BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum oleh para ushuliyyin didefinisikan sebagai khitab Allahyang berkenaan dengan perbuatan mukallaf. Dalam ilmu Ushul Fiqh,secara global hukum terbagi atas dua macam. Yang pertama, hukumtaklifi yaitu hukum yang berhubungan dengan beban bagi sorangmukallaf. Yang kedua, hukum wadh’i yaitu hukum yang berhubungandengan hal-hal yang ditetapkannya suatu hukum syari’at. Keduamacam hukum ini mempunyai macam dan bagian mmasing-masing. Padamakalah yang sederhana ini, pemakalah akan memaparkan tentangdefinisi hukum wadh’I dan kendala pelaksanaan hukum.
B. Rumusan Makalah
Dari pemaparan di atas, kita dapat merumuskan beberapamasalah yang menjadi inti pokok pembahasan dalam makalah ini.Berikut rumusan tersebut:
1. Apa itu hukum wadh’i?2. Apa saja macam-macam hukum wadh’i?3. Hal-hal apa saja yang mempengaruhi beban hukum (awaridh
samawiyah dan muktasabah)?4. Apa itu ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’?
C. Tujuan Penulisan
Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah, yang tidak kalahpentingnya bagi kami adalah keinginan untuk berbagi ilmu mengenaihukum wadh’i dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
D. Manfaat Penulisan
Kita dapat mengetahui apa itu hukum wadh’i dan hal-hal yangberkaitan dengannya.
1
E. Sistematika Penulisan
Pemakalah membagi makalah ini menjadi tiga bab, berikutrinciannya:
Bab I membahas tentang latar belakang, rumusan masalah,tujuan penulisan, manfaat penulisan dan sistematikapenulisan.
Bab II menguraikan tentang pengertian hukum wadh’i danmacam-macamnya, hal-hal yang mempengaruhi beban hukum(awaridh samawiyah dan muktasabah), ahliyatul wujub danahliyatul ada’.
Bab III berisikan penutup dan kesimpulan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Hukum Wadh’i dan Pembagiannya
Yang dimaksud dengan hukum wad’i ialah hukum yang
menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain, atau syarat
bagi sesuatu yang lain atau sebagai penghalang bagi sesuatu yang
lain1.
Contoh hukum yang menjadikan sebab sesuatu sebab adanya yang
lain :
a. kewajiban sholat menjadi sebab kewajiban mengambil air
wudhu.
b. mencuri menjadi sebab adanya hukum potong tangan bagi
pelaku pencurian.
1 Sapiudin Shiddiq, Ushul Fiqh cet.1
2
Contoh hukum yang menjadikan sesuatu sebagai syarat adanya
yang lain :
a. Mampu melakukan perjalanan haji merupakan syarat adanya
kewajiban haji bagi seseorang.
b. Hadirnya saksi dalam akad pernikahan merupakan syarat
bagi sahnya akad nikah.
Contoh hukum yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang adanya
yang lain
a. anak yang membunuh orangtua menjadikan penghalang bagi
anak itu untuk mendapat hak waris.
2.2 Macam-macam hukum wad’i
Penjelasan tentang pembagian hukum wadh’i terdiri dari sebab,
syarat, penghalang, rukhsah, azimah, sahih(sah), dan
batlan(batal).
1. Sebab
Menurut para ulama mendefinisikan sebab sebagai berikut :
“ sesuatu yang jelas dan dapat diukur, yang dijadikan oleh
pembuat hukum sebagai tanda adanya hukum, mestilah dengan adanya
tanda itu ada hukum, dan dengan tidak adanya tanda tidak adanya
hukum”.
3
Contoh, masuknya bulan ramadhan menjadi pertanda masuknya
kewajiban puasa ramadhan. masuknya bulan ramadhan itu disebut
sebab dan kewajiban puasa ramadhan itu disebut musabbab atau
akibat dari sebab.
Dari segi hubungan hukum dan sebab dibagi menjadi dua
macam :
a. Illat, yaitu sebab yang hubungannya dengan hukum, selalu
dapat diterima oleh akal. karena ada keserasian hukum dengan
sebab menurut pandangan akal. Contohnya, sifat memabukan
yang terdapat pada khamar itu menjadi sebab adanya hukum
haram. sifat memabukkan itu akan berdampak pada kerusakan
system syaraf dan akal manusia.
b. Sebab yang menjadi tanda adanya hukum itu tidak selalu dapat
dipahami oleh akal manusia. Contohnya, ketika tergelincirnya
matahari menjadi sebab masuknya waktu dzuhur.
Pembagian sebab dari segi sumbernya, Muhammad Abu Zahra
membagi sebab menjadi dua macam, yaitu :
a. Sebab yang timbul bukan dari perbuatan mukallaf. Sebab ini
merupakan sebab yang dijadikan Allah sebagai tanda adanya
hukum. Dalil untuk perihal ini:
هودا ش� ان� م� ر ك� ج� ف� ن� ال� �را� ن� ق� �ر ا ج� ف� ن� ال� �را� ل وق� ي! ال�ل سق� لى غ�� �مس ا وك�/ ال�ش� دل� لاة� ل� م ال�ص ق�� ا>
4
Contohnya, masuknya sholat menjadi sebab diwajibkannya
sholat, darurat menjadi sebab bolehnya memakan bangkai,
kematian menjadi sebab adanya pembagian waris. Semua sebab
itu datang bukan dari perbuatan manusia.
b. Sebab yang timbulnya karena perbuatan mukallaf. contohnya,
pembunuhan yang disengaja, menjadi sebab adanya hukum
qishas2.
2. Syarat
Yang dimaksud dengan syarat adalah sesuatu yang menjadi
tempat bergantungnya wujudnya hukum. tidak adanya syarat berarti
tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya
hukum3. contohnya, wudhu adalah syarat sahhnya shalat, tanpa
wudhu maka tidak sah mendirikan sholat, tetapi tidak berarti
adanya wudhu menetapkan adanya shalat.
Pembagian syarat para ulama ushul fiqh membagi syarat
dilihat dari sumbernya menjadi dua macam :
a. syarat syar’i adalah syarat yang secara langsung didatangkan
oleh syari’at. contohnya:
o pembunuhan merupakan sebab adanya qishas, akan tetapi
dengan syarat bahwa ia melakukannya dengan sengaja.
b. syarat ja’ly adalah syarat yang keberadaannya diciptakan
oleh mukallaf itu sendiri, contohnya :2 Muhammad Abu Zahra, ushul fiqh,(damaskus: daar al-fikr) hlm.563 ibid-64
5
o dalam masalah talak, seperti seorang suami yang berkata
kepada istrinya, “jika kamu pergi kerumah si fiulan
tanpa seizinku, maka talakmu jatuh satu”.
3. Mani’(penghalang)
a. Pengertian mani’
Dalam istilah ushul fiqh mani’ berarti sesuatu yang wujudnya
dapat meniadakan hukum atau membatalkannya. timbulnya mani’ ini
ketika sebab dan syarat sudah jelas contohnya, seorang anak
berhak mendapatkan warisan dari ayah yang sudah meninggal.tetapi
kemudian sia anak diputuskan tidak mendapat warisan dari
peninggalan ayahnya karena ada penghalang(mani’) penghalang itu
bisa berupa karena si anak murtad atau si anak itu yang membunuh
ayahnya.
b. Pembagian mani’
o mani’ hukum, mani’ yang diciptakan oleh syari’at
sebagai penghalang munculnya hukum. contohnya keadaan
haid menjadi penghalang bagi wanita untuk melaksanakan
shalat.
o mani’ sebab, yaitu mani’ yang ditetapkan oleh syara’
sebagai penghalang bagi suatu sebab, sehingga sebab itu
tidak lagi memiliki hukum. contohnya, dalam masalah
zakat. ketika zakat itu tidak memenuhi syarat maka
tidak wajib hukumnya mengeluarkan zakat.6
4. Rukhsah dan azimah
a. Pengertian Rukhsah
Keringanan hukum yang diberikan oleh Allah kepada
mukallaf dalam kondisi-kondisi tertentu. Hukum rukhsah berlaku
menurut prinsip “kesulitan menyebabkan adanya kemudahan”. Bentuk-
bentuk kesulitan yang menimbulkan hukum rukhsah itu diantaranya :
sakit, dalam perjalanan, ketuaan, keterpaksaan, tertidur,
kelupaan, dan hilang akal.
Bentuk-bentuk keringanan yang diberikan dalam hukum rukhsah
itu adalah :
o mengganti kewajiban membayar fidiyah sebagai ganti puasa
orang yang sudah tua Bangka.
macam-macam rukhsah :
o rukhsah melakukan suatu perbuatan yang terlarang, contohnya,
memakan bangkai dalam keadaan yang darurat kerena tidak ada
makanan yang halal yang dapat dimakan ketika itu.perbuatan
memakan bangkai ini asal hukumnya haram tetapi menjadi
dibolehkan karena rukhsah.
o rukhsah meninggalkan perbuatan wajib, contohnya, tidak
melakukan puasa ramadhan karena sakit parah.
b. pengertian azimah
7
Yang dimaksud adalah hukum-hukum yang pada dasarnya berlaku
secara umum dengan tidak melihat keadaan pelaku hukum dan juga
tidak melihat situasi, kondisi dan pribadi tertentu. contohnya,
kewajiban shalat lima waktu kepada semua mukallaf dalam situasi,
kondisi apapun.
5. Sah dan Batal
Perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf bisa dihukumi sah
atau batal. Jika perbuatan itu telah sesuai dengan tuntutan
syari’at dan telah sempurna rukun dan syaratnyanya maka perbuatan
tersebut dapat dihukumi sah (benar) oleh hukum syari’at. tetapi
jika perbuatan itu tidak sesuai dengan tuntutan syari’at dan
tidak disempurnakan syarat dan rukunnya maka perbuatan itu
dihukumi batal oleh hukum syari’at.
B.Hal-Hal yang Mempengaruhi Beban Hukum (‘Awaridh): Samawiyah dan Muktasabah
Yang dimaksud ‘awaridh adalah keadaan yang membuat mukallaftidak dapat melaksanakan hak dan kewajiban yang telah ditetapkankepadanya. Para ulama ushul menggolongkan ‘awaridh ini menjadidua kelompok:
1. Halangan alami (‘awaridh samawiyah)2. Halangan tidak alami (‘awaridh muktasabah)4
4 Ushul fiqh. Drs.Sapiudin Shidiq, M.A.Kencana: Jakarta 2011 (hal: 150)
8
1. Halangan Alami (‘Awaridh Samawiyah)
‘Awaridh samawiyah yaitu halangan yang terjadi di luarkemampuan manusia. Ia hadir dengan sendirinya tanpa dikehendakioleh manusia itu sendiri seperti; gila, kurang akal, lupa,ketiduran, dan pingsan.
a) Gila
Gila ialah kelainan yang terdapat pada akal yang menghalangiucapan dan perbuatan seseorang menurut yang semestinya. Bila padaorang yang waras ucapan dan perbuatannya adalah atas kehendakakal, maka ucapan atau perbuatan orang gila tidak menurutkehendak akal.
Keadaan orang gila dapat dipisahkan pada dua hal, yaitu gilayang lama dan berketerusan atau muabbad dan gila sementara ataughairu muabbad yang terjadi pada waktu tertentu dan tidakberketerusan. Karena hukum yang berlaku pada keduanya berbedamaka perlu diberi batasan-batasan.
Gila muabbad menggugurkan seseorang dari beban hukum sejauhyang menyangkut kewajiban fisik seperti shalat, puasa, kaffarah,dan lainnya; karena pelaksanaan dari kewajiban ini memerlukanniat, sedangkan niat orang gila tidak diperhitungkan. Dalamkewajiban yang menyangkut harta benda, ia tidak bebas dari hukumselama gilanya itu. Kewajiban yang harus dilakukannya akanditunaikan dari hartanya oleh orang lain.
Gila ghairu muabbad, mengenai hukum yang berlaku terhadap gilamacam ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Muhammad ibn Hasanal-Syaibani (murid Imam Abu Hanifah), hukumnya disamakan dengangila muabbad yang menggugurkan semua beban hukum yang berbentukfisik. Alasannya, karena gugurnya beban hukum dikaitkan kepadasalah satu diantara waktu yang memanjang atau berketerusan dansifat bawaan. Sedangkan menurut Abu Yusuf (juga murid danpengikut Abu Hanifah) berpendapat bahwa gila bawaan ini disamakan
9
dengan sifat gila mendadak yang tidak menggugurkan beban hukum.Alasannya karena gugurnya beban hukum hanya dikaitkan kepadawaktu lama yang memanjang.
b) Lupa
Lupa ialah tidak mampu menampilkan sesuatu dalam ingatan padawaktu diperlukan. Ketidakmampuan ini menyebabkan tidak ingat akanbeban hukum yang dipikulkan kepadanya. Dalam hukum islam, “lupa”ini tidak meniadakan kemampuan untuk berbuat hukum, jugakecakapan untuk dibebani hukum, karena akal yang menyebabkanadanya kecakapan itu tetap dalam keadaan baik dan utuh. Hak-hakyang menyangkut lupa ini terbagi terbagi kepada dua, yaitu hak-hak Allah dan hak-hak manusia atau hamba. Hukum lupa berkaitandengan kedua hak itu tidaklah sama.
Sejauh yang menyangkut hak manusia, hak itu tidak gugur karenalupa. Lupa tidak dapat dijadikan alasan untuk menghindarkan diridari sesuatu hak. Misalnya, bila seseorang tidak membayar hutangdalam suatu waktu karena lupa, ia tetap harus membayarnya setelahia mengingatnya.
Adapun yang bersangkutan dengan hak-hak Allah dalam keadaanlupa dapat dipandang melalui dua sisi:
1. Tidak berhaknya orang lupa atas dosa dan tuntutan Allahyang didasarkan kepada sabda Nabi:
“Diangkatkan dari umatku dosa atas perbuatan yang dilakukanatas dasar kesalahan dan kelupaan.”
2. Perbuatan yang dilakukan dalam keadaan lupa itu membawaakibat hukum bila disitu terdapat hal-hal yangmemperingatkannya untuk tidak lupa dan tidak ada hal-halyang mendorongnya untuk berbuat. Misalnya, seseorang yangsedang shalat lupa dengan melakukan hal yang terlarangseperti makan dan berbicara. Kedua perbuatan itu
10
menyebabkan batalnya shalat meskipun dilakukan dalamkeadaan lupa. Karena keadaan dalam shalat yang disibukkandengan bacaan-bacaan dan perbuatan tertentu tidakmemungkinkannya untuk lupa sampai ia berbicara ataumakan. Dalam keadaan shalat pun tidak ada hal yangmendorongnya untuk makan.
Bila kedua hal tersebut tidak ditemukan, yaitu tidakada yang mengingatkannya untuk tidak lupa atau ada yangmendorongnya untuk berbuat, maka perbuatan itu tidakmembawa akibat hukum, artinya tidak batal. Misalnya orangyang sedang puasa makan karena lupa. Dalam puasa itutidak ada yang memperingatkannya supaya tidak lupa;karena menurut kebiasaannya setiap orang akan makan dalamkeadaan lapar atau pada waktu tertentu. Kebiasaan makansiang hari sebagaimana berlaku di luar puasa mendorongnyauntuk makan saat merasa lapar. Dengan demikian puasaorang yang makan dalam keadaan lupa tersebut tidak batal.
c) Ketiduran
Tidur termasuk salah satu sebab diantara gugurnya tuntutanhukum sejauh yang menyangkut hak Allah. Tuntutan itu kembali lagiseketika setelah halangan itu hilang, dalam arti sesudahterbangun.
Contoh keadaan tertidur itu seumpamanya tertidur dalam waktuyang harus melakukan shalat. Dalam waktu tidurnya ia tidakdituntut melakukan shalat, tetapi setelah ia bangun harusmelakukan shalat yang belum dilakukannya itu.
Adapun yang berhubungan dengan hak sesama manusia, bagi orangtertidur itu tidak menggugurkan tuntutan hukum. Karena ituapabila dalam tidurnya ia berbuat kejahatan atas seseorangseperti ia jatuh dalam tidurnya dan menimpa seorang hingga mati,
11
maka ia dituntut sebagai pelaku kejahatan secara tersalah;karenanya wajib diyat tetapi tidak wajib hukum qishash.
d) Pingsan
Segala hukum yang berlaku terhadap orang tidur sebagaimanadisebutkan diatas berlaku juga untuk orang pingsan. Tetapi karenakeadaan pingsan dalam halangan melebihi orang tidur, makatambahan hukum terhadap orang pingsan yang tidak berlaku padaorang tidur adalah batalnya wudhu’ orang pingsan.
2.Halangan Tidak Alami (‘Awaridh Muktasabah)
‘Awaridh muktasabah adalah halangan yang terjadi karenaperbuatan manusia itu sendiri seperti mabuk, bodoh, tersalah, danterpaksa.
a) Mabuk
Mabuk ialah tertutupnya akal disebabkan oleh meminum ataumemakan sesuatu yang mempengaruhi daya akal. Mabuk menyebabkanpembicaraan tidak menentu seperti igauan orang tidur dan secarafisik ia sehat.
Mabuk dari segi penyebabnya terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Mabuk yang disebabkan oleh usaha yang pelakunya dinyatakantidak berdosa, seperti mabuk dalam keadaan terpaksa, mabukkarena makan atau minum obat yang ia tidak tahu pengaruhnya.
Mabuk dalam jenis ini tidak dituntut bila ia melakukanpelanggaran sejauh yang menyangkut hak Allah karena iadiberi udzur atas mabuknya itu, baik dalam tindakannyamaupun ucapannya.
12
2. Mabuk yang disebabkan oleh usaha yang terlarang, sepertisengaja meminumminuman keras yang ia tahu minuman itumemabukkan dan tahu pula bahwa perbuatan itu terlarang.
Adapun mabuk dalm bentuk ini ia berdosa karenaperbuatan mabuknya itu. Sedangkan mengenai hukum yangberlaku sebagai akibat dari perbuatan mabuknya itu terdapatperbedaan dikalangan para ulama:
1) Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian ulama berpendapatbahwa mabuknya itu tidak menggugurkan sama sekali dari bebanhukum. Segala tindakan dan ucapannya adalah sebagaimanatindakan dan ucapan orang sehat dan dikenai sanksi atasperbuatannya sebagaimana sanksi yang dibebankan atas orangsehat.
2) Imam Ahmad dan Imam Syafi’i serta Imam Malik dalam dalamsalah satu pendapatnya mengatakan bahwa bagi orang yangmabuk tidak dapat dibebankan kepadanya sanksi hukum yangbersifat badan (hudud) yang dapat digugurkan dengan adanyasyubhat yaitu qishash dan hudud karena sanksi hukum sepertiini dapat dihindarkan dengan syubhat. Kehilangan kesadaranini setidaknya dapat merupakan syubhat.
b) Safih (bodoh)
Safih tidak meniadakan sesuatu pun dari hukum syara’, baikyang berkenaan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak sesama manusiakarena ia mukallaf secara penuh. Apabila ia mengerjakan sesuatukejahatan, ia dikenai sanksi hukum sebagaimana yang berlakuterhadap orang yang tidak safih dengan tidak kurang sedikitpun.
Tentang apakah safih memerlukan pengampunan, dalam hal initerdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama:
13
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa wajib hukumnya mengadakanpengampunan terhadap orang safih, dengan alasan sebagaiberikut:
Firman Allah dalam surat An-Nisa (4):5 . Ayat inimenunjukkan bahwa tidak boleh menyerahkan harta kepadaorang safih.Hartanya itu harus berada ditangan waliyang akan bertindak untuk melaksanakan akad atas namasi safih. Hal ini berarti menunjukkan pengampunan.
2. Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak boleh melakukanperlindungan terhadap orang safih, dengan alasan sebagaiberikut:
Kemampuan melaksanakan hukum ukuran kesempurnaannyaadalah akal. Akal itu secara sempurna terdapat padaorang safih dengan alasan ia dikenai tuntutan untukmelaksanakan beban hukum.
Tidak ada kemaslahatan mengadakan perlindungan atasorang safih tidak untuk dirinya dan tidak pula untukmasyarakat.
c) Tersalah
Tersalah adalah melakukan suatu perbuatan pada tempat yangdituju oleh suatu kejahatan. Umpamanya orangyang sedang berpuasasengaja berkumur-kumur, tetapi tidak sengaja memasukkan air kedalam perut yang merupakan pelanggaran terhadap puasa.
Hak-hak yangbersangkutan dengan kesalahan terbagi menjadi dua,yaitu hak-hak Allah, baik dalam bidang ibadah maupun bidangjinayat, kesalahan itu dijadikan Allah sebagai udzur bila iatelah berbuat sehati-hati mungkin.
Sedangkan dalam hal-hal yang menyangkut hak perorangan atauhamba, kesalahan bukan merupakan udzur yang membebaskan seseorangdari hukuman materi atau harta. Oleh karena itu bila seseorang
14
merusak barang orang lain secara tidak sengaja ia tetapberkewajiban mengganti kerusakan tersebut
d) Terpaksa
Keadaan terpaksa adalah seseorang diancam untuk berbuatsesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Bila seseorangmelakukan sesuatu di luar keinginannya untuk atau atas kehgendakorang, berarti ia tidak rela berbuat demikian. Untuk sah nyasesuatu dapat disebut sebagai paksaan harus dipenuhi beberapasyarat:
Si pemaksa sanggup melaksanakan apa yang diancamkankepadanya secara langsung atau melalui kekuatan oranglain. Bila si pemaksa itu tidak sanggup memenuhi apa yangdiancamkannya dan orang yang dipaksa mengethaui keadaansi pemaksa itu, maka paksaan itu tidak ada artinya.
Apa yang diancamkan itu merupakan sesuatu yang sangatmenyakitkan atau merugikan pihak yang dipaksa.
Perbuatan yang dikehendaki si pemaksa merupakan sesuatuyang terlarang atau mengakibatkan kerusakan biladihubungkan kepada sesuatu yang dipaksa.
Diantara perbuatan haram yang dipaksakan untuk dilakukan adayang tidak gugur keharamannya dan tidak diberi keringananbagi yang memperbuatnya; seperti membunuh, melukai, danberzina. Dalam hal ini paksaan tidak boleh melakukannya. Adakalanya sesuatu yang haram gugur keharamannya dalam keadaanterpaksa dan diperbolehkan melakukannya, seperti makandaging babi, dan minum khamr.
C.Ahliyatul Wujub dan Ahliyatul Ada’
15
Ahliyah menurut bahasa berarti patut atau layak.5 Adapun ahliyahmenurut ulama ushul fiqh, terbagi kepada dua bagian yaitu:
1. Ahliyatul wujub2. Ahliyatul ada’
Ahliyatul wujub
Ahliyatul wujub adalah kelayakan seorang manusia untuk ditetapkanpadanya hak dan kewajiban.6 Kelayakan atau kemampuan ini terwujudberdasar keberadaan seseorang semata-mata sebagai manusia, baik sudahdewasa ataupun kanak-kanak. Kemampuan ini akan terus melekat padasetiap orang sampai mati. Menurut fuqaha Hanafiyah, ia terus melekatsampai hutang dan wasiatnya ditunaikan setelah mati. Para ahli fiqhmenganggap keberadaan ahliyatul wujub itu sebagai hal yang relatif,sebagai tanggungan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yangberkaitan dengan hak dan kewajiban sesuai dengan kemampuannya.7
Ahliyatul ada’
Ahliyatul ada’ adalah kelayakan seseorang untuk melakukanperbuatan yang dipandang sah oleh syara’ baik dalam bidang ibadah,mu’amalah, dan sebagainya. Bila ia mengerjakan kebaikan ia mendapatpahala dan jika ia melakukan kesalahan maka ia berdosa. Dasarahliyatul ada’ ini berdasarkan pada kemampuan akal.8 Masa datangnyaahliyatul ada’ menurut syara’ berlaku bersamaan dengan tibanya usiataklif yang dibatasi dengan aqil (berakal) dan baligh (dewasa).
Tolak ukur ahliyatul ada’ adalah akal. Bila akal sempurna makasempurna pula ahliyatul ada’, bila kurang akal maka ahliyatul ada’5 Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, Kamus Indonesia Arab (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2007) hal 526 Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, diterjemahkan oleh Drs. H. Moh. Zuhri, Drs. Ahmad Qarib. (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), hal 201-2027 Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Saefullah Ma’shum, Slamet Bashir dkk, cetakan 17 (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2013) hal 5058 Agustiano, http://www.scribd.com/doc/13148592/14/B-Pembagian-Ahliyah-a-Ahliyah-Ada%E2%80%99, diakses 6 April 2014, pukul 22.10 WIB.
16
berkurang pula, dan jika akal tidak ada maka ahliyatul ada’ pun jugatidak ada.9
Hubungan manusia dengan ahliyatul wujub:
Keadaan manusia itu bila dihubungkan dengan kemampuan menerimahak dan kewajiban ada dua macam.
a. Adakalanya ahliyatul wujub itu kurang sempurna. Kemampuanseseorang menerima hak dan kewajiban dikatakan kurang sempurnaapabila seseorang hanya pantas menerima hak saja, sedangkan untukmemikul kewajiban belum pantas. Orang yang memiliki ahliyatulwujub yang kurang sempurna itu adalah janin di rahim ibunya.Karena masih di dalam kandungan, ia sudah mempunyai hak menerimawasiat dan warisan, tetapi belum mempunyai beban kewajibanterhadap orang lain.
b. Adakalanya ahliyatul wujub itu sempurna. Kemampuan menerima hakdan kewajiban itu dikatakan sempurna adalah bila seseorang sudahpantas menerima hak dan memikul suatu kewajiban.kemampuan inimelekat sejak lahir manusia dilahirkan sampai ia meninggal dunia.Dalam keadaan bagaimanapun juga, selama manusia masih hidup, diamemliki ahliyatul wujub yang sempurna.10
Hubungan manusia dengan ahliyatul ada’:
Keadaan manusia itu bila dihubungkan dengan ahliyatul ada’ adatiga macam.
a. Adakalanya seseorang itu tidak mempunyai ahliyatul ada’sedikitpun. Misalnya seorang anak yang belum dewasa dan oranggila. Oleh karena itu, keduanya dianggap belum atau tidakmempunyai akal, maka mereka tidak mempunyai kemampuan berbuat.
9 Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Saefullah Ma’shum, Slamet Bashir dkk, cetakan 17 (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2013) hal 50910 Prof. Dr. Mukhtar Yahya dkk, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1993) hal 165-166
17
Segala tutur kata dan tingkah laku mereka tidak dapat menimbulkanakibat hukum.
b. Adakalanya seseorang itu mempunyai ahliyatul ada’ yang kurangsempurna. Seperti anak yang mumayyiz, yakni anak yang sudah dapatmembedakan baik dan buruknya ssuatu perbuatan dan manfaat atautidaknya perbuatan itu, akan tetapi pengetahuannya belum kuat(anak yang berada dalam umur 7 tahun-15 tahun).
c. Adakalanya seseorang itu mempunyai ahliyatul ada’ yang sempurna.Yaitu orang yang sudah dewasa lagi berakal.11
11 Ibid, hal 166-167
18
BAB IIIPENUTUP
KesimpulanHukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan dua
hal, yakni antara sebab dan yang disebabi, antara syarat danyang disyarati, antara penghalang dan yang dihalangi atauantara hukum yang sah dengan hukum yang tidak sah.
Hukum wadh’i terbagi menjadi 5 bagian, yaitu:a. Sebabb. Syaratc. Mani’d. Rukhsah dan azimahe. Shah dan batl
Awaridh adalah halangan kemampuan. Awaridh terbagimenjadi 2 yaitu awaridh samawiyah dan muktasabah. Ahliyah adalahlayak atau patutnya seseorang untuk mengemban hak dankewajiban. Ahliyah terbagi menjadi 2, yakni ahliyatul wujub dan
ahliyatul ada’.
19
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al Karim
Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul fiqh. Jakarta: Kencana
Yunus, Mahmud. 2007. Kamus Indonesia Arab. Jakarta: PT Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah
Wahhab Khallaf, Abdul. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama
Abu Zahrah, Muhammad. 2013. Ushul Fiqh. Jakarta: PT Pustaka Firdaus
Yahya, Mukhtar. 1993. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung:PT Al-Ma’arif
20
Agustiano, http://www.scribd.com/doc/13148592/14/B-Pembagian-Ahliyah-a-Ahliyah-Ada%E2%80%99, diakses 6 April 2014, pukul 22.10WIB.
21