+ All Categories
Home > Documents > peran pendidikan karakterdalam menanamkan nilai-nilai ...

peran pendidikan karakterdalam menanamkan nilai-nilai ...

Date post: 20-Feb-2023
Category:
Upload: khangminh22
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
14
Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang 27 Agustus 2016 398 PERAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM MENANAMKAN NILAI-NILAI KEBHINNEKAAN Ardianto Nugroho, Mega Putri Wijayanti Fakultas Magister Sains Psikologi Universitas Negeri Airlangga Jalan Airlangga No. 4-6, Surabaya Abstrak Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi. Keberagaman masyarakat dapat dilihat dari sisi budaya, bahasa daerah, agama, kepercayaan, dan suku. Di dalam keberagaman tersebut, masyarakat di Indonesia dapat bersatu dan hidup berdampingan di tengah keberagaman. Atau yang kita kenal dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Bagi bangsa Indonesia, semboyan tersebut menjadi semangat untuk dapat bersatu di tengah keberagaman. Pada kenyataannya, konflik karena perbedaan masih banyak mewarnai perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Konflik antar suku, agama, dan kelompok masih terjadi. Diskriminasi terhadap agama dan suku tertentu, kekerasan dan ancaman kepada minoritas, pembakaran tempat ibadah masih terjadi. Di negara yang bersemboyankan persatuan, perpecahan masih menjadi ancaman yang serius. Cita-cita Mpu Tantular untuk mempersatukan perbedaan yang tertuang dalam frasa Bhinneka Tunggal Ika seakan menjadi slogan semu. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, melalui Anas Saidi mengatakan bahwa Kalangan anak muda Indonesia makin mengalami radikalisasi secara ideologis dan makin intoleran. Di sisi lain, kewajiban untuk menjaga keutuhan NKRI adalah kewajiban seluruh warga negara Indonesia. Menjaga persatuan adalah tugas seluruh warga negara Indonesia. Untuk dapat menerapkan itu, setiap warga negara harus memiliki karakter yang berkualitas, semangat seorang patriot, dan rasa cinta tanah air. Nilai-nilai tersebut tidak tertanam di dalam diri seseorang dengan otomatis. Harus ada pihak yang dengan sadar dan terencana untuk dapat menanamkan nilai-nilai itu dengan konsisten. Untuk menanamkan nilai-nilai ini, pemerintah harus melakukan intervensi terhadap pendidikan, mulai dari kurikulum sampai dengan pelaksanaan proses belajar mengajar. Pendidikan karakter adalah salah satu sarana untuk dapat menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai kebhinnekaan. Keluarga, sekolah, dan masyarakat bertanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan karakter bagi setiap individu sejak kecil. Pendidikan karakter diterapkan dalam berbagai bentuk dan strategi tetapi tujuan utamanya adalah membentuk negara yang berkarakter melalui individu yang berkarakter. Sesuai dengan perkataan Soekarno “There is no nation-building without character- building” (Tidak mungkin membangun sebuah negara kalau pendidikan karakternya tidak dibangun). Pernyataan Soekarno ini menandakan betapa pentingnya pendidikan karakter dalam membangun sebuah bangsa. Kata kunci: pendidikan karakter; Kebhinnekaan PENDAHULUAN Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural. Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau di mana
Transcript

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016

398

PERAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM

MENANAMKAN NILAI-NILAI KEBHINNEKAAN

Ardianto Nugroho, Mega Putri Wijayanti

Fakultas Magister Sains Psikologi

Universitas Negeri Airlangga Jalan Airlangga No. 4-6, Surabaya

Abstrak – Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi. Keberagaman masyarakat dapat dilihat dari sisi budaya, bahasa daerah, agama, kepercayaan, dan suku. Di dalam keberagaman tersebut, masyarakat di Indonesia dapat bersatu dan hidup berdampingan di tengah keberagaman. Atau yang kita kenal dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Bagi bangsa Indonesia, semboyan tersebut menjadi semangat untuk dapat bersatu di tengah keberagaman. Pada kenyataannya, konflik karena perbedaan masih banyak mewarnai perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Konflik antar suku, agama, dan kelompok masih terjadi. Diskriminasi terhadap agama dan suku tertentu, kekerasan dan ancaman kepada minoritas, pembakaran tempat ibadah masih terjadi. Di negara yang bersemboyankan persatuan, perpecahan masih menjadi ancaman yang serius. Cita-cita Mpu Tantular untuk mempersatukan perbedaan yang tertuang dalam frasa Bhinneka Tunggal Ika seakan menjadi slogan semu. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, melalui Anas Saidi mengatakan bahwa Kalangan anak muda Indonesia makin mengalami radikalisasi secara ideologis dan makin intoleran. Di sisi lain, kewajiban untuk menjaga keutuhan NKRI adalah kewajiban seluruh warga negara Indonesia. Menjaga persatuan adalah tugas seluruh warga negara Indonesia. Untuk dapat menerapkan itu, setiap warga negara harus memiliki karakter yang berkualitas, semangat seorang patriot, dan rasa cinta tanah air. Nilai-nilai tersebut tidak tertanam di dalam diri seseorang dengan otomatis. Harus ada pihak yang dengan sadar dan terencana untuk dapat menanamkan nilai-nilai itu dengan konsisten. Untuk menanamkan nilai-nilai ini, pemerintah harus melakukan intervensi terhadap pendidikan, mulai dari kurikulum sampai dengan pelaksanaan proses belajar mengajar. Pendidikan karakter adalah salah satu sarana untuk dapat menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai kebhinnekaan. Keluarga, sekolah, dan masyarakat bertanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan karakter bagi setiap individu sejak kecil. Pendidikan karakter diterapkan dalam berbagai bentuk dan strategi tetapi tujuan utamanya adalah membentuk negara yang berkarakter melalui individu yang berkarakter. Sesuai dengan perkataan Soekarno “There is no nation-building without character-building” (Tidak mungkin membangun sebuah negara kalau pendidikan karakternya tidak dibangun). Pernyataan Soekarno ini menandakan betapa pentingnya pendidikan karakter dalam membangun sebuah bangsa. Kata kunci: pendidikan karakter; Kebhinnekaan

PENDAHULUAN

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang

sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan

istilah mayarakat multikultural. Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di

Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu

beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau di mana

Ardianto Nugroho, Mega Putri Wijayanti

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016

399

setiap pulau dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari

masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri.

Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka

ragam.

Keberagaman di Indonesia merupakan potensi kekayaan budaya yang harus disadari,

dijaga, dan dilestarikan. Berdasakan data dari Badan Pusat Statistik (2016), Indonesia adalah

negara yang memiliki 13.487 pulau besar dan kecil, sekitar 6.000 di antaranya tidak

berpenghuni. Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570 km dan luas perairannya 3.257.483

km . Menurut sensus penduduk pada tahun 2006, Indonesia memiliki populasi sekitar 222

juta. 130 juta tinggal di Pulau Jawa. Sebagian besar penduduk Indonesia adalah Bangsa

Austronesia. Terdapat juga kelompok-kelompok suku Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia

terutama di Indonesia bagian Timur. Banyak penduduk Indonesia yang menyatakan dirinya

sebagai bagian dari kelompok suku yang lebih spesifik, yang dibagi menurut bahasa dan asal

daerah, misalnya Jawa, Sunda, Madura, Batak, dan Minangkabau. Menurut sensus BPS pada

tahun 2010, Indonesia memiliki lebih dari 1.300 suku bangsa. Selain itu, ada penduduk

pendatang yang jumlahnya minoritas di antaranya adalah etnis Tionghoa, India, dan Arab.

Mereka sudah lama datang ke Nusantara melalui perdagangan sejak abad ke 8 M dan

menetap menjadi bagian dari Nusantara. Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh

sekitar 85,2% penduduk Indonesia. Sisanya beragama Kristen protestan (8,9%), Katolik

(3%), Hindu (1,8%), Buddha (0,8%), Konghucu dan lain-lain (0,3%).

Keberagaman tersebut melahirkan berbagai potensi yang bisa dimanfaatkan untuk

membangun negara. Kekayaan budaya ini merupakan daya tarik tersendiri dan potensi yang

besar untuk pariwisata. Salah satu contoh, wisata budaya di dataran tinggi Dieng Periode

Januari-Februari tahun 2016 menghasilkan pendapatan sebanyak Rp 719,95 juta (UPTD

Dieng, 2016). Di Jawa Timur, pada tahun 2015, wisata alam dan kebudayaan Bromo

menghasilkan PAD sebanyak Rp 1 miliar. Selain faktor ekonomi, keberagaman budaya

dapat menjadi bahan kajian bagi banyak peneliti untuk memperluas pengetahuan dan

wawasan.

Di sisi lain, bangsa Indonesia juga mempunyai permasalahan berkaitan dengan

keberagaman budaya. Sebagai negara majemuk dengan beragam suku, ras, agama dan

golongan, Indonesia menjadi negara yang rawan terhadap konflik SARA. Perbedaan

pandangan antar kelompok masyarakat di suatu wilayah kerap menjadi pemicu terjadinya

konflik. Sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah mengalami beberapa konflik kekerasan

Pendidikan Karakter dalam Menanamkan Nilai-Nilai Kebhinnekaan

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016

400

yang terjadi karena adanya sikap intoleransi dan diskriminasi yang dilakukan oleh beberapa

kelompok masyarakat. Beberapa sejarah kelam seperti konflik agama di Ambon pada tahun

1999, konflik suku di Sampit pada tahun 2001 menjadi rapor merah bagi negara untuk dapat

segera membenahi keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Mengutip dari BBC Indonesia,

belum lama ini, terjadi juga pembakaran terhadap rumah ibadah pada hari Jumat (29/7/2016)

menjelang tengah malam. Enam vihara dan kelenteng di Tanjung Balai diserang ratusan

warga karena tidak terima ketika diminta untuk mengecilkan speaker. Beberapa konflik yang

berujung pada kekerasan masih rawan terjadi di Indonesia.

Menurut Lestari (2016), kalangan anak muda Indonesia mengalami radikalisasi

secara ideologis dan makin intoleran, sementara perguruan tinggi banyak dikuasai oleh

kelompok garis keras. Peneliti LIPI Anas Saidi mengatakan paham radikalisme ini terjadi

karena proses radikalisasi yang dilakukan di kalangan anak muda ini berlangsung secara

tertutup, dan cenderung tidak terbuka pada pandangan agama lainnya. Dalam survei The

Pew Research Center pada 2015, mengungkapkan di Indonesia, sekitar 4% atau sekitar 10

juta orang warga Indonesia mendukung ISIS - sebagian besar dari mereka merupakan anak-

anak muda. Kemudian, Anas mengatakan jika pemahaman ini dibiarkan bisa menyebabkan

disintegrasi bangsa karena mereka menganggap ideologi pancasila tidak lagi penting. Untuk

mengikis penyebaran paham ini, pemerintah harus melakukan intervensi terhadap

pendidikan, mulai dari kurikulum sampai dengan pelaksanaan proses belajar.

Pendidikan adalah salah satu sarana yang dipercaya dapat menanamkan dan

menerapkan nilai-nilai kebhinnekaan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini sesuai dengan

UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang

menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa. Dikatakan bahwa pendidikan bukan hanya mengembangkan kemampuan

dan pengetahuan tetapi juga karakter sebuah bangsa. Proses pendidikan yang bertujuan

untuk membentuk karakter dan mengembangkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat

biasa disebut sebagai pendidikan karakter. Menurut Ramli, tujuan pendidikan karakter

adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat yang

baik, dan warga Negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat

yang baik, dan warga Negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum

adalah nilai-nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan

bangsanya. Oleh karena itu, hakikat pendidikan karakter dalam konteks pendidikan

Ardianto Nugroho, Mega Putri Wijayanti

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016

401

Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari

budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan karakter dalam tema besar yang membahas pentingnya menjaga

keutuhan kebudayaan sangat diperlukan untuk dapat memupuk sikap toleransi dan saling

menghargai diantara masyarakat. Terlebih lagi, pendidikan mengenai kebhinnekaan akan

lebih efektif untuk menanamkan sikap toleransi dan saling menghargai ketika dilaksanakan

sejak kecil. Salah satu cara pelaksanaan yang efektif adalah melalui pendidikan di

lingkungan sekolah, terutama di sekolah dasar. Sistem pendidikan sekolah yang terencana

akan membantu proses tersebut. Pendidikan karakter dapat diberikan melalui mata pelajaran

tersendiri ataupun dapat dilaksanakan di luar mata pelajaran dan menjadi pembelajaran yang

berdiri sendiri.

Penanaman nilai-nilai kebhinnekaan, toleransi terhadap perbedaan serta sikap

menghargai sejak dini, diharapkan kelak peserta didik dapat membawa sikap tersebut sampai

dewasa nanti. Sehingga tidak akan ada lagi berita mengenai pertikaian ataupun kerusuhan

yang terjadi di Indonesia. Dengan bekal nilai-nilai kebhinnekaan inilah diharapkan akan

terpupuk rasa cinta terhadap budaya di dalam diri peserta didik, sehingga rasa cinta tersebut

akan mendorong peserta didik untuk selalu menjunjung toleransi dan saling menghargai

keberagaman maupun perbedaan budaya yang ada di sekitarnya.

Pendidikan Karakter

Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa,

kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun

berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”.

Pendidikan Karakter menurut Albertus (2010) adalah diberikannya tempat bagi kebebasan

individu dalam mennghayati nilai-nilai yang dianggap sebagai baik, luhur, dan layak

diperjuangkan sebagai pedoman bertingkah laku bagi kehidupan pribadi berhadapan dengan

dirinya, sesama dan Tuhan.

Menurut Khan (2010), pendidikan karakter adalah proses kegiatan yang dilakukan

dengan segala daya dan upaya secara sadar dan terencana untuk mengarahkan anak didik.

Pendidikan karakter juga merupakan proses kegiatan yang mengarah pada peningkatan

kualitas pendidikan dan pengembangan budi harmoni yang selalu mengajarkan,

membimbing, dan membina setiap menusia untuk memiliki kompetensi intelektual,

karakter, dan keterampilan menarik. Nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat dihayati

Pendidikan Karakter dalam Menanamkan Nilai-Nilai Kebhinnekaan

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016

402

dalam penelitian ini adalah religius, nasionalis, cerdas, tanggung jawab, disiplin, mandiri,

jujur, dan arif, hormat dan santun, dermawan, suka menolong, gotong-royong, percaya diri,

kerja keras, tangguh, kreatif, kepemimpinan, demokratis, rendah hati, toleransi, solidaritas

dan peduli.

Pendidikan karakter menurut Lickona (1992) adalah pendidikan untuk membentuk

kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam

tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab,

menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya. Lickona mendefinisikan orang

yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral

yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur,

bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip

dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan

“habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan yang kerap dimanifestasikan dalam

tingkah laku. Lebih jauh, Lickona menekankan tiga hal dalam mendidik karakter. Tiga hal

itu dirumuskan dengan: knowing, loving, dan acting the good.

Menurut Lickona, keberhasilan pendidikan karakter dimulai dengan pemahaman

karakter yang baik, mencintainya, dan pelaksanaan atau peneladanan atas karakter baik itu.

Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan

karakter yang diterapkan secara sistematis, dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi

cerdas emosinya, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Sebab kecerdasan emosi ini

menjadi bekal penting dalam mempersiapkan anak masa depan dan mampu menghadapi

segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: 1).

karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, 2). kemandirian dan tanggung jawab, 3).

Kejujuran atau amanah, diplomatis, 4). hormat dan santun; 5). dermawan, suka tolong

menolong dan gotong royong atau kerjasama, 6). percaya diri dan pekerja keras, 7).

kepemimpinan dan keadilan, 8). baik dan rendah hati, 9). karakter toleransi, kedamaian, dan

kesatuan. Kesembilan karakter itu perlu ditanamkan dalam pendidikan holistik dengan

menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Hal tersebut

diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan/mencintai dan sekaligus melaksanakan

nilai-nilai kebajikan.

Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan

memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau

Ardianto Nugroho, Mega Putri Wijayanti

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016

403

tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya

dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah

moral disebut dengan berkarakter mulia. Karakter mulia berarti individu memiliki

pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai positif seperti:

reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup

sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat

dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati

lembut, setia, dan nilai-nilai positif lainnya. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat

yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan

kesadarannya tersebut. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang

berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama,

lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan

mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan

motivasinya (perasaannya). Melalui beberapa konsep pendidikan karakter dari para ahli di

atas, dapat di tarik sebuah kesamaan konsep yaitu pendidikan karakter adalah suatu sistem

pendidikan yang dilakukan dengan tujuan untuk menanamkan nilai-nilai karakter kepada

peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan

untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.

Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk

komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan

penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan

aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos

kerja seluruh warga sekolah dan lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai

sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus

berkarakter.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter

merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk

membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan

Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang

terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-

norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Bhineka Tunggal Ika

Pendidikan Karakter dalam Menanamkan Nilai-Nilai Kebhinnekaan

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016

404

Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari

bahasa Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap

satu”. Diterjemahkan per kata, kata bhinneka berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda.

Kata “neka” dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka"

dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata “ika” berarti "itu". Secara harfiah

Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun

berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan

ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku

bangsa, agama dan kepercayaan. Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa

Kuna yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar

abad ke-14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa

dengan umat Buddha (Yamin, 1958).

Lambang negara Indonesia berbentuk burung Garuda yang kepalanya menoleh ke

sebelah kanan (dari sudut pandang Garuda), perisai berbentuk menyerupai jantung yang

digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang

berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu” ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda.

Kata Bhineka Tunggal Ika dapat pula dimaknai bahwa meskipun bangsa dan negara

Indonesia terdiri atas beraneka ragam suku bangsa yang memiliki kebudayaan dan adat-

istiadat yang bermacam-macam serta beraneka ragam kepulauan wilayah negara Indonesia

namun keseluruhannya itu merupakan suatu persatuan yaitu bangsa dan negara Indonesia.

Keanekaragaman tersebut bukanlah merupakan perbedaan yang bertentangan namun justru

keanekaragaman itu bersatu dalam satu sintesis yang akan memperkaya sifat dan makna

persatuan bangsa dan negara Indonesia.

Bagi bangsa Indonesia, semboyan Bhineka Tunggal Ika merupakan dasar untuk

mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia. Perwujudan semboyan Bhineka Tunggal Ika

dalam kehidupan sehari-hari dilakukan dengan cara hidup saling menghargai antara

masyarakat yang satu dengan yang lainnya tanpa memandang suku

bangsa,agama,bahasa,adat istiadat, warna kulit dan lain-lain. Tanpa adanya kesadaran sikap

untuk menjaga Bhineka tunggal Ika pasti akan terjadi konflik dan kekacauan di dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut Kusumohamodjojo (2000), ada beberapa hal yang perlu ditekankan dalam

pengimplementasian nilai-nilai kebhinnekaan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam

Ardianto Nugroho, Mega Putri Wijayanti

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016

405

pembinaan aspek kehidupan nasional, aktualisasi pemahaman nilai-nilai kebhinnekaan yang

termaktub dalam Pancasila harus menjadi nilai yang menjiwai segenap peraturan perundang-

undangan yang berlaku di seluruh wilayah negara. Untuk itu, harus diimplementasikan ke

dalam segenap pranata sosial yang berlaku di masyarakat dalam suasana ke-Bhinekaan

Tunggal Ika-an sehingga dapat membangun kehidupan sosial yang akrab, peduli, toleran,

dan hormat. Semua itu menggambarkan semangat kebangsaan atau nasionalisme yang tinggi

sebagai identitas atau jati diri bangsa Indonesia. Untuk mengaktualisasikan nilai-nilai

kebhinnekaan, baik warga maupun pemimpin terutama pelaksana pemerintahan harus dapat

menjadikannya sebagai landasan yang terintegrasi dalam menyelenggarakan kehidupan

nasional yang sinergis.

Penerapan pendidikan kebhinekaan dalam proses belajar di sekolah

Penerapan Pendidikan Karakter. Penerapan pendidikan karakter pada

pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan strategi yang tepat. Strategi

yang tepat adalah strategi yang menggunakan pendekatan kontekstual. Alasan penggunaan

strategi kontekstual adalah bahwa strategi tersebut dapat mengajak siswa menghubungkan

atau mengaitkan materi yang dipelajari dengan dunia nyata. Dengan dapat mengajak

menghubungkan materi yang dipelajari dengan dunia nyata, berati siswa diharapkan dapat

mencari hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan pengetahuan

tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pendekatan itu, siswa lebih memiliki hasil

yang komprehensif tidak hanya pada tataran kognitif (olah pikir), tetapi pada tataran afektif

(olah hati, rasa, dan karsa), serta psikomotor (olah raga) (Puskur, 2011 : 8).

Adapun beberapa strategi pembelajaran kontekstual antara lain (a) pembelajaran

berbasis masalah, (b) pembelajaran kooperatif, (c) pembelajaran berbasis proyek, (d)

pembelajaran pelayanan, dan (e) pembelajaran berbasis kerja. Puskur (2011 : 9) menjelaskan

bahwa kelima strategi tersebut dapatmemberikan nurturant effect pengembangan karakter

siswa, seperti: karakter cerdas, berpikir terbuka, tanggung jawab, rasa ingin tahu.

Jenis dan Bentuk Pendidikan Karakter. Pengembangan budaya sekolah dan pusat

kegiatan belajar dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri, yaitu kegiatan rutin,

kegiatan spontan, keteladanan, dan, pengkondisian. Adapun hal-hal tersebut adalah sebagai

berikut

1. Kegiatan rutin

Pendidikan Karakter dalam Menanamkan Nilai-Nilai Kebhinnekaan

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016

406

kegiatan rutin merupakan kegiatan yang rutin atau ajeg dilakukan setiap saat.

Kegiatan rutin dapat juga berarti kegiatan yang dilakukan siswa secara terus menerus

dan konsisten setiap saat (Puskur, 2011: 8). Beberapa contoh kegiatan rutin antara

lain kegiatan upacara hari Senin, upacara besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan

badan, piket kelas, shalat berjamaah, berbaris ketika masuk kelas, berdoa sebelum

pelajaran dimulai dan diakhiri, dan mengucapkan salam apabila bertemu guru, tenaga

pendidik, dan teman.

2. Kegiatan spontan

Kegiatan spontan dapat juga disebut kegiatan insidental. Kegiatan ini dilakukan

secara spontan tanpa perencanaan terlebih dahulu. Contoh kegiatan ini adalah

mengumpulkan sumbangan ketika ada teman yang terkena musibah atau sumbangan

untuk masyarakat ketika terjadi bencana.

3. Keteladanan

Keteladanan merupakan sikap “menjadi contoh”. Sikap menjadi contoh merupakan

perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan dan siswa dalam memberikan

contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan

bagi siswa lain (Puskur, 2011: 8). Contoh kegiatan ini misalnya guru menjadi contoh

pribadi yang bersih, rapi, ramah, dan supel.

4. Pengkondisian

Pengkondisian berkaitan dengan upaya sekolah untuk menata lingkungan fisik

maupun nonfisik demi terciptanya suasana mendukung terlaksananya pendidikan

karakter. Kegiatan menata lingkungan fisik misalnya adalah mengkondisikan toilet

yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, poster kata-kata

bijak yang dipajang di lorong sekolah dan di dalam kelas, sedangkan pengkondisian

lingkungan nonfisik misalnya mengelola konflik supaya tidak menjurus kepada

perpecahan, atau bahkan menghilangkan konflik tersebut.

5. Kegiatan ekstrakurikuler

Kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan-kegiatan di luar kegiatan

pembelajaran. Meskipun di luar kegiatan pembelajaran, guru dapat juga

mengintegrasikannya dalam pembelajaran. Kegiatan-kegiatan ini sebenarnya sudah

mendukung pelaksanaan pendidikan karakter. Namun demikian tetap diperlukan

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang baik atau merevitalisasi kegiatan-

Ardianto Nugroho, Mega Putri Wijayanti

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016

407

kegiatan koekstrakurikuler tersebut agar dapat melaksanakan pendidikan karakter

kepada siswa.

6. Kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat

Kegiatan ini merupakan kegiatan penunjang pendidikan karakter yang ada di

sekolah. rumah (keluarga) dan masyarakat merupakan partner penting suksesnya

pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah. pelaksanaan pendidikan karakter sebaik

apapun, kalau tidak didukung oleh lingkungan keluarga dan masyarakat akan sia-sia.

Dalam kegiatan ini, sekolah dapat mengupayakan terciptanya keselarasan antara

karakter yang dikembangkan di sekolah dengan pembiasaan di rumah dan

masyarakat (Puskur, 2011: 8).

Peran Pendidikan Karakter dalam menanamkan nilai-nilai

Dalam sebuah artikelnya, Ghazali (2012) menjabarkan tugas dan peran yang harus

dilakukan oleh sekolah untuk melaksanakan pendidikan karakter.

Pertama, menyediakan pendidikan moral agama yang berbasis penyikapan

terhadap kasus/ fenomena. Dalam hal ini tentunya agama tidak saja disajikan dalam

pengetahuan aturan atau tata laksana ibadah tetapi lebih kepada nilai-nilai agama dalam

menghadapi fenomena sosial. Nilai-nilai agama inilah yang menjadi bagian dari

pembentukan karakter moral peserta didik. Sebagai contoh, pendidikan agama Islam tidak

hanya mengajarkan sholat saja tapi nilai-nilai manfaat yang diperoleh bagi manusia itu

sendiri dengan menjalankan sholat. Begitu pula agama Kristen Protestan tidak hanya

mengajarkan cara bersembahyang tetapi bagaimana menerapkan Etika Protestan untuk

keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. Juga The Golden Role dalam ajaran agama

Katholik agar manusia menyebarkan kebaikan kepada sesamanya. Sebenarnya beberapa ahli

pemikir Barat membedakan antara moral dengan nilai-nilai agama. Akan tetapi, pemakalah

mempunyai pendirian bahwa nilai agama membentuk karakter moral karena nilai agama

yang universal juga mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia

dengan dirinya sendiri (intrapersonal) dan hubungan manusia dengan lingkungan sosialnya

(interpersonal). Tidak ada agama yang tidak mengatur ketiga hal tersebut. Bahkan secara

tegas, Silberman (2005) menyatakan bahwa ciri manusia yang religius adalah:

a) Mampu memahami Tuhan dan melaksanakan semua ajaranNya. Pada elemen ini,

manusia yang beragama dituntut untuk memahami kekuatan Tuhan dan

mengamalkan semua ajaranNya dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan Karakter dalam Menanamkan Nilai-Nilai Kebhinnekaan

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016

408

b) Memahami pemaknaan diri. Pada elemen ini, manusia yang mengaku beragama

harus memiliki pemahaman terhadap hakikat diri, tujuan hidup, potensi diri dan

pengaruh ajaran agama terhadap proses pembentukan jati diri. Misalnya, sebagai

seorang Muslim maka ia tahu bahwa tujuan hidupnya hanyalah untuk berbakti

kepada Allah SWT, mempunyai potensi persaudaraan sebagai sesama muslim dan

ajaran Islam dijadikannya sebagai identitas dirinya.

c) Meyakini dan memelihara hubungan dengan mahluk lain ciptaan Tuhan dan alam

semesta. Sebagai manusia yang beragama maka kita dituntut untuk membina

hubungan dengan orang lain, mahluk ghaib dan alam semesta.

d) Keyakinan terhadap hari depan, yaitu keyakinan yang harus dimiliki oleh manusia

religius terhadap kehidupan masa depan, kehidupan setelah kehidupan di dunia,

seperti kematian, alam kubur, hari berbangkit atau kiamat, syurga dan neraka. Oleh

karena itu, manusia yang religius menjadikan kehidupan di dunia ini sebagai

investasi dalam kehidupan di masa mendatang, termasuk kehidupan akhirat kelak.

Berdasarkan ciri manusia yang religius atau mempunyai nilai-nilai agama tersebut

maka sebenarnya sama dengan tujuan pendidikan berkarakter moral yang mengembangkan

interpersonal dan intrapersonal. Dengan demikian, pendidikan moral agama lebih

ditekankan kepada kasus-kasus atau fenomena yang harus dipecahkan oleh peserta didik

berdasarkan pertimbangan nilai atau moral agama. Hal ini yang disebut sebagai

pembelajaran berbasis masalah (problem based learning).

Kedua, menyiapkan guru, kakak kelas, sivitas akademika, alumni sebagai role

model. Sebagaimana definisi pendidikan berkarakter moral sebagai proses transfer,

khususnya tindakan terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal maka

dibutuhkan figur teladan dalam menegakkan nilai atau aturan tersebut. Figur teladan ini

sesuai dengan filosofi pendidik yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu ing

ngarso sung tulodho (seorang guru harus mampu memberikan keteladanan sikap dan

tindakan), khususnya keteladanan moral. Apalagi, guru merupakan sosok digugu lan ditiru

(dipatuhi dan dicontoh tindakannya). Jika guru hanya memberikan pengajaran moral tanpa

mendidik (memberi keteladanan moral) maka akan terjadi kebingungan pada diri peserta

didik. Sosok guru yang ideal ialah guru yang bermoral. Ketika guru melakukan tindakan

amoral, seperti pelecahan seksual, kekerasan, tindak pidana dan lain sebagainya maka

fenomena ini disebut sebagai moral hypocrisy, yaitu sosok yang idealnya bermoral namun

melakukan tindakan tidak bermoral. Tidak hanya guru, kakak kelas dan alumni pun sebagai

Ardianto Nugroho, Mega Putri Wijayanti

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016

409

figur teladan dalam penegakan moral. Jika kakak kelas dan alumni berkomitmen untuk

membantu penegakan moral di lingkungan sekolah maka aktivitas yang tidak bermoral,

seperti kekerasan dalam masa orientasi dan tawuran dapat diminimalisasi.

Ketiga, menyediakan perangkat nilai dan aturan yang jelas, rasional dan

konsisten. Sekolah yang mempunyai aturan jelas menyebabkan tidak ada ambiguitas peserta

didik dalam memahaminya. Aturan yang jelas juga dimaksudkan agar peserta didik tidak

mencari celah kelemahan aturan dan memanfaatkan celah tersebut untuk pelanggaran. Selain

itu, yang dimaksudkan dengan aturan atau nilai yang rasional ialah segala aturan tersebut

bukan saja bertujuan untuk mengarahkan atau melarang suatu tindakan tetapi lebih kepada

penguatan alasan mengapa aturan atau nilai tersebut ditegakkan. Tentunya hal ini

membutuhkan sosialisasi kepada peserta didik dan sivitas akademika agar memahami latar

belakang ditegakkannya nilai atau aturan tersebut. Rasionalitas atau alasan tentang

penegakan nilai moral tersebut perlu dilakukan karena dalam psikologi perkembangan,

seorang remaja mulai berfikir operasional kongkret yang mencari rasional dalam setiap

tindakan. Dengan pemahaman nilai atau aturan yang rasional tersebut maka peserta didik

akan menjalankan aturan dan nilai tersebut karena terdorong untuk kebaikan mereka sendiri.

Hal ini menandakan aturan atau nilai yang rasional/ mempunyai alasan yang tepat akan

menumbuhkan motivasi intrinsik atau motivasi dalam diri. Sedangkan penegakan nilai atau

aturan yang konsisten untuk semua pihak diharapkan akan menjadi perangkat aturan untuk

kepentingan bersama (keadilan distributif).

Keempat, membangun sinergitas antara pihak sekolah, keluarga, masyarakat

dan pemerintah. Sebagaimana kita ketahui kebijakan publik tidak dapat dijalankan jika

tidak ada sinergi antara pihak terkait. Meskipun sekolah telah menerapkan pendidikan

berkarakter moral di lingkungan belajar namun hal ini tidak akan efektif jika tidak didukung

keterlibatan pihak keluarga, masyarakat dan pemerintah. Jika kita kembali merujuk definisi

pendidikan berkarakter moral maka pendidikan tersebut sesungguhnya merupakan suatu

proses. Maknanya, pendidikan berkarakter moral merupakan transfer secara bertahap dan

berkelanjutan. Sayangnya, kebijakan pemerintah tentang ujian nasional (UNAS)

mempunyai dampak bahwa pendidikan lebih menekankan kepada hasil suatu sistem dan

bukan kepada proses. Padahal sebenarnya pendidikan lebih menekankan kepada proses

suatu sistem. Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah tidak membuat suatu kebijakan

yang bertentangan dengan filosofi pendidikan berkarakter moral.

Pendidikan Karakter dalam Menanamkan Nilai-Nilai Kebhinnekaan

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016

410

Kelima, pendidikan berkarakter moral dimasukkan dalam kegiatan intra,

ekstra dan ko-kulikuler sebagai hidden curriculum. Dalam kegiatan intra-kurikuler dan

ko-kurikuler, setiap mata pelajaran perlu memberikan pesan moral khusus berkaitan dengan

topik pembelajaran. Contohnya, pelajaran Biologi tentang reproduksi manusia perlu

diberikan sosialisasi tentang dampak negatif seks pra-nikah jika organ reproduksi belum siap

digunakan. Jadi, tidak sekedar pengetahuan seks tetapi juga menyisipkan pesan moral yang

rasional. Begitu pula, dalam kegiatan ekstra-kurikuler perlu diperbanyak aktivitas yang

membina karakter moral peserta didik, seperti Pramuka, PMR, Dokter Kecil, Olah Raga dan

lain sebagainya. Bahkan ide untuk mendirikan dan melestarikan “Kantin Kejujuran” perlu

diwujudkan.

Keenam, menyajikan story telling melalui multi media dengan melibatkan

peran sebagai role model karakter moral. Menurut Sheldon (2004), story telling adalah

salah satu metode yang tepat untuk menyampaikan pesan moral melalui peran tokoh-tokoh

dalam suatu cerita sebagai role model. Dengan demikian, story telling memiliki kemampuan

untuk menyampaikan nilai-nilai moral karena anak dan remaja lebih mudah menerima

informasi melalui audio-visual. Oleh karena itu, disarankan story telling disajikan dalam

multi media sehingga menarik keterlibatan afeksi dan kognisi peserta didik dalam

menginternalisasi nilai moral yang disampaikan. Sebagai contoh, story telling dengan tema

budaya lokal, seperti Malin Kundang disampaikan melalui tayangan film atau parodi

sehingga pesan moral tentang berbakti kepada orang tua lebih efektif disampaikan kepada

peserta didik.

SIMPULAN

Keberagaman adalah anugerah yang harus disyukuri. Negara Indonesia adalah

negara yang dianugerahi oleh keberagaman. Menjadikan negara ini memiliki potensi

kekayaan budaya yang sangat berharga. Keberagaman tersebut kemudian diikat dengan

semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang kemudian semboyan tersebut mewarnai kehidupan

bermasyarakat. Semboyan tersebut tidak boleh hanya menjadi sekedar semboyan, tetapi

harus menjadi nilai-nilai yang mendasari segala sikap hidup masyarakat Indonesia.

Semboyan tersebut tidak boleh pudar, tetapi harus tetap berperan dalam membentuk karakter

bangsa.

Ardianto Nugroho, Mega Putri Wijayanti

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016

411

Pendidikan adalah salah satu sarana yang efektif untuk dapat menanamkan dan

menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sehingga, melalui kegiatan-kegiatan sekolah,

semboyan tersebut dapat hidup dan merasuk dalam jiwa peserta didik. Membuat peserta

didik menjadi warga negara yang menghidupi semboyan tersebut dengan cara

mengimplementasikan kebhinnekaan dalam kehidupan sehari-hari.

Pelaksanaan pendidikan karakter dalam menanamkan nilai-nilai kebhinekaan

tentunya dilaksanakan dengan strategi yang tepat agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan

efektif. Kualitas pendidikan karakter ditentukan oleh kesadaran warga sekolah akan

pentingnya sebuah karakter. Pendidikan karakter bukanlah tugas satu pihak tertentu, tetapi

semua warga sekolah seharusnya ikut ambil bagian Pengurus yayasan, Kepala sekolah,

Guru, staf pendidik, peserta didik adalah mereka yang memiliki andil dalam menjalankan

pendidikan karakter. Dengan kerja sama yang baik serta kesamaan visi dan misi, maka

pendidikan karakter dapat dilaksanakan. Jadi, diharapkan melalui pendidikan karakter

kebhinnekaan, dapat mencetak warga negara yang memiliki dan dapat menghidupkan nilai-

nilai kebhinnekaan dalam kehidupannya sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA Albertus, D. K. (2010) Pendidikan karakter: Strategi mendidik anak di zaman global.

Jakarta: Grasindo. Badan Pusat Statistik. (2016). ________________. Diunduh dari https://www.bps.go.id/ Khan, Y. (2010). Pendidikan karakter berbasis potensi diri. Yogyakarta: Pelangi. Kusumohamodjojo, B. (2010). Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia. Jakarta: Grasindo. Lestari, S. (2016). Anak-anak muda Indonesia makin radikal?. Diunduh dari

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160218_indonesia_radikalisme_anak_muda

Lickona, T. (1992) Educating for character: How our school can teach respect and responsibility, New York, NY:Bantam.

Sheldon, L. (2004). Character development and story telling. Boston, MA: Thomson. Silberman, I. (2005). Religion as a meaning system: implications for the new millennium.

Journal of Social Issues, 61(4), 641-663. Yamin, M. (1958). 6000 tahun sang Merah Putih. Jakarta: Balai Pustaka


Recommended