+ All Categories
Home > Documents > IDENTITY MANAGEMENT THEORY (TEORI MANAJEMEN IDENTITAS)

IDENTITY MANAGEMENT THEORY (TEORI MANAJEMEN IDENTITAS)

Date post: 28-Jan-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
21
IDENTITY MANAGEMENT THEORY (TEORI MANAJEMEN IDENTITAS) Pengantar tentang Identitas (Ilustrasi Kasus) Selama beberapa tahun ini, Parisa datang ke sebuah konvensi internasional tentang pengolahan makanan. Ia memiliki banyak teman dari belahan bumi Eropa, namun tetap saja, setiap datang kembali ke acara tersebut, ia merasakan kepedihan yang sama. Parisa merupakan satu-satunya orang di konvensi tersebut yang berasal dari Iran. Betapa pun tulusnya teman-teman Eropa-nya, Parisa merasa - mereka melihat dirinya dengan cara tertentu – yang bukan dirinya sama sekali. Mereka terlihat kaget saat melihat Parisa merupakan wanita yang kreatif dan asertif. Mereka menyebut Parisa sebagai ‘kebarat-baratan’ dan bukan real Iranian’. Kemudian, teman-teman Parisa mengajaknya datang ke sebuah Festival Film Iran yang diadakan oleh universitas lokal setempat. Mereka terkesan dengan karakter wanita ‘kuat’ yang ditunjukkan oleh film tersebut. Mereka tidak menyangka wanita seperti itu eksis di Iran. Apalagi wanita tersebut menggunakan hijab. Mereka pikir wanita Iran (Muslim stereotipe berdasarkan image media popular) adalah wanita yang tunduk dan selalu pasif, tidak punya kekuatan. Di sini, meskipun teman-teman Parisa sudah kenal dengannya, namun mereka juga tidak punya pengetahuan yang nyata tentang ‘kelompok’ yang Parisa miliki, untuk menempatkan dirinya. Mereka juga dalam situasi sulit, dan rentan terhadap stereotipe yang disajikan oleh pihak lain. Dari kasus di atas, seringkali identitas seseorang dipandang sebagai representasi budaya nasional-nya (esensialis). Padahal, cultural identity atau identitas kultural seseorang harus dibaca sebagai image atau gambaran diri yang mereka inginkan dalam waktu tertentu, bukan sebagai 1
Transcript

IDENTITY MANAGEMENT THEORY (TEORI MANAJEMEN IDENTITAS)

Pengantar tentang Identitas (Ilustrasi Kasus)

Selama beberapa tahun ini, Parisa datang ke sebuah konvensi

internasional tentang pengolahan makanan. Ia memiliki banyak teman

dari belahan bumi Eropa, namun tetap saja, setiap datang kembali ke

acara tersebut, ia merasakan kepedihan yang sama. Parisa merupakan

satu-satunya orang di konvensi tersebut yang berasal dari Iran. Betapa

pun tulusnya teman-teman Eropa-nya, Parisa merasa - mereka melihat

dirinya dengan cara tertentu – yang bukan dirinya sama sekali. Mereka

terlihat kaget saat melihat Parisa merupakan wanita yang kreatif dan

asertif. Mereka menyebut Parisa sebagai ‘kebarat-baratan’ dan bukan

‘real Iranian’. Kemudian, teman-teman Parisa mengajaknya datang ke sebuah

Festival Film Iran yang diadakan oleh universitas lokal setempat.

Mereka terkesan dengan karakter wanita ‘kuat’ yang ditunjukkan oleh

film tersebut. Mereka tidak menyangka wanita seperti itu eksis di

Iran. Apalagi wanita tersebut menggunakan hijab. Mereka pikir wanita

Iran (Muslim stereotipe berdasarkan image media popular) adalah wanita

yang tunduk dan selalu pasif, tidak punya kekuatan. Di sini, meskipun

teman-teman Parisa sudah kenal dengannya, namun mereka juga tidak

punya pengetahuan yang nyata tentang ‘kelompok’ yang Parisa miliki,

untuk menempatkan dirinya. Mereka juga dalam situasi sulit, dan rentan

terhadap stereotipe yang disajikan oleh pihak lain.

Dari kasus di atas, seringkali identitas seseorang dipandang sebagai

representasi budaya nasional-nya (esensialis). Padahal, cultural identity

atau identitas kultural seseorang harus dibaca sebagai image atau

gambaran diri yang mereka inginkan dalam waktu tertentu, bukan sebagai

1

bukti budaya esensialis nasional. Setiap orang seperti halnya Parisa,

terikat pada masyarakat yang kompleks, dengan berbagai pilihan.

Artinya, mereka bisa mendefinisikan diri mereka sebagai bagian dari

anggota kelompok umur tertentu, bangsa tertentu, etnis tertentu,

kelompok sosial tertentu, agama tertentu, kelompok hobi tertentu.

Sebagai individual, seseorang juga merupakan anggota berbagai

kelompok, sehingga identitas kultural seseorang merupakan hal yang

unik. Dengan demikian, identitas bukan-lah merupakan konsep yang

stabil, tetapi dicapai melalui diskursus manipulasi keterampilan di

masyarakat.

Hal ini akan mengantarkan kita kepada salah satu teori mengenai

identitas, yakni Identity Management Theory, di mana seseorang dapat

mengelola identitas-nya untuk mencapai kompetensi komunikasi antar

budaya.

Teori Manajemen Identitas

Terdapat standarisasi yang universal dalam kompetensi budaya mengenai

apa yang disebut dengan kemampuan seseorang untuk berperilaku secara

efektif dan sesuai (effective and appropriate). Namun, budaya yang berbeda

tentunya memiliki ekpektasi yang berbeda pula mengenai perilaku

komunikasi yang dianggap efektif dan sesuai. Kompetensi komunikasi

antar budaya juga bersifat sinergis karena individu yang saling

berinteraksi mampu menegosiasikan cara berkomunikasi yang khas dari

masing-masing individu untuk kemudian disepakati sebagai sebuah

komunikasi yang kompeten.

Identity Management Theory (IMT) atau Teori Manajemen Identitas oleh

Cupach dan Imahory kemudian dibentuk berdasarkan kompetensi atas

hubungan relasi dan juga sinergi budaya. Teori ini sangat dipengaruhi

2

oleh teori-teori mengenai identitas lainnya seperti Identity

Negotiation Theory (Ting-Toomey) dan Cultural Identity Theory (Collier

& Thomas). IMT dan CIT memiliki kemiripan bahwa keduanya menekankan

kepada makna, interpretasi, dan aturan yang mengendalikan perilaku

para individu yang berkomunikasi.

Layaknya dalam teori-teori mengenai identitas, kompetensi komunikasi

mengharuskan individu untuk memiliki kemampuan “menegosiasikan

identitas yang dapat diterima oleh kedua belah pihak saat

berinteraksi.” Namun, terdapat dua keunikan IMT dibanding teori

lainnya, yakni yang pertama, kompetensi komunikasi memerlukan

manajemen hubungan dan manajemen identitas kultural yang efektif.

Kedua, face merupakan refleksi dari identitas seseorang yang

dikomunikasikan. Oleh sebab itu, manajemen identitas yang efektif

memerlukan facework yang kompeten.

Sementara itu, dalam Littlejohn & Foss (2008, p.204) dikatakan bahwa

manajemen identitas merupakan suatu “teori yang menunjukkan bagaimana

sebuah identitas diciptakan, diatur, dan diubah dalam sebuah ikatan

hubungan.” Dalam proses untuk membentuk identitas, kita tidak akan

bisa lepas dari sebuah hasrat untuk membentuk identitas itu sendiri.

Littlejohn & Foss mendefinisikan “lebih spesifik mengenai hasrat

tersebut dengan istilah face, dan kinerja face yang dikembangkan dalam

hubungan dengan pasangan disebut sebagai facework. Face dapat didukung

atau diancam, keduanya dapat terjadi dalam suatu hubungan” (2008,

p.205). “Karena negosiasi identitas budaya seringkali terjadi dalam

sebuah hubungan yang berbeda budaya, maka banyak potensi terjadinya

face threatening yang terkait pada masing-masing pasangan berbeda budaya

tersebut.” (Littlejohn & Foss, 2008).

3

CAKUPAN TEORI

IMT mencoba menjelaskan bagaimana identitas kultural dinegosiasikan

melalui pengembangan hubungan interpersonal. Manajemen identitas

didapat melalui tahapan dalam pengembangan hubungan, dimulai dari

perkenalan awal hingga hubungan memiliki keintiman dan komitmen.

Walaupun teori ini mengenai identitas kultural seseorang, namun ia

tidak terbatas hanya mengenai hubungan antar budaya karena identitas

kultural hadir di berbagai tipe hubungan –intrakultural

(intracultural), antar budaya (intercultural), maupun antar pribadi

(interpersonal). Dalam penerapannya, batasan dari teori ini adalah

komunikasi antar dua individu, bukan kelompok. Berdasarkan budaya, IMT

dapat diaplikasikan dalam beragam tipe budaya, termasuk bangsa, etnis,

wilayah, kelas sosial ekonomi, jenis kelamin, dsb.

ASUMSI-ASUMSI TEORI DAN METATEORI

Konsep Utama dari Identity Management Theory antara lain kompetensi,

identitas, cultural and relational identity, face, dan facework.

Kompetensi memerlukan perilaku yang efektif dan sesuai, yang akan

memuaskan masing-masing pihak yang berhubungan. Sementara, identitas

didefinisikan sebagai sebuah ‘konsepsi diri –teori mengenai diri

seseorang.’ Identitas digunakan untuk memahami diri seseorang dan

dunia sekitar. Identitas dibentuk melalui mekanisme seperti

kategorisasi diri kedalam beberapa kelompok sosial serta peran sosial

yang dijalankannya. Identitas merupakan sebuah bentukan yang kompleks

dan terdiri atas beberapa aspek yang meliputi banyak subidentitas.

4

Identitas dapat dihubungkan dengan kewarganegaraan, etnis, wilayah,

jenis kelamin, usia, pekerjaan, serta kelompok sosial seperti kelompok

orang yang memiliki hobi maupun pengalaman yang sama.

Cultural identity atau identitas kultural didefinisikan sebagai

“identifikasi dan perasaan diterimanya seseorang sebagai bagian dari

sebuah kelompok yang berbagi tanda dan makna serta norma/aturan yang

membentuk perilaku tertentu.” Sementara itu, relational identity atau

identitas relasional timbul dari adanya relational culture yang dibagi,

yakni ‘sistem pertukaran pengertian” yang memudahkan orang untuk

menyelaraskan makna dan perilaku. Singkatnya, dalam hubungan ini, yang

lebih ditekankan adalah ‘kami’ dibanding ‘kamu dan saya.’

Collier dan Thomas menjelaskan mengenai kompleksitas identitas melalui

tiga dimensi :cakupan (scope), ciri khas (salience), dan intensitas

(intensity). Berdasarkan cakupan, relational identity berada di tataran yang

kecil karena hanya antara dua individu dalam hubungan yang spesifik

(suami istri, teman baik, dll). Ciri khas berhubungan dengan

psikologis dan perasaan individu dalam berbagai aspek identitas ketika

berinteraksi, sementara intensitas menyangkut seberapa terbuka dan

terang-terangan seseorang mengungkapkan identitasnya saat

berinteraksi.

IMT tidak secara spesifik memberi batasan, ia dapat diaplikasikan

dalam hubungan antarpribadi, intracultural, maupun intercultural. Hal tersebut

dikarenakan dalam setiap hubungan tersebut mengandung komunikasi

interpersonal, intracultural dan intercultural.

Dalam interaksi antar pribadi, intracultural, maupun intercultural, identitas

“ditampilkan” oleh individu sebagai sesuatu yang mewakili dirinya dan

juga ingin orang lain menganggapnya demikian. Hal ini disebut dengan

5

istilah face (‘wajah’). Pengelolaan face dilakukan secara natural dan

otomatis karena menyangkut keteraturan dan kesopanan. Biasanya,

masing-masing orang akan menjaga face orang lain karena berharap orang

lain juga akan menyelamatkannya.

Brown dan Levinson mengungkapkan dua jenis face yang dimiliki oleh

setiap individu. Positive face menandakan keinginan untuk diterima oleh

orang lain. Agar dapat diterima oleh orang lain, positive face menampilkan

kepribadian, penampilan dan atribut yang akan disukai orang lain.

Sebaliknya, negative face menunjukkan bahwa seseorang bebas dari kepura-

puraan.

Ketika seseorang menunjukkan face yang bertentangan dengan ‘wajah’

aslinya maupun ‘wajah’ yang diharapkan oleh lawan interaksinya, ia

sedang melakukan face-threatening act. Komunikasi digunakan sebagai alat

untuk melawan maupun menyelaraskan ancaman terhadap positif atau

negatif face yang ditunjukkan oleh orang lain, dengan cara menghindari

ancaman tersebut maupun mengembalikan face apabila sudah terlanjur

dipermalukan. Hal ini disebut dengan istilah facework. Lebih rinci,

facework diartikan sebagai strategi baik verbal maupun non verbal yang

dilakukan untuk menjaga, mempertahankan, atau memperbaiki gambaran

diri yang sudah ditampilkan sebelumnya dan juga menjaga gambaran diri

orang lain.

Kemampuan mengenai facework sangat penting dalam komunikasi

antarpribadi. Identitas tertentu menggambarkan cost dan reward yang

didapat tiap individu dalam interaksi sosial. Facework digunakan untuk

menghasilkan rasa saling menghormati sehingga interaksi yang terjadi

dapat berjalan lancar dan menyenangkan.

6

PROPOSISI TEORITIS DAN BUKTI PENELITIAN

IMT menawarkan proposisi spesifik tentang masalah identitas yang

terlibat dalam hubungan antarbudaya dan bagaimana masalah-masalah

tersebut dapat dikelola dengan baik. Sebelum menguji proposisi-

proposisi spesifik, studi sebelumnya (Imahori, 1999, 2001) menguji

apakah identitas memang merupakan faktor signifikan dari kompetensi

komunikasi antarbudaya. Imahori(1999) mengukur persepsi Jepang dari

berbagai faktor kompetensi antarbudaya dengan mengacu pada teori

manajemen identitas, kecemasan dan teori manajemen ketidakpastian

serta teori negosiasi identitas. Ia menemukan bahwa budaya,

relasional, dan manajemen identitas pribadi yang dirasakan oleh Jepang

merupakan faktor penting dalam komunikasi antarbudaya dalam

hubungannya dengan faktor-faktor lain dari kompetensi yang diusulkan

oleh teori lain.

Dalam studi kedua, Imahori (2001) membandingkan persepsi manajemen

identitas Jepang dalam hipotetis intraetnis (Jepang-Jepang) dan

interaksi antar etnis (Jepang–Amerika putih). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa Jepang mempersepsikan manajemen identitas budaya dan

relasional sebagai suatu yang penting dalam interaksi antar etnis dan

intraetnis, dan identitas relasional dianggap sebagai lebih penting

dalam interaksi antaretnis dari pada intraetnis.

Meskipun identitas budaya dan relasional keduanya merupakan aspek

penting dari manajemen identitas, lawan bicara antarbudaya rentan

terhadap terjadinya ancaman yang terkait dengan identitas budaya

mereka.

7

PROPOSISI TENTANG PROBLEMATIKA DAN DIALEKTIKA FACE (WAJAH)

IMT mengusulkan bahwa orang mengalami empat tipe tertentu dalam

problematika face. Pertama, orang mungkin mengalami ancaman ketika

identitas budaya mereka terkendala karena dihadapkan dengan stereotip

atau terlihat hanya sebagai seseorang dengan identitas budaya tertentu

(proposisi 1a). Ancaman face ini terjadi karena orang-orang di fase

awal hubungan antarbudaya memiliki kurangnya pengetahuan yang rinci

tentang budaya lainnya. Karena keanggotaan budaya merupakan tipe

pertama dari orang dalam memperoleh informasi satu sama lain melalui

isyarat mudah (aksen, pakaian, dan ciri-ciri fisik), mereka cenderung

melihat orang lain hanya sebagai anggota dari budaya masing-masing dan

mengabaikan aspek lain dari identitas masing-masing. Kita lihat hal

ini cenderung mengancam sebagai 'pembekuan identitas'. Pembekuan

identitas jelas mengancam negatif face orang lain karena membatasi

keinginan orang lain untuk mengakui sebuah identitas yang berbeda.

Selain itu, pembekuan identitas juga mengancam positif face orang lain

karena mengabaikan karakteristik nilai-nilai orang lain.

Penelitian menunjukkan bahwa pembekuan identitas umum dialami. Baru-

baru ini, Imahori (2002) melakukan wawancara ekstensif dengan lebih

dari 120 orang dalam hubungan antarbudaya, bervariasi dari perkenalan

sampai pernikahan. Melalui wawancara berakhir terbuka dengan sampel

beragam etnis di SanFransisco bay Area, ia menilai apakah responden

mengalami berbagai problematika face dan ketegangan dialektis, dan

bagaimana mereka mengatasinya. Ia menemukan bahwa 22,3% dari responden

yang berpengalaman melakukan pembekuan identitas dengan pasangan

mereka. Selanjutnya, penelitian sebelumnya pada komunikasi antaretnis

8

di Amerika Utara menemukan bahwa Afrika dan Amerika mengalami

ketidakberdayaan yang mirip dengan pembekuan identitas.

Ketidakberdayaan ini memerlukan perasaan terjebak, dimanipulasi, atau

dikendalikan oleh yang lain dalam suatu percakapan.

Terkait dengan pembekuan identitas, stereotip juga umumnya dialami

dalam hubungan antarbudaya. Orang mungkin tidak hanya melihat satu

sama lain sebagai anggota budaya masing-masing, tetapi juga untuk

mencoba berinteraksi satu sama lain berdasarkan keyakinan tentang

budaya masing-masing. Stereotip seperti mengabaikan karakteristik

unik dari individu dan memaksa orang ke dalam kategori yang telah

ditetapkan. Dalam sebuah wawancara baru-baru ini tentang studi

hubungan antar budaya (imahori, 2002), sebanyak 66% dari responden

yang diwawancara mengaku mengalami stereotip dari lawan bicara mereka.

Meskipun studi ini umumnya melaporkan bahwa stereotip negatif lebih

sering dialami oleh kelompok etnis minoritas. Bahkan, orang-orang dari

kelompok budaya yang dominan dapat mengalami pembekuan identitas dan

proses stereotip jika mereka dianggap hanya dalam kelompok budaya

mereka. Dalam hal ini, IMT mempertimbangkan isu-isu manajemen

identitas kelompok dominan dan kelompok tertindas untuk menjadi

serupa, meskipun pembekuan identitas dan stereotip mungkin

berpengalaman subyektif dalam cara yang berbeda dan derajat yang

berbeda oleh dua kelompok.

Konsekuensi yang lain ketika identitas budaya seseorang tidak cukup

didukung. Hal ini terjadi mungkin karena pengalaman antar komunikator

yang cukup menyadari akan bahaya stereotip dan pembekuan identitas.

Dengan demikian, komunikator mencoba untuk melihat satu sama lain

lebih sebagai individu daripada sebagai anggota budaya masing-masing.

Hal ini mengakibatkan pengabaian identitas budaya masing-masing.

9

Ketika identitas budaya orang diabaikan, mereka akan mengalami ancaman

terhadap positif face mereka. Kita dapat melihat hal ini sebagai non

support problematic (Proposisi 1b).

Selain problematika tersebut, lawan bicara antarbudaya menghadapi

pilihan dialektis antara face sendiri dan face orang lain. Dialektika face

ini menjadi semakin sulit untuk diselesaikan sebagai identitas budaya

dari pasangan antarbudaya. Mendukung identitas budaya sendiri,

melegitimasi norma-norma atau nilai-nilai budaya sendiri, yang mungkin

bertentangan dengan norma-norma atau nilai-nilai budaya pasangan,

sehingga mengancam identitas budaya pasangannya. Di sisi lain,

mendukung identitas budaya pasangan mungkin memerlukan pengorbanan

perasaan kebanggaan terhadap budaya sendiri. Singkatnya, antar

komunikator mengalami suatu dialektika self-other face, yaitu, ketegangan

dialektis antara mendukung wajah sendiri terhadap pasangan terkait

dengan identitas budaya mereka. (Preposisi 1c).

Selain dari dialektika face lainnya, antar komunikator mengalami

dialektika positif-negatif face, yaitu, ketegangan dialektis antara

mendukung negatif face atau positif face lawan bicara (proposisi 1d).

Meskipun versi asli IMT (Cupach &Imahori, 1993) mengidentifikasi tiga

dari problematika face dan dialektika, hal tersebut tidak menentukan

jenis strategi facework untuk mengatasinya. Namun, sebuah studi

wawancara oleh Imahori (2002) mampu menggambarkan tipologi strategi

facework yang digunakan untuk mengatasi setiap tipe masalah face dan

mengemukakan versi asli IMT. Secara umum, Imahori (2002) menemukan

bahwa orang menggunakan berbagai macam strategi facework yang dirancang

untuk mendukung positif atau negatif face dari diri sendiri, orang lain

atau keduanya.

10

Dalam menghadapi masalah pembekuan identitas, Imahori (2002)

mengidentifikasi empat set strategi: self positive face support, mutual positive

face support, other positive face support, and mutual negative face support. Strategi self

positive face support digunakan untuk melindungi wajah sendiri ketika

terancam oleh stereotip atau pembekuan identitas. Strategi mutual

positive face support mengusahakan untuk mendukung kedua orang itu sendiri

dan wajah pasangannya. Strategi other positive face support bertujuan untuk

menegakkan wajah pasangannya. Akhirnya, dukungan negatif face saling

dirancang untuk menghormati otonomi masing-masing dengan menghindari

interaksi yang mengungkapkan stereotip. Penelitian sebelumnya pada

komunikasi Afrika Amerika-Eropa Amerika telah melaporkan strategi yang

sama untuk menghadapi orang lain tentang stereotip, memperlakukan

orang lain sebagai individu, mendidik orang lain tentang stereotip.

Untuk mengatasi dialektika self-other face, Imahori (2002) menemukan empat

set pengembangan strategi: other positive face support, self positive face support,

mutual positive face support, and mutual negative face support. Strategi other positive

face support mencoba untuk mendukung budaya mitra daripada diri sendiri.

Self positive face support adalah seperangkat pengembangan strategi yang

khusus dirancang untuk meningkatkan persetujuan diri. Strategi mutual

positive face support dirancang untuk bergantian mendukung identitas satu

sama lain, adaptasi terhadap budaya masing-masing, atau memfasilitasi

adaptasi yang lain terhadap budaya sendiri. Akhirnya, mutual positive face

support saling menghindari interaksi budaya yang berhubungan atau hanya

menerima perbedaan budaya.

Dalam mengatasi dialektika positif-negatif face, Imahori (2002)

melaporkan tiga set strategi. Other negative face support mencakup strategi

yang semuanya dimaksudkan untuk menghindari pemaksaan pada otonomi

11

mitra, seperti "memantul" dari batas otonomi lain (menghindari topik-

topik tertentu). Mutual negative face support menghindari interaksi yang

menyebabkan ketegangan positif-negatif face. Mutual positive face support

termasuk meminta maaf atau membenarkan peringatan terhadap negative

face pasangan. Menawarkan permintaan maaf untuk mendukung positif face

diri sendiri dengan menunjukkan bahwa salah satu pihak cukup bisa

berkompetensi untuk mengakui kesalahan sendiri.

Selain strategi facework, teori manajemen identitas mengusulkan bahwa

antara self-other face dan positif-negatif face dapat diselesaikan jika

identitas relasional dapat ditekankan dan saling mendukung dalam

membahas manajemen identitas dalam konteks pengembangan hubungan

(Cupach & imahori, 1993).

Proposisi Terkait Fase Manajemen Identitas

Terkait fase, IMT menunjukkan bahwa orang mengelola identitas mereka

dengan cara yang berbeda, pada saat-saat yang berbeda dalam hubungan

mereka. Teori ini mengajukan tiga fase yang saling tergantung dan

berputar menyerupai siklus dalam hubungan antarbudaya, yakni fase trial,

enmeshment, dan renegotiation.

Trial

Di fase awal hubungan antarbudaya, masing-masing orang akan merasa

identitas kultural sebagai perbedaan yang menonjol. Perbedaan ini

12

dilihat sebagai hambatan dalam komunikasi dan suatu hubungan karena

adanya perbedaan bahasa, gaya berkomunikasi, dan norma. Pada tahap

ini, pasangan antarbudaya mengalami dialektika yang sangat kuat antara

self (dirinya) dan other face (orang lain). Mungkin saja mereka mengalami

fase problematik berdasarkan informasi atau image stereotipe tertentu.

Pada akhirnya, mereka akan menunjukkan saling tertarik yang berlebihan

pada budaya lainnya, mengakibatkan kebekuan identitas atau dialektika

positive-negative face.

Pada fase ini, orang akan bereaksi paling tidak dengan dua cara.

Pertama, mereka memutuskan bahwa ‘cost’ (biaya atau beban) yang berasal

dari perbedaan mereka terlalu berat untuk dijalani dalam sebuah

hubungan. Sedangkan yang kedua, mereka mencoba mengembangkan hubungan

berdasarkan kesamaan yang mereka temukan, seperti minat, kegiatan yang

diikuti, hobi, dsb. IMT menyebut fase ini sebagai fase trial atau

penjajakan. Mengidentifikasi kesamaan, mengidentifikasi batasan serta

adanya dukungan dan ancaman.

Enmeshment

Jika pasangan antarbudaya menemukan kesamaan yang cukup selama fase

trial, maka mereka akan melanjutkan hubungan ke fase selanjutnya, yang

dinamakan ‘enmeshment’. Pada fase ini, terjadi peningkatkan aksi

seperti saling berbagi simbol dan aturan, menggunakan ‘interpretive

framework’ atau kerangka interpretif untuk lebih saling memahami satu

sama lain. Lebih spesifik, penelitian Baxter (1987) menunjukkan lima

tipe simbolik yang dibagikan dalam hubungan tersebut, yaitu: terkait

aksi verbal dan non verbal (misalnya mulai menggunakan nama

panggilan), saling berbagi waktu atau kegiatan yang telah dilakukan

sebelumnya, objek fisik (seperti hewan kesayangan), tempat spesial,

13

dan benda bersejarah (buku, musik, film) yang memiliki arti khusus

bagi pasangan/ lawan interaksi mereka.

Di sini, mereka saling berbagi harapan mengenai perilaku yang

diizinkan untuk dilakukan, dilarang, atau dipilih dalam konteks

hubungan. Mereka mengembangkan dan menegosiasikan standard kompetensi

komunikasi satu sama lain.

Meningkatnya konvergensi dalam hal simbol dan aturan, kemudian akan

berkembang menjadi ‘shared relational identity’ atau identitas relasional.

Meskipun pada fase ini, terjadi keterikatan yang kuat, namun IMT

mengatakan bahwa identitas relasional belum berkembang utuh. Mereka

belum merasa nyaman dengan perbedaan yang ada, hanya saja mencoba

mengaburkan (de-emphasize) perbedaan mereka, dengan lebih menonjolkan

kesamaan yang ada. Singkatnya, manajemen identitas pada fase enmeshment

ditandai dengan mengaburkan (de-emphasized) identitas kultural masing-

masing dan menekankan tumbuhnya (emphasize) relational identity atau identitas

relasional.

Dalam tahapan ini, tidak berarti masalah face dan dialektika selesai.

Pada hubungan antarbudaya yang platonik, mereka tidak memiliki harapan

seksual, kebiasaan atau ritual tertentu. Namun, dengan meningkatnya

aksi berbagi simbol dan aturan tadi, hubungan ini dapat berkembang ke

arah hubungan romantik. Mereka harus kembali mengatasi dialektika

antara self dan other, juga positive dan negative face.

Renegotiation

Fase ketiga dari manajemen identitas ditandai dengan meningkatnya

kemampuan pasangan antarbudaya untuk keluar dari problematika dan

dialektika face, berdasarkan identitas relasional yang telah dibangun,

14

dan meningkatkan konvergensi simbolik dan aturan. Melalui identitas

relasional ini, pasangan antarbudaya akan melihat hubungan mereka, dan

satu sama lain, serta dunia, diluar dari diri mereka. Adanya kesamaan

perspektif membuat intercultural communicators mencoba menerjemahkan kembali

perbedaan kultural mereka sebagai aset, sebagai integral yang akan

membuat hubungan mereka utuh ketimbang sebagai hambatan. Sebagai

contoh adalah intercultural dating couples, yang melihat pesta pernikahan

mereka sebagai sesuatu yang unik, bukan sebagai hambatan kultural.

Dalam IMT, kecepatan orang pada tiap fase berbeda-beda, bisa jadi

berhubungan/tidak berhubungan dengan faktor lainnya seperti

keterbukaan, ketergantungan, komitmen, dan kepuasan. Yang perlu

dicatat, fase manajemen identitas dikatakan akan berulang seperti

siklus, karena pasangan antarbudaya bisa kembali ke fase awal setelah

mencapai fase akhir ketika menemukan area baru dari perbedaan

identitas kultural yang harus dikelola kembali. Imahori dan Cupach

menambahkan bahwa semakin dua individual berinteraksi dan menjadi

saling tergantung, hubungan mereka akan menjadi semakin kompleks. Oleh

karenanya, lebih banyak aspek dari identitas yang harus dinegosiasikan

dan di re-negosiasikan.

Kesimpulan

Identity Management Theory atau Teori Manajemen Identitas memberikan

pemahaman mengenai kompetensi komunikasi antarbudaya, dengan

menjelaskan hubungan antara manajemen identitas dan strategi facework

dalam konteks pengembangan relasi/hubungan.

15

IMT menawarkan kerangka yang membantu kita dalam memahami proses yang

kompleks dalam manajemen identitas dalam interaksi antarbudaya. IMT

menawarkan beberapa prinsip dalam kompetensi komunikasi antara partner

berbeda budaya, yakni: (a) membangun relational identity atau identitas

relasional melalui tindakan, konvergensi simbolik, dan koordinasi

aturan-aturan; (b) melihat perbedaan kultural sebagai aset ketimbang

hambatan; (c) menyadari bahwa manajemen identitas dan manajemen

hubungan merepresentasikan dua sisi dari sebuah koin.

Sumber:

Holliday, Adrian, Hyde, Martin dan Kullman, John. 2004. Intercultural

Communication : An Advanced Resource Book. London: Routledge

Imahori, T. dan Cupach, W. Identity Management Theory : Facework in Intercultural

Relationships. Dalam Gudykunst, William. 2005. Theorizing About Intercultural

Communication. Sage Publications, United States

Littlejohn, S.W. & Foss, K.A. (2008). Theories of human communication.

Sage Publications, California, USA.

2.8. Tipe-tipe Konflik Global

Littlejohn dan Domenici (2007) memaparkan tiga

jenis konflik global berdasarkan penyebabnya. Konflik

berbasis kepentingan, konflik etnik dan ras, dan konflik

ideologis.

a. Konflik kepentingan

16

Seperti konflik interpersonal, konflik komunal

sebagian besar juga disebabkan karena perbedaan

kepentingan, baik kepentingan politik, ekonomi, maupun

perebutan sumber daya dan kekuasaan. Penjabaran konflik

berbasis kepentingan sendiri bisa cukup luas,

berdasarkan kepentingan apa dari masing-masing kelompok yang bertikai.

Dalam sebuah konflik bisa saja bukan hanya satu kepentingan yang

diperebutkan oleh dua atau beberapa kelompok tetapi bisa juga

merupakan kombinasi dari berbagai kepentingan yang ada.

b. Konflik Etnik dan Ras

Sebagian besar konflik berskala besar yang

terjadi dalam sejarah melibatkan etnik dan ras. Implikasi

dari perbedaan kultural, bagaimana orientasi dalam melihat

perbedaan, dominasi satu kelompok terhadap kelompok

lainnya, perbedaan nilai-nilai dan norma antar etnik dan ras yang

berbeda, segregasi antara keduanya mempertajam konflik

yang terjadi. Terkadang konflik etnik sendiri juga disebabkan karena

persaingan ekonomi dan perebutan sumber daya. Perbedaan kultur

juga menyebabkan orientasi konflik yang berbeda, pada

kultur yang lebih individualis atribusi terhadap konflik

lebih kepada kepentingan individu, pada kultur yang lebih kolektivis

perbedaan menjadi lebih tajam pada nilai-nilai etnik hingga rasis.

Segregasi akan mengarahkan pada generalisasi yang salah hingga

kepada stereotipe yang bisa menuju pada tendensi dan konflik.

Metastereotipe adalah jenis stereotipe yang oleh satu kelompok

diyakini disematkan oleh kelompok lain pada kelompoknya. Hal ini

dapat menjadi akar konflik etnik dan bisa menyebabkan

konflik hingga pada tataran penyerangan fisik.

17

c. Konflik Ideologi dan Moralitas

Dalam sebuah komunitas cenderung berbagi kepercayaan

dan keyakinan bersama yang memuat nilai-nilai kehidupan

mendasar yang menuntun cara hidup komunitas itu

sendiri. Dasar keyakinan berbeda atas ‘benar’ dan

‘salah’, perbedaan cara pandang yang mendasar antar

kedua komunitas yang berbeda dapat menjadi penyebab konflik dalam

skala besar. Konflik agama, negara, maupun politik,

juga etnik di dalamnya dapat termasuk pada konflik ini.

2.9. Masalah Perbedaan Budaya

Setiap kultur dapat dideskripsikan dalam tiga

sistem dengan faktor yang saling berhubungan. Yang

pertama adalah sistem abstraksi budaya, atau cara berfikir,

hal ini memuat konsep-konsep dalam suatu budaya, nilai-nilai,

moralitas, dan ide-ide tentang segala sesuatu dalam budaya

tersebut. Sistem yang kedua adalah artefak budaya, atau

produk langsung dari budaya tersebut, termasuk diantaranya

seni, musik, tarian, arsitektur, dan lainnya. Sistem yang ketiga

adalah bahasa dan komunikasi, setiap budaya memiliki

diskursusnya masing-masing, bagaimana caranya menggunakan kata-

kata, tata bahasa, serta bahasa non verbal.

Komunikasi adalah sistem sentral dari budaya, arti dari

budaya itu sendiri dikembangkan dan diekspresikan melalui interaksi

antar sesama. (Littlejohn dan Domenici, 2007)

Beberapa variabel yang berpengaruh dalam konflik antar budaya:

a. Cultural Contexts, beberapa budaya dengan tipe

18

high context mengasumsikan komunikator sudah

mengetahui banyak hal tentang apa yang sedang terjadi

dalam berbagai hubungan dan situasi. Diskursus mereka cenderung

tidak langsung dan tidak perlu jelas pada makna sesungguhnya.

Budaya lainnya low contexts, cenderung bersifat langsung dalam

memahami situasi yang terjadi. Berkata dengan langsung dan

tidak membiarkan orang menerka-nerka apa maksud di dalamnya.

b. Individualisme dan Kolektivisme, variabel kedua adalah

masing-masing budaya cenderung bersifat individualisme

ataukah kolektivisme. Budaya individualisme menghormati

masing-masing individu di atas kelompoknya, hak-hak individu

dianggap sangat penting, sementara budaya kolektivisme cenderung

berfikir secara kelompok dibandingkan individu. Segala

hal selalu dirujuk pada kepentingan kelompoknya.

c. Power Distance, distingsi lainnya adalah jarak

kekuasaan, yaitu derajat dimana dalam sebuah budaya cenderung

relative sama atau bersifat hirarkis. Beberapa budaya memiliki

jarak kekuasaan yang tinggi dan beberapa lainnya memiliki

jarak kekuasaan yang rendah serta cenderung egaliter.

Kedua budaya ini berbeda dalam menyikapi konflik yang terjadi. Pada

saat konflik, individu budaya dengan jarak kekuasaan

yg rendah akan lebih bernegosiasi untuk memenuhi

kepentingannya. Sebaliknya individu dengan jarak kekuasaan yang

tinggi akan cenderung menyerahkan pada kelompok atau otoritas

yang dianggap bertanggung jawab. Samovar, Potter dan

McDaniel (2007) menunjukkan beberapa hal dalam manajemen

konflik antar budaya. Bagaimana setting komunikasi antar

19

budaya dalam merespon dan melakukan manajemen

membutuhkan beberapa tindakan diantaranya:

a. Melakukan identifikasi konten dari isu; saat konflik terjadi,

kesalahpahaman kita memerlukan cara untuk menemukan

apa sebenarnya inti dari ketidaksetujuan yang dapat

menimbulkan konflik. Apabila kemudian kita

mengklarifikasi isu sentral dari konten maka para pihak akan mampu

untuk fokus kepada solusi konflik yang terjadi.

b. Tetap menjaga pikiran terbuka; menjaga pikiran

terbuka pada saat konflik adalah bagaimana kita tidak

dibutakan atas argumen-argumen lawan dan mengabaikan

apa yang tidak disukai, kita mencoba melihat

permasalahan dari sisi lainnya dan tetap terbuka pada posisi

individu atau kelompok lainnya.

c. Tidak terburu-buru; pada saat resolusi konflik agar

tidak terburu-buru mencari penyelesaian, tetapi harus tetap

slow down dan sensitif dalam ketenangan.

d. Menjaga konflik pada tataran ide, bukan orangnya;

pada saat berada pada posisi yang tidak nyaman, penting

untuk tetap fokus pada permasalahan, bukan kepada orangnya.

Harus dapat dipisahkan antara statemen, preposisi dan orang yang

menyatakannya sehingga kita fokus pada penyelesaian konflik

dibanding bertahan pada ego masing-masing. ‘

e. Mengembangkan teknik untuk menghindari konflik; pada

saat tertentu penting untuk menarik dan mengembangkan

teknik untuk ‘menghindari’ konflik sebelum konflik

20

terus berkembang hingga sampai pada level yang sulit

dipecahkan. Menghindari ini untuk menurunkan ketegangan

dan kemudian memulai kembali untuk mendapatkan resolusi konflik.

Penelitian pada budaya organisasi menjadi penting mengingat organisasi

social memiliki elemen-elemen yang sudah ada sebelumnya yang saling

bertindak dalam cara dapat diduga ke asumsi bahwa ada pemaknaan yang

tgerus berubah yang tersusun melalui komunikasi. Budaya organisasi

dapat di[engaruhi pleh tradisi sosiokultural dalam komunikasoi. Da;lam

radisi ioni organisasi memberikan peluang bagi adanya penafsiran

budaya. Organisasi menciptakan sebuah realitas bersama yagn mebebdakan

mereka dari organisasi dengan budaya lain.n gareth morgan menjelaskan

dalam hal ini pemaknaan bersama, pemahaman bersama, dan perasaan

berdsama semuanya merupakan cara yang berbeda dalam menje;laskan

budaya. Da;ammebicarakan budaay kita sevbenarnya membicarakan sebuah

p[roses p[embeuentulkanrea;litras yang memungkinkan manusia melihat

dan memahami kejadian, tindakan , objek, ucapan ataus situasi tertnetu

da;amcara yagn berbead. Pola-pola pem,ahaman inijuga membuerikan

dadzar untukmembvuat perilaku seseorang berartuida dan pantas.

Budaya organisasi adalah sesuatu yangdihasilkan melalui interaksi

sehjatuihariu da;amorganisasi bukan hanya tudas pekerjaan, tetapui

semua jenis komunikasi (sebagimana dikutip dari buku Teori Komuniasi

oleh Stephen w littlejjohn, Karen AFoss edisi 9 penerbit salemba

humanika 2009)hal383.

21


Recommended