NAMA : ALB IRAWAN DWI ATMAJA (120510004) JARAB MANDRO SIMANULLANG (120510021)
LODOFIKUS SUBAN (120510029) VIRGO VINCENSIUS (120510049)
TINGKAT/SEMESTER : III (Tiga)/V(Lima)MATA KULIAH : FIC: Hindu, Buddha, Tao, KonfusiusDOSEN : Lesta Sembiring, Lic. S. Th.
FILSAFAT KRISTEN
Kekristenan muncul sebagai kepercayaan atau agama baru. Hal ini terjadi setelah
Kaisar Konstantinus menegeluarkan sebuah edik yang bernama edik Milano. Dalam edik
Milano yang dikeluarkan tahun 313 menyatakan bahwa agama Kristen yang teraniaya
menjadi agama resmi di seluruh kekaisaran. Ajaran agama Kristen bersumber dari Yesus
Kristus. Kekristenan menawarkan ajaran baru yang berbeda dengan ajaran atau agama pada
waktu itu yakni tentang penebusan, keselamatan dan cinta. Ajaran ini sungguh-sungguh
berbeda dari ajaran yang ada pada waktu itu. Kehadiran agama baru ini ditentang oleh banyak
orang, baik oleh penguasa maupun oleh kalangan Yahudi. Tampillah orang-orang seperti
rasul Paulus dan rasul Yohanes yang menghadapkan kepercayaan Kristen dengan
kepercayaan yang bukan Kristen pada waktu itu. Masa itu mempertaruhkan hidup dan mati
agama Kristen.1
Pada awalnya, pengikut agama Kristen berasal dari rakyat golongan sederhana, rakyat
jelata yang bukan pemikir. Dengan kondisi demikian, tidak ada ahli pikir secara filsafat.
Namun, dalam perjalanan waktu, banyak orang-orang dari golongan atasan, golongan ahli
pikir menjadi penganut agama Kristen. Dengan demikian, para cendekiawan ini menentukan
sikap mereka terhadap filsafat Kristen. Sejak saat itu, bangkitlah filsafat Kristen.2 Masa ini
hidup bersamaan dengan masa Hellenisme.3
Keseluruhan sejarah filsafat ini disebut sejarah filsafat Abad Pertengahan. Filsafat
Abad Pertengahan dicirikan dengan adanya hubungan erat antara agama Kristen dan filsafat.
Dilihat secara menyeluruh, filsafat Abad Pertengahan memang merupakan filsafat kristiani.
Para pemikir zaman ini hampir semuanya klerus, yakni golongan rohaniwan atau biarawan di
mana minat dan perhatian mereka tercurah pada ajaran agama kristiani. Akan tetapi orang
1 ? Frederick Copleston, A History of Philosophy (vol. 2) (London: Burns, Oates & Washbourne, 1950), hlm. 13.2 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 70.3 ? Laurentius Tinambunan, “Filsafat Hellenisme dalam Pewartaan Kekristenan “, dalam Logos, Vol. 6 No. 1 Juni 2008, hlm. 02.
1
akan salah paham jika memandang filsafat Abad Pertengahan sebagai filsafat yang melulu
berisi dogma atau ajaran Gereja. Sebab, dalam filsafat Abad Pertengahan digambarkan
hubungan antara iman yang berdasarkan wahyu Allah sebagaimana termaktub dalam Kitab
Suci dan pengetahuan berdasarkan kemampuan rasio manusia. Oleh karena itu, kiranya dapat
dikatakan bahwa filsafat Abad Pertengahan adalah suatu filsafat agama dengan agama
Kristiani sebagai dasarnya.4
Sejarah filsafat Abad Pertengahan dibagi menjadi dua zaman. Pertama, zaman
Patristik. Zaman Patristik (abad ke-2 sampai abad ke-7) dicirikan dengan usaha keras para
Bapa Gereja untuk mengartikulasikan, menata, dan memperkuat ajaran Kristen serta
membelanya dari serangan kaum kafir dan biadaah kaum Gnosis.5
Kedua, zaman Skolastik yang dimulai sejak abad ke-9. Kalau para tokoh masa
Patristik adalah pribadi-pribadi yang lewat tulisannya memberikan bentuk pada pemikiran
filsafat dan teoogi pada zamnanya, para tokoh zaman skolastik terutama adalah pelajar dari
lingkungan sekolah-kerajaan dan sekolah-katedral yang didirikan oleh Raja Karel Agung
(742-814) dan kelak juga dari lingkungan universitas dan ordo-ordo biarawan.6
A. PEMIKIRAN FILSUF ZAMAN PATRISTIK
Dalam bagian berikut, kami akan menjelaskan pemikiran-pemikiran filsuf Patristik
yang juga merupakan apologet. Kami tidak akan membicarakan semua filsuf yanga ada.
Kami membahas filsuf yang penting dan ajarannya memiliki pengaruh besar terhadap filsafat.
Kata patristik berakar dari kata Latin. Pater: bapa, menunjuk pada Bapa Gereja. Masa
ini berlangsung kira-kira selama 8 abad yaitu zaman di antara para rasul (abad pertama)
hingga sekitar awal abad ke-8 M. Ada banyak sikap para pemikir Kristen terhadap filsafat.
Ada yang menolak terhadap filsafat Yunani tetapi ada juga yang menerima filsafat. Para
pemikir Kristen yang menolak filsafat Yunani memandang bahwa fisafat Yunani sebagai
hasil pemikiran manusia semata-mata, setelah ada wahyu ilahi dianaggap tidak diperlukan
lagi bahkan berbahaya bagi agama Kristen. Tetapi para pemikir Kristen yang menerima
filsafat Yunani memandang bahwa filsafat Yunani sebagai persiapan Injil (prepatio
evangelica).7
4 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Modern (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 102-103.5 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 103.6 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 104-105.7 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 70.
2
Pemikiran Kristen berawal dari para apologet (pembela iman). Mereka tidak
menyusun filsasfatnya secara metodis dan sistematik. Mereka hanya membela iman Kristen.
Mereka membuktikan kebenaran-kebenaran iman Kristen. Dengan kata lain, para apologet
menerangkan dasar iman Kekristenan seperti Yesus Kristus adalah sungguh-sunguh Allah
dan sungguh manusia. Itulah yang dilakukan oleh para apologet sebenarnya. Mereka
memakai filsafat Yunani dalam menerangkan iman Krsiten.8
Para apologet yang ada pada masa itu adalah Aristedes, Yustinus Martir, Tatianus dari
Asyur, Athenagoras, Teofilus dari Antiokhia. Mereka merupakan para apologet awal. Para
apologet ini pada umumnya berasal dari daerah Timur dan berbangsa Yunani. Maka para
apologet tersebut dapat kita katakan sebagai filsuf Yunani yang menganut agama Kristen.9
Pada masa itu, orang Kristen dituduh sebagai rang munafik karena hidup mereka
dalam persundalan, melakukan persetubuhan tanpa batas, membenci sesamanya, dan
sebagainya. Ajaran Krsiten dipandang sebagai ajaran yang menyangkal para dewa. Tuduhan-
tuduhan itu disematkan pada orang-orang Kristen karena mereka menjalankan praktek ibadah
dengan sembunyi-sembunyi. Mereka melaksanakannya demikian agar mereka selamat. Sikap
sembunyi-sembunyi inilah yang menimbulkan tuduhan-tuduhan demikian pada orang
Kristen.10
Para apologet hadir untuk membela semua tuduhan tersebut. Tidak benar kalau orang
Kristen melaksanakan tindakan itu. Hal itu merupakan fitnah. Orang Kristen hidup seturut
hukum Allah sehingga mereka tidak jatuh pada kesalehan-kesalehan seperti yang dilakukan
oleh orang-orang yang buan Kristen. Mereka tidak membuang bayi-bayi mereka, mereka
tidak melakukan persetubuhan yang lebih. Mereka hidup saling mengasihi antara satu dengan
yang lain, mendoakan pemerintah, dan sebagainya. Para apologet menyatakan, walaupun para
penganut agama Kristen tidak mau menyembah kepada para dewa, tetapi mereka percaya dan
menyembah kepada Allah yang Esa. Mereka menentang banyak ilah. Bagi mereka hanya ada
satu Allah, Allah yang transenden, yang adikodrati, yang mengatasi segala sesuatu, yang
tidak tergantung kepada sipapun, yang secara hakiki berbeda dengan manusia.11
1. Yustinus Martir
Yustinus Martir lahir di Neapolis (Sikhem Palestina) sekitar 100 M. Ia menjadi
Kristen dan menetap di Roma sekitar 164 M. Banyak waktu digunakannya untuk mencari
8 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 70-71.9 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 71.10 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 71.11 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 71.
3
kebenaran dengan mengambara di antara berbagai aliran tradisi filsfat Yunani. Yustinus juga
mengatakan bahwa agama Kristen bukan agama baru. Agama Kristen lebih tua dari filsafat
Yunani. Nabi Musa telah menubuatkan kedatangan Kristus. Musa hidup sebelum Plato.
Dengan demikian Plato “telah belajar” dari Musa.12
Kristus adalah Logos. Membagikan benih logos (logos spermatikos) kepada seluruh
umat manusia sehingga pada orang yang bukan Kristen telah tertanam juga rasa kebenaran,
hal yang baik. Logos bekerja pada semua orang baik secara intelektual maupaun secara
moral. Tiap orang telah mendapat bagian benih logos itu sebenarnya dalah orang Kristen,
sekalipun ia tidak dibaptis seperti sokrates. Sekalipun semua orang telah menerima benih
logos tetapi orang-orang Yunani kurang mengerti disebabkan pengaruh para demon yang
dikepalai oleh iblis. Demikianlah penegtahuan yang benar dipalsukan yaitu bangsa Romawi
digerakkan untuk menghamba orang-orang Kristen.13
Secara keseluruhan, karya Yustinus menandai pilihan tegas Gereja awal untuk filsafat,
untuk akal budi, bukan sebagai agama seperti yang dianut orang-orang kafir. Dalam apologia-
nya yang pertama, Yustinus mengkritik agama kafir serta mmitos-mitosnya yang dia
pandang sebagai kesesatan dari jalan kebenaran. Sedangkan filsafat merupakan bidang yang
menguntungkan, di mana kekafiran, Yudaisme dan Kristianitas dapat bertemu dalam hal
mengkritik agama kafir sera mitos-mitosnya yang palsu.14
2. Irenaeus15
Irenaeus lahir sekitar 137-140 (± 202) M. Ia menentang aliran Gnostik. Gnostik
berakar dari kata Yunani yang berarti pengetahuan. Aliran gnostik adalah aliran yang
berusaha melebur kepercayaan Kristen dengan filsafat Yunani. Aliran ini timbul dalam
bentuk beracam-macam yang membahayakan bagi agama Kristen sebab dapat merusak
agama Kristen dari dalam. Sekalipin ada banyak aliran, akan tetapi ada corak-corak teretntu
yang dimilki bersama yaitu:
Semua mengajarkan adanya pertentangan yang mutlak antara roh sebagai azas
segala yang baik dan benda sebagai azas segala yag jahat.
Penciptaan bukan dilakukan oleh Allah, tetapi oleh tokoh rohani yang lebih
rendah.
12 ? Frederick Copleston, A History..., hlm. 16.13 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 71. 14 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 71-72.15 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 72-73.
4
Kelepasan hanya terbatas pada sekelompok kecil orang yang berhasil naik dari
iman ke pengetahuan (gnosis) karena iman dipandang perlu bagi orang-orang
yang sederahana, kaum psikis atau kaum somatis, yaitu yaitu kaum yang
terikat pada benda-benda. Sedangkan pengetahuan atau gnosis perlu bagi
kaum pneumatis yaitu kaum rohanai: orang yang mendalami rohnya secara
sungguh-sungguh.
Ajaran gnostik dikuasai oleh fantasi daripada oleh akal sehat. Pengetahuan tentang
gnostik diperoleh dari kutipan-kutipan yang terdapat di dalam tulisan para Bapa Gereja yang
menentangnya dan dari karangan-karangan para pengikut Gnostik sendiri. Namun, pada masa
Irenaeus ada aliran yang berusaha melebur kepercayaan Kristen dan filsafat Yunani sehingga
menjadi sistem yaitu aliran gnostik.
Iranaeus menentang aliran gnostik dengan alasan-alasan dialektis dan dengan
pembuktian dari Kitab Suci. Ia menunjukkan bahwa uraian para ahli gnostik banyak yang
bertentangan. Misalnya, Iranaeus menunjukkan bahwa Allah adalah esa, maka tidak mungkin
sejak awal ada sesuatu yang di atas dan di bawah Allah. Cara Iranaeus membuktikan
kesalahan ajaran gnostik yaitu memakai tafsiran allegoris atau kiasan yang dilandaskan dari
Kitab Suci. Menurut Kitab Suci, pencita segala makhluk adalah Allah sendiri, bukan “ilahi”
yang lebih rendah. Allah mencipta dengan perantaraan Logos, bukan menalarkan sinar ilahi
dari diriNya sendiri.
3. Hippolitus16
Hippolytus wafat mungkin sekitar tahun 236. Ia adalah seorang murid dari Irenaeus.
Dalam Proemium ke Philosophumena (sekarang pada umumnya dikaitkan dengan
Hippolytus) dia menyatakan niatnya, hanya tidak sempurna terpenuhi. Informasi
bagaimanapun selalu akurat. Tuduhan utama untuk dia bahwa Hippolytus melawan bangsa
Yunani di mana mereka memuliakan penciptaan dengan ungkapan-ungkapan halus, tetapi
tidak mengetahui Pencipta segala sesuatu, yang membuat mereka bebas dari ketiadaan sesuai
dengan hikmat-Nya dan rencanaNya.
Para penulis tersebut menulis dalam bahasa Yunani; tapi ada juga sekelompok
apologet Latin, Minucius Felix, Tertullian, Arnobius dan Lactantius, dan di antara mereka
yang paling berpengaruh adalah Tertullian. Tidak pasti apakah Minucius Felix menulis
sebelum atau setelah Tertullian, tetapi dalam segala sikapnya terhadap filsafat Yunani, seperti
16 ? Frederick Copleston, A History..., hlm. 22-23.
5
yang ditunjukkan pada Octavius lebih menguntungkan daripada pendapat Tertullian.
Argumen bahwa keberadaan Allah dapat diketahui dengan pasti dari tatanan alam dan desain
yang terlibat dalam organisme, khususnya dalam tubuh manusia, dan bahwa keesaan Allah
dapat disimpulkan dari kesatuan tatanan kosmik. Ia menegaskan bahwa para filsuf Yunani
juga mengakui pernyataan ini. Dengan demikian, Aristoteles mengakui satu Tuhan dan Stoa
punya doktrin ilahi, sementara Plato berbicara tentang Kristen ketika ia berbicara di Timaeus
yaitu dari Pencipta dan Bapa alam semesta.
4. Tertulianus
Tertulianus hidup sekitar abad 160-222 M. Ia dilahirkan di Karthago. Ia tidak berasal
dari keluarga Kristen tetapi kemudian menajdi Kristen dan menjadi pembela agama Kristen
serta teolog. Oleh karena hidupnya yang keras, ia cenderung menganut mazhab Montanus.
Ketika menganut Montanisme, Tertulianus tidak melupakan bahwa Gereja adalah ibu bagi
iman dan hidup kristiani.17
Tertulianus juga menaruh perhatian pada kelakuan moral orang-orang Kristiani serta
pada hidup yang akan datang. Tulisan-tulisannya juga penting untuk mengetahui
kecenderungan yang timbul dalam komunitas-komunitas Kristiani yang berhubungan dengan
Maria, Sakramen Ekaristi, Perkawinan dan Rekonsiliasi, primat Petrus serta doa. Secara
khusus pada zaman pengananiayaan, ketika orang-orang Kristiani tampak seperti suatu
minoritas, Tertulianus menganjurkan supaya mereka berharap. Harapan menurutnya, bukan
hanya salah satu keutamaan, tetai suatu yang meliputi setiap segi dari eksistensi Kristiani.18
Tertulianus menolak filsafat sebab wahyu sudah cukup bagi orang Kristen.
Menurutnya tidak ada hubungan antara teologi dan filsafat, antara Yerusalem dan Athena,
antara Gereja dan akademi. Sejak agama Kristen ada (Kristus datang), filsafat
membingungkan bagi orang Kristen bahkan dapat menyesatkan. Di dalam terang Kristus,
segala sesuatu yang dikatakan oleh para filsuf tidak penting. Sebab, segala yang baik, yang
mereka ajarkan dikutip dari Kitab Suci. Tetapi, para filsuf memalsukan Kitab Suci.19
Sekalipun demikian, Tertulianus tidak menolak berpikir rasional. Cara berpikir
rasional ini berguna juga. Akan tetapi sayangnya, pemikiran yang rasional, yang secara
spontan ini, tidak diteguhkan oleh filsafat, melainkan dibelokkan. Berdasarkan pandangan ini,
Tertulianus tidak menolak pemikiran rasional tentang adanya Allah dan kesempurnaanNya.
17 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 78. 18 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa Gereja (judul asli: The Fathers),diterjemahkan oleh Waskito (Malang: Dioma, 2010), hlm. 66. 19 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 78.
6
Akal manusia dapat menemukan adanya Allah dan menemukan sifat jiwa yang tidak dapat
mati.20
Tertulianus menolak Stoa. Akan tetapi, ia juga dipengaruhi oleh kaum Stoa karena ia
menagajarkan materialisme. Menurutnya, baik Allah maupun jiwa bertubuh, walaupun tubuh
itu berbeda sekali dengan tubuh jasmaniah. Allah adalah suatu zat yang halus, walaupun Ia
adalah baik. Jiwa juga terdiri dari zat yang halus, yang bertubuh, yang tembus sinar sama
seperti uap. Jiwa tidak setiap kali diciptakan Allah tersendiri, akan tetapi pembentukannya
diteruskan oleh para orang tua kepada anak-anak mereka. Jiwa berasal dari sperma sang ayah,
sehingga tiap jiwa adalah suatu ranting dari jiwa Adam. Karena dosa warisan sifat-sifat
rohani diwarisi anak dari orang tuanya. Oleh karena pada tiap jiwa masih ada sisa gambar
Allah, maka tiap jiwa yang tertarik kepada agama Kristen.21
5. Klemens dari Aleksandria
Klemens dari Aleksandria lahir sekitar tahun 150 M di Athena, kemudian menetap di
Aleksandria sekitar tahun 202/203 M dan meninggal sekitar tahun 219 M. Dari Athena
diwarisinya suatu minat yang besar untuk filsafat yang akan menjadikannya seorang perintis
dialog antara iman dan rasio, akal budi, dalam tradisi Kristiani. Aleksandria merupakan kota
yang menjadi simbol bagi pertemuan subur antara kebudayaan, hal yang merupakan ciri khas
zaman Hellenisme. Di kota itu, ia menjadi murid Pantaenus sampai saat ia menggantikannya
sebagai pemimpin sekolah kateketik. Banyak sumber memberi kesaksian bahwa ia seorang
imam tertahbis.22
Di antara karya-karyanya, ada 3 (tiga) yang paling penting yaitu Protrepticus,
Paedagogud dan Stromata. Meskipun kelihatannya bukan maksud utama pengarangan tetapi
adalah kenyataan bahwa tulisan-tulisan ini merupakan suatu trilogi asli yang dapat mengantar
perkembangan rohani orang Kristiani secara efektif.
Protrepticus, seperti sudah dinyatakan oleh namanya adalah suatu anjuran yang
ditujukan kepada mereka yang menjelajahi iman. Protrepticus berbaur dengan menjadi
seorang Pribadi: Putera Allah, Yesus Kristus, yang telah menjadi “penganjur” bagi manusia
supaya dengan mantap menempuh jalan yang menuntun pada kebenaran.23
Yesus Kristus kemudian menjelma sebagai Paedagogus, berarti pendidik, bagi
mereka yang oleh daya Pembaptisan telah menjadi anak-anak Allah. Dan, akhirnya Yesus
20 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 78.21 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 78-79.22 ? Frederick Copleston, A History..., hlm. 26.23 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm. 42.
7
Kristus telah menjadi Didascalos, berarti Guru yang menawarkan pengajaran yang terdalam.
Pengajaran-pengajaran ini telah dikumpulkan dalam karya Clemens yang ketiga yaitu
Stromata. Stromata adalah istilah Yunani untuk permadani dinding. Memang karya ini
merupakan kumpulan karangan-karangan yang berbeda-beda dan tidak disusun secara
sistematis, buah hasil; langsung dari pengajaran Clemens sehari-hari.24
Di lain sisi, nilai filsafat Kristen Aleksandria pada waktu itu adalah kesatuan agama
Yahudi dan agama Kristen dipertahankan, sehingga Allah bangsa Yahudi diidentikkan
dengan Allah orang Kristen (menentang Marcion), dan filsafat Yunani diperhambakan
kepada perkembangan teologi Kristen, tanpa jatuh kepada kesalahan Gnostik. Sekalipun
demikian, harus diakui bahwa ada kekurangan-kekurangan, yaitu: filsafat Kristen terlalu
bersifat spekulatif sehingga kehilangan kenyataan yang sebenarnya, terlalu terpesona oleh
Plato dan Philo dan terlalu banyal dipengaruhi oleh Stoa.25
Kelemens tidak bebas dari kekeliruan-kekeliruan itu. Beberapa tahun ia menjadi
dosen di sekolah kateketik Aleksandria. Kemudian ia darus melarikan diri karena adanya
penghambatan dari kaisar Septimus Severus. Suatu tujuan rangkap ingin ia capai yaitu:
memberi batasan-batasan kepada ajaran Kristen guna mempertahankan diri terhadap filsafat
Yunani dan aliran Gnostik, dan memerangi ajaran Kristen dengan pertolongan pemikiran
Yunani.26
Filsafat dijunjung tinggi, terlebih-lebih filsafat Plato dihargai sekali. Hal ini
disebabkan filsafat mempunyai fungsi rangkap. Bagi orang yang bukan Kristen, filsafat
dapat mempersiapkan orang untuk percaya kepada Injil. Sebab bagi orang yang bukan
Kristen, filsafat mempunyai arti yang sama seperti arti hukun Taurat bagi orangYahudi.
Sebagian besar dari hikmat filsafati diturunkan dari Kitab Suci. Sebaliknya, bagi orang
Kristen filsafat juga penting karena filsafat dapat dipakai untuk membela iman Kristen dan
untuk memikirkan iman Kristen secara mendalam.
Menurut Klemens, filsafat pada dirinya memang dapat memimpin orang kepada
pengetahuan tentang Allah. Sebab filsafat dapat memimpin kepada pengetahuan, bahwa
Allah adalah sebab segala sesuatu. Di sini tampak pengaruh filsafat Plato. Pangkal pemikiran
Klemens adalah iman. Iman (pistis) dapat diperlukan bagi tiap orang Kristen. Akan tetapi, di
samping iman masih ada hal yang lbih tinggi yaitu pengetahuan (gnosis). Jikalau iman
berlaku bagi tiap orang Kristen, maka pengetahuan (gnosis) perlu bagi orang Kristen yangd
24 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm 42-43.25 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 73.26 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 73.
8
apat berpikir secara lebih mendalam. Pengetahuan atau gnosis ini bukan meniadakan iman,
tetapi menerangi iman. Iman adalah awal pengetahuan, oleh karena itu iman harus
berkembang atau tumbuh hingga menjadi pengetahuan atau gnosis. Pengetahuan harus
diusahakan sedemikian rupa, hingga menjadi suatu kecakapan merenung yang terus-menerus
dan tak terubahkan lagi.27
Walaupun Klemens mengajarkan hal gnosis, akan tetapi ia menentang Gnostik.
Ajaran tentang gnosis justru dipakai untuk menentang Gnostik. Menurut ajaran Gnostik,
seorang yang telah memiliki gnosis harus mematikan hawa nafsunya dan kembali kepada
Allah dalam suatu kasih yang telah dibersihkan dari segala hawa nafsu. Tetapi bagi Klemens
gnosis tidak mempunyai arti yang demikian. Baginya, gnosis harus mengandaikan adanya
iman. Tanpa iman tiada gnosis. Sebaliknya, bagi kaum Gnostik, gnosis meniadakan iman.
Bagi Klemens, gnosis adalah imu sejati, suatu pengetahuan yang pasti beradasarkan
penguraian yang benar dan pasti. Orang dianggap berpengetahuan, berhikmat atau berilmu,
jikalau akalnya meneguhkan pengetahuannya dengan uraian-uraian yang mempunyai bukti
yang kuat. Demikianlah menurut Klemens, pengetahuan atau gnosis adalah aktivitas akal.28
6. Origenes
Origenes adalah orang pertama yang memberikan suatu uraian sistematis tentang
teologi. Persoalan penting yang menjadi pergumulan pada waktu itu adalah bagaimana
hubungan iman dan pengetahuan. Menurut aliran Gnostik, iman daus dinaikkan menajadi
pengetahuan (gnosis), sehingga iman tidak diperlukan lagi. Menurut Klemens, iman adalah
awal pengetahuan yang harus berkembang menjadi pengetahuan. Tetapi pengetahuan tidak
tidak meniadakan iman. Seklaipun demikian, sebenarnya dalam ajaran Klemens, iman tidak
mempunyai tempat yang pusat. Origenes mengajarkan bahwa iman kurang berguna lagi bagi
orang yang telah “berpengetahuan”, artinya, orang yang telah memiliki pemahaman yang
mendalam. Sebab iman hanya perlu bagi orang-orang yang sederhana, orang yang tidak
mengerti isi Kitab Suci secara rohani. Menurut Origenes, Kitab Suci mempunyai tiga (3)
macam arti, yaitu: arti yang harafiah atau yang somatis, yang historis, yang berlaku bagi
orang yang sederhana; arti yang etis atau psikis, seperti yang diuraikan di dalam khotbah,
yang diperuntukkan bagi orang yang psikis. Yang terakhir, arti pneumatis atau rohani, yang
lebih mendalam, yang diperoleh dengan tafsiran allegoris atau kiasan, yang diperuntukkan
27 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 74.28 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 74.
9
bagi apra teolog dan para filsuf. Kitab Suci harus ditafsirkan dengan cara demikian, karena
manusia terdiri dari tubuh (soma), jiwa (psukhe) dan roh (pneuma). 29
Berdasarkan pandangan di atas, selanjutnya ajaran Origenes menyatakan bahwa Allah
adalah transenden, Allah yang tidak dapat dimengerti. Ia tidak bertubuh, esa serta tidak
berubah. Allahlah yang menjadi pencipta segala sesuatu baik yang bersifat rohani maupun
bersifat bendawi. Origenes mengajarkan penciptaan yang kekal abadi. Allah tidak penah
menganggur. Sebelum dunia diciptakan, Allah telah bekerja, menciptakan dunia yang lain
yang mendahului dunia tempat kita berdiam. Sesudah zaman dunia kita ini akan ada dunia
yang baru. Demikianlah ada penciptaan yang kekal abadi.30
Allah menciptakan dengan perantaraan Putera, yang adalah suatu pribadi yang berdiri
sendiri di dalam sifat ilahi. Sejak kekal, Putera diperanakkan oleh Bapa, sedang Roh Kudus
keluar dari Puetra. Putera Allah adalah Logis, Idea segala idea, yang gambarNya ada pada
setiap makhluk. Hubungan antara Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus oleh Origenes
digambarkan secara subordinasi, artinya: yang satu di bawah yang lain, yang satu lebih
rendah daipada yang lain.31
Segala roh juga diciptakan oleh Allah. Akan tetapi, para roh itu kemudian tidak setia
terhadap Allah sehingga dibelenggu dalam tubuh. Demikianlah seluruh jagat raya yang
tampak ini disebabkan oleh dosa. Segala yang bersifat badani adalah akibat dosa. Akibat
ketidaksetiaan tidak semuanya sama, melainkan bertingkat. Ada roh yang memiliki tubuh
halus, ada roh yang memiliki tubuh kasar, ada malaikat dan ada manusia. Jiwa manusia dapat
juga naik tingkat menjadi malaikat.32
Pada akhirnya semua roh akan dapat kembali kpeda Allah lagi, yaitu setelah banyak
kelahiran. Origenes mengajarkan bahwa pada akhirnya semua makhluk, yang baik maupun
yang jahat akan selamat. Origenes dipengaruhi oleh dualisme Plato mengenai jiwa dan tubuh,
dan mengenai perpindahan jiwa dalam hidup yang lain.33
7. Eusebius dari Caesarea
Eusebius lahir kira-kira di Caesarea sekitar tahun 260 M. Origenes pernah mengungsi
ke Caesarea dan mendirikan sebuah sekolah dengan perpusatakaan yang besar. Beberapa
puluh tahun kemudian, Eusebius yang masih mudamendapat pendidikan dari buku-uku yang
29 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 74-75.30 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 75.31 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 75.32 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 75.33 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 76.
10
ada di perpustakaan itu. Dalam tahun 325 M, sebagai uskup Caesarea, ia memainkan peranan
penting dalam Konsili Nicea. Ia turut menandatangani Credo dan pernyataan menganai
keallahan penuh Putera Allah, yang didefenisikan sebagai “sehakikat dengan Bapa.” 34
Konstantinus yang telah memberikan perdamaian kepada Gereja, dikagumi Eusebius
dengan tulus hati. Demikian pula Eusebius dihargai dan dihormati oleh Konstantinus.
Konstantinus oleh Eusebius dihormati melalui karya-karyanya juga melalui khotbah yang
diucapkannya pada ulang tahun ke-20 dan ke-30 penobatan Konstantinus dan juga ketika
Konstantinus wafat pada tahun 337.35
Eusebius adalah seorang sarjana yang tak kenal lelah. Dalam banyak karyanya, ia mau
merefleksikan dan melaporkan tiga abad Kristianitas, tiga abad dalam penaganiayaan. Secara
luas dimanfaatkannya sember-sumber baik Kristiani maupun kafir, yang terpelihara terutama
dalam perpustakaan Caesarea. Dengan demikian, meskipun secara objkektif karya-karayanya
di bidang apologi, eksegese dan pengajaran penting juga, kemasyuran Eusebius tetap
dikaitkan pertama-pertama dengan Historis Ecclesiasticas, Sejarah Gereja yang telah
ditulisnya. Dialah orang pertama yang pernah menulis sejarah gereja dan sejarah yang
ditulisnya ini tetap amat penting. Berkat sumber-sumber yang telah disediakan Eusebius, saat
ini sangat mudah mengerti akan sejarah gereja.36
Dengan sejarah ini, ia telah berhasil menyelamatkan sejumlah peristiwa, tokoh-tokoh
penting dan karya literer dari Gereja awal. Maka karyanya merupakan suayu sumber utama
untuk pengetahuan tentang abad-abad pertama Kristianitas. Pada bukunya yang pertama,
Eusebius menyebut secara mendetail daftar pokok-pokok yang akan dia bahas dalam
bukunya.37
“Niatku adalah menulis suatu laporan tentang para pengganti Rasul-Rasul suci, juga
tentang zaman yang telah berlalu sejak hari Penyelamat kita sampai hari ini. Aku juga mau
menulis semua peristiwa besar yang menurut berita telah terjadi dalam sejarah Gereja; dan
menyebut orang-orang yang telah memimpin Gereja dalam keuskupan-keuskupan yang telah
terkemuka dan mereka yang ada dalam setiap angkatan telah mewartakan Sabda Ilahi, entah
secara lisan maupun melalui tulisan-tulisan. Niatku ialah menyebut nama, jumlah dan waktu
mereka yang terdorong oleh keinginan memperbarui, telah jatuh dalam kesesatan-kesesatan
yang ekstrem, dan telah menjadi pewarta yang memasukkan suatu pengajaran salah dan
seperti serigala ganas telah menghancurkan kawanan Kristus dengan tidak kenal ampun... dan
34 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm76-77.35 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm77.36 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm. 77-78.37 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm. 78.
11
aku hendak mencatat bagaimana dan kapan sabda ilahi telah diserang oleh orang-orang kafir,
melukiskan watak orang-orang besar yang pada saat berbeda telah membelanya walaupun
harus menghadapi banyak siksaan... juga kemartiran yang telah terjadi pada zaman kita serta
belas kasihan dan kebaikan yang telah ditunjukkan kepada kita semua oleh Penyelamat
kita.”38
Dengan demikian, Eusebius merangkum beberapa hal: penggantian para Rasul
sebagai tulang punggung Gereja, penyebaran Injil, kesesatan dan penaganiayaan dari pihak
orang-orang kafir, serta kesaksian-kesaksian penting yang merupakan terang yang bersinar
dalam sejarah ini. Eusebius seakan-akan mebuka secara resmi penulisan sejarah Gereja dan
meneruskan catatannya sampai tahun 324, tahun di mana Konstantinus diakui sebagai kaisar
Roma satu-satunya setelah mengalahkan Licinus. Itulah setahun sebelum Konsili Nicea yang
menyajikan “summa”, keseluruhan, segala sesuatu yang telah dipelajari oleh Gereja selama
300 tahun sebelumnya di bidang doktrin, moral, dan juga hukum.39
8. Gregorius dari Nyssa40
Gregorius dari Nyssa adalah bapa gereja yang mempunyai jiwa filsafat yang paling
menonjol. Jalan pikirannya menunjukkan kaitan dengan gagasan Origenes, akan tetapi ia
mencoba menjaga supaya kebenaran Kristinai tidak dikorbankan demi pemikiran Platonis
seperti yang dilakukan oleh Origenes. Walalupun demikian, ada juga pengaruh
Neoplatonisme.
Gregorius menjabarkan perbedaan antara iman dan pengetahuan. Menurutnya sumber
dan isi iman berbeda dengan sumber dan isi pengetahuan. Kepastian iman tidak dapat
dijelaskan dengan akal karena hakekatnya lebih tinggi dibanding dengan kepastian
pengetahuan dengan akal. Dengan iman orang menerima kebenaran-kebenaran yang
diwahyukan Allah. Kebenaran-kebenaran ini pada dirinya tidak dapat dimengerti.
Pengetahuan dengan akal berkaitan dengan kebenaran-kebenaran yang dapat dimengerti
karena pengetahuan ini mengenai hal-hal yang alamiah. Walaupun demikian, pengetahuan
dengan akal dapat dipakai untuk membela iman, untuk menjabarkan iman dan untuk
menghubungkan isis iman yang satu dengan yang lain. Pengetahuan ini dapat dipakai untuk
memperindah rahasia kebenaran-kebenaran ilahi dengan kekayaan akal, dapat dipakai untuk
38 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm. 78-79.39 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm. 79.40 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 76-77.
12
memberi kepastian terhadap adanya Allah yang menjadi dasar iman, dapat dipakai untuk
menyusun isi iman dalam suatu sistem.
Jiwa manusia diciptakan bersamaan dengan penciptaan tubuh. Jiwa memberi hidup
kepada tubuh. Jiwa memberi hidup kepada tubuh dan menjadikan tubuh dapat menjadi alat
untuk mengamati. Keadaannya tidak berjasad dan bersifat akali, serta memiliki kebebasan.
Selanjutnya, jiwa tidak dapat mari karena mendapat bagian dari sifat kekal Allah. Setelah
manusia mati, jiwanya tetap dikaitkan dengan unsur-unsur tubuhnya, sehingga setelah hari
kebangkitan tubuh dan jiwa akan bersama-sama mendapatkan kebahagiaan kekal. Gregorius
dari Nyssa tidak mengajarkan pra-eksistensi jiwa dan juga tidak mengajarkan perpindahan
jiwa ke tubuh yang lain.
Pada dirinya, tubuh bukanlah hal yang jahat. Kejahatan bersumber pada kebebasan
kehendak manusia. Allah telah memberikan kepada manusia kecakapan untuk berbuat
menurut kehendaknya sendiri dan kemudian Allah menetapkan nasib manusia sesuai dengan
pemakaian bakat itu. Kejahatan itu ada bila manusia tidak memilih apa yang seharusnya.
Kekuasan kejahatan bukan tanpa batas. Akan ada waktunya kejahatan berakhir yaitu kelak
jika Allah mempersatukan seluruh penciptaan ini. Kejahatan tidak memiliki kenyataan dalam
dirinya sendiri sebab di mana tiada kebaikan di situlah ada kejahatan.
Gregorius dari Nyssa sama dengan Gregorius Nazianze yang mengajarkan bahwa akal
dapat mengenal Allah dengan mempelajari hasil penciptaan. Akan tetapi, pengetahuan ini
tidak menyelamatkan. Orang diselamatkan karena kasih karunia semata-mata. Untuk itu
diperlukan iman. Puncak pengetahuan tentang Allah ialah “memandang Allah sendiri”.
9. Ambrosius dari Milan
Ambrosius lahir di kota Trier, di Jerman bagian barat, yang pada zaman itu termasuk
kerajaan Roma, sekitar tahun 339 sebagai yang bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya, Gallia
Narbonesis seorang gubernur dan ibunya, Marcellina seorang wanita yang saleh dan
berintelek tinggi. Setelah ayahnya meninggal ibunya kembali ke Roma. Ambrosius yang pada
waktu itu berusia dua belas tahun, dan kakaknya, Satirus mulai dengan studi persiapan
membangun karir sebagai ahli hukum, seperti ayah mereka yang terkenal. Ambrosius juga
akan direncanakan mengikuti jejak karier ayahnya, dan oleh karena itu ia disekolahkan di
Roma. Di sana ia belajar sastra, hukum dan retorika. Preator Anicus Probus awalnya
memberikan Ambrosius tempat di dewan kota dan sekitar tahun 372 menjadikannya kepala
13
dewan kota Liguria dan Emilia, dengan markas di Milano. Saat itu Milano adalah ibu kota
kedua Italia selain Roma.41
Ketika Auxentius, Uskup kota Milan meninggal dunia, terjadilah pertikaian antara
kelompok Kristen dan kelompok penganut ajaran sesat Arianisme.42 Mereka berselisih
tentang siapa yang akan menjadi uskup yang sekaligus menjadi pemimpin dan pengawas kota
dan keuskupan Milano. Para Arian berusaha melibatkan Kaisar Valentianianus untuk
menentukan bagi mereka calon uskup yang tepat. Kaisar menolak permohonan itu dan
meminta supaya pemilihan itu dilangsungkan sesuai dengan kebiasaan yang sudah lazim
yaitu pemilihan dilakukan oleh para imam bersama seluruh umat. Ketika mereka berkumpul
untuk memilih uskup baru, Ambrosius dalam kedudukannya sebagai gubernur datang ke
basilika itu untuk meredakan perselisihan antara mereka. Ia memberikan pidato pembukaan
yang berisi uraian tentang tata tertib yang harus diikuti. Tiba-tiba terdengar teriakan seorang
anak kecil: “Uskup Ambrosius, Uskup Ambrosius!”. Tiba-tiba anak kecil itu serta-merta
meredakan ketegangan mereka lalu mereka secara aklamasi memilih Ambrosius menjadi
Uskup Milano.
Ambrosius adalah seorang calon kuat dalam keadaan ini, karena ia dikenal bersimpati
kepada kaum Trinitarian, dan juga diterima oleh kaum Arianis karena posisinya sebagai
seorang politikus dianggal secara teologis netral. Ambrosius terkejut dan memprotes. Dia
tidak berkeinginan untuk menjadi uskup, karena ia belum dibaptis, walaupun ia sudah
katekumen. Sebuah laporan yang dikatakan bahwa untuk menyakinkan orang supaya tidak
memilihnya, ia berpura-pura berkelakuan tidak layak sehingga, ia dikenai tahanan rumah.
Kaisar berkonsultasi dan itu dengan sepenuh hati kaisar setuju dengan pemilihan Ambrosius
sebagai uskup Milano. Delapan hari kemudian, pada umur tiga puluh empat tahun,
Ambrosius dibaptis, serta menerima semua sakramen dan akhirnya ditahbiskan untuk
menjadi Uskup di Milano.43
Ambrosius mendapat pendidikan kebudayaan yang baik, tetapi di lain pihak ia tidak
mempunyai pengetahuan apa-apa tentang Kitab Suci sebab sebelum menjadi Uskup, ia masih
seorang katekumen. Namun, hal itu tidak menjadi penghalang bagi Ambrosius. Ia penuh
semangat mulai mempelajari Kitab Suci. Dari karya-karya Origenes, ia belajar Kitab Suci
untuk meneganl dan mengomentarinya. Dengan demikian, Ambrosius menagalihkan
renungan tentang Kitab Suci yang telah dimulai oleh Origenes ke lingkungan yang berbahsa
41 hlm. 235.42 Neil B. Mclynn, Ambrose of Milan, (London, [tanpa penerbit], 1994), hlm. 22.43 Mary Reed Newland, Riwayat hidup…, hlm. 233.
14
Latin dan memperkenalkan di Barat praktek lectio divina. Metode lectio divina menjadi
penuntun semua khotbah dan tulisan Ambrosius yang dengan jelas mengalir dari
mendengaran Sabda Allah sambil berdoa.44
Pewartaan Ambrosius mulai dengan membaca Kitab Suci (Para Bapa bangsa atau
Kitab Sejarah dan Kitab Amsal, Kitab Kebijaksanaan) untuk hidup sesuai dengan wahyu
ilahi. Lesaksian pribadi pewarta dan tingkat keteladan komunitas Kristiani menentukan hasil
pewartaan. Diandang dari segi ini, suatu bagian dari Confessines Pengakuan) Agustinus
sangatlah relevan. Agustinus datang ke Milano sebagai guru etorika. Ia orang skeptik, bukan
orang Kristiani.45
10. Gregorius Nazianze46
Gregorius Nazianze hidup sekitar tahun 390 M. Ia menyebarkan ajaran bahwa akal
manusia pada dirinya sendiri dapat mengenal Allah. Tema ini pada abad ke-2 memang telah
muncul. Dengan mempelajari hasil penciptaan Allah manusia dengan aklnya dapat
mengetahui bahwa Allah ada, walaupun hakekat atau zatNya tetap tersembunyi bagi manusia.
Mengenai hakekat atau zat Allah, manusia hanya dapat mengungkapkannya secara negative,
misalnya, Allah tidal bertubuh, tidak dialhirkan, tanpa awal, tidak berubah, tidak dapat
binasa, dan lain-lain.
B. PEMIKIRAN FILSUF ZAMAN SKOLASTIK
Kata “skolastik” menunjuk pada suatu periode Abad Pertengahan ketika banyak
sekolah (Latin: schola) didirikan dan banyak pengajar bermunculan. Namun, dalam arti yang
lebih khusus, kata “skolastik” menunjuk pada suatu metode tertentu, yakni “metode
skolastik”. Dengan metode ini, berbagai masalah dan pertanyaan diuji secara tajam dan
rasional, ditentukan pro-kontra-nya untuk kemudian ditemukan pemecahannya. Tuntutan “ke-
masuk-akal-an” dan pengkajian yang teliti dan kritis atas pengetahuan yang diwariskan
merupakan ciri filsafat Skolastik. Para sejarawan filsafat membagi zaman Skolastik menjadi
tiga periode, yakni Skolastik awal, Skolastik puncak, dan Skolastik akhir.47
44 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm. 175. 45 ? Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa..., hlm. 176.46 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 76.47 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 105.
15
a. Filsuf Zaman Skolastik Awal
Seperti yang sudah diungkapkan dalam pendahuluan, kata skolastik mengungkapkan
ilmu pengetahuan yang diusahakan oleh sekolah-sekolah dan ilmu itu terikat pada tuntutan
pengajaran di sekolah-sekolah. Pada waktu itu, pelajaran sekolah-sekolah meliputi suatu studi
duniawi yang terdiri dari 7 kesenian bebas (artes liberates) yang dibagi menjadi 2 bagian
yaitu trivium dan quadravium.48
1. Augustinus49
Dalam periode Skolastik awal, ajaran Agustinus dan neo-Platonisme mempunyai
pengaruh yang luas dan kuat dalam berbagai aliran pemikiran. Augustinus dilahirkan pada
tahun 354 di Tagaste. Ayahnya seorang penganut agama Romawi Kuno, ibunya, Monika
seorang wanita Kristen yang saleh. Konteks histories zaman Augustinus diwarnai dengan tiga
peristiwa penting yang ikut menentukan sejarah dunia, yakni tersebarnya kebudayaan
Helenistis, muncul dan berkuasanya Romawi Barat, serta tampil dan meluasnya ajaran
Kristiani.
Masa muda Agustinus diisi dengan berbagai macam kesenangan duniawi. Ia
mengenyam pendidikan filsafat Yunani Kuno di Kartago. Sewaktu masih menjadi
mahasiswa, Ausgutinus hidup bersama seorang wanita dan memperoleh seorang anak darinya
bernama Adeodatus. Buku karangan Cicero yang memuat ujian atas filsafat, Hortensius,
menyalakn api cinatnay pada kebijaksanaan. Augustinus sampai pada keyakinan bahwa
kebahagiaan ditemukan hanya dalam filsafat dan bukan pada segala kesenangan dan
penharapan duniawi.
Agustinus menganut ajaran Manikheisme, mengajar filsafat dan logika di Thagaste,
Kartago, dan Roma. Di Roma, ia menganut skeptisisme yang mengjarkan bahwa tidak
mungkin manusia mencapai kebenaram. Kemudian ia menganut ajran neo-Platonisme,
setelah ia membaca Plotinos, Enneade. Ajaran spiritual merupakan jembatan baginya menuju
ajaran Kristen, ajaran terakhir yang atas dasar pengalaman personal-religiusnya sendiri
mempertobatkan Augustinus dan memanggilnya menjadi seorang Kristen. Pada tahun 387, ia
dibaptis oleh Ambrosius. Tahun 391, ia ditahbiskan sebagai imam, lalu tahun 395 diangkat
menjadi Uskup Hippo.
Karya Augustinus yang paling terkenal adalah Confessiones. Pandangan Augustinus
mengenai pengenalan-diri adalah keterarahannya pada Tuhan: “Aku mengenal diriku hanya
48 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 87.49 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 110-119.
16
di dalam terang kebenaran dari Dia yang selalu menganal (menciptakan) aku.” Dengan iman,
manusia dapat menegmababngkan berbagai kemungkinan pengetahuannya. Begitu juga
sebaliknya, dengan pengetahuan, manusia dapat meneguhkan imannya.
a. Ajaran Mengenai Iluminasi
Ajaran iluminasi mempunyai hubungan erat dengan penolakan Augustinus terhadap
Skeptisisme. Skeptisisme mengajarkan bahwa manusia tidak dapat mencapai kepastian
pengetahuan. Awalnya Augustinus menganut pahan ini, tetapi menolaknya. Alasannya,
memang tentang segala sesuatu di luar aku di luar aku, aku bisa menyangsikan kepastiannya.
Akan tetapi, dengan menyangsikan sesuatu, ada satu kepastian yang tidak dapat aku
sangsikan lagi yakni kepastian bahwa aku ini tengah menyangsikan segala Sesutu. Dengan
kata lain, harus diterima bahwa pasti ada Aku yang tengah sangsi, keliru, bingung, rau-ragu.
Atas dasar itu, Augustinus lantas ingin menemukan jalan menuju kepastian
pengetahuan. Namun, bukan di luar melainkan di dalam, pda batin atau jati diri manusia itu
sendiri. Manusia yang mencari kebenaran berada dalam suatu gerakan yang membawanya
masuk ke dalam batinnya sendiri dan menuju jiwa manusia, dan dari situ bergerak menuju
batik atau hati manusia yang paling dalam menuju Tuhan sebagai dasar dari segala kebenaran
itu sendiri.
Di dalam batinnya, manusia menemukan kebenaran-kebenaran yang nisacaya dan
berlaku selalu dan di mana-mana. Semua kebenaran ini tentunya tidak berasal dari
pengalaman indrawi sebab pengalaman indrawi sendiri mengandaikan adanya ide tertentu.
Dengan perkataan lain, pengalaman indrawi sendiri tergantun “ada”-nya pada suatu ada yang
rohani, aykni ide-ide.
Namun, hal yang sebaliknya tidak bisa dikatakan. Maksudnya, hasil pengamatan kita
atau kesan-kesan dari pengalaman indrawi tidak dapat memberikan berbagai pengertian atau
konsep mengenai benda-benda yang kita cerap itu. Hanya bila kita dapat menyimpan semua
itu dalam ingatan kita, menghubungkan dan membandingkan satu sama lain, barulah kita
memperoleh kejelasan mengenai ciri-corak benda-benda indrawi itu.
Sekarang muncul pertanyaan penting: jika demikian, bagaimanakah kita bisa
mendapatkan ide-ide mengenai sesuatu, tana tergantung pada pengalaman indrawi?
Augustinus menjawab pertanyaan ini dengan ajaran iluminasi. Menurut ajaran ini, manusia
dapat mencapai kebenaran-kebenaran yang abado dan sejati berkat terang (lumen, Latin) dari
Allah. Dari lain pihak, Augustinus juga berkeyakinan bahwa dalam diri manusia secara
alamiah sudah terdapat suatu benih kebenaran yang tidak dapat padam atau mati.
17
Proses illuminasi dapat dibandingkan dengan akibat yang dihasilkan sang surya pada
penglihatan kita. Mata kita adalah daya atau kekuatan manusia, benda yang diterangi
merupkan objek-objek pengetahuan kita, sedangkan sang surya sendiri adalah sumber
kebenaran pengetahuan kita (Tuhan).
b. Ajaran tentang Dunia
Ajaran tentang dunia menurut Augustinus berhubungan dengan ajarannya mengenai
ide-ide sebagai citra perdana segala sesuatu. Ide-ide berasal dari Allah dan ada di dalam roh
atau budi-Nya. Dengan demikian, menurut Augustinus, dunia ini adalah pengejawantahan
dan gambaran nyata dari ide-ide tersebut. Dengan kata lain, dunia diciptakan sesuai dengan
rancangan atau ide-ide dalam budi.
Namun, berbeda dengan pandangan para filsuf Yunani pada umumnya. Augustinus
menyatakan bahwa dunia dan segala sesuatu yang ada tidak diciptakan Allah dengan bahan
tertentu, apa pun bentuknya, melainkan dari ketiadaan. Terjadinya alam semesta adalah suatu
creatio ext nihilo dari pihak Allah.
Unsur-unsur pokok yang ada dalam dunia sebagai ciptaan Allah adalah materi, waktu
dan bentuk (ide-ide abadi). Dari sebagian unsur-unsur ini Allah lantas menciptakan makhluk-
makhluk yang tidak berubah. Misalnya, para malaikat, jiwa-jiwa, dan bintang-bintang di
langit. Selain itu, Allah juga menciptakan suatu materi yang tidak mempunyai bentuk tertentu
, namun di dalamnya terdapat benih-benih atau bakal sesuatu. Di dalam benih-benih ini,
segala sesuatu berasal dan berkembang. Di dalam benih-benih ini, segala sesuatu sudah ada.
Dengan teori ini, ada dua hal yang ingin dinyatakan Augustinus. Pertama, ia mengakui bahwa
dalam dunia jasmani memang terdapat perubahan dan perkembangan. Kedutan, ada dan
berkembangnya sesuatu dapat dimengerti tanpa harus mengembalikan semuanya pada
campur tangan langsung dari pihak Allah
c. Ajaran tentang Waktu
Dalam ajaran tentang waktu, dapat dibedakan antara waktu objektif dan waktu
subjektif. Waktu objektif adalah semacam arus tetap ketika segala kejadian berlangsung.
Oleh karenanya, waktu objektif terpecah-pecah secara jelas dan ketika dalam satuan-satuan
waktu, yakni masa lalu yang telah lewat dan tiada lagi, masa depan yang belum datang, dan
masa kini yang hanyalah momen sesaat antara masa lalu dan masa depan. Adapun waktu
subjektif adalah kesadaran dan keberlangsungan segala sesuatu. Berkat kesadaran, jejak-jejak
yang ditinggalkan oleh pengalaman indrawi yang sementara, dapat “direkam” dalam bentuk
gambar-gambar dan dengan begitu, gambar-gambar itu selanjutnya dapat dihadirkan
(dijadikan uap to date). Cara penghadiran gambar-gambar itu memperlihatkan adanya tiga
18
dimensi waktu: masa lalu dihadirkan, hasilnya adalah memoroi atau ingatan, hadirnya hal
yang nyata pada saat ini dan di sini adalah penglihatan dan hadirnya hal yang akan datang
pada saat kini menimbulkan pengharapan.
Maka, tidaklah tepat bila dikatakan bahwa masa lalu dan masa depa itu ada. Sebab,
yang sungguh-sungguh ada hanyalah pengalaman saat ini. Di dalam jiwa, kita membuat
perhitungan waktu yang kita terima sebagai satu kesatuan dari masa lalu, masa kini dan masa
depan. Dengan demikian, kesadaran saya akan keberlangsungan waktu sebagai satu kesatuan
dari masa lalu, masa kini dan masa depan disebut Augustinus sebagai “bentangan jiwa”
(distentio animis). Maksudnya, berkat kesadaran, jiwa manusia dapat mengingat dan seolah-
olah hadir kembali dalam kejadian yang sebenarnya sudah berlalu. Namun, juga berkat
kesadarannya, manusia dapat menyongsong, mewujudkan langkah demi langkah dan
mengarahkan dirinya kepada sesuatu yang ia harapkan terjadi pada masa yang akan datang; ia
seolah-olah sudah mengalami apa yang sebenarnya terjadi di masa depan. Pada daerah di luar
batas-batas bentangan jiwa ke masa lalu dan ke masa depan ini, gambar-gambar Yat disebut
di atas semakin kabur dan menghilang dalam kegelapan. Maka atas dasar pandangan ini,
posisi manusia selalu berada dalam pengharapan (dimensi futuum atau masa depan manusia),
pelaksanaan diri manusia dalam kekinian (dimensi presens) dan pengenangan (dimensi
perfectum atau masa lalu manusia).
d. Ajaran Tentang Etika
Kata kunci dari etika Augustinus adalah cinta yang dapat disamakan dengan
kehendak. Etika Augustinus adalah etika yang menekankan pentingnya cinta atau kehendak
sebagai dasar perbuatan etis manusia. Tujuan usaha manusia adalah kebahagiaan. Namun,
tujuan ini tidak akan tercapai melalui pemuasan segala kebutuhan akan harta benda,
melainkan dalam Allah sendiri sebagai Dia yang patut dicintai demi diri-Nya sendiri. dalam
cinta sejati, yakni cinta yang diarahkan kepada Allah, manusia menekankan pedoman bagi
tindakannya. Jika cinta itu sejati, tidak diperlukan kaidah tindakan moral yang lain. Itulah
sebabnya, Augustinus berkata, “ Dilige et quod uis fac ( cintailah dan lakukan apa saja yang
kamu kehendak)”.
Namun, dalam kenyataanya, manusia kerap kali jatuh ke dalam cinta diri melulu
dengan akibat ia salah memilih barang-barang keperluan. Untuk membantu manusia
mencapai tujuan terakhirnya, Augustinus membuat perbedaan antara uti (memakai) dan frui
(menikmati). Segala sesuatu hanya boleh kita pakai sejauh membantu kita mencapai tujuan
kita diciptakan, yakni kebahagiaan dalam Allah yang kita nikmati hanya demi dirinya sendiri.
dengan ini, Augustinus tidak memandang remeh barang-barang material; ia melihat semua itu
19
sebagai sarana (maka, relatif sifatnya) yang dapat dan harus dipakai untuk membantu
manusia mencapai tujuan akhir hidupnya. Apabila kita menikmati barang-barang duniawi dan
diri kita semata-mata, niscaya kita akan melenceng dari tujuan.
Meskipun demikian, Augustinus menyadari bahwa manusia tidak mampu mencapai
tujuan hidupnya dengan kekuatannya sendiri. Mengapa? Sebab, dalam diri manusia, ada
kecenderungan tetap ke arah kejahatan dan keburukan (concupiscentia) yang ia dapatkan dari
“dosa asal”, yakni semacam dosa warisan yang diturunkan kepada kita melalui sejarah oleh
leluhur atau manusia pertama. Maka, manusia membutuhkan kekuatan lain dari luar dirinya.
Kekuatan itu adalah rahmat atau bantuan ilahi yang pada akhirnya memampukan manusia
dalam mencapai kebahagiaan sejati kelak.
e. Ajaran Tentang Negara
Karya Augutinus yang berjudul De civitate dei (tentang komunitas Allah), yang
memuat ajaran mengenai sejarah dan politik, mempunyai pengaruh dalam pandangan bangsa
Eropa mengenai sejarah dan pembagian kekuatan pada zaman Abad Pertengahan. Buku ini
ditulis sesudah kota Roma (tahun 410 M) direbut dan dirampok oleh bangsa Got Alarich.
Banyak orang bertanya-tanya, mengapa bangsa Romawi yang semula jaya menjadi lemah,
terus merosot, dan diancam oleh bangsa-bangsa dari Utara. Berhadapan dengan keluhan ini,
Augustinus menegaskan bahwa tidak pernah suatu kerajaan duniawi boleh diidentikkan
dengan Kerajaan Allah. Maka, pasang surut nasib salah satu sistem kekuasaan, dalam hal ini
kerajaan Roma, tidak ada sangkut pautnya dengan kemajuan atau kemunduran iman
kepercayaan.
Augustinus membedakan dua komunitas, yakni komunitas Allah (civitas dei) dan
komunitas duniawi (civitas terrena). Dasar keduanya adalah dua macam cinta. “Komunitas
Allah” adalah umat Allah dalam Gereja (namun tidak hanaya dalam Gereja) yang akan
menjadi sempurna pada akhir zaman, sedangkan “komunitas duniawi” adalah Negara yang
akan hancur pada akhir zaman. Keduanya tidak boleh diidentikkan, bahkan bersaing dan
berlawanan satu sama lain. “komunitas duniawi” sebenarnya merupakan sesuatu yang buruk,
namun juga perlu karena oleh dosa asal manusia dibuat menjadi egois dan mudah
dipermainkan oleh nafsu rendahnya. Maka, diperlukan suatu kekuasaan duniawi untuk
menerbitkannya. Jadi, Negara bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, melainkan sarana
semata-mata demi penertiban karena manusia (tanpa rahmat Allah) buruk sifatnya. Begitulah
dalam sejarah nyata, kedua komunitas itu saling berhubungan hingga kelak pada akhir zaman
keduanya akan dipisahkan dan “komunitas Allah” akan tampil sebagai yang unggul.
20
2. Anselmus Canterbury50
Anselmus (1033-1109), Uskup dari Canterburry, Inggris, adalah pemikir yang paling
berarti pada abad ke-11. Ia berkeyakinan bahwa iman beriktiar menemukan pemahaman atau
pengertian (fides quarens intellectum). Memang, bagi Anselmus, iman selalu merupakan titik
tolak pemikirannya dan isi ajaran iman tidak dapat dibantah oleh alasan-alasan rasional.
Namun, meskipun demikian, akal budi yang sejati niscaya akal dapat mencapai kebenaran-
kebenaran iman. Maka, orang beriman seharusnya juga berusaha memahami imannya secara
rasional.
Kalau Allah adalah “sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak dapat dipikirkan”,
secara logis mustahillah kita masih dapat memikirkan sesuatu yang lain yang lebih besar
daripada Allah. Sebab, seandainya saja kita sanggup memikirkan sesuatu yang lain yang lebih
besar daripada Allah, Allah sebagai “sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak dapat
dipikirkan” tetap yang paling besar dari sesuatu yang lain yang masih dapat kita pikirkan itu.
Ada dua pertanyaan yang segera muncul, yakni: (1) apakah Allah yang kita mengerti
sedemikian itu ada? Dan (2) jika ya, apakah itu ril atau hanya ada dalam pemikiran, sama
seperti ilusi? Terhadap pertanyaan pertama, Anselmus berkata, “Orang dungu
menyangkalnya dengan mengatakan dalam hatinya: tidak ada.” Namun, jika ia mendengar
pernyataan ‘Allah adalah sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak dapat dipikirkan”, ia
menangkap sesuatu arti dari kata-kata ini, ia memahaminya, ia memikirkan objek yang
diartikan kata-kata itu: objek itu ada dalam pikirannya, bahkan kalaupun ia menganggapnya
tidak ada. Maka, kenyataan bahwa Allah yang demikian itu dapat dimengerti, dipikirkan,
bahkan mungkin untuk disanggah, menunjukkan bahwa Allah itu ada, setidak-tidaknya ada
dalam pemikiran.
Adapun terhadap pertanyaan kedua, Anselmus berkata, ”Sebenarnya, jika sesuatu itu
tidak terdapat selain dalam akal budi, orang dapat memikirkan bahwa sesuatu itu terdapat
juga dalam realitas: ini tingkatan yang lebih tinggi.” Maksudnya, jika orang berpikir tentang
sesuatu, sesuatu itu tentunya juga ada di luar akal budi atau pemikirannya itu, yakni di dalam
realitas. Sebab, jika tidak demikian, pemikiran tidak mempunyai objeknya dan suatu
pemikiran tanpa objek, apapun bentuk objeknya itu, sama sekali mustahil. Sesuatu pemikiran
pasti mengandaikan adanya objek di luar pemikiran itu sendiri. Kalau saya berpikir tentang
burung merpati putih, misalnya, pasti burung itu juga ada di luar pikiran saya, yakni dalam
realitas. Begitu juga jika pengertian Allah sebagai “sesuatu yang lebih besar daripadanya
tidak dapat dipikirkan” ada di daalampikiran, harus diterima juga bahwa Dia adalah di luar 50 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 123-127.
21
pemikiran, yakni dalam kenyataan atau realitas. Tentu saja, adanya Allah di sini tidak boleh
dimengerti secara empiris sebagaimana kita memahami adanya seekor burung merpati di
dalam realitas.
Akibatnya, tidak ada kesangsian sedikit pun bahwa sesuatu yang lebih besar
daripadanya tidak dapat dipikirkan itu (Allah) ada, baik dalam akal budi maupun dalam
realitas. Demikianlah pembuktian ontologis yang terkenal itu. Pembuktian ini
memperlihatkan bahwa iman akan adanya Allah dan akal budi tidak bertentangan.
Dalam perkembangannya, argumen ini bukannya tanpa masalah. Gaunilon, seorang
tokoh yang sezaman dengan Anselmus, menyanggah argumen ini dengan mengatakan bahwa
orang bisa saja berpikir tentang adanya satu pulau paling besar yang mungkin, tanpa harus
menerima bahwa pulau tersebut ada dalam kenyataan. Kant kelak berkata bahwa 100 keping
uang emas nyata tidaklah lebih dari gagasan tentang 100 keping uang emas. Namun, kedua
kritik ini tidak kena sebab hubungan Allah sebagai “pengada tidak terbatas” dengan
eksistensi berbeda secara hakiki dengan hubungan antara suatu “pengada terbatas” (misalnya,
manusia atau suatu pulau) dan eksistensi. Eksistensi manusia, misalnya, adalah eksistensi
dalam ruang dan waktu, sedangkan eksistensi Allah ada di luar batas-batas ruang dan waktu.
Anselmus memang benar, Allah sebagai Yang Mahabesar tidak dapat dipikirkan tanpa
sekaligus menerimanya sebagai sesuatu yang bereksistensi secara wajib. Namun, hal yang
tidak dapat diketahui adalah apakah paham mengenai Allah sebagai “sesuatu yang lebih besar
daripadanya tidak dapat dipikirkan” memuat kenyataan objektif adanya Allah atau hanya
merupakan sesuatu kemungkinan bahwa Allah itu ada. Dan kenyataan objektif itu tidak dapat
dibuktikan melulu hanya dengan menyatakan bahwa gagasan tentang Allah sebagai “sesuatu
yang lebih besar daripadanya tidak terpikirkan” secara logis benar dan tidak memuat
pertentangan. Oleh sebab itulah, nnanti Thomas Aquinas menolak argumen Anselmus.
Sebaliknya, mereka yang menerima “dunia konsep” sebagai suatu dunia yang sungguh-
sungguh “ada”, menyetujui Anselmus (misalnya Descartes, Leibniz, Wolff).
Pada abad ke-20 ini, argumen Anselmus menjadi populer lagi, khususnya di kalangan
para pemikir berbahasa Inggris. Alasannya, argumen ini, sekalipun perumusannya tidak
begitu sempurna, mengandung suatu kebenaran mendalam yang menjawab tuntutan
pemikiran sebagai suatu dinamisme yang berpuncak pada “Yang tidak terbatas”.
3. Petrus Abelardus51
51 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 127-129.
22
Petrus Abelardus dilahirkan di Le Pallet (dekat Nantes), di Perancis. Jasa-jasa
Abelardus terletak dalam pembaruan metode pemikiran dan dalam memikirkan lebih lanjut
berbagai masalah dialektis yang aktual. Salah satu persoalan pokok filsafat pada masa itu
adalah masalah universalia. Yang dimaksud dengan universalia adalah pengertian-pengertian
umum (Misalnya, makhluk hidup, manusia). persoalan apakah universalia mempunyai “ada”
yang sungguh-sungguh atau nama yang terdapat dalam gagasan belaka?
Pada masa hidupnya, ada dua pendirian mengenai masalah tersebut. Pendirian
pertama debut realisme yang menyatakan bahwa dalam realitas memang ada sesuatu yang
umum dimiliki semua individu. Misalnya, paham “manusia” adalah sesuatu yang riil,
sedangkan manusia-manusia individu hanya merupakan kasus-kasus spesifik dari yang
umum. Kedua, aliran nominalisme yang mengajarkan bahwa tidak ada yang riil selain
individu-individu. Paham-paham umum hanyalah nama dan tidak ada sesuatu yang sesuai
dengannya dalam realitas.
Tentang permasalahan itu, Abelardus mempunyai pemikiran tersendiri. Universalia
sebagai pengertian umum pertama-tama ada sebagai ide, yakni citra perdana segala sesuatu,
di dalam pikiran Allah. Namun, pada alam ciptaan (pada alam benda-benda konkret),
universalia ditemukan dalam hal-hal umum, yakni kemiripan sifat fisik dan kesamaan dari
sifat hakiki berbagai benda ciptaan itu. Tentu saja, hal-hal umum yang berupa kemiripan fisik
dan kesamaan sifat hakiki berbagai benda ciptaan tersebut bukanlah kenyataan (res) yang
berdiri sendiri, melainkan ditangkap oleh jiwa manusia dalam bidang abstraksi. Maka,
pengertian (conceptus) mengenai suatu benda tidak terjadi sewenang-wenang, melainkan
merupakan hasil dari suatu proses abstraksi atas benda-benda yang memang nyata ada.
Dengan kata lain, memang yang hanya individulah yang bersifat objektif-riil. Namun, itu
tidak berarti bahwa konsep-konsep umum merupakan ciptaan akal budi belaka. Konsep-
konsep umum menunjuk kepada ciri-ciri yang benar-benar terdapat dalam individu-individu.
Ciri-ciri yang bersama-sama membentuk konsep “manusia”, misalnya, dapat dipikirkan
tersendiri, tetapi tidak dapat dipisahkan dari individu-individu. Dengan demikian, Abelardus
mendamaikan dua posisi yang bertentangan dari ajaran realisme dan nominalisme.
b. Filsuf Zaman Skolastik Puncak
Mulai abad 12, ada hubungan-hubungan baru dengan dunia pemikiran Yunani dan
dunia pemikiran Arab. Melalui karya orang-orang Arab dan Yahudi mulai lebih mengenal
23
karya-karya Aristoteles. Pengaruh penemuan kembali filsafat Aristoteles mempengaruhi
semua pemikir abad ke-13. Para teolog memakai filsafat Aristoteles sebagai alat teknis dalam
berpikir, hanya cara berpikir Aristoteles yang dimanfaatkan sedangkan ajarannya berasal dari
ajaran Augustinus.52 Pada masa ini, universitas-universitas pertama didirikan di Bologna,
Paris, Oxford. Cikal-bakal universitas adalah sekolah-sekolah membentuk suatu persekutuan
atau perkumpulan antara para dosen dan mahasiswa dari satu jurusan sehingga keduanya
mewujudkan suatu kesatuan yang menyeluruh. Kesatuan ini disebut universitas magistrorum
et scolarum (persekutuan dosen dan mahasiswa). Para dosen (magister) dan para mahasiswa
(scolares) bersama-sama mewujudkan suatu kesatuan kerja. Pada saat itu ada 4 fakultas yang
terkenal yaitu fakultas teologi, fakultas hukum, fakultas kedokteran dan fakultas sastra (artes
liberales).53
Hal yang membantu perkembangan Skolastik ialah timbulnya ordo-ordo baru, yaitu
Fransiskan dan ordo Dominikan. Ordo Fransiskan berorientasi pada tradisi filsafat
Augustinus dan ordo Dominikan memakai gaya filsafat Aristoteles. Ordo-ordo ini membantu
mengembangkan ilmu yang disumbangkan pada universitas-universitas.54
1. Thomas Aquinas55
Thomas Aquinas asalah imam Dominikan. Ia mempersatukan secara orisinal unsur-
unsur pemikiran Augustinus yang dipengaruhi neo-Platonisme, dengan filsafat Aristoteles.
Karya-karya Thomas Aquinas adalah Summa Theologiae I-III.
Menurut Thomas, iman dan akal budi tidak mungkin bertentangan karena keduanya
berasal dari Allah. Maka, baik teologi maupun filsafat pada akhirnya akan sampai pada
kebenaran hakiki yang sama. Hanya saja, keduanya memakai metode yang berlainan. Filsafat
mempunyai penyelidikan dari benda-benda ciptaan dan dari situ mencapai Allah. Adapun
teologi justru sudah menerima Allah sebagai asal dan fundamen untuk penyelidikannya atas
benda-benda alamiah. Maka, teologi memerlukan wahyu Allah. Wahyu diterima
kebenarannya oleh sang teolog dalam iman. Dengan beriman, ia dapat mencapai pengetahuan
adikodrati yang disampaikan wahyu kepadanya. Semua pengetahuan ini memang berada di
luar batas-batas akal budi melulu, namun sama sekali tidak boleh dikatakan bahwa
pengetahuan itu bersifat irasional atau bertentangan dengan prinsip-prinsip akal budi,
melainkan jauh melampaui dan mengatasinya. Dengan kata lain, semua pengetahuan yang
52 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 106-107.53 ? Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 99.54 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 107.55 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 135-142.
24
berasal dari wahyu bersifat metarasional (meta, Yunani: sesudah, di atas). Namun, meskipun akal
budi tidak dapat menguak dan menyibak misteri, ia dapat membantu meratakan jalan menuju misteri;
dengan demikian, dapat membantu orang beriman untuk secara lebih tepat memahami dan membela
kebenaran imannya dengan penuh rasa tanggung jawab. Hanya dalam konteks pembicaraan ini,
perkataan legendaris berikut mendapatkan maknanya: “Philosophia est ancilla theologiae (Filsafat
adalah hamba teologi)”. Dan, karena wahyu ilahi menyampaikan kebenaran-kebenaran yang diperlukan
manusia demi keselamatan jiwanya, tetap tersedia ruang bagi suatu penyelidikan tersendiri atas benda-
benda alamiah (di sekitar manusia) yang belum atau mungkin sama sekali tidak dijelaskan oleh wahyu.
Dengan demikian, Thomas menegaskan adanya otonomi filsafat atau ilmu pengetahuan.
Dari ajaran di atas, orang dapat menemukan adanya dua macam pengetahuan yang tidak
bertentangan dan masing-masing berdiri sendiri: pengetahuan alamiah dan pengetahuan iman.
Pengetahuan alamiah adalah pengetahuan yang bersumber dari terang dan mempunyai sasarannya pada
hal-hal yang bersifat umum. Adapun pengetahuan iman adalah pengetahuan yang berdasarkan wahyu
adikodrati dan sasarannya tertuju kepada hal-hal yang disampaikan Allah secara khusus
kepada manusia demi keselamatan abadinya melalui Kitab Suci, ajaran, dan tradisi Gereja.
Meskipun demikian, perlu dicamkan bahwa ada hal-hal yang termasuk bidang filsafat
ataupun teologi (misalnya pengetahuan tentang eksistensi Allah dan jiwa manusia). Maka,
filsafat dan teologi seumpama 2 buah lingkaran yang pada bagian tepinya ada yang
bertindihan sekalipun masing-masing berdiri sendiri.
a. Tentang Ontologi
Ontologi atau metafisika umum adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu
yang ada menurut aspeknya yang paling umum. Dalam bidang ini, ada dua struktur
ontologis yang perlu dijelaskan, yakni struktur materi-bentuk (Aristoteles:
hylemorfisme) esensi-eksistensi.
Tentang struktur materi dan bentuk. Thomas menyetujui Aristoteles yang
mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini terdiri dari materi dan bentuk. Materi
adalah bakal atau bahan yang darinya muncul sesuatu. Ia adalah substansi tidak sempurna
yang masih merupakan kemungkinan (potentia, bahasa Latin) dan kemudian harus menjadi
kenyataan (actus). Adapun bentuk adalah prinsip yang memberikan cara berada pada materi
sehingga materi menjadi nyata atau mencapai actus. Dengan kata lain, bentuklah yang
membuat sesuatu yang bersifat potensial menjadi aktual. Dan, bentuk ini sendiri sudah
terkandung di dalam materi struktur materi dan bentuk ini.
Berdasarkan struktur materi dan bentuk ini, Thomas dapat menerangkan
dengan baik peristiwa perubahan maupun individuasi (individuasi adalah kenyataan
25
bahwa sebuah benda merupakan sesuatu yang individual). Perubahan terjadi bila suatu bentuk
diganti bentuk lain, tetapi materinya tetap sama. Adapun individuasi dimungkinkan oleh materi yang
berbeda, tetapi bentuknya tetap sama. Misalnya, pada peristiwa berubahnya sebongkah batu marmer
besar-padat berbentuk empat persegi panjang menjadi patung seekor kuda, terjadi perubahan bentuk,
sedangkan materinya tetap (batu marmer). Sebaliknya, kalau kita melihat bahwa patung kuda ini
terbuat dari batu marmer, sementara bahan patung kuda itu adalah plastik, kita melihat adanya
individuasi. Di sini, bentuk kedua patung itu sama (kuda), tetapi materinya berbeda (batu marmer dan
plastik).
Tentang struktur esensi dan eksistensi. Dengan esensi, mau ditunjukkan apanya sesuatu (what it is).
Maka, esensi menunjuk kepada “ada”, “hakikat” sesuatu. Adapun eksistensi menunjuk kepada kenyataan
bahwa sesuatu itu ada (that it is). Dengan kata lain, eksistensi berarti “(cara) berada”-nya sesuatu. Menurut
Thomas, struktur ini bukan hanya terdapat pada makhluk yang berjasad atau yang jasmaniah, melainkan
juga pada ciptaan, misalnya malaikat. Hanya Allah yang tidak mempunyai struktur esensi-eksistensi. Allah
sama sekali tunggal, tidak majemuk. la adalah kaktus murni (actus purus). Maksudnya, pada Allah tidak ada
kemungkinan (potentia), segala potensi sudah terealisasi sepenuh-penuhnya dalam aktus. Maka, Allah
adalah Maha Sempurna. Ia tidak berkembang dan tidak berubah. Esensi dan eksistensi yang ada pada Allah
identik dan bertindih-tepat. Kalau makhluk ciptaan mempunyai adanya (maka bereksistensi), Allah sendiri
adalah adanya (Allah itu ada).
b. Teologi Kodrati
Thomas juga mengajarkan apa yang disebut “teologi kodrati”, yang mengakui bahwa
manusia sanggup mengenal Allah dengan pertolongan akal budinya. Secara tradisional, ada dua
bagian teologi kodrati yakni (1) bagian yang membahas “bukti-bukti” adanya Allah, dan (2) bagian
yang membahas sifat-sifat Allah.
- Bukti-Bukti Adanya Allah
Thomas berpendirian bahwa pengetahuan manusia sebagai makhluk jasmani tentang apa pun
terkait dengan alam indrawi. Maka, ia menolak bukti apriori tentang adanya Tuhan menurut ajaran
Anselmus yang bersifat spekulatif murni. Bukti itu kurang meyakinkan bahwa Allah itu nyata-nyata
ada, paling-paling hanya menunjukkan kemungkinan bahwa Allah ada. Maka, Thomas mengambil
cara lain untuk menunjukkan bahwa Allah itu nyata-nyata ada. Cara itu disebutnya sebagai “lima
jalan” Quinque viae).
Jalan pertama berdasarkan pada fakta adanya gerak (motus) di dunia jasmani ini.
Semua gerak dan perubahan pasti terjadi kaarena ada sesuatu yang menggerakkan. Dan,
sesuatu yang menggerakkan pasti juga digerakkan oleh sesuatu yang lain. Gerak-
26
menggerakkan ini tidak dapat berjalan tanpa batas sampai tidak terhingga. Maka, harus
diterima adanya penggerak pertama yang tidak digerakkan oleh penggerak yang lain lagi.
Penggerak pertama ini adalah Allah.
Jalan kedua berangkat dari sebab-akibat (ex ratione causae efficiens). Setiap akibat
mempunyai sebab. Namun, oleh karena: (1) tidak sesuatu pun merupakan sebab yang menghasilkan
dirinya (sebab andaikata hal itu ada, hal yang menghasilkan dirinya sendiri itu tentu harus mendahului
dirinya dan hal ini mustahil); (2) karena rangkaian sebab-akibat tidak mungkin tidak berhingga,
harus ada penyebab pertama yang tidak lagi disebabkan oleh sebab yang lain. Penyebab pertama
ini adalah Allah.
Jalan ketiga menemukan argumennya dari adanya kemungkinan dan keniscayaan segala sesuatu di
dunia ini. Dalam dunia fana ini, kita menemukan hal-hal yang bisa ada dan bisa tidak ada. Ciri-ciri
untuk hal-hal seperti itu adalah bahwa semuanya merupakan sesuatu yang dapat berubah dan musnah.
Seandainya segala sesuatu bersifat demikian, mungkin saja pada suatu saat nanti tidak ada sesuatu pun
di dunia. Namun, secara logis kita tahu apa yang tidak ada hanya dapat mulai berada jika diadakan oleh
sesuatu yang telah ada sebelumnya. Jika segala sesuatu di dunia ini hanya mewujudkan kemungkinan
“ada” (karena segalanya berubah dan kelak binasa, artinya menjadi “tidak ada”), harus diterima bahwa
“ada” yang terakhir ini mewujudkan keharusan (keniscayaan). Adanya “ada” dari hal yang
mewujudkan suatu keharusan ini dapat disebabkan oleh sesuatu yang lain atau memang oleh dirinya
sendiri. Dengan kata lain, dalam hal ini terdapat dua kemungkinan. Pertama, seandainya ia disebabkan
oleh sesuatu yang lain, akan ada rangkaian sebab-sebab sampai tidak berhingga. Namun, ini tidak
mungkin. Maka, kemungkinan kedua, harus ada sesuatu yang niscaya dan mutlak perlu, yang tidak
disebabkan oleh sesuatu yang lain lagi. Itulah Allah.
Jalan keempat adalah pembuktian berdasarkan derajat-derajat kualitas segala sesuatu (ex gradibus
qui in rebus inveniuntur). Setiap hal tentu mempunyai derajat kualitasnya. Ada “lebih” ada “kurang”
misalnya pada kata “kurang/lebih adil”, “kurang/lebih baik, “kurang/lebih indah", dan seterusnya. Hal
ini hanya mungkin dinyatakan berkat adanya sebuah ukuran yang paling adil, paling baik, dan paling
benar. Ukuran superlatif dan sempurna itu adalah Allah.
Jalan kelima berdasarkan kenyataan bahwa segala sesuatu di dunia ini terselenggara dengan baik
(ex gubernatione rerum). Segala ciptaan yang tidak berakal budi mempunyai keterarahan yang tetap
pada suatu akhir atau tujuannya yang terbaik. Jadi, memang tidak secara kebetulan bahwa semua itu
mencapai akhirnya ada yang menyelenggarakan. Penyelenggara tertinggi segala sesuatu di dunia ini
adalah Allah. Allah adalah tokoh berakal budi dan berpengetahuan yang mengarahkan gerakan segala
ciptaan yang tidak berakal budi.
27
c. Filsuf Zaman Skolastik Akhir
Kepercayaan orang pada kemampuan rasio memberi jawaban atas masalah-masalah
iman mulai berkurang. Ada semacam keyakinan bahwa iman dan pengetahuan tidak dapat
dipersatukan. Rasio tidak dapat mempertanggungjawabkan ajaran Gereja, hanya iman yang
dapat menerimanya. Uraian dan refleksi logis atas ajaran Gereja menggantikan pengetahuan
spekulatif tentang Tuhan.56
1. William dari Ockham57
William dari Ockham adalah seorang biarawan Fransiskan. Aliran yang diajarkannya
adalah nominalisme. Aliran ini disebut via modern (jalan modern) dan via Antigua (jalan
kuno). Filsafat Ockham berintikan dua prinsip pokok, yakni prinsip omnipontentia
(kemahakuasaan Allah) dan prinsip ekonomi yang juga dikenal dengan sebutan “pisau cukur
Ockham” (Ockham razor).
Pertama, prinsip omnipotentia (kemahakuasaan Allah) mengajarkan bahwa Allah
berdasarkan kemahakuasaan-Nya dapat saja menciptakan segala sesuatu secara lain daripada
yang biasanya. Allah memang pada umumnya berkarya secara tidak langsung melalui
hukum-hukum alam (misalnya hukum sebab-akibat). Namun, Ia dapat saja melakukan
intervensi langsung pada alam ciptaan tanpa terikat pada hukum-hukum alam cipta-Nya itu
sendiri karena Ia Mahakuasa.
Dari sudut pandang ini, harus dikatakan bahwa dunia dan segala kejadian di dalamnya
bersifat kebetulan saja dan tidak berdasarkan suatu keteraturan yang abadi. Dunia bukanlah
ordo (keteraturan yang mantap), di mana Allah sendiri seolah-olah terikat oleh tata tertib dan
hukum dunia itu. Adanya asap tidak dengan sendiri-Nya mengandaikan adanya api. Kita
hanya dapat menyatakan bahwa secara alamiah adanya asap mengikuti secara teratur adanya
api. Pada dirinya sendiri, api dan asap adalah dua hal yang berdiri sendiri-sendiri. Dengan
demikian, bagi manusia, dunia ciptaan terdiri dari hubungan berbagai fakta yang lepas-lepas
dan masing-masing berdiri sendiri. Maka, pengetahuan kita tentang dunia dan segala yang
sudah ada sebelumnya tidak didasarkan atas prinsip-prinsip yang sudah ada sebelumnya,
melainkan diperoleh berdasarkan pengalaman dan studi atas sesuatu yang secara faktual
memang ada dan terjadi. Dengan kata lain, pengalaman indrawi itulah dasar pengetahuan.
56 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 107-108.57 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 154-158.
28
Kedua, prinsip ekonomi mengajarkan bahwa segala realitas metafisik tidak boleh
diterima jika tidak ada dasar kokoh untuk mengakuinya. Manakah dasar kokoh yang menjadi
patokan untuk menerima atau menolak suatu realitas metafisik? Jawabannya adalah
pengalaman indrawi yang baru saja disebut dalam prinsip pertama! Atas dasar ini, Ockham
menolak banyak distingsi rumit yang dibuat oleh para pemikir sebelumnya (misalnya struktur
esensi-eksistensi). Yang tinggal adalah apa yang dapat diterima dan diteguhkan oleh pengalaman
indrawi. Tidak heran kalau dalam sejarah filsafat prinsip ekonomi ini disebut “pisau cukur Ockham”
(Ockham`s razor) Ockham membabat habis segala sesuatu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan di
hadapan pengalaman indrawi.
2. Nicolaus Cusanus58
Nicolaus Cusanus adalah seorang imam dari Kues, kota kecil, sekarang masuk
wilayah Jerman. Untuk mengenal ciri-ciri Allah, Cusanus mempunyai sebutan Sang Possest,
satu istilah yang terdiri dari dua suku kata Latin pose (artinya bisa) dan esse (artinya ada). Di
dalam diri Allah terdapat kesatuan antara kemungkinan (bisa) dan kenyataan (ada). bagi-Nya.
“Allah Sang ‘Bisa-Ada’ sebab Ia ada dalam kenyataan, padahal Allah mampu mewujudkan
diri-Nya sebagai kenyataan itu. Sebagai Sang Possest, Allah merangkum segala sesuatu yang
saling bertentangan di dalam diri-Nya. Dia adalah kesatuan mutlak dari segala-galanya:
Dialah yang paling besar dan yang paling kecil, yang “ada” dan yang “tidak ada”. Dia
merangkum segala hal dan terdapat dalam tiap-tiap hal. Namun, dalam diri Allah, semua
yang bertentangan ini ada bukan sebagai hal-hal yang saling berbentrokan, melainkan ada
dalam koinsidensi. Koinsidensi adalah terjadinya beberapa hal secara serempak atau
bersama-sama (dari kata co bersama-sama, dan incidentia, terjadinya sesuatu). Itulah
sebabnya Cusanus menyebut terjadinya secara serentak hal-hal yang bertentangan dalam diri
Allah sebagai coincidentia oppositorum.
Namun, berdasar apakah manusia mampu mengetahui hal ini? Cusanus membedakan
dua kemampuan pengetahuan manusia. Pertama, akal adalah kemampuan diskursif manusia
(kemampuan berpikir logis, membuat distingsi dan kesimpulan). Kemampuan ini berlaku
untuk dunia indrawi. Aktivitas kemampuan ini sekali dikuasai oleh prinsip nonkontradiksi.
Misalnya, dalam bidang indrawi atau pengalaman empiris, “besar” berarti besar (tidak kecil)
dan “ada” berarti ada (bukan tiada). Di sini, berlaku prinsip nonkontradiksi yang mampu
membeda-bedakan segala sesuatu, dan karenanya menerima bahwa “besar” berarti sekaligus
“kecill”; kita semua dapat mengeceknya sendiri dengan mengukur, melihat, dan sebagainya. 58 ? Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan..., hlm. 158-162.
29
Karena aktivitas akal yang demikian, sudah jelas bahwa akal “tidak dapat melampaui hal-hal
yang bertentangan”.
Kedua, budi (intellectus) adalah kemampuan untuk membuat semacam orientasi atau indikasi
kabur bagi manusia (bandingkan dengan kemampuan manusia menentukan arah timur, padahal “timur”
pada dirinya sendiri tidak ada dan tak dapat diamati). Sasaran aktivitas budi bukanlah hal-hal di dalam
dunia enmpiris yang dikuasai prinsip nonkontradiksi, melainkan melampaui semua hal itu. Kalau berkat
akal (ratio) manusia tahu dengan pasti bahwa suatu objek itu nyata ada, berkat budi (intellectus) ia tahu
bahwa ia tidak dapat mengetahui objeknya. Kalau akal menghasilkan “pengetahuan” budi menghasilkan
“pengetahuan tentang ketidaktahuan”. Bagi akal, dunia empiris adalah wilayah “pengetahuan”, karena itu,
suatu daerah yang melampauinya adalah adalah wilayah “ketidaktahuan”. Adanya wilayah
“ketidaktahuan” ini hanya oleh budi, bukan oleh akal yang sasarannya adalah objek-objek kasar dan
kelihatan. Maka, pengetahuan manusia yang tertinggi bukanlah “pengetahuan” diskursif berdasarkan
kemampuan akalnya, melainkan “ketidaktahuan” yang ia ketahui. Untuk menyebut ketidaktahuan yang
diketahi ini Cusanus memakai istilah docta ignorantia yang berarti ketidaktahuan yang diinsyafi. Dengan
demikian, docta ignorantia adalah pengetahuan yang didapatkan berdasarkan aktivitas budi atau intelek
(boleh disebut pengetahuan intelektual). Sifat meta-empiris, mengatasi pengalaman indrawi belaka.
KEPUSTAKAAN
Copleston, Frederick. A History of Philosophy (vol 2). London: Burns, Oates & Washbourne, 1950.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Mclynn, Neil B. Ambrose of Milan. London, [tanpa penerbit], 1994.
30
Newland, Mary Reed. Riwayat Hidup Para Kudus. (judul asli: The Saint Book), diterjemahkan oleh J. Waskito SJ. Medan: Bina Media, 2002.
Paus Benediktus XVI. Bapa-Bapa Gereja (judul asli: The Fathers), diterjemahkan oleh J. Waskito SJ. Malang: Dioma, 2010.
Tinambunan, Laurentius. “Filsafat Hellenisme dalam Pewartaan Kekristenan “, dalam Logos, Vol. 6 No. 1 Juni 2008.
Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual, Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
31