+ All Categories
Home > Documents > ASAL USUL DESA GUDO KECAMATAN GUDO KABUPATEN JOMBANG

ASAL USUL DESA GUDO KECAMATAN GUDO KABUPATEN JOMBANG

Date post: 23-Feb-2023
Category:
Upload: pascaunesa
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
32
ASAL USUL DESA GUDO DAN PERAN KLENTENG HONG SAN KIONG TERHADAP EKSISTENSI WARGA TIONGHOA GUDO Oleh: Nurul Latifa Alfariha (124284043) Pendidikan Sejarah 2012 B UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
Transcript

ASAL USUL DESA GUDO DAN PERANKLENTENG HONG SAN KIONG TERHADAPEKSISTENSI WARGA TIONGHOA GUDO

Oleh:

Nurul Latifa Alfariha (124284043)

Pendidikan Sejarah 2012 B

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

FAKULTAS ILMU SOSIAL

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

2014

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena dengan

rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah

ini dengan lancar. Makalah ini berisi mengenai asal usul

desa Gudo kecamatan Gudo Labupaten Jombang. Sumber materi

penulisan makalah berasal dari buku yang membahas mengenai

sejarah Gudo yang didalamnya terdapat awal mulanya kaum

Tionghoa di Gudo serta dengan rumah ibadahnya yaitu Klenteng

Hong San Kiong, keadaan kaum Tionghoa masa pendudukan Jepang

dan Belanda.

Makalah ini membahas mengenai penyebab penamaan Gudo

untuk Desa Gudo, keberadaan orang Cina di Desa Gudo,

kesenian yang mereka bawa, aktivitas ekonomi pendukungnya.

Dengan tulisan ini, penulis harapkan dapat menambah wawasan

pembaca mengenai sejarah lokal awal mula penamaan desa Gudo

tersebut dan tersimpan sebagai stock of knowledge kita.

Tidak lupa penulis sampaikan terimakasih kepada:

1. Bpk Agus Tri Laksana., M.Hum sebagai dosen pengampu mata

kuliah Sejarah Lokal.

2. Teman-teman yang membantu dalam penyelesain makalah ini.

Benar pepatah mengatakan bahwa tak ada gading yang tak

retak, begitu pula dengan pembuatan makalah ini masih

terdapat kesalahan, maka dari itu dengan tangan terbuka kami

menerima segala kritik atau saran yang bersifat konstruktif

untuk penyempurnaan pembuatan makalah selanjutnya.

Surabaya, 12 November 2014

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberadaan suatu desa sangat diperlukan bagi orang-

orang pendukungnya. Hal ini memungkinan suatu etnis juga

mempengaruhi munculnya desa tersebut. Desa Gudo adalah

salah satu bagian dari Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa

Timur. Gudo menjadi nama sebuah Kecamatan dan desa yang

mana unsur masyarakatnya tidak hanya terdiri dari etnis

Jawa melainkan juga etnis Tionghoa. Menurut Liem Sik Hie1

daerah pecinan yang berusia tua berada di desa Tukangan

kecamatan Gudo. Disinilah bekas tempat tinggal mereka,

berada + 500 meter ke timur dari Klenteng Gudo. Daerah

pecinan tua ini bisa saja menjadi cikal bakal penamaan

desa Gudo karena menurut beberapa warga setempat nama

“Gudo” berasal dari “Pagoda” yaitu sebuah menara atau

kuil pemujaan bagi orang beragama Kong Hu Chu. Pagoda

tersebut menjulang tinggi sehingga sangat menarik

perhatian orang yang melihatnya oleh karena itu, orang

lebih mudah menyebutnya Gudo, penggalan dari Pagoda.

Namun, saat ini menara yang diyakini itu tidak nampak,

hanya menara kuil yang terdapat di dalam Klenteng Gudo.

Saat ini, Desa Tukangan sendiri telah menjadi desa yang

memiliki penduduk non muslim terbanyak yaitu Nasrani,

termasuk warga Tionghoa juga ada didalamnya. Desa

Tukangan seakan-akan menjadi pembatas antara wilayah

orang Tionghoa dengan orang Jawa. Mulai desa Tukangan ke

barat mayoritas dihuni orang Cina yang didukung dengan

kegiatan ekonomi perdagangan mereka seperti pemilik toko

klontong, toko alat tulis, toko jamu, toko bahan makanan

pokok, toko bangunan, elektronik, kue, kain, dan

sebagainya.

Sedangkan desa Tukangan ke timur adalah wilayah yang

mayoritas di huni oleh orang muslim. Kedua wilayah ini

dipisahkan oleh dua buah jembatan yang disampingnya

1 Seorang penulis buku Sedjarah Gudo yang ditulis pada tahun 1954, seorangwarga asli Gudo tetapi tidak ikut dalam kepengurusan Klenteng Hong San KiongGudo.

terdapat lapangan sepak bola kecil. memang telah berbeda

desa tetapi keduanya masih satu kecamatan.

Selain pemukiman orang Cina, di Gudo hingga saat ini

juga masih berkembang aktivitas perekonomian yang

kebanyakan dijalankan oleh masyarakat Cina. Hal ini

menambah keyakinan dugaan bahwa masyarakat Cina Gudo

telah lama menetap dan bahkan kemungkinan merekalah yang

menjadi penduduk asli Gudo.

Dari permasalahan yang disebutkan di atas, maka

penulis ingin membahas lebih dalam untuk mengetahui

bagaimana sebenarnya asal usul desa Gudo

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana awal munculnya desa Gudo?

2. Bagaimana peran Klenteng Hong San Kiong terhadap

eksistensi masyarakat Tionghoa di desa Gudo?

3. Bagaimana sumbangsih Klenteng Hong San Kiong terhadap

pelestarian kesenian Cina khususnya di Gudo?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana asal usul Desa Gudo.

2. Untuk mendeskripsikan peranan Klenteng Hong San Kiong

terhadap keberadaan masyarakat Tionghoa di Desa Gudo.

3. Untuk mengetahui sumbangsih yang diberikan Klenteng

Hong San Kiong terhadap pelestarian kesenian Cina

khususnya di Gudo .

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi masyarakat umum

a. Dapat menambah pengetahuan tentang asal usul

sebuah desa.

b. Menambah wawasan tentang Cina dan budaya yang

mengelilinginya.

c. Menambah pengetahuan peranan Klenteng ketika

masa penjajahan Belanda dan Jepang.

2. Bagi penulis

a.Menambah khazanah pengetahuan khususnya mengenai

orang Cina dan budayanya.

b.Dapat dijadikan sebagai penelitian lanjutan tentang

orang Cina di Gudo dilihat dari sisi organisasi

sosial yang secara langsung bersentuhan dengan

masyarakat pribumi Jawa.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Desa Gudo

1. Asal usul desa Gudo

Menurut keterangan masyarakat sekitar, istilah Gudo

berasal dari sebutan nama tempat ibadah orang Cina

yang bernama “Pagoda”. Tempat ibadah tersebut

terbentuk menyerupai wihara atau kuil dengan atap yang

bertingkat, konon pagoda ini berada di tempat

berdirinya Klenteng saat ini. Jika ada orang yang

menganggap bangunan tinggi di Klenteng sekarang itu

adalah Pagoda maka itu anggapan yang salah. Keberadaan

orang Tionghoa di suatu tempat, bukanlah tanpa alasan

tertentu. Orang Tionghoa dikenal dengan semangat kerja

kerasnya untuk mendapatkan sesuatu termasuk dalam

urusan ekonomi. Daerah Gudo bukanlah tempat yang ramai

dan tidak mnejadi pusat perekonomian. Maka dengan

peluang inilah yang mendasari mereka untuk melakukan

perjalanan hingga ke daerah Gudo selain itu juga

karena masyarakat pribumi yang belum menguasasi

perkembangan ilmu-ilmu perekonomian secara matang dan

penerapannya. Menurut Booke2 dalam bidang perekonomian,

orang Cina bersedia melakukan dari hal yang terkecil

bahkan dari hal-hal yang tidak terpikirkan sebelumnya

oleh orang Jawa. Pernyataan Booke tersebut dapat

dibuktikan dengan semakin banyaknya pusat-pusat

perekonomian di Indonesia salah satunya di desa Gudo

ini. Tali persaudaraan diantara kaum Tionghoa juga

sangat tinggi sehingga jika salah satu diantara mereka

ada yang belum memiliki pekerjaan maka saudara lain

bersedia untuk membantunya entah itu dengan memberikan

pinjaman modal usaha atau memberikan sebuah pekerjaan.

Dari komunitas Cina dan perekonomiannya yang terus

berkembang ini, maka penamaan Gudo yang merupakan

penggalan dari Pa-Goda = Pa-Gudo dianggap dapat

mewakili daerah tersebut.

2. Ekonomi masyarakat Tionghoa Gudo

2 Dalam Bunga Rampai Perekonomian Desa, 1982, Yayasan Obor Indonesia, hlm 20.Menurut Booke, jika dipandang dari sudut sosialnya, orang Cina lebih mudahmenyesuaikan diri dengan masyarakat Indonesia daripada perantau orang barat.

Kedatangan bangsa Cina juga tidak semata-mata hanya

untuk mendapatkan keuntungan ekonomi tetapi mereka

juga membawa pengaruh kesenian yaitu wayang Poo The

Hie. Wayang Poo The Hie adalah wayang yang berasal

dari Cina. Wayang ini berbeda dengan wayang lainnya di

Indonesia seperti wayang kulit, baik dilihat dari segi

bahan pembuatnya, cerita yang ditampilkan, lakon yang

diperankan, alat dan jenis musik yang dimainkan juga

berbeda.

Dari pembahasan ini, dapat ditarik garis merah

bahwa desa Gudo memiliki penduduk asli yang terdiri

dari masyarakat pribumi tetapi karena mereka kurang

memainkan peran dalam perekonomian dan juga karena

kedatangan bangsa Cina pada saat itu bersamaan dengan

masa kepemimpinan Kerajaan Islam (abad 17). Meskipun

Gudo tidak memiliki pusat kerajaan baik Hindu maupun

Islam tetapi pengaruh ajarannya tersebar hingga ke

pedalaman. Ajaran tersebut adalah apa yang disebut

manunggaling kawula gusti atau patuhnya rakyat kepada raja.

Rakyat melakukan aktivitas ekonomi pedesaan seperti

berdagang dan bertani. Hasil dari kegiatan tersebut,

sekian persen diserahkan kepada Raja sebagai

pembayaran pajaknya. Jenis kegiatan ekonomi tersebut

kemungkinan tidak akan berubah jika tidak ada orang

asing yang masuk ke dalam sebuah desa untuk

memerkenalkan dan melakukan modernisas ekonomi. Sistem

perekonomian desa disebut perekonomian subsisten

artinya orang pribumi melakukan aktivitas ekonomi

sekedarnya hanya untuk mencukupi kebutuhan hari itu

saja. Jika kebutugannya telah terpenuhi maka orang

tersebut berhenti bekerja untuk menghasilkan tambahan

uang.

Sedangkan orang Cina berani melakukan terobosan

ekonomi, seperti yang ada dalam buku Sedjarah Gudo

(1954), disebutkan berbagai macam usaha yang dilakukan

oleh orang Cina di daerah Jombang, Kertosono,

Mojokerto, Papar, Minggiran, dan Kediri seperti pabrik

gula, pabrik mie, pabrik kecap, toko emas, toko beras,

perusahaan susu dan sebagainya.

Melanjutkan dari pernyataan sebelumnya bahwa

diantara orang Cina adalah saudara dan saling membantu

satu dengan yang lainnya. Menurut seorang dalang3

wayang Poo Tee Hie yang telah berkecimpung lama dalam

kehidupan masyarakat Cina, mengatakan bahwa saat ini

diantara orang Cina sudah tidak seperti lagi. Dalam

hal ini, rasa kepedulian dalam kekeluargaan antar

orang Cina telah berkurang, bagi orang Cina yang

memiliki kecukupan materi enggan untuk membantu

sesamanya. Hal ini terlihat pada beberapa orang Cina

yang tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga tampak

terlihat tidak terurus terutama pada orang Cina yang

sudah lanjut usia. Fenomena ini yang dapat kita sebut

sebagai demoralisasi tidak hanya terjadi pada orang

3 Wawancara dengan bapak Bambang Sutrisno di area Klenten Hong San Kiong pada2 November 2014 pukul 9.45. Beliau berasal dari Semarang dan telah menjadidalang wayang poo tee hie sejak 1963. Tidak hanya di Gudo, beliau juga telahmenunjukkan ketrampilannya sebagai dalang di Lampung, Jakarta, Bali, Palembang.

Indonesia yang terkenal dengan unggah-ungguh yang sopan,

ramah tetapi masyarakat lain dengan budaya yang

berbeda juga mengalami hal yang sama. Perubahan ini

terjadi karena pada awal kedatangan mereka di suatu

tempat masih berperan sebagai perintis atau pionir

usaha perekonomian yang mereka bangun. Namun, kini

usaha mereka telah berkembang, lingkungan sekitarnya,

perkembangan zaman, dan sebagainya dapat mempengaruhi

perilaku etnis Tionghoa tersebut.

B. Peran Klenteng Hong San Kiong terhadap keberadaan

masyarakat Tionghoa di desa Gudo

1. Klenteng sebagai tempat ibadah dan perayaannya

Puluhan tahun lalu, Rumah Berhala Tionghoa di Gudo

sangat kenamaan atau terkenal khususnya didaerah

karesidenan Kediri dan Surabaya, dan pada umumnya

Jawa Timur yaitu Klenteng Hong San Kiong-Kong Tik

Tjun Ong. Sebelum 1941, Klenteng tersebut masih dalam

keadaan yang sederhana. Letak Klenteng ini terdapat

di pertigaan antara Blimbing, Kediri, Jombang. Di

tengah jalan pertigaan ini terdapat sebuah tugu

peringatan kemerdekaan (sekarang sudah tidak ada),

maksud dari tugu ini adalah untuk memaknai dengan

sungguh-sungguh arti dari Keluhuran, kemuliaan,

keutamaan, dan kemerdekaan abadi.

Sejak dulu, tradisi yang dijalankan klenteng

termasuk perayaan hari besar konghucu diselenggarakan

oleh masyarakat sekitar di Klenteng ini. Sebagai

salah satu contoh perayaan tersebut adalah pada tahun

sebelum 1930 M, Kongtjo ialah sebutan untuk nenek

leluhurnya yang dituakan sering dikarak dengan segala

upacaradan keramaian sebagaimana biasanya, ada yang

mempertunjukkan jalan dalam jalanan api, lidah

ditusuk pedang, naik tangga pedang yang tajam dan

sebagainya. “Hu” atau surat tumbal dari Kongtjo,

dalamnya berisi tulisan dari huruf-huruf Tionghoa

tetapi tidak dapat dibaca, ditulis dari lidah yang

berlumuran darah dengan jari-jarinya. Itulah yang

kini disebut Hu dan orang-orang banyak yang

menempelkan di depan atau belakang pintu rumah yang

berfungsi sebagai tumbal keselamatannya. Untuk

menambah kemewahan dan keramaian dalam upacara

tersebut, maka ditampilkan pula Liong, Barongsai, dan

Tjenggee. Namun tradisi ini tidak muncul lagi, hanya

beberapa upacara pokok yang disuguhi penampilan Liong

dan Barongsai tersebut. Kongtjo tidak lagi muncul

dalam arak-arakan karena suatu alasan yaitu menurut

orang Cina, Kongtjo mengetahui perkembangan zaman

yang sekarang berlangsung maka dari itu karak-karakan

dan keramaian hanya dilakukan dalam halaman klenteng.

Perubahan ini juga terjadi misal sejak 1940, Kongtjo

tidak mau mandi, hanya baru mulai 1952 Kongtjo suka

mandi. Air kembang bekas digunakan untuk Kongtjo

mandi pun diperebutkan oleh warga sekitar, hal itu

dipercaya untuk keselamatan diri dan rumah tangganya.

Kelengkapan peralatan dalam klenteng juga hal yang

menjadi perhatian. Namun ternyata seorang pedagang

Tionghoa dari Blimbing yang mengerjakan perbaikan dan

membangun gedung klenteng Hong San Kiong sehingga

terlihat selayaknya sekarang. Banyak sumbangan-

sumbangan yang diterima dari tempat yang jauh pula.

Renovasi ini dilakukan beberapa bulan hingga akhirnya

selesai pada saat Jepang datang berkuasa. Selain

sumbangan untuk bangunan pokok, ada sumbangan-

sumbangan lain yang berupa meja kursi, lampu, dan

juga satu set wayang poo tee hie. Pihak klenteng

menghendaki jika peralatan-peralatan yang dimiliki

klenteng dapat bermanfaat bagi warga sekitar misalnya

dengan meminjamkan peralatan tersebut untuk hajatan

acara pernikahan, kematian, dan perayaan lainnya.

Akan tetapi tidak sedikit pula orang yang tidak

mengembalikan peralatan milik klenteng padahal setiap

barang tersebut dilindungi oleh leluhur orang Cina

dan memiliki sifat kemurkaan tersendiri.

a.Perayaan Imlek

Setiap tahun Imlek bulan 2 tanggal 22 adalah

hari sembahyang peringatan kelahiran Kongtjo,

selain itu juga pada bulan 8 tanggal 22 adalah

hari peringatan penerimaan wahyu dari Thian. Pada

hari-hari tersebut banyak sekali yang berdatangan

termasuk dari lura kota. Peringatan ini juga

dimeriahkan dengan pertunjukkan wayang kulit

semalam suntuk serta wayang poo tee hie. Seperti

tradisi agama lain yaitu melekan; bhs. Jawa (tidak

tidur semalaman, orang Cina juga ada yang

melakukan hal demikian dengan semalaan di dalam

klenteng pada waktu terutama ketika hari

sembahyangan Pekgwee 22 yaitu ketika Kongtjo

menerima wahyu dari Thian.

2. Zaman pendudukan Belanda

Keberadaan masyarakat Tionghoa hingga saat ini di

Desa Gudo tidak terlepas dari peranan yang dilakukan

Klenteng atau yang oleh orang dulu disebut sebagai

Rumah Berhala Tionghoa. Disebutkan dalam buku

“Sedjarah Gudo” bahwa ketika masa penyerbuan Belanda

disebut sebagai clash ke-II atau aksi polisi-polisinan

yang terjadi di akhir tahun 1948 bulan Desember. Dari

kejadian ini banyak tempat-tempat yang mengalami

kerusakan bahkan hancur, tetapi tidak hanya

infrastruktur yang rusak korban jiwa pun banyak yang

melayang akibat peristiwa ini. Warga tidak dapat

melupakan peristiwa tanggal 20 Maret 1949 ketika

pesawat tempur milik Belanda dengan leluasanya

terbang di atas desa Gudo. Tidak ada perlawanan dari

warga sehingga dengan bebasnya Belanda menghamburkan

pelor dari senapan mesin kaliber besar serta

menjatuhkan beberapa bom peledak. Peristiwa itu lebih

tepatnya terjadi pada pukul 7.30 pagi, setelah

menyerang Cukir4 dengan mitrailleur segera menyerang

Gudo. Di pertigaan Gudo tepat di depan Klenteng

4 Daerah utara Gudo, +10 km, Cukir pada waktu itu telah menjadi pusatpendidikan Islam dengan didirikannya pondok pesantren Tebuireng dan pusataktivitas ekonomi pada pabrk gula.

adalah area yang benar-benar diincar oleh Belanda

karena dekat pertigaan tersebut terdapat rumah

sebagai perkemahan musuhnya. Sering kali pesawat

mereka terbang setinggi pohon kelapa untuk

menjatuhkan dua buah bom. Setelah itu mereka terbang

miring berputar-putar dan mengarahkan senapan

mesinnya, hari itu seperti hujan peluru. Peristiwa

inilah yang menjadi kecaman pihak luar, begitulah

cara mereka menunjukkan kesopanan dan peradaban di

akhir kekuasannya.

Beberapa detik sebelum penyerangan, ada beberapa

warga yang beruntung dan berhasil melarikan diri dari

rumahnya untuk berlindung di dalam Klenteng.

Penyerangan ini memimbulkan korban jiwa sebanyak 2

orang, yang mana orang ini adalah tidak tahu menaung

masalah adanya penyerangan itu. Mereka hanya berniat

untuk belanja ke pasar tetapi dari arah yang tak

diduga meluncurlah serangan Belanda tersebut. Lain

lagi dengan warga yang tidak sempat melarikan diri

dari rumahnya. Penghuni rumah tersebut terdiri dari

suami, istri, dua anaknya, serta ibnya yang sudah

tua. Untunglah tidak ada bom yang meledak di dekat

rumah mereka, jika benar-benar tejadi hal tersebut

maka klenteng juga mengalami goncangan dari

penyerangan tersebut.

3. Zaman pendudukan Jepang

Pada masa Jepang datang untuk berkuasa, para tentara

mereka melakukan penyisiran ke daerah pedalaman.

Warga pribumi dan orang Cina yang berada di Gudo

menjadi panik dan mencari perlindungan ke dalam

klenteng. Peristiwa ini terus berlangsung hingga

warga menginginkan untuk keluar dari Guda, tetapi

Kongtjo tidak mengizinkan hal tersebut. Kongtjo

memberi petunjuk hanya satu orang yang diperbolehkan

keluar dari klenteng dan benar saja orang tersebut

memang membawa mobil dan memiliki bahan bakar yang

cukup. Dengan mendapatkan izin dari Kongtjo, seperti

mendapatkan satu jaminan keselamatan. Garis besar

dari peristiwa ini adalah keadaan yang genting dan

kacau akhirnya dapat berubah menjadi reda dan pulih

kembali bagi meerka yang melindungkan diri dalam

Klenteng Hong San Kiong. Tidak banyak informasi yang

disebutkan mengenai pendudukan Jepang di Gudo, hanya

beberapa gambaran keadaan warga Gudo ketika tentara

jepang datang melakukan serangan ke daerah pedalaman.

C. Sumbangsih Klenteng Hong San Kiong terhadap pelestarian

kesenian khususnya di Gudo

1. Wayang Poo Tee Hie

Wayang berasal dari Cina ini telah dibawa oleh

pemiliknya (orang Cina) hingga ke Gudo. Tujuan ekonomi

tidak semata-mata menjadi fokus utama tetapi

memperkenalkan kesenian wayang juga menjadi perhatian

perantau Cina tersebut. Wayang Poo Tee Hie dimainkan

dengan cara memasukkan tangan sang dalang dan

asistennya ke dalam sarung yang berbentuk boneka cina

tersebut.

Satu set permainan wayang poo tee hie terdiri dari

5 orang dan 1 dalang. Alat musik yang digunakan antara

lain Tambur = Kendang, Terompet dan Yanna, Gembreng,

Kong Ah Yan (Yanna yang lebih besar), dan Kecer

terdiri dari satu pasang besar dan kecil serta suling.

Kekhasan dari pertunjukkan wayang poo tee hie dapat

dilihat dari alat musik yang digunakan karena suara

yang dihasilkan juga berbeda dengan suara alat musik

Indonesia lainnya.

Menurut sang dalang, cerita yang diangkat dalam

pertunjukkan wayang poo tee hie adalah cerita nyata

atau asli Cina pada zaman kerajaan. Sedangkan cerita

seperti yang ditayangkan di televisi seperti

kerasakti, ada beberapa tambahan unsur fiktif yang

berfungsi untuk menarik perhatian penonton. Salah satu

cerita yang diangkat dalam wayang poo tee hie adalah

kehidupan jenderal yang terkenal dalam cerita orang

Cina yaitu Jenderal Sie Djin Koei yang dibagi dalam

dua bagian kehidupan yaitu waktu muda ketika ia

menjadi prajurit dan waktu tua ketika ia telah menjadi

jenderal. Cerita yang banyak diangkat ketika negara

Cina menghadapi Korea pada masa kerajaan dulu. Satu

babak cerita dalam wayang poo tee hie dapat dimainkan

dalam waktu kurang lebih satu bulan. Cerita wayang poo

tee hie sebenarnya dapat diangkat ke dalam cerita

ketoprak, menurut sang dalang karena ceritanya lurus

artinya tidak begitu memiliki konflik dan mudah.

2. Barongsai

Adalah tarian asal Cina yang dimainkan oleh 2 orang

dengan menggunakan semacam kain menyerupai singa yang

menyelimuti pemainnya. Pemain pertama berada di depan

dan bertugas untuk memegang kepala si barongsai

sedangkan pemain kedua memegang pinggul pemain pertama

dan bertugas sebagai ekor barongsai yang harus

mengikuti gerak pemain di depannya. Kain penutup ini

dapat bermotif warna merah atau emas yang identik

dengan warna tionghoa atau warna lainnya yang

dikombinasikan sehingga memberikan kesan menarik.

Sebenarnya tarian barongsai dibuat untuk menakuti

musuh yang hendak menyerang.

Barongsai terbagi dalam dua jenis yaitu singa utara

dan singa selatan. Singa utara terlihat lebih natural,

memiliki 4 kaki sedangkan singa selatan memiliki

hiasan sisik di badannya, jumlah kaki bervariasi yaitu

2-4 buah, diatas kepalanya terdapat tanduk, geraka

singa selatan juga lebih keras dan melonjak-lonjak

mengikuti iringan musik gong dan tambur. Gerakan singa

utara lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki

empat kaki.

3. Liong

Adalah boneka naga yang dipertunjukkan dengan

mengangkat badan naga dengan dilenggok-lenggokkan

sehingga menghasilkan efek seperti ombak yang indah.

Tarian liong dimainkan kurang lebih oleh 8 orang dan

kebanyakan laki-laki. Ada awalnya tarian liong

digunakan untuk menyembuhkan atau mengusir penyakit.

Ada juga yang menyebutkan bahwa tarian liong adalah

bagian dari kebudayaan pertanian dan digunakan ketika

panen. Alasan hewan naga yang digunakan adalah naga

dipercaya membawa keberuntungan bagi masyarakat karena

kekuatan, martabat, kesuburan yang dimiliki naga

tersebut. Selain itu juga naga memiliki penamplan yang

gagah dan menakutkan sehingga sangat sesuai digunakan

dalam lambang kekaisaran.

4. Wayang kulit

Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa untuk

malam-malam perayaan tertentu Klenteng Hong San Kiong

mengadakan pertunjukkan wayang kulit. Mskipun wayang

kulit adalah kesenian asli orang Jawa tetapi kesebian

tersebut juga telah melekat dan menjadi hal yang harus

ada dalam acara tersebut. Jika kembali pada masa

lampau ketika Cina memasuki daerah pribumi khususnya

Gudo, disitulah kebudayaan asli Jawa berada, maka

sebagai rasa hormat dan penghargaan karena kesediaan

menerima kaum Tionghoa di wilayah tersebut.

Pagelaran wayang kulit juga diselenggarakan semalam

suntuk dan penontonnya juga banyak terutama para

penarik becak yang merasa mendapatkan hiburan dari

pertunjukkan itu. Tidak sedikit juga kaum Tionghoa

yang menyukai kesenian asli Jawa ini dan ikut pula

menontonnya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penulisan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa

istilah Gudo pada desa Gudo berasal dari istilah Gudo

yaitu penggalan dari Pa-Goda menjadi Gudo. Hal ini bukan

berarti kaum Tionghoa berada terlebih dahulu di daerah

ini. Penamaan ini hanya karena menonjolnya aktivitas baik

dalam bidang religi maupun ekonomi dalam masyarakat

Tionghoa di Gudo. Maka dari itu untuk memudahkan

masyarakat menyebut desa tersebut dengan desa Gudo.

Meskipun masyarakat Tionghoa sebagai kaum pendatang

tetapi pertemuan antara dua kebudayaan yaitu Jawa dan

Cina tidak menimbulkan konflik, asimilasi, atau

akomodasi. Keduanya dapat menjaga etika masing-masing

untuk menciptakan kehidupan yang harmonis. Orang Jawa

menghormati orang Cina begitu sebaliknya.

Bukti dari keharmonisan inilah sekarang mereka dapat

bersanding baik dalam aktivitas ekonomi, religi. Toko-

toko milik orang Cina tetap berdiri meskipun mengalami

sedikit hambatan. Sedangkan religi serta tradisi orang

Jawa yang sebagian besar adalah orang Islam berjalan

sebagaimana mestinya. Pada bulan Ramadhan bahkan orang

Cina dengan atas nama Klenteng ikut serta memberikan

zakat mal berupa uang kepada warga yang membutuhkan tanpa

memandang asal etnis orang tersebut.

B. Saran

Untuk melestarikan tradisi dan kesenian yang telah

tumbuh sejak dulu, seharusnya sebagai generasi pemuda

adalah aktor penggerak untuk melestarikan budaya

tersebut. Misalnya kesenian wayang kulit, dirasa sangat

sedikit pemuda yang meliriknya untuk mempelajari lebih

dalam. Fenomena ini bisa dilihat pada pertunjukkan wayang

yang mayoritas adalah orang tua yang merasakan betapa

mahalnya kesenian seperti itu pada masa penjajahan yang

semuanya serba dibatasi.

Sebagai harapan, marilah pemuda Indonesia bergerak,

bergerak untuk melestarikan kebudayaan yang telah

diwariskan sejak zaman nenek moyang kita dulu. Kita

sebagai bangsa Indonesia tidak mungkin bisa hidup tanpa

tradisi karena kita lahir dan tumbuh hingga saat ini

karena adanya tradisi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Liem Sik Hie. 1954. Sedjarah Gudo. Gudo: (tanpa penerbit)

Pertiwi, Kartika C. 2008. Komunitas Tionghoa di Desa Gudo 1967-

2004. Malang: jurnal tidak diterbitkan.

Wawancara dengan Bapak Bambang Sutrisno selaku Dalang

Wayang Poo Tee Hie di klenteng Hong San Kiong Gudo pada 1

November pukul 9:35.

Wikipedia. 2014. Barongsai. melalui

http://id.wikipedia.org/wiki/Barongsai diakses pada 9

November 2014 pukul 8:21

LAMPIRAN

Kelnteng Hong San Kiong yang berada tepat dipertigaan dari arah Gudo, Kediri, dan Blimbing.

Kuil yang terdapat di dalam Klenteng Hong SanKiong, kuil ini khusus untuk pemujaan Dewi

Kuil lainyang

berada didalam

klentengHong SanKiong.Kuranglebihbentukpagodasepertibangunandi samping

Pertunjukkan wayang

Poo Tee Hiedi KlentengHong sanKiongketika

Pagelaranwayang PooTee Hiesebenarnyahanya sekalidalam satutahun yaitupada waktuperayaantahun baruimlek,tetapipertunjukkanwayang inijuga sering

Salah satupenghargaan yang diperoleh wayang pootee hie diTebuireng,Cukir,

Salah satu cerita dalam wayang Poo Tee Hie yaitu Sie Djin Koei, seorang jenderal dari Cina yang jika di-Indonesiakan menjadi jenderal Sudiro. Pada buku tersebut, diceritakankisah hidupsang jenderal pada masa tuanya atau

Penghargaan yang diperolehdari Lembaga Penelitian danPublikasi Ilmiah

Tempatmemainkanwayangpoo teehie

tampak

Tampak pemain musik dalam rumah pertunjukan wayang poo tee

ALAT MUSIK YANG DIGUNAKAN UNTUK PERTUNJUKKAN

WAYANG POO TEE HIE

Toko ini bernama Toko Tang, yaitu salah satu toko orang Cina yang masih buka, toko ini berada tepat di

Toko ini berada didepan toko tang, sebelah kanannya adalah jalan pertigaan yang menuju ke arah Jombang.

Penyimpanan wayang-wayang Poo Tee Hie dalam sebuah kotak.

Salah satu tulisan di Harian Kompas yang menyatakan bahwaseni wayang poo tee hie berada di Gudo, Jombang.


Recommended