Date post: | 16-Mar-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | khangminh22 |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
BAB III
PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA
3.1. Penyajian data
Berdasarkan hasil penelusuran terhadap artikel kolom yang ada di harian
Suara Merdeka edisi Minggu periode April 2008 – Mei 2009. terdapat 7 (tujuh)
kolom berkaitan dengan politik khususnya wacana kepemimpinan nasional.
Dalam penyajiannya, penulis membaginya dalam bentuk tabel. Dalam
setiap tabelnya, penulis menggunakan metode analisis teks van Dijk, mulai dari
tematik, skematik, semantik, sintaksis, stilistik dan retoris. Penggunaan analisis
teks metode van Dijk, dimaksudkan agar sebelum melakukan analisis teks secara
mendalam, penulis sudah memiliki gambaran awal tentang teks secara struktur
makro, superstruktur dan struktur mikro.
Tabel 3 Kolom Celathu Butet “Risiko Pemimpin”
Artikel 1 Tematik Skematik Semantik Sintaksis Stilistik Retoris Risiko Pemimpin
Judul
Ditengah keprihatinan bangsanya yang memanen “prestasi”, yaitu berhasil meningkatkan jumlah orang mati karena kelaparan dan meningginya jumlah orang bunuh diri lantaran tekanan ekonomi, para pemimpin berbondong-bondong nonton film nasional. Nonton rame-
Latar berkaitan dengan tanggapan terhadap kinerja pemerintah yang dinilai belum berhasil mengatasi segala krisis yang terjadi pada negara ini.
Penggunaan leksikon “prestasi” merupakan sindiran terhadap kinerja pemerintah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
rame dan diliput media massa. Semua orang jadi tahu, di gedung bioskop para pemimpin sedang cari hiburan. Mas Celathu tidak tahu musti bagaimana. Apakah ikut gembira karena para pemimpin mulai peduli dan apresiatif atas kerja kebudayaan? Atau malah bersedih, kok ya tega-teganya para pemimpin pada tebar pesona pamer air mata, sementara untuk keterpurukan nasib rakyatnya mereka pelit mencucurkan air mata?
Tematik tentang Politik pencitraan
Gagasan utama adalah politik pencitraan
“Mbok ya jangan sinis begitu. Sampeyan kan pernah bilang, pemimpin kan juga manusia. Apa salahnya mereka menontokn film. Toh saban hari mereka sudah bekerja keras. Boleh dong istirahat, buang penat cari hiburan?” ujar Mbakyu Celathu keitka mendengar celoteh sinis suaminya.
“Memang nggak ada yang salah, kalau peristiwa nonton film itu juga diperlakukan
Detil tentang fenomena tebar pesona yang dilakukan para
Penggunaan leksikon “tebar pesona” untuk menggamba
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
sebagai peristiwa biasa. Nggak usah diliput media massa. Nggak usah diikuti protokol kenegaraan. Begitu diliput dan protokoler, jadinya sangat politis. Gampang dicurigai sedang tebar pesona, “sergah Mas Celathu sengit.
pemimpin dalam merebut simpati publik.
rkan sebuah fenomena yang dilakukan para politisi atau capers dalam usaha merebut simpati publik
Menonton film memang bukan tindakan yang keliru. Mas Celathu yang sesekali mengecerkan seni aktingnya dengan ikutan main film, diam-diam merasa korps-nya mendapat kehormatan. Bayangkan dipriksani Pak Presiden lho. Nggak main-main itu. Film sebagai ekspresi kesenian sanggup merebut waktu dan perhatian orang nomer satu yang super sibuk. Apa nggak dahsyat? Presiden lho, presiden lho…
Dalam hati Mas Celathu memuji, betapa para pemimpin benar-benar memperhatikan nasib kebudayaan, induk dari ekspresi para sineas pembuat film itu. Artinya, dengan begitu hasil-hasil kerja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
kebudayaan seperti kesenian, filsafat dan pendidikan akan memperoleh kedudukan yang layak dan pantas dibanggakan. Dan betapa membahagiakan jika nantinya perspektif kebudayaan akan dijadikan pertimbangan untuk mengambil keputusan. Bukan hanya didasarkan pertimbangan politik dan ekonomi semata-mata. Wuah, pastilah nantinya fasilitas untuk perkembangannya kebudayaan akan lebih diperhatikan dengan anggaran yang lebih longgar. Komitmen dan kesadaran akan pentingnya kebudayaan dalam membangun kehidupan, bukannya, tidak disadari oleh para pemimpin.
Bukankah di masa kampanye Pak SBY menjanjikan ada Menteri Kebudayaan? Dahsyat, ta? Bahwa nyatanya sekarang janji itu tidak kunjung diwujudkan, kita pun maklum. Karena janji kampanye memang seperti
Penggunaan kiasan “duuuutttt!!!!” menjadi gambaran bagaimana janji-janji kampanye yang tak pernah terealisasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
perut kembung yang bisa menghasilkan bunyi nyaring: duuuutttt!!!!
Yah, begitulah risikonya jadi pejabat publik. Hanya nonton film aja jadi perkara. Begini salah, begitu keliru. Setiap langkah selalu dipandang dengan kecurigaan. Terutama jika tindakan itu tidak tergolong dalam domain tugas seorang pemimpin.
Selama ini, sebagaimana dicitrakan protokol kenegaraan, tugas pemimpin itu ya sidang kabinet, rapat, pidato, menerima tamu negara, memimpin upacara, memarahi dan memecat bawahan yang bego, dan – ini yang utama – kesana kemari dikawal nguing-nguing dan bikin macet jalanan.
Rakyat belum terlatih melihat keniscayaan bahwa pemimpin juga manusia biasa, dan tentunya mempunyai kewajiban sosial yang tidak beda dengan umumnya rakyat kecil.
Semua itu bisa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
terjadi, mungkin salah satunya karena kecenderungan petugas protokol yang selalu menghadirkan citra angker bagi para pemimpin bangsa. Para pejabat daerah atau pengurus organisasi yang bakal memerima kunjungan presiden atau wakilnya, pastilah sudah mencicipi betapa over aktingnya petugas-petugas itu. Aturan dan tatana protokoler seperti didesain untuk menjauhkan para pemimpin dari rakyatnya. Belum lagi urusan pembiayaan untuk kepentingan ini dan itu. Ada yang wajar ada yang kelewatan. Para petugas protokoler tinggal perintah dan musti dilaksanakan oleh tuan rumah. Dan ujung-ujungnya sang tuan rumah tinggal garuk-garuk kepala karena harus menanggung tagihan pembelanjaan yang melejit.
Pikir Mas Celathu, supaya rakyat lebih rileks melihat pemimpinnya, ada baiknya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
tatanan dan prosedur protokoler perlu dikoreksi. Disesuaikan dengan situasinya, diselaraskan dengan motif kunjungannya. Sehingga ketika nantinya mereka hadir diruang publik sebagai seorang ayah atau kepala rumah tangga, - termasuk menonton film - bisa dilihat tanpa embel-embel curiga dan prasangka. “Makanya, kalau sudah jadi pemimpin jangan salin serengat. Jangan mengubah kebiasaan. Nggak usah sok feodal. Rileks sajalah, supaya tetap jadi manusaia biasa. Dan bisa nonton film tanpa biki perkara,” kata Mas Celathu, masih sinis.
Maksud tentang perilaku pemimpin yang merubah kebiasaan. serta perilaku feodal yang diperlihatkan oleh para pemimpin.
Penggunaan leksikon “salin serengat” berkaitan dengan sikap yang ditunjukkan para capres dalam merubah image menjelang pilpres
“Ya nggak bisa. Aturan protokoler itu kewajiban yang harus diterima. Nggak boleh seenaknya,” tukas Mbakyu Celathu.
“Mbelgedhes. Lha wong nyatanya Gus Dur bisa. Sewaktu jadi presiden, aturan protokoler yang feodalistik dia babat. Saya
Penggunaan kata ganti “saya”, sebagai cara penulis yang ingin menekankan bahwa pendapat
Penggunaan leksikon “Mbelgedhes” untuk mengungkapkan bentuk ketidak-percayaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
merasakan dialah pemimpin yang bukan setengah dewa. Tapi benar-benar manusia.”
dalam tulisan ini adalah pendapat penulis secara personal.
“Iya. Tapi kan jadi nggak berwibawa. Mosok masuk istana boleh pakai sandal jepit. Jadinya malah ambruk ditengah jalan.”
Kalau nanti saya jadi pemimpin, saya nggak sudi diatur-atur yang nggak sesuai dengan hati nurani.”
“Lha memangnya sampeyan itu siapa? Siapa yang meminta sampeyan jadi pemimpin? Mbok ya ngaca?”
Wuah, wuah…, suami-isteri inipun memasuki perdebatan seru. Benar-benar perdebatan yang sia-sia. Mbakyu Celathu ngotot, ingin mempertahankan kesakralan seorang pemimpin, sehingga feodalisme bisa dibenarkan.
Sedang Mas Celathu malah ngoceh panjang lebar, soal strategi berkampanye. Dia bilang, kampanye adalah saatnya menebar impian. Janji boleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
diteriakkan, tapi tak ada jaminan harus dilaksanakan, persis sebagaimana Pak SBY dulu menjanjikan adanya Menteri Kebudayaan. Pokoknya, janji, janji, janji….. Lho, lho… kok malah nggladrah. Memangnya Mas dan Mbakyu Celathu ikut njago Pilkada Gubernur Jawa Tengah?
Tabel 4
Kolom Celathu Butet “Menyembah Rakyat”
Artikel 2 Tematik Skematik Semantik Sintaksis Stilistik Retoris Menyembah Rakyat
Judul
Kalau saja anda mencitrakan sebagai dermawan, dan orang mempercayai anda bener-bener pemurah yang rajin nyoh-nyoh-nyoh, maka jangan sekali-kali berlaku pelit kepada siapa pun.
Latar berkaitan dengan pembentukan citra.
Penggunaan leksikon “nyoh-nyoh-nyoh” merupakan gambaran seseorang yang gemar memberi sesuatu.
Setiap proposal datang meminta subangan ini-itu. Dan ribuan orang yang rame-rame menadahkan tangan, haruslah semua itu dipenuhi. Tak peduli permintaan bantuan itu murni dan memang selayaknya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
dibantu, atau sekedar tipa-tipu memanfaatkan peluang kedermawanan anda. Sekali saja citra kedermawanan itu diingkari – mungkin sedang “kanker” alias kantung kering – maka harapan khalayak akan ambyar. Saat itulah mungkin anda dipersalahkan. Bisa-bisa malah dikutuk. Itulah repotnya bermain politik citra.
Tematik tentang resiko Politik pencitraan
Gagasan utama adalah politik pencitraan
Begitu pun seumpama anda terlanjur dicitrakan sebagai penyabar dan selalu berpenampilan cool dan calm, maka khalayak akan terkaget-kaget tatkala ada mengeluarkan suing amarah. Padahal apa sih salahnya orang marah? Itu kan manusiawi banget? Khalayak agaknya belum bisa menerima kenyataan jika citra yang dipersepsikan tak terpenuhi dan karena itulah Mbakyu Celathu tiba-tiba sok kritis dan ambil keputusan ganjil. Mas Celathu harus merubah gaya penampilannya.
Detil tentang bagaimana sebuah proses pencitraan terbentuk.
“Citra sampeyan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
harus diganti. Jangan sok celelekan lagi!” Demi memenuhi order bininya, Mas Celathu yang biasanya murah senyum dan sering tampil cengegesan, kali ini memaksakan tampil njegadul. Garis bibirnya ditarik kebawah, rada mecucu laiknya bocah tak kebagian permen.
Sungguh ganjil. Tak ada adat sabanya dia begitu. Tampak sekali dia tersiksa berperangai begitu. Apalagi ketika berada ditempat umum. Mas Celathu yang biasanya ramah dan rajin mengobral sapaan, tiba-tiba seperti zombie berkeliaran.
Pandanganya datar, Cuma melihat satu fokus. Seolah-olah di kiri kanannya hanya ada angin. Tak pernah berpaling. Mulutnya yang mrengut disempurnakan oleh tembem pipinya yang digelembungkan, sehingga moncongnya semangkin lancip. Lucu banget, mulutnya mengingatkan orang pada brutu ayam nungging.
Jaga image
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Gayanya yang sok ramah dan cengegesan yang kerap dipamerkannya, rupanya disalahpahami sebagai ikhtiar tebar pesona. Mbakyu celathu yang belakangan emang mudah terbakar api cemburu, memang semangkin kritis. Tapi bukan itu yang menyebabkan dia mempertimbangkan penampilan suaminya. Melainkan, dia tak ingin suaminya dipersepsikan secara keliru, sebagaimana pekan lalu dialami Pak SBY.
Koherensi pembanding
Kasihan bener pemimpin ini. Gini salah, gitu salah. Lha wog cuma marah dan menegur menterinya yang ngobrol sendiri dalam Sidang Kabinet, kok beritanya jadi heboh. Ya pantaslah yang begituan ditegur dan dimarahi. Termasuk dulu ketika ada bupati yang ngorok saat beliau pidato.
“Mulai sekarang sampeyan harus senyum dan tertawa secukupnya. Kalau perlu tunjukkan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
sampeyan bisa cengeng. Bisa juga marah.” “Tapi saya kan tak bisa mengubah watak begitu saja. Semua ini kan asli dari sononya. Apalagi saya nggak terbiasa merekayasa penampilan. Gimana tuh?”
Memang, sulit baginya tampil menjadi bukan dirinya. Aslinya Mas Celathu memang selalu begitu. Dia selalu tampil lugas. Polos apa adanya. Seperti tak ada rahasia yang disembunyikan. Bahkan terkesan suka menggampangkan masalah.
Detil tentang penampilan yang apa adanya
Berwatak dan gaya macam itu, bukanlah rekayasa. Apalagi usaha tebar pesona. Ketika dia memutuskan bekerja diranah publik dan kerap disorot khalayak, dia berjanji pada dirinya untuk tidak terperangkap pada sindrom “jaim” alias jaga image.
Penggunaan leksikon “jaim” berkaitan dengan sikap yang ditunjukkan para capres dalam merubah image menjelang pilpres
Melahirkan Kepalsuan
Kalau saban hari berpura-pura, kan capek. Mosok diluar panggung tetap akting. Malah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
seperti wong edan. Gelem ra gelem, aku ya cuma kayak gini. Kadang cengegesan , kadang ya bisa mangkel, bisa memaki, bisa kecewa. Jika diperlukan, ya bisa marah-marah, asalkan memang ada alasan untuk memarahi. Kalau marah direkayasa, salah-salah nanti malah dapat musuh baru, “kilah Mas Celathu. Jadi, kalau kali ini dia tak mau lagi menuruti permintaan istrinya, yaitu tampil beda diluar kebiasaanya, itu lantaran dia memang kesulitan nglakoninya. Tampil menjadi bukan dirinya, pasti melelahkan. Dan, lama-lama juga bakal ketahuan belangnya.
Detil tentang merubah penampilan mengindikasikan maksud yang tersembunyi dan cenderung penuh kebohongan.
Penggunaan leksikon “nglakoninya”
“Please, izinkan saya jujur apa adanya. Saya nggak mau ikut-ikutan bermain politik citra, “pinta Mas Celathu setengah memohon.
Akhirnya kompromi didapat. Dan, dengan ihklas Mbakyu Celathu membatalkan perintahnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Mulai hari ini, biarlah semua tampil apa adanya. Alamiah. Tanpa rekayasa. Suami istri ini agaknya masih tetap percaya, sesuatu yang tulus dan jujur jauh lebih mulia. Sementara sesuatu yang tampil penuh polesan, justru akan membahayakan karena cenderung melahirkan kepalsuan. Ujung-ujungnya menjadi kebohongan.
Maksud tentang tampilan yang penuh rekayasa
Kesepakatan untuk mengagungkan kejujuran, melahirkan kesejukan dalam keluarga Celathu. Bahwa ternyata diluar sana masih gerah, barangkali memang iya.
Bukankah menyongsong pesta coblosan nasional, orang-orang terus bermain dan memainkan politik citra. Full rekayasa. Mereka yang ingin njago legislatif atau eksekutif sedang sibuk memoles performance-nya.
Slogan-slogan dan puja-puji akan bertaburan dilangit Indonesia.
Maksud secara eksplisit menjelaskan tentang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Semua akan tampil serba indah dan rakyat kecil kembali akan dipertuankan
musim kampanye yang identik dengan jajnji-janji “angin surge” untuk menarik perhatian masyarakat
Kalau perlu dijilati karena rakyat mulai dianggap penting lagi. Inilah sebuah ritual permanen lima tahun sekali. Rakyat disembah. Rakyat dibanggakan, dibujuk partisipasinya, dan setelah itu – seperti biasa – rakyat segera dilupakan lagi
Penggunaan leksikon “dijilati” untuk menggambarkan bagaimana na para elit hanya mencari perhatian kepada rakyat ketika pemilu datang.
Biarlah semua itu terjadi sebagai keniscayaan kelas taman kanak-kanak. Mas Celathu hanya percaya, tambah hari rakyat kecil pastilah tambah pintar
koherensi pembanding membandingkan level para politisi sebanding denga tinkat taman kanak-kanak.
Rakyat bukanlah sejenis keledai yang tiap lima tahun ikhlas dikibuli. Pastilah mereka bisa membedakan mana emas dan mana loyang. Mana yang beneran dan mana yang kadal-kadalan
Maksud tentang rakyat yang sudah sadar dalam menentukan pilihan yang layak dipilih dalam pemilu atau pilpres.
Penggunaan retoris “kadal-kadalan” menggambarka janji-janji para politisi yang penuh dengan kebohongan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Tabel 5 Kolom Celathu Butet “Raja Nyapres”
Artikel 3 Tematik Skematik Semantik Sintaksis Stilistik Retoris Raja Nyapres Judul Sebagai tukang tonil, Mas Celathu tak bakal kesulitan memerankan tokoh-tokoh berpangkat tinggi. Tinggal pilih, mau peran bergengsi macam apa? Jadi lurah, bupati, adipati, raja, gubernur jenderal? Semua oke untuk dilakoni. Bahkan, menjelma pre-siden bodongan di sebuah republik yang cuma mimpi, hingga kini masih dilakoni.
Dia menyadari semua itu sebagai sebuah permintaan. Karena itulah ketika suatu kali ada pertanyaan iseng, “Nggak nyapres, Mas?” dengan sem-brono Mas Celathu menjawab, “Males ah... apa enaknya? Wong saya sudah ngicipi semua pangkat tinggi itu...he he he.. Raja ya pernah, presiden ya masih jalan. Mau apa lagi?”
Mas Celathu sudah cukup bangga menduduki
Tematik mengetengahkan anggapan
Gagasan utama berkaitan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
jabatan itu. Biarpun itu sekadar pura-pura, sudah cukup sebagai stimulus pengendalian diri. Beda de-ngan yang lain. Di dunia nyata, mereka yang digoda rasa penasaran, selalu terdorong ingin ngicipi kedu-dukan-kedudukan luhur itu. Ada sihir yang membikin semua orang kepincut. Kekuasaan memang sering bikin silau. Wajarlah kalau orang kemudian berbondong-bondong saling berebut. Berlomba mendaki untuk meraih kursi. Lalu sibuk merayu sana sini mencari dukungan.
pragmatis dari sebagian politisi yang memaknai pemilu sebagai kompetisi meraih kekuasaan. Tema ini sekaligus menjadi latar
perpolitikan nasional yang dipertontonkan para elit politik saat ini kian tereduksi menjadi sekadar perebutan kekuasaan. Perolehan suara dalam pemilu menjadi kepentingan tertinggi.
Tak ada yang melarang jika seseorang sekadar berkeinginan. Siapa pun boleh memompa ambisi. Asalkan sesuai dengan takarannya sendiri-sendiri. Kalau ada petualang yang kualitas otaknya pas-pasan dan integritasnya pun amburadul, tiba-tiba menyatakan pengin jadi presiden, ya itu rada kebangetan.
Detil ini menjelaskan mengenai substansi kepemimpinan, bahwa kepemimpinan seseorang dilihat dari integritasnya.
Koherensi pengingkaran dengan menggunakan kata “asalkan”
Stilistik “memompa ambisi”merupakan sindiran terhadap seseorang yang memaksakan keinginannya
Nggak paham Retoris
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
ukuran. Ibaratnya, cecak nguntal truk. Besar pasak dari tiang. Tapi itulah demokrasi. Memungkinkan siapa saja naik tahta. Mungkin dia seorang mantan jenderal, menteri, gubernur atau mantan aktivis mahasiwa. Atau bahkan seorang raja. Lho, raja kok malah kepengin jadi presiden? Apa nggak kebalik tuh? Biasanya, kan presiden yang kepengin jadi raja?
“cecak nguntal truk” pengibaratan ambisi yang tidak sebanding dengan kapasitas yang dimiliki para politisi
Mosok sih ada presiden pengin jadi raja?”
Ingat nggak zaman presiden yang dulu itu? Waktu itu, gaya hidup keluarga Cendana kan memirip-miripkan gaya hidup bangsawan. Lha wong hanya petani ndeso aja, kok pakai sembah-menyembah segala. Kalau sungkeman harus laku dodok kayak di kraton,” jawab Mas Celathu sekenanya. Lalu meneruskan ocehannya, tetap masih ngawur. Dalam praktek kepemimpinannya kan juga meniru gaya seorang raja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Tapi.. raja tega. Apa-apa dimangsa...ha ha ha.” Mas Celathu tak keliru. Di negari ini derajat kebangsawanan selalu dibayangkan berada di level tinggi. Yang sukses ekonomi pejabat, pedagang, makelar, seniman, pengacara, polisi, banker, dokter - punya kecenderungan begitu, Sehingga orang kampung yang mendadak makmur - sukses secara ekonomis, sosial dan politik akan segera mengandaikan dirinya sebagai bangsawanan.
Bukan dalam konotasi guyonan yang berarti bangsane tangi awan. Tapi bener-bener mengubah gaya hidupnya bagai seorang raja. Minimalnya mengimitasi dirinya sebagai raja. Komplit dengan mengadopsi nilai-nilai tradisi yang adiluhung. Mempraktikkan gaya hidup aristokrasi yang ribet, penuh atruan dan full protokoler.
Lihat saja rumah tinggal mereka. Arsitektumya menyerupai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
istana. Pintunya dijaga satpam, kalau perlu diasandangi ala prajurit kraton. Pagar rumah didesain menyerupai regol plus hiasan stilisasi kuncup melati di sudut-sudut dindingnya, Sementara di kiri kanan dipajang sepasang patung Dwarapala made in Muntilan. Namun kini ada fakta lain. Seorang raja justru menyatakanr ingin jadi presiden, Dari pemimpin budaya turun derajat jadi pemimpin politik. Dari singgasana melorot ke sekadar kursi. Mas Celathu jadi heran. Ya hanya sebatas itu yang bisa dilakukan. Barangkali raja itu memang sedang memenuhi panggilan suci untuk berbakti kepada lbu Pertiwi.
Politik Kotor Mas Celathu sulit membayangkan bagaimana seandainya kelak raja itu diserimpung praktek berpolitik yang cenderung menghalalkan selala cara untuk
Detil tentang cara praktik politik kotor yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Koherensi pembanding. Membandingkan nilai keluhuran raja dengan pelaksanaan politik kotor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
mencapai tujuan. Apa jadinya seumpama tabiat kotor politik harus berbenturan dengan nilai-nilai filosofi seorang raja yang sekaligus pemimpin budaya? Bukankah seorang raja selalu dituntut konsisten dan senantiasa mengayomi rakyatnya tanpa pilih kasih? Raja mempunyai kredo abadi "sabda pandita ratu tan kena wola-wali". Artinya, apa yang sudah dinyatakan pantang ditarik kembali. Lha bagaimana itu? Politisi kan selalu esuk dele sore tempe, cangkeme kerep leda lede.
Retoris esuk dele “sore tempe, cangkeme kerep leda lede”. Penggambaran inkonsisten-si para politisi
Mas Celathu cemas. Tradisi politik di sini masih setingkat taman kanak-kanak. Banyak jebakan ranjau yang bikin lawan politik mudah tersungkur. Tidak terbayangkan bagaimana iika raja itu kelak tersungkur atau kalah dalam persaingan? Apa itu berarti seorang raja tidak bisa dipercaya lagi.
Wuaduh gawat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
ini. Mas Celathu yang statusnya sekadar kawula, sudah terlanjur mem- percayainya je. Di lubuknya terdalamnya, sudah kadung terpatri sebuah keyakinan tentang nilai kepemimpinan seorang raja. Raja adalah sebuah pusat nilai, pencering gerakan kebudayaan Jawa berpusat. Harapannya terlanjur disandarkan kepada nilai-nilai itu.
Yang bisa dilakukan Mas Celathu hari ini adalah sekadar menanam kecemasan. Dia menyiapkan diri, jaga-jaga menyambut kemungkinan kekalahan idolanya. Sehingga kalau nanti ternyata keok, Mas Celathu tidak nggeblak. Apalagi alam juga kasih sasmita.
Hujan mengguyur sangat deras dan halilintar menyambar, ketika prokIamasi nyapres raja itu dinyatakan. Dan ilmu gothak-gathuk semangkin sempurna, ketika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
di hari Sultan menyatakan keinginan itu hotel Sultan terjadi geger gropyokan perjudian. “Wuaaahh....pertanda apa ini ya?” batin Mas Celathu. Rasanya beda banget dengan saat prosesi jumenengan beberapa tahun lalu. Awan berarak memayungi kota. Teduh dan semilir.
Sedang kali ini, curahan hujan menggerojok amat sangat deras. Garis-garis hujan menari-nari ditiup angin.
Mas Celathu teringat masa kecilnya. Kecemasannya sirna seketika. Dia segera copot baju dan ceIana, Hanya dengan cawat dia berlari-lari menembus lebatnya hujan. Tapi beIum Iagi sepuluh meter ia berlari, Mbakyu Celathu menjerit dari balik jendela, “Heiiiii
Mas Celathuuu..ayo pulang. Cuma pakai cawat kok lari-lari keluar rumah. Nanti kalau ada ibu-ibu teransang ngelihat perut sampeyan yang njemblung itu, sampeyan bisa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
dipenjara lho. Jangan sembrono, undang-undang yang ngurusi ‘manuk’ sudah di-sah-kan lho” Mas Celathu tak mendengar imbauan bininya. Dia terus melompat-lompat dengan bebas. Dan menari-nari seperti kanak-kanak yang happy bermain dengan hujan. Sebuah undang-undang yang mengancam ambyar-nya kebhinekaan, tak mampu menahan kemerdekaannya
Tabel 6
Kolom Celathu Butet “Manuver ABS”
Artikel 4 Tematik Skematik Semantik Sintaksis Stilistik Retoris Manuver ABS Judul Gara–gara SBY menyatakan kecemasan dihadapan para petinggi polisi dan tentara, ABS yang semula diartikan asal bapak senang, tiba-tiba berubah makna menjadi asal bukan S.
Latar berkaitan dengan sikap atau karakter SBY
Tak jelas siapa S yang dimaksudkan. Mungkin memang Susilo tapi mengingat capres yang huruf awalnya S rada banyak, ABS bisa juga diartikan: asal bukan Sutiyoso, Sultan, Subianto,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Sutrisno, Sembiring atau Soekarno Putri. Secara guyon malah ada yang menyebut S-nya adalah Soemanto yang dulu kondang lantaran mbrakoti daging sesamanya. Teka-teki macam ini cukup mengundang heboh gunjingan dan kecurigaan, suatu hal yang lazim saat menjelang pemilu tiba. Suhu politik makin menghangat. Lalu para politisi akan saling sindir dan saling ejek, sekaligus bikin siasat dan strategi merebut simpati khalayak.
Tematik berkaitan dengan persaingan perebutan kekuasaan calon presiden
Gagasan utama memanas-nya suhu perseteruan politik calon presiden
Tudingan pak SBY pun tak luput dari prasangka begituan. Musuh politiknya kasih komentar denga sinis. Menuduh itu hanya strategi, biar SBY dikesankan “terancam” dan sedang teraniaya” . sebuah jurus klise yang lima tahun lalu mendulang sukses sehingga dirinya laksana dapat tunggangan roket, menghantarkannya ke kursi tertinggi negeri ini
Detail dimaksudkan untuk menyindir sikap SBY dalam membangun politik pencitraan
Penggunaan leksikon “terancam” “teraniaya” Strategi politik yang dipakai kubu SBY yang menempat-kan posisi SBY sebagai pihak yang teraniaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
Mas Celathu yang hafal trik-trik seperti itu justru menjadikannya sebagai ajang pembelajaran untuk semakin memahami ilmu komunikasi, semiotika, etika, dan estetika. Dan disinilah teori diimplementasikan ke dalam kehidupan.
Dan seperti biasanya, politik pra Pemilu juga dinikmati sebagai fragmen-fragmen dagelan nan jenaka. Banyak ungkapan yang lucu bertaburan. Banyak sindiran cerdas dilontarkan. Banyak gosip miring dihembuskan. Apalagi jika sindiran-sindiran itu sudah mulai berbalas pantun, seperti pekan lalu terlihat dalam iklan-iklan partai besar.
Maksud tentang proses politik pemilu yang identik dengan berbagai persoalan dan benturan kepentingan antara kontestan
“Wuah, wuah, bener-bener inspiratif. Lucu banget. Yang satu bilang sukses menurunkan harga BBM, satunya lagi bilang itu bukan prestasi karena memang begitu seharsunya, la wong harga minyak mentah dunia memang sedang anjlok.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Bahkan seharusnya bisa lebih murah lagi, “ujar Mas Celathu dengan bungah, meskipun diam-diam dia gumun menghitung biaya iklan, kok sepertinya duit mereka tak ada nomor serinya. Bayangkan saja jika uang belanja iklan itu dibelikan sembako untuk rakyat atau membenahi infrastuktur pendidikan yang konsisten amburadulnya!
Perngemis Beramal
”Hughh, sampeanitu lho, apa-apa kok dibikin lelucon, itu soal serius. Menyangkut nasib dan mati-hidupnya banyak orang,” sergah Mbakyu Celathu.
“Lo, justru beliau-beliau itu yang bikin aksi lucu-lucuan. Kalau memang tindakannya ndagel, ya ya jangan salahkan rakyat jika kemudian malah tertawa.”
“Lucunya di mana?”
“Dari keanehan.” Mas Celathu lalu menyitir definisi lucu ala almarhum Pak Teguh Srimulat. Lucu itu bermula dari yang aneh. Segala tindakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
yang aneh, ujungnya pasti melahirkan kelucuan. Di panggung Srimulat semua perilaku manusia selalu pakai rumus itu. Ada jongos malah menasehati dan memaki-maki juragan. Ada dracula malah takut hantu dan jika menyanyi biasanya cuma lagu ndangdut.
Koherensi pembanding Membandingkan pentas politik tanah air tak ubanya dengan pentas Srimulat yang mengundang kelucuan.
Ada pengemis justru beramal sementara konglomerat pelitnya bukan kepalang. Ada istri malah menatang poligami sementara suami yang playboy selalu gemeteran setiap disentuh perempuan.
Ada batur hobinya main golf sementara majikan hobinya adu jangkrik. Semua itu kan aneh. Nah, biasanya dari situ muncullah kelucuan. Jika orang mempercayai tesis ini, maka tindakan para petinggi partai yang doyan “bertengkar” lewat iklan, bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang aneh dan itu lucu. Bertengkar kok mbayar?
Retoris “bertengkar”. Menunjukkan persamaan kata konflik politik yang terjadi menjelang pilpres 2009
“Umumnya orang bertengkar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
dan nyek-nyekan, saling ejek, itu kan gratisan. Nggak pakai ongkos padahal saling ngenyek, bikin kick-kickan, itu kan cara memperindah pergaulan. Bayangkan aja, kalau setiap mau ngekick harus bayar, kan kasihan orang miskin. Untuk belanja sembako sudah susah, sekarang mau guyon aja kok harus menabung dulu. Wueleh, weleh, lucu tenan, “kata Mas Celathu sambil terkekeh-kekeh. Tercitrakan Demokratis
“Yah, baiklah jika itu memang bisa dijadikan terapi guyonan. Tapi, menurut sampean ABS itu singkatan apa sih. Saya kok penasaran? “tanya Mbakyu Celathu
“Itu memang teka-teki. Seninya main politik. Bikin orang penasaran. Kepanjangannya bisa apa saja. Mau berarti apa, tergantung siapa yang punya kepentingan. Memangnya kenapa?”
Mbakyu Celathu lalu membisikkan sesuatu ke telinga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
suaminya, Mas Celathu terheran-heran. Digandengnya sang suami ke kamar jeng Genit, lalu ditunjukkan sebuah poster bertuliskan ABS tertempel di pintunya. Hal yang sama juga terlihat dikamar mbak Tomboy yang demi mencari jati dirinya, belakangan rada susah ditemui di kamarnya, entah sedang bertapa dimana? Begitu pun mas Ndut yang mulai terobsesi bersanding di pelaminan. Rupanya, keluarga Celathu juga kena imbas manuver pak SBY. Semua ber-ABS.
Sebagai ayah yang pengin tercitrakan demokratis, mas Celathu mempersilakan bininya menanyai langsung anak-anaknya soal poster ABS itu. Tanyakan saja apa maksudnya?
Dia mencegah ketika isterinya berniat mencopoti poster-poster itu. Bagi mas Celathu, poster-poster demonstratif itu dimaknai sebagai kebebasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
berekspresi, semacam ikhtiar anak-anaknya menemukan identitas dirinya, termasuk apabila salah seorang mangkir dari keajibannya sebagai anak, misalnya tak menghormati lagi orang tuanya. Mas Celathu mengikhlaskan semua itu sebagai takdir sejarah atau bisa jadi itulah jalan yang musti ditempuh menuju kebahagiaan. Silakan saja.
Karena makna ABS tergantung siapa punya kepentingan, mas Celathu yang mengenali tabiat dan impian anak-anaknya, menduga-duga arti kepanjangannya. Bagi jeng Genit yang sebentar lagi mengikuti ujuan nasional SMP, mungkin ABS berarti Aku Butuh Sinau.
Untuk mbak Tomaboy yang sedang berperang dengan batinya sendiri dan karenanya doyan memberontak, bisalah diartikan Anak Belajar Sangar
Dan, bagi mas Ndut jelas maknanya: Aku Bakal Suami. La
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
kalau untuk Mas Celathu sendiri, ABS artinya apa? “aku Bapak (yang) Sholeh.”
Ya ampyuuuunnn, rupanya Mas Ceathu sedang memfitnah dirinya sendiri.
Tabel 7
Kolom Celathu Butet “Beranai Kalah”
Artikel 5 Tematik Skematik Semantik Sintaksis Stilistik Retoris Berani Kalah Judul "Pak, boleh nggak saya ikutan Lomba Cover Girl?”
ltu pertanyaan Jeng Genit di suatu pagi, dan membuat Mas Celathu gelagapan kesulitan menemukan jawaban jitu. Hati kecilnya sih ingin mengatakan, "Ngapain sih ikuta lomba gituan?"
Menurut dia, lomba yang lebih mengutamakan keindahan fisik, tepatnya kecantikan wajah, dirasa tidak berjiwa sportivitas. Jauh dari hakikat sebuah kompetisi.
Ukuran kecantikan itu kan sifatnya relatif dan personal. Tergantung selera juri. Tak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
ada tolok ukurnya. Jadi, batin Mas Celathu, lebih baik tak usah berlga di lomba begituan Bisa bikin frustasi jika ternyata kalah. Lagian, mana mungkin sih kecantikan bisa diukur dengan ilmu pasti, dan bisa dimenangkan atau dikalahkan? Jelek bagi orang lain, bisa dianggap cantik bagi yang lainnya. Begitu pun sebaliknya.
Beda dari kompetisi olahraga atau semacam cerdas cermat yang memang bisa melahirkan nilai yang terukur. Benar-benar menguji ketangkasan dan kecerdasan.
Karena itulah Mas Celathu menahan diri. Alasan penolakannya yang sesungguhnya dia simpan rapat-rapat. Dia tak ingin menyinggung perasaan anak ragi1nya.
Dengan sok bijaksana, Mas Celathu lalu bilang, “Memangnya nggak ada lomba yang lain apa? Lagian kamu kan mau Ujian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
Nasional. Mbok ya sinau aja yang serius, biar lulus” “La ini pendaftaran dah mau berakhir je...” desak, Jeng Genit sambil meneruskan, “Bapak mengizinkan nggak sih aku ikutan lomba ini?”
Mas Celathu terpojok. Semakin gelagapan. Pilihan jawabannya cuma dua: mengizinkan atau melarang. Selagi dia bimbang kasih keputusan, eh tiba-tiba Jeng Genit berkata dengan sangat yakin,”Percaya deh Pak, Saya pasti menang. Saya kan cuaaantik. Boleh ya Pak?”
Demi mendengar alasan Jeng Genit yang over confident alias percaya diri secara berlebihan, Mas Celathu langsung njenggirat. Hatinya seperti keslomot, kesundut rokok.
Keningnya langsung berkerut, pertanda dia sulit menerima argumen itu. Tadinya yang dipersoalkan adalah jenis lomba yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
memang tak masuk akal itu. Tapi, kini persoalannya jadi lain. Alasannya itu lho? Kok pede banget? “Jadi,...kamu yakin bakal menang?”
“Ya lyalah...mosok ya iya dong.”
“Kalau ternyata kalah?”
“Ya nggak mungkin. Temanku pada bilang kalau aku cantik kok. Ya pasti menang.”
Wuuleh, wueleh, wuleh...Jawaban itu bener-bener membikin Mas Celathu harus mengurut dada. Sangat memprihatinkan. Dia semakin tidak mudheng dengan cara berpikir generasi anyar ini.
Generasi yang hanya ingin yang serba enak, tapi ogah mencicipi kepahitan perjaungan. Main mutlak-mutlakan dan memastikan diri bakal menang sebelum bertanding, jelas mengkhianati jiwa sportivitas.
Gagasan utama berkaitan dengan spirit sportivitas dalam berkompeti-si, terutama kompetisi dalam ranah politik kekuasaan.
Latar berkaitan dengan semangat sportivitas dalam proses politik (pilpres) mendapatkan kekuasaan.
Tentu ini sangat berbahaya. Bisa menyirnakan semangat juang, dan lebih dari itu: menyebabkan peserta kompetisi hanya
Tematik pentingnya kompetisi yang sehat.
Koherensi pengingkaran menggunakan kata “tapi”.
Retoris “terpuruk sebagai pecundang” bermakna orang yang kalah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
berani menang. Tapi tidak berani kalah. Padahal dalam sebuah pertandingan, lomba, kompetisi - juga pemilu - dibutuhkan jiwa-jiwa ksatria. Yang bukau saja berani merebut kemenangan lalu bertahta sambil memangku piala kejuaraan, tetapi juga berani mengakui kemenangan lawan jika ternyata terpuruk sebagai pecundang. Yang kalah musti berani secara gagah mengulur salam, mengakui kemenangan rivalnya. Spirit “berani kalah” inilah yang sekarang rada susah ditemukan. Entahlah, di mana sekarang sifat keksatriaan semacam itu bersembunyi? Atau malah sudah menghilang? Akibatnya setiap kekalahan - dalam pertandingan sepak bola, pilkada dan sebangsanya - sering menyulut amuk amarah. Bakar-bakaran. Gebuk-gebukan. Minimal, ancam-ancaman.
Detil tentang semangat sportifitas yang terkadang tidak diketemukan n dalam srtiap proses politik (pemilu).
Stilistik “berani kalah” kemempuan sikap untuk mengakui kekalahan.
Retoris “sifat kekesatria-an” menggambarkan sikap sportif seseorang dalam menerima kekalahan.
Potensi Kecurangan
Selalu saja ada alasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
dikemukakan. Meskipun wasitnya telah dipilih dengan seksama oleh para peserta perlombaan, ada kalanya wasitnya akan dituduh memihak lawan alias bersikap tidak adil. Bisa juga kelengkapan lombanya yang dikambinghitamkan. Dianggap nggak sempurna. Atau aturan mainnya dicurigai sarat akal-akalan. Bisa juga kecurigaan dialamatkan ke medan pertandingan yang (jangan-jangan) sengaja didesain tak memenuhi syarat.
Retoris “dikambing hitamkan” bermakna mencari kesalahan sesuatu atau pihak lain.
Bagi siapa pun yang kehilangan.jiwa sportivitas, di lubuk terdalamnya hanya tersimpan kecurigaan, dengki, dan apriori. Padahal, kalau mau sikap tegas bisa diuji sebelum pertandingan dimulai. Seumpama potensi-potensi kecurangan sudah terlihat, kan bisa mundur tak usah ikut pertandingan? Tanpa adanya lawan dalam sebuah kompetisi, pastilah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
pertandingan akan dibatalkan. Mosok sang jagoan bertanding melawan angin? Namun begitulah yang terjadi. Karena dalam setiap kompetisi, orang hanya terlatih untuk bermimpi tentang kemenangan, akhirnya orang kehilangan keteladanan atas sikap dan nilai-nilai berani kalah.
Tabel 8
Kolom Celathu Butet “Indahnya Perceraian”
Artikel 6 Tematik Skematik Semantik Sintaksis Stilistik Retoris Indahnya Perceraian
Judul
Bercerai tapi tetap rukun. Inilah janji sekaligus kenyataan politik kontemporer Indonesia yang membikin Mas Celathu terpesona. Berbeda dengan lazimnya sebuah pegatan atawa berpisahnya orang berpasangan, perceraian antara Pak SBY dengan Jusuf Kalla berlangsung damai. Padahal perceraian ini langsung talak tiga. Nggak bakalan tersambung lagi.
Latar berkaitan dengan perpisahan pasangan SBY dan Jusuf Kalla pada pemilu 2009.
Koherensi pengingkaran menggunakan kata “tapi”
Retoris “Bercerai” “talak tiga” perpisahan antara SBY dengan Jusuf Kalla yang sudah tidak bisa dipasangkan pada pilpres 2009.
Dengan anggun Pak SBY menjawab
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
kecemasan khalayak, ketika minggu lalu mengawali sidang kabinet. Sebelumnya masyarakat memang seperti diliputi teka-teki. Gosip politik yang tersiar cenderung menggambarkan kisruhnya hubungan kedua tokoh nasional itu. Orang mengkhawatirkan nasib bangsa ini, mengingat umur kekuasaan keduanya masih enam bulan lagi. Khalayak gelisah dan bertanya bagamana kepemimpin bisa akur kalau keduanya berseberangan?
Tematik berkaitan dengan kompetisi damai.
Gagasan utama berkaitan dengan kompetisi yang sehat
Praanggapan tentang berpisahnya SBY dengan Jusuf Kalla akan berdampak negatif terhadap kondisi bangsa.
Tapi kecemasan itu lenyap dalam sekejap. Di hadapan 33 gubernur dan para menterinya, presiden memberi contoh bagaimana berdemokrasi yang sehat. Kalimat-kalimat yang dituturkannya terasa cermat, hati-hati, terukur.
Lagi-lagi presiden mematahkan ketauladanan berpolitik yang santun dan beradab. Orang boleh berbeda bahkan melaksanakan persaingan, namun semuanya
Koherensi pengingkaran menggunakan kata “namun”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
berlangsung tanpa diwarnai sifat kekanak-kanakan. Masing-masing pihak tak harus mengakhiri perpisahan dengan jothakan, apalagi gontok-gontokan. Pecahnya dwi tunggal, yang tempo hari kompak dalam kredo “Bersama Kita Bisa” ini, menurut Mas Celathu, mengukir sejarah demokrasi modern. Lahir Kesejukan
“Nah,..gitu dong. Rakyat pasti akan mengenang keduanya sebagai negarawan. Bukan politikus yang rakus kekuasaan. Biasanya hanya petualang politik yang nggak bisa berhati dingin. Nggak siap kalah, nggak siap berbeda pendapat dan jika ternyata kalah dalam kompetisi, lalu ngamuk dan mengancam”, kata Mas Celathu mengobral pujian.
Maksud tentang kedewasaan berpolitik yang ditunjukkan para kandidat yang akan bertarung dalam pilpres 2009.
“Emang sampeyan dibayar berapa ta, kok memujinya sampai mumpluk berbusa-busa?” sergah Mbakyu Celathu dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
sinis. “Husss!!! Jangan apriori ya. Kalau memang tindakan dan kebijaksanaannya bagus, ya harus dipuji. Sekali waktu kan boleh juga saya tidak mengritik.” “Mbellgedhes. Saya sudah hafal sama sifat sampeyan. Kalau lagi ada maunya pasti ngobral pujian. Hayooo...ngaku ndak? Sampeyan kan selalu kasih pujian gombal sama saya, kalau malam hari klesat-kleset nggak bisa tidur? Iya apa iya?”
“He he he itu kan “proposal” sebagai penggan-ti obat tidur,” jawab Mas Celathu sekenanya, sam-bil ketawa cekakakan.
Memang sudah jadi ciri-wanci, setiap punya maksud terselubung Mas Celathu selalu bermurah hati tebar pesona. Yang paling sering ya ngobral pujian itu. Bukan saja kepada bininya tetapi juga kepada ketiga anaknya.
Namun, ini kali, pujian kepada negarawan itu sangatlah serius. Bukan sekadar kembang lambe. Meski diam-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
diam Mas Celathu tak menyukai partai Pak SBY lantaran partai itu menyetujui disahkannya UU Pornografi dan karenanya ia tak memilihnya, Mas Celathu tetap angkat topi atas sikap politiknya yang menjunjung etika demokrasi. Di musim Pemilu yang tegang dan dibayangi aneka ancaman yang mengerikan, tentu saja dibu-tuhkan kedewasaan berpolitik. Biar lahir kesejukan. Rakyat yang hidupnya konsisten susah, hendaknya jangan lagi dibebani dengan hal-hal yang tak berguna.
Maksud berkaitan dengan kedewasaan berpolitk dalam menyikapi setiap masalah.
Melakukan Perselingkuhan
Mas Celathu kadang tak habis pikir, apa diki-ranya rakyat bisa langsung makmur jika para pemimpin partai sibuk membangun koalisi? Kapan sih nasib rakyat bener-bener diperhatikan, mengingat biasanya rakyat hanya disapa dan diperhitungkan eksistensinya saat Pemilu saja?
Detil berkaitan tentang koalisi partai politik hanya sebatas begi-bagi kekuasaan. Belum sepenuhnya memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Jangankan kepada rayat kecil. Bahkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
kepada caleg-calegnya yang gagal memanen suara dan kemudian mereka terancam kena gangguan jiwa karena menyangga timbunan utang dan beban psikologis, apakah partai tetap peduli? Kayaknya begitulah yang terjadi. Kemarin saat hura-hura Pemilu Legislatif, mereka yang rela memamerkan narsisnya di pohon-pohon dan baliho, dieluk-elukan sebagai pejuang yang bertarung. Mereka seakan-akan aset partai. Tapi ketika seka-rang tersungkur sebagai pecundang, nasib tragis itu dianggap sebagai perkara pribadi dan harus ditanggung sendirian. Sungguh, ngenes banget nasibmu wahai para caleg gagal.
“Makanya harus hati-hati bermain politik. Jika nggak siap lahir batin, mendingan nggak usah ikutan. Menjadi politisi itu panggilan jiwa dan harus siap berkorban. Bukan untuk cari keuntungan,” kata Mbakyu
Maksud tentang kesiapan mental dalam berpolitik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
Celathu mengingatkan, sambil meneruskan dengan sinis. “Termasuk omongan yang tadi sampean puja-puji itu, saya kok nggak percaya.” “Lho bukannya omongan Pak SBY itu bagus?”
“Memang bagus. Tapi apa ya masuk akal?”
Mbakyu Celathu lalu berterusterang kepada suaminya. Rupanya dia meragukan janji “.bercerai tapi tetap rukun.” Baginya, itu nggak masuk akal.
Dalam duet kepemimpinan selama enam bulan mendatang, Mbakyu Celathu memperkirakan, pasti bakal terjadi rebutan pengaruh. Tugas-tugas kenegaraan dibayangkannya akan dimanfaatkan untuk tebar pesona. Masing-masing diduga tak kompak lagi, karena keduanya menggembol kepentingan sendiri-sendiri. La wong sudah pegatan kok masih tidur satu ranjang?
Stilistik menggunakan unkapan “tebar pesona”
Jika pasangan presiden dan capres
Retoris “suami – isteri”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
diibaratkan pasangan suami istri, apa ya bisa dibenarkan dalam perjalanan waktu yang enam bulan ini, masing-masing pasangan melakukan perselingkuhan? Bukankah hari-hari mendatang akan diwarnai kesibukan Pak SBY dan Jusuf Kalla cari pasangan baru sebagai Wapres. Masih jadi “suami-isteri” kok bisa-bisanya berselingkuh secara terang-terangan, piye jal?
menggambarkan pasangan SBY Jusuf Kalla dalam hal ini pasangan presiden dan wakil presiden.
“Jika demokrasi membenarkan perselingkuhan, saya minta dengan hormat sampeyan jangan lagi mempersamakan kehidupan bernegara sama serupa dengan kehidupan rumah tangga. Nanti sampeyan pasti ikutan berselingkuh cari gandengan lain dengan sembunyi di balik demokrasi. Ooooaaseeemm tenan,” omel Mbakyu Celathu seraya ngeloyor pergi meninggalkan Mas Celathu yang bengong sambil garuk-garuk kepala.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
Tabel 9 Kolom Celathu Butet “Melawan Lupa”
Artikel 7 Tematik Skematik Semantik Sintaksis Stilistik Retoris Melawan Lupa Judul Kini ritual pagi yang dilakukan Mas Celathu bertambah, Bukan hanya minum teh nasgitel, baca koran, menyantap camilan lalu nongkrong di kloset. tapi dia juga diwajibkan meneguk jamu godokan. Mbakyu Celathu yang bikin. Yaitu, rebusan daun sirih untuk mengusir aroma busuk yang disemburkan tubuh.
“Kalau nggak minum sirih, keringat sampean baunya mak breeeng. Yang punya badan sih nggak bisa merasakan. Tapi yang berpapasan bisa semaput. Awas, jangan nggak diminum ya,” ujar Mbakyu Celathu sembil menyodorkan segelas ramuan lain.
Memang, keluarga Celathu sangat mempercayai khasiat jamu tradisional. Warisan leluhur yang bahan bakunya mudah didapat dan murah lagi –
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
diyakini memiliki khasiat yang tak terkalahkan dibanding obat kimia olahan farmasi modern. Tesisnya sederhana, kakek moyang bangsa ini nyatanya dikenal sebagai manusia tangguh, fisiknya gagah perkasa, - meski pada masa itu tidak nguntal suplemen dan vitamin bikinan pabrik. Mas dan Mbakyu Celathu percaya, jamu itu produk kebudayan yang telah teruji oleh waktu. Setiap masyarakat pasti memiliki naluri dan kearifan dalam mengelola kesehatannya. Selalu ada kecerdasan dalam perkara merawat kesehatan dan cari kesembuhan. Alam memang selalu memberikan perimbangan bagi makhluk yang menghuninya. Ada racun, pasti ada penagkalnya. Ada penyakit, pasti ada jamunya.
“Lha ini jamu apa lagi?” tanya Mas Celathu ketika disodori segelas jamu berikutnya
“Ini godokan daun pegagan. Biar sampean
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
tidak cepat pikun. Khasiatnya sangat jos untuk orang berumur yang mulai gampang lupa. “Asem ki. Memangnya aku sudah pikun. Jangan ngece ya. Aku itu pemain tonil je. Masih mampu menghafal puluhan halaman naskah sandiwara, kok dianggap pelupa?” jawabnya dengan jumawa, seakan usia bisa diajak kompromi dengan kekuatan tubuhnya.
Diacungi Jempol
Mbakyu Celathu tak berminat melayani debat. Apalagi pedebatan kusir lawan suaminya yang seringnya mau menang sendiri. Ngeyel-nya poI. Mbakyu lebih suka meneruskan nyerocos soal kesaktian daun pegagan yang tumbuhannya kerap dijumpai di padang rumput, pinggir selokan dan pematang sawah. Konon, lanjutnya, daun yang nama ilmiah Cantella asiatical ini telah lama dimanfaatkan sebagai obat tradisional,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
berkhasiat memperlancar peredaran darah dan meningkatkan syaraf memori “Sampeyan memang belum bisa dikategorikan pikun. Mungkin baru pikun stadium awal. Ngaku aja, sampeyan kan sering lupa mengingat nama orang? Lha wong nomer handphoneku aja nggak hafal, kok ngaku punya memori hebat,” lanjut Mbakyu dengan nada sinis.
Harus diakui, ikhtiar Mbakyu Celathu merawat, menjaga dan memulihkan daya ingat suaminya memang pantas diacungi jempol. Dia tak ingin suaminya mengidap penyakit lupa. Kalau tidak segera diatasi, tentu akan membahayakan kehidupan rumah tangganya. Apa jadinya jika lupanya kebablasan, misalnya Mas Celathu lupa kalau dirinya sudah beranak-istri? Kan bisa berabe. Kenakalannya pasti bakalan liar tak terkendali.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
Ke mana-mana tebar pesona sambil memasang jebakan tikus dengan sasaran mahasiswi. Amit-amit deh. Menurut Mbakyu Celathu, penyakit lupa tak boleh disepelekan. Apalagi di hari-hari, seperti sekarang, yang membutuhkan kesungguhan dan kecermatan saat orang akan memilih calon pemimpin bangsa. Cuma sayangnya, orang cenderung mere-mehkan penyakit begituan. Kebiasaan lupa yang sering hinggap di otak semua orang, dipahami sebagai keniscayaan.
Latar berkaitan dengan penyakit lupa yang selama ini menghin-ggapi orang khususnya politisi.
Ada yang sengaja lupa sebagai siasat untak mendapatkan kemenangan. Ada yang sengaja melupakan masa lalunya yang kelam, demi memanipulasi riwayatnya yang kotor. Malah terkadang ada pihak-pihak ter-tentu yang secara sengaja dan sistemik menyelenggarakan “lupa” koleketif. Masyarakat disihir menjadi masyarakat lupa
Tematik tentang pentingnya melawan lupa.
Gagasan utama tentang pentingnya melawan lupa.
Detil berkaitan dengan penyakit lupa yang menjalar dimasyarakat sehingga masyarakat tidak mempunyai kekuatan melawan lupa.
Stilistik “lupa kolektif” untuk menggambarkan gejala lupa yang dialami seluruh rakyat maupun para politisi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
dengan digelontor iklan-iklan politik yang full iming-iming. Dan kemudian masyarakat tak lagi punya kekuatan melawan lupa. Sulit membedakan mana emas dan mana loyang. Mana kelinci yang jinak dan serigala yang galak. Saling Rangkulan
Mas Celathu jadinya teringat lukisan kaca tradisional from Muntilan bergambar Petruk yang dengan congkak memegang botol bir, duduk mekangkang di kursi sambil memangku wanita. Dalam lukisan itu tertulis pesan keatif “Melik Ngendhong Lali”. Artinya, kekuasaan selalu disertai.lupa. Rupanya, gemebyarnya kursi kekuasaan yang sangat menyilaukan membuat orang gampang lupa sejarah. Juga lupa pada dirinya sendiri. Para leluhur sudah wanti-wanti tentang hal ini. Tapi, apalah artinya sebuah lukisan kaca ditengah hiruk
Retoris “melik nggendong lali” Kekuasaan membuat orang gampang lupa. menyindir para politisi yang setelah memegang jabatan lupa terhadap janji-janji yang pernah ucapkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
pikuk para politikus yang belakangan pada sibuk membangun koalisi? Melihat itu semua Mas Celathu laksana menyaksikan para Petruk, yang demi kekuasaan mereka berani melupakan sejarah. Dulu, ada partai yang diganyang kekuatan bersenjata. Korban berjatuhan. Ada yang cacat, bahkan gugur demi membela kehormatan partainya. Tapi sekarang? Antara yang diganyang dan mengganyang, saling rangkulan dengan mesra.
Detil mengenai penyakit lupa yang dialami oleh elit partai politik.
Koherensi pembanding untuk membandingkan penyakit lupa yang dialami masyarakat sama yang dialami oleh petruk.
Sunggh tak terbayangkan bagaimana perasaana para syuhada yang dulu berkorban itu? Kok tega-teganya sebuah koalisi menari-nari di atas genangan darah, yang jika diibaratkan, bau amisnya pun masih tercium sampai hari ini. Begitulah, jika politik hanya dimaknai rebutan kursi kekausaan
“Makanya, sekarang diminum tuh jamu pegaganya. Biar daya ingat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
sampeyan tetap kuat. Di eling-eling dulu kayak apa sejarah capres itu. Dulunya jahat atau tidak? Pernah jadi penculik atau pembunuh atau memang orang suci? Kalau sampeyan sudah lupa permanen, ya nanti pasti keliru kalau nyontreng milih presiden,” nasihat Mbakyu Celathu Welhadallah, trembelane. Mas Celathu tidak menduga omongan bininya jadi politik banget. Padahal tadinya dia cuma bicara soal kasiat jamu tradisional. Lagian, kesediaan Mas CeIathu mimik jamu pegagan, benar-benar dibutuhkan untuk mengingat-ingat nama temannya yang seabrek. Mas Celathu tak ingin ada teman yang terlewatkan diundang ketika, misalnya, suatu saat nanti ia punya hajatan. Soalnya yang dibutuhkan Mas Celathu hanya teman yang sejati. Bukan sekedar teman hasil koalisi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
3.2. Analisis Data
Berikut akan dibahas mengenai hasil penyajian data dari artikel opini
mengenai kepemimpinan selama periode April 2008 sampai Mei 2009. Telah
dijelaskan sebelumnya bahwa dalam penelitian ini menggunakan metode analisis
wacana van Dijk yang lebih dikenal dengan pendekatan kognisi sosial. van Dijk
menyadari bahwa faktor kognisi sebagai elemen penting dalam produksi sebuah
wacana. Wacana dipahami tidak hanya dari struktur wacana itu sendiri, melainkan
juga menyertakan bagaimana wacana diproduksi. Dan produksi wacana tidak
lepas dari apa yang disebut van Dijk sebagai kognisi sosial.82 Terdapat tiga
dimensi dalam kongnisi social berkaitan dengan analisis wacana yang
dikembangkan oleh van Dijk yakni struktur teks, kognisi social dan konteks
social. Ketiganya menjadi bagian yang terintegrasi dalam produksi sebuah
wacana.
Namun dalam penelitian ini, uraian dan analisis mengenai wacana
kepemimpinan nasional pada momen Pilpres 2009 hanya terfokus pada dua
dimensi analisis yakni analisis pada struktur bahasa dan analisis sosial, tidak
memasukan analisis kognisi sosial penulis kolom tersebut.
Untuk analisis struktur kebahasaan (teks) menggunakan metodologi van
Dijk yakni unit analisanya adalah struktur makro, superstruktur dan struktur
mikro. Dari hasil analisis struktur bahasa, penulis kemudian akan merumuskan
wacana apa yang berkembang dari artikel-artikel kolom dengan tema kepemipinan
nasional (Presiden dan Wakil Presiden).
82 Eriyanto, Ibid, hal. 221
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
Artikel kolom yang akan menjadi unit analisis adalah, “Risiko Pemimpin”
(06 April 2008), “Menyembah Rakyat” (31 Aguustus 2008), “Raja Nyapres” (02
November 2008), “Manuver ABS” (01 Februari 2009), “Berani Kalah” (19 April
2009), “Indahnya Perceraian” (26 April 2009), “Melawan Lupa” (03Mei 2009).
Dalam mengurai wacana dalam artikel-artikel opini tersebut, khususnya
berkaitan dengan struktur teks (kebahasaan), penulis akan menganalisis secara per
artikel opini. Artinya artikel-artikel opini akan dibahas satu persatu berdasarkan
pada metodologi analisis mulai dari struktur makro, superstruktur dan struktur
mikro. Walaupun dalam kolom-kolom yang dimuat tidak identik benar dalam hal
permasalahan, tetapi tiga kolom tersebut mempunyai benang merah sendiri-sendiri
yang menghubungkannya.
3.2.1. Analisis Struktur Teks
1. Teks kolom “Risiko Pemimpin”
a. Tematik
Elemen tematik menunjuk pada gambaran umum dari suatu teks. Elemen
ini juga bisa disebut sebagai gagasan inti, ringkasan yang menunjukkan konsep
dominan, sentral dan yang paling penting dalam suatu teks.83 Secara garis besar
tema dapat dipahami sebagai gambaran umum mengenai pendapat atau gagsan
yang disampaikan kepada orang, baik secara lisan maupun tulisan. Dalam sebuah
tema terdapat apa saja yang ingin dikatakan atau diungkapakan oleh penulis dalam
teks atau artikelnya. Oleh sebab itu untuk memahami elemen tematik dibutuhkan
pembacaan teks secara menyeluruh.
83 Eriyanto, Ibid, hal. 229
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
Berangkat dari pemahaman di atas, maka berdasarkan hasil amatan, tema
yang diangkat dalam kolom opini diatas adalah mengenai politik pencitraan. Tema
utama ini, dimaksudkan penulis untuk memperlihatkan kepada pembaca bahwa
strategi politik yang dibangun oleh para kandidat capres dan cawapres sekarang
ini kian mengukuhkan politik citra. Karena itulah politik diera mediasi
menggunakan trik, manajemen dan bahkan manipulasi citra untuk membentuk
persepsi publik atas suatu isu.
Pencitraan bermakna memberikan citra atau gambaran – dalam hal ini
tentu saja yang baik-baik. Sebagai usaha untuk menarik hati para calon pemilih,
para kandidat dan parpol akan memanfaatkan segala hal yang bisa menumbuhkan
pandangan positif pada diri pemilih terhadap mereka, baik itu segi penampilan,
gaya berbicara, kecerdasan dalam mengungkapkan pikiran, maupun kegiatan atau
hasil kerja yang sudah ada. Dengan berdandan sedemikian rupa, kandidat secara
pragmatis akan “memanipulasi diri” agar dikagumi oleh pemilih. Kalau seorang
kandidat capres atau cawapres mempunyai semua hal yang bisa dikemas,
berpenampilan meyakinkan, berotak cerdas, berbicara lugas dan jelas, sekaligus
menunjukkan hasil kerja yang baik, tentunya capres ini mempunyai nilai penuh di
mata calon pemilihnya.
Lebih dalam praktek tersebut, karena dengan sistem pemilihan presiden
secara langsung sekarang ini dukungan atau suara rakyat benar-benar
diperhitungkan. Politik citra bagi para calon tampaknya masih terus akan
digunakan dalam membangun basis politiknya, dan akhirnya memperoleh
dukungan yang luas dari rakyat. Dalam politik citra, kecakapan, kepemimpinan,
dan prestasi politik bukan sebuah keharusan. Gaya lebih dominan dari substansi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
citra lebih penting dari realitas, retorika lebih diutamakan ketimbang
intelektualitas. Berikut tema yang disampaikan penulis berkaitan dengan strategi
politik pencitraan yang dilakukan para politisi dalam hal ini para capres maupun
cawapres.
“Semua orang jadi tahu, di gedung bioskop para pemimpin sedang cari hiburan. Mas Celathu tidak tahu musti bagaimana. Apakah ikut gembira karena para pemimpin mulai peduli dan apresiatif atas kerja kebudayaan? Atau malah bersedih, kok ya tega-teganya para pemimpin pada tebar pesona pamer air mata, sementara untuk keterpurukan nasib rakyatnya mereka pelit mencucurkan air mata?”
Teks ini menggambarkan bagaimana penulis mencoba mengasosiasikan
strategi politik pencitraan yang dilakukan para capres maupun cawapres sebagai
tebar pesona. Dengan menggunakan istilah tebar pesona, penulis ingin
membangun kesadaran baru bagi pembaca, bahwa politik pencitraan yang
dimainkan oleh para tokoh politik di tengah kondisi bangsa dan negeri yang
sedang dilanda berbagai masalah ini, semata hanya untuk mendapatkan simpati
masyarakat. para kandidat capres yang berkompetisi dalam Pilpres 2009, masih
mengulang cara-cara yang sama pada pilpres 2004 silam, membangun strategi
politik yang hanya untuk mengukuhkan politik citra.
b. Skematik
Sebuah teks tersusun dan memiliki skema atau mata rantai dari awal
penulisan berupa pendahuluan sampai dengan akhir atau penutup. Elemen
skematik berhubungan dengan kerangka suatu teks. Teks atau wacana umumnya
mempunyai alur atau skema yang menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam
teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk satu kesatuan arti.84 Skematik
dihadirkan penulis sebagia strategi informasi untuk mendukung topik tertentu
84 Erianto, Ibid, hal. 232
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
melalui penyusunan urutan suatu teks. Skema suatu teks biasa ditunjukkan
melalui kerangka yang terbagi menjadi beberapa bagian separti pendahuluan, isi
dan penutup. Melalui hal tersebut komunikator dapat memberikan penekanan
terhadap suatu informasi yang hendak disampaikan kepada khalayak. Misalnya
penempatan informasi yang cukup penting dibagian awal dimaksudkan agar
tampak menonjol dibenak khalayak. Meski demikian setiap teks memiliki skema
berlainan satu sama lain.
Skema teks kolom opini dalam penelitian ini secara umum mirip dengan
skema teks pada umumnya. Namun demikian sebagai salah satu produk
jurnalistik, kolom opini memiliki skema berlainan dengan berita (news).
Perbedaan skematik antara artikel dengan berita terutama terlihat pada berita
berjenis straight news. Pasalnya straight news memiliki bentuk kerangka
penulisan tetap yang dikenal dengan sistem piramida terbalik. Sistem ini menuntut
penempatan inti tulisan atau bagian terpenting dari suatu teks diawal yakni pada
judul dan lead. Untuk selanjutnya diikuti dengan isi berita secara keseluruhan.
Secara singkat dapat dipahami skematik straight news diawali dengan tulisan yang
paling penting menuju tidak penting.
Judul merupakan elemen penting yang menunjukkan tema yang ingin
ditampilkan oleh penulis dalam teks opininya. Dalam teks ini judul yang diangkat
cukup menarik, yaitu, “Risiko Pemimpin”. Judul tersebut telah menunjukkan apa
tema besar yang diangkat dalam teks, yaitu mengenai resiko yang diterima
menjadi pemimpin publik.
Pada isi secara keseluruhan, disusun bagian-bagian tertentu untuk
mendukung topik utama berkaitan denga politik pencitraan. Informasi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
disampaikan pertama kali adalah mengenai adanya indikasi pemimpin yang
memanfaatkan agenda kegiatan protokoler mereka dimanfaatkan untuk
membangun pencitraan. Selanjutnya ditengah tulisan gagasan yang disampaikan
penulis adalah mengenai kecenderungan para pemimpin untuk merubah citra.
Sementara di akhir tulisan, penulis menegaskan bahwa kampanye adalah ajang
mengumbar janji politik para politisi yang belum tentu terealisasikan apabila
jabatan itu telah diembannya. Penempatan gagasan utama di awal tulisan terlihat
dari upaya penulis untuk mendukung makna umum yang disampaikan pada judul
artikel opini “Risiko Pemimpin”.
c. Semantik
Semantik dikategorikan sebagai makna lokal dalam sebuah teks. Makna
lokal adalah makna yang muncul dari hubungan antar kalimat, hubungan antar
proposisi yang membangun makna tertentu dalam suatu konstruksi teks.85 Elemen
semantik digunakan untuk membangun makna tertentu dalam suatu bagungunan
teks. Semantik tidak hanya mendefinisikan bagian yang penting dari struktur
wacana melainkan menggiring ke arah sisi tertentu suatu peristiwa. Elemen
semantik antara lain berupa latar, detil dan maksud. Latar adalah bagian pesan
yang dapat mempengaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan. Kedua, Detail
adalah elemen wacana yang berhubungan dengan kontrol informasi yang
ditampilkan seseorang. Ketiga, Maksud adalah elemen wacana yang hampir sama
dengan elemen detil. Dalam detil, informasi yang menguntungkan komunikator
akan diuraikan dengan detil panjang. Elemen maksud melihat informasi yang
menguntungkan komunikator akan selalu diuraikan secara eksplisit dan jelas.
85 Alex Sobur, Ibid, hal. 78
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
Latar yang ingin disampaikan penulis dalam kolom opini untuk
mendukung strategi politik pencitraan adalah sebagai berikut:
“Ditengah keprihatinan bangsanya yang memanen “prestasi”, yaitu berhasil meningkatkan jumlah orang mati karena kelaparan dan meningginya jumlah orang bunuh diri lantaran tekanan ekonomi, para pemimpin berbondong-bondong nonton film nasional. Nonton rame-rame dan diliput media massa.” Kutipan diatas menekankan pada latar peristiwa. Penggunaan latar
peristiwa dimaksudkan penulis, sebagai penegasan bahwa tindakan atau peristiwa
merupakan momentum untuk merebut simpati rakyat. sekecil apapun kesempatan
secara cerdas dimanfaatkan para calon pemimpin untuk memoles citra guna
mendapatkan perhatian publik. Dengan segala sumber daya dan kemampuan yang
dimiliki segala carapun ditempuh. Salah satu cara yang ditempuh adalah
memanfaatkan media massa.
Alasan menggunakan media massa bukan secara kebetulan, hubungan
antara media dengan politisi atau pemerintah sudah berjalan sekian lama, bukan
saja karena wartawan membutuhkan politisi sebagai sumber informasi, tetapi juga
para politisi maupun pejabat pemerintah memerlukan media untuk menyampaikan
pikiran-pikiranya maupun kebijakan yang mereka ambil untuk kepentingan orang
banyak. Apa yang sedang dipamerkan di semua media dari televisi hingga media
cetak mengenai sosok mereka selalu ditampilkan dengan gaya dan polesan yang
baik-baik.
Bagi penulis tindakan tersebut menunjukkan bahwa semata-mata tindakan
tersebut adalah untuk mendongkrak popularitas. Politisi memerlukan popularitas,
namun polpularitas bukanlah segalanya. Ada hubungan antara popularitas dengan
politik pencitraan. Mengingat pemimpin selalu ingin tampil populer dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
cenderung memperkuat pencitraan pribadi dan organisasi yang dipimpinnya.
Tokoh memang perlu populer, tetapi popularitas semata tidak cukup. Tokoh
ataupun politisi yang populer tidak otomatis disukai dan dipilih. Popularitas tidak
selalu berbanding lurus dengan elektabilitas.
Berikut elemen detail yang disampaikan penulis dalam teks kolom opini:
“Memang nggak ada yang salah, kalau peristiwa nonton film itu juga diperlakukan sebagai peristiwa biasa. Nggak usah diliput media massa. Nggak usah diikuti protokol kenegaraan. Begitu diliput dan protokoler, jadinya sangat politis. Gampang dicurigai sedang tebar pesona, “sergah Mas Celathu sengit.” Dari kutipan diatas terlihat secara eksplisit, penulis ingin menyampaikan
informasi tentang fenomena tebar pesona yang dilakukan para politisi berkaitan
dengan politik pencitraan yang ditampilkan di media massa. Dengan
pengungkapan secara detail ini, penulis ingin memberi kesan negatif terhadap
sikap dan perilaku para pemimpin, mengingat masih banyaknya tugas yang jauh
lebih penting untuk dikerjakan terutama permasalahan yang menyangkut
kesejahteraan rakyat yang masih memerlukan penanganan yang serius dari para
pemimpin maupun calon pemimpin.
Penulis menegaskan bahwa hendaknya para pemimpin tidak terjebak
terhadap hal-hal dalam membangun kekuasaan dengan permainan citra, karena
kesan atau tanggapan positif dari rakyat tidak lagi dinilai dari polesan citra yang
ditampilkan melainkan dari sejauh mana ide dan pemikirannya dalam membawa
perubahan bagi kehidupan rakyatnya.
Dalam elemen maksud, penulis menjelaskan secara eksplisit bahwa
pemimpin hendaknya tetap bersikap wajar dan apa adanya sebagai sosok seorang
manusia biasa tidak perlu berlebihan dalam merubah tampilan luar dalam tingkah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
laku sehari-hari maupun dalam merebutkan kekuasaan. Kedekatan dengan
rakyatnya serta mengetahui permasalahan yang dihadapi kemampuan berempati
terhadap keadaan sosial orang-orang di sekelilingnya atau rakyat yang
dipimpinnya.
Tak heran jika akhirnya masalah-masalah yang membelit bangsa ini jadi
bertumpuk dan tidak pernah diselesaikan. Sebab, kepemimpinan yang ada hanya
sibuk membangun benteng kekuasaan dengan permainan citra. Semua masalah
bangsa diselesaikan dengan retorika, iklan di media massa. Persis seperti seorang
remaja yang mendempul wajahnya dengan bedak tebal guna menutupi bopeng
bekas jerawat. Wajahnya terlihat mulus memang. Tapi, bopeng di wajahnya masih
tetap ada. Berikut kutipannya:
“Makanya, kalau sudah jadi pemimpin jangan salin serengat. Jangan mengubah kebiasaan. Nggak usah sok feodal. Rileks sajalah, supaya tetap jadi manusaia biasa. Dan bisa nonton film tanpa bikin perkara,” kata Mas Celathu, masih sinis.”
d. Sintaksis
Sintaksis adalah elemen analisis, secara umum digunakan dalam
menampilkan diri secara positif dengan menggunakan kalimat.86 Sintaksis terdiri
dari, pertama, koherensi adalah pertalian atau jalinan antar kata atau kalimat
dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat
dihubungkan sehingga tampak koheren. Kedua, bentuk kalimat merupakan segi
sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis yakni dengan prinsip
kausalitas. Ketiga, kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa
dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat yang
86 Alex Sobur, Ibid, hal. 80
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam
wacana.
“Mbelgedhes. Lha wong nyatanya Gus Dur bisa. Sewaktu jadi presiden, aturan protokoler yang feodalistik dia babat. Saya merasakan dialah pemimpin yang bukan setengah dewa. Tapi benar-benar manusia.”
Penggunaan kata ganti “saya” dalam teks di atas bermakna bahwa penulis
ingin menegaskan opini yang disampaikan merupakan sikap pribadi penulis.
Dengan penggunaan kata “saya”, kita dapat melihat bahwa pendapat dalam tulisan
ini hanya mewakili personal penulis, tidak melibatkan pendapat publik.
e. Stilistik
Bagian dari stilistik adalah leksikon. Leksikon adalah elemen yang
menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai
kemungkinan kata yang tersedia87. Dalam artikel opini ini penggunaan leksikon
terdapat pada beberapa kalimat. Berikut kutipannya :
Ditengah keprihatinan bangsanya yang memanen “prestasi”, yaitu berhasil meningkatkan jumlah orang mati karena kelaparan dan meningginya jumlah orang bunuh diri lantaran tekanan ekonomi, para pemimpin berbondong-bondong nonton film nasional. Nonton rame-rame dan diliput media massa. Kata “prestasi” memiliki arti hasil dari apa yang dicapai dari apa yang
dikerjakan atau diusahakan.88 Pemilihan kata prestasi ini dimaksudkan penulis
bermakna negatif, yaitu untuk menyindir terhadap kinerja pemerintah belum
berhasil mengurangi angka kemiskinan secara signifikan, sebuah kondisi yang
ironis dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia. Letak keironian adalah
bahwa pencitraan para pemimpin itu dilakukan ditengah persoalan kemiskinan
yang masih melilit kehidupan mayoritas rakyat Indonesia
87 Eriyanto, Ibid, hal 255. 88 Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1994
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
Elemen leksikon juga terdapat pada kalimat di bawah ini:
“Memang nggak ada yang salah, kalau peristiwa nonton film itu juga diperlakukan sebagai peristiwa biasa. Nggak usah diliput media massa. Nggak usah diikuti protokol kenegaraan. Begitu diliput dan protokoler, jadinya sangat politis. Gampang dicurigai sedang tebar pesona, “sergah Mas Celathu sengit. Frasa “tebar pesona” kata “tebar” merupakan kata dasar dari kata kerja
menebar atau menebarkan89 sedangkan kata “pesona” berarti daya tarik.90
Penggunaan kata ini merujuk pada sebuah tindakan. Dimana tindakan
menampilkan daya pikat dari para elit politik untuk mendapatkan simpati maupun
perhatian dari khalayak untuk tujuan politik yang hendak dicapai. Dalam konteks
inilah untuk mendulang simpati mayoritas masyarakat, seorang politisi pasti
melakukan politik tebar pesona baik melaui ucapan maupun tindakan mereka.
Menjelang hajatan pesta demokrasi, politisi yang ingin mencalonkan
sebagai calon presiden pastilah terjadi kompetisi politik tebar pesona yang sangat
terbuka. Realitas itu justru menunjukkan sikap tidak dewasa dengan
mengeksploitasi agenda dan kegiatan yang tidak substansial bagi kepentingan
kerakyatan dan kebangsaan secara universal. Di tengah masyarakat yang semakin
kritis dan dewasa dalam berpolitik, keberadaan politik tebar pesona tidak memiliki
fungsi signifikan untuk mendulang simpati dan mendongkrak popularitas.
Kalimat leksikon lainnya terdapat juga pada kutipan berikut:
“Makanya, kalau sudah jadi pemimpin jangan salin serengat. Jangan mengubah kebiasaan. Nggak usah sok feodal. Rileks sajalah, supaya tetap jadi manusaia biasa. Dan bisa nonton film tanpa bikin perkara,” kata Mas Celathu, masih sinis.”
Ungkapan “salin serengat” merupakan ungkapan dalam bahasa jawa yang
berarti berubah sifat dan kebiasaanya, dimaksudkan penulis untuk
89 Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1994 90 Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1994
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
menggambarkan suatu keadaan para calon pemimpi yang gemar merubah sifat
dan kebiasan guna mendapatkan simpati dari para masyarakat.
“Mbelgedhes. Lha wong nyatanya Gus Dur bisa. Sewaktu jadi presiden, aturan protokoler yang feodalistik dia babat. Saya merasakan dialah pemimpin yang bukan setengah dewa. Tapi benar-benar manusia.”
Dalam bahasa Jawa, ungkapan mbelgedhes merupakan ungkapan dari
sebuah ketidakpercayaan terhadap realitas yang sesungguhnya, politik yang
sesungguhnya suci telah ternodai oleh para pelakunya.
f. Retoris
Retoris berkaitan dengan gaya bahasa, ditandai dengan penggunaan
kiasan, ungkapan atau metafora pada suatu teks yang memiliki fungsi persuasif.91
Penggunaan elemen retoris (metafora) dalam artikel opini dapat dilihat dari
kalimat berikut :
Bukankah di masa kampanye Pak SBY menjanjikan ada Menteri Kebudayaan? Dahsyat, ta? Bahwa nyatanya sekarang janji itu tidak kunjung diwujudkan, kita pun maklum. Karena janji kampanye memang seperti perut kembung yang bisa menghasilkan bunyi nyaring: duuuutttt!!!! Penggunaan kiasan duuuutttt!!!! Ini dimaksudkan penulis untuk memberi
kesan negatif bahwa para calon pemimpin terlalu banyak mengumbar janji-janji
surga saat kampanye dan karena hanya ingin untuk mendapatkan kekuasaanya
kembali lalu janji manis nan indah yang dikumandangkan waktu itu dilupakan
begitu saja, bahkan berusaha dikaburkan agar rakyat lupa. Hal itu oleh penulis
dianalogikan sebagai bunyi suara kentut. Kampanye klaim keberhasilan partai
mereka menjadi tidak memiliki makna dan pengaruh apa pun sehingga tidak perlu
dipertentangkan dan dijadikan komoditas politik secara terus menerus. Rakyat
91 Alex Sobur, Ibid, hal. 84.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
pada akhirnya pasti lebih mencintai tokoh yang terbukti banyak bekerja bagi
advokasi kerakyatan.
2. Teks kolom “Menyembah Rakyat”
a. Tematik
Dalam artikel opini ini tema yang diangkat masih berkaitan dengan politik
pencitraan. Sosok mereka selalu ditampilkan dengan gaya dan polesan yang baik-
baik. Imajinasi kekuasaan yang bergelayut di alam pikiran para calon pemimpin
dimanifestasikan dengan mengeksploitasi isu kemiskinan yang diderita sebagian
besar rakyat Indonesia. Mereka bermain dalam tataran simbolis dengan
menggunakan pendekatan kemanusiaan, yakni berasosiasi dengan komunitas
masyarakat miskin guna menunjukkan jiwa populis dan merakyat. Memang dari
sisi kompetisi politik merupakan sesuatu yang wajar dan sah-sah saja, tetapi dari
sudut penguatan dan keberlangsungan demokrasi di negeri ini, merupakan sebuah
preseden buruk, untuk tidak dikatakan menghancurkan pondasi demokrasi itu
sendiri.
Bagi penulis politik pencitraan, hanya melahirkan sesuatu yang tidak
diharapkan serta dalam substansinya hanya melahirkan kekecewaan. Karena
rakyat berharap banyak pada para calon pemimpin, sebagaimana janji pencitraan
yang mereka lakukan pada saat kampanye. Setiap harapan yang tidak terwujud
akan berdampak pada menurunnya tingkat kepercayaan khalayak terhadap
pemimpin tersebut.
“Sekali saja citra kedermawanan itu diingkari – mungkin sedang “kanker” alias kantung kering – maka harapan khalayak akan ambyar. Saat itulah mungkin anda dipersalahkan. Bisa-bisa malah dikutuk. Itulah repotnya bermain politik citra.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
b. Skematik
Skema atau alur menunjukan bagaimana bagian-bagian teks diatur,
disusun dan diposisikan sehingga membentuk kesatuan makna. Tentu maksud
penyusunannya teks berkaitan dengan wacana apa yang ingin ditampikan oleh
penulis.
Judul yang diangkat dalam kolom opini ini adalah “Menyembah Rakyat”.
Judul tersebut sangat atraktif serta menarik perhatian. Pemakaian judul ini terkait
dengan tema politik pencitraan, bahwa pencitraan yang dikembangkan para elit
politik adalah menarik simpati publik pada saat pemilu kembali dipertuankan.
Berikutnya fakta yang disusun, pertama-tama dalam teks ini adalah ulasan
mengenai citra yang telah terbentuk pada diri seseorang hendaknya mencerminkan
kondisi sebenarnya pribadi tersebut, citra yang dibuat-buat akan melahirkan suatu
kepalsuan. Selanjutnya di tengah tulisan gagasan yang disampaikan penulis
mengenai sikap para politisi yang merubah image mereka menjelang pesta
demokrasi digunakan sebagai siasat untuk mendulang simpati publik. Dalam
gagasan ini, penulis menyampaikan hal negatif berhubungan dengan politik citra
dari para politisi yaitu diragukannya ketulusan dan kejujuran karena tampil
dengan penuh polesan akan melahirkan kepalsuan dan kebohongan. Alih-alih
mendapat dukungan atau simpati rakyat, rakyat justru paham bahwa mereka hanya
dijadikan komoditas untuk mendongkrak popularitas segelintir elite politik yang
haus akan kekuasaan. Sementara di akhir tulisan, penulis menyampaikan gagasan
tentang kesadaran rakyat dalam menyikapi fenomena politik pencitraan para elite
politik. Penempatan gagasan utama di awal tulisan terlihat dari upaya penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
untuk mendukung makna umum yang disampaikan pada judul kolom opini
“Menyembah Rakyat”.
c. Semantik
Elemen semantik terdiri dari pertama, latar adalah bagian pesan yang dapat
mempengaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan. Kedua, adalah elemen
wacana yang berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang.
Ketiga, Maksud adalah elemen wacana yang hampir sama dengan elemen detil.
Dalam detil, informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan dengan
detil panjang. Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan
komunikator akan selalu diuraikan secara eksplisit dan jelas.
Pada teks dibawah ini penulis menggunakan latar tentang pembentukan
politik pencitraan. Politik pencitraan yang kita harapkan adalah politik pencitraan
sejati bukan pencitraan yang semu atau dibuat-buat.
Kalau saja anda mencitrakan sebagai dermawan, dan orang mempercayai anda bener-bener pemurah yang rajin nyoh-nyoh-nyoh, maka jangan sekali-kali berlaku pelit kepada siapa pun. Sebenarnya bukan tanpa alasan kenapa penulis ingin menunjukkan
harapan rakyat. Sebab politisi janganlah mengada-ada atau berbohong agar
terkesan atau terlihat hebat di mata rakyat. Karena rakyat sudah semakin pintar.
Tidak bisa dibohongi lagi oleh politik pencitraan semu yang penuh kebohongan
dan kepalsuan. Rakyat pastinya mengharapkan para politisi pelaku pencitraan
semu tidak akan terpilih menjadi pemimpin mereka. Karena apabila mereka
terpilih, maka orientasi kerja mereka adalah kepentingan pribadi atau
golongannya saja. Rakyat yang telah berhasil ia tipu dan perdaya pasti akan
ditinggalkan dan dilupakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
Berikut elemen detail yang ingin disampaikan penulis menyikapi tindakan
presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu menegur dan
membentak tiga pejabat negara yang asyik mengobrol. Ia tersinggung para pejabat
itu tidak serius mendengarkan ucapannya.92 Kejadian ini merupakan hal biasa,
namun bila yang marah adalah seorang Presiden RI dan diwartakan berbagai
media, efek politiknya tentunya akan amat besar. Tak pelak kejadian tersebut
menjadi sorotan berita di berbagai media massa dan menjadi perbincangan
dimasyarakat. Citra yang melekat pada diri seorang presiden Susilo Bambang
Yudhoyono adalah sosok seorang yang ramah sopan dan santun serta berwibawa
berubah seketika itu. Terlepas benar atau salah tindakan memarahi tersebut, kita
hendaknya menyadari bahwa presiden adalah seorang manusia biasa yang juga
bias tersinggung dan marah, meskipun citra yang ditampilkan selama ini jauh dari
kesan sebagai seorang suka marah.
“Begitu pun seumpama anda terlanjur dicitrakan sebagai penyabar dan selalu berpenampilan cool dan calm, maka khalayak akan terkaget-kaget tatkala ada mengeluarkan suing amarah. Padahal apa sih salahnya orang marah? Itu kan manusiawi banget? Khalayak agaknya belum bisa menerima kenyataan jika citra yang dipersepsikan tak terpenuhi dan karena itulah Mbakyu Celathu tiba-tiba sok kritis dan ambil keputusan ganjil. Mas Celathu harus merubah gaya penampilannya.” Detil lain yang disampaikan penulis meskipun tidak secara eksplisit yakni
disajikan dalam bentuk dialog, namun tidak mengurangi arti yang hendak
disampaikan dan dari kutipan tersebut penulis menyampaikan kepada pembaca
bahwa para politisi hendaknya tetap menjadi diri mereka sendiri dan tetap
berperilaku wajar tanpa harus merubah segala tampilan secara berlebihan. Justru
dengan tampil apa adanya seseorang akan tulus dalam menjalani kehidupan. Hal
92 Presiden SBY Marah Lagi, Berita Utama Suara Merdeka, 29 Agustus 2008
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
ini penting dikarenakan ketika kelak terpilih akan berdampak pada ketulusan
dalam menjalankan tugas sebagai seorang pemimpin. seperti terdapat pada
kutipan di bawah ini :
“Memang, sulit baginya tampil menjadi bukan dirinya. Aslinya Mas Celathu memang selalu begitu. Dia selalu tampil lugas. Polos apa adanya. Seperti tak ada rahasia yang disembunyikan. Bahkan terkesan suka menggampangkan masalah.” Lebih lanjut dalam penuturkan detail yang lain penulis menyikapi politik
pencitraan akan berdampak buruk dan memunculkan masalah bagi yang
melakukanya.
“Jadi, kalau kali ini dia tak mau lagi menuruti permintaan istrinya, yaitu tampil beda diluar kebiasaanya, itu lantaran dia memang kesulitan nglakoninya. Tampil menjadi bukan dirinya, pasti melelahkan. Dan, lama-lama juga bakal ketahuan belangnya.” Dari detail diatas terungkap bahwa dampak yang ditimbulkan dari politik
pencitraan adalah para politisi akan tampil dengan penuh kepalsuan secara etis ini
merupakan bentuk kebohongan baik kepada dirinya sendiri dan kebohongan
kepada publik sehingga menutupi realitas yang sesungguhnya dan suatu saat citra
yang telah direkayasa di mana yang diutamakan adalah citra para elite yang selalu
bagus di mata rakyatnya, ketimbang bagaimana memberikan kesejahteraan yang
sesungguhnya buat rakyat. Apalagi dengan mayoritas rakyat Indonesia yang
memiliki kualifikasi pendidikan menengah ke bawah, menjadi sasaran empuk dari
polesan politik pencitraan tersebut. Memang dari sisi kompetisi politik merupakan
sesuatu yang wajar, tetapi dari sudut penguatan dan keberlangsungan tatanan
demokrasi di negeri ini, merupakan sebuah preseden buruk, yang akan
menghancurkan pondasi demokrasi itu sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
Selain elemen detail, penulis juga menggunakan elemen maksud sebagai
upaya untuk menyampaikan informasinya mengenai politik citra sebagai berikut:
“Suami istri ini agaknya masih tetap percaya, sesuatu yang tulus dan jujur jauh lebih mulia. Sementara sesuatu yang tampil penuh polesan, justru akan membahayakan karena cenderung melahirkan kepalsuan. Ujung-ujungnya menjadi kebohongan.” Dari paparan maksud diatas pentingnya nilai-nilai kejujuran dan ketulusan
masih dibutuhkan. Terutama dalam bidang politik, karena jika pertarungan
perebutan kekuasaan itu oleh para politisi yang mengedepankan politik pencitraan
maka politik kecakapan, kepemimpinan, dan prestasi politik bukan sebuah
keharusan. Gaya lebih dominan dari substansi, citra lebih penting dari realitas, dan
retorika lebih diutamakan ketimbang intelektualitas. Penulis kemudian
menegaskan bahwa semua itu dilakukan sebagai upaya untuk mendongkrak
polpularitas semata, yang berdampak pada perhatian maupun simpati dari
masyarakat.
“Slogan-slogan dan puja-puji akan bertaburan dilangit Indonesia. Semua akan tampil serba indah dan rakyat kecil kembali akan dipertuankan.” Latar diatas sebagai gambaran menguatnya penggunaan politik citra
terutama pada saat musim kampaye. Untuk mendulang simpati mayoritas
masyarakat, seorang politisi pasti melakukan politik citra dengan mengobral
berbagai rayuan dan janji-janji. Demi kepentingan itu, tebar pesona adalah sebuah
kewajaran dan keniscayaan politik selama dilakukan secara rasional, faktual dan
obyektif sebagai strategi demi menjaring simpati masyarakat.
Politik citra tidak dapat berfungsi efektif jika tidak diikuti dengan kinerja
nyata yang bisa dilihat dan dirasakan masyarakat secara langsung. Dalam
masyarakat yang semakin dewasa dalam berpolitik pasti lebih melihat bukti dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
prestasi kerja nyata daripada janji-janji politik yang ditebar secara dramatis dan
eksploitatif. Penegasan itu tercermin dari maksud dibawah ini.
“Rakyat bukanlah sejenis keledai yang tiap lima tahun ikhlas dikibuli. Pastilah mereka bisa membedakan mana emas dan mana loyang. Mana yang beneran dan mana yang kadal-kadalan” Maksud dari cuplikan diatas menandakan bahwa di tengah masyarakat
yang semakin kritis dan dewasa dalam berpolitik, masyarakat sadar bahwa mereka
tidak rela hanya dijadikan alat mendulang suara dalam pemilu, dan setelah hajatan
lima tahunan itu selesai maka merekapun dilupakan kembali. Keberadaan politik
citra tidak memiliki fungsi signifikan untuk mendulang simpati dan mendongkrak
popularitas. Rakyat kini telah mandiri dan lebih cerdas dalam menentukan pilihan
politiknya yang didasarkan pengalaman nyata dalam hidupanya.
d. Sintaksis
Sintaksis terdiri dari beberapa aspek yakni koherensi, bentuk kalimat
maupun kata ganti pertama. Dalam kutipan di bawah berikut ini, penulis
menggunakan koherensi pembeda, untuk membandingkan antar posisi penulis
sebagai masyarakat dengan presiden SBY sebagai kepala negara
“Gayanya yang sok ramah dan cengegesan yang kerap dipamerkannya, rupanya disalahpahami sebagai ikhtiar tebar pesona. Mbakyu celathu yang belakangan emang mudah terbakar api cemburu, memang semangkin kritis. Tapi bukan itu yang menyebabkan dia mempertimbangkan penampilan suaminya. Melainkan, dia tak ingin suaminya dipersepsikan secara keliru, sebagaimana pekan lalu dialami Pak SBY.” Melalui upaya perbandingan secara jelas memperlihatkan bahwa tampil
apa adanya secara lugas tidak menjadikan beban pada diri kita sehingga bila kita
tiba-tiba berubah tabiat, akan menimbulkan presepsi yang berbeda dan
mengindikasikan ada maksud yang tersembunyi dari tindakan yang kita lakukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
Sementara koherensi yang lain penulis membandingkan tingkah laku para
politisi yang masih gemar memainkan politik citra tanpa kedalaman substansi
merupakan indikasi kurang adanya kedewasaan dalam berpolitik, maka penulis
membandingkan tingkah laku para politisi tersebut setara dengan taman kanak-
kanak adalah menunjukan bahwa para politisi masih harus banyak belajar dalam
beroplitik. Bahwa wajah demokrasi kita pada dasarnya merupakan potret kita
juga, potret diri bangsa ini. Artinya, apa boleh buat, kualitas demokrasi dan
kualitas para aktor semacam itulah yang bisa dihasilkan negeri kita saat ini. Potret
diri itu akan berangsur-angsur membaik bersamaan dengan meningkatnya kualitas
pendidikan dan kesejahteraan mayoritas bangsa ini. Seperti tergambarkan dalam
uraian berikut ini.
“Biarlah semua itu terjadi sebagai keniscayaan kelas taman kanak-kanak. Mas Celathu hanya percaya, tambah hari rakyat kecil pastilah tambah pintar”
e. Stilistik
Bagian dari stilistik adalah leksikon. Leksikon adalah elemen yang
menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai
kemungkinan kata yang tersedia. Leksikon terdapat pada kutipan berikut :
“Kalau saja anda mencitrakan sebagai dermawan, dan orang mempercayai anda bener-bener pemurah yang rajin nyoh-nyoh-nyoh, maka jangan sekali-kali berlaku pelit kepada siapa pun.” Pemilihan penulis menggunakan leksikon “nyoh-nyoh-nyoh”, penulis
ingin memperlihatkan kepada pembaca bahwa kata tersebut merupakan ungkapan
dalam bahasa jawa memiliki makna tindakan seseorang suka memberi sesuatu.
Kata nyoh dipakai seseorang apabila hendak memberikan sesuatu kepada orang
lain. Oleh penulis konteks kalimat di atas memberi satu penggambaran bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
dalam dunia politik, simpati akan dapat diperoleh jika para politisi bisa berlaku
layaknya seorang dermawan yang memiliki sifat suka memberi kepada orang lain.
Praktek politik pencitraan untuk merubah image tersebut akan marak terjadi pada
saat kampanye politik.
Elemen leksikon juga terdapat pada kalimat berikut ini:
“Berwatak dan gaya macam itu, bukanlah rekayasa. Apalagi usaha tebar pesona. Ketika dia memutuskan bekerja diranah publik dan kerap disorot khalayak, dia berjanji pada dirinya untuk tidak terperangkap pada sindrom “jaim” alias jaga image.” Kata “jaim” ini kependekan dari jaga image. Secara harfiah, kata jaga
merupakan bentuk dasar dari kata menjaga, sedangkan kata imej berasal dari
bahasa Inggris ‘image’ yang dalam kamus (oxford learner’s pocket dictionary)
berarti kesan publik terhadap seseorang. Sedangkan dalam pergaulan sehari-hari
kata ini berkonotasi negatif yang berarti, berusaha menjaga sikap, agar tingkah
laku buruknya tidak nampak kepada publik. Kalau ini saja masih bagus, tetapi ada
arti lebih jauh lagi, yaitu karena terlalu menjaga, maka perilakunya menjadi tidak
natural, terkesan menutup diri dan menjengkelkan lawan bicara atau orang-orang
di sekitarnya.
Penggunaan leksikon dalam bahasa Jawa muncul lagi dalam salah satu
paragraf berikut ini. Kata yang dipakai adalah “nglakoninya”, dengan kata dasar
“nglakoni”, yang kata itu sendiri memiliki makna melaksanakan niat atau
tindakan.
“Jadi, kalau kali ini dia tak mau lagi menuruti permintaan istrinya, yaitu tampil beda diluar kebiasaanya, itu lantaran dia memang kesulitan nglakoninya. Tampil menjadi bukan dirinya, pasti melelahkan. Dan, lama-lama juga bakal ketahuan belangnya.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
Kata ini masih berkaitan dengan makna kata “jaim”, bahwa seseorang
yang tampil tidak natural, akan terjebak pada permainan politik pencitraan yang
hanya menampilkan citra yang terkesankan baik dan seolah-olah bisa
merealisasikan apa yang dijanjikan pada saat kampanye. Upaya itu dilakukan
semata-mata untuk mendapatkan dukungan dan simpati dari masyarakat.
Leksikon lainnya terdapat juga pada kutipan berikut:
“Kalau perlu dijilati karena rakyat mulai dianggap penting lagi. Inilah sebuah ritual permanen lima tahun sekali. Rakyat disembah. Rakyat dibanggakan, dibujuk partisipasinya, dan setelah itu – seperti biasa – rakyat segera dilupakan lagi” Secara harfiah kata “dijilati” yang berasal dari kata jilat, oleh penulis
ditujukan kepada masyarakat sebagai sasaran dari para politisi yang membutuhkan
dukungan demi ambisi politiknya. Penggunaan kata dijilati bermakna negatif
rakyat sebagai korban ambisi politik dapat menjadi kata kerja berarti menjilat
berkali-kali berusaha (berbuat) untuk mendapatkan pujian, mengambil-ambil
hati,93 ungkapan negatif ini dijujukan kepada para politisi.
f. Retoris
Dalam analisis wacana, retoris berkaitan dengan gaya bahasa, ditandai
dengan penggunaan kata kiasan atau metafora untuk mempersuasi.
Penggunaan elemen retoris dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Rakyat bukanlah sejenis keledai yang tiap lima tahun ikhlas dikibuli. Pastilah mereka bisa membedakan mana emas dan mana loyang. Mana yang beneran dan mana yang kadal-kadalan.” Penggunaan kiasan “mana emas mana loyang” dimaksudkan penulis untuk
menggambarkan suasana kebatinan seluruh masyarakat yang sadar akan peran
sebagai warga negara khususnya dalam bidang politik. Penulis melihat bahwa
93 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 1994
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
pengalaman telah membuktikan disaat pergantian suksesi kepemimpinan di
negara ini rakyat hanya dinilai sebagai obyek untuk memperoleh dukungan
kepada para politis. Kesadaran masyarakat ini membuktikan bahwa mereka bisa
melihat dan menilai kredibilatas para politisi melalui rekam jejak pengalaman
mereka, mana yang layak untuk dipiih sebagai pemimpin dan mana yang tidak.
Sementara kiasanm “kadal-kadalan” diatas dalam definisi bebas dapat
diartikan sebagai kebohongan, ungkapan itu oleh penulis dipakai untuk
menggambarkan politik pencitraan dari para politisi semua hanyalah kebohongan,
diman hal-hal baik yang mereka tampilkan semata-mata hanya bertujuan untuk
merayu sekaligus unutk menarik simpait dari masyrakat. Kondisi sebagian besar
masyarakat sudah semakin pintar dan sadar terhadap posisi mereka dalam
berdemokrasi. Tidak bisa dibohongi lagi oleh politik pencitraan semu yang penuh
kebohongan dan kepalsuan. Rakyat pastinya mengharapkan para politisi pelaku
pencitraan semu tidak akan terpilih menjadi pemimpin mereka. Karena apabila
mereka terpilih, maka orientasi kerja mereka adalah kepentingan pribadi atau
golongannya saja. Publik hanya sekedar alat dari kepentingan para elite politik
untuk mencari suara. Ketika suara diperoleh, publik ditinggalkan.
3. Teks kolom “Raja Nyapres”
a. Tematik
Tema yang diangkat penulis dalam artikel ini yakni berkaitan dengan
ambisi perebutan kursi kekuasaan. Sejak tahun 2004 konstitusi negara kita telah
membuka peluang besar bagi orang-orang yang berambisi merengkuh kekuasaan.
Kekuasaan untuk menjadi wakil rakyat, kepala daerah, bahkan kepala negara
dapat diraih melalui perolehan suara rakyat sebanyak-banyaknya. Secara prinsip,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
politik merupakan upaya untuk ikut berperan serta dalam mengurus dan
mengendalikan urusan masyarakat. Karena menyangkut kepentingan rakyat
banyak dan kepemimpinan atas masyarakat luas, maka politik amat sangat dekat
dengan kekuasaan. Atas dasar inilah yang membuat banyak orang memutuskan
terjun ke kancah politik. Karena dengan terjun ke politik, orang akan semakin
dekat dengan kekuasaan. Dalam tema ini, penulis ingin menegaskan bahwa
perpolitikan nasional yang dipertontonkan para politisi saat ini kian tereduksi
menjadi sekadar perebutan kekuasaan. Perolehan suara dalam pemilihan umum
menjadi kepentingan tertinggi. Visi dan kepentingan jangka pendek, serta sikap
pragmatis untuk meraih kekuasaan, itu menandai politisi kita masih belum adanya
kedewasaan dalam berpolitik. Gemerlap kekuasana menjadi daya pikat tersendiri
bagi para politisi tersebut.
Kondisi ini sangat berlawanan dengan makna politik adalah segala daya
upaya menata negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Sangat disayangkan
bila politik hanya dimaknai sebagai perebutan kekuasaan. Siapa mendapatkan apa,
kapan, bagaimana, dan seberapa besar. Praktik politik itu pada akhirnya menjadi
salah satu faktor penyebab lahirnya persepsi negatif terhadap politik. Dalam
persepsi negatif ini, apa saja yang berbau dan berkaitan dengan politik dipandang
rendah. Oleh penulis dikemukakan dalam kutipan berikut ini.
“Mas Celathu sudah cukup bangga menduduki jabatan itu. Biarpun itu sekadar pura-pura, sudah cukup sebagai stimulus pengendalian diri. Beda dengan yang lain. Di dunia nyata, mereka yang digoda rasa penasaran, selalu terdorong ingin ngicipi kedudukan-kedudukan luhur itu. Ada sihir yang membikin semua orang kepincut. Kekuasaan memang sering bikin silau. Wajarlah kalau orang kemudian berbondong-bondong saling berebut. Berlomba mendaki untuk meraih kursi. Lalu sibuk merayu sana sini mencari dukungan.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
b. Skematik
Skema atau alur menunjukan bagaimana bagian-bagian teks diatur,
disusun dan diposisikan sehingga membentuk kesatuan makna. Tentu maksud
penyusunannya teks berkaitan dengan wacana apa yang ingin ditampikan oleh
penulis.
Judul yang diangkat pada kolom ini adalah “Raja Nyapres”. Judul ini
merupakan gambaran isi teks tentang ambisi mendapatkan kekuasaan, terbukanya
peluang bagi semua warga negara untuk mencalonkan diri sebagai kandidat
presiden, sehingga seorang rajapun –Sultan Hamengku Buwono X- berambisi
mencalonkan diri.
Sedangkan pada isi, fakta yang disusun pertama dalam teks ini adalah
mengenai rangangan gemerlap kekuasaan yang merangsang orang berbondong-
bondong merebutkan kursi kekuasaan. Selanjutnya di tengah tulisan gagasan yang
disampaikan penulis mengenai tingkat kebangsawanan seseorang hanya dilihat
dari simbol-simbol yang ditampilkan. Sementara di akhir tulisan, penulis
menyampaikan pandangannya terhadap pencalonan Sultan Hamengku Buwono X.
Dalam pandangannya penulis menyesalkan pencalonan sang Sultan demi
merebutkan jabatan presiden tak terbayangkan harus berhadapan dengan para
politisi yang memaninkan politik kotor demi merealisasikan ambisinya. Berkaitan
dengan tema mengenai ambisi politisi merebutkan kekuasaan, penulis
menempatkan gagasan utama di awal tulisan.
c. Semantik
Elemen semantik terdiri dari pertama, latar adalah bagian pesan yang dapat
mempengaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan. Kedua, adalah elemen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
wacana yang berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang.
Ketiga, Maksud adalah elemen wacana yang hampir sama dengan elemen detil.
Dalam detil, informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan dengan
detil panjang. Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan
komunikator akan selalu diuraikan secara eksplisit dan jelas.
Latar yang disampaikan penulis adalah untuk mendukung tema ambisi
para elit politik hanya untuk mencarai fasilitas kemewahan dibalik kekuasaan.
“Mas Celathu sudah cukup bangga menduduki jabatan itu. Biarpun itu sekadar pura-pura, sudah cukup sebagai stimulus pengendalian diri. Beda dengan yang lain. Di dunia nyata, mereka yang digoda rasa penasaran, selalu terdorong ingin ngicipi kedudukan-kedudukan luhur itu. Ada sihir yang membikin semua orang kepincut. Kekuasaan memang sering bikin silau. Wajarlah kalau orang kemudian berbondong-bondong saling berebut. Berlomba mendaki untuk meraih kursi. Lalu sibuk merayu sana sini mencari dukungan.” Latar diatas menunjukkan bahwa penulis ingin menyampaikan asumsi
dasar bahwa gemerlap kekuasaan menjadi tujuan pragmatis serta dangkal.
Kekuasaan demikian menggoda sehingga ada orang melakukan perbuatan
terlarang guna mencapainya. Para politisi pragmatis memanfaatkan momentum
pemilu hanya berkeinginan memiliki kekuasaan, karena melalui kekuasaan itu ia
berpeluang untuk memperoleh keuntungan materiil berupa kekayaan. Hal itu bisa
dilihat dari perilaku-pelaku politik menjelang masa pemilihan. Hampir semuanya,
selain menawarkan janji-janjinya yang belum tentu ditepati, mereka juga tidak
lupa menggunakan senjata politik uang.
Menurut logika, siapa pun yang berinvestasi, pasti menginginkan
keuntungan. Demikian pula jika seseorang dalam usahanya mendapatkan jabatan
itu ia telah mengeluarkan dana yang tidak kecil, maka ketika ia sudah berhasil
memperoleh jabatan itu, hampir bisa dipastikan ia akan berupaya sekuat tenaga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
mengembalikan dana yang telah diinvestasikan, meski harus dengan cara-cara
yang tidak benar sekalipun. Demokrasi di Indonesia dijadikan sebagai ajang
persaingan perebutan kekuasaan, berbagai macam cara dilakukan untuk
mendapatkan suara rakyat sehingga kursi kekuasaan dapat diperoleh. Nilai-nilai
luhur Pancasila tidak lagi di junjung tinggi, sehingga melahirkan pendidikan
politik yang buruk.
Berikut elemen detail yang ingin disampaikan penulis adalah mengenai
pentingnya integritas serta kredibiltas bagi calon pemimpin atau presiden
“Tak ada yang melarang jika seseorang sekadar berkeinginan. Siapa pun boleh memompa ambisi. Asalkan sesuai dengan takarannya sendiri-sendiri. Kalau ada petualang yang kualitas otaknya pas-pasan dan integritasnya pun amburadul, tiba-tiba menyatakan pengin jadi presiden, ya itu rada kebangetan.” Dari kutipan diatas, penulis berusaha mengungkapkan betapa pentingnya
integritas calon pemimpin bangsa ini kedepan. Pemilihan presiden secara
langsung memungkinkan setiap warga negara untuk berperan aktif dalam dunia
politik. Bagi para warga negara dari berbagai latar belakang profesi, baik elit
politik, kaum intelektual, pengusaha, aktivis, bahkan artis atau seniman sekalipun
dapat mencalonkan diri menjadi pemimpin. Namun kondisi tersebut tidak semata-
mata dimaknai bahwa semua orang bebas mencalonkan tanpa melihat integritas
dan kredibilitas masing-masing.
Di tengah kondisi bangsa yang sedang mengalami krisis multidimensional
berkepanjangan ini, tentunya diharapkan akan hadirnya jabatan kepresidenan
yang membawa perbaikan bagi kehidupan rakyat akan menjadi solusi. Pemimpin
yang mengabdikan diri, visioner, kaya ide untuk memecahkan masalah bangsa.
Pemimpin tidak mementingkan tebar pesona, kepentingan politik diri sendiri atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
kelompok ataupun golongan.
Elemen detail juga terdapat pada kutipan berikut ini:
“Mas Celathu sulit membayangkan bagaimana seandainya kelak raja itu diserimpung praktek berpolitik yang cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Apa jadinya seumpama tabiat kotor politik harus berbenturan dengan nilai-nilai filosofi seorang raja yang sekaligus pemimpin budaya?” Detail diatas penulis ingin menyampaikan sisi negatif dunia politik, yakni
adanya praktik kotor dalam berpolitik. Pada detail ini juga disinggung tentang
pencalonan Sri Sultan Hamengku Buwono X pada pemilihan presiden 2009.
Jabatan sebagai raja di lingkup Keraton Yogyakarta menjadikan Sri Sultan
Hamengku Buwono X memiki fenomena tersendiri dibanding tokoh politik
lainnya. Penghormatan masyarakat Yogyakarta terhadap seorang raja jauh di atas
jabatan apapun yang ada di negeri ini, termasuk di dalamnya jabatan Presiden
sekalipun. Namun dalam alam demokrasi telah mendorong untuk terjun kekancah
dunia politik yang lebih luas.
Nilai yang hendak disampaikan dalam pandangan tersebut adalah bahwa
kehendak sejarah tidak dapat dibendung, demokrasi telah menjadi keharusan
politik yang harus dihormati. Bagi penulis, sangat disayangkan bila nantinya
seorang raja yang berposisi luhur harus berada dalam kubangan perpolitikan yang
kotor. Politik yang penuh intrik, politik yang berorientasi kepentingan sesaat. Tak
heran jika demi hal itu kawan bisa disikat, dan sebaliknya lawan bisa dirangkul,
orang terpuji bisa dicelakakan, sebaliknya orang tercela bisa disanjung-puja dan
bahkan bahkan yang halal bisa diharamkan dan yang haram dihalalkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
d. Sintaksis
Sintaksis adalah elemen analisis, secara umum digunakan dalam
menampilkan diri secara positif dengan menggunakan kalimat. Salah satu dari
sintaksis adalah koherensi yaitu pertalian atau jalinan antar kata atau kalimat
dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat
dihubungkan sehingga tampak koheren.
Dalam teks artikel opini bentuk koherensi yang dipakai adalah
pengingkaran melalui kata “asalkan”, sebagaimana dalam kalimat berikut :
“Tak ada yang melarang jika seseorang sekadar berkeinginan. Siapa pun boleh memompa ambisi. Asalkan sesuai dengan takarannya sendiri-sendiri. Kalau ada petualang yang kualitas otaknya pas-pasan dan integritasnya pun amburadul, tiba-tiba menyatakan pengin jadi presiden, ya itu rada kebangetan.” Dalam kutipan diatas penulis mencoba menjelaskan kepada pembaca,
bahwasannya integritas sangat diperlukan bagi para calon pemimpin bangsa,
integritas ini menyangkut ketulusan dan kejujuran dalam mengemban jabatan
ataupun kekuasaan. Terbukanya kesempatan bagi setiap warga negara untuk
berperan aktif untuk terjun kekancah politik tidak semata-mata orang cepat untuk
memutuskan keinginan mereka tanpa memahami integritasnya.
Mampu menunjukkan wawasan, integritas, serta kapasitas intelektual dan
emosional diatas rata-rata. Tidak terjebak pada tarik-menarik antara kepentingan
bangsa dengan kepentingan pribadi dan golongan. Mengungkapkan
kenegarawanannya tak hanya berkehendak memegang kekuasaan, tetapi juga
menegaskan dan membuktikan apa yang mau diperbuat untuk bangsa dan negara
dengan visi yang benar dan mendalam. Untuk itu, moralitas tinggi mutlak bagi
siapa pun yang terjun ke kancah politik, apalagi menjadi pemimpin politik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
Koherensi berikutnya yang digunakan adalah koherensi pembanding.
Penggunaan koherensi pembanding digunakan oleh penulis untuk membanding
antara keluhuran nilai yang melekat pada diri seorang raja dalam hal ini Sultan
Hamengku Buwono X yang ikut meramaikan bursa pencalonan presiden harus
bertemu dengan praktik-praktik politik kotor. Penulis tidak rela bila nilai luhur
kepemimpian seorang raja harus beradu dengan politik yang mengabaikan nilai-
nilai keluhuran.
“Mas Celathu sulit membayangkan bagaimana seandainya kelak raja itu diserimpung praktek berpolitik yang cenderung menghalalkan selala cara untuk mencapai tujuan. Apa jadinya seumpama tabiat kotor politik harus berbenturan dengan nilai-nilai filosofi seorang raja yang sekaligus pemimpin budaya?”
e. Stilistik
Bagian dari stilistik adalah leksikon. Leksikon adalah elemen yang
menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai
kemungkinan kata yang tersedia. Penggunaan leksikon dimaksudkan sebagai
upaya penulis menarik perhatian pembaca. Berikut kutipan penggunaan leksikon :
“Tak ada yang melarang jika seseorang sekadar berkeinginan. Siapa pun boleh memompa ambisi. Asalkan sesuai dengan takarannya sendiri-sendiri. Kalau ada petualang yang kualitas otaknya pas-pasan dan integritasnya pun amburadul, tiba-tiba menyatakan pengin jadi presiden, ya itu rada kebangetan.” Pemilihan kata “memompa ambisi” oleh penulis adalah umtuk
menggambarkan penggerahan sumber daya yang dimiliki para elite politik
termasuk uang bisa memainkan peran yang sangat penting.
Retoris mempunyai fungsi persuasif. Retoris berhubungan erat dengan
bagaimana pesan itu ingin disampaikan kepada khalayak. Elemen retoris dapat
dilihat dari penggunaan ungkapan, metafora, kiasan atau gaya bahasa hiperbolik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
Berikut kutipan yang di dalamnya terdapat elemen retoris (metafora) :
“Nggak paham ukuran. Ibaratnya, cecak nguntal truk. Besar pasak dari tiang. Tapi itulah demokrasi. Memungkinkan siapa saja naik tahta. Mungkin dia seorang mantan jenderal, menteri, gubernur atau mantan aktivis mahasiwa. Atau bahkan seorang raja. Lho, raja kok malah kepengin jadi presiden? Apa nggak kebalik tuh? Biasanya, kan presiden yang kepengin jadi raja?” Penggunaan metafora atau kiasan “cecak nguntal truk atau besar pasak
dari tiang” berkaitan dengan paragraf sebelumnya tentang pentingnya integritas
para pemimpin atau presiden. Ungkapan ini menggunakan kata “nguntal” dalam
bahasa Jawa kata ini mengandung makna yang cenderung kasar, dalam bahasa
Indonesia berarti melahap atau memakan sekali telan, untuk menyatakan
kerakusan. Kiasan ini dimaksudkan penulis untuk menggambarkan bahwa cecak
atau dalam bahasa Indonesia berarti binatang cicak, seekor binatang yang secara
umum berukuran tubuh kecil - berkisar antara 5 sampai 6 cm – yang menelan
mentah-mentah truk, kendaraan pengangkut berukuran besar adalah suatu keadaan
yang mustahil dan tidak mungkin terjadi dalam kenyataan.
Secara sederhana ungkapan tersebut dimaksudkan penulis sebagai
sarkasme terhadap perilaku yang ditunjukkan oleh sebagian besar masyarakat kita
yang saling berlomba untuk masuk dalam ranah politik. Sayangnya, usaha serta
ambisi berlomba untuk terjun dalam dunia politik tidak dibarengi dengan sikap
dan kemampuan personal.
Dalam tulisan ini, pada dasarnya penulis ingin menggambarkan sebuah
kondisi nyata dalam konstelasi politik nasional kita, yang telah dibuat bising oleh
orang-orang politik yang justru tidak paham dengan substansi, etika dan
kesantunan politik itu sendiri. Oleh karena itu, penulis kemudian ingin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
membangun sebuah pemahaman baru, bahwa dengan sikap dan perilaku yang
diperlihatkan Obama, diharapkan dapat dijadikan referensi bagi actor politik kita.
Kalimat retoris juga terdapat pada kutipan berikut:
“Bukankah seorang raja selalu dituntut konsisten dan senantiasa mengayomi rakyatnya tanpa pilih kasih? Raja mempunyai kredo abadi "sabda pandita ratu tan kena wola-wali". Artinya, apa yang sudah dinyatakan pantang ditarik kembali. Lha bagaimana itu? Politisi kan selalu esuk dele sore tempe, cangkeme kerep leda lede.” Kalimat retoris ini diungkapkan dengan bahasa Jawa, “esuk dele sore
tempe, cangkeme kerep leda lede” dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai
berikut, pagi masih kedelai sore sudah menjadi tempe. Sedangkan kalimat
berikutnya adalah cangkeme merupakan ungkapan kasar untuk menyebut mulut,
kerep berarti sering atau senantiasa dan leda lede adalah seenaknya sendiri atau
susah dipercaya. Sehingga inti dari ungkapan ini dapat dimaknai sebagai kondisi
atau sikap yang tidak konsisten. Frasa ini menegaskan sikap negatif penulis untuk
melakukan kritik dan sindiran terhadap perilaku para politisi ditanah air.
4. Teks kolom “Manuver ABS”
a. Tematik
Dalam artikel opini, tema yang diangkat oleh penulis pada dasarnya
berkaitan dengan persaingan perebutan kekuasaan calon presiden. Hiruk-pikuk
politik menjelang pemilu presiden telah menarik perhatian seluruh warga negara
tak terkecuali para politisi yang akan bertarung memperbutkan kursi presiden
turut juga menghangatkan suhu politik tanah air. Kondisi ini diwarnai oleh
riuhnya politik isu, agenda politik, dan setting politik, merupakan instrumen yang
dipergunakan untuk memengaruhi pemilih.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
Dalam ranah pertarungan politik untuk memperebutkan kekuasaan dikenal
istilah kampanye hitam (black campaign) yang isinya adalah caci maki dan saling
memojokkan. Salah satu aroma persaingan paling kentara adalah paerseteruan
anatara presiden incumbent Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan mantan
presiden Megawati Soekarnoputri. Kedua kubu, termasuk tim sukses masing-
masing, terus melancarkan strategi menyerang dengan membentuk opini yang
saling menjatuhkan di mata masyarakat. Bahkan, perseteruan kedua kubu condong
makin mengarah ke kampanye hitam (black campaign) atau pembunuhan
karakter.
Pemilihan presiden secara langsung adalah prosedur pelaksanaan proses
demokratisasi dalam memilih seorang kepala negara. Di satu sisi ini merupakan
pertanda baik akan berjalannya proses demokrasi untuk negara ini, namun di sisi
yang lain akan menghadirkan suatu hal yang buruk bila siasat dan strategi itu
dilancarkan digunakan hanya untuk menjatuhkan pihak lain sesama kandidat
calon presiden. Yang akan terjadi adalah media-media masa Indonesia isinya
hanya akan ada hujatan, hinaan dan celaan.
Walaupun itu semua dilakukan secara tersirat. Tidak sadarkah mereka
yang saling hujat itu, bahwa mereka hanya akan mencontohkan pelajaran yang
tidak baik bagi para calon penerus negeri ini. Tetap harus diingat bahwa
demokrasi tanpa landasan hukum dan etika akan condong ke anarkhi. Selain tidak
pantas sebagai proses pendidikan politik tindakan itu akan mencederai semangat
dan nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Inilah kemudian yang ditekankan oleh penulis, seperti terlihat pada
kutipan di bawah ini :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151
“Teka-teki macam ini cukup mengundang heboh gunjingan dan kecurigaan, suatu hal yang lazim saat menjelang pemilu tiba. Suhu politik makin menghangat. Lalu para politisi akan saling sindir dan saling ejek, sekaligus bikin siasat dan strategi merebut simpati khalayak.”
b. Skematik
Skema merupakan struktur penceritaan atau alur dari pendahuluan sampai
akhir, bagaimana fakta maupun opini dirangkai dalam satu teks. Pada artikel opini
ini, fakta yang disampaikan oleh penulis di awal tulisan mengenai pernyataan
presiden SBY menanggapi muculnya isu ABS. Pernyataan ini ditanggapai para
lawan politik sebagai trik SBY untuk menarik perhatian khalayak, yang gemar
mengembangkan pencitraan diri, seolah-olah merasa terancam akibat munculnya
isu ABS.
Selanjutnya ditengah tulisan gagasan yang hendak dikemukakan tentang
proses politik pemilu yang identik dengan berbagai persoalan dan benturan
kepentingan antara kontestan yang bersaing. Dan di akhir tulisan membahas ranah
politik selalu diwarnai dengan teka-teki siasat membikin orang penasaran.
Kepanjangan ABS bisa diartikan berbeda-beda tergantung siapa yang punya
kepentingan. Gagasan utama dalam artikel opini ini ditempatkan di awal tulisan,
dengan pembahasan tentang memanasnya suhu perseteruan politik calon presiden.
c. Semantik
Elemen semantik terdiri dari pertama, latar adalah bagian pesan yang dapat
mempengaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan. Kedua, adalah elemen
wacana detail yang berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan
seseorang. Ketiga, Maksud adalah elemen wacana yang hampir sama dengan
elemen detail. Dalam detail, informasi yang menguntungkan komunikator akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
152
diuraikan dengan detail panjang. Elemen maksud melihat informasi yang
menguntungkan komunikator akan selalu diuraikan secara eksplisit dan jelas.
Latar yang dikemukakan untuk mendukung tema perseteruan politik calon
presiden. Pernyataan persiden mengenai munculnya isu ABS tak pelak isu ini
mengundang kasak-kusuk dalam perpolitikan tanah air menjelang pemilu
presiden.
“Gara–gara SBY menyatakan kecemasan dihadapan para petinggi polisi dan tentara, ABS yang semula diartikan asal bapak senang, tiba-tiba berubah makna menjadi asal bukan S.” Kutipan di atas menekankan pada latar peristiwa. Penggunaan latar
peristiwa dimaksudkan penulis, sebagai upaya penegasan masih kuatnya peran
politik pencitraan yang dibangun SBY. Akronim ABS sebenarnya bukan istilah
baru dalam perpolitikan di tanah air. Pada masa orde baru istilah berarti “asal
bapak senang” ini dipakai bagi para oportunis. Sedangkan pada masa menjelang
pelaksanaan pemilu presiden 2009 akronim ini dipelintir menjadi “asal bukan S”.
Tidak jelas pasti pihak mana yang menghembuskan istilah tersebut maupun S
yang dimaksudkan merujuk pada nama siapa. Namun oleh presiden SBY, S yang
dimaksudkan adalah merujuk pada nama depan beliau yaitu Susilo.
Pihak atau lawan politik presiden pun menuduh sebagai strategi tebar
pesona yang dilakukan untuk menarik simpati masyarakat. Seolah-olah beliau
telah teraniaya dan dirugikan oleh hembusan isu tersebut mengingat niat SBY
yang akan maju lagi pada pemilihan presiden.
Detail berikut penulis secara khusus menyoroti strategi yang
dikembangkan oleh kubu calon presiden SBY. Dalam hal ini bagaimana kubu atau
tim sukses pemenangan SBY mengembangkan serta mengolah politik isu, agenda
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
153
politik, dan setting politik merupakan instrumen yang dipergunakan untuk
memengaruhi pemilih. Dalam ranah pertarungan politik kontemporer saat ini
untuk memperebutkan kekuasaan segala yang sedang dipamerkan di televisi
hingga media cetak, ada kecenderungan untuk menampilkan politik poles wajah.
Masyarakat disuguhi informasi-informasi yang sudah direkayasa sedemikian rupa
yang menampilkan para calon itu ibarat dewa yang tidak punya kelemahan. Ini
semua dampak dari distorsi pencitraan sebagai cara agar calon mereka dipilih oleh
rakyat.
Masih segar dalam ingantan kita pada pemilu presiden 2004 yang lalu
bagaimana SBY dapat mereduksi permasalahannya dengan Presiden Megawati –
pada waktu itu – menjadikan isu seolah-olah adalah pihak yang teraniaya dan
terbukti SBY menjadi salah satu sosok yang diperhitungkan dalam ranah
perpolitikan di Indonesia. Tujuannya dari semua itu adalah melakukan kemasan
yang menarik dari diri seorang calon presiden. Rupanya strategi ini akan kembali
digunakan untuk menarik simpati dan dukungan dari masyarakat. Seperti yang
tergambarkan pada kutipan berikut ini:
“Tudingan pak SBY pun tak luput dari prasangka begituan. Musuh politiknya kasih komentar dengan sinis. Menuduh itu hanya strategi, biar SBY dikesankan “terancam” dan sedang teraniaya”. Sebuah jurus klise yang lima tahun lalu mendulang sukses sehingga dirinya laksana dapat tunggangan roket, menghantarkannya ke kursi tertinggi negeri ini” Maksud merupakan elemen yang hampir sama dengan detail. Dalam
maksud informasi yang menguntungkan disajikan secara jelas, dengan kata-kata
yang tegas, dan menunjuk langsung pada fakta. Berikut elemen maksud dalam
kutipan di bawah ini :
“Dan seperti biasanya, politik pra Pemilu juga dinikmati sebagai fragmen-fragmen dagelan nan jenaka. Banyak ungkapan yang lucu bertaburan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
154
Banyak sindiran cerdas dilontarkan. Banyak gosip miring dihembuskan. Apalagi jika sindiran-sindiran itu sudah mulai berbalas pantun, seperti pekan lalu terlihat dalam iklan-iklan partai besar.” Fakta eksplisit yang disampaikan penulis dalam elemen maksud di atas
berkaitan dengan pandangan negatif terhadap sikap para politisi di tanah air.
Terlihat penulis ingin memunculkan nilai minus mengenai tingkah laku politisi
dalam pertarungan pemilu presiden dimata pembaca. Aktivitas politik yang
kebablasan tanpa etika, hanya semata mengejar kekuasan tak lain merupakan
pencederaan keluhuran berpolitik itu sendiri. Lebih lanjut penulis berpandangan
pentas politik tak ubahnya hanya sebagai panggung pertunjukan yang penuh
kelucuan hanya berisi lelucon-lelucon yang dipertontonkan para aktor-aktor
politik. Perseteruan politik calon presiden, jika kita cermati bisa jadi guliran
kekocakan politik di Indonesia, seperti sebelumnya ini suatu pengulangan
kejenakaan yang tak akan pernah terlewatkan pada setiap kancah pemilu, sehingga
kita sebagai orang awam harus memakluminya bahwa kejenakaan para pemimpin
bangsa ini adalah bumbu lain dalam berdemokrasi.
d. Sintaksis
Sintaksis adalah elemen analisis, secara umum digunakan dalam
menampilkan diri secara positif dengan menggunakan kalimat. Sintaksis terdiri
dari beberapa aspek yakni koherensi, bentuk kalimat maupun kata ganti pertama.
Koherensi yang dipakai dalam artikel opini adalah koherensi pembanding
terdapat pada kutipan berikut :
“Mas Celathu lalu menyitir definisi lucu ala almarhum Pak Teguh Srimulat. Lucu itu bermula dari yang aneh. Segala tindakan yang aneh, ujungnya pasti melahirkan kelucuan.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
155
“Di panggung Srimulat semua perilaku manusia selalu pakai rumus itu. Ada jongos malah menasehati dan memaki-maki juragan. Ada dracula malah takut hantu dan jika menyanyi biasanya cuma lagu ndangdut.” Penggunaan koherensi pembanding pada kalimat di atas dimaksudkan
penulis untuk memperlihatkan perbandingan antara pentas politik ditanah air
dengan pertunjukan Srimulat. Menurut pendapat penulis keanehan akan
menghadirkan kelucuan. Menjelang pemilhan presiden, media massa diramaikan
saling lempar kritikan antara Megawati Soekarnoputri dengan SBY. Diawali
dengan kebijakan pemerintah menurunkan harga BBM dalam iklan kampanye
Partai Demokrat mengklaim bahwa penurunan harga BBM yang sudah tiga kali
dilakukan adalah hasil kinerja pemerintah pimpinan SBY. PDIP langsung
menanggapinya bahwa pemerintahan SBY telah mempermainkan rakyat
selayaknya bermain yoyo, berlanjut mencela kebijakan-kebijakan pemerintahan
SBY yang telah dianggap salah. Sedangkan jawaban atas kritikan tersebut,
presiden SBY membalasnya dengan pantun. Perang kampanye PDIP versus Partai
Demokrat tidak berhenti disitu saja. Iklan-iklan politik dari Partai Demokrat juga
terus berkumandang dimedia-media masa negeri ini. Makin panasnya Perseteruan
politik calon presiden inilah yang dianggap oleh penulis adalah sesuatu keanehan
dan pada akhirnya berubah menjadi kekocakan politik yang dipertontonkan
dimedia massa layaknya panggung dagelan Srimulat.
e. Stilistik
Bagian dari stilistik adalah leksikon. Leksikon adalah elemen yang
menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai
kemungkinan kata yang tersedia. Penggunaan leksikon dimaksudkan sebagai
upaya penulis menarik perhatian pembaca. Berikut kutipan penggunaan leksikon :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
156
“Tudingan pak SBY pun tak luput dari prasangka begituan. Musuh politiknya kasih komentar dengan sinis. Menuduh itu hanya strategi, biar SBY dikesankan “terancam” dan sedang teraniaya”. sebuah jurus klise yang lima tahun lalu mendulang sukses sehingga dirinya laksana dapat tunggangan roket, menghantarkannya ke kursi tertinggi negeri ini” Dari kutipan tersebut penulis hendak menyampaikan pesan kepada
pembaca bagaimana SBY mauapun tim sukses dilingkarannya rupanya
mendramatisasi potensi ini untuk menarik suara calon pemilih. Mereka dengan
cerdas mampu mereduksi isu ABS tersebut sebagai sesuatu yang menguntungkan
kubunya. Mereka mampu mempersuasi khalayak bahwa seakan-akan SBY yang
akan kembali maju pada pemilihan presiden, menjadi pihak yang didzalimi oleh
lawan-lawan politiknya. Yang mungkin cukup menarik adalah bahwa pemilu
mengajarkan satu hal pada politisi negeri ini, bahwa kampanye hitam dapat
menguntungkan musuh, jika musuh tahu bagaimana memanajemen kampanye
hitam tersebut. SBY pada dekade 90-an namanya tidak diperhitingkan dalam
pentas perpolitikan nasional. Menjelang pemilu presiden 2004 lalu, di televisi
maupun surat kabar nasional. Pada poling dan survey tentang siapa calon presiden
terpopuler saat ini. Kita akan menemukan nama presiden kita ini dalam urutan
teratas.
Selama kampanye pilpres 2009. Hampir tidak ada kejelekan atau
kesalahan SBY yang terekspose oleh media massa. Kalaupun ada hanya muncul
sebentar, lalu dengan cepat akan tertutup oleh isu-isu lain. Dan yang terpengaruh
hanya sekelompok kecil rakyat Indonesia yang melek Informasi dan memiliki
daya berpikir kritis. Bukan kebanyakan rakyat Indonesia yang jauh-jauh hari telah
dipengaruhi atau dihegemoni oleh kebaikan SBY.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
157
f. Retoris
Dalam analisis wacana, retoris berkaitan dengan gaya bahasa, ditandai
dengan penggunaan kata kiasan atau metafora untuk mempersuasi.
Penggunaan elemen retoris dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Ada batur hobinya main golf sementara majikan hobinya adu jangkrik. Semua itu kan aneh. Nah, biasanya dari situ muncullah kelucuan. Jika orang mempercayai tesis ini, maka tindakan para petinggi partai yang doyan “bertengkar” lewat iklan, bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang aneh dan itu lucu. Bertengkar kok mbayar?” Penggunaan kata “bertengkar” dalam kalimat di atas, berkaitan dengan
reaksi penulis dalam menyikapi konflik yang berkembang diantara para elite
politik yang bersaing dalam pemilu presiden. Kampanye yang seharusnya menjadi
momentum untuk menawarkan gagasan terbaik bagi pembenahan negeri ini ke
depan, terperangkap sebagai ajang saling menyindir antarcalon presiden, adu citra,
serta unjuk kekuatan. Strategi politik yang dibangun oleh para kandidat politisi
sekarang ini kian mengukuhkan politik citra. Perang citra yang dominan dapat kita
amati di media massa. Hampir seluruh stasiun televisi, radio dan berbagai varian
media cetak mengemas pemilu dalam dimensi politik citra para elit. Pemanfaatan
kekauatan sumber daya politik berupa dana kampanye yang tentunya tidak sedikit
konflik yang dihadirkan merambah keranah media sehingga publik mengetahui.
Apa yang hendak penulis garis bawahi adalah munculnya kondisi yang
ironis ditengah kehidupan rakyat yang dililit berbagai macam persoalan para
politisi memanfaatkan dana kampanyenya yang begitu besar hanya untuk
memproduksi politik pencitraan guna menarik simpati melalui pesan-pesan yang
disampaikan melalui iklan politik dalam media cetak maupun elektronik.
Persoalannya adalah, pernahkah mereka berfikir bahwa penghamburan uang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
158
sebanyak itu sangat tidak bermanfaat bagi rakyat. Jika saja uang-uang itu
digunakan untuk kepentingan rakyat, sungguh akan memberi manfaat luar biasa
besar bagi bangsa dan negeri yang sedang dilanda berbagai masalah ini.
5. Teks kolom “Berani Kalah”
a. Tematik
Melalui tematik atau topik kita bisa menangkap substansi apa yang ingin
disampaikan. Dengan melihat judul kita bisa memahami bahwa tema yang
diangkat penulis adalah sikap ksatria pemimpin. berkaitan. Ibarat dalam suatu
pertandingan, pertarungan merebut kekuasaan dalam negara demokrasi, pasti
selalu ada yang menang dan ada yang kalah. Pemenang tidak lantas menjadi
berbangga diri atas kemenangan yang diraihnya. Begitu pula yang kalah tidak
mesti merasa terpojokkan oleh kekalahan yang dialaminya. Memang diakui sangat
sulit dinegeri yang baru belajar berdemokrasi, dimana KKN masih bertebaran
untuk mendapatkan hasil pilpres yang benar-benar jujur dan adil. Pasti ada saja
kekurangan serta cacatnya.
Melaui tema tersebut dapat dilihat bahwa penulis ingin menyampaikan
sebuah fakta suatu kehidupan demokrasi yang sehat selalu membutuhkan sifat
ksatria, sikap saling menghargai dan mengakui antara para pihak. Sejarah politik
membuktikan bahwa kehadiran pemimpin politik yang menolak untuk mengakui
kekalahan lawan politik sudah bisa dipastikan akan memunculkan berbagai
kerawanan dalam masyarakat. Konflik berkepanjangan, saling tuding antar elite,
serta sikap-sikap tak terpuji lainnya, selalu berpotensi muncul di tengah
masyarakat di mana pemimpinnya memiliki ego besar dan kebanggaan yang
tinggi. Besarnya ambisi dalam merebutkan kekuasaan yang diimbangi dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
159
keteladan sifat ksatira diharapkan mampu meredam panasnya suhu kompetisi juga
dapat memberikan keteladanan sikap seorang pemimpin bagi rakyatnya. Berikut
kutipan temanya:
“Tentu ini sangat berbahaya. Bisa menyirnakan semangat juang, dan lebih dari itu: menyebabkan peserta kompetisi hanya berani menang. Tapi tidak berani kalah. Padahal dalam sebuah pertandingan, lomba, kompetisi - juga pemilu - dibutuhkan jiwa-jiwa ksatria. Yang bukau saja berani merebut kemenangan lalu bertahta sambil memangku piala kejuaraan, tetapi juga berani mengakui kemenangan lawan jika ternyata terpuruk sebagai pecundang.”
b. Skematik
Skema atau alur menunjukan bagaimana bagian-bagian teks diatur,
disusun dan diposisikan sehingga membentuk kesatuan makna. Tentu maksud
penyusunannya teks berkaitan dengan wacana apa yang ingin ditampikan oleh
penulis.
Judul yang diangkat pada kolom ini adalah “Berani Kalah”. Judul ini
merupakan gambaran isi teks tentang sportivitas dalam berkompetisi termasuk
dalam pertarungan memperebutkan kursi presiden. Para peserta kompetisi tidak
hanya siap menjadi pemenang tetapi juga hurus siap bila kekalahan yang didapat
dapat diterima dengan lapang dada.
Pada kolom ini penekanan isi pesan yang hendak disampaikan penulis
disajikan ditengah tulisan, yakni mengenai pentingnya memiliki sifat ksatria yang
senantiasa menjunjung semangat sportivitas di dalam setiap kompetisi termasuk
dalam pemilihan presiden. Kentalnya aroma persaingan berpengaruh pada
panasnya suhu kompetisi sangat rentan dengan gesekan-gesekan kepentingan
yang menimbulkan konflik setiap kandidat. Hadirnya semangat sportif dari para
kandidat akan menghembuskan angin kesejukan bagi kehidupan bangsa dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
160
memberikan dampak pendidikan politik yang luhur yang penuh kedwasaan.
Berkaitan dengan tema mengenai sportivitas dalam berkometisi dalam
merebutkan kekuasaan, penulis menempatkan gagasan utama di tengah tulisan.
c. Semantik
Semantik merupakan makna lokal dalam sebuah teks. Makna itu muncul
dari hubungan antar kalimat, hubungan antar proposisi yang membangun makna
tertentu dalam suatu konstruksi teks. Elemen semantik terdiri dari latar, detail dan
maksud.
Latar yang digunakan adalah mengenai pentingnya menjunjung tinggi
sportivitas para pihak atau kontestan yang akan berkompetisi dalam pemilihan
presiden secara langsung.
“Generasi yang hanya ingin yang serba enak, tapi ogah mencicipi kepahitan perjaungan. Main mutlak-mutlakan dan memastikan diri bakal menang sebelum bertanding, jelas mengkhianati jiwa sportivitas.” Pada latar diatas penulis mencoba menyiratkan sebuah pesan bahwasanya
perjuangan mencapai keberhasil dilakukan upaya-upaya konkret dengan melihat
sumber daya politik yang dimiliki dan sejauh mana usaha itu akan menuai
kebarhasilan.
Apa yang kita petik dari berbagai pertarungan untuk merebut kursi
kepemimpinan nasional, yakni bahwa bolehlah ambisi atau hasrat pribadi begitu
tinggi, tapi kepentingan bangsa dan negara, serta persatuan nasional tetap berada
di atas segala-galanya. Kepentingan negara lebih tinggi daripada kepentingan
individu. Pelajaran berharga lainnya dari berbagai peristiwa politik perebutan
kekuasaan adalah bahwa kekuasaan itu diraih tidak melalui cara “duduk manis”
tapi melalui suatu proses perjuangan disertai strategi-strategi jitu untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
161
memperolehnya. Satu kata kunci untuk hal ini: bersainglah secara fair. Tentu
bukan bersaing untuk saling menjatuhkan atau menyingkirkan satu dengan yang
lain, melainkan bersaing untuk merebut hati rakyat melalui program-program
unggulan yang ditawarkan. Persaingan yang sehat dan membangun, itulah yang
dibutuhkan.
Para tokoh yang mencalonkan diri sebagai presiden selain merasa
memiliki popularitas biasanya mengklaim mereka adalah putra bangsa yang
terdorong mengabdikan diri bagi kepentingan bangsa dan negara. Legitimasi itu
diperkuat dari hasil beberapa jajak pendapat yang menempatkan posisi mereka
sebagai pihak yang popular dimata calon pemilih. Dengan berbagai modal awal
itu mereka merasa layak untuk dipilih dan merasa yakin memenangkan kompetisi.
Tujuannya adalah menunjukkan kepada rakyat mengenai kelemahan dari pihak
lawan. Dampak yang hendak diraih adalah masyarakat semakin merasakan
ketidakpuasan. Tujuan akhir yang dengan pasti ingin digapai adalah rakyat
memberikan simpati, kepercayaan, dan pilihan politik.
Selanjutnya pada elemen detail, penulis dengan lugas menceritakan
tentang pentingnya spirit berani kalah, berkaitan dengan realitas yang terjadi
ditanah air, hilangnya sikap ksatria dalam berkompetisi. Berikut kutipannya:
”Yang kalah musti berani secara gagah mengulur salam, mengakui kemenangan rivalnya. Spirit “berani kalah” inilah yang sekarang rada susah ditemukan. Entahlah, di mana sekarang sifat keksatriaan semacam itu bersembunyi? Atau malah sudah menghilang? Akibatnya setiap kekalahan - dalam pertandingan sepak bola, pilkada dan sebangsan - sering menyulut amuk amarah. Bakar-bakaran. Gebuk-gebukan. Minimal, ancam-ancaman.” Detail diatas fakta yang disampaikan kepada pembaca adalah fenomena
yang terjadi di negeri ini, mengakui kekalahan dan mengucapkan selamat kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
162
pemenang adalah sesuatu yang tabu dan tidak populer. Daripada mengakui
kekalahan, pihak yang kalah lebih memilih menolak kekalahannya dengan
berbagai dalih yang dibuat-buat. Jadi sangat beralasan jika di berbagai daerah,
protes oleh pihak yang kalah terhadap pemenang seusai pilkada menjadi hal yang
lazim dan biasa. Para suporter dalam sebuah pertandingan olah raga akan
mengamuk bila tim yang mereka dukung kalah, terutama dalam pertandingan
sepakbola.
Sehingga dalam detail pesan yang hendak disampaikan adalah harapan
bangsa ini kepada para pemimpin yang berjiwa ksatria diantaranya adalah
dapatnya para pemimpin itu santun dalam berucap dan memegang teguh etika
politik sehingga membawa kesejukan di lingkungan bangsanya yang saat ini
sudah tercabik-cabik karena konflik antar kelompok yang ada di masyarakat.
Perlu dihindarinya persaingan yang dapat merangsang akar rumput ikut terbakar
seperti contoh sikap sinisme, hujatan dan saling menjelekkan.
d. Sintaksis
Koherensi adalah jalinan antar kata antar kalimat dalam teks. Strategi ini
dapat dilihat dari penggunaan kata hubung (konjungsi) yang dipakai untuk
menghubungkan suatu kalimat.
Koherensi pada teks ini memakai koherensi pengingkaran dapat dilihat
pada kutipan berikut ini:
“Tentu ini sangat berbahaya. Bisa menyirnakan semangat juang, dan lebih dari itu: menyebabkan peserta kompetisi hanya berani menang. Tapi tidak berani kalah. Padahal dalam sebuah pertandingan, lomba, kompetisi - juga pemilu - dibutuhkan jiwa-jiwa ksatria. Yang bukau saja berani merebut kemenangan lalu bertahta sambil memangku piala kejuaraan, tetapi juga berani mengakui kemenangan lawan jika ternyata terpuruk sebagai pecundang.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
163
Koherensi pengingkaran dengan mengunakan kata “tapi” digunakan
penulis hendak mengemukakan pendapatnya bahwasanya sebuah kompetisi
termasuk disini adalah pemilihan presiden, para kontestan perlu menumbuhkan
kultur sportivitas dalam berkompetisi di negeri ini. Para peserta tidak hanya siap
menjadi pemenang tetapi juga harus siap menerima kekalahan dengan jiwa besar.
e. Stilistik
Elemen stilistik berkaitan dengan cara untuk menyatakan maksud,
menggunakan leksikon atau pemilihan kata maupun frase. Leksikon dalam teks ini
dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Yang kalah musti berani secara gagah mengulur salam, mengakui kemenangan rivalnya. Spirit “berani kalah” inilah yang sekarang rada susah ditemukan. Entahlah, di mana sekarang sifat keksatriaan semacam itu bersembunyi? Atau malah sudah menghilang? Akibatnya setiap kekalahan - dalam pertandingan sepak bola, pilkada dan sebangsan - sering menyulut amuk amarah. Bakar-bakaran. Gebuk-gebukan. Minimal, ancam-ancaman.” Pilihan kata “berani kalah” digunakan oleh penulis memiliki makna
berjiwa besar dalam menerima kekalahan. Tentu dalam konteks kalimat di atas
memberi satu penggambaran bahwa dalam kompetis politik, pasti selalu ada pihak
yang menang dan ada yang kalah. Bagi pihak yang kalah, yang dibutuhkan adalah
keberanian untuk mengakui dan menerima kekalahan dan mengucapkan selamat
kepada pemenang.
Dapat dikatakan bahwa berani mengakui kekalahan adalah bentuk dari
keluhuran budi dan kerendahan hati. Bukan justru menuding orang lain dengan
mencari kambing hitam seperti menuduh melakukan kecurangan pada pihak yang
menang dan menghujat lawan yang keluar sebagai pemenang. Sikap-sikap seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
164
ini tidak hanya menghasilkan keriuhan politik yang melelahkan, tapi justru
memicu kehancuran bagi kehidupan masyarakat dan persatuan bangsa.
f. Retoris
Dalam analisis wacana, retoris berkaitan dengan gaya bahasa, ditandai
dengan penggunaan kata kiasan atau metafora untuk mempersuasi.
Penggunaan elemen retoris dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Tentu ini sangat berbahaya. Bisa menyirnakan semangat juang, dan lebih dari itu: menyebabkan peserta kompetisi hanya berani menang. Tapi tidak berani kalah. Padahal dalam sebuah pertandingan, lomba, kompetisi - juga pemilu - dibutuhkan jiwa-jiwa ksatria. Yang bukau saja berani merebut kemenangan lalu bertahta sambil memangku piala kejuaraan, tetapi juga berani mengakui kemenangan lawan jika ternyata terpuruk sebagai pecundang.” Metafora “terpuruk sebagai pecundang” memiliki arti buah pembicaraan.
Penggunaan metafora “terpuruk sebagai pecundang” dalam kalimat di atas, untuk
menggambarkan kondisi yang menyedihkan bagi pihak yang kalah dalam
kompetisi. Kekalahan memang menyakitkan, namun yang kalah diharapkan tetap
memiliki energi jiwa agar bertahan, dan bangkit kembali karena ancaman paling
berbahaya yang menimpa orang-orang yang kalah adalah hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya semangat untuk tetap bertahan dan terus melawan, serta hilangnya
harapan dan optimisme.
“Bisa juga kelengkapan lombanya yang dikambinghitamkan. Dianggap nggak sempurna. Atau aturan mainnya dicurigai sarat akal-akalan. Bisa juga kecurigaan dialamatkan ke medan pertandingan yang (jangan-jangan) sengaja didesain tak memenuhi syarat.”
Kiasan “kambing hitam” umumnya dipakai atau ditujukan kepada suatu
atau pihak dianggap sebagai penyebab masalah yang muncul. Di negeri ini,
mengakui kekalahan dan mengucapkan selamat kepada pemenang adalah sesuatu
yang tabu dan tidak populer. Daripada mengakui kekalahan, pihak yang kalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
165
lebih memilih menolak kekalahannya dengan berbagai dalih yang dibuat-buat.
Mulai dari menuduh lawannya bermain curang, menggugat ke pengadilan dan jika
perlu mempolitisasi pendukungnya untuk melakukan tindakan anarkis. Realitas
seperti inilah yang kita saksikan pada pilkada yang berlangsung selama ini,
terutama sejak diberlakukannya pemilihan secara langsung.
6. Teks kolom “Indahnya Perceraian”
a. Tematik
Elemen tematik menunjuk pada gambaran umum pada suatu teks. Tema
atau topik menunjukkan informasi yang paling penting atau inti pesan yang ingin
disampaikan oleh komunikator dalam suatu teks.
Pada kolom berjudul “Indahnya Perceraian”, menyoroti realitas mengenai
prpisahan damai antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), yang mencalonkan sebagai kandidat Presiden.
Sehingga tema umum yang hendak dikemukakan adalah berkompetisi secara
damai.
Sejak kesepakatan antara SBY dan JK untuk bersama-sama maju sebagai
capres dan cawapres pada pemilu presiden tahun 2004 silam, tidak terdapat
perbedaan prinsip maupun kepentingan antar keduanya. Namun konstelasi politik
dan kepentingan politik diantara kedua tokoh ini mengharuskan keduanya harus
berpisah dan bersaing merebutkan jabatan kepala negara. Tanda-tanda perpisahan
duet tersebut mengemuka setelah Partai Golkar yang dipimpin Jusuf Kalla
memutuskan untuk mengusung kader sendiri partainya sebagai calon Presiden
dalam pemilihan umum Presiden. Tak pelak berbagai kalangan meragukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
166
efektivitas pemerintahan yang mereka emban, mengingat keduanya masih
memegang kendali pemerintahan untuk beberapa bulan kedepan.
Dengan adanya fakta ini, penulis ingin mengungkapkan kekhawatiranya
kepada pembaca, tentang nasib pemerintahan yang masih berjalan dikendalikan
oleh pihak yang akan berkompetisi dalam pemilihan presiden 2009. Pendapat ini
beralasan karena kedua tokoh yang masih menduduki kursi jabatan presiden dan
wakil presiden akan berada pada pusaran konflik kepentungan antar keduanya
dalam kompetisi perebutan kursi presiden. Bagaimana mungkin harus
melaksanakan tugas sebagai kepala pemerintahan (Presiden/Wakil Presiden) serta
koalisi dipertahankan kalau dalam kenyataannya kedua tokoh tersebut harus
memikirkan masa depan karier politik masing-masing. Inilah kemudian yang
ditekankan oleh penulis, seperti terlihat pada kutipan di bawah ini :
“Gosip politik yang tersiar cenderung menggambarkan kisruhnya hubungan kedua tokoh nasional itu. Orang mengkhawatirkan nasib bangsa ini, mengingat umur kekuasaan keduanya masih enam bulan lagi. Khalayak gelisah dan bertanya bagamana kepemimpin bisa akur kalau keduanya berseberangan?”
b. Skematik
Skema atau alur menunjukan bagaimana bagian-bagian teks diatur,
disusun dan diposisikan sehingga membentuk kesatuan makna. Tentu maksud
penyusunannya teks berkaitan dengan wacana apa yang ingin ditampikan oleh
penulis.
Judul yang yang diangkat dalam kolom ini adalah “Indahnya Perceraian”.
Dari judul tersebut telah menunjukkan tema besar yang hendak diangkat dalam
teks, yaitu mengenai kompetisi politik yang sehat. Pada isi teks secara
keseluruhan, disusun bagian-bagian tertentu untuk mendukung topik utama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
167
Informasi yang disampaikan pertama kali adalah mengenai pecahnya koalisi
antara SBY-JK. Dalam gagasan ini penulis mengungkapkan efektivitas jalanya
roda pemerintaha pasca perpisahan mereka.
Informasi kemudian dilanjutkan mengenai kekaguman penulis terhadap
kedewasaan kedua tokoh tersebut. Yang membawa kesejukan ditengah panasnya
suhu politik menjelang pesta demokrasi.
Bagian akhir yang ditampilkan yaitu mengenai sisa masa jabatan mereka
dimanfaatkan untuk menggalang dukungan sebagai keniscayaan akan karir politik
mereka masing-masing. Gagasan utama berkaitan dengan kompetisi politik yang
sehat ditempatkan penulis di awal teks.
c. Semantik
Elemen semantik terdiri dari pertama, latar adalah bagian pesan yang dapat
mempengaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan. Kedua, adalah elemen
wacana yang berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang.
Ketiga, Maksud adalah elemen wacana yang hampir sama dengan elemen detil.
Dalam detil, informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan dengan
detil panjang. Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan
komunikator akan selalu diuraikan secara eksplisit dan jelas.
Latar yang disampaikan penulis berkaitan dengan berpisahnya pasangan
duet pemerintahan SBY dan JK yang akan saling berkompetisi dalam perebutan
kursi presiden 2009. Penulis mencoba memberi gambaran adanya
kekurangharmonisan hubungan antara SBY dan JK. Dengan kian tajamnya
gesekan-gesekan yang terjadi antara SBY-JK, ada banyak pihak yang berharap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
168
duet ini dilanjutkan pada 2009-2014. Namun tidak sedikit pula pihak yang
berharap pasangan ini berpisah.
Terlepas dari gonjang-ganjing itu setidaknya perpisahan itu berjalan
dengan penuh kedamaian. Upaya ini dimaksudkan penulis untuk membangun satu
gambaran positif terhadap kedua tokoh tersebut, mencerminkan sikap seorang
negarawan menunjukkan wawasan, integritas, serta kapasitas intelektual dan
emosional diatas rata-rata, karena mampu membangun dan menjalankan
komunikasi politik dengan apik. Latar dapat dilihat dari kutipan di berikut ini :
“Bercerai tapi tetap rukun. Inilah janji sekaligus kenyataan politik kontemporer Indonesia yang membikin Mas Celathu terpesona. Berbeda dengan lazimnya sebuah pegatan atawa berpisahnya orang berpasangan, perceraian antara Pak SBY dengan Jusuf Kalla berlangsung damai. Padahal perceraian ini langsung talak tiga. Nggak bakalan tersambung lagi” Berikut elemen detail yang ingin disampaikan penulis menyikapi koalisi
partai politik dibangun pada saat kampanye hanya sebatas bagi-bagi kekuasaan,
belum memperhatikan nasib rakyat.
“Mas Celathu kadang tak habis pikir, apa dikiranya rakyat bisa langsung makmur jika para pemimpin partai sibuk membangun koalisi? Kapan sih nasib rakyat bener-bener diperhatikan, mengingat biasanya rakyat hanya disapa dan diperhitungkan eksistensinya saat Pemilu saja?”
Dalam elemen detail di atas, terlihat penulis menggambarkan secara
ekplisit nilai-nilai negatif koalisi politik. Skema presidensial dengan sistem
multipartai memungkinkan terjadinya koalisi antar partai politik agar tercipta
pemerintahan yang kuat dan stabil. Namun koalisi yang diperlukan itu bukan yang
bersifat semu dan berorientasi bagi-bagi kekuasaan belaka, koalisi semu justru
menjadi perangkap bagi oportunisme para elite politik. Namun ironisnya, tidak
ada upaya serius para elite membenahinya. Sehingga saat berlangsungnya pesta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
169
demokrasi hanya diramaikan kegaduhan koalisi bagi-bagi kekuasaan. Artinya ada
hubungan sebab-akibat dalam konteks ini.
Dalam elemen detail ini juga penulis ingin menegaskan bahwa kekuatan
koalisi itu yang dibentuk, mereka dapat menggunakannya untuk mendorong dan
mewujudkan misi dari ideologi yang diperjuangkam. Namun dalam prakteknya
segelintir elit politik yang oportunis hanya mamanfaatkan koalisi sebatas bagi-
bagi kekauasaan. Faktanya koalisi tidak sebanding lurus dengan tingkat
kesajahteaan masyarakat, belum tampak perubahan yang signifikan keadaan yang
lebih baik hasil pembangunan, jusrtu rakyat hanya menjadi alat untuk mendulang
suara pada pesta demokrasi.
Selain elemen detail, penulis juga menggunakan elemen maksud sebagai
upaya untuk menyampaikan informasi kepada pembaca.
“Nah,..gitu dong. Rakyat pasti akan mengenang keduanya sebagai negarawan. Bukan politikus yang rakus kekuasaan. Biasanya hanya petualang politik yang nggak bisa berhati dingin. Nggak siap kalah, nggak siap berbeda pendapat dan jika ternyata kalah dalam kompetisi, lalu ngamuk dan mengancam”, kata Mas Celathu mengobral pujian.” Maksud diatas penulis hendak mengungkapkan kesan positif kepada kedua
tokoh tersebut. Terlepas dari adanya konflik kepentingan dan mengejar kepuasan
hasrat kekuasaan antar kedua tokoh ini ternyata masih tersimpan sikap sportif.
berjiwa kesatria, yang lebih negarawan, sosok negarawan akan dengan sendirinya
menunjukkan wawasan, integritas, serta kapasitas intelektual dan emosional diatas
rata-rata. Untuk itu, moralitas tinggi mutlak bagi siapa pun yang terjun ke kancah
politik, apalagi menjadi pemimpin politik.
Hadirnya politisi dengan sikap kedewasaan dalam berpolitik tidak hanya
berkehendak memegang kekuasaan dengan cara bermain politik kotor, akan
meredam panasnya suhu politik. Panasnya suhu politik jelang pemilihan presiden
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
170
yang biasa diwarnai oleh isu-isu penjegalan, sikut-sikutan, dan teror politik
seolah-olah tak terhindarkan. Tentunya hal ini tentunya menjadi pendidikan
politik yang kontraproduktif bagi masyarakat yang kesehariannya masih dililit
kemiskinan mengharapkan hadirnya figur pemimpin yang membawa perubahan
dan pembaruan dalam kepemimpinan yang mengutamakan kepentingan
kemakmuran rakyat. Seperti tergambar pada maksud berikut ini:
”Di musim Pemilu yang tegang dan dibayangi aneka ancaman yang mengerikan, tentu saja dibutuhkan kedewasaan berpolitik. Biar lahir kese-jukan. Rakyat yang hidupnya konsisten susah, hendaknya jangan lagi dibebani dengan hal-hal yang tak berguna.” Lebih lanjut para politisi yang terjun ke ranah politik hendaknya melihat
kredibililas yang mereka miliki. Ada niat tulus untuk mengabdikan seluruh
energinya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Tidak terjebak pada tarikan-
tarikan kepentingan dan memikirkan kepentingan individu maupun kelompoknya
saja, seperti pada kutipan berikut ini:
“Makanya harus hati-hati bermain politik. Jika nggak siap lahir batin, mendingan nggak usah ikutan. Menjadi politisi itu panggilan jiwa dan harus siap berkorban. Bukan untuk cari keuntungan,” kata Mbakyu Celathu mengingatkan, sambil meneruskan dengan sinis. “Termasuk omongan yang tadi sampean puja-puji itu, saya kok nggak percaya.” Praanggapan merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung
makna suatu teks. Dalam teks artikel opini ini penulis menggunakan praanggapan
dengan membangun hipotesa (kesimpulan awal) tentang respon yang muncul
terikat kewajiban konstitusi SBY-JK menyelesaikan pemerintahan bersama
hingga akhir masa jabatan. Penulis beranggapan bagaimana mungkin harus
melaksanakan tugas sebagai kepala pemerintahan (Presiden/Wakil Presiden) serta
mempertahankan koalisi kalau dalam kenyataannya kedua tokoh tersebut harus
memikirkan masa depan karier politik masing-masing. Asumsi dasar penulis ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
171
memang tidak terlalu berlebihan, namun dari kata-kata tersebut dapat dilihat
bahwa penulis ragu terhadap efektivitas duet Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kala dalam sisa masa jabatan beberapa
bulan ke depan. Berikut kutipannya :
“Gosip politik yang tersiar cenderung menggambarkan kisruhnya hubungan kedua tokoh nasional itu. Orang mengkhawatirkan nasib bangsa ini, mengingat umur kekuasaan keduanya masih enam bulan lagi. Khalayak gelisah dan bertanya bagamana kepemimpin bisa akur kalau keduanya berseberangan?”
d. Sintaksis
Sintaksis adalah elemen analisis, secara umum digunakan dalam
menampilkan diri secara positif dengan menggunakan kalimat. Salah satu dari
sintaksis adalah koherensi yaitu pertalian atau jalinan antar kata atau kalimat
dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat
dihubungkan sehingga tampak koheren.
Pada kolom yang berjudul “Indahnya Perceraian” ini, terdapat dua
koherensi pengingkaran yang masing-masing memakai kata “tapi” dan “namun”.
Kedua koherensi ini memiliki makna yang sama yakni pandangan penulis
berkaitan dengan sikap kedewasaan pasangan SBY-JK yang bersepakat
mengakhiri kerja sama sebagi pasangan presiden dan wakil presiden dengan cara
damai. Perpisahan ini berkaitan dengan keputusan kedua tokoh ini akan sama-
sama bertarung sebagai kandidat presiden yang diusung partainya masing-masing
dalam pemilihan presiden 2009.
Pengingkaran ini memiliki makna bahwa secara implisit, penulis sangat
memberi apresiasi dan optimis terhadap keteladanan yang ditunjukkan kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
172
kedua tokoh nasional ini bahwasanya persaingan politik tidak selalu ditempuh
dengan cara-cara yang tidak santun kurang beradab.
Koherensi I “Bercerai tapi tetap rukun. Inilah janji sekaligus kenyataan politik kontemporer Indonesia yang membikin Mas Celathu terpesona. Berbeda dengan lazimnya sebuah pegatan atawa berpisahnya orang berpasangan, perceraian antara Pak SBY dengan Jusuf Kalla berlangsung damai. Padahal perceraian ini langsung talak tiga. Nggak bakalan tersambung lagi”
Kokerensi II “Lagi-lagi presiden mematahkan ketauladanan berpolitik yang santun dan beradab. Orang boleh berbeda bahkan melaksanakan persaingan, namun semuanya berlangsung tanpa diwarnai sifat kekanak-kanakan. Masing-masing pihak tak harus mengakhiri perpisahan dengan jothakan, apalagi gontok-gontokan. Pecahnya dwi tunggal, yang tempo hari kompak dalam kredo “Bersama Kita Bisa” ini, menurut Mas Celathu, mengukir sejarah demokrasi modern.”
e. Stilistik
Bagian dari stilistik adalah leksikon. Leksikon adalah elemen yang
menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai
kemungkinan kata yang tersedia. Penggunaan leksikon dimaksudkan sebagai
upaya penulis menarik perhatian pembaca. Berikut kutipan penggunaan leksikon :
“Dalam duet kepemimpinan selama enam bulan mendatang, Mbakyu Celathu memperkirakan, pasti bakal terjadi rebutan pengaruh. Tugas-tugas kenegaraan dibayangkannya akan dimanfaatkan untuk tebar pesona. Masing-masing diduga tak kompak lagi, karena keduanya menggembol kepentingan sendiri-sendiri. La wong sudah pegatan kok masih tidur satu ranjang?” Penggunanan ungkapan “tebar pesona” diatas merujuk pada sebuah
tindakan membuat orang lain terpesona. Dalam konteks ini bahwa adanya tarikan
kepentingan karir politik pasangan duet SBY-JK yang akan bertarung dalam
perebutan tahta kursi presiden, tentunya mereka akan disibukkan untuk mencari
dukungan dan simpati mayoritas masyarakat disisa masa jabatan mereka masing-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
173
masing.tugas mereka ini bisa dimanfaatkan sebagai ikhtiar untuk mendulang
simpati mayoritas masyarakat, tidak tertutup kemungkinan setiap agenda atau
kegiatan sebagai presiden dan wakil persiden dimanfaatkan untuk melakukan
politik tebar pesona.
f. Retoris
Retoris mempunyai fungsi persuasif. Retoris berhubungan erat dengan
bagaimana pesan itu ingin disampaikan kepada khalayak. Elemen retoris dapat
dilihat dari penggunaan ungkapan, metafora, kiasan atau gaya bahasa hiperbolik.
Berikut kutipan yang di dalamnya terdapat elemen retoris (metafora):
“Bercerai tapi tetap rukun. Inilah janji sekaligus kenyataan politik kontemporer Indonesia yang membikin Mas Celathu terpesona. Berbeda dengan lazimnya sebuah pegatan atawa berpisahnya orang berpasangan, perceraian antara Pak SBY dengan Jusuf Kalla berlangsung damai. Padahal perceraian ini langsung talak tiga. Nggak bakalan tersambung lagi” Penggunaan metafora atau kiasan “bercerai” dimaksudkan penulis untuk
menyatakan tidak dilanjutkannya duet koalisi SBY-JK untuk periode yang kedua
kalinya, karena masing-masing pihak memutuskan mencalonkan diri sebagai
presiden pada pemilihan presiden 2009. Pemakaian metafora bercerai
mengindikasikan adanya ketidakharmonisan diantara kedua belah pihak untuk
berpasangan kembali. Sedangkan kiasan “talak tiga” diartikan bahwa keputusan
perpisahan antara duet SBY-JK sudah final dan tidak ada tawar menawar untuk
terjalin kembali.
Sedangkan retoris selanjutnya, penulis menggunakan kiasan “suami-isteri”
untuk menyatakan pasangan SBY-JK masih resmi berada dalam sebuah ikatan
konstitusi sebagai presiden dan wakil presiden. Sementara ungkapan
“berselingkuh” merupakan sindiran kapada kedua tokoh tersebut. Penggunaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
174
metafora “berselingkuh” ini juga dimaksudkan untuk menggambarkan atau
menggeneralisir suatu tindakan mencari pasangan baru pada konteks ini ialah
usaha menjalin koalisi untuk dijadikan pasangan mereka masing-masing. Untuk
mengungkap sebuah keniscayaan yang harus dilakukan sulit untuk dihindari
bahwa kebersamaan antara kedua pemimpin dari partai politik yang berbeda itu
pada akhirnya akan menghadapi tantangan yang sesungguhnya, yakni persiapan
menghadapi pemilihan presiden. Berikut kutipannya:
“Bukankah hari-hari mendatang akan diwarnai kesibukan Pak SBY dan Jusuf Kalla cari pasangan baru sebagai Wapres. Masih jadi “suami-isteri” kok bisa-bisanya berselingkuh secara terang-terangan, piye jal?”
7. Teks kolom “Melawan Lupa”
a. Tematik
Dalam artikel kolom berjudul “Melawan Lupa” tema umum mengulas
mengenai pentingnya menjaga ingatan. Dalam konteks ini mengingat rekam jejak
catatan masa lalu para politisi yang hendak maju sebagai kandidat calon presiden
dan calon wakil presiden. Semua capres dan cawapres memiliki catatan hitam
putih dalam sejarah masa lalunya. Panasnya suasana perpolitikan menjelang
pemilihan presiden, isu-isu catatan masa lalu calon pemimpin kembali muncul ke
masyarakat.
Dengan tema ini penulis ingin menegaskan bahwa pesta demokrasi
semakin mengukuhkan peran politik pencitraan. Demi mendapat simpati dan
dukungan masyarakat para kandidat serta tim suksesnya memoles semua hal
buruk yang pernah melekat pada diri sang kandidat. Melalui polesan lambang
dalam iklan dan kampanye, gambaran yang mengemuka adalah tentang kebaikan
pemimpin, sehingga catatan hitam keburukan sang calon pemimpin tidak lagi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
175
tampak. Rakyat sesaat diajak untuk melupakan masa lalu mereka kerana telah
masuk pada kesadaran semu oleh polesan citra yang telah mereka ciptakan. Pada
titik ini, terjadi hilangnya kecerdasan, kejelian serta semangat kritis pemilih untuk
menentukan pilihan.
Pilpres adalah momentum rakyat untuk melakukan suksesi kepemimpinan
nasional. Suksesi kepemimpinan nasional hendaknya tidak dijadikan rekayasa
politik demi kepentingan segelintir elit politik (para kandidat dan tim suksesnya)
sehingga rakyat harus dijadikan sebagai justifikasi pencapaian kekuasaan. Inilah
yang kemudian ditekankan oleh penulis, seperti terlihat pada kutipan di bawah ini:
“Ada yang sengaja lupa sebagai siasat untak mendapatkan kemenangan. Ada yang sengaja melupakan masa lalunya yang kelam, demi memanipulasi riwayatnya yang kotor. Malah terkadang ada pihak-pihak tertentu yang secara sengaja dan sistemik menyelenggarakan “lupa” koleketif. Masyarakat disihir menjadi masyarakat lupa dengan digelontor iklan-iklan politik yang full iming-iming. Dan kemudian masyarakat tak lagi punya kekuatan melawan lupa. Sulit membedakan mana emas dan mana loyang. Mana kelinci yang jinak dan serigala yang galak.”
b. Skematik
Elemen skematik dalam analisis wacana berfungsi sebagai strategi
komunikator untuk mendukung makna umum dengan memberikan sejumlah
alasan pendukung.
Pada kolom opini ini, fakta yang disampaikan oleh penulis pertama
mengenai penjelasan nilai atau substansi untuk selalu menjaga ingatan kita.
Penulis beranggapan bahwa menjaga daya ingat saat ini cenderung disepelekan.
Selanjutnya di tengah tulisan, penulis menjabarkan tentang penyakit lupa
telah menjangkiti para politisi yang terjun ke ranah politik praktis, sengaja
melupakan masa lalu guna menarik simpati publik lewat pencitraan yang mereka
tampilkan. Demi kekusaan mereka melupakan sejarah masa silam unutk menjalin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
176
koalisi. Tidak ditemukan gagasan pada akhir tulisan yang mendukung tema dalam
teks ini. Gagasan utama untuk mendukung tema pentingnya melawan lupa
ditempatkan penulis di bagian tengah tulisan.
c. Semantik
Semantik merupakan makna lokal dalam sebuah teks. Makna itu muncul
dari hubungan antar kalimat, hubungan antar proposisi yang membangun makna
tertentu dalam suatu konstruksi teks.
Latar merupakan bagian teks yang data mempengaruhi semantik (arti)
yang ditampilkan. Latar yang digunakan penulis adalah mengenai menurunnya
sikap kritis sebagian masyarakat, cenderung tak memperdulikan masa lalu para
kandidat yang akan bertarung pada pemilihan presiden.
“Apalagi di hari-hari, seperti sekarang, yang membutuhkan kesungguhan dan kecermatan saat orang akan memilih calon pemimpin bangsa. Cuma sayangnya, orang cenderung meremehkan penyakit begituan. Kebiasaan lupa yang sering hinggap di otak semua orang, dipahami sebagai keniscayaan.” Penggunaan latar ini sengaja disampaikan penulis untuk mendukung tema
pentingnya menjaga ingatan kita terhadap rekam jejak para politisi sebagai
kandidat calon presiden dan wakil presiden. Dengan mempertimbangkan masa
lalu bukan dimaksudkan untuk mengungkit-ungkit dan mencari-cari kesalahan
para capres maupun cawapres tetapi sebagai cara melihat secara utuh sosok yang
pantas untuk memimpin negeri ini.
Bukan tanpa alasan mengapa penulis mengajak untuk melawan lupa,
khususnya pada saat menjelang pemilu. Seperti kita ketahui adanya keniscayaan
bahwa sebagian masyarakat kita cenderung melupakan setiap kejadian demi
kejadian bila mencuat kejadian baru. Dan tidak tertutup kemungkinan sifat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
177
“pelupa” ini dimanfaatkan oleh pihak yang akan berkompetisi dengan
memperdayai keluguan publik melalui polesan manipulatif mereka. Penulis ingin
menegaskan bahwa dengan melihat rekam jejak para kandidat, masyarakat dapat
melihat serta menentukan pilihan secara jernih, siapa yang pantas menjadi
nahkoda negara ini kedepan.
Berikut elemen detail yang ingin disampaikan penulis menyikapi
fenomena melupakan masa lalu para elit politik sebagai strategi untuk
mendapatkan simpati publik.
“Ada yang sengaja lupa sebagai siasat untak mendapatkan kemenangan. Ada yang sengaja melupakan masa lalunya yang kelam, demi memanipulasi riwayatnya yang kotor. Malah terkadang ada pihak-pihak tertentu yang secara sengaja dan sistemik menyelenggarakan “lupa” koleketif. Masyarakat disihir menjadi masyarakat lupa dengan digelontor iklan-iklan politik yang full iming-iming. Dan kemudian masyarakat tak lagi punya kekuatan melawan lupa. Sulit membedakan mana emas dan mana loyang. Mana kelinci yang jinak dan serigala yang galak.” Dalam elemen detail di atas, terlihat penulis menggambarkan secara
implisit adanya elite politik tertentu demi mendapatkan kekuasaan melupakan
noktah hitam yang pernah melekat pada diri mereka, sengaja menghapus dan
merubah image masa lalu dan tampil dengan polesan baru untuk menumbuhkan
pandangan positif pada diri pemilih terhadap mereka seolah-olah tidak pernah ada
catatan kelam pada diri mereka.
Meski tidak secara eksplisit menyebut nama, tetapi dapat dilihat
pandangan penulis hendak menyoroti tampilnya beberapa purnawirawan jenderal
dalam pilpres 2009. Dengan anggaran iklan yang mengalir bak air bah, mereka
mendadak tampil seolah-olah sosok yang dekat dengan rakyat kecil sungguh
pemandangan yang sangat kontradiktif yang tidak mereka tampakkan sepuluh
tahun silam. Semuanya itu lebih merupakan mekanisme penciptaan kesan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
178
daripada substansi yang sebenarnya, perhatian rakyat akhirnya tersedot ke dalam
realitas semu. Hingga gamang dan tak mampu untuk mengevaluasi kredibilitas
pribadi masing-masing yang bertarung. Apalagi dengan mayoritas rakyat
Indonesia yang memiliki kualifikasi pendidikan menengah ke bawah, menjadi
sasaran empuk dari polesan politik pencitraan tersebut.
Elemen detail berikut berkaitan dengan koalisi yang dibangun antara
Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto.
“Dulu, ada partai yang diganyang kekuatan bersenjata. Korban berjatuhan. Ada yang cacat, bahkan gugur demi membela kehormatan partainya. Tapi sekarang? Antara yang diganyang dan mengganyang, saling rangkulan dengan mesra.” Detail yang disampaikan diatas, penulis hendak menyampaikan fakta
terjalinnya salah satu koalisi pada pilpres 2009, yakni tampilnya pasangan
Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto sebagai duet capres dan
cawapres. Hadirnya pasangan ini dalam salah satu kandidat pasangan capres dan
cawapres tergolong unik, mengingat kedua tokoh ini pada masa orde baru pernah
terlibat dalam konflik politik. Demi sutu tawar-menawar politik mendapatkan
kekuasaan keduanya bersepakat untuk berkoalisi.
Tampilnya pasangan ini semakin menegaskan satu istilah: tidak ada kawan
maupun lawan abadi dalam dunia politik yang ada hanyalah kepentingan abadi.
Seolah-olah lupa dengan pengalaman masa lalu masing-masing, dengan
mengusung klaim sebagai pasangan yang pertama kali mengusung konsep
ekonomi kerakyatan, kini mereka bersatu untuk satu tujuan.
e. Stilistik
Bagian dari stilistik adalah leksikon. Leksikon adalah elemen yang
menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
179
kemungkinan kata yang tersedia. Pemilihan kata yang dipakai tidak semata hanya
karena kebetulan, tetapi juga secara ideologis menunjukkan bagaimana
pemaknaan seseorang terhadap fakta atau realitas. Leksikon dalam teks ini dapat
dilihat pada kutipan berikut :
“Malah terkadang ada pihak-pihak tertentu yang secara sengaja dan sistemik menyelenggarakan “lupa” kolektif. Masyarakat disihir menjadi masyarakat lupa dengan digelontor iklan-iklan politik yang full iming-iming. Dan kemudian masyarakat tak lagi punya kekuatan melawan lupa. Sulit membedakan mana emas dan mana loyang. Mana kelinci yang jinak dan serigala yang galak.” Penggunaan kata “lupa” dalam kutipan diatas dapat dimaknai sebagai
keadaan hilangnya daya ingat akibat pencitraan yang telah dibangun.
f. Retoris
Elemen retoris berkaitan dengan pemakaian gaya bahasa tertentu oleh
komunikator dalam suatu teks. Retoris adalah gaya bahasa, ditandai dengan
penggunaan kiasan, ungkapan atau metafora pada suatu teks yang memiliki fungsi
persuasive. Penggunaan elemen retoris (metafora) dalam artikel opini dapat dilihat
dari kalimat berikut :
“Melik Ngendhong Lali”. Artinya, kekuasaan selalu disertai lupa. Rupanya, gemebyarnya kursi kekuasaan yang sangat menyilaukan membuat orang gampang lupa sejarah. Juga lupa pada dirinya sendiri.” Penggunaan meafora “Melik Nggendong Lali”, yang dilengkapi istilah
dalam bahasa Indonesia “kekuasaan selalu disertai lupa” digunakan sebagai
bumbu dari teks untuk merupakan untuk melengkapi gagasan mengenai
pentingnya melawan lupa. Peribahasa bahasa Jawa ini memiliki dua makna yang
terkandung. Pertama, menggambarkan bahwa ambisi untuk berkuasa para elit
politik cenderung untuk melupakan sejarah masa lalu mereka. Tarikan
kepentingan diantara para elite politik memungkinkan mereka untuk bekerja sama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
180
membangun koalisi. Sehingga koalisi yang dibangun cenderung hanya sekadar
bagi-bagi kekuasaan. Kedua, kenikmatan gemerlap kursi kekuasaan membuat lupa
dengan janji-janji yang dilontarkan kepada rakyat, dan setelah perhelatan pemilu
suara rakyat tampak hilang dari peredaran.
3.2.2. Wacana Politik pada Kolom Opini Celathu Butet
Menurut Van Djik, analisis wacana tidak hanya membatasi perhatiannya
pada struktur teks melainkan bagaimana teks tersebut diproduksi. Teks tidak
berada di dalam ruang hampa, karena teks adalah hasil dari konstrusi subyek
terhadap obyek atau peristiwa yang terjadi. Dalam megkonstruksi obyek, subyek
sangat dipengaruhi oleh sebuah kesadaran pengetahuan, prasangka, atau
pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa.94 Dengan demikian teks merupakan
hasil dari pembacaan terhadap suatu peristiwa, yag sudah dipengaruhi oleh
subyektifitas subyek tersebut. Sehingga dalam konteks ini, sebuah teks tidak
dalam posisi netral, dikarenakan sudah disusupi oleh pemahaman subyek.
Dari hasil analisis terhadap kolom-kolom opini Celathu Butet yang
muncul di harian Suara Merdeka edisi Minggu selama periode bulan April 2008 –
Mei 2009 berkaitan dengan tema politik, ternyata dapat diketahui bahwa penulis
melakukan konstruksi negatif terhadap tema ini. Hal ini tampak pada sindiran-
sindiran merespon kondisi politik maupun perilaku para elite politik. Sehingga
pembaca tidak sekadar menikmati kisah-kisah pemberontakan Mas Celathu
terhadap kehidupan atau berbagai peristiwa politik tetapi juga memperoleh
pemberontakan cara berfikir yang terkadang dekonstruktif dan subversif.
94 Erianto, ibid, hal. 260
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
181
Walaupun dari hasil analisis teks, terlihat bahwa penulis mengusung tema
yang berbeda dalam menyikapi wacana politik berkaitan dengan kepemimpinan
nasional, namun secara substansi memiliki kesamaan. Kesamaan substansi ini
berkaitan dengan pandangan skeptis penulis melihat kondisi politik dan perilaku
para elitenya. Sebagaiman kita ketahui, pentas politik nasional pasca reformasi
disesaki intrik para politisi yang haus akan hasrat untuk berkuasa.
Dengan mengomentari peristiwa penulis terlihat lebih bebas menyeret
segala persoalan nyata dan berbahaya secara politis ke rumah tangga Mas Celathu
yang lebih dikenal sebagai Republik Celathu dan tidak jatuh sebagai teks yang
memfitnah presiden, pejabat publik, atau orang lain. memang menceletuki
peristiwa, bukan mengomentari ucapan pejabat, bintang film, atau para pembuat
berita dan cerita di negeri ini. Karena harus menulis dalam bentuk kolom, penulis
menuangkan gagasan, kritik, atau komentarnya dalam nuansa esai dan cerita.
Dari hasil konstruksi yang dilakukan penulis, terdapat dua wacana yang
berhubungan dengan kepemimpina nasional. Dua wacana tersebut didasarkan
pada hasil rangkuman dari tema-tema kolom opini. Pertama, wacana tentang
kepercayaan publik terhadap kredibilitas calon pemimpin. Munculnya wacana ini
tentu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kepercayaan yang diberikan
publik kepada para elite politik, terkait turunnya tingkat kepercayaan rakyat
kepada para elite politik. Janji-janji digunakan hanya untuk menarik dukungan
seluas-lusanya dari masyarakat. Kedua, kondisi obyektif naik turunnya
kepercayaan publik ini berkaitan bagaimana para pemimpin memperhatikan hak-
hak dasar yang harus didapatkan oleh rakyat dapat terpenuhi dan sesuai dengan
cita-cita bangsa ini dan tujuan dari sistem demokrasi di Indonesia. Kolom opini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
182
yang membahas wacana ini yaitu, “Risiko Pemimpin” (6 April 2008),
“Menyembah Rakyat” (31 Agustus 2008), “Manuver ABS” (1 Februari 2009).
Kedua, wacana tentang hasrat berkuasa melalui momen pemilihan
presiden langsung. Kepemimpinan berkaitan erat dengan kewenangan dan
kekuasaan. Kekuasaan merupakan suatu kapasitas atau potensi untuk
mempengaruhi sikap dan perilaku pihak lain. Dalam konteks politik di Indonesia
para politisi tampak terjebak ke dalam tarikan-tarikan yang menggiurkan untuk
memanfaatkan jabatan. Jabatan dan kekuasaan dipergunakan untuk melabuhkan
harapan dan keinginan mereka. Sehingga orang Indonesia yang terkenal rendah
hati, mendadak menjadi orang yang tanpa malu menyombongkan diri, terang-
terangan mengatakan kepada rakyat bahwa dirinyalah yang paling hebat
memimpin bangsa ini. Artikel kolom yang membahas wacana ini yakni, “Raja
Nyapres” (2 November 2008), “Berani Kalah” (29 April 2009), “Indahnya
Perceraian” (26 April 2009), “Melawa Lupa” (3 Mei 209).
3.2.3. Wacana tentang rendahnya tingkat kepercayaan kepada pemimpin.
Dari analisis terhadap kolom opini dengan tema “Risiko Pemimpin” (6
April 2008), “Menyembah Rakyat” (31 Agustus 2008), “Manuver ABS” (1
Februari 2009), tampak bahwa sikap Mas Celathu -alter ego penulis-
mencerminkan responnya terhadap kepercayaan publik terkait politik pencitraan
yang ditampilkan para politisi menjelang pelaksanaan pemilihan umum presiden.
Para elite politik yang akan berebut kekuasaan sadar bahwa pemilih Indonesia
adalah pemilih dengan daya ingat pendek. Apalagi dengan mayoritas rakyat
Indonesia yang memiliki kualifikasi pendidikan menengah ke bawah, menjadi
sasaran empuk dari polesan politik pencitraan tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
183
Dalam kolom “Risiko Pemimpin” penulis menggambarkan arogansi
protokoler keprsidenan serta mengkritik agenda kepresidenan dimanfaatkan untuk
mendongkrak popularitas para pemimpin melalui politik pencitraan yang
ditampilkan kepada khalayak. Melalui skema peristiwa95 penulis merespon
tindakan yang dilakukan para pemimpin menonton salah satu film nasional.
Penulis mempertanyakan apakah hal itu wujud apresiasi para pemimpin terhadap
perfilman nasional atau usaha mendongkrak citra mereka agar terlihat populer
dimata masyarakat, “Ditengah keprihatinan bangsanya yang memanen
“prestasi”, yaitu berhasil meningkatkan jumlah orang mati karena kelaparan dan
meningginya jumlah orang bunuh diri lantaran tekanan ekonomi, para pemimpin
berbondong-bondong nonton film nasional. Nonton rame-rame dan diliput media
massa. Semua orang jadi tahu, di gedung bioskop para pemimpin sedang cari
hiburan…kok ya tega-teganya para pemimpin pada tebar pesona pamer air mata,
sementara untuk keterpurukan nasib rakyatnya mereka pelit mencucurkan air
mata?. Dengan menceletuki peristiwa, penulis lebih bebas menyeret segala
persoalan nyata dan berbahaya secara politis dimasukkan ke dalam rumah tangga
Mas Celathu yang disebutnya Republik Celathu sehingga tidak jatuh sebagai teks
yang memfitnah presiden, pejabat publik, atau orang lain.
Dari pernyataan diatas penulis hendak menyampaikan kritik terhadap
kegagalan pemerintah memperhatikan kesejahteraan rakyat yang dianggapnya
sebuah “prestasi” ...yaitu berhasil meningkatkan jumlah orang mati karena
kelaparan dan meningginya jumlah orang bunuh diri lantaran tekanan ekonomi..
95 Skema perisitiwa merupakan skema untuk menggambarkan dan menafsirkan sebuah peristiwa. Lihat Eriyanto, ibid, hal. 263.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
184
“Pujian” sinis kepada pemerintah yang dianggapnya tidak peka melihat rintihan
rakyatnya dan justru sibuk untuk membangun pencitraan.
Melaui skema person96 penulis membandingkan betapa egaliternya sikap
Gu Dur97 saat menjabat presiden melunakkan standar protokoler ..nyatanya Gus
Dur bisa. Sewaktu jadi presiden, aturan protokoler yang feodalistik dia babat.
Saya merasakan dialah pemimpin yang bukan setengah dewa. Tapi benar-benar
manusia.”. Dengan melihat sikap Gus Dur tesebut, penulis hendak membangun
sebuah pemahaman bahwa protokoler kepresidenan tidak selamanya berkesan
angker, sehingga memunculkan kesan budaya pemerintahan yang arogan.
Pencitraan para elite politik juga tergambar dalam kolom opini
“Menyembah Rakyat”. Dalam kolom ini penulis dengan menggunakan skema
peristiwa lebih banyak membahas tentang dampak yang ditimbulkan dari
pengembangan politik pencitraan belum tentu sesuai dengan gambaran
sebenarnya dari seseorang. Bagi penulis yang notabene seorang seniman teater
yang kerap memerankan berbagai macam karakter, melihat bahwa tampil bukan
menjadi dirinya sendiri bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan, selain itu
tampil dengan penuh polesan justru menghadirkan kepalsuan pada dari seseorang
dan berujung menjadi kebohongan. Penulis mengatakan “..sesuatu yang tulus dan
jujur jauh lebih mulia. Sementara sesuatu yang tampil penuh polesan, justru akan
96 Skema person merupakan skema untuk menggambarkan bagaimana seseorang memandang orang lain. Eriyanto, Ibid, hal.262. 97 Kyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur, adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). http://beritafenomenal.wordpress.com/2009/12/30/profilbiodata-serta-riwayat-hidup-gusdur/
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
185
membahayakan karena cenderung melahirkan kepalsuan. Ujung-ujungnya
menjadi kebohongan”.
Di sini kemudian, penulis ingin menekankan bahwa citra yang selama ini
tercermin dari diri seseorang jangan sekali-kali diingkari, melalui skema person.
penulis menyampaikan pesan moral terkait ketulusan dan kejujuran seseorang
khususnya bagi mereka yang berniat terjun ke kancah politik praktis. Kekecewaan
masyarakat terhadap kondisi perpolitikan tanah air selama ini, lebih dikarenakan
kekecewaan kepada perilaku para elite politiknya yang hanya memanfaatkan
pemilihan umum untuk kepentingan pragmatis mendapatkan jabatan, posisi rakyat
kembali diperhitungkan sebagai warga negara, namun kambali dilupakan setelah
perhelatan pesta demokrasi usai. Penulis menggambarkan pentingnya peran rakyat
ini dengan dramatis seperti tampak dalam peryataan berikut “Kalau perlu dijilati
karena rakyat mulai dianggap penting lagi. Inilah sebuah ritual permanen lima
tahun sekali. Rakyat disembah. Rakyat dibanggakan, dibujuk partisipasinya, dan
setelah itu – seperti biasa – rakyat segera dilupakan lagi”.
Penulis juga mengomentari ketidakdewaasan berpolitik -meminjam istilah
yang pernah dilontarkan Presiden Abdurrahman Wahid- cukup dengan istilah
taman kanak-kanak. Dalam pernyataannya ini penulis berkomentar “Biarlah
semua itu terjadi sebagai keniscayaan kelas taman kanak-kanak”.
Tetapi penulis juga melihat masih adanya kesadaran bersama dari rakyat.
Dari kutipan berikut tampak adanya suasana kebatinan yang dirasakan penulis
yang notabene juga sebagai rakyat biasa bahwa rakyat masih mempunyai hati
nurani dalam melihat kebenaran di pentas politik tanah air yang dipenuhi para
aktor politik yang hanya mengekjar keuntungan semata. Dengan penuh antusia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
186
penulis menulis “Rakyat bukanlah sejenis keledai yang tiap lima tahun ikhlas
dikibuli. Pastilah mereka bisa membedakan mana emas dan mana loyang. Mana
yang beneran dan mana yang kadal-kadalan”.
Sementara dalam kolom “Manuver ABS” penulis melalui skema peristiwa
pembentukan citra menyoroti menghangatnya suhu politik menjelang perhelatan
pesta demokrasi 2009. Sejak jauh hari masing-masing saling serang melancarkan
perang urat syaraf. Bisa dimanfaatkan untuk mendongkrak citra. salah satu yang
mengemuka adalah berhembusnya isu ABS.98 Menjelang pemilihan presiden 2009
istilah ini kembali muncul, namun dengan arti berbeda, yakni “Asal Bukan S”.
Tidak jelas pihak yang memunculkan dan ditujukan kepada siapa isu tersebut.
Mengingat banyaknya tokoh politik mencalonkan diri sebagai presiden memiliki
nama diawali huruf S, semakin menimbulkan pertanyaan siapa “S” yang
dimaksud. Sebagai incumbent, Presiden SBY yang mencalonkan lagi sebagai
presiden untuk kedua kalinya, mengungkapkan “S” itu ditujukan pada dirinya.
Menuding adanya pihak-pihak yang tidak menginginkan beliau maju lagi dalam
pencalonan presiden 2009.
Melalui skema peristiwa penulis hendak mengungkap panasnya persaingan
yang terjadi merupakan strategi yang dikembankan masing-masing kubu merebut
simpati rakyat. Penulis mengungkapkan, kemenangan SBY pada pemilu presiden
2004 tak terlepas pada kepaiwaian memanfaatkan strategi “..itu hanya strategi,
biar SBY dikesankan “terancam” dan sedang teraniaya” . sebuah jurus klise
yang lima tahun lalu mendulang sukses sehingga dirinya laksana dapat
98 Istilah ABS atau Asal Bapak Senang, bukan hanya muncul saat ini saja. Istilah ini ternyata sudah jadi idiom sejak pemerintahan Bung Karno. Bahkan saat Soeharto berkuasa, istilah ini semakin dikenal. Zaman SBY, ABS memicu kontroversi tersendiri. http://www.cyberforums.us/forum/showthread.php?t=27666
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
187
tunggangan roket, menghantarkannya ke kursi tertinggi negeri ini”. Sehingga
penulis berkesimpulan bahwa kubu SBY rupanya ingin mengulang sukses dengan
menerapkan strategi serupa.
Skema person dipakai penulis untuk mengibaratan panggung politik
dengan panggung Srimulat sebagai respon penulis terhadap kelucuan dan
keanehan yang terjadi menjelang pemilu. Para elite politik memanfaatkan iklan
sebagai media “pertengkaran” mereka. Mahalnya ongkos politik seakan taidak
mereka pedulikan. Suatu kejadian yang ironis mengingat sebagian besar
masyarakat masih dililit mahalnya kebutuhan hidup. Penulis berkomentar
…“tindakan para petinggi partai yang doyan “bertengkar” lewat iklan, bisa
dikategorikan sebagai sesuatu yang aneh dan itu lucu. Bertengkar kok mbayar?
3.2.4. Wacana tentang hasrat berkuasa melalui momen pemilihan presiden
langsung.
Wacana kedua yang akan dibahas berkaitan dengan analisis sikap penulis
mengenai peemilu presiden langsung sebagai ajang perebutan jabatan dan
kekuasaan. Ranah politik di negeri ini diramaikan para politikus yang hanya
terpaku & terpukau oleh kepentingan jangka pendek gemerlapnya kekuasaan.
Kultur semacam ini bukan saja melandasi politisi, kaum intelektual yang selama
ini dikenal dengan kejernihan & kemerdekaan pikirannya, kini kehilangan
identitasnya sebagai kaum intelektual karena tergoda politik kekuasaan. Kolom
opini yang membahas wacana ini adalah “Raja Nyapres” (2 November 2008),
“Berani Kalah” (29 April 2009), “Indahnya Perceraian” (26 April 2009),
“Melawan Lupa” (3 Mei 209).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
188
Dalam wacana ini, penulis menggunakan skema peristiwa99 untuk
merespon peristiwa yang terjadi disekitarnya terutama peristiwa diranah politik
tanah air. Akan diselenggarakannya pesta demokrasi di tahun 2009 meningkatkan
suhu politik dengan ramainya sosok-sosok yang akan maju dalam bursa
pencalonan baik legeslatif maupun eksekutif. Pada level pemilihan eksekutif akan
mencari sosok pemimpin atau presiden baru yang akan memangku jabatan untuk
lima tahun mendatang. Proses pemilihan presiden langsung yang dipilih rakyat
diharapan adalah sosok yang benar-benar pilihan rakyat yang memiliki segala
syarat dan kemampuan menjadi seorang presiden.
Sejak era reformasi untuk kedua kalinya proses pemilihan presiden
langsung dilaksanakan. Dalam konteks porsedur telah melahirkan pemimpin atau
presiden baru, namun dalam substansi masih banyak kekecewaan dari rakyat,
karena dirasakan belum bisa melepaskan negara ini dari segala masalah
kebangsaan, mulai dari persoalan kesejahteraan rakyat, utang luar negeri, korupsi,
sampai pada persoalan-persoalan lainnya.
Harapan akan adanya perubahan kondisi bangsa menuju ke arah yang
lebih baik disegala sektor kehidupan kembali hadir ditahun 2009, dimana proses
demokasi akan berjalan. Dalam proses ini rakyat akan memilih lansung wakil-
wakilnya untuk menduduki lembaga legeslatif. Dan yang lebih utama proses ini
akan memilih pemimpin yang akan menduduki kursi kepresidenan.
Namun tampanya tanda-tanda akan adanya harapan itu akan sulit terwujud
karena disebabkan beberapa faktor. Pertama, dilihat dari kredibiltas dan integritas
para elite di ranah politik kekuasaan tanah air masih diramaikan oleh aktor-aktor
99 Eriyanto, Ibid, hal. 262
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
189
yang hanya mengejar jabatan dan kekausaan semata. Pemilihan presiden langsung
memungkinkan siapa saja dengan dengan segala sumber daya atau modal untuk
tampil sebagai kandidat. Namun sayangnya para kandidat lebih mengutamakan
modal materi untuk merengkuh jabatan. Dalam pemilihan umum presiden
langsung seperti ini modal materi memang penting tetapi bukan yang utama.
Kempampuan personal seorang yang lebih diutamakan, baik dari segi
intelektualitas, integritas, kredibilitas serta kemampuan lain yang menunjang
seorang itu menjadi pemimpin.
Kedua, pada tingkat pelaksanaan pemilihan umum presiden itu sendiri,
baik sebelum maupun sesudahnya. Proses demokrasi ini masih diragukan akan
berjalan dengan baik sesuai harapan semua pihak. Hal ini bisa dilihat dari kurang
dewasanya para kandidat yang akak bertarung sehingga tak urung kampanye
presiden di Indonesia tidak pernah menawarkan pembelajaran politik. Selalu
digembar-gemborkan keunggulan diri sendiri, gagasan yang dangkal dan
menyerang kandidat lain dengan black campaign. Para kandidat seolah hanya siap
menjadi pemenang tidak siap menerima kekalahan.
Dalam kolom “Raja Nyapres” melalui skema person penulis berkomentar
tentang hasrat seseorang untuk berkausa. “..kini ada fakta lain. Seorang raja
justru menyatakan ingin jadi presiden. Dari pemimpin budaya turun derajat jadi
pemimpin politik. Dari singgasana melorot ke sekadar kursi. Mas Celathu jadi
heran. Ya hanya sebatas itu yang bisa dilakukan. Barangkali raja itu memang
sedang memenuhi panggilan suci untuk berbakti kepada lbu Pertiwi”. Dalam
pernyataan ini penulis hendak menyindir apa yang dilakukan Sultan Hamengku
Buwono X, yang mendeklarasikan dirinya siap terjuan meramaikan bursa calon
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
190
presiden. Sebagai sesama orang Jogjakarta penulis ikut bangga namun juga
menyayangkan karena sebagai Raja Pemimpin Budaya tidak ingin nantinya dalam
kompetisi jalanya harus dihentikan oleh permainan politik kotor.
Dalam demokrasi prosedural memungkinkan siapa saja berhak untuk
terjun kekancah politik ataupun terpilih sebagai pemimpin. Namun sebagai negara
besar yang masih dirundung berbagai macam krisis dan menghadapi tantangan
kedepan yang semakin berat sangat membutuhkan pemimpin yang tangguh
dengan kredibilitas dan integritas tinggi. Dalam mengomentari ambisi yang besar
tanpa diimbangi dengan kapasitas yang mumpuni dari para politisi yang akan
berkompetisi pada pemilu presiden dengan penulis mengibaratkan seperti “cecak
nguntal truk”100 Dalam konteks ini penulis hendak melakukan kritik tajam bagi
para aktor politik yang berambisi besar namun tidak melihat kemampuan yang
dimilikinya.
Sementara di kolom lain yang berjudul “Berani Kalah” komentar Mas
Celathu menanggapi tingginya ambisi untuk berkuasa harus dibarengi juga
dengan semangat dan jiwa sportivitas. Semangat ini tentunya akan membawa
seseorang siap menerima segala kemungkinan, tidak hanya siap menjadi
pemenang tetapi juga siap sebagai pihak yang kalah.
Dalam sebuah pertandingan para peserta akan berlomba-lomba untuk
menjadi pemenang. Begitupula dalam khasanah politik, pemilu presiden langsung
bisa diibaratkan sebagai sebuah kompetisi yang nantinya akan tampil seorang
juara yang menang. Namun kemenangan harus diperoleh dengan jalan yang
sportif. Melalui skema peristiwa, penulis merespon semangat sportif yang mulai 100 Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “cicak menelan -mentah-mentah- truk”. Cicak diibaratkan sebagai orang dengan kemampuan terbatas yang akan memimpin negar besar dengan segala permasalahannya yang disimbolkan dengan kendaraan truk.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
191
luntur disetaip sendi kehidupan. Pada pertandingan olah raga kekalahan tidak
diterima dengan lapang dada. Begitu juga di bidang politik, dari proses pemilihan
kepala daerah sampai pemilihan ketua partai politik tak luput dari kekisruhan yang
diakibatkan pihak yang kalah dalam kompetisi tidak dapat menerima dengan
lapang dada. Sehingga hanya menghasilkan kecurigaan, apriori, dan saling
mengkambinghitamkan.
Segala konflik yang ditimbulkan akibat tidak diterimanya kekalahan
dengan besar hati, merupakan indikasi telah hilangnya sifat seorang ksatria. Sifat
yang seharusnya tertanam dalam jiwa setiap peserta kompetisi, bahwa kekalahan
merupakan hal yang sangat wajar dalam setiap kompetisi. Dengan skema peran101
penulis menyatakan dalam kutipan berikut ini “Namun begitulah yang terjadi.
Karena dalam setiap kompetisi, orang hanya terlatih untuk bermimpi tentang
kemenangan, akhirnya orang kehilangan keteladanan atas sikap dan nilai-nilai
berani kalah”.
Dalam kolom “Indahnya Perceraian” penulis handak mengomentari
berpisahnya pasangan Presiden SBY dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kedua
tokoh ini sama-sama berambisi untuk tampil sebagai calon presiden pada
pemilihan presiden langsung tahun 2009. Terlepas dari ada atau tidaknya konflik
kepentingan diantara pasangan ini, yang menarik dan patut diacungi jempol
adalah dilakukan dengan cara yang elegan dan penuh kedewasaan.
Perisahan yang diibaratkan oleh penulis seperti sauami-istri “bercerai talak
tiga” ini membawa kesejukan tersendiri dari gaduhnya situasi politik menjelang
pemilihan presiden langsung. Panasnya suhu persaingan serta berbagai ancaman 101 Skema peran merupakan skema untuk menggambarkan bagaimana seseorang memandang dan menggambarkan peranan dan posisi yang ditempati seseorang dalam masyarakat, Eriyanto, Ibid, hal. 262
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
192
konflik masih dikhawatirkan terjadi dalam perhelatan besar seperti pemilu
presiden langsung ini. Namun kedewasaan yang ditunjukkan oleh kedua tokoh ini
masih menunjukkan sikap kenegarawanan. Melalui skema peran penulis memuji
“Nah,..gitu dong. Rakyat pasti akan mengenang keduanya sebagai negarawan.
Bukan politikus yang rakus kekuasaan. Biasanya hanya petualang politik yang
nggak bisa berhati dingin. Nggak siap kalah, nggak siap berbeda pendapat dan
jika ternyata kalah dalam kompetisi, lalu ngamuk dan mengancam”.
Namun dalam kolom ini keraguan yang dilontarkan Mbakyu Celathu, –
tokoh dalam kolom ini sebagai istri Mas Celathu- dia mempertanyakan nasib
pemerintahan yang masih diemban oleh kedua tokoh ini meskipun kedua
pasangan presiden dan wakil presiden sudah menyatakan berpisah dan akan
bertarung merebutkan posisi presiden. Dikhawatirkan jalannya pemerintahan tidak
akan berjalan dengan baik mengingat keduanya pasti akan “tebar pesona” dan
masuk kepada tarikan konflik kepentingan mereka masing-masing. Dengan sinis
penulis yang mewakili pendapat Mbakyu Celathu menyatakan “..sudah pegatan
(bercerai) kok masih tidur satu ranjang?”
Berikutnya kolom dengan judul “Melawan Lupa”. Dikolom yang diawali
dengan dialog antara Mas Celathu dengan Mbakyu Celathu yang mengingatkan
Mas Celathu untuk selalu minun jamu penangkal lupa. Dalam dialog ini penulis
mengingatkan semua orang untuk tidak meremehkan ingatan kita, ingatan harus
tetap dijaga karena bisa berdampak buruk pada dirinya sendiri maupun orang lain.
Dari pernyataan diatas secara eksplisit sindiran hendak ditujukan kepada
para politisi yang akan tampil dalam perebutan kursi kepresidenan. Gemerlap
kekuasaan membuat orang yang tidak kuat akan menyalahgunakan kekuasaanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
193
itu, namanya kuasa berarti mempunyai hak lebih besar dari kewajiban. Demi
melampiaskan hasrat berkuasa para kandidat pemimpin ini sejenak untuk
melupakan sejarah masa lalu mereka, karena ingin mendapatkan simpati publik.
Penulis dengan skema peran mengistilahkannya dengan “lupa kolektif” seperti
dalam kutipan berikut ini “Ada yang sengaja lupa sebagai siasat untak
mendapatkan kemenangan. Ada yang sengaja melupakan masa lalunya yang
kelam, demi memanipulasi riwayatnya yang kotor. Malah terkadang ada pihak-
pihak tertentu yang secara sengaja dan sistemik menyelenggarakan “lupa”
koleketif”.
Dari kutipan di atas penulis hendak menanggapi fenomena yang terjadi
menjelang pemilihan umum. Semua pihak yang berambisi menginginkan tampuk
kekuasaan berlomba mencapai, menggapai kekuasaan dengan kerja keras
memoles penampilan atau citra mereka seindah mungkin bahkan harus melupakan
masa lalu mereka yang kelam demi mendapatkan suara rakyat. Melalui konsep
materi kampanye, strategi, kiat promosi dan publikasi, iklan dimedia masa yang
membius khalayak awam sehingga tidak dapat membedakan siapa calon
pemimpin yang benar-benar diharapkan.
“Melik Ngendhong Lali”. Artinya, kekuasaan selalu disertai lupa.
Rupanya, gemebyarnya kursi kekuasaan yang sangat menyilaukan membuat
orang gampang lupa sejarah. Juga lupa pada dirinya sendiri”. Dari pernyataan
ini, penulis menyindir koalisi yang dilakukan kubu Megawati Soekarnoputri
dengan Prabowo Subianto yang akan tampil sebagai pasangan presiden dan wakil
presiden. Terlepas dari niat baik koalisi yang mereka bangun sekarang, demi
kekuasaan seolah mereka lupa dan memaafkan kejadian masa lalu yang kurang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
194
harmonis, gonjang-ganjing politik pada masa itu memaksa keduanya saling
“berhadap-hadapan” dan meletus peristiwa 27 Juli 1996.
3.2.5. Analisis Konteks Sosial
Level analisis berikutnya yang menjadi kajian adalah analisis konteks
sosial. Analisis konteks sosial akan membantu kita untuk bisa memahami
bagaimana sebuah teks tidak bisa dilepaskan dari faktor konteks yang
melingkupinya. Teks ada dan terbentuk sangat dipengaruhi konteks. Teks bukan
sesuatu yang turun dari langit, bukan suaru ruang hampa yang berdiri sendiri.102
Akan tetapi teks terbentuk dalam suatu praktek sosial. Praktek sosial ini memberi
pengaruh signifikan terhadap pemaknaan teks itu sendiri.
Maka dari itu dalam melakukan analisis konteks sosial terhadap wacana
kepemimpinan dalam momen pemilu presiden langsung 2009, maka penulis akan
melihat beberapa aspek dalam konteks sosial, diantaranya menyangkut wajah
demokrasi berkaitan dengan masalah pemimpin dan kepemimpinan di Indonesia
dan pemilu presiden sebagai ajang kontestasi politik kekuasaan. Faktor ini akan
dihubungkan dengan pembahasan mengenai sengitnya persaingan antar kandidat
pada momen pemilihan umum presiden langsung 2009 dan bagaimana respon
masyarakat terhadap kepemimpinan di Indonesia.
Pertama, peneliti akan membahas tentang dinamika masalah pemimpin
dan kepemimpinan baru di Indonesia. Kedua, Pemilu Presiden sebagai ajang
kontestasi perebutan kekuasaan. Faktor ini tentu memiliki kaitan dengan capaian
dan kinerja kepemimpinan nasional.
102 Eriyanto, Ibid, hal. 336
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
195
a. Dinamika Demokrasi di Indonesia dan Masalah Kepemimpinan
Nasional.
Demokrasi adalah suatu sistem politik yang kekuasaannya berada ditangan
rakyat dengan melakukan kontrol terhadap kekuasaan, kebebasan berpartisipasi,
dan kebebasan bersuara dan diserahkan ke pemerintah sebagai penyelenggaranya.
Sistem demokrasi telah dianut oleh negara Indonesia sejak kedaulatan Indonesia
diserahkan oleh Kolonia Belanda pada tanggal 29 Desember 1949. Prinsip
demokrasi yaitu “rule by the people” yang prinsipnya adalah demokrasi
perwakilan (representasi) merupakan kontrol rakyat terhadap penetapan
kebijakan, persamaan kedudukan dalam praktik politik, kebebasan politik, dan
prinsip demokrasi mayoritas (partisipasi).103 Jadi demokrasi merupakan suatu
mekanisme yang mewujudkan kedaulatan rakyat dalam satu sistem
ketatanegaraan. Eksekutif, legeslatif dan yudikatif merupakan perangkat negara
yang disebut trias politica. Yang bergerak beriringan dengan independensi tinggi
demi menjadi penegak jalannya proses demokrasi dalam satu negara.
Dalam International Commsion of Jurist, sistem politik yang demokratis
adalah suatu bentuk pemerintah dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan
politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh
mereka dan bertanggung jawab kepada mereka melalui pemilihan umum. Jadi
dalam sistem perwakilan, adanya lembaga perwakilan rakyat adalah sebuah
keniscayaan dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan dan berwenang sebagai
pelaksana kekuasaan negara dalam hal menentukan kebijakan umum yang
103 Prof. Dr. Hafied Cangara, M.Sc. Komunikasi Politik: Konsep, teori, dan Strategi, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hal. 64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
196
mengikat seluruh rakyat.104 Demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator
perkembangan politik suatu negara. Kemajuan suatu negara sering diidentikkan
dengan keberhasilan menjalankan proses demokrasi. Adanya keterikatan antara
lembaga eksekutif, legeslatif, dan yudukatif serta ditambah dengan prinsip
kedaulatan rakyat yang diterapkan, akan membawa negara ke arah kemajuan.
Dalam sejarahnya kita mengenal berbagai macam istilah atau bentuk
demokrasi, ada demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi
Terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet, demokrasi
nasional dan sebagainya.105 Sebagai negara yang ingin menunjukkan sebagai
negara yang berdemokrasi, Indonesia telah mempraktikkan berbagai macam
bentuk demokrasi, dari demokrasi parlementer (1945-1949), demokrasi liberal
(1950-1959), demikrasi terpimpin (1959-1965), demokrasi Pancasila (1968-1997),
sampai pada pelaksanaan reformasi demokrasi (1998- sekarang).106
Peristiwa politik sebagai sebuah kenyataan menunjukkan dinamika
demokratisasi bagi bangsa ini. Akan tetapi, peristiwa politik Indonesia justru
berulang kali mengingkari demokrasi itu sendiri, sehingga berdampak pada
pendidikan politik yang buruk bagi bangsa ini. Pengingkaran demokrasi ini
misalnya, pada saat kinerja politik Soekarno mulai otoriter dengan mengeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan pembubaran Konstituante.107 Peristiwa ini disebut
pengingkaran demokrasi karena menunjukkan, kedaulatan rakyat ada di tangan
presiden. Peristiwa politik berikutnya adalah naiknya Soeharto menjadi presiden
tanpa proses demokratis, inilah awal Orde Baru yang kemudian membangun
104 Toni, Efriza, Kemal, Mengenal Teori-Teori Politik, Dari Sistem Politik sampai Korupsi, Penerbit Nuansa, Bandung, 2006, hal 103 105 Prof. Miriam Budiardjo, Ibid, hal. 50 106 Prof. Dr. Hafied Cangara, M.Sc, Ibid, hal. 2 107 Prof. Dr. Hafied Cangara, M.Sc, Ibid, hal. 5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
197
sejarah gelap demokrasi Indonesia. Gelapnya demokrasi ini berjalan hingga 32
tahun, menurut Fadjroel Rachman rezim Soeharto dengan Orde Baru-nya telah
merusak preoses regenerasi kepemimpinan dan hak atas kepemimpinan
nasional.108 Turunya Soeharto menandai perjalanan bangsa ini memasuki era
reformasi109 dan runtuhnya rezim Orde Baru. Presiden Soeharto menyerahkan
jabatan kepada wakilnya Baharuddin Jusuf Habibie (B.J. Habibie), Soeharto
menyerahkan kekuasaannya tanpa sebuah pertanggungjawaban. Karena
pertanggungjawaban seorang presiden adalah keharusan dalam negara demokrasi.
Pada kepemimpinan B.J. Habibie terjadi terobosan-terobosan diantaranya
memberikan kebebasan pers, membebaskan tahanan politik, meliberalisasi partai
politik, melaksanakan desentralisasi kekuasaan (otonomi daerah).110 Di era B.J.
Habibie ini juga diselenggarakan pemilu pada tahun 1999 yang diikuti 48 partai
politik, pemilu ini dinilai para pengamat sebagai pesta demokrasi paling
demokratis sejak pemilu tahun 1955.111 Dengan hasil Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P) sebagai pemenang, namun tidak secara otomatis
menghantarkan Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri sebagai presiden.
Justru yang terpilih adalah K.H. Abdurrahman Wahid menjadi presiden ke empat
menggantikan B.J. Habibie, hal inipun adalah peristiwa politik yang mengingkari
demokrasi, sebab naiknya berarti melukai hati rakyat partai politik pemenang
108 M. Fadjroel Rachman, Dalam Muhammad Umar Syadat Hasibuan, ibid, hal. 11 109 Reformasi adalah perubahan secara mendasar diberbagai kehidupan masyarakat, bagsa dan negara. Perubahan secara mendasar tersebut adalah perubahan menuju kondisi kehidupan yang lebih baik, adil, makmur-sejahtera, dan demokratis. Dalam Muhammad Umar Syadat Hasibuan. Revolusi Politik Kaum Muda. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2008. hal. 79 110 Muhammad Umar Syadat Hasibuan, ibid, hal. 80 111 Prof. Dr. Hafied Cangara, M.Sc, Ibid. hal. 11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
198
pemilu 1999.112 Namun perjalanan K.H. Abdurrahman Wahid menjalankan roda
pemerintahan juga tidak terlalu mulus dan akhirnya berhenti di tengah jalan
setelah mendapat impeachment dari DPR terkait skandal Buloggate dan skandal
Bruneigate113 dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.
Di masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri selama kurang
lebih tiga setengah tahun ini perjalanan reformasi terus berlangsung, gebrakan
yang menonjol dalam bidang politik di era ini adalah diamandemennya UUD
1945 sebanyak empat kali oleh MPR yang melahirkan sistem politik dimana
presiden dipilih langsung oleh rakyat, termasuk jabatan gubernur, bupati atau
walikota. Imbas dari perubahan sitem politik ini adalah munculnya kerusuhan
pada tingkat lokal yang dipicu oleh kepentingan elite dalam perebutan jabatan
gubernur, bupati atau walikota yang sering kali dijustifikasi sebagai konflik
bernuansa etnik atau agama114 hal ini juga bisa dikategorikan sebagai peristiwa
politik yang mengingkari demokrasi.
Terlepas dari nilai plus minus perjalanan demokratisasi bangsa sampai ke
era reformasi, bangsa ini akan terus berusaha untuk berbenah dalam menata masa
depannya sebagai negara yang berdemokrasi. Peristiwa-peristiwa politik yang
mengingkari demokrasi tersebut sesungguhnya tanpa disadari telah menanamkan
dendam politik yang pada akhirnya selalu menimbulkan persoalan dalam
menjalankan demokrasi di Indonesia. Ketika rakyat berulang kali menyaksikan
peristiwa politik yang mengingkari demokrasi, hal ini akan berdampak kepada
112 Prof. Dr. H. Abdul Latif. S.H., M.H. Pilpres dalam Perspektif Koalisi MultiPartai. Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 3, September 2009. hal. 34 113 Buloggate adalah skandal penyelewengan dana Yanatera BULOG sebesar Rp 35 milyar. Bruneigate adalah skandal penyalahgunaan dana hibah dari Sultan Brunei Darussalam sebesar US$ 2 juta. Dalam Laode Ida, NU Muda: Kaum Progersif dan Sekularisme Baru, Erlangga, Jakarta, 2004, hal. 197 114 Prof. Dr. Hafied Cangara, M.Sc, Ibid, hal. 11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
199
proses pendidikan politik yang buruk bagi warga negara. Kerena
menyelenggarakan demokrasi bukan sekedar memerlukan keahlian teknis
legeslatif, yudikatif dan, eksekutif, tetapi yang lebih utama adalah keahlian etis
dan intelektual.
Meskipun demokrasi adalah sebuah pilihan sistem politik yang terbaik dari
yang terburuk. Namun demokrasi sebagai sebuah sistem dalam pelaksanaan
tidaklah sederhana. Ia (demokrasi) dapat memunculkan ketegangan bila tidak
dikelola dengan tekun dan amanah.115 Salah satu prasyarat untuk berjalannya
sistem adalah kemampuan pemahaman rakyat akan hak dan kewajiban. Sebab
demokrasi menghendaki adanya keteraturan dan kemampuan kontrol yang kuat
dari rakyat. tidak adanya kontrol masyarakat akan memunculkan praktik abuse of
power dan tirani mayoritas.116 Menyadari itu semua, maka iklim demokrasi di
negeri ini haruslah selalu kondusif. Budaya politik kita harus kita kembangkan
untuk memperkokoh tradisi demokrasi. Di atas semua itu diharapkan, pilihan
terhadap demokrasi sebagai jalan mengelola masa depan bangsa tidak boleh gagal.
Tentu saja kita sudah banyak belajar dari pengalaman di masa lalu, bahwa
demokrasi di Indonesia mengalami fase pasang dan surut.
Dalam perjalannanya sebagai bangsa yang berdemokrasi, bukan berarti
negeri ini bebas dari berbagi krisis. Bangsa ini masih dihadapkan pada berbagai
macam krisis yang masih melanda. Di antara krisis nasional bersemayam krisis
karakter kepemimpinan. Usaha kita keluar dari krisis tak bisa mengandalkan
sekedar politics us usual, Sehingga perlu menempatkan persoalan karakter sebagai
115 Valina Singka Subekti, Pemilu: Pintu Gerbang Demokrasi, kolom Ulasan Kompas, 12 Juni 2009. 116 Valina Singka Subekti. Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
200
pusat ukuran kepemimpinan.117 Karakter ini terkait moralitas, kekhasan kualitas,
dan ketegaran dalam krisis. Moral di sini adalah kekuatan dan kualitas komitmen
pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat
penderitaan rakyat. Dengan memiliki integritas moral yang kuat ini diharapkan
seorang pemimpin dapat menginvestasikan kebajikannya ke dalam mekanisme
politik yang bisa memengaruhi perilaku rakyat.118 Pemimpin, menurut Peter
Drucker adalah individu yang piawai menerjemahkan cita-cita menjadi kenyataan.
Oleh sebab itu, individu yang lemah atau tidak punya ketegasan dalam berprinsip
sebenarnya tidak layak menjadi pemimpin bangsa.119 Dalam Konvensi Ikatan
Alumni Lemhanas pemimpin yang kuat adalah pemimpin yang paling rendah
resistensinya dalam masyarakat. Pemimpin yang kaut berarti juga memiliki
konsitensi tegas dan tidak ambivalen sebagai wujud kontrak sosial dengan
rakyat.120 Sedangkan menurut pandangan Harold Crouch, bahwa kepemimpinan
yang kuat dalam visi dan implementasi program tidak identik dengan rezim
otoriter. Jadi pemimpin tersebut tidak terjebak dalam oligarki kekuasaan dan
tarikan-tarikan kelompok kepentingan disekitarnya yang akan mengendalikan
pilihan kebijakannya. Tidak memicu hadirnya tipe kepemimpinan transaksional
yang hanya mementingkan negosiasi kepentingan berjangka pendek dari
kelompok-kelompok yang bermain dilingkaran kekuasaan. Mengingat, pemimpin
tersebut mendapat mandat langsung dari seluruh rakyat dan memegang tanggung
jawab tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
117 Yudi Latif, Prasyarat Karakter Kepresidenan, kolom Analisis Politik Kompas, 9 Juni 2009. 118 Yudi Latif, Ibid 119 Dalam Syamsul Hadi, Bukan Pemimpin Biasa, Opini Kompas, 25 Juni 2009. 120 Sultan Hamenkubuwono X, Kepemimpinan Nasional yang Kuat yang Mampu Membangkitkan Martabat Bangsa, http://www.stialan.ac.id/artikel%20Sultan%20HB.pdf
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
201
Semakin rumitnya persoalan bangsa serta menghadapi gelombang
tantangan global, mengharuskan sosok pemimpin atau presiden yang memiliki
kemampuan teknis kepemimpinan politik yang baik. Visi kepemimpinan politik
yang kuat pada diri seorang pemimpin negara adalah bagian yang tidak dapat
dipisahkan terutama sekali bagi kepempimpinan politik di negara yang sedang
berkembang. Setiap zaman membutuhkan kehadiran para pemimpin yang
memiliki pandangan ke depan (visi) yang gamblang menyangkut kemana negeri
ini akan dibawa, dengan cara apa, dan bagaimana tahap-tahap pencapaiannya.121
Visi kepemimpinan politik itulah yang kelak menjadi salah satu aset penting bagi
membangkitkan semangat bertranformasi menjadi negara maju. Maka dari itu
dibutuhkan juga kepemimpinan tranformatif yang benar-benar sanggup
memahami dan memecahkan masalah bangsa yang meletakkan dasar yang lebih
kokoh bagi struktur sosial ekonomi di masa depan. Seorang pemimpin nasional,
yaitu dia yang memegang tanggung jawab tertinggi dalam penyelenggaraan
negara dan pemerintahan, semestinya seorang yang mengetahui dengan jelas apa
yang akan dilakukannya, mempunyai komitmen untuk melaksanakan apa yang
diketahuinya, dan berani menanggung risiko dari keputusan dan tindakan
politiknya.122 Risiko merupakan bagian integral dari pemimpin, setiap
pengambilan keputusan atau kebijakan pasti muncul sejumlah konsekuensi atau
risiko, dan pemimpin yang takut dengan risiko akan selalu ragu dalam mengambil
keputusan.
Pada akhirnya kedepan kita perlu pemimpin nasional atau presiden yang
berkarakter, cerdas, kuat, tegas dan berani menyuarakan keinginan rakyatnya dan
121 Syamsul Hadi, Bukan Pemimpin Biasa, Ibid 122 Ignas Kleden. “Argumentum ad Populum”. Opini Kompas, 9 Juni 2009
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
202
melayani dengan tulus. Mereka yang terpilih dalam pemilu presiden 2099 ini akan
menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang dipilih langsung
oleh segenap warga negara. Pasangan mana pun selaku pemenang, mereka akan
memiliki kebijakan legitimasi yang kuat. Pasangan tersebut mendapat mandat
langsung dari seluruh rakyat, dan selalu mengingat ungkapan bijak di zaman
Romawi kuno “vox populi vox dei” bahwa, suara rakyat merupakan suara Tuhan.
b. Pemilu Presiden sebagai ajang kontestasi perebutan kekuasaan.
Untuk kedua kalinya bangsa Indonesia menggelar perhelatan akbar
pemilihan umum presiden dan wakil presiden secara langsung. Suatu perubahan
sistem buah dari reformasi dibidang politik yang menghendaki porses
demokratisasi bangsa yang melibatkan peran aktif masyarakat secara langsung
dalam menentukan pemimpin yang akan menduduki kursi kepresidenan.
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden langsung (pilpres) lahir karena
perlunya jabatan presiden yang legitimate dan mencegah pengingkaran terhadap
hasil pemilihan umum dalam sistem pemilihan presiden secara langsung.123
Pertanyaan besar yang mungkin hinggap dalam benak kita semua adalah apakah
semua itu menjanjikan pemerintahan yang lebih efektif sesuai dengan harapan
akan lahirnya perubahan ke arah yang lebih baik bagi bangsa ini.
Namun agaknya harapan akan perubahan itu masih sulit tercapai. Segala
permasalaham mendasar masih menghambat jalannya proses demokratisasi ini.
Pertama, proses demokrasi yang belum berjalan maksimal, demokrasi perpolitikan
123 Kendala tercapainya suara mayoritas mutlak dalam sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, karena banyaknya (tiga puluh delapan) partai politik peserta pemilu tahun 2009. Kekhawatiran dengan sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung akan didominasi kandidat dari Jawa dapat dihapuskan dengan sistem dukungan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Prof. Dr. H. Abdul Latif. S.H. M.H, Pilpres dalam Perspektif Koalisi MultiPartai, Ibid. hal. 48
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
203
di Indonesia belum menunjuki garis kemajuan yang dapat dibanggakan. Terlepas
dari klaim lancar dan damai pelaksanaan pemilu legaslaitf 2009, namun masih
kurang bisa dipercaya sebagai referensi keberhasilan proses demokratisasi, pemilu
belum bisa dilepaskan dari berbagi pelanggaran dan praktek politik uang. Kinerja
para politikus, partai politik, caleg dan capres, serta parlemen dan pemerintah
yang dihasilkan pemilu masih mengecewakan dan relatif gagal memanfaatkan
kesempatan emas satu dekade reformasi bagi kejayaan Ibu Periwi.124 Kedua,
demokrasi yang berjalan masih sebatas demokrasi prosedural untuk mengisi posisi
jabatan-jabatan politik melalui pemilu dengan memperebutkan suara rakyat,
belum masuk kedalam substansi demokrasi itu sendiri, dimana demokrasi yang
menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebebasan berpendapat serta keterbukaan bagi
setiap warga. Dalam khasanah kepemimpinan nasional masih terjadi kemandegan
dalam proses regenerasi kepemimpinan nasional. Pilpres 2009 ibarat tayangan
ulang pilpres lima tahun lalu karena sebagian besar yang tampil masuk golongan
“L4” (lu lagi lu lagi).125 Hiruk-pikuk politik terlalu ramai oleh komunikasi politik
para elite yang mirip dagelan. Akibatnya, ranah politik menjadi keruh dan
beraoma busuk. Tidak ada keteladanan yang bisa ditularkan dari generasi muda
kecuali oportunisme dan nafsu untuk mendapatkan materi dan kekuasaan dengan
cara apapun.126
Berdasarkan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008, pengajuan pasangan
calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilu legeslatif 2009 yang memperoleh minimal 20% dari
124 Syamsuddin Haris, Menimbang Demokrasi, Merajut Optimisme, kolom Ulasan Kompas, 29 Juni 2009 125 Budiarto Shambazy, “Nonggo-nonggo”, Kolom Politika Kompas, 16 Mei 2009 126 Sukardi Rinakit, Memompa Ban Kempis, opini Kompas, 2 Juni 2009
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
204
jumlah kursi DPR atau 25% dari jumlah suara sah nasional.127 Sampai dengan
batas akhir masa pendaftaran pada 16 Mei 2009 hanya tiga bakal pasangan calon
presiden dan wakil presiden yang mendaftarkan keikutsertaannya kepada Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Sehingga dari hasil tersebut ditetapkan tiga pasang
kandidat yang bertarung pada pilpres 2009. Sesuai dengan pengundian nomor urut
pasangan pertama adalah Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Wiranto, disusul
kemudian Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menunjuk mantan Gubernur
Bank Indonesia Boediono sebagai wakilnya, dan yang ketiga adalah Megawati
Soekarnoputri yang kali ini menggandeng Prabowo Subianto.128
Dari tiga paket pasangan capres dan cawapres, terdapat dua gambaran
derajat persaingan antar calon. Pertama adalah persaingan calon-calon presiden
yang dapat dikatakan mengulang pertarungan capres 2004 lalu. Pertarungan
kembali terjadi antara Megawati Soekarnoputri dengan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Kedua adalah turun naiknya capres dan cawapres 2004 yang
lalu, khususnya dari pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto yang kali ini berpasangan.
Pada Pilpres 2004 lalu Jusuf Kalla sebagai cawapres SBY sedangkan Wiranto
sebagai capres dari Partai Golkar. Bedanya sekarang Wiranto turun kelas dengan
menjadi cawapres dan Jusuf Kalla naik kelas dengan menjadi capres. Dari peta
capres dan cawapres pada Pilpres 2009, rakyat Indonesia sesungguhnya disuguhi
calon-calon lama yang relatif sudah mereka kenal sepak terjangnya dalam
berpolitik.
Terlepas “ideologi”, visi, misi dan slogan politik yang mereka
kumandangkan di sini tampak bahwa koalisi yang mereka bangun cenderung
127http://id.wikipedia.org/wiki/ Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2009 128 http://id.wikipedia.org/wiki/. Ibid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
205
hanya sekadar bagi-bagi kekuasaan dan menjurus pada politik pragmatisme,
bukan untuk mencari jalan keluar bagi harkat dan martabat bangsa.
Kecenderungan ini tampak dari keegoisan masing-masing partai yang hendak
mengusung calon presiden dan calon wakil presiden. Partai-partai politik terjebak
oleh kungkungan kepentingan politik yang sesaat, jangka pendek, dan kesan
pragmatisme politik bahkan politik dagang sapi. Makrokosmos politik Indonesia
dewasa ini terperangkap oleh perilaku elite yang haus kekuasaan sehingga
pemaknaan demokrasi menjadi dangkal. dunia politik seakan telah kehilangan
karakter dan gairah untuk memuliakan umat manusia.129 Demokrasi di Indonesia
dijadikan sebagai ajang persaingan para penguasa, berbagai macam cara
dilakukan untuk mendapatkan suara rakyat sehingga kursi kekuasaan dapat
diperoleh. Kehidupan berdemokrasi kian tereduksi menjadi pemerintahan yang
mengatasnamakan rakyat, pada kampanye rakyat hanya disuguhi kompetisi
membangun pencitraan dari para tokohnya.130
Menjadi wajar bila wajah perpolitikan nasional yang dipertontonkan
petinggi partai politik saat ini kian tereduksi menjadi perebutan kekuasaan.
Perolehan suara dalam pemilu legelatif dan pemilu presiden jadi kepentingan
tertinggi. Visi dan kepentingan jangka pendek serta sikap pragmatis untuk meraih
kekuasaan menandai para politisi kita masih belum berjiwa negarawan.131 Karena
kepemimpinan politik yang negarawan sangat terkait dengan komitmen
kebangsaan dan kenegaraan. Ahmad Syafii Ma’arif memaparkan bahwa politik
yang bermartabat dan bermoral, bukanlah ajang rebutan dan permainan
kekuasaan, tetapi selalu mengarah pada kepentingan yang lebih besar dari pada 129 J. Kristiadi, Kampanye Pemilu Presiden, kolom Analisis Politik Kompas, 2 Juni 2009 130 J. Kristiadi, Ibid 131 Berita Kompas, Politisi Belum Jadi Negarawan. Kompas, 4 Mei 2009
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
206
kepentingan golongan, yakni kepentingan bangsa. Seharusnya pemilu menjadi
momen bagi para politisi belajar menjadi negarawan.132 Franz Magnis-Suseno
mengatakan, politisi yang mengungkapkan kenegarawanannya tidak hanya
berkehendak memegang kekuasaan, tetapi juga menegaskan dan membuktikan
apa yang mau diperbuat untuk bangsa dan negara dengan visi yang benar, penting,
dan mendalam.133 Seorang negarawan memiliki watak yang baik dan senantiasa
menjaga citra dirinya dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat bagi
masyarakat, bangsa dan negara. Suatu sikap yang semakin langka ditemukan
disaat pergulatan menuju puncak kekuasaan telah terjangkiti pragmatisme yang
sempit.
Masalah menjadi semakin kompleks manakala koalisi yang dibangun
cenderung hanya sekadar bagi-bagi kekuasaan, bukan untuk mencari jalan keluar
bagi harkat dan martabat bangsa. Hiruk-pikuk dalam koalisi partai politik dalam
pemilu presiden 2009 menunjukkan para elite tidak sedikit pun memikirkan
program untuk rakyat, sebaliknya dasar berkoalisi hanya pembagian kekuasaan
dan jabatan.134 Di ranah politik sarat dengan bisik-bisik para elite politik untuk
memenuhi hasrat kekuasaan. Politik menjadi ranah pribadi oligarki kekuasaan
untuk saling menegosiasikan kepentingannya sendiri. Politik dan etika seakan-
akan dua domain terpisah, etika menjadi sesuatu tidak relevan dengan realitas
politik, di ranah politik segala cara bisa dilakukan. Jika realitas politik memang
demikian, maka politik seharusnya mempunyai pengertian yang positif serta
tujuan yang mulia, akan menjadi sesuatu yang berkonotasi kotor.
132 Berita Kompas, Politisi Belum Jadi Negarawan, Ibid 133 Berita Kompas, Politisi Belum Jadi Negarawan, Ibid 134 Berita Kompas, Elite Tak Peduli Rakyat. Kompas, 15 Mei 2009
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
207
Jika kita memutar kembali pada pelaksanaan pilpres 2004 yang lalu,
politik citra dan pencitraan politik menjadi salah satu faktor yang signifikan atas
kemenangan pasangan capres dan cawapres. Ambisi untuk meraih kekuasaan atau
upaya mempertahankan kekuasaan adalah pemicu persaingan di mana pertarungan
kekuatan bisa mengambil beragam bentuk, dari pengerahan massa, black
campaign, sampai polemik wacana.135 Panggung politik menjelma menjadi
“panggung citra” dengan peran citra yang kian dominan dalam membangun
kekuatan politik.136 Tampaknya sudah terjadi peralihan dari “politik fisik” ke arah
“politik citra”, pengerahan kekuatan fisik (massa, alat, senjata) diambil alih oleh
pengerahan “kekuatan citra”. Jean Baudrillard menyebutkan bahwa dunia politik
yang didominasi kekuatan citra sebagai dunia “patafisika”, yaitu melemahnya
kekuatan fisik dan metafisik menjadikan “mesin citra” sebagai mesin penggerak
utama politik. Citra-citra politik muncul dalam intensitas yang tinggi dan sarat
manipulasi, seduksi (penggoda), dan ilusi. Citra-citra itu seakan menggambarkan
realitas yang sebenarnya, padahal sebuah topeng untuk menutupi ketiadaan
realitas.137 Oleh sebab itu, slogan yang dibangun untuk menjelaskan tujuan politik
yang mampu memengaruhi opini publik untuk menjatuhkan pilihannya kepada
para kandidat digunakan kata-kata yang menarik, mencolok, dan mudah
diingat.138
Pada pilpres 2009, makna politik citra bagi para calon tampaknya masih
terus akan digunakan oleh ketiga pasangan capres dan cawapres dalam
membangun basis politiknya. Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto menggunakan slogan
135 Haryatmoko, Deligitimasi Politik Citra. Opini Kompas, 20 Mei 2009 136 Yasraf Amir Piliang, Patafisika Politik. Opini Kompas, 6 Juni 2009 137 Yasraf Amir Piliang, Ibid 138 Indra Tranggono, Slogan Capres, Opini Kompas, 30 Mei 2009
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
208
lebih cepat lebih baik, sebagai pencitraan dirinya paling cepat dan paling tegas,
sebagai kritik dari gaya kepemimpinan politik SBY yang terkesan lamban dan
ragu-ragu. Sementara itu, SBY berupaya mempertahankan citranya sebagai sosok
yang hati-hati dan ingin selalu bijak dalam setiap menyelesaikan masalah yang
dihadapinya. Sedankan kubu Megawati-Prabowo tampaknya masih memakai
pencitraan Megawati yang dekat pada wong cilik. Dengan menggunakan slogan
Mega-Pro Rakyat, tersirat dimata Megawati dan Prabowo bahwa rakyat sebagai
pemilik kedaulatan namun nasibnya buram kerena berbagai kebijakan kekuasaan
yang selama ini dijalankan kurang berpihak pada rakyat.139 Suasana politik yang
terlalu didominasi citra dan pencitraan bukan atas dasar visi dan misi serta agenda
politik yang jelas dan terukur tentu akan merugikan rakyat itu sendiri. Sebab
merekalah yang akan menanggung seluruh dampak dari kebijakan politik yang
dikeluarkan oleh pemimpin mereka.
Pilpres 2009 sebagai proses demokratisasi hanya menjadi topeng dibalik
para elite politik yang mengadopsinya kemudian menjadikannya sebagai ajang
tebar pesona dengan memberikan janji-janji yang akan dilupakannya jika telah
mendapatkan kursi kekuasaan. Pada pelaksanaan kampanye, bukan menjadi
rahasia lagi bahwa di masa kampanye selalu identik dengan maraknya janji-janji
yang bertebaran seakan mudah untuk dilakukan, semudah mengucapkan janji
tersebut. Memang janji adalah cara unik umat manusia menyongsong masa depan.
Namaun tentunya janji tersebut haruslah dibuat dengan hati-hati, mengingat
harapan dan kepercayaan bergantung pada janji tersebut. Jika harapan dan
139 Indra Tranggono, Ibid
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
209
kepercayaan hilang, semuanya akan menjadi sirna.140 Janji-janji yang diucapkan
terdengar indah meski dibenak kita ada keraguan, sehingga sulit bagi kita
membedakan apakah janji-janji itu janji sungguhan atau janji palsu.141 Rakyat
pastinya berharap aktivitas positif yang berpihak terhadap kepentingan rakyat
tidak hanya terjadi pada masa kampanye tetapi dapat terus berlanjut apabila kelak
capres dan cawapers tersebut terpilih. Bahkan kalau memungkinkan dapat
memberikan lebih dari yang dijanjikannya pada masa kampanye.
Perilaku elite politik yang semakin hari menjauhkan diri dari kepentingan
rakyat dan cenderung mementingkan kepentingannya sendiri agar dapat berkuasa
tidak saja akan melukai perasaan rakyat tetapi juga menjadi pendidikan politik
yang kontraproduktif. Suksesi kepemimpinan nasional hendaknya tidak dijadikan
rekayasa politik demi kepentingan segelintir elite politik, yang memanfaatkan
suara rakyat harus sebagai justifikasi pencapaian kekuasaan. Kesempatan yang
seharusnya melahirkan figur pemimpin yang ideal pun terhambat akibat ulah
kotor politikus yang mengesampingkan etika politik.
140 J. Kristiadi, Merenungi Janji, kolom Analisis Politik Kompas, 23 Juni 2009 141Eko Wijayanto, Menyoal Janji-janji Capres-Cawapres, Opini Kompas, 29 Juni 2009