Date post: | 28-Jan-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
IDENTITY MANAGEMENT THEORY (TEORI MANAJEMEN IDENTITAS)
Pengantar tentang Identitas (Ilustrasi Kasus)
Selama beberapa tahun ini, Parisa datang ke sebuah konvensi
internasional tentang pengolahan makanan. Ia memiliki banyak teman
dari belahan bumi Eropa, namun tetap saja, setiap datang kembali ke
acara tersebut, ia merasakan kepedihan yang sama. Parisa merupakan
satu-satunya orang di konvensi tersebut yang berasal dari Iran. Betapa
pun tulusnya teman-teman Eropa-nya, Parisa merasa - mereka melihat
dirinya dengan cara tertentu – yang bukan dirinya sama sekali. Mereka
terlihat kaget saat melihat Parisa merupakan wanita yang kreatif dan
asertif. Mereka menyebut Parisa sebagai ‘kebarat-baratan’ dan bukan
‘real Iranian’. Kemudian, teman-teman Parisa mengajaknya datang ke sebuah
Festival Film Iran yang diadakan oleh universitas lokal setempat.
Mereka terkesan dengan karakter wanita ‘kuat’ yang ditunjukkan oleh
film tersebut. Mereka tidak menyangka wanita seperti itu eksis di
Iran. Apalagi wanita tersebut menggunakan hijab. Mereka pikir wanita
Iran (Muslim stereotipe berdasarkan image media popular) adalah wanita
yang tunduk dan selalu pasif, tidak punya kekuatan. Di sini, meskipun
teman-teman Parisa sudah kenal dengannya, namun mereka juga tidak
punya pengetahuan yang nyata tentang ‘kelompok’ yang Parisa miliki,
untuk menempatkan dirinya. Mereka juga dalam situasi sulit, dan rentan
terhadap stereotipe yang disajikan oleh pihak lain.
Dari kasus di atas, seringkali identitas seseorang dipandang sebagai
representasi budaya nasional-nya (esensialis). Padahal, cultural identity
atau identitas kultural seseorang harus dibaca sebagai image atau
gambaran diri yang mereka inginkan dalam waktu tertentu, bukan sebagai
1
bukti budaya esensialis nasional. Setiap orang seperti halnya Parisa,
terikat pada masyarakat yang kompleks, dengan berbagai pilihan.
Artinya, mereka bisa mendefinisikan diri mereka sebagai bagian dari
anggota kelompok umur tertentu, bangsa tertentu, etnis tertentu,
kelompok sosial tertentu, agama tertentu, kelompok hobi tertentu.
Sebagai individual, seseorang juga merupakan anggota berbagai
kelompok, sehingga identitas kultural seseorang merupakan hal yang
unik. Dengan demikian, identitas bukan-lah merupakan konsep yang
stabil, tetapi dicapai melalui diskursus manipulasi keterampilan di
masyarakat.
Hal ini akan mengantarkan kita kepada salah satu teori mengenai
identitas, yakni Identity Management Theory, di mana seseorang dapat
mengelola identitas-nya untuk mencapai kompetensi komunikasi antar
budaya.
Teori Manajemen Identitas
Terdapat standarisasi yang universal dalam kompetensi budaya mengenai
apa yang disebut dengan kemampuan seseorang untuk berperilaku secara
efektif dan sesuai (effective and appropriate). Namun, budaya yang berbeda
tentunya memiliki ekpektasi yang berbeda pula mengenai perilaku
komunikasi yang dianggap efektif dan sesuai. Kompetensi komunikasi
antar budaya juga bersifat sinergis karena individu yang saling
berinteraksi mampu menegosiasikan cara berkomunikasi yang khas dari
masing-masing individu untuk kemudian disepakati sebagai sebuah
komunikasi yang kompeten.
Identity Management Theory (IMT) atau Teori Manajemen Identitas oleh
Cupach dan Imahory kemudian dibentuk berdasarkan kompetensi atas
hubungan relasi dan juga sinergi budaya. Teori ini sangat dipengaruhi
2
oleh teori-teori mengenai identitas lainnya seperti Identity
Negotiation Theory (Ting-Toomey) dan Cultural Identity Theory (Collier
& Thomas). IMT dan CIT memiliki kemiripan bahwa keduanya menekankan
kepada makna, interpretasi, dan aturan yang mengendalikan perilaku
para individu yang berkomunikasi.
Layaknya dalam teori-teori mengenai identitas, kompetensi komunikasi
mengharuskan individu untuk memiliki kemampuan “menegosiasikan
identitas yang dapat diterima oleh kedua belah pihak saat
berinteraksi.” Namun, terdapat dua keunikan IMT dibanding teori
lainnya, yakni yang pertama, kompetensi komunikasi memerlukan
manajemen hubungan dan manajemen identitas kultural yang efektif.
Kedua, face merupakan refleksi dari identitas seseorang yang
dikomunikasikan. Oleh sebab itu, manajemen identitas yang efektif
memerlukan facework yang kompeten.
Sementara itu, dalam Littlejohn & Foss (2008, p.204) dikatakan bahwa
manajemen identitas merupakan suatu “teori yang menunjukkan bagaimana
sebuah identitas diciptakan, diatur, dan diubah dalam sebuah ikatan
hubungan.” Dalam proses untuk membentuk identitas, kita tidak akan
bisa lepas dari sebuah hasrat untuk membentuk identitas itu sendiri.
Littlejohn & Foss mendefinisikan “lebih spesifik mengenai hasrat
tersebut dengan istilah face, dan kinerja face yang dikembangkan dalam
hubungan dengan pasangan disebut sebagai facework. Face dapat didukung
atau diancam, keduanya dapat terjadi dalam suatu hubungan” (2008,
p.205). “Karena negosiasi identitas budaya seringkali terjadi dalam
sebuah hubungan yang berbeda budaya, maka banyak potensi terjadinya
face threatening yang terkait pada masing-masing pasangan berbeda budaya
tersebut.” (Littlejohn & Foss, 2008).
3
CAKUPAN TEORI
IMT mencoba menjelaskan bagaimana identitas kultural dinegosiasikan
melalui pengembangan hubungan interpersonal. Manajemen identitas
didapat melalui tahapan dalam pengembangan hubungan, dimulai dari
perkenalan awal hingga hubungan memiliki keintiman dan komitmen.
Walaupun teori ini mengenai identitas kultural seseorang, namun ia
tidak terbatas hanya mengenai hubungan antar budaya karena identitas
kultural hadir di berbagai tipe hubungan –intrakultural
(intracultural), antar budaya (intercultural), maupun antar pribadi
(interpersonal). Dalam penerapannya, batasan dari teori ini adalah
komunikasi antar dua individu, bukan kelompok. Berdasarkan budaya, IMT
dapat diaplikasikan dalam beragam tipe budaya, termasuk bangsa, etnis,
wilayah, kelas sosial ekonomi, jenis kelamin, dsb.
ASUMSI-ASUMSI TEORI DAN METATEORI
Konsep Utama dari Identity Management Theory antara lain kompetensi,
identitas, cultural and relational identity, face, dan facework.
Kompetensi memerlukan perilaku yang efektif dan sesuai, yang akan
memuaskan masing-masing pihak yang berhubungan. Sementara, identitas
didefinisikan sebagai sebuah ‘konsepsi diri –teori mengenai diri
seseorang.’ Identitas digunakan untuk memahami diri seseorang dan
dunia sekitar. Identitas dibentuk melalui mekanisme seperti
kategorisasi diri kedalam beberapa kelompok sosial serta peran sosial
yang dijalankannya. Identitas merupakan sebuah bentukan yang kompleks
dan terdiri atas beberapa aspek yang meliputi banyak subidentitas.
4
Identitas dapat dihubungkan dengan kewarganegaraan, etnis, wilayah,
jenis kelamin, usia, pekerjaan, serta kelompok sosial seperti kelompok
orang yang memiliki hobi maupun pengalaman yang sama.
Cultural identity atau identitas kultural didefinisikan sebagai
“identifikasi dan perasaan diterimanya seseorang sebagai bagian dari
sebuah kelompok yang berbagi tanda dan makna serta norma/aturan yang
membentuk perilaku tertentu.” Sementara itu, relational identity atau
identitas relasional timbul dari adanya relational culture yang dibagi,
yakni ‘sistem pertukaran pengertian” yang memudahkan orang untuk
menyelaraskan makna dan perilaku. Singkatnya, dalam hubungan ini, yang
lebih ditekankan adalah ‘kami’ dibanding ‘kamu dan saya.’
Collier dan Thomas menjelaskan mengenai kompleksitas identitas melalui
tiga dimensi :cakupan (scope), ciri khas (salience), dan intensitas
(intensity). Berdasarkan cakupan, relational identity berada di tataran yang
kecil karena hanya antara dua individu dalam hubungan yang spesifik
(suami istri, teman baik, dll). Ciri khas berhubungan dengan
psikologis dan perasaan individu dalam berbagai aspek identitas ketika
berinteraksi, sementara intensitas menyangkut seberapa terbuka dan
terang-terangan seseorang mengungkapkan identitasnya saat
berinteraksi.
IMT tidak secara spesifik memberi batasan, ia dapat diaplikasikan
dalam hubungan antarpribadi, intracultural, maupun intercultural. Hal tersebut
dikarenakan dalam setiap hubungan tersebut mengandung komunikasi
interpersonal, intracultural dan intercultural.
Dalam interaksi antar pribadi, intracultural, maupun intercultural, identitas
“ditampilkan” oleh individu sebagai sesuatu yang mewakili dirinya dan
juga ingin orang lain menganggapnya demikian. Hal ini disebut dengan
5
istilah face (‘wajah’). Pengelolaan face dilakukan secara natural dan
otomatis karena menyangkut keteraturan dan kesopanan. Biasanya,
masing-masing orang akan menjaga face orang lain karena berharap orang
lain juga akan menyelamatkannya.
Brown dan Levinson mengungkapkan dua jenis face yang dimiliki oleh
setiap individu. Positive face menandakan keinginan untuk diterima oleh
orang lain. Agar dapat diterima oleh orang lain, positive face menampilkan
kepribadian, penampilan dan atribut yang akan disukai orang lain.
Sebaliknya, negative face menunjukkan bahwa seseorang bebas dari kepura-
puraan.
Ketika seseorang menunjukkan face yang bertentangan dengan ‘wajah’
aslinya maupun ‘wajah’ yang diharapkan oleh lawan interaksinya, ia
sedang melakukan face-threatening act. Komunikasi digunakan sebagai alat
untuk melawan maupun menyelaraskan ancaman terhadap positif atau
negatif face yang ditunjukkan oleh orang lain, dengan cara menghindari
ancaman tersebut maupun mengembalikan face apabila sudah terlanjur
dipermalukan. Hal ini disebut dengan istilah facework. Lebih rinci,
facework diartikan sebagai strategi baik verbal maupun non verbal yang
dilakukan untuk menjaga, mempertahankan, atau memperbaiki gambaran
diri yang sudah ditampilkan sebelumnya dan juga menjaga gambaran diri
orang lain.
Kemampuan mengenai facework sangat penting dalam komunikasi
antarpribadi. Identitas tertentu menggambarkan cost dan reward yang
didapat tiap individu dalam interaksi sosial. Facework digunakan untuk
menghasilkan rasa saling menghormati sehingga interaksi yang terjadi
dapat berjalan lancar dan menyenangkan.
6
PROPOSISI TEORITIS DAN BUKTI PENELITIAN
IMT menawarkan proposisi spesifik tentang masalah identitas yang
terlibat dalam hubungan antarbudaya dan bagaimana masalah-masalah
tersebut dapat dikelola dengan baik. Sebelum menguji proposisi-
proposisi spesifik, studi sebelumnya (Imahori, 1999, 2001) menguji
apakah identitas memang merupakan faktor signifikan dari kompetensi
komunikasi antarbudaya. Imahori(1999) mengukur persepsi Jepang dari
berbagai faktor kompetensi antarbudaya dengan mengacu pada teori
manajemen identitas, kecemasan dan teori manajemen ketidakpastian
serta teori negosiasi identitas. Ia menemukan bahwa budaya,
relasional, dan manajemen identitas pribadi yang dirasakan oleh Jepang
merupakan faktor penting dalam komunikasi antarbudaya dalam
hubungannya dengan faktor-faktor lain dari kompetensi yang diusulkan
oleh teori lain.
Dalam studi kedua, Imahori (2001) membandingkan persepsi manajemen
identitas Jepang dalam hipotetis intraetnis (Jepang-Jepang) dan
interaksi antar etnis (Jepang–Amerika putih). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Jepang mempersepsikan manajemen identitas budaya dan
relasional sebagai suatu yang penting dalam interaksi antar etnis dan
intraetnis, dan identitas relasional dianggap sebagai lebih penting
dalam interaksi antaretnis dari pada intraetnis.
Meskipun identitas budaya dan relasional keduanya merupakan aspek
penting dari manajemen identitas, lawan bicara antarbudaya rentan
terhadap terjadinya ancaman yang terkait dengan identitas budaya
mereka.
7
PROPOSISI TENTANG PROBLEMATIKA DAN DIALEKTIKA FACE (WAJAH)
IMT mengusulkan bahwa orang mengalami empat tipe tertentu dalam
problematika face. Pertama, orang mungkin mengalami ancaman ketika
identitas budaya mereka terkendala karena dihadapkan dengan stereotip
atau terlihat hanya sebagai seseorang dengan identitas budaya tertentu
(proposisi 1a). Ancaman face ini terjadi karena orang-orang di fase
awal hubungan antarbudaya memiliki kurangnya pengetahuan yang rinci
tentang budaya lainnya. Karena keanggotaan budaya merupakan tipe
pertama dari orang dalam memperoleh informasi satu sama lain melalui
isyarat mudah (aksen, pakaian, dan ciri-ciri fisik), mereka cenderung
melihat orang lain hanya sebagai anggota dari budaya masing-masing dan
mengabaikan aspek lain dari identitas masing-masing. Kita lihat hal
ini cenderung mengancam sebagai 'pembekuan identitas'. Pembekuan
identitas jelas mengancam negatif face orang lain karena membatasi
keinginan orang lain untuk mengakui sebuah identitas yang berbeda.
Selain itu, pembekuan identitas juga mengancam positif face orang lain
karena mengabaikan karakteristik nilai-nilai orang lain.
Penelitian menunjukkan bahwa pembekuan identitas umum dialami. Baru-
baru ini, Imahori (2002) melakukan wawancara ekstensif dengan lebih
dari 120 orang dalam hubungan antarbudaya, bervariasi dari perkenalan
sampai pernikahan. Melalui wawancara berakhir terbuka dengan sampel
beragam etnis di SanFransisco bay Area, ia menilai apakah responden
mengalami berbagai problematika face dan ketegangan dialektis, dan
bagaimana mereka mengatasinya. Ia menemukan bahwa 22,3% dari responden
yang berpengalaman melakukan pembekuan identitas dengan pasangan
mereka. Selanjutnya, penelitian sebelumnya pada komunikasi antaretnis
8
di Amerika Utara menemukan bahwa Afrika dan Amerika mengalami
ketidakberdayaan yang mirip dengan pembekuan identitas.
Ketidakberdayaan ini memerlukan perasaan terjebak, dimanipulasi, atau
dikendalikan oleh yang lain dalam suatu percakapan.
Terkait dengan pembekuan identitas, stereotip juga umumnya dialami
dalam hubungan antarbudaya. Orang mungkin tidak hanya melihat satu
sama lain sebagai anggota budaya masing-masing, tetapi juga untuk
mencoba berinteraksi satu sama lain berdasarkan keyakinan tentang
budaya masing-masing. Stereotip seperti mengabaikan karakteristik
unik dari individu dan memaksa orang ke dalam kategori yang telah
ditetapkan. Dalam sebuah wawancara baru-baru ini tentang studi
hubungan antar budaya (imahori, 2002), sebanyak 66% dari responden
yang diwawancara mengaku mengalami stereotip dari lawan bicara mereka.
Meskipun studi ini umumnya melaporkan bahwa stereotip negatif lebih
sering dialami oleh kelompok etnis minoritas. Bahkan, orang-orang dari
kelompok budaya yang dominan dapat mengalami pembekuan identitas dan
proses stereotip jika mereka dianggap hanya dalam kelompok budaya
mereka. Dalam hal ini, IMT mempertimbangkan isu-isu manajemen
identitas kelompok dominan dan kelompok tertindas untuk menjadi
serupa, meskipun pembekuan identitas dan stereotip mungkin
berpengalaman subyektif dalam cara yang berbeda dan derajat yang
berbeda oleh dua kelompok.
Konsekuensi yang lain ketika identitas budaya seseorang tidak cukup
didukung. Hal ini terjadi mungkin karena pengalaman antar komunikator
yang cukup menyadari akan bahaya stereotip dan pembekuan identitas.
Dengan demikian, komunikator mencoba untuk melihat satu sama lain
lebih sebagai individu daripada sebagai anggota budaya masing-masing.
Hal ini mengakibatkan pengabaian identitas budaya masing-masing.
9
Ketika identitas budaya orang diabaikan, mereka akan mengalami ancaman
terhadap positif face mereka. Kita dapat melihat hal ini sebagai non
support problematic (Proposisi 1b).
Selain problematika tersebut, lawan bicara antarbudaya menghadapi
pilihan dialektis antara face sendiri dan face orang lain. Dialektika face
ini menjadi semakin sulit untuk diselesaikan sebagai identitas budaya
dari pasangan antarbudaya. Mendukung identitas budaya sendiri,
melegitimasi norma-norma atau nilai-nilai budaya sendiri, yang mungkin
bertentangan dengan norma-norma atau nilai-nilai budaya pasangan,
sehingga mengancam identitas budaya pasangannya. Di sisi lain,
mendukung identitas budaya pasangan mungkin memerlukan pengorbanan
perasaan kebanggaan terhadap budaya sendiri. Singkatnya, antar
komunikator mengalami suatu dialektika self-other face, yaitu, ketegangan
dialektis antara mendukung wajah sendiri terhadap pasangan terkait
dengan identitas budaya mereka. (Preposisi 1c).
Selain dari dialektika face lainnya, antar komunikator mengalami
dialektika positif-negatif face, yaitu, ketegangan dialektis antara
mendukung negatif face atau positif face lawan bicara (proposisi 1d).
Meskipun versi asli IMT (Cupach &Imahori, 1993) mengidentifikasi tiga
dari problematika face dan dialektika, hal tersebut tidak menentukan
jenis strategi facework untuk mengatasinya. Namun, sebuah studi
wawancara oleh Imahori (2002) mampu menggambarkan tipologi strategi
facework yang digunakan untuk mengatasi setiap tipe masalah face dan
mengemukakan versi asli IMT. Secara umum, Imahori (2002) menemukan
bahwa orang menggunakan berbagai macam strategi facework yang dirancang
untuk mendukung positif atau negatif face dari diri sendiri, orang lain
atau keduanya.
10
Dalam menghadapi masalah pembekuan identitas, Imahori (2002)
mengidentifikasi empat set strategi: self positive face support, mutual positive
face support, other positive face support, and mutual negative face support. Strategi self
positive face support digunakan untuk melindungi wajah sendiri ketika
terancam oleh stereotip atau pembekuan identitas. Strategi mutual
positive face support mengusahakan untuk mendukung kedua orang itu sendiri
dan wajah pasangannya. Strategi other positive face support bertujuan untuk
menegakkan wajah pasangannya. Akhirnya, dukungan negatif face saling
dirancang untuk menghormati otonomi masing-masing dengan menghindari
interaksi yang mengungkapkan stereotip. Penelitian sebelumnya pada
komunikasi Afrika Amerika-Eropa Amerika telah melaporkan strategi yang
sama untuk menghadapi orang lain tentang stereotip, memperlakukan
orang lain sebagai individu, mendidik orang lain tentang stereotip.
Untuk mengatasi dialektika self-other face, Imahori (2002) menemukan empat
set pengembangan strategi: other positive face support, self positive face support,
mutual positive face support, and mutual negative face support. Strategi other positive
face support mencoba untuk mendukung budaya mitra daripada diri sendiri.
Self positive face support adalah seperangkat pengembangan strategi yang
khusus dirancang untuk meningkatkan persetujuan diri. Strategi mutual
positive face support dirancang untuk bergantian mendukung identitas satu
sama lain, adaptasi terhadap budaya masing-masing, atau memfasilitasi
adaptasi yang lain terhadap budaya sendiri. Akhirnya, mutual positive face
support saling menghindari interaksi budaya yang berhubungan atau hanya
menerima perbedaan budaya.
Dalam mengatasi dialektika positif-negatif face, Imahori (2002)
melaporkan tiga set strategi. Other negative face support mencakup strategi
yang semuanya dimaksudkan untuk menghindari pemaksaan pada otonomi
11
mitra, seperti "memantul" dari batas otonomi lain (menghindari topik-
topik tertentu). Mutual negative face support menghindari interaksi yang
menyebabkan ketegangan positif-negatif face. Mutual positive face support
termasuk meminta maaf atau membenarkan peringatan terhadap negative
face pasangan. Menawarkan permintaan maaf untuk mendukung positif face
diri sendiri dengan menunjukkan bahwa salah satu pihak cukup bisa
berkompetensi untuk mengakui kesalahan sendiri.
Selain strategi facework, teori manajemen identitas mengusulkan bahwa
antara self-other face dan positif-negatif face dapat diselesaikan jika
identitas relasional dapat ditekankan dan saling mendukung dalam
membahas manajemen identitas dalam konteks pengembangan hubungan
(Cupach & imahori, 1993).
Proposisi Terkait Fase Manajemen Identitas
Terkait fase, IMT menunjukkan bahwa orang mengelola identitas mereka
dengan cara yang berbeda, pada saat-saat yang berbeda dalam hubungan
mereka. Teori ini mengajukan tiga fase yang saling tergantung dan
berputar menyerupai siklus dalam hubungan antarbudaya, yakni fase trial,
enmeshment, dan renegotiation.
Trial
Di fase awal hubungan antarbudaya, masing-masing orang akan merasa
identitas kultural sebagai perbedaan yang menonjol. Perbedaan ini
12
dilihat sebagai hambatan dalam komunikasi dan suatu hubungan karena
adanya perbedaan bahasa, gaya berkomunikasi, dan norma. Pada tahap
ini, pasangan antarbudaya mengalami dialektika yang sangat kuat antara
self (dirinya) dan other face (orang lain). Mungkin saja mereka mengalami
fase problematik berdasarkan informasi atau image stereotipe tertentu.
Pada akhirnya, mereka akan menunjukkan saling tertarik yang berlebihan
pada budaya lainnya, mengakibatkan kebekuan identitas atau dialektika
positive-negative face.
Pada fase ini, orang akan bereaksi paling tidak dengan dua cara.
Pertama, mereka memutuskan bahwa ‘cost’ (biaya atau beban) yang berasal
dari perbedaan mereka terlalu berat untuk dijalani dalam sebuah
hubungan. Sedangkan yang kedua, mereka mencoba mengembangkan hubungan
berdasarkan kesamaan yang mereka temukan, seperti minat, kegiatan yang
diikuti, hobi, dsb. IMT menyebut fase ini sebagai fase trial atau
penjajakan. Mengidentifikasi kesamaan, mengidentifikasi batasan serta
adanya dukungan dan ancaman.
Enmeshment
Jika pasangan antarbudaya menemukan kesamaan yang cukup selama fase
trial, maka mereka akan melanjutkan hubungan ke fase selanjutnya, yang
dinamakan ‘enmeshment’. Pada fase ini, terjadi peningkatkan aksi
seperti saling berbagi simbol dan aturan, menggunakan ‘interpretive
framework’ atau kerangka interpretif untuk lebih saling memahami satu
sama lain. Lebih spesifik, penelitian Baxter (1987) menunjukkan lima
tipe simbolik yang dibagikan dalam hubungan tersebut, yaitu: terkait
aksi verbal dan non verbal (misalnya mulai menggunakan nama
panggilan), saling berbagi waktu atau kegiatan yang telah dilakukan
sebelumnya, objek fisik (seperti hewan kesayangan), tempat spesial,
13
dan benda bersejarah (buku, musik, film) yang memiliki arti khusus
bagi pasangan/ lawan interaksi mereka.
Di sini, mereka saling berbagi harapan mengenai perilaku yang
diizinkan untuk dilakukan, dilarang, atau dipilih dalam konteks
hubungan. Mereka mengembangkan dan menegosiasikan standard kompetensi
komunikasi satu sama lain.
Meningkatnya konvergensi dalam hal simbol dan aturan, kemudian akan
berkembang menjadi ‘shared relational identity’ atau identitas relasional.
Meskipun pada fase ini, terjadi keterikatan yang kuat, namun IMT
mengatakan bahwa identitas relasional belum berkembang utuh. Mereka
belum merasa nyaman dengan perbedaan yang ada, hanya saja mencoba
mengaburkan (de-emphasize) perbedaan mereka, dengan lebih menonjolkan
kesamaan yang ada. Singkatnya, manajemen identitas pada fase enmeshment
ditandai dengan mengaburkan (de-emphasized) identitas kultural masing-
masing dan menekankan tumbuhnya (emphasize) relational identity atau identitas
relasional.
Dalam tahapan ini, tidak berarti masalah face dan dialektika selesai.
Pada hubungan antarbudaya yang platonik, mereka tidak memiliki harapan
seksual, kebiasaan atau ritual tertentu. Namun, dengan meningkatnya
aksi berbagi simbol dan aturan tadi, hubungan ini dapat berkembang ke
arah hubungan romantik. Mereka harus kembali mengatasi dialektika
antara self dan other, juga positive dan negative face.
Renegotiation
Fase ketiga dari manajemen identitas ditandai dengan meningkatnya
kemampuan pasangan antarbudaya untuk keluar dari problematika dan
dialektika face, berdasarkan identitas relasional yang telah dibangun,
14
dan meningkatkan konvergensi simbolik dan aturan. Melalui identitas
relasional ini, pasangan antarbudaya akan melihat hubungan mereka, dan
satu sama lain, serta dunia, diluar dari diri mereka. Adanya kesamaan
perspektif membuat intercultural communicators mencoba menerjemahkan kembali
perbedaan kultural mereka sebagai aset, sebagai integral yang akan
membuat hubungan mereka utuh ketimbang sebagai hambatan. Sebagai
contoh adalah intercultural dating couples, yang melihat pesta pernikahan
mereka sebagai sesuatu yang unik, bukan sebagai hambatan kultural.
Dalam IMT, kecepatan orang pada tiap fase berbeda-beda, bisa jadi
berhubungan/tidak berhubungan dengan faktor lainnya seperti
keterbukaan, ketergantungan, komitmen, dan kepuasan. Yang perlu
dicatat, fase manajemen identitas dikatakan akan berulang seperti
siklus, karena pasangan antarbudaya bisa kembali ke fase awal setelah
mencapai fase akhir ketika menemukan area baru dari perbedaan
identitas kultural yang harus dikelola kembali. Imahori dan Cupach
menambahkan bahwa semakin dua individual berinteraksi dan menjadi
saling tergantung, hubungan mereka akan menjadi semakin kompleks. Oleh
karenanya, lebih banyak aspek dari identitas yang harus dinegosiasikan
dan di re-negosiasikan.
Kesimpulan
Identity Management Theory atau Teori Manajemen Identitas memberikan
pemahaman mengenai kompetensi komunikasi antarbudaya, dengan
menjelaskan hubungan antara manajemen identitas dan strategi facework
dalam konteks pengembangan relasi/hubungan.
15
IMT menawarkan kerangka yang membantu kita dalam memahami proses yang
kompleks dalam manajemen identitas dalam interaksi antarbudaya. IMT
menawarkan beberapa prinsip dalam kompetensi komunikasi antara partner
berbeda budaya, yakni: (a) membangun relational identity atau identitas
relasional melalui tindakan, konvergensi simbolik, dan koordinasi
aturan-aturan; (b) melihat perbedaan kultural sebagai aset ketimbang
hambatan; (c) menyadari bahwa manajemen identitas dan manajemen
hubungan merepresentasikan dua sisi dari sebuah koin.
Sumber:
Holliday, Adrian, Hyde, Martin dan Kullman, John. 2004. Intercultural
Communication : An Advanced Resource Book. London: Routledge
Imahori, T. dan Cupach, W. Identity Management Theory : Facework in Intercultural
Relationships. Dalam Gudykunst, William. 2005. Theorizing About Intercultural
Communication. Sage Publications, United States
Littlejohn, S.W. & Foss, K.A. (2008). Theories of human communication.
Sage Publications, California, USA.
2.8. Tipe-tipe Konflik Global
Littlejohn dan Domenici (2007) memaparkan tiga
jenis konflik global berdasarkan penyebabnya. Konflik
berbasis kepentingan, konflik etnik dan ras, dan konflik
ideologis.
a. Konflik kepentingan
16
Seperti konflik interpersonal, konflik komunal
sebagian besar juga disebabkan karena perbedaan
kepentingan, baik kepentingan politik, ekonomi, maupun
perebutan sumber daya dan kekuasaan. Penjabaran konflik
berbasis kepentingan sendiri bisa cukup luas,
berdasarkan kepentingan apa dari masing-masing kelompok yang bertikai.
Dalam sebuah konflik bisa saja bukan hanya satu kepentingan yang
diperebutkan oleh dua atau beberapa kelompok tetapi bisa juga
merupakan kombinasi dari berbagai kepentingan yang ada.
b. Konflik Etnik dan Ras
Sebagian besar konflik berskala besar yang
terjadi dalam sejarah melibatkan etnik dan ras. Implikasi
dari perbedaan kultural, bagaimana orientasi dalam melihat
perbedaan, dominasi satu kelompok terhadap kelompok
lainnya, perbedaan nilai-nilai dan norma antar etnik dan ras yang
berbeda, segregasi antara keduanya mempertajam konflik
yang terjadi. Terkadang konflik etnik sendiri juga disebabkan karena
persaingan ekonomi dan perebutan sumber daya. Perbedaan kultur
juga menyebabkan orientasi konflik yang berbeda, pada
kultur yang lebih individualis atribusi terhadap konflik
lebih kepada kepentingan individu, pada kultur yang lebih kolektivis
perbedaan menjadi lebih tajam pada nilai-nilai etnik hingga rasis.
Segregasi akan mengarahkan pada generalisasi yang salah hingga
kepada stereotipe yang bisa menuju pada tendensi dan konflik.
Metastereotipe adalah jenis stereotipe yang oleh satu kelompok
diyakini disematkan oleh kelompok lain pada kelompoknya. Hal ini
dapat menjadi akar konflik etnik dan bisa menyebabkan
konflik hingga pada tataran penyerangan fisik.
17
c. Konflik Ideologi dan Moralitas
Dalam sebuah komunitas cenderung berbagi kepercayaan
dan keyakinan bersama yang memuat nilai-nilai kehidupan
mendasar yang menuntun cara hidup komunitas itu
sendiri. Dasar keyakinan berbeda atas ‘benar’ dan
‘salah’, perbedaan cara pandang yang mendasar antar
kedua komunitas yang berbeda dapat menjadi penyebab konflik dalam
skala besar. Konflik agama, negara, maupun politik,
juga etnik di dalamnya dapat termasuk pada konflik ini.
2.9. Masalah Perbedaan Budaya
Setiap kultur dapat dideskripsikan dalam tiga
sistem dengan faktor yang saling berhubungan. Yang
pertama adalah sistem abstraksi budaya, atau cara berfikir,
hal ini memuat konsep-konsep dalam suatu budaya, nilai-nilai,
moralitas, dan ide-ide tentang segala sesuatu dalam budaya
tersebut. Sistem yang kedua adalah artefak budaya, atau
produk langsung dari budaya tersebut, termasuk diantaranya
seni, musik, tarian, arsitektur, dan lainnya. Sistem yang ketiga
adalah bahasa dan komunikasi, setiap budaya memiliki
diskursusnya masing-masing, bagaimana caranya menggunakan kata-
kata, tata bahasa, serta bahasa non verbal.
Komunikasi adalah sistem sentral dari budaya, arti dari
budaya itu sendiri dikembangkan dan diekspresikan melalui interaksi
antar sesama. (Littlejohn dan Domenici, 2007)
Beberapa variabel yang berpengaruh dalam konflik antar budaya:
a. Cultural Contexts, beberapa budaya dengan tipe
18
high context mengasumsikan komunikator sudah
mengetahui banyak hal tentang apa yang sedang terjadi
dalam berbagai hubungan dan situasi. Diskursus mereka cenderung
tidak langsung dan tidak perlu jelas pada makna sesungguhnya.
Budaya lainnya low contexts, cenderung bersifat langsung dalam
memahami situasi yang terjadi. Berkata dengan langsung dan
tidak membiarkan orang menerka-nerka apa maksud di dalamnya.
b. Individualisme dan Kolektivisme, variabel kedua adalah
masing-masing budaya cenderung bersifat individualisme
ataukah kolektivisme. Budaya individualisme menghormati
masing-masing individu di atas kelompoknya, hak-hak individu
dianggap sangat penting, sementara budaya kolektivisme cenderung
berfikir secara kelompok dibandingkan individu. Segala
hal selalu dirujuk pada kepentingan kelompoknya.
c. Power Distance, distingsi lainnya adalah jarak
kekuasaan, yaitu derajat dimana dalam sebuah budaya cenderung
relative sama atau bersifat hirarkis. Beberapa budaya memiliki
jarak kekuasaan yang tinggi dan beberapa lainnya memiliki
jarak kekuasaan yang rendah serta cenderung egaliter.
Kedua budaya ini berbeda dalam menyikapi konflik yang terjadi. Pada
saat konflik, individu budaya dengan jarak kekuasaan
yg rendah akan lebih bernegosiasi untuk memenuhi
kepentingannya. Sebaliknya individu dengan jarak kekuasaan yang
tinggi akan cenderung menyerahkan pada kelompok atau otoritas
yang dianggap bertanggung jawab. Samovar, Potter dan
McDaniel (2007) menunjukkan beberapa hal dalam manajemen
konflik antar budaya. Bagaimana setting komunikasi antar
19
budaya dalam merespon dan melakukan manajemen
membutuhkan beberapa tindakan diantaranya:
a. Melakukan identifikasi konten dari isu; saat konflik terjadi,
kesalahpahaman kita memerlukan cara untuk menemukan
apa sebenarnya inti dari ketidaksetujuan yang dapat
menimbulkan konflik. Apabila kemudian kita
mengklarifikasi isu sentral dari konten maka para pihak akan mampu
untuk fokus kepada solusi konflik yang terjadi.
b. Tetap menjaga pikiran terbuka; menjaga pikiran
terbuka pada saat konflik adalah bagaimana kita tidak
dibutakan atas argumen-argumen lawan dan mengabaikan
apa yang tidak disukai, kita mencoba melihat
permasalahan dari sisi lainnya dan tetap terbuka pada posisi
individu atau kelompok lainnya.
c. Tidak terburu-buru; pada saat resolusi konflik agar
tidak terburu-buru mencari penyelesaian, tetapi harus tetap
slow down dan sensitif dalam ketenangan.
d. Menjaga konflik pada tataran ide, bukan orangnya;
pada saat berada pada posisi yang tidak nyaman, penting
untuk tetap fokus pada permasalahan, bukan kepada orangnya.
Harus dapat dipisahkan antara statemen, preposisi dan orang yang
menyatakannya sehingga kita fokus pada penyelesaian konflik
dibanding bertahan pada ego masing-masing. ‘
e. Mengembangkan teknik untuk menghindari konflik; pada
saat tertentu penting untuk menarik dan mengembangkan
teknik untuk ‘menghindari’ konflik sebelum konflik
20
terus berkembang hingga sampai pada level yang sulit
dipecahkan. Menghindari ini untuk menurunkan ketegangan
dan kemudian memulai kembali untuk mendapatkan resolusi konflik.
Penelitian pada budaya organisasi menjadi penting mengingat organisasi
social memiliki elemen-elemen yang sudah ada sebelumnya yang saling
bertindak dalam cara dapat diduga ke asumsi bahwa ada pemaknaan yang
tgerus berubah yang tersusun melalui komunikasi. Budaya organisasi
dapat di[engaruhi pleh tradisi sosiokultural dalam komunikasoi. Da;lam
radisi ioni organisasi memberikan peluang bagi adanya penafsiran
budaya. Organisasi menciptakan sebuah realitas bersama yagn mebebdakan
mereka dari organisasi dengan budaya lain.n gareth morgan menjelaskan
dalam hal ini pemaknaan bersama, pemahaman bersama, dan perasaan
berdsama semuanya merupakan cara yang berbeda dalam menje;laskan
budaya. Da;ammebicarakan budaay kita sevbenarnya membicarakan sebuah
p[roses p[embeuentulkanrea;litras yang memungkinkan manusia melihat
dan memahami kejadian, tindakan , objek, ucapan ataus situasi tertnetu
da;amcara yagn berbead. Pola-pola pem,ahaman inijuga membuerikan
dadzar untukmembvuat perilaku seseorang berartuida dan pantas.
Budaya organisasi adalah sesuatu yangdihasilkan melalui interaksi
sehjatuihariu da;amorganisasi bukan hanya tudas pekerjaan, tetapui
semua jenis komunikasi (sebagimana dikutip dari buku Teori Komuniasi
oleh Stephen w littlejjohn, Karen AFoss edisi 9 penerbit salemba
humanika 2009)hal383.
21