+ All Categories
Home > Documents > seminar nasional bahasa dan budaya iii - Universitas Udayana

seminar nasional bahasa dan budaya iii - Universitas Udayana

Date post: 21-Feb-2023
Category:
Upload: khangminh22
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
364
Transcript

i

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN BUDAYA III

REVITALISASI IDENTITAS MELALUI BAHASA DAN BUDAYA MARITIM

Penyunting Ahli

Dr. I Ketut Sudewa, M.Hum

Penyunting Pelaksana

Drs. I Wayan Teguh, M.Hum

DENPASAR, 25 – 26 SEPTEMBER 2018

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2018

ii

KATA PENGANTAR

Pada kesempatan ini kami selaku panitia mengucapkan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada pemakalah kunci Dr. Darmoko, M.Hum. (Universitas

Indonesia); pemakalah utama: Prof. Dr. I Gde Arya Sugiartha, S.Skar., M.Hum.

(Institut Seni Indonesia Bali), dan Dr. Purwadi, M.Hum. (Universitas Udayana)

telah bersedia menyampaikan ide-ide dan gagasannya untuk memperkuat kegiatan

SNBB III. Terimakasih pula kami ucapkan kepada para pemakalah pendamping,

peserta dan mahasiswa yang sudah berupaya untuk turut berpartisipasi mengikuti

kegiatan SNBB III.

Kami juga mengucapkan terimakasih atas dukungan Ibu Prof. Dr. Ni Luh

Sutjiati Beratha, M.A. selaku dekan FIB serta koordinator Program Studi di

lingkungan FIB, Bapak/Ibu Dosen, Mahasiswa dan civitas Akademika FIB Unud,

yang telah ikut berpartisipasi pada kegiatan SNBB III ini. Dan tentunya tidak lupa

pula kami juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh

panitia SNBB III atas kerja kerasnya untuk mewujudkan kegiatan seminar ini

sehingga dapat berjalan dengan lancar.

Akhirnya kami tidak pernah lupa dengan pepatah yang mengatakan bahwa

―Tiada gading yang tak retak‖. Oleh karena itu, kami mohon maaf jika ada hal-hal

yang tidak berkenan di hati Bapak/Ibu selama acara ini berlangsung. Kritik dan

saran sangat kami harapkan demi terlaksananya SNBB III yang lebih berkualitas

di masa mendatang akan kami terima dengan tangan terbuka.

Panitia Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Dra. A.A. Ayu Rai Wahyuni, M.Hum.

iii

SAMBUTAN

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan

Yang Maha Esa karena atas asung kerta wara nugraha-Nya maka buku kumpulan

makalah-makalah yang dikompilasi dalam bentuk proceeding untuk Seminar

Nasional Bahasa dan Budaya (SNBB) III dengan mengusung tema ‗Revitalisasi

Identitas melalui Bahasa dan Budaya Maritim‘ dapat diselesaikan tepat pada

waktunya. Budaya kemaritiman menarik untuk dibahas dan didiskusikan secara

akademis dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun ke-60, dan Badan

Kekeluargaan ke-37 Fakultas Ilmu Budaya, serta Dies Natalis Universitas

Udayana ke-56. Maritim adalah bagian budaya Nusantara karena merupakan

identitas bagi Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai negara Nusantara

(archipelagic state). Melalui SNBB III, pembahasan mengenai wilayah perairan

bukan saja sebagai pembatas, tetapi juga sebagai penghubung antarpulau yang

menyatukan Nusantara sekaligus sumber daya melimpah yang harus dikelola

dengan baik diharapkan menjadi fokus utama seminar ini. Budaya maritim

sebagai identitas menyentuh dapat semua lini tata perilaku masyarakat, dan negara

untuk melahirkan teknologi, seni, bahasa, dan budaya yang unik.

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana mengembangkan ilmu bahasa

dan budaya memiliki peran untuk merevitalisasi identitas masyarakat dan bangsa.

Dinamika budaya kemaritiman yang berkaitan dengan konteks ideologi, sejarah,

antropologi, arkeologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, bahasa, dan ketahanan

tidak terbebas dari kerawanan dan kepunahan shingga perlu untuk merevitalisasi

identitas tersebut.

Melalui kesempatan ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Para Koordinator Program Studi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Udayana atas kerjasama yang baik sehingga seminar

bersama bisa dilaksanakan.

2. Dr. Darmoko, M.Hum. (Unversitas Indonesia) sebagai pembicara

kunci; pemakalah utama: Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.Kar.,

iv

M.Hum (ISI Denpasar), Dr. Purwadi, M.Hum. (FIB Unud), serta para

pemakalah pendamping lainnya.

3. Peserta SNBB III, 2018 yang terdiri atas, peneliti dan/atau dosen

bahasa, sastra, dan budaya, mahasiswa, pekerja dan pengamat media,

dll yang terlalu panjang bila disebutkan semuanya.

4. Panitia SNBB III yang telah bekerja keras mempersiapkan segala

sesuatu yang terkait dengan penyelenggaraan seminar ini dengan

sebaik-baiknya.

SNBB III yang diselenggarakan atas kerjasama semua Program Studi di

lingkungan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana dapat memberikan

pencerahan, dan diharapkan bermuara pada penyatuan Visi Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Udayana yaitu memiliki keunggulan dan kemandirian dalam bidang

pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dengan aplikasi

keilmuan yang berlandaskan kebudayaan.

Melalui kesempatan ini sekali lagi kami mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran

pelaksanaan SNBB III, dengan harapan semoga Tuhan YME memberikan

imbalan yang setimpal dengan pengorbanan Bapak/Ibu sekalian. Kami juga tidak

lupa mohon maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan dalam

penyelengaraan acara ini. Kami ucapkan Selamat Berseminar, dan semoga

bermanfaat.

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Udayana

Dekan,

Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A.

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

SAMBUTAN ......................................................................................................... iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... v

PEMAKALAH KUNCI

REVITALISASI TEKS-TEKS KEARIFAN LOKAL KEMARITIMAN UNTUK

MEMBANGUN KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA, DAN

BERNEGARA

Darmoko .................................................................................................................. 1

PEMAKALAH UTAMA

SENI KELAUTAN MEMBANGUN HARMONISASI MANUSIA DENGAN

ALAM

I Gede Arya Sugiartha ........................................................................................... 15

STRATEGI MASYARAKAT NELAYAN KEDONGANAN MENGHADAPI

KEMISKINAN

Purwadi Soeriadiredja ........................................................................................... 22

PEMAKALAH PENDAMPING

EKSISTENSI PURI AGUNG KARANGASEM DALAM DINAMIKA SOSIAL

BUDAYA

A.A.A Dewi Girindrawardani ............................................................................... 41

VARIASI BAHASA SUNDA DI DAERAH PESISIR JABAR SELATAN

Asri Soraya Afsari, Teddi Muhtadin ..................................................................... 50

PERILAKU BUDAYA KESEHATAN DALAM PRAKTIK PERAWATAN

KEHAMILAN DAN PERSALINAN PADA MASYARAKAT PESISIR DI

MANGGARAI, NTT

Bambang Dharwiyanto Putro ................................................................................ 57

ANALISIS PEMAKAIAN RAGAM JURNALISTIK DI SMAN 1

ABIANSEMAL: KASUS MENULIS BERITA LANGSUNG

I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani, Anak Agung Putu Putra, I Ketut Nama,

Ni Putu N. Widarsini, Sri Jumadiah ...................................................................... 67

vi

IDEOLOGI BUDAYA MARITIM DALAM PIDATO MENTERI KELAUTAN

DAN PERIKANAN

I Gusti Ayu Gde Sosiowati ................................................................................... 73

CITRA DIRI PADA TEKS VERBAL MEDIA KAMPANYE PILGUB BALI

I Gusti Ngurah Parthama, Ni Luh Kade Yuliani Giri ........................................... 82

HEGEMONI BUDAYA DALAM PRAKTIK KEKUASAAN MARITIM

I Ketut Darma Laksana ......................................................................................... 88

SITUS KAPAL U.S.A.T LIBERTY DI PANTAI TULAMBEN DALAM

PERSPEKTIF ARKEOLOGI MARITIM DAN PARIWISATA

I Ketut Setiawan .................................................................................................... 94

KECENDERUNGAN PEMAKAIAN BAHASA BALI SEBAGAI CERMIN

IDENTITAS MASYARAKAT DI DAERAH PARIWISATA NUSA DUA

I Made Rajeg, Ni Luh Sutjiati Beratha, Ni Wayan Sukarini ............................... 100

KERAS, KASAR, PEDAS, PENUH GAIRAH KARAKTERISTIK

MASYARAKAT PESISIR DALAM DRAMA ―MALAM JAHANAM‖

KARYA MOTINGGO BUSYE

I Made Suarsa ...................................................................................................... 108

GAMBARAN PERJALANAN LAUT A.A. ISTRI AGUNG DAN

SUAMINYA DARI KARANGASEM KE JEMBRANA

I Made Suastika ................................................................................................... 114

PERAIRAN BALI SEBAGAI RUANG BUDAYA DAN PERADABAN

I Putu Gede Suwitha ........................................................................................... 120

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI PELESTARIAN DAN

PENGIMPLEMENTASIAN NILAI BUDAYA: PERSPEKTIF

BUDAYA BALI

I Wayan Cika....................................................................................................... 128

MELACAK KEBAHARIAN NUSANTARA BERDASARKAN

BUKTI-BUKTI ARKEOLOGIS

I Wayan Srijaya ................................................................................................... 135

REVOLUSI BIRU DAN HUMAN SECURITY NELAYAN DI KUSAMBA

KLUNGKUNG

I Wayan Tagel Eddy, Anak Agung Ayu Rai Wahyuni ....................................... 146

MEMAHAMI KATA TUGAS DALAM BAHASA INDONESIA DITINJAU

DARI PELONCATAN KATEGORI DAN FUNGSI

I Wayan Teguh .................................................................................................... 156

vii

TERJEMAHAN ISTILAH KELAUTAN BAHASA INGGRIS KE DALAM

BAHASA INDONESIA

Ida Ayu Made Puspani ........................................................................................ 163

FUNGSI DAERAH PESISIR DARI MASA KE MASA DI BALI

(KAJIAN KEPUSTAKAAN)

Ida Ayu Putu Mahyuni ........................................................................................ 172

SISTEM SEWA KONTRAK BERDASARKAN KURS DALAM NIAGA

BANDAR DI BULELENGBALI, PERTENGAHAN ABAD XIX

Ida Ayu Wirasmini Sidemen ............................................................................... 178

FUNGSI MITOS BHATARA BAGUS BALIAN: PUTRA DEWA DAN PUTRI

PENDETA

Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada ................................................................ 186

KONTROVERSIAL PERDAGANGAN KERAMIK KUNO HASIL

PENGANGKUTAN DI LAUT CIREBON JAWA BARAT

Ida Bagus Sapta Jaya ........................................................................................... 197

WISATA BAHARI SEBAGAI DAYA TARIK OBYEK WISATA

POTENSIAL:STUDI KASUS PANTAI SANUR, DENPASAR SELATAN,

KOTA DENPASAR-BALI

Ketut Darmana .................................................................................................... 203

PELATIHAN PENULISAN JURNALISTIK BAGI SISWA SMAN 1 KUTA

SELATAN, KABUPATEN BADUNG

Ketut Riana, S.U, Putu Evi Wahyu Citrawati, I Nyoman Darma Putra,

Made Sri Satyawati, Wayan Teguh ..................................................................... 212

MITOS TOKOH KEBO IWA DI PANTAI SOKA, TABANAN

Luh Putu Puspawati ............................................................................................ 218

PENGAMAN BATIN SEBAGAI SUMBER GAGASAN PENULISAN

KREATIF JURNALISTIK-SASTRA DI SMAN I PETANG KECAMATAN

PETANG KABUPATEN BADUNG

Maria Matildis Banda, Ida Bagus Jelantik SP, I Made Suarsa,

Sri Jumadiah dan I Komang Paramartha ............................................................. 223

ASPEK MODAL DALAM PENULISAN KARYA SASTRA PRAGMATIS

Maria Matildis Banda, Sri Jumadiah ................................................................... 232

AMA DAN EMANSIPASI WANITA

Ngurah Indra Pradhana ....................................................................................... 242

VARIASI POLA DESKRIPSI PADA ISTILAH BUDAYA BALI PADA TEKS

BERBAHASA INGGRIS

Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Gusti Ngurah Parthama ................................... 247

viii

PERDAGANGAN ANTAR PULAU OLEH MASYARAKAT BALI KUNO

PADA ABAD IX-XIV MASEHI: KAJIAN EPIGRAFIS DAN TAPONIMI

Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, Kristiawan ............................................................. 253

REPRESENTASI BUDAYA JEPANG DALAM SAMPUL NOVEL TEENLIT

INDONESIA

Ni Luh Putu Ari Sulatri, Ni Made Andry Anita Dewi ........................................ 260

AKTIVITAS KEMARITIMAN PADA MASA BALI KUNA

Ni Luh Sutjiati Beratha, I Wayan Ardika............................................................ 266

PENGGUNAAN KENJŌGO MŌSHIWAKE ARIMASEN DAN MŌSHIWAKE

GOZAIMASEN DALAM DRAMA BERBAHASA JEPANG

Ni Made Andry Anita Dewi, Silvia Damayanti .................................................. 275

MENCERMATI KEHIDUPAN REMAJA BERMASALAH DI KOTA

DENPASAR-BALI

Ni Made Wiasti, Ni Luh Arjani, I Ketut Kaler ................................................... 282

PENGAJARAN BERBASIS ICT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN

BERBAHASA JEPANG MAHASISWA DALAM KELAS CHUJOKYU KAIWA

(Studi Kasus Mahasiswa Sastra Jepang, Universitas Udayana)

Ni Putu Luhur Wedayanti, Choleta Palupi Titasari ............................................ 289

BENTUK IKONIK KELAUTAN DALAM NOVEL SUARA SAMUDRA

KARYA MARIA MATILDIS BANDA

Ni Putu N. Widarsini ........................................................................................... 294

TATA CARA PENULISAN DAN FUNGSI SURAT RESMI, SERTA

ANALISIS PERMASALAHAN DALAM PENGGUNAAN BAHASA

INDONESIA

Ni Wayan Arnati ................................................................................................. 301

PENINGGALAN ARKEOLOGI DI WILAYAH DESA ADAT KEMONING

MERUPAKAN PENGARUH CORAK BUDAYA HINDU/INDIA SEBAGAI

AKIBAT HUBUNGAN SECARA MARITIM

Ni Wayan Herawathi ........................................................................................... 318

PARIWISATA BUDAYA: MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERIMBANG

ANTARA PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN BALI

Nyoman Reni Ariasri .......................................................................................... 324

KEPERCAYAAN DALAM SIKLUS KEHIDUPAN PADA MASYARAKAT

SUNDA PESISIR (KECAMATAN PAMEUNGPEUK, KABUPATEN GARUT,

JAWA BARAT)

Risma Rismelati, Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani ........................................... 330

ix

JEJAK AWAL KEMARITIMAN PADA CADAS LIANG PU‘EN DI

LEMBATA NTT

Rochtri Agung Bawono, Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, Kristiawan, Coleta Palupi

Titasari................................................................................................................. 337

PURI TAMAN SABA : SIMBOLISASI PENDIDIKAN SENI BUDAYA BALI

Sulandjari ............................................................................................................ 343

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 1

Denpasar, 25-26 September 2018

REVITALISASI TEKS-TEKS KEARIFAN LOKAL KEMARITIMAN

UNTUK MEMBANGUN KEHIDUPAN BERMASYARAKAT,

BERBANGSA, DAN BERNEGARA

Darmoko

Universitas Indonesia

[email protected]

ABSTRAK

Teks sebagai ungkapan bermakna suatu etnik dapat dieksplorasi sebagai

kekayaan intelektual bagi siapa saja yang ingin meneliti dan menyajikannya

dalam kerangka studi ilmiah akademik. Teks kearifan lokal di Indonsia

terekspresikan melalui tradisi tulis maupun lisan dalam bentuk bahasa, sastra,

adat-istiadat, artefak, dan kesenian. Ekspresi teks-teks lisan dan tulis tersebut

dapat menggambarkan tingkat pengetahuan suatu masyarakat baik berkaitan

dengan aspek pertanian maupun kemaritiman. Teks kemaritiman yang bersumber

dari kearifan lokal memberikan andil yang cukup besar sebagai modal untuk

membangun umat manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara. Keagungan suatu kerajaan (negara) yang berorientasi pada laut,

keperwiraan dan kedigjayaan suatu tokoh penjelajah laut, peristiwa yang

menggambarkan kecanggihan strategi dalam bertempur, dan ungkapan rasa

bangga terhadap keberadaan laut sebagai sumber nafkah dan kehidupan

merupakan nilai-nilai budaya yang dapat memberikan spirit dan motivasi bagi

masyarakat untuk mempertebal rasa memiliki, membela, dan mempertahankan

keutuhan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Kesadaran dan pemahaman

tentang budaya lokal kemaritiman sebagai milik bangsa dapat memupuk sikap

nasionalisme, patriotisme, dan cinta tanah air. Studi ilmiah akademik

memberikan ruang kepada peneliti untuk mengeksplorasi korpus data teks-teks

kearifan lokal kemaritiman dari berbagai konteks (perspektif), kerangka teori

maupun metodologi. Perspektif sejarah, politik, ekonomi, sosiologi, sastra,

linguistik, antropologi, filologi, studi kawasan, dan lain-lain memberikan konteks

bagi sebuah penelitian untuk disuguhkan bagi masyarakat luas. Permasalahannya

bagaimana implementasi dan produk penelitian yang bersumber dari teks-teks

kearifan lokal kemaritiman dapat memberikan dampak konstruktif bagi kehidupan

umat manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk menangani

permasalahan ini diperlukan metodologi yang komprehensif, di samping

ketersediaan para pakar di bidang ilmu pengetahuan masing-masing, tata kelola

(manajemen) birokrasi juga kemauan politik dari pemerintah pusat dan daerah

untuk menginternalisasi nilai-nilai kearifan lokal kemaritiman yang bersifat

universal kepada masyarakat sebagai penjaga kesatuan dan persatuan bangsa.

Kata kunci: revitalisasi, kearifan lokal, kemaritiman

Pendahuluan

Sejak era reformasi bergulir di tengah percaturan politik Indonesia, sejak itu

pula perubahan kehidupan mendasar berkembang di hampir seluruh kehidupan

2 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

berbangsa dan bernegara. Seperti merebaknya beragam krisis yang melanda

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satunya adalah berkaitan dengan

Orientasi Pembangunan. Di masa Orde Baru, orientasi pembangunan masih

terkonsentrasi pada wilayah daratan. Sektor kelautan dapat dikatakan hampir tak

tersentuh, meski kenyataannya sumber daya kelautan dan perikanan yang dimiliki

oleh Indonesia sangat beragam, baik jenis dan potensinya. Potensi sumberdaya

tersebut terdiri dari sumberdaya yang dapat diperbaharui, seperti sumberdaya

perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya laut dan pantai, energi non

konvensional dan energi serta sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti

sumberdaya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis

sumberdaya tersebut, juga terdapat berbagai macam jasa lingkungan lautan yang

dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan dan perikanan seperti

pariwisata bahari, industri maritim, jasa angkutan dan sebagainya. Tentunya inilah

yang mendasari Presiden Abdurrahman Wahid dengan Keputusan Presiden

No.355/M Tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999 dalam Kabinet Periode 1999-

2004 mengangkat Ir. Sarwono Kusumaatmaja sebagai Menteri Eksplorasi Laut.

(https://kkp.go.id/page/6-sejarah).

Negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia

menduduki urutan kedua dalam daftar 10 negara yang memiliki garis pantai

terpanjang di dunia, yaitu sepanjang 54,716 km, sedangkan urutan pertama

ditempati oleh Kanada dengan garis pantai sepanjang 202.800 km dan urutan

ketiga adalah Greenland yaitu sebuah divisi otonomi dari kerajaan Denmark

dengan garis pantai sepanjang 44.087 km, keempat: Rusia, kelima: Filipina,

keenam: Jepang, ketujuh: Australia, kedelapan: Norwegia, kesembilan: Amerika

Serikat, dan kesepuluh: Selandia Baru. (https://ilmupengetahuanumum.co/10-

negara-dengan-garis-pantai-terpanjang-di-dunia/).

Era pemerintahan Presiden Joko Widodo menetapkan bahwa visi

pembangunan adalah ―Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan

berkepribadian berlandaskan gotong royong‖. Visi ini memberikan harapan dan

mengembalikan semangat untuk memanggil kembali kejayaan maritim dengan

memanfaatkan sumber daya kelautan. Kemudian, visi tersebut diturunkan menjadi

7 misi pembangunan, di mana tiga dari tujuh misi tersebut berhubungan dengan

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 3

Denpasar, 25-26 September 2018

kemaritiman dan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan, yaitu: (1)

mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah,

menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim,

dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan; (2)

mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai

bangsa maritim; dan (3) mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang

mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional.

Pembentukan Kementerian Koordinator Kemaritiman mengedepankan

konsep ―Poros Maritim Dunia‖ dan ―Tol Laut‖. Selain itu Presiden Joko Widodo

juga sudah menandatangani Perpres No.16/2017 tentang Kebijakan Kelautan

Indonesia. (Dickry Rizanny N; http://maritimnews.com/2017/05/perpres-162017-

dan-pembangunan-maritim-indonesia/). Indonesia juga memiliki wilayah perairan

yang kaya dengan potensi cadangan energi, potensi perikanan, potensi pariwisata

bahari, serta memiliki jalur pelayaran strategis yang dapat dimanfaatkan sebagai

basis pengembangan kekuatan geopolitik, ekonomi, dan budaya bahari.

(Kementerian PPN Bappenas, 2015, http://Nusantarainitiative.com/ wp-

content/uploads/2016/02/150915-Buku-Tol-Laut-bappenas.pdf)

Berdasarkan keterangan tentang orientasi pembangunan sektor kelautan dan

sumber daya di dalamnya sejak era reformasi, Indonesia sebagai negara kepulauan

dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, serta memiliki potensi

energi, perikanan, wisata bahari, pelayaran strategis yang dapat dimanfaatkan

sebagai basis pengembangan kekuatan geopolitik, ekonomi, dan budaya bahari

maka perlu mengkaji potensi lain yang mendukung pembangunan sektor

kemaritiman yang berorientasi pada sumber daya budaya yang terkonsentrasi pada

teks-teks kearifan lokal.

Geopolitik, ekonomi, dan budaya sebagai kesatuan masyarakat yang berdiri

sendiri tersebut dikembangkan ke arah wawasan Nusantara yang berlandaskan

pada pemikiran kewilayahan dan kehidupan bangsa Indonesia yang berwawasan

nasional. Sektor wisata daerah yang berorientasi pada kemaritiman

(mengandalakan pada laut dan perairan) terus mencari potensi kearifan lokal agar

terus dapat ditingkatkan kualitas atraksi wisata dan kuantitas wisatawan. Riset

terhadap eksistensi teks-teks kearifan lokal termasuk di dalamnya bahasa dan

4 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

sastra, adat-istiadat, kesenian dan benda-benda hasil budaya lokal dengan

demikian perlu terus dikembangan.

Data dan Metodologi

Data yang dipergunakan sebagai titik tolak kertas kerja ini adalah teks-teks

bahasa dan sastra, tradisi (adat-istiadat), dan kesenian. Data yang ada dianalisis

menggunakan metode deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mengungkap

fakta, fenomena (gejala), variabel, dan keadaan yang terjadi saat penelitian

berjalan dan menyuguhkannya dengan apa adanya. Penelitian kualitatif

menafsirkan dan menuturkan data yang ada dengan situasi masyarakat yang

sedang terjadi, seperti: sikap serta pandangan, pertentangan dua keadaan atau

lebih, hubungan antarvariabel, perbedaan antar fakta dari data yang ada, pengaruh

terhadap situasi dan kondisi, dan lain-lain. Permasalahan yang dikaji pada

penelitian kualitatif mengacu pada studi komparatif dan studi relasi sebuah unsur

dengan unsur lainnya. Kegiatan penelitian ini meliputi pengumpulan data, analisis

data, interprestasi data, dan penyimpulan yang mengacu pada analisis data yang

telah dilakukan.

Metode deskriptif kualitatif untuk mengeksplorasi dan memahami makna

yang dianggap berasal dari permasalahan sosial dan humaniora. Penelitian

kualitatif melibatkan upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan dan prosedur,

pengumpulan data khusus dari partisipan, menganalisis data secara induktif, mulai

dari tema khusus ke tema umum, kemudian menafsirkan makna data. Laporan

akhir penelitian ini memiliki struktur (kerangka) yang fleksibel dan berfokus

terhadap makna individual dan menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan

(Creswell, 2010: 4-5)

Teks-teks kearifan lokal kemaritiman meliputi bahasa dan sastra, tradisi

(adat-istiadat), dan kesenian dipergunakan sebagai objek kajian status dan

kedudukan dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Objek tersebut dikaji berdasarkan implementasi fakta, fenomena (gejala), variabel,

dan keadaan serta menafsirkan dan menuturkan data yang ada dengan situasi

masyarakat yang sedang terjadi. Teks-teks kearifan lokal kemaritimana dikaji

dalam berbagai perspektif dan hasilnya sebagai informasi yang dapat dijadikan

sebagai wahana membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 5

Denpasar, 25-26 September 2018

Pembahasan

Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ditemukan beberapa semboyan

yang dipetik dari bahasa Sanskerta untuk institusi tertentu, seperti untuk TNI

Angkatan Darat RI, Kartika Eka Paksi (prajurit gagah berani yang menjunjung

keluhuran nusa dan bangsa serta prajurit sejati); untuk TNI Angkatan Udara RI,

Swa Bhuwana Paksa (pelindung/ pembela tanah airku); untuk Kepolisian RI,

Rastra Sewakottama (melayani masyarakat); dan untuk TNI Angkatan Laut RI,

Jalesveva Jayamahe (di laut kita jaya).

Ungkapan Jales Viva Jayamahe (di laut kita jaya) merupakan slogan yang

seharusnya diwujudkan dalam kenyataan. Sejauhmana kemampuan armada laut

bangsa Indonesia dalam mengawal kedaulatan lautnya. Berapa banyak

penyelundupan di laut dan pencurian ikan oleh nelayan asing tidak bisa diatasi

secara tuntas. Dilihat dari besarnya jumlah pulau NKRI, ternyata masih ribuan

yang belum bernama dan teridentifikasi secara akurat potensinya. Bagaimana

harus disikapi dengan sebuah berita tentang ―nasib warga pulau terluar‖, ketika

Camat Pulau Laut, Kabupaten Natuna, Baharuddin mengungkapkan: ―terus

terang, saya atas nama masyarakat Kecamatan Pulau Laut merasa sangat bahagia

karena selama hidup kami, baru kali ini kami benar-benar merasakan menjadi

bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peristiwa ini merupakan sejarah

bagi masyarakat Pulau Laut‖. Sampai saat ini masih ribuan jumlah pulau yang

belum bernama dan teridentifikasi dengan baik. Itu artinya masih banyak sejarah

pulau yang belum dikaji. Dengan demikian masih terbuka luas bagi kajian sejarah

maritim mengenai ‗pulau sejarah‘ yang juga terabaikan (the history of neglected

islands). Suatu kajian Alex J. Ulaen patut diberikan tempat dalam konteks ini.

Berlatar belakang antropologi yang kini banyak berkecimpung di bidang sejarah,

ia mengungkap pulau-pulau di kepulauan Sangihie-Talaud yang nyaris terlupakan

(dilihat dari sudut pandang tempatan) dalam kurun waktu masuknya pedagang

dari Iberia di sana. (Zuhdi, 2006)

Presiden Joko Widodo, 20 Oktober 2014 pernah menyampaikan pidato

sebagai berikut:

6 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

―Samudera, laut, selat, dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita

telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, selat, dan

teluk. Sehingga jalesveva jayamahe, di laut kita jaya, sebagai semboyan

nenek moyang kita di masa lalu kembali membahana.―

Pernyataan tersebut jelas adanya kemauan politik seorang Jokowi sebagai

pemimpin bangsa dan negara Indonesia menginginkan adanya pemberdayaan

fungsi dan eksistensi samodra, laut, teluk sebagai tumpuan harapan bagi

peradaban masa depan dan menjadikan laut sebagai wahana menuju kejayaan

bangsa dan negara Indonesia. Tentu saja semboyan masa lalu itu tidak hanya

sebagai slogan semata, namun perlu implementasi serta kerja nyata dari seluruh

komponen bangsa agar Indonesia benar-benar menjadi negara yang mandiri, maju,

dan kuat seperti kerajaan Sriwijaya yang mengalami zaman keemasan pada masa

lalu.

Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang mandiri, kuat, dan sejahtera karena

manajemen pemerintahan yang baik, pertahanan dan keamanan yang kuat, dan

melibatkan orang selat atau orang laut. Sebaliknya Sriwijaya menjadi terpuruk

tatkala pemimpinnya menempatkan sebagaian besar orang-orang daratan untuk

mengisi formasi pasukannya, sementara orang laut telah menyingkir, ahli navigasi

dan penyelam dari orang laut mulai berkurang, maka kemudian Sriwijaya menjadi

terbenam sebagai kerajaan maritim. Sudah saatnya Indonesia perlu menempatkan

sdm di bidang kemaritiman pada bidang-bidang yang tepat seperti masa-masa

kejayaan kerajaan Sriwijaya. TNI dan polisi perairan serta nakoda-nakoda handal

yang didukung oleh awak-awak kapal profesional ditempatkan pada porsinya

masing-masing.

Teks kearifan lokal kemaritiman perspektif sejarah dapat dilihat pada Sejarah

Buton yang terabaikan: Labu Rope Labu Wana merupakan sebuah ulasan yang

patut untuk didiskusikan lebih lanjut. Karya tersebut merupakan penghubung

periode dinamis abad keenam belas/tujuh belas Buton, suatu periode, yang

menurut penulis (Susanto Zuhdi), telah diabaikan karena hegemoni dari Gowa dan

Ternate. Sebagai seorang sejarahwan yang telah memiliki informasi solid, penulis

memahami Buton sebagai pulau mencoba untuk menanggapi pengaruh internal

dan eksternal dengan mengambil perspektifnya sendiri dan memanfaatkannya dari

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 7

Denpasar, 25-26 September 2018

semua sarana yang tersedia untuk bertahan hidup: yaitu, melalui hubungan budaya

dan struktural. Buku ini terdiri dari enam bab: (1) Pengantar; (2) wilayah Buton;

(3) Labu Wana; (4) Labu Rope; (5) Kumpeni Walanda; (6) orang Kumpeni dari

sudut pandang orang Buton; dan (7) kesimpulan. Kelalaian tampaknya menjadi

kata kunci dalam sejarah Nusantara yang, untuk sampai batas tertentu, tidak hanya

dipengaruhi oleh ―daratan‖ tetapi juga oleh laut dan pulau-pulaunya, yang, pada

saat kedatangan armada kolonialisme pertama, memainkan peran penting. Buku

ini memberi kita suatu uraian yang penting tentang bagaimana kolonialisme

berkontribusi pada pengetahuan kita tentang hubungan yang rumit antara "asli"

sultan dan kolonial. Ini membuat sketsa Buton sebagai harus menghadapi tidak

hanya kekuatan Gowa dan Ternate, tetapi juga kekuasaan para penguasa Belanda

laut. Bagi saya, salah satu poin paling menarik yang penulis ungkapkan adalah itu

"Budaya" dan "struktur sosial" memberikan makna, dan juga sumber daya sebagai

kendala pada saat bersamaan. Para sultan menggunakan tradisi dan budaya

lainnya ekspresi untuk melegitimasi diri mereka dan memposisikan diri di antara

mereka orang dan dalam hubungannya dengan pulau tetangga. Namun, posisi ini

tidak stabil dalam hal hubungan sosial dengan sultan lain dan kemudian, dengan

para kolonial. Kontestasi, preseden, dan kebutuhan untuk mengatur akses ke

sumber ekonomi sangat penting. Yang terakhir adalah menjadi penting untuk

Belanda tetapi penduduk setempat juga membutuhkan legitimasi budaya Dalam

menghubungkan fenomena-fenomena ini, penulis mencoba mengidentifikasi hal-

hal berikut masalah inti: (1) hubungan sosial antara pulau-pulau dan tetangga

mereka otoritas di satu sisi dan Belanda di sisi lain yang menciptakan hubungan

ambigu antara pengikut dan tuan (halaman 10), yang pada gilirannya, dipengaruhi

(2) hubungan tidak stabil di antara mereka. Kolonial dipersepsikan situasi ini

dalam hal "kemitraan" jadi bagi mereka itu mungkin untuk memaksa otoritas lokal

untuk menandatangani perjanjian. Multi-level eksternal ancaman dipaksa mereka

mengadopsi strategi tertentu tetapi juga merugikan mereka karena kegagalan

mereka kesetiaan bahkan memimpin mereka untuk mengubah posisi dari

pemenang menjadi itu pecundang di era modern. Buku ini memberikan kontribusi

yang signifikan dalam hal "pulau sejarah" dan "pulau dalam sejarah", atau dalam

istilah semiotik di "tanda sejarah" dan "masuk sejarah". (Christomy, 2011)

8 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Dari objek bahasa dan sastra dapat diketengahkan sebuah judul lagu Nenek

Moyangku Orang Pelaut ciptaan Ibu Soed yang dapat memberikan inspirasi bagi

masyarakat yang mendengarkannya untuk selalu mengenang orang-orang yang

sangat profesional dalam bidang kemaritiman.

Nenek moyangku orang pelaut

Gemar mengarung luas samudera

Menerjang ombak tiada takut

Menempuh badai sudah biasa

Angin bertiup layar terkembang

Ombak berdebur di tepi pantai

Pemuda berani bangkit sekarang

Ke laut kita beramai-ramai

Syair lagu tersebut memuat konteks sejarah/ genealogi yang memeberikan

ilustrasi tentang nenek moyang sebagai pelaut. Generasi muda juga diperkenalkan

tentang lingkungan hidup kemaritiman, yaitu dengan mengetengahkan samodra

yang berombak dan badai, meskipun ombak dan badai tersebut menerjang

dianggap sebagai tantangan hidup karena hidup sesungguhnya penuh tantangan

dan perjuangan, sehingga generasi muda tidak perlu takut dan harus kompak

menaklukkan laut.

Dari perspektif sastra, seni dan politik teks kearifan lokal kemaritiman

tergambar di dalam dunia pewayangan, dalam hal ini lakon Rama Tambak pernah

dipergunakan oleh Soeharto melalui Joop Ave Menparpostel sebagai media untuk

melepaskan belenggu dari krisis nasional di segala bidang pada tahun 1998

(ruwatan). Ekspresi simbolik dari lakon Rama Tambak pada pertunjukan wayang

kulit purwa dimanfaatkan oleh kekuasaan (Orde baru) untuk membendung

prahara krisis ekonomi, sosial, politik, dan budaya pada tahun 1998. Teks kearifan

lokal kemaritiman ini terdapat relasi dengan permasalahan-permasalahan tersebut.

Wayang kulit purwa berjudul Rama Tambak tersebut dipergelarkan atas prakarsa

Yoop Ave, Menparpostel saat itu, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh

kekuasaan Orde Baru. Melalui wahana simbol Yoop Ave memainkan lakon

Rama Tambak sebagai alat untuk membebaskan penderitaan rakyat dari belenggu

krisis di segala bidang.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 9

Denpasar, 25-26 September 2018

Wacana kekuasaan Orde Baru secara implisit tergambar di dalam lakon

Rama Tambak. Upaya untuk mengadakan ruwat nasional rupanya mengalami

kegagalan, karena pertunjukan wayang dengan lakon tersebut tidak mampu

membendung malapetaka nasional. Konstruksi wacana kekuasaan yang

berkelindan di dalam wayang kulit purwa lakon Rama Tambak tidak mampu

untuk mempengaruhi rakyat Indonesia untuk bersama-sama menghentikan krisis

di segala bidang. Soeharto sebagai pusat kekuasaan Orde Baru melalui Yoop Ave

dan PEPADI gagal meruwat siatuasi dan kondisi secara nasional yang semakin

memburuk dan yang pada akhirnya Soeharto lengser (mundur) dari jabatan

kepresidenan karena desakan rakyat.

Pemanfaatan mitos lakon Rama Tambak secara tidak langsung

diimplementasikan oleh Presiden Jokowi dengan sebuah konsepnya yang cukup

populer, yaitu tentang rancangan dan implementasi pembangunan tol laut yang

menghubungkan Medan, Batam, Jakarta, Surabaya, Makasar hingga Sorong. Tol

laut itu sendiri merupakan konsep pengangkutan logistik kelautan yang dicetuskan

oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Program ini bertujuan untuk

menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar yang ada di Nusantara. Dengan

adanya hubungan antara pelabuhan-pelabuhan laut ini, maka dapat diciptakan

kelancaran distribusi barang hingga ke pelosok. Selain hal itu, pemerataan harga

Logistik setiap barang di seluruh wilayah Indonesia. Seperti dikutip dari pidato

Presiden Jokowi, 5 April 2016 "Tol Laut untuk apa? Sekali lagi ini mobilitas

manusia, mobilitas barang. Harga transportasi yang lebih murah, biaya logistik

yang lebih murah, dan akhirnya kita harapkan harga-harga akan turun."

(https://id.wikipedia. org/wiki/Tol_Laut).

Dirjen Perhubungan Laut, Agus Purnomo menuturkan dinaikkannya subsidi

(33,43% dari tahun lalu Rp 335 miliar) guna mengoptimalkan fungsi tol laut

dalam menjaga stabilitas harga bahan pokok di seluruh daerah. "Jadi, kita punya

jaringan tol laut yang menghubungkan daerah potensial ke daerah terpencil.

Tahun 2018 ini pemerintah berusaha keras supaya bagaimana harga bahan pokok

beras, tepung termasuk semen dan lain-lain di daerah terpencil, harganya tidak

terlalu jauh," jelasnya dalam focus group discussion di Hotel Sari Pan Pacific,

10 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Jumat (2/3/2018). Tiga pelabuhan utama dalam tol laut adalah Pelabuhan Teluk

Bayur (Padang), Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta) dan Pelabuhan Tanjung Perak

(Surabaya). (https://www.cnbcindonesia. com/news/20180302113203-4-6000/tol-

laut-jokowi-disubsidi-2018-rp-447-miliar-naik-33)

Dalam hubungannya dengan konsep pembangunan tol laut yang dicanangkan

oleh Jokowi, lakon Rama Tambak deapat memberikan inspirasi kepada seluruh

masyarakat bahwa untuk menyeberang lautan yang luas dengan ombak yang

tinggi dan dihuni oleh makhluk mengerikan duperlukan upaya bala tentara

Ramawijaya yang berupa kera untuk bergotong-royong dan bahu-membahu

dengan semangat gugur gunung membangun tanggul laut (tol) yang berfungsi

untuk menghubungan Pancawati dan Alengkadiraja. Upaya yang dilakukan oleh

bala tentara kera yang dipimpin oleh Sugriwa dan Hanoman membuahkan hasil

dan malapetaka laut Yuyu Rumpung dapat dipatahkan. Ramawijaya beserta bala

tentara kera berhasil memasuki Alengka, terjadilah perang besar yang pada

akhirnya pasukan Pancawati dapat menguasai Alengka dan melumpuhkan bala

tentara Rahwana berupa raksasa. Ekspresi simbolik dalam lakon ini memberikan

spirit dan motivasi kepada seluruh masyarakat bahwa laut Indonesia yang luas

dengan beribu-ribu pulau yang ada dapat dihubungkan dengan pembangunan tol

laut seperti halnya konsep yang dicanagkan oleh Jokowi.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 11

Denpasar, 25-26 September 2018

Kebijakan penyusunan kawasan wisata

pada Kementerian Pariwisata RI dalam

rangka pengembangan destinasi wisata

dilakukan beberapa bulan lalu bersama

FIBUI, menekankan pada tiga

kawasan yang penting yang kontak

dengan perairan, yaitu Danau Toba

(Sumatra Utara), Tanjung Kelayang

(Bangka Belitung), dan Wakatobi

(Sulawesi Tenggara). Gambaran

wilayah perencanaan tiga tempat

wisata perairan tersebut menunjukkan bahwa kondisi wilayah sangatlah penting,

meliputi: kondisi geografis; kondisi fisik kawasan: topografi, penggunaanlahan,

hidrologi; kondisi sarana dan prasarana; demografi; sosial keagamaan; tradisi dan

budaya masyarakat sangatlah penting. Atraksi pada lokasi wisata yang kontak

dengan perairan adalah daya tarik yang dapat mengundang wisatawan berupa

benda-benda budaya, tradisi, ritual dan upacara, kesenian. Perencanaan

pengembangan kawasan pariwisata kelautan, khususnya Tanjung Kelayang dan

Wakatobi pengembangan atraksi dan daya tarik wisata dengan mengembangkan

objek-objek wisata yang ada; mengembangkan wisata minat khsusus berbasis

event/ tradisi, ritual dan upacara; mengembangkan daya tarik wisata pendukung

berupa seni pertunjukan; mengembangkan daya tarik dengan menggali potensi

kerajinan; mengembangkan atraksi alam, misal sungai, goa, laut; dan

mengembangkan wisata pendidikan berbasis keagamaan.

Hasil diskusi Tim FIBUI dan Kementerian Pariwisata disampaikan hal-hal

terkait pengembangan kawasan wisata daerah yang berada di pesisir, pantai,

perairan laut dengan menyusun teks naratif sejarah masyarakat dan kebudayaan

desa Sijuk Belitung; menyusun narasi

sejarah rumah tradisional dan benda-

benda budaya masyarakat desa sijuk;

menyusun buku teks naratif sejarah

12 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

masyarakat dan kebudayaan Toba (di dua desa sebagai sampel) dan Sulawesi

Tenggara; menyusun narasi sejarah rumah tradisional dan benda-benda budaya

masyarakat Toba (di dua desa sebagai sampel) dan Sulawesi Tenggara; mengelola

aksara dan bahasa terkait idiom-idiom (ungkapan-ungkapan) budaya Batak dan

Sulawesi Tenggara dalam tiga bahasa yang dipampang pada tempat2 tertentu.

Keikutsertaan FIBUI dalam sebuah riset bersama Kementerian Pariwisata

tahun ini minimal memberikan kontribusi yang signifikan terkait pemikiran

tentang pemberdayaan sumber daya budaya dan atraksi budaya pada destinasi

wisata pesisir yang kontak dengan perairan baik pada lokasi danau maupun laut.

Sumber daya budaya dan atraksi budaya yang dieksplorasi dari teks-teks kearifan

lokal kemaritiman baik terkait dengan bahasa dan sastra, adat-istiadat, serta

kesenian pada lokasi ―pantai‖ memberikan penguatan terhadap citra Indonesia

sebagai negara yang kaya akan pulau dan perairan.

Simpulan

Kajian Revitalisasi Teks-Teks Kearifan Lokal Kemaritiman Untuk

Membangun Kehidupan Bermasyarakat Berbangsa dan Bernegara menghasilkan

beberapa simpulan sebagai berikut:

Dalam konteks riset, teks-teks kearifan lokal kemaritiman memberikan

peluang untuk dikaji terus menerus oleh para pakar dari berbagai disiplin yang

hasilnya dapat dipresentasikan kepada masyarakat demi kemajuan ilmu

pengetahuan yang sekaligus bermanfaat sebagai sarana mencerdaskan kehidupan

bangsa. Untuk membangun kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera diperlukan

sejumlah pakar yang handal dari berbagai bidang ilmu pengetahuan baik sejarah,

politik, sosial, ekonomi, maupun budaya untuk menangani permasalahan teks-teks

kearifan lokal kemaritiman yang muaranya tercapainya wawasan kebangsaan

yang kokoh dan maju. Kearifan lokal kemaritiman memberikan perspektif

ekspresi simbolik terhadap realitas sosial yang diproyeksikan dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lakon Rama Tambak dalam seni

pertunjukan wayang sebagai eskpresi simbolik memberikan spirit dan daya hidup

terhadap penyelenggara negara untuk mengimplementasikan pembangunan tol

laut dan menyatukan tanah air Indonesia sebagai negara kepulauan.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 13

Denpasar, 25-26 September 2018

Dalam konteks manajemen (tata kelola) birokrasi, pemberdayaan teks-teks

kearifan lokal kemaritiman perlu adanya sinergitas kerjasama yang erat dan kokoh

di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, yang

mengkoordinasikan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian

Perhubungan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Kementerian

Pariwisata yang didukung Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pemerintah Daerah

untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih sejahtera dengan mewujudkan wisata

bahari yang khas disertai eksplorasi sumber daya budaya dan atraksi budaya lokal.

Teks-teks kearifan lokal kemaritiman memberikan identitas (jatidiri) kepada

masyarakat pendukungnya untuk membangun citra Indonesia sebagai negara

maritim yang kaya akan sumber daya mineral dan sumber daya budaya.

Dalam konteks politik, pengembangan wawasan Nusantara melalui

kesadaran akan pentingnya pemahaman tentang keragaman teks-teks kearifan

lokal kemaritiman yang tersebar di seluruh pelosok tanah air dapat memberikan

penguatan terhadap empat saka guru kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD ‘45,

Bhinneka Tunaggal Ika, dan NKRI. Teks-teks kearifan lokal yang memuat sejarah

masa lalu memberikan perspektif kepada kehidupan masa datang agar lebih taktis

dan strategis serta efektif dan efisien dalam mengambil suatu keputusan atas

kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Labu Wana Labu Rope:

Sejarah Butun Abad XVII memberikan perspektif masa depan yang lebih cerah

dan terbuka tentang perlunya wawasan kemaritiman untuk membangun wawasan

Nusantara demi terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa.

Referensi

Christomy, Tommy. 2011. Sejarah Buton Yang Terabaikan: Labu Rope Labu

Wana. Jakarta: Rajawali Pers, Yayasan Kebudayaan Masyarakat Buton, 2010,

xli + 350 pages (including illustrations and maps). ISBN 9789797692292.

Tinjauan Buku dalam Jurnal Wacana Vol. 13 No. 2. Artikel dalam

file:///C:/Users/Acer/AppData/Local/Temp/Susanto_Zuhdi_Sejarah_Buton_y

ang_terabaikan_Labu_r-1.pdf

Creswell, John W. (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,

dan Mixed. (Achmad Fawaid, penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Darmoko. 2013. Wacana Kekuasaan dalam Wayang Kulit Purwa: Tinjauan Pada

Lakon Rama Tambak. Artikel pada Seminar Ramayana dengan tema

―Ramayana Referensi Tekstual dan Latar Belakang Budaya dalam Konteks

Indonesia‖, oleh Jurusan Sastra Nusantara Program Studi Sastra Jawa,

14 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

FIBUGM 5 Juni 2013 di Joglo Plawangan Boutique Jl. Raya Pakem Turi,

Karang Gawang, Girikerto, Turi, Sleman, Yogyakarta.

Dickry Rizanny N. 2017. Perpres 16/2017 dan Pembangunan Maritim Indonesiahttp://maritimnews.com/2017/05/perpres-162017-dan-

pembangunan-maritim-indonesia/)

Kementerian PPN Bappenas. 2015. Laporan Implementasi Tol Laut 2015

Direktorat Transportasi Kementerian PPN Bappenas: Implementasi Konsep

Tol Laut 2015-2019. Artikel pada http://Nusantarainitiative.com/wp-

content/uploads/2016/02/150915-Buku-Tol-Laut-bappenas.pdf

Sejarah Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam https://kkp.go.id/page/6-

sejarah.

Yuliati. 2014. Kejayaan Indonesia Sebagai Negara Marirtim. Jurnal Pendidikan

Pancasila dan Kewarganegaraan Th. 27, Nomor 2, Agustus 2014. Artikel

pada file:///C:/Users/Acer/AppData/Local/Temp/5523-4795-1-SM.pdf

Zuhdi, Susanto. 1999. Labu Wana Labu Rope: Sejarah Butun Abad XVII.

Disertasi Universitas Indonesia.

------------------. 2006. Laut, Sungai, dan Perkembangan Peradaban: Dunia

Maritim Asia Tenggara, Indonesia dan Metodologi Strukturis. Artikel

Konferensi Nasional Sejarah VIII di Jakarta, 14-16 November 2006. Artikel

padahttp://www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/susanto_zuhdi_konfe

rensi-final.pdf

-----------------. Budaya Maritim, Kearifan Lokal, dan Diaspora Buton. Artikel

dalam https://icssis.files.wordpress.com/2012/05/0609082010_18.pdf

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 15

Denpasar, 25-26 September 2018

SENI KELAUTAN

MEMBANGUN HARMONISASI MANUSIA DENGAN ALAM

I Gede Arya Sugiartha Institut Seni Indonesia Denpasar

ABSTRAK

Sejak satu dekade terakhir ini di Indonesia muncul satu bentuk seni baru

yang lazim disebut dengan seni lingkungan atau eco-Art. Seni lingkungan

merupakan suatu kerja artistik yang mengajukan cara pandang, pemikiran, dan

kepedulian atas berbagai bentuk dan sumber kehidupan dari planet bumi yang kita

diami. Menggunakan konsep seni kontemporer, seni lingkungan dipergelarkan di

alam terbuka seperti sungai, sawah, hutan, dan alam laut. Karya seni lingkungan

yang terinspirasi dan dipergelarkan di alam laut juga sering disebut seni kelautan.

Tiga karya seni kelautan yang menarik untuk kita cermati sebagai bahan diskusi,

adalah Musik Kontemporer ―Harkat Bunyi Alam Manggrove‖ karya I Kadek

Indra Wijaya, Dramatari ―Prapat‖ karya Ida Ayu Gede Sasrani Widyastuti, dan

Dramatari ―Legu Gondong‖ karya Ida Ayu Ratih Wagiswari. Ketiga karya seni

kelautan ini selain bertutur tentang keindahan auditif dan visual alam laut juga

mengandung sikap, pesan, dan kepedulian seniman bahwa manusia hendaknya

selalu membangun hubungan yang harmonis dengan alam lingkungan.

Kata kunci: seni kelautan, kontemporer, harmoni.

1. Pengantar

Sejak zaman dulu manusia telah memiliki kepedulian terhadap pelestarian

alam lingkungan. Masyarakat Hindu Bali memiliki konsepsi Tri Hita Karana,

yang salah satunya menyatakan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, manusia

hendaknya membangun hubungan yang harmonis dengan alam serta

lingkungannya. Manusia dipersilakan memanfaatkan potensi alam dan lingkungan

sebagai sumber kehidupan dan penghidupan, namun tidak dengan mengekploitasi

dan mengubah ekosistemnya. Kepercayaan masyarakat Hindu Bali tentang Dewa

Baruna sebagai Dewa laut, kepercayaan masyarakat Jawa tentang Nyai Roro

Kidul penguasa laut selatan, upacara melasti yang dilakukan oleh masyarakat Bali,

dan upacara Petik laut yang dilakukan oleh masyarakat pesisir di Jawa, adalah

bentuk-bentuk penghormatan kepada penguasa laut agar manusia diberikan

keselamatan lahir dan batin.

Selain mitos yang diyakini dapat digunakan untuk membangun

harmonisasi manusia dengan alam dan lingkungannya, pada zaman modern juga

16 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

dilakukan dengan program-program terstruktur oleh pemerintah seperti membuat

regulasi tentang pemanfaatan alam lingkungan. Seniman juga memiliki cara

tersendiri untuk bersahabat dengan alam. Ada ungkapan menarik terkait dengan

hubungan seniman dengan bentuk-bentuk di alam, yaitu natura artis magistra

yang artinya alam adalah gurunya seniman (Soedarso, 1990:33). Karena dianggap

guru, maka seniman menghormati dan mencintai alam yang diungkapkan dalam

berbagai bentuk karya seni.

Sejak dua dekade terakhir ini di Indonesia muncul garapan-garapan seni

pertunjukan yang dilakukan di alam terbuka yang sering disebut dengan seni

lingkungan atau eco-Art. Menurut Maryanto (2017:70) seni lingkungan atau eco-

Art adalah suatu kerja artistik yang mengajukan cara pandang, pemikiran, dan

kepedulian atas berbagai bentuk dan sumber kehidupan dari planet bumi yang kita

diami. Tujuannya membangkitkan kesadaran, merangsang dialog, mengubah

prilaku dan sikap hormat terhadap spesies lain serta mendorong rasa dan sikap

menghargai sistem-sistem alami agar kita hidup berdampingan secara harmonis.

Selain dilakukan di alam terbuka seperti laut, sungai, tempat pembuangan sampah,

tebing, dan sawah, seni lingkungan biasanya mengangkat tema-tema yang

menunjukkan sikap mereka terhadap situasi terkini yang sedang terjadi seperti

eksploitasi atau pemanfaatan yang keliru terhadap potensi alam.

2. Tiga Karya Seni Kelautan

Ada tiga karya seni lingkungan yang saya pandang layak untuk kita

cermati sebagai hahan diskusi, yaitu Musik Kontemporer ―Harkat Bunyi Alam

Manggrove‖ karya I Kadek Indra Wijaya, Dramatari ―Prapat‖ karya Ida Ayu Gede

Sasrani Widyastuti, dan Dramatari ―Legu Gondong‖ karya Ida Ayu Ratih

Wagiswari. Ketiga karya seni pertunjukan tersebut mengambil inspirasi, tempat

pergelaran, dan peralatan di alam laut sehingga kesenian ini dapat juga kita sebut

dengan seni kelautan. Karya-karya yang dipersiapkan untuk pemenuhan tugas

akhir S3 dan S2 ini tampil sukses dan memukau ratusan penonton yang sengaja

ingin menyaksikan keunikan baik dari segi artistik maupun pesan yang ingin

disampaikan.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 17

Denpasar, 25-26 September 2018

Pertama, karya ―Harkat Bunyi Alam Mangrove‖ terinspirasi dari begitu

uniknya suara-suara alam yang ada di lingkungan hutan mangrove Kedonganan

dalam kesehariannya. Ada suara burung tengkek yang saling bersautan, ada

gesekan pohon dan daun mangrove ketika diterpa angin, ada suara sayatan

kepiting yang sedang memakan batang mangrove, ada suara senda gurau para

nelayan yang akan pergi dan datang dari melaut (Indra Wijaya, 2016: 2). Suara-

suara tersebut mengindikasikan sebuah kedamaian karena ekosistem berjalan

alami. Suara-suara inilah dikemas dalam bahasa musikal dengan menggunakan

alat-alat musik yang juga dibuat dari batang mangrove dengan kostum dari

dedaunan dan pohon mangrove.

Selain menampilkan suara musik yang unik tentang keharmonisan alam

mangrove, karya ini juga mengandung kritik sosial tentang fenomena yang sering

terjadi di areal hutan mangrove Kedonganan. Terjadinya pembuangan sampah

oleh masyarakat, pembuangan limbah industri oleh pengusaha, dan cara

pemerintah mengisolasi areal hutan mangrove dari masyarakat dengan pagar

kawat, dapat berdampak pada berubahnya ekosistem. Secara lugas Kadek Indra

Wijaya menyatakan selain penikmatan estetis, hal yang paling diharapkan dari

karya ini adalah dampak atau outcome guna menyadarkan masyarakat bahwa kita

harus bersahabat dengan alam (Indra Wijaya, 2016: 125). Jika kita bersahabat

maka harus dihindari upaya-upaya eksploitasi agar ekosistem alam dan

lingkungan bisa berjalan dengan baik dan memberikan dampak yang positif bagi

kehidupan manusia.

Kedua, Dramatari Legu Gondong menggunakan konsep seni lingkungan

yang mengambil sumber inspirasi dari latar belakang dan rangkaian tradisi

upacara Ngaro di Pantai Sanur. Menurut Lontar Purwa Wangsa Arya Madura

upacara Ngaro dilaksanakan setiap purnamaning sasih karo sebagai upacara

penghormaan kepada Dewa Baruna atas karunia yang diberikan kepada

masyarakat pesisir, khususnya Sanur (Wagiswari, 2015:5). Upacara Ngaro ini

dilatarbelakangi oleh sebuah cerita mitos bahwa masyarakat Sanur pernah

dijangkiti wabah penyakit yang dibawa oleh sekawanan nyamuk yang disebut

Legu Gondong. Nyamuk-nyamuk pembawa penyakit ini muncul dari arah laut

kemudian menyerang warga sehingga banyak yang meninggal. Atas nasehat Raja

18 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Kesiman, masyarakat Sanur diminta untuk segera melakukan upacara

permohonan maaf dan penghormatan kepada Dewa Baruna. Upacara ini dianggap

mampu menetralisir keadaan sehingga masyarakat Sanur terbebas dari penyakit.

Ada satu point menarik yang dapat dicermati dari karya ini, yaitu

wejangan Raja Kesiman yang digubah dalam bentuk puisi sebagai berikut.

―Pasih, tasik, arungan segara….Bencah toyane kasisi. Tinggangane tan

keaksi.

Katilar sinaring sasi. Kakardi wong memanah weci luu liyu tanpa rungu.

Saru mapalu ring wong tamyu. Karebut buyung lan kadungu. Tan patut

keanggen sangu. Pasih…..Pa… asih… Mulih ring kasih. Segara……

Sesama gora. Tan patut wera. Yan tan kaingin wenten wicara‖

Secara umum puisi di atas dapat diartikan bahwa laut merupakan tempat suci yang

harus dijaga kesuciannya dari orang-orang yang berfikiran kotor dan jahat. Pasih

atau laut adalah tempat yang menyenangkan dan tempat untuk menetralisir segala

kotoran atau penyakit (Wagiswari, 2015: 47).

Ketiga, karya dramatari Prapat juga bertemakan pelestarian lingkungan

dengan menjadikan areal hutan mangrove sebagai tempat pentas. Ida Ayu Sasrani

mencoba menampilkan sesuatu yang baru dan ―tidak biasa‖ untuk mewadahi

gagasannya. Pemilihan tempat di areal hutan mangrove (Tahura) Ngurah Rai

dengan alasan pengkarya memiliki kepedulian terhadap pelestarian lingkungan

mangrove dan biota laut (Sasrani, 2016: 88). Lewat karyanya yang berdurasi

sekitar 45 menit pengkarya mampu memukau penonton dan dewan penguji yang

hadir menyaksikan karyanya sore itu.

Dramatari ―Prapat‖ adalah seni kontemporer yang menggunakan konsep

seni postmodern. Pemilihan bentuk dramatari disebabkan karena pengkarya ingin

menyampaikan pesan-pesan yang lugas tentang pelestarian lingkungan khususnya

hutan mangrove kepada masyarakat. Ceritera yang digunakan untuk membingkai

kesatuan garapan bertutur tentang bagaimana manusia harus menjaga ekosistem

hutan mangrove, melindungi biota laut seperti kepiting dari kepunahan, menjaga

pohon mangrove agar sehat, serta memanfaatkan potensi hutan tidak dengan cara

mengeksploitasi. Ada mitos yang berkembang di masyarakat Suwung Kauh (areal

Tahura Ngurah Rai) yang menyatakan bahwa hutan mangrove dihuni oleh seorang

dewi cantik dan sejumlah biota laut. Mereka inilah yang melindungi hutan dari

berbagai ancaman termasuk manusia. Oleh sebab itulah ketika memasuki hutan

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 19

Denpasar, 25-26 September 2018

masyarakat harus bertindak sopan, tidak berkata-kata kasar, dilarang menebang

pohon sembarangan, dilarang menangkap ikan dengan racun atau bom, karena

jika dilakukan akan mendapat hukuman dari dewi penguasa hutan mangrove.

Mitos ini masih dipercaya masyarakat dan sampai sekarang cukup ampuh

digunaka untuk melindungi hutan mangrove.

5. Harmonisasi dan Membangkitkan Identitas Budaya Bahari

Seni dan estetika dapat mempengaruhi suasana hati sehingga pesan yang

disampaikan diresapi secara mendalam dan masuk ke dalam kalbu. Dalam bidang

musik Johan (2003: 28) menyebutkan bahwa musik dengan katagori positif

menghasilkan peningkatan suasana hati yang positif, demikian pula musik yang

sedih menghasilkan peningkatan suasana hati negatif. Seni bisa mengajak para

penikmatnya masuk ke dalam suasana yang diinginkan seniman melalui transfer

of feeling. Melalui kemampuannya mempengaruhi suasana hati inilah seniman

dapat mempengaruhi situasi yang lebih luas. Sebagaimana karya Indra Wijaya

yang menyajikan nuansa harmoni alam mangrove, penonton diajak menikmati

indahnya suara-suara alam ketika ekosistem hutan mangrove berjalan harmonis

dan terbebas dari suara-suara bising dan pencemaran limbah dan sampah.

Masyarakat yang menikmati suara-suara indah ini tentu akan merasa senang

sehingga tergugah dan menyetujui ajakan seniman agar hutan mangrove terus

dipelihara agar ekosistem berjalan secara alami.

Muhammad Jamil dalam sebuah artikelnya berjudul Sistem Budaya

Masyarakat Maritim (2015: 3-4) menyatakan ada sejumlah nilai dan norma yang

telah menjadi budaya para nelayan dan pelayar Indonesia, antara lain adalah

komunalisme, arif lingkungan, religius, kolektivitas, egalitarian, rukun dan setia

kawan dalam kelompoknya, saling percaya, taat norma, bertanggung jawab,

disiplin, kreatif-inovatif, teguh pendirian, kepetualangan, berani menanggung

resiko, adaptif dan kompetitif, berwawasan kelautan dan kepulauan,

multikulturalis, nasionalis, dan berpandangan dunia. Para nelayan Bali pada

umumnya memiliki kelebihan pada sikap kebersamaan, melestarikan lingkungan

ekosistem dan sumber daya perikanan laut serta pemanfaatan hasil-hasil secara

bersama. Hal ini tercermin dari sejumlah pengetahuan termasuk mitos yang

20 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

dimiliki bertujuan untuk pelestarian alam laut. Sebagaimana dapat dicermati dari

Dramatari Legu Gondong karya Ida Ayu Ratih Wagiswari, menyimpan makna

kebersamaan dan pelestarian lingkungan yang terbalut dalam ceritera mitos. Mitos

tentang adanya penguasa laut, yaitu Dewa Baruna bagi masyarakat Hindu Bali

mengandung makna betapa alam mesti dijaga dengan cara membangun harmoni,

bukan dengan mengesploitasi. Jika manusia menjaga alam maka alampun

memberi perlindungan kepada manusia.

Estetika dewasa ini telah mengalami penambahan nilai dan makna, yaitu

bukan hanya sebuah kelangenan atau untuk kesenangan melainkan juga daya.

Sachari (2006:122-126) menyebutkan, selain mengandung daya pesona estetika

juga mengandung daya pembelajar dan daya penyadar. Kedayaan estetik karya

seni bahkan mampu menjadi ―provokator‖ untuk mempengaruhi berbagai situasi.

Mengapa demikian, hal ini tentu disebabkan karena seniman memiliki ―cara

ampuh‖, untuk menarik simpati agar dipercaya oleh masyarakat. Dramatari Prapat

karya Ida Ayu Gede Sasrani Widyastuti mengandung daya pembelajar dan

penyadaran kepada masyarakat bahwa hutan mangrove wajib dilestarikan dan

dimanfaatkan dengan baik. Adanya mitos tentang Dewi Mangrove yang kemudian

dijadikan ceritera dramatari Prapat adalah kearifan lokal yang memiliki makna

dan nilai kebersamaan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya

bersahabat dengan alam. Dengan membangun keharmonisan dengan alam laut,

manusia dapat menjadikan laut sebagai sumber kehidupan dan penghidupan.

6. Penutup

Seni kelautan adalah seni yang menggunakan potensi alam laut sebagai

sumber inspirasi dan tempat pergelaran. Selain menyimpan nilai keindahan bentuk,

alam laut juga menyimpan berbagai peta makna yang memancing seniman untuk

menjadikannya sebagai karya seni. Sejak satu dekade belakangan ini seni-seni

kelautan selain bertutur indahnya alam laut, juga untuk menunjukkan sikap,

partisipasi, dan kepedulian seniman dalam membangun harmonisasi antara

manusia dengan alam laut. Hal ini sangat mendukung upaya membangkitkan

identitas budaya bahari Indonesia yang menekankan kebersamaan, taat norma dan

arif lingkungan.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 21

Denpasar, 25-26 September 2018

Pustaka Acuan

Amien, A. Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal: Konsepsi Pembangunan,

Organisasi, Pendidikan dari Perspektif Sains Baru. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Bandung: PT Bentang

Pustaka.

Giddens, Antony. 2009. Konskwensi-Konskwensi Modernitas. Yogyakarta:

Kreasi Wacana.

Harjana, Suka. 2004. Musik: Antara Kritik dan Apresiasi, Jakarta: Penerbit Buku

Kompas

Jamil, Muhammad. 2015. ―Sistem Sosial Budaya Masyarakat Maritim‖, dalam

Kompasiana.com, tanggal 5 Januari 2015.

Johan. 2011. ―Perilaku Musikal dan Kepribadian Kreatif‖, Pidato Pengukuhan

Guru Besar Pada Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta.

Lubis, M. Safrinal dkk. 2007. Jagat Upacara: Indonesia dalam Dialektika yang

Sakral dan yang Profan. Yogyakarta: Ekspresi Buku.

Marianto, M. Dwi. 2017. ―Ecoart Dalam Seni Rupa‖, dalam Daya Seni: Bunga

Rampai 25 Tahun Prodi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

UGM. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Sachari, Agus. 2002. Estetika, makna, Simbol, dan Daya. Bandung: Penerbit ITB.

Soedarso,SP. 1990. Tinjauan Seni, Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni.

Yogyakarta: Saku Dayar Sana.

Sumardjo, Jacob. 2010. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press, STSI

Bandung.

Supriadi, Dedi. 1994. Kreativitas, Kebudayaan dan Perkembangan Iptek.

Bandung: CV ALFABETA.

Widyastuti, Ida Ayu Sasrani. 2016. ―Dramatari Prapat‖, Tesis Karya Seni Tugas

Akhir pad Program Pascasarjana ISI Denpasar.

Wagiswari, Ida Ayu Ratih. 2015. ―Dramatari Legu Gondong‖, Tesis Karya Seni

Tugas Akhir pada Program Pascasarjana ISI Denpasar.

Wijaya, I Kadek Indra. 2016. ―Harkat Bunyi Alam Mangrove‖, Disertasi Karya

Tugas Akhir S3 pada Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan,

Yogyakarta: Kanisius.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 22

Denpasar, 25-26 September 2018

STRATEGI MASYARAKAT NELAYAN KEDONGANAN

MENGHADAPI KEMISKINAN

Purwadi Soeriadiredja

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan, serta kerusakan

lingkungan pesisir dan laut merupakan dampak dari kebijakan pembangunan yang

selama ini berorientasi ke daratan. Sekalipun pemerintah menggulirkan kebijakan

modernisasi perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, namun hasil

yang dicapai belum memuaskan. Secara umum nelayan masih terperosok dalam

perangkap kerentanan sosial-ekonomi berkepanjangan. Kenyataan tersebut

membuat perekonomian nelayan memprihatinkan.

Kedonganan terletak di kawasan wisata dan menjadi tujuan wisata pantai

dan kuliner, namun hal itu bukan jaminan bagi para nelayan dapat meningkatkan

kualitas hidupnya. Awalnya perkembangan di Kedonganan tanpa kendali

sehingga menimbulkan banyak permasalahan di bidang ekonomi, sosial, budaya,

dan lingkungan. Hal tersebut ditenggarai akan menimbulkan ketidakharmonisan dan

mencoreng citra objek wisata Kedonganan, bahkan pariwisata budaya Bali.

Dengan berjalannya waktu, kini pantai Kedonganan berubah menjadi

tujuan wisata pantai dan kuliner yang menarik. Hal tersebut tak lepas dari peran

Desa Adat Kedonganan yang telah melibatkan masyarakat mulai dari perencanaan

awal, pengelolaan dan evaluasi dengan tujuan meningkatkan perekonomian

masyarakat, mempertahankan adat istiadat setempat dan pengelolaan yang

berkelanjutan. Dalam hal ini bagaimana masyarakat Kedonganan dengan

kearifanlokalnya menciptakan strategi dalam menghadapi salah satu permasalahan

hidup mereka, yaitu kemiskinan, sehingga lambat laun terjadilah peningkatan

ekonomi, sosial-budaya yang signifikan.

Sebagai nelayan, bermacam resiko dari pekerjaan sudah biasa mereka

hadapi dan terima dengan besar hati karena bagi mereka hidup adalah sebagai

anugerah. Suatu hal yang mereka harapkan adalah terciptanya keselarasan dan

keserasian antara kehidupan duniawi dan kehidupan dengan Sang Hyang Widi.

Untuk itu hidup harus dilandasi dengan sikap pasrah dan menerima apa adanya.

Namun bukan berarti harus tetap tinggal diam saja. Pengelolaan pantai

Kedonganan berbasis masyarakat ini dijiwai oleh filosofi Tri Hita Karana,

karenanya hubungan masyarakat dengan lingkungan (alam, spiritual dan antar

manusia) dapat terjalin secara harmonis dan berkelanjutan.

Kata Kunci : Strategi, Nelayan, Kemiskinan.

Pendahuluan

Mubyarto dkk. (dalam Kinseng, 2014:38-39) mengemukakan bahwa

keluarga nelayan umumnya lebih miskin daripada keluarga petani atau pengrajin.

Para nelayan kecil dan buruh nelayan berada pada posisi yang lemah dan marginal.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 23

Denpasar, 25-26 September 2018

Penguasaan dan akses terhadap sumber daya alam sering menjadi isu utama dalam

konflik sosial. Kusnadi (2002) mengungkapkan bahwa kemiskinan,

keterbelakangan masyarakat nelayan, kerusakan lingkungan pesisir dan laut

merupakan dampak dari kebijakan pembangunan yang selama ini berorientasi ke

daratan. Sekalipun pemerintah menggulirkan kebijakan modernisasi perikanan

untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, namun hasil yang dicapai tidak

memuaskan. Secara umum nelayan masih terperosok dalam perangkap kerentanan

sosial-ekonomi yang berkepanjangan. Kenyataan tersebut membuat perekonomian

nelayan memprihatinkan.

Beberapa dekade terakhir, masyarakat nelayan Kedonganan masih

mengalami keadaan yang memprihatinkan itu. Hal tersebut diketahui berdasarkan

beberapa hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa walaupun para nelayan

Kedonganan telah merasakan proses modernisasi bidang perikanan, namun setiap

nelayan hanya mampu menangkap ikan maksimal hanya 4,8 kg/hari saja (Dinas

Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung). Menurut Widhianti (2005)

meskipun Kedonganan terletak di kawasan wisata, namun hal itu bukan jaminan

bagi para nelayan meningkatkan kualitas hidupnya. Berbagai kesulitan hidup

ditemui, namun hal itu pun tidak menjadi halangan untuk tetap hidup sebagai

nelayan. Penelitian Sucipta (2012) mengungkapkan sejak tahun 1995 Kedonganan

mulai terjamah perkembangan kepariwisataan dan menjadi tujuan wisata pantai

dan kuliner. Sebagai pengaruh dari keberhasilan pendirian kafe-kafe di pantai

Jimbaran, masyarakat Kedonganan pun turut mendirikan kafe-kafe pula. Namun

perkembangan di Kedonganan tanpa kendali sehingga menimbulkan banyak

permasalahan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Hal tersebut

dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakharmonisan dan mencoreng citra objek

wisata Kedonganan, bahkan pariwisata budaya Bali. Ketidakharmonisan bisa

diatasi bila masyarakat setempat turut berpartisipasi dalam penguasaan sumber

daya alam.

Sejak tahun 2007 Desa Adat Kedonganan didukung oleh Pemkab Badung

mulai menata pantai Kedonganan dengan memaksimalkan semua potensi desa

termasuk penataan kafe-kafe. Pengelolaan kafe diberikan kepada masing-masing

banjar di wilayah Kedonganan. Dengan berjalannya waktu, kini pantai

24 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Kedonganan berubah menjadi tujuan wisata pantai dan kuliner yang menarik. Hal

tersebut tak lepas dari peran Desa Adat Kedonganan yang telah melibatkan

masyarakat mulai dari perencanaan awal dengan tujuan meningkatkan

perekonomian masyarakat, mempertahankan adat istiadat setempat dan

pengelolaan yang berkelanjutan. Dalam hal ini bagaimana masyarakat

Kedonganan menciptakan strategi dalam menghadapi salah satu permasalahan

hidup mereka, yaitu kemiskinan.

Kelurahan Kedonganan

Kelurahan Kedonganan berada di wilayah Kecamatan Kuta,

Kabupaten Badung, dan merupakan wilayah (palemahan) Desa Adat

Kedonganan. Kelurahan ini terletak di sebelah selatan kota Denpasar dan

berjarak -/+ 20 km dari kota.

Luas wilayah Kelurahan Kedonganan 191 ha, yang sebagian besar

dimanfaatkan untuk pemukiman. Sebagian lainnya merupakan hutan, pekuburan

dan fasilitas umum. Seacara topografis, Kelurahan Kedonganan merupakan daerah

dataran rendah pada ketinggian 31 m di atas permukaan laut dengan karakteristik

wilayah pesisir dan jenis tanah berpasir yang kurang subur untuk pertanian. Di sebelah

selatan merupakan tanah berbukit kapur.

Masyarakat Kedonganan merupakan masyarakat yang heterogen.

Selain warga ―asli‖ Kedonganan, banyak pula warga masyarakat yang

berasal dari wilayah Bali lainnya. Terlepas dari perbedaan wilayah asal, secara

keseluruhan penduduk Kedonganan dapat diidentifikasikan sebagai orang Bali.

Sedangkan penduduk pendatang dari etnis lainnya adalah Jawa, Madura, dan

Cina.

Agama yang dianut secara mayoritas yaitu Hindu. Sedangkan lainnya

ialah Islam, Kristen Protestan, Katholik dan Buddha. Orang Kedonganan

percaya bahwa segala aktivitas keagamaan yang dilakukan untuk keselarasan

dan keteraturan dalam hidup di dunia dan akhirat. Segala aktivitas keagamaan

walau dianggap menyita waktu, tenaga dan biaya, namun mereka percaya

bahwa hal itulah tanda bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha

Esa.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 25

Denpasar, 25-26 September 2018

Mata pencaharian utama di Kelurahan Kedonganan adalah sebagai

nelayan. Selain itu banyak pula bekerja dalam bidang perdagangan sebagai

pengusaha kecil dan menengah, industri dan swasta. Hal itu disebabkan oleh

semakin berkembangnya sektor pariwisata di Kedonganan.

Potensi Pariwisata

Wilayah Kedonganan termasuk dalam wilayah Kecamatan Kuta yang

merupakan pusat dari pariwisata Bali. Kedonganan merupakan daerah pantai

yang potensial sebagai peningkatan hidup masyarakat setempat. Sebelum

berkembangnya kepariwisataan, Kedonganan merupakan desa nelayan yang

kesehariannya lekat dengan kehidupan dan aktifitas kenelayanan.

Perkembangan kepariwisataan di Kedonganan tidak bisa dipisahkan dari

perkembangan kepariwisataan di daerah Jimbaran. Dalam rencana induk

pariwisata Bali tahun 1990, wilayah Kedonganan telah ditetapkan sebagai

wilayah wisata (tourist resort). Beroperasinya Hotel Four Seasons Jimbaran

Bali pada tahun 1993 membuka peluang bagi masyarakat Jimbaran untuk

ikut merasakan dampak positif pariwisata. Dengan banyaknya wisatawan yang

datang ke pantai Jimbaran, beberapa penduduk Jimbaran mendirikan warung-

warung ikan bakar bagi wisatawan yang ingin menikmati makanan tradisional

khas nelayan sambil melihat pemandangan matahari terbenam. Kesuksesan

warung-warung ikan bakar di Jimbaran mendorong beberapa warga

Kedonganan ikut mendirikan warung ikan bakar pula. Keberadaan warung-

warung makan tersebut akhirnya berkembang menjadi kafe sehingga pantai

Kedonganan dan Jimbaran dikenal sebagai lokasi untuk aktivitas wisata kuliner.

Faktor lain yang mendorong berdirinya kafe di sepanjang pantai

Kedonganan adalah tidak terserapnya produksi ikan kelompok-kelompok

nelayan Kedonganan yang berlimpah pada waktu itu. Pemindahan Tempat

Pelelangan Ikan (TPI) ke Jembrana mengakibatkan nelayan Kedonganan harus

mengalokasikan biaya dan waktu yang lebih banyak untuk membawa hasil

tangkapan ke Jembrana. Selain itu adanya keluhan dari otoritas Bandara

Internasional I Gusti Ngurah Rai terhadap pencemaran bau di sekitar perairan

pantai Kedonganan dan limbah ikan yang dibuang oleh nelayan Kedonganan di

26 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

tengah laut. Fakor-faktor tersebut menyebabkan nelayan Kedonganan

beranggapan bahwa profesi nelayan tidak lagi menjanjikan sehingga mereka

mulai beralih profesi. Salah satu peluang yang menjanjikan pada waktu itu adalah

beralih profesi menjadi pengusaha kafe.

Pada awal perkembangan, pendirian kafe di pantai Kedonganan tanpa

koordinasi. Warga yang ingin mendirikan kafe datang ke pantai untuk

mengkapling area pantai seluas yang diinginkan dan dibutuhkan. Ketika lahan

pantai Kedonganan sudah mulai terbatas, warga yang ingin mendirikan kafe tetap

memaksakan diri di area yang sempit, yang mengakibatkan garis pantai

Kedonganan didominasi oleh bangunan kafe tanpa perencanaan yang baik

sehingga lingkungan Pantai Kedonganan menjadi tidak rapih dan terlihat

kumuh. Di samping itu banyaknya jumlah kafe yang ada menimbulkan berbagai

dampak negatif, antara lain berupa pencemaran sampah dan pencemaran bau yang

bersumber dari limbah kafe yang dibuang langsung ke pantai atau ke laut

sebagai akibat tidak adanya sistem pengolahan limbah. Hal tersebut tentunya

berdampak tidak baik untuk perkembangan kepariwisataan, khususnya di

Kedonganan. Untuk menatanya dibutuhkan suatu perencanaan dan pengelolaan

yang didukung dan disetujui oleh seluruh warga masyarakat. Suatu penataan yang

dilaksanakan dengan konsep berbasis masyarakat.

Kehidupan Nelayan Kedonganan

Di Kelurahan Kedonganan terdapat empat lembaga tradisional dalam

kehidupan bermasyarakat, yaitu desa dinas, desa adat, banjar dan seka. Desa dinas

bersifat administratif dan kedinasan yang dikepalai oleh Lurah. Para warga

komunitas desa dinas disatukan oleh adanya kesatuan fungsi yang

dijalankan oleh Kelurahan sebagai kesatuan administratif.

Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di propinsi Tingkat I

Bali yang memiliki satu kesatuan tradisional dan tata krama pergaulan hidup

masyarakat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga. Desa

adat mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak

mengurus rumah tangganya sendiri. Kekuasaan tertinggi di desa adat terdapat

pada rapat anggota dan dikepalai oleh seorang bendesa adat. Desa adat

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 27

Denpasar, 25-26 September 2018

Kedonganan memiliki awig-awig, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berupa

anggaran dasar dan anggaran rumah tangga untuk mengatur stabilitas organisasinya.

Awig-awig ini sebagai sarana pengikat warga masyarakat desa adat Kedonganan

yang dimuat dan disyahkan oleh pejabat berwenang.

Komunitas kecil di Bali disebut banjar. Suatu banjar dikepalai oleh

seorang kelian banjar yang bertugas dalam bidang sosial dan kehidupan

keagamaan suatu komunitas. Pusat kegiatan warga banjar adalah di bale

banjar di mana para warga banjar bertemu dan melakukan kegiatan pada hari-

hari tertentu. Fungsi banjar yang ada di desa adat Kedonganan adalah

untuk mewujudkan hidup bergotong royong di kalangan krama banjar, baik dalam

keadaan suka maupun duka.

Seka adalah lembaga atau kelompok sosial yang lebih kecil dari

banjar. Seka di Kelurahan Kedonganan merupakan kesatuan dari beberapa

orang anggota banjar yang terhimpun atas dasar kepentingan yang sama dalam

suatu hal, misalnya seka teruna teruni, seka gong, seka kidung, dsb. Pada

prinsipnya seka yang ada dilandasi oleh prinsip gotong royong, musyawarah

dan tujuan khusus. Kegiatan seka disamping untuk kepentingan anggotanya,

juga banyak membantu kegiatan banjar, bahkan untuk beberapa hal

dimanfaatkan oleh banjar.

Hidup Keseharian Nelayan

Nelayan dapat diartikan sebagai orang yang secara aktif melakukan

pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang/tanaman air lainnya. Orang

yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat

perlengkapan ke dalam perahu/kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan.

Sedangkan masyarakat nelayan adalah kelompok atau sekelompok orang yang

bekerja sebagai nelayan, nelayan kecil, pembudi daya ikan kecil yang bertempat

tinggal di sekitar kawasan nelayan (Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No.

15/Permen/M/2006).

Nelayan dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu nelayan pemilik

tradisional, nelayan pemilik semi-modern, dan nelayan buruh. Tiga kategori

nelayan ini memiliki ciri-ciri kehidupan sehari-hari yang berbeda antara satu

28 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

dengan lainnya. Nelayan pemilik tradisional biasanya memiliki beberapa jukung

lengkap dengan segala perlengkapannya (jaring dan mesin tempel), dan

mempunyai beberapa orang nelayan buruh untuk mengoperasikan

jukungnya tadi. Nelayan pemilik tradisional, wajib membagi uang hasil

tangkapan kepada buruh-buruhnya.

Nelayan pemilik semi-modern dibesarkan dalam keluarga nelayan dan

memiliki beberapa atau banyak jukung yang pengoperasiannya dipercayakan kepada

nelayan buruh. Dia tidak ikut melaut, hanya membantu menyiapkan perlengkapan yang

akan dibawa melaut, mengawasi penurunan ikan hasil tangkapan. Hasil tangkapan

didistribusikan ke sejumlah hotel, restoran dan kafe yang ada di Kedonganan, dan ada

yang dijual di pasar.

Adapun nelayan buruh bekerja pada salah seorang pemilik jukung.

Bertugas menyiapkan peralatan dan perlengkapan yang akan dibawa melaut,

antara lain; lampu, jaring, bahan bakar mesin tempel. Setelah itu pergi melaut

dan kembali membawa ikan hasil tangkapan.

Hingga saat ini, usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh para nelayan

Kedonganan dapat dikatakan masih menggunakan teknologi tradisional, seperti

jukung, jaring, dayung, dan motor tempel. Alat penangkapan ikan tersebut

dikatakan tradisional apabila dibandingkan dengan peralatan yang lebih modern,

seperti alat pukat harimau dan perahu besar yang memiliki wilayah tangkapan yang

lebih jauh (off-shore fishing) dan kapasitas untuk memperoleh ikan yang lebih

banyak.

Beberapa tahun yang lalu peralatan modern telah dikenalkan pula oleh

Dinas Perikanan dan Kelautan Republik Indonesia, selain untuk

memperkenalkan alat penangkapan ikan modern, peralatan ini dianggap dapat

meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan dengan hasil tangkapan yang lebih

banyak. Penggunaan peralatan modern tersebut diharapkan dapat mengubah pola

penangkapan ikan yang sebelumnya tergantung pada musim menjadi tidak

tergantung lagi pada musim. Namun hal tersebut ternyata tidak berlangsung

lama, karena selain adanya kesenjangan yang sangat besar antara nelayan

dengan peralatan modern dengan nelayan tradisional, hal lainnya adalah

kelurahan Kedonganan merupakan salah satu daerah kawasan pariwisata di kabupaten

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 29

Denpasar, 25-26 September 2018

Badung Selatan yang dikembangkan sebagai kawasan wisata pantai. Aktivitas nelayan

Kedonganan berupa pendaratan basil tangkapan dialihkan ke Kabupaten Jembrana, karena

hal itu dianggap dapat mempengaruhi kebersihan dan keindahan wisata alam di

Kedonganan. Hal itulah yang menyebabkan nelayan Kedonganan memilih kembali

dengan peralatan tradisional mereka.

Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Tangkapan Ikan

Pada musim panen ikan, yaitu pada bulan Maret-Agustus para nelayan

Kedonganan hanya mencari ikan di sekitar pantai saja. Sedangkan pada bulan

September-Desember mereka mencari ikan sampai ke tengah laut. Hal itu disebabkan

pada bulan-bulan tersebut merupakan musim hujan di mana ikan laut relatif sulit diperoleh.

Ada beberapa ikan yang yang selalu ada pada musim ikan seperti tongkol dan

lemuru. Pada musim ikan, suasana di pantai biasanya tampak ramai dengan aktivitas

kenelayanan.

Secara umum, pengolahan hasil tangkapan ikan yang dilakukan nelayan di

Kabupaten Badung adalah pemindangan, pembekuan dan pengasinan. Namun

demikian, nelayan Kedonganan lebih banyak menjual hasil tangkapannya ketika ikan

masih segar dan dengan cara pembekuan agar ikan bisa dijual keesokan harinya.

Untuk mengatasi proses pembusukan sehingga mengalami kemunduran mutu,

para nelayan Kedonganan melakukan pengawetan dengan es.

Setiap nelayan pemilik, pada musim ikan mampu menghasilkan hasil

tangkapan sebanyak 3-5 ton dengan jumlah kepemilikan 3-6 jukung. Hanya

pada tidak musim ikan produksi ikan menurun menjadi kurang dan 1 ton. Hasil

tangkapan berupa ikan segar langsung ditimbang di TPI (Tempat Pelelangan

Ikan). Tersediannya prasarana tempat pelelangan ini, diharapkan para nelayan dapat

memanfaatkannya sebagai tempat penjualan pertama setelah ikan ditangkap di laut.

Hasil tangkapan nelayan dijual dengan sistem lelang. Hal itu dimaksudkan agar

ikan hasil tangkapan nelayan tidak dipermainkan oleh pengambek (tengkulak).

Ukuran yang digunakan untuk menimbang adalah ember ukuran besar. Biasanya

sebelum para nelayan kembali dari menangkap ikan, para ijon telah menunggu di

pantai. Para pembeli ini umumnya para pedagang yang menjual lagi hasil

tangkapan nelayan ke pasar-pasar di seluruh Bali. Aspek yang menentukan

30 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

dalam kaitannya dengan kegiatan kenelayanan dan yang berpengaruh langsung

terhadap peningkatan kesejahteraan hidup nelayan adalah aspek produksi

dan distribusi hasil tangkapan. Apabila hubungan sosial yang melingkupi

kedua aspek tersebut kurang menguntungkan nelayan dan nelayan buruh, maka

kelembagaan KUD perlu diberdayakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat untuk

mengatasi hubungan-hubungan sosial ekonomi yang timpang. Di Kedonganan,

KUD setempat tidak berfungsi untuk memenuhi kebutuhan modal nelayan. TPI

juga tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga keberadannya tidak

memberikan keuntungan ekonomi kepada nelayan. Bahkan dengan

penarikan restribusi, nelayan justru merasa dirugikan. Dalam memenuhi

kebutuhan modal usaha, sebagian besar nelayan memilih meminjam uang dari

pengambek. Pemasaran hasil tangkapanpun dilakukan tidak melewati sistem KUD

yang ada disana, melainkan langsung antara nelayan ke pengambek. KUD hanya

menjual hasil tangkapan ikan para nelayan modern dengan kapal besar saja. Oleh

karena itu, pendapatan para nelayan sangat sulit dicatat secara pasti. Penghasilan

nelayan dapat dikatakan tidak menentu. Hal itu terjadi disebabkan pula oleh para

nelayan yang melakukan aktivitas melaut masih berdasarkan musim.

Hasil tangkapan ikan yang rusak dapat dimanfaatkan menjadi tepung

untuk makanan ternak unggas, terutama ayam. Selain itu ikan segar yang belum

begitu rusak juga dibeli oleh ijon atau pengepul yang kemudian dijual ke pabrik

pembuatan ikan sarden. Jika jumlah hasil tangkapan banyak, maka para nelayan

menjual kepada ijon ini. Tetapi jika hasil sedikit maka nelayan hanya menjual di

pasar. Ikan yang ada di pasar ikan Kedonganan tidak semua dari nelayan

Kedonganan, namun dari nelayan daerah lain, seperti Sanur, Benoa, daerah Bali

lainnya, bahkan dari Jawa. Selain itu cafe-cafe di Kedonganan tidak selalu

membeli ikan di pasar atau dari nelayan Kedonganan, melainkan membeli dari

tempat lain dan dari kapal besar yang menjual ikannya lewat TPI.

Perkembangan Kelompok Nelayan

Pada tahun 1970-an nelayan Kedonganan masih merupakan nelayan

tradisional, dalam arti nelayan pada saat itu masih menggunakan peralatan yang

masih sederhana seperti jukung, pencar, dayung (kelimat), pancing, serok dan lain

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 31

Denpasar, 25-26 September 2018

sebagainya. Pendapatan dari hasil tangkapan nelayan hanya mencapai 2,5 kg

ikan perhari dengan harga Rp. 1.000,00/kg. Hal tersebut tidak dapat memenuhi

kebutuhan sehari-hari dengan layak.

Fenomena tersebut membuahkan suatu inisiatif para nelayan setempat. Pada

tahun itu pula berdiri pertama kali kelompok nelayan yang beranggotakan 30

orang. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan memantau seluruh aktivitas nelayan

dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, yang antara lain bertujuan untuk

melindungi nelayan dari sistem ijon yang memberi pinjaman modal kepada para

nelayan namun sistem tersebut sangat merugikan nelayan. Setahun lamanya

kelompok nelayan itu mampu bertahan dengan segala bentuk rintangan dari para

ijon yang sempat pula memecah belah kelompok itu dengan menggunakan

kekuatan modal yang dimilikinya. Berkat kegigihan pengurusnya melalui berbagai

pendekatan kepada para anggota yang telah dikuasai ijon, maka anggota kelompok

berkumpul kembali dalam satu wadah organisasi nelayan.

Setelah terbentuk kelompok nelayan yang telah disyahkan, Pemerintah

Daerah melalui BRI Cabang Denpasar memberikan bantuan kredit berupa

KIK (Kredit Investasi Kecil). Untuk tahap pertama direalisasikan pada

tahun 1977 yang digunakan untuk membeli 26 unit kapal selerek dan

perlengkapannya. Bantuan pemerintah tersebut besar manfaatnya bagi

kelompok nelayan, terutama dalam menambah anggota organisasi yang

mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 260 orang nelayan buruh

sekaligus.

Pada tahun 1979 dilaksanakan motorisasi nelayan. Setelah adanya

motorisasi, hasil tangkapan nelayan meningkat dengan pesat, pendapatan

nelayan terangkat untuk mendukung pembangunan di bidang perikanan.

Untuk memperkuat kemajuan yang ingin dicapai, masyarakat nelayan

membentuk koperasi Mina Segara yang bertujuan menyediakan modal bagi

nelayan anggotanya dengan bunga yang kecil.

Modernisasi perikanan yang terjadi di Kedonganan merupakan suatu

proses perubahan yang mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi. Dari segi sosial

terlihat makin meningkatnya jumlah kelompok-kelompok kerja dalam aktivitas

32 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

penangkapan ikan dengan anggota yang tidak terbatas dalam lingkungan

keluarga saja. Sedangkan dari segi ekonomi terlihat peningkatan taraf hidup

nelayan. Sayangnya modernisasi penangkapan ini tidak bertahan lama, ketika

kapal dengan alat purse saine dipindahkan pendaratannya ke daerah Kabupaten

Jembrana. Para nelayan Kedonganan kembali menggunakan perahu tradisional

karena jauhnya tempat pendaratan tadi. Adapun alasan Pemerintah

memutuskan untuk memindahkan kapal dengan peralatan purse saine itu

karena Kabupaten Badung merupakan daerah yang direncanakan sebagai tujuan

pariwisata. Khususnya Kelurahan Kedonganan yang letaknya berdekatan dengan

daerah tujuan wisata Kuta, sehingga pendaratan kapal ikan dianggap

mempengaruhi pemandangan para wisatawan. Akibatnya hasil mata pencaharian

nelayan mengalami penurunan setiap tahunnya. Dari sejumlah 15 kelompok

nelayan, kini jumlah kelompok nelayan yang masih aktif hanya dua kelompok

nelayan saja, yaitu kelompok nelayan Kerta Bali dan kelompok nelayan Putra

Bali.

Strategi Menghadapi Kemiskinan

Orientasi Nilai Budaya

Perikanan dan kelautan secara umum telah menjadi ikon Kedonganan.

Bahkan, Kedonganan hingga kini menjadi salah satu sentra usaha perikanan dan

kelautan terbesar di Bali. Kehadiran Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kedonganan

menunjukkan Kedonganan memegang peranan penting dalam bidang perikanan.

Namun kualitas sumber daya manusianya masih tertinggal, setidaknya hingga

tahun 1990. Kondisi semacam itu berpengaruh kepada iklim usaha untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat. Berbagai usaha yang dikembangkan di

Kedonganan lebih sering menemui kegagalan dan jauh tertinggal dibandingkan

daerah-daerah lainnya di Kecamatan Kuta. Meskipun dekat dengan sentra

pariwisata, keberadaan Kedonganan tidak bisa ikut merasakan kue

pariwisata. Tetapi mereka tidak menyerah, kehidupan harus berjalan terus seiring

zaman. Mereka menyusun suatu strategi untuk menghadapi keterpurukan. Dengan

menggunakan kearifan dalam kebudayaannya mereka mengadaptasi,

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 33

Denpasar, 25-26 September 2018

menginterpretasi dan mengubah lingkungan sesuai dengan apa yang mereka

harapkan.

Nelayan Kedonganan, khususnya nelayan tradisional dan nelayan buruh,

mereka harus siap menghadapi ketidakpastian perolehan penghasilan dari melaut.

Kadang kala mereka melakukan penangkapan di kawasan perairan yang letaknya

cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Berbagai resiko pekerjaan sudah biasa

mereka hadapi dan terima dengan besar hati, karena bagi mereka hidup adalah

sebagai anugerah. Suatu hal yang mereka harapkan adalah terciptanya keselarasan

dan keserasian antara kehidupan duniawi dan kehidupan dengan Sang Hyang Widi.

Untuk itu hidup harus dilandasi dengan sikap pasrah dan menerima apa adanya.

Namun bukan berarti harus tetap tinggal diam saja.

Faktor-faktor Mempertahankan Kenelayanan

1. Alam.

Kedonganan merupakan salah satu kawasan wisata pantai. Adanya

pembangunan di bidang pariwisata dan perikanan, turut berpengaruh terhadap

pola pikir masyarakat Kedonganan yang ingin pula turut menikmati berkah

tersebut. Berkaitan dengan kegiatan kenelayanan di Kedonganan, dengan kesadaran

sendiri masyarakat nelayan Kedonganan memiliki sikap bahwa laut patut dijaga,

dilestarikan keberadaannya, karena ketergantungan masyarakat nelayan

Kedonganan terhadap sumber daya laut sangat besar. Hal inilah yang membuat

masyarakat nelayan Kedonganan merasa memiliki dan bertanggung jawab

terhadap kelestarian laut di sekelilingnya. Untuk itu diberlakukan awig-awig yang

mengatur kehidupan masyarakat nelayan berlandaskan filosofi ajaran Agama

Hindu dan lekat dengan budaya Bali. Hal tersebut tidak hanya berlaku bagi

nelayan pribumi saja, tetapi juga berlaku bagi nelayan pendatang.

2. Ekonomi.

Perikanan adalah sistem usaha manusia dalam pemanfaatan sumber daya

laut, mengolah dan memasarkannya. Pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan

pokok. Alasan mereka menggeluti mata pencarian sebagai nelayan adalah kondisi

perekonomian yang kurang mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan

mengikutsertakan seluruh anggota keluarga dalam usaha kenelayanan merupakan salah

34 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

satu alasan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun untuk mencukupi

kebutuhan hidup harus diimbangi pula oleh pekerjaan sampingan lainnya, misalkan

sebagai pedagang, buruh bangunan, pengrajin, pemandu wisata laut, atau lainnya.

Pariwisata turut andil pula dalam mensejahterakan kehidupan nelayan.

Adanya sajian khas kuliner di Kedonganan menyebabkan pasokan akan ikan di

beberapa hotel, kafe dan restoran juga meningkat. Selain itu bidang pekerjaan

lainnya berhasil menciptakan lapangan kerja baru yang memberi peluang untuk

menyerap para pencari kerja, khususnya generasi muda Kedonganan. Hal itu

dapat mengurangi tingkat pengangguran yang ada di Kedonganan dengan segala

aspek negatif ikutannya.

3. Sosial-budaya.

Seiring bertambah pesatnya kegiatan kepariwisataan di Kedonganan,

sektor penunjang pariwisata seperti hotel, kafe pinggir pantai yang menyajikan

hidangan khas laut di Kedonganan semakin kompleks. Hal tersebut tak akan

mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat setempat. Misalnya dari

sebelumnya mereka memiliki gaya dan pola hidup tradisional yang sederhana,

kini mulai menjalani gaya dan pola hidup modern seiring dengan kemajuan

jaman. Walaupun demikian orang Kedongan tak lupa kepada jati dirinya sebagai

warga masyarakat Bali lainnya. Mereka tetap setia menjalankan kewajiban tradisi

yang diwariskan dari nenek moyangnya.

Bagi orang Kedonganan, air merupakan elemen pokok dari kehidupan nelayan,

elemen pokok yang merupakan suatu bagian dari upacara keagamaan, upacara siklus

manusia dari lahir sampai mati. Bagi nelayan Kedonganan menjaga keseimbangan

ekologis lautan sangatlah penting. Mereka percaya bahwa bila manusia mengeksploitasi

hasil laut secara besar-besaran atau dengan cara-cara yang dilarang oleh adat seperti

pengeboman, maka mereka akan mendapat kutukan berupa tidak selamat atau kesulitan

dalam memperoleh hasil laut. Pengetahuan tentang kenelayanan seperti itu diturunkan

oleh para orang tua yang sejak anak-anak mereka masih kecil dan hidup dari hasil laut.

Pengetahuan tentang kenelayanan diperoleh karena mereka selalu mengikutsertakan

anak-anak mereka dalam kegiatan melaut. Pengikutsertaan anak-anak ini dalam

kegiatan melaut merupakan salah satu pengalihan sistem pengetahuan praktis

sehingga ketika dewasa kelak anak-anak tersebut sudah siap menghadapi segala

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 35

Denpasar, 25-26 September 2018

tantangan yang muncul.

Adanya beberapa potensi yang dimiliki ini, masyarakat nelayan

Kedonganan menganggap laut merupakan warisan dari nenek

moyang yang harus dijaga, dipelihara, dan dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan

hidup. Laut merupakan sumber kehidupan yang dianggap sebagai bagian yang

tidak bisa lepas dari kehidupan mereka. Apabila laut rusak atau tercemar berarti

kehancuran juga bagi kehidupan. Mereka mengeksploitasi hasil laut sesuai

dengan yang diajarkan oleh orang-orang tua mereka.

Peran Lembaga Adat

1. Perencanaan

Peran lembaga adat di Kedonganan dalam menyusun strategi menghadapi

kemiskinan ini sangat penting, terutama dalam hal mengubah pola pikir masyarakat

setempat. Hal itu tak lepas dari keberadaan Desa Adat Kedonganan yang didukung

Pemkab Badung untuk menata kawasan pantai Kedonganan sebagai bagian

palemahan desa. Panitia penataan kemudian dibentuk untuk mempersiapkan

rencana penataan hingga pelaksanaan penataan pantai Kedonganan. Panitia

dibentuk melalui sinergi antara tiga lembaga, yaitu Desa Adat Kedonganan,

Kelurahan Kedonganan dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM)

Kedonganan. Anggota panitia adalah warga Desa Adat Kedonganan yang

memiliki pengetahuan yang dibutuhkan untuk melakukan perencanaan di bidang

pariwisata. Kepanitiaan bekerja dengan baik karena dukungan penuh dari para

tokoh masyarakat dan para pemudanya sehingga sebagian besar warga Desa Adat

Kedonganan memberi dukungan terhadap rencana penataan ulang pantai

Kedonganan. Selain itu desa adat dibantu secara finansial oleh LPD (Lembaga

Perkreditan Desa) Desa Adat Kedonganan.

2. Pelaksanaan

Pada saat didirikan, LPD Desa Adat Kedonganan dalam kondisi serba

terbatas. Tidak hanya terbatas modal tetapi juga dukungan krama karena ragu

lembaga ini bisa eksis dan berlanjut. Lambat laun, seiring bertumbuhnya kegiatan

36 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

usaha LPD, kepercayaan krama dan nasabah juga ikut tumbuh. LPD Kedonganan

pun berkembang pesat.

Sejak tahun 2007 Desa Adat Kedonganan yang didukung Pemkab Badung,

dan secara internal didukung oleh LPD Desa Adat Kedonganan menata kawasan

pantai Kedonganan sebagai bagian palemahan desa. Penataan pantai Kedonganan

pada dasarnya merupakan proses pengalokasian area pantai Kedonganan ke dalam

zona-zona tertentu, yaitu zona kafe, zona ekonomi, zona sosial-budaya dan

keagamaan berdasarkan gambar rencana yang telah disetujui. Penataan juga

merupakan usaha untuk mengurangi jumlah kafe yang sudah berdiri sebelumnya

dari sejumlah 67 menjadi 24 dimana kepemilikannya diserahkan kepada seluruh

warga Desa Adat Kedonganan yang tersebar di enam banjar sesuai Rekomendasi

Bupati Badung. Masing-masing banjar diberi hak mengelola empat kafe. Ini

merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa

Adat Kedonganan melalui usaha bersama dengan memanfaatkan palemahan desa

di pesisir barat.

Sejak saat itu pantai Kedonganan dikenal sebagai daerah wisata kuliner

yang sangat menarik. Pemandangan lautnya tak kalah menawan dengan objek

wisata pantai lainnya. Nama Kedonganan pun mulai disebut-sebut di dunia

pariwisata. Sejumlah situs internet menurunkan laporan mengenai suasana pantai

Kedonganan sebagai alternatif objek wisata pantai maupun wisata kuliner di Bali.

3. Pengawasan dan Evaluasi

Pengawasan yang dilakukan Desa Adat Kedonganan berlandaskan awig-

awig yang berlaku di wilayah itu. Awig-awig merupakan sekumpulan aturan baik

tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat berlandaskan ajaran agama Hindu Tri

Hita Karana yang mengajarkan keharmonisan atau keseimbangan hubungan

antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan dan manusia dengan

lingkungan. Ada tujuh aturan lokal atau larangan pada Awig-awig dalam

pengaturan kehidupan masyarakat nelayan di Kedonganan, yaitu:

1. Larangan mengambil ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan

bahan kimia berbahaya lainnya.

2. Larangan merusak terumbu karang secara sengaja.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 37

Denpasar, 25-26 September 2018

3. Larangan mengambil biota laut yang dilindungi.

4. Larangan melaut pada Hari Raya Nyepi.

5. Larangan melaut pada saat berlangsungnya upacara keagamaan setempat.

6. Larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir.

7. Larangan melaut pada angin musim barat

Tujuan dibentuknya awig-awig tersebut adalah untuk memberi pedoman

berperilaku pada nelayan dalam hidup bermasyarakat, khususnya dalam kegiatan

penangkapan ikan dan menjaga keutuhan masyarakat nelayan. Selain itu awig-

awig mempunyai tujuan agar keseimbangan hubungan dan keharmonisan yang

terkandung dalam ajaran Tri Hita Karana tetap dipertahankan seiring dengan

perkembangan jaman. Sebagai wujud dari pengawasan sosial, maka diberlakukan

pula sanksi untuk setiap bentuk pelanggaran. Sanksi yang diterapkan merupakan

satu wujud upaya represif. Semua aturan atau larangan dalam awig-awig

disosialisasikan sebagai bentuk proses penanaman nilai-nilai dan aturan adat

dalam lingkungan masyarakat.

Agar pelaksanaan pengawasan lebih optimal, pada tahun 2007 dibentuk

Badan Penataan Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan (BP-KP2K) yang

bertugas sebagai pelaksana kebijakan tiga lembaga pembentuk terkait penataan

pantai Kedonganan, dan sebagai pengawas Kawasan Pantai Kedonganan. Badan

tersebut kini menjadi Badan Pengelola Kawasan Pariwisata Pesisir Kedonganan

(BPKP2K) dan diharapkan mampu memastikan agar pariwisata berbasis

masyarakat mampu berjalan dalam kaidah-kaidah keberlanjutan serta dapat

memberikan berbagai dampak positif bagi Desa Adat Kedonganan. Setelah itu

dibentuk pula Panitia Pelaksana Pembuatan Perarem (Peraturan Desa Adat)

dengan tujuan untuk memastikan keberlanjutan kepariwisataan di pantai

Kedonganan, melalui seperangkat peraturan dalam pengelolaan kafe dan penataan

kawasan pantai Kedonganan. Pariwisata berkelanjutan itu pada dasarnya

merupakan pariwisata yang memanfaatkan sumber daya alam dengan bijaksana

dan tetap mengupayakan pelestariannya.

Setelah BPKP2K terbentuk, warga masyarakat tetap mengawasi

pengelolaan dan pengembangan kepariwisataan melalui mekanisme perwakilan.

Setiap Kepala Lingkungan dan Kepala Adat (Kelihan Banjar) duduk sebagai

38 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

anggota dewan pengawas BPKP2K. Dewan pengawas tersebut setiap bulan

memperoleh laporan dari BPKP2K melalui mekanisme rapat bulanan. Laporan

tersebut diteruskan kembali ke seluruh krama (warga) banjar pada saat sangkep

atau paruman (rapat) sehingga seluruh warga mengetahui perkembangan

kepariwisataan pantai Kedonganan termasuk perkembangan kafe yang mereka

miliki.

4. Hubungan Pihak Pengelola Dengan Masyarakat

Pembangunan kepariwisataan atau pengelolaan sumber daya laut harus

mampu berkontribusi dalam menjaga keberlanjutan lingkungan alam, sosial-

budaya dan ekonomi dimana ketiganya merupakan pilar-pilar keberlanjutan.

Pengelolaan berbasis masyarakat diimplementasikan dengan pendekatan bottom-

up, dimana hal ini sebenarnya mengedepankan peranserta masyarakat sebagai

prinsip utamanya. Peranserta tersebut terwujud dari tersedianya kesempatan bagi

masyarakat untuk terlibat penuh mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan,

pengawasan dan evaluasi, selanjutnya sebagai penikmat dari manfaat yang

ditimbulkan.

Perkembangan bisnis kafe di pantai Kedonganan sangat menjanjikan. Hal

tersebut dimungkinkan karena ramainya pantai Kedonganan dikunjungi oleh para

wisatawan, baik wisatawan lokal maupun manca negara. Tingginya tingkat

pengembalian investasi kafe di pantai Kedonganan mampu meningkatan kondisi

keuangan Desa Adat Kedonganan sehingga mampu memberikan banyak manfaat

bagi warganya. Manfaat tersebut terutama berkaitan dengan meningkatnya

kemampuan Desa Adat Kedonganan sebagai lembaga adat untuk melaksanakan

berbagai aktivitas tanpa harus memungut biaya dari warga masyarakat. Mereka

mampu menyediakan dan memberikan berbagai fasilitas bagi kesejahteraan warga

Desa Adat Kedonganan.

Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), lembaga adat

melalui LPD berperan aktif mengadakan program dalam bidang pendidikan,

kesehatan serta sosial-budaya. LPD memberikan beasiswa berprestasi dan

beasiswa bagi anak yang kurang mampu. Selain itu LPD juga menyelenggaran

tabungan untuk pendidikan, mendirikan lembaga pendidikan desa adat

Kedonganan yang diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran dan

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 39

Denpasar, 25-26 September 2018

melaksanakan kegiatan yang dapat mendorong peningkatan kualitas pendidikan di

kelurahan Kedonganan. Demikian pula banyak kegiatan sosial-budaya lainnya

yang dilaksanakan untuk kepentingan warga masyarakat tanpa dikenakan biaya

sedikitpun.

Kesejahteraan warga masyarakat makin meningkat. Oleh karena itu, tidak

heran bila sebelumnya banyak nelayan Kedonganan hanya di tingkat ―kelas

buruh‖ saja, kini mereka sudah menjadi ―kelas majikan‖. Tidak jarang dari para

nelayan ―kelas majikan‖ ini mempunyai lebih dari tiga perahu dengan beberapa

nelayan buruh yang menjadi bawahannya.

Kesimpulan dan Saran

1. Kesimpulan

Pada awalnya, masyarakat nelayan desa adat Kedonganan dapat

dikategorikan sebagai masyarakat miskin, dalam arti belum bisa mengelola

sumber daya laut yang mereka miliki untuk meningkatkan kesejahteraan hidup

mereka. Hasil perkembangan kepariwisataan pun belum dirasakan oleh

masyarakat, karena pengelolaannya belum tertata rapi. Namun sejak tahun 2007

desa adat Kedonganan melalui para pemuka desanya menciptakan strategi baru

dalam menghadapi kemiskinan tersebut. Mereka merencanakan, melaksanakan,

dan melakukan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam di

wilayahnya. Diawali dengan pengelolaan pantai dengan kafe-kafe yang ada di

pantai Kedonganan. Pengelolaan kafe-kafe tersebut diserahkan kepada masyarakat

melalui banjar. Masyarakat dilibatkan sejak awal pendirian, pengelolaan dan

evaluasi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat Kedonganan. Terjadilah

peningkatan ekonomi, sosial-budaya yang signifikan. Pengelolaan pantai

Kedonganan berbasis masyarakat ini dijiwai oleh filosofi Tri Hita Karana,

karenanya hubungan masyarakat dengan lingkungan (alam, spiritual dan antar

manusia) dapat terjalin secara harmonis dan berkelanjutan.

2.Saran

Masyarakat Kedonganan diharapkan tetap menjaga keseimbangan

hubungan dengan lingkungan, baik alam, spiritual maupun antar manusia. Secara

40 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

lahiriah, yang harus lebih diperhatikan adalah kebersihan lingkungan, dan

tersedianya lahan parkir yang cukup luas. Karena bagaimana pun kini

Kedonganan menjadi tujuan wisata pantai dan kuliner yang cukup populer.

Untuk meningkatkan keefektivitasan awig-awig atau perarem, maka perlu

dilakukan evaluasi terhadap beberapa peraturan yang ada sehingga dapat

dilakukan perbaikan. Aturan-aturan dan sanksi-sanksi yang diterapkan harus

tegas, dan jumlah petugas pemantau ditingkatkan, baik secara kualitas maupun

kuantitas. ***

DAFTAR PUSTAKA

Kusnadi. (2002). Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perebutan Daya

Perikanan. Yogyakarta: LKiS.

Rilus, A. Kinseng. (2014). Konflik Nelayan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia.

Sucipta, Abdi Md. (2012). Pengelolaan Pantai Kedonganan Sebagai Daya Tarik

Wisata Kuliner Berbasis Masyarakat di Desa Kedonganan, Media Bina Ilmiah,

Volume 6, no. 6, Desember 2012, 24-28.

Widhianti, N.M.D. Safitri. (2005). Orientasi Nilai Budaya Masyarakat Nelayan di

Kawasan Wisata Kedonganan, Kelurahan Kedonganan, Kabupaten Badung, Bali.

Denpasar: Prodi Antropologi FSB UNUD.

Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 15/Permen/M/2006.

kelurahankedonganan.blogspot.co.id, Profil Kelurahan Kedonganan

www.lpdkedonganan.com, LPD Desa Adat Kedonganan.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 41

Denpasar, 25-26 September 2018

EKSISTENSI PURI AGUNG KARANGASEM DALAM DINAMIKA

SOSIAL BUDAYA

A.A.A Dewi Girindrawardani

Program Studi Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya

ABSTRAK

Puri Agung Karangasem merupakan salah satu puri di Bali yang terletak di

bagian paling timur Pulau Bali. Puri Agung Karangasem (dahulu Puri Amlapura

atau Puri Kanginan) dibangun setelah Raja Karangasem Anak Agung Gde

Djelantik (I Gusti Gde Djelantik) sebagai Stedehouder l berada di bawah

pengaruh kolonial Belanda (1894-1908). Dilanjutkan oleh penggantinya Anak

Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem (IGusti Bagus Djelantik) sebagai

Stedehouder II (1908-1941).

Puri Agung Karangasem yang juga disebut Puri Kanginan pada zaman

dahulu dihuni oleh raja dan keluarga raja (para istri,putra-putri raja, menantu,cucu

sampai cicit), beberapa pembantu (parekan) wanita dan laki-laki. Mereka harus

mengikuti norma-norma yang berlaku dalam puri.

Pada masa lalu, puri merupakan pusat berbagai jenis kehidupan sosial dan

kebudayaan. Aspek sosial puri dapat dilihat dari berbagai fungsi, antara lain:

perlindungan keamanan, kesejahteraan hidup, permusyawaratan, penyelenggaraan

seni hiburan, tempat mengabdi. Sedangkan aspek budaya puri dapat dilihat dari

berbagai fungsi, antara lain : tempat pemgembangan berbagai jenis kesenian,

tempat mempelajari sejarah, tempat meneliti hasil-hasil kebudayaan masa lalu,

dan tempat rekreasi. Di samping itu, puri juga sebagai alat komunikasi yaitu

mencerminkan unsur-unsur pendidikaan dan mengagungkan identitas serta

kewibawaan di lingkungan bangunan puri. Puri dapat memotivasi perkembangan

ragam hias dan selanjutnya dapat lebih dikembangakan di luar lingkungan puri.

Oleh karena itu, puri dapat menjadi sumber potensial bagi penggalian nilai-nilai

tradisi yang menjadi akar kepribadian dan kebudayaan bangsa.

Kata kunci: eksistensi, puri, dinamika, sosial, dan budaya

I. PENDAHULUAN

Puri dihuni oleh keluarga raja yang terdiri atas raja, para istri, putra-putri

raja, para menantu, cucu sampai cicit, pengempu atau pengemban, beberapa orang

parekan wanita dan parekan laki-laki yang bertugas sebagai pekemit. Kehidupan

keluarga bangsawan mempunyai gaya hidup tersendiri, terikat oleh nilai-nilai

tertentu.Selain raja, mereka harus mengikuti norma-norma yang berlaku dalam

puri antara lain menggunakan bahasa sor-singgih, berbicara dan bersikap sesuai

dengan tata karma, seperti mepes, menyembah, duduk bersila bagi pria, dan

bersimpuh bagi wanita. Berbagai hormat lainnya antara lain membungkukkan

badan (ngeed), dan berjalan sambil jongkok. Keluarga bangsawan mulai sejak

42 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

kecil ditempa dengan tatanan etika puri yang sangat berpengaruh pada pribadi,

sikap, pandangan, tingkah laku, yang semuanya menyatu dalam bentuk gaya

hidup.

Pada masa lalu puri merupakan pusat pemerintahan (jaman raja-raja),

sehingga semua kegiatan dipusatkan di dalam puri.Peranan puri dimasa lampau

adalah sebagai penunjang kehidupan sosial masyarakat dalam beraktivitas

disegala hal.Berangkat dari penafsiran tersebut di atas menunjukkan bahwa semua

kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat tentunya di pusatkan di dalam

puri.Misalnya saja kegiatan keagamaan, berkesenian, sosial budaya, politik,

ekonomi, dan sebagainya.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa puri bukan

saja sebagai pusat pemerintahan, namun juga sengai pusat berkembangnya

kebudayaan.

Pada jaman dulu raja adalah jungjungan rakyatnya sehingga masyarakat

sebagai abdi raja sangat patuh terhadap perintah rajanya. Bagi seorang raja sangat

mudah memanggil abdinya untuk melakukan apa yang menjadi kesenangan

rajanya, sehingga wajar bila ada ahli di bidang tertentu dipanggil dan harus

mengabdi di dalam puri. Ahli yang dimaksud mungkin dibidang kesenian ( tari,

lukis, ukir,patung,dsb), politik, ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya. Dari

hubungan ini terlihat pengabdian masyarakat sangat tulus, sehingga pertalian

antara raja dengan rakyatnya dilandasi oleh nilai-nilai luhur tanpa ada rasa

tuntutan yang bersifat pamrih dari masyarakatnya.

Bagi para seniman pada saat itu, terutama seni tari, seni tabuh, seni sastra,

dan yang lain berkonsentrasi dalam puri untuk menciptakan ide-ide barunya, dan

mereka sangat tenang karena raja juga memperhatikan kebutuhan serta

kesejahteraan keluarganya. Dengan demikian puri merupakan pusat seni budaya

dari desa yang bersangkutan, di samping juga sebagai pusat pemerintahan pada

jamannya.

Berdasarkan uraian di atas, tampak beberapa permasalahan yang muncul

dan menarik untuk diteliti. Permasalahan tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk dan fungsi bangunanPuri Agung Karangasem?

2. Bagaimana eksistensi Puri Agung Karangasem Dalam dinamika sosial

budaya?

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 43

Denpasar, 25-26 September 2018

2. PEMBAHASAN

Bentuk dan Fungsi Puri Agung Karangasem

Secara etimologis, kata puri sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa

sanskerta (-pur,-puri,-pura,-puram,-pore), yang artinya adalah kota, kota

berbenteng, atau kota dengan menara atau istana. Dalam perkembangan

pemakaiannya di Bali, istilah ―Pura‖ menjadi khusus untuk tempat pemujaan

Tuhan; sedangkan istilah ―Puri‖ menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja

dan bangsawan.

Puri merupakan tempat bersemayam raja, tokoh yang dipertuankan

rakyatnya di seluruh kerajaan, menempati bangunan khusus bagi diri dan

keluarganya.Saat ini kata puri dapat dipadankan dengan kata keraton yang dipakai

untuk istilah istana di Jawa. Puri memiliki banyak fungsi, salah satu juga dahulu

berperan sebagai benteng strategis untuk pertahanan kerajaan sehingga bangunan

puri didirikan dengan kokoh dan kuat.Puri Agung Karangasem yang juga disebut

Puri Kanginan pada jaman dahulu dihuni oleh raja dan keluarga raja ( para istri,

putra-putri raja, menantu, cucu sampai cicit) pengampu, pengemban, beberapa

pembantu (parekan) wanita dan laki-laki. Mereka harus mengikuti norma-norma

yang berlaku dalam puri.

Puri Agung Karangasem sendiri beberapa bangunannya ada yang berarsitek

kombinasi antara Bali dan Eropa yang masih terlihat utuh.Bentuk arsitek

campuran ini menunjukkan penerapan akulturasi yang diterapkan oleh raja. Lebih

menarik lagi terdapat nama-nama kota di Eropa dijadikan nama beberapa tempat

di puri, seperti nama Gedong Maskerdam dan London yang merujuk pada kota

besar di Eropa, yakni Amsterdam (Belanda) dan London (Inggris). Pemberian

nama itu diberikan oleh Ratu Belanda Wilhelmina yang pernah berkunjung ke

puri sebagai bukti pernah terjalin hubungan antara kedua raja.

Puri Agung Karangasem dalam hal penataan halaman tidak mengikuti

pembagian Sanga Mandala, melainkan membentuk halaman dalam tiga bagian

sebagaimana terdapat pada bangunan suci Hindu (pura). Kompleks puri ini terbagi

atas tiga halaman, yaitu: halaman pertama berada pada posisi terluar (sisi barat);

halaman kedua merupakan celah sempit memanjang antara halaman pertama dan

44 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

ketiga; dan halaman ketiga merupakan halaman inti puri. Di halaman ketiga

tersebut berdiri Gedong Maskerdam sebagai tempat tinggal raja.

Halaman pertama (jaba) terbagi atas tiga palebahan, yaitu Bancingah,

kawula roban, dan keramen.Bancingah sering disebut ancak saji dan merupakan

halaman terdepan pada suatu puri, tempat tamu-tamu mempersiapkan diri untuk

memasuki area puri yang lebih dalam.Pada tembok keliling sisi barat terdapat kori

agung (gerbang) khas Puri Agung Karangasem.Bentuk atap kori agung itu

bertingkat tiga dan pada tiap tingkat terdapat relung (sisi dalam dan luar) yang

diisi arca Ganesa.Bancingah dilengkapi dengan sepasang Bale Kembar yang

berdiri mengapit jalan masuk dari kori agung pertama.Di sebelah bancingah yang

dipisahkan tembok pembatas tinggi terdapat palebahan kawula roban.Pada

palebahan tersebut terdapat tempat tinggal para abdi istana (abdi dalem) yang

membantu berbagai pekerjaan di dalam puri.Sisi selatan kawula roban merupakan

palebahan keramen yang tidak dihubungksn dengan pintu. Karena itu, jika orang

akan memasuki keramen ia harus keluar dulu dari kompleks puri, kemudian

masuk lagi lewat pintu angkul-angkul di tembok sisi barat keramen. Sedangkan

keramen dengan halaman kedua puri dihubungkan oleh pintu yang terletak pada

tembok pembatas keramen disisi timurnya.

Halaman kedua (jaba tengah), merupakan halaman sempit memanjang

utara-selatan.Pada bagian utara halaman terdapat kori agung kedua yang

menghubungkan halaman kedua dengan pertama. Sedangkan bagian selatan

halaman kedua merupakan halaman depan bagi banguanan Gili (Bale Kambang)

yang terdapat di tengah kolam. Jempatan untuk mencapai Gili terdapat di sisi

barat yang menghubungkannya dengan pelataran halaman kedua.Gili adalah

bangunan tanpa dinding yang hanya dipagari dengan kayu rendah dan sewaktu-

waktu digunakan sebagai tempat pertemuan seluruh keluarga penghuni puri.Gili

dapat juga berfungsi sebagai tempat pertunjukan kesenian dan ruang makan jika

diadakan pesta menyambut tamu-tamu Belanda yang dating ke Puri.Pada batas

paling selatan halaman kedua terdapat bangunan Gedong Tua yang bagian

depannya terbuka menghadap kea rah Gili dan dipakai untuk menonton

pertunjukan seni yang diadakan di Gili.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 45

Denpasar, 25-26 September 2018

Halaman ketiga, merupakan inti puri. Pada halaman ini berdiri beberapa

bangunan penting, antara lain Gedong Maskerdam sebagai tempat tinggal

raja.Gedong ini semula didirikan dengan tujuan untuk menerima tamu orang-

orang asing, terutama pejabat-pejabat Belanda. Namanya semula adalah Gedong

Amsterdam, kemudian karena diucapkan oleh penutur Bali, berubah bunyi

menjadi Maskerdam, dan di gedong inilah raja tinggal. Tepat di depan Gedong

Maskerdam terdapat Bale Pemandesan. Bangunan tersebut digunakan untuk

tempat upacara potong gigi, upacara menjelang dewasa, pemberkatan perkawinan,

dan bahkan dapat pula berfungsi sebagai Sumanggen (tempat persemayaman

jenasah sementara).Di sisi baratnya terdapat Bale Pawedan, merupakan bangunan

dengan batur tinggi sebagai tempat untuk membaca kitab-kitab suci (mabasan). Di

belakang Maskerdam terdapat Gedong Londen yang luas, banguanan itu

melingkupi pula gedong lain yang dinamakan Gedong Betawi. Di sisi timur

Maskerdam terdapat pula Gedong Yogya dan Ekalanga.Semua Gedong di sekitar

Maskerdam tersebut dihuni oleh keluarga raja (istri-istri raja beserta putra-

putrinya). Di sisi timur Gili, satu deret dengan Gedong Yogya dan Ekalanga,

terdapat pula jero yang dihuni para keluarga dekat raja lainnya. Pada sudut

tenggara (kelod kangin) kompleks puri terdapat pemerajan Puri Agung

Karangasem.

Di salah satu sudut bancingah didirikan sebuah bangunan tinggi disebut

Lembu Agung atau Bale Tegeh yang diperuntukkan sebagai tempat melepaskan

lelah bagi raja dan keluarganya.

Eksistensi Puri Agung Karangasem dalam Dinamika Sosial dan Budaya

Di sekeliling puri tinggal kawula roban.Mereka berkewajiban menjaga

keselamatan puri dan sewaktu-waktu mereka dipanggil ke puri untuk ngaturang

ayah (bekerja secara suka-rela).Tugas-tugas kawula roban antara lain membantu

segala kegiatan apabila di puri ada upacara adat atau keramaian, berjaga

disekeliling puri jika keadaan tidak aman, ada juga kawula roban yang ikut

sebagai prajurit bila raja berangkat berperang. Di sini kawula roban dapat

berperan sebagai pekandel, sebagai tabeng dada artinya mereka berdiri paling

depan bila musuh menyerang puri. Oleh sebab itu tempat perkampungan roban

yang ada di sekeliling puri dinamakan pekandelan.

46 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Bagi kawula roban yang mempunyai tugas khusus di puri seperti: juru liwet,

juru sapuh, pekatik (pemelihara kuda), dan penjaga malam, semuanya diberi

cecatu atau pecatu berupa beras atau makanan yang semuanya dikordinasi oleh

seorang sedahan (bendahara raja).

Para parekan yang tinggal di dalam puri yang terdiri dari golongan

brahmana (Ida Bagus), Ksatria (Dewa Gusti), dan dari golongan Sudra. Pada

malam hari, sesudah mereka diberi makan malam diajarkan enam macam

pelajaran yaitu: megamel (menabuh gamelan gong), menabuh semar pegulingan,

belajar tembang gambuh, menari, makakawin, belajar tembang kidung (sekar alit).

Dari keenam pelajaran itu mereka boleh memilih salah satu yang mereka gemari.

Kehidupan kesenian merupakan bagian dari kehidupan puri, karena hamper

setiap hari ada kegiatan kesenian seperti : seni tari, seni karawitan, seni pahat, dan

kerajianan tenun. Banyak seniman Bali yang terkenal didatangkan ke Puri

Karangasem untuk mengajarkan putra-putri raja dalam bidang kesenian,

khususnya seni tari. Di puri raja menghidupi beberapa seniman ukir yaitu:

pemahat dan pematung, di samping itu juga beberapa orang ahli bangunan.

Mereka diberi tanah pecatu yang terdiri dari sawah atau tanah perkebunan. Tugas

para seniman tersebut untuk membuat puri dan taman. Pembuatan taman

merupaka kegemaran raja-raja Karangasem dan Lombok. Di Karangasem terdapat

peninggalan berupa taman yaitu, Taman Sitisrengga, Taman Ujung Sukasada,

Taman Sekuta, dan yang terakhir Taman Tirta Gangga, sedangkan di Lombok

terdapat Taman Mayure dan Taman Narmada.

Di samping itu para wanita di puri juga mengembangkan seni tenun

tradisional seperti: tenun songket dan anyam-anyaman dari daun ental (rontal)

yang kebanyakan dikerjakan oleh para abdi wanita di lingkungan puri.

Puri sebagai pusat pemerintahan dan pusat kebudayaan, dikelilingi oleh

perkampungan islamyang menjadi benteng pertahanan puri. Hubungan puri

dengan masyarakat islam mempunyai ikatan yang erat dan penuh solidaritas yang

terbina sejak lama. Pihak puri sering membantu dana dan pembekalan umat islam

yang akan naik haji. Begitu pula pada saat-saat hari raya islam seperti : Idul adha,

idul fitri, pihak puri juga turut aktif membantu berupa hasil bumi dan hewan

kurban. Pihak puri tidak hanya membangun pura-pura, tetapi juga banyak

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 47

Denpasar, 25-26 September 2018

membantu dalam pembangunan masjid-masjid dan juga suka memberi hadiah

tanah sebagai wakaf kepada komunitas islam yang dianggap berjasa kepada puri,

misal, komunitas islam di Dangin sema, Nyuling,, dan Subagan memiliki ikatan

yang disebut pauman. Bila ada upacara atau kegiatan di puri komunitas pauman

turut terlibat membantu, baik berupa sumbangan hasil bumi (aturan) maupun

tenaga sukarela untuk kerja bakti (ngayah).

Hubungan antara puri dengan masyarakat di lingkungan puri maupun

masyarakat luas, masih terjalin baik.Demikian pula hubungan dengan desa-desa

masih tetap terjalin dengan baik, terutama dalam kaitannya dengan upacara desa

setempat.Hampir setiap ada upacara besar di masing-masing desa itu selalu

mengundang keluarga besar Puri agung Karangasem atau para sesepuh puri untuk

datang menyaksikan upacara tersebut.Demikian pula sebaliknya, apabila di Puri

Agung Karangasem ada upacara besar hampir seluruh pemuka desa diundang

untuk hadir dalam upacara itu.Hubungan antara puri dengan masyarakat masih

berlaku sampai sekarang terutama dalam hubungan dengan upacara adat.

Hubungan puri dengan beberapa klian pemaksan pura (sekelompok orang

yang mengurus sebuah pura) antara lain : pemaksan di Pura Bukit, Pura Bagus,

Pura Manikan, dan beberapa pura yang tersebar di wilayah Karangasem seperti :

Pura Besakih, Pura Selayukti, Pura Lempuyang, Pura Andakasa, Pura Gumang,

dan lain-lainnya merupakan hubungan yang bersifat sosial-religius antara puri

dengan masyarakat. Di lihat dari hubungan ini, keluarga Puri Agung Karangasem

masih terpandang di mata masyarakat Karangasem.

Walaupun dunia pariwisata di Bali berkembang sangat cepat, namun

pelestarian puri di Karangasem masih tetap tetap bisa terpelihara, namun beberapa

kegiatan di bidang seni belum bisa diwujudkan kembali, seperti kerajianan tenun,

anyam-anyaman lontar, seni pahat atau seni ukir, karena terbentur masalah

sumber daya manusia (SDM) dan manusia pendukungnya lemah dan tidak

didukung juga oleh dana yang memadai. Satu-satunya kegiatan yang masih

bertahan adalah seni sastra, karena ditunjang oleh ―modal dasar‖ yaitu koleksi

lontar sebagai warisan yang mempunyai nilai yang sangat berharga, sebagai

sumber inspirasi dalam menumbuh kembangkan kebudayaan, filsafat, dan agama.

48 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Dengan demikian Puri Agung Karangasem sampai sekarang dapat berfungsi

sebagai pusat kebudayaan.

III. KESIMPULAN

Pada masa lalu puri merupakan pusat berbagai jenis kehidupan sosial dan

budaya. Aspek sosial puri dapat dilihat dari berbagai fungsi, antara lain:

perlindungan keamanan, kesejahteraan hidup, permusyawaratan, penyelenggaraan

seni hiburan,dan tempat mengabdi. Sedangkan aspek budaya puri dapat dilihat

antara lain: tempat pengembangan berbagai jenis kesenian, tempat mempelajari

sejarah, tempat meneliti hasil-hasil kebudayaan masa lalu.

Sejak berakhirnya puri sebagai pusat pemerintahan, pada masa sekarang

puri hanya sebagai pusat kebudayaan dan sosial.Berbagai aktivitas kebudayaan

sampai sekarang masih hidup dan berkembang.Hubungan antara puri dengan

masyarakat di lingkungan puri maupun dengan masyarakat luas, masih terjalin

dengan baik.Hubungan puri dengan masyarakat masih berlaku sampai sekarang

terutama dalam hubungan dengan upacara adat.Bila ada upacara di puri mereka

datang untuk ngayah dan membantu jalannya upacara. Demikian pula sebaliknya,

bila mereka ada upacara keluarga puri akan datang.

Di samping itu, puri juga sebagai alat komunikasi yaitu mencerminkan

unsur-unsur pendidikan dan mengagungkan identitas serta kewibawaan di

lingkungan bangunan puri.Puri dapat memotivasi perkembangan ragam hias dan

selanjutnya dapat lebih dikembangkan di luar lingkungan puri.Oleh karena itu,

puri dapat menjadi sumber potensial bagi penggalian nilai-nilai tradisi yang

menjadi akar kepribadian dan kebudayaan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, Anak Agung Gde Putra. 1985. Kebudayaan Istana Amplapura Dalam

Peranan kebudayaan Daerah Dalam Proses Pembentukkan Kebudayaan

Nasional. Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara

(Javanologi). Dirjen Kebudayaan.

Agung, Anak Agung Gde Putra. 2001. Peralihan Sistem Demokrasi Kerajaan

Karangasem Dari Tradisional ke Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Munandar, Agus Aris. 2005. Istana Dewa Pulau Dewata : Makna Puri di Bali

Abad ke 14-15. Jakarta : Komunitas Bambu.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 49

Denpasar, 25-26 September 2018

Sulityawati, Made. 2008. Integrasi Budaya Tionghoa ke Dalam Budaya Bali

(Sebuah Bunga Rampai).Denpasar : Universitas Udayana.

Trisila, Slamet. 2013. ―Melihat Puri Dari Serambi Masjid : Relasi Kuasa Kerajaan

Karangasem dan Masyarakat Islam‖. Dalam I Ketut Ardhana dan Slamet

Trisila (ed). Anak Agung Gde Putra Agung : Sejarawan dan Budayawan

Bali. Denpasar : Pustaka Larasan dan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra

Universitas Udayana.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 50

Denpasar, 25-26 September 2018

VARIASI BAHASA SUNDA

DI DAERAH PESISIR JABAR SELATAN

Asri Soraya Afsari, Teddi Muhtadin

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran

[email protected]

ABSTRAK

Setiap bahasa di dunia memiliki variasi. Bentuk variasi bahasa dapat dibedakan

berdasarkan letak geografis, sosial, dan temporal. Bahasa Sunda sebagai salah satu bahasa

daerah di Indonesia memiliki pula variasi tersebut. Secara geografis, bahasa Sunda yang

berada di daerah pegunungan memiliki perbedaan dengan bahasa Sunda di daerah pesisir

(pantai). Begitu pun bahasa Sunda yang berada di pesisir Jabar Utara memiliki perbedaan

pula dengan bahasa Sunda di pesisir Jabar Selatan. Pangandaran merupakan salah satu

wilayah yang ada di lintasan pantai Jabar Selatan. Daerah ini banyak didatangi oleh

penduduk yang berasal dari Jawa, seperti Cilacap yang menyebrang ke daerah Jawa Barat.

Awalnya para pendatang hanya melakukan perdagangan dan mengadu nasib. Seiring

waktu para pendatang tersebut kemudian menikah dengan warga asli dan menetap di

Pangandaran. Kehadiran para pendatang tentu membawa banyak pengaruh pada

kehidupan masyarakat yang ada di Pangandaran, tidak terkecuali dalam hal bahasa dan

budaya. Bahasa Sunda yang digunakan di daerah Pangandaran memiliki karakteristik

sendiri. Penelitian ini merupakan penelitian makrolinguistik bidang dialektologi.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk variasi bahasa Sunda yang

ada di daerah Pangandaran. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan metode lapangan

melalui teknik wawancara informan dan metode survei melalui penyebaran koesioner.

Kata kunci: variasi bahasa, dialektologi, bahasa Sunda, pesisir Jabar

I. Pendahuluan

Pengkajian bahasa dapat dilakukan dari berbagai perspektif, misalnya saja

semantik mengkaji bahasa dari segi makna baik leksikal maupun gramatikal.

Pragmatik mengkaji bahasa dari segi penggunaannya. Begitu pun sosiolinguistik

yang mengkaji bahasa dari segi sosial masyarakat bahasa. Dialektologi mengkaji

bahasa dari segi geografis. Artinya, bahasa dikaji berdasarkan wilayah penutur

bahasa. Dalam sebuah bahasa, faktor-faktor luar bahasa, seperti laut, sungai,

gunung dapat pula menentukan perbedaan kata atau makna yang ada pada sebuah

bahasa. Perbedaan tersebut melahirkan sebuah variasi dalam sebuah bahasa.

Indonesia adalah negara yang kaya akan bahasa daerah. Dalam bahasa

daerah-daerah ini pun terdapat variasi bahasa. Bahasa Sunda sebagai salah satu

bahasa daerah yang ada di Nusantara juga memiliki variasi bahasa.Secara

geografis, bahasa Sunda yang digunakan di perkotaan, pedesaan, pegunungan, dan

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 51

Denpasar, 25-26 September 2018

pesisir pantai memiliki variasi bahasa yang berbeda. Pangandaran merupakan

sebuah wilayah yang terletak di selatan Jawa Barat. Awalnya Pangandaran

merupakan sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Ciamis. Kemudian, menjadi

nama kabupaten setelah terjadi pemekaran pada 16 November 2012 melalui

terbitnya undang-undang nomor 21 tahun 2012. Kabupaten Pangandaran berasal

dari sebagian wilayah Kabupaten Ciamis. Kabupaten Pangandaran terdiri atas 10

kecamatan. Wilayah Kabupaten Pangandaran yang termasuk ke dalam wilayah

pesisir berjumlah enam kecamatan, yakni Kecamatan Cimerak, Kecamatan

Cijulang, Kecamatan Parigi, Kecamatan Sidamulih, Kecamatan Pangandaran, dan

Kecamatan Kalipucang (www.pangandarankab.go.id/profil-pangandaran/).

Penelitian ini akan berfokus pada Kecamatan Kalipucang, dengan mengambil

sampel data dari Desa Cibuluh sebab desa ini berbatasan dengan Sebelah Utara

Desa Banjar Harjam, Sebelah Selatan dengan Desa Kalipucang, Sebelah Barat

Desa Emplak, dan Sebelah Timur dengan Sungai Citanduy sehingga potensi data

variasi bahasa Sunda yang akan ditemukan relatif besar. Situasi kebahasaan di

Cibuluh banyak dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Hal ini disebabkan karena letak

Desa Cibuluh berbatasan dengan Jawa tengah,

II. Kajian Teori

Para linguis memberikan batasan mengenai dialek sebagai berikut. Pei

(1966: 67) memberikan batasan dialek sebagai cabang atau bentuk tertentu dari

bahasa yang digunakan di wilayah geografis tertentu. Richards et al (1987: 80)

memberikan batasan bahwa dialek sebagai variasi bahasa yang digunakan di

sebagian negeri berupa dialek regional dan oleh penduduk yang memiliki kelas

sosial tertentu berupa dialek sosial atau sosiolek, yang memiliki perbedaan dalam

hal kata, tata bahasa, dan atau pelafalan yang berbeda dari bahasa yang sama.

Adapun Kridalaksana (1993: 42) memberikan batasan dialek sebagai variasi yang

beranekaragam menurut penutur, apakah di tempat tertentu sebagai dialek

regional, oleh golongan tertentu sebagai dialek sosial, ataukah pada waktu tertentu

sebagai dialek temporal. Dari batasan yang dikemukakan oleh para linguis di atas

dpat dipahami bahwa dialektologi merupakan kajian tentang variasi bahasa.

52 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Variasi bahasa dipahami sebagai ―any body of humans speech patterns

whichis sufficiently homogeneous to be analysed by available techniques of

synchronic description and which has a sufficiently large repertory of elements

and their arragements or processes with board enough semantic scope to function

in all normal contexts of communication‖ (Ferguson & Gumperz dalam Sobarna

2004). Sehubungan dengan pemahaman ini, Pateda (1990: 52) menyatakan bahwa

variasi bahasa memiliki pola-pola bahasa yang sama, pola-pola tersebut dapat

dianalisis secara deskriptif, dan pola-pola tersebut dibatasi oleh makna yang

dipergunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi. Nababan (1984: 13)

menjelaskan bahwa variasi bahasa mempunyai dua aspek mendasar, yakni bentuk,

baik bunyi dan tulisan maupun strukturnya, dan makna, baik leksikal maupun

struktural maupun fungsional. Bentuk dan makna bahasa menunjukkan

perbedaan-perbedaan kecil-besar antara pengungkapannya yang satu dengan yang

lain.

Perihal jenis variasi bahasa, para ahli memberikan pandangan yang berbeda-

beda. McDavid (1969) membedakan variasi bahasa berdasarkan pada a. Dimensi

regional, b. Dimensi sosial, dan c. Dimensi sosial. Halliday (1970) dalam Sobarna

(2004) membagi variasi bahasa berdasarkan pemakaiannya dan pemakainya.

Pembagian secara komprehensif dilakukan oleh Pateda (1990). Ia membedakan

variasi bahasa atas: a. Tempat, b. Waktu, c. Pemakai, d. Situasi, e.dialek yang

dihubungkan dengan sapaan, f. Status, dan g. Pemakaiannya. Lebih jauh, Pateda

(1990:53) menjelaskan bahwa variasi bahasa dapat dilihat dari segi tempat, dalam

arti tempat dibatasi oleh air, gunung, atau hutan. Variasi ini menghasilkan apa

yang kemudian disebut dengan dialek. Dialekdapatberbedadalamhallafal, bentuk

kata, atauarti. Dengan demikian, perbedaan tersebut

dapatmenyangkut:Perbedaanfonologis, morfologis, semantis (sinonim dan

homonim), Onomasiologis, dan semasiologis.

Metode merupakan cara kerja yang teratur, terpikir baik, dan bersistem untuk

memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah

ditentukan (Djajasudarma, 2010: 1). Oleh karena itu, untuk memaksimalkan

pencapaian tujuansuatu kegiatan perlu dilakukan pemilihan metode yang tepat.

Penelitian ini menggunakan metode lapangan karena peneliti terjun langsung ke

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 53

Denpasar, 25-26 September 2018

masyarakat dengan teknik pengumpulan data utama dengan perekaman. Di

samping itu, penelitian ini menggunakan pula kuesioner.

III. Pembahasan

Variasi bahasa Sunda yang terdapat di Kecamatan Kalipucang,

Pangandarandapat diklasifikasikan berdasarkan perbedaan dalam hal lafal, bentuk

kata, atau arti. Dilihat dari segi kategori kata, variasi bahasa Sunda yang

ditemukan berkelas kata nomina, verba, adjektiva, dan adverbia serta berupa

partikel. Berikut uraian variasi bahasa Sundayang terdapat di Kecamatan

Kalipucang, Pangandaran.

3.1 Perbedaan Fonologis

Perbedaan fonologis menyangkut perbedaan lafal. Biasanya dalam perbedaan

ini penutur tidak menyadari adanya perbedaan tersebut. Pada penelitian ini

ditemukan 10 data variasi bahasa Sunda yang termasuk ke dalam perbedaan

fonologis, sebagai berikut.

Pada kata cucun terdapat perbedaan fonem konsonan /c/ pada huruf pertama

dan ketiga kata turun. Pada kata uhun, ohong, ejek, terdapat perbedaan berupa

penghilangan konsonan awal /m/, /b/, dan /j/ pada kata muhun, bohong, danjejek.

Pada kata dagongan terdapat perbedaan fonem vokal /a/ pada huruf ke dua kata

dogongan. Pada kata rubet terdapat perbedaan vokal /u/ pada huruf kedua dan

konsonan /s/ pada huruf ke lima kata robét. Adapun pada kata miando, ambéh,

dan kangjeun terdapat penambahan vokal /a/ pada huruf ketiga kata mindo,

penambahan konsonan /b/ pada huruf ketiga kata améh, dan penambahan

konsonan nasal /ŋ/ pada huruf ke ketiga kata kajeun.

No Bahasa Sunda Pesisir

(Pangandaran)

Bahasa Sunda Lulugu Terjemahan

dalam Bahasa Indonesia

a. [cucun] turun turun

b. [uhun] muhun iya

c. [ohong] bohong bohong

d. [dagongan] dogongan dodorongan awi

e. [rubɛs] robet kain yang rusakpada bagian pinggir

f. [əjək] jejek injak

g. [baɛ] waè lagi, kejadian yang berulang

h. [miando] mindo menambah nasi

i. [ambɛh] ameh sangkan, supayaatau agar

j. [kaŋjeun] kajeun biarkan

54 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

3.2 Perbedaan Morfologis

Perbedaan morfologis menyangkut bentuk kata. Pada penelitian ini ditemukan

6 data variasi bahasa Sunda yang termasuk ke dalam perbedaan morfologis

sebagai berikut.

No Bahasa Sunda

Pesisir

(Pangandaran)

Bahasa Sunda

Lulugu

Terjemahan

dalam Bahasa Indonesia

1. [koh] ongkoh kata penunjuk

2. [curugan] curug air terjun

3. [kukumbah] kumbah kegiatan membersihkan barang-barang

dengan menggunakan air

4. [lɛlɛgɛg] légég sombong

5. [samarukeun] sarukeun disamakan

6. [harah] har (interjeksi untuk menunjukkan tidak setuju)

Pada kata koh terdapat perbedaan morfologis berupa penghilangan suku kata

/ong/ pada awal kata ongkoh. Pada kata curugan dan harah terdapat penambahan

akhiran -an dan suku kataahpada kata curug dan har. Pada kata kukumbah dan

lélégég terdapat pengulangan pada awal kata kumbah dan légég. Adapun pada

kata samarukeun terdapat penambahansuku kata ma pada suku kata kedua kata

sarukeun.

3.3 Perbedaan Semantis

Perbedaan semantis dapat timbul karena kata-kata baru berdasarkan perubahan

fonologis dan geseran bentuk. Dalam peristiwa tersebut biasanya terjadi pula

geseran maknaberupa sinonim dan homonim. Pada penelitian ini variasi bahasa

Sunda yang termasuk ke dalam perbedaan semantis berjumlah 12 data sebagai

berikut.

No Bahasa Sunda Pesisir

(Pangandaran)

Bahasa Sunda Lulugu Terjemahan

dalam Bahasa Indonesia

[kanjat] meujeuhna cukupatau pas sesuaiukurannya

[kunir] konéng kunyit

[iatna] taki-taki hati-hatidalamlakukanhal

[anggah-ungguh] tatakrama robah-robah awakna, badan

ataubentukbadannyabisaberubah

[balandongan] panggung panggungpetunjukanpentasseni

[məndi] mana mana

[pɛclɛ] éngklé, sondah salah satupermainantradisonal anak

sunda yang permainnanyadimainkan

oleh empat orang ataulebih,

[pitik] anak meri anakayam dan anak meri

[camcau] cincau sejenismakananatau es yang

terbuatdaridaun cingcau

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 55

Denpasar, 25-26 September 2018

[mubah] wenang boleh (tidak wajib)

[ngawɛnɛhan] manggihan menemukan, menemukan ‗barang

langka‘.

[pəcat maot] nepi maot melepaskan (nyawa)

Kata kanjat, kunir, iatna, anggah-ungguh, balandongan, mendi, penclé,

camcau,mubah, dan pecat termasuk ke dalam sinonim. Kata kunir dan mendi

berasal dari bahasa Jawa, kata balandongan diserap dari bahasa Jawa

belandongan. Kata mubah dan camcau masing-masing diserap dari bahasa Arab

dan bahasa Cina: cincaw. Adapun kata anggah-ungguh sudah jarang digunakan

dalam bahasa Sunda lulugu.

Kata pitik dan ngawénéhantermasuk ke dalam homonim. Pitikmengacu pada

penamaan untuk ‗anak ayam‘ dan ‗anak meri‘ sedangkan ngawénéhan mengacu

pada aktivitas menemukan suatu barang secara umum dan menemukan ‗barang

langka‘.

3.4 Perbedaan Onomasiologis

Perbedaan onomasiologis berkaitan dengan penamaan yang berbeda

berdasarkan satu konsep yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda. pada

penelitian ini ditemukan 2 data variasi bahasa yang termasuk ke dalam perbedaan

onomasiologis sebagai berikut.

No Bahasa Sunda

Pesisir

(Pangandaran)

Bahasa Sunda Lulugu Terjemahan

dalam Bahasa Indonesia

1 [siram] mandi mandi

2 [tangkar] tulang sapi tulang sapi

Konsep aktivitas mandi secara umum di daerah Pangandaran disebut dengan

siram sedangkan di daerah Sunda priangan kata siramdigunakan pada bentuk

halus tingkatan bahasa yang menyatakan aktivitas mandi. Begitu pula pada

konsep benda yang mengacu pada bagian rangka tubuh hewan, kata tangkar di

daerah Pangadaran digunakan untuk menyatakan tulang sapi sedangkan dalam di

daerah Sunda priangan tangkar digunakan untuk menyatakan tulang hewan yang

masih muda atau lunak, seperti tulang telinga dan tulang iga pada burung.

56 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

IV. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.

1. Variasi bahasa Sunda di daerah pesisir Jawa Barat (Pangandaran) memiliki

perbedaan dengan bahasa Sunda lulugu (Priangan) dalam hal pelafalan,

bentuk, dan makna. Perbedaan fonologis berjumlah 10 data, perbedaan

morfologis berjumlah 6 data, perbedaaan semantis berjumlah 12 data, dan

perbedaan onomasiologis berjumlah 2 data.

2. Dari segi kategori kata, variasi bahasa Sunda yang ditemukan berkelas kata

nomina, verba, adjektiva, dan adverbia serta berupa partikel.

3. Berdasarkan perbedaan semantis, variasi bahasa Sunda di pesisir Jawa Barat

(Pangandaran) mendapat pengaruh dari bahasa Jawa, Arab, dan Cina.

Daftar Pustaka

Kridalaksana, Harimrti

1993 Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

McDavid, C. Poster, and C. Biliard (ed)

1974 A Manual for Dialect Research in The Southern States. University

Alabama.

Nababan

1984 Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Pateda, Mansur

1990 Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

Pei, Mario

1966 Glossary of Linguistics Terminology. New York and London: Colombia

University Press.

Richards et al

1987 Longman Dictionary of Applied Linguistics. Longman

Sobarna, Cece., Tien Wartini, dan Taufik Ampera

2004 Bahasa dan Sastra Daerah di Kabupaten Tangerang. Bandung: Pemkab

Tangerang dan Pusat Studi Sunda.

www.pangandarankab.go.id/profil-pangandaran/

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 57

Denpasar, 25-26 September 2018

PERILAKU BUDAYA KESEHATAN DALAM PRAKTIK

PERAWATAN KEHAMILAN DAN PERSALINAN PADA

MASYARAKAT PESISIR

DI MANGGARAI, NTT

Bambang Dharwiyanto Putro

Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Masalah kesehatan sangat erat kaitannya dengan budaya/tradisi pada

masyarakat. Nilai-nilai budaya pada masyarakat pesisir di daerah manggarai

seperti Labuan Bajo, Nanga Lili, Pandang, Watu Weri (Manggarai Barat), Nanga

Lanang, Borong, Mbolata, Wae Wole, Iteng, Reo dan Dampek (Manggarai

Timur), merupakan potensi budaya yang dapat dijadikan sarana menyepakati

berbagai persoalan kesehatan masyarakat termasuk mencari jalan keluar masalah

dalam bidang kesehatan ibu dan anak.

Pemerintah provinsi NTT sejak tahun 2009 sudah mencanangkan program

―revolusi KIA‖ yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu dan angka

kematian bayi dengan salah satu strategi yang dilaksanakan adalah semua ibu

melahirkan ditolong oleh tenaga profesional di puskesmas. Tetapi hingga saat ini,

peran nilai-nilai budaya tradisional dalam proses perawatan kesehatan ibu dan

anak khususnya dalam praktik perawatan kehamilan dan persalinan masih ada

ditangani oleh dukun bersalin (Ata Pecing). Tujuan penelitian adalah untuk

mengetahui dan mengidentifikasi peran budaya dalam praktik kesehatan ibu dan

anak pada masyarakat pesisir.

Penelitian dilakukan mengggunakan metode pendekatan etnografi sebagai

salah satu varian pendekatan kualitatif. Kegiatan penelitian mencakup penjajagan

lapangan untuk memahami kondisi lokasi penelitian, dilanjutkan pengumpulan

data lapangan dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi,

kepustakaan, dan pemeriksaan dokumen. Data yang terkumpul dari berbagai

sumber kemudian diolah, dianalisis, selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian

bersifat deskriptif.

Kata Kunci: perilaku, budaya, kesehatan

1. Pendahuluan

Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil yang dihuni

ratusan suku bangsa dengan berbagai ragam budaya telah memberikan suatu

kekhasan tersendiri. Perilaku masyarakat, khususnya masyarakat pesisir dalam

praktik perawatan kesehatan ibu dan anak, tercermin dari perilaku mereka

memanfaatkan kekayaan intelektual masyarakat lokal berupa pengetahuan

tradisional mereka dan keanekaragaman hayati di lingkungannya. Praktik budaya

terkait kesehatan tersebut sebagian diklaim oleh orang-orang berpengetahuan

58 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

―modern‖ sebagai salah satu penyebab buruknya status kesehatan masyarakat

setempat.Kekayaan budaya Indonesia dari berbagai suku bangsa yang tersebar di

seluruh Indonesia telah mewarnai upaya kesehatan. Upaya kesehatan bisaberupa

pelayanan konvensional maupun tradisional dan komplementer berupa kegiatan

preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.Dalam hal pelayanan kesehatan

meliputipula pelayanan kesehatan berbasis masyarakat, di dalamnya

termasukpengobatan dan cara-cara tradisional.

Masalah kesehatan sangat erat kaitannya dengan budaya/tradisi pada

masyarakat. Nilai-nilai budaya pada masyarakat pesisir di daerah manggarai

seperti Labuan Bajo, Nanga Lili, Pandang, Watu Weri (Manggarai Barat), Nanga

Lanang, Borong, Mbolata, Wae Wole, Iteng, Reo dan Dampek (Manggarai

Timur), merupakan potensi budaya yang dapat dijadikan sarana menyepakati

berbagai persoalan kesehatan masyarakat termasuk mencari jalan keluar masalah

dalam bidang kesehatan ibu dan anak.Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)

menjadi prioritas utama Program pembangunan Kesehatan Masyarakat

Indonesia.Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada

tahun 2007, AKI di Indonesia adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan

AKI di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 2010 adalah 270 per

100.000 kelahiran hidup. Selain itu, AKB Indonesia pada tahun 2007 adalah 34

per 1000 kelahiran hidup, sedangkan AKB di provinsi NTT adalah 57 per 1000

kelahiran hidup (Dinkes Provinsi NTT, 2010). Selain itu, indikator kesehatan

masyarakat yang demikian rendah di Provinsi NTT seperti tergambar dari Indeks

Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2010 yang menunjukkan

Kabupaten Manggarai berada pada peringkat 437 secara nasional (Litbangkes,

2010) menjadi catatan tersendiri bagi Provinsi NTT (Bangun, 2010).Berdasarkan

laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai tahun 2010, AKI di

kabupaten Manggarai sebesar 169,9 per 100.000 kelahiran hidup sedangkan AKB

sebesar 13,20 per 1000 kelahiran hidup. Selain itu, cakupan pertolongan

persalinan oleh tenaga kesehatan pada tahun 2010 sebesar 76,25%, dan

pertolongan persalinan oleh dukun bersalin adalah 23,75%. Terhitung sejak

Januari-Juni 2016, angka kematian ibu dan bayi di Kabupaten Manggarai

mencapai 31 kasus.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 59

Denpasar, 25-26 September 2018

Pemerintah provinsi NTT sejak tahun 2009 sudah mencanangkan program

―revolusi KIA‖ yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu dan angka

kematian bayi dengan salah satu strategi yang dilaksanakan adalah semua ibu

melahirkan ditolong oleh tenaga profesional di puskesmas. Tetapi hingga saat ini,

peran nilai-nilai budaya tradisional dalam proses perawatan kesehatan ibu dan

anak khususnya dalam praktik perawatan kehamilan dan persalinanpada

masyarakat pesisir masih ada ditangani oleh dukun bersalin.Masalah kesehatan

sangat erat kaitannya dengan budaya/tradisi pada masyarakat. Nilai-nilai budaya

pada orang manggarai merupakan potensi budaya yang dapat dijadikan sarana

menyepakati berbagai persoalan kesehatan masyarakat termasuk mencari jalan

keluar masalah dalam bidang kesehatan ibu dan anak.

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat saat ini

masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah

kesehatan menjadi semakin komplek, maka dirasa perlu dan penting untuk

mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah

kesehatan berbasis budaya masyarakat dengan mengetahui dan mengidentifikasi

peran budaya dalam praktik kesehatan ibu dan anak pada masyarakat pesisir.

2. Peran Budaya Dalam Praktik Kesehatan Ibu Dan Anak

2.1 Masa Pra-Hamil(Masa Remaja)

Menurut Ahmadi (2005: 105) perkembangan perilaku pada masa remaja

ditandai dengan perubahan-perubahan akibat pubertas antara lain, perkembangan

pola pikir (kognitif) remaja, perkembangan sosioemosional remaja, dan

perkembangan seksual remaja. Dalam perjalanan hidup seseorang kejadian

penting dapat berdampakpada kesehatan selama proses kehidupan. Salah satunya

adalah peristiwareproduksi, yang dimulai pada saat remaja. Seorang perempuan

mengalamiberbagai kejadian di sepanjang siklus kehidupannya.

Hasil riset lapangan menunjukkan bahwa di kalangan remaja, pacaran

bukanlah suatu hal yang tabu. Meskipun demikian, dalam norma kemasyarakatan

tetap ada batasan-batasan dalam hal pergaulan antara remaja laki-laki dan

perempuan. Batasan-batasan tersebut antara lain tidak boleh bergandengan tangan,

tidak boleh berduaan terus terutama di tempat yang sepi, dilarang mengganggu

perempuan, tidak boleh memegang tangan perempuan atau memegang pundak.

60 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Pihak sekolah dan orang tua mereka juga sering menasihati agar mereka berhati-

hati dalam pergaulan.

Sementara itu pada masa menstruasi, adanya kepercayaan bahwa

terjadinya menstruasi merupakan peristiwa yang awalnya mengejutkan, khawatir

dan ada rasa takut. Tapi akhirnya mengesankan baginya. Waktu pertama kali

mentruasi para remaja memiliki pengetahuan sebelumnya tentang menstruasi

bukan dari orang tuanya tapi dari teman. Tapi pada akhirnya orang tuanya turut

memberikan informasi kalau seorang perempuan mengalami menstruasi berarti

sudah bisa hamil.Terkait pantangan-pantangan pada saat menstruasi ditemukan

antara lain: tidak boleh mencuci rambut (neka cuci wuk), jangan tidur pada sore

hari (neka toko mane tana), pada saat menstruasi tidak boleh membuat kue karena

mitosnya saat wanita yang sedang menstruasi membuat kue, maka hasilnya tidak

akan seperti yang diinginkan.

Terkait Pengetahuan Sistem Kesehatan Reproduksi Remaja, informasi

diperoleh antara lain dari orangtua (ibu) dan pihak sekolah.Informasi dari seorang

ibumemberitau terkait fase mentruasi dimana pada fase tersebut akan mengalami

emosi yang tidak bisa dikontrol, maka dari itu sebisa mungkin mengontrol emosi

dan menjaga diri karena wanita itu diibaratkan seperti piring kaca sekali jatuh dan

pecah tidak akan bisa kembali seperti semula. Terkait pantangan-pantangan pada

masa pra hamil, antara lain tidak boleh minum-minuman beralkohol (neka inung

tuak), jangan merokok (neka rongko), jangan keluar malam ( neka lako wie ),

serta jangan berduaan di tempat yang sepi dan gelap (neka cumang sua tau lewie).

Dalam hal peraturan adat pada masa prahamil, antara lain beberapa

peraturan yang harus ditaati sebagai berikut.

Pertama, mancak tara nggelok weki (paras menawan). Seorang laki-laki

ketika ada rasa cinta dengan seorang gadis dan hendak ingin menikahinya,

pertama yang ia lakukan menyampaikan kepada kedua orang tuanya bahwa dia

ingin menikah seorang gadis.

Kedua, Lambung mbaru (mendatangi rumah). Mendatangi rumah

(lambung mbaru) dilakukan oleh pihak laki-laki berserta orang tuanya untuk

melamar gadis idamannya dengan cara mendatangi rumah perempuan, dan ini

biasanya dilakukan pada malam hari. Dilakukan pada malam hari agar tidak

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 61

Denpasar, 25-26 September 2018

terjadi hambatan seperti: keluarga dari pihak perempuan di kebun, juga agar tidak

di ketahui oleh warga kampung.

Ketiga, Towe Tabing (Kain Songket Lamar). Memberi kain songket oleh

laki-laki kepada perempuan didampingi oleh keluarganya sambil berkata ―amang

agu inang neka rabo mai daku lambung mbaru dite ae aku manga mena mata agu

anak dite, ho,o towe latang wengko de enu‖ ( om dan tanta maaf sebelumnya

maksud kedatangan saya beserta orang tua kesini ingin melamar anak om dan

tanta, kain ini merupakan symbol keseriusan saya) sambil menyerahkan kain

songket kepada orangtua perempuan sebagai keseriusan dari pihak laki-laki. jika

songket diterima oleh perempuan langkah selanjutnya

Keempat, Tanda mata (Ikatan). Ini dilakukan seminggu setelah ―towe

tabing‖, (kain lamar) acara ini biasanya tukar cincin dan disaksikan oleh orang

tua atau wali masing-masing sebagai tanda ikatan cinta, juga sekalian minta restu

dari orangtua perempuan atau wali perempuan kira-kira berapa mas kawin

―cumang cama tua‖ (mensosialisai uang belis oleh orangtua perempuan dan laki-

laki) setelah ada kesepakatan atau sudah tentu berapa jumlah belisnya ―pongo‖

(deal) selanjutnya

Kelima, Wagal ( membawa maskawin). Setelah ada kesepakatan atau deal

jumlah mas kawin selanjutnya acara ―Wagal‖ (membawa mas kawin) acara ini

tidak ditentukan hari baik tetapi tergantung kesepakatan antara bersama kedua

orang tua.

2.2 Masa Hamil (Na’ang Weki)

Pandangan masyarakat tentang kehamilan

Masa kehamilan adalah masa ketika ibu hamil menjalaniproses awal hamil

hingga menjelang kelahiran. Selama hamil,pemeriksaan kehamilan umumnya

rutin dijalani oleh para ibuhamil tiap bulannya di Puskesmas terdekat. Sebagian

besar informan menyatakan bahwa kehamilan merupakan sebuah anugerah dan

berkah yang harus disyukuri. Jika mereka hamil, mereka akan senang dan

bahagia. Kehamilan merupakan salah satu bagian dari siklus kehidupan. Dalam

beberapa masyarakat tertentu mendapat perhatian khusus dengan cara

diadakannya ritual tertentu. Tapi hal ini berbeda dengan yang ditemui pada

beberapa masyarakat pesisir di Manggarai. Tidak ada ritual apa pun pada

62 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

masakehamilan seorang ibu, hanya tradisi pergi ke ―Romo‖ ataupun pemimpin

umat untuk meminta doa.

Pantangan yang Berlaku di Masyarakat Pada Masa Kehamilan

Terkait pantangan-pantangan yang berlaku pada ibu-ibu pada masa

kehamilan, antara lain.tidak melakukan pekerjaan/mengangkat yang berat-berat

(neka seti sot mendo-mendo), tidak minum yang beralkohol (neka inung tuak),

tidak memakan telur mentah (neka hang ruha ta’a), tidak boleh keluar malam

mulai jam 7 (neka lako wie jam 7), tidak boleh berkata kasar (neka curup da’at),

tidak boleh menganyam (agar mulut rahim saat melahirkan tdk sempit), tidak

boleh menggunakan alat makan dari tutupan priuk (neka hang oake tadu lewing),

dan tidak boleh makan sisa nasi dari tempat menanak nasi, maksudnya saat

melahirkan tidak keluar dengan air Besar (neka hang rateng)

Dari beberapa pantangan tersebut, para ibu hamil juga mematuhi

tabu/pantangan yang berlaku lainnya, misalnya tidak boleh mandi pada malam

hari, tidak boleh membunuh binatang, tidak boleh menenun, tidak boleh duduk di

depan pintu, dan tidak boleh pergi ke sungai atau ke sumber air pada sore hari.

Jika pantangan itu tetap dilakukan, proses kelahirandipercaya bisa bermasalah

atau bayi yang dilahirkan tidak sempurna/cacat.

Peran Suami Dalam Perawatan Kehamilan

Peran suami dalam fase perawatan kehamilan bisa dikatakan masih kurang

(belum optimal), antara lain dapat disebutkan: (1) tidak semua suami dapat

memenuhi apa yang diinginkan istri saat ngidam; (2) pengertian suami

dalammelakukan hubungan suami istri, data di lapangan menunjukkan pengakuan

informan tidak terjadinya hubungan suami istri saat diketahui istri telah positif

hamil; (3) keterlibatan suami hanya sewaktu-waktu dalam membantu pekerjaan

domestik misal mencuci baju, memasak, membantu membeli bahan makanan; (4)

suami sesekali ikut mengasuh/menjaga anak yg dilahirkan sebelumnya; (5) suami

sesekali ikut mengantar istri periksa ke puskesmas.

Pola Pemeriksaan Kehamilan

Adapun pola pemeriksaan kehamilan sebagai berikut. Pertama, ibu hamil

memeriksakan kandungannya ke Puskesmas Pembantu (Pustu), kemudian

diperiksa oleh bidan desa, dan akan RS jika terjadi sesuatu hal yang

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 63

Denpasar, 25-26 September 2018

emergency.Kedua, Pada saat akan melahirkan, dukun melihat kondisi ibu hamil

yang akan melahirkan, kemudian selanjutnya akan diarahkan ke PUSTU.

Walaupun peran dukun bayi sudah tidak seaktif/sebesar sebelum adanya Revolusi

KIA, tetapi sosoknya masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat sebagai tempat

bertukar pandangan secara tradisional terkait perilaku perawatan kehamilan dan

juga mampu memberikan ketenangan secara psikologis terutama dalam konteks

komunikasi.

Dalam kaitannya dengan ritual masa hamil, tidak adanya ritual adat saat

kehamilan tetapi diadakannya doa saat diketahui pertama kali hamil kemudian

mereka pergi ke romo ( gelar panggilan yang diberikan oleh umat Katolik di

beberapa daerah di Indonesia kepada para imam Katolik (pastor)untuk meminta

doa.

2.3 Persalinan dan Nifas

Persalinan

Proses persalinan merupakan suatu kondisi yang perlu mendapatperhatian

khusus mengingat pada saat tersebut risiko terjadinya kondisikritis yang

membahayakan jiwa seorang ibu sangat besar. Masyarakat sudah menyadari

adanya risiko tersebut, hal ini terbukti dengan adanya upaya pencegahan yang

dilakukan baik berupa upaya medis maupun non medis. Selain persiapan fisik,

mereka juga melakukan persiapan psikis, yang dilakukan baik oleh ibu maupun

keluarga, bahkan ada banyak dukungan dari lingkungannya.

Masa Nifas

Langkah-Langkah Dalam Menolong Proses Persalinan. Dari non medis

seperti dukun anak (ata pecing ) yaitu memberi air yang sudah di beri mantra

dengan tujuan agar proses persalinan berjalan lancar. Langkah-langkah setelah

proses persalinan secara non medis atau secara adat :

Ongga rinding (pukul dinding), pada saat bayi baru lahir ayah atau kakek

dari bayi yang menjaga diluar rumah memukul dinding rumah sebanyak lima kali

sambil mengatakan ―ata one ko ata peng‖ (orang dalam atau orang luar) jika bayi

yang baru lahir itu laki-laki para ibu yang bantu melahirkan akan menjawab ―ata

one‖ (orang dalam), jika perempuan ―ata peang‖ (orang luar).

64 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Poro putes (potong tali pusat bayi), alat untuk memotong tali pusat bayi

yaitu lampek (pisau bambu yang terbuat dari bambu) yang berjumlah lima,

berjumlah lima karena menurut kepercayaan orang Manggarai, ada lima aspek

kehidupan yang harus dilalui oeh orang Manggarai dari ia lahir sampai ia kembali

keliang lahat atau meninggal dunia.; lampek pertama yaitu 1. rumah sebagai

tempat tinggal (Mbaru bate kaeng), 2. Tempat bermain (natas bate labar), 3. Air

sebagai sumber kehidupan (wae bate teku), 4. Tempat bekerja atau sistem

matapencaharian (uma bate duat), 5. Kuburan atau aspek terakhir meninggal

dunia (boa). Setelah pemotong tali pusat selanjutnya.

Cumpe (tempat tidur bayi), setelah dilahirkan bayi bersama ibunya tetap

tinggaldidalam kamar disisi perapian yang telah dirangcang sedemikian mungkin,

selama lima hari lima malam Dilanjutkan dengan Cear cumpe (bongkar tempat

tidur bayi).Setelah lima hari lima malam dalam ―cumpe‖ (tempat tidur bayi) maka

pada hari kelima ―cumpe‖ akan di bongkar. Setelah itu

Teing ngasang (pemberian nama). Setelah ―cear cumpe‖ (pembongkar

tempat tidur bayi) acara selanjutnya yaitu pemberian nama, dalam tradisi

Manggarai pada saat acara pemebrian nama ada dua bentuk pemberian nama

yaitu; ―Nama adat atau dalam tradisi Manggarai sering disebut ―ngasang manuk‖

biasanya nama yang digunakan adalah nama dari para leluhur nenek moyang dari

keluarga yang bersangkutan seperti :Ngabut, Haman, Jebarus dll, dan yang kedua

nama baptis ―ngasang serani‖ biasanya nama yang terpakai dalam nama baptis

adalah nama-nama santo atau santa pelindung seperti St. Aloysius, santa Maria

dll. Dalam pemberian nama tidak ditentukan hari baik tetapi ditentukan setelah

berahir dari limahari lima malam. Sedangkan

2.4 Tahap Menyusui (teing wae cucu)

Pengetahuan Pentingnya Menyusui

Kebiasaan-kebiasaan khusus yang dilakukan masyarakat pesisir pada saat

menyusui ialah mengonsumsi makanan tertentu. mengonsumsi sayur-sayuran

seperti sayur daun singkong dan buah-buahan, pisang misalnya dalam jumlah

lebih banyak,dipercaya supaya air susu ibu lebih banyak dan selanjutnya agar bayi

mendapatkan gizi yang baik. Dalam hal ini bagi ibu yang ASI nya belum keluar

akan mengurut buah dadanya dengan tangan agar ASI cepat keluar. Ada

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 65

Denpasar, 25-26 September 2018

kepercayaan pada ibu-ibu yang menyusui bahwa dengan seringnya ASI diminum

oleh bayi akan merangsang banyaknya ASI yang keluar.

Pantangan dalam tahap menyusui

Terkait pantangan dalam tahap menyusui, diperoleh informasii sebagai

berikut, dilarang makan pedas (benang hang mas), dilarang minum alkohol

(benang inung tuak), dilarang merokok (neka rongko), dianjurkan sebaiknya

wajib memberi ASI sampai pada usia 2 tahun, hindari stress yang berlebihan,

karena akan mempengaruhi ASI.

Tradisi saat bayi

Tradisi saat bayi yang dilakukan dari adat yaitu pembuatan tempat tidur

bayi besertaibunya selama lima hari lima malam―Cumpe‖ dan mengunjungi bayi

yang baru lahir ―la’at meka weru‖. Proses persalinan terlewati, keluarga segera

menyiapkan tungkupemanas yang diletakkan berdekatan dengan ranjang bayi agar

si bayimudah mendapat kehangatan dari bara kayu dalam tungku tersebut.

Caramemberikan kehangatan kepada bayi dilakukan oleh sang ibu

denganmeletakkan tangannya di dekat bara tersebut, kemudian diusapkan ketubuh

si bayi. Kebanyakan pengusapan dilakukan pada pagi dan malam hari ketika udara

dingin.Lima hari kemudian, terhitung dari satu hari setelah kelahiran, pihak

keluarga si bayi akan mengadakan acara cear cumpe, yaitu prosesi memisahkan

tungku pemanas dari ranjang si bayi. Pada saat cear cumpedilaksanakan, pihak

yang diundang dalam acara tersebut adalah perwakilan anak rona–anak wina, ase

kae, ase-kae-beo (keluarga besar kampung), serta pihak yang membantu proses

persalinan.

3. Simpulan

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat saat ini

masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah

kesehatan menjadi semakin komplek, kearifan lokal menjadi salah satu cara

untuk menyelesaikan masalah kesehatan berbasis budaya masyarakat.Upaya

medis sudah banyak dilakukan, sedangkan sisi non medis diketahui juga berperan

cukup kuat terhadap status kesehatan ibu dan anak. Faktor non medis tidak

terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan mereka berada.

Masyarakat pesisir manggarai masih mempercayai adat istiadat lokalitas dan

66 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

sejumlah perilaku tertentu bagi ibu hamil dan pascapersalinan. Konsepsi budaya

mengenai pantangan ditujukan untuk menjaga keselamatan ibu dan bayi, namun

alasan yang dikemukakan mengenaipantangan-pantangan tersebut hanya

simbolik. Para penyedia layanan kesehatan dan para petugas kesehatan perlu

memahami makna simbolik yang terkandung dalam setiap pantangan sehingga

dapat melakukan perubahan melalui cara yang tepat. Semakin baik bila ditunjang

dengan sikap menghargai dan bersifat terbuka dengan para dukun beranak (Ata

Pecing) untuk mendorong timbulnya perubahan perilaku pertolongan persalinan

yang sesuai kaidah kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi & Sholeh, 2005. Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Bangun, Rikard., 2011. Ekspedisi Jejak Peradaban NTT. Laporan Jurnalistik

Kompas. Jakarta.

Dinkes Kabupaten Manggarai. 2010. Profil Kesehatan Kabupaten Manggarai.

Dinkes Provinsi NTT. 2010. Pedoman Revolusi Kesehatan Ibu dan Anak.

Kupang.

Handayani, Tri dan Amin Yitno, 1979. Apa Kata Dukun Bayi. Yogyakarta: PPK

UGM.

Geertz, Hildred, 1982. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers.

lndeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat., 2010. Badan Penelitian dan

Pengembagan

Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI., Jakarta.

Kalangie, Nicolas Silvanus, 1984. ―Peranan dan Sumbangan Antropologi Dalam

Bidang Pelayanan Kesehatan, Suatu Kerangka Masalah-Masalah

Penelitian Dalam Analisis‖. Makalah Seminar Peranan Universitas dalam

Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Untuk Menunjang

Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta 13-16 Februari.

Kleinman, 1980. Patients and Healers in the Context of Culture: An Exploration

of the Borderland Between Anthropology, Medicine, and Psychiatry. Los

Angeles London: University of California Press Berkeley.

Laporan Nasional Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) (2007). Badan penelitian

Dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta 2007.

Winkelman, M., 2009. Culture and Health: Applying Medical Anthropology. San

Francisco: Jossey-Bass.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 67

Denpasar, 25-26 September 2018

ANALISIS PEMAKAIAN RAGAM JURNALISTIK

DI SMAN 1 ABIANSEMAL: KASUS MENULIS BERITA LANGSUNG

I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani, Anak Agung Putu Putra, I Ketut Nama, Ni

Putu N. Widarsini, Sri Jumadiah

Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Tulisan ini merupakan hasil analisis terhadap pemakaian ragam jurnalistik

yang dibuat siswa-siswa SMAN 1 Abiansemal ketika mengikuti pelatihan

keterampilan penulisan jurnalistik. Masalah yang disoroti dalam penelitian ini

adalah kemampuan siswa di dalam menulis berita secara langsung. Metode yang

digunakan adalah metode deskriptif analitik. Teori yang dipakai untuk

menganalisis adalah teori piramida terbalik. Hasil yang diperoleh dari analisis

adalah siswa belum memahami sepenuhnya bagaimana menulis berita secara

langsung. Hal ini ditandai dari beberapa kesalahan yang ditemukan, misalnya

siswa tidak mampu membedakan unsur-unsur berita, seperti judul, teras, tubuh,

dan ekor.

Pendahuluan

Kemampuan menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan

berbahasa yang perlu dikuasai oleh siswa sekolah menengah, di samping

keterampilan menyimak, berbicara, dan membaca. Melalui penggunan ragam

jurnalistik, siswa dapat mempelajari bidang tulis-menulis untuk kepentingan

publik. Perihal penyampaian informasi secara akurat dan tepat kepada publik

menjadi faktor yang penting, karena itu ketepatan dalam penulisan kalimat perlu

diperhatikan.

Mengingat pentingnya keterampilan penulisan jurnalistik ini, telah

diselenggarakan semacam workshop singkat yang diberi judul: ―Pelatihan

Keterampilan Penulisan Jurnalistik.‖ Sekolah yang dipilih adalah SMAN 1

Abiansemal, di Kabupaten Badung. SMAN 1 Abiansemal memiliki visi dan misi

yang sesuai dengan arah kegiatan ini. Visinya adalah untuk menghasilkan sumber

daya manusia yang cerdas dengan berwawasan budaya dan lingkungan.

Sedangkan misi sekolah ini adalah melaksanakan pembelajaran dan bimbingan

secara efektif.

68 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

SMAN 1 Abiansemal memiliki beberapa kegiatan ekstrakurikuler. Salah

satunya adalah kegiatan jurnalistik. Kegiatan ini sudah berlangsung cukup lama,

yakni sekitar tahun 2009. Sekolah ini memiliki siswa-siswa yang potensial di

bidang tulis-menulis. Hal ini terbukti dengan seringnya mereka memperoleh

prestasi dalam penulisan mading. Namun, untuk penulisan ragam jurnalistik,

mereka masih memerlukan dukungan berupa kegiatan pelatihan. Setelah

mengikuti kegiatan ini diharapkan siswa-siswa memiliki pengetahuan tentang

kejurnalistikan, seperti bagaimana mengelola bahan berita dan sebagainya.

Pelatihan tentang ragam jurnalistik bagi siswa SMAN 1 Abiansemal

merupakan suatu program pengabdian kepada masyarakat yang bertujuan untuk

membina siswa dalam penulisan jurnalistik yang meliputi pelatihan penulisan

karya ilmiah, penulisan majalah dinding (mading), penulisan koran sekolah, dan

lain-lain. Tujuan lainnya agar dapat melatih para siswa mengembangkan

kreativitasnya dalam menggunakan ragam jurnalistik.

Ruang Lingkup Masalah

Masalah yang akan dipecahkan atau diatasi dalam kegiatan pengabdian ini

adalah kurangnya pengetahuan dan keterampilan siswa-siswa SMA dalam

penulisan jurnalistik yang baik. Dengan diadakannya pelatihan ini, para siswa

diharapkan dapat menulis dan membuat suatu tulisan terutama dalam menulis

berita langsung.Kegiatan pelatihan keterampilan jurnalistik diikuti oleh 50 siswa.

Siswa-siswa yang hadir dalam pelatihan ini sebagian besar merupakan siswa yang

mengambil kegiatan ekstrakurikuler berupa jurnalistik. Sebagian lagi merupakan

siswa kelas XI jurusan bahasa di SMAN 1 Abiansemal. Dengan demikian antara

kemampuan awal (termasuk minat) yang dimiliki siswa dan pelatihan yang diikuti

sejalan. Mengapa hal ini penting? Kemampuan awal, seperti pengetahuan tentang

bahasa (meliputi ejaan, kata, kalimat) dan juga minat merupakan modal dasar bagi

siswa demi kelancaran berlangsungnya pelatihan. Mereka menjadi lebih mudah

untuk diberi pengarahan.

Pelatihan ini dibagi menjadi tiga sesi. Sesi pertama, siswa disajikan materi

melalui tayangan power point. Materi yang diberikan saat pelatihan meliputi

definisi wartawan sekolah, karakteristik wartawan, mengenal berita, nilai berita,

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 69

Denpasar, 25-26 September 2018

sumber berita, cara mendapatkan berita, unsur-unsur berita, jenis-jenis berita, cara

menulis berita langsung, cara menulis berita kisah (feature), dan bahasa dalam

ragam jurnalistik. Beberapa pertanyaan diajukan oleh peserta, antara lain,

mengapa tidak semua peristiwa bisa dijadikan berita, bagaimana caranya memilih

judul berita yang menarik, bagaimana caranya menghindari imajinasi dalam fakta,

mengapa kejujuran penting di dalam menulis berita, bagaimana menciptakan

ketegangan di dalam berita yang dibuat, dan banyak lagi pertanyaan yang menarik.

Sesi berikutnya, peserta diwajibkan menyimak tayangan berupa video

tentang wawancara antara beberapa wartawan dengan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan, yakni Bapak Muhadjir Effendi. Melalui simakan tadi, peserta

ditugaskan untuk membuat berita secara langsung.

Teori dan Metode

Menurut Gunawan (2014), ragam jurnalistik merupakan salah satu ragam

di dalam bahasa Indonesia. Ragam ini memiliki perbedaan yang mendasar dengan

ragam lainnya, seperti ragam iklan, ragam pidato, dan ragam ilmiah. Ragam

jurnalistik menekankan pada penyampaian informasi yang akurat kepada pembaca.

Oleh sebab itu unsur kecermatan dan kelengkapan informasi penting untuk

diketahui penulis berita.

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif-analitis. Artinya, data

yang ada dideskripsikan dan dianalisis sesuai teori menulis berita langsung.

Menulis berita secara langsung (straight news/spot news) berbeda dengan menulis

berita kisah (feature) dan berita pendalaman (in depth news). Berita langsung

adalah berita yang disajikan secara to the point atau langsung menunjuk kepada

bagian inti terpenting berita.Adapun cara menulis berita secara langsung

menggunakan piramida terbaik.

JUDUL----------------------

TERAS-------------------------

TUBUH---------------------------

EKOR--------------------------------

70 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Analisis

Dari 50 siswa yang mengikuti pelatihan, sekitar 45 siswa mengembalikan

tugas yang diberikan. Artinya, ada sekitar lima siswa yang tidak mengumpulkan

latihan menulis berita. Alasan mereka, antara lain, tidak mampu menangkap

simakan berupa tayangan video yang diberikan dan belum mampu merumuskan

informasi yang diperoleh ke dalam kalimat berita.

Hasil tulisan siswa tersebut dibedah dari tiga aspek, yakni teknik penyajian,

materi berita, dan bahasa. Dari segi teknik penyajian, sebanyak 38 berita yang

dibuat belum mencerminkan penggunaan teknik piramida terbalik. Siswa belum

mampu menempatkan bagian terpenting informasi di awal berita. Sebagian besar

berita tersebut masih menonjolkan unsur when (waktu) yang sebetulnya kurang

penting. Melihatmateri tayangan video tentang wawancara seharusnya unsur what

(apa) yang dikedepankan, yakni mengenai soal UN dengan tipe HOTS. Hanya

delapan (8) berita yang menggunakan piramida terbalik. Itu pun dengan beberapa

kesalahan dalam penggunaan kata sambung, dan sebagainya.

Dari segi materi, siswa memahami unsur menarik dalam suatu berita,

tetapi mereka belum dapat menyajikannya ke dalam bentuk berita langsung. Hal

ini disebabkan mereka belum menguasai teori menulis berita secara langsung

tentang piramida terbalik dan belum adanya kesempatan untuk mempraktikkannya.

Materi berita juga dipengaruhi oleh sifat berita itu sendiri. Apakah berita yang

ditulis digunakan untuk mempengaruhi khalayak, baik disengaja atau tidak. Berita

seperti ini sifatnya mengarahkan. Ada juga berita yang membangkitkan perasaan

publik atau berita yang hanya memberikan informasi tentang suatu keadaan yang

terjadi sehingga memberi gambaran yang jelas kepada publik. Berdasarkan

pembagian sifat berita tersebut, materi yang digunakan sebagai bahan berita

termasuk berita yang memberi informasi kepada publik.

Dari segi bahasa, aspek hemat kata dan memilih kata yang menarik belum

terpenuhi. Masih banyak ditemukan kata mubazir dan kata penat. Menurut Romli

(2010), kata mubazir dan kata jenuh adalah kata-kata yang harus dihindari saat

menulis karya jurnalistik, terutama berita dan artikel opini. Hal ini dilakukan agar

tulisan menjadi lebih singkat dan efektif, serta memenuhi standar bahasa

jurnalistik.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 71

Denpasar, 25-26 September 2018

Bentuk mubazir yang sering ditemukan di dalam bahasa jurnalistik,

misalnya kata ‗adalah‘, telah, untuk, dari, bahwa, dan bentuk jamak. Kesalahan

yang ditemukan di dalam berita yang dibuat siswa, misalnya penggunaan frase

‗pada tanggal‘. Seharusnya cukup 17 April 2018. Ada 15 siswa yang menulis

berita yang menggunakan frase ‗pada tanggal‘. Kesalahan penggunaan kata

sambung juga banyak terjadi, misalnya kata ‗dan‘ yang diletakkan di awal kalimat.

Kata ‗agar‘ ditempatkan di awal kalimat dan tanpa penambahan induk kalimat.

Akibatnya kalimat menjadi tidak lengkap.

Bentuk kata penat (tired word) disebut juga kata jenuh yang meliputi kata-

kata klise dan stereotip. Ungkapan klise yang sering dipakai dalam peralihan

berita, misalnya sementara itu, dapat ditambahkan, perlu diketahui, dalam rangka,

bahwasanya, sehubungan dengan itu, selanjutnya, adapun, yang mana, di mana,

dan sebagai informasi. Dalam berita yang dibuat siswa, terdapat 18 kasus

penggunaan kata penat. Hal ini mungkin disebabkan ketidaktahuan siswa.

Dari segi ejaan juga banyak terjadi kesalahan pemakaian tanda baca,

misalnya tanda koma. Dari segi penulisan kata, seperti stress (enam siswa), jaman

(satu siswa), mentri (dua siswa), risiko, menyontek (masing-masing satu).

Ciri lain bahasa jurnalistik, yakni egaliter atau demokratis juga belum

tampak. Penggunaan kata beliau tidak direkomendasikan dalam bahasa jurnalistik

karena mengesankan adanya hierarki bahasa. Ada sekitar 14 berita yang

menggunakan kata ‗beliau‘.

Simpulan

Secara keseluruhan, hasil tulisan 45 siswa umumnya dapat dikatakan

cukup baik. Sebagian besardapat menulis kalimat dengan menggunakan ejaan

dengan benar. Hanya beberapa siswa yang belum mengetahui ejaan. Mereka juga

sudah dapat menyusun kalimat lengkap berpola S-P-O-K. Meskipun demikian ada

tiga siswa yang mengalami masalah dengan segi penalaran kalimat.

Dalam menulis berita secara langsung, mereka masih mengalami sejumlah

hambatan, seperti ketidaklengkapan dan ketidakcermatan informasi yang

diperoleh. Hal ini terjadi karena mereka tidak menyimak video yang ditayangkan

dengan baik. Beberapa peserta juga belum dapat membedakan inti berita dengan

72 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

informasi tambahan. Mereka umumnya belum terbiasa menulis berita dengan

struktur menulis berita yang mencakup judul, teras, tubuh, dan ekor. Mereka juga

belum bisa membedakan jenis-jenis berita, yaitu berita langsung, berita kisah, dan

berita pendalaman.

Melalui kegiatan pengabdian berupa pelatihan keterampilan jurnalistik ini,

secara umum pengetahuan yang diperoleh adalah siswa dapat mengenali berita,

siswa juga mengetahui nilai suatu berita, siswa tahu bagaimana memperoleh

berita, dan yang paling penting adalah siswa dapat menulis berita dengan baik.

Saran

Pengetahuan yang diberikan kepada siswa melalui kegiatan pelatihan ini

sesungguhnya baru berupa dasar-dasar kemahiran di bidang jurnalistik. Kegiatan

pelatihan seperti ini masih perlu ditingkatkan lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka

Eneste, Pamusuk. 2012. Buku Pintar Penyuntingan Naskah. Jakarta: PT Gramedia

Gunawan, M. 2014. Seandainya Saya Wartawan Tempo. Jakarta: Tempo

Publshing.

Romli, Asep Syamsul M. 2010. Bahasa Media. Bandung:Baticpress.

Rosihan, Anwar. 2004. Bahasa Jurnalistik Indonesiadan Komposisi. Yogyakarta:

Media Abadi.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 73

Denpasar, 25-26 September 2018

IDEOLOGI BUDAYA MARITIM DALAM PIDATO

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

I Gusti Ayu Gde Sosiowati

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK

Artikel yang berjudul ‗Ideologi Budaya Maritim dalam Pidato Menteri

Kelautan dan Perikanan ― ini bertujuan untuk memaparkan bagaimana budaya

maritim dikemas dalam suatu pidato yang bertujuan untuk menunjukkan betapa

pentingnya memelihara kekayaan alam untuk kesejahteraan bangsa sampai

generasi yang akan datang. Oleh karena pidato merupakan komunikasi antara dua

pihak, pidato akan menggunakan tindak tutur yang melibatkan tindak ilokusi.

Teori Tindak Tutur yang digunakan adalah teori dari Searle (1979), yang akan

digunakan untuk mengetahui tindak tutur apa saja yang digunakan untuk

mengemas ideologi budaya maritim dalam pidato itu. Teori Tindak Tutur yang

dikemukakan oleh Searle (1979) mengelompokkan tindak tutur menjadi

Representatif, Deklaratif, Komisif, Direktif, Ekspresif. Oleh karena pidato ini

merupakan ajakan dan perintah untuk menjaga laut dan ikan di bumi Indonesia,

analisis dengan menggunakan teori yang disebut di atas akan menunjukkan tindak

tutur apa saja yang digunakan untuk menyampaikan ideologi kepada

pendengarnya sehingga pendengarnya dapat menerima dan menjalankannya

dengan penuh tanggung jawab. Artikel ini juga akan membahas kata kerja

performatif apa saja yang digunakan dalam pidato tersebut dengan menggunakan

teori Pragmatik dari Leech (1983).

Kata kunci: budaya maritim, fungsi bahasa, ideologi, pidato, tindak tutur

1. PENDAHULUAN

Budaya maritim adalah pemberdayaan potensi laut untuk kepentingan

masyarakat luas sementara ideologi budaya maritim adalah suatu pemikiran untuk

menjaga wilayah laut Indonesia yang diyakini kebenarannya dan harus

dilaksanakan oleh segenap rakyat Indonesia. Pemberdayaan ini berada di bahwa

tanggung jawab Kementerian kelautan dan Perikanan. Menteri Kelautan dan

Perikanan saat ini yaitu Susi Pudjiastuti memandang bahwa kondisi maritim di

Indonesia sudah sangat kacau. Banyak terjadi pencurian ikan dan penggunaan

pukat hela oleh nelayan asing yang sangat merugikan para nelayan Indonesia.

Oleh karena itu Menteri Susi Pudjiastuti menganggap kondisi itu perlu diperbaiki.

Cara yang ditempuhnya adalah mengajak jajaran Kementrian Kelautan dan

Perikanan untuk bekerja keras memperbaiki keadaan itu demi kesejahteraan

74 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

masyarakat Indonesia. Menteri Susi menganggap bahwa laut adalah harta

kekayaan Negara yang sanggup menghidupi rakyatnya sampai 1000 tahun

kemudian (Puti Aini Yasmin, 17 Desember 2017, m.detik.com). Untuk semakin

menggugah kesadaran jajaran Kementrian Kelautan dan Perikanan akan tugasnya

untuk menjaga wilayah maritim Indonesia, beliau menyampaikan pidato di

Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada saat menjadi inspektur upacara

pada tanggal 17 Agustus 2017 dalam rangka Hari Ulang Tahun Negara Kesatuan

Republik Indonesia ke-72. Pidato ini pada dasarnya ingin mengubah sikap dan

perilaku anggota KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan) sehingga pidato ini

dikatagorikan memiliki fungsi instrumental (Mulyana, 2010). Menteri Susi ingin

siapapun yang mendengar pidatonya mengetahui bahwa semua yang

disampaikannya adalah informasi berdasarkan fakta yang layak diketahui publik.

2. METODOLOGI

Sumber data artikel ini adalah sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan

Susi Pudjiastuti yang disampaikan pada saat menjadi inspektur upacara pada

Peringatan hari Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke-72 tanggal

17 Agustus 2017. Alasan menggunakan pidato ini sebagai sumber data adalah

karena artikel ini membahas ideologi budaya maritim dan Menteri Susi mengajak

staf dan pegawai di jajaran KKP untuk meningkatkan tanggung jawab karena

maju atau mundurnya sektor kelautan dan perikanan adalah tanggung jawab

mereka.

Struktur pidato yang terdiri atas Pembukaan, Isi dan Penutup dibahas

dengan menggunakan pendapat Nanda (www.materikelas.com) yang menyatakan

bahwa pembukaan pidato biasanya berisi salam pembuka, ucapan penghormatan

dan ucapan syukur, Isi mengandung pembahasan inti dari topik yang disajikan,

dan Penutup biasanya berisi simpulan, permintaan maaf dan salam penutup.

Analisis tentang tindak tutur dan tindak ilokusi yang digunakan dalam pidato

tersebut dilakukan dengan menggunakan teori Tindak Tutur dari Searle (1979)

yang menyatakan bahwa tindak tutur dikelompokkan menjadi (1) Representatif

yaitu tindak tutur yang menyatakan apa yang dipercaya sebagai suatu kebenaran

(2) Deklaratif yaitu tindak tutur yang bisa mengubah suatu keadaan dengan

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 75

Denpasar, 25-26 September 2018

menggunakan kekuasaan yang dimiliki, (3) Komisif, yaitu tindak tutur yang

diproyeksikan untuk menyatakan apa yang akan dilakukan di masa yang akan

datang (4) Direktif, yaitu tindak tutur yang digunakan untuk membuat lawan

bicara melakukan apa yang diinginkan oleh pembicara, dan (5) Ekspesif, yaitu

tindak tutur untuk menyatakan perasaan. Pengelompokan tindak tutur yang

disampaikan oleh Searle (1979) sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Yule

(2000). Tindak tutur dapat dikembangkan menjadi tindak ilokusi yaitu fungsi

bahasa. Untuk melihat apakah tindak tutur itu dilakukan secara langsung atau

tidak langsung, analisis tentang kata kerja performatif juga akan dilakukan. Leech

(1983) mengatakan bahwa kata kerja performatif adalah kata kerja yang secara

eksplisit menyatakan aktifitas yang akan dilakukan.

Untuk analisis data, pidato Menteri Susi akan dipilah berdasarkan struktur,

kemudian fungsi-fungsi bahasa yang digunakan dalam pidato itu akan dibahas dan

penggunaan performative verbs. Analisis data untuk artikel ini dilakukan dengan

tahapan sebagai berikut: (1) menyajikan konteks situasi pidato ini, (2) menyajikan

data, (3) menganalisis data berdasarkan struktur pidato, (4) menganalisis data

berdasarkan fungsi bahasa, dan (5) menganalisis penggunaan kata kerja

performatif

3. ANALISIS

3.1. Konteks Situasi Pidato Menteri Susi Pudjiastuti

Pidato Menteri Susi disampaikan dalam upacara perayaan Hari Ulang Tahun

Kemerdekaan Republik Indonesia ke -72 pada tanggal 17 Agustus 2017 di

Kementrian Kelautan dan Perikanan

(https://kkp.go.id>uploads>2017/08>SAMBUTAN.....)

Pidato ini disampaikan di hadapan staf kementerian tersebut akan tetapi juga

ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia dengan tujuan semuanya ikut

berpartisipasi dalam usaha menjaga kedaulatan kelautan Indonesia mengingat laut

adalah harta kekayaan Negara yang sanggup mensejahterakan rakyat. Melalui

pidatonya, Menteri Susi ingin mengimplementasikan ideolog budaya maritim

76 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

kepada seluruh jajaran KKP dan juga seluruh masyarakat. Pidato ini merupakan

komunikasi antara Menteri Susi dan semua pendengarnya.

3.2. Analisis Pidato Berdasarkan Struktur, Fungsi, dan Kata kerja Performatif

Analisis pidato tentang ketiga hal di atas dilakukan bersamaan untuk lebih

efektif dan efisien. Pidato ini dibagi atas tiga bagian utama yaitu Pembukaan Isi

dan Penutup.

PEMBUKAAN

Data 1

Ekspresif (Memberi salam) Assalammualaikum Wr Wb

Selamat Pagi,

Salam Sejahtera Untuk Kita Semua

(Memberi salam kepada semua yang mendengar pidatonya)

Data 2

Direktif (Mengajak)

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang

Maha Esa, karena atas rahmat dan ridho-Nya, kita dapat bertemu pada

Upacara bendera dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke-72

Kemerdekaan Republik Indonesia, dengan tema "Indonesia Kerja

Bersama".

(Mengajak mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan

menggunakan kata kerja performatif ‗marilah‘)

Data 3

Expresif (Mengucapkan terima kasih)

Upacara peringatan Hari Ulang Tahun ke-72 Kemerdekaan Republik

Indonesia yang kita selenggarakan tiap tahun ini merupakan wujud rasa

syukur kita kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Rahmat dan

Karunia-Nya kepada bangsa Indonesia karena telah menjadikan

Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Selain itu,

merupakan momentum yang tepat untuk mengingatkan kita kembali

kepada jasa-jasa para pahlawan dan seluruh rakyat Indonesia di masa lalu

yang telah mengorbankan jiwa, raga dan harta mereka demi sebuah cita-

cita dan harapan untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan bagi diri

dan keturunannya melalui pintu gerbang kemerdekaan Indonesia.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 77

Denpasar, 25-26 September 2018

(Mengucapkan terima kasih kepada para pahlawan dan rakyat Indonesia yang

sudah berkorban untuk memerdekakan Negara ini dari penjajah.)

ISI

Data 4

Representatif (Menyampaikan kebenaran yang diyakini)

Indonesia merupakan sebuah negeri yang dianugerahkan berbagai nikmat

oleh Tuhan YME, salah satunya berupa luasnya wilayah laut dengan

berbagai kekayaan dan potensi di dalamnya.

(Kebenaran yang diyakini oleh Menteri Susi tentang luas dan kayanya laut

Indonesia)

Data 5

Direktif (Perintah)

Salah satu tugas dan kewajiban kita sebagai abdi negara adalah menjaga

dan mengelola titipan nikmat tersebut dengan sebaik-baiknya dan

dimanfaatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagaimana

tertulis dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi ―Bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.‖

(Sebagai pemimmpin di KKP, Menteri Susi memerintahkan aparatnya untuk

menjalankan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945)

Data 6

Representatif ( menyatakan)

Nenek moyang bangsa Indonesia telah memiliki peradaban dan budaya

yang tinggi sejak masa Sebelum Masehi (SM), oleh karenanya telah

dikunjungi oleh berbagai bangsa asing melalui jalur pelayaran di Laut.

Zaman dahulu Indonesia telah memiliki pelabuhan laut dan pelabuhan

sungai yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari negeri lain. Para

pendahulu kita menyadari betul pentingnya kedaulatan maritim bagi

bangsa Indonesia, sehingga mengeluarkan sebuah konsep tentang

wilayah laut negara kepulauan Indonesia dalam Deklarasi Djuanda tahun

1957. Perjuangan bangsa Indonesia agar konsep Deklarasi Djuanda

diterima dunia Internasional akhirnya berbuah hasil pada UNCLOS 1982

yang mengukuhkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang berdaulat.

Bahwa laut Indonesia merupakan pemersatu dan bukan pemisah negara,

sehingga tercipta sebuah kedaulatan yang utuh bagi bangsa Indonesia

dalam menentukan masa depannya.

78 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Para pendahulu kita telah menunaikan kewajibannya dengan sangat baik,

yang hanya mungkin berhasil dengan dukungan dan kerja sama seluruh

rakyat Indonesia.

(Menyatakan keyakinan para pendahulu bangsa tentang pentingnya kedaulatan

maritime yang pada akhirnya mengukuhkan Indonesia sebagai Negara kepulauan

yang berdaulat yang menganggap bahwa laut bukan pemisah melainkan

pemersatu bangsa. Kata kerja performatif yang digunakan adalah ―mengukuhkan‘)

Data 7

Direktif (Mengajak)

Tugas kita hari ini adalah melanjutkan perjuangan para pahlawan

terdahulu untuk membangun Indonesia dengan penuh tanggung jawab.

Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki tanggung jawab terhadap

sektor kelautan dan perikanan di Indonesia dan kita adalah bagian dari

maju dan mundurnya sektor kelautan dan perikanan Indonesia.

(Menteri Susi mengajak aparatnya untuk melanjutkan perjuangan membangun

Indonesia melalui sector kelautan dan perikanan)

Data 8

Representatif (Mengklaim)

Kementerian Kelautan dan Perikanan telah berupaya menjaga Sumber

Daya Perikanan di Indonesia dengan mengeluarkan kebijakan yang

mengatur tentang alat penangkapan ikan, cara penangkapan ikan dan

berbagai kebijakan lain yang mungkin tidak populer. Tapi kita bekerja

bukan untuk popularitas, melainkan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia

khususnya para nelayan itu sendiri. Terlihat dari adanya peningkatan

Nilai Tukar Nelayan dari 108.24 di tahun 2016 menjadi 110.35 di

Triwulan ke-II tahun 2017. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang kita

kerjakan selama ini sudah tepat, meskipun dalam melaksanakannya

tidaklah mudah.

(mengklaim bahwa KKP sudah mengeluarkan peraturan penangkapan ikan dan

beberapa peraturan lain yang tidak disukai oleh masyarakat meskipun peraturan

itu dibuat untuk kesejahteraan masyarakat.)

Data 9

Direktif (Memerintah)

Kita harus merapatkan barisan, saling bekerja sama, bahu-membahu

dalam mengelola kelautan dan perikanan di Indonesia.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 79

Denpasar, 25-26 September 2018

(Memerintahkan untuk terus bekerja sama memajukan kelautan dan perikanan

Indonesia. Sudah sepantasnya seorang pimpinan memberikan perintah ini demi

teraplikasinya budaya maritim di Indonesia)

Data 10

Komisif (Merencanakan)

Ke depan, kita akan mulai menekankan pada pengembangan sektor

perikanan budidaya, agar dapat memproduksi pakan ikan sendiri dengan

harga yang lebih murah.

(Merencanakan pengembangan perikanan budidaya untuk meningkatkan produksi

pakan ikan sehingga meringankan beban biaya sektor perikanan)

Data 11

Direktif (Mengajak)

Bukanlah hal yang mudah untuk mengeluarkan dan mengawal kebijakan

yang tidak biasa di masyarakat. Namun jika hal tersebut untuk

kepentingan rakyat Indonesia dan generasi di masa depan, maka kita

harus tetap bahu membahu melaksanakan hal tersebut.

Menyadarkan masyarakat akan pentingnya Perikanan yang berkelanjutan

memanglah tidak mudah. Namun, hendaknya seluruh masyarakat

kelautan dan perikanan mulai dari nelayan, pembudidaya, stakeholder,

dan berbagai unsur lainnya menyadari tentang pentingnya dan

manfaatnya bagi anak cucu kita di masa depan. Hendaknya kita bahu-

membahu, mengerjakan peran masing-masing sebaik mungkin dan

bekerja sama menciptakan sebuah sinergi yang harmoni agar tercapai

tujuan demi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

(Mengajak aparatnya dan seluruh masyarakat Indonesia untuk menyadari

pentingnya perikanan yang berkelanjutan bagi bangsa dan generasi di masa

depan)

Data 12

Ekspresif (Memberi penghargaan)

Dalam kesempatan kali ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga

akan memberikan penghargaan Tanda Kehormatan……..

(Memberi penghargaan dengan menggunakan kata kerja performatif ‗memberikan

(penghargaan)

80 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Data 13

Ekspresif (Memberi penghargaan)

Saya ucapkan selamat kepada para penerima penghargaan, semoga

menjadi motivasi untuk terus berbuat lebih dan bermanfaat bagi

masyarakat.

(Memberi selamat dengan menggunakan kata kerja performatif ‗ucapkan‘)

PENUTUP

Data 14

Ekspresif (Menyatakan harapan)

Demikian amanat saya, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa

memberikan bimbingan, kekuatan, dan perlindungan-Nya kepada kita

semua dalam melanjutkan tugas pengabdian kepada negara dan bangsa

Indonesia tercinta.

(Menyatakan harapan agar dalam mengabdi kepada bangsa dan Negara selalu

mendapat perlindungan dari Tuhan Yang maha Esa.

Data 15

Ekspresif (Memberi selamat)

Akhir kata saya ucapkan “Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-72”.

(Memberi selamat untuk HUT-RI yang ke -72 dengan menggunakan kata kerja

performatif ‗ucapkan‘)

4. SIMPULAN

Analisis di atas menunjukkan bahwa secara struktur, Menteri Susi tidak

mengucapkan ucapan penghormatan karena beliau adalah orang dengan

kepangkatan tertinggi di tempat tersebut. Di bagian penutup juga tidak terucap

permohonan maaf karena dengan posisinya, hal tersebut tidak perlu dilakukan.

Tindak tutur yang paling banyak digunakan adalah tindak tutur Direktif . Hal ini

sudah sepantasnya karena tujuan pidato beliau adalah untuk mengajak dan

memerintahkan aparatnya untuk bekerja memajukan sektor kelautan dan

perikanan guna menanamkan ideologi budaya maritim di seluruh lapisan

masyarakat Indonesia Kata kerja performatif yang digunakan hanya ‗marilah‘

(Direktif – mengajak), ‗mengukuhkan‘ (Representatif – menyatakan), dan

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 81

Denpasar, 25-26 September 2018

‗ucapkan (Ekspresif – memberi penghargaan). Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa ajakan untuk melaksanakan ideologi budaya maritim sebagian

besar dilakukan dengan menggunakan tindak tutur tidak langsung.

5. DAFTAR PUSTAKA

Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London and New York :

Longman

Mulyana, Deddy.2010. Ilmun Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung:PT.

Remaja Rosdakarya Offset

Nanda, Refsa. 2016. ―Teks Pidato (Pengertian, Metode, Struktur, dan Contoh

Pidato). (www.materikelas.com). 7 Januari 2016

Searle, J.R. 1979. Expression and Meaning. Cambridge: Cambridge University.

Yule, George. 2000. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.

https://kkp.go.id>uploads>2017/08>SAMBUTAN.....

Yasmin, Puti Aini, 17 Desember 2017, m.detik.com.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 82

Denpasar, 25-26 September 2018

CITRA DIRI PADA TEKS VERBAL MEDIA KAMPANYE PILGUB BALI

I Gusti Ngurah Parthama, Ni Luh Kade Yuliani Giri

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Paper ini bertujuan untuk mendeskripsikan citra diri yang terdapat pada teks

verbal pada media kampanye pemilihan gubernur (pilgub) Bali. Citra diri

merupakan bagian media kampanye yang berkaitan dengan informasi seorang

kandidat calon pemimpin daerah. Citra diri memberikan nilai positif bagi seorang

kandidat pemimpin. Dengan citra diri yang baik memberikan kesempatan

kandidat pemimpin untuk menarik perhatian calon pemilih. Dengan peran tersebut,

pemilihan kosakata berkaitan dengan citra diri mempunyai suatu ideologi tertentu.

Ideologi yang dimaksud tentunya tidak lepas dari upaya menuju arah kekuasaan.

Sehingga media kampanye menjadi suatu media untuk menjembatani nilai – nilai

ideologi dan kekuasaan dari seorang kandidat pemimpin. Untuk itulah pemilihan

kosakata dengan citra diri menjadi suatu pilihan dalam sebuah media kampanye.

Sumber data paper ini diambil dari media kampanye pemilihan gubernur (pilgub)

Bali. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi

dengan teknik pemotretan, pemilahan, pembacaan rinci, dan pengelompokan.

Metode analisa data yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Metode

tersebut ditujukan untuk mendeskripsikan data – data yang secara kualitatif

berkaitan dengan pemilihan kosakata citra diri. Simpulan yang diperoleh adalah

citra diri yang dimunculkan pada media kampanye lebih menonjolkan pada

kelebihan seorang kandidat dibandingkan dengan kandidat lainnya. Citra diri

tersebut dimunculkan dengan pemilihan kosakata – kosakata tertentu yang

menggambarkan kelebihan seseorang dibandingkan orang lain. Selain citra diri

yang berkaitan dengan pribadi, citra diri lain yang juga muncul adalah citra diri

yang berhubungan dengan kandidat pemimpin dengan para pemilihnya. Dalam hal

ini pencitraan berhubungan dengan kelompok masyarakat dan tidak hanya

memfokuskan pada kandidat pemimpin.

Kata kunci: citra diri, media kampanye, teks verbal

PENDAHULUAN

Media kampanye merupakan media promosi serupa media iklan pada

umumnya. Hanya, media kampanye lebih menekankan pada sisi politis. Bahasa

dalam media kampanye tentunya mempunyai nilai – nilai ideologis yang berkaitan

dengan pribadi kandidat pemimpin. Habnoer (2009) mengungkapkan keterkaitan

bahasa, ideologi, dan kekuasaan. Bahasa mempunyai ideologis tertentu dan

ideologi – ideologi tersebut berkaitan dengan kekuasaan. Sehingga secara

sederhana dapat disimpulkan bahwa bahasa mempunyai keterkaitan dengan

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 83

Denpasar, 25-26 September 2018

kekuasaan. Apalagi jika dikaitkan dengan bahasa – bahasa melalui diksi – diksi

tertentu yang mencerminkan suatu citra diri kandidat pemimpin. Pilihan diksi

tertentu memiliki keterkaitan dengan nilai ideologis dan nilai itu mengarahkan

pada suatu model kekuasaan yang hendak diraihnya. Lebih lanjut diungkapkan

bahwa faktor – faktor lain juga berhubungan dengan pemilihan diksi atau

kosakata pada media kampanye seperti sikap, keyakinan, dan nilai tertentu. Selain

itu bahasa – bahasa yang digunakan pada media kampanye juga dikaitkan dengan

beragam informasi, propaganda, pencitraan, sekaligus persuasi bagi calon pemilih.

Dalam hal ini tujuan pencitraan dan persuasi lebih mengarah pada upaya menarik

perhatian para pemilih.

Tujuan untuk menarik perhatian para pemilih menjadikan media

kampanye sudah seharusnya mempunyai syarat tertentu. Syarat yang dimaksud

adalah pemilihan kata dan kalimat yang memberikan nilai tambah bagi seorang

kandidat pemimpin daerah. Dengan nilai tambah tersebut maka seorang kandidat

kepala daerah yang berkampanye melalui media kampanye dianggap memiliki

nilai, kapabilitas, dan kemampuan yang berbeda dibandingkan dengan kandidat

pemimpin lainnya. Habnoer (2009) juga membagi secara umum model wacana

tertulis yang muncul pada media kampanye. Model wacana yang dimaksud adalah

model persuasi, propaganda, dan realita jati diri. Ketiga model wacana menjadi

ciri khas sebuah media kampanye. Ciri tersebut biasanya muncul secara

bersamaan atau hanya berisikan satu atau dua model dalam satu media kampanye.

Media kampanye menjadi satu model pencitraan diri seorang kandidat

pemimpin. Hal tersebut dikarenakan melalui media kampanye seorang kandidat

dapat berinteraksi secara tidak langsung. Seorang kandidat dapat menyampaikan

suatu informasi yang berkaitan dengan dirinya maupun pembangunan di

daerahnya. Dalam hal ini seorang kandidat pemimpin dapat bersikap subyektif

atau obyektif terhadap kondisi dirinya maupun pembangunan di wilayahnya.

Habnoer (2009) lebih lanjut mendeskripsikan citra diri ditonjolkan melalui

pemilihan kosakata – kosakata tertentu. Kosakata itu meliputi kosakata seperti

muda, cerdas, berpengalaman, kompeten, dan intelektual. Sedangkan citra diri

yang lebih menonjolkan sisi emosional ditunjukkan dengan muda dan perempuan.

Selanjutnya kosakata yang diklasifikasikan sebagai wujud perjuangan yang

84 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

dimunculkan pada media kampanye biasanya seperti kesejahteraan rakyat,

kepentingan rakyat, kesehatan gratis, pendidikan gratis, pendidikan terjangkau,

harkat dan martabat petani dan nelayan, kesetaraan perempuan, harkat

perempuan, keterwakilan perempuan, dan kejujuran.

METODELOGI PENELITIAN

Sumber data dari paper ini diambil dari media kampanye berupa baliho

kampanye calon gubernur (cagub) dan wakil gubernur (cawagub) Bali. Baliho

kampanye yang dipilih adalah baliho kampanye yang berhubungan dengan baliho

sosialisasi cagub dan cawagub. Metode pengumpulan data adalah menggunakan

metode dokumentasi dengan teknik perekaman dan teknik pemilahan data.

Selanjutnya, metode analisa data dengan menggunakan metode deskriptif

kualitatif. Dalam hal ini teknik yang digunakan adalah teknik deskripsi berkaitan

dengan pilihan – pilihan kosakata pada media kampanye baliho cagub dan

cawagub.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Citra diri yang dibahas pada paper ini lebih menekankan pada tiga

karakteristik yang muncul pada wacana politik. ketiga karakteristik tersebut

menurut Keraf (dalam Habnoer, 2009) adalah karakteristik yang menekankan

pada propaganda terhadap pembaca, membangun realitas terhadap diri sendiri,

dan upaya merebut hati dan simpati calon pemilih. Dalam hal ini, wacana iklan

politik merupakan bentuk atau upaya persuasi yang dilakukan seorang calon

pemimpin atau seseorang yang hendak berkuasa terhadap para pemilihnya dengan

menawarkan gagasan, ide, atau solusi terhadap hal – hal yang terdapat di sekitar

mereka. Tiga media kampanye berikut merupakan contoh dari citra diri

yang berkaitan dengan propaganda kepada pembaca. Secara umum, Keraf (dalam

Habnoer, 2009) mendefinisikan propaganda terhadap pembaca berisikan

informasi terkait kepercayaan dan kepantasan seorang cagub – cawagub.

Propaganda terhadap pembaca juga memberikan kesan, perasaaan, dan gambaran

mengenai calon pemimpin kepada para pemilihnya. Hal tersebut biasanya

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 85

Denpasar, 25-26 September 2018

berkaitan dengan kredibilitas dan kompetensi yang dimiliki oleh cagub –

cawagub.

Ketiga media kampanye baliho di atas berisikan propaganda kepada

pembaca dengan menekankan pada kepercayaan dan kepantasan. Bentuk

kepercayaan dan kepantasan yang dimaksud adalah dengan melabeli cagub –

cawagub melalui pilihan diksi tertentu. Citra diri gubernur pilihanku, sudah

terbukti, dan gubernur harapan rakyat Bali memberikan kesan, perasaan, dan

gambaran secara khusus terhadap kredibilitas dan kompetensi masing – masing

cagub – cawagub. Sementara itu, dua data media kampanye berikutnya

tergolong kepada citra diri dengan karakteristik pada merebut simpati dan hati

calon pemilih. Keraf (dalam Habnoer, 2009) mengemukakan citra diri seperti ini

biasanya mempunyai deskripsi realitas yang subyektif dan obyektif. Citra diri

yang dimunculkan dari seorang calon pemimpin umumnya lebih menarik dan

berkesan.

Upaya merebut simpati dan hati calon pemilih dari kedua data media

kampanye di atas dimunculkan pada pilihan diksi bangkit bergerak berjuang

bersama untuk Bali dan ngiring sareng KBS – ACE nyikiang pikayun ngewangun

jagat Bali sane metaksu medasar antuk adat, agama, tradisi, seni, lan budaya.

Memilah realitas secara subyektif dan obyektif, maka kedua data media kampanye

86 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

di atas memiliki kedua realitas. Realitas subyektif dan obyektif cenderung dimiliki

oleh data media kampanye sisi kanan. Sedangkan realitas secara obyektif dan

lebih netral terdapat pada data sebelah kiri. Pilihan kata pada bangkit bergerak

berjuang bersama untuk Bali memberikan makna menggugah dan persuasif.

Bentuk ajakan terlihat jelas pada citra diri tersebut. Sedangkan pada data media

kampanye sisi kiri memiliki informasi lebih lengkap. Menggunakan bahasa Bali,

citra diri yang dimunculkan sudah berisikan kesan menggugah, informatif, dan

persuasif dengan teks verbal ngiring sareng KBS – ACE nyikiang pikayun

ngwangun jagat Bali sane metaksu medasar antuk adat, agama, tradisi, seni, lan

budaya.

Citra diri yang mengkombinasikan dua karakteristik terdapat pada data

media kampanye di bawah. Citra diri yang dimunculkan menekankan pada citra

diri berupa propaganda terhadap pembaca dan citra diri dengan realitas pada diri

sendiri. Data media kampanye di bawah menggabungkan keduanya dengan dua

model ujaran verbal yaitu pemimpin harapan rakyat Bali dan keseimbangan doa

(MANTRA) untuk kesejahteraan (KERTA) masyarakat Bali.

Citra diri berupa propaganda terhadap pembaca disampaikan melalui teks

verbal pemimpin harapan rakyat Bali. Secara umum, citra diri itu telah

memberikan kepercayaan dan menyematkan kepantasan tentang suatu jabatan

terhadap seorang calon pemimpin. Ujaran verbal tersebut juga mempunyai

karakter positif, berkesan, dan menarik perhatian pembaca. Kesan positif yang

dibentuk merupakan kesan positif calon pemimpin di hadapan pembaca.

Sementara itu, realitas diri sendiri terbangun melalui penggunaan simbol nama

calon pemimpin yang dikaitkan dengan kondisi masyarakat saat ini. Teks verbal

keseimbangan doa (MANTRA) untuk kesejahteraan (KERTA) masyarakat Bali

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 87

Denpasar, 25-26 September 2018

menempatkan simbol nama cagub – cawagub tertentu yang dikaitkan dengan

kondisi masyarakat Bali secara umum. Hal ini memberikan suatu bentuk interaksi

sosial menurut Keraf (dalam Habnoer, 2009) antara calon pemimpin dan para

pemilihnya. Namun, realitas yang dimunculkan lebih mengutamakan realitas

subyektif. Sehingga simbol penamaan cagub – cawagub dapat disesuaikan dengan

keadaan masyarakat Bali pada umumnya.

SIMPULAN

Citra diri yang dibentuk dalam teks – teks verbal pada media kampanye

cagub – cawagub Bali lebih menekankan pada bentuk propaganda kepada

pembaca atau calon pemilih. Pemilihan diksi – diksi tertentu memberikan

gambaran positif, kesan baik, serta menarik perhatian para pemilih. Citra diri yang

terbentuk merupakan suatu model dari upaya persuasif dari calon pemimpin untuk

menampilkan kesan dan gambaran positif. Sehingga dengan demikian, salah satu

upaya wacana iklan politik sebagai suatu bentuk persuasif dalam komunikasi

politik dapat terakomodasi.

DAFTAR PUSTAKA

Dyer, Gillian. 1993. Advertising as Communication. New York: Routledge.

Habnoer, Sultan. 2009. Bahasa Pencitraan Dalam Wacana Iklan Kampanye Calon

Anggota Legislatif 2009 dalam Jurnal Wacana Kritis, ISSN 0853 – 3563,

volume 14, nomor 2, Juli 2009. Diunduh pada tanggal 2 September 2013.

Mahayani, Ni Putu Sri. 2013. Kekuatan Bahasa Verbal dan Nonverbal Dalam

Iklan Layanan Masyarakat dalam Dinamika Bahasa Media Televisi,

Internet Dan Surat Kabar, editor Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S. Denpasar:

Udayana University Press.

Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2009. Analisis Wacana

Pragmatik Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 88

Denpasar, 25-26 September 2018

HEGEMONI BUDAYA DALAM PRAKTIK KEKUASAAN MARITIM

I Ketut Darma Laksana

Fakultas Imu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Indonesia lebih percaya diri lagi menyebut negerinya sebagai negara

maritim. Selain alasan yang logis bahwa tiga per empat wilayahnya berupa lautan

juga karena terdapat narasi besar di balik gagasan yang dicanangkan oleh

pemerintah bahwa laut dapat memberikan kemakmuran bagi rakyat. Sehubungan

dengan itu, tepat pula gagasan yang dilontarkan oleh pemerintah saat ini dengan

menyebut Indonesia sebagai poros maritim dunia.. Inilah yang disebut hegemoni,

pengaruh kepemimpinan, dominasi kekuasaan, dengan pemimpinnya yang

melihat jauh ke depan manfaat yang diberikan oleh laut. Makalah ini mencoba

melihat ideologi di balik hegemoni yang direpresentasikan ke dalam kebijakan

pemerintah dalam mengelola potensi dunia kemaritiman Indonesia. Hal ini perlu

diungkapkan untuk menjawab ―protes‖ yang disampaikan oleh sebagian kecil

anggota masyarakat tentang dua hal berikut. Pertama, mengapa kapal-kapal asing

yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) harus

ditenggelamkan, bukan sebaiknya dibagikan kepada para nelayan. Kedua,

mengapa yang dibangun tol laut bukan bendungan. Dalam upaya mengungkap

ideologi yang tersembunyi di balik kebijakan pemerintah perlu dilakukan

―pembongkaran‖ atas wacana yang disampaikan untuk menangkis kedua protes

terebut.. Untuk itu, metode yang diterapkan adalah metode ―dekonstruksi‖,

sebagaimana yang dikenal dalam teori Pos-Strukturalisme/Posmodernisme. Hasil

kajian memperlihatkan bangunan ideologi pemerintah bahwa kekayaan bumi,

termasuk laut, dan tol yang dibangun digunakan sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat.

Kata kunci: hegemoni, bahasa, budaya, ideologi

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Bumi yang dihuni oleh manusia sekitar tujuh puluh persen (70%) berupa

lautan. Wilayah Indonesia juga sekitar 70% ditutupi oleh laut dibandingkan

dengan daratan yang hanya 30%. Dalam buku berjudul Pelestarian Lingkungan

Hidup, berdasarkan ―Tafsir Alquran Tematik‖ (2012), eksistensi laut digambarkan

sebagai: (1) bagian dari dunia kita, (2) tanda kemahakuasaan Tuhan, (3) sumber

penghidupan manusia, (4) prasarana transfortasi, dan (5) potensi bencana (hlm.

29—53). Laut sebagai bagian dari dunia kita berarti bahwa bumi yang dihuni oleh

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 89

Denpasar, 25-26 September 2018

manusia, yakni daratan, berdampingan dengan laut. Laut sendiri di dalamnya

hidup berbagai biota yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam kehidupannya.

Laut sebagai tanda kemahakuasaanTuhan berarti bahwa tidak ada kekuatan

yang sehebat apa pun, kecuali Tuhan Yang Mahakuasa, yang mampu menciptakan

bumi ini yang terdiri atas daratan dan lautan. Manusia yang berakal sehat akan

meyakinkan dirinya bahwa laut dan aneka kehidupan yang ada di dalamnya pasti

diciptakan oleh Yang Mahakuasa. Laut dikatakan sebagai sumber penghidupan

manusia karena di dalamnya terdapat bermacam-macam biota, tidak saja ikan

yang dapat dikonsumsi tetapi juga barang-barang yang lebih mahal harganya,

seperti mutiara, yang digunakan oleh manusia sebagai perhiasan. Laut dikatakan

sebagai prasarana transfortasi karena laut merupakan wilayah yang paling mudah

digunakan untuk mengoperasikan berbagai jenis alat transfortasi, seperti perahu,

kapal, sampan, dan rakit.

Terakhir, laut berpotensi menimbulkan bencana, seperti tsunami, karena

manusia sendiri tidak bisa menjaga lingkungan. Sebagai contoh, manusia

melakukan penghancuran hutan-hutan bakau (mangrove) atau perusakan karang,

yang masing-masing berfungsi untuk menahan gelombang. Pengetahuan manusia

sangat terbatas, manusia tidak mampu memprediksi kapan dan di mana akan

terjadi tsunami. Dari kelima eksistensi laut tersebut, dua di antaranya yakni laut

sebagai sumber penghidupan manusia dan laut sebagai prasarana transfortasi

mendapat prioritas untuk dikaji.

1.2 Masalah

Polemik yang terjadi akhir-akhir ini, sebagai dampak perpolitikan di

Indonesia, berawal dari ―protes‖ yang disampaikan oleh sebagian kecil anggota

masyarakat mengenai dua hal berikut. Pertama, mengapa kapal-kapal asing yang

melakukan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) harus ditenggelamkan,

mengapa tidak diberikan kepada nelayan saja. Kedua, mengapa yang dibangun tol

laut, mengapa bukan bendungan untuk kepentingan irigasi. Pertanyaan yang perlu

dijawab ialah ideologi apa yang ada di balik ―wacana‖ pemerintah melakukan dua

hal yang telah menjadi polemik itu?

90 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

1.3 Tujuan

Pertikaian politik yang terjadi di Indonesia saat ini harus diakui dimulai dari

kelompok masyarakat yang ―kontra‖ pemerintah. Bagi orang-orang yang

termasuk golongan ini, tidak ada cara lain, mereka akan berusaha mencari-cari

kelemahan pemerintah, sekecil apa pun. Sehubungan dengan itu, makalah ini

bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif kepada mayarakat

bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah tidak lain demi perbaikan kehidupan

rakyat secara keseluruhan. Eksistensi laut sebagai sumber penghidupan manusia

dan prasarana transfortasi, keduanya dapat memberikan manfaat dalam

meningkatkan taraf hidup masyarakat. Wilayah laut yang luasnya 70% itu jika

dikelola dengan tepat diyakini dapat menciptakan keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia.

1.4 Urgensi

Makalah ini disusun berkaitan dengan protes yang disampaikan oleh

sekelompok kecil anggota masyarakat yang belum memahami benar ―narasi

besar‖ yang dibangun oleh pemerintah. Pemerintah yang sedang bekerja keras

dalam usaha meningkatan kesejahteraan rakyat serta memeratakan pembangunan

di tanah air perlu didukung. Oleh karena itu, hadirnya makalah ini diharapkan

dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat agar konflik yang berkembang

selama ini dapat dihentikan.

2. Landasan Teori

Teori yang diterapkan dalam mengungkap makna-makna di balik wacana

yang dibangun oleh pemakai bahasa adalah Teori Kritis, sebagaimana yang

dipraktikkan oleh penganut teori Pos-Strukturalisme/Posmodernisme. Derrida

sebagai salah tokohnya menolak pandangan Strukturalisme bahwa hubungan

antara kata/penanda dan makna/petanda bersifat arbitrer. Menurut Derrida, makna

suatu kata terbuka untuk makna yang lain, kemungkinan adanya ―motivasi‖ oleh

pemakai bahasa. Kata selalu mengandung dalam dirinya sendiri jejak makna lain

(lihat Sim dan van Loon, 2008:64-65 dan 88-89). Pandangan dalam

Posmodernisme/Pos-Strukturalisme juga penting diterapkan dalam menelaah

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 91

Denpasar, 25-26 September 2018

ideologi di balik wacana yang diproduksi. Dalam Teori Kritis, ideologi itu sendiri

dapat dikaji melalui konsep ―hegemoni‖ yang tercermin dalam wacana. Pemikiran

Antonio Gramsci tentang konsep ―hegemoni‖ (lihat Sim dan van Loon, 2008:36-

37) di sini dikembangkan untuk menjelaskan dua hal berikut. Pertama, bagaimana

kelas penguasa menggunakan dominasinya. Kedua, bagaimana cara kerja

pemberdayaan budaya oleh pemerintah.

3. Metode

Dalam mengungkap makna-makna di balik wacana yang dibangun oleh

pemerintah mengenai kebijakan peningkatan taraf hidup rakyat dan pemerataan

pembangunan diterapkan metode ―dekonstruksi‖. Dekonstruksi atau

pembongkaran perlu dilakukan untuk melihat motivasi apa yang ada di balik

wacana yang disampaikan, baik yang kontra maupun yang pro pemerintah.

Pemikiran dari kedua belah pihak masing-masing memiliki alasan. Namun,

apakah alasan itu dapat diterima atau tidak. Dalam hal ini memang telah terjadi

―perebutan simpati‖ rakyat demi kepentingan politik. Metode dekonstruksi

berupaya melakukan pembongkaran terhadap wacana yang dibangun, namun

kemudian disusun kembali dengan narasi yang dapat diterima oleh nalar yang

sehat. Di sini harus dipahami benar kebijakan pemerintah menyangkut dunia

kemaritiman kita. Seperti diketahui, puluhan tahun berlalu identitas laut kita tidak

jelas, kapal-kapal asing bebas menangkap ikan karena ―dilindungi‖, konon oleh

oknum tertentu, atau dengan dalih berbagi hasil. Wacana yang berkembang

mengandung pesan bahwa kekayaan laut harus dikelola oleh bangsa sendiri

karena dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, seperti ikan-ikan

yang ada di laut, harus dimiliki dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia

bukan oleh orang luar. Adanya wacana pembangunan tol laut yang dibangun oleh

pemerintah dalam kenyataannya juga merupakan ―revitalisasi identitas budaya

‖maritim. Seperti diketahui, pemerintah telah memprioritaskan pembangunan tol

laut di wilayah Indonesia timur dengan tujuan agar sirkulasi pengiriman barang-

barang keperluan hidup sehari-hari, bahan-bahan bangunan, bahan bakar minyak

(BBM) tidak memerlukan waktu yang lama yang berakibat pada tingginya harga.

92 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

4. Pembahasan

4.1 Revitalisasi Identitas Maritim Melalui Bahasa

Revitalisasi identitas maritim disampaikan oleh pemerintah mengadung

ideologi yang berikut. Pertama, kekayaan laut dalam wilayah Indonesia adalah

milik bangsa Indonesia. Oleh karena itu, tidak boleh ada bangsa lain yang

melakukan tindakan yang melanggar, dalam hal ini penangkapan ikan secara

ilegal (illegal fishing). Kekayaan laut diperuntukkan bagi

kemakmuran/kesejahteraan rakyat. Bandingkan kedua kelompok wacana di bawah

ini.

Klompok A

(1) Megapa kapal-kapal asing yang melakukan penangkapan ikan secara

illegal harus ditenggelamkan.

(2) Mengapa kapal-kapal tersebut tidak diberikan kepada para nelayan

kita.

(3) Kelompok B

(4) Kapal-kapal asing yang menangkap ikan di perairan laut kita tidak

dilengkapi dokumen yang sah.

(5) Pembagunan tol laut bertujuan untuk meningkatkan keadilan social

bagi seluruh rakyat.

Wacana pada Kelompok A merupakan protes dari kelompok kecil

masyarakat yang ditujukan kepada pemerintah dengan maksud memperoleh

simpati dari masyarakat. Pemberian kapal-kapal asing itu kepada nelayan,

terutama yang belum memiliki kapal, dapat membantu nelayan dalam

matapecahariannya sebagai penangkap ikan. Sementara itu, wacana pada

Kelompok B merupakan balasan dari pemerintah. Pemahaman atas bentuk wacana

seperti itu bersifat linguistis karena maknanya langsung diperoleh dari

diksi/pilihan kata yang memang ―memihak‖ pada rakyat . Kemudian,

pembangunan tol laut bukan berarti pemerintah mengesampingkan pembangunan

bendungan, Pembangunan bendungan tetap berjalan, pembagunan tol laut

tampaknya menjadi prioritas dengan tujuan mengangkat harkat dan martabat

masyarakat terutama yang ada di Indonesia timur (Papua).

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 93

Denpasar, 25-26 September 2018

Sesuai dengan pandangan teori kritis, wacana di atas tidak terlepas dari

konteks situasi politik.. Jadi, ada motivasi berupa pencarian simpati dari rakyat.

Namun, kedua kelompok wacana tersebut memperlihatkan perbedaan motivasi.

Wacana Kelompok A bermotivasi negatif, sedangkan wacana Kelompok B

bermotivasi positif.

4.2 Revitalisasi Identitas Maritim Melalui Budaya

Budaya kita mengajarkan bahwa memiliki sesuatu dengan cara ilegal tentu

tidak dibenarkan, terutama dilihat dari sudut agama. Banyak kejadian yang

serupa, seperti impor elegal bawang dari luar negeri, penyitaan ganja dan

sejenisna, oleh pemerintah diambil tindakan pemusnahan. Dengan demikian, hasil

usaha yang diperoleh secara tidak sah tidak sesuai dengan budaya dan ajaran

agama.

Perhatian yang besar dari pemerintah untuk memeratakan pembangunan di

seluruh negeri dengan konsep ―kemakmuran untuk seluruh rakyat‖ berjalan sesuai

dengan harapan masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, hegemoni yang

dimiliki oleh pemerintah memperkuat ideologi penguasa dalam rangka

menyejahterakan rakyat secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan sila kelima dari

dasar Negara kita, Pancasila, yaitu ―Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat

Indonesia‖.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 94

Denpasar, 25-26 September 2018

SITUS KAPAL U.S.A.T LIBERTY DI PANTAI TULAMBEN DALAM

PERSPEKTIF ARKEOLOGI MARITIM DAN PARIWISATA

I Ketut Setiawan

Prodi Arkeologi FIB Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang situs kapal U.S.A.T Liberty yang karam di Pantai

Tulamben, Karangasem. Keberadaan situs kapal ini penting artinya bagi arkeologi

maritim, karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,

pendidikan, dan kebudayaan. Pada dewasa ini, keberadaan situs kapal tersebut

terjadi tarik menarik kepentingan antara kepentingan ekonomi dengan

kepentingan pelestariannya. Fenomena budaya ini menarik untuk dikaji dari

perspektif arkeologi maritim dan pariwisata.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan situs kapal U.S.A.T Liberty

dalam perspektif arkeologi maritim. Sedangkan metode yang digunakan adalah

metode kualitatif dengan format desain pengumpulan data, analisis data,

interpretasi, dan penyajian laporan penelitian. Data primer diperoleh melalui

observasi lapangan dan wawancara, sedangkan data sekunder diperoleh melalui

studi pustaka dan dokumen. Proses pengolahan dan analisis data meliputi

pemilahan data, reduksi data, pemaparan dan interpretasi, serta penarikan

simpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa situs kapal U.S.A.T Liberty mempunyai

peranan yang sangat penting bagi arkeologi maritim. Situs kapal ini tidak saja

memiliki arti penting bagi pengembangan arkeologi maritim, tetapi juga memiliki

arti penting bagi pariwisata, khususnya pariwisata budaya. Komersialisasi terjadi

secara langsung dan tidak langsung oleh masyarakat, pemerintah daerah, dan

pengusaha. Komodifikasi terjadi pada elemen-elemen sumberdaya budaya,

sumberdaya alam dan sumberdaya manusia.

Kata kunci: Kapal U.S.A.T Liberty, Arkeologi Martim, Pantai Tulamben,

Pariwisata

1. Pendahuluan

Desa Tulamben berada pada posisi di bagian timur laut wilayah Pulau

Bali.Secara topografis lokasi Tulamben berada dalam lingkungan fisik daerah

pantai, tidak jauh dari kaki Gunung Agung.Secara umum, berdasarkan

karakteristik wilayah Desa Tulamben terbentuk oleh empat elemen topografi,

yakni elemen gunung, lembah, dataran, dan pantai.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 95

Denpasar, 25-26 September 2018

Elemen topografi gunung terpampang pada bagian paling barat, yakni

bagian dari kaki sebelah timur laut Gunung Agung.Elemen topografi lembah

berada pada bagian timur mulai dari puncak Gunung Agung dengan alur turun ke

arah timur bermuara di pantai Tulamben.Elemen topografi dataran berada pada

bagian timur kaki Gunung Agung membentang dari arah barat-timur dan utara

selatan, dan merupakan konsentrasi pemukiman penduduk Desa Tulamben.

Elemen topografi pantai merupakan batas wilayah darat Desa Tulamben dengan

laut yang membentang dari barat ke timur dengan kondisi berbatu (Adhityatama,

2012).

Garis pantai mulai dari wilayah batas desa berbentuk melengkung sampai di

sungai Abu, setelah itu menuju ke arah timur membentuk daratan menjorok ke

laut (Tanjung Muntik).Makin ke timur topografi garis pantai membentuk teluk-

teluk dan tanjung dengan batas akhir adalah teluk Emerald.Wilayah perairannya

berada setelah garis pantai dengan radius horizontal 500 meter ke arah utara, dan

dengan radius horizontal sekitar 3000 meter ke arah timur-barat (Mustika,

2012:14).

Salah satu sumberdaya budaya yang dimanfaatkan dan dikelola sebagai

daya tarik wisata di daerah ini adalah situs kapal United State Army Transport

Liberty (Selanjutnya disingkat U.S.A.T Liberty). Kapal U.S.A.T Liberty

merupakan sebuah bangkai kapal milik angkatan Darat Amerika Serikat. Pada

masa Perang Dunia II (1942-1945), dalam perjalanannya membawa

logistikuntukkepentingan tentara sekutu dari Australia menuju Filipina ditorpedo

oleh kapal selam Jepang Submarine I-166 di Selat Lombok pada tanggal 11

Januari 1942. Di dalam penyelamatan menuju pelabuhan di Singaraja, kondisi

kapal semakin rusak, dan akhirnya kandas di perairan pantai Desa Tulamben.

Keberadaan artefak bangkai kapal dari garis pantai posisinya berada pada

jarak sekitar 60 meter ke arah laut lepas.Secara umum, kondisi kapal saat ini telah

banyak ditumbuhi karang-karang laut, sehingga besi-besi kapal tidak tampak

dengan jelas.Posisi kapal berada pada kedalaman 10 meter dan dalam kondisi

miring ke arah laut lepas.Kerusakan kapal akibat hantanam forpedo masih jelas

kelihatan, dimana pada bagian tengah lambung kapal telah tercerai-berai, dan

96 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

beberapa unsur badan kapal telah terlepas dari kesatuannya (Dep. Kelautan dan

Perikanan, 2013).

2. Pembahasan

2.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Situs Kapal U.S.A.T Liberty

Persepsi dalam konteks ini diartikan dengan tanggapan langsung atas

sesuatu dari masyarakat Tulamben tentang keberadaan situs kapal U.S.A.T

Liberty sebagai situs yang menarik dalam upaya pengembangan pariwisata. Situs

ini dianggap memiliki nilai ekonomi yang dapat memberi kesejahteraan pada

masyarakat. Dalam konteks sebagai sebuah situs yang dimanfaatkan untuk

kepentingan pariwisata dapat diasumsikan bahwa secara self perception anggapan

tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya tarik bagi wisatawan serta

munculnya inisiatif untuk melindunginya.Upaya perlindungan terhadap ruang,

sumberdaya budaya, dan sumberdaya alam diwujudkan dalam bentuk regulasi

lokal (perarem). Terkait dengan perlindungan dan pelestarian situs, disebutkan

beberapa poin larangan sebagai berikut:

(1) Larangan tidak boleh memancing pada radius 100 meter di sekitar lokasi

kapal tenggelam

(2) Larangan untuk tidak mengambil sisa-sisa kapal yang rusak untuk

kepentingan komersial.

(3) Larangan untuk tidak mengganggu trumbu karang yang tumbuh dan

berkembang pada dinding-dinding kapal yang berdampak rusaknya bangkai

kapal, dan

(4) Larangan mengambil batu-batu yang ada di sekitar kawasan pantai (Tenaya,

2015:89-90).

Dalam implementasinya, perarem tersebut berlaku bagi warga masyarakat

setempat maupun warga dari luar Desa Tulamben, termasuk para wisatawan tanpa

memandang status sosial.Peraturan ini ternyata sangat efektif, bahkan bagi yang

melanggar dikenakan sanksi sosial dikucilkan dari adat dan sanksi ritual

keagamaan sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan

(Wawancara dengan Bendesa Adat Tulamben, I Nyoman Kariasa pada tanggal 16

Mei 2018).

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 97

Denpasar, 25-26 September 2018

Kendatipun kapal U.S.A.T Liberty telah lama karam di perairan pantai Desa

Tulamben, masyarakat lokal tak pernah membayangkan bahwa kapal tersebut

dapat memberi berkah seperti sekarang ini. Makin hari wisatawan makin banyak

mengunjungi situs kapal ini, sehingga akhirnya masyarakat bersama para pemuka

desa membentuk organisasi pelayan tamu (porter). Pengelolaan diatur oleh desa

adat dengan ketentuan dan kesepakatan sistem bagi hasil, 20% untuk desa adat

dan 80% menjadi bagian mereka.

Pada dewasa ini upaya pengembangan situs terus dilakukan, baik oleh

pengusaha asing, nasional, dan lokal.Lahan-lahan yang dipandang strategis

dibangun hotel/bungalow/villa, restoran dan fasilitas lainnya terkait dengan wisata

selam.Bangunan-bangunan fasilitas tersebut hampir seluruhnya terkonsentrasi di

sepanjang garis pantai.

Situs kapal U.S.A.T Liberty sebagai daya tarik wisata juga didukung oleh

keindahan alam bawah air maupun panorama alam wilayah daratan.Kekayaan

sumberdaya pesisir dan laut merupakan aset penting yang mendukung situs untuk

menarik para wisatawan.Dari tujuh titik lokasi penyelaman di Tulamben, situs

tempat karamnya kapal tersebut merupakan destinasi utama bagi para wisatawan/

penyelam.Hasil observasi lapangan merupakan bahwa tidak kurang dari 70.000

wisatawan berkunjung setiap tahun di situs ini (Disbudpar, 2014).Berdasarkan

data jumlah kunjungan wisatawan di situs Tulamben perhari, perbulan, pertahun,

sudah saatnya di antisipasi secara lebih dini demi kesinambungan pemanfaatan

sumberdaya alam, sumberdaya budaya, sumberdaya manusia demi berkelanjutan

ekonomi secara adil dan merata.

2.2 Produk Daya Tarik Situs Kapal U.S.A.T Liberty

Desa Tulamben beserta wilayah perairannya memiliki daya tarik

tersendiri.Dua komponen pokok yang menjadi daya tarik wisata utama bagi

wisatawan adalah tinggalan kapal dengan ekosistem bawah air dan keindahan

alam.Tinggalan kapal U.S.A.T Liberty menjadi daya tarik utama wisatawan

karena tinggalan ini memiliki nilai sejarah, arkeologi, dan kemaritiman.Di

perairan ini diperkirakan ada sekitar 400 spesies ikan karang mendiami kapal

karam tersebut.Perpaduan keindahan antara wilayah perairan dengan wilayah

98 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

daratan dan dilatari oleh Gunung Agung memberi nuasan dan kesan tersendiri

bagi wisatawan yang berkunjung ke tempat ini.

Atraksi keindahan biota bawah air yang spesifik adalah pada enam buah

titik lokasi spot dive yang tersebar di sepanjang wilayah perairan pantai

Tulamben. Keenam sport dive yang dimaksud adalah Corral Garden, Alamanda,

The River, Drop Off, Batu Kelebit, dan Teluk Emerald (Tenaya, 2015:152).

Tempat-tempat ini adalah tempat-tempat yang sangat indah untuk

menyelam.Sebagaimana telah dipahami bahwa situs kapal U.S.A.T Liberty

tergolong ke dalam salah satu sumberdaya budaya yang dilindungi oleh regulasi

formal, yakni UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya. Sumberdaya budaya yang

dilindungi sudah tentu karena memiliki unsur-unsur yang bernilai penting dan

telah memenuhi kriteria sebagai benda cagar budaya, yaitu (1) berusia 50 tahun

atau lebih, (2) memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,

agama, dan kebudayaan, dan (3) memiliki nilai budaya bagi penguatan

kepribadian bangsa (Anonim, 2010).

Seiring dengan perjalanan waktu sebagai destinasi wisata, praktik

pemanfaatan situs cenderung didominasi oleh kepentingan

pariwisata.Pemanfaatan bagi kepentingan pariwisata tentu berdampak positif bagi

ekonomi masyarakat.Bangkai kapal U.S.A.T Liberty telah menjadi sebuah

komoditas yang dijual kepada wisatawan untuk menghasilkan uang.Produk adalah

segala sesuatu yang bisa ditukar dengan prinsip mencari keuntungan atau dijual

secara ekonomis. Di sisi lain, pemanfaatan bagi kepentingan pariwisata secara

dominan justru akan berdampak negatif bagi berkelanjutan dan keberadaan

bangkai kapal itu sendiri. Asumsi negatif akibat kunjungan wisatawan bagi

bangkai kapal beserta lingkungannya dapat diketahui berdasarkan jumlah

kunjungan wisatawan setiap hari rata-rata sekitar 100-200 orang. Banyaknya

wisatawan yang berkunjung dan bangkai kapal sebagai daya tarik, sudah tentu

akan berdampak kurang menguntungkan bagi situs serta lingkungan sekitarnya.

Sesuai dengan UU No. 11/2010 tentang cagar budaya, upaya perlindungan dan

pelestarian wajib dilakukan oleh semua pihak. Perlindungan adalah upaya

pencegahan dari kerusakan, kehancuran, dengan cara penyelamatan, pengamanan,

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 99

Denpasar, 25-26 September 2018

dan pemeliharaan cagar budaya. Di lain pihak, memanfaatkan adalah

mendayagunakan benda cagar budaya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.

3. Penutup

Keberadaan situs kapal U.S.A.T Liberty di perairan Tulamben sangat

penting artinya bagi arkeologi maritim.Situs ini wajib dilindungi, dikembangkan,

dilestarikan, bahkan dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, budaya,

dan ekonomi.Komodifikasi ruang di lingkungan darat dan bawah air situs kapal

U.S.A.T Liberty di era globalisasi telah membawa arti positif bagi masyarakat

Tulamben dan sekitarnya, yaitu memberikan perubahan pada taraf kehidupan

yang lebih baik. Sumberdaya budaya, sumberdaya alam, dan sumberdaya

manusia, telah mengalami proses transformasi dari modal budaya, modal sosial,

menjadi model ekonomi. Di dalam lingkaran kapitalis, situs kapal U.S.A.T

Liberty adalah sebagian komoditas yang sangat potensial dijual di pasar sehingga

bisa mendatangkan uang. Sementara dari sudut pandang ilmu pengetahuan,

khususnya arkeologi maritim, situs kapal U.S.A.T Liberty adalah aset budaya

yang sangat penting artinya dan wajib dilindungi, dipelihara dan dilestarikan,

untuk kepentingan penelitian baik masa kini maupun masa yang akan datang.

Daftar Pustaka

Adhitatama, 2012.Model Jalur Penyelaman Kapal Karam U.S.A.T Liberty di

Tulamben, Karangasem (Skripsi). UGM.Yogyakarta.

Anonim. 2010. UURI No. 11/2010 tentang Cagar Budaya. Kementerian

Kebudayaan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala.

Mustika, Kusuma. 2012. Kajian Kondisi Kelautan Provinsi Bali.Denpasar: Balai

Riset dan Observasi Kelautan Bali.

Picard, Michel. 2006. Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta:

Ecole Francaise Extreme Orient.

Tenaya, I Wayan Gede Yadnya. 2015. Komodifikasi Situs Kapal U.S.A.T Liberty

di Era Global di Desa Tulamben (Tesis). Denpasar: Program Studi S2

Kajian Budaya.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 100

Denpasar, 25-26 September 2018

KECENDERUNGAN PEMAKAIAN BAHASA BALI SEBAGAI CERMIN

IDENTITAS MASYARAKAT DI DAERAH PARIWISATA NUSA DUA

I Made Rajeg, Ni Luh Sutjiati Beratha, Ni Wayan Sukarini

Udayana University

[email protected]

ABSTRAK

Perkembangan pariwisata dan teknologi informasi diduga dapat

berpengaruh pada pemakaian bahasa Bali di kalangan masyarakat, terutama di

daerah pariwisata akibat dari adanya kontak bahasa dengan wisatawan nusantara

maupun wisatawan asing. Pemakaian bahasa Bali bercampur bahasa lain, seperti

bahasa Indonesia, bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya merupakan salah satu

akibat dari kontak bahasa tersebut. Seringnya pemakaian bahasa campuran dapat

berakibat pada berkurangnya intensitas pemakaian bahasa Bali. Bahkan, hal

tersebut dapat berakibat pada marginalisasi bahasa Balisebagai wadah identitas

dan kebudayaan Bali.

Makalah ini bertujuan untuk melihat bahasa-bahasa yang digunakan oleh

masyarakat di daerah pariwisata Nusa Dua dalam berkomunikasi pada ranah

keluarga, ketetangaan, pendidikan, agama, jejaring, dan kognisi. Data diperoleh

dari masyarakat Bali di Nusa Dua melalui observasi, wawancara dan kuesioner.

Metode pengumpulan dan analisis data yang digunakan ialah metode kualitatif

didukung dengan metode kuantitatif.

Hasil analisis menunjukkan bahwa masyarakat Bali di daerah pariwisata

Nusa Dua cenderung memakai bahasa Bali sebagai media berkomunikasi di antara

masyarakat Bali, baik pada ranah keluarga, ketetanggaan, pendidikan, agama,

maupun ranah kognisi. Namun, terdapat kecenderungan untuk memilih bahasa

Indonesia dan bahasa asing untuk berkomunikasi pada ranah jejaring.

Kata Kunci: pariwisata, teknologi, pemakaian, bahasa Bali

1. Pendahuluan

Perkembangan pariwisata dan teknologi informasi membawa dua pengaruh

yang berbeda dan tidak dapat dihindari, yaitu pengaruh baik dan pengaruh yang

kurang baik. Pengaruh baik dari perkembangan pariwisata, khususnya di Bali

berupa meningkatnya taraf hidup masyarakat. Sedangkan pengaruh yang kurang

baik dari perkembangan pariwisata dan teknologi, salah satunya berupa pengaruh

yang tidak sesuai dengan kebudayaan kita.

Dilihat dari sudut pandang bahasa, perkembangan pariwisata dan teknologi

informasi diikuti dengan meningkatnya interaksi antara masyarakat dengan

wisatawan sehingga terjadi kontak bahasa antara wisatawan nusantara maupun

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 101

Denpasar, 25-26 September 2018

wisatawan mancanegara yang menyebabkan munculnya kedwibahasaan, bahkan

multibahasa pada masyarakat, terutama masyarakat di daerah pariwisata. Hal ini

berhubungan erat dengan pilihan bahasa dan pemakaian bahasa yang dilakukan

oleh masyarakat. Pemakaian bahasa yang mantap akan mampu mempertahankan

bahasa pertama. Akan tetapi, jika pemakaian bahasa kurang mantap, maka akan

terjadi pergeseran bahasa. Sebuah bahasa dikatakan bertahan jika bahasa tersebut

masih dipilih dan dipakai pada ranah – ranah penggunaan bahasa oleh para

penuturnya. Indikator yang dapat digunakan untuk menandai bahwa sebuah

bahasa bertahan atau bergeser ialah peggunaan bahasa tersebut (Fishman 1968).

Fenomena pemakaian bahasa Bali di kalangan anak-anak orang Bali

menunjukkan bahwa pada umumnyamereka berbahasa Indonesia dan jarang

berbahasa Bali. Atmadja (2005:67) mengatakan bahwa anak-anak mengalami

kesulitan berbahasa Bali alus walaupun di sekolah telah diajarkanbahasa Bali alus.

Selain di sekolah, penggunaan bahasa Bali juga sudah sering disosialisasikan

melalui tayangan televisi lokal. Selain anak-anak, orang Bali dewasa juga sering

mengalami kesulitan dalam berbahasa Bali alus. Dengan demikian mereka

memakai bahasa campuran, yakni bahasa Bali bercampur dengan bahasa

Indonesia atau bahasa Inggris, terutama di desa-desa yang termasuk dalam daerah

wisata (Keriana, 2004).

Bertitik tolak dari fenomena di atas, makalah ini bertujuan untuk

mendiskripsikan bahasa-bahasa yang digunakan oleh masyarakat di daerah

pariwisata Nusa Dua dalam berkomunikasi pada ranah keluarga, ketetanggaan,

pendidikan, agama, jejaring, dan kognisi.Masyarakat yang dipilih sebagai

responden ialah mereka yang berusia 18 tahun sampai 60 tahun yang bahasa

pertamanya ialah bahasa Bali. Mereka menetap di daerah Nusa Dua sejak daerah

ini dikembangkan sebagai daerah pariwisata sejak tahun 1980an.

2. Konsep Dasar dan Kajian Pustaka

Kecenderugan pemilihan dan pemakaian bahasa disebabkan oleh adanya

beberapa bahasa, dialek, variasi, maupun gaya yang dikuasi dan dipilih oleh

masyarakat untuk berkomunikasi dalam ranah-ranah tertentu. Pemilihan satu

102 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

bahasa tertentu dimotivasi oleh tujuan dan faktor-faktor yang mempengaruhi

seseorang dalam berkomunikasi, seperti faktor sosial dan budaya.

Menurut Wardough (2006:86-102), ada tiga kategori pilihan bahasa.

Pertama, memilih salah satu variasi dari satu bahasa yang sama. Misalnya,

memilih salah satu variasi bahasa Bali halus, madia, atau akrab. Kedua, beralih

kode, maksudnya menggunakan satu bahasa pada satu kesempatan dan

menggunakan bahasa yang lain pada kesempatan lainnya dalam satu peristiwa

komunikasi. Ketiga, bercampur kode, artinya menggunakan satu bahasa

tertentubercampur dengan serpihan-serpihan bahasa lain.

Evin-Tripp (1972) mengidentifikasi empat faktor yang menandai pilihan

bahasa penutur dalam berinteraksi sosial, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan

situasi, (2) partisipan dalam interaksi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi

interaksi. Faktor pertama dapat berupa waktu makan di rumah besama keluarga,

waktu rapat di desa/kelurahan, waktu belajar di sekolah, dan waktu berbelanja di

pasar. Faktor kedua, mencakup usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial

ekonomi, dan peran masing-masing dalam hubungan dengan mitra tutur.

Misalnya, hubungan formal atau informal, hubungan berjarak atau hubungan

akrab. Faktor ketiga, dapat berupa topik percakapan tentang pekerjaan, prestasi

anak-anak, peristiwa-peristiwa aktual, dan topik hargabarang di pasar. Faktor

keempat berupa fungsi, seperti menawarkan informasi, memohon, menyatakan

kebiasaan rutin (salam, meminta maaf, atau mengucapkan terima kasih).

Sehubungan dengan pilihan bahasa, Seri Malini dkk (2018) menemukan

bahwa generasi muda di daerah destinasi wisata Sanur, Ubud, dan Kuta cenderung

memilih bahasa Bali sebagai media komunikasi pada ranah keluarga, ketetanggan,

pendidikan, dan agama. Penelitian tersebut belum mencakup pilihan bahasa pada

ranah kognisi atau pikiran sebagai ranah yang memotivasi pilihan bahasa pada

ranah yang lebih konkrit. Selain itu, penelitian tersebut tidak membahas pilihan

bahasa ketika seseorang berkomunikasi pada ranah jejaring, seperti

ketikamengirim pesan singkat dan menelpon, dan lain-lain.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 103

Denpasar, 25-26 September 2018

3. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang memanfaatkan

kombinasi metode observasi, wawancara, dan survey. Bentuk data yang

digunakan ialah data lisan yang diperoleh melalui observasi, wawancaradengan

informan dan responden yang berdomisili di daerah pariwisata Nusa Dua.

Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data ialah instrumen manusia

(peneliti) dan instrumen berupa kuesioner. Responden penelitian ini berjumlah 37

orang. Mereka menetap di daerah pariwisata Nusa Dua dan memiliki kontak

bahasa dengan wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Data yang

terkumpul dianalisis berdasarkan teori pilihan bahasa yang dikemukakan oleh

Wardough (2006).

4. Hasil dan Diskusi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan pilihan bahasa

masyarakat di daerah pariwisata Nusa Dua dapat dideskripsikan seperti di bawah

ini.

1) Pilihan dan pemakaian bahasa pada ranah keluarga

Ditinjau dari sudut pandang ranah keluarga, kecenderungan pilihan bahasa

masyarakat di daerah pariwisata Nusa Dua menunjukkan bahwa bahasa Bali (BB)

menjadi pilihan utama msyarakat dalam berkomunikasi dengan anggota keluarga.

Secara kuantitatif ditunjukkan bahwa 64,86% sampai dengan 86.49% responden

memilih BB untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga. Secara terperinci

dapat dijelaskan bahwa 86,49% responden memilih BB untuk berkomunikasi

kepada ayah dan ibu mereka, 94,59% kepada kakek, 97,30% kepada nenek,

83,78% kepada adik, dan 64,86% kepada kakak.

Bahasa berikutnya yang dipilih oleh responden ialah bahasa Indonesia(BI).

Sebanyak 5,41% responden menggunakan BI ketika berbicara kepada ayah,

2,70% kepada ibu dan nenek, 8,11% kepada adik, dan 16% kepada kakak.

Sementara itu, tidak ada responden yang memakai BI untuk berkomunikasi

kepada kakek mereka. Pemakaian bahasa campuran, BB dan BI di lingkungan

keluarga sangat minimum, yaitu 8.11% kepada ayah, 5,41% kepada ibu dan adik,

104 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

dan 2,70% kepada kakak. Tidak ada responden yang memilih bahasa campuran

untuk berkomunikasi dengan kakek dan nenek. Sementara itu, hanya 2,70%

responden memakai bahasa asing untuk berkomunikasi di lingkungan keluarga,

khususnya hanya kepada ibu mereka.

Kecenderungan pemakaian BB pada ranah keluarga sebagai pilar utama

pemertahanan bahasa merupakan hal hal yang positif bagi keberlangsungan BB.

Hal ini mengindikasikan bahwa BB bertahan sangat kuat sebagai wahana

pemertahanan identitas dan nilai budaya Bali pada masyarakat di daerah

pariwisata Nusa Dua. Pengaruh BI dan bahasa asing (BA) dapat dipandang

sebagai alternatif untuk memperkaya khazanah BB.

2) Pilihan dan pemakaian bahasa pada ranah ketetanggaan

Pada ranah ketetanggan, masyarakat di daerah pariwisata Nusa Dua, masih

mempertahankan pemakaian BB untuk berkomunikasi antar tetangga. Ada

81,08% responden yang memilih BB untuk berkomunikasi dengan tetangganya

dan hanya 16,22% masyarakat menggunakan BI untuk berkomunikasi dengan

tetangganya. Sedangkan yang menggunakan bahasa campuran BB dan BI

berjumlah 2,70%.

3) Pilihan dan pemakaian bahasa pada ranah pendidikan

Ranah pendidikan merupakan salah satu ranah yang di dukung dengan

situasi formal. Oleh karena itu, pemakaian BB cenderung dipilih ketika responden

berbicara dengan sesama siswa dari tingkat dasar, menengah, sampai pada tingkat

atas. Sementara itu, BI dipilih ketika responden berbicara dengan guru, baik di

tingkat dasar, menengah, maupun tingkat atas. Sedangkan bahasa campuran, BB

dan BI menjadi pilihan ketiga dan cenderung sangat sedikit. BA maupun bahasa

campuran BB dan BA tidak pernah menjadi pilihan responden dalam

berkomunikasi.

Secara lebih terperinci dapat dijelaskan bahwa 75,68% sampai 83,78%

responden memilih menggunakan BB untuk berkomunikasi dengan sesama siswa.

Sedangkan 2,70% sampai 13,51% responden berkomunikasi dengan guru

memakai BB. Sebaliknya, 64, 58% sampai 70,27% responden memilih memakai

BI untuk berkomunikasi dengan guru. Sementara itu, 2,70% sampai 5,41%

responden menggunakan bahasa campuran BB dan BI ketikan berbicara sesama

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 105

Denpasar, 25-26 September 2018

siswa dan 21,62% responden menggunakan bahasa campuran BB dan BI ketika

berkomunikasi dengan guru.

Kecenderungan yang bersifat opositif ini diduga karena responden bersikap

lebih formal ketika berbicara dengan guru dan bersikap lebih akrab ketika

berbicara sesama teman sekolah. Data kuantitatif yang ditampilkan dapat

menunjukkan bahwa pemakaian masih BB lebih tinggi daripada BI meskipun

situasinya cenderung lebih formal (sekolah).

4) Pilihan dan pemakaian bahasa pada ranah agama

Pemakaian bahasa pada ranah agama pada masyarakat di daerah pariwisata

Nusa Dua didominasi dengan pemakaian BB, baik ketika di rumah, di pura,

maupun ketika berkomunikasi dalam hati. Pelibat yang termasuk dalam ranah

agama, khususnya pada saat berdoa ialah antara responden dengan Tuhan.Ketika

berdoa di rumah, 94,59% responden menggunakan BB, 100% responden

menggunakan BB ketika berdoa di pura, dan 83,78% responden menggunakan BB

ketika berdoa dalam hati. BI digunakan oleh 5,41% responden ketikan berdoan di

rumah dan 10,81% ketika berdoa dalam hati. Sedangkan bahasa campuran BB dan

BI digunakan oleh 5,41% responden hanya ketika berdoa dalam hati. Tidak

seorang pun responden yang menggunakan BA untuk berdoa.

5) Pilihan dan pemakaian bahasa pada ranah jejaring

Salah satu ranah yang termasuk ranah modern ialah ranah jejaring.

Kemajuan teknologi telah menciptakan satu ranah jejaring ini. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pada ranah jejaring, BB lebih jarang dipilih dibandingkan

dengan BI. Pada ranah ini, pemakaian bahasa masyarakat di daerah pariwisata

Nusa Dua lebih bervariasi. Mereka menggunakan BB, BI, BB&BI, BA,dan

BB&BA. Namun, pemakaian bahasa didominasi dengan pemakaian BI untuk

berkomunikasi pada ranah jejaring.

Data menunjukkan bahwa hanya 10,81% responden menggunakan BB

untuk berkomunikasi. Sedangkan BI dipilih oleh 62,16% responden untuk

berkomunikasi pada jejaring. Campuran BB &BI dipilih oleh 2,70 responden,

bahasa asing dipilih oleh 16,22 % responden, dan ada 2,70% responden yang

memilih campuran dari BB & BA berkomunikasi pada ranah jejaring.Jadi, dapat

106 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

dikatakan bahwa kemajuan teknologi mampu menggeser sebuah pilihan bahasa,

paling tidak dalam kasus penelitian ini.

6) Pilihan dan pemakaian bahasa pada ranah kognisi

Ranah kognisi adalah ranah yang mencakup kegiatan mental atau otak.

Segala sesuatu yang menyankut kegiatan otak, seperti bermimpi termasuk ranah

kognisi. Pada tataran ranah kognisi, 78,38% responden bermimpi dalam BB dan

hanya 16,22% bermimpi menggunakan BI. Sedangkan pemakaian campuran BB

& BA berjumlah sangat minimum, yaitu 2,70%.

5. Simpulan

Hasil pembahasan membimbing kita untuk sampai pada simpulan bahwa

masyarakat di daerah pariwisata Nusa Dua cenderung memilih BB sebagai bahasa

utama yang digunakan untuk berkomunikasi pada ranah keluarga, tetangga,

pendidikan, agama, dan kognisi. Hal ini, membuktikan bahwa BB mampu

bertahan di lingkungan bahasa-bahasa lain didaerah itu.

Namun, kemajuan teknologi informasitidak terhindarkan dan hal tersebut

mampu sedikit menggeser pilihan utama BB menjadi pilihan kedua dalam

berkomunikasi pada ranah jejaring. Terbukti bahwa BI lebih banyak digunakan

untuk berkomunikasi melalui jejaring dibandingkann dengan BB. Selain itu,

pemakaian BA mulai meningkat pada ranah jejaring ini.

Daftar Pustaka

Atmadja, Nengah Bawa. 2005. Bali pada Era Globalisasi: Pulau Seribu Pura

Tidak Seindah Penampilannya. Singaraja (naskah tidak terbit).

Ervin-Tripp, S. 1972, ‗Sociolinguistic rules of address‘, in Pride, J. And Holmes,

J. (eds.), Sociolinguistics. Harmondsworth: Penguin, pp. 225--41.References

Fishman, J. A. (ed). 1968. Readings in the Sociology of Language. The Hague;

Mouton

Keriana, I K. 2004. ―Campur Kode dalam Pemakaian Bahasa Bali pada Rapat

Adat Desa Pakraman Kedewatan, Ubud, Gianyar.‖ Tesis Jurusan Bahasa,

IKIP Negeri Singaraja.

Seri Malini, NLM. 2018. ―Pilihan Bahasa Generasi Muda di Destinasi Wisata di

Bali‖Jurnal Kajian Bali. Vol 08 No. 01

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 107

Denpasar, 25-26 September 2018

SutjiatiBeratha, N. L., et al. 2013. MenanganiMasalahMarginalisasi Bahasa

Bali: Merancang Model Revitalisasi Bahasa Daerah di Bali. Research

Report. Denpasar: UniversitasUdayana.

Wardhaugh, R. 2006. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil

Blackwell

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 108

Denpasar, 25-26 September 2018

KERAS, KASAR, PEDAS, PENUH GAIRAH

KARAKTERISTIK MASYARAKAT PESISIR

DALAM DRAMA “MALAM JAHANAM” KARYA MOTINGGO BUSYE

I Made Suarsa

Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Malam Jahanam adalah drama karya Motinggo Busye yang pertama kali

terbit tahun 1961. Kata malam dan jahanam yang membangun judul drama satu

babak ini, langsung memberi suasana mencekam yang mewarnai salah satu drama

pada periode perkembangan (1950--1963) ini.

Latar Malam Jahanam adalah perkampungan nelayan pada sebuah pantai di

Pulau Madura dengan tokoh-tokoh: Mat Kontan, Paijah, Soleman, Utai, dan

Tukang Pijat.

Penduduk kampung nelayan ini selalu gembira, walaupun miskin. Rumah

mereka terdiri atas geribik, tonggak bamboo, dan beratap daun kelapa. Suara

mereka keras, gurauannya kasar, bicaranya pedas, dan selalu penuh gairah.

Para lelaki umumnya bercelana katok, baju kaos hitam, berselempang kain

sarung, berkopiah, pandangan mata tajam, dengan golok diikat di pinggang,

mengesankan mereka cepat naik darah.

Para perempuan selalu mengenakan pakaian mencolok yang membalut

tubuh sintalnya, tertawanya keras dengan bibir bergincu tebal sambil tidak henti-

hentinya melemparkan senyum mengundang gairah.

Perilaku yang keras, kasar, pedas, dan penuh gairah sebagai ciri masyarakat

pesisir dalam suasana kemiskinan dan kurangnya pendidikan. Kendatipun

demikian, sebenarnya mereka juga menyimpan kelembutan dan ketulusan hati,

walaupun ketulusan yang agak bodoh.

Kata kunci: jahanam, miskin, gairah

1. Pendahuluan

Ilmu atau studi tentang sastra terdiri atas teori, sejarah, dan kritik sastra.

Dalam konteks studi sastra ini, khususnya sejarah dan kritik sastra, dengan

menerapkan teori-teori sastra, penelitian terhadap drama sebagai salah satu genre

sastra, khususnya dalam sastra Indonesia menjadi penting.

Pentingnya penelitian terhadap jenis drama ini berkaitan dengan keberadaan

drama dalam khazanah sastra Indonesia. Perkembangan drama dalam sastra

Indonesia sangat terlambat dibandingkan dengan jenis puisi dan prosa. Hal ini

berkaitan dengan ketiadaan jenis drama dalam sastra Melayu Klasik. Ketiadaan

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 109

Denpasar, 25-26 September 2018

jenis drama dalam khazanah sastra Melayu Klasik berpengaruh langsung pada

minimnya keberadaan drama dalam khazanah Sastra Indonesia (Suarsa, 1988:2).

Salah satu drama yang banyak mendapat sambutan dari para pencinta dan

pengamat sastra Indonesia adalah drama Malam Jahanam karya Motinggo Busye

yang pertama kali terbit tahun 1961oleh Pustaka Jaya. Menurut Oemarjati

(1971:41), Malam Jahanam termasuk salah satu drama yang terbit pada masa

perkembangan drama di Indonesia (1950—1963).

Penelitian terhadap Malam Jahanam ini penting, di samping salah satu

drama yang paling banyak mendapat sambutan dari pencinta dan pengamat sastra

Indonesia, juga unsur penokohan di dalam drama ini cukup kuat dan menonjol

yang muncul lewat konflik antartokoh dalam sebuah komunitas masyarakat

pesisir di Pulau Madura.Untuk menganalisis unsur penokohan Malam Jahanam ini

diterapkan teori strukturalisme yang menekankan keseluruhan relasi antara

berbagai unsur teks (Endraswara, 2013:51).

Drama satu babak yang dimainkan oleh lima orang tokoh ini (Mat Kontan,

Paijah, Soleman, Utai, dan Tukang Pijat) berhasil menampilkan sisi gelap atau

jahanamnya manusia, di samping juga aspek ketulusan dan kelembutan hati. Mat

Kontan sebagai sebagai protagonis dalam drama ini dikenal sebagai seorang

penjudi besar dan penggila burung. Kecintaannya terhadap burung dan

kegemarannya berjudi terasa semakin jelas ketika anaknya menderita sakit keras,

tetapi ia tidak perduli, bahkan dia dengan tenangnya menimang-nimang burung

perkutut kesayangannya, padahal di sisi lain dia selalu membangga-banggakan

anaknya.

Menurut Oemarjati (1971:115), membaca dan menyimak lakon ini, kita jadi

bisa turut merasakan berubah-uabhnya situasi jiwa Mat Kontan. Di saat ia bangga,

kita ikut membusungkan dada. Namun di saat ia berang, kitapun dicekam

kegeraman. Juga kepasrahannya pada nasib, kita rasakan sebagai kepasrahan yang

mutlak. Ini tentu berkat pemilihan kata-kata dalam percakapannya, sederhana

tetapi tepat. Tepat, karena bisa dirasakan sebagai ungka[pan pribadi pengucapnya.

Kalinan plot Motinggo mengesankan suatu kecermatan penyusunan, sekaligus

menunjukkasn keuletan penempatan momen-momen ketegangan yang pas dan

tepat.

110 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

2. Isi

Dalam drama, klasifikasi tokoh-tokoh dikategorikan menjadi tokoh

protagonis (tokoh utama dalam prosa), tokoh antagonis (tokoh sekunder dalam

prosa), dan tokoh tritagonis (tokoh komplementer dalam prosa). Dalam Malam

Jahanam, tokoh protagonis adalah Mat Kontan, tokoh antagonis adalah Soleman,

dan tokoh tritagonis adalah Paijah, Utai, dan Tukang Pijat.

Tokoh Mat Kontan sebagai seorang penjudi dan pencinta burung begitu

jelas tergambar ketika baru pertama kali tokoh ini muncul dalam cerita

sebagaimana tergambar dalam kutipan berikut.

Dengan membawa sangkar burung, Mat Kontan terbahak

kesenangan. Dan setiba di depan rumah Soleman, ia berhenti.

MAT KONTAN

Hai, Man! Kau masih tidur, ha? (Karena tak disahuti, ia tertawa

lagi). Kalah Cuma lima puluh kok susah! (Menuju sangkar burung

perkutut yang tergantung di senta atap. Ia bersiul menirukan suara

burung itu), Hiphoo! (Mengambil sangkar dan melihat sekeliling), Sudah

hampir malam nih! Kau mesti tidur, Tut, sekarang kau sudah dicarikan

bini. Nih!(Ia menunjukkan sangkar yang baru dibawa). Jah? (Ia tertawa

lagi), Paijah? (Karena tak mendengar sahutan ia masuk ke dalam

rumahnya).

Suara tawa dan omongan yang tak jelas terdengar dari rumah itu.

Kemudian Mat Kontan keluar dalam siul perkutut. Setelah ia duduk di

ambinnya, menggaruk-garuk kudis di kakinya.

Tiba-tiba matanya disilaukan oleh cahaya senter yang menyorot ke

matanya dari tempat kelam.

Siapa itu! Siapa itu! (hlm.19)

Karena Malam Jahanam merupakan drama satu babak yang lebih

menonjolkan konflik antartokoh, maka dimensi psikologis (kejiwaan) tokoh-tokoh

yang lebih ditonjolkan dibandingkan dimensi fisiologis (fisik) dan dimensi

sosiologis (sosial). Begitu cintanya Mat Kontan dengan burungnya, maka ketika

salah seekor burungnya mati, ia marah besar dan memaki-maki Utai (sebagai

cermin sikapnya yang keras, pedas, dan kasar) yang tidak setuju dengan sikap Mat

Kontan yang ingin mencari tukang nujum menanyakan siapa yang membunuh

burungnya, seperti terlihat dalam kutipan berikut.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 111

Denpasar, 25-26 September 2018

UTAI

Cuma burung mati, mesti dinujum?

MAT KONTAN

Ya, mesti. Mana si Leman he, Geblek! Mana dia, ha?

UTAI

Buat apa sih dinujum? Mau ditanya masuk sorga atau neraka?

MAT KONTAN

Diam, Setan! Kita mau nujum siapa yang potong lehernya. Kalau

kedapatan akan kubunuh dia! (Memanggil-manggil Soleman).

Paijah keluar menjenguk dengan cemas.

(hlm.35)

Pada peristiwa lain ketika Mat Kontan berkelahi dengan Paijah istrinya,

terkuak di sana ada kegairahan terhadap lawan jenis yang bukan suami/istrinya,

yaitu Paijah yang ada main serong dengan Suleman. Ketika Paijah takut dengan

kegarangan Mat Kontan, Paijah lari keluar rumah dan mendekap Suleman.

Spontan saja Mat Kontan bertambah berang dan mengancam Suleman dan Paijah

seperti terlihat dalam kutipan berikut.

MAT KONTAN

(mengancam)

Lepaskan dekapan itu!

PAIJAH

(terus mendekap)

Man, tolong lindungi saya, Man!

MAT KONTAN

Ayo lepaskan sebelum kuambil golok

PAIJAH

(melihat Soleman diam begitu saja menjadi geram)

Man! Kau diam saja!

Soleman hanya menantangi mata Mat Kontan dengan dada yang

sesak.

MAT KONTAN

Kau juga harus melerpaskan dia! He, Soleman! (Jadi geram

melihat Soleman yang hanya memandanginyasaja dengan mata

jantan), Lepaskan dia! Dia bukan binimu!

(hlm. 60)

Masyarakat pesisir rata-rata berdarah panas yang cenderung mengemuka

lewat kata-kata yang pedas dengan nada keras (untuk mengatasi suara gelombang

dan deru angin laut ?), dan kehidupan perekonomian yang pas-pasan berakibat

pada sifat-sifat yang amoral, satu di antaranya adalah berselingkuh. Kasus-kasus

112 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

di atas akhirnya menjadi bagian penutup drama ini, terbukti dengan lahirnya Si

Kontan Kecil, yang secara de yure adalah anak Mat Kontan, tetapi secara de facto

bukanlah anak biologis Mat Kontan, tetapi darah daging Soleman dengan Paijah

(istri Mat Kontan). Perhatikankutipn di bawah ini!

MAT KONTAN

Kenapa kauhina anak saya, ha?

SOLEMAN

Ia bukan asnakmu!

MAT KONTAN

Apa katamu?

PAIJAH

Soleman!

SOLEMAN

Sekarang kau jangan banyak omong, Jah. Malam ini malam

yang menentyukan kita semuanya. Ya, si Kontan Kecil itu memang

bukan anakmu, Mat!

MAT KONTAN

Anak siapa coba?(…)

SOLEMAN

(…) Karena Paijah sering duduk di sini terkadang sampai

malam! Dan saya duduk di sana (menunjuk ambin kepunyaannya).

Kami saling memandang. (Kepada Mat Kontan), Kenapa kau

sering tak di rumah, Tan? Itu juga perbuatan yang jahanam.

PAIJAH

Jangan kaubilang Man!

SOLEMAN

(…) Anak itu anak saya, darah daging saya!

MAT KONTAN

Biadab kalian!

(hlm.65--67)

3. Penutup

Suasana pesisir yang panas dengan suara ombak yang keras dan tiupan

angin yang deras memacu penduduk pesisir bersikap keras, kasar, pedas, dan

kemiskinan membuat pendudukan cenderung bersikap amoral.

DAFTAR PUSTAKA

Busye, Motinggo. 1961. Malam Jahanam. Jakarta: Pustaka Jaya

Endraswara, Suwardi. 2013. Teori Kritik Sastra. Yogyakarta: CAPS

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 113

Denpasar, 25-26 September 2018

Oemarjati, Boen S. 1971. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta:

Gunung Agung

Suarsa, I Made. 1998. ―Drama-Drama B.Soelarto. Yogyakarta: Tesis S-2 pada

Fakukultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 114

Denpasar, 25-26 September 2018

GAMBARAN PERJALANAN LAUT A.A. ISTRI AGUNG DAN

SUAMINYA DARI KARANGASEM KE JEMBRANA

I Made Suastika

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK

Kisah ini digambarkan dalam sebuah teks geguritan berjudul ―Geguritan

Lunga Ka Jembrana‖. Bagaimana sejumlah tokoh dari Puri Karangasem ketika itu

diberangkatkan dari Karangasem sampai ke Jembrana melalui laut bukan melalui

darat.

Gambarannya, ketika di tahun 1908 perjalanan beliau diikuti oleh istri,

beberapa pendeta dan anggota masyarakat. Kapal telah siap di Ujung, kapal besar

itu berisikan sejumlah barang, serdadu bersenjata dan segala aktivitas sebuah

kapal perang mengantarkan A.A. Istri Agung ke Jembrana, setelah beberapa lama

tiba di Capel sebuah pelabuhan di selatan pulau Bali.

Gambaran diatas akan dijelaskan mengenai kisah perjalanan di laut sampai

merapat di pelabuhan Capel, Negara dalam makalah ini.

1. Pendahuluan

Ruang lingkup kesusastraan Bali yang termuat dalam teks lontar meliputi

berbagai hal seperti : tatwa, susila, uger-uger, terdapat pula teks purwa

(tradisional) berisikan kidung, geguritan, satua piteket, babad, satua bawak, dan

lain-lain. Sastra Bali modern (anyar) meliputi jenis sastra cerpen (satua bawak),

novel, derama, puisi modern yang menggunakan pengantar bahasa Bali. Jadi,

kesusastraan Bali dalam arti luas dapat disebut karya sastra yang lahir dari para

pengawi (lokal) dan cerdik pandai yang berhuruf Bali dan latin, tetapi tetap

memakai pengantar bahasa Bali, serta menjadi warisan sampai sekarang, termasuk

satua, tutur dan lain-lain (Dinas Kebudayaan, 2005 : 5)

Sejumlah geguritan atau peparikan yang lahir sebagai bagian dari

kesusastraan Bali, dari lahirnya geguritan basur sampai geguritan Pandu Yajnya.

Sebagian geguritan atau peparikan kurang dikenal di dalam masyarakat salah

satunya geguritan Lunga Ka Jembrana Karangan A.A. Istri Agung dari Puri

Karangasem. A.A. Istri Agung pengarang keraton yang diperkirakan dibuat tahun

1908 M di Puri Karangasem.

Isi ringkas geguritan Lunga Ka Jembrana dibuat oleh A.A. Istri Agung,

yaitu nenek dari A.A. Ketut Agung (alm). Karya itu mengisahkan peristiwa yang

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 115

Denpasar, 25-26 September 2018

terjadi tahun 1908 beliau diberangkatkan ke Jembrana (Negara), karena adanya

intervensi pemerintah Belanda ketika itu di Kerajaan Karangasem terhadap

kekuasaan seorang raja. Isi geguritan juga memuat tentang nilai sejarah ketika itu

dituangkan dalam tembang sinom, pucung, ginanti, jumlah pupuhnya 315 pupuh.

2. Aktivitas Di Pelabuhan Ujung Sampai Ke Cupel

Kisah ini disebutkan dalam pupuh sinom (pada bagian awal bait 1 sampai

11) yaitu persiapan kapal akan berangkat, I Bagus Karang bercerita dan

mempersiapkan segala bekal, karena suami sakit di kapal biarkanlah ia

merawatnya. Kedua tokoh (A.A. Istri Agung) menceritakan supaya bersama-sama

dalam keadaan baik-buruk, suka duka. Ucapan tuan (Gusti) membuat

kesejahterana di Karangasem. Oleh karena itu, sudah pernah melakukan

maupasaksi (bersumpah) di pamerajan, takut dengan Tuan Belanda yaitu Jendreal

Betawi. Beliau Baginda Putri (Ratu Belanda) tidak menolak karena tidak salah.

Beliau Tuwan mengingatkan agar pergi ke Jembrana atau sampai ke Jawi, Betawi

atau ke Tanah Belanda akan mengikuti perintah yang berkuasa.

Kutipan teks sebagai berikut :

Mangda ka Jembrana, pituwi teked ke Jawi, Batawi tanah Holanda,

pakayunan maming sisip, tiang lintang sahiring, demen makamulan takut,

sing pesan bani piwal, patut kenehe buwatin, anggon sangu, sang

sepanitah sang ngwisesa.

Terjemahan

Agar ke Jembrana, sungguhpun sampai ke Jawa, Betawi dan Tanah

Belanda, (tidak) ada keinginan bersalah saya akan menuruti, oleh karena

terasa senang bercampur takut, tidak berani ingkar janji seperti apa

keinginan pikiran (dibawa), dipakai bekal, sesuai perintah Belanda.

Selanjutnya pada pupuh pangkur (bait 1-14) ketika wuku klurut isaka 1830

(1908 M), jumlahnya ribuan tentara Belanda membawa bedil, namun tokoh puri

(A.A. Istri Agung) tenang menghadapi masalah itu karena merasakan tidak

bersalah. Seperti di Siwalaya rasanya. Ketika dauh nem (jam 13.30-15.00)

kedatangan serdadu Belanda dengan berkuda di Desa Pabukit, dengan lengkap

senjata (bedil). Lalu tiba di sisi ujung, tampak kapal besar menunggu. Kapal besar

itu siap di laut, seperti gunung Mahameru tingginya, Kapten Kapal bernama

116 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Satriman. Kapten 3 orang dan pembantu kapal berpakaian rapi seragam tinggi

besar-besar. Tampak pula di dalam kapal berbagai macam minuman dan makanan

berjejer diatas piring. Ketika malam hari terang benderang bagaikan di sorga,

lampu menyala di kapal, kapal mengeluarkan asap mengepul di angkasa tanda-

tanda kapal akan berangkat. Dijelaskan pula berbagai perlengkapan di kapal

sangat lengkap. Kapal berangkat, tali jangkar ditarik oleh ribuan orang perajurit

menuju Cupel, Jembrana. Beliau A.A. Istri Agung dan suaminya diasingkan

(diselong) di Jembrana.

Berikut kutipan teks

Dawuh nem laut majalan, mamesuang suradadune sami, kapten kumandan

tatelu, pada negakin jaran, sersan letnan kopral mangater di malu, nanging

prajalan ngrabad, mengambah desa pabukit (II.4)

Tuwan asisten duriyan, olas nandan di duri kiter bedil, pejalan sada

ndawus, alah buka keberang, sing da mrasa saget di pesisin Ujung, kapale

suba mengenah, di Pakem pacang manganti (II.5)

Terjemahan

Sekitar pukul 13.30-15.00 berangkat (dari puri) mengeluarkan semua

serdadu, kapten komandan 3 orang, sama-sama naik kuda, sersan letnan,

kopral memimpin di depan, namun perjalanan memanjang (melingkar)

melewati desa pabukit.

Tuwan asisten di belakang bersedia memapah di belakang dikelilingi oleh

senjata, perjalanan sangat cepat, bagaikan diterbangkan, tidak terasa tiba-

tiba sampai di Ujung, kapal sudah tampak, di Makem akan menunggu.

Gambaran ketika kapal besar di tengah laut di Ujung, kemudian berbagai

jukung berjejer, banyak yang serentak naik menuju kapal besar saling mendahului,

takut tidak dapat naik kapal karena cintanya (kepada A.A. Istri Agung dan

suaminya) ingin mengikutinya. Jukung-jukung segera berangkat, sekoci, menuju

kapal besar bagaikan gunung Mandara, para juragan naik kapal, naik ke kapal

begitu pula diikuti kapten kapal Satriman.

Para mandor kapal mengawasi dan juragan kapal banyak sekali berpakaian

putih seragam, besar tinggi semuanya tiba di kapal dengan membawa

persembahan (menghormat) membawa kopi, teh, minuman dari Jawa. Sangat

indah dan ramai berbagai makanan, berjejer di piring dengan buah-buahan

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 117

Denpasar, 25-26 September 2018

bagaikan sorga indra, semua tampak indah, cocok bagi yang telah berjasa (orang

berwibawa).

Suasaa di kapal digambarkan dalam teks (II.11)

Galang ambul swargan, ada siyu damare suba menyit, kalah bintange di

duur, baan damare di kapal, bulan hilang makaput baan ambubu dleg

handuse di kapal cihne ring ngantiang mamargi.

Terjemahan

Disebutkan keindahan di kapal bagaikan di sorga ketika ribuan lampu di

kapal menyala, kalah terang bulan di langit begitu pula bintang di langit,

sinar bulan hilang (redup) diselimuti asap kapal yang mengepul ciri kapal

akan berangkat.

Selanjutnya diceritakan pula keindahan di dalam kapal berbagai fasilitas

kapal serba indah tempat tidur, ranjang, kasur, guling, kelambu, berisikan kaca

(gedah), meja permadani. Di kapal itu pula tampak senjata (bedil) berjajar sekitar

tujuh ratus buah, kelewang, sarung berwarna hitam, ada lampu mengapit kori

(pintu kamar) di dalam kapal. Permadani alas kaki, disampingnya ada peti kecil,

ada gedah (kaca) berisikan minuman sangat indah membuat takjub karena

pertama kali melihat (bahane tumben nepukin).

Ketika kapal berangkat ada 2000 an prajurit mencabut manggar sambil

melepaskan (muhug) bagaikan gandarwa raja, ikatannya bagaikan naga panjang,

ketika memutar gunung Mandara (mengaduk ksirarnawa) para dewa di belakang

berada. Digambarkan bagaikan tuwan Kuntrolir, kapten, komandan semuanya

sibuk mengantarkan paling belakang kesana-kemari, dantawari di tengah indah,

munculnya merta, air suci (pawitra hening).

Diceritakan dalam pupuh III (1-14) kapal besar (kapal perang) berlayar di

tengah lautan, sangat cepat seperti angin, bagaikan Dewa Wisnu ketika membawa

air penghidupan (amerta), segera hilang lenyap, gunung yang awalnya tampak

kemudian menghilang, yang tampak keindahan laut dan langit. Tampak bawah

laut terang, di sekitar tempat sinar lampu menyala, bagaikan permata dan manik

berkilau cahaya kerlap-kerlip bersinar, seperti tumpah ruah, di puncak gunung di

timur, terang benderang, matahari pagi mulai muncul (terbit).

118 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Tampak pagi hari sudah terang, gunung di pinggir tampak, yang

pinggirannya agak kabur, disebutkan sudah sampai di Jembrana, semua para

juragan bangun, kapten komandan, dengan memakai pengeras suara. Kesibukan di

atas kapal ada yang meneropong mengawasi, saling bersapa mengingatkan, pantai

masih samar-samar karena jauh, sekoci diturunkan semua supaya mengangkut

untuk menuju pantai. Inilah namanya pantai Cupel, panas tidak tertandingi ada

balai besar tempat peristirahatan rasa sedih dalam diri, karena semalaman tidak

melihat dunia.

Berikut kutipan teks (III.3, III.4 dan III.5)

Ngenah tinggar arah-arahe makejang, gunung sawat di sisi, pasihe sawat,

kocap di Jembrana, bangun juragane sami, kapten komandan, macacorang

magenti.

Ada nyemak eka bangun ada ngawasin, magilih mengingetin pasisine

sawat, sakuci satumurgas, suba matuutang sami, pacang mangunjal,

nukutang kaposisi.

Niki kocap posisin Cupel adannya, kebuse tan sinipi, ada bale nglegar,

abungkul parerenan, manuptup idepe sedih, inget ke awak, peteng tong

ngenot gumi.

Terjemahan

Tampak terang di semua arah, gunung jauh di pinggir, pantainya masih

samar-samar, dikatakan di Jembrana, semua juragan kapal bangun, kapten,

komandan, memakai pengeras semua.

Ada yang mengambil teropong bangun mengawasi, saling mengingatkan,

pesisir pantai masih jauh, sekoci sudah diturunkan semua, supaya

mengangkut ke pantai.

Ini namanya pantai Cupel, panas tidak terhingga, ada bangunan besar, satu

untuk peristirahatan, tertutup hati sedih, ingat kepada diri, semalam tidak

melihat dunia.

3. Simpulan

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. A.A. Istri Agung dan suaminya sangat kokoh dengan pendirian tidak akan

ingkar janji karena perintah Tuan Putri Koningen (Ratu Belanda)

dilanjutkan Jendral di Betawi (Jakarta) agar ini dilaksanakan sepenuhnya,

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 119

Denpasar, 25-26 September 2018

beliau diberangkatkan ke Jembrana lewat ujung dan besoknya berlabuh di

Cupel, Jembrana.

2. Berbagai gambaran kesibukan dalam keberangkatan ketika di atas kapak

besar (kapal perang) Belanda karena penuh serdadu bersenjata bedil.

Aktivitas dari puri Karangasem hingga ke Ujung serta berbagai kesibukan di

atas kapal, dimulai kapal membuang jangkar, kapal berlayar, tentang

suasana perjalanan di malam hari sampai berlabuh di Cupel keesokan

harinya. Gambaran pelabuhan Cupel dan ada bangunan besar untuk

beristirahat di pinggir pantai.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kebudayaan, 2005, Kesusastraan Bali, Dinas Kebudayaan Propinsi Bali

Madyamanga, 1958, Geguritan Reramputan, Denpasar : Balimas.

Puspawati, Luh Putu, 2018, ―Kajian Struktur dan Fungsi Teks Geguritan Lunga

Ka Jembrana,‖ Makalah Internasional Seminar Kajian Budaya

Universitas Udayana.

Suastika, I Made, 1997, Calon Arang dalam Tradisi Bali, Yogyakarta : Duta

Wacana University Press.

Suastika, I Made, 2002, ―Transliterasi dan Terjemahan, dan Kajian Nilai Karya

A.A. Istri Agung berjudul Geguritan Lunga Ka Jembrana‖, Program

S2 dan S3 Kajian Budaya dan Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra

Universitas Udayana.

Suastika, I Made, 2018, ―Hegemoni dan Kontra Hegemoni atas Kekuasaan

Belanda Berdasarkan Geguritan Mawali Ka Karangem,‖ Makalah

Internasional Seminar Kajian Budaya Universitas Udayana.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 120

Denpasar, 25-26 September 2018

PERAIRAN BALI SEBAGAI RUANG BUDAYA DAN PERADABAN

I Putu Gede Suwitha

[email protected]

ABSTRAK

Studi ini ingin membahas kawasan perairan Bali yang mempunyai peranan

penting sejak dahulu. Arti penting tidak saja dalam dunia niaga atau perdagangan,

tetapi juga dalam konteks interaksi budaya dan hubungan antar bangsa. Kawasan

ini menjadi tempat pertemuan dan kolaborasi antar suku dan bangsa seperti

Tionghoa, Bugis, Arab, Melayu, Jawa, Madura dan etnis nusantara lainnya. Sejak

abad ke 15 kawasan ini sudah ramai menjadi simpul perdagangan nusantara

bahkan pada abad 19 dengan adanya hubungan antara Asia dan Australia, perairan

Bali menjadi pusat perdagangan.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah dan metode etnografi. Kedua

metode ini digunakan untuk membahas dinamika budaya dan interaksi budaya,

yang melahirkan budaya yang unik dan ekstotik.

Hasil penelitian menunjukkan kawasan perairan Bali dari dahulu menjadi

arena perdagangan dan interaksi budaya. Interaksi budaya ini kemudian

melahirkan budaya campuran (mestizo) yang menghasilkan suatu tradisi, budaya

yang berbeda dengan wilayah lain. Terjadinya silang budaya dan kontak

peradaban menempatkan wilayah ini sebagai wilayah yang khas, yang sering

disebut laut peradaban.

Kata kunci : maritim, perdagangan, kontak budaya, perairan Bali

I. PENDAHULUAN

Permasalahan interaksi budaya dalam sejarah maritim sering luput dari

perhatian para sejarawan. A.B. Lapian (1992 : 92), Nakhoda1 sejarah maritim

Indonesia hanya menyebut tujuh aspek yaitu : pelayaran, perdagangan, nelayan

(perikanan), bajak laut, perkapalan (pelabuhan), pengetahuan bahari, dan mitologi

laut. Eforia kemaritiman pemerintah Joko Widodo sekarang baru terbatas pada

perikanan (produksi ikan).Hal yang penting lainnya seperti distribusi barang lintas

kepulauan, pelabuhan dan komunikasi (interaksi budaya) yang sering menjadi

topic uraian ini beliau atau jarang disinggung.

1Nahkoda Sejarah Maritim Indonesia diberikan kepada A.B. Lapian oleh para sejarawan

Malaysia karena ketekunannya mengembangkan sejarah maritime dengan beberapa karyanya yang

monumental.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 121

Denpasar, 25-26 September 2018

Proses memunggungi laut dan cara kita berpikir selama ini yang introvert

menganggap laut sebagai halanagan untuk menyatukan diri. Padahal laut dan

lautan merupakan ―jembatan‖ yang menghubungkan antar warga nusantara dan

bangsa lain. Selama puluhan abad suku-suku saling bertemu dan bersapa

membentuk kebudayaan dan peradaban melalui jalur laut.Karena lut pula kita

memiliki kebudayaan yang khas, unik dan eksotis yang dihasilkan oleh pertemuan

antara suku bangsa yang singgah dan menetap.Kita mesti merasa bangga bahwa

nusantara dan hubungan antar adalah suatu bentangan geografis yang indah dan

memiliki potensi alam. Perairan Bali mempunyai arti penting dalam konteks

interaksi budaya

II. PERAIRAN BALI SEBAGAI PUSAT PERADABAN

Perairan di Bali yang berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia

sejak dahulu merupakan sebuah kawasan yang penting. Sejarawan Prancis –

Denys Lombard (1996 :18-19) memasukkan kawasan ini sebagai kawasan

tersendiri, disamping empat kawasan lain2. Ali Fadilah sejarawan lain (1993 : 3)

memasukkan kawasan perairan di Bali sebagai kawasan yang khas karena

pengaruh Hindu di luar pengaruh Islam. Kawasan ini meliputi perairan selat Bali,

perairan Bali dan Selat Lombok.Pandangan geo historic ini, Ali Fadilah

menawarkan penelitian pada zona ini dengan subyek arkeologi maupun sejarah

maritim.

Kawasan zona Bali ini merupakan area pelayaran, perdagangan dan

interaksi budaya dari berbagai suku dan bangsa seperti Tionghoa, Bugis, Arab,

Melayu, Jawa dan Nusantara lainnya.Selain itu, sebagai area penangkapan ikan

terutama penyu di waktu lalu, tempat persinggahan (rendezvous) para pedagang

dari Indonesia Timur dalam pelayarannya ke Barat.Tempat pelarian bagi para

―pejuang-pejuang‖ kerajaan Makassar yang melarikan diri dari kejaran armada

VOC akibat perang Makassar 1667-1669 (Vickers, 1993).

Silang budaya di kawasan Bali ini terjadi sampai kini menghasilkan budaya

yang unik dan eksotik.Dalam catatan arkeolog Wayan Ardika (1979) seperti yang

2Kawasan yang lain : (1) Kawasan Selat Malaka, (2) Kawasan Selat Sunda, (3) Kawasan

Laut Jawa, (4) Kawasan Maluku.

122 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

dimuat dalam prasasti Blanjong dekat Sanur mengindikasikan adanya kontak

budaya dengan Tionghoa sejak abad 8 – 9.Sampai sekarang ditemukan

peninggalan budaya seperti Tari Baris Cina yang ada di Sanur, Renon maupun

Nusa Penida.Beberapa Kelenteng tua seperti di Blahbatuh, Kuta, Tanjung Benoa,

dan Buleleng.Pembangunan Pura Taman Ayun yang diperkirakan arsiteknya

adalah Tan Hu Cinjin3

.Dalam penelitian penulis yang dipuja di beberapa

kelenteng di Bali dan juga Banyuwangi adalah tokoh mitologi yang bernama Tan

Hun Cin Jin (Suwitha, 1979). Jejak Tionghoa yang lain adalah Raja Bali Jaya

Pangus (abad 9) mempunyai isteri Kang Cing Wie yang diperkirakan seorang

Tionghoa.

Sejak beberapa abad yang lalu, para pedagang Cina telah berlabuh untuk

menjual barang dagangannya seperti keramik, porselin dan membeli produk

pribumi.Pada mulanya jalur perdagangan dari Cina ke Asia Barat melalui daratan

Asia Tengah.Tetapi kemudian mulai berbahaya karena serangan dari suku-suku

bangsa di Asia Tengah.Oleh karena terjadi perubahan jalur perdagangan Asia

sejak tahun 500 Masehi.Jalur perdagangan kemudian diarahkan ke Cina Selatan

(Laut Selatan) yang berhadapan dengan Bali. pelayaran ini melewati Selat Malaka,

India, dan Timur Tengah dan ini disebut Benang Mas sepanjang Pantai atau jalur

sutera laut (Van Leur, 1963).

Jejak yang lain, diketemukan pengaruh Islam Madura, Jawa, dan Bugis.

Adrian Vickers (1987) mencatat keberadaan Banjar Medura di Sanur yang

berhubungan dengan terdamparnya orang-orang Madura pada abad ke-17.Hal ini

dapat dilacak ke belakang dalam perjalanan seorang mubaliq Raden Sosroningrat

pada akhir abad ke-17 ketika Islam sudah berkembang pesat di Jawa. Raden

dengan kapalnya lewat pantai Timur Teluk Benoa menuju istana Raja Badung di

Puri Pemecutan.Sayang kapalnya karam, rombongan Raden ini diajak kolaborasi

oleh raja Badung bahkan dinikahkan dengan I Gusti Ayu Rai puteri

raja.Kolaborasi Raden Sosroningrat dengan masyarakat Bali dan orang-orang

Bugis Serangan melahirkan Kampung Islam Kepaon. Kampung ini terletak di

jantung kota Denpasar masih berhubungan dengan masyarakat Bali dan keluarga

3Pura Meru di Bali diperkirakan pengaruh dari arsitektur Cina I Putu Gede Suwitha,

Masyarakat Cina di Bali Utara, Denpasar, 1979.Skripsi.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 123

Denpasar, 25-26 September 2018

raja. Bahasa sehari-hari yang digunakan bahasa Bali dengan menyebut nama

keluarga seperti sebutan orang Bali seperti Pak Wayan, Pak Made dan sebagainya.

Di Kampung Islam Kepaon juga ditemukan Tari Rodat berupa tari perang

percampuran dari Islam, Bugis, Melayu dan Timur Tengah.

Jejak yang lain dari kolaborasi ini adalah ditemukan kuliner yang khas yang

berupa lawar penyu yaitu daging penyu yang dicincang dan kelapa yang diparut.

Kuliner ini mendapat pengaruh Bugis.Lawar sudah dikenal dalam masyarakat

Bugis kuno seperti yang ditemukan oleh Christian Pelras (1989) yang disebut

―lawa dara‖ atau lawar yang ada darah yang mentah. Dapat dikatakan bahwa

lawar penyu adalah kuliner multikultur karena dapat dinikmati oleh orang-orang

Bugis, Madura, Cina dan Bali. masyarakat Badung selatan khususnya tidak makan

daging babi, tetapi sangat gemar dengan lawar penyu dan hidangan dari penyu.

Tradisi lokal lain yang menarik adalah persadauraan antara etnis dan antar

agama pada masyarakat Bali yang disebut ―menyama braya‖. Tradisi ini lahir

karena pengaruh masyarakat pendatang khususnya Islam dan Cina (Suwitha,

2014).Ikatan ―menyamabraya‖ ini mengikat masyarakat Bali yang menembus

batas suku maupun agama. Kedekatan atau ikatan ini meliputi juga ikatan biologis

(perkawinan), pekerjaan, kerjasama kerukunan yang sekarang dikembangkan oleh

pemerintah dengan nama Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB).

FKUB di Bali merupakan cakal bakal dari FKUB tingkat Nasional (Suwitha,

1984).

Islamisasi di kawasan Bali mempunyai sejarah yang khas, yang

menyimpang dari kerangka-teori yang ada yang diajukan oleh Taufik Abdullah

(1979, 1986), Noordyn (1972), Uka Tjandrasasmita (1976), Baloch (dalam

Fadillah). Menurut ahli ini Islamisasi meliputi tahap : kedatangan, berkembang

membangun masyarakat, dan ketiga membangun kekuatan politik melawan

Belanda. Islamisasi di Bali tidak dapat dijelaskan dengan teori-teori yang ada.

Dikatakan demikian karena kenyataan sejak fase awal Islam masuk ke Bali ia

tidak menyebar, tetapi berkembang ke dalam, tidak mampu tidak pernah

membangun kekuatan politik. Meskipun masuknya melalui proses yang sama

dengan daerah lain, detail-detail geografis dan kronologisnya tidak sejalan dengan

teori yang ada. Ini merupakan varian baru dalam interaksinya dengan masyarakat

Bali yang beragama Hindu.

124 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Karena kontak-kontak dagang ini, budaya-budaya agama yang masuk ke

Bali lebih kreatif, sehingga melahirkan budaya agama yang lebih inovatif, sintesis,

kolaboratif, dalam arti ekspresi keagamaan yang kaya dengan unsur budaya.

Dimensi ritual tetap sama, tidak berubah, seperti yang dikatakan oleh tokoh

muslim Bali H.S. Adnan (1995) : Islam membawa ajaran kemana-mana, tetapi

disesuaikan dengan tradisi lokal.

Hubungan yang kreatif dan inovatif antara umat beragama dalam hubungan

dengan persaudaraan (menyama braya) banyak ditemukan di Bali.masyarakat

Islam atau Kristen selalu memberikan suguhan makanan kepada tetangga

masyarakat Bali dan sebaliknya pada waktu hari-hari besar seperti Galungan,

Natal, Idul Fitri dan lainnya. Kesenian Rodat kelihatan lebih indah karena

dikolaborasikan dengan gamelan Bali.demikian juga dengan Tari Baris Cina

kelihatan lebih indah karena dimainkan dengan gamelan Bali, bukan lagi tari

perang. Suatu hal yang mengharukan sebuah group music remaja Muhammadiyah

menyanyikan lagu-lagu Bali dan berbahasa Bali, sehingga hubungan lebih

bernuansa persaudaraan.Konsep ―menyama braya‖ merupakan kreatifitas

masyarakat multikultur Bali untuk mencari upaya dan media pemersatu.Ia

merupakan hasil interaksi budaya antara masyarakat Bali dengan masyarakat

pendatang.

Suatu yang unik dalam kehidupan sosio kultural di Bali diketemukan bahasa

yang khas di Loloan Bali Barat.Bahasa yang khas ini sering disebut bahasa

Melayu Loloan.Bahasa Melayu Loloan dipergunakan sebagai bahasa pergaulan

lintas budaya atau ―Lingua Franca‖ (Bagus, 1976, Sumarsono, 1976).Bahasa atau

dialek Loloan kalau ditelusuri lebih dalam dipengaruhi oleh bahasa Bugis, Melayu,

Jawa, Madura, karena pergaulan sehari-hari.

III. SIMPULAN

Kawasan perairan Bali sejak jaman lampau merupakan tempat interaksi dan

pertukaran budaya. Silang budaya terjadi dan menghasilkan budaya mestizo yaitu

budaya yang unik yang merupakan campuran dari beberapa elemen yang

menghasilkan sistem adat-istiadat dan produk-produk budaya yang berbeda

dengan kawasan lain. Telah lama suku dan bangsa asing masuk ke kawasan ini

dan membawa tradisi dan budaya sendiri.Terdapat kesenian khas seperti Baris

Cina, kesenian Rodat yang mendapat pengaruh dari Bugis, Melayu dan Timur

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 125

Denpasar, 25-26 September 2018

Tengah.Monument sosial yang paling penting adalah Islam yang toleran hasil dari

adat istiadat menyamabraya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik (ed.). 1979. Islam di Indonesia. Jakarta : Tinta Mas.

Abdullah, Taufik 1987. (ed.). Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di

Indonesia.Jakarta: Yayasan Obor.

Ardika, I Wayan.1981. Desa Sanur Ditinjau dari Arkeologi Laporan

Penelitian.Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Barker Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Terjemahan

Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Curtain, Philip, D. 1984.Cross-Cultural Trade in World History.Cambridge-

London: Cambridge University Press.

Iwan Suhendra. 2009. Kesenian Rodat : Representasi Identitas Budaya

Masyarakat Kampung Islam Kepaon, Bali. Skripsi tidak diterbitkan.

Denpasar:Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Reid A, 1988.Southeast Asia in the Age of Commerse.1450-1680 I.New

Haven/London Yale University Press.

Fadilah, Moh. Ali. 1999. Warisan Budaya Bugis di Pesisir Selatan

Denpasar.Jakarta : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Hall, Kenneth, R. 1985. Maritime Trade and State Development in Early South

East Asia.Honolulu : University of Hawaii Press.

Lapian, A.B. 1987.Orang Laut, Raja Laut, Bajak Laut, Studi Kawasan Laut.

Sulawesi Abad XIX. Disertasi Universitas Gajah Madha.

Lapian, A.B. 1992.―Sejarah Nusantara Sejarah Bahari‖. Pidato Pengukuhan

Guru Besar Tidak Tetap Fakultas Sastra UI.

Lapian, A.B. 1996.―Dunia Maritim Asia Tenggara‖. Dalam Taufik Abdullah, Edi

Sedyawati. Sejarah Indonesia Penilaian Kembali Karya Sejarawan

Asing.Jakarta: Universitas Indonesia.

Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa Silang Budaya. Vol. I Jakarta: Gramedia.

126 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Muklis Paeni, ed. 1988. Dimensi Sosial Kawasan Pantai.Ujung Pandang: P3MP

Universitas Hasanuddin.

Muklis Paeni, ed. 1989. Persepsi Sejarah Kawasan Pantai. Ujung Pandang:

P3MP Universitas Hasanuddin.

Nordholt, Henk Schulte. 1981. The Lange Connection: A Danish Trader op Bali

in the Middle of the 19th

century. Dalam Indonesia, pp. 324-339.

Noorduyn. 1972. Islamisasi Makassar. Jakarta : Bhratara.

Parmartha, I Gde. 1995. Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 185-1915.

Disertasi. Amsterdam.

Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis (Terj.). Jakarta : Nalar.

Putra Agung, A.A.Gde, ―Masalah Perdagangan Budak di Bali Abad 17-19‖,

Basis No.XXI, 1971 pp. 38-48.

Putra Agung, A.A Gde. 1974. Kuta Sebagai Kota Pelabuhan.Majalah Basis, pp.

324-339.

Suwitha, I Putu Gede. 1984. ―Catatan Singkat Pelabuhan Kuta Abad ke 19‖,

dalam Masyarakat Indonesia No. 1 Th. IX Jakarta. LIPI.

Suwitha, I Putu Gede.2011. Perahu Pinisi di Selat Bali.Denpasar : Pustaka

Larasan.

Suwitha, I Putu Gede.2013. Dinamika Masyarakat Bugis di Kabupaten Badung

dan Kota Denpasar.Disertasi Kajian Budaya belum

diterbitkan.Denpasar.

Suwitha, I Putu Gede. 1985. ―Hubungan Antar Suku Dalam Masyarakat

Majemuk di Jimbaran Bali‖. LIPI.

Suwitha, I Putu Gede. 1998. ―Islam di Bali‖ :Dari Akulturasi Sampai Ortodoksi‖,

Dalam Dinamika Kebudayaan. Vol.I, September.Denpasar :

Universitas Udayana.

Sartono Kartodirdjo. 1988. Kebudayaan dan Pembangunan Dalam Perspektif

Sejarah. Yogyakarta.

Singgih Tri Sulistiyono. 2008. ―Sejarah Maritim Nusantara : Perkembangan dan

Prospeknya, Dalam M. Nursam dkk (eds.) Sejarah Yang Memihak‖.

Yogyakarta: Ombak.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 127

Denpasar, 25-26 September 2018

Susanto, Zuhdi. 2011. Labu Rope Labuwana : Konsep-konsep ―Pulau Sejarah‖

Dalam Historiografi Indonesia. Jakarta : Konfrensi Nasional Sejarah

IX.

Tjandrasasmita Uka, 1976. ―Masuknya Islam ke Indonesia dan Pertumbuhan

Kota-Kota Pesisir Bercorak Islam‖, Dalam Buletin Yaperna.No. 11.

Tjamhasamita Uka., 1977. Sejarah Nasional Indonesia III.Jakarta : Depdikbud.

Vickers Adrian. 2009. Peradaban Pesisir Menuju Sejarah Budaya Nusantara.

Denpasar: Pustaka Larasan – Udayana University Press.

Vickers Adrian. 1987. ―Hinduism and Islam in Indonesia‖ : Bali and The Pesisir

World Dalam Indonesia No. 44.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 128

Denpasar, 25-26 September 2018

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI PELESTARIAN

DAN PENGIMPLEMENTASIAN NILAI BUDAYA: PERSPEKTIF

BUDAYA BALI1

I Wayan Cika

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Era sejagat menimbulkan banyak kekhawatiran akan tergerusnya nilai-nilai

budaya bangsa. Untuk itu, pendidikan karakter mempunyai peranan penting

dalam rangka membangunan bangsa yang lebih bermartabat. Pentingnya

pendidikan karakter itu, ada yang melukiskan dengan kata-kata bijak: when

wealth is lost, nothing is lost; when health is lost something is lost; when

character is lost, everythings is lost. Pernyataan itu juga bermakna bahwa

membangun watak manusia itu merupakan suatu proses yang tiada hentinya.

Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan keikutsertaan semua pihak untuk

senantisa melestarikan dan mengimplementasikan nilai-nilai budaya bangsa

karena nilai budaya yang adiluhung itu dapat membentuk karakter bangsa yang

lebih beradab dan bermartabat.

Kata-kata kunci: karakter, pelestarian, implementasi, nilai budaya

I. Pendahuluan

Era kesejagatan dipandang memberikan dampak sangat luas terhadap

masyarakat, seperti munculnya kekhawatiran akan terkikisnya unsur-unsur budaya

tradisional yang berdampak pada hilangnya jati diri bangsa. Kekhawatiran ini

memang tidak berlebihan sebab pengaruh era kesejagatan telah

menumbuhkembangkan berbagai isu komodifikasi, hegemoni, marginalisasi,

degradasi moral, hedonis, dan anarkis. Kehadiran era kesejagatan dengan

teknologi informasi yang canggih yang memberikan kemudahan dan kepraktisan

pada hidup dan kehidupan manusia tidak serta merta membuat sikap dan prilaku

masyarakat menjadi efektif dan efisien, melainkan cenderung ke arah

menggampangkan, menginstan, asal selesai, cepat putus asa, dan ketergantungan.

Situasi dan kondisi masyarakat seperti itu agak mirip dengan situasi dan

kondisi masyarakat yang dilanda ―zaman kali‖ seperti terlukis dalam Kakawin

Nitisastra dan Geguritan Purwasanghara. Dalam Kakawin Nitisastra dijelaskan

bahwa dampak ―zaman kali‖, antara lain menyebabkan manusia murka,

1 Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Sastra dan Budaya, Selasa-Rabu, 25-26 September

2018, bertempat di FIB Unud Jl. P. Nias. Denpasar.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 129

Denpasar, 25-26 September 2018

kebingungan, mudah bertengkar, suka berebut kekuasaan, mengabaikan jati diri,

menistakan agama, melanggar hukum, mengutamakan uang dan kekayaan, mudah

disuap, melecehkan rohaniwan dan pejabat, anak-anak menjadi durhaka dan

berani kepada orang tua. Menurut Geguritan Purwasanghara, ―zaman kali‖

(budaya lahir dari durbudhi) dan hanya dapat diatasi dengan kasusilaning budhi

atau budi pekerti yang luhur. Untuk membentuk kasusilaning budhi diperlukan

kesadaran akan pentingnya budaya leluhur sebagai cerminan jati diri. Dalam

Kakawin Ramayana disebut sebagai guha peteng tang mada moha kasmala,

malädi yolania mageng mahawisa, wisa ta sang wruh ri kanang jurang kali,

kalinganing sastra suluh nika praba.

Nilai-nilai luhur budaya bangsa mempunyai arti sangat penting bagi

pembangunan bangsa, khususnya pembangunan karakter. Nilai-nilai luhur budaya

bangsa tersebut dapat dijadikan sumber pengetahuan, baik bagi generasi kini

maupun generasi yang akan datang. Dengan demikian, melestarikan dan

mengimplementasikan nilai-nilai luhur budaya bangsa merupakan suatu hal yang

wajib dilaksanakan oleh para pemilik atau pendukung budaya itu agar bangsa

Indonesia menjadi bangsa yang unggul dan berkarakter sesuai yang diharapkan

oleh Presiden Joko Widodo dalam buku Revolusi Mental sebagai Strategi

Kebudayaan (Purwanto, 2015). Melestarikan dan mengamalkan nilai-nilai luhur

budaya bangsa sangatlah urgen untuk dilaksanakan karena diyakini dapat

memperkuat dan memperkokoh harkat dan martabat bangsa Indonesia sebagai

bangsa yang beradab.

II. Metodologi

Teori yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah teori semiotik

ditunjang metode observasi hermeneutik kualitatif, yakni dengan mengamati

tanda-tanda zaman yang sedang berkembang di era sejagat kemudian

dikontekstualkan dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Tujuannya adalah untuk

memberikan gambaran secara sekilas bahwa nilai-nilai budaya itu sangatlah

penting untuk membangun karakter bangsa yang lebih beradab.

III. Pembahasan

Karakter bangsa adalah konsep abstrak mengenai masalah dasar yang

sangat penting tentang sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang

130 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

membedakan seseorang dari yang lain dalam kehidupan manusia untuk

membangun bangsa yang lebih beradab. Karakter merupakan sesuatu yang terukir

dalam diri seseorang. Secara umum, karakter itu merupakan sikap manusia

tehadap lingkungannya yang diekspresikan melalui tindakan. Dengan kata lain,

karakter itu adalah moralitas, kebenaran, kebaikan, kekuatan, dan sikap seseorang

yang ditunjukkan kepada orang lain melalui tindakan. Baik buruknya karakter

seseorang (kasusilaning budhi & dur budhi) tercermin melalui moralitasnya.

Demikian pula kebenaran, tidak akan bisa terwujud dengan sendirinya tanpa

adanya karakter yang menopang. Tidak ada nilai kebajikan dan kemuliaan atau

dharma yang melebihi kebenaran (satya), dan tidak ada kebatilan atau

ketidakmuliaan yang melebihi kebohongan (Krishna, 2015:309). Kebenaran dan

moralitas yang terbentuk merupakan perwujudan dari perbuatan baik yang dapat

mendatangkan segala kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Perbuatan baik

inilah yang mendorong kekuatan dalam diri seseorang untuk menegakkan

keadilan dan keberadaban. Kebenaran, kebaikan, dan kekuatan, sikap yang

ditunjukkan kepada lingkungan bersifat integral yang menyatu dengan karakter.

Menurut Sudrajat (2010:3), karakter bangsa merupakan nilai yang

berhubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan kebangsaan yang terwujud

dalam pikiran, perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tatakrama,

dan budaya. Dalam upaya memahami dan mengembangkan karakter bangsa maka

pendidikan memegang peranan penting. Pendidikan tidak hanya merupakan

sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi sebagai pembudayaan

(humanisasi) bagi peserta didik. Pembudayaan adalah pembentukan karakter

menuju rekonstruksi negara dan bangsa yang lebih maju dan beradab, sehingga

selaras dengan Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Orang bijak mengatakan bahwa when wealth is lost, nothing is lost; when health

is lost something is lost; when character is lost, everythings is lost. Artinya, kalau

kekayaan hilang, tidak ada yang hilang; kalau kesehatan hilang, ada sesuatu yang

hilang; namun, kalau watak yang hilang, segalanya akan hilang. Pernyataan itu

juga bermakna bahwa membangun watak manusia itu merupakan suatu proses

yang tiada hentinya dan diperlukan keikutsertaan semua pihak. Namun, ironisnya,

pendidikan sebagai humanisasi untuk mewujudkan insan ideal, berkarakter mulia,

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 131

Denpasar, 25-26 September 2018

dan luhur, sempat tercoreng oleh adanya fakta bahwa sektor pendidikan

memiliki kasus korupsi terbanyak dibandingkan sektor lainnya. Hal itu

disampaikan oleh Wakil Ketua KPK, Basaria Panjahitan (Bali Post, Selasa 20

Maret 2018, hln. 1), bahwa sektor pendidikan idealnya harus menjadi tempat yang

benar-benar bersih dari korupsi. Namun, faktanya justeru di bidang pendidikan

paling banyak ditemukan tindakan korupsi, baik di provinsi maupun

kabupaten/kota. Dengan demikian, pendidikan sebagai sumber humanisasi belum

dapat menjalankan fungsinya dengan benar sehingga masih paradoks.

Nilai-nilai luhur budaya bangsa seyogyanya tidak hanya disampaikan

dalam tataran wacana pendidikan tetapi juga harus diimplementasikan dalam

kehidupan nyata dalam masyarakat bangsa. Nilai-nilai budaya tersebut sungguh

menarik untuk dibahas, terutama dalam konteks adanya gejolak sosial yang

melanda bangsa ini. Gejolak sosial bisa berupa perilaku arogansi, mengutamakan

kepentingan sendiri dan kelompok, korupsi yang merajalela, tawuran antarpelajar

dan antarwarga/kelompok masyarakat bahkan sampai pada pengerusakan tempat

ibadah, dan tindakan-tindakan brutal lainnya. Semuanya itu sering kita saksikan,

baik di media cetak maupun di media elektronik. Gejolak sosial seperti itu, dalam

sastra Bali disebut dengan ―zaman kali‖ yuga2 atau ―zaman kali sanghara‖,

seperti tercermin dalam karya sastra, Kakawin Niti Sastra, dan Geguritan Purwa

Sanghara. Di ―zaman kali‖ yuga itu banyak orang kehilangan rasa persaudaraan,

sikap kejujuran sehingga tidak mampu membedakan kawan yang benar-benar

baik dan kawan yang buruk atau tidak mampu membedakan antara yang benar

dan yang salah.

Dalam Geguritan Purwa Sanghara, pupuh XXIV bait 27-28 dilukiskan

bahwa dalam ―zaman kali‖ sanghara keadaan dunia serba susah, karena jarang

ada orang menjalankan darma dengan sungguh-sungguh untuk mencari

keutamaan, dan banyak orang yang berkelahi memperebutkan kedudukan yang

tinggi (pandening kali murkaning jana wimoha matukar arebut kawiryawan).

Dalam Kakawin Nitisastra, pupuh IV bait 8-10, disebutkan: …munggwing rat

bhuwanandakara ratu hina dana didhananing dhaneswara... (dunia guncang dan

2 “zaman kali” yuga adalah salah satu bagian dari catur yuga, yaitu masa kehidupan manusia yang

terdiri dari empat masa, yaitu masa krta yuga (masa emas), traita yuga (masa perak), dwapara yuga (masa tembaga), dan kali yuga (masa besi) (Sudharta, 1976:261-263).

132 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

diselubungi kegelapan, raja-raja tidak lagi memberi sedekah, tetapi disedekahi

oleh orang-orang kaya).

Gejolak sosial itu sebenarnya dapat dikatakan sebagai suatu ―pengingkaran‖

terhadap nilai-nilai budaya bangsa kita, yang semestinya dijunjung tinggi,

diteladani, dan dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Pengingkaran terhadap nilai-nilai budaya tersebut sudah mencapai tingkatan krisis

moral yang berkepanjangan dan pada akhirnya bisa menjerumuskan bangsa kita

ke titik yang paling rendah, yakni kehancuran (sanghara). Oleh karena itu,

pelestarian nilai-nilai luhur budaya bangsa perlu dilakukan secara

berkesinambungan dan disebarluaskan, baik di tingkat lokal, nasional maupun

internasional. Dengan demikian, diharapkan karakter bangsa semakin kokoh dan

lebih beradab di tengah persaingan global yang semakin ketat.

Nilai-nilai budaya bersumber dari agama, Pancasila, budaya (budi-daya),

dan tujuan pendidikan nasional (rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap

warga negara dari berbagai jenjang dan jalur) (Yaumi, 2014:82). Dalam

kesempatan ini dikemukakan beberapa contoh nilai budaya yang berkenaan

dengan kebudayaan Bali yang dijiwai agama Hindu yang sangat kaya dengan

nilai luhur dan pekerti bangsa. Nilai-nilai luhur tersebut terkandung dalam

kearifan local, antara lain: karmaphala, trikaya parisuda, dan adagium.

Karmaphala dapat dijadikan alat pengendali dalam berpikir, berkata, dan

berbuat. Kita percaya bahwa pahala dari pikiran, perkataan, dan perbuatan

merupakan hasil yang kita lakukan dan alami sendiri, bukan karena orang lain.

Karena itu, pikiran, perkataan, dan perbuatan harus disandarkan pada kebaikan

dan kebenaran, yakni diterima orang lain dan sesuai dengan norma atau hukum

yang berlaku. Pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik dan benar itulah

disebut trikaya parisudha. Sikap dan prilaku anarkis (kekerasan, kebiadaban) dan

hedonis (instan, korup, dan boros) pada masyarakat yang ditimbulkan oleh era

sejagat sebenarnya dapat ditangkal dengan kesadaran akan karmaphala dan

trikaya parisudha.

Adagium Eda ngaden awak bisa dan kadi patapan padi dapat

menumbuhkembangkan sikap dan prilaku rendah hati, kritis, cerdas, dan tidak

sombong, terutama kesombongan yang diakibatkan oleh ilmu pengetahuan yang

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 133

Denpasar, 25-26 September 2018

tinggi (kecerdasan intelektual). Dalam budaya Bali, adagium itu dapat dijadikan

penangkal terhadap pengaruh globalisasi dan modernisasi yang menimbulkan

dampak negatif berupa sikap dan prilaku menggampangkan segala sesuatu,

kesombongan, dan arogansi yang dapat menyengsarakan kehidupan masyarakat.

Adagium Kandik selet alih paling, buka tugune nyen orahin mantenin, dan

buka sekahe nyen orahin ngajum menanamkan sikap dan prilaku susila yang

berkaitan dengan pemberdayaan dan kecintaan pada budaya sendiri. Budaya

sendiri belum tentu kalah dibandingkan budaya orang lain. Hal ini terbukti Bali

tetap menjadi destinasi pariwisata dunia yang belum terkalahkan. Berbagai

peristiwa dan hajatan budaya dunia cendrung dilaksanakan di Bali karena Bali

sangat terkenal dengan budayanya yang adiluhung. Jika demikian halnya,

mengapa kita harus kandik selet alih paling? buka tugune nyen orahin mantenin?

dan buka sekahe nyen orahin ngajum? Siapa lagi disuruh melestarikan dan

mengembangkan budaya kita, kalau bukan kita sendiri. Padahal. Kita harus

yakin dan percaya bahwa kekuatan budaya Bali dapat melindungi kita dari

ancaman budaya global.

Gangsar tindak ngulurin kita menanamkan sikap dan prilaku untuk tidak

cepat puas, tidak terburu-buru, dan tidak serta merta menuruti nafsu. Globalisasi

dan modernisasi dengan iming-iming membuat hidup dan kehidupan manusia

lebih mudah, praktis, serba cepat justru menimbulkan sikap dan prilaku generasi

muda yang serba instan, malas, konsumtif, durhaka, dan cepat berputus asa.

Dampak inilah yang patut dicermati dan harus ditangkal dengan kesadaran akan

pentingnya makna adagium gangsar tindak ngulurin kita. Adagium ini wajib

ditanamkan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga generasi

muda tumbuh dan berkembang menjadi generasi muda yang sabar dalam

berpikir, santun dalam bertutur kata, dan arif dalam bertingkahlaku.

Adagium desa mawa cara, desa kala patra, paras-paros, manyama braya

dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa

multikultur. Ancaman disintegrasi dalam kehidupan berbangsa yang kerapkali

muncul di tengah-tengah isu reformasi dan otonomi sebenarnya dapat diantisipasi

dengan kesadaran akan pentingnya pemahaman dan aktualisasi nilai-nilai luhur

yang dikandung dalam adagium desa mawa cara, desa kala patra, paras-paros,

134 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

manyama braya. Semangat kebersamaan, saling menghargai dan menghormati,

serta toleransi adalah nilai-nilai luhur yang terkandung dalam adagium desa mawa

cara, desa kala patra, paras-paros, manyama braya (kecerdasan emosional

sosial). Nilai-nilai luhur tersebut semakin terkikis dalam kehidupan bermasyarakat

dan berbangsa di Indonesia.

IV. SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa era sejagat membawa

pengaruh yang begitu luas terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat dan bangsa

Indonesia. Pengaruh itu ada yang bersifat positif (kasusilaning budhi) ada yang

negatif (durbudhi). Pengaruh positif yang menyejahtrakan masyarakat perlu

dilanjutkan. Akan tetapi, pengaruh negatif yang dapat merusak budaya dan

karakter bangsa (guha peteng tang mada moha kasmala, malädi yolania mageng

mahawisa, perlu di antisipsi dan disikapi (wisa ta sang wruh ri kanang jurang

kali), dengan bijak dan dengan mengimplementasikan kecerdasan yang

berimbang, antara kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional sosial

(kalinganing sastra suluh nika praba). Dengan kata lain, untuk membangun dan

memperkokoh karakter maka pelestarian dan pengimplementasian nilai-nilai

luhur budaya bangsa, seperti telah dibahas dalam adagium di atas harus tetap

dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, baik di ranah

daerah, nasional maupun internasional.

PUSTAKA RUJUKAN

Koenjaraningrat. 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Krishna Anand. 2015. Dvipantara Darma Sastra: Ancient Indonesian Wisdom for

Modern Times (Kebajikan Nusantara untuk Masa Kini). Jakarta Timur:

Centre for Vedic & Dharmic Studies.

Poerwanto, Semiarto Aji (ed.) 2015. Revolusi Mental sebagai strategi

Kebudayaan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan.

Sudrajat, Akhmad. 2010. Tentang Pendidikan Karakter.

Yaumi, Muhammad. 2014. Pendidikan Karakter: Landasan, Pilar &

Implementasi. Jakarta: Prenadamedia Group.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 135

Denpasar, 25-26 September 2018

MELACAK KEBAHARIAN NUSANTARA BERDASARKAN BUKTI-

BUKTI ARKEOLOGIS

I Wayan Srijaya

[email protected]

Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri

atas 17 ribu buah pulau besar maupun kecil. Sebagai Negara kepulauan, sebagian

besar wilayahnya merupakan lautan. Itulah sebabnya Negara Indonesia disebut

dengan kepulauan Nusantara yang mengandung makna pulau-pulau yang

dihubungkan oleh laut. Negara dengan lautnya yang sangat luas tentu merupakan

anugrah tersendiri, karena bangsa ini diberikan kekayaan alam terutama yang ada

di laut. Kekayaan alam yang terdapat dilaut adalah melimpahnya ikan-ikan yang

mendiami perairan Nusantara. Karena itu pula, tidak jarang kapal-kapal ikan asing

melakukan penangkapan ikan secara illegal tanpa diketahui oleh aparat keamanan.

Disamping itu juga terdapat sumberdaya minyak dan gas (migas).Selain

sumberdaya perikanan yang melimpah, juga perairan Nusantara menyimpan

sumberdaya budaya yang tak ternilai harganya berupa muatan kapal asing yang

tenggelam diperairan Indonesia. Hal ini juga menjadi incaran para pemburu

barang berharga yang terkubur diperairan Indonesia secara illegal.

Kata kunci: bahari, sumberdaya alam, sumberdaya budaya

Pendahuluan

Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan 17 ribu pulau besardan

kecil. Dari 17 ribu pulau itu, lima diantaranya merupakan pulau-pulau yang besar,

yaitu Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, daan Sulawesi,semenatara sisanya adalah

pulau-pulau kecil. Ada pulau yang yang sudah diberi nama, tetapi lebih banyak

pulau yang belum mempunyai nama. Begitu pula jika dilihat penghuninya, ada

pulau yang dihuni ada pula yang tidak ada penghuninya. Banyaknya pulau-pulau

yang tidak berpenghuni dan berada dekat dengan Negara tetangga, sehingga ini

sering menjadi wilayah konflik kepemilikan. Sebut saja pulau Ligitan, pulau

Sipadan menjadi klaim dari Negara sahabat.

Sebagai Negara kepulauan, Indonesia sebagian besar wilayahnya

merupakan lautan. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia sudah sangat adaptif

dengan lautan terutama yang bermukim dekat dengan sungai maupun laut. Laut

yang begitu luas merupakah berkah Tuhan yang Mahaesa, karena didalamnya

menyimpan kekayaan yang luarbiasa kayanya. Dilaut hidup berbagai jenis

136 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

terumbu karang yang menjadi tempat hidupnya berbagai jenis ikan, begitu juga

menjadi tempat berkembang biaknya biota laut serta berbagai jenis ikan. Ikan

yang terdapat diperairan Nusantara ini banyak jenisnya sehingga potensi

perikanan ini memberikan peluang bagi para nelayan untuk melakukan

penangkapan baik dengan peralatan tradisonal maupun yang sudah modern.

Kekayaan laut ini juga menjadi incaran bagi nelayan asing untuk melakukan

pencurian ikan diperairan Nusantara secara illegal. Namun dengan adanya

kementrian Kelautan dan Perikanan, yang memiliki ketegasan dalam menindak

setiap pencurian ikan di wilayah Nusantara belakangnan ini, maka pencurian

terhadap ikan dapat di turunkan secara derastis. Dengan berkurangnya pencurian

ikan-ikan ini oleh kapal-kapal asing, memberi kesempatan yang luas bagi para

nelayan kita untuk memanfaatkan potensi perinakan nusantara sehingga pada

akhirnya dapat menggangkat kesejahtraan para nelayan dan keluarganya.

Disamping itu, potensi perikaran yang melimpah ini dapat menjadi salah satu

komoditas yang dapat diekspor sehingga dapat menambah devisa Negara. Karena

potensi yang sangat besar itu kemudian pemerintah melakukan berbagai uapaya

untuk tetap dapat memberikan manfaat baik bagi nelayan tradisional maupun

untuk kepentingan eksport. Selain potensi perikanan yang sangat melimpah,

perairan Indonesia juga menyimpan potensi budaya yang berasal dari muatan

kapal , tenggelam. Potensi ini pun, menjadi perhatian para pemburu harta karun.

Harta karun dari muatan kapal ini, tersebar diberbagai perairan di Indonesia

seperti perairan kepulauan Riau, perairan Maluku, perairan Jawa Timur, perairan

Cirebon dan lain sebagainya. Harta karun yang berasal dari muatan kapal ini

terdiri dari berbagai jenis artefak ada yang berupa keramik Cina, emas dan

sebagainya. Pencurian terhadap harta karun ini telah terjadi beberapa kali yang

tidak diketahui oleh aparat keamanan laut kita. Misalnya pengangkatan atas

muatan kapal Geldelmarsel milik VOC patahun 1985 berupa 160.000 pc. keramik

Cina dari dinasti Ming dan Qing, serta 126 batang emas (Utomo, 2008: 20)yang

baru diketahui setelah barang-barang tersebut siap di lelang di negeri

Belanda.Untuk itu, selain mengamankan wilayah perairan dari para pencuri ikan

maka pemerintah juga dituntut untuk dapat melindungi kekayaan budaya yang ada

di dasar laut itu. Disamping kedua sumberdaya yang disebutkan diatas, perairan

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 137

Denpasar, 25-26 September 2018

nusantara juga menyimpan kekayaan alam berupa minyak dan gas (migas) yang

sangat diperlukan baik untuk memenuhi keperluan domestic maupun eksport.

Tidak sedikit wilayah perairan di Indonesia ditemukan sumber minyak dan gas

yang besar selain yang ada di darat. Itulah sebabnya untuk dapat melakukan

ekplorasi sumber-sumber migas ini yang ada diperairan mumbutuhkan teknologi

tinggi. Demikian kayanya potensi laut nusantara sehingga Presiden Joko Widodo

ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai kebaharian

nusantara yang dilacak dari sumber-sumber arkeologi. Bukti-bukti arkeologi itu

dapat dipakai sebagai bahan reprensi untuk menjelaskan slogan bahwa bangsa

Indonesia sebagai bangsa bahari.

Metode Penelitian

Untuk dapat mengungkapkan kebaharian bangsa Indonesia digunakan

beberapa cara yaitu dengan studi pustaka dan observasi keberapa situs maupun

candi di Jawa.Kemudian setelah data terkumpul dilakukan analisis dengan

menggunakan analisis kualitatif.

Awal Pelayaran di Nusantara

Luasnya perairan nusantara ini, tentunya akan menjadi tantangan masa

kini dan masa yang akan datang. Persoalannya adalah bagaimana masayarakat

masa lalu memanfaatkan laut baik sebagai sumber penghasil pangan maupun

transportasi. Berkaitan dengan ini, banyak para ahli berpendapat bahwa sejarah

perkembangan budaya bahari di Kepulauan Indonesia dapat dikatakan sudah setua

kehadiran manusia di belahan bumi inisejak sekitar 1,2 juta tahun yang lalu

(Tanudirjo,2008: 1). Pendapat ini, didasarkan pada kenyataan bahwa homo

erectus, manusia tertua di dunia, te;ah menghuni pulau Jawa ketika itu serta

diduga telah hidup di pulau Flores sekitar 800.000 tahun yang lalu. Diyakini pula

bahwa manusia homo erectus sudah memeiliki teknologi pelayaran yang masih

sederhana, sehingga dapat berlayar menyeberangi selat-selat sempit diantara

138 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

pulau-pulau yang tersebar di daerah ini. Bahkan diduga manusia homo erectus

sudah mampu membuat alat untuk mengarungi laut dengan merakit bamboo

menjadi perahu-perahu sederhana tetapi cukup handal untuk melayari selat dalam

jarak beberapa puluh meter ketika airnya tenang.

Aktifitas pelayaran di Nusantara semakin meningkat dengan hadirnya

manusia homo sapiens sekitar 75.000 tahun yang lalu. Bahkan data arkeologis

menunjukkan bahwa homo sapiens telah mampu menyeberangi lautan luas dari

pulau Timor ke daratan Australia yang berjarak sekitar 90 km, pada 60 ribu tahun

yang lalu (Tanudirjo, 2008:1). Bahkan data arkeologis yang ditemukan di Benua

Australia menunjukkan homo sapiens telah mampu menyeberangi lautan lauas

dari Pulau Timor ke daratan Australia yang berjarak sekitar 90 km. pada 60.000

tahun yang lalu.Persebaran manusia dari satu tempat ketempat lainnya tidak

mungkin dapat dilakukan apabila penguasaan teknologi pelayaran yang dimiliki

tidak handal. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa penghuni kepulauan

nusantara telah mengembangkan pelayaran laut dengan teknologinya yang handal.

Kemampuan manusia menguasai perairan dalam melakukan pelayaran tergambar

dari budaya yang mereka kembangkan yaitu budaya bahari. Dari uraian diatas

dapat dipastikan kalau persebaran manusia padamasa prasejarah tidak dapat

terjadi apabila mereka apabila teknologi pelayaran yang digunakan saat itu tdak

handal. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa hampir sebagian penghuni

Nusantara telah mengembangkan pelayaran laut sehingga dapat menjelajahi dan

menghuni pulau-pulau yang jaraknya satu dengan lainnya cukup jauh.

Gambaran yang lebih jelas tentang budaya bahari bangsa Indonesia mulai

muncul bersamaan dengan persebaran penutur bahasa Austronesia ke Nusantara

dan Pasifik. Persebaran ini terjadi sekitar 4.500 tahun yang lalu, yang jumlah

penuturnya sekarang mencapai 350 juta orang dan tersebar dari Madagaskar di

barat hingga Easter Island di timur, dan dari Taiwan dan Mikronesia di utara

hingga New Zealand di ujung selatan (Tanudirjo, 2008: 3).

Dalam kaitannya dengan teknologi pelayaran yang digunakan oleh para

penutur bahasa Austronesia ada baiknya dikemukakan pandangan Geoffrey Irwin

seorang ahli arkeologi yang juga pelayar tangguh menduga daerah laut antara

Filipina-Indonesia Utara hingga ke Melanesia menjadi semacam koridor

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 139

Denpasar, 25-26 September 2018

pelayaran (vayoging corridor). Disepanjang koridor inilah berlatih dan

memperaktekkan teknologi-teknologi pelayaran baru, sehingga teknologi

perkapalan dan kemampuan berlayar masyarakat Austronesia menjadi

berkembang pesat (Tanudirjo, 2008:6). Dikatakan oleh Irwin sangat mungkin

perahu kano ganda berkembang di koridor pelayaran ini. Kemudian Wal

Ambrose dan beberapa ahli lainnya menunjuk daerah Maluku dan Melanesia

sebagai tempat inovasi teknik pelayaran jarak jauh, termasuk kano ganda, muatan

perahu menjadi lebih banyak, sehingga memungkinkan mengangkut orang dan

muatan lebih banyak untuk pelayaran jarak jauh. Kano ganda dengan dua

lunasnya (model ini dikenal dengan namaka tamaran) tentu mampu memecah

gelombang dengan lebih baik dibanding lunas besar dan massif. Karena itu kano

ganda dapat bergerak lebih cepat dipermukaan laut.

Kemudian Wahdi mencoba melakukan rekonstruksi perkembangan bentuk

dan teknologi perahu Nusantara. Dari penelitiannya, kemudian dia dapat

menjunjukkan bahwa sarana angkutan air yang paling awal pada masyarakat

penutur Austronesia adalah rakit-rakit bambu yang sedikit berkembang dengan

menggunakan balok-balok kayu yang digabungkan. Balok-balok kayu ada yang

diceruk bagian dalamnya (dug out) sehingga mirip kano. Rakit kayu ini kemudian

menjadi perahu berlunas ganda (double canoe) atau katamaran. Selanjutnya,

bentuk yang berkembang adalah perahu kano ganda tetapi salah satu kano hanya

dipakai sebagai penyeimbang (asymmetrical double canoe). Bentuk ini

kemudian berkembang menjadi perahu bercadik tunggal, dan ahirnya muncul

perahu bercadik ganda (Tanudirjo,2008:6).

Dari berbagai pendapat para ahli diatas,dapat dikaitkan dengan sejumlah

bukti-bukti arkeologi lainnya yang ditemukan dalam wujud gambar-gambar

sarana angkutan air. Gambar-gambar teknologi pelayaran (perahu) ini ditemukan

dalam beberapa Goa yang ditemukan diberbagai situs di Indonesia seperti di

Pulau Muna Sulawesi Tenggara, di Pulau Kalimantan, kemudian di goa-goa di

kepulauan Seram Maluku, kemudian di goa-goa di Papua ( Belwood, 2002;

Notosusanto, dkk,1984). Itulah sebabnya bahwa teknologi pelayaran dengan

sarana perahu bercadik ganda ini kemudian menjadi bagian dalam kehidupan para

nelayan di Nusantara.

140 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Lukisan perahu padadinding

gua p.Muna

Relief perahu pada Candi

Borobudur

Sejalan dengan perkembangan manusia Austronesia yang menjadi penghuni

kepulauan Nusantara, maka diikuti pula oleh perkembangan teknologi pelayaran

yang semakin maju sesuai dengan kondisi alam.

Institusi kerajaan Bercorak Maritim di Nusantara

Sebelum menguraikan institusi-institusi kerajaan yang bercorak maritime di

Nusantara maka ada baiknya dikemukakan beberapa pandangan terkait dengan

kehadiran pengaruh peraban India. Dari beberapa teori yang dikembngkan oleh

sarjana-sarja asing khususnya Belanda lebih banyak memberikan perhatian besar

kepada peranan orang India dalam proses Indianisasi (Krom,van Leur). Namun

agak berbeda dengan pandangan sarjana Belanda diatas, maka F.D.K.Bosch

(sarjana Belanda lainnya) justru memberikan penekanan pentingnya peranan

bangsa Indonesia dalam proses Indianisasi tersebut dengan mengemukan teori

Arus Balik. Dia berpandangan bahwa pengaruh budaya India di Nusantara justru

dibawa oleh para pelaut-Saudagar setelah kembali untuk dikembangkan di

Nusantara. Diantara para pelaut-Saudagar Nusantara yang sering singgah ke India

ada yang tertarik belajar dan mendalami budaya India di sana. Setelah kembali ke

atanah air, tentu mereka ingin menjalankan dan mengembangkan budaya itu

(Sumadio,ed, 1984). Sebagai gambaran bahwa jauh sebelum munculnya institusi

kerajaan di Nusantara, kiranya sudah ada hubungan perdagangan dengan India. Ini

dapat diketahui dengan adanya temuan arca Budha Sempaga di Sulawesi Selatan

yang diperkirakan dari abad ke 2 M, kemudian temuan gerabah Ari Kamedu di

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 141

Denpasar, 25-26 September 2018

Jawa Barat dan Bali (Sembiran dan Pacung) dari abad ke 2M (Sumadio, ed,1994;

Ardika, 1991).

Berkaitan dengan pengaruh budaya India di Nusantara ditandai dengan

munculnya institusi kerajaan tertua yaitu Kerajaan Kutai di Kalimantan,

kemudian disusul dengan muncul dan berkembangnya kerajaan Tarumanegara di

Jawa Barat.Kedua kerajaan itu tidak akan terwujud jika tidak ada teknologi

pelayaran yang dikuasai oleh kedua belah pihak baik orang India yang datang ke

Nusantara maupun orang Nusantara yang pergi ke India. Namun harus diakui

bahwa kedua kerajaan ini tidak berlangsung lama, karena dibagian barat

Nusantara kemudian muncul kerajaan Sriwijaya.

Rakit terbuatdari bambu

Rakit dengan pariasi rumah

Berdasarkan sumber-sumber yang ada baik sumber lokal maupun sumber

asing, menjelaskan bahwa kerajaan ini menglami masa keemesannya antara abad

ke-7 M.-12 M. Sumber lokal yang menjelaskan kejayaan kerajaan ini adalah 7

buah prasasti berbahasa melayu kuno yang dikeluarkan oleh penguasa Sriwijaya

(Slamet Mulyana, 1981; Sumadio ed. 1984). Sementara sumber asing,

menyebutkan bahwa jauh sebelum abad ke -7, kerajaan Sriwijaya sudah dikenal

sebagai pusat agama Budha. Sebagai pusat agama Budha, I-tsing dalam

perjalannya menuju India berkesempatan singgah di Sriwijaya untuk mempelajari

bahasa Sansekerta dan agama Budha. Selanjutnya ia menyarankan kepada para

pendeta Cina yang akan mendalami bahasa Sansekerta dan agama Budha di India

agar terlebih dahulu belajar di Sriwijaya. Demikian juga pendeta Cina lainnya

Fah-ien, yang sempat singgah di Sriwijaya karena kapal yang membawa ke India

terdampar di sana, lalu menyarankan kepada para pendeta Cina yang akan belajar

ke India untuk terlebih dahulu belajar agama dan bahasa Sansekerta di Sriwijaya

142 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

(Nurhadi Magetsari,1980). Dari sumber asing itu dapat diketahui bahwa kerajaan

Sriwijaya telah berkembang dan menjadi pusat studi agama Budha dan bahasa

Sansekerta sebelum abad ke -7M.

Sebagai sebuah kerajaan besar di Nusantara Sriwijaya tidak saja ingin

memperluas kekuasaannya ke berbagai wilayah disekitarnya dengan melakukan

ekspansi. Ketimur ditandai dengan ditemukannya prasasti Palas Pasemah di

Lampung, kemudian ke utara ditandai dengan adanya prasasti Ligor A dan B

(Slamet Mulyana, 1981). Untuk memperkuat hubungan dengan kerajaan di India,

penguasa Sriwijaya (Balaputradewa) kemudian mendirikan asrama di India

sebagaimana disebutkan dalam prasasti Nalanda. Pembangunan asrama ini

bertujuan untuk menampung mahasiswa Sriwijaya yang akan belajar di Nalanda.

Kerajaan Sriwijaya juga dikenal sebagai kerajaan yang bercorak maritime. Hal ini

disebabkan karena letaknya yang sangat strategis sehingga perdagangan menjadi

sumber kehidupan dari para penguasa dan masyarakatnya. Para penguasa kerajaan

ini mengembangkan perdagangan dengan kerajaan disekitarnya maupun

perdagangan internasional. Bahkan dalam mengembangkan perdagangan

internasional, maka menguasai Selat Malaka yang strategis itu menjadi sebuah

keharusan (Hall,1985). Tampaknya dalam beberapa abad kerajaan ini dapat

tumbuh dan berkembang sebagai sebuah kerajaan yang sumber penghasilannya

berasal dari aktivitas perdagangan di laut. Dengan tingginya aktifitas pelayaran ini

dapat diyakini bahwa mereka telah menguasai teknologi pelayaran yang sangat

handal. Akibat dari corak yang bersifat maritime itu, maka kerajaan ini tidak

banyak meninggalkan jejak bangunan keagamaan seperti halnya di Jawa

sebagaimana dikatan oleh G.Coedes tahun 1918 sebagai berikut: Sriwijaya hanya

meninggalkan sedikit peninggalan arkeologi dan epigrafi, mungkin karena raja-

raja negeri tersebut sibuk mengurusi perdagangan ketimbang membangun kuil-

kuil atau menulis kata-kata pujian.(Wolters,2011: 5).

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 143

Denpasar, 25-26 September 2018

Kapal Modern Kapal Pinisi Nusantara

Selain kerajaan Sriwijaya, kerajaan yang diduga bersifat semi maritime

adalah kerajaan Majapahit. Kerajaan ini merupakan kerajaan yang bercorak Hindu

terakhir di Nusantara sebelum akhirnya mengalami kemunduran pada tahun C

1400 (1478 M). Sebagai sebuah kerajaan yang bersifat semi marim, para

penguasanya mencoba mengembangkan armada lautnya untuk dapat menguasai

kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara. Bahkan Prapanca sebagai penulis Kitab

Negara Kertagama menyebutkan dibawah penguasanya yang bernama Hayam

Wuruk dengan patih amangkubumi yang bernama Gajah Mada berhasil

menyatukan kerajaan-kerajaan lainnya dibawah panji-panji Majapahit (Munandar,

2011: 29-64). Pada masa ini teknologi pelayaran yang berupa perahu menjadi alat

transportasi unggulan disamping transportasi darat. Perahu sebagai alat

transportasi tampaknya sudah dikuasi dengan baik oleh para pelaut Nusantara dan

kemudian dikembangkan dan disesuaikan dengan kebutahan untuk mengangkut

barang dan manusia sehingga kapasitasnya bertambah besar. Sebagai alat

transportasi, perahu dtemukan dalam berberapa relief candi yang ada di Jawa

seperti di candi Borobudur dari abad ke-10 M. Selain dalam bentuk relief, bangkai

perahu juga ditemukan dalam beberapa penggalian di Sumatra (Utomo, 2008).

Apibila diperhatikan perjalanan sejarah Nusantara, maka aktivitas

pelayaran sudah begitu dikenal luas dikalangan masayarakat. Hampir dapat

dipastikan bahwa setiap institusi kerajaan, selain penggunaan teknologi pelayaran

untuk kegiatan berdagang tapi juga pelayaran digunakan untuk memperluas

kekuasaannya. Sebagai contoh misalnya raja Singosari Kertanegara yang

melakukan ekspansi politik ke barat tahun 1275 dengan maksud mengalahkan

penguasa kerajaan Darmaseraya dan ke timur pada tahun 1278 dengan mengirim

144 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

armada untuk menyerang Bali (Slamet Mulyana, 1982; Sumadio ed. 1994).

Demikian pula halnya penguasa kerajaan Bali Kuno pertama Cri

Kesariwarmadewa, sebagaimana disebutkan dalam prasastinya (Blanjong Sanur)

menyebut tentang adanya daerah taklukan yaitu Gurun dan Suwal. Gurun diduga

adalah daerah Nusa Penida sedangkan Suwal adalah Sumbawa (Goris, 1948).

Untuk dapat mengepakkan sayapnya tentu diperlukan armada pelayaran yang

handal untuk menaklukan laut yang laus danombaknya yang ganas. Sementara

hubungan perdagangan antara kerajaan Bali Kuno dengan pedagang-pedagang

asing telah dijalin erat sebagaimana disebutkan dalam prasasti Sembiran A

IV(1065M) lembar ixb 1 sebagai berikut:…mangkana yan hana banyaga sakeng

sabrang jong, bahitra, cumunduk I manasa hatpani katkanaya, wnanga ikanang

karaman patrakasihana, wlyana hatep mulyan ma 1 anglipahana sargha

mahajana…;Artinya:‖…jika ada saudagar dari seberang laut datang merapat

dengan perahudan bahitra di pelabuhan, agar warga desa sekitar memberikan

belas kasihan kepadanya, biaya merapat maksimal 1 masaka, dan harganya

dilebihkan bagi orang terkemuka/terpandang, tidak dikenai sumbangan

pengawasan (pacaksu) dan tidak ada pemaksaan,..‖ (Ardika, dkk, 2013:213).

Alat angkut utama ini dari waktu ke waktu mengalami kemajuan baik dari

segi bentuk, ukuran, maupun daya angkutnya. Dengan semakin berkembangnya

teknologi taransportasi pelayaran ini mendorong semakin intensifnya hubungan

antar satu Negara dengan Negara lainnya. Tak dapat dipungkiri bahwa pada abad

ke -16 M, pelaut-pelaut Bugis telah mengembangkan armada laut yang sangat

andal dalam mengarungi laut sehingga dapat menjelajahi berbagai kawasan di

dunia. Angkutan laut yang dikembangkan oleh para pelaut Bugis di Sulawesi

Selatan ini dikenal dengan kapal Pinissi. Kehandalan kapal Pinissi dan

ketangguhan pelaut suku Bugis ini diuraikan dalam naskah tradisional Lontara.

Simpulan

Dari gambaran diatas, dapat disimpulkan bahwa teknologi peyaran

merupakan sebuah Negara yang sebagian besar merupakan wilayh perairan/laut.

Teknologi pelayaran sudah dikenal jauh sebelum munculnya institusi kerajaan

sebagaimana tergambar pada lukisan cadas yang ditemukan di pulau Muna,

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 145

Denpasar, 25-26 September 2018

Kalimantan, dan Papua. Selain dalam bentuk lukisan cadas, perahu kuno juga

ditemukan dalam kegiatan ekskavasi seperti di salah satu situs di

Sumatra.Instistusi kerajaan yang mengembangkan kegiatan kemaritimannya

dengan luas adalah kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Sumberdaya budaya yang

banyak ditemukan diperairan Nusantara adalah adanya kapal-kapal asing yang

memuat berbagai jenis barang seperti porselin Cina dan emas batangan

merupakan asset berharga.

Daftar Pustaka

Ardika, IWayan, I Gde Parimarta, dan A.A.Bagus Wirawan,2013 Sejarah Bali

dari Prasejarah Hingga Modern. Denpasar: Udayana University Press;

………………,1991 Archaeological Reseach in Northeasterm Bali,

Indonesia.Unpublished Ph.D Dissertation. Canberra Australia National

University;

Aris Munandar, Agus, 2011 Catuspatha ArkeologiMajapahit. Depok: Wedatama

Widya Sastra;

Budi Utomo, Bambang, 2008, Musibah di laut. Dalam Bambang Budi Utomo

(editor) Kapal Karam Abad ke-10 di Laut Jawa Utara Cirebon. Jakarta: Panitia

Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharha Asal Muatan Kapal

yang Tenggelam;

Magetsari, Nurhadi, 1980, Agama Budha Mahayana di Kawasan Nusantara,

Jakarta:Seri Penerbitan Ilmiah Fakultas Sastra Universitas Indonesia;

Slamet Mulyana, 1979, Negara Kertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:

Bharata;

…………………., 1981, Kuntala, Sriwijaya dan Swarnabhumi. Jakarta: Yayasan

Idayu;

Sumadio, Bambang dkk, 1984, Zaman Kuno. Dalam Nugroho Notosusanto dan

Marwati Djoened Poesponegoro Sejarah Nasional Indonesia II. Jakrta: Balai

Pustaka;

Tanudirjo, Daud Aris, 2008, Pendahuluan: Awal Jaringan Pelayaran dan

Perdagangan.Dalam Bambang Budi Utomo: Kapal Karam Abad ke-10 di Laut

Jawa Utara Cirebon. Jakarta: Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan

Benda Berharga yang Tenggelam;

Wolters, O.W,2011, Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunia

Abad III-Abad VII. Jakarta: Kmomunitas Bambu;

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 146

Denpasar, 25-26 September 2018

REVOLUSI BIRU DAN HUMAN SECURITY NELAYAN DI KUSAMBA

KLUNGKUNG

I Wayan Tagel Eddy, Anak Agung Ayu Rai Wahyuni

ABSTRAK

Revolusi biru (blue revolution), sebagai strategi pembangunan dan upaya

akumulasi kapital, bukan hanya tidak berhasil mengangkat nelayan dari

kemiskinan yang melilit mereka, namun ia juga menyisakan persoalan bagi

keberlangsungan human security nelayan. Tidak hanya gagal menangkap apa

yang sebenarnya menjadi kebutuhan nelayan, paket kebijakan modernisasi

perikanan seringkali malah merugikan nelayan dan masyarakat pesisir pantai.

Artikel ini bertujuan untuk mengetahui proses dan bentuk modernisasi

perikanan (minapolitan) yang sedang dalam proses pembangunan serta bagaimana

respon para nelayan dan masyarakat pesisir terhadapnya? Selain itu, akan

memeriksa apa kira-kira yang akan diakibatkan oleh modernisasi perikanan bagi

keberlangsungan human security kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir.

Penulis terlebih dahulu memulai uraian dengan mengelaborasi konsep

pembangunan, human security dan revolusi biru sebelum memberikan ilustrasi

kasus nelayan dan masyarakat pesisir, berkaitan dengan pembangunan

minapolitan, di kawasan pelabuhan Kusamba Kelungkung.

Kata kunci: modernisasi perikanan, revolusi biru, pembangunan, human

security, hak asasi manusia, masyarakat pesisir dan nelayan

I. PENDAHULUAN

Salah satu visi yang hendak diwujudkan Presiden Joko Widodo adalah

menguatkan bangsa Indonesia pada sektor maritim. Pernyataan visi ini sebenarnya

bukan hal baru bagi negeri kita, tetapi karena isu ini dituangkan sebagai komitmen

Presiden untuk memajukan sektor maritim pada lima tahun pemerintahan Jokowi-

JK maka ia menjadi sangat strategis. Menjadi amat penting bagi seluruh

pemangku kepentingan untuk fokus pada kebijakan in agar sejalan dengan

kebijakan pemerintah pusat dalam memprioritaskan arah kebijakan pembangunan.

Debat mengenai pembangunan dan hak asasi manusia menjadi topik besar

yang diperbincangkan oleh para analis dan perancang kebijakan di level

internasional. Keduanya, ditambah demokrasi, telah menjadi perdebatan ideal

politik hegemonik pada sekitar tahun 1980-an yang lalu. Bermula tahun 1986

ketika PBB mengumumkan ―Declaration on the Rights to Development‖ yang

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 147

Denpasar, 25-26 September 2018

menegaskan bahwa pembangunan adalah hak asasi manusia di seluruh dunia,

berbagai forum internasional diselenggarakan seperti World Conference on

Women(1995) di Beijing, World Summit for Social Development (1995) in

Copenhagen dan World Conference on Human Rights (1993) di Wina yang

menghasilkan ―Vienna Declaration and Programme of Action‖.

Di dalam deklarasi Wina, artikel delapan menegaskan bahwa

pembangunan, hak asasi manusia dan demokrasi saling bergantung dan saling

memperkuat satu sama lain. Banyak pemikir yang meyakini pandangan ini. Meyer

(2002), misalnya, menegaskan bahwa pada dasarnya, hak asasi manusia dan

demokrasi adalah dua hal yang dibangun di atas ide fundamental yang sama yaitu

kesetaraan dan martabat tiap individu. Keduanya saling tergantung dan saling

membutuhkan satu sama lain. Hak asasi manusia menjamin tiap individu untuk

berkembang secara bebas dan mendapat pengakuan terhadap nilai-nilai,

keyakinan, pilihan ,dan ketertarikan mereka. Pengakuan dan penegakan hak asasi

manusia hanya bisa dilakukan dalam demokrasi.Sebaliknya demokrasi hanya bisa

berkembang dengan baik apabila hak asasi manusia telah ditegakkan; dihormati,

dilindungi dan dipenuhi.Ignatieff (2000) menjelaskan bahwa pembangunan

merupakan upaya politik untuk pencapaian hak asasi manusia (human rights)

dengan tujuan pemerataan bagi setiap individu yang berhak memperoleh

penghidupan yang layak dan cukup berdasarkan pemenuhan kebutuhan dasarnya.

Membicarakan pembangunan tidak bisa untuk tidak memeriksa salah satu

institusi yang dikaitkan dengan isu hak asasi manusia, yaitu pasar (market). Pasar

merupakan institusi sosial yang didesain untuk menciptakan efisiensi

ekonomi.Pertumbuhan (growth) dan efisiensi (efficiency) adalah mantra penting

dalam sistem ekonomi pasar.Namun pasar memiliki masalah bawaan yang dibawa

ke mana-mana yaitu, akumulasi kapital.Pasar hanya peduli terhadap efisiensi dan

percepatan pertumbuhan ekonomi, tidak pada kesetaraan sosial. Pada titik ini, ia

mendatangkan masalah bagi perlindungan hak-hak ekonomi dan sosial orang lain

yang haknya terlanggar karena keserakahan ekonomi pasar bebas. Untuk

kepentingan artikel ini, kaitan antara hak asasi manusia dan pasar digunakan.

II. HUMAN SECURITY

148 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Gagasan mengenai human security memunculkan perdebatan tentang apa

itu keamanan dan bagaimana cara mencapainya. Perdebatan terjadi, lebih karena

sudut pandang, pengalaman dan prioritas yang berbeda dari setiap pemerintahan

nasional dalam mendefinisikan human security yang sebelumnya konsep

―keamanan‖ hanya dipahami sebagai keamanan nasional atau negara nasional dari

gangguan militer negara lain, kini konsep keamanan bergeser ke arah keamanan

manusia dari hal-hal yang non-militer.

Artikel ini hendak menggunakan konsep human security ini di dalam

proses pembangunan minapolitan di Kusamba dan implikasinya bagi nelayan dan

masyarakat pesisir di sana. Sejak tahun 1994 isu human security menandai babak

baru dalam hubungan internasional.Adalah Dr. Mahbub ul Hal orang yang

pertama kali memberikan perhatian pada human security di dalam forum-forum

UNDP. Di dalam UNDP’s 1994 Human Development Report, human security

didefinisikan ke dalam threats in seven areas, yaitu; pertama, economic

security yang didasarkan pada kemampuan pendapatan dasar tiap individu, akses

mereka terhadap pekerjaan dan jaringan kenyamanan keuangan. Di negara-negara

berkembang persoalan economic security mungkin menjadi problem serius karena

di negara-negara tersebut problem pengangguran menjadi faktor penting selain

tegangan politik dan kekerasan etnis; kedua, food security yang mengharuskan

bahwa seluruh manusia kapan pun dan di mana pun harus memiliki akses

ekonomi dan fisik pada pangan.Hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan

food security ini adalah; (1) ketersediaan pangan; (2) distribusi pangan; (3)

kurangnya daya beli dan ini berkorelasi dengan economic security.

Ketiga, health security yang bertujuan untuk menjamin perlindungan minimum

dari penyakit dan gaya hidup yang tidak sehat. Di negara-negara berkembang

penyebab utama kematian adalah infeksi dan penyakit parasitic.Baik di negara-

negara industri dan negara-negara berkembang health security menghantui orang-

orang miskin di pedesaan, terutama ibu-ibu dan anak-anak. Pelayanan kesehatan,

ketersedian air bersih dan kebutuhan-kebutuhan dasar yang lain menjadi sangat

penting dalam menjaga health security; keempat, environmental security yang

bertujuan untuk melindungi orang dari rusaknya kondisi lingkungan hidup

(natural environment). Sementara di negara-negara berkembang isu tentang

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 149

Denpasar, 25-26 September 2018

kurangnya akses pada sumber daya air menjadi isu penting dalam environmental

threatment, di negara-negara industri maju isu pokoknya adalah pencemaran

udara (air pollution).Persoalan emisi, gas rumah kaca menjadi isu-isu

environmental security yang lain, yang menjadi perhatian banyak negara

belakangan ini.

Kelima, personal security yang bertujuan melindungi setiap orang dari

kekerasan fisik, oleh negara ataupun di luar negara, dari kekerasan personal atau

kelompok-kelompok di dalam negara, atau dari kejahatan atau tindakan kriminal

orang-orang dewasa; keenam, community security yang bertujuan untuk

melindungi setiap orang (people) dari hilangnya nilai-nilai dan hubungan-

hubungan tradisional di mana mereka hidup, atau dari kekerasan etnik dan

sektarianisme. Setiap orang tidak dibenarkan dicabut atau dipisahkan dari

lingkungan komunitas tradisionalnya.Community security ini

memasukkan indigenous people sebagai isu penting, misalnya hak-hak

aboriginal; ketujuh, political security yang bertujuan untuk memuliakan hak-hak

asasi manusia paling dasar, seperti aman dari sistem penyiksaan politik, tekanan

politik dari pemerintah yang mengontrol ide dan informasi. Pelanggaran hak asasi

manusia seperti ini sering kali dialami rakyat di negara-negara yang

memberlakukan kontrol ketat terhadap warganya.

Secara ringkas UNDP mendefinisikan human security sebagai : ―first,

safety from such chronic threats such as hunger, disease, and repression. And,

second, …protection from sudden and hurtful disruptions in the patterns of daily

life — whether in homes, in jobs or in communities‖. Jadi, secara umum, definisi

human security menurut UNDP mencakup ―freedom from fear and freedom from

want‖.

III. REVOLUSI BIRU

Revolusi biru (blue revolution) memang tidak setenar Revolusi Hijau

(green revolution). Projek revolusi biru atau modernisasi perikanan, yang dimulai

pada tahun 1970-an sebagai strategi pembangunan, dikembangkan melalui

penetrasi kapital dan peralihan arus modal dan teknologi dengan tujuan

meningkatkan efisiensi dan produktivitas tangkapan. Sejak saat itu kebijakan dan

150 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

program modernisasi perikanan, seperti motorisasi, GERBANG MINA BAHARI

(Gerakan Pembangunan Nasional Kelautan dan Perikanan), PROPEKAN

(Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan Budidaya) dan PEMP

(Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir), mulai digalakkan. Fasilitas kredit

usaha, mesin tangkap yang lebih modern, pembangunan infrastruktur pelabuhan

perikanan, ruang pendingin (coldstorage), tempat pengeringan dan tempat

pelelangan ikan (TPI) merupakan beberapa paket kebijakan modernisasi

perikanan yang dilakukan pemerintah saat itu.

Kemudian, antara tahun 1980-1996, pemerintah memperbaharui kebijakan

modernisasi perikanan dengan diluncurkannya kebijakan deregulasi berupa

pengembangan alat tangkap, pembangunan pelabuhan, penambahan armada

penangkapan, impor kapal bekas hingga pemberian izin kapal asing untuk

menangkap ikan di perairan Indonesia. Pemerintah juga menerbitkan berbagai

regulasi terkait dengan modernisasi perikanan, misalnya, Keppres No. 39 Tahun

1980 dan Undang-undang tentang Perikanan Tahun 1995.

Lalu pertanyaan yang mendesak dijawab apakah modernisasi perikanan

(blue revolution) yang telah ditempuh sejak empat puluh tahun yang lalu

memberikan dampak positif bagi kehidupan nelayan. Berbagai penelitian telah

dilakukan untuk menjawab pertanyaan mendasar ini. Dan jawabannya sama

bahwa peningkatan tangkapan dalam jumlah yang besar ternyata tidak seirama

dengan peningkatan kesejahteraan nelayan karena; pertama, faktor kebijakan yang

tidak mempertimbangkan adaptabilitas lokal; kedua, faktor-faktor sosial sebagai

―ruang‖ di mana kebijakan modernisasi perikanan dilaksanakan tidak

diperhitungkan.

Setidaknya penelitian yang dilakukan oleh Raymond Firth (1975),

Iskandar dan Matsuda (1989), Salman dan Lampe (1993), Satria (2001), Arief,

A.A (2002) dan Agusanty (2004) mengonfirmasi mengenai kegagalan revolusi

biru mengangkat keterpurukan nelayan dari jurang kemiskinan yang melilit

mereka. Kenyataan seperti ini hampir sama dialami oleh setiap daerah. Penelitian

Nasikun (1996) di Muncar Jawa Timur, Elfliandri (2002) di Sumatra Barat, dan

Iwan (2002) di Kabupaten Tanjung Jabung, Jambi menunjukkan bahwa penetrasi

kapital dan alih teknologi yang tersemangati oleh nalar akumulasi kapital

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 151

Denpasar, 25-26 September 2018

(kapitalisme) semakin menyeret nelayan ke arah ketergantungan dan kemiskinan

struktural.

IV. MODERNISASI PERIKANAN DI KUSAMBA

Kusamba terkenal sebagai Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) di Kabupaten

Klungkung. Berbagai aktivitas ekonomi yang mengandalkan sumber daya laut

setiap hari berlangsung di timur pulau Bali. Seperti daerah-daerah sentra

perikanan lain di Indonesia, Kusamba tidak luput dari agenda modernisasi

perikanan yang kembali dicanangkan oleh pemerintah melalui program

minapolitan.

Di Kusamba terdapat tempat pelelangan ikan (TPI) yang menangani

distribusi hasil tangkapan ikan para nelayan. Fasilitas lainnya yang tersedia

adalah Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN) atau Stasiun Pengisian Bahan

Bakar Minyak Untuk Nelayan (SPBN). Dengan adanya SPDN nelayan lebih

mudah untuk memperoleh BBM.Hasil tangkap ikan di Kusamba didukung oleh

adanya beberapa unit pabrik pengolahan ikan.Hasilnya tidak hanya dijual di

Kusamba, tetapi juga dipasarkan ke beberapa wilayah Bali lainnya, baik dalam

bentuk ikan mentah maupun ikan olahan.

1. Mode Produksi (Mode of Production) sebelum Modernisasi

Kini, Kusamba beranjak menjadi kota ikan dan identik sebagai sentra

perikanan di wilayah Klungkung dengan berbagai institusi pendukungnya.

Sebelum modernisasi perikanan digalakkan oleh pemerintah Orde Baru pada

tahun 1970-an, mayoritas masyarakat pesisir Kusamba masih mengandalkan

pertanian sebagai sumber penghidupan utama. Hingga akhir tahun 1980-an

sebagian besar dari mereka masih berprofesi sebagai petani. Meskipun begitu,

mereka juga ikut melaut dan bergabung dengan nelayan yang telah lebih dulu

terjun di sektor perikanan dan kelautan, yang biasanya dikuasai oleh orang-orang

Bugis dan orang-orang Madura yang memiliki tradisi panjang dalam urusan

melaut.Selain bertani dan melaut, mereka juga mencari ―nener‖ (udang kecil)

dibibir pantai dan nyuttu’, yaitu mencari ―garegu‖, bahan untuk membuat terasi.

152 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

2. Awal Modernisasi dan Respon Masyarakat Lokal

Penetrasi kapital dan alih teknologi adalah instrumen utama modernisasi

perikanan. Siap atau tidak, menguntungkan atau sebaliknya, masyarakat nelayan

harus menerimanya sebagai sesuatu yang musti terjadi, karena ini adalah

kehendak negara yang baru berdiri dan mengimpikan pembangunan sebagai jalan

menuju kesejahteraan. Menolaknya berarti cap komunis sudah menanti di depan

mata.

Kusamba juga mengalami hal serupa seperti di daerah-daerah pelabuhan

perikanan yang lain. Berbagai progam modernisasi perikanan meliputi bantuan

perahu, mesin, alat tangkap dan penguatan modal segera diluncurkan oleh

pemerintah.Masalahnya, pelaksanaan dan manfaat bantuan-bantuan ini hanya

dinikmati oleh kelompok-kelompok tertentu.Sangat jarang bantuan bisa dirasakan

langsung oleh nelayan kecil, tapi malah yang mendapat bantuan adalah tokoh-

tokoh masyarakat yang kuat secara ekonomi dan memiliki akses ke lingkungan

politik dan pemerintahan.

Program bantuan yang digulirkan oleh pemerintah, dan tersedianya pabrik

pengolahan dan pengalengan ikan serta menyaksikan jumlah tangkapan ikan yang

sangat luar biasa ketika itu menggoda dan mendorong, tidak hanya orang-orang

Kusamba untuk segera menjadi nelayan, namun juga orang-orang dari luar

Kusamba berdatangan untuk menjadi awak perahu yang dimiliki oleh orang

Kusamba

Kusamba sebagai penghasil ikan di wilayah Klungkung dengan hasil

tangkapan yang lumayan banyak telah mendorong pemerintah untuk menjadikan

Kusamba sebagai kawasan minapolitan.Pengembangan minapolitan merupakan

bagian dari rencana strategis pembangunan kelautan dan perikanan.

3. Potensi Kerentanan Human Security Nelayan

Pelaksanaan pembangunan minapolitan di Kusamba mengungkap

terjadinya informasi yang asimetrik (asymmetric information) karena bukan

hanya sebagian besar nelayan tidak mengetahui apa itu minapolitan, apa

keuntungan dan kerugian yang mungkin mereka akan hadapi kelak jika

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 153

Denpasar, 25-26 September 2018

minapolitan sudah selesai dan beroperasi, akan tetapi justru terdapat penyesatan

informasi yang disampaikan kepada mereka. Tokoh nelayan setempat

menjelaskan bahwa pemilik perahu, nelayan dan masyarakat pesisir pantai

Kusamba merasa senang atas pembangunan minapolitan karena mereka dibuatkan

tempat sandar atau ―tambat labuh‖ perahu yang luas. Dengan adanya dermaga dan

tempat bersandar perahu yang luas, mereka tidak lagi perlu berhimpit-himpitan

seperti sekarang.Ini yang hanya diketahui oleh nelayan.Lain tidak. Mereka tidak

tahu bahwa dermaga itu bukan untuk mereka, tapi untuk kapal-kapal besar yang

akan berlabuh di pantai mereka nanti.

―Tambat Labuh‖ atau tempat parkir perahu ini berada dalam otoritas Dinas

Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Bali. Sudah sejak lama, nelayan

Kusamba memiliki cara bertahan (resilience) ketika menghadapi siklus alam yang

tiap bulan datang menyapa mereka. Biasanya pada hari-hari tertentu yaitu saat

terang bulan mereka tidak pergi melaut karena ikan-ikan di laut tidak terlihat

oleh nelayan sehingga sulit ditangkap. Lalu apa yang dilakukan nelayan untuk

memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya? Mereka para nelayan yang tidak

melaut ini tetap bekerja dengan mencari kerang di pantai dan mereka jual kepada

para pengepul kerang yang selanjutnya menjualnya di pasar.

Kepegasan hidup nelayan seperti di atas akan segera menghadapi

gangguan berbarengan dengan pembangunan minapolitan karena dua alasan,

yaitu; pertama, pembangunan minapolitan membutuhkan areal yang luas, artinya,

dengan begitu nelayan tidak bisa lagi mencari kerang pada musim terang

bulan, sebagai sumber nafkah ketika mereka tidak melaut. Hal ini disebabkan oleh

tempat (pantai) di mana mereka mencari kerang sudah tidak ada untuk

kepentingan area dermaga. Kedua, musim terang bulan juga dimanfaatkan oleh

para nelayan untuk berkumpul bersama anak dan istri beserta sanak keluarga yang

lain setelah musim-musim melaut berlalu. Pada musim ini nelayan juga

melakukan anjangsana kepada sesama nelayan dan bersosialisasi dengan

masyarakat atau komunitas yang lain. Kenikmatan individu dan kenyamanan

sosial semacam ini berangsur akan hilang seiring melemahnya kelembagaan-

kelembagaan sosial akibat himpitan ekonomi.

154 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Gangguan lain yang potensial akan dialami oleh keluarga nelayan yang

memiliki perahu kecil dengan kapasitas kecil dan melautnya tidak terlalu jauh dari

pantai. Karena ongkos biaya yang harus mereka keluarkan akan lebih banyak dari

pada sebelum minapolitan beroperasi. Dan kini, hal ini mulai dirasakan oleh para

nelayan pemilik perahu kecil.Belum lagi keamanan di tengah laut lepas dengan

kondisi perahu yang kurang memadai.

V. SIMPULAN

Pembangunan selalu memunculkan ketegangan sosial di antara para pihak

yang terlibat di dalamnya atau mereka yang hanya menjadi penonton dan objek

pembangunan, walau kadang bersifat latent dan tidak terungkap. Seperti kasus

pembangunan minapolitan di Kusamba, misalnya, para elit lokal di sana

cenderung mendiamkan sambil menelisik peluang-peluang ekonomi yang akan

mereka dapatkan dari proses pembangunan minapolitan, karena mereka meyakini

minapolitan akan menguntungkan bagi mereka. Sementara nelayan kecil dan

masyarakat pesisir yang hanya menggantungkan hidup mereka pada laut, lambat

laun termarginalisasi dan termanipulasi oleh informasi yang tidak seimbang, atau

bahkan tidak ada informasi alternatif yang menjelaskan apa yang mereka akan

alami setelah minapolitan menjadi kenyataan. Inilah awal terlanggarnya human

security nelayan.

Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa hasrat pembangunan

yang digerakkan oleh semangat pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan

nafsu akumulasi kapital hanya akan menyebabkan terlanggarkan hak asasi

manusia (human rights) atau dalam bahasa yang lebih teknis human security.

Maka dengan menyadari potensi destruktif model pembangunan seperti ini,

diharapkan pembangunan tidak hanya direduksi ke dalam aspek material belaka,

akan tetapi harus dipandang sebagai upaya pembebasan manusia (development as

freedom) melalui the process of the enlarging the range of people’s choicies.

Di tengah upaya Pemerintah Kabinet Kerja untuk menjadikan Indonesia

sebagai Poros Maritim Dunia, yakni Laut sebagai sumber kemajuan dan

kesejahtraan baru bagi bangsa Indonesia, perlu diupayakan bagaimana

membangun kelautan, khususnya perikanan, berbasis ekonomi biru untuk

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 155

Denpasar, 25-26 September 2018

menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, ramah lingkungan, dan

berkelanjutan bagi kemajuan dan kesejahtraan rakyat Indonesia dalam upaya

mewujudkan tiga pilar kelautan dan perikanan kita, yaitu kedaulatan,

keberlanjutan, dan kesejahtraan. Pemberdayaan masyarakat nelayan dan pesisir

tidak semata pada ekonomi, tetapi juga penguatan posisi politik mereka melalui

penjaminan hak-hak agar mampu mengartikulasikan dan mempertahankan

kepentingannya dalam setiap kontestasi.Jika kita masih percaya bahwa kita ini

adalah bangsa bahari, maka jaminan terhadap hak-hak masyarakat nelayan dan

pesisir itu merupakan suatu keniscayaan.Jalesveva Jayamahe.

Daftar Pustaka

Fukuoka, Masanobu. 2012. Revolusi Sebatang Jerami. Jakarta: Yayasan Pustaka

Obor Indonesia.

Pauli, Gunter. 2013. The Blue Economy. Jakarta: Akast Publishing,

Satria, Arif. 2015. Sosiologi Masyarakat Pesisir. Bogor: Yayasan Obor

Idonesia.

_________, 2009a.Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor: IPB Press.

__________.2009b.Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta: LKIS.

__________.2015.Politik Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Yayasan Pustaka

Obor Indonesia.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 156

Denpasar, 25-26 September 2018

MEMAHAMI KATA TUGAS DALAM BAHASA INDONESIA

DITINJAU DARI PELONCATAN KATEGORI DAN FUNGSI

I Wayan Teguh

Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Kata tugas berbeda dengan kategori kata yang lain karena mempunyai ciri

khusus. Dalam hal ini kata tugas hanya mempunyai arti gramatikal, tidak

memiliki arti leksikal, seperti yang dimiliki verba, adjektiva, dan nomina. Ciri lain

kata tugas adalah hampir semua tidak dapat menjadi dasar untuk membentuk kata

lain. Di samping itu, kata tugas juga merupakan kata yang tertutup. Hal ini

berbeda dengan kata lain, seperti verba, adjektiva, dan nomina yang merupakan

kelas kata terbuka.

Kata tugas yang mengalami peloncatan kategori dan fungsi adalah preposisi

dan konjungsi. Kedua kata tugas itu hanya dapat mengalami peloncatan kategori

dan fungsi ke nomina, verba, dan adjektiva. Akan tetapi, tidak semua peloncatan

kategori diikuti oleh peloncatan fungsi. Di samping itu, peloncatan kategori dan

fungsi terjadi karena kata-kata tersebut mempunyai hubungan makna polisemi.

Peloncatan kategori dari preposisi ke verba dan adjektiva diikuti oleh

peloncatan fungsi, sedangkan peloncatan dari preposisi ke nomina tidak selalu

diikuti oleh peloncatan fungsi. Di pihak lain peloncatan kategori dari konjungsi,

baik ke nomina, verba, maupun adjektiva, umumnya juga diikuti oleh peloncatan

fungsi.

Kata kunci: kata tugas. kategori, fungsi

1. Pendahuluan

Kata tugas merupakan salah satu kategori kata dalam bahasa Indonesia.

Kategori kata lainnya adalah verba, adjektiva, adverbia, nomina, pronomina, dan

numeralia (Alwi dkk., 2003:287). Kata tugas berbeda dengan kategori kata yang

lain karena mempunyai ciri khusus. Dalam hal ini kata tugas hanya mempunyai

arti gramatikal, tidak memiliki arti leksikal, seperti yang dimiliki verba, adjektiva,

dan nomina. Ciri lain kata tugas adalah hampir semua tidak dapat menjadi dasar

untuk membentuk kata lain. Di samping itu, kata tugas juga merupakan kata yang

tertutup. Hal ini berbeda dengan kata lain, seperti verba, adjektiva, dan nomina

yang merupakan kelas kata terbuka. Dalam kelas kata terbuka dengan mudah

dapat ditambah atau diterima unsur lain sebagai kata baru atau padanan kata yang

telah ada. Sebaliknya, dalam kata tugas hal seperti itu hampir tidak pernah terjadi.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 157

Denpasar, 25-26 September 2018

Istilah kategori dan fungsi ditemukan dalam tulisan Verhaar (1981:70).

Dalam buku tata bahasa Indonesia lainnya istilah kategori biasa disebut jenis kata,

sedangkan fungsi sering disebut jabatan atau tetap fungsi. Penggolongan kata

berdasarkan kategori meliputi, misalnya nomina, verba, dan adjektiva. Di pihak

lain penggolongan fungsi mencakup, misalnya subjek, predikat, objek, dan

keterangan.

2. Pembahasan

Dalam bahasa Indonesia ditemukan sejumlah kata yang dapat digolongkan

ke dalam beberapa kategori. Menurut Ramlan (1982:1), kata sedang dapat

digolongkan pada kategori verba, konjumgsi, atau adverbia. Di pihak lain kata

dalam di samping sebagai konjungsi mungkin juga diklasifikasikan pada

preposisi, verba, dan nomina.

Istilah peloncatan kategori dan fungsi dalam tulisan ini sebenarnya hanya

bertujuan untuk memudahkan pembicaraan. Sebuah kata yang biasanya

berkategori kata tugas, misalnya, tetapi dalam konteks lain berkategori nomina,

verba, atau adjektiva dikatakan bahwa kata tersebut mengalami proses peloncatan

kategori. Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan peloncatan fungsi sebenarnya

berkaitan dengan peloncatan kategori. Dalam hal ini kata tugas, misalnua, tidak

dapat menduduki fungsi tertentu dalam kalimat. Akan tetapi, setelah meloncat ke

kategori nomina ada kemungkinan untuk menduduki fungsi subjek atau objek.

Hal seperti ini dikatakan peloncatan fungsi. Pokok pembicaraan tulisan ini

ditekankan pada peloncatan kategori, sedangkan peloncatan fungsi hanya

mengikuti pembicaraan peloncatan kategori. Hal yang diutamakan dalam

pembicaraan ini adalah pemahaman tentang peloncatan kategori kata tugas

(bahasa Indonesia) ke kategori ;lain. Artinya, sesuai dengan judul tulisan ini,

yakni peloncatan kategori dan fungsi dibatasi khusus dari kata tugas ke kategori-

kategori lainnya.

Dalam bahasa Indonesia dapat dikatakan bahwa secara definitif batasan

kata tugas sulit dirumuskan. Sehubungan dengan itu, Keraf membuat simpulan

secara negatif tentang kata tugas tersebut. Menurut Keraf, kata tugas adalah semua

jenis kata yang tidak termasuk kategori nomina, verba, atau adjektiva. Di samping

158 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

itu, juga dinyatakan bahwa ciri kata tugas yang membedakannya dengan kategori-

kategori lain terletak pada ketidakmampuan kata tugas menempati fungsi-fungsi

tertentu dalam kalimat. Sebaliknya, nomina, misalnya, dapat menduduki fungsi

subjek dan objek dalam sebuah kalimat. Di pihak lain fungsi predikat dalam

bahasa Indonesia dapat diisi oleh kategori verba.

Seperti diketahui bahwa kata tugas memiliki sejumlah subkategori. Dua

subkategori yang dikenal secara umum adalah preposisi dan konjungsi. Kedua

subkategori tersebut diuraikan secara singkat sebagai berikut. Apabila ditinjau

dari perilaku semantisnya, preposisi menandai berbagai hubungan makna antara

konstituen di depan preposisi itu dan konstituen di belakangnya. Jika ditinjau dari

perilaku sintaktisnya, preposisi berada di depan nomina, adjektiva, atau adverbia

sehingga membentuk frasa preposisional (Alwi dkk., 2003:288). Di pihak lain

konjungsi adalah kata tugas yang menghubungkan dua satuan bahasa yang

sederajat, artinya kata dengan kata, frasa dengan kata, atau klausa dengan klausa.

Apabila dilihat dari perilaku sintaktisnya dalam kalimat, konjungsi dibagi atas

empat kelompok, yaitu konjungsi koordinatif, konjungsi korelatif, konjungsi

subordinatif, dan konjungsi antarkalimat (Alwi dkk., 2003:297).

2.1 Peloncatan Kategori dan Fungsi Preposisi

Dalam bahasa Indonesia ditemukan sejumlah kata tugas dapat digolongkan

pada nomina, verba, atau adjektiva dalam konteks lain. Di samping mengalami

peloncatan kategori, ternyata ada juga kata tugas yang mengalami peloncatan

subkategori, misalnya dari preposisi ke subkategori konjungsi. Secara umum

dapat dikatakan bahwa peloncatan kategori ini sering diikuti oleh peloncatan

fungsi, tetapi ada juga yang tidak diikuti peloncatan fungsi. Hal tersebut diuraikan

sebagai berikut.

1) Preposisi ke Nomina

Di dalam bahasa Indonesia ditemukan beberapa preposisi yang juga dapat

termasuk nomina. Preposisi tersebut adalah berkat, dalam, dan atas. Contoh-

contoh berikut menunjukkan terjadinya peloncatan kategori preposisi ke nomina.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 159

Denpasar, 25-26 September 2018

(1) Berkat kesigapan relawan, para lansia dan anak-anak dapat

diselamatkan dari bencana gempa bumi itu. (preposisi)

(1a) Pernikahan Tyas tidak mendapatlkan berkat keluarganya. (nomina)

(2) Pekerjaan itu dapat diselesaikan oleh Wahyu dalam waktu yang

singkat. (preposisi)

(2a) Sudah satu jam Rina menunggu di dalam. (nomina)

(3) Perbudakan atas orang lain harus ditentang. (preposisi)

(3a) Pak Yoga mengajar di ruang atas. (nomina)

Dari contoh di atas diketahui bahwa peloncatan kategori ternyata tidak

selalu diikuti oleh peloncatan fungsi. Kata dalam dan atas tidak dapat menduduki

fungsi tertentu. Akan tetapi, setelah bergabung dengan preposisi di kedua kata itu

dapat menduduki fungsi tertentu dalam kalimat. Kata yang lain, yaitu berkat

sebagai nomina ternyata mampu menduduki fungsi tertentu dalam kalimat. Pada

contoh (1a) di atas berkat menduduki fungsi objek.

2) Preposisi ke Verba

Di bawah ini diberikan contoh peloncatan kategori dan fungsi preposisi ke

verba.

(4) Belakangan ini banyak orang berbicara tentang prestasi atlet Indonesia.

(preposisi)

(4a) Tentang dia kalau kauberani. (verba)

(5) Dalam fotografi kita berbicara melalui simbol-simbol tertentu.

(preposisi)

(5a) Di jalan tol sepeda motor harus melalui jalur yang ditentukan. (verba)

(6) Hal itu merupakan pemberian yang wajar antarteman. (preposisi)

(6a) Sekarang antar adikmu ke sekolah. (verba)

Berdasarkan contoh (4)—(6a) diketahui bahwa peloncatan preposisi ke

verba juga diikuti oleh peloncatan fungsi. Artinya, dari kata yang tidak dapat

menduduki fungsi tertentu ke kata yang dapat menduduki fungsi tertentu dalam

kalimat. Dalam bahasa Indonesia kategori verba biasa menduduki fungsi predikat.

160 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

3) Preposisi ke Adjektiva

Peloncatan dari preposisi ke adjektiva dapat diperhatikan pada contoh-

contoh berikut.

(7) Dekat rumah Intan terdapat lapangan sepak bola. (preposisi)

(7a) Kintamani sudah dekat dari sini. (adjektiva)

(8) Adik minum sisa susu dalam gelasnya sampai habis. (preposisi)

(8a Sumur itu sangat dalam. (adjektiva)

(9) Agus senang sama Ayu. (preposisi)

(9a) Hobi kedua anak itu sama. (adjektiva)

Dari contoh (7)—(9a) di atas diketahui bahwa peloncatan kategori preposisi

ke adjektiva juga diikuti peloncatan fungsi. Dalam keadaan berdiri sendiri

adjektiva biasa berfungsi sebagai predikat dalam kalimat.

2.2 Peloncatan Kategori dan Fungsi Konjungsi

Konjungsi berfungsi untuk menghubungkan klausa dengan klausa, klausa

dengan kata atau frasa. Dalam frasa endosentrik konjungsi berfungi

menggabungkan kata atau frasa dengan kata atau frasa yang mempunyai fungsi

yang sama (Ramlan, 1982:4). Peloncatan kategori dan fungsi konjjungsi diuraikan

seperti di bawah ini.

1) Konjungsi ke Nomina

Peloncatan konjungsi ke kategori nomina dapat dilihat pada contoh di

bawah ini.

(10) Aku akan selalu menunggumu asal engkau setia. (konjungsi)

(10a) Dari mana asal Anda? (nomina)

(11) Waktu Kesya datang, ibunya di rumah sakit. (konjungsi)

(11a) Waktu adalah uang. (nomina)

(12) Lenny mengunci rumahnya lalu pergi ke kampus. (konjungsi)

(12a) Masa lalu yang pahit harus dilupakan. (nomina)

Dari contoh (10)—(12a) diketahui bahwa peloncatan kategori konjungsi ke

nomina umumnya diikuti oleh peloncatan fungsi. Artinya, kata asal, waktu, dan

lalu tidak dapat menduduki fungsi tertentu jika berdiri sendiri.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 161

Denpasar, 25-26 September 2018

2) Konjungsi ke Verba

Konjungsi yang juga berkategori verba tidak banyak ditemukan dalam

bahasa Indonesia. Di samping itu, juga biasanya hanya berupa bentuk dasar.

Peloncatan kategori konjungsi ke verba tampak pada contoh berikut.

(13) Yudi bekerja keras buat mencukupi kebutuhan sehari-hari. (konjungsi)

(13a) Buat pekerjaan rumah yang bagus. (verba)

(14) Ririn mengunci kamar tidurnya lalu merebahkan tubuhnya di tempat

tidur. (konjungsi)

(14a)Sebaiknya Anda tidak sering lalu di depan rumah orang iru. (verba)

(15) Agus membentak serta menghentak-hentakkan kakinya ke lantai.

(konjungsi)

(15a) Apakah Yudit tidak serta hari ini? (verba)

Berdasarkan contoh (13)—(15a) dapat dipahami bahwa peloncatan kategori

dari konjungsi ke verba diikuti oleh peloncatan fungsi. Artinya, buat, lalu, dan

serta masing-masing pada contoh (13a), (14a), dan (15a) berfungsi sebagai

predikat.

3) Konjungsi ke Adjektiva

Peloncatan konjungsi ke adjektiva dapat diperhatikan pada contoh di bawah

ini.

(16) Akhir-akhir ini DPR berperan aktif lagi dalam menilai hasil-hasil

pemeriksaan BPK. (konjungsi)

(16a) Sungai di belakang rumah Surya sangat dalam. (adjektiva)

(17) Yunita tertawa, sedang Julia hanya tersenyum. (konjungsi)

(17a) Tubuh Fatma tidak gemuk, tetapi sedang saja. (adjektiva)

Dalam keadaan berdiri sendiri adjektiva biasa menduduki fungsi predikat.

Dengan demikian, peloncatan kategori dari konjungsi ke adjektiva ini juga diikuti

oleh peloncatan fungsi.

162 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

3. Penutup

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kata tugas yang

mengalami peloncatan kategori dan fungsi adalah preposisi dan konjungsi. Kedua

kata tugas itu pada umumnya dapat mengalami peloncatan kategori dan fungsi ke

nomina, verba, dan adjektiva. Akan tetapi, tidak semua peloncatan kategori diikuti

oleh peloncatan fungsi. Di samping itu, peloncatan kategori dan fungsi terjadi

karena kata-kata tersebut mempunyai hubungan makna polisemi.

Daftar Pustaka

Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga.

Jakarta: Balai Pustaka.

Ramlan, M. 1982. Morfologi Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Andi.

Verhaar, J.W.M. 1981. Pengantar Lingguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 163

Denpasar, 25-26 September 2018

TERJEMAHAN ISTILAH KELAUTAN BAHASA INGGRIS KE DALAM

BAHASA INDONESIA

Ida Ayu Made Puspani

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana kesepadanan makna istilah-

istilah kelautan yang diterjemahkan dari novel berbahasa Inggris `The Old Man

andthe Sea` karya penulis Amerika Ernest Hemingway ke dalam bahasa

Indonesia `Lelaki Tua dan Laut` diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono.

Terdapat dua masalah yang dibahas di dalam tulisan ini yaitu (1) prosedur

penerjemahan apa sajakah yang diterapkan oleh penerjemah dalam mencari

kesepadan makna terjemahan?dan (2) bagaimana hasil dari kesepadan makna

yang terdapat dalam hasil terjemahannya. Penelitian ini merupakan penelitian

deskriptif kualitatif dengan menerapkan teori linguistik terjemahan yang ditulis

oleh Newmark(1998) tentang prosedur penerjemahan. Hasil kajian menunjukkan

bahwa prosedur penerjemahan yang diterapkan pada terjemahan novel tersebut

adalah shift (transposisi), parafrasa, descriptive equivalent dan gabungan lebih

dari satu atau dua prosedur, serta hasil terjemahan menujukkan kesepadanan

terdekat pada bahasa sasaran.

Kata kunci: laut, terjemahan, prosedur, dan makna

1. Pendahuluan

Penerjemahan merupakan pengalihan makna atau pesan teks bahasa sumber

(BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa). Dalam proses pengalihan makna,

penerjemah harus memiliki kemampuan linguistik maupun budaya BSu dan BSa.

Penerjemahan ranah karya sastra (puisi, novel, prosa dan drama) memerlukan

ketrampilan/skill penerjemah dalam bahasa sastra yang sarat akan makna konotasi

atau connotative meaning. Tulisan ini membahas penerjemahan karya sastra novel

`The Old Man andThe Sea` sebuah novel yang ditulis oleh sastrawan Amerika

Ernest Hemingway dan diterjemahkan oleh Sapardi Joko Damono menjadi `Lelaki

Tua dan Laut.

Dalam penelitian ini terdapat dua masalah yang akan dibahas yaitu:(1)

prosedur penerjemahan apa sajakah yang diterapkan oleh penerjemah dalam

mencari kesepadan makna terjemahan? Dan bagaimana hasil dari kesepadan

makna yang terdapat dalam hasil terjemahannya.

164 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

2. Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian terjemahan yang sebelumnya membahas

terjemahan istilah-istilah baik kedokteran maupun budaya dari bahasa Inggris ke

bahasa Indoneisa dan dari bahasa Indonesia ke Bahasa Ingrris a.l: Pertama,

Jayantini, dkk. (2017)pada `International Journal of Comparative Literature and

Translation Studies Vol 5, No 4, Halam 11-18 menulis artikel dengan judul

`Translating English Medicl Terms : A Study of Phonological Translation and

Spelling Adjustment. Meneliti bagaimana istilah-istilah kedokteran mata

(optalmologi) bahasa Inggris diterjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam

penelitian ini ditemukan bahwa penerjemah menerapkan prosedur adaptasi dan

naturalisai istilah kedokteran mata Bahasa Inggis ke dalam bahasa Indonesia.

Kedua, peneltian yang dilakukan oleh Arnita,dkk. pada tahun 2016

berjudul` Componential analysis of the cultural terms in the Bilingual short story

entitled ―Mati Salah Patiand its Translation ― The Wrong Kind of Death‖ dimuat

pada jurnal Linguistika Vol 23 No 44. Penelitian ini membahas penerjemahan

isitilah budaya Bali diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris.Dalam penelitian

tersebut menerapkan teori linguistik terjemahan kerkait dengan analisis

komponensial. Kedua penelitian sebelumnya memiliki keterkaitan dengan

penelitian ini dalam hal peristilahan walaupun istilah yang dibahas berbeda.

3. Kerangka Teori

Teori yang diterapkan untuk mengkaji kesepadanan makna penerjemahan

istilah kelautan dari bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia pada novel `The

Old Man andThe Sea` dan terjemahannya `Lelaki Tua dan Laut`adalah terori

linguiatik penerjemahan yang ditulis oleh Newmark ( 1988) tentang prosedur

penerjemahan sebagai berikut:

(1) Tranference merupakan suatu prosedur bila penerjemah memutuskan untuk

tidak mentrasfer sebuah kata yang tidak lumrah dalam BSa yang pada

prinsipnya merupakan sebuah kata terkait budaya dalam BSu yang

referensinya penting dalam BSa. Dalam kondisi seperti ini penerjemah

mentransfer kata BSu ke BSa yang biasanya terkait dengan objek budaya atau

konsep yang terkait dengan kelompok kecil.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 165

Denpasar, 25-26 September 2018

(2) Naturalization merupakan suatu prosedur penerjemahan setelah transference

dan pertama-tama mengabdopsi kata BSu ke pelafalan normal dan kemudian

disesuaikan dengan bentuk kata (word form) dalam BSa.

(3) Cultural equivalent merupakan suatu approximate translation yang

menerjemahkan kata budaya dalam BSu ke dalam kata budaya /cultural

wordBSa.

(4) Functional equivalent adalah prosedur yang umum dimanfaatkan dalam

menerjemahkan kata budaya (culturalword), memerlukan pemanfaatan

culture-free word (kata yang tidak terkait dengan budaya), kadang-kadang

dengan istilah baru yang khusus, maka akan menetralisasikan kata BSu.

(5) Descriptive equivalent merupakan prosedur yang harus mempertimbangkan

antara fungsinya . Seperti misalnya `machete` merupakan deskripsi sebuah

alat yang berat yang dipergunakan untuk memotong Amerika Latin, yang

dewkripsi dan fungsinya sama dengan `knife`( pisau)

(6) Synonymy sebuah prosedur yang digunakan untuk medapatkan kesepadan

terdekat dari kata BSu dalam sebuah konteks, atau bila kata BSu tidak

memiliki korespondesi satu-satu dalam BSa. Seorang penerjemah tidak dapat

menghindari penggunaan sinonim, ini perlu dilakukan sebagai sebuah

kompromi dalam menerjemahkan bagian penting dari teks tersebut.

(7) Shift or transposition (pergesersan atau transposisi) merupakan prosedur yang

menyertakan perubahan gramatika BSu pada BSa. Misalnya perubahan

tunggal ke jamak dari bahasa Inggris ke Prancis ` furniture` menjadi

`desmeubles`

(8) Modulation yang awalnya diungkapkan oleh Vinay dan Darbelnet (2000)

merupakan prosedur untuk mencari variasi melalui perubahan pandangan,

perspektif dan sering terkait dengan katagori pemikiran.

(9) Compensation merupakan prosedur bila terjadi penyusutan makna, sound

effect (efek bunyi) metafora atau pragmatik dalam satu bagian kalimat

dikonpensasikan dalam bagian yang lain atau dalam kalimat.

(10) Paraphrase sebuah prosedur penerjemahan tentang penjelasan bagian teks.

Prosedur ini dipergunakan jika ada bagian teks yang memerlukan penjelasan

dalam BSa.

166 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

(11) Couplet, triplet, dan quardruplet merupakan gabungan dua, tiga atau lebih

dari prosedur penerjemahan di atas.

4. Pembahasan

Berdasarakan data yang didapat dari terjemahan novel`The Old Man and the

Sea` dan terjemahannya `Lelaki Tua dan Laut`berikut disertakan analisis istilah-

istilah yang berkaitan dengan kelautan.

[4-1]

SL TL

Hewasanoldmanwhofished(a)aloneinaskiffintheGulfStreamand

hehadgoneeighty-fourdaysnowwithouttakingafish (hal.1).

Ia seorang lelaki

tua yang sendiri

saja dalam

sebuahperahu

penangkap ikan di Teluk

Meksiko dan kini

sudah genap

delapan puluh

empat hari

lamanya tidak

berhasil

menangkap ikan

seekor un (hal.1)

Data [4-1a] terjemahan istilah `fished` (verba)berasal dari kata benda

(nomina) `fish` (ikan) dalam konteks di atas berarti `menangkap ikan`, prosedur

yang diterapakan adalah `shift` (pergeseran) terjemahan dari verba ke klausa

`menangkap ikan`. Data [4-1b] frasa nomina `a skiff``diterjemahkan menjadi

sebuah perahu juga berupa frasa nomina dalam bahasa Indonesia. Prosedur

terjemahannya adalan prosedur literal, dan frasa nomina in`theGulfStream(4-1c)`

diterjemahkan menjadi frasa nomina `Teluk Meksiko`dalam bahasa Inggris Gulf

Stream memang merupakan sebuah teluk di Mesiko yang membentang sampai ke

Florida Amerika serikat, penerjemah dalam hal ini penerapkan prosedur

descriptive equivalent.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 167

Denpasar, 25-26 September 2018

[4-2]

SL TL

Itmadethe

boysadtoseetheoldmancomeineachdaywithhisskiffemptyandhealw

ayswent

downtohelphimcarryeitherthecoiledlinesorthegaffandharpoon(

a ) andthesail(b)that wasfurledaroundthemast(c)(hal.2)

Anak itu

merasa

kasihan

setiap kali

menyaksikan

si lelaki tua

tiba dari laut

setiap hari

dengan

perahu

kosong dan

iapun selalu

datang untuk

menolongnya

membawaka

n gulungan

tali atau kait

besar dan

kait kecil,

serta layar

yang sudah

tergulung di

tiang

perahu(hal

2)

Pada data [4-2] frasa nomina bahasa Inggris` thegaffandharpoon[4-2a] ` di

atas diterjemahkan menjadi` frasa nomina `kait besar dan kait kecil,`dalam

bahasa Inggris terdapat istilah yang berbeda untuk menyatakan jenis kait; kait

yang besar disebut dengan gaff dan kait yang kecil disebut `harpoon`. Dalam

terjemahan ini penerjemah menerapakan prosedur descriptive equivalent untuk

menyatakan istilah BSu pada BSa. Istilah `thesail[4-2b]`dalam bentuk frasa

nomina diterjemahkan menjadi `layar`mengalami pergeseran dari frasa ke

nomina `layar`. Istilah `mast `(4-2c)bahasa Inggris diterjemahkan menjadi `tiang

perahu`dalam bahasa Indonesia dan proser terjamahan yang diterapkan adalah

descriptive equivalent.

168 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

[4-3]

SL TL

Theblotchesranwelldownthesidesofhisfaceandhis

handshadthedeep-creased

scarsfromhandlingheavyfishonthecords

(hal.3)

Bintik bintik itu

memenuhi kedua sisi

wajahnya dan kedua

tangannya penuh

dengan goresan tajam,

yakni bekas luka

karena gosokan tali

sewaktu menghela

ikan besar.(hal 3)

Terjemahan kalimat kedua bahasa sumber` his handshadthedeep-creased

scarsfromhandlingheavyfishonthecords` menjadi `kedua tangannya penuh dengan

goresan tajam, yakni bekas luka karena gosokan tali sewaktu menghela ikan

besar`, terdapat beberapa prosedur yang diterapkan oleh penerjemah. Pertama

terjemahan frase nomina ` his hands` menjadi `kedua tangannya` menerapkan

prosedur shift , dan `frasa nomina `heavy fished` diterjemahkan menjadi `ikan

besar` bukan menjadi `ikan berat`karena lebih berterima kalau menjadi `ikan

besar` pada BSa, prosedur yang diterapkan adalah `equivalent`. Pada data di

atas(4-3) menerapkan dua prosedur terjemahan yaitu shiftdanequivalent.

[ 4-4]

SL TL

Butnoneof thesescarswerefresh.

Theywereasoldaserosionsinafishlessdesert.(hal.4)

Namun luka-luka itu

tidak ada yang masih

segar. Setua erosi

gurun pasir yang

tanpa ikan.(hal 5)

Terjemahan simili BSu`Theywereasoldaserosionsinafishlessdesert`

menjadi `setua erosi gurun pasir` dengan prosedur terjemahan `equivalent`

dengan mengacu pada referensi yang sama yaitu sebagai pembanding setara`

erosi gurun pasir yang tanpa ikan`.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 169

Denpasar, 25-26 September 2018

[4-5]

SL TL

Thesuccessful

fishermenofthatdaywerealreadyinandhadbutcheredtheirmarlino

ut(a)andcarried

themlaidfulllengthacrosstwoplanks,withtwomenstaggeringattheen

dofeachplank, tothefishhouse(b)where theywaited fortheicetruck

tocarry them tothemarket in Havana. (hal.4)

Para nelayan

yang beruntung

itu telah berada

di darat dan

telah

menyemblih

ikan todak

mereka dan

membawanya

terbujur di

atasdua lembar

papan, yang

setisap

ujungnya

dingkat oleh

dua orang yang

berjalan

terhuyung ke

arah gudang

ikan di mana

mereka

menunggu truk

es yang akan

mengangkut

mereka ke

pasar di

Havana (hal.5)

Terjemahan klausa BSu (4-5a)`had butchered their marlin out` menjadi

`telah menyembelih ikan todak mereka` pada BSa. Verba` butchered out `

diterjemahan menjadi `meyembelih` pada BSu, meyembelih ikan dalam bahasa

Indonesia tidak umum ditemukan, namun mematikan ikan sebelum dimasak biasa

dalam bahasa Indonesia. Pernerjemahn menerapkan prosedur literal`Frasa Nomina

BSu (4-5b)` thefishhouse`(def. art. + N.mod.+ N) diterjemahka menjadi ` gudang

ikan (N+ N. mod) `prosedur yang diterapkan adalah prosedur `shift` (pergeseran).

[4-6]

SL TL

Thosewhohadcaughtsharkshadtakenthemtothesharkfactoryont

heother sideofthecovewheretheywerehoistedona

blockandtackle,theirliversremoved,their

finscutoffandtheirhidesskinnedoutandtheirfleshcutintostripsfor

salting.(hal.5)

Para nelayan

yang berhasil

mengkap ikan

hiu telah

membawa

170 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

perolehan

mereka ke

perusahaan

hiu yang

terletak di

sebelah teluk,

dan di sana

ikan-ikan itu

diangkat

dengan kerekan

dan katrol,

hatinya

dikeluarkan,

siripnya

dipotong, serta

kulitnya

dikelupas, dan

dagingnya di

iris iris menjadi

lempengan

untuk

digarami.(hal.6

)

Terjemahan frasa nomina BSu `shark factory` ke dalam BSa menjadi

`perusahaan hiu`, prosedur yang diterapkan adalah prosedur shift dan

modulation`. Pada BSu` `factory` diterjemahkan menjadi `perusahaan` bukan

menjadi `pabrik` pada BSa

[4-7]

SL TL

―Ican rememberthetail slappingand

bangingandthethwart breaking andthe noiseof

theclubbing.Icanrememberyouthrowingmeintothebowwh

erethewetcoiled lines were and feeling the whole boat

shiverand the noise of you clubbing him like

choppingatreedownandthesweetbloodsmellalloverme.‖(h

al 6)

Ku ingat

ekornyamembe

ntur- bentur dan

perahu retak dan suara suara

pukulanmu yang

gaduh

Kuingat kau

melemparkanku

ke haluan tempat

gulungan tali

yang masih

basah dan

kurasakan

seluruh perahu

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 171

Denpasar, 25-26 September 2018

bergetar, dank

kau mengamuk

memukuli ikan

itu bagai

membaco-bacok

patang pohon

dan bau darah

segar

disekelilingku.

(hal 6)

Keterangan pada kalimat BSuIcan remember `the tail slapping and

banging`diterjamahkan menjadi `ekornya membentur-bentur` pada BSa. Gerakan

ekor ikan saat diangkat berulang-ulang. Prosedur terjamahan yang diterapkan

adalah prosedur `modulation.`

5. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data di atas dapat disimpulkan bahwa:

(1) Prosedur terjemahan yang diterapkan dalam terjemahan novel `The

Old Man and the Sea` ke dalam bahasa Indonesia terkait dengan

terjemahan istilah kelautan adalah yaitu : shift (transposisi),

modulation, descriptive equivalent dan gabungan lebih dari satu atau

dua prosedur;

(2) Hasil terjemahan istilah kelautan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa

Indonesia menunjukkan kesepadan terdekat.

Daftar Pustaka

Arnita,dkk. 2016. Componential analysis of the cultural terms in the Bilingual

short story entitled ―Mati Salah Patiand its Translation ― The Wrong Kind of

Death‖ Jurnal Linguistika Vol 23 No 44.

Hemingway,Ernest.1952.The Old Man and The Sea.USA: CharlesScribner`s Sons.

Jayantini, dkk. 2017.`Translating English Medical Terms: A Study of

Phonological Translation and Spelling Adjustment.International Journal of

comparative Literature and Translation Studies Vol 5, No 4, Halam 11-18

Larson, Mildred.1984.Meaning-Based Translation. New York:UniversityPress. Newmark, Peter.1998. A Text Book on Translation. New York: Prentice –Hall.

Damono, Sapardi Djoko. 2014. Lelaki Tua dan Laut(terjemahan). Jakarta: Pustaka

Jaya

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 172

Denpasar, 25-26 September 2018

FUNGSI DAERAH PESISIR DARI MASA KE MASA DI BALI

(KAJIAN KEPUSTAKAAN)

Ida Ayu Putu Mahyuni

Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK

Dalam catatan sejarah suatu daerah pesisir pada umumnya memiliki sifat

dinamis, daerah pesisir dapat berkembang menjadi sebuah pelabuhan dengan

berbagai fungsinya. Sebagai Pelabuhan memudahkan penduduk setempat untuk

melakukan kontak terutama terutama kontak perdagangan dengan luar daerah,

sebagai tempat para pejuang rakyat Bali dalam revolusi fisik (1945-1950) tempat

penyebrangan menuju daerah luar Bali untuk berbagai keperluan. Sejak dulu

daerah pesisir di Bali memiliki potensi sebagai daya tarik wisata. Bagaimana

fungsi daerah pesisir di Bali, baik sebagai kota pelabuhan, tempat para pejuang

rakyat Bali melakukan kontak ke luar Bali seperti dengan para pejuang yang ada

di Jawa dan sebagai daya tarik wisata ? Semua ini akan menjadi fokus dalam

kajian ini.

1.Latar Belakang

Dalam Sejarah Bali Kuno (2015), hubungan perdagangan telah terjadi sejak

masa kerajaan kuno di Bali. Salah satu tempat terjadinya transaksi barang-barang

komuditas antar penduduk lokal dengan orang asing adalah daerah pesisir Bali

Utara bagian timur (Ardika (Dkk), 2015 : 211).

Dalam sumber lain juga disebutkan bahwa, terdapat juga penduduk

pendatang dari luar sudah ada dan menetap di Bali, seperti orang-orang Bugis,

Makasar, Jawa dan orang Cina yang paling dominan bermukim atau bertempat

tinggal di kawasan pantai atau pesisir Pada umumnya mereka datang dan tinggal

di Bali terutama untuk berdagang.

Dalam perjalanan sejarah Bali, khususnya wilayah pesisir Bali berangsur-

angsur berkembang tidak saja sebagai tempat transaksi jual-beli dalam

perdagangan, juga berkembang sebagai kota pelabuhan yang berfungsi sebagai

jalur lalu lintas transportasi Bali dengan daerah luar Bali. Selain itu

Perkembangan Pariwisata di Bali menyebabkan banyak daerah pesisir di Bali

seperti Kuta dan Sanur dan daerah pantai lainnya di Bali menjadi salah satu

andalan pariwisata. Masing-masing daerah pesisir tersebut memiliki potensi dan

daya tarik tersendiri untuk menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW).

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 173

Denpasar, 25-26 September 2018

Dari latar belakang tersebut muncul masalah yang perlu dikaji : Bagaimana

Peranan Daerah Pesisir dari Masa ke Masa di Bali ?

Kajian ini akan dicoba dianalisa melalui teori motivasi. Motivasi merupakan

hal yang mendasar orang untuk melakukan perjalanan, baik dengan tujuan

berdagang ataupun berwisata ke daerah tujuan. Salah satu daerah tujuan tersebut

adalah daerah pesisir. Motivasi seseorang untuk melakukan perjalanan ke daerah

pesisir selain faktor di daerah asal juga karena faktor yang ada di daerah tujuan,

dalam hal ini adalah daerah pesisir, pantai atau pun pelabuhan.

Menurut I Gde Pitana dan Putu G.Gayatri (2005), motivasi merupakan hal

yang mendasar dalam studi tentang wisatawan dan pariwisata karena motivasi

merupakan proses perjalanan dalam pariwisata. Walaupun pada masa kerajaan

kuno daerah pesisir lebih dominan berperan sebagai tempat transaksi perdagangan

bahkan tempat pemukiman permanen atau menetap di daerah tujuan yaitu daerah

pesisir, namun di sisi lain daerah pesisir di Bali pada saat itu juga sudah berperan

sebagai daerah tujuan wisata dengan berbagai tujuan.

Metode penelitian yang dilakukan dalam kajian ini adalah metode

kepustakaan, baik sumber yang berasal dari sejarah kuno yang ditulis oleh para

pakar sejarah kuno dan sejarah kontemporer, seperti Sejarah Bali Kuno, Sejarah

Bali Pertengahan, Bali Pada Masa Kolonial, Sejarah Pariwisata dan

Perkembangannya di Indonesia (1996).

2. Hasil dan Pembahasan

Hasil penelian kepustakaan tentang peranan daerah pesisir dari masa kemasa

di Bali ini fokus pada dua hal secara garis besarnya sebagai beriut:

2.1. Peranan Daerah Pesisir di Bali Sebagai Pelabuhan

Pada masa lalu masyarakat di Bali sudah mengenal transaksi dalam

perdagangan. Pada saat itu masih dikembangkan perdagangan melalui sistem

barter maupun dengan menggunakan alat tukar kulit kerang. Barang-barang yang

diperjualbelikanpun meliputi kebutuhan primer (sandang dan pangan) (Ardika

(Dkk), 2015), 208).

Pada awalnya tempat kebutuhan transaksi jual beli perdagangan barang-

barang dan hasil produksi mendorong munculnya pasar sebagai tempat tukar-

174 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

menukar hasil produksi menunjukkan bahwa ekonomi masyarakat pada saat itu

sudah lebih maju. Pada saat itu sudah tumbuh pemikiran tentang pemilihan lokasi

yang tepat yaitu pada tempat yang dipandang strategis, mudah dan ramai

dikunjungi orang. Daerah pesisir adalah tempat transaksi perdagangan atau pusat

pasar yang dipandang strategis dan dinamis.

Sejak dulu aktivitas perdagangan sudah memainkan peran penting

khususnya pesisir Bali Utara. Bahkan sejak abad ke-17 para Raja telah pula

melakukan kontak perdagangan dengan pedagang luar, seperti Cina, Bugis bahkan

dengan pedagang Eropa. Itu artinya sudah ada penduduk asing yang tinggal di

Bali, hanya kurang jelas jumlahnya. Sejak abad ke- 17 terdapat orang-orang Bugis

tinggal di Serangan juga sudah ada tinggal di Tuban (Parimartha (Dkk), 2015 :

299).

Kontak awan orang Bali dengan Barat terjadi sejak abad ke-16. Hubungan

persahabatan berlanjut kemudian dengan hubungan usaha Belanda dengan Bali,

dan berhasil sejak abad ke-19. Dalam perdagangan Bali memiliki pelabuhan-

pelabuhan yang baik sebagai tempat persinggahan ataupun berlabuhnya kapal-

kapal dagang dari luar. Pelabuhan Pabean dan Pantai Bungkulan yang terletak di

Buleleng, Bali Utara disebut sebagai pelabuhan yang ramai pada masa itu. Di

kedua tempat ini ditemukan banyak pedagang Makasar, Bugis, dan Mandar.

Menurut I Gde Parimartha (Dkk, 2015), bahwa abad ke 19, di Karangasem

juga terdapat dua buah pelabuhan yang baik Ujung dan Padangbai. Selain itu di

Karangasem juga terdapat pelabuhan yang ramai dikunjungi pedagang luar yakni

Labuanaji. Pelabuhan itu sering dikunjungi oleh kapal-kapa dari Inggris, Cina

yang mengambil beras. Selain itu di Bali Selatan yakni Badung juga memilik

pelabuhan yang baik, yakni Tuban. Disana terdapat pedagang Bugis. Ke

pelabuhan Tuban ini Pedagang Cina dan Bugis memasukkan kain lena ke Bali.

Disebut juga Kuta merupakan pelabuhan yang teletak di Badung. Kuta sejak dulu

telah menjadi sebuah pelabuhan dagang dengan penduduknya yang beragam

terdiri dari orang Cina, Bali Hindu dan pedagang Bugis.

Kontak awal orang Bali dengan Barat dapat dikatakan terjadi sejak abad ke

16, mereka datang awalnya sebagai pelancong dengan menyeberangi beberapa

pelabuhan yang ada di Bali. Hubungan berlangsung terus sampai abad ke 18 yang

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 175

Denpasar, 25-26 September 2018

ditandai dengan adanya usaha orang-orang Belanda membangun hubungan

dagang di Bali (Parimartha, 2015 : 359).

Pada masa lalu selain pelabuhan berfungsi sebagai pusat perdagangan dan

tempat pemukiman berbagai penduduk pendatang dari luar daerah, daerah pesisir

atau daerah pelabuhan juga berfungsi untuk mempermudah melakukan kontak

dengan luar daerah Bali. Bali pada masa Revolusi Indonesia, dimana para pejuang

memanfaatkan diantaranya adalah daerah pesisir atau pantai Celukan Bawang

yang terletak di Bali Utara guna mengacaukan daerah itu dari kekuasaan musuh

dan membuat basis perjuangan di Bali Utara. Terdapat juga tempat pendaratan

lain yang dapat dimanfaatkan para pejuang pada saat itu. Setelah pasukan di

bawah pimpinan Suryadi berangkat dari Banyuwangi menuju Bali dan kemudian

mendarat di Klatan dan Batukaang. Demikian halnya rombongan yang di pimpin

Gusti Ngurah Rai tiba dari Jawa mendarat di Yeh Kuning, di Pantai Barat daya

Pulau Bali, daerah Jemberana tiba dengan selamat juga berkat bantuan rakyat Yeh

Kuning dan sekitarnya yang telah bertekad bulat berjuang bersama.

2.2. Peranan Daerah Pesisir Sebagai Daya Tarik Wisata.

Daerah pesisir di Bali seperti pantai dan pelabuhan sejak dulu memiliki

peranan penting tidak hanya sebagai tempat berlabuhnya atau mendaratnya kapal,

tempat pemukiman orang yang datang dari luar daerah, tempat mendaratnya kapal

dengan berbagai keperluan, namun daerah pesisir atau pantai di Bali sering

berfungsi sebagai daya tarik wisata, baik wisatawan lokal, nusantara maupun

wisatawan asing dengan berbagai kepentingan atau tujuan.

Kemajuan teknologi dan komunikasi telah mendrong perkembangan

pariwista di dunia, tak terkecuali di Indonesia (Sonder, 2011 : 76). Demikian

halnya di Bali. Menurut I wayan Sonder (2011), Pembangunan pariwisata di

Indonesia berdasarkan Undang-Undang No.10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan mempunyai tujuan antara lain : 1. Meningkatkan pertumbuhan

ekonomi, 2.Meningkatkan kesejahteraan rakyat, 3. Menghapus kemiskinan, 4.

Mengatasi pengangguran, 5. Melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, dan

sebagainya.

Salah satu yang dapat menarik orang untuk berkunjung ke Daerah Tujuan

Wisata (DTW) adalah pemandangan pantai (beaches). Wisata Pantai atau Wisata

176 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Bahari sering dikaitkan dengan olah raga air, seperti berselancar,, menyelam,

berenang, dan sebagainya. Objeknya adalah pantai, danau, sungai, termasuk man

laut. (Karyono, 1997 : 18-19).

Pantai yang indah berada di teluk dan dan tanjung dengan pantai yang rata

di atasnya terhampar pasir berwarna terdapat juga di beberapa daerah pantai di

Bali (Arjana, 2015 : 50). Selain sebagai aset, pantai juga menjadi objek yang

menarik untuk pariwisata. Di Bali pantai yang memiliki aset wisata dengan

kekhasan masing-masing seperti Pantai Sanur, Pantai Kuta, Pantai Lovina, Pantai

Candi Dasa, Pantai Tulamben, dan masih banyak pantai di Bali yang memiliki

aset wisata yang perlu dikembangkan.

Simpulan

1. Daerah pesisir seperti pantai di Bali sejak dulu (jaman kerajaan hingga

kemerdekaan) memiliki peran penting dalam dunia pelayaran dan

perdagangan antar pedagang luar daerah dan luar negeri;

2. Sejak perkembangan pariwisata di Indonesia daerah pesisir atau daerah

pantai di Bali menjadi dengan keindahan alamnya menjadi aset wisata

andalan dan daya tarik wisata tersendiri dengan kekhasannya masing-

masing.

DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I Wayan (Dkk). 2015. Sejarah Bali Kuna, dalam I Wayan Ardika (Dkk).

Sejarah Bali Dari Prasejarah Hingga Modern. Denpasar : Udayana

University Press.

Arjana, I Gusti Bagus. 2015. Geografi Pariwisata dan ekonomi kreatif. Jakarta :

PT Raja Grafindo Persada.

Karyono, A.Hari. 1997. Kepariwisataan. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana

Indonesia.

Parimartha, I Gde (Dkk). 2015. Sejarah Bali Pertengahan Abad VIV-XVIII, dalam

I Wayan Ardika (Dkk). Sejarah Bali Dari Pra Sejarah Hingga Modern.

Denpasar : Udayana University Press.

Pitana, I Gde dan Putu G.Gayatri. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta : Andi.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 177

Denpasar, 25-26 September 2018

Sonder, I Wayan. 2011. Pengembangan Kawasan Wisata Pantai Lasiana Di Kota

Kupang, Nusa Tenggara Timur, dalam Analiss Pariwisata, Vol.11 No.1.

Denpasar : Fakultas Pariwisata Universitas Udayana.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 178

Denpasar, 25-26 September 2018

SISTEM SEWA KONTRAK BERDASARKAN KURS DALAM NIAGA

BANDAR DI BULELENGBALI,

PERTENGAHAN ABAD XIX

Ida Ayu Wirasmini Sidemen

Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

NKRI sebagai negara kemaritiman, sebagai negara kepulauan atau nusantara,

menyebabkan pelabuhan laut memegang peranan penting lalu lintas antar pulau,

dari dulu hingga masa kini dan pasti sampai masa yang akan datang.

Pelabuhan dikelola dengan sistem sewa kontrakbiasanya diberikan kepada

orang asing, dan untuk di Bali khususnya di landschap Buleleng, diberikan kepada

orang Tionghoa.Orang Tionghoa sebagai pengontrak pelabuhan disebut dengan

kapitan dan mayor. Hal ini berdasarkan temuan sumber lokal berupa pipil maupun

sumber kolonial, yang menyebutkan bahwa transaksi ekonomi yang melibatkan

orang Tionghoa berada dibawah kekuasaan I Kapitan dan Mayor. Terminologi

kapitan dalam hal ini berarti pemimpin masyarakat. Kapitan tidak merupakan

pangkat yang memiliki kewajiban militer Kekuasaan seorang syahbandar

pelabuhan sebagai pengontrak, antara lain:(1) menertibkan bersandarnya kapal

yang keluar masuk pelabuhan; (2) bertugas memungut pajak berlabuh bagi kapal-

kapal yang masuk pelabuhan; (3) memungut cukai ekspor impor terhadap

transaksi barang bongkar muat yang dilakukan di pelabuhan; (4) memeriksa surat-

surat kapal yang masuk berlabuh; (5) menertibkan perdagangan antar kerajaan dan

dengan orang asing.

Pada masa kolonial Belanda, pelabuhan-pelabuhan di Buleleng disewa

kontrak oleh orang Tionghoa. Nilai kontrak ditetapkan dengan sistem kurs, dalam

hal ini bungkus. Orang Tionghoa sebagai penyewa pelabuhan dengan jabatan

sebagai subandar, memiliki otoritas penuh atas pelabuhan laut.

Kata kunci: subandar,sewa kontrak, orang Tionghoa

I

PENGANTAR

Latar Belakang dan Permasalahan

Indonesia merupakan negara maritim, dengan luas lautan lebih besar dari

daratan. Sekitar tiga perempat dari seluruh luas negara, yaitu 75% adalah lautan

dan hanya 25% daratan, terdiri atas sekitar 7.000 pulau, besar dan kecil1. Kondisi

1 I Made Sumarja, ―Kehidupan Nelayan Tradisional di Kampung Wuring, Kelurahan

Wolomarang, Sikka, Nusa Tenggara Timur‖, Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai

Tradisional, Vol.20, No. 2, September 2013 (Denpasar: Percetakan Bali, 2013), hlm.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 179

Denpasar, 25-26 September 2018

NKRI sebagai negara kemaritiman, sebagai negara kepulauan atau nusantara,

menyebabkan pelabuhan laut memegang peranan penting lalu lintas antar pulau,

dari dulu hingga masa kini dan pasti sampai masa yang akan datang.

Berkaitan dengan peranan pelabuhan dalam lintas tranportasi antar pulau,

pemerintah Indonesia mengatur dalam bentuk peraturan, untuk mengatur dan

memantau pelabuhan yang ada di Indonesia. Menurut peraturan Menteri

Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 72 Tahun 2017, disebutkan bahwa

yang dimaksud dengan pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan atau

perairan yang dapat digunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun

penumpang dan bongkar muat barang serta sebagai tempat perpindahan intra antar

moda transportasi. Setiap pelabuhan dikelola oleh penyelenggara pelabuhan

terdiri atas otoritas pelabuhan, kesyahbandaran dan pelabuhan, serta unit

penyelenggara pelabuhan.2

Kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan bertugas melaksanakan penegakan

hukum dalam keselamatan dan keamanan pelayaran, pengaturan, pengendalian

dan kegiatan kepelabuhanan pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial.

Dalam peraturan tersebut juga antara lain mengatur tarif jasa pelayanan kapal,

barang dan penumpang. Tarif pelayanan jasa kapal dalam negeri dan jasa barang

antar pulau, dihitung dengan rupiah, sedangkan tarif pelayanan jasa kapal luar

negeri dan jasa barang ekspor dan impor dihitung berdasarkan mata uang dolar

Amerika Serikat.3

Berdasarkan atas kenyataan masa kini tersebut, penulis tertarik untuk

mengetahui, bagaimana sistem pengelolaan pelabuhan pada masa kolonial,

dengan menggunakan studi kasus pelabuhan di Buleleng Bali pada sekitar

pertengahan abad XIX.

441. Mengenai kondisi geografis Indonesia yang bersifat kepulauan, lihat juga Singgih

Tri Sulistiyono, ―Dominasi dan Perdagangan Singapura di Indonesia: Antara Mitos dan

Realitas‖, Sunaryo Purwo Sumitro (penyunting), Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta:

Persembahan kepada Teuku Ibrahim Alfian, (Jakarta: Yayasan Masyarakat Sejarawan

Indonesia dan Sinergi Press, 2002), hlm. 259. 2Peraturan Mentri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 72 Tahun 2017

tentang: Jenis, Struktur, Golongan dan Mekanisme Penetapan Tarif Jasa Kepelabuhanan,

hlm. 4.

3Peraturan Mentri Perhubungan Republik Indonesia, tentang tarif jasa pelayanan

termuat dalam pasal 4, op.cit., hlm. 6 dan pasal 12 hlm. 28.

180 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Metode

Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang diaplikasikan sebagai

perangkat kerja dalam usaha menemukan sumber (heuristik). Sumber primer

berupa pipil diperoleh dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, sumber-

sumber sekunder berupa artikel majalah dan bentuk penerbitan yang lain,

diperoleh dari menilai otensitas dan kredibelitas sumber (kritik), berikutnya

intepretasi terhadap sumber dan penulisan sejarah sebagai hasil penelitian

(historiografi).4

II

PENGELOLAAN PELABUHAN BERDASARKAN SEWA KONTRAK

Pada masa kerajaan di Bali, terutama sebelum berkenalan dengan Belanda,

pendapatan kerajaan sebagian juga berasal dari perdagangan maritim dan sewa

kontrak pelabuhan. Dalam perdagangan maritim, pelabuhan memegang peranan

penting. Raja melalui tangan sedahan agung, yang berperan mengatur ekonomi

kerajaan, termasuk juga ekonomi perdagangan maritim, menjadi penentu harga

kontrak sewa pelabuhan. Setiap pelabuhan dipimpin oleh syahbandar yang dalam

penyebutan bahasa Bali menjadi subandar. Perdagangan melalui pelabuhan

berada di bawah kekuasaan subandar.5 Pelabuhan dikelola dengan sistem sewa

kontrak biasanya diberikan kepada orang asing, dan untuk di Bali khususnya di

landschap Buleleng, diberikan kepada orang Tionghoa.6

Menurut catatan Bloemen Waanders, seorang asisten residen Hindia

Belanda di Buleleng, disebutkan dengan jelas bahwa subandar pelabuhan di

landschap Buleleng berada ditangan orang Tionghoa. Pelabuhan yang dimaksud

yaitu pelabuhan Pengastulan dengan jumlah uang sewa sebesar 20 bungkus;

4G.J. Garraghan, S.J, A Guide of Historical Method (New York: Fordham

University Press, 1957), hlm. 33; Louis Gottachalk, Mengerti Sejarah (Jakarta:

Yayasan UI, 1975), hlm. 80-95.

5C. Lekkerkerker, ―De Tegenwoordige Economische Toestand van het Gewest

Bali en Lombok‖ dalam Koloniaal Tijdschrift. 12 Jaargang No 2 (‗s-Gravenhage, Maart

1923), hlm. 156-157.

6P.L. Van. Bloemen Waanders, Aanteekeningen Omtrent de Zeden en Gebruiken

der Balinezen, Inzonderheid die van Boeleleng (Batavia: Lange & Co, 1859), hlm. 79.

Sistem sewa kontrak (bahasa Belanda: pacht, bahasa Bali: ngepak).

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 181

Denpasar, 25-26 September 2018

Tebungkus (maksudnya Temukus) dengan jumlah uang sewa sebesar 50 bungkus;

Hanturan dengan jumlah uang sewa sebesar 8 bungkus; Buleleng (maksudnya

Pabean) uang sewa sebesar 60 bungkus; Sangsit uang sewa sebesar 40 bungkus;

Kubuk Lod sebesar 10 bungkus dan Lirang uang sewa sebesar 5 bungkus. Total

keseluruhan yaitu 193 bungkus, yang sama dengan 4.825 gulden.7

Kata ‗bungkus‘ jelas menunjukkan kurs nilai tukar. Satu bungkus bernilai

sekitar f 25 Apabila nilai f 25 dijadikan peku sesuai dengan aturan yang

dikeluarkan oleh De Javaasche Bank, maka bungkus itu akan menjadi 16,02 peku;

1 (satu) peku sama dengan 1.000 uang kepeng (pis bolong); 1(satu) bungkus sama

dengan 16,020 kepeng.8

Di Bali ada kebiasaan uang kepeng (pis bolong)

dibungkus dengan tapis (pembungkus pelepah kelapa) yang setiap satu tapis

isinya 1.000 uang kepeng. Uang bungkus disebut dengan pis tapis. Ada dugaan

kata ‗bungkus‘ sama dengan ‗tapis.‘ Namun harus diteliti kembali karena nilainya

tidak sesuai antara tapis dalam bahasa Bali dengan bungkus yang digunakan oleh

Bloemen Waanders.

Orang Tionghoa sebagai pengontrak pelabuhan disebut dengan Kapitan

dan Mayor. Hal ini berdasarkan temuan sumber lokal berupa pipil maupun sumber

kolonial, yang menyebutkan bahwa transaksi ekonomi yang melibatkan orang

Tionghoa berada dibawah kekuasaan I Kapitan dan Mayor.9 Terminologi Kapitan

7

Ibid. Mengenai pabean sebagai kota pelabuhan di Buleleng, lihat J.J. de.

Hollander, Handleiding by de Boefening der Land en Volkenkunde van Nederlandsch

Oost-Indie (Breda: Van Broese & Compagnie, 1898), hlm 681. Sewa kontrak sebesar itu

untuk setiap tahun.

8G. Vissering, Muntwezen en Circulatie-Banken in Nederlandsch-Indie,

(Amsterdam: J.H. de Bussy, 1920), hlm. 262.

9Temuan pipil berdasarkan hasil penelitian Ida Ayu Wirasmini Sidemen,

yang didalamnya disuratkan jabatan kapitan atau mayor yaitu: (1), Kode

Penelitian: 071/27/PNRI/JKT/PT 43 LKB 5**/05. 2013. Jenis: pipil; isi: surat

gadai; ukuran: panjang 42 cm lebar 3,8 cm. (2), Kode Penelitian:

088/44/PNRI/JKT/PT 43 LKB 5**/05. 2013. Jenis: pipil; isi: surat gadai; ukuran:

panjang 46,2 cm dan lebar 3,7 cm. (3), Kode Penelitian: 093/49/PNRI/JKT/PT 43.

LKB 5**/05. 2013. Jenis: pipil; isi: surat gadai; ukuran: panjang 46,5 cm dan

lebar 3,5 cm.

182 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

dalam hal ini berarti pemimpin masyarakat. Kapitan tidak merupakan pangkat

yang memiliki kewajiban militer.10

Kekuasaan seorang syahbandar pelabuhan sebagai pengontrak, antara lain:

(1) menertibkan bersandarnya kapal yang keluar masuk pelabuhan; (2) bertugas

memungut pajak berlabuh bagi kapal-kapal yang masuk pelabuhan; (3) memungut

cukai ekspor impor terhadap transaksi barang bongkar muat yang dilakukan di

pelabuhan; (4) memeriksa surat-surat kapal yang masuk berlabuh; (5)

menertibkan perdagangan antar kerajaan dan dengan orang asing.11

Berkaitan

dengan hak kekuasaan seorang syahbandar, terutama tentang hak menertibkan

bersandarnya atau mengontrol kedatangan kapal dengan mewajibkan kapten kapal

memiliki izin pas, ditunjukkan dalam pipil, seperti contoh berikut ini:

Transliterasi 1a. pangeling-eling surat saha cap, malingga ida anake agung, ida i gusti anglurah gde

ngurah, ida apuri ring singaraja, maka cirin anake de mariam, dagang sadu, pesu

uli panegaran pabean buleleng, melayar ke banyuwangi, perahunya mejala,

masanjata bedil areko 3, kalih tumbak 3 katih, pedang 1 katih, mamuat gagrabadan,

kadele limolas pikul

1b. dendeng petang pikul, lengis kutus gentong, kakondo satus selae, bawang, asem, pada

makikit, urutan, kamben adasa bidang, bandeganya 5 diri, dina nrat, s ( soma), ka

(keliwon) wara uye, titi, pang (panglong), ping,9, sasih ka, 6, rah 8, teng (tenggek), 5,

isaka 1758.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

1a. Surat peringatan dengan cap, atas nama raja yang berkuasa Ida Anake Agung, Ida

I Gusti Anglurah Gde Ngurah, beliau beristana di Singaraja, sebagai tanda bukti

seseorang bernama De Mariam, seorang pedagang melapor, akan keluar dari

wilayah Kerajaan Buleleng, berlayar menuju ke Banyuwangi, perahunya

menggunakan jala, menggunakan senjata bedil rekol 3 buah, tombak 3 batang, pedang 1

batang, memuat bermacam-macam barang, kedelai 15 pikul,

1b. dendeng (daging kering asap) 4 pikul, minyak kelapa 8 gentong, tempat air minum 125,

bawang, asam, sama-sama sedikit, sosis, kain 10 lembar, awak perahunya 5 orang, hari

10

Yerry Wirawan, Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar Dari Abad Ke- 17

Hingga Abad Ke- 20, (Jakarta: Gramedia-KILTV, 2013), hlm. 18. Mengenai pemimpin

kota pelabuhan di daerah lain di Indonesia seperti di Sunda (Jawa Barat) disebut dengan

kapitan, lihat Tome Pires, Suma Oriental: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina (terj.),

(Yogyakarta: Ombak, 2014), hlm. 239-255.

11

Lihat E. Utrecht, Sedjarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok,

(Bandung: Sumur Bandung, 1962), hlm. 119; Kolonial Tijdschrift, Maart 1923,

12e Jaargang No. 2, hlm. 156; Cf. A.A. Gde Putra Agung (dkk), Sejarah Sosial

Bali Kota Singaraja, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1984), hlm.18-19.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 183

Denpasar, 25-26 September 2018

menulis, Senin Keliwon Uye, hari ke-9 setelah purnama, bulan yang ke-6, satuan 8,

puluhan 5, tahun Saka 1758 (1836 ). 12

Bukti pipil di atas juga menunjukkan bahwa tahun 1836, pelabuhan

Buleleng juga berperan sebagai pelabuhan perdagangan internasional. Oleh karena

itu, para pedagang yang mengambil barang di Pabean Buleleng dan akan

membawa barang dagangan itu ke luar wilayah Bali, termasuk barang ekspor,

harus memperoleh izin dari raja yang berkuasa. Nama De Mariam adalah

pedagang yang berdagang dan berlayar menuju Banyuwangi.13

Oleh karena

perdagangan dilakukan oleh orang asing dengan membawa komoditas

perdagangan dari Buleleng, maka izin lintas perdagangan diketahui oleh raja I

Gusti Anglurah Gde Ngurah.14

Selain memiliki kekuasaan menertibkan perdagangan antar kerajaan

dengan orang asing seperti bukti teks di atas, orang Tionghoa sebagai penyewa

pelabuhan atau sebagai subandar di Buleleng, juga berhak membebankan pajak

terhadap kapal yang bersandar di pelabuhan dan pajak terhadap komoditi

perdagangan. Bagi jenis kapal layar ukuran besar, dikenakan pajak berlabuh

sebesar 3 peku (f 4,68 ); kapal-kapal bertiang dua dikenakan 2 peku (f 3.12) dan

kapal-kapal lokal dikenakan pajak sebesar 1 atak (=190 sampai 195 uang kepeng,

atau sama dengan 3,3 dubbeltje).15

Subandar juga mengatur transaksi perdagangan dan barang-barang yang

boleh masuk dan ke luar pelabuhan. Barang-barang impor seperti benda-benda

dari besi, pajak sebesar 500 uang kepeng ( f 0.8); candu setiap bol sebesar 500

uang kepeng (f 0.8); dan gambir per pikul sebesar 200 uang kepeng (f 0,3).

12

Penelitian Ida Bagus Sidemen tahun 1993. Koleksi Perpustakaan

Nasional RI. Kode Penelitian: 001/IBS/PNRI/1993; nomor peti:17; nomor naskah:

L. 338; judul peti: pangeling-eling; isi asli: surat pas/izin berangkat; jenis lontar:

pipil; ukuran: panjang 27 cm dan lebar 3.6 cm.

13Nama De Mariam dapat diduga adalah pedagang Portugis atau Belanda. Orang

asing yang berasal dari negara-negara di luar kawasan Nusantara Majapahit, disebut

dengan wong dura negara.

14Sebagai perbandingan, hal ini juga berlaku di pelabuhan Makasar, ada peraturan

mewajibkan kapal-kapal besar memiliki izin pas untuk dapat berlabuh di pelabuhan

Makasar. Lihat kembali Yerry Wirawan, op.cit., hlm. 22-23.

15 G. Vissering, loc.cit.

184 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Barang-barang ekspor yang harus dibayar kepada subandar, seperti ekspor kuda,

sapi dan babi, dibebankan pajak sebesar 200 uang kepeng (f 0,3); kopi, beras,

setiap pikul kapas, tembakau dan minyak, dibebankan pajak sebesar 200 uang

kepeng (f 0,3); berupa kacang-kacangan pajak sebesar 100 uang kepeng (f 0,16).16

III

PENUTUP

Pada masa kolonial Belanda, pelabuhan-pelabuhan di Buleleng disewa

kontrak oleh orang Tionghoa. Nilai kontrak ditetapkan dengan sistem kurs, dalam

hal ini bungkus. Satu bungkus bernilai sekitar f 25,- (=16.000 uang kepeng).

Orang Tionghoa sebagai penyewa pelabuhan dengan jabatan sebagai subandar,

memiliki otoritas penuh atas pelabuhan laut. Nama subandar sangat melekat

dengan peranan orang Tionghoa. Di Pura Besakih dan di Pura Batur, terdapat

nama Pura Subandar, sebagai kelengkapan catur lawa dalam sistem pura

kahyangan jagat, sering diakui sebagai pura petilasan (sungsungan) orang

Tionghoa. Seringkali kondisi ini diungkap sebagai bukti adanya akulturasi yang

assimilatif antara orang Bali dengan orang Tionghoa. Dugaan ini perlu

mendapatkan penelitian lanjutan untuk memperoleh posisi yang dekat dengan

kebenaran.

DAFTAR PUSTAKA

Pipil.

Koleksi Perpustakaan Nasional RI. Kode Penelitian: 001/IBS/PNRI/1993; nomor

peti:17; nomor naskah: L. 338; judul peti: pangeling-eling; isi asli: surat

pas/izin berangkat; jenis lontar: pipil; ukuran: panjang 27 cm dan lebar 3.6

cm.

Koleksi Perpustakaan Nasional RI. Kode Penelitian: 071/27/PNRI/JKT/PT 43

LKB 5**/05. 2013. Jenis: pipil; isi: surat gadai; ukuran: panjang 42 cm

lebar 3,8 cm.

Koleksi Perpustakaan Nasional RI. Kode Penelitian: 088/44/PNRI/JKT/PT 43

LKB 5**/05. 2013. Jenis: pipil; isi: surat gadai; ukuran: panjang 46,2 cm

dan lebar 3,7 cm.

16

Mengenai beban pajak barang-barang ekspor dan impor, berdasarkan laporan

P.L. Van. Bloemen Waanders, op. cit., hlm. 80. Mengenai kurs uang kepeng yang

berlaku di Bali tahun 1911, berdasarkan laporan G. Vissering tentang kurs sebagai

Presiden dari De Javasche Bank, lihat G. Vissering, op.cit., hlm. 262.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 185

Denpasar, 25-26 September 2018

Koleksi Perpustakaan Nasional RI. Kode Penelitian: 093/49/PNRI/JKT/PT 43.

LKB 5**/05. 2013. Jenis: pipil; isi: surat gadai; ukuran: panjang 46,5 cm

dan lebar 3,5 cm.

Buku, Majalah dan Artikel

Bloemen Waanders, P.L. Van. Aanteekeningen Omtrent de Zeden en Gebruiken

der Balinezen, Inzonderheid die van Boeleleng. Batavia: Lange & Co,

1859.

Garraghan, S.J. G.J. A Guide of Historical Method. New York: Fordham

University Press, 1957.

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Jakarta: Yayasan UI, 1975.

Hollander, J.J. de. Handleiding by de Boefening der Land en Volkenkunde van

Nederlandsch Oost-Indie. Breda: Van Broese & Compagnie, 1898.

Kolonial Tijdschrift, Maart 1923, 12e Jaargang No. 2.

Lekkerkerker, C. ―De Tegenwoordige Economische Toestand van het Gewest

Bali en Lombok‖. Koloniaal Tijdschrift. 12 Jaargang No 2. ‗s-Gravenhage,

Maart 1923.

Peraturan Mentri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 72 Tahun 2017

tentang: Jenis, Struktur, Golongan dan Mekanisme Penetapan Tarif Jasa

Kepelabuhanan.

Putra Agung, A.A. Gde (dkk). Sejarah Sosial Bali Kota Singaraja. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai

Tradisional, 1984.

Sulistiyono, Singgih Tri. ―Dominasi dan Perdagangan Singapura di Indonesia:

Antara Mitos dan Realitas‖. Sunaryo Purwo Sumitro (penyunting). Dari

Samudera Pasai ke Yogyakarta: Persembahan kepada Teuku Ibrahim

Alfian. Jakarta: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia dan Sinergi

Press, 2002.

Sumarja, I Made. ―Kehidupan Nelayan Tradisional di Kampung Wuring,

Kelurahan Wolomarang, Sikka, Nusa Tenggara Timur‖. Jurnal Penelitian

Sejarah dan Nilai Tradisional, Vol.20, No. 2, September 2013. Denpasar:

Percetakan Bali, 2013.

Tome Pires. Suma Oriental: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina

(terj.).Yogyakarta: Ombak, 2014.

Utrecht, E. Sedjarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok. Bandung: Sumur

Bandung, 1962.

Vissering, G. Muntwezen en Circulatie-Banken in Nederlandsch-Indie.

Amsterdam: J.H. de Bussy, 1920.

Wirawan, Yerry. Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar Dari Abad Ke- 17

Hingga Abad Ke- 20. Jakarta: Gramedia-KILTV, 2013.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 186

Denpasar, 25-26 September 2018

FUNGSI MITOS BHATARA BAGUS BALIAN:

PUTRA DEWA DAN PUTRI PENDETA

Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Denpasar

[email protected]

ABSTRAK

Hubungan asmara antarsesama dewa, antarsesama makhluk gaib,

antarsesama manusia, antarsesama binatang, banyak dikisahkan sebagai legenda

yang dipercaya kebenarannya. Setelah memadu kasih, dewa, makhluk gaib,

manusia, dan binatang lalu beranak pinak. Penyimpangan kisah percintaan lintas

sesama itu sering juga diceritakan sebagai legenda maupun mitos. Kisah dewa

memadu kasih dengan manusia, manusia dengan makhluk gaib, bahkan manusia

dengan binatang atau sebaliknya banyak ditemukan eksis sebagai legenda yang

dipercaya kebenarannya.

Lahirnya putra hasil percintaan sepasang kekasih tak sesama tersebut

merefleksikan tersiratnya makna tertentu yang terkandung dalam suatu legenda.

Pada dasarnya mitos, tidak saja berkaitan dengan ritual yang dilaksanakan oleh

masyarakat, terutama oleh masyarakat tradisional (Segal, 2004: 62), namun juga

berkaitan dengan eksistensi tokoh spiritual yang bersemayam pada suatu tempat.

Di balik mitos yang berkaitan dengan ritual dan eksistensi tokoh spiritual tersebut

sesungguhnya telah dijelaskan olehnya dalam suatu jaringan makna tertentu (Graf,

1993: 40).

Salah satu mitos yang mengisahkan percintaan antara Dewa dengan

manusia sampai melahirkan seorang putra terdapat di Kota Amlapura Karangasem

Bali. Bhatara Gunung Agung, dewa yang bersemayam di puncak Gunung Agung,

jatuh cinta kepada seorang putri pendeta kerajaan (bhagawanta) bernama Ida Ayu

Mas. Dewa yang tampan, penuh wibawa, sakti mandraguna, dan sangat berkuasa

itu memadu kasih dengan seorang gadis berparas cantik jelita bertubuh tinggi

semampai, berkulit putih bak bunga kenanga dengan rambut panjang terurai.

Sampai akhirnya suatu ketika melahirkan seorang putra yang dikenal sebagai

Bhatara Bagus.

Kehadiran mitos Bhatara Bagus menarik untuk diteliti sebagai teks sastra

yang fungsional. Analisis mitos Bhatara Bagus ini diupayakan berdasarkan

analisis fungsi sastra menurut Braginsky (1993).

Kata kunci: mitos, fungsi

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Transformasi kebudayaan dilakukan manusia sepenjang sejarahnya.

Berkembang dari waktu ke waktu menurut peradaban yang dihasilkan. Sebelum

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 187

Denpasar, 25-26 September 2018

dikenalnya aksara sebagai budaya tulis (writting culture), kebudayaan

ditransformasikan melalui bentuk-bentuk lisan murni (illiteracy) (Ong, 1989: 2).

Bentuk-bentuk sastra lisan, baik berbentuk puisi maupun prosa merupakan bentuk

transformasi kebudayaan yang paling purba sebelum aksara ditemukan sebagai

medianya.

Sebagai bentuk seni, kesusastraan lisan merupakan seni verbal, seni yang

diwariskan secara lisan dari mulut ke mulut (by mouth to mouth) (Propp, 1984: 5).

Seiring dengan itu, sebagai bentuk kesenian, kesusastraan lisan dengan sendirinya

merupakan aktifitas kebudayaan (cultural activities) (lihat Wissler, 1923: 256;

Kluchohn, 1953: 507--523; Linton, 1964: 387-389). Oleh karena itu, kesusastraan

lisan merupakan bentuk aktifitas kebudayaan yang merefleksikan kehidupan

kebudayaan masyarakat itu sendiri. Kesusastraan lisan dengan sendirinya juga

mengandung unsur-unsur kebudayaan, seperti sistem mata pencarian hidup

(ekonomi), sistem peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem

kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem relegi.

Di samping itu, kesusastraan lisan mengandung teks yang mencerminkan

kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat yang ditransformasikan terus

menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mitos, sebagai salah satu

bentuk transformasi kebudayaan melalui media sastra lisan tersebut bersifat

sekuler (keduniawian), terjadi pada masa yang belum begitu lampau, dan

bertempat di dunia nyata (universe) seperti dikenal. Di lihat dari perspektif ini,

mitos memang erat dengan sejarah kehidupan masa lampau meskipun tingkat

kebenarannya seringkali tidak bersifat murni. Oleh karena itu, sesungguhnya

mitos bersifat semi historis. Seiring dengan itu, Hutomo (1991:64)

mengungkapkan bahwa mitos merupakan cerita-cerita yang dianggap masyarakat

pemiliknya sebagai suatu peristiwa sejarah. Sebagian besar masyarakat

pendukung suatu mitos menganggap cerita yang disampaikan itu merupakan

sejarah rakyat.

Menurut William Robertson Smith (1846-1894), seorang pendeta kristen

ahli bahasa Semit, teolog, dan ahli agama-agama timur (oriental) berkebangsaan

Skotlandia, pada saat masyarakat mulai melaksanakan suatu ritual, sesungguhnya

tidak berhubungan langsung dengan mitos. Namun demikian, setelah melupakan

188 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

alasan sebenarnya untuk melaksanakan suatu ritual, mereka (masyarakat)

mencoba melestarikannya dengan menciptakan suatu mitos. Tujuannya ialah

untuk melegitimasi (mengukuhkan) bahwa ritual yang dilaksanakan

sesungguhnya untuk mengenang kejadian yang diceritakan melalui mitos tersebut

(Meletinsky, 2000: 19-20). Seiring dengan pandangan Smith, antropolog

Skotlandia James Frazer (1922: 711), berpendapat bahwa masyarakat primitif

mempercayai hukum-hukum gaib. Kemudian, pada saat mulai kehilangan

keyakinannya mengenai sihir, mitos tentang dewa-dewa diciptakan dan

mengklaim bahwa ritual magis kuna adalah ritual yang dilakukan untuk

menyenangkan hati para dewa.

Oleh karena itu, semua jenis kesusastraan lisan memiliki fungsi yang

kompleks. Menurut Braginsky (1993: 41-45), kesusastraan memiliki tiga

lingkaran fungsi, yaitu: (1) lingkaran fungsi keindahan (the sphere of beauty

persfection); (2) lingkaran fungsi perspeksi kemanfaatan (the sphere of benefit

persfection); dan (3) lingkaran fungsi perspeksi spiritual (the sphere of spiritual

persfection persfection). Namun demikian, esensi karya sastra seperti

dikemukakan oleh Edgar Allan Poe sebagai didactic heresy atau "sastra berfungsi

menghibur sekaligus mengajarkan sesuatu (Wellek dan Warren, 1990: 24--25)

seperti diabaikan oleh Braginsky. Oleh karena itu, teori lingkaran fungsi yang

dikemukakan olehnya dapat ilengkapi dengan unsur didaktik seperti dikemukakan

oleh Edgar Allan Poe. Sehingga fungsi sastra meliputi: (1) lingkaran fungsi

perspeksi religius atau spiritual (the sphere of religious persfection persfection);

(2) lingkaran fungsi perspeksi keindahan (the sphere of beauty persfection); (3)

lingkaran fungsi perspeksi didaktik (the sphere of didactic persfection); dan

lingkaran fungsi perspeksi kemanfaatan (the sphere of didactic persfection).

Berdasarkan perspektif tersebut, analisis fungsi terhadap sebuah mitos yang

dituturkan oleh masyarakat Kota Amlapura Kabupaten Karangasem Bali

dilakukan. Mitos tersebut lazim disebut Bhatara Bagus Balian. Latar cerita kisah

Bhatara Bagus Balian ialah sebuah rumah adat Bali (balinesse compound) yang

disebut Griya Pidada Karangasem.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 189

Denpasar, 25-26 September 2018

1.2 Masalah

Sesuai latar belakang analisis ini, maka masalahnya dapat dirinci sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah teks mitos Bhatara Bagus yang terdapat di Kota

Amlapura Kabupaten Karangasem Bali?

2. Apakah fungsi yang melekat dalam mitos Bhatara Bagus Balian?

II METODOLOGI

2.1 Rancangan Penelitian

Oleh karena mitos Bhatara Bagus Balian yang hendak dianalisis fungsinya

pada penelitian ini merupakan cerita lisan atau berbentuk sastra lisan, maka

teksnya terlebih dahulu diinventarisasi dari informan. Upaya tersebut bersifat

deskriptif dan eksploratif (penjajagan) (Singarimbun, 1995: 4).

Pengkajian yang komprehensif mengenai permasalahan tersebut secara

ilmiah menggunakan pendekatan kualitatif karena menyangkut objek nilai yang

parameternya tidak nyata, namun dapat diketahui jejaknya melalui eksplanasi

kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang bersifat menguraikan

atau pendekatan yang tidak memberikan pengukuran berupa angka-angka (Mely

G. Tan, 1977: 6). Secara operasional, pendekatan kualitatif merupakan pendekatan

yang mencocokan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan metode

deskriptif (Moleong, 2004: 131). Oleh karena itu, penelitian ini dirancang sebagai

penelitian kualitatif dengan metode deskriptif dan eksploratif yang digerakkan

dengan pendekatan keilmuan perspektif ilmu sastra.

2.2 Jenis, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini diusahakan menggali jenis data kualitatif dengan sumber data

yang berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil

penggalian terhadap teks yang ditemukan berdasarkan hasil wawancara,

informasi yang terdapat di perpustakaan formal maupun perpustakaan pribadi.

Teks yang mengandung data primer tersebut ditemukan melalui wawancara

langsung dengan beberapa tokoh dan masyarakat yang mengetahui keberadaan

mitos Bhatara Bagus Balian.

190 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Teks mitos Bhatara Bagus Balian ini diperoleh dari informan dengan cara

teknik sampling bola salju (snow ball sampling). Artinya, teks yang diperoleh itu

pada mulanya berasal dari satu orang informan kunci, dan jika teks itu belum

cukup, maka diwawancarai informan yang lain, yang ditunjuk oleh informan

sebelumnya; sehingga teks mitos nawasanak yang diperlukan akan berkembang

pada saat penelitian dilakukan di lapangan (bdk. Sudikan, 2001: 107—112). Data

sekunder digali dari sumber literatur, hasil penelitian, dan referensi-referensi

lainnya yang terkait dengan masalah yang dibahas.

III PEMBAHASAN

3.1 Teks Mitos Bhatara Bagus Balian

Ada sebuah cerita tentang Bhatara Bagus Balian yang bersemayam pada

sebuah palinggih di Pura Pidada Karangasem. Palinggih berupa sebuah batu

cukup besar itu dahulunya berupa batu pipih kecil yang digunakan sebagai

penanda menanam ari-ari (placenta). Batu tersebut semakin hari semakin besar

dan berpindah dengan sendirinya di sebelah palinggih Bhatara Gunung Agung

(Padmasana). Setiap kali dipindahkan, batu tersebut selalu kembali ketempat

semula, yaitu di sebelah palinggih Bhatara Gunung Agung (Padmasana).

Mengapa batu itu diyakini sebagai Palinggih Bhatara Bagus Balian? Begini

kisahnya.

Di Giya Pidada, hidup seorang gadis yang bernama Ida Ayu Mas, putri

dari seorang pendeta kerajaan (bhagawanta). Kecantikan Ida Ayu Mas termasyur

di seantero kerajaan Karangasem, bahkan sampai kerajaan lainnya yang ada di

Bali dan pulau lain di Nusantara.

Selain cantik jelita dengan tubuh langsing lanjar (kurus dan tinggi

semampai), Ida Ayu Mas juga pandai dalam segala hal. Ia pandai memasak,

menari, mengarang cerita, berhitung, dan mengidungkan kakawin dan gaguritan.

Pengetahuannya sangat tinggi, berbagai bidang ilmu dikuasiainya dengan baik,

terutama ilmu perbintangan dan ilmu perhidungan hari baik (dewasa). Tidak itu

saja, ilmu tattwa, susila, dan upakara diketahuinya dengan benar. Banyak orang

datang mengunjunginya untuk sekedar mengagumi kecantikannya atau untuk

menanyakan segala sesuatu yang ingin diketahui.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 191

Denpasar, 25-26 September 2018

Ida Ayu Mas yang sungguh-sungguh cantik jelita dengan tubuh langsing

lanjar (kurus dan tinggi semampai), berkulit nyandat gading (kuning seperti

bunga kenanga), rambutnya panjang terurai mayang, alisnya nyurarit madon

intaran (seperti semut beriring), gusinya (isitne) ngembang rijasa ( merah seperti

bunga Rijasa), sungguh menjadi idaman banyak pria. Bahkan banyak raja

berusaha mendekatinya untuk dipersunting sebagai permaisuri.

Entah mengapa, semua pria yang datang hendak mempersuntingnya selalu

ditolaknya dengan halus. Semua pria yang ditolak dengan halus itu, satupun

merasa tidak kecewa bahkan merasa gembira karena diberi wejangan

menyejukkan hati. Seperti Ni Diah Tantri, Ida Ayu Mas ternyata juga pandai

bertutur sehingga orang sudah merasa puas setelah mendengar wejangannya.

Sudah berparas cantik jelita lagi pula pandai, Ida Ayu Mas juga dikenal

sebagai wanita yang sakti mandraguna karena banyak orang sakit

disembuhkannya. Konon kesaktiannya itu diperolehnya karena rajin dan tekun

sembahyang memuja Tuhan dan taat melakukan tapa, brata, yoga, dan samadhi.

Namun, pada suatu hari, Ida Ayu Mas tampak menutup diri. Tidak seperti

biasanya, tamu yang datang berkunjung ditolak dengan halus. Bahkan ayahanda

dan ibundanya tidak diperkenankan memasuki kamarnya. Sepanjang hari, Ida Ayu

Mas mengurung diri di rumahnya yang mungil.

Pada suatu malam, masyarakat digegerkan oleh adanya kereta kencana

yang terbang dari puncak Gunung Agung menuju tempat tinggal Ida Ayu Mas.

Kereta kencana itu bersinar kemilau dikendarai oleh Bhatara Gunung Agung,

langsung menuju tempat tinggal Ida Ayu Mas, lalu menghilang. Begitu

kejadiannya hampir setiap malam.

Lama kerlamaan, masyarakat menyadari bahwa Ida Ayu Mas disukai oleh

Bhatara Gunung Agung karena kecantiknnya bak dewi dari khayangan. Demikian

pula orang tuanya merasa beruntung karena Ida Ayu Mas dipersunting oleh

Bhatara Gunung Agung. Karena Bhatara Gunung Agung sesungguhnya Siwa

Lingga Sakala, Masyarakat dan keluarganya mensukurinya karena pasti akan

mendapat berkahNya.

Pada suatu hari, setelah hampir satu tahun berlangsung "hubungan" antara

Ida Ayu Mas dengan Bhatara Gunung Agung, maka tiba-tiba Ida Ayu Mas

192 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

melahirkan seorang putra. Seperti orang tuanya, putra yang lahir itu tampan

seperti dewa dari khayangan. Begitu lahir sudah bisa berbicara dan menunjukkan

sifat-sifat kedewataannya. Pada saat melahirkan, Ida Ayu Mas ternyata

didampingi oleh Bhatara Gunung Agung.

Setelah melahirkan seorang putra, Ida Ayu Mas didampingi Bhatara

Gunung Agung dan putranya dalam gendonganya mohon pamit kepada kedua

orang tuanya untuk pergi ke khayangan. Meskipun dengan kesedihan mendalam

ditinggalkan oleh putrinya, kedua orang tuanya tampak ikhlas. Masyarakat yang

menyaksikan kejadian itu juga mengikhlaskan kepergian Ida Ayu Mas.

Seperti umumnya orang melahirkan, tentu saja bayi yang dilahirkan

disertai oleh ari-ari (placenta). Sesuai acara agama Hindu, keluarga Ida Ayu Mas

menanam ari-ari (placenta) di halaman rumah dan ditindih dengan batu pipih.

Setelah selama 42 hari (1 bulan 7 hari), batu itu disingkirkan. Akan tetapi batu,

setelah batu itu disingkirkan kemudian keesokan harinya ditemukan di sebelah

kanan Palinggih Ida Bhatara Gunung Agung. Demikian selanjutnya, setelah

berkali-kali disingkirkan dan kembali pada tempatnya semula, akhirnya batu itu

dibiarkan pada tempatnya.

Pada suatu hari, saat odalan di Pura Pidada Karangasem, malam harinya

tiba-tiba muncul seorang anak kecil tampan memberitahukan kepada orang-orang

yang makemit agar batu itu dibuatkan palinggih, sebab batu itu adalah rumahnya.

Barang siapa yang ingin memohon sesuatu pada palinggih itu akan dikabulkan

asal dilakukan dengan hati hening dan suci.

Singkat cerita, keesokan harinya palinggih sederhana dibuatkan sebagai

tempat batu pipih yang sesungguhnya alat untuk menindih ari-ari (placenta) putra

dari Ida Ayu Mas dan Bhatara Gunung Agung. Palinggih itu diyakini sebagai

tempat Bhatara Bagus Balian, putra dari Ida Ayu Mas dan Bhatara Gunung

Agung bersemayam sampai sekarang. Sampai sekarang banyak orang

permohonannya terkabul setelah memohon di depan Palinggih Bhatara Bagus

Balian.

3.2 Fungsi Mitos Bhatara Bagus Balian

Mitos Bhatara Bagus Balian tentu saja memiliki fungsi tertentu seperti

karya sastra lainnya. Apabila dianalisis berdasarkan teori fungsi sastra yang

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 193

Denpasar, 25-26 September 2018

dikembangkan dari teori Braginsky (1993), maka mitos Bhatara Bagus Balian

merefleksikan: (1) lingkaran fungsi perspeksi religius atau spiritual (the sphere of

religious persfection persfection); (2) lingkaran fungsi perspeksi keindahan (the

sphere of beauty persfection); (3) lingkaran fungsi perspeksi didaktik (the sphere

of didactic persfection); dan lingkaran fungsi perspeksi kemanfaatan (the sphere

of didactic persfection).

Lingkaran fungsi perspeksi religius, sesungguhnya merupakan tujuan utama

terciptanya kesusastraan lisan. Pada mitos Bhatara Bagus Balian fungsi religius

tidak saja dicerminkan melalui tingkah laku Ida Ayu Mas yang taat melakukan

ibadah agama, namun juga melalui tataran yang lain.

Apabila disimak dari teksnya, mitos Bhatara Bagus Balian selain

mengungkapkan eksistensi pendeta kerajaan (bhagawanta) yang taat melakukan

ibadah agama dengan tekun, juga mengungkapkan adanya proses ritual

keagamaan seperti upacara piodalan yang terjadi di Pura Pidada Karangasem.

Selain itu, prosesi ritual keagamaan menanam ari-ari (placenta) juga diceritakan

terjadi pada saat Ida Ayu Mas melahirkan bayinya. Meskipun suami Ida Ayu Mas

seorang dewa yang adikodrati, namun upacara layaknya setiap upacara kelaihran

tetap dilakukan saat bayinya lahir. Demikian pula adanya upacara permohonan di

hadapan dewa yang bersemayam pada suatu palinggih diceritakan sebagai bentuk

adanya fungsi religius pada mitos Bhatara Bagus Balian.

Oleh karena peristiwa yang terjadi pada mitos Bhatara Bagus Balian

dipandang benar-benar terjadi secara historis, seiring pandangan William

Robertson Smith (1846--1894), sesungguhnya mitos Bhatara Bagus Balian secara

religius juga merupakan sarana untuk mengukuhkan (melegitimasi) ritual

"permohonan" yang kerap dilakukan (bdk. Meletinsky, 2000: 19--20). Legitimasi

ini juga akhirnya menjadi penanda dari nama yang diberikan kepada putra Ida

Ayu Anom dengan Bhatara Gunung Agung dinamakan Bhatara Bagus Balian.

Hal itu disebabkan kebanyakan yang melakukan permohonan itu, ingin mendapat

mukzisat kesembuhan.

Medium sastra lisan yang digunakan untuk mewariskan mitos Bhatara

Bagus Balian juga menyiratkan adanya lingkaran fungsi perspeksi keindahan (the

194 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

sphere of beauty persfection). Lingkaran fungsi keindahan sesungguhnya dekat

dengan fungsi religius dan fungsi didaktik.

Bentuk sastra lisan yang digunakan untuk menuturkan mitos Bhatara Bagus

Balian berkaitan dengan hakikat sastra lisan sebagai peristiwa performing of art

(pertunjukan seni) (Teeuw, 1977: 8). Fungsi keindahan mitos Bhatara Bagus

Balian, tidak saja dapat dilihat dari bentuk penyajiannya saja, namun juga dapat

dilihat melalui kecantikan Ida Ayu Mas dan putranya yang tampan. Juga melalui

keindahan dan keagungan Bhatara Gunung Agung. disamping itu, fungsi

keindahan berkaitan dengan struktur bangun cerita mitos Bhatara Bagus Balian

dan sistem pemaparannya, atau secara keseluruhan sistem sastra yang

membangunnya (Abdullah, 1991: 45).

Selanjutnya, berkaitan dengan lingkaran fungsi perspeksi didaktik (the

sphere of didactic persfection), tampak dari sifat kesusastraan lisan yang bersifat

didaktis, yaitu menggunakan karya sastra sebagai alat pengajaran atau pembinaan

moral, keagamaan, dan etika (Sudjiman, 1986: 19). Mitos Bhatara Bagus Balian

menceritakan sisi religius Ida Ayu Mas yang taat beribadah. Kecantikannya tidak

saja muncul dari kecantikan fisiknya yang memang indah, namun juga dari dalam

dirinya (inner beauty) yang timbul karena kebaikan dan keikhlasannya menolong

orang.

Mitos Bhatara Bagus Balian juga mengajarkan bahwa orang yang memiliki

moral tinggi seperti yang dimiliki oleh Ida Ayu Mas, maka akan mendapat pahala

yang sangat besar. Di dalam hal ini, Ida Ayu Mas memperolah anugerah dikawini

oleh dewa karena menjaga moralitasnya dengan baik, meskipun begitu banyak

pria yang baik, tampan, dan kaya berusaha mendekatinya.

Pada tataran lain, fungsi didaktik juga diceritakan melalui peristiwa

dikabulkannya permohonan oleh Bhatara Bagus Balian bagi orang yang sungguh-

sungguh melakukan permohonan dengan hati suci dan bersih. Jadi, bagi orang

yang hatinya suci dan bersih selalu akan mendapat berkah yang diinginkan.

Pada bagian lainnya mitos Bhatara Bagus Balian juga melekatkan fungsi

retrospeksi kemanfaatan (the sphere of didactic persfection). Seperti dikemukakan

pada fungsi religius, fungsi kemanfaatan merupakan realisasinya. Di dalam teks

itu sendiri sesungguhnya sudah bersifat apologetiks, yaitu membela ajaran agama

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 195

Denpasar, 25-26 September 2018

Hindu sebagai ajaran yang baik melalui ketaatan menamalkan ajaran agama. Ida

Ayu Mas yang berhasil mengamalkan ajaran agamanya memperoleh manfaat

dikawini oleh dewa yang imortal sehingga juga mengalami imortal. Hidup abadi

karena dikawini oleh dewa di khayangan yang indah.

Dari sisi lain mitos Bhatara Bagus Balian, terdapat fenomena yang sesuai

dengan manfaat kesusastraan lisan itu sendiri. Bagi orang yang menceritakan

(tukang cerita) mitos Bhatara Bagus Balian, merupakan bentuk kontemplasi pada

keyakinan bahwa Bhatara Gunung Agung merupakan lingga sakala yang tiada

lain adalah Siwa itu sendiri. Dengan menceritakan keberadaan Siwa, berarti telah

melakukan kewajiban untuk menyampaikan ajaran yang benar kepada audiens.

Sedangkan bagi orang yang mendengarkan mitos Bhatara Bagus Balian mendapat

"pencerahan" rohani yang berguna dalam menjalani kehidupan beragama.

IV SIMPULAN

Keberadaan mitos Bhatara Bagus Balian di Gria Pidada Kota Amapura

Kabupaten Karangasem Bali, dengan eksplansi terdahulu, memberikan gambaran

bahwa teksnya melekatkan lingkaran fungsi perspeksi tertentu. Terjadinya

perkawinan antara Ida Ayu Mas yang putri seorang pendeta dengan seorang dewa

yang maha agung seperti Bhatara Gunung Agung bisa terjadi karena adanya

sesuatu yang istimewa. Di dalam hal ini, seorang wanita yang memiliki watak

daiwi sampad atau jiwa dewata dipersunting oleh dewa itu sendiri. Tidak ada

yang sepadan mengawini Ida Ayu Mas kecuali dewa itu sendiri.

Seperti halnya teks kesusastraan pada umumnya, teks mitos Bhatara Bagus

Balian juga memiliki lingkaran perspeksi tertentu. Teks mitos Bhatara Bagus

Balian memiliki lingkaran fungsi perspeksi religius atau spiritual (the sphere of

religious persfection persfection); lingkaran fungsi perspeksi keindahan (the

sphere of beauty persfection); lingkaran fungsi perspeksi didaktik (the sphere of

didactic persfection); dan lingkaran fungsi perspeksi kemanfaatan (the sphere of

didactic persfection).

196 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Imran Teeuku. 1991. Hikayat Meukuta Alam: Suntingan Teks dan

Terjemahan Beserta Telaah Struktur dan Resepsi. Jakarta: Intermasa.

Braginsky, V.I. 1993. The System of Classical Malay Literature. Leiden: KITLV

Press.

Frazer, James. 1992. The Golden Bough. New York: Macmillan.

Graf, Fritz (1993). Greek Mythology. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Meletinsky, Elea. 2000. The Poetics of Myth. New York: Routledge.

Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Ong, Walter J. 1989. Orality and Literacy: The Technologizing of the Word.

London & New York: Routledge.

Segal, Robert. 2004. Myth: A Very Short Introduction. London: Oxford

University Press.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta:

LP3ES.

Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Unipress

bekerjasama dengan Citra Wacana.

Propp, Vladimir. 1984. Theory and History of Folklore. Minneapolis: University

of Minneapolis.

Teeuw, A. 1977. ―Sastra dalam Ketegangan antara Tradisi dan Pembaruan‖.

Dalam Bahasa dan Sastra, tahun III, No. 3. Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

____________. tth. ―Kelisanan dan Keberaksaraan Kebudayaan Nusantara‖.

Wellek, Renne & Warren, Austin. 1990. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan

dari Theory of Literature oleh Melani Budianta. Jakarta: PT. Gramedia.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 197

Denpasar, 25-26 September 2018

KONTROVERSIAL PERDAGANGAN KERAMIK KUNO

HASIL PENGANGKUTAN DI LAUT CIREBON JAWA BARAT

Ida Bagus Sapta Jaya

Prodi Arkeologi

[email protected]

ABSTRAK

Kontroversial perdagangan keramik kuno hasil pengangkutan di laut

Cirebon Jawa Barat bertujuan untuk meneliti keberadaan sejarah keramik

kuno.Peninggalan berupa keramik tersebut dapat dipergunakan sebagai data

penelitian untuk mengungkapkan sejarah kuna Indonesia. Namun apabila keramik

kuna ini diperdagangkan secara bebas dengan cara dilelang seperti kasus

pelelangan keramik kuna hasil pengangkutan di perairan laut Cirebon Jawa Barat

menimbulkan pro dan kontra dikalangan pemerhati di bidang peninggalan

purbakala. Hal itu dipahami setelah dipublikasikan hasil temuan keramik kuno

tersebut di perairan laut Cirebon di media cetak, televisi, dan di internet. Di media

internet dijelaskan pemerintah akan melelang 271.381 keping benda berharga

muatan kapal tenggelam yang diangkat dari perairan Cirebon.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapan latar belakang

kontroversial perdagangan keramik kuno, dan mengupayakan antisipasi

pelelangan keramik kedepannya. Apabila pelelangan ini tidak diberikan sangsi

hukum yang tegas, maka peninggalan purbakala baik yang terdapat di alam laut

maupun peninggalan purbakala di daratan kedepannya juga akan dilelang,

sehingga diperlukan sejarah pelestarian dan perlindungan.

Kata Kunci :Perdagangan keramik kuno, Pelestarian, Perlindungan,

BAB I. Pendahuluan

Warisan budaya khususnya tinggalan arkeologi merupakan sumber daya

budaya yang memiliki berbagi nilai dan makna antara lain : nilai, dan makna

informasi/ilmu pengetahuan, ekonomi, estetika dan asosiasi/simbolik (Cleere

1984; Lipe 1984; McManamon 2000; et all Ardika 2004 : 50).

Merekontruksi sejarah Indonesia kuna, kita sering dihadapkan dengan

berbagai masalah, yang pada pokoknya muncul akibat adanya data yang berupa

peninggalan-peninggalan purbakala yang kurang lengkap. Keberadaan data

arkeologi yang serba terbatas, baik kualitas, kuantitas, dan validitasnya,

disebabkan oleh adanya jumlah dan mutu data yang sampai pada kita cukup

sedikit dibandingkan peninggalan purbakala yang semestinya ada. Permasalahan

yang kompleks dalam mengkaji dan merekontruksi sejarah masa lalu dengan

198 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

terbatasnya data dan pentingnya peninggalan arkeologi seperti yang diuraikan di

atas, maka diperlukannya usaha-usaha pelesteraian peninggalan purbakala

tersebut.

Peninggalan berupa keramik tersebut dapat dipergunakan sebagai data

penelitian untuk mengungkapkan sejarah kuna Indonesia. Namun apabila keramik

kuna ini diperdagangkan secara bebas dengan cara dilelang seperti kasus

pelelangan keramik kuna hasil pengangkutan di perairan laut Cirebon Jawa Barat

menimbulkan kontroversial polemik dikalangan pemerhati di bidang peninggalan

purbakala. Hal itu dipahami setelah dipublikasikan hasil temuan keramik kuno

tersebut di perairan laut Cirebon di media cetak, televisi, dan di internet. Di media

internet dijelaskan pemerintah melelang Ribuan potong batu permata, rubi, emas,

dan keramik Kerajaan Tiongkok, serta perkakas gelas Kerajaan Persia yang

ditemukan dari bangkai kapal berusia 1.000 tahun di perairanCirebon, Jawa Barat,

senilai lebih kurang Rp 720 miliardilelang di Jakarta, Rabu (5/5/2010). (http :

//iwandahnial. Wordpress.com/2010/05/04/harta-karun-diperairan Indonesia-bisa-

lunasi-utang-negara).

Rencana pelelangan benda-benda berharga khususnya keramik-keramik

Kuno yang direncanakan seperti yang diuraikan di atas,mencerminkan kekuatan

modal jaringan budaya maritim sampai ke tingkat internasional dengan

keuntungan ekonomi yang sangat tinggi. Latar belakang tersebut menjadi dasar

untuk melakukan penelitian ini dan menggugah minat penulis untuk mengungkap

lebih dalam lagi bagaimana usaha pihak-pihak tertentu untuk melelang benda-

benda kuno yang bernilai sejarah tersebut dengan nilai puluhan juta dan

melupakan untuk kepentingan penyusunan sejarah kuna jika benda-benda

purbakala dilelang oleh pihak-pihak tertentu. Seperti diketahui dalam usaha

merekontruksi sejarah Indonesia kuna, kita sering dihadapkan dengan berbagai

masalah, yang pada pokoknya muncul akibat adanya data yang berupa

peninggalan-peninggalan purbakala yang kurang lengkap.

Penjelasan Undang-Undang RI Tentang Benda Cagar menegaskan tidak

diizinkan memperjualbelikan benda cagar budaya tanpa seizin dari pemerintah.

Bertitik tolak dari kenyataan di atas, timbul suatu keinginan untuk mengungkap

kontroversial perdagangan keramik kuno, dan mengupayakan antisipasi

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 199

Denpasar, 25-26 September 2018

pelelangan keramik kedepannya. Dari uraian tersebut di atas maka ada beberapa

permasalahan yang akan dikemukakan dan dibahas untuk dicarikan jawabannya.

Adapun permasalahan-permasalahannya adalah menganalisis bagaimana latar

belakang kontroversial perdagangan keramik kuno hasil pengangkutan di laut

Cirebon Jawa Barat, dan apa upaya pelestariannya.

II.Pembahasan

2.1.Latar belakang kontroversial perdagangan keramik kuno hasil

pengangkutan di laut Cirebon Jawa Barat.

Sumber tertulis menyebutkan keramik berasal dari Cina, namun pada

kenyataannya ditemukan pula keramik dari Siam dan Annam yang

memperlihatkan ciri-ciri keramik abad 14-16 Masehi. Mungkin sekali pada saat

itu memang keramik Cina mendominasi perdagangan barang pecah belah ini,

sehingga keramik dari tempat lain kurang mendapat perhatian. Bahkan dijelaskan

orang-orang dari negeri ini (Majapahit) sangat suka pada keramik Cina berwarna

biru putih. Akibatnya banyak pedagang Cina yang khusus memuat keramik serupa

di kapalnya dan membawa ke Jawa. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bila

saat itu keramik masih banyak di temukan berbagai situs di Jawa umumnya dan

bekas kota Majapahit khususnya. Bukti ramainya keramik masa silam, telah

muncul kembali dalam bentuk pecahan keramik di situs tersebut masa kini. Bukti

temuan keramik di Trowulan mencerminkan adanya perdagangan keramik berupa

wadah yang umumnya didominasi oleh Cina, dan yang berbentuk unsur bangunan

oleh Annam dan Siam. (Herijanti Ongkodharma, dkk ; 1990 : 247-249).

Benda-benda keramik dapat dikenali pembuatannya, antara lain berasal

dari Cina, Khmer, Thailand, Annam, Persia, Jepang, Eropa. Kehadiran keramik-

keramik di situs-situs tersebar di dalam wilayah Indonesia, membawa kita kepada

masalah yang bertalian dengan perdagangan masa lalu. Cukup banyak karangan

berisi pembahasan mengenai keramik (terutama keramik Cina) sebagai satu jenis

komoditi yang amat luas wilayah pemasarannya, termasuk juga pasar Indonesia.

(Rony Siswandi, Nanik Harkantiningsih : 1982 : 1).

Kontroversialnya perdagangan keramik kuno hasil pengangkutan di laut

Cirebon Jawa Barat dilatarbelakangi oleh kasus pelelangan keramik dalam jumlah

200 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

yang sangat banyak dengan direncanakan dilelang untuk kepentingan ekonomi.

Pelelangan keramik ini menimbulkan kontroversial di kalangan pihak purbakala

dan pelaku pelelangan., Seperti diberitakan di berbagai sumber media internet,

Pemerintah akan melelang 271.381 keping benda berharga muatan kapal

tenggelam yang diangkat dari perairan Cirebon. Pelelangan dilakukan melalui

Kantor Piutang Kekayaan Negara, dan terbuka untuk pasar internasional.

Barang ini terdiri dari ribuan potong batu permata, rubi, emas, dan keramik

Kerajaan Tiongkok, serta perkakas gelas Kerajaan Persia. Hasil lelang menurut

rencana akan dibagi rata antara pemerintah dan perusahaan yang melakukan

eksplorasi. Keramik di situs Cirebon diperkirakan merupakan barang dagangan

souvenir, hadiah atau alat tukar (barter) bangsa Cina saat menjelajah dunia hingga

akhirnya singgah di Cirebon, yang tergolong benda-benda kuno Dinasti Ming

abad ke-X. (Jaya, 2015) .

2.2. Pelestarian perdagangan keramik kuno hasil pengangkutan di laut

Cirebon Jawa Barat

Dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi ada tiga kepentingan pokok

yakni kepentingan akademik, ekonomik dan ediologik. Kepentingan akademik,

berkaitan dengan usaha penelitian ilmiah secara terus menerus, kepentingan

ekonomik berhubungan dengan pariwisata dan kepentingan ideologi berkaitan

dengan jatidiri bangsa (Cleere, 1989 : 5-10; Kusumohartono, 1993 : 47 ; et al Edi

Triharyantoro, 2002 : 237).

Peran warisan budaya masa lalu melalui analisis artefaktual seperti pada

penjelasan di atas, maka peninggalan purbakala tersebut tidak dilelang, mapun

dijual.Sesuai dengan Undang-Undang RI Tentang Benda Cagar Budaya No. 5.

Tahun 1992 menjelaskan mengenai dilarangnya memperjual-belikan benda cagar

budaya tanpa seizin pemerintah. Upaya yang harus ditempuh yaitu memberikian

aturan yang tegas mengenai penanganan benda-benda purbakala dengan

memahami keberadaan Undang-Undang Cagar Budaya.Selain itu

diperlukanyaperan serta masyarakat dalam mengantisipasi pelelangan benda-

benda purbakala.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 201

Denpasar, 25-26 September 2018

III. Simpulan

Berdasarkan uraian di atas dapatlah sementara disimpulkan sebagai

berikut. Latar belakang kontroversial perdagangan keramik kuno yaitu terjadinya

perdagangan dengan cara melelang keramik kuna dalam jumlah yang banyak

untuk membayar utang Negara dan dilelang di pasar Internasional, yang

mencerminkan kuatnya modal jaringan maritim. upayak antisipasi pelelangan

keramik kedepannya yaitu dengan memberikan sangsi hukum yang tegas, maka

peninggalan purbakala baik yang terdapat di alam laut maupun peninggalan

purbakala di daratan kedepannya tidak akan dilelang dan diperdagangkan dalam

jumlah yang besar untuk membayar utang Negara.

DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I Wayan, 2004. Manajemen Warisan Budaya. KUMPULANMATERI

Program Inovatif TOT (Training of Trainer) Konservasi Warisan Budaya Bali

Dalam Pemberdayaan Lembaga Pelestarian Warisan Budaya Bali (Bali Heritage

Trust).

Bambang Budi Utomo, (Ed), 2008. KapalKaramabadke-10diLautUtaraCirebon.

Cet. Pertama. Jakarta : PANNAS BMKT.

Biro Hukum Dan Hubungan Masyarakat Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia, 1997. Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Benda Cagar Budaya.

Edy Triharyantoro, 2002. ―Aspek Ideologi dalam Management Sumberdaya

Arkeologi‖. Dalam Buku Manfaat Sumberdaya Arkeologi Untuk Memperkokoh

Integrasi Bangsa. Denpasar. Upada Sastra.

Herijanti Ongkodharma, dkk 1990. ―Keramik Asing : Bukti Perdagangan Masa

Lalu di Situs Trowulan‖. DalamBukuMONUMEN Karya Persembahan Untuk

Prof. Dr. Soekmono.Edi Sedyawati, dkk (Penyunting).Lembaran Sastra Fakultas

Sastra Universitas Indonesia Depok.

Heru Prijanto.2007 HukumLautInternasional. Bayumedia Publishing. Anggota

Ikapi Jatim.

Huala Adolf. 2011. Hukum Perdagangan Internasional. Ed. 1-4. Jakarta :

Rajawali Pers.

Jaya, Ida Bagus Sapta , 2015. ―Pengungkapan Kasus Pelelangan Keramik Kuno di

Kawasan Perairan Laut Cirebon Jawa Barat‖. Hibah Penelitian Dosen Udayana.

202 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Midley, Margaret, 1976. The Chinese Potter A Patrical History Of Chinese

Ceramic. Phaidon : Oxford.

Rony Siswandi, Naniek Harkatiningsih : 1982. ―Timbul dan Tenggelamnya

Perdagangan Keramik Di Banten Berdasarkan Data Arkeologi‖. Majalah

Arkeologi. Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Rawamangun, Jakarta Timur.

Yanuar Ikbar, 2012. MetodePenelitianSosialKualitatif. Cetakan I. Bandung : PT

RefikaAditama.

Sumber internet :Harta Karun Cirebon, Warisan Budaya Bangsa Haruskah

dilelang ?Diduga peninggalan Dinasti Ming 1000 Tahun yang lalu UNESCO

Melarang Lelang Warisan Budaya. Sumberinterne:harta-karun-

diperairanIndonesia-bisa-lunasi-utang-negara).

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 203

Denpasar, 25-26 September 2018

WISATA BAHARI SEBAGAI DAYA TARIK OBYEK WISATA

POTENSIAL:STUDI KASUS PANTAI SANUR, DENPASAR SELATAN,

KOTA DENPASAR-BALI

Ketut Darmana

Prodi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Kawasan wisata Sanur merupakan salah satu kawasan strategis pariwisata

nasional (KSPN) yang berlokasi wilayah Sanur.Begitu pula, wilayah Sanur ini

memiliki pesisir pantai di sepanjang pantai bagian Timur sampai pantai bagian

Selatan±4 Km panjangnya.Mulai wilayah pesisir pantai Padang Galak sampai

wilayah pantai Merta Sari. Karakteristik pantai yang menonjol secara fisik, antara

lain sebagai berikut: (1) Keadaan topografi pantai Sanur yang landai, (2) Pasir

putih yang bersih dan berkilau, (3) Panorama gelombang air laut yang bersih,

jernih, dan berwarna biru, dan Kedalaman air laut dari bibir pantai sampai

pembatas batu karang hanya mencapai ± 3 meter dari dasar laut. Kondisi

gelombang air laut tidak begitu besar sampai ke bibir pantai, karena terhalang

oleh batu karang terletak di tengahtengah laut sebelah Timur dengan jarak ±1

Km dari bibir pantai Sanur.Oleh karena itu, ke-4 karakteristik tersebut, maka

pantai Sanur sebagai asset yang potensial dijadikan wisata bahari yang memiliki

daya tarik tersendiri untuk objek wisata tangiable yang menarik dikunjungi oleh

wisatawan asing (luar negeri) maupun wisatawan nusantara (domistik), termasuk

masyarakat lokal dari Bali.

Dalam makalah ini, fokus masalah yang dirumuskan, adalah sebagai

berikut: (1) Mengapa kawasan wisata pantai Sanur merupakan asset potensial

objek kunjungan wisata?, dan (2) Kegiatan atraksi apa saja dapat dilakukan oleh

wisatawan (luar negeri maupun domistik) pada kawasan pantai Sanur dalam

konteks wisata bahari tersebut? Untuk menjawab permasalahan di atas dengan

menggunakandata kualitatif dari hasil observasi dan studi pustaka, serta bukan

merupakan hasil penelitian.Selanjutnya, Metode analisis data secara deskriptif

yang berdasarkan kerangka teoretis mengacu pandangan McKean (1976) tentang

partial equivalence structure.

Kata kunci: wisata bahari, daya tarik wisata, dan kawasan sanur

I. Pendaluhuan

Berdasarkan Peraturan Daerah Bali No. 3 tahun 1974, telah menetapkan

bahwa jenis kepariwisataan yang dikembangkan di daerah Bali, adalah pariwisata

budaya (cultural tourism).Hal ini sekaligus dijadikan arah pengembangan

pariwisata dipayungi oleh suatu motto ―bukan Bali untuk pariwisata, melainkan

pariwisata untuk Bali‖ (Geriya, 1996).Semenjak berdirinya Hotel Bali Beach

pada tahun 1960-an, kemudian berimbas terhadap wilayah Sanur sebagai salah

204 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

satu kawasan wisata terkenal dan terfavorit di Bali sampai pada saat ini.Kekuatan

daya magisnya sudah mendunia (mengglobal) bagaikan seperti magnet yang

menarik para pelancong untuk menikmati obyek-obyek wisata di wilayah tersebut.

Para pelancong yang berkunjung ke obyek wisata di tempat mulai dari level

penduduk lokal di sekitar wilayah Provinsi Bali, wisatawan nusantara (domistik),

dan wisatawan luar negeri (asing) (Naya Sujana, 1999).

Sanur sebagai resort tourism yang dikembangkan secara khusus untuk

mendatangkan tourist (wisatawan asing) yang tergolong kelompok wisatawan elit

dari Negara asalnya.Elit dalam arti dilihat dari aspek kehidupannya di negaranya

dipandang mapan dan kaya dari segi ekonomi, mereka berwisata ke pulau Dewata

dan Sanur dipilih sebagai tempat menginap sepenuhnya untuk menikmati

perjalanan wisatanya.Akomodasi wisata yang diinginkan dan dibutuhan adalah

hotel yang bertaraf Internasional. Tentu gambaran ini dapat dilihat dari

karakteristik wisatawan itu sendiri, sudah tentu kondisi ini agak berbeda dengan

tourist resort yang berkembang Kuta, Nusa Dua, Ubud, maupun kawasan wisata

lainnya di Bali (Bagus, 1999).

Begitu juga kawasan wisata Sanur sekarang ini, termasuk salah satu

kawasan strategis parawisata nasional (KSPN) yang ada di Bali.Kehadiran KSPN

ini merupakan kebijaksanaan pemerintah pusat yang berkaitan regulasi

pengembangan maupun penataan wisata diseluruh tanah air.Lewat KSPN ini

pemerintah pusat sudah memberikan rambu-rambu tentang penentuan kawasan

wisata yang dipandang strategis secara nasional sebagai obyek wisata, sehingga

menjadi daya tarik bagi wisatawan. Oleh karena itu, regulasi yang terkait dengan

pengembangan dan penataan pariwisata sebagai sebuah industri tanpa cerobong

asap di Bali pada umumnya dan khususnya di kawasan Sanur yang berlandaskan

pada panorama alam yang indah dan budaya yang eksotik. Hanya cuma potensi

ini yang dimiliki oleh masyarakat Sanur termasuk daerah Bali lainnya untuk

digarap secara inovatif dan lebih kreatif dalam rangka untuk mengoptimalkan

potensi tersebut(Adnyana Manuaba, 1999).

Dalam makalah ini, fokus masalah yang dirumuskan, adalah sebagai

berikut: (1) Mengapa kawasan wisata pantai Sanur merupakan asset potensial

sebagai objek kunjungan wisata (destinasi wisata), dan (2) Kegiatan atraksi apa

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 205

Denpasar, 25-26 September 2018

saja dapat dilakukan oleh wisatawan (luar negeri maupun domistik) pada kawasan

pantai Sanur dalam konteks wisata bahari?.Selanjutnya, landasan teoretis untuk

memahami masalah tersebut di atas melalui model interaksi kebudayaan dengan

industri pariwisata pada masyarakat Bali telah dilakukan oleh McKean dalam

analisis kajiannya mengenai pengaruh pariwisata terhadap kebudayaan Bali

(Geriya, 1996). Menurut McKean (1976), berdasarkan penelitiannya di Bali

merumuskan bahwa hubungan interaksi antara orang-orang Bali dengan

wisatawan didasarkan atas prinsip saling mengharapkan. Pada satu pihak,

wisatawan mengharapkan kepuasan yang bersifat estetis dan pada pihak yang lain

itu merupakan kesempatan ekonomi yang diharapkan oleh penduduk setempat.

Pengharapan timbal-balik saling melengkapi dan menguntungkan bagi kedua

belah pihak itu maka disebut ―partial equivalence structure‖ (McKean, 1976 dan

Geriya, 1993).Makalah ini belum berdasarkan hasil penelitian data lapangan.Jenis

data kualitatif dan sumber data lewat studi pustaka, serta ditunjang dari hasil

pengamatan (observasai), karena sering melakukan kunjungan ke kawasan pesisir

pantai Sanur (Koentjaraningrat, 1977).

II. Pembahasan

2.1. Kawasan Wisata Pantai Sanur merupakan AssetPotensial sebagai

Wisata Bahari.

Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa kawasan wisata Sanur

sebagai destinasi tujuan wisata (DTW) yang sudah mendunia atau mengglobal

karena faktor alam.Oleh sebab itu, boleh dikatakan suatu keindahan yang bersifat

naturalistik (alamiah) berkah anugrah dari Sang Pencipta Tuhan Yang

Mahakuasa.Keindahan panorama ini, selain memiliki pesisir pantai dengan pasir

putih yang bersih dan berkilau, juga terbitnya matahari diwaktu pagi hari yang

memberikan nuansa kenikmatan tersendiri.Begitu pula, di pesisir pantai

terintegrasi dengan akomodasi wisata, toko kerajinan (artshop/gallery), bar, dan

restoran, villa, dan hotel (Wall, and Long, 1996).Ada berbagai jenis kelas hotel

ini, mulai dari kelas hotel melati sampai dengan kelas hotel bertaraf Internasional

(bintang 1—5).Semua hotel-hotel ini posisinya dibangun pada garis tepi pantai

yang terletak di sebelah Timur wilayah Sanur berjejer dari arah Selatan ke

Utara.Kondisi pantai yang begitu landai dengan gelombang ombak yang tidak

206 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

begitu besar dan air laut yang bersih dan jernih. Kondisi seperti ini tidak

membahayakan bagi pengunjung yang ingin menikmati nuansa air laut melalui

aktivitas berenang dengan kano, snorckling, daving, peselancar (surfing), dan

aktivitas yang lainnya. Deburan ombak yang besar tidak sampai menyentuh bibir

pantai, karena batu karang menahan deburan ombak yang besar itu sebelum

sampai menyentuh bibir pantai. Batu karang ini terletak pada radius ±1 km dari

tepi pantai dan hanya kelihatan pada saat air laut surut. Letak posisinya

memanjang dari arah Selatan ke Utara sepanjang beberapa ratus meter. Kondisi

ini menyebabkan ada pembelahan antara laut dalam dan laut dangkal.Tolok ukur

yang digunakan pada batu karang sebagai batas pembagi. Untuk di sebelah Timur

tergolong laut dalam mencapai lebih dari 12 meter, sedangkan di sebelah Barat

tergolong laut dangkal, kedalamannya hanya mencapai ± 3 meter (Kaler Surata,

1999).

Gelombang air laut yang tampak tenang ternyata memberikan rasa nyaman

bagi wisatawan, lebih-lebih didukung akomodasi wisata yang menyatu dengan

lingkungan kawasan pantai.Bagi wisatawan asing (tourist), bila memilih lokasi

penginapan yang dekat dengan tepi pantai Sanur ini, secara langsung bisa

menikmati obyek wisata naturalistik dihadirkan dari persona alam tersebut.Selain

itu, obyek wisata ini juga berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat di

sekitar wilayah kawasan Sanur.Secara sosial-ekonomi sektor industri pariwisata

ini menyerap tenaga kerja berasal dari kelurahan/desa setempat, baik bergerak

dalam bidang usaha (bisnis), karyawan, dan jasa, sehingga juga berdampak

terhadap kemaslatan ekonomi masyarakat untuk kesejahteraan(Wyasa, 1999).

2.2. Kegiatan atraksi Wisata Bahari Pada Kawasan Wisata Pantai Sanur

Ada berbagai bentuk atraksi yang bisa dilakukan oleh wisatawan, baik

wisatawan nusantara (domistik) maupun wisatawan asing (luar negeri) yang

berkaitan dengan wisata bahari pada objek wisata kawasan pantai Sanur. Realitas

empiris di lapangan bahwa aktivitas atraksi wisata bahari ini yang berlokasi di

kawasan pantai Sanur sangat menarik bagi pengunjung, terutama dari masyarakat

lingkungan kota Denpasar, dan wilayah kabupaten lainnya di Provinsi Bali yang

berdekatan dengan kawasan pantai Sanur.Di samping itu, juga menarik wisatawan

dari berbagai belahan dunia yang telah berkunjung ke kawasan objek wisata

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 207

Denpasar, 25-26 September 2018

tersebut.Setiap hari kawasan pesisir pantai Sanur selalu dibanjari oleh

pengunjung, sehingga suasana tampak terlihat ramai.Lebih-lebih pada hari raya,

libur, liburan panjang bagi anak sekolah, maka hari liburan tersebut dimanfaatkan

untuk berdarmawisata atau study tourbagi daerah lainnya di luar wilayah Provinsi

Bali (Erawan, 1994).

Berhubungan dengan kegiatan atraksi di laut, hal ini sangat dipengaruhi, dan

bahkan ditentukan oleh kondisi air laut. Atraksi apa saja bentuknya itu, hanya

dilakukan pada situasi air laut pasang. Menjelang bulan purnama, air laut mulai

naik (pasang) secara bertahap dan puncak pasang air laut itu bertepatan pada

bulan purnama.Begitu pula, di bulan purnama gelombang air laut tinggi hingga

sampai jauh masuk ke daratan.Berkaitan dengan itu, maka batu karang tidak

kelihatan berarti kedalaman air laut di bibir sudah mencapi 3 meter lebih dari

dasar laut.Sebaliknya, menjelang bulan mati (Tilem), maka air laut mulai

mengalami pasang surut (turun) pelan-pelan dan puncaknya pasang surut paling

rendah terjadi bertepatan pada bulan mati (Tilem).Kondisi ini menyebabkan air

laut menjadi dangkal, kurang lebih setinggi lutut orang dewasa.Akibat dari air laut

yang dangkal, maka kelihat dasar lautnya dengan berbagai jenis habitat laut yang

hidup di dasar laut tersebut.Bahkan ada orang berjalan sampai ke batu karang dan

berjalan-jalan di atas batu tersebut.Hal ini bisa dilakukan oleh seseorang

tergantung dari keberanian dan tahu membaca situasi kondisi air laut itu

mengalami pasang, agar tidak terjebak di dalamnya(Pitana, 1994).

Bila melihat kondisi air laut ini mengikuti hukum gratifikasi bumi dalam

waktu 24 jam, terjadi 4 kali pasang-surut dengan selisih waktu 6 jam.Dengan

demikian, 2 kali pasang (naik), dan 2 kali surut (turun).Oleh karena itu, kegiatan

atraksi di laut yang berkaitan wisata bahari (maritime/marine tourist), yang paling

baik dan tepat berdasarkan pantauan ke dalaman air laut pada waktu 5 hari

menjelang bulan purnama.Air laut sudah agak tinggi, sehingga sarana maupun

prasarana yang digunakan untuk atraksi tersebut, seperti mesin tempel tidak

tersangkut pada batu karang yang ada di dasar laut.Untuk mengetahui lebih rinci

kegiatan wisata bahari yang berkembang pada kawasan pesisir pantai Sanur dapat

diungkapkan dalam uraian di bawah ini sebagai berikut.

208 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

1. Perahu layar tradisional (jukung), Bentuk prahu sederhana menyerupai ikan

hanya warna catnya yang bervariasi. Bahannya dibuat dari kayu yang besar,

dilihat dari diameternya rata-rata di atas 1 meter. Di kalangan masyarakat di

Bali lebih dikenal dengan perahu bercadik (kantih) yang bahannya dibuat dari

bambu yang besar dan kulitnya dihilangkan dengan pisau supaya lebih ringan.

Bambu ini dipasang pada sebelah kanan maupun kiri yang dihubungkan

dengan tangkai yang dari kayu. Cadik (kantih) berfungsi menjaga

keseimbangan perahu tersebut agar tidak terbalik, di tengah laut.Lebih-lebih

pada saat terjadi gelombang pasang. Alat ini digunakan oleh nelayan untuk

menangkap ikan di laut. Sekarang ini telah mengalami pergeseran sebagai

mode transportasi untuk mengangkut wisatawan asing (luar negeri) yang ingin

rekreasi keliling diseputar kawasan pantai Sanur. Begitu pula, alat untuk

mendorong laju pergerakkan perahu ini masih menggunakan dayung dan

fungsinya untuk mengayuh air agar perahu bisa bergerak maju. Oleh karena

itu, laju gerak perahu pelan-pelan, sehingga wisatawan merasakan kenikmatan

alam

2. Kano, alat dibuat dari bahan feber, ukuran panjang X lebih tidak melebihi dari

tinggi dan besar tubuh badan manusia. Begitu pula, alat ini difungsikan untuk

berenang di laut, cuma jaraknya hanya mencapai puluhan meter dari bibir

pantai. Mengingat bentuknya menyerupai sebilah papan, maka dalam

penggunaannya harus membutuhkan seimbangan badan, sehingga posisi duduk

di atas kano agar tidak rebah atau jatuh ke laut. Kemudian, untuk menggerakan

kano tersebut bisa melaju ada alat dayung untuk mengayuh air alut sehingga

kano melaju maju. Oleh karena itu, bagi wisatawan yang senang mandi di tepi

pantai, alat ini kadang-kadang menjadi salah satu pilihan untuk rekreasi

menikmati panorama di laut.

3. Snorckling ini juga merupakan salah satu rekreasi yang sangat menantang,

karena dibutuhkan keberanian bagi si pelaku snorckling ini. Sarana yang sangat

menunjang aktivitas wisata bahari, antara lain: jet boot, payung parasut, dan

tali pengikat yang kuat serta panjangnya ± 20—25 meter. Jet boot sebagai

penarik payung perasut mirip seperti turjun payung bila dilihat dari kejauhan.

Jet boot dengan laju kecepatan tinggi bergerak di atas air hingga payung

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 209

Denpasar, 25-26 September 2018

perasut terbang tinggi dan berputar-putar di atas laut di sekitar kawasan pesisir

pantai Sanur. Pada ketinggian sekitas 20—25 meter bagi wisatawan yang

menggelayut di payung perayut dapat melihat pemandangan seluruh objek

wisata marine tersebut.

4. Daving, merupakan bentuk penyelaman dengan alat penutup pada bagian muka

yang mirip seperti kaca mata besar, sehingga mata bisa tetap terbuka untuk

melihat pemandangan di bawah dasar laut.

5. Jet sky air, model peselancar yang dilakukan di laut pantai Sanur ini sarananya

mirip dengan snorckling. Sarana yang dibutuhkan seperti jet boot, papan ski,

dan tali penarik yang menghubungkan jet boot salah satu ujung tali diikat pada

boot dan ujung tali yang lain dipegang oleh si pelancar. Kemudian, jet boot

menarik orang berdiri di atas papan peselancar sambil memegang sekuat tenaga

tali tersebut agar tidak terlepas lalu ditarik oleh kapal boot dengan kecepatan

tinggi. Di atas permukaan air laut berputar-putar dan berkelak-kelok, sehingga

setiap air laut yang dipijak oleh papan sky tersebut memncrat ke atas dengan

ketinggian ± 1 meter.

6. Kapal boot ini sering juga digunakan oleh para pelancong untuk kebut-kebutan

di atas permukaan air. Bila dikaitkan dengan di darat mirip seperti naik sepeda

motor berkeliling pada suatu tempat. Kapal boot ini mirip fungsinya seperti itu,

untuk berkeliling di tengah lautan tetapi tidak jauh dari tepi bibir pantai. Pada

prinsipnya aktivitas wisata bahari cuma berkeliling melihat pemandangan

suasana alam laut tersebut.

Semua sarana dan prasarana tersebut sudah disediakan dan dipersiapkan

oleh warga masyarakat Sanur dalam suatu organisasi tradisional (Sudhana Astika,

1994), dan petugas yang menangani dari masing-masing bagian itu sesuai dengan

standar operasional prosedor (SOP).Selain itu, juga dituntut pekerja secara

profesional dalam pengelolaan sarana dan prasarana tersebut, karena ini

memberikan pelayanan jasa kepada wisatawan asing (luar negeri) yang berlibur

pada objek wisata Sanur. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari komplain

antara guest dan hostyang berkaitana dengan pelayanan jasa tersebut. Kemudian,

dampaknya sangat berpengaruh terhadap industri pariwisata Bali ke masa depan

(Smith, 1978). Tujuan utama wisatawan datang dan berkunjung ke Bali, baik

210 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

wisatawan asing (luar negeri) maupun wisatawan nusantara (domistik) untuk

berlibur dengan menikmati keindahan alam dan budaya Bali (Picard, 1993, dan

Titib, 1999)

III. Penutup.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan antara lain sebagai

berikut: (1) Pesisiran pantai Sanur merupakan destinasi daerah tujuan wisata

(DTW) tergolong salah satu kawasan pantai di Provinsi Bali. Sesungguhnya,

mulai dari sejak penjajahan pemerintah Belanda sempat berkuasa di Bali telah

melirik bahwa kawasan ini dapat dijadikan objek wisata potensial dikembangkan

untuk menarik wisatawan dari kawasan Negara Eropa berkunjung ke tempat ini,

dan (2) Tergolong pantai terindah ke-2, setelah Hawaii, Amerika Serikat.

Kemudian aktivitas wisata bahari yang dominan diminati oleh wisatawan asing

maupun wisatawan nusantara (domistik), antara lain, seperti: perahu layar

tradisional (jukung), jet ski air, kano, peselancar (surfing), penyelaman(daving),

snorckling.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana Manuaba, 1999. ―Isu, Problema dan Masa Depan Bali‖ dalam Era

Globalisasi‖ dalam Bali dan Masa Depannya (Supartha,

Wayan Penyunting). Denpasar: Penerbit Bali Post.

Bagus, I G N, Aron Meko Mbete, dan Erawan, I Nyoman, 1997. ―Pokok-Pokok

Pikiran Hasil Seminar Pariwisata, Pendidikan dan Peluang

Bisnis‖ dalam Menuju Terwujudnya Ilmu Pariwisata di

Indonesia (Bagus, IGN Penyunting). Denpasar: Program

Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana.

Bagus, I Gusti Ngurah, 1999. ―Mengkondisikan Tampilnya Pemikir

Pembangunan dalam Era Glokalisasi di Bali‖ dalam Era

Globalisasi‖ dalam Bali dan Masa Depannya (Supartha,

Wayan Penyunting). Denpasar: Penerbit Bali Post.

Erawan, I Nyoman, 1994.Pariwisata Dan Pembangunan Ekonomi (Bali Sebagai

Kasus). Denpasar: Penerbit Upada Sastra.

Geriya, I Wayan, 1993.―Model Interaksi Kebudayaan dan Industri Pariwisata pada

Masyarakat Bali (Satu Refleksi dari Strategi Pembangunan

yang Berbudaya dalam Era Industrialisasi)‖ dalam

Kebudayaan Dan Kepribadian Bangsa (Sudharta, Tjok Rai,

dkk Editor). Denpasar: Penerbit Upada Sastra.

Geriya, I Wayan, 1996.Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional,

Global Bunga Rampai Antropologi Pariwisata. Denpasar:

Penerbit Upada Sastra.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 211

Denpasar, 25-26 September 2018

Geriya, I Wayan, 2000.Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI.

Denpasar: Unit Percetakan Bali.

Koentjaraningrat, 1977.Metode-Metode PenelitianMasyarakat. Jakarta: PT

Gramedia.

Kaler Surata, 1999.―Keunikan Lingkungan Bali: Kemantapan yang Rapuh‖ dalam

Era Globalisasi‖ dalam Bali dan Masa Depannya (Supartha,

Wayan Penyunting). Denpasar: Penerbit Bali Post.

McKean, Philip F, 1976. ―Interaction Between Tourists and Balinese: An

Anthropological Analysis of Partial Equitvalence Structures‖

dalam Masyarakat Indonesia Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Jilid

III Nomor 2. Jakarta: LIPI.

McKean, Philip Frick, 1978. ―Toward a Theoretical Analysis of Tourism:

Economic Dualism and Cultural Involution in Bali‖, Hosts

and Guests (Smith, Valene L, Edit). Oxford: Basil Blackwell.

Naya Sujana, Nyoman, 1999 ―Kompleksitas dan Dinamika Ditengah Bangunan

Kebudayaan Bali‖ dalam Era Globalisasi‖ dalam Bali dan

Masa Depannya (Supartha, Wayan Penyunting). Denpasar:

Penerbit Bali Post.

Picard, Michel, 1993. ―Cultural Tourism in Bali National Integration and

Regional Differentiation‖, Tourism in South-East Asia(

Hitchcock, at al, Edit). London and New York: Routledge.

Pitana, I Gde, 1994.Desa Adat dalam Arus Modernisasi‖ dalam Dinamika

Masyarakat Dan kebudayaan Bali (Pitana, I Gde, Editor).

Denpasar: Penerbit Bali Post.

Smith, Valene, 1978, Host and Guests. Oxford: Basil Blackwell.

Sudhana Astika, I Ketut, 1994. ―Seka dalam Kehidupan Masyarakat Bali‖ dalam

Dinamika Masyarakat Dan kebudayaan Bali (Pitana, I Gde,

Editor). Denpasar: Penerbit Bali Post.

Titib, I Made, 1999. ―Desa Adat Bali dalam Era Globalisasi‖ dalam Bali dan

Masa Depannya (Supartha, Wayan Penyunting). Denpasar:

Penerbit Bali Post.

Wall, Geoffrey and Long, Veroneca, 1996.―Balinese Homestays: An Indigenous

Response to Tourism Opportunities‖, Tourism and

Indigenous Peoples (Butler, Richard and Hinch, Thomas,

Edit). London: International Thomson Bisiness Press.

Wyasa, Ida Bagus, 1999. ―Bali Pusat Bisnis Pariwisata‖ dalam Era Globalisasi‖

dalam Bali dan Masa Depannya (Supartha, Wayan

Penyunting). Denpasar: Penerbit Bali Post.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 212

Denpasar, 25-26 September 2018

PELATIHAN PENULISAN JURNALISTIK BAGI SISWA SMAN 1 KUTA

SELATAN, KABUPATEN BADUNG

Ketut Riana, S.U, Putu Evi Wahyu Citrawati, I Nyoman Darma Putra,

Made Sri Satyawati, Wayan Teguh

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Penggunaan bahasa Indonesia ragam ilmiah/ragam jurnalis tidak dapat

dilepaskan dari kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa

Nasional maupun sebagai bahasa Negara.Dalam kedudukannya sebagai bahasa

Nasional, yang penting dicermati adalah fungsinya sebagai lambang kebangsaan

(Nasional).Sebagai penutur/pemakai bahasa Indonesia, kita harus bangga

memiliki bahasa Nasional yang di dalamnya tercermin nilai-nilai social budaya

bangsa. Atas dasar kebanggaan itu, bahasa Indonesia kita pelihara dan kita

kembangkan, dan rasa kebanggaan memakainya senantiasa kita bina. Dalam

kaitan ini, bahasa Indonesia ragam juranlis merupakan salah satu variasi bahasa

Indonesia dalam proses pembinaan dan pengembangannya. Penggunaan bahasa

Indonesia ragam ilmiah dalam tulis-menulis secara cermat tentu dapat

meningkatkan rasa kebanggaan penulisnya.

Selain itu, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pendukung ilmu

pengetahuan dan teknologi modern untuk kepentingan nasional kita.

Penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta manfaat yang dapat

diberikannya pada perencanaan dan pelaksanaan kita, baik melalui penulisan dan

penerjemahan buku-buku teks serta penyajian pelajaran di lembaga-lembaga

pendidikan maupun melalui penulisan buku-buku, dilakukan dengan

menggunakan bahasa Indonesia.

Kata Kunci: Pelatihan, Karya Ilmiah, Ragam Bahasa Jurnalis

1. Latar Belakang

Kabupaten Badung terletak ditengah-tengah Pulau Bali, membentang dari

utara ke selatan. Kabupaten Badung, merupakan salah satu kabupaten yang ada di

Provinsi Bali, dengan penghasilan masyarakat dari sektor pariwisata.

Kecamatan Kuta Selatan, merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten

Badung. Terletak diujung selatan Kabupaten Badung, maupun ujung selatan Pulau

Bali, kecamatan Kuta Selatan merupakan kecamatan terbaru yang merupakan

pecahan dari Kecamatan Kuta. Dahulu sebelum dikembangkan menjadi

kecamatan baru, kuta selatan berada di bawah kecamatan Kuta.Potensi yang ada

di wilayan Kuta Selatan sangat besar, terutama di sektor Pariwisata.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 213

Denpasar, 25-26 September 2018

Luas wilayah kecamatan Kuta Selatan 101, 13 km2. Kecamatan Kuta

Selatan memiliki 6 kelurahan/desa, yaitu kelurahan Pecatu, kelurahan Ungasan,

Kelurahan Kutuh, Kelurahan Benoa, Kelurahan Tanjung Benoa, dan Kelurahan

Jimbaran.

Pelatihan tentang Jurnalistik bagi siswa SMA se Kecamatan Kuta Selatan

merupakan suatu program Pengabdian kepada masyarakat yang bertujuan untuk

membina siswa dalam hal penulisan tentang Jurnalistik yang meliputi pelatihan

penulisan karya ilmiah, penulisan majalah dinding (madding), penulisan Koran

sekolah, dan lain-lain. Tujuan lainnya agar dapat melatih para siswa

mengembangkan kreativitasnya dalam hal ragam jurnalistik.

Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat tahun 2017 ini, difokuskan

kepada Siswa SMA yang ada di Kecamatan Abiansemal, yang terfokus pada

SMAN 1 Kuta Selatan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Pengabdian

yang berjudul tentang Pelatihan Penulisan Ketrampilan Jurnalistik Bagi Siswa

SMA Se Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung,menyasar siswa yang

mengikuti ekstra jurnalistik.

SMAN 1 Kuta Selatan merupakan salah satu SMAN yang ada di daerah

Kuta Selatan tepatnya diujung Pulau Bali. Terletak di Jalan Ketut Jedug, Desa

Kutuh, berada di tengah-tengah kawasan wisata Pantai Pandawa. Sekolah ini

berdiri pada 9 September 1999. Pada saat pendirian awal, sekolah ini baru

memiliki 70 siswa yang terbagi ke dalam 2 kelas, dengan tenaga pendidi sebanyak

20 orang guru, dan 1 orang pegawai administrasi. Kepala sekolah pertama

adalahDrs. I Putu Jaya Kusuma. Pada awal pendirian, sekolah ini menumpang

pada kelas di sekolah SMPN 3 Kuta ( sekarang SMPN 2 Kuta Selatan). Pada saat

ini SMAN 1 Kuta Selatan telah memiliki gedung tersendiri dengan beberapa

fasilitas penunjang yang cukup memadai. Dengan ruang belajar sebanyak 12

kelas, 1 ruang kantor, 2 ruang Lab IPA, 1 lab computer, 1 lab bahasa, 1 ruang

UKS, dan 1 kantin sekolah.

214 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

2. Masalah.

Berdasarkan latar belakang di atas ada beberapa masalah dalam tulisan ini

antara lain kurangnya pengetahuan dan keterampilan siswa-siswa SMA dalam

penulisan jurnalistik, dan bagaimanakah bentuk penulisan madding serta koran

sekolah yang baik sesuai dengan kriteria penulisan jurnalistik?.

3. Pembahasan

Pelatihan penulisan jurnalistik ini merupakan pelatihan pertama yang

dilakukan oleh Pengabdi, terutama oleh Prodi Sastra Indonesia.Hal ini didasarkan

pada berkembangnya informasi/berita secara online yang sangat pesat, tanpa

adanya suatu informasi yang benar, sehingga banyak informasi yang didapatkan

secara salah/hoax.

Secara harfiah, kata Jurnalistik berasal dari kata jurnalism atau jurnalisme

yang berarti kegiatan mengumpulkan berita. Juga berarti kegiatan mempoduksi

surat kabar. Dengan kata lain jurnalisme mengandung maksud kegiatan yang

dilakukan oleh seorang wartawan. Sedangkan kata jurnalistik dapat diartikan

sebagai sesuatu hal yang berkaitan dengan pekerjaan kewartawanan. Pengertian

yang berkembang di dalam masyarakat, istilah jurnalistik sama dengan jurnalisme

yaitu kegiatan untuk mempersiapkan, mengedit dan menulis untuk dipublikasikan

melalui media masa baik media cetak maupun media elektronik. Yang dimaksud

media cetak adalah surat kabar, majalah dan lain-lain, sedangkan media elektronik

yaitu siaran radio.

Pada pelatihan penulisan jurnalistik di SMAN 1 Kuta Selatan ini diikuti

oleh siswa yang memilih ekstra jurnalistik. Karena nantinya mereka yang akan

dianggap tepat untuk menjadi seorang jurnalis yang baik. Kedepannya mereka

mampu menghasilkan berita yang dapat dibagikan bagi teman-teman di

Sekolahnya, seperti madding, ataupun koran kampus. Sekolah ini dipilih sebagai

tempat pengabdian karena pada SMAN 1 Kuta Selatan memiliki 1 buah jurnal

yang dikelola oleh pihak sekolah, dan dibantu oleh para siswa dalam hal mengedit

bahan-bahan tulisan yang masuk.Siswa juga dilibatkan untuk menjadi editor mana

tulisan yang layak dan bagus untuk dimuat dalam jurnal sekolahnya.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 215

Denpasar, 25-26 September 2018

Metode yang dipergunakan dalam pelatihan ini adalah menggunakan

metode ceramah, kemudian diberikan latihan tentang bagaimana cara membuat

berita yang baik menurut aturan jurnalistik. Ceramah diberikan oleh 2 orang

pembicara, yang semuanya merupakan pakar serta wartawan media cetak yang

ada di Bali.

Karakteristik Bahasa Jurnalis berbeda dengan karakteristik bahasa non

jurnalis.biasanya dalam ragam bahasa ilmiah, kita harus berpatokan pada ragam

baku yang sesuai dengan kaidah EYD. Namun dalam ragam Jurnalistik ada

beberapa hal yang harus diperhatikan seperti (1) Kalimat harus bersifat lugas,

singkat, padat, dan kata-kata yang dipergunakan harus seekonomis mungkin.. (2)

Bahasa Jurnalistik harus mengandung unsur 5 W dan 1 H, yaitu :What, Where,

When, Who, Why, dan How. (3) Dalam teras berita diutamakan unsur WHAT dan

WHEN, sedangkan unsur lainnya dijabarkan pada paragraf berikutnya. Teras

berita atau yang dikenal dengan istilah Lead adalah paragraf pertama dalam

sebuah berita yang mengandung gambaran umum suatu berita. (4) Paragraf dalam

sebuah teras berita hendaknya berbentuk berita pendek, antara 1-3 kalimat. (5)

Struktur kalimat bersifat sederhana kurang lebih satu kalimat tunggal dengan satu

buah gagasan utama. (6) Dalam berita yang baik, hendaknya tidak

mencampuradukkan struktur kalimat pasif dan kalimat aktif dalam suatu kalimat.

(7) Pada sebuah berita dapat menggunakan kutipan langsung. (8) Pada bahasa

Jurnalistik, selalu menghindari kata-kata yang bersifat mubazir, menggunakan

ungkapan yang bersifat klise, dan membatasi penggunaan istilah teknis, istilah

asing, dan istilah daerah

Contoh

(1) Tentang Mengantarkan Anak di Hari Pertama Sekolah. Judul ini kurang

menarik pembaca, karena mungkin saja masyarakat kurang paham maksud

judul tersebut. Alangkah baiknya jika, judul dibuat menjadi Mengantarkan

Anak Hari Pertama Sekolah membawa dampak yang bagus buat anak.

(2) Ujarnya ―memang tidak mudah mengantarkan anak di hari pertama

sekolah, apalagi buat orang tua yang bekerja‖. Jika dilihat dari segi

penulisan jurnalistik yang baik, kata ujarnya sebaiknya diletakkan diakhir

216 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

kalimat, sehingga menjadi,―memang tidak mudah mengantarkan anak di

hari pertama sekolah, apalagi buat orang tua yang bekerja‖. ujarnya.

(3) Mengantarkan anak di Hari Pertama Sekolah. Contoh ini termasuk ke

dalam Teras Berita. Teras berita merupakan paragraf awal atau pertama

yang mengandung gambaran umum tentang sebuah berita. Teras berita

juga disebut dengan Lead. Biasanya dalam sebuah teras berita terdapat 1—

3 kalimat tunggal dengan satu buah gagasan utama.

(4) ―Kita sebagai orang tua wajib mengantarkan anak-anak kita di hari pertama

sekolah, agar membawa dampak positif bagi perkembangan Psikologis

mereka‖. Ujar Beliau‖. Dalam sebuah berita yang baik, kutipan itu penting

untuk menujukkan bahwa memang berita itu benar adanya dan bukan

berita hoax seperti berita-berita yang marak saat ini.

4. Simpulan

Secara harfiah, kata Jurnalistik berasal dari kata jurnalism atau jurnalisme

yang berarti kegiatan mengumpulkan berita. Juga berarti kegiatan mempoduksi

surat kabar. Dengan kata lain jurnalisme mengandung maksud kegiatan yang

dilakukan oleh seorang wartawan. Sedangkan kata jurnalistik dapat diartikan

sebagai sesuatu hal yang berkaitan dengan pekerjaan kewartawanan. Pengertian

yang berkembang di dalam masyarakat, istilah jurnalistik sama dengan jurnalisme

yaitu kegiatan untuk mempersiapkan, mengedit dan menulis untuk dipublikasikan

melalui media masa baik media cetak maupun media elektronik.

Berita merupakan peristiwa atau wacana yang dituturkan, dikabarkan, atau

disebarluaskan melalui sebuah media cetak ataupun media online. Penyebarluasan

peristiwa/wacana yang dikemas dalam bentuk berita melalui media massa

memerlukan ragam bahasa khusus, yang kemudian dikenal menjadi ragam bahasa

media massa atau ragam jurnalistik.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan ragam

Jurnalistik antara lain (1) Kalimat harus bersifat lugas, singkat, padat, dan kata-

kata yang dipergunakan harus seekonomis mungkin. (2) Bahasa Jurnalistik harus

mengandung unsur 5 W dan 1 H, yaitu :What, Where, When, Who, Why, dan How.

(3) Dalam teras berita diutamakan unsur WHAT dan WHEN, sedangkan unsur

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 217

Denpasar, 25-26 September 2018

lainnya dijabarkan pada paragraf berikutnya.4) Paragraf dalam sebuah teras berita

hendaknya berbentuk berita pendek, antara 1-3 kalimat. (5) Struktur kalimat

bersifat sederhana kurang lebih satu kalimat tunggal dengan satu buah gagasan

utama. (6) Dalam berita yang baik, hendaknya tidak mencampuradukkan struktur

kalimat pasif dan kalimat aktif dalam suatu kalimat. (7) Pada sebuah berita dapat

menggunakan kutipan langsung. (8) Pada bahasa Jurnalistik, selalu menghindari

kata-kata yang bersifat mubazir, menggunakan ungkapan yang bersifat klise, dan

membatasi penggunaan istilah teknis, istilah asing, dan istilah daerah.

Daftar Pustaka

Alwi, H. dkk.2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.(ed ketiga). Jakarta :

Balai Pustaka

Gunawan, M. 2014. Seandainya Saya Wartawan Tempo.Jakarta: Tempo

Publshing.

Rosihan, A. 1984.Bahasa Jurnalistik dan Komposisi.Jakarta: Pradnya Paramita.

Widagdho, Joko. 1997. Bahasa Indonesia Pengantar Kemahiran Berbahasa di

Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Widjono, H.s. 2007.Bahasa Indonesia Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian

di Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Grasindo.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 218

Denpasar, 25-26 September 2018

MITOS TOKOH KEBO IWA DI PANTAI SOKA, TABANAN

Luh Putu Puspawati

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK

Gambaran tokoh Kebo Iwa memiliki pandangan multi dimensi sesuai

dengan persepsi masyarakatnya. Tokoh Kebo Iwa di Kabupaten Gianyar di

simbulkan sebagai tokoh panutan dan sejarah yang dipatungkan, karena memiliki

kekuatan dan keteladanan dalam setiap zamannya.

Tokoh Kebo Iwa bagi masyarakat Bali, khususnya klen Karang Buncing tokoh ini

sebagai cikal bakal dalam keberlangsungan generasi mereka sehingga kemunculan

tokoh Kebo Iwo sebagai sosok leluhur (yang dihormati) oleh para sentananya.

Begitupula dalam konteks mitos, khususnya dalam cerita lisan tokoh itu sebagai

tokoh supernatural kini masih dapat dilacak jejak-jejak perjalanan Kebo Iwa dari

Bali ke Jawa. Salah satunya adalah bukit Kebo Iwo di Pantai Soka yang

dipercayai oleh masyarakat di sekitarnya, ketika dalam perjalanannya dapat

memasak di tempat itu yaitu di dalam guwa (payuk).

Tempat lain agak ke barat di Sungai Balian (Tukad Balian) ada tumpukan batu

teratur, disebutkan batu di tempat itu ia mandi dan ada kotoran Kebo Iwa ketika

buang hajatan.

1. Pendahuluan

Bali adalah salah satu pulau yang memiliki penduduk dominan beragama

Hindu, sehingga kaya akan tradisi lisan (tutur) dan ritual. Tradisi itu tumbuh

sejalan dengan perkembangan masyarakatnya yang tetap menghargai nilai-nilai

luhur pewarisnya, yang didukung terus oleh masyarakatnya. Salah satu dari sekian

banyak tradisi lisan adalah mitos. Mitos sebagai salah satu sebagai warisan

budaya yang secara turun temurun tetap dipercaya memiliki nilai penting dalam

sejarah kehidupannya.

Mitos di Bali masih tetap dipercaya sebagai tradisi lisan yang

penyampaiannya secara oral (lisan) dari mulut ke mulut yang diwariskan dari

generasi ke generasi. Mitos sebagai perwujudan dari dogma, biasanya dikaitkan

dengan teologi dan ritual. Karakter utama dalam mitos adalah tidak selalu

berbentuk manusia, tetapi sering memiliki bagian-bagian seperti manusia. Mereka

bisa saja berwujud binatang, dewa atau pahlawan dalam sejarah budaya

masyarakatnya, yang umumnya kejadiannya terjadi pada masa lampau. Mitos

berhubungan dengan sejarah atau asal usul manusia, manusia atau karakter

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 219

Denpasar, 25-26 September 2018

binatang, geografis dan kondisi alam, mereka juga dapat menceritakan kisah

dewa-dewa, cerita kasih mereka, perjuangan, hubungan (kekerabatan) keluarga,

pertemuan, perang, perjalanan dan pertemanan serta kemenangan atau kekalahan.

Mitos adalah cerita yang memberikan pedoman (petunjuk) bagi

sekelompok orang, cerita/mitos berintikan lambang-lambang (simbol) yang

mencetuskan pengalaman manusia. Mitos memiliki fungsi menyadarkan manusia

akan adanya kekuatan-kekuatan ajaib. Melalui mitos manusia dibantu untuk dapat

menghayati daya itu sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai

alam dan kehidupan manusia dalam sukunya. Mitos sebagai suatu cerita yang

benar menjadi milik mereka paling berharga karena merupakan suatu yang suci,

bermakna menjadi contoh atau model bagi tindakan manusia, memberikan nilai

dan makna bagi kehidupannya. Mitos disebut pula mitologi sebagai cerita rakyat

yang dianggap benar-benar terjadi yang bertalian dengan terjadinya tempat alam

semesta, para dewa, adat istiadat dan dongeng suci. Jadi mitos adalah cerita

tentang asal usul alam semesta, manusia atau bangsa yang diungkapkan dengan

cara-cara gaib yang bermakna bagi masyarakatnya. Mitos juga mengisahkan

petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, kisah perang dan lain-lain.

Mitos tokoh Kebo Iwa di Bali mengisahkan sosok pemimpin pemberani,

ketika zamannya sampai sekarang tetap dipahami sebagai sosok manusia sakti dan

berani melawan ketika pemerintahan zaman sejarah dan hingga sekarang tetap

sebagai pahlawan lokal (zamannya).

2. Tokoh Kebo Iwo dalam Perspektif Mitologi

Tokoh Kebo Iwo di Bali sebagai tokoh multipemahaman bagi masyarakat

Bali dan para sentananya, terutama trah Karang Buncing. Tokoh Kebo Iwo

sebagai mitos, yang memiliki karisma seorang pemberani sebelum Majapahit

datang. Pada zaman Bali Kuna tokoh Kebo Iwo sebagai anak didik dari Jaya

Katong (Bawa, 2011:34). Tugas Kebo Iwo zaman Bali Kuna dijelaskan adalah

seorang patih sakti pada akhir zaman Bali Kuna dan dalam mitologi Bali, ia

dipersonifikasikan sebagai patih sakti pada zamannya sampai kini. Penggambaran

tokoh Kebo Iwo lelaki bertubuh besar, tinggi, kuat, gagah perkasa dan sakti tidak

dapat dibunuh dengan senjata. Kebo Iwo disebut-sebut tinggal di Belahbatuh di

220 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

sebelah barat kota Gianyar. Selain patih sakti, Kebo Iwa disebutkan sebagai

seorang ahli membuat bangunan (undagi), banyak bangunan-bangunan yang

dibuatnya ketika itu.

Di lain pihak tokoh Kebo Iwo sebagai pos penjaga keamanan untuk daerah

Gianyar (Batahanyar dan Belahbatuh). Karena Kebo Iwo adalah mahapatih

kerajaan Bedahulu dalam teks babad dan pamancangah. Dalam teks Pucak Padang

Dawa, Kebo Iwo diberi sebutan Bhatara Amurbeng Rat, Dewa Gde Kebo Iwo,

Betara Gde Sakti, Bhatara Guru, dan dalam teks Yong Biru diberi nama Abra

Sinuhun Kidul.

Untuk itu, dalam kehidupan bermasyarakat di Bali, Kebo Iwo dan Karang

Buncing memiliki berbagai pemahaman terutama Kebo Iwo sampai sekarang

sebagai leluhur (treh) para sentana Karang Buncing meskipun dipakai dari

berbagai sudut pandang seperti kehidupan beliau dalam mitos, menjadikan tokoh

Kebo Iwo sebagai tokoh panutan hingga sekarang.

Dalam zaman Bali Kuna akhir sebelum pengaruh Majapahit, Kebo Iwo

sebagai tokoh yang disegani pada zamannya, ceritanya sangat disenangi oleh

masyarakat Bali hingga kini sosok Kebo Iwo digambarkan sebagai tokoh mitos

yang memiliki badan tinggi, besar, kuat, pemberani tidak tertandingi, dan tidak

dapat dilukai oleh senjata apapun, tetap murah hati. Pada bagian akhir dari mitos

itu meskipun tokoh itu sangat sakti, tetapi akhir kekalahannya dilakukan dengan

tipu muslihat Patih Gajah Mada, ketika menundukkan Bali dalam mempersatukan

Nusantara, Bali akan tunduk apabila telah menundukkan orang kuat di Bali

bernama Kebo Iwo.

Mula-mula Patih Gajah Mada di Majapahit membuat siasat ketika

Majapahit dipimpin oleh Raja wanita (Tribuana Tungga Dewi) seolah-olah takluk

dengan Bali dan ingin menjalin persahabatan sebagai simbol persahabatan antara

Majapahit dan Bali, dimintalah Patih Dalem Bedahulu, bernama Kebo Iwo yang

dikenal kuat untuk diundang ke Jawa akan dikawinkan dengan putri cantik di

Jawa.

Tiba di Jawa, Patih Kebo Iwo dipertemukan dengan seorang putri cantik.

Dalam pertemuan itu putri cantik memberikan isyarat agar Kebo Iwo membuatkan

dirinya sebuah sumur. Tanpa curiga apa-apa, dengan kejujuran dan kepolosan

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 221

Denpasar, 25-26 September 2018

Kebo Iwo bersedia membuatkan sumur itu. Ketika Patih Kebo Iwo sedang berada

di dalam sumur dalam rangka pembuatan sumur menimbuninya dengan batu

(versi lain dengan kapur putih), namun Kebo Iwo tidak mati, ini menunjukkan

kekuatan dan kesaktian Kebo Iwo. Lalu Kebo Iwo naik keatas dan mencari Gajah

Mada sampai ke beberapa daerah di Jawa salah satunya adalah di Gunung Wilis,

Kediri Jawa Timur. Banyak tempat-tempat dan bukti yang dipercaya sampai kini

dipercaya sebagai bekas jejak perjalanan Kebo Iwo di Jawa, salah satunya

tumpukan batu di Batu Tulis yang disebut Kebo Teruna Bali (Bawa, 2011 : 87).

3. Tokoh Kebo Iwo di Tiga Tempat di Tabanan

Dalam perjalanan Patih Kebo Iwo dari Bedahulu ke pulau Jawa melewati

tempat-tempat di daerah Tabanan yaitu di Desa Bedaa, Desa Payan (di pantai

Soka) dan di Tukad Balian, Suraberata. Di tiga tempat itu di bedakan kisah Kebo

Iwo. Di daerah Bedaa Kebo Iwa tidur di Pantai Soka ada batu payuk di tempat goa

Kebo Iwo dipercaya untuk memasak dan ada depan paon di bagian baratnya,

serta di Tukad Balian dipercaya Kebo Iwo membuang hajat (versi lain

mengambil air) disana ada tumpukan batu dengan rapi dipercaya sebagai kotoran

Kebo Iwo.

4. Simpulan

Tokoh Kebo Iwo sebagai tokoh mitologi di Bali ada versi-versi ia yang

berasal dari kerajaan Bedahulu dan belakangan di Belahbatuh. Tokoh ini sangat

sakti, pemberani sebagai tokoh lokal Bali yang berani melawan tokoh Jawa Patih

Gajah Mada ketika itu. Tokoh Kebo Iwo sebagai tokoh tandingan yang berani

melawan kekuasaan Jawa dengan simbol Patih Gajah Mada. Namun, mitos itu

tidak pernah menyebutkan Kebo Iwo mati, tetapi selalu melawan meskipun

disebutkan mati dengan pamor patih, sebagian besar kematiannya terhormat

sebagai tokoh simbolis, pahlawan dan teladan dengan kokoh membela tanah Bali

dari kekuasaan Gajah Mada. Hal ini dibuktikan adanya keteladanan dan spirit bagi

masyarakat Gianyar dan dihormati oleh para sentana Karang Buncing. Tokoh

Kebo Iwo sebagai ikon Gianyar. Tokoh Kebo Iwo diwujudkan dalam sebuah

222 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

―tapel‖ disebut tapel Kebo Iwo, sampai kini masih disakralkan dan dihormati oleh

masyarakatnya.

Daftar Pustaka

Bawa, I Made, 2011, Kebo Iwo, dan Sri Karang Buncing, Dalam Dinasti Raja-

raja Bali Kuno, Penerbit : Buku Arti, Dikja.

Puspawati. Luh Putu, 2015, ―Teks Mitos Sapi di Kubu Tambahan Tinjauan

Bentuk, Fungsi, Makna‖, Denpasar, Pascasarjana (Disertai)

Wawancara :

Drs. I Nengah Medera, M.Hum, mantan Dosen Sastra Jawa Kuna, Fakultas Ilmu

Budaya Unud (dari Br. Bengkel, Payan, Tabanan), Pengempon Pura

Srojong, Pantai Soka Payan.

Drs. Wayan Pariartha (mantan Dosen Mahasaraswati) dari Desa Lumbu Tabanan.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 223

Denpasar, 25-26 September 2018

PENGAMAN BATIN SEBAGAI SUMBER GAGASAN

PENULISAN KREATIF JURNALISTIK-SASTRA DI SMAN I PETANG

KECAMATAN PETANG KABUPATEN BADUNG

Maria Matildis Banda, Ida Bagus Jelantik SP, I Made Suarsa,

Sri Jumadiah dan I Komang Paramartha

ABSTRAK

Makalah ini ditulis berdasarkan pelatihan penulisan dengan dukungan Hibah

Udayana Mengabdi 2018. Pengabdian dilakukan di SMAN I Petang di

Kecamatan Petang Kabupaten Badung. Salah satu poin penting dari pelatihan

tersebut adalah pengalaman batin sebagai sumber gagasan penulisan kreatif

jurnalistik-sastra berbasis ekologi.

Bagaimana pengalaman batin dikembangkan dalam tulisan dilakukan

dengan metode metode ceramah, diskusi, kerja mandiri, dan presentasi.

Tujuannya agar peserta dapat menghasilkan karya-karya kreatif jurnalistik yang

ditulis berdasarkan pengalaman batin. Hasilnya, peserta memahami bahwa gagasan adalah apa yang dipikirkan dan dirasakan penting dan bermanfaat serta

bagaimana menyampaikannya dalam bentuk lisan maupun tulisan. Peserta dapat menceritakan pengalaman batinnya antara lain: saat berada di lokasi pengungsian

korban erupsi Gunung Agung; tentang Lomba Ketangkasan Baris Berbaris

(LKBB); pertengkaran dengan ibu kandung; serta tentang upaya mencari jati diri. Pengalaman batin adalah salah satu langkah pertama yang memudahkan

para pelajar ini untuk menyadari bahwa sumber gagasan yang paling penting

berasal dari dunia mereka sendiri. Pengalaman batin sebagai sumber gagasan

penulisan kreatif jurnalistik-sastra baik diberikan kepada para penulis pemula

(remaja pada umumnya). Setelah terlatih untuk menulis berdasarkan pengalaman

batin pada langkah pertama, selanjutnya tulisan dapat dikembangkan dengan

menghubungkan pengalaman batin dengan situasi sosial budaya lainnya sebagai

sumber gagasan yang datang dari luar dirinya. Contoh-contoh karya yang ditulis

dengan pengalaman batin sebagai sumber gagasan, juga dapat dibaca pada buku-

buku karya siswa SMAN 3 Denpasar dalam Presslist 2017.

Kata Kunci: sumber gagasan, pengalaman batin, jurnalistik sastra.

1. Pendahuluan

Makalah ini ditulis berdasarkan pengabdian dari Hibah Udayana Mengabdi

2018. Pengabdian dilakukan di SMAN I Petang di Kecamatan Petang Kabupaten

Badung. SMAN ini berada di lingkungan desa yang dikenal sebagai penghasil

Jahe dan Kunyit. Berkebun kunyit mencapai 80% pekerjaan petani desa Petang,

orang tua dari sejumlah siswa di SMAN I Petang. Desa Petang juga dikenal

memiliki pemandangan alam yang indah sebagai obyek pariwisata yaitu air terjun

224 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Bidadari, air terjun Nungnung, dan tempat wisata rohani Pura Puncak Tedung.

Petang juga dikenal sebagai desa pembuat ogoh-ogoh (karya seni patung yang

menggambarkan kepribadian Bhuta Kala) yang sangat dominan. Alam dan aspek

sosial budaya ini mengungkapkan kearifan lokal Petang yang terjaga dengan baik.

Berbagai potensi tersebut sangat berharga sebagai ruang dan tempat

imajiner bagi siswa-siswi SMAN I Petang untuk penulisan kreatif dan

dipublikasikan secara luas. Apalagi Petang dan SMAN I Petang memiliki website

sendiri yang dikelola sekolah sejak 2013. Website ini adalah sebuah ruang kreatif

bagi siswa untuk mengaktualisasi diri melalui media sosial yang mendunia saat

ini. Penelusuran yang dilakukan melalui website Desa Petang maupun website

SMAN I Petang belum ditemukan karya-karya kreatif berbasis ekologi

(lingkungan) oleh siswa-siswi SMAN I Petang yang termuat dalam website

dimaksud.

Selain berada di lingkungan alam dan lingkungan sosial budaya yang

memiliki potensi imajiner penulisan karya sastra, sekolah ini memiliki prestasi

yang cukup membanggakan yaitu: 1) Berpartisipasi Aktif dalam Pembinaan

Kader Konservasi Alam Propinsi Bali; 2) Juara I Lomba Galang Padu; 3) Juara

Harapan II Lomba Lokabara III. Sekolah ini juga memiliki prestasi akademis

yang teruji dimana murid-muridnya dapat menyelesaikan Ujian Nasional dengan

nilai rata-rata dan di atas rata-rata.

Mencermati hal-hal di atas, diadakan sebuah kegiatan pelatihan penulisan

kreatif sastra berdasarkan tema-tema lingkungan alam dan lingkungan sosial

budaya yang ada di Petang. Pelatihan menggarisbawahi pengelolaan gagasan yang

diperoleh dari pengalaman batin peserta. Metode yang digunakan dalam

pengabdian ini adalah metode ceramah, diskusi, kerja mandiri, dan presentasi.

Tujuannya agar peserta dapat menghasilkan karya-karya kreatif jurnalistik yang

ditulis berdasarkan pengalaman batin. Hal ini memudahkan peserta

mengungkapkan pengalaman dan merumuskannya dalam tulisan yang layak

mengisi website SMAN I Petang dan dipublikasikan secara luas.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 225

Denpasar, 25-26 September 2018

II. Hasil dan Pembahasan

Lingkungan alam dan sosial budaya dalam perspektif ekologi berkaitan

dengan pandangan bahwa karya kreatif jurnalistik - sastra berhubungan dengan

tiga hal: a) persoalan manusia secara personal; b) persoalan antar-manusia; c)

persoalan dengan alam sekitar; dan d) persoalan dengan pencipta (Nurgiyantoro,

1998: 323). Para siswa SMAN I Petang dapat dilatih menulis kreatif jurnalistik -

sastra dalam perspektif ekologi tersebut. Secara khusus siswa dilatih untuk

reflektif dan imajinatif dalam mencermati segi-segi kehidupan yang menarik dari

lingkungan alam dan sosial budaya ke dalam bentuk bahasa sastra (Idem, 1981:

10) seperti artikel feature, puisi, atau cerpen.

Pelatihan dilaksanakan dengan ceramah dan diskusi diawali dengan

penjelasan tentang: 1) bagaimana menemukan gagasan (sumber gagasan); 2) apa

yang dimaksudkan dengan jurnalistik dan sastra; dan dilanjutkan dengan 3)

catatan penting tentang apa saja yang mesti dilakukan dalam praktek penulisan.

2.1 Bagaimana Menemukan Gagasan (Sumber Gagasan)

Gagasan adalah: a) kata pikiran dan kata perasaan yang ditujukan kepada

diri sendiri; b) kata pikiran dan kata perasaan yang akan ditujukan kepada orang

lain; c) kata pikiran dan kata perasaan yang ditujukan kepada diri sendiri dan

orang lain. Singkatnya gagasan adalah apa yang dipikirkan dan dirasakan penting

dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain; serta bagaimana

menyampaikannya dalam bentuk lisan maupun tulisan.

Ada tiga arena yang dapat dijadikan sumber gagasan. Sumber gagasan yang

paling penting dan utama adalah gagasan yang datang dari dunia penulis sendiri.

A. Pengalaman di luar diri misalnya:

a. Pekerjaan: guru, murid, penjaga sekolah, tukang kebun sekolah,

pelayan restoran, pemandu wisata, penjaga Pura Desa, dan lain-lain.

b. Hobi, hiburan, organisasi.

c. Keluarga: bapak, ibu, kakak, adik sahabat, paman, bibi, dan lain-lain.

d. Sekolah: murid, guru, karyawan (dalam sekolah), orang tua murid,

pemerhati, simpatisan dll (luar sekolah)

e. Tetangga, sahabat kenalan.

f. Berbagai bentuk dan isi tradisi lokal, ritual adat dan agama.

226 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

g. Berbagai isu tentang kedudukan, peran,dan fungsi perempuan.

B. Pengalaman Batin (Pengalaman Pribadi)

k. Kata-kata mutiara atau penggalan puisi yang menggugah. Misalnya

"Sekali Berarti Sesudah Itu Mati" penggalan puisi Kerawang Bekasi

karya Chairil Anwar.

l. Kondisi tertentu atau situasi yang menciptakan atau melahirkan

suasana batin (mood) dan membangkitkan imajinasi. Misalnya erupsi

Gunung Agung dan penanganan pengungsi.

m. Insiden dan konflik sosial tertentu yang berpengaruh. Misalnya

pengungsi karena erupsi Gunung Agung.

n. Orang-orang tertentu yang disukai atau yang tidak disukai.

o. Tokoh-tokoh yang berpengaruh

p. Tradisi lokal dan ritual yang menggugah. Misalnya: ngaben.

C. Pengalaman Tak Langsung

Pengalaman tak langsung diperoleh melalui media atau perantara yang

lain. Pengalaman ini pada umumnya diketahui dari berbagai informasi

misalnya berbagai fasilitas internet seperti google dengan fasilitasnya: face

book, WA, dan fasilitas lainnya. Pengalaman tak langsung juga diperoleh

melalui: buku-buku ilmu pengetahuan, buku fiksi, koran, majalah, dan

lainnya; televisi; radio, film, sinetron, serta berbagai informasi lainnya.

Penjelasan tentang sumber gagasan ini memperoleh tanggapan

langsung dari peserta. Selanjutnya peserta diarahkan untuk fokus menggali

pengalaman batin mereka dan menemukan gagasan apa yang ada di balik

pengalaman batinnya.

2.2 Pengalaman Batin Sebagai Sumber Gagasan dalam Penulisan Kreatif

Jurnalistik-Sastra

Pengalaman batin adalah salah satu sumber gagasan yang paling mudah

untuk diungkapkan dalam tulisan. Kata-kata mutiara atau penggalan puisi yang

menggugah sebagaimana disebutkan dalam contoh di atas memudahkan seseorang

untuk menjelaskan apa yang dirasakannya secara personal. Demikian pula kondisi

tertentu atau situasi yang menciptakan atau melahirkan suasana batin (mood) dan

membangkitkan imajinasi. Buku-buku karya siswa-siswi SMAN 3 Denpasar

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 227

Denpasar, 25-26 September 2018

(Presslist 2017) pada umumnya lahir dari pengalaman batin dan dunia mereka

sendiri. Misalnya Bali Punya Nilai ( Bagus Perana Sanjaya), Mencari Sekolah

Manusia (Galuh Sri Wedari), dan Otak Datang Otot Menghilang (Panji Ananda)

yang ditulis dengan pengalaman batin sebagai sumber gagasan.

Salah satu contoh menulis dengan pengalaman batin sebagai sumber

gagasan, disampaikan oleh Chandra (salah satu peserta pelatihan) baik secara lisan

maupun tertulis. Chandra menceritakan pengalaman batinnya saat berada di lokasi

pengungsian korban erupsi Gunung Agung. Itulah kesempatan yang menurutnya

"lebih rajin dan lebih menghargai waktu dan keberuntungan, karena ternyata ada

orang lain yang lebih susah dari kita". Beliau dapat menjelaskan dengan tenang

dan lancar dan mengakhiri kisahnya dengan mengatakan bahwa "kesuksesan ada

pada saat bertemu dengan kesempatan dan kesempatan selalu bisa dimanfaatkan

jika kita tahu bagaimana caranya."

Foto 1: Chandra sedang mengungkapkan pengalaman batin (pengalaman pribadi)

sebagai sumber gagasan penulisan kreatif jurnalistik - sastra.

Jurnalistik tidak sama dengan pers. Jurnalistik adalah sebuah kegiatan yang

bertujuan untuk mengisi kolom-kolom media massa baik cetak maupun elektronik

seperti: majalah, surat kabar, radio, televisi, media online, atau buku ilmiah dan

buku-buku karya fiksi. Dengan demikian aktivitas jurnalistik menjadikan dunia

pers diakui eksistensinya. Jurnalistik adalah aktivitas keilmuan yang terdiri dari

228 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

teori, metode, proses kerja, teknik penyajian, dan hasil yang dapat dipublikasikan.

Aktivitas jurnalistik adalah akivitas menulis dan menyampaikan informasi kepada

publik. Pekerja bidang jurnalistik disebut jurnalis atau wartawan. Bagaimana

hubungan antara jurnalistik dan sastra?

Sastra adalah hasil karya yang indah dan berguna (dulce - utile). Indah

karena disampaikan dengan kata dan diksi, serta rangkaian kalimat yang tertata

dengan kesadaran akan keindahan. Sastra adalah kata dasar dari "kesustraan"

susastra yang berasal dari bahasa sansekerta, yakni sastra. "su" yang berartikan

bagus atau juga indah, sedangkan dari "sastra" yang berartikan "buku, tulisan atau

juga huruf". "Susastra atau sastra" adalah suatu tulisan yang indah. Berguna

karena memiliki makna dan nilai yang dapat dijadikan visi hidup. Misalnya "Aku

ingin mencintaimu dengan sederhana..." penggalan puisi "Aku Ingin" dari

kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono.

Jurnalistik - Sastra. Gabungan jurnalistik - dan sastra menyuratkan karya-

karya jurnalistik yang disajikan dengan menggunakan kata-kata sastra pada

paragrat tertentu. Tujuannya untuk memberi pengaruh yang lebih dalam dan

menyentuh hati dan pikiran pembacanya.

Setelah diberi penjelasan tentang sumber gagasan, jurnalistik, dan sastra,

peserta melakukan praktek penulisan selama 60 menit (1 jam). Tulisan diangkat

dari pengalaman batin sebagai salah satu sumber gagasan penulisan.

Berikut ini adalah foto yang memperlihatkan aktivitas peserta yang sedang

melakukan praktek penulisan.

Foto 2: peserta Pelatihan Penulisan Kreatif Jurnalistik - Sastra Berbasis Ekologi

sedang melaksanakan praktek penulisan, dengan sumber gagasan

pengalaman batinnya sendiri.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 229

Denpasar, 25-26 September 2018

Setelah praktek penulisan, kegiatan dilanjutkan dengan presentasi hasil

tulisan. Beberapa peserta mempresentasikan hasil tulisannya berdasarkan

pengalaman batin sebagai sumber gagasan. Beberapa contoh disebutkan secara

singkat berikut ini.

1. Pengalaman batin (Dian) tentang Lomba Ketangkasan Baris Berbaris (LKBB).

Pada awalnya dirinya merasa dianggap sebelah mata dan dinilai hanya buang

waktu belajar. LKBB membuahkan hasil dimana kelompoknya berhasil keluar

sebagai Juara I. Hatinya yang sedih berubah gembira dengan keyakinan bahwa

melalui LKBB dapat dipelajari: kedisiplinan, menghargai orang lain,

kebersamaan, kerendahan hati, dan keindahan.

2. Pengalaman batin karena pertengkaran dengan ibu kandung. Pada awalnya

dirinya (Witari) tersinggung karena pesan agar ibu membangunkannya pada pagi

hari tidak terjadi. Hal ini menyebabkan dirinya terlambat ke sekolah. Dia marah

dan tidak mau membantu ibunya. Meskipun demikian ibunya tetap bersikap baik

bahkan memberinya uang lebih agar bisa makan di sekolah, karena tidak sempat

sarapan sebelum berangkat. Dirinya baru sadar ketika ibunya tetap tidak berubah

meskipun rasa marah pada ibunya tetap ditunjukkan melalui sikap acuh tak acuh,

tidak bicara, atau menjawab dengan kasar pertanyaan ibunya.

Kenyataan tersebut membuatnya sadar bahwa kasih ibu sepanjang hayat

dikandung badan. Apa pun yang terjadi dengan anak, ibu akan tetap sabar dan

penuh kasih mendidik anak-anaknya.

3. Pengalaman batin tentang tentang upayanya mencari jati diri. Hal ini terjadi

karena dia (Witari) selalu merasa kurang, rendah diri, dan kalah. Pertanyaan-

pertanyaan seperti mengapa dia bisa, mengapa dia sukses, mengapa dia yang

selalu dapat perhatian, selalu menghantui dirinya. Sampai pada satu waktu dia

yakinkan dirinya bahwa: "saya juga bisa" dan benar-benar dia juga sanggup

berprestasi dalam belajar.

Karya kreatif jurnalistik-sastra tersebut selanjutnya mendapatkan tanggapan

langsung dari Nara Sumber serta tim pelaksana kegiatan pengabdian lainnya. Hal-

hal yang digarisbawahi adalah sebagai berikut.

230 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

1. Penempatan inti tulisan pada paragraf utama.

2. Penggunaan EYD.

3. Pemberian judul.

4. Pemanfaatan konsep 5 W + 1 H dan konsep piramide terbalik.

5. Pengembangan tulisan. Bagian ini menggarisbawahi pentingnya

memilih pengalaman batin yang tepat, dibahasakan ke dalam tulisan

untuk dipublikasikan.

III. Penutup

Pengalaman batin adalah salah satu langkah pertama yang memudahkan

para pelajar untuk menyadari bahwa sumber gagasan yang paling penting berasal

dari dunia mereka sendiri.

Pengertian tentang sumber gagasan dapat diwujudkan melalui tulisan

berbentuk feature dengan nuansa jurnalistik dan sastra dengan sumber gagasan

pengalaman batin. Peserta (dan segenap siswa-siswi) memiliki potensi yang perlu

digali dan diwujudkan melalui tulisan, baik yang ilmiah, semi ilmiah, maupun

tulisan kreatif sastra.

Pengalaman batin sebagai sumber gagasan penulisan kreatif jurnalistik-

sastra baik diberikan kepada para penulis pemula (remaja pada umumnya).

Setelah terlatih untuk menulis berdasarkan pengalaman batin pada langkah

pertama, selanjutnya tulisan dapat dikembangkan dengan menghubungkan

pengalaman batin dengan situasi di luar dirinya.

DAFTAR PUSTAKA

Assegaff, Dja'far H. 1982. Jurnalistik Masa Kini. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Azhar, Arsyad. 2003. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Banda, Maria Matildis, 2016. ―Masyarakat Nelayan Ikan Paus Lamalera dalam

Pembelajaran

Sastra Berbasis Lingkungan‖ dalam Menggagas Pelajaran Sastra Hijau.

Yogyakarta: GBS UNY, dll.

Hwia, Ganjar.TT. ―Membangun Insan Cerdas dan Kompetitipf Melalui

Pendidikan Bahasa dan

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 231

Denpasar, 25-26 September 2018

Sastra." Jakarta: Badan Bahasa.

Nurgyantoro Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajahmada

University Press.

Selden, Roman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta:

Gadjah Mada

Universiti Press.

Teeuw A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

Sudikan, Setya Yuwana 2016. Ekologi Sastra. Lamongan: Pustaka Ilalang Group

Suhandang, Kustadi. 2004. Pengantar Jurnalistik. Bandung: Nuansa Cendikia.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 232

Denpasar, 25-26 September 2018

ASPEK MODAL DALAM PENULISAN KARYA SASTRA PRAGMATIS

Maria Matildis Banda, Sri Jumadiah

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK

Tulisan ini membahas tentang hubungan pelayanan Kesehatan Ibu dan

Anak (KIA) dan karya sastra dalam sudut pandang postmodern. Salah satu ciri

masyarakat postmodern adalah segala sesuatu dapat dikemukakan dengan cara

yang berbeda namun saling melengkapi dan sambung relasi. Misalnya upaya

mendalami visi pelayanan, motivasi kerja, dan berbagai upaya pelayanan KIA

yang sifatnya cenderung teknis klinis dan kaku, dapat dilakukan dengan cara

yang lebih estetis humanis, melalui karya sastra.

Tujuan tulisan untuk menjelaskan hubungan karya sastra dengan KIA

dengan menggunakan pengalaman menulis novel Wijaya Kusuma dari Kamar

Nomor Tiga (WKdKN) sebagai contoh. Pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan modal (Piere Bourdieu) dan karya sastra sebagai dokumen sosial

budaya menurut Wellek dan Warren. Hasilnya menunjukkan bahwa modal budaya

adalah sumber data dan referensi yang mengoptimalkan kreativitas menulis karya

sastra. Dengan modal budaya dapat dijelaskan bahwa kerja sama masyarakat

(Deman side) dan pemerintah (Supply side) dalam bidang kesehatan dapat

dilakukan melalui karya sastra.

Kata kunci: karya sastra, kesehatan ibu dan anak (kia), modal budaya, dokumen

sosial budaya.

I. Pendahuluan

Salah satu ciri masyarakat postmodern adalah segala sesuatu dapat

dikemukakan dengan cara yang berbeda namun saling melengkapi dan sambung

relasi. Misalnya upaya mendalami visi pelayanan, motivasi kerja, dan berbagai

upaya pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang sifatnya cenderung teknis

klinis dan kaku, dapat dilakukan dengan cara yang lebih estetis humanis, melalui

karya sastra.

KIA berkaitan dengan tujuan pembangunan milenium (Millennium

Development Goals/MDGs, hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari

189 negara PBB yang ditandatangani pada saat KTT Milenium di New York

september tahun 2000. MDGs memiliki 8 butir tujuan yang mesti dicapai tahun

2015: 1) menanggulangi kemiskinan; 2) mencapai pendidikan dasar untuk semua;

3) mendorong kesetaraan gender; 4) menurunkan angka kematian anak; 5)

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 233

Denpasar, 25-26 September 2018

meningkatkan kesehatan ibu; 6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit

menular lainnya; 7) memastikan kelestarian lingkungan hidup; dan 8)

mengembangkan kemitraan global.

KIA memenuhi nomor 3, 4, dan 5 dari tujuan MDGs dalam dinamika

global. Implementasinya dilaksanakan di tingkat lokal dengan memperhatikan

konsep lokalitas dalam paradigma postmodern. Konsep lokalitas dalam

pandangan posmodern yaitu kecenderungan yang memungkinkan kita untuk

memahami dinamika global dengan mempelajari manifestasi lokal. Dalam

pemikiran postmodern, dimensi lokal dan global merupakan dua hal yang berjalan

beriringan (Yusuf Lubis, 2014:4).

Paradigma ini dilakukan dengan mengoptimalkan modal budaya yang

dimiliki oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Propinsi NTT berupa buku referensi,

data-data kasus, serta pemahaman tentang stigma budaya hamil dan melahirkan.

Modal budaya ini dikemas ke dalam novel yang diyakini mampu menyentuh sisi-

sisi kemanusiaan pelayan kesehatan dalam melayani KIA. Dalam konsep

polivokalitas: segala hal atau obyek dapat dikemukakan dengan perspektif atau

paradigma yang berbeda (Yusuf Lubis, 2014:5). Karya sastra (novel) adalah salah

satu paradigma yang berbeda bagi Dinkes NTT untuk dijadikan sebagai media

untuk mengoptimalkan upaya pelayanan KIA.

Makalah ini akan menjelaskan bagaimana novel dapat digunakan untuk

meningkatkan visi dan motivasi pelayanan paramedis dan dokter dalam

penanganan KIA, berdasarkan pengalaman menulis Wijaya Kusuma dari Kamar

Nomor Tiga (WKdKNT). Dengan menggunakan pendekatan modal (Piere

Bourdieu) dan metode deskriptif, berturut-turut akan disampaikan: 1) aspek modal

dalam penulisan karya sastra; dan 2) karya sastra pragmatis sebagai dokumen

sosial budaya. Tujuannya untuk memperlihatkan bagaimana karya sastra dapat

dijadikan sebagai salah satu media penanganan masalah dan promosi KIA.

II. Aspek Modal dalam Penulisan Karya Sastra Pragmatis

Pierre Bourdieu mengemukakan konsep pasar dan modal yang

memberikan sumbangan bagi konstruksi dunia sosial. Sebuah pasar dapat dilihat

sebagai sebuah ruang (medan) posisi-posisi terstruktur, misalnya ruang

234 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

pendidikan, ruang medis, fashion, bisnis, dll (Yusuf Lubis, 2015:109). Sedangkan

modal terdiri dari modal budaya (berkaitan dengan kemampuan dan vasilitas

verbal, pengetahuan akademis, dan keterampilan), modal sosial (hierarki sosial

karena modal budaya dan modal ekonomi yang dimiliki), modal ekonomi

(berkaitan dengan kekayaan, uang), dan modal simbolik (akumulasi prestise dari

modal sosial, modal budaya, dan modal ekonomi).

Yang dimaksudkan dengan pasar dalam makalah ini adalah Dinkes

Propinsi NTT sebagai sebuah ruang terstruktur dengan pola relasi kuasa sesuai

jabatan dan posisi sebagai pelayan masyarakat (supply side). Dinkes NTT sebagai

pasar memiliki modal untuk menerbitkan novel berjudul Wijaya Kusuma dari

Kamar Nomor Tiga (WKdKNT). Ini adalah karya sastra yang diterbitkan dan

digunakan untuk promosi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di NTT. WKdKNT

berbicara tentang tanggung jawab dokter dan paramedis khususnya bidan dan para

kader lapangan dalam penanganan persalinan, mengatasi stigma budaya hamil dan

melahirkan, partisipasi masyarakat, serta manajemen pelayanan Kesehatan Ibu

dan Anak (KIA).

Penulisan dan penerbitan WKdKNT dapat berjalan lancar karena Dinkes

NTT memiliki otoritas sebagai pasar yang menentukan kebijakan. Dinkes

memahami dan menentukan bahwa karya sastra dapat berperan untuk menyentuh

hati para bidan, dokter dan paramedis lainnya, kader desa siaga (Desi), dan

stakeholders terkait dalam menjalankan tugas. WKdKNT dipandang dapat

mengalirkan kata menjadi sebuah karya sastra humanisme, untuk melunakkan

wacana medis yang terkesan beku dan serba klinis menjadi hangat dengan bahasa

kehidupan yang puitik dan romantik. (Gayatri, 2017). Dengan modal (budaya,

sosial, ekonomi, dan simbolik) WKdKNT ditulis dan diterbitkan untuk tujuan

promosi KIA dengan latar budaya daerah di NTT.

Hal tersebut menjelaskan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan

budaya (Teeuw, 1980:11-12). Artinya, karya sastra lahir dalam konteks sejarah

dan sosial budaya suatu bangsa yang di dalamnya sastrawan penulisnya

merupakan salah seorang anggota masyarakatnya. Sastrawan tidak terhindar dari

konvensi sastra dan latar sosial budaya masyarakatnya (Pradopo, 2011:107-108).

Dengan kata lain karya sastra adalah sebuah konstruksi yang diciptakan secara

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 235

Denpasar, 25-26 September 2018

kreatif dan inovatif untuk menjawab pertanyaan zaman tentang manusia dan

menyampaikan pesan-pesan yang bermakna bagi pembaca. Beberapa hal yang

berkaitan dengan aspek modal -khususnya modal budaya- dalam penulisan dan

penerbitan novel WKdKNT dijelaskan sebagai berikut.

Proses kreatif penulisan novel WKdKNT didasari modal budaya berupa

referensi, data dan kasus, serta pengembangan gagasan tentang stigma budaya dan

partisipasi masyarakat dalam upaya peningkatan KIA di NTT.

Penanggung Jawab seksi KIA Dinas Kesehatan Propinsi menyerahkan

beberapa referensi sebagai modal budaya untuk mendukung penulisan novel

Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (WKdKNT). Semua dukungan referensi

digunakan sebagai sumber-sumber informasi dan gagasan dalam penulisan novel.

1. Buku dan Pedoman Nilai-Nilai

Buku berjudul Pedoman Revolusi KIA di Provinsi NTT (Pergub, Juklak,

dan Juknis) Percepatan Penurunan Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir (Semua

Persalinan Dilaksanakan di Fasilitas Kesehatan yang Memadai) (2012).

Nilai-nilai pelayanan yang diungkapkan dalam novel WKdKNT pada

prinsipnya diambil dari nilai-nilai yang terungkap melalui buku tersebut. Selain

itu nilai-nilai yang telah diidentifikasi ―The American Association Colleges Of

Nursing‖ pada tahun 1985 juga dijadikan dasar untuk menulis novel. Asosiasi

tersebut mengidentifikasikan tujuh nilai personal profesional: (1) aesthetics

(keindahan); 2) alturisme (mengutamakan orang lain); 3) equality (kesetaraan); 4)

Freedom (kebebasan); 5) human digrity (martabat manusia); 6) justice ( keadilan);

dan 7) truth (kebenaran).

2. Data dan Kasus

Selain buku diberikan juga data kasus dan informasi kematian ibu seperti

data Antenatal Care (ANC) atau perawatan ibu sebelum melahirkan (Banda,

2017: 319-320). Sebagaimana disebutkan dalam Sekapur Sirih WKdKNT

(Cetakan 2, 2015), dukungan data dan informasi juga datang dari beberapa pihak:

1) Keluarga Berencana (KB) dari Ibu Bidan Elisabeth da Gomez dan Dokter

236 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Heni Ratnawati (Kabupaten Ende); 2) penjelasan tentang Konsep 2H2 (dua hari

sebelum dan dua hari sesudah hari H melahirkan) yang intinya pada harkat dan

martabat ibu dan bayi dari Dokter Yosep Usen Aman (Kabupaten Flores Timur);

3 kasus kematian ibu dan penjelasan latar belakang kematiannya yang

disampaikan Bidan Veronika Dhuke (Kabupaten Ngada), Bidan Yustina Go‘o

(Kota Kupang), dan Bidan Linda (Kabupaten Ende); 4) berita tentang kematian

ibu di Sulamu yang disampaikan Hironimus Modo (H.U. Pos Kupang). Ibu

mengalami pendarahan dan tidak dapat ditolong karena tidak ada tenaga medis,

tidak dapat dirujuk karena jarak jauh -antar pulau- dari Sulamu (pulau Rote) ke

Kupang; 5) kasus bulin wafat di RSU Ende setelah melahirkan. Ibu

meninggalkan sepasang anak kembar. Ibu ini dirujuk dari Puskesmas Mbay

Kabupaten Nagekeo di Flores.

Data dan kasus-kasus dilengkapi dengan diskusi bersama Kepala Seksi

KIA Dinas Kesehatan Propinsi tentang empat terlambat dan tiga terlalu, yang

dapat berkontribusi terhadap kematian ibu maupun bayinya. Empat terlalu

berkaitan dengan: terlalu sering melahirkan; terlalu dekat jarak kelahiran antara

anak yang satu dan anak yang berikutnya; 3) terlalu muda usia ibu (kehamilan

usia dini); dan 4) terlalu tua (umur ibu terlalu tua, di atas 35 tahun). Tiga

terlambat berkaitan dengan: 1) terlambat mengambil keputusan rujuk ke fasilitas

pelayanan kesehatan yang memadai; 2) terlambat tiba di fasilitas kesehatan; dan

3) dan terlambat ditolong.

3. Stigma Budaya, Mitos, dan Keyakinan Tradisional dalam Perpektif

Jender

Yang dimaksudkan dengan stigma budaya adalah kepercayaan yang

dikonstruksi sehingga terjadi labeling, stereotyoe, dan diskriminasi dalam budaya

yang mempengaruhi kehidupan individu serta membawa dampak pada kehidupan

bersama. Beberapa hal stigma budaya, mitos, dan keyakinan tradisional dalam

perpektif gender dipelajari melalui wawancara dengan Bapak S.P. Djadja

(Ngadha, Flores) dan Pater Ansel Dore Dae (Maumere Flores). Hasil wawancara

dicatat dalam pokok-pokok pikiran berikut.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 237

Denpasar, 25-26 September 2018

a. Hamil dan melahirkan urusan perempuan

b. Budaya Patriakhi

Pengambilan keputusan adalah laki-laki

Peran laki-laki dalam ruang publik dan perempuan dalam ruang

domestik

Keberadaan anak laki-laki dalam keluarga lebih penting dari

perempuan

h. Filosofi Bunga Wijaya Kusuma

Referensi, data kasus, stigma budaya, mitos, dan keyakinan tradisional

dalam perpektif jender, dilengkapi dengan pengetahuan dan pemahaman tentang

filosofi bunga wijaya kusuma sebagai simbol Bakti Kusada, lambang Departemen

Kesehatan.

Bunga Wijaya Kusuma adalah bunga yang dipakai sebagai lambang Bakti

Husada. Bunga ini memiliki karakter mekar di tengah malam, harum semerbak

wanginya, memiliki nilai magis tentang kepekaan mendengar dan merasakan,

sanggup mengobati, serta indah dan harum. Suara mekarnya dapat didengar oleh

orang yang benar-benar peka dan beruntung memperoleh kesempatan langka

tersebut. Aroma bunganya harum dan wangi. Warna bunganya putih tulang, putih

cenderung kekuningan, putih kemerahan. Bunga ini memiliki makna keluhuran

dan pengabdian dalam diam. Bunga Wijaya Kusuma (lambang Bakti Kusada):

simbol keluhuran dan kesetiaan dalam mengabdi serta simbol cinta dan

ketentraman.

Data dan kasus tersebut di atas merupakan realitas pertama atau realitas

obyektif yang tersedia yang melengkapi unsur ekstrinsik dalam novel. Demikian

pula penjelasan tentang filosofi wijaya kusuma sebagai simbol Bakti Husada,

buku Pedoman Revolusi KIA adalah referensi obyektif yang menjadi latar

lahirnya realitas kedua atau realitas imajinatif yang dikemas dalam bentuk novel

WKdKNT. Munculnya unsur-unsur ekstrinsik menjadikan kekayaan intrinsik

238 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

karya sastra yang pada dasarnya tidak dapat tercipta tanpa modal budaya yang

melibatkan dinamika masyarakat dan kebudayaan (Kosasih, 2014:2).

III. Karya Sastra sebagai Dokumen Sosial Budaya

WKdKNT adalah karya sastra bergenre novel yang ditulis berdasarkan

permintaan Dinas Kesehatan Propinsi NTT. Fungsi utamanya sebagai bahan

promosi kesehatan, khususnya Kesehatan Ibu Anak (KIA). WKdKNT didistribusi

ke semua Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten, para bidan, institusi

pendidikan kesehatan, dan institusi terkait lainnya. WKdKNT digunakan sebagai

salah satu media promosi KIA yang bermakna pragmatis.

Apa yang dimaksudkan dengan karya sastra pragmatis? Sebagaimana

karya seni pada umumnya, seni pragmatis berkaitan dengan terapan yaitu karya

sastra sebagai gambaran dari berbagai fenomena sosial budaya tentang ibu dan

anak yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pragmatisme dalam sastra

menurut Faruk (2005) relatif kuat apabila dilihat dari sejarahnya.

Mulai dari karya sastra zaman Balai Pustaka dan Pujangga Baru yang

pragmatis. Karya sastra ditempatkan sebagai "alat" pendidikan

masyarakat, pencerahan masyarakat akan ide-ide modernitas yang dibawa

oleh politik etis di satu pihak dan penyadaran masyarakat akan belenggu

adat takhyul pada pihak lainnya. Pada awal kepemerdekaan Indonesia

Chairil pun terjaring ke dalam wacana yang pragmatis. Karyanya dikaitkan

dengan revolusi kemerdekaan, kisah heroik untuk melawan penjajahan.

Demikian pula dominasi Lekra pada awal 1960-an dengan upaya "politik

sebagai panglima" berhadapan dengan kelompok Manikebu. Selanjutnya

ada kecenderungan lepasnya sastra dari pragmatisme peda awal Orde

Baru, akan tetapi tetap dalam bayang-bayang pragmatisme. Sejarah sastra

Indonesia modern telah menciptakan karya sastra dan sastrawan yang

sensitif dan sekaligus rentan terhadap rangsangan-rangsangan

pragmatisme (Faruk, 2005:xiii-xv).

Penjelasan tersebut di atas menunjukkan bahwa pragmatisme adalah

bagian dari kehadiran sastra untuk mencerahkan. Karya sastra merupakan produk

budaya yang memiliki kepekaan terhadap realitas sosial di sekelilingnya.

Kesusastraan memiliki relasi dengan berekpresi terhadap unsur kebudayaan lain

yang dilakukan oleh kaum intelektual seperti berideologi, berpolitik, berekonomi,

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 239

Denpasar, 25-26 September 2018

dan lainnya. Kesusastraan sebagai bagian penting dari ekpsresi kebudayaan

(Wachid, 2005:89).

WKdKNT menjelaskan bahwa karya sastra merupakan dokumen sosial

budaya. Isi karya sastra dilatari kehidupan sosial masyarakat. Konsentrasi dan

pengembangan imajinasi dalam novel menunjukkan relasi novel sebagai karya

sastra dan aspek-aspek sosial budaya dalam ranah sosiologi. Karya sastra sebagai

dokumen sosial atau gambaran kenyataan sosial (Wellek dan Warren, 1990:122).

Karya sastra tidaklah lahir dari kekosongan sosial (social Vacuum) hal ini

bukanlah suatu asumsi yang berlebihan, meskipun kita juga harus ingat bahwa

karya sastra adalah hasil daya khayal atau imajinasi dengan amanat atau ajaran

moral yang disampaikan kepada pembaca (Harjana (1983 :71 ).

Dalam kerja sama novel dan promosi KIA, nilai-nilai tentang pelayanan

kesehatan khususnya pelayanan KIA menjadi bagian integral dari novel.

Karenanya secara intrinsik tema alur, karakter tokoh-tokoh, latar, sudut pandang,

amanat, dan gaya bahasa difokuskan pada lokus KIA yang ditunjang oleh aspek

ekstrinsik tentang filsafat, pendidikan, ekonomi, kesehatan, topografi geografi,

serta aspek sosial budaya. Penulisan novel dengan memperhatikan aspek intrinsik

dan ekstrinsik tersebut memiliki tujuan pragmatis karya sastra yaitu: pencerahan

kognitif, penemuan nilai-nilai, dan penerapannya.

IV. PENUTUP

Novel WKdKNT dapat digunakan sebagai salah satu media promosi

untuk mengali visi dan meningkatkan motivasi pelayanan paramedis dan dokter

dalam penanganan KIA. Isi novel didasarkan pada modal budaya tentang KIA

sebagai sumber data dan referensi utama dalam penulisan.

WKdKNT menjelaskan bahwa karya sastra memiliki makna pragmatis

bagi masyarakat. Ragam sastra dapat dimanfaatkan dalam berbagai ranah

kehidupan. Salah satu di antaranya adalah institusi kesehatan yang menangani

Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Proses penulisan dalam kerja sama, distribusi,

bedah novel dan berbagai diskusi tentang WKdKNT yang diselenggarakan Dinas

Kesehatan dan institusi lainnya menunjukkan hubungan lintas disiplin dan multi

240 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

disiplin. Hubungan ini diharapkan dapat membuka sekat pembatas antar instansi

demi pemberdayaan masyarakat bidang KIA dan penerusan nilai-nilai pelayanan

melalui karya sastra.

Melalui kehadiran novel ini paramedis dan dokter -meskipun belum

semuanya- mendapat pemahaman 'estetis sastra' baru tentang penanganan medis

yang pada umumnya 'cenderung klinis dan kaku'. WKdKNt menjelaskan kerja

sama untuk memahami aspek-aspek sosial budaya serta partisipasi masyarakat

(Deman side) dengan pemerintah (Supply side) dalam bidang kesehatan dapat

dilakukan melalui karya sastra.

Daftar Pustaka

Banda, Maria Matildis. Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga. Yogyakarta:

Kanisius. 2017.

Banda, Maria Matildis. ―Parrhesia dan Kekuasaan Sastrawan dalam

Mengungkapkan Kebenaran‖ dalam Isu-Isu Mutakhir dalam Kajian Bahasa

dan Sastra. (Sudibyo Ilma ed.) Yogyakarta: Interlude. 2016.

Banda, Maria Matildis. "Alih Wahana Cerpen ke Drama Modern: Refleksi Lomba

Drama Modern Bali" Prosiding Seminar Nasional Sastra dan Budaya.

Denpasar : Fakultas Sastra dan Budaya Unud.2016.

Herin, Lagadoni Yoseph. 2016. ―Revolusi KIA, Bidan dan Kita, Menimbang

Novel WKdKNT karya Maria Matildis Banda‖. Ende: Flores Pos 26

februari 2016.

Harjana, Andre. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. 1983.

Kosasih, E. 2008. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Penerbit Perca.

Making, Vincen Belawa, ―Kami Butuh Bidan Sekarang dan Selamanya.‖ Opini.

Pos

Kupang 27 Juni 2016. Kupang: H.U. Pos Kupang. 2016.

Teeuw, A. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka jaya, 1989.

Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya,

1984.

Yohanes Berchemas Ebang, ―Wijaya Kusuma dan Pelampauan Simbol dalam

Novel

WKdKNT‖ Flores Sastra 10 Maret 2016.

Yusuf Lubis, Akhyar. Posmodernisme Teori dan Metode. Jakarta: Dividi Buku

Perguruan Tinggi Pt. Raja Grafindo Persada. 2014.

Sumiyadi dan Memen Durachman. Sanggar Sastra Pengalaman Artistik dan

Estetik Sastra. Bandung: Penerbit Afabeta, 2014.

Wachid, Abdul. 2005. Sastra Pencerahan. Penerbit Saka.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 241

Denpasar, 25-26 September 2018

Wellek, Rene dan Austin Waren. 1990. Teori Kesusastraan (Diterjemahkan oleh

Melani Budianta) Jakarta: Pustaka Jaya.

Referensi Internet

1. Gek. NN. 2015 tentang ―Sisi Humanisme Seorang Paramedis dan Dokter

dalam Novel Maria Banda‖. www.kabarnusa.com/2005

2. Mans Balawala. 2015. ―Kamar Nomor Tiga Sadarkan Bupati Herin tentang

Ibu dan Anak‖ www.aksiterkini.com

3. Mans Balawala, 2015. ―Saya Baru Menyadari Betapa Mahal Kehidupan‖

wwwsergapntt.com

4. Yohanes, Berchmans Ebang. 2016. ―Wijaya Kusuma dan Pelampauan

Simbol dalam Novel WKdKNT‖ Floressastra.com/2016/03/10.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 242

Denpasar, 25-26 September 2018

AMA DAN EMANSIPASI WANITA

Ngurah Indra Pradhana

Prodi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Jepang merupakan salah satu negara maritim. Maka dari itu, banyak profesi

dari masyarakat Jepang yang berhubungan dengan laut. Para prianya bekerja

sebagai nelayan, sedangkan wanita yang berprofesi sebagai penyelam tersebut

biasa dikenal dengan istilah Ama. Ama (海女) merupakan salah satu tradisi kuno

di Negeri Sakura untuk sebutan bagi penyelam tradisional wanita di Jepang.

Tradisi yang sudah dilakukan, sejak 3000 tahun silam. Para wanita yang menjadi

Ama ini kebanyakan tinggal di kawasan Toba dan Shima di Prefektur Mie. Ama

mampu menyelam sampai kedalaman 20 meter ke dasar laut tanpa alat bantu.

Biasanya mereka menyelam untuk mencari segala komoditas laut seperti rumput

laut, mutiara, dan kerang. Ama melakukan tugas rumah tangga, memasak untuk

suami dan mengantar anak mereka ke sekolah sebelum mereka mulai menyelam

di pagi hari. Menyelam memberikan mereka pendapatan ekstra dan makanan

berkualitas bagi keluarga dan komunitas setempat dimana mereka tinggal.

Sayangnya, kini tidak banyak wanita yang mau menjadi Ama. Makin banyak

kapal-kapal nelayan yang memakai peralatan canggih untuk berburu ikan dan

hasil laut lainnya, serta insentif ekonomi menjadi Ama pun semakin berkurang

bagi penyelam-penyelam tua. Tidak lama lagi profesi mereka akan lenyap ditelan

kemajuan teknologi. Dari total 8.000 Ama di tahun 1950-an, kini tinggal tersisa

2.000 Ama saja.

Kata Kunci : Maritim, Ama, Wanita Penyelam

Sejarah Ama

Jepang dikenal dengan negara kepulauan atau archipelagic state.Dari sisi

jumlah, pulau-pulau di Jepang hampir mencapai 7.000 dengan luas lautan sekitar

4 juta kilometer persegi (km²).Jepang merupakan salah satu negara maritim. Maka

dari itu, banyak profesi dari masyarakat Jepang yang berhubungan dengan laut.

Para prianya bekerja sebagai nelayan, dengan pergi melaut yang bisa berhari-hari.

Para wanitanya tidak mau kalah, ingin juga bekerja. Maka mereka tidaklah melaut

seperti para pria, melainkan memilih untuk menyelam.Wanita yang berprofesi

sebagai penyelam tersebut biasa dikenal dengan istilah Ama.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 243

Denpasar, 25-26 September 2018

Ama (海女) merupakan salah satu tradisi kuno di Negeri Sakura untuk

sebutan bagi penyelam tradisional wanita di Jepang.Tradisi yang sudah dilakukan,

sejak 3000 tahun silam.Ama tercatat merupakan sebuah profesi yang sudah

dilakukan sejak lama, bahkan tercatat dalam sejarah yaitu pada sebuah literatur di

abad ke-7. Namun saat ini hanya berada di wilayah Mie, Iwate dan Prefektur

Ishikawa saja.Sebuah legenda mengatakan bahwa mereka tiba di Jepang sebagai

bagian dari suku pelayaran nomaden. Sesungguhnya mereka semua asli penduduk

Jepang. Bagi mereka yang tinggal di Ise-shima, dan banyak area lain di Jepang,

Ama dianggap sebagai sosok abadi dan dihormati. Para wanita yang menjadi Ama

ini kebanyakan tinggal di kawasan Toba dan Shima di Prefektur Mie. Prefektur

Mie merupakan salah satu prefektur di Jepang yang letaknya berdekatan dengan

Nagoya, Osaka dan Kyoto. Dari Tokyo, harus naik bus atau kereta kurang lebih 6-

8 jam. Atau jika langsung dari Bandara Internasional Chubu, bisa menggunakan

kapal laut yang jaraknya hanya 40 menit menuju Kota Toba di Mie.Baik Toba dan

Shima, keduanya sama-sama berada di pesisir yang menghadap ke Samudera

Pasifik. Kehidupan masyarakatnya pun bergantung kepada laut.

244 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Profesi Ama

Ama, sejatinya bukan pekerjaan untuk kaum wanita saja, ada juga kalangan

pria yang menjadi Ama tetapi dengan tulisan yang berbeda (海士, ―master laut‖),

namun jumlah perempuan yang menggeluti profesi ini jauh lebih besar, sehingga

secara umum, diakui sebagai profesi untuk perempuan.Alasan kenapa lebih

banyak kaum perempuan yang menyelam adalah tubuh mereka dapat

mempertahankan panas yang lebih baik di dinginnya laut karena memiliki lebih

banyak lemak dibandingkan pria.Ama mampu menyelam sampai kedalaman 20

meter ke dasar laut tanpa alat bantu. Artinya paru-paru dan daya tahan tubuh

mereka sangatlah kuat. Di zaman dulu, Ama menyelam dengan bertelanjang dada

dan hanya menggunakan cawat.Tentu saja, itu butuh latihan sedari kecil dan terus-

menerus. Kimiyo Hayashi (61 tahun), seorang Ama menceritakan bagaimana

rasanya menyelam secara tradisional itu. "Lautan sangat dingin, wajah seperti

membeku. Gelombang juga sangat berbahaya dan seperti menyayat badan.

Kadang juga tidak ketahuan jika ada hiu yang mendekat. Kita harus menyelam

dengan cepat dan efisien,".Di zaman sekarang ini walau sudah modern, para Ama

tetap menyelam tanpa menggunakan alat selam. Paling hanya memakai fin saja

untuk makin memudahkan bergerak di air.

Cara menyelam para Ama terdapat dua jenis. Pertama mereka menyelam

dengan bergantung pada seutas tali yang dikaitkan pada sang suami yang

menantinya di atas perahu. Metode ini biasanya digunakan saat Ama menyelam di

tengah lautan lepas dengan tingkat kedalaman agak tinggi. Sang suami harus tahu

benar kapan ia harus menarik sang istri ke permukaan.Kedua adalah dengan

menyelam sendirian yang biasanya dilakukan di perairan yang agak dangkal. Di

sini Ama mengikatkan diri mereka dengan seutas tali pada keranjang kayu di

permukaan.Mereka menghabiskan waktu sekitar satu menit di bawah air pada

setiap penyelaman, dan melakukannya sebanyak 50 hingga 100 kali. Keselamatan

mereka sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan laut, yang berarti mereka harus

bekerja bergandengan tangan dengan alam untuk mengurangi resiko kecelekaan.

Ama biasanya mereka menyelam untuk mencari segala komoditas laut

seperti rumput laut, mutiara,dan kerang. Namun, Ama tidak sembarangan

mengambil hasil laut. Ada beberapa kerang yang boleh diambil dan tidak diambil.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 245

Denpasar, 25-26 September 2018

Jumlahnya juga dibatasi, hal tersebut semata-mata menjaga kehidupan laut

sendiri. Mereka percaya, jika mereka berbuat baik dengan alam, maka alam akan

berbuat baik dengan mereka.

Banyak dari Ama juga melakukan tugas rumah tangga, memasak untuk

suami dan mengantar anak mereka ke sekolah sebelum mereka mulai menyelam

di pagi hari. Menyelam memberikan mereka pendapatan ekstra dan makanan

berkualitas bagi keluarga dan komunitas setempat dimana mereka tinggal.

Ama di Jaman Sekarang

Sayangnya, kini tidak banyak wanita yang mau menjadi Ama. Kebanyakan

wanita generasi mudanya memilih pindah ke Osaka atau Tokyo (yang berjarak 3

jam naik mobil) untuk bekerja. Apalagi, makin banyak kapal-kapal nelayan yang

memakai peralatan canggih untuk berburu ikan dan hasil laut lainnya. Selain itu,

insentif ekonomi menjadi Ama pun semakin berkurang bagi penyelam-penyelam

tua. Tidak lama lagi profesi mereka akan lenyap ditelan kemajuan teknologi.Dari

total 8.000 Ama di tahun 1950-an, kini tinggal tersisa 2.000 Ama saja. Hal inilah

yang ditakuti oleh generasi-generasi tua di Prefektur Mie, bahwa tradisi Ama akan

mati.

Saat ini, masih terdapat masyarakat yang melakoni kegiatan menyelam.

Namun sudah tidak menjadikan sebagai sumber utama penghasilan Ama, banyak

dari mereka kini terpaksa mencari pendapatan tambahan. Beberapa dari mereka

membuka ryokan (penginapan) atau peternakan kecil milik keluarga.Banyak dari

mereka bekerja di restoran bertemakan Ama di dekat dermaga. Mereka melayani

turis yang ingin menikmati seafood dan menghibur tamu dengan tarian

tradisional. Selain itu, amagoya (海女小屋 ), pondok untuk beristirahat para

penyelam ama, telah dibuka untuk umum dan melayani pengunjung yang ingin

mencicipi seafood panggangnya. Menikmati makanan laut segar yang dibuat oleh

ama sambil mendengarkan cerita-ceritanya.

246 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Upaya Pelestarian

Profesi menyelam Ama dijadikan sebagai warisan budaya sejak tahun 2014.

Sejak tahun 2007, sudah ada sebuah gerakan untuk mendaftarkan profesi ini

sebagai warisan budaya di UNESCO. Dalam rangka membangun momentum

untuk pendaftaran, kota Shima dan Toba ditunjuk menjadi tuan

rumah acara ―Ama Summit‖ sebanyak lima kali dari enam kali gelaran acara yang

sudah berlangsung sejak tahun 2009.Pertemuan ke-6 diadakan di Toba. Ama dari

Jepang dan Korea Selatan, sepakat untuk menyebarkan budaya ama untuk G7 Ise-

Shima Summit. Di zaman modern sekarang ini, hal yang dilakukan para penyelam

Ama di Prefektur Mie memang patut mendapatkan apresiasi yang mendalam

mengingat mereka terus menjaga dan melestarikan salah satu profesi tradisional

untuk kaum wanita di Jepang.

DAFTAR UNDUHAN

https://travel.detik.com/travel-news/d-3292491/putri-duyung-terakhir-di-jepang

(07 september 2018)

https://www.vice.com/id_id/article/8qb8d3/bertemu-nenek-penyelam-spesialis-

mencari-bahan-baku-seafood-di-jepang

(07 september 2018)

https://his-travel.co.id/blog/article/detail/wanita-penyelam-dari-prefektur-Mie-

Jepang

(07 september 2018)

https://thedailyjapan.com/para-penyelam-ama-di-prefektur-mie-masih-menjaga-

dan-melestarikan-profesi-tradsional-untuk-kaum-wanita-di-jepang/

(07 september 2018)

https://m.kontan.co.id/news_analisis/memahami-tata-kelola-maritim-

jepang?page=1

(07 september 2018)

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 247

Denpasar, 25-26 September 2018

VARIASI POLA DESKRIPSI PADA ISTILAH BUDAYA BALI

PADA TEKS BERBAHASA INGGRIS

Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Gusti Ngurah Parthama

Prodi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Paper ini bertujuan untuk mendeskripsikan teknik pola deskripsi pada istilah

budaya Bali dalam teks berbahasa Inggris. Teknik deskripsi menjadi salah satu

alternatif dalam menjembatani hubungan antar dua bahasa yang berbeda latar

belakang. Bahasa sebagai bagian dari budaya merupakan ciri khas suatu

kelompok masyarakat. Bahasa menjadi media komunikasi yang sesungguhnya

dipahami oleh satu kelompok masyarakat saja dengan latar belakang yang sama.

Sehingga apabila suatu istilah berkaitan dengan budaya suatu kelompok

masyarakat tertentu dimunculkan kepada kelompok masyarakat lainnya, maka

terjadilah permasalahan komunikasi. Permasalahan komunikasi terjadi apabila

istilah budaya Bali dikenalkan melalui teks berbahasa Inggris kepada pembacanya.

Dengan dua latar budaya berbeda, istilah – istilah budaya Bali menjadi suatu

bentuk yang sangat spesifik. Sumber data pada paper ini diambil dari istilah

budaya Bali yang terdapat pada teks – teks berbahasa Inggris di media online.

Pemilihan teks berbahasa Inggris pada media online dengan latar belakang

komunikasi global yang semakin moderen. Metode pengumpulan data dilakukan

dengan metode dokumentasi menggunakan teknik membaca rinci, pencatatan, dan

pengelompokan data. Selanjutnya metode deskriptif kualitatif diaplikasikan untuk

menganalisa data. Simpulan yang diperoleh adalah istilah – istilah budaya Bali

yang digunakan pada teks berbahasa Inggris dominan menggunakan teknik

deskripsi. Pola deskripsi yang digunakan untuk menjelaskan istilah budaya Bali

itu dengan pola deskripsi yang memaparkan penjelasan bentuk, fungsi, dan

kombinasi keduanya. Pola deskripsi dengan penjelasan bentuk atau fungsi atau

kombinasi keduanya memungkinkan dipahami oleh pembaca dengan latar budaya

lain. Hal tersebut berkaitan dengan adanya suatu kata atau frasa yang bersifat

umum yang dipahami secara global.

Kata kunci: pola deskripsi, istilah budaya Bali, teks berbahasa Inggris

PENDAHULUAN

Dalam era komunikasi global saat ini, seseorang tentunya dengan mudah

mengakses informasi secara digital. Salah satu yang tentunya mudah untuk

diakses adalah informasi – informasi terkait budaya Bali yang dipublikasikan

melalui teks – teks berbahasa Inggris. Penggunaan teks – teks berbahasa Inggris

tentunya mempermudah orang asing memahami dan memaknai informasi yang

diberikan. Namun, yang tentunya menjadi tantangan adalah pemaknaan terhadap

248 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

suatu istilah budaya yang khusus. Hal tersebut tentunya menjadi sangat jelas

terlihat mengingat bahasa Inggris dan budaya Bali merupakan dua budaya yang

kontras. Sehingga penjelasan terhadap suatu istilah budaya Bali pada teks – teks

berbahasa Inggris perlu menjadi pertimbangan penting. Pertimbangan itu

bertujuan untuk memberikan pemaknaan secara umum yang dapat dimengerti

oleh pembaca pada budayanya namun juga tetap memperkenalkan budaya Bali.

Salah satu alternatif dalam mengupayakan istilah budaya kepada bahasa

lain adalah dengan mengalihbahasakannya. Pengalih bahasaan merupakan upaya

untuk mempertahankan makna suatu kata dalam bahasa sumber dan diupayakan

penyesuaian dengan bentuk pada bahasa lain dengan makna yang sepadan. Secara

singkat, Larson (1998: 19) mendeskripsikan suatu istilah yang disebut alih bahasa

idiomatis. Alih bahasa idiomatis mengusahakan upaya untuk mencapai

kesepadanan, tidak terdengar aneh, dan menyesuaikan dengan struktur pada

bahasa sasaran. Mengupayakan kesepadanan alami pada alih bahasa menjadi hal

paling penting terutama jika budaya kedua bahasa sangat berbeda. Beeckman dan

Callow (dalam Larson, 1998: 179) memaparkan tiga teknik sederhana yang

menjadi pertimbangan dalam alih bahasa terutama jika berkaitan dengan

ketidaksepadanan leksikal pengalihbahasaan budaya. Ketiga teknik sederhana

tersebut adalah teknik menggunakan kata umum dengan frasa deskriptif atau

pemaparan lebih rinci, menggunakan kata pinjaman atau loan word, dan

menggunakan penggantian istilah budaya (a cultural substitute). Lebih lanjut

Larson (1998: 180) memaparkan mengenai frasa deskriptif yang berhubungan

dengan bentuk (form) dan fungsi (function). Dalam kaitan dengan tidak adanya

suatu bentuk yang sepadan antara dua bahasa yang berbeda, maka solusi yang

diberikan adalah memaparkan dengan frasa deskripsi. Penggunaan frasa deskripsi

terhadap suatu kata atau istilah yang tidak sepadan dalam dua bahasa biasanya

dikombinasikan dengan pemaparan mengenai bentuk maupun fungsi.

Dalam menentukan penjelas baik bentuk maupun fungsi, maka perspektif

dari seorang penulis yang menentukan bagian yang digunakan. Larson (1998:

180) mencontohkan kata pensil dan kata anjing. Jika frasa deskripsi bentuk

dianggap penting maka kata pensil dapat dipaparkan menjadi panjang, terbuat dari

kayu, ujungnya lancip, dan biasanya terdapat penghapus di ujung lainnya. Namun,

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 249

Denpasar, 25-26 September 2018

jika frasa deskripsi fungsi menjadi prioritas utama maka kata pensil dijelaskan

menjadi sarana untuk menulis. Begitu juga halnya dengan kata anjing. Jika

fungsinya menjadi hal utama, maka kata anjing dapat dideskripsikan sebagai

binatang yang biasa diajak berburu atau menjaga rumah. Sedangkan jika bentuk

dari anjing yang penting, maka bentuknya dapat dipaparkan melalui ukuran dan

besar tubuhnya, warna kulitnya, maupun posisi bagian penting seperti mata,

telinga, serta bahkan suara.

Sehingga dalam memaparkan suatu istilah terutamanya istilah budaya,

frasa deskripsi menjadi salah satu pilihan. Frasa deskripsi mempunyai keleluasaan

dalam memaparkan suatu istilah atau kata dengan mengambil penekanan pada

bentuk atau fungsi. Apalagi frasa deskripsi dengan kombinasi bentuk atau fungsi

menggunakan kata – kata yang dekat pada bahasa sasaran. Dengan demikian,

pembaca bahasa sasaran dengan latar budaya berbeda memiliki kesempatan luas

untuk memahami suatu istilah atau kata yang bermuatan budaya. Hal tersebut

menjadi jalan keluar bagi ketidaksepadanan suatu istilah atau kata dalam dua

bahasa berbeda.

METODELOGI PENELITIAN

Sumber data dari paper ini diambil dari istilah – istilah budaya Bali yang

digunakan pada teks – teks berbahasa Inggris di media internet. Pemilihan teks

berbahasa Inggris di internet dengan pertimbangan bahwa saat ini penyebaran

informasi yang efektif dan efisien adalah menggunakan media internet. Metode

pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi dengan teknik

observasi, teknik membaca rinci, teknik pencatatan, dan teknik pengelompokan

data. Selanjutnya metode analisa data yang digunakan adalah metode deskriptif

kualitatif dengan mendeskripsikan data – data terkumpul untuk dianalisa sesuai

dengan kajian teknik alih bahasa istilah budaya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini dibahas dua tipe pola deskriptif yang digunakan untuk

menjelaskan istilah budaya Bali pada teks berbahasa Inggris. Kedua variasi tipe

yang dimaksud adalah tipe bentuk dan tipe kombinasi bentuk serta fungsi. Pada

250 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

tipe bentuk lebih menekankan pada penjelasan deskriptif yang berhubungan

dengan bentuk dari istilah budaya Bali. Sehingga pembaca dapat membayangkan

atau menginterpretasikan istilah budaya Bali yang dimunculkan pada teks

berbahasa Inggris. Sedangkan kombinasi tipe yakni bentuk dan fungsi mempunyai

kecenderungan frasa deskriptif yang menggabungkan antara penjelasan mengenai

bentuk dan fungsi pada deskripsinya. Penggabungan penjelasan bentuk dan fungsi

menjadi alternatif untuk lebih memberikan pemaknaan terhadap istilah budaya

Bali yang muncul pada teks berbahasa Inggris.

Terdapat tiga istilah budaya Bali yang menggunakan pola deskriptif

bentuk pada pemaparan dalam bahasa Inggris. Ketiga istilah budaya Bali tersebut

adalah penjor, lontar, dan kulkul. Pada masing – masing istilah budaya Bali

terdapat frasa deskriptif yang memaparkan mengenai bentuk dari istilah yang

dimaksud. Masing – masing istilah budaya Bali dimunculkan dalam kesatuan

konteks kalimat sebagai berikut.

During the festival, all across island sprout tall bamboo poles called "penjor" – that are decorated with fruit, coconut leaves, and flowers, and set up on the right side at the entrance of every home.

Taken from:

https://www.balitouring.com

Lontar (old manuscript) is the most iconic and unique manifestations of tangible and intangible cultural heritage preserved on Bali from the past through to the present day. The literature and religious lore of Balinese and ancient Javanese traditions have been reproduced through the centuries via a learned tradition of writing and reading texts on lontar.

Taken from:

https://balicultureinformation.word

press.com/2015/12/05/lontar-

balinese-manuscript-which-contain-

a-variety-of-aspects-of-human-life/

Kulkul is a big bell made of wood or bamboo use by various social organization of Balinese society or known as Balinese bell. Like a bell it is used to indicate time of gathering, ceremony, and in the past to call the people during a strain time resulted by conflict, or criminal. Organization in Bali are various based on tradition, profession or hobby.

Taken from:

https://www.balitouring.com/b

ali_articles/kulkul.htm

Pada data yang berisikan istilah budaya Bali penjor dijelaskan dengan tall

bamboo poles. Sedangkan data selanjutnya berisikan istilah budaya Bali lontar

yang dijelaskan dengan old manuscript. Pada data selanjutnya terdapat istilah

budaya Bali kulkul yang dijelaskan dengan Balinese bell. Keseluruhan data yang

dimaksud merupakan data istilah budaya Bali dengan frasa deskriptif yang

memaparkan bentuk dari istilah yang dimaksud.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 251

Denpasar, 25-26 September 2018

Hal itu dapat disimak pada istilah budaya Bali penjor dan frasa

penjelasnya dengan tall bamboo poles. Penggunaan frasa tall bamboo poles

mengacu pada pemahaman bentuk tiang bamboo yang sangat tinggi yang

digunakan untuk membuat penjor. Frasa penjelas bentuk juga terdapat pada istilah

budaya Bali lontar dengan penjelasnya old manuscript. Pemaknaan old

manuscript memiliki arti manuskrip yang kuno. Sehingga frasa penjelas old

manuscript berkaitan dengan bentuk dari lontar dalam budaya Bali. Sementara

itu, istilah budaya Bali kulkul diberikan frasa penjelas Balinese bell. Frasa

penjelas Balinese bell memberikan pemaknaan bentuk dari istilah budaya kulkul.

Dalam hal ini pembaca asing mendapatkan gambaran bentuk dari kulkul yang

dihubungkan dengan bel atau lonceng.

Dua data berikutnya merupakan data yang berkaitan dengan gabungan

frasa deskriptif. Adapun gabungan frasa deskriptif yang dimaksud adalah frasa

deskriptif bentuk dan fungsi. Sehingga dalam penjelasannya, frasa deskriptif

tersebut mempunyai pemaknaan penjelas berupa bentuk serta fungsi dari istilah

budaya Bali yang dimunculkan. Kedua istilah budaya Bali yang terdapat pada data

adalah barong dan banjar. Masing – masing dimunculkan pada konteks kalimat

lengkap seperti di bawah ini.

Ngelawang is a ritual to expel evil and any negative spirit, which is performed by "barong" - a divine protector in the form of a mythical beast.

Taken from:

https://www.balitouring.com

Leading up to the Saka New Year, village meeting halls (known as

Banjar) across Bali will be hard at work preparing their Ogoh Ogohs for the island-wide street parades. The Ogoh-Ogohs are papier-mâché effigies inspired by Balinese Hindu mythological demonic beings, and are intricately made from colored papers, mirrors, suede, tinsel, bamboo, and many other materials.

taken from:

http://padmaresortubud.com/

blog/bali-gears-welcome-saka-

new-year

Istilah budaya Bali barong dijelaskan dengan a divine protector in the

form of a mythical beast. Frasa penjelas a divine protector in the form of a

mythical beast menjelaskan fungsi dan bentuk dari istilah budaya Bali barong.

Secara mudah dapat disimak jika frasa a divine protector mempunyai pemaknaan

sebagai fungsi dan bentuk. Sedangkan penegasan terhadap penjelasan bentuk

dipaparkan lebih lanjut dengan frasa in the form of a mythical beast. Selanjutnya

istilah budaya Bali banjar dijelaskan dengan frasa village meeting halls. Frasa

252 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

penjelas village meeting halls menekankan frasa fungsi dan bentuk dari istilah

budaya banjar. Frasa penjelas village meeting halls diartikan secara harfiah

sebagai tempat atau balai pertemuan desa. Secara fungsi dapat dilihat pada

penggunaan kata village meeting dan secara bentuk dapat diperhatikan dengan

penggunaan frasa village meeting halls.

SIMPULAN

Variasi pola deskripsi pada istilah budaya Bali dalam teks berbahasa

Inggris terbagi menjadi dua tipe. Kedua tipe tersebut adalah tipe frasa penjelas

bentuk dan tipe frasa penjelas bentuk serta fungsi. Penggunaan variasi kedua tipe

frasa penjelas ditujukan untuk memberikan pemahaman yang sepadan terhadap

pembaca asing terkait makna dari suatu istilah budaya Bali. Dengan penggunaan

frasa penjelas itu dapat dimunculkan pemahaman istilah budaya Bali dalam

konteks budaya asing.

DAFTAR PUSTAKA

Larson, Mildred L. 1998. Meaning-Based Translation, A Guide to Cross-

Language Equivalence. Oxford: University Press of America.

Molina, L dan Albir, A.H. 2002. ―Translation Technique Revisited: A Dynamic

and Functionalist Approach‖. Dalam Meta, Vol. XLVII, No. 4. Hal. 499 –

512. http://www.erudit.org

Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. Washington: Longman

Pearson Education.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 253

Denpasar, 25-26 September 2018

PERDAGANGAN ANTAR PULAU OLEH MASYARAKAT BALI KUNO

PADA ABAD IX-XIV MASEHI: KAJIAN EPIGRAFIS DAN TAPONIMI

Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, Kristiawan

ABSTRAK

Berdagang antar pulau merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat

pada masa Bali Kuno abad IX-XIV Masehi.Aktivitas berdagang antar pulau dapat

dilakukan karenamasyarakat pada masa tersebut telah memiliki kemampuan

dalam dalam membuat alat transportasi laut berupaperahu, jukung, talaka, dan

lancang.Di dalam beberapa prasasti Bali Kuno menyebut tentang sekelompok

orang yang tinggal di permukiman pesisir pantai dan bermatapencaharian sebagai

pedagang serta mungkin sangat terkait dengan kegiatan pelabuhan.Di dalam

prasasti disebut dengan istilah banigrama (saudagar laki-laki) dan bahinin

banigrama (istri saudagar/saudagar wanita).

Kata Kunci :berdagang, prasasti, Bali kuno

I. PENDAHULUAN

Secara geografis Pulau Bali terletak bersebelahan dengan Pulau Jawa

sehingga intensitas hubungan kedua pulau ini tampaknya telah berlangsung sangat

intensif sejak lampau.Pada masa pleistosin dan holosin awal, Bali merupakan

salah satu jembatan migrasi yang memudahkan manusia dan hewan menyeberang

dari pulau Jawa ke kepulauan Nusa Tenggara.Akses hubungan antar pulau

tersebut didukung oleh transportasi laut.Terbukanya pintu masuk ke Bali

menyebabkan wilayah Bali mendapat pengaruh dan berkembang pesat baik di

bidang pendidikan, perdagangan/perekonomian, politik, maupun

kebudayaan.Prasasti Bali Kuno merupakan salah satu sumber data yang memberi

informasi penting tentang aktivitas berdagang antar pulau khususnya oleh

masyarakat Bali Kuno abad IX-XIV Masehi dengan daerah-daerah di sekitarnya.

Berdagang merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat pada masa

Bali Kuno abad IX-XIV Masehi. Pada dasarnya mekanisme perdagangan

didorong oleh kebutuhan akan barang yang tidak didapatkan di suatu tempat,

sementara di tempat lain terjadi kelebihan barang. Data tentang adanya aktivitas

berdagang dapat diketahui dari beberapa istilah yang berkaitan dengan

perdagangan yakni pken yang berarti ‗pasar‘, laganing pken yang berarti ‗cukai‘

254 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

atau ‗sewa pasar‘, pamahen pamli, pinta pamli, pinta panumbas yang berarti

‗iuran jual beli‘. Pada mulanya masyarakat Bali Kuno melakukan transaksi jual

beli barang dengan daerah-daerah di sekitarnya, selanjutnya berkembang ke

daerah-daerah yang lebih jauh.

Cara berdagang pada masa Bali Kuno abad IX-XIV Masehi ialah dengan

cara tukar menukar atau barter trade dan dengan pembayaran menggunakan mata

uang. Cara barter dikenal dengan istilah maurup-urup yakni menukarkan barang

dagangan yang dimiliki oleh seseorang dengan barang dagangan orang

lain,sedangkan transaksi dengan mata uang menggunakan satuan mata uang yang

sering disebutkan dalam prasasti yaitu masu (masa suwarna), ma

(masa/masaka),ku (kupang),dansa (saga).

Pada pembahasan selanjutnya akan dicoba untuk mengidentifikasi

beberapa daerah dan pelabuhan yang kemungkinan dijadikan jalur masuk

perdagangan pada masa Bali Kuno abad IX-XIV Masehi dengan menggunakan

metode toponimi. Pemberian namatempat (desa dan pelabuhan) pada masa Bali Kuno

abad IX-XIV Masehi oleh masyarakat berkaitan erat dengan penggunaan bahasa setempat

atau bahasa daerah. Oleh karena itu, maka toponimi menjadi bagian penting untuk

membuka tabir keberadaannya.Penyebutan toponim menunjuk pada suatu objek geografis

tertentu serta bertujuan untuk komunikasi antar sesama manusia atau untuk acuan

sehingga mudah dikenali. Metode toponimi, dipergunakan khususnya dalam usaha

memperkuat pemahaman tentang nama tempat yang ditemukan di dalam prasasti dengan

nama tempat yang sampai sekarang masih dikenal oleh masyarakat Bali. Hal ini dapat

dilakukan karena prasasti-prasasti Bali Kuno abad IX-XIV Masehi menyebut nama

wilayah disertai dengan unsur geografis seperti sungai, bukit, dan laut untuk

mengidentifikasi lingkungan fisiknya.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah prasasti-prasasti

yang dikeluarkan pada masa Bali Kuno abad IX-XIV Masehi.Tahapan kerja

berikutnya adalah pengolahan serta penganalisisan data.Pada tahap ini, data yang

telah dikumpulkan dari prasasti diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Terjemahan kedalam bahasa Indonesia memberi peluang lebih besar dalam

memahami isi atau makna yang terkandung di dalam prasasti. Kemudian data

tersebut dianalisis atau dibahas lebih mendalam.Mengingat data tersebut

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 255

Denpasar, 25-26 September 2018

merupakan data kualitatif, maka agar didapat pemahaman yang lebih

komprehensif, dilakukan interpretasi atau penafsiran data.

II. PEMBAHASAN

2.1 Pelabuhan Pada Masa Bali Kuno Abad IX-XIV Masehi

Data prasasti mengindikasikan adanya sekelompok orang yang melakukan

aktivitas berdagang antar pulau.Data tersebut ditunjukkan dengan adanya istilah

banyaga, yang berarti saudagar atau pedagang.Istilah banyaga telah diketahui dari

prasasti Bebetin AI (818 Śaka/896 Masehi).Berkenaan dengan perdagangan dalam

prasasti tersebut, pada lempeng IIb baris 3-4 disebutkan sebagai berikut.

―anada tua banyaga turun ditu, peneken di hyangapi, parunggahna, ana mati ya

tua banyaga, parduan drbyana prakara, ana cakcak lancangna kajadyan

papagarangen kuta‖ (Goris, 1954a: 55)

Artinya :

Jika ada orang yang berniaga di sana, supaya persembahannya dihaturkan di

Hyang Api. Apabila pedagang itu mati, hendaknya dibagi dualah semua harta

miliknya.Bila perahunya rusak supaya (kayunya) dijadikan pagar benteng.

Berdasarkan prasasti tersebut juga dapat diketahui adanya sebuah desa

bernama Desa Bharu, yang wilayah sebelah utaranya adalah lautan, timurnya

Minanga, selatannya Bukit Manghadang, dan baratnya sungai Batang. Tukad

(sungai) Batang kemungkinan adalah sungai Bangka yang berada dibarat Desa

Kubutambahan sekarang, karena menurut Mardiwasito(1981) batang (watang)

berarti bangkai atau mayat. Adapun bangka(bahasa Bali)berarti mati dan bangke

berarti bangkai atau mayat. Sehingga nama sungai Batang dapat dipersamakan

dengan namasungai Bangka yang ada sekarang. Sedangkan kata Minanga, juga

bisa diartikan sungai. Dengan sendirinya berarti di sebelah timur desa Bharu juga

terdapat sungai, yang kini dikenal oleh masyarakat sebagai sungai Aya. Adapun di

bagian selatan desa Bharu adalah perbukitan.Berikut adalah kutipan prasasti

Bebetin AI (896 M), yang memuat batas-batas wilayah Banwa(desa) Bharu

beserta.

256 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

―simayangna hangga minanga kangin, hangga bukit manghandang kalod, hangga

tukad batang karuh, hangga tasik kadya‖ (Goris, 1954 :54)

Artinya:

Batas-batasnya sampai di Minanga (bagian) timur, sampai di bukit Manghandang

(bagian) selatan, sampai di sungai Batang (bagian) barat, sampai di laut (bagian)

utara.

Berdasarkan kutipan diatas dapat diketahui bahwa daerah pantai di Banwa

Bharu sering disinggahi banyaga (saudagar). Bahkan ada saudagar yang mati di

sana dan perahu yang terdampar dan pecah akan dijadikan pagar. Menurut cerita

masyarakat nelayan setempat,TukadAya pada masa lampau bisa dilalui perahu

dari tepi pantai hingga bagian hulu bahkan sampai di selatan desa Kubutambahan

sekarang.Oleh karena itu, maka wilayah yang dimaksudkan dengan Banwa Bharu

kemungkinan adalah wilayah perkampungan nelayan yang sampai saat ini masih

ada yakni di sebelah utara desa Kubutambahan pada hilir Tukad Aya, di

Kabupaten Buleleng.

Di dalam Prasasti Sembiran B yang dikeluarkan pada tahun 951 Masehi

menyebut tentang sekelompok orang yang tinggal di Desa Julah dan

bermatapencaharian sebagai pedagang dan mungkin sangat terkait dengan

kegiatan pelabuhan.Di dalam prasasti disebut dengan istilah banigrama (saudagar

laki-laki) dan bahinin banigrama (istri saudagar/saudagar wanita).Berdasarkan

prasasti Sembiran B itu pula dapat diketahui bahwa Desa Julah pada masa lalu

telah terdapat pelabuhan laut.Pelabuhan tersebut sudah sangat ramai bahkan telah

terjadi peristiwa perahu, jukung, talaka, lancang yang ditawan oleh masyarakat

Julah.

Keterangan tentang permukiman di Desa Julahditemukan di dalam prasasti

Sembiran AI (844 Śaka/922Masehi).Prasasti ini dikeluarkan oleh Raja

Ugrasena.Berikut adalah batas-batas wilayah Desa Julah berdasarkan kutipan

prasasti Sembiran AI.

―simayangna hangga air lutung karuh, hangga duri(lwa)rlwar kalod, hangga air

hyang kangin, hanggaampuhan kadya‖ (Goris,1954 : 65)

Artinya:

Batas-batasnya, sampai Air Lutung (bagian) barat, sampai Duri Lwarlwar

(bagian) selatan, sampai Air Hyang (bagian) timur, sampai laut (bagian) utara‖

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 257

Denpasar, 25-26 September 2018

Situs Sembiran dan sekitarnya merupakan situs arkeologi yang cukup

penting sebagai bukti permukiman di pesisir utara pulau Bali.Situs tersebut

berasal dari 2000 tahun yang lalu.Di samping sebagai tempat bermukim situs

Sembiran juga berfungsi sebagai tempat persinggahan atau pelabuhan bagi para

pedagang dari luar Bali sejak awal masehi. Ekskavasi arkeologi yang dilakukan di

situs Sembiran oleh I Wayan Ardika sejak tahun 1987 (Ardika 1988;1989) telah

berhasil menemukan fragmen gerabah arikamedu India dengan pola hias rolet.

Berdasarkan prasasti Ujung (1040 M) disebutkannama desa Jung

Hyang/Wujung Hyang. Batas-batas desa Jung Hyang adalah sebagai berikut.

―pinarimandala hinganya wetan hyang ngisung, batu mangalasa, hinganya lor

lengajati, tka ri her lateng, batu palot hamikuk hangulon tka teja wurip, mwang

her hajuling, tka ring her jaranga, hinganya kulon her jaranga, hinganya kidul

sagara..‖ (Ardika, 1998:111-112)

Artinya:

Batas-batas (desanya) batas timurnya Hyang Ngisung, Batu Mangalasa, batas

utaranya Lengajati, sampai di Her Lateng, Batu Palot berbelok ke barat sampai di

Teja Wurip, dan Her Hajuling, sampai di Her Jaranga, batas baratnya Her Jaranga

batas selatanya laut‖

Berdasarkan batas-batas desa Jung Hyang tersebut sangat mungkin adalah

lokasi Desa Ujung di Kabupaten Karengasem sekarang.Desa Jung Hyang

memiliki sebuah pelabuhan laut adapun kutipan prasastinya sebagai berikut.

―lawan yang hana kanya mare jawa, mare gurun saparananya mare desa tara

desantara mamet ngalaparawu salwirnya, tan kna keramaning jung

hyang…‖(Ardika, 1998:112)

Artinya :

Apabila ada penduduk desa yang hendak pergi berlayar ke Jawa, ke Lombok atau

ke desa lainnya, tidak diperkenankan memakai perahu milik desa Jung Hyang.

Dengan adanya peraturan tersebut dapatlah ditafsirkan bahwa di Desa

Jung Hyang pada masa yang lalu terdapat sebuah pelabuhan, yang bisa dipakai

sebagai tempat untuk berangkat menuju ke daerah luar Bali (Jawa dan Gurun)

atau sebagai pelabuhan lokal.

258 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

2.2 Alat Transportasi Laut Dan Komoditi Yang Diperdagangkan

Aktivitas berdagang antar pulau dilakukan dengan menggunakan alat

transportasi berupaperahu, jukung, talaka,dan lancang. Kemahiran membuat alat

transportasi laut dan sejenisnya merupakan petunjuk bahwa masyarakat Bali Kuno

abad IX-XIV Masehiyang tinggal di daerah pesisir adalah masyarakat pelaut yang

juga terlibat dalam pelayaran atau perdagangan antar pulau pada masa itu.

Barang-barang yang diperdagangkan pada masa itu antara lain minyak

kelapa, beras, cabai, kacang hijau, wungkudu (bahan pewarna merah), kain laway

(kain yang dipergunakan oleh kaum perempuan), wdihan (kain yang dipergunakan

oleh kaum laki-laki), gulma, bawang merah, bawang putih, kesumba, dlag, kapas,

sapi, kerbau, babi, kambing, dan barang-barang hasil kerajinan rumah tangga.

III. SIMPULAN

Aktivitas berdagang antar pulau oleh masyarakat Bali Kuno pada abad IX-

XIV dengan daerah sekitarnya telah berlangsung secara intensif karena pada masa

tersebut Bali khususnya Bali Utara posisinya sangat strategis secara geografis.Hal

ini dibuktikan dengan adanya beberapa prasasti Bali Kuno yang menyebut daerah

pelabuhan kuno sebagai pusat transfortasi laut yang menghubungkan masyarakat

Bali Kuno dengan masyarakat di luar Pulau Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I Wayan & Sutjiati Beratha, Ni Luh. 1998. Perajin Pada Masa Bali Kuno

Abad IX-XI. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Arsana, I Gusti Ketut Gde. 2014. ―Geografi dan Lingkungan Daerah Bali‖, Raja

Udayana Warmadewa, Ardhana, I Ketut & Setiawan, I Ketut (ed.).

Denpasar : Pustaka Larasan.

Granoka, Ida Wayan Oka, dkk.1985. Kamus Bali Kuna-Indonesia. Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Goris, DR. Roelof. 1954a. Prasasti Bali I. Bandung : NV. Masa Baru.

--------- 1954b. Prasasti Bali II. Bandung : NV. Masa Baru.

Mardiwarsito. L. 1981. Kamus Bahasa Jawa Kuna-Indonesia. Flores : Nusa Indah

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 259

Denpasar, 25-26 September 2018

Mundardjito. 1990. ‖Metode Penelitian Permukiman Arkeologi‖, Monument

Karya Persembahan Untuk Prof. Dr.R Soekmono. Depok : Fakultas Sastra

Universitas Indonesia.

Suarbhawa, I Gusti Made dan Sunarya, I Nyoman. 1998. ―Unsur Budaya

Singasari pada Tinggalan Arkeologi di Bali‖, Forum Arkeologi. No. III.

Denpasar : Balai Arkeologi. Hal.72-85.

Suantika, I Wayan.1994-1995. ―Lokasi Beberapa Pelabuhan Laut di Bali Pada

Masa Bali Kuna‖, Analisis Hasil Penelitian Arkeologi.Jakarta :

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 260

Denpasar, 25-26 September 2018

REPRESENTASI BUDAYA JEPANG DALAM SAMPUL NOVEL

TEENLIT INDONESIA

Ni Luh Putu Ari Sulatri, Ni Made Andry Anita Dewi

Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected], [email protected]

ABSTRAK

Sampul dalam novel teenlit (teenager literature) merupakan salah satu media

untuk dapat berkomunikasi dan menarik minat pembaca, khususnya remaja yang

menjadi segmen utama dari genre novel ini. Ilustrasi dari sampul menampilkan

hal yang spesifik untuk menargetkan pembaca tertentu, salah satunya adalah

dengan menampilkan unsur budaya Jepang. Dengan mengaplikasikan teori

sinyifikasi dari Roland Barthes untuk mencari makna primer (denotasi) dan

makna sekunder (konotasi) dalam novel 1) Tomodachi (2014); 2) Fuurin (2014);

3) Haru no Sora (2015); dan Momiji (2017) diketahui bahwa representasi budaya

Jepang yang ditampilkan dalam sampul novel teenlit Indonesia mengacu kepada

makna yang berhubungan dengan judul dan struktur cerita yang mengandung

unsur budaya Jepang. Representasi budaya Jepang ditampilkan melalui, 1) bunga

sakura; 2) omamori; 3) fuurin; 4) siswa SMA yang mengenakan seragam sailor

fuku; 5) momiji ; 6) dan karakter huruf Jepang.

Kata kunci: sampul, novel teenlit, budaya Jepang

PENDAHULUAN

Teknik terklasik dalam mengiklankan suatu buku adalah melalui sampul.

Sampul menjadi media komunikasi pertama yang menghubungkan pembaca

dengan buku. Oleh karena itu, ilustrasi sampul dapat menarik minat kelompok

pembaca spesifik dan menjadi salah satu bagian yang mempengaruhi penjualan

buku (O‘Connell, 2010:12-13). Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa di

dalam dunia penerbitan, buku dipandang sebagai sebuah komoditas (Drew dan

Sternberger, 2005: 34).

Untuk menciptakan komoditas yang mampu menarik sebanyak mungkin

pembeli, dalam hal ini pembaca, maka sampul tidak hanya berfungsi sebagai

pembungkus atau pelindung dari buku tetapi juga berfungsi sebagai media visual

yang merepresentasikan isi buku. Pemilihan ilustrasi sampul yang tepat dan sesuai

dapat menjadi pengalaman optik yang menyenangkan sehingga mampu memikat

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 261

Denpasar, 25-26 September 2018

calon pembaca karena manusia cenderung merespon citra visual secara lebih

efektif dibandingkan tekstual (Grabe dan Bucy, 2009:14).

Citra visual yang mampu menarik minat calon pembaca dalam ilustrasi

sampul menjadi hal yang esensial dalam penerbitan novel populer, termasuk di

dalamnya novel teenlit. Sejak tahun 2000-an, teenlit sebagai salah satu genre dalam

novel populer mengalami perkembangan pesat di Indonesia. Secara etimologi, teenlit

berasal dari akronim bahasa Inggris, yaitu teenager ‗remaja‘ dan literature ‗kesusastraan‘.

Jadi dapat dikatakan bahwa teenlit merupakan bahan bacaan yang diperuntukan bagi

remaja (Dewojati, 2010:12). Sebagai salah satu produk budaya populer, novel teenlit

berorientasi kepada pasar dan mementingkan tingkat produksi dan penjualan yang massif

sebagai tolak ukur kesuseksannya.

Guna mendukung kesuksesan penjualan novel teenlit, pihak produsen yang

meliputi pengarang, penerbit, dan distributor, merancang berbagai skema pemasaran,

termasuk di dalamnya menampilkan sampul yang ―eye catching‖ untuk menarik

konsumen, dalam hal ini pembaca, potensialnya. Ilustrasi sampul disajikan semenarik

dan seunik mungkin, salah satunya menampilkan aspek budaya asing, yaitu Jepang.

Untuk dapat memahami representasi budaya Jepang yang ditampilkan dalam sampul

novel teenlit Indonesia maka dalam makalah ini hal tersebut akan dikaji lebih lanjut

dengan menerapkan teori sinyifikasi dari Roland Barthes dengan pencarian makna primer

(denotasi) dan makna sekunder (konotasi) (Zaimar, 2014:24-25).

Novel teenlit Indonesia yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini

adalah 1) Novel Tomodachi karya Winna Efendi yang diterbitkan tahun 2014 oleh

penerbit Gagas Media; 2) Novel Fuurin karya Ghyna Amanda yang diterbitkan

tahun 2014 oleh penerbit Ice Cube Publisher; 3) Novel Haru no Sora karya Laila

Muttaminal yang diterbitkan tahun 2015 oleh penerbit Ice Cube Publisher; dan 4)

Novel Momiji karya Orizuka pada tahun 2017 oleh Penerbit Inari. Keempat novel

teenlit ini meskipun ditulis oleh pengarang Indonesia tetapi menampilkan unsur

budaya Jepang, baik dari segi judul hingga struktur cerita.

PEMBAHASAN

Sampul novel teenlit yang menampilkan representasi budaya Jepang akan

disajikan berikut:

262 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Gambar 1. Sampul Novel Tomodachi Gambar 2. Sampul Novel Fuurin

Gambar 3. Sampul Novel Haru no Sora Gambar 4. Sampul Novel Momiji

Representasi budaya Jepang yang ditampilkan dalam sampul novel teenlit

tersebut adalah sebagai berikut

1. Bunga Sakura

Dua novel teenlit menampilkan bunga sakura dalam ilustrasi sampulnya,

yaitu novel Tomodachi dan novel Haru no Sora. Bunga sakura merupakan bunga

yang sangat identik dengan Jepang. Bagi orang Jepang bunga sakura yang mekar

setahun sekali selama satu hingga dua minggu melambangkan keindahan

sekaligus juga kefanaan (Yoichi dan Gillespie, 2004:43). Pada novel Tomodachi

maupun novel Haru no Sora, bunga sakura pada tahap pertama atau primer

ditampilkan dalam kondisi sedang mekar. Makna konotasi yang ditampilkan

bunga sakura dalam novel Tomodachi mengacu kepada tahap awal alur cerita

yang menggambarkan peristiwa nyugakushiki ‗penerimaan siswa baru‘ di SMA

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 263

Denpasar, 25-26 September 2018

Katakura Gakuen yang digambarkan dalam novel. Nyugakushiki di Jepang

dilaksanakan pada bulan April yang juga merupakan bulan saat bunga sakura

mekar. Pada novel Haru no Sora bunga sakura memiliki makna konotasi yang

berkaitan dengan pemilihan diksi pada judul novel, yaitu ―haru‖ yang berarti

musim semi, yaitu musim yang identik dengan masa bunga sakura mekar.

2. Omamori

Dalam sampul novel Tomodachi menampilkan ilustrasi gambar omamori

atau jimat keberuntungan. Terdapat beragam jenis dan fungsi dari omamori tetapi

omamori yang ditampilkan dalam sampul novel Tomodachi memiliki makna

gakugyou jouju omamori, yaitu jimat yang dipakai oleh kalangan pelajar untuk

kesuksesan ujian sekolah. Ilustrasi gakugyou jouju omamori dalam sampul novel

Tomodachi berhubungan dengan alur cerita novel yang berlatarkan kehidupan

siswa SMA.

3. Fuurin

Ilustrasi gambar fuurin ditampilkan dalam sampul novel yang berjudul

sama, yaitu Fuurin. Fuurin yang ditampilkan berupa lonceng berbahan kaca

dengan tanzaku atau gantungan kertas berwarna biru. Bagi masyarakat Jepang,

fuurin merupakan benda yang identik dengan musim panas. Gemerincing suara

fuurin di musim panas menimbulkan suasana yang menyejukan. Makna fuurin

dalam sampul novel Fuurin mengacuk kepada judul novel dan juga tokoh novel,

yaitu Karina Wijaya atau yang dipanggil dengan ―Rin‖. Nama panggilannya

tersebut menyerupai gemerincing suara fuurin.

4. Siswi SMA yang Mengenakan Seragam Sailor Fuku dengan Sweater

Dalam sampul novel Haru no Sora menampilkan ilustrasi gambar siswa

SMA yang mengenakan seragam khas siswa Jepang atau sailor fuku yang

dilengkapi dengan sweater. Makna konotasi yang ditampilkan mengacu kepada

tokoh utama, yaitu Miyazaki Sora yang merupakan siswa SMA.

264 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

5. Momiji

Momiji merupakan salah satu judul novel teenlit yang mengandung unsur

budaya Jepang. Di dalam sampul novel ditampilkan ilustrasi gambar momiji yaitu

kondisi daun yang berubah warna menjadi kuning, merah, atau jingga pada musim

gugur. Momiji pada sampul novel memiliki makna yang berhubungan dengan

tokoh dalam novel yang bernama Momiji.

6. Karakter Huruf Jepang

Pada sampul novel Tomodachi dan Momiji menampilkan karakter huruf

Jepang, yaitu karakter huruf kanji 友達 yang dibaca Tomodachi pada novel

Tomodachi dan karakter huruf hiragana もみじ yang dibaca momiji. Makna

karakter huruf Jepang pada sampul novel berhubungan dengan isi cerita yang

mengangkat hal yang berhubungan dengan Jepang.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa representasi budaya

Jepang yang ditampilkan dalam sampul novel teenlit Indonesia mengacu kepada

makna yang berhubungan dengan judul dan struktur cerita yang mengandung

unsur budaya Jepang. Representasi budaya Jepang ditampilkan melalui, bunga

sakura, omamori, fuurin, siswa SMA yang mengenakan seragam sailor fuku,

momiji , dan karakter huruf Jepang.

DAFTAR PUSTAKA

Dewojati, Cahyaningrum. 2010. Wacana Hedonisme dalam Sastra Populer

Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Drew, Ned dan Sternberger, Paul. 2005. By Its Cover: Modern American Book

Cover Design. New York: Princeton Architectural Press.

Grabe, Maria Elizabeth dan Bucy, Eric Page. 2009. Image Bite Politics. Oxford:

Oxford University Press.

O‘Channell, Kathleen C. 2010. Young Adult Book Cover Analysis. North

Carolina: University of North Carolina Wilmington.

Yoichi, Sugiuchi dan Gillespie, John K. 2004. A Bilingual Handbook on Japanese

Culture. Tokyo: Namme Sha.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 265

Denpasar, 25-26 September 2018

Zaimar, Okke Kusuma Sumantri. 2014. Semiotika dalam Analisis Karya Sastra.

Depok: P.T. Komodo Books.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 266

Denpasar, 25-26 September 2018

AKTIVITAS KEMARITIMAN PADA MASA BALI KUNA

Ni Luh Sutjiati Beratha, I Wayan Ardika

[email protected], [email protected]

ABSTRAK

Temuan arkeologi di Desa Sembiran dan Pacung, Bali Utara menunjukkan

ada hubungan antara Bali, India, Cina, dan Asia Tenggara daratan yang telah

terjadi pada akhir abad ke- dua sebelum Masehi. Pada masa ini kegiatan

kemaritiman dan pertukaran barang-barang mungkin pula terjadi pada area/daerah

tersebut.

Data prasasti dari akhir abad ke- 9 sampai abad ke- 12 menjelaskan regulasi

yang berhubungan dengan kapal-kapal yang karam. Penggunaan kayu-kayu bahan

kapal-kapal yang karam, perlakuan terhadap para pedagang asing yang meninggal

di tempat tersebut, dan penggunaan barang-barang kargo kapal disebutkan pada

prasasti-prasasti tersebut. Pada Prasasti yang berasal dari abad ke- 12 juga

menyebut jenis-jenis transportasi air seperti kapal laut (jong dari Cina) dan

sampan/perahu (bahitra) yang berlabuh di Manasa di pantai utara Bali. Situasi

pelabuhan dan gangguan sosial karena diserang oleh bajak laut juga disebutkan

pada prasasti Bali.

Bali tampaknya menjadi tempat atau rute perdagangan regional yang

menghubungkan India, Asia Tenggara daratan, dan Cina pada masa Bali Kuna

sehingga aktivitas kemaritiman menjadi sangat ramai di pantai utara Bali.

Pendahuluan

Temuan arkeologi di pantai Utara Bali menunjukkan bahwa pulau ini telah

terlibat dalam kegiatan kemaritiman setidaknya sejak 2150 tahun yang lalu. Situs-

situs Sembiran dan Pacung yang merupakan bagian dari pelabuhan kuno Julah

menghasilkan artefak arkeologi terutama keramik India, daratan Asia Tenggara

dan Cina. Selain itu, kaca, manik-manik batu, serta cermin perunggu Han juga

ditemukan di Pangkung Paruk di pantai Barat Laut Bali. Dua fragmen cetakan

untuk pengecoran drum perunggu dan kapak perunggu yang ditemukan masing-

masing di Sembiran (Ardika, 1991, Ardika dan Bellwood, 1991; Calo, et al, 2015).

Penemuan serpihan cetakan menunjukkan bahwa Sembiran juga merupakan pusat

penting dari keterampilan lokal. Munculnya artefak-artefak itu menunjukkan

bahwa pertukaran atau perdagangan jarak jauh atau internasional mungkin telah

terjadi pada awal abad II Sebelum Masehi.

Prasasti Julah dan Sembiran menunjukkan bahwa kegiatan kemaritiman

dan perdagangan terus terjadi di pantai Timur Laut Bali setidaknya dari akhir abad

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 267

Denpasar, 25-26 September 2018

kedua Sebelum Masehi hingga abad XII. Transkripsi Sembiran Al berangka tahun

922 Masehi menyebutkan pasar dan petugas pasar (ser pasar) di Julah. Ketentuan

tentang hal yang dilanggar, dan muatan mereka (taban karang) juga dinyatakan

dalam prasasti (Goris, 1954, Ardika, 1991). Pada prasasti disebutkan bahwa

orang-orang yang tinggal di pemukiman berbenteng (Kuta) di Julah diserang oleh

musuh-musuh mereka (tarahan) dan beberapa dari mereka melarikan diri ke desa-

desa lain.

Makalah ini menjelaskan informasi yang berkaitan dengan aktivitas

kemaritiman di Bali pada masa Bali Kuno dari awal abad X hingga abad XII. Data

yang relevan dari periode selanjutnya juga digunakan dalam makalah ini.

Ketentuan tentang Kapal yang Terdampar (Taban / Tawan karang)

Prasasti Bali dari awal abad X Masehi menyatakan peraturan (Taban

karang) tentang kapal terdampar atau perahu di Bali Utara. Prasasti Sembiran Al

menyatakan bahwa jika ada kapal, perahu, atau kano yang terdampar di wilayah

Julah, yang diketahui oleh penduduk desa, kargo itu harus disumbangkan ke pura

untuk kesejahteraan. Tawanan harus dilaporkan kepada Sang Ratu atau Raja

Ugrasena yang memerintah Bali pada waktu itu. Untuk mempertahankan dan

memperkuat ketentuan, ibadah harus dihaturkan kepada Bhtara Punta Hyang

(Agastya) (Ardika, 1991: 227).

Sejauh ini mengenai Taban atau tawan karang, peraturan-peraturan ini

masih digunakan sampai periode kolonial pada abad XIX dan XX. Pemerintah

Belanda dan Bali telah meratifikasi peraturan tersebut, namun mereka tidak

melaksanakannya dengan benar. Kasus tawan karang di pelabuhan Sangsit di Bali

Utara sebagai pemicu perang Buleleng dan Jagaraga pada 1846 dan 1849, antara

raja Buleleng dan pemerintah Belanda. Kedaulatan Jagaraga, dan awal

kolonialisasi pemerintah Belanda di Bali Utara (Wirawan, 2017).

Fenomena serupa juga terjadi di kerajaan Karangasem dan Klungkung di

Bali Timur dan Selatan. Konflik peraturan tawan karang dari pemerintah Belanda

untuk melakukan ekspedisi militer ke Karangasem dan Kusamba, Klungkung.

Istana Karangasem diduduki oleh Belanda pada 20 Mei 1849. Raja Gusti Gede

Ngurah Karangasem, dan anggota keluarganya berjuang melawannya,

268 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

menyebabkan mereka dibunuh. Klungkung dan Kusamba dapat diduduki oleh

pasukan Belanda pada jam 3 sore pada 24 Mei 1849 (Agung, 1849: 327). Jenderal

Michiels dan pasukannya beristirahat di Istana Kusamba yang digunakan sebagai

markas besar Komandan Jenderal Michels.

Pada tengah malam tanggal 24 Mei atau saat fajar pada tanggal 25 Mei

1849, Dewa Agung Istri Kanya, A.A. Ketut Agung, dan A.A. Made Sangging

berencana untuk menyerang pasukan Belanda. Pada pukul 3 pagi tanggal 25 Mei

1849 tentara Klungkung mencapai target. Ketika peluru ditembakkan, semua

tempat yang telah gelap menjadi terang. Jenderal Michiels bisa terlihat jelas

berdiri dari istana.

Sebuah senjata ditembakkan oleh pasukan Klungkung dan kaki kanan sang

jenderal tertembak, menyebabkan dia terluka. Tulang kaki kanannya terluka parah

(Agung, 1949: 328). Petugas kesehatan menyarankan bahwa dia harus diamputasi,

namun, dia tidak setuju. Dia meminta bahwa dia dibawa ke kapal komando di

mana dia bisa dirawat. Kondisi fisiknya semakin memburuk dan akhirnya, dia

meninggal pada jam 11 malam, pada 25 Mei 1849. Pada tanggal 26 Mei 1849

mayat dibawa oleh kapal perang 'Etna' ke Batavia (Agung, 1989: 328).

Konflik antara Raja Badung dan pemerintah Hindia Belanda dipicu oleh

insiden di mana kapal berbendera Belanda 'Sri Kumala' terdampar di pantai Sanur

yang dikuasai oleh Kerajaan Badung pada 27 Mei 1904. Pemerintah Hindia

Belanda menuntut agar kompensasi sebesar 1,500 untuk penjaga akan dibebankan

kepada Raja Badung. Penduduk setempat tidak membayar kompensasi karena

mereka bersumpah bahwa mereka tidak merampok apa yang telah dibawa kapal

termasuk uang kepeng (koin dengan lubang persegi di tengah). Penolakan Raja

Badung menyebabkan perairan Badung diblokade pada 6 Januari 1905 (Agung,

1989: 5). Pada September 1906 perang berakhir atau Puputan Badung terjadi dan

kerajaan Badung ditaklukkan oleh Belanda.

Praktik hukum tawan karang semakin melemah ketika raja Bali dan

Lombok semakin akrab dengan pemerintah asing terutama pemerintah Belanda

(Wirawan, 2017: 2). Persepsi yang berbeda dari tradisi tawan karang

menyebabkan konflik berdarah dan perang yang melibatkan pemerintah kolonial

Belanda di Bali dan Lombok dari pertengahan abad XIX hingga awal abad XX.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 269

Denpasar, 25-26 September 2018

Sejak abad XIX, tradisi tawan karang juga telah disebut sebagai lembaga

hukum negara-negara tradisional yang tidak hanya dapat ditemukan di Bali dan

Lombok. Menurut van Vollenhoven, lembaga tawan karang juga dapat ditemukan

di kepulauan Tanimbar dan Kalimantan Tengah. Namun, itu didefinisikan dan

diterapkan secara fleksibel.

Peraturan untuk Pedagang Asing

Prasasti Bebetin berangka tahun 896 Masehi menggambarkan ketentuan

tentang barang-barang Banyaga (pedagang pelaut yang meninggal di Banwa

Bharu) (Goris, 1954: 54). Barang-barang dari kargo harus dibagi menjadi dua

bagian, meskipun tidak disebutkan untuk apa kedua bagian itu akan digunakan.

Pada prasasti Bebetin disebutkan juga bahwa kayu dari kapal banyaga yang rusak

digunakan untuk pagar palisade di sekitar pemukiman berbenteng (Kuta) di

Banwa Bharu. Dengan demikian tampak bahwa permukiman berbenteng di Julah

dan Banwa Bharu keduanya dikelilingi oleh pagar kayu atau bambu (Ardika,

1991: 141). Ini juga merupakan karakteristik dari kota-kota di Asia Tenggara

antara abad XV dan XVII (Reid 1980: 242).

Perlu dicatat bahwa istilah Kuta dan ser pasar (petugas pasar) juga

disebutkan dalam prasasti Bebetin Al berangka tahun 896 AD (Goris, 1954: 54).

Banwa Bharu merupakan situs pelabuhan lain di Bali Utara, yang terletak di dekat

desa Sangsit, sekitar 15 km sebelah barat Julah, di mana pelabuhan kecil tersebut

berada.

Dari prasasti Bebetin Al berangka tahun 896 Masehi dan Sembiran Al

berangka tahun 922 Masehi, tidak mungkin menemukan kapal yang rusak dapat

digunakan untuk pagar atau palisade permukiman yang dibentengi di Julah dan

Banwa Bharu.

Jenis-jenis transportasi air

Prasasti-prasasti Bali menyebutkan beberapa jenis transportasi air termasuk

perahu, bahitra, jong, lancang, dan lain-lain. Misalnya, prasasti Sembiran AI

tahun 922 Masehi yang menyebutkan: IIIb. 3 ... yan ada taban karang ditu,

parahu, lancang, jukung, talaka, ... (Ardika, 1991:227; Goris,1954). Yang berarti:

270 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

... apabila ada perahu, kapal, kano dan kano yang tertangkap berdasarkan

ketentuan taban karang di Julah. Berdasarkan prasasti Sembiran AI setidaknya

terdapat empat jenis transportasi air pada jaman itu. Prasasti ini juga menyebutkan

bahwa orang Bali bisa membuat kano atau perahu. Ada beberapa istilah untuk

transportasi air yang telah disebutkan di dalam prasasti Bali Kuna. Istilah-istilah

tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. beberapa istilah transportasi air yang disebutkan dalam prasasti Bali

Kuna

No. Prasasti Bali Namatransportasi air

1 Bebetin Al tahun 896 Masehi Lancang, parahu

2 Sembiran Al tahun 922 Masehi Parahu, lancang, jukung, talaka

3 Sembiran AIV tahun 1065 Masehi Jong, bahitra, parahu

4 Sembiran C tahun1181 Masehi Parawu, jong, banawa

Istilah parahu atau parawu telah disebutkan dalam empat prasasti yaitu

Bebetin AI (896 Masehi), Sembiran AI (922 Masehi), Sembiran AI V (1065

Masehi), dan Sembiran C (1181 Masehi). Istilah perahu atau parawu secara

harfiah berarti perahu (Zoetmulder, 1982:1280). Parahu tampaknya merupakan

transporatsi air tertua yang disebutkan dalam prasasti Bali.

Lancang disebutkan dalam prasasti Bebetin AI (896 Masehi) dan

Sembiran AI (992 Masehi). Lancang secara harfiah berarti perahu kecil

(Zoetmulder, 1982).

Istilah jukung disebutkan dalam prasasti Sembiran AI (922 Masehi).

Jukung berarti kapal kecil atau menggali kano (Zoetmulder, 1982:752). Bahkan

saat ini, jukung masih dibuat dan digunakan oleh orang Bali modern. Mirip

dengan jukung, istilah talaka hanya digunakan disebutkan dalam prasasti

Sembiran AI (922M). Talaka secara harfiah berarti kano.

Istilah Jong disebutkan dalam prasasti dari Sembiran AIV (1065 Masehi)

dan Sembiran C (1181 Masehi). Jong adalah kapal laut (Zoetmulder, 1982: 748).

Hal ini juga terkait dengan kapal khasTiongkok. Istilah bahitra hanya disebutkan

dalam prasasti Sembiran AIV (tahun 1065 Masehi). Istilah ini secara harfiah

berarti perahu atau kapal (Zoetmulder, 1982:188).

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 271

Denpasar, 25-26 September 2018

Istilah banawa disebutkan dalam prasasti Sembiran C (1181 Masehi) yang

secara harfiah berarti perahu atau segala jenis kapal (Ardika, 1991: 262).

Berdasarkan prasasti ini, Julah tampaknya menjadi salah satu dermaga atau

pelabuhan terpenting di Pantai Utara Bali. Kapal khas Tiongkok jong dan kapal

besar mungkin telah berlabuh di Julah pada abad XI dan abad XII Masehi. Selama

Dinasti Song, bangsa Tiongkok juga mengambil bagian dalam perdagangan di

luar daerah Tiongkok.

Pembajakan di Masa Bali Kuno

Kuta atau permukiman berbenteng dan Pasar atau pasar di Julah sering

kali diserang oleh musuh atau bajak laut. Serangan tersebut menyebabkan

gangguan sosial di Julah dan daerah sekitarnya. Situasi ini pertama kali

disebutkan dalam prasasti Sembiran AI tahun 922 Masehi. Prasasti tersebut

menyatakan: Ib… lagi tawan bunin,… ‗mereka terus ditangkap oleh musuh‘…

(Ardika, 1991: 221). Penduduk desa permukiman yang dibentengi di Julah

ditangkap oleh musuh, dan beberapa dari mereka mungkin telah melarikan diri ke

desa lain. Oleh karena itu, raja Ugrasena meminta mereka yang kabur ke desa lain

untuk kembali ke Julah.

Prasasti Sembiran AII tahun tahun 975 Masehi menyebutkan bahwa raja

Sri Janasadhu Warmadewa memberikan hibah berupa lempengan tembaga kepada

petugas pasar di Julah yaitu Ida Kumpi Dyah Damai yang mengumpulkan

penduduk desa Julah dan mereka yang tinggal di sekitar benteng. Banyak dari

mereka yang kembali pada masa pemerintahan Sang Ratu (Raja) yang

dimakamkan di Bwah Rangga (Ardika, 1991:228-233). Prasasti menyebutkan

peraturan tentang hak dan tanggung jawab penduduk desa Julah, dan mereka yang

tinggal di sekitar benteng.

Patut diperhatikan bahwa prasasti Sembiran AIII tahun 1016 Masehi

menandakan bahwa para pejabat desa Julah menghormati Sang Ratu (Ratu) Sri

Sang Ajnadewi. Penduduk desa mengatakan kepada ratu bahwa jumlah keluarga

yang tinggal di Julah sebelumnya adalah 300, tapi tersisa 50 keluarga. Oleh

karena itu, penduduk desa meminta pengurangan pajak kepada Ratu (Ardika,

1991:334).

272 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Atas dasar prasasti-prasasti tersebut tampaknya permukiman berbenteng

dan pasar di Julah diserang dan penduduk desa dibunuh atau ditangkap oleh

musuh atau bajak laut. Serangan ini menyebabkan warga desa Julah melarikan diri

ke desa lain. Ratu atau otoritas pusat memanggil mereka untuk kembali ke Julah.

Sang Ratu memperbarui peraturan dan juga mengurangi pajak bagi mereka yang

tinggal di Julah.

Prasasti Sembiran AIV tahun 1065 M menandakan bahwa petugas desa

Julah berkonsultasi dan memberi penghormatan kepada Paduka Haji atau Raja

Anak Wungsu. Para petugas desa di Julah meminta hibah untuk menuliskan

prasasti mereka pada pelat tembaga, yang merupakan hibah dari raja sebelumnya.

Karena mereka tidak berpikir apa yang tertulis di atas daun lontar akan

dilestarikan untuk masa depan.

Di samping itu, penduduk desa diizinkan untuk menghancurkan pohon

kelapa yang menghalangi, dan menyebabkan kapal perampas yang datang ke

Julah di malam hari tidak terlihat (Ardika, 1991: 247). Pernyataan ini

menunjukkan bahwa otoritas pusat atau raja Anak Wungsu melindungi penduduk

desa Julah dari serangan penjarah atau bajak laut.

Perampokan atau pembajakan, sejauh yang kita ketahui, jelas bahwa

kegiatan mereka menyebabkan gangguan sosial serta ketidakstabilan ekonomi.

Prasasti Sembiran AI, Sembiran AII, Sembiran AIII, dan Sembiran AIV

menunjukan bahwa penduduk desa Julah dibunuh dan ditangkap oleh penjarah,

dan beberapa dari mereka juga melarikan diri ke desa-desa lain. Gangguan sosial

di Julah ini ditangani oleh Ratu atau Raja Bali, peraturan tentang orang-orang

yang tinggal di Julah disebutkan. Dari sudut pandang ekonomi, penjarah atau

bajak laut di Julah tidak hanya membunuh dan menangkap orang, tetapi juga

merampok barang dan bahan mentah di pasar.

Kisah serupa disebutkan dalam prasasti Sawan AI atau Bila I tahun1023

Masehi. Penduduk desa Bila berkurang dari 50 hingga 10 keluarga yang tidak

dapat membayar upeti penuh, jadi mereka harus meminta raja (raja) untuk

pengurangan (Goris, 1954:101-103). Mengapa penduduk desa Bila menurun

jumlahnya tidak disebutkan dalam prasasti.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 273

Denpasar, 25-26 September 2018

Pembajakan mungkin sudah ada di Bali pada masa Bali Kuna sekitar abad

IX hingga abad XI Masehi. Bajak laut menyerang kapal-kapal yang berlabuh dan

pasar di Julah. Mereka membunuh dan menangkap penduduk desa dan merampok

kargo serta barang-barang di situs pelabuhan Julah. Desa pesisir di pantai timur

laut Bali mungkin telah dikuasai oleh bajak laut. Serangan ini menyebabkan

penduduk desa melarikan diri ke desa-desa lain, dan ini secara otomatis

menyebabkan penurunan pada angka jumlah penduduk di desa tersebut.

Kesimpulan

Bali telah terlibat dalam kegiatan kemaritiman sejak zaman prasejarah.

Prasasti Bali dari akhir abad IX hingga awal abad X menunjukan ketentuan terkait

kapal yang terdampar (taban /tawan karang) dan warisan dari pedagang asing

(banyaga) yang meninggal di Kuta atau pemukiman berbenteng di pantai utara

Bali. Peraturan-peraturan ini menunjukan bahwa otoritas pusat atau raja/ratu telah

berhasil mengendalikan wilayah pesisir Bali setidaknya pada akhir abad IX dan

awal abad ke-10. Peraturan taban / tawan karang masih diterapkan hingga abad

XX atau selama masa kolonial. Dengan kata lain, peraturan taban / tawan karang

telah digunakan selama lebih dari 1000 tahun. Peraturan taban / tawan karang

juga memicu konflik dan peperangan antara raja-raja di Bali dan pemerintah

Belanda pada abad X dan abad XX.

Beberapa jenis transportasi air disebutkan dalam beberapa prasasti di Bali

seperti: parahu, lancang, jukung, talaka, jong, bahitra, dan banawa. Istilah-istilah

ini mungkin terkait dengan ukuran dan pengukuran dari transportasi air tersebut.

Pembajakan mungkin sudah ada di Bali atau di Indonesia pada umumnya

pada awal abad X. Permukiman berbenteng atau kuta dan Pasar atau pasar di

Julah diserang oleh perampok atau bajak laut. Penduduk desa dibunuh dan

ditangkap oleh para penjarah, dan beberapa dari mereka melarikan diri ke desa

lain. Penduduk desa yang tinggal di Julah tidak dapat membayar pajak secara

penuh dan mereka meminta pengurangan kepada raja/ratu. Karena itu, raja/ratu

meminta mereka untuk kembali ke Julah.

274 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Pustaka Acuan

Agung, Ide Anak Agung Gde, 1989. Bali Pada Abad XIX. Yogyakarta: Gajah

Mada University Press.

Ardika, I Wayan. 1991. Archaeological Research in Northeastern Bali, Indonesia.

Disertation. Canberra: Australian National University.

Ardika, I Wayan and Peter Bellwood, 1991. Sembiran: the beginnings of Indian

contact with Bali. Antiquity, 1991. 65: 221-32.

Ardika, I Wayan et.al. 2016. Archaeological Research at the Blanjong Site, Sanur,

Bali. Singapore: Nalanda-Sriwijaya Centre. Archaeology Report Series.

Calo, Ambra, Bagyo Prasetyo, Peter Bellwood, James W. Lankton, Bernard

Gratuze,

Thomas Oliver Pryce, Andreas Reinecke, Verena Leusch, Heidrun Schenk,

Rachel Wood, Rochtri A. Bawono, I Dewa Kompiang Gede, Ni L.K. Citha

Yuliati, Jack Fenner, Christian Reepmeyer, Cristina Castillo & Alison K.

Carter. 2015. Sembiran and Pacung on the norht coast of Bali a strategic

croassoads for early trans Asiatic exchange. Antiquity. 89, 344: 378-396.

Goris, R. 1954. Prasasti Bali I & II. Bandung: Masa Baru.

Reid, Anthony. 1980. ‗The Structure of Cities in Southeast Asia, Fifteenth to

Seventeenth Centuries‘. JSEAS, 11,2: 235-250.

Utrecht, E. 1962. Sedjarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok. (Pertjobaan

sebuah studi hukum internasional regional di Indonesia). Bandung: Sumur

Bandung.

Wirawan, A.A.B. 2017. Tawan Karang Tradition Law and Conflict of Power in

Bali

and Lombok in the Middle of the 19th Century and beginning of the 20th

Century. Denpasar: Faculty of Arts, Udayana University.

Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese English Dictionary. S‘ Gravenhage-Martinu

Nijhoff.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 275

Denpasar, 25-26 September 2018

PENGGUNAAN KENJŌGO

MŌSHIWAKE ARIMASEN DAN MŌSHIWAKE GOZAIMASEN

DALAM DRAMA BERBAHASA JEPANG

Ni Made Andry Anita Dewi, Silvia Damayanti

Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected], [email protected]

ABSTRAK

Ragam bahasa hormat (keigo) merupakan ragam bahasa yang digunakan

masyarakat Jepang di berbagai situasi. Peranan keigo di dalam berbagai bidang

pekerjaan menjadikan keigo sebagai salah satu ragam bahasa yang perlu mendapat

perhatian.

Keigo memiliki banyak variasi dalam penggunaannya. Hal ini salah satunya

terlihat dalam dialog drama berbahasa Jepang. Munculnya berbagai variasi keigo

tersebut ditentukan oleh situasi para penutur. Situasi yang dimaksud adalah situasi

penutur di tempat kerja maupun di luar tempat kerja. Selain itu, hubungan antara

penutur juga menentukan variasi keigo yang digunakan tokoh dalam drama.

Berdasarkan fenomena tersebut, maka penggunaan variasi keigo dalam

drama berbahasa Jepang diangkat dalam makalah ini. Makalah ini bertujuan untuk

mengetahui penggunaan variasi keigo yang dilatarbelakangi dengan berbagai

situasi penutur.

Drama yang digunakan sebagai data dalam makalah ini adalah drama

berbahasa Jepang yang berjudul Natsuko Kira (2016). Drama ini bergenre wanita

karir yang menghadapi berbagai masalah dalam pekerjaan maupun kehidupan

rumah tangganya.

Kata kunci: ragam bahasa hormat, variasi keigo, sonkeigo, kenjogo, teineigo,

bikago

PENDAHULUAN

Bahasa hormat (keigo) merupakan salah satu ragam bahasa Jepang yang

digunakan untuk menyatakan rasa hormat kepada lawan tutur atau orang yang

menjadi topik pembicaraan. Ragam bahasa hormat ini, terbentuk dan digunakan

oleh masyarakat penuturnya sebagai salah satu akibat keberadaan pembedaan

stratifikasi golongan pada zaman Edo. Penggunaan ragam bahasa ini masih

berlanjut sampai sekarang dan cenderung mengalami perkembangan dalam

penggunaannya sehari-hari.

Penggunaan ragam bahasa hormat (keigo) pada awalnya digunakan untuk

membedakan derajat atau posisi seseorang berdasarkan silsilah keluarga

(kebangsawanan). Namun seiring perjalanan waktu dan zaman, penggunaan keigo

276 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

tidak sebatas hanya digunakan penutur untuk membedakan derajat maupun posisi

saja, akan tetapi lebih kepada hubungan atasan bawahan (jōgei kankei), dan

hubungan antara orang sekelompok atau tidak (uchi soto).

Ragam bahasa hormat (keigo) terdiri dari 5 (lima) klasifikasi yaitu:

sonkeigo, kenjōgo I, kenjōgo II, teineigo, dan bikago. Salah satu klasifikasi ragam

bahasa hormat (keigo) yang dibahas dalam makalah ini adalah kenjōgo. Kenjōgo

merupakan salah satu ragam bahasa hormat dengan merendahkan diri yang

bertujuan untuk menghormati lawan tutur atau orang ketiga yang menjadi topik

pembicaraan.

Salah satu ragam kenjōgo yang sering digunakan adalah ungkapan

permintaan maaf. Ungkapan permintaan maaf yang cukup sering digunakan dalam

berbagai situasi adalah mōshiwake arimasen dan mōshiwake gozaimasu. Pada

makalah ini dibahas penggunaan masing-masing ungkapan permintaan maaf

tersebut dalam data yang diambil dari drama berbahasa Jepang yang berjudul

Natsuko Kira yang ditayangkan pada salah satu channel televisi Jepang pada

tahun 2016.

PEMBAHASAN

Berikut merupakan penggunaan kenōjgo untuk menyatakan permintaan

maaf yaitu: mōshiwake arimasen dan mōshiwake gozaimasen yang terdapat dalam

drama Natsuko Kira (2016).

1. Penggunaan Kenjōgo Moshiwake Arimasen

a. Penggunaan Kenjōgo Mōshiwake Arimasen di tempat kerja (perusahaan

sendiri)

Data 1

Kira Natsuko : Moshiwake arimasen. Narubeku hayaku kekka ga dasareru you

ni ganbarimasu.

Kachō : Douzo. Nara, kongetsu ni issha demo ii, shinkyou wo torinasai.

(Natsuko Kira, 2016)

Terjemahan:

Natsuko Kira : Saya minta maaf. Saya akan bekerja keras untuk meraih target

penjualan secepat mungkin.

Kachō : Duduklah. Baik, tanda tangani setidaknya satu kontrak dengan

perusahaan baru dalam bulan ini.

(Natsuko Kira, 2016)

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 277

Denpasar, 25-26 September 2018

Pada situasi di atas, tergambar bahwa Natsuko Kira dianggap tidak

kompeten dalam bekerja sebagai kepala bagian pemasaran (marketing) oleh

direktur perusahaannya (kachō). Natsuko Kira dianggap tidak bisa memenuhi

target penjualan yang dilimpahkan kepada dirinya selaku kepala bagian

pemasaran (marketing). Alasan bahwa Natsuko Kira adalah orang yang baru

dalam bidang pemasaran sehingga tidak bisa mencapai target penjualan iklan,

tidak diterima oleh atasannya. Dalam situasi seperti itu, Natsuko Kira lalu

menyampaikan permohonan maaf atas pencapaiannya yang belum maksimal.

Bentuk permohonan maaf yang digunakan Natsuko Kira adalah ragam kenjōgo

mōshiwake arimasen.

Ungkapan mōshiwake arimasen merupakan salah satu bentuk ragam

bahasa hormat yang termasuk dalam kenjōgo. Dalam bahasa Jepang, ada beberapa

diksi yang digunakan untuk menyatakan permintaan maaf, diantaranya:

gomennasai dan sumimasen. Akan tetapi tokoh Natsuko Kira pada data di atas

memilih ungkapan mōshiwake arimasen daripada dua bentuk ungkapan lainnya.

Hal yang melatarbelakangi Natsuko Kira menggunakan ungkapan tersebut

karena lawan tuturnya adalah seseorang yang memiliki posisi dan jabatan yang

lebih tinggi daripada dirinya, yaitu seorang direktur perusahaan di tempat dirinya

bekerja. Ungkapan permintaan maaf mōshiwake arimasen merupakan salah satu

bentuk ungkapan permintaan maaf ragam formal.

Mōshiwake arimasen pada umumnya digunakan secara lisan pada saat

penutur meminta maaf kepada atasan di perusahaan tempatnya bekerja atau ketika

menjawab panggilan telepon. Salah satu alasan sering digunakannya ungkapan ini

secara lisan adalah karena jumlah karakter dalam ungkapan mōshiwake arimasen

lebih sedikit daripada ungkapan mōshiwake gozaimasen. Selain itu pula,

pengucapan atau pelafalan ungkapan mōshiwake arimasen dapat diucapkan lebih

baik dan jelas dibandingkan ungkapan mōshiwake gozaimasen.

b. Penggunaan Kenjōgo Mōshiwake Arimasen di luar lingkungan tempat

kerja

Data 2

Sakabe : Mōshiwake arimasen.

Naga jikan wo osewa suru no ga hajimete deshita node.

278 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Daiji ni totte, renraku shite shimaimashita.

Sota no : Touzen desu yo. Ayamaranaide kudasai.

otousan

(Natsuko Kira, 2016)

Terjemahan:

Sakabe : Saya minta maaf.

Ini kali pertamaku mengurus anak dalam waktu lama, jadi aku

lebih berhati-hati dan menelepon Anda.

Ayah Sota : Itu hal yang benar untuk dilakukan. Kamu tidak perlu minta maaf.

(Natsuko Kira, 2016)

Latar percakapan yang terjadi pada data 2 berbeda dengan data 1. Pada

data 2, digambarkan percakapan yang terjadi antara suami Natsuko Kira dengan

Sakabe. Sakabe bekerja sebagai pengasuh anak pada keluarga Natsuko Kira. Oleh

karena itu, hubungan antara Sakabe dengan Natsuko Kira dan juga suaminya

adalah hubungan antara pekerja dengan majikan.

Situasi pada data percakapan tersebut adalah bahwa Sakabe sengaja

menelepon suami Natsuko Kira dan memintanya untuk segera pulang ke rumah

dengan alasan Sota (anak Natsuko Kira) sakit. Padahal saat itu, Sato dalam

kondisi tidak sakit. Alasan Sakabe meminta suami Natsuko Kira untuk segera

pulang ke rumah adalah karena ingin menemuinya di saat Natsuko Kira tidak

berada di rumah. Sakabe diam-diam mulai menyukai suami Natsuko Kira.

Sakabe menggunakan kenjōgo mōshiwake arimasen saat berbicara kepada

suami Natsuko Kira untuk menyampaikan permintaan maafnya karena

menghubungi secara tiba-tiba. Hal ini dilatarbelakangi oleh statusnya sebagai

pekerja yang berbicara terhadap atasannya (majikan). Namun karena latar

terjadinya di luar tempat yang sifatnya formal seperti kantor atau perusahaan,

Sakabe lebih memilih penggunaan mōshiwake arimasen daripada mōshiwake

gozaimasen.

2. Penggunaan Kenjōgo Mōshiwake Gozaimasen di Perusahaan Lain

Data 3

Kira Natsuko : Totsuzen mōshiwake gozaimasen.

Tohoku houkoku no kira to mōshimasu.

Owakai no ni, senden hanbai no sekinin-sha wo

nasatterun desu ne.

Senden hanbai no : Ee, uchi wa heaa meeku no nakamatachi ga kyoudou de

sekininnsha kigyou shita kaisha desu.

Shachou hajime, sen’in 35 sai kanojosei desu.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 279

Denpasar, 25-26 September 2018

(Natsuko Kira, 2016)

Terjemahan

Natsuko Kira : Saya minta maaf telah mengganggumu.

Saya Kira dari Toho Advertising. Anda masih muda, tapi

bertanggung jawab untuk semua tugas publisitas.

Penanggungjawab : Ya. Perusahaan kami didirikan oleh beberapa penata gaya.

Mereka semua wanita di bawah 35 tahun, termasuk

presiden direkturnya. (Natsuko Kira, 2016)

Pada data di atas, tokoh Natsuko Kira menggunakan bentuk kenjōgo

mōshiwake gozaimasen untuk menyampaikan permintaan maaf karena tiba-tiba

datang ke sebuah perusahaan kecantikan tanpa membuat janji sebelumnya dengan

tokoh penanggungjawab pemasaran di perusahaan tersebut.

Natsuko Kira secara tidak sengaja menjumpai promosi sebuah perusahaan

kecantikan di sebuah event. Tekanan direktur perusahaan tempat ia bekerja,

memunculkan inisiatifnya untuk mencoba menawarkan kerjasama produksi iklan

kepada penanggungjawab perusahaan kecantikan tersebut. Oleh karena sadar akan

tindakannya yang tidak mematuhi norma dalam bisnis yaitu berkunjung ke suatu

perusahaan tanpa membuat janji, maka Natsuko Kira mengawali percakapan

dengan mengungkapkan permintaan maaf.

Berbeda dengan data sebelumnya, pada situasi ini Natsuko Kira

menggunakan ungkapan mōshiwake gozaimasen dikarenakan tindakannya selain

melanggar norma aturan berbisnis, juga karena lawan tuturnya adalah seseorang

yang bukan dari perusahaannya. Dalam hal ini, konsep uchi soto menyebabkan

Natsuko Kira bertutur demikian. Natsuko Kira tidak dalam wilayah atau

kelompok yang sama (uchi) dengan penanggungjawab perusahaan kecantikan

tersebut, sehingga penggunaan kenōjgo mōshiwake gozaimasen tepat digunakan

olehnya.

Ungkapan mōshiwake gozaimasen merupakan bentuk lain dari ungkapan

permintaan maaf selain mōshiwake arimasen. Pada dasarnya kedua ungkapan

permintaan maaf tersebut sebenarnya memiliki makna yang tidak berbeda, akan

tetapi keduanya memiliki tingkat kesopanan yang sedikit berbeda. Mōshiwake

gozaimasen memiliki derajat kesopanan yang lebih tinggi daripada mōshiwake

arimasen. Hal ini disebabkan adanya perubahan kata ―arimasen‖ yang menjadi

kata hormat dengan cara merendahkan diri melalui penggunaan ―gozaimasen‖.

280 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

mōshiwake arimasen mōshiwake gozaimasen

~arimasen ~gozaimasen

Bentuk ini pada umumnya digunakan pada situasi yang lebih formal

daripada ungkapan mōshiwake arimasen. Ungkapan ini sebenarnya dapat pula

digunakan secara lisan maupun tulisan, akan tetapi lawan tutur maupun situasi

lebih diperhatikan dalam penggunaannya. Lawan tutur yang dimaksud adalah

lawan tutur yang perlu diberikan perlakukan khusus dalam hal ini perlakuan yang

sangat sopan yang pada umumnya adalah mitra bisnis maupun pelanggan demi

menjaga keberlangsungan bisnis. Ungkapan permintaan maaf ini juga sangat

sering digunakan dalam bidang industri pelayanan jasa salah satunya yang

berkaitan dengan perhotelan.

Ada pula situasi penutur menggunakan ungkapan kenjōgo ini kepada

atasannya apabila penutur meminta permohonan yang sangat mendadak atau

dalam situasi meminta konsultasi lanjutan kepada atasannya. Oleh karena situasi

yang cukup merepotkan lawan tutur yang posisinya lebih tinggi, penutur

cenderung memilih ungkapan mōshiwake gozaimasen.

SIMPULAN

Ungkapan permintaan maaf melalui ragam bahasa hormat dengan cara

merendahkan diri untuk menghormati atau menaikkan posisi lawan tutur

(kenjōgo), dapat melalui ungkapan mōshiwake arimasen dan mōshiwake

gozaimasen. Ungkapan permintaan maaf mōshiwake arimasen yang digunakan

oleh tokoh dalam drama Natsuko Kira di atas dapat dituturkan pada situasi (a) di

tempat kerja (perusahaan sendiri) dan (b) di luar lingkungan tempat kerja

(perusahaan). Sedangkan ungkapan permintaan maaf mōshiwake gozaimasen

digunakan pada saat tokoh Natsuko Kira (penutur) berada di perusahaan lain dan

berbicara dengan penanggungjawab perusahaan tersebut.

Ungkapan mōshiwake arimasen dan mōshiwake gozaimasen memiliki

makna yang sama, akan tetapi yang membedakan adalah tingkat kesopanan yang

terkandung dalam kedua ungkapan permintaan maaf tersebut. Mōshiwake

gozaimasen memiliki tingkat kesopanan yang lebih tinggi dibandingkan

mōshiwake arimasen. Oleh karena itu, mōshiwake gozaimasen biasanya

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 281

Denpasar, 25-26 September 2018

digunakan oleh penutur kepada lawan tutur yang tidak dalam satu kelompok,

seperti dalam satu perusahaan yang sama. Mōshiwake gozaimasen pada umumnya

ditujukan kepada lawan tutur yang berada diluar kelompok atau komunitasnya,

karena ada status maupun jarak yang membatasi antara kedua penutur.

DAFTAR PUSTAKA

Djadjasudarma,F. 1993. Metode Linguistik. Bandung: Eresco.

Daniel, Long dan Ohashi, Rie.2013.Nihongo kara Tadoru Bunka.Hosho Daigaku

Kyoiku Shinkokai:Tokyo.

Hendry, Joy.1987.Understanding Japanese Society.Routledge:London and New

York.

Hongo, Yoji.2008. Bijin no Keigo. Tokyo: Takarajimasha Shinsho.

Imai, Tomoko.2009. Keigo Sura Sura Benri Cho. Tokyo: Nihon Noritsu Kyokai

Manejimento Senta.

Kikuchi, Yasuto.1996.Keigo Sainyumon.Tokyo: Maruzen Library.

Kajiwara, Shigeru. 2012. Keigoryaku no Kihon. Tokyo: Nihon Jigyo Shuppansha.

Leech, Geoffrey N. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.

Mizutani, Osamu & Nobuko. 1987. How To Be Polite In Japanese. Tokyo: The

Japan Times.

Matsui, Yoshikazu.1991. Nihon jin no Kangaekata (Nihon ron) e no Annai.

Urawa: The Japan Foundation Jaapanese Language Institute Urawa.

Mahsun,M.S. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Rajawali Pers.

Noguchi, Keiko.2013.Shitsurei na Keigo. Tokyo: Kobunsha.

Noguchi, Keiko.2004. Kanari Kigakanari Nihongo. Tokyo: Shuei Shinsho.

Ooshima, Rika & Jingu, Ritsuko & Kawano, Yoko.2010. Tadashii Keigo: Sono

Mama Tsukaeru Kaiwa rei & Ii kae Pureezu rei. Tokyo:

Shuwasystem.

Rahadi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.

Jakarta: Erlangga.

Suzuki, Takao.1975.Kotoba to Shakai. Tokyo: Chueikoronsha.

Suzuki, Takao.2013.Kotoba to Bunka.Iwanami:Tokyo.

Shimizu, Takafumi. 2013. Chukyu Gakusha no tame no Burasshu Appu Nihongo

Kaiwa. Tokyo: 3anet work.

Wei, Chun‘e.2014. 日本人と外国人日本語学習者の敬語使用に関する考察

dalam jurnal Yamaguchi Kunio Volume 37 halaman 52-64.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 282

Denpasar, 25-26 September 2018

MENCERMATI KEHIDUPAN REMAJA BERMASALAH DI KOTA

DENPASAR-BALI

Ni Made Wiasti, Ni Luh Arjani, I Ketut Kaler

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Persoalan kenakalan remaja merupakan fenomena yang kompleks dengan

bentuk dan penyebab yang bermacam-macam, sehingga memahami bentuk, dan

penyebab kenakalan remaja sangat penting untuk mengatasi masalahnya. Untuk

mengatasi kenakalan remaja di masyarakat, perlu diadakan kajian agar

mendapatkan data empiris serta gambaran tentang kenakalan remaja di Kota

Denpasar. Aspek-aspek penting yang dikaji adalah: 1) bentuk-bentuk kenakalan

remaja yang ada di Kota Denpasar, 2) hal-hal yang melatari terjadinya kenakalan

remaja di Kota Denpasar, dan 3) cara-cara yang ditempuh sebagai strategi

penanggulangan terhadap masalah kenakalan remaja di Kota Denpasar. Penelitian

ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif melalui teknik pengumpulan

data dengan observasi dan wawancara. Analaisis data menggunakan análisis

diskriptif interpretatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenakalan remaja di Kota Denpasar

dikelompokan menajadi dua yakni pelanggaran indeks yaitu perilaku kriminal

yang melanggagar hukum, dan pelanggaran status adalah perilaku remaja yang

melanggar hak dan kewajiban dalam statusnya sebagai anak, pelajar, anggota

masyarakat dan status lainnya. Pelanggaran indeks meliputi: pencurian,

penjambretan, pemerasan, penganiayaan, membawa senjata tajam, penggunaan

narkoba, dan melarikan anak gadis. Sedangkan pelanggaran status mencakup:

membolos sekolah, melanggar tata tertib sekolah, merusak infrastruktur sekolah,

kebut-kebutan, merokok dan minum-minum. Faktor-faktor yang melatari

kenakalan remaja ini adalah: rendahnya harapan terhadap sekolah dan nilai-nilai

pendidikan, pengaruh teman sepergaulan dan pengaruh media. Strategi

penanggulangan kenakalan remaja di Kota Denpasar meliputi: penanggulangan

bersifat umum, mencakup: usaha pembinaan pribadi remaja sejak masih dalam

kandungan melalui ibunya, pola pengasuhan anak, pendidikan di lingkungan

sekolah, pendidikan di luar sekolah dan rumah tangga. Sedangkan

penanggulangan bersifat khusus, mencakup: pengawasan, bimbingan dan

penyuluhan dan tindakan represif yakni dengan memberikan sanksi.

Semua usaha penanggulangan tersebut didasarkan atas sikap dan pandangan

bahwa remaja masih dalam proses perkembangan/pertumbuhan menuju

kematangan pribadinya yang membutuhkan bimbingan dari orang dewasa yang

bertanggung jawab.

Kata kunci: mencermati, kehidupan, dan remaja bermasalah

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 283

Denpasar, 25-26 September 2018

1. Pendahuluan

Menangani masalah kenakalan remaja. tentu saja dapat dilakukan dengan

berbagai cara. Cara yang lazim dilakukan secara resmi adalah dengan

mengadilinya sesuai dengan aturan hukum positif yang berlaku. Tetapi

kenyataannya cara-cara seperti tersebut belum mendatangkan hasil yang optimal.

Di Kota Denpasar, berdasarkan data yang dilaporkan oleh Polsek Denpasar

Selatan, Polsek Denpasar Timur, Polsek Denpasar Barat dan Utara, serta data

yang diperoleh dari 15 SMP dan 14 SMA yang ada di Denpasar, sampai dengan

tahun 2015 remaja yang melakukan perbuatan yang tergolong kenakalan remaja

mencapai angka 3.583 orang. Angka-angka tentang masalah kenakalan remaja

ini tentu belum optimal jika dibandingkan dengan apa yang sesungguhnya terjadi

dan tidak dilaporkan. Sebab kenakalan remaja masih dianggap tabu untuk dibuka

di ranah publik. Kenyataan ini cukup memprihatinkan dan sangat penting untuk

dikaji lebih mendalam.

Tampaknya penting dipahami sudut sosio-kultural terlebih dahulu,

terutama mengenai bagaimana terjadinya kenakalan remaja. Dalam konteks ini,

ada teori antropologi psikologi yang menarik untuk dicermati. Teori itu

dikemukakan oleh Margaret Mead sebagaimana dikutip oleh Danandjaja (1988 :

70-71), menegaskan bahwa kepribadian atau watak manusia merupakan sifat di

dalam organisasi intra-psikis individu anggota suatu masyarakat tertentu, yang

diperoleh karena mengalami cara pengasuhan anak yang sama, di dalam

kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan teori ini, maka dapat

diduga bahwa kenakalan remaja bukan hanya disebabkan oleh persoalan yang

terjadi saat remaja yang bersangkutan berperilaku yang menyalahi aturan. Besar

kemungkinannya kenakalan remaja berakar pada kepribadiannya yang pada

dasarnya merupakan produk sosio-kultural di dalam masyarakat, baik di dalam

lingkup rumah tangga maupun dalam lingkup sosial yang lebih luas, seperti di

sekolah dan di masyarakat luas. Jika teori tentang kepribadian atau watak ini

masih bisa diterima kebenarannya, maka penanganan masalah kenakalan remaja

bisa juga dilakukan melalui pengasuhan anak yang lebih terencana, baik di dalam

rumah tangga maupun di sekolah dan masyarakat luas. Melalui pengasuhan anak

284 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

itulah dilakukan penanaman nilai-nilai budaya yang dianggap relevan untuk

membentuk kepribadian atau watak anak sesuai dengan harapan.

Berdasarkan fenomena di atas, maka tujuan penelitian ini adalah

mengidentifikasi dan memahami beberapa hal, yakni: Bentuk-bentuk kenakalan

remaja, hal-hal yang melatari terjadinya kenakalan remaja, dan strategi

penanggulangan kenakalan remaja di Kota Denpasar.

2. Metodelogi

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian

kualitatif yang lebih mengandalkan teknik pengamatan, wawancara mendalam,

dan studi dokumen. Dalam upaya mepengumpulan data dan informasi yang

dilakukan melalui langkah-langkah: penentuan lokasi penelitian, penentuan

informan, pengamatan (observasi), wawancara mendalam,dan mendalami

dokumen trkait. Teknik analisis data dilakukan dengan teknik analisis deskriptip

interpretatif.

3. Pembahasan

3.1 Bentuk-bentuk Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja adalah suatu perbuatan yang melanggar norma, aturan,

atau hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada usia remaja atau transisi masa

anak-anak ke dewasa. Menurut Philip Rice dan Gale Dolgin, penulis buku The

Adolescence, dikatakan bahwa sesuai batasan hukum yang berlaku, terdapat dua

kategori pelanggaran yang dilakukan remaja, yakni pelanggaran indeks, dan

pelanggaran status (https://id.wikipedia.org/wiki/Kenakalan_remaja).

Pertama, pelanggaran indeks, yaitu munculnya tindak kriminal yang

dilakukan oleh anak remaja. Perilaku yang termasuk dalam katagori ini di

antaranya adalah pencurian, penyerangan, perkosaan, dan pembunuhan. Di Kota

Denpasar selama 2 tahun terakhir (2016-2017) remaja yang termasuk dalam

kelompok ini adalah mereka yang melakukan tindakan: (1) pencurian dengan

segala bentuknya yaitu: pencurian biasa/cusa sebanyak 20 orang, pencurian

dengan kekerasan/curas (16 orang), pencurian dengan pemberatan/curat (30

orang), pencurian kendaraan bermotor/curanmor (6 orang), (2) penganiayaan (21

orang) , pengeroyokan, pengancaman dan pemerasan ( 6 orang), (3) penjambretan

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 285

Denpasar, 25-26 September 2018

dan membawa senjata tajam (6 orang), (4) melarikan gadis (1 orang), dan (5)

pengguna narkotika (1 orang).

Kedua, pelanggaran status, di antaranya adalah kabur dari rumah,

membolos sekolah, minum minuman beralkohol, perilaku seksual, dan perilaku

yang tidak mengikuti peraturan sekolah atau peraturan yang diberikan oleh orang

tua. Kenakalan remaja yang termasuk dalam kelompok ini selama tahun 2016-

2017, adalah: (1) membolos sekolah (lebih dari lima kali 10 orang, (2) melanggar

tata tertib sekolah (30 orang), (3) merokok di lingkungan sekolah dan di luar

lingkungan sekolah (150 orang), 4) menggunakan minuman karas/beralkohol

penggunaan obat-obat terlarang dan seks bebas (5 orang), dan (5) kebut-

kebutan/trek-trekan dan melanggar jam malam (15 orang).

3.2 Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Kenakalan Remaja

Masa remaja merupakan masa transisi, yang biasa disebut dengan usia

yang tidak menyenangkan, dimana terjadi juga perubahan pada dirinya baik secara

fisik, psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Pada masa transisi tersebut

kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis, yang ditandai dengan

kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Pada kondisi tertentu perilaku

menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang mengganggu (Ekowarni, 1993).

Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif

dan sifat keperibadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai

penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan

dan norma yang ada di masyarakat yang biasanya disebut dengan kenakalan

remaja.

Secara umum hal-hal yang melatari munculnya fenomena kenakalan

remaja di Kota Denpasar dapat dikelompkkan menjadi dua. Pertama, faktor

internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri remaja sendiri, yakni krisis

identitas: Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan

terjadinya dua bentuk integrasi, yaitu: 1) terbentuknya perasaan akan konsistensi

dalam kehidupannya, 2) tercapainya identitas peran. Kenakalan ramaja terjadi

karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua. Seain itu kontrol diri yang

lemah di mana remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku

yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku

286 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

‗nakal‘. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah

laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah

laku sesuai dengan pengetahuannya.

Kedua, faktor eksternal adalah faktor atau hal-hal yang bersumber dari luar

individu atau remaja. Adapun hal-hal tereset adalah: 1) keluarga dan perceraian

orangtua, 2) tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, 3) perselisihan antar

anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Selain itu,

pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak

memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa

juga menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja.

3.3 Dampak Kenakalan Remaja

Dampak kenakalan remaja akan berimbas pada remaja itu sendiri, keluarga

ataupun lingkungan sekitarnya. Dampak kenakalan remaja antara lain: pertama,

mereka akan dihindari atau dikucilkan oleh banyak orang, dengan pengucilan

tersebut mengakibatnya, remaja tersebut akan mengalami gangguan kejiwaan,

namun bukan gila tetapi ia akan merasa dikucilkan dalam hal sosial, merasa sedih

atau justru membenci orang lain.

Kedua, kasus kenakalan remaja mengakibatkan remaja lebih berani

melakukan tindakan kriminal. Tidak hanya untuk pelaku kenakalan remaja,

keluarga juga akan terkena dampak dari kenakalan remaja karena harus

menanggung beban malu akibat perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kenakalan

remaja.

3.4 Penanggulangan Kenakalan Remaja di Kota Denpasar

Menanggulangi persoalan kenakalan remaja bukan merupakan pekerjaan yang

mudah, namun hal ini memerlukan kesabaran dan keahlian dalam pendekatan

terhadap para remaja yang berperilaku nakal. Secara umum Hal yang dapat

dilakukan untuk mengatasi kenakalan remaja, diantaranya: 1) remaja harus

mendapatkan figur orang dewasa yang telah melewati masa remaja dengan baik

sebanyak mungkin, 2) adanya motivasi dari keluarga, guru, teman sebaya untuk

menjalankan point pertama, 3) kemauan orang tua untuk memperbaiki kondisi

keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif dan nyaman bagi

remaja, 4) remaja harus pandai memilih teman dan lingkungan pergaulan yang

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 287

Denpasar, 25-26 September 2018

baik dan orang tua memberi arahan dengan siapa remaja harus bergaul, dan 5)

remaja harus membentuk ketahanan diri agar tidak mudah terpengaruh apabila

teman atau komunitas tidak sesuai dengan harapan.

4. Simpulan

1. Bentuk kenakalan remaja yang terjadi di Kota Denpasar dapat

dikelompokkan menjadi 2 katagori, yakni pelanggaran indeks, dan

pelanggaran status. Jenis kenakalan yang termasuk pelanggaran indeks

adalah pelanggaran hukum, dan pelanggaran status adalah pengingkaran

status sebagai pelajar, anak dan anggota masyarakat.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kenakalan remaja di Kota

Denpasar, adalah: rendahnyaharapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di

sekolah, peranan keluarga, pengaruh teman sepergaulan, pengaruh media.

3. Strategi penanggulangan kenakalan remaja, bersifat umum dan khusus.

Bersifat umum, mencakup: usaha pembinaan pribadi remaja sejak masih

dalam kandungan melalui ibunya, pola pengasuhan anak setelah lahir,

pendidikan dalam lingkungan sekolah, dan pendidikan di luar sekolah dan

rumah tangga. Bersifat khusus, meliputi: pengawasan., bimbingan dan

penyuluhan, serta melakukan tindakan represif sedini mungkin bagi remaja

yang sudah menunjukkan gejala-gejala kenakalan.

5. Daftar Pustaka

Bimo Walgito, 1998. Kenakalan Anak (Juvenile Deliquency). Yogyakarta: Andi

Offset,

Danandjaja, James. 1988. Antropologi Psikologi. Jakarta : CV Rajawali.

Elizabeth, Hurlock, 1997. ―Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Fay, Brian. 2002. Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer. Yogyakarta : Penerbit

Jendela.

Gerungan, 2000. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama.

Gunarsa, (2002). Psikologi perkembangan anak & remaja. Jakarta

: PT. Gunung Mulia

288 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Harton, B. Paul. Sosiologi, Terjemahan Aminudin Ram dan Tita Sobari. PT. Raja

Grafindo,

Koentjaraningrat. 1982.Kebudayaan,Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta : PT

Gramedia.

Koentjaraningrat. 1982. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : BinaCipta.

Koentjaraningrat, 1989. ‖Metode Wawancara‖, dalam Koentjaraningrat (ed)

Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT Gramedia.

Halaman 129-157.

Kusumah, Drs. Mulyana W. Kenakalan Remaja Dalam Perspektif Kriminologi.

Prisma No. 9, 1985.

Lexy J. Moleong, 1989, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung; Remaja Karta

Karya .

Steger, M.B. 2006. Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar. (Penerjemah: Heru

Prasetia). Yogyakarta: Lafadl Pustaka.

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Edisi Keempat, 2008. Jakarta : PT Gramedia Pustaka

Utama. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai

Pustaka.

Wiasti, dkk., 2011. Peranan Banjar Untuk Mendukung Pembangunan Denpasar

Sebagai Kota Budaya. Bappeda Kota Denpasar

Wiasti, dkk., 2012. Peranan Sekaa Untuk Mendukung Banjar Sebagai Pusat

Pengembangan kebudayaan Kota Denpasar. Bappeda Kota

Denpasar.

Sumber Internet

https://id.wikipedia.org/wiki/Kenakalan_remaja

http://www.pelajaran.co.id/2017/22/pengetian-kenakalan-remaja-jenis-bentuk-

penyebab-dan-dampak-kenakalan-remaja.html

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 289

Denpasar, 25-26 September 2018

PENGAJARAN BERBASIS ICT UNTUK MENINGKATKAN

KEMAMPUAN BERBAHASA JEPANG MAHASISWA DALAM KELAS

CHUJOKYU KAIWA

(Studi Kasus Mahasiswa Sastra Jepang, Universitas Udayana)

Ni Putu Luhur Wedayanti, Choleta Palupi Titasari

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

ABSTRAK

Dunia pendidikan sifatnya sangat dinamis, dan dituntut untuk selalu dapat

memenuhi kebutuhan pasar akan kualitas outputnya. Hal ini membuat universitas,

ataupun instansi lainnya senantiasa melakukan penelitian kelas untuk

meningkatkan kompetensi hasil proses belajar mengajar, tidak terkecuali

optimalisasi kemajuan teknologi informasi. Memfasilitasi mahasiswa dengan

materi yang sesuai jaman dan dalam kasus pengajaran bahasa, diberikan materi

yang sesuai dengan realitas, membantu meningkatkan motivasi dan kemampuan

mahasiswa dalam menggunakan bahasa Jepang yang baik dan benar.

Kata kunci : ICT, chujokyu kaiwa

I. PENDAHULUAN

Dewasa ini, teknologi berkembang pesat dan mempengaruhi sebagian besar

kehidupan manusia. Hal-hal yang beberapa dekade lalu merupakan angan belaka,

saat ini malah menjadi hal yang terlalu biasa. Semisal teknologi komunikasi yang

membuat dunia terasa sempit tanpa batas ruang dan waktu. Kemajuan teknologi

komunikasi tidak ketinggalan juga mempengaruhi dunia pendidikan. Pemanfaatan

kemajuan teknologi mulai dioptimalkan dengan dukungan dari pemerintah

terutama disediakannya skim-skim dengan dana yang mencukupi untuk

pengadaan proses belajar mengajar berbasis teknologi pendidikan.

Hanya saja, institusi pendidikan masih belum mengupayakan penyediaan proses

belajar mengajar berbasis teknologi pendidikan dengan memadai. Optimalisasi

konsep student center learning hanya teraktualisasi secara rendah dari segi

kuantitas maupun kualitas. Hal ini berkaitan dengan berbagai kendala di lapangan

menyangkut sarana dan prasarana yang tidak merata maupun faktor dari

pembelajar dan pengajar itu sendiri. Perihal tersebut menjadi tujuan dilakukannya

penelitian ini dengan alasan bahwa mengoptimalkan berbagai sarana yang tersedia

dalam bentuk teknologi komunikasi elektronik, diharapkan mampu meningkatkan

290 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

kemampuan berbahasa mahasiswa, terutama dalam kelas percakapan tingkat

menegah (kelas chujokyu kaiwa).

Penelitian ini merupakan hasil evaluasi dari kualitas output mahasiswa program

studi Sastra Jepang, Universitas Udayana yang sebagian besar masih belum

mampu memenuhi tuntutan pasar. Hanya sebagian kecil mahasiswa yang

memiliki wawasan berbahasa yang layak dan cakap teknologi. Oleh sebab itu,

penelitian yang berbasis teknologi diharapkan mampu meningkatkan motivasi

belajar mahasiswa. Optimalisasi sarana dan prasarana yang tersedia bertujuan

untuk membantu mahasiswa memahami bahasa dan budaya Jepang secara

bersamaan dan berimbang, sehingga nantinya cakap berbahasa Jepang dengan

lebih alami.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dalam mata kuliah chujokyu kaiwa. Mahasiswa semester

empat mahasiswa Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

yang mendapat dua perlakuan yang berbeda, yaitu di awal semester sampai ujian

tengah semester hanya memberikan materi tanpa ada pemaparan media visual

lainnya. Setelah dilakukan pengambilan data selama satu semester, semua data

kemudian dipisahkan per individu. Data yang diperoleh dianalisis

perkembangannya dengan melihat jawaban kuisioner mahasiswa sebagai respon

terhadap teknik pengajaran yang diberikan. Respon tersebut juga dipadankan

dengan hasil evaluasi mahasiswa yang dilakukan secara tertulis maupun yang

dilakukan secara lisan, termasuk juga pengamatan pengajar terhadap

perkembangan ataupun minat pembelajar di tiap pertemuan selama satu semester.

III. PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang menggunakan media ajar

berupa media audio visual di sebagian besar pertemuan tatap muka yang

dilakukan. Bahan ajar yang digunakan disesuaikan dengan buku ajar yang

digunakan yang telah sesuai dengan silabus maupun RPP yang telah ditentukan

oleh pengajar. Buku ajar yang digunakan adalah buku Kaiwa ni Chosen Nihongo

Roleplay. Buku tersebut terdiri dari 22 bab yang dibagi menjadi 15 kali pertemuan

tatap muka. Dari ke-22 bab tersebut, dipilih bab yang paling penting untuk

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 291

Denpasar, 25-26 September 2018

dipelajari dalam memahami kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang. Bab-bab

tersebut adalah :

Pertemuan ke-1 Bab 1 Kurasu de jiko shoukai

Pertemuan ke-2 Bab 3 Sensei wo nomikai ni sasou

Pertemuan ke-3 Bab 4 Sensei no sasoi wo kotowaru

Pertemuan ke-4 Bab 5 Tomodachi wo hagemasu

Pertemuan ke-5 Bab 6 Paatii de shoutaimen no hito to hanasu

Pertemuan ke-6 Bab 7 Denwa wo kakete dengon wo tanomu

Pertemuan ke-7 Bab 10 Kibou no heya wo sagasu

Pertemuan ke-8 UTS

Pertemuan ke-9 Bab 12 Hinichi henko no kyouka wo motomeru

Pertemuan ke-10 Bab 14 Sensei ni teisei wo motomeru

Pertemuan ke-11 Bab 15 Tetsudai wo moshideru

Pertemuan ke-12 Bab 16 Chuumon no machigai wo iu

Pertemuan ke-13 Bab 20 Mensetsu no renshuu wo suru

Pertemuan ke-14 Bab 21 Shingaku ni tsuite oshietemorau

Pertemuan ke-15 Bab 22 Tomodachi to iken wo dashi au

Pertemuan ke-16 UAS

Untuk sumber bahan ajar yang diberikan kepada mahasiswa, dipilih adalah

sumber-sumber yang memberikan materi yang sesuai dengan tema, menarik dan

layak ditampilkan di dalam kelas. Berikut adalah lama-lama resmi yang

digunakan sebagai sumber bahan ajar :

1. https://www.marugoto.org/

2. https://www.erin.ne.jp/

3. https://hirogaru-nihongo.jp/en/

4. https://minato-jf.jp/

5. www.youtube.com, ataupun sumber lainnya.

Pembahasan yang dilakukan, misalnya Pertemuan ke-12 memberikan tema

mengenai memberikan komplain mengenai pesanan salah. Tema ini diberikan

karena tema ini menunjukkan kehidupan sehari-hari masyarakat dimanapun.

Hanya saja, kerap kesulitan menggunakan bahasa Jepang untuk menyampaikan

292 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

komplain agar dipahami dan tetap terlihat santun. Oleh sebab itu, materi ini

diberikan dengan memberikan video saat memesan makanan di restoran. Isi dari

percakapan video berupa cara memesan, dan kemudian mengganti pesanan. Hal

ini membuat mahasiswa tahu cara dan situasi yang tepat menggunakan pola tata

bahasa yang telah dipelajari.

Pertemuan ke-13 memberikan tema untuk melatih wawancara. Tema ini juga

penting karena pada akirnya mahasiwa akan menghadapi wawancara kerja.

Disamping itu, mahasiswa sastra Jepang juga kemungkinan besar akan berkerja di

tempat kerja yang berhubungan dengan kultur Jepang, sehingga sangat penting

mahasiswa tahu mengenai etika saat wawancara. Video yang diperoleh dari

www.youtube.com mengenai perilaku yang baik dan buruk yang dilakukan saat

wawancara, mulai dari teknis memasuki ruangan sampai dari variasi bahasa yang

digunakan. Video ini diperlihatkan sehingga mahasiswa dapat melihat lebih jelas

mengenai praktik tersebut secara riil.

Pertemuan ke-14 memberikan tema mengenai informasi yang diperoleh

mengenai awal masuk kuliah. Cara mencari informasi ini dianggap penting untuk

diajarkan karena mahasiswa diharapkan mampu mencari informasi dengan sopan

dan dapat bertanya dengan baik ketika harus bertanya atau meminta informasi

menggunakan bahasa Jepang. Materi yang diberikan adalah materi mengenai

informasi video pengenalan sekolah yang diterima oleh Erin (tokoh dalam video).

Materi ini diberikan dengan asumsi mahasiswa tahu cara menjelaskan sesuatu,

semisal nantinya mereka menjadi pemandu wisata, mereka tahu caranya

menjelaskan tempat dengan efektif kepada wisatawan.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 293

Denpasar, 25-26 September 2018

IV. SIMPULAN

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemapuan berbahasa asing

mahasiswa sastra Jepang, FIB, Universitas Udayana dengan memanfaatkan

teknologi komunikasi yang tersedia. Media audio visual berupa video ataupun CD

yang memuat mengenai percakapan orang Jepang sehari-hari diutamakan sebagai

pendukung materi yang diberikan. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa,

mahasiswa terlihat lebih tertarik dengan budaya dan penggunaan bahasa Jepang

sehari-hari. Materi yang diberikan yang didukung dengan audio visual

memberikan gambaran lebih riil tentang penggunaan bahasa Jepang. Hal ini

membantu mahasiswa untuk menggunakan bahasa Jepang dengan lebih baik dan

benar, sesuai situasi dan kondisi.

DAFTAR PUSTAKA

Aoki, Kumiko. 2010. The Use of ICT and e-Learning in Higher Education in

Japan. World Academy of Science, Engineering and Technology

International Journal of Educational and Pedagogical Sciences,Vol. 4, No. 6

Mullamaa, Kristina. 2010. ICT in Language Learning- Benefits and

Methodological Implications. International Education Studies (Journal)

Vol.3,No.1

Yunus, Melor Md., Lubis, Maimun Aqsha dan Lin, Chua Pei. 2009. Language

Learning via ICT: Uses, Challenges and Issues. WSEAS Transactions on

Informatioan Science and Applications (Journal)Issue 9, Volume 6, p.

1453—1467.

Zhao, Y. 2003. Recent Development in Technology and Language Learning: A

Literature Review and Meta-Analysis. CALICO Journal, 21 (1): pp. 7—27

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 294

Denpasar, 25-26 September 2018

BENTUK IKONIK KELAUTAN

DALAM

NOVEL SUARA SAMUDRA KARYA MARIA MATILDIS BANDA

Ni Putu N. Widarsini

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk ikonik kelautan dalam

novel Suara Samudra karya Maria Matildis Banda. Sumber datanya berupa novel.

Untuk itu, metode simak digunakan dalam mengumpulkan data yang dibantu

dengan teknik catat. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif analitik

kualitatif berlandaskan teori semiotik Charles Sanders Peirce. Selanjutnya, hasil

analisis disajikan dengan metode informal. Berdasarkan pandangan Charles

Sanders Peirce hasil yang didapatkan adalah pada novel tersebut ditemukan

bentuk ikonik kelautan berupa gambar/ilustrasi dan urutan bagian-bagian kalimat

yang sesuai dengan urutan gerakan yang ditunjuknya.

Kata kunci : bentuk, semiotik, ikonik kelautan

1.Pendahuluan

―Revitalisasi Identitas Melalui Bahasa dan Budaya Maritim‖ adalah tema

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya (SNBB) III 2018. Sesuai dengan tema

SNBB III itu, penulis memilih fokus pada bahasa saja. Pilihan tersebut didasari

oleh pernyataan Rapar (2018:14) bahwa bahasa adalah tanda untuk

mengungkapkan dan menyatakan apa yang kita pikirkan. Pernyataan Rapar

memang benar karena pada dasarnya bahasa merupakan alat untuk

mengekspresikan diri. Dengan bahasa, seseorang dapat merealisasikan isi pikiran

atau pun perasaannya. Begitu juga halnya dengan seorang Maria Matildis Banda

(MMB).

MMB adalah seorang penulis yang ekspresif dan telah menghasilkan

banyak novel. Salah satu novelnya yang dipilih dalam tulisan ini adalah novel

Suara Samudra. Novel ini sangat cocok dengan kata maritim yang ada dalam

tema SNBB III. Kata samudra dalam judul novel menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (1995:873) berarti lautan, maritim (1995:631) berarti berkenaan dengan

laut.

Dalam novel Suara Samudra ada banyak hal yang dapat dibahas. Namun,

pada kesempatan ini banyak hal itu tidak memungkinkan untuk dibahas. Tulisan

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 295

Denpasar, 25-26 September 2018

ini hanya membahas bentuk ikonik yang ada dalam novel tersebut. Lebih khusus

lagi pada bentuk ikonik kelautan. Dengan demikian, tujuan penulisan saat ini

adalah untuk mendeskripsikan bentuk ikonik kelautan dalam novel Suara

Samudra itu.

Secara metodologis ada tahapan-tahapan yang dilakukan. Pertama, data

dikumpulkan melalui metode simak dibantu dengan teknik catat. Novel Suara

Samudra sebagai sumber data disimak, kemudian data yang telah terkumpul

dicatat dalam kartu data untuk memudahkan mengklasifikasikannya. Kedua,

analisis data dilakukan dengan metode deskriptif-analitik secara kualitatif, yakni

mendeskripsikan dan menginterpretasi data dilandasi teori semiotik trikotomis

Charles Sanders Peirce, yakni ikon, indeks, dan simbol. Zoest (1990:8)

menyatakan bahwa bahasa sebagai sistem tanda di dalamnya juga tersembunyi

sifat ikonis. Akhirnya, hasil analisis disajikan dengan metode informal.

2. Pembahasan

Novel Suara Samudra yang setebal 482 halaman berisi tujuh bagian.

Setiap bagian menggunakan judul yang berbeda dan setiap bagian memiliki

beberapa judul lagi dengan cara penulisan memakai angka. Ketujuh bagian novel

itu beserta judulnya adalah sebagai berikut.

1) Bagian Pertama : MAWAR PUTIH DI KAKI PELEDANG

1. Surat dari Lamalera

2. Biarkan Aku Pergi, Ibu

3. Selembar Kenangan

4. Namamu Tertulis di Hatiku

5. Sepenggal Doa Untukmu, Kekasihku

2) Bagian Kedua : KLERA LOLO DI ATAS TENA LAJA

6. Akan Selalu Menunggu

7. Ada Cinta di Sana

8. Kuantar Engkau ke Wulan Doni

9. Mata Cinta dan Dendam

3) Bagian Ketiga : SEIKAT LILY DI PANTAI LAMALERA

10. Baleo

11. Langit yang Membuka Rahasia

296 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

12. Apakah Hatimu Melihat

13. Air Susu Ibu

4) Bagian Keempat : KEMBANG JAGUNG DI SUDUT PANTAI

14. Blettu

15. Di Bao Futung Menanti

16. Buri di Malam Sunyi

17. Gurita Malam

18. Jagung Titi di Bawah Pukat

19. Tale Leo

20. Kudengar Seribu Meter di Bawah Air

5) Bagian Kelima : PUCUK BAMBU DI ILE MANDIRI

21. Tali Pertemuan

22. Sesuatu yang Tetap Utuh

23. Pada Haluanmu Kuletakkan Rindu

24. Bayang-Bayang Telapakmu

25. Di manakah Engkau Bapa

26. Langkah-Langkah di Atas Air

6) Bagian Keenam : RANGKAIAN JEPUN DI ANTARA LANGIT DAN BUMI

27. Izinkan Aku Bersandar Padamu

28. Yang Dicatat Waebalun

29. Sebuah Senja di Larantuka

30. Lamafa, dalam Relung Masa Lalu

7) Bagian Ketujuh : AIR MATA IBU, DI SUDUT NAJE

31. Pulang ke Lamalera

32. Dalam Pelukan Inerie

33. Di Hadapan Mata Saksi

34. Kudekap Tanganmu, Bapa

35. Kugenggam Jejakmu

36. Gripe

37. Katakan Apa Salahku

38. Yang Datang dari Gerbang

Setiap judul bagian ditulis pada satu halaman bergambar/berilustrasi yang sama.

Ilustrasi itu merupakan latar untuk menuliskan setiap judul bagian yang terlihat

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 297

Denpasar, 25-26 September 2018

secara jelas. Adapun ilustrasi itu berupa pertemuan langit di bagian atas halaman

dan laut di bagian bawahnya. Tulisan setiap judul bagian ditempatkan di bagian

pertengahan halaman dengan komposisi yang sangat artistik. Keartistikannya

dapat terlihat karena ilustrasinya sangat hidup. Tulisan setiap bagian judul dalam

novel Suara Samudra tersebut berada di atas air laut bagian batas cakrawala.

Ilustrasi pada setiap judul bagian novel Suara Samudra itu adalah sebuah

tanda. Peirce dalam Zoest (1990:8) menyatakan bahwa sebuah tanda yang dapat

menunjukkan denotatumnya melalui kemiripan merupakan tanda yang

menggambarkan, sebuah ikon. Bentuk ikonik kelautan dalam novel Suara

Samudra ini merupakan gambar/ilustrasi yang menggambarkan isi cerita dalam

novel tersebut. Selanjutnya, dalam Zoest juga dinyatakan bahwa bila tanda ikonis

dapat dianggap mendasar, primitif simbol dianggap canggih, berbudaya. Bahasa

bersifat simbolis, paling tidak sebagian besar karena kita telah melihat bahwa

ikonisitas juga bersembunyi dalam bahasa (1990:8).

Urutan bagian-bagian dalam kalimat juga bersifat ikonis, artinya urutan

tersebut sesuai dengan urutan gerakan yang ditunjuknya. Demikian diungkapkan

dalam Zoest (1990:8). Berikut ini disajikan beberapa kalimat yang dikutip dari

novel Suara Samudra.

. . . koteklema yang marah itu berada pada dalam jarak seukuran tale leo,

ketika tadi yang menghubungkan peledang dan tubuh koteklema tampak

tegang dan perahu melaju cepat. Ketika tali mengendor tanda paus naik ke

permukaan peledang pun bergerak perlahan atai diam di tempat. Peledang

oleng di tempat dan tidak bergerak sama sekali dan berserah pada alunan

gelombang . . . . (Suara Samudra, Bagian Keempat : 234).

Kutipan di atas menunjukkan bentuk ikonik kelautan dengan urutan

bagian-bagian kalimat yang sesuai dengan urutan gerakan yang ditunjuknya, yaitu

koteklema ‗paus‘ marah, tubuhnya tegang, dan perahu melaju cepat merupakan

urutan gerakan pertama. Urutan gerakan kedua adalah paus naik ke permukaan.

Urutan gerakan berikutnya adalah peledang ‗perahu‘ oleng di tempat dan tidak

bergerak. Urutan gerakan itulah yang menjadikan daya ikonik pada novel Suara

Samudra, utamanya ikonik kelautan, meski di dalam kalimat itu ada leksikon

bahasa Lamalera.

298 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Perhatikan lagi kutipan berikutnya.

Ikan paus yang sedang menari gemulai kian lama kian dekat. Mata

menatap tajam, tangan menggenggam kuat galah, dan tempuling di

ujungnya. Dengan yakin dia menghentakkan kaki, meloncat, menikam,

dan terjun ditelan samudra raya (Suara Samudra, Bagian Pertama : 9).

Sama halnya dengan kutipan pada Suara Samudra, Bagian keempat : 234,

kutipan di atas ini juga menunjukkan bentuk ikonik kelautan dengan

urutan bagian-bagian kalimat yang sesuai dengan urutan gerakan yang

ditunjuknya. Hal yang sama, yaitu bentuk ikonik kelautan tersebut terdapat

juga pada setiap bagian dari ketujuh bagian yang ada pada novel Suara

Samudra. Sebelumnya sudah dikutipkan yang ada pada Bagian Pertama

dan Bagian Keempat. Berikut ini disajikan beberapa kalimat yang

menunjukkan bentuk ikonik kelautan dengan urutan bagian-bagian kalimat

yang sesuai dengan urutan gerakan yang ditunjuknya pada bagian yang

lain.

1) Peledang Martiva Pukan didandani dengan bendera berwarna-warni.

Didorong ke tengah pasir mendekati pantai, dikelilingi segenap warga dari

seluruh desa Lamalera (Suara Samudra, Bagian Kedua : 89).

2) Anak-anak dari Lamalera A meloncat dari tangga ke tangga turun

melewati Gripe. Semua mereka berlarian ke pantai (Suara Samudra,

Bagian Ketiga : 132).

3) Ile Mandiri melaju melintasi samudra yang kian luas membentang di

kaki langit. Bunyi motor feri lebih keras terdengar sebab sebagian

penumpang sudah mengambil posisi duduk atau tidur yang aman baginya.

Laut tenang . . . . Mereka akan berlayar semalam suntuk . . . (Suara

Samudra, Bagian Kelima : 303).

4) Feri Ile Mandiri merapat ke pantai. Satu per satu penumpang turun ke

perahu sambil membawa barang bawaan. Beberapa perahu datang dan

pergi silih berganti (Suara Samudra, Bagian Keenam : 356).

5) Pagi-pagi benar, Lyra menuju Pantai Lamalera. Dia berjalan di samping

kapel Santo Petrus, memasuki pantai dan berdiri di sisi Martiva Pukan. Ia

melemparkan pandangannya ke lepas pantai yang membentang jauh ke

samudra raya (Suara Samudra, Bagian Ketujuh : 449).

Selain kutipan-kutipan di atas, tautan sintagmatik yang tertulis dalam judul

bagian novel Suara Samudra menggambarkan sebuah ikon juga. Ada bentuk

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 299

Denpasar, 25-26 September 2018

ikonik kelautan dalan judul-judul tersebut. Perhatikan judul setiap bagian itu

berikut ini.

1. Bagian Pertama : Mawar Putih di Kaki Peledang

2. Bagian Kedua : Klera Lolo di Atas Tena Laja

3. Bagian Ketiga : Seikat Lily di Pantai Lamalera

4. Bagian Keempat : Kembang Jagung di Sudut Pantai

5. Bagian Kelima : Pucuk Bambu di Ile Mandiri

6. Bagian Keenam : Rangkaian Jepun di Antara Langit dan Bumi

7. Bagian Ketujuh : Air Mata Ibu, di Sudut Naje

Tautan sintagmatik yang ada pada setiap judul di atas menunjukkan kemiripan

bentuk dengan hubungan sintagmatik secara linguistik sehingga menggambarkan

sebuah ikon kelautan. Tautan sitagmatik yang demikian bersifat ikonis. Jika setiap

judul bagian dari ketujuh bagian novel di atas ditulis : ―Di Kaki Peledang

Terdapat Mawar Putih, Di Atas Tena Laja Terdapat Klera Lolo, Di Pantai

Lamalera Terdapat Seikat Lily, Di Sudut Pantai Terdapat Kembang Jagung, Di Ile

Mandiri Terdapat Pucuk Bambu, Di Antara Langit dan Bumi Terdapat Rangkaian

Jepun, dan Di Sudut Naje Terdapat Air Mata Ibu‖, ikonisitas keberurutan menjadi

hilang.

3. Simpulan

Novel Suara Samudra yang ditulis dalam tujuh bagian memiliki bentuk

ikonik kelautan berupa gambar/ilustrasi. Ilustrasi itu merupakan sebuah tanda

yang menggambarkan isi cerita novel. Pada setiap judul bagiannya terdapat

gambar/ilustrasi yang sama. Tentunya dapat disimak dalam frekuensi yang banyak

karena ilustrasi yang sama berulang mulai dari bagian pertama sampai bagian

ketujuh.

Novel Suara Samudra karya Maria Matildis Banda ini sangat kaya dengan

bentuk ikonik kelautan. Selain berupa ilustrasi pada setiap judul bagian, novel ini

juga memiliki bentuk ikonik kelautan dengan urutan bagian-bagian kalimat yang

sesuai dengan urutan gerakan yang ditunjuknya. Hal itu ditemukan pada kalimat-

kalimat yang disimak dari bagian pertama sampai bagian ketujuh novel Suara

Samudra itu. Tautan sintagmatik pada setiap judul bagian juga menggambarkan

sebuah ikon kelautan sesuai dengan judul novel, yaitu Suara Samudra.

300 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

DAFTAR PUSTAKA

Banda, Maria Matildis. Suara Samudra. Yogyakart: PT Kanisius.

Hoed, Benny H. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Edisi Ketiga.

Jakarta: Komunitas Bambu.

Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Rapar, Jan Hendrik. 2018. Pengantar Logika: Asas-Asas Penalaran Sistematis.

Cetakan Ke-22. Yogyakarta: PT Kanisius.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus

Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua, Cetakan Keempat. Jakarta: Balai

Pustaka.

Zoest, Aart van. 1990. Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik (Terjemahan

Manoekmi Sardjoe). Jakarta: Intermasa.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 301

Denpasar, 25-26 September 2018

TATA CARA PENULISAN DAN FUNGSI SURAT RESMI,

SERTA ANALISIS PERMASALAHAN DALAM PENGGUNAAN

BAHASA INDONESIA

Ni Wayan Arnati

[email protected]

ABSTRAK

Surat sebagai media komunikasi tertulis memiliki tata cara penulisan unsur-

unsur, serta fungsi penting untuk menyampaikan pesan kepada penerima surat.

Tata cara penulisan sebagai aturan-aturan penulisan surat yang lazim digunakan

dalam sebuah instansi, baik negeri maupun swasta. Tata cara penulisan surat

mengandung norma makna dan nilai-nilai berkomunikasi tertulis. Tujuan

penyajian masalah adalah untuk mendeskripsikan dan mengkaji tata cara

penulisan dan fungsi surat, serta penggunaannya dalam bahasa Indonesia. Metode

dan teknik yang digunakan adalah metode dan teknik perolehan data, analisis

data, dan penyajian hasil analisis. Sumber data penelitian ini adalah keseluruhan

kesalahan penulisan surat resmi berbahasa Indonesia. Teori yang digunakan

mengacu pada teori komponen bahasa Langaker (1972: 2); pendapat Ubol (1981:

8) analisis permasalahan adalah deskripsi dan penjelasan yang sistematis

mengenai kesalahan pemakaian bahasa ketika menggunakan bahasa target.

Penulisan surat mengacu pendapat Triharjanto, N.S. (2008). Hasil penelitian

mencakup (1) pendeskripsian tata cara penulisan unsur-unsur dan fungsi surat, (2)

kesalahan pemakaian bahasa Indonesia dalam surat (EYD, kata, kalimat efektif,

dan paragraf), dan (3) kesalahan bentuk dan isi (pesan) surat.

Kata kunci: bahasa, surat-menyurat

I. PENDAHULUAN

Menulis surat bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Lebih-lebih untuk

menulis surat resmi dalam suatu lembaga pemerintahan atau lembaga swasta

sangat diperlukan oleh penulis suatu kepandaian atau keterampilan. Kepandaian

yang dimaksud dalam hal ini adalah seseorang yang bekerja atau bertugas sebagai

pegawai (karyawan) administrasi harus memiliki pengetahuan tentang surat-

menyurat dan terampil membuat surat untuk berkorespondensi dengan

menggunakan bahasa tulis (Indonesia) yang baik dan benar. Di samping itu,

seorang penulis surat (administrator) harus terampil pula merumuskan buah

pikirannya dengan jelas dan mudah dimengerti oleh penerima surat, sehingga

mendapat suatu tanggapan atau reaksi yang menguntungkan. Keberhasilan

komunikasi melalui surat (korespondensi) tergantung pada tata cara penulisan.

Tata cara penulisan surat merupakan aturan-aturan penulisan surat yang lazim

302 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

digunakan dalam sebuah instansi/lembaga tempat seorang administrator bekerja.

Tata cara penulisan surat mengandung makna dan nilai-nilai berkomunikasi secara

tertulis.

Surat sebagai alat komunikasi tertulis. Yang dimaksud dengan komunikasi

atau tata hubungan tertulis adalah proses penyampaian warta/pesan dari penulis

surat kepada orang lain atau penerima surat. Warta atau pesan yang disampaikan

berupa buah pikiran perasan, angan-angan, peristiwa, dan lain-lain yang ingin

disampaikan kepada orang lain sebagai penerima pesan, baik secara lisan maupun

tertulis. Wujud pesan dapat berupa perintah, permohonan, permintaan,

sanggahan, dan lain-lain.

Penulisan surat resmi terutama di lembaga pemerintahan mulai diabaikan

aturan (tata cara) penulisannya. Hal ini disebabkan oleh perkembangan teknologi

modern yang canggih. Dewasa ini, surat-menyurat dapat diakses melalui internet,

seperti hp, tablet, dan laptop. Untuk menekan atau mengurangi kesalahan

penulisan surat perlu dilakukan pembenahan melalui penelitian yang kemudian

hasilnya diabdikan kepada masyarakat, khususnya kepada lembaga, baik lembaga

pemerintah maupun swasta. Penulisan surat terutama surat resmi dalam

berkorespondensi (surat-menyurat) memiliki fungsi penting.

Berdasarkan uraian di atas, dasar pertimbangan penulisan ―Tata Cara

Penulisan dan Fungsi Surat Resmi, serta Analisis Permasalahan dalam

Penggunaan Bahasa Indonesia‖ adalah ditemukan kesalahan penulisan surat resmi

termasuk tata cara penulisannya. Untuk itu, penulis dalam kesempataun ini

menyajikan permasalahan dalam penggunaan bahasa Indonesia dan tata cara,

fungsi penulisan surat resmi.

Masalah yang dikaji dalam tulisan ini dijabarkan seperti berikut.

1) Bagaimana tata cara penulisan surat resmi?

2) Apa sajakah unsur-unsur surat dan fungsinya?

3) Bagaimanakah pemakaian bahasa Indonesia dalam surat resmi mencakup

EYD, kata (pembentukan kata, diksi, dan istilah), kalimat efektif, dan paragraf

yang benar?

4) Bagaimanakah bentuk dan isi surat yang benar?

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 303

Denpasar, 25-26 September 2018

Tujuan pengkajian masalah ini dijabarkan menjadi dua yaitu tujuan umum

dan tujuan khusus. Kedua tujuan itu dijelaskan seperti berikut. Tujuan umum: 1)

dapat mengetahui pikiran seorang penulis surat (administrator) yang dituangkan

dalam surat; 2) hasil penelitian ini dapat dipakai untuk pengabdian kepada

masyarakat, khususnya para administrator di lembaga pemerintah/swasta dan

sebagai bahan pengajaran di perguruan tinggi, khususnya pengajaran surat-

menyurat. Sedangkan, tujuan khusus adalah untuk mendeskripsikan dan mengkaji

data kebahasaan surat resmi, bentuk, fungsi, dan unsur-unsur penulisan surat

resmi.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komponen menurut

Langacker (1972:2) adalah bahasa terdiri dari komponen sintaksis, leksikon, dan

fonem. Komponen ejaan dipakai dalam penelitian ini karena bersumber pada

bahasa tulis. Dengan demikian, penelitian ini mengkategorikan kesalahan ejaan,

kata, kalimat, dan paragraf. Dalam penulisan surat, penulis menggunakan panduan

praktis yang dikembangkan oleh Triharjanto NS (2008) untuk mengkaji cara

penulisan dan bentuk surat. Di samping itu, penulis mengacu pendapat Ubol

(1981:8) analisis kesalahan adalah deskripsi dan penjelasan yang sistematis

mengenai kesalahan pemakaian bahasa, baik secara tertulis maupun lisan ketika

menggunakan bahasa target, karena bahasa dikaji berbentuk paragraf. Teori ini

diterapkan dalam interpretasi data yang dilaksanakan dengan deskripsi dan

penjelasan secara sistematis.

Metode dan teknik penelitian yang digunakan adalah metode dan teknik

perolehan data, analisis data, penyajian hasil analisis (Sudaryanto, 2016:156-157).

Populasi penelitian ini adalah keseluruhan kesalahan pemakaian bahasa Indonesia

pada surat resmi yang dibuat oleh lembaga Universitas Udayana dan fakukltas di

lingkungannya. Pengambilan sampel data bersumber pada Kantor Pusat

Universitas Udayana dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

II. PEMBAHASAN

Pada pembahasan ini, penulis mendeskripsikan dan mengkaji

permasalahan yang dijabarkan pada pendahuluan. Masalah yang dibahas adalah

seperti berikut: 1) bagaimana tata cara penulisan surat resmi; 2) apa sajakah

304 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

unsur-unsur surat dan fungsinya; 3) bagaimanakah permasalahan dan kajian

pemakaian bahasa dalam surat resmi mencakup: ejaan, kata (pembentukan kata,

istilah, dan diksi); 4) bagaimanakah permasalahan bentuk dan isi surat resmi yang

benar. Agar lebih jelas, pembahasan masalah disajikan seperti berikut.

1. Tata Cara Penulisan Surat Resmi

Surat resmi memiliki tata cara penulisan. Tata cara adalah aturan atau

pedoman yang harus diikuti oleh seorang penulis surat atau para administrator di

lembaga atau tempat bekerja. Setiap lembaga (kantor) memiliki aturan penulisan

yang lazim digunakannya.

Aturan penulisan surat resmi secara umum dapat dilihat dari:

a) pemakaian bahasa (media tulis) yang digunakan;

b) isi surat (pesan) yang disampaikan; dan

c) bentuk/format penulisan surat resmi.

Pemakaian bahasa (media tulis) yang digunakan dalam menulis surat resmi

artinya bahwa seorang penulis surat (para administrator) harus menguasai bahasa

yang digunakan. Kalau bahasa Indonesia tulis dipakai sebagai medianya, seorang

penulis surat (administrator) harus menguasai kaidah bahasa tulis atau aturan-

aturan bahasa Indonesia yang berlaku, seperti kaidah tata bahasa, EYD, kata,

kalimat efektif, dan paragraf, serta teks atau wacana. Kesalahan penulisan aturan

bahasa akan menyebabkan kesalahan makna dan berefek pada nilai/kualitas

lembaga pembuat surat.

Penulisan isi surat (pesan) yang disampaikan oleh seorang penulis surat

kepada penerima surat artinya bahwa seorang penulis surat harus menguasai

kedudukan masalah yang diperbincangkan serta latar belakangnya. Selain itu,

pesan yang disampaikan oleh penulis surat harus efektif, praktis, dan efisien.

Pesan atau informasi yang disampaikan bersifat efektif artinya pesan atau

informasi itu sesuai dengan sumber aslinya atau tepat dan benar dapat diterima

oleh pembaca/penerima surat. Pesan (informasi) bersifat praktis artinya surat itu

dapat menyimpan rahasia pesan (informasi) yang disampaikan. Sedangkan, pesan

(informasi) bersifat efisien (ekonomis) artinya penulisan pesan yang disampaikan

kepada penerima surat tidak terlalu banyak menghabiskan biaya.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 305

Denpasar, 25-26 September 2018

Penulisan surat resmi dilihat dari bentuknya berarti bahwa seorang penulis

harus mengetahui teknik pembuatan surat, posisi sebagai pembuat surat,

pemahamaan bidang pekerjaan, serta peraturan-peraturan yang berhubungan

dengan itu. Pengetahuan tentang teknik pembuatan surat artinya seorang penulis

surat harus tahu tentang penggunaan kertas surat, pengetikan surat, dan bentuk-

bentuk surat yang lazim digunakan dalam kantor/lembaga tempat bekerja.

Pengetahuan tentang posisi (kedudukan) sebagai pembuat surat harus

diketahui, misalnya apakah dia sebagai direktur atau kepala bagian, kepala seksi,

dst. Dan kepada siapa yang ditujukan surat tersebut. Sehingga pemakaian bahasa

dalam kata ganti orang harus disesuaikan dan pilihan kata (diksinya) pun

disesuaikan dengan konteks pembicaraan (komunikasi).

Di sisi lain, seorang penulis surat memahami bidang pekerjaannya.

Seorang penulis surat atau para administrator harus memahami bidang

pekerjaannya artinya dia harus tahu, mengerti, dan menerima tugas-tugas di

bidangnya sehingga pekerjaannya itu dapat dijiwai sehingga rasa nyaman akan

muncul. Sikap seorang penulis surat (administrator) seperti ini akan dapat

berkomunikasi/berkorespondensi secara lancar, baik dalam internal lembaga

maupun eksternal lembaga.

2. Unsur-unsur Surat dan Fungsinya

Unsur-unsur surat resmi dalam bahasa Indonesia mencakup 1) kepala

surat/kop surat, 2) tempat dan tanggal pembuatan surat, 3) nomor surat, 4)

lampiran, 5) hal, 6) alamat yang dituju, 7) salam pembuka, 8) paragraf pembuka,

9) paragraf isi, 10) paragraf penutup, 11) salam penutup, 12) jabatan pembuat

surat/penanda tangan surat, 13) tanda tangan, 14) nama penanda tangan, 15) NIP,

16) tembusan. Setiap unsur surat resmi tersebut memiliki fungsi masing-masing.

Berikut dijelaskan fungsi surat seperti di bawah ini.

1) Dalam kepala surat/kop surat, penulis surat biasanya mengisikan logo surat

yang berfungsi sebagai alat pengenal, alat pemberian informasi, dan sebagai

alat promosi atau tanda advertensi (iklan) (Triharjanto, 2009:13). Kepala surat

juga memiliki fungsi penting sebagai identitas lembaga.

2) Tempat dan tanggal surat berfungsi menunjukkan keberadaan surat itu ditulis

dan sebagai bukti kapan surat itu ditulis (Triharjanto, 2009:14). Jika dalam

306 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

kepala surat sudah dicantumkan tempat/alamat surat, penulis surat tidak perlu

menuliskan tempat lagi pada tanggal surat.

3) Nomor surat berfungsi sebagai petunjuk pencatatan bagi petugas administrasi.

Selain itu, surat berfungsi untuk mempermudah pengaturan dan pencarian

surat serta sebagai petunjuk jumlah surat yang keluar dalam satu periode

(Triharjanto, 2009:14).

4) Lampiran berfungsi sebagai petunjuk tentang dokumen yang disertakan

bersama surat. Jumlah lampiran pada setiap surat berbeda tergantung

kebutuhan dan urgensi dari setiap surat (Triharjanto, 2009:15).

5) Hal atau perihal dalam surat berfungsi sebagai (1) intisari secara keseluruhan,

(2) pokok permasalahan untuk diketahui penerima surat, (3) acuan bagi

petugas administrasi (Triharjanto, 2009:15).

6) Alamat yang dituju harus ditulis lengkap dan jelas berfungsi sebagai petunjuk

alamat surat yang dikirim (Triharjanto, 2009:16).

7) Salam pembuka (wacana awal) berfungsi sebagai penghormatan awal kepada

penerima surat (yang dituju oleh penulis surat). Kata-kata yang lazim

digunakan sebagai salam pembuka seperti kata Dengan hormat, Tuan yang

terhormat, Assalamualaikum (Triharjanto, 2009:16).

8) Paragraf pembuka berfungsi sebagai pengantar dari isi surat (paragraf inti

atau pokok) (Triharjanto, 2009:17).

9) Paragraf isi berfungsi untuk menceritakan hal inti (pokok) surat. Paragraf isi

(paragraf penghubung) bisa terdiri dari beberapa paragraf agar hal yang

diceritakan menjadi jelas (Triharjanto, 2009:18).

10) Paragraf penutup berfungsi sebagai menutup isi pembicaraan dalam surat atau

mempertegas bahwa pembicaraan dalam paragraf isi (penghubung) telah

selesai (Triharjanto, 2018:20).

11) Salam penutup berfungsi sebagai pemberian hormat terakhir dari

pembicaraan secara tertulis. Salam penutup sebagai kebalikan salam

pembuka.

12) Jabatan pembuat surat (orang yang menandatangani surat) berfungsi sebagai

petunjuk identitas formal dalam lembaga tempat bekerja.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 307

Denpasar, 25-26 September 2018

13) Tanda tangan dalam surat berfungsi bahwa surat yang dikirim kepada

penerima surat ada yang bertanggung jawab.

14) Nama penanda tangan dan NIP berfungsi bahwa pengirim surat menunjukkan

identitasnya dan memang benar bekerja pada lembaga yang ada pada kepala

surat (kop surat).

15) Tembusan surat yang dikirim berfungsi sebagai bukti surat sudah dikirim dan

untuk inventarisasi (Triharjanto, 2009:12-13).

3. Analisis Pemakaian Bahasa Indonesia dalam Surat Resmi

Bahasa Indonesia dalam surat resmi harus digunakan dengan baik dan

benar. Pemakaian bahasa Indonesia yang baik dalam surat resmi adalah

pemakaian ragam (variasi) bahasa sesuai dengan situasi (formal), situasi, dan

kondisi ketika membuat surat. Pemakaian bahasa yang benar adalah pemakaian

kaidah (tata bahasa) atau aturan-aturan berbahasa tulis dalam surat resmi, seperti

ejaan bahasa Indonesia, kata (pembentukan kata, istilah, dan diksi), kalimat

efektif, dan paragraf. Berikut disajikan contoh kalimat dalam bahasa surat yang

salah kemudian diperbaiki sesuai dengan aturan berbahasa Indonesia yang baik

dan benar.

308 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Data 1

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 309

Denpasar, 25-26 September 2018

Perbaikan dan kajian surat

Data 1

Perbaikan surat

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA Jln. Jendral Sudirman Denpasar, 80232, Telp. 224133, 241929, Fax. 241930

Kampus Bukit Jimbaran, Telp. 701810, Fax. 701810,

e-mail: [email protected]

No. :

Lamp. : -

Hal : Undangan Rapat

Yth. Para Dosen/Pengajar Mata Kuliah Umum (MKU)

pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

di Denpasar/Bukit Jimbaran

Dengan hormat,

Dengan ini, kami sampaikan undangan sehubungan dengan masa perkuliahan

semester genap T.A. 2016/2017 akan dimulai tgl.6 Februari s.d. 19 Mei 2017.

Untuk itu, kami mengharapkan kehadiran para dosen/pengajar MKU nanti pada:

hari/tanggal : Jumat, 3 Februari 2017;

waktu/pk : 14.00 Wita—selesai;

tempat : Gedung M.M. Lt.III FEB Unud;

acara : Rapat penugasan dosen.

Demikian undangan ini disampaikan. Atas perhatian dan kehadirannya, kami

sampaikan terima kasih.

30 Januari 2017

Hormat kami,

a.n. Dekan

Wakil Dekan I

NI NYOMAN KERTIYASA

NIP 196207171986012001

Tembusan:

1. Dekan FEB

2. Arsip

Logo

Unu

d

310 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Kajian Surat

Dari perbaikan surat (data 1) penulis deskripsikan sebagai berikut.

Berdasarkan unsur-unsur pemakaian bahasa Indonesia, ditemukan kekeliruan dan

kesalahan penulisan surat tersebut.

Dari segi penulisan ejaan ditemukan:

1) penulisan Undangan Rapat diberi garis bawah seharusnya hanya

digarisbawahi pada kata Undangan dan Rapat;

2) penulisan kata Pada dan di- seharusnya ditulis pada karena sebagai kata

penghubung, di- seharusnya tidak diberi tanda penghubung;

3) penulisan tanda baca : (titik dua) yang diikuti uraian diakhiri dengan tanda

titik koma (;). Hal ini ditemukan pada jadwal mengundang pada surat

tersebut;

4) penulisan kata Pebruari seharusnya Februari (KBBI).

Dari segi penulisan kata (diksi) ditemukan:

1) penulisan Kepada Yth. seharusnya hanya ditulis salah satu kata Kepada atau

Yth. karena maknanya sama sehingga penulisan kata tidak mubazir;

2) penulisan di- Tempat seharusnya ditulis di Denpasar/di Bukit Jimbaran karena

FEB berlokasi di dua tempat tersebut agar keberadaannya jelas;

3) penulisan kata berupa singkatan gelar yaitu M M seharusnya ditulis M.M.

(Magister Manajemen).

Dari segi penulisan kalimat efektif ditemukan:

1) penulisan kop surat tersebut sudah lengkap tetapi dalam penulisan tanggal

surat tidak perlu diisi tempat penulisan surat (Denpasar, 30 Januari 2017)

cukup 30 Januari 2017;

2) penulisan kalimat pada paragraf pengantar ditemukan kesalahan seperti

berikut.

Sehubungan dengan masa perkuliahan semester genap T.A. 2016/2017 yang

akan dimulai tanggal 6 Pebruari sampai dengan 19 Mei 2017, …. Uraian ini

sebenarnya adalah paragraf pengantar dalam surat tersebut, tetapi ditulis

menjadi satu dengan paragraf penghubung sehingga fungsi kalimat tersebut

kurang jelas.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 311

Denpasar, 25-26 September 2018

Perbaikannya seperti berikut.

Dengan ini (dengan surat ini), kami sampaikan undangan sehubungan dengan

masa perkuliahan semester genap T.A. 2016/2017. Perkuliahan akan dimulai

tgl. 6 Februari s.d. 19 Mei 2017.

Setiap kalimat harus mengandung unsur subyek, predikat, dan + keterangan.

Kalimat pertama:

Dengan ini (dengan surat ini) berfungsi sebagai keterangan.

Kami berfungsi sebagai subjek (pengirim surat).

Sampaikan berfungsi sebagai predikat.Undangan berfungsi sebagai objek.

Sehubungan dengan masa perkuliahan semester genap T.A. 2016/2017

berfungsi sebagai keterangan.

Kalimat kedua:

perkuliahan sebagai subyek

akan dimulai sebagai predikat

tgl. 6 Februari s.d. 19 Mei 2017 sebagai keterangan.

Dari segi penulisan paragraf ditemukan:

Penulisan surat pada data satu ditemukan kesalahan paragraf pembuka,

penghubung (isi), dan paragraf penutup. Perbaikan paragraf pembuka sudah

dijabarkan di atas dalam kajian kalimat efektif. Paragraf penghubung (isi) harus

ditulis tersendiri terpisah dari paragraf pembuka dan penutup agar isinya jelas.

Demikian pula penulisan paragraf penutup harus ditulis dengan kalimat-kalimat

yang jelas.

Perbaikannya seperti berikut.

Untuk itu, kami mengharapkan kehadiran para dosen/pengajar MKU nanti pada:

hari/tanggal : Jumat, 3 Februari 2017;

waktu/pk. : 14.00 Wita – selesai;

tempat : Gedung M.M. Lt.III FEB Unud;

acara : Rapat penugasan dosen.

Perbaikan paragraf penutup

Demikian undangan ini disampaikan. Atas perhatian dan kehadirannya kami

sampaikan terima kasih.

312 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Kajian kalimat pertama pada paragraf penutup yaitu Demikian berfungsi sebagai

keterangan, undangan ini berfungsi sebagai subjek, disampaikan berfungsi sebagai

predikat. Kajian kalimat kedua yaitu Atas perhatian dan kehadirannya berfungsi

sebagai keterangan, kami berfungsi sebagai subjek dan sampaikan berfungsi

sebagai predikat, dan terima kasih berfungsi sebagai keterangan.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 313

Denpasar, 25-26 September 2018

Data 2

314 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Bentuk dan isi surat

Data 2

Perbaikan surat

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS UDAYANA Alamat : Kampus Unud Bukit Jimbaran Badung, Bali

Telepon (0361) 701954, Fax. (0361) 701907

Laman : www.unud.ac.id

Nomor : 1057/UN.14.1B/TU.01.02/2017 6 Februari

2017

Lamp : Satu gabung

Hal : Sertifikasi Jabatan Arsiparis

Yth. Deputi Bidang Pembinaan Kearsipan

Arsip Nasional Republik Indonesia

di jalan Ampera Raya No. 7 Jakarta 12560

Dengan hormat,

Dengan ini, kami informasikan bahwa dalam upaya menindaklanjuti surat ANRI

no. PK.00.00/3029/2016, tanggal 17 November 2016 perihal Sertifikasi Jabatan

Fungsional Arsiparis 2017.

Berdasarka hal itu, kami mohon untuk diikutsertakan dua orang Arsiparis

Universitas Udayana a.n. 1) I Ketut Redana, S.SOS. dan 2) I Nyoman Subaga,

S.SOS. Kedua biodata calon peserta terlampir.

Demikian informasi ini disampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami

sampaikan terima kasih.

Hormat kami,

Kepala Biro Umum

KETUT AMOGASIDI

NIP

196012311986031009

Tembusan :

1. Wakil Rektor II

2. Arsip

Logo

Unud

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 315

Denpasar, 25-26 September 2018

Kajian Bentuk dan Isi Surat

Bentuk dan isi surat resmi pada data dua ditemukan kesalahan dan

kekeliruan penulisannya. Agar surat tersebut baik dan benar, penulis perbaiki

seperti pada perbaikan surat pada data dua.

Penulisan surat resmi pada data dua dari segi bentuk dapat dikaji sebagai

berikut.

1) Penulisan tempat pembuatan surat tidak perlu diisi karena dalam kop surat

sudah tertera dan lengkap sehingga menjadi mubazir.

2) Penulisan salam pembuka (Dengan hormat,) perlu diisi sebagai tata cara (etika)

berbahasa tulis yang akan dapat menunjukkan kualitas suatu lembaga.

3) Bentuk penulisan surat seharusnya dituangkan pada tiga paragraf yaitu paragraf

pembuka (pengantar), paragraf isi (penghubung), dan paragraf penutup. Yang

dalam hal ini tidak lengkap ditulis.

4) Penulisan salam pembuka harus diikuti salam penutup (Hormat kami,) yang

dalam hai ini tidak dicantumkan (dituliskan).

Berdasarkan isi surat resmi yang ditulis dapat dikaji seperti berikut.

1) Paragraf pembuka (pengantar) belum jelas dijabarkan pada data dua sehingga

mengaburkan makna surat tersebut.

2) Paragraf isi (penghubung) yang mengantar pesan dalam surat sebaiknya ditulis

pada sebuah paragraf isi.

3) Paragraf penutup harus dituangkan secara jelas dalam beberapa kalimat yang

hanya mengandung sebuah ide pokok.

III. SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan

Berdasarkan uraian dan kajian tata cara penulisan dan fungsi surat resmi

dapat disimpulkan seperti berikut. Setiap penulis surat resmi, baik untuk lembaga

pemerintah maupun swasta harus menggunakan unsur-unsur surat dan memahami

fungsi surat resmi. Penulisan surat resmi dengan menggunakan Bahasa Indonesia

316 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

ditemukan kesalahan dan kekeliruan, seperti unsur ejaan, kata, kalimat efektif, dan

paragraf. Dari unsur bentuk penulisan surat ditemukan ketidaklengkapan sehingga

melanggar tata cara (etika) berbahasa tulis resmi. Selain itu ditemukan

ketidakjelasan isi surat yang dituangkan dalam paragrap pembuka dan

penghubung.

3.2 Saran

Penulis menyarankan bahwa sebagai konseptor surat harus mengikuti tata

cara (etika) berbahasa tulis resmi agar lembaga yang dipromosikan dinilai positif

dan berkualitas oleh masyarakat penerima surat. Selain itu, konseptor surat harus

mengikuti aturan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, serta harus

mengetahui posisinya sebagai konseptor surat.

DAFTAR PUSTAKA

Akhadiah, M.K., dkk. 1985. Buku Materi Pokok Bahasa Indonesia. UNT 112/2

SKS/Modul 1-3 dan 4-6. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Universitas Terbuka.

Dalman. 2011. Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Ichan. 1983. Tata Administrasi Kekaryawanan. Jakarta: Djambatan.

Langacker, Ronald W. 1972. Fundamentals of Linguistic Analysis. New York:

Harcourt Brace Jovanovich.

NS, Triharjanto. 2008. Pedoman Menulis Surat, Cetakan II. Yogyakarta: Hanggar

Kreator.

Pratjihno. 1983. Penuntun Penyusunan Surat Keputusan. Jakarta: Djambatan.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.

Razak, Abdul. 1985. Kalimat Efektif, Struktur, Gaya dan Variasi. Jakarta: PT

Gramedia.

Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Sanata

Dharma University Press.

Sudaryanto. 2016. Cerdas Menulis Karya Ilmiah. Yogyakarta: Sanata Dharma

University Press.

Surono, Ig. 1982. Teknik Membuat Surat. Jawa Tengah: Intan 1982.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 317

Denpasar, 25-26 September 2018

Ubol, Charas. 1981. An Error Analysis of English Compositions by Thai

Students. Singapore: Seameo Regional Language Centre.

Yunisa, Nanda. 2015. Pedoman Umum EYD dan Pedoman Umum Pembentukan

Istilah. Jakarta: Victory Inti Cipta.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 318

Denpasar, 25-26 September 2018

PENINGGALAN ARKEOLOGI

DI WILAYAH DESA ADAT KEMONING

MERUPAKAN PENGARUH CORAK BUDAYA HINDU/INDIA

SEBAGAI AKIBAT HUBUNGAN SECARA MARITIM

Ni Wayan Herawathi

Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK

Penelitian terhadap tinggalan arkeologi di wilayah Desa Adat Kemoning

bertujuan merekontruksi segala aspek kehidupan (sejarah, tingkah laku serta

proses budaya) masyarakat di masa lampau. Desa Adat Kemoning memiliki

banyak tinggalan maupun nilai budaya/tradisi yang masih dilakukan masyarakat,

antaralain; seperti arca-arca, batu-batu bertuah/batu prasejarah, prasasti dari

tembaga dan rontal, relief-relief pewayangan di tembok, pelinggih-pelinggih kuna,

gerbang (paduraksa dan candi bentar) pura, keris/tombak, dll.

Artefak/tinggalan arcanya cukup banyak, dengan berbagai tokoh yang

diarcakan, antara lain arca-arca trimurti (brahma, wisnu, siwa), arca rsi, arca

bhatara di gumi (wujud leluhur Desa Kemoning mengendarai kuda), arca

telanjang sebagai lambang kesuburan/mohon punya anak, arca panji sebagai

bhatara kesenian (tari dll), arca bhatara/bhatari, arca ganesha, serta yang lainnya,.

Desa Adat Kemoning memiliki banyak pura kuna, antara lain; pura

kahyangan tiga, pura dang kahyangan, pura-pura yang letaknya sebagai penyirang

(timur laut, tenggara, arat laut, serta barat daya), pura-pura kawitan, pura-pura

paibon, serta banyak lagi pelinggih/penyiwian bhatara.

Posisipura-puratersebut yang menunjukkanpolaletak di segala penjuru mata

angin menunjukkan bahwa penataan Desa Adat Kemoning di masa lalu

berdasarkan atas konsep mandala. Mandala adalah konsep wilayah kesucian

dengan batas-batasnya. Kajianatas data–data di atas juga menunjukkan bahwa

aliran yang berkembang di Desa Adat Kemoning adalah aliran Siwa Sidhanta.

Seluruh arca-arca yang dikaji tesebut memilik fungsi yang berbeda-beda,

yaitu ada yang berfungsi sebagai simbol Beliau (sebagai pretime bhatara), sebagai

bagi anarsitektur bangunan, serta ada sebagai arca-arca penjaga (dwarapala).

Seluruharcatersebutmenunjukkandarimasa yang berbeda, yaitu dari masa

pembuatan Bali Kuna akhir, Masa Bali Madya, Masa Gelgel bahkan arca-arca

jaman kolonial. Hal ini berarti masyarakat Kemoning tumbuh dan berkembang

mulai masa-masa itu sampai sekarang. Seluruh corak tinggalan di desa ini sebagai

wujud pengaruh corak budaya Hindu India akibat hubungan antar negara maritim

lainnya.

Keywords; Kemoning, Arkeologi, Inventarisasi, pelestarian.

1. Pendahuluan

Untuk membangun bangsa yang besar maka tidak cukup hanya

pembangunan sektor pisik/material saja, tetapi harus berimbang dengan

pembangunan di bidang mental/budaya, sehingga mampu menumbuhkan karakter

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 319

Denpasar, 25-26 September 2018

bangsa. Menjadikan masyarakatmampu mengenal, memahami, mengembangkan

serta mengimplementasi nilai-nilai budaya luhur bangsanya ke dalam kehidupan

sehari-hari. Sebagaimana yang dilakukan di Desa Adat Kemoning, Klungkung

saat ini. sedang menelusuri jejak-jejak sejarah/budaya kunanya dari masa lampau

sampai masa-masa berikutnya.

Pura Puseh Desa Adat Kemoning, Klungkung sisi barat daya.

Arca-arca, dll di Gedong Pejenengan Pura Puseh Kemoning, Klungkung.

Arca-arca, dll di Gedong Pejenengan Pura Puseh Kemoning, Klungkung.

320 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Adapun pokok permasalahan yang akan dikaji, sebagai berikut:Tinggalan-

tinggal anarkeologi sapa saja terdapat di Desa Adat Kemoning?. Apa fungsi

masing-masing tinggalan tersebut pada zamannya?. Sejak kapan adanya

tinggalan-tinggalan tersebut?, terkait dengan periodisasi

makakapanadanya/keberadaan masyarakat Desa Adat Kemoning tersebut?.

Tujuan pendalaman kali ini bersifat teoritis dan praktis. Tujuan teoritis

adalah untuk menjawab permasalahan yang telah ditentukan. Melalui hasil

penelitian nanti diharafkan mampu menambah perbendaharaan teori atau

peristiwa budaya masa lalu, dalam memperkaya garbha ilmiah arkeologi.

Sedangkan tujuan praktis diharafkan hasil penelitian nanti mampu memberikan

gambaran kekunaan/sejarah atau segala sesuatu tentang Desa Adat Kemoning di

masa lalu.

Dalam usaha memecahkan masalah di atas penulis menggunakan beberapa

cara/metode penelitian, antara lain: Studi Pustaka adalah pengumpulan data dari

literatur/dokumen yang relevan dengan permasalahan. Dengan cara ini

dimaksudkan sebagai pegangan sebelum dan sesudah melakukan penelitian

dilapangan. Studi kepustakaan dapat berupa buku bacaan yang ada di desa,

laporan, dan majalah ilmiah maupun bentuk publikasi lainnya ( Surskhmad, 1981

: 47).Dengan studi kepustakaan diharapkan dapat diketahui konsep mengenai

peninggalan arkeologi/kekunaan yang ada di wilayah Desa Adat Kemoning,

Klungkung tersebut. Observasi dilaksanakan dengan mengamati langsung obyek

penelitian di lapangan. Usaha pengumpulkan data dengan cara ini dilakukan

secara sistematis dengan prosedur yang standart. Dalam observasi ini dilakukan

beberapa cara yaitu pengamatan, pencatatan, pendeskripsian, pemotretan atau bila

perlu juga penggambaran.Deskripsi baik secara kwantitatif maupun kwalitatif

(uraian verbal). Pencatatan (pendeskripsian) terhadap tinggalan arkeologi di

wilayah peneltian nanti baik dalam bentuk, ukuran-ukuran, warna, serta

dilengkapi dengan penggambaran.Wawancaradilakukan secara langsung

bertanya/mencari keterangan pada orang-orang (informan) yang mengetahui

inggalan-tinggalan yang ada di wilayah tersebut.

Pengolahan data dilakukan setelah seluruh data terkumpul, yaitu berupa

analisa, komparatif dan sintesa. Analisa dilakukan terhadap seluruh data yang

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 321

Denpasar, 25-26 September 2018

diperoleh pada tahapan sebelumnya,. baik data primer maupun sekunder

kemudian diolah (dianalisa) baik secara kwantitatif (jumlah) maupun secara

kwalitatif (analisis yang didasari atas isi atau kualitas data), Selain itu dalam

penelitian kali ini penggunaan obyek pembanding (komparatif) mutlak dilakukan

untuk memperkuat dalam sintesa (pengambilan kesimpulan). Sintesa dilakukan

pencetusan konsep baru berdasarkan atas unsur kesamaan di antara seluruh data-

data tersebut, kemudian diambil kesimpulan untuk menjawab tujuan penelitian

ataupun hipotese yang telah ditentukan sebelumnya.

2 Hasil dan Pembahasan

Arca-arca tokoh dewa/bhatara bhatari/leluhur utuh sebanyak 30 buah arca

(sebanyak 26 arca tersimpan di Gedong Pejenengan Pura Puseh Kemoning, 1

buah arca tersimpan di Pura Petingar Kemoning, 2 buah arcadi Pesimpenan

Bhatara Dalem di Pura Puseh Kemoning, serta 1 buah arca di Pura Uluwatu

Kemoning), Arca tidak utuh sebanyak 9 buah di Gedong Pejenengan Pura Puseh

Kemoning, serta 2 buah arca tidak utuh di Pura Petingar, Kemoning. Hampir

seluruh arca ini merupakan arca-arca kuna berdasarkan atas style masa pembuatan

sebelum jaman Gelgel. Keseluruhan arca ini menunjukkan 3 tahapan waktu

pembuatan, yaitu arca-arca yang ukurannya agak besar maka penulis golongkan

ke masa pembuatan Bali Kuna Akhir, kemungkinan abad 12 masehi – 13 masehi.

Sedangkan arca yang stylenya kuna tetapi lebih kecil, seukuran dengan

pretime(simbol beliau)maka penulisgolongkan ke masa Samprangan Gelgel (abad

14 – 16 masehi). Kecuali terdapat Arca Bhatara di Gumi sedang berkuda termasuk

pendamping beliau,serta Arca Acintya yang stylenya dari masa Gelgel.

Kenapa penulis menggolongkan ke masa setelah pemerintahan Raja

Udayana?,sebab jejaknya menunjukkan bahwa leluhur desa ini ingin apa yang

terdapat di Pura Pucak Penulisan, Bangli ada juga di pura-pura di Desa

Kemoning. Selain itu kwalitas bahannya lebih lemah(batu paras/semi andesit)

daripada material arca-arca di Pura Pucak Penulisan dari batu andesit murni/kuat.

Di samping itu juga arca sedikit lebih kecil dari arca-arca yang ada di Puca Pucak

Penulisan, Bangli. Sehingga bisa diinterpretasi bahwa ada jeda/jarak masa

pembuatan arca-arca Pura Pucak Penulisan dengan arca-arca di Desa Kemoning

Klungkung.

322 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Adapun kesesuaian/kesamaan/kemiripan arca-arca tersebut terletak pada

tata busana dan coraknya, sikap tangan dan atribute yang dibawa, apalagi

mahkotanya menunjukkan sejaman serta sikap/mimik semadi dengan mata

setengah terbuka atau yang kelihatan terpejam, tenang. Ketika membayangkan

kesan figur/gaya arca-arca kuna di Desa Kemoning ini menunjukkan

kemiripan/sama dengan figur arca-arca pancuran Goa Gadjah, Gianyar yang juga

sejaman dengan periodisasi arca-arca Pura Pucak penulisan, Bangli (periodisasi

arca-arca Bali menurut Stutterheim). Hal yang mentakjubkan adalah adanya

lingga di Pura Puseh Kemoning yang ada guratannyasebagai simbolis tempat

keluar air,ternyata sama dengan guratan pada lingga yang ada di Pura Pucak

Penulisan, Bangli. Selain itu bentuk arca Ganesha mirip dengan yang ada di Pura

Pucak Penulisan, Bangli. Serta adanya arca Brahma Catur Muka di Gedong

Pejenengan Pura Puseh Kemoning Klungkung, sama persis dengan arca Catur

Muka di Pura Pucak Penulisan, Bangli.

Berdasarkan misteri-misteri tersebut di atas, maka penulis perkirakan

bahwa leluhur Desa Kemoning menjadikan Pura Pucak Penulisan sebagai kiblat

religius mereka. Penulis semakin yakin bahwa masyarakat di Desa Kemoning

sudah ada sejak jaman tidak jauh waktunya/setelah masa Udayana/Penulisan

tersebut, sekitar masa Bali Kuna Akhir/Awal Bali Madya berlanjut ke masa-masa

selanjutnya.

Fungsi arca-arca yang diteliti ini secara keseluruhan menunjukkan

beberapa fungsi, yaitu sebagai arca pretime/simbolis beliau seperti arca-arca di

Gedong Pejenengan Pura Puseh Kemoning, arca Bhatara Bhatari di Pesimpangan

Bhatara Dalem Pura Puseh Kemoning, arca Bhatara/Bhatari di Pura Petingar,

Kemoning serta arca Bhatara di Pura Uluwatu Kemoning, serta yang lainnya yang

digunakan sebagai media ketika memuja beliau. Fungsi arca sebagai

penjaga/dwarapala/kinara-kinari biasanya ada di dekat pintu sebagai pengawal

beliau. Serta arca-arca sebagai patahan/bagian dari arsitektur bangunan, termasuk

seluruh relief yang ada di tembok-tembok penyengker entah bercerita atau tidak

semua itu merupakan arca dalam ukuran 2 dimensi. Biasanya berfungsi sebagai

pengruwat agar tempat suci yang ditempatinya menjadi sakral religius.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 323

Denpasar, 25-26 September 2018

3. KESIMPULAN

Kesimpulannya bahwa pakraman Desa Adat Kemoning sudah ada sejak masa

pemerintahan raja-raja Bali Kuna Akhir/abad 12 – 13 masehi, sejaman dengan

prasasti Celepik, Tojan, Gelgel, sedangkan nama desa yaitu―Kemoning‖dikenal

sejak jaman Gelgel. Berarti nama yang lebih dahulu belum dikenal/tertindih

dengan nama selanjutnya. Nama yang sebelumnya inilah yang selalu menjadi

pikiran bagi penulis untuk selalu ditelusuri, atau memang belum ada namanya.

Jika pakraman di wilayah Kemoning ini sudah ada sejak Bali kuna Akhir/Awal

Bali Madya maka bisa ditafsirkan bahwa kehidupan masyarakat sudah mulai pada

masa-masa sebelumnya, terbukti dari banyaknya terdapat batu-batu bertuah pada

pelinggih pura-pura di Kemoning.Berarti tradisi prasejarah masih dijalankan pada

masa-masa selanjutnya.

Daftar Pustaka

Ardana, I Gusti Gede, 1971 Pengertian Pura di Bali, Proyek Pemeliharaan dan

Pengembangan Kebudayaan Daerah Bali.

Gopinatha Rao, TA, 1971 Element of Bali Ikonography, no.11, part II, Daw

Prenting House, Bombay.

Goris R, 1938 Keadaan Pura-Pura di Bali, diperbanyak oleh IHD Denpasar.

1948 Sejarah Bali Kuna, Percetakan Bali,Singaraja.

Kempers, A.J. Bernet, 1959. Ancient Indonesian Art, Harvard University Press

Cambrigde Massachussett.

Moleong, Lexy J., 2005.MetodelogiPenelitianKualitatif. Bandung :Remaja

Rosdakarya.

Soekmono,1963.Ilmu PurbakaladanSejarah Indonesia. MISI Jilid I, Hal.159-169.

Sttuterheim, W.F, ttOudheden Van Bali, Terjemahan I

GustiNgurahTjakra Hotel Dirga Pura, Denpasar.

.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 324

Denpasar, 25-26 September 2018

PARIWISATA BUDAYA:

MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERIMBANG

ANTARA PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN BALI

Nyoman Reni Ariasri

Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali

[email protected]

ABSTRAK

Industri pariwisata sebagai bentuk kegiatan pembangunan ekonomi di Bali

diberi label Pariwisata Budaya. Bagi sebagian besar orang yang berkecimpung di

dalam pembagunan memandang label tersebut mengandung paradoksal. Ciri

eksploitatif pembangunan ekonomi bertentangan dengan pembangunan

kebudayaan yang bersifat heritage, bersifat pelestarian.

Fenomena perkembangan masyarakat Bali setelah mendapat pengaruh

pengembangan industri Pariwisata menarik untuk diamati. Apakah pengembangan

Pariwisata Budaya merupakan ―pembangunan berlanjut‖ (sustainable

development) di Bali? Di mana pembangunan berlanjut berarti pembangunan yang

dapat memenuhi kebutuhan masyarakat di masa sekarang tanpa menghambat

kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (Tjatera, tth.:1).

Atau dengan kata lain apakah ―Pariwisata Budaya‖ yang dekembangkan di Bali

merupakan pembangunan berimbang antara pembangunan pariwisata dan

kebudayaan Bali?

Karya tulis ini dicoba untuk menganalisis konsep Pariwisata Budaya

sebagai sarana untuk menyeimbangkan pembangunan antara pembangunan

industri pariwisata dengan pembangunan kebudayaan yang sama pentingnya.

Terutama kaitannya dengan identitas masyarakat Bali sebagai masyarakat agraris

yang berhadapan dengan industrialisme yang melekat pada industri pariwisata.

Kata kunci: pariwisata budaya, pembangunan, identitas

1. Pendahuluan

Sejak dahulu, masyarakat Bali dikenal sebagai masyarakat agraris sehingga

kebudayaannya dikenal sebagai kebudayaan agraris. Sebagai masyarakat agraris,

masyarakat Bali telah berhasil mengembangkan sistem pengairan (irigasi) yang

dapat dikatakan sebagai system indigenous (Pitana, 1989:10). Oleh karena itu,

masyarakat Bali pada dasarnya adalah masyarakat dengan mentalitas petani yang

memiliki ciri: (a) homogen dalam pekerjaan dan pandangan; (b) berorientasi pada

masa lampau dengan sedikit variasi orientasi masa kini; (c) menilai tinggi rasa

kekeluargaan dan solidaritas sosial; (c) berkembangnya pandangan bahwa

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 325

Denpasar, 25-26 September 2018

manusia tunduk pada alam dan atau mencoba hidup selaras dengan alam; serta (d)

berada dalam kondisi ekonomi substantif (Triguna, 2003: 2).

Ciri-ciri masyarakat agraris tersebut melekat sebagai identitas masyarakat

Bali dalam kurun yang sangat panjang. Namun, sejak pariwisata berkembang

menjadi andalan pengembangan ekonomi, ciri masyarakat agraris yang melekat

sebagai identitas masyarakat Bali mulai memudar. Dalam keadaan demikian

masyarakat Bali ada dalam transisi antara masyarakat dengan kehidupan

perekonomian sektor pertanian sebagai mata pencaharian pokok dengan

pengembangkan pariwisata. Dengan kata lain, masyarakat Bali ada dalam

tegangan antara tetap mempertahankan diri sebagai masyarakat tradisional (yang

agraris), mengembangkan diri menjadi masyarakat modern (dengan memilih

industri jasa pariwisata), atau menggabungkan keduanya dalam keselarasan.

Menurut Nehen (1994:93), terjadi transformasi ekonomi berupa loncatan

masyarakat primer (pertanian) ke masyarakat tersier (pariwisata) di Bali.

Apabila dilihat dari prioritas pembangunan perekonomian Bali yang

dicanangkan pemerintah sudah jelas bahwa sektor pertanian dan pariwisata

menjadi andalan (Wiranatha, 2003:14). Secara teoretis kedua sektor itu dari segi

tipologi masyarakatnya telah menampakkan ketegangan antara masyarakat

tradisional (pertanian) dan sektor modern (pariwisata).

Pembangunan perekonomian seperti itu memang diharapkan memberikan

pertumbuhan yang seimbang kepada ketiga sektor perekonomian (pertanian,

pariwisata, dan kerajinan) yang menjadi basis kegiatan perekonomian masyarakat

Bali hingga kini. Pertumbuhan salah satu sektor akan dapat menarik sektor

lainnya karena ketiga sektor perekonomian tersebut memiliki hubungan ―back

and forward‖ yang amat erat. Banyak ahli meyakini bahwa teori keseimbangan

ketiga sektor tersebut dapat diterapkan. Namun demikian, banyak pula yang

memiliki pandangan yang berbeda, khususnya mengenai keterkaitan antara sektor

pariwisata dan pertanian. Hermans (1981), Winpenny (1982), dan Mickler (1994)

percaya bahwa bila sektor pariwisata semakin berkembang pada suatu daerah

yang sebelumnya mengandalkan sektor pertanian, maka akan sangat mungkin

terjadi sektor pertanian yang sebelumnya menjadi urat nadi kehidupan

perekonomian akan mati secara perlahan. Hal ini disebabkan beberapa hal, antara

326 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

lain peralihan tataguna lahan, peralihan tenaga kerja sektor pertanian ke sektor

pariwisata, dan peralihan suplai air dari industri pertanian ke industri pariwisata.

Perubahan dan dinamika merupakan suatu ciri yang sangat hakiki dalam

masyarakat dan kebudayaan. Adalah suatu fakta tak terbantahkan, bahwa

―perubahan‖ merupakan suatu fenomena yang selalu mewarnai perjalanan sejarah

setiap masyarakat dan kebudayaannya. Tidak ada suatu masyarakatpun yang statis

dalam arti yang absolut (Pitana, 1994:3).

2. Pembangunan Pariwisata sebagai Fenomena Perubahan Sosial di Bali

Kajian teoretik mengenai ―perubahan sosial‖, menurut Marx, Weber, dan

Durkheim sudah sangat dikenal di Eropa sejak beberapa abad yang lalu.

Pandangan-pandangan mereka kemudian menjadi ―mainstream‖ kerangka

berpikir bagi sosiolog-sosiolog setelah era mereka berakhir (Wiryohandoyo,

2002:57—59).

Seperti dinyatakan oleh Storey (2003:172—173), perubahan sosial

mengimplikasikan tingkat konsensus yang tinggi. Ini berarti, masyarakat tidak

sedang berada dalam situasi tanpa konflik. Pada dasarnya perubahan sosial

diperlukan untuk membatasi konflik dan menyalurkannya pada saluran yang aman

secara ideologis. Di dalam hal ini perlakuan yang dilakukan oleh kelas atau

kelompok dominan untuk mengatasi konflik tiada lain kecuali memelihara dan

mempertahankan perubahan sosial dan mempertahankannya secara terus-menerus

dengan memberi konsesi pada kelas atau kelompok subordinatnya.

Menurut Mc. Kean (1973:26), Pariwisata adalah satu rangkaian di dalam

tradisi modern:

―Tourism is very much a part of the modern tradition, but it is

built on the foundation laid during the little and great tradition,

without which it would never been started and without which it

will not florish in the future‖.

Pandangan Mc. Kean tersebut sejalan dengan keadaan masyarakat Bali yang

telah memasuki Pariwisata dalam kurun waktu cukup lama, berada dalam stigma

antara kebudayaan modern (pariwisata) dengan kebudayaan tradisional (petani).

Masyarakat Bali yang pada dasarnya adalah masyarakat agraris mengalami

perubahan sosial akibat dominasi pariwisata yang lebih menjanjikan peningkatan

taraf hidupnya. Di sini tampak Pariwisata apabila dianalogikan sebagai

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 327

Denpasar, 25-26 September 2018

―kelompok penguasa‖ yang dominan di dalam suatu masyarakat yang secara

eksklusif melestarikan dominasinya (terhadap masyarakat Bali yang agraris)

dengan melegitimasi kekuasaannya melalui ―persetujuan spontan‖. Dalam pada

itu, kelompok subordinat menciptakan negoisasi konsesus politik maupun

ideologis yang menyusup ke dalam kelompok dominan maupun yang didominasi

(Strinati, 2003: 188—189).

3. Pariwisata sebagai Pengemban Involusi Kultural dalam Masyarakat Bali

Pada latar belakang terdahulu telah diuraikan sedikit ciri masyarakat Bali

sebagai masyarakat agraris. Pada perkembangannya kemudian, mengalami

pergeseran-pergeseran seiring dengan kemajuan (progress) dalam berbagai bidang

kehidupan, termasuk dalam sistem mata pencaharian. Menurut Mc. Kean

(1973:19—27) kehidupan masyarakat Bali pada masa kini, secara keseluruhan

menggambarkan ciri-ciri masyarakat dengan klasifikasi masyarakat dengan tradisi

kecil, tradisi besar, dan tradisi modern (dalam Geriya, 1995:3).

Seiring perkembangan zaman, masyarakat Bali kemudian lebih terbuka.

Interaksi dengan masyarakat luar Bali kemudian lebih intensif dilakukan.

Terutama penaklukan Belanda atas Bali yang terjadi antara tahun 1846—1906,

membuat masyarakat Bali semakin intens berinteraksi dengan masyarakat luar

Bali. Kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1849, Badung pada

tahun 1906, dan Klungkung pada tahun 1908. Kemudian sejak kemerdekaan

Indonesia tahun 1945, di mana pulau Bali kemudian menjadi bagian Negara

Republik Indonesia, menyebabkan masyarakat Bali semakin intens mendapat

pengaruh luar (cf. Geriya, 1995:4). Dengan demikian, ciri-ciri masyarakat modern

pun kemudian melekat pula dalam kebudyaan Bali.

Ciri modernitas tersebut selanjutnya bersamaan dengan Pariwisata sebagai

manifestasi modernisasi dalam masyarakat Bali. Dengan demikian, Pariwisata

dalam arus modernitas merupakan pengemban involusi kultural. Di mana

Pariwisata mengarahkan perkembangan kebudayaan ke suatu arah modernitas.

Pariwisata pada satu sisi berdampak positif karena telah memberi kontribusi tidak

kecil pada kesejahteraan masyarakat Bali, begitu pula dalam perkembangan

kebudyaan Bali. Pariwisata telah mendorong munculnya kreatifitas baru dalam

berkesenian. Ambil contoh misalnya dalam bidang seni pertunjukkan, telah

328 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

muncul sendratari ramayana untuk konsumsi tourisme. Berbagai bentuk kesenian

yang dahulunya hampir tidak pernah dipentaskan lagi, tiba-tiba muncul kembali

dikemas sebagai daya tarik Pariwisata.

4. Penutup

Berdasarkan uraian terdahulu, dapatlah dipahami bahwa pembanguna

sektor industri pariwisata sebagai sarana ekonomi dapat berjalan beriring dengan

pembangunan kebudayaan Bali. Walapun upaya hegemoni yang terjadi akibat

industri pariwisata yang mendominasi kehidupan masyarakat, namun dengan

konsep Pariwisata Budaya, kedua aras pembangunan dapat berjalan secara

seimbang sesuai dengan porsinya.

Sesuai dengan konsepsinya, Pariwisata Budaya memberi kemungkinan

industri pariwisata tidak menghegemoni pembangunan kebudayaan di Bali.

Bahkan sebaliknya, industri pariwisata memberikan kemungkinan untuk

mengembangkan kebudayaan sebagai komoditi pariwisata tanpa harus

menisbikannya. Dengan demikian, konsepsi Pariwisata Budaya justru

mewujudkan pembangunan berimbang antara pariwisata dan kebudayaan Bali

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 329

Denpasar, 25-26 September 2018

DAFTAR PUSTAKA

Geriya, Wayan. 1995. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional,

Global: Bunga Rampai Antropologi Pariwisata. Denpasar: Upada

Sastra.

Hermans, D. 1981. ―The Encounter of Agriculture and Tourism: A Catalan Case‖.

Annals of Tourism Research. 8 (3): 462—479.

Mc. Kean, Philip Frick. 1973. ―Cultural Involution Tourist Balinese and the

Process of Modernization in an Anthropological Perspective‖.

Disertasi Ph.D. pada Jurusan Antropologi Universitas Brown USA,

Mickler, M. 1994. ―Developement at The Crossroads Versus the Environment in

Bali, Indonesia. IOCPS Paper No. 37. Nedlands, Western Australia:

Indian Ocean Centre for Peace Studies, The University of Western

Australia.

Nehen, I Ketut. 1994. Transformasi Ekonomi di Bali: Loncatan Masyarakat

Primer ke Masyarakat Tersier dalam Dinamika Masyarakat dan

Kebudyaan Bali (Pitana, I Gde (ed). Denpasar: Penerbit BP.

Pitana, I Gde. 1989. Jointly-Manage Subak: Roles of Farmers and

Government in Irrigation Management in Bali. Manila: The

Faculty of the Graduate School Ateneo de Manila University.

Strinati, Dominic. 2003. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya

Populer. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Tjatera, I Wayan. tth. “Pembangunan Berlanjut (Sustainable Development)”.

Materi Kuliah Studi Pembangunan Program Magister (S2) Kajian

Budaya Universitas Udayana.

Triguna, Ida Bagus Gede Yuda. 2003. ―Kearifan Lokal Di Lingkungan Keluarga‖.

Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.

Winpenny, J.T. 1982. ―Some Isues in The Identification and Appraisal of Tourism

Projects in Developing Countries‖. Tourism Managemant. 3 (4):

218—221.

Wiranatha, Agung Suryawan. 2003. ―Potret Bali Kini dan Masa Depan‖ dalam

Jurnal Ilmiah Dinamika Kebudayaan. Denpasar: Lembaga Penelitian

Universitas Udayana.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 330

Denpasar, 25-26 September 2018

KEPERCAYAAN DALAM SIKLUS KEHIDUPAN

PADA MASYARAKAT SUNDA PESISIR

(KECAMATAN PAMEUNGPEUK, KABUPATEN GARUT,

JAWA BARAT)

Risma Rismelati, Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran

ABSTRAK

Setiap bangsa di berbagai belahan dunia ini pastinya memiliki tradisi leluhur

yang bertahan dan berkembang dari generasi ke generasi. Tradisi tersebut

kemudian menjadi sebuah identitas diri yang mencerminkan nilai-nilai budaya

yang unik dan berkarakter. Menurut Clyde Kluckhohn dalam Pelly (1994), nilai

budaya merupakan sebuah konsep beruang lingkup luas yang hidup dalam alam

pikiran sebagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang paling

berharga dalam hidup. Nilai budaya itu akhirnya tumbuh menjadi suatu

kepercayaan masyarakat yang dijadikan sebagai aturan paling mendasar dalam

menjalani siklus kehidupan. Hal ini dapat dilihat secara nyata dalam siklus

kehidupan masyarakat Sunda di wilayah pesisir Jawa Barat. Fokus kepercayaan di

sini adalah bentuk-bentuk tradisi yang masih dilakukan secara turun temurun

dalam fase kehidupan manusia, seperti fase kelahiran, pernikahan, dan kematian.

Maka dari itu penelitian ini akan fokus mengkaji kepercayaan yang berkaitan

dengan siklus kehidupan pada masyarakat Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa

Barat. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan metode kualitatif deskripstif.

Dalam memupu data digunakan metode lapangan karena peneliti terjun langsung

ke masyarakat, melakukan wawancara langsung pada nara sumber dan

melakukan metode survey melalui penyebaran daftar kuesioner.

I. Pendahuluan

Indonesia adalah bangsa yang memiliki keberagaman suku dan budaya.

Setiap suku memiliki keberagaman adat atau kebiasaan dalam menjalankan

kehidupan sehari-hari maupun upacara adat yang berupa seremonial yang

menggunakan berbagai ritual yang berbeda-beda di setiap pelaksanaannya. Tidak

jarang pula adat ini turut mengatur segala aspek kehidupan masyarakatnya

terutama hal-hal yang krusial, misalkan seperti melahirkan, khitanan, menikah dan

meninggal. Proses perjalanan hidup manusia tersebut dikenal dengan istilah siklus

atau daur kehidupan manusia. Antara fase yang satu dengan fase berikutnya saling

berkesinambungan. Karena untuk mencapai suatu fase kehidupan, manusia harus

melewati lebih dulu fase sebelumnya. Dalam tiap-tiap fase kehidupan tersebut,

manusia dihadapkan pada lingkungan yang membesarkan mereka. Oleh karenanya

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 331

Denpasar, 25-26 September 2018

terdapat interaksi sosial dalam pembentukan karakter seorang manusia. Dalam

interaksi sosial tersebut biasanya dilakukan penanaman nilai-nilai seperti nilai

agama, nilai sosial, dan nilai budaya yang berlaku bagi masyarakat tersebut.

Penanaman nilai-nilai tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, satu di

antaranya melalui pembelajaran dari suatu kepercayaan yang dianggap dapat

menjadi aturan atau rambu-rambu dalam bersikap dan bertingkah laku di

kehidupan sehari-hari.

Berkaitan dengan artiekl ini, penulis mengkaji kepercayaan dalam siklus

kehidupan suatu masyarakat yang menjadi aturan dalam menjalani kehidupan

sehari-hari. Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat

Sunda di wilayah Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pemilihan

wilayah tersebut didasarkan pada dugaan kuat peneliti bahwa masyarakat di

wilayah itu masih memiliki kepercayaan terhadap hal-hal yang boleh dan tidak

boleh, harus dan tidak harus dilakukan dalam tiap-tiap fase kehidupan manusia.

Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bentuk-bentuk

kepercayaan dalam siklus kehidupan masyarakat Sunda di wilayah Pameungpeuk,

Kabupaten Garut, Jawa Barat.

II. Kajian Teori

Menurut Clyde dan Kluckhohn dalam Pelly (1994), nilai budaya merupakan

sebuah konsep beruang lingkup luas yang hidup dalam alam pikiran sebagian

besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang paling berharga dalam hidup.

Nilai budaya itu akhirnya tumbuh menjadi suatu kepercayaan masyarakat yang

dijadikan sebagai aturan paling mendasar dalam menjalani siklus kehidupan. Hal

ini dapat dilihat secara nyata dalam siklus kehidupan masyarakat Sunda di

wilayah pesisir Jawa Barat. Fokus kepercayaan di sini adalah bentuk-bentuk

tradisi yang masih dilakukan secara turun temurun dalam fase kehidupan manusia,

seperti fase kelahiran, pernikahan dan kematian.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan

mengambil dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

Sumber data primer adalah data di lapangan mealui participant observation.

Selanjutnya, untuk melengkapi data primer, digunakan pula data sekunder, yaitu

332 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

sumber kepustakaan. Dalam penelitian ini, untuk memperoleh sumber data primer

digunakan teknik partisipant observation (Adler dan Adler, 1994: 377), indepth

interview (Fontana dan Frey, 1994: 365‒366), dan studi kepustakaan. Partisipant

observation dipilih untuk menjalin hubunan baik dengan informan. Pengamatan

dilakukan ke lapangan atau ke lokasi penelitian untuk memperoleh deskripsi

mengenai kepercayaan dalam siklus kehidupan masyarakat Sunda di kecamatan

Pameungpeuk, Kabupaten Garut Jawa Barat.

Pameungpeuk merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Garut,

Provinsi Jawa Barat yang berjarak sekitar 86 km dari pusat kota Garut ke selatan.

Pusat pemerintahannya berada di Desa Mandalakasih. Kecamatan ini terletak di

wilayah Garut Selatan dan menjadi pusat kecamatan paling berkembang di

kawasan ini. Kecamatan Pameungpeuk sebelumnya disebut Nagara karena diduga

akan ramai seperti pelabuhan Sunda Kelapa di Jakarta (dahulu Batavia). Awalnya

kecamatan ini merupakan bagian dari Kabupaten Soekapoera sebelum menjadi

bagian dari Kabupaten Garut. Sedari zaman Belanda, Pameungpeuk dikenal

sebagai salah satu destinasi wisata pesisir laut selatan karena keindahan alamnya.

Sehingga, sejak zaman penjajahan Belanda pulalah, infrastruktur jalan dari kota

Garut menuju Pameungpeuk sudah terbangun. Penjajah memiliki kepentingan

membangun jalan untuk mempermudah akses pengangkutan hasil perkebunan teh

dan karet. Dulunya, perkebunan teh membentang dari Cikajang hingga Neglasari.

Kini, tanaman teh hanya dijumpai sepenggal-sepenggal. Perkebunan karet di

kawasan seperti Cilaut, Nagara, dan Cimari juga tak lagi berproduksi. Selain

kejutan kelokan tajam, pemandangan pepohonan hutan, dan perkebunan teh,

jalanan menuju Pameungpeuk juga menghadirkan kecantikan air terjun alami.

Keindahan air terjun dengan sungai-sungai berair jernih ini semakin menjadi

limpahan pemandangan jika wisatawan menempuh jalan dari arah Ciwidey atau

Pengalengan menyusuri pantai selatan menuju Pameungpeuk. Selain itu, obyek

wisata yang digadang-gadang untuk promosi tak lain adalah Pantai Cilauteureun.

Teluk Cilauteureun menjadi zona wisata yang luar biasa yang menghadap

langsung ke Samudra Indonesia (melalui https://naratasgaroet.net/2016/06/24/

sadjarah-pameungpeuk-poesaka-soenda-1924/ dan https://travel.kompas.com/

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 333

Denpasar, 25-26 September 2018

read/2015/03/25/122700327/Kenangan.Sepenggal.Pameungpeuk diakses pada 3

September 2018)

Secara administratif, kecamatan Pameungpeuk terdiri atas 8 desa, yakni Desa

Bojong, bojong kidul, Jatimulya, Mancagahar, Madalakasih, Paas, Pameungpeuk

dan Sirnabakti (Laporan Bulanan Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut,

Juni 2018).

III. Pembahasan

Siklus kehidupan manusia merupakan putaran hidup yang dialami manusia

secara berulang-ulang secara tetap dan teratur. Berkait dengan artikel ini, putaran

hidup yang dibahas meliputi kelahiran, pernikahan, dan kematian. Sebelum

seorang ibu malahirkan, dia menjalani proses kehamilan terlebih dulu.

Berdasarkan penuturan dari narasumber, adat kebiasaan dalam menjaga orang

yang hamil, dengan maksud melindunginya dari pengaruh buruk atau jahat para

Lelembut (makhluk halus) atau Dedemit (siluman) dan dari pengaruh buruk

kekuatan alam sekitar yang juga bersifat gaib. Upaya perlindungan itu dilakukan

dengan berbagai cara seperti mengadakan selamatan; membekali orang hamil

dengan benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan penolak bala atau sebagai

jimat guna menangkal atau melenyapkan pengaruh jahat yang merusak, yang

ditimbulkan oleh makhluk halus atau kekuatan alam yang tidak terlihat itu;

mengawasi dan menjaga agar yang hamil tidak melanggar pantrangan (pantangan)

dari karuhun (leluhur). Untuk yang pertama kali hamil, orang tuanyalah yang akan

menanganinya. Tapi bagi yang telah dua atau tiga kali hamil, dapat melakukannya

sendiri. Masa awal kehamilan sampai tiga bulan dikatakan ngandeg atau nyiram.

Setelah genap tiga bulan, baru dikatakan hamil, saat itulah diadakan selamatan

pertama (salametan tilu bulanna). Hidangan yang disajikan berupa bubur beureum

dan bubur bodas, kue-kue tradisional dan nasi kuning, sebagai suguhan untuk para

pembaca doa dan antaran untuk para tetangga dekat. Setelah selamatan hamil tiga

bulan, diadakan lagi selamatan pada masa kehamilan genap lima, tujuh dan

sembilan bulan. Intinya harus mengikuti bilangan ganjil.

Dalam selamatan yang kedua kalinya, diadakan hajat bangsal. Gabah padi

(Bengsal) diwadahi dengan bokor dan di atasnya ditutup dengan waluh (labu). Hal

334 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

ini mengandung kias, yakni kata Bengsal secara metronomis bertautan dengan

kata waluya (selamat). Kata bengsal dalam ucapan orang Sunda sering muncul

dalam bentuk kata majemuk balabengsal yang berarti segala kesialan. Jadi,

maksud dari hajat bengsal sudah bisa ditebak, yaitu menghilangkan segala

kesialan dan diganti dengan kawaluyaan (keselamatan). Selamatan yang ketiga

kalinya diadakan pada saat kehamilan genap tujuh bulan yang juga merupakan

selamatan yang terbesar di antara keempat selamatan. Selamatan ini disebut

tingkeban atau babarik atau babarit. Sejak tingkeban segala urusan pengawasan

dan penjagaan berada di tangan paraji, tidak lagi di tangan orang tua. Dalam

selamatan keempat kalinya, ketika hamil sembilan bulan, diadakan sedekah lolos

(penganan dari tepung beras bergula yang dilumuri dengan minyak dari santan,

dibungkus dengan daun pisang, sehingga mudah lepas) adalah kias agar pada saat

bersalin, bayi keluar dengan lancar dan selamat, sedangkan lampu merupakan kias

agar bayinya menjadi anak yang terang hatinya. Selanjutnya, Paraji meminta agar

keluarga yang hamil mengadakan persediaan berbagai ramuan yang diperlukan

untuk digunakan pada saat sebelum dan sesudah bersalin. Ramuan itu berupa

bijibijian, akar-akaran, daun-daunan, dan umbi-umbian tertentu yang di pedesaan

tidak terlalu sulit diperoleh karena bisa dipetik di alam sekitar. Karena itulah masa

kehamilan sembilan bulan biasa pula disebut bulan alaeun yang berarti bulan saat

memetik.

Siklus yang kedua yaitu pernikahan. Adat pernikahan yang masih

dilaksanakan oleh masyarakat adalah adat siraman. Narasumber menuturkan

bahwa untuk siraman pengantin menggunakan kembang tujuh rupa dan uang koin,

biasanya dilaksanakan sehari sebelum pernikahan dilangsungkan. Fungsinya

untuk membersihkan diri pengantin dan dijauhkan dari hal-hal buruk. Selanjutnya

ada daun sirih yang digunakan pada saat sawéran, ditambah dengan uang seribu,

fungsinya supaya langgeng berumah tangga. Kemudian prosesi tarik menarik

ayam bakakak antara pasangan suami dan istri. Siapa yang mendapatkan potongan

ayam paling besar, berarti rezekinya lebih besar.

Siklus kehidupan yang ketika adalah kematian. Dalam hal kematian,

masyarakat sudah dipengaruhi oleh agama Islam, jadi ada sebagian kebiasaan

yang telah bergeser namun ada juga yang masih dipertahankan. Berdasarkan hasil

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 335

Denpasar, 25-26 September 2018

wawancara dengan narasumber, dalam hal yang dipertahankan adalah kemenyan

sebagai wewangian ketika jenazah disemayamkan di rumah duka. Selain itu,

tanaman hanjuang yang harus ditanam di lokasi pemakaman. Bagi masyarakat

Sunda tanaman hanjuang tidak saja untuk estetika, melainkan juga dikeramatkan.

Mereka mengartikan tanaman hanjuang sebagai pembatas ruang. Berkait dengan

kematian seseorang, tanaman hanjuang digunakan sebagai pembatas makam yang

satu dengan makam yang lainnya (Sunarni, International Seminar Prasasti III;

Current Research in Linguistics, tanpa tahun).

IV. Simpulan

Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik simpulan bahwa masyarakat

Sunda pada umumnya dan masyarakat Sunda di pesisir yaitu di Kecamatan

Pameungpeuk, Kabupaten Garut khususnya, masih menjalankan tradisi dalam

siklus kehidupan mereka. Tradisi tersebut dijalankan sebagai bentuk

penghormatan terhadap leluhur yang mewarisi tradisi. Meskipun demikian, seiring

dengan perkembangan zaman dan masuknya agama Islam ke Indonesia, ada

beberapa tradisi yang hilang karena dianggap tidak relevan lagi dengan

perkembangan zaman atau dengan ajaran baru tersebut. Namun, hilangnya tradisi

tidak secara serta merta melainkan melalui proses yang panjang yang terjadi

dalam lingkup masyarakat pendukungnya.

Daftar Pustaka

Buku

Adler, Peter dan Patricia A. Adler. 1994. ―Observational Techniques‖ dalam

Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (ed.) Handbook of

Qualitative Research. London-New Delhi: Sage Publications.

Ekadjati, Edi. S. 2009. Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah (Cetakan

Ketiga). Jakarta: Pustaka Jaya.

Fontana, Andrea dan James H. Frey. 1994. ―Interviewing The Art of Science‖

dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (ed.) Handbook of

Qualitative Research. London-New Delhi: Sage Publications.

Laporan Bulanan Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Juni 2018.

Soelaeman, Moenandar. 2007. Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar (Cetakan

Keempat). Bandung: Refika Aditama.

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

336 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Sunarni, Nani. ―The Socio-Cultural Values of The Lexeme ‗Hanjuang‘ in The

Sundanese Language: A Study in Ethnolinguistics‖. Makalah pada

International Seminar Prasasti III: Current Research in Linguistics.

Tanpa tahun.

Yus, Rusyana dkk. 1989. Pandangan Hidup Orang Sunda: Seperti tercermin

dalam Kehidupan Masyarakat Dewasa ini (Tahap III). Bandung: Proyek

Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1988.

Website

―Kenangan Sepenggal Pameungpeuk‖, melalui https://travel.kompas.com/

read/2015/03/25/122700327/Kenangan.Sepenggal.Pameungpeuk diakses

pada 3 September 2018.

Putri, Amanda. 2015. Ritus-ritus atau Tata Cara Kelahiran – Pendewasaan melalui

www.shiritoriofficial.wordpress.com/2015/03/11/japan-fact-8/amp/,

diakses pada 15 Januari 2018.

―Sadjarah Pameungpeuk‖, melalui https://naratasgaroet.net/2016/06/24/ sadjarah-

pameungpeuk-poesaka-soenda-1924/ diakses pada 3 September 2018.

Sumber Lisan

1. Nama : Drs.Yusuf Firdaus

Jabatan : Sekretaris Kecamatan Pameungpek, Kabupaten Garut

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 337

Denpasar, 25-26 September 2018

JEJAK AWAL KEMARITIMAN PADA CADAS LIANG PU’EN

DI LEMBATA NTT

Rochtri Agung Bawono, Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, Kristiawan, Coleta Palupi

Titasari

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Lembata merupakan pulau di sebelah timur Pulau Flores yang terletak di

wilayah Wellacea. Wilayah ini sejak masa Plestosen telah terpisah dengan pulau-

pulau di sekitarnya. Lembata sebagai salah satu pulau di Kepulauan Nusa

Tenggara merupakan salah satu jembatan penghubung (land bridge) dalam

konteks migrasi manusia dari kepulauan Asia Tenggara ke Australia. Jejak-jejak

migrasi yang sangat penting untuk diungkap yaitu jejak maritim.

Jejak kemaritiman di Lembata dibuktikan oleh temuan pahatan cadas

(petroglyph) Liang Pu‘en Desa Hingalamamengi. Terdapat beberapa pahatan

perahu dengan bentuk yang beragam. Banyaknya pehatan perahu menunjukkan

bahawa budaya maritim telah mendarah daging pada masyarakat Lembata sejak

dulu. Demikian juga perahu sebagai satu-satunya alat transportasi untuk

bersubsistensi di lautan dan bermigrasi antarpulau.

Kata kunci: maritim, petroglyph, pahatan perahu, subsistensi, migrasi

1. Pendahuluan

Lembata merupakan salah satu gugusan pulau di Nusa Tenggara yang

dahulu disebut Pulau Kawela atau Lomblen. Luasan Pulau Lembata yaitu

1.266,39 km² yang pesisirnya merupakan batas alam dengan daratan lainnya

(www.id.wikipedia.org). Jika menilik pada lokasinya yang terletak di Nusa

Tenggara maka Pulau Lembata pada Masa Plestosen merupakan wilayah yang

tidak tergabung dengan Paparan Sunda ataupun Paparan Sahul tetapi merupakan

Wallacea yang terpisah setiap pulau-pulaunya.

Masyarakat Lembata sangat akrab dengan kehidupan maritim misalnya di

pesisir selatan terdapat Desa Lamalera dan Lamakera yang terdapat tradisi

perburuan mamalia laut (cetacean). Tradisi berburu ini diduga sudah ada sejak

400 tahun yang lalu bahkan lebih (Salim, 2011) yang biasa disebut Nuang Leva

atau Lamaholot yang berarti musim berburu. Tradisi berburu ini menggunakan

senjata yang tradisional dan perahu tradisional yang disebut paledang.

338 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Perahu selain sebagai sarana berburu, juga satu-satunya alat transportasi

antarpulau. Keberadaan sarana ini kemungkinan besar sudah digunakan saat

migrasi awal manusia memasuki Pulau Lembata yang secara geografis memang

terpisah dengan pulau lainnya sejak Masa Plestosen.

Penelusuran jejak-jejak maritim di Lembata perlu dilakukan untuk

mengetahui bukti tentang pola migrasi dan pola subsistensi masyarakat pada masa

lalu sehingga eksistensinya dapat diketahui oleh masyarakat masa kini.

2. Metodologi

Dalam Teori Interaksi Simbolik dijelaskan bahwa keberadaan manusia

selalu memberikan makna untuk berkomunikasi. Menurut George Herbert Mead

menjelaskan bahwa manusia bertindak berdasarkan makna simbolis yang muncul

dalam situasi tertentu yang tercermin dalam pikiran, diri, dan masyarakat (West

dan Turner, 2008). Melalui media apapun manusia dapat menciptakan karya yang

dapat dimaknai sehingga memudahkan berkomunikasi dengan individu lain.

Petroghlyph merupakan bukti adanya eksistensi masyarakat masa lalu untuk dapat

dimaknai dan berkomunikasi dengan generasi sesudahnya sehingga jejaknya

terekam hingga saat ini.

3. Pembahasan

Pulau Lembata yang terdapat di wilayah Wallacea merupakan wilayah

penghubung antara Daratan Asia dengan Benua Australia. Temuan terbaru

menunjukkan bahwa Pulau Flores telah dihuni oleh Homo erectus dan Homo

floresiensis sejak 800.000 tahun lalu berdasarkan temuan fosil dan artefak di

Cekungan Soa dan Leang Bua Manggarai (Jatmiko 2015a; 2015b). Demikian juga

di Gua Lene Hara Timor Leste terdapat temuan artefak mata kail dari kerang yang

menunjukkan bahwa masyarakat di Pulau Timor sudah melangsungkan eksploitasi

lautan untuk bersubsistensi kurang lebih 45.000 tahun lalu (O‘Connor et al, 2005;

Langley and O‗Connor: 2016). Bukti temuan di antara dua wilayah di barat dan

timur Pulau Lembata memberikan asumsi bahwa Pulau Lembata juga merupakan

salah satu jembatan penghubung migrasi manusia masa lalu menuju Benua

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 339

Denpasar, 25-26 September 2018

Australia yang hanya dapat dilalui melalui jalur laut karena pulau-pulau yang

terpisah sejak Masa Plestosen hingga Holosen saat ini.

Lebih menarik bahwa Gua Lene Hara memiliki petroglyph berupa kedok

muka pada dinding gua, sehingga memiliki persamaan dengan temuan baru di

Lembata yaitu Situs Liang Pu‘en Desa Hingalamamengi dengan keragaman

pahatan yang melimpah. Secara umum pahatan di Liang Pu‘en berupa kedok

muka (wajah), orang, perahu, ular, dan pahatan geometris (Bawono, dkk.2018).

Temuan baru lainnya di Lembata yaitu Situs Tene Koro berlokasi di Uaq Loroq

dekat Desa Dolulolong di pesisir utara Lambaste. Jenis seni cadas (pictograph)

yang ditemukan adalah sebuah perahu dengan warna putih yang dihasilkan oleh

suatu pigmen pewarna (S.O‘Connor et al. 2018). Belum diketahui secara pasti

usia kedua situs tersebut, tetapi merujuk pada beberapa sebarannya di Nusantara

diperkirakan berusia 3.500 -2.000 tahun yang lalu yang merupakan karya

masyarakat Austronesia.

Penggambaran perahu yang terdapat di Situs Liang Pu‘en memperlihatkan

bentuk yang beragam. Salah satunya pahatan perahu hanya dua garis yang agak

melengkung dan dibagian dalamnya terdapat garis-garis vertikal mempertemukan

dua garis horizon tersebut. Bagian atas bidang tersebut terdapat pahatan manusia

yang seolah-olah sedang melangkah atau berlari. Pada bidang yang lain terdapat

gambaran perahu serupa berupa garis lengkung horizon yang dipotong-potong

oleh garis vertikal.

Bentuk perahu yang lebih menarik yaitu dipahatkan lengkungan panjang

dengan garis-garis vertikal pada bagian dalamnya, sedangkan pada salah satu

bagian ujung (depan) dipahatkan bentuk menyerupai kepala kuda. Pada bagian

atasnya terdapat seorang manusia yang melakukan aktivitas memancing (?).

Gambar 1. Pahatan perahu dan aktivitas manusia

340 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Pahatan bagian tengah perahu tersebut masih menjadi dugaan yang

kemungkinan digambarkan sebagai papan dinding perahu (planked boat) ataukah

hiasan pada dinding luar perahu. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

Penggambaran aktivitas manusia yang dipahatkan diatas perahu mendukung

dugaan kuat bahwa perahu tersebut bukan perahu arwah, tetapi merupakan perahu

yang difungsikan untuk sarana transportasi atau cara bersubsistensi dalam berburu

binatang laut. Terlebih lagi penggambaran dua lengkungan seolah

memperlihatkan aktivitas sedang memancing di tengah lautan. Posisi kaki yang

tidak lurus ke bawah merupakan penggambaran sempurna bahwa aktivitas di laut

selalu dipengaruhi oleh gelombang sehingga keseimbangan tubuh selalu

diperlukan. Demikian juga kebahagian ketika mendapatkan binatang buruan juga

mencerminkan gambaran posisi kaki yang tidak lurus ke bawah.

Penggambaran makhluk pada bagian hulu dapat kita telusuri pada perahu-

perahu nusantara, sebagai contoh jukung di Bali yang bagian hulunya

digambarkan bentuk kepala ikan cucut yang lincah. Bentuk menyerupai kepala

kuda pada bagian hulu perahu merupakan hal yang sangat menarik, karena kuda

merupakan binatang darat sehingga sedikit memiliki perbedaan bentuk

penggambaran dengan jukung di Bali. Makna atas kuda pada manusia

pemahatnya kemungkinan memposisikan kuda sebagai binatang tunggangan

(sarana transportasi darat) yang memiliki kelincahan dan kecepatan, sehingga

harapan atas penggambaran tersebut yaitu perahu yang ditumpangi tersebut dapat

lincah dan cepat bergerak ketika berada di lautan. Walaupun penggambaran

tersebut sebagai bentuk pemaknaan, tetapi penggambaran tersebut sangat menarik

jika dapat ditelusuri bentuk asli perahu yang masih memberikan gambaran-

gambaran pada hulu perahu yang dihasilkan oleh masyarakat pada masa lalu.

Makna tersebut secara visual mudah dicerna oleh penikmat seni cadas tersebut,

baik pada masa lalu maupun masa kini.

Lukisan dan pahatan perahu yang terdapat di Lembata merupakan salah

satu bukti budaya maritim sudah dikenal masyarakat pada masa lalu. Perahu

sebagai sarana transportasi antarpulau difungsikan untuk bermigrasi ke wilayah

luar dan masuk Lembata. Demikian juga perahu dapat difungsikan sebagai sarana

bersubsistensi di laut guna mendapatkan binatang buruannya.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 341

Denpasar, 25-26 September 2018

4. Simpulan

Lukisan (pictograph) dan pahatan (petroglyph) perahu yang terdapat di

Lembata menunjukkan eksistensi masyarakat masa lalu terkait budaya maritim.

Situs-situs tersebut sebagai bukti jejak awal maritim hingga saat ini yang dapat

ditemukan. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mencari jejak maritim yang lebih

tua dibanding situs-situs yang sudah ditemukan.

5. Ucapan terima kasih

Terima kasih kami haturkan kepada Ketua LPPM dan Dekan Fakultas

Ilmu Budaya Universitas Udayana yang telah mendanai Penelitian Unggulan

Program Studi (PUPS) pada Tahun Anggaran 2018.

Daftar Pustaka

Bawono, R.A, N K P Astiti Laksmi, Kristiawan, dan CP Titasari. 2018. Eksplorasi

Tinggalan Arkeologi di Desa Hingalamamengi Kecamatan Omesuri,

Kabupaten Lembata Nusa Tenggara Timur. Laporan Penelitian. Tidak

diterbitkan.

https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lembata

Jatmiko, 2015a.‖Situs Kobatuwa, Cekungan Soa (Flores Tengah): Padang Artefak

Batu‖ dalam Flores dalam Lintas Budaya Prasejarah di Indonesia Timur.

Hal: 19-37. Jakarta: Galangpress.

Jatmiko, 2015b.‖Liang Bua Gua Hunian Manusia Purba Homo Floresiensis‖

dalam Flores dalam Lintas Budaya Prasejarah di Indonesia Timur. Hal:

19-37. Jakarta: Galangpress.

Langley, M.C. and S. O‗Connor. 2016. An Enduring Shell Artefact Tradition

from Timor-Leste: Oliva Bead Production from the Pleistocene to Late

Holocene at Jerimalai, Lene Hara, and Matja Kuru 1 and 2. PLoS ONE

11(8).

O‘Connor, Sue, Julien Louys. Shimona Kealy. Hendri A. F. Kaharudin. 2018.

―Unusual Painted anthropomorph in Lembata island extends our

understanding of rock art diversity in Indonesia‖ dalam Artikel Rock Art

Research.

O‘Connor, Sue, Mattew Spinggs, dan Peter Veth. 2005. ―On the Cultural History

of the Aru Islands: Some Conclusions‖ dalam Terra Australia Vol 22. p:

307-314.

Salim, Dafiudin. 2011. ―Konservasi Mamalia Laut (Cetacea) di Perairan Laut

Sabu Nusa Tenggara Timur‖. Jurnal Kelautan Vol. 4 No. 1. Hal: 24-41.

342 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

West, Richard dan Lynn H Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis

dan Aplikasi. Edisi 3 (Terjemahan). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 343

Denpasar, 25-26 September 2018

PURI TAMAN SABA : SIMBOLISASI PENDIDIKAN SENI BUDAYA

BALI

Sulandjari

Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Seni Tari Legong Keraton yang sampai kini menjadi salah satu aset andalan

Pariwisata Budaya Bali, dikenal secara nasional bahkan internasional. Sebagai

seni tari klasik, tarian ini diyakini menjadi sumber inspirasi munculnya tari kreasi

baru di Bali. Keluarga Puri Taman di desa Saba mempunyai andil besar dalam

melestarikan,mengembangkan serta mewariskan atau menyebar luaskan tarian ini

dalam berbagai versi.Tari Legong Keraton Jobog dikenal sebagai seni tari khas

dan kebanggaan masyarakat desa Saba. Kontribusi keluarga Puri Taman dalam

membina seni budaya ini bermula dari tahun 1911. I Gusti Gede Oka yang

kemudian dilanjutkan oleh puteranya I Gusti Bagus Jelantik,dan sesudah tahun

1945 mencapai puncak perkembangannya di bawah pimpinan dan binaan I Gusti

Gede Raka Saba. Pembinaan seni tari dilakukan baik lewat pendidikan informal (

sanggar tari di puri ), maupun pendidikan formal ( di sekolah/perguruan tinggi ).

Konsistensi puri sebagai sumber kreatifitas dalam konteks kearifan lokal,juga ada

dalam bentuk seni-seni sastra, lukis, ukir bahkan upaya membantu kebutuhan

ekonomi seniman. Puri membentuk Koperasi Simpan Pinjam untuk seniman dan

masyarakat umum desa Saba.

Pertanyaan utamanya adalah sejauh mana peran Puri Taman dalam

dinamika budaya dan pariwisata di Bali? Nilai-nilai keteladanan apa yang bisa

diangkat untuk meningkatkan potensi seni budaya Bali secara berkelanjutan?

Kata kunci : Peran Puri, pendidikan, dinamika budaya, keteladanan, pariwisata

Pendahuluan

Puri di Bali merupakan bentuk sistem pemerintahan tradisional yang sampai

sekarang masih menunjukkan perannya yang signifikan khususnya dalam bidang

sosial budaya. Hal ini terjadi karena tokoh puri mampu berkiprah dalam aktifitas

dan kreatifitas budaya dari sejak masa kerajaan,kolonial,era revolusi,post

kemerdekaan hingga masa post modern, milenial sekarang ini. Seniman yang

berasal dari keluarga puri, biasanya bukan saja sebagai seorang penikmat seni

tetapi juga sebagai pencipta karya seni yang memainkan peran yang signifikan

dalam kehidupan budaya Bali dimana terdapat relasi yang kuat antara aspek religi

dengan seni seperti seni –seni tari,karawitan,lukis,patung. Keterkaitan erat antara

seni dan budaya Bali yang mewarnai semangat keluarga puri, mengakibatkan seni

tetap terpelihara hingga sekarang di lingkungan puri.Bahwa seni dan budaya Bali

344 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

ini dapat dipahami dalam teks dan konteks yang melingkupinya, beserta jiwa dan

semangat jamantetap dipertahankan agar seni dan budaya Bali terus berkelanjutan

melalui aktualisasi kreatifitas seni budaya.

Aktualisasi bidang seni yang digerakkan oleh tokoh puri beserta seniman –

seniman yang ada untuk mempertahankan kesenian di Bali, juga dilakukan oleh

keluarga Puri Taman Saba. Puri yang sebelumnya disebut Puri Agung Saba ini

terletak di wilayah Banjar/Desa Pekraman Desa Saba. Saba merupakan desa

pantai yang berada di Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali. Di tempat

ini, pada tahun 1911 ini tari legong yang berasal dari Puri Paang Sukawati,

dikembangkan oleh I Gusti Gede Oka dengan membentuk sekha legong di desa

Saba. Pada tahun 1920 an pembinaan dan kepemimpinan dilanjutkan oleh

puteranya I Gusti Bagus Jelantik Perkembangan seni tari ini mencapai puncaknya

( setelah tahun 1945 ) ketika sekha ini di pimpin dan dilatih oleh I Gusti Gede

Raka yang juga dikenal sebagai Anak Agung Raka Saba, keponakan beliau yang

sejak usia remaja sudah menunjukkan kemampuannya dalam menabuh/kendang

dan menari. Teknik menyerupai gaya bermain silat menambah kelenturan gerak

tubuh penari, sehingga menambah keindahan daya seni dalam tari. Tari Legong

gaya Saba ini kemudian dikenal sebagai tari legong keraton Saba ( Hasil

Wawancara dengan I Gusti Ngurah Seramasara, pada tanggal 5-4-2018 di kantor

YPWK Denpasar).

Dalam perkembangannya sekha legong ini dengan dikoordinir oleh puri.

sering mengadakan atraksi ke berbagai wilayah di Bali, dan keluar Bali ( keraton

Solo, Jakarta ) bahkan sampai ke luar negeri. Begitu populernya Tari Legong

Keraton Saba di bawah asuhan I Gusti Gede Raka Saba, sehingga dalam

pandangan orang/turis asing, Bali identik dengan Legong Keraton Saba. Tahun

1950 an Presiden Sukarno mengundang tamu-tamu asing ke Bali Hotel di

Denpasar untuk menyaksikan pergelaran Tarian Legong Keraton Saba. Pada

gilirannya tari ini menjadi seni tari klasik yang menjadi sumber inspirasi bagi

munculnya tari kreasi baru.

Semangat untuk terus mengembangkan seni terus dilakukan oleh keluarga

puri. Daya kreatifitas untuk memajukan tari Legong Keraton Saba menghasilkan

beberapa jenis tari legong, seperti Legong Jobog, Lasem, Semara Dahana,

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 345

Denpasar, 25-26 September 2018

Bapang,Candrakanta. Tari Legong Jobog Saba hingga kini terkenal sebagai tarian

klasik khas daerah Saba yang unik dan tinggi nilai aestetikanya. Kenyataan

bahwa Tari Legong Keraton Saba tetap bertahan dan berkelanjutan sebagai salah

satu seni tari kebanggan dan aset pariwisata budaya Bali, tidak bisa dilepaskan

dari peran keluarga puri terutama dalam mewariskan keahlian seni tari ini , baik

melalui pendidikan formal dan informal. Sebagai pengajar pelajaran Seni Tari

Legong di KOKAR, ASTI ( Akademi Seni Tari Indonesia ), I Gusti Gede Raka

atau Anak Agung Raka berhasil meluluskan anak didiknya, antara lain seorang

maestro seni Prof.Dr. I Made Bandem ( Hasil Wawancara dengan I Wayan Soma

Baskara, pada tanggal 21 April 2018, di Desa Pesinggahan Klungkung)

Keluarga puri terus berusaha melakukan regenerasi demi tetap eksisnya

Legong Keraton Saba, hal ini ditandai dengan diadakannya aktifitas seni dan

pelatihan seni tari Legong Keraton Saba di puri, di bawah asuhan dan pimpinan

salah seorang putera beliau, I Gusti Ngurah Serama Semadi. Selain dunia seni,

aktifitas lainnya adalah di bidang sosial ekonomi dan politik. Puri hingga sekarang

mengelola koperasi simpan pinjam untuk warga seniman di desa Saba.Leluhur

puri I Gusti Ayu Alit menjadi figur yang termashyur keahliannya dalam usada

Bali. Raja Gianyar dan Karangasem pernah disembuhkan dari sakitnya.Di

samping itu kiprah I Gusti Gede Raka sebagai salah seorang anggota keluarga puri

dalam bidang politik cukup penting, yakni sebagai ketua PNI (Partai Nasionalis

Indonesia ) ranting Desa Saba. Kontribusi keluarga puri seperti I Gusti Gede Raka

dalam berbagai bidang inilah, yang menjadikan tokoh ini dijuluki sebagai ―macan

Saba‖.

Deskripsi di atas menimbulkan pertanyaan lebih lanjut tentang seberapa

besar peran Puri Taman Saba dalam dinamika budaya dan pariwista di Bali? Nilai

keteladanan apa yang menjadi potensi dalam mewujudkan keberlanjutan seni

budaya Bali, ditengah gerusan iklim budaya modern sekarang ini ?

Puri Taman Saba Sebagai Rumah Seni

Tradisi untuk meneruskan dan mewariskan seni budaya Bali, khususnya tari

Legong Keraton di antara generasi ke generasi berikutnya, dilakukan keluarga

puri dengan konsisten. Diawali pada tahun 1911 ketika seni Tari Legong untuk

346 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

pertamakalinya dibina dan dikembangkan oleh I Gusti Gede Okadi antara warga

desa Saba. Salah satu caranya adalah seniman ini mengajak beberapa warga Saba,

dan puteranya ke desa Sukawati untuk belajar tari Legong. Dengan cara ini tari

legong dapat berkembang di wilayah Desa Saba, sehingga dibentuklah sekha

legong di puri. Setelah tahun 1920 an, kepemimpinan sekha ini diwarisi oleh

putera beliau, yakni I Gusti Bagus Jelantik, yang merangkap sebagai pelatih tari.

Setelah tahun 1945 atau pada masa Revolusi Phisik kepemimpinan, pembinaan

dan pelatihan diteruskan oleh keponakan I Gusti Bagus Jelantik, yakni I Gusti

Gede Raka Saba. Ketika tokoh seniman ini meninggal dunia pada tahun

2000,aktifitas dan pembinaan seni budaya di Saba diteruskan oleh puteranya I

Gusti Ngurah Serama Semadi yang juga dikenal sebagai Anak Agung Ngurah Rai

Saba. Sejak tahun 1980 an tokoh seniman ini sering membantu ayahnya melatih

dan mengajar tari Legong Keraton dan seni karawitan baik di sanggar tari di puri,

maupun di sekolah SMK Negeri 3 Sukawati hingga kini ( Hasil Wawancara

dengan I Gusti Ngurah Wirasrama, pada tanggal 14-4-2018 di Puri Taman Saba).

Ini menunjukkan bahwa keluarga puri melakukan regenerasi seni tari Legong

Keraton khususnya tetap eksis di tengah perkembangan dunia wisata yang

mengglobal.

Di tengah suasana perang ( Revolusi Phisik ) yang kurang kodusif , puri

tetap melakukan aktifitas pembinaan tari Legong, sambil melatih kemampuan

ilmu bela diri pencak silat. Gaya gerakan ilmu bela diri inilah pada gilirannya,

membawa pengaruh mempermudah melakukangerakan tari legongyang

mengutamakan keseimbangan, melalui perpaduan gerak yang lembut tetapi tegas (

Hasil Wawancara dengan I Gusti Ngurah Seramasara, pada tanggal 14-4-2018 di

Puri Taman Saba). Apalagi hal ini juga diimbangi dengan kemampuan menabuh

kendang I Gusti Gede Saba Raka yang berfungsi mengatur setiap gerak penari

sesuai pakemnya,sehingga memperihatkan struktur tari yang estetis. Tarian

Legong Keraton Saba dengan iringan seni karawitan hasil olahan jiwa seni budaya

puri , menambah sifat klasik yang memancarkan keagungan dan keindahan.

Di bawah pimpinan I Gusti Raka , Tari Legong Keraton Saba mengalami

perkembangan dan menjadi sangat dikenal di wilayah Bali, bahkan dikenal secara

nasional dan internasional. Di bawah asuhan tokoh seniman ini sekha Legong

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 347

Denpasar, 25-26 September 2018

Keraton ini mengadakan pertunjukan sampai ke luar Bali, seperti Keraton Solo,

Jakarta bahkan ke Perancis, London,Itali. Bahkan dalam pandangan orang asing,

Bali diidentikkan dengan Tari Legong Keraton. Sekitar tahun 1960 an merupakan

masa dimana Presiden Sukarno giat mempromosikan Bali sebagai destinasi wisata

dunia. Tamu asing, khususnya tamu negara termasuk tokoh nasional seperti

BungHatta , para duta besar diundang ke Bali untuk menyaksikan pertunjukan

kesenian budaya Bali. Salah satunya adalah tarian Legong Keraton Saba, bahkan

presiden sendiri termasuk seorang pengagum seni tari klasik ini, khususnya

Legong Keraton tentang Prabu Lasem. Tarian ini bertemakan kisah asmara yang

romantis, dengan gaya tarian yang eksotik.Keberhasilan promosi wisata ini

ditandai dengan munculah agen perjalanan wisata Bali antara lain adalah

Woworuntu dari Sulawesi Utara yang memiliki hotel Tanjung Sari di Sanur, dan

James Ferdi yang menetap di daerah Sindu Sanur Bali. Kemasyhuran tari klasik

Legong Keraton Saba ini menjadikan I Gusti Gede Raka Saba diundang untuk

melatih tarian ini ke wilayah Buleleng( Hasil Wawancara dengan A.A Gde

Ngurah, pada tanggal 30 April 2018, di Jl.Udayana Singaraja ).

Panggilan jiwa terus mengembangkan seni budaya Bali ini, diwujudkan oleh

anggota keluarga puri seperti I Gusti Gede Raka untuk melatih tari Legong

Keraton di sanggar tari di puri, dan mengajar seni tari Legong Keraton di KOKAR

dan kemudian ASTI di Denpasar, dari tahun 1978 hingga 1980. Pada tahun yang

sama siswa-siswa KOKAR banyak berlath tari dan karawitan di sanggar tari di

puri. Beberapa anak didiknya di ASTI yang sekarang menjadi tokoh seniman tari

dan karawitan, seperti Prof. Dr I Made Bandem dan Prof.Dr.Ni Ketut Arini ( Hasil

Wawancara dengan I Made Pasca Wirasutha, pada tanggal 30 April 2018, di

Jl.Udayana Singaraja).

Aktifitas seni budaya Bali di puri, tidak saja membina seni tari, karawitan/

seni musik gamelan tetapi juga dalam bidang seni lukis ( seperti lukisan tentang

Sutasoma) pemahat patung, dan mentranskripsikan naskah lontar yang tersebar di

Bali. Misalnya Widhi Sastra Raga yang membicarakan tentang ciri dunia dan sifat

manusia. Lukisan Sutasoma ini disumbangkan kepada kantor Pengadilan Tinggi I

Denpasar. Buku hasil transkripsi I Gusti Gede Raka yang berjudul Wedawa

Tatwa, dan Semani Gama dimanfaatkan sebagai sumber acuan oleh seorang tokoh

348 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

sejarawan Bali Ida Bagus Sidemen dalam karya tulisannya yang berjudul

Wilwatikta.

Legong Keraton Saba : Kreasi Seni Puri

Seiring dengan perkembangan waktu, Legong Keraton Saba sebagai seni

tari klasik di Bali dikembangan dalam berbagi kreasi/ jenis. Di Saba yang

dianggap sebagai daerah sumbernya tari legong, terdapat beberapa jenis tari

sebagai buah karya kreasi I Gusti Gede Raka , yakni : 1. Legong Keraton Lasem,

2. Legong Keraton Sudarsana, 3. Legong Keraton Semaradahana. Jenis tari legong

lain yang dikembangkan di Saba adalah Legong Keraton Candrakanta; Legong

Keraton Jobog, dan Bapang. Tari Legong merupakan tarian klasik Bali yang

memiliki perbendaharaan gerak yang sangat kompleks, yang terjalin erat dengan

tabuh pengiring yang banyak dipengaruhi oleh gambuh ( I Wayan Dibia, 2015 : 9

). Legong Keraton terdiri atas dua kata , yakni leg yang berarti gerak tari yang

luwes, lemah gemulai, dan gong yang berarti gamelan. Leg dan gong yang

digabung menjadi legong yang berarti gerakan tari yang diikat oleh gamelan yang

mengiringinya. Gamelan yang biasa dipakai mengiringi tari legong adalah

gamelan semar pagulingan dan gamelan gong kebyar. Gong Kebyar adalah salah

satu bentuk seni pertunjukan musik yang lahir di wilayah Bali Utara ( Buleleng ),

dengan ciri sangat dinamis. Gamelan Gong Kebyar memiliki bentuk dan teknik

permainan yang variatif dan kompleks, yang bercirikan suara tabuhan yang keras ,

karena hasil pukulan serentak pada alat-alat gamelan . Karena keunikannya ini

gong kebyar tumbuh dan berkembang menjadi salah satu genre seni pertunjukan

di Bali, yang hingga kini banyak dikenal masyarakat ( Prof.Dr.I Wayan

Dibia,SST.,M.A, 2015: 14-21)

Ada kalanya tari legong ini ditarikan oleh dua orang gadis atau lebih, dan

biasanya salah satu diantara mereka berperan sebagai condong yaitu peran

pertama yang tampil di pentas untuk memulai tari legong. Ada pula tari legong

yang dibawakan oleh sau atau dua pasang penari tanpa menampilkan tokoh

condong . Salah satu ciri khas Tari Legong adalah para penarinya memainkan

kipas ( kecuali condong ) sebagai alat bantu, dan penarinya tidak melakukan

dialog verbal. Menurut sejarahnya Tari Legong , sudah ada pada belahan kedua

abad 19. Tarian ini biasanya dipertunjukkan di lingkungan istana di Bali. Diyakini

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 349

Denpasar, 25-26 September 2018

bahwa timbulnya ide untuk menciptakan tarian ini berawal dari mimpi seorang

pangeran di Sukawati yang sedang sakit keras, melihat dua orang gadis menari

dengan lemah gemulai diiringi gamelan yang sangat indah dan merdu. Ketika

pangeran itu sembuh, maka mimpinya itu dimaknai dengan menciptakan tarian

dengan iringan gamelan lengkap seperti yang dilihat dalam mimpinya

(http://dunia-kesenian.blogspot.co.id/2014/tari-legong-tarian). Kisah ini

memberikan pemahaman kepada kita bahwa Tari Legong berasal dari daerah

Sukawati. Setidaknya kisah yang menjadi latar belakang sejarah ini dimaksudkan

untuk memberikan legalitas bagi istana Sukawati sebagai pencipta seni tari klasik

Legong. Sekaligus ini membuktikan bahwa puri merupakan pusat aktifitas untuk

mengembangkan dan mengaktualisasikan kreatifitas seni budaya di Bali. Di

sinilah letak peran puri Saba dalam konteks dinamika perkembangan seni budaya

Bali sebagai aset pariwisata budaya di Bali. Desa Saba dimana puri ini berada,

boleh dikatakan merupakan daerah pantai. Masyarakat pantai yang biasanya lebih

terbuka dan mudah menerima inovasi dari luar, mengadaptasi dan kemudian

mengembangkannya dengan keratifitas seninya. Di Saba,Tari Legong yang

kemudian dikenal sebagai Legong Keraton ini dikembangkan menjadi beberapa

jenis. Beberapa jenis Legong Keraton yang populer di Saba , misalnya Legong

Keraton Lasem, Legong Jobog dan Legong Sudarsana,dan Semaradahana. Legong

Lasem ini diawali oleh tarian seoang condong, kemudian baru diikuti oleh dua

orang penari utamanya. Tarian ini mengkisahkan bagian dari cerita Panji pada

masa Kerajaan Kediri sekitar abad 13. Sementara Legong Keraton Jobog,

langsung ditarikan oleh sepasang penari tanpa didahului oleh condong. Tarian ini

mengambil tema ceritanya dari kisah Ramayana, yakni tentang persaingan antara

dua bersaudara Sugriwa dan Subali yang saling memperebutkan jimat ayahnya.

Kemudian tari Legong Keraton Sudarsana menggambarkan pertempuran antara

Patih Sudarsana dengan Diah Pranacitra utusan janda sakti Dewi Jambawati.

Karena Diah Pranacitra kalah, Dewi Jambawati membantu, menyerang Patih

Sudarsana dalam wujud rangda. Legong Semaradahana menggambarkan

terbunuhnya Dewa Kamajaya (Semara) dan Dewi Ratih oleh Dewa Shiwa yang

marah karena mereka mengganggu pertapaannya.Para dewa di kahyangan

memohon kepada nya untuk menghidupkan kembali mereka, tetapi Dewa Shiwa

350 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

menolak.Sebagai gantinya mengirim arwah Dewa Semara ke hati laki-laki, dan

arwah Dewi Ratih ke hati wanita.

Fokus pada tujuan untuk terus mengembangkan kreatifitas seni tari, maka

bertempat di sanggar tari di Puri Taman, seniman Saba yang dimotori oleh I Gusti

Ngurah Serama Semadi giat melatih dan mendidik untuk menekuni Tari Legong

Keraton, seperti Legong Lasem,dan seni karawitan bagi warga generasi muda di

banjar. Bahkan anak sekolah TK di banjar ini sudah dilatih menari legong.

Pendidikan tari dan seni karawitan ini selain diikuti oleh warga muda banjar

Saba,juga banyak diikuti oleh warga muda dari luar wilayah banjar. Semua

kegiatan itu tidak dipungut biaya, bahkan gamelan milik puri sewaktu-waktu bisa

digunakan. Apabila ada pentas maka kostumnya sudah disiapkan oleh puri.

Pendidikan atau pelatihan tari legong ini boleh dikatakan dapat menuhi fungsi

adanya tari legong, yakni selain sebagai sarana untuk pertunjukan dan hiburan,

juga berfungsi sebagai ungkapan keindahan atau aktivitas keindahan dan kreatif,

serta untuk mengikat dan mempererat rasa persatuan.Keberhasilan puri dalam

membina pengembangan tari legong keraton ini dengan kreasinya, telah mampu

membangun seni tari ini dengan identitas kreasi Saba. Sekarang ini apabila

masyarakat umum/ Bali berpendapat tentang tarian legong, otomatis akan

menyebutnya sebagai Legong Saba. Bisa dikatakan bahwa hal ini merupakan

bentuk pengakuan terhadap keberhasilan puri dan seniman Saba dalam membina

dan mengaktualisasikan secara berkelanjutan seni tari legong . Sebagai tarian

Gambar1 Tari Legong

Semaradahana

(sumber:www.tradisikita.my.id)

Gambar2 Tari Legong Lasem

(sumber :

indomenari.blogspot.com)

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 351

Denpasar, 25-26 September 2018

daerah Bali yang sudah menjadi milik nasional, dan dikagumi masyarakat

internasional, kesenian ini menjadi kebanggaan nasional yang bisa difungsikan

untuk memperkokoh nilai kearifan lokal dalam skala nasional.

Kesimpulan

Pariwisata Bali diuntungkan dengan berbagai aktifitas dan kreatifitas Puri

Taman yang beresensi pada mengajar, mendidik dan mewariskan atau

mentransformasikan seni tari Legong Keraton gaya Saba sebagai aset pariwisata

nasional ciri khas budaya Bali, kepada generasi penerus secara berkelanjutan.

Sejak masa kolonial, kemerdekaan hingga sekarang seni tari klasik produk budaya

bangsa ini tetap eksis sebagai suatu bentuk kearifan lokal, yang terus dikenal

berkat aktifitas dan kreatifitas berbagai pihak yang mengembangkannya menjadi

berbagai jenis variant yang menarik. Pada gilirannya aset wisata budaya Bali ini

tidak mudah tergerus oleh pengaruh baru akibat dinamika pariwisata yang

mengglobal. Dinamisasi khususnya seni tari legong dan seni lainnya, seperti

karawitan telah menempatkan seni ini sebagai bagian budaya yang hidup, karena

memiliki kontribusi dalam memajukan pariwisata di Bali.

Konsistensi puri dalam menjaga dan mengembangkan seni tari legong

sebagai produk budaya bangsa, merupakan contoh bagaimana cara menghargai dan

bangga terhadap budaya milik sendiri. Mampu menjaga eksistensi seni produk

budaya Bali yang berskala nasional, internasional ini melalui langkah pendidikan

formal dan informal,dan mewariskannya kepada generasi penerus untuk

dikembangkan.Pada gilirannya puri berfungsi sebagai benteng budaya dari

gempuran nilai-nilai baru di jaman milenia ini.

Daftar Pustaka

Dibia, I Wayan.2015. Gong Kebyar.Pengaruh dan Sumbangannya Terhadap

Kesenian Bali. Singaraja: Gedung Laksmi Graha

Dibia, I Wayan 2017. Tiga Berlian Seni Pertunjukan Wisata Bali Legong,Kecak

Barong. Denpasar : LP2MPP ISI Denpasar

352 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III

Denpasar, 25-26 September 2018

Daftar Informan

1. Baskara, I Wayan Soma ( 25 tahun )

Pekerjaan: Karyawan Dinas Sosial Budaya Kab.Klungkung

2. Ngurah, A.A Gde ( 64 tahun )

Pekerjaan: Koordinator Tari Listibia Singaraja

3. Serama Sara, I Gusti Ngurah ( 56 tahun )

Pekerjaan : Dosen ISI Denpasar

Alamat : Puri Taman Saba, Desa Saba Gianyar

4. Serama Semadi, I Gusti Ngurah ( 40 tahun )

Pekerjaan : Guru Tari KOKAR Denpasar

Alamat : Puri Taman Saba, Desa Saba Gianyar

5. Wirasrama, I Gusti Ngurah ( 64 tahun )

Pekerjaan : Guru Bahasa Daerah SMA Saraswati Gianyar

Alamat : Puri Taman Saba, Desa Saba Gianyar


Recommended