Date post: | 28-Jan-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
PENYELESAIAN SENGKETA PENCEMARAN LINTAS BATAS AKIBAT
KEBOCORAN SUMUR MINYAK MONTARA AUSTRALIA MENURUT
KONVENSI HUKUM LAUT 1982
ARTIKEL ILMIAH
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-syarat
Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan
Dalam Ilmu Hukum
Oleh:
ARLY SUMANTO
NIM. 0810113023
Program Konsentrasi Hukum Internasional
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2013
i
LEMBAR PERSETUJUAN
PENYELESAIAN SENGKETA PENCEMARAN LINTAS BATAS
AKIBAT KEBOCORAN SUMUR MINYAK MONTARA AUSTRALIA
MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982
Oleh:
ARLY SUMANTO
NIM. 0810113023
Disetujui di Malang, 05 Juni 2013
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Nurdin, S.H. M. HUM Heru Prijanto, S.H. M.H NIP. 19561207 198601 1 001 NIP. 19560202 19850 1 003
Mengetahui,
Ketua Bagian Hukum Internasional
Nurdin, SH, MHum NIP: 19561207 198601 1 001
ii
RINGKASAN
ARLY SUMANTO, Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, Februari 2013, Penyelesaian Pencemaran Lintas Batas Akibat
Kebocoran Sumur Minyak Montara Australia Menurut Konvensi Hukum Laut
1982, Nurdin, S.H. M. HUM; Heru Prijanto, S.H. M.H.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membahas apakah yang melatarbelakangi
sengketa pencemaran lintas batas antara Indonesia dengan Australia di Laut Timor.
Hal ini dilatarbelakangi munculnya berita di kalangan masyarakat bahwa konflik
dipicu karena kedua negara memiliki alasan serta tindakan masing-masing dalam
penanggulangan pencemaran lintas batas yang terjadi, tanpa memperhatika dampak
terhadap lingkungan maupun masyarakat disekitar lingkungan tempat pencemaran
terjadi.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, metode pendekatan yang penulis gunakan
adalah yuridis normatifm mengkaji dan menganalisis pencemaran lintas batas
lingkungan laut yang dilakukan australia terhadap lingkungan laut Indonesia dalam
perspektif hukum internasional. Permasalahan hukum yang menjadi objek kajian
dianalisis berdasarkan pada sumber-sumber berupa peraturan-peraturan yang
berlaku, prinsip-prinsip hukum, teori-teori hukum dan doktrin- doktrin para sarjana
hukum terkemuka. Penulis mengumpulkan data primer dari Konvensi Internasional,
Undang-Undang Nasional masing-masing negara. Sedangkan data sekunder penulis
peroleh menggunakan studi kepustakaan atau literatur, metode penelusuran situs di
internet serta metode dokumenter. Analisa data deskriptif analitis digunakan untuk
menganalisa berbagai peraturan internasional di bidang perlindungan terhadap
lingkungan khususnya laut dari pencemaran.
Hasil yang penulis peroleh adalah bahwa sengketa pencemaran lintas batas antara
Indonesia dengan Australia yang terjadi disekitar laut Timor belum terselesaikan
hingga saat ini, dikarenakan setiap negara tidak dapat memberikan pembuktian yang
kuat di mata hukum, sehingga menyebabkan sulitnya melakukan penentuan
iii
penggunaan hukum yang akan diberlakukan terhadap kasus pencemaran lintas batas
tersebut.
Menyikapi fakta-fakta tersebut di atas, penulis memiliki beberapa saran. Pertama,
Pemerintah Indonesia dengan Australia sepakat melakukan penelitian langsung ke
lapangan untuk mendapatkan pembuktian yang valid terkait pencemaran serta dalam
hal penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh kedua negara saja tanpa memerlukan
bantuan pihak ketiga.
Kata Kunci : Pencemaran Lintas Batas, Kilang Minyak Montara Australia
iv
SUMMARY
Arly Sumanto, International Law, Faculty of Law, Brawijaya University,
February 2013, Resolution on Transboundary Pollution Due to Australia's
Montara Oil Well Leaks According to Convention on the Law of the Sea 1982,
Nurdin, SH M. HUM; Heru Prijanto, S.H. M.H.
In writing this essay, the author discusses whether the background of transboundary
pollution dispute between Indonesia and Australia in the Timor Sea. This motivated
the emergence of news among the public that triggered the conflict as both countries
have a reason and each action in the prevention of transboundary pollution occurs,
without memperhatika impact on the environment and communities around the
neighborhood where pollution occurs.
To answer these problems, the approach that I use is normatifm judicial review and
analyze transboundary pollution marine environment is carried australia Indonesian
marine environment in the perspective of international law. Legal issues to be object
of study was analyzed based on sources such as applicable regulations, principles of
law, legal theories and doctrines of the leading legal scholars. Authors collected
primary data from the International Convention, the National Law of each state.
While the authors of secondary data obtained using literature studies or literature,
methods of search sites on the internet as well as the methods of documentary.
Descriptive data analysis is used to analyze various international regulations in the
field of protection of the marine environment from pollution in particular.
The results obtained are writers that transboundary pollution dispute between
Indonesia and Australia that occur around the Timor Sea have not been resolved
until now, because every country can not provide strong evidence in the eyes of the
law, thus making it difficult to carry out the determination of the use of the law to be
applied to the case transboundary pollution.
Responding to the facts mentioned above, the author has some suggestions. First, the
Government of Indonesia and Australia agreed to direct research into the field to
obtain valid evidence related pollution and in terms of dispute resolution can be
carried out by both countries without requiring third-party assistance.
1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Lingkungan hidup merupakan salah satu komponen penting dalam kehidupan
manusia. Selain menjadi tempat tinggal, lingkungan hidup juga menjadi penyedia
sumber daya alam yang menjadi pemenuh kebutuhan manusia. 1Salah satu bagian
dari lingkungan hidup tersebut adalah laut. Laut memiliki peran besar dalam
penyediaan sumber daya alam yang tidak terbatas bagi manusia. Pengelolaan sumber
daya di laut memberikan manfaat yang besar bagi manusia. Namun dalam
pengelolaan lingkungan laut tersebut, tentunya memiliki dampak terhadap
lingkungan laut itu sendiri.
Untuk bisa tetap mempertahankan dan melestarikan sumber daya tersebut,
maka salah satunya adalah dengan memberikan perhatian dalam perlindungan dan
pelestarian wilayah lingkungan laut. Oleh karena itu maka dibutuhkan suatu alat
yang dapat mengontrol pihak yang melakukan pengelolaan lingkungan laut. Antara
lain adalah dengan diadakannya suatu perangkat hukum yang isinya mengatur dan
membantu dalam pelestarian lingkungan laut tersebut.
Salah satu masalah terbesar dalam pelestarian lingkungan laut adalah adanya
pencemaran. Pencemaran lingkungan laut semakin banyak mendapat perhatian dari
mata dunia internasional.2 Hal tersebut disebabkan oleh karena sekarang ini dampak
yang diakibatkan oleh aktifitas suatu Negara dalam melakukan pengelolaan laut
mulai mengganggu ketersediaan sumber daya alam tersebut baik bagi Negara pantai
itu sendiri maupun bagi Negara – Negara lain dalam hal ini adalah Negara tetangga
yang bersinggungan garis pantainya.
Pada awalnya pencemaran yang sedikit mungkin tidak akan terlalu menjadi
masalah bagi Negara pantai maupun Negara lain, hal ini dikarenakan laut masih
memiliki kemampuan untuk membersihkan dirinya sendiri, dengan tetap
1 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 4.
2 Hal ini dimulai dari peluncuran kapal pengangkut minyak pertama Gluckauf pada 1885, serta terjadinya pencemaran laut terbesar yang pernah ada ketika tanker Torrey Canyon yang kandas di pantai selatan Inggris menumpahkan 35 juta gallons crudel oil di barat daya perairan inggris pada tahun 1967.
2
mempertahankan fungsi dari laut itu sendiri. Hanya saja semakin dewasa ini seiring
dengan meningkatnya teknologi membuat pemakaian laut semakin tinggi dan
berakibat masuknya zat – zat baru ke dalam laut, ditambah zat – zat yang
sebelumnya telah ada mengakibatkan penumpukan yang membuat laut menjadi kotor
dan berkurang kualitasnya sehingga berpengaruh kepada daya guna serta fungsi dari
laut itu sendiri.
Dalam hal ini penulis mengambil salah satu kasus terjadi pada tahun 2009
lalu, dimana salah satu perairan di Indonesia tercemar oleh tumpahan minyak yang
diakibatkan oleh negara lain. Tumpahan minyak tersebut berasal dari semburan
ladang minyak di Australia yang bernama Montara. Proyek minyak lepas pantai
tersebut gagal dalam melakukan pengeboran pada 21 Agustus 2009 lalu sehingga
minyak yang berasal dari dasar laut menyembur dan mengotori perairan Australia
dan menyebar hingga melewati batas ZEE Indonesia. Pencemaran ini merupakan
masalah yang sangat penting bagi Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa pencemaran
sudah memasuki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Zona Ekonomi
Eksklusif itu sendiri diartikan sebagai suatu daerah diluar laut territorial yang
lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan
untuk mengukur lebar laut territorial, dimana Negara pantai memiliki hak - hak lebih
di dalam daerah Zona Ekonomi Eksklusif ini. Antara lain adalah Hak - hak untuk
berdaulat. Perlu dilihat disini adalah bahwa perbedaan ZEE dengan Laut Teritorial
adalah bahwa di dalam ZEE Negara pantai hanya dapat menikmati hak – hak
berdaulat, bukan kedaulatan penuh.3
Akibat dari pencemaran tersebut, maka akan ada dampak yang dirasakan oleh
Indonesia. Berbicara mengenai dampak jangka pendek dari pencemaran ini, hal
tersebut akan dirasakan langsung oleh penduduk yang daerah sekitar (nelayan NTT).
Sebagai contoh adalah usaha budidaya kelautan dan perikanan di Timor barat, Pulau
Rote, Sabu dan Sumba gagal total. Padahal hampir sebagian besar warga NTT
menggunakan wilayah laut timor sebagai mata pencahariannya. Hal ini
mengakibatkan nasib kurang lebih 17 ribu warga NTT yang menggantungkan
3 Heru Prijanto Hukum Laut Internasional
3
hidupnya dari laut terancam.4 Sedangkan dampak jangka panjang yang diakibatkan
dari pencemaran ini antara lain adalah terancam punahnya ekosistem kelautan seperti
Ikan tuna, paus, lumba-lumba, pari, hiu, dan tujuh spesies penyu laut yang berada di
daerah laut timor ini. Hal ini diperburuk dengan meluas ke perairan di sekitar
Kabupaten Rote Ndao, bahkan hingga Laut Sawu, terutama sekitar Kabupaten Sabu
Raijua dan pantai selatan Pulau Timor.5
Dalam United Nation Convention on The Law of The Sea (UNCLOS 1982)
pasal 192 mengenai pencemaran pada laut lepas dinyatakan bahwa :
“Negara – Negara diwajibkan untuk melindungi dan memelihara
lingkungan kelautan sesuai dengan aturan – aturan internasional dan
perundang – undangan nasional”.
Selain pasal tersebut, perlindungan lingkungan laut terutama dalam hal
pencemaran karena tumpahan minyak juga diatur dalam instrument hukum
internasional lainnya. Diantaranya “Konvensi Jenewa 1958” mengenai rezim laut
lepas yaitu pada pasal 24, yang berbunyi :
“Every state shall draw up regulations to prevent pollution of the seas
by the discharge oil from ships of pipelines or resulting from the exploitation
and exploration of the seabed and its subsoil taking account to the existing
treaty provisions on the subject”.
(setiap negara wajib mengadakan peraturan-peraturan untuk mencegah
pencemaran laut yang disebabkan oleh minyak yang berasal dari kapal atau
pipa laut atau yang disebabkan oleh eksplorasi dan ekploitasi dasar laut dan
tanah dibawahnya dengan memperhatiakn ketentuan-ketentuan perjanjian
internasional yang ada mengenai masalah ini).
Kemudian ada juga Deklarasi Stockholm tahun 1972 yang terdiri dari 26
asas, dimana pada asas ke 7 dikatakan bahwa :
4 http://rahmawidhiasari.blogspot.com/, “Mengkritisi Kelambatan Pemerintah dalam
Penyelesaian Pencemaran Minyak Montara”. Senin, 05 Maret 2012. Diakses pada tanggal 16 agustus 2012
5 http://indomaritimeinstitute.org/?p=274, “Pencemaran Lingkungan , Tumpahan Minyak dari Celah Timor Rusak Ekosistem Laut”. 24 Juli 2010, 2:56 am. Diakses pada tanggal 16 agustus 2012
4
“State shall take all possible steps to prevent pollution of the seas by
substance that are liable to create hazard to human healt, to harm living
resources and marine live, to damage amenities or to interfere with other
legitimate uses of the sea”.
(negara berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan guna
mencegah pencemaran laut yang membahayakan kesehatan dan kesejahteraan
manusia, sumber kekayaan hayati laut terhadap penggunaan lingkungan laut).
Namun sangat disayangkan, dikarenakan walaupun instrument yang
mengatur tentang perlindungan terhadap kelestarian lingkungan khususnya laut telah
ada dari dulu, namun dalam pelaksanaannya tetap saja tidak sepenuhnya bisa
berjalan dengan baik. Masih sering terjadi kasus pencemaran lingkungan khususnya
laut, bahkan dewasa ini pencemaran laut semakin menjamur dimana – mana baik itu
diakibatkan oleh kapal, pengeboran ataupun sampah – sampah yang dibuang
sembarangan. Sangat penting untuk mengetahui secara mendalam mengenai
bagaimanakah hukum internasional memberikan perlindungan terhadap kelestarian
lingkungan laut. Selain itu Tindakan-tindakan apakah yang seharusnya ditempuh
oleh para pihak yang terlibat dalam sengketa pencemaran lintas batas Indonesia yang
dilakukan oleh Australia. Sehingga Penulis mengambil judul “Penyelesaian
Pencemaran Lintas Batas Akibat Kebocoran Sumur Minyak Montara Australia
Menurut Konvensi Hukum Laut 1982”.
Rumusan Masalah :
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang diangkat
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana upaya – upaya yang dilakukan oleh kedua negara yang
bersangkutan dalam menyelesaikan masalah tersebut?
2. Apa kendala yang dihadapi dalam penerapan ketentuan yang diatur dalam
konvensi hukum laut 1982 terkait dengan penyelesaian pencemaran lintas
batas tersebut?
5
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif yaitu mengkaji dan
menganalisis pencemaran lintas batas lingkungan laut yang dilakukan australia
terhadap lingkungan laut Indonesia dalam perspektif hukum internasional. Penelitian
Yuridis Normatif (normatief legal) disini dimaksudkan bahwa, permasalahan hukum
yang menjadi objek kajian dianalisis berdasarkan pada sumber-sumber berupa
peraturan-peraturan yang berlaku, prinsip-prinsip hukum, teori-teori hukum dan
doktrin- doktrin para sarjana hukum terkemuka. Dilakukannya jenis penelitian
Yuridis Normatif dikarenakan sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaedah
(norm).6
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam karya ilmiah ini yaitu
pendekatan perundang-undangan/statute approach7 yaitu pendekatan yang
digunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan melakukan pengkajian
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tema sentral peneliti yakni
tinjauan penerapan doktrin Pre-emptive Military Strike sebagai perlawanan terhadap
terorisme dalam perspektif hukum internasional. Kemudian pendekatan selanjutnya
yang digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu model pendekatan Case
Approach/pendekatan kasus, dimana pendekatan dalam penelitian ini bertujuan
untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan
dalam praktik hukum.8
6 Muhamad Muhdar, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum: Sub Pokok Bahasan
Penulisan Hukum Skripsi, Balikpapan, 2011, Hal 10
7 Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang, , 2006, hal 295.
8 Ibid, hal 321.
6
PEMBAHASAN
1. Upaya-upaya yang dilakukan oleh kedua negara yang bersangkutan
dalam meyelesaikan masalah.
Masalah ini bermula dari ledakan yang terjadi di rig West Atlas pada tanggal
21 Agustus 2009, yaitu ketika sebuah platform sumur minyak Montara di Laut
Timor yang terletak sekitar 690 km arah barat Darwin mengalami kegagalan dalam
pengeboran minyak sehingga mengakibatkan ledakan yang terjadi pada salah satu
pipa penyalur minyak dari dasar laut ke permukaan. Lokasi kilang minyak tersebut
memang berada dalam yurisdiksi Australia, namun yang menjadi masalah adalah
ketika tumpahan minyak tersebut memasuki yurisdiksi negara lain yang dalam hal
ini adalah Indonesia. Ledakan kilang minyak tersebut tersebut mengakibatkan
perairan Australia Barat, Timor Leste dan Indonesia tercemar oleh minyak mentah,
dimana tumpahan minyak tersebut berlangsung selama 74 hari, hingga 3 November
2009. Tumpahan minyak tersebut menggenangi areal seluas 2500 mil persegi pada
30 Agustus 2009; kemudian pada 3 September 2009 mulai memasuki wilayah
Indonesia dengan posisi pada tanggal 29 September 2009 berada sejauh sekitar 50
mil dari batas wilayah perairan laut antara Indonesia-Australia. Sejak itulah hasil
tangkapan laut nelayan serta aktivitas ekonomi masyarakat pesisir Provinsi NTT
merosot tajam, hingga tinggal delapan persen dari hasil normal sebelum pencemaran
terjadi. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Indonesia
2 Oktober 2009 : Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) pada
tanggal membentuk posko untuk memonitor tumpahan minyak Montara
langsung ke lapangan.
6 Oktober 2009 : Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) mengirim sampel
air untuk diteliti.
15 Oktober 2009 : WWF Indonesia membuat press release tentang kasus
Montara dan mendorong Pemerintah Indonesia berkoordinasi dengan
Pemerintah Australia untuk melindungi kawasan Coral Triangle.
Oktober-November 2009 : Beberapa menteri RI (Luar Negeri,
Perhubungan, Kelautan dan Perikanan, serta Lingkungan) melakukan
7
koordinasi untuk menangani isu minyak Montara dan menunjuk Tim
Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut, yang
diketuai Freddy Numbed, untuk bernegosiasi tentang kompensasi.
11 Mel 2010 : YPTB mengirim dokumen klaim kepada Pemerintah
Australia.
15-17 Juli 2010 : Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa
mengonfirmasi bahwa Pemerintah RI akan melakukan investigasi dan
mengajukan klaim kompensasi. Tim advokasi pencemaran LautTimor
dibentuk dan dipimpin Masnellyarti Hilman dari KLH.
20 JuIi 2010 : Presiden RI mulai memberikan pernyataan kepada publik
bahwa Indonesia akan mengajukan klaim kompensasi kepada PTTEP. Staf
khusus presiden, Velix Wanggai, menyatakan bahwa tim investigasi telah
berada di NTT.
26 Agustus 2010 :
Pertemuan tim advokasi pencemaran Laut Timor dan PTTEP.
Pemerintah mengklaim kompensasi hingga Rp 22 trilyun kepada PTTEP.
28 Agustus 2010 : PTTEP menolak klaim dan tidak mengakui data ilmiah
versi Pemerintah RI.
Oktober 2010 : Pemerintah RI menyerahkan dokumen riset yang telah
diperbarui kepada PTTEP.
18 November 2010 : PTTEP kembali menolak klaim Pemerintah RI.9
Pihak Australia sendiri juga menyatakan telah mengambil tindakan dalam
menanggulangi pencemaran yang terjadi terkait dengan ledakan kilang minyak
montara tersebut. Antara lain operasi penyelamatan atau pembersihan laut dari
tumpahan minyak tersebut berlangsung, setelah lima kali percobaan kebocoran
berhasil ditutup menggunakan lumpur sebanyak 3.400 barel yang dipompakan ke
9 http://www.migas.esdm.go.id/tracking/berita-kemigasan/detil/253897/Kronologi-Tumpahan-Minyak-Montara
8
sumur minyak. Terkait dengan penganggulangan pencemaran tersebut, pemerintah
Australia menyatakan fokus pada pembatasan dampak tumpahan minyak dari sumur
minyak Montara dan akan terus memberikan informasi yang terbaru kepada pihak
berwenang di Indonesia. Prioritasnya adalah untuk meminimalisir dampak tumpahan
minyak pada lingkungan hidup yang dalam hal ini lingkungan laut, khusunya
perairan antara Indonesia dengan Australia. Bagian terbesar dari tumpahan minyak
terdapat di perairan Australia di suatu area di dekat sumur minyak Montara.
Tindakan pembersihan besar-besaran berlangsung dengan menerapkan pengurai dan
melakukan operasi pengendalian dan pemulihan dengan menggunakan boom dan
skimmer.
Australia juga menyatakan telah memonitor gerakan gumpalan-gumpalan
minyak yang telah terurai dan lapisan minyak melalui penerbangan di atas laut setiap
hari, dimana penerbangan terakhir dilakukan pada Selasa 27 Oktober. Penerbangan
tersebut mengindikasikan gumpalan-gumpalan minyak yang telah terurai dan lapisan
minyak tetap berada di ZEE Indonesia. Gumpalan minyak yang telah terurai teramati
pada 21 September, sekitar 94 kilometer sebelah tenggara Pulau Roti. Penerbangan
di atas mengindikasikan yang terdapat di ZEE Indonesia utamanya adalah lapisan
minyak, dengan kadang kala gumpalan kecil minyak yang telah terurai. Bagian
utama tumpahan minyak kini berada lebih dari 248 kilometer dari garis pantai
Indonesia.
Australia terus memonitor situasi dan selalu memberi tahu Indonesia tentang
gerakan minyak dan lapisan minyak, dan upaya tanggap kami yang ekstensif. Kami
akan melakukan koordinasi secara dekat dengan pihak berwenang Indonesia tentang
upaya monitor mereka. Sebagai bagian dari tanggapan terus-menerus terhadap
tumpahan minyak, dua kapal tanggap memasuki ZEE Indonesia pada 23 September
2009 untuk melakukan operasi pengendalian dan pemulihan, dengan menggunakan
boom dan skimmer tumpahan minyak, pada gumpalan-gumpalan minyak yang lebih
kental yang terlihat dari pesawat udara. Upaya ini didukung oleh pesawat terbang di
udara untuk mengarahkan kapal ke gumpalan-gumpalan minyak yang lebih kental.
Australia memberi tahu Indonesia tentang kehadiran kapal tersebut dan kegiatan
mereka di ZEE Indonesia. Operasi ini selesai dilakukan dalam beberapa hari dan
9
kapal tersebut telah kembali ke ZEE Australia dan kini beroperasi di sekitar
anjungan.10
2. Apa kendala yang dihadapi dalam penerapan ketentuan yang diatur
dalam konvensi hukum laut 1982 terkait dengan penyelesaian
pencemaran lintas batas tersebut?
Kendala yang dihadapi dalam penerapan ketentuan yang diatur dalam
Konvensi Hukum Laut 1982 terkait penyelesaian pencemaran lintas batas antara
Indonesia dengan Australia antara lain adalah Hukum Laut lebih mengatur mengenai
"Tanggung Jawab Setiap Negara" Tidak diatur didalamnya perihal nilai ganti rugi
yang harus diberikan oleh Negara yang melakukan pencemaran. Meskipun UNCLOS
telah mengatur mengenai hak dan kewajiban setiap negara dalam mengelola
kekayaan hayati yang ada dilaut namun tetap saja ada kendala yang dihadapi dalam
penerapan UNCLOS dalam masalah yang terjadi antara Indonesia dengan Australia.
Salah satunya adalah penentuan ganti rugi yang dilihat dari sudut materiil tidaklah
diatur secara pasti didalam UNCLOS. Namun UNCLOS mengatur lebih kepada
"kewajiban" ganti rugi dengan kata lain pertanggung jawaban.
Kemudian kendala lainnya adalah Indonesia tidak mempunyai bukti yang
kuat untuk melakukan gugatan. Terkait dengan adanya laporan tes positif minyak
Australia akan membahas laporan ini dengan pemerintah Indonesia dan melakukan
pengujian sampel untuk dibandingkan dengan sampel dari minyak Montara atau
minyak yang lazim beredar di perairan Timur Indonesia. Australia menyatakan
sangatlah kecil kemungkinannya bahwa minyak Montara akan mencapai perairan
pesisir Indonesia. Terkait dengan Laporan Banyaknya Ikan yang mati, Australia
telah melakukan pengujian tingkat keracunan (toxicity) pada ikan yang terdapat di
sekitar tumpahan minyak di perairan Australia, dan hasilnya memperlihatkan
ketiadaan kontaminasi. Jenis dan jumlah minyak yang diamati di ZEE Indonesia
dipandang tidak mengakibatkan ancaman signifikan pada lingkungan laut. Terkait
dengan pernyataan adanya upaya tanggap dari Australia untuk menanggulangi
masalah ini.
10 Http://www.indonesia.embassy.gov.au/jaktindonesian/home.html (pernyataan Kedutaan
besar Australia di Indonesia terhadap Pers)
10
Kemudian kendala terakhir dalam penyelesaian masalah pencemaran lintas
batas ini adalah Indonesia tidak melakukan tindakan pencegahan sebagaimana telah
ditetapkan dalam UNCLOS 1982 Sejak terjadinya kasus kegagalan dalam
pengeboran yang dilakukan oleh PTTEP Australia di Montara, belum ada tindakan-
tindakan perlindungan ataupun pencegahan terhadap pencemaran lingkungan laut
dan biota laut di laut Timor dari pihak Indonesia sendiri, padahal dalam kasus ini
Indonesia merupakan negara yang wilayah lautnya tercemar oleh minyak yang
diakibatkan aktifitas pengelolaan laut negara tetangga Australia. Hal ini yang
memberatkan Indonesia manakala Indonesia akan membawa kasus Montara ke
Pengadilan Internasional, dikarenakan Indonesia sendiri tidak mengambil tindakan
penanggulangan yang cepat sejak terjadinya kebocoran.
11
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Menyikapi permasalahan ini sudah sepatutnya keduabelah pihak mengambil
langkah penyelesaian sesuai dengan yang telah diatur didalam UNCLOS
1982, dikarenakan kedua negara juga sama-sama telah meratifikasi UNCLOS
1982 sehingga kedua negara memiliki ikatan hukum dengan UNCLOS 1982
mana kala terjadi sengketa terkait dengan laut internasional.
Indonesia memang telah mengambil tindakan atas kasus pencemaran yang
terjadi, yaitu diawali dengan pembentukan posko untuk memonitor tumpahan
minyak Montara langsung ke lapangan yang telah dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT). Kemudian WWF Indonesia membuat
press release tentang kasus Montara dan mendorong Pemerintah Indonesia
berkoordinasi dengan Pemerintah Australia untuk melindungi kawasan Coral
Triangle. Selain itu beberapa menteri RI (Luar Negeri, Perhubungan,
Kelautan dan Perikanan, serta Lingkungan) juga telah melakukan koordinasi
untuk menangani isu minyak Montara dan menunjuk Tim Nasional
Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut, yang diketuai
Freddy Numbed, untuk bernegosiasi tentang kompensasi. Kemudian
Indonesia mengajukan klaim kepada pemerintah Australia, yang menmbuat
diadakannya pertemuan tim advokasi pencemaran laut timor dan PTTEP.
Dalam klaimnya, indonesia mengajukan tuntutan ganti rugi kepada australia,
hanya saja Australia menolak dengan dalih tidak disertai dengan data yang
Valid.
Terkait dengan upaya kedua negara terhadap penanggulangan pencemaran
laut yang diakibatkan oleh ledakan kilang minyak di Australia ini, Asutralia
sendiri telah melakukan sedikitnya lima kali percobaan. Yang pada akhirnya
kebocoran berhasil ditutup menggunakan lumpur sebanyak 3.400 barel yang
dipompakan ke sumur minyak. Selama proses penanggulangan, Australia
menyatakan terus memberikan informasi yang terbaru kepada pihak
berwenang di Indonesia. Selain dengan menutup sumber ledakan dengan
lumpur, tindakan pembersihan besar-besaran berlangsung dengan
12
menerapkan pengurai dan melakukan operasi pengendalian dan pemulihan
dengan menggunakan boom dan skimmer.
Dimana upaya ini didukung oleh pesawat terbang di udara untuk
mengarahkan kapal ke gumpalan-gumpalan minyak yang lebih kental.
Australia memberi tahu Indonesia tentang kehadiran kapal tersebut dan
kegiatan mereka di ZEE Indonesia. Operasi ini selesai dilakukan dalam
beberapa hari dan kapal tersebut telah kembali ke ZEE Australia dan kini
beroperasi di sekitar anjungan.
Meskipun Kilang Minyak Montara tersebut merupakan milik dari suatu
Perusahaan Thailand, akan tetapi bila melihat pada prinsip tanggung jawab
negara maka Australia tetap harus bertanggung jawab sebagai negara tempat
pengeboran dilakukan dengan kata lain Tanggung Jawab tersebut merupakan
Tanggung jawab yang bersifat Absolut atau mutlak. Dikarenakan selain telah
melakukan pencemaran, pencemaran tersebut juga telah masuk dan
mencemari wilayah perairan Indonesia serta telah menyebabkan kerugian
bagi Indonesia khususnya penduduk sekitar laut Timor.
2. Kendala-kendala yang dihadapi dalam penerapan Konvensi Hukum Laut
1982 dalam kasus pencemaran lintas batas yang diakibatkan kilang minyak
montara ini adalah meskipun dalam UNCLOS 1982 dituliskan secara jelas
perihal tanggung jawab negara dalam akan tetapi UNCLOS 1982 tidak
menentukan sistem pengganti kerugian yang dapat dijadikan dasar dalam
penyelesaian kasus pencemaran lintas batas antara Indonesia dengan
Australia. Hal ini yang menjadi salah satu kendala bagi Indonesia dalam
menentukan besarnya ganti rugi yang harus dipenuhi Australia.
Bagi Indonesia sendiri kendala yang dihadapi dalam mengajukan klaim ganti
rugi terhadap pemerintah Australia adalah Indonesia tidak memiliki data-data
yang kuat untuk dapat dijadikan sebagai dasar tuntutan. Kemudian
pemerintah Australia cepat mengambil tindakan penanggulangan terhadap
pencemaran tersebut, sedangkan Indonesia yang dalam kasus ini merupakan
negara penderita, dikarenakan wilayah laut nya (Laut Timor) tercemar oleh
muntahan minyak yang berasal dari ledakan kilang minyak lepas pantai
13
Montara di Australia, lamban dalam melakukan pencegahan pencemaran.
Dikarenakan lambanya respon dari pemerintah Indonesia dalam menangani
kasus tersebut hal itu berdampak pada pertimbangan Indonesia untuk
mengangkat kasus ke pengadilan internasional, dikarenakan hal itu berarti
bahwa Indonesia tidak menjalankan MoU antara Indonesia dengan Australia
terkait dengan perlindungan laut dari pencemaran serta respon yang cepat
terhadap pencemaran laut antara kedua negara.
B. SARAN
1. Dalam melakukan penyelesaian sengketa pencemaran lintas batas tersebut
Indonesia dengan Australia sudah seharusnya kedua negara melakukan
penelitian serta melakukan pengambilan sampel langsung ke lapangan secara
bersama-sama, ditempat atau titik yang dirasa oleh kedua negara baik
Indonesia maupun Australia mengalami pencemaran langsung ataupun
terkena dampak dari pencemaran laut tersebut. Sebagaimana dijelaskan diats
bahwa Indonesia memang telah mengambil tindakan atas kasus pencemaran
yang terjadi, yaitu diawali dengan pembentukan posko untuk memonitor
tumpahan minyak Montara langsung ke lapangan yang telah dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT). Akan tetapi seharusnya
Indonesia lebih memanfaatkan keberadaan Tim Nasional Penanggulangan
Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut, yang diketuai Freddy Numbed,
untuk mengambil tindakan cepat dan tanggap terhadap pencemaran laut
maupun dampaknya. Selain itu TIMNAS Penanggulangan Keadaan Darurat
tersebut tentunya memiliki hak penuh sebagai perwakilan dari Indonesia
untuk bernegosiasi maupun mengajukan gugatan kepada Australia.
2. Baik Indonesia maupun Australia, dalam menghadapi kasus pencemaran laut
baik itu terjadi didalam negara sendiri maupun kasus pencemaran lintas batas
seperti diatas, sudah seharusnya melakukan tindakan-tindakan sebagaimana
telah ditentukan dalam UNCLOS 1982, karena UNCLOS 1982 mengandung
dasar-dasar yang dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan sengketa terkait
dengan laut internasional. Terlebih Indonesia dan Australia merupakan
14
negara yang meratifikasi UNCLOS 1982, hal tersebut mengakibatkan
Indonesia dan Australia terikat secara hukum dengan negara-negara lain yang
juga telah meratifikasi UNCLOS 1982 walaupun hukum nasional dari
masing-masing negara tersebut juga memiliki hukum positifnya sendiri
terkait dengan pencemaran laut.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku : D.J. Harris, 1983, Case and Materials on International Law, London : Sweet and
Maxwell, Edisi ke-3. Hermann Mosler, 1980, The International Society as A Legal Community, Nijhoff. Bin Cheng, 1987, General Principles of Law, Grotius Publications Limited,
Cambridge. David H, Ott, 1987, Public International Law in The Modern World, Pitman
Publishing, London. Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 1999, Immunutas Kedaulatan Negara Di Forum
Pengadilan Asing, Alumni, Bandung. Rahardjo, Satjipto, 1994, Tinjauan Sosiologis Hukum Lingkungan, Jurnal Hukum
Lingkungan, Tahun I Nomor I, ICEL, Jakarta. Silalahi, Daud, 1994, Perangkat Hukum Nasional, Regional dan Internasional dalam
Pembangunan yang berkelanjutan, Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun 1 Nomor 1, ICEL, Jakarta.
Em Juk Fajri, Ratu Aprilia Senja, Kamus besar Bahasa Indonesia, Difa Publisher. Amirudin, Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta. Starke, J. G., 2004, Pengantar Hukum Internasional 1, Sinar Grafika, Jakarta. Suwardi, Sri Setianingsih, 2006, Penyelesaian Sengketa Internasional, UI-Press,
Jakarta. Ibrahim, Johnny, 2006, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,
Malang. Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro S.H. 1984, "Hukum Laut Bagi Indonesia", Sumur
Bandung, Bandung. Muhdar, Muhamad, 2011, Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum: Sub Pokok
Bahasan Penulisan Hukum Skripsi, Balikpapan. Dr. Hasjim Djalal, 1979, "Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Penerbit
Binacipta, Bandung. Prijanto, Heru, 2007, "Hukum Laut Internasional", Bayumedia, Malang
16
Sucipto S.H., 1984, "Implementasi Konvensi Hukum Laut III Tentang Pencemaran Laut Dalam Rangka Wawasan Nusantara"
Dr. M. Daud Silalahi, 1992, "Pengaturan Hukum Lingkungan Laut Indonesia dan
Implikasinya Secara Regional", Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 tentang "Landas Kontinen Indonesia" 2. Undang-Undang : Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 Tentang “Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)” Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 Tentang “Perikanan" Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 (UU peratifikasi UNCLOS 1982) Undang-Undang No.5 Tahun 1990 Tentang “Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya” Undang-Undang No. 21 Tahun1992 Tentang “Pelayaran” Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 Tentang “Perairan Indonesia” Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang “Perlindumgan Lingkungan Hidup”
(UUPLH) Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran
dan/atau Pengrusakan Laut HIR pasal 130 dan Rbg pasal 154 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No 1 Tahun 3. Konvensi : United Nation on The Law of The Sea (UNCLOS 1982) Liabillity Convention 1972 "The Convention on International Liability for Damage
Cause by Space Object 1972" Konvensi Jenewa 1958 " Convention on The Territorial Sea and Contiguous Zone" Deklarasi Stockholm tahun 1972 Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 The Regulations the Procedur of International Conciliation Tahun 1961
17
Convention on Liability for Oil Pollution Damage 1969 Protocol 1992 (CLC 1969) 4. Website : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e2e9db27e4f9/pemerintah-didesak-
tuntaskan-kasus-blok-montara Selasa, 26 Juli 2011. Diakses pada tanggal 16 agustus 2012
http://indomaritimeinstitute.org/?p=274, “Pencemaran Lingkungan , Tumpahan
Minyak dari Celah Timor Rusak Ekosistem Laut”. 24 Juli 2010, 2:56 am. Diakses pada tanggal 16 agustus 2012
http://rahmawidhiasari.blogspot.com/, “Mengkritisi Kelambatan Pemerintah dalam Penyelesaian Pencemaran Minyak Montara”. Senin, 05 Maret 2012. Diakses pada tanggal 16 agustus 2012
http://indomaritimeinstitute.org/?p=274, “Pencemaran Lingkungan , Tumpahan Minyak dari Celah Timor Rusak Ekosistem Laut”. 24 Juli 2010, 2:56 am. Diakses pada tanggal 16 agustus 2012
http://geografi-geografi.blogspot.com/2011/01/pengertian-lingkungan-hidup-
menurut.html http://organisasi.org/definisi-pengertian-laut-jenis-macam-laut-fungsi-peran-
manfaat-laut http://id.shvoong.com/law-and-politics/international-law/2117271-pengertian-laut
teritorial/#ixzz27z5gDDs3. 14 Februari, 2011 diakses pada tanggal 18 agustus 2012
http://www.ristek.go.id/?module=News%20News&id=5456 http://3jauhari.blogspot.com/2011/11/penyelesaian-sengketa-internasional.html http://www.antaranews.com/berita/323534/indonesia-harus-cepat-tangani-
pencemaran-minyak-montara http://www.brok.kkp.go.id/news/136/BROK-memantau-dampak-oil-blasting-
Montara/diakses pada tanggal 3 april 2013 pukul 18.00 WIB http://www.goblue.or.id/tumpahan-minyak-montara-terus-ancam-laut-timor http://www.migas.esdm.go.id/tracking/berita-kemigasan/detil/253897/Kronologi-
Tumpahan-Minyak-Montara
18
http://rahmawidhiasari.blogspot.com/2011/08/mengkritisi-kelambatan-pemerintah-dalam.html diakses pada 03 april 2013 pukul 16.00
Http://www.indonesia.embassy.gov.au/jaktindonesian/home.html (pernyataan
Kedutaan besar Australia di Indonesia terhadap Pers) http://www.indonesia.embassy.gov.au/jaktindonesian/home.html http://www.fajar.co.id/read-20111003092804-yptb-pertanyakan-keseriusan-
pemerintah http://pendidikandanhukum.blogspot.com/2011/06/tanggung-jawab-mutlak-strict-
liability.html http://materifakultashukum.blogspot.com/2012/04/hukum-laut-internasional-
dan.html http://linggaakmil98.blogspot.com/2011/03/v-behaviorurldefaultvml-o.htm