+ All Categories
Home > Documents > MAKALAH HUKUM ADAT

MAKALAH HUKUM ADAT

Date post: 24-Jan-2023
Category:
Upload: himbiounila
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
45
HUKUM PERADILAN ADAT DAN HUKUM PIDANA ADAT MINANGKABAU OLEH KELOMPOK 8 Aditya Achmad Akbar (1212011009) Albar Diaz Novandi (1212011026) Anggun Tri Mulyani (1212011040) Arman Sukma Negara (1212011051) Clara Vestiavica (1212011077) Danu Rachmanullah (1212011081) Dwika Utari (1212011102) Endri Astomi (1212011109) Galih Ardi Primadi (12 12011131) Hestika Dwi Ningrum (1212011140) UNIVERSITAS LAMPUNG
Transcript

HUKUM PERADILAN ADAT DAN HUKUM PIDANA

ADAT MINANGKABAU

OLEH KELOMPOK 8

Aditya Achmad Akbar (1212011009)

Albar Diaz Novandi (1212011026)

Anggun Tri Mulyani (1212011040)

Arman Sukma Negara (1212011051)

Clara Vestiavica (1212011077)

Danu Rachmanullah (1212011081)

Dwika Utari (1212011102)

Endri Astomi (1212011109)

Galih Ardi Primadi (12 12011131)

Hestika Dwi Ningrum (1212011140)

UNIVERSITAS LAMPUNG

FAKULTAS HUKUM

BANDAR LAMPUNG

2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang

berjudul “PERADILAN DAN PIDANA ADAT MINANG”. Makalah

ini dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan dalam

melengkapi nilai tugas guna menyelesaikan mata kuliah

hukum adat.

Meskipun telah berusaha seoptimal mungkin, penulis

berkeyakinan makalah ini masih jauh dari sempurna dan

harapan oleh keterbatasan ilmu pengetahuan, tenaga, dan

waktu, serta literature bacaan. Namun, dengan ketekunan

dan tekad penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Bandar Lampung, 20 November 2013

Penulis

DAFTAR ISI

Cover

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penulisan

1.4 Metode Penulisan

BAB II Landasan Teori

2.1 Pengertian dan Istilah Hukum Adat

2.2 Penyelesaian Sengketa dalam Masyarakat Hukum Adat

2.3 Pidana Adat

BAB III Pembahasan

3.1 Hukum Peradilan Adat Minangkabau

3.2 Hukum Pidana Adat Minangkabau

BAB IV Penutup

4.1 Kesimpuan

4.2 Saran

Daftar Pustaka

Lampiran

Nama : Aditya Achmad Akbar

NPM : 1212011009

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum adat adalah hukum yang berkembang pada masyarakat

yang

berada di suatu wilayah tertentu yang berkembang pada

masyarakat itu sendiri dan berasal dari kebiasan-

kebiasan pada masyarakat itu. Karena dalam hidupnya

manusia akan mengatur dirinya sendiri dan keluarga yang

berada disekitarnya menurut kebiasaan mereka sehari-

hari. Kegiatan itu dilakukan terus-menerus sehingga

menimbulkan kebiasaan-kebiasaan, yang pada akhirnya

perilaku tersebut ditiru, diakui serta dipertahankan

sehingga menjadi adat. Lambat laun kebiasaan yang

menjadi adat tersebut berlaku pada masyarakat tersebut

sehingga menjadi hukum adat yang jika dlilanggarakan

mendapatkan sanksi bagi para pelanggarnya. Dalam

seminar hukum adat di Yogyakarta pada tahun 1975

berkesimpullan pengertian hukum adat adalah “Hukum

Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk

perundang-undangan Republik Indonesia yang disana sini

mengandung unsur-unsur agama”. Maka sudah jelaslah

bahwa hukum adat diakui keberadaannya yang prlu

diketahui bahwa hukum adat memilik corak tersendiri

yaitu tradisonal, keagamaan, kebersamaan, konkret dan

visual, terbuka dan sederhana, dapat berubah dan

menyesuaikan, tidak dikodifikasi, musyawarah dan

mufakat. Dari corak hukum adat tersebut maka dapat kita

tarik kesimpulan bahwa hukum adat tumbuh berkembang

dimasyarakat.

Hukum adat yang berlaku dimasyarakat memiliki

konsekuensi tinggi untuk dipatuhi ketentuannnya

sehingga jika ada yang melanggar akan mendapatkan

sanksi bagi si pelanggar tersebut. Maka disini

dibutuhkan sebuah penyelesaian dalam menangani

pelanggar hukum adat tersebut. Maka dibutuhkanlah Hukum

Peradilan Adat dan Pidana Adat dalam menyelesaikan

masalah-masalah yang timbul pada masyarakat yang

melanggar hukum adat dan diharuskan mendapatkan sanksi

bagi mereka yang melanggarnya. Hukum peradilan adat

adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tata cara

menyelesaikan suatu perkara dan atau menetapkan hukum

suatu perkara menurut hukum adat. Proses dalam

pelaksanaan tentang bagaimana penyelesaian dan

penetapan keputuan perkara tersebut disebut “peradilan

adat”. Peradilan adat dapat dilaksanakan oleh anggota

masyarakat secara perorangan, oleh keluarga atau

tetangga, kepala kerabat atau kepala adat (Hakim Adat),

kepala desa (Hakim Desa) atau oleh pengurus perkumpulan

organisasi, dimana untuk menyelesaiakan delik adat

secara damai untuk mengembalikan keseimbangan

masyarakat yang terganggu. Sedangkan hukum pidana adat

atau hukum adat delik yang dikenal dalam istilah

belanda adatdelicten recht ialah aturan-aturan hukum adat

yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang

berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat,

sehingga sangat perlu diselesaikan (dihukum) untuk

mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu

tersebut. Pada makalah ini mengangkat tentang bagaimana

hukum peradilan adat dan hukum pidana adat pada

masyarakat suku Minangkabau di provinsi Sumatra Barat.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun identifikasi masalah dari latar belakang diatas

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana peradilan adat dalam adat minangkabau?

2. Bagaiama pidana adat dalam adat minangkabau?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas yang akan dijaawab

dalam makalah ini adalah :

1. Merumuskan peradilan adat minangkabau

2. Menjelaskan pidana adat minangkabau

1.4 Metode Penulisan

Untuk menjawab rumusan masalah penulis menggunakan

metode penelitian hukum normatif, yaitu bahan-bahan

yang dikumpulkan dengan studi kepustakaan yang terdiri

dari:

1.Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-

undangan nasional

2.Bahan hukum sekunder, yaitu literatur dan

internet

3.Bahan hukum tersier, yaitu kamus hukum

Nama : Clara Vestiavica

NPM : 1212011077

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian dan Istilah Hukum Adat

Adat diartikan sebagai kebiasaan yang menurut asumsi

masyarakat telah terbentuk baik sebelum maupun sesudah

adanya masyarakat.1 Istilah adat identik dengan bahasa

Arab dalam tata bahasa Arab yaitu Adah yang merujuk

pada ragam perbuatan yang dilakukan secara

berulangulang.

Menurut M. Nasroen, “adat” Minangkabau merupakan suatu

sistem pandangan hidup yang kekal, segar serta aktual,

karena di dasarkan pada:

a Ketentuan yang terdapat pada alam yang nyata dan

juga nilai positif, teladan baik serta keadaan

yang berkembang

b. Kebersamaa dalam arti, seseorang untuk kepentingan

bersama dan kepentingan bersama untuk seseorang

c. Kemakmuran yang merata

d. Perimbangan pertentangan, yakni pertentangan

dihadapi secara nyata serta dengan mufakat

berdasarkan alur dan kepatutan.

1I Gede A.B.Wiranata, Hukum Adat Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm 3

e. Meletakkan sesuatu pada tempatnya dan menempuh jalan

tengah.

f. Menyesuaikan diri dengan kenyataan.

g. Segala sesuatunya berguna menurut tempat, waktu dan

keadaan.2

Menurut sistem adat Minangkabau terbagi empat yakni

Adat nan sabana adat, adat nan teradat, adat nan

diadatkan dan dat istiadat. Adat ini mempunyai ikatan

dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat. Kekuatan

mengikatnya tergantung kepada masyarakat yang

mendukung adat istiadat tersebut yang terutama

berpangkal tolak pada perasaan keadilannya. Secara

teoretis akademis sudah timbul kesulitan untuk

membedakan antara adat istiadat dengan hukum adat,

apalagi dalam praktiknya, dimana gejala sosial sosial

tersebut berkaitan erat. Kenyataannya bahwa adat dan

hukum adat digunakan secara bersamaan oleh masyarakat.3

Pada umumnya di kalangan masyarakat minangkabau yang

berada diwilayah sumatera barat memiliki sistem

matrilineal dimana suatu sisitem kekerabatannnya

diwariskan kepada pihak perempuan. Dalam pembicaraan

sehari-hari ataupun juga di dalam kerapatan-kerapatan

adat, orang tidak membedakan antara “adat” dan “hukum

2 Soerjono Soekanto, Ibid 70.3 Soerjono Soekanto, Ibid 70.

adat”. Di Minangkabau dipakai istilah-istilah adat

sebagai berikut:

1. Adat yang sebenarnya adat

Yang dimaksud ialah adat yang tidak lekang di panas dan

tak lapuk dihujan, yitu adat ciptaan Tuhan Maha

Pencipta. Sebagai mana dikatakan “Ikan adatnya

beradai,air adatnya membahasi, pisau adatnya melukai”.

Jadi adat yang dimaksud adalah prilaku alamiah, karena

sudah ketetapan Tuhan yang tidak berubah, sudah

merupakan sifat perilaku yang seharusnya demikian. Hal

ini menunjukan bahwa hukum adat itu dipengaruhi oleh

ajaran keagamaan, segala sesuatunya dikuasai oleh Tuhan

Yang Maha Esa.

2. Adat Istiadat

Yang dimaksud ialah adat sebagai aturan (kaidah) yang

ditentukan oleh nenek moyang (leluhur), yang di

Minangkabau dikatakan berasal dari Ninik Katamanggungan

dan Ninik Parpatih Nan Sabatang di balai Balairung

Pariangan Padang Panjang. Sebagaimana dikatakan,

“Negeri berpenghulu, suku berbuah perut, kampung

bertua, rumah bertungganai, diasak layu dibubut mati”.

Dalam hal ini adat mengandung arti kaidah-kaidah aturan

kebiasaan yang berlaku tradisional sejak zaman poyang

asal sampai anak cucu dimasa sekarang. Aturan kebiasaan

ini pada umumnya tidak mudah berubah.

3. Adat nan diadatkan

Yang dimaksud ialah adat sebaagai aturan (kaidah) Yng

ditetapkan atas dasar “bulat mufakat” para penghulu,

tua-tua adat, cerdik pandai, dalam majelis kerapatan

adat atas dasar “halur” dan “patut”. Ketentuan ini daat

berubah menurut keadaan tempat dan waktu. Oleh karena

lain Nagari lain pandangannya tentang halur dan patut,

maka sifat adat nan diadatkan itu lain padang lain

belalang lain lubuk lain ikannya.

4. Adat nan teradat

Yang dimaksud ialah kebiasaan bertingkah laku yang

dipakai karena tiru-meniru diantara anggota masyarakat.

Karena perilaku kebiasaan itu sudah biasa terpakai,

maka dirasakan tidak baik ditinggalkan. Misalnya

dikalangan orang Minangkabau sudah teradat apabila ada

kaum kerabat yang meninggal atau untuk menyabut tamu

agung, mereka berdatangan denga berpakaian berwarna

hitam.

Nama : Danu Rachmanullah

NPM : 1212011081

2.2 Penyelesaian Sengketa dalam Masyarakat Hukum Adat

Hukum adat sebagai suatu sistem hukum memiliki pola

tersendiri dalam menyelesaikan sengketa. Hukum adat

memiliki karakter yang khas dan unik bila dibandingkan

sistem hukum lain. Hukum Adat lahir dan tumbuh dari

masyarakat, sehingga keberadaanya bersenyawa dan tidak

dapat dipisahkan dari masyarakat. Hukum adat tersusun

dan terbangun atas nilai, kaidah dan norma yang

disepakati dan diyakini kebenarannya oleh komunitas

masyarakat adat. Hukum adat merupakan wujud yuris

fenomenologis dari masyarakat hukum adat.4

Penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat di

dasarkan pada pandangan hidup yang di anut oleh

masyarakat itu sendiri. Pandangan hidup ini dapat

diidentifikasikan dari ciri masyarakat hukum adat yang

berbeda dengan masyarakat modern. Masyarakat Adat

adalah masyarakat yang berlabel agraris, sedangkan

masyarakat modern cenderung berlabel industri. Hal ini

di dasarkan pada pandangan dan falsafah hidup yang

dianut masing-masing masyarakat. Analisis mendalam

tradisi penyelesaian sengketa dalam masyarakat adat,

sangat ditentukan oleh pandangan hidup dan ciri

masyarakat adat.5

Dalam memahami tradisi penyelesaian sengketa dalam

masyarakat hukum adat, perlu dipahami filosofi dibalik

terjadinya sengeketa dan dampak-dampak yang terjadi4 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, cetakan I, Penerbit Kencana Prenada Group, Jakarta, 2011 hlm. 2355 Syahrizal Abbas, Ibid. hlm. 237

akibat sengketa terhadap nilai dan komunitas masyarakat

hukum adat. Tujuannya adalah untuk memahami keputusan-

keputusan yang akan diambil oleh pemegang adat (tokoh

adat) dalam menyelesaikan sengketanya.6

Nama : Endri Astomi

NPM : 1212011109

2.3 Pidana Adat

Terminologi hukum pidana adat, delik adat atau hukum

adat pidana cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum

adat yang terdiri dari hukum pidana adat dan hukum

perdata adat. Terminologi hukum adat dikaji dari

perspektif asas, norma, teoritis dan praktik dikenal

dengan istilah, “hukum yang hidup dalam masyarakat”,

“living law”, “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam

masyarakat”, “hukum tidak tertulis”, “hukum kebiasaan”,

dan lain sebagainya yang apabila dikaji dari perspektif

sumbernya, hukum pidana adat juga bersumber baik sumber

tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tidak

tertulis dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang

timbul, diikuti dan ditaati secara terus menerus dan

turun temurun oleh masyarakat adat bersangkutan.

Kemudian sumber tertulis dari hukum pidana adat adalah

6 Syahrizal Abbas, Ibid. hlm. 243

semua peraturan yang dituliskan seperti di atas daun

lontar, kulit atau bahan lainnya.7

Sedangkan I Gede A.B. Wiranata memberikan kesimpulan

bahwa pelanggaran adat adalah, (i) suatu peristiwa aksi

dari pihak dalam masyarakat; (ii) aksi itu menimbulkan

adanya gangguan keseimbangan; (iii) gangguan

kesimbangan itu menimbulkan reaksi; dan (iv) reaksi

yang timbul menjadikan terpeliharanya kembali gangguan

keseimbangan kepada keadaan semula.8

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa penyebutan delik adat

atau perbuatan pidana adat adalah kurang tepat,

melainkan pelanggaran adat. Oleh karena sebenarnya

yang dimaksud adalah penyelewengan dari berbagai

ketentuan hukum adat, berupa sikap tindak yang

mengganggu kedamaian hidup yang juga mencakup lingkup

laku kebiasaan-kebiasaan yang hidup berupa kepatutan

dalam masyarakat. Delik adat atau pelanggaran adat

berasal dari istilah Belanda adat delicten recht.

Istilah ini tidak dikenal dalam berbagai masyarakat

adat di Indonesia. Lagi pula, hukum adat tidak

membedakan antara hukum pidana dan hukum adat. Hukum

pelanggaran adat dimaknai sebagai aturan-aturan hukum

adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan7 Lilik Muryadi, ”Eksistensi Hukum Pidana Adat Indonesia”, ArtikelBagian I Wordpress Edisi Senin 24 Mei 2010, tanpa nomor halaman.8 I Gede A.B. Wiranata, “Hukum adat Indonesia: Perkembangannya dari Masa ke Masa”, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2003,hal. 208-209

yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat,

sehingga perlu diselesaikan (dihukum) agar keseimbangan

masyarakat tidak terganggu.9

Hukum adat merupakan nilai yang ada dan berkembang

ditengah masyarakat, untuk menemukan hukum adat

tersebut Soekanto menguraikan bahwa hukum adat tersebut

mempunyai tempat yang dapat ditemukan pada:10

1. Kaedah-kaedah yang tidak tertulis. Hukum adat

tersebut hidup dan terkenal oleh masyarakat penuh

pepatah, simbolik, penuh kiasan. Hanya dapat dipahami

dengan menjalani kehidupan, menyelidiki asal mula dan

mempelajari cara orang menerangkannya.

2. Kitab-kitab hukum. Kadang ada keinginan dari

masyarakat untuk menulis adat, namun terkadang yang

termuat di dalam catatan-catatan masyarakat tersebut

ada yang sudah tidak berlaku lagi dalam masyarakat.

3. Peraturan-peraturan dari golongan-golongan. Selain

mencatat, masyarakat juga terkadang sengaja membuat

peraturan-peraturan hukum yang terdapat di dalam

peraturan-peraturan desa.

4. Peraturan - peraturan raja - raja dan kepala -

kepala pemerintahan. Peraturan-peraturan yang

dikeluarkan oleh raja-raja dan kepala-kepalaa

9 Ibid10 Soekanto, “Meninjau Hukum Adat Indonesia”, Penerbit Soeroengan,Jakarta, 1958, hal 55-56

pemerintahan ada yang bermaksud menetapkan, memberi

sanksi atas apa yang telah dianggap sebagai adat.

Nama : Hestika Dwi Ningrum

NPM : 1212011140

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Hukum Peradilan Adat Minangkabau

Hukum peradilan adat adalah aturan-aturan hukum adat

yang mengatur tata cara menyelesaikan suatu perkara dan

atau menetapkan hukum suatu perkara menurut hukum adat.

Proses dalam pelaksanaan tentang bagaimana penyelesaian

dan penetapan keputuan perkara tersebut disebut

“peradilan adat”. Peradilan adat dapat dilaksanakan

oleh anggota masyarakat secara perorangan, oleh

keluarga atau tetangga, kepala kerabat atau kepala adat

(Hakim Adat), kepala desa (Hakim Desa) atau oleh

pengurus perkumpulan organisasi, dimana untuk

menyelesaiakan delik adat secara damai untuk

mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu.

Dalam menyelesaikan suatu sengketa adat contohnya harta

pusaka tinggi, masyarakat Minangkabau dapat

menyelesaikannya melalui Kerapatan Adat Nagari

tersebut. Kerapatan Adat Nagari ini dapat menyelesaikan

suatu sengketa diluar pengadilan dan sifatnya tidak

memutus, tetapi meluruskan sengketa-sengketa adat yang

terjadi. Pengertian peradilan adat menurut adat disini

adalah suatu proses, cara mengadili dan menyelesaikan

secara damai yang dilakukan oleh sejenis badan atau

lembaga diluar peradilan seperti yang di atur dalam

Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman.

KAN atau yang lebih dikenal dengan Kerapatan Adat

Nagari  merupakan suatu lembaga di dalam nagari yang

mengurus dan menjaga serta melestarikan adat dan

kebudayaan di Minangkabau. Di mana KAN ini terdiri dari

berbagai unsur dalam nagari tersebut seperti;

Para Penghulu atau datuk setiap suku yang ada dalam

kenagarian tersebut.

Manti atau Cadiak Pandai merupakan kalangan

intelektual dalam nagari tersebut.

Malin atau Alim Ulama yang ada dalam nagari tersebut.

Dubalang atau Penjaga keamanan dalam nagari

tersebut.11

Dalam Pasal 1 angka 13 Perda Nomor 2 Tahun 2007 tentang

Pokok-pokok Pemerintahan Nagari dijelaskan bahwa

Kerapatan Adat Nagari (KAN) adalah Lembaga Kerapatan

dari ninik mamak yang telah ada dan diwarisi secara

turum-temurun sepanjang adat dan berfungsi memelihara

kelestarian adat serta menyelesaikan perselisihan sako

dan pusako. Mengenai fungsi dan tugas KAN ini sebelumnya juga telah

di jelaskan dalam Pasal 7 ayat 1 huruf b dan huruf c Perda Nomor 13

Tahun 1983 tentang Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat

dan Pasal 4 SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat Nomor

189-104-1991. Sengketa atau jenis perkara yang dapat diselesaikan oleh

Kerapatan Adat Nagari (KAN) adalah sebagai berikut :11 http://nagaritabekpatah.blogspot.com/2012/07/fungsi-kan-sebagai-peradilan-adat.html,diakses tanggal 20 November 2013, jam 20.22 WIB.

1. Sengketa mengenai gelar ( sako )

2. Sengketa mengenai harta pusaka ( pusako )

3. Sengketa perdata lainnya.

Sengketa mengenai gelar (sako) adalah sengketa yang berkaitan dengan

gelar yang diterima secara turun-temurun di dalam suatu kaum yang

fungsinya adalah sebagai kepala kaum-kepala adat (penghulu) dan sako

ini sifatnya turun-temurun semenjak dahulu sampai

sekarang, menurut garis ibu lurus kebawah. Sengketa

mengenai harta pusaka (pusako) adalah sengketa yang

berkaitan dengan harta pusaka tinggi seperti sawah

ladang, banda buatan, labuah tapian, rumah tango,

pandam pekuburan, hutan tanah yang belum di olah.

Sengketa mengenai perdata lainnya adalah sengketa yang

terjadi antara anggota-anggota masyarakat seperti

perkawinan, perceraian dan sebagainya.12 Jika terjadi

suatu sengketa dalam satu kaum, sengketa tersebut tidak

langsung dibawa ke balai adat untuk di timbang oleh

Kerapatan Adat Nagari (KAN), tetapi proses yang dilalui

adalah bajanjang naiak batanggo turun, maka perkara ini terlebih

dahulu di selesaikan oleh penghulu (datuk) sebuah paruik dalam

persukuan kedua belah pihak yang bersengketa. Menurut

pepatah adat juga “Kusuik disalasaikan karuah dipajaniah “.

Dalam hal ini penyelesaian pertama adalah dengan cara

perdamaian. Bila kedua belah pihak tidak mau berdamai

12 As Suhaiti Arief, Eksistensi Peradilan Adat Pada Masyarakat Hukum Adat Minangkabau di Sumatera Barat (Usulan Penelitian Program Hibah Kompetisi A-2, Padang, 2007),hal. 3

atau merasa kurang puas, maka disinilah perkara itu mau

tidak mau harus dilanjutkan ke tingkat yang lebih

tinggi untuk di timbang di Balai Adat oleh Kerapatan

Adat Nagari (KAN) yang terdiri dari Penghulu suku,

manti, dubalang serta orang tua dan cerdik pandai.

Susungguh pun demikian walaupun Karapatan Adat Nagari

(KAN) itu dihadiri oleh orang ampek jijih, tetapi

penghulu suku itulah yang berhak menjatuhkan putusan.

Sedangkan penghulu yang lain hanya ikut

mempertimbangkan saja, tidak hanya itu sejak zaman

dahulu kala masyarakat minang memakai undang-undang

dalam pelaksanan adatnya. Yaitu Ninik moyang orang

Minangkabau sudah menetapkan Undang-undang yang menjadi

dasar pemerintahan adat zaman dahulu, yaitu mencakup

pemerintahan Luhak dan Rantau, pemerintahan Nagari dan

peraturan yang berlaku untuk Suku dan Nagari. Juga

peraturan untuk individu.

1. Undang-undang Luhak dan Rantau

2. Undang-undang Nagari

3. Undang-undang dalam Nagari

4. Undang-undang nan Duopuluh

1. Undang-undang Luhak dan Rantau menyatakan bahwa di

daerah Luhak berlaku pemerintahan oleh Penghulu

sedang di daerah Rantau berlaku pemerintahan oleh

Raja-raja.

2. Undang-undang Nagari menentukan syarat-syarat

pembentukan suatu Nagari. Nagari boleh dibentuk jika

sudah terdapat sekurangnya empat suku, yang masing-

masing suku itu harus terdiri dari beberapa paruik.

Suatu nagari harus mencukupi dibidang ekonomi dan

budaya: mempunyai sawah ladang, balai adat dan

mesjid, sarana transportasi, air bersih, lapangan

bermain.

3. Undang-undang dalam Nagari mengatur hak dan

kewajiban penduduk Nagari: saling bertolong-tolongan,

tidak menyakiti dan menganiaya orang lain, membayar

hutang dan mengembalikan barang yang dipinjam,

meminta maaf jika bersalah, dan sebagainya. Di sini

sangat berperan mekanisme kontrol yang bernama rasa

malu

4. Undang-undang nan Duopuluh adalah undang-undang

pidana: delapan bagian merupakan tindak pidana, dan

dua belas bagian merupakan tuduhan dan sangkaan.

Untuk terlaksananya Kerapatan Adat Nagari (KAN).

Pemerintah Daerah mengatur dengan Peraturan Daerah

Tingkat I Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 pada bab

VII, Pasal 19 ayat (1 dan 2) yang berbunyi:

Ayat (1) : Lembaga Adat Nagari berfungsi menyelesaikan

sengketa sako dan pusako menurut ketentuan sepanjang

adat yang berlaku di Nagari, dalam bentuk Putusan

Perdamaian.

Ayat (2) : Bilamana tidak tercapai penyelesaian

sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini, maka

pihak-pihak yang bersangkutan dapat meneruskan

perkaranya ke Pengadilan Negeri.

Sedangkan dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) Perda No.

2 Tahun 2007 yang berbunyi adalah:

“Penyelesaian sengketa menyangkut sako dan pusako

diupayakan musyawarah dan mufakat menurut ketentuan

yang berlaku sepanjang adat. Upaya penyelesaian

sengketa dilaksanakan secara berjenjang baik bertangga

turun yang dimulai dari tingkat kaum, suku dan terakhir

pada tingkat Lembaga Adat Nagari.”

Dengan demikian bahwa keberadaan Kerapatan Adat Nagari

ditengah-tengah masyarakat sangat didambakan, baik

dalam mempertahankan kelestarian adat, ”adat dan indak

lapuak de hujan, nan indak lakang dek paneh”, atau

dalam menunjang kelanjutan dan kesinambungan

pembangunan sehingga nampaklah kerjasama dan

keselarasan serta bahu membahu antara pemerintah dan

masyarakat.

Hal ini terlihat dalam fatwa adat yang menyatakan :

Nan buto pahambuih lasuang (orang buta untuk meniup

lesung yaitu tempat menumbuk padi)”.

Nan pakak palapeh badie (orang tuli untuk melepas bedil

atau meriam),

Nan lumpuah pengajuik ayam (orang lumpuh untuk

penghalau ayam)”.

Tingkat peradilan adat dalam penyelesaian sengketa

dalam suatu kaum, maka ada tingkatan dalam proses

penyelesaian sengketa adat tersebut, yaitu ;

1. Untuk sengketa yang terjadi dalam suatu kaum, maka

peradilannya terdiri atas 3 tingkatan yaitu :

a. Tingkat kaum, pada tingkat ini sengketa diselesaikan

oleh mamak kepada waris.

b. Tingkat suku. Jika sengketa dalam kaum tidak dapat

diselesaikan pada tingkat kaum, maka dapat diajukan

ke tingkat suku yang diselesaikan oleh penghulu suku.

c. Tingkat Kerapatan Adat Nagari (KAN). Jika suatu

sengketa tidak dapat diselesaikan pada tingkat suku,

maka dapat diajukan ke Pengadilan Kerapatan Adat

Nagari.

2. Untuk sengketa yang terjadi antar kaum, maka

peradilannya terdiri dari atas 2 tingkatan yaitu :

1. Tingkat antar kaum. Jika terjadi sengketa antar

kaum, maka akan diselesaikan oleh “Penghulu nan

ampek” (penghulu yang empat).

2. Tingkat Kerapatan Adat Nagari. Jika sengketa tidak

dapat diselesaikan dalam tingkat antar suku, maka

penyelesaiannya dapat dilaksanakan melalui peradilan

Kerapatan Adat Nagari.

Jika ditelusuri sejarah perkembangan peradilan Adat

dalam masyarakat Minangkabau, maka akan terlihat adanya

suatu lembaga peradilan yang khusus berfungsi untuk

menyelesaikan sengketa yang menyangkut Sengketa Waris

adat dalam masyarakat hukum adat Minangkabau, yang

disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dengan

diberlakukan Peraturan Daerah nomor 13 tahun 1983, maka

tugas Kerapatan Adat Nagari tidak hanya menyelesaikan

sengketa “sako” (Gelar) tetapi juga harus menyelesaikan

sengketa yang menyangkut “pusako” (harta benda). Dalam

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga KAN Salimpaung

dalam Pasal 50 tentang Penyelesaian Sengketa di

sebutkan bahwa:

a. Sengketa perselisihan atau perkara yang terjadi

dalam suatu kaum, diselesaikan oleh mamak dan Datuk

Niniak Mamak yang bersangkutan menurut ketentuan adat

“bajanjang naik batanggo turun”.

b. Sengketa, perselisihan atau perkara yang terjadi

pada suatu kaum, diselesaikan oleh Datuk Niniak

Mamak, Pegawai Suku serta Datuak Ampek Suku dalam

pesukuan tersebut, dengan ketentuan ”amuh bakato

amuah batando” untuk itu dikenakan tando 1 (satu)

bilah keris dan uang sebesar Rp. 40.000,- (empat

puluh ribu rupiah) masing-masing atau kedua belah

pihak.

c. Setiap sengketa perselisihan atau perkara yang

sampai kepada Kerapatan Adat Nagari dan Pemerintahan

Nagari maka dikenakan 1 (satu) bilah keris dan uang

pamacik tando (pemegang tanda) sebesar Rp. 50.000,-

(lima puluh ribu rupiah) masing-masing yang

berperkara.

Di Nagari Salimpaung Sengketa atau perkara yang

menyangkut bidang adat akan diselesaikan secara adat

juga, guna untuk mempertahankan dan melaksanakan hukum

adat yang berlaku. Jika terdapat suatu sengketa ada

suatu azaz yang dianut “musyawarah – mufakat” yaitu

berjanjang naik batanggo turun.

Dalam musyawarah dan mufakat ini, Niniak Mamak ikut

serta dan berpegang pada unsur-unsur yang berkembang

dalam masyarakat, untuk mengatur kehidupan masyarakat.

Unsur-unsur ini lebih dikenal dengan “Tali Tigo

Sapilin” (tali tiga sepilin) yaitu yang meliputi unsur-

unsur; agama, adat, dan undang-undang. Di atas ketiga

unsur inilah dibangun “nagari” dan diatur masyarakatnya

berdasarkan azas musyawarah dan mufakat, dan di atas

ketiga unsur ini pulalah dibangun pergaulan hidup

bermasyarakat yang menganut prinsip saling menghormati

dan menghargai.

Nama : Albar Diaz Novandi

NPM : 1212011026

3.2 Hukum Pidana Adat Minangkabau

Hukum pidana adat atau hukum adat delik yang dikenal

dalam istilah belanda adatdelicten recht ialah aturan-aturan

hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan

kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan

masyarakat, sehingga sangat perlu diselesaikan

(dihukum) untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat

yang terganggu tersebut. Dalam makalah ini karena

sangat sulit ditemukannya sumber tentang hukum pidana

adat minagkabau secara umumnya maka kami mengambil

contoh hukum pidana adat minangkabau pada masyarakat

Silungkang yang ada pada undang-undang nan dua puluah.

Undang-undang yang dua puluh merupakan undang-undang

yang mengatur persoalan hukum pidana, mengenai berbagai

bentuk kejahatan dengan sanksi tertentu, dan bukti

terjadinya kejahatan serta cara pembuktiannya. Undang-

undang dua puluh ini secara pokoknya disusun oleh kedua

ahli hukum Minangkabau yaitu Datuk Ketumanggungan dan

Datuk Perpati Nan Sabatang.Undang-undang ini terbagi

dua bagian, yaitu :

1. Undang nan salapan (cemo bakaadaan);

Undang-undang nan salapan terdiri dari delapan pasal

yang mencantumkan jenis kejahatan. Setiap pasal

mengandung dua macam kejahatan yang sifatnya sama tapi

kadarnya berbeda yaitu terdiri dari :

1. Tikam bunuah, tikam artinya perbuatan yang melukai

orang atau binatang, tetapi tidak menyebabkan

orang atau binatang itu meninggal, dibuktikan

dengan darah meleleh, bekas ditusuk dengan benda

tajam. Bunuah artinya perbuatan yang menghilangkan

nyawa orang atau binatang dengan sengaja serta

mempergunakan kekerasan, dibuktikan dengan mayat

terbujur.

2. Upeh racun, upeh artinya perbuatan yang menyebabkan

seseorang menderita sakit setelah menelan makanan

atau minuman yang telah diberi ramuan berbisa atau

racun. Racun artinya perbuatan yang menyebabkan

seseorang meninggal akibat menelan makanan atau

minuman yang telah diberi ramuan berbisa atau

beracun (tuba).

3. Samun saka, samun artinya perbuatan merampok milik

orang dengan kekerasan atau aniaya yang

menyebabkan orang itu meninggal. Saka artinya

perbuatan menyakiti seseorang karena untuk

mengambil harta milik orang tersebut. Pasal ini

mempunyai sampiran yaitu rabuik rampeh. Rabuik

artinya perbuatan mengambil barang yang dipegang

pemiliknya dan melarikannya sedangkan rampeh

artinya perbuatan mengambil milik orang secara

paksa /tidak berhak dengan melakukan ancaman.

4. Siai baka, siai artinya perbuatan membuat api yang

mengakibatkan milik orang lain sampai terbakar,

dibuktikan dengan puntung suluh. Baka artinya

perbuatan membakar barang orang lain, dibuktikan

dengan membakar sampai hangus.

5. Maliang curi, maliang artinya perbuatan mengambil

milik orang dengan melakukan perusakan atas tempat

penyimpanannya, dilakukan pada malam hari. Curi

artinya perbuatan mengambil milik orang lain

secara sambil lalu selagi pemiliknya lengah,

dilakukan di siang hari.

6. Dago dagi. Dago artinya perbuatan menyalahi

perintah atasan dengan tidak ada alasan yang tepat

(salah kemenakan kepada mamak). Dagi artinya

perbuatan membuat huru-hara di dalam nagari (salah

mamak kepada kemenakan).

7. Kicuah kicang,kicuah artinya perbuatan penipuan yang

mengakibatkan kerugian orang lain. Kicang artinya

perbuatan pemalsuan yang dapat merugikan orang

lain (menukar nama atau rupa sesuatu). Pasal ini

mempunyai sampiran yaitu umbuak umbai, umbuak

artinya perbuatan penyuapan pada seseorang yang

dapat merugikan orang lain sedangkan umbai artinya

perbuatan membujuk seseorang agar sama-sama

melakukan kejahatan.

8. Sumbang salah, sumbang artinya perbuatan yang

menggauli perempuan yang tidak boleh dinikahi,

perbuatan atau pergaulan yang salah di pandang

mata. Salah artinya perzinahan dengan istri orang,

perbuatan yang melanggar susila.

2. Undang-undang nan duo bale (tuduh nan bakatunggangan),

Undang-undang enam dahulu dikatakan “tuduah”, prasangka

yang berkeadaan, atau suatu kesalahan yang telah

dilakukan. Tuduhan yang demikian telah boleh dikatakan

dakwa. Di tiap-tiap pasal dari undang-undang ini

mengandung dua macam alasan atau tuduhan.

a. Undang-undang yang enam dahulu

1. Tatumbang- taciak : Yang dimaksud dengan tatumbang

ialah tersangka tidak dapat menangkis tuduhan yang

didakwakan kepadanya. Yang dimaksud taciak tersangka

mengakui tuduhan yang didakwakan kepadanya;

2. Tatando –tabeti : Tatando ialah ditemukan milik terdakwa

ditempat kejadian. Tabeti ialah ditemukan barang-

barang yang berasal dari tempat kejahatan pada

terdakwa;

3. Tacancang –Tarageh : Tacancang ialah ditemukan bekas,

akibat atau milik terdakwa ditempat kejadian perkara.

Tarageh ialah pada diri terdakwa terdapat bukti-bukti

bahwa korban memberikan perlawanan;

4. Taikek- takabek : Taikek ialah terdakwa kepergok sedang

melakukan kejahatan. Takabek ialah terdakwa kepergok

pada tempat kejadian;

5. Talala- takaja : Talala ialah terdakwa ditemukan di

tempat persembunyiannya. Takaja ialah terdakwa dapat

ditangkap dalam pengejaran;

6. Tahambek- tapukua : Tahambek artinya terdakwa dapat

ditangkap setelah pengepungan. Tapukua ialah terdakwa

dapat ditangkap setelah dipukul dan dikeroyok.

b. Undang-undang yang enam dahulu

Undang-undang yang enam kemudian dikatakan “Cemo”

yaitu syak atau kecurigaan, yang belum tentu seseorang

bersalah yaitu terdiri dari:

1. Baurie bak sipasin bajojak bak bakiak, maksudnya ditemukan

jejak seseorang atau tanda-tanda di tanah ternyata

menujuk kearah tersangka;

2. Onggang lalu atah jatuah, maksudnya di tempat kejadian

seseorang terlihat disana;

3. Condong mato urang banyak, menjadi perhatian orang

banyak karena hidupnya berubah seketika sedang

usahanya tidak jelas;

4. Bajua bamurah-murah, maksudnya didapati seseorang

menjual barang dengan harga yang sangat murah;

5. Bajalan bagogeh-gogeh, maksudnya berjalan tergesa-

gesa seolah-olah sedang ketakutan;

6. Dibao pikek dibao langau, didapati seseorang

sedang hilir mudik tanpa tujuan yang jelas

sehingga menimbulkan kecurigaan.

3. Undang-undang dalam nagari

Yang dimaksud undang-undang urang dalam nagari adalah

undang-undang yang mengatur hubungan antara sesama anak

nagari atau peraturan yang harus dipatuhi oleh anak

nagari undang-undang ini berbunyi :

1. Salah cancang mambari pampeh, kalau kita merusak atau

menghilangkan barang orang, kita harus

memperbaikinya atau menggantinya dengan barang

yang serupa, kalau barang itu sulit didapatkan

harus di ganti dengan harganya;

2. Salah bunua mambari diyat, si pembunuh wajib memberi

diyat, yakni membayar denda pengganti jiwa kepada

si waris terbunuh menurut kehendak si waris atau

kalau melukai orang luko di ubek bongkak di diang;

3. Salah makan meludahkan, kalau kita termakan makanan

haram harus meludahkan kembali, juga berarti kita

menyesali diri atas perbuatan itu, tidak akan

berbuat hal yang sama lagi dan bertobat kepada

tuhan;

4. Sala tarik mangumbali, kalau kita sudah terlanjur

mengambil harta orang lain harus segera

mengembalikan dan minta maaf pada pemiliknya;

5. Sudah jelas;

6. Sudah jelas;

7. Gawa maubah, kalau terjadi gawa atau kesalahan,

kekeliruan atau keteledoran dalam melakukan

sesuatu pekerjaan cepat merubahnya dan

menyadarinya yang demikian;

8. Cabuo dibuang, Cabuo melakukan perbuatan yang

memalukan umpamanya melakukan perzinahan, harus

dibuang, mesti dijauhi;

9. Sudah jelas;

10. Babatulan babayaran, umpamanya dalam pelaksanaan

ganti rugi atas tanaman kalau sudah sesuai

harganya harus dilaksanakan lekas pembayarannya;

11. Basalahan bapatutan, umpamanya dalam ganti rugi tadi

belum sesuai mengenai pemilikan harga yang akan

diganti rugi, harus dipatut (dinilai, dihitung)

kembali kalau perlu memakai orang ketiga untuk

mematuiknya, supaya lebih adil;

12. Nan gaib bakalamullah, kalau terjadi perselisihan

mengenai pemilikan sesuatu benda/harta sedang yang

mendakwa dan terdakwa sama-sama tidak mempunyai

saksi, berarti perkara itu gaib, untuk

menyelesaikannya harus menurut kalam Allah yakni

dengan bersumpah;

13. Barabuik pulang ka tangan, kalau ada beberapa anggota

kaum berebut tanah warisan umpamanya, harus

diserahkan menyelesaikannya kepada Kerapatan kaum,

kalau tidak selesai juga dinaikkan ke Kerapatan

suku dan seterusnya. Pulang ke tangan artinya

disidangkan;

14. Suarang diagih, artinya harta seorang (pribadi)

terserah kepada pemiliknya untuk memberikan

(maagih) kepada yang dikehendakinya;

15. Sakutu dibalah, hak harta perserikatan atau

pencaharian dua suami istri kalau terjadi

perceraian harta itu harus dibagi (dibalah = dibagi

dua)

16.Sudah jelas;

17.Sudah jelas;

18. Piutang jauh bahambatan, untuk Menerima piutang dari

orang yang sudah jauh dari kita dapat diupayakan

dengan cara mengaitkannya dengan orang yang dekat

atau yang menguasai orang yang berutang, umpamanya

si A berutang, ia telah merantau kita dapat minta

pertolongan kepada teman, saudara atau atasan si

A;

19. Piutang dakek batarikan, umpamanya si B berutang, ia

enggan membayarnya, dapat kita menerimanya atau

menariknya waktu ia sedang panen atau sedang

menerima uang atau menerima gaji;

20.dan 21. Salang mangumbali dan japuik maantaan, berarti

kalau kita menjemput barang orang lain, harus kita

mengembalikan, kalau kita yang menjemput waktu

meminjam itu wajib kita menghantarkan kembali

dimana kita mengambil barang itu.

4. Hukum Adat

Setiap undang-undang dan peraturan tentu sangat

diperlukan adanya sanksi hukum untuk menjaga undang-

undang itu agar ditaati oleh semua pihak, tidak

terkecuali adat Minangkabau yang mengurus dan menjaga

seluruh masyarakat hukum adat, tentu sangat diperlukan

peraturan dan undang-undang yang sifatnya dapat memaksa

dan mengawasi masyarakat hukum adat, hukum dan sanksi

adat Minangkabau tidak merupakan hukuman badan tapi

merupakan hukuman jiwa.

Falsafah hukum adat:

1. Tangan manconcang bahu mamiku,

2. Tapijak di bonang aghang itam tapak,

3. Siapo nan manggali lubang inyo nan manimbuni,

4. Luko diubek bongkak didiang,

5. kaki tataruang inai padonyo

6. Muluik tadorong ome padonyo.

Setiap pelanggaran tentu akan mendapat ganjaran sanksi

hukuman baik yang dijatuhkan pengadilan adat ataupun

yang dijatuhkan mamak kaum maupun yang dijatuhkan

masyarakat. Hukuman Terkurung Diluar. Ada yang

dijatuhkan masyarakat misalnya seseorang sering berlaku

tidak senonoh atau orang yang pernah berbuat salah tapi

tidak tobat akan kesalahannya orang itu akan dikucilkan

dari pergaulan yang dijatuhkan mamak kepala

kaum,seorang anak kemenakan tidak menuruti apa yang

diperintahkan adat akhirnya dia dihukum, rumahnya tidak

dinaiki niniak mamak waktu kematian atau apa saja

sebelum dia mengaku salah secara adat. Untuk

menjatuhkan sanksi tentu diperlukan peradilan adat.

Peradilan adat dilaksanakan di dalam kaum di dalam

kampung, di dalam suku dan di kerapatan adat nagari.

Sebelum dilaksanakan sidang kerapatan suku terlebih

dahulu diselesaikan di dalam kaum kalau di dalam kaum

tidak selesai baru diangkat ke dalam kampung, di dalam

kampung akan didamaikan oleh Pangulu andiko biasanya

masalah selesai sampai disini. Kalau terjadi

pertengkaran antara dua kaum perkaranya akan

diselesaikan oleh Pangulu andiko. Kalau tidak selesai

akan diteruskan ke kerapatan suku, di kerapatan suku

sidang akan di pimpin oleh monti. Biasanya permasalahan

akan diselesaikan sampai disini kalau masalahnya

masalah pusako harta warisan inilah yang sering tidak

bisa diselesaikan di dalam suku dan barulah masalahnya

di angkat ke kerapatan adat di dalam kerapatan adat.

Perkara akan disidangkan oleh bidang perdamaian adat,

kedua anggota kaum yang berselisih paham, akan

dipanggil satu persatu untuk dimintai keterangan dan

setelah itu barulah kedua belah pihak akan dihadapkan

dalam sidang Kerapatan adat, kalau salah satu pihak

tidak puas dan ingin melanjutkan perkaranya ke

pengadilan Negeri Kerapatan adat akan mengirim

berkasnya ke Pengadilan Negeri dan memberi rekomendasi.

Tapi ada baiknya sebelum di kirim perkara ini ke

pengadilan negeri terlebih dahulu di minta penyelesaian

dari LKAAM kota dan propinsi kalau pihak-pihak yang

bersengketa masih belum puas baru teruskan ke

Pengadilan Negri dengan melampirkan usaha perdamaian

pada tiap tingkat pengadilan adat Untuk menjatuhkan

hukum tentu harus ada bukti, di dalam adat disebutkan

batando babeti bukti kecurigaan seperti pulang pagi babasa,

basa bajalan bagoge-goge, bajojak bak sipasin.Kalau terjadi

larang pantang di dalam kaum oleh anak kemenakan hukum

akan dijatuhkan oleh mamak kaum seperti membuat onar

dalam kaum, berkelahi, mengambil paksa harta kemenakan

dan terbukti hukumnya mungkin didenda satu ekor kambing

atau ayam atau kalau berdamai luko diubek bongkak

didiang, mungkin juga terkelamai. Kalau membuat onar di

dalam kaum hukum akan dijatukan oleh mamak kaum. Kalau

membuat onar didalam kampung hukum akan dijatukahkan

oleh kesepakatan mamak-mamak kaum dalam kampung itu,

kalau membuat onar dalam suku hukum akan dijatukan oleh

orang ompek jinih. kalau membuat onar dalam nagari hukum

akan dijatuhkan oleh Kerapatan adat nagari yang di

sidangkan oleh bahagian perdamain adat. Kalau sengketa

harta pusako untuk mengajukannya kekerapatan adat

Pangulu pucuak yang bersangkutan membuat surat

keterangan bahwa perkara itu telah pernah di selesaikan

di dalam suku Penghulu pucuak dalm mengajukaersoalan

menerangkan tentang persolan yang terjadi dan

menerangkan mengnai cara penyelesaian juga hasil yang

dicapai.

5. Hukum,Sangsi dan Denda Secara Adat Silungkang

Selain berlaku hukum negara di Silungkang dahulunya

juga berlaku hukum adat. macam hukum di Silungkang

1. Hukum buang.

a. Dibuang sepanjang adat.

b. Buang tingkarang.

c. Buang pului

d. Di buang dari kampuang.

e. Di buang dari nagari.

2. Denda.

a. Denda satu ekor sapi

b. Denda satu ekor kambing

c. Denda satu ekor ayam.

3. Takuruang diluah.

a. Tidak dibawa selihir semudik

b. Tidak dapat menyelenggarakan kegiatan adat.

c. Indak dinaiaki rumah gadangnyo oleh niniak mamak.

4. Luka diobati bengkak didiang.

a. Dibayar dengan uang.

b. Takalamai.

c. Bajujuangan nasi.

Semua sangsi hukum ini sesuai dengan tingkat kesalahan,

dan jenis kesalahan yang dilanggarnya sesuai dengan

kata adat.

1. Kusuik bulu parua manyalasaikan.

2. Kusuik Obuak sikek manyalasaikan.

3. Kusuik bonang dicari ujuang jo pangkanyo.

4. Kusuik sarang tampuo api manyudahi.

Sangsi hukum ini adakalanya dijatuhkan pada satu pihak

saja, ada juga yang kedua belah pihak, tetapi ada juga

pihak ketiga juga diberi hukuman.

Nama : Dwika Utari (1212011102)

Galih Ardi Primadi (12 12011131)

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Penyelesaian sengketa tanah dalam masyarakat hukum adat

Minangkabau menganut asas musyawarah mufakat untuk

mencapai perdamaian dan keselamatan serta keutuhan

masyarakat berdasarkan kepada sistem peradilan yang

berjenjang naik bertangga turun. Tingkatan peradilan

yang harus dilalui disesuaikan dengan kasus. Jika

sengketa terjadi dalam suatu kaum maka tingkatan

peradilannya adalah sebagai berikut :

1. Tingkat Kaum

2. Tingkat Suku

3. Tingkat Kerapatan Adat Nagari (KAN)

Sedangkan jika terjadi antar kaum maka tingkatan

peradilannya adalah

1. Tingkat antar kaum

2. Tingkat KAN

Dalam penyelesaian sengketa adat terlihat bahwa

sengketa diselesaikan sejalan dengan istilah bajanjang

naik, batanggo turun, mulai dari tingkat yang rendah

yaitu tingkat kaum sampai ke tingkat yang lebih tinggi

yaitu tingkat KAN. Setiap tingkat penyelesaian perkara,

Niniak Mamak di Kenagarian Salimpaung berperan dalam

setiap perkara baik itu sako maupun dalam masalah

Pusako, dengan mengutamakan unsur musyawarah dan

mufakat berdasarkan alur dan patut. Dengan falsafah

dalam Adat Minangkabau yaitu dibulekkan aie jo

pambuluh, dibulekkan kato jo mufakat.

4.2 Saran

Dalam menyelesaikan suatu masalah dalam adat

Minangkabau dimana masyarakatnya melanggar suatu

aturan-aturan yang menyebabkan terganggunya

keseimbangang masyarakat, maka masalah itu perlu

diselesaikan dengan undang-undang Nagari yang ada dan

mengatur tentang hal tersebut. Maka Hukum Pidana Adat

diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut dan

untuk menentukan kesalahan yang telah ia lakukan.

Setelah dia dinyatakan memang melanggar Hukum Adat

tersebut lalu dia perlu diadili maka digunakanlah Hukum

Peradilan Adat untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Dan untuk dapat meningkatkan peran lembaga KAN dalam

pembangunan nagari, maka lembaga ini jangan hanya

diberi kekuatan untuk menyelesaikan adat istiadat

semata. Posisikan kembali KAN tersebut sebagai lembaga

yang menjadi partner pemerintah nagari dalam

menjalankan pembangunan nagari.

DAFTAR PUSTAKA

As Suhaiti Arief, Eksistensi Peradilan Adat Pada Masyarakat

Hukum Adat Minangkabau di Sumatera Barat (Usulan Penelitian

Program Hibah Kompetisi A-2, Padang, 2007)

Datoek Toeah, Tambo Adat Minangkabau, Pustaka Indonesia

Bukittinggi, 1989

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, CV.

Mandar Maju, Bandung, 2003

I Gede A.B.Wiranata, Hukum Adat Indonesia, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2005

I Gede A.B. Wiranata, Hukum adat Indonesia: Perkembangannya

dari Masa ke Masa, Departemen Pendidikan Nasional,

Jakarta, 2003

Lilik Muryadi, Eksistensi Hukum Pidana Adat Indonesia, Artikel

Bagian I Wordpress Edisi Senin 24 Mei 2010, tanpa nomor

halaman.

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, cetakan ke 11, 2011.

Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Penerbit

Soeroengan, Jakarta,

1958

Syahrizal Abbas, Mediasi Ddalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan

Hukum Nasional, Prenada Media Grup, Jakarta, Cetakan ke-

2, 2011

Sumber Internet:

http://nagaritabekpatah.blogspot.com/2012/07/fungsi-

kan-sebagai-peradilan-adat.html,diakses tanggal 20

November 2013, jam 20.22 WIB.

Peraturan Perundang – undangan

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 2 Tahun

2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari

Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar No. 4 Tahun 2008

tentang Nagari


Recommended