+ All Categories
Home > Documents > Pasien Dental dengan Penyakit Kardiovaskular

Pasien Dental dengan Penyakit Kardiovaskular

Date post: 27-Nov-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
147
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Jabaran Skenario Seorang Ibu berusia 42 tahun datang ke RSKGM dengan membawa anak perempuannya. Ibu tersebut mengeluh gigi belakang atas kanannya sering sakit. Saat ini gusi di area tersebut terdapat bisul. Sebelumnya pasien pernah beberapa kali ke dokter gigi dekat rumah dan diberi obat akan tetapi tidak kembali lagi untuk kontrol. Ia memiliki riwayat stroke ringan 1 tahun yang lalu, dan sampai saat ini masih mengkonsumsi obat-obatan dari dokter penyakit dalam. Pemeriksaan ekstra oral: tidak ada kelainan. Pemeriksaan intra oral: Kebersihan mulut buruk. ; Kalkulus sub dan supra gingiva pada hampir seluruh regio ; Gigi 15 nekrosis pulpa dengan perkusi dan palpasi peka. Terdapat fistula pada daerah mukosa bukalnya. Anak perempuannya, berusia 5,5 tahun, mengeluh terdapat gigi yang tajam dan melukai bibir atas. Sebelumnya gusi di area gigi tersebut sering bengkak hilang timbul Pemeriksaan ekstra oral: tidak ada kelainan. Pemeriksaan Intra oral: gigi 61 radiks, terdapat perforasi pada gingiva di area ujung akarnya. 1.2. Identifikasi Masalah Ibu (42 tahun) 1. Apa yang menyebabkan gigi belakang kanan sering sakit? 2. Bagaimana hubungan antara rasa sakit di gigi belakang dengan adanya bisul pada gusi pasien? 3. Bagaimana dampak yang akan terjadi bila pasien tidak datang control setelah diberi obat? 4. Apa hubungan penyakit sistemik dengan keadaan gigi dan mulut pasien? 5. Apa pengaruh obat-obatan yang dikonsumsi pasien dengan keadaan gigi dan mulu pasien?
Transcript

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Jabaran Skenario

Seorang Ibu berusia 42 tahun datang ke RSKGM dengan membawa anak perempuannya.

Ibu tersebut mengeluh gigi belakang atas kanannya sering sakit. Saat ini gusi di area

tersebut terdapat bisul. Sebelumnya pasien pernah beberapa kali ke dokter gigi dekat

rumah dan diberi obat akan tetapi tidak kembali lagi untuk kontrol. Ia memiliki riwayat

stroke ringan 1 tahun yang lalu, dan sampai saat ini masih mengkonsumsi obat-obatan

dari dokter penyakit dalam.

Pemeriksaan ekstra oral: tidak ada kelainan.

Pemeriksaan intra oral: Kebersihan mulut buruk. ; Kalkulus sub dan supra gingiva pada

hampir seluruh regio ; Gigi 15 nekrosis pulpa dengan perkusi dan palpasi peka. Terdapat

fistula pada daerah mukosa bukalnya.

Anak perempuannya, berusia 5,5 tahun, mengeluh terdapat gigi yang tajam dan melukai

bibir atas. Sebelumnya gusi di area gigi tersebut sering bengkak hilang timbul

Pemeriksaan ekstra oral: tidak ada kelainan.

Pemeriksaan Intra oral: gigi 61 radiks, terdapat perforasi pada gingiva di area ujung

akarnya.

1.2. Identifikasi Masalah

Ibu (42 tahun)

1. Apa yang menyebabkan gigi belakang kanan sering sakit?

2. Bagaimana hubungan antara rasa sakit di gigi belakang dengan adanya bisul pada gusi

pasien?

3. Bagaimana dampak yang akan terjadi bila pasien tidak datang control setelah diberi

obat?

4. Apa hubungan penyakit sistemik dengan keadaan gigi dan mulut pasien?

5. Apa pengaruh obat-obatan yang dikonsumsi pasien dengan keadaan gigi dan mulu

pasien?

2

Anak (5,5 tahun)

1. Mengapa dapat terjadi perforasi gingival pada daerah ujung akar?

2. Apa yang menyebabkan bengkak yang hilang timbul pada daerah tersebut?

1.3. Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara menyusun rencana perawatan dan tatalaksana infeksi spesifik dan

non-spesifik region OMF yang tepat?

Farmakologi

1. Antibiotic

2. NSAID

3. Antiseptic dan Disinfektan

4. Anestesi Lokal

5. Kortikosteroid

6. Obat-Obatan Kardiovaskuler

7. Anafilaktik shock dan obat-obatan Kegawatdaruratan

Bedah Mulut

1. Bagaimana fisiologi dari fistul?

2. Bagaimana cara perluasan spesifik ke arah tulang?

3. Pemeriksaan penunjang apa saja yang di perlukan untuk melihat perluasan spesifik ke

arah tulang?

4. Bagaimana cara melakukan anastesi yang tepat?

5. Bagaimana cara melakukan pencabutan dan instrument apa saja yang di perlukan?

6. Apa saja indikasi dan kontra indikasi dari pencabutan gigi sulung dan tetap?

7. Bagaimana cara mengatasi komplikasi yang dapat terjadi pasca pencabutan?

Penyakit Mulut

1. Apasaja manifestasi oral dari obat-obatan kardiovaskuler?

2. Pemeriksaaan penunjang apa saja yang dibutuhkan untuk pasien dengan kondisi

sitemik?

3. Apa tindakan yang tepat untuk menangani pasien dengan kondisi sistemik?

4. Apa saja hal-hal dan faktor risiko yang harus dipertimbangkan yang dapat

menimbulkan komplikasi pada tindakan?

3

5. Apasaja kegawat daruratan yang dapat terjadi dan bagaimana cara menanganinya?

Radiologi

1. Bagaimana prosedur untuk memperoleh informasi diagnostik yang sistematis dan

komprehensif?

2. Proyeksi apa saja yang diperlukan untuk menunjang pemeriksaan pasien tersebut?

Fisiologi

1. Apa yang dimaksud dengan shock?

2. Apa saja macam-macam shock yang dapat terjadi? Dan apasaja etiologinya

3. Apasaja tanda-tanda shock?

4. Bagaimana perbedaan antara shock dan syncope?

5. Mengapa shock dapat menghasilkan kematian?

1.4. Sasaran Belajar

1. Memahami cara menyusun rencana perawatan dan tatalaksana infeksi spesifik dan

non-spesifik region OMF yang tepat.

Farmakologi

1. Antibiotic

2. NSAID

3. Antiseptic dan Disinfektan

4. Anestesi Lokal

5. Kortikosteroid

6. Obat-Obatan Kardiovaskuler

7. Anafilaktik shock dan obat-obatan Kegawatdaruratan

Bedah Mulut

1. Memahami fisiologi dari fistul.

2. Memahami cara perluasan spesifik ke arah tulang.

3. Pemeriksaan penunjang apa saja yang di perlukan untuk melihat perluasan spesifik ke

arah tulang.

4. Memahami cara melakukan anastesi yang tepat.

5. Memahami cara melakukan pencabutan dan instrument apa saja yang di perlukan.

4

6. Memahami indikasi dan kontra indikasi dari pencabutan gigi sulung dan tetap.

7. Memahami cara mengatasi komplikasi yang dapat terjadi pasca pencabutan.

Penyakit Mulut

1. Memahami manifestasi oral dari obat-obatan kardiovaskuler.

2. Memahami pemeriksaaan penunjang apa saja yang dibutuhkan untuk pasien dengan

kondisi sitemik.

3. Memahami tindakan yang tepat untuk menangani pasien dengan kondisi sistemik.

4. Memahami hal-hal dan faktor risiko yang harus dipertimbangkan yang dapat

menimbulkan komplikasi pada tindakan.

5. Memahami kegawat daruratan yang dapat terjadi dan memahami cara menanganinya.

Radiologi

1. Memahami prosedur untuk memperoleh informasi diagnostik yang sistematis dan

komprehensif.

2. Memahami proyeksi apa saja yang diperlukan untuk menunjang pemeriksaan pasien

tersebut.

Fisiologi

1. Memahami definisi shock.

2. Memahami macam-macam shock yang dapat terjadi. Dan apa saja etiologinya

3. Memahami tanda-tanda shock.

4. Memahami perbedaan antara shock dan syncope.

5. Memahami mengapa shock dapat menghasilkan kematian.

5

BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Prosedur untuk Memperoleh Informasi Diagnostik

ANAMNESIS

a) Data Biografis

Data ini meliputi nama, alamat, usia, jenis kelamin, pekerjaan serta nama dokter layanan

primer pasien. 1

b) Keluhan Utama

Pernyataan ini membantu dokter gigi untuk membuat prioritas selama pengambilan

riwayat dan rencana perawatan. 1

c) Riwayat dari Keluhan Utama

Pasien diminta untuk mendeskripsikan riwayat keluhan atau sakit yang sedang terjadi,

terutama kapan pertama kali keluhan tersebut muncul, apakah ada perubahan yang terjadi

sejak pertama kali terjadi, dan pengaruhnya. Deskripsi rasa sakit harus meliputi onset,

intensitas, durasi, lokasi, maupun faktor yang memperburuk dan meredakan rasa sakit.

Selain itu, perlu juga ditanyakan gejala seperti demam, lesu, anorexia, malaise, dan

lemas yang berkaitan dengan keluhan utama. 1

d) Riwayat Medis

Riwayat medis penting untuk membantu mendiagnosis manifestasi oral dari penyakit

sitemik. Selain itu, riwayat medis juga dapat digunakan untuk memastikan kondisi medis

dan pengobatan yang mempengaruhi perawatan dental atau operasi teridentifikasi. Untuk

memastikan tidak ada data yang terlewatkan maka dapat diberikan kuisioner cetak

kepada pasien, lalu informasi tersebut dicek kembali secara verbal, diverifikasi dan

ditambahkan dengan menanyakan informasi lain bila perlu.

Hal-hal yang dapat ditanyakan kepada pasien mengenai riwayat medisnya diantara lain:

1. Riwayat rawat inap, operasi, traumatic injuries dan penyakit serius

2. Penyakit minor atau gejala yang baru terjadi

6

3. Obat-obatan yang sedang digunakan dan alergi (terutama alergi obat)

4. Deskripsi kebiasaan atau adiksi terkait kesehatan seperti penggunaan etanol,

tembakau dan obat terlarang serta jumlah dan tipe daily exercise yang dilakukan

5. Tanggal dan hasil medical checkup atau kunjungan ke dokter terakhir

Sebagai tambahan, penting untuk menanyakan secara spesifik mengenai masalah medis

umum yang dapat mengganggu perawatan gigi pada pasien. Masalah ini diantaranya

angina, myocardial infarction (MI), heart murmurs, rheumatic heart disease, kelainan

pendarahan (termasuk penggunaan antikoagulan), asma, penyakit paru, hepatitis,

penyakit menular seksual, penyakit ginjal, diabetes, penggunaan kortikosteroid, kejang,

stroke dan implanted prosthetic devices seperti sendi tiruan atau katup jantung. Pasien

harus ditanya secara spesifik mengenai alergi terhadap anestesi lokal, aspirin dan

penicillin. Untuk pasien wanita juga perlu ditanyakan apakah sedang hamil atau tidak.

Riwayat keluarga juga dapat berguna dan harus fokus pada penyakit keturunan yang

relevan, misalnya hemofilia. Riwayat medis harus diperbaharui secara periodik,

setidaknya setahun sekali. 1

e) Riwayat Dental

Riwayat dental dan pemeriksaan penting untuk mendiagnosis sakit pada gigi atau untuk

menentukan penyebab dari gejala pada daerah kepala dan leher. 2

PEMERIKSAAN KLINIS

a) Pemeriksaan Ekstraoral

Anemia, penyakit tiroid, perawatan kortikosteroid jangka panjang, pembengkakan

parotid, atau pembesaran cervical nodes merupakan beberapa kondisi yang dapat

mempengaruhi penampilan wajah.

Lakukan palpasi pada kelenjar parotid, temporomandibular joints (untuk melihat apakah

terdapat clicking, krepitasi atau deviasi), nodus limfa servikal dan submandibular serta

kelenjar tiroid. Lymphadenopathy merupakan manifestasi umum dari infeksi namun

dapat pula menunjukkan adanya keganasan (malignancy), seperti nodus limfa servikal

seringkali yang pertama terkena limfoma. Perhatikan karakter (daerah, bentuk, ukuran,

tekstur permukaan dan konsistensi) dari setiap pembesaran (enlargement).

Tekan pada tulang maksila dan frontal pada sinus bila terdapat dugaan sinusitis. 2

7

b) Pemeriksaan Intraoral

Jaringan Lunak

Jaringan lunak mulut harus selalu diperiksa terlebih dahulu. Pemeriksaan harus

sistematis meliputi seluruh area mulut. Untuk memastikan pemeriksaan yang

lengkap dari bagian lateral lidah dan posterior floor of mouth, maka lidah harus

dipegang dengan menggunakan kasa dan perlahan digerakkan dari satu sisi ke sisi

lain.

Area mukosa yang terlihat abnormal harus dipalpasi untuk luka atau pengerasan

yang mengindikasikan ulserasi sebelumnya, inflamasi atau keganasan.

Pemeriksaan juga harus meliputi jaringan yang lebih dalam yang masih dapat

dipalpasi, termasuk kelenjar submandibula.

Jika terdapat lesi meluas kedekat gingiva, sulkus atau poket gingiva harus

diprobe. Mucosal nodules, terutama yang terdapat pada gingiva atau mukosa

alveolar, yang mana menunjukkan sinus openings harus diprobe untuk

mengidentifikasi adanya sinus atau fistula.

Periksa pembukaan kelenjar saliva ketika saliva dikeluarkan dengan tekanan yang

lembut. Setelah selesai memeriksa mukosa oral maka lanjutkan dengan

memeriksa orofaring dan tonsil. 2

Jangan membuat kesalahan dengan menganggap variasi normal sebagai

penyakit.2

8

9

Gigi

Rangkuman dari kesehatan periodontal, karies dan daerah yang direstorasi harus

dicatat. Gigi yang mengalami keausan juga harus diperiksa berkaitan dengan

parafungsi. Ketika kemungkinan terdapat sakit pada gigi maka penilaian

mobilitas dan perkusi perlu dilakukan dan pemeriksaan lanjutan mungkin

diperlukan.

Vitalitas gigi harus diperiksa apabila terlihat menyebabkan gejala. Penting pula

untuk menentukan vitalitas pulpa pada daerah yang mengalami kista dan lesi

radiolusen lainnya pada rahang. Informasi ini penting untuk menegakkan

diagnosis. Beberapa metode yang dapat dilakukan yaitu dengan memeriksa

sensitivitas terhadap panas, dingin dan tes elektrik pulpa. 2

PEMERIKSAAN PENUNJANG

a) Imaging

Imaging merupakan pemeriksaan penunjang dengan melakukan pengambilan gambar

anatomi dalam tubuh. Yang paling sering digunakan adalah radiograf, CT, MRI, dan

Ultrasonography. 2

Pemeriksaan penunjang radiografi merupakan jenis proyeksi yang diperlukan pada kasus

skenario ini, yaitu dengan teknik periapikal dan panoramik.

1. Teknik Periapikal

Indikasi teknik periapikal:

1. Deteksi inflamasi/ infeksi kelainan periapikal

2. Melihat keadaan jaringan periodontal

3. Pemeriksaan pasca trauma pada gigi geligi yang melibatkan tulang alveolar

disekitarnya

4. Penilaian kondisi dan posisi gigi yang tidak erupsi

5. Mempelajari morfologi akar sebelum pencabutan gigi

6. Penilaian kondisi gigi selama perawatan endodontik

7. Penilaian pre-operatif dan post-operatif pada operasi daerah apikal

8. Evaluasi detail kelainan periapikal di dalam tulang alveolar

9. Penilaian posisi dan prognosa implan

10

Diantara kedua teknik periapikal yaitu parallel dan biseksi, pada kasus scenario ini, dipilihlah

teknik parallel.5

Keuntungan teknik paralel:

- Gambaran lebih geometris dan jelas.

- Alveolar crest dapat terlihat dengan jelas.

- Jaringan periapikal dapat tampak dengan jelas.

- Mahkota gigi dapat tampak dengan jelas sehingga karies proximal dapat

terdeteksi.

- Sudut vertikal dan horizontal, sudah ditentukan oleh cone pada film holder.

- Arah sinar X sudah ditentukan pada pertengahan film, sehingga dapat

menghindari cone cutting.

- Dapat membuat foto radiografis dengan posisi dan kondisi yang sama pada waktu

yang berbeda

Pada teknik parallel ini, film dimasukkan pada film holder lalu film dan gigi terletak parallel

(sejajar). Pada kasus ibu, yang memerlukan foto radiograf adalah gigi posterior, maka film

holder diletakkan dengan posisi horizontal, sedangkan pada anak laki-lakinya, yang

memerlukan foto radiograf adalah gigi anterior, maka film holder diletakkan dengan posisi

vertical. 5

11

Teknik pada bidang anterior

Teknik pada bidang posterior

12

2. Teknik Panoramik

Teknik panoramik digunakan untuk mendeteksi adanya kelainan sistemik. Gambaran

Radiografi Infeksi non spesifik (Abses) yang bermanifestasi dalam tulang rahang.4

1. Lesi Inflamasi Periapikal4

Perubahan radiografis di daerah periapikal:

Keadaan Inflamasi Perubahan Inflamasi Gambaran

Radiografik

Normal Normal Normal

13

Inflamasi akut awal Eksudat inflamasi

terakumulasi di

ruang ligament

periodontal apical

(periodontitis

apikalis akut)

Perluasan garis

radiolusensi ruang

ligament periodontal

atau tanpa gambaran

perubahan yang jelas

Penyebaran

inflamasi awal

Resorpsi atau

destruksi pada apical

bony socket (abses

periapikal)

Kehilangan garis

radiopak pada lamina

dura di apeks

Penyebaran

inflamasi lanjut

Resorpsi dan

destruksi lebih lanjut

pada tulang alveolar

apikal

Area kehilangan

tulang pada apeks

gigi

14

Inflamasi kronis

tingkat rendah awal

Destruksi minimal

pada tulang apical,

sistem pertahanan

tubuh terletak pada

tulang padat di

bagian apikal

Tidak tampak

destruksi tulang

tetapi terbentuk

jaringan tulang

sklerotik padat

sekitar apeks gigi

(sclerosing osteitis/

condensing osteitis).

Inflamasi kronis

tingkat lanjut

Terjadi resorpsi dan

hancurnya tulang

daerah apical

(granuloma

periapikal atau kista

radikular)

Radiolusensi

membulat yang

terbatas jelas di

daerah apical,

dikelilingi garis

radiopak tulang

skelerotik yang padat

(periapikal

granuloma atau

kista).

2. Osteomielitis4

Osteomielitis adalah inflamasi pada tulang yang dapat meluas melibatkan sumsum tulang,

periosteum korteks, dan tulang cancellous. Osteomielitis sering ditemukan di posterior

mandibula dengan batas tidak tegas.

Pada inflamasi awal, terjadi sedikit penurunan densitas tulang dan kehilangan

kejelasan trabekula. (fig 18-11)

Pada destruksi tulang lebih lanjut menghasilkan daerah radiolusen pada suatu fokal

area atau tersebar pada tulang yang terlibat.

15

Selanjutnya, area tulang sklerotik akan terlihat

Pada fase kronik, sequestra (island of bone) terlihat paling nyata (fig 18-12)

Osteomielitis akut dapat menstimulasi resorpsi atau pembentukan tulang sekitar.

Selain itu juga dapat terjadi deposisi tulang baru yang terlihat dari adanya lapisan-

lapisan tulang yang baru (fig 18-13)

3. Osteoradionecrosis4

Osteoradionecrosis biasanya ditemukan pada pasien yang menggunakan

bisphosphonates untuk kemoterapi atau phosamax untuk osteoporosis. Gambaran radiograf

16

Osteoradionecrosis menyerupai sclerosing osteomielitis kronis. Osteoradionecrosis terutama

terjadi pada posterior mandibula, namun dibeberapa kasus terdapat pada maksila, dengan

batas: tidak tegas. Pada Osteoradionecrosis, pembentukan tulang terjadi lebih banyak

dibanding destruksi tulang, sehingga keseluruhan tampak sklerotik atau radiopak. Area

radiolusen tersebar dengan atau tanpa central sequestra.

b) Histopatologi

Pemeriksaan untuk melihat jaringan tubuh adalah biopsy. Biopsy adalah teknik mengambil

seluruh atau sebagian dari jaringan tubuh yang dicurigai terdapat kelainan seperti contohnya

kanker. Berikut adalah jenis-jenis biopsy: 2

- Fine Needle Aspiration: mengambil sebagian kecil cairan dari jaringan dengan

menggunakan jarum halus

- Core/thick needle biopsy: mengambil sebagian kecil jaringan berbentuk silinder

dengan menggunakan jarum berlubang besar

- Surgical biopsy: mengambil sebagian atau seluruh jaringan yang dicurigai

dengan pembedahan. Apabila jaringan yang diambil sebagian, maka disebut

insisional biopsy, sedangkan jika mengambil seluruh jaringan maka disebut

eksisional biopsy

c) Tes Biologi Molekuler

Tes ini dilakukan dengan tujuan memeriksa dan mengidentifikasi abnormalitas genetik,

bakteri, dan virus. 2

d) Tes Laboratorium

Tes yang dilakukan di laboratorium bermacam-macam tergantung dengan kebutuhan

diagnosis. Tes darah penting untuk diagnosis penyakit seperti leukimia. Tes darah yang

umum dilakukan adalah full blood picture yang terdiri dari jumlah eritrosit, indeks ukuran

hemoglobin, dan jumlah sel darah putih. Untuk mengecek bakteri, virus, dan kandungan

dalam pus yang ada, dilakukan tes serologi. Tes urin dilakukan untuk penderita diabetes. 2

e) Tensi Darah

Melakukan pemeriksaan tensi darah merupakan prosedur yang harus dilakukan sebelum

tindakan untuk mencegah terjadinya kegawatdaruratan pada pasien hipertensi. Tekanan darah

17

normal orang dewasa adalah sekitar 120/80. Maka apabila lebih dari itu, harus dilakukan

manajemen untuk pasien hipertensi.6

2.2. Manajemen Dental Pasien dengan Penyakit Kardiovaskular

Cardiovascular disease2

Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit yang sering terjadi dan banyak pasien dengan

penyakit jantung membutuhkan perawatan dental. Survey menunjukkan bahwa penyakit

dental juga dapat berkontribusi pada perkembangan arterosklerosis dan myocardial

infarction. Myocardial infarction merupakan penyebab utama kegawatdaruratan pada dental

surgery. Pada aspek dental management, pasien akan terbagi menjadi dua kelompok (tabel

27.1) tetapi beberapa mungkin berada di kedua kelompok dan perawatan dengan obat

mungkin dapat menimbulkan masalah tambahan (tabel 27.2).2

General Aspects of Management2

18

Pasien yang beresiko terutama adalah yang memiliki hipertensi parah, penderita

angina atau yang pernah mengalami myocardial infark (MI). Rasa sakit dan cemas

dapat memacu adrenalin, dimana nantinya dapat meningkatkan beban jantung dan

juga dapat mempercepat terjadinya dysrhytmias. Untuk mengantisipasi hal ini, dapat

dilakukan dengan cara meyakinkan pasien bahwa selama prosedur berlangsung,

pasien tidak akan merasa sakit, sehingga meringankan kecemasan pasien. Terdapat

beberapa bukti bahwa infeksi dental, terutama penyakit periodontal kronis, mungkin

merupakan faktor resiko terjadinya atherosclerotic coronary artery disease. 2

Anastesi Lokal pada Pasien dengan Cardiac Disease2

Untuk pemberian anestesi lokal, dilakukan dengan injeksi secara perlahan untuk

meminimalisasikan rasa sakit dan menggunakan 2% lidokain dengan epinefrin. Secara

teori, kadar dari adrenalin (epinerfrin) dapat mengakibatkan reaksi hipertensi pada

pasien yang mengkonsumsi beta-blocker antihipertensi, karena efek alpha-adregenic

tidak ada yang melawan, tetapi hanya jika dosis yang digunakan lebih besar daripada

yang seharusnya dalam praktek kedokteran gigi. 2

Anestesi lokal dapat menyebabkan mild maupun severe dysrhytmia, tetapi severe

dysrhytmia juga dapat dipicu oleh kecemasan sebelum dilakukan tindakan anestesi

atau segera setelah diberikan anestesi (selama operasi). Namun, dosis anestesis lokal

tidak boleh diberikan lebih dari 2 atau 3 cartridge selama perawatan. Jika dosis yang

lebih besar diberikan, misalnya pada saat melakukan ekstraksi beberapa gigi, harus

dilakukan pemantauan keadaan jantung secara terus menerus. 2

Jika anestesi umum tidak dapat dihindari, maka perlu dilakukan anestesi umum oleh

spesialis anestesi di rumah sakit, terutama karena beberapa obat yang digunakan pada

penyakit kardiovaskular dapat meningkatkan resiko komplikasi. Penyakit

kardiovaskular dengan penggunaan anestesi merupakan penyebab utama dari

kematian mendadak (sudden death). 2

Pasien dengan Risiko Infective Endocarditic2

19

Biasanya, bakteri memasuki aliran darah dan dengan cepat dibersihkan oleh leukosit,

Namun, jika terdapat kelainan pada jantung, maka, infective endocarditic dapat

berkembang. Terdapat banyak sumber bakteri, seperti pada saat prosedur operasi

jantung, kateterisasi intravena dan konsumsi obat intravena. Bakteri juga dapat

dideteksi pada kurang lebih 80% pasien setelah dilakukan ekstraksi dan bahkan

setelah menyikat gigi, walaupun jumlah bakteri yang ditemukan sedikit. 2

Bakteri yang berada di dalam rongga mulut relatif sedikit, dan sebagian besar terbawa

oleh aliran saliva. Sebaliknya, jumlah bakteri yang berada pada margin gingiva sangat

banyak terlebih saat OH buruk dan bahkan jumlah bakteri yang lebih besar

menempati pocket periodontal. Bakteri ini dekat berkontak dengan pembuluh darah

berdilatasi dengan dinding yang tipis. Pergerakan gigi yang berulang kali di dalam

soket dapat menekan dan meregangkan pembuluh darah ini, sehingga, bakteri dapat

masuk ke dalam aliran darah. 2

Pada beberapa kasus (kurang dari 15%) infective endocarditic berhubungan dengan

prosedur pembedahan dental, tetapi, ekstraksi menjadi faktor yang mempercepat

20

(lebih dari 95%) terjadinya hal ini. Infective endocarditic jarang terjadi pada anak-

anak, yang berisiko besar adalah yang berumur sudah lanjut (setelah 60 tahun)

terlebih jika memiliki periodontal sepsis. 2

Tindakan preventif adalah hal yang paling penting untuk dilakukan. Pasien yang

memiliki valvular defects (kongenital atau karena past rheumatic fever) atau

abnormalitas kongenital lain, seperti septal defects atau yang memiliki prosthetic

heart valves, harus mengonsumsi antibiotik profilaksis sebelum dilakukan ekstraksi,

scalling, dan prosedur periodontal. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan sebagian

besar bakteri yang ada di gingiva maupun di poket periodontal. 2

Tidak seluruh prosedur dental didahului oleh konsumsi antibiotik, seperti pada saat

fitting metal bands (karena jarang terjadi infective endocarditic) dan prosedur

orthodonti secara umum (karena umumnya pasien anak-anak yang jarang infective

endocarditic). Namun, jika dokter menganggap pasien tersebut termasuk kelompok

berisiko tinggi, boleh memberikan antibiotik. Harus diingat bahwa infective

endocarditic terjadi tiba-tiba, walaupun sudah dilakukan pemberian antibiotik, pasien

harus tetap memeriksakan dirinya ke dokter gigi jika terjadi perkembangan secara

mild, unexplained, febrile illness pada 3 bulan pertama sejak perawatan gigi terakhir.

Keterlambatan diagnosis adalah faktor utama yang mempengaruhi kelangsungan

hidup pasien dengan infective endocarditic . 2

Kawasaki’s Disease (Mucocutaneous lymph node syndrome)

21

Kawasaki’s diseases merupakan satu-satunya bentuk penyakit jantung serius dengan

manifestasi orofacial spesifik, yang disebut mucositis dan cervical lymphadenophaty.

2

2.3. Kegawatdaruratan pada Praktik Kedokteran Gigi

Sudden Loss of Consciousness

Fainting

Disebabkan oleh transient hypotension dan cerebral ischaemia, merupakan penyebab

paling sering kehilangan kesadaran pada dental surgery. Berikut faktor predisposisi

dan tanda serta gejala dari fainting. 2

22

Berikut tata laksana mengatasi fainting2:

Pencegahan

Biasanya dibantu dengan anxiolytic, seperti temazepam 5 mg secara oral pada malam

sebelumnya dan satu jam sebelum perawatan, tetapi harus didampingi orang dewasa. 2

Acute Hypoglycaemia

Hipoglikemia mempengaruhi pasien diabetes setelah overdosis insulin atau jika

dicegah untuk makan pada jam yang seharusnya karena perawatan dental. Berikut

tanda dan gejala hipoglikemia akut beserta cara mengatasi hipoglikemia. 2

23

Circulatory collapse in patients on corticosteroid treatment

Penyebab utama, yaitu anastesi umum, surgical atau trauma, infeksi, atau stress

lainnya. berikut tanda, gejala, dan cara mengatasi corticosteroid-related collapse. 2

24

Myocardial Infarction2

Anaphylactic Reactions2

Penisilin merupakan penyebab paling sering dari tipe I reaksi hipersensitivitas. Reaksi

anafilaktik juga dapat dipercepat oleh gigitan serangga, makanan (kacang-kacangan

atau kerang), dan aspirin. Pada umumnya, semakin cepat onset semakin parah

reaksinya. 2

25

Cardiac Arrest

Cardiac arrest dapat berlanjut myocardial infarction, atau hipotensi akut dari reaksi

anafilaktik atau kekurangan kortikosteroid. Sebaliknya, dapat merupakan hasil dari

kesalahan anastesi dan karena hipoksia, overdosis anastesi, atau hipotensi yang parah.

Dokter gigi harus waspada dari kemungkinan terjadinya cardiac arrest dan bisa

mengenali dan mengatasinya saat terjadi. Kecepatan respon sangat penting dan

merupakan kewajiban tim dental untuk terlatih melakukan resusitasi jantung paru. 2

26

Respiratory arrest, eventual cyanosis, dilatasi pupil dan hilangnya reaksi pada cahaya,

dan absence of measureable blood preasure merupakan tanda-tanda lainnya, tetapi

resusitasi jantung paru harus dimulai sebelum tanda-tanda ini berlanjut. 2

27

Strokes

Biasanya pasien middle-aged atau elderly dan hypertensive. 2

Chest Pain

Angina Pectoris

Pasien dengan coronary atheroma mungkin memiliki serangan angina pertama

sebagai konsekuensi dari respon emosional terhadap perawatan dental. Namun, lebih

28

banyak pasien yang sudah memiliki serangan dan sudah menerima medikasi. Acute

chest pain karena miokardial iskemia merupakan satu-satunya gejala. 2

Dyspnoea

Status asthmaticus

Disebabkan hilangnya atau lupa membawa salbutamol inhaler, cemas, infeksi, atau

terekspos pada alergen spesifik. 2

Left Ventricular Failure

Sesak nafas yang ekstrim merupakan tanda utama left ventricular failure. Terpisah

dari mengukur/memeriksa infarct dan mendudukkan pasien tegak lurus, sedikit yang

dapat dilakukan pada saat dental surgery selain menghubungi Intensive Care

Ambulance. 2

29

Convulsions

Epilepsy

Lapar, menstruasi, dan beberapa obat seperti methohexitone, tricyclic antidepressants,

alkohol, atau frequently flashing lights (jangan terlalu sering menyalakan dan

mematikan lampu operator) dapat terkadang mempercepat serangan. 2

Status epilepticus

Jika kejang tidak berhenti dalam waktu 15 menit atau berulang-ulang terus, pasien

berada pada status epilepticus dan dapat meninggal karena anoxia. 2

30

Other Emergencies

Haemorrhage

Perdarahan yang terus menerus biasanya karena adanya trauma saat ekstraksi. Namun,

kadang-kadang perdarahan ini karena hemofilia atau kelainan darah lainnya yang

tidak diduga. 2

2.4. Dental Fistula

Dalam istilah kedokteran gigi, fistula didefinisikan sebagai saluran abnormal yang

menghubungkan pusat inflamasi dengan permukaan luar mukosa mulut.7,8 Dalam

oromaksilofasial, penyebab fistula yang umum adalah infeksi odontogenik seperti abses

periapikal, severe periodontitis, dan perikornitis. Beberapa etiologi tambahan termasuk

periimplantitis, osteomielitis, osteoradionekrosis rahang, aktinomikosis, infeksi

pascaekstraksi, infeksi traumatik, dan infeksi site bedah. Dalam beberapa kasus yang jarang,

fistula dapat terjadi tanpa adanya infeksi seperti pada pasien dengan salivary gland diseases

dan oral malignant tumor.7

Dental Fistula dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori berdasarkan lokasi

terbentuknya. Dental fistula yang terbentuk di dalam rongga mulut disebut intraoral fistula,

sementara dental fistula yang terbentuk di permukaan kulit wajah disebut ekstraoral dental

fistula.7

31

Gambar. Klasifikasi Dental Fistula7

Intraoral Dental Fistula

Intraoral dental fistula biasanya dimulai dengan abses pada tulang alveolar yang

berakhir di gingiva atau permukaan mukosa palatal. Kadang satu fokus infeksi dapat

menghasilkan beberapa fistula. Intraoral dental fistula biasa terlihat sebagai

pembengkakan bulat/oval kecil disertai eritema atau biasa disebut polyp-like lesion.

Penampakan ini disebabkan oleh inflamasi dan pembentukan jaringan granulasi.7

32

Gambar. Temuan Kinis Intraoral Dental Fistula7

Ekstraoral Dental Fistula

Pada mayoritas kasus, ekstraoral dental fistula terjadi karena infeksi kronik gigi

mandibula sehingga biasanya muncul di dagu, pipi, dan regio submental. Dalam

beberapa kasus, terkadang ekstraoral dental fistula muncul di tempat yang cukup jauh

dari fokus infeksinya. Ekstraoral dental fistula tampak sebagai nodul/papul halus pada

kulit. Palpasi pada bagian sekitar lesi dapat menyebabkan keluarnya pus dari fistula

sehingga dapat membantu dalam menegakkan diagnosis.7

Gambar. Temuan Klinis Ekstraoral Dental Fistula7

Ketika inflamasi terus terjadi(inflamasi kronik) pada bagian dalam tubuh dalam jangka waktu

yang panjang, maka akan dihasilkan pus(nanah berisi leukosit yang mati). Pus yang

menumpuk akan menghasilkan tekanan sehingga mencari jalan keluar dengan membentuk

koridor pus pada jaringan keras dan lunak dengan resistensi yang rendah.7,8 Koridor pus ini

kemudian mencapai permukaan dan menyebabkan bisul pada gusi. Pus ini kemudian

dikeluarkan sementara melalui bisul namun inflamasi tetap tidak terkontrol dan tubuh

berusaha untuk mengisolasi fistul ini. Biasanya fistula ini tidak terlalu sakit sehingga pasien

sering menunda untuk mendapatkan perawatan segera. Padahal selama penundaan ini, infeksi

cenderung bertambah besar dan merusak tulang alveolar terus menerus.8

Diagnosis dental fistula dapat dilakukan dengan pemeriksaan penunjang berupa analisis

radiografis. Adanya abses periapikal, jaringan pulpa nekrotik, penyakit periodontal,

perikornitis, fraktur gigi, dan benda asing dalam soket pascaekstraksi pelru diperhatikan.

33

Saluran fistular dapat ditelusuri menggunakan instrumen dengan ujung tumpul atau dengan

bantuan radiograf periapikal dengan insersi gutta percha ke dalam saluran fistula.7

Gambar. Menegakkan diagnosis kasus fistula7

34

Perawatan dental fistula ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Fistula perlu diinsisi dan

diirigasi, namun hal ini tidak akan bertahan lama jika penyebabnya tidak ditangani. Biasanya

penyebab yang umum adalah nekrosis pulpa yang menyebabkan kelainan periapikal. Jika

penyebabnya adalah hal tersebut, maka perlu dilakukan perawatan saluran akar. Dalam

beberapa kasus yang parah, diperlukan perawatan reseksi ujung akar. Pada perawatan ini,

abses diirigasi kemudian ujung akar dipotong sepanjang koridor fistula yang terbentuk.8

Pemberian antibiotik juga dianjurkan untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri.

Apabila penyebab infeksinya tidak ditangani, maka fistula akan terbentuk kembali (rekuren).7

Setelah penyebabnya ditangani, biasanya saluran intraoral dental fistula akan menghilang

dengan sendirinya diikuti dengan proses wound healing.8 Berbeda halnya dengan ekstraoral

dental fistula, diperlukan perawatan bedah fistula pada pasien dengan kasus ekstraoral dental

fistula karena kemungkinan area granulasi terinfeksinya sudah menyebar sehingga dapat

menghambat proses pemulihan dan menyebabkan rekurensi. Apabila terdapat bekas luka

pascabedah (scar) yang mengganggu estetika, ada baiknya juga dilakukan bedah plastik.7

35

Gambar. Tatalaksana Bedah Fistula7

Pemeriksaan Penunjang Perluasan Infeksi Non Spesifik ke Tulang Rahang

Pemeriksaan penunjang perluasan infeksi non spesifik ke tulang rahang dapat dilakukan

dengan pengambilan foto radiograf panoramik untuk melihat kondisi tulang rahang secara

keseluruhan dan foto radiograf pararel untuk melihat lebih detil pada regio yang spesifik.

Biasanya perluasan infeksi ke tulang rahang ditandai dengan menurunnya radiodensitas

tulang rahang yakni karena digantikan oleh pus, abses, dan kista sehingga muncul gambaran

radiolusen pada foto radiograf.9

Gambar. Foto Radiograf kasus Kista9

2.5. Anestesi Lokal

Teknik Dasar

Posisi pasien duduk pada posisi setengah berbaring, punggung dan kaki ditopang,

bantalan kepala terletak di puncak leher (belakang leher). Operator jangan berdiri pada

permukaan lantai yang licin dan berdiri dengan kedua kaki yang seimbang. Posisi operator

harus setegak mungkin agar mendapat visual yang baik dari area suntikan. Tinggi kursi

disesuaikan sehingga operator mendapat penerangan dari atas dan dari belakang bahu kanan

ketika melakukan penyuntikan.10

36

Pramedikasi

Pramedikasi dapat dilakukan untuk eredakan stress karena kunjungan ke dokter gigi

sifat dan dosis obat pramedikasi serta rute pemberiannya bervariasi sesuai dengan tipe pasien

serta kemampuan dan keterampilan dokter gigi. Pramedikasi untuk pasien yang nervus dapat

diberikan sekurang-kurangnya 2 atau 3 hari sebelum kunjungan ke dokter gigi. Stres

praoperatif juga dapat dikontrol dengan pemberian penenang secara oral misalnya diazepam

(Valium) 5-10 mg sebelum tidur, 3 hari sebelum kunjungan ke dokter gigi, dan 1 jam

sebelum perawatan gigi.10

Penentuan dosis sedasi yang tepat dilihat berdasarkan reaksi pasien yaitu pasien

berbicara agak lambat dan kurangnya kemampuan pasien untuk memfokuskan mata. Jika

dosis sedasi maksimal sudah diperoleh mata pasien akan menunjukkan tanda Verrill yaitu

kelopak mata atas pasien berada di posisi setengah tinggi pupil mata.10

Efek sedasi dari obat biasanya berlangsung selama 45 menit. Pasien sebaiknya tetap

diamati selama sekurang-kurangnya 1 jam setelah prosedur perawatan karena kemungkinan

terjadi keringat berlebihan pascaoperatif. Obat sedasi hanya digunakan untuk pasien dengan

kondisi kesehatan yang baik, berpuasa idak makan dan minum selama 3 – 4 jam. Penggunaan

diazepam intravena pada wanita hamil merupakan kontraindikasi.10

Peralatan10

Peralatan yang digunakan dalam melakukan anestesi adalah:

37

- Syringe disposable

- Cartridge

- Dappen glass untuk antiseptik

- Cotton rolls

- Gunting

- Semprotan anestesi lignokain

- Sonde lurus

Persiapkan Mukosa

Suntikan hipodermik melalui mukosa rongga mulut yang tidak dipersiapkan dapat

menyebabkan tertanamnya sejumlah besar bakteri dalam jaringan rongga mulut. Mengurangi

jumlah organisme dalam mulut daat menghilangkan resiko infeksi klinis. Hal ini diperoleh

dengan mengaplikasikan larutan antiseptik misalnya Clorhexidine 0,5% dalam alkohol 7%,

povidon iodine (1% dalam air) atau larutan iodine lemah BP (0,5% w/v larutan iodine

alkoholik) pada mukosa selama 15 detik. Mukosa pada daerah suntikan harus dikeringkan

dengan kasa steril sebelum aplikasi antiseptik.10

Tipe-tipe Analgesia Lokal

Dapat dibagi menurut basis anatominya menjadi topikal, infiltrasi, dan teknik regional.10

a. Anestesi topikal atau permukaan

Anestesi topikal diperoleh melalui aplikasi agen anestesi tertentu pada daerah kulit

maupun membran mukosa yang dapat dipenetrasi untuk membaalkan ujung-ujung saraf

superfisial. Anestesi ini paling sering digunakan untuk membaalkan mukosa sebelum

dilakukan penyuntikan. Penambahan rasa buah-buahan pada anestesi topikal bertujuan agar

lebbih mudah diterima oleh anak-anak namun dapat juga merangsang salivasi berlebihan.

38

Bila anestesi dilakukan dengan menggunakan semprotan, larutan didistribusi dengan lebih

mudah dan efeknya juga lebih luas.10

Daerah yang akan dianestesi dikeringkan, anestesi disemprotkan pada gulungan kapas

kecil lalu gulungan kapas diletakkan pada daerah penyuntikan di sulkus dan dibiarkan sekitar

1 menit sebelum jarum suntik diinsersikan. Mukosa tidak perlu dipersiapkan terlebih dahulu

karena semprotan anestesi sudah mempunyai efek antiseptik. Waktu timbul anestesi adalah 1

menit dan durasinya adalah 10 menit.10

b. Anestesi infiltrasi

Larutan anestesi didepositkan di dekat serabut terminal dari saraf dan akan terinfiltrasi

di sepanjang jaringan untuk mencapai serabut saraf dan menimbulkan efek anestesi dari

daerah terlokalisir yang disuplai oleh saraf tersebut. Teknik infiltrasi dapat dibagi menjadi:

submukosa, supraperiosteal, subperiosteal, intraoseous, intraseptal, dan intraligamental atau

ligamen periodontal.10

c. Anestesi regional

Larutan anestesi yang didepositkan di dekat batang saraf akan memblokir semua

impuls, menimbulkan anestesi pada daerah yang disuplai oleh saraf tersebut. Anestesi ini

dikenal juga dengan anestesi blok. Penggunaan teknik infiltrasi pada mandibula umumnya

tidak dapat dilakukan karena densitas bidang kortikal luar dari tulang. Dengan mendepositkan

larutan anestesi di ruang pterigomandibular di dekat foramen mandibula, anestesi regional

pada seluruh saraf gigi inferior pada sisi tersebut dapat diperoleh.10

Anestesi lokal pada maksila

Ekstraksi gigi rahang atas

Larutan didepositkan di sekitar apeks gigi atau pada mukobukal fold (teknik

infiltrasi). Efek timbul dalam 1-2 menit. Posisi bahu pasien sejajar operator dengan rahang

atas pasien membentuk sudut 45° terhadap lantai.11

Anestesi gigi geligi permanen

39

Akar distobukal dan palatal molar pertama, molar kedua, dan molar ketiga diinervasi

oleh cabang-cabang saraf gigi superior posterior. Deposisi larutan anestesi di dekat saraf

setelah saraf keluar dari kanalis tulang, akan menimbulkan efek anestesi regional dari struktur

yang disuplainya.10

Akar mesiobukal molar pertama, kedua gigi premolar dan jaringan pendukung bukal

serta mukoperiosteum yang berhubungan dengannya mendapat inervasi dari saraf gigi

superior tengah.10

Ekstraksi anterior rahang atas (insisif dan kaninus)11

• Pasien diposisikan dengan rahang atas membentuk sudut 45° dengan lantai atau

rahang bawah sejajar lantai (untuk semua ektraksi gigi rahang atas).

• Lakukan asepsis pada daerah yang akan dicabut dengan betadin, dengan berkumur

atau dioles dengan kapas.

• Tusuk jarum pada bagian labial gigi, pada batas mukosa bergerak dan tidak bergerak

ke arah apeks gigi.

• Aspirasi untuk mengetahui apakah terkena pembuluh darah atau tidak (jika ada darah,

tarik kembali dan tentukan posisi yang tepat).

• Depositkan 1,5 cc obat anestesikum untuk Nervus Alveolaris Superior Anterior.

• Jarum ditarik seluruhnya dan letakkan pada palatum daerah yang akan dicabut.

• Aspirasi, kemudian injeksikan 0,5 cc obat anestesikum pada mukosa palatal.

Ekstraksi premolar 1 dan premolar 2 rahang atas11

• Untuk daerah bukal, cara sama seperti anestesi gigi anterior, namun obat anestesikum

depositkan 1,5 cc pada Nervus Alveolaris Superior Medial.

• Untuk daerah palatal, sama seperti anestesi untuk palatal gigi anterior.

Ekstraksi molar 1 rahang atas11

• Akar mesiobukal gigi molar 1 dipersarafi oleh Nervus Alveolaris Superior Medial.

Injeksikan 0,75 cc obat anestesikum pada akar mesial molar.

• Untuk akar distal, injeksikan 0,75 cc pada bagian akar distal (dipersarafi oleh Nervus

Alveolaris Superior Posterior).

• Untuk palatum, injeksikan 0,5 cc obat anestesikum pada Nervus Palatinus (blok

palatinus mayus).

40

Ekstraksi molar 2 dan molar 3 rahang atas11

• Untuk bagian bukal, injeksikan 1,5 cc obat anestesikum pada Nervus Alveolaris

Superior Posterior.

• Bagian palatal, injeksikan 0,5 cc obat anestesikum untuk mukosa palatal.

Ekstraksi gigi anterior rahang bawah11

• Pasien diposisikan dengan rahang bawah sejajar lantai.

• Lakukan asepsis pada daerah yang akan dicabut dengan betadin, dengan berkumur

atau dioles dengan kapas.

• Tusuk jarum pada batas mukosa bergerak dan tidak bergerak atau pada daerah apeks

gigi tersebut.

• Aspirasi, kemudian injeksikan 1,5 cc obat anestesikum pada Nervus Alveolar Inferior.

• Untuk lingual, injeksikan 0,5 cc obat anestesikum pada mmukosa lingual (Nervus

Lingualis).

Ekstraksi premolar 1 dan premolar 211

• Untuk bagian bukal, blok pada foramen mentale, injeksikan 0,5 cc obat anestesikum.

• Untuk lingual injeksikan 0,5 cc obat anestesikum pada Nervus Lingualis.

Ekstraksi molar 1 dan molar 2 rahang bawah (bisa juga untuk premolar 1 dan 2)11

Dengan mandibular blok, tekniknya:

• Lakukan asepsis pada daerah yang akan dicabut.

• Dengan jari telunjuk tangan kiri, raba regio premolar pada batas mukosa bergerak dan

tidak bergerak, kemudian mengarah ke posterior sampai terasa terangkat oleh linea

oblique eksterna.

• Jari degarakkan terus ke posterior dan mengarah sedikit ke media ada cekungan yaitu

hamular notch.

• Digerakkan ke medial lagi, teraba linea oblique interna, jari telunjuk memfiksir

daerah ini.

• Jarum dari premolar kontra lateral, sampai terasa tulang mandibula, injeksikan pada

daerah tersebut 1,5 cc obat anestesikum.

41

• Lalu arah jarum diarahkan sejajar oklusal, menyusuri sampai ujung jarum terasa tidak

ada tulang (alat tusuk jarum terus ada ditulang), dan injeksikan 0,25 cc obat

anestesikum untuk Nervus Alveolaris Inferior Lingua.

• Jarum ditarik semua.

• Untuk bagian bukal, tusuk bukal gigi yang akan dicabut pada batas mukosa bergerak

dan tidak bergerak dan injeksikan 0,25 cc.

Anestesi gigi sulung

Sedasi dilakukan dalam cara yang paling tidak menakutkan. Anak umumnya takut

pada jarum, jadi sedasi melalui intravena kadang tidak memungkinkan. Dokter gigi harus

familiar dengan teknik alternatif lainnya, pertimbangan dalam menyusun teknik anestesi

adalah: usia pasien, tingkat kecemasan dan kemampuan berkooperasi, sejarah medis pasien,

pengalaman surgical atau anestesi pasien, efek prosedur terhadap airway, dan durasi

prosedur. Terkadang bisa menggunakan anestesi topikal atau semprot sebelum anestesi

injeksi. Anestesi dapat dilakukan melalui:oral, intranasal, transmukosal, rectal, intramuscula,

inhalasi, dan intravenous. Keuntungan intravenous adalah cepat onset, cepat offset, dan

efeknya dapat diperkirakan.11

Anestesi sebaiknya diberikan hanya bila anak merasa sakit atau kurang nyaman. Anak

diberi tahu bahwa pipi dan bibir akan terasa seperti karet atau baal. Operator dan asistennya

harus berdiri sedemikian rupa sehingga syringe dapat diberikan ke operator di luar lapang

pandang anak dan agar semua gerakan mendadak dari anak dapat ditahan dan dikontrol.10

a. Gigi mandibula

Pada anak-anak, bidang alveolar labio-bukal yang tipis umumnya banyak terperforasi

oleh saluran vaskuler. Maka, teknik infiltrasi dapat digunakan dengan efektif untuk mendapat

efek anestesi pada gigi sulung. Walaupun demikian, anestesi regional juga bermanfaat untuk

situasi ini yaitu hanya memerlukan satu kali tusukan jarum, juga suntikan gigi inferior dengan

jarum pendek, banyak disukai oleh pada dokter gigi dan pasien anak. Pada teknik

penyuntikan ini, perlu diingat adanya hubungan antara foramen gigi inferior dengan bidang

oklusal. Anestesi dari saraf lingual dapat diperoleh dengan menggunakan teknik suntikan gigi

inferior untuk pasien anak. Walaupun demikian, bila hanya dilakukan suntikan infiltrasi

namun akan dilakukan pencabutan atau pemasangan matris, anestesi dari jaringan lingual

dapat diperoleh dengan menggunakan suntikan interpapila atau intraligamental. Pada inferior

42

alveolar nerve block, letak mandibular foramen ada di bawah bidang oklusal sehingga areah

suntikan harus lebih inferior dan posterior dibandingkan dengan saat melakukan block pada

dewasa.10

b. Gigi maksila

Pada anak-anak, bidang alveolar labio-bukal yang tipis umumnya banyak terperforasi

oleh saluran vaskuler. Maka, teknik infiltrasi dapat digunakan dengan efektif untuk mendapat

efek anestesi pada gigi sulung atas tanpa perlu mendepositkan lebih dari 1 ml larutan secara

perlahan-lahan di jaringan. Penyuntikan harus dilakukan secara hati-hati terutama dalam

penentuan panjang akar dan insersi jarum ke jaringan. Pada anak yang masih muda, suntikan

palatum membuat rasa tidak nyaman, untuk menghindari itu dapat dilakukan dengan suntikan

interpapila. Jarum diinsersikan dari aspek labio-bukal, melalui ruang interproksimal, setinggi

jaringan gingiva yang melekat pada periosteum dibawahnya. Ujung jarum harus tetap berada

pada papila dan tidak boleh menyentuh tulang. Sejumlah kecil larutan anestesi lokal

didepositkan perlahan sampai mukoperiosteum palatal atau lingual memucat. Sejumlah kecil

larutan anestesi yang didepositkan dengan cara ini akan memberikan efek anestesi yang

memadai pada jaringan palatum.10

2.6. Ekstraksi Gigi

Ekstraksi Gigi Permanen1

Indikasi Ekstraksi

1. Gigi dengan karies dalam yang sudah tidak dapat direstorasi

2. Gigi dengan pulpa nekrosis yang tidak dapat dilakukan perawatan endodontik

3. Gigi dengan penyakit periodontal parah

4. Tujuan ortodontik

5. Gigi yang malposisi dan overerupsi

6. Gigi yang impaksi

7. Supernumerary teeth

8. Gigi yang mengalami fraktur mahkota atau akar yang tidak dapat diberikan perawatan

lain

43

9. Gigi dengan lesi patologis

10. Beberapa gigi prognosis buruk harus dicabut sebelum menjalani terapi radiasi

11. Gigi pada garis fraktur rahang

12. Keuangan yang tidak mendukung untuk perawatan dental lain

Kontraindikasi Ekstraksi

Kontraindikasi Sistemik Absolut

a) Diabetes tidak terkontrol

b) Leukimia

c) Gagal ginjal

d) Gagal jantung

e) Sirosis hati

Kontraindikasi Sistemik Relatif

a) Diabetes terkontrol

b) Hipertensi

c) Penyakit kardiovaskular

d) Kelainan darah (bleeding diathesis)

e) Ibu hamil

Kontraindikasi Lokal

a) Riwayat terapi radiasi menyebabkan osteoradionekrosis

b) Gigi di area tumor dapat menyebarkan sel tumor ke area lain

c) Perikoronitis parah komplikasi pasca ekstraksi meningkat

d) Abses dentoalveolar akut pasien sulit membuka mulut dan anastesi sering gagal

44

PROSEDUR EKSTRAKSI 1

Posisi Pasien

Posisi dental unit saat ekstraksi gigi (a)RA, (b)RB

Untuk ekstraksi gigi maksila, ketinggian mulut pasien sama dengan tinggi bahu

operator dan sudut kemiringan dental unit terhadap lantai 120° dan bidang oklusal

gigi maksila bersudut 45° terhadap lantai saat mulut terbuka.

Untuk ekstraksi gigi mandibula, dental unit diposisikan lebih rendah sehingga sudut

kemiringan dental unit terhadap lantai 110° dan bidang oklusal gigi mandibula

terletak sejajar dengan lantai.

Posisi operator

Posisi right-handed operator saat melakukan ekstraksi

Untuk ekstraksi gigi RA dan posterior RB, operator berada di depan dan kanan pasien. Untuk

ekstraksi gigi anterior RB, operator berada di depan atau belakang kanan pasien.

45

Teknik Ekstraksi 1

Ekstraksi terdiri dari 2 tahap:

1. Pemisahan gigi dari jaringan lunak yang mengelilinginya menggunakan desmotome

atau elevator

a. Merenggangkan Attachment Jaringan Lunak

- Instrumen: Desmotome.

- Cara: Desmotome dimasukkan ke dasar sulkus gingiva untuk memisahkan

attached gingiva dengan gigi. Arah gerakan desmotome yaitu dari distal, ke bukal,

mesial, lalu lingual.

Desmotomes: (a)straight, (b)curved

Desmotome straight digunakan untuk gigi anterior RA, desmotome curve digunakan

untuk gigi posterior RA dan seluruh gigi RB.

b. Merefleksi Jaringan Lunak

- Instrumen: Chompret elevator

- Cara: Menekan gingiva di sekitar gigi dengan Chompret elevator sehingga

forcep ekstraksi dapat menjangkau gigi di bawah garis servikal hingga se-apikal

mungkin. Prosedur ini lebih traumatik dibanding menggunakan desmotome.

Karena gerakannya memberikan tekanan yang lebih dibanding menggunakan

desmotome, walaupun hampir sama dengan gerakan desmotome.

46

Chompret elevator

2. Pengeluaran gigi dari soketnya

- Intrumen: forcep atau elevator

- Teknik Ekstraksi Menggunakan Tooth Forceps

Cara memegang forcep ekstraksi maksila(kiri) dan mandibula(kanan)

Ekstraksi Gigi Maksila 1

1. Ekstraksi Gigi Insisif Maksila

Instrumen:

Upper Universal Forceps (no. 150). Forceps ini dapat digunakan untuk 6 gigi

anterior maksila.

47

Teknik:

a) Posisi dokter gigi di depan kanan (right handed) atau di depan kiri (left

handed) pasien

b) Jari tengah atau jari telunjuk tangan non-dominan merefleksikan atau menahan

bibir dan pipi, serta mendukung prosesus alveolaris pada aspek labial

c) Ibu jari diposisikan di aspek palatal prosesus alveolaris dan mendukung

prosesus alveolaris

d) Kepala pasien ditahan pada posisi ini dan informasi taktil didapatkan dari

pergerakan gigi dan tulang

e) Memposisikan beak forceps ke gigi dengan letak sejajar dengan sumbu

panjang gigi. Forceps diposisikan seapikal mungkin.

f) Luksasi dimulai dengan gaya ke arah labial dan gaya yang lebih ringan ke

palatal. Tulang alveolar di bagian labial lebih tipis dibandingkan tulang

alveolar di bagian palatal, sehingga ekspansi utama dari prosesus alveolaris

akan didapat dengan gaya ke arah labial. Pergerakan utama ke arah labial

harus pelan, stabil, dan kuat sehingga mengekspansi tulang krestal bukal.

Gaya yang lebih ringan digunakan dalam arah palatal, diikuti gaya yang pelan,

kuat dan rotasional.

g) Pada gigi insisif sentral maksila, gaya rotasional ke arah mesial-distal dapat

dilakukan karena bentuk akarnya yang konus. Putar gigi ke arah mesial, lalu

putar kembali ke arah distal.

h) Pada gigi insisif lateral maksila, gaya rotasional harus dikurangi karena bentuk

akar yang pipih dan rentan terjadi fraktur, terlebih bila terdapat celuk distal di

sepertiga akar.

i) Gigi di traksi ke arah labial dengan gaya ringan keluar dari soketnya ketika

perlekatan ligament periodontal terlepas.

48

2. Ekstraksi Gigi Kaninus Maksila

Ekstraksi gigi kaninus memiliki kesulitan tersendiri, karena umumnya merupakan

gigi dengan akar terpanjang dalam mulut. Gigi ini biasanya menghasilkan

tonjolan, yang disebut canine eminence, di permukaan anterior maksila. Hal ini

menyebabkan tulang pada aspek labial kaninus maksila tipis. Tidak jarang

ditemukan kasus frakturnya segmen tulang alveolar bagian labial dari labial plate

dan akhirnya ikut tercabut bersama gigi kaninus.

Instrumen :

Upper Universal Forceps (no. 150). Forceps ini dapat digunakan untuk 6 gigi

anterior maksila.

Teknik :

a. Posisi dokter gigi di depan kanan (right handed) atau di depan kiri

(left handed) pasien

49

b. Jari tengah atau jari telunjuk tangan non-dominan merefleksikan

atau menahan bibir dan pipi, serta mendukung prosesus alveolaris

pada aspek labial

c. Ibu jari diposisikan di aspek palatal prosesus alveolaris dan

mendukung prosesus alveolaris

d. Kepala pasien ditahan pada posisi ini dan informasi taktil

didapatkan dari pergerakan gigi dan tulang

e. Memposisikan beak forceps ke gigi dengan letak sejajar dengan

sumbu panjang gigi. Forceps diposisikan seapikal mungkin.

f. Pergerakan utama yang dilakukan adalah ke arah bukal. Lalu

dilanjutkan dengan gaya yang lebih ringan ke arah palatal.

g. Sedikit gaya rotasi dapat berguna dalam mengekspansi soket gigi,

terutama apabila gigi sebelahnya telah hilang atau baru saja

diekstraksi.

h. Setelah gigi diluksasi dengan baik, gigi dikeluarkan dari soket

dalam arah labial-insisal dengan gaya traksi labial.

3. Ekstraksi Gigi Premolar Pertama Maksila

Gigi premolar pertama memiliki 2 akar yaitu pada sisi buccal dan palatal sehingga

terdapat bifurkasi pada akar buccolingual di bagian 1/3 sampai ½ dari apikal. Akar

dari bifurkasi ini sangat tipis dan rentan fraktur, terutama pada pasien usia lanjut

50

dengan densitas yang tinggi dan elastisitasnya rendah. Ketika gigi premolar ini

diluksasi ke arah bukal, akar yang sering fraktur adalah akar bukal. Ketika gigi

premolar ini diluksasi ke arah palatal, akar yang sering fraktur adalah akar palatal.

Instrumen :

Upper Universal Forceps (no. 150). Alternatif lainnya dapat menggunakan

no.150A.

Teknik:

a. Posisi dokter gigi di depan kanan (right handed) atau di depan kiri (left

handed) pasien

b. Jari tengah atau jari telunjuk tangan non-dominan merefleksikan atau menahan

bibir dan pipi, serta mendukung prosesus alveolaris pada aspek labial

51

c. Ibu jari diposisikan di aspek palatal prosesus alveolaris dan mendukung

prosesus alveolaris

d. Kepala pasien ditahan pada posisi ini dan informasi taktil didapatkan dari

pergerakan gigi dan tulang

e. Memposisikan beak forceps ke gigi dengan letak sejajar dengan sumbu

panjang gigi. Forceps diposisikan seapikal mungkin

f. Karena akarnya yang rentan fraktur, luksasi sebisa mungkin dilakukan dengan

straight elevator.

g. Pergerakan utamanya ke arah bukal, untuk mengekspansi buccocortical plate.

Hal ini menyebabkan apikal akar terdorong ke arah palatal dan berisiko

fraktur.

4. Ekstraksi Gigi Premolar Kedua Maksila

Gigi premolar kedua memiliki akar tunggal. Akarnya tebal dan konus. Jarang

terjadi fraktur pada akar gigi ini. Tulang alveolar diatasnya mirip dengan gigi

maksila lain yaitu tulang di bagian bukal lebih tipis dibandingkan bagian palatal.

Instrumen :

Upper Universal Forceps (no. 150). Alternatif lainnya dapat menggunakan

no.150A.

52

Teknik:

a. Posisi dokter gigi di depan kanan (right handed) atau di depan kiri (left

handed) pasien

b. Jari tengah atau jari telunjuk tangan non-dominan merefleksikan atau menahan

bibir dan pipi, serta mendukung prosesus alveolaris pada aspek labial

c. Ibu jari diposisikan di aspek palatal prosesus alveolaris dan mendukung

prosesus alveolaris

d. Kepala pasien ditahan pada posisi ini dan informasi taktil didapatkan dari

pergerakan gigi dan tulang

e. Memposisikan beak forceps ke gigi dengan letak sejajar dengan sumbu

panjang gigi. Forceps diposisikan seapikal mungkin.

f. Karena akarnya kuat dibutuhkan pergerakan yang kuat ke arah bukal, kembali

ke palatal, lalu kemudian ke arah buccooclusal dengan gaya traksi rotasi.

5. Ekstraksi Gigi Molar Maksila

Instrumen :

- Sepasang forceps no. 53R dan no. 53L. Forceps ini memiliki tip projection

pada beak bukalnya yang dapat pas dengan bifurkasi bukal molar.

- Alternatif: forceps no.89 dan no.90. Forceps ini terutama berguna apabila

mahkota molar memiliki karies atau restorasi yang luas.

53

Teknik:

a. Posisi dokter gigi di depan kanan (right handed) atau di depan kiri (left

handed) pasien

b. Jari tengah atau jari telunjuk tangan non-dominan merefleksikan atau menahan

bibir dan pipi, serta mendukung prosesus alveolaris pada aspek labial

c. Ibu jari diposisikan di aspek palatal prosesus alveolaris dan mendukung

prosesus alveolaris

d. Kepala pasien ditahan pada posisi ini dan informasi taktil didapatkan dari

pergerakan gigi dan tulang

e. Memposisikan beak forceps ke gigi dengan letak sejajar dengan sumbu

panjang gigi. Forceps diposisikan seapikal mungkin.

f. Luksasi dimulai dengan gaya yang kuat ke arah bukal. Tekanan yang kuat,

pelan, dan stabil dapat mengekspansi buccocortical plate dan memisahkan

serat ligamen periodontal yang menahan akar palatal.

g. Gaya berkekuatan sedang diaplikasikan ke arah palatal.

h. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, jika gigi memiliki akar yang sangat

divergen dan diperkirakan akan ada akar yang fraktur, operator harus

mencegah frakturnya akar palatal karena akan lebih sulit diambil. Oleh karena

itu, operator harus meminimalisasi gaya palatal, yang merupakan gaya yang

menyebabkan fraktur akar palatal.

54

i. Gaya rotasi tidak berguna dalam ekstraksi molar karena memiliki tiga akar.

j. Anatomi gigi molar kedua mirip dengan molar pertama, kecuali akarnya yang

lebih pendek dan kurang divergen dibanding molar pertama dengan akar bukal

yang umumnya berfusi menjadi akar tunggal. Hal ini berarti gigi molar kedua

lebih mudah diekstraksi.

k. Gigi di traksi dengan gaya ringan keluar dari soketnya ke arah buccooclusal

ketika perlekatan ligament periodontal terlepas.

6. Ekstraksi Gigi Molar Tiga Maksila

Instrumen :

Forseps ekstraksi molar tiga

Teknik:

a. Posisi dokter gigi di depan kanan (right handed) atau di depan kiri (left

handed).

55

b. Memilih instrument yang tepat, pada forceps molar, terdapat ujung runcing

pada bagian tengah beak bukal.

c. Memposisikan beak forceps ke gigi dengan letak sejajar dengan sumbu

panjang gigi

d. Gaya yang ringan dan lembut diaplikasikan ke arah palatal dengan

peningkatan intensitas pada bagian bukal karena resistensi yang lebih rendah

pada bagian bukal. Gaya akhir ekstraksi ke arah bukal. Ekstraksi dapat mudah

dilakukan dengan straight elevator karena bentuk akar yang fusi (konikal)

dengan menginsersikan elevator di antara molar 2 dan molar tiga, luksasi

sesuai dengan arah akar.

e. Gigi di traksi dengan gaya ringan keluar dari soketnya ketika perlekatan

ligament periodontal terlepas

Ekstraksi Gigi Mandibula 1

1. Ekstraksi Gigi Anterior

Instrumen :

Forceps universal mandibula atau forceps no. 151

Teknik:

a. Posisikan forcep seapikal mungkin

56

b. Gaya diaplikasikan pada arah labial dan lingual dengan tekanan yang

sama di masing-masing sisi, intensitas meningkat.

c. Karena bentuk anatomis akar yang pipih, gerakan rotasi hanya

diperbolehkan sedikit

d. Gigi dikeluarkan dari soket dengan tarikan ke arah labioinsisal.

2. Ekstraksi Gigi Premolar Mandibula

Instrumen :

Forseps universal mandibula atau no. 151

Teknik:

a. Posisikan beak forceps seapikal mungkin

b. Gaya diaplikasikan pada arah bukal dan lingual dengan intensitas

meningkat. Gaya ke bukal harus lebih kuat karena tulang alveolar bukal lebih

tipis dan elastis daripada di sisi lingual.

57

c. Gaya rotasi diaplikasikan karena akar gigi berbentuk konus. Jika pada

radiograf pre-ektraksi terlihat akar bengkok, gaya rotasi diminimalkan atau

tidak ada sama sekali.

d. Gigi dikeluarkan dari soket dengan gaya tarikan dan rotasi ke arah

buccooclusal.

3. Ekstraksi Gigi Molar Mandibula

Instrumen :

Forceps molar mandibular

Teknik:

a. Posisikan beak forceps seapikal mungkin.

b. Molar 1 : Gaya yang kuat diaplikasikan ke arah bukal dan lingual, karena

M1 dikelilingi tulang alveolar yang paling tebal.

58

Molar 2 : Gaya diaplikasikan ke arah bukal dan lingual. Tekanan ke

lingual harus lebih kuat karena tulang alveolar lingual lebih tipis daripada

sisi bukal.

c. Gigi dikeluarkan dari soket dengan tarikan ke arah bukooklusal.

4. Ekstraksi Gigi Molar 3 Mandibula

Instrumen :

Forceps molar 3 mandibula

Teknik:

a. Posisikan beak forceps seapikal mungkin

59

b. Gaya diaplikasikan ke arah bukal dan lingual. Tekanan ke lingual

harus lebih kuat karena tulang alveolar lingual lebih tipis dibandingkan

bukal.

c. Gigi dikeluarkan dari soket dengan tarikan ke arah linguooklusal.

Teknik Ekstraksi Menggunakan Root Tip Forceps 1

Indikasi:

- Akar yang telah protrusi dari soketnya dan melebihi tinggi gingiva.

- Apabila akar terletak sama tinggi dengan gingiva atau subgingiva, operator harus

merefleksi gingiva sebelum forceps diinsersikan atau dilakukan pembuangan

sedikit prosesus alveolar pada bagian bukal dan palatal agar cengkeram beak

optimal.

Teknik Ekstraksi Menggunakan Elevator 1

A. Ekstraksi akar dan ujung akar:

Instrumen: straight elevator (ekstraksi akar, gigi molar 3 maksila dan mandibula

dengan bentuk akar fusi dan konus).

60

B. Ekstraksi Gigi Akar Tunggal dengan Mahkota Tidak Utuh:

Instrumen: straight elevator

Teknik:

- Straight elevator diletakkan di antara akar dan tulang alveolar dengan

sudut tertentu atau tegak lurus, permukaan cekung mata pisau

berkontak dengan permukaan mesial atau distal akar.

- Tulang alveolar digunakan sebagai titik tumpu.

- Gaya rotasi diaplikasikan disekitar sumbu elevator yang akan

menghasilkan perpindahan akar dan elevasi akar dari soket.

- Jika akar patah saat di elevasi, instrumen khusus digunakan untuk

mengangkat fragmen akar dari soket.

61

C. Ekstraksi Gigi Akar Ganda dengan Mahkota Tidak Utuh

Ekstraksi ini tidak dapat dilakukan dengan forceps. Akar harus dipotong terlebih

dahulu sebelum dikeluarkan dari soket.

Teknik:

a. Jika akar berada di atas tulang alveolar akar dibagi menjadi dua bagian dan

dipisahkan setelah dibuatkan bukolingual groove dengan bur fissure hingga

mencapai tulang interradikular. Kemudian akar dikeluarkan satu per satu

secara terpisah.

b. Gunakan straight elevator untuk mengelevasi akar distal. Straight elevator

diinsersikan pada bifurkasi dengan permukaan cekungnya berkontak dengan

62

akar distal. Akar dipotong dengan gerakan rotasi, sehingga akar distal juga

akan elevasi dari soketnya.

c. Gunakan T-bar handle atau angled Seldin elevator untuk mengelevasi akar

mesial. Elevator diposisikan pada soket yang kosong dan ujung mata pisau

berkontak dengan permukaan akar. Jika tulang interradikular lebih tinggi

daripada permukaan akar, tulang tersebut dihilangkan. Setelah itu aplikasikan

gaya rotasi untuk mengungkit akar.

63

D. Ekstraksi Ujung Akar

Instrumen: elevator double-angle dengan ujung mata pisau yang sesuai dengan

bentuk akar (straight, hooked, dll).

64

Teknik:

a. Pada ujung akar yang sangat kecil dan soket yang dalam, narrow angled

elevator diletakkan di antara tulang alveolar dan ujung akar lalu instrument

ditekan dengan lembut hingga seapikal mungkin.

b. Luksasi dilakukan hingga ujung akar termobilisasi. Hal ini dilakukan hingga

mesial dan distal ujung akar termobilisasi dengan baik sehingga elevasi ujung

akar dapat dilakukan dengan mudah.

c. Pada ujung akar molar mandibula dan maksila tulang interradikular

dihilangkan dengan round bur atau instrument tajam untuk menyediakan

ruangan luksasi.

d. Untuk akar palatal, ujung akar dapat diekstraksi dengan menggunakan

endodontic fie mencegah risiko masuknya ujung akar ke sinus maksilaris.

65

Endodontic file dimasukkan ke dalam saluran akar diputar lalu diangkat

perlahan dengan tangan atau needle holder.

EKSTRAKSI GIGI SULUNG 1

Indikasi :

1. Karies yang sudah tidak dapat direstorasi

2. Kelainan apical

3. Fraktur mahkota atau akar

4. Gigi impaksi

5. Gigi supernumerary

Kontraindikasi:

1. Anak yang sedang menderita infeksi akut di mulutnya

Misalnya : acute infection stomatitis, herpetic stomatitis

2. Blood discrasia atau kelainan pada darah

Di mana bisa mengakibatkan terjadinya perdarahan, dan infeksi setelah

pencabutan. Pencabutan dilakukan setelah konsultasi dengan dokter ahli tentang

penyakit darah.

Posisi pasien dan dental chair:

- Ekstraksi gigi rahang atas yaitu posisi pasien dengan oklusal plane rahang

atas antara 60-90 derajat terhadap lantai.

- Ekstraksi gigi rahang bawah yaitu posisi pasien dengan occlusal plane

mandibular sejajar terhadap lantai.

- Tinggi dental chair berada sedikit di bawah siku dokter gigi.

Tahap ekstraksi gigi sulung :

1. Memisahkan perlekatan jaringan lunak dari bagian servikal gigi.

- Instrumen: #9 Molt elevator (dual ended)

66

- Teknik:

a. Ujung pertama sharply pointed, digunakan untuk inisiasi separasi

perlekatan jaringan lunak dari gigi. Ujung sharp pointed ini diletakkan

interproksimal pada aspek mesial papilla.

b. Sisi konkaf menghadap gigi.

c. Dengan gerakan twisting, dokter mengelevasi papilla.

d. Ujung elevator diluncur melalui sulkus sepanjang puncak tulang alveolar

sehingga akan memisahkan jaringan lunak bukal dari gigi.

e. Hal yang sama dapat dilakukan pada aspek lingual atau palatal gigi.

2. Penggalian gigi

- Tujuan: untuk membentuk ruang perluasan alveolus, pemisahan terhadap

ligament periodontal, dan mobilitas akar gigi.

- Instrumen: Straight elevator

- Teknik:

a. Concave blade pada straight elevator ditempatkan ke alveolar crest gigi yang

akan diekstraksi dengan sudut 45 derajat atau sejajar pada bidang oklusal.

b. Elevator dibelokkan sehingga terbentuk ruang perluasan alveolus, pemisahan

terhadap ligament periodontal, dan mobilitas akar gigi.

c. Ruang antara soket gigi dan gigi ini akan membatu forcep saat ekstraksi.

67

3. Pengeluaran gigi dari soketnya

Instrumen: forcep (ukuran lebih kecil)

Teknik:

a. Gaya pertama yang diterapkan oleh dokter gigi ketika menggunakan tang yang

diarahkan secara apikal. Sehingga pusat rotasi sedekat mungkin dengan apkes

gigi. Hal ini untuk meminimalisasi kemungkinan fraktur pada 1/3 apeks akar.

Kekuatan yang diarahkan secara apical juga akan mengahancurkan ligamen

periodontal.

b. Gerakan dilakukan dalam satu arah, hingga alveolus cukup meluas,

periodontal ligament hancur, kemudian dengan sedikit gaya tarik ke koronal

maka gigi akan terangkat.

Perbedaan ekstraksi gigi permanen dan gigi sulung

68

Secara umum teknik ekstraksi gigi sulung dengan gigi permanen sama, yang

berbeda adalah penempatan forcep. Mahkota gigi molar sulung memiliki ukuran

yang kecil sehingga dapat terjadi penangkatan bud mahkota gigi permanen yang

berada di bawahnya. Oleh karena itu, posisi forcep saat pencabutan berada di

mesial atau distal gigi tersebut, bukan di tengah bifurkasi akar.

Instruksi Pasca Ekstraksi

1. Istirahat

Pasien diinstruksikan untuk istirahat 1-2 hari setelah operasi sesuai dengan

besarnya operasi dan kondisi fisik pasien.

2. Analgesia

Gunakan pereda rasa sakit setiap 4 jam selama nyeri masih ada.

3. Penanganan edema

Lakukan kompres dingin disekitar area operasi selama 10-15 menit setiap

setengah jam untuk 4-6 jam.

4. Penanganan perdarahan

69

Pasien diinstruksikan untuk menggigit kain kasa dalam 30-45 menit dan kain kasa

diganti setiap jam nya jika perdarahan masih berlangsung.

5. Antibiotik

Obat ini hanya diresepkan pada pasien yang memiliki kondisi medis tertentu atau

mengalami inflamasi.

6. Diet

Pada hari ekstraksi, diet pasien harus mengandung makanan cair dingin.

7. Oral hygiene

Berkumur tidak boleh <24 jam pertama. >24 jam pasien dapat berkumur dengan

air garam atau chamomile 3-4 kali sehari. Sikat gigi tetap dilakukan dengan

menghindari area ekstraksi.

8. Pembukaan jahitan

Jika luka ekstraksi dijahit, jahitan harus dilepas satu minggu kemudian.

2.7.Syok12,13

A. Definisi

Menurut Brunner & Suddarth, syok merupakan suatu keadaan dimana sistem

kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan darah

ke seluruh tubuh dalam jumlah yang memadai sehingga organ dan jaringan

tubuh kekurangan asupan oksigen yang berasal dari darah.

Menurut Toni Ashadi, syok adalah suatu sindrom klinis kegagalan akut fungsi

sirkulasi yang menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi

jaringan, dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis.

B. Penyebab

Syok dapat terjadi akibat berbagai keadaan yang menyebabkan berkurangnya aliran

darah, termasuk kelainan jantung, volum darah rendah, ataupun perubahan pada

pembuluh darah. Adapun penyebab syok antara lain perdarahan, dehidrasi, serangan

jantung, gagal jantung, trauma atau cedera berat, infeksi, reaksi alergi, cedera tulang

belakang, dan sindroma syok toksik.

70

C. Gejala

Gejala klinis syok umumnya antara lain:

1. Sistem kardiovaskuler

- Hipotensi: tekanan sistol kurang dari 80 mmHg atau MAP (mean arterial

pressure / tekanan arterial rata-rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30%

lebih.

- Gangguan sirkulasi perifer: pucat, kulit dingin

- Nadi cepat dan halus

- Vena perifer kolaps: dapat dilihat dari vena di leher

2. Sistem respirasi

- Pernafasan menjadi cepat dan dangkal

3. Sistem saraf pusat

- Perubahan mental: pasien dapat menjadi gelisah hingga tidak sadar

4. Sistem pencernaan

- Mual dan muntah

5. Sistem urinaria

- Oliguria: produksi urin kurang dari 30 ml/jam.

D. Jenis

Syok terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

1. Syok kardiogenik

Syok kardiogenik merupakan syok yang berhubungan dengan kelainan jantung.

Syok ini disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung sehingga menyebabkan

curah jantung berkurang ataupun berhenti. Beberapa kelainan jantung seperti

infark miokardium, kardiomiopati, kerusakan katup, disritmia, dan tamponade

jantung dapat menyebabkan syok kardiogenik.

2. Syok hipovolemik

Syok hipovolemik merupakan syok yang diinduksi oleh penurunan volum darah,

yang terjadi secara langsung akibat perdarahan hebat (misalnya trauma,

pembedahan) ataupun tidak alngsung karena kehilangan cairan yang berasal dari

plasma (misalnya diare, pengeluaran urin atau keringat berlebihan, muntah).

3. Syok anafilaktik

71

Syok anafilaktik merupakan syok yang disebabkan oleh reaksi alergi yang

tergolong berat karena dapat menyebabkan kematian. Reaksi alergi berlebih ini

merupakan respon imun tubuh terhadap zat-zat yang dianggap berbahaya oleh

tubuh secara alamiah. Alergen tersebut dapat berasal dari makanan, serangga,

obat-obatan tertentu, dsb. Gejala syok anafilaktik awalnya berupa ruam

kemerahan, bentol, pembengkakan pada anggota tubuh, dan dapat mengakibatkan

pingsan.

4. Syok septik

Syok septik merupakan syok yang disebabkan oleh infeksi yang menyebar luas.

Mikroorganisme penyebab syok septik adalah bakteri gram negative.

Mikroorganisme tersebut menyerang jaringan tubuh, sehingga tubuh akan

melakukan respon imun yang membangkitkan aktivasi berbagai mediator kimiawi

yang mempunyai berbagai efek yang mengarah pada syok. Insiden syok septik

dapat dikurangi dengan melakukan kontrol infeksi.

5. Syok neurogenik

Syok neurogenic merupakan syok yang disebabkan oleh kerusakan system saraf.

Pada syok neurogenik, terjadi vasodilatasi akibat kehilangan tonus simpatis.

Kondisi ini dapat disebabkan oleh cedera medula spinalis, anastesi spinal, dan

kerusakan sistem saraf. Syok ini juga dapat terjadi sebagai akibat kerja obat-obat

depresan atau kekurangan glukosa. Syok neurogenik spinal ditandai dengan kulit

kering dan hangat, berbeda dengan gejala syok lainnya. Tanda lainnya adalah

bradikardi.

E. Perbedaan syok dan syncope

Syncope atau pingsan merupakan keadaan dimana pasien mengalami kehilangan

kesadaran akibat tidak adekuatnya asupan oksigen ke otak. Syncope dapat disebabkan

oleh syok. Syncope merupakan salah satu manifestasi klinis dari syok.

Mengapa shock dapat menimbulkan kematian?

Untuk menghetahui apakah shock dapat menimbulkan kematian, dapat di lihat dari

tahapannya, yaitu;

1) Nonprogressive stage/compensated stage

Tubuh masih mampu menjaga fungsi normalnya dan dapat pulih melalui penormalan

sirkulasi dari dalam tubuh tanpa bantuan eksternal. Pada tingkat ini, tubuh melakukan

compensatory mechanisms (mekanisme kompensasi) yang merupakan perlakuan

72

cepat (mekanisme jangka pendek) untuk menjaga aliran darah ke organ vital

walaupun adanya pengurangan cardiac output.14

Rapid Compensatory Mechanisms

Mekanisme kompensasi jangka pendek ini terdiri dari 3 nervus

o Baroreceptor reflex: Pengurangan tekanan darah akan menstimulasi

arterial baroreceptor. Hal ini meningkatkan kerja vasomotor pada

jantung, arteri dan vena dan menghasilkan vasokontriksi pembuluh

jantung dan otak. Oleh karena itu, terjadilah perubahan jumlah darah

pada sirkulasi agar tekanan darah pada kedua organ tersebut tetap

stabil dan tidak terganggu.14

o Chemoreceptor reflex

Apabila terjadi perdarahan hebat, akan terjadi juga pengurangan

jumlah O2. Hal ini menghasilkan anemia dan hypoxia yang tetap akan

menstimulasi chemoreceptor untuk melakukan mekanisme yang sama

dengan baroreceptor14

o Central Nervous System Ischameic Response

Menghasilkan stimulasi simpatetik yang lebih kuat1

Intermediate compensatory mechanisms14

o Rennin-angiotensin vasoconstrictor mechanism

o Reverse stress relaxation

o Capillary fluid shift mechanism

Long-term compensatory mechanisms14

o Restoration of plasma volumes and proteins

o Restorations of red cell mass

Gejala: kulit pucat, peningkatan ringan denyut nadi, tekanan darah normal, gelisah,

pengisian pembuluh darah yang lama (biasanya sulit untuk dikenali, karena pada

beberapa orang tidak menimbulkan gejala)14

2) Progressive stage

Merupakan tahap kedua dari shock. Terjadi 15-25% setelah kehilangan volume darah.

Pada tahap ini, mekansime kompensasi sudah tidak bisa menghentikan progress dari

shock. Pad atahap ini, struktur sirkulasi mulai rusak dan dapat terjadi positive

feedback mechanisms. Diperlukan intervensi therapeutic atau pasien dapat menuju

syok refractory.14

o Siklus feedback positif14

73

Siklus ini menyebabkan berlanjutnya progressi shock dan kalau tidak

di intervensi dengan intervensi therapeutic, shock akan berlanjut

menjadi tingkat refractory.

1. Cardiac failure

2. Vasomotor failure

3. Peripheral circulatory failure

4. Septicaemia dan tixicaemia

3) Irreversible stage/ refractory stage

Pada saat shock terjadi pada tingkat progresif dan tidak di rawat dengan cl.ukup,

mekanisme feedback positif ini akan terus terjadi dan pasien akan melalui tahap shock

ketiga, yaitu shock refractory. Pada tahap ini biasanya intervensi terapeutik sudah

menjadi tidak efektif dan pasien dapat meninggal14

74

2.8. Perkembangan Infeksi Odontogenik

Infeksi odontogenik berasal dari 2 sumber:

1) Periapikal, sebagai hasil dari nekrosis pulpa dan invansi bakteri tertentu ke dalam

jaringan periapeks, dan1

2) Periodontal, sebagai hasil dari poket periodontal yang dalam yang menyebabkan

inokulasi bakteri ke dalam jaringan dibawahnya. Kebanyakan infeksi odontogenik

berasal dari periapeks. 1

Nekrosis pulpa akibat karies merupakan jalur masuk bakteri ke jaringan periapkes. Jika

jaringan ini telah terinfeksi oleh bakteri, infeksi akan menyebar ke semua arah, tetapi

biasanya akan menyebar pada daerah yang resistensinya paling lemah. Infeksi akan menyebar

melalu tulang kanselus hingga memasuki tulang kortikal. Jika tulang kortikalnya tipis, infeksi

75

akan melewati tulang dan memasuki jaringan lunak. Terapi endodontik dan ekstraksi dapat

menghilangkan infeksi. Antibiotik juga dapat menghilangkan infeksi, tapi infeksi dapat

kembali terjadi jika terapi antibiotik dihentikan dan gigi tidak diobati. 1

Lokasi infeksi pada gigi ditentukan oleh dua faktor utama: 1

1. Ketebalan tulang dibawah apeks gigi

2. Hubungan letak perforasi tulang dengan perlekatan otot pada maksila dan mandibula.

Pada gambar diatas, didemonstrasikan bagaimana infeksi berperforasi melewati tulang ke

dalam jaringan dibawahnya. Pada Fig. 15-1 A tulang labial yang berada di dekat apeks gigi

terlihat lebih tipis dibandingkan dengan tulang palatal. Oleh karena itu infeksi menyebar ke

bagian labial jaringan lunak. Pada Fig. 15-1 B, tulang palatal terlihat lebih tipis daripada

tulang labial sehingga infeksi menyebar ke bagian palatal jaringan lunak shingga

menyebabkan abses palatal. 1

Saat infeksi telah melewati tulang, infeksi jaringan lunak akan ditentukan oleh posisi

perforasi relatif dari perlekatan otot. 1

76

Pada gambar 15-2 A infeksi telah menembus aspek labial gigi dan inferior terhadap

perlekatan otot buccinators sehingga menyebabkan abses vestibular. Pada gambar 15-2 B,

infeksi telah menembus tulang yang superior terhadap perlekatan otot buccinators dan disebut

sebagai infeksi spasial bukal. 1

Kebanyakan infeksi yang berasal dari gigi maksila akan menembus melewati tulang

labiobuccocortical. Infeksi juga biasanya dapat menembus bagian inferior perlekatan otot

yang melekat ke maksila yang kemudian akan menjadi abses vestibular. Terkadang, abses

palatal dari gigi I2 yang berinklinasi parah atau dari akar palatal gigi molar maksila dapat

terjadi. Begitu juga dengan gigi kaninus maksila yang panjang akan menembus tulang yang

superior terhadap insersi levator anguli oris dan akan menyebabkan infeksi kaninus spasial.

Gigi molar maksila juga akan mengalami infeksi yang menembus tulang yang superior

terhadap insersi otot buccinators sehingga menyebabkan infeksi bukal spasial. 1

Pada mandibula, infeksi gigi I, C dan P biasanya menembus tulang labiobuccocortical dan

memengaruhi otot-otot sehingga menyebabkan abses vestibular. Infeksi gigi molar lebih

sering menembus tulang linguocortical daripada gigi anterior. Infeksi gigi M1 biasanya akan

berdrainase kearah bukal atau ingual. M2 akan berperforasi ke arah bukal atau lingual, tapi

biasanya ke lingual. M3 hampir selalu menembus tulang linguocortical. Otot mylohyoid akan

menentukan apakah infeksi akan berdrainase ke arah lingual hingga menjadi spasial

sublingual atau submandibular. 1

Infeksi odontogenik yang paling sering adalah abses vestibular. Biasanya pasien tidak akan

mencari perawatan untuk infeksi tersebut dan proses infeksi akan menyebabkan infeksi pecah

77

secara spontan dan berdrainase. Infeksi akan kembali terjadi jika lubang drainasenya menutup

kembali. Terkadang terdapat sinus tract dari abses yang berdrainase ke dalam mulut. Selama

sinus tract terus berdrainase, pasien tidak akan merasakan sakit. Penggunaan antibiotik akan

menyebabkan drainase berhenti, namun ketika penggunaan antibiotik dihentikan, drainase

akan kembali terjadi. Perawatan yang harus dilakukan adalah terapi endodontik atau ekstraksi

gigi. 1

2.9.Analgetik Antipiretik dan Obat Inflamasi Non-Steroid15

Inflamasi dalam bahasa Romawi disebut rubor et tumor cum calor et dolor yang artinya

merah, bengkak, disertai panas dan sakit. Inflamasi selalu diikuti dengan pengeluaran

prostaglandin (Pg) dari sel imunokompeten. Prostaglandin sebagai mediator inflamasi, dapat

meningkatkan kinerja histamin dan senyawa lain sehingga menyebabkan vasodilatasi.

Peningkatan Pg pada jaringan akan menimbulkan nyeri dan dapat diatasi dengan analgetik.

Terdapat dua enzim yang berperan dalam sintesis Prostaglandin yaitu siklooksigenase

(cyclooxygenase, COX). Enzim COX-1 berperan dalam respons homeostatik, bila dihambat

akan menimbulkan banyak efek samping pada penggunaan obat-obat AINS. Enzim COX-2,

umum ditemukan pada keadaan inflmasi dan beberapa jenis karsinoman.

Analgetik antipiretik umum digunakan untuk mengurangi rasa sakit dan menurunkan

suhu tubuh saat demam.

Obat analgetik antipiretik terdiri dari beberapa golongan, yaitu:

1. Golongan salisilat

2. Golongan pirazolon

3. Golongan asetaminofen (parasetamol)

4. Golongan obat-obat analgetik antiinflamasi lain: Fenilbutazon, indometasin, asam

mefenamat, ibuprofen, ketoprofen, fenprofen, naproksen,proksikam, tolmentin, dan

sulindak

5. Penghambat COX-2 : Celcoxib, valdecoxib, parecoxib, etoricoxib, dan lumiracoxib

6. Obat penyakit pirai: Allopurinol, kolkisin, probenesid, dan sulfinpirazon

7. Obat untuk artritis: Klorokuin, garam emas, metotreksat, dan d-penisilamin

78

Selain asetaminofen, semua obat-obat diatas disebut sebagai obat anti inflamasi nonstreoid

atau obat antireumatik nonstreoid. Sebagian besar obat golongan ini bekerja menghambat

biosintesis prostaglandin.

1. Asetosal atau asam asetil salisilat (aspirin)

Asetosal atau asam asetil salisilat adalah senyawa organik sederhana yang jelas

mempunyai efek analgetik, antipiretik, anti inflamasi, antireumatik dan urikosurik

pada manusia. Sediaan-sediaan yang mempunyai hubungan dengan asam

asetilsalisilat digolongkan sebagai salisilat. Yang paling banyak digunakan adalah

asam asetil salisilat (asetosal), natrium salisilat, dan salisilamid. Ketiganya memiliki

struktur kimia yang hampir sama tetapi efeknya dalam tubuh sedikit berbeda. Diantara

ketiganya, asetosal merupakan paling poten sedangkan salisilamid yang paling lemah.

Mekanisme kerja

Bekerja dengan menghambat biosintesis prostaglandin, melalui penghambatan

enzim prostaglandin sintetase:

- Prostaglandin disintesis oleh enzim mikrosom dalam semua sel mamalia,

kecuali sel darah merah

- Jika sel rusak prostaglandin dilepaskan dan dapat ditemukan di cairan

radang. Prostaglandin tidak disimpan dalam sel tetapi pada biosintesis

dilepaskan de novo

- Semua obat serupa aspirin menghambat biosintesis dan penglepasan Pg dari

sel

Efek farmakologi

Umumnya bila orang sehat diberikan 500 mg asetosal, natrium salisilat, atau

salisilamed maka tidak akan terlihat efeknya, namun beberapa individu dapat

terlihat sedikit mengantuk atau iritasi lambung. Sebaliknya, jika dalam keadaan

sakit atau pada beberapa nyeri tertentu akan terlihat efek dari asetosal, yaitu:

- Efek analgetik

o Efektif untuk meredakan sakit kepala, sakit sendi, dan sakit otot.

o Selain menghambat biosintesis Prostaglandin, asetosal juga memiliki efek

terhadap nyeri akibat kerja bradikinin

o Asetosal tidak dapat meredakan nyeri daerah viseral

- Efek antipiretik

79

o Dapat menurunkan suhu tubuh dalam keadaan demam dengan

meningkatkan pengeluaran panas melalui vasodilatasi perifer dan

pengeluaran keringat

- Antireumatik dan antiinflamasi

o Pada demam reumatik, pemberian asetosal dapat menurunkan demam,

mengurangi sakit pada sendi, dan menormalkan laju endap darah yang

meningkat.

o Asetosal efektif terhadap berbagai gangguan sendi tetapi tidak terhadap

penyakit reumatik jantung.

- Efek urikosurik

o Asetosal dosis besar meningkatkan ekskresi asam urat dalam urin

o Asetosal dosis kecil biasa digunakan sebagai analgetik, tidak bersifat

urikosurik, tetapi dapat menghambat efek probenesid terhadap ekskresi

asam urat

o Efek urikosurik terlihat pada dosis 5-8 gram/hari. Pada dosis 1-2 gram

yang terjadi adalah retensi asam urat

- Saluran cerna

o Dapat menimbulkan iritasi lambung dan dapat mengakibatkan perdarahan

lambung. Asetosal lebih mengiritasi dibanding natrium salisilat

- Agregasi trombosit

o Efek ini tidak terjadi pada pemberian natrium salisilat

o Dosis keceil akan memperpanjang waktu perdarahan

o Asetosal menghambat pembentukan endoperoksid menghambat

agregasi trombosit memperpanjang waktu perdarahan

o Efek ini berguna untuk mencegah stroke dan infark miokard

- Sistem pernapasan

o Keracunan asetosal akan menyebabkan hiperapnea

o Dosis besar frekuensi pernapasan meningkat dan pernapasan menjadi

dalam

o Apabila berlangsung terus dapat menyebabkan terjadinya alkalosis

respirasi

80

Farmakokinetik

- Pada pemberian oral, absorpsi berlangsung cepat, lebih baik lagi jika dalam

suasana asam

- Kadar terapi dalam plasma dicapai setelah 30 menit dan kadar maksimum

dicapai setelah 1-2 jam

- Asetosal didistribusi ke seluruh tubuh dan dapat melalui plasenta.

- Biotransformasi terutama di hati, terjadi konjugasi dengan glisin dan asam

glukuronat

- Ekskresi, melalui urin, tergantung pH. Saat suasana basa, ekskresi akan

meningkat ±8x dibanding urin dalam suasana asam.

Indikasi

- Analgesik

o Dapat mengatasi nyeri tidak spesifik seperti sakit kepala, nyeri sendi, nyeri

haid, beberapa jenis neuralgia, dan sakit otot.

o Dosis dewasa 0,5-1 g tiap 4-6 jam. Dosis anak 15-20 mg/kgbb tiap 4-6 jam

dengan dosis total tidak lebih dari 3,6 g sehari.

- Antipiresis

o Dapat menurunkan suhu saat demam.

o Dosis sama seperti dosis analgesik.

- Antiinflamasi

o Pada demam reumatik akut, asetosal dapat mengurangi rasa nyeri,

kekakuan, pembengkakan sendi, rasa panas dan kemerahan jaringan

setempat dalam 24-48 jam.

o Dosis dewasa 5-8 g/hari yang diberikan 1 g setiap kali.

o Dosis anak 100-125 mg/kgbb/hari, diberikan setiap 4-6 jam selama

seminggu, selanjutnya diturunkan secara bertahap sampai mencapai 60

mg/kgbb/hari.

- Penggunaan lain

o Asetosal yang memiliki efek penghambatan agregasi trombosit dapat

digunakan untuk mencegah trombus koroner dan trombus vena.

Efek samping

- Iritasi dan perdarahan lambung (utama), reaksi alergi, dan gangguan ginjal

Efek toksik

81

- Terlihat jika asetosal diberikan pada dosis >150 mg/kgbb

- Efek toksik kronik disebut salisilismus dengan gejala telinga berdenging

(kadar plasma 200-400 mg/ml). Gejala lain: mual, muntah, tuli, dan bingung.

Gangguan metabolic juga dapat terjadi.

- Pada anak-anak dapat terjadi asidosis metabolic. Pada dewasa, dosis tunggal

besar dapat menimbulkan alkalosis respirasi. Keadaan ini dapat diatasi dengan

bilas lambung, menignkatkan ekskresi, dan mengatasi dehidrasi.

A. Salisilamid

Merupakan amida asam salisilat dengan efek mirip asetosal.

Salisilamid tidak diubah menjadi salisilat dalam tubuh.

Efek analgetik dan antipiretiknya lebih lemah disbanding asetosal karena

salisilamid mengalami metabolisme lintas pertama,sehingga hanya sebagian yang

memasuki sirkulasi sebagai jat aktif

Indikasi

- Sebagai analgetik antipiretik: 3-4x/hari dengan dosis 0,5-1 g

- Sebagai antiinflamasi dengan dosis 6-12 g/hari

B. Diflunisal

Merupakan derivate asam salisilat, tetapi tidak diubah menjadi salisilat dalam

tubuh.

Farmakodinamik: mempunyai efek analgetik dan antiinflamasi tetapi tidak

mempunyai efek antipiretik.

Farmako kinetik: pemberian oral, kadar puncak dicapai setelah 2-3 jam dengan

waktu paruh 8-12 jam.

Indikasi:

- Hanya digunakan sebagai analgetik ringan/sedang

- Dosis awal 500 mg dan dialanjutkan 250-500 mg setiap 8-12 jam

2. Derivat paraaminofenol (parasetamol dan fenasetin)

Parasetamol merupakan derivate fenasetin dengan efek analgestik dan antipiretik

yang sama. Penggunaan fenasetin sekarang sudah dilarang.

a. Asetaminofen (parasetamol)

82

Farmakodinamik

- Memiliki efek analgetik antipiretik

- Tidak memiliki efek antiinflamasi dan urikosurik

- Tidak menimbulkan iritasi lambung, gangguan napas, dan gangguan

keseimbangan asam basa

Farmakokinetik

- Absorpsi: pada pemberian oral cepat dan lengkap, kadar terapi dalam

darah dapat dicapai dalam 30 menit, waktu paruh dicapai dalam 1-3 jam.

- Metabolisme di hati konjugasi dengan glukuronat dan sulfat

- Ekskresi melalui ginjal

Indikasi

- Sebagai analgetik antipiretik seperti asetosal tetapi lebih sering digunakan

sebagai analgetik.

Efek samping

- Dalam dosis terapi, toleransinya terhadap saluran cerna baik

- Bersifat hepatotoksik karena akumulasi metabolitnya N-acetyl-p-

benzoquinone.

- Bila terjadi overdosis dapat diberi emetic atau bilas lambung dan pasien

secepatnya diberi N-acetylcystein untuk menetralkan metabolit tersebut.

3. Derivat Pirazolon

Yang termasuk golongan ini adalah dipiron (metampiron, metamizol, sulpirin),

fenilbutazon, oksifenbutazon.

a. Dipiron

Indikasi

- Sebagai analgetik antipiretik, sedangkan efek antiinflamasinya lemah

Dosis

- 0,3 – 1g 3x sehari, obat dalam bentuk tablet 500 mg dan obat suntik 500

mg/ml

Efek samping dan intoksikasi

- Semua derivate pirazolon dapat menimbulkan agranulositosis, anemia

aplastic, dan trombosito-penia.

- Dapat juga menimbulkan mual, muntah, perdarahan lambung, dan anuria

83

b. Fenilbutazon dan Oksifenbutazon

Farmakodinamik

- Memiliki efek antiinflamasi, efek analgesiknya lebih lemah disbanding

salisilat

- Tidak digunakan sebagai analgesic antipiretik karena efek toksiknya,

mempunya efek urikosurik lemah serta dapat menimbulkan retensi natrium

dan klorida sehingga menimbulkan udem.

Farmakokinetik

- Pada pemberian oral absorpsinya melalui saluran cerna baik. Kadar puncak

dicapai dalam 2 jam dengan waktu paruh 70 jam, 98% terikat protein

plasma.

- Kedua obat ini berkompetisi dengan obat lain sehingga menimbulkan

interaksi

Indikasi

- Penyakit pirai akut (gout akut)

Dengan dosis 800 mg/hari selama 2 hari dan dilanjutkan selama 3 hari

dengan dosis 300 mg/hari atau dosis awal 400 mg kemudian disusul 100

mg tiap 4 jam sampai gejala berkurang. Lama pengobatan tidak lebih dari

7 hari

- Artritis rheumatoid

Denan pemberian 3-4 x 100 mg/ hari selama seminggu. Bila dosis

penunjang 100-200 mg/ hari mencukupi pengobatan dapat diberikan lebih

lama. Tidak dianjurkan pemberian jangka panjang.

- Gangguan sendi

Spondilitis ankilosa dan osteoartritis.

Efek samping

- Timbul reaksi alergi berupa urtikaria, udem angineurotik, eritema,

dermatitis eksfoliativa, dan sindrom Steven Johnson. Iritasi lambung

dengan keluhan nyeri epigastrium, perdarahan lambung, tukak lambung

akut maupun kronik.

84

- Pada intoksikasi fenilbutazon dan oksifenbutazon dapat timbul koma,

trismus, syok, asidosis metabolik, hematuria, depresi sumsum tulang,

proteinuria, oliguria, gagal ginjal, dll.

Kontraindikasi

Fenilbutazon dan oksifenbutazon kontraindikasi pada penderita hipertensi,

penyakit jantung, ginjal, gangguan fungsi hati, dan riwaya alergi serta tukak

lambung.

4. Derivat asam fenamat

Merupakan golongan obat menyerupai aspirin dari N-phenyl-anthranilic acid,

termasuk derivat ini adalah:

a. Meclofenamat

Merupakan obat AINS relatif baru, kadar puncak dalam plasma dalam 30-60

menit dengan waktu paruh 2 jam. Ekskresi melalui urin.

Indikasi: nyeri sedang dan nyeri akut pasca operasi gigi.

Efek samping: sama seperti obat AINS lainnya juga dapat meningkatkan efek

antikoagulan oral dan gangguan saluran cerna misalnya nyeri lambung dan

diare

Kontraindikasi: kehamilan, tidak dianjurkan untuk anak-anak.

b. Asam fenamat

Efek analgetik sebanding aspirin, namun efek antiinflamasinya kurang, serta

lebih toksik.

Indikasi: nyeri sedang.

Penggunaan terbatas untuk waktu pendek dan intermittent karena punya

potensi menimbulkan diskrasia darah dan efek samping pada saluran cerna.

Tidak dianjurkan pemberian >1 minggu.

Kontraindikasi pada anak-anak.

5. Indometasin

Merupakan derivat indol yaitu, methylated indole acetic acid yang mempunyai

efek analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi seperti asam asetil salisilat.

Merupakan penghambat Pg sintetase kuat, dan menghambat pergerakan leukosit

PMN.

85

Merupakan obat antiinflamasi kuat, hanya dianjurkan untuk pengobatan artritis

rheumatoid, ankylosing spondilytis, osteoatritis dan penyakit pirai. Dapat juga

untuk mengatasi nyeri uveitis dan pasca bedah mata.

Dosis: 25 mg, 2-3 kali/hari, dosis total tidak boleh lebih dari 200 mg/hari

Farmakokinetik

- Pemberian oral absorpsinya melalui saluran cerna baik dan hampir sempurna.

- Kadar puncak plasma dicapai dalam 3 jam. Waktu paruh 4-12 jam.

- Ekskresi melalui urin dalam bentuk utuh dan metabolitnya.

Efek samping

- Gangguan saluran cerna, mual, muntah, diare.

6. Sulindak

Efek farmakologi mirip Indometasin tetapi dengan potensi setengahnya.

Farmakokinetik sama seperti indometasin.

Efek samping dan toksisitas mirip indometasin tetapi lebih ringan.

7. Derivat asam fenil propionate

Mekanisme kerjanya menghambat biosintesis Prostaglandin dengan menghambat

COX non selektif.

Memiliki efek analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi. Efek antiinflamasinya baik

untuk pengobatan penyakit reumatik, osteoarthritis, ankylosing spondilytis dan

keadaan inflamasi lainnya.

Efektif mengatasi nyeri pasca bersalin, nyeri pasca operasi mata, dan nyeri pasca

operasi gigi.

Obat golongan ini antara lain ibuprofen, fenprofen, ketoprofen, flubiprofen,

naproxen.

Nyeri pasca operasi gigi dapat ditangani dengan pemberian ibuprofen 400 mg dan

dipercaya leih efektif dibandingkan kombinasi aspirin 600mg dengan kodein 60

mg

Efek sampingnya adalah gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, nyeri

epigastrik, dan dapat mengaktifkan tukak peptik.

8. Oksikam

Piroksikam, tenoksikam

86

- Obat AINS yang relative baru.

- Absorpsi melalui lambung cepat, ekskresi dalam bentuk konjugasi dengan

asam glukuronat dan sebagian kecil dalam bentuk utuh.

- Waktu paruh obat panjang, ± 1minggu, sehingga hanya diberikan 1x sehari.

- Efektifitas dan efek samping sama seperti obaat AINS lainnya

- Untuk pengobatan artritis rheumatoid dan ankylosing spondilytis

Meloksikam

- Merupakan derivat baru dari oksikam.

- Efek toksiknya pada saluran cerna lebih ringan dibandingkan AINS lain.

- Waktu paruh eliminasi 12-15 jam, sehingga dapat diberikan 1x sehari.

9. Tolmentin

Sifat farmakologi seperti aspirin

Absorbsi cepat dan hampir sempurna setelah pemberian oral

Digunakan sebagai antiinflamasi.

Efek sampingnya: erosi, ulserasi, dan perdarahan saluran cerna, gangguan SSP

(bingung, insomnia, dan mengantuk).

10. Diklofenak

Merupakan derifat asam fenilasetat

Dapat digunakan jangka panjang, dalam pengobatan RA, osteoarthritis, dan

ankylosing spondylitis.

Lebih poten dari indometasin dan naproksen.

Lebih aman dari ibuprofen dan memiliki mula kerja yang cepat, lama kerjanya

lebih panjang daripada parasetamol.

Waktu paruh 1-2 jam. Diekskresikan di ginjal

Indikasi: mengobati kondisi inflamasi, rasa sakit dan dysmenorrhea.

Terdapat dua sediaan yaitu sodium diklofenak dan potassium diklofenak,

perbedaan hanya pada garam potasium lebih cepat larut dibanding garam sodium.

11. Penghambat COX-2

Celexocib

- Menghambat enzim sikooksigenase.

87

- Digunakan untuk rheumatoid artritis dan osteoarthritis, tidak untuk analgesik

biasa.

- Tidak menghambat agregasi trombosit dan tidak meningkatkan waktu

perdarahan

- Celexocib, etorcoxib, meloxicam, dan parecoxib figunakan untuk nyeri

musculoskeletal.

- Parecoxib dianjurkan hanya digunakan pada nyeri pasca bedah dan inflamasi.

Farmakokinetik

- Diabsorpsi segera setelah pemberian.

- Kadar puncak dicapai dalam 3 jam.

- Dimetabolisme secara ekstensif di hati oleh sitokrom P450 (CYP 2C9).

Diekskresi melalui tinja dan urin.

- Waktu paruh 4 jam, dosis 1 kali sehari.

Efek samping

- Sakit perut, diare, dan dyspepsia.

- Kontraindikasi pada pasien yang alergi sulfonamide, obat ini juga toksik

terhadap ginjal

Beberapa AINS untuk mengatasi nyeri akut

No. Nama Generik Kisaran dosis Dosis harian

maksimal

1. Aspirin 650-2000 mg tiap 4-6 jam 4000 mg

2. Diflunisal Dosis awal 1000 mg, kemudian 500

mg tiap 8-12 jam

1500 mg

3. Asetaminofen 650-1000 mg tiap 4-6 jam 4000 mg

4. Ibuprofen 400 mg tiap 4-6 jam 2400 mg

5. Ibuprofen (OTC) 200-400 mg tiap 4-6 jam 1200 mg

6. Naproxen Dosis awal 500 mg, kemudian 250 mg

tiap 6-8 jam

1250 mg

7. Naproxen sodium Dosis awal 550 mg, kemudian 275 mg

tiap 6-8 jam

1375 mg

8. Naproxen sodium

(OTC)

220-440 mg tiap 8 jam 660 mg

88

2.10. Antiseptik, Disinfektan serta Infeksi Nosokomial15

Antiseptik dan disinfektan adalah obat/zat yang digunakan untuk mencegah infeksi.

Obat/zat ini dapat dibedakan dari antimikroba karena biasanya berbentuk larutan yang

digunakan secara topikal di permukaan kulit, membran mukosa, atau untuk membunuh

kuman pada suatu objek seperti lantai, dinding, alat-alat kedokteran dan kedokteran gigi,

dental unit, cuci tangan, dan lain-lain. Cara pemberian diusap, digosok, ataupun kumur-

kumur. Antiseptik dan disinfektan merusak kuman dengan kontak langsung sehingga

tidak pernah diminum atau disuntikan ke pasien. Antiseptik digunakan untuk membasmi

atau menghambat pertumbuhan kuman di permukaan jaringan, sedangkan disinfektan

digunakan untuk mengurangi risiko infeksi dengan membasmi patogen pada benda.

Mekanisma Kerja

Antiseptik dan Disinfektan membunuh kuman dengan mengganggu metabolisme

kuman atau melalui denaturasi protein kuman. Antiseptik dan disinfektan menurunkan

tegangan permukaan dinding sel kuman yang mengakibatkan sel membengkak dan lisis.

Efek dari zat yang menyebabkan denaturasi protein segera terlihat daripada yang bekerja

merusak metabolisme kuman. Larutan yang mengandung logam berat seperti merkuri

9. Fenoprofen 200 mg tiap 4-6 jam 1200 mg

10. Ketoprofen 25-75 mg tiap 6 jam 300 mg

11. Ketoprofen (OTC) 12.5-25 mg tiap 4-6 jam 75 mg

12. Diklofenak 50 mg tiap 8 jam 150 mg

13. Meclofenamat 50-100 mg tiap 6 jam 400 mg

14. Asam mefenamat Dosis awal 500 mg, kemudian 250 mg

tiap 6 jam

1250 mg

15. Etodolac 200-400 mg tiap 6-8 jam 1200 mg

16. Ketorolac - Dosis awal 15-30 mg IV atau 30-60

mg IM, kemudian 15-30 mg IV atau

IM tiap 6 jam

- 10-20 mg peroral 6 jam setelah

dosis parenteral kemudian 10 mg

tiap 4-6 jam

- 60-120 mg

IM atau IV

- 40 mg peroral

89

atau perak dan hexaklorofen menghambat sistem enzim sel sedangkan Alkohol,

formaldehid, glutaraldehid, klorhexidin merusak membran sel secara langsung,

sedangkan

Zat yang membunuh kuman disebut (-sidal) pada istilah germisidal, bakterisidal,

fungisidal tergantung pada mikroorganisme yang dibunuh. Zat kimia yang mengurangi

pertumbuhan kuman tanpa memberantas mikroorganisme disebut (-statik) pada istilah

bakteriostatik, fungistatik. Antiseptik dan disinfektan berbeda dalam potensi anti

mikrobanya, spektrum dan lama kerjanya. Formaldehid, glutaraldehid, larutan yodium

mempunyai efek pada kuman, spora, jamur, virus, dan protozoa sehingga disebut

berspektrum luas. Hexaklorofen dan benzalkonium klorida mempunyai efek terutama

pada kuman Gram-positif sehingga disebut berspektrum sempit.

ANTISEPTIK

Digunakan untuk irigasi luka, luka lecet, dan sterilisasi tangan dokter yang akan

melakukan tindakan operasi. Antiseptik ideal diharapkan dapat membunuh kuman dalam

waktu tertentu dan tidak menimbulkan iritasi atau sentisasi kulit. Tujuan penggunaannya

ialah mengurangi kuman yang dapat masuk ke tubuh.

1. Yodium

Antiseptik paling baik untuk kulit, kerja cepat, cukup efektif untuk membunuh

kuman, beberapa protozoa dan virus. Kekurangannya ialah dapat meninggalkan warna

kecoklatan dan nyeri lokal.

2. Yodofor

Senyawaan yodium dengan iritasi minimal, bersifat bakteriostatik, dan digunakan

sebelum tindakan operasi. Hanya untuk penggunaan topical bukan pemberian oral.

3. Etil-alkohol

Efektif pada kadar <70%.

4. Isopropyl alkohol

Bersifat bakterisidal pada kadar 50% - 90%. Usapan isopropyl alkohol dapat

menyebabkan vasodilatasi lokal sehingga harus hati-hati terhadap timbulnya

perdarahan pada saat melakukan suntikan intravena.

5. Heksaklorofen

Bersifat bakteriostatik, efektif untuk kuman Gram-positif, digunakan untuk

membersihkan kulit dan persiapan operasi karena kuman patogen yang banyak di

permukaan kulit adalah kuman gram positif.

90

6. Hidrogen-peroksida

Oksidator, penetrasi ke kulit buruk dan cepat terurai menjadi oksigen serta air

sehingga penggunaannya terbatas. Antiseptik lemah yang mengandung hydrogen-

peroksida 3% dalam air. Dianjurkan untuk kumur-kumur pada pengobatan Vincent’s

tetapi penggunaan secara terus menerus dapat menyebabkan hairy-tongue. Efek akan

menghilang bila obat dihentikan.

7. Klorheksidin

Bakterisidal, digunakan untuk persiapan operasi, kumur-kumur pada pengobatan

ulkus apathous dan menurunkan jumlah plak gigi. Larutan yang mengandung logam

berat yang digunakan sebagai antiseptik antara lain Hg-organik dan senyawaan perak

anorganik.

8. Perak-nitrat

Digunakan dalam larutan antiseptik mata untuk mengurangi infeksi kuman

gonokokus pada bayi baru lahir.

9. Perak-sulfadiazin

Digunakan untuk luka bakar karena penetrasi lebih baik dan tidak menyebabkan

pewarnaan kulit. Larutan perak lainnya menyebabkan argiria atau warna hitam pada

kulit dan mukosa.

10. Merkuri-organik, nitromersol, dan timerosal

Efikasi kurang tetapi populer sebagai obat bebas.

11. Benzalkonium klorida, timerosal, dan setilpiridinium klorida

Digunakan sebagai pengawet pada kandungan cairan lensa kontak untuk

mengurangi pertumbuhan kuman.

DISINFEKTAN

Digunakan untuk membersihkan dan menyimpan alat-alat operasi, mensterilkan

dinding ruang operasi, lantai dan untuk sterilisasi dingin (sterilisasi dengan sinar gamma).

Disinfektan yang banyak digunakan ialah formaldehid, glutaraldehid, natrium hipoklorit,

alkohol, dan nitromersol. Larutan formaldehid dan glutaraldehid mengiritasi kulit, mata

dan saluran napas sehingga hanya digunakan untuk benda.

Efek Samping dan Efek Toksik Antiseptik dan Disinfektan

91

Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan topikal antiseptik/disinfektan ialah

kulit kering, iritasi, kemerahan, dan reaksi hipersensitivitas pada permukaan yang

berkontak.

1. Formaldehid

Memerlukan kadar tinggi untuk dapat membunuh kuman dan pada kadar tersebut

akan merusak jaringan sehingga tidak digunakan sebagai antiseptik. Toksisitas

formaldehid berupa iritasi lokal dan reaksi alergi serta dapat menimbulkan ekzema

bila terjadi kontak secara berulang.

2. Yodofor

Penetrasinya meningkat pada luka bakar dan dapat menimbulkan gangguan

saluran cerna atau hipertiroid.

3. Hexaklorofen

Melalui kulit dapat menimbulkan kejang yang dapat berakibat fatal, jangan

diberikan pada bayi atau pasien luka bakar. Bila digunakan secara oral, akan

menimbulkan anoreksia, muntah, kejang perut, kejang dan dapat menyebabkan

kematian.

4. Alkohol

Etil-alkohol murni (99%) bila diminum dapat berakibat fatal. Etil-alkohol dan

isopropyl-alkohol bukan untuk diminum karena mengandung zat denaturasi,

metilisobutilketon, dan zat pewarna yang bersifat racun.

Indikasi antiseptik dan disinfektan

Obat/zat

anestetik

kadar disinfektans antiseptik

Alkohol

Etil, isopropyl

larutan 40-70%

larutan 70-90%

Disinfeksi alat-

alat, ampul

membersihkan

kulit sebelum

menyuntik

Benzalkonium

klorida

larutan 0,02-0,5% Pengawet alat-alat,

sarung tangan,

alat-alat dari karet,

disinfeksi ruang

bedah

persiapan operasi

kulit, membran

mukosa dan irigasi

luka dalam,

vagina,

pengobatan akne

92

topikal, pengawet

cairan lensa kontak

luka

Klorhexidin

glukonat

larutan 1%

emulsi 4%

- membersihkan

luka, persiapan

operasi, cuci

tangan, kumur-

kumur pada ulkus

aphthous, hindari

telinga dan mata

Formaldehid larutan 10-37% Sterilisasi dingin

alat-alat, fiksasi

jaringan, pengawet

mayat

hindari kontak

dengan membran

mukosa, selalu

gunakan larutan

37%

Glutaraldehid larutan 2% Sterilisasi dingin

alat-alat, fumigasi

kamar bedah

Hanya untuk

benda

Hidrogen

peroksida

larutan 1,5-3% pembersih luka kumur-kumur pada

infeksi Vincent’s,

penggunaan

berlebihan

menimbulkan

hairy tounge

Yodium larutan 2% - topikal di kulit,

germisid, memberi

warna kulit

Povidone-iodine foam 0,5-10%,

swab, larutan

disinfektan alat-

alat

antiseptik pasca

operasi, luka

bakar, laserasi

kulit,

membersihkan

kulit sebelum

93

menyuntik

Perak nitrat larutan 0,1-0,5% pengobatan

konjungtiva dan

luka bakar

Larutan Irigasi dan Obat-obat Saluran Akar

Kontrol infeksi pada pulpa gigi berbeda dengan kontrol infeksi bagian tubuh lain

karena anatomi pulpa gigi yang spesifik. Dalam perawatan infeksi pulpa gigi perlu

diperhatikan faktor host dan berbagai jenis perawatan. Prosedur perawatan meliputi

sistem pertahanan tubuh host, penggunaan antibiotik sistemik (hanya jika diperlukan),

instrumentasi dan irigasi saluran akar (cleaning and shaping), penggunaan obat-obat

saluran akar dan restorasi. Tujuan irigasi saluran akar adalah untuk mengeluarkan

jaringan mati dan mikroba dari saluran akar.

Larutan Irigasi Saluran Akar

Memfasilitasi pengeluaran jaringan mati, mikroorganisme atau serpihan dentin dari

saluran akar dengan cara pembilasan. Beberapa larutan irigasi dapat membunuh bakteri

dan jamur namun disisi lain dapat juga toksik dan menimbulkan nyeri pada jaringan

periapikal gigi.

1. NaOCl

Banyak digunakan untuk perawatan infeksi saluran akar gigi. NaOCl memiliki

antibakteri kuat dan dapat melarutkan jaringan pulpa dan komponen organik dentin.

Sodium hypochlorite dikenal sebagai Dakin’s solution (1% NaOCl dilarutkan dengan

1 % sodium bikarbonat). NaOCl memiliki antibakteri kuat namun Candida albicans

resisten, sehingga diperlukan konsentrasi 5% untuk membunuhnya. Kekurangannya

ialah rasa tidak enak, toksisitas dan efek kaustik terhadap jaringan sehat (5,25%) serta

tidak mampu mengangkat smear layer karena tidak memiliki efek terhadap komponen

inorganik. NaOCl dipakai dengan dosis kecil yaitu 0,5%-1% karena memiliki efek

toksik, walaupun pada beberapa negara ada yang memakai dosis 5,25%. Dalam

penggunaannya harus hati-hati agar tidak mengiritasi daerah apek gigi yang dapat

menimbulkan rasa sakit, peradangan, dan lain-lain.

2. EDTA, asam sitrat dan asam lain

94

EDTA adalah 17% garam disodium (pH7) memiliki aktivitas antibakteri dan

antifungal yang kecil. Pada kontak langsung dan lama EDTA akan melepaskan

protein permukaan bakteri yaitu berikatan dengan ion metal dari selubung sel (cell

envelope), yang menyebabkan bakteri mati. EDTA adalah chelating agent yang akan

mengikat smear layer saluran akar jika digunakan bersama NaOCl yang bekerja pada

komponen inorganik dentin. Sitotoksisitasnya tergantung pada dosis.

Asam sitrat

Asam sitrat dapat mengangkat smear layer dengan sempurna jika digunakan

bersamaan dengan NaOCl. Konsentrasi yang dipergunakan berkisar 1%-50%.

Efektifitas sebagai antibakteri belum jelas dan lemah bila digunakan sendiri.

3. Hidrogen peroksida (H2O2)

Banyak digunakan sebagai disinfektan dan sterilisasi. Namun dalam perawatan

saluran akar gigi sudah jarang digunakan. Larutan ini tidak berwarna dan digunakan

dengan konsentrasi 1%-30%. Larutan ini memiliki aktivitas antimikroba terhadap

berbagai mikroorganisme termasuk virus, bakteri, jamur, dan spora bakteri. Lebih

efektif terhadap gram positif daripada gram negatif. Sebagai disinfektan larutan ini

bekerja pada bahan organik gigi, sehingga lebih efektif dari senyawa iodine.

Efektifitasnya sebagai larutan irigasi saluran akar masih diragukan.

4. Klorheksidin

Klorheksidin ialah bisbiguanid kationik, dipergunakan sebagai larutan disinfektan

karena efek antimikrobanya baik. Digunakan sebagai larutan irigasi dan obat saluran

akar dalam perawatan. Kelebihannya dibandingkan NaOCl ialah tidak bau, tidak

mengiritasi jaringan periapikal. Tetapi, klorheksidin tidak mempunyai kemampuan

melarutkan jaringan seperti NaOCl. Larutan klorheksidin yang digunakan ialah 0,2%-

2%. Klorheksidin banyak digunakan karena mempunyai kemampuan sebagai

antibakteri, lama kerja panjang, dan relatif toksisitas rendah. Kekurangannya ialah

kerjanya tergantung pH dan adanya bahan organik. Efektif terhadap bakteri Gram

positif, Gram negative dan jamur, namun resisten terhadap mikobakterium dan spora

bakteri. Klorheksidin glukonat efektif sebagai larutan irigasi saluran akar dan intra

kanal medikamen. Efektifitas klorheksidin terhadap virus kurang baik karena adanya

selubung lipid. Di klinik, dianjurkan pembilasan dengan larutan salin setelah

95

penggunaan NaOCl, baru menggunakan larutan klorheksidin. Keduanya tidak dapat

digunakan bersamaan karena memungkinkan adanya endapan warna cokelat orange

yang dapat mempengaruhi warna gigi.

5. Iodine Potasium Iodine (IPI)

Memiliki efek bakterisidal, fungisidal, virusidal, dan sporisidal. Iodin dapat

berpenetrasi ke dalam mikroorganisme dan merusak protein, nukleotida dan molekul

sel lainnya. Potasium iodin adalah iodin dalam air, aktivitas antibakteri dimiliki oleh

iodin. Penggunaan 5% IPI sebelum Ca(OH)2 dapat mengurangi E. faecalis pada

saluran akar, namun adanya jaringan nekrotik akan mengurangi efek iodin. Oleh

sebab itu, penggunaan iodin pada saluran akar masih kurang kuat untuk sterilisasi

saluran akar.

6. Larutan irigasi saluran akar mengandung antibiotik

MTAD dan Tetraclean

Larutan irigasi yang relatif baru campuran tetrasiklin isomer (doxycyclin), asam,

dan detergen. MTAD mengkombinasikan efek menghilangkan smear layer dengan

antibakteri yang mungkin lebih aman terhadap dentin daripada EDTA. MTAD baik

dikombinasikan dengan NaOCl 1,3% pada saat instrumentasi.

Obat-obat Intrakanal

Diperlukan pada perawatan infeksi saluran akar, misalnya pada keadaan perawatan

tidak dapat dilakukan satu kali kunjungan. Tujuannya untuk menyempurnakan disinfeksi

saluran akar dan mendapatkan saluran akar steril sampai waktu dilakukan penambalan

tetap. Diperlukan pada perawatan nekrosis pulpa dan periodontitis apikalis.

Calcium hydroxide

Indikasinya untuk preventif dan terapi berbagai keadaan pulpa dan periapek. Dapat

juga dipakai untuk terapi karena trauma gigi dan resopsi. Efektif untuk terapi

periodontitis apikalis. Ca(OH)2 merupakan substansi basa kuat dengan pH sekitar 12,5.

Efek biologikal didapat karena pH basanya. Sebagian besar bakteri tidak dapat hidup

pada pH basa tersebut. Aktivitas antibakteri tergantung pada ion hidroksil yang

dilepaskan ke lingkungan. Efek mematikan bakteri dari ion hidroksil dapat melalui

beberapa mekanisme, antara lain :

96

1.Merusak membran sitoplasmik bakteri, hidroksil ion merangsang peroksidasi lipid

sehingga terjadi kerusakan fosfolipid yang merupakan komponen membran

sitoplasmik.

2.Denaturasi protein, senyawa alkalin dapat mengakibatkan lepasnya ikatan ionik

yang mendukung struktur protein tersier. Tentunya akan mempengaruhi aktivitas

biologi bakteri.

3.Kerusakan DNA, ion hidroksil dapat berinteraksi dengan DNA bakteri yang

menyebabkan terpisahnya rantai DNA. Akibatnya terjadi penghambatan DNA

replikasi dan gangguan aktivitas selular. Radikal bebas juga dapat menimbulkan

mutasi.

Keterbatasan dari Ca(OH)2 ialah harus berkontak langsung dengan bakteri intrakanal.

Enterococcus faecalis dan candida resisten terhadap Ca(OH)2. Selain itu, terdapat juga

kombinasi Ca(OH)2 dengan Champorated paramonochlorophenol (CPMC) ataupun

klorheksidin.

Alternatif lain untuk intrakanal medikasi adalah intrakanal medikasi yang

mengandung antibiotik dan senyawa fenol.

Lokal antibiotik

Sebagai alternatif intrakanal medikasi. Efek anti bakteri dari antibiotik mungkin

bersifat sementara sehingga belum dikenal dengan luas sebagai antiseptik saluran akar.

Senyawa Fenol

Yang termasuk senyawa ini antara lain fenol, formokresol, cresantin,

parachlorophenol champorated parachlorophenol. Kapas dibasahi oleh medikamen ini

pada ruang pulpa sehingga diharapkan uapnya akan mensterilkan saluran akar. Dewasa

ini, penggunaannya sudah digantikan dengan senyawa biologik lain karena senyawa fenol

bersifat sitotoksik dan mutagenik terhadap tahanan jaringan.

Obat Kumur Antiseptik

Ditujukan untuk meningkatkan kesehatan gigi dan mulut tetapi tetap diperlukan sikat

gigi dan flossing setiap hari. Obat kumur diperlukan untuk menjaga keseimbangan flora

normal dengan mengontrol dan mencegah penumpukan bakteri. Obat kumur mengandung

fluor baik digunakan untuk mencegah penyakit karies. Obat kumur antiseptik baik

97

digunakan untuk pencegahan dan pengurangan bakteri pada oral biofilm penyebab gigi

berlubang, gingivitis, dan halitosis. Indikasi pemakaian obat kumur antiseptik :

1. Pencegahan terjadinya karies dan gingivitis.

2. Perbaikan kondisi gigi dan mulut yang buruk dengan mengurangi jumlah bakteri

pada oral biofilm.

3. Setelah dilakukan operasi atau pemasangan implan.

4. Sebelum, selama dan sesudah kemoterapi/radioterapi.

Klorheksidin

Dapat menembus oral biofilm dan aktif melawan bakteri Gram positif dan negatif

serta beberapa jamur. Penggunaannya aman dan tidak menimbulkan resistensi. Terutama

digunakan untuk penyakit periodontal dan pascaoperasi dan dihentikan bila kesehatan

gigi dan mulut sudah terkontrol. Pemakaian terlama dapat mencapai waktu 6 bulan.

Klorheksidin 0,2% digunakan dua kali sehari, dikumur sebanyak 15-20 ml selama 30

detik. Kekurangannya ialah dapat memberi warna gigi dan mukosa, ada rasa metal,

meningkatkan pembentukan kalkulus dan iritasi mukosa.

Minyak Esensial

Mengandung timol, mentol dan eukaliptol. Minyak esensial dapat mengurangi plak

dan gingivitis. Perlu campuran alkohol untuk mengaktifkan minyak esensial sehingga

indikasi terbatas. Pemakaian jangka panjang sampai 6 bulan menunjukan hasil yang baik

sama dengan khlorhexidin. Dapat penetrasi ke dalam oral biofilm lebih cepat dari

klorheksidin dan efektif dalam mengurangi perdarahan interproksimal. Pemakaiannya

ialah dengan berkumur dua kali sehari. Alkohol memberikan rasa segar. Penggunaan

yang berlebihan dapat menimbulkan efek negatif.

Cytilpyridinium chloride (CPC)

Golongan cationic quarternary ammonium. Antiseptik yang merusak membran sel

melawan jamur, amoeba, dan enveloped viruses. Efektif mencegah timbulnya plak dan

menurunkan keparahan gingivitis. Kekurangannya ialah memberi warna coklat pada gigi,

tetapi dapat dengan mudah dihilangkan pada waktu cek up berkala ke dokter gigi.

Triclosan

98

Masih diragukan keamanannya. Tidak seefektif klorheksidin maupun minyal esensial.

Mekanisme kerjanya ialah dengan menghambat biosintesis lipid membran mikroba.

Infeksi Nosokomial (15,16)

Merupakan infeksi yang diperoleh dari rumah sakit dan tidak diderita pasien ketika

masuk rumah sakit melainkan setelah kira-kira 72 jam di rumah sakit. Biasanya bersifat

virulen dan sukar diberantas. Infeksi dapat terjadi apabila toxin atau agen penginfeksi

menyebabkan infeksi lokal atau sistemik yang dapat terjadi perawatan di rumah sakit yang

lama, daya tahan tubuh pasien yang menurun seperti pada pasien lanjut usia, malnutrisi, luka

bakar atau pasien dengan gangguan sistem imun. Saat ini antibiotik sistemik sangat efektif

untuk pengibatan infeksi sehingga penggunaan antiseptik dan disinfektan terbatas hanya

untuk menurunkan resiko infeksi misal pada luka.

2.11. Obat Anestesi

Pada dasarnya, sukses atau tidaknya tindakan operasi sangatlah ditentukan ole

kemampuan operator atau pelaku tindak operasi dalam menghilangkan rasa sakit dan

mengatasi infeksi yang ada19. Anestesi dapat diartikan sebagai tidak adanya rasa sakit.

Secara umum, anestesi ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu

C.1. Anestesi Umum19,20

Anestesi umum atau yang umum dikenal sebagai anestesi total merupakan

segolongan obat yang digunakan untuk menghilangkan berbagai persepsi

sensasi yang disertai dengan hilangnya kesadaran dari pasien atau orang

diberikan1. Secara umum sifat ideal yang harus dipenuhi oleh suatu bahan obat

anestesi umum adalah sebagai berikut : 19

a. memiliki batas aman yang lebar

b. waktu induksi dan waktu pemulihan yang cepat

c. merupakan bahan yang stabil, tidak mudah terbakar, tidak

dimetabolisme, dan cepat diekskresi

d. merupakan bahan anlgetik yang kuat, menimbulkan relaksasi otot yang

sempurna tanpa reaksi yang tidak diingini terhadap organ-organ vital

maupun sistem tubuh, walaupun diberikan dalam waktu lama

Ketika prosedur anetesi umum dilakukan, terdapat beberapa tanda-tanda klasik

yang umum dapat terlihat, terutama pada penggunaan zat eter karena zat ini

memiliki reaksi kerja yang lambat sehingga tanda-tanda klasik ini akan dapat

99

terlihat dengan jelas19. Menurut Guedel, tanda-tanda klasik dari anestesi

umum dapat dibagi menjadi 4 stadium dan 4 plana. Adapun keempat stadium

dan plana tersebut adalah sebagai berikut :

a. Stadium Analgesia19

Stadium analgesia merupakan stadium awal, yang dimulai dari

pemberian zat anestesi hingga hilangnya kesadaran, dengan hilangnya

sensasi sakit, tetapi aktivitas motorik dan refleks masih normal19. Pada

stadium ini, terdapat dua tanda yang dapat dilihat, yaitu

i. Tanda Subjektif : 19

mula-mula pasien akan merasa panas, kesulitan dalam

bernapas (bukan akibat asfiksi)

iritasi lokal yang dapat berupa lakrimasi, salivasi, dan

sekresi mukus (dapat diatasi dengan pemberian

medikasi preanestesi, yang akan dijelaskan pada

halaman berikutnya)

setelah beberapa kali inhalansi, kedua sensasi di atas

akan berkurang dan pasien akan mengalami kekakuan

badan dan mengambang, pikiran kabur dan tidak

terkontrol, kadang-kadang diikuti halusinasi, artikulasi

susah dan tidak jelas, fungsi sensorik di korteks dan

medula spinalis akan menghilang lebih dulu

dibandingkan dengan fungsi motorik

ii. Tanda Objektif : 19

kulit muka dan leher akan mengalami kemerahan

(flushing)

pupil ormal akan mengalami dilatasi

nadi cepat dan tekanan darah meningkat

pernapasan akan meningkat dan tidak teratur

b. Stadium Delirium

Stadium delirium atau yang dapat disebut sebagai stadium eksitasi

yang diakibatkan oleh bekerjanya obat pada pusat motorik19. Stadium ini

dimulai dari hilangnya kesadaran pasien hingga masuk ke dalam stadium

anestesia19. Tanda-tanda objektif yang umumnya terjadi pada stadium ini

adalah sebagai berikut : 19

100

mata dan rahang tertutup

tonus otot rangka mengalami peningkatan

eksitasi dan aktivitas motorik tidak terkontrol akibat pusat

motorik menagalami paralisis

pasien dapat tertawa, menangis, menyumpah, dan berkata tidak

baik

pernapasan tidak terkontrol dan refleks mengalami

peningkatan1

muntah (apabila stadium ini tejadi dalam waktu yang lama)

relaksasi otot belum sempurna

pupil dilatasi sampai masuk ke stadium III, lalu akan

mengalami konstriksi

henti napas yang dapat terjadi akibat ketidak seimbangan

ambang napas dengan kadar CO2 di jaringan dan kadar O2 di

dalam darah

c. Stadium Anestesi

Stadium anestesi atau stadium pembedahan merupakan stadium yang

dimulai dari akhir stadium II hingga terjadinya paralisis medula dan henti

napas19. Tanda-tanda objektif yang umumnya terjadi pada stadium ini

adalah:19

pernapasan menjadi teratur, dalam, dan lambat

pupil mulai mengalami konstriksi

refleks mata dan konjungtiva mulai menghilang

gerak bola mata mulai menghilang

Pada stadium ini, keadaan pasien dapat dibagi menjadi 4 plana, yaitu: 19

☞ Plana 1 : tekanan darah dan nadi normal dan dilakukan pada

operasi sederhana

☞ Plana 2 : tekanan darah dan nadi normal, serta disertai dengan

relaksasi otot sempurna dan dilakukan pada operasi besar

☞ Plana 3 : tekanan darah dan nadi sedikit meningkat, dilakukan

pada operasi besar

☞ Plana 4 : tekanan darah menurun dan nadi melemah hampir

tidak teraba

101

d. Stadium Paralisis

Stadium ini dimulai dari akhir stadium III plana 4 hingga terjadinya

kematian. Pada stadium ini, pasien akan mengalami pelemahan pernapasan

hingga berhenti, dapat terjadi kolaps vasomotor, pernapasan perut jelas,

dilatasi pupil maksimum, nadi cepat lalu kemudian menghilang. Pasien

juga akan tampak sianotik, kulit dingin dan berwarna keabuan, refleks

superfisial dan dalam menghilang, otot-otot sfingter mengalami relaksasi,

tekanan darah turun, napas berhenti terlebih dahulu dibandingkan dengan

denyut jantung19.

Pada saat akan melakukan prosedur anestesi umum, terdapat beberapa hal

yang perlu diperhatikan, yaitu

a. Usia

Usia ini perlu dipertimbangakn mengingat terdapatnya perbedaan

tingkat metabolik antara usia muda dan tua. Perlu diingat, usia yang perlu

diperhitungkan adalah usia biologis seseorang, bukan usai kronologis20.

b. Kehamilan

Pada pasien yang sedang mengalami trimester pertama masih dapat

diberikan obat anestesi umum. Namun, perlu diperhatikan bahwa pada

masa ini fetus dan plasenta sedang mengalami pembentukan dan

perkembangan. Oleh karena itu, diperlukan obat-obatan yang aman. pada

saat trimester kedua, fetus dan plasenta telah mengalami pembentukan

yang sempurna dan fundus juga belum mengalami pembesaran yang cukup

untuk menyebabkan gangguan pada laju balik vena. Apabila diperlukan,

anestesi harus diberikan pada kedalaman yang adekuat dan perlu

dipastikan bahwa oksigenasi pasien dalam keadaan yang baik. Pada saat

trimester terkahir, volume uterus sudah membesar dan umumnya hal ini

dapat mengonstruksi laju balik vena dari kaki. Berkurangnya laju balik

vena dapat menyebabkan jumlah ouput kardiak menjadi berkurang. Oleh

karena itu, pmberian anestesi menjadi tidak sarankan pada trimester ini,

terutama pada posisi supine20.

c. Kelainan Sistem Pernapasan

Anestesi umum, pada dasarnya memerlukan kadar oksigen yang cukup

pada pasien yang akan diberikan. Oleh karena itu, sebelum pemberian

102

anestesi umum ini, pasien dengan kelainan sistem pernapasan ini harus

diperiksa terlebih dahulu laju alir oksigennya atau ditunda20.

d. Kelainan Sistem Persarafan

Pasien yang memiliki kelianan sistem persarafan harus dihindarkan

dari semua jenis obat-obatan yang mempengaruhi tounus otot. Oleh karena

itu, apabila anestesi umum memang sangatlah diperlukan maka pemberian

obat anestesi umum ataupun sedasi hanya boleh diberikan pada tempat di

mana semua jenis fasilitas kegawatdaruratan tersedia. Untuk pasien

dengan penykait epilepsi maka pasien harus diinstrusikan untuk berpuasa

selama 6 jam sebelum anestesi diberikan dan obat antikonvulsan yang

diberikan harus diminum sesuai dnegan dosisi normal20.

Berikut bagan pengobatan (anestesi/sedasi) yang dapat dilakukan pada tiap-

tiap jenis pasien: 20

103

Berbeda dengan obat anetsi lokal, obat anetesi umum ini dapat diberikan

melalui dua cara, yaitu intravena dan inhalasi.

i. Anestesi Inhalasi

Anestesi inhalasi merupakan jenis anestesi umum yang berupa gas

atau larutan yang mudah menguap. Seperti namanya, jenis anestesi ini

diberikan dengan cara dihirup bersamaan dengan oksigen. Dalam

pemberiannya, anestesi inhalasi ini memiliki keuntungan sebab

dalamnya anestesi dapat diatur dengan lebih mudah daripada anestesi

intravena. Pada saaat pemberian zat anestesi, potensi anestesi inhalasi

diukur dengan satuan m.a.c ( minimal alveolar concentration/ kadar

alveoli minimal) . 1 m.a.c merupakan kadar yang diperlukan untuk

mencegah reaksi otot akibat rangsangan nyeri yang diberikan pada

kulit19.

Obat anestesi inhalasi ini diabsorbsi dari alveoli ke dalam darah

dan akan dibawa ke otak. Distribusi obat ini paling banyak dilakukan

di otak, jantung, hati, ginjal, dan kelenjar. Ketika berada di dalam otak,

obat akan berdifusi dengan cepat dan melewati membran lipid menuju

jaringan otak. Ekskresi obat ini paling banyak dilakukan oleh paru-

paru dan kulit, serta sebagian kecil dikeluarkan bersama urin. Reaksi

pemulihan dari penggunaan obat ini dapat terjadi dengan cepat apaila

pemakain obat ini dihentikan dan tergantung dari dosis, waktu paruh,

lama anestesi, dan keadaan paru pasien. Efek samping yang dapat

terjadi pada penggunaan obat anestesi inhalasi adalah peningkatan

aktivitas simpato-adrenal, gangguan jantung, depresi jantung langsung

pada otot jantung dan otot polos pembuluh darah, hipotensi akibat

kegagalan sirkulasi, mual, muntah, oligouria, dan hiperpireksia19.

Pada jenis anestesi ini, beberapa jenis obat yang termasuk di

dalamnya dalah sebagai berikut :

a. Eter

Zat ini pada mulanya merupakan at anestesi inhlasi yang

paling umum digunakan, tetapi pada saat ini penggunaanya

sudah mulai tergeser dengan jneis zat lain yang lebih

104

menguntungkan. Zat ini merupakan jenis zat anestetik kuat

yang dapat memperthankan pernapasan dan tekanan darah

dengan baik. Tekanan darah ini dipertahankan melalui

pelepasan katekolamin endogen sehingga pemakaiannya tetap

harus diperhatikan karena dapat memnimbulkan aritmia

jantung. Bahan obat ini mudah meledak dan terbakar. Zat ini

dapat meningkatkan aktivitas simpato-adrenal. 19

b. Enfluran

Enfluran merupakan jenis anestesi umum yang banyak

digunakan karena baunya yang enak, tidak bersifat iritatif, dan

tidak mudak meledak. Jenis anestesi ini memiliki efek analgetik

ringan dan merupakan anestesi umum yang poten. Pada

penggunaan yang tinggi, enfluran dapat menyebabkan eksitasi,

depresi napas (tergantung dosis penggunaan), peningkatan

PCO2, dan penurunan respons. Enfluran juga dapat

menyebabkan terjadinya depresi langsung pada otot jantung

dan otot polos pembuluh darah, serta hipotensi19.

c. Halotan dan Metoksifluran

Kedua jenis anestesi umum ini merupakan jenis anestesi

yang dimetabolisme di hati. Oleh karena itu, halotan dapat

menyebabkan gangguan hati, terutama pada pasien yang

memiliki predisposisi dan pernah terpapar oleh halotan. Zat ini

tidak menyebabkan iritasi pada pernapasan dan menyebabkan

relaksasi otot sedang. Sama seperti enfluran, halotan dan

metoksifluran dapat menyebabkan terjadinya depresi langsung

pada otot jantung dan otot polos pembuluh darah, serta

hipotensi. Halotan dan metoksifluran diindkasikan pada

indukasi anestesi dan anestesi penunjang. Efek samping kedua

jenis bahan ini adalah hipotesni ringan dan bradikardia.19

d. Sevofluran

Sevofluran merupakan jenis senyawaan fluorokarbon dan

digunakan untuk indukasi serta penunjang pada anestesi umum

seperti halotan dan metoksifluran. Sevofluran juga tidak

mengiritasi napas selama induksi dan ambilannya cepat

105

sehingga sevofluran ini dapat digunakan pada anak-anak.

Kelarutan obat ini rendah dan ekskresinya pun cepat19.

e. Siklopropan

Siklopropan merupakan jenis anestesi yang memiliki mula

kerja yang cepat dan cukup aman, tetapi bersifat eksplosif.

Dalam dosis penuh, siklopropan memiliki efek analgesik dan

relaksasi otot yang baik1. Absorbsi obat ini cukup cepat dan

sistribusinya sampai ke SSP baru selanjutnya masuk ke dalam

paru. Ekskresi obat ini berbentuk utuh. Siklopropan dapat

menyebabkan timbulnya hipertermia maligna. 19

f. N2O

Obat anestesi ini merupaakn jenis anestesi yang paling

banyak digunakan1. Umumnya, N2O digunakan bersama

dengan oksigen ( dapat disebut gas gelak). N2O memiliki masa

kerja yang cepat, mula kerja yang cepat, dan tidak mudah

meledak. N2O diindikasikan sebagai induksi anestesi, suplemen

anestesi umum (keseimbangan anestesi), anestesi pembedahan

ringan (pencabutan gigi, terutaam pada anak) 19.

ii. Anestesi Intravena

Anestesi intravena ini merupakan jenis anestesi yang digunakan

untuk induksi anestesi secara cepat dan selanjutnya akan dipertahankan

dengan memberikan anestesi inhalasi yang sesuai. Namun, tidak

seperti anestesi inhalsi, anestesi intravena ini tidak dapat dikontrol

kedalamannya. Beberapa jenis obat anestesi yang digunakan dalam

anestesi intravena adalah sebagai berikut : 19

a. Barbiturat

Barbiturat digunakan untuk menginduksi tidur dan

umumnya digunakan pada operasi singkat. Obat ini tidak

memiliki efek analgesik. Relaksasi otot yang dihasilkan ringan

dan depresi napas yang terjadi sejalan dengan besarnya dosis

yang diberikan. Selain digunakan untuk anestesi operasi

singkat, Barbiturat juga digunakan sebagai induksi anestesi dan

suplemen anestesi lain. Obat ini dikontraindikasikan bagi

pasien yang memiliki porfiria laten, asma, gangguan

106

kardiovaskular, penyakit addison, gangguan hati dan ginjal,

miastenia gravis, tekanan intrakranial tinggi. Efek samping obat

ini dapat berupa mulut menganga, batuk, bronkospasme, dan

kesadaran menurun. Umumnya setelah diberikan anestesi

barbiturat, pasien akan menggigil, gelisah, dan hipotensi

postural19.

b. Ketamin

Ketamin adalah zat anestesi umum yang dapat diberikan,

baik secara intravena maupun intramuskular. Zat ini

menyebabkan hilangnya kesadaran, sedasi, immobilitas,

amnesia, dan analgetik. Zat ini berkerja pada korteks sistem

limbik. Umumnya, ketamin menyebabkan peningkatan tonus

otot. Ketamin dikontraindikasikan bagi pasien yang memiliki

riwayat stroke, kejang, arteri koroner, dan hipotensi. Efek

samping dari pemberian anestesi ketamin ini adalah aritmia

jantung, menggigil, henti napas, muntah, hipersalivasi,

polineuropati, lakrimasi, halusinasi, mimpi buruk, dermatologik

ringan, dan delirium pada pasien usia di atas 30 tahun. Obat

yang dapat diberikan untuk mengatasi hal tersebut adalah

diazepam, tiopental, dan skopolamin19.

c. Propofol

Propofol memiliki waktu paruh dan waktu kerja yang

singkat bila dibandingkan dengan tiopental. Waktu pemulihan

pada penggunaan propofol juga cepat tanpa adanya efek sisa.

Zat ini digunakan sebagai indukasi anestesi atau anestesi pada

operasi minor1. Ketika menggunakan Propofol, pasien akan

mengalami depresi napas dan kardiovaskuler, dan ketika tanda

ini muncul maka operator harus memantaunya. Terkadang

Propofol juga dapat menimbulkan kejang dan reaksi

anafilaktik, serta bradikardia dan hipotensi. Untuk mencegah

terjadinya Bradikardia dan Hipotensi pasien dapet diberikan

antimukarinik intravena, seperti atropin19.

107

Seperti yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya, obat anestesi

umum pada dasarnya dapat menyebabakan hilangnya kesadaran

pasien, terhambatnya refleks-refleks, dan relaksasi otot rangka.

Namun, untuk mendapatkan hasil anestesi seperti di atas dengan obat

tunggal maka anestesi harus dilakukan cukup dalam. Mengingat hal

tersebut dapat membuat pasien merasa kurang nyaman maka umumnya

ahli anestesi akan melakukan pengombinasian antara anestesi ringan

dan obat tambahan untuk mendapatkan analgesia dan relaksasi otot

yang sempurna19. Pengombinasian ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu

1. Keseimbangan Anestesia (Balance Anaesthesia)

Keseimbangan anestesi merupaka jenis anestesi kombinasi

yang dilakuakn dengan menggabungkan beberapa jensi obat

yang memiliki efek tertentu guna memberikan efek anestesi

yang sempurna. Pada jenis kombinasi obat-obat yang

digunakan adalah barbiturat kerja singkat, analgetik narkotik

(morfin, fentanil, atau sulfentanil), suatu pelemas otot

(tubokarin), dan N2O sebagai balans anestesi19.

2. Neurolep Anestesia

Neurolep anestesia merupakan jenia anestesi yang

mengombinasikan antara obat neuroleptik, narkotik nalgetik,

N2O dan O2. Pada kombinasi ini, obat neuroleptik yang

digunakan adalah Droperidol yang dapat menenangkan pasien

dan menurunkan aktivitas motorik dan obat analgesik yang

dikombinasikan dengannya adalah Fentanil. Pada pemakain

kombinasi ini, pasien akan tetap sadar dan hal ini

menguntungkan bila diperlukan kerja sama pasien dalam

prosedur diagnostik, katerisasi jantung, dan pengangkatan luka

bakar. Efek samping yang umumnya terjadi adalah depresi

napas19.

Umumnya sebelum anestesi umum, sering kali diperlukan beberapa

jenis obat yang bertujuan untuk menenangkan pasien, mengurangi rasa

sakit, mengurangi sekresi saliva, dan untuk mengatasi rasa mual.

108

Beberapa jensi obat yang digunakan sebagai medikasi preanestetik

adalah sebagai berikut :

a. Obat Ansiolitik19 jenis obat yang digunakan untuk

mengahsilkan ketenangan pada pasien. Umumnya obat-obat

yang digunakan adalah golongan benzodizepin seperti

diazepam.

b. Analgetik Narkotik 19 Umumnya jenis obat yang digunakan

adalah morfin atau fentanil yang dikombinasikan dengan

anestesi umum berupa N2O dan obat neuroleptik (prometazin)

dan antihistamin hidroksizin untuk meningktkan efek analgesik

opioid tandpa meningkatkan efek samping.

c. Antikolinergik19 Jenis obat ini digunakan untuk mengurangi

sekresi bronkus dan saliva guna mencegah terjadinya

akumulasi cairan di saluran napas. Kerja antikolinergik berbeda

dengan beta-agaonist. Pada antikolinergik, lokasi yang

dipengaruhi adalah otot pada bronkus, sedangkan beta-agonist

mempengaruhi bronkiolus. Macam obat yang yang umumnya

digunakan adalah atropin dan skopolamin.

d. Barbiturat 19 Jenis obat ini digunakan sebagai bahan sedatif

sebelum anestesi. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya,

Barbiturat dapat mengindukasi tidur pada pasien. Barbiturat

sering menimbulkan mual dan muntah pasca bedah dibanding

dengan golongan opioid. Macam-macam Barbiturat yang dapat

digunakan adalah Secobarbital dan Pentobarbital.

e. Neuroleptik19 Obat ini digunakan untuk menenangkan

pasien dan bersifat antiemetic. Obat ini digunakan sebagai

premedikasi oral pada anestesi dan di gunakan pada kombinasi

neurolep anestesi.

C.2. Anestesi Lokal19

Anestesi lokal merupakan jenis anestesi yang tidak menyebabkan

pengguna/pasien mengalami hilang kesadaran. Obat yang dipakai dalam jenis

anestesi ini hanya memblok konduksi saraf secara reversibel. Dalam

109

melakukan pemilihan obat yang digunakan ketika melakukan prosedur

anestesi lokal, terdapat beberapa sifat idela yang harus diperhatikan, yaitu

1. Potensi dan Reliabilitas10

Suatu bahan yang digunakan sebagai zat anestesi lokal harus dapat

menghasilkan anestesi lokal yang efektif ketika diberikan dalam dosis

yang adekuat dan cara yang benar.

2. Reversibilitas Aksi yang Ditimbulkan10

Semua jenis obat yang digunakan sebagai zat anestesi lokal harus

bersifat reversibel dan harus benar-benar reversibel (total) pada kurun

waktu tertentu.

3. Keamanan10

Semua obat anestesi lokal harus memiliki batas keamanan yang

luas.

4. Tidak Menyebabkan Iritasi10

Bahan yang digunakan tidak boleh menyebabkan iritasi pada lokasi

injeksi. Oleh karena itu, zat yang digunakan harus bersifat isotonik dan

memiliki pH yang sama dengan jaringan.

5. Kecepatan Mula Kerja10

Secara idela, injekasi zat anestesi harus segera diikuti oleh

terjadinya anestesi lokal.

6. Lamanya Kerja10

Lama kerja dari suatu zat anestesi yang idela adalah sama dengan

waktu yang dibutuhkan oleh perawatan atau lebih lama dari waktu

prosedur yang dibutuhkan.Pada durasi kerja ini, Lignokain merupakan

zat yang memiliki durasi kerja yang paling lama, dan berturut-turut

diikuti oleh Prilokain, Prokain, dan Mepivakain.

7. Sterilitas10

Zat anestesi lokal harus bersifta steril dan dapat disterilisasi tanpa

mengubah struktur dan sifat zat. Oleh karena itu, penting untuk

diperhatikan bahwa produk harus berasal dari pabrik yang memiliki

reputasi yang baik.

8. ”Shelf Life“ yang Adekuat10

110

Lokal anestesi harus tetap stabil di dalam larutan dan tetap

kompatibel dengan konstituen yang lain. Umumnya waktu hidup zat

anestesi lokal berskisar antara 2 – 2 ½ tahun.

9. Kemampuan Melakukan Penetrasi Membran Mukosa10

Idealnya, obat atau zat yang digunakan sebgaai bahan anestesi

lokal harus dapat berpenetrasi melalui membran mukosa.

Pada pemberian anestesi lokal ini, serabut yang dipenagruhi adalah serabut

saraf kecil dan tidak bermielin. urutan modalitas yang dipengaruhi oleh obat

ini adalah berturut-turut rasa sakit - dingin/panas - rasa raba - tekanan darah1.

Dalam melakukan kerjanya, zat anestesi lokal mempengaruhi hantaran

listrik yang terjadi pada serabut saraf. pada keadaan sitirahat, serabut saraf

mengandung banyak ion Na+ di luar sel ( 10x dari jumlah di dalam sel) dan

ion K+ di dalam sel (30x dari jumla di luar sel) 10. Inisiasi dari rangsangan

saraf menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas dari permukaan

membran sel akson. Hal ini menyebabkan ion Na+ dapat berdifusi ke dalam

sel sehingga terjadi perubaahn potesnial aksi dari – 90 mV menjadi +40mV 1.

Ketika Na+ berdifusi ke dalam sel, sebaliknya ion K+ akan berdifusi ke luar sel

10,19. Perubahan polairtas ini disebut sebagai depolarisasi. Semua zat anestesi

lokal yang diaplikasikan terbentuk atas kombinasi basa lemah dan asam kuat

10,19. Selanjutnya mereka akan dihidrolisi mejadi basa alkaloid. Basa inilah

diduga menghambat peningkatan permeabilitas pada membran saraf.

Penghambatan permeabilitas ini menyebabkan ion Na+ dan ion K+ menjadi

tidak dapat berdifusi dan depolarisasi menjadi terhambat. Hal ini

menyebabkan tidak adanya impuls yang dikonduksikan. Sejumlah kecil

konsentrasi larutan anestesi lokal menyebabkan tertundanya perpindahan ion,

sedangkan konsentrasi tinggi larutan anestesi menyebabkan perpindahan ion

menjadi terhambat. Pada saat memberikan anestesi, serabut saraf yang

berdiameter kecil seperti saraf simpatis dan saraf sensoris (nyeri, suhu,

sentuhan) akan lebih cepat teranestesi dibandingkan dengan serabut saraf yang

berdiameter lebih besar (saraf motoric) 10,19.

Anestesi lokal dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu anestesi

golongan amida dan ester. Obat anestesi golongan amida memiliki waktu kerja

yang lebih lama dibandingkan dengan golongan ester, hal ini dikarenakan

pada golongan amida, zat anestesi hanya dirusak oleh hati, sedangkan pada

111

golongan ester, zat dirusak oleh plasma dan esterase sehingga degradasinya

berlangsung lebih cepat1. Anestesi lokal ini dapat diberikan dengan cara

suntikan ataupun topical. Anestesi lokal yang diberikan secara topical

umumnya digunakan untuk menghilangkan sensasi pada ujung saraf aferen

dan digunakan pada anak-anak ataupun orang tua untuk pencabutan gigi,

ataupun mengatasi rasa gatal dan nyeri 19.

Masa kerja anestesi lokal ini bergantung pada lama kontak saraf da nada

atau tidaknya vasokonstriktor. Secara umum anestesi lokal memiliki efek

samping berupa kelelahan, mengantuk, tremor, kejang-kejang, tidak sadar,

henti napas, henti jantung, dan aritmia. pemberian anestesi lokal

dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki infeksi seluruh tubuh, infeksi

atau radang di tempat suntik, hipersensitivitas, syok berta, dan miastenia

gravis. Pada pemberian anestesi spinal, pasien dengan meningitis,

poliomielitis, tumor, perdarahan spinal atau kranial dikontraindikasikan 19.

Anestesi lokal yang digunakan dalam kedokteran gigi pada dasarnya

mengandung beberapa jenis zat, yaitu

i. Zat anestesi (Agent)

Lidokain (Lignokain) 10,19

Lidokain merupakan jenis anestesi lokal golongan amida

dan berasal dari deruvat Xylidine . Zat ini digolongkan ke

dalam jenis anestesi spektrum luas sebab dapat diberikan

melalui beberapa cara, seperti infiltasi, epidural, intravena

regional, subarakhnoid, anestesi blok, dan topikal. Lidokain

memiliki mula kerja yang cepat, masa kerja yang lama, dan

lebih kuat bial dibandingkan dengan Prokain. Zat ini bersifat

vasodilatasi maka penggunaanya harus disertai dengan

penggunaan vasokonstriktor. Apabila digunakan dalam dosis

yang besar Lidokain dapat menyebabkan terjadinya kejang.

Efek samping yang umum terjadi adalah sedasi, lupa, lesu, dan

rekasi hipersensitivitas. Lidokain dikontraindikasikan pada

pasien yang memiliki gangguan hati yang serius dan pada

pasien yang alergi dengan paraben .

Prokain19

112

Prokain merupakan jenis anestesi yang pertama kali ada.

Absorbsi zat ini baik pada tempat injeksi dan akan

dimetabolisme oleh plasma esterase. Hasil metabolit dari zat ini

adalah PABA dan dietilaminoetanol, serta diekskresi melalui

urin. Toksosotasnya dapat berupa perangsangan susunan saraf

pusat dan gagal kardiovaskuler. Penggunaan prokain dapat

menyebabkan reaksi hipersensitivitas ringan dan terkadang

terjadi reaksi anafilaktik. Prokain dapat menurunkan daya

antimikroba pada sulfonamid.

Bupivakain19

Bupivakain merupakan jensi anestesi lokal yang bersifat

toksik, tetapi banyak digunakan. Ketika memasuki sirkulasi

darah, bupivakain akan terikat dengan protein dan efek

toksiknya akan berkurang. Bupivakain tidak memiliki

kemampuan untuk menembus plasenta sehingga tidak

mengganggu janin selama masa partus. Masa kerja dari

bupivakain lama (panjang), dan mula kerjanya dimulai 5 -20

menit setelah injeksi dengan puncak 30 menit setelah injeksi.

Efek depresi miokard yang ditimbulkan oleh bupivakain jauh

lebih berbahaya bila di bandingkan dengan lidokain .

Prilokain 10,19

Prilokain merupakan obat abestesi um yang berasala dari

derivat toluidine. Penggunaan pada Prolikain serupa dengan

Lidokain, tetapi Prilokain bersifat kurang toksik bila

dibandingkan dengan Lidokain. Prilokain juga terdapat dalam

bentuk kombinasi dengan Lidokain dalam bentuk krim yang

digunakan sebagai anestesi lokal topikal karena sifat

penentrasinya yang baik. Krim ini umumnya digunakan untuk

pengangkatan lesi terlokalisasi. Prilokain juga merupakan

anestesi lokal yang dapat menghasilkan methaemoglobin. Oleh

karena itu, Prilokain tidak tepaa apabila digunakan pada pasien

bayi, pasien penderita methaemoglobinanemia, penyakit ginjal,

hipoksia, anemia, penyakit hati, gagal jantung, atau kondisi lain

yang memiliki permasalahan dengan oksigenasi. Prilokain juga

113

tidak baik digunakan pada pasien hamil dan pasien yang

memiliki riwayat sesitivitas terhadap anestesi lokal tipe amida

atau alergi paraben. Pada penggunaan Prilokain, rekasi

anafilaksis dapat terjadi .

Benzokain19

Benzokain merupakan jenis zat anestesi lokal derivat

prokain, yang sukar larut dalam air dan memiliki potensi yang

ringan. Benzokain memiliki efek toksik yang ringan dan hanya

untuk mengatasi rasa nyeri ringan. Benzokain tersedia dalam

bentuk krim, semprotan, dan obat kumur. Dalam tubuh

Benzokaoin tidak diabsorbsi secara sistemik. Pada penggunaan

dosis besar, Benzokain dapat meyebabkan terjadinya

methaemoglobin.

Ropivakain19

Ropivakain merupakan anestesi lokal yang serupa dengan

Bupivakain. Kerja pada transmisi sensoris yang dihasilkan oleh

Ropivakain lebih kuat dibandingkan dengan transmisi saraf

motorik. Hal ini berguna dalam beberapa tindakan bedah yang

membutuhkan pergerakan dari ekstremitas yang dioperasi.

Kerja dari Ropivakain terhadap sistem kardiovaskuler lebih

ringan dan obat ini digunakan dalam anestesi regional dan

epidural.

Kokain19

Kokain merupakan obat anestesi lokal yang berasala dari

daun koka. Zat ini merupakan jenis anestesi lokal yang pertama

kali ada. Obat ini bersifat sangat toksik dan hanya digunakan

pada penggunaan topikal, terutama untuk anestesi telinga,

hidung, dan tenggorok(THT). Zat anestesi ini merupakan jenis

vasokonstrikstor yang kuat sehingga mencegah terjadinya

perdarahan.

Karbokain (Mepivakain) 10

`Sama seperti Lidokain, Mepivakain merupakan zat

anestesi lokal yang berasala dari derivat Xylidine. Mepivakain

memiliki mula kerja, durasi kerja, potesni dan toksisitas yang

114

mirip dengan Lidokain. Namun, Mepivakain tidak mengandung

Paraben seperti pada Lidokain dan Prilokain sehingga zat ini

dapat dijadikan sebagai alternatif anestesi lokal pada pasein

yang memiliki alergi terhadap Paraben. Pemakaian mepivakain

dikontraindikasikan pada pasein yang memiliki gangguan hati

dan sesnsitif terhadap golongan amida. Efek samping dari

Mepivakain adalah depresi pernapasan ketika sejumlah plasma

mencapai SSP .

ii. Vasokonstriktor10,19

Vasokosntriktor merupakan zata yang umumnya ditambahkan

ke dalam larutan anestesi lokal. Penambahan sedikit

vasokonstriktor memiliki beberapa keutungan, yaitu

- mengurangi efek toksik dari larutan anestesi memlalui

absorbsi kontituen

- mencegah terjadinya perdarahan pada daerah yang akan

dioperasi

- meningkatkan kedalaman dan durasi anestesi

Meskipun menguntungkan, perlu diperhatikan bahwa penggunaan

vasokonstriktor sangat tidak dianjurkan (dikontraindikasikan) pada

beberapa hal beriktu ini : 19

- daerah end arteries seperti jari, telinga, hidung, dan penis

karena dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan berujung

pada nekrosis

- penderita Tirotoksikosis

- penderita gangguan kardiovaskuler berat

Vasokonstriktor yang umum dikenal oleh pasaran terdiri atas

dua jenis vasokonstriktor, yaitu

Adrenalin (Epinefrin) 10

adrenalin merupakan alkaloid sintetik yang hampir

mirip dengan sekresi medula adrenal. Penggunaan

vasokonstriktor berupa adrenalin dapat menyebabkan

pasien mengalami takikardia, mual, palpitasi, dan

115

kelelahan. Penggunaanya tidak boleh dikonjugasi dengan

penggunaan zat anestesi umum berupa hidrokarbon

terhalogenasi. sebab dapat menyebabkan terjadinya fibrilasi

ventrikel.

Felypresin (Oktapresin) 10

Felypresin merupakan vasokonstriktor sintetik

polipeptida yang mirip dengan polipeptida yang

disekresikan oleh kelenjar pituitari. Apabila dibandingkan

dengan Adrenalin, Felypresin merupakan jenis

vasokonstriktor yang lemah dan kekuatannya ini dapat

ditingkatkan dengan penggunaan Prilokain. Felypresin

dapat diberikan pada pasien yang menderita Tirotoksikosis

dan [asien yang meminum obat trisiklik atau penghambat

monoamin oksidase. Namun, Felypresin

dikontraindikasikan bagi pasien yang mengalami masa

gestasi sebab Felypresin memilik efek oksitoksik yang

dapat menyebabkan keguguran.

Pada pasien yang menderita iskemik jantung, jumlah

vasokonstriktor yang diberikan tidak boleh lebih dari 8.8 ml dari

larutan 1:2.000.000 karena dapat menyebabkan takikardia 10.

iii. Agen Pereduksi (Reducing Agents) 10

Agen pereduksi merupakan zat tambahan yang diberikan ke

dalam larutan anestesi lokal guna menjaga kestbilan

vasokonstriktor di dalam larutan agar tidak mengalami oksidasi.

Umumnya, zat yang digunakan Sodium Metabisulphite, yang

mampu menghilangkan adanya oksigen di dalam larutan. Zat ini

menjaga vasokonstriktor melalui pengoksidasian diri sendiri.

iv. Preservative10

Zat ini ditambahakan ke dalam larutan anestesi lokal guna

menjaga kestabilan dan kesterilan dari larutan anestesi. Zat yang

umum digunakan sebagai preservative ini adalah

Caprylhydrocuprienotoxin yang terdapat dalam Xylotox. Zat

lainnya yang dapat digunakan adalah Methylparaben, tetapi zat ini

dapat menimbulkan reaksi alergi.

116

v. Fungisid10

Zat fungisid ditambahakan ke dalam larutan anestesi guna

mencegah berkembanganya jamur di dalam larutan. Umumnya zat

yang digunakan adalah Thymol.

vi. The Vehicle10

Agen anestesi dan zat tambahan ini dicampurkan dalam suatu

larutan yang disebut debagai Larutan Ringer. Larutan ini bersifat

isotonik dan dapat berfungsi untuk mengurangi ketidaknyamanan

selama injeksi anestesi.

Dosis yang umumnya digunakan dalam anestesi infiltrasi dan blokade

saraf rongga mulut seringkali kurang dari sepersepuluh dosis yang diperlukan

untuk suntikan epidural. Ketika memilih anestesi lokal yang akan digunakan

hendaknya seorang operator mempertimbangkan efikasi, keamanan, keadaan

pasein, dan jenis obat yang akan digunakan10. Untuk pasien pedodonti,

sebaiknya dipilih sediaan yang mengandung vasokonstriktor dengan tujuan

untuk mengurangi dosis anestesi lokal10.

D. Antikoagulan , Obat Hemostatik, Antitrombotik, Trombolitik, dan Penghambat

Fibrinolisis 19,21

Pada dasarnya semua jenis obat yang disebutkan di atas merupakan jenis obat yang

digunakan guna mencegah terbentuknya trombus. Obat-obat ini digunakan pada

pasien yang memiliki riwayat stroke, atau jantung koroner. berikut adakan dijelaskan

lebih lanjut mengenai kelima jenis obat tersebut :

1. Antikoagulan19,21

Antikoagulan merupakan jenis obat yang digunakan untuk menghambat

koagulasi darah. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya hati merupakan oragna

yang berfungsi sebagai penghasil faktor pembekuan dalam darah. Hati juga

menghasilkan garam empedu yang berperan dalam absorbsi vitamin K dan

pembentukan faktor pembekuan II, VII, IX, dan X. Beberapa jenis obat

antikoagulan yang umum digunakan adalah sebagai berikut :

i. Heparin 19,21

117

Heparin merupakan jenis antikoagulan yang berasal dari campuran

mukoploisakarida bersulfat. Zat ini disintesis oleh jaringan seperti

paru, usus, dan hati. Dalam mekanisme kerjanya, Heparin berperan

dalam meningkatkan aktivitas antitrombin III, yang dapat

mengehambat aktivitas protease serin terhadap faktor Iia, Ixa, Xa, XIa,

dan XIIa, hingga 1000x. heparin ini memiliki efek antikoagulan

langsung. Obat ini diberikan dengan cara parenteral secara infus atau

subkutan dalam. Waktu paruh dari Heparin bergantung pada jumlah

dosis yang diberikan. Obat ini dimetabolisme di hati oleh heparinase

dan diekskresikan melalui urin.

Heparin sangat diindikasikan sebagai profilaksi praoperasi untuk

mencegah terjadinya trombosis vena dalam, pada pasien infark

miokard akut, trombosis, dan mencegah terjadinya emboli pulmonar.

Obat ini juga digunakan setelah dilakukannya operasi pada pasien yang

memiliki risiko tinggi guna mencegah terjadinya trombosis vena dalam

dan emboli pulmonar. Efek samping yang paling menonjol dari

Heparin adalah perdarahan, terutama pada pasien tua dan penderita

gagal ginjal. Selain itu, efek samping yang dapat muncul adalah

trombositipenia, alergi, alopesia reversibel, dan osteoporosis pada

pemakaian jangka lama. Perlu diingat bahwa obat ini

dikontraindikasikan bagi pasien yang menderita hemophilia,

trombositopenia, hipertensi, dan purpura. Pada wanita hamil, obat ini

juga dapat menyebabkan terjadinya teratogenic. Penggunaan obat tidak

boleh dibarengi dengan penggunaan antihistamin, aspirin, dan

aminoglikosida sebab dapat menurunkan efektivitas dari kerja heparin.

ii. Kumarin (Antikoagulan Oral/Penghambat Vitamin K) 19,21

Kumarin merupakan jenis antikoagulan yang berasal dari derivate

4-hidroksikumarin. Beberapa jenis obat yang termasuk dalam golongan

ini adalah dikumarol, warfarin, dan fenprokumon. Kumarin merupakan

jenis antikoagulan yang menghambat kerja dari vitamin K (antagonis

vitamin K). Pada pemakaian obat ini, faktor pembekuan masih

disintesis oleh hati, tetapi faktor-faktor tersebut tidak dapat terikat pada

membran trombosit. Kumarin ini bersifat teratogenik dan fototoksik.

Pada penggunaanya, kumarin memiliki indikasi yang sama dengan

118

heparin. Perlu diingat, penggunaan kumarin tidak boleh dibarngi

dengan penggunaan salisilat, aspirin, fenilbutazon, dan pirazon sebab

penggunaan Kumarin bersamaan dengan keempat jenis obat tersebut

dapat menyebabkan perdarahan hebat pada pasien. antibiotik yang

dapat menurunkan kadar mikroorganisme penghasil Vitamin K

(antibiotik spektrum luas), dapat membantu kerja Kumarin.

2. Antitrombotik 19,21

Antitrombotik merupakan jenis obat yang digunakan untuk menghambat

agregasi trombosit. Beberapa jenis obat yang termasuk ke dalam golongan

antitrombotik/antiplatelet adalah sebagai berikut :

i. Aspirin

Aspirin merupakan obat NSAID golongan salisilat. Obat ini

berkerja dengan menurunkan tromboksan A2 di trombosit dengan cara

menghambat sikloosigenasi dan berkerja sebagai antitrombotik

melalui penurunan sintesis PGI2 di sel endotel.

ii. Dektran 40

Dektran 40 merupakan jenis obat antitrombotik yang merusak

polimerisasi fibrin dan fungsi trombosit. Namun, obat ini daoat

menyebabkan terjadinya sesak napas dan urtikaria.

3. Trombolitik 19,21

Trombolitik merupakan jenis obat yang digunakan untuk menghancurkan

trombus yang sudah terbentuk. Dalam aliran darah, pada dasarnya terdapat

plasminogen(profibrinolisin) yang apabila dihasilkan akan membentuk

plasmin. Plasmin ini bersifat fibronolitik dan juga trombolitik. Beberapa jenis

trombolitik yang beredar di pasaran adalah sebagai berikut :

i. Streptokinase19,21

Streptokinase merupakan jenis trombolitik yang berasal dari bakteri

Streptococcus-𝛽-hemolyticus. bakteri ini mengikat plasminogen

menjadi plasmin aktif. Streptokinase ini dapat digunakan pada keadaan

emboli akut, trombosis vena dalam, dan reperfusi arteri perifer yang

oklusi. Streptokinase diberikan setelah infark miokard. efek samping

yang dapat terjadi pada penggunaan ini adalah perdarahan sistemik.

ii. Urokinase19,21

119

Urokinase merupakan protease yang diisolasi dari urin. Urokinase

ini dapat mengaktifkan fibrin yang akan terikat pada plasminogen dan

disisrkulasi secara sistemik. Indikasi penggunaan dari Urokinase sama

seperti Streptokinase.

iii. Tissue plasminogen activator (tPA) 19

TPA ini merupakan jenis protease endogen yang dapat

mengaktivasi plasminogen dan terikat fibrin. waktu paruh dari TPA

ini lebih pendek bial dibandingkan dengan Urokinase dan

Streptokinase. Jenis obat ini dapat menyebabkan penyakit efek

samping sistemik sehingga penggunaanya terbatas.

4. Penghambat Fibrinolisis 19

i. Asam Aminokaporat

Asam aminokaporat merupakan zat sintetik yang memiliki struktur mirip

dengan Lysin. Zat ini merupakan penghambat kompetitif aktivasi

plasminogen. Asam aminokaporat merupakan zat yang digunakan sebagai

terapi tambahan pada penderita hemofilia dan pendarahan pasca bedah.

ii. Asam Traneksamat

Asam traneksamat merupakan jenis penghambat fibrinolisis yang

analog dengan asam aminokaporat yang jauh lebih poten. tersedia dalam

bentuk pemakaian oral, IM, atau IV.

5. Hemostatik19,21

Hemostatik merupakan zat atau obat yang digunakan untuk menghentikan

perdarahan yang terjadi pada pasien. Obat hemostatik ini terbagi menjadi dua

jenis, yaitu

i. Hemostatik Lokal

Hemostatik lokal merupakan jensi hemostatik yang digunakan untuk

melakukan penghentian perdarahan langsung pada lokasi perdarahan 4.

Beberapa jenis hemostatik lokal :

a. Astringen

Zat ini berkerja lokal dan dapat menyebabkan terjadinya

preipitasi protein darah sehingga darah dapat cepat dihentikan.

120

umumnya zat ini digunakan dalam melakukan retraksi gingiva.

Jenis obat yang termasuk ke dalamnya adalah feri klorida, nitras

argenti, dan asam tanat. Kelompok ini digunakan untuk

menghentikan perdarahan yang terjadi pada pembuluh kapiler.

Namun, zat ini kurang efektif bila dibandingkan dengan

vasokonstriktor yang digunakan secara lokal.

b. Absorabable Hemostatics 21

Obat golongan ini digunakan untuk menghentikan perdarahan

yang terjadi pembuluh darah kecil seperti kapiler. Penghentian

perdarahan dilakukan dengan membentuk suatu bekuan buatan

atau memberikan jaringan serat-serta yang membantu

mempermudah pembekuan apabila diletakkan pada daerah yang

mengalami perdarahan. Obat yang termasuk dalam kelompok ini

adalah human fibrin foam (menutup permukaan yang mengalami

perdarahan dengan baik), gelatin sponge, dan oxidize cellulose

(mempengaruhi regenerasi tulang dan mengakibatkan

terbentuknya kista pada tulang apabila digunakan lama pada

kasus patah tulang).

c. Aktivator Protrombin 19,21

Ekstrak ini didapatkan dari jaringan otak yang diolah secara

kering dengan asetat atau dari racun ular seperti Rusell’s Viper

Venom. racun ular ini dapat digunakan pada pasien hemofilia dan

alveolus gigi yang berdarah.

d. Vasokonstriktor 19,21

Vasokonstriktor dapat digunakan untuk melakukan

penghentian darah pada perdarahan kapiler.

ii. Hemostatik Sistemik19,21

Hemostatik sistemik merupakan jenis zat yang dapat melakukan

hemostatik dengan diberikan melalui transfusi darah. Hal ini terjadi

karena dalam melakukan transfusi darah, semua faktor pembekuan

darah juga didapatkan. Selain itu, melakukan transfusi darah,

perbaikan volume sirkulasi dapat terjadi.

E. Adrenokortotropin, Kortikosteroid,dan Antagonisnya 19,21

121

Kelenjar adrenal merupakan kelenjar yang terletak di bagian atas ginjal. Kelenjar

Adrenal ini terdiri atas dua bagian, yaitu bagian luar yang disebut sebagai Korteks dan

bagian dalam yang disebut sebagai Medulla. Medulla ini merupakan bagian saraf

simpatis yang mensekresi Katekolamin pada saat aktivasi simpatis. Bagian luar atau

Korteks ini terdiri atas tiga lapisan, yang masing-masing lapisan mensekresikan satu

atau lebih hormon. Secara umum hormon korteks adrenal ini dibagi menjadi dua,

yaitu Glukokortikoid dan Mineralkortikoid. Berikut tabel lapisan Korteks dan hormon

yang dihasilkan :

No Lapisan Kel.Adrenal Hormon Fungsi

1. Glomerulosa (Luar) Aldosteron (Mineralkortikoid) Mengatur kadar natrium dan

Kalium dalam darah, keseimbangan

air elektrolit

2. Fasikulata (Tengah) Kortisol,Kortison

(Glukokortikoid)

Berperan dalam metabolisme

karbohidrat dan protein; memiliki

efek antiinflamasi poten/kuat;

menghambat ACTH

3. Retikularis (Dalam) Hormon Kelamin (estrogen,

testosteron)

Fungsi fisiologi normla jormon

kelamin

Glukokortikoida ini sering disebut sebagai Kortikosteroid atau Steroid. apabila

seseorang mengalami defisiensi steroid maka seseorang tersebut akan menderita

penyakit Addison, sedangkan apabila berlebih akan menderita penyakit Cushing.

Penghasilan gulkoortikoid ini dibantu oleh ACTH atau hormon Adrenokortikotropin.

Hormon ini merupakan senyawa polipeptida yang terdiri atas asam amino dan

disekresikan oleh hipofisis anterior. Hormon ini akan merangsang kelenjar adrenal

untuk menghasilkan kortikosteroid. Apabila kadar ACTH dalam darah berlebih maka

akan menimbulkan hiperpigmentasi. Hormon ini dapat diberikan secara parenteral,

tetapi tidak dengan oral karena dapat dirusak oleh enzim sluran cerna. ACTH dapat

meningkatkan pembentukan siklik AMP di bagian korteks adrenal melalui

perangsangan terhadap enzim adenilsiklase. Adrenokortikotropin diindikasikan untuk

melakukan evaluasi insufisiensi primer dan sekunder (pada penyakit Addison) dan

untuk penyakit yang memerlukan kortikosteroid. Namun, akibat efek samping yang

cukup serius, penggunaan ACTH sudah dibatasi. beberapa aefek samping yang dapat

122

ditimbulkan oleh ACTH adalah gangguan keseimbangan asam basa, timbulnya efek

adrogenik pada perempuan seperti amenore, hirsutisme, dan akne serta dapat pula

timbulnya suatu reaksi alergi.

E.1. Kortikosteroid dan Analog Sintetiknya 19

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kelnjar adrenal dapat

mensekresikan tiga jenis hormon, yaitu

i. Glukokortikoid19

Hormon ini disintesis oleh Kelenjar Adrenal dan sistesinya

dikontrol oleh ACTH. Jenis Kortikosteroid alamiah yang paling

poten adalah Kortisol. Mekanisme kerja hormon ini adalah dengan

menstimulasi protein spesifik di jaringan. Diduga Kortikosteroid

berkerja dengan mempengarruihi sintesis protein pada transkrip

RNA. Molekul hormon akan masuk ke dalam sel karingan

memalui membran plasma secara difusi pasif. Molekul terseubut

selanjtunya akan berikatan dengan reseptor protein membentuk

kompleks resptor-steroid. Kompleks ini selanjtutnya akan

bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan bagian spesifik

dari kromatin inti. Ikatan inilah yang akan menstimulasi transkrip

RNA baru. Beberapa efek yang dapat ditimbulkan oleh

Kortikosteroid adalah sebagai berikut :

Efek Fisiologik 19

Hormon ini dapat menyebabkan terjadinya peningkatan

pemecahan protein dan meningkatkan kadar glukosa darah

melalui stimulasi glukoneogenesis. Kortikosteroid juga

meningkatkan enzim-enzim yang berperan dalam proses

metabolisme glukosa dan asam amino, meningkat asam

lemak plasma dan pembentukan keton melalui peningkatan

lipolisis, penurunan ambilan glukosa ke sel lemak, serta

redistribusi/redeposisi lemak tubuh. Kortikosteroid ini

menimbulkan retensi natrium dan air.

Efek Antiinflamasi 19

Efek antiinflamsi ini dilakukan dengn melakukan

penghambatan terhadap respons antigenik makrofag dan

123

leukosit, penghambatan permeabilitas pembuluh darah

dengan cara menurunkan pelepasan histamin dan

menghambat kerja dari kinin. Kostikosteroid juga dapat

menghambat asam arkhidonat dan pembentukan

prostaglandin melalui penghambatan fosfolipase A2 dan

sikloosigenase.

Efek Imunologik 19

Obat ini dapat menurunkan limfosit, eosinofil, basofil,

dan monosit.

Pertumbuhan 19

Pada pemberian jangka lama terhadap anak-anak,

sekresi hormon pertumbuhan, aktivitas osteoblast tulang,

dan proliferasi sel di epifisis menjadi terhambat atau

menurun. hal ini menyebabkan terjadinya penghambatan

pada pertumbuhan anak.

Absorbsi kortisol maupun analog sintetik per oral baik dan

pendistribusiannya 80% terikat pada plsam globulin dan 10% pada

albumin. Metabolisme zat ini dilakukan pada hati dan ekresinya

melalui urin dalam bentuk konjugasi dengan glukuronat dan

sulfat. Kortikosteroid diindiaksikan sebagai obat yang diberikan

pada terapi substitusi maupun pada penyakit nonendokrin. Pada

terapi substitusi, Kortikosteroid diindikasikan sebagai obat yang

diberikan pada kasus insufisiensi primer dan sekunder (penyakit

Addison), insufisiensi kronik, dan insufisiensi sekuder (akibat

insufisiensi adenohipofisis dengan gejala hipoglikemi). Pada

penyakit nonendokrin, obat ini digunakan pada : 19

- artritis : hanya pada reumatoid atritis yang bersifat

progresif dan disertai dengan pemberian analgetik,

fisioterapi, dan istirahat

- karditis reumatik : hanya pada keadaan akut dan disertai

dengan pemberian salisilat

- penyakit ginjal : pada sindrom nefrotik akibat lupus

eritematosa sistemik dan nefrosis idiopatik pada anak-anak

- penyakit kolagen : semua jenis, kecuali pada scleroderma

124

- asma bronkial: hanya pada asma berat, ststus asmatikus,

dan tidak merespon obat lain

- penyakit alergi: sebagai obat tambahan, obat alergi berat

berikan adrenalin, alergi ringan berikan antihistamin

- penyakit mata: digunakan untuk mentasi infeksi mata, tetapi

apabila inflamsi disebabkan oleh jamur, virus, atau kuman,

inflamasi teratasi, sedangkan infeksi terus berlanjut

(masking effect). Kontra indikasi pada infeksi yang

disebabkan oleh herpes simpleks pada mata.

- penyakit kulit: digunakan dalam bentuk topikal, tetapi

apabila penyakitnya berat dan akut maka digunakan dalam

secara sistemik

- udem sereberal: mencegah dan mengurangi udem akibat

neoplasma

- neoplastik : limfoma dan leukimia limfositik akut serta

digunakan bersama dengan antineoplastik. Dapat pula

digunakan pada karsinoma payudara dan prostat

Dosis yang dipakai dalam penggunaan Kortikosteroid

dilakukan secara trial-error, artinya harus disesuaikan dengan

keadaan penderita, lama pemberian, dan disesuaikan sesuai

dengan jenis penyakitnya. Dosis tunggal umumnya aman dan

apabila tidak memiliki kontraindikasi yang spesifik dapat

diberikan selama beberapa hari. Terapi kausal dan kuratif hanya

diberikan apabila pasien memiliki insufisiensi. Pemakaian jangka

lama dapat meningkatkan efek samping hingga pada efek letal dan

apabila pemeberian ini disertai dengan dosisi yang besar lalu

kemudian dihentikan secara tiba-tiba maka akan terjadi

insufisiensi. Oleh karena itu, untuk penghentin harus diturunkan

dosisnya secara bertahap. 19

Efek samping yang ditemukan pada pengggunaan

Kortikosteroid dapat berupa supresi kelenjar adrenal,

hiperglikemia, dan gangguan metabolik lainnya. Umumnya

glukosa darah juga mengalami peningkatan 10-20%. Pemakai

Kortikosteroid juga dapat mengalami osteoporosis apabila

125

digunakan pada jangka lama. Hal ini disebabkan karena

meningkatnya eksresi kalsium, deplesi kalsium tulang, dan

menurunya absorbsi kalsium pada tulang. Menurunya kalsium

plasma akan merangsang penyekresian hormon paratiroid yang

memfasilitasi keluarnya kalsium dari tulang. Diketahui pula

bahwa kortikosteroid melemahkan pertahanan mukosa terhadap

asam dan mengganggu perbaikan jaringan. Hal ini menyebabkan

terjadinya perdarahan pada lambung dan tukak peptik. Seperti

yang telah disebutkan sebelumnya, kortikosteroid dapat

menyebabkan terjadinya retensi air dan natrium. Hal ini

menyebabkan dapat terjadinya udema. Pemakaian Kortikosteroid

dapat menyebabkan terjadinya redistribusi lemak dan

bertambahnya nafsu makan sehingga dapat menyebabkan moon

face dan buffalo hump. Sediaan yang tersedia dapat berupa

topikal (hidrokortison, betametason), inhalasi (beklometason

dalam gabungan dengan bronkodilator), tablet (prednison,

prednisolon, triamnisolon, deksametason, fludrokortison). Ketika

melakukan pemilihan sediaan obat, terapi yang dapat dipakai

dalam jangka panjang, seperti pada penderita asma bronkial,

adalah inhalasi. Selain dengan cara inhalasi, Kostikosteroid juga

dapat diberikan dengan cara parenteral 19.

ii. Mineralkortikoid 19

Mineralkortikoid merupakan jenis kortikoid yang dihasilkan

oleh glomerulus pada korteks adrenal. Beberapa jenis obat yang

termasuk ke dalam golongan mineralkortikoid adalah sebagai

berikut : 19

a. Aldosteron

Aldosteron merupakan mineralkostikoid utama yang

disekresikan oleh korteks adrenal. Sekresi aldosteron dapat

menyebabkan terjadinya peningkatan volume darah

sirkulasi sehingga apabila volume darah sirkulasi menurun

maka sekresi aldosteron akan ditingkatkan. Penyintesisan

aldosteron pada korteks adrenal ini sama seperti

126

penyintesisan glukokortikoid, yaitu dibantu oleh ACTH.

Namun, pada tahap akhirnya sekresi aldosteron

dipengaruhi oleh adanya faktor humoral, yaitu

Angiotensin. Efek utama aldosteron terhadap ginjal adalah

mengatur keseimbangan air dan alektrolit, meningkatkan

reabsorbsi natrium dan eksresi kalium. Pada pemberian

aldosteron IV, setelah 1 jam diketahui bahwa ekskresi Na

menjadi berkurang, sedangkan ekskresi K+ dan H+ akan

meningkat. Efek samping yang terjadi adalah hipertensi,

udem, retensi antrium, dan hipokalemia. Keadaan adanya

aldosteron terkadang terjadi peningkatan yang berlebihan.

Peningkatan ini disebut sebagai aldosteronisme.

Aldosteronisme ini terbagi menajdi dua jenis, yaitu primer

dan sekunder. Pada aldosteronisme primer, peningkatan

sekresi aldosteron ini ditandai dengan terjadinya hipertensi

arterial, otot terasa lemah, alkalosis hipolekalemik,

keseimbangan kalium negatif, kadar natrium serum tinggi,

dan urin bersifat basa. Kedaan seperti ini umumnya terjadi

akibat terdapat oma pada kelenjar adrenal (adenoma)

ataupun hiperplasia pada kelenjar adrenal. Pada

aldosteronisme sekunder, peningkatan aldosteron ditandai

dengan terjadinya konstriksi pada arteri ginjal disertai

dengan hipertensi, sirosis hati, edema nefrotik, dan

hipertensi esensial.

Prekusor aldosteron di dalam tubuh disebut juga sebagai

11-deoksikortikosteron. Prekursor ini memiliki aktivitas

mineralkortikoid dan juga glukokortikoid. Namun, efek

glukokortikoid yang dihasilkan hanya kecil. 11-

deoksikotikosteron memiliki efek terhadap elektrolit yang

sama dengan aldosteron. Prekursor ini umumnya

digunakan dalam terapi pada pasien Addison. Efek utama

11-deoksikortikosteron ini adalah meningkatnya reabsorbsi

natrium dan peningkatan pengeluaran kalium.

127

Dalam kerjanya, hormon aldosteron memiliki antagonis

yang berfungsi untuk menghambat aktivitasnya. Beberapa

jenis steroid sintetik yang digunakan sebagai antagonis

aldosteron adalah Spironolakton dan Triamteren. Kedua

sterois sintetik ini mengantagonis aldosteron pada tubuli

ginjal. Spironolakton berperan sebagai kompetitor

aldosteron pada reseptor yang terdapat di tubulus, yang

berperan dalam pertukaran natrium-kalium, sedangkan

Triamteren tidak menjadi kompetitor aldosteron melainkan

langsung mempengaruhi tubulus.

iii. Antagonis Kortikosteroid 19

Beberapa jenis antagonis glukokortikoid adalah sebagai

berikut :

Mitotan

Mitotan merupakan jenis antagonis glukokortikoid

yang menyebabkan atropi selektif pada zona fasikulata

dan retikularis. Antagonis ini menyebabkan terjadinya

penurunan kadar kortisol plasma pada penderita

Sindrom Cushing. Obat ini juga dapat dipakai pada

kasrsinoma adrenal, tetapi hanya apabila obat lain tidak

memberikan respons apapun. Efek samping yang dapat

terjadi pada penggunaan antagonis adalah lelah,

gangguan kulit, gangguan slauran cerna, dan bingung.

Aminoglutenid

Aminoglutenid berkerja dengan cara menghambat

konservasi kolesterol menjadi pregnolon yang

merupakan tahap pertama dalam sintesis steroid dan

menurunkan produksi aldosteron, kortisol, dan

androgen (mempenagruhi semua lapisan kelenjar

adrenal). Obat ini diindikasikan pada penderita

sindroma cushing, terapi tambahan pada radiasi

sebagai persiapan sebelum adrenalektomi, tumor

payudara, dan tumor penghasil ACTH. Obat ini juga

128

dapat digunakan sebagai terapi pada penderita

hiperkortisolisme akibat karsinoma adrenal.

Metirapon

Metirapon berkerja antagonis dengan cara

menghambat aktivitas 11-hidroksilasi sehingga

produksi kortisol menjadi berkurang. Obat ini

digunakan untuk mendiagnosis kemampuan fungsi

adrenal dan hipofisis.

Trilostan

Obat antagonis ini merupakan steroid sintetik tanpa

aktivitas hormonal intrinsik yang mengganggu

steroidogenesi, menurunkan kadar kortisol dan

aldosteron. Obat ini digunakan untuk mengatasi

sindroma cushing dan hiperaldosteron. Efek amping

yang dapat terjadi adalah mual, muntah, dan diare.

Pada penggunaan kortikosteroid, perlu diingat bahwa pasien tidak memiliki tanda-

tanda infeksi maupun kemungkinan berkembangnya infeksi sebab hal tersebut

berpotensi menimbulkan terjadinya eksaserbasi akibat penekanan system imum. Pada

kedokteran gigi kostikosteroid dapat digunakan untuk mengatasi inflamasi, oral lichen

planus, stomatosis aftosa rekuren, dan pengobatan intrakanal pada inflamsi pulpa.

Umumnya sediaan yang sering digunakan adalah deksametason (tablet, 4 mg setiap 8

jam, dengan dosis awal 8 mg), gel triamnisolon (kenalog in orabase), fluocinid, dan

clobetasol. Kortikosteroid tidak diindikasikan pada pemakaian rutin dan jangka

panjang pada pasien dengan riwayat penyakit kronik, seperti TBC, infeksi virus, ulkus

peptikum, DM, osteoporosis, gangguan psikiatrik, katarak, dan hipertensi 19.

Biosintesis Hormon Steroid

129

2.12.Antibiotik17

Antibiotik adalah zat kimia yang dihasilkan oleh berbagai mikroorganisme, misalnya kuman,

jamur, dan aktinomycetes yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan mikroba

lain. Antibiotik merupakan obat yang efektif untuk penyakit infeksi karena mempunyai sifat

toksisitas selektif. Maksud dari toksisitas selektif ini adalah kemampuan antibiotik dalam

membunuh kuman tanpa menggnggu sel hospes. Namun, kadar antibiotik harus diperhatikan

agar dapat efektif membunuh kuman tetapi masih dapat ditolerir oleh manusia dengan tidak

mengganggu flora normal tubuh.

A. Penggolongan berdasarkan spektrum antibakteri

- Spektrum sempit : untuk kuman gram positif. Misalnya, penisilin G dan antibiotik

golongan makrolid

- Spektrum luas : untuk kuman gram positif dan kuman gram negatif. Misalnya

tetrasiklin dan kloramfenikol.

- Antibiotik untuk kuman gram negatif : gentamisin dan polimiksin

B. Penggolongan berdasarkan mekanisme kerja

- Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel kuman : penisilin, sefalosporin,

sikloserin (sifatnya bakterisidal)

130

- Antibiotik yang mempengaruhi permeabilitas membran sel : polimiksin, antibiotik

golongan polien

- Antibiotik yang mengganggu sintesis asam nukleat kuman : rifampisin

- Antibiotik yang bersifat antimetabolit : sulfonamid, trimetoprim, asam

paraaminosalisilat (PAS)

- Antibiotik yang menghambat sintesis protein :

Bakteriostatik : menghambat secara reversibel. Yaitu tetrasiklin,

Kloramfenikol, dan antiniotik golongan makrolid

Bakterisidal : menghambat secara irreversibel. Yaitu antibiotik golongan

aminoglikosida

C. Penggolongan berdasarkan rumus kimia

- Golongan penisilin : Penisilin G, Ampisilin, Amoksisilin

- Golongan Sefalosporin : Sefaleksin, Sefotaksim, Seftriakson

- Golongan Tetrasiklin : Tetrasiklin, Klortetrasiklin, Doksisiklin, Minosiklin

- Golongan Kloramfenikol : Kloramfenikol, Tiamfenikol

- Golongan Aminoglikosida : Streptomisin, Kanamisin, Gentamisin

- Golongan Makrolid : Eritromisin, Spiramisin

- Golongan lain-lain : Golongan AB polien, Rifampisin, Polimiksin, Spektinomisin

Pemilihan Antibiotik Secara Rasional

1. Tetapkan diagnosis klinis berdasarkan gejala klinis dan diagnosis etiologik

2. Lakukan uji resistensi dan kultur kuman. Namun bila tidak mungkin dilakukan, dapat

menggunakan educated guess untuk memilih antibiotik yang merupakan pilihan

utama

3. Dalam hal farmakokinetik, terdapat kadar minimal obat yang dapat menghambat

pertumbuhan kuman yang disebut Kadar Hambat Minimal (KHM). Sebaiknya kadar

antibiotik dalam darah atau jaringan yaitu 4-8 kali KHM.

4. Faktor penderita yang harus diperhatikan dalam memberikan antibiotik, yaitu :

- Mekanisme pertahanan tubuh penderita

- Faktor lokal

- Umur

- Faktor genetik

- Kehamilan

131

- Penderita gangguan hati dan ginjal (penyesuaian dosis antibiotik)

- Faktor alergi

Kombinasi Antibiotik

Penggunaan antibiotik untuk penyakit infeksi yang dianjurkan adalah pemberian obat

tunggal. Cara ini dapat mengurangi timbulnya superinfeksi dan kuman yang resisten

terhadap antibiotik.

- Kombinasi tetap : dibuat oleh pabrik dengan rasio tetap, namun dapat

menimbulkan masalah semisal meningkatnya insiden toksisitas. Hanya

diperbolehkan bila masing-masing komponen diperlukan bersama-sama.

- Kombinasi tidak tetap : ditulis dokter dalam resep. Hal ini dibenarkan untuk

indikasi 1. Pengobatan infeksi campuran, 2. Memperlambat timbulnya resistensi

(hanya pengobatan TBC), 3. Mendapatkan efek sinergisme (misal aminoglikosida

dengan penisilin untuk penderita endokarditis bakterial), 4. Terapi sementara

infeksi berat yang penyebabnya belum diketahui

- Penggunaan profilaksis antibiotik : biasanya hanya ditujukan untuk kuman

tertentu dengan menggunakan antibiotik tertentu. Profilaksis antibiotik sebelum

atau sesudah tindakan tidak boleh diberikan terlalu lama karena akan

menyebabkan bakteri resisten. Misalnya pada penderita cacat katup jantung yang

aka dicabut giginya, dimana luksasi pada pencabutan dapat menimbulkan

bakterimia dengan kemungkinan kuman menyangkut di katup jantung. Maka

sebaiknay diberikan profilaksis, misalnya penisilin satu jam sebelum tindakan.

Pemberian profilaksis dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan dampak

negatif pada ekologi flora kuman yang normal.

Penyalahgunaan dan penyebab kegagalan terapi dengan antibiotik

1. Salah indikasi, penderita batuk pilek karena virus, diberikan antibiotik

2. Melalaikan tindakan bedah, penderita abses yang hanya diberikan antibiotik dan tidak

dilakukan insisi terlebih dahulu

3. Dosis dan masa terapi tidak tepat

4. Interaksi obat, misal tetrasiklin dan antasida yang digunakan bersama akan

membentuk kompleks yang sukar diserap sehingga efektivitas tetrasiklin menurun

5. Toksisitas, antibiotik toksik tidak boleh digunakan untuk infeksi ringan

6. Rifampisin hanya digunakan untuk pengobatan TBC dan lepra

132

Golongan Antibiotik

A. Golongan Penisilin

Pertama kali diisolasi dari jamur Penicillium notatum. Obat ini efektif untuk kuman

terutama gram positif. Golongan penisilin dalam struktur kimianya mempunyai 2

cincin, yaitu cincin tiazolidin dan cincin beta-laktam.

Mekanisme kerja : menghambat sintesis dinding sel kuman, terjadi lisis dan kuman

mati. Penisilin bersifat bakterisidal. Membran luar sel hanya terdapat pada kuman

gram positif. Pada membran luar ini terdapat porin (protein) yang permeabel terhadap

substansi yang hidrofilik sehingga dapat dimasuki oleh antibiotik beta laktam. Rantai

peptidoglikan dapat dirusak oleh transpeptidase yang terdapat di membran sitoplasma,

berhubungan dengan penicilin binding protein (PBPs). Antibiotik beta laktam

menghambat transpeptidasi, yang merupakan tahap akhir pembentukan dinding sel.

Penisilin terbagi atas beberapa kelompok :

- Spektrum sempit, sensitif terhadap penisilinase

Yang termasuk golongan ini : penisilin G, penisilin G prokain, benzatin penisilin

dan penisilin V. Efektif terhadap kokus gram positif, kuman anaerob, Neisseria,

tidak efektif terhadap anaerob gram negatif. Obat golongan ini dirusak oleh enzim

beta-laktamase.

Farmakokinetik : Penisilin G diberikan secara parenteral karena jika oral akan

dirusak oleh asam lambung, diberikan intravena (IV). Penisilin G prokain

diberikan parenteral intramuskular (IM). Penisilin mencapai kadar puncak dalam

waktu 15-30 menit. Penisilin V diberikan secara oral, distribusinya luas termasuk

mata, sendi, dan merupakan obat pilihan utama (OPU) untuk infeksi Stretococcus,

N. meningiditis, B. anthracis, C. tetani, C. perfringens, dan kuman sifilis yang

tidak resisten.

- Penisilin antistreptokokus, golongan ini biasanya resisten beta laktamase

Merupakan penisilin semisintetik yang digunakan untuk infeksi streptokokus

penghasil beta-laktamase. Termasuk golongan ini adalah : metisilin, oksasilin,

nafsilin (parenteral) dan kloksasilin, dikloksasilin (oral). Golongan ini dapat

mencegah berikatan dengan penisilinase sehingga merupakan OPU untuk kuman

penghasil penisilinase.

- Spektrum luas, aminopenisilin

133

Termasuk golongan ini : ampisilin dan amoksisilin. Efektif terhadap beberapa

kuman gram positif dan gram negatif, namun dapat dirusak oleh penisilinase.

Amoksisilin lebih stabil dibanding ampisilin pada pemberian oral. asam

klavulanat sering dikombinasikan dengan amoksisilin yang banyak digunakan

untuk penatalaksanaan beberapa penyakit periodontal. Amoksisilin merupakan

obat pilihan pada profilaksis terjadinya bakterial endokarditis sebelum tindakan

dalam kedokteran gigi.

- Penisilin antipseudomonas

Termasuk golongan ini : karbenislin, tikarsilin, sulbenisilin, piperasilin,

mezlosilin. Efektif terhadap pseudomonas dan proteus indol positif. Obat-obat ini

tidak efektif untuk kuman gram positif dan rentan penisilinase. Karbenisilin dan

tikarsilin merupakan obat pilihan utama untuk infeksi yang disebabkan P.

aeruginosa.

Efek samping dan efek toksik : berupa reaksi hipersensitivitas yaitu kemerahan kulit,

urtikaria, syok anafilaktik, anemia hemolitik, asma dan nefritis interstisial. Dapat

terjadi resisitensi silang.

Reaksi toksik tergantung besar dosis, dapat berupa :

- Kejang

- Gangguan keseimbangan Na-K

- Iritasi lokal pada tempat suntikan

- Penyakit serum dapat terjadi antara 2-12 hari penggunaan dengan gejala demam,

tidak enak badan, sakit sendi, angiodema, eritema nodosa, dermatitis eksfoliatif,

sindrom steven-johnson.

Indikasi :

- Penisilin G untuk infeksi kuman gram positif serta beberapa gram negatif

misalnya : pneumokokus, karena infeksi Streptococcus.

- Infeksi Staph. aureus di kulit, saluran napas, luka yang banyak menghasilkan

penisilinase, penggunaan obat ini sekarang menurun

- Gonokokus, makin banyak kuman yang resisten terhadap penisilin sehingga

diperlukan dosis yang besar

- Penyakit sifilis diobati dengan penisilin G atau benzatin penisilin

134

- Infeksi oleh H. Influenza, bisa menggunakan penisilin G, tetapi yang terbaik

ampisilin atau kloramfenikol

- Penisilin dapat digunakan pada infeksi karena aktinomikosis, antraks, difteri,

klostridia, fusospiroketa

Kontraindikasi : pasien yang alergi penisilin karena dapat mengakibatkan reaksi

anafilaksis yang mengakibatkan kematian

B. Golongan Sefalosporin

Mekanisme kerja : bekerja dengan menghambat sintesis peptidoglikan dan

mengaktifkan enzim autolisis pada dinding sel bakteri (hampir sama dengan

mekanisme kerja penisilin). Efek samping juga sama seperti golongan penisilin.

Sefalosporin digolongkan menurut sejarah penemuannya :

- Sefalosporin generasi pertama

Spektrum antibakteri sempit dan efektif untuk kuman gram positif penghasil

betalaktamase. Termasuk golongan ini : sefazolin, sefalotin, sefadrin (IM/IV),

sefaleksin, sefadroksil (oral). Sefazolin untuk profilaksis prabedah. Sefaleksin dan

sefadroksil untuk infeksi saluran kemih.

- Sefalosporin generasi kedua

Termasuk golongan ini : sefaklor dan sefuroksim aksetil (oral), sefamandol,

sefoksitin, sefotetan, sefonisid, seforanid, sefmetazol (IM/IV). Daya antibakteri

lebih kuat terhadap kuman gram negatif

- Sefalosporin generasi ketiga

Termasuk golongan ini : Sefiksim (oral), sefotaksim, seftriakson, seftizoksim,

sefoperazon, moksalaktam, sefazidim (IM/IV). Efektif dan daya antibakterinya

baik terhadap bakteri gram negatif

Farmakokinetik : Kebanyakan sefalosporin dapat dirusak asam lambung sehingga

harus diberikan parenteral, kecuali sefaleksin, sefradin, sefadroksil, sefaklor, sefiksim

yang dapat diberikan oral. Hanya generasi III yang dapat mencapai kadar terapi pada

meningitis. Obat ini dapat melewati sawar uri, ASI, di ekskresi ginjal.

Indikasi :

- Generasi I dan II bukan merupakan obat pilihan. Bisa untuk infeksi jaringan lunak

dan saluran napas bawah

135

- Generasi III untuk terapi meningitis anak yang disebabkan kuman gram ngatif dan

Diplococcus pneumoniae, H. influenza. Pada neonatus dengan infeksi gram

negatif.

- Sefalosporin digunakan sebagai pemilihan alternatif pada infeksi jaringan lunak

(abses, cellulitis, periocoronitis), osteomyelitis, yang mempunyai infeksi campur

dan tidak sensitif dengan penisilin, tindakan profilaksis bagi yang alergi penisilin.

C. Golongan Aminoglikosida

Aminoglikosida dihasilkan oleh Streptomyces dan Microsporum. Efektif terhadap

banyak kuman gram negatif. Obat ini inaktif terhadap streptokokus dan kuman

anaerob. Golongan aminoglikosida mempunyai sifat yang hampir sama : 1. Peroral

tidak diserap, 2. Diekskresi melalui ginjal, 3. Nefrotoksik dan ototoksik.

Termasuk golongan ini adalah : streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin,

tobramisin, amikasin, netilmisin.

Spektrum : aktif terutama terhadap kuman gram negatif.

Mekanisme kerja : bersifat bakterisidal karena aminoglikosida menghambat sintesis

protein yang ireversible sehingga kuman mati.

Farmakokinetik : tidak diserap pada pemberian oral. Neomisin digunakan untuk

infeksi intralumen usus. Distribusi ke seluruh tubuh secara merata, kecuali SSP dan

mata, diekskresi melalui urin dalam bentuk utuh.

Efek samping dan efek toksik : toksik terhadap N. VII (pendengaran), toksik terhadap

ginjal dengan manifestasi proteinuria, azotemia, serta pemberian obat ini harus

dilakukan hati-hati kepada mereka dengan riwayat alergi.

Indikasi :

- Gentamisin : pada infeksi berat yang disebabkan kuman Ps. aeruginosa, A.

Aerogenes, E. Coli, Proteus, K. Pneumoniae, S. Aureus. Tidak untuk infeksi

ringan

- Kanamisin : untuk infeksi gram negatif

- Streptomisin : untuk infeksi kuman tuberkulosis, brucellossis, pes, tularemia

- Neomisin : oral untuk diare, topikal dikombinasi basitrasin

- Amikasin : untuk kuman gram negatif yang sudah resisten terhadap gentamisin

D. Golongan Tetrasiklin

136

Mekanisme kerja : menghambat sintesis protein dengan mengganggu proses translasi,

berikatan dengan ribosom kuman dan selanjutnya menghambat pembentukan rantai

peptida.

Termasuk golongan ini : tetrasiklin, klortetrasiklin, oksitetrasiklin, demeklosiklin,

doksisiklin dan minosiklin.

Spektrum : luas, yaitu gram positif dan gram negatif, mikroplasma. Sifatnya

bakteriostatik

Farmakokinetik : pemberian oral baik, tetapi tidak sempurna. Absorpsi terganggu oleh

makanan yang mengandung ion kalsium dan juga antasida. Tetrasiklin terkonsentrasi

di hati, ginjal, limpa, kulit. Terikat pada jaringan yang terkalsifikasi

Indikasi : tetrasiklin lebih baik tidak digunakan pada infeksi yang tidak berhubungan

dengan penyakit periodontal. Keberhasilan pemakaian antibiotik ini adalah karena

kemampuannya untuk berkonsentrasu pada gingival crevicular fluid.

Efek samping : keluhan saluran cerna, efek hepatotoksik yang fatal, efek fototoksik

dapat timbul, gangguan keseimbangan berup pusing, mual, muntah, serta dapat terjadi

superinfeksi

Kontraindikasi : bagi pada penderita gangguan ginjal kecuali doksisiklin, bagi ibu

hamil, menyusui dan anak yang sedang dalam pertumbuhan.

E. Golongan Kloramfenikol

Efektif terhadap berbagai kuman gram positif dan gram negatif tetapi karena efek

toksik nya, penggunaan dibatasi hanya untuk infeksi yang mengancam hidup.

Mekanisme kerja : menghambat sintesis protein

Spektrum antibakteri : luas, tidak hanya terhadap kuman tetapi juga ricketsia, sifatnya

bakteriostatik, tergantung mikroorganisme.

Farmakokinetik : dapat diberikan oral atau suntikan, absorpsi pada pemberian oral

sempurna krna sifatnya lipofilik. Metabolisme di hati dan ekskresi di ginjal

Indikasi : obat pilihan utama untuk demam tifoid, digunakan pada infeksi ricketsia,

abses otak dan berbagai infeksi kuman anaerob. Pada pasien alergi penisilin,

merupakan obat pilihan utama pada infeksi karena H. influenza, S. pneumonia, N.

meningitidis.

Efek samping : anemia aplastik, sindroma gray (efek toksik pada bayi). Gejalanya:

perut kembung, muntah, sianotik, hipotermia, kolaps, kematian

F. Eritromisin (Golongan Makrolid)

137

Efektif untuk kuman gram negatif. Penggunaannya untuk alternatif jika penisilin tidak

dapat digunakan.

Mekanisme kerja : menghambat sintesis protein, bersifat bakteriostatik, kadang

bakterisidal tergantung kadar dan jenis kumannya.

Farmakokinetik : eritromisin dibuat dalam bentuk tablet bersalut atau dalam bentuk

garam esternya, yaitu stearat atau etilsuksinat agar tidak dirusak asam lambung.

Ekskresinya melalui hati

Indikasi : infeksi Mycoplasma pneumoniae, pada penderita difteri sebagai alternatif

penisilin, pada infeksi chlamydia sebagai alternatif tetrasiklin, pada infeksi chlamydia

sebagai obat pilihan utama, untuk pasien alergi atau resisten terhadap penisilin

Efek samping : gangguan saluran cerna, hepatitis kolestatik, ototoksik, ketulian

sementara

Kontraindikasi : Pasien dengan gangguan hati

Interaksi : eritromisin menghambat metabolisme teofilin dan sikloserin di hati yang

dapat meningkatkan efek toksik obat-obat ini.

G. Klindamisin

Mekanisme kerja : sama seperti eritromisin

Spektrum antibakteri : terhadap infeksi yang disebabkan kuman yag peka terhadap

eritromisin dan kuman anaerobik

Farmakokinetik : diabsorbsi dengan secara peroral, didistribusi ke seluruh jaringan

kecuali cairan seresbrospinal. Metabolisme pada hati dan ekskresi melalui empedu

dan urin.

Indikasi : infeksi saluran cerna oleh kuman anaerobik, infeksi B. fragilis, untuk

infeksi campur gram positif dan infeksi gram negatif, digunakan pada profilaksis

endokarditis bagi yang alergi penisilin

Efek samping : ruam kulit, kolitis pseudomembranosa yang dapat fatal karena

berkembangnya kuman Clostridium difficile yang menghasilkan toksin

H. Golongan Flourokuinolon

Yang pertama kali digunakan adalah norfloksasin.

Mekanisme kerja : merusak kode genetik atau protein sintesis kuman. Target nya

adalah enzim/ribosom kuman , RNA polimerase kuman, DNA-girase dan dihidrofolat

reduktase yang unik untuk kuman, tetapi mirip dengan yang ada pada hospes.

Golongan ini toksisitas selektif nya kurang dibanding antibiotik yang bekerja terhadap

dinding sel.

138

Termasuk dalam golongan ini : siprofloksasin, enoksasin, lomefloksasin, norfloksasin,

ofloksasin, grepafloksasin, levofloksasin, moxilofloksasin, sparfloksasin

Efek samping : sakit kepala, pusing, gangguan saluran cerna, kemerahan kulit

Kontraindikasi : anak dibawah usia 18 tahun dan wanita hamil

2.13. Obat Antihipertensi17

Obat-obat yang digunakan pada terapi hipertensi :

1. Golongan diuretik

2. Antagonis adrenoseptor β dan α

3. Penghambat ACE

4. Obat penghambat kanal Ca

5. Lain-lain :

- Simpatomimetik yang bekerja sentral – metildopa, klonidin, guanabenz asetat

- Penghambat saraf adrenergik

- Obat yang menghambat katekolamin

- Vasodilator

A. Antagonis Adrenoreseptor

1. Antagonis adrenoreseptor-β

- Propranolol

Bekerja mengantagonis kerja katekolamin di reseptor β1 dan β2,

menimbulkan peningkatan resistensi perifer, memblok adrenoreseptor β-

adrenoreseptor di SSP meningkatkan aktivitas simpatis dan menurunkan

pengeluaran renin dari ginjal

Indikasi : hipertensi ringan dan sedang

- Nadolol, timolol, carteolol, pindolol, penbutolol

Mekanisme kerja nya sama dengan propranolol. Memblok

adrenoreseptor β1 dan β2.

- Metoprolol, atenolol, asebutolol

Adrenoreseptor β1 yang selektif

2. Antagonis adrenoreseptor-α

- Prazosin, Terazosin, doxazosin

139

Antagonis α1 yang selektif untuk hipertensi terutama bila diikuti

penyakit jantung koroner (PJK). Biasa diberikan bersama diuretik dan

antagonis adrenoreseptor-β

- Fentolamin, fenoksibenzamin

Antagonis adrenoreseptor α1 dan α2. Untuk hipertensi dengan

feokromositoma.

- Labetalol

Antagonis adrenoreseptor α dan β.

B. Penghambat Enzim Pengkonversi Angiotensin (ACE-I)

- Penghambat ACE

Kaptopril, enalapril, lisinopril, ramipril untuk hipertensi ringan sampai

berat. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan menurunkan resistensi

perifer total melalui penghambatan kerja enzim yang mengubah angiotensin

I menjadi angiotensin II. Penghambat ACE merupakan vasodilator arteri

dan vena. Penghambatan angiotensin II akan memperbaiki hipertrofi, suatu

keadaan yang sering terlihat pada penderita hipertensi dan gagal jantung.

Indikasi : pasien dewasa dan dewasa muda yang hipertensi, pada pasien

gagal jantung dan menurunkan risiko “stroke”, pada pasien diabetes

nefropati dapat memperlambat memburuknya penyakit ginjal.

Efek samping : batuk kering karena akumulasi bradikinin, edema di bibir

dan lidah, timbul kemerahan kulit

Kontraindikasi : kehamilan trimester 2 dan 3, pasien stenosis ginjal bilateral

- Penghambat reseptor angiotensin (ARB)

Losartan, Candesartan, eprosartan, irbesartan, olmesartan, telmisartan dan

valsartan

Mekanisme kerja : mengantagonis kerja angiotensin II di reseptor yang

mengakibatkan vasodilatasi, penurunan aldosteron dan hormon ADH

Indikasi : sama seperti penghambat ACE

Efek samping : hiperkalemia

Kontraindikasi : kehamilan

C. Penghambat Kanal Kalsium

Golongan dihidropiridin dan Golongan non-dihidropiridin

140

Verapamil dan Diltiazem spesifik terhadap miokard, amlodipin, felodipin,

isradipin, nicardipin, nifedipin, nimodipin, nisoldipin adalah dihidropiridin

yang bekerja pada pembuluh darah.

Mekanisme kerja : menghambat masuknya Ca++ ke otot polos dan jantung,

menurunkan tekanan darah dengan mengurangi resistensi perifer

Indikasi : penderita hipertensi ringan sampai sedang terutama pada pasien

kadar renin rendah, untuk angina, profilaksis migren, kelahiran preterm. Bila

dikombinasi dengan antagonis adrenoseptor β maka tekanan darah akan lebih

turun

Efek samping : bradikardia (verapamil dan diltiazem), edema perifer,

hipotensi, pusing, vasodilatasi daerah leher, sakit kepala (dihidropiridin) dan

refluks esofagitis

D. Obat-Obat Lain

- Adrenolitik sentral

Klonidin : α2-agonis yang merangsang adrenoreseptor α2 di SSP maupun

perifer. Untuk pasien hipertensi ringan-sedang. Sering ditambahkan pada

pemberian diuretik. Obat lain yang serupa yaitu guanabenz asetat dan

guanfasin. Efek samping : mengantuk, mulut kering, konstipasi, kemerahan

kulit, sakit kepala, ejakulasi. Pada pasien gagal ginjal, dosis harus

disesuaikan.

Metildopa : mengaktifkan penghambatan adrenoreseptor α prasinap dan

reseptor α2 pascasinaps di SSP dan menurunkan pengeluaran simpatis

sehingga menurunkan resistensi perifer dan tekanan pada posisi berdiri dan

berbaring. Untuk hipertensi ringan-sedang. Ditambahkan pada penggunaan

diuretik. Efek samping : mengantuk, mulut kering, gangguan saluran cerna,

gangguan seksual.

- Penghambat saraf adrenergik

Guanetidin monosulfat dan guanadrel sulfat : sekarang jarang digunakan.

Reserpin : membuang pengeluaran NE sebagai respons impuls saraf melalui

pencegahan ambilan vesikel. Efek samping : gangguan saluran cerna, depresi

jika dosis berlebih. Kontraindikasi : pasien riwayat depresi

- Obat yang menghambat katekolamin

Metirosin – α metiltirosin, pargilin, trimetafan

- Vasodilator

141

Obat yang menimbulkan relaksasi otot polos, meningkatkan resistensi

perifer. Penggunaannya menurun dikarenakan adanya obat lain (penghambat

ACE, penghambat kanal kalsium) yang lebih efektif dengan efek samping

minimal. Obat ini yaitu hidralazin, minoksidil, Na-nitroprusid, diazoxide,

tolazolin

Krisis Hipertensi : keadaan dimana tiba-tiba terjadi hipertensi berat, biasanya pada

pasien dengan hipertensi tidak terkontrol atau respons suatu penyakit akit. Harus

segera diatasi dengan pemberian obat parenteral untuk menurunkan tekanan darah

dengan cepat.

Obat-obat yang sering digunakan bersama obat antihipertensi

Penyakit

penyerta

Obat yang

digunakan

bersama

antihipertensi

Angina

pektoris

Diuretik B-blocker Penghambat

ACE

Penghambat

kanal kalsium

Diabetes

insulin

dependen

Penghambat

ACE

Penghambat

kanal kalsium

Hiperlipidemia Penghambat

ACE

Penghambat

kanal kalsium

Gagal jantung

kongestif

Diuretik Penghambat

ACE

Hindari

verapamil

Riwayat infark

miokard

Diuretik B-blocker Penghambat

ACE

Penghambat

kanal kalsium

Penyakit ginjal

kronik

Diuretik B-blocker Penghambat

ACE

Penghambat

kanal kalsium

Asma, penyakit

paru kronik

diuretik Penghambat

ACE

Penghambat

kanal kalsium

Catatan :

Huruf tebal :obat yang biasa digunakan

142

Huruf biasa : obat alternatif

2.14. Reaksi yang Tidak Diinginkan dari Obat17

Reaksi yang tidak diinginkan (adverse drug reaction / ADR) dapat diprediksi dari suatu obat.

Obat akan memperlihatkan beberapa efek :

- Efek terapi : efek yang secara klinis kita inginkan

- Reaksi toksik : efek farmakologi suatu obat yang berlebihan pada organ target

- Efek samping : efek yang tidak diinginkan berhubungan dengan dosis terapi

- Alergi obat : reaksi terhadap obat yang merupakan respons imunologi dapat berupa

kemerahan atau reaksi anafilaksis

- Reaksi idiosinkrasi : respon yang abnormal terhadap obat yang bersifat genetik

ADR yang sering terjadi : depresi pernapasan, syok anafilaksis, pusing, konstipasi, hipertensi,

hipotensi, kandidiasis oral, kemerahan, mulut kering, mual, mengantuk, demam, stomatitis

ADR yang terjadi pada penggunaan obat-obat dalam bidang kedokteran gigi :

- Analgesik : dari aspirin dapat menimbulkan iritasi saluran cerna, peningkatan waktu

pendarahan, reaksi alergi, timbul serangan asma (bagi penderita asma yang sensitif

aspirin). NSAID, dapat menimbulkan iritasi saluran cerna, gangguan waktu pendarahan.

Contohnya ibuprofen bronkokonstriksi, asam mefenamat efek seperti aspirin dan

diare. Parasetamol merupakan obat analgesik yang aman namun jika berlebih dapat

menimbulkan reaksi toksik pada hepar

- Anestesi lokal : pusing, sakit kepala, muscle twitchings di daerah muka, reaksi alergi

berupa syok anafilaktik (asma, rinitis, angio-oedema, skin rashes). Vasokonstriktor tidak

diberikan kepada penyakit jantung berat dan hipertensi tidak terkontrol.

- Kortikosteroid : lebih mudah terkena infeksi

Efek yang tidak diharapkan yang bermanifestasi dalam rongga mulut :

1. Mukosa mulut, lidah dan gigi :

- Reaksi hipersensitifitas (reaksi anafilaksis karena penisilin, lidokain, aspirin dan

fixed drug eruption yaitu stomatitis medikamentosa karna obat sistemik).

- Erythema multiforme (steven-johnson syndrome) : bulla, vesikel, papul, makula,

wheals pada membran mukosa karena sulfonamide, penisilin, rifampisin, obat

kumur beriodine, karbamazepine

143

- Ulserasi mulut : obat yang menimbulkan iritasi lokal seperti aspirin, clove oil,

kloroform, menthol, fenol, camphor, kokain, obat antineoplastik sistemik.

- Perubahan warna pada mukosa mulut dan gigi : Obat antimalaria kloroquin

menimbulkan pigmentasi keabuan pada palatum, pigmentasi pada lidah karena

penggunaan heroin secara hisap, obat kumur khlorhexidine menimbulkan stain

pada lidah, gigi dan tambalan, gangguan rasa

2. Jaringan periodontal :

Obat-obat sistemik pada umumnya menimbulkan hyperplasia gingival atau

pertumbuhan yang berlebihan. Contohnya : fenetoin, siklosporin, nifedipin

3. Struktur gigi :

Obat-obat sistemik dan yang mengandung gula dapat menyebabkan xerostomia dan

karies.

4. Kelenjar saliva :

- xerostomia : obat-obat antihipertensi seperti antihipertensi penghambat ganglion

(pentolinium, mecamylamine, pempidin), obat yang berkompetisi dengan

asetilkolin, antihipertensi klonidine, obat antihistamin (H1 blocker), obat

tetrasiklik antidepresan, antiparkinson, obat antineoplastik

- Ptyalism : obat pilokarpin, neostigmin, ketamin (untuk anestesi IV) menyebabkan

hipersalivasi, obat lepra, anthelmintik

- Pembesaran dan sakit pada kelenjar saliva : obat antiinflamasi derivate pirazolone

dapat menimbulkan pembesaran parotis dan atau pembesaran kelenjar

submandibula, nyeri pada kelenjar parotis dapat disebabkan obat antihipertensi

klonidine, pembesaran parotis dapat disebabkan obat kumur klorheksidine.

5. Celah bibir dan palatum :

Dapat terjadi pada anak yang ibunya menggunakan obat antineoplastik dan hormon.

Obat teratogenik lain kortikosteroid, diazepam, antikonvulsan, isotretinoin,

sulphasaiazine

6. Gangguan rasa dan halitosis :

Contohnya penisilinamine adalah obat wilson’s disease, obat antidiabetik biguanid

metformin dan metronidazole

7. Obat yang memicu infeksi mulut :

Beberapa obat sistemik, kortikosteroid, antimikroba (spektrum luas), antimetabolit

(topikal flourourasil), obat immunosupresif

144

2.15. Penulisan Resep17

Resep adalah pesan/permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada

apoteker pengelola apotik untuk menyediakan obat dan menyerahkannya pada pasien.

Resep harus benar dan rasional. Penulisan resep rasional :

- Tegakkan diagnosis spesifik

- Pertimbangkan dampak patofisiologi dari diagnosis

- Tentukan objektif spesifik pengobatan

- Tentukan obat pilihan utama

- Tentukan rejimen dosis yang tepat

- Rencanakan pemantauan kerja obat dan tentukan hasil akhir terpi

- Rencanakan program pendidikan pasien

Tata Cara Penulisan Resep

Resep yang lengkap terdiri dari :

- Nama, alamat, nomor surat izin praktek dokter

- Tanggal penulisan resep

- Nama obat/komponen obat

- Tanda R/ pada bagian kiri resep

- Tanda tangan / paraf dokter penulis resep

- Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang obatnya melebihi dosis maksimum

Resep dibagi menjadi 4 bagian :

- Inscriptio : terdiri dari identitas dokter, tempat dan tanggal penulisan resep, tanda R/

- Praescriptio : bagian utama resep (nama obat, dosis, bentuk sediaan obat)

- Signatura : cara pakai obat, nama pasien, umur

- Subscriptio : tanda tangan/paraf dokter

145

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

- Pasien wanita, 42 th pernah mengalami stroke ringan dan masih mengonsumsi obat-obatan

namun ingin dilakukan insisi fistula dan ekstraksi gigi 15. Maka dari itu, sebelum tindakan

harus dikonsultasikan dahulu kepada dokter penyakit dalamnya untuk menghentikan obat 5

hari sebelum tindakan. Gigi 15 mengalami infeksi akibat penjalaran karies, maka berikan

antibiotik sebelum tindakan ektraksi.

- Pasien anak, 5,5 th mengalami perforasi radiks pada gigi 61 yang jika dibiarkan dapat

menimbulkan infeksi. Maka radiks tersebut harus diekstraksi. Sebelum dilakukan ekstraksi,

pasien diberi anastesi topikal kemudian diekstraksi menggunakan forceps radiks untuk gigi

sulung. Setelah itu, pasien diberi resep obat antiinflamasi.

146

Daftar Pustaka

1. Hupp JR, Ellis Edward, Tucker MR. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery,

5th ed. Missouri: Mosby Elsevier. 2008.

2. Cawson RA, Odell EW. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine,

7th ed. Churchill Livingstone. 2002

3. White and Pharoah. 2000. Oral Radiology: principles and Interpretations. 5th edition.

London: Mosby.

4. Whaites, Eric. 2003. Essentials of Dental Radiography and Radiology. Third Edition.

USA: Elsevier.

5. Pharoah MJ, White SC. Oral Radiology: Principles and Interpretation. 5th ed.

St.Louis: Mosby; 2004

6. Kaplan N, Flynn J. Kaplan's clinical hypertension. Philadelphia: Lippincott Williams

& Wilkins; 2006.

7. Andersson L, Kahnberg K, Pogrel M. Oral and Maxillofacial Surgery. Chichester,

West Sussex: Wiley-Blackwell; 2010.

8. Checkdent.com. What is a Fistula? | Dental Video [Internet]. 2016 [cited 11 February

2016]. Available from: http://www.checkdent.com/en/videos/what-is-a-fistula-

60.html

9. White S, Pharoah M. Oral radiology. St. Louis, Mo.: Mosby/Elsevier; 2009.

10. Howe G, Whitehead F. Local anaesthesia in dentistry. London: Wright; 1990.

11. Miloro M, Peterson L. Peterson's principles of oral and maxillofacial surgery. Shelton,

CT: People's Medical Pub. House-USA; 2012.

12. Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal

Bedah. EGC : Jakarta

13. Academia.edu

14. Khurana I. Textbook of Human Physiology for Dental Students. London: Elsevier

Health Sciences APAC; 2014.

15. Dewi F, Sri Angky S. Azalia A. Farmakologi Kedokteran Gigi, Badan Penerbit FKUI

2012

16. Committee on Identifying Priority Areas for Quality Improvement, Karen Adams,

Janet M. Corrigan (2003). Priority Areas for National Action: Transforming Health

Care Quality. National Academies Press.

17. Dewi F, Sri Angky S. Azalia A. Farmakologi Kedokteran Gigi, Badan Penerbit FKUI

2012

18. Committee on Identifying Priority Areas for Quality Improvement, Karen Adams,

Janet M. Corrigan (2003). Priority Areas for National Action: Transforming Health

Care Quality. National Academies Press.

147

19. Suniarti D.F, Seokanto S.A, Arif A. Farmakologi Kedokteran Gigi. Jakarta : Badan

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2012. p.51-71; p. 113-20; p.131-

41

20. Morris P. J, Hill C. M. General Anaesthesia and sedation in Dentistry. 2nd ed.

Cambridge : Butterworth-Heinemann Ltd.;1991. p.1-13

21. Syarif A., Setiawati A., Muchtar A. Farmakologi dan Terapi. 2nd ed. Jakarta : Badan

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;1980. p. 265-72


Recommended