Date post: | 27-Feb-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
“Ruang Politik dalam Hikayat Hang Tuah”
oleh
Henri Chambert-Loir
Kutipan dari buku :Henri Chambert-Loir, Sultan, Pahlawan dan Hakim: Lima Teks Indonesia Lama. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2011.
RUANG POLITIK DALAM HIKAYAT HANG TUAH1
ikayat Hang Tuah adalah epos Melayu yang kiranya ditulis pada abad ke-
17 di Semenanjung Melayu. Karya tersebut bersifat semi-sejarah atau
legenda (tokoh Hang Tuah pernah hidup dalam kenyataan sebenarnya) dan
memberi kita gambaran yang sangat hidup tentang kehidupan politik dan sosial,
bahkan tentang beberapa aspek kehidupan sehari-hari, di Malaka pada abad ke-
15. Kisah yang sekaligus nyata dan fiktif ini merupakan sumber yang pantas
bagi penelitian tentang suatu konsep dalam mentalitas zaman itu.
Teks tersebut, yang pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman,2
dikenal baik oleh para pengamat kesusastraan lama dan pakar dunia Melayu
pada umumnya. Semuanya mengakuinya sebagai salah satu mahakarya
kesusastraan Melayu, satu di antara sedikit, sebelum abad ke-19, yang benar-
benar orisinil. Ia disebut-sebut dalam semua buku pegangan sebagai epos
Melayu teladan, yang malah sulit diklasifikasikan di antara karya lain yang
sejenis.
Namun sebaliknya, studi tentang epos itu relatif sedikit.3 Selain itu, studi-
studi itu merupakan penelitian sastra semata dan mengabaikan aspek sejarah
1 Versi asli artikel ini, berjudul ―L'Espace politique dans la Hikayat Hang Tuah‖,
terbit dalam D. Lombard & R. Ptak (eds.), Asia Maritima: Images et Réalités,
1200-1800, Wiesbaden: Harrassowitz, 1994, h. 41-61. Namun terjemahan ini
ditambah dengan beberapa bahan yang pernah dibawakan sebagai makalah pada
Kongres Bahasa Melayu Sedunia, ―Bahasa Melayu sebagai bahasa antarabangsa:
wawasan dan keyakinan‖, Kuala Lumpur, 21-25 Agustus 1995. 2 Hans Overbeck (penerjemah), Malaiische Chronik. Hang Tuah. Aus dem
Malaiischen (Düsseldorf, 1922: edisi ke-2, 1976). Baru-baru ini, teks itu juga
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (Kuala Lumpur, 2010). 3 Studi itu terdiri atas dua disertasi (Shelly Errington, A Study of Genre: Meaning and Form in the Malay Hikayat Hang Tuah, Cornell University, 1975, tidak
terbit; dan Sulastin Sutrisno, Hikayat Hang Tuah: Analisa, Struktur dan Fungsi,
Yogyakarta, 1983) dan sekitar dua puluhan artikel penting. Teks HHT belum pernah diedit dengan metode kritis. Di sini kami menggunakan edisi Balai
Pustaka (Weltevreden, 1924; cetakan ulang oleh Depdikbud, Jakarta, 1978, 2
jilid) dan edisi Kassim Ahmad (Kuala Lumpur, 1971; edisi ke-3).
H
Sultan, Pahlawan dan Hakim
24
teks itu, yang selalu disejajarkan dengan Sejarah Melayu,4 yaitu kronik
Kesultanan Malaka. Kedua teks tersebut membahas periode yang kurang-lebih
sama; keduanya menceritakan asal-usul mitos dinasti Malaka sebelum
mengungkapkan kehidupan politik kesultanan itu; unsur-unsur nyata dalam
Hikayat Hang Tuah (selanjutnya HHT) diketahui melalui Sejarah Melayu;
tambahan pula HHT mengandung adegan-adegan yang tidak masuk akal yang
berakibat tidak mungkin digunakan sebagai sumber informasi tentang kejadian
sebenarnya – yang paling gamblang ialah, selama masa satu abad, kesultanan
Malaka terus saja diperintah oleh ketiga orang yang sama, yaitu Sultan, Perdana
Menteri dan Hang Tuah. Maka para sejarawan cenderung mempercayai Sejarah
Melayu dan mengabaikan HHT. Salah satu hasil analisis sejarah yang langka
adalah tulisan Denys Lombard5 yang membahas secara khusus masalah ruang
dalam dunia Melayu pada awal masa Islamisasi.
Sebelum mengangkat ulang masalah ini secara mendetail, perlu kita
membicarakan asal-usul teks itu: konsep-konsep yang terkandung dalam HHT
itu milik siapa? Dengan kata lain, apa yang diketahui tentang pengarangnya
serta tempat dan zaman karya itu ditulis? Pertanyaan ini pernah diuraikan oleh
dua pakar Rusia, B. Parnickel dan V. Braginsky, yang mencatat kesejajaran
yang menonjol antara beberapa adegan politik dalam HHT (peristiwa-peristiwa
yang muncul akibat persaingan antara Malaka dan Majapahit) di satu pihak, dan
konflik yang mempertentangkan Johor dan Jambi pada tahun 1660-1690 di
pihak lain.6 Mereka menyimpulkan bahwa epos itu telah dikarang, atau paling
tidak disesuaikan, untuk melambangkan situasi politik Johor sekitar tahun 1690,
dari sudut pandang Perdana Menteri (Bendahara) setelah ia menundukkan
Laksamana.
Kesimpulan ini tidak sepenuhnya meyakinkan.7 Namun demikian, HHT
rupanya benar ditulis di Johor, yakni kesultanan yang telah menggantikan
4 Sejarah Melayu (judul sebenarnya adalah Sulalat al-Salatin) dikarang pada awal
abad ke-17. Di sini kami menggunakan edisi T.D. Situmorang & A. Teeuw
(Jakarta, 1952) dan edisi Muhammad Haji Salleh (Sulalat al-Salatin, Kuala
Lumpur, 1997) serta terjemahan C.C. Brown (Sejarah Melayu or Malay Annals,
Kuala Lumpur, 1970). 5 Le Carrefour javanais (Paris, 1990), jil. II, h. 197-200.
6 Lih. V.I. Braginsky, ―Hikayat Hang Tuah: Malay epic and Muslim mirror‖,
Bijdragen tot de taal-, Land- en Volkenkunde, 146-4 (1990), h. 399-412. 7 Andaikata versi HHT yang kita kenal benar telah dipesan oleh Bendahara Johor,
setelah kemenangannya atas Laksamana, bagaimana dapat dijelaskan bahwa ia
memilih seorang seperti Hang Tuah – yang bukan pahlawan yang sebenarnya –
untuk menjadi tokoh dalam sebuah epos di mana Laksamana-lah yang memutuskan nasib Malaka? Di pihak lain, perkawinan Sultan Malaka dengan
putri Majapahit hanya secara dangkal saja bersamaan dengan perkawinan anak
raja Johor dengan putri Jambi. Hipotesis kedua pakar Rusia itu membuahkan
Hikayat Hang Tuah
25
Malaka dan yang merupakan gudang ingatan sejarahnya. Kesimpulan kedua
pakar tersebut tentang batas waktu akhir HHT mungkin dikarang pun boleh
diterima: HHT disebut oleh seorang penulis Belanda (François Valentijn) pada
tahun 1726, jadi kiranya berasal dari paling sedikit sepuluh tahun sebelum tahun
tersebut.8
Dapat diperkirakan juga bahwa HHT ditulis di istana, dengan saran yang
diajukan B. Parnickel: waktu itu istana merupakan salah satu pusat produksi
sastra tulis yang terpenting, dan ternyata sejumlah besar naskah yang kita kenal
dari teks itu berasal dari beberapa perpustakaan istana.9 Argumentasi Parnickel
dapat dilengkapi dengan kenyataan bahwa pengarang HHT jelas mengenal teks-
teks Melayu lain seperti Sejarah Melayu, Bustan al-Salatin, Hikayat Iskandar
Zulkarnain, Hikayat Sri Rama dan suatu cerita Panji, apalagi menyalin,
sebagaimana akan kita lihat di bawah ini, sebuah kutipan dari Bustan al-Salatin,
dan hal ini pasti terkait dengan istana.
Dalam hal ini rupanya kita boleh menganggap bahwa HHT ditulis oleh
pengarang tunggal oleh karena, kalaupun pernah ada sejumlah legenda lisan
tentang tokoh Hang Tuah, kenyataan bahwa teks HHT hanya terdapat dalam
satu versi saja mendorong kita berkesimpulan bahwa semua naskah berasal dari
satu arketipe tunggal.10
Jadi teks itu bukan campuran episode yang tergabung
kesimpulan bahwa HHT ditulis setelah tahun 1688, yaitu tahun kemenangan
Bendahara. Padahal, rujukan pada suatu kejadian tahun 1641 (penaklukan Malaka
oleh Belanda) pada akhir teks, tampak seperti tambahan belakangan, yang
membuat kita berpikir bahwa HHT dikarang sebelum 1641 dan barangkali
diperbaiki pada waktu disalin ulang di kemudian hari. Akan kita lihat di bawah ini
bahwa sebuah adegan HHT disalin atas sebuah teks lain, yakni Bustan al-Salatin,
yang ditulis tahun 1638. Jadi kita menghadapi beberapa ciri yang tampak saling
bertentangan. Tidak boleh dilupakan bahwa, kalaupun teks itu rupanya ditulis
oleh seseorang pengarang pada suatu waktu tertentu, ia pasti mengalami berbagai
perubahan dalam proses penerusannya. 8 Mungkin Valentijn mengelirukan HHT dan Sejarah Melayu (lih. Kasim Ahmad,
Hikayat Hang Tuah, 1971, h. xii dan cat. 5), tetapi bagaimanapun juga teks itu
dikutip oleh pengarang Belanda yang lain, Werndly, sepuluh tahun kemudian,
yakni tahun 1736. Naskah paling tua yang kami miliki berasal dari tahun 1758. 9 B. Parnickel, ―An attempt of interpretation of the main characters of the Malay
Hikayat Hang Tuah‖, Moskow, 1960. 10
Sangat mengesankan misalnya, bahwa edisi yang beberapa waktu lalu dikerjakan
oleh Kassim Ahmad (Kuala Lumpur, 1971; edisi pertama 1964) berdasarkan
sebuah naskah dari Kelantan, hanya menunjukkan perbedaan remeh dengan edisi
Balai Pustaka (1924), yang berdasarkan naskah dari Perpustakaan Batavia. Analisis dari segi sastra dan bahasa semestinya dapat membantu menentukan
proses penyusunan teks itu. Kasim Ahmad (1971, h. xii) mengajukan
argumentasi menarik untuk mendukung hipotesis bahwa sebagian teks itu
Sultan, Pahlawan dan Hakim
26
secara kebetulan dalam perjalanan waktu dan kita patut mencari di dalamnya
visi yang terpadu tentang satu aspek masyarakat masa itu.
Tetapi – ini juga mengikuti pembahasan B. Parnickel – penggambaran
penguasa dalam HHT (ia lemah, penakut, dangkal dan zalim) jelas tidak dapat
mencerminkan sudut pandang istana, sementara sifat dan tabiat Hang Tuah
(rakyat biasa, patriot, pendukung kekuasaan yang kuat, prajurit yang tangguh,
diplomat andal, dan pedagang lihai yang berjiwa petualang, penuh rasa ingin
tahu dan dermawan) memberi kita petunjuk bahwa pengarangnya akrab dengan
golongan pedagang. Baiklah disimak tiga adegan yang mendukung dugaan
tersebut. Pertama, tatkala ia diutus Sultan ke India dan Rum (Istambul), Hang
Tuah mengisi kapalnya dengan barang dagangan supaya dijual di tempat tujuan
demi keuntungannya sendiri, bahkan waktu diutus ke Tiongkok, ia berbuat
demikian pula untuk kepentingan seorang menteri India yang berjanji akan
mengembalikan 50 persen keuntungannya.11
Kedua, ketika mengunjungi kota
Vijayanagar, Hang Tuah menaruh perhatian khusus pada dua jenis lembaga:
beberapa wihara yang atas modalnya sendiri meminjamkan uang kepada para
pedagang dengan bunga 5 persen, dan ―balai derma‖ yang menyedekahkan
makanan dan pakaian kepada orang miskin. Ketiga, ketika ia dianugerahi oleh
Sultan Brunei sebuah muatan kendaga sebesar dua belas perahu sarat, yang
kemudian ditolak oleh Sultan Malaka (―Apa gunanya kendaga ini kepada kita?
Mana bicara Laksamanalah!‖ HHT 387), ia tidak membuangnya: ia
menyimpannya baik-baik dan kemudian mempersembahkannya kepada Raja
Siam yang memakainya sebagai mata uang (―Maka titah Phra Chau, ‗Hai
Laksamana, terlalu sekali baik kendaga ini [sebagai] belanja negeri kita, karena
kendaga inilah terlalu jauh, bukan mudah-mudah mengambil dia‘.‖ HHT 393).
Mengingat betapa dangkal perhatian Hang Tuah terhadap aspek-aspek budaya,
agama dan politik negeri-negeri asing yang dikunjunginya, maka ketiga adegan
di atas menggambarkannya sebagai usahawan cerdas di balik penampilannya
sebagai diplomat.
Maka paling tidak, boleh kita mengajukan hipotesis bahwa HHT ditulis di
Johor sekitar pertengahan abad ke-17 (mungkin sebelum tahun 1641 tetapi
(hingga utusan ke India) ditulis sebelum tahun 1600 (kata-kata Portugis masih
banyak), sementara bagian selanjutnya ditulis sesudah tahun 1641 (kepribadian
Hang Tuah tampak berubah). 11
Menteri yang dimaksud, Nala Sangguna, mengajukan usulnya sebagai berikut:
―Hai Laksamana, baiklah anakku suruh segala orang anakku membeli dagangan
yang patut dibawa ke benua Cina itu, sangat labanya, esa sepuluh. Dan ayahanda
pun berlengkap sebuah kapal menyuruh pergi sama dengan anakku. Apabila
sampai ke benua Cina, akui oleh anakku kapal ayahanda itu, supaya lepas daripada cukainya. Jikalau anakku selamat datang ke benua Keling, ayahanda
bahagi dua labanya akan anakku, kerana cukai di benua Cina itu terlalu keras.‖
(Hikayat Hang Tuah, h. 363)
Hikayat Hang Tuah
27
diubah lagi sesudahnya) oleh pengarang yang akrab dengan istana dan berasal
dari golongan pedagang.
Sebelum memantau negeri-negeri yang dikunjungi Hang Tuah sebagai
pencerminan ruang politik kesultanan Malaka sebagaimana dilukiskan dalam
HHT, perlu kita ingat sifat umum kisah-kisah perjalanan dalam hikayat Melayu
lama. Para tokoh hikayat-hikayat itu sering melaksanakan perjalanan ke negeri
jauh. Perjalanan itu bersifat melingkar, yaitu sang tokoh selalu pulang ke negeri
asalnya. Dalam Hikayat Indraputra umpamanya, tokoh utama, yakni Indraputra,
diterbangkan ke luar negeri asalnya oleh seekor merak emas dan kemudian
berkelana untuk mencari obat beranak yang diperlukan Raja Syahsian.
Selanjutnya dia mengalami berbagai petualangan yang luar biasa, bertemu
dengan segala jenis makhluk, sempat mati dan dihidupkan kembali, dan
akhirnya pulang ke negeri asalnya bersama empat istri.
Perjalanan itu juga bersifat rohani karena sang tokoh mengalami proses
penyempurnaan, sehingga dapat pulang dan menjadi raja, mengganti ayahnya.
Dalam Hikayat Dewa Mendu misalnya, tokoh Dewa Mendu meninggalkan
negeri asalnya ―demi mencari kesempurnaan kali-laki‖. Di antara berbagai
pengalamannya di negeri Indera dan Cendera, dia berenang dalam laut Qulzum
selama setahun lebih, dia ditelan oleh seekor naga dan hidup dalam perutnya
selama beberapa waktu pula. Pengalaman demikian boleh dianggap sebagai
ritus kealihan (rites de passage) atau inisiasi. A. Bausani pernah menulis uraian
yang menarik tentang adegan-adegan itu, yang ditafsirkannya sebagai padanan
Melayu dari konsep penitisan dalam agama Hindu.
Perjalanan dalam Hikayat Hang Tuah sangat penting juga tetapi sama
sekali lain sifatnya. Hang Tuah mengunjungi negeri-negeri yang nyata, bukan
negeri antah-berantah. Negeri itu cukup banyak, mulai dari negeri tetangga di
alam Melayu (Pahang, Terengganu, Lingga, Singapura, dan lain-lain) sampai
yang terbesar di dunia pada zaman itu: Tiongkok, India Selatan, Tanah Suci,
Mesir dan Turki. Untuk pertama kali dalam sastra Melayu, ilmu bumi dan dunia
politik menjadi bahan sastra. Gejala itu merupakan tanda kemodernan, lama
sebelum abad ke-19.
Dalam Sulalat al-Salatin, alias Sejarah Melayu, Hang Tuah hanya
mengunjungi beberapa negeri saja, bahkan tidak pernah memimpin utusan
sendiri, dan mungkin sekali demikian halnya dalam kenyataan sejarah.
Sebaliknya dalam HHT, dialah yang memegang peran utama dalam semua misi
dan perjalanan tersebut.
Negara-Negara Sekutu atau Bersahabat dengan Dunia Melayu
Alur cerita HHT boleh dikatakan terpusat pada dua kutub yang berlainan. Di
satu pihak, di istana Malaka, sikap senantiasa setia dan takzim yang ditunjukkan
Hang Tuah terhadap Sultan, dan sebaliknya pendurhakaan Hang Jebat,
sahabatnya, ―adiknya‖, yang terpaksa dibunuhnya sendiri untuk mengembalikan
Sultan, Pahlawan dan Hakim
28
keamanan. (Makna simbolis kedua sikap yang bertentangan itu merupakan topik
utama dari berbagai studi yang terbit selama ini.) Di pihak lain, di luar
kesultanan, misi-misi yang dilaksanakan Hang Tuah atas perintah Sultan ke
negeri asing yang luar biasa banyaknya. Aspek kedua itulah yang akan dibahas
di bawah ini.
Baik kita melihat dulu secara sepintas negara dan negeri yang berhu-
bungan dengan Malaka, mulai dengan yang terletak dalam lingkungan dunia
Melayu, tanpa memperhatikan urutan episode yang bersangkutan.
Sebelum mendirikan kota Malaka, Sultan memerintah di Bentan. Orang
tuanya tetap memerintah di Bukit Seguntang, dekat Palembang. Disebut rencana
kedua adiknya dinobatkan di Minangkabau dan Palembang (HHT 104).12
Kedua
putranya menjadi raja di Lingga dan Bentan.
Bukit Seguntang, Palembang, Bentan, Lingga, Minangkabau, juga
Singapura tempat Sultan terkadang berjalan-jalan, semuanya merupakan
kerajaan tetangga yang mempunyai hubungan persahabatan bahkan persauda-
raan dengan Malaka.
Juga sangat dekat adalah dua kerajaan di pantai timur Semenanjung
Melayu, yaitu Indrapura (yakni Pahang) dan Terengganu. Kedua-duanya adalah
kerajaan bawahan, yang beberapa kali perlu ditindak oleh Malaka. Beberapa
sengketa disebabkan oleh keinginan Sultan untuk menikahi putri perdana
menteri (bendahara) Indrapura. Sang putri menyatakan dirinya tidak patut
(―Yang enggang sama enggang, yang pipit itu sama pipit juga!‖, HHT 93).
Lama kemudian, Hang Tuah melarikan sang putri dengan menggunakan ilmu
sihir, sehingga menimbulkan kemurkaan ayahnya, Perdana Menteri Indrapura,
dan tunangannya, Pangeran Terengganu.13
Lebih kemudian, Hang Tuah harus
sekali lagi menghukum Terengganu karena telah melecehkan tunangan (yang
datang dari Srilanka) putri Sultan, dan menghukum Indrapura karena telah
membunuh putra Hang Jebat.
Tiga kerajaan Melayu lain mendapat kunjungan persahabatan secara
singkat, yaitu Brunei, Aceh dan Patani. Ketika kembali dari Jawa, Hang Tuah
diserang di sekitar Tanjung Krawang (yakni sedikit ke timur dari kota Jakarta
kini) oleh putra raja Brunei, yang ingin mengadu kekuatan dengannya. Hang
Tuah, yang pada bagian cerita ini telah mencapai tingkat ilmu perang yang tak
tertandingi, dengan cepat menundukkan anak raja itu, namun tetap memperlaku-
kannya dengan hormat serta membawanya ke Malaka, dan kemudian
12
Nomor di belakang singkatan HHT (yaitu Hikayat Hang Tuah) adalah nomor
halaman dalam edisi Kassim Ahmad (1971). Kalau merujuk pada dua edisi berlainan, akan disebut BP (Balai Pustaka) dan KA (Kassim Ahmad).
13 Episode sejarah yang bersangkutan dikisahkan dalam Sejarah Melayu (1970), h.
136-145.
Hikayat Hang Tuah
29
mengantarnya pulang ke Brunei. Peristiwa itu merupakan kesempatan untuk
menyebarkan kemasyhuran Malaka.
Hang Tuah singgah di Patani dalam perjalanan ke Siam. Sultan Melaka
sendiri telah menyuruhnya mengamati negeri yang ―baharu diperbuat‖ itu.14
Hang Tuah naik ke darat dan mengagumi posisi kota yang tidak dapat direbut
itu. ―Adapun maka pintu gerbangnya itu, kepala naga matahari hidup, ekornya
matahari mati‖ (HHT 389). Itulah satu-satunya kesempatan, dengan alasan yang
tidak jelas, Hang Tuah mengamati sebuah kota dari luar, tanpa berusaha sedikit
pun untuk memasukinya.
Terakhir, Hang Tuah singgah di Aceh dalam perjalanannya ke Istambul:
ia tinggal selama dua belas hari di istana Sultan Salahuddin, sambil
memperbaharui ikatan persahabatan antara Melaka dan Aceh (kata Hang Tuah,
―Adapun negeri Aceh dengan negeri Malaka itu seumpama suatu permata dua
cahayanya, demikianlah adanya. Sebagai lagi tanda berkasih-kasihan saudara-
bersaudara‖, HHT 440). Sultan Aceh mengakui kedaulatan Malaka (sedikitnya
dengan menyebut Sultan Melaka sebagai ―kakanda‖-nya), sedangkan Hang
Tuah menunjukkan sikap menghargai dan menghormati. Kunjungan ini benar-
benar bersifat diplomatis.15
Majapahit
Hubungan dengan kerajaan Majapahit di Jawa menduduki tempat yang sangat
penting pada bagian pertama epos itu. Hubungan antara kedua kerajaan itu sama
sekali tidak bersahabat seperti hubungan dengan berbagai kerajaan di atas.
Dalam Sulalat al-Salatin, Batara Majapahit menyuruh orangnya menantang
Hang Tuah serta sahabatnya, namun sikap itu berdasarkan keinginan bertanding
kekuatan saja, dan ketika ketangkasan dan keberanian orang Malaka sudah
terbukti, maka Batara Majapahit bertambah kagum dan senang akan mereka.
Akan tetapi dalam HHT, sikap tersebut diubah sedemikian rupa sehingga
menjadi persaingan berdarah: orang Melayu diancam dan diserang dengan
sekuat-kuatnya dan berkali-kali berusaha dibunuh. Sebenarnya kisah Majapahit
14
Kata Sultan, ―kita ada menengar khabar negeri baharu diperbuat, namanya Patani;
pada bicara kita, kita hendak suruh alahkan.‖ Maka jawab Hang Tuah, ―Daulat
tuanku, barang kala patik lalu ke laut Patani itu patik singgah melihat dia, tetapi
pada firasat patik terlalu baik tempat kedudukan Patani itu, tiada dapat dialahkan
oleh musuh‖ (HHT KA 388). Istilah ―alahkan‖ dalam ucapan Sultan, dalam BP
(II, h. 151) diganti dengan ―mengamati‖, yang di sini kelihatan keliru. Perlu
diingat bahwa kota Patani dibangun pada awal abad ke-15. 15
Sultan Salahuddin memerintah dari tahun 1530 s.d. 1539. Bagian teks ini tampak ironis, tentunya tak disengaja, karena sebenarnya Sultan ini pernah menyerang
Malaka dengan sia-sia. Lih. Denys Lombard, Le Sultanat d’Atjeh au temps
d’Iskandar Muda (1607—1636), Paris, 1967, h. 37, 185.
Sultan, Pahlawan dan Hakim
30
dalam HHT mungkin sekali berasal dari dua jenis adegan sejarah dalam Sulalat
al-Salatin, yaitu perkawinan Sultan Mansur Syah dengan putri Majapahit
(ceritera ke-14) serta kedua serangan yang dilancarkan oleh Majapahit terhadap
Singapura (ceritera ke-5 dan ke-10). Hubungan itu menimbulkan masalah
interpretasi simbolis dari cara HHT mengembangkan satu peristiwa sejarah
sederhana menjadi cerita yang rumit. Interpretasi itu, seperti telah kita lihat,
telah diusahakan oleh B. Parnickel dan V. Braginsky dengan memban-
dingkannya dengan hubungan antara Johor dan Jambi pada akhir abad ke-17.16
Majapahit adalah satu-satunya kerajaan yang kedaulatannya diakui
Malaka. Sultan Malaka memang memperlakukan negara-negara besar asing
seperti Siam, India, Tiongkok dan Istambul dengan rendah hati, tetapi hierarki
tidak dipersoalkan. Sebaliknya dengan Majapahit hal tersebut sangat eksplisit,
dan relasi kedua kerajaannya tidak diragukan: Malaka takluk pada Majapahit.
Lagi pula Majapahit adalah satu-satunya negara asing yang dikunjungi sendiri
oleh Sultan Malaka, bahkan dua kali. Patut diingat bahwa Sultan Malaka tidak
pernah ke luar negeri dan selalu mengutus orang lain, baik untuk misi
persahabatan maupun perdagangan, sehingga perlawatannya ke Majapahit
merupakan kekecualian yang sangat bermakna. Adapun Hang Tuah sampai lima
kali ke Majapahit.
Telah kita lihat bahwa Sultan Malaka ingin menikahi seorang putri
bangsawan dari Indrapura. Setelah lamarannya mula-mula ditolak langsung, ia
mudah menerima usul untuk melamar putri Majapahit (Raden Galuh Emas
Ayu) dengan alasan ia cantik lagi bangsawan. Seorang Jawa dari kalangan
istana Malaka17
beserta Hang Tuah diutus untuk melaksanakan misi tersebut.
Sebuah kapal sepanjang 70 meter, Mendam Berahi, khusus dibangun untuk
keperluan itu. Utusan Melayu tersebut diterima dengan segala kehormatan di
Majapahit, tetapi Raja Seri Betara dan menterinya (Patih Gajah Mada)18
serta-
merta menguji keberanian mereka dengan membuat mereka diserang oleh enam
puluh orang prajurit. Para utusan Melayu tidak bergeming. Pada kesempatan
kemudian Hang Tuah menyebut para prajurit yang mengamuk itu sebagai anak-
16
Episode kunjungan Sultan Malaka ke Majapahit dan perkawinannya dengan sang
putri diceritakan juga dalam Sejarah Melayu (ed. 1970, hlm. 67-74). 17
Yang dimaksud adalah Patih Kerma Wijaya yang mengabdi kepada Sultan
Malaka, setelah dilecehkan oleh tuannya, Raja Lasem. 18
Nama raja tersebut hanya satu gelar, sehingga kita tidak dapat mengidentifikasi
raja mana yang dimaksud. Sebaliknya, nama mangkubuminya sangat terkenal: ia adalah kepala pemerintahan dalam paruh kedua abad ke-14. Namun, dalam
Sejarah Melayu (1970), h. 65 dan lain, jelas nama itu hanya gelar yang dipakai
oleh semua mangkubumi Majapahit.
Hikayat Hang Tuah
31
anak nakal.19
Raja langsung tertarik oleh kepribadian Hang Tuah dan
menawarkannya untuk diangkat sebagai menteri (Hang Tuah menolak dengan
cara halus), tetapi meskipun demikian Baginda tetap berkali-kali berusaha
membunuhnya.
Lamaran Sultan Malaka diterima tetapi ia harus datang sendiri ke
Majapahit. Maka pulanglah Hang Tuah untuk menjemputnya. Sultan berlayar di
atas kapal yang khusus dibangun untuk keperluan tersebut, Kota Segara. Pada
kesempatan kunjungan kedua itulah Hang Tuah membunuh jago Jawa, Taming
Sari, yang kerisnya diserahkan kepadanya dan menjadikan dia tak terkalahkan.
Pada waktu itu pulalah, setelah melalui berbagai pengalaman, tokoh kita dan
keempat sahabatnya20
berguru ilmu silat kepada Sang Pertala. Mereka juga
melanggar larangan masuk ke taman pribadi Sultan, dalam suatu parodi adegan
permandian tradisional.
Upacara perkawinan dilaksanakan, lalu rombongan orang Melayu pulang
ke Malaka. Di kemudian hari, sang putri melahirkan dua orang putra, Raden
Bahar dan Raden Bajau. Sementara itu Sultan menikahi juga putri muda dari
Indrapura dan bersikap sedemikian mabuk kepayang sehingga Hang Tuah harus
memperingatkannya: ia akan melewatkan secara bergilir sepuluh malam dengan
istri pertamanya dan tujuh malam dengan istri kedua. Hal itu tak urung
membuat Raja Majapahit murka dan mengirim utusan untuk menyelidiki nasib
putrinya. Hang Tuah dan kemudian Sultan sendiri pergi ke Majapahit untuk
kunjungan ramah-tamah. Kunjungan yang penuh bahaya karena Raja Majapahit
dan Patih Gajah Mada tidak mau mengubah sikap dan mencoba dengan segala
cara untuk membunuh Sultan dan Laksamana. Maksud jahat itu diteruskan
sampai ke Malaka. Raja Majapahit dua kali menyuruh segerombolan perompak
untuk memporak-porandakan kota serta membunuh Sultan. Tentu saja para
pengacau itu ditumpas oleh Hang Tuah.
19
Kata Hang Tuah kepada raja, ―Tetapi bukan orangnya yang mengamuk itu,
budak-budak bermain-main maka terkejut orang di tengah pasar itu, terkejut lalu
gempar, patik lihat‖ (HHT, 102). 20
Sejak masa kanak-kanaknya di Bentan, Hang Tuah mempunyai empat orang sa-
habat yang tak terpisahkan: Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir dan Hang
Lekiu. Mungkin jumlah sahabat itu serta fakta bahwa kedua yang terakhir
mempunyai peranan kecil dan tak terpisahkan, harus kita lihat sebagai suatu
pengaruh Mahabharata atas epos itu. Teuku Iskandar, ―Some historical sources
used by the author of Hikayat Hang Tuah‖, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 38.2 (1970), h. 42-43, mengusulkan bahwa sahabat itu
pada awalnya hanya dua orang, kemudian Jebat menjadi dua karena ditambah
sinonimnya (jebat dan kesturi sama artinya), sedangkan Lekir juga menjadi dua disebabkan kerancuan ejaan (Lekir dan Lekiu). Kedua hipotesis itu bisa sama
benarnya, karena mungkin saja kedua nama tersebut digandakan dengan tujuan
mencapai angka lima.
Sultan, Pahlawan dan Hakim
32
Raja Majapahit terus-menerus menunjukkan kekaguman yang tulus
kepada Hang Tuah karena keberanian, pengabdian penuh, penampilan dan
sopan-santunnya, tetapi tak henti-hentinya pula ia membuat rencana untuk
membunuhnya. Tatkala Hang Tuah berhadapan dengan sang jago Taming Sari
dan membunuhnya, Raja menganugerahinya gelar Laksamana (ia yang pertama
melakukannya) serta keris musuhnya dan wilayah Jemaja di kepulauan Riau.21
Tetapi selanjutnya, ia tetap menyuruh Mangkubumi agar berupaya membunuh
Hang Tuah. Kegigihan jahat yang terus-menerus gagal saja sehingga hanya
berhasil menonjolkan keberanian dan kepiawaian tokoh kita, menjadi sejenis
pola jenaka, karena setiap kali Patih Gajah Mada bercakap dengan angkuh akan
melaksanakan tugas itu, dan setiap kali pula anak buahnya dibuat terbirit-birit
atau dibunuh oleh Hang Tuah.
Teks HHT hanya memberi penjelasan yang kurang memuaskan tentang
sikap mendua itu, yaitu Raja Majapahit, setelah menolak banyak pelamar lain,
telah menerima Sultan Malaka sebagai menantu karena tingkat kebangsawanan
cukup tinggi, namun ia tidak sanggup berpisah dengan putri tunggalnya. Oleh
karena itu Sultan Makala harus tinggal di Majapahit, dan untuk memaksanya,
pertama-tama pengawalnya yang terlalu setia, Hang Tuah, harus disingkirkan
dulu.22
Persaingan antara kedua kerajaan itu, yang dibesar-besarkan dalam teks
HHT, berakhir dengan sendirinya: waktu Raja Majapahit meninggal dunia,
Patih Gajah Mada memberi tahu Malaka dan meminta agar putra sulung Sultan
dinobatkan untuk menggantikan kakeknya. Maka Raden Bahar, didampingi
Hang Tuah, pergi ke Jawa dan dinobatkan dalam upacara singkat (HHT 375-
378). Selanjutnya, tidak terdengar lagi berita tentang Majapahit dalam perempat
terakhir teks itu. Mengingat Raja Majapahit kini adalah putra Sultan Malaka,
maka hierarki antara kedua negara itu menjadi terbalik.
21
Inilah ingatan suatu peristiwa, mungkin saja otentik, yang diceritakan dalam
Sulalat al-Salatin: atas nasihat Sultan, yang baru menikah dengan putri Raja
Majapahit, Hang Tuah meminta pulau Siantan, di kepulauan Riau, kepada raja
Majapahit. Jawab Raja, ―Baiklah, jangankan Siantan, jikalau Palembang
sekalipun dipohonkan oleh Laksamana, nescaya kita anugerahkan‖ (Sulalat al-
Salatin, 1997, h. 96). 22
Kata Raja kepada Patih Gajah Mada, ―Adapun bicara hatiku, jikalau anakku
kawin dengan Ratu Malaka itu, tak dapat tiada dibawanya kembali juga anakku
ini ke Malaka, karena hambanya yang lima ini [yaitu Hang Tuah dan keempat
orang sahabatnya] bukan barang-barang beraninya dan ingatnya. Dalam lima itu,
kulihat pada sikap hulubalangnya, yang bernama Tun Tuah lebih beraninya, akhirnya jadi hulubalang besar pada tanah Melayu. Jikalau dapat, baik juga suruh
bunuh dengan tipu. Apabila ia mati, barang kehendak kita pun berlakulah, tiada
ia kembali ke Malaka‖ (HHT 124).
Sultan, Pahlawan dan Hakim
34
Kita telah melihat bahwa seorang menteri dari Lasem pernah mengungsi
ke Malaka. Dua kabupaten Jawa yang lain menjalin hubungan persahabatan
dengan Malaka. Ketika dua kali pulang dari Majapahit, Sultan singgah lama di
Tuban dan di Jayakarta. Di Tuban, pelabuhan Majapahit, ia disambut oleh
penguasa setempat (Adipati Tuban, Sang Agung Tuban), yang selama tujuh hari
menghiburnya dan mengajaknya berburu. Di Jayakarta (di lokasi Jakarta
sekarang) juga ia diterima oleh penguasa (Adipati Jayakarta) beserta para
pembesar, dan bersenang-senang selama tujuh hari – ―dan para putri turun ke
darat untuk mengunjungi pasar‖ (HHT 165). Kemudian Sultan singgah di
Palembang di mana ia tinggal selama puluhan hari dan meminta berita tentang
Bukit Seguntang dan Malaka. Jelas bahwa, sebaliknya dari Majapahit, Tuban
dan Jayakarta memperlakukan Malaka sebagai negara atasannya.
Negara-Negara Asing di Asia
Di antara negara-negara itu, India Selatan menduduki tempat khusus karena Raja
Vijayanagar (HHT KA ―Bijaya Nagaram‖, BP ―Wijaya Nigrama‖) tak lain dari
adik Sultan Malaka. Sebenarnya pada awal HHT, seorang saudagar India kaya
memohon kepada Sultan agar diizinkan menobatkan adik bungsunya, Sang Jaya
Nantaka, yang telah diusir Baginda gara-gara fitnah. Sultan berkenan, maka Sang
Jaya Nantaka diangkat menjadi ―Sultan Keling‖ (HHT 110). Namun, ia enggan
menyembah kakaknya, dan para utusannya ke orang tuanya di Bukit Seguntang
tidak singgah di Malaka.23
Sultan memutuskan untuk mengirim utusan kepada adiknya, dan sang
Bendahara menyetujuinya: ―baik juga tuanku mengutus ke benua Keling pada
paduka adinda itu, kerana baginda itu pun raja besar; lagi pula tuanku pun berseteru
dengan Majapahit; supaya adalah malu segala raja-raja akan Duli Yang
23
Kepada Raja Majapahit, yang memikirkan soal tata-cara, Hang Tuah menjelaskan,
―Daulat tuanku paduka Betara, pada bicara patik, Sultan Malaka sungguhpun tua,
hamba kebawah duli paduka Betara. Akan Raja Benua Keling itu, sungguh baginda
raja muda, karena raja besar tiada mau menyembah samanya raja. Tetapi harus juga
pada bicara patik baginda itu menyembah duli paduka Betara, raja yang berasal dan
raja dari keinderaan yang diturunkan Allah taala pertama raja pada Tanah Jawa‖
(HHT 106-107). Hubungan antara Malaka dan Vijayanagar sangat berbeda dalam
Sulalat al-Salatin: teks itu menceritakan pembangunan ―Bijaya Nagara‖ (Sejarah
Melayu 1970, h. 9), lalu perkawinan seorang putri dari kerajaan itu dengan Raja
Singapura, ayah pendiri Malaka (ibid., h. 24). Di kemudian hari, seorang bangsawan
Malaka yang sezaman dengan Hang Tuah, pergi ke India untuk membeli kain cita
bagi Sultan Malaka (ibid. h. 133-134). Selain itu, seorang saudagar India dari kota lain memberi kesempatan seorang pangeran Malaka yang menyamar menjadi nelayan
untuk menjadi raja (ibid., h. 52 sq.) Tampaknya HHT telah memanfaatkan dengan
bebas berbagai motif ini.
Hikayat Hang Tuah
35
Dipertuan‖ (HHT 339). Sebelum berangkat, Hang Tuah dan Bendahara
mengumpulkan emas dan perak berkilo-kilo, yang diserahkan kepada anak buah
mereka dengan tugas ―berlengkaplah dan belilah segala dagangan yang patut
dibawa ke benua Keling‖ (HHT 340). Setelah 18 hari berlayar, Hang Tuah tiba
di pelabuhan Negapatam (atau Nagapatnam) dan disambut dengan segala
kebesaran oleh menteri Nala Sangguna, yang segera mengantarnya ke ibu kota
Vijayanagar, tujuh hari berjalan jauhnya. Setelah beberapa hari persiapan, Hang
Tuah serombongan, diiringi pengantar yang sangat banyak dengan ribuan gajah
dan kuda, pergi mempersembahkan surat dan hadiah Sultan kepada Raja.
Deskripsi kota tidak jelas segaligus penuh klise.24
Namun, di situlah
disebut kuil-kuil tempat meminjam uang serta balai-balai derma yang telah
dibicarakan di atas. Hang Tuah terpukau melihat kemakmuran yang tergambar
di hadapannya: ―Sungguhlah Raja Keling itu raja besar, sedang seorang
saudagar lagi terlalu kaya. Sepuluh raja-raja Melayu pun tiada sama seorang
saudagar‖ (HHT 352).
Raja India tiba-tiba memutuskan untuk mengirim utusan ke Tiongkok dan
memilih Hang Tuah sebagai utusannya. Dalam adegan tersebut nanti, Hang
Tuah akan menyampaikan kepada Raja Tiongkok alasan misinya sebagai
berikut, ―Maksud Raja Benua Keling hendak berkasih-kasihan saudara-
bersaudara juga, kerana tuanku raja besar dan Raja Benua Keling pun raja besar
juga, tanda mufakat‖ (HHT 336). Setelah dua bulan berlayar, Hang Tuah tiba di
pelabuhan Tionghoa bernama Bakang Hainam.25
Kedatangannya diberitahukan
kepada keempat orang menteri.26
Hang Tuah tidak boleh melihat Raja, yang
24
―Beberapa hari di jalan maka kelihatanlah kota negeri Bijaya Nagaram terdinding
seperti kapas sudah terbusar. Setelah hampirlah maka dilihat oleh Laksamana
pintu gerbang negeri itu sekaliannya diukir rupa binatang terlalu indah-indah.
[Kota]-nya, diperbuatnya daripada batu yakut dan pada selapis pula daripada batu
hitam seperti sayap kumbang berkilat-kilat; pada selapis pula daripada itu
dilihatnya oleh Laksamana tulisannya ceritera Seri Rama dan pada selapis lagi
lelakon Pandawa Jaya dan pada selapis ditulisnya pelbagai rupa binatang yang di
dalam rimba belantara dan pintunya daripada tembaga suasa. Maka beribu-ribu
rumah berhala di dalam negeri itu tempat anji wantar sembahyang dan beribu-
ribu kemah khatifah terbentang akan tempat segala saudagar berniaga dan
berkedai‖ (HHT 348). 25
Dalam beberapa dialek Tiongkok selatan, kang berarti ―pelabuhan‖, dan hainam,
yaitu nama pulau terkenal (Hainam atau Hainan) di teluk Tonkin, berarti ―laut
selatan‖ (nam-hai). Dalam edisi Balai Pustaka (II, h. 126), tercantum ―Bakang
Hitam‖ yang semata-mata disebabkan kerancuan ejaan, mengingat hainam dan
hitam dalam tulisan Jawi hanya dibedakan satu titik. Tidak dapat dijelaskan mengapa utusan Melayu itu mendarat di pulau itu, bukan di benua Tiongkok.
26 Disebut namanya sebagai berikut: Wang Kam Seng, Pasyinga, Lu Tai dan Sam Pi
Pat/Qap (HHT KA, h. 365; BP II, h. 127).
Sultan, Pahlawan dan Hakim
36
bersemayam di mulut seekor naga emas. Tak seorang pun berhak memandang
Baginda, tetapi Hang Tuah mencari akal untuk melihatnya: ia mengangkat
kepala seolah-olah untuk menelan sebuah daun kangkung yang panjang.27
Tentang kunjungan Hang Tuah di kota itu, hikayatnya hanya
menyampaikan berita singkat dan penuh khayalan sebagai berikut: ―Setelah
keesokan harinya, maka Laksamana dan Maharaja Setia [yakni Hang Jebat]
pergilah ke tengah negeri itu melihat temasya beberapa puluh ratus rumah
berhala, indah-indah perbuatannya dan berbagai-bagai rupanya binatang ditulis-
nya, seperti binatang hidup rupanya, sehingga tiada berkata-kata dan bernyawa
juga. Disuruhnya berdiri ia berdiri, disuruhnya duduk ia duduk, disuruhnya
berkata-kata ia berkata-kata, disuruhnya menyembah ia menyembah, disuruh-
nya menari ia menari, disuruhnya berhenti ia berhenti, terlalu ramai Laksamana
dan segala orangnya yang melihat itu. Maka Laksamana pun berjalan pula ke
tengah negeri itu, maka dilihat oleh Laksamana seorang berhala terlalu besar
seperti bukit besarnya, maka berhala itu pun duduk menangis suaranya seperti
guruh. Maka dilihatnya oleh Laksamana di bawah berhala itu beribu-ribu
[orang] menadah air matanya daripada laki-laki dan perempuan. Maka
Laksamana pun bertanya, "Apa sebabnya maka berhala itu menangis, dan apa
pergunaannya air matanya berhala ini?" Maka kata segala Cina itu, "Adapun
berhala ini ibu bapak segala Cina sekalian, maka ia melihat segala anak cucunya
yang banyak, dua yang jahat, sebab itulah maka hatinya tiada suka, lalu ia
menangis, dan air matanya berhala itu barang siapa memandikan dia lepas
daripada dosa sekalian." Maka Laksamana dan Maharaja Setia pun tertawa lalu
berjalan pula. Maka beberapa Laksamana melihat yang tiada pernah dilihatnya‖
(HHT 369).
Sekembalinya ke Keling, lalu ke Malaka, Hang Tuah melaksanakan dua
misi ke Majapahit dan Brunei yang telah diceritakan di bagian terdahulu, lalu ia
dikirim ke Siam, kali ini untuk urusan dagang: ia harus membeli gajah, empat
atau lima gajah jantan dan dua betina. Kota Siam tidak disebut namanya
ataupun dideskripsikan. Sekali lagi, Hang Tuah menarik perhatian Raja dan para
pejabat karena sopan-santunnya dan sikapnya yang gagah; sekali lagi, ia
berhasil memaksakan caranya sendiri. Pada waktu menghadap Raja, para tamu
harus meninggalkan senjata mereka dan maju sambil merangkak. Hang Tuah
27
Terdapat dalam Sejarah Melayu (1970, h. 80-81) suatu adegan yang sejajar
dengan episode ini: seorang bangsawan Malaka diutus ke Tiongkok dan, berkat
tipu muslihat yang sama, ia mencuri pandang Kaisar yang sedang bertakhta di
singgasana berbentuk naga. Namun, hubungan Malaka dengan Tiongkok sangat
berbeda dalam teks tersebut. Kaisar Tiongkok begitu terkesan oleh kebesaran Sultan Malaka sehingga ia memberikannya putrinya untuk dinikahi. Kemudian ia
jatuh sakit karena telah menerima rasa ―hormat‖ Sultan dan baru sembuh setelah
minum air basuhan kaki Sultan (Sejarah Melayu, 1970, h. 86-87).
Hikayat Hang Tuah
37
menolak melakukannya dan mendapat izin untuk berjalan tegak dan
mengenakan kerisnya. Sepanjang Hikayat itu, Hang Tuah melambangkan
kebanggaan orang Melayu yang menolak meninggalkan beberapa adat-
kebiasaannya. Ia datang untuk membeli beberapa ekor gajah; ia pulang ke
Malaka dengan sepuluh ekor sebagai hadiah dari Raja Siam.
Banyak peristiwa penting terjadi di antara misi itu dan perjalanan besar
ke Timur Tengah. Pertama, putra kedua Sultan Malaka, Raden Bajau,
dinobatkan di Bukit Seguntang (namun kita tidak mengetahui apa-apa tentang
wafatnya sang kakek ataupun tentang pelayaran ke Bukit Seguntang atau
upacara di sana). Kemudian sebuah utusan dikirim ke Sri Lanka untuk membeli
batu permata bagi para putra Sultan. Hang Tuah mendirikan sebuah kota di
Lingga untuk menobatkan salah satu putra itu. Pengalaman pahit seorang
pangeran dari Sri Lanka, tunangan putri Sultan Malaka, menimbulkan konflik
dengan Terengganu, yang diselesaikan oleh Hang Tuah. Ia juga melancarkan
ekspedisi hukuman terhadap Indrapura karena membunuh putra Hang Jebat.
Masih ada lagi episode yang fantastis tetapi penting. Sultan, diiringi
rombongan besar, pergi ke Singapura untuk menghibur diri. Ketika hampir
sampai di tujuan, seekor ikan dari emas bermain-main di sekitar kapalnya.
Sultan membungkuk untuk mengamatinya, dan mahkotanya jatuh ke laut. Hang
Tuah langsung terjun dan memegang mahkota itu, tetapi ia diserang oleh seekor
buaya putih yang mencuri kerisnya. Hang Tuah memegang ekornya, tetapi,
karena diseret ke bawah, ia terpaksa mengalah. Seluruh rombongan pulang ke
Malaka dalam suasana sedih. Kehilangan mahkota bagi Sultan dan keris sakti
bagi Hang Tuah, merupakan pertanda yang tidak dapat dicegah. Keduanya
langsung menderita demam dan sakit kepala. Orang Portugis menyerang
Malaka untuk pertama kalinya. Untuk pertama kalinya pula Hang Tuah terluka.
Pada waktu itulah, Sultan memutuskan untuk mengirim utusan ke
Istambul (―Rum‖, yaitu Roma Baru), untuk membeli meriam yang diperlukan
untuk pertahanan kota Malaka, sebagai persiapan penobatan putrinya.28
(Sultan
28
Sebagaimana dicatat oleh Iskandar (―Some historical sources‖, h. 44), episode ini
terinspirasi oleh sebuah fakta sejarah, yaitu pengiriman utusan oleh Sultan Aceh
Alauddin Riayat Syah al-Kahar ke Istambul pada tahun 1562. Peristiwa itu
disebut dalam Bustan us-Salatin (yang akan dibicarakan di bawah ini) dan
diceritakan dalam teks Aceh Hikayat Meukuta Alam (ada sebuah versi Melayu
berjudul Hikayat Raja Aceh Marhum), di mana utusannya dikirim oleh Sultan
yang lebih kemudian dan lebih terkenal, Iskandar Muda (memerintah tahun
1607-1636). Namun adegan HHT itu bukan salinan ataupun adaptasi dari salah
satu teks tersebut di atas. Mengenai utusan Aceh itu, lihat Lombard, Le Sultanat
d’Aceh, h. 37, cat. 3, yang mengutip seorang penulis Italia tahun 1562, yang menceritakan bahwa utusan Aceh datang ―untuk meminta senjata untuk
menggempur orang Portugis‖, sementara Th.W. Juynboll dan P. Voorhoeve
(―Atjeh‖, in Encyclopédie de l’Islam, I, 1960, h. 765) mengutip dokumen-
Sultan, Pahlawan dan Hakim
38
sebenarnya telah memutuskan untuk turun takhta demi putrinya itu.) Seperti
telah kita lihat, Hang Tuah singgah dulu di Aceh, lalu, setelah dua bulan dan
sepuluh hari perjalanan laut, tiba dekat Jeddah. Setelah diberi tahu bahwa di
situlah terdapat makam Siti Hawa, ia memutuskan untuk berziarah ke makam
itu. Ia naik ke darat, dan secara kebetulan ia terdorong untuk melaksanakan
ibadah haji di Mekah (kata Syahbandar Jeddah, ―Baik juga anakku pergi Mekah
naik haji, karena sudah anakku sampai dekat. Sedang dari jauh lagi orang ke
mari, ini pula sudah dekat‖, HHT 442.) Waktu itu tahun 886 Hijriah (1482
Masehi). Gubernur Mekah dan Medinah, di bawah perintah Sultan Istambul,
masing-masing adalah Syarif Ahmad dan Syarif Baharuddin, kedua-duanya
putra Zainulabidin.29
Hang Tuah melaksanakan semua ritus ibadah haji, di tengah kerumunan
para jemaah, lalu ia melanjutkan perjalanannya dan, tiga minggu kemudian, tiba
di dekat Kairo (―Mesir‖). Di situ pun ia berlabuh, karena ―hendak singgah
melihat kekayaan Allah subhanahu wa taala barang sehari dua di sini dan
hendak minum air Sungai Nil itu karena sungai Mesir itu hulunya mari dalam
surga katanya‖ (HHT 447). Ia disambut dan bahkan diangkat anak oleh Perdana
Menteri setempat dan ia terpukau oleh kemakmuran kota itu. ―Tiadalah aku
lihat dalam dunia seumur hidupku ini, adapun sebuah negeri Mesir ini, dua tiga
ratus buah negeri Melayu tiada sama kekayaan orang Mesir ini‖ (HHT 450). Ia
membeli beberapa ratus meriam, lalu, setelah tinggal di situ selama tiga bulan,
ia melanjutkan pelayarannya.
Di Istambul, Hang Tuah disambut oleh Gubernur Ibrahim Kakan, dan
sekali lagi ia terpukau oleh kekayaan tuan rumahnya. ―Adapun seorang Ibrahim
Kakan ini, empat puluh raja-raja di bawah angin tiada samanya juga‖ (HHT
462). Tidak kurang daripada sembilan bulan ia tinggal di ibu kota itu. Itulah
waktu yang diperlukan agar Sultan Muazzam Syah Alauddin, yang biasanya
tidak sudi menerima utusan apa pun, berkenan membuat pengecualian bagi
utusan dari Malaka. Masa tinggal Hang Tuah di Rum menduduki tempat yang
istimewa dalam HHT (25 halaman, yaitu HHT 452-477) dan mencakup
beberapa deskripsi tentang kota itu: pemerian sebuah taman yang akan
dibicarakan di bawah ini, serta beberapa pemerian lain yang seluruhnya bersifat
klise. Salah satunya misalnya menggambarkan berbagai tembok dan jalan
sebagaimana dilihat Hang Tuah waktu mendekatinya; deskripsi itu hampir sama
dengan deskripsi kota Vijayanagar yang telah disebut di atas dan berakhir
dengan kata-kata yang sama, yaitu: ―Maka dilihat oleh Laksamana beribu-ribu
dokumen Turki tahun 1563 dan mencatat bahwa utusan Aceh tinggal di
Constantinople selama dua tahun. 29
V. Matheson & A.C. Milner, Perceptions of the Haj: five Malay texts (Singapour,
1984), h. 43, cat. 24, mencatat bahwa pada tahun itu (dan sampai 1517), Mekah
sebenarnya berada di bawah kekuasaan Sultan Mesir.
Hikayat Hang Tuah
39
rumah berhala kiri kanan jalan itu dan beribu-ribu masjid terlalu indah-indah
perbuatannya dan beribu-ribu kemah khatifah yang sudah terbentang akan
tempat segala saudagar berniaga dan berkedai‖ (HHT 466).
Orang-Orang Eropa
Untuk mendorong Sultan Istambul berkenan menerimanya, Hang Tuah menga-
takan telah diterima oleh raja dari semua negara yang telah dikunjunginya,
termasuk Portugal dan Belanda. Sebenarnya ia belum mengunjungi Eropa tetapi
memang pernah berhubungan dengan orang Eropa, orang ―Ferenggi‖, artinya
orang Portugis. Hubungan itu selalu bermusuhan dan, seperti kita ketahui, akan
mengakibatkan kejatuhan kesultanan Malaka di kemudian hari.
Pertikaian pertama terjadi ketika adik Sultan Malaka dibawa ke
Vijayanagar untuk dijadikan raja. Kapal-kapal yang mengantarnya diserang
oleh armada tiga belas kapal Portugis. Pihak India dengan cepat mengalahkan
armada itu dan berhasil membuat nakhodanya menyerah. Setelah putra raja
Melayu dinobatkan, nakhoda itu digelarkan Seri Nala Sangguna dan diberi
jabatan menjaga keamanan pelabuhan.
Orang itulah yang menyambut Hang Tuah di Negapatam ketika diutus ke
Keling, dan yang menyuruhnya berlabuh di kawasan pelabuhan Portugis. Orang
Portugis berusaha mengusirnya, tetapi orang Melayu bertahan dan menghindari
pertempuran (HHT 346).
Demikian pula, setibanya di Tiongkok, kapal Hang Tuah, atas petunjuk
Syahbandar, berlabuh di samping kapal Portugis, sehingga menimbulkan
kemarahan mereka. Orang Melayu tidak gentar, malah tantangnya, ―Kami ini
dagang, di mana Syahbandar suruh, kami duduk. Tetapi engkau hendak sama
banyak pun baik atau sama seorang pun baik, karena Feringgi dan Melayu ini
seteru‖ (HHT 364). Misi Hang Tuah mendapat sukses penuh. Orang-orang
Portugis bertambah kesal karenanya, berhubung surat kepercayaan mereka tidak
diterima oleh Raja, maka begitu Hang Tuah kembali ke pelabuhan, mereka
menyerangnya. Syahbandar menyuruh mereka bertempur di laut lepas,
sedangkan seorang menteri Tionghoa berteriak, ―Sungguhlah Feringgi itu tidak
berbudi!‖ (HHT 371). Begitu kapal Hang Tuah keluar pelabuhan, ia diserang
oleh empat puluh kapal Portugis. Dengan mengucapkan satu mantra, ia berhasil
melumpuhkan kekuatan meriam dan senapan sundut mereka. Orang Melayu
balik menyerang. Keempat puluh kapal Portugis kalah (hanya tiga berhasil
melarikan diri) dan orang-orang Portugis yang tidak melompat ke laut dibantai.
Dua orang Portugis yang berhasil melarikan diri melaporkan peristiwa itu
kepada Gubernur Manila, yang meneruskannya kepada ―Sultan Portugis‖ di
Lisbon (HHT 428). Sebuah armada empat puluh kapal, masing-masing
ditumpangi lima ratus orang dan lima puluh meriam, dikirim menyerang
Malaka. Setelah pertempuran panjang dan gencar, banyak sekali orang Portugis
tewas dan armada itu pulang ke Portugal. Orang Melayu sudah menang, tetapi
Sultan, Pahlawan dan Hakim
40
untuk pertama kali, Hang Tuah terkena tembakan yang membantingnya sepuluh
depa ke belakang. Ia tidak luka tetapi selama tiga hari tidak dapat berbicara.
Lama kemudian, ketika Sultan, bendahara dan Hang Tuah telah
meninggalkan jabatan mereka dan menjauhi dunia untuk menyepi sebagai
pertapa, seorang kapten Portugis datang ke Malaka dan membeli dengan biaya
sangat mahal ―tanah sebidang belulang sahaja‖, yaitu sebesar satu kulit binatang
(HHT 486). Dari kulit itu ia membuat sebuah tali yang dipakainya untuk
melingkari sebuah bidang tanah yang cukup luas untuk membangun benteng
yang dipersenjatai meriam. Pada malam itu juga, ia menghancurkan kota
Malaka, sehingga permaisuri dan semua penduduknya melarikan diri.
Sebuah epilog menceritakan penaklukan kota oleh orang Belanda yang
bersekutu dengan orang Melayu Johor.
Seperti orang Eropa, orang-orang Jepang muncul dalam satu adegan
pertempuran laut. Ketika diutus ke Siam, Hang Tuah berhadapan dengan
seorang jago Jepang untuk menyenangkan hati Raja. Karena dibuat marah,
Hang Tuah memotong satu telinga, hidung dan satu tangan jago itu, lalu
membelah kepalanya, malah kemudian ia membunuh lima orang temannya. Dua
orang Jepang lain mencari bantuan di Kamboja dan menyerang orang Melayu di
laut. Berkat kesaktiannya (dengan membaca ―pustakanya‖, HHT 394), Hang
Tuah melumpuhkan senjata mereka, membuat mereka melarikan diri, lalu
menjarah kapal mereka.
Kenyataan dan Khayalan
Misi diplomatik Hang Tuah jelas sangat banyak dan beraneka ragam. Beberapa
di antaranya bertujuan dagang (membeli gajah di Siam dan meriam di Turki),
lebih banyak yang lain bertujuan politik, yaitu menjalin atau memperkuat
hubungan kekuasaan atau persekutuan.
Rasa ingin tahu ikut mendorong perjalanan jauh, paling tidak dalam
pikiran sang tokoh: ia mengamati negeri-negeri baru yang dikunjunginya dan
sering kagum akan ―kekayaan Allah s.w.t.‖. Sultan sendiri, walaupun jarang
sekali melakukan perjalanan, berminat akan berita dunia dan selalu meminta
laporan utusannya tentang setiap perjalanannya. Menjelang akhir cerita, ketika
ia sudah turun takhta demi putrinya, Sultan menyuruh cari orang yang bersedia
dikubur hidup-hidup. ―Karena kabar dalam dunia ini semuanya habis kita
ketahui dan kita dengar, maka yang tiada kita dengar hanyalah kabar orang
dalam kubur itu, seorang pun tiada kembali segala yang mati itu.‖30
30
HHT 479. Sekali lagi Hang Tuah-lah, bukan orang lain, yang bersukarela
melakukan misi yang luar biasa itu. Ia dikubur menurut tata cara Islam, dan menggerakkan sebuah tali ketika ingin ditarik ke luar tanah. Maka muncullah ia
telanjang bulat, bersenjatakan sebuah belanga besi yang dipakainya untuk
melindungi diri dari api dua gunung api (HHT 481).
Hikayat Hang Tuah
41
Jadi, apa gambaran yang diungkapkan dalam epos itu tentang negeri jauh
yang dikunjungi Hang Tuah? Deskripsi negeri-negeri itu, seperti telah kita lihat,
pada umumnya singkat, dangkal dan bersifat klise. Dibanding satu detail realis
yang dicatat atas dasar pengetahuan nyata tentang negeri yang bersangkutan
(misalnya kuil India yang berperan sebagai bank pemberi pinjaman), terdapat
sejumlah besar klise yang dapat saja diganti-ganti dan yang bahkan banyak
dipinjam dari epos lain yang bersifat khayalan belaka.
Kita telah lihat bahwa deskripsi kota Istambul dan Vijayanagar praktis
identik. Pemerian sebuah taman di Istambul patut ditinjau lebih seksama.
Pertama-tama karena teksnya luar biasa panjang (mencakup lima dan enam
halaman dalam masing-masing edisi) – mungkin kelihatan pendek, tetapi jika
dibandingkan dengan deskripsi tentang negeri lain yang dikunjungi oleh Hang
Tuah, yang pemandangannya atau kota-kotanya dilukiskan hanya dalam
beberapa baris saja atau bahkan sama sekali tidak disebut, maka deskripsi taman
Istambul, yang terakhir dalam naskah, betul-betul mendetail.
Tentang kotanya, dikatakan bahwa ada tujuh tembok dan tujuh parit yang
ditembus enam pintu. Dari satu pintu ke pintu seberangnya memerlukan
perjalanan tiga bulan, sedangkan untuk keliling kota diperlukan dua belas bulan.
Temboknya dibuat dari batu dan logam yang beraneka warna. Di pusat kota,
terdapat sebuah tasik yang begitu luas sehingga gajah yang berdiri di
seberangnya tidak kelihatan. Di tengahnya ada sebuah pulau kecil tempat sultan
bercengkerama. Di tepi tasik, ada hutan tempat berburu. Ternyata, deskripsi
tentang tasik, pulau dan hutan (HHT 456) disalin hampir kata demi kata dari
deskripsi (yang tentu khayalan juga) kota Vijayanagar dalam Sulalat al-
Salatin.31
Menyusul deskripsi mendetail dari sebuah taman yang disuruh buat oleh
Sultan, dengan tembok dan pintu-pintunya, sungai, pulau, balai, kolam,
singgasana, rumpun bunga-bungaan, sebuah monumen berbentuk gunung,
sebuah masjid, sebuah kandang makam raja dan bermacam-macam pepohonan
dan bunga-bungaan. Seluruh deskripsi itu ditulis antara dua tanda kutip karena
merupakan cerita yang dikisahkan kepada Hang Tuah oleh seorang menteri
Turki, Ibrahim Kakan, yang malah pada satu saat memang menyela sebagai
berikut: ―Dan tiadalah hamba panjangkan kata-kata beberapa dari kekayaan
Allah Subhanahu wa Ta‘ala yang gharib-gharib.‖
31
Sejarah Melayu (1952), h. 20; (1970), h. 9. Jadi kita memiliki contoh sebagian
teks Hikayat Hang Tuah yang disalin dari teks Sejarah Malayu, yakni dari satu
naskah (atau mungkinkah pengarang hafal teks itu luar kepala?), sedangkan dalam semua kasus kemiripan lain antara kedua teks tersebut, HHT tidak bulat-
bulat disalin dari Sejarah Melayu, melainkan ditulis berdasarkan pengetahuan
akan isinya.
Sultan, Pahlawan dan Hakim
42
Tanda kutip itu memang wajar karena keseluruhan bagian teks ini,
termasuk selaan ―tiadalah hamba panjangkan dsb.‖ dipinjam dari karya lain dan
merupakan deskripsi sebuah kota lain. Halaman-halaman dalam HHT itu
ternyata disalin dari sebuah teks Melayu, Bustan al-Salatin, yang ditulis di Aceh
tahun 1638 oleh pengarang yang berasal dari Gujarat, Nuruddin al-Raniri,
sebagai deskripsi, yang kali ini sebagian besar realis, tentang taman kerajaan di
ibu kota Aceh, Bandar Darussalam.32
Singkatnya, penggambaran kota Rum terdiri atas tiga bagian: satu
mengenai tasiknya (HHT 456), yang kedua mengenai tamannya (HHT 456-
460), yang ketiga mengenai kotanya dilihat dari luar (HHT 466), dan ternyata
ketiga lukisan tersebut disalin secara harfiah dari tiga lukisan kota lain.
Jadi kita dapat melihat dengan jelas bahwa epos itu tidak serealis seperti
kelihatannya. Dasar cerita, yang dibentuk di sekitar tokoh-tokoh dan peristiwa
yang kita tahu memang benar-benar pernah terjadi, menampilkan seorang
pahlawan yang luar biasa, tetapi yang melakukan tindakan-tindakan, yang
diceritakan secara kronologis dan yang pada garis besarnya berlangsung secara
masuk akal. Maka kita terdorong menganggap bahwa setiap tindakan itu
memiliki nilai dokumenter. Namun, kita menghadapi kenyataan bahwa, biarpun
alur cerita mempunyai makna, biarpun tindakan-tindakan itu dalam urutannya
sesuai dengan logika, namun hikayatnya dikembangkan dengan bantuan
berbagai tipu daya konvensional yang mungkin dapat diidentifikasi satu per
satu, tetapi tidak membantu kita memahami permasalahan dasar hikayatnya.
Tidak ada informasi yang dapat ditimba dari HHT tentang kota Istambul, juga
tentang kunjungan yang konon dilakukan oleh utusan Melayu. Namun dari segi
lain, disebutnya nama kota itu pada akhir suatu rangkaian perjalanan panjang
yang dilakukan oleh utusan Malaka, cukup bermakna.
―Logika cerita‖ yang dimaksudkan di atas mencakupi unsur-unsur fiktif
atau mitos, yang berkaitan dengan sistem simbolis atau kepercayaan yang tidak
bergantung pada konsep otentisitas. Beberapa contoh dapat menjelaskan tipe
kausalitas yang terdapat dalam epos itu untuk menerangkan fenomena dan
peristiwa.
Epos itu memaparkan kehidupan kesultanan Malaka, sejak berdiri sampai
dikalahkan oleh orang Portugis. Kedua peristiwa-ujung itu ditandai oleh dua
gejala yang serupa. Ketika Sultan, yang masih memerintah di Bentan, sedang
berburu diiringi oleh banyak pengikutnya, seekor pelanduk putih membuat dua
anjingnya lari terbirit-birit, lalu menghilang entah ke mana (HHT 54). Maka
Sultan memutuskan akan mendirikan sebuah kota baru di situ. Inilah asal-usul
Malaka. Pada akhir cerita, seperti telah kita lihat, mahkota Sultan jatuh di laut
32
Lih. Nuruddin al-Raniri, Bustan al-Salatin, Bab II, Fasal 13, disusun oleh T.
Iskandar (Kuala Lumpur, 1966), h. 48-52; Iskandar, ―Some historical sources‖, h.
44.
Hikayat Hang Tuah
43
dan seekor buaya putih menghalangi Hang Tuah untuk mendapatkannya
kembali. Itu pertanda kejatuhan Malaka. Tentang hal itu, V. Braginsky mencatat
bahwa buaya adalah musuh bebuyutan pelanduk dalam dongeng-dongeng
Melayu.33
Perlu ditambahkan bahwa, dalam mitologi Melayu, binatang-binatang
putih (bule) sering merupakan penampilan orang halus. Seekor binatang putih
lain mempunyai peranan dalam mitos tentang asal-usul dinasti Malaka, tetapi
menurut teksnya binatang itu adalah dewa yang turun ke bumi dan menjelma
sebagai lembu (HHT 7).
Inilah bagian mitos, yang jelas terbatas, dalam epos ini. Tampilnya Nabi
Khidir (al-Khadir) tiga kali mewakili tatanan kepercayaan yang lain.34
Nabi itu
pertama kali menampakkan diri kepada Hang Tuah dalam perjalanannya
menuju India dan menghadiahkannya sebuah biji yang dapat menjadi pohon
dalam sekejap. Hadiah itu membuat Raja Vijayanagar terkagum-kagum, tetapi
biji gaib itu sebenarnya tidak penting dibandingkan keajaiban penampakan itu
sendiri. Pertemuan itulah yang memiliki makna, bukan benda atau kata-kata:
dengan muncul di hadapan tokoh kita, sang Nabi membenarkan bahwa Hang
Tuah manusia yang luar-biasa. Nabi Khidir muncul untuk kedua kalinya pada
akhir cerita tetapi kali itu di hadapan Sultan. Sultan telah turun takhta dan
menjadi pertapa. Pada suatu hari, ketika diberi sebuah ketimun, ia makan
sebagiannya dan menyimpan sisanya di dalam tasnya. Nabi Khidir muncul dan
mengatakannya bahwa yang ada di dalam tas itu bukan sepotong ketimun
melainkan tengkorak manusia, dan mengingatkannya bahwa pertapa tidak boleh
menyimpan bekal makanan. Kali ini, sang Nabi memberikan pelajaran moral
kepada seorang yang sedang maju di jalan tasawuf.
Nabi Khidir muncul untuk ketiga kalinya ketika Hang Tuah diutus ke
Istambul, tampaknya dengan tujuan menjelaskan suatu sifat tokoh kita. Hang
Tuah menguasai bahasa-bahasa dari semua negeri yang dikunjunginya: ia dapat
berbicara dalam bahasa Jawa, Tamil, Tionghoa, Siam, Turki dan Arab. Ia juga
dapat berbahasa Portugis dan memakai bahasa itu ketika tidak mau dimengerti
oleh orang-orang di sekelilingnya. Teks HHT memberi penjelasan tentang
kemampuan luar biasa itu di bagian akhir cerita: ketika diutus ke Istambul,
setelah ia membuktikan bahwa ia menguasai enam bahasa asing, Hang Tuah
bertemu dengan Nabi Khidir, di padang pasir, di tengah jalan antara Jeddah dan
Mekah. Pada waktu itu, sang Nabi memberinya sebuah cembul yang
memungkinnya dapat berbicara dalam semua bahasa di dunia.
Di samping penjelasan ajaib itu, Hang Tuah sendiri telah memberikan
sepotong penjelasan rasional: katanya ia belajar bahasa Tamil semasa kecil dari
33
Braginsky, ―Hikayat Hang Tuah: Malay epic‖, h. 407. 34
Nabi Khidir khususnya terkenal di dunia Melayu sebagai sahabat Iskandar
Zulkarnain dalam usahanya untuk mengislamkan dunia.
Sultan, Pahlawan dan Hakim
44
seorang lebai35
(HHT 350), dan belajar adat-istiadat Tionghoa dari seorang
Tionghoa tua yang dianggapnya sebagai ayah di Malaka (HHT 366). Dalam
sebuah naskah hikayat itu36
unsur rasionalisme itu malah dikembangkan: pada
waktu tiba di Bentan, Hang Tuah dititipkan ayahnya kepada seorang lebai, yang
mengajarnya membaca al-Qur’an, lalu atas permintaan anak itu sendiri, kepada
beberapa lebai lain yang mengajarinya satu per satu: bahasa Tamil, Siam,
Tionghoa, Jawa dan seterusnya sampai dua belas bahasa. Demikianlah teks
tersebut memberi dua penjelasan tentang satu hal, yang satu rasional dan yang
lain ajaib. Tidak dapat dikatakan bahwa yang satu mendahului yang lain, tetapi
jelas terlihat bahwa dua cara berpikir berdampingan.
Ruang Politik
Denys Lombard telah menunjukkan bagaimana kedatangan Islam telah meng-
ubah konsepsi orang Jawa tentang ruang. ―Individu yang sedikit demi sedikit
belajar mengubah hubungannya dengan individu lain – dengan menganggapnya
sebagai "sesama" – juga mengubah hubungannya dengan dunia. Ruang, yang
sampai saat itu dipersepsikan sebagai mandala, menurut bentuk sederhana
skema geometrik bersifat kosmologis, menjadi lebih rumit dan beraneka ragam
hingga menjadi ruang geografis yang secara implisit merupakan ruang
masyarakat-masyarakat modern kita. Garis-garis murni sebuah diagram ideal
secara berangsur-angsur terhapus, digantikan oleh kontur yang lebih nyata dari
pantai dan sungai, kontur yang asismetris dan berubah-ubah, tetapi merupakan
satu-satunya yang memungkinkan perjalanan sebenarnya.‖37
Sebagai ilustrasi
konsep ruang yang baru itu, Denys Lombard menganalisis, di samping sejumlah
gejala lain, dua teks Melayu: Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Iskandar
Zulkarnain. Dari studi itulah kami meminjam peta yang digunakan sebagai
ilustrasi artikel ini (lih. h. 33).
Kami telah menggambarkan ruang yang terungkap dalam HHT dan telah
menegaskan makna politiknya. Suatu pertanyaan masih perlu dijawab: apakah
ruang itu memiliki dimensi keagamaan? Perlu diingat bahwa ruang yang
dimaksud adalah rute perjalanan seorang tokoh asal Malaka yang beragama
Islam dan yang salah satu tujuan terakhirnya adalah Mekah, sebelum
mengundurkan diri untuk bertapa. Apakah ini berarti bahwa ruang itu terbatas
pada dunia Islam atau terpusat pada Tanah Suci Islam? Sama sekali tidak,
35
Patut diingat bahwa kata lebai berasal dari bahasa Tamil. 36
Yaitu naskah Universitas Leiden, Belanda, Cod. Or. 1762, naskah HHT tertua
yang kita miliki (disalin tahun 1758). Bagian yang bersangkutan diselipkan
dalam edisi Kassim Ahmad (h. 18-19) yang dengan demikian bertindak sebagai seorang penyalin modern, dengan memasukkan ke dalam teks satu unsur yang
cocok dengan zamannya. 37
Lombard, Le Carrefour javanais, II, h. 176.
Hikayat Hang Tuah
45
malah jumlah unsur Islam yang sedikit sekali dalam hikayatnya merupakan
salah satu aspeknya yang paling menarik.
Hang Tuah mengunjungi Majapahit, Siam dan Tiongkok, seperti juga ia
mengunjungi berbagai kerajaan Melayu dan Istambul. Di setiap negeri itu, ia
hampir tidak memperhatikan agama setempat. Di Malaka pun teks epos itu tidak
menyinggung kehidupan beragama. Luar biasalah kalau dalam perjalanan ke
India, Hang Tuah memanjatkan doa kepada Allah agar dapat mencapai sebuah
pulau dan menyuruh anak buahnya agar tidak mengambil apa pun di pulau itu
tanpa mengucapkan Al Fatihah (HHT 342). Tatkala ia pergi ke Turki, kita dapat
melihat bahwa ia melaksanakan ibadah haji di Mekah secara kebetulan saja.
Berbagai ritus yang dilakukan pada kesempatan itu dilukiskan secara formal,
―seperti dalam sebuah buku manasik haji‖38
tanpa komentar sedikit pun tentang
pentingnya ibadah haji dalam agama Islam, atau tentang makna spiritualnya
untuk setiap jemaah. Tambahan lagi, Sultan Malaka tidak mengajukan satu
pertanyaan pun kepada Hang Tuah mengenai perjalanannya ke Tanah Suci,
padahal ia bertanya tentang Istambul (HHT 477).
Bahwa ia mengundurkan diri untuk bertapa setelah lanjut usia, di bawah
bimbingan syekh dari Hadramaut, tidak langsung berarti bahwa Hang Tuah
telah menjadi saleh. Ia pernah mempunyai tiga orang guru sebelumnya: dua
yang bukan Islam, di Bentan dan Majapahit, dan satu yang Islam dekat Malaka.
Bertapa dan mendalami mistik dilakukan di dunia Melayu jauh sebelum
kedatangan agama Islam. Bahkan peristiwa Hang Tuah naik haji lebih tergolong
pencarian kekuatan spiritual daripada pelaksanaan ibadah, karena Hang Tuah
mula-mula singgah di Jeddah untuk ―mengambil berkat‖ di makam Siti Hawa
(HHT 441), lalu, sebelum melaksanakan acara ritual ibadah haji, ia ―pergi
ziarah segala kubur syekh dan wali Allah nabi, segenap tempat ziarah itu
semuanya dikerjakan‖ (HHT 445).
Pendeknya, Islam termasuk sifat eksplisit tokoh itu, tetapi jelas bukan di
antara yang terpenting. Di samping itu, jelas negeri-negeri Islam, khususnya
Rum (Istambul) dan Mekah, tidak memiliki keutamaan apa pun atas negeri lain
dalam ruang politik yang dikenal oleh Malaka.
Kesimpulan
Dalam kesusastraan Melayu masa itu, perjalanan jauh mempunyai peran
penting, tetapi dalam bentuk perjalanan melingkar, yang pelaksanaannya
mengembangkan situasi sang tokoh, dan dengan demikian mengembangkan
juga alur cerita: pencarian, bersifat material maupun spiritual, mendorong sang
38
Matheson & Milner, Perception of the Haj, h. 9. Adegan ini sangat terperinci dan padat, juga menyebut beberapa nama, bahkan satu tanggal – semua ciri ini begitu
luar biasa di tengah teks HHT, sehingga boleh dianggap adegan ini disalin dari
satu teks lain, yang tidak dikenal, tentang ibadah haji.
Sultan, Pahlawan dan Hakim
46
tokoh pergi dari satu kerajaan ke kerajaan lain, dari satu adegan bertempur ke
satu adegan nikah, untuk akhirnya membawanya kembali ke titik asalnya, dalam
keadaan sudah pantas naik takhta.
Jenis perjalanan Hang Tuah sama sekali berbeda. Perjalanannya itu tidak
menandakan kemajuan bertahap dan bukan pula tahapan dalam suatu pencarian
atau suatu inisiasi. Setiap perjalanan itu berarti pengetahuan (sang tokoh sebagai
wakil bangsanya menemukan dunia) dan pengakuan (kesultanan Malaka diakui
oleh negeri-negeri besar masa itu). Bahwa tema penemuan dunia itu dapat
dipandang sebagai materi epos menunjukkan mentalitas baru.
Dengan demikian, dunia nyata menjadi sejajar dengan dunia gaib, tetapi
sekaligus tunduk pada tatanan dunia gaib: persepsi realis tentang jagat raya
masuk kisah epik, geografi masuk kesusastraan, tetapi deskripsi negeri-negeri
asing seluruhnya mengikuti aturan genre epik.
Hikayat Hang Tuah memberikan gambaran tentang ruang politik Melayu
sekitar abad ke-16. Namun penjelajahan ruang itu oleh tokoh tunggal bersifat
fiktif, dan deskripsi beberapa tempat berupa khayalan. Jadi, ruang itu
sebenarnya ruang ideal. Oleh karena itu ia semakin mencerminkan konsepsi
orang Melayu tentang dunia geografis serta kekuatan-kekuatan politik yang
harus mereka hadapi.
Sambil meninjau negeri-negeri asing yang dikunjungi oleh Hang Tuah
dan yang digambarkan dalam HHT, kita sempat melihat bahwa adegan Hang
Tuah naik haji rupanya disalin dari teks lain, sedangkan tidak kurang dari tiga
deskripsi kota disalin dari teks-teks lain pula. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam proses penulisan HHT terjadi penyalinan naskah. Kalaupun dapat
dibayangkan bahwa beberapa baris yang dipetik dari Sulalat al-Salatin bukan
disalin atas sebuah naskah, melainkan dihafal di luar kepala, maka hal tersebut
mustahil buat beberapa halaman yang dipetik dari Bustan al-Salatin. Dengan
demikian, jelaslah bahwa pada satu tahap penyusunan teks HHT yang kita kenal
sekarang ini, pernah terjadi penyalinan dari berbagai naskah yang lain.
Hikayat Hang Tuah
47
LAMPIRAN
Perbandingan beberapa bagian teks Hikayat Hang Tuah (edisi Kassim Ahmad,
1971), Sulalat al-Salatin (Sejarah Melayu, edisi Situmorang & Teeuw, 1952)
dan Bustan al-Salatin (edisi Bab II, 13, oleh Iskandar, 1966) tentang kota Rum
(Istambul), Vijayanagar dan Bandar Aceh. (Ejaan diseragamkan.)
RUM / ISTAMBUL VIJAYANAGAR
Hikayat Hang Tuah, h. 466
Setelah keesokan harinya maka
kelihatannya kota dari jauh terdinding
seperti kapas sudah terbusar dan
seperti perak yang sudah terupam.
Setelah hampirlah dekat, maka dilihat
oleh Laksamana dan Maharaja Setia
pintu gerbang negeri itu daripada besi
khursani, diukir bangun-bangunan
seperti pelbagai rupa perbuatannya.
Kotanya daripada batu yang putih dan
pada selapis pula daripada batu hitam
dan pintu gerbangnya daripada besi
melela berkilat-kilat seperti sayap
kumbang, dan pada selapis lagi
daripada tembaga suasa. Pintunya kota
daripada zamrud yang hijau dan lapis
yang ketujuh yang di dalam sekali itu
dilihat oleh Laksamana daripada perak
dan tembaga suasa ditulis dengan air
emas serba jenis isim yang besar-
besar. Maka dilihat oleh Laksamana
beribu-ribu rumah berhala kiri kanan
jalan itu dan beribu-ribu masjid terlalu
indah-indah perbuatannya dan beribu-
ribu kemah khatifah yang sudah
terbentang akan tempat segala
saudagar berniaga dan berkedai.
Hikayat Hang Tuah, h. 348
Beberapa hari di jalan maka kelihatan-
lah kota negeri Bijaya Nagaram ter-
dinding seperti kapas sudah terbusar.
Setelah hampirlah maka dilihat oleh
Laksamana pintu gerbang negeri itu
sekaliannya diukir rupa binatang terlalu
indah-indah.
[Kota]-nya diperbuatnya daripada batu
yakut dan pada selapis pula daripada
batu hitam seperti sayap kumbang
berkilat-kilat; pada selapis pula
daripada itu dilihatnya oleh Laksamana
tulisannya ceritera Seri Rama dan pada
selapis lagi lelakon Pandawa Jaya dan
pada selapis ditulisnya pelbagai rupa
binatang yang di dalam rimba belantara
dan pintunya daripada tembaga suasa.
Maka beribu-ribu rumah berhala di
dalam negeri itu tempat anji wantar
sembahyang
dan beribu-ribu kemah khatifah ter-
bentang akan tempat segala saudagar
berniaga dan berkedai.
Sultan, Pahlawan dan Hakim
48
RUM / ISTAMBUL VIJAYANAGAR Hikayat Hang Tuah, h. 456
Maka sama tengah negeri itu ada sebuah tasik terlalu luas, seperti laut rupanya, jikalau gajah berdiri seberang itu pun tiada kelihatan. Sekalian jenis ikan ada dilepaskannya ke dalam tasik itu. Maka di tengah tasik itu ada sebuah pulau tinggi, sentiasa berasap, empat persegi rupanya. Maka di atas pulau itu ditanamnya pelbagai rupa tanam-tanaman dan bunga-bungaan dan segala buah-buahan. Maka apabila raja hendak bersuka-sukaan, di sanalah baginda pergi bermain-main. Maka di tepi tasik itu dibuatnya suatu hutan terlalu besar, maka dilepaskannya segala binatang yang liar-liar ke dalam hutan itu. Apabila raja hendak berburu, ke sanalah baginda pergi.
Sejarah Melayu, h. 20
dan pada sama tengah negeri itu ada sebuah tasik terlalu luasnya, seperti laut rupanya, jikalau gajah berdiri di seberang tasik itu, tiada kelihatan dari seberangnya, dan serba ikan dilepas-kannya di dalam tasik itu. Maka di tengah tasik itu ada sebuah pulau terlalu tinggi, senantiasa berasap seperti disaput embun rupanja; maka di atas pulau itu ditanaminya pelbagai kayu-kayuan dan buah-buahan dan bunga-bungaan, segala yang ada di dalam dunia ini semuanya adalah di sana; dan apabila Raja Suran hendak bermain, ke sanalah ia pergi. Maka adalah di tepi tasik itu diperbuatnya hutan besar, maka dilepaskannya segala binatang yang liar; dan apabila Raja Suran hendak berburu atau menjerat gajah, pada hutan itulah ia pergi.
RUM / ISTAMBUL BANDAR ACEH
Hikayat Hang Tuah, h. 456-460
―Kemudian dari itu diperbuatnya suatu bustan, artinya kebun, terlalu indah-indah, kira-kira empat ribu depa luasnya di sebelah matahari hidup tasik itu. Maka ditanamnya pelbagai bunga-bungaan dan aneka-aneka buah-buahan, Maka digelar baginda bustan itu Taman Ghairat. Maka adalah pagar tanaman itu daripada batu putih, dirapatnya maka diturapnya dengan kapur yang amat bersih, seperti perak rupanya dan pintunya mengadap
Bustan al-Salatin, h. 48-52
Kata sahibul tarikh, pada zaman bagindalah berbuat suatu bustan, yaitu kebun, terlalu indah-indah, kira-kira seribu depa luasnya. Maka ditanami-nya pelbagai bunga-bungaan dan neka-neka buah-buahan, Digelar baginda bustan itu Taman Ghairah. Adalah dewala taman itu daripada batu dirapati, maka diturap dengan kapur yang amat persih seperti perak rupanya, dan pintunya mengadap ke istana, dan perbuatan pintunya itu
Hikayat Hang Tuah
49
kepada mahligai baginda itu, diperbuatnya daripada emas dan perak dan tembaga suasa. Bermula pintu pagarnya kebun itu diperbuatnya bertonggak; maka di atas tonggak itu diperbuatnya satu batu seperti biram berkelopak dan berkemuncakkan dari-pada sangka pelinggam, terlalu gemerlap sinarnya, bergelar Pintu Biram Indera Bangsa; dan ada pada sama tengah taman sungai bernama Daru‘l-asyik berturap dengan batu, terlalu jernih airnya lagi amat elok. Barang siapa minum dia sehatlah tubuhnya dan adalah terbit mata air itu daripada pihak maghrib di bawah gunung yang bernama Jabalu‘l-a‘la, keluarnya daripada batu hitam. Syahadan adalah pertemuan pagar Taman Ghairat itu pun pada Sungai Daru‘l-asyik itu dua buah jambangan bergelar Rambut Kemalai; kedua belah Sungai Daru‘l-asyik itu diturapnya dengan batu pancuran bergelar Tebing Sangka Safa, dan adalah kiri kanan tebing sungai arah ke hulu itu dua buah tangga batu hitam diikatnya dengan tembaga semberani, seperti emas rupanya. Maka adalah di sisi tangga arah ke kanan itu suatu batu mengampar bergelar Tanjung Indera Bangsa di atas suatu batu delapan persegi, seperti peterana rupanya. Di sanalah tempat hadirat yang maha mulia semayam mengail; dan di sisinya itu sepohon beraksa, terlalu rambak rupanya, seperti payung hijau. Dan adalah sama tengah Sungai Daru‘l-asyik sebuah pulau bergelar Pulau Sangka Marmar; di kepala pulau itu sebuah batu nilai warna, dan adalah keliling pulau itu karang berbagai-
berkop, di atas kop itu batu diperbuat seperti biram berkelopak dan berke-muncakkan daripada sangga peling-gam, terlalu gemerlap sinarnya ber-kerlapan rupanya, bergelar Pintu Biram Indera Bangsa. Dan ada pada sama tengah taman itu sungai bernama Darul-‘Isyki berturap dengan batu, terlalu jernih airnya, lagi amat sejuk, barang siapa meminum dia sehatlah tubuhnya. Dan adalah terbit mata air itu daripada pihak maghrib di bawah Gunung Jabalu‘l-A‘la, keluar-nya daripada batu hitam itu. Syahadan adalah pertemuan dewala Taman Ghairah itu yang ada pada Sungai Daru‘l-‗Isyki itu, dua buah jambangan, bergelar Rambut Gemalai. Maka kedua belah tebing Sungai Daru‘l-‘Isyki itu diturapnya dengan batu pancawarna, bergelar Tebing Sangga Saffa. Dan adalah kiri kanan tebing arah ke hulu itu dua buah tangga batu hitam diikatnya dengan tembaga semburan seperti emas rupa-nya. Maka adalah di sisi tangga arah ke kanan itu suatu batu mengampar, bergelar Tanjung Indera Bangsa. Di atasnya suatu balai dualapan segi, seperti peterana rupanya. Sanalah hadirat Yang Mahamulia semayam mengail. Dan di sisinya itu sepohon buraksa terlalu rampak, rupanya seperti payung hijau. Dan adalah sama tengah Sungai Daru‘l-‘Isyki itu sebuah pulau bergelar Pulau Sangga Marmar. Di kepala pulau itu sebuah batu mengampar, perusahannya seperti
Sultan, Pahlawan dan Hakim
50
bagai warnanya, bergelar Karang Panca Logam; di atas Pulau Sangka Marmar itu suatu pasu permandian bergelar Sangka Samak dan adalah isinya air mawar b.n.d.y yang amat merbak baunya, tutupnya daripada perak dan kulahnya daripada perak dan cereknya daripada fidhat yang abiadh. Dan adalah geresek pulau itu terlalu elok rupanya, putih seperti beras. Bermula pantai Sungai Daru‘l-asyik dirapatnya dengan batu yang meng-ampar yang arah ke kanan itu bergelar Pantai Ratna Cuaca dan arah ke kiri itu bergelar Pantai Sembika dan ada pantai itu seekor naga hikmat dan pada mulut naga itu suatu saluran emas bepermata, lakunya seperti lidah, sentiasa air mengalir pada saluran itu. Syahadan adalah di hilir pulau itu suatu jeram tangisan naga, terlalu amat gemuruh bunyinya; barang siapa mendengar dia terlalu sukacita hatinya. Dan di hilir jeram itu suatu teluk terlalu permai, bergelar Teluk Dendang Anak dan ada sebuah balai gambang di teluk itu, kedudukannya daripada kayu jati dan pegawainya daripada dewadaru dan [atapnya] daripada timah, rupanya seperti sisik naga; dan ada di hilir itu suatu pantai Indera Paksi dan hilir pantai itu suatu lubuk terlalu dalam, bergelar Lubuk Tengiri, adalah dalamnya serba jenis ikan dan tebingnya tinggi dan ada di atas tebing itu sepohon kayu lablab, terlalu amat rendang, bergelar Randarika; dan
tembus, bergelar Banar Nila Warna. Dan adalah keliling pulau itu karang berbagai-bagai warnanya, bergelar Karang Pancalogam. Di atas Pulau Sangga Marmar itu suatu pasu, yaitu permandian, bergelar Sangga Sumak. Dan adalah isinya air mawar yazdi yang amat merebak baunya, tutupnya daripada perak, dan kelahnya daripada perak, dan caraknya daripada fidhah yang abyadh. Dan adalah kersik pulau terlalu elok rupanya, putih seperti kapur barus. Bermula pantai sungai Daru‘l-‘Isyki itu dirapatnya dengan batu yang mengampar, yang arah ke kanan itu bergelar Pantai Ratna Cuaca dan arah ke kiri bergelar Pantai Sumbaga. Dan ada pada pantai itu seekor naga hikmat, dan ada pada mulut naga itu suatu saluran emas bepermata, lakunya seperti lidah naga, sentiasa air mengalir pada saluran itu. Syahadan adalah di hilir pulau itu suatu jeram, bergelar Jeram Tangisan Naga, terlalu amat gemuruh bunyinya, barang siapa menengar dia terlalu sukacita hatinya, Dan di hilir jeram itu suatu teluk, terlalu permai, bergelar Teluk Den-dang Anak, dan ada sebuah balai kambang di teluk itu, kedudukannya daripada kayu jati, dan pegawainya daripada dewadaru, dan hatapnya daripada timah, rupanya seperti sisik naga. Dan ada di hilir teluk itu suatu pantai, bergelar Pantai In(de)ra Paksa, dan di hilir pantai itu suatu lubuk terlalu dalam, bergelar Lubuk Taghyir. Adalah dalamnya sarwa jenis ikan. Dan tebingnya terlalu tinggi. Dan ada di atas tebing itu sepohon kayu, kayu labi-labi, terlalu amat rendang,
Hikayat Hang Tuah
51
ada di sisinya suatu kolam terlalu luas, bergelar Cendera Hati. Maka adalah dalam kolam itu pelbagai bunga-bungaan daripada kenanga dan teratai dan seroja dan bunga tanjung; dan ada dalam kolam beberapa ikan, warnanya seperti emas, dan pada sama tengah kolam itu sebuah [pulau] diturap dengan batu putih, bergelar Pulau Sangka Sembika dan di atasnya suatu batu mengampar, seperti singgasana rupanya. Sebermula di seberang Sungai Daru‘l-asyik itu ada [dua] buah kolam, satu bergelar Jentera Mas dan suatu bergelar Jentera Hati; adalah dalamnya berbagai-bagai jenis ikan dan bunga-bungaan daripada tanjung putih dan tanjung merah dan tanjung ungu dan tanjung biru dan tanjung kuning dan tanjung dadu, [serba] jenis bunga-bungaan adalah di sana. Di tebing kolam itu dua buah jambangan, suatu bergelar Kembang Cerpu Cina, suatu bergelar Peterana Sangka. Syahadan dari kanan Sungai Daru‘l-asyik itu suatu medan terlalu luas sekali, gereseknya daripada batu pelinggam, bergelar Medan Cerani, dan pada sama tengah medan itu sebuah gunung; di atas gunung itu menara tempat sema-yam bergelar Kegunungan Menara Permata, tiangnya daripada tembaga dan atapnya daripada perak, [seperti] sisik rumbia, dan kemuncaknya suasa. Maka apabila kena sinar matahari maka cemerlanglah cahaya itu. Adalah dalamnya beberapa permata puspa ragam dan sulaimani dan yamani; dan pada kegunungan itu suatu kota,
bergelar Rindu Reka. Dan ada di sisinya suatu kolam terlalu luas, bergelar Cindur Hati. Maka adalah dalam kolam itu pelbagai bunga-bungaan, daripada bunga telepuk, dan bunga jengkelenir, dan teratai, dan seroja, dan bunga iram-iram, dan bunga tunjung. Dan ada dalam kolam itu beberapa ikan, warnanya seperti emas. Dan pada sama tengah kolam itu sebuah pulau, diturapi dengan batu putih, bergelar Pulau Sangga Sembega. Dan di atasnya suatu batu mengampar, seperti singgahsana rupanya. Sebermula di seberang Sungai Daru‘l-‘Isyki itu dua buah kolam, suatu Cita Rasa dan suatu kolam bergelar Cita Hati. Adalah dalamnya berbagai-bagai jenis ikan dan bunga-bungaan, daripada tunjung putih dan tunjung merah, tunjung ungu dan tunjung biru, tunjung kuning dan tunjung dadu, dan serba jenis bunga-bungaan adalah di sana. Dan ada di tebing kolam itu dua buah jambangan, suatu bergelar Kembang Cerpu Cina, suatu bergelar Peterana Sangga. Syahadan dari kanan Sungai Daru‘l-‘Isyki itu suatu medan terlalu amat luas, kersiknya daripada batu pelinggam, bergelar Medan Khairani. Dan pada sama tengah medan itu sebuah gunung, di atasnya menara tempat semayam, bergelar Gegunungan Menara Permata, tiangnya daripada tembaga, dan hatapnya daripada perak seperti sisik rumbia, dan kemuncaknya suasa. Maka apabila kena matahari cemerlanglah cahayanya itu. Adalah dalamnya beberapa permata puspa ragam, dan Sulaimani, dan Yamani. Dan ada pada gegunungan itu suatu
Sultan, Pahlawan dan Hakim
52
pintunya bertangkup perak [dan ada] tanam-tanaman atas gunung itu beberapa bunga-bungaan daripada cempaka dan air mawar merah dan putih dan serigading. Dan ada di sisinya gunung suatu gedung itu diturap dengan batu putih dan diukir berbagai warna dan lukis dan selimpat di-s.m.bus dan mega arak-arakan. Dan barang siapa masuk dalam gedung itu adalah ia mengucap salawat akan Nabi Salla ‗llahu alaihi wa sallam; dan adalah pagar yang di dalam gedung itu berturapan batu putih berlazuardi, perbuatan orang benua Turki dan tiang gedung itu bernama Kamriah dan Naga Puspa dan Dewadaru, dan pegawainya daripada kayu jentera mula; dan adalah atap gedung itu dua lapis, [selapis] daripada papan dicat dengan larik hitam gemerlap rupanya, seperti warnanya nilam, dan selapis lagi atap gedung itu daripada cat hijau, warna-nya seperti zamrud dan kemuncaknya daripada m.l.m.c emas dan sulur batangnya daripada perak dan di bawahnya sulur batang itu buah pedendang daripada cermin, kilau-kilauan dipandang orang. Di hadapan gedung itu sebuah [balai] gading tempat kenduri baginda dan di sisi balai itu beberapa pohon pisang daripada pisang emas dan pisang suasa; dan di sisi gunung arah tepi sungai itu suatu peterana batu diukir, bergelar Kembang Lela Masyadi dan arah ke hulu itu suatu peterana batu warna nilam, bergelar Kembang Seroja, berukir kerawang; dan halaman gunung itu pasirnya daripada batu nilam. Dan ada sebuah balai keemasan perbuatan
guha, pintunya bertingkap perak. Dan ada tanam-tanaman atas gunung itu, beberapa bunga-bungaan daripada cempaka dan air mawar merah dan putih dan serigading. Dan ada di sisi gunung itu kandang baginda, dan dewala kandang itu diturap dengan batu putih, diukir pelbagai warna dan nakas dan selimpat dan tembus dan mega arak-arakan. Dan barang siapa masuk ke dalam ka(n)dang itu (a)dalah ia mengucap selawat akan Nabi s.m. Dan adalah dewala yang di dalam itu beberapa beteterapan batu putih belazuwardi, perbuatan orang benua Turki. Dan tiang ka(n)dang itu bernama Tamriah, dan Naga Puspa, dan Dewadaru, dan pegawainya daripada kayu jentera mula. Dan adalah hatap ka(n)dang itu dua lapis, selapis daripada papan dicat dengan lumerek hitam, gemerlap rupa warnanya, seperti warna nilam, dan selapis lagi hatap ka(n)dang itu daripada cat hijau, warnanya seperti warna zamrud. Kemuncaknya daripada mulamma‘ dan sulur bayungnya daripada perak dan di bawah sulur bayungnya itu buah pedendang daripada cermin, kilau-kilauan dipan-dang orang. Dan di hadapan kandang itu sebuah balai gading, tempat kenduri baginda. Dan di sisi balai itu beberapa pohon pisang, daripada pisang emas dan pisang suasa. Dan ada di sisi gunung arah tepi sungai itu suatu peterana batu berukir, bergelar Kembang Lela Masyadi, dan arah ke hulunya suatu peterana batu warna nilam, bergelar Kembang Seroja Berkerawang. Dan di hadapan gunung itu pasirnya daripada batu nilam dan
Hikayat Hang Tuah
53
orang atas angin dan di sisinya ada sebuah rumah merpati. Syahadan adalah segala merpati itu sekaliannya tahu menari, bergelar Pedikiran. Dan ada di tebing Sungai Daru‘l-asyik itu suatu balai cermin bergelar Balai Cermin Terang. Maka segala pohon kayu dan bunga-bungaan yang hampir balai sekaliannya kelihatan dalamnya seperti tulisan. Dan di dalam [taman] itu sebuah masjid terlalu elok perbuatannya, bergelar Asyik Musyahadatun dan kemuncaknya daripada m.m.l.n.g emas dan adalah dalam masjid itu suatu mimbar batu berukir lagi bercap sangka rupa dan r.ng.k.u pancawarna terlalu indah-indah perbuatannya; dan berke-liling masjid itu beberapa nyiur gading dan nyiur putih dan nyiur manis dan nyiur dadeh dan nyiur a.t.s dan nyiur rambai dan berselang dengan [pinang] bulan dan pinang gading dan pinang bawang dan pinang kacar. Dan ada sepohon nyiur gading bergelar Serbat Jenuri ditambak dengan batu berturap dengan kapur. Adalah pohon itu cenderung seperti orang menyerahkan dirinya. Nyiur itulah akan persantapan Duli Shah Alam, terlalu manis airnya. Syahadan adalah di seberang Sungai Daru‘l-asyik itu, pada pihak kiri, satu balai perbuatan orang Cina bergelar Balai Rekaan Cina; sekalian pegawai-nya berukir dan dindingnya bercat kerawang dan diukirnya segala mereka itu mergasetua dan gajah berjuang dan singa bertangkap dan berapa daripada unggas yang terbang dan daripada setengah tiangnya naga membelit dan pada setengah tiangnya harimau
ada sebuah balai keemasan perbuatan orang atas angin, dan di sisinya ada sebuah rumah merpati. Syahadan adalah semua merpati itu sekaliannya tahu menari, bergelar pedikeran leka. Dan ada di tebing Sungai Daru‘l-‘Isyki itu suatu balai cermin, bergelar Balai Cermin Perang. Maka segala pohon kayu dan bunga-bungaan yang hampir balai itu sekaliannya kelihatan dalam-nya seperti tulisan. Dan dalam taman itu sebuah masjid terlalu elok perbuatannya, bergelar ‗Isyki Musyahadah, dan kemuncaknya daripada mulamma‘ emas. Dan adalah dalam masjid itu suatu mimbar batu berukir lagi bercat sangga rupa dan rungkau panca warna, terlalu indah perbuatannya. Dan berkeliling masjid itu beberapa nyiur gading, dan nyiur karah, dan nyiur manis, dan nyiur dadih, dan nyiur ratus, dan nyiur rambai, dan berselang dengan pinang bulan, dan pinang gading, dan pinang bawang, dan pinang kacu. Dan ada sepohon nyiur gading bergelar Serbat Januri, ditambak dengan batu berturap dengan kapur. Adalah pohonnya cenderung seperti orang menyerahkan dirinya. Nyiur itulah akan persantapan Duli Syah Alam, terlalu manis airnya. Syahadan adalah di seberang Sungai Daru‘l-‘Isyki itu pada pihak kiri suatu balai perbuatan orang benua Cina, bergelar Balai Rekaan Cina. Sekalian pegawainya berukir dan dindingnya bercat berkerawang. Dan ukirannya segala margasatwa, ada gajah berjuang dan singa bertangkap, dan beberapa unggas yang terbang, dan daripada setengah tiangnya naga membelit, dan pada sama tengahnya harimau
Sultan, Pahlawan dan Hakim
54
hendak menerkam; dan di hadapan balai, jambangan batu berturap, bergelar Kembang Seroja. Dan ada sebuah lagi balai, sekalian pegawainya bercap air emas yang merah bergelar Balai Keemasan dan di halaman balai itu ditambaknya dengan pasir pancuran, gilang-gemilang, bergelar Geresak lnderareka. Dan adalah antara kiri kanan balai itu diukir naga, mengalir daripada mulut naga itu saluran suasa; maka sentiasa air mengalir daripada saluran mulut naga itu. Syahadan adalah di darat balai keemasan itu sebuah balai, tiangnya astakona, dindingnya berkambi bercap serba bagai warna dan atapnya daripada papan bercap kuning; adalah kemun-caknya dan sulur batangnya merah berukiran setangkai awan, bergelar Balai Jaya. Dan di sisi balai keemasan hampir Sungai Daru‘l-asyik itu sebuah batu berukir kerawang, bergelar Madbir Laksana. Bermula ada hampir kolam cendera mata itu sebuah balai gading bersendi-sendi dengan kayu arang tamar. Adapun bumi taman itu ditambaknya daripada tanah koi dan ditanam serba bagai jenis bunga-bungaan, air mawar merah dan air mawar ungu dan bunga air mawar putih, cempaka dan bunga kenanga dan bunga melur dan bunga pekan dan bunga kembang setahun dan bunga serangkini dan bunga delima danta dan bunga pancawarna dan bunga seri kayu gading dan bunga mutia tabur dan bunga lada dan bunga semburan dan bunga pacar galah dan bunga anggrek bulan dan bunga anggrek
henda(k) menerkam. Dan di hadapan balai itu jambangan batu berturap, bergelar Kembang Seroja. Dan ada sebuah lagi balai, sekalian pegawainya bercat air emas yang merah, bergelar Balai Keemasan. Dan halaman balai itu ditambaknya dengan pasir pancawarna gilang-gemilang, bergelar Kersik lndera Reka. Dan adalah antara kiri kanan balai itu dua ekor naga; mengalir daripada mulut naga itu saluran suasa, maka nentiasa air mengalir daripada saluran mulut naga itu. Syahadan adalah di darat Balai Keemasan itu sebuah balai, tiangnya astakona, dindingnya berjumbai bercat sarwa bagai warna, dan atapnya daripada papan bercat kuning. Adalah kemuncaknya dan sulur bayungnya bercat merah, berukir awan setangkai, bergelar Balai Kumbang Caya. Dan ada di sisi Balai Keemasan hampir Sungai Daru‘l-‘Isyki itu sebuah batu berukir kerawang, bergelar Medabar Laksana. Bermula ada hampir Kolam Jentera Hati itu sebuah balai gading bersendi dengan kayu arang Timor. Ada pun bumi taman itu ditambaknya daripada tanah kawi, dan ditanami sarwa bagai jenis bunga-bungaan, daripada bunga air mawar merah, dan air mawar ungu, dan bunga air mawar putih, dan bunga cempaka, dan bunga kenanga, dan bunga melur, dan bunga pekan, dan bunga seberat, dan bunga kembang setahun dan bunga serenggini, dan bunga delima wanta, dan bunga pancawarna, dan bunga seri gading, dan bunga pacar galuh, dan bunga anggrek bulan, dan bunga anggrek
Hikayat Hang Tuah
55
semburan dan bunga tanjung merah dan bunga tanjung putih dan bunga tanjung biru dan bunga kandih dan bunga culika dan bunga asad dan bunga perak dan bunga cempaka dan bunga Cina dan perakula dan bunga gandasuli dan bunga sekanda dan bunga kepala dan bunga serunai dan bunga memerah dan bunga raya merah dan bunga raya putih dan bunga pandan dan bunga warsuka dan bunga sambar bawa dan bunga kemuning dan bunga bungar dan bunga keperancak dan bunga dahan dan bunga sena dan bunga kepala sari dan bunga telang putih dan bunga telang biru dan bunga buluh gading dan bunga menderasa pada jeram tangisan naga dan andong merah dan andong putih, pohon limau emas dan limau manis dan limau kasturi dan limau mentimun dan limau gedangsa dan limau geresak dan limau Inderagiri dan bunga kara-munting dan bunga serba rasa dan bunga inai. Dan tiadalah hamba panjangkan kata-kata beberapa dari kekayaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala yang gharib-gharib dan sekalian itu dengan jambangan indah-indah perbuatannya. Dan adalah di taman itu daripada serba bagai buah-buahan, daripada buah tufah dan anggur dan delima dan manggista dan buah rambutan dan buah tampoi dan buah durian dan buah langsat dan danam manis dan setol kecapi dan cermai dan binjai dan rambai dan cempedak dan nangka dan sukun dan kulur dan macang dan mempelam dan pauh dan tebu pisang dan nyiur dan pinang dan butir dan gandum dan kacang kedelai dan ketela dan labu dan kundur dan kemendikai
sembewarna, dan bunga tanjung merah, dan bunga tanjung putih, dan bunga tanjung biru, dan bunga kepadiah, dan bunga jengkelenir, dan bunga asad, dan bunga cempaka, dan bunga Cina, dan bunga perkula, dan bunga gandasuli, dan bunga seganda, dan bunga kelapa, dan bunga serunai, dan bunga raya merah, dan bunga raya putih, dan bunga pandan, dan bunga warsiki, dan bunga kemuning, dan bunga sena, dan bunga telang putih, dan bunga telang biru, dan bunga buluh gading, dan bunga kesumba, dan bunga Maderas pada Jeram Tangisan Naga, dan andang merah, dan andang putih, pohon mas-mas, dan limau manis, dan limau kasturi, dan limau hentimun, dan limau kedangsa, dan limau Gersik, dan limau Inderagiri, dan jambu bertih, dan bunga kere-muning dan bunga serbarasa. Dan tiadalah hamba panjangkan kata-kata beberapa daripada kekayaan Allah s.w.t. yang gharib-gharib. Dan sekalian dalam taman itu daripada sarwa bagai buah-buahan daripada buah serbarasa, dan buah tufah, dan buah anggur, dan buah tin, dan delima, dan buah manggista, dan buah rambutan, dan buah tampoi, dan buah durian, dan buah langsat, dan jambu, dan ranum manis, dan setul kecapi, dan cermai, dan binjai, dan rambai, dan nangka, dan cempedak, dan sukon, dan mancang, dan mempelam, dan pauh, dan tebu, (dan) pisang, dan nyiur, (dan) pinang dan gandum, dan kacang, dan kedelai, dan ketela, dan labu, (dan) timun, (dan) kemendikai, dan buah
Sultan, Pahlawan dan Hakim
56
dan buah melaka dan belimbing besaki
dan belimbing buluh dan rawa dan
berangan dan tembikai dan buah jela
dan jitan dan jagung dan cabai dan
anjeli.‖
melaka, dan belimbing sagi, dan
belimbing buluh, dan bidara, dan
berangan, dan tembikai, dan buah jela,
dan jintan, (dan) jagung, (dan) jaba,
dan sekoi, dan enjelai.