Date post: | 11-Mar-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
EXCEUTIVE SUMMERY
Provinsi Sumatera Utara merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap
bencana alam, antara lain : banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, letusan gunung
berapi, dan kekeringan. Diantara sekian banyak jenis bencana yang ada, bencana banjir
merupakan salah satu bencana yang paling sering terjadi di wilayah Provinsi Sumatera
Utara.
Sampai saat ini masalah banjir di Sumatera Utara belum dapat teratasi dengan
baik. Jumlah kerugian yang diakibatkan oleh banjir justru cenderung mengalami
peningkatan. Berbagai usaha telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera
Utara, namun bencana banjir terus terjadi dan areal lahan yang dilanda banjir justru
semakin meluas.
Dengan mempertimbangkan tingginya tingkat kerugian yang diakibatkan oleh
bencana banjir yang terjadi, maka sudah seharusnya dilakukan langkah-langkah strategis
untuk mengurangi akibat terjadinya bencana tersebut. Salah satu langkah strategis yang
dilakukan adalah melakukan pemetaan potensi dan resiko bencana banjir di Provinsi
Sumatera Utara. Peta potensi dan resiko bencana banjir tersebut sangat berguna bagi
pengambil keputusan terutama dalam melakukan tindakan untuk mitigasi bencana,
sehingga akibat yang ditimbulkan dapat diminimalisir.
Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menghasilkan peta tematik tentang resiko
bencana banjir di Provinsi Sumatera Utara berdasarkan pada pemodelan spasial Sistem
Informasi Geografis ; 2. Mempelajari pengaruh masing-masing variabel penelitian yang
meliputi kemiringan lereng, tutupan lahan, bentuk lahan, curah hujan, dan DAS terhadap
banjir yang secara riel telah terjadi di wilayah Provinsi Sumatera Utara ; 3. Mendiskrip-
sikan upaya yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk
mencegah dan mengurangi terjadinya bencana banjir berkaitan dengan kemiringan
lereng, tutupan lahan, bentuk lahan, curah hujan dan DAS ; 4. Menentukan wilayah
kecamatan di Provinsi Sumatera Utara yang mempunyai tingkat kerawanan tinggi
terhadap bencana banjir dengan mempertimbangkan luasan areal yang berpotensi
terkena bencana banjir pada masing-masing kabupaten/kota.
Perkembangan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG)
memberikan kemudahan untuk menganalisa permasalahan-permasalahan keruangan,
yang dalam penelitian ini telah berhasil digunakan untuk melakukan pemetaan potensi
dan resiko bencana banjir di Provinsi Sumatera Utara. Dalam penelitian ini, peta risiko
bencana banjir di Provinsi Sumatera Utara dihasilkan dengan melibatkan 5 (lima) variabel
yaitu : 1. Peta kemiringan lereng ; 2. Peta tutupan lahan ; 3. Peta bentuk lahan ; 4. Peta
curah hujan tahunan ; dan 5. Peta Daerah Aliran Sungai (DAS).
Peta yang digunakan sebagai peta dasar adalah peta Rupa Bumi Indonesia (RBI).
Semua data pada peta RBI disintesis untuk menghasilkan berbagai peta-peta baru, seperti
peta kemiringan lereng, peta tutupan lahan, peta bentuk lahan, peta curah hujan, dan
peta DAS. Dengan menggabungkan kelima variabel tersebut dapat dihasilkan peta risiko
bencana banjir di wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan pada peta kemiringan lereng yang diperoleh dalam penelitian ini,
maka dapat disimpulkan bahwa di bagian sebelah timur dari wilayah Provinsi Sumatera
Utara merupakan daerah yang datar. Di samping itu, ada sebagian kecil di bagian sebelah
barat yang berdekatan dengan pantai barat Sumatera juga merupakan wilayah yang
datar. Wilayah yang datar ini merupakan daerah pertanian yang subur dan padat
penduduknya. Bila terjadi bencana banjir di wilayah ini maka akan mengakibatkan
kerugian yang besar baik kerugian jiwa, hasil pertanian dan rusaknya sarana dan
prasarana transportasi serta fasilitas irigasi.
Gambar : Peta kemiringan lereng wilayah Provinsi Sumatera Utara
Berdasarkan atas peta kemiringan lereng di wilayah Provinsi Sumatera Utara
terlihat bahwa di bagian tengah yang memanjang dari utara ke selatan merupakan
dataran tinggi yang curam dengan kemiringan lereng di atas 25%. Biasanya wilayah ini
bila terjadi bencana banjir akan diikuti dengan tanah longsor.
Berdasarkan atas analisis Citra Landsat dan peta tutupan lahan kehutanan maka
dapat dihasilkan peta tutupan lahan di Provinsi Sumatera Utara seperti gambar berikut.
Gambar : Peta Penutupan Lahan di Provinsi Sumatera Utara
Berdasarkan atas peta penutupan lahan yang dihasilkan dalam penelitian ini maka
terlihat bahwa wilayah hutan di Provinsi Sumatera Utara sudah banyak mengalami
pengurangan. Hal ini diperkuat oleh beberapa hasil penelitian. Cahyana dan Parlan
(2004), melaporkan bahwa kerusakan hutan di Provinsi Sumatera Utara sebesar
1.045.595,762 ha. Di samping itu, terjadi kerusakan hutan lainnya yang diakibatkan oleh
pembakaran dan penebangan yaitu sebesar 165.001.15 ha. Sehingga jumlah kerusakan
yang terjadi sebesar 1.367.643,15 ha dari jumlah semula yaitu sebesar 3.675.918 ha.
Siboro (2010) melaporkan bahwa dalam kurun waktu 2004 – 2010 lahan kritis di
Sumatera Utara bertambah sebesar 805.337,93 ha, yakni dari 1.665.908,68 ha pada
tahun 2004 menjadi 2.471.246,61 ha pada tahun 2010. Sehingga laju penambahan lahan
kritis dalam kurun waktu 6 tahun tersebut adalah 134.222,99 ha/tahun. Berkurangnya
tutupan lahan di Provinsi Sumatera Utara berpengaruh besar terhadap terjadinya banjir di
wilayah ini.
Berdasarkan atas peta bentuk lahan di wilayah Provinsi Sumatera Utara maka
terlihat bahwa wilayah di sepanjang pantai timur Sumatera Utara merupakan marine
group dan alluvial group. Demikian juga di wilayah sepanjang pantai barat Sumatera
Utara juga memiliki bentuk lahan berupa marine group dan alluvial group. Ini berarti
bahwa kedua wilayah ini mempunyai potensi besar mengalami risiko bencana banjir.
Gambar berikut merupakan peta bentuk lahan di wilayah Propinsi Sumatera Utara.
Gambar : Peta Bentuk Lahan Provinsi Sumatera Utara
Berdasarkan atas peta curah hujan di Provinsi Sumatera Utara maka dapat
disimpulkan bahwa curah hujan yang tinggi (hujan ekstrim) merupakan penyebab utama
dari terjadinya banjir di wilayah ini. Gambar berikut merupakan peta curah hujan tahunan
di Propinsi Sumatera Utara.
Gambar : Peta Curah Hujan Tahunan Provinsi Sumatera Utara
Terjadinya curah hujan ekstrim seperti yang telah dilaporkan oleh BMKG Stasiun
Klimatologi Sampali, Medan (2011), menunjukkan bahwa wilayah Sumatera Utara sudah
terimbas perubahan iklim global. Salah satu akibat dari perubahan iklim global adalah
terjadinya akumulasi curah hujan yang tinggi dalam waktu yang singkat. Dengan curah
hujan tahunan yang relatif sama, namun dengan durasi yang singkat akan berdampak
pada meningkatnya intensitas banjir.
Perubahan kondisi hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai dampak
perluasan lahan kawasan bididaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-
kaidah konservasi tanah dan air berpengaruh besar terhadap terjadinya bencana banjir di
wilayah Propinsi Sumatera Utara.
Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 2004, Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah
suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal
dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan.
Daerah Aliran Sungai sebagai kesatuan ekosistem yang utuh dari hulu sampai
dengan hilir terdiri dari unsur-unsur utama manusia, flora, fauna, tanah, air dan udara,
memiliki fungsi penting dalam mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Gambar berikut merupakan peta DAS di wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Gambar : Peta Daerah Aliran Sungai Provinsi Sumatera Utara
Peta kerentanan banjir yang dibuat dalam penelitian ini diturunkan dari gabungan
peta kemiringan lereng, peta tutupan lahan, peta bentuk lahan, peta curah hujan dan
peta DAS yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Kerentanan banjir dalam penelitian ini
dibagi menjadi 4 kelas risiko yaitu : 1. Kelas risiko aman ; 2. Kelas risiko rendah ; 3. Kelas
risiko menengah ; dan 4. Kelas risiko tinggi. Gambar berikut merupakan peta risiko banjir
di wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Gambar : Peta Risiko banjir Provinsi Sumatera Utara
Berdasarkan atas peta risiko bencana banjir yang dihasilkan dalam penelitian ini
nampak bahwa daerah-daerah yang berdekatan dengan DAS merupakan daerah yang
rawan bencana banjir.
DAS seharusnya menjadi tempat berlangsungnya proses-proses biofisik hidrologis
mapun kegiatan sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang menguntungnkan bagi
masyarakat yang berdomisili dekat DAS tersebut. Masyarakat yang berdomisili dekat
dengan DAS seharusnya akan mendapatkan keuntungan secara ekonomi. Namun ternyata
DAS justru merupakan sumber malapetaka yang sewaktu-waktu dapat memakan korban
jiwa, dan harta benda yang jumlahnya tidak terhingga.
DAS yang baik dengan kawasan hutan yang tidak kurang dari 30% akan mampu
untuk menampung dan menyimpan curah hujan menjadi air tanah. Sehingga peluang
terjadinya banjir pada DAS yang baik akan sangat kecil. Sebaliknya, bila DAS sudah rusak
maka kemampuannya dalam menampung dan menyimpan air hujan turun drastis. Ketika
hujan terjadi, hampir seluruh air hujan akan langsung menjadi aliran permukaan,
mengalir ke sungai dalam waktu bersamaan, sehingga terjadi banjir bandang di wilayah
sekitar DAS tersebut berada.
Wilayah di Provinsi Sumatera Utara yang yang rentan terhadap bencana banjir
pada umumnya adalah wilayah yang berdekatan dengan DAS. Secara lengkap wilayah
kecamatan di Provinsi Sumatera Utara yang mempunyai tingkat kerawanan tinggi
terhadap bencana banjir dengan mempertimbangkan luasan areal yang berpotensi
terkena bencana banjir pada masing-masing kabupaten/kota disajikan pada Lampiran 1.
Beberapa program kegiatan yang harus segera dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Provinsi Sumatera Utara dalam usaha untuk mengurangi bencana banjir antara lain :
1. Penataan ruang ; 2. Pengembangan sumber daya air ; 3. Pengembangan prasarana
perkotaan ; 4. Pengembangan perumahan dan permukiman ; dan 5. Peningkatan
pelayanan pada masyarakat.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Provinsi Sumatera Utara merupakan wilayah yang secara geografis terletak di
daerah katulistiwa, diantara Samudera Pasifik dan Hindia, berada pada pertemuan tiga
lempeng tektonik utama dunia merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap bencana
alam. Di samping itu, kekayaan alam yang melimpah, jumlah penduduk yang besar
dengan penyebaran yang tidak merata, pengaturan tata ruang yang belum tertib,
ditambah dengan penyimpangan pemanfaatan kekayaan alam oleh sekelompok orang
mengakibatkan wilayah Provinsi Sumatera Utara menjadi wilayah yang memiliki potensi
rawan bencana, baik bencana alam maupun ulah manusia, antara lain : banjir, tanah
longsor, gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, dan kekeringan.
Oleh karena banyaknya jenis bencana yang menimpa wilayah Provinsi Sumatera
Utara, maka dalam penelitian ini akan difokuskan pada salah satu jenis bencana yaitu
banjir. Secara umum, bencana banjir merupakan jenis bencana yang paling sering
menimpa wilayah Provinsi Sumatera Utara. Belum kering banjir yang terjadi di suatu
kabupaten/kota yang satu, sudah terjadi bencana banjir di kabupaten/kota yang lain di
wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Wilayah Provinsi Sumatera Utara terletak di daerah beriklim tropis dengan dua
musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan, dengan ciri-ciri adanya perubahan
cuaca, suhu dan arah angin yang cukup ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan
dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang relatif beragam, menimbulkan
akibat buruk seperti terjadinya bencana banjir. Seiring dengan berkembangnya waktu dan
meningkatnya aktivitas manusia, kerusakan lingkungan hidup di Provinsi Sumatera Utara
cenderung semakin parah dan hal ini memicu meningkatnya jumlah kejadian bencana
banjir di wilayah ini.
Sampai saat ini masalah banjir di Sumatera Utara belum dapat teratasi dengan
baik. Jumlah kerugian yang diakibatkan oleh banjir justru cenderung mengalami
peningkatan. Berbagai usaha telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera
Utara, namun bencana banjir terus terjadi dan areal lahan yang dilanda banjir justru
semakin meluas.
Ketika banjir terjadi, maka antara kelompok yang satu dengan yang lain saling
menyalahkan, dan semuanya mempunyai argumentasi yang dapat dibenarkan.
Sekelompok masyarakat mengatakan bahwa banjir yang terjadi disebabkan oleh
penebangan hutan di daerah hulu. Sekelompok masyarakat yang lain menyatakan bahwa
banjir terjadi akibat dari pembuangan sampah yang sembarangan dan pembangunan
rumah di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS). Masyarakat menyalahkan pemerintah
daerah karena dianggap bahwa Pemda tidak melakukan tugasnya dengan baik sehingga
terjadi banjir. Di lain pihak, pemerintah daerah menyalahkan pada masyarakat karena
masyarakat dianggap tidak peduli dengan lingkungan, melakukan penebangan hutan,
menutup tanah dengan bangunan, dsb. Di samping itu, dikotomi hulu dan hilir dalam
pengelolaan lahan selalu menjadi perbedaan pendapat. Orang di daerah hilir
menyalahkan masyarakat di daerah hulu DAS sebagai penyebab utama terjadinya banjir.
Sementara masyarakat di daerah hulu juga cenderung mencari pembenaran dengan
mengatakan bahwa andil masyarakat hilir dalam kejadian banjir juga tidak sedikit.
Sehingga, ketika terjadi banjir justru antara kelompok yang satu dengan kelompok yang
lain saling lempar kesalahan dan hal ini semakin menimbulkan keresahan dalam
masyarakat serta menurunkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah daerah.
Bencana banjir merupakan masalah yang besar. Hal ini disebabkan karena
dampak yang ditimbulkan dari banjir telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta
benda yang jumlahnya sangat besar. Di samping itu, rusaknya sarana dan prasarana
transportasi, hancurnya lahan pertanian dan irigasi serta terganggunya kehidupan
ekonomi, merupakan permasalahan yang selalu terjadi akibat banjir. Dampak lain dari
banjir adalah timbulnya wabah penyakit dan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat.
Meskipun pembangunan di Provinsi Sumatera Utara telah dirancang dan didesain
sedemikian rupa dengan dampak lingkungan yang minimal, proses pembangunan tetap
menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem. Pembangunan yang selama
ini bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam menyebabkan hilangnya daya dukung
sumber daya alam ini terhadap kehidupan masyarakat.
Peraturan perundangan di Indonesia juga telah mengamanatkan pentingnya
tindakan mitigasi bencana yang merupakan bagian dari upaya untuk mengurangi resiko
dari bencana banjir. Undang-Undang tersebut diantaranya adalah Undang-Undang Nomor
24, Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang Nomor 26, Tahun
2007 tentang Penataan Ruang, serta Undang-Undang Nomor 27, Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil.
Dengan mempertimbangkan, tingginya tingkat kerugian yang diakibatkan oleh
bencana banjir yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara, maka sudah seharusnya segera
dilakukan langkah-langkah strategis untuk mengurangi akibat terjadinya bencana banjir.
Salah satu langkah strategis yang harus segera dilakukan adalah melakukan pemetaan
potensi dan resiko bencana banjir di Propinsi Sumatera Utara. Peta potensi dan
resiko bencana banjir tersebut sangat berguna bagi pengambil keputusan terutama
dalam melakukan tindakan untuk mitigasi bencana, sehingga akibat yang ditimbulkan
dapat diminimalisir.
Perkembangan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG)
memberikan kemudahan untuk menganalisa permasalahan-permasalahan keruangan.
Sistem Informasi Georafis atau Geographic Information System (GIS) merupakan suatu
sistem informasi yang berbasis komputer, dirancang untuk bekerja dengan menggunakan
data yang memiliki informasi spasial. Sistem ini menangkap, mengecek,
mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan data yang secara
spasial mereferensikan kepada kondisi bumi.
Teknologi Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk investigasi ilmiah,
pengelolaan sumber daya, perencanaan pembangunan, dan dapat membantu perencana
untuk secara cepat menghitung waktu tanggap darurat saat terjadi bencana banjir.
Sistem Informasi Geografis dapat dimanfaatkan untuk mempermudah dalam
mendapatkan data-data yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau
obyek. Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data
atribut dalam bentuk digital. Sistem ini merelasikan data spasial (lokasi geografis) dengan
data non spasial, sehingga para penggunanya dapat membuat peta dan menganalisa
informasinya dengan berbagai cara. SIG merupakan alat yang handal untuk menangani
data spasial, dimana dalam SIG data dipelihara dalam bentuk digital sehingga data ini
lebih padat dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel, atau dalam bentuk konvensional
lainnya yang akhirnya akan mempercepat pekerjaan dan meringankan biaya yang
diperlukan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan atas latar belakang yang telah diuraikan di atas maka masalah dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Bagaimana menghasilkan peta tematik tentang resiko bencana banjir di Provinsi
Sumatera Utara berdasarkan pada pemodelan spasial Sistem Informasi Geografis ?
b. Bagaimana pengaruh masing-masing variabel penelitian yang meliputi kemiringan
lereng, tutupan lahan, bentuk lahan, curah hujan, dan DAS, terhadap banjir yang
secara riel telah terjadi di wilayah Propinsi Sumatera Utara ?
c. Upaya apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara
untuk mencegah dan mengurangi terjadinya bencana banjir berkaitan dengan
kemiringan lereng, tutupan lahan, bentuk lahan, curah hujan dan DAS ?
d. Wilayah kecamatan mana saja di Provinsi Sumatera Utara yang mempunyai
tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana banjir dengan mempertimbangkan
luasan areal yang berpotensi terkena bencana banjir pada masing-masing
kabupaten/kota ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Menghasilkan peta tematik tentang resiko bencana banjir di Provinsi Sumatera
Utara berdasarkan pada pemodelan spasial Sistem Informasi Geografis.
b. Mempelajari pengaruh masing-masing variabel penelitian yang meliputi kemiringan
lereng, tutupan lahan, bentuk lahan, curah hujan, dan DAS terhadap banjir yang
secara riel telah terjadi di wilayah Provinsi Sumatera Utara.
c. Mendiskripsikan upaya yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi
Sumatera Utara untuk mencegah dan mengurangi terjadinya bencana banjir
berkaitan dengan kemiringan lereng, tutupan lahan, bentuk lahan, curah hujan
dan DAS.
d. Menentukan wilayah kecamatan di Provinsi Sumatera Utara yang mempunyai
tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana banjir dengan mempertimbangkan
luasan areal yang berpotensi terkena bencana banjir pada masing-masing
kabupaten/kota.
1.4 Keutamaan Rencana Penelitian
Bencana merupakan sesuatu hal yang tidak dapat diprediksi secara pasti kapan
dan dimana terjadinya. Fenomena alam yang sangat dinamis mengakibatkan
kemungkinan bencana akan terjadi dimana saja dan kapan saja. Di samping itu, tingginya
aktivitas eksploitasi manusia terhadap alam yang terkadang tidak lagi berorientasi
terhadap kelestarian lingkungan akan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup yang
sangat memprihatinkan.
Setiap tahun wilayah di Provinsi Sumatera Utara selalu ditimpa bencana banjir.
Telah banyak usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam mengatasi masalah
banjir, namun kenyataannya banjir masih terus terjadi. Kerugian yang ditimbulkan oleh
bencana banjir justru dari waktu ke waktu mengalami peningkatan.
Dalam upaya untuk meminimalisir akibat yang ditimbulkan dari bencana banjir
maka perlu dilakukan penelitian tentang pemetaan bencana banjir di wilayah Provinsi
Sumatera Utara.
Sampai saat ini pemetaan tentang bencana banjir di Provinsi Sumatera Utara
masih terlalu bersifat general sehingga belum bisa menggambarkan potensi dan tingkat
risiko bencana sampai tingkat kecamatan. Akibatnya, pemerintah daerah masih sering
mengalami kekeliruan dalam mengambil kebijakan yang berhubungan dengan bencana
banjir.
Dalam penelitian ini telah dihasilkan peta risiko bencana banjir di wilayah Propinsi
Sumatera Utara sampai tingkat kecamatan. Di samping itu, telah dilakukan kajian ilmiah
tentang pengaruh dari kemiringan lereng, tutupan lahan, bentuk lahan, curah hujan, dan
DAS terhadap banjir yang secara riel telah terjadi di wilayah Provinsi Sumatera Utara dan
upaya yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam mencegah dan mengurangi
terjadinya bencana banjir.
Hasil pemetaan bencana banjir yang diperoleh dari penelitian ini dapat
dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk melakukan sosialisasi pada masyarakat dalam
menghadapi bencana banjir di wilayahnya. Di samping itu, peta yang dihasilkan dalam
penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam perencanaan penyusunan tata ruang di wilayah
Propinsi Sumatera Utara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bencana
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007, bencana
adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerusakan harta benda, dan dampak psikologis (Undang-Undang
No. 24, 2007).
Sementara Asian Disaster Preparedness Center (ADPC) mendefinisikan bencana
dalam formulasi “The serious disruption of the functioning of society, causing widespread
human, material or environmental losses, which exeed the ability of the affected
communities to cope using their own resources (Abarquez dan Murshed, 2004).
Definisi bencana seperti dipaparkan di atas mengandung tiga aspek dasar, yaitu :
(1) Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard). (2)
Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan, penghidupan, dan fungsi dari
masyarakat. (3) Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan
masyarakat untuk mengatasi dengan sumber daya mereka.
Bencana dapat terjadi karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau
gangguan yang mengancam dan merusak (hazard), dan kerentanan (vulnerability)
masyarakat.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007,
mengelompokan bencana ke dalam tiga kategori, yaitu :
1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oeh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam. Misalnya, gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
2. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa non-alam yang antara lain berupa : gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar
kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
2.2 Bencana Banjir dan Penyebabnya
Banjir adalah peristiwa terbenamnya daratan oleh air. Banjir pada umumnya
disebabkan oleh air sungai yang meluap ke lingkungan sekitarnya sebagai akibat curah
hujan yang tinggi. Kejadian banjir adalah hasil interaksi antara manusia dan alam yang
keduanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Penyebab banjir tidak hanya karena
faktor alam, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor manusia (Hamid, 2006). Kekuatan
banjir mampu merusak rumah dan lingkungan sekitarnya. Air banjir juga membawa
lumpur berbau yang dapat menutup segalanya setelah air surut.
Banjir yang terjadi di wilayah Propinsi Sumatera Utara adalah hal yang rutin terjadi
setiap tahun. Banjir termasuk dalam kategori bencana besar, karena akibat yang
ditimbulkan dapat memakan korban jiwa dan harta benda yang jumlahnya sangat besar.
Hadinugroho (2002), mengartikan banjir sebagai aliran air atau genangan yang
menimbulkan kerugian bagi manusia baik harta benda atau bahkan nyawa akibat
rusaknya areal pertanian, maupun berbagai sarana dan prasarana. Dalam bahasa teknis
banjir diartikan sebagai aliran air sungai yang melampui kapasitas tampung sungai, dan
menggenangi daerah di sekitarnya.
Berdasarkan sumber air yang menjadi penampung di bumi, jenis banjir dibedakan
menjadi tiga, yaitu banjir sungai, banjir danau, dan banjir laut pasang.
Munurut Hamid (2006), penyebab terjadinya banjir secara umum adalah sebagai
berikut :
1. Curah hujan yang sangat tinggi
2. Kerusakan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS)
3. Semakin meluasnya permukaan tanah yang terutup karena untuk keperluan
perumahan, industri, perkantoran, dll.
4. Penebangan hutan secara liar tanpa disertai reboisasi.
5. Tingginya sedimentasi sehingga sungai menjadi dangkal.
6. Buruknya penanganan dalam pembuangan sampah
7. Perubahan iklim yang disertai badai tropis.
8. Pembuatan saluran air yang tidak memenuhi syarat
9. Terjadinya tsunami akibat dari gempa bumi
10. Air laut pasang yang menggenangi daratan.
Eksploitasi kawasan hutan lindung di daerah hulu yang mempunyai fungsi sebagai
pengatur tata guna air, dan penggunaan lahan di kawasan lindung bertopografi berat
untuk lahan budidaya dengan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip konservasi tanah dan
air (KTA), secara langsung maupun tidak langsung kegiatan tersebut telah mengakibatkan
terjadinya erosi dan sidementasi yang melebihi kapasitas daya dukung lahan. Akibat
langsung dari proses erosi ini adalah menurunnya kapasitas infiltrasi. Dengan
menurunnya kapasitas infiltrasi, maka air hujan yang jatuh ke permukaan bumi akan
langsung mengalir di permukaan sebagai surface runoff yang menjadi sumber utama dari
aliran banjir (Hadinugroho, 2002).
Di samping itu, di tempat terjadinya erosi, tingkat kesuburan tanah akan menurun
dari tahun ke tahun akibat hilangnya lapisan humus tanah. Akibat yang lain adalah
terjadinya perubahan bentang alam akibat terjadinya longsor, erosi parit maupun erosi
jurang. Akibat lanjutan dari proses erosi ini adalah akibat yang dirasakan oleh tempat lain
yang terletak di bagian hilir. Terjadinya erosi yang diikuti dengan transport sidemen telah
mengakibatkan terjadinya pendangkalan dan peenyempitan badan sungai. Dengan
kondisi tersebut apabila terjadi hujan besar di daerah hulu, maka air permukaan akan
mengalir dengan jumlah yang hampir sama dengan total volume air hujan yang terjadi
(nilai koefisien limpasan mendekati 1) menuju hilir. Apabila di daerah hilir terdapat banyak
daerah kedap air sementara penampungan air tidak mencukupi, atau bahkan tidak ada,
maka akan terjadi banjir. Penyempitan badan sungai, konservasi rawa menjadi daerah
pemukiman, penggunaan material kedap air dalam pengembangan sarana dan prasarana
perkotaan yang disertai dengan tiadanya perencanaan saluran drainase yang baik, maka
dapat menyebabkan banjir pada setiap musim penghujan.
Menurut Kodoatie (2002) penyebab banjir meliputi : 1. Perubahan tata guna lahan
2. Pembuangan sampah 3. Erosi dan sidementasi 4. Kawasan kumuh sepanjang jalur
drainase 5. Perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat 6. Curah hujan yang
tinggi 7. Bentuk fisiografi dari sungai 8. Kapasitas sungai dan drainase yang tidak
memadai 9. Pengaruh air pasang 10. Penurunan tanah dan genangan akibat pasang
surut air laut 11. Drainase lahan yang kurang bagus 12. Bangunan bendungan yang
kurang bagus 13. Kerusakan bangunan pengendali banjir.
Dalam kaitannya dengan fenomena banjir, dalam konteks dengan pengelolaan
DAS, dikotomi hulu dan hilir tidak perlu ada. Hulu dan hilir merupakan suatu kesatuan
yang berada dalam sistem DAS dan merupakan satu kesatuan sistem hidrologi. Dalam
penanganan banjir, penanganan satu bagian tanpa memperhatikan bagian lainnya dalam
sistem yang sama akan mengakibatkan tujuan akhir yang ditentukan tidak akan tercapai.
Bencana banjir memiliki ciri-ciri dan akibat sebagai berikut :
1. Banjir biasanya terjadi saat hujan deras yang turun terus menerus sepanjang hari.
2. Air menggenangi tempat-tempat tertentu dengan ketinggian tertentu.
3. Banjir dapat mengakibatkan hanyutnya rumah-rumah, tanaman, hewan, dan
manusia.
4. Banjir mengikis permukaan tanah sehingga terjadi endapan tanah di tempat-
tempat yang rendah.
5. Banjir dapat mendangkalkan sungai, kolam, atau danau.
6. Sesudah banjir, lingkungan menjadi kotor oleh endapan tanah dan sampah.
7. Banjir dapat menyebabkan korban jiwa, luka berat, luka ringan, atau hilangnya
orang.
8. Banjir dapat menyebabkan kerugian yg besar baik secara moril maupun materiil.
Di seluruh Indonesia, tercatat 5.590 sungai induk dan 600 diantaranya berpotensi
menimbulkan banjir. Daerah rawan banjir yang dicakup sungai-sungai induk ini mencapai
1,4 juta hektar (Direktorat Pengairan dan Irigasi, 2004).
Banjir bukan hanya meluluhlantakkan perumahan dan pemukiman, tetapi juga
merusak fasilitas pelayanan sosial ekonomi masyarakat dan prasarana publik, bahkan
sering juga menelan korban jiwa. Kerugian akibat banjir akan semakin besar jika kegiatan
ekonomi dan pemerintahan terganggu. Meskipun partisipasi masyarakat dalam rangka
penanggulangan banjir sangat nyata, terutama pada aktivitas tanggap darurat namun
banjir menyebabkan tambahan beban keuangan terutama untuk merehabilitasi dan
memulihkan fungsi prasarana publik yang rusak akibat banjir.
Terjadinya serangkaian banjir dalam waktu relatif pendek dan berulang setiap
tahun, menuntut upaya lebih besar untuk mengantisipasinya, sehingga kerugian dapat
diminimalkan. Berbagai upaya pemerintah yang bersifat struktural, ternyata belum
sepenuhnya mampu menanggulangi masalah banjir. Penanggulangan banjir selama ini
lebih terfokus pada penyediaan bangunanfisik pengendali banjir untuk mengurangi
dampak bencana. Kebijakan sektoral, sentralistik, dan top-down tanpa melibatkan
masyarakat sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan global yang menuntut
desentralisasi, demokratis, dan partisipasi dari pemangku kepentingan, terutama
masyarakat yang terkena bencana (Direktorat Pengairan dan Irigasi, 2004).
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 11A tahun 2006, Sumatera
Utara memiliki 10 (sepuluh) Wilayah Sungai yaitu : Wilayah Sungai Alas-Singkil, Wilayah
Sungai Toba-Asahan, Wilayah Sungai Bahbolon, Wilayah Sungai Barumun-Kualuh,
Wilayah Sungai Batang Angkola-Batang Gadis, Wilayah Sungai Batang Natal-Batang
Batahan, Wilayah Sungai Sibundong-Batang Toru, Wilayah Sungai Belawan-Ular-Padang,
Wilayah Sungai Nias, dan Wilayah Sungai Wampu-Besitang. Dari kesepuluh Wilayah
Sungai tersebut ada empat wilayah sungai yang dikelola Pemerintah Pusat yang tanggung
jawab pelaksanaan pengelolaannya berada pada Balai Wilayah Sungai Sumatera II.
Keempat wilayah sungai tersebut meliputi : Wilayah Sungai Toba-Asahan, Wilayah Sungai
Batang Angkola-batang Gadis, Wilayah Sungai Batang Natal-Batang Batahan, dan Wilayah
Sungai Belawan-Ular-Padang. Wilayah Sungai Belawan-Ular-Padang meliputi DAS Deli
yang melintasi Kota Medan yang berpotensi rawan banjir, DAS Ular yang merupakan
sumber air bagi areal persawahan irigasi sungai Ular seluas 19.000 Ha, dan DAS Padang
yang melintasi Kota Tebing Tinggi, yang merupakan kota berpenduduk padat dan rawan
banjir (Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, 2007).
Banjir besar yang terjadi di Nias pada tanggal 31 Juli 2001 telah menelan banyak
korban harta benda dan jiwa. Bedasarkan catatan bencana yang ada, banjir serupa
pernah terjadi ± 60 tahun silam. Karena banjir 60 tahun lalu tidak banyak menelan
korban, maka masyarakat dan aparat PEMDA kurang perhatian akan bencana serupa
yang akan muncul. Dalam 20 tahun terakhir, telah bermunculan pemukiman di daerah
bantaran sungai, sehingga peristiwa banjir dengan intensitas yang sama dengan peristiwa
banjir 60 tahun lalu telah menimbulkan banyak korban (Wisyanto, 2001).
Tindakan persiapan dalam menghadapi bencana banjir adalah langkah strategis
yang harus dilakukan dalam kerangka penanggulangan bencana banjir secara holistik,
khususnya dalam tataran pre disaster management. Langkah ini harus dimulai dari kajian
dan penyediaan data serta informasi yang akurat mengenai kesesuaian antara
karakteristik lahan dan fungsi yang mestinya disandangnya sehingga fungsi ekologis dan
ekonomis dapat terjamin dan terpelihara (Purwoku, 2008).
2.3 Daerah Aliran Sungai (DAS)
Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 2004, Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah
suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal
dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan.
Menurut Notohadiprawiro (2006), batas DAS ditampilkan oleh garis bayangan
sepanjang punggung pegunungan atau lahan meninggi yang memisahkan sistem aliran
yang satu dari sistem aliran tetangganya. Atas dasar pengertian ini maka secara teori
semua kawasan darat habis terbagi menjadi sejumlah DAS. Suatu DAS terdiri atas dua
bagian utama, yaitu daerah tadahan (catchment area) yang membentuk daerah hulu dan
daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah tadahan. Daerah penyaluran air
dapat dibagi menjadi dua daerah yaitu daerah tengah dan daerah hilir.
Daerah tadahan merupakan daerah sumber air bagi DAS yang bersangkutan
sedangkan daerah penyaluran air berfungsi menyalurkan air yang berlebih (excess water)
dari sumber air ke daerah penampungan air yang berada di sebelah bawah DAS. Daerah
penampungan air dapat berupa danau atau laut. Dilihat dari segi hidologi, DAS
merupakan suatu kesatuan hidrologi yang bulat dan utuh.
Pengelolaan DAS dipandang sebagai suatu kesatuan sumberdaya darat.
Pengelolaan sumberdaya berpokok pada hubungan antara kebutuhan manusia dan
ketersediaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan itu. Pengelolaan diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan saat musim kemarau dan saat musim penghujan.
Menurut Notohadiprawiro (2006), penghijauan merupakan salah satu tindakan
pengelolaan DAS sebagai sumberdaya darat. Penghijauan perlu dikaitkan dengan
tindakan-tindakan lain yang berhubungan untuk memperoleh hasil yang baik. Penghijauan
beserta tindakan-tindakan penunjangnya pada asasnya bertujuan mengatur atau
mengendalikan “status quo” DAS sehingga dapat berfungsi dengan baik.
DAS merupakan suatu gabungan sejumlah sumberdaya darat yang saling
berkaitan dalam suatu hubungan saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang
lain. Ini berarti bahwa sifat dan kelakuan DAS ditentukan bersama oleh sifat dan kelakuan
semua faktor yang mempengaruhinya, terutama aktivitas yang dilakukan manusia.
Sumberdaya darat yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi DAS antara
lain iklim, tingkat kemiringan daratan, geologi, keadaan tanah, air, tumbuhan, tutupan
lahan, satwa, dan manusia. Tumbuhan dapat mempengaruhi iklim hayati setempat, suhu
udara, curah hujan, dan lama waktu penerimaan sinar matahari. Kemiringan lereng dan
kondisi tanah dapat mempengaruhi keadaan hidrologi permukaan dan keadaan vegetasi.
DAS merupakan suatu sistem sumberdaya darat yang dapat dimanfaatkan oleh
berbagai kelompok masyarakat. Tiap-tiap faktor yang mempengaruhi DAS memerlukan
penanganan yang berbeda-beda tergantung watak, kelakuan dan kegunaan masing-
masing. Karena berlainan kepentingan maka dapat terjadi bahwa suatu tindakan yang
baik untuk suatu DAS tertentu justru merupakan tindakan yang merugikan apabila
diterapkan pada DAS yang lain. Misalnya, penanaman jalur hijau untuk melindungi tebing
terhadap pengikisan atau terjadinya longsor, dapat mendatangkan kerugian atas
pengawetan sumberdaya air karena meningkatkan transpirasi yang dilakukan oleh
tanaman hijau. Dapat juga terjadi persaingan antara pemanfaatan tanah untuk
mendirikan bangunan dan untuk bercocok tanam. Hal ini menunjukkan bahwa
perencanaan pemanfaatan DAS hars bersifat komprehensif dan lebih mementingkan
pengoptimalan kombinasi luaran daripada pemaksimalan salah satu luaran saja.
Oleh karena banyak kelompok yang berkepentingan terhadap DAS maka harus
dipertimbangkan penggunaan alternatif menurut kepentingan yang berubah sejalan
dengan perkembangan kebutuhan dan keinginan semua kelompok. Tanpa perencanaan
tataguna yang memadai, penggunaan DAS dapat menjurus ke arah persaingan antar
berbagai kepentingan yang akhirnya hanya akan saling merugikan dan pada gilirannya
akan menimbulkan degradasi sumberdaya DAS yang tidak terkendali.
Menutut Notohadiprawiro (2006), DAS merupakan suatu kesatuan hidrologi yang
menanmpung air, mengalirkan air tampungan lewat suatu sistem saluran dari hulu ke hilir
dan berakhir di suatu tubuh air berupa danau atau lautan. Bersama dengan atmosfer dan
laut, DAS menjadi situs kelangsungan daur hidrologi. Hubungan hidrologi antara atmosfer
dan tubuh air bumi dapat berjalan secara langsung atau lewat peranan DAS. Terjadi pula
hubungan hidrologi langsung antara DAS dan atmosfer. Gambar 2.1 menggambarkan
hubungan hidrologi segitiga antara atmosfer, DAS dan lautan/danau. Bagian ini
memperlihatkan peranan DAS sebagai penghubung dua waduk air alam utama yaitu
atmosfer dan lautan/danau. Kenyataan ini menjadi dasar utama untuk pengelolaan DAS.
Gambar 2.1 Hubungan hidrologi yang disederhanakan antara atmosfer, DAS dan lautan/danau (Sumber : Notohadiprawiro,2006).
Setiap DAS cenderung mengalami erosi menyamping di daerah hulu, dan
pengendapan di daerah hilir termasuk pembentukan jalur kelokan di dataran pantai dan
pembentukan delta di depan kuala. Dilihat dari segi ini DAS merupakan suatu satuan
geomorfologi yang bersifat dinamik, dibentuk oleh proses-proses fluviatil dan memperolah
corak dan cirinya dari paduan dua golongan proses yang saling berlawanan. Proses yang
satu ialah degradasi di daerah hulu dan proses yang lain ialah agradasi di daerah hilir.
Dengan demikian ada proses pengalihan dari hulu ke hilir.
Pengelolaan DAS
Pengelolaan DAS biasanya ditujukan kepada pengelolaan dari faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas dari DAS. Maksud dari pengelolaan DAS yaitu mendapatkan
manfaat lengkap yang sebaik-baiknya dari DAS agar dapat berperan sesuai dengan
fungsinya dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam.
Dalam perencanaan pengelolaan DAS maka wilayah tersebut dibagi menjadi dua
satuan pengelolaan. Pertama, satuan pengelolaan hulu mencakup seluruh daerah tadahan
Atmosfer
DAS Lautan/Danau
air hujan. Kedua, satuan pengeloaan hilir mencakup seluruh daerah penyaluran air
sungai. Daerah tadahan air di daerah hulu sering dinamakan dengan istilah “watershed,”
sedangkan daerah bawahan dinamakan “commanded area (Roy dan Arora, 1973).
Menurut Roy dan Arora (1973), pengelolaan daerah tadahan ditujukan untuk
emncapai hal-hal sebagai berikut :
1. Mengendalikan aliran air permukaan yang dapat merusak sebagai usaha
mengendalikan banjir.
2. Memperlancar infiltrasi air ke dalam tanah.
3. Mengusahakan pemanfaatan aliran permukaan untuk maksud-maksud yang
berguna.
4. Mengusahakan semua sumberdaya tanah dan air untuk memaksimumkan
produksi.
Tujuan pengelolaan DAS di bagian hilir dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Mencegah atau mengendalikan anjir dan sidementasi yang merugikan sehingga
tidak merusak dan menurunkan kemampuan lahan.
2. Memperbaiki drainase lahan untuk meningkatkan kemampuannya.
3. Meningkatkan daya guna air dari sumber-sumber air
4. Meningkatkan daya resap air agar masuk ke dalam tanah.
Perlakuan terhadap DAS hulu merupakan bagian terpenting dari keseluruhan
pengelolaan DAS. Pengelolaan DAS hilir menentukan seberapa besar keuntungan yang
secara potensial dapat diperoleh karena pengelolaan DAS hulu benar-benar dapat
terwujudkan. Dengan kata lain, pengelolaan DAS hilir bertujuan meningkatkan daya
tanggapnya terhadap dampak pengelolaan DAS hulu. Pengelolaan DAS hilir berperan
melipatgandakan pengaruh perbaikan yang telah dicapai di DAS hulu. Menurut pandangan
ekologi, daerah hulu dekelola sebagai daerah penyumbang (donor) bahan dan energi,
atau boleh disebut sebagai lingkungan pengendali (conditioning environmental)
sedangkan daerah hilir sebagai daerah penerima (acceptor) bahan dan energi atau
lingkungan yang dikendalikan (commanded environmental). Dengan demkian pengelolaan
DAS harus bersifat menyeluruh dan dapat memadukan bagian hulu dan hilir menjadi satu
sistem pengelolaan (Notohadiprawiro,2006).
2.4 Siklus Hidrologi
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang banyak manfaatnya bagi
kebutuhan manusia. Sebagian besar air yang terdapat di alam ini berada dalam bentuk
cair. Air dapat berubah menjadi padat yaitu menjadi es dan dapat menguap menjadi uap
air.
Air tidak selalu statis berada pada suatu tempat, tetapi selalu mengalami
perpindahan dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Air dalam bentuk cair, akibat
panas matahari dapat berubah menjadi uap yang berkumpul menjadi awan. Akibat proses
pendinginan di atmosfer, awan tersebut dapat berubah menjadi hujan. Air hujan sebagian
meresap dalam tanah, sebagian menguap dan sebagian yang lain mengalir di atas
permukaan tanah. Air permukaan ini mengalir dan masuk dalam sungai, danau, dan ke
laut. Air yang berada di sungai, danau dan laut akan menguap lagi dan dengan demikian
akan terbentuk siklus hidrologi.
Menurut Hadidhy (2010), siklus hidrologi merupakan gerakan air di permukaan
bumi ke udara, kemudian jatuh ke permukaan tanah dan akhirnya mengalir ke sungai,
danau dan laut.
Air hujan yang jatuh di atas permukaan bumi, sebagian kecil akan meresap dalam
tanah, sedang yang lainnya akan menjadi limpasan permukaan. Air yang meresap dalam
tanah, ada yang keluar kembali ke permukaan melalui mata air, tetapi sebagain besar
akan tetap tersimpan dalam tanah (ground water). Air tanah ini umumnya membutuhkan
waktu yang relatif lama untuk dapat muncul kembali ke permukaan, yang biasa disebut
dengan limpasan air tanah. Semua bagian-bagian air yang disebut di atas pada akhirnya
akan mengalir menuju sungai, waduk, danau dan laut.
Pemanasan air yang ada di permukaan bumi oleh sinar matahari merupakan kunci
proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara terus menerus. Setelah air
mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara yang
berbeda :
1. Evaporasi : Air yang ada di laut, sungai, waduk dan danau akan menguap ke
atmosfer dan kemudian akan menjadi awan. Pada keadaan jenuh, awan tersebut
akan menjadi bintik-bintik air yang selanjutnya akan turun menjadi air hujan.
2. Infiltrasi : Air yang meresap dalam tanah melalui celah-celah dan pori-pori tanah
dan batuan akan menuju ke permukaan air tanah. Air dapat bergerak secara
vertikal dan horizontal di bawah permukaan tanah sehingga air tersebut akan
masuk kembali dalam sistem air permukaan.
3. Air Permukaan : Air bergerak di atas permukaan tanah dekat dengan aliran utama
atau danau. Makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran
permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada
daerah urban. Sungai-sungai akan bergabung satu sama lainnya dan membentuk
sungai utama yang membawa sebagain besar air permukaan di sekitar daerah
aliran sungai menuju laut. Air permukaan baik yang mengalir maupun yang
tergenang (pada danau, waduk dan rawa), dan sebagain air bawah permukaan
akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses
perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-komponen siklus hidrologi
yang membentuk sistem Daerah Aliran Sungai (DAS). Jumlah air di bumi secara
keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud dan tempatnya (Hadidhy,
2010).
Siklus hidrologi merupakan rangkaian proses berpindahnya air permukan bumi dari
suatu tempat ke tempat lainnya hingga kembali ke tempat asalnya
(http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://3.bp.blogspot.com/).
Siklus hidrologi dibedakan ke dalam tiga jenis yaitu :
1. Siklus Pendek : Air laut menguap kemudian melalui proses kondensasi berubah
menjadi butir-butir air yang halus atau awan dan selanjutnya hujan langsung jatuh
ke laut dan akan kembali berulang.
Gambar 2.2 Siklus hidrologi pendek (Sumber :(http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://3.bp.blogspot.com/)
2. Siklus Sedang : Air laut menguap lalu dibawa oleh angin menuju daratan dan
melalui proses kondensasi berubah menjadi awan lalu jatuh sebagai hujan di
daratan dan selanjutnya meresap ke dalam tanah lalu kembali ke laut melalui
sungai-sungai atau saluran-saluran air.
Gambar 2.3 Siklus hidrologi sedang (Sumber :(http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://3.bp.blogspot.com/)
3. Siklus Panjang : Air laut menguap, setelah menjadi awan melelui proses
kondensasi, lalu terbawa oleh angin ke tempat yang lebih tinggi di daratan dan
terjadilah hujan salju atau es di pegunungan-pegunungan yang tinggi. Bongkah-
bongkah es mengendap di puncak gunung dan karena gaya beratnya meluncur ke
tempat yang lebih rendah, mencair terbentuk gletser lalu mengalir melalui sungai-
sungai kembali ke laut.
Gambar 2.4 Siklus hidrologi panjang (Sumber :(http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://3.bp.blogspot.com/)
Secara lengkap, siklus hidrologi dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.5 Siklus hidrologi secara lengkap (Sumber :(http://bebasbanjir2025.files.wordpress.com/2008/10/sh1.jpg)
Berhubungan dengan siklus hidrologi tersebut, untuk memprediksi besarnya debit
air hujan maka perlu diketahui siklus hidrologi pada suatu wilayah. Hujan merupakan
suatu peristiwa siklus hidrologi yang terjadi hampir merata di suatu tempat. Ada wilayah
yang mempunyai curah hujan yang tinggi dan ada wilayah yang mempunyai curah hujan
yang rendah. Tinggi rendahnya curah hujan tersebut disebabkan oleh letak suatu wilayah
dan keadaan iklim setempat, serta kondisi kebasahan udara. Pada umumnya di lereng
gunung mempunyai curah hujan lebih besar dibandingkan di dataran rendah.
Terjadinya hujan disebabkan penguapan air terutama dari air permukaan laut
yang menguap ke atmosfer. Penguapan dari permukaan laut merupakan sumber utama
dari air hujan (Hadidhy, 2010). Curah hujan yang terbanyak adalah di daerah khatulistiwa
antara 5o sampai dengan 10o sebelah utara dan selatan equator.
Gangguan siklus hidrologi mengakibatkan banjir dan kekeringan, karena air hujan
yang seharusnya meresap ke dalam tanah menjadi air larian. Beban yang harus diterima
saluran atau sungai di hilir menjadi lebih besar. Gangguan seperti ini bisa dilihat pada
karakteristik sungai yang memiliki fluktuasi aliran cukup besar.
Pada musim hujan debit aliran air sungai sangat besar bahkan terlalu besar, tetapi
pada musim kemarau debit aliran air sungai sangat kecil bahkan kering sama sekali.
Idealnya fluktuasi aliran sungai tidak terlalu besar atau hampir seragam antara musim
kemarau dan musim penghujan.
Aliran air sungai pada musim kemarau berasal dari air di dalam tanah yang keluar
dari mata air. Kontribusi terbesar aliran sungai pada musim kemarau sebenarnya dari
mata air. Banjir disebabkan menurunnya kapasitas saluran atau sungai akibat proses
sedimentasi, buangan sampah atau bangunan air yang menghambat aliran.
Banjir yang terjadi di musim penghujan, karena sebagian besar air hujan yang
jatuh ke permukaan tanah dialirkan sebagai air larian yang akan terbuang percuma ke
laut. Akibat yang ditimbulkan adalah berkurangnya air yang meresap ke dalam tanah
yang berarti bahwa simpanan air di dalam tanah juga akan berkurang. Padahal simpanan
air yang berada dalam tanah yang memberikan kontribusi terhadap aliran air pada mata
air dan sungai pada musim kemarau. Banjir dan kekeringan yang sering terjadi hampir
setiap tahun, telah menunjukan adanya kerusakan lingkungan dalam skala yang cukup
luas.
Banjir dan kekeringan disertai pencemaran di beberapa bagian sungai merupakan
gambaran suatu krisis air yang sedang dan akan dihadapi pada masa mendatang. Usaha
mengatasi masalah banjir dan kekeringan adalah meningkatkan besaran resapan air ke
dalam tanah yang antara lain bisa dilakukan dengan menjaga kelestarian hutan dan
menghambat laju air larian melalui pembuatan sumur resapan.
Air hujan sebelum masuk ke saluran dibelokan terlebih dahulu ke sumur resapan
sehingga kesempatan air meresap ke dalam tanah menjadi lebih besar.
2.5 Sejarah Geologi Provinsi Sumatera Utara
Provinsi Sumatera Utara didominasi oleh formasi Bahorok, formasi tuffa Toba,
bentangan alluvial, serta formasi Klue dan Kuantan. Formasi Bahorok didominasi oleh
batuan breksi dan konglomeratan yang pada tahap awal akan membentuk tanah litosol.
Setelah mengalami perkembangan lebih lanjut akan terbentuk tanah podsolid. Pada
bahan konglomeratan yang kandungan luasannya di atas 60 % akan terbentuk tanah
rebosol yang umumnya bersifat masam dan bertektur sedang sampai kasar. Formasi tuffa
Toba didominasi oleh abu vulkan. Pada awalnya tanah ini berkembang dari podsolid
cokelat, podsolid cokelat kelabu kekuningan dan rebosol, dan di beberapa wilayah akan
membentuk tanah andosol cokelat. Tanah ini umumnya bersifat agak masam sampai
masam dan bertekstur bervariasi mulai dari halus sampai kasar. Formasi bentangan
alluvial umumnya terbentuk di sepanjang pantai timur Sumatera Utara. Dari bentangan
alluvial akan terbentuk tanah-tanah alluvial, rebosol, dan organosol. Tekstur tanah alluvial
tergantung dari bahan asalnya, pada umumnya sedang sampai kasar, sedangkan tanah
regosol bertekstur kasar.
Tanah organosol teksturnya tergantung pada tingkat kematangan gambut dan
umumnya bersifat masam. Formasi Klue dan Kelantan umumnya didominasi oleh batu
sasak, turbidite, batu pasir, batu gamping, dll. Dari bahan ini umumnya terbentuk tanah
litosol, podsolid, dan regosol dengan tekstur kasar dan bersifat kimia masam dan miskin
unsur hara. Formasi Nias umumnya dibentuk dari batuan kapur yang akan berkembang
menjadi tanah-tanah renzina yang mempunyai tekstur kasar dan sifat kimia agak basis.
Provinsi Sumatera Utara dodominasi oleh tanah litosol, podsolid, dan regosol, yaitu
seluas 1.601.601 hektar (22,34%) dari luas total Sumatera Utara yang tersebar di
Kabupaten Asahan, Dairi, Pakpak Bharat, Deli serdang, Karo, Labuhan Batu, Langkat,
Nias, Nias Selatan dan Tapanuli Selatan. Tanah ini sesuai untuk dikembangkan bagi
komoditi perkebunan seperti karet, kelapa sawit, dan tanaman keras lainnya.
Jenis tanah lainnya yang banyak dijumpai adalah podsolid merah kuning 16,35%,
hidromorfik kelabu, glei humus, dan regosol 11, 54%. Jenis tanah podsolid merah kuning
terdapat di Kabupaten Labuhan Batu, Langkat, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah.
Tanah hidromorfik kelabu terdapat di kabupaten Asahan, Deli Serdang, labuhan
batu, Langkat, Tebing Tinggi, Simalungun, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan
Tapanuli Utara, dan Toba Samosir.
Khusus untuk sebelah timur Batak Tumor jarang terdapat endapan neogin, tetapi
di cekungan minyak Aceh, sebelah utara Wampu, memperlihatkan kelipatan hebat di sisi
bukit Barisan yang makin ke timur makin lemah. Hal ini menunjukkan gejala kompresif
yang berasal dari Bukit Barisan.
Danau Toba yang terletak pada ketinggian sekitar 903 m diatas permukaan laut
dikelilingi oleh perbukitan yang kebanyakan telah gundul. Menurut sejarah kejadiannya
Danau ini merupakan danau vulkano tektonik. Danau ini terbentuk kira-kira 75.000 tahun
yang lalu yang diakibatkan oleh letusan gunung api dan ambiasnya tanah secara tektonik
(Gunung Api ini muncul di sistem sesar-sesar yang terbentuk di puncak suatu area
pengangkatan yang oleh Van Bemmelen disebut Batak Tumor). Letusan tersebut
membentuk lubang kawah raksasa, sehingga terjadilah sebuah danau. Bagian yang tidak
runtuh membentuk suatu pulau hingga saat ini yang dikenal dengan pulau Samosir.
2.6 Demografi dan Wilayah Administrasi Provinsi Sumatera Utara
Sumatera Utara merupakan provinsi ke empat yang terbesar jumlah penduduknya
di Indonesia setelah Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Menurut hasil
pencacahan lengkap sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara
adalah 12.985.075 orang, yang terdiri dari 6.479.051 laki-laki dan 6.506.024 perempuan.
Dari hasil sensus penduduk tersebut terlihat bahwa penyebaran penduduk di Provinsi
Sumatera Utara menurut Kabupaten/Kota rata-rata dibawah 5 persen, dan hanya lima
kabupaten/kota yang persebarannya diatas 5 persen (Badan Sensus Penduduk Provinsi
Sumatera Utara, 2010).
Tabel 2.1 Jumlah penduduk, kepadatan dan distribusi penduduk Sumatera Utara menurut kabupaten/kota.
No. Kabupaten/kota Jumlah penduduk (orang)
Kepadatan (org/km2)
Distribusi (persen)
1 Nias 232.329 135 1,02
2 Mandailing Natal 403.894 61 3,11
3 Tapanuli Selatan 264.108 61 2,03
4 Tapanuli Tengah 310.962 144 2,39
5 Tapanuli Utara 278.897 74 2,15
6 Toba Samosir 172.933 74 1,33
7 Labuhan Batu 414.417 162 3,19
8 Asahan 667.563 182 5,14
9 Simalungun 818.104 187 6,30
10 Dairi 269.848 140 2,08
11 Karo 350.479 165 2,70
12 Deli Serdang 1.789.243 720 13,78
13 Langkat 966.133 154 7,44
14 Nias Selatan 289.876 178 2,23
15 Humbang Hasudutan 171.678 75 1,32
16 Pakpak Bharat 40.481 33 0,31
17 Samosir 119.650 49 0,92
18 Serdang Bedagai 592.922 310 4,57
19 Batu Bara 374.535 414 2,88
20 Padang Lawas Utara 223.049 57 1,72
21 Padang Lawas 223.480 57 1,72
22 Labuhan Batu Selatan 277.549 89 2,14
23 Labuhan Batu Utara 331.660 94 2,55
24 Nias Utara 127.530 85 0,98
25 Nias Barat 81.461 150 0,53
26 Sibolga 84.444 7.841 0,65
27 Tanjung Balai 154.426 2.510 1,19
28 Pematang Siantar 234.885 2.937 1,81
29 Tebing Tinggi 145.188 3.777 1,12
30 Medan 2.109.339 7.957 16,24
31 Binjai 246.010 2.726 1,89
32 Padangsidempuan 191.554 1.671 1,48
33 Gunungsitoli 125.566 268 0,97
Lainnya 881 - 0,01
Jumlah
(Sumber : Badan Sensus Penduduk Provinsi Sumatera Utara, 2010).
Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Langkat adalah tiga
kabupaten/kota dengan urutan teratas yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di
Provinsi Sumatera Utara. Jumlah penduduk di tiga kabupaten/kota tersebut masing-
masing adalah kota Medan jumlah penduduknya sebesar 2.109.339 orang (16,24%),
Kabupaten Deli Serdang jumlah penduduknya sebesar 1.789.243 orang (13,78%), dan
kabupaten Langkat jumlah penduduknya sebesar 966.133 orang (7,44%). Sedangkan
kabupaten Pakpak Bharat merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk paling sedikit
yaitu sebesar 40.481 orang (0,31%).
Dengan luas wilayah Provinsi Sumatera Utara sebesar 71.680,68 km2, maka rata-
rata tingkat kepadatan penduduk di Provinsi Sumatera Utara adalah sebesar 181
orang/km2. Kabupaten/kota yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah
kota Medan yaitu sebesar 7.957 orang/km2, sedangkan yang paling rendah tingkat
kepadatan penduduknya adalah kabupaten Pakpak Bharat yaitu sebesar 33 orang/km2.
Berikut ini disajikan jumlah penduduk, kepadatan dan distribusi penduduk Sumatera Utara
menurut Kabupaten/kota (BPS Provinsi Sumatera Utara, 2010).
2.7 Pencegahan dan Pengendalian Banjir
Banjir pada dasarnya merupakan rangkaian dari siklus hidrologi. Siklus hidrologi
secara sederhana dapat diartikan sebagai pergerakan air dalam berbagai bentuk di dalam
suatu siklus yang tidak berujung pangkal. Air laut, air sungai, maupun air di permukaan
bumi di atas media apapun yang menguap ke atmosfer akan terkondensasi dan turun
kembali ke bumi dalam bentuk air hujan. Air hujan yang jatuh ke permukaan bumi ini
akan masuk dalam suatu sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) dan melalui berbagai proses
di dalam sistem DAS tersebut, air ini kemudian akan keluar menjadi aliran yang pada
akhirnya akan mengalir menuju sungai atau laut. Kuantitas, kualitas, maupun distribusi
dari hasil air ini akan sangat dipengaruhi oleh kuantitas, kualitas dan distribusi air hujan
yang jatuh dalam sistem DAS, kondisi biofisik DAS, maupun respon yang terjadi dalam
sistem DAS itu sendiri. Berbagai proses yang berpengaruh di dalam perubahan input
menjadi output antara lain intersepsi, evapotransiprasi, infiltrasi, perkolasi, aliran
permukaan, dan aliran bawah permukaan. Sedangkan faktor-faktor yang berperan dalam
proses yang terjadi di dalam sistem DAS tersebut adalah : bentuk DAS, topografi, kondisi
penutupan lahan, tekstur tanah, dan aktivitas manusia.
Dalam kaitannya dengan pencegahan banjir maupun kekeringan (dalam konsep
DAS, upaya mencegah banjir di musim penghujan dan mengurangi potensi bencana
kekeringan pada saat musim kemarau) maka upaya yang dilakukan adalah melakukan
beberapa kegiatan yang berpengaruh terhadap hasil air dengan sasaran untuk
memperkecil potensi banjir dan dampaknya melalui berbagai pendekatan yang efisien dan
efektif antara lain dengan penerapan teknik-teknik Konservasi Tanah dan Air (KTA) yang
tepat.
Konsep KTA yang baru pada saat ini telah berkembang menjadi lebih luas dan
komprehensif. KTA tidak hanya difokuskan pada proses yang berkaitan dengan erosi dan
akibat lanjutan dari erosi tetapi juga mencegah kerusakan tanah baik dari segi sifat
fisiknya akibat erosi, atau sifat kimianya akibat penurunan kesuburan dan memelihara
produktivitas lahan melalui kombinasi pengelolaan dan penggunaan tanah yang tepat.
Teknik KTA dalam pengendalian banjir adalah teknik manipulasi proses dalam
sistem DAS yang bertujuan untuk mengurangi debit aliran pada musim penghujan dan
mempertahan debit pada musim kemarau (salah satu indikator kondisi DAS yang baik
adalah kecilnya rasio debit maksimum dan minimum). Secara sederhana, teknik yang
dilakukan adalah untuk memelihara keseimbangan siklus hidrologi dalam sistem DAS
melalui upaya agar air hujan yang jatuh ke permukaan bumi lebih banyak tertahan dan
meresap dalam tanah sehingga dapat menambah persediaan air tanah sekaligus
menurunkan laju aliran permukaan agar tidak mengalir dalam jumlah dan kecepatan yang
membahayakan.
Dalam kaitannya dengan pengendalian dan pencegahan banjir upaya KTA yang
perlu diterapkan adalah upaya KTA pada permukaan lahan/bidang olah, KTA pada saluran
badan sungai, dan KTA pada daerah hilir/perkotaan. Yang pertama dan kedua adalah
kegiatan di bagian hulu dan tengah dalam sistem DAS, dan yang ketiga adalah kegiatan
di bagian hilirnya.
Pada intinya upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut di bagian hulu
adalah meningkatkan laju infiltrasi, menurunkan laju aliran permukaan, mencegah erosi
dan sidementasi, dan pada bagian hilir adalah meningkatkan kapasitas infintrasi.
2.7.1 Teras Sering
Teras sering merupakan teknik konservasi teknis sipil yang bisa diterapkan pada
daerah hulu DAS dalam upaya untuk menekan terjadinya erosi dan mempertahankan
produktivitas lahan. Pada prinsipnya teras sering adalah upaya manipulasi kemiringan
lahan sehingga dapat meningkatkan laju infiltrasi, memperkecil laju aliran permukaan
dan/atau aliran permukaan dapat dialirkan dengan aman mengalir dalam tanah. Beberapa
teras sering yang umum dibuat adalah teras bangku (bench terrace), teras
berlereng/teras gulud, teras berdasar lebar (broad based terrace).
a. Teras bangku
Pembuatan teras bangku dilakukan dengan merubah lereng curam menjadi
beberapa bidang olah (ledges) berlereng datar atau hampir datar dengan
dinding/tampingan vertikal atau hampir vertikal diantara bidang olah. Untuk
memperkuat tampingan biasa digunakan susunan batu, atau kayu/bambu, dan
pada tanah yang relatif stabil bisa dilakukan penanaman rumput sebagai penguat
tampingan teras. Teras bangku merupakan suatu pekerjaan teknik konservasi
tanah yang relatif besar dari segi kebutuhan biaya maupun tenaga, tetapi teras ini
diketahui sebagai teknik KTA yang paling optimal untuk diterapkan pada daerah
yang berlereng terutama pada kemiringan lereng di atas 10 – 35%. Bahkan pada
kasus tertentu dapat diterapkan pada kemiringan lereng di atas 50%. Untuk
mempertahan produktivitas tanah, syarat utama yang dibutuhkan adalah tanah di
lokasi tersebut mempunyai kedalaman efektif yang cukup dalam. Di samping
dapat mencegah tanah tererosi, dengan adanya teras ini aliran permukaan dapat
ditahan untuk kemudian diresapkan dalam tanah. Hal yang paling penting untuk
diperhatikan agar tujuan kegiatan konservasi tanah dapat tercapai adalah
penggunaan teknik yang tepat sesuai dengan kondisi lahan. Tanah di mana akan
dilakukan pembuatan teras bangku harus mempunyai tekstur yang baik. Tanah
dengan tekstur pasir dan kasar harus dihindari. Di samping itu tanah harus cukup
dalam sehingga pada saat dilakukan pemotongan, minimal 40 – 50 cm dari
kedalaman tanah semula masih tersedia (untuk tanaman tahunan). Hal ini sangat
penting untuk perkembangan akar diperlukan tanah yang cukup dalam. Untuk itu
penanaman tanaman tahunan pada bidang olah di teras bangku dilakukan di
bagian timbunan (di dekat tampingan) di mana tanah cukup dalam dan relatif
subur. Di samping kondisi wilayah, hal lain yang menjadi faktor penentu dalam
keberhasilan penerapan upaya konservasi tanah melalui teras bangku adalah
persetujuan petani. Tanpa persetujuan dan kesesuaian dengan keinginan petani
pemilik lahan maka upaya ini tidak akan berhasil dengan baik.
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada lahan dengan kemiringan lereng sekitar
30%, pembuatan teras bangku mampu menurunkan volume limpasan permukaan
sampai sekitar 90% dibandingkan kondisi lahan tanpa teras bangku (Hadinugroho,
2002).
b. Teras Gulud
Teras gulud merupakan upaya konservasi tanah yang sederhana. Gundukan tanah
yang dibuat memanjang sejajar kontur dan dilengkapi dengan saluran berfungsi
sebagai penahan laju limpasan permukaan dan erosi. Pada badan gulud dapat
ditanami dengan jenis-jenis rumput pakan ternak di mana selain berfungsi sebagai
penguat guludan juga bisa menghasilkan bahan pakan ternak. Aliran yang
tertahan di badan gulud akan terinfiltrasi ke dalam tanah. Di samping itu, sidemen
yang tertumpuk di badan gulud, secara perlahan dalam beberapa waktu akan
membentuk teras bangku secara alami.
c. Teras Berdasar Lebar
Teras berdasar lebar adalah teras yang mempunyai bidang olah lebar dan
dilengkapi saluran. Teras ini merupakan bentuk teras yang sederhana dari segi
konstruksi tetapi memerlukan areal yang cukup luas. Dibangun pada kemiringan
lereng di bawah 10%. Apabila dibangun pada tempat dengan kemiringan lereng
yang lebih curam, teras ini menjadi tidak efektif.
2.7.2 Mulsa
Mulsa merupakan salah satu teknik konservasi tanah yang cukup efektif untuk
lahan dengan kemiringan landasan. Jenis mulsa yang biasa digunakan antara lain adalah
jerami, batang rumput kering, limbah pembersihan lahan, sisa batang jagung, dll. Dengan
menghamparkan bahan-bahan di atas pada bidang olah, energi kinetik hujan bisa
diredam sehingga erosi bisa dikendalikan. Di samping itu dengan adanya mulsa ini laju
aliran dapat dikendalikan sementara laju infiltrasi meningkat.
2.7.3 Penanaman Dalam Strip
Teknik ini bisa diterapkan pada kemiringan sampai 6%. Pada daerah-daerah yang
tidak dimungkinkan dibangun teknik lain seperti teras bangku, maka penamanan tanaman
tahunan dalam strip merupakan alternatif yang sesuai. Sistem ini bisa digunakan untuk
melindungi suatu hamparan areal yang luas dengan lereng panjang yang telah diolah
menjadi areal luas yang terbuka dan rawan erosi. Strip tanaman yang digunakan bisa
tanaman tahunan terutama untuk jarak antar strip pendek dengan jalur tanaman tahunan
yang ditanam rapat dan permanen, dan/atau tanaman tahunan yang ditanam dalam
rotasi untuk jarak antar strip lebar.
2.7.4 Jalur Rumput
Jalur rumput adalah jalur tanaman rumput yang ditanam sejajar kontur yang
berfungsi menahan laju limpasan dan sidemen untuk diendapkan dan diresapkan dalam
tanah. Meskipun dari segi efektivitas masih lebih rendah dari teras bangku, tetapi dari
segi biaya, tenaga, maupun teknik, jalur rumput ini bisa digunakan sebagai pilihan. Di
samping itu manfaat lain yang bisa diperoleh adalah hasil panenan rumput dapat
digunakan sebagai sumber pakan ternak. Teknik ini tidak sesuai untuk diterapkan di
daerah yang kemiringan lerengnya tidak seragam, yang mengandung batuan pada
permukaanya, dan terdapat banyak parit. Untuk fungsi yang sama jalur rumput ini bisa
diganti dengan jalur tanaman penambat nitrogen (lamtoro, turi). Jalur ini juga dapat
difungsikan sebagai pagar hidup, penahan angin, sumber pakan ternak, dan sumber kayu
bakar.
Selain fungsi-fungsi di atas, dengan adanya jalur rumput atau tanaman penambat
nitrogen sejajar kontur ini diharapkan dapat terbentuk teras-teras alamiah sebagai hasil
dari pengendapan sidemen yang tertahan di bagian bawah jalur gamal. Dengan ini juga
diharapkan air hujan yang terinfiltrasi dalam tanah akan meningkat.
Dari hasil penelitian sejak tahun 1994 di Limboto, Provinsi Gorontalo, penggunaan
jalur rumput dapat menurunkan erosi sampai 95,33%. Sedangkan kombinasi antara
tanaman gamal dengan rumput dapat menekan erosi sampai 97,24%. Sedangkan dari
hasil penelitian yang dilakukan di lembah Palu, Sulawesi Tengah, dengan adanya jalur
gamal ini erosi dapat ditekan sampai 55% dibandingkan kondisi awal dan kemiringan
lereng dapat diturunkan sampai 10% dari lereng semula. Di samping itu melalui
pemangkasan secara periodik dapat dihasilkan hijauan rata-rata sebanyak 6 ton per
hektar/tahun (Balai Teknologi Pengelolaan DAS Ujung Pandang, 1999).
2.7.5 Rorak
Rorak merupakan suatu bangunan KTA yang berupa lubang galian dalam tanah
sejajar kontur dan berfungsi sebagai peresapan aliran permukaan dan penampung
sidemen. Dengan adanya rorak laju aliran permukaan yang membawa sidemen dapat
tertahan. Pada umumnya rorak dibuat pada kemiringan dibawah 15% dengan lebar 30
cm, dalam 50 – 60 cm dan panjang beberapa meter. Barisan rorak dibuat sejajar kontur
dengan jarak antar barisan tegantung pada kemiringan lereng. Semakin miring maka
jarak antar rorak semakin pendek. Pada umumnya jarak antar barisan rorak adalah 10
meter dengan jarak antar rorak sejajar kontur 2 m.
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Malino, Sulawesi Selatan sampai denagn
tahun kedua, pengamatan dengan adanya rorak, erosi dapat ditekan sampai sekitar 50 %
dibandingkan kondisi awal tanpa rorak (Balai Teknologi Pengelolaan DAS Ujung Pandang,
1996).
2.7.6 Saluran Pembuangan Air
Merupakan suatu saluran drainase menuruni lereng yang ditanami dengan rumput,
pasangan batu kosong, pasangan batu isi, dan lain-lain. Saluran ini dilengkapi dengan
bangunan terjunan yang berfungsi untuk memperlambat kecepatan aliran air. Pekerjaan
pembuatan Saluran Pembuangan Air (SPA) ini pada umumnya merupakan satu paket
kegiatan dengan pembuatan teras bangku.
2.7.7 Dam Pengendali
Dam pengendali merupakan salah satu bangunan fisik yang dibangun dalam
rangka meningkatkan air, mengembangkan daya guna air secara maksimal.
Dam pengendali pada umumnya dibangun di daerah hulu dengan tujuan antara
lain untuk pengendalian erosi daerah hulu sekaligus sebagai upaya pengamanan proyek-
proyek lebih besar yang berada di bawahnya. Dam pengendali merupakan bangunan
yang dibangun melintang saluran dengan tujuan untuk stabilitasi saluran melalui
pengendalian erosi pada dam dan tebing saluran. Di samping sebagai sarana
pengendalian erosi bangunan ini bisa juga dimanfaatkan sebagai sumber irigasi
persawahan di daerah sekitarnya, dapat juga untuk usaha perikanan. Walaupun dengan
luas yang relatif kecil, apabila dibangun dalam jumlah banyak di daerah hulu yang rawan
erosi dan rawan sidementasi, bangunan ini akan cukup efektif dalam upaya pengendalian
banjir terutama melalui fungsinya sebagai pengendali sidementasi sehingga pendangkalan
sungai mapun waduk atau bendungan yang berada di bawahnya dapat ditekan sekecil
mungkin.
2.7.8 Sumur Resapan
Sumur resapan merupakan rekayasa teknik konservasi air untuk daerah dengan
curah hujan tinggi. Bangunan ini terutama bermanfaat di daerah hilir terutama di
kawasan pemukiman baik di desa maupun perkotaan dimana banyak terdapat daerah
kedap air. Banyaknya daerah kedap air ini mengakibatkan volume aliran permukaan
menjadi besar akibat sedikitnya air hujan yang meresap ke dalam tanah. Di samping
sebagai sarana pengendali banjir, bangunan ini juga berguna untuk mencegah terjadinya
penurunan permukaan air tanah (drawdown piezometric surface) akibat eksploitasi air
tanah yang berlebihan.
Bangunan sumur resapan air adalah salah satu bentuk rekayasa teknik konservasi
air yang berupa bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai sumur gali
dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat menampung air hujan yang
jatuh dari atap rumah atau daerah kedap air dan meresapkannya ke dalam tanah
(Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1994).
Tujuan dari pembautan sumur resapan adalah :
1. Mengurangi volume air limpasan sehingga dapat menghemat biaya dalam
pembuatan saluran drainase.
2. Mencegah terjadinya genangan air
3. Mempertahankan tinggi permukaan air tanah akibat eksploitasi air tanah yang
berlebihan.
4. Mengurangi amblasan
5. Mengurangi instrusi air laut apabila dibangun di daerah pantai.
Pada daerah-daerah yang kedap air dan sering tergenang seperti di daerah
pemukiman dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Bangunan ini sangat efektif
dalam mengurangi potensi banjir dan genangan air. Dengan adanya sumur resapan ini
sejumlah air hujan yang jatuh di daerah kedap air akan dapat diresapkan dalam tanah
sehingga tidak mengalir menjadi aliran permukaan.
Bangunan ini direkomendasikan untuk dibangun pada daerah dengan kemiringan
kurang dari 25%. Apabila dibangun di daerah dengan kemiringan di atas 25%, justru
akan meningkatkan potensi longsoran.
Air yang akan masuk dalam sumur resapan antara lain berasal dari atap rumah
penduduk yang disalurkan melalui talang, dan masuk dalam sumur melalui pipa-pipa.
Dimensi sumur ditentukan berdasarkan perkiraan besarnya volume air limpasan pada
hujan maksimal yang jatuh pada luasan daerah kedap tertentu (luas atap rumah
tertentu). Untuk daerah pemukiman padat dimana hanya tersedia sedikit tanah kosong
maka saluran sumur bisa digunakan untuk menampung air dari atap beberapa rumah
sekaligus. Sedangkan untuk daerah pinggir kota dimana masih tersedia cukup lahan,
disarankan setiap rumah membangun sumur resapan sendiri.
2.8 Tantangan dan Kendala dalam Penerapan Teknik KTA
Tanah dan air merupakan aset utama bagi kelangsungan hidup manusia. Dengan
melestarikan fungsi tanah dan air, berarti akan memberikan kontribusi bagi kelangsungan
kehidupan manusia. Kenyataan ini seharusnya menjadi landasan pacu bagi setiap
pembuat kebijakan untuk meletakkan upaya konservasi tanah dan air pada posisi yang
lebih tinggi atau sejajar dengan aktivitas lain yang lebih berorientasi ekonomi jangka
pendek.
Kendala dalam penerapan teknik KTA antara lain :
1. Kondisi lahan
Pada umumnya luas pemilikan lahan di daerah hulu adalah kecil dan tersebar
sehingga untuk melaksanakan konservasi tanah yang efisien relatif sulit. Kendala ini dapat
diatasi melalui kerjasama antara pemilik lahan yang saling berdekatan tanpa harus
menghilangkan batas-batas kepemilikan.
2. Topografi
Pada daerah hulu yang didominasi topografi curam sampai sangat curam, teknik
konservasi yang diterapkan adalah teknik konservasi berbiaya tinggi. Tanpa dukungan
dari Pemerintah, maka petani tidak akan mampu melaksanakan upaya KTA tersebut.
Hal sebaliknya di daerah perkotaan di daerah hilir, kondisi topografi yang rata dan
beda tinggi dengan permukaan laut yang rendah, menyebabkan jaringan drainase tidak
efisien. Air yang berasal dari hulu yang mengalir melalui sungai maupun air hujan yang
masuk ke saluran tidak akan serta merta sampai ke laut karena kecepatan air sangat
rendah. Pada saat volume air tinggi maka air tersebut akan meluap di atas tebing sungai.
Jaringan drainase akan efisien apabila terdapat beda tinggi yang cukup dengan
permukaan air laut.
3. Manusia
Pada daerah hulu secara umum kebiasaan dalam bertani sangat berpengaruh
terhadap motivasi petani dalam melaksanakan kegiatan KTA. Petani yang biasa menanam
dalam baris tegak lurus kontur tanah (terutama untuk tanaman holtikultura seperti
kentang maupun jenis umbi-umbian lain), memerlukan waktu dan upaya penyadaran agar
mau dan bersedia merubah pola tanamnya sejajar kontur tanah. Dalam kaitannya dengan
kebiasaan dan perilaku manusia, kendala lainnya adalah berkembangnya perambahan
hutan dan sistem perladangan berpindah. Di samping itu, secara umum kesadaran petani
di Sumatera Utara, terutama petani di daerah hulu yang pada umumnya miskin tentang
pentingnya konservasi tanah sangat rendah. Perlu mengupayakan lahannya dengan baik
untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek. Sehingga pertimbangan yang berkaitan
dengan perlunya melestarikan produktivitas lahan sangat minim.
Di daerah hilir penggunaan pemanfaatan kawasan sempadan telah mengakibatkan
penyempitan badan sungai dan menghilangkan sifat alamiah sungai. Demikian juga
dengan konversi daerah peresapan (rawa, waduk, danau) menjadi kawasan pemukiman
maupun individu yang hanya dilandasi pertimbanganm kepentingan ekonomi sesaat.
4. Politik/Kelembagaan
Kebutuhan mendesak untuk memulihkan kondisi ekonomi dikuatirkan akan
memperlemah dukungan politik terhadap upaya pelestarian sumberdaya alam termasuk di
dalamnya kegiatan konservasi tanah dan air.
Dengan dimulainya otonomi daerah, ancaman terhadap pelestarian sumberdaya
alam cenderung meningkat. Pemerintah menyerahkan pengelolaan sebagian sumberdaya
alam yang ada di daerah untuk dikelola oleh Pemerintah daerah. Otonomi diberikan
kepada daerah dengan kewenangan yang nyata dan bertanggung jawab secara
proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan. Pembagian pemanfaatan sumberdaya
nasional serta pembagian keuangan pusat daerah yang sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta mempertimbangkan
potensi keanekaragaman daerah.
Dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa
daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang terdapat di wilayahnya dan
bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Di mata pemerhati lingkungan, jauh sebelum otonomi
daerah mulai berlaku, ada kekuatiran dan pesimisme dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Di samping kesiapan sumber daya manusia di tingkat daerah, belum adanya perauran-
peraturan pada tingkat daerah yang secara jelas mengatur implementasi otonomi daerah
menjadi dasar timbulnya kekuatiran-kekuatiran tersebut. Ada semacam upaya
membandingkan antara dampak diterapkannya otonomi daerah terhadap pembangunan
daerah maupun peningkatan kesrejahteraan masyarakat secara langsung di satu sisi
(jangka pendek) dengan kerusakan sumberdaya lingkungan di sisi lain (dalam jangka
panjang).
Dalam sektor kehutanan, kekuatiran yang muncul adalah bahwa hutan akan
menjadi target utama dalam upaya peningkatan pendapatan asli daerah. Konversi hutan
dan over eksploitasi akan menjadi-jadi atas nama peningkatan pendapatan asli daerah. Di
samping itu, dikuatirkan kegiatan-kegiatan yang sifatnya kelestarian berorientasi ekologi,
akan dikalahkan oleh kegiatan yang berorientasi ekonomi.
Pada DAS yang melintas daerah otonom, pelaksanaan kegiatan pengendalian dan
pencegahan banjir apabila tidak dilakukan koordinasi dengan baik antar daerah maka
dikuatirkan akan sia-sia, karena tidak adanya keterpaduan baik dalam tataran konsep
maupun pelaksanaan. Belum adanya lembaga khusus lintas daerah yang menjembatani
kepentingan antar daerah dalam peneglolaan DAS juga menjadi kendala dalam
pelaksanaan upaya KTA.
5. Keterbatasan Data dan Informasi
Dalam penerapan teknik KTA sangat diperlukan data-data dasar baik yang
berkaitan dengan karakteristik biofisik DAS (tanah, iklim, jarinagn sungai, dll) maupun
sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang berada di sekitar DAS tersebut. Di samping
itu data dan informasi lainnya yang sangat diperlukan adalah data mengenai berbagai
teknik KTA yang sesuai untuk diterapkan pada daerah dengan kondisi tertentu
(persyaratan teknik dari berbagai teknik KTA). Sampai dengan saat ini data dan informasi
tersebut di atas masih sangat kurang.
2.9 Kondisi Kebencanaan Di Provinsi Sumatera Utara
Provinsi Sumatera Utara memiliki banyak wilayah yang rawan bencana, baik
bencana alam maupun bencana yang disebabkan oleh manusia. Bencana dapat
disebabkan oleh beberapa faktor seperti kondisi geografi, geologis, iklim maupun faktor-
faktor lain seperti keragaman sosial, budaya dan politik.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana antara lain :
1. Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made
hazards) yang menurut United Nation International Strategy for Disaster
Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological
hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorplogical hazards), bahaya biologi
(biological hazards), bahaya teknologi (techmological hazards), dan penurunan
kualitas lingkungan (environmental degradation).
2. Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-
elemen di dalam kota/kawasan yang berisiko bencana.
3. Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen dalam masyarakat.
Wilayah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis dengan dua musim yaitu
musim kemarau dan musim penghujan, dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu
dan arah angin yang cukup ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi
topografi permukaan dapat menimbulkan beberapa akibat buruk seperti terjadinya
bencana banjir. Seiring dengan berkembangnya waktu dan meningkatnya aktivitas
manusia, kerusakan lingkungan hidup cenderung semakin parah dan hal ini memicu
meningkatnya jumlah kejadian dan intensitas bencana banjir di Provinsi Sumatera Utara.
Meskipun pembangunan di Provinsi Sumatera Utara telah dirancang dan didesain
sedemikian rupa dengan dampak lingkungan yang minimal, proses pembangunan tetap
menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem. Pembangunan yang selama
ini bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam menyebabkan hilangnya daya dukung
sumber daya ini terhadap kehidupan masyarakat. Dari tahun ke tahun sumber daya hutan
di wilayah ini semakin berkurang, sementara itu pengusahaan sumber daya mineral juga
mengakibatkan kerusakan ekosistem yang secara fisik sering dapat menyebabkan
peningkatan risiko bencana banjir.
2.10 Landasan Pengurangan Risiko Bencana
Pelaksanaan pengurangan risiko bencana di Provinsi Sumatera Utara merupakan
bagian dari upaya pengurangan risiko bencana di tingkat nasional. Agar dapat terlaksana
dengan efektif dan efisien, upaya pengurangan risiko bencana di Provinsi Sumatera Utara
perlu didukung dengan landasan yang kuat dengan mengacu pada kesepakatan-
kesepakatan nasional serta peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Undang-Undang Dasar 1945 memuat pasal-pasal yang berhubungan dengan
kewajiban Negara Republik Indonesia untuk melindungi rakyatnya dari bencana. Pada
alinia keempat Pembukaan UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa “Negara Republik
Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia.” Dengan demikian Pemerintah Indonesia berkewajiban memberikan
perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan dari ancaman
bencana dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang kemudian diterjemahkan
ke dalam pasal-pasalnya.
Berbagai Undang-Undang dan Peraturan telah ditetapkan dalam upaya
memberikan perlindungan kepada rakyat dari bencana seperti Undang-Undang Nomor 6
tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kesejahteraan Sosial. Undang-Undang Nomor 20, tahun
1982 tentang Ketentuan Umum Pertahanan dan Keamanan Negara. Undang-Undang
Nomor 4, tahun 1984 tentang Penyakit Menular. Undang-Undang Nomor 32, tahun 1992
tentang Kesehatan. Undang-Undang Nomor 24, tahun 1992 tentang Perencanaan Tata
Ruang. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang
Nomor 22, tahun 2001 tentang Minyak dan Gas. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002,
tentang Pertahanan Negara. Undang-Undang Nomor 32, tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah. Undang-Undang Nomor 7, tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Undang-
Undang Nomor 24, tahun 2007 tentang Penaggulangan Bencana.
Sesuai amanat kesepakatan di tingkat nasional dan regional, pengurangan risiko
bencana wajib dijadikan salah satu prioritas pembangunan nasional. Pemerintah Daerah
Provinsi Sumatera Utara harus berkomitmen untuk segera melaksanakan kesepakatan
tersebut dengan memasukkan upaya pengurangan risiko bencana ke dalam kerangka
pembangunan daerah.
2.11 Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010 - 2014
Untuk menghadapi peningkatan potensi dan kompleksitas bencana di masa depan
dengan lebih baik, Indonesia memerlukan suatu rencana yang sifatnya terpadu,
terkoordinasi dan menyeluruh. Rencana ini menjadi salah satu bagian kesiapsiagaan
penanggulangan bencana yang ada di Indonesia. Rencana ini menggambarkan kondisi
yang diinginkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam lima tahun (2010 – 2014) ke
depan mengenai penanggulangan bencana, dimulai dari identifikasi ancaman bencana,
analisis resiko bencana sampai dengan program kegiatan dan fokus prioritas yang akan
diambil (Direktorat Pengurangan Risiko Bencana Deputi Bidang Pencegahan dan
Kesiapsiagaan, 2010).
Rencana Nasional Penanggulangan Bencana merupakan wujud dari upaya
pemerintah terkait untuk merumuskan program-program kegiatan dan fokus prioritas
penanggulangan bencana. Penyusunan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana
merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana.
Rencana Nasional Penanggulangan Bencana adalah sebuah dokumen resmi yang
memuat data dan informasi tentang risiko bencana yang ada di Indonesia dalam kurun
waktu antara tahun 2010 – 2014, dan rencana pemerintah untuk mengurangi risiko-risiko
tersebut melalui program-program kegiatan. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana
memuat upaya-upaya pengurangan risiko bencana yang efektif, penanganan kondisi
tanggap darurat yang efisien dan upaya pemulihan yang tepat sasaran. Program kegiatan
dalam Rencana Nasional Penanggulangan Bencana disusun berdasarkan visi dan misi
penanggulangan bencana dan rencana tindakan yang harus diambil sesuai dengan
manajemen risiko. Dalam pelaksanaannya perlu dipadukan dalam perencanaan
pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Undang-Undang No. 24, tahun
2007.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2010), visi Penanggulangan
bencana Indonesia adalah “Ketangguhan Bangsa dalam Menghadapi Bencana.” Misi
penanggulangan bencana Indonesia ada 3 yaitu:
1. Melindungi bangsa dari ancaman bencana melalui pengurangan risiko.
2. Membangun sistem penanggulangan bencana yang handal.
3. Menyelenggarakan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi, dan menyeluruh.
Tujuan penyusunan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010 – 2014
adalah :
1. Mengidentifikasikan daerah berisiko tinggi dari berbagai bencana yang ada di
Indonesia dan menyusun pilihan tindakan yang perlu mendapat perhatian utama,
berikut program kegiatan, fokus prioritas, dan anggaran indikatif yang diperlukan.
2. Memberikan acuan kepada kementerian dan lembaga pemerintah dan seluruh
pemangku kepentingan penanggulangan bencana di Indonesia agar dapat
melaksanakan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi,
dan menyeluruh.
Rencana Nasional Penanggulangan Bencana merupakan rencana pemerintah lintas
sektoral yang berlaku selama lima tahun. Secara khusus, perencanaan dan tindakan
penanggulangan bencana menjadi salah satu prioritas utama dalam Rencana
Pemabangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan terpadukan dalam program-
program pembangunan dalam dokumen tersebut. Dengan demikian, dokumen Rencana
Nasional Penanggulangan Bencana selanjutnya akan menjadi arah dalam melakukan
pengarusutamaan berbagai kebijakan dan program penanggulangan bencana. Dengan
mengacu RPJMN maka pemerintah setiap tahun akan menyusun Rencana Kerja
Pemerintah sebagai penjabaran dan operasionalisasi RPJMN yang memuat kerangka
regulasi, kerangka anggaran, dan rincian program.
Untuk memastikan terlaksananya perencanaan dan tindakan penanggulangan
bencana, maka Rencana Nasional Penanggulangan Bencana diintegrasikan ke dalam
RPJMN 2010 – 1014. Beberapa kelompok teknis dilibatkan dalam pengkajian ancaman
dan kerentanan serta penilaian risiko bencana, terutama tim yang beranggotakan pakar
dari perguruan tinggi. Di masa yang akan datang, proses penyusunan seperti ini
diharapkan akan terus berkembang, sehingga akan diperoleh suatu pedoman pengkajian
ancaman dan kerentanan serta penilaian risiko bencana yang baku. Kegiatan selanjutnya
dapat dilaksanakan melalui konsultasi teknis, baik yang berasal dari pihak swasta maupun
kalangan akademis, seperti yang telah banyak dilakukan di negara lain.
Para pemangku kepentingan yang meliputi asosiasi-asosiasi pemerintah daerah,
lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi profesi, dan pihak swasta, media serta
publik yang lebih luas dilibatkan dalam memberikan masukan dalam penyusunan Rencana
Nasional Penanggulangan Bencana. Pelaksanaannya dilakukan melalui lokakarya
perencanaan, konsultasi publik, dan masukan melalui berbagai media publik.
Rencana Nasonal Penanggulangan Bencana 2010 – 2014 merupakan wujud dari
komitmen pemerintah dalam bidang penanggulangan bencana yang dituangkan dalam
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Rencana Nasonal
Penanggulangan Bencana merupakan pedoman bagi kementerian/Lembaga, Rencana Aksi
Nasional Pengurangan Risiko Bencana, dan merupakan pedoman bagi daerah dalam
menyusun Rencana Penanggulangan Bencana Daerah (RPBD) dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM Daerah).
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2010), kaidah-kaidah
pelaksanaan Rencana Nasonal Penanggulangan Bencana adalah sebagai berikut :
1. Kementerian, lembaga Pemerintah, pemerintah daerah, serta masyarakat
termasuk dunia usaha mengacu Rencana Nasonal Penanggulangan Bencana 2010
– 1014.
2. Kementerian, Lembaga Pemerintah berkewajiban menyusun rencana strategis
yang berperspektif pengurangan risiko bencana sesuai dengan tugas dan fungsi
masing-masing dengan berpedoman pada Rencana Nasonal Penanggulangan
Bencana 2010 – 2014.
3. Pemerintah Daerah berkewajiban menyusun Rencana Penanggulangan Bencana
Daerah, yang akan menjadi pedoman dalam menyusun Rencana Strategis Satuan
Kerja Perangkat Daerah dengan memperhatikan Rencana Nasonal
Penanggulangan Bencana 2010 – 2014.
4. Kementerian dan Lembaga Pemerintah berkewajiban menjamin konsistensi antara
Rencana Nasonal Penanggulangan Bencana 2010 – 2014 dengan Rencana
Strategis Kementerian/Lembaga yang berkaitan dengan isu kebencanaan.
5. Pemerintah Daerah berkewajiban menjamin konsistensi antara Rencana Nasonal
Penanggulangan Bencana 2010 – 2014 dengan Rencana Penanggulangan Bencana
Daerah serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM Daerah).
6. Dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan Rencana Nasonal
Penanggulangan Bencana 2010 – 2014, Badan Nasonal Penanggulangan Bencana
dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional berkewajiban untuk
melakukan pemantauan terhadap penjabaran Rencana Nasonal Penanggulangan
Bencana 2010 – 2014 ke dalam Rencana Startegis Kementerian/Lembaga,
Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB) 2010 – 2012 dan
Rencana Penanggulangan Bencana Daerah serta Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah.
2.12 Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Georafis atau Geographic Information System (GIS) merupakan
suatu sistem informasi yang berbasis komputer, dirancang untuk bekerja dengan
menggunakan data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Sistem ini
mengcapture, mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan
menampilkan data yang secara spasial mereferensikan kepada kondisi bumi. Teknologi
SIG mengintegrasikan operasi-operasi umum database, seperti query dan analisa statistik,
dengan kemampuan visualisasi dan analisa yang unik yang dimiliki oleh pemetaan.
Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan Sistem Informasi lainya yang
membuatnya menjadi berguna berbagai kalangan untuk menjelaskan kejadian,
merencanakan strategi, dan memprediksi apa yang terjadi (Charter, 2004).
Teknologi Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk investigasi ilmiah,
pengelolaan sumber daya, perencanaan pembangunan, kartografi dan perencanaan rute.
Misalnya, SIG bisa membantu perencana untuk secara cepat menghitung waktu tanggap
darurat saat terjadi bencana alam, atau SIG dapat digunaan untuk mencari lahan basah
(wetlands) yang membutuhkan perlindungan dari polusi.
Tahun 1967 merupakan awal pengembangan SIG yang bisa diterapkan di Ottawa,
Ontario oleh Departemen Energi, Pertambangan dan Sumber Daya, Kanada.
Dikembangkan oleh Roger Tomlinson, yang kemudian disebut CGIS (Canadian GIS - SIG
Kanada), digunakan untuk menyimpan, menganalisis dan mengolah data yang
dikumpulkan untuk Inventarisasi Tanah Kanada (CLI - Canadian land Inventory) - sebuah
inisiatif untuk mengetahui kemampuan lahan di wilayah pedesaan Kanada dengan
memetakaan berbagai informasi pada tanah, pertanian, pariwisata, alam bebas, unggas
dan penggunaan tanah pada skala 1:250000. Faktor pemeringkatan klasifikasi juga
diterapkan untuk keperluan analisis.
Canadian GIS merupakan sistem pertama di dunia dan hasil dari perbaikan aplikasi
pemetaan yang memiliki kemampuan timpang susun (overlay), penghitungan,
pendijitalan/pemindaian (digitizing/scanning), mendukung sistem koordinat national yang
membentang di atas benua Amerika, memasukkan garis sebagai arc yang memiliki
topologi dan menyimpan atribut dan informasi lokasional pada berkas terpisah.
Pengembangya, seorang geografer bernama Roger Tomlinson kemudian disebut "Bapak
SIG".
CGIS bertahan sampai tahun 1970-an dan memakan waktu lama untuk
penyempurnaan setelah pengembangan awal, dan tidak bisa bersaing dengan aplikasi
pemetaan komersil yang dikeluarkan beberapa vendor seperti Intergraph. Perkembangan
perangkat keras mikro komputer memacu vendor lain seperti ESRI, CARIS, MapInfo dan
berhasil membuat banyak fitur SIG, menggabung pendekatan generasi pertama pada
pemisahan informasi spasial dan atributnya, dengan pendekatan generasi kedua pada
organisasi data atribut menjadi struktur database. Perkembangan industri pada tahun
1980-an dan 1990-an memacu lagi pertumbuhan SIG pada workstation UNIX dan
komputer pribadi. Pada akhir abad ke-20, pertumbuhan yang cepat di berbagai sistem
dikonsolidasikan dan distandarisasikan menjadi platform lebih sedikit, dan para pengguna
mulai mengekspor menampilkan data SIG lewat internet, yang membutuhkan standar
pada format data dan transfer.
Gambar 2.6 Peta Hasil dari Sistem Informasi Geografis (Sumber :wikipedia.org/wiki/Berkas:GVSIG_GIS.jpg)
Indonesia sudah mengadopsi sistem ini sejak Pelita ke-2 ketika LIPI mengundang
UNESCO dalam menyusun "Kebijakan dan Program Pembangunan Lima Tahun Tahap
Kedua (1974-1979)" dalam pembangunan ilmu pengetahuan, teknologi dan riset.
Seperti di negara lain, di Indonesia pengembangan SIG dimulai di lingkungan
pemerintahan dan militer. Perkembangan SIG menjadi pesat semenjak ditunjang oleh
sumberdaya yang bergerak di lingkungan akademis.
Sistem Informasi Geografis dapat dimanfaatkan untuk mempermudah dalam
mendapatkan data-data yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau
obyek. Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data
atribut dalam bentuk digital. Sistem ini merelasikan data spasial (lokasi geografis) dengan
data non spasial, sehingga para penggunanya dapat membuat peta dan menganalisa
informasinya dengan berbagai cara. SIG merupakan alat yang handal untuk menangani
data spasial, dimana dalam SIG data dipelihara dalam bentuk digital sehingga data ini
lebih padat dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel, atau dalam bentuk konvensional
lainya yang akhirnya akan mempercepat pekerjaan dan meringankan biaya yang
diperlukan (Darmawan, 2006).
Ada beberapa alasan yang mendasari mengapa perlu menggunakan SIG, alasan
yang mendasarinya adalah (Rahman, 2008):
1. SIG menggunakan data spasial maupun atribut secara terintergarsi
2. SIG dapat memisahkan antara bentuk presentasi dan basis data
3. SIG memiliki kemampuan menguraikan unsur-unsur yang ada dipermukaan
bumi ke dalam beberapa layer atau coverage data spasial.
4. SIG memiliki kemampuan yang sangat baik dalam menvisualisasikan data
spasial berikut atributnya.
5. Semua operasi SIG dapat dilakukan secara interaktif.
6. SIG dengan mudah menghasilkan peta-peta tematik.
7. SIG sangat membantu pekerjaan yang erat kaitanya dengan bidang spasial dan
geoinformatika.
Posisi GIS dengan segala kelebihannya, semakin lama semakin berkembang
bertambah dan bervarian. Pemanfaatan GIS semakin meluas meliputi pelbagai disiplin
ilmu, seperti ilmu kesehatan, ilmu ekonomi, ilmu lingkungan, ilmu pertanian, militer dan
lain sebagainya.
2.13 Penelitian Yang Relevan
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan bencana banjir antara lain yang
dilakukan oleh Hardaningrum, dkk. (2005), yang berjudul “Analisis Genangan Air Hujan di
Kawasan Delta Dengan Menggunakan Pengindraan Jauh dan SIG.” Hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa terjadinya genangan air disebabkan oleh banyak faktor antara lain,
faktor alamiah dan faktor tindakan manusia. Faktor alamiah diindikasikan oleh curah
hujan yang tinggi, topografi suatu daerah dan kondisi alam daerah itu. Sedangkan faktor
tindakan manusia antara lain, perubahan tata guna lahan akibat penggundulan hutan dan
perluasan kota. Genangan air akan terjadi jika ada kelebihan antara debit perhitungan
dengan debit hasil pengukuran.
Purwaningsih, dkk (2005) melakukan penelitian dengan judul “Analisa Daerah
Rawan Banjir di Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan Menggunakan Citra AVHRR/NOAA-
16.” Bencana banjir mempunyai frekuensi yang relatif lebih tinggi dibandingkan bencana
gempa bumi dan tsunami, sehingga apabila diakumulasikan bencana ini ternyata
menimbulkan kerugian yang lebih besar dibandingkan bencana gempa bumi dan tsunami.
Salah satu cara memperkecil risiko terjadinya banjir adalah dengan memperkirakan kapan
suatu daerah akan berpotensi terlanda banjir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
26 kabupaten di Pulau Jawa, 42 Kabupaten di Pulau Sumatera, dan 21 lokasi genangan di
Pulau Kalimantan.
Antoko dan Sukmana (2007) melakukan penelitian yang berjudul “Karakteristik
Fisik Sub Daerah Aliran Sungai Batang Gadis, Mandailing Natal, Sumatera Utara.” Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Sub DAS Aek Pohan dan Batang Pungkut mempunyai
kemampuan menyimpan air yang rendah sampai sedang, sehingga berpotensi mengalami
penggenangan. Bentuk DAS dari Aek Pohan dan Batang Pungkut adalah memanjang,
sedangkan pola aliran DAS mengikuti pola aliran paralel, di mana risiko terhadap bencana
banjir dan tanah longsor sangat tinggi jika terjadi kerusakan hutan pada daerah hulu.
Sistem lahan dominan adalah pegunungan dan perbukitan dengan penggunaan lahan
berupa pertanian/tegalan yang dominan pada kemiringan lebih dari 40%. Kondisi
sidementasi pada wilayah Batang Pungkut lebih besar dibandingkan Aek Pohan yang
disebabkan karena konversi lahan menjadi pertanian/tegalan tanpa memperhatikan
kemiringan tanah dan jenis tanah yang ada.
Sanudin dan Antoko (2007) melakukan penelitian yang berjudul “ Kajian Sosial
Ekonomi Masyarakat di DAS Asahan, Sumatera Utara.” Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa kepadatan penduduk di DAS Asahan adalah 732 orang/km2 sehingga termasuk
kategori padat. Pendapatan per kapita penduduk yang tinggal di DAS Asahan rata-rata
adalah sebesar Rp. 9.672.207/orang/tahun. Pertumbuhan ekonomi sebesar 5,87% pada
tahun 2004 lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2004 sebesar
5,13%. Struktur ekonomi industri berada di Kabupaten Toba Samosir dan Asahan,
sedangkan struktur pertanian berada di Kabupaten Simalungun dan Kota Tanjung Balai.
Sitompul (2008) melakukan penelitian yang berjudul “Pemodelan Spasial Daerah
Rawan Banjir di Daerah Aliran Sungai Deli dengan Menggunakan Sistem Informasi
Geografis dan Analytical Hierarchy Process.” Sepanjang aliran Sungai Deli terdapat
beberapa kerusakan, terutama di bagian hulu dan kondisi hutan di hulu Sungai Deli
tinggal 7,59% dari 48.162 hektar areal DAS Deli. Hal ini menyebabkan terjadinya
perubahan debit air secara tajam pada saat musim kemarau dan musim penghujan. Saat
musim penghujan, terjadi penambahan debit air yang sangat besar sehinnga dapat
menyebabkan terjadinya banjir terutama pada bagian hilir DAS Deli. Dalam penelitian ini
tingkat potensi rawan banjir dibagi menjadi 4 tingkatan yaitu tidak rawan, sedang, rawan,
dan sangat rawan.
Yulianto, dkk. (2009), melakukan penelitian dengan judul “Model Simulasi Luapan
banjir Sungai Ciliwung di Wilayah Kampung Melayu-Bukit Duri, Jakarta.” Penelitian ini
menggunakan pendekatan model spasial untuk mengetahui dampak luapan banjir
terhadap penggunaan lahan yang ada di daerah penelitian. Hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa pada skenario maksimum 2,00 m, akan tergenang areal seluas 5,10
ha perumahan teratur; dan 80,82 ha perumahan tidak teratur; 2,22 ha ruang terbuka;
5,09 Ha tanah jasa; 40,39 ha tanah perusahaan dan 18,83 ha area jalan.
Kusuma, dkk. (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Studi Pengembangan
Peta Indeks Risiko Banjir pada Kelurahan Bukit Duri, Jakarta.” Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa Kalurahan Bukit Duri memiliki risiko yang besar terhadap bencana
banjir akibat tingginya indeks bencana dan kerentanan serta kapasitas yang rendah. Hal
ini dikarenakan persentase area genangan cukup besar sementara banyak terdapat
jaringan pipa/kabel dan potensi bahaya kolateral. Selain itu tidak terdapat pompa dan
tanggul yang memadai, sedangkan intervensi optimis tidak menaikkan kapasitas secara
signifikan. Peta risiko banjir memberikan informasi berupa tingkat risiko banjir di suatu
daerah. Dengan adanya peta ini maka akan membantu menentukan langkah dan prioritas
penanganan banjir yang sesuai pada daerah tersebut.
Irsan (2011) melakukan penelitian yang berjudul “Kajian Kerawanan Banjir di
Wilayah Daerah Aliran Sungai Padang Menggunakan Sistem Informasi Geografis.” Daerah
Aliran Sungai Padang (di Sumatera Utara) tergolong sebagai DAS Prioritas I Nasional
karena menunjukkan kondisi dan permasalahan biofisik dan sosial ekonomi yang paling
kritiis. Penelitian ini mengkaji kekritisan daerah rawan resapan, potensi yang dimiliki oleh
berbagai unit lahan sebagai pemasok air banjir dan persebaran daerah rawan banjir di
wilayah DAS Padang. Hasil penelitian menyatakan bahwa peningkatan kekritisan dan
tingginya potensi pasokan air banjir terjadi sebagai akibat perubahan penggunaan lahan
dan pemanfaatan ruang yang tidak tepat. Wilayah rawan banjir tersebut dengan berbagai
tingkat kerawanan di wilayah DAS Padang, dengan tingkat kerawanan banjir tertinggi
berada di wilayah Kota Tebing Tinggi dan di bagian hilir DAS Padang yang berada di
wilayah Kabupaten Serdang Bedagai.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Sistem Informasi Geografis, Universitas
Negeri Medan. Sebagai objek penelitian adalah wilayah Provinsi Sumatera Utara. Waktu
pelaksanaan penelitian dari bulan April sampai September 2011.
3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG)
untuk menghasilkan pemetaan resiko bencana banjir di Provinsi Sumatera Utara. Dalam
penelitian ini, peta risiko bencana banjir di Provinsi Sumatera Utara dihasilkan dengan
melibatkan 5 (lima) variabel yaitu :
1. Peta kemiringan lereng
2. Peta tutupan lahan
3. Peta bentuk lahan
4. Peta curah hujan tahunan
5. Peta Daerah Aliran Sungai (DAS).
Peta kerentanan banjir yang dibuat dalam penelitian ini diturunkan dari gabungan
peta kemiringan lereng, peta tutupan lahan, peta bentuk lahan, peta curah hujan dan
peta DAS yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Kerentanan banjir dalam penelitian ini
dibagi menjadi 4 kelas risiko yaitu :
1. Kelas risiko aman dengan interval antara 5,0 – 9,0.
2. Kelas risiko rendah dengan interval antara 9,1 – 13,0.
3. Kelas risiko menengah dengan interval antara 13,1 – 17,0.
4. Kelas risiko tinggi dengan interval antara 17,1 – 21,0.
Peta yang digunakan sebagai peta dasar adalah peta Rupa Bumi Indonesia (RBI).
Peta RBI selalu berisi data kontur yang dapat dipakai untunk menghitung lereng. Peta RBI
juga selalu berisi data hidrografi (sungai, danau, pantai), jaringan transportasi, vegetasi
(hutan dan sawah), batas administrasi dan nama-nama geografis.
Semua data pada peta RBI disintesis untuk menghasilkan berbagai peta-peta baru,
seperti peta kemiringan lereng, peta tutupan lahan, peta bentuk lahan, peta curah hujan,
dan peta DAS. Dengan menggabungkan kelima variabel tersebut dapat dihasilkan peta
risiko bencana banjir di wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Tabel 3.1 Sumber data yang digunakan untuk pemetaan risiko bencana banjir di wilayah Provinsi Sumatera Utara
No Variabel Data yang Dibutuhkan Sumber Data
1. Peta kimiringan lereng
- DEM
- Kontur
- SRTM 90m
- Peta Rupa Bumi
Indonesia.
2. Peta tutupan lahan
- Tutupan lahan - Analisis Citra Landsat
3. Peta bentuk lahan - Peta bentuk lahan dan jenis
tanah.
Balai Besar Litbang
Sumberdaya Lahan Pertanian
4. Peta Curah hujan
tahunan
- Data curah hujan Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
5. Peta Daerah Aliran Sungai
(DAS)
- Jaringan sungai Peta Rupa Bumi Indonesia.
Data kejadian banjir di wilayah Propinsi Sumatera Utara dikumpulkan dari sumber
website dan hasil-hasil penelitian. Data tersebut dipilahkan dan dikaji untuk
mendiskripsikan pengaruh masing-masing variabel penelitian yang meliputi kemiringan
lereng, tutupan lahan, bentuk lahan, curah hujan, dan DAS terhadap banjir yang secara
riel telah terjadi di wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan peta risiko bencana yang telah dihasilkan dapat dihitung luasan areal
di tingkat Kabupaten/kota dan di tingkat kecamatan tentang risiko bencana banjir yang
berpotensi terjadi pada wilayah tersebut.
Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi 4 tahap, yaitu : 1. Pengumpulan Data 2.
Pengolahan Data 3. Penyaji Data 4. Penyampaian Hasil Penelitian.
1. Pengumpulan Data
Pada tahap pengumpulan data, dilakukan studi pustaka yang bersifat teoritis
maupun teknis yang berhubungan dengan kajian bencana banjir. Selanjutnya, dilakukan
inventarisasi data yang diperlukan dan pengumpulan bahan penelitian, seperti Landsat
ETM, Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), peta kemiringan lereng, peta bentuk lahan dan
jenis tanah, jaringan sungai, curah hujan, dan DAS.
2. Pengolahan Data
Data yang diolah dapat dikategorikan menjadi 2 bagian yaitu : 1. Data Citra Satelit
2. Data Peta Tematik. Langkah awal yang dilakukan untuk data citra satelit adalah
dengan koreksi geometri dan koreksi radiometri pada Landsat-7 ETM. Koreksi geometri
bertujuan untuk mengembalikan posisi piksel sehingga dapat dilihat gambaran objek di
permukaan bumi yang terekam oleh sensor. Pada koreksi ini, sistem koordinat atau
proyeksi peta tertentu dijadikan sebagai rujukan, sehingga dihasilkan citra yang
mempunyai sistem image to map yaitu peta Rupa Bumi Indonesia sebagai peta acuannya.
Koreksi radiometri bertujuan untuk memperbaiki kualitas visual citra dan sekaligus
memperbaiki nilai-nilai piksel yang tidak sesuai dengan pantulan atau pancaran spektral
objek yang sebenarnya. Nilai digital minimum merupakan nilai koreksi.
Pada tahap pengolahan data dilakukan pengolahan citra digital. Pengolahan citra
digital merupakan basis penelitian sebab pada tahap ini sebagian besar data dan
informasi variabel penelitian yang nantinya akan dijadikan sebagai input diperoleh melalui
tahap ini. Pada tahap ini dilakukan ekstraksi data dan informasi dari citra satelit yang
sebelumnya telah diperoleh pada tahap pengumpulan data.
Di samping pengolahan citra digital, beberapa informasi yang diperoleh dari data
sekunder juga diproses dalam tahap ini dengan cara pendigitan ulang data sekunder.
Selanjutnya dilakukan interpolasi untuk mendapatkan variabel pendukung dalam
penentuan resiko bencana. Peta tematik yang diperoleh kemudian dianalisis untuk
memperoleh peta tingkat resiko bencana banjir. Analisis dilakukan secara kuantitatif yaitu
dengan pengharkatan. Masing-masing variabel diberi bobot yang berbeda sesuai dengan
pengaruhnya terhadap tingkat resiko bencana. Faktor yang berpengaruh kecil terhadap
resiko bencana diberi skor yang rendah sedangkan faktor yang berpengaruh besar
terhadap resiko bencana diberi skor yang tinggi. Masing-masing peta yang sudah diberi
skor di overlay untuk zona kerentanannya.
Penilaian resiko (risk assessment) akan meliputi dua faktor penting yang saling
terkait yaitu bahaya (hazards) dan kerentanan (vulnerability) (Pusat Mitigasi Bencana ITB,
Juni 2005). Kelas kerentanan bencana dibagi menjadi 4 kelas yaitu : 1. Aman 2. Rendah
3. Menengah 4. Tinggi. Bobot masing-masing kelas diperoleh dengan formula sebagai
berikut :
R = H x V (1)
Keterangan :
R = Kelas resiko
H = Potensi Bencana
V = Kerentanan
Lebar interval masing-masing kelas diperoleh dengan rumus :
I = R/N (2)
Keterangan :
I = Lebar Interval
R = Jumlah skor tertinggi – jumlah sekor terendah
N = Jumlah Kelas
3. Penyajian Data
Data yang diperoleh dikumpulkan dan dianalisis dan disajikan secara deskriptif,
tabular dan peta. Penyajian zona resiko bencana dipresentasikan dalam bentuk citra, peta
tematik untuk memperoleh visualisasi yang lebih nyata.
4. Penyampaian Hasil Penelitian
Setelah peta resiko bencana banjir yang ada di Provinsi Sumatera Utara dihasilkan,
maka selanjutnya dilakukan penyampaian hasil penelitian. Penyampaian hasil penelitian
ini dimaksudkan agar hasil-hasil penelitian ini dapat diterima dan dibaca oleh orang
banyak sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan di Provinsi
Sumatera Utara, yang berkaitan dengan penataan ruang, desain struktur bangunan, dan
penanggulangan bencana banjir.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Provinsi Sumatera Utara secara geografis terletak pada koordinat 1° - 4° Lintang
Utara dan 98° - 100° Bujur Timur. Secara administratif luas wilayah Provinsi Sumatera
Utara adalah 71.680,68 km2 (BPS Provinsi Sumatera Utara, 2010).
Sumatra Utara pada dasarnya dapat dibagi atas 4 wilayah yaitu, (a) Pesisir Timur
(b) Pegunungan Bukit Barisan (c) Pesisir Barat (d) Kepulauan Nias. Pesisir timur
merupakan wilayah yang paling pesat perkembangannya karena persyaratan infrastruktur
yang relatif lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga merupakan
wilayah yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan wilayah lainnya. Di
daerah tengah, berjajar Pegunungan Bukit Barisan. Di pegunungan ini ada beberapa
dataran tinggi yang merupakan kantong-kantong konsentrasi penduduk. Tetapi jumlah
hunian penduduk paling padat berada di daerah Timur. Daerah di sekitar Danau Toba dan
Pulau Samosir menjadi tempat tinggal penduduk yang menggantungkan hidupnya kepada
Danau Toba. Pesisir barat biasa dikenal sebagai daerah Tapanuli. Provinsi Sumatera Utara
terdiri dari 419 pulau. Pulau-pulau terluar adalah pulau Simuk (di kepulauan Nias), dan
pulau Berhala di selat Malaka. Sumatera Utara dibagi menjadi 25 kabupaten dan 8 kota,
325 kecamatan, dan 5.456 kalurahan/desa (Error! Hyperlink reference not valid.).
Sumatera Utara merupakan provinsi yang keempat terbesar jumlah penduduknya
di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Menurut hasil sensus
penduduk 2010, jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Utara adalah sebesar 12.985.075
orang, yang terdiri atas 6.479.051 laki-laki dan 6.506.024 perempuan. Kota Medan,
Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Langkat merupakan tiga kabupaten/kota dengan
urutan teratas yang memiliki jumlah penduduk terbanyak. Jumlah penduduk kota Medan
adalah sebesar 2.109.339 orang (16,24 %), jumlah penduduk kabupaten Deli Serdang
adalah sebesar 1.789.243 orang (13,78 %), dan jumlah penduduk kabupaten Langkat
adalah sebesar 966.133 orang (7,44 %). Kabupaten Pakpak Bharat merupakan kabupaten
dengan jumlah penduduk paling sedikit yang berjumlah 40.481 orang (0,31 %). Dengan
luas wilayah Provinsi Sumatera Utara 71.680,68 km2 maka rata-rata tingkat kepadatan
penduduk di Provinsi Sumatera Utara adalah sebanyak 181 orang per kilo meter persegi.
Kabupaten/kota yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah kota Medan
yaitu 7.957 orang per kilo meter persegi, sedangkan yang paling rendah adalah
kabupaten Pakpak Bharat dengan kepadatan penduduk sebesar 33 orang per kilo meter
persegi (BPS Provinsi Sumatera Utara, 2010). Gambar 4.1 menunjukkan peta Provinsi
Sumatera Utara.
Gambar 4.1 Peta Administrasi Provinsi Sumatera Utara
Secara adminstrasi Provinsi Sumatera Utara dibagi menjadi 33 Kabupaten/ Kota
yang terdiri dari 25 Kabupaten dan 8 Kota. Tabel 4.1 menyajikan kabupaten/kota yang
ada di Provinsi Sumatera Utara.
Tabel 4.1 Administrasi Provinsi Sumatera Utara
No. Kabupaten/Kota Ibukota Luas (km2) Luas (%)
1. Kabupaten Asahan Kisaran 3.686,91 5,17
2. Kabupaten Batubara Limapuluh 957,71 1,34
3. Kabupaten Dairi Sidikalang 1.982,05 2,78
4. Kabupaten Deli Serdang Lubuk Pakam 2.613,58 3,66
5. Kab. Humbang Hasundutan Dolok Sanggul 2.205,21 3,09
6. Kabupaten Karo Kabanjahe 2.158,81 3,03
7. Kabupaten Labuhanbatu Rantau Prapat 2.716,57 3,81
8. Kab. Labuhanbatu Selatan Kota Pinang 3.255,92 4,56
9. Kab. Labuhanbatu Utara Aek Kanopan 3.550,61 4,98
10. Kabupaten Langkat Stabat 6.186,23 8,67
11. Kabupaten Mandailing Natal Panyabungan 6.324,05 8,87
12. Kabupaten Nias Gunung Sitoli 766,95 1,08
13. Kabupaten Nias Barat Lahomi 745,72 1,05
14. Kabupaten Nias Selatan Teluk Dalam 2.487,69 3,49
15. Kabupaten Nias Utara Lotu 1.114,37 1,56
16. Kabupaten Padang Lawas Sibuhuan 4.708,83 6,60
17. Kab. Padang Lawas Utara Gunung Tua 2.511,92 3,52
18. Kabupaten Pakpak Bharat Salak 1.289,58 1,81
19. Kabupaten Samosir Pangururan 1.603,88 2,25
20. Kabupaten Serdang Bedagai Sei Rampah 1.973,38 2,77
21. Kabupaten Simalungun Raya 4.447,44 6,23
22. Kabupaten Tapanuli Selatan Sipirok 4.621,46 6,48
23. Kabupaten Tapanuli Tengah Pandan 2.380,18 3,34
24. Kabupaten Tapanuli Utara Tarutung 3.605,38 5,05
25. Kabupaten Toba Samosir Balige 2.093,71 2,94
26. Kota Binjai Binjai Kota 59,04 0,08
27. Kota Gunungsitoli Gunung Sitoli 233,22 0,33
28. Kota Medan Medan 276,41 0,39
29. Kota Padangsidempuan Padang Sidempuan 569,53 0,80
30. Kota Pematangsiantar Pematang Siantar 54,21 0,08
31. Kota Sibolga Sibolga 42,12 0,06
32. Kota Tanjung Balai Tanjung Balai 79,02 0,11
33. Kota Tebing Tinggi Tebing Tinggi 33,46 0,05
4.2 Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini, peta risiko bencana banjir di Provinsi Sumatera Utara
dihasilkan dengan melibatkan 5 (lima) variabel yaitu :
1. Peta kemiringan lereng
2. Peta tutupan lahan
3. Peta bentuk lahan
4. Peta curah hujan tahunan
5. Peta Daerah Aliran Sungai (DAS).
4.2.1 Peta Kemiringan Lereng
Peta kemiringan lereng diturunkan dari peta rupabumi skala 1 : 250.000. Dari hasil
analisis DEM (Digital Elevation Model) yang diturunkan dari data SRTM (Shuttle Radar
Topographic Mission), diperoleh informasi bahwa wilayah penelitian (daratan) berada
pada elevasi 0 – 2812 m di atas permukaan laut (dpl), dan kemiringan lereng bervariasi
antara : 0 - 65°. Gambar 4.2 menunjukkan peta Digital Elevation Model (DEM) Provinsi
Sumatera Utara.
Gambar 4.2 Peta Digital Elevation Model (DEM) Provinsi Sumatera Utara
Berdasarkan pada peta kemiringan lereng (Gambar 4.3) maka ternyata di bagian
sebelah timur dari wilayah Provinsi Sumatera Utara merupakan daerah yang datar. Di
samping itu, ada sebagian kecil di bagian sebelah barat yang berdekatan dengan pantai
barat Sumatera juga merupakan wilayah yang datar. Wilayah yang datar ini merupakan
daerah pertanian yang subur dan padat penduduknya. Bila terjadi bencana banjir di
wilayah ini maka akan mengakibatkan kerugian yang besar baik kerugian jiwa, hasil
pertanian dan rusaknya sarana dan prasarana transportasi serta fasilitas irigasi. Gambar
4.3, menunjukkan peta kemiringan wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Gambar 4.3 Peta kemiringan lereng Provinsi Sumatera Utara
Berdasarkan atas peta kemiringan lereng di wilayah Provinsi Sumatera Utara
terlihat bahwa di bagian tengah yang memanjang dari utara ke selatan merupakan
dataran tinggi yang curam dengan kemiringan lereng di atas 25%. Biasanya wilayah ini
bila terjadi bencana banjir akan diikuti dengan tanah longsor. Berdasarkan atas kejadian
banjir yang secara riel telah terjadi di wilayah Propinsi Sumatera Utara berkaitan dengan
peta kemiringan lereng maka kondisi yang terjadi di lapangan adalah sebagai berikut :
Terjadinya hujan deras di desa Tongging, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo,
pada hari Jum’at, 4 Pebruari 2011, telah menyebabkan banjir bandang yang bercampur
lumpur akibat tanah longsor yang merendam 70 rumah warga dan 40 rumah mengalami
rusak berat. Air dengan ketinggian 50 cm tersebut meluap dari Sungai Sigumbang yang
menyebabkan banjir dan tanah longsor. Ada enam titik longsor yang menyebabkan
putusnya jalan menuju desa Sikodon-kodon, Paropo, Silalahi serta beberapa desa lainnya
(Starberita.com, 4 Pebruari 2011).
Hujan deras yang mengguyur Mandailing Natal pada hari Selasa, 30 Nopember
2010 mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Banjir menerjang daerah Rantau Baek
yang letaknya sekitar 5 jam dari kota Madina. Sedangkan, bencana tanah longsor
menerjang daerah Batang Natal. Hanya puing bangunan berserakan yang saat ini
menghiasi desa Simpang Talap, Kecamatan Ranto Baek, Mandailing Natal, Sumatera
Utara, salah satu desa terparah yang dilanda banjir bandang. Tidak hanya itu, puluhan
rumah warga juga hanyut tidak bersisa. Selain menyapu desa Simpang Talap, banjir juga
menyapu empat desa lain yaitu : Desa Muarabongko, Manisak, Hutaraja, dan Desa
Hutabaringin. Banjir bandang terjadi akibat meluapnya Sungai Simpang Talap, di
Kecamatan Ranto Baek (Indosiar.com, 2010).
Desa Tongging, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo dan desa Simpang Talap,
Kecamatan Ranto Baek, Kabupaten Mandailing Natal merupakan wilayah yang terletak
dengan kemiringan lereng yang curam. Pada daerah dengan kondisi alam seperti ini,
terjadinya curah hujan yang tinggi di wilayah tersebut dapat mengakibatkan bencana
banjir sekaligus bencana tanah longsor.
Kemiringan lereng berpengaruh besar terhadap terjadinya bencana tanah longsor
yang biasanya terjadi pada wilayah dataran tinggi dengan tingkat kemiringan yang curam,
ketika wilayah tersebut dilanda banjir.
Mengingat kondisi alam yang ada di wilayah Propinsi Sumatera Utara terutama di
bagian tengah yang memanjang dari utara ke selatan merupakan daerah dataran tinggi
dengan kemiringan yang curam maka bencana banjir yang diikuti oleh tanah longsor
dapat juga terjadi di kabupaten/kota lain seperti di Kabupaten Langkat, Toba Samosir,
Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasudutan, Dairi, Padang Lawas, dan Padang Lawas
Utara.
4.2.2 Peta Tutupan Lahan
Peta tutupan lahan dihasilkan dari Analisis Citra Landsat dan Peta penutupan lahan
kehutanan. Gambar 4.4, menyajikan gambar analisis Citra Landsat Provinsi Sumatera
Utara.
Gambar 4.4 Analisis Citra Landsat Provinsi Sumatera Utara
Dalam pembuatan peta tutupan lahan yang dilakukan dalam penelitian ini
dibedakan menjadi 5 (lima) kelas yaitu :
1. Kelas wilayah lahan terbuka, sungai, waduk dan rawa yang diberikan skor 5
2. Kelas wilayah pemukiman, kebun, tanaman pekarangan yang diberikan skor 4.
3. Kelas wilayah pertanian, sawah, dan tegalan yang diberikan skor 3.
4. Kelas wilayah perkebunan yang diberikan skor 2.
5. Kelas wilayah hutan diberikan skor 1.
Semakin tinggi skor wilayah tutupan lahan mencerminkan bahwa wilayah tersebut
akan semakin berpotensi mengalami risiko bencana banjir. Wilayah lahan terbuka, sungai,
waduk dan rawa yang diberikan skor 5 (tertinggi), artinya wilayah ini merupakan wilayah
yang paling berpotensi mengalami risiko banjir. Wilayah hutan diberikan skor 1
(terendah), karena wilayah hutan merupakan wilayah yang paling kecil berpotensi
mengalami risiko banjir.
Berdasarkan atas analisis Citra Landsat dan peta tutupan lahan kehutanan maka
dapat dihasilkan peta tutupan lahan di Provinsi Sumatera Utara (Gambar 4.5).
Gambar 4.5 Peta Penutupan Lahan Provinsi Sumatera Utara
Berdasarkan atas peta penutupan lahan yang dihasilkan dalam penelitian ini maka
terlihat bahwa wilayah hutan di Provinsi Sumatera Utara sudah banyak mengalami
pengurangan. Hal ini diperkuat oleh beberapa hasil penelitian. Cahyana dan Parlan
(2004), melaporkan bahwa kerusakan hutan di Provinsi Sumatera Utara sebesar
1.045.595,762 ha. Di samping itu, terjadi kerusakan hutan lainnya yang diakibatkan oleh
pembakaran dan penebangan yaitu sebesar 165.001.15 ha. Sehingga jumlah kerusakan
yang terjadi adalah sebesar 1.367.643,15 ha dari jumlah semula yaitu sebesar 3.675.918
ha.
Siboro (2010) melaporkan bahwa dalam kurun waktu 2004 – 2010 lahan kritis di
Sumatera Utara bertambah sebesar 805.337,93 ha, yakni dari 1.665.908,68 ha pada
tahun 2004 menjadi 2.471.246,61 ha pada tahun 2010. Sehingga laju penambahan lahan
kritis dalam kurun waktu 6 tahun tersebut adalah 134.222,99 ha/tahun.
Berdasarkan hasil Tim Investigasi Koalisi Ornop menyimpulkan bahwa kerusakan
hutan inilah sebagai salah satu penyebab utama banjir bandang yang terjadi di Bahorok,
Kabupaten Langkat pada hari Minggu malam, 3 Nopember 2003. Tim investigasi Koalisi
Ornop menemukan adanya tumpukan kayu bekas tebangan di lokasi kejadian. Tidak jauh
dari lokasi bencana banjir juga terdapat kawasan hutan muda bekas tebangan.
Sementara di lokasi lain ditemukan adanya bekas tunggul kayu dan potongan kayu
(Institut Studi Arus Informasi, 2004).
Kerusakan hutan yang terjadi di Kabupaten Mandailing Natal juga telah
mengakibatkan terjadinya banjir bandang yang terjadi pada hari Selasa, 15 September
2009 (Waspada Online, 2009). Hal ini diperkuat oleh Koordinator Divisi Advokasi Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara yang mengatakan bahwa berdasarkan temuan
Walhi dalam kasus banjir di Mandailing Natal, penyebabnya adalah rusaknya kawasan
hutan lindung. Kerusakan terjadi karena hierarki struktural pemerintah hingga aturan
hukum yang melanggengkan praktek yang menimbulkan kerusakan hutan
(http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/09/04130462/23.DAS.di.Sumatera.Utara.Ber
potensi.Ekstrem.Banjir).
Investigasi Tim Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara dan Komunitas
Peduli Hutan Sumatera Utara (KPHSU) menemukan hutan di hulu lokasi bencana itu
mengalami kerusakan yang serius. Hasil Citra Satelit SPOT 4 tahun 2007 menunjukkan,
kawasan hutan lindung yang masuk kawasan hutan Sidoar-doar sudah rusak oleh
pembangunan jalan produksi dan aktivitas penebangan. Tutupan hutan yang seharusnya
hijau penuh bercak-bercak dan garis-garis putih yang artinya pohon telah ditebang atau
kawasan hutan telah dibuat jalan. Ribuan titik longsor oleh aktivitas produksi secara
kasatmata bisa terlihat (Dishut.jabarpos.go.id, 2008).
Secara umum di Sumatera Utara, kawasan kritis terus bertambah. Pada tahun
2004 terdapat 1.665.908,68 ha atau 26,53% lahan kritis di Sumatera Utara. Angka lahan
kritis itu terus bertambah bukan berkurang meskipun gerakan rehabilitasi dilaksanakan.
Pada tahun 2010, Kepala BPDAS Wampu Ular, melaporkan seluas 2.471.246,61 ha atau
35,14% lahan di Sumatera Utara berupa lahan kritis. Dengan demikian terdapat
penambahan seluas 805.337,93 ha lahan kritis di Sumatera Utara dalam kurun waktu 6
tahun yaitu dari tahun 2004 s/d 2010. Berdasarkan data BP DAS Wampu Ular dan BP DAS
Asahan Barumun diketahui rehabilitasi lahan di Sumatera Utara selama 5 tahun terakhir
seluas 85.047,77 ha atau hanya 17.009,55 ha per tahun. Sementara pada saat
bersamaan, laju penambahan lahan kritisnya mencapai 134.222,99 ha per tahun. Terlihat
jelas, kerusakan hutan dan lahan jauh melebihi kapasitas untuk memperbaiki. Oleh
karena itu, dengan luas lahan kritis pada tahun 2010 sebesar 2.471.246,61 ha diperlukan
waktu rehabilitasi lebih dari 145 tahun. Itu hanya dapat dicapai bila tidak ada
penambahan lahan kritis baru (Onrizal, 2011).
Berdasarkan atas data-data yang telah dikumpulkan di atas dapat disimpulkan
bahwa kerusakan hutan yang menimbulkan berkurangnya tutupan lahan berpengaruh
besar terhadap terjadinya banjir yang secara riel telah terjadi di wilayah Propinsi
Sumatera Utara.
4.2.3 Peta Bentuk Lahan
Untuk menghasilkan peta risiko bencana banjir maka dalam penelitian ini, juga
dibutuhkan variabel peta bentuk lahan. Dalam membuat peta bentuk lahan maka dalam
penelitian ini lahan dibagi menjadi 5 (lima) kelas yaitu :
1. Kelas bentuk lahan kelompok karst, tuf Toba masam, volkan yang diberi skor 1.
2. Kelas bentuk lahan kelompok pegunungan dan plato, perbukitan, dan aneka
bentuk diberi skor 2.
3. Kelas bentuk lahan kubah gambut diberi skor 3.
4. Kelas bentuk lahan kelompok aluvial diberi skor 4.
5. Kelas bentuk lahan kelompok dataran, kelompok teras marin dan kelompok marin
diberi skor 5.
Semakin tinggi skor yang diberikan menunjukkan bahwa lahan tersebut semakin
berpotensi untuk terjadinya bencana banjir. Berdasarkan atas pemberian skor bentuk
lahan maka dihasilkan peta bentuk lahan di Provinsi Sumatera Utara (Gambar 4.6).
Gambar 4.6 Peta Bentuk Lahan Provinsi Sumatera Utara
Berdasarkan atas peta bentuk lahan di wilayah Provinsi Sumatera Utara maka
terlihat bahwa wilayah di sepanjang pantai timur Sumatera Utara merupakan marine
group dan alluvial group. Demikian juga di wilayah sepanjang pantai barat Sumatera
Utara juga memiliki bentuk lahan berupa marine group dan alluvial group. Ini berarti
bahwa kedua wilayah ini mempunyai potensi besar mengalami risiko bencana banjir.
4.2.4 Peta Curah Hujan Tahunan
Peta curah hujan tahunan dibuat berdasarkan data curah hujan tahunan di wilayah
Provinsi Sumatera Utara yang tercatat oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika, 2011). Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang jatuh pada tempat
datar dengan aumsi tidak menguap, tidak meresap dan tidak mengalir. Curah hujan
biasanya diukur dalam milimeter. Curah hujan 1 mm adalah air hujan setinggi 1 mm yang
jatuh (tertampung pada tempat yang datar seluas 1m2, mengalir sebagai air permukaan
dan meresap ke dalam tanah (BMKG Stasiun Klimatologi Sampali Medan, 2011).
Data curah hujan yang digunakan adalah data rata-rata curah hujan tahunan
selama 3 tahun. Sumber data dari Stasiun Klimatologi Sampali, Medan. Tabel 4.2 berikut
menunjukkan data curah hujan tahunan selama 3 tahun di Sumatera Utara.
Tabel 4.2 Data curah hujan rata-rata tahunan selama 3 tahun di Sumatera Utara
No Stasiun Curah hujan Th. 2007
(mm)
Curah hujan Th. 2008
(mm)
Curah hujan Th. 2009
(mm)
Rata-rata
(mm)
1 Sampali 2.732 2.213 2.184 2.376
2 Polonia 2.513 2.442 2.804 2.586
3 Belawan 2.621 3.207 2.730 2.853
4 Tanjung Morawa - - - -
5 Kuta Gadung 2.012 1.944 1.354 1.770
6 Marihat RS 2.993 3.673 2.892 3.186
7 Pinang Sori 4.042 4.510 3.701 4.084
8 Gurgur Balige - - - -
9 Gabe Hutaraja 2.885 2.990 2.426 2.767
10 Binaka Gn.Sitoli 3.403 3.023 2.663 3.030
11 Sidamanik 1.380 2.859 2.286 2.175
12 Sitinjao - 2.927 2.488 2708
13 Gunung Pamela - - - -
14 Aek Torop - - - -
15 Tongkoh 1.792 3.049 2.178 2.340
Sumber : BMKG Stasiun Klimatologi Sampali, Medan (2011).
Dalam pembuatan peta curah hujan di Provinsi Sumatera Utara, maka curah hujan
yang turun dalam suatu wilayah yang berada di Propinsi Sumatera Utara dikelompokkan
menjadi 4 kelas yaitu :
1. Wilayah dengan curah hujan kurang dari 2000 mm/tahun dberi skor 1.
2. Wilayah dengan curah hujan antara 2001 – 3000 mm/tahun diberi skor 2.
3. Wilayah dengan curah hujan antara 3001 – 4000 mm/tahun diberi skor 3.
4. Wilayah dengan curah hujan lebih besar dari 4001 mm/tahun diberi skor 4.
Berdasarkan atas data curah hujan rata-rata selama 3 tahun maka dihasilkan peta
curah hujan di Provinsi Sumatera Utara seperti yang tertera pada Gambar 4.7.
Gambar 4.7 Peta Curah Hujan Tahunan Provinsi Sumatera Utara
Terjadinya curah hujan ekstrim pada bulan Juni 2011 seperti yang telah dilaporkan
oleh BMKG Stasiun Klimatologi Sampali, Medan (2011), menunjukkan bahwa wilayah
Sumatera Utara sudah terimbas perubahan iklim global. Salah satu akibat dari perubahan
iklim global adalah terjadinya akumulasi curah hujan yang tinggi dalam waktu yang
singkat. Dengan curah hujan tahunan yang relatif sama, namun dengan durasi yang
singkat akan berdampak pada meningkatnya intensitas banjir (Irianto,2002).
Menurut laporan dari BMKG Stasiun Klimatologi Sampali, Medan (2011) pada bulan
Juni 2011, wilayah di Propinsi Sumatera Utara mengalami hujan ekstrim dengan curah
hujan antara 50 – 100 mm/hari meliputi Kabupaten Asahan, Kabupaten Deli Serdang,
Kabupaten Karo, Kabupaten Langkat, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Simalungun,
Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Humbang Hasudutan, dan Kabupaten Tapanuli
Utara. Sedangkan wilayah yang mengalami hujan ekstrim dengan curah hujan yang
sangat lebat ( > 100 mm/hari) adalah Kabupaten Asahan.
Menurut Sidik (2010), meningkatnya curah hujan di suatu wilayah diakibatkan oleh
terjadinya pemanasan global. Pemanasan globat terjadi akibat ulah manusia. Sehingga
terjadinya peningkatan curah hujan (hujan ekstrim) yang terjadi pada akhir-akhir ini di
Sumatera Utara bukan semata-mata karena faktor alam saja, tetapi lebih banyak
dipengaruhi oleh ulah manusia.
Dengan menganalisis model pemanasan global yang digunakan Panel
Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim, tim ilmuwan diketuai meteorologis Shang-Ping
Xie dari Universitas Hawaii pada Pusat Riset Pasifik Internasional di Manoa, menemukan
fakta bahwa pola cuaca samudera di kawasan tropis dan subtropis akan berubah ke
tingkat yang mengubah secara signifikan pola curah hujan. Sebagian besar dari ilmuwan
ini berpendapat bahwa permukaan samudera-samudera di Planet Bumi akan lebih sering
menghangat di kawasan tropis. Perubahan ini akan membuat "yang basah makin basah"
dan "yang kering makin kering." Hasil penelitian tersebut lebih lanjut mengungkapkan
bahwa secara umum menunjukkan bahwa kawasan dengan suku permukaan lautnya di
puncak akan semakin basah, dan kawasan yang relatif dingin akan semakin kering."
Kenaikan suhu maksimum di Pasifik terjadi di sepanjang garis khatulistiwa. Terbukti kini
bahwa wilayah pasifik khatulistiwa mempengaruhi ritme iklim global (Sidik, 2010).
Secara ilmiah, perubahan iklim global dipicu oleh akumulasi gas-gas rumah kaca di
atmosfer terutama karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan
klorofluorokarbon (CFC). United States Department of Agriculture (USDA) tahun 2010
menyebutkan bahwa telah terjadi kenaikan konsentrasi gas-gas pencemar tersebut
sebesar 0,50-1,85% pertahunnya. Konsentrasi tinggi dari gas-gas pencemar tersebut
akan memperangkap energi panas matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi di
zona atmosfer. Fenomena tersebut sering disebut sebagai efek rumah kaca (green house
effect) yang diikuti oleh meningkatnya suhu permukaan bumi yang diistilahkan sebagai
pemanasan global (Putra dan Indradewa, 2011).
Sebagai komponen utama dari perubahan iklim, pemanasan global membawa
beberapa dampak ikutan, antara lain meningkatnya anomali curah hujan. Meningkatnya
risiko banjir merupakan salah satu dampak dari terjadinya anomali curah hujan. Hal ini
juga mengindikasikan bahwa pertanian menjadi sektor yang paling rentan terhadap
fenomena anomali curah hujan yang merupakan dampak ikutan dari perubahan iklim.
Anomali curah hujan juga menghasilkan efek curah hujan yang ekstrem pada musim
penghujan. Fenomena ekstremitas ini mengakibatkan hamparan lahan pertanian
tergenang yang akhirnya merusak tanaman (Putra dan Indradewa, 2011).
Perubahan iklim diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca
akibat dari kegiatan industri, pemanfaatan sumberdaya minyak bumi dan batubara, serta
kebakaran hutan sebagai penyumbang emisi gas CO2 terbesar di dunia. Oleh karena tidak
adanya keseimbangan antara energi yang diterima dengan energi yang dilepaskan ke
udara maka terjadilah perubahan tatanan pada atmosfir sehingga dapat mempengaruhi
siklus menjadi tidak seimbang di alam, akibatnya terjadi perubahan temperatur yang
sangat signifikan di atmosfer yang disebut sebagai pemanasan global. Pemanasan global
berdampak pada perubahan iklim di dunia menjadi tidak stabil, apabila pemananasan
global terus bertambah setiap tahunnya dapat menimbulkan dampak yang sangat besar
terhadap percepatan ancaman yang seperti badai siklon tropis, banjir, kenaikan
temperatur ekstrim, yang dapat menimbulkan risiko bencana pada sistem ekologis
(Fithria, 2010).
Bencana ekologis merupakan fenomena alam yang terjadi akibat adanya
perubahan tatanan ekologi yang mengalami gangguan atas beberapa faktor yang saling
mempengaruhi antara manusia, makluk hidup dan kondisi alam. Alam sebagai tempat
tinggal dan segala sesuatu yang memberikan keseimbangan lingkungan, bencana ekologi
sering terjadi akibat akumulasi krisis ekologi yang disebabkan oleh ketidakadilan dan
gagalnya pengurusan alam yang mengakibatkan kolapsnya tata kehidupan manusia.
Kondisi ini dipercepat dengan dampak yang dilakukan oleh kegiatan manusia dalam
mengelola lingkungan sehingga mempengaruhi pemanasan global di bumi yang berujung
pada terjadinya bencana dimana-mana (Fithria, 2010).
Meskipun telah terdapat inisiasi lokal dalam upaya mitigasi gas rumah kaca (GRK)
dan adaptasi perubahan iklim, namun potret pembangunan di Sumatera Utara secara
kesatuan provinsi belum mencerminkan pembangunan yang berkelanjutan. Aktivitas
pengelolaan sumber daya alam masih bersifat eksploitatif dan seringkali mengakibatkan
terganggunya aspek ekologi. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya perizinan penebangan
hutan dan pembukaan perkebunan tanpa pertimbangan dan perlindungan lingkungan,
sehingga telah menimbulkan berbagai bencana alam, seperti banjir dan longsor saat
musim penghujan dan kekeringan saat musim kemarau (Onrizal, dkk., 2011).
Data kejadian banjir yang secara riel telah terjadi di wilayah Propinsi Sumatera
Utara berkaitan dengan curah hujan akan disajikan secara bersamaan dengan
pembahasan peta DAS.
4.2.5 Peta Daerah Aliran Sungai (DAS)
Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) di propinsi Sumatera Utara dibuat dari peta Rupa
Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : 250.000. Data jaringan sungai diperoleh dari Balai Wilayah
Sungai Sumatera II (BWS Sumatera II, 2009). Data jaringan sungai yang ada di wilayah
Propinsi Sumatera Utara tercantum dalam Lampiran 1. Dalam pembuatan peta DAS maka
DAS dikelompokkan menjadi tiga kelas yaitu :
1. DAS yang jarang mengalami banjir diberi skor 1.
2. DAS yang cukup mengalami banjir diberi skor 2.
3. DAS yang sering mengalami banjir diberi skor 3.
Gambar 4.8 Peta Daerah Aliran Sungai Provinsi Sumatera Utara
Daerah aliran Sungai (DAS) dapat dipandang sebagai sistem alami yang menjadi
tempat berlangsungnya proses-proses biofisik hidrologis mapun kegiatan sosial ekonomi
dan budaya masyarakat. Proses biofisik hidrologi DAS merupakan proses alami sebagai
bagian dari suatu daur hidrologi atau yang dikenal sebagai siklus air. Sedangkan kegiatan
sosial ekonomi dan budaya masyarakat merupakan bentuk intervensi manusia terhadap
sistem alami DAS. Hal ini tidak lepas dari semakin meningkatnya tuntutan atas
sumberdaya alam yang disebabkan meningkatnya jumlah penduduk yang membawa
akibat terhadap kondisi tata air DAS (Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan, 2009).
Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan
bididaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan
air, seringkali mengarah pada kondisi yang kurang diinginkan, yaitu terjadinya bencana
banjir, peningkatan erosi, dan sidementasi, penurunan produktivitas lahan, dan
percepatan degradasi lahan. Hasil akhir perubahan ini tidak hanya berdampak nyata
secara biofisik, namun juga secara sosial ekonomi menyebabkan masyarakat menjadi
semakin sengsara.
Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai kesatuan ekosistem yang utuh dari hulu
sampai dengan hilir terdiri dari unsur-unsur utama manusia, flora, fauna, tanah, air dan
udara, memiliki fungsi penting dalam mendukung pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan. Rusaknya DAS mengakibatkan kejadian banjir, tanah longsor, erosi,
sedimentasi dan kekeringan yang mengakibatkan penurunan fungsi sumber-sumber air,
terganggunya perekonomian dan tata kehidupan masyarakat.
Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 2004, DAS adalah suatu wilayah daratan
yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau
atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di
laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Menurut Undang Undang ini, fungsi utama dari DAS adalah menampung,
menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut
secara alami. Fungsi DAS seperti yang telah digariskan dalam peraturan ini nampaknya
tidak berjalan dengan baik di Provinsi Sumatera Utara. Bila dikaji secara mendalam
sebagian besar DAS yang berada di Provinsi Sumatera Utara telah mengalami
pendangkalan yang diakibatkan oleh terjadinya erosi dan pembuangan sampah yang
dilakukan oleh industri dan rumah tangga. Di samping terjadi pendangkalan, banyak DAS
di Provinsi Sumatera Utara yang mengalami penyempitan badan DAS yang diakibatkan
oleh pembangunan perumahan dan perkantoran. Hal ini lebih diperparah lagi dengan
terjadinya pembalakan liar di daerah hulu DAS yang seharusnya berfungsi sebagai lahan
peresapan air. Terjadinya pembalakan liar dan alih fungsi lahan yang terjadi di daerah
hulu sungai, akan mengakibatkan air hujan tidak dapat meresap dengan baik ke dalam
tanah. Sebagian besar air hujan akan mengalir secara liar di permukaan tanah yang justru
akan memperbesar terjadinya erosi di daerah hulu sungai.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa suatu DAS yang baik (dengan hutan
yang masih baik dan dengan luasan kawasan berhutan yang cukup) akan mampu
penampung dan penyimpan curah hujan menjadi air tanah. Hanya sekitar 0,1 – 10% saja
dari curah hujan yang akan mengalir langsung ke sungai atau menjadi aliran permukaan
(run off), sedangkan 90 – 99,9% dari curah hujan yang terjadi pada DAS yang baik akan
diresapkan ke dalam tanah. Sehingga peluang terjadinya banjir pada DAS yang masih
baik akan sangat-sangat kecil (Onrizal, 2011) .
Demikian pula sebaliknya, bila DAS sudah rusak maka kemampuannya dalam
menampung dan menyimpan air hujan turun drastis. Ketika hujan terjadi, hampir seluruh
air hujan akan langsung menjadi aliran permukaan, mengalir ke sungai dalam waktu
bersamaan. Meluap, dan jadilah banjir bandang. Kejadian ini sering terjadi di Provinsi
Sumatera Utara (Onrizal, 2011).
Undang Undang No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang mengamanatkan minimal
30% dari luas Daerah Aliran Sungai berupa kawasan hutan dalam rangka pelestarian
lingkungan hidup. Namun, fakta yang ada menunjukkan bahwa kawasan hutan pada DAS
yang ada di Sumatera Utara sudah banyak yang mengalami degradasi. DAS Deli, pada
tahun 2010 hanya tersisa 5,21% saja atau hanya 2.463,69 ha yang berhutan dari luas
total DAS Deli sebesar 47.298,01 ha (Onrizal, 2011). Hal inilah yang menjadi salah satu
penyebab utama kenapa Kota Medan, dan Kabupaten Deli Serdang serta beberapa
kabupaten/kota yang berdekatan dengan DAS Deli sering mengalami banjir.
Kondisi serupa juga terjadi pada DAS Padang. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Irsan (2011) DAS Padang tergolong sebagai DAS Prioritas I Nasional
karena menunjukkan kondisi dan permasalahan biofisik dan soaial ekonomi yang paling
kritis. Salah satu permasalahan DAS Padang adalah banjir. Dari hasil kajian yang
dilakukan dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa terdapat peningkatan
kekritisan peresapan pada berbagai unit lahan di wilayah DAS Padang yang secara
keseluruhan sebesar 2,31%. Pada penggunaan lahan perkebunan di wilayah DAS Padang
terjadi perubahan ekstrim dalam cakupan wilayah yang luas. Peningkatan kekritisan dan
tingginya potensi pasokan air banjir terjadi sebagai akibat perubahan penggunaan lahan
dan pemanfaatan ruang yang tidak tepat. Wilayah rawan banjir tersebar dengan berbagai
tingkat kerawanan di wilayah DAS Padang, dengan tingkat kerawanan banjir tertinggi
berada di wilayah Kota Tebing Tinggi, dan Kabupaten Serdang Bedagai.
Berikut ini diberikan beberapa data yang bersumber dari website yang
menunjukkan bahwa terjadinya bencana banjir di Provinsi Sumatera Utara, diawali
dengan turunnya curah hujan yang tinggi di wilayah tersebut sehingga mengakibatkan
DAS tidak mampu lagi menampung air hujan sehingga terjadilah banjir bandang.
Banjir bandang yang terjadi di kawasan Bahorok, Kabupaten Langkat, pada
Minggu malam, 2 Nopember 2003, diakibatkan oleh meluapnya DAS Bahorok. Banjir ini
menelan korban sebanyak 138 orang meninggal dan seratusan orang belum ditemukan
(Cahyana dan Parlan, 2004).
Terjadinya banjir bandang di Gunungsitoli pada tanggal 16 Nopember 2005 yang
disebabkan oleh meluapnya Sungai Nou. Banjir terjadi setelah hujan deras yang
mengguyur Kota Gunungsitoli dari pagi hingga malam hari mencapai ketinggian 2 meter
(Sinar Indonesia Baru, 17 Nopember 2005).
Banjir yang terjadi pada hari Kamis, 4 September 2008 melanda tiga Kabupaten di
Provinsi Sumatera Utara, yaitu Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai dan Batubara.
Banjir disebabkan oleh hujan lebat yang mengakibatkan meluapnya sungai di wilayah
tersebut. Ratusan rumah dan ratusan hektar lahan pertanian terendam banjir. Di
Kabupaten Deli Serdang, banjir melanda empat kecamatan, yakni Kecamatan Galang,
Pagar Merbau, Pantai Labu, dan Lubuk Pakam. Ketinggian air pada beberapa tempat
mencapai satu meter. Sedangkan di Kabupaten Batubara, daerah yang terkena banjir
berada di Kecamatan Talawi dan Kecamatan Lima Puluh. Beberapa desa yang terkena
banjir di dua kecamatan ini antara lain adalah Desa Pahang, Padang Genting, Panjang,
Rawa Dolik, Desa Air Hitam, dan Cahaya Pardomuan. Banjir di Kabupaten Batubara ini
terjadi karena meluapnya Sungai Kelubi yang dipicu banjir kiriman dari kawasan hulu
sungai. Akibatnya, ratusan lahan pertanian dan perkebunan sawit terendam air (Detik
News, 2008).
Terjadinya banjir bandang di kabupaten Mandailing Natal, hari Selasa 15 September
2009, ternyata disebabkan oleh meluapnya anak Sungai Sulang Saling yang merupakan
anak Sungai Batang Gadis. Banjir ini telah menelan korban 15 orang tewas dan 25 orang
dinyatakan hilang. Banjir telah merendam enam desa di kecamatan Muara Batang Gadis,
Kabupaten Mandailing Natal. Enam desa tersebut meliputi, Desa Saleh Baru, Desa
Tabilang, Desa Manincang, desa Lubuk Kepundang I, Desa Lubuk Kepundang II, dan
Desa Rotan Panjang (Kompas.com).
Banjir bandang yang terjadi di Kabupaten Langkat, pada hari Selasa, 6 Januari 2009
diakibatkan oleh meluapnya Sungai Wampu dan Sungai Batang Serangan menyusul hujan
deras yang melanda daerah tersebut (Indosiar.com, 2009).
Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu merasa sangat prihatin atas musibah banjir
yang menimpa warga masyarakat, karena sekitar 2.435 kepala keluarga terkena banjir
kiriman yang datang dari hulu Sungai Bilah sejak 4 Desember 2009 (Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah, Kabupaten Labuhan Batu, 2010).
Terjadinya banjir bandang di Kota Tebing Tinggi pada hari Senin, 29 Nopember
2010, diakibatkan meluapnya Sungai Padang. Sedikitnya ada 3.000 orang korban banjir di
Kota Tebing Tinggi tersebut. Kawasan permukiman penduduk yang masih cukup parah
terendam air adalah di sekitar bantaran daerah aliran Sungai (DAS) Padang di antaranya
di Kampung Bandar Utama, Kecamatan Tebing Tinggi Kota (EksposNews Digital Media).
Banjir bandang terjadi di Kecamatan Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan.
Banjir yang terjadi hari Sabtu, tanggal 2 Oktober 2010 akibat hujan lebat yang mengaki-
batkan meluapnya Sungai Batang Salai yang terdapat di Kecamatan Batang Angkola.
Sebanyak 139 rumah warga di desa Hutabaru dan Garonggang terendam banjir. Peristiwa
banjir itu, juga mengakibatkan dua jembatan yang terdapat di Desa Mosa Julu dan Desa
Gunung Baru mengalami kerusakan dan tidak dapat berfungsi lagi (Erabaru.Net, 2010).
Memasuki tahun baru 2011, kota Medan dilanda banjir besar yang terjadi pada
tanggal 6 Januari 2011. Hujan deras yang terjadi di malam hari mengakibatkan
meluapnya Sungai Deli sehingga menghantan apa saja yang dilewatinya. Banjir ini
merendam 10 kecamatan di Kota Medan yang terletak di dekat Sungai Deli. Selain wilayah
di Kota Medan, maka Kabupaten Deli Serdang yang terletak lebih ke hulu dari Sungai Deli
juga terkena banjir (Onrizal, 2011).
Terjadinya banjir di Kota Medan pada hari Jumat, tanggal 1 April 2011 diakibatkan
oleh meluapnya Sungai Deli dan Sungai Babura. Banjir terjadi setelah hujan ekstrim
dalam waktu yang cukup lama. Selain kota Medan, banjir juga melanda Kota Binjai dan
Kabupaten Deli Serdang. Banjir di kota Binjai yang berjarak sekitar 22 km dari Medan
diakibatkan karena luapan Sungai mencirim dan Sungai Bangkatan (Metrotvnews.com).
Terjadinya banjir di Kabupaten Nias Barat pada hari Minggu, 14 Agustus 2011,
akibat meluapnya Sungai Lahömi dan Sungai Moro’ö. Banjir terjadi seteah hujan lebat
yang berlangsung lama (Nias Bangkit, 2011).
Data sementara yang dihimpun oleh Pemerintah Kabupaten Nias Barat, banjir
pada 14 Agustus 2011 terjadi di 18 desa di 3 kecamatan, yakni Kecamatan Lahömi,
Kecamatan Mandrehe, dan Kecamatan Mandrehe Barat. Tiga kecamatan tersebut didiami
oleh sebanyak 400 keluarga (2.356 jiwa). Semua wilayah yang dilanda banjir itu di
beberapa titik sempat terendam setinggi 1 meter sejak pukul 05.00 pagi (Nias Bangkit,
2011).
Hujan yang terus turun selama beberapa lama di Kabupaten Langkat, Sumatra
Utara, menyebabkan air Sungai Wampu, meluap dan menggenangi sejumlah
perkampungan warga. Banjir yang terjadi pada hari Selasa, tanggal 24 Mei 2011 melanda
tiga desa di Kecamatan Tambe itu diduga akibat maraknya aktivitas perambahan hutan.
Sementara tanggul banjir di Desa Lawe Mengkudu, sudah rusak (Metrotvnews.com,
2011).
Hujan deras yang terus mengguyur selama 5 hari terakhir, membuat ribuan hektar
areal pertanian, termasuk sebagian permukiman, terendam banjir dengan ketinggian
bervariasi. Banjir yang terjadi pada tanggal 14 Oktober 2011 tersebut diakibatkan oleh
luapan Sungai Asahan. Jika hujan masih terus turun dengan deras, khususnya di kawasan
hulu, maka kemungkinan banjir akan semakin besar. Banjir besar melanda kawasan hilir,
tepatnya di wilayah Kota Tanjungbalai, mulai dari perbatasan Desa Sungai Dua Asahan
hingga Kecamatan Datuk Bandar, Kota Tanjungbalai (Metro 24 jam, 2011).
Banjir yang terjadi pada tanggal 4 September 2011 melanda tiga Kabupaten di
Provinsi Sumatera Utara, yaitu Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai dan Batubara.
Banjir disebabkan oleh hujan lebat yang mengakibatkan meluapnya sungai di wilayah
tersebut. Ratusan rumah dan ratusan hektar lahan pertanian terendam banjir. Di
Kabupaten Deli Serdang, banjir melanda empat kecamatan, yakni Kecamatan Galang,
Pagar Merbau, Pantai Labu, dan Lubuk Pakam. Ketinggian air pada beberapa tempat
mencapai satu meter. Sedangkan di Kabupaten Batubara, daerah yang terkena banjir
berada di Kecamatan Talawi dan Kecamatan Lima Puluh. Beberapa desa yang terkena
banjir di dua kecamatan ini antara lain adalah Desa Pahang, Padang Genting, Panjang,
Rawa Dolik, Desa Air Hitam, dan Cahaya Pardomuan. Banjir di Kabupaten Batubara ini
terjadi karena meluapnya Sungai Kelubi yang dipicu banjir kiriman dari kawasan hulu
sungai. Akibatnya, ratusan lahan pertanian dan perkebunan sawit terendam air (Detik
News, 2011).
Ratusan rumah penduduk di empat kecamatan di Kabupaten Nias Barat terendam
banjir akibat hujan deras yang melanda daerah itu sekitar empat jam, pada hari Senin, 15
Agustus 2011. Banjir terjadi karena meluapnya Sungai Moro’o dan Sungai Siwalawa.
Banjir juga merendam sekitar 120 hektare (ha) sawah dan ratusan ternak penduduk
setempat hilang akibat meluapnya sungai tersebut. Banjir melanda sedikitnya 412 rumah
yang dihuni sekitar 2.489 jiwa penduduk (Ekspos.News, 2011).
Banjir dan longsor musiman yang terjadi di Kabupaten Asahan, diakibatkan
kerusakan hutan cukup tinggi. Sedangkan penghijauan sangat minim, mengakibatkan
ekosistem tanah dan air tidak terjaga dan berdampak datangnya bencana. Hal ini
dikemukakan Kepala Bidang Akuntansi Sumber Daya Alam, Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT), Muhammad Evri. Lebih lanjut dikatakan bahwa banjir dan
longsor yang terjadi di kecamatan BP Mandoge dikarenakan penebangan hutan yang
sangat tinggi sedangkan penghijauan tidak dilakukan. Akibatnya struktur tanah tidak baik,
pendangkalan sungai meningkat. Bila terjadi curah hujan tinggi di daerah hulu, maka
sungai yang ada di Asahan (Silau, Asahan, Piasa dan Bunut) meluap. Sedangkan di
wilayah Asahan atas akan diancam longsor, dan di bagian hilir sungai diancam banjir
musiman (Waspada Medan.com, 2011).
Banjir merendam ratusan rumah di Desa Poriah, Kecamatan Tapian Nauli,
Tapanuli Tengah. Hujan deras yang turun selama dua jam mengakibatkan Sungai Poriaha
tak mampu menampung volume air. Banjir yang terjadi pada hari Rabu, 26 Oktober 2011
tersebut mencapai ketinggian setengah meter. Selain rumah, sawah dan jalan ikut
terendam. Ruas jalan yang digenangi banjir membuat pengendara harus berhati-hati
karena saluran drainase di kedua sisi jalan tidak terlihat. Para petani terancam rugi karena
padi mereka yang siap panen terendam banjir (Liputan6.com, 2011).
Sedikitnya 800 rumah warga di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatra Utara,
terendam banjir akibat luapan Sungai Kualuh. Banjir yang terjadi pada hari Kamis, 27
Oktober 2011 mencapai ketinggian air di bantaran sungai bahkan mencapai dua meter.
Curah hujan yang tinggi menyebabkan Sungai Kualuh meluap. Dampak lain banjir
memutus akses jalan antar kabupaten yang menghubungkan Kota Kanopan dan Kota
Tanjung Ledong. Air bah juga menggenangi rumah ibadah dan sekolah. Ratusan hektare
tanaman palawija juga terancam mati (Liputan6.com, 2011).
Berdasarkan atas kejadian banjir yang telah terjadi secara riel di wilayah Propinsi
Sumatera Utara maka dapat disimpulkan bahwa curah hujan yang tinggi dan kondisi DAS
merupakan penyebab utama terjadinya banjir di wilayah ini.
4.3 Upaya yang Harus Dilakukan oleh Pemda Provinsi Sumatera Utara
Terjadinya hujan ekstrim di Propinsi Sumatera Utara menunjukkan bahwa wilayah
Sumatera Utara sudah terimbas perubahan iklim global. Salah satu akibat dari perubahan
iklim global adalah terjadinya akumulasi curah hujan yang tinggi dalam waktu yang
singkat. Dengan curah hujan tahunan yang relatif sama, namun dengan durasi yang
singkat akan berdampak pada meningkatnya intensitas banjir (Irianto,2002).
Salah satu pekerjaan penting yang harus segera dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Provinsi Sumatera Utara adalah mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Seperti
halnya komitmen Pemerintah RI yaitu akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar
26% pada tahun 2020 dari tingkat emisi yang berlangsung seperti saat ini. Pemerintah
Daerah Provinsi Sumatera Utara harus menetapkan kebijakan dan strategi serta besaran
nominal dari target penurunan emisi untuk setiap bidang.
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), pada pasal 6 disebutkan bahwa
Gubernur harus menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-
GRK), yang mengacu pada Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
(RAN-GRK) dan prioritas pembangunan daerah. Penyusunan Rencana Aksi Daerah
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) diselesaikan dan ditetapkan dengan
Peraturan Gubernur paling lambat 12 bulan sejak ditetapkan Peraturan Presiden ini. Oleh
karena itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumatera Utara,
yang mempunyai tugas pokok “Membantu dan Memberikan Dukungan Teknis Administrasi
dan Operasional di Bidang Kesiapsiagan, Tanggap Darurat, dan Pasca Bencana,” harus
segera menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK).
Paling lambat bulan September 2012, RAD-GRK ini harus sudah diserahkan pada
Pemerintah Pusat.
Dalam usaha untuk mengembalikan DAS agar dapat berfungsi untuk menampung,
menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut
secara alami, maka Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air bekerjasama dengan Dinas
Kehutanan Provinsi Sumatera Utara untuk segera melakukan penghijauan kembali di
wilayah sekitar DAS sampai dalam kondisi seperti yang telah diamanatkan dalam Undang
Undang yaitu minimal 30% harus berupa kawasan hutan. Dinas kehutanan Provinsi
Sumatera Utara harus bekerja keras dengan mencari dukungan pada masyarakat untuk
memulihkan kembali wilayah hutan agar dapat berfungsi dengan baik, salah satunya yaitu
sebagai tempat meresapnya air hujan ke dalam tanah. Di samping itu, Dinas Kehutanan
wilayah Provinsi Sumatera Utara harus melakukan pencegahan secara tegas terhadap
kelompok-kelompok yang melakukan pembalakan liar.
Dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) di Sumatera
Utara, seharusnya berbasis DAS. Demikian juga aktivitas pembangunan juga seharusnya
berbasis ekosistem atau dalam satu kesatuan DAS, dan tidak hanya berpatokan pada
batas administrasi. DAS adalah suatu ekosistem yang komponennya saling bergantungan.
Perubahan suatu komponen ekosistem akibat pembangunan akan berpengaruh pada
komponen ekosistem lainnya. Sehingga aktivitas pembangunan di suatu tempat akan
berdampak kepada tempat lain dalam suatu DAS meskipun berbeda wilayah administrasi.
Berhubungan dengan hal ini maka Dinas Penataan Ruang dan Pemukiman Provinsi
Sumatera Utara melakukan perencanaan yang lebih baik agar dalam penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) di Sumatera Utara berbasis ekosistem
atau dalam satu kesatuan DAS.
Hal lain yang dapat dilakukan dalam usaha untuk mencegah terjadinya banjir di
Provinsi Sumatera Utara adalah melakukan beberapa kegiatan melalui berbagai
pendekatan yang efektif dan efisien antara lain dengan penerapan teknik Konservasi
Tanah dan Air (KTA) yang tepat. Misalnya, pembuatan sumur resapan di daerah hulu
DAS, pembuatan teras sering, pembuatan DAM pengendali air hujan. Pembuatan teras
sering sangat sesuai dengan kondisi wilayah di Provinsi Sumatera Utara yang mempunyai
kemiringan yang cukup terjal. Hal ini kecuali dapat mencegah terjadinya banjir juga dapat
mengatasi terjadinya longsor.
Teras sering merupakan teknik konservasi sipil teknis yang bisa diterapkan pada
daerah hulu DAS dalam upaya untuk menekan terjadinya erosi dan mempertahankan
produktivitas lahan. Pada prinsipnya teras sering adalah upaya manipulasi kemiringan
lahan sehingga dapat meningkatkan laju infiltrasi, memperkecil laju aliran permukaan
dan/atau aliran permukaan dapat dialirkan dengan aman mengalir dalam tanah. Beberapa
teras sering yang umum dibuat adalah teras bangku (bench terrace), teras
berlereng/teras gulud, teras berdasar lebar (broad based terrace).
Hal lain yang harus segera dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera
Utara adalah mencegah dan memberikan sangsi secara tegas kepada masyarakat dan
industri yang secara nyata membuang sampah dalam DAS.
Pembuangan sampah yang dilakukan oleh rumah tangga (masyarakat) dan
industri ke dalam DAS, mempunyai andil yang cukup besar dalam meningkatkan
terjadinya banjir di Provinsi Sumatera Utara. Sampah, di samping mempunyai kontribusi
dalam menghambat lajunya aliran air dalam sungai juga mempunyai kontribusi terjadinya
sedimentasi pada dasar sungai.
Di samping aturan yang jelas dan sangsi yang tegas, Pemerintah daerah Provinsi
Sumatera Utara juga harus secara rutin dan terkoordinasi melakukan penyuluhan pada
masyarakat terutama yang berdomisili di sekitar DAS. Hal ini sangat penting dilakukan
agar masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap penjaminan kualitas lingkungan di
wilayah DAS.
Dalam usaha untuk mengatasi rusaknya hutan di Provinsi Sumatera Utara maka
Pemerintah Daerah harus membuat kebijakan untuk mengembalikan hutan agar dapat
berperan sebagai fungsinya. Fungsi utama hutan tidak akan pernah berubah, yakni untuk
menyelenggarakan keseimbangan oksigen dan karbon dioksida serta untuk
mempertahankan kesuburan tanah, keseimbangan tata air wilayah dan kelestarian daerah
dari bahaya erosi. Hutan memberikan pengaruh pada sumber alam lain melalui 3 faktor
yang berhubungan, yakni iklim, tanah dan pengadaan air di berbagai wilayah. Apapun
bentuk yang dimiliki hutan, pada hakikatnya hutan selalu merupakan manifestasi dari
kelima unsur pokok pembentuknya. Kelima unsur pokok tersebut adalah bumi/tanah, air,
alam hayati, udara dan sinar matahari. Tanpa adanya salah satu dari kelima unsur pokok
tersebut maka fungsi hutan pasti akan mengalami gangguan.
Secara lebih konkrit beberapa program kegiatan yang harus segera dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara dalam usaha untuk mengurangi bencana
banjir antara lain : (1) penataan ruang, (2) pengembangan sumber daya air, (3)
pengembangan prasarana perkotaan, (4) pengembangan perumahan dan permukiman,
dan (5) peningkatan pelayanan pada masyarakat.
1. Penataan Ruang
Berdasarkan UU No.24/1992 pengertian penataan ruang tidak hanya berdimensi
perencanaan pemanfaatan ruang saja, namun lebih dari itu termasuk dimensi
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Mengingat karakteristik
penataan ruang terkait dengan ekosistem, maka upaya penataan ruang harus didekati
secara sistem tanpa dibatasi oleh batas-batas kewilayahan dan sektor. Untuk itu dalam
rangka penanganan banjir, ada 4 (empat) prinsip pokok penataan ruang yang perlu
dipertimbangkan yakni : (a) holistik dan terpadu, (b) keseimbangan kawasan hulu dan
hilir, (c) keterpaduan penanganan secara lintas sektor dan lintas wilayah, dengan skala
provinsi untuk keterpaduan lintas kabupaten/kota dan skala pulau untuk keterpaduan
lintas provinsi, serta (d) pelibatan peran serta masyarakat mulai tahap perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Berdasarkan prinsip-prinsip diatas maka kebijakan pokok penataan ruang yang
perlu dilaksanakan dalam rangka penanangan banjir adalah melaksanakan upaya
revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang (RTR) yang berorientasi kepada
pemanfaatan dan pengendalian rencana tata ruang yang ada melalui kegiatan-kegiatan
pokok seperti : a) inventarisasi perubahan fungsi lahan penyebab banjir; b) pengkajian
ulang rencana tata ruang yang ada; c) menyiapkan dukungan pemanfaatan rencana tata
ruang; dan d) pengendalian pemanfaatan ruang.
Dengan demikian, kebijakan penataan ruang dikembangkan untuk mewujudkan
keterpaduan pembangunan wilayah yang mampu mendorong peningkatan kualitas
kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup, melalui upaya pengaturan keseimbangan
kawasan lindung (daerah aliran sungai, daerah resapan air, ruang terbuka hijau, hutan
lindung dll.) serta arahan sistem jaringan prasarana wilayah (sistem transportasi,
pengendalian banjir, penyediaan air baku, sistem pembuangan limbah) dengan
melibatkan peran pemerintah, masyarakat dan dunia usaha.
2. Pengembangan Sumber Daya Air
Pengendalian banjir dilakukan berdasarkan konsep pengelolaan sumber daya air
secara utuh dalam kesatuan wilayah sungai dari hulu sampai dengan hilir melalui
kerangka “Satu Sungai, Satu Rencana, dan Satu Pengeloaan Terpadu”. Kebijakan
sumber daya air dengan pedoman pengendalian dan penanggulangan daya rusak air
serta peningkatan kesiapan dan kewaspadaan masyarakat menghadapi bencana banjir
dan daya rusak lainnya guna mengamankan daerah produksi pangan dan permukiman
serta memulihkan ekosistem dari kerusakan akibat banjir.
3. Pengembangan Prasarana Perkotaan
Pengembangan prasarana perkotaan meliputi jaringan drainase, prasarana
pengelolaan limbah, pengelolaan persampahan, penyediaan air bersih, jalan kota, dan
fasilitas lainnya. Prasarana kota dikembangkan untuk mendukung fungsi kota sesuai
dengan arahan sistem perkotaan nasional dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(RTRWN). Prasarana kota perlu dikembangkan secara terpadu sehingga sinergis melayani
kegiatan sosial ekonomi kota dan mendukung pelestarian lingkungan (mengurangi polusi,
menghindari banjir dll) kota dan wilayah sekitarnya. Pembangunan prasarana kota harus
diupayakan sinkron dengan pembangunan prasarana wilayah seperti jalan dan jaringan
sungai (sistem makro/pengendalian banjir) serta perdesaan sekitar. Hal ini perlu agar
dapat dihindari genangan/banjir di kawasan kota dan dapat diwujudkannya keterkaitan
kota dengan wilayah sekitarnya, dan antar kota-desa.
4. Pengembangan Perumahan dan Permukiman
Kebijakan operasional bidang perumahan dan permukiman, khususnya yang
terkait dengan penanganan strategis bencana banjir di tingkat daerah, berpedoman pada
Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP), antara lain
pengendalian pemanfaatan ruang sesuai Rencana Tata Ruang (RTR), Rencana Program
Pembangunan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4D). Selanjutnya adalah
pengembangan lembaga koordinasi lintas instansi sampai ke daerah; pemberian bantuan
teknis dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan pencapaian kualitas fisik perumahan
dan lingkungannya.
5. Peningkatan Pelayanan pada Masyarakat dalam rangka Good
Governance.
Kebijakan peningkatan pelayanan pada masyarakat dikembangkan untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance), melalui pelaksanaan prinsip-
prinsip akuntabilitas dan transparansi. Dalam era otonomi, kebijakan ini ditempuh melalui
peningkatan kemampuan daerah dalam memberikan pelayanan yang sifatnya antisipatif-
preventif maupun kuratif terhadap bencana yang timbul. Kebijakan ini diarahkan untuk
menghindari dampak banjir yang semakin besar dan luas, untuk menjamin
berlangsungnya roda perekonomian.
4.4 Peta Potensi Risiko Banjir di Provinsi Sumatera Utara.
Peta kerentanan banjir yang dibuat dalam penelitian ini diturunkan dari gabungan
peta kemiringan lereng, peta tutupan lahan, peta bentuk lahan, peta curah hujan dan
peta DAS yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Kerentanan banjir dalam penelitian ini
dibagi menjadi 4 kelas risiko yaitu :
1. Kelas risiko aman dengan interval antara 5,0 – 9,0.
2. Kelas risiko rendah dengan interval antara 9,1 – 13,0.
3. Kelas risiko menengah dengan interval antara 13,1 – 17,0.
4. Kelas risiko tinggi dengan interval antara 17,1 – 21,0.
Gambar 4.9 Peta Risiko banjir Provinsi Sumatera Utara
Berdasarkan atas peta risiko bencana yang dihasilkan dalam penelitian ini nampak
bahwa daerah-daerah yang berdekatan dengan DAS merupakan daerah yang rawan
bencana banjir. DAS yang seharusnya berfungsi untuk menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami.
DAS seharusnya menjadi tempat berlangsungnya proses-proses biofisik hidrologis
mapun kegiatan sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang menguntungnkan bagi
masyarakat yang berdomisili dekat DAS tersebut. Masyarakat yang berdomisili dekat
dengan DAS seharusnya akan mendapatkan keuntungan secara ekonomi. Namun ternyata
DAS justru merupakan sumber malapetaka yang sewaktu-waktu dapat memakan korban
jiwa, dan harta benda yang jumlahnya tidak terhingga.
DAS yang baik dengan kawasan hutan yang tidak kurang dari 30% akan mampu
untuk menampung dan menyimpan curah hujan menjadi air tanah. Sehingga peluang
terjadinya banjir pada DAS yang masih baik akan sangat-sangat kecil. Sebaliknya, bila
DAS sudah rusak maka kemampuannya dalam menampung dan menyimpan air hujan
turun drastis. Ketika hujan terjadi, hampir seluruh air hujan akan langsung menjadi aliran
permukaan, mengalir ke sungai dalam waktu bersamaan, sehingga terjadi banjir bandang
di wilayah sekitar DAS tersebut berada.
Wilayah di Provinsi Sumatera Utara yang yang rentan terhadap bencana banjir
pada umumnya adalah wilayah yang berdekatan dengan DAS. Secara lengkap daerah
yang rentan terhadap bencana banjir di Provinsi Sumatera Utara ada pada Lampiran 1.
Berdasarkan atas hasil yang disajikan dalam Lampiran 1, wilayah kecamatan di
Provinsi Sumatera Utara yang mempunyai tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana
banjir dengan mempertimbangkan luasan areal yang berpotensi terkena bencana banjir
pada masing-masing kabupaten/kota, dapat disajikan sebagai berikut :
1. Asahan : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2 dalam tingkat
kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Air Batu, Air Joman, Bandar Pasir Mandoge,
Bandar Pulau, Buntu Pane, Pulau Rakyat, Sei Kepayang, dan Simpang Empat.
2. Batu Bara : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Limapuluh, Medang Deras, dan
Tanjung Tiram.
3. Kabupaten Dairi : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 25,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Parbuluan, Sidikalang, Sumbul, dan
Tanah Pinem.
4. Deli Serdang : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 30,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Bangun Purba, Gunung Meriah,
Hamparan Perak, Pancur Batu, Percut Sei Tuan, Sinembah Tanjungmuda Hilir, dan
Kecamatan Sinembah Tanjungmuda Hulu.
5. Humbang Hasudutan : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Onan Ganjang dan Pollung.
6. Karo : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 10,0 km2 dalam tingkat
kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Juhar, Kuta Buluh, Laubaleng, Merek, Tiga
Binanga.
7. Kota Binjai : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 5,0 km2 dalam tingkat
kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Binjai Selatan dan Binjai Timur.
8. Kota Gunung Sitoli : Wilayah kota Gunung Sitoli yang berada dalam tingkat
kerentanan tinggi terhadap potensi risiko bencana banjir adalah seluas 47,73 km2.
9. Kota Medan : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 5,0 km2 dalam tingkat
kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Medan Belawan, Medan Deli, Medan
Helvetia, Medan Johor, Medan Labuhan, Medan Marelan, Medan Polonia, Medan
Sunggal, dan Medan Barat, Medan Area, Medan Denai, Medan Kota, Medan
Petisah, Medan Tembung dan Medan Timur.
10. Kota Padang Sidempuan : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi meliputi Padangsidempuan Timur dan
Padangsidempuan Utara.
11. Kota Pematang Siantar : Merupakan wilayah di Provinsi Sumatera Utara yang
dalam tingkat menengah terkena bencana banjir. Daerah kecamatan yang
wilayahnya lebih dari 10,0 km2 dalam tingkat kerentanan menegah antara lain
Siantar Marihat dan Siantar Martoba.
12. Kota Sibolga : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 5,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Sibolga Selatan.
13. Kota Tanjung Balai : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 10,0 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Datuk Bandar dan Kecamatan
Teluk Nibung.
14. Kota Tebing Tinggi : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 10,0 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Padang Hilir.
15. Labuhan Batu : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Bilah Barat, Bilah Hulu, Panai Hilir, dan
Panai Tengah.
16. Labuhan Batu Selatan : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Kampung Rakyat, kota Pinang,
Sungai Kanan, dan Torgaamba.
17. Labuhan Batu Utara : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Aek natas, Kualuh Hilir, Kualuh
Hulu, Kualuh Leidong, Kualuh Selatan, Marbau dan NA IX-X.
18. Langkat : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2 dalam tingkat
kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Babalan, Besitang, Bahorok, Pangkalan Susu.
19. Mandailing Natal : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Batahan, Kotanopan, Muara
Batang Gadis, Natal, Penyabungan dan Kecamatan Siabu.
20. Nias : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 90,0 km2 dalam tingkat
kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Bawolato, dan Gido.
21. Nias Barat : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 20,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Mandrehe dan Sirombo.
22. Nias Selatan : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 30,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Amandraya, Lahusa, dan Kecamatan
Teluk Dalam.
23. Nias Utara : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 40,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Lahewa, Lahewa Timur, dan
Kecamatan Lotu.
24. Padang Lawas : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Barumun, Barumun Tengah, Sosa, dan
Sosopan.
25. Padang Lawas Utara : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 200,0 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Batang Onang, Dolok,
Halongonan, dan Padang Bolak.
26. Pakpak Bharat : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 50,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Salak.
27. Samosir : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2 dalam tingkat
kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Harian dan Sianjur Mula Mula.
28. Serdang Bedagai : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 50,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Bandar Khalipah, Kotarih.
29. Simalungun : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 50,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Bosar Maligas, Dolok Pardamean, Dolok
Silau, Hutabayu Raja, Jorlang Hataran, Purba, Siantar, Sidamanik, Silau Kahean,
Tanah Jawa, dan Ujung Padang.
30. Tapanuli Selatan : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Batang Angkola, Batng Toru,
Padang Sidempuan Barat, Padang Sidempuan Timur, dan Saipar Dolok Hole.
31. Tapanuli Tengah : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 50,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Lumut, dan Sibabangun.
32. Tapanuli Utara : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Garoga, Pahae Jae, Pahae Julu,
Sipahutar, dan Tarutung.
33. Toba Samosir : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Habinsaran, dan Porsea.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Setelah dilakukan pengumpulan data dan analisis data maka dapat dibuat
kesimpulan sebagai berikut :
1. Peta risiko bencana banjir Provinsi Sumatera Utara dapat dihasilkan dengan
membreakdown lima variabel yang meliputi peta kemiringan lereng, peta
penutupan lahan, peta bentuk lahan, peta curah hujan, dan peta DAS.
2. Kerusakan hutan yang menimbulkan berkurangnya tutupan lahan berpengaruh
besar terhadap terjadinya banjir yang secara riel telah terjadi di wilayah Propinsi
Sumatera Utara.
3. Curah hujan yang tinggi dan kondisi DAS yang kurang baik di wilayah Propinsi
Sumatera Utara sangat besar pengaruhnya terhadap kejadian banjir yang secara
riel telah terjadi di wilayah ini.
4. Kemiringan lereng berpengaruh besar terhadap terjadinya bencana tanah longsor
yang biasanya terjadi sebagai akibat samping dari bencana banjir yang terjadi
pada daerah dengan tingkat kemiringan yang curam. Bentuk lahan tidak
berpengaruh besar terhadap kejadian banjir yang secara riel telah terjadi di
wilayah Propinsi Sumatera Utara.
5. Upaya yang harus segera dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera
Utara dalam mencegah dan mengurangi terjadinya bencana banjir adalah :
a. Mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), dengan menyusun Rencana Aksi
Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK), yang mengacu pada
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).
b. Mengembalikan fungsi DAS yang ada di wilayah Propinsi Sumatera Utara agar
dapat untuk menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari
curah hujan ke danau atau ke laut secara alami.
c. Mengembalikan fungsi hutan agar dapat menyelenggarakan keseimbangan
oksigen dan karbon dioksida serta untuk mempertahankan kesuburan tanah,
keseimbangan tata air wilayah dan kelestarian daerah dari bahaya erosi.
d. Secara lebih konkrit beberapa program kegiatan yang harus segera dilakukan
oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara dalam usaha untuk
mengurangi bencana banjir antara lain : (1) Penataan ruang, (2)
Pengembangan sumber daya air, (3) Pengembangan prasarana perkotaan, (4)
Penataan dalam pengembangan perumahan dan permukiman, dan (5)
Peningkatan pelayanan pada masyarakat.
6. Wilayah kecamatan di Provinsi Sumatera Utara yang mempunyai tingkat
kerawanan tinggi terhadap bencana banjir dengan mempertimbangkan luasan
areal yang berpotensi terkena bencana banjir pada masing-masing
kabupaten/kota, dapat disajikan sebagai berikut :
1. Asahan : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Air Batu, Air Joman, Bandar
Pasir Mandoge, Bandar Pulau, Buntu Pane, Pulau Rakyat, Sei Kepayang, dan
Simpang Empat.
2. Batu Bara : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Limapuluh, Medang Deras, dan
Tanjung Tiram.
3. Dairi : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 25,0 km2 dalam tingkat
kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Parbuluan, Sidikalang, Sumbul, dan
Tanah Pinem.
4. Deli Serdang : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 30,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Bangun Purba, Gunung Meriah,
Hamparan Perak, Pancur Batu, Percut Sei Tuan, Sinembah Tanjungmuda Hilir,
dan Kecamatan Sinembah Tanjungmuda Hulu.
5. Humbang Hasudutan : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0
km2 dalam tingkat kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Onan Ganjang dan
Pollung.
6. Karo : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 10,0 km2 dalam tingkat
kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Juhar, Kuta Buluh, Laubaleng, Merek,
Tiga Binanga.
7. Kota Binjai :Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 5,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Binjai Selatan dan Binjai Timur.
8. Kota Gunung Sitoli : Wilayah kota Gunung Sitoli yang berada dalam tingkat
kerentanan tinggi terhadap potensi risiko bencana banjir adalah seluas 47,73
km2.
9. Kota Medan : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 5,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Medan Belawan, Medan Deli,
Medan Helvetia, Medan Johor, Medan Labuhan, Medan Marelan, Medan
Polonia, Medan Sunggal, dan Medan Barat, Medan Area, Medan Denai, Medan
Kota, Medan Petisah, Medan Tembung dan Medan Timur.
10. Kota Padang Sidempuan : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100
km2 dalam tingkat kerentanan tinggi meliputi Padangsidempuan Timur dan
Padangsidempuan Utara.
11. Kota Pematang Siantar : Merupakan wilayah di Provinsi Sumatera Utara yang
dalam tingkat menengah terkena bencana banjir. Daerah kecamatan yang
wilayahnya lebih dari 10,0 km2 dalam tingkat kerentanan menegah antara lain
Siantar Marihat dan Siantar Martoba.
12. Kota Sibolga : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 5,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Sibolga Selatan.
13. Kota Tanjung Balai : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 10,0 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi meliputi Kecamatan Datuk Bandar dan
Kecamatan Teluk Nibung.
14. Kota Tebing Tinggi : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 10,0 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Padang Hilir.
15. Labuhan Batu : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Bilah Barat, Bilah Hulu, Panai
Hilir, dan Panai Tengah.
16. Labuhan Batu Selatan : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0
km2 dalam tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Kampung Rakyat, kota
Pinang, Sungai Kanan, dan Torgamba.
17. Labuhan Batu Utara : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Aek natas, Kualuh Hilir,
Kualuh Hulu, Kualuh Leidong, Kualuh Selatan, Marbau dan NA IX-X.
18. Langkat : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Babalan, Besitang, Bahorok,
Pangkalan Susu.
19. Mandailing Natal : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Batahan, Kotanopan, Muara
Batang Gadis, Natal, Penyabungan dan Kecamatan Siabu.
20. Nias : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 90,0 km2 dalam tingkat
kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Bawolato, dan Gido.
21. Nias Barat : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 20,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Mandrehe dan Sirombo.
22. Nias Selatan : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 30,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Amandraya, Lahusa, dan
Kecamatan Teluk Dalam.
23. Nias Utara : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 40,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Lahewa, Lahewa Timur, dan
Kecamatan Lotu.
24. Padang Lawas : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Barumun, Barumun Tengah,
Sosa, dan Sosopan.
25. Padang Lawas Utara : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 200,0
km2 dalam tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Batang Onang, Dolok,
Halongonan, dan Padang Bolak.
26. Pakpak Bharat : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 50,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Salak.
27. Samosir : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Harian dan Sianjur Mula Mula.
28. Serdang Bedagai : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 50,0 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Bandar Khalipah, Kotarih.
29. Simalungun : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 50,0 km2 dalam
tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Bosar Maligas, Dolok Pardamean,
Dolok Silau, Hutabayu Raja, Jorlang Hataran, Purba, Siantar, Sidamanik, Silau
Kahean, Tanah Jawa, dan Ujung Padang.
30. Tapanuli Selatan : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Batang Angkola, Batng Toru,
Padang Sidempuan Barat, Padang Sidempuan Timur, dan Saipar Dolok Hole.
31. Tapanuli Tengah : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 50,0 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Lumut, dan Sibabangun.
32. Tapanuli Utara : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Garoga, Pahae Jae, Pahae
Julu, Sipahutar, dan Tarutung.
33. Toba Samosir : Daerah kecamatan yang wilayahnya lebih dari 100,0 km2
dalam tingkat kerentanan tinggi yaitu Kecamatan Habinsaran, dan Porsea.
5.2 Saran-saran
Hal yang dapat disarankan dari penelitian ini antara lain :
1. Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara dalam membuat kebijakan yang
berkaitan dengan Penyusunan Tata Ruang, Pembangunan tempat pemukiman dan
perkantoran hendaknya mempertimbangkan hasil-hasil penelitian yang berkaitan
dengan tingkat risiko bencana banjir di suatu wilayah untuk memperkecil
terjadinya kerugian yang ditimbulkan oleh bencana yang mungkin terjadi.
2. Penelitian tentang risiko bencana di Propinsi Sumatera Utara perlu diperluas yang
meliputi penelitian tentang risiko bencana tanah longsor, kebakaran hutan, letusan
gunung berapi, dan kekeringan, gempa bumi dan tsunami.
3. Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara agar tetap menjaga kelestarian hutan,
kelestarian DAS, dan segera membuat kebijakan riel yang secara nyata dapat
menurunkan emisi gas rumah kaca.
5.3 Rekomendasi
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini maka direkomendasikan
bahwa :
1. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumatera Utara segera
menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK)
yang mengacu pada Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
(RAN-GRK). Paling lambat bulan September 2012, RAD-GRK Provinsi Sumatera
Utara harus sudah diserahkan kepada Pemerintah Pusat. Hal ini sesuai dengan
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).
2. Dinas Sumber Daya Air Provinsi Sumatera Utara harus segera membuat kebijakan
untuk meningkatkan kualitas DAS di wilayah ini agar dapat berfungsi untuk
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke
danau atau ke laut secara alami, sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun
2004 bahwa DAS merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke
laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di
laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
3. Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara agar segera melakukan rehabilitasi
kawasan hutan, terutama kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi lahan
penangkapan air hujan agar meresap menjadi air tanah, sesuai dengan Undang
Undang No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang, yang mengamanatkan minimal
30% dari luas Daerah Aliran Sungai berupa kawasan hutan dalam rangka
pelestarian lingkungan hidup.
4. Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara agar melakukan
pengaturan dan pemberian sangsi secara tegas pada bangunan dan permukiman
yang berada di kawasan DAS agar dapat dibenahi dan direlokasi kembali agar
tidak mempersempit badan sungai.
5. Badan Lingkungan Hidup Propinsi Sumatera Utara agar memberikan sangsi secara
tegas terutama kepada industri yang membuang limbahnya ke sungai. Hal ini
dimaksudkan agar kualitas air sungai di wilayah Propinsi Sumatera Utara tetap
baik dan tidak menimbulkan sidementasi pada dasar sungai.
6. Bupati dan Walikota yang ada di wilayah Propinsi Sumatera Utara agar segera
membuat perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana
khususnya bencana banjir di wilayahnya untuk penanganan pengungsi bila terjadi
bencana banjir dengan bertindak cepat, tepat, efektif dan efisien.
7. Kepala Desa, Lurah, Ketua RT/RW yang ada di wilayah Propinsi Sumatera Utara
agar melakukan penyuluhan secara rutin kepada masyarakat agar tidak
membuang sampah secara sembarangan karena hal ini dapat mempersempit
jalannya aliran air hujan sehingga dapat menimbulkan banjir di wilayah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abarquez, I., dan Murshed, Z., 2004, Community Based Disaster Risk Management – Field Practitioners’ Handbook, APDC, Pathumthani, Thailand.
Abdullah, I., 2008, Konstruksi dan Reproduksi Sosial atas Bencana Alam, Working Papers in Interdisciplinary Studies No.1 Januari 2008, Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM. Antoko, BS, dan Sukmana, A., 2007, Karakteristik Fisik Sub Daerah Aliran Sungai Batang Gadis, Mandailing Natal, Sumatera Utara, Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Vol. IV No. 5, hal : 485 – 497. Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana, Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2006 – 2009, Bappenas, 2006 Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, Hasil Sensus Penduduk 2010 Provinsi Sumatera Utara, 2010. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Potensi Banjir di Sumatera Utara
Meningkat, 2011.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2010), Rencana Nasional Penanggulangan Bencana, www.bnpb.co.id
Balai Teknologi Pengelolaan DAS, Ujung Pandang, 1996, Penelitian Rehabilitasi Lahan Kritis di Malino, Laporan Kajian Balai Teknologi Pengelolaan DAS Ujung Pandang.
Balai Teknologi Pengelolaan DAS, Ujung Pandang, 1999, Kajian Rehabilitasi Lahan Kritis di Lembah Palu, Sulawesi Tengah, laporan kajian Balai Teknologi Pengelolaan DAS Ujung Pandang.
Balai Wilayah Sungai Sumatera II, 2009, Rancangan Pola Pengelolaan SDA WS.
BMKG Stasiun Sampali, Medan, 2011.
Cahyana, L., dan Parlan, TM, 2004, Kasus di Sumatera, Institut Studi Arus Informasi.
Charter, D., 2004, Desain dan Aplikasi GIS, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.
Detik News, 2011, Tiga Kabupaten Di Sumatera Utara dilanda Banjir, 5 September 2008.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan, 2009, Peraturan Direktur Jenderal
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Soaial tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi daerah Aliran Sungai (DAS), 5 Maret 2009.
Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, 2007, Profil Balai Wilayah Sungai Sumatera II,
Departemen Pekerjaan Umum.
Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1994, Pedoman Penyusunan Rencana Pembuatan Bangunan Sumur Resapan Air, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Direktorat Pengurangan Risiko Bencana Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, 2010, Renacana Nasional Penanggulangan Bencana 2010 – 2014, Badan Nasioanal Penanggulangan Bencana. Dishut.jabarpos.go.id, 2008, Hutan Lindung Rusak, 4 Januari 2008.
Erabaru.Net, 2010, Banjir landa Tapanuli Selatan, 4 Oktober 2010. Ekspos.News, 2011, Empat Kecamatan di Nias Barat Dilanda Banjir, 16 Agustus 2011. Fithria, E., 2010, Perubahan Iklim: Pemanasan Global dan Efek Rumah Kaca, Sumatra Rainforest Institute. Hadidhy, HE., 2010, Siklus Hidrologi, Universitas Sumatera Utara. Hadinugroho, HYS., 2002, Teknik Konservasi Tanah dan Air (KTA) dalam Pencegahan dan Pengendalian Banjir, Balai Teknologi Pengelolaan DAS Ujung Pandang. Hamid, A., 2006, Rekayasa Antisipasi Bencana Banjir, Seminar Rekayasa Antisipasi Banjir, Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura.
Hardaningrum, F., Taufik, M., dan Bangun MS., 2005, Analisis Genangan Air Hujan di Kawasan Delta dengan Menggunakan Pengindraan jauh dan SIG, Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Indosiar.com, 2009, Banjir Meluas di Kabupaten Langkat, Langkat 6 Januari 2009. Indosiar.com, 2010, Banjir dan Longsor Terjang Madina, 1 Desember 2020. Institut Studi Arus Informasi, 2004, Kasus Yang Terjadi di Sumatera. Irianto, G., 2002, Banjir Bandang : Penyebab Utama dan Upaya Antisipasinya, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Irsan, M., 2011, Kajian Kerawanan Banjir di Wilayah DAS Padang Menggunakan Sistem
Informasi Geografis, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. Kirmanto, D., 2006, Lokakarya Penataan Ruang Sebagai Wahana untuk Meminimalkan Potensi Kejadian Bencana Longsor, Jakarta 7 Maret 2006. http://independen69.wordpress.com/2007/12/03/pemanasan-global-global-warming/ 10/28/2008.
Kodoatie, R.J. dan Roestam Sjarief, 2006, Pengelolaan Bencana Terpadu, Jakarta: Penerbit Yarsif Watampone. Kompas.com, 2011, Banjir Bandang di Mandailing Natal 15 orang tewas dan 25 hilang,
Selasa, 15 September 2009. Kusuma, MSD., Rahayu, HP., Farid, M., Setiawati, T., Adityawan, MG., dan Silasari, R.,
2010, Studi Pengembangan Peta Indeks Risiko Banjir pada Kalurahan Bukit Duri Jakarta, Jurnal Teknik Sipil, Vol. 17 No. 2, hal : 123 – 130. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, ITB, 2005. Liputan6.com, 2011, Ratusan Rumah di Tapanuli Tengah Terendam, 27 Oktober 2011. Liputan6.com, 2011, Ratusan Rumah di Labuhan Batu Terendam, 27 Oktober 2011.
Metrotvnews, 2011, Banjir di Langkat dan Aceh Tenggara, 24 Mei 2011.
Metro 24 jam, Sungai Asahan Meluap, 14 Oktober 2011. Notohadiprawiro, T., 2006, Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Program Penghijauan, Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Onrizal, 2011, Medan Dilanda banjir : Bencana Ekologis di Tahun Baru 2011. Onrizal, Bakti, D., dan Hasanuddin, 2011, Pembangunan Kerangka Prioritas dan kelembagaan Mitigasi GRK untuk Sektor Berbasis lahan di Tingkat Daerah : Sebuah Potret dari Sumatera Utara, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Purwoku, A., 2008, Kajian Kesesuaian Fungsi Lahan dan Kawasan DAS dalam Upaya Penanggulangan Bencana banjir di Sumatera Utara, Inovasi, Vol. 5, Nomor 3, 2008. Purwaningsih, R., Zubaidah, A., dan Suwarsono, 2005, Analisa Daerah Potensi Banjir di Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan Menggunakan Citra AVHRR/NOAA-16, Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV, LAPAN, Jakarta. Putra, ETS., dan Indradewa, D., 2011, Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan Nasional, Lustrum 13 Fakultas Pertanian, UGM, Yogyakarta. Rahman, A., 2008, Spasial Data Modelling For 3D GIS, Springer, Berlin. Roy, K. Dan Arora, D.R., 1973, Technology of Agricultural Land Development and Water Management, India Publication, New Delhi. Saifullah, M., 2011, Indonesia Wajib Miliki Peta Mikrozonasi, Okezone.com
Sanudin dan Antoko, BS., 2007, Kajian Sosial Ekonomi Masyarakat di DAS Asahan, Sumatera Utara, Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, Vol. 4 No. 4, hal : 355 – 367. Sidik, JM., 2010, Pemanasan Global Amat pengaruhi Curah Hujan, Antara news, 1 Maret 2010. Sinar Indonesia Baru, 2005, Sungai Nou Meluap, Ratusan Rumah Warga di Gunungsitoli Dilanda banjir Setinggi 2 meter, 17 Nopember 2005.
Sitompul, R., 2008, Pemodelan Spasial Daerah Rawan Banjir di daerah Aliran Sungai Deli dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Analytical Hierarchy Process, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Starberita.com, 2011, Desa Tongging Diterjang Banjir Lumpur : 70 Rumah Terendam, 4 Pebruari 2011. Susetyo, H., 2006, Menuju Kebijakan Penanggulangan Bencana yang Integratif, INOVASI Online, Vol. 8/XVIII, Waspada online, 2009, Perbaikan Hutan Madina Mendesak, 30 September 2009.
Waspada Medan.com, 2011, Kerusakan Hutan Ancam Banjir dan Longsor di Asahan, 25 Oktober 2011 Wisyanto, 2001, Kajian Bencana Banjir di Nias, Sumatera Utara, BPPT, 2001. Yulianto, F., Marfai MA., Parwati, Suwarsono, 2009, Model Simulasi Luapan Banjir Sungai Ciliwung di Wilayah Kampung Melayu-Bukit Duri, Jakarta, Indonesia, Jurnal Pengindraan Jauh, Vol. 6, hal : 43 – 53. (http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://3.bp.blogspot.com/
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/09/04130462/23.DAS.di.Sumatera.Utara.Berpotensi.Ekstrem..Banjir (http://www.pemkomedan.go.id/news_detail.php?id815). (http://www.tempointeraktif.com/hg/timeline/2005/03/30/tml.20050330-01.id.html)
(http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PNACT626.pdf). http://bebasbanjir2025.files.wordpress.com/2008/10/sh1.jpg
Wikipedia.org/wiki/Berkas:GVSIG_GIS.jpg
Wikipedia, Error! Hyperlink reference not valid.)
Wikipedia, (http://www.wikipedia.org).
Wikipedia, (http://www. wikipedia.org/wiki/banjir).
Wikipedia, (http//ig.wikipedia.org/w/index.php?200805051554640). Wikipedia, (http://id.wikipedia.org/wiki/ sistem_informasi_geografis).
LAPORAN HASIL PENELITIAN
Kajian Tentang Pemetaan Bencana Di Provinsi Sumatera Utara
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PROVINSI SUMATERA UTARA 2011
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah dan
karunia-Nya, maka penelitian yang berjudul “Kajian tentang Pemetaan Bencana di
Provinsi Sumatera Utara,” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Bencana merupakan sesuatu hal yang tidak dapat diprediksi secara pasti kapan
dan dimana terjadinya. Fenomena alam yang sangat dinamis mengakibatkan
kemungkinan bencana akan terjadi dimana saja dan kapan saja. Di samping itu, tingginya
aktivitas eksploitasi manusia terhadap alam yang terkadang tidak lagi berorientasi
terhadap kelestarian lingkungan akan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup yang
sangat memprihatinkan.
Oleh karena banyaknya jenis bencana yang menimpa wilayah Provinsi Sumatera
Utara, maka dalam penelitian ini akan difokuskan pada salah satu jenis bencana yaitu
banjir. Secara umum, bencana banjir merupakan jenis bencana yang paling sering
menimpa wilayah Provinsi Sumatera Utara. Telah banyak usaha yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara dalam mengatasi masalah banjir, namun
kenyataannya banjir masih terus terjadi. Kerugian yang ditimbulkan oleh bencana banjir
justru dari waktu ke waktu mengalami peningkatan.
Sampai saat ini pemetaan tentang bencana banjir di Provinsi Sumatera Utara
masih terlalu bersifat general sehingga belum bisa menggambarkan potensi dan tingkat
risiko bencana sampai tingkat kecamatan. Akibatnya, pemerintah daerah masih sering
mengalami kekeliruan dalam mengambil kebijakan yang berhubungan dengan bencana
banjir.
Dalam upaya untuk meminimalisir akibat yang ditimbulkan dari bencana banjir
maka perlu dilakukan penelitian tentang pemetaan bencana banjir di wilayah Provinsi
Sumatera Utara.
Hasil pemetaan bencana banjir yang diperoleh dari penelitian ini dapat
dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk melakukan sosialisasi pada masyarakat dalam
menghadapi bencana banjir di wilayahnya. Di samping itu, peta yang dihasilkan dalam
penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam perencanaan penyusunan tata ruang di wilayah
Propinsi Sumatera Utara.
Tiada lupa, pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang
setinggi-tingginya kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera
Utara yang telah mempercayakan kami untuk melaksanakan penelitian ini. Semoga hasil
penelitian ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi Pemerintah Daerah
Provinsi Sumatera Utara khususnya dalam menangani dan mengatasi masalah banjir.
Medan, 1 Nopember 2011
CV. IRBIE NUSA CONSULTANT
KATA SAMBUTAN
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah swt. atas selesainya tulisan laporan
akhir penelitian yang berjudul “Kajian tentang Pemetaan Bencana di Provinsi Sumatera
Utara.”
Sebagaimana kita ketahui bahwa Provinsi Sumatera Utara merupakan wilayah
yang sangat rentan terhadap bencana alam, antara lain : banjir, tanah longsor, gempa
bumi, tsunami, letusan gunung berapi, dan kekeringan. Diantara sekian banyak jenis
bencana yang ada, bencana banjir merupakan salah satu bencana yang paling sering
terjadi di wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Dengan mempertimbangkan tingginya tingkat kerugian yang diakibatkan oleh
bencana banjir yang terjadi, maka sudah seharusnya dilakukan langkah-langkah strategis
untuk mengurangi akibat terjadinya bencana tersebut. Salah satu langkah strategis yang
dilakukan adalah melakukan pemetaan potensi dan resiko bencana banjir di Provinsi
Sumatera Utara. Peta potensi dan resiko bencana banjir tersebut sangat berguna bagi
pengambil keputusan terutama dalam melakukan tindakan untuk mitigasi bencana,
sehingga akibat yang ditimbulkan dapat diminimalisir.
Perkembangan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG)
memberikan kemudahan untuk menganalisa permasalahan-permasalahan keruangan,
yang dalam penelitian ini telah berhasil digunakan untuk melakukan pemetaan potensi
dan resiko bencana banjir di Provinsi Sumatera Utara. Oleh karena itu pada kesempatan
ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah bekerja keras untuk
menghasilkan kajian pemetaan bencana khususnya bencana banjir di Provinsi Sematera
Utara dengan menggunakan teknologi yang modern.
Kami mengucapkan selamat atas dihasilkannya kajian pemetaan bencana di
Provinsi Sumatera Utara, khususnya bencana banjir. Semoga hasil penelitian ini dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya dalam merumuskan kebijakan untuk
mengatasi masalah banjir di wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Terima kasih.
Medan, 10 November 2011 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PROVINSI SUMATERA UTARA Kepala
Ir. H. ALWIN, M.Si. PEMBINA UTAMA MUDA
NIP. 19600911 198711 1 001
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Kata Sambutan iv
Daftar Isi vi
Bab I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.4 Keutamaan Penelitian 4
Bab II TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Bencana 6
2.2 Bencana Banjir dan Penyebabnya 7
2.3 Daerah Aliran Sungai (DAS) 10
2.4 Siklus Hidrologi 14
2.5 Sejarah Geologi Wilayah Propinsi Sumatera Utara 18
2.6 Demografi dan Wilayah Administrasi Propinsi Sumatera Utara 19
2.7 Pencegahan dan Pengendalian Bencana 21
2.8 Tantangan dan Kendala dalam Penerapan Teknik KTA 27
2.9 Kondisi Kebencanaan di Propinsi Sumatera Utara 30
2.10 Landasan Pengurangan Risiko Bencana 31
2.11 Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014 32
2.12 Sistem Informasi Geografis 34
2.13 Penelitian Yang Relevan 37
BAB III METODE PENELITIAN 40
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 40
3.1 Metode Penelitian 40
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 44
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 44
4.2 Variabel Penelitian 46
4.3 Upaya Yang Harus Dilakukan oleh Pemda Propinsi Sumatera Utara 65
4.4 Peta Potensi Risiko Bencana Banjir 70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 75
5.1 Kesimpulan 75
5.2 Saran 79
5.3 Rekomendasi 79
DAFTAR PUSTAKA 81
LAMPIRAN 88