TESIS
POLITIK HUKUM INTERNASIONAL INDONESIA DALAM MEMPERKUAT BASIS KEAMANAN DI WILAYAH PERBATASAN
(Studi Kasus Kabupaten Nunukan)
INTERNATIONAL LEGAL POLITICS OF INDONESIA IN STRENGTHENING SECURITY BASE IN BORDER AREA
(CASE STUDY OF NUNUKAN DISTRICT)
OLEH
MUHAMMAD FACHRI
NIM : P0908215009
SEKOLAH PASCASARJANA
KONSENTRASI HUKUM INTERNASIONAL
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
TESIS
POLITIK HUKUM INTERNASIONAL INDONESIA DALAM MEMPERKUAT BASIS
KEAMANAN DI WILAYAH PERBATASAN
(Studi Kasus Kabupaten Nunukan)
Disusun dan diajukan oleh
MUHAMMAD FACHRI
NOMOR POKOK P0908215009
Telah memenuhi syarat untuk diajukan pada ujian tesis
Menyetujui
Komisi Penasehat
Prof. Dr. Syamsuddin Muh.Noor, SH, MH Prof. Dr. Muhammad Ashri, SH, MH
Ketua Anggota
Mengetahui,
Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Prof. Dr. A. Pangeran Moenta, SH, MH, DFM
Ketua
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Muhammad Fachri
NIM : P0908215009
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul “POLITIK HUKUM
INTERNASIONAL INDONESIA DALAM MEMPERKUAT BASIS KEAMANAN DI
WILAYAH PERBATASAN (Studi Kasus Kabupaten Nunukan)” benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan penulisan atau
pemikiran orang lain, apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa
sebagian atau keseluruhan tesis ini adalah hasil karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, April 2018
Muhammad Fachri
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalamu Alaikum Wr.Wb. Alhamdulillahi rabbil alamin Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-
Nya serta karunia-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga Tesis yang
sederhana ini dapat terselesaikan dengan baik, Penulis menyadari bahwa hanya
dengan petunjuk-Nya jugalah sehingga kesulitan dan hambatan dapat terselesaikan
dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam kepada junjungan Nabiyullah
Muhammad SAW yang telah membawa kita semua dalam kehidupan yang penuh
dengan kebaikan serta menunjukkan jalan dari jalan yang gelap menuju jalan yang
terang benderang.
Dalam penyusunan Tesis ini, Penulis banyak menemui hambatan dan
tantangan baik yang sifatnya teknis maupun non teknis. Hanya dengan modal
semangat dan keyakinan yang teguh dengan dilandasi usaha dan berdoa maka
kendala-kendala tersebut dapat Penulis atasi dengan baik.
Oleh karena itu, Penulis sangat mengharapkan partisipasi aktif semua pihak
berupa saran dan kritik yang bersifat membangun (konstruktif) demi
penyempurnaannya dimasa mendatang.
Tak lupa pula penulis menghaturkan banyak terima kasih dan sembah sujud
kepada kedua orang tua penulis Ayahanda Dr.H.M. Ramli Haba S.H.,M.H yang
menjadi idola penulis dunia akhirat, yang memberikan banyak pelajaran kepada
penulis mulai dari hakikat organisasi, hakikat ilmu serta hakikat kehidupan sehingga
penulis dapat memahami esensi dari kehidupan yang fana ini. Dan kepada Ibunda
Hj. Nurhaedah S.H yang telah mendidik, membesarkan serta mengiringi setiap
langkah penulis dengan do’a serta restunya yang tulus. Penulis juga menghaturkan
banyak terima kasih kepada kakak tercinta drg.HJ.Ellyda Nur Fajri Ramli S.Kg dan
dr.H.Achmad Muchlas Ramli S.Ked. yang telah memberi semangat yang tulus buat
penulis dalam rangka penyelesaian Tesis ini.
Adapun maksud dari penyusunan Tesis ini adalah untuk memenuhi syarat
akademik dalam menyelesaikan pendidikan Strata Dua (S2) pada Bagian Hukum
Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
Pada kesempatan ini penulis menghaturkan banyak terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Syamsuddin Muhammad Noor SH.MH. Selaku Pembimbing I dan Prof.
Dr. Muhammad Ashri SH., MH. selaku Pembimbing II yang telah banyak
meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis didalam
penyusunan Tesis ini.
2. Prof. Dr., Marcel Hendrapati S.H.,M.H., Dr. Maasba Magassing , S.H.,M.H., Dr.
Iin Karita Shakarina, S.H.,M.H. Selaku dosen penguji yang telah banyak
memberikan saran dan masukan yang sangat berharga demi kebaikan penulis
dan kesempurnaan tesis ini.
3. Prof. Dr. Farida Patitingi S.H.,M.Hum., Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H.,M.H., Dr.
Syamsuddin Mochtar, S.H.,M.H., dan Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H.,M.H. selaku
Dekan dan Wakil Dekan I, II dan III Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
4. Dr. Hasbir Paserangi, S.H.,M.H selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Hukum yang dengan sabar dan penuh tanggung jawab memberikan petunjuk
yang sangat bernilai bagi penulis.
5. Guru Besar, Dosen, dan Seluruh Staf Akademik Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin.
6. Keluarga Besar Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum tahun 2015.
7. Teman-teman Konsentrasi Hukum Internasional Handar Subhandi., SH., MH.
Nurfitriani Khairunnisa., SH., MH. Deppa Ringgi., SH., MH. Anita Musliana., SH.,
MH. Nurakifa Janur., SH., MH. Lestari Sainuddin., SH., MH
8. Teman-teman seperjuangan Lestari Lakalet., SH., MH. Helmiriyadushalihin.,
SH., MH. Nurul Putri Yana., SH., MH. Hidayat Pratama Putra., SH., MH
9. Keluarga Besar The Next Generation.
10. H. Kaharuddin Tokkong., P.Mdy selaku Kepala Bagian Organisasi Kabupaten
Nunukan yang meluangkan waktunya dalam memberikan data terhadap
penelitian saya.
11. Muhammad Efendi Kepala Bagian Wilayah Perbatasan Kabupaten Nunukan
yang meluangkan waktunya dalam memberikan data terhadap penelitian saya.
12. Letkol Valian Wicaksono Komandan Dandim 0911 Kabupaten Nunukan yang
meluangkan waktunya dalam memberikan data terhadap penelitian saya
13. Terkhusus Kepada Rizki Febrisari yang selama ini membantu saya dalam
penulisan serta pengeditan tesis saya.
14. Segenap pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu atas bantuan,
dukungan, kerjasama, dan semangat yang sangat berharg bagi penulis dan Jika
suatu hari nanti. Entah besok atau kapan saja, kita berpisah dan tidak bertemu
lagi. Ketahuilah hadiah terindah yang pernah penulis dapat adalah mengenal
kalian semua.
Atas segala bantuan, kerja sama, uluran tangan yang telah diberikan dengan
ikhlas hati kepada penulis selama menyelesaikan studi hingga rampungnya tesis ini,
tak ada kata yang dapat terucapkan selain terima kasih. Begitu banyak bantuan
yang telah diberikan bagi penulis. Namun melalui doa dan harapan dari penulis
semoga amal kebajikan yang telah disumbangkan dapat diterima dan memperoleh
balasan yang lebih baik dari Sang Maha Sempurna Pemilik Segalanya, Allah SWT.
Aamiinn..
Akhir kata, meskipun telah bekerja dengan maksimal mungkin, tesis ini tentunya
tidak luput dari kekurangan. Harapan penulis, kiranya tesis ini dapat memberikan
manfaat kepada pembacanya, Aaamiinn..
Wassalamu Alaikum Wr. Wb.
Makassar, Juni 2018
Muhammad Fachri
ABSTRAK
MUHAMMAD FACHRI, P0908215009, Politik Hukum Internasional
Indonesia Dalam Memperkuat Basis Keamanan di Wilayah
Perbatasan (Studi Kasus Kabupaten Nunukan) (Dibimbing Oleh
Syamsuddin Muhammad Noor, selaku Pembimbing I dan Muhammad
Ashri, selaku Pembimbing II).
Penelitian ini bertujuan guna Menambah wawasan tentang bagaimana Indonesia dalam menggunakan politik hukum internasional. Menambah referensi cara untuk mengurangi terjadinya pelanggaran tapal batas didaerah perbatasan Indonesia dan Malaysia. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dan deskriptif, dengan Tipe Penelitian Normatif-Empiris serta menggunakan tehnik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Data dilengkapi dengan data primer dari hasil wawancara melalui instansi terkait, dan data sekunder dari refernsi-referensi (buku,jurnal dan website) dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan metode analisis kualitatif secara deskriptif. Penelitian ini dilakukan di Kantor Pemerintahan Daerah Kabupaten Nunukan, Komando Distrik 0911 Kab. Nunukan, Departemen Keimigrasian Kab. Nunukan, Komando Angkatan Laut Kab. Nunukan. Dari hasil penelitian (1) Tekad pemerintah dalam menjalankan politik hukum internasionalnya sangatlah terlihat jelas dengan adanya beberapa regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah itu sendiri, RPJMN sebagai landasan utama dalam menjalankan politik hukum internasionalnya sangatlah sesuai dengan kepentingan masyarakat di wilayah perbatasan. Namun, dalam pelaksanaannya masih banyak kendala-kendala yang ditemui pemerintah, mulai dari segi anggaran masih relatif kecil (sebesar 1,50%) dari total APBN 2018, tidak sinergi antara instansi lintas sektoral hingga keberadaan pemerintah dianggap belum mampu hadir di wilayah perbatasan itu sendiri. (2) Kurangnya fasilitas memadai di kawasan perbatasan dan kondisi yang masih tertinggal mengakibatkan warga perbatasan di Kalimantan Utara yang berbatasan langsung dengan Negara Malaysia Bagian Timur mengantungkan hidup ke negara tetangga. Pasca pentupan pos lintas batas di Sei Pancang berdampak signifikan terhadap warga perbatasan yang ingin melintas. Hal ini dapat memunculkan banyaknya pelangggar batas illegal. Kehadiran negara di wilayah perbatasan sangat disadari oleh masyarakat itu sendiri sehingga banyak WNI memiliki ketergantungan terhadap negara tetangga, banyaknya fasilitas yang disediakan oleh negara tetangga mengakibatkan banyaknya WNI mengadu nasib ke negara tetangga sehingga dapat mempengaruhi degradasi nasionalisme WNI perbatasan. Kata kunci : Politik hukum, penegakan hukum, wilayah perbatasan
ABSTRACT
MUHAMMAD FACHRI, P0908215009, International Legal Politics of Indonesia Strengthening Security Base in Border Area (Case Study of Nunukan District) (Supervised by Syamsuddin Muhammad Noor and Muhammad Ashri). This study aims to add insight into how Indonesia is used the international legal politics. Adding ways to reduce the boundaries of border areas in Indonesia and Malaysia The research method employed was qualitative and descriptive, by using Normative-Empirical research type. the data collecting method was literature research and field research. The data employed was primary data collected through interview with relevant institution and secondary data collected through reference (books, journals and websites) and the prevailing Laws. The research was conducted at the Regional Government Office of Nunukan Regency, Mlitary District Command 0911 of Nunukan Regency, Immigration Office Nunukan Regency, Navy Army Command of Nunukan Regency. The result of the research indicate that: (1) The willingness government in implementing its international legal politics is very clear with existence of some regulations enacted by the government , Midterm Development Plan of Nunukan (RPJMN) as the main foundation in implementing its international legal politics is very suitable with the interest of society in the border areas. However, in the implementation there are still many obstacles encountered by the government, ranging from the relatively small (1.50%) of the total National Income and Express Budget of 2018, lack of synergetic between cross-sectoral institutions to the existence of the government that is considered not able to be present in the border regions area itself.(2) After the Malaysian government's policy of closing the cross-border post at Sei Pancang in 2011 has had a significant impact on the border residents who want to cross because to cross to Malaysia the border citizens have to take nunukan to take cross-border stamps, making it very difficult for border residents. This can lead to a large number of illegal border violators on one side of the Border Trade Agreement which has been a reference of border residents to cross-border trade is considered insufficient in living the life needs of citizens of the border for a month. Therefore, it is necessary for government diplomacy related to problems that occur in the border region. This effort can suppress the occurrence of border violations at the border in Nunukan Regency. Keywords: legal politic, law enforcement, border areas
DAFTAR ISI
Sampul
Halaman Judul
Persetujuan Pembimbing
Pernyataan Keaslian Tesis
Ucapan Terima Kasih
Abstrak
Daftar Gambar
Daftar Tabel
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah………………………………………………… 1
1.2. Rumusan Masalah………………………………………………………. 12
1.3. Tujuan Penelitian…………………………………………………………. 12
1.4. Manfaat Penelitian………………………………………………………. 12
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsepsi Kedaulatan Wilayah Negara………………………………… 13
2.1.1. Wilayah Daratan…………………………………………………. 18
2.1.2. Wilayah Perairan………………………………………………… 21
2.1.3. Wilayah Ruang Udara…………………………………………… 25
2.2. Politik Hukum Pembangunan Nasional………………………………… 28
2.3. Prinsip Hukum Internasional Dalam Penentuan Perbatasan……… 34
2.3.1.Self Determination……………………………………………… 34
2.3.2. Uti Possidetis…………………………………………………… 38
2.3.3. Perjanjian Perbatasan………………………………………….. 41
2.4. Dinamika Lingkungan Pertahanan di Kawasan Perbatasan…… 46
2.5. Teori yang digunakan dalam Menganalisis Politik Hukum Internasional
Indonesia Dalam Memperkuat Basis Keamanan di Wilayah
Perbatasan……………............................................................................ 53
2.5.1. Teori Sistem Hukum Statis dan Sistem Hukum Dinamis…. 53
2.5.2 Teori Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum… 55
2.6. Kerangka Pikir ………………………………………………………… 57
2.7. Definisi Operasional ……………………………………………………. 58
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian ………………………………………………………… 60
3.2. Tipe Penelitian………………………………………………………….... 60
3.3. Populasi dan Sampel……………………………………………………. 61
3.4. Teknik Pengumpulan Data……………………………………………… 61
3.5. Jenis dan Sumber Data ………………………………………………. 62
3.6. Analisis Data …………………………………………………………….. 63
BAB 4 PEMBAHASAN
4.1. Pengertian dan Cakupan Studi Politik Hukum Internasional …….. 64
4.2. Contoh kasus di wilayah perbatasan Indonesia Malaysia ………… 73
4.3. Pemerntah Indonesia dalam Menggunakan Politik Hukum Internasional 79
4.3.1 Pemerintah Indonesia Dalam Menetapkan Politik Hukum
Internasionalnya ………………………………………………… 79
4.3.2 Implementasi Pemerintah Indonesia Menggunakan Politik Hukum
Internasonalnya ………………………………………………… 96
4.4. Upaya pemerintah dalam mengurangi pelanggaran di tapal batas
Indonesia dan Malaysia …................................................................... 113
4.4.1. Faktor undang-undang …………………………………………… 116
4.4.2. Faktor penegak hukum …………………………………………… 122
4.4.3. Faktor sarana dan fasilitas ……………………………………….. 124
4.4.4. Faktor masyarakat dan kebudayaan ……………………………. 135
BAB 5 PENUTUP
5.1. Kesimpulan …………………………………………………………………… 148
5.2. Saran ………………………………………………………………………….. 150
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………… 152
Daftar Gambar
Gambar 1 Peta Perbatasan Darat Indonesia dan Malaysia 81
Gambar 2 Peta Administrasi Kabupaten Nunukan 82
Gambar 3 Daerah Outstanding Border Problem Sungai Sinapad 85
Gambar 4 Daerah Outstanding Border Problem Sungai Simantipal 86
Gambar 5 Daerah Outstanding Border Problem Patok B 2.700 – B 3.100 90
Gambar 6 Daerah Outstanding Border Problem Daerah Sebatik 91
Gambar 7 Daerah Outstanding Border Problem Patok C 500 – C 600 92
Gambar 8 Daerah Outstanding Border Problem Karang Unarang 93
Gambar 9 Peta Situasi LANAL Nunukan 125
Gambar 10 Kondisi salah satu Pos Lintas Batas dan Patok Perbatasan di Sebatik
Desa Aji Kuning 131
Gambar 11 Kondisi salah satu Patok Perbatasan di Sebatik 134
Daftar Tabel
Tabel 1 Rencana Aksi tahun anggaran 2018 102
Tabel 2 Alokasi Anggaran untuk Provinsi yang Memiliki Kabupaten di Perbatasan
Negara 105
Tabel 3 Capaian Sasaran Pokok Kawasan Perbatasan Negara Rencana
Pembangunan Jangka Menegah Nasional 2015-2019 110
Tabel 4 Pelintas Batas dengan Menggunakan Pas Lintas Batas
melalui Pos Sei Pancang 2010-2014 132
Tabel 5 Kerja Sama Lintas Batas Indonesia-Malaysia 139
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Rangkaian pulau-pulau yang membentang dari barat ke timur yang
disatukan oleh sabuk maritim, merupakan penegasan eksistensi dari
“fitrah” Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) yang
terbesar di dunia. Gambaran wilayah Indonesia yang sedemikian elok
dalam karya R.Sutarjo tersebut menunjuk pada batas ujung barat dan
timur dari wilayah Indonesia. Namun sayangnya, ujung utara dan ujung
selatan tidak terwadahi dalam lagu tersebut. Padahal secara kewilayahan,
hal itu sangat signifikan diketahui oleh setiap anak bangsa guna
mengingatkan integritas kewilayahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.1
Secara politis, Indonesia dengan tegas telah mengklaim negara
Indonesia sebagai negara kepulauan dalam sebuah deklarasi yang
disebut “Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957” yang berbunyi:
”segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar wilayah daratan Negara Republik Indonesia dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai diperairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak
1 Saru Arifin, 2014, Hukum Perbatasan Antar Negara, Sinar Grafika:Jakarta, hlm : 1
2
bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia”
Deklarasi Djuanda mengakui eksistensi negara maritim
“Nusantara”, sehingga pemerintah dan bangsa Indonesia wajib
memperjuangkan serta mempertahankannya hingga mendapat
pengakuan internasional. Deklarasi Djuanda merupakan landasan
struktural dan legalitas bagi proses integrasi nasional Indonesia sebagai
negara maritim.
Hal ini sejalan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945) dalam BAB IXA Pasal 25 A tentang
Wilayah Negara yaitu :2
“Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”
Dari kutipan ayat tersebut sangat jelas telah diundangkannya batas
wilayah suatu negara.
Dalam peraturan, yang dikenal dengan sebutan Deklarasi Djuanda,
disebutkan bahwa batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya 3 (tiga)
mil laut diperlebar menjadi 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis yang
menghubungkan titik-titik/ujung terluar pada pulau-pulau terluar dari
wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut. Dengan keluarnya
pengumuman tersebut, secara otomatis Ordonantie 1939 tidak berlaku
2 Lihat Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3
lagi dan wilayah Indonesia menjadi suatu kesatuan antara pulau-pulau
serta laut yang menghubungkan antara pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda tersebut telah memberikan dasar fundamental
politik dan hukum yang kokoh bagi Indonesia yang sedang menghadapi
tantangan yang sedemikian besar dalam memperjuangkan wilayahnya di
dunia internasional. Dalam konsep hukum internasional Indonesia
menggunakan “Uti Possidetis”3, dimana pada saat itu pemerintah
mengklaim wilayah Indonesia merupakan negara bekas jajahan
pemerintah kolonial Belanda.
Secara makro konsep ini tidak banyak menimbulkan masalah.
Klaim wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dan dari pulau
Miangas di ujung Sulawesi Utara sampai pulau Rote di bagian selatan
NTT, adalah benar dilihat dari konsep ini. Hanya saja, ketika persoalan
makro itu akan diimplementasikan dalam konteks mikro, seperti
penentuan titik patok perbatasan, terutama di wilayah darat, maka cukup
banyak permasalahan yang akan timbul, sebab penentuan titik patok
perbatasan, tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh Indonesia, tetapi
harus melibatkan negara tetangga yang berbatasan langsung, seperti
dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, NTT Timor Leste, dan Papua
Nugini.4
4 Saru Arifin, Op.cit., hlm: 3
4
Kepastian dan kejelasan batas kedaulatan suatu negara
merupakan hal yang sangat fundamental, sebagai suatu kebutuhan bagi
penyelenggaraan negara dan rakyat Indonesia dalam beraktivitas dan
melakukan hubungan dengan negara lain. Sehingga dapat memberikan
jaminan adanya perlindungan dan kepastian hukum dari negara mengenai
batas wilayah kedaulatannya.5
Suatu negara tidak bisa disebut sebagai negara yang merdeka dan
berdaulat, apabila tidak mempunyai unsur eksistensial yang disebut
wilayah tertentu dengan batas-batas tertentu (a defined territory). Salah
satu kondisi obyektif Indonesia sebagai suatu negara kesatuan adalah
negara yang secara geografis memiliki wilayah tertentu yang bukan
merupakan sebuah benua atau daratan semata, tetapi sebuah negara
yang wilayah atau dimensi wilayah nasionalnya merupakan kesatuan dari
tiga dimensi wilayah yaitu darat, laut dan udara, sehingga memiliki ciri
khusus sebagai satu Negara Kepulauan yang berciri Nusantara.6
Menurut Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah
Negara, kawasan perbatasan adalah bagian dari wilayah negara yang
terletak di sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara
lain. Dalam hal batas wilayah negara di darat, kawasan perbatasan
berada di kecamatan. Wilayah negara didefinisikan sebagai salah satu
5 Suryo Sakti Hadiwijoyo, 2011, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional,
Graha Ilmu: Yogyakarta, hlm: 1-2
6 Direktorat Wilayah Pertahanan, 2007, Optimalisasi Penanganan Wilayah Maritim RI-RDTL
Dalam Rangka Menjaga Keutuhan NKRI, Departemen Pertahanan: Jakarta. Hlm: 6
5
unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan
pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial beserta dasar laut dan
tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh
sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.7
Sementara itu, pengelolaan kawasan perbatasan didefinisikan
sebagai segala upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengelola batas
kedaulatan kawasan, memanfaatkan sumber daya alam, dan menjaga
keutuhan kawasannya baik darat, laut maupun udara, Fokus pengelolaan
kawasan perbatasan ini kemudian diakomodasi melalui dua pendekatan.
Pertama, kedaulatan kawasan diusahakan melalui pendekatan keamanan.
Kedua, pemanfaatan sumber daya alam berusaha dicapai melalui
pendekatan kesejahteraan. Seyogianya, pemanfaatan sumber daya alam
ini digunakan untuk kesejahteraan masyarakat kawasan perbatasan.
Namun, dapat pula diartikan pemanfaatan sumber daya alam melalui
eksploitasi oleh perusahaan besar yang diberi izin oleh negara dan tidak
melibatkan warga lokal yang justru mengancam sumber kehidupan
masyarakat perbatasan. Dengan demikian, diperlukan pengembangan
pendekatan pengelolaan kawasan perbatasan agar kepentingan
7 Sandy Nur Ikfal Raharjo, Kebijakan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Darat Indonesia-
Malaysia (Studi Evaluatif di Kecamatan Entikong), Jurnal LIPI, Pusat Penelitian Politik, Vol 16 No 1 April 2013, Hlm : 73
6
kedaulatan dan kesejahteraan bisa dicapai bersama, baik bagi negara
maupun bagi masyarakat perbatasan.8
Pengelolaan wilayah perbatasan, khususnya di perbatasan maritim,
pada akhir-akhir ini semakin menjadi perhatian dan pembicaraan berbagai
kalangan, baik pemerintahan, elit politik, media massa, masyarakat
maupun dunia usaha, Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, telah
menerapkan berbagai kebijakan dan peraturan terkait pengelolaan
perbatasan, baik prasarana maupun kesejahteraan masyarakat di wilayah
perbatasan. Menyadari bahwa wilayah perbatasan merupakan wilayah
rawan konflik antar negara maupun dunia internasional, maka kebijakan
pembangunan wilayah perbatasan harus direncanakan dan dilaksanakan
secara terpadu dan komprehensif, terkait kepentingan kesejahteraan dan
kepentingan pertahanan keamanan dengan tidak meninggalkan
kepentingan kelestarian lingkungan hidup.9
Hal ini dikarenakan implementasi pembangunan yang dilaksanakan
sampai saat ini, belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Akibatnya
berbagai bentuk dan jenis ancaman, baik militer maupun nirmiliter10,
pelanggaran wilayah oleh kapal-kapal militer ataupun sipil dan berbagai
bentuk kegiatan illegal yang terjadi, begitu mudah dilakukan dengan
8 Ibid.,.,
9 Purnomo Yusgiantoro, Pengelolaan Perbatasan Mengsinergikan Keamanan dan
Kesejahterahan, Tabloid Diplomasi, 15 Februari-14 Maret 2013, Hlm: 7-8
10
Ancaman Nirmiliter adalah ancaman yang menggunakan factor-faktor nirmiliter yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman ini dapat berdimensi ideology, ekonomi, politik, social, budaya, teknologi dan informasi.
7
menggunakan wilayah perbatasan sebagai pintu ke luar negeri. Dengan
kata lain, wilayah di halaman depan kita dengan mudah dapat dimasuki
oleh berbagai bentuk dan jenis ancaman, baik yang terkait dengan aspek
geografi, demografi, sumber kekayaan alam, geologi, politik, ekonomi,
sosial dan budaya serta pertahanan dan keamanan.11
Peranan penting dari wilayah negara dalam hukum internasional
tercermin dalam prinsip penghormatan terhadap integritas kewilayahan
(territorial integrity) yang dimuat dalam pelbagai instrumen internasional.
misalnya dalam bentuk larangan untuk melakukan intervensi terhadap
masalah-masalah internal dari suatu negara. Meskipun demikian, sebagai
akibat dari perkembangan teknologi dan ekonomi dewasa ini, dalam
hubungan antar negara tampak adanya kecenderungan untuk mengurangi
peran eksklusif dari wilayah negara, khususnya dalam masalah-masalah
yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan hak untuk menentukan
nasib sendiri (self determination). Namun, hingga saat ini kedaulatan
teritorial tetap merupakan suatu prinsip penting dalam hukum
internasional dan telah melahirkan berbagai ketentuan hukum tentang
perolehan dan hilangnya wilayah negara.12
Fenomena yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia dalam hal
gangguan pertahanan dan keamanan merupakan cerminan pemegang
11 Ibid.,.,
12
Mochtar Kusumaatmadja, 2012, Pengantar Hukum Internasional, Alumni: Bandung, Hlm : 162
8
kebijakan yang kurang mampu mengatasi permasalahan internal yang
terjadi di daerahnya. Kesenjangan ekonomi di dalam struktur masyarakat
akan memunculkan kerawanan sosial, sehingga tidak jarang ditemui
dalam sejarah Indonesia, ketika perekonomian nasional sedang terpuruk,
maka yang terjadi adalah munculnya kecemburuan sosial yang
diakibatkan perbedaan antara si kaya dan si miskin yang begitu
mencolok.13
Sama hal dengan pengelolaan wilayah perbatasan yang sering kita
temui, akibat pemegang kekuasaan yang selalu mengesampingkan hal
tersebut. Padahal wilayah perbatasan merupakan halaman depan negara
Indonesia namun sangat kurang sekali tersentuh pembangunan di wilayah
tersebut sehingga banyak masyarakat di wilayah perbatasan yang
menggantungkan hidupnya pada negara tetangga.
Misalnya dalam hal pemberian identitas, Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes), di era
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Marwan Jafar
mengatakan pemberian identitas penduduk kepada warga desa di
sejumlah wilayah perbatasan Indonesia oleh Malaysia adalah modus yang
13 Asren Nasution, 2011, Pertahanan Negara Di Wilayah Pesisir Perspektif Pengembangan
Wilayah, Prenada: Jakarta, Hlm : 4
9
harus disikapi dan perlu diwaspadai. Dalam wawancaranya di media
Tempo Marwan Jafar mengatakan :14
"Bayangkan jika semua penduduk desa Indonesia mempunyai identitas Malaysia. desa itu ibarat desa siluman."
Hal ini menegaskan kurangnya perhatian pemerintah selaku
pemegang kekuasaan dalam memperhatikan wilayah sendiri. Selain
daripada itu masalah perbatasan bukan hanya menyangkut masalah
pemberian identitas namun mulai dari pergeseran patok hingga masalah
pendistribusian bahan pangan. Kurangnya perhatian pemerintah
mengakibatkan banyak patok-patok di wilayah perbatasan mengalami
kerusakan bahkan ada yang mengalami pergeseran yang sangat jauh
sampai ada patok yang sengaja dihilangkan dari tempatnya.
Permasalahan pertahanan batas selalu dijaga ketat supaya tak ada
tangan-tangan usil yang menggeser batas wilayah. Namun, kenyataannya
Indonesia masih disebut lalai menjaga pertahanan batas-batas
wilayahnya. Baru-baru ini, Komandan Kodim 0911/Nunukan, Kalimantan
Utara, Letkol Inf Putra Widiastawa menyatakan ada 12 patok perbatasan
Indonesia-Malaysia yang hilang di Desa Sekaduyan Taka Kecamatan
14 Odelia Sinaga, 2014, Modus Malaysia Kuasai Desa di Perbatasan Indonesia,
https://m.tempo.co/read/news/2014/11/17/078622324/modus-malaysia-kuasai-desa-di-perbatasan-indonesia, [diakses pada tanggal 15 April 2016 pada pukul 01.00]
10
Seimenggaris Kabupaten Nunukan. Kasus hilangnya tapal batas itu pun
segera mencuat karena menyangkut yurisdiksi.15
Menurut Komandan Kodim 0911/Nunukan, Kalimantan Utara,
Letkol Inf Putra Widiastawa, ada 12 patok perbatasan Indonesia-Malaysia
yang hilang di Desa Sekaduyan Taka Kecamatan Seimenggaris
Kabupaten Nunukan. Dalam klarifikasinya melalui via pesawat telepon
mangatakan :16
"Sesuai hasil pengecekan kami di lokasi, terdapat 12 patok perbatasan yang hilang."
Putra Widiastawa mengungkapkan selain patok yang hilang,
terdapat 16 patok perbatasan kedua negara di daerah itu yang ditemukan
rusak, Putra mengaku khawatir hilangnya patok batas antara Indonesia
dan Malaysia akan menimbulkan gesekan antara dua negara, mengingat
hubungan dua negara sempat naik dan turun.17
Banyaknya permasalahan yang timbul di daerah perbatasan di
Indonesia, sudah seharusnya pemerintah harus mengkaji ulang dalam
memetakan wilayah-wilayah Indonesia yang tengah bermasalah. Dan
diperlukan sikap politik pemerintah Indonesia dalam menegaskan
wilayahnya. Hal ini dapat menyulitkan pemerintah disamping banyaknya
15 Eda Ervina, 2014, Cerita Hilangnya Patok Batas Indonesia-Malaysia di Nunukan,
http://www.merdeka.com/peristiwa/cerita-hilangnya-patok-batas-indonesia-malaysia-di nunukan/kapolda-kaltim-akan-tinjau-pos-perbatasan.html, [diakses pada tanggal 15 April 2016 pada pukul 01.00]
16 Ibid.,
17
Ibid.,
11
masalah tumpang tinding dalam perbatasan di negara tetangga, kondisi
geografis Indonesia yang memungkinkan hal ini terjadi. Tugas pemerintah
sebagai negosiator sangat diperlukan agar dapat menegaskan wilayah
perbatasan yang tumpang tindih satu sama lain.
12
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Indonesia menggunakan politik hukum
internasional ?
2. Bagaimana mengurangi terjadinya pelanggaran tapal batas
didaerah perbatasan Indonesia dan Malaysia ?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Menambah wawasan tentang bagaimana Indonesia dalam
menggunakan politik hukum internasional
2. Menambah referensi cara untuk mengurangi terjadinya
pelanggaran tapal batas didaerah perbatasan Indonesia dan
Malaysia.
1.4. Manfaat Penelitian
2. Hasil Penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan
masukan dalam rangka mengoptimalkan peran pemerintah
dalam menggunakan politik hukum internasionalnya.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
kepada pemerintah pusat serta pemerintah, aparat penegak
hukum, dan mahasiswa terkait pengelolaan perbatasan.
13
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsepsi Kedaulatan Wilayah Negara
Pada prinsipnya suatu kelompok masyarakat dapat disebut negara
apabila memiliki wilayah, yang merupakan salah satu elemen/syarat untuk
berdirinya suatu negara, di samping elemen rakyat dan pemerintah yang
berdaulat. Wilayah merupakan ruang di mana orang yang menjadi warga
negara atau penduduk negara yang bersangkutan hidup serta
menjalankan segala aktifitasnya. Wilayah negara sebagai suatu ruang,
tidak saja terdiri atas daratan atau tanah, tetapi juga perairan dan juga
ruang udara diatasnya. Wilayah daratan dan wilayah ruang udara dimiliki
oleh setiap negara sedangkan wilayah perairan, khususnya wilayah laut
hanya dimiliki oleh negara pantai atau negara yang dihadapan dan sekitar
pantainya terdapat laut wilayah.18
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo
193319 mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara, wilayah
merupakan salah satu elemen utama untuk menyatakan sebuah entitas
sebagai negara, merupakan subjek hukum utama dalam hukum
internasional. Disamping itu, dengan adanya wilayah, negara dapat
18 Marnixon R.C Wila, 2006, Konsepsi Hukum dalam Pengaturan dan Pengelolaan Wilayah
Perbatasan Antarnegara, Alumni: Bandung, Hlm : 127
19 The state as a person of international law should possess the following qualification : A.
Permanent population, B. A defined territory, C. Goverment, D. Capacity to enter into relations with the other states
14
mengejawantahankan kedaulatanya diantara lain , penerapan aturan
sekaligus mengefektifkan sanksi yang dinyatakan dalam aturan tersebut.
Disini kita lihat adanya korelasi yang jelas antara kedaulatan, wilayah, dan
negara, sehingga tanpa adanya wilayah subjek hukum tersebut tidak bisa
dikatakan sebagai negara.20
Dalam sejarah kehidupan umat manusia atau negara-negara,
kadang-kadang bisa muncul konflik yang disebabkan oleh masalah
kewilayahan. Konflik ini antara lain bisa disebabkan karena keinginan
untuk melakukan ekspansi wilayah atau memang tidak jelasnya garis
batas antara dua atau lebih negara. Akan tetapi, dengan semakin
meningkatnya penghormatan atas kedaulatan territorial negara-negara,
terutama setelah Perang Dunia II, kini usaha untuk melakukan ekspansi
wilayah semakin berkurang, bahkan dapat dikatakan sudah tidak ada
lagi.21
Dalam praktiknya adanya wilayah yang pasti tidak selalu
merupakan syarat bagi adanya negara, meskipun dalam kenyataannya
tiap negara modern mempunyai suatu wilayah yang pasti, Negara Israel.
Misalnya, pada tahun 1949 telah mendapat pengakuan sebagai negara
meskipun pada waktu itu wilayahnya belum pasti. Disamping itu
perubahan wilayah suatu negara juga tidak merubah identitas negara
20 Jawahir Thontowi., Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, Refika
Aditama: Bandung, Hlm : 177
21 Alma Manuputty et.al, 2008, Hukum Internasional, Recht ta: Makassar, Hlm : 92
15
tersebut. Diantara syarat-syarat yang ditetapkan dalam konvensi
Montevideo itu syarat adanya kemampuan mengadakan hubungan
internasional merupakan suatu syarat penting dalam hukum internasional.
Syarat seperti inilah yang membedakan negara sebagai subjek hukum
internasional dengan entitas yang bukan negara.22
Seperti dikemukakan sebelumnya terkait syarat-syarat adanya
suatu negara, memang diakui bahwa wilayah sebagai syarat utama dalam
membentuk suatu negara, tidak terlepas kemapuan negara itu untuk
melakukan hubungan luar negeri dengan negara-negara sekitarnya.
Disamping itu harus diperhatikan bentuk dan sistem ketatanegaraan itu
sendiri terkait kemampuannya untuk melakukan hubungan luar negeri.
Dalam kepustakaan hukum internasional, dikatakan bahwa negara
yang berdaulat ialah negara yang mampu dan berhak mengurus sendiri
kepentingan-kepentingannya baik dalam negeri maupun luar negerinya
dengan tidak bergantung kepada negara lain, Jean Bodin menyelidiki
kedaulatan ini dari aspek interennya yakni kedaulatan sebagai kekuasaan
negara dalam batas-batas lingkungan wilayahnya. Internal Souvreignity ini
merupakan kekuasaan tertinggi dari negara untuk mengurus wilayahnya,
sedangkan Grotius menyelidiki kedaulatan dari aspek eksternnya, yaitu
kedaulatan dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Kedaulatan
22 Sugeng Istanto, 2014, Hukum Internasional Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka: Yogyakarta,
Hlm : 30
16
eksteren ini lebih umum di kenal dengan kemerdekaan atau persamaan
derajat antarnegara .23
Manifestasi kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi yang dimiliki
oleh suatu negara mengandung dua sisi, yakni sisi internal dan sisi
eksternal. Sisi internal dari kedaulatan adalah merupakan kekuasaan
tertinggi untuk mengatur masalah-masalah internal, masalah domestik,
atau masalah-masalah dalam negerinya sendiri. Wujud nyata dari sisi
internal dari kedaulatan negara misalnya terwujud pada bentuk negara,
bentuk dan sistem pemerintahannya sendiri, sistem politiknya,
pembentukan dan pelaksanaan hukum nasionalnya, yang semua itu
ditentukan oleh negara itu sendiri tanpa campur tangan dari negara-
negara lain.24
Sedangkan sisi eksternal dari kedaulatan negara termanifestasikan
dalam wujud kekuasaan untuk mengadakan hubungan-hubungan
internasional dengan sesama negara maupun dengan subyek-subyek
hukum internasional lainnya, seperti turut serta dalam perundingan atau
konperensi-konperensi internasional, membuat dan mengikatkan diri pada
perjanjian perjanjian internasional bilateral maupun multilateral, meminta
bantuan dari atau memberikan bantuan kepada negara-negara lain,
23 Muhammad Nur Islami, 2014, Hukum Internasional Dalam Perspektif Islam dan Kedaulatan
Bangsa, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, Hlm : 78
24 I Wayan Parthiana, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju: Bandung, Hlm: 90-
91
17
mengadakan kerjasama bilateral maupun mulltiateral dalam pelbagai
bidang, menjadi anggota suatu organisasi internasional. dan lain-lain.25
Peran sentral wilayah dalam skema hukum internasional bisa dilihat
dari perkembangan aturan hukum yang melindungi keadaannya yang
tidak bisa di ganggu gugat. Prinsip penghormatan integritas territorial
negara juga merupakan salah satu penyangga sistem internasional,
seperti halnya norma yang melarang campur tangan terhadap urusan
internal negara lain. Namun, terdapat sejumlah faktor yang mengurangi
ekslusivitas territorial negara dalam hukum internasional. Dalam hal ini,
perubahan teknologi dan ekonomi turut berdampak mengingat semakin
mencoloknya salingketergantungan dan bangkitnya perhatian lintas
bangsa seperti hak asasi manusia dan penentuan nasib sendiri yang
cenderung mengusik ekslusivitas ini.26
Mengingat konsep kedaulatan wilayah suatu negara tidak lepas
dari ketiga rezim hukum yang berlaku dan memiliki yuridiksi masing-
masing. Rezim Wilayah Darat, Rezim Wilayah Laut, Rezim Wilayah
Udara. Dengan demikian ketiga rezim ini memiliki saling ketergantungan
satu sama lain.
25 Ibid.,., Hlm : 91
26
Malcolm N. Shaw QC, 2013, Hukum Internasional, Nusa Media, Bandung., Hlm : 479
18
2.1.1. Wilayah Daratan
Wilayah merupakan atribut yang sangat penting bagi eksistensi
suatu negara. Di atas wilayahnya negara memiliki hak-hak untuk
melaksanakan kedaulatan atas orang. benda juga peristiwa atau
perbuatan hukum yang terjadi di wilayahnya. Namun demikian, atas
wilayahnya negara wajib untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang
merugikan negara lain serta tindakan-tindakan yang membahayakan
perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 7 draft deklarasi PBB
tentang hak-hak dan kewajiban negara 1949). Dalam kaitannya dengan
wilayah negara wajib untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang
diperoleh dengan kekerasan (Pasal 12 draft deklarasi PBB tentang hak-
hak dan kewajiban negara 1949).27
Dalam hal memperoleh kedaulatan di wilayah daratan ada lima
cara tradisional dan diakui pada umumnya dalam hal ini adalah :
Occupation (Pendudukan)28, Annexation (Penaklukan)29, Accression
(Akresi)30, Cession (Penyerahan)31, Prescription (Preskripsi)32.
27 Sefriani, 2011, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Pers: Jakarta, Hlm: 204
28
Occupation ialah perolehan/penegakkan atas wilayah yang bukan dibawah wewenang Negara lain dan belum pernah diletakkan kedaulatan suatu negara.
29 Aneksasi adalah Tindakan formal di mana suatu bangsa, negara atau kota menggabungkan
wilayah dalam kekuasaannya. Dalam hukum internasional, formalitas biasa mengumumkan aneksasi melibatkan memiliki petugas khusus ditugaskan mengibarkan bendera nasional dan membacakan proklamasi.
30 Akresi merupakan perolehan kedaulatan yang disebabkan oleh kejadian alam
31
Cession merupakan salah satu metode mendapatkan kedaulatan dengan cara penyerahan kedaulatan teritorial, yang pada umumnya melakukan sebuah perjanjian.
32 Prescription merupakan metode perolehan wilayah suatu negara dengan mengadakan
akuisisi dengan secara damai kedaultan de facto dalam jangka waktu yang lama atas wilayah yang sebenarnya de jure masuk wilayah negara lain. Ada Perbedaan mendasar antara okupasi dan
19
Konsep ini memiliki kemiripan dengan pemikiran patrimonial
tentang pemilikan menurut hukum perdata33, dan dalam kenyataan
memang para penulis pelopor bidang hukum internasional banyak
memakai prinsip-prinsip pemilikan dari hukum perdata dalam pembahasan
mereka mengenai kedaulatan territorial negara. Hingga saat ini, pengaruh
mereka masih bertahan sehingga kaidah-kaidah mengenai perolehan dan
kehilangan kedaulatan territorial secara jelas mencerminkan adanya
pengaruh hukum sipil, tetapi disadari bahwa ada bahayanya mengambil
cara-cara analogi hukum Romawi dan hukum perdata.34
Wilayah daratan antara negara yang satu dengan yang lainnya,
haruslah tegas batas-batasnya. Pada umumnya garis batas wilayah
daratan ditetapkan berdasarkan perjanjian-perjanjian garis batas wilayah
antara dua negara berupa sungai yang mengalir diperbatasan wilayah
negara-negara yang bersangkutan. Dalam hal yang demikian, maka garis
batas wilayah antara kedua negara pada tengah-tengah dari aliran sungai
tersebut. Dapat pula garis batas wilayah pada sungai tersebut ditetapkan
pada bagian-bagian terdalam dari aliran sungai. yang disebut thalweg.35
preskripsi, prescription merupakan Negara yang sudah berpenghuni sedangkan occupation merupakan wilayah tak bertuan atau terra nullius.
33 Konsep kepemilikan menurut hukum perdata Romawi : “Cujus est solum ad coelum” artinya
“Barang siapa memiliki sebidang tanah maka dia memiliki segala yang berada diatasnya sampai ke langit dan segala yang berada di dalam tanah”
34 J.G.Strake, 2012, Pengantar Hukum internasional 1 Edisi kesepuluh, Sinar Grafika,
Jakarta., Hlm : 210
35 I Wayan Parthiana, 2003, Op.Cit., Hlm : 148-149
20
Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan dalam memberikan sifat
kedaulatan namun penulis abad ke 16-17 mempunyai dasar pandangan
yang sama yaitu bahwa kedaulatan tidak dapat di bagi-bagi. Setelah
perjanjian Westphalia 1648. di abad ke-18 mulailah terjadi perubahan
pandangan secara mendasar terhadap sifat kedaulatan, dimana mulai
dikenal pandangan-pandangan yang membedakan antara kekuasaan atau
kedaulatan mutlak atau absolut dengan kedaulatan terbatas atau relatif.
Kedaultan negara dibatasi oleh dua hal yaitu kedaulatan negara lain dan
hukum internasional. Meskipun demikian perlu digarisbawahi bahwa
sistem perjanjian Westphalia melahirkan hubungan internasional yang
didominasi oleh negara sebagai satu-satunya subjek hukum saat itu.
Hukum internasional yang mengatur masalah hubungan internasional
berpusat pada negara, berorientasi pada kekuasaan (Power) dan
kekurangan legitimasi demokratis.36
Teori kedaulatan suatu negara atas wilayah merupakan dasar
terciptanya suatu hubungan internasional yang damai, dimana kedaulatan
atas suatu wilayah adalah kewenangan yang dimiliki oleh suatu negara
untuk melaksanakan kewenangannya sebatas dalam wilayah-wilayah
yang telah menjadi bagian dari kekuasaannya. Salah satu kualifikasi yang
harus dipenuhi oleh negara sebagai subjek hukum internasional adalah
wilayah tertentu, negara sebagai organisasi kekuasaan, menguasai
36Sefriani, 2016, Peran Hukum Internasional Dalam Hubungan Internasional Kontemporer,
Rajawali Pers: Jakarta, Hlm: 30
21
wilayah tersebut, di wilayah negara itu negara memegang kekuasaan
kenegaraan yang tertinggi, yakni hak menjalankan kedaulatan wilayah,
dalam wilayah itu negara tersebut melakukan fungsi kenegaraan dengan
mengesampingkan kedaulatan negara lain.37
2.1.2. Wilayah Perairan
Semenjak berakhirmya Perang Dunia II, hukum laut yang
merupakan cabang hukum internasional telah mengalami perubahan-
perubahan yang mendasar. Bahkan, dapat dikatakan telah mengalami
suatu revolusi sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Dewasa ini menonjolnya peran hukum laut bukan saja karena 70% atau
140 juta mil persegi dari permukaan bumi terdiri dari laut, bukan saja
karena laut merupakan jalan raya yang menghubungkan suatu bangsa
dengan bangsa yang lain ke seluruh pelosok dunia untuk segala macam
kegiatan. bukan saja karena kekayaannya dengan segala macam jenis
ikan yang vital bagi kehidupan manusia. tetapi juga dan terutama
kekayaan mineral yang terkandung di dasar laut itu sendiri.38
Bila dulu konsepsi wilayah perairan hanya berpatokan pada doktrin
Kerajaan Inggris, Portugal, Denmark, Spanyol yang menganggap lautan
disekitar wilayah negaranya sebagai miliknya hal ini mengacu pada prinsip
37 Yahya Ahmad Zein, 2016, Hak Warga Negara di Wilayah Perbatasan Perlindungan Hukum
Hak Atas Pendidikan dan Kesehatan, Liberty: Yogyakarta, Hlm: 29-30
38 Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional Pengertian dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,
Alumni: Bandung, Hlm : 304
22
“Dominio Maris”. Kepemilikan ini berfungsi untuk melindungi kegiatan
perikanan serta monopoli pelayaran dari kepemilikan sepihak inilah lahir
prinsip “mare clausum”39
Tantangan yang paling gigih dan ulet terhadap konsepsi laut
tertutup (Mare Clausum) berdasarkan doktrin “Dominio Maris” daripada
negara atau kerajaan yang mengklaimnya adalah yang datang dari pihak
yang memperjuangkan azas kebebasan berlayar (Freedom of Navigation)
yang didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu (harus) untuk dilayari
oleh siapapun juga.40
Adanya pengakuan sepihak atas klaim laut wilayah berdasarkan
doktrin “Dominio Maris” menimbulkan polemik yang berkepanjangan, pada
tahun 1609 Grotius melahirkan sebuah pemikiran yang menentang
doktrin tersebut. Konsep “Mare Liberum”41 merupakan konsep yang
menentang keras bahwa laut hanya bisa dimiliki oleh satu pihak hal ini
berdampak pada adanya dua konsep pembagian laut.
Dalam garis besarnya dua konsep pembagian laut menurut Grotius
dapat dikatakan didasarkan atas perbedaan antara pengertian imperium
(sovereignty) dan dominium (ownership), suatu perbedaan yang menurut
39 Mare Clausum merupakan konsepsi laut tertutup, laut hanya dimiliki oleh segelintir negara
40
Mochtar Kusumaatmadja, 1978, Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bandung., Hlm 11
41 Mare Liberium Merupakan konsep dari azas kebebasan laut, suatu negara dapat berdaulat
atas wilayah lautnya
23
pendapatnya fundamental. Suatu negara dapat berdaulat atas bagian-
bagian laut tertentu, tetapi pada umumnya tidak dapat memiliki laut. 42
Seratus tahun setelah lahirnya dua konsep pembagian laut ini pada
tahun 1789 seorang ahli hukum berkebangsaan Belanda yang bernama
Cornelis von Bynkershoek dalam bukunya De Dominio Maris Dissertatio
(Suatu Essay tentang Kekuasaan atas Laut) mengemukakan
pendapatnya, ia menyatakan bahwa lebar laut territorial itu diukur dari
garis yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut dengan mengikuti
arah atau lekukan pantai tersebut.43
Garis inilah yang sekarang lazim disebut sebagai garis pangkal
biasa atau garis pangkal normal (Normal Base Line). Sedangkan
mengenai lebar laut territorial, diukur dari garis pangkal normal dengan
cara si pengukur berdiri pada garis pangkal normal itu dan melakukan
tembakan meriam ke arah laut. Titik tempat jatuhnya peluru dari meriam
itulah yang merupakan batas luar dari lebar laut territorial negara pantai
yang bersangkutan. Teori Bykershoek ini dikenal dengan nama teori jarak
tembak meriam (Cannon Shot Rule Theory).44
Sejarah tersebut hampir saja menghancurkan bangsa Indonesia
pada tahun-tahun pertama kemerdekaanya. Sebagai akibat dari
42 Ibid.,., Hlm : 17
43
I Wayan Parthiana, 2014, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, Yrma Widya, Bandung., Hlm : 9
44 Ibid.,., Hlm : 9-10
24
peninggalan zaman kolonial yang berlangsung sejak 1939 / Staatsblad
1939 nomor 442 , di mana laut sebagai unsur geografi yang memisahkan
pulau-pulau Indonesia dan karena itu telah dimanfaatkan oleh kekuatan
kolonial sebagai alat pemecah belah Indonesia, maka pada permulaan
bangsa Indonesia juga masih merasakan unsur-unsur tersebut sehingga
rasa “provinsialisme” atau barangkali lebih tepat lagi “sukuisme” dan
“pulauisme” masih sangat kuat. Hal ini tentu saja dimanfaatkan oleh
kekuatan kolonial sehingga dalam tahun-tahun pertama kemerdekaan
tersebut kita mengenal adanya 16 “negara” dalam negara Republik
Indonesia. Tentu saja jika keadaan ini terus berlangsung maka hal
tersebut akan merupakan semacam “Bom Waktu” bagi Indonesia yang
pada waktunya akan menghancurkan Indonesia itu sendiri.45
Dalam meninjau kembali fungsi laut Indonesia bagi kepentingan
bangsa, maka Indonesia telah mengembangkan suatu konsepsi baru yang
sesuai dengan keadaan negerinya, yaitu Wawasan Nusantara yang
menganggap darat, udara, dan laut serta seluruh kekayaan alamnya
sebagai suatu kesatuan.46 Inilah yang merupakan alasan utama lahirnya
konsepsi ini dimana laut bukan lagi sebagai alat pemisah bangsa
melainkan sarana pemersatu bangsa, hal ini disebabkan konsep dari
45 Hasjim Djalal, 1997, Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Dasawarsa 1990, Centre For
Strategic And International Studies, Jakarta., Hlm : 205
46 Hasjim Djalal, 1979, Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut, Bina Cipta, Bandung.,
Hlm : 164
25
Grotius tidak bisa lagi menghadapi tantangan penyatuan bangsa yang
dihadapi oleh negeri kepulauan seperti Indonesia.
Dengan demikian jelas bahwa Wawasan Nusantara sebagai suatu
ide untuk menciptakan kesatuan bangsa bagi negara-negara kepulauan
seperti Indonesia adalah suatu ide Indonesia yang orisinal dan merupakan
suatu sumbangan besar bagi bangsa Indonesia bagi perkembangan
hukum laut modern. Memang ada teori-teori di masa lalu yang
memandang suatu gugus pulau sebagai suatu kesatuan, namun
penerapan teori geografis tersebut terhadap negara kepulauan adalah
buat pertama kalinya dilakukan oleh Indonesia.47
2.1.3. Wilayah Ruang Udara
Wilayah udara adalah ruang udara (air space) yang berada diatas
wilayah daratan dan atau perairan suatu negara. Wilayah suatu negara
biasanya terdiri dari tiga dimensi, daratan, perairan, dan ruang udara.
Tidak semua negara memiliki wilayah dengan tiga dimensi (wilayah
daratan, perairan dan ruang udara) atau tidak semua negara memiliki
perairan (land locked state), namun, tidak semua negara memiliki ketiga
dimensi tersebut.48
47 Hasjim Djalal, 1997, Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Dasawarsa 1990, Op.cit., Hlm :
206
48 E.Saefullah Wiradipraja, Wilayah Udara Negara (State Air Territory) Ditinjau dari Segi
Hukum Internasional dan Nasional Indonesia, Jurnal Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Vol 6 No 4 Juli 2009. Hlm : 498-499
26
Masalah pemilikan ruang udara telah merupakan persoalan yang
timbul jauh sebelum ruang udara tersebut dijadikan daerah lalu-lintas
penerbangan. Keadaan ini dikemukakan misalnya dalam sejarah hukum
Romawi dimana sisa pengaturannya tampak dalam azas “Cujus est
solum, ejus est usque ad coelum”. Azas ini berarti bahwa barang siapa
menjadi pemilik dari segala yang berada diatas tanah juga dimanfaatkan
tanah yang diatasnya secara vertikal.49
Masalah status hukum ruang udara di atas wilayah daratan dan
perairan suatu negara berdaulat yang digunakan untuk melakukan
penerbangan, mulai dibahas secara resmi dalam Konferensi Paris 1910
yang berlangsung dari 10 Mei dan berakhir 29 Juni 1910. Latar belakang
Konferensi Paris 1910 adalah kenyataan banyaknya penerbangan yang
berlangsung di Eropa, tanpa memerhatikan kedaulatan negara di
bawahnya (negara kolong), karena pada saat itu belum ada
pengaturannya. Balon bebas tinggal landas dari satu negara dan
mendarat di negara lain tanpa adanya izin dari negara yang bersangkutan
sehingga akan membahayakan, apalagi pesawat udara dapat digunakan
untuk mengangkut pasukan dan peralatan militer, mata-mata yang dapat
mengancam keamanan nasional negara di bawahnya.50
49 Priyatna Abdurrasyid, 1972, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Pusat Penelitian Hukum
Angkasa, Jakarta., Hlm: 127
50 K.Martono dan Amad Sudiro, 2012, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public
International And National Air Law), RajaGrafindo Persada, Jakarta., Hlm : 11
27
Konsep kedaulatan negara di ruang udara yang menyatakan setiap
negara memiliki kedaulatan eksklusif diatas wilayah udaranya sampai
ketinggian yang tidak terbatas. Sampai dengan ruang angkasa telah
diakui sejak lama, namun hal ini sampai sekarang belum ditetapkan.
Kedaulatan negara atas wilayah udaranya berkembang menjadi suatu
kaidah hukum kebiasaan internasional pada awal abad keduapuluh.
Konsep ini terkristalisasi dan terkodifikasi yang menjadi kristalisasi dalam
Konvensi Paris 1919 tentang peraturan navigasi udara dan Pasal 1
Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Internasional.51
Sampai sekarang penggunaan istilah “Ruang udara” belum
terdefenisikan dalam konteks hukum internasional serta tidak adanya
batasan hukum antara ruang udara dan ruang angkasa. Perkembangan
hukum ruang udara dewasa ini membuat para negara pihak peserta yang
terlibat di dalam pelayanan penerbangan sipil maupun tidak terlibat sama
sekali, telah mengatur hak overflight, apabila pesawat komersil dari
negara lain dengan melintasi negara tertentu di berikan pengarahan dari
negara yang dibatasinya agar tidak terjadi penyimpangan dalam
penerbangannya.52
51 Rebecca M.M Wallace and Olga Martin, 2009, International Law, Sweet and Maxwell,
London., Hlm: 113
52 Michael Milde, 1989, Sovereignty Over Air Space, dalam Rudolf L. Bindschedler (Ed),
Encyclopedia of Public International Law., Elsevier Sciene Publisher, Netherland., Hlm 297-299
28
2.2. Politik Hukum Pembangunan Nasional
Bila kita bicara tentang cita hukum yang dimaksudkan adalah cita
hukum (rechts-idee. Dalam Belanda) dari Republik Indonesia yang
diproklamasikan 17 agustus 1945. suatu republik kerakyatan (demokratis)
yang didirikan oleh pejuang-pejuang bangsa dengan semboyan “. . . dari
rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Cita-cita ini dirumuskan secara singkat
bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum.53
Baru setelah diketahui masyarakat yang bagaimana yang dicita-
citakan oleh bangsa Indonesia, dapatlah dicari sistem hukum yang
bagaimana yang dapat membawa rakyat kita ke arah masyarakat yang
dicita-citakan itu, dan politik hukum yang bagaimana yang dapat
menciptakan sistem hukum nasional yang dikhendaki. Namun demikian
politik hukum itu tidak terlepas dari realita sosial dan tradisional yang
terdapat di negara kita, di satu pihak dan dipihak lain, sebagai salah-satu
anggota masyarakat dunia, politik hukum Indonesia tidak terlepas pula
dari realita dan politik hukum internasional.54
Dalam pembukaan UUD tahun 1945 pada alinea keempat :55
53 Mochtar Kusumaatmadja, 2013, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni,
Bandung., Hlm : 179
54 Sunaryati Hartono, 1986, Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional
dalam Artidjo Alkostar dan Sholeh Amin, Rajawali Pers, Jakarta., Hlm : 1
55 Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945
29
“Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan. perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Dr.Ir. Sunarto Waluyo mengatakan Idaman Masyarakat adil-
makmur dalam kehidupan bangsa Indonesia merupakan masalah pokok
sepanjang sejarah. Konsep adil makmur adalah dua pasangan yang tidak
terlepaskan dalam falsafah hidup masyarakat dan merupakan tujuan
hidupnya. Adil merupakan tekanan utama dan selalu disebutkan didepan
kata makmur adalah suatu penegasan yang perlu didahulukan.56
Dengan demikian pembangunan nasional bertujuan untuk
mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material
dan spritual berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan
rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa bangsa yang aman, tentram,
tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka,
bersahabat, tertib dan damai.57
Tujuan negara tersebut harus diraih oleh negara sebagai organisasi
tertinggi bangsa Indonesia yang penyelenggaraannya didasarkan pada
lima dasar negara (Pancasila) yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
56 Sunaryati Hartono, 1986, Pembangunan Hukum... Op.cit., Hlm : 2
57
Ibid.,., Hlm : 3
30
perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila
ini dapat juga memandu politik hukum nasional dalam berbagai bidang.58
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi landasan politik hukum
yang berbasis moral agama; sila Kemanusiaan yang adil dan beradab
menjadi landasan politik hukum yang menghargai dan melindungi hak-hak
asasi manusia yang nondiskriminatif; sila Persatuan Indonesia menjadi
landasan politik hukum untuk mempersatukan seluruh komponen bangsa
dengan berbagai ikatan primordialnya masing-masing; sila Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan menjadi landasan politik hukum yang meletakkan kekuasaan di
bawah kekuasaan rakyat (demokratis); dan sila Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia menjadi landasan politik hukum dalam hidup
bermasyarakat yang berkeadilan sosial sehingga mereka yang lemah
secara sosial dan ekonomis tidak ditindas oleh mereka yang kuat
secara sewenang-wenang.59
Dengan demikian diperlukan adanya kerja sama antara pemerintah
pusat dengan pemerintah dalam mewujudkan cita dan tujuan hukum
bersama dalam pembangunan hukum nasional serta tidak memberatkan
kerja dari pemerintah pusat. Hal ini sesuai dengan Pasal 18 ayat 5
58 Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, makalah
Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, 29-31 Mei 2006., Hlm: 49
59 Ibid.,., Hlm : 50
31
perubahan kedua UUD 1945, maka Undang-undang no 23 tahun 2014
menganut prinsip otonomi yang luas, yang secara tegas menyebutkan :60
Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah Pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik dalam bentuk Perda maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional.
Pasal 18 ayat 5 perubahan kedua UUD 1945 itu menegaskan
prinsip desentralisasi sebagai sendi sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia tidak hanya karena dihadapkan pada kenyataan wilayah
Republik Indonesia yang luas dan beragam (bhinneka) dan keinginan
untuk memelihara dan mengembangkan pemerintahan asli kedalam satu
kesatuan susunan ketatanegaraan Republik Indonesia, melainkan
didorong pula oleh pertimbangan untuk membentuk pemerintahan di
daerah yang didasarkan pada permusyawaratan dan perwakilan dan
sistem pemerintahan negara.61
Dalam konteks Indonesia dalam bidang hubungan pusat dan
daerah, UUD 1945 menggariskan politik hukum menegaskan perubahan
atas politik hukum yang dianut oleh Orde Baru, yakni otonomi nyata dan
60 Penjelasan pasal 1 ayat 1 Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah
61 Philipus M. Hadjon et.al, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta., Hlm : 111-112
32
bertanggung jawab Pasal 18 ayat 5 menggariskan bahwa pemerintah
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
pemerintahan pusat.62
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan
nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan persatuan
sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan
demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas dari KKN. Persoalan
yang muncul mewarnai hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah adalah mengenai pembagian kekuasaan serta alokasi
sumber keuangan.63
Kawasan perbatasan adalah wilayah kabupaten/kota yang secara
geografis, demografis berbatasan langsung dengan wilayah negara
tetangga dan/atau laut lepas yang terdiri dari kawasan laut dan darat, dan
tersebar luas dengan tipologi yang beragam. Situasi kawasan perbatasan
Indonesia selalu di bayang-bayangi dengan berbagai permasalahan yang
cukup rumit mulai keterbatasan ekonomi, sosial, budaya dan kesenjangan
serta ketertinggalan dalam pembangunan.
62 Mexsasai Indra, 2011, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Refika Aditama, Bandung.,
Hlm : 203
63 Ibid.,., Hlm : 226-227
33
Berbagai kebijakan pemerintah khususnya kebijakan tentang
pembangunan kawasan perbatasan tersebut, dalam implementasi
pengelolaannya selama ini belum dilakukan secara terpadu dengan
mengintegrasikan seluruh sektor terkait. Salah satu kesalahan kebijakan
pemerintahan orde baru dalam menangani masalah perbatasan, yakni
menggunakan pendekatan keamanan semata dengan mengabaikan
pendekatan kesejahterahan sehingga banyak warga perbatasan memiliki
ketergantungan ekonomi dengan wilayah negara tetangga. Bahkan disisi
lain rezim otonomi daerah juga menjadi salah satu hambatan realisasi
pengembangan masyarakat di daerah perbatasan akibat adanya
instrumen hukum otonomi daerah yang tidak jarang tumpang tindih dan
lemah dalam implementasinya memberikan jaminan perlindungan dan
pemenuhan hak warganya.64
Selain itu instrumen hukum otonomi daerah juga tidak serta merta
menjadi jaminan perlibatan pemerintah daerah secara signifikan dalam
formulasi kebijakan pembangunan dan pengelolaan kawasan perbatasan,
sehingga yang terjadi selama ini adalah permasalahan beberapa kawasan
perbatasan yang masih ditangani secara ad hoc, sementara (temporer)
dan parsial serta lebih didominasi pendekatan keamanan (security)
64 Yahya Ahmad Zein, 2016,.... Op.cit., Hlm : 18
34
melalui beberapa kepanitiaan (committee), sehingga belum memberikan
hasil yang optimal.65
2.3. Prinsip Hukum Internasional Dalam Penentuan Perbatasan
Secara tradisional dalam menentukan batas wilayah dalam hukum
internasional ada lima cara. Kelima cara tersebut adalah okupasi,
preskripsi, cession, akresi, dan aneksasi. Pada saat ini kesemuanya tidak
lebih hanya alat perjelas atas fenomena negara-negara modern,66 prinsip
ini telah lama di praktikkan oleh negara-negara dan merupakan hukum
bangsa Romawi yang telah dijadikan kebiasaan internasional dalam
menetapkan wilayahnya.
Seiring berkembangnya hukum internasional. penentuan batas
wilayah negara mengalami perubahan sehingga melahirkan tiga prinsip
dalam dalam menentukkan batas wilayah negara antara lain : self
determination, asas uti possidetis, dan perjanjian batas negara. Ketiga
prinsip ini diakui oleh masyarakat internasional. sebagai salah satu cara
yang dalam menentukkan wilayah negara yang baru saja merdeka dari
penguasaan pihak kolonial maupun yang baru berdiri.
2.3.1. Self Determination
Pengertian hak untuk menetukkan nasib sendiri (the right of
self determination) dapat dijelaskan dalam dua arti. Pertama, dapat
65 Ibid.,., Hlm : 19
66
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006,... Op.cit., Hlm : 179
35
diartikan sebagai hak dari suatu bangsa dalam sebuah negara
untuk menentukkan bentuk pemerintahannya sendiri. Hak demikian
sudah diakui dalam hukum internasional, khususnya dalam
deklarasi mengenai hak dan kewajiban negara-negara yang dibuat
oleh panitia hukum internasional pada tahun 1949 dan dimuat
dalam Pasal 1 yang menyebutkan : “Every state has the rights to
independence and hence to exercise freely, without dictation by any
other state. all its legal power, including the choice of its own form
of government”.67
Kedua, hak menentukan nasib sendiri dapat berarti sebagai
hak dari sekelompok orang atau bangsa untuk mendirikan sendiri
suatu negara yang merdeka. Konsep self determination ini menjadi
perhatian serius oleh PBB ketika pada tanggal 26 juni 1945 piagam
PBB ditandatangani di San Fransisco. Piagam sendiri telah
memberikan komitmennya dengan mengakui adanya hak bagi
suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri.68
Prinsip penentuan nasib sendiri mengikat para pihak,
apakah mereka telah mengadopsi prinsip tersebut sebagai dasar
hukum atau sebagai alternatif dalam penyelesaian sengketa
tertentu, penentuan nasib sendiri merupakan akibat dari praktek
67 Saru Arifin, 2014, Op.cit...., Hlm : 61
68
Ibid.,
36
PBB di bawah Bab XI untuk XIII Piagam PBB yang melahirkan
landasan hukum dari hukum dekolonisasi69.70
Prinsip ini tercantum dalam piagam PBB dan ditekankan
dalam deklarasi Kolonial 1960, kovenan internasional tentang HAM
1966 dan deklarasi tentang Prinsip Hukum International 1970, bisa
dianggap sebagai sebuah kaidah hukum internasional dengan
menimbang, antara lain, jumlah dan karakter deklarasi dan resolusi
PBB dan praktik aktual negara dalam proses dekolonisasi.
Bagaimanapun juga, telah ditafsirkan bahwa ia mengacu hanya
kepada para penduduk wilayah yang masih bergantung dengan
negara koloninya. Praktek ini tidak mengakui pemberlakuannya
sebagai prinsip yang memberikan hak memisahkan diri kepada
para kelompok yang terindentifikasi di berbagai negara yang telah
merdeka.71
Dalam hal ini prinsip penentuan nasib sendiri sebagaimana
yang diterima bisa selaras dengan konsep integritas territorial,
karena tidak berlaku lagi begitu sebuah koloni atau wilayah
perwalian mencapai kedaulatan dan kemerdekaannya. Penetuan
nasib sendiri tidak dapat digunakan untuk mengajukan klaim
territorial yang lebih besar dengan menyimpang dari batas negara-
69 Dekolonisasi merujuk pada tercapainya kemerdekaan oleh berbagai koloni dan protektorat
Barat di Asia dan Afrika seusai Perang Dunia II.
70 Daniel Thürer, Thomas Burri, 2008, Self Determinantion, Oxford Public of International Law,
http://opil.ouplaw.com/view/10.1093/law:epil/9780199231690/law-9780199231690-e873, [Diakses pada tanggal 23 oktober 2016 , pukul : 20.00]
71 Malcolm N. Shaw QC, 2013,... Op.cit, Hlm : 503
37
negara berdaulat yang diterima secara internasional, tetapi bisa
berguna dalam menyelesaikan kasus sengketa garis perbatasan
berdasarkan keinginan para penduduknya.72
Bagi bangsa-bangsa yang masih terjajah dan wilayahya
belum mempunyai pemerintahan sendiri (non self-governing
territories), maka negara-negara yang menduduki wilayah tersebut
merupakan penguasa administrasi (administering power),
mempunyai kewajiban untuk mencerdaskan dan mensejahterahkan
bangsa di wilayah itu sampai pada kondisi untuk mengantarkan ke
pintu gerbang kemerdekaan, melalui suatu proses disebut dengan
dekolonisasi.73
Terkait dengan hal itu. maka mekanisme percepatan
kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah, kemudian Majelis Umum
PBB mengeluarkan Deklarasi Dekolonisasi pada tanggal 14
Desember 1960, melalui Resolusi MU-PBB 1514 (XV) tentang
Declaration on Granting of Independence to Colonial Countries and
Peoples. Deklarasi tersebut memuat prinsip-prinsip yang penting
dan mendasar bagi pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri,
serta kondisi-kondisi yang harus segera dipenuhi oleh penguasa
administrasi.74
72 Ibid.,
73
Saru Arifin, 2014,... Op.cit., Hlm : 62
74 Ibid.,
38
Penetuan nasib sendiri tidak dapat digunakan untuk
mengajukan klaim territorial yang lebih besar dengan menyimpang
dari batas-batas negara berdaulat yang di akui secara
internasional, tetapi bisa berguna dalam menyelesaikan kasus
sengketa garis perbatasan berdasarkan keinginan para
penduduknya. Selain itu kita bisa menunjuk pada kebutuhan untuk
memperhitungkan kepentingan penduduk setempat apabila
penentuan batasnya mengakibatkan pergeseran garis, setidaknya
dalam pandangan salah satu pihak.75
2.3.2. Uti Possidetis
Doktrin Uti Possidetis muncul pada abad ke-19 ketika pada
saat itu terjadi penentuan batas-batas administratif dari kerajaan
Spanyol di Amerika Latin dan Tengah yang kemudian akan menjadi
bimbingan dasar untuk penentuan batas-batas Negara-negara
baru. Kemudian doktrin ini diadopsi untuk penentuan batas-batas
wilayah bagi negara negara baru korban penjajahan di Afrika.
Organisasi Afrika Bersatu (OAU) doktrin ini diadopsi melalui the
Cairo Resolution. 76
Pada tahun 1986 Mahkamah Internasional Menerapkan
prinsip ini dalam kasus Burkina Faso melawan Republik Mali.
Dalam putusannya dinyatakan sebagai berikut.
75 Malcolm N. Shaw QC, 2013,... Op.cit, Hlm : 504
76
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006,... Op.cit., Hlm : 183
39
(Uti Possidetis) is a general principle, which is logically connected with the phenomenon of obtaining independence, wherever it occur, Its obvious purpose is to prevent the independence and stability of new state being endangered by fratricidal stuggles provoked by changing of frontiers following the withdrawal of the administering power
Prinsip ini juga sangat tegas berlaku bagi suatu Negara
bekas jajahan di luar kasus Burkina Faso melawan Republik Mali
tanpa memperhatikan status hukum dan politik entitas sisi
perbatasan yang bersangkutan :
The territorial boundaries which have to be respected may also derive from international frontiers which previously divided a colony of one State from a colony of another, or indeed a colonial territory from the territory of an independent State, or one which was under protectorate, but had retained its international personality. There is no doubt that the obligation to respect preexisting international frontiers in the event of State succession derives from a general rule of international law, whether or not the rule is expressed in the formula of uti possidetis.
Berdasarkan prinsip ini, tidak akan ada kemungkinan klaim
baru berdasarkan terra nullius (wilayah tidak bertuan) atau klaim
oleh negara-negara yang menambahkan wilayah jajahanya.
Sebagai tambahan. disana terdapat sedikit atau bahkan tidak
konflik antara berbatasan menyatakan diri karena identifikasi yang
jelas dari setiap lokasi perbatasan berdasarkan garis administrasi
era kolonial.77
77 Paul R. Hensel Michael E.Allison, dan Ahmed Khanani, The Colonial Legacy and Border
Stability: Uti Possidetis and Territorial Claims in the Americas, Paper Presented at the annual Meeting of the international Studies Association, Montreal, March 2004 https://www.researchgate.net/profile/Paul_Hensel/publication/253878664_The_Colonial_Legacy_a
40
Penggunaan prinsip ini menurut sebagian ahli hokum
internasional, seperti Paul R. Hansel, Michael E. Allison. dan
Ahmed Khanani. Penentuan batas wilayah melalui prinsip ini
sangatlah efektif dan akan lebih menciptakan stabilitas politik
dengan Negara tetangga dibandingkan penentuan batas wilayah
yang tidak diwarisi oleh penjajah. Hal ini karena para penguasa
kolonial telah meletakkan dasar hukum dalam menentukan batas
wilayah melalui sebuah perjanjian, sehingga negara-negara yang
baru merdeka dari penjajah hanya meneruskan warisan perbatasan
dari peninggalan penguasa kolonial terdahulu.
Tujuan utama dari penggunaan doktrin ini adalah untuk
mencegah terjadinya konflik-konflik yang didasarkan pada
perebutan perbatasan oleh Negara-negara baru.78 Oleh Sebab itu,
melalui penerapan prinsip ini maka tidak dimungkinkan lagi adanya
klaim suatu wilayah yang didasarkan pada terra nullius atau wilayah
tak bertuan.79 Dengan demikian berdasarkan penjelasan diatas.
maka bisa dikatakan bahwa keseluruhan wilayah Republik
Indonesia merupakan keseluruhan bekas wilayah Koloni Belanda.
nd_Border_Stability_Uti_Possidetis_and_Territorial_Claims_in_the_Americas/links/00b7d5326ea9761b12000000.pdf [diakses pada pukul 10.00, 4 november 2016]
78 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006,... Op.cit., Hlm : 184
79
Saru Arifin, 2014,... Op.cit., Hlm : 68
41
2.3.3. Perjanjian Perbatasan
Pada dasarnya batas wilayah negara ada karena adanya
upaya pemerintah kolonial dalam menetapkan batas wilayah
bersama pemerintah kolonial yang bertetangga dengannya,
sehingga melahirkan aspek history yuridis yang merupakan dasar
penentapan bersama dalam menentukkan wilayahnya.
Pada hakikatnya dalam kajian hukum internasional tidak
tidak dikenal adanya regulasi yang bersifat khusus yang mengatur
penetapan wilayah perbatasan darat antarnegara. Hal tersebut
terkesan menimbulkan kejanggalan, terutama apabila dikaitkan
dengan sejumlah prinsip hukum dan metode yang berkaitan
dengan penetapan batas antarnegara.80
Dalam konteks hukum perjanjian internasional dikenal dua
macam jenis perjanjian perbatasan, yaitu :
a. Dispositive Treaties81
Perjanjian yang bersifat menentukkan yaitu perjanjian
yang maksud dan tujuannya telah tecapai dengan
dilaksanakannya isi daripada perjanjian itu. misalnya
80 Suryo Sakti Hadiwijoyo, 2011,…. Op.cit., Hlm : 87
81
Muhammad Ashri, 2012, Hukum Perjanjian Internasional Dari Pembentukkan Hingga Akhir Berlakunya, Arus timur, Makassar., Hlm : 33
42
perjanjian tapal batas negara, perjanjian mengenai
penyerahan wilayah atau penyerahan kedaulatan.
b. Personal Treaties82
Perjanjian yang bersifat politis dapat berbentuk bilateral
atau multilateral, misalnya perjanjian-perjanjian
persekutuan. netralitas dan penyelesaian perselisihan
secara damai.
Teori ini sudah lama tidak digunakan oleh penulis hukum
internasional, hal ini tidak sesuai lagi dengan praktik dan
kenyataann Negara-negara pasca perang dunia kedua. Mengenai
perjanjian dispositive, yakni traktat yang terkait dengan hak atas
wilayah berlaku mengikuti wilayah, run with the land, tidak
mengikuti perubahan kekuasaan atau kedaulatan suatu wilayah.83
Dengan adanya doktrin rebus sic stantibus84 kiranya dapat
membatasi perjanjian itu sendiri. Dengan bekerjanya doktrin ini
yang secara harfiah berarti “hal yang tersisa seperti mereka”,
didasarkan atas asumsi bahwa perjanjian mungkin dilanggar jika
perubahan situasi mendalam dari yang biasanya berlaku pada saat
82 Saru Arifin, 2014,... Op.cit., Hlm :70
83
Ibid.,
84 rebus sic stantibus paham yang membahas masalah hak dan kewajiban suatu Negara atau
pemerintahan baru atas perjanjian internasional yang dibuat oleh Negara atau pemerintahan terdahulu. Paham ini berpendapat, Negara atau pemerintahan baru tidak memiliki kewajiban sama sekali untuk meneruskan perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh Negara atau pemerintahan terdahulu.
43
menyimpulkan suatu perjanjian.85 Akibat lahirnya suatu Negara
baru dari bekas wilayah jajahan dapat dikatakan perjanjian terkait
pengkalan militer asing sudah tidak berlaku lagi, karena situasi
sudah berubah secara fundamental.
Banyak dan kompleksnya masalah mengenai suksesi
negara dalam hubungnya dengan perjanjian internasional,
disebabkan lahirnya sejumlah negara baru setelah perang dunia
kedua. Hal ini menjadi agenda tersendiri bagi ILC untuk mengkaji
secara intensif permasalahan suksesi negara. 86
Kerumitan masalah suksesi Negara terutama bila dikaitkan
dengan perjanjian-perjanjian yang melibatkan pihak yang tergusur
(predecessor state). Semula terdapat teori-teori yang berbeda
tentang keadaan suatu perjanjian jika terjadi suksesi Negara
dimana Negara yang tergusur merupakan pihak dalam perjanjian
itu.87
Dalam perkembangan selanjutnya, praktik menunjukkan
bahwa prinsip yang diterima secara umum adalah perpaduan
antara kedua pandangan diatas. Dalam hubungan ini, dikenal
inheritance agreement atau devolution agreement yaitu persetujuan
85 Rebecca M.M Wallace and Olga Martin, 2009,… Op.cit., Hlm : 283
86
Muhammad Ashri, 2012, … Op.cit., Hlm :177
87 Ibid.,
44
antara Negara tergusur dengan Negara pengganti mengenai
keadaan perjanjian yang telah dibuat oleh Negara tergusur.88
Namun sistem hukum di Indonesia belum mengindikasikan
apakah menganut monism, dualisme atau kombinasi keduanya
belum berkembang kearah politik hukum yang jelas. Namun
didalam literatur Indonesia, perhatian ahli hukum terhadap
permasalahan ini secara teori umum tetap berkembang dan,
sekalipun terbatas, selalu menjadi bahasan dalam literatur tentang
perjanjian internasional. 89
Inkonsistensi dalam pengaplikasian perjanjian dewasa ini
menjadi berkembang akibat ketidakjelasan tentang status
perjanjian dalam hukum nasional. Derasnya arus globalisasi
mengakibatkan mengakibatkan persentuhan antara hukum
internasional dan nasional semakin intensif dan bahkan acapkali
melahirkan benturan. Akibatnya, semua warga Negara Indonesia
tidak lagi dapat menghindari benturan ini dan cepat atau lambat
harus mengatur kedua sistem ini.90
Dalam praktik Indonesia. sekalipun suatu perjanjian
internasional telah diratifikasi dengan undang-undang. Masih
88 Muhammad Ashri, 2012, … Op.cit., Hlm : 179
89
Damos Dumoli Agusman, 2010, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik Indonesia, Refika Aditama, Bandung., Hlm : 103
90 Ibid.,
45
dibutuhkan adanya undang-undang lain untuk
mengimplementasikannya pada domain hukum nasionalnya.
Praktik Indonesia dalam implementasi konvensi PBB tentang
Hukum Laut 1982 mencerminkan pola pikir dualisme yang
umumnya dianut Departemen Kehakiman pada waktu itu.91
Namun dilain pihak, beberapa contoh legislasi nasional juga
memperlihatkan wajah yang mungkin monisme atau dualismendan
sangat tergantung pada siapa yang melihatnnya. Pembebasan
pajak dan bea, yang dinikmati oleh korps diplomatik dan konsuler di
Indonesia selama ini didasarkan pada norma konvensi 1961/1963
tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler. Para pejabat Kementerian
Luar Negeri akan serta merta mengartikan bahwa pembebasan
perpajakan itu diakibatkan langsung oleh konvensi (monisme)
namun dilain pihak, para pejabat Kementerian Keuangan akan
mendasarkan pembebasan itu pada paket undang-undang
perpajakan bukan pada konvensi (dualisme). Namun demikian,
manakala terjadi konflik antara ketentuan perjanjian internasional
dengan ketentuan hukum nasional, reaksi Indonesia cenderung
memenangkan perjanjian internasional sehingga lebih berwarna
monisme primat hukum internasional.92
91 Ibid.,
92
Ibid.,
46
2.4. Dinamika Lingkungan Pertahanan di Kawasan Perbatasan
Pada perkembangan sekarang. hubungan internasional bukan hanya
menyangkut hubungan antar Negara-bangsa, tetapi juga mencakup
entitas internasional “non nation-state”. Dalam konteks seperti itu,
hubungan internasional senantiasa mempunyai dimensi yang berkaitan
erat dengan masalah pertahanan yakni dimensi politik internasional. dan
faktor non-nation state juga menjadi penting di dalam bidang pertahanan
dan politik internasional.93
Setelah berakhirnya Perang Dunia kedua maka tatanan pola hubungan
internasional mengalami perubahan yang cukup signifikan dari sisi pola
hubungan internasional serta praktik-praktik dalam politik internasional
yang mengalami pergeseran yang sangat dinamis dan bahkan dramatis.
Dalam membangun sistem pertahanan agar mencapai tujuan
“Perdamaian Dunia” referensi yang mendasar adalah Undang-undang
Dasar 1945 yang secara jelas termuat cita dan tujuan hukum94 Indonesia
secara keseluruhan.
Masalah keamanan tidak pernah menjadi masalah yang statis, karena
faktor yang terlibat selalu bersifat relatif. Struktur sistem dan dinamika
interaksi melengkapi dilema ini, bahwa setiap upaya untuk maju atau
bertindak akan memancing reaksi yang sudah pasti akan meningkatkan
93 Yahya A. Muhaimin, 2008, Bambu Runcing dan Mesiu Masalah Kebijakan Pembinaan
Pertahanan Indonesia, Tiara Wacana, Yogyakarta., Hlm : 14
94 Pembukaan UUD 1945 Alinea Ke empat
47
persepsi ancaman. Perlombaan senjata, gagasan yang tidak masuk akal
tentang keamanan dan dilema pertahanan memberi arti dari observasi
Shakespeare bahwa keamanan merupakan hal yang menjadi masalah
utama.95
Beberapa kecenderungan seperti dipaparkan di atas menyebabkan
pengertian dan makna dari konsep keamanan nasional, inklusif
pertahanan, mempunyai jangkauan yang lebih luas. Pada dewasa ini,
konsep keamanan di samping menyangkut aspek pertahanan atau
kekuatan militer, juga berkait tiga hal yang penting yaitu : 96
1. Isu-isu global kontemporer.
2. Berkaitan dan melibatkan aktor-aktor baru selain militer sebagai
aktor tradisional.
3. Mengenai persepsi ancaman.
Dengan demikian, konsep pertahanan Indonesia pun menjadi bersifat
multi-dimensional, yaitu di samping berkaitan dengan persoalan eksternal
(terutama menyangkut segi politik internasional dan kekuatan militer), juga
bertalian dengan masalah domestik di bidang sosial, politik, ekonomi,
kebudayaan dan ideologi.97
95 T.May Rudy, 2002, Studi Strategis Dalam Tranformasi Sistem Internasional Pasca Perang
Dingin, Refika Aditama, Bandung., Hlm : 47
96 Yahya A. Muhaimin, 2008,Op.cit. . . . ., Hlm : 19
97
Ibid.,
48
Faktor prinsipil yang harus diperhitungkan dalam pembinaan
pertahanan adalah kondisi objektif negara dan bangsa Indonesia. Faktor
ini menyangkut demografi, potensi sumber alam, serta posisi geografis
dengan karakter wilayah Indonesia, yang kesemuanya mempunyai arti
yang sangat penting dan bahkan menentukan makna strategisnya. Faktor
ini bisa dinamakan geo-strategis. Dalam politik internasional, geo-strategis
Indonesia tersebut memiliki makna. Disatu sisi merupakan aset yang amat
menguntungkan bila dikapitalisasikan secara tepat bagi pertahanan
nasional Indonesia. Namun, pada sisi yang lain, hal itu bisa merupakan
kerawanan yang akan selalu menguras energi bangsa dan Negara. Dalam
konteks geo-strategis Indonesia, maka kewibawaan dan otoritas
pemerintah pusat yang kuat benar-benar merupakan conditio sine qua
non bagi kemantapan pertahanan bangsa dan Negara.98 Hal ini akan
berdampak bagaikan “bumerang” apabila kondisi pemerintah pusat yang
cukup lemah dan terkesan tidak berwibawa maka geo-strategis Indonesia
akan menjadi sia-sia terhadap politik internasional.
Kebijakan umum pertahanan Negara pada dasarnya cukup banyak,
dan silih berganti seiring kabinet pemerintahan yang ada. Pertahanan
Negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan NKRI, dan
keselamatan segenap bangsa dari segala. Hakikat pertahanan bersifat
semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak
98 Ibid.,
49
dan kewajiban warga negara. serta keyakinan pada kekuatan sendiri,
melibatkan seluruh warga Negara. wilayah dan sumber daya nasional
lainnya, dipersiapkan secara dini oleh pemerintah serta diselenggarakan
secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut.99
Pengertian pertahanan negara dalam undang-undang nomor 3 tahun
2002 tentang Pertahanan Negara. Pada Pasal 1 ayat (1) Pertahanan
negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan
negara. keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap
keutuhan bangsa dan negara. Ketentuan tersebut diperjelas pada ayat 2
Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat
semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber
daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan
diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk
menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah. dan keselamatan
segenap bangsa dari segala ancaman.100
Sistem pertahanan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), seperti dimaksudkan dalam undang-undang ini merupakan sistem
yang melibatkan seluruh unsur sumber daya nasional, dimana pertahanan
negara dalam menghadapi ancaman militer (Military Defence).
99 Midriem Mirdanies et.al, 2013, Kajian Kebijakkan Alutsista Pertahanan dan Keamanan
Republik Indonesia, LIPI Press, Jakarta., Hlm : 6-7
100 Asren Nasution, 2011, … Op.cit., Hlm 21-22
50
menempatkan TNI sebagai Komponen utama dengan didukung
komponen cadangan dan komponen pendukung.101
Komponen cadangan terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya
alam, sumber daya buatan, serta sarana prasarana nasional yang telah
disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan
memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama. Adapun
Komponen pendukung adalah sumber daya manusia, sumber daya alam,
sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen
utama dan komponen cadangan.102
Ancaman yang bersumber dari konflik wilayah dan kawasan
perbatasan serta ancaman tehadap ancaman keamanan pulau-pulau kecil
terluar merupakan salah satu ancaman actual untuk ditangani secara lebih
serius. Oleh sebab itu, prioritas kebijakan pertahanan negara diarahkan
pada :103
1. Pengintegrasian peran dan fungsi seluruh pemangku kepentingan
(stakeholder) terkait pengembangan kawasan perbatasan negara.
2. Memaksimalkan peran BNPP dalam rangka dalam rangka
meningkatkan pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan
perbatasan. serta pulau-pulau kecil terluar.
101 Ibid.,
102
Ibid.,
103 Midriem Mirdanies et.al, 2013, … Op.cit., Hlm : 18
51
3. Pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan serta
pulau-pulau kecil terluar sebagaimana dimaksud pada poin 2.
termasuk pembangunan infrastruktur perbatasan. pemberdayaan
sosial ekonomi masyarakat. penuntasan penentuan garis batas
dengan Negara tetangga. serta mengoordinasikan penataan ruang
kawasan pertahanan. dan pengamanan secara fisik bekerja sama
dengan kemenhan/TNI.
4. Optimalisasi upaya diplomasi secara bilateral dan/atau multilateral
dengan mengedepankan penyelesaian perbatasan secara damai
dengan negara-negara yang memiliki persoalan perbatasan
dengan NKRI.
Berbagai persoalan kebijakan yang ada tersebut khususnya terkait
dengan pengelolaan wilayah perbatasan dan hak warga Negara atas
pendidikan dan kesehatan tentu saja akan sangat berkaitan dengan
tumbuh dan berkembangnya wilayah yang berbatasan langsung tersebut.
Berbagai potensi dan masalah kesenjangan keadilan ekonomi, sosial dan
dan budaya yang ada tersebut dapat menjadikan wilayah perbatasan
memiliki potensi yang sangat besar, sekaligus rawan akan konflik internal
negara maupun eksternal negara.104
Pengelolaan wilayah perbatasan yang hanya dianggap sebagai
garis pertahanan terluar negara. akan membawa konsekuensinya
104 Yahya Ahmad Zein, 2016,.... Op.cit., Hlm : 21
52
pendekatan yang digunakan dalam mengelola perbatasan yakni hanya
pada pendekatan keamanan (security approach). Padahal dibeberapa
negara tetangga, telah menggunakan (prosperity) dan keamanan secara
berdampingan pada pegembangan wilayah perbatasannya. Dengan
kondisi demikian sehingga pada level lokal permasalahan yang dihadapi
oleh masyarakat yang ada dikawasan perbatasan adalah: keterisolasian,
keterbelakangan, kemiskinan, mahalnya harga barang dan jasa,
keterbatasan sarana dan prasana pelayanan publik (infrastruktur),
rendahnya kualitas SDM pada umumnya, dan penyebaran penduduk yang
tidak merata.105
Dengan demikian diperlukan adanya kerjasama lintas sektoral dan
tidak hanya mind set pemerintah terkait pendekatan yang dilakukan
hendaknya lebih kepada kesejahterahan, bergesernya patok yang
dikhawatirkan pemerintah bisa jadi karena kurangnya perhatian
pemerintah pusat terhadap kondisi yang dialami penduduk diwilayah
perbatasan.
105 Ibid.,
53
2.5. Berbagai Teori dalam Menganalisis Politik Hukum
Internasional Indonesia didalam Memperkuat Basis Keamanan
Daerah-Daerah Di Wilayah Perbatasan.
2.5.1. Teori Sistem Hukum Statis dan Sistem Hukum Dinamis
Dalam mempelajari hukum internasional, kita akan jumpai
beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang khusus
berlaku di suatu bagian dunia (region) tertentu. Dengan demikian, dapat
dkatakan bahwa disamping hukum internasional yang berlaku umum
(general) terdapat pula hukum internasional regional, yang terbatas
daerah lingkungan berlakunya.106
Dalam mengkaji hukum internasional sebagai suatu sistem hukum
dapat dikaji melalui tiga aliran pemikiran, yaitu : filsafat naturalisme, filsafat
positivisme dan paham instrumentalis. Namun dalam mengkaji hal
demikian maka diperlukan dua pendekatan.
Para ahli hukum internasional itu memang akan memilih jalan
pertama dalam melakukan kajiannya melalui alur pemikiran filsafat dalam
menjawab pertanyaan: apakah hukum internasional itu suatu sistem
hukum? Jalan pertama mereka pilih apabila secara langsung
menganalisisnya dari perangkat ketentuan atau aturan hukum positif
internasional yang ada, jawabannya mungkin tidak akan memuaskan.
106 Mochtar Kusumaatmadja, 2012, ….Op.cit., Hlm : 7
54
Sebaliknya, apabila ditempuh dengan cara pendekatan praktis, sering
pula praktik hubungan antara Negara yang didasarkan atas perangkat
ketentuan atau aturan hukum internasional positif tidak dapat menyelami
hakikat mengapa praktik demikian itu timbul. Apabila demikian halnya,
cara pendekatan dalam mempelajari hukum internasional sebagai sistem
hukum yang teratur tidak bisa lain kecuali mengabungkan cara
pendekatan teoritis dengan cara pendekatan dinamik.107
Dengan demikian hukum internasional modern dewasa ini
melahirkan dua pendekatan dalam mengkaji hukum internasional sebagai
sistem hukum, yaitu : 108
a. Teori statis dalam hukum internasional melihat dari segi teoritis
doktriner serta intrepretasi yang diciptakan dari sejarah
pembentukannya dan segala perangkat yang berkaitan dengan
permasalahan tersebut.
b. Teori dinamis melihat bagaimana suatu konsep yang berkembang
dari bentuk asal menjadi bentuk masa kini yang sesuai dengan
dinamika perkembangan dan kebutuhan masyarakat bangsa-
bangsa sekarang.
107 Yudha Bhakti Ardiwisasta, 2003, Hukum Internasional Bunga Rampai, Alumni, Bandung.,
Hlm : 189-190
108 Ibid., Hlm : 191
55
2.5.2. Teori Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum
Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum,
maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauhmana aturan
hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Tentu saja, jika suatu hukum ditaati
oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, kita akan
mengatakan bahwa aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif.
Namun demikian, sekalipun dapat dikatakan aturan yang ditaati itu efektif,
tetapi kita tetap masih dapat mempertanyakan lebih jauh derajat
efektivitasnya.109
Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya
merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan
yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai
unsure penilaian pribadi. Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound,
maka LaFavre menyatakan, bahwa pada hakikatnya diskresi berada
diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit).110
Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum
bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan,
walaupun didalam kenyataan di Indonesia kencenderungannya adalah
demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu popular. Selain itu,
109 Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan
(Judicialprudence) : Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta., Hlm : 375
110 Soerjono Soekanto, 2013, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali
Pers, Jakarta., Hlm : 7
56
ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum
sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Perlu dicatat, bahwa
pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-
kelemahan, apabila pelaksanaan perundang-undangan atau keputusan-
keputusan hakim tersebut malahan mengganggu kedamaian di dalam
pergaulan hidup.111
Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas dapatlah ditarik suatu
kesimpulan sementara, bahwa masalah pokok penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.
Faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau
negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut, adalah sebagai
berikut:112
a. Faktor hukum
b. Faktor penegak hukum
c. Faktor sarana atau fasilitas
d. Faktor masyarakat
e. Faktor kebudayaan
Dengan demikian kelima faktor tersebut saling berkaitan erat
dengan nilai esensi dari penegakan hukum, dan juga menjadikan sebagai
tolak ukur dari efektifitas penegakan hukum itu sendiri.
111 Ibid
112
Ibid
57
2.6. Bagan Kerangka Pikir
58
2.7. Definisi Operasional
Teori Statis dalam hukum internasional melihat dari segi teoritis doktriner
serta intrepretasi yang diciptakan dari sejarah pembentukannya dan
segala perangkat yang berkaitan dengan permasalahan tersebut.
Teori Dinamis melihat bagaimana suatu konsep yang berkembang dari
bentuk asal menjadi bentuk masa kini yang sesuai dengan dinamika
perkembangan dan kebutuhan masyarakat bangsa-bangsa sekarang.
Faktor Hukum adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
efektifitas dari penegakan hukum itu sendiri, hal ini meliputi masa berlaku
undang-undang tersebut.
Faktor Penegak Hukum yang meliputi penegak hukum yang secara
langsung berkecimpung dalam penegakan hukum yang tidak hanya
mencakup law enforcemet, akan tetapi juga peace maintenance.
Faktor Sarana atau Fasilitas yang meliputi tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal ini tidak
terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.
Faktor Masyarakat adalah faktor penegakan hukum yang berasal dari
masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam
masyarakat. Dalam sudut padang tertentu masyarakat dapat
mempengaruhi penegakan hukum tersebut.
59
Faktor Kebudayaan adalah faktor yang pada dasarnya mencakup nilai-
nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan
konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa
yang dianggap buruk.
Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak
pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain,
dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di
kecamatan.
Batas Wilayah Negara adalah garis batas yang merupakan pemisah
kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional. Politik Hukum Internasional adalah kebijakan dasar yang menentukan
arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk yang didalamnya
mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum agar
tercapai cita-cita suatu negara.
60
BAB 3
Metode Penelitian
3.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan Kabupaten Nunukan dengan pertimbangan data
yang diperlukan berada di lokasi tersebut.
1. Kantor Pemerintahan Daerah Kabupaten Nunukan
2. Komando Distrik 0911 Kab. Nunukan
3. Departemen Keimigrasian Kab. Nunukan
4. Komando Angkatan Laut Kab. Nunukan
3.2. Tipe Penelitian
Tipe dalam penelitian ini merupakan tipe penelitian Normatif-
Empiris yaitu meneliti aturan-aturan yang ada. aturan Hukum Internasional
maupun aturan Hukum Nasional terkait objek kajian yang saya teliti serta
menganalisis aturan tersebut sehingga dapat memberikan solusi dalam
menyelesaikan masalah yang terjadi saat ini. Dalam hal ini disamping
penelitian Empiris. penelitian ini juga mengambil pendekatan undang-
undang yang dimana penelitian ini meneliti produk hukum yang
dikeluarkan selain daripada itu pendekatan politis digunakan guna
61
mempertimbangkan kebijakan elit politik serta partisipasi masyarakat
dalam pembentukkan produk hukum yang di buat oleh pemerintah.113
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini merupakan pihak-pihak yang terkait
dalam instansi tempat saya meneliti yaitu : Dandim 0911 Kab. Nunukan.
Kabag Perbatasan Kab.Nunukan dan Departemen Imigrasi Republik
Indonesia dari populasi tersebut ditetapkan atau dipilih secara acak.
Dalam hal ini sampel yang saya ambil dari kalangan warga yang
bermukim ada diwilayah perbatsan Indonesia. selain daripada itu penulis
juga mengambil 4 narasumber dari instansi yang menjadi tempat
penelitian saya.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan diperlukan teknik
pengumpulan data sebagai berikut:
1. Wawancara (Interview) : teknik pengumpulan data yang
didapatkan secara langsung dari narasumber yang terkait
dengan instansi tersebut dengan menggunakan Pedoman
Wawancara.
113 Syahruddin Nawi, 2013, Penelitian Hukum Normatif Versus Penelitian Empiris, Umitoha,
Makassar, hlm : 9
62
2. Dokumentasi : teknik pengumpulan data yang mengumpulkan
dokumen-dokumen penting instansi terkait dengan objek kajian
yang diangkat serta menganalisis dokumen tersebut dengan
mengkorelasikannya dengan permasalahan serta
mengaitkannya dengan teori hukum itu sendiri.
3.5. Jenis dan Sumber Data
Dalam hal ini jenis dan sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini sebagai berikut :
1. Bahan Hukum Primer : merupakan bahan-bahan hukum yang
mengikat. Seperti undang-undang nasional serta konvensi
internasional terkait objek kajian yang mau diteliti. Dengan cara
data yang diperoleh langsung dari lapangan penelitian yang
bersumber dari responden serta narasumber yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian.
2. Bahan Hukum Sekunder : merupakan bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.114
Dengan cara data yang diperoleh dari instansi lokasi penelitian
penulis dalam hal ini seperti buku. jurnal. dan literatur yang terkait
dengan permasalahan penelitian.
114 Soerjono Soekanto, 2014, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta. Hlm : 52
63
3.6. Analisis Data
Data yang diperoleh atau dikumpulkan dalam penelitian ini
merupakan data yang sifatnya kualitatif maka analisis data yang
digunakan adalah analisis kualitatif. dimana proses pengolahan datanya
yakni setelah data tersebut terkumpul dan dianggap telah cukup. data
tersebut diolah dan dianalisis secara deskriptif yaitu dengan berlandaskan
kepada dasar-dasar pengetahuan umum kemudian meneliti persoalan
yang bersifat khusus. Dari adanya analisis inilah kemudian ditarik suatu
jawaban dari permasalahan penelitian tersebut.
64
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Pengertian dan Cakupan Studi Politik Hukum Internasional
Politik dan hukum telah lama dipandang sebagai ranah terpisah pada
hubungan internasional, sebagai wilayah aksi yang berbeda masing-
masing dan konsekuensinya sendiri. Pandangan ini sudah demikian luas
sehingga disiplin ilmu hubungan internasional dan disiplin ilmu hukum
internasional berkembang sebagai lapangan penyelidikan yang sejajar
namun dipisahkan dengan sangat teliti, masing-masing dengan uraiannya
sendiri yang khas dan berdiri sendiri.115
Hans Morgenthau terkenal dengan pernyataannya bahwa realis politis
“berpikir dalam hubungannya dengan kepentingan didefinisikan sebagai
kekuasaan, sebagaimana ekonom berpikir kepentingan didefinisikan
sebagai kekayaan; pengacara kesesuaian tindakan dengan aturan-aturan
hukum; moralis, kesesuaian dengan asas-asas moral”. Anehnya, banyak
sarjana hukum internasional telah terbiasa dengan pemisahan ini. Dengan
pengecualian yang nyata, selama ini hukum internasional disodorkan
sebagai sistem pengatur yang hanya cocok digunakan untuk pertukaran-
115 Christian Reus -Smit, The Politics of International Law, terj. Derta Sri Widowatie. (Bandung:
Penerbitan Nusa Media, 2015), hlm 1
65
pertukaran dramatis politik internasional yang dimaksudkan untuk
membatasi dan melunakkan tindakan politik.116
Menurut Christian Reus-Smit dalam mendalami “Politik Hukum
Internasional” ada dua penafsiran yang harus didalami terlebih dahulu.
Penafsiran pertama, frasa tersebut merujuk kepada bagaimana politik
memberikan hakikat dan struktur kepada hukum dan menertibkannya.
Penafsiran kedua, judul itu menyampaikan gagasan politik di dalam
hukum, gagasan bahwa hukum dapat bersifat konstruktif terhadap poliitik,
bahwa politik dapat memiliki bentuk yang khas bila dijalankan di dalam
wilayah penalaran dan praktik hukum.117
Dalam mendalami politik hukum internasional ada tiga pendekatan
yang dapat dijadikan landasan dalam memahami politik hukum
internasional tersebut. Pendekatan pertama Realisme merupakan
pendekatan yang menganggap Negara digambarkan sebagai aktor
kesatuan rasional (rational unitary actors) yang terutama hanya peduli
dengan kebertahanan hidup di dalam sistem anarkis, memiliki “tujuan-
tujuan yang tetap dan saling berbenturan”, serta terutama berfokus
kepada distribusi kemampuan-kemampuan militer. Di saat yang sama,
realism itu mengambarkan politik dan hukum tidak saling berhubungan
juga menganggap hukum terjebak dalam politik dan tanpanya tidak akan
memiliki kekuatan. Terlebih lagi hukum dianggap sebagai fungsi tujuan-
116 ibid
117
ibid, Hlm 21
66
tujuan politis Negara-negara kuat dan melayani tujuan-tujuan mereka.
Menurut Alfred Zimmern hukum internasional kadang-kadang menyerupai
“mantel pengacara yang dengan ahli disampirkan di pundak kekuasaan
sewenang-wenang”. Senada dengan E. H. Carr menyebutkan hukum di
dalam negara adalah cerminan “Politik dan kepentingan golongan-
golongan yang dominan di negara tertentu pada periode tertentu”.118
Rasionalisme merupakan pendekatan kedua yang sangat diminati oleh
kaum institusionalis neoliberal atau biasa disebut kaum neoliberal.
Menurut mereka negara sebagai aktor yang rasional, mengakui bahwa
kepentingannya sering kali paling baik dicapai lewat saling bekerja sama.
Namun, masalah pecurangan, kurangnya informasi, dan biaya transaksi
yang tinggi menjadikan kerjasama sulit dicapai dibawah kondisi-kondisi
anarki.119 Akan tetapi, masalah ini dapat diatasi jika negara mau
bekerjasama dalam membentuk suatu lembaga sebagai representasi
sebuah aturan serta mampu membatasi aktivitas dan menetapkan peran-
peran negara dalam menentukan tujuan yang ingin dicapainya.
Pendekatan ketiga adalah Konstruktivisme yang melihat bahwa politik
hanyalah kekuasaan atau aksi memaksimumkan utilitas semata-mata,
bahwa hukum internasional hanya sebuah fenomena dan setidaknya
menjadi aturan fungsional, sudah satu dasawarsa ini disangsikan oleh
gelombang baru teori internasional konstruktivis. Melihat dari kedua
118 ibid, hlm 23-24
119
ibid, hlm 27
67
fenomena tersebut mengandung sebuah gagasan dalam melihat politik
internasional baik sebagai bentuk nalar dan aksi yang di atur aturan (rule
governed) dan membentuk aturan (rule constitutive) maupun yang melihat
politik internasional sebagai komponen utama dalam struktur-struktur
normatif yang dihasilkan oleh-dan bersifat membentuk politik tersebut.
Dengan meluaskan konsep politik untuk mencakup isu identitas, tujuan,
dan strategi, dengan melihat aturan, norma dan gagasan bersifat
konstitutif, tidak hanya mengekang atau membatasi, serta dengan
menekankan pentingnya wacana, komunikasi, dan sosialisasi dalam
membingkai perilaku manusia, konstruktivisme menawarkan sumber-
sumber daya untuk memahami politik hukum internasional yang tidak
dijumpai di dalam pemikiran rasionalis. Meskipun begitu, kini justru ada
dua keterbatasan konstruktivisme yang signifikan.120 Hal ini
mengakibatkan kaum konstruktivisme tidak jelas dalam mengambarkan
perbedaan norma social dan norma hukum dalam tatanan hukum
interasional. Dengan demikian politik hukum internasional dapat dikatakan
sebagai arah tujuan sebuah negara melalui sebuah kebijakan yang
dikeluarkan guna melindungi kepentingan nasionalnya.
Sudah banyak pengertian atau definisi tentang politik hukum yang
diberikan oleh para ahli didalam berbagai literatur. Dari berbagai
pengertian atau definisi itu, dengan mengambil substansinya yang
120 ibid, hlm : 31-33
68
ternyata sama, dapatlah penulis kemukakan bahwa politik hukum adalah
“legal policy” atau garis kebijakan yang akan diberlakukan baik dengan
pembuatan hukum baru maupun penggantian hukum lama, dalam rangka
mencapai tujuan negara.121
Moh. Mahfud MD, Politik hukum merupakan salah satu cabang ilmu
hukum yang dapat menentukan arah hukum yang akan diberlakukan oleh
negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa
pembuatan hukum baru dan pengantian hukum lama. Dalam arti yang
seperti ini politik hukum harus berpijak pada tujuan negara dan sistem
hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan yang dalam konteks
Indonesia tujuan dan sistem itu terkandung di dalam pembukaan UUD
1945.122
Menurut Padmo Wahjono politik hukum adalah kebijakan dasar yang
menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk.
Didalam tulisannya yang lain Padmo Wahjono memperjelas definisi
tersebut dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan
penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk
menghukumkan sesuatu yang didalamnya mencakup pembentukan,
penerapan, dan penegakan hukum. Teuku Mohammad Radhie
mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak
121 Moh.Mahfud MD, 2014, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta., Hlm : 1
122
Moh. Mahfud MD, 2012, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta., Hlm : 5
69
penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan
mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.123
Soedarto mengemukakan bahwa politik hukum adalah kebijakan
negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikhendaki yang diperkirakan akan
dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.124
Mahfud MD mengemukakan suatu analisis bahwa :125
Jika ada pertanyaan tentang hubungan kausalitas antara hukum dan
politik atau pertanyaan tentang apakah hukum yang memengaruhi politik
ataukah politik yang memengaruhi hukum, paling tidak ada tiga macam
jawaban yang dapat menjelaskan.
1. Hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan
politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
2. Politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil
atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling
berinteraksi dan bahkan saling bersaing.
3. Politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada
posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu
123 Moh.Mahfud MD, 2014, … Op.cit., Hlm 1
124
Ibid., Hlm : 2
125 SM. Noor, 2008, Ratifikasi Perjanjian Internasional “Persoalan Implementasi dan Politik
Hukum di Indonesia, Pustaka Pena Press, Makassar., Hlm : 87
70
dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk
keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan
politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam
pembuatannya tetapi juga dalam kenyataan-kenyataan empirisnya.
Kegiatan legislatif (pembuatan undang-undang) dalam kenyataannya
memang lebih banyak membuat keputusan-keputusan politik
dibandingkan dengan menjalankan pekerjaan hukum yang sesungguhnya,
lebih-lebih jika pekerjaan hukum itu dikaitkan dengan masalah
prosedur.126
Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktifitas
memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial
dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya meliputi
jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar, yaitu :127
a. Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada.
b. Cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk
dipakai dalam mencapai tujuan tersebut.
c. Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu
diubah.
126 Ibid., Hlm : 88
127
Moh.Mahfud MD, 2014, … Op.cit., Hlm 2
71
d. Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk
membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-
cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.
Dari berbagai definisi yang dikemukakan dapat mengantarkan kita
dalam pemahaman bahwa politik hukum mencakup legal policy (sebagai
kebijakan resmi negara) tentang hukum yang akan diberlakukan dan hal-
hal lain yang terkait dengan itu. Jadi ada perbedaan cakupan antara politik
hukum dan studi politik hukum, yang pertama lebih bersifat formal pada
kebijakan resmi sedangkan yang kedua mencakup kebijakan resmi dan
hal-hal lain yang terkait dengannya. Dengan demikian, studi politik hukum
mencakup, sekurang-kurangnya tiga hal : Pertama, kebijakan negara
(garis resmi) tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak
diberlakukan dalam rangka pencapaian tujuan negara; Kedua, latar
belakang politik, ekonomi, social, budaya, (Poleksosbud) atas lahirnya
produk hukum; Ketiga, penegakan hukum di dalam kenyataan
lapangan.128
Faktor-faktor yang menentukan politik hukum bukan hanya ditentukan
oleh apa yang di cita-citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk
hukum, para akademisi maupun praktisi hukum saja, namun juga
tergantung pada perkembangan hukum internasional.
128 Ibid., Hlm : 3-4
72
Dalam pandangan Moh. Mahfud, implementasi politik hukum dapat
berupa :
1. Pembentukan hukum dan pembaruan terhadap bahan-bahan
hukum yang dianggap asing atau tidak sesuai dengan kebutuhan
penciptaan hukum yang diperlukan.
2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk
penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para anggota penegak
hukum.129
Sebagai suatu disiplin ilmu hukum tersendiri, politik hukum
memberikan kerangka dasar terhadap proses pembentukan dan
penemuan hukum yang lebih sesuai dengan konteks sejarah, situasi dan
kondisi, budaya, nilai-nilai yang lahir dan hidup ditengah-tengah
masyarakat dengan turut serta memperhatikan kebutuhan hukum
masyarakat itu sendiri. Dengan proses tersebut sangat diharapkan produk
hukum yang dilahirkan oleh penguasa akan mampu diimplementasikan di
tengah-tengah masyarakat serta dapat diterima dan dapat dilaksanakan
agar produk hukum tersebut di patuhi ditengah-tengah masyarakat.
129 Ibid
73
4.2. Beberapa contoh kasus di wilayah perbatasan Indonesia
Malaysia
Perkembangan hukum dapat dilihat dari dua dimensi yang ternyata
berkembang tidak sejalan yakni struktur hukum dan fungsi hukum. Dilihat
dari dimensi strukturnya, hukum dapat meningkat secara terus menerus
terbukti dari tingkat keberhasilan upaya unifikasi dan kodifikasi, tetapi jika
dilihat dari dimensi fungsinya, ternyata hukum tidak berkembang seiring
dengan strukturnya. Jika dikaitkan dengan perkembangan tingkah laku
politik menjadi tampak jelas, bahwa struktur hukum dapat berkembang
dalam segala bentuk konfigurasi politik dan system pemerintahan,
sedangkan fungsi hukum hanya dapat berkembang secara baik pada saat
ada peluang yang leluasa bagi partisipasi politik massa, sehingga peran
politik didominasi oleh elit kekuasaan, maka fungsi hukum berkembang
secara lamban.130
Mahfud MD melihat bahwa hubungan tolak tarik antara politik dan
hukum, maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistensi
politik memliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum, maka
hukum berada pada posisi yang lemah. Penegakan hukum hanya dapat
dilakukan oleh suatu kekuatan pemerintah nasional yang menjalankan
kewenangan eksekutif negara. Tanpa kekuatan itu hukum tidak lebih dari
130 SM Noor., 2008…. Op.cit ., Hlm : 88-89
74
secarik kertas dengan bait undang-undang yang tidak berarti serta lebih
merupakan cita-cita tanpa wujud.131
Menurut Fionna Patfield & Robin White menekankan bahwa dalam
banyak kasus politik dipandang sebagai tindakan drastic yang memaksa
terjadinya perubahan-perubahan hukum dengan cepat.132 Kasus pulau
Palmas (Pulau Miangas) yang melibatkan Amerika Serikat dan Belanda
pada tahun 1906 yang dapat diselesaikan melalui arbitrasi menerapkan
apa yang disebut penguasaan efektif di mana pemerintah Hindia Belanda
berhasil membuktikan terselenggaranya fungsi administrasi pemerintahan
secara terus menerus dan damai, dan hal ini menunjukkan terjadinya
pengendalian efektif yang menciptakan hak bagi Belanda atas pulau
tersebut. Dengan terselenggaranya fungsi administrasi secara terus
menerus atas warisan pulau pada zaman kolonial pulau tersebut
ditetapkan sebagai dasar penarikan garis pangkal kepulauan dengan
diterbitkanya Undang-undang Nomor 4/Prp tahun 1960.133
Kasus yang sama pernah melanda pulau Sipadan dan pulau Ligitan
yang bermula pada tahun 1960 ketika delegasi kedua negara
mengadakan pertemuan membahas penetapan garis batas landas
kontinen masing-masing negara. Pada saat itu kedua negara tidak
membahas terkait pulau Sipadan dan pulau Ligitan karena dapat
131 Ibid., Hlm : 89-90
132
Ibid., Hlm : 92
133 Marcel Hendrapati et.al, Pengendalian Efektif sebagai Cara Akuisis Teritorial : Analisis
Kasus Sipdan - ligitan, Jurnal Hasanuddin Law Review, Vol 1 No 2 Agustus 2015, Hlm : 243
75
memperkeruh suasana hubungan diplomasi kedua negara dan tuntutan
Filipina atas kepemilikan Sabah sehingga kedua negara tersebut sepakat
membiarkan kedua pulau dalam status quo.134
Berjalan satu dasawarsa kasus tersebut didiamkan oleh kedua negara
pada tahun 8 Februari 1980 pemerintah Indonesia menyampaikan nota
protes pada pemerintah Malaysia terkait peta yang diterbitkannya
memasukkan kedua pulau tersebut kedalam wilayahnya. Nota protes dari
Pemerintah Indonesia serta nota balasan tidak terelakkan sehingga kedua
negara membentuk kelompok kerja „Joint Working Group on Pulau
Sipadan and Pulau Ligitan. Pertemuan pertama pada tahun 1992 dan
pertemuan kedua pada tahun 1994 hasil yang diinginkan hanya relative
sama. namun ada kemajuan lain selama putaran kedua adalah
pernyataan pers kedua negara menyapakati kedua negara dalam
menyelesaikan kasus pulau Sipadan dan pulau Ligitan menggunakan
prinsip-prinsip hukum internasional dengan melibatkan pihak ketiga ICJ
(International Court of Justice) akhirnya pada tahun 1998 kasus pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan di bawa ke ICJ.135
Pada tanggal 16 Desember 2002 ICJ memutuskan kepemilikan sah
atas pulau Sipadan dan pulau Ligitan jatuh kepada Pemerintah Malaysia
sebelum itu pada tahun 1996 Presiden Soeharto dari Republik Indonesia
dan Perdana Menteri Mahathir Mohammad dari Malaysia sepakat bahwa
134 Ibid., Hlm 246
135
Ibid
76
keduanya akan mematuhi putusan yang telah ditetapkan oleh ICJ serta
mengimplementasikannya pada peraturan hukum yang berkaitan dengan
status kedua pulau yang disengketakannya tersebut .136
Hak yang sah atas kepemilikan kedua pulau tersebut oleh pemerintah
Malaysia telah diakui oleh pemerintah Indonesia melalui pemberlakuan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2008 yang mana bahwa titik-titik
awal penarikan garis pangkal kepulauan tidak berada di Pulau Ligitan lagi,
tapi di pulau Sebatik dan Karang Unarang. Keputusan ICJ atas kasus
Sipadan-Ligitan didasarkan tentang prinsip 'penguasaan yang
efektif'. Malaysia dan negara pendahulunya (Inggris) berhasil melindungi
dan melestarikan lingkungan pulau serta menunjang kehidupan makhluk
disana, dan telah diakui dapat menjalankan fungsi pemerintahan yang
berkaitan dengan wilayah tersebut. 137
Tidak sampai disitu, di tahun 2014 pemerintah Malaysia berbuat ulah
dengan membangun mercusuar, Pembangunan mercusuar oleh
Pemerintah Malaysia di perairan Tanjung Datok, Kecamatan Paloh,
Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat sempat menimbulkan masalah.
Malaysia diduga membangun mercusuar di tanah Indonesia. Namun,
Indonesia-Malaysia kini sepakat tidak meneruskan proyek tersebut.
Pembangunan mercusuar pertama kali dideteksi oleh kapal negara dan
136 Marcel Hendrapati et.al, Today’s Ambalat: Neglecting the Basepoints of Sipadan and Ligitan
Islands for Maintaining the Equidistance Principle in the Disputed Area, Journal of East Asia and International Law, Vol 1 No 10 Januari 2017, Hlm : 284
137 Ibid., hlm : 284
77
kapal navigasi dari Dinas Perhubungan Laut RI beberapa pekan lalu.
Temuan itu kemudian dilaporkan ke TNI dan ditindaklanjuti dengan
mengirimkan 1 kapal perang dan pesawat udara. Belum jelas perusahaan
atau lembaga apa yang melakukan pembangunan itu. Areal Tanjung
Datuk, termasuk Gosong Niger (laut) dan Camar Wulan (darat)
merupakan titik ikat dan patok batas Provinsi Kalimantan Barat dengan
Negara Bagian Sarawak (Federasi Malaysia). Kasus batas laut wilayah
atau laut teritorial antara Malaysia dan Indonesia sudah lama terjadi. Pada
17 Maret 1970 telah disepakati dan diratifikasi Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1971 mengenai Perjanjian Batas Laut Teritorial.138
Pembangunan mercusuar Malaysia di wilayah NKRI itu diketahui kapal
distrik navigasi Indonesia pada 16 Mei 2014. Pembangunan dilakukan
kapal polisi maritim serta kapal angkatan laut. Tak urung hal ini menjadi
isu nasional sehingga sempat mengakibatkan terganggunya hubungan
diplomatik antara pemerintah Indonesia-Malaysia. Pemerintah Malaysia
sendiri lantas membantah jika pembangunan mercusuar tersebut masuk
wilayah Indonesia. Kedua negara kemudian berunding dan melakukan
peninjauan terhadap wilayah yang diklaim sepihak itu. Ternyata, wilayah
itu berada di titik koordinat 02'05'.051' Lintang Utara serta 109'38.760'
Bujur Timur, yang diplot di peta nomor 282K dikeluarkan oleh Dishitdros
138 Hanz Jimenez Salim, 2014, Panglima TNI: Pembangunan Mercusuar di Tanjung Datuk
Dihentikan, http://news.liputan6.com/read/2055654/panglima-tni-pembangunan-mercusuar-di-tanjung-datuk-dihentikan , [diakses pada tanggal 28 februari 2018 pada pukul 01.00]
78
TNI AL tahun 2013 berada dalam wilayah perairan Indonesia dengan jarak
309 meter dari daratan. Saat ini sengketa sudah mereda, walau
persoalannya belum benar-benar terselesaikan.139
Kasus yang terakhir terjadi di tahun 2017, di kecamatan Entikong,
kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Satuan Tugas Pengamanan
Perbatasan (Satgas Pamtas) Yonif 131/Braja Sakti menemukan satu
patok batas negara Indonesia-Malaysia di tengah lapangan golf milik
warga negeri jiran itu. Secara teritori, patok batas bernomor F210 itu
masuk di wilayah Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau. Lebih lanjut
Denni menjelaskan lapangan golf itu memang tidak difungsikan. Selain itu,
Satgas Pamtas Yonif 131/Braja Sakti selama sembilan bulan bertugas di
wilayah perbatasan darat RI-Malaysia sudah mendata 1.974 dari total
2.424 patok. Dari pendataan Satgas Pamtas Yonif 131/Braja Sakti, 28
patok rusak ringan, 53 patok rusak berat, dan 1 patok bergeser akibat
pengerjaan Jalan Inspeksi Patroli Perbatasan. Sejauh ini, setiap
pergantian pasukan pengamanan perbatasan, pencarian patok yang
belum ditemukan terus diintensifkan.140
139 Biro Komunikasi dan Informasi Publik, 2015, Menara Mercusuar Tanjung Datu, Mercusuar
Terjauh di Kalimantan Barat, http://dephub.go.id/berita/baca/menara-mercusuar tanjung-datu,-mercusuar-terjauh-di-kalimantan barat/?cat=TGlwdXRhbiBLaHVzdXN8 [diakses pada tanggal 28 februari 2018 pada pukul 01.00]
140 Fajar, 2017, Duh, Malaysia Jadikan Wilayah RI Lapangan Golf,
https://paluekspres.fajar.co.id/duh-malaysia-jadikan-wilayah-ri-lapangan-golf [diakses pada tanggal 28 februari 2018 pada pukul 01.00]
79
Dengan demikian semakin banyaknya kasus yang terjadi diwilayah
perbatasan Indonesia dan Malaysia hendaknya pemerintah lebih
memperhatikan nasib masyarakat di wilayah perbatasan dengan
beberapa kasus tersebut membuktikan pemerintah belum
mengoptimalkan penjagaan diwilayah perbatasan.
4.3. PemerIntah Indonesia dalam Menggunakan Politik Hukum
Internasional.
4.3.1. Pemerintah Indonesia Dalam Menetapkan Politik Hukum
Internasionalnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kemerdekaannya
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, adalah negara yang
merdeka, bersatu dan berdaulat kedalam maupun keluar. Berdaulat ke
dalam, artinya Pemerintah Indonesia memiliki kewenangan untuk
mengurus, mengatur dan mengelola urusan rumah tangganya sendiri
tanpa campur tangan dari negara-negara lain. Termasuk membentuk UU
wilayah negara sebagaimana diamanahkan Pasal 25A UUD NRI tahun
1945 yang menyatakan : “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang
batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.
Berdaulat ke luar, artinya pemerintah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dapat menjalankan politik luar negerinya secara bebas, aktif,
mandiri dan dinamis dalam tata pergaulan kehidupan bangsa-bangsa,
80
serta menjalin kerja sama internasional sesuai kaidah-kaidah hukum
internasional demi terwujudnya perdamaian dunia dan terpenuhinya
kepentingan nasional Indonesia.141
Dalam perspektif hukum internasional, batas-batas wilayah negara
merupakan salah satu manifestasi terpenting kedaulatan territorial suatu
negara. Sejauh batas-batas ini diakui secara eksplisit oleh perjanjian atau
diakui secara umum, maka batas-batas tersebut merupakan bagian dari
hak suatu negara terhadap wilayah. Inilah sebagai konsep kedaulatan
territorial, dimana didalam wilayah itu negara menjalankan jurisdiksi atas
orang dan benda.142
Kawasan perbatasan merupakan kawasan strategis terkait
integritas dan kedaulatan wilayah negara yang memerlukan pengelolaan
secara khusus. Pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan
perbatasan diperlukan untuk memberikan kepastian hukum mengenai
ruang lingkup wilayah negara, kewenangan pengelolaan wilayah negara,
dan hak–hak berdaulat, serta dilakukan dengan pendekatan
kesejahteraan, keamanan dan kelestarian lingkungan secara bersama-
sama. Oleh karena itu, pengelolaan perbatasan dilakukan oleh suatu
badan khusus yang membidangi pengelolaan perbatasan sesuai dengan
amanat Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
Berdasarkan amanat Undang-undang tersebut, ditetapkanlah Peraturan
141 Muhammad Syafei, Disertasi: “Pengaturan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Kalimantan
Barat-Sarawak Malaysia” (Makassar: Universitas Hasanuddin, 2012)., Hlm : 147-148
142 Ibid., Hlm: 150
81
Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional
Pengelola Perbatasan (BNPP). Pembentukan BNPP melalui Perpres
Nomor 12 Tahun 2010 dimaksudkan agar pengelolaan perbatasan lebih
fokus, sinkron, terkoordinasi, dan berada pada satu pintu pengelolaan.143
Gambar 1 Peta Perbatasan Darat Indonesia dan Malaysia
Kondisi Penetapan dan Penyelesaian Batas. Perbatasan darat antara
RI dengan Malaysia memiliki panjang 2.004 km membentang dari Tanjung
Datu di sebelah barat hingga ke pantai timur pulau Sebatik di sebelah
Timur. Garis batas ini melintasi 8 (delapan) kabupaten di tiga provinsi,
yaitu Kabupaten Sanggau, Sambas, Sintang, Kapuas Hulu, dan
143 Lihat Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan Negara tahun 2015-2019, Hlm : 38
82
Bengkayang (Provinsi Kalimantan Barat), Kabupaten Kutai Barat (Provinsi
Kalimantan Timur) dan Kabupaten Malinau dan Nunukan (Kalimantan
Utara). Garis perbatasan darat di Provinsi Kalimantan Barat sepanjang
966 km memisahkan wilayah NKRI dengan wilayah Sarawak, Malaysia.
Sementara garis perbatasan darat di Provinsi Kalimantan Timur
sepanjang 48 kilometer dan di Kalimantan Utara sepanjang 990 km
memisahkan wilayah NKRI dengan negara bagian Sabah dan Serawak,
Malaysia.144
Gambar 2 Peta Administrasi Kabupaten Nunukan
144 Ibid ., Hlm : 38-39
83
Kondisi Pemiliharaan Tanda Batas. Kondisi keberadaan patok batas
antar negara di darat antara RI-Malaysia perlu untuk menjadi perhatian,
dimana pergeseran patok batas sering terjadi karena adanya aktivitas di
sekitar kawasan perbatasan, bahkan bergesernya patok batas darat ini
seringkali dilakukan secara sengaja. Kondisi ini juga terkait dengan
lemahnya kontrol atau pengawasan terhadap batas negara di perbatasan
Indonesia-Malaysia.145
Perbatasan darat sangat rentan dengan pergeseran batas wilayah
negara akibat tanda batas negara yang terkadang hilang atau berpindah.
Upaya pemeliharaan tanda batas negara sangat diperlukan dan menjadi
fokus perhatian dalam aspek batas wilayah negara. Pemeliharaan tanda
batas negara tersebut menjadi demarkasi wilayah negara. Pemeliharaan
tanda batas negara dapat dilakukan melalui operasi rutin batas negara
yang juga dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat perbatasan
untuk menjaga tanda batas negara. Memberikan pengetahuan kepada
masyarakat untuk tidak merusak tanda batas negara serta ikut menjaga
tanda batas tersebut menjadi penting. Hanya saja memang tanda batas
145 Ibid. Hlm :, 39
84
negara sering rusak dan berpindah akibat ulah oknum yang tidak
bertanggung jawab. Dalam hal ini perlu diberikan pemahaman kepada
warga, serta perlu dilakukan patroli rutin dalam menjaga tanda batas
negara tersebut. Pemeliharaan tanda batas negara harus menjadi
prioritas, sebab patok-patok negara tersebut terkadang rusak secara
alamiah ataupun sengaja dirusak untuk kepentingan tertentu.146
Kondisi Penegasan Batas. Penuntasan permasalahan perbatasan
darat RI Malaysia selama ini ditangani melalui tiga lembaga yaitu: (1)
General Border Committee (GBC) RI-Malaysia dikoordinasikan oleh
Kementerian Pertahanan; (2) Joint Commission Meeting (JCM) RI-
Malaysia, dikoordinasikan oleh Kementerian Luar Negeri; dan (3) Sub
Komisi Teknis Survey dan Demarkasi dikoordinasikan oleh Kementerian
Dalam Negeri. Adapun Untuk penanganan masalah Outstanding Border
Problems (OBP), telah dibentuk Kelompok Kerja Bersama (Joint Working
Group) antara kedua negara. Untuk tahap awal telah disepakati untuk
dibahas 5 (lima) permasalahan di sektor Timur (Kalimantan Utara-Sabah).
Sebagai bagian dari usaha pengelolaan perbatasan, pemerintah
Indonesia (melalui BIG) dan Pemerintah Malaysia menyepakati untuk
membuat sebuah peta bersama untuk sepanjang koridor batas darat
kedua negara. Hasil dari peta bersama ini akan sangat berguna bagi
146 Ibid. Hlm :, 196
85
Pemerintah kedua negara dan para stakeholders yang akan mengelola
koridor perbatasan tersebut.147
Gambar 3 Daerah Outstanding Border Problem Sungai Sinapad
Delimitasi batas darat dengan Malaysia di Pulau Kalimantan dan
Pulau Sebatik mengacu kepada perjanjian batas antara Pemerintah
Inggris dan Pemerintah Hindia Belanda (Traktat 1891, Konvensi 1915 dan
1928) serta MOU batas darat Indonesia dan Malaysia tahun 1973-2006.
Sedangkan penegasan batas (demarkasi) secara bersama diantara kedua
negara telah dimulai sejak tahun 1973, dimana hingga tahun 2009 telah
dihasilkan tugu batas sebanyak 19.328 buah lengkap dengan
147 Ibid. Hlm : 41
86
koordinatnya. Delimitasi batas darat RI-Malaysia yang sebagian besar
berupa watershed (punggung gunung/bukit, atau garis pemisah air) ini
sudah selesai, tetapi secara demarkasi masih tersisa 9 (sembilan) titik
bermasalah (Outstanding Boundary Problems).148
Gambar 4 Daerah Outstanding Border Problem Sungai Simantipal
Kawasan OBP (Outstanding Border Problem) di pulau Kalimantan
Khususnya Kalimantan utara berpotensi memunculkan sengketa
internasional antara Republik Indonesia dengan Malaysia. Menurut S.M
Noor, sengketa internasional adalah sengketa yang melibatkan antara dua
negara atau lebih terhadap suatu obyek yang dipersengketakan. Obyek
148 Ibid. Hlm :, 41
87
yang umum dipersengketakan umumnya dapat berupa : Masalah
kedaulatan negara, masalah perbedaan panutan ideologi dan persaingan
dalam bidang ekonomi.149
Kondisi Pertahanan, Keamanan, dan Penegakan Hukum. Kawasan
perbatasan RI – Malaysia masih diwarnai oleh maraknya kegiatan illegal,
baik itu perdagangan illegal, penyelundupan kayu, pembalakan liar, TKI
illegal dan perdagangan manusia. Salah satu permasalahan yaitu TKI
illegal, hal ini disebabkan karena banyak TKI ini berkerja di Malaysia tetapi
menggunakan pasport wisata bahkan tidak memiliki dokumen resmi
sehingga terjadi pemulangan TKI secara besar-besaran.
Belum tersedianya Pos Lintas Batas di Kabupaten Nunukan sebagai
tempat pemulangan TKI illegal, serta belum ada instansi yang
menanganinya. Perdagangan lintas negara yang tidak boleh melebihi RM
600/orang/bulan, apabila berbelanja dengan nilai lebih dari itu maka akan
dikenakan pajak. Hal inilah yang memicu terjadinya perdagangan illegal.
Jenis barang biasanya kebutuhan pokok, rumah tangga hingga pupuk.
Perdagangan illegal ini ditunjang dengan beberapa faktor antara lain
kemiskinan, sarana dan prasarana yang kurang memadai, adanya jalan
tikus yang menghubungkan kedua wilayah hingga mahalnya dan
langkanya barang produk Indonesia. Sarana dan prasarana pendukung
bagi pengelola batas negara juga kurang mengalami perhatian seperti
149 Muhammad Syafei,Op.cit., Hlm : 177
88
peralatan komunikasi radio, GPS, prasarana patroli (kendaraan) serta
infrastruktur yang memadai ujar Mansyur Rincing (Ketua LSM Pancasila
Jiwaku).150
Sebagai bagian dari pembangunan nasional, pembangunan
pertahanan dan keamanan merupakan komponen integral dari
pembangunan nasional bidang lainnya. Hal ini menunjukan bahwa
pembangunan bidang pertahanan dan keamanan merupakan prasyarat
(enabling environment) terhadap pembangunan bidang lainnya, dan
bergerak ke arah yang sama demi tercapainya Visi Pembangunan
Nasional. 151
Visi Pembangunan Nasional 2025 itu sendiri secara jelas memuat tiga
aspek utama yakni Indonesia yang maju dan mandiri; Indonesia yang adil
dan demokratis; serta Indonesia yang aman dan damai. Pentingnya
penciptaan Indonesia yang aman dan damai ini dapat dilihat dari tiga
pendekatan. Pertama, keamanan dan pertahanan dipandang sebagai
prasyarat utama untuk menciptakan lingkungan yang kondusif guna
memajukan sektor-sektor vital lainnya. Kedua, pertumbuhan ekonomi
jangka pendek maupun jangka menengah dapat dicapai bila stabilitas
keamanan terjaga baik, sebagaimana tercermin dalam 10 tahun terakhir
ini. Ketiga, konsep keamanan nasional difokuskan pada keamanan insani.
150 Wawancara dengan Mansyur Rincing Ketua LSM Panjiku (Pancasila Jiwaku) , tanggal 8
september 2017 dalam forum group discussion Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kab.Nunukan.
151 Lihat Rancangan Awal RPJMN 2015-2019, hlm : 526
89
Konsep ini bersifat inklusif dan partisipatoris, dimana keamanan
tradisional atau keamanan negara tidak bisa lagi dipandang sebagai satu
ranah yang terpisah, melainkan semakin erat kaitannya dengan
keamanan non tradisional lainnya, seperti keamanan energi, maritim dan
pangan.152
Dinamika lingkungan internasional semakin kompleks sifatnya
mengingat terdapat keterkaitan yang erat antar berbagai masalah yang
dihadapi masyarakat internasional, yakni keterkaitan antara masalah
global, regional dan nasional, dan keterkaitan antara masalah politik,
keamanan, ekonomi, lingkungan dan sosial. Berbagai tantangan yang
dihadapi Indonesia antara lain pergeseran kekuatan dari Barat ke Timur
yang berimplikasi bagi kepentingan Indonesia, potensi gangguan stabilitas
dan keamanan kawasan termasuk sentralitas ASEAN yang perlu
meningkatkan kapasitas, persatuan dan kredibilitas dalam penyelesaian
sengketa. Indonesia juga perlu mempersiapkan diri dalam menghadapi
regional economic integration dan memasuki kompetisi pembukaan akses
pasar internasional prospektif. Untuk itu, sinergi diplomasi politik dan
diplomasi ekonomi perlu terus dilakukan. Tidak kalah penting,
permasalahan perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri juga
perlu diletakkan sebagai prioritas.153
152 Lihat Rancangan Awal RPJMN 2015-2019, hlm : 526
153
Lihat Rancangan Teknokratik RPJMN 2015-2019, hlm : 218-219
90
Gambar 5 Daerah Outstanding Border Problem Patok B 2.700 – B 3.100
Untuk menjawab tantangan tersebut, agenda politik luar negeri
Indonesia lima tahun ke depan antara lain adalah memantapkan peran
Indonesia di ASEAN, meningkatkan partisipasi dalam perdamaian dunia,
memperkuat diplomasi ekonomi, meningkatkan peran Indonesia dalam
kerja sama selatan-selatan dan triangular, meningkatkan kualitas
perlindungan WNI/BHI di luar negeri, serta meningkatkan promosi dan
pemajuan demokrasi dan HAM. Secara menyeluruh, diplomasi bekerja
untuk menciptakan dan memelihara stabilitas, keamanan dan perdamaian
di tingkat kawasan maupun di tingkat global. Mesin diplomasi bekerja bagi
terciptanya keadilan dan kemakmuran baik di tingkat kawasan maupun di
tingkat global.154
154 ibid
91
Gambar 6 Daerah Outstanding Border Problem Daerah Sebatik
Kondisi wilayah perbatasan Indonesia pada umumnya merupakan
wilayah tertinggal, terisolasi dari pusat-pusat pertumbuhan, masyarakat di
wilayah perbatasan umumnya tergolong masyarakat miskin dengan
tingkat pendidikan dan kesejahteraan berada pada kategori rendah,
rentan terhadap penyalahagunaan dan kegiatan ilegal baik yang dilakukan
oleh masyarakat Indonesia maupun oleh aktor dari negara lain.
Kerawanan dan ketertinggalan tersebut, harus segera diatasi melalui
pembangunan sarana prasarana yang terintegrasi dan harmonis serta
mengacu pada RUTR KASABA/Kalimantan-Sarawak-Sabah (Regional
sesuai dengan kewenangan otonomi daerah.155
Belum optimalnya dan belum selesainya penetapan batas wilayah
darat antara Indonesia dengan Malaysia menjadi prioritas utama
penetapan dan penegasan batas wilayah darat. Penetapan dan
penegasan batas negara wilayah darat dapat terlaksana dengan sejumlah
agenda diplomasi dan pelaksanaan survey bersama dalam menentukan
155 Parulian Simamora, 2013, Op.Cit ., Hlm : 101
92
batas negara. Penetapan dan penegasan batas negara wilayah darat
juga dihadapkan pada permasalahan pemilikan lahan yang tumpang tindih
antara suku-suku yang ada di perbatasan, terlebih suku dari negara
tetangga yang memiliki tanah di bagian negara Indonesia. Selain dengan
negara tetangga, penetapan batas negara juga perlu dikonsolidasikan
dengan suku-suku yang ada di perbatasan. Penarikan garis batas negara
yang biasanya tidak sama antara Indonesia dengan negara tetangga
bersumber pada sumber atau perjanjian awal yang terkadang berbeda.
Oleh karena itu upaya diplomasi dan kegiatan survey bersama ini sangat
diperlukan Tutur Letnan Kolonel Kav Valian Wicaksono (Komandan Distrik
Militer Kabupaten Nunukan).156
Gambar 7 Daerah Outstanding Border Problem Patok C 500 – C 600
156 Wawancara dengan letnan Kolonel Kav Valian Wicaksono, pada tanggal 11 september
2017 di kantor Kodim 0911 Kab.Nunukan
93
Penegasan batas negara dapat diwujudkan dengan pembangunan
tugu atau tanda batas negara yang jelas dan tidak mudah dirusak. Batas
negara yang sudah tetap dan tegas garisnya akan menjadi acuan dasar
dalam pembangunan kawasan perbatasan serta menghindari terjadinya
penguasaan wilayah negara oleh pihak yang tidak berwenang. Selain itu,
apabila batas negara sudah tegas, maka penindakan terhadap aktivitas
yang melanggar kesepakatan bersama dapat dilakukan lebih optimal
dengan dasar yang kuat ujar Muhammad Effendi., S.IP (Kepala Bagian
Wilayah Perbatasan Kabupaten Nunukan).157
Gambar 8 Daerah Outstanding Border Problem Karang Unarang
Dewasa ini Indonesia telah mengeluarkan beberapa regulasi terkait
pengelolaan perbatasan disamping melakukan kerja sama internasional.
157 Wawancara dengan Muhammad Effendi, pada tanggal 13 september 2017 di kantor
pemerintahan Kab. Nunukan
94
Secara eksplisit Indonesia telah memiliki tekad dalam menjalankan politik
hukum internasionalnya. Dasar kebijakan dalam pembahasan isu-isu
perbatasan dan penataan ruang nasional inilah yang dijadikan sebagai
landasan dalam mengelola wilayah perbatasan.
Kawasan perbatasan mempunyai posisi strategis yang berdampak
terhadap hankam dan politis mengingat fungsinya sebagai outlet terdepan
Indonesia, dimana terjadi banyak pelintas batas baik dari dan ke
Indonesia maupun Malaysia.158Disatu sisi arah kebijakan pengelolaan
wilayah perbatasan telah berubah dari kebijakan yang selama ini
cenderung berorientasi kedalam (inward looking) menjadi keluar (outward
looking) dengan tujuan mengelola wilayah perbatasan sebagai halaman
depan negara yang berfungsi sebagai pintu gerbang keluar-masuk orang,
barang dan semua aktifitas, khususnya yang terkait dengan ekonomi
dengan negara tetangga untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.159
Dari beberapa masa kepemimpinan presiden Indonesia, di era
Presiden Joko Widodo sangat nampak pembangunan hal ini terkait
nawacita ketiga presiden, namun disisi lain, pemerintah dapat melakukan
pembaruan dalam hal regulasi diwilayah perbatasan, karena tidak sesuai
lagi dengan perkembangan masyarakat yang ada. Hal ini terkait Border
158 Lihat Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan Negara tahun 2015-2019, Hlm : 150-151
159
Parulian Simamora, 2013, Op.Cit ., Hlm : 101
95
Trade Agreement tahun 1970 sudah tidak relevan karena ini menyangkut
hak hidup masyarakat di wilayah perbatasan.
Kekuatan pertahanan juga merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi stabilitas politik dan keamanan. Semakin kuatnya
pertahanan Indonesia ditunjukkan dengan bertambahnya gelar kekuatan
Alutsista di seluruh matra. Dengan adanya peningkatan tersebut,
tantangan yang harus diantisipasi ke depan adalah pemenuhan
pemeliharaan dan perawatan bagi Alutsista tersebut sehingga kesiapan
operasional dan tempur dapat terjamin, serta peningkatan profesionalisme
prajurit sebagai elemen utama kekuatan pertahanan.
Oleh sebab itu, dalam membangun Indonesia di wilayah perbatasan
kedepannya pemerintah hendaknya melakukan pembaruan hukum
nasional serta dalam membuat kebijakan pemerintah baiknya melihat
kondisi masyarakat yang berada di wilayah perbatasan jangan hanya
melihat perbatasan hanya melihat patok perbatasan dan garis imajiner
yang tergambarkan melalui peta. Sangat diperlukan hubungan kerja sama
antara negara-negara tetangga yang berbatasan langsung dengan
Indonesia agar proses pembangunan di wilayah perbatasan bisa
meningkat.
Selain itu dalam meningkatkan basis keamanan diwilayah perbatasan
hendaknya pemerintah memperhatikan status dan kondisi pos perbatasan
96
yang ada, sangat dimungkinkan bahwa alokasi pembangunan tidak hanya
untuk membangun pos pertahanan baru, tetapi digunakan untuk
memperbaiki pos perbatasan dalam kondisi darurat atau semi permanen
menjadi permanen. Dengan demikian, untuk meningkatkan pengamanan
wilayah perbatasan maka pembangunan pos perbatasan masih sangat
dibutuhkan. Demikian pula untuk pos pulau terluar yang saat ini hanya
difokuskan pada 12 pulau dan 14 pos pulau terluar lainnya, masih ada 68
pulau terluar yang perlu ditingkatkan penjagaannya agar berbagai bentuk
pelanggaran hukum dan kedaulatan negara dapat ditekan seminimal
mungkin ujar Letkol Laut (P) Ari Aryono (Komandan Angkatan Laut
Kabupaten Nunukan) .160
4.3.2. Implementasi Pemerintah Indonesia Menggunakan Politik
Hukum Internasionalnya
Arah kebijakan pengembangan kawasan perbatasan negara periode
2015-2019 adalah mempercepat pembangunan di berbagai bidang pada
kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara dan pintu gerbang
aktivitas ekonomi dengan negara tetangga secara terintegrasi dan
berwawasan lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan semakin kuatnya pertahanan keamanan nasional. Dalam
mewujudkan kebijakan pengembangan kawasan perbatasan dibutuhkan
kebijakan asimetris untuk pengelolaan keuangan negara dalam
160 Wawancara dengan Letkol Laut (P) Ari Aryono , tanggal 13 september 2017 di Kantor
DANLANAL Kab.Nunukan.
97
pembangunan kawasan perbatasan, pemenuhan pelayanan publik di
kawasan perbatasan termasuk infrastruktur dasar wilayah, sosial dasar,
pemerintahan, dan berbagai bidang lainnya.161
Untuk menuju jalan Indonesia yang berdaulat secara politik, dalam lima
tahun kedepan pelaksanaan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang
bebas dan aktif akan dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati
diri bangsa sebagai negara maritim. Indonesia akan membangun wibawa
politik luar negeri dan dapat mereposisi peran Indonesia dalam isu-isu
global. Dalam menghadapi dinamika lingkungan internasional yang begitu
cepat, Indonesia perlu memimpin dan berperan dalam mewujudkan
tatanan dunia yang lebih adil, dan damai di berbagai aspek kehidupan.162
Dalam rangka mencapai sasaran kegiatan pengembangan pusat
ekonomi perbatasan dilakukan pendekatan 10 PKSN sebagai amanat PP
No. 26/2008 dan 187 lokpri kecamatan perbatasan negara yang
ditetapkan dalam Rencana Induk Kawasan Perbatasan Negara Tahun
2015-2019. Selain itu, di tahun 2015 telah ditetapkan Inpres Nomor 6
tahun 2015 tentang Percepatan Pembangunan tujuh PLBN Terpadu dan
Sarana Prasarana Penunjang di Kawasan Perbatasan, sehingga dalam
161 Lihat Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2015-2016, Hlm : 146
162
Lihat Rancangan Awal RPJMN 2015-2019, hlm : 5-23
98
RPJMN 2015-2019 menetapkan sasaran kegiatan pembangunan tujuh
PLBN Terpadu sebagai target pembangunan.163
Dalam mengimplementasikan Rencana Induk Pengelolaan Batas
Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan dibutuhkan Rencana Aksi
yang berpedoman pada RPJMN 2015-2019 dengan 7 (tujuh) agenda
utama pembangunan nasional, yaitu : Mewujudkan keamanan nasional
yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian
ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim, dan mencerminkan
kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan; Mewujudkan
masyarakat maju, berkeseimbangan, dan demokratis berlandaskan
negara hukum; Mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan
memperkuat jati diri sebagai negara maritim; Mewujudkan kualitas hidup
manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera; Mewujudkan bangsa
yang berdaya saing; Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang
mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional; Mewujudkan
masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.164
Rencana aksi BNPP tahun 2018 disusun dalam upaya
mengimplementasikan Inpres Nomor 6 tahun 2015 tentang Percepatan
Pembangunan tujuh PLBN Terpadu dan Sarana Prasarana Penunjang di
Kawasan Perbatasan. Dengan 9 (Sembilan) prioritas pembangunan
nasional, yaitu : Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap
163 Lihat Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2015-2016, Hlm : 148
164
Lihat RPJMN tahun 2015-2019
99
bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara;
Membuat Pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola
pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya;
Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah
dan desa dalam kerangka negara kesatuan; Memperkuat kehadiran
negara dalam melakukan reformasi system dan penegakan hukum yang
bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya; Meningkatkan kualitas hidup
manusia Indonesia; Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di
pasar Internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit
bersama bangsa-bangsa Asia lainnya; Mewujudkan kemandirian ekonomi
dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik;
Melakukan revolusi karakter bangsa; Memperteguh kebhinekaan dan
memperkuat restorasi sosial Indonesia.165
Mengacu pada 9 (Sembilan) agenda prioritas pembangunan nasional
diatas, maka salah satu prioritas pembangunan yang menjadi fokus
perhatian BNPP adalah prioritas yang ke 3 (tiga) yaitu : Membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa
dalam kerangka negara kesatuan.166 Selain itu rencana aksi BNPP 2018
165 Ibid
166
Ibid
100
disusun dengan mempertimbangkan berbagai permasalahan perbatasan
antar negara dan tantangan lingkup tugas pokok dan fungsi BNPP.167
Adanya perkembangan cepat di bidang ilmu dan teknologi telah
mengakibatkan semakin tingginya tingkat mobilitas manusia, baik secara
nasional maupun internasional. Berhubung setiap manusia adalah warga
negara suatu negara yang berdaulat, peningkatan mobilitas manusia ini
banyak menimbulkan masalah yang berkaitan dengan yurisdiksi dan
hukum nasional suatu negara.168
Masih tingginya potensi konflik interstate, adanya trust deficit di
kawasan, serta ekspektasi internasional membuat Indonesia sangat
berkepentingan untuk turut berkontribusi dan berpartisipasi dalam upaya
menjaga perdamaian dunia, baik di kawasan maupun di level yang lebih
luas. Upaya ini terkait erat dengan kepentingan nasional karena peace
and stability di kawasan adalah prasyarat mutlak untuk dapat
melaksanakan pembangunan di dalam negeri. Untuk itu, Indonesia akan
memberikan perhatian pada upaya memelihara perdamaian dan
keamanan di kawasan dan di tingkat global, yang selama ini sudah mulai
dilakukan.169
Prioritas pertama yang perlu ditangani adalah pelaksanaan diplomasi
maritim untuk mempercepat penyelesaian masalah perbatasan Indonesia,
167 Muhammad Syafei,Op.cit., Hlm : 262
168
Yudha Bhakti Ardiwisastra, 2003, Op.Cit…Hlm 95
169 Ibid
101
termasuk perbatasan darat, dengan 10 negara tetangga. Penyelesaian
persoalan perbatasan sangat penting untuk menjaga keamanan dan
integritas wilayah Indonesia. Indonesia memiliki perbatasan maritim
dengan 10 negara yakni India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam,
Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor-Leste, serta perbatasan
darat dengan tiga negara, yakni Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste.
Penetapan batas darat dengan Papua Nugini telah selesai dilakukan,
sedangkan penetapan perbatasan dengan Malaysia dan Timor Leste
sebagian besar telah dilaksanakan. Penetapan perbatasan perlu terus
dilaksanakan karena berlarut-larutnya sejumlah isu perbatasan dapat
berdampak negatif bagi hubungan diplomatik, yang seringkali dapat
dirasakan langsung penduduk di wilayah perbatasan.170
Pembangunan bidang pertahanan dan keamanan telah menyentuh
wilayah perbatasan dan pulau terluar. Capaian pentingnya adalah
terbangunnya pos-pos pengamanan perbatasan dan tergelarnya pasukan
TNI secara terbatas di pos-pos perbatasan maupun di pulau-pulau kecil
terluar dalam rangka menjamin kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan
keselamatan bangsa.
Mengingat kawasan perbatasan merupakan kawasan strategis
seharusnya pemerintah memberikan perhatian lebih kepada daerah
perbatasan. Tidak hanya pada bidang keamanan, karena banyaknya
170 Ibid
102
gangguan yang dapat berimplikasi terhadap kedaulatan negara.
Pembangunan sosial dan ekonomi hendaknya di perhatikan karena
menyangkut kesejahteraan penduduk wilayah perbatasan sebagai
prioritas utama. Sangat dibutuhkan dalam memperkuat serta menjaga
kedaulatan negara.
(Dalam Ribuan Rupiah)
Tabel : 1171
Rencana Aksi tahun anggaran 2018
171 Lihat Naskah Rencana Aksi BNPP RI 2018, Diolah
103
BNPP yang merupakan representasi dari pemerintah juga
melaksanakan evaluasi dan pengawasan atas kinerja pelaksanaan
program dan kegiatan pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan
perbatasan sesuai dengan Rencana Aksi. Kepala BNPP melaporkan
kepada presiden RI atas kinerja pengelolaan batas wilayah negara secara
berkala dan sewaktu-waktu.172
Pada tabel 2 di atas menunjukkan pada tahun anggaran 2018 dalam
melaksanakan rencana aksi pengelolaan wilayah dan pembangunan
kawasan perbatasan (meliputi wilayah darat, laut, udara Indonesia) berikut
jumlah pagu anggaran sebesar Rp.28.524.742.540.015,- (Dua Puluh
Delapan Trilyun Lima Ratus Dua Puluh Empat Milyar Tujuh Ratus Empat
Puluh Dua Lima Ratus Empat Puluh Lima Rupiah) atau sekitar 1,50% dari
total pagu APBN 2018 sebesar Rp.1.894.700.000.000.000,- (Seribu
Delapan Ratus Sembilan Puluh Empat Tujuh Ratus Milyar Rupiah).173
Dari keseluruhan Pagu Anggaran ini dapat diperoleh gambaran bahwa
alokasi anggaran terbesar di alokasikan kepada Kementerian Pekerjaan
Umum sebesar Rp.10.370.933.419.297,- (36%), Kementerian
Perhubungan sebesar Rp.5.523.281.824.449,- (19%), Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp. 3.484.780.908.000,- (12%),
172 Muhammad Syafei,Op.cit., Hlm : 265
173
Lihat Informasi APBN 2018 Kementerian Keuangan Republik Indonesia
104
Kementerian Pertanian Sebesar Rp. 865.832.584.553,- (3%),
Kementerian Kesehatan sebesar Rp. 835.687.000.000,- (2,9%),
Kemeneterian Pertahanan sebesar Rp.758.558.938.657,- (2,6%).
Sedangkan alokasi anggaran untuk Lembaga BNPP Mengalami
penurunan dari rencana aksi tahun 2011 yang sebesar
Rp.454.000.000.000,- (4,34%) dari total pagu tahun anggaran 2011, di
tahun 2018 menjadi sebesar Rp. 26.721.000.002,- (0,09%) dari total
pagu.
Dari aspek kualitas pendistribusian Pagu Anggaran diatas,
mencerminkan bahwa politik anggaran pemerintah dalam pengelolaan
batas wilayah negara dan pembangunan kawasan perbatasan, terindikasi
lebih mengarah dan mengedepankan aspek pendekatan kesejahteraan
dari pada aspek dari pada aspek pertahanan dan keamanan. Dimana
alokasi anggaran terbesar berada pada kementerian pekerjaan umum dan
perhubungan yang membidangi tanggap darurat yang menyangkut
infrastuktur dan kebutuhan dasar kehidupan masyarakat di kawasan
perbatasan.174
174 Muhammad Syafei,Op.cit., Hlm : 269
105
11
(Dalam Ribuan Rupiah)
Tabel 2 :175
Alokasi Anggaran untuk Provinsi yang Memiliki Kabupaten di Perbatasan
Negara.
Dalam mempercepat pembangunan diliwayah perbatasan sebagai
nawacita ketiga pemerintahan Presiden Joko Widodo alokasi anggararan
yang diterima Provinsi Kalimantan Utara idealnya di atas 3 (tiga) Milyar
berhubung kondisi perbatasan diwilayah pemerintah Kalimantan Utara
sangatlah tertinggal jauh baik dari segi infrastruktur, pembangunan
ekonomi, pendidikan, kesehatan yang dapat menopang kesejahteraan
masyarakat bahkan di Kabupaten Nunukan ada beberapa kecamatan
yang sama sekali tidak bisa akses melalui jalur darat maupun air untuk
mencapai kecamatan harus memakai pesawat terbang. Hal ini dapat
175 Naskah Rencana Aksi BNPP RI 2018, Diolah
106
terlihat jelas pemerintah Malaysia dengan konsistennya membangun
kawasan perbatasannya sejak 50 (lima puluh) tahun yang lalu ujar Masyur
Rincing (Ketua LSM Pancasila Jiwaku)176
Adapun permasalahan dalam pelaksanaan pembangunan kawasan
perbatasan antara lain: (1) Masih tingginya keterisolasian wilayah yang
menghambat investasi/pelayanan pemerintah dan swasta; (2) Belum
optimalnya sinkronisasi dan sinergitas Kementerian/Lembaga Negara; (3)
Kecenderungan masyarakat perbatasan untuk memperoleh pelayanan di
negara tetangga; (4) Belum terselesaikannya beberapa segmen batas
wilayah negara dengan kendala teknis tim perundingan; (5) Belum
terintegrasinya pengelolaan tujuh PLBN Terpadu yang telah terbangun;
dan (6) Belum efektifnya pelaksanaan kebijakan untuk mengakselerasi
pertumbuhan ekonomi di kawasan perbatasan baik industri maupun
perdagangan berbasis potensi sumber daya kawasan perbatasan, serta
menjamin pemberdayaan masyarakat perbatasan; (7) Terdapat
overlapping claim areas segmen-segmen batas wilayah negara Indonesia
dengan negara tetangga; (8) Lemahnya pengamanan batas wilayah laut,
darat, dan udara di kawasan perbatasan negara; dan (9) Lemahnya
integrasi pengelolaan dan pembangunan kawasan perbatasan negara.177
Dalam mengelola wilayah perbatasan pemerintah memerlukan suatu
kebijakan yang khusus dalam menangani wilayah perbatasan. Disisi lain
176 Wawancara dengan Mansyur Rincing Ketua LSM Panjiku (Pancasila Jiwaku) , tanggal 8
september 2017 dalam forum group discussion Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kab.Nunukan.
177 Lihat Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2015-2016, Hlm : 148
107
juga kebijakan pemerintah dalam membangun infrastuktur mengakibatkan
proses pembangunan di wilayah perbatasan di ambil alih oleh pemerintah
pusat karena terjadinya defisit anggaran di pemerintah daerah salah satu
contoh pemerintah yang diwakili Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi serta Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat datang ke wilayah perbatasan hanya untuk
membangun kantor desa semata disamping itu pemerintah pusat dalam
membangun wilayah perbatasan kedepannya bukan hanya pendekatan
kesejahteraan, keamanan dan lingkungan hidup yang digunakan ada
baiknya pendekatan berbasis kearifan lokal sangat dibutuhkan mengingat
kualitas sumber daya manusia masih sangat kurang, ujar Kaharuddin
Tokkong (Kabag Organisasi Kabupaten Nunukan).178
Dalam kaitan pengembangan kawasan perbatasan Kalimantan-
Malaysia, adanya keterkaitan ekonomi merupakan faktor pendorong bagi
upaya pembangunan di kawasan tersebut terlebih dalam mengejar
ketertinggalan dan keterisolasian. Oleh karena itu, perlu dilihat keterkaitan
yang telah berlangsung selama ini dalam hal keterkaitkan ekonomi. Dalam
konteks ini, aktifitas perekonomian tradisional lintas batas yang ada di
wilayah perbatasan dapat lebih ekstensif lagi dilakukan melalui formulasi
kebijakan lintas batas yang mampu menciptakan kemakmuran dan
keadilan sosial bersama bagi penduduk kedua sisi perbatasan. Terkait
178 Wawancara dengan Kaharuddin Tokkong , tanggal 8 september 2017 dalam forum group
discussion Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kab.Nunukan.
108
dengan hal ini, maka peran kerjasama Sosek Malindo yang selama ini
berjalan adalah signifikan. Implementasi kerjasama Sosek Malindo
terbukti cukup mampu menggerakkan perekonomian masyarakat.179
Secara historis, perdagangan lintas batas di kawasan perbatasan
merupakan dampak secara tidak langsung dari kebijakan pertahanan dan
keamanan dengan menempatkan militer sebagai pengendali kawasan
perbatasan pada masa lalu yang telah menjadikan kawasan perbatasan
sebagai daerah terisolasi dan sulit dijangkau. Oleh sebab itu, ruang
mobilitas penduduk kawasan perbatasan tersebut menjadi terbatas.
Berbarengan dengan itu sarana dan prasarana wilayah perbatasan sangat
minim, terutama jalan penghubung dengan pusat kota tidak tersedia.180
Kondisi tersebut kemudian direspon positif oleh kedua negara dengan
melakukan kerjasama perdagangan lintas batas yang dikenal dengan
Border Trade Agreement (BTA). Kesepakatan tersebut ditandatangani
tanggal 24 Agustus 1970 tentang Perjanjian Perdagangan Lintas Batas.
BTA tersebut merupakan tindak lanjut pemufakatan dasar lintas batas
yang ditandatangani kedua negara pada tanggal 26 Mei 1967. Dalam
ketentuan Pasal 2 Perjanjian Perdagangan Lintas Batas tersebut ruang
lingkup perjanjian dibatasi pada tiga hal, yaitu :181
179 Saru Arifin, 2014, Op.Cit., Hlm : 171
180
Ibid., Hlm : 174
181 Ibid., Hlm : 174
109
1. Daerah-daerah perbatasan dari kedua negara, antara atau di dalam
mana perdagangan lintas batas di daratan dapat dilakukan adalah
daerah-daerah sebagaimana disebut dalam Basic Arrangement on
Border Crossing yang ditandatangani pada tanggal 26 Mei 1967.
2. Setiap arus barang yang keluar masuk suatu daerah lintas batas
Malaysia harus melalui suatu Pos Pengawasan Lintas Batas
(PPLB). Indonesia yang didirikan sesuai dengan Basic
Arrangement on Border Crossing pada sub bab ayat 1.
3. Nilai barang-barang yang dibawa atau diangkut untuk maksud
perdagangan lintas batas di daerah setiap orang seperti yang di
maksud pada Pasal 1 ayat 3 tidak diperbolehkan melebihi jumlah
enam ratus ringgit Malaysia (RM.600) setiap bulannya.
Berdasarkan realitas dilapangan sekarang proses melintas batas yang
tidak sesuai dengan BTA yang ada didasarkan karena BTA yang telah
ditetapkan oleh pemerintah sudah tidak sesuai peruntukkan di zaman
sekarang ini, kebutuhan dasar yang tiap tahun meningkat tidak diiringi
dengan kesiapan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dasar di
wilayah perbatasan. Di satu sisi hubungan kekerabatan warga perbatasan
sudah lama terjalin sebelum dipisahkan dengan garis kedaulatan kedua
negara, sebelum hal demikian terjadi lahirlah yang namanya hukum adat
di daerah setempat. Hukum inilah yang menjadi sarana dalam
110
menyelesaikan konflik apabila hukum kedua negara tersebut tidak mampu
memberikan rasa keadilan kedua belah pihak yang bersengketa.
Tabel : 3 Capaian Sasaran Pokok Kawasan Perbatasan Negara
RPJMN 2015-2019182
Dalam membuat suatu regulasi serta menjalankan regulasi tersebut
pemerintah seolah-olah tidak memerhatikan kondisi nyata yang ada
dilapangan, sehingga hukum tersebut tidak sanggup mengikuti kehidupan
masyarakat diwilayah perbatasan. Di lain pihak kejadian ini juga
berdampak kepada beberapa instansi salah satu contohnya di
kementerian keimigrasian yang berada di kabupaten nunukan dalam hal
pencabutan Surat Izin Pelaksana Penempatan TKI, bagi warga yang ingin
182 Lihat Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2015-2016, Hlm : 148
111
melintas hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat yang tercantum
dalam peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi Republik
Indonesia Nomor PER-38/MEN/XII/2006 tentang tata cara Pemberian
Perpanjangan dan Pencabutan Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga
Kerja Indonesia dinilai sangat kurang membantu pemerintah dalam
mengurangi TKI Ilegal, data terbanyak pelintas batas adanya di
pemerintahan daerah. Hal ini seolah-olah pemerintah pusat belum
mempercayai pemerintah daerah dalam mengelola wilayah perbatasan,
ada baiknya pemerintah pusat memberikan kami kewenangan penuh
dalam mengurusi keimigrasian sekaligus menjalankan otonomi daerah di
satu sisi juga perlu sangat diperlukan dalam bidang Tenaga Kerja
Indonesia khususnya bagi warga perbatasan yang ingin kerja ke Malaysia
ujar Muhammad Bimo Ariwibowo (bagian imigrasi).183
Apa yang terjadi di perbatasan Malaysia-Indonesia menjadi satu
cerminan kondisi sosial yang terlalu yang terlalu jauh mendorong
penduduk menjual berapapun tenaganya untuk mendapatkan ringgit
Malaysia bahkan rela melanggar undang-undang dan membahayakan diri
mereka sendiri.184
Penguatan diplomasi bilateral Indonesia ditandai dengan upaya
peningkatan hubungan kerjasama dengan negara-negara terdekat serta
183 Wawancara dengan Muhammad Bimo Ariwibowo, tanggal 11 september di kantor imigrasi
kab.Nunukan
184 Iva Rachmawati, “Diplomasi Perbatasan Dalam Rangka Mempertahankan Kedaulatan
NKRI“, dalam Ludiro Madu (ed.), Mengelola Perbatasan Di Dunia Tanpa Batas (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm :96
112
perkembangan implementasi sejumlah kerjasama kemitraan strategis
dengan beberapa negara kunci di kawasan dan negara sahabat lainnya.
Semenatara itu Indonesia juga perlu memperkuat peran dalam kerja sama
global dan regional untuk membangun saling pengertian, memajukan
demokrasi dan HAM, perdamaian dunia, meningkatkan kerjasama
selatan-selatan, dan mengatasi masalah-masalah global yang
mengancam umat manusia. Tujuannya tidak lain adalah untuk
memberikan ruang bagi berjalan efektifnya proses pembangunan di
Indonesia demi kesejahteraan rakyat Indonesia.185
Dengan demikian kedepannya pemerintah selaku pemegang
kekuasaan hendaknya dalam melaksanakan politik hukum
internasionalnya dengan melihat apakah politik hukumnya
internasionalnya telah berjalan semestinya dan diperlukan adanya
sinergitas antar sesama lembaga dalam menjalankan politik hukum
internasionalnya. Dalam mendukung agar berjalannya politik hukum
internasional Indonesia pemerintah perlu memfasilitasi dari segi sarana
dan prasarana serta peningkatan kesejahteraan para aparat penegak
hukum serta instansi terkait dalam mengelola wilayah perbatasan. Agar
terwujudnya politik hukum internasional Indonesia.
185 Lihat Rancangan Awal RPJMN 2015-2019, hlm : 5-30
113
4.4. Cara pemerintah dalam mengurangi pelanggaran di tapal batas
Indonesia dan Malaysia.
Dinamika kondisi politik perbatasan diwarnai oleh permasalahan
belum tuntasnya kesepakatan garis batas wilayah negara kesatuan
republik Indonesia dengan wilayah negara tetangga, baik batas darat
maupun batas laut. Kondisi ini memunculkan isu-isu strategis yang
menyentuh masalah kedaulatan negara, ketahanan nasional, pertahanan,
keamanan, lepasnya pulau-pulau Indonesia (Sipadan dan Ligitan), TKI
illegal, illegal fishing, penyelundupan, kesenjangan di bidang ekonomi,
sosial dan budaya. Karena itu salah satu tujuan program pembangunan
wilayah perbatasan yang diformulasikan berdasarkan RPJM 2015-2019,
adalah “membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat
daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”.186
Keamanan nasional pada hakikatnya adalah kondisi dinamis
kedamaian dan ketenteraman bangsa dan Negara, yang merupakan hasil
integrasi dan interaksi faktor-faktor dinamis yang memungkinkan seluruh
rakyat berkembang sesuai kemampuan dan tuntutan hidup masing-
masing dalam kehidupan masyarakat yang berdasarkan pancasila dan
UUD 1945.187 Keamanan nasional merupakan hal terpenting dalam
menjaga kawasan suatu Negara, di sisi lain Indonesia merupakan Negara
186 Muhammad Syafei,Op.cit., Hlm : 271
187
Suryanto Suryokusumo dkk, 2016, Konsep Sistem Pertahanan Nonmiliter : Suatu Sistem Pertahanan Komplemen Sistem Pertahanan Militer dalam Pertahanan Rakyat Semesta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, Hlm : 82-83
114
kepulauan yang memiliki batas dengan negara tetangga baik laut maupun
darat.
Isu keamanan baik dalam pengertian tradisional (militer) mapun
persoalan keamanan non-tradisional. Isu keamanan militer terutama
terjadi di wilayah perbatasan Indonesia-Papua Nugini dan Indonesia-
Timor Leste. Namun seiring dengan meningkatnya signifikansi aktor non
negara, masalah non tradisional yang memanfaatkan wilayah perbatasan
juga semakin meningkat. Penyelundupan manusia, penyelundupan
barang-barang komoditas, pembalakan liar, peyelundupan obat-obat
terlarang dan yang paling mengkhawatirkan ancaman terorisme.188
Terkait dengan wilayah perbatasan Indonesia telah memiliki paling
tidak 23 peraturan perundangan yang terkait penetuan batas dan
pengembangan kawasan perbatasan. Namun demikian upaya untuk
menegakan aturan perundangan itu masih belum menunjukkan hasil.
Salah satu faktor yang menyulitkan upaya implementasi peraturan
perundangan tersebut adalah faktor kelembagaan. Ketidakjelasan otoritas
mana yang melaksanakan tugas manajemen wilayah perbatasan.
Kelembagaan yang ada masih bersifat ad hoc, koordinatif secara sektoral
dan belum terintegrasi secara khusus dalam satu lembaga tertentu. Oleh
karenanya penanganan masalah perbatasan cenderung bersifat parsial
188 Aryanta Nugraha, “Institusionalisasi Pengelolaan Wilayah Perbatasan di Indonesia”, dalam
Ludiro Madu (ed.), Mengelola Perbatasan Di Dunia Tanpa Batas (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm :37
115
dan tidak komprehensif gagal mengatasi dinamika perbatasan yang
muncul di wilayah perbatasan.189Sebagai respon atas hal itu, pada tahun
2010 dibentuklah Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) atas
dasar Peraturan Presiden no 12 tahun 2010, sebagai lembaga yang
mengkoordinir segenap agenda dan upaya yang terkait dengan
pengelolaan perbatasan.190
Perbatasan merupakan perwujudan dari kedaulatan territorial.
Sebagaimana makna perbatasan yaitu suatu daerah atau jalur pemisah
antara unit-unit politik negara, maka perbatasan negara mengandung
komponen paling sedikit dua Negara yang berbatasan, dengan demikian,
juga komponen rakyat dari Negara yang berbatasan. Maka ketika
berbicara aktor perbatasan, secara langsung kita akan mengatakan paling
sedikit ada empat stakeholder yang terlibat, yaitu pemerintah Negara A di
satu sisi perbatasan, pemerintah Negara B di sisi perbatasan yang lain,
rakyat yang tinggal di daerah perbatasan di Negara A, rakyat yang tinggal
di daerah perbatasan di Negara B.191
Dalam mengurangi pelanggaran tapal batas yang ada di perbatasan
Indonesia ada beberapa faktor dalam mempengaruhi proses penegakkan
189 Ibid., Hlm : 38
190
Mita Noveria et.al, 2017, Kedaulatan Indonesia Di Wilayah Perbatasan Perspektif Multidimensi, Yayasan Pustaka Obor, Jakarta., Hlm : 106
191 Wahyuni Kartikasari, “Mengurai Pengelolaan Perbatasan di Wilayah-wilayah Perbatasan
Indonesia“, dalam Ludiro Madu (ed.), Mengelola Perbatasan Di Dunia Tanpa Batas (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm :107
116
hukum, menurut soerjono soekanto ada 5 faktor yang mempengaruhi
proses penegakkan hukum, yaitu :
1. Faktor undang-undang
2. Faktor penegak hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas
4. Faktor masyarakat
5. Faktor kebudayaan
4.4.1. Faktor undang-undang
Wilayah perbatasan RI-Malaysia merupakan salah satu garis
pertahanan NKRI. Sebagai kawasan strategis, wilayah perbatasan ini
memiliki potensi kerawanan ancaman keamanan baik militer dan non
militer. Oleh karena itu, diperlukan upaya termasuk seperangkat kebijakan
untuk menjaga keutuhan Negara di wilayah tersebut.192
Dalam mengkaji konteks wilayah perbatasan tidak bisa lepas
dengan strategi pertahanan nasional. Hal ini mengacu pada aturan yang
terkait dengan kewenangan pemerintah pusat dalam undang-undang no
23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang secara jelas
menyatakan ada enam kewenangan mutlak pemerintah pusat yaitu :
Politik luar negeri, pertahanan, keamanan, agama, yustisi, moneter dan
fiskal nasional. Dengan aturan tersebut pemerintah daerah di perbatasan
192 Mita Noveria et.al, 2017, Kedaulatan Indonesia Di Wilayah Perbatasan Perspektif
Multidimensi, Yayasan Pustaka Obor, Jakarta., Hlm : 65-66
117
RI-Malaysia tidak diberi kewenangan dalam mengelola pertahanan
diwilayah perbatasan. Hal ini menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Dilihat dari aspek legal formal, pemerintah telah mengeluarkan
sejumlah peraturan perundang-undangan baru terkait perbatasan.
Menurut Moeldoko, peraturan perundangan yang berhasil di identifikasi
antara lain adalah lima undang-undang (UU), satu peraturan pemerintah
(PP) dan tiga peraturan presiden (Perpres). Kelima undang-undang
tersebut yaitu :193
1. UU no 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025.
2. UU no 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
3. UU no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
4. UU no 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
5. UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Sementara itu peraturan pemerintah yang memiliki keterkaian erat
dengan pengelolaan perbatasan adalah peraturan pemerintah no 26 tahun
2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Sedangkan
peraturan presiden terkait dengan pengelolaan perbatasan :
1. Peraturan presiden no 2 tahun 2015 tentang Rencana Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019.
193 Ibid., Hlm : 67
118
2. Peraturan presiden no 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan
Pulau-pulau Kecil Terluar.
3. Peraturan presiden no 12 tahun 2010 tentang Badan Nasional
Pengelola Perbatasan.
Hal ini sangat terlihat jelas bahwa tekad pemerintah dalam
membangun wilayah perbatasan begitu kuat dengan melahirkan berbagai
produk hukum guna mempercepat pembangunan wilayah perbatasan
disatu sisi juga ini merupakan nawacita ketiga presiden Joko Widodo
dalam membangun Indonesia melalui pinggiran.
Dalam hal aspek pengamanan wilayah perbatasan, UU no 43 tahun
2008 tentang Wilayah Negara telah memberikan pemerintah kewenangan
dalam mengelola wilayah perbatasan. Sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 10, kewenangan pemerintah antara lain :
A. menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah
Negara dan Kawasan Perbatasan;
B. mengadakan perundingan dengan negara lain mengenai
penetapan Batas Wilayah Negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan hukum internasional;
C. membangun atau membuat tanda Batas Wilayah Negara;
D. melakukan pendataan dan pemberian nama pulau dan
kepulauan serta unsur geografis lainnya;
119
E. memberikan izin kepada penerbangan internasional untuk
melintasi wilayah udara teritorial pada jalur yang telah
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;
F. memberikan izin lintas damai kepada kapal-kapal asing untuk
melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan pada jalur yang
telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;
G. melaksanakan pengawasan di zona tambahan yang diperlukan
untuk mencegah pelanggaran dan menghukum pelanggar
peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, fiskal,
imigrasi, atau saniter di dalam Wilayah Negara atau laut
teritorial;
H. menetapkan wilayah udara yang dilarang dilintasi oleh
penerbangan internasional untuk pertahanan dan keamanan;
I. membuat dan memperbarui peta Wilayah Negara dan
menyampaikannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat
sekurang-kurangnya setiap 5 (lima) tahun sekali; dan
J. menjaga keutuhan, kedaulatan, dan keamanan Wilayah
Negara serta Kawasan Perbatasan.
Dengan tugas yang diberikan pemerintah dalam Pasal 10 tersebut
secara tegas pemerintah telah dipandang perlu untuk memelihara dan
mempertahankan eksistensi Negara melalui kekuatan politik, ekonomi,
pertahanan, keamanan, dan hubungan diplomasi. Biasanya konsep
keamanan nasional menekankan pada kemampuan pemerintah untuk
120
melindungi integritas wilayah negara, termasuk di wilayah perbatasan
Indonesia dengan Malaysia sepanjang provinsi Kalimantan utara dan
Kalimantan barat, dari ancaman baik yang datang dari luar maupun
ancaman dari dalam.
Dalam segi regulasi pemerintah sudah cukup baik dalam membuat
sebuah badan yang fokus dalam mengurusi terkait perbatasan BNPP
(Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan) sebagai representasi dari
pemerintah pusat, badan yang mempunyai tugas sebagai badan yang
menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan
rencana kebutuhan anggaran, mengoordinasikan pelaksanaan, dan
melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap pengelolaan Batas
Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan. Hal ini sangatlah membantu
kerja pemerintah dalam mengelola perbatasan.
Namun sejak adanya perubahan dari pemerintah daerah, badan
nasional pengelola perbatasan menjadi bagian wilayah perbatasan ruang
lingkup kerja bagian perbatasan sangatlah sempit hal cenderung kerja di
bagian sekretariat sebaliknya ketika menjadi badan fokusnya ke wilayah
perbatasan, adanya kebijakan ini membuat proses pembangunan wilayah
perbatasan menjadi terhambat. Kami berharap pemerintah pusat
memfasilitasi kami dari badan menjadi dinas yang terkait dan fokus
mengurusi wilayah perbatasan ada 27 kabupaten telah menyurati
121
sekrertariat Negara terkait hal tersebut, ujar Muhammad Effendi., S.IP
(Kepala Bagian Wilayah Perbatasan Kabupaten Nunukan).194
4.4.2. Faktor penegak hukum
Pada dasarnya timbulnya perhatian orang terhadap telaah hukum
secara sosiologis disebabkan oleh adanya perbedaan antara ketentuan-
ketentuan hukum di satu pihak dan beroperasinya atau dioperasikannya
ketentuan-ketentuan tersebut di pihak lain. Pada umumnya, tinjauan yang
mencoba untuk mengungkapkan sebab-sebab bagi timbulnya minat telaah
hukum secara sosiologis di dalam suatu Negara memang menunjuk pada
perubahan-perubahan sosial yang berlangsung di dalam wilayah itu.
Keadaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.195
Masalah yang diatur ini dapat dipecah dalam aspek kuantitas, sifat-
sifat hubungan dan bidang. Setiap masalah itu dapat dikenali dalam
berbagai aspeknya tersebut. Setiap peraturan hukum seolah-olah sudah
dibuat pas (geared) pada aspek-aspek masalah yang diaturnya.
Ketidaksesuaian disini akan timbul apabila suatu peraturan mulai tidak pas
lagi pada masalah yang diaturnya. Keadaan seperti ini dapat juga di
jumpai pada lembaga-lembaga hukum.196 Hal ini turut andil para aparat
penegak hukum yang menjalankan peraturan tersebut. Adanya perbedaan
dalam melaksanakan suatu peraturan dikarenakan salah satu faktor
194 Wawancara dengan Muhammad Efendi, pada tanggal 11 september 2017 di kantor
pemerintahan Kab. Nunukan
195 Satjipto Rahardjo, 2010, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum,
Genta Publishing, Jakarta., Hlm : 67
196 Ibid., Hlm 68
122
mendasar yaitu dari segi kesejahteraan yang rendah para aparat penegak
hukum serta masyarakat yang berperan dalam proses penegakan hukum.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat
tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak
hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan
mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan
aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii)
perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya
maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik
hukum materielnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum
secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan,
sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara
internal dapat diwujudkan secara nyata.197
Selain tingkat kesejahteraan yang rendah dan keterisolasian
terdapat pula kesenjangan pembangunan perbatasan yang sangat jauh
berbeda dengan negara tetangga. Di sisi lain yang menjadi kendala para
penegak hukum yang berada di wilayah perbatasan masih adanya
beberapa peraturan yang dimana peraturan tersebut sudah dianggap tidak
relevan lagi dengan perkembangan zaman, salah satunya terkait Border
Trade Agreement Indonesia dengan Malaysia tahun 1970 dijelaskan satu
197 Jimly Asshiddiqie, 2010, Penegakan Hukum,
http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf, [diakses pada tanggal 02 september 2017]
123
orang hanya bisa membawa barang dari Malaysia ke Indonesia ataupun
sebaliknya sebesar 600 Ringgit Malaysia kalau di kurs rupiah kan sekitar
Rp. 2.000.000,- (Dua Juta Rupiah), diluar dari nominal ditetapkan sudah
terkena pajak. Hal ini lah yang menjadikan para penegak hukum yang ada
disana seperti melakukan pembiaran dan menganggap peristiwa ini
sebagai kearifan lokal. Keberadaan pemerintah di wilayah perbatasan
belum dapat menjangkau hal tersebut. Tutur Letnan Kolonel Kav Valian
Wicaksono (Komandan Distrik Militer Kabupaten Nunukan).198
Penegak hukum di wilayah perbatasan dihadapkan oleh posisi
hukum adat dengan hukum positif Indonesia yang dimana posisi hukum
adat diatas hukum positif seperti contoh ada sengketa pengelolaan tanah
di daerah sungai semantipal antara masyarakat adat yang tinggal
diwilayah Malaysia dan yang tinggal di wilayah Indonesia mengajukan
masalah tersebut melalui dua hukum positif masing-masing telah namun,
diselesaikan oleh kedua hukum positif antar kedua negara namun
masyarakat adat yang bersengketa telah didamaikan namun hukum adat
didaerah tersebut masih menerapkan sanksi denda oleh kedua bela pihak
seolah-olah hukum adat tidak mau tunduk dengan hukum nasional, hal ini
juga menjadi salah satu tantangan berat para penegak hukum.
Seharusnya dibutuhkan sosialisasi antara pemuka adat serta penegak
hukum terkait kedudukan hukum nasional dan hukum adat khususnya
198 Wawancara dengan letnan Kolonel Kav Valian Wicaksono, pada tanggal 11 september
2017 di kantor Kodim 0911 Kab.Nunukan.
124
masyarakat perbatasan agar tidak merugikan satu sama lain ujar
Amiruddin (Kepala bagian Hukum Kabupaten Nunukan).199
Dalam hal masalah perbatasan para penegak hukum dihadapkan
dengan masalah kelembagaan itu sendiri. Kurang terintegrasinya dan
terkoordinasinya setiap lembaga terkait seringkali menyebabkan sasaran
hasil pengelolaan perbatasan menjadi tidak optimal. Oleh karena itu, perlu
adanya sebuah struktur kelembagaan yang dapat menjembatani dan
mensinergikan seluruh potensi lembaga terkait agar tercipta sebuah
pelaksanaan pengelolaan perbatasan yang terintegrasi, fokus dan efisien.
Kelembagaan tersebut nantinya juga memiliki peran yang sangat
signifikan di dalam penyusunan kebijakan, program, kegiatan, serta
pendanaan pengelolaan perbatasan di seluruh Indonesia.200
4.4.3. Faktor sarana dan fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin
penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas
tersebut, antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang
199 Wawancara dengan Amiruddin., SH, pada tanggal 8 september 2017 di kantor
Pemerintahan Kab.Nunukan.
200 Sobar Sutisna, “Boundary Making Theory dan Pengelolaan Perbatasan di Indonesia“,
dalam Ludiro Madu (ed.), Mengelola Perbatasan Di Dunia Tanpa Batas (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 20.
125
cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil
penegakan hukum akan mencapai tujuannya.201
Selain tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan
yang patut diperhatikan, sarana dan fasilitas umum harus juga
diperhatikan guna menunjang proses penegakan hukum diwilayah
perbatasan. kondisi inilah yang menjadi tantangan berat para penegak
hukum.
Gambar 9 Peta Situasi LANAL Nunukan
Di daerah perbatasan kesenjangan sosial yang sangat bertolak
belakang yang ada di seberang pulau. Iklim sama, sumber daya alam
sama, cuaca juga sama namun pembangunan sangatlah lambat. Di
daerah krayan apabila anda tiba-tiba mendapatkan jalan yang mulus
201 Soerjono Soekanto, 2016, … Op.cit., Hlm : 37
126
jangan pikir itu indonesia pasti malaysia, tapi apabila anda telah melihat
wilayah yang berbatu hutan-hutan dan jalan lumpur sudah pasti Indonesia.
Ada hal yang menarik ketika saya melihat dua tentara antara Indonesia
dengan Malaysia disatu sisi, di negara malaysia yang dimana notabene
satuan tugas pengamanan perbatasan (Satgas Pamtas) nya di layani oleh
pemerintahannya sendiri bak seorang raja sedangkan tentara Indonesia
sangat minim akan fasilitas. ujar Serfianus S.IP (Kepala Bappeda
Kabupaten Nunukan).202
Pulau Sebatik memiliki potensi kekayaan terutama pertanian-
perkebunan dan perikanan. Komoditas yang menjadi andalan bagi warga
adalah pisang, sawit, dan kelapa yang dijual ke Tawau, Malaysia. Namun
demikian, masyarakat Sebatik menghadapi keterbatasan air bersih.
Mereka mengandalkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan harian.
Padahal, air adalah kebutuhan dasar bagi keberlangsungan hidup
masyarakat. Infrastruktur transportasi laut secara umum sudah cukup
baik. Ada kapal motor yang melayani rute Sebatik ke Tarakan. Ada pula
kapal-kapal cepat milik warga yang melayani rute Sebatik ke Nunukan.
Adapun untuk infrastruktur darat, sebagian besar jalan sudah beraspal,
walaupun di beberapa titik kondisinya memprihatinkan akibat jalan longsor
yang belum diperbaiki. Untuk infrastruktur pendidikan dan kesehatan,
terdapat fasilitas sekolah dari SD sampai SMA serta puskesmas dan
202 Wawancara dengan Serfianus , tanggal 8 september 2017 dalam forum group discussion
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kab.Nunukan.
127
posyandu di kecamatan-kecamatan pulau ini. Namun demikian, belum
tersedia rumah sakit untuk rawat inap. Selama ini, warga yang butuh
dirujuk harus menyeberang ke Nunukan yang membutuhkan waktu dan
biaya yang lebih banyak.203
modal sumber daya manusia, warga Sebatik berusia 15 tahun ke
atas yang bekerja paling banyak hanya lulusan SD (37,52%). Hal ini
dipengaruhi oleh terbatasnya sarana prasarana pendidikan tingkat
menengah seperti ketersediaan sekolah dan tenaga pengajar, serta
kekurangmampuan orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. modal ekonomi dan keuangan, secara umum
masyarakat Sebatik bermata pencaharian sebagai petani/pekebun,
nelayan, dan pedagang. Namun dalam struktur ekonomi Kabupaten
Nunukan, pertanian mulai dikalahkan oleh pertambangan sebagai sektor
yang paling berkontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) , yaitu 55,07% pada tahun 2014, sementara sektor pertanian
hanya 20,10%. Jadi, walaupun secara umum PDRB perkapita di
Nunukan, termasuk Sebatik, cukup besar yaitu Rp 93.045.780
perkapita/pertahun atau Rp 7.753.815 perkapita/perbulan, tetapi untuk
mayoritas masyarakat yang bekerja di sektor pertanian (termasuk
perikanan) hanya Rp 18.705.300 perkapita/pertahun atau Rp 1.558.775
203 Sandy Nur Ikfal Raharjo, et.al. 2017. Strategi PeningkatanKerja Sama Lintas Batas (Border
Crossing Agreement) Indonesia Malaysia, (Jakarta : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Hlm 1
128
perkapita/perbulan. Angka ini lebih kecil dari rata-rata kebutuhan hidup
layak di Nunukan tahun 2014, yaitu sebesar Rp 2.189.365.204
Pemerintah pusat memberikan perhatian yang besar terhadap
Pulau Sebatik. Mereka mengalokasikan anggaran sebesar 1,08 triliun
untuk pembangunan di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan pada
tahun 2015. Kemudian, mengingat Sebatik adalah wilayah perbatasan
yang rawan terhadap pelanggaran kedaulatan, di Sebatik terdapat satuan
tugas pengamanan perbatasan (satgas pamtas) TNI AD maupun Pos AL.
Namun demikian, jumlah personil yang terbatas dan kurangnya sarana
operasi membuat pengamanan wilayah perbatasan menjadi kurang
optimal. Padahal, wilayah ini dekat dengan Perairan Tawi-Tawi di Filipina
Selatan yang merupakan wilayah konflik separatis dan rawan
perompakan. Selain itu, masyarakat Sebatik juga menghadapi tantangan
eksternal yaitu maraknya penyelundupan barang terlarang (narkoba) dari
Malaysia. Kondisi di atas menggambarkan kerentanan (vulnerability)
masyarakat pulau-pulau kecil terluar. Dalam rangka mengatasi masalah
diatas, pemerintah Indonesia sendiri mengalami berbagai kendala.
Pertama, pemerintah tidak dapat menutup kawasan perbatasan dari dunia
luar, karena fenomena globalisasi memang sudah menjangkau kawasan
perbatasan Indonesia. Kedua, pemerintah Indonesia juga memiliki
keterbatasan kemampuan untuk dapat mengatasi semua persoalan di
204 Ibid
129
atas secara mandiri. Kondisi ini menjadi dasar bagi perlunya solusi
alternatif untuk meningkatkan ketahanan sosial masyarakat pulau-pulau
kecil terluar.205
Pembangunan yang tidak merata mengakibatkan banyaknya desa-
desa diwilayah perbatasan memilih mengantungkan hidupnya di Negara
Malaysia, selama ini pemerintah pusat menganggap bahwa sebatik
merupakan wilayah perbatasan semata. Sehingga mengakibatkan
banyaknya warga Negara Indonesia di wilayah perbatasan mengambil
segala cara agar mendapatkan perhatian dari Negara tetangga.
Kerjasama lintas batas membuat masyarakat Sebatik mendapatkan
fasilitas layanan Pos Lintas Batas di Sei Pancang untuk dapat melintas ke
Tawau dengan mudah. Sarana ini membantu warga untuk melakukan
kunjungan sosial maupun perdagangan lintas batas. Namun, pada tahun
2011 PLB di Sei Pancang ditutup untuk lalu lintas orang dan dialihkan ke
PLB yang ada di Nunukan. Dengan kata lain, warga Sebatik yang hendak
melintas harus mengurus cap imigrasi di Nunukan sebelum berangkat ke
Tawau. Hal ini sangat memberatkan warga Sebatik dari segi biaya dan
waktu. Pada akhirnya penutupan PLB di Sei Pancang semakin memicu
aktivitas lintas batas ilegal.206
205 Ibid
206
Ibid
130
Minimnya fasilitas serta sarana di daerah perbatasan membuat
sebuah celah yang sangat besar dan menjadi suatu keuntungan terhadap
Negara tetangga. Salah satu contohnya terkait siaran radio RRI yang
berada di Kabupaten Nunukan memiliki satu kanal (Channel) dengan
siaran radio negera tetangga, apabila siaran RRI dimatikan maka siaran-
siaran dari Negara tetangga yang masuk ke Indonesia. Disatu sisi juga
pemadaman bergilir di daerah perbatasan sudah hal biasa terjadi. Jadi
dapat di kata wilayah perbatasan itu ibarat “sebuah rumah besar yang
didalamnya banyak barang berharga namun diluarnya tidak ada pintu dan
jendela yang ada cuma lubang-lubang kecil”. Kurangnya fasilitas di
wilayah perbatasan dimanfaatkan kebanyakkan WNI yang melintas secara
illegal, hal ini juga berdampak kepada para penegak hukum karena
menyangkut hak hidup warga perbatasan. Ujar Kaharuddin Tokkong
(Kabag Organisasi Kabupaten Nunukan).207
207 Wawancara dengan Kaharuddin Tokkong , tanggal 8 september 2017 dalam forum group
discussion Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kab.Nunukan.
131
Gambar 10 Kondisi salah satu Pos Lintas Batas dan Patok
Perbatasan di Sebatik Desa Aji Kuning
Kerja sama lintas batas sudah diterapkan, interaksi dan hubungan
sosial antara masyarakat Sebatik dan Tawau semakin mudah karena
adanya fasilitas Pas Lintas Batas (PLB) dan pembangunan Pos Lintas
Batas. Banyak warga Sebatik, terutama di Desa Aji Kuning yang
melakukan kunjungan kekeluargaan ke Tawau untuk menghadiri acara
pernikahan, kematian, dan upacara adat lainnya. Setiap tanggal 17
Agustus juga diselenggarakan pertandingan olah raga seperti bulu
tangkis, voli, dan sepak bola yang melibatkan warga dari kedua negara.
Namun, sejak PLB di Sei Pancang ditutup dan dialihkan ke Kabupaten
Nunukan, banyak warga yang pada akhirnya memilih untuk melakukan
aktivitas lintas batas ilegal. Selain itu, warga juga memanfaatkan Identity
Card (IC) Malaysia milik kerabat mereka untuk aktivitas lintas batas.
132
Bahkan, diantara warga ada yang mempunyai kewarganegaraan ganda.
Penutupan ini juga berimbas pada semakin berkurangnya jumlah pelintas
batas resmi. Seperti yang terlihat pada tabel di bawah, jumlah pelintas
batas yang melewati pos Sei Pancang semakin sedikit.208
Tahun WNI WNA
Berangkat Datang Berangkat Datang
2010 28479 27895 92 97
2011 29107 29107 109 108
2012 32251 30310 106 110
2013 5358 5358 0 0
2014 4948 4948 0 0
Tabel 4 :209
Pelintas Batas dengan Menggunakan Pas Lintas Batas
melalui Pos Sei Pancang 2010-2014
Seiring bergantinya pemerintahan kemajuan infrastruktur sangatlah
terlihat jelas di era pemerintahan Presiden Joko Widodo adanya Jalan
Inspeksi Patroli Perbatasan (JIPP) jarak lima puluh sampai seratus lima
puluh meter sangatlah membantu akses masyarakat serta aparat
penegakan hukum dalam mengamankan wilayah perbatasannya. Sangat
terlihat jelas waktu pemerintahan sebelum era Presiden Jokowi dalam
melakukan patrol dibutuhkan waktu 15-20 hari dalam melacak serta
208 Sandy Nur Ikfal Raharjo, et.al. 2017.Op.Cit., Hlm: 7
209
Kantor Imigrasi Kabupaten Nunukan
133
menelusuri patok-patok perbatasan tutur letnan Kolonel Kav Valian
Wicaksono (Komandan Kodim 911 Kab.Nunukan).210
Pos Lintas Batas di Sebatik (Sei Pancang) yang ditutup untuk lalu
lintas penumpang perlu dibuka kembali. Untuk keperluan tersebut, Pos
Lintas Batas tersebut perlu dilengkapi dengan fasilitas Kepabeanan
(Custom), Imigrasi (Immigration), Karantina (Quarantine), dan Keamanan
(Security). Selain itu, penggunaan kapal tradisional milik warga untuk
melakukan lintas batas juga perlu diperjuangkan oleh pemerintah
Indonesia terhadap pemerintah Malaysia. Jika tidak, pemerintah harus
menyediakan kapal penumpang yang memenuhi standar kedua negara.
Hal ini memerlukan sinergi antara perjanjian BCA 1967 dan BTA 1970
dengan Kesepakatan Sosek Malindo. Pembukaan kembali pos lintas
batas tersebut akan dapat mencegah terjadinya lintas batas penduduk
secara ilegal.211
Dalam roadmap TNI Kabupaten Nunukan di tahun 2018 akan di
bentuk satu batalyon gabungan persenjataan guna memperkuat
penjagaan di wilayah perbatasan dari segi teknologi akan dibangun alat
pengindraan, alat pengintaian dalam patrol disamping jalan kaki serta TNI
akan dilengkapi dengan pesawat tanpa awak fix wing rotary, kamera
CCTV akan ditempatkan yang dianggap paling rawan terjadi pelanggaran
210 Wawancara dengan letnan Kolonel Kav Valian Wicaksono, pada tanggal 11 september
2017 di kantor Kodim 0911 Kab.Nunukan
211 Sandy Nur Ikfal Raharjo, et.al. 2017.Op.Cit., Hlm: 10
134
serta patok-patok akan di berikan chip guna membantu para personil TNI
apabila terjadi pergeseran patok. Dalam mempermudah akses
masyarakat serta personil pemerintah pusat mengeluarkan wacana akan
membangun rel kereta api dari pulau Nunukan ke kecamatan
Seimenggaris tutur letnan Kolonel Kav Valian Wicaksono (Komandan
Kodim 911 Kab.Nunukan).212
Gambar 11 Kondisi salah satu Patok Perbatasan di Sebatik
Pengelolaan wilayah perbatasan tentunya meliputi seluruh aspek
yang ada, di antaranya wawasan kebangsaan, ekonomi, sosial,
pertahanan dan keamanan, serta teknologi. Persoalan pengelolaan di
wilayah perbatasan terkait aspek-aspek tersebut akan menjadi lebih
212 Wawancara dengan letnan Kolonel Kav Valian Wicaksono, pada tanggal 11 september
2017 di kantor Kodim 0911 Kab.Nunukan
135
mudah dan mencapai hasil yang maksimal apabila diiringi sarana serta
fasilitas yang memadai. Sebagai contoh penggunaan teknologi
penginderaan jarak jauh guna mendata kawasan perbatasan, penggunaan
teknologi informasi dalam pengembangan kapasitas dan potensi
masyarakat perbatasan serta penggunaan teknologi lainya di wilayah
perbatasan. Oleh sebab itu penggunaan serta pemanfaatan teknologi
sangat penting dalam menunjang pengelolaan perbatasan.
4.4.4. Faktor masyarakat dan kebudayaan
Hukum lahir karena adanya tuntutan-tuntutan instrumental terhadap
pemerintah. Bagaimanapun hukum tidak mungkin dipisahkan dari
keberadaan suatu pemerintah, karena tidak seperti yang pernah dikatakan
Donald Black, “hukum adalah pengendalian sosial oleh pemerintah”.
Memang benar tidak semua aturan hukum dibuat oleh pemerintah, tetapi
suatu aturan barulah dapat dikatakan aturan hukum, jika berlakunya
memperoleh legitimasi suatu pemerintah.213
Salah satu tujuan dari pengelolaan kawasan perbatasan adalah
untuk memajukan kawasan tersebut agar tidak tertinggal dari kawasan
lainnya di Indonesia. Memajukan taraf hidup ataupun ekonomi suatu
masyarakat tentunya akan sulit dilaksanakan tanpa mengubah cara
pandang dan cara hidup masyarakat itu sendiri, dan hal ini sangat erat
213 Achmad Ali, 2015, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Termasuk Interpretasi
Undang-undang, Jakarta, Kencana., Hlm: 152
136
terkait dengan kapasitas dan kapabilitas para individu yang menjadi
bagian di dalamnya. Pengembangan kapasitas serta kapabilitas hanya
dapat dilaksanakan dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia
yang bersangkutan.214
Pada umumnya wilayah perbatasan selalu tertinggal dalam
pembangunan dibandingkan daerah lain yang lebih mudah dijangkau,
bahkan di beberapa tempat/wilayah perbatasan seakan terkesan seperti
daerah tidak bertuan karena kurangnya perhatian oleh pemerintah
sehingga tingkat kehidupan masyarakat di daerah tersebut tergolong
miskin dan terbelakang.215
Kondisi inilah yang memaksa masyarakat perbatasan
mengantungkan hidupnya di Negara tetangga aktifitas ini telah lama
berlangsung. Ketidakberdayaan dalam memenuhi hak-hak warga Negara
di wilayah perbatasan inilah yang melahirkan perilaku hukum yang dapat
memengaruhi faktor penegakan hukum sehingga melahirkan budaya
hukum di lingkungan masyarakat perbatasan.
Kekuatan-kekuatan sosial secara terus-menerus bekerja terhadap
hukum, di sini merusak, di sana memperbarui; di sini memperkuat di sana
memperlemah; memilih bagian-bagian „hukum‟ mana yang akan
214 Sobar Sutisna, …. Op.Cit, Hlm : 21
215
Juni Suburi, “Kebijakan Pengelolaan Batas Antar Negara di Kalimantan dalam Konteks Menjaga Kedaulatan Wilayah NKRI “, dalam Ludiro Madu (ed.), Mengelola Perbatasan Di Dunia Tanpa Batas (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 122.
137
dioperasikan, dan bagian hukum mana yang tidak dioperasikan. Dengan
adanya tuntutan tersebut maka dapat dikatakan ini merupakan sebuah
budaya hukum. Didalam sebuah peristiwa, kekuatan-kekuatan sosial
tersebut tidak bekerja secara langsung pada sistem hukum. 216
Warga masyarakat mempunyai kebutuhan dan membuat tuntutan,
semua ini kadang-kadang menimbulkan proses hukum dan kadang-
kadang tidak menimbulkan proses hukum tergantung pada kultur hukum
yang mereka anut. Kultur hukum berkaitan dengan bagian-bagian dari
kultur umum, yaitu kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara bertindak dan
cara berpikir, yang mengarahkan kekuatan-kekuatan kearah atau
menjauhi hukum dan cara-cara khusus.217
Hubungan kekerabatan dan perdagangan tradisional masyarakat
Sebatik dan masyarakat Tawau sudah terjalin lama. Mereka melakukan
kunjungan keluarga, upacara keagamaan, dan perdagangan meskipun
dipisahkan oleh garis imajiner kedaulatan negara. Demi melegalkan
aktivitas lintas batas tersebut, Indonesia dan Malaysia menyepakati
perjanjian lintas batas berupa Basic Arrangement on Border Crossing dan
Basic Arrangements on Trade and Economic Relations yang
ditandatangani oleh kedua negara pada tahun 1967.218
216 Achmad Ali, 2015, Op.Cit., Hlm : 153
217
Ibid
218 Sandy Nur Ikfal Raharjo, et.al. 2017. Op.Cit : Hlm 3
138
Seiring dengan perkembangan wilayah perbatasan Indonesia-
Malaysia, pada tahun 1984 kedua negara menandatangani kesepakatan
baru berupa Agreement on Border Crossing between the Republic of
Indonesia and Malaysia atau yang dikenal dengan Border Crossing
Agreement (BCA). Pemberlakuan BCA tahun 1984 ini sekaligus mencabut
BCA tahun 1967. Pada tahun 2006, kedua negara kembali menyepakati
BCA baru, tetapi belum diratifikasi. Dengan demikian, perjanjian yang
berlaku saat ini adalah BCA tahun 1984.219
Berdasarkan perjanjian lintas batas (BCA) tahun 1984, aktivitas
lintas batas yang dapat dilakukan oleh masyarakat perbatasan Indonesia-
Malaysia adalah kunjungan keluarga, kegiatan sosial/hiburan, keperluan
keagamaan, usaha/perdagangan, tugas pemerintah dan keperluan lain
yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.220
Selain BCA, kedua negara juga menyepakati Agreement on Border
Trade between the Government of the Republic of Indonesia and the
Government of Malaysia pada 24 Agustus 1970 di Jakarta, atau yang
biasa disebut sebagai Border Trade Agreement (BTA). BTA ini merujuk
pada BCA 1967 dan belum pernah direvisi hingga tahun 2016. BTA yang
disepakati pada tahun 1970 merupakan landasan hukum bagi pemerintah
219 Ibid
220
Ibid
139
Indonesia dan Malaysia untuk mengatur aktivitas perdagangan lintas
batas di perbatasan kedua negara, termasuk di Sebatik dan Tawau. 221
Tabel 5 Kerja Sama Lintas Batas Indonesia-Malaysia
Keberadaan Pos Lintas Batas (PLB) dan aturan main yang
diberlakukan dengan lebih ketat telah menumbuhkan sebuah “kesadaran
territorial” yang dulu tidak terlalu terasakan. PLB tak pelak telah
menumbuhkan pola hubungan antar penduduk pola hubungan antar
221 Ibid
140
penduduk di dua Negara berbeda secara lebih modern. Salah satunya
adalah dengan adanya aturan main administrasi yang mengikat
masyarakat untuk kembali ke tanah airnya dan mempersulit lintas
manusia dari jiran ke Indonesia atau sebaliknya yang dulu terlihat liar
nyaris tanpa batas.222
Adanya kerjasama ini pada awalnya dapat memberikan legitimasi
hukum yang kuat bagi warga Sebatik untuk semua aktivitas lintas batas
tradisionalnya menjadi legal. Namun demikian, penutupan PLB di Sebatik
atas permintaan pemerintah Malaysia karena kapal yang digunakan untuk
aktivitas lintas batas tidak memenuhi standar internasional, membuat
kegiatan lintas batas ilegal justru semakin marak terjadi. Kemudian,
masalah pengamanan di perbatasan juga belum termasuk dalam bidang
yang diakomodasi dalam BCA dan BTA. Akibatnya, kegiatan lintas batas
ilegal menjadi lebih sulit dikontrol. Meski demikian, seiring dengan
perkembangan keamanan maritim di perbatasan Indonesia, Malaysia, dan
Filipina terkait aksi radikalisme yang dilakukan ISIS di Marawi, Filipina
Selatan membuat pemerintah ketiga negara bersepakat untuk
meningkatkan patroli gabungan lintas batas. Hal ini tentu akan
menguntungkan bagi pengamanan perbatasan Sebatik yang dekat
dengan wilayah konflik.223
222 Mita Noveria et.al, 2017….. Op.Cit., Hlm : 123
223
Sandy Nur Ikfal Raharjo, et.al. 2017. Op.Cit : Hlm 8
141
Di beberapa wilayah perbatasan yang demikian terisolir, peran
yang dilakukan elemen adat (informal) ini justru nampak lebih besar
menentukan daripada pemerintah. Adapun dalam wilayah semi-terisolir,
peran lembaga-lembaga informal ini Nampak sederajat dengan lembaga-
lembaga formal. Kondisi ini terjadi terutama karena lembaga-lembaga
tersebut amat dekat dengan masyarakat dan dalam batas-batas tertentu
turut menentukan aktifitas dan kehidupan keseharian masyarakat disana.
Adat telah menempatkan masyarakat secara sosial dan budaya
sebagai bagian dari jaringan atau tubuh adat secara keseluruhan, yang
menyebabkan mereka selalu terikat dari ikatan adat. Alih-alih terlepas,
peran sentral adat dan locus dimana jaring-jaring adat itu beroperasi
menjadi sebuah kebutuhan dari tiap-tiap individu yang tinggal
didalamnya.224 Dibeberapa wilayah di Kalimantan utara yang masih
ditinggal oleh warga asli suku dayak pandangan serta sikap nasionalisme
mereka sangatlah kuat menjadi warga Negara Indonesia hal ini telah
mengakar dalam adat nya. Oleh karena itu, setiap warga
menyelenggarakan kegiatan adat oleh penduduk perbatasan biasanya
melibatkan unsur-unsur Negara seperti personil TNI.
Peran besar perangkat adat menyebabkan kepala desa dalam hal-
hal tertentu menjadi pelengkap saja. Wilayah kekuasaan ketua adat kerap
meliputi wilayah yang luas, yang sebagiannya saat ini masuk dalam
224 Ibid
142
wilayah Malaysia. Hal itu, tidak mengherankan karena hingga kini pun ide
mengenai wilayah “Pan-Dayak” yang mencakup Malaysia dan Indonesia
dalam konteks budaya masih tetap ada. Tidak jarang beberapa hal yang
terjadi di Malaysia diselesaikan oleh perangkat adat, atau kepala adat,
yang tinggal di Indonesia.225
Oleh sebab itu, adanya hubungan kekerabatan antara warga
wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia melahirkan suatu kearifan
lokal di masyarakat disatu sisi menguntungkan Negara Indonesia di
karenakan adanya elemen vital yang tetap menjaga rasa loyalitas
masyarakat tetap menjadi bagian dari NKRI. Dan kondisi inilah yang
menunjukkan bahwa elemen masyarakat sendirilah yang memungkinkan
terpeliharanya rasa nasionalisme di perbatasan.
Ada beberapa masyarakat yang memiliki identitas ganda sangat
disayangkan oleh pihak pemerintah karena ketidaksiapan pemerintah
hadir diwilayah perbatasan. Namun, pemerintah membiarkan hal tersebut
untuk memudahkan akses WNI di perbatasan untuk mencukupi kebutuhan
pokoknya meskipun dari segi regulasi Indonesia tidak mengakui ada
warga negara beridentitas ganda. Timbul kekhawatiran pemerintah
banyaknya WNI beridentitas ganda disalahgunakan oleh beberapa oknum
yang memungkinkan adanya agenda terselubung dari negara Malaysia
225 Ibid
143
seperti halnya kasus pulau Sipadan dan Ligitan ujar letnan Kolonel Kav
Valian Wicaksono.226
Klaim hak kedaulatan oleh Malaysia atas Ambalat bisa ditafsirkan
sebagai upaya untuk memperluas kemenangannya ke kasus Sipadan dan
Ligitan, mengingat hal itu Malaysia memegang setiap ukuran yang
mungkin untuk mendapatkan bagian tertentu dari Laut Sulawesi tanpa
memperhatikan prinsip 'proporsionalitas' yang tidak proporsional Langkah
dilakukan dengan menggambar garis lurus lurus atau lurus kepulauan
baseline dari titik Sipadan dan Ligitan sampai ke titik Sebatik, Sabah dan
Sarawak.227 Adanya WNI beridentitas ganda bisa menjadi rawan apabila
dibiarkan terus menerus, adanya prinsip effective occupation bisa menjadi
salah satu cara pemerintah Malaysia dapat mengambil alih wilayah
Indonesia, didaerah sungai semantipal dan sungai sinapad keduanya
merupakan daerah OBP (Outsanding Border Problem) merupakan titik
rawan dimasuki oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Oleh karena
itu, TNI secara aktif melakukan sosialisasi pentingnya wawasan
kebangsaan, bela negara di wilayah perbatasan untuk mengantisipasi hal
226 Wawancara dengan letnan Kolonel Kav Valian Wicaksono, pada tanggal 11 september
2017 di kantor Kodim 0911 Kab.Nunukan
227 Marcel Hendrapati et.al, Today’s Ambalat: Neglecting the Basepoints of Sipadan and Ligitan
Islands for Maintaining the Equidistance Principle in the Disputed Area, Journal of East Asia and International Law, Vol 1 No 10 Januari 2017, Hlm : 284
144
yang tidak diinginkan Pemda saat ini tengah mendata WNI disana ujar
letnan Kolonel Kav Valian Wicaksono.228
Dalam rangka mengurangi pelanggaran di tapal batas di wilayah
Indonesia-Malaysia. Pemerintah harus memperhatikan seluruh aspek
yang ada seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial dalam
menetapkan serta melaksanakan kebijakan di wilayah perbatasan dan
pemerintah juga hendaknya memperhatikan sarana penunjang dalam
proses penegakkan hukum di wilayah perbatasan. Kurangnya lapangan
kerja merupakan salah satu pemicu banyaknya pelintas batas ilegal yang
sering keluar masuk Indonesia. Oleh karena itu, kedepannya pemerintah
hendaknya mampu menyediakan lapangan kerja bagi warga perbatasan.
Cakupan kegiatan lintas batas yang dibolehkan dalam BCA perlu
diperluas. Selama ini, kegiatan yang dibolehkan adalah kunjungan
keluarga, kegiatan sosial/hiburan, keperluan keagamaan, usaha/
perdagangan, tugas pemerintah dan keperluan lain yang telah disetujui
oleh kedua belah pihak. Kegiatan lintas batas yang perlu ditambah adalah
keperluan kesehatan (berobat), pendidikan (sekolah), dan pekerjaan yang
selama ini sudah dilakukan dan dibutuhkan oleh warga perbatasan. Untuk
aktivitas-aktivitas di atas, perlu ada kesepakatan bilateral untuk
penyetaraan perlakuan khusus untuk warga perbatasan. Komoditas
barang dalam BTA perlu diperluas. Selama ini, komoditas perdagangan
228 Wawancara dengan letnan Kolonel Kav Valian Wicaksono, pada tanggal 11 september
2017 di kantor Kodim 0911 Kab.Nunukan
145
yang dibolehkan dari sisi Indonesia adalah produk pertanian dan produk
lain, kecuali mineral oil dan ores (minyak dan bahan/bijih tambang).
Komoditas tersebut perlu diperluas menjadi produk pertanian dan
olahannya, produk perikanan dan olahannya, serta produk industri rumah
tangga. Adapun komoditas yang perlu dilarang adalah bahan tambang,
barang bercukai seperti rokok, serta makanan dan minuman beralkohol.229
Nilai kuota perdagangan lintas batas (treshold value) perlu dinaikkan
dan di konversi dari 600 ringgit menjadi menjadi 500 dolar Amerika
Serikat. Hal ini didasarkan pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Perkapita Kabupaten Nunukan yang mencapai Rp 93.045.780 pertahun
atau Rp7.753.815 perbulan (setara dengan sekitar 500 dolar). Di ubahnya
mata uang dari Ringgit Malaysia menjadi Dollar Amerika di nilai cukup
memberi keuntungan penduduk perbatasan dan perubahan ini secara
politik lebih netral dan lebih stabil nilai tukarnya. 230
Beberapa kalangan dari negara Malaysia menyadari
ketergantungan dalam beberapa hal. Hal ini dapat mengubah cara
pandang mereka terhadap negara Indonesia sehingga dapat memberikan
dampak positif terhadap kedaulatan wilayah perbatasan itu sendiri. Dari
segi Indonesia itu sendiri, ketergantungan Malaysia sebenarnya
merupakan potensi terbesar yang tidak pernah di lirik oleh pemerintah itu
229 Sandy Nur Ikfal Raharjo, et.al. 2017. Op.Cit : Hlm 11
230
Ibid
146
sendiri, potensi ini mampu menaikkan posisi Indonesia dalam melakukan
hubungan dengan Malaysia.
Untuk mengurangi ketergantungan barang dari Malaysia,
pemerintah Indonesia perlu menggandeng pihak swasta untuk
membangun industri di kawasan perbatasan sesuai dengan potensi lokal
yang ada. Pihak swasta yang mau terlibat dapat diberikan insentif,
misalnya pengurangan pajak dan kemudahan untuk membuka
usaha/industri di wilayah Indonesia yang lain. Oleh sebab itu, Diperlukan
suatu lembaga di daerah yang fokus pada masalah-masalah yang ada di
kawasan perbatasan. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah
merevitalisasi peran Badan Pengelola Perbatasan Daerah (BPPD) di
tingkat provinsi maupun kabupaten.231 Dengan demikian ancaman
terhadap kedaulatan NKRI, yang diakibatkan kesenjangan sosial serta
penegakkan hukum diwilayah perbatasan dapat dikurangi dan bahkan
dihilangkan, karena pada hakikatnya hukum itu membawa kebahagiaan.
231 Ibid
147
BAB 5
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Tekad pemerintah dalam menjalankan politik hukum
internasionalnya sangatlah terlihat jelas dengan adanya beberapa
regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah itu sendiri. Namun dalam
implementasinya pemerintah belum optimal dalam yang
mewujudkan kawasan perbatasan yang tertib, aman, dan sejahtera.
RPJMN sebagai landasan utama dalam menjalankan politik hukum
internasionalnya sangatlah sesuai dengan kepentingan masyarakat
di wilayah perbatasan. Namun, dalam pelaksanaannya masih
banyak kendala-kendala yang ditemui pemerintah, mulai dari segi
anggaran masih relatif kecil (sebesar 1,50%) dari total APBN 2018 ,
tidak sinergi antara instansi lintas sektoral hingga keberadaan
pemerintah dianggap belum siap hadir di wilayah perbatasan itu
sendiri.
148
2. Pasca kebijakan pemerintah Malaysia yang menutup pos lintas
batas di Sei Pancang pada tahun 2011 berdampak signifikan
terhadap warga perbatasan yang ingin melintas karena untuk
menyeberang ke negara Malaysia warga perbatasan harus ke
nunukan untuk mengambil cap lintas batas, sehingga sangat
menyulitkan warga perbatasan. Hal ini dapat memunculkan
banyaknya pelangggar batas illegal disatu sisi BTA yang selama ini
menjadi acuan warga perbatasan untuk melakukan perdagangan
lintas batas dianggap kurang cukup dalam menghidupi kebutuhan
hidup warga perbatasan selama sebulan. Oleh sebab itu sangat
diperlukan diplomasi pemerintah terkait masalah yang terjadi
diwilayah perbatasan. Upaya ini dapat menekan terjadinya
pelanggaran tapal batas di perbatasan di kabupaten Nunukan.
149
5.2. Saran
1. Dalam menjalankan politik hukum internasionalnya pemerintah
kedepannya pemerintah harus melihat seluruh aspek yang ada dalam
pembentukan hukum tersebut agar masyarakat yang berada di wilayah
perbatasan tidak seperti di paksakan dengan suatu aturan yang bisa
merugikan warga perbatasan, di satu sisi guna menjaga kedaulatan
territorial pemerintah juga memperhatikan instansi yang bekerja dalam
membangun pertahanan dan keamanan di wilayah perbatasan. Tidak
sinerginya antar lembaga bisa diakibatkan kurangnya koordinasi
pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah.
2. Sangat dibutuhkan koordinasi hukum agar tercipta sinergi antar sesama
lembaga dalam mengelola perbatasan, inti masalah yang terjadi diwilayah
perbatasan terkait kesejahteraan dalam hal ini masalah ekonomi.
Pembaharuan hukum sangat diperlukan karena aturan-aturan terkait
perbatasan sudah tidak relevan lagi dalam kehidupan masyarakat
perbatasan. Kompleksitas masalah yang terjadi di wilayah perbatasan
merupakan “Pekerjaan Rumah (PR)” pemerintah pusat dalam
menyelesaikan hal tersebut, seharusnya pemerintah menerapkan suatu
kebijakan tertentu dalam menangani wilayah perbatasan.
150
DAFTAR PUSTAKA BUKU: Achmad Ali. 2010. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori
Peradilan (Judicialprudence) : Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Kencana: Jakarta
_________. 2015. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori
Peradilan (Judicialprudence) : Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Kencana: Jakarta
Alma Manuputty et.al. 2008. Hukum Internasional. Recht ta: Makassar Asren Nasution. 2011. Pertahanan Negara Di Wilayah Pesisir Perspektif
Pengembangan Wilayah. Prenada:Jakarta Boer Mauna. 2011. Hukum Internasional Pengertian dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global. Alumni: Bandung Christian Reus –Smit. Derta Sri Widowatie (Penerjemah). 2015. The
Politics of International Law. Bandung: Nusa Media. Damos Dumoli Agusman. 2010. Hukum Perjanjian Internasional Kajian
Teori dan Praktik Indonesia. Refika Aditama: Bandung
Direktorat Wilayah Pertahanan. 2007. Optimalisasi Penanganan Wilayah Maritim RI-RDTL Dalam Rangka Menjaga Keutuhan NKRI. Departemen Pertahanan: Jakarta
Evaluasi Paruh Waktu Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional
2015-2016 Hasjim Djalal. 1979. Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut. Bina
Cipta. Bandung ___________. 1997. Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Dasawarsa
1990. Centre For Strategic And International Studies: Jakarta I Wayan Parthiana. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Mandar Maju:
Bandung ___________. 2014. Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut
Indonesia. Yrma Widya: Bandung
151
J.G.Strake. 2012. Pengantar Hukum internasional 1 Edisi kesepuluh. Sinar Grafika: Jakarta
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar. 2006. Hukum Internasional
Kontemporer. Refika Aditama: Bandung K.Martono dan Amad Sudiro. 2012. Hukum Udara Nasional dan
Internasional Publik (Public International And National Air Law). RajaGrafindo Persada: Jakarta
Ludiro Madu dkk. 2010. Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia
Tanpa Batas Isu, Permasalahan dan Pilihan Kebijakan. Graha Ilmu: Yogyakarta
Malcolm N. Shaw QC. 2013. Hukum Internasional. Nusa Media: Bandung Marnixon R.C Wila. 2006. Konsepsi Hukum dalam Pengaturan dan
Pengelolaan Wilayah Perbatasan Antarnegara. Alumni: Bandung Mexsasai Indra. 2011. Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia. Refika
Aditama: Bandung Michael Milde. 1989. Sovereignty Over Air Space. dalam Rudolf L.
Bindschedler (Ed). Encyclopedia of Public International Law.. Elsevier Sciene Publisher: Netherland
Midriem Mirdanies et.al. 2013. Kajian Kebijakkan Alutsista Pertahanan
dan Keamanan Republik Indonesia. LIPI Press: Jakarta Mita Noveria et.al. 2017. Kedaulatan Indonesia Di Wilayah Perbatasan
Perspektif Multidimensi. Yayasan Pustaka Obor: Jakarta Mochtar Kusumaatmadja. 1978. Hukum Laut Internasional. Bina Cipta:
Bandung _____________________. 2012. Pengantar Hukum Internasional. Alumni:
Bandung _____________________. 2013. Konsep-Konsep Hukum Dalam
Pembangunan. Alumni: Bandung Moh. Mahfud MD. 2012. Membangun Politik Hukum. Menegakkan
Konstitusi. Rajawali Pers: Jakarta.
152
____________. 2014. Politik Hukum di Indonesia. Rajawali Pers:
Jakarta. Muhammad Ashri. 2012. Hukum Perjanjian Internasional Dari
Pembentukkan Hingga Akhir Berlakunya. Arus timur: Makassar Muhammad Nur Islami. 2014. Hukum Internasional Dalam Perspektif
Islam dan Kedaulatan Bangsa. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Muhammad Syafei, 2012, Disertasi: “Pengaturan Pengelolaan Kawasan
Perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak Malaysia” (Makassar: Universitas Hasanuddin)
Parulian Simamora. 2013. Peluang dan Tantangan Diplomasi
Pertahanan. Graha Ilmu: Yogyakarta. Philipus M. Hadjon et.al. 2008. Pengantar Hukum Administrasi Negara.
Gadjah Mada University Press: Yogyakarta Priyatna Abdurrasyid. 1972. Kedaulatan Negara di Ruang Udara. Pusat
Penelitian Hukum Angkasa: Jakarta Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2015-2019
Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019
Rebecca M.M Wallace and Olga Martin. 2009. International Law. Sweet
and Maxwell: London
Sandy Nur Ikfal Raharjo. et.al. 2017. Strategi Peningkatan Kerja Sama
Lintas Batas (Border Crossing Agreement) Indonesia Malaysia. Jakarta : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia..
Saru Arifin. 2014. Hukum Perbatasan Antar Negara. Sinar Grafika:
Jakarta
Satjipto Rahardjo. 2010. Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi
Pengembangan Ilmu Hukum. Genta Publishing: Jakarta
153
Sefriani. 2011. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Rajawali Pers: Jakarta
______. 2016. Peran Hukum Internasional Dalam Hubungan Internasional
Kontemporer. Rajawali Pers: Jakarta SM.Noor. 2008. Ratifikasi Perjanjian Internasional “Persoalan
Implementasi dan Politik Hukum di Indonesia. Pustaka Pena Press : Makassar.
Soerjono Soekanto. 2013. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Rajawali Pers : Jakarta
_______________. 2014. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press: Jakarta Sri Hastuti Puspitasari. 2009. Bunga Rampai Pemikiran Hukum
Indonesia. FH UII Press: Yogyakarta Sugeng Istanto. 2014. Hukum Internasional Edisi Revisi. Cahaya Atma
Pustaka: Yogyakarta Sunaryati Hartono. 1986. Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik
Hukum Nasional dalam Artidjo Alkostar dan Sholeh Amin. Rajawali Pers: Jakarta
Suryanto Suryokusumo et.al. 2016. Konsep Sistem Pertahanan
Nonmiliter : Suatu Sistem Pertahanan Komplemen Sistem Pertahanan Militer dalam Pertahanan Rakyat Semesta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta
Suryo Sakti Hadiwijoyo. 2011. Perbatasan Negara Dalam Dimensi
Hukum Internasional. Graha Ilmu:Yogyakarta Syahruddin Nawi. 2013. Penelitian Hukum Normatif Versus Penelitian
Empiris. Umitoha: Makassar T.May Rudy. 2002. Studi Strategis Dalam Tranformasi Sistem
Internasional Pasca Perang Dingin. Refika Aditama: Bandung Yahya A. Muhaimin. 2008. Bambu Runcing dan Mesiu Masalah
Kebijakan Pembinaan Pertahanan Indonesia. Tiara Wacana: Yogyakarta
154
Yahya Ahmad Zein. 2016. Hak Warga Negara di Wilayah Perbatasan Perlindungan Hukum Hak Atas Pendidikan dan Kesehatan. Liberty: Yogyakarta
Yudha Bhakti Ardiwisastra. 2003. Hukum Internasional Bunga Rampai.
Alumni: Bandung
JURNAL: E.Saefullah Wiradipraja. Wilayah Udara Negara (State Air Territory)
Ditinjau dari Segi Hukum Internasional dan Nasional Indonesia. Jurnal Hukum Internasional. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Vol 6 No 4 Juli 2009
Marcel Hendrapati .et.al. Pengendalian Efektif sebagai Cara Akuisisi
Teritorial : Analisis Kasus Sipdan – ligitan. Jurnal Hasanuddin Law Review, Vol 1 No 2 Agustus 2015.
Marcel Hendrapati et.al, Today’s Ambalat: Neglecting the Basepoints of
Sipadan and Ligitan Islands for Maintaining the Equidistance Principle in the Disputed Area, Journal of East Asia and International Law, Vol 1 No 10 Januari 2017
Sandy Nur Ikfal Raharjo. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Perbatasan
Darat Indonesia-Malaysia (Studi Evaluatif di Kecamatan Entikong). Jurnal LIPI. Pusat Penelitian Politik. Vol 16 No 1 April 2013
MEDIA CETAK: Purnomo Yusgiantoro. Pengelolaan Perbatasan Mengsinergikan
Keamanan dan Kesejahterahan. Tabloid Diplomasi. 15 Februari-14 Maret 2013
INTERNET: Biro Komunikasi dan Informasi Publik. 2015. Menara Mercusuar Tanjung Datu, Mercusuar Terjauh di Kalimantan Barat. http://dephub.go.id/berita/baca/menara-mercusuar tanjung-datu,-
155
mercusuar-terjauh-di-kalimantan barat/?cat=TGlwdXRhbiBLaHVzdXN8 Daniel Thürer. Thomas Burri. 2008. Self Determinantion. Oxford Public of
International Law.http://opil.ouplaw.com/view/10.1093/Law:epil/97 80199231690/law-9780199231690-e873
Eda Ervina. 2014. Cerita Hilangnya Patok Batas Indonesia-Malaysia di
Nunukan. http://www.merdeka.com/peristiwa/cerita-hilangnya-patok-batas-indonesia-malaysia-di nunukan/kapolda-kaltim-akan-tinjau-pos-perbatasan.html
Fajar. 2017. Duh, Malaysia Jadikan Wilayah RI Lapangan Golf. https://paluekspres.fajar.co.id/duh-malaysia-jadikan-wilayah-ri- lapangan-golf/ Hanz Jimenez Salim. 2014. Panglima TNI: Pembangunan Mercusuar di Tanjung Datuk Dihentikan. http://news.liputan6.com/read/2055654/panglima-tni-pembangunan- mercusuar-di-tanjung-datuk-dihentikan. Jimly Asshiddiqie, 2010, Penegakan Hukum,
http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf
Odelia Sinaga. 2014. Modus Malaysia Kuasai Desa di Perbatasan
Indonesia.https://m.tempo.co/read/news/2014/11/17/078622324/modus-malaysia-kuasai-desa-di-perbatasan-indonesia
Paul R. Hensel Michael E.Allison dan Ahmed Khanani. The Colonial
Legacy and Border Stability: Uti Possidetis and Territorial Claims in the Americas. Paper Presented at the annual Meeting of the international Studies Association. Montreal. March 2004 https://www.researchgate.net/profile/Paul_Hensel/publication/253878664_The_Colonial_Legacy_and_Border_Stability_Uti_Possidetis_and_Territorial_Claims_in_the_Americas/links/00b7d5326ea9761b12000000.pdf