain, maka para tokoh
agama dan tokoh adat akan
mengatakan bahwa orang itu tidak
memahami lagi makna tuturan
katobanya.
3. Strategi Implementasi Tradisi
Lisan dalam Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia
Pannen (2013)
mengemukakan bahwa pembelajaran
berbasis budaya merupakan salah satu
pembelajaran yang saat ini sedang
dikembangkan di berbagai negara.
Pembelajaran berbasis budaya ini
membawa budaya lokal ke dalam
proses pembelajaran beragam mata
pelajaran di sekolah secara terpadu.
Ini berarti juga bahwa konten tradisi
lisan (sastra) sulit dilepaskan dari
pendidikan secara umum. Terjadinya
proses internalisasi nilai-nilai luhur
tradisi lisan dalam diri peserta
didikakan berdampak positif cukup
luas, bahkan menyentuh segenap
aspek kehidupan peserta didik.
Rahmanto (1988: 16) bahwa
pengajaran sastra dapat membantu
pendidikan secara utuh apabila
cakupannya meliputi empat manfaat,
yaitu membantu keterampilan
berbahasa, meningkatkan
pengetahuan budaya,
mengembangkan cipta dan rasa, dan
menunjang pembentukan watak.
Dalam tradisi lisan banyak hal
yang ditampilkan, seperti bahasa
suatu komunitas, pola hidup,
kebiasaan, sikap individual, sikap
kelompok, ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya.
Pembelajaran tradisi lisan pada
lembaga pendidikan seharusnya
mampu menjadi guiding light yang
berfungsi untuk menuntun manusia
berbudi pekerti luhur (Khisbiyah,
2003). Rahmanto (1988: 16) bahwa
pengajaran sastra dapat membantu
pendidikan secara utuh apabila
cakupannya meliputi empat manfaat,
yaitu membantu keterampilan
berbahasa, meningkatkan
172
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
pengetahuan budaya,
mengembangkan cipta dan rasa, dan
menunjang pembentukan watak.
Dalam pembelajaran bahasa
dan sastra berbasis tradisi lisan, kaitan
dengan mempertajam kepekaan,
minat, dan perhatiannya terhadap
kehidupan faktual maka terdapat
beberapa strategi dan langkah yang
dapat dilakukan yaitu: (1)
identifikasiunsur-unsur budaya; pada
tahap ini peserta didik diarahkan
untuk mengidentifikasi produk-
produk budaya yang ada di dalam
masyarakat.Budaya yang masih
dilaksanakan ataupun yang sudah
punah diidentifikasi. Seperti, cerita
rakyat, mantra, dongeng, legenda,
mite, upacara adat, nyanyian rakyat,
makanan tradisional, arsitektur
tradisional, dan lainnya; (2)
identifikasi masalah budaya; pada
tahap inipeserta didik ditantang untuk
dapat memilih bentuk dan konten
budaya yang seperti apa yang akan
dipelajarinya. Dari sekian contoh
yang dipaparkan pada poin (1) di atas,
peserta didik dapat memilih salah
satunya, serta mendiagnosis masalah
apa yang terjadi dalam produk budaya
yang dipilihnya; (3) penjelajahan
budaya; pada tahap ini guru harus
memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk menyaksikan
langsung (terjun ke lapangan), bahkan
berpartisipasi langsung pada
penyelenggaraan budaya; (4)
interpretasi dan analisis; dari hasil
penjelajahan yang telah mereka
lakukan, peserta didik ditantang untuk
melakukan interpretasi dan analisis
budaya. Kemudian guru memberikan
pertanyan-pertanyaan mengenai
temuan dan kesan mereka terhadap
budaya yang dipelajarinya; (5)
evaluasi; pada tahap ini guru
berdiskusi dengan peserta didik
perihal temuan-temuan yang mereka
dapatkan selama proses pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia berbasis
tradisi lisan ini. Hasil diskusi
diarahkan pada rekomendasi tentang
usaha yang akan dilakukan untuk
melestarikan atau merevitalisasi
kebudayaan tersebut; dan (6) rekreasi
budaya; guru mengajak peserta didik
melakukan wisata budaya ke daerah
tertentu untuk merasakan keunikan
dan keanekaragaman budaya bangsa.
173
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
Pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia berbasis tradisi lisan
pada dasarnya berbicara tentang dua
hal pokok, yakni bentuk dan isi dari
tradisi lisan. Argumen ini dapat
dirangkum pada bagan sebagai
berikut.
Bagan: Objek kajian tradisi lisan
(Sibarani, 2012: 244)
Belajar tentang bentuk tradisi
lisan, peserta didikakan memahami
teks, ko-teks, dan konteks budaya
yang dipelajarinya. Sedangkan isi
tradisi lisan, akan mempertinggi
pengertian peserta didik tentang
makna, fungsi, nilai, dan kearifan
lokal yang terkandung di dalamnya.
Sibarani (2012:244) menyatakan
bahwa penelitian (termasuk
pembelajaran) tradisi lisan harus
mampu menjelaskan tiga komponen
besar tradisi lisan, yakni bentuk, isi,
dan model revitalisasi. Bentuk
mencakup teks, ko-teks, dan konteks.
Isi mencakup makna atau fungsi, nilai
atau norma budaya, dan kearifan
lokal. Model revitalisasi mencakup
penghidupan/pengaktifan kembali,
pengelolaan, dan proses pewarisan
tradisi lisan, serta kearifan lokal
kepada komunitas pendukungnya.
Bagian dari model revitalisasi dapat
dilaksanakan melalui jalur
pendidikan.
Pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia berbasis tradisi lisan
paling tidak harus menunjukan tiga
landasan keilmuan yaitu: (1) landasan
ilmu kebahasaan; artinya bahwa
aspek-aspek kebahasaan dalam proses
pembelajaran memberikan ruang bagi
diskusi dan dialog aspek kebahasaan,
seperti frasa, kata, klausa, kalimat,
paragraf, wacana, dan lainnya; (2)
landasan ilmu sastra; artinya bahwa
aspek-aspek sastra dalam proses
pembelajaran memfasilitasi keperluan
TRADISI LISAN
BENTUK ISI
TEKS, KO-TEKS, DAN
KONTEKS (STRUKTUR,
ELEMEN, DAN KONDISI)
FORMULA
NILAI DAN NORMA
(FUNGSI DAN
MAKNA)
KEARIFAN LOKAL
REFITALISASI PENGHIDUPAN KEMBALI, PENGELOLAAN,
PEWARISAN
PEMBANGUNAN
KARAKTER-IDENTITAS
KEDAMAIAN-KESEJAHTERAAN
BANGSA
174
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
peserta didik untuk belajar ilmu
sastra, yaitu teori sastra, kritik sastra,
sejarah sastra, dan ekspresi sastra, dan
(3) landasan ilmu budaya (tradisi
lisan); artinya bahwa dalam
pembelajaran mengintegrasikan
karakter budaya dan kearifan lokal
yang bernilai positif.
Suatu pembelajaran
selayaknya dapat menunjang potensi
dan bakat tertentu yang dimiliki
peserta didik. Peserta didik didorong
untuk menggunakan akalnya, berpikir
kritis, inovatif dan kreatif, serta
motivasinya. Strategi yang dibuat
dapat menjadi media pengekspresian
pengalaman, pemahaman, dan
pengetahuan peserta didik tentang
ihwal tradisi lisan. Perlu pula dicatat
di sini, bahwa sebuah strategi
diusahakan memuat karakteristik
keilmuan pembelajaran bahasa dan
sastra itu sendiri.
Dampak yang diharapkan dari
upaya pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia berbasis tradisi lisan yaitu:
(1) peserta didik lebih mengenali dan
menghargai tradisi lisan sebagai karya
sastra daerahnya yang mengandung
nilai-nilai luhur. Hal ini merupakan
bagian penting dari apresiasi budaya,
(2) peserta didik dapat memperoleh
pengetahuan tambahan tentang puisi
lama, (3) para guru bahasa dan sastra
Indonesia dapat memanfaatkan
tuturan pogau tobasebagai alternatif
bahan ajar untuk pengajaran sastra
lama atau muatan lokal di sekolah.
E. SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data
dapat disimpulkan bahwa tuturan
katoba mengandung makna yang
luhur yang berisi tentang ajaran
agama (Islam) serta ajaran adat yang
menyertainya. Ajaran-ajaran ini
sangat penting untuk diikuti sebagai
penyeimbang kehidupan
bermasyarakat sekaligus mencegah
kemerosotan moral yang melanda
bangsa Indonesia. Adapun empat
aspek pokok yang saling berhubungan
mengenai keseimbangan kehidupan
bermasyarakat dalam konsep katoba
pada masyarakat Muna adalah
sebagai berikut:1) Pengakuan ucapan
dua kalimat syahadat ‟Asyhadu Allah
ilaha Ilallah wa ashadu anna
Muhammadar Rasulullah’ yang
berarti bahwa masyarakat Muna
175
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
mengakui bahwa tidak ada Tuhan
yang disembah selain Allah dan
mengakui pula bahwa Nabi
Muhammad adalah utusan Allah,2)
Melaksanakan segala perintah-
perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya, 3) Pomoa moasigho
(saling menyayangi), poangka-
angkata (saling menghormati),
poadha adhati (saling menghargai)
dan pobini-binikuli (saling menjaga
perasaan), serta 4) tidak mengambil
hak milik orang lain.
Tradisi lisan pogau toba
dalam upacara katoba mengandung
ajaran agama (Islam) dan ajaran adat
yang mengandung nilai-nilai luhur.
Upaya mengintegrasikan nilai-nilai
luhur tradisi lisan tersebut dalam
pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia menjadi penting. Adapun
strategi yang dapat ditempuh dalam
pembelajaran ini yaitu: 1) identifikasi
unsur-unsur budaya, 2) identifikasi
masalah budaya, 3)penjelajahan
budaya, 4)interpretasi dan analisis
bentuk dan nilai budaya, 5)evaluasi,
dan 6) rekreasi budaya. Upaya ini
diharapkan dapat: 1) menyelamatkan
tradisi lisan dari ancaman kepunahan,
2) menumbuhkan sikap kepemilikan
budaya dan tradisi daerah, 3)
menumbuhkan pada diri peserta didik
rasa bangga dan optimis terhadap
budaya daerahnya sendiri, 4)
mengakrabkan warisan budaya atau
tradisi lisan kepada peserta didik, dan
5) sebagai media untuk mendidik dan
mengajarkan nilai-nilai luhur kepada
peserta didik. Nilai-nilai luhur yang
dipaparkan tersebut sangat sesuai
untuk diterapkan dalam konteks
pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia karena dapat memberikan
pemahaman dan penghayatan kepada
peserta didik tentang perilaku yang
patut diteladani dan yang harus
dijauhi.Dampak yang diharapkan dari
upaya pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia berbasis tradisi lisan yaitu:
(1) peserta didik lebih mengenali dan
menghargai tradisi lisan yang
digunakannya sebagai karya sastra
daerahnya yang mengandung nilai-
nilai luhur. Hal ini merupakan bagian
dari apresiasi budaya, (2) peserta
didik dapat memperoleh pengetahuan
tambahan tentang puisi lama, (3) para
guru bahasa dan sastra Indonesia
dapat memanfaatkan tuturan pogau
176
Sarmadan Dosen FKIP, Universitas Sembilanbelas November Kolaka
tobasebagai alternatif bahan ajar
untuk pengajaran sastra lama atau
muatan lokal di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Freire, Paulo. 1973. Education for Critical Consciosness. New York: Continum
Publishing Company.
Khisbiyah, Yayah. 2002. Pendidikan Apresiasi Seni untuk Multikulturalisme.
Makalah disajikan dalam seminar Planning Meeting dalam rangka
Mendesain Program PAS, STSI Surakarta, 13 Desember 2002.
Kusmahidaya, Y. 2010. Agama dalam Transformasi Budaya Nusantara.
Bandung: Bintang Wali Atika.
Gardner. 2004. How Education Changes: Considerations of History, Science, and
Values, (Edited). Marcelo M. Suarez-Orozco and Disiree Baolian Qin-
Hilliar.
Giddens, Anthony. 1990. The Nation States and Violence: Volume Two of a
Contemporary.
Harvey, D. 1996. The Condition of Postmodernity, Cambridge. MA & London,
UK: Blackwell.
La Niampe. 2008.Tuturan Tentang Katoba dalam Tradisi Lisan Muna: Deskripsi
Nilai dan Fungsi.Makalah disajikan dalam Seminar Internasional Lisan
VIWakatobi – Sulawesi Tenggara, 1 – 3 Desember 2008.
Magara, Irma. 2010. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Tuturan Katoba pada
Masyarakat Mawasangka. Skripsi tidak diterbitkan. Kendari: FKIP
Universitas Haluoleo.
Maryani, Enok. 2011. Pengembangan Program Pembelajaran IPS Untuk
Peningkatan Keterampilan Sosial. Bandung: Alfabeta.
Pannen, Paulina. 2003. Pembelajaran Berbasis Budaya FKIP-UT. Makalah
disajikan dalam Seminar di Yogyakarta, 12 – 13 Mei 2003.
Rahmanto. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Sarmadan. 2011. Makna Tuturan dalam Upacara Adat Katobapada Masyarakat
Muna. Skripsi tidak diterbitkan. Kendari: FKIP Universitas Haluoleo.
Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi
Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.