+ All Categories
Home > Documents > HADHANAH; pembahasan

HADHANAH; pembahasan

Date post: 08-Dec-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
27
4 BAB II PEMBAHASAN A. Takhri>j Hadis tentang Had{a> nah Takhri>j h}adi>s^ dapat diibaratkan sebagai pintu masuk bagi kegiatan penelitian hadis. Dengan kegiatan takhri>j h}adi>s^ akan diketahui asal usul riwayat hadis dari berbagai periwayat yang telah meriwayatkan hadis tersebut. 1 Terkait dengan takhri>j h}adi>s^ tentang hak pemeliharaan anak atau had}a> nah, maka penulis melakukan penelusuran dengan cara konvensional. 2 Selanjutnya metode yang ditempuh dalam takhri>j h}adi>s^ ini adalah dengan jalan menelusuri sebagian lafaz{ hadis, baik di awal, tengah maupun akhir matannya. Dengan metode tersebut penulis menelusuri hadis tentang hak pemeliharaan anak atau had}a> nah dengan menggunakan kata " " لقّ ـّ طmenelusuri lewat referensi kitab karya Arnold John Wensinck dengan judul al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s^ al-Nabawi> terjemahan Muhammad Fuad Abd al-Baqi semacam kitab kamus dari 9 kitab hadis. 3 Dengan menggunakan kata kunci " لقّ ـّ طtersebut dalam kitab al-Mu’jam al- Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s^ al-Nabawi ditemukan petunjuk potongan hadis يِ نَ ق لَ طُ اهَ بَ أ نِ إَ وْ نَ أَ ا َ َ أَ و‛ dengan kode ٣٥ طـلـقد, maksudnya hadis tersebut terdapat dalam kitab sunan Abu Daud, Kitab tentang Tala>q Bab 35. Begitupun, ketika penulis menggunakan kata kunci ‚ تـ ـ زع, maka penulis menemukan petunjuk potongan hadis يِ ّ نِ مُ هَ عِ زَ تْ نَ يْ نَ أَ ا َ َ أَ وdengan kode yang sama persis pada pencarian pertama, yaitu kode ٣٥ طـلـقا. 1 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis (Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2009), h. 31-32. 2 Secara garis besar ada dua cara dalam melakukan takhri>j h}adi>s^ yaitu pertama dengan cara konvensional, maksudnya melakukan takhri>j h}adi>s^ dengan menggunakan kitab-kitab hadis atu kitab- kitab kamus. Kedua dengan menggunakan perangkat computer melalui bantuan aplikasi komputerisasi berbasis database maupun internet online yang sudah terinstall dalam perangkat computer CD-ROM. Lihat, Suryadi, Metodelogi Penelitian, h. 38 3 A. J. Wensinck, Concordance et Indices De Ela Tradition Musulmanne, Terjemahan oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd. al-Baqy dengan judul al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadits al-Nabawiyah, Jilid IV (Leiden: E.J.Brill, 1936), h. 17.
Transcript

4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Takhri>j Hadis tentang Had{a>nah

Takhri>j h}adi>s dapat diibaratkan sebagai pintu masuk bagi kegiatan penelitian

hadis. Dengan kegiatan takhri>j h}adi>s akan diketahui asal usul riwayat hadis dari berbagai

periwayat yang telah meriwayatkan hadis tersebut.1 Terkait dengan takhri>j h}adi>s tentang

hak pemeliharaan anak atau had}a>nah, maka penulis melakukan penelusuran dengan cara

konvensional.2 Selanjutnya metode yang ditempuh dalam takhri>j h}adi>s ini adalah dengan

jalan menelusuri sebagian lafaz{ hadis, baik di awal, tengah maupun akhir matannya.

Dengan metode tersebut penulis menelusuri hadis tentang hak pemeliharaan anak atau

had}a>nah dengan menggunakan kata " "لقــط menelusuri lewat referensi kitab karya Arnold

John Wensinck dengan judul al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s al-Nabawi>

terjemahan Muhammad Fuad Abd al-Baqi semacam kitab kamus dari 9 kitab hadis.3

Dengan menggunakan kata kunci “ لق" ــط tersebut dalam kitab al-Mu’jam al-

Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s^ al-Nabawi ditemukan petunjuk potongan hadis ‚ ني ق

لباه ط

وإن أ

ن

ا أ

٣٥ dengan kode ‛ وأ maksudnya hadis tersebut terdapat dalam kitab sunan ,د طـلـق

Abu Daud, Kitab tentang Tala>q Bab 35. Begitupun, ketika penulis menggunakan kata

kunci ‚ زعـتــ ‚, maka penulis menemukan petunjuk potongan hadis ‚ ي زعه من

ت ين

ن

ا أ

‚ وأ

dengan kode yang sama persis pada pencarian pertama, yaitu kode ٣٥ .ا طـلـق

1Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis (Cet. I; Yogyakarta:

Teras, 2009), h. 31-32.

2Secara garis besar ada dua cara dalam melakukan takhri>j h}adi>s yaitu pertama dengan cara

konvensional, maksudnya melakukan takhri>j h}adi>s dengan menggunakan kitab-kitab hadis atu kitab-

kitab kamus. Kedua dengan menggunakan perangkat computer melalui bantuan aplikasi komputerisasi

berbasis database maupun internet online yang sudah terinstall dalam perangkat computer CD-ROM.

Lihat, Suryadi, Metodelogi Penelitian, h. 38

3A. J. Wensinck, Concordance et Indices De Ela Tradition Musulmanne, Terjemahan oleh

Muhammad Fu’ad ‘Abd. al-Baqy dengan judul al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadits al-Nabawiyah, Jilid IV (Leiden: E.J.Brill, 1936), h. 17.

5

Selain itu, penulis juga menggunakan aplikasi Ensiklopedi Kitab 9 Imam dari

Lidwa Pusaka i-Software versi offline.4 Dalam aplikasi tersebut, ketika memasukkan

potongan matan hadis ‚ نيق

لباه ط

maka dapat ditemukan informasi hadis bahwa ,‚ أ

potongan hadis tersebut hanya ada di Kitab Sunan Abu Daud, pada Bab XXV tentang

Siapa yang Berhak Mendapatkan Hak Asuh Anak, urutan hadis ke-1938. Begitu pun,

ketika penulis memasukkan potongan matan hadis ‚ maka hadis yang ,‚ أن ينتعه

ditemukan, sama persis dengan penelusuran potongan matan yang pertama, yakni hadis

ke-1938 pada Kitab Sunan Abu Daud, Kitab VII tentang Tala>q, Bab XXXV

pembahasan tentang Siapa yang Berhak Mendapatkan Hak Asuh Anak.5

Ketika penulis menggunakan aplikasi software Maktabah Sya>milah versi

official, dengan menggunakan kata kunci yang sama , yaitu ‚نيق

لباه ط

,‚ أن ينتعه‚ dan ,‚ أ

maka ditemukan juga hadis yang sama pada Kitab Sunan Abu Daud. Namun bedanya,

pada aplikasi ini digambarkan secara detail posisi hadis, yakni Kitab Tala>q, Ba>bu Man

Ahaqqa bil al-Walid, Juz II, halaman 251, Nomor urut hadis : 22786 dengan hadis

lengkap sebagai berikut : .

Hadis utama tentang H}ad}a>nah dalam pembahasan ini terdapat pada Sunan Abu

Daud, Nomor urut hadis 2278 dalam Kitab tentang Tala>q, Ba>bu Man Ahaqqu bi al-

Walad, Juz II, halaman 251.

ثن عمرو بن ث نا الوليد عن أب عمرو ي عن الوزاعي حد ث نا ممود بن خالد السلمي حد حده عبد اللو بن عمرو أن امرأة قالت يا رسول اللو إن ابن ىذا كان بطن شعيب عن أبيو عن جد

4Aplikasi Lidwa Pustaka i-Software-Kitab 9 Imam Hadist, diakses di http://lidwa.com/app. pada

tanggal 27 Mei 2016.

5Aplikasi Lidwa Pustaka i-Software-Kitab 9 Imam Hadist, diakses di http://lidwa.com/app. pada

tanggal 27 Mei 2016.

6Aplikasi al-Maktabah al-Sya>milah versi. 02.1, diakses pada tanggal 27 Mei 2016.

6

لو وعاء وثديي لو سقاء وحجري لو حواء وإن أباه طلقن وأراد أن ي نتزعو من ف قال لا رسول اللو 7 (رواه أبو داود) صلى اللو عليو وسلم أنت أحق بو ما ل ت نكحي

Artinya : ‚Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As-Sulami, telah menceritakan kepada kami al-Walid dari Abu 'Amr Al Auza'i, telah menceritakan kepadaku 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin 'Amr bahwa seorang wanita berkata; ‚Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan puting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemudian Rasulullah saw. berkata kepadanya; ‚Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah‛.

Adapun hadis-hadis lain yang semakna dengan tema pemeliharaan anak pasca

perpisahan kedua orang tunya, juga ditemukan pula pada beberapa kitab hadis di

antaranya :

a. Musnad Ahmad; Nomor hadis : 67070; Juz XI; halaman 310.

b. Sunan Ibnu Majah, Nomor hadis: 2351, Juz II; Bab XXII tentang Memilih Anak

antara Orangtua, halaman 787.

c. Sunan at-Tirmidzi; Nomor hadis : 1357; Juz III; Bab Pemilihan Anak antara

Orangtua yang Berpisah, halaman 638.

d. Sunan Abu Daud, Nomor urut hadis 2279 dalam kitab Ba>bu Man Ahaqqu bi al-

Walad, Juz II, halaman 251.

Kutipan hadis-hadis tersebut di atas akan penulis tampilkan dalam penjelasan syarah

hadis untuk mengaitkan relevansi hadis utama ketika dibandingkan dengan beberapa

hadis pendukung yang semakna, baik dari segi konten maupun konteks hadis.

3. ‘Itiba>r dan analisis kuantitatif hadis

Maksud ’itiba>r adalah menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis

tertentu, supaya dapat diketahui ada tidaknya periwayat yang lain untuk sanad hadis

dimaksud. Dengan jalan ’itiba>r tersebut akan terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad

7Abu> Dawu>d, Sulaima>n bin al-‘Asy as-Sijista>ni>, Sunan Abi> Dawu>d, Kitab Nikah Bab Man,

Ahaqqu Li> al-Wala>d (Juz II; Beiru>t: Da>r al-Fi>kr, 1414 H/1994 M), h. 283.

7

yang diteliti, menyangkut nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang

digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan.

Olehnya itu setelah menelusuri dan mengeluarkan hadis tentang hak asuh

pemiliharaan anak bagi orang tua yang berpisah (bercerai) dari sumber aslinya melalui

kitab-kitab hadis standar, selanjutnya penulis melakukan analisis terhadap periwayat

dan sanad hadis dengan jalan membuat skema hadis dimaksud dengan jalan hanya

menyertakan sumbernya sebagai berikut :

a. Hadis tentang hak pemeliharaan anak antara orang tua yang berpisah (bercerai)

yang dikeluarkan dari kitab Sunan Abu Daud, dalam Bab VII tentang Tala>q,

Pembahasan Ba>bu Man Ahaqqu bi al-Walad, Juz II, halaman 283.

Hadis tersebut di atas diawali dengan kata ‚ ناث menunjukkan bahwa yang ‚ حد

mengatakan kata tersebut adalah Abu Daud sebagai penyusun Sunan Abu Daud sebagai

mukharrij al-h}adi>s^, atau dengan kata lain sebagai periwayat terakhir dalam hadis

tersebut. Dari hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Umar tersebut terdapat

dua bagian penting yakni bagian sanad dan matan, dengan demikian dalam hadis

tersebut terdapat sejumlah periwayat.

Selanjutnya dalam mengemukakan riwayat tersebut, Imam Abu Daud

menyandarkan riwayatnya kepada Mahmud bin Khalid, dengan demikian Mahmud bin

Khalid yang disandari oleh Imam Abu Daud tersebut dinyatakan sebagai sanad pertama

dan berentetan sampai kepada Abdullah bin ‘Amru. Olehnya itu dalam hadis tersebut

Abdullah bin ‘Amru berposisi sebagai sanad terakhir dan periwayat pertama yaitu

sebagai pihak yang pertama menyampaikan riwayat tersebut yang bersumber dari nabi.

Untuk lebih jelasnya berikut dikemukakan urutan periwayat dan urutan sanad hadis

tersebut :

Nama Periwayat Urutan sebagai

Periwayat

Urutan sebagai

Sanad

Lambang

Periwayatan

1. Abdullah bin ‘Amru Periwayat I Sanad VI Anna

2. Syu’aib bin Abdullah bin ‘Amru Periwayat II Sanad V ‘An

8

3. Amru bin Syu’aib bin

Muhammad bin Abdullah

bin Amru

Periwayat III Sanad IV ‘An

4. Abdurrahman bin ‘Amru

bin ‘Abi ‘Amru

Periwayat IV Sanad III ‘An

5. al-Walid bin Muslim Periwayat V Sanad II ‘An

6. Mahmud bin Khalid

bin Abi Khalid

Periwayat VI Sanad I H}addasana>

7. Abu Daud Periwayat VII Mukharrij al-H}adi>s}

H}addasana>

Adanya sanad dalam suatu hadis adalah sangat penting, karena adanya berita

yang disandarkan kepada nabi, namun bukan berarti jika tidak memiliki sanad, maka

bukan dianggap sebagai hadis. Demikian pula halnya periwayat, semakin banyak

periwayat hadis yang meriwayatkan suatu hadis, maka semakin baik. Hadis yang hanya

diriwayatkan oleh beberapa orang saja disebut hadis a>h}ad, sedangkan hadis yang

diriwayatkan oleh banyak orang pada tiap tingkatannya semakin banyak serta tidak

memungkinkan mereka berkumpul untuk berbohong maka hadis tersebut dihukumi

sebagai hadis mutawa>tir.8

Untuk memperjelas dan mempermudah proses kegiatan al-itiba>r, diperlukan

pembuatan skema untuk seluruh sanad yang diteliti. Dalam pembuatan skema, yang

harus dicantumkan adalah:

1. Jalur seluruh sanad

2. Nama-nama periwayat untuk seluruh sanad

3. Metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayatan.9

Dari daftar di atas tampak jelas bahwa periwayat pertama sampai dengan

periwayat ke tujuh, masing-masing satu orang, jadi hadis tersebut belum mencapai

derajat hadis mutawatir, sehingga dikenal sebagai hadis a>h}ad. Sementara itu dari

8Suryadi dan Muhammad Alfatih, Metodologi Penelitian, h. 21.

9Suryadi dan Muhammad Alfatih, Metodologi Penelitian, h. 67. Lihat juga, Muhammad al-

Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirrasat al- Asanid, Terj. Dasar-Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad, Said

Agil Husin al-Munawar dan Masykur Hakim (Semarang : Dina Utama, 1993), h. 203.

9

periwayatan hadis di atas terdapat lambang periwayatan yang beragam sebagaimana

yang tercatat yaitu, أن,عن , حدثنا hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi perbedaan

metode periwayatan yang digunakan oleh periwayat dalam sanad hadis tersebut. Untuk

lebih jelasnya dapat dikemukakan dalam skema sanad sebagai berikut:

SKEMA I

SANAD HADIS UTAMA RIWAYAT ABU DAUD TENTANG HAK PEMELIHARAAN

ANAK ANTARA OTANG TUA YANG BERPISAH (BERCERAI)

(م.ص) ر س و س الل ه

ن

ر اهلل

ن ع

ر ر ش اهلل

ن ع

ر ش محم ش

ن ع

أب ر ل مح ش

عن

مسمل ل ل ش

دثناح

م ش وش ش ار

دثنا ح

أب د ود

10

Sebagai perbandingan skema sanad Imam Abu Daud tersebut, maka akan

dikemukakan skema sanad yang lain termasuk hadis pembanding berdasarkan hadis

yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal yang telah dikemukakan sebagai berikut:

SKEMA II

SANAD HADIS PEMBANDING RIWAYAT IMAM AHMAD TENTANG HAK

PEMELIHARAAN ANAK ANTARA OTANG TUA YANG BERPISAH (BERCERAI)

(م.ص) ر س و س الل ه

ن

ر اهللن

ع

ر ر ش

ن ع

ر ش ش

عن

ملكل زز

دثناح

بن ع بدهرو

دثنا ح

حمد بن محمد

11

SKEMA III

GABUNGAN SKEMA I DAN II HADIS TENTANG HAK PEMELIHARAAN ANAK

BAGI ORANGTUA YANG BERPISAH (BERCERAI)

(م.ص) ر س و س الل ه

ان

ر اهلل

عن

ر ر ش

عن

ر ش ش

عن عن

ش ملكل ش ـزيز عبدالرمحن بن عمر بن أب عمر

حدثنا حدثنا

رو بن ع بده الوليد بن مسلم حدثنا حدثنا

حمد بن محمد م ش وش ش ار حدثنا

أب د ود

Berdasarkan skema seluruh sanad hadis yang telah dikutip tentang hak

pemeliharaan anak antara orang tua yang berpisah (bercerai) setelah dilakukan ‘itibar,

maka dapat diketahui perihal status periwayat mengenai adanya sya>hid dan muta>bi.

Bila sanad yang diteliti adalah sanad Abu Daud, hadis ke 2278 dalam Kitab Tala>q,

Ba>bu Man Ahaqqu bi al-Walad, Juz II, maka periwayat Abdullah bin ‘Amru sebagai

periwayat pertama yang tidak memiliki sya>hid karena tidak terdapat periwayat yang

lain dari kalangan sahabat karena hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud tersebut

12

begitu pula pada hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dalam hadis 67070;

Juz XI adalah satu-satunya periwayat dari kalangan sahabat dari hadis yang diteliti.

4. Analisis Kualitas Periwayat dan Persambungan Sanad

Setelah dilakukan analisis kuantitas hadis tentang hak pemeliharaan anak bagi

otangtuanya yang berpisah (bercerai), maka selanjutnya akan diteliti sighat al-tahammul

wa al-ada’ antar periwayat yang berdekatan. Dalam riwayat Abu Daud didapati tiga

model kata, yaitu haddas\ana, ‘an dan anna. Kata ‘haddas\ana’ memiliki kualitas tertinggi

sehingga validitasnya menjadi terjamin. Namun kata ‘an dan anna membutuhkan

keterangan lebih lanjut. Artinya, jika yang mempergunakannya adalah seorang periwayat

yang memiliki kualitas terbaik (s}iqah, ‘adil dan d}abit), maka derajatnya menjadi

meningkat pada maqbul. Sebaliknya jikalau tidak, maka riwayat tersebut tidak dapat

diterima atau mardud.

Oleh karenanya, semestinya diharapkan untuk melihat penelitian selanjutnya

tentang kualitas periwayat. Olehnya itu penelitian dimulai dari periwayat terakhir yaitu

Abu Daud lalu diikuti periwayat sebelumnya dan seterusnya sampai periwayat pertama.

Dalam menelusuri kualitas periwayat penulis lebih banyak mengambil data dari aplikasi

Ensiklopedi hadis kitab 9 Imam, produksi Pustaka i-Software, versi tahun 2009.

1) Abu Daud (w. 275 H.)

Nama lengkap Abu Dawud adalah Abu Dawud Sulaiman Bin alAsy’as Bin Ishaq

Al-Azdy al-Sijistaniy. Ia dilahirkan pada 202 H/807 M di Kota Sijistani, di Basrah.

Sebagai ulama Mutaqaddimin yang produktif, beliau selalu memanfaatkan waktunya

untuk menuntut ilmu dan beribadah.10

Tidak didapatkan berita atau keterangan tentang masa kecil beliau kecuali

keterangan bahwa keluarganya memiliki perhatian yang sangat besar dalam hadis-hadis

Rasulullah saw. dan ini sangat mempengaruhi perkembangan keilmuan beliau di masa

depannya. Keluarga beliau adalah keluarga yang terdidik dalam kecintaan terhadap

hadis-hadis Rasulullah saw. Bapak beliau yaitu al-Asy`ats bin Ishaq adalah seorang

10

Muhammad ‘Ajajj al-Khatib, Ushul al-Hadits: ‘Ilmuhu wa Musthalahuhu (Damaskus: Dar al-

Fikri, 1975), h. 320.

13

perawi hadis yang meriwayatkan hadis dari Hamad bin Zaid, dan demikian juga

saudaranya Muhammad bin al-Asy`ats termasuk seorang yang menekuni dan menuntut

hadis dan ilmu-ilmunya juga merupakan teman perjalanan beliau dalam menuntut

hadits dari para ulama ahlil hadis. Maka berkembanglah Abu Daud dengan motivasi dan

semangat yang tinggi serta kecintaan beliau sejak kecil terhadap ilmu-ilmu hadits,

sehingga beliau mengadakan perjalanan (rihlah) dalam mencari ilmu sebelum genap

berusia 18 tahun. Beliau memulai perjalanannya ke Baghdad (Iraq) pada tahun 220

H/835M dan menemui kematian Imam Affan bin Muslim, sebagaimana yang beliau

katakan : ‚Aku menyaksikan jenazahnya dan mensholatkannya‛ Walaupun sebelumnya

beliau telah pergi ke negeri-negeri tetangga Sajistaan, seperti khurasan, Baghlan,

Harron, Roi dan Naisabur.11

Guru-guru beliau sangat banyak, karena beliau menuntut ilmu sejak kecil dan

sering bepergian kepenjuru negeri-negeri dalam menuntut ilmu, sampai-sampai Abu Ali

Al-Ghosa>ny mengarang sebuah buku yang menyebut nama-nama guru beliau dan

sampai mencapai 300 orang, demikian juga Imam al-Mizy menyebut dalam kitabnya

Tahdzibul Kamal 177 guru beliau. Di antara guru-guru beliau yang cukup terkenal

adalah : Imam Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Ibrohim bin Rahuyah, Ali bin Al Madiny,

Yahya bin Ma`in, Abu Bakr ibnu Abi Syaibah, Muhammad bin Yahya Adz Dzuhly, Abu

Taubah Robi` bin Nafi Al Halaby, Abdulloh bin Maslamah Al Qonaby, Abu Khoitsamah

Zuhair bin Harb, Ahmad bin Sholeh Al-Mishry, Hayuwah bin syuraih, Abu Mu`awiyah

Muhammad bin Hazim Adh Dhorir, Abu Robi` Sulaiman bin Daud al-Zahrony, Qutaibah

bin Sa`di bin Jamil Al Baghlany.12

Adapun murid-murid beliau, beliau cukup banyak di antaranya adalah : Abu `Isa

At Tirmidzy, An-Nasai, Abu Ubaid Al-Ajury, Abu Thoyib Ahmad bin Ibrohim Al

Baghdady (Perawi sunan Abi Daud dari beliau), Abu `Amr Ahmad bin Ali Al Bashry

(perawi kitab sunan dari beliau), Abu Bakr Ahmad bin Muhammad Al Khollal Al

11

Mustafa Azami, Ilmu Hadits, Terj., Mudasir (Bandung : Pusaka Setia, 1999), h. 211. 12

Lihat, Muhammad al-Hafidz Jamaluddin Ali al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib Al-Kamal Al-Rijal, Juz VII, h. 358-359.

14

Faqih, Ismail bin Muhammad Ash Shofar, Abu Bakr bin Abi Daud (anak beliau),

Zakariya bin Yahya As Sa>jy, Abu Bakr Ibnu Abi Dunya, Ahmad bin Sulaiman An

Najjar (perawi kitab Nasikh wa al-Mansukh dari beliau), Ali bin Hasan bin Al `Abd Al

Anshory (perawi sunsn dari beliau), Muhammad bin Bakr bin Da>sah At-Tammaar

(perawi sunan dari beliau), Abu `Ali Muhammad bin Ahmad Al-Lu`lu`y (perawi sunan

dari beliau), Muhammad bin Ahmad bin Yaqub Al Matutsy Al Bashry (perawi kitab Al

Qadar dari beliau).13

Beliau adalah imam dari imam-imam ahlisunnah wal jamaah yang hidup di

Bashroh kota berkembangnya kelompok Qadariyah, demikian juga berkembang disana

pemikiran Khowarij, Mu`tazilah, Murjiah dan Syi`ah Rafidhoh serta Jahmiyah dan lain-

lainnya, tetapi walaupun demikian beliau tetap dalam keistiqomahan di atas Sunnah

dan beliaupun membantah Qadariyah dengan kitabnya al-Qadar, demikian pula

bantahan beliau atas Khawarij dalam kitabnya Akhbar al-Khawarij, dan juga

membantah terhadap pemahaman yang menyimpang dari kemurnian ajaran islam yang

telah disampaikan olah Rasulullah saw., maka tentang hal itu bisa dilihat pada kitabnya

As Sunan yang terdapat padanya bantahan-bantahan beliau terhadap Jahmiyah, Murjiah

dan Mu`tazilah.

Di kalangan kritikus hadis, Abu Daud mendapatkan penilaian, seperti yang

dikatakan Musa bin Harun berkata: bahwa Abu Daud diciptakan di dunia untuk

hadits dan di akhirat untuk surga. ‚Aku tidak pernah melihat orang yang lebih utama

dari dia.‛ Abu Halim bin Hibban menyatakan bahwa Abu Daud adalah seorang imam

dunia dalam bidang fikih, ilmu, hafalan, dan ibadah. Beliau telah mengumpulkan hadis-

hadis dan tegak mempertahankan sunnah. Begitupun, Al-Hakim mengatakan bahwa

Abu Daud adalah imam ahli hadits pada zamannya, tidak ada yang menyamainya.

Maslahah bin Qasim mengatakan bahwa Abu Daud adalah s\iqah, seorang zahid,

mempunyai ilmu pengetahuan tentang hadits, seorang imam pada zamannya. Ahmad

bin Muhammad bin Yasin al-Harawi menyatakan bahwa Abu Daud adalah salah satu

13

Lihat, Shihabuddin Ahmad Ali bin Hajr Al-Asqalani, Tahdhib Al-Tahdhib (Juz XII; Beirut:

Dar AlFikr, t.th), h. 462. Lihat juga, Siyar A`lam An Nubala 13/206 dan Tahdzibul Kamal 11/360.

15

orang yang hafiz} dalam bidang hadis, yang memahami hadis beserta illat dan sanadnya,

dan memiliki derajat tinggi dalam beribadah, kesucian diri, ke-shahih-an, dan ke-

wara’an.14

Imam Abu Daud wafat dikota Bashroh tanggal 16 Syawal 275 H (20 Februari

889 M) dalam usia 73 tahun dan disholatkan janazahnya oleh Abbas bin Abdul Wahid

Al Ha>syimy.15

2) Mahmud bin Khalid bin Abi Khalid (w. 249 H)

Beliau termasuk kalangan Shahabat yang bernazab As Sulamiy Ad Damasyqiy.

Kuniyahnya Abu 'Ali Ad-Dimasyqiy, sepanjang hidupnya berada di Syam. Komentar

ulama : Abu Hatim menyebutnya tsiqah mardho, An Nasa'I menyebutnya Tsiqah, Ibnu

Hibban menyebutnya dalam al-S}iqah, Ibnu Hajar al-Atsqalani menyebut beliau sebagai

s\iqah dan Adz Dzhabi menyebutnya S|abat. – seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib,

hal. 924 no. 6553, tahqiq : Abul-Asyba>l Shaghi>r Ahmad Al-Ba>kista>niy; Da>rul-

‘A>shimah].

3) Al-Walid bin Muslim Al-Qurasyiy (w. 195 H)

Beliau termasuk golongan Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan. Nama lengkap

beliau adalah Al-Walid bin Muslim Al-Qurasyiy, Abul-‘Abba>s Ad-Dimasyqiy maula

Bani Umayyah (wafat : 195 H) – seorang yang tsiqah, namun banyak melakukan tadliis

[At-Taqriib, hal. 1041 no. 7506]. Abu Hatim mengatakan beliau sebagai shalihul hadis.

Ibnu Hajar mengatakan, s\iqah. Kuniyahnya Abu Al 'Abbas, sepanjang hidup banyak di

Syam. Wafat di Dzimar atau Damsiq pada tahun 195 H.

4) Abdurrahmaan bin ‘Amru bin Abi ‘Amru Asy-Syaamiy (w. 155/156 H)

Termasuk golongan Tabi'ut Tabi'in kalangan tua, bernazab Al Awza'iy. Nama

lengkapnya adalah Abdurrahmaan bin ‘Amru bin Abi ‘Amru Asy-Syaamiy, Abu ‘Amru

Al-Auzaa’iy – seorang imam, tsiqah, jalil, dan faqiih [At-Taqriib, hal. 593 no. 3992.

Kuniyahnya adalah Abu 'Amru. Hidup di Syam dan wafat di Baitul Maqdis pada tahun

14

M. Faith Surya Dilaga, Studi Kitab Hadits (Yogyakarta: Teras, 2003), h. 88.

15 Muhammad ‘Ajajj, Ushul al-Hadits, h. 320.

16

155/156 H. Adapun beberapa komentar ulama tentang beliau, Ibnu Hibban mengatakan

‘al-Siqa>t. Al-‘Ajli mengatakan s\iqah, Ibnu Hajar al 'Asqalani menyebutnya siqah jalil

dan Adz Dzahabi menyebutnya "syeikh islam, hafiz} faqih zuhud".

5) Amru bin Syu'aib bin Muhammad bin 'Abdullah (W. 118 H)

Amr bin Syuaib atau yang lebih dikenal dengan ibnu Syuaib merupakan cucu

dari Abdullah bin Amr bin Ash. Meriwayatkan 500 hadist. Nama lengkap beliau adalah

Amru bin Syu'aib bin Muhammad bin 'Abdullah bin 'Amru, termasuk kalangan tabi'in

kalangan biasa yang bernazab Al Qurasyiy As Sahmiy. Kuniyahnya Abu Ibrahim, hidup

di Marur Rawdz, dan wafat pada tahun 118/119 H). Al-‘Ajli dan an-Nasa’I

mengomentarinya sebagai s\iqah. Abu Daud menyebutnya : laisa bihujjah, sedangkan

Ibnu Hajar Al Atsqalani menyebut beliau sebagai s}adu>q– seorang yang shadu>q [At-

Taqriib, hal. 738 no. 5085].

6) Syu'aib bin 'Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash

Beliau termasuk dalam golongan tabi'in kalangan pertengahan. Bernasab al-

Qurasyiy As-Sahmiy, hidup di Hijaz. Dalam kedua hadis yang diriwayatkan, beliau

disebut dengan siqah oleh Ibnu Hibban dan shadu>q oleh adz-Dzahabi. Ia adalah Syu’aib

bin Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin Al-‘Aash Al-Qurasyiy As-Sahmiy–

seorang yang shadu>q tsabit [at-Taqriib, hal. 438 no. 2822].

7) Abdullah bin Amr (w. 63 H)

Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash bin Wa'il,

termasuk kalangan sahabat yang bernazab As Sahmiy Al Qurasyiy. Kuniyahnya Abu

Muhammad, hidup di Maru dan wafat di Tha’if. Dia adalah seorang dari Abadilah yang

faqih, ia memeluk agama Islam sebelum ayahnya, kemudian hijrah sebelum penaklukan

Mekkah. Abdullah seorang ahli ibadah yang zuhud, banyak berpuasa dan shalat, sambil

menekuni hadits Rasulullah saw. jumlah hadits yang ia riwayatkan mencapai 700 hadis.

Sesudah minta izin Rasulullah saw. untuk menulis, ia mencatat hadis yang didengarnya

dari Nabi.

17

Mengenai hal ini Abu Hurairah berkata ‚ Tak ada seorangpun yang lebih hapal

dariku mengenai hadits Rasulullah, kecuali Abdullah bin Amr bin al-Ash. Karena ia

mencatat sedangkan aku tidak‛. Abdullah bin Amr meriwayatkan hadits dari Umar,

Abu Darda, Muadz bin Jabal, Abdurahman bin Auf, dan beberapa yang lain. Yang

meriwayatkan darinya antara lain Abdullah bin Umar bin Al-Khatthab, as-Sa’ib bin

Yazid, Sa’ad bin Al-Musayyab, Thawus, dan Ikrimah. Sanad paling shahih yang

berpangkal darinya ialah yang diriwayatkan oleh Amr bin Syu’aib dari ayahnya dan

kakeknya Abdullah. Abdullah bin Amr wafat pada tahun 63 H pada malam

pengepungan Al-Fusthath. Komentar ulama yang menyebutnya sebagai sahabat adalah

Ibnu Hajar Al Atsqalani dan Adz Dzahabi.

5. Analisis Syuzuz

Sanad hadis yang ditakhrijkan oleh Abu Daud setelah dianalisis secara al-‘itiba>r

sebagaimana tersebut di atas, maka para periwayat berdasarkan komentar para ulama

kritikus hadis ditemukan adanya komentar yang berbeda walaupun di semua tingkatan

periwayatan masing-masing ada ulama mengakui s\iqah. Terkait adanya rawi yang s}aduq,

dia di bawah derajat s\iqah dalam hal d}abith sehingga hadisnya dinilai hasan, kadang-

kadang hadisnya dikategorikan munkar dalam dua kondisi; Pertama, apabila ia

meriwayatkan seorang diri dengan matan yang munkar tanpa diikuti dengan tabi’ dari

periwayat yang lain, atau riwayatnya bertentangan dengan riwayat dari rawi yang

siqah.

6. Analisis Matan Hadis dan Kehujjahannya

Penelitian matan hadis berbeda dengan penelitian terhadap sanad hadis

walaupun penelitian sanad harus dilakukan terlebih dahulu. Demikian juga terhadap

kriteria dan cara penilaian terhadapnya berbeda. Istilah yang digunakan dalam menilai

suatu matan apabila diterima atau ditolak adalah maqbu>l dan mardu>d. kedua istilah

tersebut digunakan ulama hadis dalam menilai matan suatu hadis. Hal tersebut berbeda

dengan hasil penilaian atas sanad hadis yang dapat diklasifikasikan dalam tiga macam

yaitu, s}ah}ih}, h}asan dan d}a>if

18

Untuk menentukan kualitas matan hadis ada dua cara yaitu tidak mengandung

sya>z| dan tidak mengandung ‘illah. Penjabaran kedua kriteria tersebut ulama berbeda

pandangan, namun prinsip pokok yang diperpegangi umhur ulama adalah; tidak

bertentangan dengan Al-Qur’an, tidak bertentangan dengan hadis mutawatir yang

statusnya lebih kuat atau sunnah yang lebih masyhur, tidak bertentangan dengan ajaran

pokok Islam, tidak bertentangan dengan sunatullah, tidak bertentangan dengan fakta

sejarah nabi yang s}ah}ih} serta tidak bertentangan dengan indera, akal, kebenaran ilmiah

atau sangat sulit diinterpretasikan secara rasional.16

Imam Abu Daud ketika mengatakan bahwa ‚hadits ini adalah hasan gharib‛

karena dilihat dari segi jalur periwayatannya, maka pernyataan ini mempunyai empat

kemungkinan makna

a) Hadis hasan yang mempunyai satu sanad.

b) Hadis hasan yang dalam hubungannya dengan rawi tertentu mempunyai satu sanad.

c) Hadis yang mempunyai banyak sanad, tetapi yang bernilai hasan hanya satu.

d) Hadis yang mempunyai banyak sanad hasan, tetapi rawi-rawi-nya semuanya satu

negeri.17

Berdasarkan pernyataan tersebut di atas, maka hadis yang ditakhrijkan hanya

memiliki satu sanad, sehingga penelitian sanad dan penelitian matan yang telah

dilakukan, maka hadis tersebut dikategorikan h}asan gharib dari segi sanad dan kategori

maqbul dari sisi matan, sehingga dapat dijadikan hujjah.

B. Syarah Hadis tentang Had{a>nah

1. Pengertian dan Dasar Hukum Had}a>nah

Secara etimologi, had{a>nah berasal dari akar kata Bahasa Arab, yakni had{ana-

yahd{inu-had{a>nan yang berarti mengasuh, merawat atau memeluk.18

Secara bahasa kata

16

Suryadi, Metode Penelitian, h. 146

17 M. Alfatih Suryadilaga, Studi Kitab Hadis : Membaca Tafsir Nabi Muhammad saw., (Cet. I;

Banten: Teras, 2003), h..120-121.

18

Ahmad Warson Munawir, Al- Munawir, Kamus Arab Indonesia (Cet. 4; Yogyakarta: Pustaka

Progresif, 1997), h. 274.

19

had}a>nah adalah bentuk masdar dari kata ‚had{nu al-s}abiy‛, atau mendekap anak atau

memeluk anak.19

Mengasuh (had}in) dalam pengertian ini tidak dimaksudkan dengan

menggendongnya di bagian samping dan dada atau lengan.20

Secara terminologi,

had}a>nah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dirinya sendiri, hukum

had}a>nah ini hanya dilaksanakan ketika terjadi perceraian antara pasangan suami istri

dan memiliki anak yang belum cukup umur untuk berpisah dari ibunya, sedangkan anak

masih membutuhkan penjagaan, pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan

berbagai hal untuk kepentingannya, inilah yang disebut dengan wilayah.21

Secara terminologi, para tokoh Islam memberikan berbagai definisi berkenaan

dengan arti hadhanah. Salah satu pengertian hadhanah tersebut diberikan oleh Sayyid

Sabiq yang mengartikan had{a>nah sebagai upaya pemeliharaan anak-anak yang masih

kecil, laki-laki ataupun perempuan yang belum tamyiz untuk menyediakan sesuatu

yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan

merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri

menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.22

Muhammad Syarbani, dalam kitab al-Iqna’, mendefinisikan had{a>nah sebagai

usaha mendidik atau mengasuh anak yang belum mandiri atau mampu dengan perkara-

perkaranya, yaitu dengan sesuatu yang baik baginya, mencegahnya dari sesuatu

yang membahayakannya walaupun dalam keadaan dewasa yang gila, seperti

19Had}anah juga berasal dari kata ‚hid}an‛, yang artinya lambung, seperti kata: ‚had}anah al-t}airu

baid{ahu‛ artinya burung itu mengepit telur di bawah sayapnya, begitu pula seorang ibu yang memeluk

atau merangkul anaknya. Lihat, Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Cet. 1, Jilid II; Madinah: Dar al-Fath

Li’ilam al-‘Araby, 1990), h. 436. 20

Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqh al-Sunnah wa Adillatuhu Taud}ih Maz\ahib al-A’immah, Terj. Khairul Amru Harahap dan Faisal Shaleh (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Azzam,

2007), h. 666. 21

Abu Malik Kamal, Shahih Fiqh al-Sunnah, h. 666. 22

Sayyid Syabiq, Fiqh Al-Sunnah; Jilid VIII, terj. Moh. Thalib (Bandung: Al-Ma’arif,

1983), h. 160.

20

mempertahankan dengan memandikan badannya, pakaiannya, menghiasinya, memberi

minyak padanya, dan sebagainya.23

Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, masalah ekonomi, pendidikan,

dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan anak. Dalam konsep Islam tanggung jawab

ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga, meskipun dalam hal ini

tidak menutup kemungkinan bahwa istri dapat membantu suami dalam menanggung

kewajiban ekonomi tersebut. Karenanya, hal terpenting adalah adanya kerjasama dan

tolong menolong antara suami istri dalam memelihara anak dan menghantarkanya

hingga anak tersebut dewasa.24

Menurut Prof. T. M. Hasbi Ash Shidieqy, had{a>nah

adalah mendidik anak dan mengurusi sebagai kepentingannya dalam batas umur

tertentu oleh orang yang berhak mendidiknya dari mahram-mahramnya.25

Had{a>nah merupakan kewajiban bagi kedua orang tua untuk bersama-sama

mengasuh dan melindungi anaknya sampai batas umur yang telah ditetapkan, namun

hal itu akan sulit terealisasikan jika ayah dan ibu terjebak dalam kasus perceraian. Akan

timbul problema siapakah yang berhak atas kewajiban mengasuh anak tersebut. Karena

itu, hukum had{a>nah wajib karena anak yang tidak dipelihara akan terancam

keselamatannya. Artinya, had{a>nah hukumnya wajib sebagaimana juga wajibnya

memberi nafkah kepadanya.26

Had{a>nah termasuk hak penguasaan, hanya saja hak tersebut lebih layak dimiliki

oleh kaum wanita, karena wanita itu kasih sayangnya lebih besar dan lebih tekun

mendidiknya, dan lebih sabar (daripada laki-laki) dalam mengasuh anak, serta lebih

banyak bergaul dengan anak-anak.27

Biaya mengasuh anak harus ditanggung oleh ayah,

23

Muhammad Syarbani, Al-Iqna’ (Beirut : Dar al-Fikr, t.th), h. 489. 24

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Cet. 3; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995),

h. 133.

25T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar Golongan dalam Fiqh Islam (Jakarta: Bulan

Bintang, 1990), h. 92. 26

Hidayatullah Ahmad, Ensiklopedi Pendidikan Anak Muslim, terj. Sari Narulita dan Umron

Jayadi (Jakarta: Fikr Rabbani Grop, 2006), h. 18. 27

Para ahli hukum Islam dan imam mazhab sepakat bahwa sepakat bahwa ibu adalah orang yang

paling berhak melakukan h}ad}a>nah selama ibu tersebut belum menikah atau bersuami. Lihat, Abdullah al-

21

karena termasuk kewajiban yang harus dicukupi seperti juga nafkah. Karenanya,

apabila laki-laki menceraikan istrinya, maka si istri lebih berhak mengasuh anak hasil

dari laki-laki tersebut. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an, QS. (2) al-Baqarah ayat 233

sebagai berikut :

Terjemahnya :

‚Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. ... 28

Dalam konteks hadis, beberapa hadis juga mengidentifikasi persoalan had{a>nah

sebagai hal yang sangat urgen bagi kelangsungan anak, seperti :

1. Musnad Ahmad; Nomor hadis : 67070; Juz XI; halaman 310

ث نا ابن جريج عن عمرو بن شعيب عن أبيو عن عبد اللو بن عمرو أن امرأة ث نا رو حد حدأتت النب صلى اللو عليو وسلم ف قالت يا رسول اللو إن ابن ىذا كان بطن لو وعاء وحجري لو

29حواء وثديي لو سقاء وزعم أبوه أنو ي نزعو من قال أنت أحق بو ما ل ت نكحي

Artinya : ‚Telah menceritakan kepada kami Rauh telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dari 'Amru bin Syu'aib dari bapaknya dari Abdullah bin 'Amru, dia berkata; bahwa ada seorang wanita datang kepada Nabi saw. lalu berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, dulu perutku adalah tempat baginya, pangkuanku adalah rumah baginya, dan payudaraku adalah tempat minum baginya, tapi bapaknya ingin merebutnya dariku?" Beliau menjawab: "Kamu lebih berhak atasnya (anakmu) selama kamu belum menikah (lagi).

Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Rahmah al-ummah fi Ikhtilaf al-A'immah. Terj.

Abdullah Zaki Alkaf, Fikih Empat Mazhab (Bandung: Hasyimi Press, 2004), h. 416. 28

Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Cet.1; Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Jakarta; PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 233.

29Imam Ahmad, Musnad Imam Ahmad bin Hambal (Juz II; Bairut, Dar Al Kutub Al Ilmiah,

1993), h. 246. Lihat juga, Al-San'ani, Subul al-Salam (Juz III; Kairo: Dar Ihya' al-Turas al-'Araby, 1379

H/1960 M), h. 227.

22

2. Sunan Ibnu Majah, Nomor hadis: 2351, Juz II; Bab XXII tentang Memilih Anak

antara Orangtua, halaman 787.

نة عن زياد بن سعد عن ىلل بن أب ميمونة ث نا سفيان بن عي ي ث نا ىشام بن عمار حد حدعن أب ميمونة عن أب ىري رة أن النب صلى اللو عليو وسلم خي ر غلما ب ي أبيو وأمو وقال

يا غلم ىذه أم وىذا أبوو

Artinya : ‚Telah menceritakan Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin Ammar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Sufyan bin Uyainah] dari [Ziyad bin Sa'd] dari [Hilal bin Abu Maimunah] dari [Abu Maimunah] dari [Abu Hurairah] berkata, "Nabi saw. memberi pilihan kepada seorang anak laki-laki antara bapak dengan ibunya, beliau bersabda: "Wahai anak kecil, ini ibumu dan ini bapakmu.

3. Sunan at-Tirmidzi; Nomor hadis : 1357; Juz III; Bab Pemilihan Anak antara

Orangtua yang Berpisah, halaman 638.

ث نا سفيان عن زياد بن سعد عن ىلل بن أب ميمونة الث علب عن ث نا نصر بن علي حد حدأب ميمونة عن أب ىري رة أن النب صلى اللو عليو وسلم خي ر غلما ب ي أبيو وأمو قال وف الباب عن عبد اللو بن عمرو وجد عبد الميد بن جعفر قال أبو عيسى حديث أب ىري رة حديث حسن صحيح وأبو ميمونة اسو سليم والعمل على ىذا عند ب عض أىل العلم من ن هما أصحاب النب صلى اللو عليو وسلم وغيىم قالوا يي ر الغلم ب ي أب ويو إذا وق عت ب ي المنازعة ف الولد وىو ق ول أمحد وإسحق وقال ما كان الولد صغيا فالم أحق فإذا ب لغ الغلم سبع سني خي ر ب ي أب ويو ىلل بن أب ميمونة ىو ىلل بن علي بن أسامة وىو

مد وقد رو عنو بن أب كثي ومال بن أن وف ليح بن سليمان

Artinya : ‚Telah menceritakan kepada kami [Nashr bin Ali], telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Ziyad bin Sa'd] dari [Hilal bin Abu Maimunah Ats Tsa'labi] dari [Abu Maimunah] dari [Abu Hurairah] bahwa Nabi saw. memberi pilihan kepada seorang anak antara ayah dan ibunya. Ia mengatakan; Dalam hal ini ada hadits serupa dari Abdullah bin Amr dan kakeknya Abdul Hamid bin Ja'far. Abu Isa berkata; Hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih. Abu Maimunah bernama Sulaim. Hadits ini menjadi pedoman amal menurut sebagian ulama dari

23

kalangan sahabat Nabi saw. dan selain mereka, mereka berpendapat; Seorang anak harus diberikan pilihan antara kedua orang tuanya, jika terjadi perselisihan terhadap seorang anak, ini adalah pendapat Ahmad dan Ishaq. Keduanya juga berpendapat; Jika seorang anak masih kecil maka ibu lebih berhak atasnya, namun jika seorang anak menginjak umur tujuh tahun maka dipilihkan di antara kedua orang tuanya. Hilal bin Abu Maimunah adalah Hilal bin Ali bin Usamah, ia adalah orang Madinah. Dan Yahya bin Abu Katsir, Malik bin Anas dan Fulaih bin Sulaiman telah meriwayatkan darinya.

4. Sunan Abu Daud, Nomor urut hadis 2279 dalam kitab Ba>bu Man Ahaqqu bi al-

Walad, Juz II, halaman 251.

ث نا عبد الرزاق وأبو عاصم عن ابن جريج أخب ر زياد عن ث نا السن بن علي اللوا حد حدنما أنا جال مع ىلل بن أسامة أن أبا ميمونة سلمى مو من أىل المدينة رجل صدق قال ب ي

أب ىري رة جاءتو امرأة فارسية معها ابن لا فادعياه وقد طلقها زوجها ف قالت يا أبا ىري رة ورطنت لو بالفارسية زوجي يريد أن يذىب بابن ف قال أبو ىري رة استهما عليو ورطن لا بذل فجاء عت امرأة زوجها ف قال من اقن ف ولدي ف قال أبو ىري رة اللهم إ ل أقول ىذا إل أ س

جاءت إ رسول اللو صلى اللو عليو وسلم وأنا قاعد عنده ف قالت يا رسول اللو إن زوجي يريد أن يذىب بابن وقد سقا من بئر أب عنبة وقد ن فعن ف قال رسول اللو صلى اللو عليو وسلم استهما عليو ف قال زوجها من اقن ف ولدي ف قال النب صلى اللو عليو وسلم ىذا أبوو وىذه

30 )رواه أبو داود ( أم ف ذ بيد أيهما شئت ف خذ بيد أمو فانطلقت بو Artinya : ‚Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ali Al Hulwani, telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq, dan Abu 'Ashim dari Juraij, telah mengabarkan kepadaku Ziyad dari Hilal bin Usamah, bahwa Abu Maimunah, mantan budak penduduk Madinah adalah orang yang jujur, ia berkata; tatkala aku sedang duduk bersama Abu Hurairah, datang kepadanya seorang wanita Persia yang membawa anaknya -keduanya mengklaim lebih berhak terhadap anak tersebut-, dan suaminya telah menceraikannya. Wanita tersebut berkata menggunakan bahasa Persia; ‚Wahai Abu Hurairah, suamiku ingin pergi membawa anakku. Kemudian Abu Hurairah berkata kepadanya menggunakan bahasa asing; ‚Undilah anak tersebut. Kemudian suaminya datang dan berkata; siapakah yang menyelisihiku mengenai anakku? Kemudian Abu Hurairah berkata; Ya Allah, aku tidak mengatakan hal ini kecuali karena aku telah mendengar seorang wanita

30

Sulaima>n bin al-‘Asy as-Sijista>ni>, Sunan Abu Daud, h. 283.

24

datang kepada Rasulullah saw. sementara aku duduk di sisinya, kemudian ia berkata; ‚Wahai Rasulullah saw. sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku, sementara ia telah membantuku mengambil air dari sumur Abu 'Inabah, dan ia telah memberiku manfaat. Kemudian Rasulullah saw. bersabda: "Undilah anak tersebut!" kemudian suaminya berkata; siapakah yang akan menyelisihiku mengenai anakku? Kemudian Rasulullah saw. berkata: "Ini adalah ayahmu dan ini adalah ibumu, gandenglah tangan salah seorang diantara mereka yang engkau kehendaki! Kemudian ia (anak) menggandeng tangan ibunya, lalu wanita tersebut pergi membawanya.

Dari beberapa penjelasan dan keterangan dalil di atas dapat diambil suatu

kesimpulan, bahwa yang dimaksud had{a>nah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan

mendidik anak dari yang belum mumayyiz yang cukup detail dijelaskan dalam hadis

bahwa adanya konsep had{a>nah sebagai bagian dari syari’at Islam. 31 Artinya, had{a>nah

dapat pula diartikan sebagai usaha memelihara anak dari segala macam bahaya yang

mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani maupun rohaninya, mengusahakan

mendidikannya hingga ia sanggup berdiri sendiri menghadapi kehidupan sebagai

seorang muslim.

2. Hukum Had}a>nah dalam Persfektif Fikih

Pengasuhan anak sebenarnya tidak ada masalah ketika anak tersebut diasuh dan

dipeliharan oleh kedua orang tuanya, namun dalam pembahasan ini had}a>nah yang

dimaksud adalah setelah terjadinya perceraian atau pasca perceraian. Meski memiliki

kesamaan dalam syarat dan ketentuan memilihara anak ketika tidak terjadi perceraian

dengan pengasuhan anak pasca perceraian. Menurut Syaikh Abu Syujak bahwa apabila

lelaki bercerai dengan isterinya dan ia mempunyai anak dengan isterinya itu, maka si

isteri lebih berhak mengasuh anak itu hingga berumur 7 (tujuh) tahun. Kemudian ketika

31Mumayyis adalah keaadaan anak yang dianggap telah mampu makan, minum dan bersesuci

sendiri serta bisa membedakan sesuatu yang manfaat atau bahaya bagi dirinya. Ulama jumhur

memperkirakan usia tamyiz sekitar umur 7 tahun sampai usia baligh, dimana perkembangan otak dan

otot dalam fase penyempurnaan pertumbuhan anak. Dalam KHI, pada pasal 105 disebutkan bahwa istilah

ini merupakan sebutan untuk anak yang sudah matang secara psikologis, umur 12 tahun.

25

anak tersebut sudah mumayyis, maka dapat diberi pilihan antara ibu atau bapak, dan

siapa yang dipilihnya, anak itu diserahkan kepadanya.32

Sebagaimana konteks hadis, bahwa keputusan Rasulullah tersebut bisa

ditafsirkan dengan adanya pertimbangan bahwa pada umur tersebut seorang ibu lebih

mengerti dengan kebutuhan anak dan lebih bisa memperlihatkan kasih sayangnya.

Dalam hal ini ulama tidak memiliki perbedaan pendapat. Diberikannya hak pengasuhan

anak yang belum mumayyiz kepada ibunya, mengingat bahwa seorang ibu lebih

berkemampuan mendidik dan memperhatikan keperluan anak dalam usianya yang

masih amat muda, dan juga lebih sabar dan teliti dari pada si ayah. Di samping itu juga,

pada umumnya seorang ibu mempunyai waktu lebih banyak untuk melaksanakan

tugasnya itu daripada seorang ayah yang biasanya sangat disibukkan dengan

pekerjaanya.33

Sedangkan ketika pasca mumayyiz, kecenderungan pemeliharaan anak bersifat

opsional antara ayah dan ibunya, karena pada periode ini anak sudah dapat mengurus

dirinya sendiri, maka dalam periode ini anak harus diberikan hak memilih apakah ia

ikut ayah atau ikut ibunya. Pada masa ini usia anak-kira-kira sudah mencapai umur 7

tahun atau 8 tahun.34

Inilah alasan mengapa anak diberikan pilihan berdasarkan sanad

hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Terkait permasalahan ketika

terjadi perselisihan antara kedua orang tua mengenai pengasuhan anak pasca perceraian,

maka ada dua hal yang harus diperhatikan.35

Pertama, apabila anak yang diasuh adalah anak laki-laki ada tiga pendapat

dikalangan para ulama: (1) Ayah lebih berhak mengasuh anak laki-laki. Pendapat ini

depegangi oleh mazhab Hanafi dengan alasan jika seorang anak laki-laki sudah bisa

memenuhi kebutuhan dasarnya, maka yang ia butuhkan ialah pendidikan, bimbingan

32

Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad Alhusaini, Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Shaleh) Bagian Kedua, Terj. Syarifuddin Anwar dan Mishbah Musthafa (Surabaya: Bina Iman, 1996),

h. 310 33

Muhammad Bagir Alhabsyi, Fiqh Praktis II (Cet I; Bandung: Aneka, 2008), h. 237. 34

Imam Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, h. 312. 35

Abu Malik Kamal, Shahih Fiqh al-Sunnah, h. 678.

26

berprilaku sebagai seorang laki-laki dan mendapatkan ilmu pengetahuan sedangkan si

Ayah dipandang sebagai sebagai orang yang paling mampu dan lebih tepat. Mazhab

Hanafiyah juga berpendapat bahwa anak laki-laki tidak perlu diberi pilihan; (2) Imam

Malik berpendapat bahwa ibu lebih berhak merawat anak selama belum mencapai masa

baligh; (3) Anak diberi kesempatan memilih salah satu di antara orang tuanya,

sebagaimana pendapat Syafi’i dan Hambali.

Kedua apabila anak yang diasuh adalah anak perempuan. Para ulama memiliki

pendapat yang berbeda: (1) Kalangan mazhab Maliki berpendapat bahwa anak tetap

tinggal bersama ibunya hingga anak perempuan tersebut menikah dan telah

berhubungan intim dengan suaminya; (2) Kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa

apabila anak perempuan telah megalami menstruasi, maka harus diserahkan pada

ayahnya; (3) Kalangan mazhab Hambali berpendapat bahwa anak perempuan

diserahkan pada ayahnya, apabila telah mencapai usia tujuh tahun; (4) Sementara Imam

Syafi’i berpendapat bahwa anak perempuan diberi kesempatan untuk menentukan

pilihan seperti anak laki-laki dan dia berhak hidup bersama orang yang dipilihnya.36

Namun apabila anak memilih kedua-duanya atau tidak memilih sama sekali,

maka diadakan undian kepada bapak atau ibunya. Hak pilih diberikan kepada si anak

bila terpenuhi dua syarat, yaitu: (1) Kedua orang tua telah memenuhi syarat untuk

mengasuh. Bila salah satu memenuhi syarat dan yang satu lagi tidak, maka si anak

diserahkan kepada yang memenuhi syarat, baik ayah atau ibu; (2) Si anak tidak dalam

keadaan idiot. Bila si anak dalam keadaan idiot, meskipun telah melewati masa kanak-

kanak, maka ibu yang berhak mengasuh, dan tidak ada hak pilih atas si anak. Apabila

ibu dipandang lebih dapat melindungi anak dan lebih bermanfaat (bagi masa depan

anak ) dibandingkan ayahnya, maka dalam kasus ini hak ibu dalam merawat anak harus

didahulukan tanpa harus mempertimbangkan dengan melakukan undian dan pilihan dari

anak.37

36

Abu Malik Kamal, Shahih Fiqh al-Sunnah, h. 679.

37Fuaduddin, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan

Jender, 1999), h. 55.

27

Sedangkan hukum dari had}a>nah adalah wajib, karena anak merupakan amanah

dari Allah untuk dijaga, diasuh, dan diberi pendidikan sesuai dengan ajaran agama

Islam agar anak tidak terjerumus pada jalan yang bertentangan dengan agama Islam, hal

ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur'an, QS.(66) al-Tahrim ayat 6, sebagai

berikut :

Terjemahnya :

‚Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan ... 38

3. Syarat-Syarat H}ad}anah

Syarat dari seorang yang berhak melakukan h}ad}anah antara lain adalah sebagai

berikut : (1) Baligh dan berakal, karenanya bagi yang melakukuan h}ad}anah hendaklah

yang sudah baligh dan berakal, tidak terganggu ingatannya, sebab h}ad}anah merupakan

pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Oleh sebab itu, seorang ibu yang mendapat

gangguan jiwa atau gangguan ingatan tidak layak untuk melakukan tugas h}ad}anah (2)

Amanah dan berbudi. Orang yang curang tidak aman bagi anak kecil dan ia tidak dapat

dipercaya untuk bisa menunaikan kewajibannya dengan baik. Terlebih lagi, nantinya si

anak dapat meniru atau berkelakuan seperti kelakuannya;39

(3) Mempunyai kemampuan

dan kemauan untuk memlihara dan mendidik mahd}un, dan tidak terikat dengan suatu

pekerjaan sehingga tugas h}ad}anah menjadi terlantar; (4) Hendaklah orang yang

melakukan h}ad}anah tidak membenci si anak. (5) Apabila yang memegang hak asuh

adalah si ibu, maka si ibu hendaklah tidak dalam keadaan bersuami lagi.40

Namun hak

38

Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Cet.1; Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Jakarta; PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 543.

39Sayyid, Fiqih Sunnah, h. 241.

40Imam, Kifayatul, h. 315.

28

h}ad}anah tidak akan gugur ketika seorang ibu menikah lagi, dan kemudian suaminya

yang baru dapat menerima keadaannya. Hal ini terjadi ketika Ummu Salamah, ketika ia

menikah dengan Rasulullah, anaknya dengan suami pertamanya selanjutnya tetap

berada dalam asuhannya; (6) Tinggal menetap, ibu lebih berhak mengasuh anak apabila

ibu dan bapak tinggal dalam satu negeri.

Sedangkan urutan bagi yang berhak atas h}ad}anah adalah seharusnya, ibulah

yang pertama berhak, namun jika ada suatu halangan yang menyebabkan tidak dapat

melakukan h}ad}anah dan halangan tersebut tidak bisa dihindari, maka ada urutan-urutan

kerabat si anak yang berhak atas h}ad}anah tersebut, antara lain sebagai berikut :

1. Jika ibu tidak ada maka yang berhak jadi hadhin adalah ibunya ibu (nenek) dan

seterusnya keatas;

2. Kemudian ibu dari bapak (nenek) dan seterusnya keatas;

3. Saudara perempuan ibu yang sekandung;

4. Kemenakan perempuan dari saudara perempuan ibu yang se- ibu;

5. Kemenakan perempuan dari saudara perempuan ibu yang se-ayah;

6. Kemenakan perempuan dari saudara laki-laki ibu yang sekandung;

7. Kemanakan perempuan dari saudara laki-laki yang se- ibu;

8. Kemenakan perempuan dari saudara laki-laki yang se-ayah;

9. Bibi dari ibu yang sekandung dengan ibunya;

10. Bibi dari ibu yang se-ayah dengan ibunya;

11. Bibi dari yang se-ayah dengan ibunya;

12. Bibi dari bapak yang sekandung dengan ibunya;

13. Bibi dari bapak yang se- ibu dengan ibunya;

14. Bibi dari bapak yang se-ayah dengan ibunya, dan seterusnya.41

4. H}ad}anah dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam

Pembahasan mengenai had}a>nah dalam Kompilasi Hukum ditentukan dalam dua

periode yaitu periode belum mumayyiz dan sudah mumayyiz, jika dalam fiqh batas

41

Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008 ) h. 454-456.

29

umur mumayyiz adalah umur sekitar 7 atau 8 tahun, berbeda dengan KHI yang

menyatakan bahwa batas umur mumayyiz adalah 12 tahun, hal ini sesuai dengan pasal

105 tentang pengasuhan anak dalam hal terjadinya perceraian yang berbunyi; (1)

Pengasuhan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak

ibunya; (2) Pengasuhan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk

memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; (3) Biaya

pemeliharaan ditanggung ayahnya.

Dalam pasal-pasal tersebut sudah jelas bahwa anak mencapai umur mumayyiz

ketika umur 12 tahun, jadi apabila anak belum mencapai umur tersebut, maka ibu lebih

berhak atas pengasuhannya. Apabila anak tersebut telah mencapai 12 tahun maka dia

harus diberikan hak untuk menentukan siapa yang berhak atas menjadi pengasuhnya.

Sedangkan biaya pemeliharaan tetap ditanggung ayah meskipun anak tersebut dalam

pengasuhan ibu.

Apabila orang yang mendapatkan hak asuh anak bertindak lalai, maka had}a>nah

dapat digugurkan dihadapan hakim, hal ini sesuai dalam KHI pasal 107 tentang

perwalian ayat (3) disebutkan bahwa apabila wali tidak mampu berbuat atau lalai

melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah

seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.

Kemudian perihal tentang syarat atas orang yang mendapatkan hak atas

had}a>nah dalam KHI diatur dalam pasal 107 ayat 4 yang berbunyi sebagai berikut: (4)

Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah

dewasa, berpikir sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik, atau sadar hukum. Dan diatur

pula dalam KHI Bagian Ketiga tentang Akibat Perceraian, pada pasal 156 poin (c)

disebutkan bahwa apabila pemegang had}a>nah ternyata tidak dapat menjamin

keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan had}a>nah telah

dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan, Pengadilan Agama dapat

memindahkan hak had}a>nah kepada kerabat lain yang mempunyai hak had}a>nah pula.42

42

Lihat, Kompilasi Hukum Islam, Pasal 156 poin (c).

30

Lebih lanjut, masih dalam pasal 156 poin (a) disebutkan bahwa dalam keadaan

anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya, kecuali bila

ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan secara berurutan oleh

pertama, wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu. Kedua, ayah, kemudian, wanita-

wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah. Keempat, saudara perempuan dari anak yang

bersangkutan. Kelima, wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu

dan keenam, wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.43

Bahkan, dalam ketentuan pasal 156 poin (d) dijelaskan pula bahwa semua biaya

had}a>nah dan nafkah anak akan menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya,

sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri

(umur 21 tahun).44

Artinya, berdasarkan menjelaskan ayat tersebut dapat diketahui

mengenai syarat bagi pemegang hak asuh atau pemegang hak had}a>nah. Apabila seorang

wali yang mengasuhnya tidak memenuhi syarat dan tidak dapat menjamin keselamatan

jasmani dan rohani meskipun nafkah had}a>nah terpenuhi, maka pengasuhan jatuh kepada

kerabat si anak yang memiliki hak had}a>nah dengan syarat atas persetujuan pengadilan

agama.

43

Kompilasi Hukum Islam, Pasal 156 poin (a).

44Kompilasi Hukum Islam, Pasal 156 poin (d).


Recommended