+ All Categories
Home > Documents > EDISI MARET 2022

EDISI MARET 2022

Date post: 20-Apr-2023
Category:
Upload: khangminh22
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
39
1 www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 18 ISSN 2723-0368 https://pmb.brin.go.id/metaverse-from-k-pop-to-public-service/ EDISI MARET 2022 VOL 25 NO 15, MARET 2022 VOL 25 NO 16, MARET 2022 VOL 25 NO 17, MARET 2022 VOL 25 NO 18, MARET 2022 VOL 25 NO 19, MARET 2022 VOL 25 NO 20, MARET 2022 VOL 25 NO 21, MARET 2022 VOL 25 NO 22, MARET 2022 VOL 25 NO 23, MARET 2022
Transcript

1 www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 18

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/metaverse-from-k-pop-to-public-service/

EDISI MARET 2022

VOL 25 NO 15, MARET 2022VOL 25 NO 16, MARET 2022VOL 25 NO 17, MARET 2022VOL 25 NO 18, MARET 2022VOL 25 NO 19, MARET 2022VOL 25 NO 20, MARET 2022VOL 25 NO 21, MARET 2022VOL 25 NO 22, MARET 2022VOL 25 NO 23, MARET 2022

www.pmb.brin.go.id

DAFTAR ISI

Editorial Board ............................................................................................................... I

Vol 25, No 15, Maret 2022:Hubungan Eksistensi Budaya Bancaan Weton dan Makanan TradisonalApria Ningsih ................................................................................................................ 1

Vol 25, No 16, Maret 2022:Indonesia dan “Wajah” Papua Hari-Hari IniFachri Aidulsyah ........................................................................................................... 4

Vol 25, No 17 Maret 2022:Metaverse, Ruang Ideal bagi Etnografi Virtual?Ibnu Nadzir .................................................................................................................... 10

Vol 25, No 18, Maret 2022:Metaverse: From K-Pop to Public ServiceRanny Rastati ................................................................................................................. 14

Vol 25, No 19, Maret 2022 :Sentimen Etnis, Luka Lama, dan Wajah Baru Multikultur: Relasi Etnis Tionghoa dan Etnis Jawa di Solo, Jawa TengahYayuk Windarti ............................................................................................................... 17

Vol 25, No. 20, Maret 2022:Masa Lalu Untuk Masa Depan: Pengembangan Lanskap Budaya Industri Perkebunan di Bandung Jawa BaratLia Nuralia dan Iim Imadudin ...................................................................................... 20

Vol 25, No. 21, Maret2022:Tersisih di Tengah Kemajuan Batam: Nasib Orang Darat di Kampung SadapDedi Arman .................................................................................................................... 26

EDISI MARET 2022

www.pmb.brin.go.idEDISI MARET 2022

DAFTAR ISI

Vol 25, No. 22, Maret 2022:Melestarikan Hutan ala Masyarakat Suku Tau Taa Wana di Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi TengahMoh. Rifal Salamses ....................................................................................................... 30

Vol 25, No 23, Maret 2022:Menggagas Pesantren Peka GenderAch. Sudrajad Nurismawan ......................................................................................... 33

I

EDISI MARET 2022

EDITORAL BOARD

Penanggung jawab

Lilis Mulyani, SH., M.PL., Ph.D. (Plt. Kepala Pusat Riset Masyarakat dan Budaya OR IPSH BRIN)

Koordinator : Dicky Rachmawan, S. Sos.

Wakil Koordinator : Al Araf Assadallah Marzuki M.H.

Sekretaris : Budi Lestari

Tim Editor :

o Dicky Rachmawan, S. Sos.

o Al Araf Assadallah Marzuki M.H.

o Rusydan Fathy, S. Sos.

o Jalu Lintang Y.A., S. Ant.

o M. Luthfi Khair A., S.Hum.

Teknis dan Layout :

o Praditya Mer Hananto, M.Krim

o Dimas Sony Dewantara, S.Kom.

Perencana Keuangan : Tedi Setiadi S.E, M.M

Nomor ISSN Online: http://issn.pdii.lipi.go.id/issn.cgi?daftar&1592897727&1&&2020

www.pmb.brin.go.id

1 www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 15

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/hubungan-eksistensi-budaya-bancaan-weton-dan-makanan-tradisonal/

Hubungan Eksistensi Budaya Bancaan Weton dan Makanan Tradisonal

Apria Ningsihadalah alumni Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universi-tas Islam Malang. Saat ini aktiv sebagai pengerak organisasi Pemuda Indo-nesia Bisa. Email : [email protected]

Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia. Esensi makanan bagi sebagian besar

masyarakat bukan hanya persoalan gizi semata. Kaitan antara makanan dan aspek budaya salah satunya dapat ditunjukan pada masyarakat Jawa. Mereka mengunakan makanan tradisional sebagai salah satu simbol dalam beberapa acara adat. Makanan tradisonal juga dapat menjadi simbol identitas dan ciri khas daerah tertentu (Adiasih,2015). Makanan tradisonal berkaitan erat dengan adat yang diwariskan dari generasi ke generasi hingga mungkin memiliki nilai kesakralan. Kesakralan makanan diabadikan dalam beberapa naskah Jawa Kuno, seperti Serat Centhini, Serat Goenandrija, Serat Wilujengan, Jumenengangan, Kraman, Mangkunegaranan, dan Primbon Lukmanakim Adammakna (Dewi,2011). Naskah tersebut merupakan salah satu bukti nyata keterkaitan antara makanan dengan kebudayaan masyarakat khususnya di kelompok masyarakat beretnis Jawa.

Kepercayaan masyarakat dipadukan dengan kearifan lokal merupakan perpaduan yang harmonis. Eksistensi adat masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi, juga memberinkan sumbangsih terhadap kelestarian makanan tradisional. Salah

satu acara adat yang menyajikan makanan tradisonal adalah bancaan weton. Bancaan weton merupakan peringatan hari kelahiran yang dipada Saptawara dan Pancawara. Tradisi ini dilakukan masyarakat Jawa untuk memperingati hari kelahiran berdasarkan kalender Jawa yang belangsung selama 35 hari (Rusdiana,A 2015).

Tradisi bancaan weton merupakan salah satu tradisi yang masih eksis hingga saat ini di beberapa wilayah Jawa. Khususnya Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Eksistensi bancaan weton hanya dapat dinikmati di beberapa tempat yang menganut kejawen. Kondisi in muncul akibat meningkatnya pengetahuan agama dan teknologi. Dampak arus teknologi yang semakin pesat mengikis minat kaula muda terhadap makanan tradisional. Pada sisi lain meningkatnya pengetahuan agama membuat mereka meyakini bahwa beberapa acara adat adalah tindakan yang menjurus pada perbuatan syirik (Pradanta, 2015).

Hakikat dari pelaksanaan bancaan weton bagi anak adalah untuk membentuk keseimbangan yang harmonis antara lahir dan batin. Bancaan weton sendiri merupakan wujud dari syukur atas rahmat yang diberikan Tuhan, serta sebagai permohonan atas keselamatan diri dari segala marabahaya pada hari-hari berikutnya (Pradanta, 2015). Bancaan weton memuat nilai-nilai budaya yang secara simbolis disajikan dalamt uga rampe.

Simbol-simbol dalam uga rampe tradisi bancaan weton menunjukan pengendalian terhadap hawa nafsu, pengendalian diri, renungan terhadap yang Maha Kuasa dan

2 www.pmb.brin.go.id Vol. 25 No. 15

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/hubungan-eksistensi-budaya-bancaan-weton-dan-makanan-tradisonal/

kepatuhan terhadap nilai-nilai adat, spiritual, tradisi masyarakat dan lingkungan (Pradanta, 2015). Jika kita cermati dari uga rampe (perlengkapan) bancaan weton terdapat berbagai makanan tradisonal yang menjadi simbol tuntunan hidup masyarakat Jawa. Makanan tradisional berasal dari bahan domestik yang dapat dipeoleh mudah di alam. Makan tradisional juga merupakan simbol dari kearifal lokal “local wisdom”. Kearifan lokal dapat dimakanai sebagai “hasil karya” atau pemikiran nenek moyang msayarakat Jawa tetang makanan tradisonal. Pemikiran ini menjadi sebuah pandangan hidup, ilmu pengetahuan, serta strategi masyarakat dalam menjawab tantangan kehidupan (Dewi,2011).

Uga rampe (perlengkapan) pada acara bancaan weton terdiri dari makanan pokok, sayur-sayuran, buah-buahan, jajanan pasar, kembang setaman, dan uang koin. Masing-masing uga rampe memiliki makna tersendiri. Nasi putih yang dibuat tumpeng dengan bentuk menyerupai gunung berarti bahwa adanya doa yang dipanjatkan kepada yang Maha Kuasa. Tebu menyimbolkan anteping kalbu (mantapnya hati) kepada Tuhan yang Maha Esa. Gudangan atau kuluban yang merupakan sayur-sayuran rebusyang terdiri atas bayem (adem ayem) yang bermakna ketentraman, dan kacang dawa (yuswa dawa) yang bermakna permohonan umur panjang (Aziz, 2020). Kemudian, cambah (tansah semrambah) bermakana selalu menerbar kebaikan, kluwih (luwih-luwih) bermakna hidup yang bersahaja dengan tetap menjunjung nilai kesederhanaan sebagai prinsip hidup orang Jawa, dan kangkung (jinangkungan dening Gusti Kang Murbeg Dumadi) bermakana permohonan untuk memperoleh perlindungan dari Tuhan yang Maha Kuasa. Orang Jawa juga

mensimboliskan kangkung sebagai tatanan hidup untuk senantiasa tidak tergesa-gesa. Secara keseluruhan makna dari Gudangan “Wong urip yen tansah adem ayem, bakal e yuswane dawa lan tansah sunrambah lan bisa luwih-luwih, apa-apa tansah jinangkungan dening Gusti”. Arti dalam bahasa Indonesia yaitu “apabila dalam menjalani hidup dengan tenang dan tentram, maka akan berumur panjang, selalu berkembang dan berkecukupan, serta apapun yang dikerjakan akan mendapat perlindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa (Pradanta, et all 2015).

Selain uga rampe diatas masih terdapat uga rampe lain yaitu telur rebus, bumbu urap atau sambel gudangan, jajanan pasar, bubur tujuh rupa, kembang setaman dan uang koin. Telur rebus merupakan simbol dari rezeki untuk dibagi-bagikan. Sambel gudangan yang terdiri atas sambel tidak pedas untuk anak sampai usia sewindu (8 tahun) dan sambel pedas. Hal ini bermakna bahwa pendidikan kedewasaan pada anak dimulai pada usia 8 tahun setelah memasuki usia diatasnya anak harus belajar tentang kehidupan sebenarnya yang berasa manis, pahit dan getir. Jajanan pasar yang ada dalam acara bancaan weton terdiri dari wajik (wani tumindak becik) yang berati berani berbuat kebaikan, pisang hijau atau dalam bahasa Jawa gedhang ijo (gaweo sengeng anak lan bojo) bermakana memberikan kebahagian bagi anak dan istri. Lalu, sukun bermakana hidup rukun, nanas ( wong urip ojo ngragas) bermakna bahwa orang hidup tidak boleh serakah. Kemudian, buah dhondong (ojo gedhen omong) bermakana orang hidup tidak boleh sombong atau besar omongan. Jambu (ojo ngudal barang sis mambu) jangan melalukan sesuatu yang buruk, dan jeruk (jaba jeru kudu manthuk) diluar dan didalam harus

3 www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 15

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/hubungan-eksistensi-budaya-bancaan-weton-dan-makanan-tradisonal/

sesuai dengan lahir dan batin. Bubur tujuh rupa bermakna jangan sampai kita menghianati orang tua dan menjadi anak yang durhaka (Pradata, et all 2015).

Makna makanan selain pemenuhan gizi sudah selayaknya untuk dilestarikan. Generasi muda sebagai generasi penerus hendaknya memiliki pemaknaan yang luas dan dalam pada setiap symbol-simbol kebudayaan. Keragaman budaya merupakan salah aset terbesar yang dimiliki bangsa Indonesia. Melestarikannya adalah kewajiban bagi seluruh anak bangsa. Hendaknya eksistensi budaya yang masih ada terus digulirkan agar setiap generasi berikutnya dapat terus merasakan indahnya nilai-nilai yang terkadung dalam suatu budaya. Salah satunya sepeti melestarikan bancaan weton dimana dalam tradisi ini memiliki nilai-nilai yang penting bagi kehidupan manusia.

Daftar pustaka:

Adiasih, P., & Brahmana, R. (2015). Persepsi Terhadap Makanan Tradisional Jawa Timur: Studi Awal Terhadap Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta di Surabaya. Jurnal Kinerja 19 (2)

Aziz,A.Z. (2020). Tradisi Wetonan di Desa Segaralangu Kecamatan Cipatari Kabupaten Cilacap. Skripsi: Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Dewi, T.K. (2011). Kerarifan Lokal “Makanan Tradisional” Rekontruksi Naskah Jawa dan Fungsinya dalam Masyarakat. Jurnal Manassa 1(1)

Pradan ta, S.W., Surdadi,B., & Subiyantoro,S. (2015). Kajian nilai-nilai Budaya Jawa dalam Tradisi Bancaan Weton di Kota Surakarta (sebuah kajian simbolisme dalam budaya jawa). Jurnal Lingua 12(2).

Rusdiana.,A. (2014). Pola Komunikasi Masyarakat Dalam Menggunakan Budaya Weton (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Kanugrahan Kecamatan Maduran Kabupaten Lamongan), Skripsi: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

_______________________________________*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN_______________________________________

4 www.pmb.go.id Vol. 25. No.16

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/indonesia-dan-wajah-papua-hari-hari-ini/

Indonesia dan “Wajah” Papua Hari-Hari Ini

Fachri AidulsyahMerupakan peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN. Saat ini tengah menempuh studi Master pada juru-san Languages and Cultures of South-east Asian Studies, Universität Ham-burg, Jerman.

“…Tinggal di sini juga saya senang… Kami mau bersekolah di sini. Kita punya kampung itu sekolah-sekolah di kampung

kami sudah terbakar… Di kampung kami juga (ada) perang. Kita punya Bapak dan Mama itu sudah (meninggal)...”, ucap Yustina Belau, gadis belia asal Intan Jaya kepada BBC News di penghujung tahun 2021.

Ungkapan penuh haru. Yustina adalah satu di antara belasan anak lainnya yang kini diungsikan ke Panti Asuhan Jayapura, akibat konflik yang terjadi di kampung halamannya, Intan Jaya. Intan Jaya, adalah satu di antara be-lasan kabupaten lainnya di Papua yang masih terjerembab dalam konflik, kekerasan, dan isu separatisme yang tak berkesudahan. Yustina adalah satu di antara ribuan anak Papua lainn-ya yang didera kesendirian dan kesengsaraan.

“Konflik”, “kekerasan”, dan “separat-isme” adalah kata yang belum jua musnah di Tanah Papua. Sejak bergabungnya Papua ke dalam naungan NKRI tahun 1969, tiga kata tersebut terus terngiang dalam imajinasi “ber-bangsa” dan “bernegara” hingga hari ini. Apa yang diharapkan dari pengimplementasian Otonomi Khusus (OTSUS) sejak dua dekade lalu guna mereduksi tiga kata “traumatik” tersebut, justru yang terjadi ialah sebaliknya.

Papua, NKRI, dan Keamanan NegaraMeskipun Papua terus-menerus di-

bayangi konflik dan kekerasan, namun bukan berarti Papua mendapatkan tempat yang adil untuk “dipedulikan”. Istilah “Sebangsa” dan

“Setanah air” yang selama ini didengungkan, nampaknya tidak terlalu serius untuk mene-mpatkan orang Papua -sebagai warga negara- berada di dalamnya. Lebih jauh, di tengah po-larisasi politik identitas antara kelompok “pro” dan “oposisi” pemerintah, kedua kubu terse-but bersepakat bahwa dalam doktrin “NKRI harga mati”, kedua kubu tersebut cenderung melihat “suara” Papua sebagai suatu hal yang “lain”—“pembuat onar”, dan terkungkung da-lam stigma “separatisme” yang tak berujung.

Tentunya, simplifikasi protes mas-yarakat Papua terhadap negara yang dima-sukkan dalam kardus “pembangkang” dan “separatisme” merupakan “keberhasilan” segelintir elite kepentingan yang bermain da-lam melakukan framing terhadap masyarakat Papua, yang terus-menerus mengambil “keun-tungan” di dalam stigma-stigma tersebut. Mer-eka, elite kepentingan tersebut telah berhasil membangun narasi bahwa Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua adalah suatu hal yang “sama” dan “setara”. Kita diajak un-tuk mengimajinasikan bahwa kehidupan di Jakarta sama saja dengan kehidupan di Jay-apura, kehidupan di Yogyakarta sama dengan kehidupan di Nduga. Sehingga, ketika melihat terjadinya protes masyarakat Papua di sa-na-sini, alam bawah sadar kita langsung mere-spon bahwa “demonstrasi” dan “anarkisme” di Papua adalah suatu hal yang “diada-ada”.

Padahal, secara historis, kita akan me-lihat fakta bahwa “Jawa” dan “Papua” adalah suatu hal yang tidaklah apple to apple. Ben Anderson (1999) menggambarkan, di tahun 1970-an, di saat Jawa, Sumatra, dan Kepulau-an lainnya tengah membangun common proj-ect dalam menentukan konsep berbangsa dan bernegara, justru Papua yang baru seumur jagung bergabung dengan Indonesia terus dibayang-bayangi oleh senjata. Sejak tahun 1977, Papua telah menjadi Daerah Operasi Mi-liter (DOM), pertama dalam sejarah Indonesia. Sejak berstatus DOM, fondasi “nasionalisme” ke-Indonesia-an di Papua berbanding terba-lik dengan semangat ber-kebangsa-an yang

5 www.pmb.go.id Vol. 25. No. 16

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/indonesia-dan-wajah-papua-hari-hari-ini/

menjunjung tinggi HAM dan demokrasi. “Neg-ara” dan “Bangsa” yang semestinya dimaknai sebagai asas “pembebasan”, di Papua justru berubah menjadi “pengungkungan” (Kusu-maryati (2018).

Memasuki era Reformasi dan Desen-tralisasi, alih-alih Papua keluar dari “cengkra-man” militer, yang terjadi adalah justru se-baliknya. Hingga tahun 2013, tercatat bahwa Provinsi Papua dan Papua Barat merupa-kan daerah dengan jumlah personil aparat keamanan negara terbanyak dibandingkan provinsi lainnya. Di kedua provinsi tersebut, jumlah antara penduduk Provinsi Papua dan anggota aparatur keamanan negara ialah 97:1, di mana rata-rata antara jumlah penduduk di provinsi lainnya dengan jumlah polisi/ten-tara ialah 296:1. Jika diestimasi, maka jumlah aparat keamanan negara di Papua mencapai 37.070 personil, 22.220 personil di antaranya ialah anggota TNI, dan sisanya ialah anggota Kepolisian (Supriatma, 2013: 97-98).

Tentunya, maraknya jumlah aparat keamanan negara di Papua hingga kini telah memunculkan banyak persoalan. Alih-alih menciptakan “keamanan” dan “perdamaian”, justru seringkali aparat keamanan negara ber-peran dalam melanggengkan “ketegangan”, berakrobatik dalam military-police rent-seek-ing operation dengan menjalankan “bisnis keamanan” bagi korporasi-korporasi ekstrak-tif. Sejak tahun 1970-an, PT. Freeport mer-upakan salah satu konsumen jasa “keamanan” tersebut (Chairullah, 2021). Sepanjang tahun 2014-2016, PT. Freeport mengeluarkan biaya hingga US$68 Juta (atau setara dengan Rp.969 Miliar) untuk mendapatkan jasa “keaman-an” dari militer dan polisi Indonesia (United States Securities and Exchange Commission Report 2017).

Menguatnya military-police rent-seek-ing operation dibarengi dengan security ap-proach di Papua juga telah berdampak pada “pembungkaman” media dan dunia akademik yang cukup lama. Hal tersebut dibuktikan bahwa sejak tahun 1970-an hingga hari ini, penelitian mau pun peliputan media -khu-susnya peneliti asing atau wartawan media internasional- seringkali sulit mendapatkan izin, mendapatkan pembatasan peliputan,

mau pun pelarangan ke Papua (Human Rights Watch, 2015).

Tentu, dengan banyaknya penutupan akses penelitian dan peliputan seakan menjadi “tanda tanya besar” tentang apa yang sejatinya tengah ditutup-tutupi di Papua. Di tengah ket-ertutupan tersebut, di era Reformasi, Papua pernah mengalami Biak Berdarah 1998, Abe-pura Berdarah 2000, Paniai Berdarah 2014, kelaparan hebat di Yahukimo yang menewas-kan ratusan orang, dan bahkan di tahun 2018 negara pernah membiarkan 37 ribu rakyatnya terlunta-lunta kelaparan tanpa tempat tinggal, 240 orang meninggal akibat kelaparan dengan jumlah yang belum teridentifikasi mati di luar proses hukum (Wahyuningroem, 2020).

Papua, Transmigrasi, dan Identitas Kultur-al Kesengsaraan Papua sebagai “war-ga negara” tidak hanya berhenti persoalan militerisasi. Justru sebaliknya, “militerisasi” juga telah berimplikasi diskriminasi politik, ekonomi, mau pun kultural terhadap mas-yarakat Papua. Di tahun 1970-an, dengan dalih “mem-peradabkan” Papua, Pemerintah dan Militer melakukan Operasi Koteka, merazia koteka (penutup kelamin laki-laki), sale (rok jerami bagi perawan), dan yokal (rok Jerami bagi is-tri) milik masyarakat Papua dan menggan-tinya dengan baju dan celana. Sayangnya, proses pengenalan baju dan celana tersebut justru dilakukan dengan “pemaksaan” sem-bari melakukan “judging” dan “intimidasi” terhadap identitas kultural masyarakat Papua, sebagai petanda keluar dari “keterbelakan-gan” (Martin Sitompul, 2017).

Bagai gayung bersambut, “keterbel-akangan” dan “tidak bisa bekerja” menjadi jus-tifikasi bagi korporasi-korporasi asing untuk melakukan tindakan semena-mena terhadap Bangsa Papua. Newsweek (1974: 34 dalam Gi-etletz, 1989: 204) merilis, di tahun 1970-an, di area pertambangan dekat Sorong, buruh transmigran mendapatkan upah lebih besar dibandingkan buruh masyarakat asli Papua. Alih-alih mendapatkan upah tinggi, buruh Papua justru mendapatkan perlakuan intimi-dasi, dimana lebih dari dua pertiga gaji mere-

8 www.pmb.go.id Vol. 25. No.16

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/indonesia-dan-wajah-papua-hari-hari-ini/

ka dikelola oleh militer.Di saat yang bersamaan, perusahaan

tidak memberikan fasilitas pendidikan, pela-tihan keterampilan, kesehatan, mau pun fasil-itas-fasilitas publik lainnya bagi orang asli Papua. Tanah adat Papua yang “di caplok” oleh korporasi asing hanya mendapatkan ganti rugi dalam bentuk tembakau, pernak-pernik, dan barang-barang lainnya yang tidak seberapa (Gietletz, 1989). Sejak saat itulah, masyarakat Papua hanya menjadi penonton di negeri sendiri. Gemerlap kontribusi keuangan yang besar bagi Indonesia dibandingkan provinsi lainnya berbanding terbalik dengan nahasnya kehidupan masyarakat Papua.

Sialnya lagi, program transmigrasi ala Orde Baru ke tanah Papua -sebagai dalih pe-merataan dan asimilasi budaya- justru harus berakhir jua pada ketidaksetaraan dan ketida-kadilan. Saat ini, transmigran telah menguasai hampir seluruh sektor ekonomi rente di tanah Papua. Di tahun 1980-an, di saat masyarakat Papua menuntut adanya kesamaan hak den-gan pendatang berupa pemberian permoda-lan, Pemerintah siap memberikan modal jika masyarakat Papua merubah pola tanam dan makan dari sagu ke beras (Gietletz, 1989). Hingga saat ini, meski pun OTSUS telah memberikan angin segar terhadap pengakuan “identitas kultural” dan privilege yang lebih bagi masyarakat Papua, namun bukan berar-ti OTSUS telah berhasil dalam menciptakan “keamanan”, “kenyamanan”, dan “kebebasan” bagi masyarakat Papua. Berdasarkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2020, baik Papua mau pun Papua Barat masih ditempat-kan dengan indeks kebebasan hak-hak politik terendah di Indonesia. Berangkat dari realitas ini, tentu se-mestinya kita bertanya-tanya, apalah arti dari “berbangsa” dan “bernegara” -dengan sega-la fasilitas mewahnya- jikalau kita masih di-bayang-bayangi rasa takut dan kecemasan yang tak berkesudahan.

Yustina Yustina adalah gambaran kecil dari kompleksitas Papua hari ini. Yustina, yang se-mestinya bergembira di hari natal dan penghu-jung pergantian tahun lalu dengan berkumpul

bersama keluarga, terpaksa harus melempar-kan senyum di antara beban luka yang harus diterimanya. Sampai kapan “kita” sebagai “bang-sa” dan “negara” terus menerus menciptakan Yustina yang lainnya? Sampai kapan Papua ha-rus menanggung beban “ketakutan” dan “kece-masan” yang terus menerus. Sudah semestin-ya, menghadirkan “NKRI Harga Mati” di tanah Papua berarti menghapuskan “intimidasi” dan “kokangan senjata”. Menghadirkan negara “Se-Bangsa” dan “Se- Tanah Air” di Papua be-rarti menghadirkan “kedamaian”, “keadilan”, “kesetaraan”, “kebebasan”, dan “kemakmuran” bagi sesama dalam bingkai kesatuan dan per-satuan. Di tahun ini, dan di tahun-tahun kede-pannya, kita berharap tidak ada lagi yang menjadi ‘Yustina-Yustina” lain yang menjadi korban “kebrutalan” dalam bernegara di tanah Papua selanjutnya. Duka Papua adalah tang-gung jawab kita bersama. Dan bahagia Papua adalah bahagia kita bersama!

Referensi:Buku dan JurnalAnderson, B. R. O’G. 1999. Indonesian Nation-

alism Today and in the Future. Indone-sia, No. 67 (Apr., 1999), pp. 1-11

Chairullah, E. 2021. Indonesia’s Failure in Pap-ua: The Role of Elites in Designing, Im-plementing and Undermining Special Autonomy. New York: Routledge

Gietzelt, D. 1989. The Indonesianization of West Papua. Oceania, Vol. 59, No. 3 (Mar., 1989), pp. 201-221

Kusumaryati, V. 2018. Ethnography of a Colo-nial Present: History, Experience, and Political Consciousness in West Papua. Doctoral dissertation, Harvard Univer-sity, Graduate School of Arts & Sciences.

Supriatma, A. M. T. 2013. TNI/Polri in West Papua: How Security Reforms Work in the Conflict Region. Indonesia, No. 95 (April 2013), pp. 93-124

Survey dan LaporanBadan Pusat Statistik. 2020. Indeks Demokra-

si Indonesia (IDI) Menurut Aspek dan Provinsi. www.bps.go.id. Link: https://

9 www.pmb.go.id Vol. 25. No. 16

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/indonesia-dan-wajah-papua-hari-hari-ini/

www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data/0000/data/599/sdgs_10/1 diakses pada 10 Januari 2022

Human Rights Watch. 2015. Something to Hide?: Indonesia’s Restrictions on Media Freedom and Rights Monitoring in Pap-ua. USA: HRW

United States Securities and Exchange Com-mission. 2017. Annual Report Pursuant to Section 13 or 15(d) of the Securities Exchange Act of 1934 for the fiscal year ended December 31, 2016: Freeport-Mc-MoRan Inc. Commission File Number: 001-11307-01

InternetBBC News Indonesia. Natal anak Papua: ‘Saya

senang di sini, di kampung ada perang’. Youtube, di upload pada 25 Desem-ber 2021. Link: https://www.youtube.com/watch?v=GEQ8aWNrkuc diakses pada 10 Januari 2022

Wahyuningroem. 6 Januari 2020. Gagalnya Nasionalisme NKRI di Papua. Indoprog-ress.com. Link: https://indoprogress.com/2020/01/gagalnya-nasional-isme-nkri-di-papua/ diakses pada 10 Januari 2022

_______________________________________*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN_______________________________________

10 www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 17

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/metaverse-ruang-ideal-bagi-etnografi-virtual/

Metaverse, Ruang Ideal bagi Etnografi Virtual?

Ibnu NadzirMemperoleh gelar Master dari Depar-temen Antropologi Sosial dan Budaya di Universitas Amsterdam. Saat ini dia bekerja sebagai Peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya-BRIN dengan fokus gerakan sosial dan penggu-naan Internet. Beberapa publikasinya terakhir mencakup : Ibnu Nadzir dan

Sari Seftiani dan Yogi S. Permana. Hoax and Misinformation in Indonesia: Insights from Nationwide Survey. ISEAS, Singa-pore, 2019;  Ibnu Nadzir & Yogi S. Permana. “Reclaiming Indo-nesian-ness: Online-Offline Engagement of Indonesian Exiles in Netherlands” dalam Jurnal Masyarakat Indonesia. Vol 44. No. 1 (2018). Ahmad Najib Burhani and Ibnu Nadzir, ”The Banning of Hizbut Tahrir: The Threat to Democracy and Islamic Diversity

Ketika Zuckerberg mengumumkan rencananya mengubah Facebook menjadi Metaverse, muncul pertanyaan

dalam benak saya, “Bagaimana perubahan ini akan berpengaruh pada cara kerja ilmuwan sosial khususnya antropolog dimasa yang akan datang?” Pertanyaan tersebut muncul bukan karena Metaverse menawarkan perubahan yang radikal, sebaliknya platform ini seperti memutar ulang jam bagi antropolog yang melakukan studi terkait teknologi digital. Jauh sebelum media sosial seperti Facebook berkembang, antropologi sudah menaruh perhatian pada semesta di dunia maya. Para perintisnya bahkan secara khusus menyusun metodologi yang kemudian banyak dikenal sebagai etnografi virtual. Etnografi virtual sempat jadi perangkat metodologis yang cukup populer, sebelum kemudian sempat sedikit terlupakan dengan perkembangan beragam platform Internet seperti media sosial. Maka

ketika Zuckerberg menjanjikan semestanya maya miliknya sendiri, saya jadi terpikir apakah tren tersebut juga akan menjadi momentum kebangkitan etnografi virtual?

Antropologi memang sudah cukup lama memiliki ketertarikan pada perkembangan teknologi digital. Bahkan ketika fitur Internet masih amat terbatas, antropolog sudah membayangkan pengaruh keberadaan teknologi ini pada perubahan tatanan masyarakat. Appadurai (1996) membayangkan bahwa kemampuan teknologi dalam mentransmisikan gambar dan suara punya andil terhadap banyak fenomena sosial yang terjadi. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan jika kemudian berkembang beragam variasi kajian terhadap fenomena sosial dan budaya di Internet. Etnografi, yang secara tradisional identik dengan antropologi pun masuk ke wilayah kajian baru dengan sejumlah penamaan baru seperti: etnografi Internet, etnografi digital, termasuk juga etnografi virtual (Varis, 2014).

Bagi para pengusungnya, etnografi virtual memiliki kekhasan tersendiri yang menjadikan metode penelitian ini sedikit berbeda dengan kajian Internet lainnya. Praktisi etnografi virtual tertarik mendalami platform dalam Internet yang memang secara khusus membangun semesta maya. Semesta ini bukan sekadar ruang komunitas yang bisa ditemukan seperti dalam mailing list ataupun ruang chat, melainkan jagad yang memiliki kelengkapan seperti penghuni, bangunan, atau hewan menyerupai dunia di luar Internet. Platform semacam ini dikenali sebagai dunia virtual atau

in Indonesia” in Islam and Cultural Diversity in Indonesia. Tokyo University Foreign Studies (2021); Ibnu Nadzir and Ranny Ras-tati .”Charisma and Social Media in Indonesian Politics” in Jurnal Masyarakat & Budaya. Vol. 22. No. 2 (2020). Ia dapat dikontak melalui surel: [email protected]. Google Scholar: https://scholar.google.co.id/citations?user=Q9MwqLwAAAAJ&hl=en

11 www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 17

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/metaverse-ruang-ideal-bagi-etnografi-virtual/

maya, istilah yang digunakan sebagai kontras dengan dunia nyata.

Dalam dunia semacam ini, para penggunanya dapat menciptakan kehidupan baru yang terputus dari hidup mereka di balik layar. Penggunanya dapat menjadi sosok dengan identitas baru dalam kelompok umur, gender, etnis yang mereka kehendaki. Dalam beberapa platform permainan daring, pengguna bahkan bisa memilih untuk tidak menjadi manusia, melainkan ras-ras imajiner lain yang lebih disukai. Dalam game seperti Warcraft, para pemain bisa memilih menjadi Orc yang tampak seperti monster tapi memiliki kekuatan jauh di atas manusia biasa. Atau sebaliknya, pengguna bisa menjadi Elf yang terlihat elegan dan memiliki kemampuan sihir yang tinggi. Semesta semacam ini memberikan semacam kebebasan untuk penggunanya seluas kemungkinan yang disediakan oleh pengembang semester tersebut.

Karakteristik khas semesta semacam ini menuntut teknik yang juga khusus dalam riset. Pada umumnya, pelaku etnografi terkait teknologi digital meyakini bahwa prinsip-prinsip etnografi tradisional tetap relevan dalam ruang yang baru. Hal ini didasari oleh pendekatan antropologi yang pada mulanya juga amat meyakini kekhususan praktik dan nilai budaya di berbagai wilayah. Prinsip ini juga berlaku ketika diterapkan dalam membaca praktik penggunaan Internet. Teknologi yang berkembang tidak dipahami sebagai teknologi yang menyeragamkan, melainkan ruang bagi ekspresi sosial dan budaya yang amat beragam dan tidak terlepas dari akar primordial masing-masing.

Pengusung etnografi virtual punya pendekatan yang sedikit berbeda. Dengan bangunan semesta yang amat menyeluruh,

ruang maya dapat dipahami dengan terpisah dari praktik sosial dan budaya yang ada di luarnya (Boellstorff et al., 2012). Dengan demikian, masing-masing platform dapat menawarkan keragaman semesta beserta praktik sosial dan budayanya tersendiri tanpa perlu dibebani ekspektasi dari dunia di luarnya. Asumsi ini diterapkan ke dalam beragam platform sederhana yang sudah membangun semestanya sendiri. Boellstorff (2008) misalnya, melakukan etnografi dalam platform Second Life yang sesuai namanya, diperuntukkan bagi pengguna Internet yang hendak menciptakan kehidupan kedua dalam ruang digital. Nardi (2010) menuliskan risetnya sebagai pemain game online Warcraft dalam karya yang juga menjadi rujukan penting bagi etnografi virtual. Riset-riset ini menarik batas dari praktik tradisional etnografi ke dalam ruang yang baru.

Dalam perkembangannya, platform dengan semesta maya hanya menjadi salah satu cabang perkembangan Internet. Media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram jadi ruang yang jauh lebih populer daripada simulasi semesta. Oleh karenanya, kajian-kajian terkait semesta virtual pun hanya menjadi salah satu opsi yang di antara antropolog yang menaruh perhatian pada fenomena sosial di Internet. Perkembangan Internet ini yang menjadikan etnografi virtual bahkan sempat diprediksi sebagai salah satu topik yang relatif tidak berkembang (Golub, 2014). Ada terlalu banyak perkembangan Internet yang sepertinya jauh lebih menarik bagi antropolog dan ilmuwan sosial lainnya, setidaknya sampai sebelum Zuckerberg mengumumkan bahwa perusahaannya akan mendorong Metaverse.

Dalam paparannya, Zuckerberg menawarkan Metaverse sebagai semesta masa depan. Di saat oligark teknologi lain

12 www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 17

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/metaverse-ruang-ideal-bagi-etnografi-virtual/

seperti Elon Musk atau Jeff Bezos melihat luar angkasa sebagai terra incognita, Zuckerberg percaya bahwa masa depan masih ada bumi. Hanya saja ini bukanlah bumi yang kita akrabi sehari-hari, melainkan ruang virtual. Dalam imajinasi Zuckerberg, di masa yang akan datang orang tidak perlu lagi berpayah-payah keluar dan melakukan aktivitas di ruang fisik. Kegiatan-kegiatan lama seperti bekerja, menikmati konser, beribadah, sampai dengan menikah cukup diwakili oleh tubuh kita dalam ruang virtual. Imajinasi ini dengan demikian, menyerupai aktivitas yang sudah dilakukan oleh pemain Warcraft atau pemilik akun Second Life pada tingkatan yang lebih tinggi. Jika di masa lampau orang masih mengandalkan keyboard dan tetikus untuk berselancar di dalam semesta, semesta ini akan memberikan pengalaman indrawi yang menyeluruh. Metaverse yang dibayangkan Zuckerberg bersandar pada teknologi yang sudah cukup lama yaitu virtual reality. Dengan menggunakan teknologi ini, penggunanya akan makin kesulitan untuk memilah antara pengalaman yang terjadi di dunia nyata dan dunia virtual. Terlebih karena teknologi ini terus berkembang pesat sehingga dapat memberikan sensasi fisik yang makin mendekati pengalaman di dunia nyata.

Pertanyaannya kemudian, apakah perkembangan Metaverse akan memicu kebangkitan etnografi virtual sebagai perangkat metodologis? Perkembangan Metaverse kemungkinan besar akan memicu kembali minat antropolog dan ilmuwan sosial lainnya untuk menengok kembali etnografi virtual. Terlebih dengan teknologi yang ada saat ini, antropolog akan lebih memiliki kemampuan observasi dan peleburan yang sejak lama diharapkan dari praktik etnografi pada umumnya. Etnografi virtual juga dapat

digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental yang muncul dari perkembangan teknologi ini. Apakah ada batas kebudayaan yang berkembang antara ruang virtual dan kehidupan di luarnya? Sejauh mana teknologi ini memicu lahirnya praktik dan nilai budaya yang baru? Bagaimana kemanusiaan didefinisikan ketika interaksi antar penggunanya sepenuhnya terjadi dalam medium virtual? Pertanyaan-pertanyaan ini dan ribuan lainnya adalah tantangan yang luas bagi ilmuwan sosial untuk mempraktikkan juga mengembangkan etnografi virtual dalam semesta yang baru. Dalam hal ini, kemungkinannya hanya terbatas pada imajinasi yang dimiliki.

Referensi:

Appadurai, A. (1996). Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (7th ed., Vol. 53, Issue 9). University of Minessota Press. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Boellstorff, T. (2008). Coming of Age in Second Life: An Anthropologist Explores the Virtually Human. Princeton University Press.

Boellstorff, T., Nardi, B. A., Pearce, C., & Taylor, T. L. (2012). Ethnography and Virtual Worlds: A Handbook of Method. Princeton University Press.

Golub, A. (2014). The Anthropology of Virtual Worlds: World of Warcraft. Reviews in Anthropology, 43(2), 135–149. https://doi.org/10.1080/00938157.2014.903150

Nardi, B. A. (2010). My Life as a Night Elf Priest: An Anthropological Account of World of Warcraft. In American Ethnologist (Vol. 39, Issue 2). University of Michigan. https://doi.org/10.1111/j.1548-1425.2012.01374_1.x

Varis, P. (2014). Digital ethnography. In Tilburg Papers in Culture Studies (Vol. 104, Issue August).

13 www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 17

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/metaverse-ruang-ideal-bagi-etnografi-virtual/

https://doi.org/10.4324/9781315694344

_______________________________________*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN_______________________________________

14 www.pmb.brin.go.id Vol. 22. No. 18

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/metaverse-from-k-pop-to-public-service/

Metaverse: From K-Pop to Public Service

Ranny RastatiIs a researcher at the Research Center for Society and Culture – National Re-search and Innovation Agency (PMB – BRIN). She has interests in pop culture, media and tourism studies. Please visit her blog rannyrastati.wordpress.com for other research publications. She can be contacted at ranny.rastati@

gmail.com

A few years before the hype of Metaverse, the South Korean entertainment industry through SM Entertainment

had entered the digital world. Lee Soo Man, the founder of SM Entertainment, strives to provide entertainment not only in the conventional realm, but also in the virtual world. Through the SM Culture Universe concept, SM not only holds concerts and fan meetings, but also prepares virtual idols and celebrities.

In November 2020, SM Entertainment officially announced the debut of a girl idol group named Aespa. Aespa is a combination of names from avatar, experience, and aspect which means experiencing a new world through avatar. In their debut single, entitled Black Mamba, Aespa also introduced their four avatars. These avatars were then referred to as ae-Aespa. ae-Aespa is depicted as living in a metaverse called Flat on the planet Kwangya. On several occasions ae-Aespa is shown interacting with Aespa in the real world.

Aespa consists of four members: Karina, Giselle, Winter, and Ningning. Not only present in the real world, each Aespa member also has an avatar that can make appearances in the virtual world. This concept makes Aespa an icon of the future of the entertainment world presented by

SM Entertainment. SM Entertainment has even collaborated with Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST), one of the prestigious universities in South Korea, to run K-Pop and metaverse projects.

Before the metaverse terminology was widely known to the public, Aespa’s concept was considered confusing and bizzare. Many people criticize the urgency of creating idol avatars that specifically provide entertainment in the virtual world. But now, after world musicians such as Snoop Dog, Justin Beiber, and Ariana Grande performing concerts in the metaverse Lee Soo Man’s vision of Aespa is finally understood.

Long before Aespa, South Korea turned out to have had the first virtual singer named Adam who debuted in 1998. In the form of three-dimensional (3D) animation, Adam was created to improve the image of South Korea as a technology country. Having experienced a brief popularity, Adam’s fame waned due to the increasing number of other virtual singers in South Korea such as Cyda and Lusia.

K-Pop in the Metaverse

During the COVID-19 pandemic, BTS held the first paid online concert called BANG BANG CON: The Live on June 14, 2020. The concert which can be accessed through the streaming service Weverse. The ticket priced between 29,000 KRW to 39,000 KRW (approximately $24-32) (US BTS Army, 2020b). Even though it was online, the concert watched by 756,600 people from 107 regions in the world (Kompas, 2021).

15 www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 18

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/metaverse-from-k-pop-to-public-service/

In fact, BANG BANG CON: The Live recorded in the Guinness World Record as the online concert with the most audience in the world.

Shortly after, BTS held the second online concert MAP OF THE SOUL ON:E on Weverse on October 10, 2020. Even though the ticket price was quite expensive, around 49,000 KRW to 101,000 KRW (approximately $41-84) (US BTS Army, 2020a), the online concert was a huge success. This online concert was watched by 993,000 people around the globe (Willman, 2020), including Indonesia, and broke the Guinness World Record of previous BTS concerts.

The success of the BTS concert shows the potential for online concerts and virtual fan engagement that will be even more phenomenal on the metaverse platform. Thus, HYBE (BTS agency) plans to work on a BTS non-fungible token (NFT) project in the form of a digital photo card. Besides HYBE, YG entertainment (Blackpink and BIGBANG agencies) also launched NFT and games in collaboration with Binance. In addition, JYP has also collaborated with Zepeto, South Korea’s largest metaverse platform. However, the South Korean entertainment agency’s massive migration plan has received a lot of criticism from fans because it is considered bad for environment.

South Korea’s Efforts to Build K-Metaverse

The high global enthusiasm for the metaverse has made South Korea aspire to become one of the world’s leading metaverse countries. This is not surprising because South Korea is the fourth-largest gaming market. In addition, games are the largest cultural export from South Korea. To realize the South Korean

metaverse or K-Metaverse, several efforts have been made by the government. For instance, the establishment of a metaverse school, establishing a metaverse hub to support start-ups, financial assistance for small and medium enterprises, and regulatory innovations to accommodate the metaverse (CNBC Indonesia, 2022).

In addition, the South Korean government also provided funding of 7.5 million dollars for the development of K-Metaverse from the Digital New Deal 2.0 program fund ((Lifestyle Asia, 2022). Digital New Deal 2.0 is a South Korea national plan in artificial intelligence and digital for healthcare, infrastructure and the economy. The development of K-Metaverse is in a public-private partnership with 500 private companies involved, include Samsung, SK Telecom, and Hyundai Motors (Kim, 2021).

The Seoul city government also plans to develop Seoul Metaverse platform by the end of 2020-2026. Fund that will be disbursed by the city government around 3.9 billion KRW (approximately $3.3 million). Various public services will be provided in the K-Metaverse such as a virtual mayor’s office, business and investment services, tourist zone, and file administrative complaints (Anugraha, 2021). Then, what about Indonesia?

Indonesian Metaverse

In August 2021, the Jakarta Creative Economy Committee as a strategic partner of the Jakarta City government participated in introducing NFT through the Jakarta Metaverse exhibition. For the exhibition, Jakarta Metaverse collaborates with KaryaKarsan and TokoCrypto to showcase various NFT of creative economy actors. Jakarta Metaverse was also expected

16 www.pmb.brin.go.id Vol. 22. No. 18

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/metaverse-from-k-pop-to-public-service/

to help creative economy actors to be creative in the midst of creating a new economic ecosystem through the metaverse (Komite Ekraf Jakarta, 2021).

Indonesia has a metaverse development company named WIR Group. Together with the government, WIR Group will pioneer the Indonesian metaverse. Not only collaborating with the government through the Ministry of Communication and Information and the Ministry of Investment/Indonesian Investment Coordinating Board (BKPM), WIR Group also collaborates with enterprises such as Bank Rakyat Indonesia (BRI) and Bank Negara Indonesia (BNI) for developing banking services in metaverse.

In the future, the metaverse will not only covers entertainment and business industries, but also public services. Besides, the metaverse also can be used as a means for religious worship, such as virtual Islamic teaching (pengajian) and virtual churches. With all the potential, we still have to aware of the various issues that may occur. For this reason, it is necessary to obtain metaverse literacy in order to get the benefit offered by metaverse.

References

Anugraha, S. (2021). Seoul will be the first city government to join the metaverse.

CNBC Indonesia. (2022). Drakor & KPop Minggir Dulu! Korsel Mau Jadi Raja Metaverse. h t t p s : / / w w w . c n b c i n d o n e s i a . c o m /tech/20220211163313-37-314805/drakor-kpop-minggir-dulu-korsel-mau-jadi-raja-metaverse

Kim, S. (2021). South Korea’s Approach to the Metaverse. https://thediplomat.com/2021/11/

south-koreas-approach-to-the-metaverse/

Komite Ekraf Jakarta. (2021). Jakarta Metaverse. https://jakartametaverse.komiteekrafjakarta.id

Kompas. (2021). BANG BANG CON: The Live BTS Catat Rekor Dunia Guinness untuk Konser Online. https://www.kompas.com/hype/read/2020/07/23/111452666/bang-bang-con-the-live-bts-catat-rekor-dunia-guinness-untuk-konser-online

Lifestyle Asia. (2022). We’ve had K-pop, K-food, and K-beauty, now it’s time for K-metaverse. https://www.lifestyleasia.com/ind/gear/tech/weve-had-k-pop-k-food-and-k-beauty-now-its-time-for-k-metaverse/

US BTS Army. (2020a). [CONCERT] BTS MAP OF THE SOUL ON:E + EXHIBITION INFORMATION. https://www.usbtsarmy.com/latest-updates/mots-one/#pricebreakdown

US BTS Army. (2020b). [WEVERSE] BANGBANGCON: THE LIVE (BTS ONLINE CONCERT. https://www.usbtsarmy.com/latest-updates/bangbangcon-the-live

Willman, C. (2020). BTS’ Weekend Virtual Concerts Sell 993,000 Tickets. https://variety.com/2020/music/news/bts-virtual-concerts-map-soul-pay-per-view-tickets-1234801571/

_______________________________________*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN_______________________________________

17 www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 19

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/sentimen-etnis-luka-lama-dan-wajah-baru-multikultur-relasi-etnis-tionghoa-dan-etnis-ja-wa-di-solo-jawa-tengah/

Sentimen Etnis, Luka Lama, dan Wajah Baru Multikultur: Relasi Etnis Tionghoa dan Etnis Jawa di Solo, Jawa Tengah

Yayuk Windartiadalah mahasiswa magister jurusan Antropologi di Universitas Indonesia. Penulis memiliki tema tesis yang ber-fokus pada ritual, transformasi budaya, dan kinship. Penulis dapat dihubungi melalui: [email protected]

Sebagai pendatang, etnis Tionghoa sangat mudah dikenali keberadaannya terutama dengan memperhatikan ciri fenotipe

mereka; seperti mata sipit, kulit putih, maupun rambut lurus. Berbeda halnya dengan etnis Jawa yang cenderung memiliki kulit coklat maupun bentuk mata yang lebih bulat. Identifikasi diri ini muncul melalui interaksi seperti halnya dijelaskan oleh Barth (1969) hingga kedua etnis pun menentukan kriteria serta batas simbolik dan batas sosial. Menurut Jenkins (2015) batas simbolik dibentuk oleh aktor terkait kategori diri maupun perilaku yang nantinya mempengaruhi batas sosial yang mana sarat akan perbedaan sosial dan ketidakmerataan akses sumber daya. Ada seperangkat aturan yang melekat pada konstruksi batas yang erat kaitannya dengan pembedaan diri dan lain.

Perbedaan antara etnis Jawa dan Tionghoa tidak sebatas dari segi fisik. Perbedaan lain yang juga disinyalir sebagai muara sentimen etnis ialah kesenjangan perekonomian antara etnis Tionghoa dengan pribumi. Sekalipun menjadi minoritas, Sumaktoyo (2021) menambahkan bahwa etnis Tionghoa kerap dibenci karena dominasi mereka dalam menggerakan roda ekonomi. Realitas bahwa etnis Tionghoa lebih unggul dalam mengelola perekonomian tampaknya melukai nilai-nilai yang diamini oleh mayoritas. Oleh karena itu, Niaa (2021) menyinggung

faktor ekonomi sebagai penyebab dominan di balik meletusnya konflik etnis Jawa dengan Tionghoa.

Namun, Niaa (2021) juga menjelaskan bahwa pemicu terjadinya amuk terhadap etnis Tionghoa bermula dari rangkaian insiden personal. Senada dengan Fanselow (2015) bahwa pemicu konflik berskala besar yang menewaskan banyak nyawa manusia bisa jadi dimulai dari permasalahan perorangan. Dalam kasus di Solo, diceritakan terdapat pemuda pribumi dan etnis Tionghoa yang tidak sengaja menyenggol motor dan akhirnya beradu pukul. Kemarahan personal ini membangunkan amarah kelompok hingga konflik dalam skala besar pun terjadi. Selain itu, insiden kerusuhan 1998 sebenarnya juga dipicu oleh demonstrasi segelintir mahasiswa yang beresonansi menjadi kemarahan massal etnis Jawa di Solo. Ini menunjukkan bahwa konflik yang sifatnya individual, lokal, dan kontekstual rupanya dapat bertalian dengan pengetahuan dan ikatan kelompok.

Amok,  begitulah tercatat dalam kamus Merriam Webster yang mana diterjemahkan sebagai serangan massal mendadak terhadap orang atau objek dan dipandang sebagai perilaku psikopatologis di seluruh dunia. Kata ini saya rasa cocok untuk menggambarkan penyerangan terhadap etnis Tionghoa di Solo pada tahun 1998 oleh etnis Jawa.Beberapa orang menyebut memori kelam saat itu dengan sebutan masa obong-obongan (bakar-bakaran). Masyarakat pribumi melampiaskan amuk terhadap etnis Tionghoa dengan menjarah toko, membakar properti, memerkosa perempuan Tionghoa, membunuh, dan melakukan berbagai

18 www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 19

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/sentimen-etnis-luka-lama-dan-wajah-baru-multikultur-relasi-etnis-tionghoa-dan-etnis-ja-wa-di-solo-jawa-tengah/

kekerasan lain yang menodai HAM. Konflik di antara etnis Jawa dan etnis Tionghoa di Solo dapat dipahami melalui pendekatan etnisitas. Pendekatan tersebut dapat membantu sebab, pendekatan etnisitas mengedepankan proses dan identitas sehingga membantu kita melihat bahwa manusia hidup dalam suasana beragam (Eriksen, 2010). Pendekatan ini juga membantu saya untuk melihat bagaimana etnis Jawa dan etnis Tionghoa mengonstruksi identitas etnis mereka serta bagaimana sentimen etnis di antara keduanya bisa muncul.

Kerusuhan 1998 meninggalkan jejak traumatis pada etnis Tionghoa yang tinggal di Solo. Butuh proses panjang bagi etnis Tionghoa untuk bangkit kembali. Mereka banyak kehilangan aset, tertekan secara psikologis, hingga sempat kehilangan kepercayaan terhadap etnis Jawa. Sangat disayangkan ketika etnis Tionghoa tidak diberi ruang untuk mendapat keadilan atas kekerasan yang dilakukan secara massal. Baik etnis Jawa maupun negara sebagai mayoritas punya kendali kekuasaan atas ruang-ruang yang mampu dijamah oleh etnis Tionghoa. Cara etnis Jawa memperlakukan etnis Tionghoa sebagai minoritas pun cara etnis Tionghoa mengorganisir perlakuan tersebut berpengaruh besar dalam proses penyembuhan trauma mereka. Nantinya ini juga berpengaruh pada bagaimana mereka membangun relasi antara etnis.

Relasi etnis Tionghoa dan etnis Jawa di Solo dapat dilihat melalui perayaan Imlek di Kampung Balong, Sudiroprajan. Berdasarkan pernyataan dari sejarawan lokal, Heri Priyatmoko, dalam Adi (2020) disebutkan bahwa etnis Tionghoa sudah tinggal di Kampung Balong sejak tahun 1745, tidak lama setelah transfer Kerajaan Mataram dari Kartasura ke

Surakarta. Sudiroprajan berkembang menjadi daerah akulturasi yang kemudian melahirkan beberapa tradisi imlek, seperti  Grebeg Sudiro. Pernah beberapa kali saya menyaksikan langsung perayaan meriah Imlek di kampung pecinan ini. Langit-langit berhiaskan lampion merah membentang sepanjang jalan. Pemerintah daerah bahkan meramaikan Grebeg Sudiro dengan menyediakan panggung hiburan dan wisata kuliner.

Rizal (2014) menjelaskan bahwa Grebeg Sudiro  dipercaya sebagai manifestasi akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa dengan mempromosikan keharmonisan etnik dan agama. Hal ini diimplementasikan dalam tarian tradisional maupun tumpeng yang menjadi representasi simbolik dari klenteng dan menara Sanggabuwana sebagai pusat budaya Solo. Akulturasi memungkinkan imigran beradaptasi dengan budaya baru tanpa kehilangan keunikan etnis mereka (Eriksen, 2010).

Selain itu, kini banyak ditemukan pribumi yang menikah dengan etnis Tionghoa dan melahirkan keturunan campuran. Mereka menyebutnya dengan pasangan ampyang. Konsep makanan ampyang sendiri juga merepresentasikan akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa, yaitu percampuran gula aren Jawa dan kacang-kacangan dari Cina hingga menciptakan rasa manis layaknya keharmonisan yang tercipta lewat toleransi antara etnis (Rizal, 2014).

Apa yang coba ditumbuhkan di antara etnis Jawa dan etnis Tionghoa hari ini adalah gambaran dari politik multikultural. Kini etnis Jawa tidak hanya menyadari dan menerima perbedaan dengan etnis Tionghoa, tetapi juga berusaha bekerja sama menumbuhkan toleransi lewat perwujudan  Grebeg Sudiro.  Kampung Balong bukan dipahami

19 www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 19

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/sentimen-etnis-luka-lama-dan-wajah-baru-multikultur-relasi-etnis-tionghoa-dan-etnis-ja-wa-di-solo-jawa-tengah/

sebagai tempat mengisolasi etnis Tionghoa, melainkan sebagai daerah akulturasi Jawa dan Tionghoa, seperti dipaparkan Heri Priyatmoko dalam Adi (2020). Walaupun batas etnis dan gesekan antara etnis bisa berubah sewaktu-waktu, namun penyematan makna dalam Grebeg Sudiro diharapkan mengobati sedikit luka atas kekerasan terhadap etnis Tionghoa di masa lalu.

Eriksen (2010) menjelaskan ada tiga cara yang diterapkan oleh mayoritas dalam memperlakukan minoritas. Pertama, memaksa kelompok minoritas untuk berasimilasi dengan mayoritas. Kedua, mayoritas mendominasi melalui segregasi di mana mereka menggusur minoritas ke dalam satu tempat tertentu dengan stigma bahwa minoritas tidak pantas hidup berdampingan dengan mayoritas. Terakhir, dikembangkanlah politik multikultural di mana ada upaya untuk menghormati minoritas. Di sisi lain, pihak minoritas dapat merespon perlakuan mayoritas dengan tiga cara pula, yaitu berasimilasi, menerima subordinasi dengan tetap mempertahankan identitas, dan  exit  karena tidak kompatibel dengan kebijakan mayoritas. (Editor: Jalu Lintang Y.)

 

Referensi:

Ilustrasi: Shutterstock

Adi, G. N. (2020).  In Surakarta, Chinese-Indonesians Heal Old Wounds for Sake of Harmony. The Jakarta Post.  https://www.thejakartapost.com/life/2020/01/24/in-surakarta-chinese-indonesians-heal-old-wounds-for-sake-of-harmony.html

Barth, Fredrik. (1969).  Ethnic Group and Boundaries. United Stated of America: Little, Brown and Company.

Fanselow, Frank “Indigenous and Anthropological Theories of Ethnic Conflict in Kalimantan”, dalam Zinbun (2015), 45: 131-147

Jenkins, R. (2015). Boundaries and borders.  In  Nationalism, ethnicity and boundaries (pp. 11-27). Routledge.

Kamus. (1665). Pada Merriam-Webster Daring. Diambil 23 Des 2021, dari https://www.merriam-webster.com/dictionary/amok.

Niaa, S. (2021).  Kerusuhan 1998 terhadap Etnis Tionghoa di Surakarta. Kompasiana. h t t p s : / / w w w . k o m p a s i a n a . c o m /selvaniaa0892/606589278ede4824c2346672/kerusuhan-1998-terhadap-etnis-tionghoa-di-surakarta?page=2&page_images=1

Rizal, A. (2014).  In Solo, a Chinese and Javanese Melange. The Jakarta Post. https://newgelora.thejakartapost.com/news/2014/02/06/in-solo-a-chinese-and-javanese-melange.html

Sumaktoyo, N. G. (2021). Ethnic and Religious Sentiments in Indonesian Politics: Evidence From the 2017 Jakarta Gubernatorial Election.  Journal of East Asian Studies,  21(1), 141–164. https://doi.org/10.1017/jea.2020.35

T.H. Eriksen. (2010).  Ethnicity and Nationalism. Anthropological Perspectives. 3rd Edition (www.plutobooks.com)

_______________________________________*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN_______________________________________

20 www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 20

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/masa-lalu-untuk-masa-depan-pengembangan-lanskap-budaya-industri-perkebunan-di-band-ung-jawa-barat/

Masa Lalu Untuk Masa Depan: Pengembangan Lanskap Budaya In-dustri Perkebunan Di Bandung Jawa Barat

Lia NuraliaLahir di Garut, 5 November 1972. Lu-lus Pendidikan Sarjana Sastra (Sejarah Indonesia), Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra UNPAD (1997). Meraih Magister Humaniora, Program Magister Arke-ologi, FIB-UI (2016). Peneliti Ahli Madya (kepakaran Arkeologi Sejarah-Islam Kolonial) di Balai Arkeologi Jawa Barat

(2005 - 2021). Sejak Januari 2022 menjadi Peneliti Ahli Madya pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), OR Arkeologi, Ba-hasa, dan Sastra.

Jejak Kolonialisme Perkebunan

Industri perkebunan besar di Indonesia (Hindia Belanda) sudah ada sejak zaman Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) tetapi mulai

berkembang pesat di akhir abad ke-19, dengan masuknya investor asing ke Hindia Belanda (Nuralia, dkk., 2019). Setelah dikeluarkannya UU Gula dan UU Agraria tahun 1870 (21 Juli, Staatsblad 136; 9 April 1870, Staatsblad 55; Koninklijk Besluit 20 Juli 1870, Staatsblad 118)(Boomgaard, 2004: 64), para pengusaha swasta asing (Cina dan Eropa) berlomba-lomba masuk ke Hindia Belanda, sebagai penanam modal sekaligus pemilik dan pengelola perusahaan perkebunan. Kina dan teh menjadi komoditas

ekspor penting di Priangan, setelah tanaman kopi, kemudian menyusul tanaman karet (Nuralia, dkk., 2019).

Perkebunan teh dan eks kebun kina di Bandung Jawa Barat menjadi bukti sejarah penting kolonialisme dan imperialisme pada abad ke-19 dan 20 M. Perkebunan Kertamanah merupakan gabungan dari tiga perkebunan besar masa kolonial Belanda, yaitu Cinyiruan, Kertamanah, dan Cikembang. Perkebunan Kina Cinyiruan sudah ada sejak pertengahan abad ke-19 (17 Desember 1855), milik Pemerintah Belanda (Nuralia, dkk., 2019). Perkebunan Kertamanah I didirikan 30 Mei 1877, oleh perusahaan Cultuurmaatschappij Kertamanah. Kemudian berdiri Kertamanah II tanggal 12 Februari 1892. Ketika itu lokasi kebun termasuk Distrik Banjaran (Regerings Almanak Voor Nederlandsch-Indie. 1893). Kedua perkebunan tersebut di tahun 1955 termasuk Perusahaan Perkebunan Negara (PPN), milik Negara Republik Indonesia (Nuralia, dkk., 2019). Pada tahun 1996 kemudian berada di bawah naungan PTPN VIII sampai sekarang. Kertamanah dan Cinyiruan sekarang memiliki komoditas unggulan teh dan mulai melakukan kembali budidaya kopi di atas eks lahan kina.

Dari Lanksap Budaya ke Lanskap Industri

Lanskap perkebunan sebagai lanskap alam (natural landscape), memiliki kontur tanah tidak rata atau bergelombang dengan bukit dan lembah serta aliran sungai dan danau (situ) alami, berada di kaki atau lereng gunung atau pegunungan. Kawasan kebun dan emplasemen

Iim ImadudinLahir di Karawang, 16 Januari 1975. Meraih gelar Sarjana Sastra (Sejarah Indonesia) pada Jurusan Sejarah Fakul-tas Sastra UNPAD tahun 1998; dan Magister Humaniora pada Konsentrasi Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UNPAD tahun 2013. Peneliti madya (kepakaran sejarah Indonesia) pada BPNB Provin-

si Jawa Barat (2005-Juli 2021); dan Balai Arkeologi Jawa Barat (Agustus-Desember 2021). Sejak Januari 2022 menjadi Peneliti Ahli Madya pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), OR Arkeologi, Bahasa dan Sastra.

E-mail para Penulis: [email protected] ; [email protected]

21 www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 20

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/masa-lalu-untuk-masa-depan-pengembangan-lanskap-budaya-industri-perkebunan-di-band-ung-jawa-barat/permukiman yang ada sekarang, dahulunya adalah hutan sebagai lahan tidak bertuan atau woeste gronden (tanah liar) (Kartodirdjo & Surjo, 1991). Kemudian berkembang menjadi lanskap budaya (cultural landscape) dan lanskap industri (industrial landscape), setelah mendapat sentuhan tangan manusia. Lanskap budaya terbentuk dari perpaduan lanskap fisk dan lanskap subsistensi-pemukiman. Lanskap fisik adalah ruang dan keadaan lingkungan (iklim, topografi, hidrologi, geologi, vegetasi, fauna), sedangkan lanskap subsistensi-pemukiman adalah ruang dan distribusi temporal okuvasi situs, area aktivitas, dan sumber lokal. Dengan demikian lanskap budaya memiliki pengertian budaya materi yang meliputi pemukiman dan lain-lain. Budaya materi tersebut memiliki makna simbolik bagi kehidupan manusia (Pickering, 1994), sebagai sesuatu yang dapat dimaknai.

Lanskap perkebunan sebagai lanskap budaya berdasarkan pemahaman historic urban landscape (Wulandari, 2015), (Calcatinge, 2010), (Paftală, 2011), (CarlSauer, 1925), (Wagner P.L. and Mikesell M.W., 1962), (Smith, 2010), dibentuk dari lanskap alam oleh suatu kelompok budaya. Budaya adalah agennya dan alam pegunungan adalah mediumnya. Lanskap budaya dengan proses perubahannya berkembang terkait proses konsumsi dan globalisasi lanskap dalam skala massal terjadi di abad ke-21 (Myga-Piatek, 2011). Wilayah perkebunan menjadi lanskap industri ketika aktivitas industri terjadi sangat intensif. Keadaan tersebut menjadi ciri khas area perkebunan besar warisan kolonial Belanda dengan aktivitas produksi yang sangat tinggi. Pengertian lanskap industri menurut Camila Ghisleni sebagai berikut.

Historically, industrialization means a process of economic change that transforms

an agrarian society, with mostly handicraft techniques, into an industrial society to increase productivity and economic growth. This mechanization and mass production leads to deep social transformations, but the most significant consequence is an enormous change in the urban landscape (Ghisleni, 2021)

Keadaan ini tampak pada lanskap perkebunan tersebut yang memproduksi komoditas ekspor dalam jumlah banyak, untuk dikonsumsi oleh penduduk dunia. Lanskap perkebunan sebagai lanskap budaya menjadi lanskap industri, yang meliputi area kebun dan permukiman emplasemen. Lokasi tersebut menjadi ruang industri dengan atributnya berupa bangunan dan tradisi lama yang masih dipertahankan. Sekarang menjadi kawasan wisata alam berbasis sejarah dan budaya. Tinggalan budaya benda dan tak benda di perkebunan teh tersebut menjadi bukti sejarah penting dan mengandung nilai budaya terkait kearifan lokal (tradisional Sunda), serta nilai budaya kolonial dalam penggunaan teknologi modern (Eropa) (Nuralia, dan Iim Imadudin, 2020).

Lanskap industri sudah pasti lanskap budaya, tetapi lanskap budaya tidak selalu menjadi lanskap industri. Suatu lanskap disebut sebagai lanskap industri ketika aktivitas industri sangat intensif, dengan sistem ekonomi modern yang ditambahkan dengan mekanisasi yang kemudian menghasilkan barang komersial sebagai barang komoditas ekspor (O’Malley., 1988; Ghisleni, 2021). Dengan demikian, lanskap industri adalah bagian dari lanskap budaya secara umum. Lanskap budaya (nonindustri) merupakan ruang budaya tanpa aktivitas produksi (industri) atau kegiatan produksi yang ada sebatas pemenuhan kebutuhan lokal setempat. Hal ini seperti terjadi

22 www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 20

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/masa-lalu-untuk-masa-depan-pengembangan-lanskap-budaya-industri-perkebunan-di-band-ung-jawa-barat/di dalam masyarakat adat dengan ekonomi tradisionalnya (ekonomi subsisten) (Boeke, 1983). Lanskap Perkebunan Kertamanah lebih spesifik dapat dikategorikan sebagai lanskap industri. Lanskap industri perkebunan memiliki atribut fisik dan nonfisik. Atribut fisik Perkebunan Kertamanah (Cinyiruan dan Kertamanah), diantaranya: Bedeng Pekerja (Bedeng Sapuluh Cinyiruan), Makam Belanda (Tuan Keup atau Gerald Alfred Cup), Rumah lama Tuan Keup, Rumah Adminstratur/Manajer Perkebunan Kertamanah, Tugu Peringatan 100 Tahun Kebun Kina Cinyiruan (1855-1995) (Nuralia dan Iim Imadudin, 2021), Rumah Pengabdi Setan dan Rumah Kayu Kina Kertamanah, Gudang-1 (bekas Pabrik Teh Kertamanah lama), Gudang-2 (bekas Pamekprekan Kina), dan Perumahan Karyawan Kertamanah. Sementara itu, atribut nonfisik berupa kehidupan sosial budaya masyarakat perkebunan, dengan pola kerja dan kehidupan keseharian mengikuti tahapan produksi dalam industri perkebunan teh tesebut (Nuralia dkk, 2019).

Lanskap budaya secara umum juga memiliki atribut fisik dan nonfisik, tetapi memiliki fungsi dan peran yang tidak sama dengan lanskap industri. Pada lanskap budaya, fungsi atribut fisik bukan sebagai bangunan atau barang untuk keperluan aktivitas industri atau produksi suatu barang komersil dalam jumlah massal. Kemudian atribut nonfisik adalah kehidupan sosial masyarakat nonperkebunan dengan pola kerja dan keseharian tidak harus mengikuti ritme produksi (aktivitas industri).

Salah satu atribut lanskap yang cukup menarik adalah perumahan karyawan atau bedeng pekerja. Rumah-rumah karyawan tersebut secara fisik bermodel rumah panggung (berkolong) dengan bentuk atap tradisional Sunda (Jolopong, Parahu Kumereb, Julang

Ngapak). Bahan dinding terbuat dari bambu (bilik) dengan lantai papan (palupuh) dan pondasi tatakan batu persegi. Letak rumah berdekatan mengelompok berjajar teratur di atas lahan yang sudah diratakan dengan teknik modern Eropa (metode cut & fil). Berbeda dengan perkampungan tradisional Sunda yang ada di Kasepuhan, berdiri di lahan tidak rata dengan tata letak tidak teratur dan memiliki makna filosofi Sunda (Nuralia, 2000). Selain tinggalan budaya benda (material culture), juga masih hidup tradisi lama berupa ritual budaya penanaman dan pemanenan teh. Kemudian tradisi produksi, yaitu cara panen di kebun dan pengolahan teh di pabrik. Proses panen berupa pemetikan pucuk daun teh di kebun secara manual. Kemudian proses pengolahan teh hitam orthodox masih berlangsung sampai sekarang, terkait kegemaran konsumen teh hitam orthodox masih tinggi. Ritual budaya dan tradisi produksi tersebut merupakan tinggalan budaya tak benda (immaterial culture).

Lanskap Industri sebagai Aset Pariwisata

Wisata alam perkebunan teh menjadi sangat digemari sebagai kawasan udara bersih dengan pemandangan alam yang menawan. Wisata alam ini berada dalam lanskap industri perkebunan di Bandung Jawa Barat. Perkebunan besar di daerah Pangalengan Bandung selatan ini merupakan perkebunan warisan zaman Belanda, yang masih berkelanjutan sampai sekarang. Objek wisata di kawasan perkebunan teh Kertamanah sudah dikelola secara profesional.

23 www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 20

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/masa-lalu-untuk-masa-depan-pengembangan-lanskap-budaya-industri-perkebunan-di-band-ung-jawa-barat/

Gambar 1: (atas): Rumah Pengabdi Setan (Kertamanah) dan (bawah): ugu Peringatan 100 Tahun Kebun Kina Ciyiruan di Area Sabda Desa Edu Park (Cinyiruan) di Perkebunan

Kertamanah (Dok. Lia Nuralia, 2019 & 2021)

Perkebunan Kertamanah memiliki tiga kawasan wisata yang dapat dikategorikan sebagai wisata sejarah dan budaya serta wisata alam. Di antaranya Sabda Desa Edu Park (Afdeling Cinyiruan), Rumah Pengabdi Setan (Afdeling Kertamanah)., dan Wayang Windu Panenjoan (Afdeling Wayang). Ketiga kawasan wisata tersebut dikelola perkebunan PTPN VIII bersama dengan masyarakat di sekitar perkebunan. Kawasan perkebunan berada di kaki Gunung Malabar (2.321 m dpl) dan Gunung Windu (2.054 m dpl), dengan keadaan kontur lahan yang bergelombang. Kedua gunung tersebut berada di bagian selatan dari Cekungan Bandung sebagai pegunungan vulkanik. Geomorfologi Cekungan Bandung berupa dataran yang dibatasi oleh tinggian-tinggian vulkanik (Nuralia, dkk,

2019). Ada satu kawasan lagi yang bersinergi dengan Wayang Windu Panenjoan, yaitu Kawah Wayang. Kawasan wisata Kawah Wayang berada di lereng Gunung Wayang (2.182 m dpl) yang masih aktif adalah lahan milik Perhutani, dikelola oleh penduduk setempat berdasarkan kebijakan pihak Perhutani sendiri.

Rumah kina yang merupakan artefak tinggalan kolonial menjadi popular sejak menjadi lokasi film Pengabdi Setan garapan sutradara Joko Anwar tahun 2017. Rumah Pengabdi Setan ini mulanya merupakan rumah dinas pegawai perkebunan setingkat kepala bagian. Berbagai fasilitasi yang mendukung story yang menyeramkan dari film disediakan. Kini rumah tersebut ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah, terutama di hari Sabtu dan Minggu. Tiket masuk hanya Rp.10.000 dengan jadwal kunjungan setiap hari dan buka selama 24 jam. Jumlah pengunjung sebelum pandemi (2020) tiap akhir pekan mencapai 300 orang. Setelah pandemi menjadi berkurang (Redaksi Warta Parahyangan, 2021) dan sekarang berangsur kembali ramai. Berdasarkan pengamatan langsung keberadaan wisata ini memberi kesejahteran kepada penduduk sekitar dan karyawan perkebunan. Warung-warung makanan berdiri di sekitar area masuk ke lokasi wisata, serta penjual permainan anak-anak dan penjaja jajanan lainnya juga cukup ramai. Kiranya kombinasi antara wisata sejarah dan budaya serta komodifikasi atas tren kekinian tersebut bukan sekadar menjadi hiburan, tetapi menjadi wahana edukasi tentang sejarah panjang perkebunan di Priangan Jawa Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Boeke, J. H. (1983). Prakapitalisme di Asia (The

24 www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 20

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/masa-lalu-untuk-masa-depan-pengembangan-lanskap-budaya-industri-perkebunan-di-band-ung-jawa-barat/Interest of The Voiceless Far East, Introduction to Oriental Economics). Yayasan Sinar Harapan bekerja sama dengan Yayasan Tani Atsiri Wangi.

Boomgaard, P. (2004). Anak Jajahan Belanda, Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880. Terjemahan Monique Soesman, Keosalah Soebagyo Toer. KITLV-Jakarta dan Djambatan.

Calcatinge, A. (2010). Vision of the Real in Contemporay City. International Journal of Art and Science. International Journal of Art and Science, 3(8), 320-342.

CarlSauer, O. (1925). The Morphology of Landscape. University Press.

Ghisleni, C. (2021). Industrial Landscapes: Large-Scale Factories Seen from Above” [Paisagens industriais: fábricas de grande escala vistas de cima ] 27 Jul 2021. ArchDaily. (Trans. Duduch, Tarsila) Accessed 7 Feb 2022. <https://www.archdaily.com/965714/industrial-landscapes-.

Kartodirdjo, S., & Surjo, D. (1991). Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media.

Myga-Piatek, U. (2011). Cultural Landscape of the 21st Century : Geographical Consideration between Theory and Practice. Hrvatski Geografski Glasnik, 73(2), 129–140.

Nuralia, Lia, & Dkk. (2019). Bangunan Industri dan Produksi Perkebunan Kina Kabupaten Bandung Barat dan Sekitarnya, Provinsi Jawa Barat, Abad XIX – XX Masehi.

Nuralia, L. (2000). Model Rumah dan Kearifan Lokal Rumah Karyawan Perkebunan Zaman Belanda di Bandung Jawa Barat. Dalam Prosiding Seminar Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi (LHPA) 2019 “Kebijakan Publil Berbasis Peradaban Dalam Mewujudkan Rumah Indonesia”., 81-100.

Nuralia, L. dan I. I. (2020). Simbol Kuasa dan Nilai Budaya dalam Tinggalan Arkeologi Kolonial di

Perkebunan Teh Sedep Kabupaten Bandung. Jurnal Patanjala, Vol 12 No.

Nuralia, L. dan I. I. (2021). Nilai Budaya pada Lanskap Industri Perkebunan Kina Cinyiruan Bandung Pada Masa Kolonial. Jurnal Patanjala, Vol 13 No.

Nuralia, L. dkk. (2019). Bangunan Industri dan Produksi Perkebunan Kina Kabupaten Bandung Barat dan Sekitarnya, Provinsi Jawa Barat, Abad XIX – XX Masehi.

O’Malley., W. J. (1988). Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar. In A. W. (Penyunting). Anne Booth, William J. O’Malley. (Ed.), Sejarah Ekonomi Indonesia. (pp. 197-235.). LP3ES.

PAFTALĂ, M. (2011). The Comtemporary Dilemma of the Cultural Landscape. Human Geography, Journal of Studies and Research in Human Geography, 5(1), 117-125.

Pickering, M. (1994). The Pyhsical as a social landscape: A Garawa Example. Archaeolgy in Oceania, Oceania 29, 149–161. https://doi.org/10.1002/ARCO.1994.29.3.149

Regerings Almanak voor Nederlandsch-Indie. Eeerste Gedeelte, Grondgebied en Bevolking, Inrrichting Van Het Bestuur Van Nederlandsch-Indie En Bijlagen. (1893). Landsdrukker Batavia.

Smith, J. (2010). The Marrying of The Old with The New in Historic Urban Landscape. Unesco Wor.

Wagner P.L. and Mikesell M.W. (1962). Readings in Cultural Geography. University of Chicago Press,.

Wulandari, R. (2015). Bandung City Districts as Cultural Landscape : Questions of Relevance. BANDUNG CREATIVE MOVEMENT 2015 2nd International Conference on Creative Industries “Strive to Improve Creativity“, September.

25 www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 20

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/masa-lalu-untuk-masa-depan-pengembangan-lanskap-budaya-industri-perkebunan-di-band-ung-jawa-barat/

_______________________________________*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN_______________________________________

https://pmb.brin.go.id/tersisih-di-tengah-kemajuan-batam-nasib-orang-darat-di-kampung-sadap/

www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 21

ISSN 2723-0368

Tersisih di Tengah Kemajuan Batam: Nasib Orang Darat di Kampung Sadap

Dedi ArmanLahir di Kabupaten Agam (Sumbar), 24 November 1979. Menempuh pen-didikan S1 Ilmu Sejarah di Universitas Andalas (2003) dan Magister Mana-jemen di Universitas Riau Kepulauan (2021). Belasan tahun menjadi jurnalis di Sumbar dan Kepri. Sejak 2014- Agus-tus 2021 sebagai ASN bekerja di Balai

Pelestarian Nilai Budaya Kepri. Menjadi peneliti ahli pertama bidang sejarah. 1 Agustus 2021 pindah ke Pusat Penelitian Arkeologi Sejarah dan 1 Januari 2021 bekerja di Badan Riset Inovasi Nasional. Tertarik dalam penelitian sejarah lokal, sejarah maritim dan pers.Berdomisili di Tanjungpinang dan bisa dikontak melalui email:   [email protected]  / [email protected]. WA: 081261553509

Di Indonesia terdapat satu golongan masyarakat yang oleh pemerintah mudah sekali disebut sebagai suku-

suku bangsa terasing. Golongan ini dipandang sebagai suku bangsa (ethnic group) dan secara geografis hidup di daerah terpencil yang sulit dijangkau (isolated) (Marzali, 2016). Koentjaraningrat tidak sepakat dengan istilah masyarakat terasing, lebih lanjut Ia memberikan istilah lain yaitu suku-suku bangsa yang diupayakan berkembang atau suku-suku bangsa berkembang (Koentjaraningrat, 1993).

Terdapat beberapa kali perubahan nomenklatur dan peristilahan dengan definisi yang berlainan sejak tahun 1970-an yaitu Suku Terasing (1976), Masyarakat Terasing (1987), dan Komunitas Adat Terpencil/ KAT (1999). Perubahan ini terjadi antara lain disebabkan adanya perubahan pandangan umum terhadap komunitas tersebut dan definisi ini juga dijadikan pijakan bagi perencanaan program-program pembangunan yang lebih efektif, efisien, inklusif, dan berkelanjutan (Bappenas,

2013). Lembaga swadaya masyarakat (LSM) memberikan istilah masyarakat adat. Sementara, Kementerian Sosial menggunakan istilah komunitas adat terpencil (KAT) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil.

Kajian tentang masyarakat adat di Provinsi Kepulauan Riau kecendrungan lebih banyak fokusnya membahas tentang Orang Laut. Hal ini bisa dilihat dari tulisan-tulisan yang ada baik itu kajian ilmiah di jurnal-jurnal atau pun skripsi sampai disertasi. Tulisan tentang Orang Laut banyak juga bisa dijumpai di tulisan popular yang ada di surat kabar atau media online. Wajar saja karena memang titik perkampungan Orang Laut bisa dijumpai di hampir seluruh kabupaten/kota yang ada di Kepri. Studi Orang Laut dalam beberapa tahun terakhir diantaranya dilakukan oleh Marsanto (2010), Rahmawati (2014), Azhari (2019) dan Elsera (2019).

Sedikit dan kurang popular di khalayak umum yang mengetahui di Kota Batam, tepatnya di Kampung Sadap, Desa Rempang Cate, Kecamatan Galang, terdapat sebuah masyarakat adat selain Orang Laut. Setidaknya ada tiga nama untuk menyebut masyarakat adat yang mendiami Kampung Sadap ini. Orang Belanda, seperti Netscher (1849) dan sumber-sumber Belanda menyebut dengan istilah Orang Darat atau Orang Benoa. Penduduk lokal yang ada di Batam menamakan mereka sebagai Suku Hutan karena tempat tinggalnya yang memang di hutan. Penamaan Suku Hutan bagi Orang Darat penghinaan karena merujuk

https://pmb.brin.go.id/tersisih-di-tengah-kemajuan-batam-nasib-orang-darat-di-kampung-sadap/

www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 21

ISSN 2723-0368

tempat tinggal mereka di dalam hutan dan dianggap terbelakang (Wawancara dengan budayawan Melayu, 1 September 2021).

Dampak Pembangunan Batam

Orang Darat sejak abad 19 mendiami berbagai wilayah di Pulau Batam seperti daerah Batuaji dan Tembesi, Pulau Bulang dan juga Pulau Rempang (Netscher, 1849). Keberadaan Orang Darat di Kampung Sadap adalah kebijakan pemerintah melalui Departemen Sosial RI tahun 1973. Departemen Sosial mengembangkan program Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (PKMT) (Suarman & Galba Sindu, 1994) dari program memukimkan kembali (resettlement) Orang Darat pada era orde baru. Program pembangunan dilaksanakan atas dasar mitos yang berusaha menyucikan segala upaya pembangunan tetapi tidak didukung oleh pemahaman empiris terhadap berbagai kondisi obyektif masyarakat pemanfaat pembangunan (Indirizal, 2000).

Pemilihan lokasi Kampung Sadap menjadi lokasi pemukiman baru bagi Orang Darat didasarkan daerah ini kondisi daerahnya sangat strategis. Kondisi hutannya masih terjaga, dekat dengan laut dan sungai, serta juga dekat dengan Kampung Cate, salah satu daerah yang tahun 1973 sudah didiami masyarakat Melayu. Secara administrasi, Kampung Sadap tahun 1973 masuk dalam wilayah Kecamatan Bintan Selatan, Kabupaten Kepulauan Riau (Wawancara dengan Lurah Rempang Cate, 27 Agustus 2021).

Dalam perkembangannya, wilayah Rempang, Galang dan sekitarnya masih hutan belantara hingga periode tahun 1970-an. Wajah Batam berubah pada dekade 1970-an, dengan tujuan awal menjadikan Batam menyaingi

Singapura. Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 mengatur Pulau Batam ditetapkan sebagai lingkungan kerja daerah industri dengan didukung oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Badan Otorita Batam (BOB) sebagai penggerak pembangunan Batam (Hartawan, 2008).

Perkampungan Orang Darat di Kampung Sadap, Batam

Sumber: Dokumentasi Penulis, 2021

Hartawan (2008) menyebutkan, pada awalnya pembangunan dipusatkan di Batam. Seiring dengan semakin meningkatnya kegiatan usaha dan melihat terbatasnya kemampuan serta daya dukung yang tersedia di Daerah Industri Pulau Batam. Maka terlahirlah Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1992 yang menambah Pulau Rempang dan Pulau Galang serta pulau-pulau kecil tertentu di sekitar Pulau Rempang dan Pulau Galang ke dalam Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam. Akses dari Pulau Batam ke Rempang, Galang dan pulau lainnya terbuka lebar sejak dibangunnya Jembatan Batam, Rempang dan Galang (Barelang) tahun 1992 yang selesai tahun 1998. Keberadaan jembatan dan jalan trans Barelang ini yang jauh lebih meningkatkan akses dan mobilitas masyarakat ke Pulau Rempang, Pulang Galang, dan sekitarnya.

Dampaknya, masyarakat Batam ramai-ramai membuka usaha ke Rempang dan

https://pmb.brin.go.id/tersisih-di-tengah-kemajuan-batam-nasib-orang-darat-di-kampung-sadap/

www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 21

ISSN 2723-0368

Galang. Selain itu juga semakin banyak usaha perkebunan dan pertanian yang dibuka di Rempang dan Galang, seperti buah naga, pisang, jeruk, jambu, dan juga sayur mayur. Di sisi lainnya, peternakan juga ramai dibuka yang dominan usaha ayam potong dan ayam petelur. Terdapat juga pembukaan usaha batu bata dan sebelumnya juga usaha dapur arang (Wawancara Seklur Rempang Cate, Bahtiar, 27 Agustus 2021).

Salah satu informan yang juga keturunan Orang Darat menceritakan, pesatnya pembangunan ke daerah Pulau Rempang juga berimbas pada kehidupan Orang Darat. Karakter Orang Darat yang sebelumnya suka hidup berpindah-pindah di hutan yang ada dalam kawasan Pulau Rempang terpaksa menetap di Kampung Sadap dimana luas lahan yang mereka tempati juga makin menyusut. Hingga bulan Agustus 2021, Orang Darat tinggal menempati 2 hektar lahan di Kampung Sadap. Ironisnya di sekeliling lahan mereka sudah dikuasai para pemilik modal, baik itu pengusaha ayam petelur dan pengusaha kebun buah naga.

Informasi dari perangkat Kelurahan Rempang Cate, menceritakan bahwa sejumlah lahan di Kampung Sadap sudah ada surat berupa alas ha katas lahan yang ditempati Orang Darat, luasnya sekitar 2 hektar. Pihak kelurahan Rempang Cate berupaya melindungi agar lahan tersebut tidak jatuh atau dibeli oleh pihak lain. Hal itu bagian dari upaya melindungi keberadaan Orang Darat di Kampung Sadap.

Orang Darat Terancam Punah

Jumlah Orang Darat di Pulau Rempang, Batam dari periode abad 19 sampai sekarang terus mengalami penurunan. Tahun 1995,

jumlah Orang Darat yang ada di Kampung Sadap, Pulau Rempang sebanyak 12 kepala keluarga (KK) (Tempo.co, 2008). Dalam kunjungan penulis ke Kampung Sadap bulan tahun 2021, jumlah Orang Darat tinggal empat KK dengan jumlah Sembilan jiwa. Selain di Kampung Sadap, ada lagi satu kepala keluarga Orang Darat di Cate (Wawancara dengan informan L, 27 Agustus 2021).

Menurut Informan L, sebagai Orang Darat yang dituakan di Kampung Sadap, di Kampung Sadap hanya ada tiga rumah milik Orang Darat. Dua rumah kondisinya permanen dibangun Dinas Sosial Provinsi Kepri tahun 2018 lalu. Satu rumah kayu dibangun secara swadaya oleh pemilik rumah. Orang Darat hanya mengandalkan hasil kebun dan mencari ikan di sungai dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, mereka mengandalkan dari bantuan dari pemerintah, seperti sembako dan uang bantuan langsung tunai (BLT).

Ada berbagai faktor penyebab semakin berkurangnya jumlah Orang Darat. Pertama, Orang Darat pindah dari Kampung Sadap ke daerah lain di Pulau Batam dan Pulau Bintan. Mereka enggan kembali lagi setelah pindah. (temponews.com, 2008). Kedua, Orang Darat yang sejak dahulu tinggal di hutan, mudah diserang berbagai penyakit, seperti beri-beri dan malaria. Fasilitas kesehatan di Pulau Rempang sekitarnya baru belakangan ada. Akses yang susah ke Kampung Sadap menyebabkan agenda kunjungan tenaga kesehatan menjadi sulit dilakukan. Penyebab lain adalah keterbatasan jumlah Orang Darat menyebabkan mereka sulit mencari pasangan. Tidak mengherankan sejumlah laki-laki Orang Darat yang berusia antara 30-40-an tahun ditemukan belum menikah. Di Kampung Sadap, hanya satu kepala keluarga yang memiliki anak

https://pmb.brin.go.id/tersisih-di-tengah-kemajuan-batam-nasib-orang-darat-di-kampung-sadap/

www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 21

ISSN 2723-0368

dan itu pun karena menikah dengan wanita asal Jawa Barat.

Referensi

Azhari, I. (2019). Dekonstruksi Pembelajaran Sejarah Lokal di Kepulauan Riau. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, 28 No 2.

Bappenas. (2013). Masyarakat Adat di Indonesia: Menuju Perlindungan Sosial yang Inklusif. Direktorat Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat.

Elsera, M. (2019). Suku Laut di Dusun Linau Tanjung Kelit Kabupaten Lingga Kepri. Sosioglobal : Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Sosiologi, 3 No 2.

Hartawan, I. E. (2008). Mengungkap Fakta Pembangunan Batam Era Ibnu Sutowo-J.B Sumarlin. Batam Publisher.

Koentjaraningkrat. (1993). Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Marsanto, K. (2010). Orang Suku Laut dan Orang Melayu di Kepulauan Riau: Sebuah Tafsir Deskriptif-Etnografis. Jurnal Antropologi Indonesia, 31 No 3.

Marzali, A. (2016). Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group.

Netscher, E. (1849). Beschrijving Van Een Gedeelte Der Residentie Riouw.

Rahmawati, A. (2014). Kehidupan Suku Laut di Batam: Sebuah Fenomena Kebijakan Pembangunan di Pulau Bertam Kota Batam. Share Social Work Journal, 4 No 1.

Suarman & Galba Sindu. (1994). Sistem Perkawinan Masyarakat Suku Hutan di Pulau Rempang, Kabupaten Kepulauan Riau. Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.

Tempo.co. 2008. Suku Hutan Hampir Punah.

https://nasional.tempo.co/read/116146/suku-hutan-hampir-punah, 24 Januari 2008, diakses 13 Januari 2022 dari https://nasional.tempo.co/read/116146/suku-hutan-hampir-punah

Wawancara Suyatmi, Lurah Rempang Cate, 27 Agustus 2021

Wawancara Azmi Fahmi, 27 Agustus 2021

Wawancara Lamat, 27 Agustus 2021

Wawancara Bahtiar, 27 Agustus 2021

Wawancara dengan Aswandi Syahri, budayawan Melayu, 1 September 2021).

_______________________________________*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN_______________________________________

https://pmb.brin.go.id/melestarikan-hutan-ala-masyarakat-suku-tau-taa-wana-di-kabupaten-tojo-una-una-sulawesi-tengah/

www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 22

ISSN 2723-0368

Melestarikan Hutan ala Masyarakat Suku Tau Taa Wana di Kabupat-en Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah

Indonesia kaya akan keragaman budaya dan kearifan lokal (Brata, 2016). Hal ini karena tiap-tiap daerah dari sabang hingga merauke

tumbuh bersama budaya leluhur masing-masing. Selain itu, Indonesia juga kaya dengan keanekaragaman hayati, salah satunya hutan (Walujo, 2011). Dua hal ini saling berkaitan, Humaedi (2013) menyebutkan bahwa hutan memiliki berbagi fungsi, tidak hanya yang sifatnya langsung seperti pemenuhan kebutuhan manusia, juga yang sifatnya tidak langsung yakni nilai yang mengungkap warisan peradaban, budaya, dan eksistensi masyarakat (Humaedi, 2012).

Menurut Yayasan Merah Putih (YMP) Salah satu daerah dengan potensi sumber daya hutan yang potensial dan berkaitan erat dengan kelompok masyarakat yang memegang kuat kearifan lokal adalah hutan di Sulawesi Tengah, Kabupaten Tojo Una-una, dan Morowali (ymp.or.id, 2018). Pada tahun 2016 Hutan di Provinsi Sulawesi Tengah menghasilkan komoditas kayu ekspor sebesar 4.218,49 ton, ini bedasar hasil riset kehutanan daerah provinsi Sulawesi tengah 2016 (Perahu-Hub.com, 2020). Diketahui bahwa Provinsi Sulawesi Tengah memiliki 13 kelompok etnik masyarakat adat dan lebih dari 100 subetnik dengan ragam bahasa dan budaya (Humaedi, 2013). Mereka tersebar di sepanjang pesisir Kabupaten Parigi Moutong

sampai dengan Kabupaten Banggai, dan garis pedalaman dari Morowali sampai dengan Ampana, Dimana mereka memiliki karakteristik adat dan budayanya masing-masing serta menegaskan bahwa sebagian besar masih memegang teguh karakteristik dan pandangan hidup sebagai msayarakat adat (Humaedi, 2012).

Masyarakat adat Tau Taa Wana adalah salah satu masyarakat adat yang lekat dengan hutan dan masih tergolong sebagai kelompok adat yang hidup nomaden hingga saat ini. Mereka masih menjaga dan mempertahankan tradisi kearifan lokalnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang menjalin relasi dengan alam juga minim terpengaruh budaya dari masyarakat luar (Sahlan, 2012). Masayarakat Suku Tau Taa Wana Alam memiliki filosifi hidup dengan makna simbolik seperti: gunung yang bermakna sebagai raga dan sungai bermakna jiwa. Dimana keduanya adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, hal ini menjadi salah satu falsafah hidup masyarakat Suku Tau Taa Wana (Nutfah, 2019).

Terkait dari asal usul Masyarakat Suku Tau Taa Wana, mereka meyakini bahwa nenek moyang mereka berasal dari alam dari legenda mitologi Kaju Poramba’a atau Kayu Beranak, yang kemudian disebut Kaju Morangkaa. Kaju Morangkaa bisa jadi diyakini bahwa asal usul kehidupan pertama leluhur mereka yang menitis dari sebatang pohon yang kawin dengan perempuan bernama Ngaa yang diturunkan sang Pue (Tuhan) dari Langit (Humaedi, 2013). Disamping nilai asal usul ini, terdapat nilai yang melekatkan mereka untuk terus menyelaraskan hidup dengan alam

Moh. Rifal SalamsesLahir di Ampana 10 Januari tahun 2001, saat ini sebagai salah satu maha-siswa aktif semester 4 Program studi S1 Pendidikan Bahasa Inggris di Universi-tas Tadulako Palu, Sulawesi Tengah. Email : [email protected]

https://pmb.brin.go.id/melestarikan-hutan-ala-masyarakat-suku-tau-taa-wana-di-kabupaten-tojo-una-una-sulawesi-tengah/

www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 22

ISSN 2723-0368

(Nutfah, 2019) yaitu melalui filosofi ”Tana ntau tua mami, retu sekatuvu mami nempo masiasi ree tana mami”. Nilai ini bermakna bahwa “tanah leluhur kami, walau hidup sederhana asalkan di tanah kami”.

Bagi masyarakat Suku Taa Wana, tanah adalah unsur penting menjadi penunjang hidup serta titipan leluhur yang harus di jaga dengan sepenuh hati, sehingga sebuah pantang mendasar bagi orang suku Taa menjual tanah mereka, kehidupan yang selalu berbarengan dengan budaya dan adat istiadat menciptakan norma sosial maupun dari sumber daya alam (Nutfah, 2019). Pada pemanfaatan sumber daya hutan mereka masih mempraktikan kearifan lokal dimana hasil yang didapatkan tidak digunakan sendiri, pada pemanfaatannya masyarakat Suku Tau Taa juga memikirkan keberlangsungan alam demi terciptanya keseimbagan (Sahlan, 2012). Lebih lanjut disebutkan Sahlan (2012) mereka juga setidaknya memiliki 13 bentuk ritual dalam hal memanfaatkan dan melestarikan hutan.

Berikut adalah ke-13 ritual yang dilakukan oleh masyarakat adat Tau Taa dalam memanfaatkan hutan yang dijelaskan oleh Sahlan (2012). 1) Ritual pertama disebut Manziman Tana, sebagai sebuah ritual meminta izin kepada Sang Penguasa Tanah (Lamba Jadi), Sang Penguasa Mata Air (Malindu Maya), Sang Peenguasa Muara (Malindu Oyo), Hal ini di lakukan agar supaya lahan yang ditanami memberikan hasil maksimal, 2). Mompoyoni, ritual ini dilakukan untuk memindahkan nyawa atau penghuni atau penjaga yang tinggal di dalam pohon, biasanya khusus dilakukan pada kayu berukuran besar dilakukan juga pada prosesi penebangan pohon agar di jauhkan dari gangguan bencana dan malapetaka, 3). Monovo, atau disebut juga prosesi menebang

pohon yang di tebang di areal navu atau lahan yang akan dibuka,dimaksudkan agar di beri izin untuk mebuka lahan pertanian yang akan digunakan secara kolektif, 4). Monunju, prosesi yang dilakukan dengan membakar lahan di ikuti dengan mempersembahkan Kapongo atau Sesajen kepada Sang Penguasa Tanah, di maksudkan agar roh-roh penunggu kayu akan meninggalkan kayu tersebut dengan mengikuti asap, 5). Mapangka Roso Lipu, Sebuah Ritual yang dilakukan untuk menguatkan Lipu atau kampung untuk menjaga hutan agar tetap lestari dan terjaga dari kerusakan.

Kelima proses awal ritual di atas menggambarkan bahwa mereka sangat berhati-hati dalam mengolah alam sebagai penunjang kehidupan mereka, adapun beberapa ritual lain di laksanakan ketika mulai menanam sampai dengan proses panen tiba dalam Sahlan (2012) sebagai berikut; 1). Manguyu Sua, Ritual Penanaman Pertama, 2). Mpopodoa Sua, Ritual Berdoa Kepada Leluhur, 3). Ra’a Pakuli, Ritual Pengobatan Padi, 4). Ritual Panto’o, Ritual Ucapan Terima Kasih, 5). Palampa Tuvu, Ritual Tolak Bala, 6). Kapongo Tumputana, Ritual Memohon Izin, 7). Nunju, Ritual Mengusir Roh Jahat, 8). Ranja, Ritual Menjauhkan Wabah.

Selain tetap mempertahankan ritual-ritual ini, Masyarakat Suku Tau Taa Wana juga menerapakan hukum adat sebagai pedoman dalam memanfaatkan suber daya alam mereka, yang mereka sebut givu atau denda bagi pelaku pemanfaatan hasil hutan secara semena-mena (Sahlan, 2012). Kultur adat istiadat menunjukan pengaruhnya dalam proses melestarikan hutan, kehidupan Masyarakat Suku tau Taa Wana menjadi gambaran sempurna bahwa manusia bisa hidup selaras dengan alam tanpa merusak, dengan terus menerapkan falsafah hidup para leluhur.

https://pmb.brin.go.id/melestarikan-hutan-ala-masyarakat-suku-tau-taa-wana-di-kabupaten-tojo-una-una-sulawesi-tengah/

www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 22

ISSN 2723-0368

Referensi

Brata Ida Bagus. (2016). Kearifan BudayaLokal Perekat Identitas Bangsa. Jurnal Bakti Saraswati. Diakses Pada Hari Minggu 20 Juli 2019. Pukul 00.00 WIB, 05(01), 9–16. https://doi.org/10.1007/s11104-008-9614-4

Humaedi, M. A. (2012). Pengakuan hak.hak kewarganegaraan komunitas adat terpencil tau taa wana di tojo una-una sulawesi tengah.

Nutfa, M. (2019). Tau Taa Wana, Dari Alam Untuk Alam: Filosofi dan Praktik Bijaksana Menata Relasi Manusia dan Alam. Sosioreligius, IV(2), 61–68.

Sahlan, M. (2012). Kearifan Lokal Masyarakat Tau Taa Wana Bulang Dalam Mengkonservasi Hutan Di Propinsi Sulawesi Tengah. Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 24(2), 318–331. https://doi.org/10.20303/jmh.v24i2.394

Walujo, E. B. (2011). Keanekaragaman hayati untuk pangan. Kipnas X, 1–9.

_______________________________________*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN_______________________________________

www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 23

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/menggagas-pesantren-peka-gender/

Menggagas Pesantren Peka Gender

Ach. Sudrajad NurismawanAdalah seorang Konselor Pendidikan dan Mahasiswa Pascasarjana UNESA. Penulis dapat dihubungi melalui email [email protected].

Idealnya, sebuah lembaga pendidikan berbasis agama seperti pesantren dan sekolah berasrama merupakan tempat terbaik dalam

mendidik anak untuk menjadi pribadi yang utuh dan memiliki karakter yang baik. Melalui serangkaian pendampingan dan pemantauan yang berlangsung hampir sepanjang hari, para santri banyak dibekali pengetahuan baik tentang agama, umum, hingga kecakapan hidup agar nantinya berpeluang menjadi lulusan yang mampu berkontribusi aktif dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan melihat fakta tersebut, keputusan orang tua untuk memondokkan anaknya tentunya sudah tidak salah.

Pada beberapa hari belakangan ini baik pesantren ataupun sekolah berasrama cukup mendapat sentimen negatif dari masyarakat lantaran isu kekerasan seksual yang dilakukan oleh segelintir oknum (CNN Indonesia, 2021). Deretan kejadian yang tidak mengenakkan tersebut tentu saja berimplikasi pada pupusnya harapan para orang tua untuk memberikan

pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Belum lagi dengan dampak-dampak psikologi yang nantinya akan menghantui korban sepanjang hidupnya (Yohania, 2014). Oleh karenanya, menggagas sistem manajemen pesantren dan sekolah berasrama yang peka terhadap gender merupakan agenda mendesak untuk direalisasikan saat ini, mengingat pemahaman santri terhadap isu gender seperti hak-hak untuk mendapat perlindungan, peran aktualisasi, relasi yang setara serta bentuk-bentuk kekerasan seksual masih minim dan belum merata di pesantren.

Adanya masalah kasus kekerasan seksual di dalam pesantren belakangan, pastinya tak lepas dari relasi kuasa yang berakar pada budaya patron-klien, sebuah pola pola hubungan yang tidak sederajat dari dua kelompok atau individu. Hubungan yang timpang ini terjadi baik dari segi kekuasaan, status, ataupun penghasilan sehingga menempatkan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi dan klien dalam kedudukan lebih rendah (Scott, 1983), yang mana sering dimanfaatkan oleh sejumlah oknum tak bertanggung jawab. Lebih lanjut, jika kita cermati budaya patron-klien antara kiai/ustaz pengajar dengan para santri sangatlah lazim terjadi di pesantren, hal tersebut terwujud dalam bentuk sikap hormat dan kepatuhan mutlak kepada kiai/ustaz yang sebagian besar dipengaruhi oleh literatur pegangan dalam pendidikan pesantren seperti kitab Ta’lim al Muta’allim (Dhofier, 1985; Setiawan, 2012). Kepemimpinan yang sentralistik dan hierarki yang berpusat pada kiai menjadikan kiai menjadi sumber mutlak yang

Findivia Egga FahruniMerupakan Mahasiswa Pascasarjana UNESA. Perempuan kelahiran Kota Wali sekaligus Kota Santri Gresik ini mengawali kariernya sebagai pendi-dik bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Penulis dapat dihubungi melalui

email [email protected].

www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 23

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/menggagas-pesantren-peka-gender/

memiliki kekuasaan dan kewenangan penuh di pondok pesantren.

Sikap hormat dan kepatuhan ini tentu saja bukanlah kekeliruan karena sudah sepatutnya adab seorang santri kepada guru dalam rangkah berkhidmat serta mencari keberkahan ilmu dari guru (Setiawan, 2012), hanya saja ketika santri khususnya perempuan tidak memahami batasan sampai mana untuk bersikap patuh, hal ini dapat menjadi celah terjadinya perilaku yang tak diinginkan. Terutama pada perilaku-perilaku oknum yang menjurus pada kekerasan seksual baik secara verbal maupun non-verbal. Maka dari itu, celah ini perlu ditutup dengan cara meningkatkan kesadaran santri putra dan putri terhadap isu-isu gender (hak-hak, peran, relasi) dan kekerasan seksual karena bagaimanapun selain harus memahami permasalahan agama, saat ini para santri juga perlu mulai memahami terkait ketimpangan relasi gender yang terjadi di masyarakat, yang mana menjadikan perempuan sebagai pihak inferior (lemah) dari pada laki-laki sehingga berpeluang rawan menjadi korban kekerasan seksual akibat adanya relasi tersebut. Meskipun tidak menutup kemungkinan pihak laki-laki bisa juga menjadi korban kekerasan seksual. Lebih lanjut, berkaitan dengan hal yang tidak boleh luput dalam upaya meningkatkan kesadaran gender para santri ialah pemberian materi pendidikan seksual berbasis Islam dari para cendekiawan dan ulama kontemporer moderat yang memiliki kebijaksanaan dalam memahami problematika perempuan masa kini secara kontekstual.

Peka

Sampai hari ini kontribusi pesantren bagi negara sangatlah besar, bahkan di masa awal

kemerdekaan para kiai dan santri berkorban jiwa dan raga untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Puncaknya adalah dicetuskannya “Resolusi Jihad” pada tanggal 22 Oktober 1945 untuk melawan penjajah yang kemudian meletus pada pertempuran 10 November di Surabaya (Bisri, 2019). Pondok pesantren sudah menjadi figur sebagai lembaga pendidikan yang ideal dan demokratis sesuai dengan tujuan pendidikan nasional sehingga diharapkan ke depannya dapat melakukan perbaikan dan perkembangan kualitas pendidikan di pondok pesantren.

Pesantren menjadi salah satu lembaga penting dalam bidang pendidikan sebab dapat menjangkau kemampuan yang lebih luas, artinya pendidikan di pesantren tidak hanya berfokus pada pendidikan agama saja, namun para santri juga mensosialisasikan ilmu yang berkaitan dengan kecakapan hidup sehari-hari secara lebih optimal, misalnya mensosialisasikan adab, kemandirian, disiplin, dan kesabaran dalam lingkungan pondok pesantren.

Pesantren memiliki peran tak hanya menyebarkan nilai-nilai keislaman, namun juga untuk melahirkan pemikiran-pemikiran yang produktif sesuai dengan perkembangan zaman yang sangat kompleks dari waktu ke waktu, salah satunya ikut berperan serta untuk tidak melanggengkan adanya praktik ketidakadilan gender yang nantinya bermuara pada kejadian-kejadian yang tidak diinginkan pada santri putri (kekerasan, diskriminasi) di pesantren (Sunardi, 2021).

Pesantren peka gender merupakan bentuk usaha yang dilakukan melalui kebijakan dan pengelolaan pesantren yang berkeadilan, setara serta dapat dinikmati bagi seluruh santri tanpa memandang jenis kelaminnya.

www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 23

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/menggagas-pesantren-peka-gender/

Mengadaptasi kajian yang dilakukan oleh Sa’dan (2018), upaya peka terhadap gender di pesantren dapat diwujudkan melalui langkah-langkah, di antaranya: Pertama, memberikan pembelajaran melalui literatur kitab kuning ulama kontemporer yang berhubungan dengan hak asasi manusia kepada para santri untuk mereduksi pandangan bias gender. Kedua, melakukan advokasi kebijakan dalam menyelesaikan masalah konflik sosial di pesantren khususnya dalam menangani kekerasan seksual. Ketiga, menyelenggarakan forum-forum ilmiah (pelatihan, workshop, dan lain-lain) yang membahas tentang pendidikan berspektif gender di pesantren. Keempat, kiai/ustaz memberikan penekanan akan pentingnya penerapan konsep kesetaraan, keadilan, dan hak asasi manusia kepada para santri. Sebab peran kiai sangat dibutuhkan agar elemen pondok pesantren memiliki kesadaran gender sehingga mencegah terjadinya kekerasan seksual di pondok pesantren. Kelima, Kementerian Agama (KEMENAG) hendaknya memberikan wadah berupa pelatihan dan sosialisasi dalam rangka pengembangan materi pembelajaran pesantren yang berspektif gender sekaligus mewajibkan setiap pesantren untuk memiliki satuan tugas (SATGAS) dan sarana-prasarana pelaporan ketika terjadi kekerasan seksual di lingkungan pesantren sebagai persyaratan wajib yang harus dipenuhi pesantren untuk pengajuan izin operasional pesantren. Jika tidak terpenuhi maka KEMENAG dapat meninjau atau bahkan menolak proses izin pengajuan operasional pesantren. Dengan adanya sosialisasi dan pengawasan yang sistematis terkait pendidikan gender di lembaga-lembaga pondok pesantren ke depannya akan mampu menunjang kesadaran para stakeholder terhadap ketidakadilan yang terjadi dalam

lingkungan pesantren belakangan ini.

Referensi

Bisri, H. (2019). Eksistensi dan Transformasi Pesantren dalam Membangun Nasionalisme Bangsa. AL-WIJDÁN: Journal of Islamic Education Studies, 4(2), 106-121.

CNN Indonesia. (2021). Daftar Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren Indonesia. h t t p s : / / w w w . c n n i n d o n e s i a . c o m /nas ional /20211209082552-12-731811/daftar-kasus-kekerasan-seksual-di-pesantren-indonesia, diakses pada 20 Januari 2022.

Dhofier, Z. (1985). Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES.

Sa’dan, M. (2018). Pengarusutamaan Gender dalam Pendidikan Pesantren: Kajian Feminisme Islam. Jurnal Harkat: Media Komunikasi Gender, 14(2), 96–109.

Scott, J. C. (1983).  Moral ekonomi petani: Pergolakan dan subsistensi di Asia Tenggara. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.

Setiawan, E. (2012). Eksistensi budaya patron klien dalam pesantren: Studi Hubungan Antara Kyai dan Santri. ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam, 13(2), 137-152.

Sunardi, D. (2021). Membangun Budaya Pendidikan Pondok Pesantren Berkesadaran Gender. Dedikasi: Journal of Community Engagment, 2(1), 30–49.

Yohania, W. (2014). Studi Fenomenologi Dampak Psikologis Korban Kekerasan Seksual Pada Santriwati Pondok Pesantren X (Skripsi, Fakultas Psikologi UNISSULA).

www.pmb.brin.go.id Vol. 25. No. 23

ISSN 2723-0368

https://pmb.brin.go.id/menggagas-pesantren-peka-gender/

_______________________________________*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN_______________________________________

Call for Article Website PMB 2022

KETENTUAN:

1. Tema Umum: isu populer tentang masyarakat dan kebudayaan Indonesia

2. Tema khusus: isu populer yang berhubungan dengan kluster penelitian PMB BRIN yaitu i) Agama & Filsafat, ii) Ekologi Sosial dan Kesejahteraan Masyarakat (ESKM), iii) Hukum & Mas-yarakat, dan iv) Kebudayaan & Multikulturalisme

3. Belum pernah diterbitkan di/sedang dikirimkan ke media Lain (Blog/ Website/ Koran/ Ma-jalah/ Status Medsos, dll)

4. Menggunakan bahasa baku dengan gaya penulisan populer

5. Bukan saduran dan hasil plagiarisme. Penulis bertanggung jawab penuh terhadap artikelnya. Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap artikel yang ternyata adalah hasil saduran dan plagiarisme.

6. 3-4 Halaman A4 atau 800-1.000 kata (Tidak Termasuk Gambar/ Foto dan referensi)

7. Boleh menyertakan maksimal 2 Gambar/ Foto + Sumbernya (opsional). Redaksi akan memilih gambar yang sesuai.

8. Font Calibri 11, Spasi 1.5

9. Tuliskan Nama dan Asal Instansi di Bawah Judul Artikel

10. Daftar Referensi dan sitasi menggunakan American Phychological Association (APA Style Ci-tation)

11. Di akhir artikel, lampirkan Narasi Biodata (3-6 Kalimat) + Foto Close Up + Email Penulis (artikel dan biodata + foto dalam 1 file)

12. Jumlah artikel yang dimuat maksimal 6 judul artikel/ tahun untuk setiap penulis dari luar PMB BRIN

13. Seluruh penulis hanya boleh mempublikasikan 1 artikel per bulan

14. Seluruh artikel yang masuk akan mengalami proses seleksi dan revisi. Hasil seleksi (artikel diterima) akan dikabarkan melalui email.

15. Tersedia e-sertifikat apresiasi bagi Sahabat PMB BRIN yang artikelnya dipublikasikan di web-site kami.

16. Setiap akhir bulan Redaksi akan menerbitkan e-majalah Masyarakat dan Budaya (MB) yang berisi kumpulan artikel yang dipublikasikan di website PMB BRIN pada bulan tersebut. Re-daksi akan mengirimkan softcopy e-majalah MB kepada para penulis edisi bulanan. Bagi yang berminat mendapatkan softcopy e-majalah MB, silahkan menghubungi Redaksi melalui email [email protected].

17. Keputusan Redaksi Tidak Dapat Diganggu Gugat.

18. Informasi tambahan: Website PMB BRIN menerbitkan 1-2 artikel per minggu. Untuk itu proses penerbitan artikel membutuhkan waktu yang tidak sebentar karena banyaknya artikel yang masuk dan adanya proses review, edit, revisi, serta antrian publikasi. Jika penulis ingin menar-ik kembali artikelnya (withdraw submission) dari Website PMB BRIN, mohon dilakukan sebe-lum proses review.

Terima KasihRedaksi Website PMB BRIN


Recommended