+ All Categories
Home > Documents > SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN PASCA …

SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN PASCA …

Date post: 17-Oct-2021
Category:
Upload: others
View: 13 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
8
E.ISSN.2614-6061 P.ISSN.2527-4295 Vol.7 No.3 Edisi Agustus 2019 Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan Hal. 234 SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 95/PUU-XII/2014 Oleh : Aminuddin 1) , Lalu Parman 2) , Lalu Sabardi 3) 1 Mahasiswa Megister Ilmu Hukum Universitas Mataram 1 Email: [email protected] 2 Dosen Fakultas HukumUniversitas Mataram 2 Email : [email protected] 3 Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram 3 Email: [email protected] Abstrak Penelitian dilakukan untuk mengetahui dan menjawab penentuan subjek hukum dalam tindak pidana kehutanan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2104 dan pengaruh atau implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2104 terhadap tindak pidana kehutanan. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2104 masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dikecualikan dalam pertanggungjawaban tindak pidana kehutanan selama tindakan tersebut tidak ditujukan untuk kepentingan komersial. Pengertian masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan harus dikaitkan dengan kebutuhan hidup dari hutan baik kubutuhan sandang, kubutuhan pangan dan kebutuhan papan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU- XII/2104 harus segera dituangkan dalam berbagai kebijakan legislatif dengan perubahan Undang-Undang Kehutanan. Kata Kunci: Subjek Hukum, Turun Temurun, Kehutanan 1. PENDAHULUAN Hutan sebagai salah satu bagian dari lingkungan hidup merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan salah satu kekayaan alam yang sangat penting bagi umat manusia. Hutan juga merupakan aset bangsa yang bisa diperbaharui dan mempunyai banyak manfaat untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan juga sebagai satu kesatuan ekosistem dalam persekutuan alam dan lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tindak pidana kehutanan saat ini telah menimbulkan masalah multidimensi yang berhubungan dengan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari fungsi hutan yang pada hakekatnya mengandung tiga fungsi dasar yaitu: fungsi produksi (ekonomi), fungsi lingkungan (ekologi) dan fungsi sosial. Masalah kehutanan saat ini adalah pengelolaan hutan yang dilakukan telah menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan hidup baik dari segi ekonomi, kesehatan dan sosial budaya seperti kerusakan hutan yang disebabkan oleh aktivitas perusahaan-perusahaan besar di dalam wilayah hutan. Total luas hutan di Indonesia mencapai 180 juta hektar, sebanyak 21 persen atau setara dengan 26 juta hektar telah di jarah total sehingga tidak memiliki tegakan pohon lagi. Artinya, 26 juta hektar hutan di Indonesia telah musnah. Selain itu, 25 persen lainnya atau setara dengan 48 juta hektar juga mengalami deforentasi dan dalam kondisi rusak. 180 juta hektar total luas hutan di Indonesia hanya sekitar 23 persen atau setara dengan 43 juta hektar yang masih terbebas dari deforentasi (kerusakan hutan). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disingkat UUK) mengamanahkan dalam konsideran menimbang butir a yaitu, Hutan sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat bagi umat manusia, karena wajib disyukuri, diurus dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun mendatang. Ketentuan penjelasan Pasal 50 UUK yang dimaksud dengan orang adalah subjek hukum baik orang pribadi, badan hukum maupun badan usaha dengan tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang perumusan tindak pidananya sehingga sanksi pidana terhadap orang pribadi dan korporasi juga diberlakukan sama. Adanya berbagai kasus di daerah dimana seseorang karena sekedar memenuhi kebutuhan ekonomi menebang, mengambil atau membawa dan memanfaatkan sebatang kayu dari hutan tanpa izin pejabat yang berwenang dikenakan tindak pidana illegal logging bila dikaitkan dengan tujuan pemidanaan menimbulkan permasalahan yang dihubungkan dengan tujuan penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai upaya perlindungan masyarakat untuk mencapai keadilan
Transcript
Page 1: SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN PASCA …

E.ISSN.2614-6061P.ISSN.2527-4295 Vol.7 No.3 Edisi Agustus 2019

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan Hal. 234

SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN PASCAPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 95/PUU-XII/2014

Oleh :Aminuddin1), Lalu Parman2), Lalu Sabardi3)

1Mahasiswa Megister Ilmu Hukum Universitas Mataram1Email: [email protected]

2Dosen Fakultas HukumUniversitas Mataram2Email : [email protected]

3Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram3Email: [email protected]

AbstrakPenelitian dilakukan untuk mengetahui dan menjawab penentuan subjek hukum dalam tindak pidana

kehutanan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2104 dan pengaruh atau implikasi PutusanMahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2104 terhadap tindak pidana kehutanan. Penelitian ini merupakanpenelitian normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatankasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2104masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dikecualikan dalam pertanggungjawaban tindakpidana kehutanan selama tindakan tersebut tidak ditujukan untuk kepentingan komersial. Pengertian masyarakatyang hidup secara turun temurun di dalam hutan harus dikaitkan dengan kebutuhan hidup dari hutan baikkubutuhan sandang, kubutuhan pangan dan kebutuhan papan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2104 harus segera dituangkan dalam berbagai kebijakan legislatif dengan perubahan Undang-UndangKehutanan.

Kata Kunci: Subjek Hukum, Turun Temurun, Kehutanan

1. PENDAHULUANHutan sebagai salah satu bagian dari

lingkungan hidup merupakan karunia Tuhan YangMaha Esa dan merupakan salah satu kekayaanalam yang sangat penting bagi umat manusia.Hutan juga merupakan aset bangsa yang bisadiperbaharui dan mempunyai banyak manfaatuntuk meningkatkan taraf hidup masyarakat danjuga sebagai satu kesatuan ekosistem dalampersekutuan alam dan lingkungannya yang tidakdapat dipisahkan satu sama lain.

Tindak pidana kehutanan saat ini telahmenimbulkan masalah multidimensi yangberhubungan dengan aspek ekonomi, sosial,budaya, dan lingkungan. Hal tersebut merupakankonsekuensi logis dari fungsi hutan yang padahakekatnya mengandung tiga fungsi dasar yaitu:fungsi produksi (ekonomi), fungsi lingkungan(ekologi) dan fungsi sosial.

Masalah kehutanan saat ini adalahpengelolaan hutan yang dilakukan telahmenimbulkan dampak buruk bagi lingkunganhidup baik dari segi ekonomi, kesehatan dan sosialbudaya seperti kerusakan hutan yang disebabkanoleh aktivitas perusahaan-perusahaan besar didalam wilayah hutan.

Total luas hutan di Indonesia mencapai 180juta hektar, sebanyak 21 persen atau setara dengan26 juta hektar telah di jarah total sehingga tidakmemiliki tegakan pohon lagi. Artinya, 26 jutahektar hutan di Indonesia telah musnah. Selain itu,25 persen lainnya atau setara dengan 48 jutahektar juga mengalami deforentasi dan dalam

kondisi rusak. 180 juta hektar total luas hutan diIndonesia hanya sekitar 23 persen atau setaradengan 43 juta hektar yang masih terbebas darideforentasi (kerusakan hutan).

Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan(selanjutnya disingkat UUK) mengamanahkandalam konsideran menimbang butir a yaitu, Hutansebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa yangdianugerahkan kepada Bangsa Indonesia,merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara,memberikan manfaat bagi umat manusia, karenawajib disyukuri, diurus dan dimanfaatkan secaraoptimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarangmaupun mendatang.

Ketentuan penjelasan Pasal 50 UUK yangdimaksud dengan orang adalah subjek hukum baikorang pribadi, badan hukum maupun badan usahadengan tidak memberikan penjelasan lebih lanjuttentang perumusan tindak pidananya sehinggasanksi pidana terhadap orang pribadi dankorporasi juga diberlakukan sama.

Adanya berbagai kasus di daerah dimanaseseorang karena sekedar memenuhi kebutuhanekonomi menebang, mengambil atau membawadan memanfaatkan sebatang kayu dari hutan tanpaizin pejabat yang berwenang dikenakan tindakpidana illegal logging bila dikaitkan dengan tujuanpemidanaan menimbulkan permasalahan yangdihubungkan dengan tujuan penanggulangankejahatan (criminal policy) sebagai upayaperlindungan masyarakat untuk mencapai keadilan

Page 2: SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN PASCA …

E.ISSN.2614-6061P.ISSN.2527-4295 Vol.7 No.3 Edisi Agustus 2019

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan Hal. 235

dan kesejahteraan masyarakat (social welfare),menjadikan pemikiran cukup adilkah mereka yanghanya sekedar memenuhi kebutuhan ekonomidiancam dengan hukuman yang sama denganpemilik modal yang jelas-jelas mencuri kayuhutan dengan tujuan untuk memperolehkeuntungan yang sebesar-besarnya.

Hutan merupakan salah satu ekosistemyang berhubungan langsung dengan manusia,terutama masyarakat yang hidup di dalam hutanatau masyarakat yang hidup disekitar hutan.Kehidupan masyarakat yang bergantung hidupsecara turun temurun pada hutan harus menjadisalah satu yang harus dipertimbangkan dalammenyusun kebijakan-kebijakan hukum pidanadalam sektor kehutanan.

Semenjak berlakunya UUK tidak sedikithutan adat dikuasai oleh Negara salah satucontohnya dengan sistem penunjukan membuatNegara dengan mudah mengklaim setiap kawasansebagai hutan Negara. Selain itu permasalanpengakuan Negara terhadap kawasan kehutananterus diprotes oleh masyarakat yang merasadikriminalisasi oleh Negara lewat ketentuan didalam undang-undang kehutanan. Di dalam UUKpada ketentuan pasal 1 angka 6 yang berbunyi,Hutan adat adalah hutan Negara yang berada didalam wilayah masyarakat hukum adat.

Akibat dari klaim Negara tersebut membuataktifitas masyarakat adat di dalam hutan adatseperti menebang pohon di hutan adat, memunguthasil hutan, melakukan ritual adat ataumengembalakan ternak tanpa izin dianggap sebagaisebuah tindak pidana berdasarkan UUK.

Sebelum Putusan Mahkamah KonstitusiNomor 95/PUU-XII/2014 di dalam Pasal 50 ayat 3huruf e dan i UUK mengatur larangan-laranganbagi setiap orang yang berbunyi: e. Menebangpohon atau memanen atau memungut hasil hutan didalam hutan tanpa memiliki hak atau izin daripejabat yang berwenang. i. Menggembalakanternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuksecara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabatyang berwenang;

Setelah Mahkamah Kostitusi mengeluarkanPutusan Nomor 95/PUU-XII/2014 maka ketentuandi dalam Pasal 50 ayat 3 huruf e dan i berbunyi:

Menebang pohon atau memanen ataumemungut hasil hutan di dalam hutan tanpamemiliki hak atau izin dari pejabat yangberwenang kecuali masyarakat yang hidupsecara turun temurun di dalam hutan dantidak ditujukan untuk kepentingankomersial. i. Menggembalakan ternak didalam kawasan hutan yang tidak ditunjuksecara khusus untuk maksud tersebut olehpejabat yang berwenang kecuali masyarakatyang hidup secara turun temurun di dalamhutan dan tidak ditujukan untuk kepentingankomersial.

Implikasi dari Putusan MahkamahKonstitusi Nomor 95/PUU-XII/2014 tersebutmembuat setiap orang yang hidup di dalam hutansecara turun temurun tidak menjadi larangan lagiuntuk menebang pohon, memungut hasil hutan ataumemanen hasil hutan serta mengembalakan hewanternak di dalam hutan walaupun tanpa izin daripejabat yang berwenang.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor95/PUU-XII/2014 tidak memberikan pengertianyang jelas siapa yang disebut masyarakat yanghidup di dalam hutan, kemudian siapa yang disebuthidup secara turun temurun dan apa yang dimaksudtidak ditujukan untuk kepentingan komersialsehingga menjadi perdebatan yang panjang dikalangan para ahli dan pemerhati sosial. Pengaruhatau dampaknya di lapangan dalam praktiknyasangat sulit membedakan masyarakat yang hidup didalam hutan dan masyarakat yang hidup secaraturun temurun, serta sulit membedakan hal sepertiapa saja yang dimaksud tidak ditujukan untukkepentingan komersial seperti apa yang ditentukanlewat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor95/PUU-XII/2014 tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor95/PUU-XII/2014 melahirkan tiga (3) masalahserius dalam tindak pidana kehutanan. Pertama,Masyarakat yang hidup dalam hutan menjadimultitafsir, karena hidup tidak harus memilikirumah di dalam hutan hutan, tetapi pengertianhidup dari sisi kebutuhannya, baik kebutuhansandang, pangan maupun kebutuhan hidup spiritualdan budaya di dalam hutan. Hampir separuhpenduduk Indonesia tinggal dipingiran hutan yangtentunya banyak bergantung hidup dengan hutan.Kedua, hidup secara turun-temurun, pengertiansiapa yang disebut orang yang hidup secara turun-temurun tidak jelas sampai keturunan keberapasebelumnya bisa dikatakan hidup secara turun-temurun dan bagaimana menentukan ataumengukur sesorang hidup secara turun-temurun.Ketiga, tidak ditujukan untuk kepentingankomersial. Point ketiga ini sangat berkaitan denganpoint Pertama karena untuk bertahan hidupsesorang dari hasil hutan maka untuk mencukupikebutuhan sandang pangan dan sosial banyak caradilakukan termasuk dengan cara mengkomersialkanhasil hutan. Mahkamah konstitusi melarang apabilaada kepentingan komersial, menurut penulis hal inimenjadi permasalahan yang serius karena di satusisi membolehkan menebang pohon, memunguthasil hutan bagi yang hidup di dalam hutan, tetapidi sisi lain Mahkamah Konstitusi melarang setiaporang untuk mengkomersialkan, karena banyakorang yang hidup dengan hasil hutan dengan caramengkomersialkan.

2. METODE PENELITIANJenis Penelitian ini menggunakan metode

penelitian yuridis normatif. Metode yuridisnormatif atau penelitian doktrinal (doctrinal

Page 3: SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN PASCA …

E.ISSN.2614-6061P.ISSN.2527-4295 Vol.7 No.3 Edisi Agustus 2019

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan Hal. 236

research) yaitu suatu penelitian yang mengacupada analisis hukum baik dalam arti law as it iswritten in the book, maupun dalam arti law as it isdecided by judge through judicial process.

Metode penelitian yang digunakan adalahyuridis normatif, maka satu hal yang pasti adalahpengumpulan dokumen-dokumen yangberhubungan dengan sentral penelitian.Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalampenelitian ini antara lain Pendekatan Perundang-undangan (Statuta Approach), PendekatanKonseptual (Conceptual Approach) , PendekatanKasus (Case Approach) Digunakan pendekatankasus dalam penelitian hukum ini bertujuan untukmempelajari penerapan norma-norma atau kaidahhukum yang dilakukan dalam praktik hukum,terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputussebagaimana yang dilihat dalam putusanpengadilan dan yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian.

3. PEMBAHASANPENENTUAN SUBYEK HUKUM DALAMTINDAK PIDANA KEHUTANAN SETELAHPUTUSAN MAHKAMAH KOSTITUSINOMOR 95/PUU-XII/2014.1. Sejarah dan Perkembangan Perundang-

undangan Di Bidang Kehutanana. Zaman Pemerintahan Hindia Belanda

Pada zaman Pemerintah Hindia Belanda telahbanyak produk hukum yang mengaturkehutanan. Momentum awal dari pembentukanhukum di bidang kehutanan dimulai daridiundangkannya Reglemen 1865, pada tanggal10 September 1865.

1) Reglemen Hutan 18652) Reglemen Hutan 18743) Reglemen Hutan 18974) Reglemen Hutan 19135) Ordonansi Hutan 1927b. Zaman Kemerdekaan (1945 – sekarang)

Sejak bangsa Indonesia merdeka pada tanggal17 Agustus 1945 sampai sekarang ternyataPemerintah dengan persetujuan DPR telahberhasil menetapkan peraturan perUndang-Undangan yang menjadi dasar hukum dalambidang kehutanan. Peraturan perUndang-Undangan yang dimaksud, adalah sebagaiberikut:

1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentangUndang-Undang Pokok Agraria Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentangKetentuan- Ketentuan Pokok Kehutanan

2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentangKetentuan- Ketentuan PengeleloaanLingkungan Hidup.

3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 TentangKonservasi Sumber Daya Alam danEkosistemnya

4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

5) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999tentang Kehutanan

6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013tentang Pencegahan dan PemberantasanPerusakan Hutan

2. Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor95/PUU-XII/2014

a. Masyarakat yang turun temurun hidup di dalamhutan

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwaketentuan pidana kehutanan tersebut dikecualikanterhadap masyarakat yang secara turun temurunhidup di dalam hutan. Masyarakat yang turuntemurun merupakan istilah umum yang dapatditujukan kepada masyarakat adat maupunmasyarakat lokal yang telah hidup di dalam hutandari generasi ke generasi.

Istilah turun temurun juga bermaknaberanak cucu untuk menunjukan bahwa masyarakattelah lebih dari dua generasi hidup di dalam hutan.Sehingga, untuk mengukur suatu masyarakat telahhidup secara turun temurun dibuktikan bahwamasyarakat telah hidup di dalam hutan lebih daridua generasi.

Mahkamah Konstitusi mengabulkanpermohonan Pemohon terhadap Pasal 50 ayat (3)huruf e dan huruf i dalam Undang-UndangKehutanan sehingga perubahan tersebut dapatdilihat dalam tabel berikut.

Tabel 1Perubahan Pasal 50 ayat (3) huruf e dan huruf iUndang-Undang Kehutanan Setelah PutusanMahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU -XII/2014

STATUS Perubahan Pasal 50 ayat (3) huruf e dan iSetelah Putusan

MahkamahKonstitusi

Pasal 50 ayat (3) Setiap orang dilarang:e. menebang pohon atau memanen atau

memungut hasil hutan di dalam hutantanpa memiliki hak atau izin daripejabat yang berwenang;

i. menggembalakan ternak di dalamkawasan hutan yang tidak ditunjuksecara khusus untuk maksud tersebutoleh pejabat yang berwenang;

Setelah PutusanMahkamahKonstitusi

Pasal 50 ayat (3) Setiap orang dilarang:e. menebang pohon atau memanen atau

memungut hasil hutan di dalam hutantanpa memiliki hak atau izin daripejabat yang berwenang, kecualiterhadap masyarakat yang hidup secaraturun temurun di dalam hutan dan tidakditujukan untuk kepentingan komersial;

i. menggembalakan ternak di dalamkawasan hutan yang tidak ditunjuksecara khusus untuk maksud tersebutoleh pejabat yang berwenang, kecualiterhadap masyarakat yang hidup secaraturun temurun di dalam hutan dan tidakditujukan untuk kepentingan komersial;

Mahkamah Konstitusi dalampertimbangan hukumnya menyatakan bahwaketentuan tindak pidana kehutanan dalam Pasal 50ayat (3) huruf e dan huruf i Undang-UndangKehutanan tersebut tidak berlaku bagi masyarakatyang hidup secara turun temurun di dalam hutan,sepanjang melakukan penebangan pohon,memanen, memungut hasil hutan dan beternakdalam kawasan hutan dilakukan bukan untukkepentingan komersial.

Page 4: SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN PASCA …

E.ISSN.2614-6061P.ISSN.2527-4295 Vol.7 No.3 Edisi Agustus 2019

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan Hal. 237

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa,masyarakat yang hidup secara turun temurun didalam hutan membutuhkan sandang, pangan, danpapan untuk kebutuhan sehari-harinya yang harusdilindungi oleh negara, bukan malah diancamdengan hukuman pidana.b. Hidup didalam hutan tidak harus bertempat

tinggal dalam kawasan hutanMahkamah Konstitusi menyatakan bahwa

ketentuan pengecualian tersebut hanya ditujukankepada masyarakat yang hidup di dalam hutan,bukan untuk masyarakat yang berada di sekitarkawasan hutan. Mahkamah Konstitusi tidakmenyebutkan secara jelas perbedaan antaramasyarakat yang hidup di dalam hutan denganmasyarakat yang hidup atau “berada di sekitarkawasan hutan.” Namun untuk memberikanpemahaman yang jernih maka masyarakat yanghidup di dalam hutan harus dihubungkan dengankebutuhannya yaitu:1. Kebutuhan sandang (kebutuhan pakaian)

Kebutuhan sandang adalah kebutuhanakan pakaian yang kita kenakan setiap hari, mulaidari baju, celana, jaket, sepatu dan lain-lain. Setiaporang tidak bisa terlepas dari kebutuhan sandangkarena kebutuhan sandang dikategorikan sebagaisalah satu kebutuhan pokok.2. Kebutuhan pangan (kebutuhan makanan),

Kebutuhan pangan adalah kebutuhanmakanan setiap orang yang diperlukan untuk tubuhagar energinya tetap terjaga dan bisa beraktivitasdengan normal. Kebutuhan makanan dapatdiperoleh secara langsung atau tidak langsung.Mendapatkan makanan secara tidak langsung bisadengan cara mengkomersialkan sesuatu barangyang lain untuk mendapatkan makanan yangdibutukan.3. Kebutuhan papan (kebutuhan perumahan).

Kebutuhan papan adalah kebutuhan rumahsebagai tempat tinggal bagi setiap orang.Kebutuhan rumah yang layak tentu harus denganmenggunakan bahan-bahan yang bisa bertahanlama.

Dengan demikian, yang dimaksud denganmasyarakat yang hidup di dalam hutan tidak harusmasyarakat yang rumah tempat tinggalnya terdapatdidalam hutan, melainkan masyarakat yangmenggantungkan kebutuhan hidupnya untukkeperluan sandang, pangan dan papan dari hutan.Dengan kata lain hanya masyarakat yang memilikirelasi kehidupan yang kuat dengan hutan, melebihirelasi ekonomi, yang dikecualikan dari ketentuanpidana.c. Tidak ditujukan untuk kepentingan komersial

Pengertian komersial menurut kamus besarbahasa indonesia adalah segala sesuatu yangberhubungan dengan perdagangan, bernilai niagatinggi sehingga terkadang mengorbankan nilai-nilaisosial dan budaya. Sedangkan pengertian komersialmenurut Roger Hamilton adalah sesuatu yang

memungkinkan seseorang untuk menarikkeuntungan dari produk si pencipta.

Salah satu elemen yang menjadi dasarMahkamah Konstitusi untuk mengecualikan tindakpidana terhadap masyarakat yang turun temurunhidup di dalam hutan adalah kegiatan yang merekalakukan tersebut ditujukan untuk memenuhikebutuhan sandang, pangan dan papan sehari-hari,bukan untuk tujuan komersial. Secara implisit halini disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi untukmenghindari praktik eksploitasi yang berlebihanyang dapat merusak kondisi hutan.

Ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf iUndang-Undang Kehutanan mengenai beternakdalam kawasan hutan. Masyarakat seringkalibeternak hewan seperti ayam, kambing, dan sapi didalam hutan yang ditujukan untuk dijual ataudikomersialkan guna memenuhi kebutuhannya.

Pembatasan Mahkamah Konstitusimengenai bukan untuk tujuan komersial harusdipandang sebagai upaya untuk melindungi hutandari kerusakan yang tidak dikehendaki.d. Tindak pidana yang terjadi atas kawasan yang

diperlakukan oleh pemerintah sebagai hutanNegara.

Pengecualian tindak pidana dalam Pasal50 ayat (3) huruf e dan huruf i Undang-UndangKehutanan berlaku terhadap tindak pidana yangterjadi di atas kawasan yang diperlakukan olehpemerintah sebagai hutan negara. Jadi ketentuanpidana, termasuk pengecualian pidana, tidakberlaku pada hutan adat sebab di atas hutan adatberlaku hukum adat.

Secara definitif kawasan hutan adalahtanah yang telah ditetapkan oleh Pemerintahsebagai kawasan hutan. Dari situ baru ditentukankeberadaan hutan negara. Namun dalampraktiknya, kawasan yang baru ditunjuk untukdijadikan sebagai kawasan hutan telah diperlakukansecara definitif oleh pemerintah sebagai hutannegara.

Selama ini Pengadilan mengabaikanpermasalahan ketidakabsahan kawasan hutan danmenyatakan bahwa ketentuan pidana dapatdiperlakukan diatas kawasan yang belum definitifsebagai kawasan hutan. Pengecualian yangdiputusankan oleh Mahkamah Konstitusi dalamputusan ini bukan saja menghindari masyarakatdari proses-proses penal diatas kawasan hutan yangbelum definitif, tetapi juga membuka peluang untukmenyelesaikan konflik tenurial dan menghindarikriminalisasi. Mahkamah Konstitusi menyatakanbahwa ketentuan pidana harus diperlakukan sebagaiupaya terakhir (ultimum remedium) untukmenyelesaikan konflik tenurial kehutanan.

Pertimbangan hukum MahkamahKonstitusi terkait dengan Pasal 50 ayat (3) huruf edan i Undang-Undang Kehutanan sejalan denganketerangan ahli yang diajukkan pemohon dalamperkara ini, antara lain Agus Setyarso yangmenyatakan bahwa: ketentuan pidana kehutanan

Page 5: SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN PASCA …

E.ISSN.2614-6061P.ISSN.2527-4295 Vol.7 No.3 Edisi Agustus 2019

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan Hal. 238

semestinya ditujukan kepada kejahatan yangterorganisasi yang telah menimbulkan kerusakan,baik dari aspek ekonomi, aspek lingkungan,maupun aspek sosial.

Lebih lanjut Agus menyampaikan bahwa:Penebangan yang dilakukan oleh individumasyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutanseharusnya menimbulkan kewajiban pemerintahuntuk memberikan pelayanan, sehingga merekamampu meningkatkan kehidupannya bersandingandengan keberlanjutan sumber daya hutan disekelilingnya.

Prof. Achmad Sodiki, ahli yang dihadirkanpemohon dalam perkara ini memberikanketerangan ahlinya dengan menyatakan bahwa:Pasal-pasal kriminalisasi dalam Undang-UndangP3H dan Undang-Undang Kehutanan seharusyadianggap sebagai konstitusional bersyaratsepanjang tidak memasukkan perbuatan yangdilakukan oleh masyarakat hukum adat sesuaidengan ketentuan hukum adat. Keterangan inidiikuti oleh Mahkamah Konstitusi di dalamPutusan Nomor 95/PUU-XII/2014.e. Prinsip Pengaturan Tindak Pidana Kehutanan

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No95/PUU -XII/2014

Di dalam putusan ini, MahkamahKonstitusi memberikan fondasi penting yang perludiperhatikan oleh pembentuk dan pelaksanaUndang-Undang untuk menerapkan ketentuanpidana di bidang kehutanan. Menurut MahkamahKonstitusi, tindak pidana di bidang kehutananmempunyai karakter khusus dalam rangkamemberikan perlindungan kepada masyarakat yangdidukung perwujudannya melalui prinsip berikut:a. Prinsip Pencegahan Bahaya Lingkungan

(Prevention of Harm)b. Prinsip Kehati-hatian (Precautionary

Principle),c. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

(Sustainable Development)Selain tiga prinsip tersebut, menurut

Mahkamah Konstitusi dalam menetapkan suatutindakan sebagai tindak pidana di bidangkehutanan, Pemerintah dan DPR harusmemperhatikan tujuan pembangunan nasional,yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur,sehingga penanggulangan kejahatan kehutanandilakukan demi kesejahteraan dan perlindunganmasyarakat serta pengayoman masyarakat secaramenyeluruh dan utuh, serta tidak menimbulkankerugian material dan spiritual atas wargamasyarakat.f. Kedudukan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 95/PUU-XII/2014 Sebagai PelengkapPutusan Mahkamah Konstitusi Sebelumnya DiBidang Kehutanan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999tentang Kehutanan merupakan Undang-Undang dibidang sumber daya alam yang paling seringdilakukan pengujian kepada Mahkamah Konstitusi.

Setidaknya sudah sembilan kali permohonanpengujian Undang-Undang Kehutanan ditanganioleh Mahkamah Konstitusi, empat diantaranyadikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi antara lainPutusan Perkara Nomor 34/PUU-IX/2011, PutusanPerkara Nomor 45/PUU-IX/2011, Putusan PerkaraNo 35/PUU-X/2012, dan Putusan Perkara Nomor95/PUU-XII/2014. Oleh karena itu, PutusanMahkamah Konstitusi kali ini harus ditempatkansebagai bentuk koreksi terhadap Undang-UndangKehutanan yang dilakukan melalui serangkaianPutusan Mahkamah Konstitusi yang salingmelengkapi.a. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-

IX/2011Putusan ini mengubah ketentuan Pasal 4

ayat (3) Undang-Undang Kehutanan sehinggaberubah menjadi, Penguasaan hutan oleh negaratetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,sepanjang kenyataannya masih ada dan diakuikeberadaannya, hak masyarakat yang diberikanberdasarkan ketentuan peraturan perUndang-Undangan, serta tidak bertentangan dengankepentingan nasional.b. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-

IX/2011Putusan ini merupakan Putusan yang

fundamental karena mengubah definisi kawasanhutan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3Undang-Undang Kehutanan. Setelah perubahanoleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor45/PUU-IX/2011 Pasal 1 angka 3 Undang-UndangKehutanan berbunyi: Kawasan hutan adalahwilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintahuntuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutantetap.c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

35/PUU-X/2012Putusan ini merupakan landmark decision

yang mengubah Pasal 1 angka 6 Undang-UndangKehutanan mengenai definisi hutan adat. Setelahdikeluarkannya putusan Mahkamah konstitusinomor 35/puu-x/2012 yang mengunah ketentuandidalam pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sehinggaberbunyi: Hutan adat adalah hutan yang beradadalam wilayah masyarakat hukum adat.d. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

95/PUU-XII/2014Sementara Putusan ini mengubah

ketentuan tindak pidana kehutanan dalam Pasal 50ayat (3) huruf e dan huruf i Undang-UndangKehutanan sehingga berbunyi sebagai berikut:Setiap orang dilarang: e. menebang pohon ataumemanen atau memungut hasil hutan di dalamhutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabatyang berwenang, kecuali terhadap masyarakat yanghidup secara turun temurun di dalam hutan dantidak ditujukan untuk kepentingan komersial; i.menggembalakan ternak di dalam kawasan hutanyang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud

Page 6: SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN PASCA …

E.ISSN.2614-6061P.ISSN.2527-4295 Vol.7 No.3 Edisi Agustus 2019

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan Hal. 239

tersebut oleh pejabat yang berwenang, kecualiterhadap masyarakat yang hidup secara turuntemurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untukkepentingan komersial;

4. IMPIKASI PUTUSAN MAHKAMAHKONTITUSI NOMOR 95/PUU-XII/2014TERHADAP TINDAK PIDANAKEHUTANAN

1. Masyarakat Yang Hidup Secara TurunTemurun Di Dalam Hutan Tidak Lagi MenjadiSubjek Hukum Tindak Pidana Kuhutanan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor95/PUU-XII/2014 mengkecualikan masyarakatyang hidup secara turun temurun didalam hutandalam pertanggaungjawaban tindak pidanakehutanan. Pengecualian ini memberikan aksesmasyarakat yang hidup secara turun temurun untukmemanfaatkan hutan negara untuk kebutuhanhidupnya baik kebutuhan sandang, kebutuhanpangan dan kebutuhan papan yang didapatkan darihutan. Pengcualian terhadap masyarakat yanghidup secara turun temurun tersebut untukmengakses hutan yang ditetapkan sebagai hutannegara.

Adanya suatu keharusan yang bersifatmendesak untuk menghentikan penalisasi terhadapmasyarakat yang secara turun temurun hidup didalam hutan. Untuk menghentikan penalisasitersebut maka Presiden harus mengambil kebijakanpenting memberikan abolisi kepada masyarakatyang secara turun temurun hidup didalam hutanyang sedang menghadapi proses hukum karenaketentuan penalisasi di bidang kehutanan,memberikan grasi kepada mereka yang telahterlanjur dijatuhi hukuman oleh pengadilan, sertamenjamin dilakukannya rehabilitas kepadamasyarakat yang hidup secara turun temurun didalam hutan yang selama ini telah mengalamiproses pemidanaan.

Untuk mencegah dijadikannya masyarakatyang hidup secara turun temurn di dalam hutansebagai subjek hukum, maka Pemerintah perlusegera mensosialisasikan Putusan MK 95/2014 inikepada Pemerintah dan aparat penegak hukum,terutama pemerintah daerah, Kepolisian RI, danbadan-badan peradilan umum. Sosialisasi inipenting agar pihak-pihak tersebut mengetahuibahwa Pasal-pasal yang menjadi basis hukum daritindakan-tindakan penalisasi telah dihapus olehMahkamah Konstitusi dan karenanya tidak dapatdigunakan lagi dalam penerapan hukum kehutanan.2. Memprioritaskan Percepatan Pengakuan

Keberadaan Hutan Adat.Dalam hal ini, Putusan Mahkamah-

Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2014 memilikiketerkaitan erat dengan Putusan MahkamahKonstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang mengakuikeberadaan hutan adat. Masyarakat adat merupakanelemen yang paling rentang di bidang kehutanankarena wilayah kehidupan masyarakat adat yang

telah dihuni berpuluh, bahkan beratus tahun, tiba-tiba diklaim oleh pemerintah sebagai kawasanhutan Negara.

Masyarakat adat kemudian menjadi pelakukriminal karena ketika membangun rumah di dalamkampungnya yang telah ditetapkan oleh pemerintahsebagai kawasan hutan, ataupun memanfaatkanhasil hutan adat mereka menjadi suatu tindakpidana di bidang kehutanan. Oleh karena itu, untukmenghindari kriminalisasi terhadap masyarakatadat maka pengakuan hutan adat harus menjadiprogram utama pemerintah.3. Implikasi penting dari Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2014a. Pengecualian Tindak Pidana Kehutanan

Masyarakat yang secara turun temurunhidup di dalam hutan dan memanfaatkan sumberdaya hutan untuk kepentingannya sendiri, bukanuntuk tujuan komersial Merupakan pengecualianyang diputuskan oleh MK lewat Putusan No.95/PUU-XII/2014. Hal ini merupakan panduanbagi pembentuk dan pelaksana peraturanperundang-undangan di bidang kehutanan.

Dalam penerapan ketentuan pidanakehutanan, maka aparatur hukum harus pertama-tama memeriksa apakah masyarakat yang diperiksamemenuhi prinsip-prinsip dalam penerapan tindakpidana kehutanan. Dapat saja terjadi penerapanketentuan pidana kepada masyarakat merupakansuatu kekeliruan, apabila wilayah kehidupannyatelah ditetapkan secara sepihak oleh pemerintahsebagai kawasan hutan. Sehingga yang seharusnyadilakukan adalah mengembalikan hutan kepadamasyarakat.b. Penerapan Hukum Pidana Kehutanan Haruslah

Dipandang Sebagai Upaya Terakhir (UltimumRemedium).

Prinsip ini haruslah diikuti dengan caraatau mekanisme lain dalam penyelesaian konflikkehutanan. Beberapa mekanisme disampaikan olehpara ahli yang dihadirkan pemohon dalam perkaraini, antara lain adalah musyawarah atau kerjasamadidalam perencanaan dan pengelolaan hutan.

Dalam konteks Indonesia, prinsip initerasa sangat penting untuk dipakai oleh AparaturNegara terutama dengan mengingat bahwaketentuan yang diatur setidaknya di dalam UU P3Hdan UU Kehutanan dibangun diatas suatu faktabahwa objek pengaturannya belumlah jelas, apakahhutan negara ataukah hutan hak yang termasukdidalamnya adalah hutan adat yang harus diakuikeberadaannya oleh Negara.c. Pentingnya Penyelesaian Konflik Kehutanan.

Mahkamah Konstitusi memahami lewatPutusannya bahwa konflik kehutanan terjadi ketikamasyarakat yang hidup secara turun temurun dalamkawasan hutan dipidana karena memanfaatkanhutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,sehingga perlu ada pengecualian. Pada intinya halitu beranjak dari situasi konflik tenurial kehutananyang perlu diselesaikan. hingga keberadaan

Page 7: SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN PASCA …

E.ISSN.2614-6061P.ISSN.2527-4295 Vol.7 No.3 Edisi Agustus 2019

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan Hal. 240

Putusan Mahkamah Konstitusi 95 Nomor 95/PUU-XII/2014, harus dipandang sebagai bagian dariPutusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya yangmendorong penyelesaian konflik tenurial, terutamaPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor35/PUU-X/2012. Selain itu juga hasil InkuiriNasional yang diselenggarakan Komnas HAMuntuk mengkaji pelanggaran hak asasi manusia dibidang kehutanan pada tahun 2014.

Penyelesaian konflik ini tidak hanyapenting dan perlu tetapi juga sangat mendesakkarena menyangkut keselamatan warga negara.Oleh karena itu, pemerintah harus membanguninsitusi yang efektif untuk menyelesaikan konfliktenurial kehutanan. Penyelesaian konflik tenurialkehutanan haruslah diselenggarakan dengan cara-cara bermartabat tanpa kekerasan, Negara harusHadir guna melindungi segenap bangsa danmemberikan rasa aman kepada seluruh warganegara.

Sehubungan dengan penyelesaian konflikkehutanan, Negara (Pemerintah) seharusnya dapatmembangun kerjasama dengan masyarakat hukumadat. Menurut Ahmad Sodiki dalam keahliannyabahwa masyarakat hukum adat tersebut akanmencermati apakah pembalakan liar dilakukan olehanggota masyarakat hukum adat sendiri atau bukan,sehingga upaya untuk mencegah pembalakan liarakan efektif apabila terbangun kerjasama antarapemerintah dengan masyarakat adat.

5. KESIMPULANDari pembahasan bab-bab sebelumnya,

maka diajukan 2 pokok kesimpulan yang menjadihasil dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut:1. Penentuan subjek hukum dalam tindak pidana

kehutanan pasca Putusan Mahkamah KonstitusiNomor 95/PUU-XII/2014.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor95/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa ketentuanpidana kehutanan dikecualikan terhadapmasyarakat yang secara turun temurun hidup didalam hutan. Masyarakat yang turun temurunmerupakan istilah umum yang dapat ditujukankepada masyarakat adat maupun masyarakat lokalyang telah hidup di dalam hutan dari generasi kegenerasi. Masyarakat yang hidup secara turuntemurun dapat dilihat dari ciri telah hidup minimaldua generasi sebelumnya.

Hidup di dalam hutan dapat disandingkanatau dikaitkan dengan kebutuhan sandang,kebutuhan papan, kebutuhan pangan dan kebutuhansosial budaya atau spiritual yang telah turuntemurun bergantung dengan hutan.2. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 95/PUU-XII/2014 terhadap tindakpidana kehutanan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor95/PUU-XII/2014 berimplikasi padapertanggungjawaban tindak pidana kehutanan

terhadap masyarakat yang hidup secara turuntemurun di dalam hutan. Masyarakat yang hidupsecara turun temurun di dalam hutan melakukanaktifitas di dalam hutan seperti menebang pohon,atau memanen atau memungut hasil hutan sertamengembalakan ternak di dalam kawasan hutanNegara diperbolehkan atau tidak dilarang walaupuntanpa izin dari pejabat yang berwenang.Implikasinya, kegiatan (menebang pohon ataumemanen atau memungut hasil hutan sertamengembalakan ternak di dalam hutan) masyarakatyang hidup secara turun temurun di dalam hutantidak boleh ditindaklanjuti oleh Aparat PenegakHukum melalui proses-proses penal sepanjangkegiatan tersebut tidak ditujukan untuk kepentingankomersial.

Keberadaan Putusan MahkamahKonstitusi Nomor 95/PUU-XII/2014, dipandangsebagai bagian yang saling berkaitan dari PutusanMahkamah Konstitusi sebelumnya yangmendorong penyelesaian konflik tenurial yaituPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.

Penyelesaian konflik sangat mendesakkarena menyangkut keselamatan warga Negarasalah satunya dengan memprioritaskan percepatanpengakuan hutan adat serta disegerakannya PutusanMahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2014dimasukkan dalam perubahan Undang-UndangKehutanan. Penyelesaian konflik tenurialkehutanan haruslah diselenggarakan dengan cara-cara bermartabat tanpa kekerasan, Negara harushadir guna melindungi segenap bangsa danmemberikan rasa aman kepada seluruh wargaNegara.

8. REFERENSIAshofa Burhan, Metode Penelitian Hukum,

Cetakan VI, Rineka Cipta, Jakarta, 2010,hlm. 26.

Murhaini Suriansyah. Hukum Kehutanan,Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2012.

Santoso, Ananda. Kamus Besar Bahasa Indonesia,edisi ketiga, Kartika, Surabaya. 2009

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, PenelitianHukum Normatif Suatu TinjauanSingkat, PT.Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2014. hlm.13.

Kamaruddin. “Kerusakan Hutan (Deporentasi) diIndonesia.”Http//alamendah.wordpress.com. diakses pada tanggal 10-01-2018.

Yance Arizona. Et. all. “Anotasi putusan MK No.95/PUU-XII/2014”,Http/Revolusi.Agraria.wordpress.com.pdf. Di akses pada 27 Maret 2019.

UU RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum AcaraPidana (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1981 Nomor 76,Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 3209)

Page 8: SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN PASCA …

E.ISSN.2614-6061P.ISSN.2527-4295 Vol.7 No.3 Edisi Agustus 2019

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan Hal. 241

UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan(Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1999 Nomor 167, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia4412)

UU RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang MahkamahKonstitusi (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2003 Nomor 157,Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 4316)

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2014

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012


Recommended