Date post: | 20-Feb-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | khangminh22 |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
398
PERAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM
MENANAMKAN NILAI-NILAI KEBHINNEKAAN
Ardianto Nugroho, Mega Putri Wijayanti
Fakultas Magister Sains Psikologi
Universitas Negeri Airlangga Jalan Airlangga No. 4-6, Surabaya
Abstrak – Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi. Keberagaman masyarakat dapat dilihat dari sisi budaya, bahasa daerah, agama, kepercayaan, dan suku. Di dalam keberagaman tersebut, masyarakat di Indonesia dapat bersatu dan hidup berdampingan di tengah keberagaman. Atau yang kita kenal dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Bagi bangsa Indonesia, semboyan tersebut menjadi semangat untuk dapat bersatu di tengah keberagaman. Pada kenyataannya, konflik karena perbedaan masih banyak mewarnai perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Konflik antar suku, agama, dan kelompok masih terjadi. Diskriminasi terhadap agama dan suku tertentu, kekerasan dan ancaman kepada minoritas, pembakaran tempat ibadah masih terjadi. Di negara yang bersemboyankan persatuan, perpecahan masih menjadi ancaman yang serius. Cita-cita Mpu Tantular untuk mempersatukan perbedaan yang tertuang dalam frasa Bhinneka Tunggal Ika seakan menjadi slogan semu. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, melalui Anas Saidi mengatakan bahwa Kalangan anak muda Indonesia makin mengalami radikalisasi secara ideologis dan makin intoleran. Di sisi lain, kewajiban untuk menjaga keutuhan NKRI adalah kewajiban seluruh warga negara Indonesia. Menjaga persatuan adalah tugas seluruh warga negara Indonesia. Untuk dapat menerapkan itu, setiap warga negara harus memiliki karakter yang berkualitas, semangat seorang patriot, dan rasa cinta tanah air. Nilai-nilai tersebut tidak tertanam di dalam diri seseorang dengan otomatis. Harus ada pihak yang dengan sadar dan terencana untuk dapat menanamkan nilai-nilai itu dengan konsisten. Untuk menanamkan nilai-nilai ini, pemerintah harus melakukan intervensi terhadap pendidikan, mulai dari kurikulum sampai dengan pelaksanaan proses belajar mengajar. Pendidikan karakter adalah salah satu sarana untuk dapat menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai kebhinnekaan. Keluarga, sekolah, dan masyarakat bertanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan karakter bagi setiap individu sejak kecil. Pendidikan karakter diterapkan dalam berbagai bentuk dan strategi tetapi tujuan utamanya adalah membentuk negara yang berkarakter melalui individu yang berkarakter. Sesuai dengan perkataan Soekarno “There is no nation-building without character-building” (Tidak mungkin membangun sebuah negara kalau pendidikan karakternya tidak dibangun). Pernyataan Soekarno ini menandakan betapa pentingnya pendidikan karakter dalam membangun sebuah bangsa. Kata kunci: pendidikan karakter; Kebhinnekaan
PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang
sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan
istilah mayarakat multikultural. Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di
Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu
beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau di mana
Ardianto Nugroho, Mega Putri Wijayanti
Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
399
setiap pulau dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari
masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri.
Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka
ragam.
Keberagaman di Indonesia merupakan potensi kekayaan budaya yang harus disadari,
dijaga, dan dilestarikan. Berdasakan data dari Badan Pusat Statistik (2016), Indonesia adalah
negara yang memiliki 13.487 pulau besar dan kecil, sekitar 6.000 di antaranya tidak
berpenghuni. Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570 km dan luas perairannya 3.257.483
km . Menurut sensus penduduk pada tahun 2006, Indonesia memiliki populasi sekitar 222
juta. 130 juta tinggal di Pulau Jawa. Sebagian besar penduduk Indonesia adalah Bangsa
Austronesia. Terdapat juga kelompok-kelompok suku Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia
terutama di Indonesia bagian Timur. Banyak penduduk Indonesia yang menyatakan dirinya
sebagai bagian dari kelompok suku yang lebih spesifik, yang dibagi menurut bahasa dan asal
daerah, misalnya Jawa, Sunda, Madura, Batak, dan Minangkabau. Menurut sensus BPS pada
tahun 2010, Indonesia memiliki lebih dari 1.300 suku bangsa. Selain itu, ada penduduk
pendatang yang jumlahnya minoritas di antaranya adalah etnis Tionghoa, India, dan Arab.
Mereka sudah lama datang ke Nusantara melalui perdagangan sejak abad ke 8 M dan
menetap menjadi bagian dari Nusantara. Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh
sekitar 85,2% penduduk Indonesia. Sisanya beragama Kristen protestan (8,9%), Katolik
(3%), Hindu (1,8%), Buddha (0,8%), Konghucu dan lain-lain (0,3%).
Keberagaman tersebut melahirkan berbagai potensi yang bisa dimanfaatkan untuk
membangun negara. Kekayaan budaya ini merupakan daya tarik tersendiri dan potensi yang
besar untuk pariwisata. Salah satu contoh, wisata budaya di dataran tinggi Dieng Periode
Januari-Februari tahun 2016 menghasilkan pendapatan sebanyak Rp 719,95 juta (UPTD
Dieng, 2016). Di Jawa Timur, pada tahun 2015, wisata alam dan kebudayaan Bromo
menghasilkan PAD sebanyak Rp 1 miliar. Selain faktor ekonomi, keberagaman budaya
dapat menjadi bahan kajian bagi banyak peneliti untuk memperluas pengetahuan dan
wawasan.
Di sisi lain, bangsa Indonesia juga mempunyai permasalahan berkaitan dengan
keberagaman budaya. Sebagai negara majemuk dengan beragam suku, ras, agama dan
golongan, Indonesia menjadi negara yang rawan terhadap konflik SARA. Perbedaan
pandangan antar kelompok masyarakat di suatu wilayah kerap menjadi pemicu terjadinya
konflik. Sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah mengalami beberapa konflik kekerasan
Pendidikan Karakter dalam Menanamkan Nilai-Nilai Kebhinnekaan
Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
400
yang terjadi karena adanya sikap intoleransi dan diskriminasi yang dilakukan oleh beberapa
kelompok masyarakat. Beberapa sejarah kelam seperti konflik agama di Ambon pada tahun
1999, konflik suku di Sampit pada tahun 2001 menjadi rapor merah bagi negara untuk dapat
segera membenahi keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Mengutip dari BBC Indonesia,
belum lama ini, terjadi juga pembakaran terhadap rumah ibadah pada hari Jumat (29/7/2016)
menjelang tengah malam. Enam vihara dan kelenteng di Tanjung Balai diserang ratusan
warga karena tidak terima ketika diminta untuk mengecilkan speaker. Beberapa konflik yang
berujung pada kekerasan masih rawan terjadi di Indonesia.
Menurut Lestari (2016), kalangan anak muda Indonesia mengalami radikalisasi
secara ideologis dan makin intoleran, sementara perguruan tinggi banyak dikuasai oleh
kelompok garis keras. Peneliti LIPI Anas Saidi mengatakan paham radikalisme ini terjadi
karena proses radikalisasi yang dilakukan di kalangan anak muda ini berlangsung secara
tertutup, dan cenderung tidak terbuka pada pandangan agama lainnya. Dalam survei The
Pew Research Center pada 2015, mengungkapkan di Indonesia, sekitar 4% atau sekitar 10
juta orang warga Indonesia mendukung ISIS - sebagian besar dari mereka merupakan anak-
anak muda. Kemudian, Anas mengatakan jika pemahaman ini dibiarkan bisa menyebabkan
disintegrasi bangsa karena mereka menganggap ideologi pancasila tidak lagi penting. Untuk
mengikis penyebaran paham ini, pemerintah harus melakukan intervensi terhadap
pendidikan, mulai dari kurikulum sampai dengan pelaksanaan proses belajar.
Pendidikan adalah salah satu sarana yang dipercaya dapat menanamkan dan
menerapkan nilai-nilai kebhinnekaan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini sesuai dengan
UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang
menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Dikatakan bahwa pendidikan bukan hanya mengembangkan kemampuan
dan pengetahuan tetapi juga karakter sebuah bangsa. Proses pendidikan yang bertujuan
untuk membentuk karakter dan mengembangkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat
biasa disebut sebagai pendidikan karakter. Menurut Ramli, tujuan pendidikan karakter
adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat yang
baik, dan warga Negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat
yang baik, dan warga Negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum
adalah nilai-nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan
bangsanya. Oleh karena itu, hakikat pendidikan karakter dalam konteks pendidikan
Ardianto Nugroho, Mega Putri Wijayanti
Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
401
Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari
budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter dalam tema besar yang membahas pentingnya menjaga
keutuhan kebudayaan sangat diperlukan untuk dapat memupuk sikap toleransi dan saling
menghargai diantara masyarakat. Terlebih lagi, pendidikan mengenai kebhinnekaan akan
lebih efektif untuk menanamkan sikap toleransi dan saling menghargai ketika dilaksanakan
sejak kecil. Salah satu cara pelaksanaan yang efektif adalah melalui pendidikan di
lingkungan sekolah, terutama di sekolah dasar. Sistem pendidikan sekolah yang terencana
akan membantu proses tersebut. Pendidikan karakter dapat diberikan melalui mata pelajaran
tersendiri ataupun dapat dilaksanakan di luar mata pelajaran dan menjadi pembelajaran yang
berdiri sendiri.
Penanaman nilai-nilai kebhinnekaan, toleransi terhadap perbedaan serta sikap
menghargai sejak dini, diharapkan kelak peserta didik dapat membawa sikap tersebut sampai
dewasa nanti. Sehingga tidak akan ada lagi berita mengenai pertikaian ataupun kerusuhan
yang terjadi di Indonesia. Dengan bekal nilai-nilai kebhinnekaan inilah diharapkan akan
terpupuk rasa cinta terhadap budaya di dalam diri peserta didik, sehingga rasa cinta tersebut
akan mendorong peserta didik untuk selalu menjunjung toleransi dan saling menghargai
keberagaman maupun perbedaan budaya yang ada di sekitarnya.
Pendidikan Karakter
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun
berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”.
Pendidikan Karakter menurut Albertus (2010) adalah diberikannya tempat bagi kebebasan
individu dalam mennghayati nilai-nilai yang dianggap sebagai baik, luhur, dan layak
diperjuangkan sebagai pedoman bertingkah laku bagi kehidupan pribadi berhadapan dengan
dirinya, sesama dan Tuhan.
Menurut Khan (2010), pendidikan karakter adalah proses kegiatan yang dilakukan
dengan segala daya dan upaya secara sadar dan terencana untuk mengarahkan anak didik.
Pendidikan karakter juga merupakan proses kegiatan yang mengarah pada peningkatan
kualitas pendidikan dan pengembangan budi harmoni yang selalu mengajarkan,
membimbing, dan membina setiap menusia untuk memiliki kompetensi intelektual,
karakter, dan keterampilan menarik. Nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat dihayati
Pendidikan Karakter dalam Menanamkan Nilai-Nilai Kebhinnekaan
Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
402
dalam penelitian ini adalah religius, nasionalis, cerdas, tanggung jawab, disiplin, mandiri,
jujur, dan arif, hormat dan santun, dermawan, suka menolong, gotong-royong, percaya diri,
kerja keras, tangguh, kreatif, kepemimpinan, demokratis, rendah hati, toleransi, solidaritas
dan peduli.
Pendidikan karakter menurut Lickona (1992) adalah pendidikan untuk membentuk
kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam
tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab,
menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya. Lickona mendefinisikan orang
yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral
yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur,
bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip
dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan
“habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan yang kerap dimanifestasikan dalam
tingkah laku. Lebih jauh, Lickona menekankan tiga hal dalam mendidik karakter. Tiga hal
itu dirumuskan dengan: knowing, loving, dan acting the good.
Menurut Lickona, keberhasilan pendidikan karakter dimulai dengan pemahaman
karakter yang baik, mencintainya, dan pelaksanaan atau peneladanan atas karakter baik itu.
Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan
karakter yang diterapkan secara sistematis, dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi
cerdas emosinya, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Sebab kecerdasan emosi ini
menjadi bekal penting dalam mempersiapkan anak masa depan dan mampu menghadapi
segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: 1).
karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, 2). kemandirian dan tanggung jawab, 3).
Kejujuran atau amanah, diplomatis, 4). hormat dan santun; 5). dermawan, suka tolong
menolong dan gotong royong atau kerjasama, 6). percaya diri dan pekerja keras, 7).
kepemimpinan dan keadilan, 8). baik dan rendah hati, 9). karakter toleransi, kedamaian, dan
kesatuan. Kesembilan karakter itu perlu ditanamkan dalam pendidikan holistik dengan
menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Hal tersebut
diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan/mencintai dan sekaligus melaksanakan
nilai-nilai kebajikan.
Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan
memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau
Ardianto Nugroho, Mega Putri Wijayanti
Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
403
tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya
dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah
moral disebut dengan berkarakter mulia. Karakter mulia berarti individu memiliki
pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai positif seperti:
reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup
sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat
dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati
lembut, setia, dan nilai-nilai positif lainnya. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat
yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan
kesadarannya tersebut. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang
berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama,
lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan
mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan
motivasinya (perasaannya). Melalui beberapa konsep pendidikan karakter dari para ahli di
atas, dapat di tarik sebuah kesamaan konsep yaitu pendidikan karakter adalah suatu sistem
pendidikan yang dilakukan dengan tujuan untuk menanamkan nilai-nilai karakter kepada
peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan
untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan
penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan
aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos
kerja seluruh warga sekolah dan lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai
sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus
berkarakter.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter
merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk
membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-
norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Bhineka Tunggal Ika
Pendidikan Karakter dalam Menanamkan Nilai-Nilai Kebhinnekaan
Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
404
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari
bahasa Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap
satu”. Diterjemahkan per kata, kata bhinneka berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda.
Kata “neka” dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka"
dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata “ika” berarti "itu". Secara harfiah
Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun
berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan
ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku
bangsa, agama dan kepercayaan. Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa
Kuna yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar
abad ke-14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa
dengan umat Buddha (Yamin, 1958).
Lambang negara Indonesia berbentuk burung Garuda yang kepalanya menoleh ke
sebelah kanan (dari sudut pandang Garuda), perisai berbentuk menyerupai jantung yang
digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang
berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu” ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda.
Kata Bhineka Tunggal Ika dapat pula dimaknai bahwa meskipun bangsa dan negara
Indonesia terdiri atas beraneka ragam suku bangsa yang memiliki kebudayaan dan adat-
istiadat yang bermacam-macam serta beraneka ragam kepulauan wilayah negara Indonesia
namun keseluruhannya itu merupakan suatu persatuan yaitu bangsa dan negara Indonesia.
Keanekaragaman tersebut bukanlah merupakan perbedaan yang bertentangan namun justru
keanekaragaman itu bersatu dalam satu sintesis yang akan memperkaya sifat dan makna
persatuan bangsa dan negara Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia, semboyan Bhineka Tunggal Ika merupakan dasar untuk
mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia. Perwujudan semboyan Bhineka Tunggal Ika
dalam kehidupan sehari-hari dilakukan dengan cara hidup saling menghargai antara
masyarakat yang satu dengan yang lainnya tanpa memandang suku
bangsa,agama,bahasa,adat istiadat, warna kulit dan lain-lain. Tanpa adanya kesadaran sikap
untuk menjaga Bhineka tunggal Ika pasti akan terjadi konflik dan kekacauan di dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Kusumohamodjojo (2000), ada beberapa hal yang perlu ditekankan dalam
pengimplementasian nilai-nilai kebhinnekaan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam
Ardianto Nugroho, Mega Putri Wijayanti
Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
405
pembinaan aspek kehidupan nasional, aktualisasi pemahaman nilai-nilai kebhinnekaan yang
termaktub dalam Pancasila harus menjadi nilai yang menjiwai segenap peraturan perundang-
undangan yang berlaku di seluruh wilayah negara. Untuk itu, harus diimplementasikan ke
dalam segenap pranata sosial yang berlaku di masyarakat dalam suasana ke-Bhinekaan
Tunggal Ika-an sehingga dapat membangun kehidupan sosial yang akrab, peduli, toleran,
dan hormat. Semua itu menggambarkan semangat kebangsaan atau nasionalisme yang tinggi
sebagai identitas atau jati diri bangsa Indonesia. Untuk mengaktualisasikan nilai-nilai
kebhinnekaan, baik warga maupun pemimpin terutama pelaksana pemerintahan harus dapat
menjadikannya sebagai landasan yang terintegrasi dalam menyelenggarakan kehidupan
nasional yang sinergis.
Penerapan pendidikan kebhinekaan dalam proses belajar di sekolah
Penerapan Pendidikan Karakter. Penerapan pendidikan karakter pada
pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan strategi yang tepat. Strategi
yang tepat adalah strategi yang menggunakan pendekatan kontekstual. Alasan penggunaan
strategi kontekstual adalah bahwa strategi tersebut dapat mengajak siswa menghubungkan
atau mengaitkan materi yang dipelajari dengan dunia nyata. Dengan dapat mengajak
menghubungkan materi yang dipelajari dengan dunia nyata, berati siswa diharapkan dapat
mencari hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan pengetahuan
tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pendekatan itu, siswa lebih memiliki hasil
yang komprehensif tidak hanya pada tataran kognitif (olah pikir), tetapi pada tataran afektif
(olah hati, rasa, dan karsa), serta psikomotor (olah raga) (Puskur, 2011 : 8).
Adapun beberapa strategi pembelajaran kontekstual antara lain (a) pembelajaran
berbasis masalah, (b) pembelajaran kooperatif, (c) pembelajaran berbasis proyek, (d)
pembelajaran pelayanan, dan (e) pembelajaran berbasis kerja. Puskur (2011 : 9) menjelaskan
bahwa kelima strategi tersebut dapatmemberikan nurturant effect pengembangan karakter
siswa, seperti: karakter cerdas, berpikir terbuka, tanggung jawab, rasa ingin tahu.
Jenis dan Bentuk Pendidikan Karakter. Pengembangan budaya sekolah dan pusat
kegiatan belajar dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri, yaitu kegiatan rutin,
kegiatan spontan, keteladanan, dan, pengkondisian. Adapun hal-hal tersebut adalah sebagai
berikut
1. Kegiatan rutin
Pendidikan Karakter dalam Menanamkan Nilai-Nilai Kebhinnekaan
Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
406
kegiatan rutin merupakan kegiatan yang rutin atau ajeg dilakukan setiap saat.
Kegiatan rutin dapat juga berarti kegiatan yang dilakukan siswa secara terus menerus
dan konsisten setiap saat (Puskur, 2011: 8). Beberapa contoh kegiatan rutin antara
lain kegiatan upacara hari Senin, upacara besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan
badan, piket kelas, shalat berjamaah, berbaris ketika masuk kelas, berdoa sebelum
pelajaran dimulai dan diakhiri, dan mengucapkan salam apabila bertemu guru, tenaga
pendidik, dan teman.
2. Kegiatan spontan
Kegiatan spontan dapat juga disebut kegiatan insidental. Kegiatan ini dilakukan
secara spontan tanpa perencanaan terlebih dahulu. Contoh kegiatan ini adalah
mengumpulkan sumbangan ketika ada teman yang terkena musibah atau sumbangan
untuk masyarakat ketika terjadi bencana.
3. Keteladanan
Keteladanan merupakan sikap “menjadi contoh”. Sikap menjadi contoh merupakan
perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan dan siswa dalam memberikan
contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan
bagi siswa lain (Puskur, 2011: 8). Contoh kegiatan ini misalnya guru menjadi contoh
pribadi yang bersih, rapi, ramah, dan supel.
4. Pengkondisian
Pengkondisian berkaitan dengan upaya sekolah untuk menata lingkungan fisik
maupun nonfisik demi terciptanya suasana mendukung terlaksananya pendidikan
karakter. Kegiatan menata lingkungan fisik misalnya adalah mengkondisikan toilet
yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, poster kata-kata
bijak yang dipajang di lorong sekolah dan di dalam kelas, sedangkan pengkondisian
lingkungan nonfisik misalnya mengelola konflik supaya tidak menjurus kepada
perpecahan, atau bahkan menghilangkan konflik tersebut.
5. Kegiatan ekstrakurikuler
Kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan-kegiatan di luar kegiatan
pembelajaran. Meskipun di luar kegiatan pembelajaran, guru dapat juga
mengintegrasikannya dalam pembelajaran. Kegiatan-kegiatan ini sebenarnya sudah
mendukung pelaksanaan pendidikan karakter. Namun demikian tetap diperlukan
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang baik atau merevitalisasi kegiatan-
Ardianto Nugroho, Mega Putri Wijayanti
Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
407
kegiatan koekstrakurikuler tersebut agar dapat melaksanakan pendidikan karakter
kepada siswa.
6. Kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat
Kegiatan ini merupakan kegiatan penunjang pendidikan karakter yang ada di
sekolah. rumah (keluarga) dan masyarakat merupakan partner penting suksesnya
pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah. pelaksanaan pendidikan karakter sebaik
apapun, kalau tidak didukung oleh lingkungan keluarga dan masyarakat akan sia-sia.
Dalam kegiatan ini, sekolah dapat mengupayakan terciptanya keselarasan antara
karakter yang dikembangkan di sekolah dengan pembiasaan di rumah dan
masyarakat (Puskur, 2011: 8).
Peran Pendidikan Karakter dalam menanamkan nilai-nilai
Dalam sebuah artikelnya, Ghazali (2012) menjabarkan tugas dan peran yang harus
dilakukan oleh sekolah untuk melaksanakan pendidikan karakter.
Pertama, menyediakan pendidikan moral agama yang berbasis penyikapan
terhadap kasus/ fenomena. Dalam hal ini tentunya agama tidak saja disajikan dalam
pengetahuan aturan atau tata laksana ibadah tetapi lebih kepada nilai-nilai agama dalam
menghadapi fenomena sosial. Nilai-nilai agama inilah yang menjadi bagian dari
pembentukan karakter moral peserta didik. Sebagai contoh, pendidikan agama Islam tidak
hanya mengajarkan sholat saja tapi nilai-nilai manfaat yang diperoleh bagi manusia itu
sendiri dengan menjalankan sholat. Begitu pula agama Kristen Protestan tidak hanya
mengajarkan cara bersembahyang tetapi bagaimana menerapkan Etika Protestan untuk
keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. Juga The Golden Role dalam ajaran agama
Katholik agar manusia menyebarkan kebaikan kepada sesamanya. Sebenarnya beberapa ahli
pemikir Barat membedakan antara moral dengan nilai-nilai agama. Akan tetapi, pemakalah
mempunyai pendirian bahwa nilai agama membentuk karakter moral karena nilai agama
yang universal juga mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia
dengan dirinya sendiri (intrapersonal) dan hubungan manusia dengan lingkungan sosialnya
(interpersonal). Tidak ada agama yang tidak mengatur ketiga hal tersebut. Bahkan secara
tegas, Silberman (2005) menyatakan bahwa ciri manusia yang religius adalah:
a) Mampu memahami Tuhan dan melaksanakan semua ajaranNya. Pada elemen ini,
manusia yang beragama dituntut untuk memahami kekuatan Tuhan dan
mengamalkan semua ajaranNya dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan Karakter dalam Menanamkan Nilai-Nilai Kebhinnekaan
Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
408
b) Memahami pemaknaan diri. Pada elemen ini, manusia yang mengaku beragama
harus memiliki pemahaman terhadap hakikat diri, tujuan hidup, potensi diri dan
pengaruh ajaran agama terhadap proses pembentukan jati diri. Misalnya, sebagai
seorang Muslim maka ia tahu bahwa tujuan hidupnya hanyalah untuk berbakti
kepada Allah SWT, mempunyai potensi persaudaraan sebagai sesama muslim dan
ajaran Islam dijadikannya sebagai identitas dirinya.
c) Meyakini dan memelihara hubungan dengan mahluk lain ciptaan Tuhan dan alam
semesta. Sebagai manusia yang beragama maka kita dituntut untuk membina
hubungan dengan orang lain, mahluk ghaib dan alam semesta.
d) Keyakinan terhadap hari depan, yaitu keyakinan yang harus dimiliki oleh manusia
religius terhadap kehidupan masa depan, kehidupan setelah kehidupan di dunia,
seperti kematian, alam kubur, hari berbangkit atau kiamat, syurga dan neraka. Oleh
karena itu, manusia yang religius menjadikan kehidupan di dunia ini sebagai
investasi dalam kehidupan di masa mendatang, termasuk kehidupan akhirat kelak.
Berdasarkan ciri manusia yang religius atau mempunyai nilai-nilai agama tersebut
maka sebenarnya sama dengan tujuan pendidikan berkarakter moral yang mengembangkan
interpersonal dan intrapersonal. Dengan demikian, pendidikan moral agama lebih
ditekankan kepada kasus-kasus atau fenomena yang harus dipecahkan oleh peserta didik
berdasarkan pertimbangan nilai atau moral agama. Hal ini yang disebut sebagai
pembelajaran berbasis masalah (problem based learning).
Kedua, menyiapkan guru, kakak kelas, sivitas akademika, alumni sebagai role
model. Sebagaimana definisi pendidikan berkarakter moral sebagai proses transfer,
khususnya tindakan terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal maka
dibutuhkan figur teladan dalam menegakkan nilai atau aturan tersebut. Figur teladan ini
sesuai dengan filosofi pendidik yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu ing
ngarso sung tulodho (seorang guru harus mampu memberikan keteladanan sikap dan
tindakan), khususnya keteladanan moral. Apalagi, guru merupakan sosok digugu lan ditiru
(dipatuhi dan dicontoh tindakannya). Jika guru hanya memberikan pengajaran moral tanpa
mendidik (memberi keteladanan moral) maka akan terjadi kebingungan pada diri peserta
didik. Sosok guru yang ideal ialah guru yang bermoral. Ketika guru melakukan tindakan
amoral, seperti pelecahan seksual, kekerasan, tindak pidana dan lain sebagainya maka
fenomena ini disebut sebagai moral hypocrisy, yaitu sosok yang idealnya bermoral namun
melakukan tindakan tidak bermoral. Tidak hanya guru, kakak kelas dan alumni pun sebagai
Ardianto Nugroho, Mega Putri Wijayanti
Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
409
figur teladan dalam penegakan moral. Jika kakak kelas dan alumni berkomitmen untuk
membantu penegakan moral di lingkungan sekolah maka aktivitas yang tidak bermoral,
seperti kekerasan dalam masa orientasi dan tawuran dapat diminimalisasi.
Ketiga, menyediakan perangkat nilai dan aturan yang jelas, rasional dan
konsisten. Sekolah yang mempunyai aturan jelas menyebabkan tidak ada ambiguitas peserta
didik dalam memahaminya. Aturan yang jelas juga dimaksudkan agar peserta didik tidak
mencari celah kelemahan aturan dan memanfaatkan celah tersebut untuk pelanggaran. Selain
itu, yang dimaksudkan dengan aturan atau nilai yang rasional ialah segala aturan tersebut
bukan saja bertujuan untuk mengarahkan atau melarang suatu tindakan tetapi lebih kepada
penguatan alasan mengapa aturan atau nilai tersebut ditegakkan. Tentunya hal ini
membutuhkan sosialisasi kepada peserta didik dan sivitas akademika agar memahami latar
belakang ditegakkannya nilai atau aturan tersebut. Rasionalitas atau alasan tentang
penegakan nilai moral tersebut perlu dilakukan karena dalam psikologi perkembangan,
seorang remaja mulai berfikir operasional kongkret yang mencari rasional dalam setiap
tindakan. Dengan pemahaman nilai atau aturan yang rasional tersebut maka peserta didik
akan menjalankan aturan dan nilai tersebut karena terdorong untuk kebaikan mereka sendiri.
Hal ini menandakan aturan atau nilai yang rasional/ mempunyai alasan yang tepat akan
menumbuhkan motivasi intrinsik atau motivasi dalam diri. Sedangkan penegakan nilai atau
aturan yang konsisten untuk semua pihak diharapkan akan menjadi perangkat aturan untuk
kepentingan bersama (keadilan distributif).
Keempat, membangun sinergitas antara pihak sekolah, keluarga, masyarakat
dan pemerintah. Sebagaimana kita ketahui kebijakan publik tidak dapat dijalankan jika
tidak ada sinergi antara pihak terkait. Meskipun sekolah telah menerapkan pendidikan
berkarakter moral di lingkungan belajar namun hal ini tidak akan efektif jika tidak didukung
keterlibatan pihak keluarga, masyarakat dan pemerintah. Jika kita kembali merujuk definisi
pendidikan berkarakter moral maka pendidikan tersebut sesungguhnya merupakan suatu
proses. Maknanya, pendidikan berkarakter moral merupakan transfer secara bertahap dan
berkelanjutan. Sayangnya, kebijakan pemerintah tentang ujian nasional (UNAS)
mempunyai dampak bahwa pendidikan lebih menekankan kepada hasil suatu sistem dan
bukan kepada proses. Padahal sebenarnya pendidikan lebih menekankan kepada proses
suatu sistem. Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah tidak membuat suatu kebijakan
yang bertentangan dengan filosofi pendidikan berkarakter moral.
Pendidikan Karakter dalam Menanamkan Nilai-Nilai Kebhinnekaan
Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
410
Kelima, pendidikan berkarakter moral dimasukkan dalam kegiatan intra,
ekstra dan ko-kulikuler sebagai hidden curriculum. Dalam kegiatan intra-kurikuler dan
ko-kurikuler, setiap mata pelajaran perlu memberikan pesan moral khusus berkaitan dengan
topik pembelajaran. Contohnya, pelajaran Biologi tentang reproduksi manusia perlu
diberikan sosialisasi tentang dampak negatif seks pra-nikah jika organ reproduksi belum siap
digunakan. Jadi, tidak sekedar pengetahuan seks tetapi juga menyisipkan pesan moral yang
rasional. Begitu pula, dalam kegiatan ekstra-kurikuler perlu diperbanyak aktivitas yang
membina karakter moral peserta didik, seperti Pramuka, PMR, Dokter Kecil, Olah Raga dan
lain sebagainya. Bahkan ide untuk mendirikan dan melestarikan “Kantin Kejujuran” perlu
diwujudkan.
Keenam, menyajikan story telling melalui multi media dengan melibatkan
peran sebagai role model karakter moral. Menurut Sheldon (2004), story telling adalah
salah satu metode yang tepat untuk menyampaikan pesan moral melalui peran tokoh-tokoh
dalam suatu cerita sebagai role model. Dengan demikian, story telling memiliki kemampuan
untuk menyampaikan nilai-nilai moral karena anak dan remaja lebih mudah menerima
informasi melalui audio-visual. Oleh karena itu, disarankan story telling disajikan dalam
multi media sehingga menarik keterlibatan afeksi dan kognisi peserta didik dalam
menginternalisasi nilai moral yang disampaikan. Sebagai contoh, story telling dengan tema
budaya lokal, seperti Malin Kundang disampaikan melalui tayangan film atau parodi
sehingga pesan moral tentang berbakti kepada orang tua lebih efektif disampaikan kepada
peserta didik.
SIMPULAN
Keberagaman adalah anugerah yang harus disyukuri. Negara Indonesia adalah
negara yang dianugerahi oleh keberagaman. Menjadikan negara ini memiliki potensi
kekayaan budaya yang sangat berharga. Keberagaman tersebut kemudian diikat dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang kemudian semboyan tersebut mewarnai kehidupan
bermasyarakat. Semboyan tersebut tidak boleh hanya menjadi sekedar semboyan, tetapi
harus menjadi nilai-nilai yang mendasari segala sikap hidup masyarakat Indonesia.
Semboyan tersebut tidak boleh pudar, tetapi harus tetap berperan dalam membentuk karakter
bangsa.
Ardianto Nugroho, Mega Putri Wijayanti
Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
411
Pendidikan adalah salah satu sarana yang efektif untuk dapat menanamkan dan
menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sehingga, melalui kegiatan-kegiatan sekolah,
semboyan tersebut dapat hidup dan merasuk dalam jiwa peserta didik. Membuat peserta
didik menjadi warga negara yang menghidupi semboyan tersebut dengan cara
mengimplementasikan kebhinnekaan dalam kehidupan sehari-hari.
Pelaksanaan pendidikan karakter dalam menanamkan nilai-nilai kebhinekaan
tentunya dilaksanakan dengan strategi yang tepat agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan
efektif. Kualitas pendidikan karakter ditentukan oleh kesadaran warga sekolah akan
pentingnya sebuah karakter. Pendidikan karakter bukanlah tugas satu pihak tertentu, tetapi
semua warga sekolah seharusnya ikut ambil bagian Pengurus yayasan, Kepala sekolah,
Guru, staf pendidik, peserta didik adalah mereka yang memiliki andil dalam menjalankan
pendidikan karakter. Dengan kerja sama yang baik serta kesamaan visi dan misi, maka
pendidikan karakter dapat dilaksanakan. Jadi, diharapkan melalui pendidikan karakter
kebhinnekaan, dapat mencetak warga negara yang memiliki dan dapat menghidupkan nilai-
nilai kebhinnekaan dalam kehidupannya sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA Albertus, D. K. (2010) Pendidikan karakter: Strategi mendidik anak di zaman global.
Jakarta: Grasindo. Badan Pusat Statistik. (2016). ________________. Diunduh dari https://www.bps.go.id/ Khan, Y. (2010). Pendidikan karakter berbasis potensi diri. Yogyakarta: Pelangi. Kusumohamodjojo, B. (2010). Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia. Jakarta: Grasindo. Lestari, S. (2016). Anak-anak muda Indonesia makin radikal?. Diunduh dari
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160218_indonesia_radikalisme_anak_muda
Lickona, T. (1992) Educating for character: How our school can teach respect and responsibility, New York, NY:Bantam.
Sheldon, L. (2004). Character development and story telling. Boston, MA: Thomson. Silberman, I. (2005). Religion as a meaning system: implications for the new millennium.
Journal of Social Issues, 61(4), 641-663. Yamin, M. (1958). 6000 tahun sang Merah Putih. Jakarta: Balai Pustaka