Date post: | 26-Nov-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
MAKALAH
MATA KULIAH MANAJEMEN INOVASI & KREATIVITAS
Chapter 10: Analysis of Indian InnovationEcosystem: Need of Effective & Organized System
Disusun Oleh :
Bintang Priyambodo 120310130101
Yazid Amirul Fahmi 120310130107
Bintang Ramadhan 120310130112
Dosen :
Prof. Dr. H. Yuyus Suryana Sudarma, S.E., MS.
Dr.H.Asep Mulyana, S.E.,MCE.
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyusun
makalah kami yang berjudul “Part III: Analysis of Indian Innovation
Ecosystem: Many Islands of Excellence, Plenty of Innovative Brains but
WeakNational Innovation Ecosystem” dengan baik dan tepat waktu. Makalah ini
telah dibuat atas hasil kajian pustaka dari buku dan internet, serta bantuan dari
berbagai pihak dalam menyelesaikan selama proses pengerjaannya. Oleh karena
itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini. Kami juga tidak lupa mengucapkan rasa terima
kasih kami kepada dosen mata kuliah Manajemen Inovasi & Kreativitas Prof. Dr.
H. Yuyus Suryana Sudarma, S.E., MS. dan Dr.H.Asep Mulyana,
S.E.,MCE.karena telah memberikan materi dan pengetahuan mengenai
Manajemen Inovasi & Kreativitas.
Kami menyadari betul sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai
pihak, makalah ini tidak akan terwujud dan masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu dengan segala kerendahan hati, kami berharap saran dan kritik demi
perbaikan-perbaikan lebih lanjut.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
masyarakat luas, khususnya bagi para pembaca.
Bandung, Februari 2016
Penyusun
PENGERTIAN INOVASI
Kata inovasi, sistem inovasi, dan kapasitas inovatif adalah di antara sekian
banyak istilah yang sering dikemukakan dalam beragam kesempatan, baik dalam
pembicaraan yang tidak formal hingga diskusi-diskusi akademis. Istilah-istilah
tersebut diartikan cukup bervariasi. Mengingat pengertian dari istilah yang
dimaksud akan menjadi penting bagi pembahasan selanjutnya, maka pengertian
beberapa istilah kunci akan mengawali diskusi yang disampaikan di sini.
Walaupun bagian ini disajikan sebagai suatu tinjauan tentang konsep/
pendekatan, namun ini tidak dimaksudkan sebagai pembahasan akademis yang
mendalam. Sejalan dengan maksud penulisan buku ini, maka diskusi yang
disampaikan lebih dimaksudkan untuk menyampaikan secara ringkas dan dalam
format yang diupayakan sesederhana mungkin tentang beberapa pandangan dan
untuk meningkatkan pemahaman atau setidaknya menyampaikan perspektif
pengertian tentang beberapa isu yang dipandang perlu untuk pembahasan
selanjutnya.
Tekanan bahasan di sini adalah sebagai pengenalan berkaitan dengan
pandangan dan beberapa “pergeseran” pandangan tentang inovasi, konsep/model
sistem inovasi dan beberapa kecenderungan perkembangannya, termasuk
urgensinya dalam konteks “daerah.”
Inovasi
Walaupun banyak persamaan maknanya, namun beberapa pihak mendefinisikan
istilah inovasi secara berbeda. Sebagai gambaran, berikut adalah beberapa contoh
pengertian inovasi:
1. “The commercial or industrial application of something new – a new
product, process, or method of production; a new market or source of
supply; a new form of commercial, business or financial organization”
(Joseph Schumpeter, 1934, dalam “The Theory of Economic
Development”);
2. Innovation is simply the introduction of something new into the
marketplace
3. (Stopper, 2002);
4. “...innovation is about putting ideas to work. It is a process by which
firms, industry and governments add value through successful exploitation
of a new idea for the benefit of a part or whole of business, industry or the
nation. It spans a range of ideas-based improvement processes, including
technological change, and improvements in organisational, financial and
commercial activities.” (DISR, 1999: Shaping Australia’s Future:
Innovation - Framework Paper);
5. Innovation is a locally driven process, succeeding where organizational
conditions foster the transformation of knowledge into products,
processes, systems, and services. (Malecki, 1997; Dikutip dari Jelinek dan
Hurt, 2001);
6. Innovation is the successful production, assimilation and exploitation of
novelty in the economic and social spheres . . . In brief, innovation is:
the renewal and enlargement of the range of products and services and the
associated markets
the establishment of new methods of production, supply and distribution
the introduction of changes in management, work organisation, and
the working conditions and skills of the workforce (European
Commission, 1995: Green Paper on Innovation);
7. Inovasi adalah ciptaan-ciptaan baru (dalam bentuk materi ataupun
intangible) yang memiliki nilai ekonomi yang berarti (signifikan), yang
umumnya dilakukan oleh perusahaan atau kadang- kadang oleh para
individu (Edquist, 2001, 1999);
8. Inovasi adalah aplikasi komersial yang pertama kali dari suatu produk atau
proses yang baru (lihat misalnya Clark dan Guy, 1997);
9. Inovasi merupakan suatu proses kreatif dan interaktif yang melibatkan
kelembagaan pasar dan non-pasar (OECD, 1999);
10. Inovasi adalah transformasi pengetahuan kepada produk, proses dan jasa
baru; tindakan menggunakan sesuatu yang baru (Rosenfeld, 2002);
11. Inovasi merupakan eksploitasi yang berhasil dari suatu gagasan baru (the
successful exploitation of a new idea; Mitra, 2001 dan the British Council,
2000), atau dengan kata lain merupakan mobilisasi pengetahuan,
keterampilan teknologis dan pengalaman untuk menciptakan produk,
proses dan jasa baru;
12. Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan
yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu
pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses
produksi (UU No. 18 tahun 2002).
Beberapa definisi yang disebutkan mengungkapkan bahwa inovasi tidak
saja menyangkut kreativitas dari gagasan (yang membuka dan/atau untuk
memanfaatkan peluang baru), namun juga berkaitan dengan (potensi) nilai
komersial, ekonomi dan/atau sosial. Untuk menekankan perbedaannya dari
pembaruan/perbaikan yang sekedar “kreativitas biasa” (dalam arti tidak
memberikan manfaat atau dampak nyata), beberapa pihak terkadang menyebut
“inovasi yang diadopsi” atau terbukti “berhasil” secara komersial/ekonomi
sebagai “inovasi produktif” (productive innovation).
Dari beragam definisi yang berkembang, istilah inovasi pada dasarnya
dapat diartikan sebagai:
1 “proses” dan/atau “hasil” pengembangan dan/atau
pemanfaatan/mobilisasi pengetahuan, keterampilan (termasuk
keterampilan teknologis) dan pengalaman untuk menciptakan
(memperbaiki) produk (barang dan/atau jasa), proses, dan/atau sistem
yang baru, yang memberikan nilai (terutama ekonomi dan sosial) yang
berarti (signifikan); atau
2 proses di mana gagasan, temuan tentang produk atau proses
diciptakan, dikembangkan dan berhasil disampaikan kepada pasar.
3. Dalam “pengertian teknokratik,” inovasi sering ditekankan sebagai proses
di mana gagasan bagi produk, proses atau jasa yang baru (atau yang
diperbaiki) dikembangkan dan dikomersialisasikan di pasar.
Definisi yang “luas dikenal” (atau setidaknya lebih sering didengar) adalah yang
bersifat
“teknokratik” tersebut, yang lebih mengedepankan inovasi teknologi dengan
penekanan perspektif teknis. Walaupun begitu, tentunya inovasi dalam pengertian
lebih luas tidak hanya terbatas pada proses dan/atau produk saja. Untuk diskusi
tentang inovasi sosial dan beberapa isu terkait, lihat misalnya Dedijer (1984) dan
beberapa makalah lain dalam Heden dan King (ed.) (1984).
“Pandangan” tentang inovasi berkembang dari waktu ke waktu.
Pemahaman sebagai “proses sekuensial-linier” sangat mendominasi di masa
lampau. Dorongan bahwa hasil temuan (invention/discovery/ technical novelty)
merupakan sumber dan bentuk inovasi sebagai sekuen (urut- urutan) rangkaian
riset dasar, riset terapan, litbang, manufaktur/produksi, distribusi (sering disebut
technology push) berkembang terutama pada periode 1960an hingga 1970an (ada
sebagian yang menyatakan periode pasca Perang Dunia II hingga tahun 1960an).
Kemudian, pandangan selanjutnya bahwa perubahan kebutuhan permintaanlah
yang menjadi pemicu atau penarik dari inovasi (sering disebut demand pull)
berkembang pada periode selanjutnya sampai periode 1980an.
Namun pandangan “sekuensial-linier” push ataupun pull (atau ada kalanya
disebut pipeline linear model) demikian disadari tidak sepenuhnya benar. Bahwa
dalam sebagian besar praktiknya, inovasi lebih merupakan proses interaktif dan
iteratif, proses pembelajaran (learning process) yang merupakan bagian penting
dalam proses sosial. Artinya, semakin dipahami bahwa inovasi pada umumnya
tidak terjadi dalam situasi yang terisolasi. Model ini sering juga disebut dengan
model feedback-loop atau chain-link atau model inovasi interaktif atau non-linier
(Gambar 2.2 dan 2.3).
Tulisan Kline dan Rosenberg (1986) yang mengajukan model inovasi
chain-link atau feedback- loop, dan Dodgson dan Bessant (1996a,b) yang
mendiskusikan model inovasi interaktif (non-linier) merupakan dua di antara
sumber literatur yang paling sering dirujuk oleh banyak pihak berkaitan dengan
“pergeseran” pandangan tentang pola inovasi.
Dari beragam pengalaman banyak pihak, terutama negara-negara yang
dinilai “berhasil” dalam mendorong inovasi, dan diskusi-diskusi konsep di
berbagai literatur, berkembang fenomena penting tentang inovasi yang kini
semakin tidak mungkin diabaikan. Beberapa di antaranya adalah seperti berikut:
1. Inovasi seringkali bukan technology push (driven) atau demand pull
(driven) secara “hitam – putih” yang tegas, namun lebih merupakan
proses di antaranya dan kombinasi keduanya.
2. Walaupun inovasi muncul sebagai kejadian (event) yang mengubah
sesuatu secara signifikan, inovasi bukan merupakan kejadian sesaat
dan/atau tidak terjadi/muncul dengan sendirinya. Inovasi merupakan
suatu proses.
3. Inovasi lebih merupakan proses kompleks dan dinamis (dan
adakalanya terkesan sporadis) yang sering menunjukkan paradoks.
Walaupun inovasi didorong oleh kompetisi (persaingan), inovasi tidak
berkembang tanpa kerjasama (co-operation), adakalanya bahkan antara
perusahaan yang saling bersaing. Inovasi tak lagi semata hanya
bergantung pada bagaimana perusahaan, perguruan tinggi dan para
pembuat kebijakan bekerja, namun juga pada bagaimana mereka
bekerjasama.
4. Inovasi merupakan proses pembelajaran sosial (social learning). Para
inovator dan adopters (pengguna) sama-sama perlu melalui proses
belajar, baik menyangkut isu teknis maupun kemanfaatan dan hal
penting lain, serta membutuhkan “interaksi” yang efektif bagi
keberhasilan inovasi.
5. Iklim persaingan yang sehat memberikan tekanan persaingan yang
efektif dalam mendorong kebutuhan akan inovasi dan keberhasilannya
akan semakin bergantung pada bagaimana berbagai elemen penting,
baik pelaku usaha, lembaga litbang, perguruan tinggi dan pembuat
kebijakan berkolaborasi. Di sisi lain, sifat inovasi (serupa halnya
dengan kegiatan iptek atau litbang) yang mengandung “barang
publik/public goods” (setidaknya “sebagian”) berpotensi membawa
kepada “kegagalan pasar” (market failures), bahkan kegagalan
sistemik (systemic failures). Karena itu, intervensi tertentu seringkali
dipandang perlu untuk mendorong perbaikan (mengatasi persoalan
demikian).
OECD (1999) mengungkapkan beberapa kecenderungan berikut:
1. Inovasi merupakan suatu proses kreatif dan interaktif yang melibatkan
lembaga-lembaga pasar dan non-pasar.
2. Inovasi bergantung pada kemajuan saintifik.
3. Inovasi membutuhkan lebih dari sekedar litbang. SDM merupakan faktor
yang sangat kunci. Produksi barang dan jasa semakin ”sarat dengan
pengetahuan” (knowledge-intensive), tetapi tak selalu berarti lebih ”sarat
dengan litbang” (R&D intensive).
4. Perusahaan merupakan aktor utama, tetapi tidak bertindak sendiri.
Tak dapat dipungkiri bahwa berdasarkan berbagai telaahan konsepsi
maupun dukungan empiris dan perkembangannya dari waktu ke waktu, inovasi
pada dasarnya merupakan hasil dari kewirausahaan, kreativitas intelektual, dan
upaya kolektif.
Beberapa faktor yang dinilai sebagai faktor generik penyebab (sumber bagi)
inovasi (dan biasanya juga saling terkait) antara lain adalah:
1. Perkembangan/kemajuan teknologi (technical novelty).
2. Perubahan kebutuhan/keinginan atau “selera” konsumen.
3. Perubahan dalam segmen pasar atau kemunculan segmen pasar yang baru.
4. Tekanan persaingan yang semakin ketat.
5. Perubahan atas faktor produksi (kelangkaan relatif) dan faktor ekonomi
tertentu (misalnya nilai tukar mata uang).
6. Peraturan/kebijakan pemerintah.
Kemampuan inovasi merupakan faktor daya saing yang sangat penting, terutama
dalam menghadapi beberapa kecenderungan sebagai berikut:
1. Tekanan persaingan global terus meningkat;
2. Produk semakin kompleks dan memiliki siklus hidup yang semakin
pendek karena cepatnya kemajuan teknologi dan perubahan tuntutan
konsumen;
3. Kedua keadaan tersebut juga mengakibatkan perubahan persaingan pasar
yang semakin cepat dan kompleks.
Kemampuan inovasi yang rendah akan memaksa perusahaan atau suatu
industri bersaing pada segmen pasar yang umumnya “konvensional,” pasar masa
(mass market) yang sudah “jenuh” dan cenderung menurun (melampaui growing
& maturity period dan memasuki declining period dalam siklus bisnis), lebih
mengandalkan pada persaingan harga, dan biasanya bernilai tambah relatif
rendah.
Telah menjadi kecenderungan fenomena umum dalam banyak industri,
bahwa pasar dan teknologi berubah sangat cepat, tekanan atas biaya cenderung
meningkat, pelanggan semakin menuntut, dan siklus produk serta time-to-market
cenderung semakin pendek. Tantangan utama bagi perusahaan di tengah suatu
lingkungan bisnis yang kompleks dan kecenderungan persaingan global yang
semakin ketat, seperti ditegaskan dalam EISDISR (2001), adalah mengembangkan
dan mempertahankan keunggulan daya saing (lihat ilustrasi Gambar 2.4). Dalam
situasi demikian, sangat logis ungkapan yang disampaikan Peter Drucker bahwa
setiap organisasi harus mempunyai suatu kompetensi, yaitu inovasi.
SISTEM INOVASI
Beberapa Pengertian dan Konsep/Model
Kompleksitas dan dinamika inovasi mendorong perkembangan kebutuhan
akan cara pandang yang lebih holistik dan terintegrasi. Pendekatan kesisteman
tentang inovasi, walaupun mulai intensif diangkat di pertengahan tahun 1980an
kini semakin luas didiskusikan. Walaupun begitu, konsep sistem inovasi nasional
atau sistem nasional inovasi secara historis sebenarnya telah mulai diangkat oleh
Friedrich List (di pertengahan abad 19), yang mengkritik apa yang disebutnya
pendekatan “kosmopolitan” Adam Smith (melalui bukunya the National System
of Political Economy) yang menurutnya terlampau berfokus pada persaingan dan
alokasi sumber daya yang mengabaikan pengembangan kekuatan-kekuatan
produktif. Analisis sistem nasional yang dikembangkannya mencakup
sehimpunan luas tentang kelembagaan nasional termasuk yang terlibat dalam
pendidikan dan pelatihan, serta infrastruktur seperti jaringan transportasi untuk
orang dan komoditas. Menurut List, keadaan negara merupakan hasil dari
akumulasi seluruh temuan, invensi, perbaikan penyempurnaan dan upaya keras
seluruh generasi yang telah hidup sebelumnya yang membentuk modal intelektual
dalam keadaan persaingan saat kini. Setiap negara akan produktif pada bagian
yang dikuasainya dari generasi sebelumnya dan dapat dimanfaatkannya serta
meningkatkannya berdasarkan kebutuhannya.
Banyak pakar berpendapat bahwa pandangan List ini mempengaruhi
bagaimana Jerman mengembangkan dan memiliki salah satu sistem pendidikan
dan pelatihan teknis terbaik di dunia hingga kini. List juga saat itu telah mengenali
interdependensi antara impor teknologi asing dan pengembangan teknologi dalam
negeri, atau yang kini dikenal sebagai “alih/transfer teknologi.” Dalam pandangan
List, suatu negara tidak saja perlu memperoleh kemajuan-kemajuan teknologi dari
negara lain yang lebih maju tetapi juga meningkatkan teknologinya sendiri.
Pandangan List ini dinilai sebagai salah satu di antara pemikiran yang mengawali
pandangan tentang sistem inovasi yang kini berkembang.
Menurut Lundvall dan Christensen (1999), terdapat 3 perspektif/cara dalam
mendefinisikan sistem inovasi, yaitu:
1. Sistem inovasi yang berdasarkan sistem litbang.
2. Sistem inovasi yang berdasarkan sistem produksi.
3. Sistem inovasi yang berdasarkan sistem produksi dan pengembangan
sumber daya manusia.
Untuk mengawali bahasan tentang sistem inovasi, berikut adalah beberapa definisi
yang berkembang tentang sistem inovasi dari beragam sudut pandang.
1. Freeman (1987): sistem inovasi adalah jaringan lembaga di sektor publik
dan swasta yang interaksinya memprakarsai, mengimpor (mendatangkan),
memodifikasi dan mendifusikan teknologi-teknologi baru. 5
2. Lundvall (1992): sistem inovasi merupakan elemen dan hubungan-
hubungan yang berinteraksi dalam menghasilkan, mendifusikan dan
menggunakan pengetahuan yang baru dan bermanfaat secara ekonomi . . . .
suatu sistem nasional yang mencakup elemen-elemen dan hubungan-
hubungan bertempat atau berakar di dalam suatu batas negara. Pada bagian
lain ia juga menyampaikan bahwa sistem inovasi merupakan suatu sistem
sosial di mana pembelajaran (learning), pencarian (searching), dan
penggalian/eksplorasi (exploring) merupakan aktivitas sentral, yang
melibatkan interaksi antara orang/masyarakat dan reproduksi dari
pengetahuan individual ataupun kolektif melalui pengingatan
(remembering).
3. Nelson dan Rosenberg (1993): Sistem inovasi merupakan sehimpunan aktor
yang secara bersama memainkan peran penting dalam mempengaruhi
kinerja inovatif (innovative performance).
4. Metcalfe (1995): Sistem inovasi merupakan sistem yang menghimpun
institusi-institusi berbeda yang berkontribusi, secara bersama maupun
individu, dalam pengembangan dan difusi teknologi-teknologi baru dan
menyediakan kerangka kerja (framework) di mana pemerintah membentuk
dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan untuk mempengaruhi proses
inovasi. Dengan demikian, sistem inovasi merupakan suatu sistem dari
lembaga-lembaga yang saling berkaitan untuk menciptakan, menyimpan,
dan mengalihkan (mentransfer) pengetahuan, keterampilan dan artifacts
yang menentukan teknologi baru.
5. OECD (1999): sistem inovasi merupakan himpunan lembaga-lembaga pasar
dan non-pasar di suatu negara yang mempengaruhi arah dan kecepatan
inovasi dan difusi teknologi.
6. Edquist (2001): Sistem inovasi merupakan keseluruhan faktor ekonomi,
sosial, politik, organisasional dan faktor lainnya yang mempengaruhi
pengembangan, difusi dan penggunaan inovasi. . . Jadi, sistem inovasi pada
dasarnya menyangkut determinan dari inovasi.
7. Arnold, et al. (2001) dan Arnold, et al. (2003) menggunakan istilah ”sistem
riset dan inovasi nasional” (national research and innovation system), yaitu
keseluruhan aktor dan aktivitas dalam ekonomi yang diperlukan bagi
terjadinya inovasi industri dan komersial dan membawa kepada
pembangunan ekonomi.
Dari beragam uraian definisi tersebut dan perkembangan dalam literatur
sistem inovasi, secara “konsep” sejauh ini pada dasarnya ada beberapa hal penting
yang “lekat (inherent)” dalam pengertian sistem inovasi, yaitu:
1. Kata “sistem” dalam istilah sistem inovasi menunjukkan cara pandang
yang secara sadar memperlakukan suatu kesatuan menyeluruh (holistik)
dalam konteks “inovasi dan difusi.”6
2. Dalam literatur sistem inovasi, konvensi yang umum tentang pengertian
istilah “sistem inovasi” pada dasarnya lebih luas dari (mencakup) ”sistem
iptek” (dan bagian dari sistem relevan lainnya). Istilah “sistem inovasi”
juga meliputi konteks “inovasi dan difusinya.”7 Walaupun ada
3. yang menggunakan istilah “sistem riset dan inovasi”/research and
innovation system (lihat misalnya Arnold, et al. 2001), namun istilah
“sistem inovasi dan difusi” tidak lajim digunakan.
4. Terdapat 5 (lima) tekanan perhatian yang umumnya diberikan pada
bahasan tentang sistem inovasi dalam literatur, yaitu:
1. Basis sistem sebagai tumpuan bagi proses inovasi beserta difusi inovasi.
Hal ini berkaitan misalnya dengan segi/aspek berikut (yang umumnya saling
terkait satu dengan lainnya):
a. Tingkat analisis: mikro, meso dan makro.
b. Segi/aspek teritorial dan/atau administratif: misalnya sistem inovasi pada
tataran supranasional (beberapa negara), nasional, dan sub-nasional (atau
daerah).
2. Aktor dan/atau organisasi (lembaga) yang relevan dengan perkembangan
inovasi (dan difusinya). Aktor tersebut dapat menjalankan suatu atau kombinasi
peran berikut:
a. Pelaku yang terlibat relatif ”langsung”: adalah mereka yang perannya
berhubungan ”langsung” dalam rantai nilai proses inovasi, pemanfaatan
dan/atau difusinya. Organisasinya dapat berupa penyedia, pengguna,
dan/atau intermediaries, seperti misalnya pelaku/organisasi bisnis,
perguruan tinggi, lembaga litbang, organisasi bisnis, organisasi profesi,
atau bentuk kelembagaan koraboratif seperti aliansi/ konsorsia, dan
lainnya.
b. Pelaku yang terlibat relatif ”tak langsung”: adalah mereka yang perannya
penting namun tidak terlibat secara ”langsung” dalam rantai nilai proses
inovasi, pemanfaatan dan/atau difusinya. Pelaku ”pendukung/penunjang”
ini memberikan kontribusi melalui penyediaan sumber daya bagi inovasi
(misalnya pendanaan dan SDM terspesialisasi), fungsi pendukung berupa
informasi, produk barang dan/atau jasa penunjang keahlian tertentu baik
teknis, bisnis, legal atau lainnya).
c. Penentu/pembuat kebijakan: adalah pemerintah (atau pemerintahan) murni
dan/atau organisasi/pengorganisasian yang berbentuk kuasi-publik yang
berperan sebagai otoritas penentu kebijakan, baik yang bersifat regulasi
maupun non- regulasi.
d. Pendukung dalam proses kebijakan inovasi: adalah mereka yang berperan
mendukung proses kebijakan, baik untuk memberikan jasa
riset/pengkajian kebijakan, penasihat (advisory body) dan/atau peran
kontrol (pengawasan).
Dalam praktik sistem inovasi, suatu organisasi (atau pengorganisasian)
umumnya melakukan peran majemuk, kecuali penentuan/penetapan kebijakan.
Penadbiran kebijakan yang baik (good policy governance) perlu
menghindari/meminimumkan distorsi misalnya dengan ”memisahkan” perannya
sebagai pihak penentu kebijakan dari keterlibatannya dalam ”aktivitas teknis”
secara langsung dalam ranah kewenangannya dan menghindari/meminimumkan
kemungkinan moral hazard dari perannya.
Sebagaimana akan didiskusikan pada bagian (bab-bab) berikut, perubahan
yang berkembang semakin mendorong/menuntut pergeseran paradigma
bagaimana para pelaku memainkan perannya lebih baik dalam sistem inovasi.
Perguruan tinggi misalnya, tak lagi ”sekedar” perlu menghasilkan SDM terdidik
yang berkualitas, tetapi juga semakin mampu menjawab persoalan nyata dalam
masyarakat. Kemampuannya untuk dapat menjadi entrepreneurial university kini
dipandang semakin penting bagi keberhasilan inovasi dalam suatu negara/daerah.
Lembaga litbang tak lagi cukup sekedar melaksanakan kegiatan teknis litbangnya
atau menghasilkan temuan/invensi yang lebih merupakan self-interest-nya, namun
menghasilkan solusi-solusi kontekstual bagi persoalan yang berkembang di
masyarakat dan pemajuan yang dinilai penting bagi perkembangan di masa depan.
3. Kelembagaan, hubungan/keterkaitan dan interaksi antarpihak yang
mempengaruhi inovasi dan difusinya. Tekanan diskusi biasanya diberikan pada
isu-isu kelembagaan/ institusional (dalam arti luas) seperti norma/nilai-nilai,
kerangka dasar kebijakan, organisasi dan pengorganisasian dan/atau hubungan
dalam rantai nilai (termasuk misalnya mekanisme transaksi) dalam sistem inovasi,
baik yang bersifat bisnis maupun non-bisnis. Kajian dalam hal ini dipandang
semakin penting karena sangat berkaitan inovasi nasional/daerah.” Semata karena
pertimbangan semantik dan kelajiman penggunaannya dalam sebagian besar
literatur tentang sistem inovasi. Dengan isu-isu kegagalan pasar dan sistemik yang
sangat mempengaruhi keberhasilan sistem inovasi.
4. Fungsionalitas, yaitu menyangkut fungsi-fungsi utama sistem inovasi (dari
elemen, interaksi dan proses inovasi dan difusi). Terkait dengan hal ini adalah isu
proses pembelajaran yeng terjadi dalam sistem, yang kini semakin menonjol
dalam diskusi- diskusi tentang sistem inovasi.
5. Aktivitas, yaitu menyangkut upaya/proses atau tindakan penting dari
proses inovasi dan difusi. Penadbiran inovasi yang baik dipandang semakin
penting untuk mengembangkan aktivitas komprehensif namun lebih fokus,
yang semakin terkoordinasi, dan dikembangkan bertahap sejalan dengan
perkembangan dan konteksnya, serta diperbaiki secara terus-menerus.
Menurut OECD (1999), analisis sistem inovasi nasional mencakup beberapa
pendekatan yang pada dasarnya saling melengkapi, yang secara singkat sebagai
berikut:9
1. Tingkat mikro: Fokusnya adalah kapabilitas internal perusahaan dan
keterkaitan yang melingkupi satu atau beberapa perusahaan, serta menelaah
hubungan pengetahuan suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya dan
lembaga-lembaga non-pasar dalam sistem inovasi, dengan pandangan untuk
mengidentifikasi kelemahan keterkaitan dalam rantai nilai (value chain). Analisis
demikian paling relevan bagi perusahaan tertentu dan biasanya dilakukan oleh
perusahaan konsultan, namun akan memperkaya pemahaman para pembuat
kebijakan manakala temuan-temuannya cukup berkaitan dengan isu-isu yang lebih
luas.
2. Tingkat meso: Pada tingkat ini analisis berkaitan dengan penelaahan
keterkaitan pengetahuan antara perusahaan-perusahaan yang berinteraksi dengan
karakteristik umum dengan menggunakan tiga pendekatan klasterisasi yang
utama, yaitu: sektoral, spasial dan fungsional. Suatu “klaster sektoral (atau klaster
industri)” meliputi pemasok, lembaga litbang dan pelatihan, pasar, transportasi,
dan lembaga pemerintah khusus/ tertentu, keuangan atau asuransi yang
terorganisasi di sekitar basis pengetahuan umum tertentu. Analisis “klaster
daerah/regional” menekankan faktor-faktor lokal di balik aglomerasi geografis
yang berdaya saing tinggi dari aktivitas-aktivitas yang sarat pengetahuan
(knowledge-intensive). Analisis “klaster fungsional” menggunakan teknik- teknik
statistik untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok perusahaan yang memiliki
karakteristik tertentu yang serupa (misalnya gaya inovasi umum atau tipe tertentu
keterkaitan eksternal).
3. Tingkat makro: Analisis pada tingkatan ini menggunakan pendekatan
klasterisasi-makro dan analisis fungsional (macro-clustering and functional
analysis) dari aliran pengetahuan. “Klasterisasi-makro” melihat ekonomi sebagai
suatu jaringan dari klaster- klaster yang saling terkait. Sementara ”analisis
fungsional” melihat ekonomi sebagai jaringan-jaringan antarlembaga dan
memetakan interaksi antara lembaga-lembaga tersebut. Hal ini melibatkan
pengukuran lima jenis aliran pengetahuan, yaitu:
a. interaksi antarperusahaan;
b. interaksi antara perusahaan, perguruan tinggi dan lembaga riset publik,
termasuk riset bersama (joint research), paten bersama, publikasi bersama,
dan keterkaitan- keterkaitan yang lebih informal;
c. Interaksi kelembagaan lainnya yang mendukung inovasi, seperti
pembiayaan/ pendanaan inovasi, pelatihan teknis, fasilitas riset dan
rekayasa, jasa pelayanan pasar, dan sebagainya;
d. Difusi teknologi, termasuk tingkat adopsi teknologi baru oleh industri dan
difusi melalui permesinan dan peralatan;
e. Mobilitas personil, yang berfokus pada perpindahan/pergerakan personil
teknis di dalam dan antara sektor publik dengan swasta.
OECD (1999) mencermati beberapa kecenderungan perubahan yang secara
bersama mempengaruhi kondisi-kondisi bagi keberhasilan inovasi, yaitu:
a. Inovasi semakin bergantung pada interaksi yang efektif antara basis sains
dan sektor bisnis.
b. Pasar yang lebih kompetitif dan perubahan iptek yang semakin cepat
mendorong perusahaan- perusahaan berinovasi semakin cepat pula.
c. Jaringan dan kolaborasi antarperusahaan kini semakin penting dibanding
dengan di masa lampau, dan semakin melibatkan jasa layanan yang
semakin sarat pengetahuan (knowledge- intensive).
d. Usaha kecil dan menengah (UKM), terutama perusahaan pemula (baru)
berbasis teknologi/PPBT (new technology-based firms/NTBFs)
mempunyai peran yang semakin penting dalam pengembangan dan difusi
teknologi baru.
e. Globalisasi ekonomi membuat sistem inovasi berbagai negara menjadi
semakin saling bergantung (interdependent).
Secara keseluruhan, kinerja inovasi (innovation performance) bergantung
bukan saja pada bagaimana para aktor tertentu (seperti misalnya perusahaan,
lembaga riset, perguruan tinggi) bekerja melaksanakan perannya, tetapi juga pada
interaksi satu dengan lainnya sebagai elemen dari suatu sistem inovasi, baik pada
tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Sehubungan dengan ini, OECD
mengkonseptualisasikan suatu kerangka komprehensif para aktor dan keterkaitan
penting dalam sistem inovasi (Gambar 2.5).
Sementara itu, UNIDO (2002) mempublikasikan Industrial Development Report
yang bertujuan membantu pemerintah berbagai negara, sektor swasta, lembaga-
lembaga pendukung, UNIDO dan organisasi multilateral lainnya untuk:
a. mengkaji dan melakukan benchmark kinerja dan kapabilitas industri;
b. memahami dinamika inovasi dan pembelajaran industri dalam kondisi
baru globalisasi dan perubahan teknologi;
c. mengembangkan strategi, kebijakan dan program untuk meningkatkan
inovasi, pengembangan kapabilitas dan keterkaitan global.
Lingkungan dan Elemen Ekosistem Sistem Inovasi India
Strategi India untuk membangun sistem nasional inovasi dicirikan kepada
sistem dualisme dan berat sebelah dalam hal
Prioritas untuk ilmu pengetahuan dan pemilihan teknologi serta pandangan
ke depan
Kebijakan untuk mendukung ilmu pengetahuan, Teknologi dan Inovasi
Membuat lembaga untuk hubungan antar ilmuwan
Pengetahuan dan pembelajaran
Kemampuan dan pelatihan
Difusi dan insentif
Memiliki prestasi yang signifikan dalam bidang-bidang seperti
Membangun basis industri dan R & D yang kuat
Membangun sejumlah besar ilmu pengetahuan dan lembaga teknologi
Membuat kumpulan besar ilmuwan dan insinyur
Sistem inovasi nasional India telah dikritik karena rendahnya kualitas barang
yang diproduksi.
Performa dari Sistem Nasional Inovasi India dan Pendapat yang Salah
Nasional Sistem Inovasi India (NSI) sering menghadapi kritik karena
• Inefisiensi yang menyebabkan rendahnya tingkat pertumbuhan
• Kinerja ekspor yang buruk dan
• Kualitas relatif rendah barang-barang manufaktur.
Kritik-kritik ini, meskipun valid, baik diabaikan atau sengaja gagal
memperhitungkan konteks evolusi sistem inovasi nasional di India. Terutama
pada tahap pertama, tujuan utama dari rezim kebijakan ekonomi dan S & T
India telah menciptakan kemampuan di industri untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri sebanyak mungkin, dan dengan demikian mengurangi atau
menghindari ketergantungan asing yang tidak semestinya. Meskipun pada
kenyataannya menyebutkan dibuat dalam deklarasi kebijakan tentang ekspor,
itu bukan pelaku utama dari sistem inovasi India di tahap pertama tidak seperti
kasus Korea Selatan atau Taiwan. Perusahaan India gagal ekspor bukan karena
mereka tidak mampu, tetapi karena mereka "lebih memilih untuk
memanfaatkan pasar lokal di mana mereka memiliki keuntungan dari faktor
biaya dan pemasaran". Meskipun kelemahan utama, ada prestasi yang
signifikan selama fase pertama dari sistem inovasi nasional India. Ini termasuk:
1. Creation of S&T infrastructure and the expansion of higher education with
great emphasis on basic research;
2. Development of indigenous capability to produce a range of goods
which even today many developed countries are not capable of;
3. Implementation of the Green Revolution to achieve self-sufficiency in food
grains; and
4 . Creation of the scientific and industrial innovative potential to compete at
international market.
Over the years, India invested significantly in S&T infrastructure
and R&D expenditure. Its R&D investment is comparable not only to
developing countries like South Africa and China but also to some
developed countries. This created a vast network of basic S&T institutions
and infrastructure that led to significant output in terms of number of
engineers, scientists, and technical persons.
An efficient innovation system is where technological accumulation and
progress is also accompanied by higher growth performance of the industrial
sector. During Phase I, the industry
has witnessed significant growth, although “the overall growth rate
remained much below the plan targets and also below the achievements
of several newly industrializing countries such as South Korea and
Brazil”. Initial high growth rate gave way to stagnation since mid-1960s.
However, this changed since mid-1980s when India started liberalizing its
industrial and technology policy regimes. Since then, India’s industrial
growth has been significant. The relative inefficient performance in Phase I
appear to be largely because of rigid policy regimes. The liberalization in
Phase II aimed to accelerate investment, growth, and employment appears to
have produced mixed results (both positive and negative).
Positive & Negative Sides of Indian NSI
On the positive side, a number of developments could be identified. These
include the
Significant GDP growth
FDI inflow,
Technology transfer and
Global / International R&D
Export performance
Emergence of ICT sector as one of the leading sector
Employment growth and
Other socio-economic development.
Indian National Innovation System (NSI) has been facing number of serious
challenges and problems such as
High level of illiteracy
Imbalance in income levels
Socio-economic development across different states and within states
(provinces)
FDI inflows
Weak linkages between R&D institutions/ university and industry
Lack of product innovation culture among the firms
Lopsided growth with ICT sector dominating others
Problems with Education and Skills
India Innovation Decade 2010-20
After the President of India declared 2010–2020 the “Decade of
Innovation,” STIP 2013 proposed new schemes such as the “Risky Idea
Fund” and “Small Idea Small Money.” The government launched the India
Inclusive Innovation Fund (IIIF) under the Public-Private Partnership (PPP)
model, with the government chipping in with just two per cent of the budget.
But private partners have hardly evinced any enthusiasm to invest in this
scheme. Is the government serious? The policy paralysis in science and
technology innovation can be seen from the dismal amount of money
allocated to a dozen innovation schemes under the Department of Science and
Technology (DST) and the Department of Scientific and Industrial Research
(DSIR). Out of the total budget of Rs. 2,998 crore given to the DSIR in
2011, only Rs.155 crore went to innovation schemes. And, of the
Rs. 2,349 crore given to the DST in 2012, only Rs.57 crore went to
innovation schemes.
The government S&T policies are as follows:
Science policy (1956)
Technology Policy (1983)
Science & Technology Policy (2003) and
Science, Technology & Innovation Policy (2013) and a few Policy
Resolutions in between.
The Science, Technology and Innovation Policy 2013 outlines the
major policy initiatives to strengthen the innovation ecosystem and give a
boost to the development of innovation-led entrepreneurship in India:
"The guiding vision of aspiring Indian STI (Science, Technology, and
Innovation) enterprise is to accelerate the pace of discovery and delivery of
science-led solutions for faster, sustainable and inclusive growth. A strong
and viable Science, Research and Innovation System for High Technology-
led path for India (SRISHTI) is the goal of the new STI policy." (Ministry of
Science and Technology, 2013).
Below, the key initiatives of this policy are explored in light of the
challenges identified in the previous section:
1. Funding: The policy announces an increase in the gross expenditure in
research and development (GERD) from less than 1% to 2% of the gross
domestic product over the next five years. It also states that a National
Science, Technology and Innovation Foundation will be established "as a
public-private partnership (PPP) initiative for investing critical levels of
resources in innovative and ambitious projects" (Ministry of Science and
Technology, 2013), thus attracting private sector investments in R&D. It
further announces the establishment of a fund for innovations for social
inclusion, "small idea-small money", and a "risky idea fund". These funds
are designed to address the funding-related challenges described in the
previous section. The policy does not mention angel or venture capital
funding but the above measures will fulfill some of the requirements of
innovators and entrepreneurs and the innovation ecosystem overall. It
also addresses the "rigidities" in centrally developed plans for investment
and assures a flexible approach that allows fine tuning of the government's
five-year plans in response to rapidly changing science and technology,
and it addresses the challenge of outdated procedures adopted for funds
disbursement for innovative projects.
2. Strengthening the linkages between stakeholders: The policy calls for
"special and innovative mechanisms for fostering academia–research–
industry partnerships" and facilitating the "mobility of experts from
academia to industry and vice versa" (Ministry of Science and
Technology, 2013). This initiative should help address the challenge
related to linkages and should facilitate understanding within such
partnerships.
Promotion of science: The policy promotes the spread of scientific interest
and understanding across all sections of society. The policy will "further
enable school science education reforms by improving teaching methods,
science curricula, motivating science teachers and scheme for early
attraction of talent to science" (Ministry of Science and Technology, 2013).
In these ways, the policy addresses the need for educational reforms.
3. Risk taking ability: The policy accepts risk as an integral part of a vibrant
innovation system. The policy emphasizes risk sharing by the
government, which is slated to "significantly increase private sector
investment in R&D and technology development" and "new financing
mechanisms would be created for investing in enterprises without fear of
failure" (Ministry of Science and Technology, 2013).
4. Intellectual property: The policy will seek to "establish a new regulatory
framework for data access and sharing [and for the] creation and sharing
of intellectual property. The new policy framework will enable strategic
partnerships and alliances with other nations through both bilateral and
multilateral cooperation in science, technology and innovation. Science
diplomacy, technology synergy and technology acquisition models will
be judiciously deployed based upon strategic relationships" (Ministry of
Science and Technology, 2013). Thus, this initiative is very important
for international collaborations.
5. Addressing the innovation value chain: The policy also enables a
holistic approach to the complex value chain of innovation by providing
science and technology interventions at all levels of research, technology
and manufacturing, and services in the areas of socioeconomic
importance. In this way, the policy has a very positive note and expresses a
desire to shape the future of India. With the advantages of a "large
demographic dividend" and a "huge young talent pool", the policy
foresees the achievement of national goals for sustainable and inclusive
growth (Ministry of Science and Technology, 2013).
6. Participation in global R&D infrastructure: The policy proposes the
creation of "high-cost global infrastructure in some fields through
international consortia models. Indian participation in such international
projects will be encouraged and facilitated to gain access to facilities for
advanced research in cutting edge areas of science. This will also enable
the Indian industry to gain global experience and competitiveness in
some high-technology areas with spin-off benefits" (Ministry of Science
and Technology, 2013).
The Science, Technology and Innovation Policy 2013 thus tries to join
the fragmented pieces of the Indian innovation ecosystem and bring it into
the sharper focus. It addresses the need to enhance scientific understanding
and skills among the young and aspires to position India among the top five
global scientific powers by 2020. It also links the contributions of science,
research, and innovation with an inclusive growth agenda with the aim of
forming a robust and focused national innovation system. Importantly the
policy supports entrepreneurship driven by science, technology, and
innovation with viable and highly scalable business models. A key mechanism
is investment in young innovators and entrepreneurs through education,
training, and mentoring. This positive signs indicate that the government has
fulfilled its role on the policy front. Now, it will be up to all the departments
of the government to build innovative delivery mechanisms to take the fruits
of this policy to the people of the country.
There are formidable challenges in realizing the goal, but as this article
has shown, the Science, Technology and Innovation Policy 2013 is a big
step in the right direction, because it addresses most of the key challenges in
developing an effective innovation ecosystem.
National Innovation Foundation-India (NIF)
Building upon the Honey Bee network philosophy, the National
Innovation Foundation-India (NIF), started functioning in March 2000 as
India’s national initiative to strengthen the grassroots technological
innovations and outstanding traditional knowledge. Its mission is to help
India become a creative and knowledge based society by expanding policy
and institutional space for grassroots technological innovators. NIF is
committed to look for grassroots innovators who have developed
technological innovations in any field of human survival without any outside
help.
NIF helps them get due reward for their innovations and ensure that
such innovations diffuse widely through commercial and non-commercial
channels generating incentives for them and others involved in the value
chain. With major contribution from the Honey Bee Network, NIF has been
able to build up a database of more than 200,000 ideas, innovations and
traditional knowledge practices (not all unique) from over 555 districts of the
country. Through the collaborations with R&D institutions, NIF helps in
getting these innovations validated and converting them into value added
technologies/products.
NIF has filed over 650 patents on behalf of the innovators and outstanding
traditional knowledge holders of which thirty five patents have been granted in
India and five in USA. Micro Venture Innovation Fund at NIF has provided risk
capital for 191 projects, which are at different stages of incubation. NIF has
succeeded in commercializing products across countries in six continents apart from
being successful in materializing seventy cases of technology licensing to eighty
licensees with the help of partner agencies.
NIF has proved that Indian innovators can match anyone in the world
when it comes to solving problems creatively, where they perform better
than rest is in generating greater sustainable alternatives by using local
resources frugally. Those who see poor only as the consumer of cheap goods,
miss the knowledge richness at grassroots level. The Grassroots to Global
(G2G) model that NIF is propagating is all set to change the way the world
looks at the creativity and innovations.
DAFTAR PUSTAKA
V.Dharaskar,Dr.Rajiv. Innovation Growth Engine For Nation Nize Buzzword but Often Misynderstood. Mumbai : Dec 2014.
Aiman, Syahrul, Lukman Hakim, dan Manaek Simamora. (2004).National Innovation System of Indonesia: A Journey and Challenges. Paper presented at the 1st ASIALICS InternationalConference ‘Innovation Systems & Clusters in Asia: Challenges & Regional Integration.’Bangkok, April 1-2, 2004
Taufik, Tatang. Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif Kebijakan. Jakarta. 2005