+ All Categories
Home > Documents > Persepsi masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto sebagai 'Kota Onde-Onde'

Persepsi masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto sebagai 'Kota Onde-Onde'

Date post: 01-Mar-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
24
PERSEPSI MASYARAKAT KOTA MOJOKERTO TERHADAP CITY BRAND KOTA MOJOKERTO SEBAGAI ‘KOTA ONDE-ONDE’ Oleh: Candra Rahsurya Eka Putra Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya, Jalan Veteran, Malang, 65145 Email: [email protected] ABSTRAK Kota Mojokerto merupakan salah satu kota kecil dengan penduduk padat yang berada di provinsi Jawa Timur. City brand ‘Kota Onde-Onde’ yang dipakai oleh Kota Mojokerto, diciptakan melalui sisi sejarah onde-onde yang pertama kali masuk ke Indonesia dari China sejak jaman Kerajaan Majapahit. Persepsi masyarakat terhadap sebuah kota dapat dijadikan sebagai acuan city branding untuk menghasilkan sebuah city brand bagi sebuah kota. Maka dari itu, persepsi masyarakat terhadap brand kota dimana mereka tinggal sangatlah perlu untuk diselaraskan agar tidak ada kesalahan persepsi terhadap city brand yang digunakan oleh pemerintah kota dengan city brand yang dipersepsi oleh masyarakat. City brand Kota Mojokerto sebagai ‘Kota Onde- Onde’ yang muncul karena sisi historical, membuat penulis ingin mengetahui bagaimana persepsi masyarakat Kota Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto.Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi masyarakat Kota Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto sebagai ‘Kota Onde- Onde’ pada saat ini. Penelitian ini menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Rangkuti (2004:3) mengenai enam tingkat pengertian brand. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengumpulkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari informan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semiterstruktur dan mengumpulkan data dokumentasi berupa foto-foto dengan menggunakan alat bantu kamera. Analisis data dalam penelitian ini dengan menguraikan, menginterpretasikan, dan mengambil kesimpulan dalam bentuk tulisan yang sistematis. Keabsahan data penelitian ini menggunakan teknik analisis triangulasi data. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat Kota Mojokerto mempersepsikan Kota Mojokerto adalah ‘Kota Onde-Onde’ dan menggunakan identitas tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Kota Mojokerto menganggap dengan menggunakan city brand ‘Kota Onde-Onde’, masyarakat Kota Mojokerto lebih mudah menemukan pusat produksi onde-onde serta mampu menjadikan Kota Mojokerto dikenal luas. Masyarakat kota Mojokerto beranggapan jika city brand Kota Mojokerto sebagai ‘Kota Onde-Onde’ telah mewakili kebiasaan masyarakat Kota Mojokerto serta kebiasaan pemerintah Kota Mojokerto. Masyarakat Kota Mojokerto berpersepsi bahwa para wisatawan yang berkunjung ke Kota Mojokerto adalah para wisatawan yang bertujuan untuk membeli onde-onde. ABSTRACT Mojokerto City is a small city with a dense population in the province of East Java. City brand 'Onde-Onde City' used by Mojokerto City, created through the history
Transcript

PERSEPSI MASYARAKAT KOTA MOJOKERTO

TERHADAP CITY BRAND KOTA MOJOKERTO

SEBAGAI ‘KOTA ONDE-ONDE’

Oleh:

Candra Rahsurya Eka Putra

Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya,

Jalan Veteran, Malang, 65145

Email: [email protected]

ABSTRAK Kota Mojokerto merupakan salah satu kota kecil dengan penduduk padat yang

berada di provinsi Jawa Timur. City brand ‘Kota Onde-Onde’ yang dipakai oleh Kota

Mojokerto, diciptakan melalui sisi sejarah onde-onde yang pertama kali masuk ke

Indonesia dari China sejak jaman Kerajaan Majapahit. Persepsi masyarakat terhadap

sebuah kota dapat dijadikan sebagai acuan city branding untuk menghasilkan sebuah

city brand bagi sebuah kota. Maka dari itu, persepsi masyarakat terhadap brand kota

dimana mereka tinggal sangatlah perlu untuk diselaraskan agar tidak ada kesalahan

persepsi terhadap city brand yang digunakan oleh pemerintah kota dengan city brand

yang dipersepsi oleh masyarakat. City brand Kota Mojokerto sebagai ‘Kota Onde-

Onde’ yang muncul karena sisi historical, membuat penulis ingin mengetahui

bagaimana persepsi masyarakat Kota Mojokerto terhadap city brand Kota

Mojokerto.Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi

masyarakat Kota Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto sebagai ‘Kota Onde-

Onde’ pada saat ini.

Penelitian ini menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Rangkuti (2004:3)

mengenai enam tingkat pengertian brand. Penelitian ini menggunakan metode

kualitatif dengan mengumpulkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan

dari informan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara semiterstruktur dan mengumpulkan data dokumentasi berupa foto-foto

dengan menggunakan alat bantu kamera. Analisis data dalam penelitian ini dengan

menguraikan, menginterpretasikan, dan mengambil kesimpulan dalam bentuk tulisan

yang sistematis. Keabsahan data penelitian ini menggunakan teknik analisis

triangulasi data.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat Kota Mojokerto

mempersepsikan Kota Mojokerto adalah ‘Kota Onde-Onde’ dan menggunakan

identitas tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Kota Mojokerto

menganggap dengan menggunakan city brand ‘Kota Onde-Onde’, masyarakat Kota

Mojokerto lebih mudah menemukan pusat produksi onde-onde serta mampu

menjadikan Kota Mojokerto dikenal luas. Masyarakat kota Mojokerto beranggapan

jika city brand Kota Mojokerto sebagai ‘Kota Onde-Onde’ telah mewakili kebiasaan

masyarakat Kota Mojokerto serta kebiasaan pemerintah Kota Mojokerto. Masyarakat

Kota Mojokerto berpersepsi bahwa para wisatawan yang berkunjung ke Kota

Mojokerto adalah para wisatawan yang bertujuan untuk membeli onde-onde.

ABSTRACT Mojokerto City is a small city with a dense population in the province of East

Java. City brand 'Onde-Onde City' used by Mojokerto City, created through the history

of dumplings were first entered into Indonesia from China since the days of the

kingdom of Majapahit. The public perception of a city can be used as a reference city

branding to produce a city brand for a city. Therefore, the public perception of the

brand the city in which they live is necessary to be harmonized so that there are no

errors perception of a city brand that is used by the city government with a city brand

that is perceived by the public. City brand Mojokerto City as' Onde-Onde City 'which

arises because of the historical side, making the writer wanted to know how the public

perception of Mojokerto City against the city brand of Mojokerto City Mojokerto. The

purpose of this research was to determine the public's perception aginst the city brand

of Mojokerto City as 'Onde-Onde City' at this time.

This study uses the concept proposed by Rangkuti (2004: 3) on the six-level

understanding of the brand. This study used qualitative methods to gather descriptive

data in the form of words written or spoken of informants. Data collection methods

used in this study were semistructured interviews and collect data documentation in the

form of photographs using a camera tools. Analysis of the data in this study to

decipher, interpret, and draw conclusions in a systematic form of writing. The validity

of this research data use triangulation of data analysis techniques.

The results of this study indicate that the public of Mojokerto City perceives

Mojokerto City is 'Onde-Onde City' and using the identity in everyday life. Mojokerto

City community considers the use of city brand 'Onde-Onde City', society of Mojokerto

City more easily find dumplings production center and be able to make Mojokerto

known. Community of Mojokerto City assume if a city brand Mojokerto City as 'Onde-

Onde City’ has represented people's habits and customs government of Mojokerto City.

Mojokerto City community perceived that the tourists who visit the City of Mojokerto is

the tourists who aim to buy dumplings.

Keyword: Perception, City Brand, Mojokerto City

PENDAHULUAN

Latar Belakang Kota Mojokerto merupakan salah satu kota kecil dengan penduduk padat yang

berada di provinsi Jawa Timur. Kota kecil yang bernama Mojokerto ini mendapat

berbagai penghargaan dari pemerintah pusat maupun provinsi. Kota Mojokerto juga

memiliki kekurangan yaitu minimnya tempat pariwisata. Kota Mojokerto berkembang

dengan baik karena memiliki potensi daerah khususnya di bidang industri dan kerajinan

yang cukup banyak. “Semakin meningkatnya sektor industri baik ditinjau dari investasi

dan penyerapan tenaga kerja menjadikan sebuah fenomena baru bagi perkembangan Kota

Mojokerto yang sarat dengan sumber daya manusia produktifnya” (Agustin, 2014).

Pemerintah Kota Mojokerto mempromosikan Kota Mojokerto menggunakan „Kota

Onde-Onde‟ sebagai sebuah city brand. City brand „Kota Onde-Onde‟ yang dipakai oleh

Kota Mojokerto, diciptakan melalui sisi sejarah onde-onde yang pertama kali masuk ke

Indonesia dari China sejak jaman Kerajaan Majapahit sehingga Kota Mojokerto dianggap

sebagai asal dari makanan khas „onde-onde‟ tersebut di Indonesia. “Kue ini sangat

terkenal di daerah Mojokerto yang disebut sebagai kota onde-onde sejak zaman

Majapahit” (News Online Center, 2012). Dalam upaya mempromosikan city brand-nya,

pemerintah Kota Mojokerto hanya menyerukan bahwa Kota Mojokerto adalah kota onde-

onde melalui walikotanya dalam kegiatan-kegiatan yang dihadirinya dan beberapa kali

mengadakan event bertaraf nasional yang bertajuk onde-onde. “Agar masyarakat lebih

mengenal onde-onde, beberapa event bertaraf nasional juga digelar bahkan sampai

memecahkan rekor MURI yakni di tahun 2004” (Lia, 2011). Hal tersebut mengakibatkan

munculnya persepsi yang salah pada masyarakat terhadap city brand yang dipakai oleh

Kota Mojokerto. “Saya sudah sekitar 12 tahun berdomisili di Kota Mojokerto. Ketika pertama

kali menginjakan kaki di Mojokerto, saya pikir inilah kota sepatu sandal di

Indonesia. Tapi setelah sekian tahun aku berdomisili di Mojokerto, ternyata isi

pikiran saya itu tidak cocok karena dalam beberapa kesempatan atau event-

event resmi warga atau pejabat di Mojokerto kerap mendengungkan slogan

„Mojokerto Kota Onde-Onde. Bagi saya slogan itu sama sekali tidak cocok,

karena ketika saya melangkahkan kaki menyusuri jalan-jalan di Mojokerto

bukan pembuat onde-onde yang saya jumpai, tapi yang kerap sekali saya

jumpai di rumah-rumah adalah para penjahit sepatu sedang melakukan

pekerjaanya. Jadi menurut saya Mojokerto lebih cocok bila di juluki sebagai

kota sepatu. (Digdoyo, 2013) Sebagai bagian dari sebuah negara, Kota Mojokerto tidak dapat lagi hanya

bergantung kepada negara, melainkan harus mampu bersaing dalam kompetisi global

secara mandiri. Kota Mojokerto harus bisa memasarkan diri untuk menarik minat

wisatawan berkunjung ke Kota Mojokerto sebanyak-banyaknya. Kota Mojokerto harus

mempunyai ciri khas yang dapat dijelaskan dan diidentifikasikan untuk memiliki city

brand yang kuat (Kementerian Dalam Negeri, 2013) serta telah memenuhi syarat (Gelder,

dikutip dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang 2012) guna

memasarkan dirinya.

„Kota Onde-Onde‟, merupakan city brand yang dipakai oleh Kota Mojokerto. “City

brand adalah identitas, simbol, logo, atau merek yang melekat pada suatu daerah”

(Kementerian Dalam Negeri, 2013). Keuntungan yang didapat oleh sebuah kota ketika

melakukan city branding adalah kota tersebut bisa dikenal luas (high awareness) disertai

dengan persepsi yang baik; memiliki tujuan-tujuan khusus (specific purposes); menjadi

tempat investasi; tujuan wisata, tempat tinggal, dan penyelenggaraan kegiatan; serta

dianggap sebagai tempat yang makmur dan aman (Kementerian Dalam Negeri, 2013). Oleh karena itu, setiap kota perlu memiliki sebuah city brand khususnya kota-kota kecil

yang belum banyak dikenal oleh masyarakat termasuk Kota Mojokerto untuk

mempromosikan daerah, tempat pariwisata, serta produk-produk unggulannya.

Penerapan City branding pertama kali di Indonesia dilakukan oleh Pemerintah

Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2001 yang menghasilkan brand „Jogja, The

Never Ending Asia‟ melalui penelitian empiris terhadap responden yang terdiri atas

penduduk Kota Yogyakarta, penduduk pendatang, bahkan turis asing (Chaerani, 2011).

Responden berupa penduduk Kota Yogyakarta, penduduk pendatang, serta turis asing

menunjukkan bahwa city branding merupakan gambaran dari pikiran, perasaan, asosiasi,

dan ekspektasi yang datang dari benak seseorang melalui sebuah nama, logo, produk

layanan, event, ataupun simbol (Fatmala, 2012). Persepsi masyarakat terhadap sebuah

kota dapat dijadikan sebagai acuan city branding untuk menghasilkan sebuah city brand

bagi sebuah kota. City Brand bukanlah merupakan apa yang kota itu ingin sampaikan,

tapi apa yang orang katakan tentang kota itu (Brooks, dikutip dari Harrington 2007).

Dengan kata lain, brand sebuah kota dibentuk oleh masyarakat melalui penilaian mereka

terhadap kota tersebut atas segala hal yang dilakukan oleh pemerintah kota itu. Maka

setiap kota tentunya dalam upaya menyematkan city brand bagi kota tersebut, tidaklah

bisa seenaknya menentukan city brand apa yang akan dipakai melainkan yang bisa benar-

benar mewakili dan merepresentasikan dari kota penyandang city brand. Hal tersebut

diharapkan mampu membuat masyarakat dapat mengingat dan mengetahui ketika

mendengar nama kota atau city brand dari sebuah kota.

City brand tidak bisa lepas dengan masyarakat. Peran masyarakat sangat diperlukan

sebagai kekuatan pendukung city brand melalui fungsinya untuk memperkenalkan kota

dimana mereka tingal (Purnamasari, 2013). Maka dari itu, persepsi masyarakat terhadap

brand kota dimana mereka tinggal sangatlah perlu untuk diselaraskan agar tidak ada

kesalahan persepsi terhadap city brand yang digunakan oleh pemerintah kota dengan city

brand yang dipersepsi oleh masyarakat.

City brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ yang muncul karena sisi

historical, membuat penulis ingin mengetahui bagaimana persepsi masyarakat Kota

Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto. Penulis beranggapan jika temuan data

awal di atas penting untuk ditindaklanjuti. Perlu diketahui bagaimanakah persepsi

masyarakat Kota Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto pada saat ini.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti persepsi masyarakat

Kota Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟.

Rumusan Masalah

City brand „Kota Onde-Onde‟ yang diciptakan oleh pemerintah Kota

Mojokerto melalui sisi sejarah Kota Mojokerto, menarik minat penulis dalam

melakukan penelitian untuk mengetahui persepsi masyarakat Kota Mojokerto

terhadap city brand Kota Mojokerto pada saat ini apakah city brand „Kota Onde-

Onde‟ tersebut sesuai dengan apa yang ada dalam benak masyarakat Kota

Mojokerto. Berdasarkan persoalan tersebut ada pertanyaan yang akan coba

dijawab oleh penulis yaitu bagaimanakah persepsi masyarakat Kota Mojokerto

terhadap city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟?

Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dilakukan penelitian ini

dengan judul “Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota

Mojokerto Sebagai „Kota Onde-Onde‟” ini adalah untuk mengetahui persepsi masyarakat

Kota Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ pada saat

ini.

Manfaat Penelitian Manfaat penulis mengadakan penelitian ini adalah:

1. Manfaat akademis:

Bermanfaat sebagai salah satu proses pembelajaran terkait city brand dari sudut

pandang masyarakat.

2. Manfaat praktis:

a. Bagi almamater, penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan

sumbangan pemikiran dalam meneliti city brand kota yang terbilang kecil dan

tidak begitu banyak dikenal.

b. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran terkait city brand sebuah kota tanpa melalui proses city branding.

c. Bagi pihak pemerintah Kota Mojokerto, diharapkan dengan adanya penelitian

ini dapat mengetahui persepsi masyarakat Kota Mojokerto terhadap city brand

Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ sehingga dapat mengambil langkah

yang tepat dan menjadi lebih baik lagi di kemudian hari.

TINJAUAN PUSTAKA

City Brand

Untuk memiliki city brand yang kuat, sebuah kota harus mempunyai ciri khas yang

dapat dijelaskan dan diidentifikasikan seperti tampak fisik kota, pengalaman orang

terhadap kota tersebut, serta penduduk yang tinggal di kota tersebut (Kementerian Dalam

Negeri, 2013). Gelder (dikutip dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota

Semarang 2012) menjelaskan bahwa city brand mempunyai lima syarat, antara lain:

1. City brand harus menunjukkan kondisi kualitas dari kota atau daerah yang

sebenarnya. City brand pada kenyataannya bukan merupakan cita-cita atau visi

semata-mata yang ingin dicapai, tetapi adalah kenyataan yang sebenarnya yang

menggambarkan kondisi kota tersebut. City brand juga bukan pula merupakan

semata-mata suatu janji, tetapi adalah janji yang ditepati ketika orang tinggal, hidup,

menetap atau sekedar berkunjung ke dalam suatu kota.

2. City brand harus mudah diucapkan, dikenal, diingat, dijiwai, dihayati dan dipahami

oleh tidak hanya penduduk kota, tetapi juga bagi setiap orang yang melihat,

membaca, dan mendengarnya.

3. City brand harus mudah terbedakan, oleh karena itu harus spesifik dan khas. 4. City brand harus mudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, khususnya bahasa

Inggris harus menggambarkan pengertian yang sama dan identik, sehingga tidak

membingungkan orang yang mengetahuinya.

5. City brand harus bisa memperoleh hak untuk didaftarkan dan mendapat

perlindungan hukum. Sebuah jurnal yang berjudul City Brand Management (CBM): The Case of

Kazakhstan dan ditulis oleh Hugo Gaggiotti, Patrick Low Kim Cheng, serta Olga Yunak

pada tahun 2008 merumuskan sebuah model manajemen city brand yang dinamai City

Brand Management Model. Tujuan dari CBM model adalah sebagai kerangka untuk

membangun city brand dan mengidentifikasi arah strategis serta tugas dalam membentuk

sebuah brand.

Gambar 1: The City Brand Management Model

Sumber: City Brand Management (CBM): The Case of Kazakhstan, Hugo Gaggiotti;

Patrick Low Kim Cheng; Olga Yunak, 2008

City Brand Management Model ini terdiri dari empat tahapan (Gaggiotti, Cheng &

Yunak, 2008), yakni:

WHAT WE

ARE NOW

PLACE

PEOPLE

PROCESSES

PARTNERS

WHAT OUR

OPTIONS ARE

PROSPECTS

WHAT WE

WANT TO BE

POSITIONING

WHAT WE

NEED TO DO

PLACE

PEOPLE

PROCESSES

PARTNERS

1. Analisis situasi dengan elemen „place (meliputi lokasi geografis, sejarah, cluster

industri, dan lain-lain)‟, „people (meliputi sumber daya manusia seperti keragaman

populasi, bakat, mental dan sikap warga setempat)‟, „processes (apapun yang akan

mengaktifkan atau menonaktifkan pembangunan ekonomi dan sosial kota)‟, dan

„partners (kelompok negara, perusahaan, organisasi non pemerintah, atau industri)‟

yang akan memberikan otoritas jawaban atas pertanyaan „what we are now (apa kita

sekarang)‟.

2. Pemilihan dari apa yang kota bisa jadikan berdasarkan pada analisis situasi yang

dilakukan sebelumnya dan analisis peluang serta prospek. Pada tahap ini, juga

penting untuk mengevaluasi opsi menggunakan kriteria seleksi yang akan

mencerminkan prasyarat paling penting dari brand yang bersumber dari kota seperti

lamanya citra yang dipilih dan paling cocok dengan sumber daya yang ada, kegiatan

keuangan, peluang eksternal dan citra. Salah satu yang paling cocok dari ketiganya

akan menunjuk ke arah „what we want to be (ingin menjadi apa kita)‟ yang

merupakan tahap ketiga dari strategi membangun brand.

3. Menempatkan posisi „what we want to be‟ menjadi satu dengan kembalinya

ekonomi dan sosial tertinggi.

4. Kerangka kerja untuk tindakan masa depan, yaitu „what we need to do (apa yang

perlu kita kerjakan)‟ dalam rangka mendukung penempatan. Ini bukan rencana

kerja, dalam hal ini tidak memberikan tugas khusus untuk organisasi tertentu.

Sebaliknya, itu mengusulkan arah strategis untuk memfokuskan perhatian dan energi

dari semua stakeholders dalam mencapai satu tujuan bersama.

Penulis menggunakan konsep „The City Brand Management Model‟ untuk mengkritisi

kinerja pemerintah Kota Mojokerto dalam upaya membangun city brand Kota Mojokerto

sebagai „Kota Onde-Onde‟ karena dalam penelitian ini pemerintah Kota Mojokerto

menciptakan city brand „Kota Onde-Onde‟ melalui sisi sejarah atau historical dari Kota

Mojokerto itu sendiri.

Brand Brand merupakan nama atau simbol yang menimbulkan arti psikologis atau asosiasi

(Ardiansah, 2013). “Brand adalah sebuah image atau citra yang terbentuk di benak

masyarakat (Khaerusya & Mulyana, 2011). Brand memiliki enam tingkat pengertian

(Rangkuti, 2004, h. 3), yaitu:

1. Atribut

Semua brand harus mengelola dan menciptakan atribut agar dapat diketahui dengan

pasti atribut-atribut apa saja yang terkandung dalam suatu brand.

2. Manfaat

Selain atribut, brand juga memiliki serangkaian manfaat. Atribut-atribut yang telah

diciptakan harus dapat diterjemahkan menjadi manfaat fungsional maupun manfaat

emosional yang dapat langsung dirasakan.

3. Nilai

Brand juga menyatakan sesuatu tentang nilai. Brand yang memiliki nilai tinggi akan

lebih dihargai dan dianggap berkelas sehingga mencerminkan pengguna brand.

4. Budaya

Brand mewakili budaya tertentu.

5. Kepribadian

Brand memiliki kepribadian bagi penggunanya, kepribadian pengguna brand

tercermin dalam brand yang digunakan.

6. Pemakai

Brand menunjukkan jenis konsumen dari pemakai brand tersebut. Pengguna brand

harus menentukan pada tingkat mana pengguna brand akan menanamkan identitas

brand dengan enam tingkat pengertian brand di atas.

Dalam penelitian Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota

Mojokerto Sebagai „Kota Onde-Onde‟, konsep enam tingkat pengertian milik Rangkuti

digunakan sebagai aspek utama dalam memfokuskan persepsi masyarakat Kota

Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto sebagai kota onde-onde. Keenam aspek

tersebut dapat memperlihatkan pada tingkat mana city brand „Kota Onde-Onde‟ terletak

sehingga city brand „Kota Onde-Onde‟ tidak dianggap hanya dipromosikan sebatas

atribut-atributnya saja dan diperlakukan hanya sebagai sebuah nama. Brand merupakan sebuah persepsi, hal tersebut mempunyai arti jika komunikasi berperan

dalam membentuk sebuah brand (Rumata, 2011). Menurut Khaerusya dan Mulyana (2011),

“brand adalah keseluruhan jiwa dan cerita dari sebuah produk, sehingga muncul image atau

persepsi di dalam benak konsumen menganai produk tersebut.” Fungsi brand bagi konsumen

(Danto, 2012) adalah untuk:

1. Memberikan pilihan pada konsumen, untuk produk yang tangible benefits serupa.

2. Sebagai shortcut yang menyederhanakan pengambilan keputusan.

3. Menawarkan jaminan kualitas, sehingga dapat menurunkan resiko bagi konsumen.

4. Membantu ekspresi diri (self-expression).

Dalam hal ini masyarakat Kota Mojokerto sebagai alat untuk membentuk persepsi terkait

city brand Kota Mojokerto. Masyarakatlah yang juga akan membantu meyakinkan

konsumen atau wisatawan bahwa mereka akan mendapat kualitas yang terbaik,

kenyamanan, dan lain-lain terkait onde-onde yang memberikan kepuasan kepada

wisatawan ketika mengunjungi Kota Mojokerto agar wisatawan terus mengunjungi Kota

Mojokerto dengan janji bahwa Kota Mojokerto adalah kota onde-onde.

City Branding Khaerusya dan Mulyana (2011), mendefinisikan city branding sebagai “suatu cara

dalam membangun dan membentuk image atau persepsi di masyarakat mengenai suatu

kota tertentu.” Image atau persepsi masyarakat terhadap sebuah kota diperlukan agar

harapan masyarakat terhadap kota tersebut dapat terpenuhi sehingga masyarakat merasa

memiliki kota tersebut (Fatmala, 2012). “Dengan kata lain, kita membuat kota seperti

brand yang kita buat karena city branding berfokus pada menciptakan persepsi orang

mengenai kota dan membentuk kota seperti citra yang ingin dibuat dengan upaya-upaya

tertentu” (Pradana & Sutriadi, 2014).

City branding tidak hanya sekedar slogan saja, melainkan persepsi, perasaan,

asosiasi, serta ekspektasi dari masyarakat ketika mendapat stimulus yang berkaitan

dengan kota tersebut. Langkah-langkah untuk membangun city branding menurut

Suratmi dan Santosa (2013) adalah dengan penguatan visi dan tema city branding,

segmentasi market, diferensiasi service dari produk wisata yang ditawarkan, serta

pemasaran pariwisata. Selain itu, Situmorang (dikutip dari Situmorang 2008) berpendapat

bahwa melakukan city branding bukanlah hal yang mudah karena harus melakukan

analisis lingkungan internal yang meliputi potensi suatu daerah, keuangan, produk

unggulan, kelemahan, dan lain-lain serta lingkungan eksternal yang meliputi analisis

perubahan, analisis pesaing, dan analisis pelanggan. Analisis perubahan yang meliputi

teknologi, dinamika ekonomi, perkembangan politik, regulasi, pergeseran sosial budaya,

dan perubahan pasar juga perlu dilakukan (Situmorang, 2008). Analisis pesaing melihat

tiga dimensi dari pesaing, yaitu: dimensi general yang menggambarkan jumlah pesaing

baik riil maupun potensial; dimensi aggresiveness yang menggambarkan seberapa jauh

para pesaing menerapkan secara aktif dan kreatif; dan dimensi" capability yang melihat

kemampuan pesaing dari berbagai aspek seperti kepemimpinan daerah serta kondisi

faktor produksi daerah (Kartajaya & Yuswohadi, dikutip dari Situmorang 2008).

Dalam penelitian Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota

Mojokerto Sebagai „Kota Onde-Onde‟, Kota Mojokerto menggunakan „Kota Onde-Onde‟

sebagai city brand melalui sejarah. City branding umumnya terbentuk secara alamiah

melalui peristiwa bersejarah yang pernah terjadi pada sebuah kota (Muchamad, 2011).

“Branding tersebut mencerminkan identitas, sejarah, budaya, gaya hidup kota-kota

tersebut” (Surya, 2014).

Persepsi Walgito (dikutip dari Indah 2012) berpendapat jika “persepsi merupakan suatu

proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh

organisme atau individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti”.

“Jika dikaitkan antara persepsi dan masyarakat, maka persepsi masyarakat

dapat diartikan sebagai rangkaian proses kognisi atau pengenalan dan afeksi

atau aktifitas evaluasi emosional (ketertarikan) masyarakat terhadap suatu

objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan cara

menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan tersebut dengan menggunakan

media pendengaran, penglihatan, peraba dan sebagainya”. (Indah, 2012)

Proses persepsi terjadi melalui empat tahapan (Walgito, dikutip dari Indah 2012), yaitu:

1. Proses kealaman atau proses fisik, merupakan proses ditangkapnya suatu stimulus

oleh alat indra manusia.

2. Proses fisiologis, merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh

reseptor (alat indra) melalui saraf-saraf sensoris.

3. Proses psikologik, merupakan proses timbulnya kesadaran individu tentang stimulus

yang diterima reseptor.

4. Hasil yang diperoleh dari proses persepsi yaitu berupa tanggapan dan perilaku.

Konsep persepsi ini digunakan untuk menghasilkan tanggapan dari masyarakat Kota

Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ sehingga

informasi yang disimpan dalam benak masyarakat Kota Mojokerto melalui alat indra

mereka dapat diinterpretasikan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengumpulkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari informan. Fokus dari penelitian ini ditujukan

kepada tanggapan dan pendapat masyarakat Kota mojokerto terhadap city brand Kota

Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ pada saat ini melalui enam aspek dalam konsep

yang diungkapkan oleh rangkuti, yakni aribut, manfaat, nilai, budaya, kepribadian, dan

pemakai. Penelitian ini dilakukan di lingkungan masyarakat Kota Mojokerto. Sumber

data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data yang diperoleh melalui

wawancara terhadap masyarakat Kota Mojokerto dan data yang berupa foto-foto terkait

dengan permasalahan dalam penelitian. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah wawancara semiterstruktur dan dokumentasi. Teknik pemilihan

informan dalam penelitian ini menggunakan teknik accidential sampling. Instrumen

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara (interview

guide) dan dokumen-dokumen berupa file atau foto. Analisis data dalam penelitian ini

dengan menguraikan, menginterpretasikan, dan mengambil kesimpulan dalam

bentuk tulisan yang sistematis. Keabsahan data penelitian ini menggunakan teknik

analisis triangulasi data.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto

sebagai ‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Atribut Aspek atribut merupakan aspek yang harus dikelola dan dibuat agar masyarakat

dapat mengetahui atribut-atribut apa saja yang terkandung dalam city brand „Kota Onde-

Onde‟. Atribut menurut Fandy Tjiptono (dikutip dari Akbar 2013) adalah unsur-unsur

yang dipandang penting oleh konsumen dan dijadikan sebagai dasar pengambilan

keputusan. Atribut adalah sesuatu yang melengkapi manfaat utama produk (Budiarto,

dikutip dari Didit 2013).

City brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ akan dikenal masyarakat jika

pemerintah Kota Mojokerto mampu menghadirkan dan mengelola atribut-atribut yang

merepresentasikan Kota Mojokerto sebagai kota onde-onde. Aspek atribut dapat dilihat

dari hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat asli Kota Mojokerto. Dari hasil

wawancara, dapat diketahui bagaimanakah persepsi masyarakat Kota mojokerto terhadap

aspek atribut city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟.

„Kota Onde-Onde‟, merupakan istilah yang ada dalam benak masyarakat untuk

menggantikan kata „Kota Mojokerto‟.

“Jika kita tidak boleh menyebut „Kota Mojokerto‟, saya akan menyebutnya

dengan „kota onde-onde‟, karena onde-onde jajanan khas Kota Mojokerto yang

juga mudah dikenal semua orang bahwa Kota Mojokerto adalah kota onde-

onde.” (Informan F, 2 Agustus 2014)

Hal tesebut didukung pula oleh beberapa informan lainnya, “Kota Mojokerto juga

terkenal dengan kota onde-onde” (Informan C, 10 Mei 2014). City brand Kota Mojokerto

sebagai „Kota Onde-Onde‟, memenuhi syarat city brand menurut Gelder (dikutip dari

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang 2012), yakni city brand „Kota

Onde-Onde‟ merupakan city brand yang mudah diucapkan, dikenal, dan diingat oleh

masyarakat.

Gambar 2: Istilah ‘Kota Onde-onde’ Digunakan Sebagai Pengganti ‘Kota

Mojokerto’

Sumber: https://twitter.com/gusyukmojokerto

Kota Mojokerto belum memiliki arsitektur yang mampu merepresentasikan bahwa

Kota Mojokerto adalah kota onde-onde. Justru yang nampak adalah arsitektur yng

merepresentasikan kalau Kota Mojokerto adalah kota sepatu dan sandal. “Gak pernah

ngerti kalau onde-onde, kalau sepatu ada” (Informan E, 7 Juli 2014).

City brand „Kota Onde-Onde‟ yang digunakan oleh Kota Mojokerto dapat dikatakan

lemah karena Kota Mojokerto tidak memiliki tampak fisik kota yang khas dan dapat

diidentifikasikan untuk menjadi city brand yang kuat. Hal tersebut didukung pula oleh

seluruh tanggapan informan yang mengatakan jika mereka tidak pernah melihat dan

mengetahui adanya arsitektur di Kota Mojokerto yang mampu merepresentasikan city

brand Kota Mojokerto sebagai kota onde-onde. Seluruh Informan berpendapat jika Kota

Mojokerto harusnya membuat tugu, gapura, kampung, atau patung yang besar di pusat

kota atau aloon-aloon yang menggunakan simbol onde-onde. Untuk memiliki city brand

yang kuat, sebuah kota harus mempunyai ciri khas yang dapat dijelaskan dan

diidentifikasikan seperti tampak fisik kota (Kementerian Dalam Negeri, 2013).

Gambar 3: Patung Sepatu

Sumber: Data Diolah Oleh Peneliti

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa masyarakat Kota Mojokerto

mempersepsikan city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ selaras dengan

identitas yang dipakai untuk menyebutkan Kota Mojokerto dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat Kota Mojokerto secara tidak sadar menyelaraskan persepsi mereka dengan

persepsi pemerintah Kota Mojokerto terkait city brand Kota Mojokerto terlepas apakah

masyarakat Kota Mojokerto sebenarnya telah mengetahui city brand Kota Mojokerto

sebagai „Kota Onde-Onde‟ atau tidak. Namun, city brand „Kota Onde-Onde‟ yang

diciptakan melalui sisi sejarah, membuat masyarakat Kota Mojokerto berpersepsi jika

city brand tersebut tidak diperkuat oleh adanya arsitektur yang mendukung Kota

Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟. Hal tersebut memunculkan persepsi pada

masyarakat Kota Mojokerto yang akhirnya lebih cenderung menganggap Kota Mojokerto

merupakan kota sepatu dengan adanya patung sepatu sebagai stimulus atau rangsangan

bagi masyarakat Kota Mojokerto dalam mempersepsikan city brand Kota Mojokerto.

Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto

sebagai ‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Manfaat

Aspek manfaat terdiri dari manfaat fungsional dan manfaat emosional. City brand

Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ harus memberikan manfaat fungsional yakni

mudahnya ditemukan pusat-pusat produksi serta penjualan onde-onde serta manfaat

emosional berupa dikenal luasnya Kota Mojokerto oleh masyarakat lain seperti halnya

mereka mengenal onde-onde. Manfaat fungsional serta manfaat emosional akan mampu

memberikan stimulus terhadap masyarakat bahwa Kota Mojokerto adalah kota onde-

onde. Persepsi masyarakat Kota Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto sebagai

„Kota Onde-Onde‟ melalui aspek manfaat dapat dilihat dari hasil wawancara yang

dilakukan dengan masyarakat asli Kota Mojokerto. Dari hasil wawancara, dapat diketahui

bagaimanakah persepsi masyarakat Kota Mojokerto terhadap aspek manfaat city brand

Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟.

Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto sebagai

‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Manfaat Fungsional

Manfaat fungsional diperoleh dari atribut Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-

Onde‟ yang memberikan kegunaan fungsional kepada masyarakat. “Manfaat fungsional

mengacu pada kemampuan fungsi produk yang ditawarkan” (Islami, 2011). City brand

Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ memberikan manfaat fungsional yang dapat

dilihat dari sudah banyaknya pusat-pusat produksi serta penjualan onde-onde yang ada di

Kota Mojokerto. “Iya, gampang. Di setiap toko kue biasa pasti ada produk onde-ondenya

(Informan A, 5 April 2014). Hal tersebut juga didukung oleh informan B dan C yang

beranggapan jika sudah mudah mencari pusat-pusat produksi serta penjualan onde-onde

meskipun tidak hanya menjual onde-onde saja secara khusus melainkan juga menjual

berbagai macam kue lainnya. “Sejumlah tempat dan warung khusus di Mojokerto banyak

yang menyediakan jajanan khas dari ketan dan kacang ijo itu” (Faiq, 2014). “Sebuah kota, layaknya sebuah brand, harus bersifat fungsional.

Fungsionalitas berarti dapat dilihat sebagai sebuah benefit. Sebuah kota harus

berfungsi sebagai tujuan untuk pencari kerja, industri, tempat tinggal,

transportasi umum dan atraksi serta rekreasi.” (Suratmi & Santosa, 2013)

Penggunaan city brand „Kota Onde-Onde‟ oleh Kota Mojokerto, mampu memberikan

sebuah keuntungan terhadap masyarakat Kota Mojokerto khususnya bagi para penggelut

usaha di bidang industri onde-onde. Secara tidak langsung, hal tersebut ikut membantu

para penggelut industri onde-onde untuk mempromosikan onde-onde yang merupakan

produk dagang mereka.

Gambar 4: Salah Satu Pusat Produksi Onde-Onde

Sumber: Data Diolah Oleh Peneliti

Sesuai dengan deskripsi di atas, terlihat adanya persepsi masyarakat Kota Mojokerto

yang menganggap city brand „Kota Onde-Onde‟ telah memberikan manfaat terhadap

masyarakat Kota Mojokerto. Manfaat yang diperoleh adalah mudahnya masyarakat Kota

Mojokerto menemukan onde-onde karena pusat produksi onde-onde yang banyak tersebar

di Kota Mojokerto. Masyarakat Kota Mojokerto menganggap pentingnya keberadaan

pusat produksi onde-onde sebagai pelestarian onde-onde sebagai warisan Kota Mojokerto

di tengah kemunculan kue-kue modern. Manfaat juga dirasakan oleh para pelaku usaha

onde-onde di Kota Mojokerto yang merasa diuntungkan dengan penggunaan „Kota Onde-

Onde‟ sebagi city brand oleh Kota Mojokerto dari segi pemasaran onde-onde tersebut.

Para pelaku usaha onde-onde terlihat lebih antusias mengimplementasikan city brand

Kota Onde-Onde melalui keberagaman produk onde-onde yang mereka buat. Sedangkan

bagi masyarakat Kota Mojokerto sendiri, dengan banyaknya pusat produksi onde-onde

maka semakin banyak pula lapangan pekerjaan bagi mereka.

Gambar 5: Varian Onde-Onde Kota Mojokerto

Sumber: Data Diolah Oleh Peneliti

Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto sebagai

‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Manfaat Emosional

Ketika Kota Mojokerto menggunakan „kota onde-onde‟ sebagai city brand, maka

Kota Mojokerto akan terhubung dengan onde-onde tersebut. Artinya, masyarakat akan

mengingat dan mengenal Kota Mojokerto ketika masyarakat mengingat dan mengetahui

onde-onde. Pada intinya, manfaat emosional berhubungan dengan perasaan, yaitu

perasaan yang dialami masyarakat pada saat melihat onde-onde, mendengar atau

membaca kata „onde-onde‟. “Manfaat emosional adalah kemampuan merek untuk

membuat penggunanya merasakan sesuatu selama proses pembelian atau sesudahnya”

(Islami, 2011). City brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ memberikan

manfaat emosional yang dapat dilihat dari dari sudah dikenal luasnya Kota Mojokerto

oleh masyarakat lain seperti halnya mereka mengenal onde-onde. “Iya, bisa jadi dikenal..

Soalnya banyak yang bilang Kota Mojokerto itu kota onde-onde” (Informan A, 5 April

2014). Informan E menyetujui pernyataan dari informan A dengan tanggapannya jika

pada kenyataannya Kota Mojokerto sudah dikenal oleh masyarakat, seperti masyarakat

mengenal onde-onde.

City bramd „Kota Onde-Onde‟ yang digunakan oleh Kota mojokerto, mampu

mensugesti dan mempengaruhi perasaan masyarakat untuk mengingat Kota Mojokerto

ketika mendengar kata onde-onde ataupun melihat kue onde-onde tersebut. “... konsumen

memiliki hubungan emosional yang kuat dengan brand” (Trista, Prihatini, & Saryadi,

2013). Ketika city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ sudah tertanam baik

di benak masyarakat, maka hal tersebut akan membantu Kota Mojokerto dalam hal

memperkenalkan Kota Mojokerto secara luas melalui upaya pendomplengan

kemahsyuran kue onde-onde dalam masyarakat. “Bukannya sekarang juga uda pada tau

kalau Kota Mojokerto itu kota onde-onde? It‟s mean uda jadi penilaian masyarakat kan

kalau Kota Mojokerto kota onde-onde” (Informan G, 3 Agustus 2014).

Sesuai dengan deskripsi di atas, persepsi masyarakat Kota Mojokerto terhadap city

brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ adalah city brand „Kota Onde-Onde‟

telah memberikan manfaat terhadap masyarakat Kota Mojokerto. Manfaat yang diperoleh

adalah masyarakat Kota Mojokerto merasa jika Kota Mojokerto semakin dikenal luas

karena city brandnya sebagai kota onde-onde sehingga masyarakat Kota Mojokerto ikut

merasa bangga menjadi bagian dari Kota Mojokerto. Dengan city brand Kota Mojokerto

sebagai „Kota Onde-Onde‟, diharapkan masyarakat bisa sadar akan potensi yang luar

biasa yang dimiliki oleh Kota Mojokerto yakni Kota Mojokerto mampu menjadi kota

yang dikenal bagi semua orang layaknya mereka mengenal onde-onde.

Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto sebagai

‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Nilai

Aspek nilai merupakan aspek yang mampu merepresentasikan pengguna city brand

yakni Kota Mojokerto, apakah Kota Mojokerto adalah kota yang „dipandang‟ oleh

masyarakat dengan city brand-nya sebagai „Kota Onde-Onde‟ karena terkenal dengan

onde-ondenya yang paling lezat daripada onde-onde yang ada di daerah lain. “Nilai

sangatlah penting dibentuk untuk dapat menarik dan membandingkan produk kita dengan

produk para kompetitor kita.” (Media Bisnis Online, 2014). Aspek nilai city brand Kota

Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ dapat dilihat dari onde-onde di Kota Mojokerto

yang lebih lezat daripada onde-onde yang dijual di daerah lain. “Masih enak yang ada di

Kota Mojokerto” (Informan D, 6 Juni 2014). Hal tersebut juga disampaikan oleh

informan F, infroman F beranggapan jika cita rasa onde-onde di Kota Mojokerto lebih

enak dan masyarakat sudah mengetahui akan hal itu.

City brand „Kota Onde-Onde‟ merupakan janji bagi Kota Mojokerto untuk

memberikan sebuah kelezatan onde-onde sebagai kota asal dari onde-onde kepada

masyarakat yang mampu menyisihkan kelezatan onde-onde dari daerah pesaing. “Dari

rasanya sih, enakan yang di Kota Mojokerto” (Informan I, 2 Agustus 2014). Informan J

juga menyatakan hal yang sama jika rasa onde-onde di Kota Mojokerto lebih enak dan

khas khususnya yang dijual di toko kue Bo Liem. “Nilai yang dikomunikasikan brand ke

(calon) pelanggan, layaknya janji. Sekali kita sampaikan, akan diingat. Kemudian

dibuktikan. Dan jika kita belum penuhi, pelanggan akan menagihnya” (Edy, 2012).

"Habis mudik dari Nganjuk dan tadi mampir ke rumah saudara di Mojokerto.

Sekalian buat camilan di jalan dan sekedar oleh-oleh dari Mojokerto. Daerah

ini terkenal dengan Onde-ondenya yang enak dan molor kalau dicokot. Onde-

onde Mojokerto dikenal memiliki kekhasan sendiri. Dengan balutan biji wijen,

jajan bulat-bulat sebesar bola tenis ini makin gurih. Gurihnya ketan dan isi

kacang hijau makin membuat lidah dimanjakan dengan jajanan khas daerah ini.

Onde-onde Mojokerto lebih kenyal." (Rudiyanto, dikutip dari Faiq 2014)

Kota Mojokerto menjadi kota yang „dipandang‟ oleh masyarakat karena terkenal

memiliki onde-onde yang paling lezat daripada onde-onde yang ada di daerah lain. “Jika

dapat membuktikan “janjinya” maka nilai brand tersebut akan naik di benak pelanggan”

(Edy, 2012).

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dijelaskan di atas, dapat diketahui bahwa

masyarakat Kota Mojokerto mempersepsikan city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota

Onde-Onde‟ sudah tepat. Hal tersebut menurut tanggapan masyarakat Kota Mojokerto

berdasarkan atas onde-onde Kota Mojokerto yang memiliki kelezatan lebih jika

dibandingkan dengan onde-onde lain. Masyarakat Kota Mojokerto memaknai city brand

Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ sebagai sebuah janji yang mampu

memberikan kelezatan onde-onde Kota Mojokerto dengan ciri khasnya sendiri yang tidak

bisa ditandingi oleh onde-onde lainnya. City brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-

Onde‟ juga mencerminkan bahwa Kota Mojokerto merupakan kota yang „dipandang‟

oleh masyarakat luas dengan onde-ondenya yang mampu bersaing dengan produk-produk

kota lainnya. City brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ dapat pula dimaknai

sebagai semangat bagi seluruh pelaku usaha onde-onde di Kota Mojokerto untuk menjaga

kelezatan onde-onde mereka serta bagi seluruh stakeholders Kota Mojokerto untuk

mempromosikan kelezatan onde-onde Kota Mojokerto kepada masyarakat luas dalam

kehidupan sehari-hari.

Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto sebagai

‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Budaya

Budaya pada city brand adalah serangkaian sistem nilai yang saling terintegrasi satu

sama lain, sehingga mampu menggambarkan budaya pada kota tersebut. (Amaliah, 2013).

City brand „Kota Onde-Onde‟ yang digunakan oleh Kota Mojokerto harusnya mewakili

budaya yang ada di Kota Mojokerto, baik itu budaya yang dilakukan oleh masyarakat

maupun budaya yang dilakukan oleh pemerintah Kota mojokerto. Budaya yang dilakukan

oleh masyarakat harusnya adalah dengan menyuguhkan atau memberikan oleh-oleh onde-

onde kepada tamu atau orang lain khususnya yang berasal dari luar Kota Mojokerto.

Sedangkan budaya yang dilakukan oleh pemerintah Kota Mojokerto harusnya adalah

dengan mengadakan event atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan onde-onde

sesuai city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟. Persepsi masyarakat Kota

Mojokerto terhadap city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ melalui aspek

budaya dapat dilihat dari hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat asli Kota

Mojokerto. Dari hasil wawancara, dapat diketahui bagaimanakah persepsi masyarakat

Kota Mojokerto terhadap aspek budaya city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-

Onde‟. Persepsi masyarakat Kota Mojokerto terhadap aspek budaya city brand Kota

Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ dapat diketahui dari beberapa kutipan hasil

wawancara di bawah ini:

Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto sebagai

‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Budaya Masyarakat

Masyarakat Kota Mojokerto memiliki kebudayaan untuk menyuguhkan atau

memberikan onde-onde sebagai oleh-oleh kepada orang yang berasal dari daerah lain.

“Biasanya ngasih oleh-oleh ya onde-onde, soalnya mereka nitipnya onde-onde”

(Informan A, 5 April 2014). Begitu pula halnya dengan informan E yang juga selalu

membawa onde-onde sebagai oleh-oleh karena merasa dirinya berasal dari Kota

Mojokerto.

City brand „Kota Onde-Onde‟ yang digunakan oleh Kota Mojokerto mewakili

budaya yang ada di Kota Mojokerto, yakni masyarakat Kota Mojokerto selalu

menyuguhkan atau memberikan oleh-oleh onde-onde kepada tamu atau orang lain

khususnya yang berasal dari luar Kota Mojokerto. “Yaa kalau tamunya luar kota biasanya

aku beliin onde-onde yang rasanya macem-macem” (Informan B, 6 April 2014).

Informan F juga menuturkan jika dia selalu membawakan oleh-oleh onde-onde kepada

teman-temannya yang berada di daerah lain karena mereka kangen onde-onde Kota

Mojokerto yang kerap dibawakan oleh informan F. “...budaya pada merek merupakan

serangkaian sistem nilai yang saling terintegrasi satu sama lain, sehingga dapat

menggambarkan budaya pada kawasan tersebut” (Kaplanidou, dikutip dari Amaliah

2013).

Berdasarkan tanggapan yang ada, dapat diketahui bahwa masyarakat Kota

Mojokerto mempersepsikan city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ sudah

mewakili kebudayaan yang ada pada masyarakat Kota Mojokerto. Masyarakat Kota

mojokerto beranggapan bahwa city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟

nampak nyata terwujud dari kebiasaan masyarakat Kota Mojokerto yang selalu

memberikan suguhan ataupun oleh-oleh berupa onde-onde. City brand Kota Mojokerto

sebagai „Kota Onde-Onde‟ selaras dengan city brand yang dipakai oleh Kota Mojokerto

yaitu sebagai „Kota Onde-Onde‟. Namun, city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota

Onde-Onde‟ menjadi peringatan terhadap generasi muda masyarakat Kota Mojokerto

untuk lebih menyukai onde-onde dan tetap melestarikan kebiasaan menjadikan onde-

onde sebagai prioritas utama sebagai suguhan atau oleh-oleh kepada orang lain dari

munculnya kue-kue modern yang dapat dijadikan alternatif suguhan atau oleh-oleh.

Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto

sebagai ‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Budaya Pemerintah Kota Mojokerto

Budaya pemerintah Kota Mojokerto dalam memperkenalkan city brand Kota

Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ adalah dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang

bertujuan memperkenalkan city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ seperti

kegiatan „festival onde-onde‟ yang dihadiri oleh panitia MURI (Museum Rekor

Indonesia). “Pernah dulu, masuk rekor MURI. Pembuatan onde-onde terbanyak”

(Informan D, 6 Juni 2014). Hal tersebut juga diungkapkan oleh informan F yang

mengatakan jika pemerintah Kota Mojokerto pernah mengadakan pemecahan rekor

MURI untuk pembuatan onde-onde terbanyak dengan diikuti 1000 peserta di Jalan

Hayam Wuruk serta pembuatan onde-onde terbesar ketika ulang tahun Kota Mojokerto.

“Pernah bikin onde-onde terpanjang di Jogging Track masuk rekor MURI” (Informan G,

3 Agustus 2014). Kegiatan tersebut dianggap mampu mempromosikan city brand Kota

Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ ke seluruh Indonesia. Upaya-upaya lain yang

dilakukan oleh pemerintah Kota Mojokerto adalah dengan menciptakan sebuah gerakan

senam yang dinamakan „Senam Onde-Onde‟ dan lagu yang berjudul „Onde-Onde

Mojokerto‟. Upaya pengenalan „Senam Onde-Onde‟ yang bertujuan mempromosikan city

brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ dilakukan dengan mengadakan senam

tersebut pada setiap hari minggu dalam acara car free day dan mengajak para pengunjung

car free day untuk ikut berpartisipasi mengikuti senam yang dipimpin oleh instruktur

senam yang telah disediakan. Selain itu kegiatan-kegiatan lain yang dilaksanakan oleh

pemerintah Kota Mojokerto pun semuanya tak luput dijadikan sarana untuk

mempromosikan city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ khususnya oleh

walikota Mojokerto (Abdul Ghani, 2004-2014) dengan menyerukan slogan atau

semboyan „Kota Mojokerto Kota Onde-Onde‟.

Gambar 6: Senam Onde-Onde

Sumber: http://mojokertokota.go.id

City brand „Kota Onde-Onde‟ yang digunakan oleh Kota Mojokerto mewakili

budaya yang ada di Kota Mojokerto, yakni budaya yang dilakukan oleh pemerintah Kota

Mojokerto dengan mengadakan event atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan

onde-onde sesuai city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟. “Bikin onde-

onde raksasa atau apa gitu waktu itu pernah diadain di aloon-aloon kalau gak salah”

(Informan A, 5 April 2014). Informan J juga mengatakan hal serupa dengan

mengungkapkan jika pemerintah Kota Mojokerto pernah mengadakan kegiatan rekor

makan onde-onde terpanjang di aloon-aloon. Menurut Renitasari (dikutip dari Setiawan

2012) selaku Direktur Program Bakti Budaya Djarum Foundation, terdapat korelasi

antara event atau kegiatan-kegiatan dengan sebuah brand. Melalui event atau kegiatan-

kegiatan, sebuah kota akan dikenal sesuai dengan event atau kegiatan-kegiatan tersebut.

“...Cuma kalau pas hari jadinya Kota Mojokerto biasanya ada pawai yang kebanyakan

bikin patung onde-onde” (Informan B, 6 April 2014). Pemerintah Kota Mojokerto

mengadakan event atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan onde-onde, maka Kota

Mojokerto dikenal dengan „Kota Onde-Onde‟.

Gambar 7: Festival Onde-Onde

Sumber: http://fleximojokerto.blogspot.com

Berdasarkan tanggapan yang ada, dapat diketahui bahwa masyarakat Kota

Mojokerto mempersepsikan city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ sudah

mewakili kebudayaan yang ada pada pemerintah Kota Mojokerto dalam hal kerangka

kerja mereka. Masyarakat Kota mojokerto beranggapan bahwa city brand Kota

Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ nampak nyata terwujud dari kerangka kerja

pemerintah Kota Mojokerto dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang bertajuk onde-

onde, selaras dengan city brand yang dipakai oleh Kota Mojokerto yaitu sebagai „Kota

Onde-Onde‟. Masyarakat Kota Mojokerto menganggap kegiatan-kegiatan tersebut

sebagai upaya pemerintah Kota Mojokerto dalam mempromosikan city brand Kota

Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟. Namun, city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota

Onde-Onde‟ menjadi peringatan terhadap pemerintah Kota Mojokerto untuk tetap

konsisten melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bertajuk onde-onde dari maraknya

kegiatan-kegiatan populer yang mampu menggantikan kegiatan-kegiatan pemerintah

Kota Mojokerto untuk mempromosikan city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-

onde‟.

Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto sebagai

‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Kepribadian

Aspek kepribadian merupakan aspek yang melibatkan pengguna dari citybrand,

dalam hal ini adalah masyarakat Kota Mojokerto. City brand adalah salah satu cara

pengekspresian sebuah kota, sehingga kota tersebut akan menyelaraskan masyarakatnya

dengan city brand yang dipakai. (Islami, 2011). Penelitian ini meneliti city brand Kota

Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟, sehingga city brand „Kota Onde-Onde‟ harusnya

mencerminkan kepribadian masyarakat Kota Mojokerto yang cenderung memilih

berprofesi menjadi produsen atau pedagang onde-onde. Aspek kepribadian city brand

Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ pada saat ini belum nampak, karena

umumnya masyarakat Kota Mojokerto tidak mencerminkan memiliki kepribadian untuk

memilih menjadi produsen atau pedagang onde-onde sebagai profesi sesuai dengan city

brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟.

City brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ tidak selaras dengan

kepribadian masyarakat Kota Mojokerto, karena sebagian besar informan menilai jika

masyarakat Kota Mojokerto memiliki kepribadian untuk berprofesi sebagai produsen atau

pengrajin sepatu dan sandal dibuktikan dengan adanya kampung sepatu di Kota

Mojokerto. “Produsen sandal dan sepatu mungkin” (Informan C, 11 Mei 2014). Hal

tersebut diungkapkan pula oleh informan F, G, dan H yang mengatakan jika profesi yang

paling banyak digeluti oleh warga Kota Mojokerto adalah sebagai pengrajin atau

pengusaha sepatu dan sandal karena dilihat dari banyaknya home industry sepatu dan

sandal di Kota Mojokerto. City brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ belum

kuat dari aspek kepribadian. Untuk memiliki city brand yang kuat sebuah kota harus

mempunyai ciri khas yang dapat dijelaskan dan diidentifikasikan seperti penduduk yang

tinggal di kota tersebut (Kementerian Dalam Negeri, 2013). Dominasi produsen atau

pengrajin sepatu dan sandal pada masyarakat Kota Mojokerto tidak menjelaskan dan

mengidentifikasikan bahwa Kota Mojokerto adalah kota onde-onde, tapi justru lebih tepat

jika dikatakan sebagai kota sepatu dan sandal. “Saya sudah sekitar 12 tahun berdomisili

di Kota Mojokerto. Ketika pertama kali menginjakan kaki di Mojokerto, saya pikir inilah

kota sepatu sandal di Indonesia” (Digdoyo, 2013).

Gambar 8: Industri Alas Kaki Kota Mojokerto

Sumber: Data Diolah Oleh Peneliti

Pemerintah Kota Mojokerto dianggap berbohong ketika menggunakan „Kota Onde-

Onde‟ sebagai city brand Kota Mojokerto. City brand bukan merupakan semata-mata

suatu janji, tetapi adalah janji yang ditepati ketika orang tinggal, hidup, menetap atau

sekedar berkunjung ke dalam suatu kota (Gelder, dikutip dari Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah Kota Semarang 2012. City brand „Kota Onde-Onde‟ harusnya

memberikan janji kepada orang yang berkunjung ke Kota Mojokerto untuk menemukan

sebuah masyarakat yang didominasi oleh para produsen onde-onde, bukannya malah

produsen sepatu dan sandal serta adanya kampung sepatu.

Masyarakat Kota Mojokerto mempersepsikan city brand Kota Mojokerto sebagai

„Kota Onde-Onde‟ tidak sesuai dan selaras dengan masyarakat yang ada di Kota

Mojokerto dari segi profesi. Masyarakat Kota Mojokerto berperan sebagai bentuk

ekspresi yang mencerminkan city brand yang dipakai oleh Kota Mojokerto. „Kampung

Sepatu‟ memberikan stimulus atau rangsangan kepada masyarakat Kota Mojokerto dalam

mempersepsikan city brand Kota Mojokerto. Masyarakat menangkap bahwa city brand

Kota Mojokerto adalah kota sepatu dari hadirnya kampung sepatu. Dengan adanya

kampung sepatu ini, menggambarkan tidak adanya penyamaan persepsi antara

pemerintah Kota Mojokerto dengan masyarakat Kota Mojokerto dalam hal pemilihan

„Kota Onde-Onde‟ sebagai city brand Kota Mojokerto.

Gambar 9: Papan Kampung Sepatu Kota Mojokerto

Sumber: Data Diolah Oleh Peneliti

Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota Mojokerto sebagai

‘Kota Onde-Onde’ Melalui Aspek Pemakai

Aspek pemakai menunjukkan jenis dari konsumen pengguna city brand, dalam hal

ini adalah para wisatawan yang mengunjungi Kota Mojokerto. Itulah sebabnya, dalam

memilih city brand harus memilih city brand yang mampu membuat wisatawan merasa

ingin mengunjungi kota pengguna city brand tersebut dengan menganalogikan city brand

yang dipakai dengan sesuatu yang mampu memikat para wisatawan. Aspek pemakai city

brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ dapat dilihat dari tujuan utama

wisatawan berkunjung ke Kota Mojokerto adalah untuk berwisata kuliner membeli onde-

onde sebagai oleh-oleh. “Karena di Kota Mojokerto terkenal makanan khasnya onde-

onde, mungkin wisatawan yang datang itu tertarik ingin membeli onde-onde” (Informan

B, 6 April 2014). Informan A juga berpendapat bahwa tujuan dari wisatawan berkunjung

ke Kota Mojokerto biasanya adalah untuk pergi ke toko kue Bo Liem membeli onde-

onde.

Jenis dari konsumen city brand „Kota Onde-Onde‟, dalam hal ini para wisatawan

yang mengunjungi Kota Mojokerto adalah para pecinta wisata kuliner. Itulah sebabnya,

para pecinta wisata kuliner merasa ingin mengunjungi Kota Mojokerto karena terpikat

dengan analogi „onde-onde‟.

“Setauku sih wisatawan yang berkuliner. Ke rumah makan rumah makan yang

ada di Kota Mojokerto sekaligus membeli oleh-oleh onde-onde, karena

kebanyakan rumah makan di Kota Mojokerto juga menjual oleh-oleh khas Kota

Mojokerto.” (Informan D, 6 Juni 2014)

Informan F menyatakan jika wisatawan yang ke Kota Mojokerto adalah para wisatawan

kuliner yang bertujuan ingin mengetahui cita rasa onde-onde langsung dari daerah asal

onde-onde tersebut yakni Kota Mojokerto. Pengalaman para wisatawan yang berkunjung

ke Kota Mojokerto hanya untuk membeli onde-onde, menguatkan city brand Kota

Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟. Untuk memiliki city brand yang kuat, sebuah kota

harus mempunyai ciri khas yang dapat dijelaskan dan diidentifikasikan seperti

pengalaman orang terhadap kota tersebut (Kementerian Dalam Negeri, 2013). Ketika

para wisatawan berkunjung ke Kota Mojokerto hanya untuk membeli onde-onde, maka

para wisatawan tersebut akan mempersepsi pengalaman mereka jika ingin berwisata

kuliner onde-onde tujuannya adalah Kota Mojokerto. Jika pengalaman tersebut

dikomunikasikan kepada wisatawan lain yang belum pernah ke Kota Mojokerto, tentunya

wisatawan tersebut akan mempersepsi pula Kota Mojokerto merupakan kota bagi para

wisatawan kuliner khususnya onde-onde. “...Uda terbukti teman-temanku kalau ke Kota

Mojokerto pasti tujuannya beli onde-onde” (Informan G, 3 Agustus 2014). Hal tersebut

didukung pula oleh tanggapan informan J yang berpendapat jika tujuan wisatawan yang

berkunjung ke Kota Mojokerto adalah untuk membeli jajanan termasuk onde-onde yang

dijual oleh para pedagang di aloon-aloon.

Persepsi yang ada dalam benak masyarakat Kota Mojokerto adalah bahwa city

brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ sudah tepat karena sesuai dengan

tujuan dari city branding yang memasarkan produk kota karena menurut masyarakat

Kota Mojokerto, alasan wisatawan yang berkunjung ke Kota Mojokerto adalah untuk

membeli onde-onde. City brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟ dirasakan

positif bagi para pelaku usaha onde-onde. Salah satu keuntungan yang didapatkan adalah

dalam hal memperkenalkan Kota Mojokerto sebagai tujuan utama wisata kuliner

khususnya onde-onde. City brand „Kota Onde-Onde‟ menjadi stimulus bagi para

wisatawan dalam mempersepsikan Kota Mojokerto. Masyarakat Kota Mojokerto

menganggap para wisatawan menangkap maksud dan tujuan Kota Mojokerto

menggunakan „Kota Onde-Onde‟ sebagai city brand adalah bahwa Kota Mojokerto

merupakan kota bagi para pecinta kuliner onde-onde.

‘The City Brand Management Model’ Kota Mojokerto Sebagai ‘Kota Onde-Onde’

Sejarah bahwa Kota Mojokerto dulunya adalah Kerajaan Majapahit yang

mewariskan kue onde-onde menjadi elemen place bagi jawaban atas pertanyaan „what we

are now‟. Beberapa penghargaan yang telah diraih oleh Kota Mojokerto seperti

Terobosan Inovatif Bidang Pelayanan Kesehatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

60 Menit menjadi elemen people, AMARI (Angkutan Malam Hari) gratis menjadi

elemen processes yang mampu mengaktifkan pembangunan ekonomi khususnya bagi

para pengemudi angkutan kota yang terjamin penghasilannya dan para buruh pabrik yang

menggunakan fasilitas ini sebagai transportasi pulang dengan gratis, serta industri toko

kue Bo Liem sebagai elemen partners yang mendominasi persepsi masyarakat „Jika beli

onde-onde, maka beli di Bo Liem‟.

Berdasarkan pada analisis situasi „what we are now‟ dalam city brand management

model Hugo Gaggiotti, Patrick Low Kim Cheng, dan Olga Yunak dalam jurnal „City

Brand Management (CBM): The Case of Kazakhstan‟ tahun 2008, penulis

menyimpulkan pemerintah Kota Mojokerto memiliki pilihan terhadap city brand Kota

Mojokerto sebagai „Kota Majapahit‟, „Kota Onde-Onde‟, „Kota Bebas Nyamuk‟, dan

„Kota Angkutan Malam Hari‟. Persepsi yang muncul di benak masyarakat Kota

Mojokerto adalah „Kota Onde-Onde‟ sesuai dengan identitas Kota Mojokerto dan

mampu memberikan manfaat kepada masyarakat Kota Mojokerto dalam hal

memudahkan menemukan pusat produksi atau penjualan onde-onde serta dalam hal

kebanggaan menjadi bagian dari Kota Mojokerto yang mampu dikenal luas. „Kota Onde-

Onde‟ menurut masyarakat Kota Mojokerto juga sesuai dengan Kota Mojokerto karena

Kota Mojokerto memiliki onde-onde yang paling lezat dibandingkan dengan kota lain

serta selaras dengan kebiasaan yang berlaku dalam lingkungan masyarakat Kota

Mojokerto yang selalu memberikan suguhan atau oleh-oleh berupa onde-onde kepada

orang lain. Masyarakat Kota Mojokerto juga beranggapan bahwa „Kota Onde-Onde‟

selaras dengan kerangka kerja pemerintah Kota Mojokerto yang mengadakan kegiatan-

kegiatan bertajuk onde-onde dan sesuai dengan tujuan para wisatawan yang berkunjung

ke Kota Mojokerto untuk berwisata kuliner onde-onde. Dalam rangka mendukung city

brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟, diperlukan adanya kerangka kerja

khususnya pada elemen people dan processes karena bertolak belakang antara city brand

yang ingin digunakan dengan keadaan pada saat ini. Kerangka kerja pada elemen people

telah dilaksanakan oleh pemerintah Kota Mojokerto dengan menghadirkan ide-ide kreatif

terkait onde-onde seperti kegiatan „festival onde-onde‟ yang dihadiri oleh panitia MURI

(Museum Rekor Indonesia) menciptakan gerkan senam yang diberi nama „senam onde-

onde‟, ataupun menciptakan lagu dengan judul „Onde-Onde Mojokerto‟. Sedangkan

kerangka kerja pada elemen processes harusnya adalah dengan memberdayakan

masyarakat Kota Mojokerto dengan memberikan pelatihan serta modal usaha di bidang

onde-onde. Hal tersebut bertujuan agar city brand Kota Mojokerto sebagai „Kota Onde-

Onde‟ semakin kuat dengan adanya dukungan dari masyarakat Kota Mojokerto yang

menjadi pedagang atau produsen onde-onde. Pemerintah Kota Mojokerto belum

melakukan kerangka kerja pada elemen processes, terlihat dari masyarakat Kota

Mojokerto yang cenderung memilih berprofesi menjadi produsen atau pengrajin sepatu

dan sandal.

Gambar 10: ‘City Brand Management Model’ Kota Mojokerto

Sumber: Data Diolah Oleh Peneliti

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Berdasarkan pemaparan pada permasalahan, tujuan, dan hasil serta pembahasan

penelitian tentang Persepsi Masyarakat Kota Mojokerto Terhadap City Brand Kota

Mojokerto sebagai „Kota Onde-Onde‟, maka dapat ditarik kesimpulan yang menunjukkan

bahwa:

1. Masyarakat Kota Mojokerto mempersepsikan bahwa Kota Mojokerto adalah „Kota

Onde-Onde‟ dan menggunakan identitas tersebut dalam kehidupan sehari-hari

meskipun tidak terdapat hal pendukung dari segi arsitektur yang ada di Kota

Mojokerto.

WHAT WE

ARE NOW

PLACE

Sejarah

Kerajaan

Majapahit

PEOPLE

PSN 60 Menit

PROCESSES

AMARI

PARTNERS

Bo Liem

WHAT OUR

OPTIONS ARE

PROSPECTS

‘Kota

Majapahit’,

‘Kota Onde-

Onde’,

‘Kota Bebas

Nyamuk’,

‘Kota

Angkutan

malam Hari’

WHAT WE

WANT TO BE

POSITIONING

‘Kota Onde-

Onde’

WHAT WE

NEED TO DO

PLACE

PEOPLE

‘Festival Onde-

Onde’

PROCESSES

Pelatihan Dan

Modal Usaha

di Bidang

Onde-Onde

Kepada

Masyarakat

Kota

Mojokerto

PARTNERS

2. Masyarakat Kota Mojokerto menganggap dengan menggunakan city brand „Kota

Onde-Onde‟, masyarakat Kota Mojokerto lebih mudah menemukan pusat produksi

onde-onde serta mampu menjadikan Kota Mojokerto dikenal luas karena onde-onde

Kota Mojokerto paling lezat serta berbeda karena memiliki berbagai varian dari

onde-onde yang ada di daerah lain.

3. Masyarakat Kota Mojokerto beranggapan jika city brand Kota Mojokerto sebagai

„Kota Onde-Onde‟ telah mewakili kebiasaan masyarakat Kota Mojokerto yang

selalu menjadikan onde-onde sebagai suguhan atau oleh-oleh serta kebiasaan

pemerintah Kota Mojokerto yang selalu mengadakan kegiatn bertemakan onde-onde.

4. Masyarakat Kota Mojokerto berpersepsi bahwa para wisatawan yang berkunjung ke

Kota Mojokerto adalah para wisatawan yang bertujuan untuk membeli onde-onde.

Saran Saran yang dapat penulis berikan setelah melakukan penelitian skripsi ini adalah:

1. Pemerintah Kota Mojokerto harusnya membangun arsitektur-arsitektur yang

menunjukkan identitas Kota Mojokerto sebagai kota onde-onde. Arsitektur yang

bertemakan onde-onde perlu dibangun di pusat kota atau tempat-tempat yang ramai

dikunjungi masyarakat untuk memperkuat persepsi masyarakat Kota Mojokerto

terhadap city brand Kota Mojokerto sebagai kota onde-onde. Hal tersebut mampu

mempromosikan city brand Kota Mojokerto sebagai kota onde-onde kepada seluruh

masyarakat khususnya yang belum mengetahui jika Kota Mojokerto adalah kota

onde-onde.

2. Pemerintah Kota Mojokerto harus melaksanakan kerangka kerja bekerjasama dan

membantu para produsen atau pedagang onde-onde di Kota Mojokerto agar usahnya

dapat berjalan lancar dan berkembang pesat demi memperkuat city brand Kota

Mojokerto dari sisi masyarakat. Hal yang perlu dibantu adalah dalam hal promosi

tidak hanya melalui city brand yang dipakai saja, melainkan juga melalui media-

media massa dan peminjaman modal usaha bagi warga Kota Mojokerto yang

berkenan menjadi produsen atau pedagang onde-onde sehingga banyak warga Kota

Mojokerto yang tertarik menjadi produsen atau pedagang onde-onde.

DAFTAR PUSTAKA

Amaliah, R. P. (2013). Destination Branding Wisata Belanja Kabupaten Sidoarjo (Studi

Deskriptif Kualitatif Pada Sentra Industri Tas Dan Koper Atau Intako Tanggulangin

dan Kampoeng Batik Jetis Sidoarjo). (Tugas Akhir Sarjana, Universitas Brawijaya

Malang, 2013). Diakses dari

https://www.academia.edu/5461697/DESTINATION_BRANDING_WISATA_BEL

ANJA_KABUPATEN_SIDOARJO_Studi_Deskriptif_Kualitatif_pada_Sentra_Indu

stri_Tas_dan_Koper_atau_IntakoTanggulangin_dan_Kampoeng_Batik_Jetis_Sidoar

jo

Ardiansah, D. (2013). Kampung bahasa sebagai city branding kota pare kediri (studi

kualitatif komunikasi pemerintah kabupaten kediri). Diakses dari

http://jurnalilkom.uinsby.ac.id. Jurnal Ilmu Komunikasi, 3 (01), 36-52.

Ardianto, E. (2011). Metodologi penelitian untuk public relations kuantitatif dan

kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Akbar, K. (2013). Analisis Pengaruh Harga, Brand Image, dan Atribut Produk Terhadap

Keputusan Pembelian Handphone atau Smartphone Samsung Jenis Android. (Tugas

Akhir Sarjana, Universitas Diponegoro, 2013). Diakses dari

http://eprints.undip.ac.id/39672

Agustin, L. (2014). Sejarah Kota Mojokerto. Diakses pada 28 Desember 2014, dari

http://www.slideshare.net/lulukagustin/sejarah-kota-mojokerto

Budianto, E. E. (2014). Kudapan Satu Ini Diburu Pemudik Saat Melewati Mojokerto.

Diakses pada 21 Januari 2015, dari

http://news.detik.com/surabaya/read/2014/07/26/085352/2648875/475/kudapan-

satu-ini-diburu-pemudik-saat-melewati-mojokerto

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Pemerintah Kota Semarang. (2012).

Event Proposal “Sayembara Membangun City Branding Kota Semarang”.

Semarang: Bappeda Kota Semarang.

Chaerani, R. Y. (2011). Pengaruh city branding terhadap city image (studi pencitraan kota

solo: „The spirit of java‟). Diakses dari http://ejurnal.fisip-untirta.ac.id/. Jurnal Riset

Komunikasi, 2 (4), 54-68.

Danto, D. S. (2012). Perancangan Media Promosi Honda Freed Tahun 2012 Untuk

Memperkuat Brand Equity Honda di Surabaya. (Tugas Akhir Sarjana, Sekolah

Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya, 2012). Diakses dari http://sir.stikom.edu/332

Didit. (2013). Atribut Produk. Diakses pada 22 September 2014, dari

http://diditnote.blogspot.com/2013/01/atribut-produk.html

Digdoyo. (2013). Mojokerto Kota Sepatu Sandal. Diakses pada 13 November 2013, dari

http://sepatushoesan.webs.com/apps/blog/show/25721788

Edy. (2012). Brand:Nilai dan Persepsi. Diakses pada 18 Oktober 2014, dari http://dgi-

indonesia.com/brand-nilai-dan-persepsi/.

Faiq, N. (2014). Onde-onde Mojokerto Laris Manis. Diakses pada 21 Januari 2015, dari

http://surabaya.tribunnews.com/2014/08/02/onde-onde-mojokerto-laris-manis

Fatmala, D. (2011). Perancangan City Branding Kota Bandung. (Tugas Akhir Sarjana,

Universitas Komputer Indonesia, 2012). Diakses dari

http://elib.unikom.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptunikompp-gdl-

ditafatmal-28523&q=city%20branding%20kota%20bandung

Gaggiotti, H., Cheng, P. L. K., & Yunak, O. (2008). City brand management (CBM): The

case of kazakhstan. Diakses dari Proquest Digital Dissertations. Place Branding and

Public Diplomacy, 4 (2), 115-23.

Harrington, J. (2007). Consultant To Help City Create Brand. Washington: McClatchy -

Tribune Information Services

Huberman, M. & Miles, M. (1992). Analisis data kualitatif: Buku sumber tentang

metode-metode baru. Jakarta: Universitas Indonesia.

Indah, I. K. (2014). Persepsi Masyarakat Tentang Slogan Solo The Spirit of Java (Studi

Deskriptif Kualitatif Persepsi Masyarakat Kota Surakarta Tentang Slogan Solo The

Spirit of Java). (Tugas Akhir Sarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2014).

Diakses dari

http://jurnalkommas.com/index.php?target=isi&jurnal=PERSEPSI%20MASYARA

KAT%20TENTANG%20SLOGAN%20SOLO%20THE%20SPIRIT%20OF%20JA

VA

Islami, A. N. (2010). Pengaruh Citra Merek (Brand Image) Terhadap Keputusan

Pembelian Produk Sophie Martin Pada Mahasiswa Lembaga Pendidikan Politeknik

MBP Medan. (Tugas Akhir Sarjana, Universitas Negeri Surabaya, 2011). Diakses

dari

https://www.academia.edu/1147849/Pengaruh_Citra_Merek_Brand_Image_Terhada

p_Keputusan_Pembelian_Produk_Sophie_Martin_Pada_Mahasiswa_Lembaga_Pend

idikan_Politeknik_MBP_Medan

Kementerian Dalam Negeri. (2013). Kota Mojokerto. Diakses pada 13 Februari 2014, dari

http://www.kemendagri.go.id/article/2013/04/12/city-branding-untuk-pemda-

perlukah

Khaerusya, S. A. & Mulyana, A. R. (2013). Re-branding kawasan cibaduyut. Diakses dari

http://jurnalonline.itenas.ac.id. Jurnal Ilmiah Jurusan Desain Komunikasi Visual

Itenas, 1 (1), 1-15.

Kriyantono, R. (2013). Catatan Kecil Metodologi Kualitatif Dari Berbagai Ujian Skripsi.

Diakses pada 18 Maret 2014, dari http://rachmatkriyantono.lecture.ub.ac.id

Lia. (2011). Onde-Onde Mojokerto, Emang Mak Nyuuuussss. Diakses pada 28 Desember

2014, dari http://www.majamojokerto.com/interview-index-

detail/data/detail/9/7/ONDE-ONDE-MOJOKERTO--EMANG-MAK-

NYUUUUSSSS#9

Media bisnis online. (2014). Pentingnya sebuah nilai „value‟ produk untuk kesuksesan

penjualan. Diakses pada 21 Januari 2015, dari

http://mediabisnisonline.com/pentingnya-sebuah-nilai-value-produk-untuk-

kesuksesan-penjualan.

Moleong, L. J. (2005). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Moleong, L. J. (2008). Metodologi penelitian kualitatif: Edisi revisi. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya.

Muchamad, B. N. (2011). „Konsep Ekspresi Kota‟ Sebagai Pendekatan Membangun Atau

Memperkuat Citra-Kota. (Paper Proseding Seminar Membangun City Branding

Kota Semarang, Universitas Diponegoro, 2011). Diakses dari

https://blogbnm.wordpress.com/2011/08/05/%E2%80%98konsep-ekspresi-

kota%E2%80%99-sebagai-pendekatan-membangun-atau-memperkuat-citra-kota

News Online Center. (2012). Sejarah Onde-onde. Diakses pada 28 Desember 2014, dari

http://mojokerto-0nline.blogspot.com/2012/06/yuk-mengenal-sejarah-onde-

onde.html

Pemerintah Kota Mojokerto. (n.d.). Sejarah kota mojokerto. Diakses pada 13 November

2013, dari http://mojokertokota.go.id/media.php/profil/sejarah

Pradana, A. C. & Sutriadi, R. (2013). Analisis pemasaran citra kota menggunakan situs

web pemerintah. Diakses dari http://sappk.itb.ac.id. Jurnal Perencanaan Wilayah

dan Kota A, 2 (1), 44-53.

Prichilianita, O. (2010). Studi Sikap Khalayak Tentang Penyelenggaraan Malang

Kembali Festival Malang Tempo Dulu V Sebagai Upaya Meningkatkan Citra kota

Malang. Skripsi: Universitas Brawijaya Malang

Purnamasari, W. M. (2013). Analisis Internal Branding Kota Wisata Batu (Studi Pada

Masyarakat Kota Wisata Batu). Skripsi: Universitas Brawijaya Malang

Raharjo, S. (2013). Wawancara Sebagai Metode Pengumpulan Data. Diakses pada 21

Januari 2015, dari http://www.konsistensi.com/2013/04/wawancara-sebagai-metode-

pengumpulan.html

Rangkuti, F. (2004). The power of brands: Teknik mengelola brand equity dan strategi

pengembangan merek + analisis kasus dengan spss. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Rumata, V. M. (2011). Strategi City Branding Kota Jakarta. Skripsi: Universitas

Padjadjaran

Ruslan, R. (2010). Metode penelitian public relations dan komunikasi. Jakarta: Rajawali

Pers.

Setiawan, W. (2012). Renitasari dan Event Budaya Djarum. Diakses pada 21 Januari

2015, dari http://mix.co.id/people/renitasari-dan-event-budaya-djarum

Situmorang, S. H. (2008). Destination brand: Membangun keunggulan bersaing daerah.

Diakses dari http://repository.usu.ac.id/. Jurnal Perencanaan & Pengembangan

Wilayah, 4 (2), 79-86.

Suratmi & Santosa, S. (2013). Strategi pemerintah kota surakarta dalam melakukan city

branding sebagai kota budaya. Diakses dari http://journal.uniba.ac.id. Jurnal

Manajemen Bisnis Syariah, 13 (01), 1359-1373.

Surya, S. (2014). City Branding, Sarana Promosi Daerah. Diakses pada 14 Januari 2015

dari http://silsurya.blog.uns.ac.id/2014/08/26/city-branding-sarana-promosi-daerah

Trista, N. L., Prihatini, A. E., & Saryadi. (2013). Pengaruh citra merek (brand image) dan

kepercayaan merek (brand trust) terhadap keputusan toyota avanza di kota semarang.

Jurnal Ilmu Administrasi Bisnis, 2 (2), 21-28.

Utomo, A. H. (2011). Onde-onde Tiongkok. Diakses pada 6 Mei 2014, dari

http://arisheruutomo.com/2011/12/18/onde-onde-tiongkok


Recommended