+ All Categories
Home > Documents > Filsafat Kristen

Filsafat Kristen

Date post: 14-Nov-2023
Category:
Upload: usd
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
31
NAMA : ALB IRAWAN DWI ATMAJA (120510004) JARAB MANDRO SIMANULLANG (120510021) LODOFIKUS SUBAN (120510029) VIRGO VINCENSIUS (120510049) TINGKAT/SEMESTER : III (Tiga)/V(Lima) MATA KULIAH : FIC: Hindu, Buddha, Tao, Konfusius DOSEN : Lesta Sembiring, Lic. S. Th. FILSAFAT KRISTEN Kekristenan muncul sebagai kepercayaan atau agama baru. Hal ini terjadi setelah Kaisar Konstantinus menegeluarkan sebuah edik yang bernama edik Milano. Dalam edik Milano yang dikeluarkan tahun 313 menyatakan bahwa agama Kristen yang teraniaya menjadi agama resmi di seluruh kekaisaran. Ajaran agama Kristen bersumber dari Yesus Kristus. Kekristenan menawarkan ajaran baru yang berbeda dengan ajaran atau agama pada waktu itu yakni tentang penebusan, keselamatan dan cinta. Ajaran ini sungguh-sungguh berbeda dari ajaran yang ada pada waktu itu. Kehadiran agama baru ini ditentang oleh banyak orang, baik oleh penguasa maupun oleh kalangan Yahudi. Tampillah orang-orang seperti rasul Paulus dan rasul Yohanes yang menghadapkan kepercayaan Kristen dengan kepercayaan yang bukan Kristen pada waktu itu. Masa itu mempertaruhkan hidup dan mati agama Kristen. 1 Pada awalnya, pengikut agama Kristen berasal dari rakyat golongan sederhana, rakyat jelata yang bukan pemikir. Dengan kondisi demikian, tidak ada ahli pikir secara filsafat. Namun, dalam perjalanan waktu, banyak orang-orang dari golongan atasan, golongan ahli pikir menjadi penganut agama Kristen. Dengan demikian, para cendekiawan ini menentukan sikap mereka terhadap filsafat Kristen. Sejak saat itu, bangkitlah filsafat Kristen. 2 Masa ini hidup bersamaan dengan masa Hellenisme. 3 Keseluruhan sejarah filsafat ini disebut sejarah filsafat Abad Pertengahan. Filsafat Abad Pertengahan dicirikan dengan adanya hubungan erat antara agama Kristen dan filsafat. Dilihat secara menyeluruh, filsafat Abad Pertengahan memang merupakan filsafat kristiani. Para pemikir zaman ini hampir semuanya klerus, yakni golongan rohaniwan atau biarawan di mana minat dan perhatian mereka tercurah pada ajaran agama kristiani. Akan tetapi orang 1 ? Frederick Copleston, A History of Philosophy (vol. 2) (London: Burns, Oates & Washbourne , 1950), hlm. 13. 2 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 70. 3 ? Laurentius Tinambunan, “Filsafat Hellenisme dalam Pewartaan Kekristenan “, dalam Logos, Vol. 6 No. 1 Juni 2008, hlm. 02. 1
Transcript

NAMA : ALB IRAWAN DWI ATMAJA (120510004) JARAB MANDRO SIMANULLANG (120510021)

LODOFIKUS SUBAN (120510029) VIRGO VINCENSIUS (120510049)

TINGKAT/SEMESTER : III (Tiga)/V(Lima)MATA KULIAH : FIC: Hindu, Buddha, Tao, KonfusiusDOSEN : Lesta Sembiring, Lic. S. Th.

FILSAFAT KRISTEN

Kekristenan muncul sebagai kepercayaan atau agama baru. Hal ini terjadi setelah

Kaisar Konstantinus menegeluarkan sebuah edik yang bernama edik Milano. Dalam edik

Milano yang dikeluarkan tahun 313 menyatakan bahwa agama Kristen yang teraniaya

menjadi agama resmi di seluruh kekaisaran. Ajaran agama Kristen bersumber dari Yesus

Kristus. Kekristenan menawarkan ajaran baru yang berbeda dengan ajaran atau agama pada

waktu itu yakni tentang penebusan, keselamatan dan cinta. Ajaran ini sungguh-sungguh

berbeda dari ajaran yang ada pada waktu itu. Kehadiran agama baru ini ditentang oleh banyak

orang, baik oleh penguasa maupun oleh kalangan Yahudi. Tampillah orang-orang seperti

rasul Paulus dan rasul Yohanes yang menghadapkan kepercayaan Kristen dengan

kepercayaan yang bukan Kristen pada waktu itu. Masa itu mempertaruhkan hidup dan mati

agama Kristen.1

Pada awalnya, pengikut agama Kristen berasal dari rakyat golongan sederhana, rakyat

jelata yang bukan pemikir. Dengan kondisi demikian, tidak ada ahli pikir secara filsafat.

Namun, dalam perjalanan waktu, banyak orang-orang dari golongan atasan, golongan ahli

pikir menjadi penganut agama Kristen. Dengan demikian, para cendekiawan ini menentukan

sikap mereka terhadap filsafat Kristen. Sejak saat itu, bangkitlah filsafat Kristen.2 Masa ini

hidup bersamaan dengan masa Hellenisme.3

Keseluruhan sejarah filsafat ini disebut sejarah filsafat Abad Pertengahan. Filsafat

Abad Pertengahan dicirikan dengan adanya hubungan erat antara agama Kristen dan filsafat.

Dilihat secara menyeluruh, filsafat Abad Pertengahan memang merupakan filsafat kristiani.

Para pemikir zaman ini hampir semuanya klerus, yakni golongan rohaniwan atau biarawan di

mana minat dan perhatian mereka tercurah pada ajaran agama kristiani. Akan tetapi orang

1 ? Frederick Copleston, A History of Philosophy (vol. 2) (London: Burns, Oates & Washbourne, 1950), hlm. 13.2 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 70.3 ? Laurentius Tinambunan, “Filsafat Hellenisme dalam Pewartaan Kekristenan “, dalam Logos, Vol. 6 No. 1 Juni 2008, hlm. 02.

1

akan salah paham jika memandang filsafat Abad Pertengahan sebagai filsafat yang melulu

berisi dogma atau ajaran Gereja. Sebab, dalam filsafat Abad Pertengahan digambarkan

hubungan antara iman yang berdasarkan wahyu Allah sebagaimana termaktub dalam Kitab

Suci dan pengetahuan berdasarkan kemampuan rasio manusia. Oleh karena itu, kiranya dapat

dikatakan bahwa filsafat Abad Pertengahan adalah suatu filsafat agama dengan agama

Kristiani sebagai dasarnya.4

Sejarah filsafat Abad Pertengahan dibagi menjadi dua zaman. Pertama, zaman

Patristik. Zaman Patristik (abad ke-2 sampai abad ke-7) dicirikan dengan usaha keras para

Bapa Gereja untuk mengartikulasikan, menata, dan memperkuat ajaran Kristen serta

membelanya dari serangan kaum kafir dan biadaah kaum Gnosis.5

Kedua, zaman Skolastik yang dimulai sejak abad ke-9. Kalau para tokoh masa

Patristik adalah pribadi-pribadi yang lewat tulisannya memberikan bentuk pada pemikiran

filsafat dan teoogi pada zamnanya, para tokoh zaman skolastik terutama adalah pelajar dari

lingkungan sekolah-kerajaan dan sekolah-katedral yang didirikan oleh Raja Karel Agung

(742-814) dan kelak juga dari lingkungan universitas dan ordo-ordo biarawan.6

A. PEMIKIRAN FILSUF ZAMAN PATRISTIK

Dalam bagian berikut, kami akan menjelaskan pemikiran-pemikiran filsuf Patristik

yang juga merupakan apologet. Kami tidak akan membicarakan semua filsuf yanga ada.

Kami membahas filsuf yang penting dan ajarannya memiliki pengaruh besar terhadap filsafat.

Kata patristik berakar dari kata Latin. Pater: bapa, menunjuk pada Bapa Gereja. Masa

ini berlangsung kira-kira selama 8 abad yaitu zaman di antara para rasul (abad pertama)

hingga sekitar awal abad ke-8 M. Ada banyak sikap para pemikir Kristen terhadap filsafat.

Ada yang menolak terhadap filsafat Yunani tetapi ada juga yang menerima filsafat. Para

pemikir Kristen yang menolak filsafat Yunani memandang bahwa fisafat Yunani sebagai

hasil pemikiran manusia semata-mata, setelah ada wahyu ilahi dianaggap tidak diperlukan

lagi bahkan berbahaya bagi agama Kristen. Tetapi para pemikir Kristen yang menerima

filsafat Yunani memandang bahwa filsafat Yunani sebagai persiapan Injil (prepatio

evangelica).7

4 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Modern (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 102-103.5 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 103.6 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 104-105.7 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 70.

2

Pemikiran Kristen berawal dari para apologet (pembela iman). Mereka tidak

menyusun filsasfatnya secara metodis dan sistematik. Mereka hanya membela iman Kristen.

Mereka membuktikan kebenaran-kebenaran iman Kristen. Dengan kata lain, para apologet

menerangkan dasar iman Kekristenan seperti Yesus Kristus adalah sungguh-sunguh Allah

dan sungguh manusia. Itulah yang dilakukan oleh para apologet sebenarnya. Mereka

memakai filsafat Yunani dalam menerangkan iman Krsiten.8

Para apologet yang ada pada masa itu adalah Aristedes, Yustinus Martir, Tatianus dari

Asyur, Athenagoras, Teofilus dari Antiokhia. Mereka merupakan para apologet awal. Para

apologet ini pada umumnya berasal dari daerah Timur dan berbangsa Yunani. Maka para

apologet tersebut dapat kita katakan sebagai filsuf Yunani yang menganut agama Kristen.9

Pada masa itu, orang Kristen dituduh sebagai rang munafik karena hidup mereka

dalam persundalan, melakukan persetubuhan tanpa batas, membenci sesamanya, dan

sebagainya. Ajaran Krsiten dipandang sebagai ajaran yang menyangkal para dewa. Tuduhan-

tuduhan itu disematkan pada orang-orang Kristen karena mereka menjalankan praktek ibadah

dengan sembunyi-sembunyi. Mereka melaksanakannya demikian agar mereka selamat. Sikap

sembunyi-sembunyi inilah yang menimbulkan tuduhan-tuduhan demikian pada orang

Kristen.10

Para apologet hadir untuk membela semua tuduhan tersebut. Tidak benar kalau orang

Kristen melaksanakan tindakan itu. Hal itu merupakan fitnah. Orang Kristen hidup seturut

hukum Allah sehingga mereka tidak jatuh pada kesalehan-kesalehan seperti yang dilakukan

oleh orang-orang yang buan Kristen. Mereka tidak membuang bayi-bayi mereka, mereka

tidak melakukan persetubuhan yang lebih. Mereka hidup saling mengasihi antara satu dengan

yang lain, mendoakan pemerintah, dan sebagainya. Para apologet menyatakan, walaupun para

penganut agama Kristen tidak mau menyembah kepada para dewa, tetapi mereka percaya dan

menyembah kepada Allah yang Esa. Mereka menentang banyak ilah. Bagi mereka hanya ada

satu Allah, Allah yang transenden, yang adikodrati, yang mengatasi segala sesuatu, yang

tidak tergantung kepada sipapun, yang secara hakiki berbeda dengan manusia.11

1. Yustinus Martir

Yustinus Martir lahir di Neapolis (Sikhem Palestina) sekitar 100 M. Ia menjadi

Kristen dan menetap di Roma sekitar 164 M. Banyak waktu digunakannya untuk mencari

8 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 70-71.9 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 71.10 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 71.11 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 71.

3

kebenaran dengan mengambara di antara berbagai aliran tradisi filsfat Yunani. Yustinus juga

mengatakan bahwa agama Kristen bukan agama baru. Agama Kristen lebih tua dari filsafat

Yunani. Nabi Musa telah menubuatkan kedatangan Kristus. Musa hidup sebelum Plato.

Dengan demikian Plato “telah belajar” dari Musa.12

Kristus adalah Logos. Membagikan benih logos (logos spermatikos) kepada seluruh

umat manusia sehingga pada orang yang bukan Kristen telah tertanam juga rasa kebenaran,

hal yang baik. Logos bekerja pada semua orang baik secara intelektual maupaun secara

moral. Tiap orang telah mendapat bagian benih logos itu sebenarnya dalah orang Kristen,

sekalipun ia tidak dibaptis seperti sokrates. Sekalipun semua orang telah menerima benih

logos tetapi orang-orang Yunani kurang mengerti disebabkan pengaruh para demon yang

dikepalai oleh iblis. Demikianlah penegtahuan yang benar dipalsukan yaitu bangsa Romawi

digerakkan untuk menghamba orang-orang Kristen.13

Secara keseluruhan, karya Yustinus menandai pilihan tegas Gereja awal untuk filsafat,

untuk akal budi, bukan sebagai agama seperti yang dianut orang-orang kafir. Dalam apologia-

nya yang pertama, Yustinus mengkritik agama kafir serta mmitos-mitosnya yang dia

pandang sebagai kesesatan dari jalan kebenaran. Sedangkan filsafat merupakan bidang yang

menguntungkan, di mana kekafiran, Yudaisme dan Kristianitas dapat bertemu dalam hal

mengkritik agama kafir sera mitos-mitosnya yang palsu.14

2. Irenaeus15

Irenaeus lahir sekitar 137-140 (± 202) M. Ia menentang aliran Gnostik. Gnostik

berakar dari kata Yunani yang berarti pengetahuan. Aliran gnostik adalah aliran yang

berusaha melebur kepercayaan Kristen dengan filsafat Yunani. Aliran ini timbul dalam

bentuk beracam-macam yang membahayakan bagi agama Kristen sebab dapat merusak

agama Kristen dari dalam. Sekalipin ada banyak aliran, akan tetapi ada corak-corak teretntu

yang dimilki bersama yaitu:

Semua mengajarkan adanya pertentangan yang mutlak antara roh sebagai azas

segala yang baik dan benda sebagai azas segala yag jahat.

Penciptaan bukan dilakukan oleh Allah, tetapi oleh tokoh rohani yang lebih

rendah.

12 ? Frederick Copleston, A History..., hlm. 16.13 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 71. 14 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 71-72.15 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 72-73.

4

Kelepasan hanya terbatas pada sekelompok kecil orang yang berhasil naik dari

iman ke pengetahuan (gnosis) karena iman dipandang perlu bagi orang-orang

yang sederahana, kaum psikis atau kaum somatis, yaitu yaitu kaum yang

terikat pada benda-benda. Sedangkan pengetahuan atau gnosis perlu bagi

kaum pneumatis yaitu kaum rohanai: orang yang mendalami rohnya secara

sungguh-sungguh.

Ajaran gnostik dikuasai oleh fantasi daripada oleh akal sehat. Pengetahuan tentang

gnostik diperoleh dari kutipan-kutipan yang terdapat di dalam tulisan para Bapa Gereja yang

menentangnya dan dari karangan-karangan para pengikut Gnostik sendiri. Namun, pada masa

Irenaeus ada aliran yang berusaha melebur kepercayaan Kristen dan filsafat Yunani sehingga

menjadi sistem yaitu aliran gnostik.

Iranaeus menentang aliran gnostik dengan alasan-alasan dialektis dan dengan

pembuktian dari Kitab Suci. Ia menunjukkan bahwa uraian para ahli gnostik banyak yang

bertentangan. Misalnya, Iranaeus menunjukkan bahwa Allah adalah esa, maka tidak mungkin

sejak awal ada sesuatu yang di atas dan di bawah Allah. Cara Iranaeus membuktikan

kesalahan ajaran gnostik yaitu memakai tafsiran allegoris atau kiasan yang dilandaskan dari

Kitab Suci. Menurut Kitab Suci, pencita segala makhluk adalah Allah sendiri, bukan “ilahi”

yang lebih rendah. Allah mencipta dengan perantaraan Logos, bukan menalarkan sinar ilahi

dari diriNya sendiri.

3. Hippolitus16

Hippolytus wafat mungkin sekitar tahun 236. Ia adalah seorang murid dari Irenaeus.

Dalam Proemium ke Philosophumena (sekarang pada umumnya dikaitkan dengan

Hippolytus) dia menyatakan niatnya, hanya tidak sempurna terpenuhi. Informasi

bagaimanapun selalu akurat. Tuduhan utama untuk dia bahwa Hippolytus melawan bangsa

Yunani di mana mereka memuliakan penciptaan dengan ungkapan-ungkapan halus, tetapi

tidak mengetahui Pencipta segala sesuatu, yang membuat mereka bebas dari ketiadaan sesuai

dengan hikmat-Nya dan rencanaNya.

Para penulis tersebut menulis dalam bahasa Yunani; tapi ada juga sekelompok

apologet Latin, Minucius Felix, Tertullian, Arnobius dan Lactantius, dan di antara mereka

yang paling berpengaruh adalah Tertullian. Tidak pasti apakah Minucius Felix menulis

sebelum atau setelah Tertullian, tetapi dalam segala sikapnya terhadap filsafat Yunani, seperti

16 ? Frederick Copleston, A History..., hlm. 22-23.

5

yang ditunjukkan pada Octavius lebih menguntungkan daripada pendapat Tertullian.

Argumen bahwa keberadaan Allah dapat diketahui dengan pasti dari tatanan alam dan desain

yang terlibat dalam organisme, khususnya dalam tubuh manusia, dan bahwa keesaan Allah

dapat disimpulkan dari kesatuan tatanan kosmik. Ia menegaskan bahwa para filsuf Yunani

juga mengakui pernyataan ini. Dengan demikian, Aristoteles mengakui satu Tuhan dan Stoa

punya doktrin ilahi, sementara Plato berbicara tentang Kristen ketika ia berbicara di Timaeus

yaitu dari Pencipta dan Bapa alam semesta.

4. Tertulianus

Tertulianus hidup sekitar abad 160-222 M. Ia dilahirkan di Karthago. Ia tidak berasal

dari keluarga Kristen tetapi kemudian menajdi Kristen dan menjadi pembela agama Kristen

serta teolog. Oleh karena hidupnya yang keras, ia cenderung menganut mazhab Montanus.

Ketika menganut Montanisme, Tertulianus tidak melupakan bahwa Gereja adalah ibu bagi

iman dan hidup kristiani.17

Tertulianus juga menaruh perhatian pada kelakuan moral orang-orang Kristiani serta

pada hidup yang akan datang. Tulisan-tulisannya juga penting untuk mengetahui

kecenderungan yang timbul dalam komunitas-komunitas Kristiani yang berhubungan dengan

Maria, Sakramen Ekaristi, Perkawinan dan Rekonsiliasi, primat Petrus serta doa. Secara

khusus pada zaman pengananiayaan, ketika orang-orang Kristiani tampak seperti suatu

minoritas, Tertulianus menganjurkan supaya mereka berharap. Harapan menurutnya, bukan

hanya salah satu keutamaan, tetai suatu yang meliputi setiap segi dari eksistensi Kristiani.18

Tertulianus menolak filsafat sebab wahyu sudah cukup bagi orang Kristen.

Menurutnya tidak ada hubungan antara teologi dan filsafat, antara Yerusalem dan Athena,

antara Gereja dan akademi. Sejak agama Kristen ada (Kristus datang), filsafat

membingungkan bagi orang Kristen bahkan dapat menyesatkan. Di dalam terang Kristus,

segala sesuatu yang dikatakan oleh para filsuf tidak penting. Sebab, segala yang baik, yang

mereka ajarkan dikutip dari Kitab Suci. Tetapi, para filsuf memalsukan Kitab Suci.19

Sekalipun demikian, Tertulianus tidak menolak berpikir rasional. Cara berpikir

rasional ini berguna juga. Akan tetapi sayangnya, pemikiran yang rasional, yang secara

spontan ini, tidak diteguhkan oleh filsafat, melainkan dibelokkan. Berdasarkan pandangan ini,

Tertulianus tidak menolak pemikiran rasional tentang adanya Allah dan kesempurnaanNya.

17 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 78. 18 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa Gereja (judul asli: The Fathers),diterjemahkan oleh Waskito (Malang: Dioma, 2010), hlm. 66. 19 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 78.

6

Akal manusia dapat menemukan adanya Allah dan menemukan sifat jiwa yang tidak dapat

mati.20

Tertulianus menolak Stoa. Akan tetapi, ia juga dipengaruhi oleh kaum Stoa karena ia

menagajarkan materialisme. Menurutnya, baik Allah maupun jiwa bertubuh, walaupun tubuh

itu berbeda sekali dengan tubuh jasmaniah. Allah adalah suatu zat yang halus, walaupun Ia

adalah baik. Jiwa juga terdiri dari zat yang halus, yang bertubuh, yang tembus sinar sama

seperti uap. Jiwa tidak setiap kali diciptakan Allah tersendiri, akan tetapi pembentukannya

diteruskan oleh para orang tua kepada anak-anak mereka. Jiwa berasal dari sperma sang ayah,

sehingga tiap jiwa adalah suatu ranting dari jiwa Adam. Karena dosa warisan sifat-sifat

rohani diwarisi anak dari orang tuanya. Oleh karena pada tiap jiwa masih ada sisa gambar

Allah, maka tiap jiwa yang tertarik kepada agama Kristen.21

5. Klemens dari Aleksandria

Klemens dari Aleksandria lahir sekitar tahun 150 M di Athena, kemudian menetap di

Aleksandria sekitar tahun 202/203 M dan meninggal sekitar tahun 219 M. Dari Athena

diwarisinya suatu minat yang besar untuk filsafat yang akan menjadikannya seorang perintis

dialog antara iman dan rasio, akal budi, dalam tradisi Kristiani. Aleksandria merupakan kota

yang menjadi simbol bagi pertemuan subur antara kebudayaan, hal yang merupakan ciri khas

zaman Hellenisme. Di kota itu, ia menjadi murid Pantaenus sampai saat ia menggantikannya

sebagai pemimpin sekolah kateketik. Banyak sumber memberi kesaksian bahwa ia seorang

imam tertahbis.22

Di antara karya-karyanya, ada 3 (tiga) yang paling penting yaitu Protrepticus,

Paedagogud dan Stromata. Meskipun kelihatannya bukan maksud utama pengarangan tetapi

adalah kenyataan bahwa tulisan-tulisan ini merupakan suatu trilogi asli yang dapat mengantar

perkembangan rohani orang Kristiani secara efektif.

Protrepticus, seperti sudah dinyatakan oleh namanya adalah suatu anjuran yang

ditujukan kepada mereka yang menjelajahi iman. Protrepticus berbaur dengan menjadi

seorang Pribadi: Putera Allah, Yesus Kristus, yang telah menjadi “penganjur” bagi manusia

supaya dengan mantap menempuh jalan yang menuntun pada kebenaran.23

Yesus Kristus kemudian menjelma sebagai Paedagogus, berarti pendidik, bagi

mereka yang oleh daya Pembaptisan telah menjadi anak-anak Allah. Dan, akhirnya Yesus

20 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 78.21 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 78-79.22 ? Frederick Copleston, A History..., hlm. 26.23 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm. 42.

7

Kristus telah menjadi Didascalos, berarti Guru yang menawarkan pengajaran yang terdalam.

Pengajaran-pengajaran ini telah dikumpulkan dalam karya Clemens yang ketiga yaitu

Stromata. Stromata adalah istilah Yunani untuk permadani dinding. Memang karya ini

merupakan kumpulan karangan-karangan yang berbeda-beda dan tidak disusun secara

sistematis, buah hasil; langsung dari pengajaran Clemens sehari-hari.24

Di lain sisi, nilai filsafat Kristen Aleksandria pada waktu itu adalah kesatuan agama

Yahudi dan agama Kristen dipertahankan, sehingga Allah bangsa Yahudi diidentikkan

dengan Allah orang Kristen (menentang Marcion), dan filsafat Yunani diperhambakan

kepada perkembangan teologi Kristen, tanpa jatuh kepada kesalahan Gnostik. Sekalipun

demikian, harus diakui bahwa ada kekurangan-kekurangan, yaitu: filsafat Kristen terlalu

bersifat spekulatif sehingga kehilangan kenyataan yang sebenarnya, terlalu terpesona oleh

Plato dan Philo dan terlalu banyal dipengaruhi oleh Stoa.25

Kelemens tidak bebas dari kekeliruan-kekeliruan itu. Beberapa tahun ia menjadi

dosen di sekolah kateketik Aleksandria. Kemudian ia darus melarikan diri karena adanya

penghambatan dari kaisar Septimus Severus. Suatu tujuan rangkap ingin ia capai yaitu:

memberi batasan-batasan kepada ajaran Kristen guna mempertahankan diri terhadap filsafat

Yunani dan aliran Gnostik, dan memerangi ajaran Kristen dengan pertolongan pemikiran

Yunani.26

Filsafat dijunjung tinggi, terlebih-lebih filsafat Plato dihargai sekali. Hal ini

disebabkan filsafat mempunyai fungsi rangkap. Bagi orang yang bukan Kristen, filsafat

dapat mempersiapkan orang untuk percaya kepada Injil. Sebab bagi orang yang bukan

Kristen, filsafat mempunyai arti yang sama seperti arti hukun Taurat bagi orangYahudi.

Sebagian besar dari hikmat filsafati diturunkan dari Kitab Suci. Sebaliknya, bagi orang

Kristen filsafat juga penting karena filsafat dapat dipakai untuk membela iman Kristen dan

untuk memikirkan iman Kristen secara mendalam.

Menurut Klemens, filsafat pada dirinya memang dapat memimpin orang kepada

pengetahuan tentang Allah. Sebab filsafat dapat memimpin kepada pengetahuan, bahwa

Allah adalah sebab segala sesuatu. Di sini tampak pengaruh filsafat Plato. Pangkal pemikiran

Klemens adalah iman. Iman (pistis) dapat diperlukan bagi tiap orang Kristen. Akan tetapi, di

samping iman masih ada hal yang lbih tinggi yaitu pengetahuan (gnosis). Jikalau iman

berlaku bagi tiap orang Kristen, maka pengetahuan (gnosis) perlu bagi orang Kristen yangd

24 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm 42-43.25 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 73.26 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 73.

8

apat berpikir secara lebih mendalam. Pengetahuan atau gnosis ini bukan meniadakan iman,

tetapi menerangi iman. Iman adalah awal pengetahuan, oleh karena itu iman harus

berkembang atau tumbuh hingga menjadi pengetahuan atau gnosis. Pengetahuan harus

diusahakan sedemikian rupa, hingga menjadi suatu kecakapan merenung yang terus-menerus

dan tak terubahkan lagi.27

Walaupun Klemens mengajarkan hal gnosis, akan tetapi ia menentang Gnostik.

Ajaran tentang gnosis justru dipakai untuk menentang Gnostik. Menurut ajaran Gnostik,

seorang yang telah memiliki gnosis harus mematikan hawa nafsunya dan kembali kepada

Allah dalam suatu kasih yang telah dibersihkan dari segala hawa nafsu. Tetapi bagi Klemens

gnosis tidak mempunyai arti yang demikian. Baginya, gnosis harus mengandaikan adanya

iman. Tanpa iman tiada gnosis. Sebaliknya, bagi kaum Gnostik, gnosis meniadakan iman.

Bagi Klemens, gnosis adalah imu sejati, suatu pengetahuan yang pasti beradasarkan

penguraian yang benar dan pasti. Orang dianggap berpengetahuan, berhikmat atau berilmu,

jikalau akalnya meneguhkan pengetahuannya dengan uraian-uraian yang mempunyai bukti

yang kuat. Demikianlah menurut Klemens, pengetahuan atau gnosis adalah aktivitas akal.28

6. Origenes

Origenes adalah orang pertama yang memberikan suatu uraian sistematis tentang

teologi. Persoalan penting yang menjadi pergumulan pada waktu itu adalah bagaimana

hubungan iman dan pengetahuan. Menurut aliran Gnostik, iman daus dinaikkan menajadi

pengetahuan (gnosis), sehingga iman tidak diperlukan lagi. Menurut Klemens, iman adalah

awal pengetahuan yang harus berkembang menjadi pengetahuan. Tetapi pengetahuan tidak

tidak meniadakan iman. Seklaipun demikian, sebenarnya dalam ajaran Klemens, iman tidak

mempunyai tempat yang pusat. Origenes mengajarkan bahwa iman kurang berguna lagi bagi

orang yang telah “berpengetahuan”, artinya, orang yang telah memiliki pemahaman yang

mendalam. Sebab iman hanya perlu bagi orang-orang yang sederhana, orang yang tidak

mengerti isi Kitab Suci secara rohani. Menurut Origenes, Kitab Suci mempunyai tiga (3)

macam arti, yaitu: arti yang harafiah atau yang somatis, yang historis, yang berlaku bagi

orang yang sederhana; arti yang etis atau psikis, seperti yang diuraikan di dalam khotbah,

yang diperuntukkan bagi orang yang psikis. Yang terakhir, arti pneumatis atau rohani, yang

lebih mendalam, yang diperoleh dengan tafsiran allegoris atau kiasan, yang diperuntukkan

27 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 74.28 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 74.

9

bagi apra teolog dan para filsuf. Kitab Suci harus ditafsirkan dengan cara demikian, karena

manusia terdiri dari tubuh (soma), jiwa (psukhe) dan roh (pneuma). 29

Berdasarkan pandangan di atas, selanjutnya ajaran Origenes menyatakan bahwa Allah

adalah transenden, Allah yang tidak dapat dimengerti. Ia tidak bertubuh, esa serta tidak

berubah. Allahlah yang menjadi pencipta segala sesuatu baik yang bersifat rohani maupun

bersifat bendawi. Origenes mengajarkan penciptaan yang kekal abadi. Allah tidak penah

menganggur. Sebelum dunia diciptakan, Allah telah bekerja, menciptakan dunia yang lain

yang mendahului dunia tempat kita berdiam. Sesudah zaman dunia kita ini akan ada dunia

yang baru. Demikianlah ada penciptaan yang kekal abadi.30

Allah menciptakan dengan perantaraan Putera, yang adalah suatu pribadi yang berdiri

sendiri di dalam sifat ilahi. Sejak kekal, Putera diperanakkan oleh Bapa, sedang Roh Kudus

keluar dari Puetra. Putera Allah adalah Logis, Idea segala idea, yang gambarNya ada pada

setiap makhluk. Hubungan antara Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus oleh Origenes

digambarkan secara subordinasi, artinya: yang satu di bawah yang lain, yang satu lebih

rendah daipada yang lain.31

Segala roh juga diciptakan oleh Allah. Akan tetapi, para roh itu kemudian tidak setia

terhadap Allah sehingga dibelenggu dalam tubuh. Demikianlah seluruh jagat raya yang

tampak ini disebabkan oleh dosa. Segala yang bersifat badani adalah akibat dosa. Akibat

ketidaksetiaan tidak semuanya sama, melainkan bertingkat. Ada roh yang memiliki tubuh

halus, ada roh yang memiliki tubuh kasar, ada malaikat dan ada manusia. Jiwa manusia dapat

juga naik tingkat menjadi malaikat.32

Pada akhirnya semua roh akan dapat kembali kpeda Allah lagi, yaitu setelah banyak

kelahiran. Origenes mengajarkan bahwa pada akhirnya semua makhluk, yang baik maupun

yang jahat akan selamat. Origenes dipengaruhi oleh dualisme Plato mengenai jiwa dan tubuh,

dan mengenai perpindahan jiwa dalam hidup yang lain.33

7. Eusebius dari Caesarea

Eusebius lahir kira-kira di Caesarea sekitar tahun 260 M. Origenes pernah mengungsi

ke Caesarea dan mendirikan sebuah sekolah dengan perpusatakaan yang besar. Beberapa

puluh tahun kemudian, Eusebius yang masih mudamendapat pendidikan dari buku-uku yang

29 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 74-75.30 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 75.31 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 75.32 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 75.33 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 76.

10

ada di perpustakaan itu. Dalam tahun 325 M, sebagai uskup Caesarea, ia memainkan peranan

penting dalam Konsili Nicea. Ia turut menandatangani Credo dan pernyataan menganai

keallahan penuh Putera Allah, yang didefenisikan sebagai “sehakikat dengan Bapa.” 34

Konstantinus yang telah memberikan perdamaian kepada Gereja, dikagumi Eusebius

dengan tulus hati. Demikian pula Eusebius dihargai dan dihormati oleh Konstantinus.

Konstantinus oleh Eusebius dihormati melalui karya-karyanya juga melalui khotbah yang

diucapkannya pada ulang tahun ke-20 dan ke-30 penobatan Konstantinus dan juga ketika

Konstantinus wafat pada tahun 337.35

Eusebius adalah seorang sarjana yang tak kenal lelah. Dalam banyak karyanya, ia mau

merefleksikan dan melaporkan tiga abad Kristianitas, tiga abad dalam penaganiayaan. Secara

luas dimanfaatkannya sember-sumber baik Kristiani maupun kafir, yang terpelihara terutama

dalam perpustakaan Caesarea. Dengan demikian, meskipun secara objkektif karya-karayanya

di bidang apologi, eksegese dan pengajaran penting juga, kemasyuran Eusebius tetap

dikaitkan pertama-pertama dengan Historis Ecclesiasticas, Sejarah Gereja yang telah

ditulisnya. Dialah orang pertama yang pernah menulis sejarah gereja dan sejarah yang

ditulisnya ini tetap amat penting. Berkat sumber-sumber yang telah disediakan Eusebius, saat

ini sangat mudah mengerti akan sejarah gereja.36

Dengan sejarah ini, ia telah berhasil menyelamatkan sejumlah peristiwa, tokoh-tokoh

penting dan karya literer dari Gereja awal. Maka karyanya merupakan suayu sumber utama

untuk pengetahuan tentang abad-abad pertama Kristianitas. Pada bukunya yang pertama,

Eusebius menyebut secara mendetail daftar pokok-pokok yang akan dia bahas dalam

bukunya.37

“Niatku adalah menulis suatu laporan tentang para pengganti Rasul-Rasul suci, juga

tentang zaman yang telah berlalu sejak hari Penyelamat kita sampai hari ini. Aku juga mau

menulis semua peristiwa besar yang menurut berita telah terjadi dalam sejarah Gereja; dan

menyebut orang-orang yang telah memimpin Gereja dalam keuskupan-keuskupan yang telah

terkemuka dan mereka yang ada dalam setiap angkatan telah mewartakan Sabda Ilahi, entah

secara lisan maupun melalui tulisan-tulisan. Niatku ialah menyebut nama, jumlah dan waktu

mereka yang terdorong oleh keinginan memperbarui, telah jatuh dalam kesesatan-kesesatan

yang ekstrem, dan telah menjadi pewarta yang memasukkan suatu pengajaran salah dan

seperti serigala ganas telah menghancurkan kawanan Kristus dengan tidak kenal ampun... dan

34 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm76-77.35 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm77.36 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm. 77-78.37 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm. 78.

11

aku hendak mencatat bagaimana dan kapan sabda ilahi telah diserang oleh orang-orang kafir,

melukiskan watak orang-orang besar yang pada saat berbeda telah membelanya walaupun

harus menghadapi banyak siksaan... juga kemartiran yang telah terjadi pada zaman kita serta

belas kasihan dan kebaikan yang telah ditunjukkan kepada kita semua oleh Penyelamat

kita.”38

Dengan demikian, Eusebius merangkum beberapa hal: penggantian para Rasul

sebagai tulang punggung Gereja, penyebaran Injil, kesesatan dan penaganiayaan dari pihak

orang-orang kafir, serta kesaksian-kesaksian penting yang merupakan terang yang bersinar

dalam sejarah ini. Eusebius seakan-akan mebuka secara resmi penulisan sejarah Gereja dan

meneruskan catatannya sampai tahun 324, tahun di mana Konstantinus diakui sebagai kaisar

Roma satu-satunya setelah mengalahkan Licinus. Itulah setahun sebelum Konsili Nicea yang

menyajikan “summa”, keseluruhan, segala sesuatu yang telah dipelajari oleh Gereja selama

300 tahun sebelumnya di bidang doktrin, moral, dan juga hukum.39

8. Gregorius dari Nyssa40

Gregorius dari Nyssa adalah bapa gereja yang mempunyai jiwa filsafat yang paling

menonjol. Jalan pikirannya menunjukkan kaitan dengan gagasan Origenes, akan tetapi ia

mencoba menjaga supaya kebenaran Kristinai tidak dikorbankan demi pemikiran Platonis

seperti yang dilakukan oleh Origenes. Walalupun demikian, ada juga pengaruh

Neoplatonisme.

Gregorius menjabarkan perbedaan antara iman dan pengetahuan. Menurutnya sumber

dan isi iman berbeda dengan sumber dan isi pengetahuan. Kepastian iman tidak dapat

dijelaskan dengan akal karena hakekatnya lebih tinggi dibanding dengan kepastian

pengetahuan dengan akal. Dengan iman orang menerima kebenaran-kebenaran yang

diwahyukan Allah. Kebenaran-kebenaran ini pada dirinya tidak dapat dimengerti.

Pengetahuan dengan akal berkaitan dengan kebenaran-kebenaran yang dapat dimengerti

karena pengetahuan ini mengenai hal-hal yang alamiah. Walaupun demikian, pengetahuan

dengan akal dapat dipakai untuk membela iman, untuk menjabarkan iman dan untuk

menghubungkan isis iman yang satu dengan yang lain. Pengetahuan ini dapat dipakai untuk

memperindah rahasia kebenaran-kebenaran ilahi dengan kekayaan akal, dapat dipakai untuk

38 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm. 78-79.39 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm. 79.40 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 76-77.

12

memberi kepastian terhadap adanya Allah yang menjadi dasar iman, dapat dipakai untuk

menyusun isi iman dalam suatu sistem.

Jiwa manusia diciptakan bersamaan dengan penciptaan tubuh. Jiwa memberi hidup

kepada tubuh. Jiwa memberi hidup kepada tubuh dan menjadikan tubuh dapat menjadi alat

untuk mengamati. Keadaannya tidak berjasad dan bersifat akali, serta memiliki kebebasan.

Selanjutnya, jiwa tidak dapat mari karena mendapat bagian dari sifat kekal Allah. Setelah

manusia mati, jiwanya tetap dikaitkan dengan unsur-unsur tubuhnya, sehingga setelah hari

kebangkitan tubuh dan jiwa akan bersama-sama mendapatkan kebahagiaan kekal. Gregorius

dari Nyssa tidak mengajarkan pra-eksistensi jiwa dan juga tidak mengajarkan perpindahan

jiwa ke tubuh yang lain.

Pada dirinya, tubuh bukanlah hal yang jahat. Kejahatan bersumber pada kebebasan

kehendak manusia. Allah telah memberikan kepada manusia kecakapan untuk berbuat

menurut kehendaknya sendiri dan kemudian Allah menetapkan nasib manusia sesuai dengan

pemakaian bakat itu. Kejahatan itu ada bila manusia tidak memilih apa yang seharusnya.

Kekuasan kejahatan bukan tanpa batas. Akan ada waktunya kejahatan berakhir yaitu kelak

jika Allah mempersatukan seluruh penciptaan ini. Kejahatan tidak memiliki kenyataan dalam

dirinya sendiri sebab di mana tiada kebaikan di situlah ada kejahatan.

Gregorius dari Nyssa sama dengan Gregorius Nazianze yang mengajarkan bahwa akal

dapat mengenal Allah dengan mempelajari hasil penciptaan. Akan tetapi, pengetahuan ini

tidak menyelamatkan. Orang diselamatkan karena kasih karunia semata-mata. Untuk itu

diperlukan iman. Puncak pengetahuan tentang Allah ialah “memandang Allah sendiri”.

9. Ambrosius dari Milan

Ambrosius lahir di kota Trier, di Jerman bagian barat, yang pada zaman itu termasuk

kerajaan Roma, sekitar tahun 339 sebagai yang bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya, Gallia

Narbonesis seorang gubernur dan ibunya, Marcellina seorang wanita yang saleh dan

berintelek tinggi. Setelah ayahnya meninggal ibunya kembali ke Roma. Ambrosius yang pada

waktu itu berusia dua belas tahun, dan kakaknya, Satirus mulai dengan studi persiapan

membangun karir sebagai ahli hukum, seperti ayah mereka yang terkenal. Ambrosius juga

akan direncanakan mengikuti jejak karier ayahnya, dan oleh karena itu ia disekolahkan di

Roma. Di sana ia belajar sastra, hukum dan retorika. Preator Anicus Probus awalnya

memberikan Ambrosius tempat di dewan kota dan sekitar tahun 372 menjadikannya kepala

13

dewan kota Liguria dan Emilia, dengan markas di Milano. Saat itu Milano adalah ibu kota

kedua Italia selain Roma.41

Ketika Auxentius, Uskup kota Milan meninggal dunia, terjadilah pertikaian antara

kelompok Kristen dan kelompok penganut ajaran sesat Arianisme.42 Mereka berselisih

tentang siapa yang akan menjadi uskup yang sekaligus menjadi pemimpin dan pengawas kota

dan keuskupan Milano. Para Arian berusaha melibatkan Kaisar Valentianianus untuk

menentukan bagi mereka calon uskup yang tepat. Kaisar menolak permohonan itu dan

meminta supaya pemilihan itu dilangsungkan sesuai dengan kebiasaan yang sudah lazim

yaitu pemilihan dilakukan oleh para imam bersama seluruh umat. Ketika mereka berkumpul

untuk memilih uskup baru, Ambrosius dalam kedudukannya sebagai gubernur datang ke

basilika itu untuk meredakan perselisihan antara mereka. Ia memberikan pidato pembukaan

yang berisi uraian tentang tata tertib yang harus diikuti. Tiba-tiba terdengar teriakan seorang

anak kecil: “Uskup Ambrosius, Uskup Ambrosius!”. Tiba-tiba anak kecil itu serta-merta

meredakan ketegangan mereka lalu mereka secara aklamasi memilih Ambrosius menjadi

Uskup Milano.

Ambrosius adalah seorang calon kuat dalam keadaan ini, karena ia dikenal bersimpati

kepada kaum Trinitarian, dan juga diterima oleh kaum Arianis karena posisinya sebagai

seorang politikus dianggal secara teologis netral. Ambrosius terkejut dan memprotes. Dia

tidak berkeinginan untuk menjadi uskup, karena ia belum dibaptis, walaupun ia sudah

katekumen. Sebuah laporan yang dikatakan bahwa untuk menyakinkan orang supaya tidak

memilihnya, ia berpura-pura berkelakuan tidak layak sehingga, ia dikenai tahanan rumah.

Kaisar berkonsultasi dan itu dengan sepenuh hati kaisar setuju dengan pemilihan Ambrosius

sebagai uskup Milano. Delapan hari kemudian, pada umur tiga puluh empat tahun,

Ambrosius dibaptis, serta menerima semua sakramen dan akhirnya ditahbiskan untuk

menjadi Uskup di Milano.43

Ambrosius mendapat pendidikan kebudayaan yang baik, tetapi di lain pihak ia tidak

mempunyai pengetahuan apa-apa tentang Kitab Suci sebab sebelum menjadi Uskup, ia masih

seorang katekumen. Namun, hal itu tidak menjadi penghalang bagi Ambrosius. Ia penuh

semangat mulai mempelajari Kitab Suci. Dari karya-karya Origenes, ia belajar Kitab Suci

untuk meneganl dan mengomentarinya. Dengan demikian, Ambrosius menagalihkan

renungan tentang Kitab Suci yang telah dimulai oleh Origenes ke lingkungan yang berbahsa

41 hlm. 235.42 Neil B. Mclynn, Ambrose of Milan, (London, [tanpa penerbit], 1994), hlm. 22.43 Mary Reed Newland, Riwayat hidup…, hlm. 233.

14

Latin dan memperkenalkan di Barat praktek lectio divina. Metode lectio divina menjadi

penuntun semua khotbah dan tulisan Ambrosius yang dengan jelas mengalir dari

mendengaran Sabda Allah sambil berdoa.44

Pewartaan Ambrosius mulai dengan membaca Kitab Suci (Para Bapa bangsa atau

Kitab Sejarah dan Kitab Amsal, Kitab Kebijaksanaan) untuk hidup sesuai dengan wahyu

ilahi. Lesaksian pribadi pewarta dan tingkat keteladan komunitas Kristiani menentukan hasil

pewartaan. Diandang dari segi ini, suatu bagian dari Confessines Pengakuan) Agustinus

sangatlah relevan. Agustinus datang ke Milano sebagai guru etorika. Ia orang skeptik, bukan

orang Kristiani.45

10. Gregorius Nazianze46

Gregorius Nazianze hidup sekitar tahun 390 M. Ia menyebarkan ajaran bahwa akal

manusia pada dirinya sendiri dapat mengenal Allah. Tema ini pada abad ke-2 memang telah

muncul. Dengan mempelajari hasil penciptaan Allah manusia dengan aklnya dapat

mengetahui bahwa Allah ada, walaupun hakekat atau zatNya tetap tersembunyi bagi manusia.

Mengenai hakekat atau zat Allah, manusia hanya dapat mengungkapkannya secara negative,

misalnya, Allah tidal bertubuh, tidak dialhirkan, tanpa awal, tidak berubah, tidak dapat

binasa, dan lain-lain.

B. PEMIKIRAN FILSUF ZAMAN SKOLASTIK

Kata “skolastik” menunjuk pada suatu periode Abad Pertengahan ketika banyak

sekolah (Latin: schola) didirikan dan banyak pengajar bermunculan. Namun, dalam arti yang

lebih khusus, kata “skolastik” menunjuk pada suatu metode tertentu, yakni “metode

skolastik”. Dengan metode ini, berbagai masalah dan pertanyaan diuji secara tajam dan

rasional, ditentukan pro-kontra-nya untuk kemudian ditemukan pemecahannya. Tuntutan “ke-

masuk-akal-an” dan pengkajian yang teliti dan kritis atas pengetahuan yang diwariskan

merupakan ciri filsafat Skolastik. Para sejarawan filsafat membagi zaman Skolastik menjadi

tiga periode, yakni Skolastik awal, Skolastik puncak, dan Skolastik akhir.47

44 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm. 175. 45 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm. 176.46 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 76.47 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 105.

15

a. Filsuf Zaman Skolastik Awal

Seperti yang sudah diungkapkan dalam pendahuluan, kata skolastik mengungkapkan

ilmu pengetahuan yang diusahakan oleh sekolah-sekolah dan ilmu itu terikat pada tuntutan

pengajaran di sekolah-sekolah. Pada waktu itu, pelajaran sekolah-sekolah meliputi suatu studi

duniawi yang terdiri dari 7 kesenian bebas (artes liberates) yang dibagi menjadi 2 bagian

yaitu trivium dan quadravium.48

1. Augustinus49

Dalam periode Skolastik awal, ajaran Agustinus dan neo-Platonisme mempunyai

pengaruh yang luas dan kuat dalam berbagai aliran pemikiran. Augustinus dilahirkan pada

tahun 354 di Tagaste. Ayahnya seorang penganut agama Romawi Kuno, ibunya, Monika

seorang wanita Kristen yang saleh. Konteks histories zaman Augustinus diwarnai dengan tiga

peristiwa penting yang ikut menentukan sejarah dunia, yakni tersebarnya kebudayaan

Helenistis, muncul dan berkuasanya Romawi Barat, serta tampil dan meluasnya ajaran

Kristiani.

Masa muda Agustinus diisi dengan berbagai macam kesenangan duniawi. Ia

mengenyam pendidikan filsafat Yunani Kuno di Kartago. Sewaktu masih menjadi

mahasiswa, Ausgutinus hidup bersama seorang wanita dan memperoleh seorang anak darinya

bernama Adeodatus. Buku karangan Cicero yang memuat ujian atas filsafat, Hortensius,

menyalakn api cinatnay pada kebijaksanaan. Augustinus sampai pada keyakinan bahwa

kebahagiaan ditemukan hanya dalam filsafat dan bukan pada segala kesenangan dan

penharapan duniawi.

Agustinus menganut ajaran Manikheisme, mengajar filsafat dan logika di Thagaste,

Kartago, dan Roma. Di Roma, ia menganut skeptisisme yang mengjarkan bahwa tidak

mungkin manusia mencapai kebenaram. Kemudian ia menganut ajran neo-Platonisme,

setelah ia membaca Plotinos, Enneade. Ajaran spiritual merupakan jembatan baginya menuju

ajaran Kristen, ajaran terakhir yang atas dasar pengalaman personal-religiusnya sendiri

mempertobatkan Augustinus dan memanggilnya menjadi seorang Kristen. Pada tahun 387, ia

dibaptis oleh Ambrosius. Tahun 391, ia ditahbiskan sebagai imam, lalu tahun 395 diangkat

menjadi Uskup Hippo.

Karya Augustinus yang paling terkenal adalah Confessiones. Pandangan Augustinus

mengenai pengenalan-diri adalah keterarahannya pada Tuhan: “Aku mengenal diriku hanya

48 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 87.49 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 110-119.

16

di dalam terang kebenaran dari Dia yang selalu menganal (menciptakan) aku.” Dengan iman,

manusia dapat menegmababngkan berbagai kemungkinan pengetahuannya. Begitu juga

sebaliknya, dengan pengetahuan, manusia dapat meneguhkan imannya.

a. Ajaran Mengenai Iluminasi

Ajaran iluminasi mempunyai hubungan erat dengan penolakan Augustinus terhadap

Skeptisisme. Skeptisisme mengajarkan bahwa manusia tidak dapat mencapai kepastian

pengetahuan. Awalnya Augustinus menganut pahan ini, tetapi menolaknya. Alasannya,

memang tentang segala sesuatu di luar aku di luar aku, aku bisa menyangsikan kepastiannya.

Akan tetapi, dengan menyangsikan sesuatu, ada satu kepastian yang tidak dapat aku

sangsikan lagi yakni kepastian bahwa aku ini tengah menyangsikan segala Sesutu. Dengan

kata lain, harus diterima bahwa pasti ada Aku yang tengah sangsi, keliru, bingung, rau-ragu.

Atas dasar itu, Augustinus lantas ingin menemukan jalan menuju kepastian

pengetahuan. Namun, bukan di luar melainkan di dalam, pda batin atau jati diri manusia itu

sendiri. Manusia yang mencari kebenaran berada dalam suatu gerakan yang membawanya

masuk ke dalam batinnya sendiri dan menuju jiwa manusia, dan dari situ bergerak menuju

batik atau hati manusia yang paling dalam menuju Tuhan sebagai dasar dari segala kebenaran

itu sendiri.

Di dalam batinnya, manusia menemukan kebenaran-kebenaran yang nisacaya dan

berlaku selalu dan di mana-mana. Semua kebenaran ini tentunya tidak berasal dari

pengalaman indrawi sebab pengalaman indrawi sendiri mengandaikan adanya ide tertentu.

Dengan perkataan lain, pengalaman indrawi sendiri tergantun “ada”-nya pada suatu ada yang

rohani, aykni ide-ide.

Namun, hal yang sebaliknya tidak bisa dikatakan. Maksudnya, hasil pengamatan kita

atau kesan-kesan dari pengalaman indrawi tidak dapat memberikan berbagai pengertian atau

konsep mengenai benda-benda yang kita cerap itu. Hanya bila kita dapat menyimpan semua

itu dalam ingatan kita, menghubungkan dan membandingkan satu sama lain, barulah kita

memperoleh kejelasan mengenai ciri-corak benda-benda indrawi itu.

Sekarang muncul pertanyaan penting: jika demikian, bagaimanakah kita bisa

mendapatkan ide-ide mengenai sesuatu, tana tergantung pada pengalaman indrawi?

Augustinus menjawab pertanyaan ini dengan ajaran iluminasi. Menurut ajaran ini, manusia

dapat mencapai kebenaran-kebenaran yang abado dan sejati berkat terang (lumen, Latin) dari

Allah. Dari lain pihak, Augustinus juga berkeyakinan bahwa dalam diri manusia secara

alamiah sudah terdapat suatu benih kebenaran yang tidak dapat padam atau mati.

17

Proses illuminasi dapat dibandingkan dengan akibat yang dihasilkan sang surya pada

penglihatan kita. Mata kita adalah daya atau kekuatan manusia, benda yang diterangi

merupkan objek-objek pengetahuan kita, sedangkan sang surya sendiri adalah sumber

kebenaran pengetahuan kita (Tuhan).

b. Ajaran tentang Dunia

Ajaran tentang dunia menurut Augustinus berhubungan dengan ajarannya mengenai

ide-ide sebagai citra perdana segala sesuatu. Ide-ide berasal dari Allah dan ada di dalam roh

atau budi-Nya. Dengan demikian, menurut Augustinus, dunia ini adalah pengejawantahan

dan gambaran nyata dari ide-ide tersebut. Dengan kata lain, dunia diciptakan sesuai dengan

rancangan atau ide-ide dalam budi.

Namun, berbeda dengan pandangan para filsuf Yunani pada umumnya. Augustinus

menyatakan bahwa dunia dan segala sesuatu yang ada tidak diciptakan Allah dengan bahan

tertentu, apa pun bentuknya, melainkan dari ketiadaan. Terjadinya alam semesta adalah suatu

creatio ext nihilo dari pihak Allah.

Unsur-unsur pokok yang ada dalam dunia sebagai ciptaan Allah adalah materi, waktu

dan bentuk (ide-ide abadi). Dari sebagian unsur-unsur ini Allah lantas menciptakan makhluk-

makhluk yang tidak berubah. Misalnya, para malaikat, jiwa-jiwa, dan bintang-bintang di

langit. Selain itu, Allah juga menciptakan suatu materi yang tidak mempunyai bentuk tertentu

, namun di dalamnya terdapat benih-benih atau bakal sesuatu. Di dalam benih-benih ini,

segala sesuatu berasal dan berkembang. Di dalam benih-benih ini, segala sesuatu sudah ada.

Dengan teori ini, ada dua hal yang ingin dinyatakan Augustinus. Pertama, ia mengakui bahwa

dalam dunia jasmani memang terdapat perubahan dan perkembangan. Kedutan, ada dan

berkembangnya sesuatu dapat dimengerti tanpa harus mengembalikan semuanya pada

campur tangan langsung dari pihak Allah

c. Ajaran tentang Waktu

Dalam ajaran tentang waktu, dapat dibedakan antara waktu objektif dan waktu

subjektif. Waktu objektif adalah semacam arus tetap ketika segala kejadian berlangsung.

Oleh karenanya, waktu objektif terpecah-pecah secara jelas dan ketika dalam satuan-satuan

waktu, yakni masa lalu yang telah lewat dan tiada lagi, masa depan yang belum datang, dan

masa kini yang hanyalah momen sesaat antara masa lalu dan masa depan. Adapun waktu

subjektif adalah kesadaran dan keberlangsungan segala sesuatu. Berkat kesadaran, jejak-jejak

yang ditinggalkan oleh pengalaman indrawi yang sementara, dapat “direkam” dalam bentuk

gambar-gambar dan dengan begitu, gambar-gambar itu selanjutnya dapat dihadirkan

(dijadikan uap to date). Cara penghadiran gambar-gambar itu memperlihatkan adanya tiga

18

dimensi waktu: masa lalu dihadirkan, hasilnya adalah memoroi atau ingatan, hadirnya hal

yang nyata pada saat ini dan di sini adalah penglihatan dan hadirnya hal yang akan datang

pada saat kini menimbulkan pengharapan.

Maka, tidaklah tepat bila dikatakan bahwa masa lalu dan masa depa itu ada. Sebab,

yang sungguh-sungguh ada hanyalah pengalaman saat ini. Di dalam jiwa, kita membuat

perhitungan waktu yang kita terima sebagai satu kesatuan dari masa lalu, masa kini dan masa

depan. Dengan demikian, kesadaran saya akan keberlangsungan waktu sebagai satu kesatuan

dari masa lalu, masa kini dan masa depan disebut Augustinus sebagai “bentangan jiwa”

(distentio animis). Maksudnya, berkat kesadaran, jiwa manusia dapat mengingat dan seolah-

olah hadir kembali dalam kejadian yang sebenarnya sudah berlalu. Namun, juga berkat

kesadarannya, manusia dapat menyongsong, mewujudkan langkah demi langkah dan

mengarahkan dirinya kepada sesuatu yang ia harapkan terjadi pada masa yang akan datang; ia

seolah-olah sudah mengalami apa yang sebenarnya terjadi di masa depan. Pada daerah di luar

batas-batas bentangan jiwa ke masa lalu dan ke masa depan ini, gambar-gambar Yat disebut

di atas semakin kabur dan menghilang dalam kegelapan. Maka atas dasar pandangan ini,

posisi manusia selalu berada dalam pengharapan (dimensi futuum atau masa depan manusia),

pelaksanaan diri manusia dalam kekinian (dimensi presens) dan pengenangan (dimensi

perfectum atau masa lalu manusia).

d. Ajaran Tentang Etika

Kata kunci dari etika Augustinus adalah cinta yang dapat disamakan dengan

kehendak. Etika Augustinus adalah etika yang menekankan pentingnya cinta atau kehendak

sebagai dasar perbuatan etis manusia. Tujuan usaha manusia adalah kebahagiaan. Namun,

tujuan ini tidak akan tercapai melalui pemuasan segala kebutuhan akan harta benda,

melainkan dalam Allah sendiri sebagai Dia yang patut dicintai demi diri-Nya sendiri. dalam

cinta sejati, yakni cinta yang diarahkan kepada Allah, manusia menekankan pedoman bagi

tindakannya. Jika cinta itu sejati, tidak diperlukan kaidah tindakan moral yang lain. Itulah

sebabnya, Augustinus berkata, “ Dilige et quod uis fac ( cintailah dan lakukan apa saja yang

kamu kehendak)”.

Namun, dalam kenyataanya, manusia kerap kali jatuh ke dalam cinta diri melulu

dengan akibat ia salah memilih barang-barang keperluan. Untuk membantu manusia

mencapai tujuan terakhirnya, Augustinus membuat perbedaan antara uti (memakai) dan frui

(menikmati). Segala sesuatu hanya boleh kita pakai sejauh membantu kita mencapai tujuan

kita diciptakan, yakni kebahagiaan dalam Allah yang kita nikmati hanya demi dirinya sendiri.

dengan ini, Augustinus tidak memandang remeh barang-barang material; ia melihat semua itu

19

sebagai sarana (maka, relatif sifatnya) yang dapat dan harus dipakai untuk membantu

manusia mencapai tujuan akhir hidupnya. Apabila kita menikmati barang-barang duniawi dan

diri kita semata-mata, niscaya kita akan melenceng dari tujuan.

Meskipun demikian, Augustinus menyadari bahwa manusia tidak mampu mencapai

tujuan hidupnya dengan kekuatannya sendiri. Mengapa? Sebab, dalam diri manusia, ada

kecenderungan tetap ke arah kejahatan dan keburukan (concupiscentia) yang ia dapatkan dari

“dosa asal”, yakni semacam dosa warisan yang diturunkan kepada kita melalui sejarah oleh

leluhur atau manusia pertama. Maka, manusia membutuhkan kekuatan lain dari luar dirinya.

Kekuatan itu adalah rahmat atau bantuan ilahi yang pada akhirnya memampukan manusia

dalam mencapai kebahagiaan sejati kelak.

e. Ajaran Tentang Negara

Karya Augutinus yang berjudul De civitate dei (tentang komunitas Allah), yang

memuat ajaran mengenai sejarah dan politik, mempunyai pengaruh dalam pandangan bangsa

Eropa mengenai sejarah dan pembagian kekuatan pada zaman Abad Pertengahan. Buku ini

ditulis sesudah kota Roma (tahun 410 M) direbut dan dirampok oleh bangsa Got Alarich.

Banyak orang bertanya-tanya, mengapa bangsa Romawi yang semula jaya menjadi lemah,

terus merosot, dan diancam oleh bangsa-bangsa dari Utara. Berhadapan dengan keluhan ini,

Augustinus menegaskan bahwa tidak pernah suatu kerajaan duniawi boleh diidentikkan

dengan Kerajaan Allah. Maka, pasang surut nasib salah satu sistem kekuasaan, dalam hal ini

kerajaan Roma, tidak ada sangkut pautnya dengan kemajuan atau kemunduran iman

kepercayaan.

Augustinus membedakan dua komunitas, yakni komunitas Allah (civitas dei) dan

komunitas duniawi (civitas terrena). Dasar keduanya adalah dua macam cinta. “Komunitas

Allah” adalah umat Allah dalam Gereja (namun tidak hanaya dalam Gereja) yang akan

menjadi sempurna pada akhir zaman, sedangkan “komunitas duniawi” adalah Negara yang

akan hancur pada akhir zaman. Keduanya tidak boleh diidentikkan, bahkan bersaing dan

berlawanan satu sama lain. “komunitas duniawi” sebenarnya merupakan sesuatu yang buruk,

namun juga perlu karena oleh dosa asal manusia dibuat menjadi egois dan mudah

dipermainkan oleh nafsu rendahnya. Maka, diperlukan suatu kekuasaan duniawi untuk

menerbitkannya. Jadi, Negara bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, melainkan sarana

semata-mata demi penertiban karena manusia (tanpa rahmat Allah) buruk sifatnya. Begitulah

dalam sejarah nyata, kedua komunitas itu saling berhubungan hingga kelak pada akhir zaman

keduanya akan dipisahkan dan “komunitas Allah” akan tampil sebagai yang unggul.

20

2. Anselmus Canterbury50

Anselmus (1033-1109), Uskup dari Canterburry, Inggris, adalah pemikir yang paling

berarti pada abad ke-11. Ia berkeyakinan bahwa iman beriktiar menemukan pemahaman atau

pengertian (fides quarens intellectum). Memang, bagi Anselmus, iman selalu merupakan titik

tolak pemikirannya dan isi ajaran iman tidak dapat dibantah oleh alasan-alasan rasional.

Namun, meskipun demikian, akal budi yang sejati niscaya akal dapat mencapai kebenaran-

kebenaran iman. Maka, orang beriman seharusnya juga berusaha memahami imannya secara

rasional.

Kalau Allah adalah “sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak dapat dipikirkan”,

secara logis mustahillah kita masih dapat memikirkan sesuatu yang lain yang lebih besar

daripada Allah. Sebab, seandainya saja kita sanggup memikirkan sesuatu yang lain yang lebih

besar daripada Allah, Allah sebagai “sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak dapat

dipikirkan” tetap yang paling besar dari sesuatu yang lain yang masih dapat kita pikirkan itu.

Ada dua pertanyaan yang segera muncul, yakni: (1) apakah Allah yang kita mengerti

sedemikian itu ada? Dan (2) jika ya, apakah itu ril atau hanya ada dalam pemikiran, sama

seperti ilusi? Terhadap pertanyaan pertama, Anselmus berkata, “Orang dungu

menyangkalnya dengan mengatakan dalam hatinya: tidak ada.” Namun, jika ia mendengar

pernyataan ‘Allah adalah sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak dapat dipikirkan”, ia

menangkap sesuatu arti dari kata-kata ini, ia memahaminya, ia memikirkan objek yang

diartikan kata-kata itu: objek itu ada dalam pikirannya, bahkan kalaupun ia menganggapnya

tidak ada. Maka, kenyataan bahwa Allah yang demikian itu dapat dimengerti, dipikirkan,

bahkan mungkin untuk disanggah, menunjukkan bahwa Allah itu ada, setidak-tidaknya ada

dalam pemikiran.

Adapun terhadap pertanyaan kedua, Anselmus berkata, ”Sebenarnya, jika sesuatu itu

tidak terdapat selain dalam akal budi, orang dapat memikirkan bahwa sesuatu itu terdapat

juga dalam realitas: ini tingkatan yang lebih tinggi.” Maksudnya, jika orang berpikir tentang

sesuatu, sesuatu itu tentunya juga ada di luar akal budi atau pemikirannya itu, yakni di dalam

realitas. Sebab, jika tidak demikian, pemikiran tidak mempunyai objeknya dan suatu

pemikiran tanpa objek, apapun bentuk objeknya itu, sama sekali mustahil. Sesuatu pemikiran

pasti mengandaikan adanya objek di luar pemikiran itu sendiri. Kalau saya berpikir tentang

burung merpati putih, misalnya, pasti burung itu juga ada di luar pikiran saya, yakni dalam

realitas. Begitu juga jika pengertian Allah sebagai “sesuatu yang lebih besar daripadanya

tidak dapat dipikirkan” ada di daalampikiran, harus diterima juga bahwa Dia adalah di luar 50 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 123-127.

21

pemikiran, yakni dalam kenyataan atau realitas. Tentu saja, adanya Allah di sini tidak boleh

dimengerti secara empiris sebagaimana kita memahami adanya seekor burung merpati di

dalam realitas.

Akibatnya, tidak ada kesangsian sedikit pun bahwa sesuatu yang lebih besar

daripadanya tidak dapat dipikirkan itu (Allah) ada, baik dalam akal budi maupun dalam

realitas. Demikianlah pembuktian ontologis yang terkenal itu. Pembuktian ini

memperlihatkan bahwa iman akan adanya Allah dan akal budi tidak bertentangan.

Dalam perkembangannya, argumen ini bukannya tanpa masalah. Gaunilon, seorang

tokoh yang sezaman dengan Anselmus, menyanggah argumen ini dengan mengatakan bahwa

orang bisa saja berpikir tentang adanya satu pulau paling besar yang mungkin, tanpa harus

menerima bahwa pulau tersebut ada dalam kenyataan. Kant kelak berkata bahwa 100 keping

uang emas nyata tidaklah lebih dari gagasan tentang 100 keping uang emas. Namun, kedua

kritik ini tidak kena sebab hubungan Allah sebagai “pengada tidak terbatas” dengan

eksistensi berbeda secara hakiki dengan hubungan antara suatu “pengada terbatas” (misalnya,

manusia atau suatu pulau) dan eksistensi. Eksistensi manusia, misalnya, adalah eksistensi

dalam ruang dan waktu, sedangkan eksistensi Allah ada di luar batas-batas ruang dan waktu.

Anselmus memang benar, Allah sebagai Yang Mahabesar tidak dapat dipikirkan tanpa

sekaligus menerimanya sebagai sesuatu yang bereksistensi secara wajib. Namun, hal yang

tidak dapat diketahui adalah apakah paham mengenai Allah sebagai “sesuatu yang lebih besar

daripadanya tidak dapat dipikirkan” memuat kenyataan objektif adanya Allah atau hanya

merupakan sesuatu kemungkinan bahwa Allah itu ada. Dan kenyataan objektif itu tidak dapat

dibuktikan melulu hanya dengan menyatakan bahwa gagasan tentang Allah sebagai “sesuatu

yang lebih besar daripadanya tidak terpikirkan” secara logis benar dan tidak memuat

pertentangan. Oleh sebab itulah, nnanti Thomas Aquinas menolak argumen Anselmus.

Sebaliknya, mereka yang menerima “dunia konsep” sebagai suatu dunia yang sungguh-

sungguh “ada”, menyetujui Anselmus (misalnya Descartes, Leibniz, Wolff).

Pada abad ke-20 ini, argumen Anselmus menjadi populer lagi, khususnya di kalangan

para pemikir berbahasa Inggris. Alasannya, argumen ini, sekalipun perumusannya tidak

begitu sempurna, mengandung suatu kebenaran mendalam yang menjawab tuntutan

pemikiran sebagai suatu dinamisme yang berpuncak pada “Yang tidak terbatas”.

3. Petrus Abelardus51

51 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 127-129.

22

Petrus Abelardus dilahirkan di Le Pallet (dekat Nantes), di Perancis. Jasa-jasa

Abelardus terletak dalam pembaruan metode pemikiran dan dalam memikirkan lebih lanjut

berbagai masalah dialektis yang aktual. Salah satu persoalan pokok filsafat pada masa itu

adalah masalah universalia. Yang dimaksud dengan universalia adalah pengertian-pengertian

umum (Misalnya, makhluk hidup, manusia). persoalan apakah universalia mempunyai “ada”

yang sungguh-sungguh atau nama yang terdapat dalam gagasan belaka?

Pada masa hidupnya, ada dua pendirian mengenai masalah tersebut. Pendirian

pertama debut realisme yang menyatakan bahwa dalam realitas memang ada sesuatu yang

umum dimiliki semua individu. Misalnya, paham “manusia” adalah sesuatu yang riil,

sedangkan manusia-manusia individu hanya merupakan kasus-kasus spesifik dari yang

umum. Kedua, aliran nominalisme yang mengajarkan bahwa tidak ada yang riil selain

individu-individu. Paham-paham umum hanyalah nama dan tidak ada sesuatu yang sesuai

dengannya dalam realitas.

Tentang permasalahan itu, Abelardus mempunyai pemikiran tersendiri. Universalia

sebagai pengertian umum pertama-tama ada sebagai ide, yakni citra perdana segala sesuatu,

di dalam pikiran Allah. Namun, pada alam ciptaan (pada alam benda-benda konkret),

universalia ditemukan dalam hal-hal umum, yakni kemiripan sifat fisik dan kesamaan dari

sifat hakiki berbagai benda ciptaan itu. Tentu saja, hal-hal umum yang berupa kemiripan fisik

dan kesamaan sifat hakiki berbagai benda ciptaan tersebut bukanlah kenyataan (res) yang

berdiri sendiri, melainkan ditangkap oleh jiwa manusia dalam bidang abstraksi. Maka,

pengertian (conceptus) mengenai suatu benda tidak terjadi sewenang-wenang, melainkan

merupakan hasil dari suatu proses abstraksi atas benda-benda yang memang nyata ada.

Dengan kata lain, memang yang hanya individulah yang bersifat objektif-riil. Namun, itu

tidak berarti bahwa konsep-konsep umum merupakan ciptaan akal budi belaka. Konsep-

konsep umum menunjuk kepada ciri-ciri yang benar-benar terdapat dalam individu-individu.

Ciri-ciri yang bersama-sama membentuk konsep “manusia”, misalnya, dapat dipikirkan

tersendiri, tetapi tidak dapat dipisahkan dari individu-individu. Dengan demikian, Abelardus

mendamaikan dua posisi yang bertentangan dari ajaran realisme dan nominalisme.

b. Filsuf Zaman Skolastik Puncak

Mulai abad 12, ada hubungan-hubungan baru dengan dunia pemikiran Yunani dan

dunia pemikiran Arab. Melalui karya orang-orang Arab dan Yahudi mulai lebih mengenal

23

karya-karya Aristoteles. Pengaruh penemuan kembali filsafat Aristoteles mempengaruhi

semua pemikir abad ke-13. Para teolog memakai filsafat Aristoteles sebagai alat teknis dalam

berpikir, hanya cara berpikir Aristoteles yang dimanfaatkan sedangkan ajarannya berasal dari

ajaran Augustinus.52 Pada masa ini, universitas-universitas pertama didirikan di Bologna,

Paris, Oxford. Cikal-bakal universitas adalah sekolah-sekolah membentuk suatu persekutuan

atau perkumpulan antara para dosen dan mahasiswa dari satu jurusan sehingga keduanya

mewujudkan suatu kesatuan yang menyeluruh. Kesatuan ini disebut universitas magistrorum

et scolarum (persekutuan dosen dan mahasiswa). Para dosen (magister) dan para mahasiswa

(scolares) bersama-sama mewujudkan suatu kesatuan kerja. Pada saat itu ada 4 fakultas yang

terkenal yaitu fakultas teologi, fakultas hukum, fakultas kedokteran dan fakultas sastra (artes

liberales).53

Hal yang membantu perkembangan Skolastik ialah timbulnya ordo-ordo baru, yaitu

Fransiskan dan ordo Dominikan. Ordo Fransiskan berorientasi pada tradisi filsafat

Augustinus dan ordo Dominikan memakai gaya filsafat Aristoteles. Ordo-ordo ini membantu

mengembangkan ilmu yang disumbangkan pada universitas-universitas.54

1. Thomas Aquinas55

Thomas Aquinas asalah imam Dominikan. Ia mempersatukan secara orisinal unsur-

unsur pemikiran Augustinus yang dipengaruhi neo-Platonisme, dengan filsafat Aristoteles.

Karya-karya Thomas Aquinas adalah Summa Theologiae I-III.

Menurut Thomas, iman dan akal budi tidak mungkin bertentangan karena keduanya

berasal dari Allah. Maka, baik teologi maupun filsafat pada akhirnya akan sampai pada

kebenaran hakiki yang sama. Hanya saja, keduanya memakai metode yang berlainan. Filsafat

mempunyai penyelidikan dari benda-benda ciptaan dan dari situ mencapai Allah. Adapun

teologi justru sudah menerima Allah sebagai asal dan fundamen untuk penyelidikannya atas

benda-benda alamiah. Maka, teologi memerlukan wahyu Allah. Wahyu diterima

kebenarannya oleh sang teolog dalam iman. Dengan beriman, ia dapat mencapai pengetahuan

adikodrati yang disampaikan wahyu kepadanya. Semua pengetahuan ini memang berada di

luar batas-batas akal budi melulu, namun sama sekali tidak boleh dikatakan bahwa

pengetahuan itu bersifat irasional atau bertentangan dengan prinsip-prinsip akal budi,

melainkan jauh melampaui dan mengatasinya. Dengan kata lain, semua pengetahuan yang

52 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 106-107.53 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 99.54 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 107.55 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 135-142.

24

berasal dari wahyu bersifat metarasional (meta, Yunani: sesudah, di atas). Namun, meskipun akal

budi tidak dapat menguak dan menyibak misteri, ia dapat membantu meratakan jalan menuju misteri;

dengan demikian, dapat membantu orang beriman untuk secara lebih tepat memahami dan membela

kebenaran imannya dengan penuh rasa tanggung jawab. Hanya dalam konteks pembicaraan ini,

perkataan legendaris berikut mendapatkan maknanya: “Philosophia est ancilla theologiae (Filsafat

adalah hamba teologi)”. Dan, karena wahyu ilahi menyampaikan kebenaran-kebenaran yang diperlukan

manusia demi keselamatan jiwanya, tetap tersedia ruang bagi suatu penyelidikan tersendiri atas benda-

benda alamiah (di sekitar manusia) yang belum atau mungkin sama sekali tidak dijelaskan oleh wahyu.

Dengan demikian, Thomas menegaskan adanya otonomi filsafat atau ilmu pengetahuan.

Dari ajaran di atas, orang dapat menemukan adanya dua macam pengetahuan yang tidak

bertentangan dan masing-masing berdiri sendiri: pengetahuan alamiah dan pengetahuan iman.

Pengetahuan alamiah adalah pengetahuan yang bersumber dari terang dan mempunyai sasarannya pada

hal-hal yang bersifat umum. Adapun pengetahuan iman adalah pengetahuan yang berdasarkan wahyu

adikodrati dan sasarannya tertuju kepada hal-hal yang disampaikan Allah secara khusus

kepada manusia demi keselamatan abadinya melalui Kitab Suci, ajaran, dan tradisi Gereja.

Meskipun demikian, perlu dicamkan bahwa ada hal-hal yang termasuk bidang filsafat

ataupun teologi (misalnya pengetahuan tentang eksistensi Allah dan jiwa manusia). Maka,

filsafat dan teologi seumpama 2 buah lingkaran yang pada bagian tepinya ada yang

bertindihan sekalipun masing-masing berdiri sendiri.

a. Tentang Ontologi

Ontologi atau metafisika umum adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu

yang ada menurut aspeknya yang paling umum. Dalam bidang ini, ada dua struktur

ontologis yang perlu dijelaskan, yakni struktur materi-bentuk (Aristoteles:

hylemorfisme) esensi-eksistensi.

Tentang struktur materi dan bentuk. Thomas menyetujui Aristoteles yang

mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini terdiri dari materi dan bentuk. Materi

adalah bakal atau bahan yang darinya muncul sesuatu. Ia adalah substansi tidak sempurna

yang masih merupakan kemungkinan (potentia, bahasa Latin) dan kemudian harus menjadi

kenyataan (actus). Adapun bentuk adalah prinsip yang memberikan cara berada pada materi

sehingga materi menjadi nyata atau mencapai actus. Dengan kata lain, bentuklah yang

membuat sesuatu yang bersifat potensial menjadi aktual. Dan, bentuk ini sendiri sudah

terkandung di dalam materi struktur materi dan bentuk ini.

Berdasarkan struktur materi dan bentuk ini, Thomas dapat menerangkan

dengan baik peristiwa perubahan maupun individuasi (individuasi adalah kenyataan

25

bahwa sebuah benda merupakan sesuatu yang individual). Perubahan terjadi bila suatu bentuk

diganti bentuk lain, tetapi materinya tetap sama. Adapun individuasi dimungkinkan oleh materi yang

berbeda, tetapi bentuknya tetap sama. Misalnya, pada peristiwa berubahnya sebongkah batu marmer

besar-padat berbentuk empat persegi panjang menjadi patung seekor kuda, terjadi perubahan bentuk,

sedangkan materinya tetap (batu marmer). Sebaliknya, kalau kita melihat bahwa patung kuda ini

terbuat dari batu marmer, sementara bahan patung kuda itu adalah plastik, kita melihat adanya

individuasi. Di sini, bentuk kedua patung itu sama (kuda), tetapi materinya berbeda (batu marmer dan

plastik).

Tentang struktur esensi dan eksistensi. Dengan esensi, mau ditunjukkan apanya sesuatu (what it is).

Maka, esensi menunjuk kepada “ada”, “hakikat” sesuatu. Adapun eksistensi menunjuk kepada kenyataan

bahwa sesuatu itu ada (that it is). Dengan kata lain, eksistensi berarti “(cara) berada”-nya sesuatu. Menurut

Thomas, struktur ini bukan hanya terdapat pada makhluk yang berjasad atau yang jasmaniah, melainkan

juga pada ciptaan, misalnya malaikat. Hanya Allah yang tidak mempunyai struktur esensi-eksistensi. Allah

sama sekali tunggal, tidak majemuk. la adalah kaktus murni (actus purus). Maksudnya, pada Allah tidak ada

kemungkinan (potentia), segala potensi sudah terealisasi sepenuh-penuhnya dalam aktus. Maka, Allah

adalah Maha Sempurna. Ia tidak berkembang dan tidak berubah. Esensi dan eksistensi yang ada pada Allah

identik dan bertindih-tepat. Kalau makhluk ciptaan mempunyai adanya (maka bereksistensi), Allah sendiri

adalah adanya (Allah itu ada).

b. Teologi Kodrati

Thomas juga mengajarkan apa yang disebut “teologi kodrati”, yang mengakui bahwa

manusia sanggup mengenal Allah dengan pertolongan akal budinya. Secara tradisional, ada dua

bagian teologi kodrati yakni (1) bagian yang membahas “bukti-bukti” adanya Allah, dan (2) bagian

yang membahas sifat-sifat Allah.

- Bukti-Bukti Adanya Allah

Thomas berpendirian bahwa pengetahuan manusia sebagai makhluk jasmani tentang apa pun

terkait dengan alam indrawi. Maka, ia menolak bukti apriori tentang adanya Tuhan menurut ajaran

Anselmus yang bersifat spekulatif murni. Bukti itu kurang meyakinkan bahwa Allah itu nyata-nyata

ada, paling-paling hanya menunjukkan kemungkinan bahwa Allah ada. Maka, Thomas mengambil

cara lain untuk menunjukkan bahwa Allah itu nyata-nyata ada. Cara itu disebutnya sebagai “lima

jalan” Quinque viae).

Jalan pertama berdasarkan pada fakta adanya gerak (motus) di dunia jasmani ini.

Semua gerak dan perubahan pasti terjadi kaarena ada sesuatu yang menggerakkan. Dan,

sesuatu yang menggerakkan pasti juga digerakkan oleh sesuatu yang lain. Gerak-

26

menggerakkan ini tidak dapat berjalan tanpa batas sampai tidak terhingga. Maka, harus

diterima adanya penggerak pertama yang tidak digerakkan oleh penggerak yang lain lagi.

Penggerak pertama ini adalah Allah.

Jalan kedua berangkat dari sebab-akibat (ex ratione causae efficiens). Setiap akibat

mempunyai sebab. Namun, oleh karena: (1) tidak sesuatu pun merupakan sebab yang menghasilkan

dirinya (sebab andaikata hal itu ada, hal yang menghasilkan dirinya sendiri itu tentu harus mendahului

dirinya dan hal ini mustahil); (2) karena rangkaian sebab-akibat tidak mungkin tidak berhingga,

harus ada penyebab pertama yang tidak lagi disebabkan oleh sebab yang lain. Penyebab pertama

ini adalah Allah.

Jalan ketiga menemukan argumennya dari adanya kemungkinan dan keniscayaan segala sesuatu di

dunia ini. Dalam dunia fana ini, kita menemukan hal-hal yang bisa ada dan bisa tidak ada. Ciri-ciri

untuk hal-hal seperti itu adalah bahwa semuanya merupakan sesuatu yang dapat berubah dan musnah.

Seandainya segala sesuatu bersifat demikian, mungkin saja pada suatu saat nanti tidak ada sesuatu pun

di dunia. Namun, secara logis kita tahu apa yang tidak ada hanya dapat mulai berada jika diadakan oleh

sesuatu yang telah ada sebelumnya. Jika segala sesuatu di dunia ini hanya mewujudkan kemungkinan

“ada” (karena segalanya berubah dan kelak binasa, artinya menjadi “tidak ada”), harus diterima bahwa

“ada” yang terakhir ini mewujudkan keharusan (keniscayaan). Adanya “ada” dari hal yang

mewujudkan suatu keharusan ini dapat disebabkan oleh sesuatu yang lain atau memang oleh dirinya

sendiri. Dengan kata lain, dalam hal ini terdapat dua kemungkinan. Pertama, seandainya ia disebabkan

oleh sesuatu yang lain, akan ada rangkaian sebab-sebab sampai tidak berhingga. Namun, ini tidak

mungkin. Maka, kemungkinan kedua, harus ada sesuatu yang niscaya dan mutlak perlu, yang tidak

disebabkan oleh sesuatu yang lain lagi. Itulah Allah.

Jalan keempat adalah pembuktian berdasarkan derajat-derajat kualitas segala sesuatu (ex gradibus

qui in rebus inveniuntur). Setiap hal tentu mempunyai derajat kualitasnya. Ada “lebih” ada “kurang”

misalnya pada kata “kurang/lebih adil”, “kurang/lebih baik, “kurang/lebih indah", dan seterusnya. Hal

ini hanya mungkin dinyatakan berkat adanya sebuah ukuran yang paling adil, paling baik, dan paling

benar. Ukuran superlatif dan sempurna itu adalah Allah.

Jalan kelima berdasarkan kenyataan bahwa segala sesuatu di dunia ini terselenggara dengan baik

(ex gubernatione rerum). Segala ciptaan yang tidak berakal budi mempunyai keterarahan yang tetap

pada suatu akhir atau tujuannya yang terbaik. Jadi, memang tidak secara kebetulan bahwa semua itu

mencapai akhirnya ada yang menyelenggarakan. Penyelenggara tertinggi segala sesuatu di dunia ini

adalah Allah. Allah adalah tokoh berakal budi dan berpengetahuan yang mengarahkan gerakan segala

ciptaan yang tidak berakal budi.

27

c. Filsuf Zaman Skolastik Akhir

Kepercayaan orang pada kemampuan rasio memberi jawaban atas masalah-masalah

iman mulai berkurang. Ada semacam keyakinan bahwa iman dan pengetahuan tidak dapat

dipersatukan. Rasio tidak dapat mempertanggungjawabkan ajaran Gereja, hanya iman yang

dapat menerimanya. Uraian dan refleksi logis atas ajaran Gereja menggantikan pengetahuan

spekulatif tentang Tuhan.56

1. William dari Ockham57

William dari Ockham adalah seorang biarawan Fransiskan. Aliran yang diajarkannya

adalah nominalisme. Aliran ini disebut via modern (jalan modern) dan via Antigua (jalan

kuno). Filsafat Ockham berintikan dua prinsip pokok, yakni prinsip omnipontentia

(kemahakuasaan Allah) dan prinsip ekonomi yang juga dikenal dengan sebutan “pisau cukur

Ockham” (Ockham razor).

Pertama, prinsip omnipotentia (kemahakuasaan Allah) mengajarkan bahwa Allah

berdasarkan kemahakuasaan-Nya dapat saja menciptakan segala sesuatu secara lain daripada

yang biasanya. Allah memang pada umumnya berkarya secara tidak langsung melalui

hukum-hukum alam (misalnya hukum sebab-akibat). Namun, Ia dapat saja melakukan

intervensi langsung pada alam ciptaan tanpa terikat pada hukum-hukum alam cipta-Nya itu

sendiri karena Ia Mahakuasa.

Dari sudut pandang ini, harus dikatakan bahwa dunia dan segala kejadian di dalamnya

bersifat kebetulan saja dan tidak berdasarkan suatu keteraturan yang abadi. Dunia bukanlah

ordo (keteraturan yang mantap), di mana Allah sendiri seolah-olah terikat oleh tata tertib dan

hukum dunia itu. Adanya asap tidak dengan sendiri-Nya mengandaikan adanya api. Kita

hanya dapat menyatakan bahwa secara alamiah adanya asap mengikuti secara teratur adanya

api. Pada dirinya sendiri, api dan asap adalah dua hal yang berdiri sendiri-sendiri. Dengan

demikian, bagi manusia, dunia ciptaan terdiri dari hubungan berbagai fakta yang lepas-lepas

dan masing-masing berdiri sendiri. Maka, pengetahuan kita tentang dunia dan segala yang

sudah ada sebelumnya tidak didasarkan atas prinsip-prinsip yang sudah ada sebelumnya,

melainkan diperoleh berdasarkan pengalaman dan studi atas sesuatu yang secara faktual

memang ada dan terjadi. Dengan kata lain, pengalaman indrawi itulah dasar pengetahuan.

56 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 107-108.57 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 154-158.

28

Kedua, prinsip ekonomi mengajarkan bahwa segala realitas metafisik tidak boleh

diterima jika tidak ada dasar kokoh untuk mengakuinya. Manakah dasar kokoh yang menjadi

patokan untuk menerima atau menolak suatu realitas metafisik? Jawabannya adalah

pengalaman indrawi yang baru saja disebut dalam prinsip pertama! Atas dasar ini, Ockham

menolak banyak distingsi rumit yang dibuat oleh para pemikir sebelumnya (misalnya struktur

esensi-eksistensi). Yang tinggal adalah apa yang dapat diterima dan diteguhkan oleh pengalaman

indrawi. Tidak heran kalau dalam sejarah filsafat prinsip ekonomi ini disebut “pisau cukur Ockham”

(Ockham`s razor) Ockham membabat habis segala sesuatu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan di

hadapan pengalaman indrawi.

2. Nicolaus Cusanus58

Nicolaus Cusanus adalah seorang imam dari Kues, kota kecil, sekarang masuk

wilayah Jerman. Untuk mengenal ciri-ciri Allah, Cusanus mempunyai sebutan Sang Possest,

satu istilah yang terdiri dari dua suku kata Latin pose (artinya bisa) dan esse (artinya ada). Di

dalam diri Allah terdapat kesatuan antara kemungkinan (bisa) dan kenyataan (ada). bagi-Nya.

“Allah Sang ‘Bisa-Ada’ sebab Ia ada dalam kenyataan, padahal Allah mampu mewujudkan

diri-Nya sebagai kenyataan itu. Sebagai Sang Possest, Allah merangkum segala sesuatu yang

saling bertentangan di dalam diri-Nya. Dia adalah kesatuan mutlak dari segala-galanya:

Dialah yang paling besar dan yang paling kecil, yang “ada” dan yang “tidak ada”. Dia

merangkum segala hal dan terdapat dalam tiap-tiap hal. Namun, dalam diri Allah, semua

yang bertentangan ini ada bukan sebagai hal-hal yang saling berbentrokan, melainkan ada

dalam koinsidensi. Koinsidensi adalah terjadinya beberapa hal secara serempak atau

bersama-sama (dari kata co bersama-sama, dan incidentia, terjadinya sesuatu). Itulah

sebabnya Cusanus menyebut terjadinya secara serentak hal-hal yang bertentangan dalam diri

Allah sebagai coincidentia oppositorum.

Namun, berdasar apakah manusia mampu mengetahui hal ini? Cusanus membedakan

dua kemampuan pengetahuan manusia. Pertama, akal adalah kemampuan diskursif manusia

(kemampuan berpikir logis, membuat distingsi dan kesimpulan). Kemampuan ini berlaku

untuk dunia indrawi. Aktivitas kemampuan ini sekali dikuasai oleh prinsip nonkontradiksi.

Misalnya, dalam bidang indrawi atau pengalaman empiris, “besar” berarti besar (tidak kecil)

dan “ada” berarti ada (bukan tiada). Di sini, berlaku prinsip nonkontradiksi yang mampu

membeda-bedakan segala sesuatu, dan karenanya menerima bahwa “besar” berarti sekaligus

“kecill”; kita semua dapat mengeceknya sendiri dengan mengukur, melihat, dan sebagainya. 58 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 158-162.

29

Karena aktivitas akal yang demikian, sudah jelas bahwa akal “tidak dapat melampaui hal-hal

yang bertentangan”.

Kedua, budi (intellectus) adalah kemampuan untuk membuat semacam orientasi atau indikasi

kabur bagi manusia (bandingkan dengan kemampuan manusia menentukan arah timur, padahal “timur”

pada dirinya sendiri tidak ada dan tak dapat diamati). Sasaran aktivitas budi bukanlah hal-hal di dalam

dunia enmpiris yang dikuasai prinsip nonkontradiksi, melainkan melampaui semua hal itu. Kalau berkat

akal (ratio) manusia tahu dengan pasti bahwa suatu objek itu nyata ada, berkat budi (intellectus) ia tahu

bahwa ia tidak dapat mengetahui objeknya. Kalau akal menghasilkan “pengetahuan” budi menghasilkan

“pengetahuan tentang ketidaktahuan”. Bagi akal, dunia empiris adalah wilayah “pengetahuan”, karena itu,

suatu daerah yang melampauinya adalah adalah wilayah “ketidaktahuan”. Adanya wilayah

“ketidaktahuan” ini hanya oleh budi, bukan oleh akal yang sasarannya adalah objek-objek kasar dan

kelihatan. Maka, pengetahuan manusia yang tertinggi bukanlah “pengetahuan” diskursif berdasarkan

kemampuan akalnya, melainkan “ketidaktahuan” yang ia ketahui. Untuk menyebut ketidaktahuan yang

diketahi ini Cusanus memakai istilah docta ignorantia yang berarti ketidaktahuan yang diinsyafi. Dengan

demikian, docta ignorantia adalah pengetahuan yang didapatkan berdasarkan aktivitas budi atau intelek

(boleh disebut pengetahuan intelektual). Sifat meta-empiris, mengatasi pengalaman indrawi belaka.

KEPUSTAKAAN

Copleston, Frederick. A History of Philosophy (vol 2). London: Burns, Oates & Washbourne, 1950.

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius, 1980.

Mclynn, Neil B. Ambrose of Milan. London, [tanpa penerbit], 1994.

30

Newland, Mary Reed. Riwayat Hidup Para Kudus. (judul asli: The Saint Book), diterjemahkan oleh J. Waskito SJ. Medan: Bina Media, 2002.

Paus Benediktus XVI. Bapa-Bapa Gereja (judul asli: The Fathers), diterjemahkan oleh J. Waskito SJ. Malang: Dioma, 2010.

Tinambunan, Laurentius. “Filsafat Hellenisme dalam Pewartaan Kekristenan “, dalam Logos, Vol. 6 No. 1 Juni 2008.

Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual, Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

31


Recommended