Date post: | 01-Mar-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
PERSEPSI MASYARAKAT KOTA MOJOKERTO
TERHADAP CITY BRAND KOTA MOJOKERTO
SEBAGAI ‘KOTA ONDE-ONDE’
Oleh:
Candra Rahsurya Eka Putra
Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya,
Jalan Veteran, Malang, 65145
Email: [email protected]
ABSTRAK Kota Mojokerto merupakan salah satu kota kecil dengan penduduk padat yang
berada di provinsi Jawa Timur. City brand ‘Kota Onde-Onde’ yang dipakai oleh Kota
Mojokerto, diciptakan melalui sisi sejarah onde-onde yang pertama kali masuk ke
Indonesia dari China sejak jaman Kerajaan Majapahit. Persepsi masyarakat terhadap
sebuah kota dapat dijadikan sebagai acuan city branding untuk menghasilkan sebuah
city brand bagi sebuah kota. Maka dari itu, persepsi masyarakat terhadap brand kota
dimana mereka tinggal sangatlah perlu untuk diselaraskan agar tidak ada kesalahan
persepsi terhadap city brand yang digunakan oleh pemerintah kota dengan city brand
yang dipersepsi oleh masyarakat. City brand Kota Mojokerto sebagai ‘Kota Onde-
Onde’ yang muncul karena sisi historical, membuat penulis ingin mengetahui
bagaimana persepsi masyarakat Kota Mojokerto terhadap city brand Kota
Mojokerto.Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi
masyarakat Kota Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto sebagai ‘Kota Onde-
Onde’ pada saat ini.
Penelitian ini menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Rangkuti (2004:3)
mengenai enam tingkat pengertian brand. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan mengumpulkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari informan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara semiterstruktur dan mengumpulkan data dokumentasi berupa foto-foto
dengan menggunakan alat bantu kamera. Analisis data dalam penelitian ini dengan
menguraikan, menginterpretasikan, dan mengambil kesimpulan dalam bentuk tulisan
yang sistematis. Keabsahan data penelitian ini menggunakan teknik analisis
triangulasi data.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat Kota Mojokerto
mempersepsikan Kota Mojokerto adalah ‘Kota Onde-Onde’ dan menggunakan
identitas tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Kota Mojokerto
menganggap dengan menggunakan city brand ‘Kota Onde-Onde’, masyarakat Kota
Mojokerto lebih mudah menemukan pusat produksi onde-onde serta mampu
menjadikan Kota Mojokerto dikenal luas. Masyarakat kota Mojokerto beranggapan
jika city brand Kota Mojokerto sebagai ‘Kota Onde-Onde’ telah mewakili kebiasaan
masyarakat Kota Mojokerto serta kebiasaan pemerintah Kota Mojokerto. Masyarakat
Kota Mojokerto berpersepsi bahwa para wisatawan yang berkunjung ke Kota
Mojokerto adalah para wisatawan yang bertujuan untuk membeli onde-onde.
ABSTRACT Mojokerto City is a small city with a dense population in the province of East
Java. City brand 'Onde-Onde City' used by Mojokerto City, created through the history
of dumplings were first entered into Indonesia from China since the days of the
kingdom of Majapahit. The public perception of a city can be used as a reference city
branding to produce a city brand for a city. Therefore, the public perception of the
brand the city in which they live is necessary to be harmonized so that there are no
errors perception of a city brand that is used by the city government with a city brand
that is perceived by the public. City brand Mojokerto City as' Onde-Onde City 'which
arises because of the historical side, making the writer wanted to know how the public
perception of Mojokerto City against the city brand of Mojokerto City Mojokerto. The
purpose of this research was to determine the public's perception aginst the city brand
of Mojokerto City as 'Onde-Onde City' at this time.
This study uses the concept proposed by Rangkuti (2004: 3) on the six-level
understanding of the brand. This study used qualitative methods to gather descriptive
data in the form of words written or spoken of informants. Data collection methods
used in this study were semistructured interviews and collect data documentation in the
form of photographs using a camera tools. Analysis of the data in this study to
decipher, interpret, and draw conclusions in a systematic form of writing. The validity
of this research data use triangulation of data analysis techniques.
The results of this study indicate that the public of Mojokerto City perceives
Mojokerto City is 'Onde-Onde City' and using the identity in everyday life. Mojokerto
City community considers the use of city brand 'Onde-Onde City', society of Mojokerto
City more easily find dumplings production center and be able to make Mojokerto
known. Community of Mojokerto City assume if a city brand Mojokerto City as 'Onde-
Onde City’ has represented people's habits and customs government of Mojokerto City.
Mojokerto City community perceived that the tourists who visit the City of Mojokerto is
the tourists who aim to buy dumplings.
Keyword: Perception, City Brand, Mojokerto City
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kota Mojokerto merupakan salah satu kota kecil dengan penduduk padat yang
berada di provinsi Jawa Timur. Kota kecil yang bernama Mojokerto ini mendapat
berbagai penghargaan dari pemerintah pusat maupun provinsi. Kota Mojokerto juga
memiliki kekurangan yaitu minimnya tempat pariwisata. Kota Mojokerto berkembang
dengan baik karena memiliki potensi daerah khususnya di bidang industri dan kerajinan
yang cukup banyak. “Semakin meningkatnya sektor industri baik ditinjau dari investasi
dan penyerapan tenaga kerja menjadikan sebuah fenomena baru bagi perkembangan Kota
Mojokerto yang sarat dengan sumber daya manusia produktifnya” (Agustin, 2014).
Pemerintah Kota Mojokerto mempromosikan Kota Mojokerto menggunakan „Kota
Onde-Onde‟ sebagai sebuah city brand. City brand „Kota Onde-Onde‟ yang dipakai oleh
Kota Mojokerto, diciptakan melalui sisi sejarah onde-onde yang pertama kali masuk ke
Indonesia dari China sejak jaman Kerajaan Majapahit sehingga Kota Mojokerto dianggap
sebagai asal dari makanan khas „onde-onde‟ tersebut di Indonesia. “Kue ini sangat
terkenal di daerah Mojokerto yang disebut sebagai kota onde-onde sejak zaman
Majapahit” (News Online Center, 2012). Dalam upaya mempromosikan city brand-nya,
pemerintah Kota Mojokerto hanya menyerukan bahwa Kota Mojokerto adalah kota onde-
onde melalui walikotanya dalam kegiatan-kegiatan yang dihadirinya dan beberapa kali
mengadakan event bertaraf nasional yang bertajuk onde-onde. “Agar masyarakat lebih
mengenal onde-onde, beberapa event bertaraf nasional juga digelar bahkan sampai
memecahkan rekor MURI yakni di tahun 2004” (Lia, 2011). Hal tersebut mengakibatkan
munculnya persepsi yang salah pada masyarakat terhadap city brand yang dipakai oleh
Kota Mojokerto. “Saya sudah sekitar 12 tahun berdomisili di Kota Mojokerto. Ketika pertama
kali menginjakan kaki di Mojokerto, saya pikir inilah kota sepatu sandal di
Indonesia. Tapi setelah sekian tahun aku berdomisili di Mojokerto, ternyata isi
pikiran saya itu tidak cocok karena dalam beberapa kesempatan atau event-
event resmi warga atau pejabat di Mojokerto kerap mendengungkan slogan
„Mojokerto Kota Onde-Onde. Bagi saya slogan itu sama sekali tidak cocok,
karena ketika saya melangkahkan kaki menyusuri jalan-jalan di Mojokerto
bukan pembuat onde-onde yang saya jumpai, tapi yang kerap sekali saya
jumpai di rumah-rumah adalah para penjahit sepatu sedang melakukan
pekerjaanya. Jadi menurut saya Mojokerto lebih cocok bila di juluki sebagai
kota sepatu. (Digdoyo, 2013) Sebagai bagian dari sebuah negara, Kota Mojokerto tidak dapat lagi hanya
bergantung kepada negara, melainkan harus mampu bersaing dalam kompetisi global
secara mandiri. Kota Mojokerto harus bisa memasarkan diri untuk menarik minat
wisatawan berkunjung ke Kota Mojokerto sebanyak-banyaknya. Kota Mojokerto harus
mempunyai ciri khas yang dapat dijelaskan dan diidentifikasikan untuk memiliki city
brand yang kuat (Kementerian Dalam Negeri, 2013) serta telah memenuhi syarat (Gelder,
dikutip dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang 2012) guna
memasarkan dirinya.
„Kota Onde-Onde‟, merupakan city brand yang dipakai oleh Kota Mojokerto. “City
brand adalah identitas, simbol, logo, atau merek yang melekat pada suatu daerah”
(Kementerian Dalam Negeri, 2013). Keuntungan yang didapat oleh sebuah kota ketika
melakukan city branding adalah kota tersebut bisa dikenal luas (high awareness) disertai
dengan persepsi yang baik; memiliki tujuan-tujuan khusus (specific purposes); menjadi
tempat investasi; tujuan wisata, tempat tinggal, dan penyelenggaraan kegiatan; serta
dianggap sebagai tempat yang makmur dan aman (Kementerian Dalam Negeri, 2013). Oleh karena itu, setiap kota perlu memiliki sebuah city brand khususnya kota-kota kecil
yang belum banyak dikenal oleh masyarakat termasuk Kota Mojokerto untuk
mempromosikan daerah, tempat pariwisata, serta produk-produk unggulannya.
Penerapan City branding pertama kali di Indonesia dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2001 yang menghasilkan brand „Jogja, The
Never Ending Asia‟ melalui penelitian empiris terhadap responden yang terdiri atas
penduduk Kota Yogyakarta, penduduk pendatang, bahkan turis asing (Chaerani, 2011).
Responden berupa penduduk Kota Yogyakarta, penduduk pendatang, serta turis asing
menunjukkan bahwa city branding merupakan gambaran dari pikiran, perasaan, asosiasi,
dan ekspektasi yang datang dari benak seseorang melalui sebuah nama, logo, produk
layanan, event, ataupun simbol (Fatmala, 2012). Persepsi masyarakat terhadap sebuah
kota dapat dijadikan sebagai acuan city branding untuk menghasilkan sebuah city brand
bagi sebuah kota. City Brand bukanlah merupakan apa yang kota itu ingin sampaikan,
tapi apa yang orang katakan tentang kota itu (Brooks, dikutip dari Harrington 2007).
Dengan kata lain, brand sebuah kota dibentuk oleh masyarakat melalui penilaian mereka
terhadap kota tersebut atas segala hal yang dilakukan oleh pemerintah kota itu. Maka
setiap kota tentunya dalam upaya menyematkan city brand bagi kota tersebut, tidaklah
bisa seenaknya menentukan city brand apa yang akan dipakai melainkan yang bisa benar-
benar mewakili dan merepresentasikan dari kota penyandang city brand. Hal tersebut
diharapkan mampu membuat masyarakat dapat mengingat dan mengetahui ketika
mendengar nama kota atau city brand dari sebuah kota.
City brand tidak bisa lepas dengan masyarakat. Peran masyarakat sangat diperlukan
sebagai kekuatan pendukung city brand melalui fungsinya untuk memperkenalkan kota
dimana mereka tingal (Purnamasari, 2013). Maka dari itu, persepsi masyarakat terhadap
brand kota dimana mereka tinggal sangatlah perlu untuk diselaraskan agar tidak ada
kesalahan persepsi terhadap city brand yang digunakan oleh pemerintah kota dengan city
brand yang dipersepsi oleh masyarakat.
City brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ yang muncul karena sisi
historical, membuat penulis ingin mengetahui bagaimana persepsi masyarakat Kota
Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto. Penulis beranggapan jika temuan data
awal di atas penting untuk ditindaklanjuti. Perlu diketahui bagaimanakah persepsi
masyarakat Kota Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto pada saat ini.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti persepsi masyarakat
Kota Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟.
Rumusan Masalah
City brand „Kota Onde-Onde‟ yang diciptakan oleh pemerintah Kota
Mojokerto melalui sisi sejarah Kota Mojokerto, menarik minat penulis dalam
melakukan penelitian untuk mengetahui persepsi masyarakat Kota Mojokerto
terhadap city brand Kota Mojokerto pada saat ini apakah city brand „Kota Onde-
Onde‟ tersebut sesuai dengan apa yang ada dalam benak masyarakat Kota
Mojokerto. Berdasarkan persoalan tersebut ada pertanyaan yang akan coba
dijawab oleh penulis yaitu bagaimanakah persepsi masyarakat Kota Mojokerto
terhadap city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟?
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dilakukan penelitian ini
dengan judul “Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota
Mojokerto Sebagai „Kota Onde-Onde‟” ini adalah untuk mengetahui persepsi masyarakat
Kota Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ pada saat
ini.
Manfaat Penelitian Manfaat penulis mengadakan penelitian ini adalah:
1. Manfaat akademis:
Bermanfaat sebagai salah satu proses pembelajaran terkait city brand dari sudut
pandang masyarakat.
2. Manfaat praktis:
a. Bagi almamater, penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan
sumbangan pemikiran dalam meneliti city brand kota yang terbilang kecil dan
tidak begitu banyak dikenal.
b. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran terkait city brand sebuah kota tanpa melalui proses city branding.
c. Bagi pihak pemerintah Kota Mojokerto, diharapkan dengan adanya penelitian
ini dapat mengetahui persepsi masyarakat Kota Mojokerto terhadap city brand
Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ sehingga dapat mengambil langkah
yang tepat dan menjadi lebih baik lagi di kemudian hari.
TINJAUAN PUSTAKA
City Brand
Untuk memiliki city brand yang kuat, sebuah kota harus mempunyai ciri khas yang
dapat dijelaskan dan diidentifikasikan seperti tampak fisik kota, pengalaman orang
terhadap kota tersebut, serta penduduk yang tinggal di kota tersebut (Kementerian Dalam
Negeri, 2013). Gelder (dikutip dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota
Semarang 2012) menjelaskan bahwa city brand mempunyai lima syarat, antara lain:
1. City brand harus menunjukkan kondisi kualitas dari kota atau daerah yang
sebenarnya. City brand pada kenyataannya bukan merupakan cita-cita atau visi
semata-mata yang ingin dicapai, tetapi adalah kenyataan yang sebenarnya yang
menggambarkan kondisi kota tersebut. City brand juga bukan pula merupakan
semata-mata suatu janji, tetapi adalah janji yang ditepati ketika orang tinggal, hidup,
menetap atau sekedar berkunjung ke dalam suatu kota.
2. City brand harus mudah diucapkan, dikenal, diingat, dijiwai, dihayati dan dipahami
oleh tidak hanya penduduk kota, tetapi juga bagi setiap orang yang melihat,
membaca, dan mendengarnya.
3. City brand harus mudah terbedakan, oleh karena itu harus spesifik dan khas. 4. City brand harus mudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, khususnya bahasa
Inggris harus menggambarkan pengertian yang sama dan identik, sehingga tidak
membingungkan orang yang mengetahuinya.
5. City brand harus bisa memperoleh hak untuk didaftarkan dan mendapat
perlindungan hukum. Sebuah jurnal yang berjudul City Brand Management (CBM): The Case of
Kazakhstan dan ditulis oleh Hugo Gaggiotti, Patrick Low Kim Cheng, serta Olga Yunak
pada tahun 2008 merumuskan sebuah model manajemen city brand yang dinamai City
Brand Management Model. Tujuan dari CBM model adalah sebagai kerangka untuk
membangun city brand dan mengidentifikasi arah strategis serta tugas dalam membentuk
sebuah brand.
Gambar 1: The City Brand Management Model
Sumber: City Brand Management (CBM): The Case of Kazakhstan, Hugo Gaggiotti;
Patrick Low Kim Cheng; Olga Yunak, 2008
City Brand Management Model ini terdiri dari empat tahapan (Gaggiotti, Cheng &
Yunak, 2008), yakni:
WHAT WE
ARE NOW
PLACE
PEOPLE
PROCESSES
PARTNERS
WHAT OUR
OPTIONS ARE
PROSPECTS
WHAT WE
WANT TO BE
POSITIONING
WHAT WE
NEED TO DO
PLACE
PEOPLE
PROCESSES
PARTNERS
1. Analisis situasi dengan elemen „place (meliputi lokasi geografis, sejarah, cluster
industri, dan lain-lain)‟, „people (meliputi sumber daya manusia seperti keragaman
populasi, bakat, mental dan sikap warga setempat)‟, „processes (apapun yang akan
mengaktifkan atau menonaktifkan pembangunan ekonomi dan sosial kota)‟, dan
„partners (kelompok negara, perusahaan, organisasi non pemerintah, atau industri)‟
yang akan memberikan otoritas jawaban atas pertanyaan „what we are now (apa kita
sekarang)‟.
2. Pemilihan dari apa yang kota bisa jadikan berdasarkan pada analisis situasi yang
dilakukan sebelumnya dan analisis peluang serta prospek. Pada tahap ini, juga
penting untuk mengevaluasi opsi menggunakan kriteria seleksi yang akan
mencerminkan prasyarat paling penting dari brand yang bersumber dari kota seperti
lamanya citra yang dipilih dan paling cocok dengan sumber daya yang ada, kegiatan
keuangan, peluang eksternal dan citra. Salah satu yang paling cocok dari ketiganya
akan menunjuk ke arah „what we want to be (ingin menjadi apa kita)‟ yang
merupakan tahap ketiga dari strategi membangun brand.
3. Menempatkan posisi „what we want to be‟ menjadi satu dengan kembalinya
ekonomi dan sosial tertinggi.
4. Kerangka kerja untuk tindakan masa depan, yaitu „what we need to do (apa yang
perlu kita kerjakan)‟ dalam rangka mendukung penempatan. Ini bukan rencana
kerja, dalam hal ini tidak memberikan tugas khusus untuk organisasi tertentu.
Sebaliknya, itu mengusulkan arah strategis untuk memfokuskan perhatian dan energi
dari semua stakeholders dalam mencapai satu tujuan bersama.
Penulis menggunakan konsep „The City Brand Management Model‟ untuk mengkritisi
kinerja pemerintah Kota Mojokerto dalam upaya membangun city brand Kota Mojokerto
sebagai „Kota Onde-Onde‟ karena dalam penelitian ini pemerintah Kota Mojokerto
menciptakan city brand „Kota Onde-Onde‟ melalui sisi sejarah atau historical dari Kota
Mojokerto itu sendiri.
Brand Brand merupakan nama atau simbol yang menimbulkan arti psikologis atau asosiasi
(Ardiansah, 2013). “Brand adalah sebuah image atau citra yang terbentuk di benak
masyarakat (Khaerusya & Mulyana, 2011). Brand memiliki enam tingkat pengertian
(Rangkuti, 2004, h. 3), yaitu:
1. Atribut
Semua brand harus mengelola dan menciptakan atribut agar dapat diketahui dengan
pasti atribut-atribut apa saja yang terkandung dalam suatu brand.
2. Manfaat
Selain atribut, brand juga memiliki serangkaian manfaat. Atribut-atribut yang telah
diciptakan harus dapat diterjemahkan menjadi manfaat fungsional maupun manfaat
emosional yang dapat langsung dirasakan.
3. Nilai
Brand juga menyatakan sesuatu tentang nilai. Brand yang memiliki nilai tinggi akan
lebih dihargai dan dianggap berkelas sehingga mencerminkan pengguna brand.
4. Budaya
Brand mewakili budaya tertentu.
5. Kepribadian
Brand memiliki kepribadian bagi penggunanya, kepribadian pengguna brand
tercermin dalam brand yang digunakan.
6. Pemakai
Brand menunjukkan jenis konsumen dari pemakai brand tersebut. Pengguna brand
harus menentukan pada tingkat mana pengguna brand akan menanamkan identitas
brand dengan enam tingkat pengertian brand di atas.
Dalam penelitian Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota
Mojokerto Sebagai „Kota Onde-Onde‟, konsep enam tingkat pengertian milik Rangkuti
digunakan sebagai aspek utama dalam memfokuskan persepsi masyarakat Kota
Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto sebagai kota onde-onde. Keenam aspek
tersebut dapat memperlihatkan pada tingkat mana city brand „Kota Onde-Onde‟ terletak
sehingga city brand „Kota Onde-Onde‟ tidak dianggap hanya dipromosikan sebatas
atribut-atributnya saja dan diperlakukan hanya sebagai sebuah nama. Brand merupakan sebuah persepsi, hal tersebut mempunyai arti jika komunikasi berperan
dalam membentuk sebuah brand (Rumata, 2011). Menurut Khaerusya dan Mulyana (2011),
“brand adalah keseluruhan jiwa dan cerita dari sebuah produk, sehingga muncul image atau
persepsi di dalam benak konsumen menganai produk tersebut.” Fungsi brand bagi konsumen
(Danto, 2012) adalah untuk:
1. Memberikan pilihan pada konsumen, untuk produk yang tangible benefits serupa.
2. Sebagai shortcut yang menyederhanakan pengambilan keputusan.
3. Menawarkan jaminan kualitas, sehingga dapat menurunkan resiko bagi konsumen.
4. Membantu ekspresi diri (self-expression).
Dalam hal ini masyarakat Kota Mojokerto sebagai alat untuk membentuk persepsi terkait
city brand Kota Mojokerto. Masyarakatlah yang juga akan membantu meyakinkan
konsumen atau wisatawan bahwa mereka akan mendapat kualitas yang terbaik,
kenyamanan, dan lain-lain terkait onde-onde yang memberikan kepuasan kepada
wisatawan ketika mengunjungi Kota Mojokerto agar wisatawan terus mengunjungi Kota
Mojokerto dengan janji bahwa Kota Mojokerto adalah kota onde-onde.
City Branding Khaerusya dan Mulyana (2011), mendefinisikan city branding sebagai “suatu cara
dalam membangun dan membentuk image atau persepsi di masyarakat mengenai suatu
kota tertentu.” Image atau persepsi masyarakat terhadap sebuah kota diperlukan agar
harapan masyarakat terhadap kota tersebut dapat terpenuhi sehingga masyarakat merasa
memiliki kota tersebut (Fatmala, 2012). “Dengan kata lain, kita membuat kota seperti
brand yang kita buat karena city branding berfokus pada menciptakan persepsi orang
mengenai kota dan membentuk kota seperti citra yang ingin dibuat dengan upaya-upaya
tertentu” (Pradana & Sutriadi, 2014).
City branding tidak hanya sekedar slogan saja, melainkan persepsi, perasaan,
asosiasi, serta ekspektasi dari masyarakat ketika mendapat stimulus yang berkaitan
dengan kota tersebut. Langkah-langkah untuk membangun city branding menurut
Suratmi dan Santosa (2013) adalah dengan penguatan visi dan tema city branding,
segmentasi market, diferensiasi service dari produk wisata yang ditawarkan, serta
pemasaran pariwisata. Selain itu, Situmorang (dikutip dari Situmorang 2008) berpendapat
bahwa melakukan city branding bukanlah hal yang mudah karena harus melakukan
analisis lingkungan internal yang meliputi potensi suatu daerah, keuangan, produk
unggulan, kelemahan, dan lain-lain serta lingkungan eksternal yang meliputi analisis
perubahan, analisis pesaing, dan analisis pelanggan. Analisis perubahan yang meliputi
teknologi, dinamika ekonomi, perkembangan politik, regulasi, pergeseran sosial budaya,
dan perubahan pasar juga perlu dilakukan (Situmorang, 2008). Analisis pesaing melihat
tiga dimensi dari pesaing, yaitu: dimensi general yang menggambarkan jumlah pesaing
baik riil maupun potensial; dimensi aggresiveness yang menggambarkan seberapa jauh
para pesaing menerapkan secara aktif dan kreatif; dan dimensi" capability yang melihat
kemampuan pesaing dari berbagai aspek seperti kepemimpinan daerah serta kondisi
faktor produksi daerah (Kartajaya & Yuswohadi, dikutip dari Situmorang 2008).
Dalam penelitian Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota
Mojokerto Sebagai „Kota Onde-Onde‟, Kota Mojokerto menggunakan „Kota Onde-Onde‟
sebagai city brand melalui sejarah. City branding umumnya terbentuk secara alamiah
melalui peristiwa bersejarah yang pernah terjadi pada sebuah kota (Muchamad, 2011).
“Branding tersebut mencerminkan identitas, sejarah, budaya, gaya hidup kota-kota
tersebut” (Surya, 2014).
Persepsi Walgito (dikutip dari Indah 2012) berpendapat jika “persepsi merupakan suatu
proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh
organisme atau individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti”.
“Jika dikaitkan antara persepsi dan masyarakat, maka persepsi masyarakat
dapat diartikan sebagai rangkaian proses kognisi atau pengenalan dan afeksi
atau aktifitas evaluasi emosional (ketertarikan) masyarakat terhadap suatu
objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan cara
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan tersebut dengan menggunakan
media pendengaran, penglihatan, peraba dan sebagainya”. (Indah, 2012)
Proses persepsi terjadi melalui empat tahapan (Walgito, dikutip dari Indah 2012), yaitu:
1. Proses kealaman atau proses fisik, merupakan proses ditangkapnya suatu stimulus
oleh alat indra manusia.
2. Proses fisiologis, merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh
reseptor (alat indra) melalui saraf-saraf sensoris.
3. Proses psikologik, merupakan proses timbulnya kesadaran individu tentang stimulus
yang diterima reseptor.
4. Hasil yang diperoleh dari proses persepsi yaitu berupa tanggapan dan perilaku.
Konsep persepsi ini digunakan untuk menghasilkan tanggapan dari masyarakat Kota
Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ sehingga
informasi yang disimpan dalam benak masyarakat Kota Mojokerto melalui alat indra
mereka dapat diinterpretasikan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengumpulkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari informan. Fokus dari penelitian ini ditujukan
kepada tanggapan dan pendapat masyarakat Kota mojokerto terhadap city brand Kota
Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ pada saat ini melalui enam aspek dalam konsep
yang diungkapkan oleh rangkuti, yakni aribut, manfaat, nilai, budaya, kepribadian, dan
pemakai. Penelitian ini dilakukan di lingkungan masyarakat Kota Mojokerto. Sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data yang diperoleh melalui
wawancara terhadap masyarakat Kota Mojokerto dan data yang berupa foto-foto terkait
dengan permasalahan dalam penelitian. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara semiterstruktur dan dokumentasi. Teknik pemilihan
informan dalam penelitian ini menggunakan teknik accidential sampling. Instrumen
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara (interview
guide) dan dokumen-dokumen berupa file atau foto. Analisis data dalam penelitian ini
dengan menguraikan, menginterpretasikan, dan mengambil kesimpulan dalam
bentuk tulisan yang sistematis. Keabsahan data penelitian ini menggunakan teknik
analisis triangulasi data.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto
sebagai ‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Atribut Aspek atribut merupakan aspek yang harus dikelola dan dibuat agar masyarakat
dapat mengetahui atribut-atribut apa saja yang terkandung dalam city brand „Kota Onde-
Onde‟. Atribut menurut Fandy Tjiptono (dikutip dari Akbar 2013) adalah unsur-unsur
yang dipandang penting oleh konsumen dan dijadikan sebagai dasar pengambilan
keputusan. Atribut adalah sesuatu yang melengkapi manfaat utama produk (Budiarto,
dikutip dari Didit 2013).
City brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ akan dikenal masyarakat jika
pemerintah Kota Mojokerto mampu menghadirkan dan mengelola atribut-atribut yang
merepresentasikan Kota Mojokerto sebagai kota onde-onde. Aspek atribut dapat dilihat
dari hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat asli Kota Mojokerto. Dari hasil
wawancara, dapat diketahui bagaimanakah persepsi masyarakat Kota mojokerto terhadap
aspek atribut city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟.
„Kota Onde-Onde‟, merupakan istilah yang ada dalam benak masyarakat untuk
menggantikan kata „Kota Mojokerto‟.
“Jika kita tidak boleh menyebut „Kota Mojokerto‟, saya akan menyebutnya
dengan „kota onde-onde‟, karena onde-onde jajanan khas Kota Mojokerto yang
juga mudah dikenal semua orang bahwa Kota Mojokerto adalah kota onde-
onde.” (Informan F, 2 Agustus 2014)
Hal tesebut didukung pula oleh beberapa informan lainnya, “Kota Mojokerto juga
terkenal dengan kota onde-onde” (Informan C, 10 Mei 2014). City brand Kota Mojokerto
sebagai „Kota Onde-Onde‟, memenuhi syarat city brand menurut Gelder (dikutip dari
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang 2012), yakni city brand „Kota
Onde-Onde‟ merupakan city brand yang mudah diucapkan, dikenal, dan diingat oleh
masyarakat.
Gambar 2: Istilah ‘Kota Onde-onde’ Digunakan Sebagai Pengganti ‘Kota
Mojokerto’
Sumber: https://twitter.com/gusyukmojokerto
Kota Mojokerto belum memiliki arsitektur yang mampu merepresentasikan bahwa
Kota Mojokerto adalah kota onde-onde. Justru yang nampak adalah arsitektur yng
merepresentasikan kalau Kota Mojokerto adalah kota sepatu dan sandal. “Gak pernah
ngerti kalau onde-onde, kalau sepatu ada” (Informan E, 7 Juli 2014).
City brand „Kota Onde-Onde‟ yang digunakan oleh Kota Mojokerto dapat dikatakan
lemah karena Kota Mojokerto tidak memiliki tampak fisik kota yang khas dan dapat
diidentifikasikan untuk menjadi city brand yang kuat. Hal tersebut didukung pula oleh
seluruh tanggapan informan yang mengatakan jika mereka tidak pernah melihat dan
mengetahui adanya arsitektur di Kota Mojokerto yang mampu merepresentasikan city
brand Kota Mojokerto sebagai kota onde-onde. Seluruh Informan berpendapat jika Kota
Mojokerto harusnya membuat tugu, gapura, kampung, atau patung yang besar di pusat
kota atau aloon-aloon yang menggunakan simbol onde-onde. Untuk memiliki city brand
yang kuat, sebuah kota harus mempunyai ciri khas yang dapat dijelaskan dan
diidentifikasikan seperti tampak fisik kota (Kementerian Dalam Negeri, 2013).
Gambar 3: Patung Sepatu
Sumber: Data Diolah Oleh Peneliti
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa masyarakat Kota Mojokerto
mempersepsikan city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ selaras dengan
identitas yang dipakai untuk menyebutkan Kota Mojokerto dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Kota Mojokerto secara tidak sadar menyelaraskan persepsi mereka dengan
persepsi pemerintah Kota Mojokerto terkait city brand Kota Mojokerto terlepas apakah
masyarakat Kota Mojokerto sebenarnya telah mengetahui city brand Kota Mojokerto
sebagai „Kota Onde-Onde‟ atau tidak. Namun, city brand „Kota Onde-Onde‟ yang
diciptakan melalui sisi sejarah, membuat masyarakat Kota Mojokerto berpersepsi jika
city brand tersebut tidak diperkuat oleh adanya arsitektur yang mendukung Kota
Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟. Hal tersebut memunculkan persepsi pada
masyarakat Kota Mojokerto yang akhirnya lebih cenderung menganggap Kota Mojokerto
merupakan kota sepatu dengan adanya patung sepatu sebagai stimulus atau rangsangan
bagi masyarakat Kota Mojokerto dalam mempersepsikan city brand Kota Mojokerto.
Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto
sebagai ‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Manfaat
Aspek manfaat terdiri dari manfaat fungsional dan manfaat emosional. City brand
Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ harus memberikan manfaat fungsional yakni
mudahnya ditemukan pusat-pusat produksi serta penjualan onde-onde serta manfaat
emosional berupa dikenal luasnya Kota Mojokerto oleh masyarakat lain seperti halnya
mereka mengenal onde-onde. Manfaat fungsional serta manfaat emosional akan mampu
memberikan stimulus terhadap masyarakat bahwa Kota Mojokerto adalah kota onde-
onde. Persepsi masyarakat Kota Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto sebagai
„Kota Onde-Onde‟ melalui aspek manfaat dapat dilihat dari hasil wawancara yang
dilakukan dengan masyarakat asli Kota Mojokerto. Dari hasil wawancara, dapat diketahui
bagaimanakah persepsi masyarakat Kota Mojokerto terhadap aspek manfaat city brand
Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟.
Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto sebagai
‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Manfaat Fungsional
Manfaat fungsional diperoleh dari atribut Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-
Onde‟ yang memberikan kegunaan fungsional kepada masyarakat. “Manfaat fungsional
mengacu pada kemampuan fungsi produk yang ditawarkan” (Islami, 2011). City brand
Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ memberikan manfaat fungsional yang dapat
dilihat dari sudah banyaknya pusat-pusat produksi serta penjualan onde-onde yang ada di
Kota Mojokerto. “Iya, gampang. Di setiap toko kue biasa pasti ada produk onde-ondenya
(Informan A, 5 April 2014). Hal tersebut juga didukung oleh informan B dan C yang
beranggapan jika sudah mudah mencari pusat-pusat produksi serta penjualan onde-onde
meskipun tidak hanya menjual onde-onde saja secara khusus melainkan juga menjual
berbagai macam kue lainnya. “Sejumlah tempat dan warung khusus di Mojokerto banyak
yang menyediakan jajanan khas dari ketan dan kacang ijo itu” (Faiq, 2014). “Sebuah kota, layaknya sebuah brand, harus bersifat fungsional.
Fungsionalitas berarti dapat dilihat sebagai sebuah benefit. Sebuah kota harus
berfungsi sebagai tujuan untuk pencari kerja, industri, tempat tinggal,
transportasi umum dan atraksi serta rekreasi.” (Suratmi & Santosa, 2013)
Penggunaan city brand „Kota Onde-Onde‟ oleh Kota Mojokerto, mampu memberikan
sebuah keuntungan terhadap masyarakat Kota Mojokerto khususnya bagi para penggelut
usaha di bidang industri onde-onde. Secara tidak langsung, hal tersebut ikut membantu
para penggelut industri onde-onde untuk mempromosikan onde-onde yang merupakan
produk dagang mereka.
Gambar 4: Salah Satu Pusat Produksi Onde-Onde
Sumber: Data Diolah Oleh Peneliti
Sesuai dengan deskripsi di atas, terlihat adanya persepsi masyarakat Kota Mojokerto
yang menganggap city brand „Kota Onde-Onde‟ telah memberikan manfaat terhadap
masyarakat Kota Mojokerto. Manfaat yang diperoleh adalah mudahnya masyarakat Kota
Mojokerto menemukan onde-onde karena pusat produksi onde-onde yang banyak tersebar
di Kota Mojokerto. Masyarakat Kota Mojokerto menganggap pentingnya keberadaan
pusat produksi onde-onde sebagai pelestarian onde-onde sebagai warisan Kota Mojokerto
di tengah kemunculan kue-kue modern. Manfaat juga dirasakan oleh para pelaku usaha
onde-onde di Kota Mojokerto yang merasa diuntungkan dengan penggunaan „Kota Onde-
Onde‟ sebagi city brand oleh Kota Mojokerto dari segi pemasaran onde-onde tersebut.
Para pelaku usaha onde-onde terlihat lebih antusias mengimplementasikan city brand
Kota Onde-Onde melalui keberagaman produk onde-onde yang mereka buat. Sedangkan
bagi masyarakat Kota Mojokerto sendiri, dengan banyaknya pusat produksi onde-onde
maka semakin banyak pula lapangan pekerjaan bagi mereka.
Gambar 5: Varian Onde-Onde Kota Mojokerto
Sumber: Data Diolah Oleh Peneliti
Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto sebagai
‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Manfaat Emosional
Ketika Kota Mojokerto menggunakan „kota onde-onde‟ sebagai city brand, maka
Kota Mojokerto akan terhubung dengan onde-onde tersebut. Artinya, masyarakat akan
mengingat dan mengenal Kota Mojokerto ketika masyarakat mengingat dan mengetahui
onde-onde. Pada intinya, manfaat emosional berhubungan dengan perasaan, yaitu
perasaan yang dialami masyarakat pada saat melihat onde-onde, mendengar atau
membaca kata „onde-onde‟. “Manfaat emosional adalah kemampuan merek untuk
membuat penggunanya merasakan sesuatu selama proses pembelian atau sesudahnya”
(Islami, 2011). City brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ memberikan
manfaat emosional yang dapat dilihat dari dari sudah dikenal luasnya Kota Mojokerto
oleh masyarakat lain seperti halnya mereka mengenal onde-onde. “Iya, bisa jadi dikenal..
Soalnya banyak yang bilang Kota Mojokerto itu kota onde-onde” (Informan A, 5 April
2014). Informan E menyetujui pernyataan dari informan A dengan tanggapannya jika
pada kenyataannya Kota Mojokerto sudah dikenal oleh masyarakat, seperti masyarakat
mengenal onde-onde.
City bramd „Kota Onde-Onde‟ yang digunakan oleh Kota mojokerto, mampu
mensugesti dan mempengaruhi perasaan masyarakat untuk mengingat Kota Mojokerto
ketika mendengar kata onde-onde ataupun melihat kue onde-onde tersebut. “... konsumen
memiliki hubungan emosional yang kuat dengan brand” (Trista, Prihatini, & Saryadi,
2013). Ketika city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ sudah tertanam baik
di benak masyarakat, maka hal tersebut akan membantu Kota Mojokerto dalam hal
memperkenalkan Kota Mojokerto secara luas melalui upaya pendomplengan
kemahsyuran kue onde-onde dalam masyarakat. “Bukannya sekarang juga uda pada tau
kalau Kota Mojokerto itu kota onde-onde? It‟s mean uda jadi penilaian masyarakat kan
kalau Kota Mojokerto kota onde-onde” (Informan G, 3 Agustus 2014).
Sesuai dengan deskripsi di atas, persepsi masyarakat Kota Mojokerto terhadap city
brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ adalah city brand „Kota Onde-Onde‟
telah memberikan manfaat terhadap masyarakat Kota Mojokerto. Manfaat yang diperoleh
adalah masyarakat Kota Mojokerto merasa jika Kota Mojokerto semakin dikenal luas
karena city brandnya sebagai kota onde-onde sehingga masyarakat Kota Mojokerto ikut
merasa bangga menjadi bagian dari Kota Mojokerto. Dengan city brand Kota Mojokerto
sebagai „Kota Onde-Onde‟, diharapkan masyarakat bisa sadar akan potensi yang luar
biasa yang dimiliki oleh Kota Mojokerto yakni Kota Mojokerto mampu menjadi kota
yang dikenal bagi semua orang layaknya mereka mengenal onde-onde.
Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto sebagai
‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Nilai
Aspek nilai merupakan aspek yang mampu merepresentasikan pengguna city brand
yakni Kota Mojokerto, apakah Kota Mojokerto adalah kota yang „dipandang‟ oleh
masyarakat dengan city brand-nya sebagai „Kota Onde-Onde‟ karena terkenal dengan
onde-ondenya yang paling lezat daripada onde-onde yang ada di daerah lain. “Nilai
sangatlah penting dibentuk untuk dapat menarik dan membandingkan produk kita dengan
produk para kompetitor kita.” (Media Bisnis Online, 2014). Aspek nilai city brand Kota
Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ dapat dilihat dari onde-onde di Kota Mojokerto
yang lebih lezat daripada onde-onde yang dijual di daerah lain. “Masih enak yang ada di
Kota Mojokerto” (Informan D, 6 Juni 2014). Hal tersebut juga disampaikan oleh
informan F, infroman F beranggapan jika cita rasa onde-onde di Kota Mojokerto lebih
enak dan masyarakat sudah mengetahui akan hal itu.
City brand „Kota Onde-Onde‟ merupakan janji bagi Kota Mojokerto untuk
memberikan sebuah kelezatan onde-onde sebagai kota asal dari onde-onde kepada
masyarakat yang mampu menyisihkan kelezatan onde-onde dari daerah pesaing. “Dari
rasanya sih, enakan yang di Kota Mojokerto” (Informan I, 2 Agustus 2014). Informan J
juga menyatakan hal yang sama jika rasa onde-onde di Kota Mojokerto lebih enak dan
khas khususnya yang dijual di toko kue Bo Liem. “Nilai yang dikomunikasikan brand ke
(calon) pelanggan, layaknya janji. Sekali kita sampaikan, akan diingat. Kemudian
dibuktikan. Dan jika kita belum penuhi, pelanggan akan menagihnya” (Edy, 2012).
"Habis mudik dari Nganjuk dan tadi mampir ke rumah saudara di Mojokerto.
Sekalian buat camilan di jalan dan sekedar oleh-oleh dari Mojokerto. Daerah
ini terkenal dengan Onde-ondenya yang enak dan molor kalau dicokot. Onde-
onde Mojokerto dikenal memiliki kekhasan sendiri. Dengan balutan biji wijen,
jajan bulat-bulat sebesar bola tenis ini makin gurih. Gurihnya ketan dan isi
kacang hijau makin membuat lidah dimanjakan dengan jajanan khas daerah ini.
Onde-onde Mojokerto lebih kenyal." (Rudiyanto, dikutip dari Faiq 2014)
Kota Mojokerto menjadi kota yang „dipandang‟ oleh masyarakat karena terkenal
memiliki onde-onde yang paling lezat daripada onde-onde yang ada di daerah lain. “Jika
dapat membuktikan “janjinya” maka nilai brand tersebut akan naik di benak pelanggan”
(Edy, 2012).
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dijelaskan di atas, dapat diketahui bahwa
masyarakat Kota Mojokerto mempersepsikan city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota
Onde-Onde‟ sudah tepat. Hal tersebut menurut tanggapan masyarakat Kota Mojokerto
berdasarkan atas onde-onde Kota Mojokerto yang memiliki kelezatan lebih jika
dibandingkan dengan onde-onde lain. Masyarakat Kota Mojokerto memaknai city brand
Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ sebagai sebuah janji yang mampu
memberikan kelezatan onde-onde Kota Mojokerto dengan ciri khasnya sendiri yang tidak
bisa ditandingi oleh onde-onde lainnya. City brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-
Onde‟ juga mencerminkan bahwa Kota Mojokerto merupakan kota yang „dipandang‟
oleh masyarakat luas dengan onde-ondenya yang mampu bersaing dengan produk-produk
kota lainnya. City brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ dapat pula dimaknai
sebagai semangat bagi seluruh pelaku usaha onde-onde di Kota Mojokerto untuk menjaga
kelezatan onde-onde mereka serta bagi seluruh stakeholders Kota Mojokerto untuk
mempromosikan kelezatan onde-onde Kota Mojokerto kepada masyarakat luas dalam
kehidupan sehari-hari.
Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto sebagai
‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Budaya
Budaya pada city brand adalah serangkaian sistem nilai yang saling terintegrasi satu
sama lain, sehingga mampu menggambarkan budaya pada kota tersebut. (Amaliah, 2013).
City brand „Kota Onde-Onde‟ yang digunakan oleh Kota Mojokerto harusnya mewakili
budaya yang ada di Kota Mojokerto, baik itu budaya yang dilakukan oleh masyarakat
maupun budaya yang dilakukan oleh pemerintah Kota mojokerto. Budaya yang dilakukan
oleh masyarakat harusnya adalah dengan menyuguhkan atau memberikan oleh-oleh onde-
onde kepada tamu atau orang lain khususnya yang berasal dari luar Kota Mojokerto.
Sedangkan budaya yang dilakukan oleh pemerintah Kota Mojokerto harusnya adalah
dengan mengadakan event atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan onde-onde
sesuai city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟. Persepsi masyarakat Kota
Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ melalui aspek
budaya dapat dilihat dari hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat asli Kota
Mojokerto. Dari hasil wawancara, dapat diketahui bagaimanakah persepsi masyarakat
Kota Mojokerto terhadap aspek budaya city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-
Onde‟. Persepsi masyarakat Kota Mojokerto terhadap aspek budaya city brand Kota
Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ dapat diketahui dari beberapa kutipan hasil
wawancara di bawah ini:
Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto sebagai
‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Budaya Masyarakat
Masyarakat Kota Mojokerto memiliki kebudayaan untuk menyuguhkan atau
memberikan onde-onde sebagai oleh-oleh kepada orang yang berasal dari daerah lain.
“Biasanya ngasih oleh-oleh ya onde-onde, soalnya mereka nitipnya onde-onde”
(Informan A, 5 April 2014). Begitu pula halnya dengan informan E yang juga selalu
membawa onde-onde sebagai oleh-oleh karena merasa dirinya berasal dari Kota
Mojokerto.
City brand „Kota Onde-Onde‟ yang digunakan oleh Kota Mojokerto mewakili
budaya yang ada di Kota Mojokerto, yakni masyarakat Kota Mojokerto selalu
menyuguhkan atau memberikan oleh-oleh onde-onde kepada tamu atau orang lain
khususnya yang berasal dari luar Kota Mojokerto. “Yaa kalau tamunya luar kota biasanya
aku beliin onde-onde yang rasanya macem-macem” (Informan B, 6 April 2014).
Informan F juga menuturkan jika dia selalu membawakan oleh-oleh onde-onde kepada
teman-temannya yang berada di daerah lain karena mereka kangen onde-onde Kota
Mojokerto yang kerap dibawakan oleh informan F. “...budaya pada merek merupakan
serangkaian sistem nilai yang saling terintegrasi satu sama lain, sehingga dapat
menggambarkan budaya pada kawasan tersebut” (Kaplanidou, dikutip dari Amaliah
2013).
Berdasarkan tanggapan yang ada, dapat diketahui bahwa masyarakat Kota
Mojokerto mempersepsikan city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ sudah
mewakili kebudayaan yang ada pada masyarakat Kota Mojokerto. Masyarakat Kota
mojokerto beranggapan bahwa city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟
nampak nyata terwujud dari kebiasaan masyarakat Kota Mojokerto yang selalu
memberikan suguhan ataupun oleh-oleh berupa onde-onde. City brand Kota Mojokerto
sebagai „Kota Onde-Onde‟ selaras dengan city brand yang dipakai oleh Kota Mojokerto
yaitu sebagai „Kota Onde-Onde‟. Namun, city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota
Onde-Onde‟ menjadi peringatan terhadap generasi muda masyarakat Kota Mojokerto
untuk lebih menyukai onde-onde dan tetap melestarikan kebiasaan menjadikan onde-
onde sebagai prioritas utama sebagai suguhan atau oleh-oleh kepada orang lain dari
munculnya kue-kue modern yang dapat dijadikan alternatif suguhan atau oleh-oleh.
Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto
sebagai ‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Budaya Pemerintah Kota Mojokerto
Budaya pemerintah Kota Mojokerto dalam memperkenalkan city brand Kota
Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ adalah dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang
bertujuan memperkenalkan city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ seperti
kegiatan „festival onde-onde‟ yang dihadiri oleh panitia MURI (Museum Rekor
Indonesia). “Pernah dulu, masuk rekor MURI. Pembuatan onde-onde terbanyak”
(Informan D, 6 Juni 2014). Hal tersebut juga diungkapkan oleh informan F yang
mengatakan jika pemerintah Kota Mojokerto pernah mengadakan pemecahan rekor
MURI untuk pembuatan onde-onde terbanyak dengan diikuti 1000 peserta di Jalan
Hayam Wuruk serta pembuatan onde-onde terbesar ketika ulang tahun Kota Mojokerto.
“Pernah bikin onde-onde terpanjang di Jogging Track masuk rekor MURI” (Informan G,
3 Agustus 2014). Kegiatan tersebut dianggap mampu mempromosikan city brand Kota
Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ ke seluruh Indonesia. Upaya-upaya lain yang
dilakukan oleh pemerintah Kota Mojokerto adalah dengan menciptakan sebuah gerakan
senam yang dinamakan „Senam Onde-Onde‟ dan lagu yang berjudul „Onde-Onde
Mojokerto‟. Upaya pengenalan „Senam Onde-Onde‟ yang bertujuan mempromosikan city
brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ dilakukan dengan mengadakan senam
tersebut pada setiap hari minggu dalam acara car free day dan mengajak para pengunjung
car free day untuk ikut berpartisipasi mengikuti senam yang dipimpin oleh instruktur
senam yang telah disediakan. Selain itu kegiatan-kegiatan lain yang dilaksanakan oleh
pemerintah Kota Mojokerto pun semuanya tak luput dijadikan sarana untuk
mempromosikan city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ khususnya oleh
walikota Mojokerto (Abdul Ghani, 2004-2014) dengan menyerukan slogan atau
semboyan „Kota Mojokerto Kota Onde-Onde‟.
Gambar 6: Senam Onde-Onde
Sumber: http://mojokertokota.go.id
City brand „Kota Onde-Onde‟ yang digunakan oleh Kota Mojokerto mewakili
budaya yang ada di Kota Mojokerto, yakni budaya yang dilakukan oleh pemerintah Kota
Mojokerto dengan mengadakan event atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan
onde-onde sesuai city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟. “Bikin onde-
onde raksasa atau apa gitu waktu itu pernah diadain di aloon-aloon kalau gak salah”
(Informan A, 5 April 2014). Informan J juga mengatakan hal serupa dengan
mengungkapkan jika pemerintah Kota Mojokerto pernah mengadakan kegiatan rekor
makan onde-onde terpanjang di aloon-aloon. Menurut Renitasari (dikutip dari Setiawan
2012) selaku Direktur Program Bakti Budaya Djarum Foundation, terdapat korelasi
antara event atau kegiatan-kegiatan dengan sebuah brand. Melalui event atau kegiatan-
kegiatan, sebuah kota akan dikenal sesuai dengan event atau kegiatan-kegiatan tersebut.
“...Cuma kalau pas hari jadinya Kota Mojokerto biasanya ada pawai yang kebanyakan
bikin patung onde-onde” (Informan B, 6 April 2014). Pemerintah Kota Mojokerto
mengadakan event atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan onde-onde, maka Kota
Mojokerto dikenal dengan „Kota Onde-Onde‟.
Gambar 7: Festival Onde-Onde
Sumber: http://fleximojokerto.blogspot.com
Berdasarkan tanggapan yang ada, dapat diketahui bahwa masyarakat Kota
Mojokerto mempersepsikan city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ sudah
mewakili kebudayaan yang ada pada pemerintah Kota Mojokerto dalam hal kerangka
kerja mereka. Masyarakat Kota mojokerto beranggapan bahwa city brand Kota
Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ nampak nyata terwujud dari kerangka kerja
pemerintah Kota Mojokerto dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang bertajuk onde-
onde, selaras dengan city brand yang dipakai oleh Kota Mojokerto yaitu sebagai „Kota
Onde-Onde‟. Masyarakat Kota Mojokerto menganggap kegiatan-kegiatan tersebut
sebagai upaya pemerintah Kota Mojokerto dalam mempromosikan city brand Kota
Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟. Namun, city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota
Onde-Onde‟ menjadi peringatan terhadap pemerintah Kota Mojokerto untuk tetap
konsisten melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bertajuk onde-onde dari maraknya
kegiatan-kegiatan populer yang mampu menggantikan kegiatan-kegiatan pemerintah
Kota Mojokerto untuk mempromosikan city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-
onde‟.
Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto sebagai
‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Kepribadian
Aspek kepribadian merupakan aspek yang melibatkan pengguna dari citybrand,
dalam hal ini adalah masyarakat Kota Mojokerto. City brand adalah salah satu cara
pengekspresian sebuah kota, sehingga kota tersebut akan menyelaraskan masyarakatnya
dengan city brand yang dipakai. (Islami, 2011). Penelitian ini meneliti city brand Kota
Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟, sehingga city brand „Kota Onde-Onde‟ harusnya
mencerminkan kepribadian masyarakat Kota Mojokerto yang cenderung memilih
berprofesi menjadi produsen atau pedagang onde-onde. Aspek kepribadian city brand
Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ pada saat ini belum nampak, karena
umumnya masyarakat Kota Mojokerto tidak mencerminkan memiliki kepribadian untuk
memilih menjadi produsen atau pedagang onde-onde sebagai profesi sesuai dengan city
brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟.
City brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ tidak selaras dengan
kepribadian masyarakat Kota Mojokerto, karena sebagian besar informan menilai jika
masyarakat Kota Mojokerto memiliki kepribadian untuk berprofesi sebagai produsen atau
pengrajin sepatu dan sandal dibuktikan dengan adanya kampung sepatu di Kota
Mojokerto. “Produsen sandal dan sepatu mungkin” (Informan C, 11 Mei 2014). Hal
tersebut diungkapkan pula oleh informan F, G, dan H yang mengatakan jika profesi yang
paling banyak digeluti oleh warga Kota Mojokerto adalah sebagai pengrajin atau
pengusaha sepatu dan sandal karena dilihat dari banyaknya home industry sepatu dan
sandal di Kota Mojokerto. City brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ belum
kuat dari aspek kepribadian. Untuk memiliki city brand yang kuat sebuah kota harus
mempunyai ciri khas yang dapat dijelaskan dan diidentifikasikan seperti penduduk yang
tinggal di kota tersebut (Kementerian Dalam Negeri, 2013). Dominasi produsen atau
pengrajin sepatu dan sandal pada masyarakat Kota Mojokerto tidak menjelaskan dan
mengidentifikasikan bahwa Kota Mojokerto adalah kota onde-onde, tapi justru lebih tepat
jika dikatakan sebagai kota sepatu dan sandal. “Saya sudah sekitar 12 tahun berdomisili
di Kota Mojokerto. Ketika pertama kali menginjakan kaki di Mojokerto, saya pikir inilah
kota sepatu sandal di Indonesia” (Digdoyo, 2013).
Gambar 8: Industri Alas Kaki Kota Mojokerto
Sumber: Data Diolah Oleh Peneliti
Pemerintah Kota Mojokerto dianggap berbohong ketika menggunakan „Kota Onde-
Onde‟ sebagai city brand Kota Mojokerto. City brand bukan merupakan semata-mata
suatu janji, tetapi adalah janji yang ditepati ketika orang tinggal, hidup, menetap atau
sekedar berkunjung ke dalam suatu kota (Gelder, dikutip dari Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kota Semarang 2012. City brand „Kota Onde-Onde‟ harusnya
memberikan janji kepada orang yang berkunjung ke Kota Mojokerto untuk menemukan
sebuah masyarakat yang didominasi oleh para produsen onde-onde, bukannya malah
produsen sepatu dan sandal serta adanya kampung sepatu.
Masyarakat Kota Mojokerto mempersepsikan city brand Kota Mojokerto sebagai
„Kota Onde-Onde‟ tidak sesuai dan selaras dengan masyarakat yang ada di Kota
Mojokerto dari segi profesi. Masyarakat Kota Mojokerto berperan sebagai bentuk
ekspresi yang mencerminkan city brand yang dipakai oleh Kota Mojokerto. „Kampung
Sepatu‟ memberikan stimulus atau rangsangan kepada masyarakat Kota Mojokerto dalam
mempersepsikan city brand Kota Mojokerto. Masyarakat menangkap bahwa city brand
Kota Mojokerto adalah kota sepatu dari hadirnya kampung sepatu. Dengan adanya
kampung sepatu ini, menggambarkan tidak adanya penyamaan persepsi antara
pemerintah Kota Mojokerto dengan masyarakat Kota Mojokerto dalam hal pemilihan
„Kota Onde-Onde‟ sebagai city brand Kota Mojokerto.
Gambar 9: Papan Kampung Sepatu Kota Mojokerto
Sumber: Data Diolah Oleh Peneliti
Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto sebagai
‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Pemakai
Aspek pemakai menunjukkan jenis dari konsumen pengguna city brand, dalam hal
ini adalah para wisatawan yang mengunjungi Kota Mojokerto. Itulah sebabnya, dalam
memilih city brand harus memilih city brand yang mampu membuat wisatawan merasa
ingin mengunjungi kota pengguna city brand tersebut dengan menganalogikan city brand
yang dipakai dengan sesuatu yang mampu memikat para wisatawan. Aspek pemakai city
brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ dapat dilihat dari tujuan utama
wisatawan berkunjung ke Kota Mojokerto adalah untuk berwisata kuliner membeli onde-
onde sebagai oleh-oleh. “Karena di Kota Mojokerto terkenal makanan khasnya onde-
onde, mungkin wisatawan yang datang itu tertarik ingin membeli onde-onde” (Informan
B, 6 April 2014). Informan A juga berpendapat bahwa tujuan dari wisatawan berkunjung
ke Kota Mojokerto biasanya adalah untuk pergi ke toko kue Bo Liem membeli onde-
onde.
Jenis dari konsumen city brand „Kota Onde-Onde‟, dalam hal ini para wisatawan
yang mengunjungi Kota Mojokerto adalah para pecinta wisata kuliner. Itulah sebabnya,
para pecinta wisata kuliner merasa ingin mengunjungi Kota Mojokerto karena terpikat
dengan analogi „onde-onde‟.
“Setauku sih wisatawan yang berkuliner. Ke rumah makan rumah makan yang
ada di Kota Mojokerto sekaligus membeli oleh-oleh onde-onde, karena
kebanyakan rumah makan di Kota Mojokerto juga menjual oleh-oleh khas Kota
Mojokerto.” (Informan D, 6 Juni 2014)
Informan F menyatakan jika wisatawan yang ke Kota Mojokerto adalah para wisatawan
kuliner yang bertujuan ingin mengetahui cita rasa onde-onde langsung dari daerah asal
onde-onde tersebut yakni Kota Mojokerto. Pengalaman para wisatawan yang berkunjung
ke Kota Mojokerto hanya untuk membeli onde-onde, menguatkan city brand Kota
Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟. Untuk memiliki city brand yang kuat, sebuah kota
harus mempunyai ciri khas yang dapat dijelaskan dan diidentifikasikan seperti
pengalaman orang terhadap kota tersebut (Kementerian Dalam Negeri, 2013). Ketika
para wisatawan berkunjung ke Kota Mojokerto hanya untuk membeli onde-onde, maka
para wisatawan tersebut akan mempersepsi pengalaman mereka jika ingin berwisata
kuliner onde-onde tujuannya adalah Kota Mojokerto. Jika pengalaman tersebut
dikomunikasikan kepada wisatawan lain yang belum pernah ke Kota Mojokerto, tentunya
wisatawan tersebut akan mempersepsi pula Kota Mojokerto merupakan kota bagi para
wisatawan kuliner khususnya onde-onde. “...Uda terbukti teman-temanku kalau ke Kota
Mojokerto pasti tujuannya beli onde-onde” (Informan G, 3 Agustus 2014). Hal tersebut
didukung pula oleh tanggapan informan J yang berpendapat jika tujuan wisatawan yang
berkunjung ke Kota Mojokerto adalah untuk membeli jajanan termasuk onde-onde yang
dijual oleh para pedagang di aloon-aloon.
Persepsi yang ada dalam benak masyarakat Kota Mojokerto adalah bahwa city
brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ sudah tepat karena sesuai dengan
tujuan dari city branding yang memasarkan produk kota karena menurut masyarakat
Kota Mojokerto, alasan wisatawan yang berkunjung ke Kota Mojokerto adalah untuk
membeli onde-onde. City brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ dirasakan
positif bagi para pelaku usaha onde-onde. Salah satu keuntungan yang didapatkan adalah
dalam hal memperkenalkan Kota Mojokerto sebagai tujuan utama wisata kuliner
khususnya onde-onde. City brand „Kota Onde-Onde‟ menjadi stimulus bagi para
wisatawan dalam mempersepsikan Kota Mojokerto. Masyarakat Kota Mojokerto
menganggap para wisatawan menangkap maksud dan tujuan Kota Mojokerto
menggunakan „Kota Onde-Onde‟ sebagai city brand adalah bahwa Kota Mojokerto
merupakan kota bagi para pecinta kuliner onde-onde.
‘The City Brand Management Model’ Kota Mojokerto Sebagai ‘Kota Onde-Onde’
Sejarah bahwa Kota Mojokerto dulunya adalah Kerajaan Majapahit yang
mewariskan kue onde-onde menjadi elemen place bagi jawaban atas pertanyaan „what we
are now‟. Beberapa penghargaan yang telah diraih oleh Kota Mojokerto seperti
Terobosan Inovatif Bidang Pelayanan Kesehatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
60 Menit menjadi elemen people, AMARI (Angkutan Malam Hari) gratis menjadi
elemen processes yang mampu mengaktifkan pembangunan ekonomi khususnya bagi
para pengemudi angkutan kota yang terjamin penghasilannya dan para buruh pabrik yang
menggunakan fasilitas ini sebagai transportasi pulang dengan gratis, serta industri toko
kue Bo Liem sebagai elemen partners yang mendominasi persepsi masyarakat „Jika beli
onde-onde, maka beli di Bo Liem‟.
Berdasarkan pada analisis situasi „what we are now‟ dalam city brand management
model Hugo Gaggiotti, Patrick Low Kim Cheng, dan Olga Yunak dalam jurnal „City
Brand Management (CBM): The Case of Kazakhstan‟ tahun 2008, penulis
menyimpulkan pemerintah Kota Mojokerto memiliki pilihan terhadap city brand Kota
Mojokerto sebagai „Kota Majapahit‟, „Kota Onde-Onde‟, „Kota Bebas Nyamuk‟, dan
„Kota Angkutan Malam Hari‟. Persepsi yang muncul di benak masyarakat Kota
Mojokerto adalah „Kota Onde-Onde‟ sesuai dengan identitas Kota Mojokerto dan
mampu memberikan manfaat kepada masyarakat Kota Mojokerto dalam hal
memudahkan menemukan pusat produksi atau penjualan onde-onde serta dalam hal
kebanggaan menjadi bagian dari Kota Mojokerto yang mampu dikenal luas. „Kota Onde-
Onde‟ menurut masyarakat Kota Mojokerto juga sesuai dengan Kota Mojokerto karena
Kota Mojokerto memiliki onde-onde yang paling lezat dibandingkan dengan kota lain
serta selaras dengan kebiasaan yang berlaku dalam lingkungan masyarakat Kota
Mojokerto yang selalu memberikan suguhan atau oleh-oleh berupa onde-onde kepada
orang lain. Masyarakat Kota Mojokerto juga beranggapan bahwa „Kota Onde-Onde‟
selaras dengan kerangka kerja pemerintah Kota Mojokerto yang mengadakan kegiatan-
kegiatan bertajuk onde-onde dan sesuai dengan tujuan para wisatawan yang berkunjung
ke Kota Mojokerto untuk berwisata kuliner onde-onde. Dalam rangka mendukung city
brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟, diperlukan adanya kerangka kerja
khususnya pada elemen people dan processes karena bertolak belakang antara city brand
yang ingin digunakan dengan keadaan pada saat ini. Kerangka kerja pada elemen people
telah dilaksanakan oleh pemerintah Kota Mojokerto dengan menghadirkan ide-ide kreatif
terkait onde-onde seperti kegiatan „festival onde-onde‟ yang dihadiri oleh panitia MURI
(Museum Rekor Indonesia) menciptakan gerkan senam yang diberi nama „senam onde-
onde‟, ataupun menciptakan lagu dengan judul „Onde-Onde Mojokerto‟. Sedangkan
kerangka kerja pada elemen processes harusnya adalah dengan memberdayakan
masyarakat Kota Mojokerto dengan memberikan pelatihan serta modal usaha di bidang
onde-onde. Hal tersebut bertujuan agar city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-
Onde‟ semakin kuat dengan adanya dukungan dari masyarakat Kota Mojokerto yang
menjadi pedagang atau produsen onde-onde. Pemerintah Kota Mojokerto belum
melakukan kerangka kerja pada elemen processes, terlihat dari masyarakat Kota
Mojokerto yang cenderung memilih berprofesi menjadi produsen atau pengrajin sepatu
dan sandal.
Gambar 10: ‘City Brand Management Model’ Kota Mojokerto
Sumber: Data Diolah Oleh Peneliti
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan pemaparan pada permasalahan, tujuan, dan hasil serta pembahasan
penelitian tentang Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota
Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟, maka dapat ditarik kesimpulan yang menunjukkan
bahwa:
1. Masyarakat Kota Mojokerto mempersepsikan bahwa Kota Mojokerto adalah „Kota
Onde-Onde‟ dan menggunakan identitas tersebut dalam kehidupan sehari-hari
meskipun tidak terdapat hal pendukung dari segi arsitektur yang ada di Kota
Mojokerto.
WHAT WE
ARE NOW
PLACE
Sejarah
Kerajaan
Majapahit
PEOPLE
PSN 60 Menit
PROCESSES
AMARI
PARTNERS
Bo Liem
WHAT OUR
OPTIONS ARE
PROSPECTS
‘Kota
Majapahit’,
‘Kota Onde-
Onde’,
‘Kota Bebas
Nyamuk’,
‘Kota
Angkutan
malam Hari’
WHAT WE
WANT TO BE
POSITIONING
‘Kota Onde-
Onde’
WHAT WE
NEED TO DO
PLACE
PEOPLE
‘Festival Onde-
Onde’
PROCESSES
Pelatihan Dan
Modal Usaha
di Bidang
Onde-Onde
Kepada
Masyarakat
Kota
Mojokerto
PARTNERS
2. Masyarakat Kota Mojokerto menganggap dengan menggunakan city brand „Kota
Onde-Onde‟, masyarakat Kota Mojokerto lebih mudah menemukan pusat produksi
onde-onde serta mampu menjadikan Kota Mojokerto dikenal luas karena onde-onde
Kota Mojokerto paling lezat serta berbeda karena memiliki berbagai varian dari
onde-onde yang ada di daerah lain.
3. Masyarakat Kota Mojokerto beranggapan jika city brand Kota Mojokerto sebagai
„Kota Onde-Onde‟ telah mewakili kebiasaan masyarakat Kota Mojokerto yang
selalu menjadikan onde-onde sebagai suguhan atau oleh-oleh serta kebiasaan
pemerintah Kota Mojokerto yang selalu mengadakan kegiatn bertemakan onde-onde.
4. Masyarakat Kota Mojokerto berpersepsi bahwa para wisatawan yang berkunjung ke
Kota Mojokerto adalah para wisatawan yang bertujuan untuk membeli onde-onde.
Saran Saran yang dapat penulis berikan setelah melakukan penelitian skripsi ini adalah:
1. Pemerintah Kota Mojokerto harusnya membangun arsitektur-arsitektur yang
menunjukkan identitas Kota Mojokerto sebagai kota onde-onde. Arsitektur yang
bertemakan onde-onde perlu dibangun di pusat kota atau tempat-tempat yang ramai
dikunjungi masyarakat untuk memperkuat persepsi masyarakat Kota Mojokerto
terhadap city brand Kota Mojokerto sebagai kota onde-onde. Hal tersebut mampu
mempromosikan city brand Kota Mojokerto sebagai kota onde-onde kepada seluruh
masyarakat khususnya yang belum mengetahui jika Kota Mojokerto adalah kota
onde-onde.
2. Pemerintah Kota Mojokerto harus melaksanakan kerangka kerja bekerjasama dan
membantu para produsen atau pedagang onde-onde di Kota Mojokerto agar usahnya
dapat berjalan lancar dan berkembang pesat demi memperkuat city brand Kota
Mojokerto dari sisi masyarakat. Hal yang perlu dibantu adalah dalam hal promosi
tidak hanya melalui city brand yang dipakai saja, melainkan juga melalui media-
media massa dan peminjaman modal usaha bagi warga Kota Mojokerto yang
berkenan menjadi produsen atau pedagang onde-onde sehingga banyak warga Kota
Mojokerto yang tertarik menjadi produsen atau pedagang onde-onde.
DAFTAR PUSTAKA
Amaliah, R. P. (2013). Destination Branding Wisata Belanja Kabupaten Sidoarjo (Studi
Deskriptif Kualitatif Pada Sentra Industri Tas Dan Koper Atau Intako Tanggulangin
dan Kampoeng Batik Jetis Sidoarjo). (Tugas Akhir Sarjana, Universitas Brawijaya
Malang, 2013). Diakses dari
https://www.academia.edu/5461697/DESTINATION_BRANDING_WISATA_BEL
ANJA_KABUPATEN_SIDOARJO_Studi_Deskriptif_Kualitatif_pada_Sentra_Indu
stri_Tas_dan_Koper_atau_IntakoTanggulangin_dan_Kampoeng_Batik_Jetis_Sidoar
jo
Ardiansah, D. (2013). Kampung bahasa sebagai city branding kota pare kediri (studi
kualitatif komunikasi pemerintah kabupaten kediri). Diakses dari
http://jurnalilkom.uinsby.ac.id. Jurnal Ilmu Komunikasi, 3 (01), 36-52.
Ardianto, E. (2011). Metodologi penelitian untuk public relations kuantitatif dan
kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Akbar, K. (2013). Analisis Pengaruh Harga, Brand Image, dan Atribut Produk Terhadap
Keputusan Pembelian Handphone atau Smartphone Samsung Jenis Android. (Tugas
Akhir Sarjana, Universitas Diponegoro, 2013). Diakses dari
http://eprints.undip.ac.id/39672
Agustin, L. (2014). Sejarah Kota Mojokerto. Diakses pada 28 Desember 2014, dari
http://www.slideshare.net/lulukagustin/sejarah-kota-mojokerto
Budianto, E. E. (2014). Kudapan Satu Ini Diburu Pemudik Saat Melewati Mojokerto.
Diakses pada 21 Januari 2015, dari
http://news.detik.com/surabaya/read/2014/07/26/085352/2648875/475/kudapan-
satu-ini-diburu-pemudik-saat-melewati-mojokerto
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Pemerintah Kota Semarang. (2012).
Event Proposal “Sayembara Membangun City Branding Kota Semarang”.
Semarang: Bappeda Kota Semarang.
Chaerani, R. Y. (2011). Pengaruh city branding terhadap city image (studi pencitraan kota
solo: „The spirit of java‟). Diakses dari http://ejurnal.fisip-untirta.ac.id/. Jurnal Riset
Komunikasi, 2 (4), 54-68.
Danto, D. S. (2012). Perancangan Media Promosi Honda Freed Tahun 2012 Untuk
Memperkuat Brand Equity Honda di Surabaya. (Tugas Akhir Sarjana, Sekolah
Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya, 2012). Diakses dari http://sir.stikom.edu/332
Didit. (2013). Atribut Produk. Diakses pada 22 September 2014, dari
http://diditnote.blogspot.com/2013/01/atribut-produk.html
Digdoyo. (2013). Mojokerto Kota Sepatu Sandal. Diakses pada 13 November 2013, dari
http://sepatushoesan.webs.com/apps/blog/show/25721788
Edy. (2012). Brand:Nilai dan Persepsi. Diakses pada 18 Oktober 2014, dari http://dgi-
indonesia.com/brand-nilai-dan-persepsi/.
Faiq, N. (2014). Onde-onde Mojokerto Laris Manis. Diakses pada 21 Januari 2015, dari
http://surabaya.tribunnews.com/2014/08/02/onde-onde-mojokerto-laris-manis
Fatmala, D. (2011). Perancangan City Branding Kota Bandung. (Tugas Akhir Sarjana,
Universitas Komputer Indonesia, 2012). Diakses dari
http://elib.unikom.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptunikompp-gdl-
ditafatmal-28523&q=city%20branding%20kota%20bandung
Gaggiotti, H., Cheng, P. L. K., & Yunak, O. (2008). City brand management (CBM): The
case of kazakhstan. Diakses dari Proquest Digital Dissertations. Place Branding and
Public Diplomacy, 4 (2), 115-23.
Harrington, J. (2007). Consultant To Help City Create Brand. Washington: McClatchy -
Tribune Information Services
Huberman, M. & Miles, M. (1992). Analisis data kualitatif: Buku sumber tentang
metode-metode baru. Jakarta: Universitas Indonesia.
Indah, I. K. (2014). Persepsi Masyarakat Tentang Slogan Solo The Spirit of Java (Studi
Deskriptif Kualitatif Persepsi Masyarakat Kota Surakarta Tentang Slogan Solo The
Spirit of Java). (Tugas Akhir Sarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2014).
Diakses dari
http://jurnalkommas.com/index.php?target=isi&jurnal=PERSEPSI%20MASYARA
KAT%20TENTANG%20SLOGAN%20SOLO%20THE%20SPIRIT%20OF%20JA
VA
Islami, A. N. (2010). Pengaruh Citra Merek (Brand Image) Terhadap Keputusan
Pembelian Produk Sophie Martin Pada Mahasiswa Lembaga Pendidikan Politeknik
MBP Medan. (Tugas Akhir Sarjana, Universitas Negeri Surabaya, 2011). Diakses
dari
https://www.academia.edu/1147849/Pengaruh_Citra_Merek_Brand_Image_Terhada
p_Keputusan_Pembelian_Produk_Sophie_Martin_Pada_Mahasiswa_Lembaga_Pend
idikan_Politeknik_MBP_Medan
Kementerian Dalam Negeri. (2013). Kota Mojokerto. Diakses pada 13 Februari 2014, dari
http://www.kemendagri.go.id/article/2013/04/12/city-branding-untuk-pemda-
perlukah
Khaerusya, S. A. & Mulyana, A. R. (2013). Re-branding kawasan cibaduyut. Diakses dari
http://jurnalonline.itenas.ac.id. Jurnal Ilmiah Jurusan Desain Komunikasi Visual
Itenas, 1 (1), 1-15.
Kriyantono, R. (2013). Catatan Kecil Metodologi Kualitatif Dari Berbagai Ujian Skripsi.
Diakses pada 18 Maret 2014, dari http://rachmatkriyantono.lecture.ub.ac.id
Lia. (2011). Onde-Onde Mojokerto, Emang Mak Nyuuuussss. Diakses pada 28 Desember
2014, dari http://www.majamojokerto.com/interview-index-
detail/data/detail/9/7/ONDE-ONDE-MOJOKERTO--EMANG-MAK-
NYUUUUSSSS#9
Media bisnis online. (2014). Pentingnya sebuah nilai „value‟ produk untuk kesuksesan
penjualan. Diakses pada 21 Januari 2015, dari
http://mediabisnisonline.com/pentingnya-sebuah-nilai-value-produk-untuk-
kesuksesan-penjualan.
Moleong, L. J. (2005). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Moleong, L. J. (2008). Metodologi penelitian kualitatif: Edisi revisi. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Muchamad, B. N. (2011). „Konsep Ekspresi Kota‟ Sebagai Pendekatan Membangun Atau
Memperkuat Citra-Kota. (Paper Proseding Seminar Membangun City Branding
Kota Semarang, Universitas Diponegoro, 2011). Diakses dari
https://blogbnm.wordpress.com/2011/08/05/%E2%80%98konsep-ekspresi-
kota%E2%80%99-sebagai-pendekatan-membangun-atau-memperkuat-citra-kota
News Online Center. (2012). Sejarah Onde-onde. Diakses pada 28 Desember 2014, dari
http://mojokerto-0nline.blogspot.com/2012/06/yuk-mengenal-sejarah-onde-
onde.html
Pemerintah Kota Mojokerto. (n.d.). Sejarah kota mojokerto. Diakses pada 13 November
2013, dari http://mojokertokota.go.id/media.php/profil/sejarah
Pradana, A. C. & Sutriadi, R. (2013). Analisis pemasaran citra kota menggunakan situs
web pemerintah. Diakses dari http://sappk.itb.ac.id. Jurnal Perencanaan Wilayah
dan Kota A, 2 (1), 44-53.
Prichilianita, O. (2010). Studi Sikap Khalayak Tentang Penyelenggaraan Malang
Kembali Festival Malang Tempo Dulu V Sebagai Upaya Meningkatkan Citra kota
Malang. Skripsi: Universitas Brawijaya Malang
Purnamasari, W. M. (2013). Analisis Internal Branding Kota Wisata Batu (Studi Pada
Masyarakat Kota Wisata Batu). Skripsi: Universitas Brawijaya Malang
Raharjo, S. (2013). Wawancara Sebagai Metode Pengumpulan Data. Diakses pada 21
Januari 2015, dari http://www.konsistensi.com/2013/04/wawancara-sebagai-metode-
pengumpulan.html
Rangkuti, F. (2004). The power of brands: Teknik mengelola brand equity dan strategi
pengembangan merek + analisis kasus dengan spss. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Rumata, V. M. (2011). Strategi City Branding Kota Jakarta. Skripsi: Universitas
Padjadjaran
Ruslan, R. (2010). Metode penelitian public relations dan komunikasi. Jakarta: Rajawali
Pers.
Setiawan, W. (2012). Renitasari dan Event Budaya Djarum. Diakses pada 21 Januari
2015, dari http://mix.co.id/people/renitasari-dan-event-budaya-djarum
Situmorang, S. H. (2008). Destination brand: Membangun keunggulan bersaing daerah.
Diakses dari http://repository.usu.ac.id/. Jurnal Perencanaan & Pengembangan
Wilayah, 4 (2), 79-86.
Suratmi & Santosa, S. (2013). Strategi pemerintah kota surakarta dalam melakukan city
branding sebagai kota budaya. Diakses dari http://journal.uniba.ac.id. Jurnal
Manajemen Bisnis Syariah, 13 (01), 1359-1373.
Surya, S. (2014). City Branding, Sarana Promosi Daerah. Diakses pada 14 Januari 2015
dari http://silsurya.blog.uns.ac.id/2014/08/26/city-branding-sarana-promosi-daerah
Trista, N. L., Prihatini, A. E., & Saryadi. (2013). Pengaruh citra merek (brand image) dan
kepercayaan merek (brand trust) terhadap keputusan toyota avanza di kota semarang.
Jurnal Ilmu Administrasi Bisnis, 2 (2), 21-28.
Utomo, A. H. (2011). Onde-onde Tiongkok. Diakses pada 6 Mei 2014, dari
http://arisheruutomo.com/2011/12/18/onde-onde-tiongkok