Date post: | 21-Feb-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | khangminh22 |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
i
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN BUDAYA III
REVITALISASI IDENTITAS MELALUI BAHASA DAN BUDAYA MARITIM
Penyunting Ahli
Dr. I Ketut Sudewa, M.Hum
Penyunting Pelaksana
Drs. I Wayan Teguh, M.Hum
DENPASAR, 25 – 26 SEPTEMBER 2018
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
ii
KATA PENGANTAR
Pada kesempatan ini kami selaku panitia mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada pemakalah kunci Dr. Darmoko, M.Hum. (Universitas
Indonesia); pemakalah utama: Prof. Dr. I Gde Arya Sugiartha, S.Skar., M.Hum.
(Institut Seni Indonesia Bali), dan Dr. Purwadi, M.Hum. (Universitas Udayana)
telah bersedia menyampaikan ide-ide dan gagasannya untuk memperkuat kegiatan
SNBB III. Terimakasih pula kami ucapkan kepada para pemakalah pendamping,
peserta dan mahasiswa yang sudah berupaya untuk turut berpartisipasi mengikuti
kegiatan SNBB III.
Kami juga mengucapkan terimakasih atas dukungan Ibu Prof. Dr. Ni Luh
Sutjiati Beratha, M.A. selaku dekan FIB serta koordinator Program Studi di
lingkungan FIB, Bapak/Ibu Dosen, Mahasiswa dan civitas Akademika FIB Unud,
yang telah ikut berpartisipasi pada kegiatan SNBB III ini. Dan tentunya tidak lupa
pula kami juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh
panitia SNBB III atas kerja kerasnya untuk mewujudkan kegiatan seminar ini
sehingga dapat berjalan dengan lancar.
Akhirnya kami tidak pernah lupa dengan pepatah yang mengatakan bahwa
―Tiada gading yang tak retak‖. Oleh karena itu, kami mohon maaf jika ada hal-hal
yang tidak berkenan di hati Bapak/Ibu selama acara ini berlangsung. Kritik dan
saran sangat kami harapkan demi terlaksananya SNBB III yang lebih berkualitas
di masa mendatang akan kami terima dengan tangan terbuka.
Panitia Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
Dra. A.A. Ayu Rai Wahyuni, M.Hum.
iii
SAMBUTAN
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan
Yang Maha Esa karena atas asung kerta wara nugraha-Nya maka buku kumpulan
makalah-makalah yang dikompilasi dalam bentuk proceeding untuk Seminar
Nasional Bahasa dan Budaya (SNBB) III dengan mengusung tema ‗Revitalisasi
Identitas melalui Bahasa dan Budaya Maritim‘ dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Budaya kemaritiman menarik untuk dibahas dan didiskusikan secara
akademis dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun ke-60, dan Badan
Kekeluargaan ke-37 Fakultas Ilmu Budaya, serta Dies Natalis Universitas
Udayana ke-56. Maritim adalah bagian budaya Nusantara karena merupakan
identitas bagi Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai negara Nusantara
(archipelagic state). Melalui SNBB III, pembahasan mengenai wilayah perairan
bukan saja sebagai pembatas, tetapi juga sebagai penghubung antarpulau yang
menyatukan Nusantara sekaligus sumber daya melimpah yang harus dikelola
dengan baik diharapkan menjadi fokus utama seminar ini. Budaya maritim
sebagai identitas menyentuh dapat semua lini tata perilaku masyarakat, dan negara
untuk melahirkan teknologi, seni, bahasa, dan budaya yang unik.
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana mengembangkan ilmu bahasa
dan budaya memiliki peran untuk merevitalisasi identitas masyarakat dan bangsa.
Dinamika budaya kemaritiman yang berkaitan dengan konteks ideologi, sejarah,
antropologi, arkeologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, bahasa, dan ketahanan
tidak terbebas dari kerawanan dan kepunahan shingga perlu untuk merevitalisasi
identitas tersebut.
Melalui kesempatan ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Para Koordinator Program Studi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Udayana atas kerjasama yang baik sehingga seminar
bersama bisa dilaksanakan.
2. Dr. Darmoko, M.Hum. (Unversitas Indonesia) sebagai pembicara
kunci; pemakalah utama: Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.Kar.,
iv
M.Hum (ISI Denpasar), Dr. Purwadi, M.Hum. (FIB Unud), serta para
pemakalah pendamping lainnya.
3. Peserta SNBB III, 2018 yang terdiri atas, peneliti dan/atau dosen
bahasa, sastra, dan budaya, mahasiswa, pekerja dan pengamat media,
dll yang terlalu panjang bila disebutkan semuanya.
4. Panitia SNBB III yang telah bekerja keras mempersiapkan segala
sesuatu yang terkait dengan penyelenggaraan seminar ini dengan
sebaik-baiknya.
SNBB III yang diselenggarakan atas kerjasama semua Program Studi di
lingkungan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana dapat memberikan
pencerahan, dan diharapkan bermuara pada penyatuan Visi Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Udayana yaitu memiliki keunggulan dan kemandirian dalam bidang
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dengan aplikasi
keilmuan yang berlandaskan kebudayaan.
Melalui kesempatan ini sekali lagi kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran
pelaksanaan SNBB III, dengan harapan semoga Tuhan YME memberikan
imbalan yang setimpal dengan pengorbanan Bapak/Ibu sekalian. Kami juga tidak
lupa mohon maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan dalam
penyelengaraan acara ini. Kami ucapkan Selamat Berseminar, dan semoga
bermanfaat.
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Udayana
Dekan,
Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A.
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
SAMBUTAN ......................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
PEMAKALAH KUNCI
REVITALISASI TEKS-TEKS KEARIFAN LOKAL KEMARITIMAN UNTUK
MEMBANGUN KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA, DAN
BERNEGARA
Darmoko .................................................................................................................. 1
PEMAKALAH UTAMA
SENI KELAUTAN MEMBANGUN HARMONISASI MANUSIA DENGAN
ALAM
I Gede Arya Sugiartha ........................................................................................... 15
STRATEGI MASYARAKAT NELAYAN KEDONGANAN MENGHADAPI
KEMISKINAN
Purwadi Soeriadiredja ........................................................................................... 22
PEMAKALAH PENDAMPING
EKSISTENSI PURI AGUNG KARANGASEM DALAM DINAMIKA SOSIAL
BUDAYA
A.A.A Dewi Girindrawardani ............................................................................... 41
VARIASI BAHASA SUNDA DI DAERAH PESISIR JABAR SELATAN
Asri Soraya Afsari, Teddi Muhtadin ..................................................................... 50
PERILAKU BUDAYA KESEHATAN DALAM PRAKTIK PERAWATAN
KEHAMILAN DAN PERSALINAN PADA MASYARAKAT PESISIR DI
MANGGARAI, NTT
Bambang Dharwiyanto Putro ................................................................................ 57
ANALISIS PEMAKAIAN RAGAM JURNALISTIK DI SMAN 1
ABIANSEMAL: KASUS MENULIS BERITA LANGSUNG
I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani, Anak Agung Putu Putra, I Ketut Nama,
Ni Putu N. Widarsini, Sri Jumadiah ...................................................................... 67
vi
IDEOLOGI BUDAYA MARITIM DALAM PIDATO MENTERI KELAUTAN
DAN PERIKANAN
I Gusti Ayu Gde Sosiowati ................................................................................... 73
CITRA DIRI PADA TEKS VERBAL MEDIA KAMPANYE PILGUB BALI
I Gusti Ngurah Parthama, Ni Luh Kade Yuliani Giri ........................................... 82
HEGEMONI BUDAYA DALAM PRAKTIK KEKUASAAN MARITIM
I Ketut Darma Laksana ......................................................................................... 88
SITUS KAPAL U.S.A.T LIBERTY DI PANTAI TULAMBEN DALAM
PERSPEKTIF ARKEOLOGI MARITIM DAN PARIWISATA
I Ketut Setiawan .................................................................................................... 94
KECENDERUNGAN PEMAKAIAN BAHASA BALI SEBAGAI CERMIN
IDENTITAS MASYARAKAT DI DAERAH PARIWISATA NUSA DUA
I Made Rajeg, Ni Luh Sutjiati Beratha, Ni Wayan Sukarini ............................... 100
KERAS, KASAR, PEDAS, PENUH GAIRAH KARAKTERISTIK
MASYARAKAT PESISIR DALAM DRAMA ―MALAM JAHANAM‖
KARYA MOTINGGO BUSYE
I Made Suarsa ...................................................................................................... 108
GAMBARAN PERJALANAN LAUT A.A. ISTRI AGUNG DAN
SUAMINYA DARI KARANGASEM KE JEMBRANA
I Made Suastika ................................................................................................... 114
PERAIRAN BALI SEBAGAI RUANG BUDAYA DAN PERADABAN
I Putu Gede Suwitha ........................................................................................... 120
MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI PELESTARIAN DAN
PENGIMPLEMENTASIAN NILAI BUDAYA: PERSPEKTIF
BUDAYA BALI
I Wayan Cika....................................................................................................... 128
MELACAK KEBAHARIAN NUSANTARA BERDASARKAN
BUKTI-BUKTI ARKEOLOGIS
I Wayan Srijaya ................................................................................................... 135
REVOLUSI BIRU DAN HUMAN SECURITY NELAYAN DI KUSAMBA
KLUNGKUNG
I Wayan Tagel Eddy, Anak Agung Ayu Rai Wahyuni ....................................... 146
MEMAHAMI KATA TUGAS DALAM BAHASA INDONESIA DITINJAU
DARI PELONCATAN KATEGORI DAN FUNGSI
I Wayan Teguh .................................................................................................... 156
vii
TERJEMAHAN ISTILAH KELAUTAN BAHASA INGGRIS KE DALAM
BAHASA INDONESIA
Ida Ayu Made Puspani ........................................................................................ 163
FUNGSI DAERAH PESISIR DARI MASA KE MASA DI BALI
(KAJIAN KEPUSTAKAAN)
Ida Ayu Putu Mahyuni ........................................................................................ 172
SISTEM SEWA KONTRAK BERDASARKAN KURS DALAM NIAGA
BANDAR DI BULELENGBALI, PERTENGAHAN ABAD XIX
Ida Ayu Wirasmini Sidemen ............................................................................... 178
FUNGSI MITOS BHATARA BAGUS BALIAN: PUTRA DEWA DAN PUTRI
PENDETA
Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada ................................................................ 186
KONTROVERSIAL PERDAGANGAN KERAMIK KUNO HASIL
PENGANGKUTAN DI LAUT CIREBON JAWA BARAT
Ida Bagus Sapta Jaya ........................................................................................... 197
WISATA BAHARI SEBAGAI DAYA TARIK OBYEK WISATA
POTENSIAL:STUDI KASUS PANTAI SANUR, DENPASAR SELATAN,
KOTA DENPASAR-BALI
Ketut Darmana .................................................................................................... 203
PELATIHAN PENULISAN JURNALISTIK BAGI SISWA SMAN 1 KUTA
SELATAN, KABUPATEN BADUNG
Ketut Riana, S.U, Putu Evi Wahyu Citrawati, I Nyoman Darma Putra,
Made Sri Satyawati, Wayan Teguh ..................................................................... 212
MITOS TOKOH KEBO IWA DI PANTAI SOKA, TABANAN
Luh Putu Puspawati ............................................................................................ 218
PENGAMAN BATIN SEBAGAI SUMBER GAGASAN PENULISAN
KREATIF JURNALISTIK-SASTRA DI SMAN I PETANG KECAMATAN
PETANG KABUPATEN BADUNG
Maria Matildis Banda, Ida Bagus Jelantik SP, I Made Suarsa,
Sri Jumadiah dan I Komang Paramartha ............................................................. 223
ASPEK MODAL DALAM PENULISAN KARYA SASTRA PRAGMATIS
Maria Matildis Banda, Sri Jumadiah ................................................................... 232
AMA DAN EMANSIPASI WANITA
Ngurah Indra Pradhana ....................................................................................... 242
VARIASI POLA DESKRIPSI PADA ISTILAH BUDAYA BALI PADA TEKS
BERBAHASA INGGRIS
Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Gusti Ngurah Parthama ................................... 247
viii
PERDAGANGAN ANTAR PULAU OLEH MASYARAKAT BALI KUNO
PADA ABAD IX-XIV MASEHI: KAJIAN EPIGRAFIS DAN TAPONIMI
Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, Kristiawan ............................................................. 253
REPRESENTASI BUDAYA JEPANG DALAM SAMPUL NOVEL TEENLIT
INDONESIA
Ni Luh Putu Ari Sulatri, Ni Made Andry Anita Dewi ........................................ 260
AKTIVITAS KEMARITIMAN PADA MASA BALI KUNA
Ni Luh Sutjiati Beratha, I Wayan Ardika............................................................ 266
PENGGUNAAN KENJŌGO MŌSHIWAKE ARIMASEN DAN MŌSHIWAKE
GOZAIMASEN DALAM DRAMA BERBAHASA JEPANG
Ni Made Andry Anita Dewi, Silvia Damayanti .................................................. 275
MENCERMATI KEHIDUPAN REMAJA BERMASALAH DI KOTA
DENPASAR-BALI
Ni Made Wiasti, Ni Luh Arjani, I Ketut Kaler ................................................... 282
PENGAJARAN BERBASIS ICT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
BERBAHASA JEPANG MAHASISWA DALAM KELAS CHUJOKYU KAIWA
(Studi Kasus Mahasiswa Sastra Jepang, Universitas Udayana)
Ni Putu Luhur Wedayanti, Choleta Palupi Titasari ............................................ 289
BENTUK IKONIK KELAUTAN DALAM NOVEL SUARA SAMUDRA
KARYA MARIA MATILDIS BANDA
Ni Putu N. Widarsini ........................................................................................... 294
TATA CARA PENULISAN DAN FUNGSI SURAT RESMI, SERTA
ANALISIS PERMASALAHAN DALAM PENGGUNAAN BAHASA
INDONESIA
Ni Wayan Arnati ................................................................................................. 301
PENINGGALAN ARKEOLOGI DI WILAYAH DESA ADAT KEMONING
MERUPAKAN PENGARUH CORAK BUDAYA HINDU/INDIA SEBAGAI
AKIBAT HUBUNGAN SECARA MARITIM
Ni Wayan Herawathi ........................................................................................... 318
PARIWISATA BUDAYA: MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERIMBANG
ANTARA PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN BALI
Nyoman Reni Ariasri .......................................................................................... 324
KEPERCAYAAN DALAM SIKLUS KEHIDUPAN PADA MASYARAKAT
SUNDA PESISIR (KECAMATAN PAMEUNGPEUK, KABUPATEN GARUT,
JAWA BARAT)
Risma Rismelati, Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani ........................................... 330
ix
JEJAK AWAL KEMARITIMAN PADA CADAS LIANG PU‘EN DI
LEMBATA NTT
Rochtri Agung Bawono, Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, Kristiawan, Coleta Palupi
Titasari................................................................................................................. 337
PURI TAMAN SABA : SIMBOLISASI PENDIDIKAN SENI BUDAYA BALI
Sulandjari ............................................................................................................ 343
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 1
Denpasar, 25-26 September 2018
REVITALISASI TEKS-TEKS KEARIFAN LOKAL KEMARITIMAN
UNTUK MEMBANGUN KEHIDUPAN BERMASYARAKAT,
BERBANGSA, DAN BERNEGARA
Darmoko
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Teks sebagai ungkapan bermakna suatu etnik dapat dieksplorasi sebagai
kekayaan intelektual bagi siapa saja yang ingin meneliti dan menyajikannya
dalam kerangka studi ilmiah akademik. Teks kearifan lokal di Indonsia
terekspresikan melalui tradisi tulis maupun lisan dalam bentuk bahasa, sastra,
adat-istiadat, artefak, dan kesenian. Ekspresi teks-teks lisan dan tulis tersebut
dapat menggambarkan tingkat pengetahuan suatu masyarakat baik berkaitan
dengan aspek pertanian maupun kemaritiman. Teks kemaritiman yang bersumber
dari kearifan lokal memberikan andil yang cukup besar sebagai modal untuk
membangun umat manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Keagungan suatu kerajaan (negara) yang berorientasi pada laut,
keperwiraan dan kedigjayaan suatu tokoh penjelajah laut, peristiwa yang
menggambarkan kecanggihan strategi dalam bertempur, dan ungkapan rasa
bangga terhadap keberadaan laut sebagai sumber nafkah dan kehidupan
merupakan nilai-nilai budaya yang dapat memberikan spirit dan motivasi bagi
masyarakat untuk mempertebal rasa memiliki, membela, dan mempertahankan
keutuhan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Kesadaran dan pemahaman
tentang budaya lokal kemaritiman sebagai milik bangsa dapat memupuk sikap
nasionalisme, patriotisme, dan cinta tanah air. Studi ilmiah akademik
memberikan ruang kepada peneliti untuk mengeksplorasi korpus data teks-teks
kearifan lokal kemaritiman dari berbagai konteks (perspektif), kerangka teori
maupun metodologi. Perspektif sejarah, politik, ekonomi, sosiologi, sastra,
linguistik, antropologi, filologi, studi kawasan, dan lain-lain memberikan konteks
bagi sebuah penelitian untuk disuguhkan bagi masyarakat luas. Permasalahannya
bagaimana implementasi dan produk penelitian yang bersumber dari teks-teks
kearifan lokal kemaritiman dapat memberikan dampak konstruktif bagi kehidupan
umat manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk menangani
permasalahan ini diperlukan metodologi yang komprehensif, di samping
ketersediaan para pakar di bidang ilmu pengetahuan masing-masing, tata kelola
(manajemen) birokrasi juga kemauan politik dari pemerintah pusat dan daerah
untuk menginternalisasi nilai-nilai kearifan lokal kemaritiman yang bersifat
universal kepada masyarakat sebagai penjaga kesatuan dan persatuan bangsa.
Kata kunci: revitalisasi, kearifan lokal, kemaritiman
Pendahuluan
Sejak era reformasi bergulir di tengah percaturan politik Indonesia, sejak itu
pula perubahan kehidupan mendasar berkembang di hampir seluruh kehidupan
2 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
berbangsa dan bernegara. Seperti merebaknya beragam krisis yang melanda
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satunya adalah berkaitan dengan
Orientasi Pembangunan. Di masa Orde Baru, orientasi pembangunan masih
terkonsentrasi pada wilayah daratan. Sektor kelautan dapat dikatakan hampir tak
tersentuh, meski kenyataannya sumber daya kelautan dan perikanan yang dimiliki
oleh Indonesia sangat beragam, baik jenis dan potensinya. Potensi sumberdaya
tersebut terdiri dari sumberdaya yang dapat diperbaharui, seperti sumberdaya
perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya laut dan pantai, energi non
konvensional dan energi serta sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti
sumberdaya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis
sumberdaya tersebut, juga terdapat berbagai macam jasa lingkungan lautan yang
dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan dan perikanan seperti
pariwisata bahari, industri maritim, jasa angkutan dan sebagainya. Tentunya inilah
yang mendasari Presiden Abdurrahman Wahid dengan Keputusan Presiden
No.355/M Tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999 dalam Kabinet Periode 1999-
2004 mengangkat Ir. Sarwono Kusumaatmaja sebagai Menteri Eksplorasi Laut.
(https://kkp.go.id/page/6-sejarah).
Negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia
menduduki urutan kedua dalam daftar 10 negara yang memiliki garis pantai
terpanjang di dunia, yaitu sepanjang 54,716 km, sedangkan urutan pertama
ditempati oleh Kanada dengan garis pantai sepanjang 202.800 km dan urutan
ketiga adalah Greenland yaitu sebuah divisi otonomi dari kerajaan Denmark
dengan garis pantai sepanjang 44.087 km, keempat: Rusia, kelima: Filipina,
keenam: Jepang, ketujuh: Australia, kedelapan: Norwegia, kesembilan: Amerika
Serikat, dan kesepuluh: Selandia Baru. (https://ilmupengetahuanumum.co/10-
negara-dengan-garis-pantai-terpanjang-di-dunia/).
Era pemerintahan Presiden Joko Widodo menetapkan bahwa visi
pembangunan adalah ―Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan
berkepribadian berlandaskan gotong royong‖. Visi ini memberikan harapan dan
mengembalikan semangat untuk memanggil kembali kejayaan maritim dengan
memanfaatkan sumber daya kelautan. Kemudian, visi tersebut diturunkan menjadi
7 misi pembangunan, di mana tiga dari tujuh misi tersebut berhubungan dengan
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 3
Denpasar, 25-26 September 2018
kemaritiman dan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan, yaitu: (1)
mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah,
menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim,
dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan; (2)
mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai
bangsa maritim; dan (3) mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang
mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional.
Pembentukan Kementerian Koordinator Kemaritiman mengedepankan
konsep ―Poros Maritim Dunia‖ dan ―Tol Laut‖. Selain itu Presiden Joko Widodo
juga sudah menandatangani Perpres No.16/2017 tentang Kebijakan Kelautan
Indonesia. (Dickry Rizanny N; http://maritimnews.com/2017/05/perpres-162017-
dan-pembangunan-maritim-indonesia/). Indonesia juga memiliki wilayah perairan
yang kaya dengan potensi cadangan energi, potensi perikanan, potensi pariwisata
bahari, serta memiliki jalur pelayaran strategis yang dapat dimanfaatkan sebagai
basis pengembangan kekuatan geopolitik, ekonomi, dan budaya bahari.
(Kementerian PPN Bappenas, 2015, http://Nusantarainitiative.com/ wp-
content/uploads/2016/02/150915-Buku-Tol-Laut-bappenas.pdf)
Berdasarkan keterangan tentang orientasi pembangunan sektor kelautan dan
sumber daya di dalamnya sejak era reformasi, Indonesia sebagai negara kepulauan
dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, serta memiliki potensi
energi, perikanan, wisata bahari, pelayaran strategis yang dapat dimanfaatkan
sebagai basis pengembangan kekuatan geopolitik, ekonomi, dan budaya bahari
maka perlu mengkaji potensi lain yang mendukung pembangunan sektor
kemaritiman yang berorientasi pada sumber daya budaya yang terkonsentrasi pada
teks-teks kearifan lokal.
Geopolitik, ekonomi, dan budaya sebagai kesatuan masyarakat yang berdiri
sendiri tersebut dikembangkan ke arah wawasan Nusantara yang berlandaskan
pada pemikiran kewilayahan dan kehidupan bangsa Indonesia yang berwawasan
nasional. Sektor wisata daerah yang berorientasi pada kemaritiman
(mengandalakan pada laut dan perairan) terus mencari potensi kearifan lokal agar
terus dapat ditingkatkan kualitas atraksi wisata dan kuantitas wisatawan. Riset
terhadap eksistensi teks-teks kearifan lokal termasuk di dalamnya bahasa dan
4 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
sastra, adat-istiadat, kesenian dan benda-benda hasil budaya lokal dengan
demikian perlu terus dikembangan.
Data dan Metodologi
Data yang dipergunakan sebagai titik tolak kertas kerja ini adalah teks-teks
bahasa dan sastra, tradisi (adat-istiadat), dan kesenian. Data yang ada dianalisis
menggunakan metode deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mengungkap
fakta, fenomena (gejala), variabel, dan keadaan yang terjadi saat penelitian
berjalan dan menyuguhkannya dengan apa adanya. Penelitian kualitatif
menafsirkan dan menuturkan data yang ada dengan situasi masyarakat yang
sedang terjadi, seperti: sikap serta pandangan, pertentangan dua keadaan atau
lebih, hubungan antarvariabel, perbedaan antar fakta dari data yang ada, pengaruh
terhadap situasi dan kondisi, dan lain-lain. Permasalahan yang dikaji pada
penelitian kualitatif mengacu pada studi komparatif dan studi relasi sebuah unsur
dengan unsur lainnya. Kegiatan penelitian ini meliputi pengumpulan data, analisis
data, interprestasi data, dan penyimpulan yang mengacu pada analisis data yang
telah dilakukan.
Metode deskriptif kualitatif untuk mengeksplorasi dan memahami makna
yang dianggap berasal dari permasalahan sosial dan humaniora. Penelitian
kualitatif melibatkan upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan dan prosedur,
pengumpulan data khusus dari partisipan, menganalisis data secara induktif, mulai
dari tema khusus ke tema umum, kemudian menafsirkan makna data. Laporan
akhir penelitian ini memiliki struktur (kerangka) yang fleksibel dan berfokus
terhadap makna individual dan menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan
(Creswell, 2010: 4-5)
Teks-teks kearifan lokal kemaritiman meliputi bahasa dan sastra, tradisi
(adat-istiadat), dan kesenian dipergunakan sebagai objek kajian status dan
kedudukan dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Objek tersebut dikaji berdasarkan implementasi fakta, fenomena (gejala), variabel,
dan keadaan serta menafsirkan dan menuturkan data yang ada dengan situasi
masyarakat yang sedang terjadi. Teks-teks kearifan lokal kemaritimana dikaji
dalam berbagai perspektif dan hasilnya sebagai informasi yang dapat dijadikan
sebagai wahana membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 5
Denpasar, 25-26 September 2018
Pembahasan
Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ditemukan beberapa semboyan
yang dipetik dari bahasa Sanskerta untuk institusi tertentu, seperti untuk TNI
Angkatan Darat RI, Kartika Eka Paksi (prajurit gagah berani yang menjunjung
keluhuran nusa dan bangsa serta prajurit sejati); untuk TNI Angkatan Udara RI,
Swa Bhuwana Paksa (pelindung/ pembela tanah airku); untuk Kepolisian RI,
Rastra Sewakottama (melayani masyarakat); dan untuk TNI Angkatan Laut RI,
Jalesveva Jayamahe (di laut kita jaya).
Ungkapan Jales Viva Jayamahe (di laut kita jaya) merupakan slogan yang
seharusnya diwujudkan dalam kenyataan. Sejauhmana kemampuan armada laut
bangsa Indonesia dalam mengawal kedaulatan lautnya. Berapa banyak
penyelundupan di laut dan pencurian ikan oleh nelayan asing tidak bisa diatasi
secara tuntas. Dilihat dari besarnya jumlah pulau NKRI, ternyata masih ribuan
yang belum bernama dan teridentifikasi secara akurat potensinya. Bagaimana
harus disikapi dengan sebuah berita tentang ―nasib warga pulau terluar‖, ketika
Camat Pulau Laut, Kabupaten Natuna, Baharuddin mengungkapkan: ―terus
terang, saya atas nama masyarakat Kecamatan Pulau Laut merasa sangat bahagia
karena selama hidup kami, baru kali ini kami benar-benar merasakan menjadi
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peristiwa ini merupakan sejarah
bagi masyarakat Pulau Laut‖. Sampai saat ini masih ribuan jumlah pulau yang
belum bernama dan teridentifikasi dengan baik. Itu artinya masih banyak sejarah
pulau yang belum dikaji. Dengan demikian masih terbuka luas bagi kajian sejarah
maritim mengenai ‗pulau sejarah‘ yang juga terabaikan (the history of neglected
islands). Suatu kajian Alex J. Ulaen patut diberikan tempat dalam konteks ini.
Berlatar belakang antropologi yang kini banyak berkecimpung di bidang sejarah,
ia mengungkap pulau-pulau di kepulauan Sangihie-Talaud yang nyaris terlupakan
(dilihat dari sudut pandang tempatan) dalam kurun waktu masuknya pedagang
dari Iberia di sana. (Zuhdi, 2006)
Presiden Joko Widodo, 20 Oktober 2014 pernah menyampaikan pidato
sebagai berikut:
6 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
―Samudera, laut, selat, dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita
telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, selat, dan
teluk. Sehingga jalesveva jayamahe, di laut kita jaya, sebagai semboyan
nenek moyang kita di masa lalu kembali membahana.―
Pernyataan tersebut jelas adanya kemauan politik seorang Jokowi sebagai
pemimpin bangsa dan negara Indonesia menginginkan adanya pemberdayaan
fungsi dan eksistensi samodra, laut, teluk sebagai tumpuan harapan bagi
peradaban masa depan dan menjadikan laut sebagai wahana menuju kejayaan
bangsa dan negara Indonesia. Tentu saja semboyan masa lalu itu tidak hanya
sebagai slogan semata, namun perlu implementasi serta kerja nyata dari seluruh
komponen bangsa agar Indonesia benar-benar menjadi negara yang mandiri, maju,
dan kuat seperti kerajaan Sriwijaya yang mengalami zaman keemasan pada masa
lalu.
Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang mandiri, kuat, dan sejahtera karena
manajemen pemerintahan yang baik, pertahanan dan keamanan yang kuat, dan
melibatkan orang selat atau orang laut. Sebaliknya Sriwijaya menjadi terpuruk
tatkala pemimpinnya menempatkan sebagaian besar orang-orang daratan untuk
mengisi formasi pasukannya, sementara orang laut telah menyingkir, ahli navigasi
dan penyelam dari orang laut mulai berkurang, maka kemudian Sriwijaya menjadi
terbenam sebagai kerajaan maritim. Sudah saatnya Indonesia perlu menempatkan
sdm di bidang kemaritiman pada bidang-bidang yang tepat seperti masa-masa
kejayaan kerajaan Sriwijaya. TNI dan polisi perairan serta nakoda-nakoda handal
yang didukung oleh awak-awak kapal profesional ditempatkan pada porsinya
masing-masing.
Teks kearifan lokal kemaritiman perspektif sejarah dapat dilihat pada Sejarah
Buton yang terabaikan: Labu Rope Labu Wana merupakan sebuah ulasan yang
patut untuk didiskusikan lebih lanjut. Karya tersebut merupakan penghubung
periode dinamis abad keenam belas/tujuh belas Buton, suatu periode, yang
menurut penulis (Susanto Zuhdi), telah diabaikan karena hegemoni dari Gowa dan
Ternate. Sebagai seorang sejarahwan yang telah memiliki informasi solid, penulis
memahami Buton sebagai pulau mencoba untuk menanggapi pengaruh internal
dan eksternal dengan mengambil perspektifnya sendiri dan memanfaatkannya dari
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 7
Denpasar, 25-26 September 2018
semua sarana yang tersedia untuk bertahan hidup: yaitu, melalui hubungan budaya
dan struktural. Buku ini terdiri dari enam bab: (1) Pengantar; (2) wilayah Buton;
(3) Labu Wana; (4) Labu Rope; (5) Kumpeni Walanda; (6) orang Kumpeni dari
sudut pandang orang Buton; dan (7) kesimpulan. Kelalaian tampaknya menjadi
kata kunci dalam sejarah Nusantara yang, untuk sampai batas tertentu, tidak hanya
dipengaruhi oleh ―daratan‖ tetapi juga oleh laut dan pulau-pulaunya, yang, pada
saat kedatangan armada kolonialisme pertama, memainkan peran penting. Buku
ini memberi kita suatu uraian yang penting tentang bagaimana kolonialisme
berkontribusi pada pengetahuan kita tentang hubungan yang rumit antara "asli"
sultan dan kolonial. Ini membuat sketsa Buton sebagai harus menghadapi tidak
hanya kekuatan Gowa dan Ternate, tetapi juga kekuasaan para penguasa Belanda
laut. Bagi saya, salah satu poin paling menarik yang penulis ungkapkan adalah itu
"Budaya" dan "struktur sosial" memberikan makna, dan juga sumber daya sebagai
kendala pada saat bersamaan. Para sultan menggunakan tradisi dan budaya
lainnya ekspresi untuk melegitimasi diri mereka dan memposisikan diri di antara
mereka orang dan dalam hubungannya dengan pulau tetangga. Namun, posisi ini
tidak stabil dalam hal hubungan sosial dengan sultan lain dan kemudian, dengan
para kolonial. Kontestasi, preseden, dan kebutuhan untuk mengatur akses ke
sumber ekonomi sangat penting. Yang terakhir adalah menjadi penting untuk
Belanda tetapi penduduk setempat juga membutuhkan legitimasi budaya Dalam
menghubungkan fenomena-fenomena ini, penulis mencoba mengidentifikasi hal-
hal berikut masalah inti: (1) hubungan sosial antara pulau-pulau dan tetangga
mereka otoritas di satu sisi dan Belanda di sisi lain yang menciptakan hubungan
ambigu antara pengikut dan tuan (halaman 10), yang pada gilirannya, dipengaruhi
(2) hubungan tidak stabil di antara mereka. Kolonial dipersepsikan situasi ini
dalam hal "kemitraan" jadi bagi mereka itu mungkin untuk memaksa otoritas lokal
untuk menandatangani perjanjian. Multi-level eksternal ancaman dipaksa mereka
mengadopsi strategi tertentu tetapi juga merugikan mereka karena kegagalan
mereka kesetiaan bahkan memimpin mereka untuk mengubah posisi dari
pemenang menjadi itu pecundang di era modern. Buku ini memberikan kontribusi
yang signifikan dalam hal "pulau sejarah" dan "pulau dalam sejarah", atau dalam
istilah semiotik di "tanda sejarah" dan "masuk sejarah". (Christomy, 2011)
8 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Dari objek bahasa dan sastra dapat diketengahkan sebuah judul lagu Nenek
Moyangku Orang Pelaut ciptaan Ibu Soed yang dapat memberikan inspirasi bagi
masyarakat yang mendengarkannya untuk selalu mengenang orang-orang yang
sangat profesional dalam bidang kemaritiman.
Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudera
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa
Angin bertiup layar terkembang
Ombak berdebur di tepi pantai
Pemuda berani bangkit sekarang
Ke laut kita beramai-ramai
Syair lagu tersebut memuat konteks sejarah/ genealogi yang memeberikan
ilustrasi tentang nenek moyang sebagai pelaut. Generasi muda juga diperkenalkan
tentang lingkungan hidup kemaritiman, yaitu dengan mengetengahkan samodra
yang berombak dan badai, meskipun ombak dan badai tersebut menerjang
dianggap sebagai tantangan hidup karena hidup sesungguhnya penuh tantangan
dan perjuangan, sehingga generasi muda tidak perlu takut dan harus kompak
menaklukkan laut.
Dari perspektif sastra, seni dan politik teks kearifan lokal kemaritiman
tergambar di dalam dunia pewayangan, dalam hal ini lakon Rama Tambak pernah
dipergunakan oleh Soeharto melalui Joop Ave Menparpostel sebagai media untuk
melepaskan belenggu dari krisis nasional di segala bidang pada tahun 1998
(ruwatan). Ekspresi simbolik dari lakon Rama Tambak pada pertunjukan wayang
kulit purwa dimanfaatkan oleh kekuasaan (Orde baru) untuk membendung
prahara krisis ekonomi, sosial, politik, dan budaya pada tahun 1998. Teks kearifan
lokal kemaritiman ini terdapat relasi dengan permasalahan-permasalahan tersebut.
Wayang kulit purwa berjudul Rama Tambak tersebut dipergelarkan atas prakarsa
Yoop Ave, Menparpostel saat itu, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh
kekuasaan Orde Baru. Melalui wahana simbol Yoop Ave memainkan lakon
Rama Tambak sebagai alat untuk membebaskan penderitaan rakyat dari belenggu
krisis di segala bidang.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 9
Denpasar, 25-26 September 2018
Wacana kekuasaan Orde Baru secara implisit tergambar di dalam lakon
Rama Tambak. Upaya untuk mengadakan ruwat nasional rupanya mengalami
kegagalan, karena pertunjukan wayang dengan lakon tersebut tidak mampu
membendung malapetaka nasional. Konstruksi wacana kekuasaan yang
berkelindan di dalam wayang kulit purwa lakon Rama Tambak tidak mampu
untuk mempengaruhi rakyat Indonesia untuk bersama-sama menghentikan krisis
di segala bidang. Soeharto sebagai pusat kekuasaan Orde Baru melalui Yoop Ave
dan PEPADI gagal meruwat siatuasi dan kondisi secara nasional yang semakin
memburuk dan yang pada akhirnya Soeharto lengser (mundur) dari jabatan
kepresidenan karena desakan rakyat.
Pemanfaatan mitos lakon Rama Tambak secara tidak langsung
diimplementasikan oleh Presiden Jokowi dengan sebuah konsepnya yang cukup
populer, yaitu tentang rancangan dan implementasi pembangunan tol laut yang
menghubungkan Medan, Batam, Jakarta, Surabaya, Makasar hingga Sorong. Tol
laut itu sendiri merupakan konsep pengangkutan logistik kelautan yang dicetuskan
oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Program ini bertujuan untuk
menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar yang ada di Nusantara. Dengan
adanya hubungan antara pelabuhan-pelabuhan laut ini, maka dapat diciptakan
kelancaran distribusi barang hingga ke pelosok. Selain hal itu, pemerataan harga
Logistik setiap barang di seluruh wilayah Indonesia. Seperti dikutip dari pidato
Presiden Jokowi, 5 April 2016 "Tol Laut untuk apa? Sekali lagi ini mobilitas
manusia, mobilitas barang. Harga transportasi yang lebih murah, biaya logistik
yang lebih murah, dan akhirnya kita harapkan harga-harga akan turun."
(https://id.wikipedia. org/wiki/Tol_Laut).
Dirjen Perhubungan Laut, Agus Purnomo menuturkan dinaikkannya subsidi
(33,43% dari tahun lalu Rp 335 miliar) guna mengoptimalkan fungsi tol laut
dalam menjaga stabilitas harga bahan pokok di seluruh daerah. "Jadi, kita punya
jaringan tol laut yang menghubungkan daerah potensial ke daerah terpencil.
Tahun 2018 ini pemerintah berusaha keras supaya bagaimana harga bahan pokok
beras, tepung termasuk semen dan lain-lain di daerah terpencil, harganya tidak
terlalu jauh," jelasnya dalam focus group discussion di Hotel Sari Pan Pacific,
10 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Jumat (2/3/2018). Tiga pelabuhan utama dalam tol laut adalah Pelabuhan Teluk
Bayur (Padang), Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta) dan Pelabuhan Tanjung Perak
(Surabaya). (https://www.cnbcindonesia. com/news/20180302113203-4-6000/tol-
laut-jokowi-disubsidi-2018-rp-447-miliar-naik-33)
Dalam hubungannya dengan konsep pembangunan tol laut yang dicanangkan
oleh Jokowi, lakon Rama Tambak deapat memberikan inspirasi kepada seluruh
masyarakat bahwa untuk menyeberang lautan yang luas dengan ombak yang
tinggi dan dihuni oleh makhluk mengerikan duperlukan upaya bala tentara
Ramawijaya yang berupa kera untuk bergotong-royong dan bahu-membahu
dengan semangat gugur gunung membangun tanggul laut (tol) yang berfungsi
untuk menghubungan Pancawati dan Alengkadiraja. Upaya yang dilakukan oleh
bala tentara kera yang dipimpin oleh Sugriwa dan Hanoman membuahkan hasil
dan malapetaka laut Yuyu Rumpung dapat dipatahkan. Ramawijaya beserta bala
tentara kera berhasil memasuki Alengka, terjadilah perang besar yang pada
akhirnya pasukan Pancawati dapat menguasai Alengka dan melumpuhkan bala
tentara Rahwana berupa raksasa. Ekspresi simbolik dalam lakon ini memberikan
spirit dan motivasi kepada seluruh masyarakat bahwa laut Indonesia yang luas
dengan beribu-ribu pulau yang ada dapat dihubungkan dengan pembangunan tol
laut seperti halnya konsep yang dicanagkan oleh Jokowi.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 11
Denpasar, 25-26 September 2018
Kebijakan penyusunan kawasan wisata
pada Kementerian Pariwisata RI dalam
rangka pengembangan destinasi wisata
dilakukan beberapa bulan lalu bersama
FIBUI, menekankan pada tiga
kawasan yang penting yang kontak
dengan perairan, yaitu Danau Toba
(Sumatra Utara), Tanjung Kelayang
(Bangka Belitung), dan Wakatobi
(Sulawesi Tenggara). Gambaran
wilayah perencanaan tiga tempat
wisata perairan tersebut menunjukkan bahwa kondisi wilayah sangatlah penting,
meliputi: kondisi geografis; kondisi fisik kawasan: topografi, penggunaanlahan,
hidrologi; kondisi sarana dan prasarana; demografi; sosial keagamaan; tradisi dan
budaya masyarakat sangatlah penting. Atraksi pada lokasi wisata yang kontak
dengan perairan adalah daya tarik yang dapat mengundang wisatawan berupa
benda-benda budaya, tradisi, ritual dan upacara, kesenian. Perencanaan
pengembangan kawasan pariwisata kelautan, khususnya Tanjung Kelayang dan
Wakatobi pengembangan atraksi dan daya tarik wisata dengan mengembangkan
objek-objek wisata yang ada; mengembangkan wisata minat khsusus berbasis
event/ tradisi, ritual dan upacara; mengembangkan daya tarik wisata pendukung
berupa seni pertunjukan; mengembangkan daya tarik dengan menggali potensi
kerajinan; mengembangkan atraksi alam, misal sungai, goa, laut; dan
mengembangkan wisata pendidikan berbasis keagamaan.
Hasil diskusi Tim FIBUI dan Kementerian Pariwisata disampaikan hal-hal
terkait pengembangan kawasan wisata daerah yang berada di pesisir, pantai,
perairan laut dengan menyusun teks naratif sejarah masyarakat dan kebudayaan
desa Sijuk Belitung; menyusun narasi
sejarah rumah tradisional dan benda-
benda budaya masyarakat desa sijuk;
menyusun buku teks naratif sejarah
12 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
masyarakat dan kebudayaan Toba (di dua desa sebagai sampel) dan Sulawesi
Tenggara; menyusun narasi sejarah rumah tradisional dan benda-benda budaya
masyarakat Toba (di dua desa sebagai sampel) dan Sulawesi Tenggara; mengelola
aksara dan bahasa terkait idiom-idiom (ungkapan-ungkapan) budaya Batak dan
Sulawesi Tenggara dalam tiga bahasa yang dipampang pada tempat2 tertentu.
Keikutsertaan FIBUI dalam sebuah riset bersama Kementerian Pariwisata
tahun ini minimal memberikan kontribusi yang signifikan terkait pemikiran
tentang pemberdayaan sumber daya budaya dan atraksi budaya pada destinasi
wisata pesisir yang kontak dengan perairan baik pada lokasi danau maupun laut.
Sumber daya budaya dan atraksi budaya yang dieksplorasi dari teks-teks kearifan
lokal kemaritiman baik terkait dengan bahasa dan sastra, adat-istiadat, serta
kesenian pada lokasi ―pantai‖ memberikan penguatan terhadap citra Indonesia
sebagai negara yang kaya akan pulau dan perairan.
Simpulan
Kajian Revitalisasi Teks-Teks Kearifan Lokal Kemaritiman Untuk
Membangun Kehidupan Bermasyarakat Berbangsa dan Bernegara menghasilkan
beberapa simpulan sebagai berikut:
Dalam konteks riset, teks-teks kearifan lokal kemaritiman memberikan
peluang untuk dikaji terus menerus oleh para pakar dari berbagai disiplin yang
hasilnya dapat dipresentasikan kepada masyarakat demi kemajuan ilmu
pengetahuan yang sekaligus bermanfaat sebagai sarana mencerdaskan kehidupan
bangsa. Untuk membangun kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera diperlukan
sejumlah pakar yang handal dari berbagai bidang ilmu pengetahuan baik sejarah,
politik, sosial, ekonomi, maupun budaya untuk menangani permasalahan teks-teks
kearifan lokal kemaritiman yang muaranya tercapainya wawasan kebangsaan
yang kokoh dan maju. Kearifan lokal kemaritiman memberikan perspektif
ekspresi simbolik terhadap realitas sosial yang diproyeksikan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lakon Rama Tambak dalam seni
pertunjukan wayang sebagai eskpresi simbolik memberikan spirit dan daya hidup
terhadap penyelenggara negara untuk mengimplementasikan pembangunan tol
laut dan menyatukan tanah air Indonesia sebagai negara kepulauan.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 13
Denpasar, 25-26 September 2018
Dalam konteks manajemen (tata kelola) birokrasi, pemberdayaan teks-teks
kearifan lokal kemaritiman perlu adanya sinergitas kerjasama yang erat dan kokoh
di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, yang
mengkoordinasikan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Perhubungan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Kementerian
Pariwisata yang didukung Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pemerintah Daerah
untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih sejahtera dengan mewujudkan wisata
bahari yang khas disertai eksplorasi sumber daya budaya dan atraksi budaya lokal.
Teks-teks kearifan lokal kemaritiman memberikan identitas (jatidiri) kepada
masyarakat pendukungnya untuk membangun citra Indonesia sebagai negara
maritim yang kaya akan sumber daya mineral dan sumber daya budaya.
Dalam konteks politik, pengembangan wawasan Nusantara melalui
kesadaran akan pentingnya pemahaman tentang keragaman teks-teks kearifan
lokal kemaritiman yang tersebar di seluruh pelosok tanah air dapat memberikan
penguatan terhadap empat saka guru kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD ‘45,
Bhinneka Tunaggal Ika, dan NKRI. Teks-teks kearifan lokal yang memuat sejarah
masa lalu memberikan perspektif kepada kehidupan masa datang agar lebih taktis
dan strategis serta efektif dan efisien dalam mengambil suatu keputusan atas
kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Labu Wana Labu Rope:
Sejarah Butun Abad XVII memberikan perspektif masa depan yang lebih cerah
dan terbuka tentang perlunya wawasan kemaritiman untuk membangun wawasan
Nusantara demi terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa.
Referensi
Christomy, Tommy. 2011. Sejarah Buton Yang Terabaikan: Labu Rope Labu
Wana. Jakarta: Rajawali Pers, Yayasan Kebudayaan Masyarakat Buton, 2010,
xli + 350 pages (including illustrations and maps). ISBN 9789797692292.
Tinjauan Buku dalam Jurnal Wacana Vol. 13 No. 2. Artikel dalam
file:///C:/Users/Acer/AppData/Local/Temp/Susanto_Zuhdi_Sejarah_Buton_y
ang_terabaikan_Labu_r-1.pdf
Creswell, John W. (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan Mixed. (Achmad Fawaid, penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Darmoko. 2013. Wacana Kekuasaan dalam Wayang Kulit Purwa: Tinjauan Pada
Lakon Rama Tambak. Artikel pada Seminar Ramayana dengan tema
―Ramayana Referensi Tekstual dan Latar Belakang Budaya dalam Konteks
Indonesia‖, oleh Jurusan Sastra Nusantara Program Studi Sastra Jawa,
14 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
FIBUGM 5 Juni 2013 di Joglo Plawangan Boutique Jl. Raya Pakem Turi,
Karang Gawang, Girikerto, Turi, Sleman, Yogyakarta.
Dickry Rizanny N. 2017. Perpres 16/2017 dan Pembangunan Maritim Indonesiahttp://maritimnews.com/2017/05/perpres-162017-dan-
pembangunan-maritim-indonesia/)
Kementerian PPN Bappenas. 2015. Laporan Implementasi Tol Laut 2015
Direktorat Transportasi Kementerian PPN Bappenas: Implementasi Konsep
Tol Laut 2015-2019. Artikel pada http://Nusantarainitiative.com/wp-
content/uploads/2016/02/150915-Buku-Tol-Laut-bappenas.pdf
Sejarah Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam https://kkp.go.id/page/6-
sejarah.
Yuliati. 2014. Kejayaan Indonesia Sebagai Negara Marirtim. Jurnal Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan Th. 27, Nomor 2, Agustus 2014. Artikel
pada file:///C:/Users/Acer/AppData/Local/Temp/5523-4795-1-SM.pdf
Zuhdi, Susanto. 1999. Labu Wana Labu Rope: Sejarah Butun Abad XVII.
Disertasi Universitas Indonesia.
------------------. 2006. Laut, Sungai, dan Perkembangan Peradaban: Dunia
Maritim Asia Tenggara, Indonesia dan Metodologi Strukturis. Artikel
Konferensi Nasional Sejarah VIII di Jakarta, 14-16 November 2006. Artikel
padahttp://www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/susanto_zuhdi_konfe
rensi-final.pdf
-----------------. Budaya Maritim, Kearifan Lokal, dan Diaspora Buton. Artikel
dalam https://icssis.files.wordpress.com/2012/05/0609082010_18.pdf
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 15
Denpasar, 25-26 September 2018
SENI KELAUTAN
MEMBANGUN HARMONISASI MANUSIA DENGAN ALAM
I Gede Arya Sugiartha Institut Seni Indonesia Denpasar
ABSTRAK
Sejak satu dekade terakhir ini di Indonesia muncul satu bentuk seni baru
yang lazim disebut dengan seni lingkungan atau eco-Art. Seni lingkungan
merupakan suatu kerja artistik yang mengajukan cara pandang, pemikiran, dan
kepedulian atas berbagai bentuk dan sumber kehidupan dari planet bumi yang kita
diami. Menggunakan konsep seni kontemporer, seni lingkungan dipergelarkan di
alam terbuka seperti sungai, sawah, hutan, dan alam laut. Karya seni lingkungan
yang terinspirasi dan dipergelarkan di alam laut juga sering disebut seni kelautan.
Tiga karya seni kelautan yang menarik untuk kita cermati sebagai bahan diskusi,
adalah Musik Kontemporer ―Harkat Bunyi Alam Manggrove‖ karya I Kadek
Indra Wijaya, Dramatari ―Prapat‖ karya Ida Ayu Gede Sasrani Widyastuti, dan
Dramatari ―Legu Gondong‖ karya Ida Ayu Ratih Wagiswari. Ketiga karya seni
kelautan ini selain bertutur tentang keindahan auditif dan visual alam laut juga
mengandung sikap, pesan, dan kepedulian seniman bahwa manusia hendaknya
selalu membangun hubungan yang harmonis dengan alam lingkungan.
Kata kunci: seni kelautan, kontemporer, harmoni.
1. Pengantar
Sejak zaman dulu manusia telah memiliki kepedulian terhadap pelestarian
alam lingkungan. Masyarakat Hindu Bali memiliki konsepsi Tri Hita Karana,
yang salah satunya menyatakan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, manusia
hendaknya membangun hubungan yang harmonis dengan alam serta
lingkungannya. Manusia dipersilakan memanfaatkan potensi alam dan lingkungan
sebagai sumber kehidupan dan penghidupan, namun tidak dengan mengekploitasi
dan mengubah ekosistemnya. Kepercayaan masyarakat Hindu Bali tentang Dewa
Baruna sebagai Dewa laut, kepercayaan masyarakat Jawa tentang Nyai Roro
Kidul penguasa laut selatan, upacara melasti yang dilakukan oleh masyarakat Bali,
dan upacara Petik laut yang dilakukan oleh masyarakat pesisir di Jawa, adalah
bentuk-bentuk penghormatan kepada penguasa laut agar manusia diberikan
keselamatan lahir dan batin.
Selain mitos yang diyakini dapat digunakan untuk membangun
harmonisasi manusia dengan alam dan lingkungannya, pada zaman modern juga
16 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
dilakukan dengan program-program terstruktur oleh pemerintah seperti membuat
regulasi tentang pemanfaatan alam lingkungan. Seniman juga memiliki cara
tersendiri untuk bersahabat dengan alam. Ada ungkapan menarik terkait dengan
hubungan seniman dengan bentuk-bentuk di alam, yaitu natura artis magistra
yang artinya alam adalah gurunya seniman (Soedarso, 1990:33). Karena dianggap
guru, maka seniman menghormati dan mencintai alam yang diungkapkan dalam
berbagai bentuk karya seni.
Sejak dua dekade terakhir ini di Indonesia muncul garapan-garapan seni
pertunjukan yang dilakukan di alam terbuka yang sering disebut dengan seni
lingkungan atau eco-Art. Menurut Maryanto (2017:70) seni lingkungan atau eco-
Art adalah suatu kerja artistik yang mengajukan cara pandang, pemikiran, dan
kepedulian atas berbagai bentuk dan sumber kehidupan dari planet bumi yang kita
diami. Tujuannya membangkitkan kesadaran, merangsang dialog, mengubah
prilaku dan sikap hormat terhadap spesies lain serta mendorong rasa dan sikap
menghargai sistem-sistem alami agar kita hidup berdampingan secara harmonis.
Selain dilakukan di alam terbuka seperti laut, sungai, tempat pembuangan sampah,
tebing, dan sawah, seni lingkungan biasanya mengangkat tema-tema yang
menunjukkan sikap mereka terhadap situasi terkini yang sedang terjadi seperti
eksploitasi atau pemanfaatan yang keliru terhadap potensi alam.
2. Tiga Karya Seni Kelautan
Ada tiga karya seni lingkungan yang saya pandang layak untuk kita
cermati sebagai hahan diskusi, yaitu Musik Kontemporer ―Harkat Bunyi Alam
Manggrove‖ karya I Kadek Indra Wijaya, Dramatari ―Prapat‖ karya Ida Ayu Gede
Sasrani Widyastuti, dan Dramatari ―Legu Gondong‖ karya Ida Ayu Ratih
Wagiswari. Ketiga karya seni pertunjukan tersebut mengambil inspirasi, tempat
pergelaran, dan peralatan di alam laut sehingga kesenian ini dapat juga kita sebut
dengan seni kelautan. Karya-karya yang dipersiapkan untuk pemenuhan tugas
akhir S3 dan S2 ini tampil sukses dan memukau ratusan penonton yang sengaja
ingin menyaksikan keunikan baik dari segi artistik maupun pesan yang ingin
disampaikan.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 17
Denpasar, 25-26 September 2018
Pertama, karya ―Harkat Bunyi Alam Mangrove‖ terinspirasi dari begitu
uniknya suara-suara alam yang ada di lingkungan hutan mangrove Kedonganan
dalam kesehariannya. Ada suara burung tengkek yang saling bersautan, ada
gesekan pohon dan daun mangrove ketika diterpa angin, ada suara sayatan
kepiting yang sedang memakan batang mangrove, ada suara senda gurau para
nelayan yang akan pergi dan datang dari melaut (Indra Wijaya, 2016: 2). Suara-
suara tersebut mengindikasikan sebuah kedamaian karena ekosistem berjalan
alami. Suara-suara inilah dikemas dalam bahasa musikal dengan menggunakan
alat-alat musik yang juga dibuat dari batang mangrove dengan kostum dari
dedaunan dan pohon mangrove.
Selain menampilkan suara musik yang unik tentang keharmonisan alam
mangrove, karya ini juga mengandung kritik sosial tentang fenomena yang sering
terjadi di areal hutan mangrove Kedonganan. Terjadinya pembuangan sampah
oleh masyarakat, pembuangan limbah industri oleh pengusaha, dan cara
pemerintah mengisolasi areal hutan mangrove dari masyarakat dengan pagar
kawat, dapat berdampak pada berubahnya ekosistem. Secara lugas Kadek Indra
Wijaya menyatakan selain penikmatan estetis, hal yang paling diharapkan dari
karya ini adalah dampak atau outcome guna menyadarkan masyarakat bahwa kita
harus bersahabat dengan alam (Indra Wijaya, 2016: 125). Jika kita bersahabat
maka harus dihindari upaya-upaya eksploitasi agar ekosistem alam dan
lingkungan bisa berjalan dengan baik dan memberikan dampak yang positif bagi
kehidupan manusia.
Kedua, Dramatari Legu Gondong menggunakan konsep seni lingkungan
yang mengambil sumber inspirasi dari latar belakang dan rangkaian tradisi
upacara Ngaro di Pantai Sanur. Menurut Lontar Purwa Wangsa Arya Madura
upacara Ngaro dilaksanakan setiap purnamaning sasih karo sebagai upacara
penghormaan kepada Dewa Baruna atas karunia yang diberikan kepada
masyarakat pesisir, khususnya Sanur (Wagiswari, 2015:5). Upacara Ngaro ini
dilatarbelakangi oleh sebuah cerita mitos bahwa masyarakat Sanur pernah
dijangkiti wabah penyakit yang dibawa oleh sekawanan nyamuk yang disebut
Legu Gondong. Nyamuk-nyamuk pembawa penyakit ini muncul dari arah laut
kemudian menyerang warga sehingga banyak yang meninggal. Atas nasehat Raja
18 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Kesiman, masyarakat Sanur diminta untuk segera melakukan upacara
permohonan maaf dan penghormatan kepada Dewa Baruna. Upacara ini dianggap
mampu menetralisir keadaan sehingga masyarakat Sanur terbebas dari penyakit.
Ada satu point menarik yang dapat dicermati dari karya ini, yaitu
wejangan Raja Kesiman yang digubah dalam bentuk puisi sebagai berikut.
―Pasih, tasik, arungan segara….Bencah toyane kasisi. Tinggangane tan
keaksi.
Katilar sinaring sasi. Kakardi wong memanah weci luu liyu tanpa rungu.
Saru mapalu ring wong tamyu. Karebut buyung lan kadungu. Tan patut
keanggen sangu. Pasih…..Pa… asih… Mulih ring kasih. Segara……
Sesama gora. Tan patut wera. Yan tan kaingin wenten wicara‖
Secara umum puisi di atas dapat diartikan bahwa laut merupakan tempat suci yang
harus dijaga kesuciannya dari orang-orang yang berfikiran kotor dan jahat. Pasih
atau laut adalah tempat yang menyenangkan dan tempat untuk menetralisir segala
kotoran atau penyakit (Wagiswari, 2015: 47).
Ketiga, karya dramatari Prapat juga bertemakan pelestarian lingkungan
dengan menjadikan areal hutan mangrove sebagai tempat pentas. Ida Ayu Sasrani
mencoba menampilkan sesuatu yang baru dan ―tidak biasa‖ untuk mewadahi
gagasannya. Pemilihan tempat di areal hutan mangrove (Tahura) Ngurah Rai
dengan alasan pengkarya memiliki kepedulian terhadap pelestarian lingkungan
mangrove dan biota laut (Sasrani, 2016: 88). Lewat karyanya yang berdurasi
sekitar 45 menit pengkarya mampu memukau penonton dan dewan penguji yang
hadir menyaksikan karyanya sore itu.
Dramatari ―Prapat‖ adalah seni kontemporer yang menggunakan konsep
seni postmodern. Pemilihan bentuk dramatari disebabkan karena pengkarya ingin
menyampaikan pesan-pesan yang lugas tentang pelestarian lingkungan khususnya
hutan mangrove kepada masyarakat. Ceritera yang digunakan untuk membingkai
kesatuan garapan bertutur tentang bagaimana manusia harus menjaga ekosistem
hutan mangrove, melindungi biota laut seperti kepiting dari kepunahan, menjaga
pohon mangrove agar sehat, serta memanfaatkan potensi hutan tidak dengan cara
mengeksploitasi. Ada mitos yang berkembang di masyarakat Suwung Kauh (areal
Tahura Ngurah Rai) yang menyatakan bahwa hutan mangrove dihuni oleh seorang
dewi cantik dan sejumlah biota laut. Mereka inilah yang melindungi hutan dari
berbagai ancaman termasuk manusia. Oleh sebab itulah ketika memasuki hutan
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 19
Denpasar, 25-26 September 2018
masyarakat harus bertindak sopan, tidak berkata-kata kasar, dilarang menebang
pohon sembarangan, dilarang menangkap ikan dengan racun atau bom, karena
jika dilakukan akan mendapat hukuman dari dewi penguasa hutan mangrove.
Mitos ini masih dipercaya masyarakat dan sampai sekarang cukup ampuh
digunaka untuk melindungi hutan mangrove.
5. Harmonisasi dan Membangkitkan Identitas Budaya Bahari
Seni dan estetika dapat mempengaruhi suasana hati sehingga pesan yang
disampaikan diresapi secara mendalam dan masuk ke dalam kalbu. Dalam bidang
musik Johan (2003: 28) menyebutkan bahwa musik dengan katagori positif
menghasilkan peningkatan suasana hati yang positif, demikian pula musik yang
sedih menghasilkan peningkatan suasana hati negatif. Seni bisa mengajak para
penikmatnya masuk ke dalam suasana yang diinginkan seniman melalui transfer
of feeling. Melalui kemampuannya mempengaruhi suasana hati inilah seniman
dapat mempengaruhi situasi yang lebih luas. Sebagaimana karya Indra Wijaya
yang menyajikan nuansa harmoni alam mangrove, penonton diajak menikmati
indahnya suara-suara alam ketika ekosistem hutan mangrove berjalan harmonis
dan terbebas dari suara-suara bising dan pencemaran limbah dan sampah.
Masyarakat yang menikmati suara-suara indah ini tentu akan merasa senang
sehingga tergugah dan menyetujui ajakan seniman agar hutan mangrove terus
dipelihara agar ekosistem berjalan secara alami.
Muhammad Jamil dalam sebuah artikelnya berjudul Sistem Budaya
Masyarakat Maritim (2015: 3-4) menyatakan ada sejumlah nilai dan norma yang
telah menjadi budaya para nelayan dan pelayar Indonesia, antara lain adalah
komunalisme, arif lingkungan, religius, kolektivitas, egalitarian, rukun dan setia
kawan dalam kelompoknya, saling percaya, taat norma, bertanggung jawab,
disiplin, kreatif-inovatif, teguh pendirian, kepetualangan, berani menanggung
resiko, adaptif dan kompetitif, berwawasan kelautan dan kepulauan,
multikulturalis, nasionalis, dan berpandangan dunia. Para nelayan Bali pada
umumnya memiliki kelebihan pada sikap kebersamaan, melestarikan lingkungan
ekosistem dan sumber daya perikanan laut serta pemanfaatan hasil-hasil secara
bersama. Hal ini tercermin dari sejumlah pengetahuan termasuk mitos yang
20 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
dimiliki bertujuan untuk pelestarian alam laut. Sebagaimana dapat dicermati dari
Dramatari Legu Gondong karya Ida Ayu Ratih Wagiswari, menyimpan makna
kebersamaan dan pelestarian lingkungan yang terbalut dalam ceritera mitos. Mitos
tentang adanya penguasa laut, yaitu Dewa Baruna bagi masyarakat Hindu Bali
mengandung makna betapa alam mesti dijaga dengan cara membangun harmoni,
bukan dengan mengesploitasi. Jika manusia menjaga alam maka alampun
memberi perlindungan kepada manusia.
Estetika dewasa ini telah mengalami penambahan nilai dan makna, yaitu
bukan hanya sebuah kelangenan atau untuk kesenangan melainkan juga daya.
Sachari (2006:122-126) menyebutkan, selain mengandung daya pesona estetika
juga mengandung daya pembelajar dan daya penyadar. Kedayaan estetik karya
seni bahkan mampu menjadi ―provokator‖ untuk mempengaruhi berbagai situasi.
Mengapa demikian, hal ini tentu disebabkan karena seniman memiliki ―cara
ampuh‖, untuk menarik simpati agar dipercaya oleh masyarakat. Dramatari Prapat
karya Ida Ayu Gede Sasrani Widyastuti mengandung daya pembelajar dan
penyadaran kepada masyarakat bahwa hutan mangrove wajib dilestarikan dan
dimanfaatkan dengan baik. Adanya mitos tentang Dewi Mangrove yang kemudian
dijadikan ceritera dramatari Prapat adalah kearifan lokal yang memiliki makna
dan nilai kebersamaan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya
bersahabat dengan alam. Dengan membangun keharmonisan dengan alam laut,
manusia dapat menjadikan laut sebagai sumber kehidupan dan penghidupan.
6. Penutup
Seni kelautan adalah seni yang menggunakan potensi alam laut sebagai
sumber inspirasi dan tempat pergelaran. Selain menyimpan nilai keindahan bentuk,
alam laut juga menyimpan berbagai peta makna yang memancing seniman untuk
menjadikannya sebagai karya seni. Sejak satu dekade belakangan ini seni-seni
kelautan selain bertutur indahnya alam laut, juga untuk menunjukkan sikap,
partisipasi, dan kepedulian seniman dalam membangun harmonisasi antara
manusia dengan alam laut. Hal ini sangat mendukung upaya membangkitkan
identitas budaya bahari Indonesia yang menekankan kebersamaan, taat norma dan
arif lingkungan.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 21
Denpasar, 25-26 September 2018
Pustaka Acuan
Amien, A. Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal: Konsepsi Pembangunan,
Organisasi, Pendidikan dari Perspektif Sains Baru. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Bandung: PT Bentang
Pustaka.
Giddens, Antony. 2009. Konskwensi-Konskwensi Modernitas. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Harjana, Suka. 2004. Musik: Antara Kritik dan Apresiasi, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas
Jamil, Muhammad. 2015. ―Sistem Sosial Budaya Masyarakat Maritim‖, dalam
Kompasiana.com, tanggal 5 Januari 2015.
Johan. 2011. ―Perilaku Musikal dan Kepribadian Kreatif‖, Pidato Pengukuhan
Guru Besar Pada Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta.
Lubis, M. Safrinal dkk. 2007. Jagat Upacara: Indonesia dalam Dialektika yang
Sakral dan yang Profan. Yogyakarta: Ekspresi Buku.
Marianto, M. Dwi. 2017. ―Ecoart Dalam Seni Rupa‖, dalam Daya Seni: Bunga
Rampai 25 Tahun Prodi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa
UGM. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Sachari, Agus. 2002. Estetika, makna, Simbol, dan Daya. Bandung: Penerbit ITB.
Soedarso,SP. 1990. Tinjauan Seni, Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni.
Yogyakarta: Saku Dayar Sana.
Sumardjo, Jacob. 2010. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press, STSI
Bandung.
Supriadi, Dedi. 1994. Kreativitas, Kebudayaan dan Perkembangan Iptek.
Bandung: CV ALFABETA.
Widyastuti, Ida Ayu Sasrani. 2016. ―Dramatari Prapat‖, Tesis Karya Seni Tugas
Akhir pad Program Pascasarjana ISI Denpasar.
Wagiswari, Ida Ayu Ratih. 2015. ―Dramatari Legu Gondong‖, Tesis Karya Seni
Tugas Akhir pada Program Pascasarjana ISI Denpasar.
Wijaya, I Kadek Indra. 2016. ―Harkat Bunyi Alam Mangrove‖, Disertasi Karya
Tugas Akhir S3 pada Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan,
Yogyakarta: Kanisius.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 22
Denpasar, 25-26 September 2018
STRATEGI MASYARAKAT NELAYAN KEDONGANAN
MENGHADAPI KEMISKINAN
Purwadi Soeriadiredja
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan, serta kerusakan
lingkungan pesisir dan laut merupakan dampak dari kebijakan pembangunan yang
selama ini berorientasi ke daratan. Sekalipun pemerintah menggulirkan kebijakan
modernisasi perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, namun hasil
yang dicapai belum memuaskan. Secara umum nelayan masih terperosok dalam
perangkap kerentanan sosial-ekonomi berkepanjangan. Kenyataan tersebut
membuat perekonomian nelayan memprihatinkan.
Kedonganan terletak di kawasan wisata dan menjadi tujuan wisata pantai
dan kuliner, namun hal itu bukan jaminan bagi para nelayan dapat meningkatkan
kualitas hidupnya. Awalnya perkembangan di Kedonganan tanpa kendali
sehingga menimbulkan banyak permasalahan di bidang ekonomi, sosial, budaya,
dan lingkungan. Hal tersebut ditenggarai akan menimbulkan ketidakharmonisan dan
mencoreng citra objek wisata Kedonganan, bahkan pariwisata budaya Bali.
Dengan berjalannya waktu, kini pantai Kedonganan berubah menjadi
tujuan wisata pantai dan kuliner yang menarik. Hal tersebut tak lepas dari peran
Desa Adat Kedonganan yang telah melibatkan masyarakat mulai dari perencanaan
awal, pengelolaan dan evaluasi dengan tujuan meningkatkan perekonomian
masyarakat, mempertahankan adat istiadat setempat dan pengelolaan yang
berkelanjutan. Dalam hal ini bagaimana masyarakat Kedonganan dengan
kearifanlokalnya menciptakan strategi dalam menghadapi salah satu permasalahan
hidup mereka, yaitu kemiskinan, sehingga lambat laun terjadilah peningkatan
ekonomi, sosial-budaya yang signifikan.
Sebagai nelayan, bermacam resiko dari pekerjaan sudah biasa mereka
hadapi dan terima dengan besar hati karena bagi mereka hidup adalah sebagai
anugerah. Suatu hal yang mereka harapkan adalah terciptanya keselarasan dan
keserasian antara kehidupan duniawi dan kehidupan dengan Sang Hyang Widi.
Untuk itu hidup harus dilandasi dengan sikap pasrah dan menerima apa adanya.
Namun bukan berarti harus tetap tinggal diam saja. Pengelolaan pantai
Kedonganan berbasis masyarakat ini dijiwai oleh filosofi Tri Hita Karana,
karenanya hubungan masyarakat dengan lingkungan (alam, spiritual dan antar
manusia) dapat terjalin secara harmonis dan berkelanjutan.
Kata Kunci : Strategi, Nelayan, Kemiskinan.
Pendahuluan
Mubyarto dkk. (dalam Kinseng, 2014:38-39) mengemukakan bahwa
keluarga nelayan umumnya lebih miskin daripada keluarga petani atau pengrajin.
Para nelayan kecil dan buruh nelayan berada pada posisi yang lemah dan marginal.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 23
Denpasar, 25-26 September 2018
Penguasaan dan akses terhadap sumber daya alam sering menjadi isu utama dalam
konflik sosial. Kusnadi (2002) mengungkapkan bahwa kemiskinan,
keterbelakangan masyarakat nelayan, kerusakan lingkungan pesisir dan laut
merupakan dampak dari kebijakan pembangunan yang selama ini berorientasi ke
daratan. Sekalipun pemerintah menggulirkan kebijakan modernisasi perikanan
untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, namun hasil yang dicapai tidak
memuaskan. Secara umum nelayan masih terperosok dalam perangkap kerentanan
sosial-ekonomi yang berkepanjangan. Kenyataan tersebut membuat perekonomian
nelayan memprihatinkan.
Beberapa dekade terakhir, masyarakat nelayan Kedonganan masih
mengalami keadaan yang memprihatinkan itu. Hal tersebut diketahui berdasarkan
beberapa hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa walaupun para nelayan
Kedonganan telah merasakan proses modernisasi bidang perikanan, namun setiap
nelayan hanya mampu menangkap ikan maksimal hanya 4,8 kg/hari saja (Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung). Menurut Widhianti (2005)
meskipun Kedonganan terletak di kawasan wisata, namun hal itu bukan jaminan
bagi para nelayan meningkatkan kualitas hidupnya. Berbagai kesulitan hidup
ditemui, namun hal itu pun tidak menjadi halangan untuk tetap hidup sebagai
nelayan. Penelitian Sucipta (2012) mengungkapkan sejak tahun 1995 Kedonganan
mulai terjamah perkembangan kepariwisataan dan menjadi tujuan wisata pantai
dan kuliner. Sebagai pengaruh dari keberhasilan pendirian kafe-kafe di pantai
Jimbaran, masyarakat Kedonganan pun turut mendirikan kafe-kafe pula. Namun
perkembangan di Kedonganan tanpa kendali sehingga menimbulkan banyak
permasalahan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Hal tersebut
dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakharmonisan dan mencoreng citra objek
wisata Kedonganan, bahkan pariwisata budaya Bali. Ketidakharmonisan bisa
diatasi bila masyarakat setempat turut berpartisipasi dalam penguasaan sumber
daya alam.
Sejak tahun 2007 Desa Adat Kedonganan didukung oleh Pemkab Badung
mulai menata pantai Kedonganan dengan memaksimalkan semua potensi desa
termasuk penataan kafe-kafe. Pengelolaan kafe diberikan kepada masing-masing
banjar di wilayah Kedonganan. Dengan berjalannya waktu, kini pantai
24 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Kedonganan berubah menjadi tujuan wisata pantai dan kuliner yang menarik. Hal
tersebut tak lepas dari peran Desa Adat Kedonganan yang telah melibatkan
masyarakat mulai dari perencanaan awal dengan tujuan meningkatkan
perekonomian masyarakat, mempertahankan adat istiadat setempat dan
pengelolaan yang berkelanjutan. Dalam hal ini bagaimana masyarakat
Kedonganan menciptakan strategi dalam menghadapi salah satu permasalahan
hidup mereka, yaitu kemiskinan.
Kelurahan Kedonganan
Kelurahan Kedonganan berada di wilayah Kecamatan Kuta,
Kabupaten Badung, dan merupakan wilayah (palemahan) Desa Adat
Kedonganan. Kelurahan ini terletak di sebelah selatan kota Denpasar dan
berjarak -/+ 20 km dari kota.
Luas wilayah Kelurahan Kedonganan 191 ha, yang sebagian besar
dimanfaatkan untuk pemukiman. Sebagian lainnya merupakan hutan, pekuburan
dan fasilitas umum. Seacara topografis, Kelurahan Kedonganan merupakan daerah
dataran rendah pada ketinggian 31 m di atas permukaan laut dengan karakteristik
wilayah pesisir dan jenis tanah berpasir yang kurang subur untuk pertanian. Di sebelah
selatan merupakan tanah berbukit kapur.
Masyarakat Kedonganan merupakan masyarakat yang heterogen.
Selain warga ―asli‖ Kedonganan, banyak pula warga masyarakat yang
berasal dari wilayah Bali lainnya. Terlepas dari perbedaan wilayah asal, secara
keseluruhan penduduk Kedonganan dapat diidentifikasikan sebagai orang Bali.
Sedangkan penduduk pendatang dari etnis lainnya adalah Jawa, Madura, dan
Cina.
Agama yang dianut secara mayoritas yaitu Hindu. Sedangkan lainnya
ialah Islam, Kristen Protestan, Katholik dan Buddha. Orang Kedonganan
percaya bahwa segala aktivitas keagamaan yang dilakukan untuk keselarasan
dan keteraturan dalam hidup di dunia dan akhirat. Segala aktivitas keagamaan
walau dianggap menyita waktu, tenaga dan biaya, namun mereka percaya
bahwa hal itulah tanda bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha
Esa.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 25
Denpasar, 25-26 September 2018
Mata pencaharian utama di Kelurahan Kedonganan adalah sebagai
nelayan. Selain itu banyak pula bekerja dalam bidang perdagangan sebagai
pengusaha kecil dan menengah, industri dan swasta. Hal itu disebabkan oleh
semakin berkembangnya sektor pariwisata di Kedonganan.
Potensi Pariwisata
Wilayah Kedonganan termasuk dalam wilayah Kecamatan Kuta yang
merupakan pusat dari pariwisata Bali. Kedonganan merupakan daerah pantai
yang potensial sebagai peningkatan hidup masyarakat setempat. Sebelum
berkembangnya kepariwisataan, Kedonganan merupakan desa nelayan yang
kesehariannya lekat dengan kehidupan dan aktifitas kenelayanan.
Perkembangan kepariwisataan di Kedonganan tidak bisa dipisahkan dari
perkembangan kepariwisataan di daerah Jimbaran. Dalam rencana induk
pariwisata Bali tahun 1990, wilayah Kedonganan telah ditetapkan sebagai
wilayah wisata (tourist resort). Beroperasinya Hotel Four Seasons Jimbaran
Bali pada tahun 1993 membuka peluang bagi masyarakat Jimbaran untuk
ikut merasakan dampak positif pariwisata. Dengan banyaknya wisatawan yang
datang ke pantai Jimbaran, beberapa penduduk Jimbaran mendirikan warung-
warung ikan bakar bagi wisatawan yang ingin menikmati makanan tradisional
khas nelayan sambil melihat pemandangan matahari terbenam. Kesuksesan
warung-warung ikan bakar di Jimbaran mendorong beberapa warga
Kedonganan ikut mendirikan warung ikan bakar pula. Keberadaan warung-
warung makan tersebut akhirnya berkembang menjadi kafe sehingga pantai
Kedonganan dan Jimbaran dikenal sebagai lokasi untuk aktivitas wisata kuliner.
Faktor lain yang mendorong berdirinya kafe di sepanjang pantai
Kedonganan adalah tidak terserapnya produksi ikan kelompok-kelompok
nelayan Kedonganan yang berlimpah pada waktu itu. Pemindahan Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) ke Jembrana mengakibatkan nelayan Kedonganan harus
mengalokasikan biaya dan waktu yang lebih banyak untuk membawa hasil
tangkapan ke Jembrana. Selain itu adanya keluhan dari otoritas Bandara
Internasional I Gusti Ngurah Rai terhadap pencemaran bau di sekitar perairan
pantai Kedonganan dan limbah ikan yang dibuang oleh nelayan Kedonganan di
26 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
tengah laut. Fakor-faktor tersebut menyebabkan nelayan Kedonganan
beranggapan bahwa profesi nelayan tidak lagi menjanjikan sehingga mereka
mulai beralih profesi. Salah satu peluang yang menjanjikan pada waktu itu adalah
beralih profesi menjadi pengusaha kafe.
Pada awal perkembangan, pendirian kafe di pantai Kedonganan tanpa
koordinasi. Warga yang ingin mendirikan kafe datang ke pantai untuk
mengkapling area pantai seluas yang diinginkan dan dibutuhkan. Ketika lahan
pantai Kedonganan sudah mulai terbatas, warga yang ingin mendirikan kafe tetap
memaksakan diri di area yang sempit, yang mengakibatkan garis pantai
Kedonganan didominasi oleh bangunan kafe tanpa perencanaan yang baik
sehingga lingkungan Pantai Kedonganan menjadi tidak rapih dan terlihat
kumuh. Di samping itu banyaknya jumlah kafe yang ada menimbulkan berbagai
dampak negatif, antara lain berupa pencemaran sampah dan pencemaran bau yang
bersumber dari limbah kafe yang dibuang langsung ke pantai atau ke laut
sebagai akibat tidak adanya sistem pengolahan limbah. Hal tersebut tentunya
berdampak tidak baik untuk perkembangan kepariwisataan, khususnya di
Kedonganan. Untuk menatanya dibutuhkan suatu perencanaan dan pengelolaan
yang didukung dan disetujui oleh seluruh warga masyarakat. Suatu penataan yang
dilaksanakan dengan konsep berbasis masyarakat.
Kehidupan Nelayan Kedonganan
Di Kelurahan Kedonganan terdapat empat lembaga tradisional dalam
kehidupan bermasyarakat, yaitu desa dinas, desa adat, banjar dan seka. Desa dinas
bersifat administratif dan kedinasan yang dikepalai oleh Lurah. Para warga
komunitas desa dinas disatukan oleh adanya kesatuan fungsi yang
dijalankan oleh Kelurahan sebagai kesatuan administratif.
Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di propinsi Tingkat I
Bali yang memiliki satu kesatuan tradisional dan tata krama pergaulan hidup
masyarakat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga. Desa
adat mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak
mengurus rumah tangganya sendiri. Kekuasaan tertinggi di desa adat terdapat
pada rapat anggota dan dikepalai oleh seorang bendesa adat. Desa adat
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 27
Denpasar, 25-26 September 2018
Kedonganan memiliki awig-awig, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berupa
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga untuk mengatur stabilitas organisasinya.
Awig-awig ini sebagai sarana pengikat warga masyarakat desa adat Kedonganan
yang dimuat dan disyahkan oleh pejabat berwenang.
Komunitas kecil di Bali disebut banjar. Suatu banjar dikepalai oleh
seorang kelian banjar yang bertugas dalam bidang sosial dan kehidupan
keagamaan suatu komunitas. Pusat kegiatan warga banjar adalah di bale
banjar di mana para warga banjar bertemu dan melakukan kegiatan pada hari-
hari tertentu. Fungsi banjar yang ada di desa adat Kedonganan adalah
untuk mewujudkan hidup bergotong royong di kalangan krama banjar, baik dalam
keadaan suka maupun duka.
Seka adalah lembaga atau kelompok sosial yang lebih kecil dari
banjar. Seka di Kelurahan Kedonganan merupakan kesatuan dari beberapa
orang anggota banjar yang terhimpun atas dasar kepentingan yang sama dalam
suatu hal, misalnya seka teruna teruni, seka gong, seka kidung, dsb. Pada
prinsipnya seka yang ada dilandasi oleh prinsip gotong royong, musyawarah
dan tujuan khusus. Kegiatan seka disamping untuk kepentingan anggotanya,
juga banyak membantu kegiatan banjar, bahkan untuk beberapa hal
dimanfaatkan oleh banjar.
Hidup Keseharian Nelayan
Nelayan dapat diartikan sebagai orang yang secara aktif melakukan
pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang/tanaman air lainnya. Orang
yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat
perlengkapan ke dalam perahu/kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan.
Sedangkan masyarakat nelayan adalah kelompok atau sekelompok orang yang
bekerja sebagai nelayan, nelayan kecil, pembudi daya ikan kecil yang bertempat
tinggal di sekitar kawasan nelayan (Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No.
15/Permen/M/2006).
Nelayan dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu nelayan pemilik
tradisional, nelayan pemilik semi-modern, dan nelayan buruh. Tiga kategori
nelayan ini memiliki ciri-ciri kehidupan sehari-hari yang berbeda antara satu
28 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
dengan lainnya. Nelayan pemilik tradisional biasanya memiliki beberapa jukung
lengkap dengan segala perlengkapannya (jaring dan mesin tempel), dan
mempunyai beberapa orang nelayan buruh untuk mengoperasikan
jukungnya tadi. Nelayan pemilik tradisional, wajib membagi uang hasil
tangkapan kepada buruh-buruhnya.
Nelayan pemilik semi-modern dibesarkan dalam keluarga nelayan dan
memiliki beberapa atau banyak jukung yang pengoperasiannya dipercayakan kepada
nelayan buruh. Dia tidak ikut melaut, hanya membantu menyiapkan perlengkapan yang
akan dibawa melaut, mengawasi penurunan ikan hasil tangkapan. Hasil tangkapan
didistribusikan ke sejumlah hotel, restoran dan kafe yang ada di Kedonganan, dan ada
yang dijual di pasar.
Adapun nelayan buruh bekerja pada salah seorang pemilik jukung.
Bertugas menyiapkan peralatan dan perlengkapan yang akan dibawa melaut,
antara lain; lampu, jaring, bahan bakar mesin tempel. Setelah itu pergi melaut
dan kembali membawa ikan hasil tangkapan.
Hingga saat ini, usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh para nelayan
Kedonganan dapat dikatakan masih menggunakan teknologi tradisional, seperti
jukung, jaring, dayung, dan motor tempel. Alat penangkapan ikan tersebut
dikatakan tradisional apabila dibandingkan dengan peralatan yang lebih modern,
seperti alat pukat harimau dan perahu besar yang memiliki wilayah tangkapan yang
lebih jauh (off-shore fishing) dan kapasitas untuk memperoleh ikan yang lebih
banyak.
Beberapa tahun yang lalu peralatan modern telah dikenalkan pula oleh
Dinas Perikanan dan Kelautan Republik Indonesia, selain untuk
memperkenalkan alat penangkapan ikan modern, peralatan ini dianggap dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan dengan hasil tangkapan yang lebih
banyak. Penggunaan peralatan modern tersebut diharapkan dapat mengubah pola
penangkapan ikan yang sebelumnya tergantung pada musim menjadi tidak
tergantung lagi pada musim. Namun hal tersebut ternyata tidak berlangsung
lama, karena selain adanya kesenjangan yang sangat besar antara nelayan
dengan peralatan modern dengan nelayan tradisional, hal lainnya adalah
kelurahan Kedonganan merupakan salah satu daerah kawasan pariwisata di kabupaten
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 29
Denpasar, 25-26 September 2018
Badung Selatan yang dikembangkan sebagai kawasan wisata pantai. Aktivitas nelayan
Kedonganan berupa pendaratan basil tangkapan dialihkan ke Kabupaten Jembrana, karena
hal itu dianggap dapat mempengaruhi kebersihan dan keindahan wisata alam di
Kedonganan. Hal itulah yang menyebabkan nelayan Kedonganan memilih kembali
dengan peralatan tradisional mereka.
Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Tangkapan Ikan
Pada musim panen ikan, yaitu pada bulan Maret-Agustus para nelayan
Kedonganan hanya mencari ikan di sekitar pantai saja. Sedangkan pada bulan
September-Desember mereka mencari ikan sampai ke tengah laut. Hal itu disebabkan
pada bulan-bulan tersebut merupakan musim hujan di mana ikan laut relatif sulit diperoleh.
Ada beberapa ikan yang yang selalu ada pada musim ikan seperti tongkol dan
lemuru. Pada musim ikan, suasana di pantai biasanya tampak ramai dengan aktivitas
kenelayanan.
Secara umum, pengolahan hasil tangkapan ikan yang dilakukan nelayan di
Kabupaten Badung adalah pemindangan, pembekuan dan pengasinan. Namun
demikian, nelayan Kedonganan lebih banyak menjual hasil tangkapannya ketika ikan
masih segar dan dengan cara pembekuan agar ikan bisa dijual keesokan harinya.
Untuk mengatasi proses pembusukan sehingga mengalami kemunduran mutu,
para nelayan Kedonganan melakukan pengawetan dengan es.
Setiap nelayan pemilik, pada musim ikan mampu menghasilkan hasil
tangkapan sebanyak 3-5 ton dengan jumlah kepemilikan 3-6 jukung. Hanya
pada tidak musim ikan produksi ikan menurun menjadi kurang dan 1 ton. Hasil
tangkapan berupa ikan segar langsung ditimbang di TPI (Tempat Pelelangan
Ikan). Tersediannya prasarana tempat pelelangan ini, diharapkan para nelayan dapat
memanfaatkannya sebagai tempat penjualan pertama setelah ikan ditangkap di laut.
Hasil tangkapan nelayan dijual dengan sistem lelang. Hal itu dimaksudkan agar
ikan hasil tangkapan nelayan tidak dipermainkan oleh pengambek (tengkulak).
Ukuran yang digunakan untuk menimbang adalah ember ukuran besar. Biasanya
sebelum para nelayan kembali dari menangkap ikan, para ijon telah menunggu di
pantai. Para pembeli ini umumnya para pedagang yang menjual lagi hasil
tangkapan nelayan ke pasar-pasar di seluruh Bali. Aspek yang menentukan
30 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
dalam kaitannya dengan kegiatan kenelayanan dan yang berpengaruh langsung
terhadap peningkatan kesejahteraan hidup nelayan adalah aspek produksi
dan distribusi hasil tangkapan. Apabila hubungan sosial yang melingkupi
kedua aspek tersebut kurang menguntungkan nelayan dan nelayan buruh, maka
kelembagaan KUD perlu diberdayakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat untuk
mengatasi hubungan-hubungan sosial ekonomi yang timpang. Di Kedonganan,
KUD setempat tidak berfungsi untuk memenuhi kebutuhan modal nelayan. TPI
juga tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga keberadannya tidak
memberikan keuntungan ekonomi kepada nelayan. Bahkan dengan
penarikan restribusi, nelayan justru merasa dirugikan. Dalam memenuhi
kebutuhan modal usaha, sebagian besar nelayan memilih meminjam uang dari
pengambek. Pemasaran hasil tangkapanpun dilakukan tidak melewati sistem KUD
yang ada disana, melainkan langsung antara nelayan ke pengambek. KUD hanya
menjual hasil tangkapan ikan para nelayan modern dengan kapal besar saja. Oleh
karena itu, pendapatan para nelayan sangat sulit dicatat secara pasti. Penghasilan
nelayan dapat dikatakan tidak menentu. Hal itu terjadi disebabkan pula oleh para
nelayan yang melakukan aktivitas melaut masih berdasarkan musim.
Hasil tangkapan ikan yang rusak dapat dimanfaatkan menjadi tepung
untuk makanan ternak unggas, terutama ayam. Selain itu ikan segar yang belum
begitu rusak juga dibeli oleh ijon atau pengepul yang kemudian dijual ke pabrik
pembuatan ikan sarden. Jika jumlah hasil tangkapan banyak, maka para nelayan
menjual kepada ijon ini. Tetapi jika hasil sedikit maka nelayan hanya menjual di
pasar. Ikan yang ada di pasar ikan Kedonganan tidak semua dari nelayan
Kedonganan, namun dari nelayan daerah lain, seperti Sanur, Benoa, daerah Bali
lainnya, bahkan dari Jawa. Selain itu cafe-cafe di Kedonganan tidak selalu
membeli ikan di pasar atau dari nelayan Kedonganan, melainkan membeli dari
tempat lain dan dari kapal besar yang menjual ikannya lewat TPI.
Perkembangan Kelompok Nelayan
Pada tahun 1970-an nelayan Kedonganan masih merupakan nelayan
tradisional, dalam arti nelayan pada saat itu masih menggunakan peralatan yang
masih sederhana seperti jukung, pencar, dayung (kelimat), pancing, serok dan lain
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 31
Denpasar, 25-26 September 2018
sebagainya. Pendapatan dari hasil tangkapan nelayan hanya mencapai 2,5 kg
ikan perhari dengan harga Rp. 1.000,00/kg. Hal tersebut tidak dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari dengan layak.
Fenomena tersebut membuahkan suatu inisiatif para nelayan setempat. Pada
tahun itu pula berdiri pertama kali kelompok nelayan yang beranggotakan 30
orang. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan memantau seluruh aktivitas nelayan
dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, yang antara lain bertujuan untuk
melindungi nelayan dari sistem ijon yang memberi pinjaman modal kepada para
nelayan namun sistem tersebut sangat merugikan nelayan. Setahun lamanya
kelompok nelayan itu mampu bertahan dengan segala bentuk rintangan dari para
ijon yang sempat pula memecah belah kelompok itu dengan menggunakan
kekuatan modal yang dimilikinya. Berkat kegigihan pengurusnya melalui berbagai
pendekatan kepada para anggota yang telah dikuasai ijon, maka anggota kelompok
berkumpul kembali dalam satu wadah organisasi nelayan.
Setelah terbentuk kelompok nelayan yang telah disyahkan, Pemerintah
Daerah melalui BRI Cabang Denpasar memberikan bantuan kredit berupa
KIK (Kredit Investasi Kecil). Untuk tahap pertama direalisasikan pada
tahun 1977 yang digunakan untuk membeli 26 unit kapal selerek dan
perlengkapannya. Bantuan pemerintah tersebut besar manfaatnya bagi
kelompok nelayan, terutama dalam menambah anggota organisasi yang
mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 260 orang nelayan buruh
sekaligus.
Pada tahun 1979 dilaksanakan motorisasi nelayan. Setelah adanya
motorisasi, hasil tangkapan nelayan meningkat dengan pesat, pendapatan
nelayan terangkat untuk mendukung pembangunan di bidang perikanan.
Untuk memperkuat kemajuan yang ingin dicapai, masyarakat nelayan
membentuk koperasi Mina Segara yang bertujuan menyediakan modal bagi
nelayan anggotanya dengan bunga yang kecil.
Modernisasi perikanan yang terjadi di Kedonganan merupakan suatu
proses perubahan yang mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi. Dari segi sosial
terlihat makin meningkatnya jumlah kelompok-kelompok kerja dalam aktivitas
32 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
penangkapan ikan dengan anggota yang tidak terbatas dalam lingkungan
keluarga saja. Sedangkan dari segi ekonomi terlihat peningkatan taraf hidup
nelayan. Sayangnya modernisasi penangkapan ini tidak bertahan lama, ketika
kapal dengan alat purse saine dipindahkan pendaratannya ke daerah Kabupaten
Jembrana. Para nelayan Kedonganan kembali menggunakan perahu tradisional
karena jauhnya tempat pendaratan tadi. Adapun alasan Pemerintah
memutuskan untuk memindahkan kapal dengan peralatan purse saine itu
karena Kabupaten Badung merupakan daerah yang direncanakan sebagai tujuan
pariwisata. Khususnya Kelurahan Kedonganan yang letaknya berdekatan dengan
daerah tujuan wisata Kuta, sehingga pendaratan kapal ikan dianggap
mempengaruhi pemandangan para wisatawan. Akibatnya hasil mata pencaharian
nelayan mengalami penurunan setiap tahunnya. Dari sejumlah 15 kelompok
nelayan, kini jumlah kelompok nelayan yang masih aktif hanya dua kelompok
nelayan saja, yaitu kelompok nelayan Kerta Bali dan kelompok nelayan Putra
Bali.
Strategi Menghadapi Kemiskinan
Orientasi Nilai Budaya
Perikanan dan kelautan secara umum telah menjadi ikon Kedonganan.
Bahkan, Kedonganan hingga kini menjadi salah satu sentra usaha perikanan dan
kelautan terbesar di Bali. Kehadiran Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kedonganan
menunjukkan Kedonganan memegang peranan penting dalam bidang perikanan.
Namun kualitas sumber daya manusianya masih tertinggal, setidaknya hingga
tahun 1990. Kondisi semacam itu berpengaruh kepada iklim usaha untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat. Berbagai usaha yang dikembangkan di
Kedonganan lebih sering menemui kegagalan dan jauh tertinggal dibandingkan
daerah-daerah lainnya di Kecamatan Kuta. Meskipun dekat dengan sentra
pariwisata, keberadaan Kedonganan tidak bisa ikut merasakan kue
pariwisata. Tetapi mereka tidak menyerah, kehidupan harus berjalan terus seiring
zaman. Mereka menyusun suatu strategi untuk menghadapi keterpurukan. Dengan
menggunakan kearifan dalam kebudayaannya mereka mengadaptasi,
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 33
Denpasar, 25-26 September 2018
menginterpretasi dan mengubah lingkungan sesuai dengan apa yang mereka
harapkan.
Nelayan Kedonganan, khususnya nelayan tradisional dan nelayan buruh,
mereka harus siap menghadapi ketidakpastian perolehan penghasilan dari melaut.
Kadang kala mereka melakukan penangkapan di kawasan perairan yang letaknya
cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Berbagai resiko pekerjaan sudah biasa
mereka hadapi dan terima dengan besar hati, karena bagi mereka hidup adalah
sebagai anugerah. Suatu hal yang mereka harapkan adalah terciptanya keselarasan
dan keserasian antara kehidupan duniawi dan kehidupan dengan Sang Hyang Widi.
Untuk itu hidup harus dilandasi dengan sikap pasrah dan menerima apa adanya.
Namun bukan berarti harus tetap tinggal diam saja.
Faktor-faktor Mempertahankan Kenelayanan
1. Alam.
Kedonganan merupakan salah satu kawasan wisata pantai. Adanya
pembangunan di bidang pariwisata dan perikanan, turut berpengaruh terhadap
pola pikir masyarakat Kedonganan yang ingin pula turut menikmati berkah
tersebut. Berkaitan dengan kegiatan kenelayanan di Kedonganan, dengan kesadaran
sendiri masyarakat nelayan Kedonganan memiliki sikap bahwa laut patut dijaga,
dilestarikan keberadaannya, karena ketergantungan masyarakat nelayan
Kedonganan terhadap sumber daya laut sangat besar. Hal inilah yang membuat
masyarakat nelayan Kedonganan merasa memiliki dan bertanggung jawab
terhadap kelestarian laut di sekelilingnya. Untuk itu diberlakukan awig-awig yang
mengatur kehidupan masyarakat nelayan berlandaskan filosofi ajaran Agama
Hindu dan lekat dengan budaya Bali. Hal tersebut tidak hanya berlaku bagi
nelayan pribumi saja, tetapi juga berlaku bagi nelayan pendatang.
2. Ekonomi.
Perikanan adalah sistem usaha manusia dalam pemanfaatan sumber daya
laut, mengolah dan memasarkannya. Pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan
pokok. Alasan mereka menggeluti mata pencarian sebagai nelayan adalah kondisi
perekonomian yang kurang mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan
mengikutsertakan seluruh anggota keluarga dalam usaha kenelayanan merupakan salah
34 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
satu alasan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun untuk mencukupi
kebutuhan hidup harus diimbangi pula oleh pekerjaan sampingan lainnya, misalkan
sebagai pedagang, buruh bangunan, pengrajin, pemandu wisata laut, atau lainnya.
Pariwisata turut andil pula dalam mensejahterakan kehidupan nelayan.
Adanya sajian khas kuliner di Kedonganan menyebabkan pasokan akan ikan di
beberapa hotel, kafe dan restoran juga meningkat. Selain itu bidang pekerjaan
lainnya berhasil menciptakan lapangan kerja baru yang memberi peluang untuk
menyerap para pencari kerja, khususnya generasi muda Kedonganan. Hal itu
dapat mengurangi tingkat pengangguran yang ada di Kedonganan dengan segala
aspek negatif ikutannya.
3. Sosial-budaya.
Seiring bertambah pesatnya kegiatan kepariwisataan di Kedonganan,
sektor penunjang pariwisata seperti hotel, kafe pinggir pantai yang menyajikan
hidangan khas laut di Kedonganan semakin kompleks. Hal tersebut tak akan
mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat setempat. Misalnya dari
sebelumnya mereka memiliki gaya dan pola hidup tradisional yang sederhana,
kini mulai menjalani gaya dan pola hidup modern seiring dengan kemajuan
jaman. Walaupun demikian orang Kedongan tak lupa kepada jati dirinya sebagai
warga masyarakat Bali lainnya. Mereka tetap setia menjalankan kewajiban tradisi
yang diwariskan dari nenek moyangnya.
Bagi orang Kedonganan, air merupakan elemen pokok dari kehidupan nelayan,
elemen pokok yang merupakan suatu bagian dari upacara keagamaan, upacara siklus
manusia dari lahir sampai mati. Bagi nelayan Kedonganan menjaga keseimbangan
ekologis lautan sangatlah penting. Mereka percaya bahwa bila manusia mengeksploitasi
hasil laut secara besar-besaran atau dengan cara-cara yang dilarang oleh adat seperti
pengeboman, maka mereka akan mendapat kutukan berupa tidak selamat atau kesulitan
dalam memperoleh hasil laut. Pengetahuan tentang kenelayanan seperti itu diturunkan
oleh para orang tua yang sejak anak-anak mereka masih kecil dan hidup dari hasil laut.
Pengetahuan tentang kenelayanan diperoleh karena mereka selalu mengikutsertakan
anak-anak mereka dalam kegiatan melaut. Pengikutsertaan anak-anak ini dalam
kegiatan melaut merupakan salah satu pengalihan sistem pengetahuan praktis
sehingga ketika dewasa kelak anak-anak tersebut sudah siap menghadapi segala
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 35
Denpasar, 25-26 September 2018
tantangan yang muncul.
Adanya beberapa potensi yang dimiliki ini, masyarakat nelayan
Kedonganan menganggap laut merupakan warisan dari nenek
moyang yang harus dijaga, dipelihara, dan dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan
hidup. Laut merupakan sumber kehidupan yang dianggap sebagai bagian yang
tidak bisa lepas dari kehidupan mereka. Apabila laut rusak atau tercemar berarti
kehancuran juga bagi kehidupan. Mereka mengeksploitasi hasil laut sesuai
dengan yang diajarkan oleh orang-orang tua mereka.
Peran Lembaga Adat
1. Perencanaan
Peran lembaga adat di Kedonganan dalam menyusun strategi menghadapi
kemiskinan ini sangat penting, terutama dalam hal mengubah pola pikir masyarakat
setempat. Hal itu tak lepas dari keberadaan Desa Adat Kedonganan yang didukung
Pemkab Badung untuk menata kawasan pantai Kedonganan sebagai bagian
palemahan desa. Panitia penataan kemudian dibentuk untuk mempersiapkan
rencana penataan hingga pelaksanaan penataan pantai Kedonganan. Panitia
dibentuk melalui sinergi antara tiga lembaga, yaitu Desa Adat Kedonganan,
Kelurahan Kedonganan dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM)
Kedonganan. Anggota panitia adalah warga Desa Adat Kedonganan yang
memiliki pengetahuan yang dibutuhkan untuk melakukan perencanaan di bidang
pariwisata. Kepanitiaan bekerja dengan baik karena dukungan penuh dari para
tokoh masyarakat dan para pemudanya sehingga sebagian besar warga Desa Adat
Kedonganan memberi dukungan terhadap rencana penataan ulang pantai
Kedonganan. Selain itu desa adat dibantu secara finansial oleh LPD (Lembaga
Perkreditan Desa) Desa Adat Kedonganan.
2. Pelaksanaan
Pada saat didirikan, LPD Desa Adat Kedonganan dalam kondisi serba
terbatas. Tidak hanya terbatas modal tetapi juga dukungan krama karena ragu
lembaga ini bisa eksis dan berlanjut. Lambat laun, seiring bertumbuhnya kegiatan
36 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
usaha LPD, kepercayaan krama dan nasabah juga ikut tumbuh. LPD Kedonganan
pun berkembang pesat.
Sejak tahun 2007 Desa Adat Kedonganan yang didukung Pemkab Badung,
dan secara internal didukung oleh LPD Desa Adat Kedonganan menata kawasan
pantai Kedonganan sebagai bagian palemahan desa. Penataan pantai Kedonganan
pada dasarnya merupakan proses pengalokasian area pantai Kedonganan ke dalam
zona-zona tertentu, yaitu zona kafe, zona ekonomi, zona sosial-budaya dan
keagamaan berdasarkan gambar rencana yang telah disetujui. Penataan juga
merupakan usaha untuk mengurangi jumlah kafe yang sudah berdiri sebelumnya
dari sejumlah 67 menjadi 24 dimana kepemilikannya diserahkan kepada seluruh
warga Desa Adat Kedonganan yang tersebar di enam banjar sesuai Rekomendasi
Bupati Badung. Masing-masing banjar diberi hak mengelola empat kafe. Ini
merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa
Adat Kedonganan melalui usaha bersama dengan memanfaatkan palemahan desa
di pesisir barat.
Sejak saat itu pantai Kedonganan dikenal sebagai daerah wisata kuliner
yang sangat menarik. Pemandangan lautnya tak kalah menawan dengan objek
wisata pantai lainnya. Nama Kedonganan pun mulai disebut-sebut di dunia
pariwisata. Sejumlah situs internet menurunkan laporan mengenai suasana pantai
Kedonganan sebagai alternatif objek wisata pantai maupun wisata kuliner di Bali.
3. Pengawasan dan Evaluasi
Pengawasan yang dilakukan Desa Adat Kedonganan berlandaskan awig-
awig yang berlaku di wilayah itu. Awig-awig merupakan sekumpulan aturan baik
tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat berlandaskan ajaran agama Hindu Tri
Hita Karana yang mengajarkan keharmonisan atau keseimbangan hubungan
antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan dan manusia dengan
lingkungan. Ada tujuh aturan lokal atau larangan pada Awig-awig dalam
pengaturan kehidupan masyarakat nelayan di Kedonganan, yaitu:
1. Larangan mengambil ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan
bahan kimia berbahaya lainnya.
2. Larangan merusak terumbu karang secara sengaja.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 37
Denpasar, 25-26 September 2018
3. Larangan mengambil biota laut yang dilindungi.
4. Larangan melaut pada Hari Raya Nyepi.
5. Larangan melaut pada saat berlangsungnya upacara keagamaan setempat.
6. Larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir.
7. Larangan melaut pada angin musim barat
Tujuan dibentuknya awig-awig tersebut adalah untuk memberi pedoman
berperilaku pada nelayan dalam hidup bermasyarakat, khususnya dalam kegiatan
penangkapan ikan dan menjaga keutuhan masyarakat nelayan. Selain itu awig-
awig mempunyai tujuan agar keseimbangan hubungan dan keharmonisan yang
terkandung dalam ajaran Tri Hita Karana tetap dipertahankan seiring dengan
perkembangan jaman. Sebagai wujud dari pengawasan sosial, maka diberlakukan
pula sanksi untuk setiap bentuk pelanggaran. Sanksi yang diterapkan merupakan
satu wujud upaya represif. Semua aturan atau larangan dalam awig-awig
disosialisasikan sebagai bentuk proses penanaman nilai-nilai dan aturan adat
dalam lingkungan masyarakat.
Agar pelaksanaan pengawasan lebih optimal, pada tahun 2007 dibentuk
Badan Penataan Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan (BP-KP2K) yang
bertugas sebagai pelaksana kebijakan tiga lembaga pembentuk terkait penataan
pantai Kedonganan, dan sebagai pengawas Kawasan Pantai Kedonganan. Badan
tersebut kini menjadi Badan Pengelola Kawasan Pariwisata Pesisir Kedonganan
(BPKP2K) dan diharapkan mampu memastikan agar pariwisata berbasis
masyarakat mampu berjalan dalam kaidah-kaidah keberlanjutan serta dapat
memberikan berbagai dampak positif bagi Desa Adat Kedonganan. Setelah itu
dibentuk pula Panitia Pelaksana Pembuatan Perarem (Peraturan Desa Adat)
dengan tujuan untuk memastikan keberlanjutan kepariwisataan di pantai
Kedonganan, melalui seperangkat peraturan dalam pengelolaan kafe dan penataan
kawasan pantai Kedonganan. Pariwisata berkelanjutan itu pada dasarnya
merupakan pariwisata yang memanfaatkan sumber daya alam dengan bijaksana
dan tetap mengupayakan pelestariannya.
Setelah BPKP2K terbentuk, warga masyarakat tetap mengawasi
pengelolaan dan pengembangan kepariwisataan melalui mekanisme perwakilan.
Setiap Kepala Lingkungan dan Kepala Adat (Kelihan Banjar) duduk sebagai
38 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
anggota dewan pengawas BPKP2K. Dewan pengawas tersebut setiap bulan
memperoleh laporan dari BPKP2K melalui mekanisme rapat bulanan. Laporan
tersebut diteruskan kembali ke seluruh krama (warga) banjar pada saat sangkep
atau paruman (rapat) sehingga seluruh warga mengetahui perkembangan
kepariwisataan pantai Kedonganan termasuk perkembangan kafe yang mereka
miliki.
4. Hubungan Pihak Pengelola Dengan Masyarakat
Pembangunan kepariwisataan atau pengelolaan sumber daya laut harus
mampu berkontribusi dalam menjaga keberlanjutan lingkungan alam, sosial-
budaya dan ekonomi dimana ketiganya merupakan pilar-pilar keberlanjutan.
Pengelolaan berbasis masyarakat diimplementasikan dengan pendekatan bottom-
up, dimana hal ini sebenarnya mengedepankan peranserta masyarakat sebagai
prinsip utamanya. Peranserta tersebut terwujud dari tersedianya kesempatan bagi
masyarakat untuk terlibat penuh mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan dan evaluasi, selanjutnya sebagai penikmat dari manfaat yang
ditimbulkan.
Perkembangan bisnis kafe di pantai Kedonganan sangat menjanjikan. Hal
tersebut dimungkinkan karena ramainya pantai Kedonganan dikunjungi oleh para
wisatawan, baik wisatawan lokal maupun manca negara. Tingginya tingkat
pengembalian investasi kafe di pantai Kedonganan mampu meningkatan kondisi
keuangan Desa Adat Kedonganan sehingga mampu memberikan banyak manfaat
bagi warganya. Manfaat tersebut terutama berkaitan dengan meningkatnya
kemampuan Desa Adat Kedonganan sebagai lembaga adat untuk melaksanakan
berbagai aktivitas tanpa harus memungut biaya dari warga masyarakat. Mereka
mampu menyediakan dan memberikan berbagai fasilitas bagi kesejahteraan warga
Desa Adat Kedonganan.
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), lembaga adat
melalui LPD berperan aktif mengadakan program dalam bidang pendidikan,
kesehatan serta sosial-budaya. LPD memberikan beasiswa berprestasi dan
beasiswa bagi anak yang kurang mampu. Selain itu LPD juga menyelenggaran
tabungan untuk pendidikan, mendirikan lembaga pendidikan desa adat
Kedonganan yang diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran dan
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 39
Denpasar, 25-26 September 2018
melaksanakan kegiatan yang dapat mendorong peningkatan kualitas pendidikan di
kelurahan Kedonganan. Demikian pula banyak kegiatan sosial-budaya lainnya
yang dilaksanakan untuk kepentingan warga masyarakat tanpa dikenakan biaya
sedikitpun.
Kesejahteraan warga masyarakat makin meningkat. Oleh karena itu, tidak
heran bila sebelumnya banyak nelayan Kedonganan hanya di tingkat ―kelas
buruh‖ saja, kini mereka sudah menjadi ―kelas majikan‖. Tidak jarang dari para
nelayan ―kelas majikan‖ ini mempunyai lebih dari tiga perahu dengan beberapa
nelayan buruh yang menjadi bawahannya.
Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Pada awalnya, masyarakat nelayan desa adat Kedonganan dapat
dikategorikan sebagai masyarakat miskin, dalam arti belum bisa mengelola
sumber daya laut yang mereka miliki untuk meningkatkan kesejahteraan hidup
mereka. Hasil perkembangan kepariwisataan pun belum dirasakan oleh
masyarakat, karena pengelolaannya belum tertata rapi. Namun sejak tahun 2007
desa adat Kedonganan melalui para pemuka desanya menciptakan strategi baru
dalam menghadapi kemiskinan tersebut. Mereka merencanakan, melaksanakan,
dan melakukan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam di
wilayahnya. Diawali dengan pengelolaan pantai dengan kafe-kafe yang ada di
pantai Kedonganan. Pengelolaan kafe-kafe tersebut diserahkan kepada masyarakat
melalui banjar. Masyarakat dilibatkan sejak awal pendirian, pengelolaan dan
evaluasi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat Kedonganan. Terjadilah
peningkatan ekonomi, sosial-budaya yang signifikan. Pengelolaan pantai
Kedonganan berbasis masyarakat ini dijiwai oleh filosofi Tri Hita Karana,
karenanya hubungan masyarakat dengan lingkungan (alam, spiritual dan antar
manusia) dapat terjalin secara harmonis dan berkelanjutan.
2.Saran
Masyarakat Kedonganan diharapkan tetap menjaga keseimbangan
hubungan dengan lingkungan, baik alam, spiritual maupun antar manusia. Secara
40 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
lahiriah, yang harus lebih diperhatikan adalah kebersihan lingkungan, dan
tersedianya lahan parkir yang cukup luas. Karena bagaimana pun kini
Kedonganan menjadi tujuan wisata pantai dan kuliner yang cukup populer.
Untuk meningkatkan keefektivitasan awig-awig atau perarem, maka perlu
dilakukan evaluasi terhadap beberapa peraturan yang ada sehingga dapat
dilakukan perbaikan. Aturan-aturan dan sanksi-sanksi yang diterapkan harus
tegas, dan jumlah petugas pemantau ditingkatkan, baik secara kualitas maupun
kuantitas. ***
DAFTAR PUSTAKA
Kusnadi. (2002). Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perebutan Daya
Perikanan. Yogyakarta: LKiS.
Rilus, A. Kinseng. (2014). Konflik Nelayan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Sucipta, Abdi Md. (2012). Pengelolaan Pantai Kedonganan Sebagai Daya Tarik
Wisata Kuliner Berbasis Masyarakat di Desa Kedonganan, Media Bina Ilmiah,
Volume 6, no. 6, Desember 2012, 24-28.
Widhianti, N.M.D. Safitri. (2005). Orientasi Nilai Budaya Masyarakat Nelayan di
Kawasan Wisata Kedonganan, Kelurahan Kedonganan, Kabupaten Badung, Bali.
Denpasar: Prodi Antropologi FSB UNUD.
Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 15/Permen/M/2006.
kelurahankedonganan.blogspot.co.id, Profil Kelurahan Kedonganan
www.lpdkedonganan.com, LPD Desa Adat Kedonganan.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 41
Denpasar, 25-26 September 2018
EKSISTENSI PURI AGUNG KARANGASEM DALAM DINAMIKA
SOSIAL BUDAYA
A.A.A Dewi Girindrawardani
Program Studi Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
ABSTRAK
Puri Agung Karangasem merupakan salah satu puri di Bali yang terletak di
bagian paling timur Pulau Bali. Puri Agung Karangasem (dahulu Puri Amlapura
atau Puri Kanginan) dibangun setelah Raja Karangasem Anak Agung Gde
Djelantik (I Gusti Gde Djelantik) sebagai Stedehouder l berada di bawah
pengaruh kolonial Belanda (1894-1908). Dilanjutkan oleh penggantinya Anak
Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem (IGusti Bagus Djelantik) sebagai
Stedehouder II (1908-1941).
Puri Agung Karangasem yang juga disebut Puri Kanginan pada zaman
dahulu dihuni oleh raja dan keluarga raja (para istri,putra-putri raja, menantu,cucu
sampai cicit), beberapa pembantu (parekan) wanita dan laki-laki. Mereka harus
mengikuti norma-norma yang berlaku dalam puri.
Pada masa lalu, puri merupakan pusat berbagai jenis kehidupan sosial dan
kebudayaan. Aspek sosial puri dapat dilihat dari berbagai fungsi, antara lain:
perlindungan keamanan, kesejahteraan hidup, permusyawaratan, penyelenggaraan
seni hiburan, tempat mengabdi. Sedangkan aspek budaya puri dapat dilihat dari
berbagai fungsi, antara lain : tempat pemgembangan berbagai jenis kesenian,
tempat mempelajari sejarah, tempat meneliti hasil-hasil kebudayaan masa lalu,
dan tempat rekreasi. Di samping itu, puri juga sebagai alat komunikasi yaitu
mencerminkan unsur-unsur pendidikaan dan mengagungkan identitas serta
kewibawaan di lingkungan bangunan puri. Puri dapat memotivasi perkembangan
ragam hias dan selanjutnya dapat lebih dikembangakan di luar lingkungan puri.
Oleh karena itu, puri dapat menjadi sumber potensial bagi penggalian nilai-nilai
tradisi yang menjadi akar kepribadian dan kebudayaan bangsa.
Kata kunci: eksistensi, puri, dinamika, sosial, dan budaya
I. PENDAHULUAN
Puri dihuni oleh keluarga raja yang terdiri atas raja, para istri, putra-putri
raja, para menantu, cucu sampai cicit, pengempu atau pengemban, beberapa orang
parekan wanita dan parekan laki-laki yang bertugas sebagai pekemit. Kehidupan
keluarga bangsawan mempunyai gaya hidup tersendiri, terikat oleh nilai-nilai
tertentu.Selain raja, mereka harus mengikuti norma-norma yang berlaku dalam
puri antara lain menggunakan bahasa sor-singgih, berbicara dan bersikap sesuai
dengan tata karma, seperti mepes, menyembah, duduk bersila bagi pria, dan
bersimpuh bagi wanita. Berbagai hormat lainnya antara lain membungkukkan
badan (ngeed), dan berjalan sambil jongkok. Keluarga bangsawan mulai sejak
42 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
kecil ditempa dengan tatanan etika puri yang sangat berpengaruh pada pribadi,
sikap, pandangan, tingkah laku, yang semuanya menyatu dalam bentuk gaya
hidup.
Pada masa lalu puri merupakan pusat pemerintahan (jaman raja-raja),
sehingga semua kegiatan dipusatkan di dalam puri.Peranan puri dimasa lampau
adalah sebagai penunjang kehidupan sosial masyarakat dalam beraktivitas
disegala hal.Berangkat dari penafsiran tersebut di atas menunjukkan bahwa semua
kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat tentunya di pusatkan di dalam
puri.Misalnya saja kegiatan keagamaan, berkesenian, sosial budaya, politik,
ekonomi, dan sebagainya.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa puri bukan
saja sebagai pusat pemerintahan, namun juga sengai pusat berkembangnya
kebudayaan.
Pada jaman dulu raja adalah jungjungan rakyatnya sehingga masyarakat
sebagai abdi raja sangat patuh terhadap perintah rajanya. Bagi seorang raja sangat
mudah memanggil abdinya untuk melakukan apa yang menjadi kesenangan
rajanya, sehingga wajar bila ada ahli di bidang tertentu dipanggil dan harus
mengabdi di dalam puri. Ahli yang dimaksud mungkin dibidang kesenian ( tari,
lukis, ukir,patung,dsb), politik, ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya. Dari
hubungan ini terlihat pengabdian masyarakat sangat tulus, sehingga pertalian
antara raja dengan rakyatnya dilandasi oleh nilai-nilai luhur tanpa ada rasa
tuntutan yang bersifat pamrih dari masyarakatnya.
Bagi para seniman pada saat itu, terutama seni tari, seni tabuh, seni sastra,
dan yang lain berkonsentrasi dalam puri untuk menciptakan ide-ide barunya, dan
mereka sangat tenang karena raja juga memperhatikan kebutuhan serta
kesejahteraan keluarganya. Dengan demikian puri merupakan pusat seni budaya
dari desa yang bersangkutan, di samping juga sebagai pusat pemerintahan pada
jamannya.
Berdasarkan uraian di atas, tampak beberapa permasalahan yang muncul
dan menarik untuk diteliti. Permasalahan tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk dan fungsi bangunanPuri Agung Karangasem?
2. Bagaimana eksistensi Puri Agung Karangasem Dalam dinamika sosial
budaya?
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 43
Denpasar, 25-26 September 2018
2. PEMBAHASAN
Bentuk dan Fungsi Puri Agung Karangasem
Secara etimologis, kata puri sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa
sanskerta (-pur,-puri,-pura,-puram,-pore), yang artinya adalah kota, kota
berbenteng, atau kota dengan menara atau istana. Dalam perkembangan
pemakaiannya di Bali, istilah ―Pura‖ menjadi khusus untuk tempat pemujaan
Tuhan; sedangkan istilah ―Puri‖ menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja
dan bangsawan.
Puri merupakan tempat bersemayam raja, tokoh yang dipertuankan
rakyatnya di seluruh kerajaan, menempati bangunan khusus bagi diri dan
keluarganya.Saat ini kata puri dapat dipadankan dengan kata keraton yang dipakai
untuk istilah istana di Jawa. Puri memiliki banyak fungsi, salah satu juga dahulu
berperan sebagai benteng strategis untuk pertahanan kerajaan sehingga bangunan
puri didirikan dengan kokoh dan kuat.Puri Agung Karangasem yang juga disebut
Puri Kanginan pada jaman dahulu dihuni oleh raja dan keluarga raja ( para istri,
putra-putri raja, menantu, cucu sampai cicit) pengampu, pengemban, beberapa
pembantu (parekan) wanita dan laki-laki. Mereka harus mengikuti norma-norma
yang berlaku dalam puri.
Puri Agung Karangasem sendiri beberapa bangunannya ada yang berarsitek
kombinasi antara Bali dan Eropa yang masih terlihat utuh.Bentuk arsitek
campuran ini menunjukkan penerapan akulturasi yang diterapkan oleh raja. Lebih
menarik lagi terdapat nama-nama kota di Eropa dijadikan nama beberapa tempat
di puri, seperti nama Gedong Maskerdam dan London yang merujuk pada kota
besar di Eropa, yakni Amsterdam (Belanda) dan London (Inggris). Pemberian
nama itu diberikan oleh Ratu Belanda Wilhelmina yang pernah berkunjung ke
puri sebagai bukti pernah terjalin hubungan antara kedua raja.
Puri Agung Karangasem dalam hal penataan halaman tidak mengikuti
pembagian Sanga Mandala, melainkan membentuk halaman dalam tiga bagian
sebagaimana terdapat pada bangunan suci Hindu (pura). Kompleks puri ini terbagi
atas tiga halaman, yaitu: halaman pertama berada pada posisi terluar (sisi barat);
halaman kedua merupakan celah sempit memanjang antara halaman pertama dan
44 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
ketiga; dan halaman ketiga merupakan halaman inti puri. Di halaman ketiga
tersebut berdiri Gedong Maskerdam sebagai tempat tinggal raja.
Halaman pertama (jaba) terbagi atas tiga palebahan, yaitu Bancingah,
kawula roban, dan keramen.Bancingah sering disebut ancak saji dan merupakan
halaman terdepan pada suatu puri, tempat tamu-tamu mempersiapkan diri untuk
memasuki area puri yang lebih dalam.Pada tembok keliling sisi barat terdapat kori
agung (gerbang) khas Puri Agung Karangasem.Bentuk atap kori agung itu
bertingkat tiga dan pada tiap tingkat terdapat relung (sisi dalam dan luar) yang
diisi arca Ganesa.Bancingah dilengkapi dengan sepasang Bale Kembar yang
berdiri mengapit jalan masuk dari kori agung pertama.Di sebelah bancingah yang
dipisahkan tembok pembatas tinggi terdapat palebahan kawula roban.Pada
palebahan tersebut terdapat tempat tinggal para abdi istana (abdi dalem) yang
membantu berbagai pekerjaan di dalam puri.Sisi selatan kawula roban merupakan
palebahan keramen yang tidak dihubungksn dengan pintu. Karena itu, jika orang
akan memasuki keramen ia harus keluar dulu dari kompleks puri, kemudian
masuk lagi lewat pintu angkul-angkul di tembok sisi barat keramen. Sedangkan
keramen dengan halaman kedua puri dihubungkan oleh pintu yang terletak pada
tembok pembatas keramen disisi timurnya.
Halaman kedua (jaba tengah), merupakan halaman sempit memanjang
utara-selatan.Pada bagian utara halaman terdapat kori agung kedua yang
menghubungkan halaman kedua dengan pertama. Sedangkan bagian selatan
halaman kedua merupakan halaman depan bagi banguanan Gili (Bale Kambang)
yang terdapat di tengah kolam. Jempatan untuk mencapai Gili terdapat di sisi
barat yang menghubungkannya dengan pelataran halaman kedua.Gili adalah
bangunan tanpa dinding yang hanya dipagari dengan kayu rendah dan sewaktu-
waktu digunakan sebagai tempat pertemuan seluruh keluarga penghuni puri.Gili
dapat juga berfungsi sebagai tempat pertunjukan kesenian dan ruang makan jika
diadakan pesta menyambut tamu-tamu Belanda yang dating ke Puri.Pada batas
paling selatan halaman kedua terdapat bangunan Gedong Tua yang bagian
depannya terbuka menghadap kea rah Gili dan dipakai untuk menonton
pertunjukan seni yang diadakan di Gili.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 45
Denpasar, 25-26 September 2018
Halaman ketiga, merupakan inti puri. Pada halaman ini berdiri beberapa
bangunan penting, antara lain Gedong Maskerdam sebagai tempat tinggal
raja.Gedong ini semula didirikan dengan tujuan untuk menerima tamu orang-
orang asing, terutama pejabat-pejabat Belanda. Namanya semula adalah Gedong
Amsterdam, kemudian karena diucapkan oleh penutur Bali, berubah bunyi
menjadi Maskerdam, dan di gedong inilah raja tinggal. Tepat di depan Gedong
Maskerdam terdapat Bale Pemandesan. Bangunan tersebut digunakan untuk
tempat upacara potong gigi, upacara menjelang dewasa, pemberkatan perkawinan,
dan bahkan dapat pula berfungsi sebagai Sumanggen (tempat persemayaman
jenasah sementara).Di sisi baratnya terdapat Bale Pawedan, merupakan bangunan
dengan batur tinggi sebagai tempat untuk membaca kitab-kitab suci (mabasan). Di
belakang Maskerdam terdapat Gedong Londen yang luas, banguanan itu
melingkupi pula gedong lain yang dinamakan Gedong Betawi. Di sisi timur
Maskerdam terdapat pula Gedong Yogya dan Ekalanga.Semua Gedong di sekitar
Maskerdam tersebut dihuni oleh keluarga raja (istri-istri raja beserta putra-
putrinya). Di sisi timur Gili, satu deret dengan Gedong Yogya dan Ekalanga,
terdapat pula jero yang dihuni para keluarga dekat raja lainnya. Pada sudut
tenggara (kelod kangin) kompleks puri terdapat pemerajan Puri Agung
Karangasem.
Di salah satu sudut bancingah didirikan sebuah bangunan tinggi disebut
Lembu Agung atau Bale Tegeh yang diperuntukkan sebagai tempat melepaskan
lelah bagi raja dan keluarganya.
Eksistensi Puri Agung Karangasem dalam Dinamika Sosial dan Budaya
Di sekeliling puri tinggal kawula roban.Mereka berkewajiban menjaga
keselamatan puri dan sewaktu-waktu mereka dipanggil ke puri untuk ngaturang
ayah (bekerja secara suka-rela).Tugas-tugas kawula roban antara lain membantu
segala kegiatan apabila di puri ada upacara adat atau keramaian, berjaga
disekeliling puri jika keadaan tidak aman, ada juga kawula roban yang ikut
sebagai prajurit bila raja berangkat berperang. Di sini kawula roban dapat
berperan sebagai pekandel, sebagai tabeng dada artinya mereka berdiri paling
depan bila musuh menyerang puri. Oleh sebab itu tempat perkampungan roban
yang ada di sekeliling puri dinamakan pekandelan.
46 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Bagi kawula roban yang mempunyai tugas khusus di puri seperti: juru liwet,
juru sapuh, pekatik (pemelihara kuda), dan penjaga malam, semuanya diberi
cecatu atau pecatu berupa beras atau makanan yang semuanya dikordinasi oleh
seorang sedahan (bendahara raja).
Para parekan yang tinggal di dalam puri yang terdiri dari golongan
brahmana (Ida Bagus), Ksatria (Dewa Gusti), dan dari golongan Sudra. Pada
malam hari, sesudah mereka diberi makan malam diajarkan enam macam
pelajaran yaitu: megamel (menabuh gamelan gong), menabuh semar pegulingan,
belajar tembang gambuh, menari, makakawin, belajar tembang kidung (sekar alit).
Dari keenam pelajaran itu mereka boleh memilih salah satu yang mereka gemari.
Kehidupan kesenian merupakan bagian dari kehidupan puri, karena hamper
setiap hari ada kegiatan kesenian seperti : seni tari, seni karawitan, seni pahat, dan
kerajianan tenun. Banyak seniman Bali yang terkenal didatangkan ke Puri
Karangasem untuk mengajarkan putra-putri raja dalam bidang kesenian,
khususnya seni tari. Di puri raja menghidupi beberapa seniman ukir yaitu:
pemahat dan pematung, di samping itu juga beberapa orang ahli bangunan.
Mereka diberi tanah pecatu yang terdiri dari sawah atau tanah perkebunan. Tugas
para seniman tersebut untuk membuat puri dan taman. Pembuatan taman
merupaka kegemaran raja-raja Karangasem dan Lombok. Di Karangasem terdapat
peninggalan berupa taman yaitu, Taman Sitisrengga, Taman Ujung Sukasada,
Taman Sekuta, dan yang terakhir Taman Tirta Gangga, sedangkan di Lombok
terdapat Taman Mayure dan Taman Narmada.
Di samping itu para wanita di puri juga mengembangkan seni tenun
tradisional seperti: tenun songket dan anyam-anyaman dari daun ental (rontal)
yang kebanyakan dikerjakan oleh para abdi wanita di lingkungan puri.
Puri sebagai pusat pemerintahan dan pusat kebudayaan, dikelilingi oleh
perkampungan islamyang menjadi benteng pertahanan puri. Hubungan puri
dengan masyarakat islam mempunyai ikatan yang erat dan penuh solidaritas yang
terbina sejak lama. Pihak puri sering membantu dana dan pembekalan umat islam
yang akan naik haji. Begitu pula pada saat-saat hari raya islam seperti : Idul adha,
idul fitri, pihak puri juga turut aktif membantu berupa hasil bumi dan hewan
kurban. Pihak puri tidak hanya membangun pura-pura, tetapi juga banyak
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 47
Denpasar, 25-26 September 2018
membantu dalam pembangunan masjid-masjid dan juga suka memberi hadiah
tanah sebagai wakaf kepada komunitas islam yang dianggap berjasa kepada puri,
misal, komunitas islam di Dangin sema, Nyuling,, dan Subagan memiliki ikatan
yang disebut pauman. Bila ada upacara atau kegiatan di puri komunitas pauman
turut terlibat membantu, baik berupa sumbangan hasil bumi (aturan) maupun
tenaga sukarela untuk kerja bakti (ngayah).
Hubungan antara puri dengan masyarakat di lingkungan puri maupun
masyarakat luas, masih terjalin baik.Demikian pula hubungan dengan desa-desa
masih tetap terjalin dengan baik, terutama dalam kaitannya dengan upacara desa
setempat.Hampir setiap ada upacara besar di masing-masing desa itu selalu
mengundang keluarga besar Puri agung Karangasem atau para sesepuh puri untuk
datang menyaksikan upacara tersebut.Demikian pula sebaliknya, apabila di Puri
Agung Karangasem ada upacara besar hampir seluruh pemuka desa diundang
untuk hadir dalam upacara itu.Hubungan antara puri dengan masyarakat masih
berlaku sampai sekarang terutama dalam hubungan dengan upacara adat.
Hubungan puri dengan beberapa klian pemaksan pura (sekelompok orang
yang mengurus sebuah pura) antara lain : pemaksan di Pura Bukit, Pura Bagus,
Pura Manikan, dan beberapa pura yang tersebar di wilayah Karangasem seperti :
Pura Besakih, Pura Selayukti, Pura Lempuyang, Pura Andakasa, Pura Gumang,
dan lain-lainnya merupakan hubungan yang bersifat sosial-religius antara puri
dengan masyarakat. Di lihat dari hubungan ini, keluarga Puri Agung Karangasem
masih terpandang di mata masyarakat Karangasem.
Walaupun dunia pariwisata di Bali berkembang sangat cepat, namun
pelestarian puri di Karangasem masih tetap tetap bisa terpelihara, namun beberapa
kegiatan di bidang seni belum bisa diwujudkan kembali, seperti kerajianan tenun,
anyam-anyaman lontar, seni pahat atau seni ukir, karena terbentur masalah
sumber daya manusia (SDM) dan manusia pendukungnya lemah dan tidak
didukung juga oleh dana yang memadai. Satu-satunya kegiatan yang masih
bertahan adalah seni sastra, karena ditunjang oleh ―modal dasar‖ yaitu koleksi
lontar sebagai warisan yang mempunyai nilai yang sangat berharga, sebagai
sumber inspirasi dalam menumbuh kembangkan kebudayaan, filsafat, dan agama.
48 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Dengan demikian Puri Agung Karangasem sampai sekarang dapat berfungsi
sebagai pusat kebudayaan.
III. KESIMPULAN
Pada masa lalu puri merupakan pusat berbagai jenis kehidupan sosial dan
budaya. Aspek sosial puri dapat dilihat dari berbagai fungsi, antara lain:
perlindungan keamanan, kesejahteraan hidup, permusyawaratan, penyelenggaraan
seni hiburan,dan tempat mengabdi. Sedangkan aspek budaya puri dapat dilihat
antara lain: tempat pengembangan berbagai jenis kesenian, tempat mempelajari
sejarah, tempat meneliti hasil-hasil kebudayaan masa lalu.
Sejak berakhirnya puri sebagai pusat pemerintahan, pada masa sekarang
puri hanya sebagai pusat kebudayaan dan sosial.Berbagai aktivitas kebudayaan
sampai sekarang masih hidup dan berkembang.Hubungan antara puri dengan
masyarakat di lingkungan puri maupun dengan masyarakat luas, masih terjalin
dengan baik.Hubungan puri dengan masyarakat masih berlaku sampai sekarang
terutama dalam hubungan dengan upacara adat.Bila ada upacara di puri mereka
datang untuk ngayah dan membantu jalannya upacara. Demikian pula sebaliknya,
bila mereka ada upacara keluarga puri akan datang.
Di samping itu, puri juga sebagai alat komunikasi yaitu mencerminkan
unsur-unsur pendidikan dan mengagungkan identitas serta kewibawaan di
lingkungan bangunan puri.Puri dapat memotivasi perkembangan ragam hias dan
selanjutnya dapat lebih dikembangkan di luar lingkungan puri.Oleh karena itu,
puri dapat menjadi sumber potensial bagi penggalian nilai-nilai tradisi yang
menjadi akar kepribadian dan kebudayaan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Anak Agung Gde Putra. 1985. Kebudayaan Istana Amplapura Dalam
Peranan kebudayaan Daerah Dalam Proses Pembentukkan Kebudayaan
Nasional. Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara
(Javanologi). Dirjen Kebudayaan.
Agung, Anak Agung Gde Putra. 2001. Peralihan Sistem Demokrasi Kerajaan
Karangasem Dari Tradisional ke Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Munandar, Agus Aris. 2005. Istana Dewa Pulau Dewata : Makna Puri di Bali
Abad ke 14-15. Jakarta : Komunitas Bambu.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 49
Denpasar, 25-26 September 2018
Sulityawati, Made. 2008. Integrasi Budaya Tionghoa ke Dalam Budaya Bali
(Sebuah Bunga Rampai).Denpasar : Universitas Udayana.
Trisila, Slamet. 2013. ―Melihat Puri Dari Serambi Masjid : Relasi Kuasa Kerajaan
Karangasem dan Masyarakat Islam‖. Dalam I Ketut Ardhana dan Slamet
Trisila (ed). Anak Agung Gde Putra Agung : Sejarawan dan Budayawan
Bali. Denpasar : Pustaka Larasan dan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Udayana.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 50
Denpasar, 25-26 September 2018
VARIASI BAHASA SUNDA
DI DAERAH PESISIR JABAR SELATAN
Asri Soraya Afsari, Teddi Muhtadin
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
ABSTRAK
Setiap bahasa di dunia memiliki variasi. Bentuk variasi bahasa dapat dibedakan
berdasarkan letak geografis, sosial, dan temporal. Bahasa Sunda sebagai salah satu bahasa
daerah di Indonesia memiliki pula variasi tersebut. Secara geografis, bahasa Sunda yang
berada di daerah pegunungan memiliki perbedaan dengan bahasa Sunda di daerah pesisir
(pantai). Begitu pun bahasa Sunda yang berada di pesisir Jabar Utara memiliki perbedaan
pula dengan bahasa Sunda di pesisir Jabar Selatan. Pangandaran merupakan salah satu
wilayah yang ada di lintasan pantai Jabar Selatan. Daerah ini banyak didatangi oleh
penduduk yang berasal dari Jawa, seperti Cilacap yang menyebrang ke daerah Jawa Barat.
Awalnya para pendatang hanya melakukan perdagangan dan mengadu nasib. Seiring
waktu para pendatang tersebut kemudian menikah dengan warga asli dan menetap di
Pangandaran. Kehadiran para pendatang tentu membawa banyak pengaruh pada
kehidupan masyarakat yang ada di Pangandaran, tidak terkecuali dalam hal bahasa dan
budaya. Bahasa Sunda yang digunakan di daerah Pangandaran memiliki karakteristik
sendiri. Penelitian ini merupakan penelitian makrolinguistik bidang dialektologi.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk variasi bahasa Sunda yang
ada di daerah Pangandaran. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan metode lapangan
melalui teknik wawancara informan dan metode survei melalui penyebaran koesioner.
Kata kunci: variasi bahasa, dialektologi, bahasa Sunda, pesisir Jabar
I. Pendahuluan
Pengkajian bahasa dapat dilakukan dari berbagai perspektif, misalnya saja
semantik mengkaji bahasa dari segi makna baik leksikal maupun gramatikal.
Pragmatik mengkaji bahasa dari segi penggunaannya. Begitu pun sosiolinguistik
yang mengkaji bahasa dari segi sosial masyarakat bahasa. Dialektologi mengkaji
bahasa dari segi geografis. Artinya, bahasa dikaji berdasarkan wilayah penutur
bahasa. Dalam sebuah bahasa, faktor-faktor luar bahasa, seperti laut, sungai,
gunung dapat pula menentukan perbedaan kata atau makna yang ada pada sebuah
bahasa. Perbedaan tersebut melahirkan sebuah variasi dalam sebuah bahasa.
Indonesia adalah negara yang kaya akan bahasa daerah. Dalam bahasa
daerah-daerah ini pun terdapat variasi bahasa. Bahasa Sunda sebagai salah satu
bahasa daerah yang ada di Nusantara juga memiliki variasi bahasa.Secara
geografis, bahasa Sunda yang digunakan di perkotaan, pedesaan, pegunungan, dan
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 51
Denpasar, 25-26 September 2018
pesisir pantai memiliki variasi bahasa yang berbeda. Pangandaran merupakan
sebuah wilayah yang terletak di selatan Jawa Barat. Awalnya Pangandaran
merupakan sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Ciamis. Kemudian, menjadi
nama kabupaten setelah terjadi pemekaran pada 16 November 2012 melalui
terbitnya undang-undang nomor 21 tahun 2012. Kabupaten Pangandaran berasal
dari sebagian wilayah Kabupaten Ciamis. Kabupaten Pangandaran terdiri atas 10
kecamatan. Wilayah Kabupaten Pangandaran yang termasuk ke dalam wilayah
pesisir berjumlah enam kecamatan, yakni Kecamatan Cimerak, Kecamatan
Cijulang, Kecamatan Parigi, Kecamatan Sidamulih, Kecamatan Pangandaran, dan
Kecamatan Kalipucang (www.pangandarankab.go.id/profil-pangandaran/).
Penelitian ini akan berfokus pada Kecamatan Kalipucang, dengan mengambil
sampel data dari Desa Cibuluh sebab desa ini berbatasan dengan Sebelah Utara
Desa Banjar Harjam, Sebelah Selatan dengan Desa Kalipucang, Sebelah Barat
Desa Emplak, dan Sebelah Timur dengan Sungai Citanduy sehingga potensi data
variasi bahasa Sunda yang akan ditemukan relatif besar. Situasi kebahasaan di
Cibuluh banyak dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Hal ini disebabkan karena letak
Desa Cibuluh berbatasan dengan Jawa tengah,
II. Kajian Teori
Para linguis memberikan batasan mengenai dialek sebagai berikut. Pei
(1966: 67) memberikan batasan dialek sebagai cabang atau bentuk tertentu dari
bahasa yang digunakan di wilayah geografis tertentu. Richards et al (1987: 80)
memberikan batasan bahwa dialek sebagai variasi bahasa yang digunakan di
sebagian negeri berupa dialek regional dan oleh penduduk yang memiliki kelas
sosial tertentu berupa dialek sosial atau sosiolek, yang memiliki perbedaan dalam
hal kata, tata bahasa, dan atau pelafalan yang berbeda dari bahasa yang sama.
Adapun Kridalaksana (1993: 42) memberikan batasan dialek sebagai variasi yang
beranekaragam menurut penutur, apakah di tempat tertentu sebagai dialek
regional, oleh golongan tertentu sebagai dialek sosial, ataukah pada waktu tertentu
sebagai dialek temporal. Dari batasan yang dikemukakan oleh para linguis di atas
dpat dipahami bahwa dialektologi merupakan kajian tentang variasi bahasa.
52 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Variasi bahasa dipahami sebagai ―any body of humans speech patterns
whichis sufficiently homogeneous to be analysed by available techniques of
synchronic description and which has a sufficiently large repertory of elements
and their arragements or processes with board enough semantic scope to function
in all normal contexts of communication‖ (Ferguson & Gumperz dalam Sobarna
2004). Sehubungan dengan pemahaman ini, Pateda (1990: 52) menyatakan bahwa
variasi bahasa memiliki pola-pola bahasa yang sama, pola-pola tersebut dapat
dianalisis secara deskriptif, dan pola-pola tersebut dibatasi oleh makna yang
dipergunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi. Nababan (1984: 13)
menjelaskan bahwa variasi bahasa mempunyai dua aspek mendasar, yakni bentuk,
baik bunyi dan tulisan maupun strukturnya, dan makna, baik leksikal maupun
struktural maupun fungsional. Bentuk dan makna bahasa menunjukkan
perbedaan-perbedaan kecil-besar antara pengungkapannya yang satu dengan yang
lain.
Perihal jenis variasi bahasa, para ahli memberikan pandangan yang berbeda-
beda. McDavid (1969) membedakan variasi bahasa berdasarkan pada a. Dimensi
regional, b. Dimensi sosial, dan c. Dimensi sosial. Halliday (1970) dalam Sobarna
(2004) membagi variasi bahasa berdasarkan pemakaiannya dan pemakainya.
Pembagian secara komprehensif dilakukan oleh Pateda (1990). Ia membedakan
variasi bahasa atas: a. Tempat, b. Waktu, c. Pemakai, d. Situasi, e.dialek yang
dihubungkan dengan sapaan, f. Status, dan g. Pemakaiannya. Lebih jauh, Pateda
(1990:53) menjelaskan bahwa variasi bahasa dapat dilihat dari segi tempat, dalam
arti tempat dibatasi oleh air, gunung, atau hutan. Variasi ini menghasilkan apa
yang kemudian disebut dengan dialek. Dialekdapatberbedadalamhallafal, bentuk
kata, atauarti. Dengan demikian, perbedaan tersebut
dapatmenyangkut:Perbedaanfonologis, morfologis, semantis (sinonim dan
homonim), Onomasiologis, dan semasiologis.
Metode merupakan cara kerja yang teratur, terpikir baik, dan bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah
ditentukan (Djajasudarma, 2010: 1). Oleh karena itu, untuk memaksimalkan
pencapaian tujuansuatu kegiatan perlu dilakukan pemilihan metode yang tepat.
Penelitian ini menggunakan metode lapangan karena peneliti terjun langsung ke
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 53
Denpasar, 25-26 September 2018
masyarakat dengan teknik pengumpulan data utama dengan perekaman. Di
samping itu, penelitian ini menggunakan pula kuesioner.
III. Pembahasan
Variasi bahasa Sunda yang terdapat di Kecamatan Kalipucang,
Pangandarandapat diklasifikasikan berdasarkan perbedaan dalam hal lafal, bentuk
kata, atau arti. Dilihat dari segi kategori kata, variasi bahasa Sunda yang
ditemukan berkelas kata nomina, verba, adjektiva, dan adverbia serta berupa
partikel. Berikut uraian variasi bahasa Sundayang terdapat di Kecamatan
Kalipucang, Pangandaran.
3.1 Perbedaan Fonologis
Perbedaan fonologis menyangkut perbedaan lafal. Biasanya dalam perbedaan
ini penutur tidak menyadari adanya perbedaan tersebut. Pada penelitian ini
ditemukan 10 data variasi bahasa Sunda yang termasuk ke dalam perbedaan
fonologis, sebagai berikut.
Pada kata cucun terdapat perbedaan fonem konsonan /c/ pada huruf pertama
dan ketiga kata turun. Pada kata uhun, ohong, ejek, terdapat perbedaan berupa
penghilangan konsonan awal /m/, /b/, dan /j/ pada kata muhun, bohong, danjejek.
Pada kata dagongan terdapat perbedaan fonem vokal /a/ pada huruf ke dua kata
dogongan. Pada kata rubet terdapat perbedaan vokal /u/ pada huruf kedua dan
konsonan /s/ pada huruf ke lima kata robét. Adapun pada kata miando, ambéh,
dan kangjeun terdapat penambahan vokal /a/ pada huruf ketiga kata mindo,
penambahan konsonan /b/ pada huruf ketiga kata améh, dan penambahan
konsonan nasal /ŋ/ pada huruf ke ketiga kata kajeun.
No Bahasa Sunda Pesisir
(Pangandaran)
Bahasa Sunda Lulugu Terjemahan
dalam Bahasa Indonesia
a. [cucun] turun turun
b. [uhun] muhun iya
c. [ohong] bohong bohong
d. [dagongan] dogongan dodorongan awi
e. [rubɛs] robet kain yang rusakpada bagian pinggir
f. [əjək] jejek injak
g. [baɛ] waè lagi, kejadian yang berulang
h. [miando] mindo menambah nasi
i. [ambɛh] ameh sangkan, supayaatau agar
j. [kaŋjeun] kajeun biarkan
54 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
3.2 Perbedaan Morfologis
Perbedaan morfologis menyangkut bentuk kata. Pada penelitian ini ditemukan
6 data variasi bahasa Sunda yang termasuk ke dalam perbedaan morfologis
sebagai berikut.
No Bahasa Sunda
Pesisir
(Pangandaran)
Bahasa Sunda
Lulugu
Terjemahan
dalam Bahasa Indonesia
1. [koh] ongkoh kata penunjuk
2. [curugan] curug air terjun
3. [kukumbah] kumbah kegiatan membersihkan barang-barang
dengan menggunakan air
4. [lɛlɛgɛg] légég sombong
5. [samarukeun] sarukeun disamakan
6. [harah] har (interjeksi untuk menunjukkan tidak setuju)
Pada kata koh terdapat perbedaan morfologis berupa penghilangan suku kata
/ong/ pada awal kata ongkoh. Pada kata curugan dan harah terdapat penambahan
akhiran -an dan suku kataahpada kata curug dan har. Pada kata kukumbah dan
lélégég terdapat pengulangan pada awal kata kumbah dan légég. Adapun pada
kata samarukeun terdapat penambahansuku kata ma pada suku kata kedua kata
sarukeun.
3.3 Perbedaan Semantis
Perbedaan semantis dapat timbul karena kata-kata baru berdasarkan perubahan
fonologis dan geseran bentuk. Dalam peristiwa tersebut biasanya terjadi pula
geseran maknaberupa sinonim dan homonim. Pada penelitian ini variasi bahasa
Sunda yang termasuk ke dalam perbedaan semantis berjumlah 12 data sebagai
berikut.
No Bahasa Sunda Pesisir
(Pangandaran)
Bahasa Sunda Lulugu Terjemahan
dalam Bahasa Indonesia
[kanjat] meujeuhna cukupatau pas sesuaiukurannya
[kunir] konéng kunyit
[iatna] taki-taki hati-hatidalamlakukanhal
[anggah-ungguh] tatakrama robah-robah awakna, badan
ataubentukbadannyabisaberubah
[balandongan] panggung panggungpetunjukanpentasseni
[məndi] mana mana
[pɛclɛ] éngklé, sondah salah satupermainantradisonal anak
sunda yang permainnanyadimainkan
oleh empat orang ataulebih,
[pitik] anak meri anakayam dan anak meri
[camcau] cincau sejenismakananatau es yang
terbuatdaridaun cingcau
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 55
Denpasar, 25-26 September 2018
[mubah] wenang boleh (tidak wajib)
[ngawɛnɛhan] manggihan menemukan, menemukan ‗barang
langka‘.
[pəcat maot] nepi maot melepaskan (nyawa)
Kata kanjat, kunir, iatna, anggah-ungguh, balandongan, mendi, penclé,
camcau,mubah, dan pecat termasuk ke dalam sinonim. Kata kunir dan mendi
berasal dari bahasa Jawa, kata balandongan diserap dari bahasa Jawa
belandongan. Kata mubah dan camcau masing-masing diserap dari bahasa Arab
dan bahasa Cina: cincaw. Adapun kata anggah-ungguh sudah jarang digunakan
dalam bahasa Sunda lulugu.
Kata pitik dan ngawénéhantermasuk ke dalam homonim. Pitikmengacu pada
penamaan untuk ‗anak ayam‘ dan ‗anak meri‘ sedangkan ngawénéhan mengacu
pada aktivitas menemukan suatu barang secara umum dan menemukan ‗barang
langka‘.
3.4 Perbedaan Onomasiologis
Perbedaan onomasiologis berkaitan dengan penamaan yang berbeda
berdasarkan satu konsep yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda. pada
penelitian ini ditemukan 2 data variasi bahasa yang termasuk ke dalam perbedaan
onomasiologis sebagai berikut.
No Bahasa Sunda
Pesisir
(Pangandaran)
Bahasa Sunda Lulugu Terjemahan
dalam Bahasa Indonesia
1 [siram] mandi mandi
2 [tangkar] tulang sapi tulang sapi
Konsep aktivitas mandi secara umum di daerah Pangandaran disebut dengan
siram sedangkan di daerah Sunda priangan kata siramdigunakan pada bentuk
halus tingkatan bahasa yang menyatakan aktivitas mandi. Begitu pula pada
konsep benda yang mengacu pada bagian rangka tubuh hewan, kata tangkar di
daerah Pangadaran digunakan untuk menyatakan tulang sapi sedangkan dalam di
daerah Sunda priangan tangkar digunakan untuk menyatakan tulang hewan yang
masih muda atau lunak, seperti tulang telinga dan tulang iga pada burung.
56 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
IV. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
1. Variasi bahasa Sunda di daerah pesisir Jawa Barat (Pangandaran) memiliki
perbedaan dengan bahasa Sunda lulugu (Priangan) dalam hal pelafalan,
bentuk, dan makna. Perbedaan fonologis berjumlah 10 data, perbedaan
morfologis berjumlah 6 data, perbedaaan semantis berjumlah 12 data, dan
perbedaan onomasiologis berjumlah 2 data.
2. Dari segi kategori kata, variasi bahasa Sunda yang ditemukan berkelas kata
nomina, verba, adjektiva, dan adverbia serta berupa partikel.
3. Berdasarkan perbedaan semantis, variasi bahasa Sunda di pesisir Jawa Barat
(Pangandaran) mendapat pengaruh dari bahasa Jawa, Arab, dan Cina.
Daftar Pustaka
Kridalaksana, Harimrti
1993 Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
McDavid, C. Poster, and C. Biliard (ed)
1974 A Manual for Dialect Research in The Southern States. University
Alabama.
Nababan
1984 Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Pateda, Mansur
1990 Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Pei, Mario
1966 Glossary of Linguistics Terminology. New York and London: Colombia
University Press.
Richards et al
1987 Longman Dictionary of Applied Linguistics. Longman
Sobarna, Cece., Tien Wartini, dan Taufik Ampera
2004 Bahasa dan Sastra Daerah di Kabupaten Tangerang. Bandung: Pemkab
Tangerang dan Pusat Studi Sunda.
www.pangandarankab.go.id/profil-pangandaran/
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 57
Denpasar, 25-26 September 2018
PERILAKU BUDAYA KESEHATAN DALAM PRAKTIK
PERAWATAN KEHAMILAN DAN PERSALINAN PADA
MASYARAKAT PESISIR
DI MANGGARAI, NTT
Bambang Dharwiyanto Putro
Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Masalah kesehatan sangat erat kaitannya dengan budaya/tradisi pada
masyarakat. Nilai-nilai budaya pada masyarakat pesisir di daerah manggarai
seperti Labuan Bajo, Nanga Lili, Pandang, Watu Weri (Manggarai Barat), Nanga
Lanang, Borong, Mbolata, Wae Wole, Iteng, Reo dan Dampek (Manggarai
Timur), merupakan potensi budaya yang dapat dijadikan sarana menyepakati
berbagai persoalan kesehatan masyarakat termasuk mencari jalan keluar masalah
dalam bidang kesehatan ibu dan anak.
Pemerintah provinsi NTT sejak tahun 2009 sudah mencanangkan program
―revolusi KIA‖ yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu dan angka
kematian bayi dengan salah satu strategi yang dilaksanakan adalah semua ibu
melahirkan ditolong oleh tenaga profesional di puskesmas. Tetapi hingga saat ini,
peran nilai-nilai budaya tradisional dalam proses perawatan kesehatan ibu dan
anak khususnya dalam praktik perawatan kehamilan dan persalinan masih ada
ditangani oleh dukun bersalin (Ata Pecing). Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui dan mengidentifikasi peran budaya dalam praktik kesehatan ibu dan
anak pada masyarakat pesisir.
Penelitian dilakukan mengggunakan metode pendekatan etnografi sebagai
salah satu varian pendekatan kualitatif. Kegiatan penelitian mencakup penjajagan
lapangan untuk memahami kondisi lokasi penelitian, dilanjutkan pengumpulan
data lapangan dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi,
kepustakaan, dan pemeriksaan dokumen. Data yang terkumpul dari berbagai
sumber kemudian diolah, dianalisis, selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian
bersifat deskriptif.
Kata Kunci: perilaku, budaya, kesehatan
1. Pendahuluan
Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil yang dihuni
ratusan suku bangsa dengan berbagai ragam budaya telah memberikan suatu
kekhasan tersendiri. Perilaku masyarakat, khususnya masyarakat pesisir dalam
praktik perawatan kesehatan ibu dan anak, tercermin dari perilaku mereka
memanfaatkan kekayaan intelektual masyarakat lokal berupa pengetahuan
tradisional mereka dan keanekaragaman hayati di lingkungannya. Praktik budaya
terkait kesehatan tersebut sebagian diklaim oleh orang-orang berpengetahuan
58 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
―modern‖ sebagai salah satu penyebab buruknya status kesehatan masyarakat
setempat.Kekayaan budaya Indonesia dari berbagai suku bangsa yang tersebar di
seluruh Indonesia telah mewarnai upaya kesehatan. Upaya kesehatan bisaberupa
pelayanan konvensional maupun tradisional dan komplementer berupa kegiatan
preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.Dalam hal pelayanan kesehatan
meliputipula pelayanan kesehatan berbasis masyarakat, di dalamnya
termasukpengobatan dan cara-cara tradisional.
Masalah kesehatan sangat erat kaitannya dengan budaya/tradisi pada
masyarakat. Nilai-nilai budaya pada masyarakat pesisir di daerah manggarai
seperti Labuan Bajo, Nanga Lili, Pandang, Watu Weri (Manggarai Barat), Nanga
Lanang, Borong, Mbolata, Wae Wole, Iteng, Reo dan Dampek (Manggarai
Timur), merupakan potensi budaya yang dapat dijadikan sarana menyepakati
berbagai persoalan kesehatan masyarakat termasuk mencari jalan keluar masalah
dalam bidang kesehatan ibu dan anak.Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
menjadi prioritas utama Program pembangunan Kesehatan Masyarakat
Indonesia.Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada
tahun 2007, AKI di Indonesia adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan
AKI di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 2010 adalah 270 per
100.000 kelahiran hidup. Selain itu, AKB Indonesia pada tahun 2007 adalah 34
per 1000 kelahiran hidup, sedangkan AKB di provinsi NTT adalah 57 per 1000
kelahiran hidup (Dinkes Provinsi NTT, 2010). Selain itu, indikator kesehatan
masyarakat yang demikian rendah di Provinsi NTT seperti tergambar dari Indeks
Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2010 yang menunjukkan
Kabupaten Manggarai berada pada peringkat 437 secara nasional (Litbangkes,
2010) menjadi catatan tersendiri bagi Provinsi NTT (Bangun, 2010).Berdasarkan
laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai tahun 2010, AKI di
kabupaten Manggarai sebesar 169,9 per 100.000 kelahiran hidup sedangkan AKB
sebesar 13,20 per 1000 kelahiran hidup. Selain itu, cakupan pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan pada tahun 2010 sebesar 76,25%, dan
pertolongan persalinan oleh dukun bersalin adalah 23,75%. Terhitung sejak
Januari-Juni 2016, angka kematian ibu dan bayi di Kabupaten Manggarai
mencapai 31 kasus.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 59
Denpasar, 25-26 September 2018
Pemerintah provinsi NTT sejak tahun 2009 sudah mencanangkan program
―revolusi KIA‖ yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu dan angka
kematian bayi dengan salah satu strategi yang dilaksanakan adalah semua ibu
melahirkan ditolong oleh tenaga profesional di puskesmas. Tetapi hingga saat ini,
peran nilai-nilai budaya tradisional dalam proses perawatan kesehatan ibu dan
anak khususnya dalam praktik perawatan kehamilan dan persalinanpada
masyarakat pesisir masih ada ditangani oleh dukun bersalin.Masalah kesehatan
sangat erat kaitannya dengan budaya/tradisi pada masyarakat. Nilai-nilai budaya
pada orang manggarai merupakan potensi budaya yang dapat dijadikan sarana
menyepakati berbagai persoalan kesehatan masyarakat termasuk mencari jalan
keluar masalah dalam bidang kesehatan ibu dan anak.
Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat saat ini
masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah
kesehatan menjadi semakin komplek, maka dirasa perlu dan penting untuk
mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah
kesehatan berbasis budaya masyarakat dengan mengetahui dan mengidentifikasi
peran budaya dalam praktik kesehatan ibu dan anak pada masyarakat pesisir.
2. Peran Budaya Dalam Praktik Kesehatan Ibu Dan Anak
2.1 Masa Pra-Hamil(Masa Remaja)
Menurut Ahmadi (2005: 105) perkembangan perilaku pada masa remaja
ditandai dengan perubahan-perubahan akibat pubertas antara lain, perkembangan
pola pikir (kognitif) remaja, perkembangan sosioemosional remaja, dan
perkembangan seksual remaja. Dalam perjalanan hidup seseorang kejadian
penting dapat berdampakpada kesehatan selama proses kehidupan. Salah satunya
adalah peristiwareproduksi, yang dimulai pada saat remaja. Seorang perempuan
mengalamiberbagai kejadian di sepanjang siklus kehidupannya.
Hasil riset lapangan menunjukkan bahwa di kalangan remaja, pacaran
bukanlah suatu hal yang tabu. Meskipun demikian, dalam norma kemasyarakatan
tetap ada batasan-batasan dalam hal pergaulan antara remaja laki-laki dan
perempuan. Batasan-batasan tersebut antara lain tidak boleh bergandengan tangan,
tidak boleh berduaan terus terutama di tempat yang sepi, dilarang mengganggu
perempuan, tidak boleh memegang tangan perempuan atau memegang pundak.
60 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Pihak sekolah dan orang tua mereka juga sering menasihati agar mereka berhati-
hati dalam pergaulan.
Sementara itu pada masa menstruasi, adanya kepercayaan bahwa
terjadinya menstruasi merupakan peristiwa yang awalnya mengejutkan, khawatir
dan ada rasa takut. Tapi akhirnya mengesankan baginya. Waktu pertama kali
mentruasi para remaja memiliki pengetahuan sebelumnya tentang menstruasi
bukan dari orang tuanya tapi dari teman. Tapi pada akhirnya orang tuanya turut
memberikan informasi kalau seorang perempuan mengalami menstruasi berarti
sudah bisa hamil.Terkait pantangan-pantangan pada saat menstruasi ditemukan
antara lain: tidak boleh mencuci rambut (neka cuci wuk), jangan tidur pada sore
hari (neka toko mane tana), pada saat menstruasi tidak boleh membuat kue karena
mitosnya saat wanita yang sedang menstruasi membuat kue, maka hasilnya tidak
akan seperti yang diinginkan.
Terkait Pengetahuan Sistem Kesehatan Reproduksi Remaja, informasi
diperoleh antara lain dari orangtua (ibu) dan pihak sekolah.Informasi dari seorang
ibumemberitau terkait fase mentruasi dimana pada fase tersebut akan mengalami
emosi yang tidak bisa dikontrol, maka dari itu sebisa mungkin mengontrol emosi
dan menjaga diri karena wanita itu diibaratkan seperti piring kaca sekali jatuh dan
pecah tidak akan bisa kembali seperti semula. Terkait pantangan-pantangan pada
masa pra hamil, antara lain tidak boleh minum-minuman beralkohol (neka inung
tuak), jangan merokok (neka rongko), jangan keluar malam ( neka lako wie ),
serta jangan berduaan di tempat yang sepi dan gelap (neka cumang sua tau lewie).
Dalam hal peraturan adat pada masa prahamil, antara lain beberapa
peraturan yang harus ditaati sebagai berikut.
Pertama, mancak tara nggelok weki (paras menawan). Seorang laki-laki
ketika ada rasa cinta dengan seorang gadis dan hendak ingin menikahinya,
pertama yang ia lakukan menyampaikan kepada kedua orang tuanya bahwa dia
ingin menikah seorang gadis.
Kedua, Lambung mbaru (mendatangi rumah). Mendatangi rumah
(lambung mbaru) dilakukan oleh pihak laki-laki berserta orang tuanya untuk
melamar gadis idamannya dengan cara mendatangi rumah perempuan, dan ini
biasanya dilakukan pada malam hari. Dilakukan pada malam hari agar tidak
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 61
Denpasar, 25-26 September 2018
terjadi hambatan seperti: keluarga dari pihak perempuan di kebun, juga agar tidak
di ketahui oleh warga kampung.
Ketiga, Towe Tabing (Kain Songket Lamar). Memberi kain songket oleh
laki-laki kepada perempuan didampingi oleh keluarganya sambil berkata ―amang
agu inang neka rabo mai daku lambung mbaru dite ae aku manga mena mata agu
anak dite, ho,o towe latang wengko de enu‖ ( om dan tanta maaf sebelumnya
maksud kedatangan saya beserta orang tua kesini ingin melamar anak om dan
tanta, kain ini merupakan symbol keseriusan saya) sambil menyerahkan kain
songket kepada orangtua perempuan sebagai keseriusan dari pihak laki-laki. jika
songket diterima oleh perempuan langkah selanjutnya
Keempat, Tanda mata (Ikatan). Ini dilakukan seminggu setelah ―towe
tabing‖, (kain lamar) acara ini biasanya tukar cincin dan disaksikan oleh orang
tua atau wali masing-masing sebagai tanda ikatan cinta, juga sekalian minta restu
dari orangtua perempuan atau wali perempuan kira-kira berapa mas kawin
―cumang cama tua‖ (mensosialisai uang belis oleh orangtua perempuan dan laki-
laki) setelah ada kesepakatan atau sudah tentu berapa jumlah belisnya ―pongo‖
(deal) selanjutnya
Kelima, Wagal ( membawa maskawin). Setelah ada kesepakatan atau deal
jumlah mas kawin selanjutnya acara ―Wagal‖ (membawa mas kawin) acara ini
tidak ditentukan hari baik tetapi tergantung kesepakatan antara bersama kedua
orang tua.
2.2 Masa Hamil (Na’ang Weki)
Pandangan masyarakat tentang kehamilan
Masa kehamilan adalah masa ketika ibu hamil menjalaniproses awal hamil
hingga menjelang kelahiran. Selama hamil,pemeriksaan kehamilan umumnya
rutin dijalani oleh para ibuhamil tiap bulannya di Puskesmas terdekat. Sebagian
besar informan menyatakan bahwa kehamilan merupakan sebuah anugerah dan
berkah yang harus disyukuri. Jika mereka hamil, mereka akan senang dan
bahagia. Kehamilan merupakan salah satu bagian dari siklus kehidupan. Dalam
beberapa masyarakat tertentu mendapat perhatian khusus dengan cara
diadakannya ritual tertentu. Tapi hal ini berbeda dengan yang ditemui pada
beberapa masyarakat pesisir di Manggarai. Tidak ada ritual apa pun pada
62 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
masakehamilan seorang ibu, hanya tradisi pergi ke ―Romo‖ ataupun pemimpin
umat untuk meminta doa.
Pantangan yang Berlaku di Masyarakat Pada Masa Kehamilan
Terkait pantangan-pantangan yang berlaku pada ibu-ibu pada masa
kehamilan, antara lain.tidak melakukan pekerjaan/mengangkat yang berat-berat
(neka seti sot mendo-mendo), tidak minum yang beralkohol (neka inung tuak),
tidak memakan telur mentah (neka hang ruha ta’a), tidak boleh keluar malam
mulai jam 7 (neka lako wie jam 7), tidak boleh berkata kasar (neka curup da’at),
tidak boleh menganyam (agar mulut rahim saat melahirkan tdk sempit), tidak
boleh menggunakan alat makan dari tutupan priuk (neka hang oake tadu lewing),
dan tidak boleh makan sisa nasi dari tempat menanak nasi, maksudnya saat
melahirkan tidak keluar dengan air Besar (neka hang rateng)
Dari beberapa pantangan tersebut, para ibu hamil juga mematuhi
tabu/pantangan yang berlaku lainnya, misalnya tidak boleh mandi pada malam
hari, tidak boleh membunuh binatang, tidak boleh menenun, tidak boleh duduk di
depan pintu, dan tidak boleh pergi ke sungai atau ke sumber air pada sore hari.
Jika pantangan itu tetap dilakukan, proses kelahirandipercaya bisa bermasalah
atau bayi yang dilahirkan tidak sempurna/cacat.
Peran Suami Dalam Perawatan Kehamilan
Peran suami dalam fase perawatan kehamilan bisa dikatakan masih kurang
(belum optimal), antara lain dapat disebutkan: (1) tidak semua suami dapat
memenuhi apa yang diinginkan istri saat ngidam; (2) pengertian suami
dalammelakukan hubungan suami istri, data di lapangan menunjukkan pengakuan
informan tidak terjadinya hubungan suami istri saat diketahui istri telah positif
hamil; (3) keterlibatan suami hanya sewaktu-waktu dalam membantu pekerjaan
domestik misal mencuci baju, memasak, membantu membeli bahan makanan; (4)
suami sesekali ikut mengasuh/menjaga anak yg dilahirkan sebelumnya; (5) suami
sesekali ikut mengantar istri periksa ke puskesmas.
Pola Pemeriksaan Kehamilan
Adapun pola pemeriksaan kehamilan sebagai berikut. Pertama, ibu hamil
memeriksakan kandungannya ke Puskesmas Pembantu (Pustu), kemudian
diperiksa oleh bidan desa, dan akan RS jika terjadi sesuatu hal yang
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 63
Denpasar, 25-26 September 2018
emergency.Kedua, Pada saat akan melahirkan, dukun melihat kondisi ibu hamil
yang akan melahirkan, kemudian selanjutnya akan diarahkan ke PUSTU.
Walaupun peran dukun bayi sudah tidak seaktif/sebesar sebelum adanya Revolusi
KIA, tetapi sosoknya masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat sebagai tempat
bertukar pandangan secara tradisional terkait perilaku perawatan kehamilan dan
juga mampu memberikan ketenangan secara psikologis terutama dalam konteks
komunikasi.
Dalam kaitannya dengan ritual masa hamil, tidak adanya ritual adat saat
kehamilan tetapi diadakannya doa saat diketahui pertama kali hamil kemudian
mereka pergi ke romo ( gelar panggilan yang diberikan oleh umat Katolik di
beberapa daerah di Indonesia kepada para imam Katolik (pastor)untuk meminta
doa.
2.3 Persalinan dan Nifas
Persalinan
Proses persalinan merupakan suatu kondisi yang perlu mendapatperhatian
khusus mengingat pada saat tersebut risiko terjadinya kondisikritis yang
membahayakan jiwa seorang ibu sangat besar. Masyarakat sudah menyadari
adanya risiko tersebut, hal ini terbukti dengan adanya upaya pencegahan yang
dilakukan baik berupa upaya medis maupun non medis. Selain persiapan fisik,
mereka juga melakukan persiapan psikis, yang dilakukan baik oleh ibu maupun
keluarga, bahkan ada banyak dukungan dari lingkungannya.
Masa Nifas
Langkah-Langkah Dalam Menolong Proses Persalinan. Dari non medis
seperti dukun anak (ata pecing ) yaitu memberi air yang sudah di beri mantra
dengan tujuan agar proses persalinan berjalan lancar. Langkah-langkah setelah
proses persalinan secara non medis atau secara adat :
Ongga rinding (pukul dinding), pada saat bayi baru lahir ayah atau kakek
dari bayi yang menjaga diluar rumah memukul dinding rumah sebanyak lima kali
sambil mengatakan ―ata one ko ata peng‖ (orang dalam atau orang luar) jika bayi
yang baru lahir itu laki-laki para ibu yang bantu melahirkan akan menjawab ―ata
one‖ (orang dalam), jika perempuan ―ata peang‖ (orang luar).
64 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Poro putes (potong tali pusat bayi), alat untuk memotong tali pusat bayi
yaitu lampek (pisau bambu yang terbuat dari bambu) yang berjumlah lima,
berjumlah lima karena menurut kepercayaan orang Manggarai, ada lima aspek
kehidupan yang harus dilalui oeh orang Manggarai dari ia lahir sampai ia kembali
keliang lahat atau meninggal dunia.; lampek pertama yaitu 1. rumah sebagai
tempat tinggal (Mbaru bate kaeng), 2. Tempat bermain (natas bate labar), 3. Air
sebagai sumber kehidupan (wae bate teku), 4. Tempat bekerja atau sistem
matapencaharian (uma bate duat), 5. Kuburan atau aspek terakhir meninggal
dunia (boa). Setelah pemotong tali pusat selanjutnya.
Cumpe (tempat tidur bayi), setelah dilahirkan bayi bersama ibunya tetap
tinggaldidalam kamar disisi perapian yang telah dirangcang sedemikian mungkin,
selama lima hari lima malam Dilanjutkan dengan Cear cumpe (bongkar tempat
tidur bayi).Setelah lima hari lima malam dalam ―cumpe‖ (tempat tidur bayi) maka
pada hari kelima ―cumpe‖ akan di bongkar. Setelah itu
Teing ngasang (pemberian nama). Setelah ―cear cumpe‖ (pembongkar
tempat tidur bayi) acara selanjutnya yaitu pemberian nama, dalam tradisi
Manggarai pada saat acara pemebrian nama ada dua bentuk pemberian nama
yaitu; ―Nama adat atau dalam tradisi Manggarai sering disebut ―ngasang manuk‖
biasanya nama yang digunakan adalah nama dari para leluhur nenek moyang dari
keluarga yang bersangkutan seperti :Ngabut, Haman, Jebarus dll, dan yang kedua
nama baptis ―ngasang serani‖ biasanya nama yang terpakai dalam nama baptis
adalah nama-nama santo atau santa pelindung seperti St. Aloysius, santa Maria
dll. Dalam pemberian nama tidak ditentukan hari baik tetapi ditentukan setelah
berahir dari limahari lima malam. Sedangkan
2.4 Tahap Menyusui (teing wae cucu)
Pengetahuan Pentingnya Menyusui
Kebiasaan-kebiasaan khusus yang dilakukan masyarakat pesisir pada saat
menyusui ialah mengonsumsi makanan tertentu. mengonsumsi sayur-sayuran
seperti sayur daun singkong dan buah-buahan, pisang misalnya dalam jumlah
lebih banyak,dipercaya supaya air susu ibu lebih banyak dan selanjutnya agar bayi
mendapatkan gizi yang baik. Dalam hal ini bagi ibu yang ASI nya belum keluar
akan mengurut buah dadanya dengan tangan agar ASI cepat keluar. Ada
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 65
Denpasar, 25-26 September 2018
kepercayaan pada ibu-ibu yang menyusui bahwa dengan seringnya ASI diminum
oleh bayi akan merangsang banyaknya ASI yang keluar.
Pantangan dalam tahap menyusui
Terkait pantangan dalam tahap menyusui, diperoleh informasii sebagai
berikut, dilarang makan pedas (benang hang mas), dilarang minum alkohol
(benang inung tuak), dilarang merokok (neka rongko), dianjurkan sebaiknya
wajib memberi ASI sampai pada usia 2 tahun, hindari stress yang berlebihan,
karena akan mempengaruhi ASI.
Tradisi saat bayi
Tradisi saat bayi yang dilakukan dari adat yaitu pembuatan tempat tidur
bayi besertaibunya selama lima hari lima malam―Cumpe‖ dan mengunjungi bayi
yang baru lahir ―la’at meka weru‖. Proses persalinan terlewati, keluarga segera
menyiapkan tungkupemanas yang diletakkan berdekatan dengan ranjang bayi agar
si bayimudah mendapat kehangatan dari bara kayu dalam tungku tersebut.
Caramemberikan kehangatan kepada bayi dilakukan oleh sang ibu
denganmeletakkan tangannya di dekat bara tersebut, kemudian diusapkan ketubuh
si bayi. Kebanyakan pengusapan dilakukan pada pagi dan malam hari ketika udara
dingin.Lima hari kemudian, terhitung dari satu hari setelah kelahiran, pihak
keluarga si bayi akan mengadakan acara cear cumpe, yaitu prosesi memisahkan
tungku pemanas dari ranjang si bayi. Pada saat cear cumpedilaksanakan, pihak
yang diundang dalam acara tersebut adalah perwakilan anak rona–anak wina, ase
kae, ase-kae-beo (keluarga besar kampung), serta pihak yang membantu proses
persalinan.
3. Simpulan
Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat saat ini
masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah
kesehatan menjadi semakin komplek, kearifan lokal menjadi salah satu cara
untuk menyelesaikan masalah kesehatan berbasis budaya masyarakat.Upaya
medis sudah banyak dilakukan, sedangkan sisi non medis diketahui juga berperan
cukup kuat terhadap status kesehatan ibu dan anak. Faktor non medis tidak
terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan mereka berada.
Masyarakat pesisir manggarai masih mempercayai adat istiadat lokalitas dan
66 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
sejumlah perilaku tertentu bagi ibu hamil dan pascapersalinan. Konsepsi budaya
mengenai pantangan ditujukan untuk menjaga keselamatan ibu dan bayi, namun
alasan yang dikemukakan mengenaipantangan-pantangan tersebut hanya
simbolik. Para penyedia layanan kesehatan dan para petugas kesehatan perlu
memahami makna simbolik yang terkandung dalam setiap pantangan sehingga
dapat melakukan perubahan melalui cara yang tepat. Semakin baik bila ditunjang
dengan sikap menghargai dan bersifat terbuka dengan para dukun beranak (Ata
Pecing) untuk mendorong timbulnya perubahan perilaku pertolongan persalinan
yang sesuai kaidah kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi & Sholeh, 2005. Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Bangun, Rikard., 2011. Ekspedisi Jejak Peradaban NTT. Laporan Jurnalistik
Kompas. Jakarta.
Dinkes Kabupaten Manggarai. 2010. Profil Kesehatan Kabupaten Manggarai.
Dinkes Provinsi NTT. 2010. Pedoman Revolusi Kesehatan Ibu dan Anak.
Kupang.
Handayani, Tri dan Amin Yitno, 1979. Apa Kata Dukun Bayi. Yogyakarta: PPK
UGM.
Geertz, Hildred, 1982. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers.
lndeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat., 2010. Badan Penelitian dan
Pengembagan
Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI., Jakarta.
Kalangie, Nicolas Silvanus, 1984. ―Peranan dan Sumbangan Antropologi Dalam
Bidang Pelayanan Kesehatan, Suatu Kerangka Masalah-Masalah
Penelitian Dalam Analisis‖. Makalah Seminar Peranan Universitas dalam
Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Untuk Menunjang
Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta 13-16 Februari.
Kleinman, 1980. Patients and Healers in the Context of Culture: An Exploration
of the Borderland Between Anthropology, Medicine, and Psychiatry. Los
Angeles London: University of California Press Berkeley.
Laporan Nasional Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) (2007). Badan penelitian
Dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta 2007.
Winkelman, M., 2009. Culture and Health: Applying Medical Anthropology. San
Francisco: Jossey-Bass.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 67
Denpasar, 25-26 September 2018
ANALISIS PEMAKAIAN RAGAM JURNALISTIK
DI SMAN 1 ABIANSEMAL: KASUS MENULIS BERITA LANGSUNG
I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani, Anak Agung Putu Putra, I Ketut Nama, Ni
Putu N. Widarsini, Sri Jumadiah
Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Tulisan ini merupakan hasil analisis terhadap pemakaian ragam jurnalistik
yang dibuat siswa-siswa SMAN 1 Abiansemal ketika mengikuti pelatihan
keterampilan penulisan jurnalistik. Masalah yang disoroti dalam penelitian ini
adalah kemampuan siswa di dalam menulis berita secara langsung. Metode yang
digunakan adalah metode deskriptif analitik. Teori yang dipakai untuk
menganalisis adalah teori piramida terbalik. Hasil yang diperoleh dari analisis
adalah siswa belum memahami sepenuhnya bagaimana menulis berita secara
langsung. Hal ini ditandai dari beberapa kesalahan yang ditemukan, misalnya
siswa tidak mampu membedakan unsur-unsur berita, seperti judul, teras, tubuh,
dan ekor.
Pendahuluan
Kemampuan menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan
berbahasa yang perlu dikuasai oleh siswa sekolah menengah, di samping
keterampilan menyimak, berbicara, dan membaca. Melalui penggunan ragam
jurnalistik, siswa dapat mempelajari bidang tulis-menulis untuk kepentingan
publik. Perihal penyampaian informasi secara akurat dan tepat kepada publik
menjadi faktor yang penting, karena itu ketepatan dalam penulisan kalimat perlu
diperhatikan.
Mengingat pentingnya keterampilan penulisan jurnalistik ini, telah
diselenggarakan semacam workshop singkat yang diberi judul: ―Pelatihan
Keterampilan Penulisan Jurnalistik.‖ Sekolah yang dipilih adalah SMAN 1
Abiansemal, di Kabupaten Badung. SMAN 1 Abiansemal memiliki visi dan misi
yang sesuai dengan arah kegiatan ini. Visinya adalah untuk menghasilkan sumber
daya manusia yang cerdas dengan berwawasan budaya dan lingkungan.
Sedangkan misi sekolah ini adalah melaksanakan pembelajaran dan bimbingan
secara efektif.
68 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
SMAN 1 Abiansemal memiliki beberapa kegiatan ekstrakurikuler. Salah
satunya adalah kegiatan jurnalistik. Kegiatan ini sudah berlangsung cukup lama,
yakni sekitar tahun 2009. Sekolah ini memiliki siswa-siswa yang potensial di
bidang tulis-menulis. Hal ini terbukti dengan seringnya mereka memperoleh
prestasi dalam penulisan mading. Namun, untuk penulisan ragam jurnalistik,
mereka masih memerlukan dukungan berupa kegiatan pelatihan. Setelah
mengikuti kegiatan ini diharapkan siswa-siswa memiliki pengetahuan tentang
kejurnalistikan, seperti bagaimana mengelola bahan berita dan sebagainya.
Pelatihan tentang ragam jurnalistik bagi siswa SMAN 1 Abiansemal
merupakan suatu program pengabdian kepada masyarakat yang bertujuan untuk
membina siswa dalam penulisan jurnalistik yang meliputi pelatihan penulisan
karya ilmiah, penulisan majalah dinding (mading), penulisan koran sekolah, dan
lain-lain. Tujuan lainnya agar dapat melatih para siswa mengembangkan
kreativitasnya dalam menggunakan ragam jurnalistik.
Ruang Lingkup Masalah
Masalah yang akan dipecahkan atau diatasi dalam kegiatan pengabdian ini
adalah kurangnya pengetahuan dan keterampilan siswa-siswa SMA dalam
penulisan jurnalistik yang baik. Dengan diadakannya pelatihan ini, para siswa
diharapkan dapat menulis dan membuat suatu tulisan terutama dalam menulis
berita langsung.Kegiatan pelatihan keterampilan jurnalistik diikuti oleh 50 siswa.
Siswa-siswa yang hadir dalam pelatihan ini sebagian besar merupakan siswa yang
mengambil kegiatan ekstrakurikuler berupa jurnalistik. Sebagian lagi merupakan
siswa kelas XI jurusan bahasa di SMAN 1 Abiansemal. Dengan demikian antara
kemampuan awal (termasuk minat) yang dimiliki siswa dan pelatihan yang diikuti
sejalan. Mengapa hal ini penting? Kemampuan awal, seperti pengetahuan tentang
bahasa (meliputi ejaan, kata, kalimat) dan juga minat merupakan modal dasar bagi
siswa demi kelancaran berlangsungnya pelatihan. Mereka menjadi lebih mudah
untuk diberi pengarahan.
Pelatihan ini dibagi menjadi tiga sesi. Sesi pertama, siswa disajikan materi
melalui tayangan power point. Materi yang diberikan saat pelatihan meliputi
definisi wartawan sekolah, karakteristik wartawan, mengenal berita, nilai berita,
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 69
Denpasar, 25-26 September 2018
sumber berita, cara mendapatkan berita, unsur-unsur berita, jenis-jenis berita, cara
menulis berita langsung, cara menulis berita kisah (feature), dan bahasa dalam
ragam jurnalistik. Beberapa pertanyaan diajukan oleh peserta, antara lain,
mengapa tidak semua peristiwa bisa dijadikan berita, bagaimana caranya memilih
judul berita yang menarik, bagaimana caranya menghindari imajinasi dalam fakta,
mengapa kejujuran penting di dalam menulis berita, bagaimana menciptakan
ketegangan di dalam berita yang dibuat, dan banyak lagi pertanyaan yang menarik.
Sesi berikutnya, peserta diwajibkan menyimak tayangan berupa video
tentang wawancara antara beberapa wartawan dengan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, yakni Bapak Muhadjir Effendi. Melalui simakan tadi, peserta
ditugaskan untuk membuat berita secara langsung.
Teori dan Metode
Menurut Gunawan (2014), ragam jurnalistik merupakan salah satu ragam
di dalam bahasa Indonesia. Ragam ini memiliki perbedaan yang mendasar dengan
ragam lainnya, seperti ragam iklan, ragam pidato, dan ragam ilmiah. Ragam
jurnalistik menekankan pada penyampaian informasi yang akurat kepada pembaca.
Oleh sebab itu unsur kecermatan dan kelengkapan informasi penting untuk
diketahui penulis berita.
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif-analitis. Artinya, data
yang ada dideskripsikan dan dianalisis sesuai teori menulis berita langsung.
Menulis berita secara langsung (straight news/spot news) berbeda dengan menulis
berita kisah (feature) dan berita pendalaman (in depth news). Berita langsung
adalah berita yang disajikan secara to the point atau langsung menunjuk kepada
bagian inti terpenting berita.Adapun cara menulis berita secara langsung
menggunakan piramida terbaik.
JUDUL----------------------
TERAS-------------------------
TUBUH---------------------------
EKOR--------------------------------
70 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Analisis
Dari 50 siswa yang mengikuti pelatihan, sekitar 45 siswa mengembalikan
tugas yang diberikan. Artinya, ada sekitar lima siswa yang tidak mengumpulkan
latihan menulis berita. Alasan mereka, antara lain, tidak mampu menangkap
simakan berupa tayangan video yang diberikan dan belum mampu merumuskan
informasi yang diperoleh ke dalam kalimat berita.
Hasil tulisan siswa tersebut dibedah dari tiga aspek, yakni teknik penyajian,
materi berita, dan bahasa. Dari segi teknik penyajian, sebanyak 38 berita yang
dibuat belum mencerminkan penggunaan teknik piramida terbalik. Siswa belum
mampu menempatkan bagian terpenting informasi di awal berita. Sebagian besar
berita tersebut masih menonjolkan unsur when (waktu) yang sebetulnya kurang
penting. Melihatmateri tayangan video tentang wawancara seharusnya unsur what
(apa) yang dikedepankan, yakni mengenai soal UN dengan tipe HOTS. Hanya
delapan (8) berita yang menggunakan piramida terbalik. Itu pun dengan beberapa
kesalahan dalam penggunaan kata sambung, dan sebagainya.
Dari segi materi, siswa memahami unsur menarik dalam suatu berita,
tetapi mereka belum dapat menyajikannya ke dalam bentuk berita langsung. Hal
ini disebabkan mereka belum menguasai teori menulis berita secara langsung
tentang piramida terbalik dan belum adanya kesempatan untuk mempraktikkannya.
Materi berita juga dipengaruhi oleh sifat berita itu sendiri. Apakah berita yang
ditulis digunakan untuk mempengaruhi khalayak, baik disengaja atau tidak. Berita
seperti ini sifatnya mengarahkan. Ada juga berita yang membangkitkan perasaan
publik atau berita yang hanya memberikan informasi tentang suatu keadaan yang
terjadi sehingga memberi gambaran yang jelas kepada publik. Berdasarkan
pembagian sifat berita tersebut, materi yang digunakan sebagai bahan berita
termasuk berita yang memberi informasi kepada publik.
Dari segi bahasa, aspek hemat kata dan memilih kata yang menarik belum
terpenuhi. Masih banyak ditemukan kata mubazir dan kata penat. Menurut Romli
(2010), kata mubazir dan kata jenuh adalah kata-kata yang harus dihindari saat
menulis karya jurnalistik, terutama berita dan artikel opini. Hal ini dilakukan agar
tulisan menjadi lebih singkat dan efektif, serta memenuhi standar bahasa
jurnalistik.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 71
Denpasar, 25-26 September 2018
Bentuk mubazir yang sering ditemukan di dalam bahasa jurnalistik,
misalnya kata ‗adalah‘, telah, untuk, dari, bahwa, dan bentuk jamak. Kesalahan
yang ditemukan di dalam berita yang dibuat siswa, misalnya penggunaan frase
‗pada tanggal‘. Seharusnya cukup 17 April 2018. Ada 15 siswa yang menulis
berita yang menggunakan frase ‗pada tanggal‘. Kesalahan penggunaan kata
sambung juga banyak terjadi, misalnya kata ‗dan‘ yang diletakkan di awal kalimat.
Kata ‗agar‘ ditempatkan di awal kalimat dan tanpa penambahan induk kalimat.
Akibatnya kalimat menjadi tidak lengkap.
Bentuk kata penat (tired word) disebut juga kata jenuh yang meliputi kata-
kata klise dan stereotip. Ungkapan klise yang sering dipakai dalam peralihan
berita, misalnya sementara itu, dapat ditambahkan, perlu diketahui, dalam rangka,
bahwasanya, sehubungan dengan itu, selanjutnya, adapun, yang mana, di mana,
dan sebagai informasi. Dalam berita yang dibuat siswa, terdapat 18 kasus
penggunaan kata penat. Hal ini mungkin disebabkan ketidaktahuan siswa.
Dari segi ejaan juga banyak terjadi kesalahan pemakaian tanda baca,
misalnya tanda koma. Dari segi penulisan kata, seperti stress (enam siswa), jaman
(satu siswa), mentri (dua siswa), risiko, menyontek (masing-masing satu).
Ciri lain bahasa jurnalistik, yakni egaliter atau demokratis juga belum
tampak. Penggunaan kata beliau tidak direkomendasikan dalam bahasa jurnalistik
karena mengesankan adanya hierarki bahasa. Ada sekitar 14 berita yang
menggunakan kata ‗beliau‘.
Simpulan
Secara keseluruhan, hasil tulisan 45 siswa umumnya dapat dikatakan
cukup baik. Sebagian besardapat menulis kalimat dengan menggunakan ejaan
dengan benar. Hanya beberapa siswa yang belum mengetahui ejaan. Mereka juga
sudah dapat menyusun kalimat lengkap berpola S-P-O-K. Meskipun demikian ada
tiga siswa yang mengalami masalah dengan segi penalaran kalimat.
Dalam menulis berita secara langsung, mereka masih mengalami sejumlah
hambatan, seperti ketidaklengkapan dan ketidakcermatan informasi yang
diperoleh. Hal ini terjadi karena mereka tidak menyimak video yang ditayangkan
dengan baik. Beberapa peserta juga belum dapat membedakan inti berita dengan
72 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
informasi tambahan. Mereka umumnya belum terbiasa menulis berita dengan
struktur menulis berita yang mencakup judul, teras, tubuh, dan ekor. Mereka juga
belum bisa membedakan jenis-jenis berita, yaitu berita langsung, berita kisah, dan
berita pendalaman.
Melalui kegiatan pengabdian berupa pelatihan keterampilan jurnalistik ini,
secara umum pengetahuan yang diperoleh adalah siswa dapat mengenali berita,
siswa juga mengetahui nilai suatu berita, siswa tahu bagaimana memperoleh
berita, dan yang paling penting adalah siswa dapat menulis berita dengan baik.
Saran
Pengetahuan yang diberikan kepada siswa melalui kegiatan pelatihan ini
sesungguhnya baru berupa dasar-dasar kemahiran di bidang jurnalistik. Kegiatan
pelatihan seperti ini masih perlu ditingkatkan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
Eneste, Pamusuk. 2012. Buku Pintar Penyuntingan Naskah. Jakarta: PT Gramedia
Gunawan, M. 2014. Seandainya Saya Wartawan Tempo. Jakarta: Tempo
Publshing.
Romli, Asep Syamsul M. 2010. Bahasa Media. Bandung:Baticpress.
Rosihan, Anwar. 2004. Bahasa Jurnalistik Indonesiadan Komposisi. Yogyakarta:
Media Abadi.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 73
Denpasar, 25-26 September 2018
IDEOLOGI BUDAYA MARITIM DALAM PIDATO
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
I Gusti Ayu Gde Sosiowati
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Artikel yang berjudul ‗Ideologi Budaya Maritim dalam Pidato Menteri
Kelautan dan Perikanan ― ini bertujuan untuk memaparkan bagaimana budaya
maritim dikemas dalam suatu pidato yang bertujuan untuk menunjukkan betapa
pentingnya memelihara kekayaan alam untuk kesejahteraan bangsa sampai
generasi yang akan datang. Oleh karena pidato merupakan komunikasi antara dua
pihak, pidato akan menggunakan tindak tutur yang melibatkan tindak ilokusi.
Teori Tindak Tutur yang digunakan adalah teori dari Searle (1979), yang akan
digunakan untuk mengetahui tindak tutur apa saja yang digunakan untuk
mengemas ideologi budaya maritim dalam pidato itu. Teori Tindak Tutur yang
dikemukakan oleh Searle (1979) mengelompokkan tindak tutur menjadi
Representatif, Deklaratif, Komisif, Direktif, Ekspresif. Oleh karena pidato ini
merupakan ajakan dan perintah untuk menjaga laut dan ikan di bumi Indonesia,
analisis dengan menggunakan teori yang disebut di atas akan menunjukkan tindak
tutur apa saja yang digunakan untuk menyampaikan ideologi kepada
pendengarnya sehingga pendengarnya dapat menerima dan menjalankannya
dengan penuh tanggung jawab. Artikel ini juga akan membahas kata kerja
performatif apa saja yang digunakan dalam pidato tersebut dengan menggunakan
teori Pragmatik dari Leech (1983).
Kata kunci: budaya maritim, fungsi bahasa, ideologi, pidato, tindak tutur
1. PENDAHULUAN
Budaya maritim adalah pemberdayaan potensi laut untuk kepentingan
masyarakat luas sementara ideologi budaya maritim adalah suatu pemikiran untuk
menjaga wilayah laut Indonesia yang diyakini kebenarannya dan harus
dilaksanakan oleh segenap rakyat Indonesia. Pemberdayaan ini berada di bahwa
tanggung jawab Kementerian kelautan dan Perikanan. Menteri Kelautan dan
Perikanan saat ini yaitu Susi Pudjiastuti memandang bahwa kondisi maritim di
Indonesia sudah sangat kacau. Banyak terjadi pencurian ikan dan penggunaan
pukat hela oleh nelayan asing yang sangat merugikan para nelayan Indonesia.
Oleh karena itu Menteri Susi Pudjiastuti menganggap kondisi itu perlu diperbaiki.
Cara yang ditempuhnya adalah mengajak jajaran Kementrian Kelautan dan
Perikanan untuk bekerja keras memperbaiki keadaan itu demi kesejahteraan
74 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
masyarakat Indonesia. Menteri Susi menganggap bahwa laut adalah harta
kekayaan Negara yang sanggup menghidupi rakyatnya sampai 1000 tahun
kemudian (Puti Aini Yasmin, 17 Desember 2017, m.detik.com). Untuk semakin
menggugah kesadaran jajaran Kementrian Kelautan dan Perikanan akan tugasnya
untuk menjaga wilayah maritim Indonesia, beliau menyampaikan pidato di
Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada saat menjadi inspektur upacara
pada tanggal 17 Agustus 2017 dalam rangka Hari Ulang Tahun Negara Kesatuan
Republik Indonesia ke-72. Pidato ini pada dasarnya ingin mengubah sikap dan
perilaku anggota KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan) sehingga pidato ini
dikatagorikan memiliki fungsi instrumental (Mulyana, 2010). Menteri Susi ingin
siapapun yang mendengar pidatonya mengetahui bahwa semua yang
disampaikannya adalah informasi berdasarkan fakta yang layak diketahui publik.
2. METODOLOGI
Sumber data artikel ini adalah sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan
Susi Pudjiastuti yang disampaikan pada saat menjadi inspektur upacara pada
Peringatan hari Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke-72 tanggal
17 Agustus 2017. Alasan menggunakan pidato ini sebagai sumber data adalah
karena artikel ini membahas ideologi budaya maritim dan Menteri Susi mengajak
staf dan pegawai di jajaran KKP untuk meningkatkan tanggung jawab karena
maju atau mundurnya sektor kelautan dan perikanan adalah tanggung jawab
mereka.
Struktur pidato yang terdiri atas Pembukaan, Isi dan Penutup dibahas
dengan menggunakan pendapat Nanda (www.materikelas.com) yang menyatakan
bahwa pembukaan pidato biasanya berisi salam pembuka, ucapan penghormatan
dan ucapan syukur, Isi mengandung pembahasan inti dari topik yang disajikan,
dan Penutup biasanya berisi simpulan, permintaan maaf dan salam penutup.
Analisis tentang tindak tutur dan tindak ilokusi yang digunakan dalam pidato
tersebut dilakukan dengan menggunakan teori Tindak Tutur dari Searle (1979)
yang menyatakan bahwa tindak tutur dikelompokkan menjadi (1) Representatif
yaitu tindak tutur yang menyatakan apa yang dipercaya sebagai suatu kebenaran
(2) Deklaratif yaitu tindak tutur yang bisa mengubah suatu keadaan dengan
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 75
Denpasar, 25-26 September 2018
menggunakan kekuasaan yang dimiliki, (3) Komisif, yaitu tindak tutur yang
diproyeksikan untuk menyatakan apa yang akan dilakukan di masa yang akan
datang (4) Direktif, yaitu tindak tutur yang digunakan untuk membuat lawan
bicara melakukan apa yang diinginkan oleh pembicara, dan (5) Ekspesif, yaitu
tindak tutur untuk menyatakan perasaan. Pengelompokan tindak tutur yang
disampaikan oleh Searle (1979) sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Yule
(2000). Tindak tutur dapat dikembangkan menjadi tindak ilokusi yaitu fungsi
bahasa. Untuk melihat apakah tindak tutur itu dilakukan secara langsung atau
tidak langsung, analisis tentang kata kerja performatif juga akan dilakukan. Leech
(1983) mengatakan bahwa kata kerja performatif adalah kata kerja yang secara
eksplisit menyatakan aktifitas yang akan dilakukan.
Untuk analisis data, pidato Menteri Susi akan dipilah berdasarkan struktur,
kemudian fungsi-fungsi bahasa yang digunakan dalam pidato itu akan dibahas dan
penggunaan performative verbs. Analisis data untuk artikel ini dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut: (1) menyajikan konteks situasi pidato ini, (2) menyajikan
data, (3) menganalisis data berdasarkan struktur pidato, (4) menganalisis data
berdasarkan fungsi bahasa, dan (5) menganalisis penggunaan kata kerja
performatif
3. ANALISIS
3.1. Konteks Situasi Pidato Menteri Susi Pudjiastuti
Pidato Menteri Susi disampaikan dalam upacara perayaan Hari Ulang Tahun
Kemerdekaan Republik Indonesia ke -72 pada tanggal 17 Agustus 2017 di
Kementrian Kelautan dan Perikanan
(https://kkp.go.id>uploads>2017/08>SAMBUTAN.....)
Pidato ini disampaikan di hadapan staf kementerian tersebut akan tetapi juga
ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia dengan tujuan semuanya ikut
berpartisipasi dalam usaha menjaga kedaulatan kelautan Indonesia mengingat laut
adalah harta kekayaan Negara yang sanggup mensejahterakan rakyat. Melalui
pidatonya, Menteri Susi ingin mengimplementasikan ideolog budaya maritim
76 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
kepada seluruh jajaran KKP dan juga seluruh masyarakat. Pidato ini merupakan
komunikasi antara Menteri Susi dan semua pendengarnya.
3.2. Analisis Pidato Berdasarkan Struktur, Fungsi, dan Kata kerja Performatif
Analisis pidato tentang ketiga hal di atas dilakukan bersamaan untuk lebih
efektif dan efisien. Pidato ini dibagi atas tiga bagian utama yaitu Pembukaan Isi
dan Penutup.
PEMBUKAAN
Data 1
Ekspresif (Memberi salam) Assalammualaikum Wr Wb
Selamat Pagi,
Salam Sejahtera Untuk Kita Semua
(Memberi salam kepada semua yang mendengar pidatonya)
Data 2
Direktif (Mengajak)
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas rahmat dan ridho-Nya, kita dapat bertemu pada
Upacara bendera dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke-72
Kemerdekaan Republik Indonesia, dengan tema "Indonesia Kerja
Bersama".
(Mengajak mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan
menggunakan kata kerja performatif ‗marilah‘)
Data 3
Expresif (Mengucapkan terima kasih)
Upacara peringatan Hari Ulang Tahun ke-72 Kemerdekaan Republik
Indonesia yang kita selenggarakan tiap tahun ini merupakan wujud rasa
syukur kita kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Rahmat dan
Karunia-Nya kepada bangsa Indonesia karena telah menjadikan
Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Selain itu,
merupakan momentum yang tepat untuk mengingatkan kita kembali
kepada jasa-jasa para pahlawan dan seluruh rakyat Indonesia di masa lalu
yang telah mengorbankan jiwa, raga dan harta mereka demi sebuah cita-
cita dan harapan untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan bagi diri
dan keturunannya melalui pintu gerbang kemerdekaan Indonesia.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 77
Denpasar, 25-26 September 2018
(Mengucapkan terima kasih kepada para pahlawan dan rakyat Indonesia yang
sudah berkorban untuk memerdekakan Negara ini dari penjajah.)
ISI
Data 4
Representatif (Menyampaikan kebenaran yang diyakini)
Indonesia merupakan sebuah negeri yang dianugerahkan berbagai nikmat
oleh Tuhan YME, salah satunya berupa luasnya wilayah laut dengan
berbagai kekayaan dan potensi di dalamnya.
(Kebenaran yang diyakini oleh Menteri Susi tentang luas dan kayanya laut
Indonesia)
Data 5
Direktif (Perintah)
Salah satu tugas dan kewajiban kita sebagai abdi negara adalah menjaga
dan mengelola titipan nikmat tersebut dengan sebaik-baiknya dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagaimana
tertulis dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi ―Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.‖
(Sebagai pemimmpin di KKP, Menteri Susi memerintahkan aparatnya untuk
menjalankan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945)
Data 6
Representatif ( menyatakan)
Nenek moyang bangsa Indonesia telah memiliki peradaban dan budaya
yang tinggi sejak masa Sebelum Masehi (SM), oleh karenanya telah
dikunjungi oleh berbagai bangsa asing melalui jalur pelayaran di Laut.
Zaman dahulu Indonesia telah memiliki pelabuhan laut dan pelabuhan
sungai yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari negeri lain. Para
pendahulu kita menyadari betul pentingnya kedaulatan maritim bagi
bangsa Indonesia, sehingga mengeluarkan sebuah konsep tentang
wilayah laut negara kepulauan Indonesia dalam Deklarasi Djuanda tahun
1957. Perjuangan bangsa Indonesia agar konsep Deklarasi Djuanda
diterima dunia Internasional akhirnya berbuah hasil pada UNCLOS 1982
yang mengukuhkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang berdaulat.
Bahwa laut Indonesia merupakan pemersatu dan bukan pemisah negara,
sehingga tercipta sebuah kedaulatan yang utuh bagi bangsa Indonesia
dalam menentukan masa depannya.
78 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Para pendahulu kita telah menunaikan kewajibannya dengan sangat baik,
yang hanya mungkin berhasil dengan dukungan dan kerja sama seluruh
rakyat Indonesia.
(Menyatakan keyakinan para pendahulu bangsa tentang pentingnya kedaulatan
maritime yang pada akhirnya mengukuhkan Indonesia sebagai Negara kepulauan
yang berdaulat yang menganggap bahwa laut bukan pemisah melainkan
pemersatu bangsa. Kata kerja performatif yang digunakan adalah ―mengukuhkan‘)
Data 7
Direktif (Mengajak)
Tugas kita hari ini adalah melanjutkan perjuangan para pahlawan
terdahulu untuk membangun Indonesia dengan penuh tanggung jawab.
Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki tanggung jawab terhadap
sektor kelautan dan perikanan di Indonesia dan kita adalah bagian dari
maju dan mundurnya sektor kelautan dan perikanan Indonesia.
(Menteri Susi mengajak aparatnya untuk melanjutkan perjuangan membangun
Indonesia melalui sector kelautan dan perikanan)
Data 8
Representatif (Mengklaim)
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah berupaya menjaga Sumber
Daya Perikanan di Indonesia dengan mengeluarkan kebijakan yang
mengatur tentang alat penangkapan ikan, cara penangkapan ikan dan
berbagai kebijakan lain yang mungkin tidak populer. Tapi kita bekerja
bukan untuk popularitas, melainkan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia
khususnya para nelayan itu sendiri. Terlihat dari adanya peningkatan
Nilai Tukar Nelayan dari 108.24 di tahun 2016 menjadi 110.35 di
Triwulan ke-II tahun 2017. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang kita
kerjakan selama ini sudah tepat, meskipun dalam melaksanakannya
tidaklah mudah.
(mengklaim bahwa KKP sudah mengeluarkan peraturan penangkapan ikan dan
beberapa peraturan lain yang tidak disukai oleh masyarakat meskipun peraturan
itu dibuat untuk kesejahteraan masyarakat.)
Data 9
Direktif (Memerintah)
Kita harus merapatkan barisan, saling bekerja sama, bahu-membahu
dalam mengelola kelautan dan perikanan di Indonesia.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 79
Denpasar, 25-26 September 2018
(Memerintahkan untuk terus bekerja sama memajukan kelautan dan perikanan
Indonesia. Sudah sepantasnya seorang pimpinan memberikan perintah ini demi
teraplikasinya budaya maritim di Indonesia)
Data 10
Komisif (Merencanakan)
Ke depan, kita akan mulai menekankan pada pengembangan sektor
perikanan budidaya, agar dapat memproduksi pakan ikan sendiri dengan
harga yang lebih murah.
(Merencanakan pengembangan perikanan budidaya untuk meningkatkan produksi
pakan ikan sehingga meringankan beban biaya sektor perikanan)
Data 11
Direktif (Mengajak)
Bukanlah hal yang mudah untuk mengeluarkan dan mengawal kebijakan
yang tidak biasa di masyarakat. Namun jika hal tersebut untuk
kepentingan rakyat Indonesia dan generasi di masa depan, maka kita
harus tetap bahu membahu melaksanakan hal tersebut.
Menyadarkan masyarakat akan pentingnya Perikanan yang berkelanjutan
memanglah tidak mudah. Namun, hendaknya seluruh masyarakat
kelautan dan perikanan mulai dari nelayan, pembudidaya, stakeholder,
dan berbagai unsur lainnya menyadari tentang pentingnya dan
manfaatnya bagi anak cucu kita di masa depan. Hendaknya kita bahu-
membahu, mengerjakan peran masing-masing sebaik mungkin dan
bekerja sama menciptakan sebuah sinergi yang harmoni agar tercapai
tujuan demi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
(Mengajak aparatnya dan seluruh masyarakat Indonesia untuk menyadari
pentingnya perikanan yang berkelanjutan bagi bangsa dan generasi di masa
depan)
Data 12
Ekspresif (Memberi penghargaan)
Dalam kesempatan kali ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga
akan memberikan penghargaan Tanda Kehormatan……..
(Memberi penghargaan dengan menggunakan kata kerja performatif ‗memberikan
(penghargaan)
80 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Data 13
Ekspresif (Memberi penghargaan)
Saya ucapkan selamat kepada para penerima penghargaan, semoga
menjadi motivasi untuk terus berbuat lebih dan bermanfaat bagi
masyarakat.
(Memberi selamat dengan menggunakan kata kerja performatif ‗ucapkan‘)
PENUTUP
Data 14
Ekspresif (Menyatakan harapan)
Demikian amanat saya, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa
memberikan bimbingan, kekuatan, dan perlindungan-Nya kepada kita
semua dalam melanjutkan tugas pengabdian kepada negara dan bangsa
Indonesia tercinta.
(Menyatakan harapan agar dalam mengabdi kepada bangsa dan Negara selalu
mendapat perlindungan dari Tuhan Yang maha Esa.
Data 15
Ekspresif (Memberi selamat)
Akhir kata saya ucapkan “Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-72”.
(Memberi selamat untuk HUT-RI yang ke -72 dengan menggunakan kata kerja
performatif ‗ucapkan‘)
4. SIMPULAN
Analisis di atas menunjukkan bahwa secara struktur, Menteri Susi tidak
mengucapkan ucapan penghormatan karena beliau adalah orang dengan
kepangkatan tertinggi di tempat tersebut. Di bagian penutup juga tidak terucap
permohonan maaf karena dengan posisinya, hal tersebut tidak perlu dilakukan.
Tindak tutur yang paling banyak digunakan adalah tindak tutur Direktif . Hal ini
sudah sepantasnya karena tujuan pidato beliau adalah untuk mengajak dan
memerintahkan aparatnya untuk bekerja memajukan sektor kelautan dan
perikanan guna menanamkan ideologi budaya maritim di seluruh lapisan
masyarakat Indonesia Kata kerja performatif yang digunakan hanya ‗marilah‘
(Direktif – mengajak), ‗mengukuhkan‘ (Representatif – menyatakan), dan
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 81
Denpasar, 25-26 September 2018
‗ucapkan (Ekspresif – memberi penghargaan). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ajakan untuk melaksanakan ideologi budaya maritim sebagian
besar dilakukan dengan menggunakan tindak tutur tidak langsung.
5. DAFTAR PUSTAKA
Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London and New York :
Longman
Mulyana, Deddy.2010. Ilmun Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung:PT.
Remaja Rosdakarya Offset
Nanda, Refsa. 2016. ―Teks Pidato (Pengertian, Metode, Struktur, dan Contoh
Pidato). (www.materikelas.com). 7 Januari 2016
Searle, J.R. 1979. Expression and Meaning. Cambridge: Cambridge University.
Yule, George. 2000. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.
https://kkp.go.id>uploads>2017/08>SAMBUTAN.....
Yasmin, Puti Aini, 17 Desember 2017, m.detik.com.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 82
Denpasar, 25-26 September 2018
CITRA DIRI PADA TEKS VERBAL MEDIA KAMPANYE PILGUB BALI
I Gusti Ngurah Parthama, Ni Luh Kade Yuliani Giri
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Paper ini bertujuan untuk mendeskripsikan citra diri yang terdapat pada teks
verbal pada media kampanye pemilihan gubernur (pilgub) Bali. Citra diri
merupakan bagian media kampanye yang berkaitan dengan informasi seorang
kandidat calon pemimpin daerah. Citra diri memberikan nilai positif bagi seorang
kandidat pemimpin. Dengan citra diri yang baik memberikan kesempatan
kandidat pemimpin untuk menarik perhatian calon pemilih. Dengan peran tersebut,
pemilihan kosakata berkaitan dengan citra diri mempunyai suatu ideologi tertentu.
Ideologi yang dimaksud tentunya tidak lepas dari upaya menuju arah kekuasaan.
Sehingga media kampanye menjadi suatu media untuk menjembatani nilai – nilai
ideologi dan kekuasaan dari seorang kandidat pemimpin. Untuk itulah pemilihan
kosakata dengan citra diri menjadi suatu pilihan dalam sebuah media kampanye.
Sumber data paper ini diambil dari media kampanye pemilihan gubernur (pilgub)
Bali. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi
dengan teknik pemotretan, pemilahan, pembacaan rinci, dan pengelompokan.
Metode analisa data yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Metode
tersebut ditujukan untuk mendeskripsikan data – data yang secara kualitatif
berkaitan dengan pemilihan kosakata citra diri. Simpulan yang diperoleh adalah
citra diri yang dimunculkan pada media kampanye lebih menonjolkan pada
kelebihan seorang kandidat dibandingkan dengan kandidat lainnya. Citra diri
tersebut dimunculkan dengan pemilihan kosakata – kosakata tertentu yang
menggambarkan kelebihan seseorang dibandingkan orang lain. Selain citra diri
yang berkaitan dengan pribadi, citra diri lain yang juga muncul adalah citra diri
yang berhubungan dengan kandidat pemimpin dengan para pemilihnya. Dalam hal
ini pencitraan berhubungan dengan kelompok masyarakat dan tidak hanya
memfokuskan pada kandidat pemimpin.
Kata kunci: citra diri, media kampanye, teks verbal
PENDAHULUAN
Media kampanye merupakan media promosi serupa media iklan pada
umumnya. Hanya, media kampanye lebih menekankan pada sisi politis. Bahasa
dalam media kampanye tentunya mempunyai nilai – nilai ideologis yang berkaitan
dengan pribadi kandidat pemimpin. Habnoer (2009) mengungkapkan keterkaitan
bahasa, ideologi, dan kekuasaan. Bahasa mempunyai ideologis tertentu dan
ideologi – ideologi tersebut berkaitan dengan kekuasaan. Sehingga secara
sederhana dapat disimpulkan bahwa bahasa mempunyai keterkaitan dengan
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 83
Denpasar, 25-26 September 2018
kekuasaan. Apalagi jika dikaitkan dengan bahasa – bahasa melalui diksi – diksi
tertentu yang mencerminkan suatu citra diri kandidat pemimpin. Pilihan diksi
tertentu memiliki keterkaitan dengan nilai ideologis dan nilai itu mengarahkan
pada suatu model kekuasaan yang hendak diraihnya. Lebih lanjut diungkapkan
bahwa faktor – faktor lain juga berhubungan dengan pemilihan diksi atau
kosakata pada media kampanye seperti sikap, keyakinan, dan nilai tertentu. Selain
itu bahasa – bahasa yang digunakan pada media kampanye juga dikaitkan dengan
beragam informasi, propaganda, pencitraan, sekaligus persuasi bagi calon pemilih.
Dalam hal ini tujuan pencitraan dan persuasi lebih mengarah pada upaya menarik
perhatian para pemilih.
Tujuan untuk menarik perhatian para pemilih menjadikan media
kampanye sudah seharusnya mempunyai syarat tertentu. Syarat yang dimaksud
adalah pemilihan kata dan kalimat yang memberikan nilai tambah bagi seorang
kandidat pemimpin daerah. Dengan nilai tambah tersebut maka seorang kandidat
kepala daerah yang berkampanye melalui media kampanye dianggap memiliki
nilai, kapabilitas, dan kemampuan yang berbeda dibandingkan dengan kandidat
pemimpin lainnya. Habnoer (2009) juga membagi secara umum model wacana
tertulis yang muncul pada media kampanye. Model wacana yang dimaksud adalah
model persuasi, propaganda, dan realita jati diri. Ketiga model wacana menjadi
ciri khas sebuah media kampanye. Ciri tersebut biasanya muncul secara
bersamaan atau hanya berisikan satu atau dua model dalam satu media kampanye.
Media kampanye menjadi satu model pencitraan diri seorang kandidat
pemimpin. Hal tersebut dikarenakan melalui media kampanye seorang kandidat
dapat berinteraksi secara tidak langsung. Seorang kandidat dapat menyampaikan
suatu informasi yang berkaitan dengan dirinya maupun pembangunan di
daerahnya. Dalam hal ini seorang kandidat pemimpin dapat bersikap subyektif
atau obyektif terhadap kondisi dirinya maupun pembangunan di wilayahnya.
Habnoer (2009) lebih lanjut mendeskripsikan citra diri ditonjolkan melalui
pemilihan kosakata – kosakata tertentu. Kosakata itu meliputi kosakata seperti
muda, cerdas, berpengalaman, kompeten, dan intelektual. Sedangkan citra diri
yang lebih menonjolkan sisi emosional ditunjukkan dengan muda dan perempuan.
Selanjutnya kosakata yang diklasifikasikan sebagai wujud perjuangan yang
84 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
dimunculkan pada media kampanye biasanya seperti kesejahteraan rakyat,
kepentingan rakyat, kesehatan gratis, pendidikan gratis, pendidikan terjangkau,
harkat dan martabat petani dan nelayan, kesetaraan perempuan, harkat
perempuan, keterwakilan perempuan, dan kejujuran.
METODELOGI PENELITIAN
Sumber data dari paper ini diambil dari media kampanye berupa baliho
kampanye calon gubernur (cagub) dan wakil gubernur (cawagub) Bali. Baliho
kampanye yang dipilih adalah baliho kampanye yang berhubungan dengan baliho
sosialisasi cagub dan cawagub. Metode pengumpulan data adalah menggunakan
metode dokumentasi dengan teknik perekaman dan teknik pemilahan data.
Selanjutnya, metode analisa data dengan menggunakan metode deskriptif
kualitatif. Dalam hal ini teknik yang digunakan adalah teknik deskripsi berkaitan
dengan pilihan – pilihan kosakata pada media kampanye baliho cagub dan
cawagub.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Citra diri yang dibahas pada paper ini lebih menekankan pada tiga
karakteristik yang muncul pada wacana politik. ketiga karakteristik tersebut
menurut Keraf (dalam Habnoer, 2009) adalah karakteristik yang menekankan
pada propaganda terhadap pembaca, membangun realitas terhadap diri sendiri,
dan upaya merebut hati dan simpati calon pemilih. Dalam hal ini, wacana iklan
politik merupakan bentuk atau upaya persuasi yang dilakukan seorang calon
pemimpin atau seseorang yang hendak berkuasa terhadap para pemilihnya dengan
menawarkan gagasan, ide, atau solusi terhadap hal – hal yang terdapat di sekitar
mereka. Tiga media kampanye berikut merupakan contoh dari citra diri
yang berkaitan dengan propaganda kepada pembaca. Secara umum, Keraf (dalam
Habnoer, 2009) mendefinisikan propaganda terhadap pembaca berisikan
informasi terkait kepercayaan dan kepantasan seorang cagub – cawagub.
Propaganda terhadap pembaca juga memberikan kesan, perasaaan, dan gambaran
mengenai calon pemimpin kepada para pemilihnya. Hal tersebut biasanya
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 85
Denpasar, 25-26 September 2018
berkaitan dengan kredibilitas dan kompetensi yang dimiliki oleh cagub –
cawagub.
Ketiga media kampanye baliho di atas berisikan propaganda kepada
pembaca dengan menekankan pada kepercayaan dan kepantasan. Bentuk
kepercayaan dan kepantasan yang dimaksud adalah dengan melabeli cagub –
cawagub melalui pilihan diksi tertentu. Citra diri gubernur pilihanku, sudah
terbukti, dan gubernur harapan rakyat Bali memberikan kesan, perasaan, dan
gambaran secara khusus terhadap kredibilitas dan kompetensi masing – masing
cagub – cawagub. Sementara itu, dua data media kampanye berikutnya
tergolong kepada citra diri dengan karakteristik pada merebut simpati dan hati
calon pemilih. Keraf (dalam Habnoer, 2009) mengemukakan citra diri seperti ini
biasanya mempunyai deskripsi realitas yang subyektif dan obyektif. Citra diri
yang dimunculkan dari seorang calon pemimpin umumnya lebih menarik dan
berkesan.
Upaya merebut simpati dan hati calon pemilih dari kedua data media
kampanye di atas dimunculkan pada pilihan diksi bangkit bergerak berjuang
bersama untuk Bali dan ngiring sareng KBS – ACE nyikiang pikayun ngewangun
jagat Bali sane metaksu medasar antuk adat, agama, tradisi, seni, lan budaya.
Memilah realitas secara subyektif dan obyektif, maka kedua data media kampanye
86 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
di atas memiliki kedua realitas. Realitas subyektif dan obyektif cenderung dimiliki
oleh data media kampanye sisi kanan. Sedangkan realitas secara obyektif dan
lebih netral terdapat pada data sebelah kiri. Pilihan kata pada bangkit bergerak
berjuang bersama untuk Bali memberikan makna menggugah dan persuasif.
Bentuk ajakan terlihat jelas pada citra diri tersebut. Sedangkan pada data media
kampanye sisi kiri memiliki informasi lebih lengkap. Menggunakan bahasa Bali,
citra diri yang dimunculkan sudah berisikan kesan menggugah, informatif, dan
persuasif dengan teks verbal ngiring sareng KBS – ACE nyikiang pikayun
ngwangun jagat Bali sane metaksu medasar antuk adat, agama, tradisi, seni, lan
budaya.
Citra diri yang mengkombinasikan dua karakteristik terdapat pada data
media kampanye di bawah. Citra diri yang dimunculkan menekankan pada citra
diri berupa propaganda terhadap pembaca dan citra diri dengan realitas pada diri
sendiri. Data media kampanye di bawah menggabungkan keduanya dengan dua
model ujaran verbal yaitu pemimpin harapan rakyat Bali dan keseimbangan doa
(MANTRA) untuk kesejahteraan (KERTA) masyarakat Bali.
Citra diri berupa propaganda terhadap pembaca disampaikan melalui teks
verbal pemimpin harapan rakyat Bali. Secara umum, citra diri itu telah
memberikan kepercayaan dan menyematkan kepantasan tentang suatu jabatan
terhadap seorang calon pemimpin. Ujaran verbal tersebut juga mempunyai
karakter positif, berkesan, dan menarik perhatian pembaca. Kesan positif yang
dibentuk merupakan kesan positif calon pemimpin di hadapan pembaca.
Sementara itu, realitas diri sendiri terbangun melalui penggunaan simbol nama
calon pemimpin yang dikaitkan dengan kondisi masyarakat saat ini. Teks verbal
keseimbangan doa (MANTRA) untuk kesejahteraan (KERTA) masyarakat Bali
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 87
Denpasar, 25-26 September 2018
menempatkan simbol nama cagub – cawagub tertentu yang dikaitkan dengan
kondisi masyarakat Bali secara umum. Hal ini memberikan suatu bentuk interaksi
sosial menurut Keraf (dalam Habnoer, 2009) antara calon pemimpin dan para
pemilihnya. Namun, realitas yang dimunculkan lebih mengutamakan realitas
subyektif. Sehingga simbol penamaan cagub – cawagub dapat disesuaikan dengan
keadaan masyarakat Bali pada umumnya.
SIMPULAN
Citra diri yang dibentuk dalam teks – teks verbal pada media kampanye
cagub – cawagub Bali lebih menekankan pada bentuk propaganda kepada
pembaca atau calon pemilih. Pemilihan diksi – diksi tertentu memberikan
gambaran positif, kesan baik, serta menarik perhatian para pemilih. Citra diri yang
terbentuk merupakan suatu model dari upaya persuasif dari calon pemimpin untuk
menampilkan kesan dan gambaran positif. Sehingga dengan demikian, salah satu
upaya wacana iklan politik sebagai suatu bentuk persuasif dalam komunikasi
politik dapat terakomodasi.
DAFTAR PUSTAKA
Dyer, Gillian. 1993. Advertising as Communication. New York: Routledge.
Habnoer, Sultan. 2009. Bahasa Pencitraan Dalam Wacana Iklan Kampanye Calon
Anggota Legislatif 2009 dalam Jurnal Wacana Kritis, ISSN 0853 – 3563,
volume 14, nomor 2, Juli 2009. Diunduh pada tanggal 2 September 2013.
Mahayani, Ni Putu Sri. 2013. Kekuatan Bahasa Verbal dan Nonverbal Dalam
Iklan Layanan Masyarakat dalam Dinamika Bahasa Media Televisi,
Internet Dan Surat Kabar, editor Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S. Denpasar:
Udayana University Press.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2009. Analisis Wacana
Pragmatik Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 88
Denpasar, 25-26 September 2018
HEGEMONI BUDAYA DALAM PRAKTIK KEKUASAAN MARITIM
I Ketut Darma Laksana
Fakultas Imu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Indonesia lebih percaya diri lagi menyebut negerinya sebagai negara
maritim. Selain alasan yang logis bahwa tiga per empat wilayahnya berupa lautan
juga karena terdapat narasi besar di balik gagasan yang dicanangkan oleh
pemerintah bahwa laut dapat memberikan kemakmuran bagi rakyat. Sehubungan
dengan itu, tepat pula gagasan yang dilontarkan oleh pemerintah saat ini dengan
menyebut Indonesia sebagai poros maritim dunia.. Inilah yang disebut hegemoni,
pengaruh kepemimpinan, dominasi kekuasaan, dengan pemimpinnya yang
melihat jauh ke depan manfaat yang diberikan oleh laut. Makalah ini mencoba
melihat ideologi di balik hegemoni yang direpresentasikan ke dalam kebijakan
pemerintah dalam mengelola potensi dunia kemaritiman Indonesia. Hal ini perlu
diungkapkan untuk menjawab ―protes‖ yang disampaikan oleh sebagian kecil
anggota masyarakat tentang dua hal berikut. Pertama, mengapa kapal-kapal asing
yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) harus
ditenggelamkan, bukan sebaiknya dibagikan kepada para nelayan. Kedua,
mengapa yang dibangun tol laut bukan bendungan. Dalam upaya mengungkap
ideologi yang tersembunyi di balik kebijakan pemerintah perlu dilakukan
―pembongkaran‖ atas wacana yang disampaikan untuk menangkis kedua protes
terebut.. Untuk itu, metode yang diterapkan adalah metode ―dekonstruksi‖,
sebagaimana yang dikenal dalam teori Pos-Strukturalisme/Posmodernisme. Hasil
kajian memperlihatkan bangunan ideologi pemerintah bahwa kekayaan bumi,
termasuk laut, dan tol yang dibangun digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
Kata kunci: hegemoni, bahasa, budaya, ideologi
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Bumi yang dihuni oleh manusia sekitar tujuh puluh persen (70%) berupa
lautan. Wilayah Indonesia juga sekitar 70% ditutupi oleh laut dibandingkan
dengan daratan yang hanya 30%. Dalam buku berjudul Pelestarian Lingkungan
Hidup, berdasarkan ―Tafsir Alquran Tematik‖ (2012), eksistensi laut digambarkan
sebagai: (1) bagian dari dunia kita, (2) tanda kemahakuasaan Tuhan, (3) sumber
penghidupan manusia, (4) prasarana transfortasi, dan (5) potensi bencana (hlm.
29—53). Laut sebagai bagian dari dunia kita berarti bahwa bumi yang dihuni oleh
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 89
Denpasar, 25-26 September 2018
manusia, yakni daratan, berdampingan dengan laut. Laut sendiri di dalamnya
hidup berbagai biota yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam kehidupannya.
Laut sebagai tanda kemahakuasaanTuhan berarti bahwa tidak ada kekuatan
yang sehebat apa pun, kecuali Tuhan Yang Mahakuasa, yang mampu menciptakan
bumi ini yang terdiri atas daratan dan lautan. Manusia yang berakal sehat akan
meyakinkan dirinya bahwa laut dan aneka kehidupan yang ada di dalamnya pasti
diciptakan oleh Yang Mahakuasa. Laut dikatakan sebagai sumber penghidupan
manusia karena di dalamnya terdapat bermacam-macam biota, tidak saja ikan
yang dapat dikonsumsi tetapi juga barang-barang yang lebih mahal harganya,
seperti mutiara, yang digunakan oleh manusia sebagai perhiasan. Laut dikatakan
sebagai prasarana transfortasi karena laut merupakan wilayah yang paling mudah
digunakan untuk mengoperasikan berbagai jenis alat transfortasi, seperti perahu,
kapal, sampan, dan rakit.
Terakhir, laut berpotensi menimbulkan bencana, seperti tsunami, karena
manusia sendiri tidak bisa menjaga lingkungan. Sebagai contoh, manusia
melakukan penghancuran hutan-hutan bakau (mangrove) atau perusakan karang,
yang masing-masing berfungsi untuk menahan gelombang. Pengetahuan manusia
sangat terbatas, manusia tidak mampu memprediksi kapan dan di mana akan
terjadi tsunami. Dari kelima eksistensi laut tersebut, dua di antaranya yakni laut
sebagai sumber penghidupan manusia dan laut sebagai prasarana transfortasi
mendapat prioritas untuk dikaji.
1.2 Masalah
Polemik yang terjadi akhir-akhir ini, sebagai dampak perpolitikan di
Indonesia, berawal dari ―protes‖ yang disampaikan oleh sebagian kecil anggota
masyarakat mengenai dua hal berikut. Pertama, mengapa kapal-kapal asing yang
melakukan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) harus ditenggelamkan,
mengapa tidak diberikan kepada nelayan saja. Kedua, mengapa yang dibangun tol
laut, mengapa bukan bendungan untuk kepentingan irigasi. Pertanyaan yang perlu
dijawab ialah ideologi apa yang ada di balik ―wacana‖ pemerintah melakukan dua
hal yang telah menjadi polemik itu?
90 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
1.3 Tujuan
Pertikaian politik yang terjadi di Indonesia saat ini harus diakui dimulai dari
kelompok masyarakat yang ―kontra‖ pemerintah. Bagi orang-orang yang
termasuk golongan ini, tidak ada cara lain, mereka akan berusaha mencari-cari
kelemahan pemerintah, sekecil apa pun. Sehubungan dengan itu, makalah ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif kepada mayarakat
bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah tidak lain demi perbaikan kehidupan
rakyat secara keseluruhan. Eksistensi laut sebagai sumber penghidupan manusia
dan prasarana transfortasi, keduanya dapat memberikan manfaat dalam
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Wilayah laut yang luasnya 70% itu jika
dikelola dengan tepat diyakini dapat menciptakan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
1.4 Urgensi
Makalah ini disusun berkaitan dengan protes yang disampaikan oleh
sekelompok kecil anggota masyarakat yang belum memahami benar ―narasi
besar‖ yang dibangun oleh pemerintah. Pemerintah yang sedang bekerja keras
dalam usaha meningkatan kesejahteraan rakyat serta memeratakan pembangunan
di tanah air perlu didukung. Oleh karena itu, hadirnya makalah ini diharapkan
dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat agar konflik yang berkembang
selama ini dapat dihentikan.
2. Landasan Teori
Teori yang diterapkan dalam mengungkap makna-makna di balik wacana
yang dibangun oleh pemakai bahasa adalah Teori Kritis, sebagaimana yang
dipraktikkan oleh penganut teori Pos-Strukturalisme/Posmodernisme. Derrida
sebagai salah tokohnya menolak pandangan Strukturalisme bahwa hubungan
antara kata/penanda dan makna/petanda bersifat arbitrer. Menurut Derrida, makna
suatu kata terbuka untuk makna yang lain, kemungkinan adanya ―motivasi‖ oleh
pemakai bahasa. Kata selalu mengandung dalam dirinya sendiri jejak makna lain
(lihat Sim dan van Loon, 2008:64-65 dan 88-89). Pandangan dalam
Posmodernisme/Pos-Strukturalisme juga penting diterapkan dalam menelaah
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 91
Denpasar, 25-26 September 2018
ideologi di balik wacana yang diproduksi. Dalam Teori Kritis, ideologi itu sendiri
dapat dikaji melalui konsep ―hegemoni‖ yang tercermin dalam wacana. Pemikiran
Antonio Gramsci tentang konsep ―hegemoni‖ (lihat Sim dan van Loon, 2008:36-
37) di sini dikembangkan untuk menjelaskan dua hal berikut. Pertama, bagaimana
kelas penguasa menggunakan dominasinya. Kedua, bagaimana cara kerja
pemberdayaan budaya oleh pemerintah.
3. Metode
Dalam mengungkap makna-makna di balik wacana yang dibangun oleh
pemerintah mengenai kebijakan peningkatan taraf hidup rakyat dan pemerataan
pembangunan diterapkan metode ―dekonstruksi‖. Dekonstruksi atau
pembongkaran perlu dilakukan untuk melihat motivasi apa yang ada di balik
wacana yang disampaikan, baik yang kontra maupun yang pro pemerintah.
Pemikiran dari kedua belah pihak masing-masing memiliki alasan. Namun,
apakah alasan itu dapat diterima atau tidak. Dalam hal ini memang telah terjadi
―perebutan simpati‖ rakyat demi kepentingan politik. Metode dekonstruksi
berupaya melakukan pembongkaran terhadap wacana yang dibangun, namun
kemudian disusun kembali dengan narasi yang dapat diterima oleh nalar yang
sehat. Di sini harus dipahami benar kebijakan pemerintah menyangkut dunia
kemaritiman kita. Seperti diketahui, puluhan tahun berlalu identitas laut kita tidak
jelas, kapal-kapal asing bebas menangkap ikan karena ―dilindungi‖, konon oleh
oknum tertentu, atau dengan dalih berbagi hasil. Wacana yang berkembang
mengandung pesan bahwa kekayaan laut harus dikelola oleh bangsa sendiri
karena dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, seperti ikan-ikan
yang ada di laut, harus dimiliki dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia
bukan oleh orang luar. Adanya wacana pembangunan tol laut yang dibangun oleh
pemerintah dalam kenyataannya juga merupakan ―revitalisasi identitas budaya
‖maritim. Seperti diketahui, pemerintah telah memprioritaskan pembangunan tol
laut di wilayah Indonesia timur dengan tujuan agar sirkulasi pengiriman barang-
barang keperluan hidup sehari-hari, bahan-bahan bangunan, bahan bakar minyak
(BBM) tidak memerlukan waktu yang lama yang berakibat pada tingginya harga.
92 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
4. Pembahasan
4.1 Revitalisasi Identitas Maritim Melalui Bahasa
Revitalisasi identitas maritim disampaikan oleh pemerintah mengadung
ideologi yang berikut. Pertama, kekayaan laut dalam wilayah Indonesia adalah
milik bangsa Indonesia. Oleh karena itu, tidak boleh ada bangsa lain yang
melakukan tindakan yang melanggar, dalam hal ini penangkapan ikan secara
ilegal (illegal fishing). Kekayaan laut diperuntukkan bagi
kemakmuran/kesejahteraan rakyat. Bandingkan kedua kelompok wacana di bawah
ini.
Klompok A
(1) Megapa kapal-kapal asing yang melakukan penangkapan ikan secara
illegal harus ditenggelamkan.
(2) Mengapa kapal-kapal tersebut tidak diberikan kepada para nelayan
kita.
(3) Kelompok B
(4) Kapal-kapal asing yang menangkap ikan di perairan laut kita tidak
dilengkapi dokumen yang sah.
(5) Pembagunan tol laut bertujuan untuk meningkatkan keadilan social
bagi seluruh rakyat.
Wacana pada Kelompok A merupakan protes dari kelompok kecil
masyarakat yang ditujukan kepada pemerintah dengan maksud memperoleh
simpati dari masyarakat. Pemberian kapal-kapal asing itu kepada nelayan,
terutama yang belum memiliki kapal, dapat membantu nelayan dalam
matapecahariannya sebagai penangkap ikan. Sementara itu, wacana pada
Kelompok B merupakan balasan dari pemerintah. Pemahaman atas bentuk wacana
seperti itu bersifat linguistis karena maknanya langsung diperoleh dari
diksi/pilihan kata yang memang ―memihak‖ pada rakyat . Kemudian,
pembangunan tol laut bukan berarti pemerintah mengesampingkan pembangunan
bendungan, Pembangunan bendungan tetap berjalan, pembagunan tol laut
tampaknya menjadi prioritas dengan tujuan mengangkat harkat dan martabat
masyarakat terutama yang ada di Indonesia timur (Papua).
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 93
Denpasar, 25-26 September 2018
Sesuai dengan pandangan teori kritis, wacana di atas tidak terlepas dari
konteks situasi politik.. Jadi, ada motivasi berupa pencarian simpati dari rakyat.
Namun, kedua kelompok wacana tersebut memperlihatkan perbedaan motivasi.
Wacana Kelompok A bermotivasi negatif, sedangkan wacana Kelompok B
bermotivasi positif.
4.2 Revitalisasi Identitas Maritim Melalui Budaya
Budaya kita mengajarkan bahwa memiliki sesuatu dengan cara ilegal tentu
tidak dibenarkan, terutama dilihat dari sudut agama. Banyak kejadian yang
serupa, seperti impor elegal bawang dari luar negeri, penyitaan ganja dan
sejenisna, oleh pemerintah diambil tindakan pemusnahan. Dengan demikian, hasil
usaha yang diperoleh secara tidak sah tidak sesuai dengan budaya dan ajaran
agama.
Perhatian yang besar dari pemerintah untuk memeratakan pembangunan di
seluruh negeri dengan konsep ―kemakmuran untuk seluruh rakyat‖ berjalan sesuai
dengan harapan masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, hegemoni yang
dimiliki oleh pemerintah memperkuat ideologi penguasa dalam rangka
menyejahterakan rakyat secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan sila kelima dari
dasar Negara kita, Pancasila, yaitu ―Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia‖.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 94
Denpasar, 25-26 September 2018
SITUS KAPAL U.S.A.T LIBERTY DI PANTAI TULAMBEN DALAM
PERSPEKTIF ARKEOLOGI MARITIM DAN PARIWISATA
I Ketut Setiawan
Prodi Arkeologi FIB Universitas Udayana
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang situs kapal U.S.A.T Liberty yang karam di Pantai
Tulamben, Karangasem. Keberadaan situs kapal ini penting artinya bagi arkeologi
maritim, karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, dan kebudayaan. Pada dewasa ini, keberadaan situs kapal tersebut
terjadi tarik menarik kepentingan antara kepentingan ekonomi dengan
kepentingan pelestariannya. Fenomena budaya ini menarik untuk dikaji dari
perspektif arkeologi maritim dan pariwisata.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan situs kapal U.S.A.T Liberty
dalam perspektif arkeologi maritim. Sedangkan metode yang digunakan adalah
metode kualitatif dengan format desain pengumpulan data, analisis data,
interpretasi, dan penyajian laporan penelitian. Data primer diperoleh melalui
observasi lapangan dan wawancara, sedangkan data sekunder diperoleh melalui
studi pustaka dan dokumen. Proses pengolahan dan analisis data meliputi
pemilahan data, reduksi data, pemaparan dan interpretasi, serta penarikan
simpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa situs kapal U.S.A.T Liberty mempunyai
peranan yang sangat penting bagi arkeologi maritim. Situs kapal ini tidak saja
memiliki arti penting bagi pengembangan arkeologi maritim, tetapi juga memiliki
arti penting bagi pariwisata, khususnya pariwisata budaya. Komersialisasi terjadi
secara langsung dan tidak langsung oleh masyarakat, pemerintah daerah, dan
pengusaha. Komodifikasi terjadi pada elemen-elemen sumberdaya budaya,
sumberdaya alam dan sumberdaya manusia.
Kata kunci: Kapal U.S.A.T Liberty, Arkeologi Martim, Pantai Tulamben,
Pariwisata
1. Pendahuluan
Desa Tulamben berada pada posisi di bagian timur laut wilayah Pulau
Bali.Secara topografis lokasi Tulamben berada dalam lingkungan fisik daerah
pantai, tidak jauh dari kaki Gunung Agung.Secara umum, berdasarkan
karakteristik wilayah Desa Tulamben terbentuk oleh empat elemen topografi,
yakni elemen gunung, lembah, dataran, dan pantai.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 95
Denpasar, 25-26 September 2018
Elemen topografi gunung terpampang pada bagian paling barat, yakni
bagian dari kaki sebelah timur laut Gunung Agung.Elemen topografi lembah
berada pada bagian timur mulai dari puncak Gunung Agung dengan alur turun ke
arah timur bermuara di pantai Tulamben.Elemen topografi dataran berada pada
bagian timur kaki Gunung Agung membentang dari arah barat-timur dan utara
selatan, dan merupakan konsentrasi pemukiman penduduk Desa Tulamben.
Elemen topografi pantai merupakan batas wilayah darat Desa Tulamben dengan
laut yang membentang dari barat ke timur dengan kondisi berbatu (Adhityatama,
2012).
Garis pantai mulai dari wilayah batas desa berbentuk melengkung sampai di
sungai Abu, setelah itu menuju ke arah timur membentuk daratan menjorok ke
laut (Tanjung Muntik).Makin ke timur topografi garis pantai membentuk teluk-
teluk dan tanjung dengan batas akhir adalah teluk Emerald.Wilayah perairannya
berada setelah garis pantai dengan radius horizontal 500 meter ke arah utara, dan
dengan radius horizontal sekitar 3000 meter ke arah timur-barat (Mustika,
2012:14).
Salah satu sumberdaya budaya yang dimanfaatkan dan dikelola sebagai
daya tarik wisata di daerah ini adalah situs kapal United State Army Transport
Liberty (Selanjutnya disingkat U.S.A.T Liberty). Kapal U.S.A.T Liberty
merupakan sebuah bangkai kapal milik angkatan Darat Amerika Serikat. Pada
masa Perang Dunia II (1942-1945), dalam perjalanannya membawa
logistikuntukkepentingan tentara sekutu dari Australia menuju Filipina ditorpedo
oleh kapal selam Jepang Submarine I-166 di Selat Lombok pada tanggal 11
Januari 1942. Di dalam penyelamatan menuju pelabuhan di Singaraja, kondisi
kapal semakin rusak, dan akhirnya kandas di perairan pantai Desa Tulamben.
Keberadaan artefak bangkai kapal dari garis pantai posisinya berada pada
jarak sekitar 60 meter ke arah laut lepas.Secara umum, kondisi kapal saat ini telah
banyak ditumbuhi karang-karang laut, sehingga besi-besi kapal tidak tampak
dengan jelas.Posisi kapal berada pada kedalaman 10 meter dan dalam kondisi
miring ke arah laut lepas.Kerusakan kapal akibat hantanam forpedo masih jelas
kelihatan, dimana pada bagian tengah lambung kapal telah tercerai-berai, dan
96 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
beberapa unsur badan kapal telah terlepas dari kesatuannya (Dep. Kelautan dan
Perikanan, 2013).
2. Pembahasan
2.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Situs Kapal U.S.A.T Liberty
Persepsi dalam konteks ini diartikan dengan tanggapan langsung atas
sesuatu dari masyarakat Tulamben tentang keberadaan situs kapal U.S.A.T
Liberty sebagai situs yang menarik dalam upaya pengembangan pariwisata. Situs
ini dianggap memiliki nilai ekonomi yang dapat memberi kesejahteraan pada
masyarakat. Dalam konteks sebagai sebuah situs yang dimanfaatkan untuk
kepentingan pariwisata dapat diasumsikan bahwa secara self perception anggapan
tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya tarik bagi wisatawan serta
munculnya inisiatif untuk melindunginya.Upaya perlindungan terhadap ruang,
sumberdaya budaya, dan sumberdaya alam diwujudkan dalam bentuk regulasi
lokal (perarem). Terkait dengan perlindungan dan pelestarian situs, disebutkan
beberapa poin larangan sebagai berikut:
(1) Larangan tidak boleh memancing pada radius 100 meter di sekitar lokasi
kapal tenggelam
(2) Larangan untuk tidak mengambil sisa-sisa kapal yang rusak untuk
kepentingan komersial.
(3) Larangan untuk tidak mengganggu trumbu karang yang tumbuh dan
berkembang pada dinding-dinding kapal yang berdampak rusaknya bangkai
kapal, dan
(4) Larangan mengambil batu-batu yang ada di sekitar kawasan pantai (Tenaya,
2015:89-90).
Dalam implementasinya, perarem tersebut berlaku bagi warga masyarakat
setempat maupun warga dari luar Desa Tulamben, termasuk para wisatawan tanpa
memandang status sosial.Peraturan ini ternyata sangat efektif, bahkan bagi yang
melanggar dikenakan sanksi sosial dikucilkan dari adat dan sanksi ritual
keagamaan sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan
(Wawancara dengan Bendesa Adat Tulamben, I Nyoman Kariasa pada tanggal 16
Mei 2018).
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 97
Denpasar, 25-26 September 2018
Kendatipun kapal U.S.A.T Liberty telah lama karam di perairan pantai Desa
Tulamben, masyarakat lokal tak pernah membayangkan bahwa kapal tersebut
dapat memberi berkah seperti sekarang ini. Makin hari wisatawan makin banyak
mengunjungi situs kapal ini, sehingga akhirnya masyarakat bersama para pemuka
desa membentuk organisasi pelayan tamu (porter). Pengelolaan diatur oleh desa
adat dengan ketentuan dan kesepakatan sistem bagi hasil, 20% untuk desa adat
dan 80% menjadi bagian mereka.
Pada dewasa ini upaya pengembangan situs terus dilakukan, baik oleh
pengusaha asing, nasional, dan lokal.Lahan-lahan yang dipandang strategis
dibangun hotel/bungalow/villa, restoran dan fasilitas lainnya terkait dengan wisata
selam.Bangunan-bangunan fasilitas tersebut hampir seluruhnya terkonsentrasi di
sepanjang garis pantai.
Situs kapal U.S.A.T Liberty sebagai daya tarik wisata juga didukung oleh
keindahan alam bawah air maupun panorama alam wilayah daratan.Kekayaan
sumberdaya pesisir dan laut merupakan aset penting yang mendukung situs untuk
menarik para wisatawan.Dari tujuh titik lokasi penyelaman di Tulamben, situs
tempat karamnya kapal tersebut merupakan destinasi utama bagi para wisatawan/
penyelam.Hasil observasi lapangan merupakan bahwa tidak kurang dari 70.000
wisatawan berkunjung setiap tahun di situs ini (Disbudpar, 2014).Berdasarkan
data jumlah kunjungan wisatawan di situs Tulamben perhari, perbulan, pertahun,
sudah saatnya di antisipasi secara lebih dini demi kesinambungan pemanfaatan
sumberdaya alam, sumberdaya budaya, sumberdaya manusia demi berkelanjutan
ekonomi secara adil dan merata.
2.2 Produk Daya Tarik Situs Kapal U.S.A.T Liberty
Desa Tulamben beserta wilayah perairannya memiliki daya tarik
tersendiri.Dua komponen pokok yang menjadi daya tarik wisata utama bagi
wisatawan adalah tinggalan kapal dengan ekosistem bawah air dan keindahan
alam.Tinggalan kapal U.S.A.T Liberty menjadi daya tarik utama wisatawan
karena tinggalan ini memiliki nilai sejarah, arkeologi, dan kemaritiman.Di
perairan ini diperkirakan ada sekitar 400 spesies ikan karang mendiami kapal
karam tersebut.Perpaduan keindahan antara wilayah perairan dengan wilayah
98 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
daratan dan dilatari oleh Gunung Agung memberi nuasan dan kesan tersendiri
bagi wisatawan yang berkunjung ke tempat ini.
Atraksi keindahan biota bawah air yang spesifik adalah pada enam buah
titik lokasi spot dive yang tersebar di sepanjang wilayah perairan pantai
Tulamben. Keenam sport dive yang dimaksud adalah Corral Garden, Alamanda,
The River, Drop Off, Batu Kelebit, dan Teluk Emerald (Tenaya, 2015:152).
Tempat-tempat ini adalah tempat-tempat yang sangat indah untuk
menyelam.Sebagaimana telah dipahami bahwa situs kapal U.S.A.T Liberty
tergolong ke dalam salah satu sumberdaya budaya yang dilindungi oleh regulasi
formal, yakni UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya. Sumberdaya budaya yang
dilindungi sudah tentu karena memiliki unsur-unsur yang bernilai penting dan
telah memenuhi kriteria sebagai benda cagar budaya, yaitu (1) berusia 50 tahun
atau lebih, (2) memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,
agama, dan kebudayaan, dan (3) memiliki nilai budaya bagi penguatan
kepribadian bangsa (Anonim, 2010).
Seiring dengan perjalanan waktu sebagai destinasi wisata, praktik
pemanfaatan situs cenderung didominasi oleh kepentingan
pariwisata.Pemanfaatan bagi kepentingan pariwisata tentu berdampak positif bagi
ekonomi masyarakat.Bangkai kapal U.S.A.T Liberty telah menjadi sebuah
komoditas yang dijual kepada wisatawan untuk menghasilkan uang.Produk adalah
segala sesuatu yang bisa ditukar dengan prinsip mencari keuntungan atau dijual
secara ekonomis. Di sisi lain, pemanfaatan bagi kepentingan pariwisata secara
dominan justru akan berdampak negatif bagi berkelanjutan dan keberadaan
bangkai kapal itu sendiri. Asumsi negatif akibat kunjungan wisatawan bagi
bangkai kapal beserta lingkungannya dapat diketahui berdasarkan jumlah
kunjungan wisatawan setiap hari rata-rata sekitar 100-200 orang. Banyaknya
wisatawan yang berkunjung dan bangkai kapal sebagai daya tarik, sudah tentu
akan berdampak kurang menguntungkan bagi situs serta lingkungan sekitarnya.
Sesuai dengan UU No. 11/2010 tentang cagar budaya, upaya perlindungan dan
pelestarian wajib dilakukan oleh semua pihak. Perlindungan adalah upaya
pencegahan dari kerusakan, kehancuran, dengan cara penyelamatan, pengamanan,
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 99
Denpasar, 25-26 September 2018
dan pemeliharaan cagar budaya. Di lain pihak, memanfaatkan adalah
mendayagunakan benda cagar budaya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.
3. Penutup
Keberadaan situs kapal U.S.A.T Liberty di perairan Tulamben sangat
penting artinya bagi arkeologi maritim.Situs ini wajib dilindungi, dikembangkan,
dilestarikan, bahkan dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, budaya,
dan ekonomi.Komodifikasi ruang di lingkungan darat dan bawah air situs kapal
U.S.A.T Liberty di era globalisasi telah membawa arti positif bagi masyarakat
Tulamben dan sekitarnya, yaitu memberikan perubahan pada taraf kehidupan
yang lebih baik. Sumberdaya budaya, sumberdaya alam, dan sumberdaya
manusia, telah mengalami proses transformasi dari modal budaya, modal sosial,
menjadi model ekonomi. Di dalam lingkaran kapitalis, situs kapal U.S.A.T
Liberty adalah sebagian komoditas yang sangat potensial dijual di pasar sehingga
bisa mendatangkan uang. Sementara dari sudut pandang ilmu pengetahuan,
khususnya arkeologi maritim, situs kapal U.S.A.T Liberty adalah aset budaya
yang sangat penting artinya dan wajib dilindungi, dipelihara dan dilestarikan,
untuk kepentingan penelitian baik masa kini maupun masa yang akan datang.
Daftar Pustaka
Adhitatama, 2012.Model Jalur Penyelaman Kapal Karam U.S.A.T Liberty di
Tulamben, Karangasem (Skripsi). UGM.Yogyakarta.
Anonim. 2010. UURI No. 11/2010 tentang Cagar Budaya. Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala.
Mustika, Kusuma. 2012. Kajian Kondisi Kelautan Provinsi Bali.Denpasar: Balai
Riset dan Observasi Kelautan Bali.
Picard, Michel. 2006. Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta:
Ecole Francaise Extreme Orient.
Tenaya, I Wayan Gede Yadnya. 2015. Komodifikasi Situs Kapal U.S.A.T Liberty
di Era Global di Desa Tulamben (Tesis). Denpasar: Program Studi S2
Kajian Budaya.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 100
Denpasar, 25-26 September 2018
KECENDERUNGAN PEMAKAIAN BAHASA BALI SEBAGAI CERMIN
IDENTITAS MASYARAKAT DI DAERAH PARIWISATA NUSA DUA
I Made Rajeg, Ni Luh Sutjiati Beratha, Ni Wayan Sukarini
Udayana University
ABSTRAK
Perkembangan pariwisata dan teknologi informasi diduga dapat
berpengaruh pada pemakaian bahasa Bali di kalangan masyarakat, terutama di
daerah pariwisata akibat dari adanya kontak bahasa dengan wisatawan nusantara
maupun wisatawan asing. Pemakaian bahasa Bali bercampur bahasa lain, seperti
bahasa Indonesia, bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya merupakan salah satu
akibat dari kontak bahasa tersebut. Seringnya pemakaian bahasa campuran dapat
berakibat pada berkurangnya intensitas pemakaian bahasa Bali. Bahkan, hal
tersebut dapat berakibat pada marginalisasi bahasa Balisebagai wadah identitas
dan kebudayaan Bali.
Makalah ini bertujuan untuk melihat bahasa-bahasa yang digunakan oleh
masyarakat di daerah pariwisata Nusa Dua dalam berkomunikasi pada ranah
keluarga, ketetangaan, pendidikan, agama, jejaring, dan kognisi. Data diperoleh
dari masyarakat Bali di Nusa Dua melalui observasi, wawancara dan kuesioner.
Metode pengumpulan dan analisis data yang digunakan ialah metode kualitatif
didukung dengan metode kuantitatif.
Hasil analisis menunjukkan bahwa masyarakat Bali di daerah pariwisata
Nusa Dua cenderung memakai bahasa Bali sebagai media berkomunikasi di antara
masyarakat Bali, baik pada ranah keluarga, ketetanggaan, pendidikan, agama,
maupun ranah kognisi. Namun, terdapat kecenderungan untuk memilih bahasa
Indonesia dan bahasa asing untuk berkomunikasi pada ranah jejaring.
Kata Kunci: pariwisata, teknologi, pemakaian, bahasa Bali
1. Pendahuluan
Perkembangan pariwisata dan teknologi informasi membawa dua pengaruh
yang berbeda dan tidak dapat dihindari, yaitu pengaruh baik dan pengaruh yang
kurang baik. Pengaruh baik dari perkembangan pariwisata, khususnya di Bali
berupa meningkatnya taraf hidup masyarakat. Sedangkan pengaruh yang kurang
baik dari perkembangan pariwisata dan teknologi, salah satunya berupa pengaruh
yang tidak sesuai dengan kebudayaan kita.
Dilihat dari sudut pandang bahasa, perkembangan pariwisata dan teknologi
informasi diikuti dengan meningkatnya interaksi antara masyarakat dengan
wisatawan sehingga terjadi kontak bahasa antara wisatawan nusantara maupun
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 101
Denpasar, 25-26 September 2018
wisatawan mancanegara yang menyebabkan munculnya kedwibahasaan, bahkan
multibahasa pada masyarakat, terutama masyarakat di daerah pariwisata. Hal ini
berhubungan erat dengan pilihan bahasa dan pemakaian bahasa yang dilakukan
oleh masyarakat. Pemakaian bahasa yang mantap akan mampu mempertahankan
bahasa pertama. Akan tetapi, jika pemakaian bahasa kurang mantap, maka akan
terjadi pergeseran bahasa. Sebuah bahasa dikatakan bertahan jika bahasa tersebut
masih dipilih dan dipakai pada ranah – ranah penggunaan bahasa oleh para
penuturnya. Indikator yang dapat digunakan untuk menandai bahwa sebuah
bahasa bertahan atau bergeser ialah peggunaan bahasa tersebut (Fishman 1968).
Fenomena pemakaian bahasa Bali di kalangan anak-anak orang Bali
menunjukkan bahwa pada umumnyamereka berbahasa Indonesia dan jarang
berbahasa Bali. Atmadja (2005:67) mengatakan bahwa anak-anak mengalami
kesulitan berbahasa Bali alus walaupun di sekolah telah diajarkanbahasa Bali alus.
Selain di sekolah, penggunaan bahasa Bali juga sudah sering disosialisasikan
melalui tayangan televisi lokal. Selain anak-anak, orang Bali dewasa juga sering
mengalami kesulitan dalam berbahasa Bali alus. Dengan demikian mereka
memakai bahasa campuran, yakni bahasa Bali bercampur dengan bahasa
Indonesia atau bahasa Inggris, terutama di desa-desa yang termasuk dalam daerah
wisata (Keriana, 2004).
Bertitik tolak dari fenomena di atas, makalah ini bertujuan untuk
mendiskripsikan bahasa-bahasa yang digunakan oleh masyarakat di daerah
pariwisata Nusa Dua dalam berkomunikasi pada ranah keluarga, ketetanggaan,
pendidikan, agama, jejaring, dan kognisi.Masyarakat yang dipilih sebagai
responden ialah mereka yang berusia 18 tahun sampai 60 tahun yang bahasa
pertamanya ialah bahasa Bali. Mereka menetap di daerah Nusa Dua sejak daerah
ini dikembangkan sebagai daerah pariwisata sejak tahun 1980an.
2. Konsep Dasar dan Kajian Pustaka
Kecenderugan pemilihan dan pemakaian bahasa disebabkan oleh adanya
beberapa bahasa, dialek, variasi, maupun gaya yang dikuasi dan dipilih oleh
masyarakat untuk berkomunikasi dalam ranah-ranah tertentu. Pemilihan satu
102 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
bahasa tertentu dimotivasi oleh tujuan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
seseorang dalam berkomunikasi, seperti faktor sosial dan budaya.
Menurut Wardough (2006:86-102), ada tiga kategori pilihan bahasa.
Pertama, memilih salah satu variasi dari satu bahasa yang sama. Misalnya,
memilih salah satu variasi bahasa Bali halus, madia, atau akrab. Kedua, beralih
kode, maksudnya menggunakan satu bahasa pada satu kesempatan dan
menggunakan bahasa yang lain pada kesempatan lainnya dalam satu peristiwa
komunikasi. Ketiga, bercampur kode, artinya menggunakan satu bahasa
tertentubercampur dengan serpihan-serpihan bahasa lain.
Evin-Tripp (1972) mengidentifikasi empat faktor yang menandai pilihan
bahasa penutur dalam berinteraksi sosial, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan
situasi, (2) partisipan dalam interaksi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi
interaksi. Faktor pertama dapat berupa waktu makan di rumah besama keluarga,
waktu rapat di desa/kelurahan, waktu belajar di sekolah, dan waktu berbelanja di
pasar. Faktor kedua, mencakup usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial
ekonomi, dan peran masing-masing dalam hubungan dengan mitra tutur.
Misalnya, hubungan formal atau informal, hubungan berjarak atau hubungan
akrab. Faktor ketiga, dapat berupa topik percakapan tentang pekerjaan, prestasi
anak-anak, peristiwa-peristiwa aktual, dan topik hargabarang di pasar. Faktor
keempat berupa fungsi, seperti menawarkan informasi, memohon, menyatakan
kebiasaan rutin (salam, meminta maaf, atau mengucapkan terima kasih).
Sehubungan dengan pilihan bahasa, Seri Malini dkk (2018) menemukan
bahwa generasi muda di daerah destinasi wisata Sanur, Ubud, dan Kuta cenderung
memilih bahasa Bali sebagai media komunikasi pada ranah keluarga, ketetanggan,
pendidikan, dan agama. Penelitian tersebut belum mencakup pilihan bahasa pada
ranah kognisi atau pikiran sebagai ranah yang memotivasi pilihan bahasa pada
ranah yang lebih konkrit. Selain itu, penelitian tersebut tidak membahas pilihan
bahasa ketika seseorang berkomunikasi pada ranah jejaring, seperti
ketikamengirim pesan singkat dan menelpon, dan lain-lain.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 103
Denpasar, 25-26 September 2018
3. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang memanfaatkan
kombinasi metode observasi, wawancara, dan survey. Bentuk data yang
digunakan ialah data lisan yang diperoleh melalui observasi, wawancaradengan
informan dan responden yang berdomisili di daerah pariwisata Nusa Dua.
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data ialah instrumen manusia
(peneliti) dan instrumen berupa kuesioner. Responden penelitian ini berjumlah 37
orang. Mereka menetap di daerah pariwisata Nusa Dua dan memiliki kontak
bahasa dengan wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Data yang
terkumpul dianalisis berdasarkan teori pilihan bahasa yang dikemukakan oleh
Wardough (2006).
4. Hasil dan Diskusi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan pilihan bahasa
masyarakat di daerah pariwisata Nusa Dua dapat dideskripsikan seperti di bawah
ini.
1) Pilihan dan pemakaian bahasa pada ranah keluarga
Ditinjau dari sudut pandang ranah keluarga, kecenderungan pilihan bahasa
masyarakat di daerah pariwisata Nusa Dua menunjukkan bahwa bahasa Bali (BB)
menjadi pilihan utama msyarakat dalam berkomunikasi dengan anggota keluarga.
Secara kuantitatif ditunjukkan bahwa 64,86% sampai dengan 86.49% responden
memilih BB untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga. Secara terperinci
dapat dijelaskan bahwa 86,49% responden memilih BB untuk berkomunikasi
kepada ayah dan ibu mereka, 94,59% kepada kakek, 97,30% kepada nenek,
83,78% kepada adik, dan 64,86% kepada kakak.
Bahasa berikutnya yang dipilih oleh responden ialah bahasa Indonesia(BI).
Sebanyak 5,41% responden menggunakan BI ketika berbicara kepada ayah,
2,70% kepada ibu dan nenek, 8,11% kepada adik, dan 16% kepada kakak.
Sementara itu, tidak ada responden yang memakai BI untuk berkomunikasi
kepada kakek mereka. Pemakaian bahasa campuran, BB dan BI di lingkungan
keluarga sangat minimum, yaitu 8.11% kepada ayah, 5,41% kepada ibu dan adik,
104 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
dan 2,70% kepada kakak. Tidak ada responden yang memilih bahasa campuran
untuk berkomunikasi dengan kakek dan nenek. Sementara itu, hanya 2,70%
responden memakai bahasa asing untuk berkomunikasi di lingkungan keluarga,
khususnya hanya kepada ibu mereka.
Kecenderungan pemakaian BB pada ranah keluarga sebagai pilar utama
pemertahanan bahasa merupakan hal hal yang positif bagi keberlangsungan BB.
Hal ini mengindikasikan bahwa BB bertahan sangat kuat sebagai wahana
pemertahanan identitas dan nilai budaya Bali pada masyarakat di daerah
pariwisata Nusa Dua. Pengaruh BI dan bahasa asing (BA) dapat dipandang
sebagai alternatif untuk memperkaya khazanah BB.
2) Pilihan dan pemakaian bahasa pada ranah ketetanggaan
Pada ranah ketetanggan, masyarakat di daerah pariwisata Nusa Dua, masih
mempertahankan pemakaian BB untuk berkomunikasi antar tetangga. Ada
81,08% responden yang memilih BB untuk berkomunikasi dengan tetangganya
dan hanya 16,22% masyarakat menggunakan BI untuk berkomunikasi dengan
tetangganya. Sedangkan yang menggunakan bahasa campuran BB dan BI
berjumlah 2,70%.
3) Pilihan dan pemakaian bahasa pada ranah pendidikan
Ranah pendidikan merupakan salah satu ranah yang di dukung dengan
situasi formal. Oleh karena itu, pemakaian BB cenderung dipilih ketika responden
berbicara dengan sesama siswa dari tingkat dasar, menengah, sampai pada tingkat
atas. Sementara itu, BI dipilih ketika responden berbicara dengan guru, baik di
tingkat dasar, menengah, maupun tingkat atas. Sedangkan bahasa campuran, BB
dan BI menjadi pilihan ketiga dan cenderung sangat sedikit. BA maupun bahasa
campuran BB dan BA tidak pernah menjadi pilihan responden dalam
berkomunikasi.
Secara lebih terperinci dapat dijelaskan bahwa 75,68% sampai 83,78%
responden memilih menggunakan BB untuk berkomunikasi dengan sesama siswa.
Sedangkan 2,70% sampai 13,51% responden berkomunikasi dengan guru
memakai BB. Sebaliknya, 64, 58% sampai 70,27% responden memilih memakai
BI untuk berkomunikasi dengan guru. Sementara itu, 2,70% sampai 5,41%
responden menggunakan bahasa campuran BB dan BI ketikan berbicara sesama
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 105
Denpasar, 25-26 September 2018
siswa dan 21,62% responden menggunakan bahasa campuran BB dan BI ketika
berkomunikasi dengan guru.
Kecenderungan yang bersifat opositif ini diduga karena responden bersikap
lebih formal ketika berbicara dengan guru dan bersikap lebih akrab ketika
berbicara sesama teman sekolah. Data kuantitatif yang ditampilkan dapat
menunjukkan bahwa pemakaian masih BB lebih tinggi daripada BI meskipun
situasinya cenderung lebih formal (sekolah).
4) Pilihan dan pemakaian bahasa pada ranah agama
Pemakaian bahasa pada ranah agama pada masyarakat di daerah pariwisata
Nusa Dua didominasi dengan pemakaian BB, baik ketika di rumah, di pura,
maupun ketika berkomunikasi dalam hati. Pelibat yang termasuk dalam ranah
agama, khususnya pada saat berdoa ialah antara responden dengan Tuhan.Ketika
berdoa di rumah, 94,59% responden menggunakan BB, 100% responden
menggunakan BB ketika berdoa di pura, dan 83,78% responden menggunakan BB
ketika berdoa dalam hati. BI digunakan oleh 5,41% responden ketikan berdoan di
rumah dan 10,81% ketika berdoa dalam hati. Sedangkan bahasa campuran BB dan
BI digunakan oleh 5,41% responden hanya ketika berdoa dalam hati. Tidak
seorang pun responden yang menggunakan BA untuk berdoa.
5) Pilihan dan pemakaian bahasa pada ranah jejaring
Salah satu ranah yang termasuk ranah modern ialah ranah jejaring.
Kemajuan teknologi telah menciptakan satu ranah jejaring ini. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada ranah jejaring, BB lebih jarang dipilih dibandingkan
dengan BI. Pada ranah ini, pemakaian bahasa masyarakat di daerah pariwisata
Nusa Dua lebih bervariasi. Mereka menggunakan BB, BI, BB&BI, BA,dan
BB&BA. Namun, pemakaian bahasa didominasi dengan pemakaian BI untuk
berkomunikasi pada ranah jejaring.
Data menunjukkan bahwa hanya 10,81% responden menggunakan BB
untuk berkomunikasi. Sedangkan BI dipilih oleh 62,16% responden untuk
berkomunikasi pada jejaring. Campuran BB &BI dipilih oleh 2,70 responden,
bahasa asing dipilih oleh 16,22 % responden, dan ada 2,70% responden yang
memilih campuran dari BB & BA berkomunikasi pada ranah jejaring.Jadi, dapat
106 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
dikatakan bahwa kemajuan teknologi mampu menggeser sebuah pilihan bahasa,
paling tidak dalam kasus penelitian ini.
6) Pilihan dan pemakaian bahasa pada ranah kognisi
Ranah kognisi adalah ranah yang mencakup kegiatan mental atau otak.
Segala sesuatu yang menyankut kegiatan otak, seperti bermimpi termasuk ranah
kognisi. Pada tataran ranah kognisi, 78,38% responden bermimpi dalam BB dan
hanya 16,22% bermimpi menggunakan BI. Sedangkan pemakaian campuran BB
& BA berjumlah sangat minimum, yaitu 2,70%.
5. Simpulan
Hasil pembahasan membimbing kita untuk sampai pada simpulan bahwa
masyarakat di daerah pariwisata Nusa Dua cenderung memilih BB sebagai bahasa
utama yang digunakan untuk berkomunikasi pada ranah keluarga, tetangga,
pendidikan, agama, dan kognisi. Hal ini, membuktikan bahwa BB mampu
bertahan di lingkungan bahasa-bahasa lain didaerah itu.
Namun, kemajuan teknologi informasitidak terhindarkan dan hal tersebut
mampu sedikit menggeser pilihan utama BB menjadi pilihan kedua dalam
berkomunikasi pada ranah jejaring. Terbukti bahwa BI lebih banyak digunakan
untuk berkomunikasi melalui jejaring dibandingkann dengan BB. Selain itu,
pemakaian BA mulai meningkat pada ranah jejaring ini.
Daftar Pustaka
Atmadja, Nengah Bawa. 2005. Bali pada Era Globalisasi: Pulau Seribu Pura
Tidak Seindah Penampilannya. Singaraja (naskah tidak terbit).
Ervin-Tripp, S. 1972, ‗Sociolinguistic rules of address‘, in Pride, J. And Holmes,
J. (eds.), Sociolinguistics. Harmondsworth: Penguin, pp. 225--41.References
Fishman, J. A. (ed). 1968. Readings in the Sociology of Language. The Hague;
Mouton
Keriana, I K. 2004. ―Campur Kode dalam Pemakaian Bahasa Bali pada Rapat
Adat Desa Pakraman Kedewatan, Ubud, Gianyar.‖ Tesis Jurusan Bahasa,
IKIP Negeri Singaraja.
Seri Malini, NLM. 2018. ―Pilihan Bahasa Generasi Muda di Destinasi Wisata di
Bali‖Jurnal Kajian Bali. Vol 08 No. 01
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 107
Denpasar, 25-26 September 2018
SutjiatiBeratha, N. L., et al. 2013. MenanganiMasalahMarginalisasi Bahasa
Bali: Merancang Model Revitalisasi Bahasa Daerah di Bali. Research
Report. Denpasar: UniversitasUdayana.
Wardhaugh, R. 2006. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil
Blackwell
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 108
Denpasar, 25-26 September 2018
KERAS, KASAR, PEDAS, PENUH GAIRAH
KARAKTERISTIK MASYARAKAT PESISIR
DALAM DRAMA “MALAM JAHANAM” KARYA MOTINGGO BUSYE
I Made Suarsa
Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Malam Jahanam adalah drama karya Motinggo Busye yang pertama kali
terbit tahun 1961. Kata malam dan jahanam yang membangun judul drama satu
babak ini, langsung memberi suasana mencekam yang mewarnai salah satu drama
pada periode perkembangan (1950--1963) ini.
Latar Malam Jahanam adalah perkampungan nelayan pada sebuah pantai di
Pulau Madura dengan tokoh-tokoh: Mat Kontan, Paijah, Soleman, Utai, dan
Tukang Pijat.
Penduduk kampung nelayan ini selalu gembira, walaupun miskin. Rumah
mereka terdiri atas geribik, tonggak bamboo, dan beratap daun kelapa. Suara
mereka keras, gurauannya kasar, bicaranya pedas, dan selalu penuh gairah.
Para lelaki umumnya bercelana katok, baju kaos hitam, berselempang kain
sarung, berkopiah, pandangan mata tajam, dengan golok diikat di pinggang,
mengesankan mereka cepat naik darah.
Para perempuan selalu mengenakan pakaian mencolok yang membalut
tubuh sintalnya, tertawanya keras dengan bibir bergincu tebal sambil tidak henti-
hentinya melemparkan senyum mengundang gairah.
Perilaku yang keras, kasar, pedas, dan penuh gairah sebagai ciri masyarakat
pesisir dalam suasana kemiskinan dan kurangnya pendidikan. Kendatipun
demikian, sebenarnya mereka juga menyimpan kelembutan dan ketulusan hati,
walaupun ketulusan yang agak bodoh.
Kata kunci: jahanam, miskin, gairah
1. Pendahuluan
Ilmu atau studi tentang sastra terdiri atas teori, sejarah, dan kritik sastra.
Dalam konteks studi sastra ini, khususnya sejarah dan kritik sastra, dengan
menerapkan teori-teori sastra, penelitian terhadap drama sebagai salah satu genre
sastra, khususnya dalam sastra Indonesia menjadi penting.
Pentingnya penelitian terhadap jenis drama ini berkaitan dengan keberadaan
drama dalam khazanah sastra Indonesia. Perkembangan drama dalam sastra
Indonesia sangat terlambat dibandingkan dengan jenis puisi dan prosa. Hal ini
berkaitan dengan ketiadaan jenis drama dalam sastra Melayu Klasik. Ketiadaan
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 109
Denpasar, 25-26 September 2018
jenis drama dalam khazanah sastra Melayu Klasik berpengaruh langsung pada
minimnya keberadaan drama dalam khazanah Sastra Indonesia (Suarsa, 1988:2).
Salah satu drama yang banyak mendapat sambutan dari para pencinta dan
pengamat sastra Indonesia adalah drama Malam Jahanam karya Motinggo Busye
yang pertama kali terbit tahun 1961oleh Pustaka Jaya. Menurut Oemarjati
(1971:41), Malam Jahanam termasuk salah satu drama yang terbit pada masa
perkembangan drama di Indonesia (1950—1963).
Penelitian terhadap Malam Jahanam ini penting, di samping salah satu
drama yang paling banyak mendapat sambutan dari pencinta dan pengamat sastra
Indonesia, juga unsur penokohan di dalam drama ini cukup kuat dan menonjol
yang muncul lewat konflik antartokoh dalam sebuah komunitas masyarakat
pesisir di Pulau Madura.Untuk menganalisis unsur penokohan Malam Jahanam ini
diterapkan teori strukturalisme yang menekankan keseluruhan relasi antara
berbagai unsur teks (Endraswara, 2013:51).
Drama satu babak yang dimainkan oleh lima orang tokoh ini (Mat Kontan,
Paijah, Soleman, Utai, dan Tukang Pijat) berhasil menampilkan sisi gelap atau
jahanamnya manusia, di samping juga aspek ketulusan dan kelembutan hati. Mat
Kontan sebagai sebagai protagonis dalam drama ini dikenal sebagai seorang
penjudi besar dan penggila burung. Kecintaannya terhadap burung dan
kegemarannya berjudi terasa semakin jelas ketika anaknya menderita sakit keras,
tetapi ia tidak perduli, bahkan dia dengan tenangnya menimang-nimang burung
perkutut kesayangannya, padahal di sisi lain dia selalu membangga-banggakan
anaknya.
Menurut Oemarjati (1971:115), membaca dan menyimak lakon ini, kita jadi
bisa turut merasakan berubah-uabhnya situasi jiwa Mat Kontan. Di saat ia bangga,
kita ikut membusungkan dada. Namun di saat ia berang, kitapun dicekam
kegeraman. Juga kepasrahannya pada nasib, kita rasakan sebagai kepasrahan yang
mutlak. Ini tentu berkat pemilihan kata-kata dalam percakapannya, sederhana
tetapi tepat. Tepat, karena bisa dirasakan sebagai ungka[pan pribadi pengucapnya.
Kalinan plot Motinggo mengesankan suatu kecermatan penyusunan, sekaligus
menunjukkasn keuletan penempatan momen-momen ketegangan yang pas dan
tepat.
110 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
2. Isi
Dalam drama, klasifikasi tokoh-tokoh dikategorikan menjadi tokoh
protagonis (tokoh utama dalam prosa), tokoh antagonis (tokoh sekunder dalam
prosa), dan tokoh tritagonis (tokoh komplementer dalam prosa). Dalam Malam
Jahanam, tokoh protagonis adalah Mat Kontan, tokoh antagonis adalah Soleman,
dan tokoh tritagonis adalah Paijah, Utai, dan Tukang Pijat.
Tokoh Mat Kontan sebagai seorang penjudi dan pencinta burung begitu
jelas tergambar ketika baru pertama kali tokoh ini muncul dalam cerita
sebagaimana tergambar dalam kutipan berikut.
Dengan membawa sangkar burung, Mat Kontan terbahak
kesenangan. Dan setiba di depan rumah Soleman, ia berhenti.
MAT KONTAN
Hai, Man! Kau masih tidur, ha? (Karena tak disahuti, ia tertawa
lagi). Kalah Cuma lima puluh kok susah! (Menuju sangkar burung
perkutut yang tergantung di senta atap. Ia bersiul menirukan suara
burung itu), Hiphoo! (Mengambil sangkar dan melihat sekeliling), Sudah
hampir malam nih! Kau mesti tidur, Tut, sekarang kau sudah dicarikan
bini. Nih!(Ia menunjukkan sangkar yang baru dibawa). Jah? (Ia tertawa
lagi), Paijah? (Karena tak mendengar sahutan ia masuk ke dalam
rumahnya).
Suara tawa dan omongan yang tak jelas terdengar dari rumah itu.
Kemudian Mat Kontan keluar dalam siul perkutut. Setelah ia duduk di
ambinnya, menggaruk-garuk kudis di kakinya.
Tiba-tiba matanya disilaukan oleh cahaya senter yang menyorot ke
matanya dari tempat kelam.
Siapa itu! Siapa itu! (hlm.19)
Karena Malam Jahanam merupakan drama satu babak yang lebih
menonjolkan konflik antartokoh, maka dimensi psikologis (kejiwaan) tokoh-tokoh
yang lebih ditonjolkan dibandingkan dimensi fisiologis (fisik) dan dimensi
sosiologis (sosial). Begitu cintanya Mat Kontan dengan burungnya, maka ketika
salah seekor burungnya mati, ia marah besar dan memaki-maki Utai (sebagai
cermin sikapnya yang keras, pedas, dan kasar) yang tidak setuju dengan sikap Mat
Kontan yang ingin mencari tukang nujum menanyakan siapa yang membunuh
burungnya, seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 111
Denpasar, 25-26 September 2018
UTAI
Cuma burung mati, mesti dinujum?
MAT KONTAN
Ya, mesti. Mana si Leman he, Geblek! Mana dia, ha?
UTAI
Buat apa sih dinujum? Mau ditanya masuk sorga atau neraka?
MAT KONTAN
Diam, Setan! Kita mau nujum siapa yang potong lehernya. Kalau
kedapatan akan kubunuh dia! (Memanggil-manggil Soleman).
Paijah keluar menjenguk dengan cemas.
(hlm.35)
Pada peristiwa lain ketika Mat Kontan berkelahi dengan Paijah istrinya,
terkuak di sana ada kegairahan terhadap lawan jenis yang bukan suami/istrinya,
yaitu Paijah yang ada main serong dengan Suleman. Ketika Paijah takut dengan
kegarangan Mat Kontan, Paijah lari keluar rumah dan mendekap Suleman.
Spontan saja Mat Kontan bertambah berang dan mengancam Suleman dan Paijah
seperti terlihat dalam kutipan berikut.
MAT KONTAN
(mengancam)
Lepaskan dekapan itu!
PAIJAH
(terus mendekap)
Man, tolong lindungi saya, Man!
MAT KONTAN
Ayo lepaskan sebelum kuambil golok
PAIJAH
(melihat Soleman diam begitu saja menjadi geram)
Man! Kau diam saja!
Soleman hanya menantangi mata Mat Kontan dengan dada yang
sesak.
MAT KONTAN
Kau juga harus melerpaskan dia! He, Soleman! (Jadi geram
melihat Soleman yang hanya memandanginyasaja dengan mata
jantan), Lepaskan dia! Dia bukan binimu!
(hlm. 60)
Masyarakat pesisir rata-rata berdarah panas yang cenderung mengemuka
lewat kata-kata yang pedas dengan nada keras (untuk mengatasi suara gelombang
dan deru angin laut ?), dan kehidupan perekonomian yang pas-pasan berakibat
pada sifat-sifat yang amoral, satu di antaranya adalah berselingkuh. Kasus-kasus
112 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
di atas akhirnya menjadi bagian penutup drama ini, terbukti dengan lahirnya Si
Kontan Kecil, yang secara de yure adalah anak Mat Kontan, tetapi secara de facto
bukanlah anak biologis Mat Kontan, tetapi darah daging Soleman dengan Paijah
(istri Mat Kontan). Perhatikankutipn di bawah ini!
MAT KONTAN
Kenapa kauhina anak saya, ha?
SOLEMAN
Ia bukan asnakmu!
MAT KONTAN
Apa katamu?
PAIJAH
Soleman!
SOLEMAN
Sekarang kau jangan banyak omong, Jah. Malam ini malam
yang menentyukan kita semuanya. Ya, si Kontan Kecil itu memang
bukan anakmu, Mat!
MAT KONTAN
Anak siapa coba?(…)
SOLEMAN
(…) Karena Paijah sering duduk di sini terkadang sampai
malam! Dan saya duduk di sana (menunjuk ambin kepunyaannya).
Kami saling memandang. (Kepada Mat Kontan), Kenapa kau
sering tak di rumah, Tan? Itu juga perbuatan yang jahanam.
PAIJAH
Jangan kaubilang Man!
SOLEMAN
(…) Anak itu anak saya, darah daging saya!
MAT KONTAN
Biadab kalian!
(hlm.65--67)
3. Penutup
Suasana pesisir yang panas dengan suara ombak yang keras dan tiupan
angin yang deras memacu penduduk pesisir bersikap keras, kasar, pedas, dan
kemiskinan membuat pendudukan cenderung bersikap amoral.
DAFTAR PUSTAKA
Busye, Motinggo. 1961. Malam Jahanam. Jakarta: Pustaka Jaya
Endraswara, Suwardi. 2013. Teori Kritik Sastra. Yogyakarta: CAPS
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 113
Denpasar, 25-26 September 2018
Oemarjati, Boen S. 1971. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta:
Gunung Agung
Suarsa, I Made. 1998. ―Drama-Drama B.Soelarto. Yogyakarta: Tesis S-2 pada
Fakukultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 114
Denpasar, 25-26 September 2018
GAMBARAN PERJALANAN LAUT A.A. ISTRI AGUNG DAN
SUAMINYA DARI KARANGASEM KE JEMBRANA
I Made Suastika
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Kisah ini digambarkan dalam sebuah teks geguritan berjudul ―Geguritan
Lunga Ka Jembrana‖. Bagaimana sejumlah tokoh dari Puri Karangasem ketika itu
diberangkatkan dari Karangasem sampai ke Jembrana melalui laut bukan melalui
darat.
Gambarannya, ketika di tahun 1908 perjalanan beliau diikuti oleh istri,
beberapa pendeta dan anggota masyarakat. Kapal telah siap di Ujung, kapal besar
itu berisikan sejumlah barang, serdadu bersenjata dan segala aktivitas sebuah
kapal perang mengantarkan A.A. Istri Agung ke Jembrana, setelah beberapa lama
tiba di Capel sebuah pelabuhan di selatan pulau Bali.
Gambaran diatas akan dijelaskan mengenai kisah perjalanan di laut sampai
merapat di pelabuhan Capel, Negara dalam makalah ini.
1. Pendahuluan
Ruang lingkup kesusastraan Bali yang termuat dalam teks lontar meliputi
berbagai hal seperti : tatwa, susila, uger-uger, terdapat pula teks purwa
(tradisional) berisikan kidung, geguritan, satua piteket, babad, satua bawak, dan
lain-lain. Sastra Bali modern (anyar) meliputi jenis sastra cerpen (satua bawak),
novel, derama, puisi modern yang menggunakan pengantar bahasa Bali. Jadi,
kesusastraan Bali dalam arti luas dapat disebut karya sastra yang lahir dari para
pengawi (lokal) dan cerdik pandai yang berhuruf Bali dan latin, tetapi tetap
memakai pengantar bahasa Bali, serta menjadi warisan sampai sekarang, termasuk
satua, tutur dan lain-lain (Dinas Kebudayaan, 2005 : 5)
Sejumlah geguritan atau peparikan yang lahir sebagai bagian dari
kesusastraan Bali, dari lahirnya geguritan basur sampai geguritan Pandu Yajnya.
Sebagian geguritan atau peparikan kurang dikenal di dalam masyarakat salah
satunya geguritan Lunga Ka Jembrana Karangan A.A. Istri Agung dari Puri
Karangasem. A.A. Istri Agung pengarang keraton yang diperkirakan dibuat tahun
1908 M di Puri Karangasem.
Isi ringkas geguritan Lunga Ka Jembrana dibuat oleh A.A. Istri Agung,
yaitu nenek dari A.A. Ketut Agung (alm). Karya itu mengisahkan peristiwa yang
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 115
Denpasar, 25-26 September 2018
terjadi tahun 1908 beliau diberangkatkan ke Jembrana (Negara), karena adanya
intervensi pemerintah Belanda ketika itu di Kerajaan Karangasem terhadap
kekuasaan seorang raja. Isi geguritan juga memuat tentang nilai sejarah ketika itu
dituangkan dalam tembang sinom, pucung, ginanti, jumlah pupuhnya 315 pupuh.
2. Aktivitas Di Pelabuhan Ujung Sampai Ke Cupel
Kisah ini disebutkan dalam pupuh sinom (pada bagian awal bait 1 sampai
11) yaitu persiapan kapal akan berangkat, I Bagus Karang bercerita dan
mempersiapkan segala bekal, karena suami sakit di kapal biarkanlah ia
merawatnya. Kedua tokoh (A.A. Istri Agung) menceritakan supaya bersama-sama
dalam keadaan baik-buruk, suka duka. Ucapan tuan (Gusti) membuat
kesejahterana di Karangasem. Oleh karena itu, sudah pernah melakukan
maupasaksi (bersumpah) di pamerajan, takut dengan Tuan Belanda yaitu Jendreal
Betawi. Beliau Baginda Putri (Ratu Belanda) tidak menolak karena tidak salah.
Beliau Tuwan mengingatkan agar pergi ke Jembrana atau sampai ke Jawi, Betawi
atau ke Tanah Belanda akan mengikuti perintah yang berkuasa.
Kutipan teks sebagai berikut :
Mangda ka Jembrana, pituwi teked ke Jawi, Batawi tanah Holanda,
pakayunan maming sisip, tiang lintang sahiring, demen makamulan takut,
sing pesan bani piwal, patut kenehe buwatin, anggon sangu, sang
sepanitah sang ngwisesa.
Terjemahan
Agar ke Jembrana, sungguhpun sampai ke Jawa, Betawi dan Tanah
Belanda, (tidak) ada keinginan bersalah saya akan menuruti, oleh karena
terasa senang bercampur takut, tidak berani ingkar janji seperti apa
keinginan pikiran (dibawa), dipakai bekal, sesuai perintah Belanda.
Selanjutnya pada pupuh pangkur (bait 1-14) ketika wuku klurut isaka 1830
(1908 M), jumlahnya ribuan tentara Belanda membawa bedil, namun tokoh puri
(A.A. Istri Agung) tenang menghadapi masalah itu karena merasakan tidak
bersalah. Seperti di Siwalaya rasanya. Ketika dauh nem (jam 13.30-15.00)
kedatangan serdadu Belanda dengan berkuda di Desa Pabukit, dengan lengkap
senjata (bedil). Lalu tiba di sisi ujung, tampak kapal besar menunggu. Kapal besar
itu siap di laut, seperti gunung Mahameru tingginya, Kapten Kapal bernama
116 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Satriman. Kapten 3 orang dan pembantu kapal berpakaian rapi seragam tinggi
besar-besar. Tampak pula di dalam kapal berbagai macam minuman dan makanan
berjejer diatas piring. Ketika malam hari terang benderang bagaikan di sorga,
lampu menyala di kapal, kapal mengeluarkan asap mengepul di angkasa tanda-
tanda kapal akan berangkat. Dijelaskan pula berbagai perlengkapan di kapal
sangat lengkap. Kapal berangkat, tali jangkar ditarik oleh ribuan orang perajurit
menuju Cupel, Jembrana. Beliau A.A. Istri Agung dan suaminya diasingkan
(diselong) di Jembrana.
Berikut kutipan teks
Dawuh nem laut majalan, mamesuang suradadune sami, kapten kumandan
tatelu, pada negakin jaran, sersan letnan kopral mangater di malu, nanging
prajalan ngrabad, mengambah desa pabukit (II.4)
Tuwan asisten duriyan, olas nandan di duri kiter bedil, pejalan sada
ndawus, alah buka keberang, sing da mrasa saget di pesisin Ujung, kapale
suba mengenah, di Pakem pacang manganti (II.5)
Terjemahan
Sekitar pukul 13.30-15.00 berangkat (dari puri) mengeluarkan semua
serdadu, kapten komandan 3 orang, sama-sama naik kuda, sersan letnan,
kopral memimpin di depan, namun perjalanan memanjang (melingkar)
melewati desa pabukit.
Tuwan asisten di belakang bersedia memapah di belakang dikelilingi oleh
senjata, perjalanan sangat cepat, bagaikan diterbangkan, tidak terasa tiba-
tiba sampai di Ujung, kapal sudah tampak, di Makem akan menunggu.
Gambaran ketika kapal besar di tengah laut di Ujung, kemudian berbagai
jukung berjejer, banyak yang serentak naik menuju kapal besar saling mendahului,
takut tidak dapat naik kapal karena cintanya (kepada A.A. Istri Agung dan
suaminya) ingin mengikutinya. Jukung-jukung segera berangkat, sekoci, menuju
kapal besar bagaikan gunung Mandara, para juragan naik kapal, naik ke kapal
begitu pula diikuti kapten kapal Satriman.
Para mandor kapal mengawasi dan juragan kapal banyak sekali berpakaian
putih seragam, besar tinggi semuanya tiba di kapal dengan membawa
persembahan (menghormat) membawa kopi, teh, minuman dari Jawa. Sangat
indah dan ramai berbagai makanan, berjejer di piring dengan buah-buahan
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 117
Denpasar, 25-26 September 2018
bagaikan sorga indra, semua tampak indah, cocok bagi yang telah berjasa (orang
berwibawa).
Suasaa di kapal digambarkan dalam teks (II.11)
Galang ambul swargan, ada siyu damare suba menyit, kalah bintange di
duur, baan damare di kapal, bulan hilang makaput baan ambubu dleg
handuse di kapal cihne ring ngantiang mamargi.
Terjemahan
Disebutkan keindahan di kapal bagaikan di sorga ketika ribuan lampu di
kapal menyala, kalah terang bulan di langit begitu pula bintang di langit,
sinar bulan hilang (redup) diselimuti asap kapal yang mengepul ciri kapal
akan berangkat.
Selanjutnya diceritakan pula keindahan di dalam kapal berbagai fasilitas
kapal serba indah tempat tidur, ranjang, kasur, guling, kelambu, berisikan kaca
(gedah), meja permadani. Di kapal itu pula tampak senjata (bedil) berjajar sekitar
tujuh ratus buah, kelewang, sarung berwarna hitam, ada lampu mengapit kori
(pintu kamar) di dalam kapal. Permadani alas kaki, disampingnya ada peti kecil,
ada gedah (kaca) berisikan minuman sangat indah membuat takjub karena
pertama kali melihat (bahane tumben nepukin).
Ketika kapal berangkat ada 2000 an prajurit mencabut manggar sambil
melepaskan (muhug) bagaikan gandarwa raja, ikatannya bagaikan naga panjang,
ketika memutar gunung Mandara (mengaduk ksirarnawa) para dewa di belakang
berada. Digambarkan bagaikan tuwan Kuntrolir, kapten, komandan semuanya
sibuk mengantarkan paling belakang kesana-kemari, dantawari di tengah indah,
munculnya merta, air suci (pawitra hening).
Diceritakan dalam pupuh III (1-14) kapal besar (kapal perang) berlayar di
tengah lautan, sangat cepat seperti angin, bagaikan Dewa Wisnu ketika membawa
air penghidupan (amerta), segera hilang lenyap, gunung yang awalnya tampak
kemudian menghilang, yang tampak keindahan laut dan langit. Tampak bawah
laut terang, di sekitar tempat sinar lampu menyala, bagaikan permata dan manik
berkilau cahaya kerlap-kerlip bersinar, seperti tumpah ruah, di puncak gunung di
timur, terang benderang, matahari pagi mulai muncul (terbit).
118 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Tampak pagi hari sudah terang, gunung di pinggir tampak, yang
pinggirannya agak kabur, disebutkan sudah sampai di Jembrana, semua para
juragan bangun, kapten komandan, dengan memakai pengeras suara. Kesibukan di
atas kapal ada yang meneropong mengawasi, saling bersapa mengingatkan, pantai
masih samar-samar karena jauh, sekoci diturunkan semua supaya mengangkut
untuk menuju pantai. Inilah namanya pantai Cupel, panas tidak tertandingi ada
balai besar tempat peristirahatan rasa sedih dalam diri, karena semalaman tidak
melihat dunia.
Berikut kutipan teks (III.3, III.4 dan III.5)
Ngenah tinggar arah-arahe makejang, gunung sawat di sisi, pasihe sawat,
kocap di Jembrana, bangun juragane sami, kapten komandan, macacorang
magenti.
Ada nyemak eka bangun ada ngawasin, magilih mengingetin pasisine
sawat, sakuci satumurgas, suba matuutang sami, pacang mangunjal,
nukutang kaposisi.
Niki kocap posisin Cupel adannya, kebuse tan sinipi, ada bale nglegar,
abungkul parerenan, manuptup idepe sedih, inget ke awak, peteng tong
ngenot gumi.
Terjemahan
Tampak terang di semua arah, gunung jauh di pinggir, pantainya masih
samar-samar, dikatakan di Jembrana, semua juragan kapal bangun, kapten,
komandan, memakai pengeras semua.
Ada yang mengambil teropong bangun mengawasi, saling mengingatkan,
pesisir pantai masih jauh, sekoci sudah diturunkan semua, supaya
mengangkut ke pantai.
Ini namanya pantai Cupel, panas tidak terhingga, ada bangunan besar, satu
untuk peristirahatan, tertutup hati sedih, ingat kepada diri, semalam tidak
melihat dunia.
3. Simpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. A.A. Istri Agung dan suaminya sangat kokoh dengan pendirian tidak akan
ingkar janji karena perintah Tuan Putri Koningen (Ratu Belanda)
dilanjutkan Jendral di Betawi (Jakarta) agar ini dilaksanakan sepenuhnya,
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 119
Denpasar, 25-26 September 2018
beliau diberangkatkan ke Jembrana lewat ujung dan besoknya berlabuh di
Cupel, Jembrana.
2. Berbagai gambaran kesibukan dalam keberangkatan ketika di atas kapak
besar (kapal perang) Belanda karena penuh serdadu bersenjata bedil.
Aktivitas dari puri Karangasem hingga ke Ujung serta berbagai kesibukan di
atas kapal, dimulai kapal membuang jangkar, kapal berlayar, tentang
suasana perjalanan di malam hari sampai berlabuh di Cupel keesokan
harinya. Gambaran pelabuhan Cupel dan ada bangunan besar untuk
beristirahat di pinggir pantai.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kebudayaan, 2005, Kesusastraan Bali, Dinas Kebudayaan Propinsi Bali
Madyamanga, 1958, Geguritan Reramputan, Denpasar : Balimas.
Puspawati, Luh Putu, 2018, ―Kajian Struktur dan Fungsi Teks Geguritan Lunga
Ka Jembrana,‖ Makalah Internasional Seminar Kajian Budaya
Universitas Udayana.
Suastika, I Made, 1997, Calon Arang dalam Tradisi Bali, Yogyakarta : Duta
Wacana University Press.
Suastika, I Made, 2002, ―Transliterasi dan Terjemahan, dan Kajian Nilai Karya
A.A. Istri Agung berjudul Geguritan Lunga Ka Jembrana‖, Program
S2 dan S3 Kajian Budaya dan Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra
Universitas Udayana.
Suastika, I Made, 2018, ―Hegemoni dan Kontra Hegemoni atas Kekuasaan
Belanda Berdasarkan Geguritan Mawali Ka Karangem,‖ Makalah
Internasional Seminar Kajian Budaya Universitas Udayana.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 120
Denpasar, 25-26 September 2018
PERAIRAN BALI SEBAGAI RUANG BUDAYA DAN PERADABAN
I Putu Gede Suwitha
ABSTRAK
Studi ini ingin membahas kawasan perairan Bali yang mempunyai peranan
penting sejak dahulu. Arti penting tidak saja dalam dunia niaga atau perdagangan,
tetapi juga dalam konteks interaksi budaya dan hubungan antar bangsa. Kawasan
ini menjadi tempat pertemuan dan kolaborasi antar suku dan bangsa seperti
Tionghoa, Bugis, Arab, Melayu, Jawa, Madura dan etnis nusantara lainnya. Sejak
abad ke 15 kawasan ini sudah ramai menjadi simpul perdagangan nusantara
bahkan pada abad 19 dengan adanya hubungan antara Asia dan Australia, perairan
Bali menjadi pusat perdagangan.
Penelitian ini menggunakan metode sejarah dan metode etnografi. Kedua
metode ini digunakan untuk membahas dinamika budaya dan interaksi budaya,
yang melahirkan budaya yang unik dan ekstotik.
Hasil penelitian menunjukkan kawasan perairan Bali dari dahulu menjadi
arena perdagangan dan interaksi budaya. Interaksi budaya ini kemudian
melahirkan budaya campuran (mestizo) yang menghasilkan suatu tradisi, budaya
yang berbeda dengan wilayah lain. Terjadinya silang budaya dan kontak
peradaban menempatkan wilayah ini sebagai wilayah yang khas, yang sering
disebut laut peradaban.
Kata kunci : maritim, perdagangan, kontak budaya, perairan Bali
I. PENDAHULUAN
Permasalahan interaksi budaya dalam sejarah maritim sering luput dari
perhatian para sejarawan. A.B. Lapian (1992 : 92), Nakhoda1 sejarah maritim
Indonesia hanya menyebut tujuh aspek yaitu : pelayaran, perdagangan, nelayan
(perikanan), bajak laut, perkapalan (pelabuhan), pengetahuan bahari, dan mitologi
laut. Eforia kemaritiman pemerintah Joko Widodo sekarang baru terbatas pada
perikanan (produksi ikan).Hal yang penting lainnya seperti distribusi barang lintas
kepulauan, pelabuhan dan komunikasi (interaksi budaya) yang sering menjadi
topic uraian ini beliau atau jarang disinggung.
1Nahkoda Sejarah Maritim Indonesia diberikan kepada A.B. Lapian oleh para sejarawan
Malaysia karena ketekunannya mengembangkan sejarah maritime dengan beberapa karyanya yang
monumental.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 121
Denpasar, 25-26 September 2018
Proses memunggungi laut dan cara kita berpikir selama ini yang introvert
menganggap laut sebagai halanagan untuk menyatukan diri. Padahal laut dan
lautan merupakan ―jembatan‖ yang menghubungkan antar warga nusantara dan
bangsa lain. Selama puluhan abad suku-suku saling bertemu dan bersapa
membentuk kebudayaan dan peradaban melalui jalur laut.Karena lut pula kita
memiliki kebudayaan yang khas, unik dan eksotis yang dihasilkan oleh pertemuan
antara suku bangsa yang singgah dan menetap.Kita mesti merasa bangga bahwa
nusantara dan hubungan antar adalah suatu bentangan geografis yang indah dan
memiliki potensi alam. Perairan Bali mempunyai arti penting dalam konteks
interaksi budaya
II. PERAIRAN BALI SEBAGAI PUSAT PERADABAN
Perairan di Bali yang berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia
sejak dahulu merupakan sebuah kawasan yang penting. Sejarawan Prancis –
Denys Lombard (1996 :18-19) memasukkan kawasan ini sebagai kawasan
tersendiri, disamping empat kawasan lain2. Ali Fadilah sejarawan lain (1993 : 3)
memasukkan kawasan perairan di Bali sebagai kawasan yang khas karena
pengaruh Hindu di luar pengaruh Islam. Kawasan ini meliputi perairan selat Bali,
perairan Bali dan Selat Lombok.Pandangan geo historic ini, Ali Fadilah
menawarkan penelitian pada zona ini dengan subyek arkeologi maupun sejarah
maritim.
Kawasan zona Bali ini merupakan area pelayaran, perdagangan dan
interaksi budaya dari berbagai suku dan bangsa seperti Tionghoa, Bugis, Arab,
Melayu, Jawa dan Nusantara lainnya.Selain itu, sebagai area penangkapan ikan
terutama penyu di waktu lalu, tempat persinggahan (rendezvous) para pedagang
dari Indonesia Timur dalam pelayarannya ke Barat.Tempat pelarian bagi para
―pejuang-pejuang‖ kerajaan Makassar yang melarikan diri dari kejaran armada
VOC akibat perang Makassar 1667-1669 (Vickers, 1993).
Silang budaya di kawasan Bali ini terjadi sampai kini menghasilkan budaya
yang unik dan eksotik.Dalam catatan arkeolog Wayan Ardika (1979) seperti yang
2Kawasan yang lain : (1) Kawasan Selat Malaka, (2) Kawasan Selat Sunda, (3) Kawasan
Laut Jawa, (4) Kawasan Maluku.
122 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
dimuat dalam prasasti Blanjong dekat Sanur mengindikasikan adanya kontak
budaya dengan Tionghoa sejak abad 8 – 9.Sampai sekarang ditemukan
peninggalan budaya seperti Tari Baris Cina yang ada di Sanur, Renon maupun
Nusa Penida.Beberapa Kelenteng tua seperti di Blahbatuh, Kuta, Tanjung Benoa,
dan Buleleng.Pembangunan Pura Taman Ayun yang diperkirakan arsiteknya
adalah Tan Hu Cinjin3
.Dalam penelitian penulis yang dipuja di beberapa
kelenteng di Bali dan juga Banyuwangi adalah tokoh mitologi yang bernama Tan
Hun Cin Jin (Suwitha, 1979). Jejak Tionghoa yang lain adalah Raja Bali Jaya
Pangus (abad 9) mempunyai isteri Kang Cing Wie yang diperkirakan seorang
Tionghoa.
Sejak beberapa abad yang lalu, para pedagang Cina telah berlabuh untuk
menjual barang dagangannya seperti keramik, porselin dan membeli produk
pribumi.Pada mulanya jalur perdagangan dari Cina ke Asia Barat melalui daratan
Asia Tengah.Tetapi kemudian mulai berbahaya karena serangan dari suku-suku
bangsa di Asia Tengah.Oleh karena terjadi perubahan jalur perdagangan Asia
sejak tahun 500 Masehi.Jalur perdagangan kemudian diarahkan ke Cina Selatan
(Laut Selatan) yang berhadapan dengan Bali. pelayaran ini melewati Selat Malaka,
India, dan Timur Tengah dan ini disebut Benang Mas sepanjang Pantai atau jalur
sutera laut (Van Leur, 1963).
Jejak yang lain, diketemukan pengaruh Islam Madura, Jawa, dan Bugis.
Adrian Vickers (1987) mencatat keberadaan Banjar Medura di Sanur yang
berhubungan dengan terdamparnya orang-orang Madura pada abad ke-17.Hal ini
dapat dilacak ke belakang dalam perjalanan seorang mubaliq Raden Sosroningrat
pada akhir abad ke-17 ketika Islam sudah berkembang pesat di Jawa. Raden
dengan kapalnya lewat pantai Timur Teluk Benoa menuju istana Raja Badung di
Puri Pemecutan.Sayang kapalnya karam, rombongan Raden ini diajak kolaborasi
oleh raja Badung bahkan dinikahkan dengan I Gusti Ayu Rai puteri
raja.Kolaborasi Raden Sosroningrat dengan masyarakat Bali dan orang-orang
Bugis Serangan melahirkan Kampung Islam Kepaon. Kampung ini terletak di
jantung kota Denpasar masih berhubungan dengan masyarakat Bali dan keluarga
3Pura Meru di Bali diperkirakan pengaruh dari arsitektur Cina I Putu Gede Suwitha,
Masyarakat Cina di Bali Utara, Denpasar, 1979.Skripsi.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 123
Denpasar, 25-26 September 2018
raja. Bahasa sehari-hari yang digunakan bahasa Bali dengan menyebut nama
keluarga seperti sebutan orang Bali seperti Pak Wayan, Pak Made dan sebagainya.
Di Kampung Islam Kepaon juga ditemukan Tari Rodat berupa tari perang
percampuran dari Islam, Bugis, Melayu dan Timur Tengah.
Jejak yang lain dari kolaborasi ini adalah ditemukan kuliner yang khas yang
berupa lawar penyu yaitu daging penyu yang dicincang dan kelapa yang diparut.
Kuliner ini mendapat pengaruh Bugis.Lawar sudah dikenal dalam masyarakat
Bugis kuno seperti yang ditemukan oleh Christian Pelras (1989) yang disebut
―lawa dara‖ atau lawar yang ada darah yang mentah. Dapat dikatakan bahwa
lawar penyu adalah kuliner multikultur karena dapat dinikmati oleh orang-orang
Bugis, Madura, Cina dan Bali. masyarakat Badung selatan khususnya tidak makan
daging babi, tetapi sangat gemar dengan lawar penyu dan hidangan dari penyu.
Tradisi lokal lain yang menarik adalah persadauraan antara etnis dan antar
agama pada masyarakat Bali yang disebut ―menyama braya‖. Tradisi ini lahir
karena pengaruh masyarakat pendatang khususnya Islam dan Cina (Suwitha,
2014).Ikatan ―menyamabraya‖ ini mengikat masyarakat Bali yang menembus
batas suku maupun agama. Kedekatan atau ikatan ini meliputi juga ikatan biologis
(perkawinan), pekerjaan, kerjasama kerukunan yang sekarang dikembangkan oleh
pemerintah dengan nama Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB).
FKUB di Bali merupakan cakal bakal dari FKUB tingkat Nasional (Suwitha,
1984).
Islamisasi di kawasan Bali mempunyai sejarah yang khas, yang
menyimpang dari kerangka-teori yang ada yang diajukan oleh Taufik Abdullah
(1979, 1986), Noordyn (1972), Uka Tjandrasasmita (1976), Baloch (dalam
Fadillah). Menurut ahli ini Islamisasi meliputi tahap : kedatangan, berkembang
membangun masyarakat, dan ketiga membangun kekuatan politik melawan
Belanda. Islamisasi di Bali tidak dapat dijelaskan dengan teori-teori yang ada.
Dikatakan demikian karena kenyataan sejak fase awal Islam masuk ke Bali ia
tidak menyebar, tetapi berkembang ke dalam, tidak mampu tidak pernah
membangun kekuatan politik. Meskipun masuknya melalui proses yang sama
dengan daerah lain, detail-detail geografis dan kronologisnya tidak sejalan dengan
teori yang ada. Ini merupakan varian baru dalam interaksinya dengan masyarakat
Bali yang beragama Hindu.
124 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Karena kontak-kontak dagang ini, budaya-budaya agama yang masuk ke
Bali lebih kreatif, sehingga melahirkan budaya agama yang lebih inovatif, sintesis,
kolaboratif, dalam arti ekspresi keagamaan yang kaya dengan unsur budaya.
Dimensi ritual tetap sama, tidak berubah, seperti yang dikatakan oleh tokoh
muslim Bali H.S. Adnan (1995) : Islam membawa ajaran kemana-mana, tetapi
disesuaikan dengan tradisi lokal.
Hubungan yang kreatif dan inovatif antara umat beragama dalam hubungan
dengan persaudaraan (menyama braya) banyak ditemukan di Bali.masyarakat
Islam atau Kristen selalu memberikan suguhan makanan kepada tetangga
masyarakat Bali dan sebaliknya pada waktu hari-hari besar seperti Galungan,
Natal, Idul Fitri dan lainnya. Kesenian Rodat kelihatan lebih indah karena
dikolaborasikan dengan gamelan Bali.demikian juga dengan Tari Baris Cina
kelihatan lebih indah karena dimainkan dengan gamelan Bali, bukan lagi tari
perang. Suatu hal yang mengharukan sebuah group music remaja Muhammadiyah
menyanyikan lagu-lagu Bali dan berbahasa Bali, sehingga hubungan lebih
bernuansa persaudaraan.Konsep ―menyama braya‖ merupakan kreatifitas
masyarakat multikultur Bali untuk mencari upaya dan media pemersatu.Ia
merupakan hasil interaksi budaya antara masyarakat Bali dengan masyarakat
pendatang.
Suatu yang unik dalam kehidupan sosio kultural di Bali diketemukan bahasa
yang khas di Loloan Bali Barat.Bahasa yang khas ini sering disebut bahasa
Melayu Loloan.Bahasa Melayu Loloan dipergunakan sebagai bahasa pergaulan
lintas budaya atau ―Lingua Franca‖ (Bagus, 1976, Sumarsono, 1976).Bahasa atau
dialek Loloan kalau ditelusuri lebih dalam dipengaruhi oleh bahasa Bugis, Melayu,
Jawa, Madura, karena pergaulan sehari-hari.
III. SIMPULAN
Kawasan perairan Bali sejak jaman lampau merupakan tempat interaksi dan
pertukaran budaya. Silang budaya terjadi dan menghasilkan budaya mestizo yaitu
budaya yang unik yang merupakan campuran dari beberapa elemen yang
menghasilkan sistem adat-istiadat dan produk-produk budaya yang berbeda
dengan kawasan lain. Telah lama suku dan bangsa asing masuk ke kawasan ini
dan membawa tradisi dan budaya sendiri.Terdapat kesenian khas seperti Baris
Cina, kesenian Rodat yang mendapat pengaruh dari Bugis, Melayu dan Timur
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 125
Denpasar, 25-26 September 2018
Tengah.Monument sosial yang paling penting adalah Islam yang toleran hasil dari
adat istiadat menyamabraya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (ed.). 1979. Islam di Indonesia. Jakarta : Tinta Mas.
Abdullah, Taufik 1987. (ed.). Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di
Indonesia.Jakarta: Yayasan Obor.
Ardika, I Wayan.1981. Desa Sanur Ditinjau dari Arkeologi Laporan
Penelitian.Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Barker Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Terjemahan
Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Curtain, Philip, D. 1984.Cross-Cultural Trade in World History.Cambridge-
London: Cambridge University Press.
Iwan Suhendra. 2009. Kesenian Rodat : Representasi Identitas Budaya
Masyarakat Kampung Islam Kepaon, Bali. Skripsi tidak diterbitkan.
Denpasar:Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Reid A, 1988.Southeast Asia in the Age of Commerse.1450-1680 I.New
Haven/London Yale University Press.
Fadilah, Moh. Ali. 1999. Warisan Budaya Bugis di Pesisir Selatan
Denpasar.Jakarta : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Hall, Kenneth, R. 1985. Maritime Trade and State Development in Early South
East Asia.Honolulu : University of Hawaii Press.
Lapian, A.B. 1987.Orang Laut, Raja Laut, Bajak Laut, Studi Kawasan Laut.
Sulawesi Abad XIX. Disertasi Universitas Gajah Madha.
Lapian, A.B. 1992.―Sejarah Nusantara Sejarah Bahari‖. Pidato Pengukuhan
Guru Besar Tidak Tetap Fakultas Sastra UI.
Lapian, A.B. 1996.―Dunia Maritim Asia Tenggara‖. Dalam Taufik Abdullah, Edi
Sedyawati. Sejarah Indonesia Penilaian Kembali Karya Sejarawan
Asing.Jakarta: Universitas Indonesia.
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa Silang Budaya. Vol. I Jakarta: Gramedia.
126 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Muklis Paeni, ed. 1988. Dimensi Sosial Kawasan Pantai.Ujung Pandang: P3MP
Universitas Hasanuddin.
Muklis Paeni, ed. 1989. Persepsi Sejarah Kawasan Pantai. Ujung Pandang:
P3MP Universitas Hasanuddin.
Nordholt, Henk Schulte. 1981. The Lange Connection: A Danish Trader op Bali
in the Middle of the 19th
century. Dalam Indonesia, pp. 324-339.
Noorduyn. 1972. Islamisasi Makassar. Jakarta : Bhratara.
Parmartha, I Gde. 1995. Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 185-1915.
Disertasi. Amsterdam.
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis (Terj.). Jakarta : Nalar.
Putra Agung, A.A.Gde, ―Masalah Perdagangan Budak di Bali Abad 17-19‖,
Basis No.XXI, 1971 pp. 38-48.
Putra Agung, A.A Gde. 1974. Kuta Sebagai Kota Pelabuhan.Majalah Basis, pp.
324-339.
Suwitha, I Putu Gede. 1984. ―Catatan Singkat Pelabuhan Kuta Abad ke 19‖,
dalam Masyarakat Indonesia No. 1 Th. IX Jakarta. LIPI.
Suwitha, I Putu Gede.2011. Perahu Pinisi di Selat Bali.Denpasar : Pustaka
Larasan.
Suwitha, I Putu Gede.2013. Dinamika Masyarakat Bugis di Kabupaten Badung
dan Kota Denpasar.Disertasi Kajian Budaya belum
diterbitkan.Denpasar.
Suwitha, I Putu Gede. 1985. ―Hubungan Antar Suku Dalam Masyarakat
Majemuk di Jimbaran Bali‖. LIPI.
Suwitha, I Putu Gede. 1998. ―Islam di Bali‖ :Dari Akulturasi Sampai Ortodoksi‖,
Dalam Dinamika Kebudayaan. Vol.I, September.Denpasar :
Universitas Udayana.
Sartono Kartodirdjo. 1988. Kebudayaan dan Pembangunan Dalam Perspektif
Sejarah. Yogyakarta.
Singgih Tri Sulistiyono. 2008. ―Sejarah Maritim Nusantara : Perkembangan dan
Prospeknya, Dalam M. Nursam dkk (eds.) Sejarah Yang Memihak‖.
Yogyakarta: Ombak.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 127
Denpasar, 25-26 September 2018
Susanto, Zuhdi. 2011. Labu Rope Labuwana : Konsep-konsep ―Pulau Sejarah‖
Dalam Historiografi Indonesia. Jakarta : Konfrensi Nasional Sejarah
IX.
Tjandrasasmita Uka, 1976. ―Masuknya Islam ke Indonesia dan Pertumbuhan
Kota-Kota Pesisir Bercorak Islam‖, Dalam Buletin Yaperna.No. 11.
Tjamhasamita Uka., 1977. Sejarah Nasional Indonesia III.Jakarta : Depdikbud.
Vickers Adrian. 2009. Peradaban Pesisir Menuju Sejarah Budaya Nusantara.
Denpasar: Pustaka Larasan – Udayana University Press.
Vickers Adrian. 1987. ―Hinduism and Islam in Indonesia‖ : Bali and The Pesisir
World Dalam Indonesia No. 44.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 128
Denpasar, 25-26 September 2018
MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI PELESTARIAN
DAN PENGIMPLEMENTASIAN NILAI BUDAYA: PERSPEKTIF
BUDAYA BALI1
I Wayan Cika
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Era sejagat menimbulkan banyak kekhawatiran akan tergerusnya nilai-nilai
budaya bangsa. Untuk itu, pendidikan karakter mempunyai peranan penting
dalam rangka membangunan bangsa yang lebih bermartabat. Pentingnya
pendidikan karakter itu, ada yang melukiskan dengan kata-kata bijak: when
wealth is lost, nothing is lost; when health is lost something is lost; when
character is lost, everythings is lost. Pernyataan itu juga bermakna bahwa
membangun watak manusia itu merupakan suatu proses yang tiada hentinya.
Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan keikutsertaan semua pihak untuk
senantisa melestarikan dan mengimplementasikan nilai-nilai budaya bangsa
karena nilai budaya yang adiluhung itu dapat membentuk karakter bangsa yang
lebih beradab dan bermartabat.
Kata-kata kunci: karakter, pelestarian, implementasi, nilai budaya
I. Pendahuluan
Era kesejagatan dipandang memberikan dampak sangat luas terhadap
masyarakat, seperti munculnya kekhawatiran akan terkikisnya unsur-unsur budaya
tradisional yang berdampak pada hilangnya jati diri bangsa. Kekhawatiran ini
memang tidak berlebihan sebab pengaruh era kesejagatan telah
menumbuhkembangkan berbagai isu komodifikasi, hegemoni, marginalisasi,
degradasi moral, hedonis, dan anarkis. Kehadiran era kesejagatan dengan
teknologi informasi yang canggih yang memberikan kemudahan dan kepraktisan
pada hidup dan kehidupan manusia tidak serta merta membuat sikap dan prilaku
masyarakat menjadi efektif dan efisien, melainkan cenderung ke arah
menggampangkan, menginstan, asal selesai, cepat putus asa, dan ketergantungan.
Situasi dan kondisi masyarakat seperti itu agak mirip dengan situasi dan
kondisi masyarakat yang dilanda ―zaman kali‖ seperti terlukis dalam Kakawin
Nitisastra dan Geguritan Purwasanghara. Dalam Kakawin Nitisastra dijelaskan
bahwa dampak ―zaman kali‖, antara lain menyebabkan manusia murka,
1 Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Sastra dan Budaya, Selasa-Rabu, 25-26 September
2018, bertempat di FIB Unud Jl. P. Nias. Denpasar.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 129
Denpasar, 25-26 September 2018
kebingungan, mudah bertengkar, suka berebut kekuasaan, mengabaikan jati diri,
menistakan agama, melanggar hukum, mengutamakan uang dan kekayaan, mudah
disuap, melecehkan rohaniwan dan pejabat, anak-anak menjadi durhaka dan
berani kepada orang tua. Menurut Geguritan Purwasanghara, ―zaman kali‖
(budaya lahir dari durbudhi) dan hanya dapat diatasi dengan kasusilaning budhi
atau budi pekerti yang luhur. Untuk membentuk kasusilaning budhi diperlukan
kesadaran akan pentingnya budaya leluhur sebagai cerminan jati diri. Dalam
Kakawin Ramayana disebut sebagai guha peteng tang mada moha kasmala,
malädi yolania mageng mahawisa, wisa ta sang wruh ri kanang jurang kali,
kalinganing sastra suluh nika praba.
Nilai-nilai luhur budaya bangsa mempunyai arti sangat penting bagi
pembangunan bangsa, khususnya pembangunan karakter. Nilai-nilai luhur budaya
bangsa tersebut dapat dijadikan sumber pengetahuan, baik bagi generasi kini
maupun generasi yang akan datang. Dengan demikian, melestarikan dan
mengimplementasikan nilai-nilai luhur budaya bangsa merupakan suatu hal yang
wajib dilaksanakan oleh para pemilik atau pendukung budaya itu agar bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang unggul dan berkarakter sesuai yang diharapkan
oleh Presiden Joko Widodo dalam buku Revolusi Mental sebagai Strategi
Kebudayaan (Purwanto, 2015). Melestarikan dan mengamalkan nilai-nilai luhur
budaya bangsa sangatlah urgen untuk dilaksanakan karena diyakini dapat
memperkuat dan memperkokoh harkat dan martabat bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang beradab.
II. Metodologi
Teori yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah teori semiotik
ditunjang metode observasi hermeneutik kualitatif, yakni dengan mengamati
tanda-tanda zaman yang sedang berkembang di era sejagat kemudian
dikontekstualkan dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Tujuannya adalah untuk
memberikan gambaran secara sekilas bahwa nilai-nilai budaya itu sangatlah
penting untuk membangun karakter bangsa yang lebih beradab.
III. Pembahasan
Karakter bangsa adalah konsep abstrak mengenai masalah dasar yang
sangat penting tentang sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
130 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
membedakan seseorang dari yang lain dalam kehidupan manusia untuk
membangun bangsa yang lebih beradab. Karakter merupakan sesuatu yang terukir
dalam diri seseorang. Secara umum, karakter itu merupakan sikap manusia
tehadap lingkungannya yang diekspresikan melalui tindakan. Dengan kata lain,
karakter itu adalah moralitas, kebenaran, kebaikan, kekuatan, dan sikap seseorang
yang ditunjukkan kepada orang lain melalui tindakan. Baik buruknya karakter
seseorang (kasusilaning budhi & dur budhi) tercermin melalui moralitasnya.
Demikian pula kebenaran, tidak akan bisa terwujud dengan sendirinya tanpa
adanya karakter yang menopang. Tidak ada nilai kebajikan dan kemuliaan atau
dharma yang melebihi kebenaran (satya), dan tidak ada kebatilan atau
ketidakmuliaan yang melebihi kebohongan (Krishna, 2015:309). Kebenaran dan
moralitas yang terbentuk merupakan perwujudan dari perbuatan baik yang dapat
mendatangkan segala kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Perbuatan baik
inilah yang mendorong kekuatan dalam diri seseorang untuk menegakkan
keadilan dan keberadaban. Kebenaran, kebaikan, dan kekuatan, sikap yang
ditunjukkan kepada lingkungan bersifat integral yang menyatu dengan karakter.
Menurut Sudrajat (2010:3), karakter bangsa merupakan nilai yang
berhubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tatakrama,
dan budaya. Dalam upaya memahami dan mengembangkan karakter bangsa maka
pendidikan memegang peranan penting. Pendidikan tidak hanya merupakan
sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi sebagai pembudayaan
(humanisasi) bagi peserta didik. Pembudayaan adalah pembentukan karakter
menuju rekonstruksi negara dan bangsa yang lebih maju dan beradab, sehingga
selaras dengan Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Orang bijak mengatakan bahwa when wealth is lost, nothing is lost; when health
is lost something is lost; when character is lost, everythings is lost. Artinya, kalau
kekayaan hilang, tidak ada yang hilang; kalau kesehatan hilang, ada sesuatu yang
hilang; namun, kalau watak yang hilang, segalanya akan hilang. Pernyataan itu
juga bermakna bahwa membangun watak manusia itu merupakan suatu proses
yang tiada hentinya dan diperlukan keikutsertaan semua pihak. Namun, ironisnya,
pendidikan sebagai humanisasi untuk mewujudkan insan ideal, berkarakter mulia,
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 131
Denpasar, 25-26 September 2018
dan luhur, sempat tercoreng oleh adanya fakta bahwa sektor pendidikan
memiliki kasus korupsi terbanyak dibandingkan sektor lainnya. Hal itu
disampaikan oleh Wakil Ketua KPK, Basaria Panjahitan (Bali Post, Selasa 20
Maret 2018, hln. 1), bahwa sektor pendidikan idealnya harus menjadi tempat yang
benar-benar bersih dari korupsi. Namun, faktanya justeru di bidang pendidikan
paling banyak ditemukan tindakan korupsi, baik di provinsi maupun
kabupaten/kota. Dengan demikian, pendidikan sebagai sumber humanisasi belum
dapat menjalankan fungsinya dengan benar sehingga masih paradoks.
Nilai-nilai luhur budaya bangsa seyogyanya tidak hanya disampaikan
dalam tataran wacana pendidikan tetapi juga harus diimplementasikan dalam
kehidupan nyata dalam masyarakat bangsa. Nilai-nilai budaya tersebut sungguh
menarik untuk dibahas, terutama dalam konteks adanya gejolak sosial yang
melanda bangsa ini. Gejolak sosial bisa berupa perilaku arogansi, mengutamakan
kepentingan sendiri dan kelompok, korupsi yang merajalela, tawuran antarpelajar
dan antarwarga/kelompok masyarakat bahkan sampai pada pengerusakan tempat
ibadah, dan tindakan-tindakan brutal lainnya. Semuanya itu sering kita saksikan,
baik di media cetak maupun di media elektronik. Gejolak sosial seperti itu, dalam
sastra Bali disebut dengan ―zaman kali‖ yuga2 atau ―zaman kali sanghara‖,
seperti tercermin dalam karya sastra, Kakawin Niti Sastra, dan Geguritan Purwa
Sanghara. Di ―zaman kali‖ yuga itu banyak orang kehilangan rasa persaudaraan,
sikap kejujuran sehingga tidak mampu membedakan kawan yang benar-benar
baik dan kawan yang buruk atau tidak mampu membedakan antara yang benar
dan yang salah.
Dalam Geguritan Purwa Sanghara, pupuh XXIV bait 27-28 dilukiskan
bahwa dalam ―zaman kali‖ sanghara keadaan dunia serba susah, karena jarang
ada orang menjalankan darma dengan sungguh-sungguh untuk mencari
keutamaan, dan banyak orang yang berkelahi memperebutkan kedudukan yang
tinggi (pandening kali murkaning jana wimoha matukar arebut kawiryawan).
Dalam Kakawin Nitisastra, pupuh IV bait 8-10, disebutkan: …munggwing rat
bhuwanandakara ratu hina dana didhananing dhaneswara... (dunia guncang dan
2 “zaman kali” yuga adalah salah satu bagian dari catur yuga, yaitu masa kehidupan manusia yang
terdiri dari empat masa, yaitu masa krta yuga (masa emas), traita yuga (masa perak), dwapara yuga (masa tembaga), dan kali yuga (masa besi) (Sudharta, 1976:261-263).
132 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
diselubungi kegelapan, raja-raja tidak lagi memberi sedekah, tetapi disedekahi
oleh orang-orang kaya).
Gejolak sosial itu sebenarnya dapat dikatakan sebagai suatu ―pengingkaran‖
terhadap nilai-nilai budaya bangsa kita, yang semestinya dijunjung tinggi,
diteladani, dan dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pengingkaran terhadap nilai-nilai budaya tersebut sudah mencapai tingkatan krisis
moral yang berkepanjangan dan pada akhirnya bisa menjerumuskan bangsa kita
ke titik yang paling rendah, yakni kehancuran (sanghara). Oleh karena itu,
pelestarian nilai-nilai luhur budaya bangsa perlu dilakukan secara
berkesinambungan dan disebarluaskan, baik di tingkat lokal, nasional maupun
internasional. Dengan demikian, diharapkan karakter bangsa semakin kokoh dan
lebih beradab di tengah persaingan global yang semakin ketat.
Nilai-nilai budaya bersumber dari agama, Pancasila, budaya (budi-daya),
dan tujuan pendidikan nasional (rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap
warga negara dari berbagai jenjang dan jalur) (Yaumi, 2014:82). Dalam
kesempatan ini dikemukakan beberapa contoh nilai budaya yang berkenaan
dengan kebudayaan Bali yang dijiwai agama Hindu yang sangat kaya dengan
nilai luhur dan pekerti bangsa. Nilai-nilai luhur tersebut terkandung dalam
kearifan local, antara lain: karmaphala, trikaya parisuda, dan adagium.
Karmaphala dapat dijadikan alat pengendali dalam berpikir, berkata, dan
berbuat. Kita percaya bahwa pahala dari pikiran, perkataan, dan perbuatan
merupakan hasil yang kita lakukan dan alami sendiri, bukan karena orang lain.
Karena itu, pikiran, perkataan, dan perbuatan harus disandarkan pada kebaikan
dan kebenaran, yakni diterima orang lain dan sesuai dengan norma atau hukum
yang berlaku. Pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik dan benar itulah
disebut trikaya parisudha. Sikap dan prilaku anarkis (kekerasan, kebiadaban) dan
hedonis (instan, korup, dan boros) pada masyarakat yang ditimbulkan oleh era
sejagat sebenarnya dapat ditangkal dengan kesadaran akan karmaphala dan
trikaya parisudha.
Adagium Eda ngaden awak bisa dan kadi patapan padi dapat
menumbuhkembangkan sikap dan prilaku rendah hati, kritis, cerdas, dan tidak
sombong, terutama kesombongan yang diakibatkan oleh ilmu pengetahuan yang
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 133
Denpasar, 25-26 September 2018
tinggi (kecerdasan intelektual). Dalam budaya Bali, adagium itu dapat dijadikan
penangkal terhadap pengaruh globalisasi dan modernisasi yang menimbulkan
dampak negatif berupa sikap dan prilaku menggampangkan segala sesuatu,
kesombongan, dan arogansi yang dapat menyengsarakan kehidupan masyarakat.
Adagium Kandik selet alih paling, buka tugune nyen orahin mantenin, dan
buka sekahe nyen orahin ngajum menanamkan sikap dan prilaku susila yang
berkaitan dengan pemberdayaan dan kecintaan pada budaya sendiri. Budaya
sendiri belum tentu kalah dibandingkan budaya orang lain. Hal ini terbukti Bali
tetap menjadi destinasi pariwisata dunia yang belum terkalahkan. Berbagai
peristiwa dan hajatan budaya dunia cendrung dilaksanakan di Bali karena Bali
sangat terkenal dengan budayanya yang adiluhung. Jika demikian halnya,
mengapa kita harus kandik selet alih paling? buka tugune nyen orahin mantenin?
dan buka sekahe nyen orahin ngajum? Siapa lagi disuruh melestarikan dan
mengembangkan budaya kita, kalau bukan kita sendiri. Padahal. Kita harus
yakin dan percaya bahwa kekuatan budaya Bali dapat melindungi kita dari
ancaman budaya global.
Gangsar tindak ngulurin kita menanamkan sikap dan prilaku untuk tidak
cepat puas, tidak terburu-buru, dan tidak serta merta menuruti nafsu. Globalisasi
dan modernisasi dengan iming-iming membuat hidup dan kehidupan manusia
lebih mudah, praktis, serba cepat justru menimbulkan sikap dan prilaku generasi
muda yang serba instan, malas, konsumtif, durhaka, dan cepat berputus asa.
Dampak inilah yang patut dicermati dan harus ditangkal dengan kesadaran akan
pentingnya makna adagium gangsar tindak ngulurin kita. Adagium ini wajib
ditanamkan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga generasi
muda tumbuh dan berkembang menjadi generasi muda yang sabar dalam
berpikir, santun dalam bertutur kata, dan arif dalam bertingkahlaku.
Adagium desa mawa cara, desa kala patra, paras-paros, manyama braya
dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
multikultur. Ancaman disintegrasi dalam kehidupan berbangsa yang kerapkali
muncul di tengah-tengah isu reformasi dan otonomi sebenarnya dapat diantisipasi
dengan kesadaran akan pentingnya pemahaman dan aktualisasi nilai-nilai luhur
yang dikandung dalam adagium desa mawa cara, desa kala patra, paras-paros,
134 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
manyama braya. Semangat kebersamaan, saling menghargai dan menghormati,
serta toleransi adalah nilai-nilai luhur yang terkandung dalam adagium desa mawa
cara, desa kala patra, paras-paros, manyama braya (kecerdasan emosional
sosial). Nilai-nilai luhur tersebut semakin terkikis dalam kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa di Indonesia.
IV. SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa era sejagat membawa
pengaruh yang begitu luas terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat dan bangsa
Indonesia. Pengaruh itu ada yang bersifat positif (kasusilaning budhi) ada yang
negatif (durbudhi). Pengaruh positif yang menyejahtrakan masyarakat perlu
dilanjutkan. Akan tetapi, pengaruh negatif yang dapat merusak budaya dan
karakter bangsa (guha peteng tang mada moha kasmala, malädi yolania mageng
mahawisa, perlu di antisipsi dan disikapi (wisa ta sang wruh ri kanang jurang
kali), dengan bijak dan dengan mengimplementasikan kecerdasan yang
berimbang, antara kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional sosial
(kalinganing sastra suluh nika praba). Dengan kata lain, untuk membangun dan
memperkokoh karakter maka pelestarian dan pengimplementasian nilai-nilai
luhur budaya bangsa, seperti telah dibahas dalam adagium di atas harus tetap
dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, baik di ranah
daerah, nasional maupun internasional.
PUSTAKA RUJUKAN
Koenjaraningrat. 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Krishna Anand. 2015. Dvipantara Darma Sastra: Ancient Indonesian Wisdom for
Modern Times (Kebajikan Nusantara untuk Masa Kini). Jakarta Timur:
Centre for Vedic & Dharmic Studies.
Poerwanto, Semiarto Aji (ed.) 2015. Revolusi Mental sebagai strategi
Kebudayaan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan.
Sudrajat, Akhmad. 2010. Tentang Pendidikan Karakter.
Yaumi, Muhammad. 2014. Pendidikan Karakter: Landasan, Pilar &
Implementasi. Jakarta: Prenadamedia Group.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 135
Denpasar, 25-26 September 2018
MELACAK KEBAHARIAN NUSANTARA BERDASARKAN BUKTI-
BUKTI ARKEOLOGIS
I Wayan Srijaya
Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri
atas 17 ribu buah pulau besar maupun kecil. Sebagai Negara kepulauan, sebagian
besar wilayahnya merupakan lautan. Itulah sebabnya Negara Indonesia disebut
dengan kepulauan Nusantara yang mengandung makna pulau-pulau yang
dihubungkan oleh laut. Negara dengan lautnya yang sangat luas tentu merupakan
anugrah tersendiri, karena bangsa ini diberikan kekayaan alam terutama yang ada
di laut. Kekayaan alam yang terdapat dilaut adalah melimpahnya ikan-ikan yang
mendiami perairan Nusantara. Karena itu pula, tidak jarang kapal-kapal ikan asing
melakukan penangkapan ikan secara illegal tanpa diketahui oleh aparat keamanan.
Disamping itu juga terdapat sumberdaya minyak dan gas (migas).Selain
sumberdaya perikanan yang melimpah, juga perairan Nusantara menyimpan
sumberdaya budaya yang tak ternilai harganya berupa muatan kapal asing yang
tenggelam diperairan Indonesia. Hal ini juga menjadi incaran para pemburu
barang berharga yang terkubur diperairan Indonesia secara illegal.
Kata kunci: bahari, sumberdaya alam, sumberdaya budaya
Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan 17 ribu pulau besardan
kecil. Dari 17 ribu pulau itu, lima diantaranya merupakan pulau-pulau yang besar,
yaitu Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, daan Sulawesi,semenatara sisanya adalah
pulau-pulau kecil. Ada pulau yang yang sudah diberi nama, tetapi lebih banyak
pulau yang belum mempunyai nama. Begitu pula jika dilihat penghuninya, ada
pulau yang dihuni ada pula yang tidak ada penghuninya. Banyaknya pulau-pulau
yang tidak berpenghuni dan berada dekat dengan Negara tetangga, sehingga ini
sering menjadi wilayah konflik kepemilikan. Sebut saja pulau Ligitan, pulau
Sipadan menjadi klaim dari Negara sahabat.
Sebagai Negara kepulauan, Indonesia sebagian besar wilayahnya
merupakan lautan. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia sudah sangat adaptif
dengan lautan terutama yang bermukim dekat dengan sungai maupun laut. Laut
yang begitu luas merupakah berkah Tuhan yang Mahaesa, karena didalamnya
menyimpan kekayaan yang luarbiasa kayanya. Dilaut hidup berbagai jenis
136 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
terumbu karang yang menjadi tempat hidupnya berbagai jenis ikan, begitu juga
menjadi tempat berkembang biaknya biota laut serta berbagai jenis ikan. Ikan
yang terdapat diperairan Nusantara ini banyak jenisnya sehingga potensi
perikanan ini memberikan peluang bagi para nelayan untuk melakukan
penangkapan baik dengan peralatan tradisonal maupun yang sudah modern.
Kekayaan laut ini juga menjadi incaran bagi nelayan asing untuk melakukan
pencurian ikan diperairan Nusantara secara illegal. Namun dengan adanya
kementrian Kelautan dan Perikanan, yang memiliki ketegasan dalam menindak
setiap pencurian ikan di wilayah Nusantara belakangnan ini, maka pencurian
terhadap ikan dapat di turunkan secara derastis. Dengan berkurangnya pencurian
ikan-ikan ini oleh kapal-kapal asing, memberi kesempatan yang luas bagi para
nelayan kita untuk memanfaatkan potensi perinakan nusantara sehingga pada
akhirnya dapat menggangkat kesejahtraan para nelayan dan keluarganya.
Disamping itu, potensi perikaran yang melimpah ini dapat menjadi salah satu
komoditas yang dapat diekspor sehingga dapat menambah devisa Negara. Karena
potensi yang sangat besar itu kemudian pemerintah melakukan berbagai uapaya
untuk tetap dapat memberikan manfaat baik bagi nelayan tradisional maupun
untuk kepentingan eksport. Selain potensi perikanan yang sangat melimpah,
perairan Indonesia juga menyimpan potensi budaya yang berasal dari muatan
kapal , tenggelam. Potensi ini pun, menjadi perhatian para pemburu harta karun.
Harta karun dari muatan kapal ini, tersebar diberbagai perairan di Indonesia
seperti perairan kepulauan Riau, perairan Maluku, perairan Jawa Timur, perairan
Cirebon dan lain sebagainya. Harta karun yang berasal dari muatan kapal ini
terdiri dari berbagai jenis artefak ada yang berupa keramik Cina, emas dan
sebagainya. Pencurian terhadap harta karun ini telah terjadi beberapa kali yang
tidak diketahui oleh aparat keamanan laut kita. Misalnya pengangkatan atas
muatan kapal Geldelmarsel milik VOC patahun 1985 berupa 160.000 pc. keramik
Cina dari dinasti Ming dan Qing, serta 126 batang emas (Utomo, 2008: 20)yang
baru diketahui setelah barang-barang tersebut siap di lelang di negeri
Belanda.Untuk itu, selain mengamankan wilayah perairan dari para pencuri ikan
maka pemerintah juga dituntut untuk dapat melindungi kekayaan budaya yang ada
di dasar laut itu. Disamping kedua sumberdaya yang disebutkan diatas, perairan
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 137
Denpasar, 25-26 September 2018
nusantara juga menyimpan kekayaan alam berupa minyak dan gas (migas) yang
sangat diperlukan baik untuk memenuhi keperluan domestic maupun eksport.
Tidak sedikit wilayah perairan di Indonesia ditemukan sumber minyak dan gas
yang besar selain yang ada di darat. Itulah sebabnya untuk dapat melakukan
ekplorasi sumber-sumber migas ini yang ada diperairan mumbutuhkan teknologi
tinggi. Demikian kayanya potensi laut nusantara sehingga Presiden Joko Widodo
ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai kebaharian
nusantara yang dilacak dari sumber-sumber arkeologi. Bukti-bukti arkeologi itu
dapat dipakai sebagai bahan reprensi untuk menjelaskan slogan bahwa bangsa
Indonesia sebagai bangsa bahari.
Metode Penelitian
Untuk dapat mengungkapkan kebaharian bangsa Indonesia digunakan
beberapa cara yaitu dengan studi pustaka dan observasi keberapa situs maupun
candi di Jawa.Kemudian setelah data terkumpul dilakukan analisis dengan
menggunakan analisis kualitatif.
Awal Pelayaran di Nusantara
Luasnya perairan nusantara ini, tentunya akan menjadi tantangan masa
kini dan masa yang akan datang. Persoalannya adalah bagaimana masayarakat
masa lalu memanfaatkan laut baik sebagai sumber penghasil pangan maupun
transportasi. Berkaitan dengan ini, banyak para ahli berpendapat bahwa sejarah
perkembangan budaya bahari di Kepulauan Indonesia dapat dikatakan sudah setua
kehadiran manusia di belahan bumi inisejak sekitar 1,2 juta tahun yang lalu
(Tanudirjo,2008: 1). Pendapat ini, didasarkan pada kenyataan bahwa homo
erectus, manusia tertua di dunia, te;ah menghuni pulau Jawa ketika itu serta
diduga telah hidup di pulau Flores sekitar 800.000 tahun yang lalu. Diyakini pula
bahwa manusia homo erectus sudah memeiliki teknologi pelayaran yang masih
sederhana, sehingga dapat berlayar menyeberangi selat-selat sempit diantara
138 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
pulau-pulau yang tersebar di daerah ini. Bahkan diduga manusia homo erectus
sudah mampu membuat alat untuk mengarungi laut dengan merakit bamboo
menjadi perahu-perahu sederhana tetapi cukup handal untuk melayari selat dalam
jarak beberapa puluh meter ketika airnya tenang.
Aktifitas pelayaran di Nusantara semakin meningkat dengan hadirnya
manusia homo sapiens sekitar 75.000 tahun yang lalu. Bahkan data arkeologis
menunjukkan bahwa homo sapiens telah mampu menyeberangi lautan luas dari
pulau Timor ke daratan Australia yang berjarak sekitar 90 km, pada 60 ribu tahun
yang lalu (Tanudirjo, 2008:1). Bahkan data arkeologis yang ditemukan di Benua
Australia menunjukkan homo sapiens telah mampu menyeberangi lautan lauas
dari Pulau Timor ke daratan Australia yang berjarak sekitar 90 km. pada 60.000
tahun yang lalu.Persebaran manusia dari satu tempat ketempat lainnya tidak
mungkin dapat dilakukan apabila penguasaan teknologi pelayaran yang dimiliki
tidak handal. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa penghuni kepulauan
nusantara telah mengembangkan pelayaran laut dengan teknologinya yang handal.
Kemampuan manusia menguasai perairan dalam melakukan pelayaran tergambar
dari budaya yang mereka kembangkan yaitu budaya bahari. Dari uraian diatas
dapat dipastikan kalau persebaran manusia padamasa prasejarah tidak dapat
terjadi apabila mereka apabila teknologi pelayaran yang digunakan saat itu tdak
handal. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa hampir sebagian penghuni
Nusantara telah mengembangkan pelayaran laut sehingga dapat menjelajahi dan
menghuni pulau-pulau yang jaraknya satu dengan lainnya cukup jauh.
Gambaran yang lebih jelas tentang budaya bahari bangsa Indonesia mulai
muncul bersamaan dengan persebaran penutur bahasa Austronesia ke Nusantara
dan Pasifik. Persebaran ini terjadi sekitar 4.500 tahun yang lalu, yang jumlah
penuturnya sekarang mencapai 350 juta orang dan tersebar dari Madagaskar di
barat hingga Easter Island di timur, dan dari Taiwan dan Mikronesia di utara
hingga New Zealand di ujung selatan (Tanudirjo, 2008: 3).
Dalam kaitannya dengan teknologi pelayaran yang digunakan oleh para
penutur bahasa Austronesia ada baiknya dikemukakan pandangan Geoffrey Irwin
seorang ahli arkeologi yang juga pelayar tangguh menduga daerah laut antara
Filipina-Indonesia Utara hingga ke Melanesia menjadi semacam koridor
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 139
Denpasar, 25-26 September 2018
pelayaran (vayoging corridor). Disepanjang koridor inilah berlatih dan
memperaktekkan teknologi-teknologi pelayaran baru, sehingga teknologi
perkapalan dan kemampuan berlayar masyarakat Austronesia menjadi
berkembang pesat (Tanudirjo, 2008:6). Dikatakan oleh Irwin sangat mungkin
perahu kano ganda berkembang di koridor pelayaran ini. Kemudian Wal
Ambrose dan beberapa ahli lainnya menunjuk daerah Maluku dan Melanesia
sebagai tempat inovasi teknik pelayaran jarak jauh, termasuk kano ganda, muatan
perahu menjadi lebih banyak, sehingga memungkinkan mengangkut orang dan
muatan lebih banyak untuk pelayaran jarak jauh. Kano ganda dengan dua
lunasnya (model ini dikenal dengan namaka tamaran) tentu mampu memecah
gelombang dengan lebih baik dibanding lunas besar dan massif. Karena itu kano
ganda dapat bergerak lebih cepat dipermukaan laut.
Kemudian Wahdi mencoba melakukan rekonstruksi perkembangan bentuk
dan teknologi perahu Nusantara. Dari penelitiannya, kemudian dia dapat
menjunjukkan bahwa sarana angkutan air yang paling awal pada masyarakat
penutur Austronesia adalah rakit-rakit bambu yang sedikit berkembang dengan
menggunakan balok-balok kayu yang digabungkan. Balok-balok kayu ada yang
diceruk bagian dalamnya (dug out) sehingga mirip kano. Rakit kayu ini kemudian
menjadi perahu berlunas ganda (double canoe) atau katamaran. Selanjutnya,
bentuk yang berkembang adalah perahu kano ganda tetapi salah satu kano hanya
dipakai sebagai penyeimbang (asymmetrical double canoe). Bentuk ini
kemudian berkembang menjadi perahu bercadik tunggal, dan ahirnya muncul
perahu bercadik ganda (Tanudirjo,2008:6).
Dari berbagai pendapat para ahli diatas,dapat dikaitkan dengan sejumlah
bukti-bukti arkeologi lainnya yang ditemukan dalam wujud gambar-gambar
sarana angkutan air. Gambar-gambar teknologi pelayaran (perahu) ini ditemukan
dalam beberapa Goa yang ditemukan diberbagai situs di Indonesia seperti di
Pulau Muna Sulawesi Tenggara, di Pulau Kalimantan, kemudian di goa-goa di
kepulauan Seram Maluku, kemudian di goa-goa di Papua ( Belwood, 2002;
Notosusanto, dkk,1984). Itulah sebabnya bahwa teknologi pelayaran dengan
sarana perahu bercadik ganda ini kemudian menjadi bagian dalam kehidupan para
nelayan di Nusantara.
140 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Lukisan perahu padadinding
gua p.Muna
Relief perahu pada Candi
Borobudur
Sejalan dengan perkembangan manusia Austronesia yang menjadi penghuni
kepulauan Nusantara, maka diikuti pula oleh perkembangan teknologi pelayaran
yang semakin maju sesuai dengan kondisi alam.
Institusi kerajaan Bercorak Maritim di Nusantara
Sebelum menguraikan institusi-institusi kerajaan yang bercorak maritime di
Nusantara maka ada baiknya dikemukakan beberapa pandangan terkait dengan
kehadiran pengaruh peraban India. Dari beberapa teori yang dikembngkan oleh
sarjana-sarja asing khususnya Belanda lebih banyak memberikan perhatian besar
kepada peranan orang India dalam proses Indianisasi (Krom,van Leur). Namun
agak berbeda dengan pandangan sarjana Belanda diatas, maka F.D.K.Bosch
(sarjana Belanda lainnya) justru memberikan penekanan pentingnya peranan
bangsa Indonesia dalam proses Indianisasi tersebut dengan mengemukan teori
Arus Balik. Dia berpandangan bahwa pengaruh budaya India di Nusantara justru
dibawa oleh para pelaut-Saudagar setelah kembali untuk dikembangkan di
Nusantara. Diantara para pelaut-Saudagar Nusantara yang sering singgah ke India
ada yang tertarik belajar dan mendalami budaya India di sana. Setelah kembali ke
atanah air, tentu mereka ingin menjalankan dan mengembangkan budaya itu
(Sumadio,ed, 1984). Sebagai gambaran bahwa jauh sebelum munculnya institusi
kerajaan di Nusantara, kiranya sudah ada hubungan perdagangan dengan India. Ini
dapat diketahui dengan adanya temuan arca Budha Sempaga di Sulawesi Selatan
yang diperkirakan dari abad ke 2 M, kemudian temuan gerabah Ari Kamedu di
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 141
Denpasar, 25-26 September 2018
Jawa Barat dan Bali (Sembiran dan Pacung) dari abad ke 2M (Sumadio, ed,1994;
Ardika, 1991).
Berkaitan dengan pengaruh budaya India di Nusantara ditandai dengan
munculnya institusi kerajaan tertua yaitu Kerajaan Kutai di Kalimantan,
kemudian disusul dengan muncul dan berkembangnya kerajaan Tarumanegara di
Jawa Barat.Kedua kerajaan itu tidak akan terwujud jika tidak ada teknologi
pelayaran yang dikuasai oleh kedua belah pihak baik orang India yang datang ke
Nusantara maupun orang Nusantara yang pergi ke India. Namun harus diakui
bahwa kedua kerajaan ini tidak berlangsung lama, karena dibagian barat
Nusantara kemudian muncul kerajaan Sriwijaya.
Rakit terbuatdari bambu
Rakit dengan pariasi rumah
Berdasarkan sumber-sumber yang ada baik sumber lokal maupun sumber
asing, menjelaskan bahwa kerajaan ini menglami masa keemesannya antara abad
ke-7 M.-12 M. Sumber lokal yang menjelaskan kejayaan kerajaan ini adalah 7
buah prasasti berbahasa melayu kuno yang dikeluarkan oleh penguasa Sriwijaya
(Slamet Mulyana, 1981; Sumadio ed. 1984). Sementara sumber asing,
menyebutkan bahwa jauh sebelum abad ke -7, kerajaan Sriwijaya sudah dikenal
sebagai pusat agama Budha. Sebagai pusat agama Budha, I-tsing dalam
perjalannya menuju India berkesempatan singgah di Sriwijaya untuk mempelajari
bahasa Sansekerta dan agama Budha. Selanjutnya ia menyarankan kepada para
pendeta Cina yang akan mendalami bahasa Sansekerta dan agama Budha di India
agar terlebih dahulu belajar di Sriwijaya. Demikian juga pendeta Cina lainnya
Fah-ien, yang sempat singgah di Sriwijaya karena kapal yang membawa ke India
terdampar di sana, lalu menyarankan kepada para pendeta Cina yang akan belajar
ke India untuk terlebih dahulu belajar agama dan bahasa Sansekerta di Sriwijaya
142 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
(Nurhadi Magetsari,1980). Dari sumber asing itu dapat diketahui bahwa kerajaan
Sriwijaya telah berkembang dan menjadi pusat studi agama Budha dan bahasa
Sansekerta sebelum abad ke -7M.
Sebagai sebuah kerajaan besar di Nusantara Sriwijaya tidak saja ingin
memperluas kekuasaannya ke berbagai wilayah disekitarnya dengan melakukan
ekspansi. Ketimur ditandai dengan ditemukannya prasasti Palas Pasemah di
Lampung, kemudian ke utara ditandai dengan adanya prasasti Ligor A dan B
(Slamet Mulyana, 1981). Untuk memperkuat hubungan dengan kerajaan di India,
penguasa Sriwijaya (Balaputradewa) kemudian mendirikan asrama di India
sebagaimana disebutkan dalam prasasti Nalanda. Pembangunan asrama ini
bertujuan untuk menampung mahasiswa Sriwijaya yang akan belajar di Nalanda.
Kerajaan Sriwijaya juga dikenal sebagai kerajaan yang bercorak maritime. Hal ini
disebabkan karena letaknya yang sangat strategis sehingga perdagangan menjadi
sumber kehidupan dari para penguasa dan masyarakatnya. Para penguasa kerajaan
ini mengembangkan perdagangan dengan kerajaan disekitarnya maupun
perdagangan internasional. Bahkan dalam mengembangkan perdagangan
internasional, maka menguasai Selat Malaka yang strategis itu menjadi sebuah
keharusan (Hall,1985). Tampaknya dalam beberapa abad kerajaan ini dapat
tumbuh dan berkembang sebagai sebuah kerajaan yang sumber penghasilannya
berasal dari aktivitas perdagangan di laut. Dengan tingginya aktifitas pelayaran ini
dapat diyakini bahwa mereka telah menguasai teknologi pelayaran yang sangat
handal. Akibat dari corak yang bersifat maritime itu, maka kerajaan ini tidak
banyak meninggalkan jejak bangunan keagamaan seperti halnya di Jawa
sebagaimana dikatan oleh G.Coedes tahun 1918 sebagai berikut: Sriwijaya hanya
meninggalkan sedikit peninggalan arkeologi dan epigrafi, mungkin karena raja-
raja negeri tersebut sibuk mengurusi perdagangan ketimbang membangun kuil-
kuil atau menulis kata-kata pujian.(Wolters,2011: 5).
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 143
Denpasar, 25-26 September 2018
Kapal Modern Kapal Pinisi Nusantara
Selain kerajaan Sriwijaya, kerajaan yang diduga bersifat semi maritime
adalah kerajaan Majapahit. Kerajaan ini merupakan kerajaan yang bercorak Hindu
terakhir di Nusantara sebelum akhirnya mengalami kemunduran pada tahun C
1400 (1478 M). Sebagai sebuah kerajaan yang bersifat semi marim, para
penguasanya mencoba mengembangkan armada lautnya untuk dapat menguasai
kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara. Bahkan Prapanca sebagai penulis Kitab
Negara Kertagama menyebutkan dibawah penguasanya yang bernama Hayam
Wuruk dengan patih amangkubumi yang bernama Gajah Mada berhasil
menyatukan kerajaan-kerajaan lainnya dibawah panji-panji Majapahit (Munandar,
2011: 29-64). Pada masa ini teknologi pelayaran yang berupa perahu menjadi alat
transportasi unggulan disamping transportasi darat. Perahu sebagai alat
transportasi tampaknya sudah dikuasi dengan baik oleh para pelaut Nusantara dan
kemudian dikembangkan dan disesuaikan dengan kebutahan untuk mengangkut
barang dan manusia sehingga kapasitasnya bertambah besar. Sebagai alat
transportasi, perahu dtemukan dalam berberapa relief candi yang ada di Jawa
seperti di candi Borobudur dari abad ke-10 M. Selain dalam bentuk relief, bangkai
perahu juga ditemukan dalam beberapa penggalian di Sumatra (Utomo, 2008).
Apibila diperhatikan perjalanan sejarah Nusantara, maka aktivitas
pelayaran sudah begitu dikenal luas dikalangan masayarakat. Hampir dapat
dipastikan bahwa setiap institusi kerajaan, selain penggunaan teknologi pelayaran
untuk kegiatan berdagang tapi juga pelayaran digunakan untuk memperluas
kekuasaannya. Sebagai contoh misalnya raja Singosari Kertanegara yang
melakukan ekspansi politik ke barat tahun 1275 dengan maksud mengalahkan
penguasa kerajaan Darmaseraya dan ke timur pada tahun 1278 dengan mengirim
144 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
armada untuk menyerang Bali (Slamet Mulyana, 1982; Sumadio ed. 1994).
Demikian pula halnya penguasa kerajaan Bali Kuno pertama Cri
Kesariwarmadewa, sebagaimana disebutkan dalam prasastinya (Blanjong Sanur)
menyebut tentang adanya daerah taklukan yaitu Gurun dan Suwal. Gurun diduga
adalah daerah Nusa Penida sedangkan Suwal adalah Sumbawa (Goris, 1948).
Untuk dapat mengepakkan sayapnya tentu diperlukan armada pelayaran yang
handal untuk menaklukan laut yang laus danombaknya yang ganas. Sementara
hubungan perdagangan antara kerajaan Bali Kuno dengan pedagang-pedagang
asing telah dijalin erat sebagaimana disebutkan dalam prasasti Sembiran A
IV(1065M) lembar ixb 1 sebagai berikut:…mangkana yan hana banyaga sakeng
sabrang jong, bahitra, cumunduk I manasa hatpani katkanaya, wnanga ikanang
karaman patrakasihana, wlyana hatep mulyan ma 1 anglipahana sargha
mahajana…;Artinya:‖…jika ada saudagar dari seberang laut datang merapat
dengan perahudan bahitra di pelabuhan, agar warga desa sekitar memberikan
belas kasihan kepadanya, biaya merapat maksimal 1 masaka, dan harganya
dilebihkan bagi orang terkemuka/terpandang, tidak dikenai sumbangan
pengawasan (pacaksu) dan tidak ada pemaksaan,..‖ (Ardika, dkk, 2013:213).
Alat angkut utama ini dari waktu ke waktu mengalami kemajuan baik dari
segi bentuk, ukuran, maupun daya angkutnya. Dengan semakin berkembangnya
teknologi taransportasi pelayaran ini mendorong semakin intensifnya hubungan
antar satu Negara dengan Negara lainnya. Tak dapat dipungkiri bahwa pada abad
ke -16 M, pelaut-pelaut Bugis telah mengembangkan armada laut yang sangat
andal dalam mengarungi laut sehingga dapat menjelajahi berbagai kawasan di
dunia. Angkutan laut yang dikembangkan oleh para pelaut Bugis di Sulawesi
Selatan ini dikenal dengan kapal Pinissi. Kehandalan kapal Pinissi dan
ketangguhan pelaut suku Bugis ini diuraikan dalam naskah tradisional Lontara.
Simpulan
Dari gambaran diatas, dapat disimpulkan bahwa teknologi peyaran
merupakan sebuah Negara yang sebagian besar merupakan wilayh perairan/laut.
Teknologi pelayaran sudah dikenal jauh sebelum munculnya institusi kerajaan
sebagaimana tergambar pada lukisan cadas yang ditemukan di pulau Muna,
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 145
Denpasar, 25-26 September 2018
Kalimantan, dan Papua. Selain dalam bentuk lukisan cadas, perahu kuno juga
ditemukan dalam kegiatan ekskavasi seperti di salah satu situs di
Sumatra.Instistusi kerajaan yang mengembangkan kegiatan kemaritimannya
dengan luas adalah kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Sumberdaya budaya yang
banyak ditemukan diperairan Nusantara adalah adanya kapal-kapal asing yang
memuat berbagai jenis barang seperti porselin Cina dan emas batangan
merupakan asset berharga.
Daftar Pustaka
Ardika, IWayan, I Gde Parimarta, dan A.A.Bagus Wirawan,2013 Sejarah Bali
dari Prasejarah Hingga Modern. Denpasar: Udayana University Press;
………………,1991 Archaeological Reseach in Northeasterm Bali,
Indonesia.Unpublished Ph.D Dissertation. Canberra Australia National
University;
Aris Munandar, Agus, 2011 Catuspatha ArkeologiMajapahit. Depok: Wedatama
Widya Sastra;
Budi Utomo, Bambang, 2008, Musibah di laut. Dalam Bambang Budi Utomo
(editor) Kapal Karam Abad ke-10 di Laut Jawa Utara Cirebon. Jakarta: Panitia
Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharha Asal Muatan Kapal
yang Tenggelam;
Magetsari, Nurhadi, 1980, Agama Budha Mahayana di Kawasan Nusantara,
Jakarta:Seri Penerbitan Ilmiah Fakultas Sastra Universitas Indonesia;
Slamet Mulyana, 1979, Negara Kertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:
Bharata;
…………………., 1981, Kuntala, Sriwijaya dan Swarnabhumi. Jakarta: Yayasan
Idayu;
Sumadio, Bambang dkk, 1984, Zaman Kuno. Dalam Nugroho Notosusanto dan
Marwati Djoened Poesponegoro Sejarah Nasional Indonesia II. Jakrta: Balai
Pustaka;
Tanudirjo, Daud Aris, 2008, Pendahuluan: Awal Jaringan Pelayaran dan
Perdagangan.Dalam Bambang Budi Utomo: Kapal Karam Abad ke-10 di Laut
Jawa Utara Cirebon. Jakarta: Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan
Benda Berharga yang Tenggelam;
Wolters, O.W,2011, Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunia
Abad III-Abad VII. Jakarta: Kmomunitas Bambu;
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 146
Denpasar, 25-26 September 2018
REVOLUSI BIRU DAN HUMAN SECURITY NELAYAN DI KUSAMBA
KLUNGKUNG
I Wayan Tagel Eddy, Anak Agung Ayu Rai Wahyuni
ABSTRAK
Revolusi biru (blue revolution), sebagai strategi pembangunan dan upaya
akumulasi kapital, bukan hanya tidak berhasil mengangkat nelayan dari
kemiskinan yang melilit mereka, namun ia juga menyisakan persoalan bagi
keberlangsungan human security nelayan. Tidak hanya gagal menangkap apa
yang sebenarnya menjadi kebutuhan nelayan, paket kebijakan modernisasi
perikanan seringkali malah merugikan nelayan dan masyarakat pesisir pantai.
Artikel ini bertujuan untuk mengetahui proses dan bentuk modernisasi
perikanan (minapolitan) yang sedang dalam proses pembangunan serta bagaimana
respon para nelayan dan masyarakat pesisir terhadapnya? Selain itu, akan
memeriksa apa kira-kira yang akan diakibatkan oleh modernisasi perikanan bagi
keberlangsungan human security kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir.
Penulis terlebih dahulu memulai uraian dengan mengelaborasi konsep
pembangunan, human security dan revolusi biru sebelum memberikan ilustrasi
kasus nelayan dan masyarakat pesisir, berkaitan dengan pembangunan
minapolitan, di kawasan pelabuhan Kusamba Kelungkung.
Kata kunci: modernisasi perikanan, revolusi biru, pembangunan, human
security, hak asasi manusia, masyarakat pesisir dan nelayan
I. PENDAHULUAN
Salah satu visi yang hendak diwujudkan Presiden Joko Widodo adalah
menguatkan bangsa Indonesia pada sektor maritim. Pernyataan visi ini sebenarnya
bukan hal baru bagi negeri kita, tetapi karena isu ini dituangkan sebagai komitmen
Presiden untuk memajukan sektor maritim pada lima tahun pemerintahan Jokowi-
JK maka ia menjadi sangat strategis. Menjadi amat penting bagi seluruh
pemangku kepentingan untuk fokus pada kebijakan in agar sejalan dengan
kebijakan pemerintah pusat dalam memprioritaskan arah kebijakan pembangunan.
Debat mengenai pembangunan dan hak asasi manusia menjadi topik besar
yang diperbincangkan oleh para analis dan perancang kebijakan di level
internasional. Keduanya, ditambah demokrasi, telah menjadi perdebatan ideal
politik hegemonik pada sekitar tahun 1980-an yang lalu. Bermula tahun 1986
ketika PBB mengumumkan ―Declaration on the Rights to Development‖ yang
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 147
Denpasar, 25-26 September 2018
menegaskan bahwa pembangunan adalah hak asasi manusia di seluruh dunia,
berbagai forum internasional diselenggarakan seperti World Conference on
Women(1995) di Beijing, World Summit for Social Development (1995) in
Copenhagen dan World Conference on Human Rights (1993) di Wina yang
menghasilkan ―Vienna Declaration and Programme of Action‖.
Di dalam deklarasi Wina, artikel delapan menegaskan bahwa
pembangunan, hak asasi manusia dan demokrasi saling bergantung dan saling
memperkuat satu sama lain. Banyak pemikir yang meyakini pandangan ini. Meyer
(2002), misalnya, menegaskan bahwa pada dasarnya, hak asasi manusia dan
demokrasi adalah dua hal yang dibangun di atas ide fundamental yang sama yaitu
kesetaraan dan martabat tiap individu. Keduanya saling tergantung dan saling
membutuhkan satu sama lain. Hak asasi manusia menjamin tiap individu untuk
berkembang secara bebas dan mendapat pengakuan terhadap nilai-nilai,
keyakinan, pilihan ,dan ketertarikan mereka. Pengakuan dan penegakan hak asasi
manusia hanya bisa dilakukan dalam demokrasi.Sebaliknya demokrasi hanya bisa
berkembang dengan baik apabila hak asasi manusia telah ditegakkan; dihormati,
dilindungi dan dipenuhi.Ignatieff (2000) menjelaskan bahwa pembangunan
merupakan upaya politik untuk pencapaian hak asasi manusia (human rights)
dengan tujuan pemerataan bagi setiap individu yang berhak memperoleh
penghidupan yang layak dan cukup berdasarkan pemenuhan kebutuhan dasarnya.
Membicarakan pembangunan tidak bisa untuk tidak memeriksa salah satu
institusi yang dikaitkan dengan isu hak asasi manusia, yaitu pasar (market). Pasar
merupakan institusi sosial yang didesain untuk menciptakan efisiensi
ekonomi.Pertumbuhan (growth) dan efisiensi (efficiency) adalah mantra penting
dalam sistem ekonomi pasar.Namun pasar memiliki masalah bawaan yang dibawa
ke mana-mana yaitu, akumulasi kapital.Pasar hanya peduli terhadap efisiensi dan
percepatan pertumbuhan ekonomi, tidak pada kesetaraan sosial. Pada titik ini, ia
mendatangkan masalah bagi perlindungan hak-hak ekonomi dan sosial orang lain
yang haknya terlanggar karena keserakahan ekonomi pasar bebas. Untuk
kepentingan artikel ini, kaitan antara hak asasi manusia dan pasar digunakan.
II. HUMAN SECURITY
148 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Gagasan mengenai human security memunculkan perdebatan tentang apa
itu keamanan dan bagaimana cara mencapainya. Perdebatan terjadi, lebih karena
sudut pandang, pengalaman dan prioritas yang berbeda dari setiap pemerintahan
nasional dalam mendefinisikan human security yang sebelumnya konsep
―keamanan‖ hanya dipahami sebagai keamanan nasional atau negara nasional dari
gangguan militer negara lain, kini konsep keamanan bergeser ke arah keamanan
manusia dari hal-hal yang non-militer.
Artikel ini hendak menggunakan konsep human security ini di dalam
proses pembangunan minapolitan di Kusamba dan implikasinya bagi nelayan dan
masyarakat pesisir di sana. Sejak tahun 1994 isu human security menandai babak
baru dalam hubungan internasional.Adalah Dr. Mahbub ul Hal orang yang
pertama kali memberikan perhatian pada human security di dalam forum-forum
UNDP. Di dalam UNDP’s 1994 Human Development Report, human security
didefinisikan ke dalam threats in seven areas, yaitu; pertama, economic
security yang didasarkan pada kemampuan pendapatan dasar tiap individu, akses
mereka terhadap pekerjaan dan jaringan kenyamanan keuangan. Di negara-negara
berkembang persoalan economic security mungkin menjadi problem serius karena
di negara-negara tersebut problem pengangguran menjadi faktor penting selain
tegangan politik dan kekerasan etnis; kedua, food security yang mengharuskan
bahwa seluruh manusia kapan pun dan di mana pun harus memiliki akses
ekonomi dan fisik pada pangan.Hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan
food security ini adalah; (1) ketersediaan pangan; (2) distribusi pangan; (3)
kurangnya daya beli dan ini berkorelasi dengan economic security.
Ketiga, health security yang bertujuan untuk menjamin perlindungan minimum
dari penyakit dan gaya hidup yang tidak sehat. Di negara-negara berkembang
penyebab utama kematian adalah infeksi dan penyakit parasitic.Baik di negara-
negara industri dan negara-negara berkembang health security menghantui orang-
orang miskin di pedesaan, terutama ibu-ibu dan anak-anak. Pelayanan kesehatan,
ketersedian air bersih dan kebutuhan-kebutuhan dasar yang lain menjadi sangat
penting dalam menjaga health security; keempat, environmental security yang
bertujuan untuk melindungi orang dari rusaknya kondisi lingkungan hidup
(natural environment). Sementara di negara-negara berkembang isu tentang
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 149
Denpasar, 25-26 September 2018
kurangnya akses pada sumber daya air menjadi isu penting dalam environmental
threatment, di negara-negara industri maju isu pokoknya adalah pencemaran
udara (air pollution).Persoalan emisi, gas rumah kaca menjadi isu-isu
environmental security yang lain, yang menjadi perhatian banyak negara
belakangan ini.
Kelima, personal security yang bertujuan melindungi setiap orang dari
kekerasan fisik, oleh negara ataupun di luar negara, dari kekerasan personal atau
kelompok-kelompok di dalam negara, atau dari kejahatan atau tindakan kriminal
orang-orang dewasa; keenam, community security yang bertujuan untuk
melindungi setiap orang (people) dari hilangnya nilai-nilai dan hubungan-
hubungan tradisional di mana mereka hidup, atau dari kekerasan etnik dan
sektarianisme. Setiap orang tidak dibenarkan dicabut atau dipisahkan dari
lingkungan komunitas tradisionalnya.Community security ini
memasukkan indigenous people sebagai isu penting, misalnya hak-hak
aboriginal; ketujuh, political security yang bertujuan untuk memuliakan hak-hak
asasi manusia paling dasar, seperti aman dari sistem penyiksaan politik, tekanan
politik dari pemerintah yang mengontrol ide dan informasi. Pelanggaran hak asasi
manusia seperti ini sering kali dialami rakyat di negara-negara yang
memberlakukan kontrol ketat terhadap warganya.
Secara ringkas UNDP mendefinisikan human security sebagai : ―first,
safety from such chronic threats such as hunger, disease, and repression. And,
second, …protection from sudden and hurtful disruptions in the patterns of daily
life — whether in homes, in jobs or in communities‖. Jadi, secara umum, definisi
human security menurut UNDP mencakup ―freedom from fear and freedom from
want‖.
III. REVOLUSI BIRU
Revolusi biru (blue revolution) memang tidak setenar Revolusi Hijau
(green revolution). Projek revolusi biru atau modernisasi perikanan, yang dimulai
pada tahun 1970-an sebagai strategi pembangunan, dikembangkan melalui
penetrasi kapital dan peralihan arus modal dan teknologi dengan tujuan
meningkatkan efisiensi dan produktivitas tangkapan. Sejak saat itu kebijakan dan
150 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
program modernisasi perikanan, seperti motorisasi, GERBANG MINA BAHARI
(Gerakan Pembangunan Nasional Kelautan dan Perikanan), PROPEKAN
(Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan Budidaya) dan PEMP
(Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir), mulai digalakkan. Fasilitas kredit
usaha, mesin tangkap yang lebih modern, pembangunan infrastruktur pelabuhan
perikanan, ruang pendingin (coldstorage), tempat pengeringan dan tempat
pelelangan ikan (TPI) merupakan beberapa paket kebijakan modernisasi
perikanan yang dilakukan pemerintah saat itu.
Kemudian, antara tahun 1980-1996, pemerintah memperbaharui kebijakan
modernisasi perikanan dengan diluncurkannya kebijakan deregulasi berupa
pengembangan alat tangkap, pembangunan pelabuhan, penambahan armada
penangkapan, impor kapal bekas hingga pemberian izin kapal asing untuk
menangkap ikan di perairan Indonesia. Pemerintah juga menerbitkan berbagai
regulasi terkait dengan modernisasi perikanan, misalnya, Keppres No. 39 Tahun
1980 dan Undang-undang tentang Perikanan Tahun 1995.
Lalu pertanyaan yang mendesak dijawab apakah modernisasi perikanan
(blue revolution) yang telah ditempuh sejak empat puluh tahun yang lalu
memberikan dampak positif bagi kehidupan nelayan. Berbagai penelitian telah
dilakukan untuk menjawab pertanyaan mendasar ini. Dan jawabannya sama
bahwa peningkatan tangkapan dalam jumlah yang besar ternyata tidak seirama
dengan peningkatan kesejahteraan nelayan karena; pertama, faktor kebijakan yang
tidak mempertimbangkan adaptabilitas lokal; kedua, faktor-faktor sosial sebagai
―ruang‖ di mana kebijakan modernisasi perikanan dilaksanakan tidak
diperhitungkan.
Setidaknya penelitian yang dilakukan oleh Raymond Firth (1975),
Iskandar dan Matsuda (1989), Salman dan Lampe (1993), Satria (2001), Arief,
A.A (2002) dan Agusanty (2004) mengonfirmasi mengenai kegagalan revolusi
biru mengangkat keterpurukan nelayan dari jurang kemiskinan yang melilit
mereka. Kenyataan seperti ini hampir sama dialami oleh setiap daerah. Penelitian
Nasikun (1996) di Muncar Jawa Timur, Elfliandri (2002) di Sumatra Barat, dan
Iwan (2002) di Kabupaten Tanjung Jabung, Jambi menunjukkan bahwa penetrasi
kapital dan alih teknologi yang tersemangati oleh nalar akumulasi kapital
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 151
Denpasar, 25-26 September 2018
(kapitalisme) semakin menyeret nelayan ke arah ketergantungan dan kemiskinan
struktural.
IV. MODERNISASI PERIKANAN DI KUSAMBA
Kusamba terkenal sebagai Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) di Kabupaten
Klungkung. Berbagai aktivitas ekonomi yang mengandalkan sumber daya laut
setiap hari berlangsung di timur pulau Bali. Seperti daerah-daerah sentra
perikanan lain di Indonesia, Kusamba tidak luput dari agenda modernisasi
perikanan yang kembali dicanangkan oleh pemerintah melalui program
minapolitan.
Di Kusamba terdapat tempat pelelangan ikan (TPI) yang menangani
distribusi hasil tangkapan ikan para nelayan. Fasilitas lainnya yang tersedia
adalah Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN) atau Stasiun Pengisian Bahan
Bakar Minyak Untuk Nelayan (SPBN). Dengan adanya SPDN nelayan lebih
mudah untuk memperoleh BBM.Hasil tangkap ikan di Kusamba didukung oleh
adanya beberapa unit pabrik pengolahan ikan.Hasilnya tidak hanya dijual di
Kusamba, tetapi juga dipasarkan ke beberapa wilayah Bali lainnya, baik dalam
bentuk ikan mentah maupun ikan olahan.
1. Mode Produksi (Mode of Production) sebelum Modernisasi
Kini, Kusamba beranjak menjadi kota ikan dan identik sebagai sentra
perikanan di wilayah Klungkung dengan berbagai institusi pendukungnya.
Sebelum modernisasi perikanan digalakkan oleh pemerintah Orde Baru pada
tahun 1970-an, mayoritas masyarakat pesisir Kusamba masih mengandalkan
pertanian sebagai sumber penghidupan utama. Hingga akhir tahun 1980-an
sebagian besar dari mereka masih berprofesi sebagai petani. Meskipun begitu,
mereka juga ikut melaut dan bergabung dengan nelayan yang telah lebih dulu
terjun di sektor perikanan dan kelautan, yang biasanya dikuasai oleh orang-orang
Bugis dan orang-orang Madura yang memiliki tradisi panjang dalam urusan
melaut.Selain bertani dan melaut, mereka juga mencari ―nener‖ (udang kecil)
dibibir pantai dan nyuttu’, yaitu mencari ―garegu‖, bahan untuk membuat terasi.
152 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
2. Awal Modernisasi dan Respon Masyarakat Lokal
Penetrasi kapital dan alih teknologi adalah instrumen utama modernisasi
perikanan. Siap atau tidak, menguntungkan atau sebaliknya, masyarakat nelayan
harus menerimanya sebagai sesuatu yang musti terjadi, karena ini adalah
kehendak negara yang baru berdiri dan mengimpikan pembangunan sebagai jalan
menuju kesejahteraan. Menolaknya berarti cap komunis sudah menanti di depan
mata.
Kusamba juga mengalami hal serupa seperti di daerah-daerah pelabuhan
perikanan yang lain. Berbagai progam modernisasi perikanan meliputi bantuan
perahu, mesin, alat tangkap dan penguatan modal segera diluncurkan oleh
pemerintah.Masalahnya, pelaksanaan dan manfaat bantuan-bantuan ini hanya
dinikmati oleh kelompok-kelompok tertentu.Sangat jarang bantuan bisa dirasakan
langsung oleh nelayan kecil, tapi malah yang mendapat bantuan adalah tokoh-
tokoh masyarakat yang kuat secara ekonomi dan memiliki akses ke lingkungan
politik dan pemerintahan.
Program bantuan yang digulirkan oleh pemerintah, dan tersedianya pabrik
pengolahan dan pengalengan ikan serta menyaksikan jumlah tangkapan ikan yang
sangat luar biasa ketika itu menggoda dan mendorong, tidak hanya orang-orang
Kusamba untuk segera menjadi nelayan, namun juga orang-orang dari luar
Kusamba berdatangan untuk menjadi awak perahu yang dimiliki oleh orang
Kusamba
Kusamba sebagai penghasil ikan di wilayah Klungkung dengan hasil
tangkapan yang lumayan banyak telah mendorong pemerintah untuk menjadikan
Kusamba sebagai kawasan minapolitan.Pengembangan minapolitan merupakan
bagian dari rencana strategis pembangunan kelautan dan perikanan.
3. Potensi Kerentanan Human Security Nelayan
Pelaksanaan pembangunan minapolitan di Kusamba mengungkap
terjadinya informasi yang asimetrik (asymmetric information) karena bukan
hanya sebagian besar nelayan tidak mengetahui apa itu minapolitan, apa
keuntungan dan kerugian yang mungkin mereka akan hadapi kelak jika
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 153
Denpasar, 25-26 September 2018
minapolitan sudah selesai dan beroperasi, akan tetapi justru terdapat penyesatan
informasi yang disampaikan kepada mereka. Tokoh nelayan setempat
menjelaskan bahwa pemilik perahu, nelayan dan masyarakat pesisir pantai
Kusamba merasa senang atas pembangunan minapolitan karena mereka dibuatkan
tempat sandar atau ―tambat labuh‖ perahu yang luas. Dengan adanya dermaga dan
tempat bersandar perahu yang luas, mereka tidak lagi perlu berhimpit-himpitan
seperti sekarang.Ini yang hanya diketahui oleh nelayan.Lain tidak. Mereka tidak
tahu bahwa dermaga itu bukan untuk mereka, tapi untuk kapal-kapal besar yang
akan berlabuh di pantai mereka nanti.
―Tambat Labuh‖ atau tempat parkir perahu ini berada dalam otoritas Dinas
Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Bali. Sudah sejak lama, nelayan
Kusamba memiliki cara bertahan (resilience) ketika menghadapi siklus alam yang
tiap bulan datang menyapa mereka. Biasanya pada hari-hari tertentu yaitu saat
terang bulan mereka tidak pergi melaut karena ikan-ikan di laut tidak terlihat
oleh nelayan sehingga sulit ditangkap. Lalu apa yang dilakukan nelayan untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya? Mereka para nelayan yang tidak
melaut ini tetap bekerja dengan mencari kerang di pantai dan mereka jual kepada
para pengepul kerang yang selanjutnya menjualnya di pasar.
Kepegasan hidup nelayan seperti di atas akan segera menghadapi
gangguan berbarengan dengan pembangunan minapolitan karena dua alasan,
yaitu; pertama, pembangunan minapolitan membutuhkan areal yang luas, artinya,
dengan begitu nelayan tidak bisa lagi mencari kerang pada musim terang
bulan, sebagai sumber nafkah ketika mereka tidak melaut. Hal ini disebabkan oleh
tempat (pantai) di mana mereka mencari kerang sudah tidak ada untuk
kepentingan area dermaga. Kedua, musim terang bulan juga dimanfaatkan oleh
para nelayan untuk berkumpul bersama anak dan istri beserta sanak keluarga yang
lain setelah musim-musim melaut berlalu. Pada musim ini nelayan juga
melakukan anjangsana kepada sesama nelayan dan bersosialisasi dengan
masyarakat atau komunitas yang lain. Kenikmatan individu dan kenyamanan
sosial semacam ini berangsur akan hilang seiring melemahnya kelembagaan-
kelembagaan sosial akibat himpitan ekonomi.
154 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Gangguan lain yang potensial akan dialami oleh keluarga nelayan yang
memiliki perahu kecil dengan kapasitas kecil dan melautnya tidak terlalu jauh dari
pantai. Karena ongkos biaya yang harus mereka keluarkan akan lebih banyak dari
pada sebelum minapolitan beroperasi. Dan kini, hal ini mulai dirasakan oleh para
nelayan pemilik perahu kecil.Belum lagi keamanan di tengah laut lepas dengan
kondisi perahu yang kurang memadai.
V. SIMPULAN
Pembangunan selalu memunculkan ketegangan sosial di antara para pihak
yang terlibat di dalamnya atau mereka yang hanya menjadi penonton dan objek
pembangunan, walau kadang bersifat latent dan tidak terungkap. Seperti kasus
pembangunan minapolitan di Kusamba, misalnya, para elit lokal di sana
cenderung mendiamkan sambil menelisik peluang-peluang ekonomi yang akan
mereka dapatkan dari proses pembangunan minapolitan, karena mereka meyakini
minapolitan akan menguntungkan bagi mereka. Sementara nelayan kecil dan
masyarakat pesisir yang hanya menggantungkan hidup mereka pada laut, lambat
laun termarginalisasi dan termanipulasi oleh informasi yang tidak seimbang, atau
bahkan tidak ada informasi alternatif yang menjelaskan apa yang mereka akan
alami setelah minapolitan menjadi kenyataan. Inilah awal terlanggarnya human
security nelayan.
Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa hasrat pembangunan
yang digerakkan oleh semangat pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan
nafsu akumulasi kapital hanya akan menyebabkan terlanggarkan hak asasi
manusia (human rights) atau dalam bahasa yang lebih teknis human security.
Maka dengan menyadari potensi destruktif model pembangunan seperti ini,
diharapkan pembangunan tidak hanya direduksi ke dalam aspek material belaka,
akan tetapi harus dipandang sebagai upaya pembebasan manusia (development as
freedom) melalui the process of the enlarging the range of people’s choicies.
Di tengah upaya Pemerintah Kabinet Kerja untuk menjadikan Indonesia
sebagai Poros Maritim Dunia, yakni Laut sebagai sumber kemajuan dan
kesejahtraan baru bagi bangsa Indonesia, perlu diupayakan bagaimana
membangun kelautan, khususnya perikanan, berbasis ekonomi biru untuk
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 155
Denpasar, 25-26 September 2018
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, ramah lingkungan, dan
berkelanjutan bagi kemajuan dan kesejahtraan rakyat Indonesia dalam upaya
mewujudkan tiga pilar kelautan dan perikanan kita, yaitu kedaulatan,
keberlanjutan, dan kesejahtraan. Pemberdayaan masyarakat nelayan dan pesisir
tidak semata pada ekonomi, tetapi juga penguatan posisi politik mereka melalui
penjaminan hak-hak agar mampu mengartikulasikan dan mempertahankan
kepentingannya dalam setiap kontestasi.Jika kita masih percaya bahwa kita ini
adalah bangsa bahari, maka jaminan terhadap hak-hak masyarakat nelayan dan
pesisir itu merupakan suatu keniscayaan.Jalesveva Jayamahe.
Daftar Pustaka
Fukuoka, Masanobu. 2012. Revolusi Sebatang Jerami. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Pauli, Gunter. 2013. The Blue Economy. Jakarta: Akast Publishing,
Satria, Arif. 2015. Sosiologi Masyarakat Pesisir. Bogor: Yayasan Obor
Idonesia.
_________, 2009a.Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor: IPB Press.
__________.2009b.Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta: LKIS.
__________.2015.Politik Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 156
Denpasar, 25-26 September 2018
MEMAHAMI KATA TUGAS DALAM BAHASA INDONESIA
DITINJAU DARI PELONCATAN KATEGORI DAN FUNGSI
I Wayan Teguh
Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Kata tugas berbeda dengan kategori kata yang lain karena mempunyai ciri
khusus. Dalam hal ini kata tugas hanya mempunyai arti gramatikal, tidak
memiliki arti leksikal, seperti yang dimiliki verba, adjektiva, dan nomina. Ciri lain
kata tugas adalah hampir semua tidak dapat menjadi dasar untuk membentuk kata
lain. Di samping itu, kata tugas juga merupakan kata yang tertutup. Hal ini
berbeda dengan kata lain, seperti verba, adjektiva, dan nomina yang merupakan
kelas kata terbuka.
Kata tugas yang mengalami peloncatan kategori dan fungsi adalah preposisi
dan konjungsi. Kedua kata tugas itu hanya dapat mengalami peloncatan kategori
dan fungsi ke nomina, verba, dan adjektiva. Akan tetapi, tidak semua peloncatan
kategori diikuti oleh peloncatan fungsi. Di samping itu, peloncatan kategori dan
fungsi terjadi karena kata-kata tersebut mempunyai hubungan makna polisemi.
Peloncatan kategori dari preposisi ke verba dan adjektiva diikuti oleh
peloncatan fungsi, sedangkan peloncatan dari preposisi ke nomina tidak selalu
diikuti oleh peloncatan fungsi. Di pihak lain peloncatan kategori dari konjungsi,
baik ke nomina, verba, maupun adjektiva, umumnya juga diikuti oleh peloncatan
fungsi.
Kata kunci: kata tugas. kategori, fungsi
1. Pendahuluan
Kata tugas merupakan salah satu kategori kata dalam bahasa Indonesia.
Kategori kata lainnya adalah verba, adjektiva, adverbia, nomina, pronomina, dan
numeralia (Alwi dkk., 2003:287). Kata tugas berbeda dengan kategori kata yang
lain karena mempunyai ciri khusus. Dalam hal ini kata tugas hanya mempunyai
arti gramatikal, tidak memiliki arti leksikal, seperti yang dimiliki verba, adjektiva,
dan nomina. Ciri lain kata tugas adalah hampir semua tidak dapat menjadi dasar
untuk membentuk kata lain. Di samping itu, kata tugas juga merupakan kata yang
tertutup. Hal ini berbeda dengan kata lain, seperti verba, adjektiva, dan nomina
yang merupakan kelas kata terbuka. Dalam kelas kata terbuka dengan mudah
dapat ditambah atau diterima unsur lain sebagai kata baru atau padanan kata yang
telah ada. Sebaliknya, dalam kata tugas hal seperti itu hampir tidak pernah terjadi.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 157
Denpasar, 25-26 September 2018
Istilah kategori dan fungsi ditemukan dalam tulisan Verhaar (1981:70).
Dalam buku tata bahasa Indonesia lainnya istilah kategori biasa disebut jenis kata,
sedangkan fungsi sering disebut jabatan atau tetap fungsi. Penggolongan kata
berdasarkan kategori meliputi, misalnya nomina, verba, dan adjektiva. Di pihak
lain penggolongan fungsi mencakup, misalnya subjek, predikat, objek, dan
keterangan.
2. Pembahasan
Dalam bahasa Indonesia ditemukan sejumlah kata yang dapat digolongkan
ke dalam beberapa kategori. Menurut Ramlan (1982:1), kata sedang dapat
digolongkan pada kategori verba, konjumgsi, atau adverbia. Di pihak lain kata
dalam di samping sebagai konjungsi mungkin juga diklasifikasikan pada
preposisi, verba, dan nomina.
Istilah peloncatan kategori dan fungsi dalam tulisan ini sebenarnya hanya
bertujuan untuk memudahkan pembicaraan. Sebuah kata yang biasanya
berkategori kata tugas, misalnya, tetapi dalam konteks lain berkategori nomina,
verba, atau adjektiva dikatakan bahwa kata tersebut mengalami proses peloncatan
kategori. Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan peloncatan fungsi sebenarnya
berkaitan dengan peloncatan kategori. Dalam hal ini kata tugas, misalnua, tidak
dapat menduduki fungsi tertentu dalam kalimat. Akan tetapi, setelah meloncat ke
kategori nomina ada kemungkinan untuk menduduki fungsi subjek atau objek.
Hal seperti ini dikatakan peloncatan fungsi. Pokok pembicaraan tulisan ini
ditekankan pada peloncatan kategori, sedangkan peloncatan fungsi hanya
mengikuti pembicaraan peloncatan kategori. Hal yang diutamakan dalam
pembicaraan ini adalah pemahaman tentang peloncatan kategori kata tugas
(bahasa Indonesia) ke kategori ;lain. Artinya, sesuai dengan judul tulisan ini,
yakni peloncatan kategori dan fungsi dibatasi khusus dari kata tugas ke kategori-
kategori lainnya.
Dalam bahasa Indonesia dapat dikatakan bahwa secara definitif batasan
kata tugas sulit dirumuskan. Sehubungan dengan itu, Keraf membuat simpulan
secara negatif tentang kata tugas tersebut. Menurut Keraf, kata tugas adalah semua
jenis kata yang tidak termasuk kategori nomina, verba, atau adjektiva. Di samping
158 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
itu, juga dinyatakan bahwa ciri kata tugas yang membedakannya dengan kategori-
kategori lain terletak pada ketidakmampuan kata tugas menempati fungsi-fungsi
tertentu dalam kalimat. Sebaliknya, nomina, misalnya, dapat menduduki fungsi
subjek dan objek dalam sebuah kalimat. Di pihak lain fungsi predikat dalam
bahasa Indonesia dapat diisi oleh kategori verba.
Seperti diketahui bahwa kata tugas memiliki sejumlah subkategori. Dua
subkategori yang dikenal secara umum adalah preposisi dan konjungsi. Kedua
subkategori tersebut diuraikan secara singkat sebagai berikut. Apabila ditinjau
dari perilaku semantisnya, preposisi menandai berbagai hubungan makna antara
konstituen di depan preposisi itu dan konstituen di belakangnya. Jika ditinjau dari
perilaku sintaktisnya, preposisi berada di depan nomina, adjektiva, atau adverbia
sehingga membentuk frasa preposisional (Alwi dkk., 2003:288). Di pihak lain
konjungsi adalah kata tugas yang menghubungkan dua satuan bahasa yang
sederajat, artinya kata dengan kata, frasa dengan kata, atau klausa dengan klausa.
Apabila dilihat dari perilaku sintaktisnya dalam kalimat, konjungsi dibagi atas
empat kelompok, yaitu konjungsi koordinatif, konjungsi korelatif, konjungsi
subordinatif, dan konjungsi antarkalimat (Alwi dkk., 2003:297).
2.1 Peloncatan Kategori dan Fungsi Preposisi
Dalam bahasa Indonesia ditemukan sejumlah kata tugas dapat digolongkan
pada nomina, verba, atau adjektiva dalam konteks lain. Di samping mengalami
peloncatan kategori, ternyata ada juga kata tugas yang mengalami peloncatan
subkategori, misalnya dari preposisi ke subkategori konjungsi. Secara umum
dapat dikatakan bahwa peloncatan kategori ini sering diikuti oleh peloncatan
fungsi, tetapi ada juga yang tidak diikuti peloncatan fungsi. Hal tersebut diuraikan
sebagai berikut.
1) Preposisi ke Nomina
Di dalam bahasa Indonesia ditemukan beberapa preposisi yang juga dapat
termasuk nomina. Preposisi tersebut adalah berkat, dalam, dan atas. Contoh-
contoh berikut menunjukkan terjadinya peloncatan kategori preposisi ke nomina.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 159
Denpasar, 25-26 September 2018
(1) Berkat kesigapan relawan, para lansia dan anak-anak dapat
diselamatkan dari bencana gempa bumi itu. (preposisi)
(1a) Pernikahan Tyas tidak mendapatlkan berkat keluarganya. (nomina)
(2) Pekerjaan itu dapat diselesaikan oleh Wahyu dalam waktu yang
singkat. (preposisi)
(2a) Sudah satu jam Rina menunggu di dalam. (nomina)
(3) Perbudakan atas orang lain harus ditentang. (preposisi)
(3a) Pak Yoga mengajar di ruang atas. (nomina)
Dari contoh di atas diketahui bahwa peloncatan kategori ternyata tidak
selalu diikuti oleh peloncatan fungsi. Kata dalam dan atas tidak dapat menduduki
fungsi tertentu. Akan tetapi, setelah bergabung dengan preposisi di kedua kata itu
dapat menduduki fungsi tertentu dalam kalimat. Kata yang lain, yaitu berkat
sebagai nomina ternyata mampu menduduki fungsi tertentu dalam kalimat. Pada
contoh (1a) di atas berkat menduduki fungsi objek.
2) Preposisi ke Verba
Di bawah ini diberikan contoh peloncatan kategori dan fungsi preposisi ke
verba.
(4) Belakangan ini banyak orang berbicara tentang prestasi atlet Indonesia.
(preposisi)
(4a) Tentang dia kalau kauberani. (verba)
(5) Dalam fotografi kita berbicara melalui simbol-simbol tertentu.
(preposisi)
(5a) Di jalan tol sepeda motor harus melalui jalur yang ditentukan. (verba)
(6) Hal itu merupakan pemberian yang wajar antarteman. (preposisi)
(6a) Sekarang antar adikmu ke sekolah. (verba)
Berdasarkan contoh (4)—(6a) diketahui bahwa peloncatan preposisi ke
verba juga diikuti oleh peloncatan fungsi. Artinya, dari kata yang tidak dapat
menduduki fungsi tertentu ke kata yang dapat menduduki fungsi tertentu dalam
kalimat. Dalam bahasa Indonesia kategori verba biasa menduduki fungsi predikat.
160 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
3) Preposisi ke Adjektiva
Peloncatan dari preposisi ke adjektiva dapat diperhatikan pada contoh-
contoh berikut.
(7) Dekat rumah Intan terdapat lapangan sepak bola. (preposisi)
(7a) Kintamani sudah dekat dari sini. (adjektiva)
(8) Adik minum sisa susu dalam gelasnya sampai habis. (preposisi)
(8a Sumur itu sangat dalam. (adjektiva)
(9) Agus senang sama Ayu. (preposisi)
(9a) Hobi kedua anak itu sama. (adjektiva)
Dari contoh (7)—(9a) di atas diketahui bahwa peloncatan kategori preposisi
ke adjektiva juga diikuti peloncatan fungsi. Dalam keadaan berdiri sendiri
adjektiva biasa berfungsi sebagai predikat dalam kalimat.
2.2 Peloncatan Kategori dan Fungsi Konjungsi
Konjungsi berfungsi untuk menghubungkan klausa dengan klausa, klausa
dengan kata atau frasa. Dalam frasa endosentrik konjungsi berfungi
menggabungkan kata atau frasa dengan kata atau frasa yang mempunyai fungsi
yang sama (Ramlan, 1982:4). Peloncatan kategori dan fungsi konjjungsi diuraikan
seperti di bawah ini.
1) Konjungsi ke Nomina
Peloncatan konjungsi ke kategori nomina dapat dilihat pada contoh di
bawah ini.
(10) Aku akan selalu menunggumu asal engkau setia. (konjungsi)
(10a) Dari mana asal Anda? (nomina)
(11) Waktu Kesya datang, ibunya di rumah sakit. (konjungsi)
(11a) Waktu adalah uang. (nomina)
(12) Lenny mengunci rumahnya lalu pergi ke kampus. (konjungsi)
(12a) Masa lalu yang pahit harus dilupakan. (nomina)
Dari contoh (10)—(12a) diketahui bahwa peloncatan kategori konjungsi ke
nomina umumnya diikuti oleh peloncatan fungsi. Artinya, kata asal, waktu, dan
lalu tidak dapat menduduki fungsi tertentu jika berdiri sendiri.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 161
Denpasar, 25-26 September 2018
2) Konjungsi ke Verba
Konjungsi yang juga berkategori verba tidak banyak ditemukan dalam
bahasa Indonesia. Di samping itu, juga biasanya hanya berupa bentuk dasar.
Peloncatan kategori konjungsi ke verba tampak pada contoh berikut.
(13) Yudi bekerja keras buat mencukupi kebutuhan sehari-hari. (konjungsi)
(13a) Buat pekerjaan rumah yang bagus. (verba)
(14) Ririn mengunci kamar tidurnya lalu merebahkan tubuhnya di tempat
tidur. (konjungsi)
(14a)Sebaiknya Anda tidak sering lalu di depan rumah orang iru. (verba)
(15) Agus membentak serta menghentak-hentakkan kakinya ke lantai.
(konjungsi)
(15a) Apakah Yudit tidak serta hari ini? (verba)
Berdasarkan contoh (13)—(15a) dapat dipahami bahwa peloncatan kategori
dari konjungsi ke verba diikuti oleh peloncatan fungsi. Artinya, buat, lalu, dan
serta masing-masing pada contoh (13a), (14a), dan (15a) berfungsi sebagai
predikat.
3) Konjungsi ke Adjektiva
Peloncatan konjungsi ke adjektiva dapat diperhatikan pada contoh di bawah
ini.
(16) Akhir-akhir ini DPR berperan aktif lagi dalam menilai hasil-hasil
pemeriksaan BPK. (konjungsi)
(16a) Sungai di belakang rumah Surya sangat dalam. (adjektiva)
(17) Yunita tertawa, sedang Julia hanya tersenyum. (konjungsi)
(17a) Tubuh Fatma tidak gemuk, tetapi sedang saja. (adjektiva)
Dalam keadaan berdiri sendiri adjektiva biasa menduduki fungsi predikat.
Dengan demikian, peloncatan kategori dari konjungsi ke adjektiva ini juga diikuti
oleh peloncatan fungsi.
162 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
3. Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kata tugas yang
mengalami peloncatan kategori dan fungsi adalah preposisi dan konjungsi. Kedua
kata tugas itu pada umumnya dapat mengalami peloncatan kategori dan fungsi ke
nomina, verba, dan adjektiva. Akan tetapi, tidak semua peloncatan kategori diikuti
oleh peloncatan fungsi. Di samping itu, peloncatan kategori dan fungsi terjadi
karena kata-kata tersebut mempunyai hubungan makna polisemi.
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka.
Ramlan, M. 1982. Morfologi Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Andi.
Verhaar, J.W.M. 1981. Pengantar Lingguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 163
Denpasar, 25-26 September 2018
TERJEMAHAN ISTILAH KELAUTAN BAHASA INGGRIS KE DALAM
BAHASA INDONESIA
Ida Ayu Made Puspani
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana kesepadanan makna istilah-
istilah kelautan yang diterjemahkan dari novel berbahasa Inggris `The Old Man
andthe Sea` karya penulis Amerika Ernest Hemingway ke dalam bahasa
Indonesia `Lelaki Tua dan Laut` diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono.
Terdapat dua masalah yang dibahas di dalam tulisan ini yaitu (1) prosedur
penerjemahan apa sajakah yang diterapkan oleh penerjemah dalam mencari
kesepadan makna terjemahan?dan (2) bagaimana hasil dari kesepadan makna
yang terdapat dalam hasil terjemahannya. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif kualitatif dengan menerapkan teori linguistik terjemahan yang ditulis
oleh Newmark(1998) tentang prosedur penerjemahan. Hasil kajian menunjukkan
bahwa prosedur penerjemahan yang diterapkan pada terjemahan novel tersebut
adalah shift (transposisi), parafrasa, descriptive equivalent dan gabungan lebih
dari satu atau dua prosedur, serta hasil terjemahan menujukkan kesepadanan
terdekat pada bahasa sasaran.
Kata kunci: laut, terjemahan, prosedur, dan makna
1. Pendahuluan
Penerjemahan merupakan pengalihan makna atau pesan teks bahasa sumber
(BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa). Dalam proses pengalihan makna,
penerjemah harus memiliki kemampuan linguistik maupun budaya BSu dan BSa.
Penerjemahan ranah karya sastra (puisi, novel, prosa dan drama) memerlukan
ketrampilan/skill penerjemah dalam bahasa sastra yang sarat akan makna konotasi
atau connotative meaning. Tulisan ini membahas penerjemahan karya sastra novel
`The Old Man andThe Sea` sebuah novel yang ditulis oleh sastrawan Amerika
Ernest Hemingway dan diterjemahkan oleh Sapardi Joko Damono menjadi `Lelaki
Tua dan Laut.
Dalam penelitian ini terdapat dua masalah yang akan dibahas yaitu:(1)
prosedur penerjemahan apa sajakah yang diterapkan oleh penerjemah dalam
mencari kesepadan makna terjemahan? Dan bagaimana hasil dari kesepadan
makna yang terdapat dalam hasil terjemahannya.
164 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
2. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian terjemahan yang sebelumnya membahas
terjemahan istilah-istilah baik kedokteran maupun budaya dari bahasa Inggris ke
bahasa Indoneisa dan dari bahasa Indonesia ke Bahasa Ingrris a.l: Pertama,
Jayantini, dkk. (2017)pada `International Journal of Comparative Literature and
Translation Studies Vol 5, No 4, Halam 11-18 menulis artikel dengan judul
`Translating English Medicl Terms : A Study of Phonological Translation and
Spelling Adjustment. Meneliti bagaimana istilah-istilah kedokteran mata
(optalmologi) bahasa Inggris diterjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam
penelitian ini ditemukan bahwa penerjemah menerapkan prosedur adaptasi dan
naturalisai istilah kedokteran mata Bahasa Inggis ke dalam bahasa Indonesia.
Kedua, peneltian yang dilakukan oleh Arnita,dkk. pada tahun 2016
berjudul` Componential analysis of the cultural terms in the Bilingual short story
entitled ―Mati Salah Patiand its Translation ― The Wrong Kind of Death‖ dimuat
pada jurnal Linguistika Vol 23 No 44. Penelitian ini membahas penerjemahan
isitilah budaya Bali diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris.Dalam penelitian
tersebut menerapkan teori linguistik terjemahan kerkait dengan analisis
komponensial. Kedua penelitian sebelumnya memiliki keterkaitan dengan
penelitian ini dalam hal peristilahan walaupun istilah yang dibahas berbeda.
3. Kerangka Teori
Teori yang diterapkan untuk mengkaji kesepadanan makna penerjemahan
istilah kelautan dari bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia pada novel `The
Old Man andThe Sea` dan terjemahannya `Lelaki Tua dan Laut`adalah terori
linguiatik penerjemahan yang ditulis oleh Newmark ( 1988) tentang prosedur
penerjemahan sebagai berikut:
(1) Tranference merupakan suatu prosedur bila penerjemah memutuskan untuk
tidak mentrasfer sebuah kata yang tidak lumrah dalam BSa yang pada
prinsipnya merupakan sebuah kata terkait budaya dalam BSu yang
referensinya penting dalam BSa. Dalam kondisi seperti ini penerjemah
mentransfer kata BSu ke BSa yang biasanya terkait dengan objek budaya atau
konsep yang terkait dengan kelompok kecil.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 165
Denpasar, 25-26 September 2018
(2) Naturalization merupakan suatu prosedur penerjemahan setelah transference
dan pertama-tama mengabdopsi kata BSu ke pelafalan normal dan kemudian
disesuaikan dengan bentuk kata (word form) dalam BSa.
(3) Cultural equivalent merupakan suatu approximate translation yang
menerjemahkan kata budaya dalam BSu ke dalam kata budaya /cultural
wordBSa.
(4) Functional equivalent adalah prosedur yang umum dimanfaatkan dalam
menerjemahkan kata budaya (culturalword), memerlukan pemanfaatan
culture-free word (kata yang tidak terkait dengan budaya), kadang-kadang
dengan istilah baru yang khusus, maka akan menetralisasikan kata BSu.
(5) Descriptive equivalent merupakan prosedur yang harus mempertimbangkan
antara fungsinya . Seperti misalnya `machete` merupakan deskripsi sebuah
alat yang berat yang dipergunakan untuk memotong Amerika Latin, yang
dewkripsi dan fungsinya sama dengan `knife`( pisau)
(6) Synonymy sebuah prosedur yang digunakan untuk medapatkan kesepadan
terdekat dari kata BSu dalam sebuah konteks, atau bila kata BSu tidak
memiliki korespondesi satu-satu dalam BSa. Seorang penerjemah tidak dapat
menghindari penggunaan sinonim, ini perlu dilakukan sebagai sebuah
kompromi dalam menerjemahkan bagian penting dari teks tersebut.
(7) Shift or transposition (pergesersan atau transposisi) merupakan prosedur yang
menyertakan perubahan gramatika BSu pada BSa. Misalnya perubahan
tunggal ke jamak dari bahasa Inggris ke Prancis ` furniture` menjadi
`desmeubles`
(8) Modulation yang awalnya diungkapkan oleh Vinay dan Darbelnet (2000)
merupakan prosedur untuk mencari variasi melalui perubahan pandangan,
perspektif dan sering terkait dengan katagori pemikiran.
(9) Compensation merupakan prosedur bila terjadi penyusutan makna, sound
effect (efek bunyi) metafora atau pragmatik dalam satu bagian kalimat
dikonpensasikan dalam bagian yang lain atau dalam kalimat.
(10) Paraphrase sebuah prosedur penerjemahan tentang penjelasan bagian teks.
Prosedur ini dipergunakan jika ada bagian teks yang memerlukan penjelasan
dalam BSa.
166 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
(11) Couplet, triplet, dan quardruplet merupakan gabungan dua, tiga atau lebih
dari prosedur penerjemahan di atas.
4. Pembahasan
Berdasarakan data yang didapat dari terjemahan novel`The Old Man and the
Sea` dan terjemahannya `Lelaki Tua dan Laut`berikut disertakan analisis istilah-
istilah yang berkaitan dengan kelautan.
[4-1]
SL TL
Hewasanoldmanwhofished(a)aloneinaskiffintheGulfStreamand
hehadgoneeighty-fourdaysnowwithouttakingafish (hal.1).
Ia seorang lelaki
tua yang sendiri
saja dalam
sebuahperahu
penangkap ikan di Teluk
Meksiko dan kini
sudah genap
delapan puluh
empat hari
lamanya tidak
berhasil
menangkap ikan
seekor un (hal.1)
Data [4-1a] terjemahan istilah `fished` (verba)berasal dari kata benda
(nomina) `fish` (ikan) dalam konteks di atas berarti `menangkap ikan`, prosedur
yang diterapakan adalah `shift` (pergeseran) terjemahan dari verba ke klausa
`menangkap ikan`. Data [4-1b] frasa nomina `a skiff``diterjemahkan menjadi
sebuah perahu juga berupa frasa nomina dalam bahasa Indonesia. Prosedur
terjemahannya adalan prosedur literal, dan frasa nomina in`theGulfStream(4-1c)`
diterjemahkan menjadi frasa nomina `Teluk Meksiko`dalam bahasa Inggris Gulf
Stream memang merupakan sebuah teluk di Mesiko yang membentang sampai ke
Florida Amerika serikat, penerjemah dalam hal ini penerapkan prosedur
descriptive equivalent.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 167
Denpasar, 25-26 September 2018
[4-2]
SL TL
Itmadethe
boysadtoseetheoldmancomeineachdaywithhisskiffemptyandhealw
ayswent
downtohelphimcarryeitherthecoiledlinesorthegaffandharpoon(
a ) andthesail(b)that wasfurledaroundthemast(c)(hal.2)
Anak itu
merasa
kasihan
setiap kali
menyaksikan
si lelaki tua
tiba dari laut
setiap hari
dengan
perahu
kosong dan
iapun selalu
datang untuk
menolongnya
membawaka
n gulungan
tali atau kait
besar dan
kait kecil,
serta layar
yang sudah
tergulung di
tiang
perahu(hal
2)
Pada data [4-2] frasa nomina bahasa Inggris` thegaffandharpoon[4-2a] ` di
atas diterjemahkan menjadi` frasa nomina `kait besar dan kait kecil,`dalam
bahasa Inggris terdapat istilah yang berbeda untuk menyatakan jenis kait; kait
yang besar disebut dengan gaff dan kait yang kecil disebut `harpoon`. Dalam
terjemahan ini penerjemah menerapakan prosedur descriptive equivalent untuk
menyatakan istilah BSu pada BSa. Istilah `thesail[4-2b]`dalam bentuk frasa
nomina diterjemahkan menjadi `layar`mengalami pergeseran dari frasa ke
nomina `layar`. Istilah `mast `(4-2c)bahasa Inggris diterjemahkan menjadi `tiang
perahu`dalam bahasa Indonesia dan proser terjamahan yang diterapkan adalah
descriptive equivalent.
168 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
[4-3]
SL TL
Theblotchesranwelldownthesidesofhisfaceandhis
handshadthedeep-creased
scarsfromhandlingheavyfishonthecords
(hal.3)
Bintik bintik itu
memenuhi kedua sisi
wajahnya dan kedua
tangannya penuh
dengan goresan tajam,
yakni bekas luka
karena gosokan tali
sewaktu menghela
ikan besar.(hal 3)
Terjemahan kalimat kedua bahasa sumber` his handshadthedeep-creased
scarsfromhandlingheavyfishonthecords` menjadi `kedua tangannya penuh dengan
goresan tajam, yakni bekas luka karena gosokan tali sewaktu menghela ikan
besar`, terdapat beberapa prosedur yang diterapkan oleh penerjemah. Pertama
terjemahan frase nomina ` his hands` menjadi `kedua tangannya` menerapkan
prosedur shift , dan `frasa nomina `heavy fished` diterjemahkan menjadi `ikan
besar` bukan menjadi `ikan berat`karena lebih berterima kalau menjadi `ikan
besar` pada BSa, prosedur yang diterapkan adalah `equivalent`. Pada data di
atas(4-3) menerapkan dua prosedur terjemahan yaitu shiftdanequivalent.
[ 4-4]
SL TL
Butnoneof thesescarswerefresh.
Theywereasoldaserosionsinafishlessdesert.(hal.4)
Namun luka-luka itu
tidak ada yang masih
segar. Setua erosi
gurun pasir yang
tanpa ikan.(hal 5)
Terjemahan simili BSu`Theywereasoldaserosionsinafishlessdesert`
menjadi `setua erosi gurun pasir` dengan prosedur terjemahan `equivalent`
dengan mengacu pada referensi yang sama yaitu sebagai pembanding setara`
erosi gurun pasir yang tanpa ikan`.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 169
Denpasar, 25-26 September 2018
[4-5]
SL TL
Thesuccessful
fishermenofthatdaywerealreadyinandhadbutcheredtheirmarlino
ut(a)andcarried
themlaidfulllengthacrosstwoplanks,withtwomenstaggeringattheen
dofeachplank, tothefishhouse(b)where theywaited fortheicetruck
tocarry them tothemarket in Havana. (hal.4)
Para nelayan
yang beruntung
itu telah berada
di darat dan
telah
menyemblih
ikan todak
mereka dan
membawanya
terbujur di
atasdua lembar
papan, yang
setisap
ujungnya
dingkat oleh
dua orang yang
berjalan
terhuyung ke
arah gudang
ikan di mana
mereka
menunggu truk
es yang akan
mengangkut
mereka ke
pasar di
Havana (hal.5)
Terjemahan klausa BSu (4-5a)`had butchered their marlin out` menjadi
`telah menyembelih ikan todak mereka` pada BSa. Verba` butchered out `
diterjemahan menjadi `meyembelih` pada BSu, meyembelih ikan dalam bahasa
Indonesia tidak umum ditemukan, namun mematikan ikan sebelum dimasak biasa
dalam bahasa Indonesia. Pernerjemahn menerapkan prosedur literal`Frasa Nomina
BSu (4-5b)` thefishhouse`(def. art. + N.mod.+ N) diterjemahka menjadi ` gudang
ikan (N+ N. mod) `prosedur yang diterapkan adalah prosedur `shift` (pergeseran).
[4-6]
SL TL
Thosewhohadcaughtsharkshadtakenthemtothesharkfactoryont
heother sideofthecovewheretheywerehoistedona
blockandtackle,theirliversremoved,their
finscutoffandtheirhidesskinnedoutandtheirfleshcutintostripsfor
salting.(hal.5)
Para nelayan
yang berhasil
mengkap ikan
hiu telah
membawa
170 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
perolehan
mereka ke
perusahaan
hiu yang
terletak di
sebelah teluk,
dan di sana
ikan-ikan itu
diangkat
dengan kerekan
dan katrol,
hatinya
dikeluarkan,
siripnya
dipotong, serta
kulitnya
dikelupas, dan
dagingnya di
iris iris menjadi
lempengan
untuk
digarami.(hal.6
)
Terjemahan frasa nomina BSu `shark factory` ke dalam BSa menjadi
`perusahaan hiu`, prosedur yang diterapkan adalah prosedur shift dan
modulation`. Pada BSu` `factory` diterjemahkan menjadi `perusahaan` bukan
menjadi `pabrik` pada BSa
[4-7]
SL TL
―Ican rememberthetail slappingand
bangingandthethwart breaking andthe noiseof
theclubbing.Icanrememberyouthrowingmeintothebowwh
erethewetcoiled lines were and feeling the whole boat
shiverand the noise of you clubbing him like
choppingatreedownandthesweetbloodsmellalloverme.‖(h
al 6)
Ku ingat
ekornyamembe
ntur- bentur dan
perahu retak dan suara suara
pukulanmu yang
gaduh
Kuingat kau
melemparkanku
ke haluan tempat
gulungan tali
yang masih
basah dan
kurasakan
seluruh perahu
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 171
Denpasar, 25-26 September 2018
bergetar, dank
kau mengamuk
memukuli ikan
itu bagai
membaco-bacok
patang pohon
dan bau darah
segar
disekelilingku.
(hal 6)
Keterangan pada kalimat BSuIcan remember `the tail slapping and
banging`diterjamahkan menjadi `ekornya membentur-bentur` pada BSa. Gerakan
ekor ikan saat diangkat berulang-ulang. Prosedur terjamahan yang diterapkan
adalah prosedur `modulation.`
5. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data di atas dapat disimpulkan bahwa:
(1) Prosedur terjemahan yang diterapkan dalam terjemahan novel `The
Old Man and the Sea` ke dalam bahasa Indonesia terkait dengan
terjemahan istilah kelautan adalah yaitu : shift (transposisi),
modulation, descriptive equivalent dan gabungan lebih dari satu atau
dua prosedur;
(2) Hasil terjemahan istilah kelautan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa
Indonesia menunjukkan kesepadan terdekat.
Daftar Pustaka
Arnita,dkk. 2016. Componential analysis of the cultural terms in the Bilingual
short story entitled ―Mati Salah Patiand its Translation ― The Wrong Kind of
Death‖ Jurnal Linguistika Vol 23 No 44.
Hemingway,Ernest.1952.The Old Man and The Sea.USA: CharlesScribner`s Sons.
Jayantini, dkk. 2017.`Translating English Medical Terms: A Study of
Phonological Translation and Spelling Adjustment.International Journal of
comparative Literature and Translation Studies Vol 5, No 4, Halam 11-18
Larson, Mildred.1984.Meaning-Based Translation. New York:UniversityPress. Newmark, Peter.1998. A Text Book on Translation. New York: Prentice –Hall.
Damono, Sapardi Djoko. 2014. Lelaki Tua dan Laut(terjemahan). Jakarta: Pustaka
Jaya
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 172
Denpasar, 25-26 September 2018
FUNGSI DAERAH PESISIR DARI MASA KE MASA DI BALI
(KAJIAN KEPUSTAKAAN)
Ida Ayu Putu Mahyuni
Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Dalam catatan sejarah suatu daerah pesisir pada umumnya memiliki sifat
dinamis, daerah pesisir dapat berkembang menjadi sebuah pelabuhan dengan
berbagai fungsinya. Sebagai Pelabuhan memudahkan penduduk setempat untuk
melakukan kontak terutama terutama kontak perdagangan dengan luar daerah,
sebagai tempat para pejuang rakyat Bali dalam revolusi fisik (1945-1950) tempat
penyebrangan menuju daerah luar Bali untuk berbagai keperluan. Sejak dulu
daerah pesisir di Bali memiliki potensi sebagai daya tarik wisata. Bagaimana
fungsi daerah pesisir di Bali, baik sebagai kota pelabuhan, tempat para pejuang
rakyat Bali melakukan kontak ke luar Bali seperti dengan para pejuang yang ada
di Jawa dan sebagai daya tarik wisata ? Semua ini akan menjadi fokus dalam
kajian ini.
1.Latar Belakang
Dalam Sejarah Bali Kuno (2015), hubungan perdagangan telah terjadi sejak
masa kerajaan kuno di Bali. Salah satu tempat terjadinya transaksi barang-barang
komuditas antar penduduk lokal dengan orang asing adalah daerah pesisir Bali
Utara bagian timur (Ardika (Dkk), 2015 : 211).
Dalam sumber lain juga disebutkan bahwa, terdapat juga penduduk
pendatang dari luar sudah ada dan menetap di Bali, seperti orang-orang Bugis,
Makasar, Jawa dan orang Cina yang paling dominan bermukim atau bertempat
tinggal di kawasan pantai atau pesisir Pada umumnya mereka datang dan tinggal
di Bali terutama untuk berdagang.
Dalam perjalanan sejarah Bali, khususnya wilayah pesisir Bali berangsur-
angsur berkembang tidak saja sebagai tempat transaksi jual-beli dalam
perdagangan, juga berkembang sebagai kota pelabuhan yang berfungsi sebagai
jalur lalu lintas transportasi Bali dengan daerah luar Bali. Selain itu
Perkembangan Pariwisata di Bali menyebabkan banyak daerah pesisir di Bali
seperti Kuta dan Sanur dan daerah pantai lainnya di Bali menjadi salah satu
andalan pariwisata. Masing-masing daerah pesisir tersebut memiliki potensi dan
daya tarik tersendiri untuk menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW).
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 173
Denpasar, 25-26 September 2018
Dari latar belakang tersebut muncul masalah yang perlu dikaji : Bagaimana
Peranan Daerah Pesisir dari Masa ke Masa di Bali ?
Kajian ini akan dicoba dianalisa melalui teori motivasi. Motivasi merupakan
hal yang mendasar orang untuk melakukan perjalanan, baik dengan tujuan
berdagang ataupun berwisata ke daerah tujuan. Salah satu daerah tujuan tersebut
adalah daerah pesisir. Motivasi seseorang untuk melakukan perjalanan ke daerah
pesisir selain faktor di daerah asal juga karena faktor yang ada di daerah tujuan,
dalam hal ini adalah daerah pesisir, pantai atau pun pelabuhan.
Menurut I Gde Pitana dan Putu G.Gayatri (2005), motivasi merupakan hal
yang mendasar dalam studi tentang wisatawan dan pariwisata karena motivasi
merupakan proses perjalanan dalam pariwisata. Walaupun pada masa kerajaan
kuno daerah pesisir lebih dominan berperan sebagai tempat transaksi perdagangan
bahkan tempat pemukiman permanen atau menetap di daerah tujuan yaitu daerah
pesisir, namun di sisi lain daerah pesisir di Bali pada saat itu juga sudah berperan
sebagai daerah tujuan wisata dengan berbagai tujuan.
Metode penelitian yang dilakukan dalam kajian ini adalah metode
kepustakaan, baik sumber yang berasal dari sejarah kuno yang ditulis oleh para
pakar sejarah kuno dan sejarah kontemporer, seperti Sejarah Bali Kuno, Sejarah
Bali Pertengahan, Bali Pada Masa Kolonial, Sejarah Pariwisata dan
Perkembangannya di Indonesia (1996).
2. Hasil dan Pembahasan
Hasil penelian kepustakaan tentang peranan daerah pesisir dari masa kemasa
di Bali ini fokus pada dua hal secara garis besarnya sebagai beriut:
2.1. Peranan Daerah Pesisir di Bali Sebagai Pelabuhan
Pada masa lalu masyarakat di Bali sudah mengenal transaksi dalam
perdagangan. Pada saat itu masih dikembangkan perdagangan melalui sistem
barter maupun dengan menggunakan alat tukar kulit kerang. Barang-barang yang
diperjualbelikanpun meliputi kebutuhan primer (sandang dan pangan) (Ardika
(Dkk), 2015), 208).
Pada awalnya tempat kebutuhan transaksi jual beli perdagangan barang-
barang dan hasil produksi mendorong munculnya pasar sebagai tempat tukar-
174 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
menukar hasil produksi menunjukkan bahwa ekonomi masyarakat pada saat itu
sudah lebih maju. Pada saat itu sudah tumbuh pemikiran tentang pemilihan lokasi
yang tepat yaitu pada tempat yang dipandang strategis, mudah dan ramai
dikunjungi orang. Daerah pesisir adalah tempat transaksi perdagangan atau pusat
pasar yang dipandang strategis dan dinamis.
Sejak dulu aktivitas perdagangan sudah memainkan peran penting
khususnya pesisir Bali Utara. Bahkan sejak abad ke-17 para Raja telah pula
melakukan kontak perdagangan dengan pedagang luar, seperti Cina, Bugis bahkan
dengan pedagang Eropa. Itu artinya sudah ada penduduk asing yang tinggal di
Bali, hanya kurang jelas jumlahnya. Sejak abad ke- 17 terdapat orang-orang Bugis
tinggal di Serangan juga sudah ada tinggal di Tuban (Parimartha (Dkk), 2015 :
299).
Kontak awan orang Bali dengan Barat terjadi sejak abad ke-16. Hubungan
persahabatan berlanjut kemudian dengan hubungan usaha Belanda dengan Bali,
dan berhasil sejak abad ke-19. Dalam perdagangan Bali memiliki pelabuhan-
pelabuhan yang baik sebagai tempat persinggahan ataupun berlabuhnya kapal-
kapal dagang dari luar. Pelabuhan Pabean dan Pantai Bungkulan yang terletak di
Buleleng, Bali Utara disebut sebagai pelabuhan yang ramai pada masa itu. Di
kedua tempat ini ditemukan banyak pedagang Makasar, Bugis, dan Mandar.
Menurut I Gde Parimartha (Dkk, 2015), bahwa abad ke 19, di Karangasem
juga terdapat dua buah pelabuhan yang baik Ujung dan Padangbai. Selain itu di
Karangasem juga terdapat pelabuhan yang ramai dikunjungi pedagang luar yakni
Labuanaji. Pelabuhan itu sering dikunjungi oleh kapal-kapa dari Inggris, Cina
yang mengambil beras. Selain itu di Bali Selatan yakni Badung juga memilik
pelabuhan yang baik, yakni Tuban. Disana terdapat pedagang Bugis. Ke
pelabuhan Tuban ini Pedagang Cina dan Bugis memasukkan kain lena ke Bali.
Disebut juga Kuta merupakan pelabuhan yang teletak di Badung. Kuta sejak dulu
telah menjadi sebuah pelabuhan dagang dengan penduduknya yang beragam
terdiri dari orang Cina, Bali Hindu dan pedagang Bugis.
Kontak awal orang Bali dengan Barat dapat dikatakan terjadi sejak abad ke
16, mereka datang awalnya sebagai pelancong dengan menyeberangi beberapa
pelabuhan yang ada di Bali. Hubungan berlangsung terus sampai abad ke 18 yang
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 175
Denpasar, 25-26 September 2018
ditandai dengan adanya usaha orang-orang Belanda membangun hubungan
dagang di Bali (Parimartha, 2015 : 359).
Pada masa lalu selain pelabuhan berfungsi sebagai pusat perdagangan dan
tempat pemukiman berbagai penduduk pendatang dari luar daerah, daerah pesisir
atau daerah pelabuhan juga berfungsi untuk mempermudah melakukan kontak
dengan luar daerah Bali. Bali pada masa Revolusi Indonesia, dimana para pejuang
memanfaatkan diantaranya adalah daerah pesisir atau pantai Celukan Bawang
yang terletak di Bali Utara guna mengacaukan daerah itu dari kekuasaan musuh
dan membuat basis perjuangan di Bali Utara. Terdapat juga tempat pendaratan
lain yang dapat dimanfaatkan para pejuang pada saat itu. Setelah pasukan di
bawah pimpinan Suryadi berangkat dari Banyuwangi menuju Bali dan kemudian
mendarat di Klatan dan Batukaang. Demikian halnya rombongan yang di pimpin
Gusti Ngurah Rai tiba dari Jawa mendarat di Yeh Kuning, di Pantai Barat daya
Pulau Bali, daerah Jemberana tiba dengan selamat juga berkat bantuan rakyat Yeh
Kuning dan sekitarnya yang telah bertekad bulat berjuang bersama.
2.2. Peranan Daerah Pesisir Sebagai Daya Tarik Wisata.
Daerah pesisir di Bali seperti pantai dan pelabuhan sejak dulu memiliki
peranan penting tidak hanya sebagai tempat berlabuhnya atau mendaratnya kapal,
tempat pemukiman orang yang datang dari luar daerah, tempat mendaratnya kapal
dengan berbagai keperluan, namun daerah pesisir atau pantai di Bali sering
berfungsi sebagai daya tarik wisata, baik wisatawan lokal, nusantara maupun
wisatawan asing dengan berbagai kepentingan atau tujuan.
Kemajuan teknologi dan komunikasi telah mendrong perkembangan
pariwista di dunia, tak terkecuali di Indonesia (Sonder, 2011 : 76). Demikian
halnya di Bali. Menurut I wayan Sonder (2011), Pembangunan pariwisata di
Indonesia berdasarkan Undang-Undang No.10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan mempunyai tujuan antara lain : 1. Meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, 2.Meningkatkan kesejahteraan rakyat, 3. Menghapus kemiskinan, 4.
Mengatasi pengangguran, 5. Melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, dan
sebagainya.
Salah satu yang dapat menarik orang untuk berkunjung ke Daerah Tujuan
Wisata (DTW) adalah pemandangan pantai (beaches). Wisata Pantai atau Wisata
176 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Bahari sering dikaitkan dengan olah raga air, seperti berselancar,, menyelam,
berenang, dan sebagainya. Objeknya adalah pantai, danau, sungai, termasuk man
laut. (Karyono, 1997 : 18-19).
Pantai yang indah berada di teluk dan dan tanjung dengan pantai yang rata
di atasnya terhampar pasir berwarna terdapat juga di beberapa daerah pantai di
Bali (Arjana, 2015 : 50). Selain sebagai aset, pantai juga menjadi objek yang
menarik untuk pariwisata. Di Bali pantai yang memiliki aset wisata dengan
kekhasan masing-masing seperti Pantai Sanur, Pantai Kuta, Pantai Lovina, Pantai
Candi Dasa, Pantai Tulamben, dan masih banyak pantai di Bali yang memiliki
aset wisata yang perlu dikembangkan.
Simpulan
1. Daerah pesisir seperti pantai di Bali sejak dulu (jaman kerajaan hingga
kemerdekaan) memiliki peran penting dalam dunia pelayaran dan
perdagangan antar pedagang luar daerah dan luar negeri;
2. Sejak perkembangan pariwisata di Indonesia daerah pesisir atau daerah
pantai di Bali menjadi dengan keindahan alamnya menjadi aset wisata
andalan dan daya tarik wisata tersendiri dengan kekhasannya masing-
masing.
DAFTAR PUSTAKA
Ardika, I Wayan (Dkk). 2015. Sejarah Bali Kuna, dalam I Wayan Ardika (Dkk).
Sejarah Bali Dari Prasejarah Hingga Modern. Denpasar : Udayana
University Press.
Arjana, I Gusti Bagus. 2015. Geografi Pariwisata dan ekonomi kreatif. Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada.
Karyono, A.Hari. 1997. Kepariwisataan. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Parimartha, I Gde (Dkk). 2015. Sejarah Bali Pertengahan Abad VIV-XVIII, dalam
I Wayan Ardika (Dkk). Sejarah Bali Dari Pra Sejarah Hingga Modern.
Denpasar : Udayana University Press.
Pitana, I Gde dan Putu G.Gayatri. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta : Andi.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 177
Denpasar, 25-26 September 2018
Sonder, I Wayan. 2011. Pengembangan Kawasan Wisata Pantai Lasiana Di Kota
Kupang, Nusa Tenggara Timur, dalam Analiss Pariwisata, Vol.11 No.1.
Denpasar : Fakultas Pariwisata Universitas Udayana.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 178
Denpasar, 25-26 September 2018
SISTEM SEWA KONTRAK BERDASARKAN KURS DALAM NIAGA
BANDAR DI BULELENGBALI,
PERTENGAHAN ABAD XIX
Ida Ayu Wirasmini Sidemen
Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
NKRI sebagai negara kemaritiman, sebagai negara kepulauan atau nusantara,
menyebabkan pelabuhan laut memegang peranan penting lalu lintas antar pulau,
dari dulu hingga masa kini dan pasti sampai masa yang akan datang.
Pelabuhan dikelola dengan sistem sewa kontrakbiasanya diberikan kepada
orang asing, dan untuk di Bali khususnya di landschap Buleleng, diberikan kepada
orang Tionghoa.Orang Tionghoa sebagai pengontrak pelabuhan disebut dengan
kapitan dan mayor. Hal ini berdasarkan temuan sumber lokal berupa pipil maupun
sumber kolonial, yang menyebutkan bahwa transaksi ekonomi yang melibatkan
orang Tionghoa berada dibawah kekuasaan I Kapitan dan Mayor. Terminologi
kapitan dalam hal ini berarti pemimpin masyarakat. Kapitan tidak merupakan
pangkat yang memiliki kewajiban militer Kekuasaan seorang syahbandar
pelabuhan sebagai pengontrak, antara lain:(1) menertibkan bersandarnya kapal
yang keluar masuk pelabuhan; (2) bertugas memungut pajak berlabuh bagi kapal-
kapal yang masuk pelabuhan; (3) memungut cukai ekspor impor terhadap
transaksi barang bongkar muat yang dilakukan di pelabuhan; (4) memeriksa surat-
surat kapal yang masuk berlabuh; (5) menertibkan perdagangan antar kerajaan dan
dengan orang asing.
Pada masa kolonial Belanda, pelabuhan-pelabuhan di Buleleng disewa
kontrak oleh orang Tionghoa. Nilai kontrak ditetapkan dengan sistem kurs, dalam
hal ini bungkus. Orang Tionghoa sebagai penyewa pelabuhan dengan jabatan
sebagai subandar, memiliki otoritas penuh atas pelabuhan laut.
Kata kunci: subandar,sewa kontrak, orang Tionghoa
I
PENGANTAR
Latar Belakang dan Permasalahan
Indonesia merupakan negara maritim, dengan luas lautan lebih besar dari
daratan. Sekitar tiga perempat dari seluruh luas negara, yaitu 75% adalah lautan
dan hanya 25% daratan, terdiri atas sekitar 7.000 pulau, besar dan kecil1. Kondisi
1 I Made Sumarja, ―Kehidupan Nelayan Tradisional di Kampung Wuring, Kelurahan
Wolomarang, Sikka, Nusa Tenggara Timur‖, Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai
Tradisional, Vol.20, No. 2, September 2013 (Denpasar: Percetakan Bali, 2013), hlm.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 179
Denpasar, 25-26 September 2018
NKRI sebagai negara kemaritiman, sebagai negara kepulauan atau nusantara,
menyebabkan pelabuhan laut memegang peranan penting lalu lintas antar pulau,
dari dulu hingga masa kini dan pasti sampai masa yang akan datang.
Berkaitan dengan peranan pelabuhan dalam lintas tranportasi antar pulau,
pemerintah Indonesia mengatur dalam bentuk peraturan, untuk mengatur dan
memantau pelabuhan yang ada di Indonesia. Menurut peraturan Menteri
Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 72 Tahun 2017, disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan atau
perairan yang dapat digunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun
penumpang dan bongkar muat barang serta sebagai tempat perpindahan intra antar
moda transportasi. Setiap pelabuhan dikelola oleh penyelenggara pelabuhan
terdiri atas otoritas pelabuhan, kesyahbandaran dan pelabuhan, serta unit
penyelenggara pelabuhan.2
Kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan bertugas melaksanakan penegakan
hukum dalam keselamatan dan keamanan pelayaran, pengaturan, pengendalian
dan kegiatan kepelabuhanan pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial.
Dalam peraturan tersebut juga antara lain mengatur tarif jasa pelayanan kapal,
barang dan penumpang. Tarif pelayanan jasa kapal dalam negeri dan jasa barang
antar pulau, dihitung dengan rupiah, sedangkan tarif pelayanan jasa kapal luar
negeri dan jasa barang ekspor dan impor dihitung berdasarkan mata uang dolar
Amerika Serikat.3
Berdasarkan atas kenyataan masa kini tersebut, penulis tertarik untuk
mengetahui, bagaimana sistem pengelolaan pelabuhan pada masa kolonial,
dengan menggunakan studi kasus pelabuhan di Buleleng Bali pada sekitar
pertengahan abad XIX.
441. Mengenai kondisi geografis Indonesia yang bersifat kepulauan, lihat juga Singgih
Tri Sulistiyono, ―Dominasi dan Perdagangan Singapura di Indonesia: Antara Mitos dan
Realitas‖, Sunaryo Purwo Sumitro (penyunting), Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta:
Persembahan kepada Teuku Ibrahim Alfian, (Jakarta: Yayasan Masyarakat Sejarawan
Indonesia dan Sinergi Press, 2002), hlm. 259. 2Peraturan Mentri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 72 Tahun 2017
tentang: Jenis, Struktur, Golongan dan Mekanisme Penetapan Tarif Jasa Kepelabuhanan,
hlm. 4.
3Peraturan Mentri Perhubungan Republik Indonesia, tentang tarif jasa pelayanan
termuat dalam pasal 4, op.cit., hlm. 6 dan pasal 12 hlm. 28.
180 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Metode
Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang diaplikasikan sebagai
perangkat kerja dalam usaha menemukan sumber (heuristik). Sumber primer
berupa pipil diperoleh dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, sumber-
sumber sekunder berupa artikel majalah dan bentuk penerbitan yang lain,
diperoleh dari menilai otensitas dan kredibelitas sumber (kritik), berikutnya
intepretasi terhadap sumber dan penulisan sejarah sebagai hasil penelitian
(historiografi).4
II
PENGELOLAAN PELABUHAN BERDASARKAN SEWA KONTRAK
Pada masa kerajaan di Bali, terutama sebelum berkenalan dengan Belanda,
pendapatan kerajaan sebagian juga berasal dari perdagangan maritim dan sewa
kontrak pelabuhan. Dalam perdagangan maritim, pelabuhan memegang peranan
penting. Raja melalui tangan sedahan agung, yang berperan mengatur ekonomi
kerajaan, termasuk juga ekonomi perdagangan maritim, menjadi penentu harga
kontrak sewa pelabuhan. Setiap pelabuhan dipimpin oleh syahbandar yang dalam
penyebutan bahasa Bali menjadi subandar. Perdagangan melalui pelabuhan
berada di bawah kekuasaan subandar.5 Pelabuhan dikelola dengan sistem sewa
kontrak biasanya diberikan kepada orang asing, dan untuk di Bali khususnya di
landschap Buleleng, diberikan kepada orang Tionghoa.6
Menurut catatan Bloemen Waanders, seorang asisten residen Hindia
Belanda di Buleleng, disebutkan dengan jelas bahwa subandar pelabuhan di
landschap Buleleng berada ditangan orang Tionghoa. Pelabuhan yang dimaksud
yaitu pelabuhan Pengastulan dengan jumlah uang sewa sebesar 20 bungkus;
4G.J. Garraghan, S.J, A Guide of Historical Method (New York: Fordham
University Press, 1957), hlm. 33; Louis Gottachalk, Mengerti Sejarah (Jakarta:
Yayasan UI, 1975), hlm. 80-95.
5C. Lekkerkerker, ―De Tegenwoordige Economische Toestand van het Gewest
Bali en Lombok‖ dalam Koloniaal Tijdschrift. 12 Jaargang No 2 (‗s-Gravenhage, Maart
1923), hlm. 156-157.
6P.L. Van. Bloemen Waanders, Aanteekeningen Omtrent de Zeden en Gebruiken
der Balinezen, Inzonderheid die van Boeleleng (Batavia: Lange & Co, 1859), hlm. 79.
Sistem sewa kontrak (bahasa Belanda: pacht, bahasa Bali: ngepak).
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 181
Denpasar, 25-26 September 2018
Tebungkus (maksudnya Temukus) dengan jumlah uang sewa sebesar 50 bungkus;
Hanturan dengan jumlah uang sewa sebesar 8 bungkus; Buleleng (maksudnya
Pabean) uang sewa sebesar 60 bungkus; Sangsit uang sewa sebesar 40 bungkus;
Kubuk Lod sebesar 10 bungkus dan Lirang uang sewa sebesar 5 bungkus. Total
keseluruhan yaitu 193 bungkus, yang sama dengan 4.825 gulden.7
Kata ‗bungkus‘ jelas menunjukkan kurs nilai tukar. Satu bungkus bernilai
sekitar f 25 Apabila nilai f 25 dijadikan peku sesuai dengan aturan yang
dikeluarkan oleh De Javaasche Bank, maka bungkus itu akan menjadi 16,02 peku;
1 (satu) peku sama dengan 1.000 uang kepeng (pis bolong); 1(satu) bungkus sama
dengan 16,020 kepeng.8
Di Bali ada kebiasaan uang kepeng (pis bolong)
dibungkus dengan tapis (pembungkus pelepah kelapa) yang setiap satu tapis
isinya 1.000 uang kepeng. Uang bungkus disebut dengan pis tapis. Ada dugaan
kata ‗bungkus‘ sama dengan ‗tapis.‘ Namun harus diteliti kembali karena nilainya
tidak sesuai antara tapis dalam bahasa Bali dengan bungkus yang digunakan oleh
Bloemen Waanders.
Orang Tionghoa sebagai pengontrak pelabuhan disebut dengan Kapitan
dan Mayor. Hal ini berdasarkan temuan sumber lokal berupa pipil maupun sumber
kolonial, yang menyebutkan bahwa transaksi ekonomi yang melibatkan orang
Tionghoa berada dibawah kekuasaan I Kapitan dan Mayor.9 Terminologi Kapitan
7
Ibid. Mengenai pabean sebagai kota pelabuhan di Buleleng, lihat J.J. de.
Hollander, Handleiding by de Boefening der Land en Volkenkunde van Nederlandsch
Oost-Indie (Breda: Van Broese & Compagnie, 1898), hlm 681. Sewa kontrak sebesar itu
untuk setiap tahun.
8G. Vissering, Muntwezen en Circulatie-Banken in Nederlandsch-Indie,
(Amsterdam: J.H. de Bussy, 1920), hlm. 262.
9Temuan pipil berdasarkan hasil penelitian Ida Ayu Wirasmini Sidemen,
yang didalamnya disuratkan jabatan kapitan atau mayor yaitu: (1), Kode
Penelitian: 071/27/PNRI/JKT/PT 43 LKB 5**/05. 2013. Jenis: pipil; isi: surat
gadai; ukuran: panjang 42 cm lebar 3,8 cm. (2), Kode Penelitian:
088/44/PNRI/JKT/PT 43 LKB 5**/05. 2013. Jenis: pipil; isi: surat gadai; ukuran:
panjang 46,2 cm dan lebar 3,7 cm. (3), Kode Penelitian: 093/49/PNRI/JKT/PT 43.
LKB 5**/05. 2013. Jenis: pipil; isi: surat gadai; ukuran: panjang 46,5 cm dan
lebar 3,5 cm.
182 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
dalam hal ini berarti pemimpin masyarakat. Kapitan tidak merupakan pangkat
yang memiliki kewajiban militer.10
Kekuasaan seorang syahbandar pelabuhan sebagai pengontrak, antara lain:
(1) menertibkan bersandarnya kapal yang keluar masuk pelabuhan; (2) bertugas
memungut pajak berlabuh bagi kapal-kapal yang masuk pelabuhan; (3) memungut
cukai ekspor impor terhadap transaksi barang bongkar muat yang dilakukan di
pelabuhan; (4) memeriksa surat-surat kapal yang masuk berlabuh; (5)
menertibkan perdagangan antar kerajaan dan dengan orang asing.11
Berkaitan
dengan hak kekuasaan seorang syahbandar, terutama tentang hak menertibkan
bersandarnya atau mengontrol kedatangan kapal dengan mewajibkan kapten kapal
memiliki izin pas, ditunjukkan dalam pipil, seperti contoh berikut ini:
Transliterasi 1a. pangeling-eling surat saha cap, malingga ida anake agung, ida i gusti anglurah gde
ngurah, ida apuri ring singaraja, maka cirin anake de mariam, dagang sadu, pesu
uli panegaran pabean buleleng, melayar ke banyuwangi, perahunya mejala,
masanjata bedil areko 3, kalih tumbak 3 katih, pedang 1 katih, mamuat gagrabadan,
kadele limolas pikul
1b. dendeng petang pikul, lengis kutus gentong, kakondo satus selae, bawang, asem, pada
makikit, urutan, kamben adasa bidang, bandeganya 5 diri, dina nrat, s ( soma), ka
(keliwon) wara uye, titi, pang (panglong), ping,9, sasih ka, 6, rah 8, teng (tenggek), 5,
isaka 1758.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia
1a. Surat peringatan dengan cap, atas nama raja yang berkuasa Ida Anake Agung, Ida
I Gusti Anglurah Gde Ngurah, beliau beristana di Singaraja, sebagai tanda bukti
seseorang bernama De Mariam, seorang pedagang melapor, akan keluar dari
wilayah Kerajaan Buleleng, berlayar menuju ke Banyuwangi, perahunya
menggunakan jala, menggunakan senjata bedil rekol 3 buah, tombak 3 batang, pedang 1
batang, memuat bermacam-macam barang, kedelai 15 pikul,
1b. dendeng (daging kering asap) 4 pikul, minyak kelapa 8 gentong, tempat air minum 125,
bawang, asam, sama-sama sedikit, sosis, kain 10 lembar, awak perahunya 5 orang, hari
10
Yerry Wirawan, Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar Dari Abad Ke- 17
Hingga Abad Ke- 20, (Jakarta: Gramedia-KILTV, 2013), hlm. 18. Mengenai pemimpin
kota pelabuhan di daerah lain di Indonesia seperti di Sunda (Jawa Barat) disebut dengan
kapitan, lihat Tome Pires, Suma Oriental: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina (terj.),
(Yogyakarta: Ombak, 2014), hlm. 239-255.
11
Lihat E. Utrecht, Sedjarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok,
(Bandung: Sumur Bandung, 1962), hlm. 119; Kolonial Tijdschrift, Maart 1923,
12e Jaargang No. 2, hlm. 156; Cf. A.A. Gde Putra Agung (dkk), Sejarah Sosial
Bali Kota Singaraja, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1984), hlm.18-19.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 183
Denpasar, 25-26 September 2018
menulis, Senin Keliwon Uye, hari ke-9 setelah purnama, bulan yang ke-6, satuan 8,
puluhan 5, tahun Saka 1758 (1836 ). 12
Bukti pipil di atas juga menunjukkan bahwa tahun 1836, pelabuhan
Buleleng juga berperan sebagai pelabuhan perdagangan internasional. Oleh karena
itu, para pedagang yang mengambil barang di Pabean Buleleng dan akan
membawa barang dagangan itu ke luar wilayah Bali, termasuk barang ekspor,
harus memperoleh izin dari raja yang berkuasa. Nama De Mariam adalah
pedagang yang berdagang dan berlayar menuju Banyuwangi.13
Oleh karena
perdagangan dilakukan oleh orang asing dengan membawa komoditas
perdagangan dari Buleleng, maka izin lintas perdagangan diketahui oleh raja I
Gusti Anglurah Gde Ngurah.14
Selain memiliki kekuasaan menertibkan perdagangan antar kerajaan
dengan orang asing seperti bukti teks di atas, orang Tionghoa sebagai penyewa
pelabuhan atau sebagai subandar di Buleleng, juga berhak membebankan pajak
terhadap kapal yang bersandar di pelabuhan dan pajak terhadap komoditi
perdagangan. Bagi jenis kapal layar ukuran besar, dikenakan pajak berlabuh
sebesar 3 peku (f 4,68 ); kapal-kapal bertiang dua dikenakan 2 peku (f 3.12) dan
kapal-kapal lokal dikenakan pajak sebesar 1 atak (=190 sampai 195 uang kepeng,
atau sama dengan 3,3 dubbeltje).15
Subandar juga mengatur transaksi perdagangan dan barang-barang yang
boleh masuk dan ke luar pelabuhan. Barang-barang impor seperti benda-benda
dari besi, pajak sebesar 500 uang kepeng ( f 0.8); candu setiap bol sebesar 500
uang kepeng (f 0.8); dan gambir per pikul sebesar 200 uang kepeng (f 0,3).
12
Penelitian Ida Bagus Sidemen tahun 1993. Koleksi Perpustakaan
Nasional RI. Kode Penelitian: 001/IBS/PNRI/1993; nomor peti:17; nomor naskah:
L. 338; judul peti: pangeling-eling; isi asli: surat pas/izin berangkat; jenis lontar:
pipil; ukuran: panjang 27 cm dan lebar 3.6 cm.
13Nama De Mariam dapat diduga adalah pedagang Portugis atau Belanda. Orang
asing yang berasal dari negara-negara di luar kawasan Nusantara Majapahit, disebut
dengan wong dura negara.
14Sebagai perbandingan, hal ini juga berlaku di pelabuhan Makasar, ada peraturan
mewajibkan kapal-kapal besar memiliki izin pas untuk dapat berlabuh di pelabuhan
Makasar. Lihat kembali Yerry Wirawan, op.cit., hlm. 22-23.
15 G. Vissering, loc.cit.
184 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Barang-barang ekspor yang harus dibayar kepada subandar, seperti ekspor kuda,
sapi dan babi, dibebankan pajak sebesar 200 uang kepeng (f 0,3); kopi, beras,
setiap pikul kapas, tembakau dan minyak, dibebankan pajak sebesar 200 uang
kepeng (f 0,3); berupa kacang-kacangan pajak sebesar 100 uang kepeng (f 0,16).16
III
PENUTUP
Pada masa kolonial Belanda, pelabuhan-pelabuhan di Buleleng disewa
kontrak oleh orang Tionghoa. Nilai kontrak ditetapkan dengan sistem kurs, dalam
hal ini bungkus. Satu bungkus bernilai sekitar f 25,- (=16.000 uang kepeng).
Orang Tionghoa sebagai penyewa pelabuhan dengan jabatan sebagai subandar,
memiliki otoritas penuh atas pelabuhan laut. Nama subandar sangat melekat
dengan peranan orang Tionghoa. Di Pura Besakih dan di Pura Batur, terdapat
nama Pura Subandar, sebagai kelengkapan catur lawa dalam sistem pura
kahyangan jagat, sering diakui sebagai pura petilasan (sungsungan) orang
Tionghoa. Seringkali kondisi ini diungkap sebagai bukti adanya akulturasi yang
assimilatif antara orang Bali dengan orang Tionghoa. Dugaan ini perlu
mendapatkan penelitian lanjutan untuk memperoleh posisi yang dekat dengan
kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Pipil.
Koleksi Perpustakaan Nasional RI. Kode Penelitian: 001/IBS/PNRI/1993; nomor
peti:17; nomor naskah: L. 338; judul peti: pangeling-eling; isi asli: surat
pas/izin berangkat; jenis lontar: pipil; ukuran: panjang 27 cm dan lebar 3.6
cm.
Koleksi Perpustakaan Nasional RI. Kode Penelitian: 071/27/PNRI/JKT/PT 43
LKB 5**/05. 2013. Jenis: pipil; isi: surat gadai; ukuran: panjang 42 cm
lebar 3,8 cm.
Koleksi Perpustakaan Nasional RI. Kode Penelitian: 088/44/PNRI/JKT/PT 43
LKB 5**/05. 2013. Jenis: pipil; isi: surat gadai; ukuran: panjang 46,2 cm
dan lebar 3,7 cm.
16
Mengenai beban pajak barang-barang ekspor dan impor, berdasarkan laporan
P.L. Van. Bloemen Waanders, op. cit., hlm. 80. Mengenai kurs uang kepeng yang
berlaku di Bali tahun 1911, berdasarkan laporan G. Vissering tentang kurs sebagai
Presiden dari De Javasche Bank, lihat G. Vissering, op.cit., hlm. 262.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 185
Denpasar, 25-26 September 2018
Koleksi Perpustakaan Nasional RI. Kode Penelitian: 093/49/PNRI/JKT/PT 43.
LKB 5**/05. 2013. Jenis: pipil; isi: surat gadai; ukuran: panjang 46,5 cm
dan lebar 3,5 cm.
Buku, Majalah dan Artikel
Bloemen Waanders, P.L. Van. Aanteekeningen Omtrent de Zeden en Gebruiken
der Balinezen, Inzonderheid die van Boeleleng. Batavia: Lange & Co,
1859.
Garraghan, S.J. G.J. A Guide of Historical Method. New York: Fordham
University Press, 1957.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Jakarta: Yayasan UI, 1975.
Hollander, J.J. de. Handleiding by de Boefening der Land en Volkenkunde van
Nederlandsch Oost-Indie. Breda: Van Broese & Compagnie, 1898.
Kolonial Tijdschrift, Maart 1923, 12e Jaargang No. 2.
Lekkerkerker, C. ―De Tegenwoordige Economische Toestand van het Gewest
Bali en Lombok‖. Koloniaal Tijdschrift. 12 Jaargang No 2. ‗s-Gravenhage,
Maart 1923.
Peraturan Mentri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 72 Tahun 2017
tentang: Jenis, Struktur, Golongan dan Mekanisme Penetapan Tarif Jasa
Kepelabuhanan.
Putra Agung, A.A. Gde (dkk). Sejarah Sosial Bali Kota Singaraja. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, 1984.
Sulistiyono, Singgih Tri. ―Dominasi dan Perdagangan Singapura di Indonesia:
Antara Mitos dan Realitas‖. Sunaryo Purwo Sumitro (penyunting). Dari
Samudera Pasai ke Yogyakarta: Persembahan kepada Teuku Ibrahim
Alfian. Jakarta: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia dan Sinergi
Press, 2002.
Sumarja, I Made. ―Kehidupan Nelayan Tradisional di Kampung Wuring,
Kelurahan Wolomarang, Sikka, Nusa Tenggara Timur‖. Jurnal Penelitian
Sejarah dan Nilai Tradisional, Vol.20, No. 2, September 2013. Denpasar:
Percetakan Bali, 2013.
Tome Pires. Suma Oriental: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina
(terj.).Yogyakarta: Ombak, 2014.
Utrecht, E. Sedjarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok. Bandung: Sumur
Bandung, 1962.
Vissering, G. Muntwezen en Circulatie-Banken in Nederlandsch-Indie.
Amsterdam: J.H. de Bussy, 1920.
Wirawan, Yerry. Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar Dari Abad Ke- 17
Hingga Abad Ke- 20. Jakarta: Gramedia-KILTV, 2013.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 186
Denpasar, 25-26 September 2018
FUNGSI MITOS BHATARA BAGUS BALIAN:
PUTRA DEWA DAN PUTRI PENDETA
Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Denpasar
ABSTRAK
Hubungan asmara antarsesama dewa, antarsesama makhluk gaib,
antarsesama manusia, antarsesama binatang, banyak dikisahkan sebagai legenda
yang dipercaya kebenarannya. Setelah memadu kasih, dewa, makhluk gaib,
manusia, dan binatang lalu beranak pinak. Penyimpangan kisah percintaan lintas
sesama itu sering juga diceritakan sebagai legenda maupun mitos. Kisah dewa
memadu kasih dengan manusia, manusia dengan makhluk gaib, bahkan manusia
dengan binatang atau sebaliknya banyak ditemukan eksis sebagai legenda yang
dipercaya kebenarannya.
Lahirnya putra hasil percintaan sepasang kekasih tak sesama tersebut
merefleksikan tersiratnya makna tertentu yang terkandung dalam suatu legenda.
Pada dasarnya mitos, tidak saja berkaitan dengan ritual yang dilaksanakan oleh
masyarakat, terutama oleh masyarakat tradisional (Segal, 2004: 62), namun juga
berkaitan dengan eksistensi tokoh spiritual yang bersemayam pada suatu tempat.
Di balik mitos yang berkaitan dengan ritual dan eksistensi tokoh spiritual tersebut
sesungguhnya telah dijelaskan olehnya dalam suatu jaringan makna tertentu (Graf,
1993: 40).
Salah satu mitos yang mengisahkan percintaan antara Dewa dengan
manusia sampai melahirkan seorang putra terdapat di Kota Amlapura Karangasem
Bali. Bhatara Gunung Agung, dewa yang bersemayam di puncak Gunung Agung,
jatuh cinta kepada seorang putri pendeta kerajaan (bhagawanta) bernama Ida Ayu
Mas. Dewa yang tampan, penuh wibawa, sakti mandraguna, dan sangat berkuasa
itu memadu kasih dengan seorang gadis berparas cantik jelita bertubuh tinggi
semampai, berkulit putih bak bunga kenanga dengan rambut panjang terurai.
Sampai akhirnya suatu ketika melahirkan seorang putra yang dikenal sebagai
Bhatara Bagus.
Kehadiran mitos Bhatara Bagus menarik untuk diteliti sebagai teks sastra
yang fungsional. Analisis mitos Bhatara Bagus ini diupayakan berdasarkan
analisis fungsi sastra menurut Braginsky (1993).
Kata kunci: mitos, fungsi
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Transformasi kebudayaan dilakukan manusia sepenjang sejarahnya.
Berkembang dari waktu ke waktu menurut peradaban yang dihasilkan. Sebelum
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 187
Denpasar, 25-26 September 2018
dikenalnya aksara sebagai budaya tulis (writting culture), kebudayaan
ditransformasikan melalui bentuk-bentuk lisan murni (illiteracy) (Ong, 1989: 2).
Bentuk-bentuk sastra lisan, baik berbentuk puisi maupun prosa merupakan bentuk
transformasi kebudayaan yang paling purba sebelum aksara ditemukan sebagai
medianya.
Sebagai bentuk seni, kesusastraan lisan merupakan seni verbal, seni yang
diwariskan secara lisan dari mulut ke mulut (by mouth to mouth) (Propp, 1984: 5).
Seiring dengan itu, sebagai bentuk kesenian, kesusastraan lisan dengan sendirinya
merupakan aktifitas kebudayaan (cultural activities) (lihat Wissler, 1923: 256;
Kluchohn, 1953: 507--523; Linton, 1964: 387-389). Oleh karena itu, kesusastraan
lisan merupakan bentuk aktifitas kebudayaan yang merefleksikan kehidupan
kebudayaan masyarakat itu sendiri. Kesusastraan lisan dengan sendirinya juga
mengandung unsur-unsur kebudayaan, seperti sistem mata pencarian hidup
(ekonomi), sistem peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem
kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem relegi.
Di samping itu, kesusastraan lisan mengandung teks yang mencerminkan
kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat yang ditransformasikan terus
menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mitos, sebagai salah satu
bentuk transformasi kebudayaan melalui media sastra lisan tersebut bersifat
sekuler (keduniawian), terjadi pada masa yang belum begitu lampau, dan
bertempat di dunia nyata (universe) seperti dikenal. Di lihat dari perspektif ini,
mitos memang erat dengan sejarah kehidupan masa lampau meskipun tingkat
kebenarannya seringkali tidak bersifat murni. Oleh karena itu, sesungguhnya
mitos bersifat semi historis. Seiring dengan itu, Hutomo (1991:64)
mengungkapkan bahwa mitos merupakan cerita-cerita yang dianggap masyarakat
pemiliknya sebagai suatu peristiwa sejarah. Sebagian besar masyarakat
pendukung suatu mitos menganggap cerita yang disampaikan itu merupakan
sejarah rakyat.
Menurut William Robertson Smith (1846-1894), seorang pendeta kristen
ahli bahasa Semit, teolog, dan ahli agama-agama timur (oriental) berkebangsaan
Skotlandia, pada saat masyarakat mulai melaksanakan suatu ritual, sesungguhnya
tidak berhubungan langsung dengan mitos. Namun demikian, setelah melupakan
188 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
alasan sebenarnya untuk melaksanakan suatu ritual, mereka (masyarakat)
mencoba melestarikannya dengan menciptakan suatu mitos. Tujuannya ialah
untuk melegitimasi (mengukuhkan) bahwa ritual yang dilaksanakan
sesungguhnya untuk mengenang kejadian yang diceritakan melalui mitos tersebut
(Meletinsky, 2000: 19-20). Seiring dengan pandangan Smith, antropolog
Skotlandia James Frazer (1922: 711), berpendapat bahwa masyarakat primitif
mempercayai hukum-hukum gaib. Kemudian, pada saat mulai kehilangan
keyakinannya mengenai sihir, mitos tentang dewa-dewa diciptakan dan
mengklaim bahwa ritual magis kuna adalah ritual yang dilakukan untuk
menyenangkan hati para dewa.
Oleh karena itu, semua jenis kesusastraan lisan memiliki fungsi yang
kompleks. Menurut Braginsky (1993: 41-45), kesusastraan memiliki tiga
lingkaran fungsi, yaitu: (1) lingkaran fungsi keindahan (the sphere of beauty
persfection); (2) lingkaran fungsi perspeksi kemanfaatan (the sphere of benefit
persfection); dan (3) lingkaran fungsi perspeksi spiritual (the sphere of spiritual
persfection persfection). Namun demikian, esensi karya sastra seperti
dikemukakan oleh Edgar Allan Poe sebagai didactic heresy atau "sastra berfungsi
menghibur sekaligus mengajarkan sesuatu (Wellek dan Warren, 1990: 24--25)
seperti diabaikan oleh Braginsky. Oleh karena itu, teori lingkaran fungsi yang
dikemukakan olehnya dapat ilengkapi dengan unsur didaktik seperti dikemukakan
oleh Edgar Allan Poe. Sehingga fungsi sastra meliputi: (1) lingkaran fungsi
perspeksi religius atau spiritual (the sphere of religious persfection persfection);
(2) lingkaran fungsi perspeksi keindahan (the sphere of beauty persfection); (3)
lingkaran fungsi perspeksi didaktik (the sphere of didactic persfection); dan
lingkaran fungsi perspeksi kemanfaatan (the sphere of didactic persfection).
Berdasarkan perspektif tersebut, analisis fungsi terhadap sebuah mitos yang
dituturkan oleh masyarakat Kota Amlapura Kabupaten Karangasem Bali
dilakukan. Mitos tersebut lazim disebut Bhatara Bagus Balian. Latar cerita kisah
Bhatara Bagus Balian ialah sebuah rumah adat Bali (balinesse compound) yang
disebut Griya Pidada Karangasem.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 189
Denpasar, 25-26 September 2018
1.2 Masalah
Sesuai latar belakang analisis ini, maka masalahnya dapat dirinci sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah teks mitos Bhatara Bagus yang terdapat di Kota
Amlapura Kabupaten Karangasem Bali?
2. Apakah fungsi yang melekat dalam mitos Bhatara Bagus Balian?
II METODOLOGI
2.1 Rancangan Penelitian
Oleh karena mitos Bhatara Bagus Balian yang hendak dianalisis fungsinya
pada penelitian ini merupakan cerita lisan atau berbentuk sastra lisan, maka
teksnya terlebih dahulu diinventarisasi dari informan. Upaya tersebut bersifat
deskriptif dan eksploratif (penjajagan) (Singarimbun, 1995: 4).
Pengkajian yang komprehensif mengenai permasalahan tersebut secara
ilmiah menggunakan pendekatan kualitatif karena menyangkut objek nilai yang
parameternya tidak nyata, namun dapat diketahui jejaknya melalui eksplanasi
kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang bersifat menguraikan
atau pendekatan yang tidak memberikan pengukuran berupa angka-angka (Mely
G. Tan, 1977: 6). Secara operasional, pendekatan kualitatif merupakan pendekatan
yang mencocokan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan metode
deskriptif (Moleong, 2004: 131). Oleh karena itu, penelitian ini dirancang sebagai
penelitian kualitatif dengan metode deskriptif dan eksploratif yang digerakkan
dengan pendekatan keilmuan perspektif ilmu sastra.
2.2 Jenis, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini diusahakan menggali jenis data kualitatif dengan sumber data
yang berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil
penggalian terhadap teks yang ditemukan berdasarkan hasil wawancara,
informasi yang terdapat di perpustakaan formal maupun perpustakaan pribadi.
Teks yang mengandung data primer tersebut ditemukan melalui wawancara
langsung dengan beberapa tokoh dan masyarakat yang mengetahui keberadaan
mitos Bhatara Bagus Balian.
190 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Teks mitos Bhatara Bagus Balian ini diperoleh dari informan dengan cara
teknik sampling bola salju (snow ball sampling). Artinya, teks yang diperoleh itu
pada mulanya berasal dari satu orang informan kunci, dan jika teks itu belum
cukup, maka diwawancarai informan yang lain, yang ditunjuk oleh informan
sebelumnya; sehingga teks mitos nawasanak yang diperlukan akan berkembang
pada saat penelitian dilakukan di lapangan (bdk. Sudikan, 2001: 107—112). Data
sekunder digali dari sumber literatur, hasil penelitian, dan referensi-referensi
lainnya yang terkait dengan masalah yang dibahas.
III PEMBAHASAN
3.1 Teks Mitos Bhatara Bagus Balian
Ada sebuah cerita tentang Bhatara Bagus Balian yang bersemayam pada
sebuah palinggih di Pura Pidada Karangasem. Palinggih berupa sebuah batu
cukup besar itu dahulunya berupa batu pipih kecil yang digunakan sebagai
penanda menanam ari-ari (placenta). Batu tersebut semakin hari semakin besar
dan berpindah dengan sendirinya di sebelah palinggih Bhatara Gunung Agung
(Padmasana). Setiap kali dipindahkan, batu tersebut selalu kembali ketempat
semula, yaitu di sebelah palinggih Bhatara Gunung Agung (Padmasana).
Mengapa batu itu diyakini sebagai Palinggih Bhatara Bagus Balian? Begini
kisahnya.
Di Giya Pidada, hidup seorang gadis yang bernama Ida Ayu Mas, putri
dari seorang pendeta kerajaan (bhagawanta). Kecantikan Ida Ayu Mas termasyur
di seantero kerajaan Karangasem, bahkan sampai kerajaan lainnya yang ada di
Bali dan pulau lain di Nusantara.
Selain cantik jelita dengan tubuh langsing lanjar (kurus dan tinggi
semampai), Ida Ayu Mas juga pandai dalam segala hal. Ia pandai memasak,
menari, mengarang cerita, berhitung, dan mengidungkan kakawin dan gaguritan.
Pengetahuannya sangat tinggi, berbagai bidang ilmu dikuasiainya dengan baik,
terutama ilmu perbintangan dan ilmu perhidungan hari baik (dewasa). Tidak itu
saja, ilmu tattwa, susila, dan upakara diketahuinya dengan benar. Banyak orang
datang mengunjunginya untuk sekedar mengagumi kecantikannya atau untuk
menanyakan segala sesuatu yang ingin diketahui.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 191
Denpasar, 25-26 September 2018
Ida Ayu Mas yang sungguh-sungguh cantik jelita dengan tubuh langsing
lanjar (kurus dan tinggi semampai), berkulit nyandat gading (kuning seperti
bunga kenanga), rambutnya panjang terurai mayang, alisnya nyurarit madon
intaran (seperti semut beriring), gusinya (isitne) ngembang rijasa ( merah seperti
bunga Rijasa), sungguh menjadi idaman banyak pria. Bahkan banyak raja
berusaha mendekatinya untuk dipersunting sebagai permaisuri.
Entah mengapa, semua pria yang datang hendak mempersuntingnya selalu
ditolaknya dengan halus. Semua pria yang ditolak dengan halus itu, satupun
merasa tidak kecewa bahkan merasa gembira karena diberi wejangan
menyejukkan hati. Seperti Ni Diah Tantri, Ida Ayu Mas ternyata juga pandai
bertutur sehingga orang sudah merasa puas setelah mendengar wejangannya.
Sudah berparas cantik jelita lagi pula pandai, Ida Ayu Mas juga dikenal
sebagai wanita yang sakti mandraguna karena banyak orang sakit
disembuhkannya. Konon kesaktiannya itu diperolehnya karena rajin dan tekun
sembahyang memuja Tuhan dan taat melakukan tapa, brata, yoga, dan samadhi.
Namun, pada suatu hari, Ida Ayu Mas tampak menutup diri. Tidak seperti
biasanya, tamu yang datang berkunjung ditolak dengan halus. Bahkan ayahanda
dan ibundanya tidak diperkenankan memasuki kamarnya. Sepanjang hari, Ida Ayu
Mas mengurung diri di rumahnya yang mungil.
Pada suatu malam, masyarakat digegerkan oleh adanya kereta kencana
yang terbang dari puncak Gunung Agung menuju tempat tinggal Ida Ayu Mas.
Kereta kencana itu bersinar kemilau dikendarai oleh Bhatara Gunung Agung,
langsung menuju tempat tinggal Ida Ayu Mas, lalu menghilang. Begitu
kejadiannya hampir setiap malam.
Lama kerlamaan, masyarakat menyadari bahwa Ida Ayu Mas disukai oleh
Bhatara Gunung Agung karena kecantiknnya bak dewi dari khayangan. Demikian
pula orang tuanya merasa beruntung karena Ida Ayu Mas dipersunting oleh
Bhatara Gunung Agung. Karena Bhatara Gunung Agung sesungguhnya Siwa
Lingga Sakala, Masyarakat dan keluarganya mensukurinya karena pasti akan
mendapat berkahNya.
Pada suatu hari, setelah hampir satu tahun berlangsung "hubungan" antara
Ida Ayu Mas dengan Bhatara Gunung Agung, maka tiba-tiba Ida Ayu Mas
192 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
melahirkan seorang putra. Seperti orang tuanya, putra yang lahir itu tampan
seperti dewa dari khayangan. Begitu lahir sudah bisa berbicara dan menunjukkan
sifat-sifat kedewataannya. Pada saat melahirkan, Ida Ayu Mas ternyata
didampingi oleh Bhatara Gunung Agung.
Setelah melahirkan seorang putra, Ida Ayu Mas didampingi Bhatara
Gunung Agung dan putranya dalam gendonganya mohon pamit kepada kedua
orang tuanya untuk pergi ke khayangan. Meskipun dengan kesedihan mendalam
ditinggalkan oleh putrinya, kedua orang tuanya tampak ikhlas. Masyarakat yang
menyaksikan kejadian itu juga mengikhlaskan kepergian Ida Ayu Mas.
Seperti umumnya orang melahirkan, tentu saja bayi yang dilahirkan
disertai oleh ari-ari (placenta). Sesuai acara agama Hindu, keluarga Ida Ayu Mas
menanam ari-ari (placenta) di halaman rumah dan ditindih dengan batu pipih.
Setelah selama 42 hari (1 bulan 7 hari), batu itu disingkirkan. Akan tetapi batu,
setelah batu itu disingkirkan kemudian keesokan harinya ditemukan di sebelah
kanan Palinggih Ida Bhatara Gunung Agung. Demikian selanjutnya, setelah
berkali-kali disingkirkan dan kembali pada tempatnya semula, akhirnya batu itu
dibiarkan pada tempatnya.
Pada suatu hari, saat odalan di Pura Pidada Karangasem, malam harinya
tiba-tiba muncul seorang anak kecil tampan memberitahukan kepada orang-orang
yang makemit agar batu itu dibuatkan palinggih, sebab batu itu adalah rumahnya.
Barang siapa yang ingin memohon sesuatu pada palinggih itu akan dikabulkan
asal dilakukan dengan hati hening dan suci.
Singkat cerita, keesokan harinya palinggih sederhana dibuatkan sebagai
tempat batu pipih yang sesungguhnya alat untuk menindih ari-ari (placenta) putra
dari Ida Ayu Mas dan Bhatara Gunung Agung. Palinggih itu diyakini sebagai
tempat Bhatara Bagus Balian, putra dari Ida Ayu Mas dan Bhatara Gunung
Agung bersemayam sampai sekarang. Sampai sekarang banyak orang
permohonannya terkabul setelah memohon di depan Palinggih Bhatara Bagus
Balian.
3.2 Fungsi Mitos Bhatara Bagus Balian
Mitos Bhatara Bagus Balian tentu saja memiliki fungsi tertentu seperti
karya sastra lainnya. Apabila dianalisis berdasarkan teori fungsi sastra yang
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 193
Denpasar, 25-26 September 2018
dikembangkan dari teori Braginsky (1993), maka mitos Bhatara Bagus Balian
merefleksikan: (1) lingkaran fungsi perspeksi religius atau spiritual (the sphere of
religious persfection persfection); (2) lingkaran fungsi perspeksi keindahan (the
sphere of beauty persfection); (3) lingkaran fungsi perspeksi didaktik (the sphere
of didactic persfection); dan lingkaran fungsi perspeksi kemanfaatan (the sphere
of didactic persfection).
Lingkaran fungsi perspeksi religius, sesungguhnya merupakan tujuan utama
terciptanya kesusastraan lisan. Pada mitos Bhatara Bagus Balian fungsi religius
tidak saja dicerminkan melalui tingkah laku Ida Ayu Mas yang taat melakukan
ibadah agama, namun juga melalui tataran yang lain.
Apabila disimak dari teksnya, mitos Bhatara Bagus Balian selain
mengungkapkan eksistensi pendeta kerajaan (bhagawanta) yang taat melakukan
ibadah agama dengan tekun, juga mengungkapkan adanya proses ritual
keagamaan seperti upacara piodalan yang terjadi di Pura Pidada Karangasem.
Selain itu, prosesi ritual keagamaan menanam ari-ari (placenta) juga diceritakan
terjadi pada saat Ida Ayu Mas melahirkan bayinya. Meskipun suami Ida Ayu Mas
seorang dewa yang adikodrati, namun upacara layaknya setiap upacara kelaihran
tetap dilakukan saat bayinya lahir. Demikian pula adanya upacara permohonan di
hadapan dewa yang bersemayam pada suatu palinggih diceritakan sebagai bentuk
adanya fungsi religius pada mitos Bhatara Bagus Balian.
Oleh karena peristiwa yang terjadi pada mitos Bhatara Bagus Balian
dipandang benar-benar terjadi secara historis, seiring pandangan William
Robertson Smith (1846--1894), sesungguhnya mitos Bhatara Bagus Balian secara
religius juga merupakan sarana untuk mengukuhkan (melegitimasi) ritual
"permohonan" yang kerap dilakukan (bdk. Meletinsky, 2000: 19--20). Legitimasi
ini juga akhirnya menjadi penanda dari nama yang diberikan kepada putra Ida
Ayu Anom dengan Bhatara Gunung Agung dinamakan Bhatara Bagus Balian.
Hal itu disebabkan kebanyakan yang melakukan permohonan itu, ingin mendapat
mukzisat kesembuhan.
Medium sastra lisan yang digunakan untuk mewariskan mitos Bhatara
Bagus Balian juga menyiratkan adanya lingkaran fungsi perspeksi keindahan (the
194 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
sphere of beauty persfection). Lingkaran fungsi keindahan sesungguhnya dekat
dengan fungsi religius dan fungsi didaktik.
Bentuk sastra lisan yang digunakan untuk menuturkan mitos Bhatara Bagus
Balian berkaitan dengan hakikat sastra lisan sebagai peristiwa performing of art
(pertunjukan seni) (Teeuw, 1977: 8). Fungsi keindahan mitos Bhatara Bagus
Balian, tidak saja dapat dilihat dari bentuk penyajiannya saja, namun juga dapat
dilihat melalui kecantikan Ida Ayu Mas dan putranya yang tampan. Juga melalui
keindahan dan keagungan Bhatara Gunung Agung. disamping itu, fungsi
keindahan berkaitan dengan struktur bangun cerita mitos Bhatara Bagus Balian
dan sistem pemaparannya, atau secara keseluruhan sistem sastra yang
membangunnya (Abdullah, 1991: 45).
Selanjutnya, berkaitan dengan lingkaran fungsi perspeksi didaktik (the
sphere of didactic persfection), tampak dari sifat kesusastraan lisan yang bersifat
didaktis, yaitu menggunakan karya sastra sebagai alat pengajaran atau pembinaan
moral, keagamaan, dan etika (Sudjiman, 1986: 19). Mitos Bhatara Bagus Balian
menceritakan sisi religius Ida Ayu Mas yang taat beribadah. Kecantikannya tidak
saja muncul dari kecantikan fisiknya yang memang indah, namun juga dari dalam
dirinya (inner beauty) yang timbul karena kebaikan dan keikhlasannya menolong
orang.
Mitos Bhatara Bagus Balian juga mengajarkan bahwa orang yang memiliki
moral tinggi seperti yang dimiliki oleh Ida Ayu Mas, maka akan mendapat pahala
yang sangat besar. Di dalam hal ini, Ida Ayu Mas memperolah anugerah dikawini
oleh dewa karena menjaga moralitasnya dengan baik, meskipun begitu banyak
pria yang baik, tampan, dan kaya berusaha mendekatinya.
Pada tataran lain, fungsi didaktik juga diceritakan melalui peristiwa
dikabulkannya permohonan oleh Bhatara Bagus Balian bagi orang yang sungguh-
sungguh melakukan permohonan dengan hati suci dan bersih. Jadi, bagi orang
yang hatinya suci dan bersih selalu akan mendapat berkah yang diinginkan.
Pada bagian lainnya mitos Bhatara Bagus Balian juga melekatkan fungsi
retrospeksi kemanfaatan (the sphere of didactic persfection). Seperti dikemukakan
pada fungsi religius, fungsi kemanfaatan merupakan realisasinya. Di dalam teks
itu sendiri sesungguhnya sudah bersifat apologetiks, yaitu membela ajaran agama
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 195
Denpasar, 25-26 September 2018
Hindu sebagai ajaran yang baik melalui ketaatan menamalkan ajaran agama. Ida
Ayu Mas yang berhasil mengamalkan ajaran agamanya memperoleh manfaat
dikawini oleh dewa yang imortal sehingga juga mengalami imortal. Hidup abadi
karena dikawini oleh dewa di khayangan yang indah.
Dari sisi lain mitos Bhatara Bagus Balian, terdapat fenomena yang sesuai
dengan manfaat kesusastraan lisan itu sendiri. Bagi orang yang menceritakan
(tukang cerita) mitos Bhatara Bagus Balian, merupakan bentuk kontemplasi pada
keyakinan bahwa Bhatara Gunung Agung merupakan lingga sakala yang tiada
lain adalah Siwa itu sendiri. Dengan menceritakan keberadaan Siwa, berarti telah
melakukan kewajiban untuk menyampaikan ajaran yang benar kepada audiens.
Sedangkan bagi orang yang mendengarkan mitos Bhatara Bagus Balian mendapat
"pencerahan" rohani yang berguna dalam menjalani kehidupan beragama.
IV SIMPULAN
Keberadaan mitos Bhatara Bagus Balian di Gria Pidada Kota Amapura
Kabupaten Karangasem Bali, dengan eksplansi terdahulu, memberikan gambaran
bahwa teksnya melekatkan lingkaran fungsi perspeksi tertentu. Terjadinya
perkawinan antara Ida Ayu Mas yang putri seorang pendeta dengan seorang dewa
yang maha agung seperti Bhatara Gunung Agung bisa terjadi karena adanya
sesuatu yang istimewa. Di dalam hal ini, seorang wanita yang memiliki watak
daiwi sampad atau jiwa dewata dipersunting oleh dewa itu sendiri. Tidak ada
yang sepadan mengawini Ida Ayu Mas kecuali dewa itu sendiri.
Seperti halnya teks kesusastraan pada umumnya, teks mitos Bhatara Bagus
Balian juga memiliki lingkaran perspeksi tertentu. Teks mitos Bhatara Bagus
Balian memiliki lingkaran fungsi perspeksi religius atau spiritual (the sphere of
religious persfection persfection); lingkaran fungsi perspeksi keindahan (the
sphere of beauty persfection); lingkaran fungsi perspeksi didaktik (the sphere of
didactic persfection); dan lingkaran fungsi perspeksi kemanfaatan (the sphere of
didactic persfection).
196 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Imran Teeuku. 1991. Hikayat Meukuta Alam: Suntingan Teks dan
Terjemahan Beserta Telaah Struktur dan Resepsi. Jakarta: Intermasa.
Braginsky, V.I. 1993. The System of Classical Malay Literature. Leiden: KITLV
Press.
Frazer, James. 1992. The Golden Bough. New York: Macmillan.
Graf, Fritz (1993). Greek Mythology. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Meletinsky, Elea. 2000. The Poetics of Myth. New York: Routledge.
Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Ong, Walter J. 1989. Orality and Literacy: The Technologizing of the Word.
London & New York: Routledge.
Segal, Robert. 2004. Myth: A Very Short Introduction. London: Oxford
University Press.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta:
LP3ES.
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Unipress
bekerjasama dengan Citra Wacana.
Propp, Vladimir. 1984. Theory and History of Folklore. Minneapolis: University
of Minneapolis.
Teeuw, A. 1977. ―Sastra dalam Ketegangan antara Tradisi dan Pembaruan‖.
Dalam Bahasa dan Sastra, tahun III, No. 3. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
____________. tth. ―Kelisanan dan Keberaksaraan Kebudayaan Nusantara‖.
Wellek, Renne & Warren, Austin. 1990. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan
dari Theory of Literature oleh Melani Budianta. Jakarta: PT. Gramedia.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 197
Denpasar, 25-26 September 2018
KONTROVERSIAL PERDAGANGAN KERAMIK KUNO
HASIL PENGANGKUTAN DI LAUT CIREBON JAWA BARAT
Ida Bagus Sapta Jaya
Prodi Arkeologi
ABSTRAK
Kontroversial perdagangan keramik kuno hasil pengangkutan di laut
Cirebon Jawa Barat bertujuan untuk meneliti keberadaan sejarah keramik
kuno.Peninggalan berupa keramik tersebut dapat dipergunakan sebagai data
penelitian untuk mengungkapkan sejarah kuna Indonesia. Namun apabila keramik
kuna ini diperdagangkan secara bebas dengan cara dilelang seperti kasus
pelelangan keramik kuna hasil pengangkutan di perairan laut Cirebon Jawa Barat
menimbulkan pro dan kontra dikalangan pemerhati di bidang peninggalan
purbakala. Hal itu dipahami setelah dipublikasikan hasil temuan keramik kuno
tersebut di perairan laut Cirebon di media cetak, televisi, dan di internet. Di media
internet dijelaskan pemerintah akan melelang 271.381 keping benda berharga
muatan kapal tenggelam yang diangkat dari perairan Cirebon.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapan latar belakang
kontroversial perdagangan keramik kuno, dan mengupayakan antisipasi
pelelangan keramik kedepannya. Apabila pelelangan ini tidak diberikan sangsi
hukum yang tegas, maka peninggalan purbakala baik yang terdapat di alam laut
maupun peninggalan purbakala di daratan kedepannya juga akan dilelang,
sehingga diperlukan sejarah pelestarian dan perlindungan.
Kata Kunci :Perdagangan keramik kuno, Pelestarian, Perlindungan,
BAB I. Pendahuluan
Warisan budaya khususnya tinggalan arkeologi merupakan sumber daya
budaya yang memiliki berbagi nilai dan makna antara lain : nilai, dan makna
informasi/ilmu pengetahuan, ekonomi, estetika dan asosiasi/simbolik (Cleere
1984; Lipe 1984; McManamon 2000; et all Ardika 2004 : 50).
Merekontruksi sejarah Indonesia kuna, kita sering dihadapkan dengan
berbagai masalah, yang pada pokoknya muncul akibat adanya data yang berupa
peninggalan-peninggalan purbakala yang kurang lengkap. Keberadaan data
arkeologi yang serba terbatas, baik kualitas, kuantitas, dan validitasnya,
disebabkan oleh adanya jumlah dan mutu data yang sampai pada kita cukup
sedikit dibandingkan peninggalan purbakala yang semestinya ada. Permasalahan
yang kompleks dalam mengkaji dan merekontruksi sejarah masa lalu dengan
198 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
terbatasnya data dan pentingnya peninggalan arkeologi seperti yang diuraikan di
atas, maka diperlukannya usaha-usaha pelesteraian peninggalan purbakala
tersebut.
Peninggalan berupa keramik tersebut dapat dipergunakan sebagai data
penelitian untuk mengungkapkan sejarah kuna Indonesia. Namun apabila keramik
kuna ini diperdagangkan secara bebas dengan cara dilelang seperti kasus
pelelangan keramik kuna hasil pengangkutan di perairan laut Cirebon Jawa Barat
menimbulkan kontroversial polemik dikalangan pemerhati di bidang peninggalan
purbakala. Hal itu dipahami setelah dipublikasikan hasil temuan keramik kuno
tersebut di perairan laut Cirebon di media cetak, televisi, dan di internet. Di media
internet dijelaskan pemerintah melelang Ribuan potong batu permata, rubi, emas,
dan keramik Kerajaan Tiongkok, serta perkakas gelas Kerajaan Persia yang
ditemukan dari bangkai kapal berusia 1.000 tahun di perairanCirebon, Jawa Barat,
senilai lebih kurang Rp 720 miliardilelang di Jakarta, Rabu (5/5/2010). (http :
//iwandahnial. Wordpress.com/2010/05/04/harta-karun-diperairan Indonesia-bisa-
lunasi-utang-negara).
Rencana pelelangan benda-benda berharga khususnya keramik-keramik
Kuno yang direncanakan seperti yang diuraikan di atas,mencerminkan kekuatan
modal jaringan budaya maritim sampai ke tingkat internasional dengan
keuntungan ekonomi yang sangat tinggi. Latar belakang tersebut menjadi dasar
untuk melakukan penelitian ini dan menggugah minat penulis untuk mengungkap
lebih dalam lagi bagaimana usaha pihak-pihak tertentu untuk melelang benda-
benda kuno yang bernilai sejarah tersebut dengan nilai puluhan juta dan
melupakan untuk kepentingan penyusunan sejarah kuna jika benda-benda
purbakala dilelang oleh pihak-pihak tertentu. Seperti diketahui dalam usaha
merekontruksi sejarah Indonesia kuna, kita sering dihadapkan dengan berbagai
masalah, yang pada pokoknya muncul akibat adanya data yang berupa
peninggalan-peninggalan purbakala yang kurang lengkap.
Penjelasan Undang-Undang RI Tentang Benda Cagar menegaskan tidak
diizinkan memperjualbelikan benda cagar budaya tanpa seizin dari pemerintah.
Bertitik tolak dari kenyataan di atas, timbul suatu keinginan untuk mengungkap
kontroversial perdagangan keramik kuno, dan mengupayakan antisipasi
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 199
Denpasar, 25-26 September 2018
pelelangan keramik kedepannya. Dari uraian tersebut di atas maka ada beberapa
permasalahan yang akan dikemukakan dan dibahas untuk dicarikan jawabannya.
Adapun permasalahan-permasalahannya adalah menganalisis bagaimana latar
belakang kontroversial perdagangan keramik kuno hasil pengangkutan di laut
Cirebon Jawa Barat, dan apa upaya pelestariannya.
II.Pembahasan
2.1.Latar belakang kontroversial perdagangan keramik kuno hasil
pengangkutan di laut Cirebon Jawa Barat.
Sumber tertulis menyebutkan keramik berasal dari Cina, namun pada
kenyataannya ditemukan pula keramik dari Siam dan Annam yang
memperlihatkan ciri-ciri keramik abad 14-16 Masehi. Mungkin sekali pada saat
itu memang keramik Cina mendominasi perdagangan barang pecah belah ini,
sehingga keramik dari tempat lain kurang mendapat perhatian. Bahkan dijelaskan
orang-orang dari negeri ini (Majapahit) sangat suka pada keramik Cina berwarna
biru putih. Akibatnya banyak pedagang Cina yang khusus memuat keramik serupa
di kapalnya dan membawa ke Jawa. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bila
saat itu keramik masih banyak di temukan berbagai situs di Jawa umumnya dan
bekas kota Majapahit khususnya. Bukti ramainya keramik masa silam, telah
muncul kembali dalam bentuk pecahan keramik di situs tersebut masa kini. Bukti
temuan keramik di Trowulan mencerminkan adanya perdagangan keramik berupa
wadah yang umumnya didominasi oleh Cina, dan yang berbentuk unsur bangunan
oleh Annam dan Siam. (Herijanti Ongkodharma, dkk ; 1990 : 247-249).
Benda-benda keramik dapat dikenali pembuatannya, antara lain berasal
dari Cina, Khmer, Thailand, Annam, Persia, Jepang, Eropa. Kehadiran keramik-
keramik di situs-situs tersebar di dalam wilayah Indonesia, membawa kita kepada
masalah yang bertalian dengan perdagangan masa lalu. Cukup banyak karangan
berisi pembahasan mengenai keramik (terutama keramik Cina) sebagai satu jenis
komoditi yang amat luas wilayah pemasarannya, termasuk juga pasar Indonesia.
(Rony Siswandi, Nanik Harkantiningsih : 1982 : 1).
Kontroversialnya perdagangan keramik kuno hasil pengangkutan di laut
Cirebon Jawa Barat dilatarbelakangi oleh kasus pelelangan keramik dalam jumlah
200 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
yang sangat banyak dengan direncanakan dilelang untuk kepentingan ekonomi.
Pelelangan keramik ini menimbulkan kontroversial di kalangan pihak purbakala
dan pelaku pelelangan., Seperti diberitakan di berbagai sumber media internet,
Pemerintah akan melelang 271.381 keping benda berharga muatan kapal
tenggelam yang diangkat dari perairan Cirebon. Pelelangan dilakukan melalui
Kantor Piutang Kekayaan Negara, dan terbuka untuk pasar internasional.
Barang ini terdiri dari ribuan potong batu permata, rubi, emas, dan keramik
Kerajaan Tiongkok, serta perkakas gelas Kerajaan Persia. Hasil lelang menurut
rencana akan dibagi rata antara pemerintah dan perusahaan yang melakukan
eksplorasi. Keramik di situs Cirebon diperkirakan merupakan barang dagangan
souvenir, hadiah atau alat tukar (barter) bangsa Cina saat menjelajah dunia hingga
akhirnya singgah di Cirebon, yang tergolong benda-benda kuno Dinasti Ming
abad ke-X. (Jaya, 2015) .
2.2. Pelestarian perdagangan keramik kuno hasil pengangkutan di laut
Cirebon Jawa Barat
Dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi ada tiga kepentingan pokok
yakni kepentingan akademik, ekonomik dan ediologik. Kepentingan akademik,
berkaitan dengan usaha penelitian ilmiah secara terus menerus, kepentingan
ekonomik berhubungan dengan pariwisata dan kepentingan ideologi berkaitan
dengan jatidiri bangsa (Cleere, 1989 : 5-10; Kusumohartono, 1993 : 47 ; et al Edi
Triharyantoro, 2002 : 237).
Peran warisan budaya masa lalu melalui analisis artefaktual seperti pada
penjelasan di atas, maka peninggalan purbakala tersebut tidak dilelang, mapun
dijual.Sesuai dengan Undang-Undang RI Tentang Benda Cagar Budaya No. 5.
Tahun 1992 menjelaskan mengenai dilarangnya memperjual-belikan benda cagar
budaya tanpa seizin pemerintah. Upaya yang harus ditempuh yaitu memberikian
aturan yang tegas mengenai penanganan benda-benda purbakala dengan
memahami keberadaan Undang-Undang Cagar Budaya.Selain itu
diperlukanyaperan serta masyarakat dalam mengantisipasi pelelangan benda-
benda purbakala.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 201
Denpasar, 25-26 September 2018
III. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapatlah sementara disimpulkan sebagai
berikut. Latar belakang kontroversial perdagangan keramik kuno yaitu terjadinya
perdagangan dengan cara melelang keramik kuna dalam jumlah yang banyak
untuk membayar utang Negara dan dilelang di pasar Internasional, yang
mencerminkan kuatnya modal jaringan maritim. upayak antisipasi pelelangan
keramik kedepannya yaitu dengan memberikan sangsi hukum yang tegas, maka
peninggalan purbakala baik yang terdapat di alam laut maupun peninggalan
purbakala di daratan kedepannya tidak akan dilelang dan diperdagangkan dalam
jumlah yang besar untuk membayar utang Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Ardika, I Wayan, 2004. Manajemen Warisan Budaya. KUMPULANMATERI
Program Inovatif TOT (Training of Trainer) Konservasi Warisan Budaya Bali
Dalam Pemberdayaan Lembaga Pelestarian Warisan Budaya Bali (Bali Heritage
Trust).
Bambang Budi Utomo, (Ed), 2008. KapalKaramabadke-10diLautUtaraCirebon.
Cet. Pertama. Jakarta : PANNAS BMKT.
Biro Hukum Dan Hubungan Masyarakat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 1997. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Benda Cagar Budaya.
Edy Triharyantoro, 2002. ―Aspek Ideologi dalam Management Sumberdaya
Arkeologi‖. Dalam Buku Manfaat Sumberdaya Arkeologi Untuk Memperkokoh
Integrasi Bangsa. Denpasar. Upada Sastra.
Herijanti Ongkodharma, dkk 1990. ―Keramik Asing : Bukti Perdagangan Masa
Lalu di Situs Trowulan‖. DalamBukuMONUMEN Karya Persembahan Untuk
Prof. Dr. Soekmono.Edi Sedyawati, dkk (Penyunting).Lembaran Sastra Fakultas
Sastra Universitas Indonesia Depok.
Heru Prijanto.2007 HukumLautInternasional. Bayumedia Publishing. Anggota
Ikapi Jatim.
Huala Adolf. 2011. Hukum Perdagangan Internasional. Ed. 1-4. Jakarta :
Rajawali Pers.
Jaya, Ida Bagus Sapta , 2015. ―Pengungkapan Kasus Pelelangan Keramik Kuno di
Kawasan Perairan Laut Cirebon Jawa Barat‖. Hibah Penelitian Dosen Udayana.
202 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Midley, Margaret, 1976. The Chinese Potter A Patrical History Of Chinese
Ceramic. Phaidon : Oxford.
Rony Siswandi, Naniek Harkatiningsih : 1982. ―Timbul dan Tenggelamnya
Perdagangan Keramik Di Banten Berdasarkan Data Arkeologi‖. Majalah
Arkeologi. Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Rawamangun, Jakarta Timur.
Yanuar Ikbar, 2012. MetodePenelitianSosialKualitatif. Cetakan I. Bandung : PT
RefikaAditama.
Sumber internet :Harta Karun Cirebon, Warisan Budaya Bangsa Haruskah
dilelang ?Diduga peninggalan Dinasti Ming 1000 Tahun yang lalu UNESCO
Melarang Lelang Warisan Budaya. Sumberinterne:harta-karun-
diperairanIndonesia-bisa-lunasi-utang-negara).
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 203
Denpasar, 25-26 September 2018
WISATA BAHARI SEBAGAI DAYA TARIK OBYEK WISATA
POTENSIAL:STUDI KASUS PANTAI SANUR, DENPASAR SELATAN,
KOTA DENPASAR-BALI
Ketut Darmana
Prodi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Kawasan wisata Sanur merupakan salah satu kawasan strategis pariwisata
nasional (KSPN) yang berlokasi wilayah Sanur.Begitu pula, wilayah Sanur ini
memiliki pesisir pantai di sepanjang pantai bagian Timur sampai pantai bagian
Selatan±4 Km panjangnya.Mulai wilayah pesisir pantai Padang Galak sampai
wilayah pantai Merta Sari. Karakteristik pantai yang menonjol secara fisik, antara
lain sebagai berikut: (1) Keadaan topografi pantai Sanur yang landai, (2) Pasir
putih yang bersih dan berkilau, (3) Panorama gelombang air laut yang bersih,
jernih, dan berwarna biru, dan Kedalaman air laut dari bibir pantai sampai
pembatas batu karang hanya mencapai ± 3 meter dari dasar laut. Kondisi
gelombang air laut tidak begitu besar sampai ke bibir pantai, karena terhalang
oleh batu karang terletak di tengahtengah laut sebelah Timur dengan jarak ±1
Km dari bibir pantai Sanur.Oleh karena itu, ke-4 karakteristik tersebut, maka
pantai Sanur sebagai asset yang potensial dijadikan wisata bahari yang memiliki
daya tarik tersendiri untuk objek wisata tangiable yang menarik dikunjungi oleh
wisatawan asing (luar negeri) maupun wisatawan nusantara (domistik), termasuk
masyarakat lokal dari Bali.
Dalam makalah ini, fokus masalah yang dirumuskan, adalah sebagai
berikut: (1) Mengapa kawasan wisata pantai Sanur merupakan asset potensial
objek kunjungan wisata?, dan (2) Kegiatan atraksi apa saja dapat dilakukan oleh
wisatawan (luar negeri maupun domistik) pada kawasan pantai Sanur dalam
konteks wisata bahari tersebut? Untuk menjawab permasalahan di atas dengan
menggunakandata kualitatif dari hasil observasi dan studi pustaka, serta bukan
merupakan hasil penelitian.Selanjutnya, Metode analisis data secara deskriptif
yang berdasarkan kerangka teoretis mengacu pandangan McKean (1976) tentang
partial equivalence structure.
Kata kunci: wisata bahari, daya tarik wisata, dan kawasan sanur
I. Pendaluhuan
Berdasarkan Peraturan Daerah Bali No. 3 tahun 1974, telah menetapkan
bahwa jenis kepariwisataan yang dikembangkan di daerah Bali, adalah pariwisata
budaya (cultural tourism).Hal ini sekaligus dijadikan arah pengembangan
pariwisata dipayungi oleh suatu motto ―bukan Bali untuk pariwisata, melainkan
pariwisata untuk Bali‖ (Geriya, 1996).Semenjak berdirinya Hotel Bali Beach
pada tahun 1960-an, kemudian berimbas terhadap wilayah Sanur sebagai salah
204 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
satu kawasan wisata terkenal dan terfavorit di Bali sampai pada saat ini.Kekuatan
daya magisnya sudah mendunia (mengglobal) bagaikan seperti magnet yang
menarik para pelancong untuk menikmati obyek-obyek wisata di wilayah tersebut.
Para pelancong yang berkunjung ke obyek wisata di tempat mulai dari level
penduduk lokal di sekitar wilayah Provinsi Bali, wisatawan nusantara (domistik),
dan wisatawan luar negeri (asing) (Naya Sujana, 1999).
Sanur sebagai resort tourism yang dikembangkan secara khusus untuk
mendatangkan tourist (wisatawan asing) yang tergolong kelompok wisatawan elit
dari Negara asalnya.Elit dalam arti dilihat dari aspek kehidupannya di negaranya
dipandang mapan dan kaya dari segi ekonomi, mereka berwisata ke pulau Dewata
dan Sanur dipilih sebagai tempat menginap sepenuhnya untuk menikmati
perjalanan wisatanya.Akomodasi wisata yang diinginkan dan dibutuhan adalah
hotel yang bertaraf Internasional. Tentu gambaran ini dapat dilihat dari
karakteristik wisatawan itu sendiri, sudah tentu kondisi ini agak berbeda dengan
tourist resort yang berkembang Kuta, Nusa Dua, Ubud, maupun kawasan wisata
lainnya di Bali (Bagus, 1999).
Begitu juga kawasan wisata Sanur sekarang ini, termasuk salah satu
kawasan strategis parawisata nasional (KSPN) yang ada di Bali.Kehadiran KSPN
ini merupakan kebijaksanaan pemerintah pusat yang berkaitan regulasi
pengembangan maupun penataan wisata diseluruh tanah air.Lewat KSPN ini
pemerintah pusat sudah memberikan rambu-rambu tentang penentuan kawasan
wisata yang dipandang strategis secara nasional sebagai obyek wisata, sehingga
menjadi daya tarik bagi wisatawan. Oleh karena itu, regulasi yang terkait dengan
pengembangan dan penataan pariwisata sebagai sebuah industri tanpa cerobong
asap di Bali pada umumnya dan khususnya di kawasan Sanur yang berlandaskan
pada panorama alam yang indah dan budaya yang eksotik. Hanya cuma potensi
ini yang dimiliki oleh masyarakat Sanur termasuk daerah Bali lainnya untuk
digarap secara inovatif dan lebih kreatif dalam rangka untuk mengoptimalkan
potensi tersebut(Adnyana Manuaba, 1999).
Dalam makalah ini, fokus masalah yang dirumuskan, adalah sebagai
berikut: (1) Mengapa kawasan wisata pantai Sanur merupakan asset potensial
sebagai objek kunjungan wisata (destinasi wisata), dan (2) Kegiatan atraksi apa
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 205
Denpasar, 25-26 September 2018
saja dapat dilakukan oleh wisatawan (luar negeri maupun domistik) pada kawasan
pantai Sanur dalam konteks wisata bahari?.Selanjutnya, landasan teoretis untuk
memahami masalah tersebut di atas melalui model interaksi kebudayaan dengan
industri pariwisata pada masyarakat Bali telah dilakukan oleh McKean dalam
analisis kajiannya mengenai pengaruh pariwisata terhadap kebudayaan Bali
(Geriya, 1996). Menurut McKean (1976), berdasarkan penelitiannya di Bali
merumuskan bahwa hubungan interaksi antara orang-orang Bali dengan
wisatawan didasarkan atas prinsip saling mengharapkan. Pada satu pihak,
wisatawan mengharapkan kepuasan yang bersifat estetis dan pada pihak yang lain
itu merupakan kesempatan ekonomi yang diharapkan oleh penduduk setempat.
Pengharapan timbal-balik saling melengkapi dan menguntungkan bagi kedua
belah pihak itu maka disebut ―partial equivalence structure‖ (McKean, 1976 dan
Geriya, 1993).Makalah ini belum berdasarkan hasil penelitian data lapangan.Jenis
data kualitatif dan sumber data lewat studi pustaka, serta ditunjang dari hasil
pengamatan (observasai), karena sering melakukan kunjungan ke kawasan pesisir
pantai Sanur (Koentjaraningrat, 1977).
II. Pembahasan
2.1. Kawasan Wisata Pantai Sanur merupakan AssetPotensial sebagai
Wisata Bahari.
Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa kawasan wisata Sanur
sebagai destinasi tujuan wisata (DTW) yang sudah mendunia atau mengglobal
karena faktor alam.Oleh sebab itu, boleh dikatakan suatu keindahan yang bersifat
naturalistik (alamiah) berkah anugrah dari Sang Pencipta Tuhan Yang
Mahakuasa.Keindahan panorama ini, selain memiliki pesisir pantai dengan pasir
putih yang bersih dan berkilau, juga terbitnya matahari diwaktu pagi hari yang
memberikan nuansa kenikmatan tersendiri.Begitu pula, di pesisir pantai
terintegrasi dengan akomodasi wisata, toko kerajinan (artshop/gallery), bar, dan
restoran, villa, dan hotel (Wall, and Long, 1996).Ada berbagai jenis kelas hotel
ini, mulai dari kelas hotel melati sampai dengan kelas hotel bertaraf Internasional
(bintang 1—5).Semua hotel-hotel ini posisinya dibangun pada garis tepi pantai
yang terletak di sebelah Timur wilayah Sanur berjejer dari arah Selatan ke
Utara.Kondisi pantai yang begitu landai dengan gelombang ombak yang tidak
206 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
begitu besar dan air laut yang bersih dan jernih. Kondisi seperti ini tidak
membahayakan bagi pengunjung yang ingin menikmati nuansa air laut melalui
aktivitas berenang dengan kano, snorckling, daving, peselancar (surfing), dan
aktivitas yang lainnya. Deburan ombak yang besar tidak sampai menyentuh bibir
pantai, karena batu karang menahan deburan ombak yang besar itu sebelum
sampai menyentuh bibir pantai. Batu karang ini terletak pada radius ±1 km dari
tepi pantai dan hanya kelihatan pada saat air laut surut. Letak posisinya
memanjang dari arah Selatan ke Utara sepanjang beberapa ratus meter. Kondisi
ini menyebabkan ada pembelahan antara laut dalam dan laut dangkal.Tolok ukur
yang digunakan pada batu karang sebagai batas pembagi. Untuk di sebelah Timur
tergolong laut dalam mencapai lebih dari 12 meter, sedangkan di sebelah Barat
tergolong laut dangkal, kedalamannya hanya mencapai ± 3 meter (Kaler Surata,
1999).
Gelombang air laut yang tampak tenang ternyata memberikan rasa nyaman
bagi wisatawan, lebih-lebih didukung akomodasi wisata yang menyatu dengan
lingkungan kawasan pantai.Bagi wisatawan asing (tourist), bila memilih lokasi
penginapan yang dekat dengan tepi pantai Sanur ini, secara langsung bisa
menikmati obyek wisata naturalistik dihadirkan dari persona alam tersebut.Selain
itu, obyek wisata ini juga berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat di
sekitar wilayah kawasan Sanur.Secara sosial-ekonomi sektor industri pariwisata
ini menyerap tenaga kerja berasal dari kelurahan/desa setempat, baik bergerak
dalam bidang usaha (bisnis), karyawan, dan jasa, sehingga juga berdampak
terhadap kemaslatan ekonomi masyarakat untuk kesejahteraan(Wyasa, 1999).
2.2. Kegiatan atraksi Wisata Bahari Pada Kawasan Wisata Pantai Sanur
Ada berbagai bentuk atraksi yang bisa dilakukan oleh wisatawan, baik
wisatawan nusantara (domistik) maupun wisatawan asing (luar negeri) yang
berkaitan dengan wisata bahari pada objek wisata kawasan pantai Sanur. Realitas
empiris di lapangan bahwa aktivitas atraksi wisata bahari ini yang berlokasi di
kawasan pantai Sanur sangat menarik bagi pengunjung, terutama dari masyarakat
lingkungan kota Denpasar, dan wilayah kabupaten lainnya di Provinsi Bali yang
berdekatan dengan kawasan pantai Sanur.Di samping itu, juga menarik wisatawan
dari berbagai belahan dunia yang telah berkunjung ke kawasan objek wisata
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 207
Denpasar, 25-26 September 2018
tersebut.Setiap hari kawasan pesisir pantai Sanur selalu dibanjari oleh
pengunjung, sehingga suasana tampak terlihat ramai.Lebih-lebih pada hari raya,
libur, liburan panjang bagi anak sekolah, maka hari liburan tersebut dimanfaatkan
untuk berdarmawisata atau study tourbagi daerah lainnya di luar wilayah Provinsi
Bali (Erawan, 1994).
Berhubungan dengan kegiatan atraksi di laut, hal ini sangat dipengaruhi, dan
bahkan ditentukan oleh kondisi air laut. Atraksi apa saja bentuknya itu, hanya
dilakukan pada situasi air laut pasang. Menjelang bulan purnama, air laut mulai
naik (pasang) secara bertahap dan puncak pasang air laut itu bertepatan pada
bulan purnama.Begitu pula, di bulan purnama gelombang air laut tinggi hingga
sampai jauh masuk ke daratan.Berkaitan dengan itu, maka batu karang tidak
kelihatan berarti kedalaman air laut di bibir sudah mencapi 3 meter lebih dari
dasar laut.Sebaliknya, menjelang bulan mati (Tilem), maka air laut mulai
mengalami pasang surut (turun) pelan-pelan dan puncaknya pasang surut paling
rendah terjadi bertepatan pada bulan mati (Tilem).Kondisi ini menyebabkan air
laut menjadi dangkal, kurang lebih setinggi lutut orang dewasa.Akibat dari air laut
yang dangkal, maka kelihat dasar lautnya dengan berbagai jenis habitat laut yang
hidup di dasar laut tersebut.Bahkan ada orang berjalan sampai ke batu karang dan
berjalan-jalan di atas batu tersebut.Hal ini bisa dilakukan oleh seseorang
tergantung dari keberanian dan tahu membaca situasi kondisi air laut itu
mengalami pasang, agar tidak terjebak di dalamnya(Pitana, 1994).
Bila melihat kondisi air laut ini mengikuti hukum gratifikasi bumi dalam
waktu 24 jam, terjadi 4 kali pasang-surut dengan selisih waktu 6 jam.Dengan
demikian, 2 kali pasang (naik), dan 2 kali surut (turun).Oleh karena itu, kegiatan
atraksi di laut yang berkaitan wisata bahari (maritime/marine tourist), yang paling
baik dan tepat berdasarkan pantauan ke dalaman air laut pada waktu 5 hari
menjelang bulan purnama.Air laut sudah agak tinggi, sehingga sarana maupun
prasarana yang digunakan untuk atraksi tersebut, seperti mesin tempel tidak
tersangkut pada batu karang yang ada di dasar laut.Untuk mengetahui lebih rinci
kegiatan wisata bahari yang berkembang pada kawasan pesisir pantai Sanur dapat
diungkapkan dalam uraian di bawah ini sebagai berikut.
208 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
1. Perahu layar tradisional (jukung), Bentuk prahu sederhana menyerupai ikan
hanya warna catnya yang bervariasi. Bahannya dibuat dari kayu yang besar,
dilihat dari diameternya rata-rata di atas 1 meter. Di kalangan masyarakat di
Bali lebih dikenal dengan perahu bercadik (kantih) yang bahannya dibuat dari
bambu yang besar dan kulitnya dihilangkan dengan pisau supaya lebih ringan.
Bambu ini dipasang pada sebelah kanan maupun kiri yang dihubungkan
dengan tangkai yang dari kayu. Cadik (kantih) berfungsi menjaga
keseimbangan perahu tersebut agar tidak terbalik, di tengah laut.Lebih-lebih
pada saat terjadi gelombang pasang. Alat ini digunakan oleh nelayan untuk
menangkap ikan di laut. Sekarang ini telah mengalami pergeseran sebagai
mode transportasi untuk mengangkut wisatawan asing (luar negeri) yang ingin
rekreasi keliling diseputar kawasan pantai Sanur. Begitu pula, alat untuk
mendorong laju pergerakkan perahu ini masih menggunakan dayung dan
fungsinya untuk mengayuh air agar perahu bisa bergerak maju. Oleh karena
itu, laju gerak perahu pelan-pelan, sehingga wisatawan merasakan kenikmatan
alam
2. Kano, alat dibuat dari bahan feber, ukuran panjang X lebih tidak melebihi dari
tinggi dan besar tubuh badan manusia. Begitu pula, alat ini difungsikan untuk
berenang di laut, cuma jaraknya hanya mencapai puluhan meter dari bibir
pantai. Mengingat bentuknya menyerupai sebilah papan, maka dalam
penggunaannya harus membutuhkan seimbangan badan, sehingga posisi duduk
di atas kano agar tidak rebah atau jatuh ke laut. Kemudian, untuk menggerakan
kano tersebut bisa melaju ada alat dayung untuk mengayuh air alut sehingga
kano melaju maju. Oleh karena itu, bagi wisatawan yang senang mandi di tepi
pantai, alat ini kadang-kadang menjadi salah satu pilihan untuk rekreasi
menikmati panorama di laut.
3. Snorckling ini juga merupakan salah satu rekreasi yang sangat menantang,
karena dibutuhkan keberanian bagi si pelaku snorckling ini. Sarana yang sangat
menunjang aktivitas wisata bahari, antara lain: jet boot, payung parasut, dan
tali pengikat yang kuat serta panjangnya ± 20—25 meter. Jet boot sebagai
penarik payung perasut mirip seperti turjun payung bila dilihat dari kejauhan.
Jet boot dengan laju kecepatan tinggi bergerak di atas air hingga payung
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 209
Denpasar, 25-26 September 2018
perasut terbang tinggi dan berputar-putar di atas laut di sekitar kawasan pesisir
pantai Sanur. Pada ketinggian sekitas 20—25 meter bagi wisatawan yang
menggelayut di payung perayut dapat melihat pemandangan seluruh objek
wisata marine tersebut.
4. Daving, merupakan bentuk penyelaman dengan alat penutup pada bagian muka
yang mirip seperti kaca mata besar, sehingga mata bisa tetap terbuka untuk
melihat pemandangan di bawah dasar laut.
5. Jet sky air, model peselancar yang dilakukan di laut pantai Sanur ini sarananya
mirip dengan snorckling. Sarana yang dibutuhkan seperti jet boot, papan ski,
dan tali penarik yang menghubungkan jet boot salah satu ujung tali diikat pada
boot dan ujung tali yang lain dipegang oleh si pelancar. Kemudian, jet boot
menarik orang berdiri di atas papan peselancar sambil memegang sekuat tenaga
tali tersebut agar tidak terlepas lalu ditarik oleh kapal boot dengan kecepatan
tinggi. Di atas permukaan air laut berputar-putar dan berkelak-kelok, sehingga
setiap air laut yang dipijak oleh papan sky tersebut memncrat ke atas dengan
ketinggian ± 1 meter.
6. Kapal boot ini sering juga digunakan oleh para pelancong untuk kebut-kebutan
di atas permukaan air. Bila dikaitkan dengan di darat mirip seperti naik sepeda
motor berkeliling pada suatu tempat. Kapal boot ini mirip fungsinya seperti itu,
untuk berkeliling di tengah lautan tetapi tidak jauh dari tepi bibir pantai. Pada
prinsipnya aktivitas wisata bahari cuma berkeliling melihat pemandangan
suasana alam laut tersebut.
Semua sarana dan prasarana tersebut sudah disediakan dan dipersiapkan
oleh warga masyarakat Sanur dalam suatu organisasi tradisional (Sudhana Astika,
1994), dan petugas yang menangani dari masing-masing bagian itu sesuai dengan
standar operasional prosedor (SOP).Selain itu, juga dituntut pekerja secara
profesional dalam pengelolaan sarana dan prasarana tersebut, karena ini
memberikan pelayanan jasa kepada wisatawan asing (luar negeri) yang berlibur
pada objek wisata Sanur. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari komplain
antara guest dan hostyang berkaitana dengan pelayanan jasa tersebut. Kemudian,
dampaknya sangat berpengaruh terhadap industri pariwisata Bali ke masa depan
(Smith, 1978). Tujuan utama wisatawan datang dan berkunjung ke Bali, baik
210 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
wisatawan asing (luar negeri) maupun wisatawan nusantara (domistik) untuk
berlibur dengan menikmati keindahan alam dan budaya Bali (Picard, 1993, dan
Titib, 1999)
III. Penutup.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan antara lain sebagai
berikut: (1) Pesisiran pantai Sanur merupakan destinasi daerah tujuan wisata
(DTW) tergolong salah satu kawasan pantai di Provinsi Bali. Sesungguhnya,
mulai dari sejak penjajahan pemerintah Belanda sempat berkuasa di Bali telah
melirik bahwa kawasan ini dapat dijadikan objek wisata potensial dikembangkan
untuk menarik wisatawan dari kawasan Negara Eropa berkunjung ke tempat ini,
dan (2) Tergolong pantai terindah ke-2, setelah Hawaii, Amerika Serikat.
Kemudian aktivitas wisata bahari yang dominan diminati oleh wisatawan asing
maupun wisatawan nusantara (domistik), antara lain, seperti: perahu layar
tradisional (jukung), jet ski air, kano, peselancar (surfing), penyelaman(daving),
snorckling.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana Manuaba, 1999. ―Isu, Problema dan Masa Depan Bali‖ dalam Era
Globalisasi‖ dalam Bali dan Masa Depannya (Supartha,
Wayan Penyunting). Denpasar: Penerbit Bali Post.
Bagus, I G N, Aron Meko Mbete, dan Erawan, I Nyoman, 1997. ―Pokok-Pokok
Pikiran Hasil Seminar Pariwisata, Pendidikan dan Peluang
Bisnis‖ dalam Menuju Terwujudnya Ilmu Pariwisata di
Indonesia (Bagus, IGN Penyunting). Denpasar: Program
Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana.
Bagus, I Gusti Ngurah, 1999. ―Mengkondisikan Tampilnya Pemikir
Pembangunan dalam Era Glokalisasi di Bali‖ dalam Era
Globalisasi‖ dalam Bali dan Masa Depannya (Supartha,
Wayan Penyunting). Denpasar: Penerbit Bali Post.
Erawan, I Nyoman, 1994.Pariwisata Dan Pembangunan Ekonomi (Bali Sebagai
Kasus). Denpasar: Penerbit Upada Sastra.
Geriya, I Wayan, 1993.―Model Interaksi Kebudayaan dan Industri Pariwisata pada
Masyarakat Bali (Satu Refleksi dari Strategi Pembangunan
yang Berbudaya dalam Era Industrialisasi)‖ dalam
Kebudayaan Dan Kepribadian Bangsa (Sudharta, Tjok Rai,
dkk Editor). Denpasar: Penerbit Upada Sastra.
Geriya, I Wayan, 1996.Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional,
Global Bunga Rampai Antropologi Pariwisata. Denpasar:
Penerbit Upada Sastra.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 211
Denpasar, 25-26 September 2018
Geriya, I Wayan, 2000.Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI.
Denpasar: Unit Percetakan Bali.
Koentjaraningrat, 1977.Metode-Metode PenelitianMasyarakat. Jakarta: PT
Gramedia.
Kaler Surata, 1999.―Keunikan Lingkungan Bali: Kemantapan yang Rapuh‖ dalam
Era Globalisasi‖ dalam Bali dan Masa Depannya (Supartha,
Wayan Penyunting). Denpasar: Penerbit Bali Post.
McKean, Philip F, 1976. ―Interaction Between Tourists and Balinese: An
Anthropological Analysis of Partial Equitvalence Structures‖
dalam Masyarakat Indonesia Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Jilid
III Nomor 2. Jakarta: LIPI.
McKean, Philip Frick, 1978. ―Toward a Theoretical Analysis of Tourism:
Economic Dualism and Cultural Involution in Bali‖, Hosts
and Guests (Smith, Valene L, Edit). Oxford: Basil Blackwell.
Naya Sujana, Nyoman, 1999 ―Kompleksitas dan Dinamika Ditengah Bangunan
Kebudayaan Bali‖ dalam Era Globalisasi‖ dalam Bali dan
Masa Depannya (Supartha, Wayan Penyunting). Denpasar:
Penerbit Bali Post.
Picard, Michel, 1993. ―Cultural Tourism in Bali National Integration and
Regional Differentiation‖, Tourism in South-East Asia(
Hitchcock, at al, Edit). London and New York: Routledge.
Pitana, I Gde, 1994.Desa Adat dalam Arus Modernisasi‖ dalam Dinamika
Masyarakat Dan kebudayaan Bali (Pitana, I Gde, Editor).
Denpasar: Penerbit Bali Post.
Smith, Valene, 1978, Host and Guests. Oxford: Basil Blackwell.
Sudhana Astika, I Ketut, 1994. ―Seka dalam Kehidupan Masyarakat Bali‖ dalam
Dinamika Masyarakat Dan kebudayaan Bali (Pitana, I Gde,
Editor). Denpasar: Penerbit Bali Post.
Titib, I Made, 1999. ―Desa Adat Bali dalam Era Globalisasi‖ dalam Bali dan
Masa Depannya (Supartha, Wayan Penyunting). Denpasar:
Penerbit Bali Post.
Wall, Geoffrey and Long, Veroneca, 1996.―Balinese Homestays: An Indigenous
Response to Tourism Opportunities‖, Tourism and
Indigenous Peoples (Butler, Richard and Hinch, Thomas,
Edit). London: International Thomson Bisiness Press.
Wyasa, Ida Bagus, 1999. ―Bali Pusat Bisnis Pariwisata‖ dalam Era Globalisasi‖
dalam Bali dan Masa Depannya (Supartha, Wayan
Penyunting). Denpasar: Penerbit Bali Post.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 212
Denpasar, 25-26 September 2018
PELATIHAN PENULISAN JURNALISTIK BAGI SISWA SMAN 1 KUTA
SELATAN, KABUPATEN BADUNG
Ketut Riana, S.U, Putu Evi Wahyu Citrawati, I Nyoman Darma Putra,
Made Sri Satyawati, Wayan Teguh
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Penggunaan bahasa Indonesia ragam ilmiah/ragam jurnalis tidak dapat
dilepaskan dari kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa
Nasional maupun sebagai bahasa Negara.Dalam kedudukannya sebagai bahasa
Nasional, yang penting dicermati adalah fungsinya sebagai lambang kebangsaan
(Nasional).Sebagai penutur/pemakai bahasa Indonesia, kita harus bangga
memiliki bahasa Nasional yang di dalamnya tercermin nilai-nilai social budaya
bangsa. Atas dasar kebanggaan itu, bahasa Indonesia kita pelihara dan kita
kembangkan, dan rasa kebanggaan memakainya senantiasa kita bina. Dalam
kaitan ini, bahasa Indonesia ragam juranlis merupakan salah satu variasi bahasa
Indonesia dalam proses pembinaan dan pengembangannya. Penggunaan bahasa
Indonesia ragam ilmiah dalam tulis-menulis secara cermat tentu dapat
meningkatkan rasa kebanggaan penulisnya.
Selain itu, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pendukung ilmu
pengetahuan dan teknologi modern untuk kepentingan nasional kita.
Penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta manfaat yang dapat
diberikannya pada perencanaan dan pelaksanaan kita, baik melalui penulisan dan
penerjemahan buku-buku teks serta penyajian pelajaran di lembaga-lembaga
pendidikan maupun melalui penulisan buku-buku, dilakukan dengan
menggunakan bahasa Indonesia.
Kata Kunci: Pelatihan, Karya Ilmiah, Ragam Bahasa Jurnalis
1. Latar Belakang
Kabupaten Badung terletak ditengah-tengah Pulau Bali, membentang dari
utara ke selatan. Kabupaten Badung, merupakan salah satu kabupaten yang ada di
Provinsi Bali, dengan penghasilan masyarakat dari sektor pariwisata.
Kecamatan Kuta Selatan, merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Badung. Terletak diujung selatan Kabupaten Badung, maupun ujung selatan Pulau
Bali, kecamatan Kuta Selatan merupakan kecamatan terbaru yang merupakan
pecahan dari Kecamatan Kuta. Dahulu sebelum dikembangkan menjadi
kecamatan baru, kuta selatan berada di bawah kecamatan Kuta.Potensi yang ada
di wilayan Kuta Selatan sangat besar, terutama di sektor Pariwisata.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 213
Denpasar, 25-26 September 2018
Luas wilayah kecamatan Kuta Selatan 101, 13 km2. Kecamatan Kuta
Selatan memiliki 6 kelurahan/desa, yaitu kelurahan Pecatu, kelurahan Ungasan,
Kelurahan Kutuh, Kelurahan Benoa, Kelurahan Tanjung Benoa, dan Kelurahan
Jimbaran.
Pelatihan tentang Jurnalistik bagi siswa SMA se Kecamatan Kuta Selatan
merupakan suatu program Pengabdian kepada masyarakat yang bertujuan untuk
membina siswa dalam hal penulisan tentang Jurnalistik yang meliputi pelatihan
penulisan karya ilmiah, penulisan majalah dinding (madding), penulisan Koran
sekolah, dan lain-lain. Tujuan lainnya agar dapat melatih para siswa
mengembangkan kreativitasnya dalam hal ragam jurnalistik.
Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat tahun 2017 ini, difokuskan
kepada Siswa SMA yang ada di Kecamatan Abiansemal, yang terfokus pada
SMAN 1 Kuta Selatan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Pengabdian
yang berjudul tentang Pelatihan Penulisan Ketrampilan Jurnalistik Bagi Siswa
SMA Se Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung,menyasar siswa yang
mengikuti ekstra jurnalistik.
SMAN 1 Kuta Selatan merupakan salah satu SMAN yang ada di daerah
Kuta Selatan tepatnya diujung Pulau Bali. Terletak di Jalan Ketut Jedug, Desa
Kutuh, berada di tengah-tengah kawasan wisata Pantai Pandawa. Sekolah ini
berdiri pada 9 September 1999. Pada saat pendirian awal, sekolah ini baru
memiliki 70 siswa yang terbagi ke dalam 2 kelas, dengan tenaga pendidi sebanyak
20 orang guru, dan 1 orang pegawai administrasi. Kepala sekolah pertama
adalahDrs. I Putu Jaya Kusuma. Pada awal pendirian, sekolah ini menumpang
pada kelas di sekolah SMPN 3 Kuta ( sekarang SMPN 2 Kuta Selatan). Pada saat
ini SMAN 1 Kuta Selatan telah memiliki gedung tersendiri dengan beberapa
fasilitas penunjang yang cukup memadai. Dengan ruang belajar sebanyak 12
kelas, 1 ruang kantor, 2 ruang Lab IPA, 1 lab computer, 1 lab bahasa, 1 ruang
UKS, dan 1 kantin sekolah.
214 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
2. Masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas ada beberapa masalah dalam tulisan ini
antara lain kurangnya pengetahuan dan keterampilan siswa-siswa SMA dalam
penulisan jurnalistik, dan bagaimanakah bentuk penulisan madding serta koran
sekolah yang baik sesuai dengan kriteria penulisan jurnalistik?.
3. Pembahasan
Pelatihan penulisan jurnalistik ini merupakan pelatihan pertama yang
dilakukan oleh Pengabdi, terutama oleh Prodi Sastra Indonesia.Hal ini didasarkan
pada berkembangnya informasi/berita secara online yang sangat pesat, tanpa
adanya suatu informasi yang benar, sehingga banyak informasi yang didapatkan
secara salah/hoax.
Secara harfiah, kata Jurnalistik berasal dari kata jurnalism atau jurnalisme
yang berarti kegiatan mengumpulkan berita. Juga berarti kegiatan mempoduksi
surat kabar. Dengan kata lain jurnalisme mengandung maksud kegiatan yang
dilakukan oleh seorang wartawan. Sedangkan kata jurnalistik dapat diartikan
sebagai sesuatu hal yang berkaitan dengan pekerjaan kewartawanan. Pengertian
yang berkembang di dalam masyarakat, istilah jurnalistik sama dengan jurnalisme
yaitu kegiatan untuk mempersiapkan, mengedit dan menulis untuk dipublikasikan
melalui media masa baik media cetak maupun media elektronik. Yang dimaksud
media cetak adalah surat kabar, majalah dan lain-lain, sedangkan media elektronik
yaitu siaran radio.
Pada pelatihan penulisan jurnalistik di SMAN 1 Kuta Selatan ini diikuti
oleh siswa yang memilih ekstra jurnalistik. Karena nantinya mereka yang akan
dianggap tepat untuk menjadi seorang jurnalis yang baik. Kedepannya mereka
mampu menghasilkan berita yang dapat dibagikan bagi teman-teman di
Sekolahnya, seperti madding, ataupun koran kampus. Sekolah ini dipilih sebagai
tempat pengabdian karena pada SMAN 1 Kuta Selatan memiliki 1 buah jurnal
yang dikelola oleh pihak sekolah, dan dibantu oleh para siswa dalam hal mengedit
bahan-bahan tulisan yang masuk.Siswa juga dilibatkan untuk menjadi editor mana
tulisan yang layak dan bagus untuk dimuat dalam jurnal sekolahnya.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 215
Denpasar, 25-26 September 2018
Metode yang dipergunakan dalam pelatihan ini adalah menggunakan
metode ceramah, kemudian diberikan latihan tentang bagaimana cara membuat
berita yang baik menurut aturan jurnalistik. Ceramah diberikan oleh 2 orang
pembicara, yang semuanya merupakan pakar serta wartawan media cetak yang
ada di Bali.
Karakteristik Bahasa Jurnalis berbeda dengan karakteristik bahasa non
jurnalis.biasanya dalam ragam bahasa ilmiah, kita harus berpatokan pada ragam
baku yang sesuai dengan kaidah EYD. Namun dalam ragam Jurnalistik ada
beberapa hal yang harus diperhatikan seperti (1) Kalimat harus bersifat lugas,
singkat, padat, dan kata-kata yang dipergunakan harus seekonomis mungkin.. (2)
Bahasa Jurnalistik harus mengandung unsur 5 W dan 1 H, yaitu :What, Where,
When, Who, Why, dan How. (3) Dalam teras berita diutamakan unsur WHAT dan
WHEN, sedangkan unsur lainnya dijabarkan pada paragraf berikutnya. Teras
berita atau yang dikenal dengan istilah Lead adalah paragraf pertama dalam
sebuah berita yang mengandung gambaran umum suatu berita. (4) Paragraf dalam
sebuah teras berita hendaknya berbentuk berita pendek, antara 1-3 kalimat. (5)
Struktur kalimat bersifat sederhana kurang lebih satu kalimat tunggal dengan satu
buah gagasan utama. (6) Dalam berita yang baik, hendaknya tidak
mencampuradukkan struktur kalimat pasif dan kalimat aktif dalam suatu kalimat.
(7) Pada sebuah berita dapat menggunakan kutipan langsung. (8) Pada bahasa
Jurnalistik, selalu menghindari kata-kata yang bersifat mubazir, menggunakan
ungkapan yang bersifat klise, dan membatasi penggunaan istilah teknis, istilah
asing, dan istilah daerah
Contoh
(1) Tentang Mengantarkan Anak di Hari Pertama Sekolah. Judul ini kurang
menarik pembaca, karena mungkin saja masyarakat kurang paham maksud
judul tersebut. Alangkah baiknya jika, judul dibuat menjadi Mengantarkan
Anak Hari Pertama Sekolah membawa dampak yang bagus buat anak.
(2) Ujarnya ―memang tidak mudah mengantarkan anak di hari pertama
sekolah, apalagi buat orang tua yang bekerja‖. Jika dilihat dari segi
penulisan jurnalistik yang baik, kata ujarnya sebaiknya diletakkan diakhir
216 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
kalimat, sehingga menjadi,―memang tidak mudah mengantarkan anak di
hari pertama sekolah, apalagi buat orang tua yang bekerja‖. ujarnya.
(3) Mengantarkan anak di Hari Pertama Sekolah. Contoh ini termasuk ke
dalam Teras Berita. Teras berita merupakan paragraf awal atau pertama
yang mengandung gambaran umum tentang sebuah berita. Teras berita
juga disebut dengan Lead. Biasanya dalam sebuah teras berita terdapat 1—
3 kalimat tunggal dengan satu buah gagasan utama.
(4) ―Kita sebagai orang tua wajib mengantarkan anak-anak kita di hari pertama
sekolah, agar membawa dampak positif bagi perkembangan Psikologis
mereka‖. Ujar Beliau‖. Dalam sebuah berita yang baik, kutipan itu penting
untuk menujukkan bahwa memang berita itu benar adanya dan bukan
berita hoax seperti berita-berita yang marak saat ini.
4. Simpulan
Secara harfiah, kata Jurnalistik berasal dari kata jurnalism atau jurnalisme
yang berarti kegiatan mengumpulkan berita. Juga berarti kegiatan mempoduksi
surat kabar. Dengan kata lain jurnalisme mengandung maksud kegiatan yang
dilakukan oleh seorang wartawan. Sedangkan kata jurnalistik dapat diartikan
sebagai sesuatu hal yang berkaitan dengan pekerjaan kewartawanan. Pengertian
yang berkembang di dalam masyarakat, istilah jurnalistik sama dengan jurnalisme
yaitu kegiatan untuk mempersiapkan, mengedit dan menulis untuk dipublikasikan
melalui media masa baik media cetak maupun media elektronik.
Berita merupakan peristiwa atau wacana yang dituturkan, dikabarkan, atau
disebarluaskan melalui sebuah media cetak ataupun media online. Penyebarluasan
peristiwa/wacana yang dikemas dalam bentuk berita melalui media massa
memerlukan ragam bahasa khusus, yang kemudian dikenal menjadi ragam bahasa
media massa atau ragam jurnalistik.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan ragam
Jurnalistik antara lain (1) Kalimat harus bersifat lugas, singkat, padat, dan kata-
kata yang dipergunakan harus seekonomis mungkin. (2) Bahasa Jurnalistik harus
mengandung unsur 5 W dan 1 H, yaitu :What, Where, When, Who, Why, dan How.
(3) Dalam teras berita diutamakan unsur WHAT dan WHEN, sedangkan unsur
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 217
Denpasar, 25-26 September 2018
lainnya dijabarkan pada paragraf berikutnya.4) Paragraf dalam sebuah teras berita
hendaknya berbentuk berita pendek, antara 1-3 kalimat. (5) Struktur kalimat
bersifat sederhana kurang lebih satu kalimat tunggal dengan satu buah gagasan
utama. (6) Dalam berita yang baik, hendaknya tidak mencampuradukkan struktur
kalimat pasif dan kalimat aktif dalam suatu kalimat. (7) Pada sebuah berita dapat
menggunakan kutipan langsung. (8) Pada bahasa Jurnalistik, selalu menghindari
kata-kata yang bersifat mubazir, menggunakan ungkapan yang bersifat klise, dan
membatasi penggunaan istilah teknis, istilah asing, dan istilah daerah.
Daftar Pustaka
Alwi, H. dkk.2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.(ed ketiga). Jakarta :
Balai Pustaka
Gunawan, M. 2014. Seandainya Saya Wartawan Tempo.Jakarta: Tempo
Publshing.
Rosihan, A. 1984.Bahasa Jurnalistik dan Komposisi.Jakarta: Pradnya Paramita.
Widagdho, Joko. 1997. Bahasa Indonesia Pengantar Kemahiran Berbahasa di
Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Widjono, H.s. 2007.Bahasa Indonesia Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
di Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Grasindo.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 218
Denpasar, 25-26 September 2018
MITOS TOKOH KEBO IWA DI PANTAI SOKA, TABANAN
Luh Putu Puspawati
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Gambaran tokoh Kebo Iwa memiliki pandangan multi dimensi sesuai
dengan persepsi masyarakatnya. Tokoh Kebo Iwa di Kabupaten Gianyar di
simbulkan sebagai tokoh panutan dan sejarah yang dipatungkan, karena memiliki
kekuatan dan keteladanan dalam setiap zamannya.
Tokoh Kebo Iwa bagi masyarakat Bali, khususnya klen Karang Buncing tokoh ini
sebagai cikal bakal dalam keberlangsungan generasi mereka sehingga kemunculan
tokoh Kebo Iwo sebagai sosok leluhur (yang dihormati) oleh para sentananya.
Begitupula dalam konteks mitos, khususnya dalam cerita lisan tokoh itu sebagai
tokoh supernatural kini masih dapat dilacak jejak-jejak perjalanan Kebo Iwa dari
Bali ke Jawa. Salah satunya adalah bukit Kebo Iwo di Pantai Soka yang
dipercayai oleh masyarakat di sekitarnya, ketika dalam perjalanannya dapat
memasak di tempat itu yaitu di dalam guwa (payuk).
Tempat lain agak ke barat di Sungai Balian (Tukad Balian) ada tumpukan batu
teratur, disebutkan batu di tempat itu ia mandi dan ada kotoran Kebo Iwa ketika
buang hajatan.
1. Pendahuluan
Bali adalah salah satu pulau yang memiliki penduduk dominan beragama
Hindu, sehingga kaya akan tradisi lisan (tutur) dan ritual. Tradisi itu tumbuh
sejalan dengan perkembangan masyarakatnya yang tetap menghargai nilai-nilai
luhur pewarisnya, yang didukung terus oleh masyarakatnya. Salah satu dari sekian
banyak tradisi lisan adalah mitos. Mitos sebagai salah satu sebagai warisan
budaya yang secara turun temurun tetap dipercaya memiliki nilai penting dalam
sejarah kehidupannya.
Mitos di Bali masih tetap dipercaya sebagai tradisi lisan yang
penyampaiannya secara oral (lisan) dari mulut ke mulut yang diwariskan dari
generasi ke generasi. Mitos sebagai perwujudan dari dogma, biasanya dikaitkan
dengan teologi dan ritual. Karakter utama dalam mitos adalah tidak selalu
berbentuk manusia, tetapi sering memiliki bagian-bagian seperti manusia. Mereka
bisa saja berwujud binatang, dewa atau pahlawan dalam sejarah budaya
masyarakatnya, yang umumnya kejadiannya terjadi pada masa lampau. Mitos
berhubungan dengan sejarah atau asal usul manusia, manusia atau karakter
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 219
Denpasar, 25-26 September 2018
binatang, geografis dan kondisi alam, mereka juga dapat menceritakan kisah
dewa-dewa, cerita kasih mereka, perjuangan, hubungan (kekerabatan) keluarga,
pertemuan, perang, perjalanan dan pertemanan serta kemenangan atau kekalahan.
Mitos adalah cerita yang memberikan pedoman (petunjuk) bagi
sekelompok orang, cerita/mitos berintikan lambang-lambang (simbol) yang
mencetuskan pengalaman manusia. Mitos memiliki fungsi menyadarkan manusia
akan adanya kekuatan-kekuatan ajaib. Melalui mitos manusia dibantu untuk dapat
menghayati daya itu sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai
alam dan kehidupan manusia dalam sukunya. Mitos sebagai suatu cerita yang
benar menjadi milik mereka paling berharga karena merupakan suatu yang suci,
bermakna menjadi contoh atau model bagi tindakan manusia, memberikan nilai
dan makna bagi kehidupannya. Mitos disebut pula mitologi sebagai cerita rakyat
yang dianggap benar-benar terjadi yang bertalian dengan terjadinya tempat alam
semesta, para dewa, adat istiadat dan dongeng suci. Jadi mitos adalah cerita
tentang asal usul alam semesta, manusia atau bangsa yang diungkapkan dengan
cara-cara gaib yang bermakna bagi masyarakatnya. Mitos juga mengisahkan
petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, kisah perang dan lain-lain.
Mitos tokoh Kebo Iwa di Bali mengisahkan sosok pemimpin pemberani,
ketika zamannya sampai sekarang tetap dipahami sebagai sosok manusia sakti dan
berani melawan ketika pemerintahan zaman sejarah dan hingga sekarang tetap
sebagai pahlawan lokal (zamannya).
2. Tokoh Kebo Iwo dalam Perspektif Mitologi
Tokoh Kebo Iwo di Bali sebagai tokoh multipemahaman bagi masyarakat
Bali dan para sentananya, terutama trah Karang Buncing. Tokoh Kebo Iwo
sebagai mitos, yang memiliki karisma seorang pemberani sebelum Majapahit
datang. Pada zaman Bali Kuna tokoh Kebo Iwo sebagai anak didik dari Jaya
Katong (Bawa, 2011:34). Tugas Kebo Iwo zaman Bali Kuna dijelaskan adalah
seorang patih sakti pada akhir zaman Bali Kuna dan dalam mitologi Bali, ia
dipersonifikasikan sebagai patih sakti pada zamannya sampai kini. Penggambaran
tokoh Kebo Iwo lelaki bertubuh besar, tinggi, kuat, gagah perkasa dan sakti tidak
dapat dibunuh dengan senjata. Kebo Iwo disebut-sebut tinggal di Belahbatuh di
220 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
sebelah barat kota Gianyar. Selain patih sakti, Kebo Iwa disebutkan sebagai
seorang ahli membuat bangunan (undagi), banyak bangunan-bangunan yang
dibuatnya ketika itu.
Di lain pihak tokoh Kebo Iwo sebagai pos penjaga keamanan untuk daerah
Gianyar (Batahanyar dan Belahbatuh). Karena Kebo Iwo adalah mahapatih
kerajaan Bedahulu dalam teks babad dan pamancangah. Dalam teks Pucak Padang
Dawa, Kebo Iwo diberi sebutan Bhatara Amurbeng Rat, Dewa Gde Kebo Iwo,
Betara Gde Sakti, Bhatara Guru, dan dalam teks Yong Biru diberi nama Abra
Sinuhun Kidul.
Untuk itu, dalam kehidupan bermasyarakat di Bali, Kebo Iwo dan Karang
Buncing memiliki berbagai pemahaman terutama Kebo Iwo sampai sekarang
sebagai leluhur (treh) para sentana Karang Buncing meskipun dipakai dari
berbagai sudut pandang seperti kehidupan beliau dalam mitos, menjadikan tokoh
Kebo Iwo sebagai tokoh panutan hingga sekarang.
Dalam zaman Bali Kuna akhir sebelum pengaruh Majapahit, Kebo Iwo
sebagai tokoh yang disegani pada zamannya, ceritanya sangat disenangi oleh
masyarakat Bali hingga kini sosok Kebo Iwo digambarkan sebagai tokoh mitos
yang memiliki badan tinggi, besar, kuat, pemberani tidak tertandingi, dan tidak
dapat dilukai oleh senjata apapun, tetap murah hati. Pada bagian akhir dari mitos
itu meskipun tokoh itu sangat sakti, tetapi akhir kekalahannya dilakukan dengan
tipu muslihat Patih Gajah Mada, ketika menundukkan Bali dalam mempersatukan
Nusantara, Bali akan tunduk apabila telah menundukkan orang kuat di Bali
bernama Kebo Iwo.
Mula-mula Patih Gajah Mada di Majapahit membuat siasat ketika
Majapahit dipimpin oleh Raja wanita (Tribuana Tungga Dewi) seolah-olah takluk
dengan Bali dan ingin menjalin persahabatan sebagai simbol persahabatan antara
Majapahit dan Bali, dimintalah Patih Dalem Bedahulu, bernama Kebo Iwo yang
dikenal kuat untuk diundang ke Jawa akan dikawinkan dengan putri cantik di
Jawa.
Tiba di Jawa, Patih Kebo Iwo dipertemukan dengan seorang putri cantik.
Dalam pertemuan itu putri cantik memberikan isyarat agar Kebo Iwo membuatkan
dirinya sebuah sumur. Tanpa curiga apa-apa, dengan kejujuran dan kepolosan
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 221
Denpasar, 25-26 September 2018
Kebo Iwo bersedia membuatkan sumur itu. Ketika Patih Kebo Iwo sedang berada
di dalam sumur dalam rangka pembuatan sumur menimbuninya dengan batu
(versi lain dengan kapur putih), namun Kebo Iwo tidak mati, ini menunjukkan
kekuatan dan kesaktian Kebo Iwo. Lalu Kebo Iwo naik keatas dan mencari Gajah
Mada sampai ke beberapa daerah di Jawa salah satunya adalah di Gunung Wilis,
Kediri Jawa Timur. Banyak tempat-tempat dan bukti yang dipercaya sampai kini
dipercaya sebagai bekas jejak perjalanan Kebo Iwo di Jawa, salah satunya
tumpukan batu di Batu Tulis yang disebut Kebo Teruna Bali (Bawa, 2011 : 87).
3. Tokoh Kebo Iwo di Tiga Tempat di Tabanan
Dalam perjalanan Patih Kebo Iwo dari Bedahulu ke pulau Jawa melewati
tempat-tempat di daerah Tabanan yaitu di Desa Bedaa, Desa Payan (di pantai
Soka) dan di Tukad Balian, Suraberata. Di tiga tempat itu di bedakan kisah Kebo
Iwo. Di daerah Bedaa Kebo Iwa tidur di Pantai Soka ada batu payuk di tempat goa
Kebo Iwo dipercaya untuk memasak dan ada depan paon di bagian baratnya,
serta di Tukad Balian dipercaya Kebo Iwo membuang hajat (versi lain
mengambil air) disana ada tumpukan batu dengan rapi dipercaya sebagai kotoran
Kebo Iwo.
4. Simpulan
Tokoh Kebo Iwo sebagai tokoh mitologi di Bali ada versi-versi ia yang
berasal dari kerajaan Bedahulu dan belakangan di Belahbatuh. Tokoh ini sangat
sakti, pemberani sebagai tokoh lokal Bali yang berani melawan tokoh Jawa Patih
Gajah Mada ketika itu. Tokoh Kebo Iwo sebagai tokoh tandingan yang berani
melawan kekuasaan Jawa dengan simbol Patih Gajah Mada. Namun, mitos itu
tidak pernah menyebutkan Kebo Iwo mati, tetapi selalu melawan meskipun
disebutkan mati dengan pamor patih, sebagian besar kematiannya terhormat
sebagai tokoh simbolis, pahlawan dan teladan dengan kokoh membela tanah Bali
dari kekuasaan Gajah Mada. Hal ini dibuktikan adanya keteladanan dan spirit bagi
masyarakat Gianyar dan dihormati oleh para sentana Karang Buncing. Tokoh
Kebo Iwo sebagai ikon Gianyar. Tokoh Kebo Iwo diwujudkan dalam sebuah
222 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
―tapel‖ disebut tapel Kebo Iwo, sampai kini masih disakralkan dan dihormati oleh
masyarakatnya.
Daftar Pustaka
Bawa, I Made, 2011, Kebo Iwo, dan Sri Karang Buncing, Dalam Dinasti Raja-
raja Bali Kuno, Penerbit : Buku Arti, Dikja.
Puspawati. Luh Putu, 2015, ―Teks Mitos Sapi di Kubu Tambahan Tinjauan
Bentuk, Fungsi, Makna‖, Denpasar, Pascasarjana (Disertai)
Wawancara :
Drs. I Nengah Medera, M.Hum, mantan Dosen Sastra Jawa Kuna, Fakultas Ilmu
Budaya Unud (dari Br. Bengkel, Payan, Tabanan), Pengempon Pura
Srojong, Pantai Soka Payan.
Drs. Wayan Pariartha (mantan Dosen Mahasaraswati) dari Desa Lumbu Tabanan.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 223
Denpasar, 25-26 September 2018
PENGAMAN BATIN SEBAGAI SUMBER GAGASAN
PENULISAN KREATIF JURNALISTIK-SASTRA DI SMAN I PETANG
KECAMATAN PETANG KABUPATEN BADUNG
Maria Matildis Banda, Ida Bagus Jelantik SP, I Made Suarsa,
Sri Jumadiah dan I Komang Paramartha
ABSTRAK
Makalah ini ditulis berdasarkan pelatihan penulisan dengan dukungan Hibah
Udayana Mengabdi 2018. Pengabdian dilakukan di SMAN I Petang di
Kecamatan Petang Kabupaten Badung. Salah satu poin penting dari pelatihan
tersebut adalah pengalaman batin sebagai sumber gagasan penulisan kreatif
jurnalistik-sastra berbasis ekologi.
Bagaimana pengalaman batin dikembangkan dalam tulisan dilakukan
dengan metode metode ceramah, diskusi, kerja mandiri, dan presentasi.
Tujuannya agar peserta dapat menghasilkan karya-karya kreatif jurnalistik yang
ditulis berdasarkan pengalaman batin. Hasilnya, peserta memahami bahwa gagasan adalah apa yang dipikirkan dan dirasakan penting dan bermanfaat serta
bagaimana menyampaikannya dalam bentuk lisan maupun tulisan. Peserta dapat menceritakan pengalaman batinnya antara lain: saat berada di lokasi pengungsian
korban erupsi Gunung Agung; tentang Lomba Ketangkasan Baris Berbaris
(LKBB); pertengkaran dengan ibu kandung; serta tentang upaya mencari jati diri. Pengalaman batin adalah salah satu langkah pertama yang memudahkan
para pelajar ini untuk menyadari bahwa sumber gagasan yang paling penting
berasal dari dunia mereka sendiri. Pengalaman batin sebagai sumber gagasan
penulisan kreatif jurnalistik-sastra baik diberikan kepada para penulis pemula
(remaja pada umumnya). Setelah terlatih untuk menulis berdasarkan pengalaman
batin pada langkah pertama, selanjutnya tulisan dapat dikembangkan dengan
menghubungkan pengalaman batin dengan situasi sosial budaya lainnya sebagai
sumber gagasan yang datang dari luar dirinya. Contoh-contoh karya yang ditulis
dengan pengalaman batin sebagai sumber gagasan, juga dapat dibaca pada buku-
buku karya siswa SMAN 3 Denpasar dalam Presslist 2017.
Kata Kunci: sumber gagasan, pengalaman batin, jurnalistik sastra.
1. Pendahuluan
Makalah ini ditulis berdasarkan pengabdian dari Hibah Udayana Mengabdi
2018. Pengabdian dilakukan di SMAN I Petang di Kecamatan Petang Kabupaten
Badung. SMAN ini berada di lingkungan desa yang dikenal sebagai penghasil
Jahe dan Kunyit. Berkebun kunyit mencapai 80% pekerjaan petani desa Petang,
orang tua dari sejumlah siswa di SMAN I Petang. Desa Petang juga dikenal
memiliki pemandangan alam yang indah sebagai obyek pariwisata yaitu air terjun
224 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Bidadari, air terjun Nungnung, dan tempat wisata rohani Pura Puncak Tedung.
Petang juga dikenal sebagai desa pembuat ogoh-ogoh (karya seni patung yang
menggambarkan kepribadian Bhuta Kala) yang sangat dominan. Alam dan aspek
sosial budaya ini mengungkapkan kearifan lokal Petang yang terjaga dengan baik.
Berbagai potensi tersebut sangat berharga sebagai ruang dan tempat
imajiner bagi siswa-siswi SMAN I Petang untuk penulisan kreatif dan
dipublikasikan secara luas. Apalagi Petang dan SMAN I Petang memiliki website
sendiri yang dikelola sekolah sejak 2013. Website ini adalah sebuah ruang kreatif
bagi siswa untuk mengaktualisasi diri melalui media sosial yang mendunia saat
ini. Penelusuran yang dilakukan melalui website Desa Petang maupun website
SMAN I Petang belum ditemukan karya-karya kreatif berbasis ekologi
(lingkungan) oleh siswa-siswi SMAN I Petang yang termuat dalam website
dimaksud.
Selain berada di lingkungan alam dan lingkungan sosial budaya yang
memiliki potensi imajiner penulisan karya sastra, sekolah ini memiliki prestasi
yang cukup membanggakan yaitu: 1) Berpartisipasi Aktif dalam Pembinaan
Kader Konservasi Alam Propinsi Bali; 2) Juara I Lomba Galang Padu; 3) Juara
Harapan II Lomba Lokabara III. Sekolah ini juga memiliki prestasi akademis
yang teruji dimana murid-muridnya dapat menyelesaikan Ujian Nasional dengan
nilai rata-rata dan di atas rata-rata.
Mencermati hal-hal di atas, diadakan sebuah kegiatan pelatihan penulisan
kreatif sastra berdasarkan tema-tema lingkungan alam dan lingkungan sosial
budaya yang ada di Petang. Pelatihan menggarisbawahi pengelolaan gagasan yang
diperoleh dari pengalaman batin peserta. Metode yang digunakan dalam
pengabdian ini adalah metode ceramah, diskusi, kerja mandiri, dan presentasi.
Tujuannya agar peserta dapat menghasilkan karya-karya kreatif jurnalistik yang
ditulis berdasarkan pengalaman batin. Hal ini memudahkan peserta
mengungkapkan pengalaman dan merumuskannya dalam tulisan yang layak
mengisi website SMAN I Petang dan dipublikasikan secara luas.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 225
Denpasar, 25-26 September 2018
II. Hasil dan Pembahasan
Lingkungan alam dan sosial budaya dalam perspektif ekologi berkaitan
dengan pandangan bahwa karya kreatif jurnalistik - sastra berhubungan dengan
tiga hal: a) persoalan manusia secara personal; b) persoalan antar-manusia; c)
persoalan dengan alam sekitar; dan d) persoalan dengan pencipta (Nurgiyantoro,
1998: 323). Para siswa SMAN I Petang dapat dilatih menulis kreatif jurnalistik -
sastra dalam perspektif ekologi tersebut. Secara khusus siswa dilatih untuk
reflektif dan imajinatif dalam mencermati segi-segi kehidupan yang menarik dari
lingkungan alam dan sosial budaya ke dalam bentuk bahasa sastra (Idem, 1981:
10) seperti artikel feature, puisi, atau cerpen.
Pelatihan dilaksanakan dengan ceramah dan diskusi diawali dengan
penjelasan tentang: 1) bagaimana menemukan gagasan (sumber gagasan); 2) apa
yang dimaksudkan dengan jurnalistik dan sastra; dan dilanjutkan dengan 3)
catatan penting tentang apa saja yang mesti dilakukan dalam praktek penulisan.
2.1 Bagaimana Menemukan Gagasan (Sumber Gagasan)
Gagasan adalah: a) kata pikiran dan kata perasaan yang ditujukan kepada
diri sendiri; b) kata pikiran dan kata perasaan yang akan ditujukan kepada orang
lain; c) kata pikiran dan kata perasaan yang ditujukan kepada diri sendiri dan
orang lain. Singkatnya gagasan adalah apa yang dipikirkan dan dirasakan penting
dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain; serta bagaimana
menyampaikannya dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Ada tiga arena yang dapat dijadikan sumber gagasan. Sumber gagasan yang
paling penting dan utama adalah gagasan yang datang dari dunia penulis sendiri.
A. Pengalaman di luar diri misalnya:
a. Pekerjaan: guru, murid, penjaga sekolah, tukang kebun sekolah,
pelayan restoran, pemandu wisata, penjaga Pura Desa, dan lain-lain.
b. Hobi, hiburan, organisasi.
c. Keluarga: bapak, ibu, kakak, adik sahabat, paman, bibi, dan lain-lain.
d. Sekolah: murid, guru, karyawan (dalam sekolah), orang tua murid,
pemerhati, simpatisan dll (luar sekolah)
e. Tetangga, sahabat kenalan.
f. Berbagai bentuk dan isi tradisi lokal, ritual adat dan agama.
226 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
g. Berbagai isu tentang kedudukan, peran,dan fungsi perempuan.
B. Pengalaman Batin (Pengalaman Pribadi)
k. Kata-kata mutiara atau penggalan puisi yang menggugah. Misalnya
"Sekali Berarti Sesudah Itu Mati" penggalan puisi Kerawang Bekasi
karya Chairil Anwar.
l. Kondisi tertentu atau situasi yang menciptakan atau melahirkan
suasana batin (mood) dan membangkitkan imajinasi. Misalnya erupsi
Gunung Agung dan penanganan pengungsi.
m. Insiden dan konflik sosial tertentu yang berpengaruh. Misalnya
pengungsi karena erupsi Gunung Agung.
n. Orang-orang tertentu yang disukai atau yang tidak disukai.
o. Tokoh-tokoh yang berpengaruh
p. Tradisi lokal dan ritual yang menggugah. Misalnya: ngaben.
C. Pengalaman Tak Langsung
Pengalaman tak langsung diperoleh melalui media atau perantara yang
lain. Pengalaman ini pada umumnya diketahui dari berbagai informasi
misalnya berbagai fasilitas internet seperti google dengan fasilitasnya: face
book, WA, dan fasilitas lainnya. Pengalaman tak langsung juga diperoleh
melalui: buku-buku ilmu pengetahuan, buku fiksi, koran, majalah, dan
lainnya; televisi; radio, film, sinetron, serta berbagai informasi lainnya.
Penjelasan tentang sumber gagasan ini memperoleh tanggapan
langsung dari peserta. Selanjutnya peserta diarahkan untuk fokus menggali
pengalaman batin mereka dan menemukan gagasan apa yang ada di balik
pengalaman batinnya.
2.2 Pengalaman Batin Sebagai Sumber Gagasan dalam Penulisan Kreatif
Jurnalistik-Sastra
Pengalaman batin adalah salah satu sumber gagasan yang paling mudah
untuk diungkapkan dalam tulisan. Kata-kata mutiara atau penggalan puisi yang
menggugah sebagaimana disebutkan dalam contoh di atas memudahkan seseorang
untuk menjelaskan apa yang dirasakannya secara personal. Demikian pula kondisi
tertentu atau situasi yang menciptakan atau melahirkan suasana batin (mood) dan
membangkitkan imajinasi. Buku-buku karya siswa-siswi SMAN 3 Denpasar
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 227
Denpasar, 25-26 September 2018
(Presslist 2017) pada umumnya lahir dari pengalaman batin dan dunia mereka
sendiri. Misalnya Bali Punya Nilai ( Bagus Perana Sanjaya), Mencari Sekolah
Manusia (Galuh Sri Wedari), dan Otak Datang Otot Menghilang (Panji Ananda)
yang ditulis dengan pengalaman batin sebagai sumber gagasan.
Salah satu contoh menulis dengan pengalaman batin sebagai sumber
gagasan, disampaikan oleh Chandra (salah satu peserta pelatihan) baik secara lisan
maupun tertulis. Chandra menceritakan pengalaman batinnya saat berada di lokasi
pengungsian korban erupsi Gunung Agung. Itulah kesempatan yang menurutnya
"lebih rajin dan lebih menghargai waktu dan keberuntungan, karena ternyata ada
orang lain yang lebih susah dari kita". Beliau dapat menjelaskan dengan tenang
dan lancar dan mengakhiri kisahnya dengan mengatakan bahwa "kesuksesan ada
pada saat bertemu dengan kesempatan dan kesempatan selalu bisa dimanfaatkan
jika kita tahu bagaimana caranya."
Foto 1: Chandra sedang mengungkapkan pengalaman batin (pengalaman pribadi)
sebagai sumber gagasan penulisan kreatif jurnalistik - sastra.
Jurnalistik tidak sama dengan pers. Jurnalistik adalah sebuah kegiatan yang
bertujuan untuk mengisi kolom-kolom media massa baik cetak maupun elektronik
seperti: majalah, surat kabar, radio, televisi, media online, atau buku ilmiah dan
buku-buku karya fiksi. Dengan demikian aktivitas jurnalistik menjadikan dunia
pers diakui eksistensinya. Jurnalistik adalah aktivitas keilmuan yang terdiri dari
228 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
teori, metode, proses kerja, teknik penyajian, dan hasil yang dapat dipublikasikan.
Aktivitas jurnalistik adalah akivitas menulis dan menyampaikan informasi kepada
publik. Pekerja bidang jurnalistik disebut jurnalis atau wartawan. Bagaimana
hubungan antara jurnalistik dan sastra?
Sastra adalah hasil karya yang indah dan berguna (dulce - utile). Indah
karena disampaikan dengan kata dan diksi, serta rangkaian kalimat yang tertata
dengan kesadaran akan keindahan. Sastra adalah kata dasar dari "kesustraan"
susastra yang berasal dari bahasa sansekerta, yakni sastra. "su" yang berartikan
bagus atau juga indah, sedangkan dari "sastra" yang berartikan "buku, tulisan atau
juga huruf". "Susastra atau sastra" adalah suatu tulisan yang indah. Berguna
karena memiliki makna dan nilai yang dapat dijadikan visi hidup. Misalnya "Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana..." penggalan puisi "Aku Ingin" dari
kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono.
Jurnalistik - Sastra. Gabungan jurnalistik - dan sastra menyuratkan karya-
karya jurnalistik yang disajikan dengan menggunakan kata-kata sastra pada
paragrat tertentu. Tujuannya untuk memberi pengaruh yang lebih dalam dan
menyentuh hati dan pikiran pembacanya.
Setelah diberi penjelasan tentang sumber gagasan, jurnalistik, dan sastra,
peserta melakukan praktek penulisan selama 60 menit (1 jam). Tulisan diangkat
dari pengalaman batin sebagai salah satu sumber gagasan penulisan.
Berikut ini adalah foto yang memperlihatkan aktivitas peserta yang sedang
melakukan praktek penulisan.
Foto 2: peserta Pelatihan Penulisan Kreatif Jurnalistik - Sastra Berbasis Ekologi
sedang melaksanakan praktek penulisan, dengan sumber gagasan
pengalaman batinnya sendiri.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 229
Denpasar, 25-26 September 2018
Setelah praktek penulisan, kegiatan dilanjutkan dengan presentasi hasil
tulisan. Beberapa peserta mempresentasikan hasil tulisannya berdasarkan
pengalaman batin sebagai sumber gagasan. Beberapa contoh disebutkan secara
singkat berikut ini.
1. Pengalaman batin (Dian) tentang Lomba Ketangkasan Baris Berbaris (LKBB).
Pada awalnya dirinya merasa dianggap sebelah mata dan dinilai hanya buang
waktu belajar. LKBB membuahkan hasil dimana kelompoknya berhasil keluar
sebagai Juara I. Hatinya yang sedih berubah gembira dengan keyakinan bahwa
melalui LKBB dapat dipelajari: kedisiplinan, menghargai orang lain,
kebersamaan, kerendahan hati, dan keindahan.
2. Pengalaman batin karena pertengkaran dengan ibu kandung. Pada awalnya
dirinya (Witari) tersinggung karena pesan agar ibu membangunkannya pada pagi
hari tidak terjadi. Hal ini menyebabkan dirinya terlambat ke sekolah. Dia marah
dan tidak mau membantu ibunya. Meskipun demikian ibunya tetap bersikap baik
bahkan memberinya uang lebih agar bisa makan di sekolah, karena tidak sempat
sarapan sebelum berangkat. Dirinya baru sadar ketika ibunya tetap tidak berubah
meskipun rasa marah pada ibunya tetap ditunjukkan melalui sikap acuh tak acuh,
tidak bicara, atau menjawab dengan kasar pertanyaan ibunya.
Kenyataan tersebut membuatnya sadar bahwa kasih ibu sepanjang hayat
dikandung badan. Apa pun yang terjadi dengan anak, ibu akan tetap sabar dan
penuh kasih mendidik anak-anaknya.
3. Pengalaman batin tentang tentang upayanya mencari jati diri. Hal ini terjadi
karena dia (Witari) selalu merasa kurang, rendah diri, dan kalah. Pertanyaan-
pertanyaan seperti mengapa dia bisa, mengapa dia sukses, mengapa dia yang
selalu dapat perhatian, selalu menghantui dirinya. Sampai pada satu waktu dia
yakinkan dirinya bahwa: "saya juga bisa" dan benar-benar dia juga sanggup
berprestasi dalam belajar.
Karya kreatif jurnalistik-sastra tersebut selanjutnya mendapatkan tanggapan
langsung dari Nara Sumber serta tim pelaksana kegiatan pengabdian lainnya. Hal-
hal yang digarisbawahi adalah sebagai berikut.
230 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
1. Penempatan inti tulisan pada paragraf utama.
2. Penggunaan EYD.
3. Pemberian judul.
4. Pemanfaatan konsep 5 W + 1 H dan konsep piramide terbalik.
5. Pengembangan tulisan. Bagian ini menggarisbawahi pentingnya
memilih pengalaman batin yang tepat, dibahasakan ke dalam tulisan
untuk dipublikasikan.
III. Penutup
Pengalaman batin adalah salah satu langkah pertama yang memudahkan
para pelajar untuk menyadari bahwa sumber gagasan yang paling penting berasal
dari dunia mereka sendiri.
Pengertian tentang sumber gagasan dapat diwujudkan melalui tulisan
berbentuk feature dengan nuansa jurnalistik dan sastra dengan sumber gagasan
pengalaman batin. Peserta (dan segenap siswa-siswi) memiliki potensi yang perlu
digali dan diwujudkan melalui tulisan, baik yang ilmiah, semi ilmiah, maupun
tulisan kreatif sastra.
Pengalaman batin sebagai sumber gagasan penulisan kreatif jurnalistik-
sastra baik diberikan kepada para penulis pemula (remaja pada umumnya).
Setelah terlatih untuk menulis berdasarkan pengalaman batin pada langkah
pertama, selanjutnya tulisan dapat dikembangkan dengan menghubungkan
pengalaman batin dengan situasi di luar dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Assegaff, Dja'far H. 1982. Jurnalistik Masa Kini. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Azhar, Arsyad. 2003. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Banda, Maria Matildis, 2016. ―Masyarakat Nelayan Ikan Paus Lamalera dalam
Pembelajaran
Sastra Berbasis Lingkungan‖ dalam Menggagas Pelajaran Sastra Hijau.
Yogyakarta: GBS UNY, dll.
Hwia, Ganjar.TT. ―Membangun Insan Cerdas dan Kompetitipf Melalui
Pendidikan Bahasa dan
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 231
Denpasar, 25-26 September 2018
Sastra." Jakarta: Badan Bahasa.
Nurgyantoro Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajahmada
University Press.
Selden, Roman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta:
Gadjah Mada
Universiti Press.
Teeuw A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sudikan, Setya Yuwana 2016. Ekologi Sastra. Lamongan: Pustaka Ilalang Group
Suhandang, Kustadi. 2004. Pengantar Jurnalistik. Bandung: Nuansa Cendikia.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 232
Denpasar, 25-26 September 2018
ASPEK MODAL DALAM PENULISAN KARYA SASTRA PRAGMATIS
Maria Matildis Banda, Sri Jumadiah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Tulisan ini membahas tentang hubungan pelayanan Kesehatan Ibu dan
Anak (KIA) dan karya sastra dalam sudut pandang postmodern. Salah satu ciri
masyarakat postmodern adalah segala sesuatu dapat dikemukakan dengan cara
yang berbeda namun saling melengkapi dan sambung relasi. Misalnya upaya
mendalami visi pelayanan, motivasi kerja, dan berbagai upaya pelayanan KIA
yang sifatnya cenderung teknis klinis dan kaku, dapat dilakukan dengan cara
yang lebih estetis humanis, melalui karya sastra.
Tujuan tulisan untuk menjelaskan hubungan karya sastra dengan KIA
dengan menggunakan pengalaman menulis novel Wijaya Kusuma dari Kamar
Nomor Tiga (WKdKN) sebagai contoh. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan modal (Piere Bourdieu) dan karya sastra sebagai dokumen sosial
budaya menurut Wellek dan Warren. Hasilnya menunjukkan bahwa modal budaya
adalah sumber data dan referensi yang mengoptimalkan kreativitas menulis karya
sastra. Dengan modal budaya dapat dijelaskan bahwa kerja sama masyarakat
(Deman side) dan pemerintah (Supply side) dalam bidang kesehatan dapat
dilakukan melalui karya sastra.
Kata kunci: karya sastra, kesehatan ibu dan anak (kia), modal budaya, dokumen
sosial budaya.
I. Pendahuluan
Salah satu ciri masyarakat postmodern adalah segala sesuatu dapat
dikemukakan dengan cara yang berbeda namun saling melengkapi dan sambung
relasi. Misalnya upaya mendalami visi pelayanan, motivasi kerja, dan berbagai
upaya pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang sifatnya cenderung teknis
klinis dan kaku, dapat dilakukan dengan cara yang lebih estetis humanis, melalui
karya sastra.
KIA berkaitan dengan tujuan pembangunan milenium (Millennium
Development Goals/MDGs, hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari
189 negara PBB yang ditandatangani pada saat KTT Milenium di New York
september tahun 2000. MDGs memiliki 8 butir tujuan yang mesti dicapai tahun
2015: 1) menanggulangi kemiskinan; 2) mencapai pendidikan dasar untuk semua;
3) mendorong kesetaraan gender; 4) menurunkan angka kematian anak; 5)
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 233
Denpasar, 25-26 September 2018
meningkatkan kesehatan ibu; 6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit
menular lainnya; 7) memastikan kelestarian lingkungan hidup; dan 8)
mengembangkan kemitraan global.
KIA memenuhi nomor 3, 4, dan 5 dari tujuan MDGs dalam dinamika
global. Implementasinya dilaksanakan di tingkat lokal dengan memperhatikan
konsep lokalitas dalam paradigma postmodern. Konsep lokalitas dalam
pandangan posmodern yaitu kecenderungan yang memungkinkan kita untuk
memahami dinamika global dengan mempelajari manifestasi lokal. Dalam
pemikiran postmodern, dimensi lokal dan global merupakan dua hal yang berjalan
beriringan (Yusuf Lubis, 2014:4).
Paradigma ini dilakukan dengan mengoptimalkan modal budaya yang
dimiliki oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Propinsi NTT berupa buku referensi,
data-data kasus, serta pemahaman tentang stigma budaya hamil dan melahirkan.
Modal budaya ini dikemas ke dalam novel yang diyakini mampu menyentuh sisi-
sisi kemanusiaan pelayan kesehatan dalam melayani KIA. Dalam konsep
polivokalitas: segala hal atau obyek dapat dikemukakan dengan perspektif atau
paradigma yang berbeda (Yusuf Lubis, 2014:5). Karya sastra (novel) adalah salah
satu paradigma yang berbeda bagi Dinkes NTT untuk dijadikan sebagai media
untuk mengoptimalkan upaya pelayanan KIA.
Makalah ini akan menjelaskan bagaimana novel dapat digunakan untuk
meningkatkan visi dan motivasi pelayanan paramedis dan dokter dalam
penanganan KIA, berdasarkan pengalaman menulis Wijaya Kusuma dari Kamar
Nomor Tiga (WKdKNT). Dengan menggunakan pendekatan modal (Piere
Bourdieu) dan metode deskriptif, berturut-turut akan disampaikan: 1) aspek modal
dalam penulisan karya sastra; dan 2) karya sastra pragmatis sebagai dokumen
sosial budaya. Tujuannya untuk memperlihatkan bagaimana karya sastra dapat
dijadikan sebagai salah satu media penanganan masalah dan promosi KIA.
II. Aspek Modal dalam Penulisan Karya Sastra Pragmatis
Pierre Bourdieu mengemukakan konsep pasar dan modal yang
memberikan sumbangan bagi konstruksi dunia sosial. Sebuah pasar dapat dilihat
sebagai sebuah ruang (medan) posisi-posisi terstruktur, misalnya ruang
234 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
pendidikan, ruang medis, fashion, bisnis, dll (Yusuf Lubis, 2015:109). Sedangkan
modal terdiri dari modal budaya (berkaitan dengan kemampuan dan vasilitas
verbal, pengetahuan akademis, dan keterampilan), modal sosial (hierarki sosial
karena modal budaya dan modal ekonomi yang dimiliki), modal ekonomi
(berkaitan dengan kekayaan, uang), dan modal simbolik (akumulasi prestise dari
modal sosial, modal budaya, dan modal ekonomi).
Yang dimaksudkan dengan pasar dalam makalah ini adalah Dinkes
Propinsi NTT sebagai sebuah ruang terstruktur dengan pola relasi kuasa sesuai
jabatan dan posisi sebagai pelayan masyarakat (supply side). Dinkes NTT sebagai
pasar memiliki modal untuk menerbitkan novel berjudul Wijaya Kusuma dari
Kamar Nomor Tiga (WKdKNT). Ini adalah karya sastra yang diterbitkan dan
digunakan untuk promosi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di NTT. WKdKNT
berbicara tentang tanggung jawab dokter dan paramedis khususnya bidan dan para
kader lapangan dalam penanganan persalinan, mengatasi stigma budaya hamil dan
melahirkan, partisipasi masyarakat, serta manajemen pelayanan Kesehatan Ibu
dan Anak (KIA).
Penulisan dan penerbitan WKdKNT dapat berjalan lancar karena Dinkes
NTT memiliki otoritas sebagai pasar yang menentukan kebijakan. Dinkes
memahami dan menentukan bahwa karya sastra dapat berperan untuk menyentuh
hati para bidan, dokter dan paramedis lainnya, kader desa siaga (Desi), dan
stakeholders terkait dalam menjalankan tugas. WKdKNT dipandang dapat
mengalirkan kata menjadi sebuah karya sastra humanisme, untuk melunakkan
wacana medis yang terkesan beku dan serba klinis menjadi hangat dengan bahasa
kehidupan yang puitik dan romantik. (Gayatri, 2017). Dengan modal (budaya,
sosial, ekonomi, dan simbolik) WKdKNT ditulis dan diterbitkan untuk tujuan
promosi KIA dengan latar budaya daerah di NTT.
Hal tersebut menjelaskan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan
budaya (Teeuw, 1980:11-12). Artinya, karya sastra lahir dalam konteks sejarah
dan sosial budaya suatu bangsa yang di dalamnya sastrawan penulisnya
merupakan salah seorang anggota masyarakatnya. Sastrawan tidak terhindar dari
konvensi sastra dan latar sosial budaya masyarakatnya (Pradopo, 2011:107-108).
Dengan kata lain karya sastra adalah sebuah konstruksi yang diciptakan secara
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 235
Denpasar, 25-26 September 2018
kreatif dan inovatif untuk menjawab pertanyaan zaman tentang manusia dan
menyampaikan pesan-pesan yang bermakna bagi pembaca. Beberapa hal yang
berkaitan dengan aspek modal -khususnya modal budaya- dalam penulisan dan
penerbitan novel WKdKNT dijelaskan sebagai berikut.
Proses kreatif penulisan novel WKdKNT didasari modal budaya berupa
referensi, data dan kasus, serta pengembangan gagasan tentang stigma budaya dan
partisipasi masyarakat dalam upaya peningkatan KIA di NTT.
Penanggung Jawab seksi KIA Dinas Kesehatan Propinsi menyerahkan
beberapa referensi sebagai modal budaya untuk mendukung penulisan novel
Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (WKdKNT). Semua dukungan referensi
digunakan sebagai sumber-sumber informasi dan gagasan dalam penulisan novel.
1. Buku dan Pedoman Nilai-Nilai
Buku berjudul Pedoman Revolusi KIA di Provinsi NTT (Pergub, Juklak,
dan Juknis) Percepatan Penurunan Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir (Semua
Persalinan Dilaksanakan di Fasilitas Kesehatan yang Memadai) (2012).
Nilai-nilai pelayanan yang diungkapkan dalam novel WKdKNT pada
prinsipnya diambil dari nilai-nilai yang terungkap melalui buku tersebut. Selain
itu nilai-nilai yang telah diidentifikasi ―The American Association Colleges Of
Nursing‖ pada tahun 1985 juga dijadikan dasar untuk menulis novel. Asosiasi
tersebut mengidentifikasikan tujuh nilai personal profesional: (1) aesthetics
(keindahan); 2) alturisme (mengutamakan orang lain); 3) equality (kesetaraan); 4)
Freedom (kebebasan); 5) human digrity (martabat manusia); 6) justice ( keadilan);
dan 7) truth (kebenaran).
2. Data dan Kasus
Selain buku diberikan juga data kasus dan informasi kematian ibu seperti
data Antenatal Care (ANC) atau perawatan ibu sebelum melahirkan (Banda,
2017: 319-320). Sebagaimana disebutkan dalam Sekapur Sirih WKdKNT
(Cetakan 2, 2015), dukungan data dan informasi juga datang dari beberapa pihak:
1) Keluarga Berencana (KB) dari Ibu Bidan Elisabeth da Gomez dan Dokter
236 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Heni Ratnawati (Kabupaten Ende); 2) penjelasan tentang Konsep 2H2 (dua hari
sebelum dan dua hari sesudah hari H melahirkan) yang intinya pada harkat dan
martabat ibu dan bayi dari Dokter Yosep Usen Aman (Kabupaten Flores Timur);
3 kasus kematian ibu dan penjelasan latar belakang kematiannya yang
disampaikan Bidan Veronika Dhuke (Kabupaten Ngada), Bidan Yustina Go‘o
(Kota Kupang), dan Bidan Linda (Kabupaten Ende); 4) berita tentang kematian
ibu di Sulamu yang disampaikan Hironimus Modo (H.U. Pos Kupang). Ibu
mengalami pendarahan dan tidak dapat ditolong karena tidak ada tenaga medis,
tidak dapat dirujuk karena jarak jauh -antar pulau- dari Sulamu (pulau Rote) ke
Kupang; 5) kasus bulin wafat di RSU Ende setelah melahirkan. Ibu
meninggalkan sepasang anak kembar. Ibu ini dirujuk dari Puskesmas Mbay
Kabupaten Nagekeo di Flores.
Data dan kasus-kasus dilengkapi dengan diskusi bersama Kepala Seksi
KIA Dinas Kesehatan Propinsi tentang empat terlambat dan tiga terlalu, yang
dapat berkontribusi terhadap kematian ibu maupun bayinya. Empat terlalu
berkaitan dengan: terlalu sering melahirkan; terlalu dekat jarak kelahiran antara
anak yang satu dan anak yang berikutnya; 3) terlalu muda usia ibu (kehamilan
usia dini); dan 4) terlalu tua (umur ibu terlalu tua, di atas 35 tahun). Tiga
terlambat berkaitan dengan: 1) terlambat mengambil keputusan rujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan yang memadai; 2) terlambat tiba di fasilitas kesehatan; dan
3) dan terlambat ditolong.
3. Stigma Budaya, Mitos, dan Keyakinan Tradisional dalam Perpektif
Jender
Yang dimaksudkan dengan stigma budaya adalah kepercayaan yang
dikonstruksi sehingga terjadi labeling, stereotyoe, dan diskriminasi dalam budaya
yang mempengaruhi kehidupan individu serta membawa dampak pada kehidupan
bersama. Beberapa hal stigma budaya, mitos, dan keyakinan tradisional dalam
perpektif gender dipelajari melalui wawancara dengan Bapak S.P. Djadja
(Ngadha, Flores) dan Pater Ansel Dore Dae (Maumere Flores). Hasil wawancara
dicatat dalam pokok-pokok pikiran berikut.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 237
Denpasar, 25-26 September 2018
a. Hamil dan melahirkan urusan perempuan
b. Budaya Patriakhi
Pengambilan keputusan adalah laki-laki
Peran laki-laki dalam ruang publik dan perempuan dalam ruang
domestik
Keberadaan anak laki-laki dalam keluarga lebih penting dari
perempuan
h. Filosofi Bunga Wijaya Kusuma
Referensi, data kasus, stigma budaya, mitos, dan keyakinan tradisional
dalam perpektif jender, dilengkapi dengan pengetahuan dan pemahaman tentang
filosofi bunga wijaya kusuma sebagai simbol Bakti Kusada, lambang Departemen
Kesehatan.
Bunga Wijaya Kusuma adalah bunga yang dipakai sebagai lambang Bakti
Husada. Bunga ini memiliki karakter mekar di tengah malam, harum semerbak
wanginya, memiliki nilai magis tentang kepekaan mendengar dan merasakan,
sanggup mengobati, serta indah dan harum. Suara mekarnya dapat didengar oleh
orang yang benar-benar peka dan beruntung memperoleh kesempatan langka
tersebut. Aroma bunganya harum dan wangi. Warna bunganya putih tulang, putih
cenderung kekuningan, putih kemerahan. Bunga ini memiliki makna keluhuran
dan pengabdian dalam diam. Bunga Wijaya Kusuma (lambang Bakti Kusada):
simbol keluhuran dan kesetiaan dalam mengabdi serta simbol cinta dan
ketentraman.
Data dan kasus tersebut di atas merupakan realitas pertama atau realitas
obyektif yang tersedia yang melengkapi unsur ekstrinsik dalam novel. Demikian
pula penjelasan tentang filosofi wijaya kusuma sebagai simbol Bakti Husada,
buku Pedoman Revolusi KIA adalah referensi obyektif yang menjadi latar
lahirnya realitas kedua atau realitas imajinatif yang dikemas dalam bentuk novel
WKdKNT. Munculnya unsur-unsur ekstrinsik menjadikan kekayaan intrinsik
238 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
karya sastra yang pada dasarnya tidak dapat tercipta tanpa modal budaya yang
melibatkan dinamika masyarakat dan kebudayaan (Kosasih, 2014:2).
III. Karya Sastra sebagai Dokumen Sosial Budaya
WKdKNT adalah karya sastra bergenre novel yang ditulis berdasarkan
permintaan Dinas Kesehatan Propinsi NTT. Fungsi utamanya sebagai bahan
promosi kesehatan, khususnya Kesehatan Ibu Anak (KIA). WKdKNT didistribusi
ke semua Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten, para bidan, institusi
pendidikan kesehatan, dan institusi terkait lainnya. WKdKNT digunakan sebagai
salah satu media promosi KIA yang bermakna pragmatis.
Apa yang dimaksudkan dengan karya sastra pragmatis? Sebagaimana
karya seni pada umumnya, seni pragmatis berkaitan dengan terapan yaitu karya
sastra sebagai gambaran dari berbagai fenomena sosial budaya tentang ibu dan
anak yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pragmatisme dalam sastra
menurut Faruk (2005) relatif kuat apabila dilihat dari sejarahnya.
Mulai dari karya sastra zaman Balai Pustaka dan Pujangga Baru yang
pragmatis. Karya sastra ditempatkan sebagai "alat" pendidikan
masyarakat, pencerahan masyarakat akan ide-ide modernitas yang dibawa
oleh politik etis di satu pihak dan penyadaran masyarakat akan belenggu
adat takhyul pada pihak lainnya. Pada awal kepemerdekaan Indonesia
Chairil pun terjaring ke dalam wacana yang pragmatis. Karyanya dikaitkan
dengan revolusi kemerdekaan, kisah heroik untuk melawan penjajahan.
Demikian pula dominasi Lekra pada awal 1960-an dengan upaya "politik
sebagai panglima" berhadapan dengan kelompok Manikebu. Selanjutnya
ada kecenderungan lepasnya sastra dari pragmatisme peda awal Orde
Baru, akan tetapi tetap dalam bayang-bayang pragmatisme. Sejarah sastra
Indonesia modern telah menciptakan karya sastra dan sastrawan yang
sensitif dan sekaligus rentan terhadap rangsangan-rangsangan
pragmatisme (Faruk, 2005:xiii-xv).
Penjelasan tersebut di atas menunjukkan bahwa pragmatisme adalah
bagian dari kehadiran sastra untuk mencerahkan. Karya sastra merupakan produk
budaya yang memiliki kepekaan terhadap realitas sosial di sekelilingnya.
Kesusastraan memiliki relasi dengan berekpresi terhadap unsur kebudayaan lain
yang dilakukan oleh kaum intelektual seperti berideologi, berpolitik, berekonomi,
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 239
Denpasar, 25-26 September 2018
dan lainnya. Kesusastraan sebagai bagian penting dari ekpsresi kebudayaan
(Wachid, 2005:89).
WKdKNT menjelaskan bahwa karya sastra merupakan dokumen sosial
budaya. Isi karya sastra dilatari kehidupan sosial masyarakat. Konsentrasi dan
pengembangan imajinasi dalam novel menunjukkan relasi novel sebagai karya
sastra dan aspek-aspek sosial budaya dalam ranah sosiologi. Karya sastra sebagai
dokumen sosial atau gambaran kenyataan sosial (Wellek dan Warren, 1990:122).
Karya sastra tidaklah lahir dari kekosongan sosial (social Vacuum) hal ini
bukanlah suatu asumsi yang berlebihan, meskipun kita juga harus ingat bahwa
karya sastra adalah hasil daya khayal atau imajinasi dengan amanat atau ajaran
moral yang disampaikan kepada pembaca (Harjana (1983 :71 ).
Dalam kerja sama novel dan promosi KIA, nilai-nilai tentang pelayanan
kesehatan khususnya pelayanan KIA menjadi bagian integral dari novel.
Karenanya secara intrinsik tema alur, karakter tokoh-tokoh, latar, sudut pandang,
amanat, dan gaya bahasa difokuskan pada lokus KIA yang ditunjang oleh aspek
ekstrinsik tentang filsafat, pendidikan, ekonomi, kesehatan, topografi geografi,
serta aspek sosial budaya. Penulisan novel dengan memperhatikan aspek intrinsik
dan ekstrinsik tersebut memiliki tujuan pragmatis karya sastra yaitu: pencerahan
kognitif, penemuan nilai-nilai, dan penerapannya.
IV. PENUTUP
Novel WKdKNT dapat digunakan sebagai salah satu media promosi
untuk mengali visi dan meningkatkan motivasi pelayanan paramedis dan dokter
dalam penanganan KIA. Isi novel didasarkan pada modal budaya tentang KIA
sebagai sumber data dan referensi utama dalam penulisan.
WKdKNT menjelaskan bahwa karya sastra memiliki makna pragmatis
bagi masyarakat. Ragam sastra dapat dimanfaatkan dalam berbagai ranah
kehidupan. Salah satu di antaranya adalah institusi kesehatan yang menangani
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Proses penulisan dalam kerja sama, distribusi,
bedah novel dan berbagai diskusi tentang WKdKNT yang diselenggarakan Dinas
Kesehatan dan institusi lainnya menunjukkan hubungan lintas disiplin dan multi
240 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
disiplin. Hubungan ini diharapkan dapat membuka sekat pembatas antar instansi
demi pemberdayaan masyarakat bidang KIA dan penerusan nilai-nilai pelayanan
melalui karya sastra.
Melalui kehadiran novel ini paramedis dan dokter -meskipun belum
semuanya- mendapat pemahaman 'estetis sastra' baru tentang penanganan medis
yang pada umumnya 'cenderung klinis dan kaku'. WKdKNt menjelaskan kerja
sama untuk memahami aspek-aspek sosial budaya serta partisipasi masyarakat
(Deman side) dengan pemerintah (Supply side) dalam bidang kesehatan dapat
dilakukan melalui karya sastra.
Daftar Pustaka
Banda, Maria Matildis. Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga. Yogyakarta:
Kanisius. 2017.
Banda, Maria Matildis. ―Parrhesia dan Kekuasaan Sastrawan dalam
Mengungkapkan Kebenaran‖ dalam Isu-Isu Mutakhir dalam Kajian Bahasa
dan Sastra. (Sudibyo Ilma ed.) Yogyakarta: Interlude. 2016.
Banda, Maria Matildis. "Alih Wahana Cerpen ke Drama Modern: Refleksi Lomba
Drama Modern Bali" Prosiding Seminar Nasional Sastra dan Budaya.
Denpasar : Fakultas Sastra dan Budaya Unud.2016.
Herin, Lagadoni Yoseph. 2016. ―Revolusi KIA, Bidan dan Kita, Menimbang
Novel WKdKNT karya Maria Matildis Banda‖. Ende: Flores Pos 26
februari 2016.
Harjana, Andre. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. 1983.
Kosasih, E. 2008. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Penerbit Perca.
Making, Vincen Belawa, ―Kami Butuh Bidan Sekarang dan Selamanya.‖ Opini.
Pos
Kupang 27 Juni 2016. Kupang: H.U. Pos Kupang. 2016.
Teeuw, A. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka jaya, 1989.
Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya,
1984.
Yohanes Berchemas Ebang, ―Wijaya Kusuma dan Pelampauan Simbol dalam
Novel
WKdKNT‖ Flores Sastra 10 Maret 2016.
Yusuf Lubis, Akhyar. Posmodernisme Teori dan Metode. Jakarta: Dividi Buku
Perguruan Tinggi Pt. Raja Grafindo Persada. 2014.
Sumiyadi dan Memen Durachman. Sanggar Sastra Pengalaman Artistik dan
Estetik Sastra. Bandung: Penerbit Afabeta, 2014.
Wachid, Abdul. 2005. Sastra Pencerahan. Penerbit Saka.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 241
Denpasar, 25-26 September 2018
Wellek, Rene dan Austin Waren. 1990. Teori Kesusastraan (Diterjemahkan oleh
Melani Budianta) Jakarta: Pustaka Jaya.
Referensi Internet
1. Gek. NN. 2015 tentang ―Sisi Humanisme Seorang Paramedis dan Dokter
dalam Novel Maria Banda‖. www.kabarnusa.com/2005
2. Mans Balawala. 2015. ―Kamar Nomor Tiga Sadarkan Bupati Herin tentang
Ibu dan Anak‖ www.aksiterkini.com
3. Mans Balawala, 2015. ―Saya Baru Menyadari Betapa Mahal Kehidupan‖
wwwsergapntt.com
4. Yohanes, Berchmans Ebang. 2016. ―Wijaya Kusuma dan Pelampauan
Simbol dalam Novel WKdKNT‖ Floressastra.com/2016/03/10.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 242
Denpasar, 25-26 September 2018
AMA DAN EMANSIPASI WANITA
Ngurah Indra Pradhana
Prodi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Jepang merupakan salah satu negara maritim. Maka dari itu, banyak profesi
dari masyarakat Jepang yang berhubungan dengan laut. Para prianya bekerja
sebagai nelayan, sedangkan wanita yang berprofesi sebagai penyelam tersebut
biasa dikenal dengan istilah Ama. Ama (海女) merupakan salah satu tradisi kuno
di Negeri Sakura untuk sebutan bagi penyelam tradisional wanita di Jepang.
Tradisi yang sudah dilakukan, sejak 3000 tahun silam. Para wanita yang menjadi
Ama ini kebanyakan tinggal di kawasan Toba dan Shima di Prefektur Mie. Ama
mampu menyelam sampai kedalaman 20 meter ke dasar laut tanpa alat bantu.
Biasanya mereka menyelam untuk mencari segala komoditas laut seperti rumput
laut, mutiara, dan kerang. Ama melakukan tugas rumah tangga, memasak untuk
suami dan mengantar anak mereka ke sekolah sebelum mereka mulai menyelam
di pagi hari. Menyelam memberikan mereka pendapatan ekstra dan makanan
berkualitas bagi keluarga dan komunitas setempat dimana mereka tinggal.
Sayangnya, kini tidak banyak wanita yang mau menjadi Ama. Makin banyak
kapal-kapal nelayan yang memakai peralatan canggih untuk berburu ikan dan
hasil laut lainnya, serta insentif ekonomi menjadi Ama pun semakin berkurang
bagi penyelam-penyelam tua. Tidak lama lagi profesi mereka akan lenyap ditelan
kemajuan teknologi. Dari total 8.000 Ama di tahun 1950-an, kini tinggal tersisa
2.000 Ama saja.
Kata Kunci : Maritim, Ama, Wanita Penyelam
Sejarah Ama
Jepang dikenal dengan negara kepulauan atau archipelagic state.Dari sisi
jumlah, pulau-pulau di Jepang hampir mencapai 7.000 dengan luas lautan sekitar
4 juta kilometer persegi (km²).Jepang merupakan salah satu negara maritim. Maka
dari itu, banyak profesi dari masyarakat Jepang yang berhubungan dengan laut.
Para prianya bekerja sebagai nelayan, dengan pergi melaut yang bisa berhari-hari.
Para wanitanya tidak mau kalah, ingin juga bekerja. Maka mereka tidaklah melaut
seperti para pria, melainkan memilih untuk menyelam.Wanita yang berprofesi
sebagai penyelam tersebut biasa dikenal dengan istilah Ama.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 243
Denpasar, 25-26 September 2018
Ama (海女) merupakan salah satu tradisi kuno di Negeri Sakura untuk
sebutan bagi penyelam tradisional wanita di Jepang.Tradisi yang sudah dilakukan,
sejak 3000 tahun silam.Ama tercatat merupakan sebuah profesi yang sudah
dilakukan sejak lama, bahkan tercatat dalam sejarah yaitu pada sebuah literatur di
abad ke-7. Namun saat ini hanya berada di wilayah Mie, Iwate dan Prefektur
Ishikawa saja.Sebuah legenda mengatakan bahwa mereka tiba di Jepang sebagai
bagian dari suku pelayaran nomaden. Sesungguhnya mereka semua asli penduduk
Jepang. Bagi mereka yang tinggal di Ise-shima, dan banyak area lain di Jepang,
Ama dianggap sebagai sosok abadi dan dihormati. Para wanita yang menjadi Ama
ini kebanyakan tinggal di kawasan Toba dan Shima di Prefektur Mie. Prefektur
Mie merupakan salah satu prefektur di Jepang yang letaknya berdekatan dengan
Nagoya, Osaka dan Kyoto. Dari Tokyo, harus naik bus atau kereta kurang lebih 6-
8 jam. Atau jika langsung dari Bandara Internasional Chubu, bisa menggunakan
kapal laut yang jaraknya hanya 40 menit menuju Kota Toba di Mie.Baik Toba dan
Shima, keduanya sama-sama berada di pesisir yang menghadap ke Samudera
Pasifik. Kehidupan masyarakatnya pun bergantung kepada laut.
244 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Profesi Ama
Ama, sejatinya bukan pekerjaan untuk kaum wanita saja, ada juga kalangan
pria yang menjadi Ama tetapi dengan tulisan yang berbeda (海士, ―master laut‖),
namun jumlah perempuan yang menggeluti profesi ini jauh lebih besar, sehingga
secara umum, diakui sebagai profesi untuk perempuan.Alasan kenapa lebih
banyak kaum perempuan yang menyelam adalah tubuh mereka dapat
mempertahankan panas yang lebih baik di dinginnya laut karena memiliki lebih
banyak lemak dibandingkan pria.Ama mampu menyelam sampai kedalaman 20
meter ke dasar laut tanpa alat bantu. Artinya paru-paru dan daya tahan tubuh
mereka sangatlah kuat. Di zaman dulu, Ama menyelam dengan bertelanjang dada
dan hanya menggunakan cawat.Tentu saja, itu butuh latihan sedari kecil dan terus-
menerus. Kimiyo Hayashi (61 tahun), seorang Ama menceritakan bagaimana
rasanya menyelam secara tradisional itu. "Lautan sangat dingin, wajah seperti
membeku. Gelombang juga sangat berbahaya dan seperti menyayat badan.
Kadang juga tidak ketahuan jika ada hiu yang mendekat. Kita harus menyelam
dengan cepat dan efisien,".Di zaman sekarang ini walau sudah modern, para Ama
tetap menyelam tanpa menggunakan alat selam. Paling hanya memakai fin saja
untuk makin memudahkan bergerak di air.
Cara menyelam para Ama terdapat dua jenis. Pertama mereka menyelam
dengan bergantung pada seutas tali yang dikaitkan pada sang suami yang
menantinya di atas perahu. Metode ini biasanya digunakan saat Ama menyelam di
tengah lautan lepas dengan tingkat kedalaman agak tinggi. Sang suami harus tahu
benar kapan ia harus menarik sang istri ke permukaan.Kedua adalah dengan
menyelam sendirian yang biasanya dilakukan di perairan yang agak dangkal. Di
sini Ama mengikatkan diri mereka dengan seutas tali pada keranjang kayu di
permukaan.Mereka menghabiskan waktu sekitar satu menit di bawah air pada
setiap penyelaman, dan melakukannya sebanyak 50 hingga 100 kali. Keselamatan
mereka sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan laut, yang berarti mereka harus
bekerja bergandengan tangan dengan alam untuk mengurangi resiko kecelekaan.
Ama biasanya mereka menyelam untuk mencari segala komoditas laut
seperti rumput laut, mutiara,dan kerang. Namun, Ama tidak sembarangan
mengambil hasil laut. Ada beberapa kerang yang boleh diambil dan tidak diambil.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 245
Denpasar, 25-26 September 2018
Jumlahnya juga dibatasi, hal tersebut semata-mata menjaga kehidupan laut
sendiri. Mereka percaya, jika mereka berbuat baik dengan alam, maka alam akan
berbuat baik dengan mereka.
Banyak dari Ama juga melakukan tugas rumah tangga, memasak untuk
suami dan mengantar anak mereka ke sekolah sebelum mereka mulai menyelam
di pagi hari. Menyelam memberikan mereka pendapatan ekstra dan makanan
berkualitas bagi keluarga dan komunitas setempat dimana mereka tinggal.
Ama di Jaman Sekarang
Sayangnya, kini tidak banyak wanita yang mau menjadi Ama. Kebanyakan
wanita generasi mudanya memilih pindah ke Osaka atau Tokyo (yang berjarak 3
jam naik mobil) untuk bekerja. Apalagi, makin banyak kapal-kapal nelayan yang
memakai peralatan canggih untuk berburu ikan dan hasil laut lainnya. Selain itu,
insentif ekonomi menjadi Ama pun semakin berkurang bagi penyelam-penyelam
tua. Tidak lama lagi profesi mereka akan lenyap ditelan kemajuan teknologi.Dari
total 8.000 Ama di tahun 1950-an, kini tinggal tersisa 2.000 Ama saja. Hal inilah
yang ditakuti oleh generasi-generasi tua di Prefektur Mie, bahwa tradisi Ama akan
mati.
Saat ini, masih terdapat masyarakat yang melakoni kegiatan menyelam.
Namun sudah tidak menjadikan sebagai sumber utama penghasilan Ama, banyak
dari mereka kini terpaksa mencari pendapatan tambahan. Beberapa dari mereka
membuka ryokan (penginapan) atau peternakan kecil milik keluarga.Banyak dari
mereka bekerja di restoran bertemakan Ama di dekat dermaga. Mereka melayani
turis yang ingin menikmati seafood dan menghibur tamu dengan tarian
tradisional. Selain itu, amagoya (海女小屋 ), pondok untuk beristirahat para
penyelam ama, telah dibuka untuk umum dan melayani pengunjung yang ingin
mencicipi seafood panggangnya. Menikmati makanan laut segar yang dibuat oleh
ama sambil mendengarkan cerita-ceritanya.
246 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Upaya Pelestarian
Profesi menyelam Ama dijadikan sebagai warisan budaya sejak tahun 2014.
Sejak tahun 2007, sudah ada sebuah gerakan untuk mendaftarkan profesi ini
sebagai warisan budaya di UNESCO. Dalam rangka membangun momentum
untuk pendaftaran, kota Shima dan Toba ditunjuk menjadi tuan
rumah acara ―Ama Summit‖ sebanyak lima kali dari enam kali gelaran acara yang
sudah berlangsung sejak tahun 2009.Pertemuan ke-6 diadakan di Toba. Ama dari
Jepang dan Korea Selatan, sepakat untuk menyebarkan budaya ama untuk G7 Ise-
Shima Summit. Di zaman modern sekarang ini, hal yang dilakukan para penyelam
Ama di Prefektur Mie memang patut mendapatkan apresiasi yang mendalam
mengingat mereka terus menjaga dan melestarikan salah satu profesi tradisional
untuk kaum wanita di Jepang.
DAFTAR UNDUHAN
https://travel.detik.com/travel-news/d-3292491/putri-duyung-terakhir-di-jepang
(07 september 2018)
https://www.vice.com/id_id/article/8qb8d3/bertemu-nenek-penyelam-spesialis-
mencari-bahan-baku-seafood-di-jepang
(07 september 2018)
https://his-travel.co.id/blog/article/detail/wanita-penyelam-dari-prefektur-Mie-
Jepang
(07 september 2018)
https://thedailyjapan.com/para-penyelam-ama-di-prefektur-mie-masih-menjaga-
dan-melestarikan-profesi-tradsional-untuk-kaum-wanita-di-jepang/
(07 september 2018)
https://m.kontan.co.id/news_analisis/memahami-tata-kelola-maritim-
jepang?page=1
(07 september 2018)
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 247
Denpasar, 25-26 September 2018
VARIASI POLA DESKRIPSI PADA ISTILAH BUDAYA BALI
PADA TEKS BERBAHASA INGGRIS
Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Gusti Ngurah Parthama
Prodi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
ABSTRAK
Paper ini bertujuan untuk mendeskripsikan teknik pola deskripsi pada istilah
budaya Bali dalam teks berbahasa Inggris. Teknik deskripsi menjadi salah satu
alternatif dalam menjembatani hubungan antar dua bahasa yang berbeda latar
belakang. Bahasa sebagai bagian dari budaya merupakan ciri khas suatu
kelompok masyarakat. Bahasa menjadi media komunikasi yang sesungguhnya
dipahami oleh satu kelompok masyarakat saja dengan latar belakang yang sama.
Sehingga apabila suatu istilah berkaitan dengan budaya suatu kelompok
masyarakat tertentu dimunculkan kepada kelompok masyarakat lainnya, maka
terjadilah permasalahan komunikasi. Permasalahan komunikasi terjadi apabila
istilah budaya Bali dikenalkan melalui teks berbahasa Inggris kepada pembacanya.
Dengan dua latar budaya berbeda, istilah – istilah budaya Bali menjadi suatu
bentuk yang sangat spesifik. Sumber data pada paper ini diambil dari istilah
budaya Bali yang terdapat pada teks – teks berbahasa Inggris di media online.
Pemilihan teks berbahasa Inggris pada media online dengan latar belakang
komunikasi global yang semakin moderen. Metode pengumpulan data dilakukan
dengan metode dokumentasi menggunakan teknik membaca rinci, pencatatan, dan
pengelompokan data. Selanjutnya metode deskriptif kualitatif diaplikasikan untuk
menganalisa data. Simpulan yang diperoleh adalah istilah – istilah budaya Bali
yang digunakan pada teks berbahasa Inggris dominan menggunakan teknik
deskripsi. Pola deskripsi yang digunakan untuk menjelaskan istilah budaya Bali
itu dengan pola deskripsi yang memaparkan penjelasan bentuk, fungsi, dan
kombinasi keduanya. Pola deskripsi dengan penjelasan bentuk atau fungsi atau
kombinasi keduanya memungkinkan dipahami oleh pembaca dengan latar budaya
lain. Hal tersebut berkaitan dengan adanya suatu kata atau frasa yang bersifat
umum yang dipahami secara global.
Kata kunci: pola deskripsi, istilah budaya Bali, teks berbahasa Inggris
PENDAHULUAN
Dalam era komunikasi global saat ini, seseorang tentunya dengan mudah
mengakses informasi secara digital. Salah satu yang tentunya mudah untuk
diakses adalah informasi – informasi terkait budaya Bali yang dipublikasikan
melalui teks – teks berbahasa Inggris. Penggunaan teks – teks berbahasa Inggris
tentunya mempermudah orang asing memahami dan memaknai informasi yang
diberikan. Namun, yang tentunya menjadi tantangan adalah pemaknaan terhadap
248 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
suatu istilah budaya yang khusus. Hal tersebut tentunya menjadi sangat jelas
terlihat mengingat bahasa Inggris dan budaya Bali merupakan dua budaya yang
kontras. Sehingga penjelasan terhadap suatu istilah budaya Bali pada teks – teks
berbahasa Inggris perlu menjadi pertimbangan penting. Pertimbangan itu
bertujuan untuk memberikan pemaknaan secara umum yang dapat dimengerti
oleh pembaca pada budayanya namun juga tetap memperkenalkan budaya Bali.
Salah satu alternatif dalam mengupayakan istilah budaya kepada bahasa
lain adalah dengan mengalihbahasakannya. Pengalih bahasaan merupakan upaya
untuk mempertahankan makna suatu kata dalam bahasa sumber dan diupayakan
penyesuaian dengan bentuk pada bahasa lain dengan makna yang sepadan. Secara
singkat, Larson (1998: 19) mendeskripsikan suatu istilah yang disebut alih bahasa
idiomatis. Alih bahasa idiomatis mengusahakan upaya untuk mencapai
kesepadanan, tidak terdengar aneh, dan menyesuaikan dengan struktur pada
bahasa sasaran. Mengupayakan kesepadanan alami pada alih bahasa menjadi hal
paling penting terutama jika budaya kedua bahasa sangat berbeda. Beeckman dan
Callow (dalam Larson, 1998: 179) memaparkan tiga teknik sederhana yang
menjadi pertimbangan dalam alih bahasa terutama jika berkaitan dengan
ketidaksepadanan leksikal pengalihbahasaan budaya. Ketiga teknik sederhana
tersebut adalah teknik menggunakan kata umum dengan frasa deskriptif atau
pemaparan lebih rinci, menggunakan kata pinjaman atau loan word, dan
menggunakan penggantian istilah budaya (a cultural substitute). Lebih lanjut
Larson (1998: 180) memaparkan mengenai frasa deskriptif yang berhubungan
dengan bentuk (form) dan fungsi (function). Dalam kaitan dengan tidak adanya
suatu bentuk yang sepadan antara dua bahasa yang berbeda, maka solusi yang
diberikan adalah memaparkan dengan frasa deskripsi. Penggunaan frasa deskripsi
terhadap suatu kata atau istilah yang tidak sepadan dalam dua bahasa biasanya
dikombinasikan dengan pemaparan mengenai bentuk maupun fungsi.
Dalam menentukan penjelas baik bentuk maupun fungsi, maka perspektif
dari seorang penulis yang menentukan bagian yang digunakan. Larson (1998:
180) mencontohkan kata pensil dan kata anjing. Jika frasa deskripsi bentuk
dianggap penting maka kata pensil dapat dipaparkan menjadi panjang, terbuat dari
kayu, ujungnya lancip, dan biasanya terdapat penghapus di ujung lainnya. Namun,
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 249
Denpasar, 25-26 September 2018
jika frasa deskripsi fungsi menjadi prioritas utama maka kata pensil dijelaskan
menjadi sarana untuk menulis. Begitu juga halnya dengan kata anjing. Jika
fungsinya menjadi hal utama, maka kata anjing dapat dideskripsikan sebagai
binatang yang biasa diajak berburu atau menjaga rumah. Sedangkan jika bentuk
dari anjing yang penting, maka bentuknya dapat dipaparkan melalui ukuran dan
besar tubuhnya, warna kulitnya, maupun posisi bagian penting seperti mata,
telinga, serta bahkan suara.
Sehingga dalam memaparkan suatu istilah terutamanya istilah budaya,
frasa deskripsi menjadi salah satu pilihan. Frasa deskripsi mempunyai keleluasaan
dalam memaparkan suatu istilah atau kata dengan mengambil penekanan pada
bentuk atau fungsi. Apalagi frasa deskripsi dengan kombinasi bentuk atau fungsi
menggunakan kata – kata yang dekat pada bahasa sasaran. Dengan demikian,
pembaca bahasa sasaran dengan latar budaya berbeda memiliki kesempatan luas
untuk memahami suatu istilah atau kata yang bermuatan budaya. Hal tersebut
menjadi jalan keluar bagi ketidaksepadanan suatu istilah atau kata dalam dua
bahasa berbeda.
METODELOGI PENELITIAN
Sumber data dari paper ini diambil dari istilah – istilah budaya Bali yang
digunakan pada teks – teks berbahasa Inggris di media internet. Pemilihan teks
berbahasa Inggris di internet dengan pertimbangan bahwa saat ini penyebaran
informasi yang efektif dan efisien adalah menggunakan media internet. Metode
pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi dengan teknik
observasi, teknik membaca rinci, teknik pencatatan, dan teknik pengelompokan
data. Selanjutnya metode analisa data yang digunakan adalah metode deskriptif
kualitatif dengan mendeskripsikan data – data terkumpul untuk dianalisa sesuai
dengan kajian teknik alih bahasa istilah budaya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini dibahas dua tipe pola deskriptif yang digunakan untuk
menjelaskan istilah budaya Bali pada teks berbahasa Inggris. Kedua variasi tipe
yang dimaksud adalah tipe bentuk dan tipe kombinasi bentuk serta fungsi. Pada
250 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
tipe bentuk lebih menekankan pada penjelasan deskriptif yang berhubungan
dengan bentuk dari istilah budaya Bali. Sehingga pembaca dapat membayangkan
atau menginterpretasikan istilah budaya Bali yang dimunculkan pada teks
berbahasa Inggris. Sedangkan kombinasi tipe yakni bentuk dan fungsi mempunyai
kecenderungan frasa deskriptif yang menggabungkan antara penjelasan mengenai
bentuk dan fungsi pada deskripsinya. Penggabungan penjelasan bentuk dan fungsi
menjadi alternatif untuk lebih memberikan pemaknaan terhadap istilah budaya
Bali yang muncul pada teks berbahasa Inggris.
Terdapat tiga istilah budaya Bali yang menggunakan pola deskriptif
bentuk pada pemaparan dalam bahasa Inggris. Ketiga istilah budaya Bali tersebut
adalah penjor, lontar, dan kulkul. Pada masing – masing istilah budaya Bali
terdapat frasa deskriptif yang memaparkan mengenai bentuk dari istilah yang
dimaksud. Masing – masing istilah budaya Bali dimunculkan dalam kesatuan
konteks kalimat sebagai berikut.
During the festival, all across island sprout tall bamboo poles called "penjor" – that are decorated with fruit, coconut leaves, and flowers, and set up on the right side at the entrance of every home.
Taken from:
https://www.balitouring.com
Lontar (old manuscript) is the most iconic and unique manifestations of tangible and intangible cultural heritage preserved on Bali from the past through to the present day. The literature and religious lore of Balinese and ancient Javanese traditions have been reproduced through the centuries via a learned tradition of writing and reading texts on lontar.
Taken from:
https://balicultureinformation.word
press.com/2015/12/05/lontar-
balinese-manuscript-which-contain-
a-variety-of-aspects-of-human-life/
Kulkul is a big bell made of wood or bamboo use by various social organization of Balinese society or known as Balinese bell. Like a bell it is used to indicate time of gathering, ceremony, and in the past to call the people during a strain time resulted by conflict, or criminal. Organization in Bali are various based on tradition, profession or hobby.
Taken from:
https://www.balitouring.com/b
ali_articles/kulkul.htm
Pada data yang berisikan istilah budaya Bali penjor dijelaskan dengan tall
bamboo poles. Sedangkan data selanjutnya berisikan istilah budaya Bali lontar
yang dijelaskan dengan old manuscript. Pada data selanjutnya terdapat istilah
budaya Bali kulkul yang dijelaskan dengan Balinese bell. Keseluruhan data yang
dimaksud merupakan data istilah budaya Bali dengan frasa deskriptif yang
memaparkan bentuk dari istilah yang dimaksud.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 251
Denpasar, 25-26 September 2018
Hal itu dapat disimak pada istilah budaya Bali penjor dan frasa
penjelasnya dengan tall bamboo poles. Penggunaan frasa tall bamboo poles
mengacu pada pemahaman bentuk tiang bamboo yang sangat tinggi yang
digunakan untuk membuat penjor. Frasa penjelas bentuk juga terdapat pada istilah
budaya Bali lontar dengan penjelasnya old manuscript. Pemaknaan old
manuscript memiliki arti manuskrip yang kuno. Sehingga frasa penjelas old
manuscript berkaitan dengan bentuk dari lontar dalam budaya Bali. Sementara
itu, istilah budaya Bali kulkul diberikan frasa penjelas Balinese bell. Frasa
penjelas Balinese bell memberikan pemaknaan bentuk dari istilah budaya kulkul.
Dalam hal ini pembaca asing mendapatkan gambaran bentuk dari kulkul yang
dihubungkan dengan bel atau lonceng.
Dua data berikutnya merupakan data yang berkaitan dengan gabungan
frasa deskriptif. Adapun gabungan frasa deskriptif yang dimaksud adalah frasa
deskriptif bentuk dan fungsi. Sehingga dalam penjelasannya, frasa deskriptif
tersebut mempunyai pemaknaan penjelas berupa bentuk serta fungsi dari istilah
budaya Bali yang dimunculkan. Kedua istilah budaya Bali yang terdapat pada data
adalah barong dan banjar. Masing – masing dimunculkan pada konteks kalimat
lengkap seperti di bawah ini.
Ngelawang is a ritual to expel evil and any negative spirit, which is performed by "barong" - a divine protector in the form of a mythical beast.
Taken from:
https://www.balitouring.com
Leading up to the Saka New Year, village meeting halls (known as
Banjar) across Bali will be hard at work preparing their Ogoh Ogohs for the island-wide street parades. The Ogoh-Ogohs are papier-mâché effigies inspired by Balinese Hindu mythological demonic beings, and are intricately made from colored papers, mirrors, suede, tinsel, bamboo, and many other materials.
taken from:
http://padmaresortubud.com/
blog/bali-gears-welcome-saka-
new-year
Istilah budaya Bali barong dijelaskan dengan a divine protector in the
form of a mythical beast. Frasa penjelas a divine protector in the form of a
mythical beast menjelaskan fungsi dan bentuk dari istilah budaya Bali barong.
Secara mudah dapat disimak jika frasa a divine protector mempunyai pemaknaan
sebagai fungsi dan bentuk. Sedangkan penegasan terhadap penjelasan bentuk
dipaparkan lebih lanjut dengan frasa in the form of a mythical beast. Selanjutnya
istilah budaya Bali banjar dijelaskan dengan frasa village meeting halls. Frasa
252 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
penjelas village meeting halls menekankan frasa fungsi dan bentuk dari istilah
budaya banjar. Frasa penjelas village meeting halls diartikan secara harfiah
sebagai tempat atau balai pertemuan desa. Secara fungsi dapat dilihat pada
penggunaan kata village meeting dan secara bentuk dapat diperhatikan dengan
penggunaan frasa village meeting halls.
SIMPULAN
Variasi pola deskripsi pada istilah budaya Bali dalam teks berbahasa
Inggris terbagi menjadi dua tipe. Kedua tipe tersebut adalah tipe frasa penjelas
bentuk dan tipe frasa penjelas bentuk serta fungsi. Penggunaan variasi kedua tipe
frasa penjelas ditujukan untuk memberikan pemahaman yang sepadan terhadap
pembaca asing terkait makna dari suatu istilah budaya Bali. Dengan penggunaan
frasa penjelas itu dapat dimunculkan pemahaman istilah budaya Bali dalam
konteks budaya asing.
DAFTAR PUSTAKA
Larson, Mildred L. 1998. Meaning-Based Translation, A Guide to Cross-
Language Equivalence. Oxford: University Press of America.
Molina, L dan Albir, A.H. 2002. ―Translation Technique Revisited: A Dynamic
and Functionalist Approach‖. Dalam Meta, Vol. XLVII, No. 4. Hal. 499 –
512. http://www.erudit.org
Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. Washington: Longman
Pearson Education.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 253
Denpasar, 25-26 September 2018
PERDAGANGAN ANTAR PULAU OLEH MASYARAKAT BALI KUNO
PADA ABAD IX-XIV MASEHI: KAJIAN EPIGRAFIS DAN TAPONIMI
Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, Kristiawan
ABSTRAK
Berdagang antar pulau merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat
pada masa Bali Kuno abad IX-XIV Masehi.Aktivitas berdagang antar pulau dapat
dilakukan karenamasyarakat pada masa tersebut telah memiliki kemampuan
dalam dalam membuat alat transportasi laut berupaperahu, jukung, talaka, dan
lancang.Di dalam beberapa prasasti Bali Kuno menyebut tentang sekelompok
orang yang tinggal di permukiman pesisir pantai dan bermatapencaharian sebagai
pedagang serta mungkin sangat terkait dengan kegiatan pelabuhan.Di dalam
prasasti disebut dengan istilah banigrama (saudagar laki-laki) dan bahinin
banigrama (istri saudagar/saudagar wanita).
Kata Kunci :berdagang, prasasti, Bali kuno
I. PENDAHULUAN
Secara geografis Pulau Bali terletak bersebelahan dengan Pulau Jawa
sehingga intensitas hubungan kedua pulau ini tampaknya telah berlangsung sangat
intensif sejak lampau.Pada masa pleistosin dan holosin awal, Bali merupakan
salah satu jembatan migrasi yang memudahkan manusia dan hewan menyeberang
dari pulau Jawa ke kepulauan Nusa Tenggara.Akses hubungan antar pulau
tersebut didukung oleh transportasi laut.Terbukanya pintu masuk ke Bali
menyebabkan wilayah Bali mendapat pengaruh dan berkembang pesat baik di
bidang pendidikan, perdagangan/perekonomian, politik, maupun
kebudayaan.Prasasti Bali Kuno merupakan salah satu sumber data yang memberi
informasi penting tentang aktivitas berdagang antar pulau khususnya oleh
masyarakat Bali Kuno abad IX-XIV Masehi dengan daerah-daerah di sekitarnya.
Berdagang merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat pada masa
Bali Kuno abad IX-XIV Masehi. Pada dasarnya mekanisme perdagangan
didorong oleh kebutuhan akan barang yang tidak didapatkan di suatu tempat,
sementara di tempat lain terjadi kelebihan barang. Data tentang adanya aktivitas
berdagang dapat diketahui dari beberapa istilah yang berkaitan dengan
perdagangan yakni pken yang berarti ‗pasar‘, laganing pken yang berarti ‗cukai‘
254 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
atau ‗sewa pasar‘, pamahen pamli, pinta pamli, pinta panumbas yang berarti
‗iuran jual beli‘. Pada mulanya masyarakat Bali Kuno melakukan transaksi jual
beli barang dengan daerah-daerah di sekitarnya, selanjutnya berkembang ke
daerah-daerah yang lebih jauh.
Cara berdagang pada masa Bali Kuno abad IX-XIV Masehi ialah dengan
cara tukar menukar atau barter trade dan dengan pembayaran menggunakan mata
uang. Cara barter dikenal dengan istilah maurup-urup yakni menukarkan barang
dagangan yang dimiliki oleh seseorang dengan barang dagangan orang
lain,sedangkan transaksi dengan mata uang menggunakan satuan mata uang yang
sering disebutkan dalam prasasti yaitu masu (masa suwarna), ma
(masa/masaka),ku (kupang),dansa (saga).
Pada pembahasan selanjutnya akan dicoba untuk mengidentifikasi
beberapa daerah dan pelabuhan yang kemungkinan dijadikan jalur masuk
perdagangan pada masa Bali Kuno abad IX-XIV Masehi dengan menggunakan
metode toponimi. Pemberian namatempat (desa dan pelabuhan) pada masa Bali Kuno
abad IX-XIV Masehi oleh masyarakat berkaitan erat dengan penggunaan bahasa setempat
atau bahasa daerah. Oleh karena itu, maka toponimi menjadi bagian penting untuk
membuka tabir keberadaannya.Penyebutan toponim menunjuk pada suatu objek geografis
tertentu serta bertujuan untuk komunikasi antar sesama manusia atau untuk acuan
sehingga mudah dikenali. Metode toponimi, dipergunakan khususnya dalam usaha
memperkuat pemahaman tentang nama tempat yang ditemukan di dalam prasasti dengan
nama tempat yang sampai sekarang masih dikenal oleh masyarakat Bali. Hal ini dapat
dilakukan karena prasasti-prasasti Bali Kuno abad IX-XIV Masehi menyebut nama
wilayah disertai dengan unsur geografis seperti sungai, bukit, dan laut untuk
mengidentifikasi lingkungan fisiknya.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah prasasti-prasasti
yang dikeluarkan pada masa Bali Kuno abad IX-XIV Masehi.Tahapan kerja
berikutnya adalah pengolahan serta penganalisisan data.Pada tahap ini, data yang
telah dikumpulkan dari prasasti diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Terjemahan kedalam bahasa Indonesia memberi peluang lebih besar dalam
memahami isi atau makna yang terkandung di dalam prasasti. Kemudian data
tersebut dianalisis atau dibahas lebih mendalam.Mengingat data tersebut
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 255
Denpasar, 25-26 September 2018
merupakan data kualitatif, maka agar didapat pemahaman yang lebih
komprehensif, dilakukan interpretasi atau penafsiran data.
II. PEMBAHASAN
2.1 Pelabuhan Pada Masa Bali Kuno Abad IX-XIV Masehi
Data prasasti mengindikasikan adanya sekelompok orang yang melakukan
aktivitas berdagang antar pulau.Data tersebut ditunjukkan dengan adanya istilah
banyaga, yang berarti saudagar atau pedagang.Istilah banyaga telah diketahui dari
prasasti Bebetin AI (818 Śaka/896 Masehi).Berkenaan dengan perdagangan dalam
prasasti tersebut, pada lempeng IIb baris 3-4 disebutkan sebagai berikut.
―anada tua banyaga turun ditu, peneken di hyangapi, parunggahna, ana mati ya
tua banyaga, parduan drbyana prakara, ana cakcak lancangna kajadyan
papagarangen kuta‖ (Goris, 1954a: 55)
Artinya :
Jika ada orang yang berniaga di sana, supaya persembahannya dihaturkan di
Hyang Api. Apabila pedagang itu mati, hendaknya dibagi dualah semua harta
miliknya.Bila perahunya rusak supaya (kayunya) dijadikan pagar benteng.
Berdasarkan prasasti tersebut juga dapat diketahui adanya sebuah desa
bernama Desa Bharu, yang wilayah sebelah utaranya adalah lautan, timurnya
Minanga, selatannya Bukit Manghadang, dan baratnya sungai Batang. Tukad
(sungai) Batang kemungkinan adalah sungai Bangka yang berada dibarat Desa
Kubutambahan sekarang, karena menurut Mardiwasito(1981) batang (watang)
berarti bangkai atau mayat. Adapun bangka(bahasa Bali)berarti mati dan bangke
berarti bangkai atau mayat. Sehingga nama sungai Batang dapat dipersamakan
dengan namasungai Bangka yang ada sekarang. Sedangkan kata Minanga, juga
bisa diartikan sungai. Dengan sendirinya berarti di sebelah timur desa Bharu juga
terdapat sungai, yang kini dikenal oleh masyarakat sebagai sungai Aya. Adapun di
bagian selatan desa Bharu adalah perbukitan.Berikut adalah kutipan prasasti
Bebetin AI (896 M), yang memuat batas-batas wilayah Banwa(desa) Bharu
beserta.
256 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
―simayangna hangga minanga kangin, hangga bukit manghandang kalod, hangga
tukad batang karuh, hangga tasik kadya‖ (Goris, 1954 :54)
Artinya:
Batas-batasnya sampai di Minanga (bagian) timur, sampai di bukit Manghandang
(bagian) selatan, sampai di sungai Batang (bagian) barat, sampai di laut (bagian)
utara.
Berdasarkan kutipan diatas dapat diketahui bahwa daerah pantai di Banwa
Bharu sering disinggahi banyaga (saudagar). Bahkan ada saudagar yang mati di
sana dan perahu yang terdampar dan pecah akan dijadikan pagar. Menurut cerita
masyarakat nelayan setempat,TukadAya pada masa lampau bisa dilalui perahu
dari tepi pantai hingga bagian hulu bahkan sampai di selatan desa Kubutambahan
sekarang.Oleh karena itu, maka wilayah yang dimaksudkan dengan Banwa Bharu
kemungkinan adalah wilayah perkampungan nelayan yang sampai saat ini masih
ada yakni di sebelah utara desa Kubutambahan pada hilir Tukad Aya, di
Kabupaten Buleleng.
Di dalam Prasasti Sembiran B yang dikeluarkan pada tahun 951 Masehi
menyebut tentang sekelompok orang yang tinggal di Desa Julah dan
bermatapencaharian sebagai pedagang dan mungkin sangat terkait dengan
kegiatan pelabuhan.Di dalam prasasti disebut dengan istilah banigrama (saudagar
laki-laki) dan bahinin banigrama (istri saudagar/saudagar wanita).Berdasarkan
prasasti Sembiran B itu pula dapat diketahui bahwa Desa Julah pada masa lalu
telah terdapat pelabuhan laut.Pelabuhan tersebut sudah sangat ramai bahkan telah
terjadi peristiwa perahu, jukung, talaka, lancang yang ditawan oleh masyarakat
Julah.
Keterangan tentang permukiman di Desa Julahditemukan di dalam prasasti
Sembiran AI (844 Śaka/922Masehi).Prasasti ini dikeluarkan oleh Raja
Ugrasena.Berikut adalah batas-batas wilayah Desa Julah berdasarkan kutipan
prasasti Sembiran AI.
―simayangna hangga air lutung karuh, hangga duri(lwa)rlwar kalod, hangga air
hyang kangin, hanggaampuhan kadya‖ (Goris,1954 : 65)
Artinya:
Batas-batasnya, sampai Air Lutung (bagian) barat, sampai Duri Lwarlwar
(bagian) selatan, sampai Air Hyang (bagian) timur, sampai laut (bagian) utara‖
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 257
Denpasar, 25-26 September 2018
Situs Sembiran dan sekitarnya merupakan situs arkeologi yang cukup
penting sebagai bukti permukiman di pesisir utara pulau Bali.Situs tersebut
berasal dari 2000 tahun yang lalu.Di samping sebagai tempat bermukim situs
Sembiran juga berfungsi sebagai tempat persinggahan atau pelabuhan bagi para
pedagang dari luar Bali sejak awal masehi. Ekskavasi arkeologi yang dilakukan di
situs Sembiran oleh I Wayan Ardika sejak tahun 1987 (Ardika 1988;1989) telah
berhasil menemukan fragmen gerabah arikamedu India dengan pola hias rolet.
Berdasarkan prasasti Ujung (1040 M) disebutkannama desa Jung
Hyang/Wujung Hyang. Batas-batas desa Jung Hyang adalah sebagai berikut.
―pinarimandala hinganya wetan hyang ngisung, batu mangalasa, hinganya lor
lengajati, tka ri her lateng, batu palot hamikuk hangulon tka teja wurip, mwang
her hajuling, tka ring her jaranga, hinganya kulon her jaranga, hinganya kidul
sagara..‖ (Ardika, 1998:111-112)
Artinya:
Batas-batas (desanya) batas timurnya Hyang Ngisung, Batu Mangalasa, batas
utaranya Lengajati, sampai di Her Lateng, Batu Palot berbelok ke barat sampai di
Teja Wurip, dan Her Hajuling, sampai di Her Jaranga, batas baratnya Her Jaranga
batas selatanya laut‖
Berdasarkan batas-batas desa Jung Hyang tersebut sangat mungkin adalah
lokasi Desa Ujung di Kabupaten Karengasem sekarang.Desa Jung Hyang
memiliki sebuah pelabuhan laut adapun kutipan prasastinya sebagai berikut.
―lawan yang hana kanya mare jawa, mare gurun saparananya mare desa tara
desantara mamet ngalaparawu salwirnya, tan kna keramaning jung
hyang…‖(Ardika, 1998:112)
Artinya :
Apabila ada penduduk desa yang hendak pergi berlayar ke Jawa, ke Lombok atau
ke desa lainnya, tidak diperkenankan memakai perahu milik desa Jung Hyang.
Dengan adanya peraturan tersebut dapatlah ditafsirkan bahwa di Desa
Jung Hyang pada masa yang lalu terdapat sebuah pelabuhan, yang bisa dipakai
sebagai tempat untuk berangkat menuju ke daerah luar Bali (Jawa dan Gurun)
atau sebagai pelabuhan lokal.
258 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
2.2 Alat Transportasi Laut Dan Komoditi Yang Diperdagangkan
Aktivitas berdagang antar pulau dilakukan dengan menggunakan alat
transportasi berupaperahu, jukung, talaka,dan lancang. Kemahiran membuat alat
transportasi laut dan sejenisnya merupakan petunjuk bahwa masyarakat Bali Kuno
abad IX-XIV Masehiyang tinggal di daerah pesisir adalah masyarakat pelaut yang
juga terlibat dalam pelayaran atau perdagangan antar pulau pada masa itu.
Barang-barang yang diperdagangkan pada masa itu antara lain minyak
kelapa, beras, cabai, kacang hijau, wungkudu (bahan pewarna merah), kain laway
(kain yang dipergunakan oleh kaum perempuan), wdihan (kain yang dipergunakan
oleh kaum laki-laki), gulma, bawang merah, bawang putih, kesumba, dlag, kapas,
sapi, kerbau, babi, kambing, dan barang-barang hasil kerajinan rumah tangga.
III. SIMPULAN
Aktivitas berdagang antar pulau oleh masyarakat Bali Kuno pada abad IX-
XIV dengan daerah sekitarnya telah berlangsung secara intensif karena pada masa
tersebut Bali khususnya Bali Utara posisinya sangat strategis secara geografis.Hal
ini dibuktikan dengan adanya beberapa prasasti Bali Kuno yang menyebut daerah
pelabuhan kuno sebagai pusat transfortasi laut yang menghubungkan masyarakat
Bali Kuno dengan masyarakat di luar Pulau Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Ardika, I Wayan & Sutjiati Beratha, Ni Luh. 1998. Perajin Pada Masa Bali Kuno
Abad IX-XI. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Arsana, I Gusti Ketut Gde. 2014. ―Geografi dan Lingkungan Daerah Bali‖, Raja
Udayana Warmadewa, Ardhana, I Ketut & Setiawan, I Ketut (ed.).
Denpasar : Pustaka Larasan.
Granoka, Ida Wayan Oka, dkk.1985. Kamus Bali Kuna-Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Goris, DR. Roelof. 1954a. Prasasti Bali I. Bandung : NV. Masa Baru.
--------- 1954b. Prasasti Bali II. Bandung : NV. Masa Baru.
Mardiwarsito. L. 1981. Kamus Bahasa Jawa Kuna-Indonesia. Flores : Nusa Indah
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 259
Denpasar, 25-26 September 2018
Mundardjito. 1990. ‖Metode Penelitian Permukiman Arkeologi‖, Monument
Karya Persembahan Untuk Prof. Dr.R Soekmono. Depok : Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Suarbhawa, I Gusti Made dan Sunarya, I Nyoman. 1998. ―Unsur Budaya
Singasari pada Tinggalan Arkeologi di Bali‖, Forum Arkeologi. No. III.
Denpasar : Balai Arkeologi. Hal.72-85.
Suantika, I Wayan.1994-1995. ―Lokasi Beberapa Pelabuhan Laut di Bali Pada
Masa Bali Kuna‖, Analisis Hasil Penelitian Arkeologi.Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 260
Denpasar, 25-26 September 2018
REPRESENTASI BUDAYA JEPANG DALAM SAMPUL NOVEL
TEENLIT INDONESIA
Ni Luh Putu Ari Sulatri, Ni Made Andry Anita Dewi
Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Sampul dalam novel teenlit (teenager literature) merupakan salah satu media
untuk dapat berkomunikasi dan menarik minat pembaca, khususnya remaja yang
menjadi segmen utama dari genre novel ini. Ilustrasi dari sampul menampilkan
hal yang spesifik untuk menargetkan pembaca tertentu, salah satunya adalah
dengan menampilkan unsur budaya Jepang. Dengan mengaplikasikan teori
sinyifikasi dari Roland Barthes untuk mencari makna primer (denotasi) dan
makna sekunder (konotasi) dalam novel 1) Tomodachi (2014); 2) Fuurin (2014);
3) Haru no Sora (2015); dan Momiji (2017) diketahui bahwa representasi budaya
Jepang yang ditampilkan dalam sampul novel teenlit Indonesia mengacu kepada
makna yang berhubungan dengan judul dan struktur cerita yang mengandung
unsur budaya Jepang. Representasi budaya Jepang ditampilkan melalui, 1) bunga
sakura; 2) omamori; 3) fuurin; 4) siswa SMA yang mengenakan seragam sailor
fuku; 5) momiji ; 6) dan karakter huruf Jepang.
Kata kunci: sampul, novel teenlit, budaya Jepang
PENDAHULUAN
Teknik terklasik dalam mengiklankan suatu buku adalah melalui sampul.
Sampul menjadi media komunikasi pertama yang menghubungkan pembaca
dengan buku. Oleh karena itu, ilustrasi sampul dapat menarik minat kelompok
pembaca spesifik dan menjadi salah satu bagian yang mempengaruhi penjualan
buku (O‘Connell, 2010:12-13). Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa di
dalam dunia penerbitan, buku dipandang sebagai sebuah komoditas (Drew dan
Sternberger, 2005: 34).
Untuk menciptakan komoditas yang mampu menarik sebanyak mungkin
pembeli, dalam hal ini pembaca, maka sampul tidak hanya berfungsi sebagai
pembungkus atau pelindung dari buku tetapi juga berfungsi sebagai media visual
yang merepresentasikan isi buku. Pemilihan ilustrasi sampul yang tepat dan sesuai
dapat menjadi pengalaman optik yang menyenangkan sehingga mampu memikat
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 261
Denpasar, 25-26 September 2018
calon pembaca karena manusia cenderung merespon citra visual secara lebih
efektif dibandingkan tekstual (Grabe dan Bucy, 2009:14).
Citra visual yang mampu menarik minat calon pembaca dalam ilustrasi
sampul menjadi hal yang esensial dalam penerbitan novel populer, termasuk di
dalamnya novel teenlit. Sejak tahun 2000-an, teenlit sebagai salah satu genre dalam
novel populer mengalami perkembangan pesat di Indonesia. Secara etimologi, teenlit
berasal dari akronim bahasa Inggris, yaitu teenager ‗remaja‘ dan literature ‗kesusastraan‘.
Jadi dapat dikatakan bahwa teenlit merupakan bahan bacaan yang diperuntukan bagi
remaja (Dewojati, 2010:12). Sebagai salah satu produk budaya populer, novel teenlit
berorientasi kepada pasar dan mementingkan tingkat produksi dan penjualan yang massif
sebagai tolak ukur kesuseksannya.
Guna mendukung kesuksesan penjualan novel teenlit, pihak produsen yang
meliputi pengarang, penerbit, dan distributor, merancang berbagai skema pemasaran,
termasuk di dalamnya menampilkan sampul yang ―eye catching‖ untuk menarik
konsumen, dalam hal ini pembaca, potensialnya. Ilustrasi sampul disajikan semenarik
dan seunik mungkin, salah satunya menampilkan aspek budaya asing, yaitu Jepang.
Untuk dapat memahami representasi budaya Jepang yang ditampilkan dalam sampul
novel teenlit Indonesia maka dalam makalah ini hal tersebut akan dikaji lebih lanjut
dengan menerapkan teori sinyifikasi dari Roland Barthes dengan pencarian makna primer
(denotasi) dan makna sekunder (konotasi) (Zaimar, 2014:24-25).
Novel teenlit Indonesia yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini
adalah 1) Novel Tomodachi karya Winna Efendi yang diterbitkan tahun 2014 oleh
penerbit Gagas Media; 2) Novel Fuurin karya Ghyna Amanda yang diterbitkan
tahun 2014 oleh penerbit Ice Cube Publisher; 3) Novel Haru no Sora karya Laila
Muttaminal yang diterbitkan tahun 2015 oleh penerbit Ice Cube Publisher; dan 4)
Novel Momiji karya Orizuka pada tahun 2017 oleh Penerbit Inari. Keempat novel
teenlit ini meskipun ditulis oleh pengarang Indonesia tetapi menampilkan unsur
budaya Jepang, baik dari segi judul hingga struktur cerita.
PEMBAHASAN
Sampul novel teenlit yang menampilkan representasi budaya Jepang akan
disajikan berikut:
262 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Gambar 1. Sampul Novel Tomodachi Gambar 2. Sampul Novel Fuurin
Gambar 3. Sampul Novel Haru no Sora Gambar 4. Sampul Novel Momiji
Representasi budaya Jepang yang ditampilkan dalam sampul novel teenlit
tersebut adalah sebagai berikut
1. Bunga Sakura
Dua novel teenlit menampilkan bunga sakura dalam ilustrasi sampulnya,
yaitu novel Tomodachi dan novel Haru no Sora. Bunga sakura merupakan bunga
yang sangat identik dengan Jepang. Bagi orang Jepang bunga sakura yang mekar
setahun sekali selama satu hingga dua minggu melambangkan keindahan
sekaligus juga kefanaan (Yoichi dan Gillespie, 2004:43). Pada novel Tomodachi
maupun novel Haru no Sora, bunga sakura pada tahap pertama atau primer
ditampilkan dalam kondisi sedang mekar. Makna konotasi yang ditampilkan
bunga sakura dalam novel Tomodachi mengacu kepada tahap awal alur cerita
yang menggambarkan peristiwa nyugakushiki ‗penerimaan siswa baru‘ di SMA
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 263
Denpasar, 25-26 September 2018
Katakura Gakuen yang digambarkan dalam novel. Nyugakushiki di Jepang
dilaksanakan pada bulan April yang juga merupakan bulan saat bunga sakura
mekar. Pada novel Haru no Sora bunga sakura memiliki makna konotasi yang
berkaitan dengan pemilihan diksi pada judul novel, yaitu ―haru‖ yang berarti
musim semi, yaitu musim yang identik dengan masa bunga sakura mekar.
2. Omamori
Dalam sampul novel Tomodachi menampilkan ilustrasi gambar omamori
atau jimat keberuntungan. Terdapat beragam jenis dan fungsi dari omamori tetapi
omamori yang ditampilkan dalam sampul novel Tomodachi memiliki makna
gakugyou jouju omamori, yaitu jimat yang dipakai oleh kalangan pelajar untuk
kesuksesan ujian sekolah. Ilustrasi gakugyou jouju omamori dalam sampul novel
Tomodachi berhubungan dengan alur cerita novel yang berlatarkan kehidupan
siswa SMA.
3. Fuurin
Ilustrasi gambar fuurin ditampilkan dalam sampul novel yang berjudul
sama, yaitu Fuurin. Fuurin yang ditampilkan berupa lonceng berbahan kaca
dengan tanzaku atau gantungan kertas berwarna biru. Bagi masyarakat Jepang,
fuurin merupakan benda yang identik dengan musim panas. Gemerincing suara
fuurin di musim panas menimbulkan suasana yang menyejukan. Makna fuurin
dalam sampul novel Fuurin mengacuk kepada judul novel dan juga tokoh novel,
yaitu Karina Wijaya atau yang dipanggil dengan ―Rin‖. Nama panggilannya
tersebut menyerupai gemerincing suara fuurin.
4. Siswi SMA yang Mengenakan Seragam Sailor Fuku dengan Sweater
Dalam sampul novel Haru no Sora menampilkan ilustrasi gambar siswa
SMA yang mengenakan seragam khas siswa Jepang atau sailor fuku yang
dilengkapi dengan sweater. Makna konotasi yang ditampilkan mengacu kepada
tokoh utama, yaitu Miyazaki Sora yang merupakan siswa SMA.
264 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
5. Momiji
Momiji merupakan salah satu judul novel teenlit yang mengandung unsur
budaya Jepang. Di dalam sampul novel ditampilkan ilustrasi gambar momiji yaitu
kondisi daun yang berubah warna menjadi kuning, merah, atau jingga pada musim
gugur. Momiji pada sampul novel memiliki makna yang berhubungan dengan
tokoh dalam novel yang bernama Momiji.
6. Karakter Huruf Jepang
Pada sampul novel Tomodachi dan Momiji menampilkan karakter huruf
Jepang, yaitu karakter huruf kanji 友達 yang dibaca Tomodachi pada novel
Tomodachi dan karakter huruf hiragana もみじ yang dibaca momiji. Makna
karakter huruf Jepang pada sampul novel berhubungan dengan isi cerita yang
mengangkat hal yang berhubungan dengan Jepang.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa representasi budaya
Jepang yang ditampilkan dalam sampul novel teenlit Indonesia mengacu kepada
makna yang berhubungan dengan judul dan struktur cerita yang mengandung
unsur budaya Jepang. Representasi budaya Jepang ditampilkan melalui, bunga
sakura, omamori, fuurin, siswa SMA yang mengenakan seragam sailor fuku,
momiji , dan karakter huruf Jepang.
DAFTAR PUSTAKA
Dewojati, Cahyaningrum. 2010. Wacana Hedonisme dalam Sastra Populer
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Drew, Ned dan Sternberger, Paul. 2005. By Its Cover: Modern American Book
Cover Design. New York: Princeton Architectural Press.
Grabe, Maria Elizabeth dan Bucy, Eric Page. 2009. Image Bite Politics. Oxford:
Oxford University Press.
O‘Channell, Kathleen C. 2010. Young Adult Book Cover Analysis. North
Carolina: University of North Carolina Wilmington.
Yoichi, Sugiuchi dan Gillespie, John K. 2004. A Bilingual Handbook on Japanese
Culture. Tokyo: Namme Sha.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 265
Denpasar, 25-26 September 2018
Zaimar, Okke Kusuma Sumantri. 2014. Semiotika dalam Analisis Karya Sastra.
Depok: P.T. Komodo Books.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 266
Denpasar, 25-26 September 2018
AKTIVITAS KEMARITIMAN PADA MASA BALI KUNA
Ni Luh Sutjiati Beratha, I Wayan Ardika
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Temuan arkeologi di Desa Sembiran dan Pacung, Bali Utara menunjukkan
ada hubungan antara Bali, India, Cina, dan Asia Tenggara daratan yang telah
terjadi pada akhir abad ke- dua sebelum Masehi. Pada masa ini kegiatan
kemaritiman dan pertukaran barang-barang mungkin pula terjadi pada area/daerah
tersebut.
Data prasasti dari akhir abad ke- 9 sampai abad ke- 12 menjelaskan regulasi
yang berhubungan dengan kapal-kapal yang karam. Penggunaan kayu-kayu bahan
kapal-kapal yang karam, perlakuan terhadap para pedagang asing yang meninggal
di tempat tersebut, dan penggunaan barang-barang kargo kapal disebutkan pada
prasasti-prasasti tersebut. Pada Prasasti yang berasal dari abad ke- 12 juga
menyebut jenis-jenis transportasi air seperti kapal laut (jong dari Cina) dan
sampan/perahu (bahitra) yang berlabuh di Manasa di pantai utara Bali. Situasi
pelabuhan dan gangguan sosial karena diserang oleh bajak laut juga disebutkan
pada prasasti Bali.
Bali tampaknya menjadi tempat atau rute perdagangan regional yang
menghubungkan India, Asia Tenggara daratan, dan Cina pada masa Bali Kuna
sehingga aktivitas kemaritiman menjadi sangat ramai di pantai utara Bali.
Pendahuluan
Temuan arkeologi di pantai Utara Bali menunjukkan bahwa pulau ini telah
terlibat dalam kegiatan kemaritiman setidaknya sejak 2150 tahun yang lalu. Situs-
situs Sembiran dan Pacung yang merupakan bagian dari pelabuhan kuno Julah
menghasilkan artefak arkeologi terutama keramik India, daratan Asia Tenggara
dan Cina. Selain itu, kaca, manik-manik batu, serta cermin perunggu Han juga
ditemukan di Pangkung Paruk di pantai Barat Laut Bali. Dua fragmen cetakan
untuk pengecoran drum perunggu dan kapak perunggu yang ditemukan masing-
masing di Sembiran (Ardika, 1991, Ardika dan Bellwood, 1991; Calo, et al, 2015).
Penemuan serpihan cetakan menunjukkan bahwa Sembiran juga merupakan pusat
penting dari keterampilan lokal. Munculnya artefak-artefak itu menunjukkan
bahwa pertukaran atau perdagangan jarak jauh atau internasional mungkin telah
terjadi pada awal abad II Sebelum Masehi.
Prasasti Julah dan Sembiran menunjukkan bahwa kegiatan kemaritiman
dan perdagangan terus terjadi di pantai Timur Laut Bali setidaknya dari akhir abad
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 267
Denpasar, 25-26 September 2018
kedua Sebelum Masehi hingga abad XII. Transkripsi Sembiran Al berangka tahun
922 Masehi menyebutkan pasar dan petugas pasar (ser pasar) di Julah. Ketentuan
tentang hal yang dilanggar, dan muatan mereka (taban karang) juga dinyatakan
dalam prasasti (Goris, 1954, Ardika, 1991). Pada prasasti disebutkan bahwa
orang-orang yang tinggal di pemukiman berbenteng (Kuta) di Julah diserang oleh
musuh-musuh mereka (tarahan) dan beberapa dari mereka melarikan diri ke desa-
desa lain.
Makalah ini menjelaskan informasi yang berkaitan dengan aktivitas
kemaritiman di Bali pada masa Bali Kuno dari awal abad X hingga abad XII. Data
yang relevan dari periode selanjutnya juga digunakan dalam makalah ini.
Ketentuan tentang Kapal yang Terdampar (Taban / Tawan karang)
Prasasti Bali dari awal abad X Masehi menyatakan peraturan (Taban
karang) tentang kapal terdampar atau perahu di Bali Utara. Prasasti Sembiran Al
menyatakan bahwa jika ada kapal, perahu, atau kano yang terdampar di wilayah
Julah, yang diketahui oleh penduduk desa, kargo itu harus disumbangkan ke pura
untuk kesejahteraan. Tawanan harus dilaporkan kepada Sang Ratu atau Raja
Ugrasena yang memerintah Bali pada waktu itu. Untuk mempertahankan dan
memperkuat ketentuan, ibadah harus dihaturkan kepada Bhtara Punta Hyang
(Agastya) (Ardika, 1991: 227).
Sejauh ini mengenai Taban atau tawan karang, peraturan-peraturan ini
masih digunakan sampai periode kolonial pada abad XIX dan XX. Pemerintah
Belanda dan Bali telah meratifikasi peraturan tersebut, namun mereka tidak
melaksanakannya dengan benar. Kasus tawan karang di pelabuhan Sangsit di Bali
Utara sebagai pemicu perang Buleleng dan Jagaraga pada 1846 dan 1849, antara
raja Buleleng dan pemerintah Belanda. Kedaulatan Jagaraga, dan awal
kolonialisasi pemerintah Belanda di Bali Utara (Wirawan, 2017).
Fenomena serupa juga terjadi di kerajaan Karangasem dan Klungkung di
Bali Timur dan Selatan. Konflik peraturan tawan karang dari pemerintah Belanda
untuk melakukan ekspedisi militer ke Karangasem dan Kusamba, Klungkung.
Istana Karangasem diduduki oleh Belanda pada 20 Mei 1849. Raja Gusti Gede
Ngurah Karangasem, dan anggota keluarganya berjuang melawannya,
268 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
menyebabkan mereka dibunuh. Klungkung dan Kusamba dapat diduduki oleh
pasukan Belanda pada jam 3 sore pada 24 Mei 1849 (Agung, 1849: 327). Jenderal
Michiels dan pasukannya beristirahat di Istana Kusamba yang digunakan sebagai
markas besar Komandan Jenderal Michels.
Pada tengah malam tanggal 24 Mei atau saat fajar pada tanggal 25 Mei
1849, Dewa Agung Istri Kanya, A.A. Ketut Agung, dan A.A. Made Sangging
berencana untuk menyerang pasukan Belanda. Pada pukul 3 pagi tanggal 25 Mei
1849 tentara Klungkung mencapai target. Ketika peluru ditembakkan, semua
tempat yang telah gelap menjadi terang. Jenderal Michiels bisa terlihat jelas
berdiri dari istana.
Sebuah senjata ditembakkan oleh pasukan Klungkung dan kaki kanan sang
jenderal tertembak, menyebabkan dia terluka. Tulang kaki kanannya terluka parah
(Agung, 1949: 328). Petugas kesehatan menyarankan bahwa dia harus diamputasi,
namun, dia tidak setuju. Dia meminta bahwa dia dibawa ke kapal komando di
mana dia bisa dirawat. Kondisi fisiknya semakin memburuk dan akhirnya, dia
meninggal pada jam 11 malam, pada 25 Mei 1849. Pada tanggal 26 Mei 1849
mayat dibawa oleh kapal perang 'Etna' ke Batavia (Agung, 1989: 328).
Konflik antara Raja Badung dan pemerintah Hindia Belanda dipicu oleh
insiden di mana kapal berbendera Belanda 'Sri Kumala' terdampar di pantai Sanur
yang dikuasai oleh Kerajaan Badung pada 27 Mei 1904. Pemerintah Hindia
Belanda menuntut agar kompensasi sebesar 1,500 untuk penjaga akan dibebankan
kepada Raja Badung. Penduduk setempat tidak membayar kompensasi karena
mereka bersumpah bahwa mereka tidak merampok apa yang telah dibawa kapal
termasuk uang kepeng (koin dengan lubang persegi di tengah). Penolakan Raja
Badung menyebabkan perairan Badung diblokade pada 6 Januari 1905 (Agung,
1989: 5). Pada September 1906 perang berakhir atau Puputan Badung terjadi dan
kerajaan Badung ditaklukkan oleh Belanda.
Praktik hukum tawan karang semakin melemah ketika raja Bali dan
Lombok semakin akrab dengan pemerintah asing terutama pemerintah Belanda
(Wirawan, 2017: 2). Persepsi yang berbeda dari tradisi tawan karang
menyebabkan konflik berdarah dan perang yang melibatkan pemerintah kolonial
Belanda di Bali dan Lombok dari pertengahan abad XIX hingga awal abad XX.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 269
Denpasar, 25-26 September 2018
Sejak abad XIX, tradisi tawan karang juga telah disebut sebagai lembaga
hukum negara-negara tradisional yang tidak hanya dapat ditemukan di Bali dan
Lombok. Menurut van Vollenhoven, lembaga tawan karang juga dapat ditemukan
di kepulauan Tanimbar dan Kalimantan Tengah. Namun, itu didefinisikan dan
diterapkan secara fleksibel.
Peraturan untuk Pedagang Asing
Prasasti Bebetin berangka tahun 896 Masehi menggambarkan ketentuan
tentang barang-barang Banyaga (pedagang pelaut yang meninggal di Banwa
Bharu) (Goris, 1954: 54). Barang-barang dari kargo harus dibagi menjadi dua
bagian, meskipun tidak disebutkan untuk apa kedua bagian itu akan digunakan.
Pada prasasti Bebetin disebutkan juga bahwa kayu dari kapal banyaga yang rusak
digunakan untuk pagar palisade di sekitar pemukiman berbenteng (Kuta) di
Banwa Bharu. Dengan demikian tampak bahwa permukiman berbenteng di Julah
dan Banwa Bharu keduanya dikelilingi oleh pagar kayu atau bambu (Ardika,
1991: 141). Ini juga merupakan karakteristik dari kota-kota di Asia Tenggara
antara abad XV dan XVII (Reid 1980: 242).
Perlu dicatat bahwa istilah Kuta dan ser pasar (petugas pasar) juga
disebutkan dalam prasasti Bebetin Al berangka tahun 896 AD (Goris, 1954: 54).
Banwa Bharu merupakan situs pelabuhan lain di Bali Utara, yang terletak di dekat
desa Sangsit, sekitar 15 km sebelah barat Julah, di mana pelabuhan kecil tersebut
berada.
Dari prasasti Bebetin Al berangka tahun 896 Masehi dan Sembiran Al
berangka tahun 922 Masehi, tidak mungkin menemukan kapal yang rusak dapat
digunakan untuk pagar atau palisade permukiman yang dibentengi di Julah dan
Banwa Bharu.
Jenis-jenis transportasi air
Prasasti-prasasti Bali menyebutkan beberapa jenis transportasi air termasuk
perahu, bahitra, jong, lancang, dan lain-lain. Misalnya, prasasti Sembiran AI
tahun 922 Masehi yang menyebutkan: IIIb. 3 ... yan ada taban karang ditu,
parahu, lancang, jukung, talaka, ... (Ardika, 1991:227; Goris,1954). Yang berarti:
270 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
... apabila ada perahu, kapal, kano dan kano yang tertangkap berdasarkan
ketentuan taban karang di Julah. Berdasarkan prasasti Sembiran AI setidaknya
terdapat empat jenis transportasi air pada jaman itu. Prasasti ini juga menyebutkan
bahwa orang Bali bisa membuat kano atau perahu. Ada beberapa istilah untuk
transportasi air yang telah disebutkan di dalam prasasti Bali Kuna. Istilah-istilah
tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. beberapa istilah transportasi air yang disebutkan dalam prasasti Bali
Kuna
No. Prasasti Bali Namatransportasi air
1 Bebetin Al tahun 896 Masehi Lancang, parahu
2 Sembiran Al tahun 922 Masehi Parahu, lancang, jukung, talaka
3 Sembiran AIV tahun 1065 Masehi Jong, bahitra, parahu
4 Sembiran C tahun1181 Masehi Parawu, jong, banawa
Istilah parahu atau parawu telah disebutkan dalam empat prasasti yaitu
Bebetin AI (896 Masehi), Sembiran AI (922 Masehi), Sembiran AI V (1065
Masehi), dan Sembiran C (1181 Masehi). Istilah perahu atau parawu secara
harfiah berarti perahu (Zoetmulder, 1982:1280). Parahu tampaknya merupakan
transporatsi air tertua yang disebutkan dalam prasasti Bali.
Lancang disebutkan dalam prasasti Bebetin AI (896 Masehi) dan
Sembiran AI (992 Masehi). Lancang secara harfiah berarti perahu kecil
(Zoetmulder, 1982).
Istilah jukung disebutkan dalam prasasti Sembiran AI (922 Masehi).
Jukung berarti kapal kecil atau menggali kano (Zoetmulder, 1982:752). Bahkan
saat ini, jukung masih dibuat dan digunakan oleh orang Bali modern. Mirip
dengan jukung, istilah talaka hanya digunakan disebutkan dalam prasasti
Sembiran AI (922M). Talaka secara harfiah berarti kano.
Istilah Jong disebutkan dalam prasasti dari Sembiran AIV (1065 Masehi)
dan Sembiran C (1181 Masehi). Jong adalah kapal laut (Zoetmulder, 1982: 748).
Hal ini juga terkait dengan kapal khasTiongkok. Istilah bahitra hanya disebutkan
dalam prasasti Sembiran AIV (tahun 1065 Masehi). Istilah ini secara harfiah
berarti perahu atau kapal (Zoetmulder, 1982:188).
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 271
Denpasar, 25-26 September 2018
Istilah banawa disebutkan dalam prasasti Sembiran C (1181 Masehi) yang
secara harfiah berarti perahu atau segala jenis kapal (Ardika, 1991: 262).
Berdasarkan prasasti ini, Julah tampaknya menjadi salah satu dermaga atau
pelabuhan terpenting di Pantai Utara Bali. Kapal khas Tiongkok jong dan kapal
besar mungkin telah berlabuh di Julah pada abad XI dan abad XII Masehi. Selama
Dinasti Song, bangsa Tiongkok juga mengambil bagian dalam perdagangan di
luar daerah Tiongkok.
Pembajakan di Masa Bali Kuno
Kuta atau permukiman berbenteng dan Pasar atau pasar di Julah sering
kali diserang oleh musuh atau bajak laut. Serangan tersebut menyebabkan
gangguan sosial di Julah dan daerah sekitarnya. Situasi ini pertama kali
disebutkan dalam prasasti Sembiran AI tahun 922 Masehi. Prasasti tersebut
menyatakan: Ib… lagi tawan bunin,… ‗mereka terus ditangkap oleh musuh‘…
(Ardika, 1991: 221). Penduduk desa permukiman yang dibentengi di Julah
ditangkap oleh musuh, dan beberapa dari mereka mungkin telah melarikan diri ke
desa lain. Oleh karena itu, raja Ugrasena meminta mereka yang kabur ke desa lain
untuk kembali ke Julah.
Prasasti Sembiran AII tahun tahun 975 Masehi menyebutkan bahwa raja
Sri Janasadhu Warmadewa memberikan hibah berupa lempengan tembaga kepada
petugas pasar di Julah yaitu Ida Kumpi Dyah Damai yang mengumpulkan
penduduk desa Julah dan mereka yang tinggal di sekitar benteng. Banyak dari
mereka yang kembali pada masa pemerintahan Sang Ratu (Raja) yang
dimakamkan di Bwah Rangga (Ardika, 1991:228-233). Prasasti menyebutkan
peraturan tentang hak dan tanggung jawab penduduk desa Julah, dan mereka yang
tinggal di sekitar benteng.
Patut diperhatikan bahwa prasasti Sembiran AIII tahun 1016 Masehi
menandakan bahwa para pejabat desa Julah menghormati Sang Ratu (Ratu) Sri
Sang Ajnadewi. Penduduk desa mengatakan kepada ratu bahwa jumlah keluarga
yang tinggal di Julah sebelumnya adalah 300, tapi tersisa 50 keluarga. Oleh
karena itu, penduduk desa meminta pengurangan pajak kepada Ratu (Ardika,
1991:334).
272 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Atas dasar prasasti-prasasti tersebut tampaknya permukiman berbenteng
dan pasar di Julah diserang dan penduduk desa dibunuh atau ditangkap oleh
musuh atau bajak laut. Serangan ini menyebabkan warga desa Julah melarikan diri
ke desa lain. Ratu atau otoritas pusat memanggil mereka untuk kembali ke Julah.
Sang Ratu memperbarui peraturan dan juga mengurangi pajak bagi mereka yang
tinggal di Julah.
Prasasti Sembiran AIV tahun 1065 M menandakan bahwa petugas desa
Julah berkonsultasi dan memberi penghormatan kepada Paduka Haji atau Raja
Anak Wungsu. Para petugas desa di Julah meminta hibah untuk menuliskan
prasasti mereka pada pelat tembaga, yang merupakan hibah dari raja sebelumnya.
Karena mereka tidak berpikir apa yang tertulis di atas daun lontar akan
dilestarikan untuk masa depan.
Di samping itu, penduduk desa diizinkan untuk menghancurkan pohon
kelapa yang menghalangi, dan menyebabkan kapal perampas yang datang ke
Julah di malam hari tidak terlihat (Ardika, 1991: 247). Pernyataan ini
menunjukkan bahwa otoritas pusat atau raja Anak Wungsu melindungi penduduk
desa Julah dari serangan penjarah atau bajak laut.
Perampokan atau pembajakan, sejauh yang kita ketahui, jelas bahwa
kegiatan mereka menyebabkan gangguan sosial serta ketidakstabilan ekonomi.
Prasasti Sembiran AI, Sembiran AII, Sembiran AIII, dan Sembiran AIV
menunjukan bahwa penduduk desa Julah dibunuh dan ditangkap oleh penjarah,
dan beberapa dari mereka juga melarikan diri ke desa-desa lain. Gangguan sosial
di Julah ini ditangani oleh Ratu atau Raja Bali, peraturan tentang orang-orang
yang tinggal di Julah disebutkan. Dari sudut pandang ekonomi, penjarah atau
bajak laut di Julah tidak hanya membunuh dan menangkap orang, tetapi juga
merampok barang dan bahan mentah di pasar.
Kisah serupa disebutkan dalam prasasti Sawan AI atau Bila I tahun1023
Masehi. Penduduk desa Bila berkurang dari 50 hingga 10 keluarga yang tidak
dapat membayar upeti penuh, jadi mereka harus meminta raja (raja) untuk
pengurangan (Goris, 1954:101-103). Mengapa penduduk desa Bila menurun
jumlahnya tidak disebutkan dalam prasasti.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 273
Denpasar, 25-26 September 2018
Pembajakan mungkin sudah ada di Bali pada masa Bali Kuna sekitar abad
IX hingga abad XI Masehi. Bajak laut menyerang kapal-kapal yang berlabuh dan
pasar di Julah. Mereka membunuh dan menangkap penduduk desa dan merampok
kargo serta barang-barang di situs pelabuhan Julah. Desa pesisir di pantai timur
laut Bali mungkin telah dikuasai oleh bajak laut. Serangan ini menyebabkan
penduduk desa melarikan diri ke desa-desa lain, dan ini secara otomatis
menyebabkan penurunan pada angka jumlah penduduk di desa tersebut.
Kesimpulan
Bali telah terlibat dalam kegiatan kemaritiman sejak zaman prasejarah.
Prasasti Bali dari akhir abad IX hingga awal abad X menunjukan ketentuan terkait
kapal yang terdampar (taban /tawan karang) dan warisan dari pedagang asing
(banyaga) yang meninggal di Kuta atau pemukiman berbenteng di pantai utara
Bali. Peraturan-peraturan ini menunjukan bahwa otoritas pusat atau raja/ratu telah
berhasil mengendalikan wilayah pesisir Bali setidaknya pada akhir abad IX dan
awal abad ke-10. Peraturan taban / tawan karang masih diterapkan hingga abad
XX atau selama masa kolonial. Dengan kata lain, peraturan taban / tawan karang
telah digunakan selama lebih dari 1000 tahun. Peraturan taban / tawan karang
juga memicu konflik dan peperangan antara raja-raja di Bali dan pemerintah
Belanda pada abad X dan abad XX.
Beberapa jenis transportasi air disebutkan dalam beberapa prasasti di Bali
seperti: parahu, lancang, jukung, talaka, jong, bahitra, dan banawa. Istilah-istilah
ini mungkin terkait dengan ukuran dan pengukuran dari transportasi air tersebut.
Pembajakan mungkin sudah ada di Bali atau di Indonesia pada umumnya
pada awal abad X. Permukiman berbenteng atau kuta dan Pasar atau pasar di
Julah diserang oleh perampok atau bajak laut. Penduduk desa dibunuh dan
ditangkap oleh para penjarah, dan beberapa dari mereka melarikan diri ke desa
lain. Penduduk desa yang tinggal di Julah tidak dapat membayar pajak secara
penuh dan mereka meminta pengurangan kepada raja/ratu. Karena itu, raja/ratu
meminta mereka untuk kembali ke Julah.
274 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Pustaka Acuan
Agung, Ide Anak Agung Gde, 1989. Bali Pada Abad XIX. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Ardika, I Wayan. 1991. Archaeological Research in Northeastern Bali, Indonesia.
Disertation. Canberra: Australian National University.
Ardika, I Wayan and Peter Bellwood, 1991. Sembiran: the beginnings of Indian
contact with Bali. Antiquity, 1991. 65: 221-32.
Ardika, I Wayan et.al. 2016. Archaeological Research at the Blanjong Site, Sanur,
Bali. Singapore: Nalanda-Sriwijaya Centre. Archaeology Report Series.
Calo, Ambra, Bagyo Prasetyo, Peter Bellwood, James W. Lankton, Bernard
Gratuze,
Thomas Oliver Pryce, Andreas Reinecke, Verena Leusch, Heidrun Schenk,
Rachel Wood, Rochtri A. Bawono, I Dewa Kompiang Gede, Ni L.K. Citha
Yuliati, Jack Fenner, Christian Reepmeyer, Cristina Castillo & Alison K.
Carter. 2015. Sembiran and Pacung on the norht coast of Bali a strategic
croassoads for early trans Asiatic exchange. Antiquity. 89, 344: 378-396.
Goris, R. 1954. Prasasti Bali I & II. Bandung: Masa Baru.
Reid, Anthony. 1980. ‗The Structure of Cities in Southeast Asia, Fifteenth to
Seventeenth Centuries‘. JSEAS, 11,2: 235-250.
Utrecht, E. 1962. Sedjarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok. (Pertjobaan
sebuah studi hukum internasional regional di Indonesia). Bandung: Sumur
Bandung.
Wirawan, A.A.B. 2017. Tawan Karang Tradition Law and Conflict of Power in
Bali
and Lombok in the Middle of the 19th Century and beginning of the 20th
Century. Denpasar: Faculty of Arts, Udayana University.
Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese English Dictionary. S‘ Gravenhage-Martinu
Nijhoff.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 275
Denpasar, 25-26 September 2018
PENGGUNAAN KENJŌGO
MŌSHIWAKE ARIMASEN DAN MŌSHIWAKE GOZAIMASEN
DALAM DRAMA BERBAHASA JEPANG
Ni Made Andry Anita Dewi, Silvia Damayanti
Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Ragam bahasa hormat (keigo) merupakan ragam bahasa yang digunakan
masyarakat Jepang di berbagai situasi. Peranan keigo di dalam berbagai bidang
pekerjaan menjadikan keigo sebagai salah satu ragam bahasa yang perlu mendapat
perhatian.
Keigo memiliki banyak variasi dalam penggunaannya. Hal ini salah satunya
terlihat dalam dialog drama berbahasa Jepang. Munculnya berbagai variasi keigo
tersebut ditentukan oleh situasi para penutur. Situasi yang dimaksud adalah situasi
penutur di tempat kerja maupun di luar tempat kerja. Selain itu, hubungan antara
penutur juga menentukan variasi keigo yang digunakan tokoh dalam drama.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka penggunaan variasi keigo dalam
drama berbahasa Jepang diangkat dalam makalah ini. Makalah ini bertujuan untuk
mengetahui penggunaan variasi keigo yang dilatarbelakangi dengan berbagai
situasi penutur.
Drama yang digunakan sebagai data dalam makalah ini adalah drama
berbahasa Jepang yang berjudul Natsuko Kira (2016). Drama ini bergenre wanita
karir yang menghadapi berbagai masalah dalam pekerjaan maupun kehidupan
rumah tangganya.
Kata kunci: ragam bahasa hormat, variasi keigo, sonkeigo, kenjogo, teineigo,
bikago
PENDAHULUAN
Bahasa hormat (keigo) merupakan salah satu ragam bahasa Jepang yang
digunakan untuk menyatakan rasa hormat kepada lawan tutur atau orang yang
menjadi topik pembicaraan. Ragam bahasa hormat ini, terbentuk dan digunakan
oleh masyarakat penuturnya sebagai salah satu akibat keberadaan pembedaan
stratifikasi golongan pada zaman Edo. Penggunaan ragam bahasa ini masih
berlanjut sampai sekarang dan cenderung mengalami perkembangan dalam
penggunaannya sehari-hari.
Penggunaan ragam bahasa hormat (keigo) pada awalnya digunakan untuk
membedakan derajat atau posisi seseorang berdasarkan silsilah keluarga
(kebangsawanan). Namun seiring perjalanan waktu dan zaman, penggunaan keigo
276 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
tidak sebatas hanya digunakan penutur untuk membedakan derajat maupun posisi
saja, akan tetapi lebih kepada hubungan atasan bawahan (jōgei kankei), dan
hubungan antara orang sekelompok atau tidak (uchi soto).
Ragam bahasa hormat (keigo) terdiri dari 5 (lima) klasifikasi yaitu:
sonkeigo, kenjōgo I, kenjōgo II, teineigo, dan bikago. Salah satu klasifikasi ragam
bahasa hormat (keigo) yang dibahas dalam makalah ini adalah kenjōgo. Kenjōgo
merupakan salah satu ragam bahasa hormat dengan merendahkan diri yang
bertujuan untuk menghormati lawan tutur atau orang ketiga yang menjadi topik
pembicaraan.
Salah satu ragam kenjōgo yang sering digunakan adalah ungkapan
permintaan maaf. Ungkapan permintaan maaf yang cukup sering digunakan dalam
berbagai situasi adalah mōshiwake arimasen dan mōshiwake gozaimasu. Pada
makalah ini dibahas penggunaan masing-masing ungkapan permintaan maaf
tersebut dalam data yang diambil dari drama berbahasa Jepang yang berjudul
Natsuko Kira yang ditayangkan pada salah satu channel televisi Jepang pada
tahun 2016.
PEMBAHASAN
Berikut merupakan penggunaan kenōjgo untuk menyatakan permintaan
maaf yaitu: mōshiwake arimasen dan mōshiwake gozaimasen yang terdapat dalam
drama Natsuko Kira (2016).
1. Penggunaan Kenjōgo Moshiwake Arimasen
a. Penggunaan Kenjōgo Mōshiwake Arimasen di tempat kerja (perusahaan
sendiri)
Data 1
Kira Natsuko : Moshiwake arimasen. Narubeku hayaku kekka ga dasareru you
ni ganbarimasu.
Kachō : Douzo. Nara, kongetsu ni issha demo ii, shinkyou wo torinasai.
(Natsuko Kira, 2016)
Terjemahan:
Natsuko Kira : Saya minta maaf. Saya akan bekerja keras untuk meraih target
penjualan secepat mungkin.
Kachō : Duduklah. Baik, tanda tangani setidaknya satu kontrak dengan
perusahaan baru dalam bulan ini.
(Natsuko Kira, 2016)
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 277
Denpasar, 25-26 September 2018
Pada situasi di atas, tergambar bahwa Natsuko Kira dianggap tidak
kompeten dalam bekerja sebagai kepala bagian pemasaran (marketing) oleh
direktur perusahaannya (kachō). Natsuko Kira dianggap tidak bisa memenuhi
target penjualan yang dilimpahkan kepada dirinya selaku kepala bagian
pemasaran (marketing). Alasan bahwa Natsuko Kira adalah orang yang baru
dalam bidang pemasaran sehingga tidak bisa mencapai target penjualan iklan,
tidak diterima oleh atasannya. Dalam situasi seperti itu, Natsuko Kira lalu
menyampaikan permohonan maaf atas pencapaiannya yang belum maksimal.
Bentuk permohonan maaf yang digunakan Natsuko Kira adalah ragam kenjōgo
mōshiwake arimasen.
Ungkapan mōshiwake arimasen merupakan salah satu bentuk ragam
bahasa hormat yang termasuk dalam kenjōgo. Dalam bahasa Jepang, ada beberapa
diksi yang digunakan untuk menyatakan permintaan maaf, diantaranya:
gomennasai dan sumimasen. Akan tetapi tokoh Natsuko Kira pada data di atas
memilih ungkapan mōshiwake arimasen daripada dua bentuk ungkapan lainnya.
Hal yang melatarbelakangi Natsuko Kira menggunakan ungkapan tersebut
karena lawan tuturnya adalah seseorang yang memiliki posisi dan jabatan yang
lebih tinggi daripada dirinya, yaitu seorang direktur perusahaan di tempat dirinya
bekerja. Ungkapan permintaan maaf mōshiwake arimasen merupakan salah satu
bentuk ungkapan permintaan maaf ragam formal.
Mōshiwake arimasen pada umumnya digunakan secara lisan pada saat
penutur meminta maaf kepada atasan di perusahaan tempatnya bekerja atau ketika
menjawab panggilan telepon. Salah satu alasan sering digunakannya ungkapan ini
secara lisan adalah karena jumlah karakter dalam ungkapan mōshiwake arimasen
lebih sedikit daripada ungkapan mōshiwake gozaimasen. Selain itu pula,
pengucapan atau pelafalan ungkapan mōshiwake arimasen dapat diucapkan lebih
baik dan jelas dibandingkan ungkapan mōshiwake gozaimasen.
b. Penggunaan Kenjōgo Mōshiwake Arimasen di luar lingkungan tempat
kerja
Data 2
Sakabe : Mōshiwake arimasen.
Naga jikan wo osewa suru no ga hajimete deshita node.
278 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Daiji ni totte, renraku shite shimaimashita.
Sota no : Touzen desu yo. Ayamaranaide kudasai.
otousan
(Natsuko Kira, 2016)
Terjemahan:
Sakabe : Saya minta maaf.
Ini kali pertamaku mengurus anak dalam waktu lama, jadi aku
lebih berhati-hati dan menelepon Anda.
Ayah Sota : Itu hal yang benar untuk dilakukan. Kamu tidak perlu minta maaf.
(Natsuko Kira, 2016)
Latar percakapan yang terjadi pada data 2 berbeda dengan data 1. Pada
data 2, digambarkan percakapan yang terjadi antara suami Natsuko Kira dengan
Sakabe. Sakabe bekerja sebagai pengasuh anak pada keluarga Natsuko Kira. Oleh
karena itu, hubungan antara Sakabe dengan Natsuko Kira dan juga suaminya
adalah hubungan antara pekerja dengan majikan.
Situasi pada data percakapan tersebut adalah bahwa Sakabe sengaja
menelepon suami Natsuko Kira dan memintanya untuk segera pulang ke rumah
dengan alasan Sota (anak Natsuko Kira) sakit. Padahal saat itu, Sato dalam
kondisi tidak sakit. Alasan Sakabe meminta suami Natsuko Kira untuk segera
pulang ke rumah adalah karena ingin menemuinya di saat Natsuko Kira tidak
berada di rumah. Sakabe diam-diam mulai menyukai suami Natsuko Kira.
Sakabe menggunakan kenjōgo mōshiwake arimasen saat berbicara kepada
suami Natsuko Kira untuk menyampaikan permintaan maafnya karena
menghubungi secara tiba-tiba. Hal ini dilatarbelakangi oleh statusnya sebagai
pekerja yang berbicara terhadap atasannya (majikan). Namun karena latar
terjadinya di luar tempat yang sifatnya formal seperti kantor atau perusahaan,
Sakabe lebih memilih penggunaan mōshiwake arimasen daripada mōshiwake
gozaimasen.
2. Penggunaan Kenjōgo Mōshiwake Gozaimasen di Perusahaan Lain
Data 3
Kira Natsuko : Totsuzen mōshiwake gozaimasen.
Tohoku houkoku no kira to mōshimasu.
Owakai no ni, senden hanbai no sekinin-sha wo
nasatterun desu ne.
Senden hanbai no : Ee, uchi wa heaa meeku no nakamatachi ga kyoudou de
sekininnsha kigyou shita kaisha desu.
Shachou hajime, sen’in 35 sai kanojosei desu.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 279
Denpasar, 25-26 September 2018
(Natsuko Kira, 2016)
Terjemahan
Natsuko Kira : Saya minta maaf telah mengganggumu.
Saya Kira dari Toho Advertising. Anda masih muda, tapi
bertanggung jawab untuk semua tugas publisitas.
Penanggungjawab : Ya. Perusahaan kami didirikan oleh beberapa penata gaya.
Mereka semua wanita di bawah 35 tahun, termasuk
presiden direkturnya. (Natsuko Kira, 2016)
Pada data di atas, tokoh Natsuko Kira menggunakan bentuk kenjōgo
mōshiwake gozaimasen untuk menyampaikan permintaan maaf karena tiba-tiba
datang ke sebuah perusahaan kecantikan tanpa membuat janji sebelumnya dengan
tokoh penanggungjawab pemasaran di perusahaan tersebut.
Natsuko Kira secara tidak sengaja menjumpai promosi sebuah perusahaan
kecantikan di sebuah event. Tekanan direktur perusahaan tempat ia bekerja,
memunculkan inisiatifnya untuk mencoba menawarkan kerjasama produksi iklan
kepada penanggungjawab perusahaan kecantikan tersebut. Oleh karena sadar akan
tindakannya yang tidak mematuhi norma dalam bisnis yaitu berkunjung ke suatu
perusahaan tanpa membuat janji, maka Natsuko Kira mengawali percakapan
dengan mengungkapkan permintaan maaf.
Berbeda dengan data sebelumnya, pada situasi ini Natsuko Kira
menggunakan ungkapan mōshiwake gozaimasen dikarenakan tindakannya selain
melanggar norma aturan berbisnis, juga karena lawan tuturnya adalah seseorang
yang bukan dari perusahaannya. Dalam hal ini, konsep uchi soto menyebabkan
Natsuko Kira bertutur demikian. Natsuko Kira tidak dalam wilayah atau
kelompok yang sama (uchi) dengan penanggungjawab perusahaan kecantikan
tersebut, sehingga penggunaan kenōjgo mōshiwake gozaimasen tepat digunakan
olehnya.
Ungkapan mōshiwake gozaimasen merupakan bentuk lain dari ungkapan
permintaan maaf selain mōshiwake arimasen. Pada dasarnya kedua ungkapan
permintaan maaf tersebut sebenarnya memiliki makna yang tidak berbeda, akan
tetapi keduanya memiliki tingkat kesopanan yang sedikit berbeda. Mōshiwake
gozaimasen memiliki derajat kesopanan yang lebih tinggi daripada mōshiwake
arimasen. Hal ini disebabkan adanya perubahan kata ―arimasen‖ yang menjadi
kata hormat dengan cara merendahkan diri melalui penggunaan ―gozaimasen‖.
280 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
mōshiwake arimasen mōshiwake gozaimasen
~arimasen ~gozaimasen
Bentuk ini pada umumnya digunakan pada situasi yang lebih formal
daripada ungkapan mōshiwake arimasen. Ungkapan ini sebenarnya dapat pula
digunakan secara lisan maupun tulisan, akan tetapi lawan tutur maupun situasi
lebih diperhatikan dalam penggunaannya. Lawan tutur yang dimaksud adalah
lawan tutur yang perlu diberikan perlakukan khusus dalam hal ini perlakuan yang
sangat sopan yang pada umumnya adalah mitra bisnis maupun pelanggan demi
menjaga keberlangsungan bisnis. Ungkapan permintaan maaf ini juga sangat
sering digunakan dalam bidang industri pelayanan jasa salah satunya yang
berkaitan dengan perhotelan.
Ada pula situasi penutur menggunakan ungkapan kenjōgo ini kepada
atasannya apabila penutur meminta permohonan yang sangat mendadak atau
dalam situasi meminta konsultasi lanjutan kepada atasannya. Oleh karena situasi
yang cukup merepotkan lawan tutur yang posisinya lebih tinggi, penutur
cenderung memilih ungkapan mōshiwake gozaimasen.
SIMPULAN
Ungkapan permintaan maaf melalui ragam bahasa hormat dengan cara
merendahkan diri untuk menghormati atau menaikkan posisi lawan tutur
(kenjōgo), dapat melalui ungkapan mōshiwake arimasen dan mōshiwake
gozaimasen. Ungkapan permintaan maaf mōshiwake arimasen yang digunakan
oleh tokoh dalam drama Natsuko Kira di atas dapat dituturkan pada situasi (a) di
tempat kerja (perusahaan sendiri) dan (b) di luar lingkungan tempat kerja
(perusahaan). Sedangkan ungkapan permintaan maaf mōshiwake gozaimasen
digunakan pada saat tokoh Natsuko Kira (penutur) berada di perusahaan lain dan
berbicara dengan penanggungjawab perusahaan tersebut.
Ungkapan mōshiwake arimasen dan mōshiwake gozaimasen memiliki
makna yang sama, akan tetapi yang membedakan adalah tingkat kesopanan yang
terkandung dalam kedua ungkapan permintaan maaf tersebut. Mōshiwake
gozaimasen memiliki tingkat kesopanan yang lebih tinggi dibandingkan
mōshiwake arimasen. Oleh karena itu, mōshiwake gozaimasen biasanya
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 281
Denpasar, 25-26 September 2018
digunakan oleh penutur kepada lawan tutur yang tidak dalam satu kelompok,
seperti dalam satu perusahaan yang sama. Mōshiwake gozaimasen pada umumnya
ditujukan kepada lawan tutur yang berada diluar kelompok atau komunitasnya,
karena ada status maupun jarak yang membatasi antara kedua penutur.
DAFTAR PUSTAKA
Djadjasudarma,F. 1993. Metode Linguistik. Bandung: Eresco.
Daniel, Long dan Ohashi, Rie.2013.Nihongo kara Tadoru Bunka.Hosho Daigaku
Kyoiku Shinkokai:Tokyo.
Hendry, Joy.1987.Understanding Japanese Society.Routledge:London and New
York.
Hongo, Yoji.2008. Bijin no Keigo. Tokyo: Takarajimasha Shinsho.
Imai, Tomoko.2009. Keigo Sura Sura Benri Cho. Tokyo: Nihon Noritsu Kyokai
Manejimento Senta.
Kikuchi, Yasuto.1996.Keigo Sainyumon.Tokyo: Maruzen Library.
Kajiwara, Shigeru. 2012. Keigoryaku no Kihon. Tokyo: Nihon Jigyo Shuppansha.
Leech, Geoffrey N. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.
Mizutani, Osamu & Nobuko. 1987. How To Be Polite In Japanese. Tokyo: The
Japan Times.
Matsui, Yoshikazu.1991. Nihon jin no Kangaekata (Nihon ron) e no Annai.
Urawa: The Japan Foundation Jaapanese Language Institute Urawa.
Mahsun,M.S. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Rajawali Pers.
Noguchi, Keiko.2013.Shitsurei na Keigo. Tokyo: Kobunsha.
Noguchi, Keiko.2004. Kanari Kigakanari Nihongo. Tokyo: Shuei Shinsho.
Ooshima, Rika & Jingu, Ritsuko & Kawano, Yoko.2010. Tadashii Keigo: Sono
Mama Tsukaeru Kaiwa rei & Ii kae Pureezu rei. Tokyo:
Shuwasystem.
Rahadi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.
Jakarta: Erlangga.
Suzuki, Takao.1975.Kotoba to Shakai. Tokyo: Chueikoronsha.
Suzuki, Takao.2013.Kotoba to Bunka.Iwanami:Tokyo.
Shimizu, Takafumi. 2013. Chukyu Gakusha no tame no Burasshu Appu Nihongo
Kaiwa. Tokyo: 3anet work.
Wei, Chun‘e.2014. 日本人と外国人日本語学習者の敬語使用に関する考察
dalam jurnal Yamaguchi Kunio Volume 37 halaman 52-64.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 282
Denpasar, 25-26 September 2018
MENCERMATI KEHIDUPAN REMAJA BERMASALAH DI KOTA
DENPASAR-BALI
Ni Made Wiasti, Ni Luh Arjani, I Ketut Kaler
Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Persoalan kenakalan remaja merupakan fenomena yang kompleks dengan
bentuk dan penyebab yang bermacam-macam, sehingga memahami bentuk, dan
penyebab kenakalan remaja sangat penting untuk mengatasi masalahnya. Untuk
mengatasi kenakalan remaja di masyarakat, perlu diadakan kajian agar
mendapatkan data empiris serta gambaran tentang kenakalan remaja di Kota
Denpasar. Aspek-aspek penting yang dikaji adalah: 1) bentuk-bentuk kenakalan
remaja yang ada di Kota Denpasar, 2) hal-hal yang melatari terjadinya kenakalan
remaja di Kota Denpasar, dan 3) cara-cara yang ditempuh sebagai strategi
penanggulangan terhadap masalah kenakalan remaja di Kota Denpasar. Penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif melalui teknik pengumpulan
data dengan observasi dan wawancara. Analaisis data menggunakan análisis
diskriptif interpretatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenakalan remaja di Kota Denpasar
dikelompokan menajadi dua yakni pelanggaran indeks yaitu perilaku kriminal
yang melanggagar hukum, dan pelanggaran status adalah perilaku remaja yang
melanggar hak dan kewajiban dalam statusnya sebagai anak, pelajar, anggota
masyarakat dan status lainnya. Pelanggaran indeks meliputi: pencurian,
penjambretan, pemerasan, penganiayaan, membawa senjata tajam, penggunaan
narkoba, dan melarikan anak gadis. Sedangkan pelanggaran status mencakup:
membolos sekolah, melanggar tata tertib sekolah, merusak infrastruktur sekolah,
kebut-kebutan, merokok dan minum-minum. Faktor-faktor yang melatari
kenakalan remaja ini adalah: rendahnya harapan terhadap sekolah dan nilai-nilai
pendidikan, pengaruh teman sepergaulan dan pengaruh media. Strategi
penanggulangan kenakalan remaja di Kota Denpasar meliputi: penanggulangan
bersifat umum, mencakup: usaha pembinaan pribadi remaja sejak masih dalam
kandungan melalui ibunya, pola pengasuhan anak, pendidikan di lingkungan
sekolah, pendidikan di luar sekolah dan rumah tangga. Sedangkan
penanggulangan bersifat khusus, mencakup: pengawasan, bimbingan dan
penyuluhan dan tindakan represif yakni dengan memberikan sanksi.
Semua usaha penanggulangan tersebut didasarkan atas sikap dan pandangan
bahwa remaja masih dalam proses perkembangan/pertumbuhan menuju
kematangan pribadinya yang membutuhkan bimbingan dari orang dewasa yang
bertanggung jawab.
Kata kunci: mencermati, kehidupan, dan remaja bermasalah
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 283
Denpasar, 25-26 September 2018
1. Pendahuluan
Menangani masalah kenakalan remaja. tentu saja dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Cara yang lazim dilakukan secara resmi adalah dengan
mengadilinya sesuai dengan aturan hukum positif yang berlaku. Tetapi
kenyataannya cara-cara seperti tersebut belum mendatangkan hasil yang optimal.
Di Kota Denpasar, berdasarkan data yang dilaporkan oleh Polsek Denpasar
Selatan, Polsek Denpasar Timur, Polsek Denpasar Barat dan Utara, serta data
yang diperoleh dari 15 SMP dan 14 SMA yang ada di Denpasar, sampai dengan
tahun 2015 remaja yang melakukan perbuatan yang tergolong kenakalan remaja
mencapai angka 3.583 orang. Angka-angka tentang masalah kenakalan remaja
ini tentu belum optimal jika dibandingkan dengan apa yang sesungguhnya terjadi
dan tidak dilaporkan. Sebab kenakalan remaja masih dianggap tabu untuk dibuka
di ranah publik. Kenyataan ini cukup memprihatinkan dan sangat penting untuk
dikaji lebih mendalam.
Tampaknya penting dipahami sudut sosio-kultural terlebih dahulu,
terutama mengenai bagaimana terjadinya kenakalan remaja. Dalam konteks ini,
ada teori antropologi psikologi yang menarik untuk dicermati. Teori itu
dikemukakan oleh Margaret Mead sebagaimana dikutip oleh Danandjaja (1988 :
70-71), menegaskan bahwa kepribadian atau watak manusia merupakan sifat di
dalam organisasi intra-psikis individu anggota suatu masyarakat tertentu, yang
diperoleh karena mengalami cara pengasuhan anak yang sama, di dalam
kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan teori ini, maka dapat
diduga bahwa kenakalan remaja bukan hanya disebabkan oleh persoalan yang
terjadi saat remaja yang bersangkutan berperilaku yang menyalahi aturan. Besar
kemungkinannya kenakalan remaja berakar pada kepribadiannya yang pada
dasarnya merupakan produk sosio-kultural di dalam masyarakat, baik di dalam
lingkup rumah tangga maupun dalam lingkup sosial yang lebih luas, seperti di
sekolah dan di masyarakat luas. Jika teori tentang kepribadian atau watak ini
masih bisa diterima kebenarannya, maka penanganan masalah kenakalan remaja
bisa juga dilakukan melalui pengasuhan anak yang lebih terencana, baik di dalam
rumah tangga maupun di sekolah dan masyarakat luas. Melalui pengasuhan anak
284 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
itulah dilakukan penanaman nilai-nilai budaya yang dianggap relevan untuk
membentuk kepribadian atau watak anak sesuai dengan harapan.
Berdasarkan fenomena di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
mengidentifikasi dan memahami beberapa hal, yakni: Bentuk-bentuk kenakalan
remaja, hal-hal yang melatari terjadinya kenakalan remaja, dan strategi
penanggulangan kenakalan remaja di Kota Denpasar.
2. Metodelogi
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif yang lebih mengandalkan teknik pengamatan, wawancara mendalam,
dan studi dokumen. Dalam upaya mepengumpulan data dan informasi yang
dilakukan melalui langkah-langkah: penentuan lokasi penelitian, penentuan
informan, pengamatan (observasi), wawancara mendalam,dan mendalami
dokumen trkait. Teknik analisis data dilakukan dengan teknik analisis deskriptip
interpretatif.
3. Pembahasan
3.1 Bentuk-bentuk Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja adalah suatu perbuatan yang melanggar norma, aturan,
atau hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada usia remaja atau transisi masa
anak-anak ke dewasa. Menurut Philip Rice dan Gale Dolgin, penulis buku The
Adolescence, dikatakan bahwa sesuai batasan hukum yang berlaku, terdapat dua
kategori pelanggaran yang dilakukan remaja, yakni pelanggaran indeks, dan
pelanggaran status (https://id.wikipedia.org/wiki/Kenakalan_remaja).
Pertama, pelanggaran indeks, yaitu munculnya tindak kriminal yang
dilakukan oleh anak remaja. Perilaku yang termasuk dalam katagori ini di
antaranya adalah pencurian, penyerangan, perkosaan, dan pembunuhan. Di Kota
Denpasar selama 2 tahun terakhir (2016-2017) remaja yang termasuk dalam
kelompok ini adalah mereka yang melakukan tindakan: (1) pencurian dengan
segala bentuknya yaitu: pencurian biasa/cusa sebanyak 20 orang, pencurian
dengan kekerasan/curas (16 orang), pencurian dengan pemberatan/curat (30
orang), pencurian kendaraan bermotor/curanmor (6 orang), (2) penganiayaan (21
orang) , pengeroyokan, pengancaman dan pemerasan ( 6 orang), (3) penjambretan
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 285
Denpasar, 25-26 September 2018
dan membawa senjata tajam (6 orang), (4) melarikan gadis (1 orang), dan (5)
pengguna narkotika (1 orang).
Kedua, pelanggaran status, di antaranya adalah kabur dari rumah,
membolos sekolah, minum minuman beralkohol, perilaku seksual, dan perilaku
yang tidak mengikuti peraturan sekolah atau peraturan yang diberikan oleh orang
tua. Kenakalan remaja yang termasuk dalam kelompok ini selama tahun 2016-
2017, adalah: (1) membolos sekolah (lebih dari lima kali 10 orang, (2) melanggar
tata tertib sekolah (30 orang), (3) merokok di lingkungan sekolah dan di luar
lingkungan sekolah (150 orang), 4) menggunakan minuman karas/beralkohol
penggunaan obat-obat terlarang dan seks bebas (5 orang), dan (5) kebut-
kebutan/trek-trekan dan melanggar jam malam (15 orang).
3.2 Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Kenakalan Remaja
Masa remaja merupakan masa transisi, yang biasa disebut dengan usia
yang tidak menyenangkan, dimana terjadi juga perubahan pada dirinya baik secara
fisik, psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Pada masa transisi tersebut
kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis, yang ditandai dengan
kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Pada kondisi tertentu perilaku
menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang mengganggu (Ekowarni, 1993).
Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif
dan sifat keperibadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai
penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan
dan norma yang ada di masyarakat yang biasanya disebut dengan kenakalan
remaja.
Secara umum hal-hal yang melatari munculnya fenomena kenakalan
remaja di Kota Denpasar dapat dikelompkkan menjadi dua. Pertama, faktor
internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri remaja sendiri, yakni krisis
identitas: Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan
terjadinya dua bentuk integrasi, yaitu: 1) terbentuknya perasaan akan konsistensi
dalam kehidupannya, 2) tercapainya identitas peran. Kenakalan ramaja terjadi
karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua. Seain itu kontrol diri yang
lemah di mana remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku
yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku
286 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
‗nakal‘. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah
laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah
laku sesuai dengan pengetahuannya.
Kedua, faktor eksternal adalah faktor atau hal-hal yang bersumber dari luar
individu atau remaja. Adapun hal-hal tereset adalah: 1) keluarga dan perceraian
orangtua, 2) tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, 3) perselisihan antar
anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Selain itu,
pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak
memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa
juga menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja.
3.3 Dampak Kenakalan Remaja
Dampak kenakalan remaja akan berimbas pada remaja itu sendiri, keluarga
ataupun lingkungan sekitarnya. Dampak kenakalan remaja antara lain: pertama,
mereka akan dihindari atau dikucilkan oleh banyak orang, dengan pengucilan
tersebut mengakibatnya, remaja tersebut akan mengalami gangguan kejiwaan,
namun bukan gila tetapi ia akan merasa dikucilkan dalam hal sosial, merasa sedih
atau justru membenci orang lain.
Kedua, kasus kenakalan remaja mengakibatkan remaja lebih berani
melakukan tindakan kriminal. Tidak hanya untuk pelaku kenakalan remaja,
keluarga juga akan terkena dampak dari kenakalan remaja karena harus
menanggung beban malu akibat perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kenakalan
remaja.
3.4 Penanggulangan Kenakalan Remaja di Kota Denpasar
Menanggulangi persoalan kenakalan remaja bukan merupakan pekerjaan yang
mudah, namun hal ini memerlukan kesabaran dan keahlian dalam pendekatan
terhadap para remaja yang berperilaku nakal. Secara umum Hal yang dapat
dilakukan untuk mengatasi kenakalan remaja, diantaranya: 1) remaja harus
mendapatkan figur orang dewasa yang telah melewati masa remaja dengan baik
sebanyak mungkin, 2) adanya motivasi dari keluarga, guru, teman sebaya untuk
menjalankan point pertama, 3) kemauan orang tua untuk memperbaiki kondisi
keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif dan nyaman bagi
remaja, 4) remaja harus pandai memilih teman dan lingkungan pergaulan yang
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 287
Denpasar, 25-26 September 2018
baik dan orang tua memberi arahan dengan siapa remaja harus bergaul, dan 5)
remaja harus membentuk ketahanan diri agar tidak mudah terpengaruh apabila
teman atau komunitas tidak sesuai dengan harapan.
4. Simpulan
1. Bentuk kenakalan remaja yang terjadi di Kota Denpasar dapat
dikelompokkan menjadi 2 katagori, yakni pelanggaran indeks, dan
pelanggaran status. Jenis kenakalan yang termasuk pelanggaran indeks
adalah pelanggaran hukum, dan pelanggaran status adalah pengingkaran
status sebagai pelajar, anak dan anggota masyarakat.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kenakalan remaja di Kota
Denpasar, adalah: rendahnyaharapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di
sekolah, peranan keluarga, pengaruh teman sepergaulan, pengaruh media.
3. Strategi penanggulangan kenakalan remaja, bersifat umum dan khusus.
Bersifat umum, mencakup: usaha pembinaan pribadi remaja sejak masih
dalam kandungan melalui ibunya, pola pengasuhan anak setelah lahir,
pendidikan dalam lingkungan sekolah, dan pendidikan di luar sekolah dan
rumah tangga. Bersifat khusus, meliputi: pengawasan., bimbingan dan
penyuluhan, serta melakukan tindakan represif sedini mungkin bagi remaja
yang sudah menunjukkan gejala-gejala kenakalan.
5. Daftar Pustaka
Bimo Walgito, 1998. Kenakalan Anak (Juvenile Deliquency). Yogyakarta: Andi
Offset,
Danandjaja, James. 1988. Antropologi Psikologi. Jakarta : CV Rajawali.
Elizabeth, Hurlock, 1997. ―Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Fay, Brian. 2002. Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer. Yogyakarta : Penerbit
Jendela.
Gerungan, 2000. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Gunarsa, (2002). Psikologi perkembangan anak & remaja. Jakarta
: PT. Gunung Mulia
288 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Harton, B. Paul. Sosiologi, Terjemahan Aminudin Ram dan Tita Sobari. PT. Raja
Grafindo,
Koentjaraningrat. 1982.Kebudayaan,Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta : PT
Gramedia.
Koentjaraningrat. 1982. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : BinaCipta.
Koentjaraningrat, 1989. ‖Metode Wawancara‖, dalam Koentjaraningrat (ed)
Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT Gramedia.
Halaman 129-157.
Kusumah, Drs. Mulyana W. Kenakalan Remaja Dalam Perspektif Kriminologi.
Prisma No. 9, 1985.
Lexy J. Moleong, 1989, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung; Remaja Karta
Karya .
Steger, M.B. 2006. Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar. (Penerjemah: Heru
Prasetia). Yogyakarta: Lafadl Pustaka.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi Keempat, 2008. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai
Pustaka.
Wiasti, dkk., 2011. Peranan Banjar Untuk Mendukung Pembangunan Denpasar
Sebagai Kota Budaya. Bappeda Kota Denpasar
Wiasti, dkk., 2012. Peranan Sekaa Untuk Mendukung Banjar Sebagai Pusat
Pengembangan kebudayaan Kota Denpasar. Bappeda Kota
Denpasar.
Sumber Internet
https://id.wikipedia.org/wiki/Kenakalan_remaja
http://www.pelajaran.co.id/2017/22/pengetian-kenakalan-remaja-jenis-bentuk-
penyebab-dan-dampak-kenakalan-remaja.html
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 289
Denpasar, 25-26 September 2018
PENGAJARAN BERBASIS ICT UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN BERBAHASA JEPANG MAHASISWA DALAM KELAS
CHUJOKYU KAIWA
(Studi Kasus Mahasiswa Sastra Jepang, Universitas Udayana)
Ni Putu Luhur Wedayanti, Choleta Palupi Titasari
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
ABSTRAK
Dunia pendidikan sifatnya sangat dinamis, dan dituntut untuk selalu dapat
memenuhi kebutuhan pasar akan kualitas outputnya. Hal ini membuat universitas,
ataupun instansi lainnya senantiasa melakukan penelitian kelas untuk
meningkatkan kompetensi hasil proses belajar mengajar, tidak terkecuali
optimalisasi kemajuan teknologi informasi. Memfasilitasi mahasiswa dengan
materi yang sesuai jaman dan dalam kasus pengajaran bahasa, diberikan materi
yang sesuai dengan realitas, membantu meningkatkan motivasi dan kemampuan
mahasiswa dalam menggunakan bahasa Jepang yang baik dan benar.
Kata kunci : ICT, chujokyu kaiwa
I. PENDAHULUAN
Dewasa ini, teknologi berkembang pesat dan mempengaruhi sebagian besar
kehidupan manusia. Hal-hal yang beberapa dekade lalu merupakan angan belaka,
saat ini malah menjadi hal yang terlalu biasa. Semisal teknologi komunikasi yang
membuat dunia terasa sempit tanpa batas ruang dan waktu. Kemajuan teknologi
komunikasi tidak ketinggalan juga mempengaruhi dunia pendidikan. Pemanfaatan
kemajuan teknologi mulai dioptimalkan dengan dukungan dari pemerintah
terutama disediakannya skim-skim dengan dana yang mencukupi untuk
pengadaan proses belajar mengajar berbasis teknologi pendidikan.
Hanya saja, institusi pendidikan masih belum mengupayakan penyediaan proses
belajar mengajar berbasis teknologi pendidikan dengan memadai. Optimalisasi
konsep student center learning hanya teraktualisasi secara rendah dari segi
kuantitas maupun kualitas. Hal ini berkaitan dengan berbagai kendala di lapangan
menyangkut sarana dan prasarana yang tidak merata maupun faktor dari
pembelajar dan pengajar itu sendiri. Perihal tersebut menjadi tujuan dilakukannya
penelitian ini dengan alasan bahwa mengoptimalkan berbagai sarana yang tersedia
dalam bentuk teknologi komunikasi elektronik, diharapkan mampu meningkatkan
290 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
kemampuan berbahasa mahasiswa, terutama dalam kelas percakapan tingkat
menegah (kelas chujokyu kaiwa).
Penelitian ini merupakan hasil evaluasi dari kualitas output mahasiswa program
studi Sastra Jepang, Universitas Udayana yang sebagian besar masih belum
mampu memenuhi tuntutan pasar. Hanya sebagian kecil mahasiswa yang
memiliki wawasan berbahasa yang layak dan cakap teknologi. Oleh sebab itu,
penelitian yang berbasis teknologi diharapkan mampu meningkatkan motivasi
belajar mahasiswa. Optimalisasi sarana dan prasarana yang tersedia bertujuan
untuk membantu mahasiswa memahami bahasa dan budaya Jepang secara
bersamaan dan berimbang, sehingga nantinya cakap berbahasa Jepang dengan
lebih alami.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dalam mata kuliah chujokyu kaiwa. Mahasiswa semester
empat mahasiswa Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
yang mendapat dua perlakuan yang berbeda, yaitu di awal semester sampai ujian
tengah semester hanya memberikan materi tanpa ada pemaparan media visual
lainnya. Setelah dilakukan pengambilan data selama satu semester, semua data
kemudian dipisahkan per individu. Data yang diperoleh dianalisis
perkembangannya dengan melihat jawaban kuisioner mahasiswa sebagai respon
terhadap teknik pengajaran yang diberikan. Respon tersebut juga dipadankan
dengan hasil evaluasi mahasiswa yang dilakukan secara tertulis maupun yang
dilakukan secara lisan, termasuk juga pengamatan pengajar terhadap
perkembangan ataupun minat pembelajar di tiap pertemuan selama satu semester.
III. PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang menggunakan media ajar
berupa media audio visual di sebagian besar pertemuan tatap muka yang
dilakukan. Bahan ajar yang digunakan disesuaikan dengan buku ajar yang
digunakan yang telah sesuai dengan silabus maupun RPP yang telah ditentukan
oleh pengajar. Buku ajar yang digunakan adalah buku Kaiwa ni Chosen Nihongo
Roleplay. Buku tersebut terdiri dari 22 bab yang dibagi menjadi 15 kali pertemuan
tatap muka. Dari ke-22 bab tersebut, dipilih bab yang paling penting untuk
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 291
Denpasar, 25-26 September 2018
dipelajari dalam memahami kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang. Bab-bab
tersebut adalah :
Pertemuan ke-1 Bab 1 Kurasu de jiko shoukai
Pertemuan ke-2 Bab 3 Sensei wo nomikai ni sasou
Pertemuan ke-3 Bab 4 Sensei no sasoi wo kotowaru
Pertemuan ke-4 Bab 5 Tomodachi wo hagemasu
Pertemuan ke-5 Bab 6 Paatii de shoutaimen no hito to hanasu
Pertemuan ke-6 Bab 7 Denwa wo kakete dengon wo tanomu
Pertemuan ke-7 Bab 10 Kibou no heya wo sagasu
Pertemuan ke-8 UTS
Pertemuan ke-9 Bab 12 Hinichi henko no kyouka wo motomeru
Pertemuan ke-10 Bab 14 Sensei ni teisei wo motomeru
Pertemuan ke-11 Bab 15 Tetsudai wo moshideru
Pertemuan ke-12 Bab 16 Chuumon no machigai wo iu
Pertemuan ke-13 Bab 20 Mensetsu no renshuu wo suru
Pertemuan ke-14 Bab 21 Shingaku ni tsuite oshietemorau
Pertemuan ke-15 Bab 22 Tomodachi to iken wo dashi au
Pertemuan ke-16 UAS
Untuk sumber bahan ajar yang diberikan kepada mahasiswa, dipilih adalah
sumber-sumber yang memberikan materi yang sesuai dengan tema, menarik dan
layak ditampilkan di dalam kelas. Berikut adalah lama-lama resmi yang
digunakan sebagai sumber bahan ajar :
1. https://www.marugoto.org/
2. https://www.erin.ne.jp/
3. https://hirogaru-nihongo.jp/en/
4. https://minato-jf.jp/
5. www.youtube.com, ataupun sumber lainnya.
Pembahasan yang dilakukan, misalnya Pertemuan ke-12 memberikan tema
mengenai memberikan komplain mengenai pesanan salah. Tema ini diberikan
karena tema ini menunjukkan kehidupan sehari-hari masyarakat dimanapun.
Hanya saja, kerap kesulitan menggunakan bahasa Jepang untuk menyampaikan
292 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
komplain agar dipahami dan tetap terlihat santun. Oleh sebab itu, materi ini
diberikan dengan memberikan video saat memesan makanan di restoran. Isi dari
percakapan video berupa cara memesan, dan kemudian mengganti pesanan. Hal
ini membuat mahasiswa tahu cara dan situasi yang tepat menggunakan pola tata
bahasa yang telah dipelajari.
Pertemuan ke-13 memberikan tema untuk melatih wawancara. Tema ini juga
penting karena pada akirnya mahasiwa akan menghadapi wawancara kerja.
Disamping itu, mahasiswa sastra Jepang juga kemungkinan besar akan berkerja di
tempat kerja yang berhubungan dengan kultur Jepang, sehingga sangat penting
mahasiswa tahu mengenai etika saat wawancara. Video yang diperoleh dari
www.youtube.com mengenai perilaku yang baik dan buruk yang dilakukan saat
wawancara, mulai dari teknis memasuki ruangan sampai dari variasi bahasa yang
digunakan. Video ini diperlihatkan sehingga mahasiswa dapat melihat lebih jelas
mengenai praktik tersebut secara riil.
Pertemuan ke-14 memberikan tema mengenai informasi yang diperoleh
mengenai awal masuk kuliah. Cara mencari informasi ini dianggap penting untuk
diajarkan karena mahasiswa diharapkan mampu mencari informasi dengan sopan
dan dapat bertanya dengan baik ketika harus bertanya atau meminta informasi
menggunakan bahasa Jepang. Materi yang diberikan adalah materi mengenai
informasi video pengenalan sekolah yang diterima oleh Erin (tokoh dalam video).
Materi ini diberikan dengan asumsi mahasiswa tahu cara menjelaskan sesuatu,
semisal nantinya mereka menjadi pemandu wisata, mereka tahu caranya
menjelaskan tempat dengan efektif kepada wisatawan.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 293
Denpasar, 25-26 September 2018
IV. SIMPULAN
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemapuan berbahasa asing
mahasiswa sastra Jepang, FIB, Universitas Udayana dengan memanfaatkan
teknologi komunikasi yang tersedia. Media audio visual berupa video ataupun CD
yang memuat mengenai percakapan orang Jepang sehari-hari diutamakan sebagai
pendukung materi yang diberikan. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa,
mahasiswa terlihat lebih tertarik dengan budaya dan penggunaan bahasa Jepang
sehari-hari. Materi yang diberikan yang didukung dengan audio visual
memberikan gambaran lebih riil tentang penggunaan bahasa Jepang. Hal ini
membantu mahasiswa untuk menggunakan bahasa Jepang dengan lebih baik dan
benar, sesuai situasi dan kondisi.
DAFTAR PUSTAKA
Aoki, Kumiko. 2010. The Use of ICT and e-Learning in Higher Education in
Japan. World Academy of Science, Engineering and Technology
International Journal of Educational and Pedagogical Sciences,Vol. 4, No. 6
Mullamaa, Kristina. 2010. ICT in Language Learning- Benefits and
Methodological Implications. International Education Studies (Journal)
Vol.3,No.1
Yunus, Melor Md., Lubis, Maimun Aqsha dan Lin, Chua Pei. 2009. Language
Learning via ICT: Uses, Challenges and Issues. WSEAS Transactions on
Informatioan Science and Applications (Journal)Issue 9, Volume 6, p.
1453—1467.
Zhao, Y. 2003. Recent Development in Technology and Language Learning: A
Literature Review and Meta-Analysis. CALICO Journal, 21 (1): pp. 7—27
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 294
Denpasar, 25-26 September 2018
BENTUK IKONIK KELAUTAN
DALAM
NOVEL SUARA SAMUDRA KARYA MARIA MATILDIS BANDA
Ni Putu N. Widarsini
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk ikonik kelautan dalam
novel Suara Samudra karya Maria Matildis Banda. Sumber datanya berupa novel.
Untuk itu, metode simak digunakan dalam mengumpulkan data yang dibantu
dengan teknik catat. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif analitik
kualitatif berlandaskan teori semiotik Charles Sanders Peirce. Selanjutnya, hasil
analisis disajikan dengan metode informal. Berdasarkan pandangan Charles
Sanders Peirce hasil yang didapatkan adalah pada novel tersebut ditemukan
bentuk ikonik kelautan berupa gambar/ilustrasi dan urutan bagian-bagian kalimat
yang sesuai dengan urutan gerakan yang ditunjuknya.
Kata kunci : bentuk, semiotik, ikonik kelautan
1.Pendahuluan
―Revitalisasi Identitas Melalui Bahasa dan Budaya Maritim‖ adalah tema
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya (SNBB) III 2018. Sesuai dengan tema
SNBB III itu, penulis memilih fokus pada bahasa saja. Pilihan tersebut didasari
oleh pernyataan Rapar (2018:14) bahwa bahasa adalah tanda untuk
mengungkapkan dan menyatakan apa yang kita pikirkan. Pernyataan Rapar
memang benar karena pada dasarnya bahasa merupakan alat untuk
mengekspresikan diri. Dengan bahasa, seseorang dapat merealisasikan isi pikiran
atau pun perasaannya. Begitu juga halnya dengan seorang Maria Matildis Banda
(MMB).
MMB adalah seorang penulis yang ekspresif dan telah menghasilkan
banyak novel. Salah satu novelnya yang dipilih dalam tulisan ini adalah novel
Suara Samudra. Novel ini sangat cocok dengan kata maritim yang ada dalam
tema SNBB III. Kata samudra dalam judul novel menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1995:873) berarti lautan, maritim (1995:631) berarti berkenaan dengan
laut.
Dalam novel Suara Samudra ada banyak hal yang dapat dibahas. Namun,
pada kesempatan ini banyak hal itu tidak memungkinkan untuk dibahas. Tulisan
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 295
Denpasar, 25-26 September 2018
ini hanya membahas bentuk ikonik yang ada dalam novel tersebut. Lebih khusus
lagi pada bentuk ikonik kelautan. Dengan demikian, tujuan penulisan saat ini
adalah untuk mendeskripsikan bentuk ikonik kelautan dalam novel Suara
Samudra itu.
Secara metodologis ada tahapan-tahapan yang dilakukan. Pertama, data
dikumpulkan melalui metode simak dibantu dengan teknik catat. Novel Suara
Samudra sebagai sumber data disimak, kemudian data yang telah terkumpul
dicatat dalam kartu data untuk memudahkan mengklasifikasikannya. Kedua,
analisis data dilakukan dengan metode deskriptif-analitik secara kualitatif, yakni
mendeskripsikan dan menginterpretasi data dilandasi teori semiotik trikotomis
Charles Sanders Peirce, yakni ikon, indeks, dan simbol. Zoest (1990:8)
menyatakan bahwa bahasa sebagai sistem tanda di dalamnya juga tersembunyi
sifat ikonis. Akhirnya, hasil analisis disajikan dengan metode informal.
2. Pembahasan
Novel Suara Samudra yang setebal 482 halaman berisi tujuh bagian.
Setiap bagian menggunakan judul yang berbeda dan setiap bagian memiliki
beberapa judul lagi dengan cara penulisan memakai angka. Ketujuh bagian novel
itu beserta judulnya adalah sebagai berikut.
1) Bagian Pertama : MAWAR PUTIH DI KAKI PELEDANG
1. Surat dari Lamalera
2. Biarkan Aku Pergi, Ibu
3. Selembar Kenangan
4. Namamu Tertulis di Hatiku
5. Sepenggal Doa Untukmu, Kekasihku
2) Bagian Kedua : KLERA LOLO DI ATAS TENA LAJA
6. Akan Selalu Menunggu
7. Ada Cinta di Sana
8. Kuantar Engkau ke Wulan Doni
9. Mata Cinta dan Dendam
3) Bagian Ketiga : SEIKAT LILY DI PANTAI LAMALERA
10. Baleo
11. Langit yang Membuka Rahasia
296 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
12. Apakah Hatimu Melihat
13. Air Susu Ibu
4) Bagian Keempat : KEMBANG JAGUNG DI SUDUT PANTAI
14. Blettu
15. Di Bao Futung Menanti
16. Buri di Malam Sunyi
17. Gurita Malam
18. Jagung Titi di Bawah Pukat
19. Tale Leo
20. Kudengar Seribu Meter di Bawah Air
5) Bagian Kelima : PUCUK BAMBU DI ILE MANDIRI
21. Tali Pertemuan
22. Sesuatu yang Tetap Utuh
23. Pada Haluanmu Kuletakkan Rindu
24. Bayang-Bayang Telapakmu
25. Di manakah Engkau Bapa
26. Langkah-Langkah di Atas Air
6) Bagian Keenam : RANGKAIAN JEPUN DI ANTARA LANGIT DAN BUMI
27. Izinkan Aku Bersandar Padamu
28. Yang Dicatat Waebalun
29. Sebuah Senja di Larantuka
30. Lamafa, dalam Relung Masa Lalu
7) Bagian Ketujuh : AIR MATA IBU, DI SUDUT NAJE
31. Pulang ke Lamalera
32. Dalam Pelukan Inerie
33. Di Hadapan Mata Saksi
34. Kudekap Tanganmu, Bapa
35. Kugenggam Jejakmu
36. Gripe
37. Katakan Apa Salahku
38. Yang Datang dari Gerbang
Setiap judul bagian ditulis pada satu halaman bergambar/berilustrasi yang sama.
Ilustrasi itu merupakan latar untuk menuliskan setiap judul bagian yang terlihat
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 297
Denpasar, 25-26 September 2018
secara jelas. Adapun ilustrasi itu berupa pertemuan langit di bagian atas halaman
dan laut di bagian bawahnya. Tulisan setiap judul bagian ditempatkan di bagian
pertengahan halaman dengan komposisi yang sangat artistik. Keartistikannya
dapat terlihat karena ilustrasinya sangat hidup. Tulisan setiap bagian judul dalam
novel Suara Samudra tersebut berada di atas air laut bagian batas cakrawala.
Ilustrasi pada setiap judul bagian novel Suara Samudra itu adalah sebuah
tanda. Peirce dalam Zoest (1990:8) menyatakan bahwa sebuah tanda yang dapat
menunjukkan denotatumnya melalui kemiripan merupakan tanda yang
menggambarkan, sebuah ikon. Bentuk ikonik kelautan dalam novel Suara
Samudra ini merupakan gambar/ilustrasi yang menggambarkan isi cerita dalam
novel tersebut. Selanjutnya, dalam Zoest juga dinyatakan bahwa bila tanda ikonis
dapat dianggap mendasar, primitif simbol dianggap canggih, berbudaya. Bahasa
bersifat simbolis, paling tidak sebagian besar karena kita telah melihat bahwa
ikonisitas juga bersembunyi dalam bahasa (1990:8).
Urutan bagian-bagian dalam kalimat juga bersifat ikonis, artinya urutan
tersebut sesuai dengan urutan gerakan yang ditunjuknya. Demikian diungkapkan
dalam Zoest (1990:8). Berikut ini disajikan beberapa kalimat yang dikutip dari
novel Suara Samudra.
. . . koteklema yang marah itu berada pada dalam jarak seukuran tale leo,
ketika tadi yang menghubungkan peledang dan tubuh koteklema tampak
tegang dan perahu melaju cepat. Ketika tali mengendor tanda paus naik ke
permukaan peledang pun bergerak perlahan atai diam di tempat. Peledang
oleng di tempat dan tidak bergerak sama sekali dan berserah pada alunan
gelombang . . . . (Suara Samudra, Bagian Keempat : 234).
Kutipan di atas menunjukkan bentuk ikonik kelautan dengan urutan
bagian-bagian kalimat yang sesuai dengan urutan gerakan yang ditunjuknya, yaitu
koteklema ‗paus‘ marah, tubuhnya tegang, dan perahu melaju cepat merupakan
urutan gerakan pertama. Urutan gerakan kedua adalah paus naik ke permukaan.
Urutan gerakan berikutnya adalah peledang ‗perahu‘ oleng di tempat dan tidak
bergerak. Urutan gerakan itulah yang menjadikan daya ikonik pada novel Suara
Samudra, utamanya ikonik kelautan, meski di dalam kalimat itu ada leksikon
bahasa Lamalera.
298 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Perhatikan lagi kutipan berikutnya.
Ikan paus yang sedang menari gemulai kian lama kian dekat. Mata
menatap tajam, tangan menggenggam kuat galah, dan tempuling di
ujungnya. Dengan yakin dia menghentakkan kaki, meloncat, menikam,
dan terjun ditelan samudra raya (Suara Samudra, Bagian Pertama : 9).
Sama halnya dengan kutipan pada Suara Samudra, Bagian keempat : 234,
kutipan di atas ini juga menunjukkan bentuk ikonik kelautan dengan
urutan bagian-bagian kalimat yang sesuai dengan urutan gerakan yang
ditunjuknya. Hal yang sama, yaitu bentuk ikonik kelautan tersebut terdapat
juga pada setiap bagian dari ketujuh bagian yang ada pada novel Suara
Samudra. Sebelumnya sudah dikutipkan yang ada pada Bagian Pertama
dan Bagian Keempat. Berikut ini disajikan beberapa kalimat yang
menunjukkan bentuk ikonik kelautan dengan urutan bagian-bagian kalimat
yang sesuai dengan urutan gerakan yang ditunjuknya pada bagian yang
lain.
1) Peledang Martiva Pukan didandani dengan bendera berwarna-warni.
Didorong ke tengah pasir mendekati pantai, dikelilingi segenap warga dari
seluruh desa Lamalera (Suara Samudra, Bagian Kedua : 89).
2) Anak-anak dari Lamalera A meloncat dari tangga ke tangga turun
melewati Gripe. Semua mereka berlarian ke pantai (Suara Samudra,
Bagian Ketiga : 132).
3) Ile Mandiri melaju melintasi samudra yang kian luas membentang di
kaki langit. Bunyi motor feri lebih keras terdengar sebab sebagian
penumpang sudah mengambil posisi duduk atau tidur yang aman baginya.
Laut tenang . . . . Mereka akan berlayar semalam suntuk . . . (Suara
Samudra, Bagian Kelima : 303).
4) Feri Ile Mandiri merapat ke pantai. Satu per satu penumpang turun ke
perahu sambil membawa barang bawaan. Beberapa perahu datang dan
pergi silih berganti (Suara Samudra, Bagian Keenam : 356).
5) Pagi-pagi benar, Lyra menuju Pantai Lamalera. Dia berjalan di samping
kapel Santo Petrus, memasuki pantai dan berdiri di sisi Martiva Pukan. Ia
melemparkan pandangannya ke lepas pantai yang membentang jauh ke
samudra raya (Suara Samudra, Bagian Ketujuh : 449).
Selain kutipan-kutipan di atas, tautan sintagmatik yang tertulis dalam judul
bagian novel Suara Samudra menggambarkan sebuah ikon juga. Ada bentuk
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 299
Denpasar, 25-26 September 2018
ikonik kelautan dalan judul-judul tersebut. Perhatikan judul setiap bagian itu
berikut ini.
1. Bagian Pertama : Mawar Putih di Kaki Peledang
2. Bagian Kedua : Klera Lolo di Atas Tena Laja
3. Bagian Ketiga : Seikat Lily di Pantai Lamalera
4. Bagian Keempat : Kembang Jagung di Sudut Pantai
5. Bagian Kelima : Pucuk Bambu di Ile Mandiri
6. Bagian Keenam : Rangkaian Jepun di Antara Langit dan Bumi
7. Bagian Ketujuh : Air Mata Ibu, di Sudut Naje
Tautan sintagmatik yang ada pada setiap judul di atas menunjukkan kemiripan
bentuk dengan hubungan sintagmatik secara linguistik sehingga menggambarkan
sebuah ikon kelautan. Tautan sitagmatik yang demikian bersifat ikonis. Jika setiap
judul bagian dari ketujuh bagian novel di atas ditulis : ―Di Kaki Peledang
Terdapat Mawar Putih, Di Atas Tena Laja Terdapat Klera Lolo, Di Pantai
Lamalera Terdapat Seikat Lily, Di Sudut Pantai Terdapat Kembang Jagung, Di Ile
Mandiri Terdapat Pucuk Bambu, Di Antara Langit dan Bumi Terdapat Rangkaian
Jepun, dan Di Sudut Naje Terdapat Air Mata Ibu‖, ikonisitas keberurutan menjadi
hilang.
3. Simpulan
Novel Suara Samudra yang ditulis dalam tujuh bagian memiliki bentuk
ikonik kelautan berupa gambar/ilustrasi. Ilustrasi itu merupakan sebuah tanda
yang menggambarkan isi cerita novel. Pada setiap judul bagiannya terdapat
gambar/ilustrasi yang sama. Tentunya dapat disimak dalam frekuensi yang banyak
karena ilustrasi yang sama berulang mulai dari bagian pertama sampai bagian
ketujuh.
Novel Suara Samudra karya Maria Matildis Banda ini sangat kaya dengan
bentuk ikonik kelautan. Selain berupa ilustrasi pada setiap judul bagian, novel ini
juga memiliki bentuk ikonik kelautan dengan urutan bagian-bagian kalimat yang
sesuai dengan urutan gerakan yang ditunjuknya. Hal itu ditemukan pada kalimat-
kalimat yang disimak dari bagian pertama sampai bagian ketujuh novel Suara
Samudra itu. Tautan sintagmatik pada setiap judul bagian juga menggambarkan
sebuah ikon kelautan sesuai dengan judul novel, yaitu Suara Samudra.
300 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
DAFTAR PUSTAKA
Banda, Maria Matildis. Suara Samudra. Yogyakart: PT Kanisius.
Hoed, Benny H. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Edisi Ketiga.
Jakarta: Komunitas Bambu.
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rapar, Jan Hendrik. 2018. Pengantar Logika: Asas-Asas Penalaran Sistematis.
Cetakan Ke-22. Yogyakarta: PT Kanisius.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua, Cetakan Keempat. Jakarta: Balai
Pustaka.
Zoest, Aart van. 1990. Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik (Terjemahan
Manoekmi Sardjoe). Jakarta: Intermasa.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 301
Denpasar, 25-26 September 2018
TATA CARA PENULISAN DAN FUNGSI SURAT RESMI,
SERTA ANALISIS PERMASALAHAN DALAM PENGGUNAAN
BAHASA INDONESIA
Ni Wayan Arnati
ABSTRAK
Surat sebagai media komunikasi tertulis memiliki tata cara penulisan unsur-
unsur, serta fungsi penting untuk menyampaikan pesan kepada penerima surat.
Tata cara penulisan sebagai aturan-aturan penulisan surat yang lazim digunakan
dalam sebuah instansi, baik negeri maupun swasta. Tata cara penulisan surat
mengandung norma makna dan nilai-nilai berkomunikasi tertulis. Tujuan
penyajian masalah adalah untuk mendeskripsikan dan mengkaji tata cara
penulisan dan fungsi surat, serta penggunaannya dalam bahasa Indonesia. Metode
dan teknik yang digunakan adalah metode dan teknik perolehan data, analisis
data, dan penyajian hasil analisis. Sumber data penelitian ini adalah keseluruhan
kesalahan penulisan surat resmi berbahasa Indonesia. Teori yang digunakan
mengacu pada teori komponen bahasa Langaker (1972: 2); pendapat Ubol (1981:
8) analisis permasalahan adalah deskripsi dan penjelasan yang sistematis
mengenai kesalahan pemakaian bahasa ketika menggunakan bahasa target.
Penulisan surat mengacu pendapat Triharjanto, N.S. (2008). Hasil penelitian
mencakup (1) pendeskripsian tata cara penulisan unsur-unsur dan fungsi surat, (2)
kesalahan pemakaian bahasa Indonesia dalam surat (EYD, kata, kalimat efektif,
dan paragraf), dan (3) kesalahan bentuk dan isi (pesan) surat.
Kata kunci: bahasa, surat-menyurat
I. PENDAHULUAN
Menulis surat bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Lebih-lebih untuk
menulis surat resmi dalam suatu lembaga pemerintahan atau lembaga swasta
sangat diperlukan oleh penulis suatu kepandaian atau keterampilan. Kepandaian
yang dimaksud dalam hal ini adalah seseorang yang bekerja atau bertugas sebagai
pegawai (karyawan) administrasi harus memiliki pengetahuan tentang surat-
menyurat dan terampil membuat surat untuk berkorespondensi dengan
menggunakan bahasa tulis (Indonesia) yang baik dan benar. Di samping itu,
seorang penulis surat (administrator) harus terampil pula merumuskan buah
pikirannya dengan jelas dan mudah dimengerti oleh penerima surat, sehingga
mendapat suatu tanggapan atau reaksi yang menguntungkan. Keberhasilan
komunikasi melalui surat (korespondensi) tergantung pada tata cara penulisan.
Tata cara penulisan surat merupakan aturan-aturan penulisan surat yang lazim
302 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
digunakan dalam sebuah instansi/lembaga tempat seorang administrator bekerja.
Tata cara penulisan surat mengandung makna dan nilai-nilai berkomunikasi secara
tertulis.
Surat sebagai alat komunikasi tertulis. Yang dimaksud dengan komunikasi
atau tata hubungan tertulis adalah proses penyampaian warta/pesan dari penulis
surat kepada orang lain atau penerima surat. Warta atau pesan yang disampaikan
berupa buah pikiran perasan, angan-angan, peristiwa, dan lain-lain yang ingin
disampaikan kepada orang lain sebagai penerima pesan, baik secara lisan maupun
tertulis. Wujud pesan dapat berupa perintah, permohonan, permintaan,
sanggahan, dan lain-lain.
Penulisan surat resmi terutama di lembaga pemerintahan mulai diabaikan
aturan (tata cara) penulisannya. Hal ini disebabkan oleh perkembangan teknologi
modern yang canggih. Dewasa ini, surat-menyurat dapat diakses melalui internet,
seperti hp, tablet, dan laptop. Untuk menekan atau mengurangi kesalahan
penulisan surat perlu dilakukan pembenahan melalui penelitian yang kemudian
hasilnya diabdikan kepada masyarakat, khususnya kepada lembaga, baik lembaga
pemerintah maupun swasta. Penulisan surat terutama surat resmi dalam
berkorespondensi (surat-menyurat) memiliki fungsi penting.
Berdasarkan uraian di atas, dasar pertimbangan penulisan ―Tata Cara
Penulisan dan Fungsi Surat Resmi, serta Analisis Permasalahan dalam
Penggunaan Bahasa Indonesia‖ adalah ditemukan kesalahan penulisan surat resmi
termasuk tata cara penulisannya. Untuk itu, penulis dalam kesempataun ini
menyajikan permasalahan dalam penggunaan bahasa Indonesia dan tata cara,
fungsi penulisan surat resmi.
Masalah yang dikaji dalam tulisan ini dijabarkan seperti berikut.
1) Bagaimana tata cara penulisan surat resmi?
2) Apa sajakah unsur-unsur surat dan fungsinya?
3) Bagaimanakah pemakaian bahasa Indonesia dalam surat resmi mencakup
EYD, kata (pembentukan kata, diksi, dan istilah), kalimat efektif, dan paragraf
yang benar?
4) Bagaimanakah bentuk dan isi surat yang benar?
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 303
Denpasar, 25-26 September 2018
Tujuan pengkajian masalah ini dijabarkan menjadi dua yaitu tujuan umum
dan tujuan khusus. Kedua tujuan itu dijelaskan seperti berikut. Tujuan umum: 1)
dapat mengetahui pikiran seorang penulis surat (administrator) yang dituangkan
dalam surat; 2) hasil penelitian ini dapat dipakai untuk pengabdian kepada
masyarakat, khususnya para administrator di lembaga pemerintah/swasta dan
sebagai bahan pengajaran di perguruan tinggi, khususnya pengajaran surat-
menyurat. Sedangkan, tujuan khusus adalah untuk mendeskripsikan dan mengkaji
data kebahasaan surat resmi, bentuk, fungsi, dan unsur-unsur penulisan surat
resmi.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komponen menurut
Langacker (1972:2) adalah bahasa terdiri dari komponen sintaksis, leksikon, dan
fonem. Komponen ejaan dipakai dalam penelitian ini karena bersumber pada
bahasa tulis. Dengan demikian, penelitian ini mengkategorikan kesalahan ejaan,
kata, kalimat, dan paragraf. Dalam penulisan surat, penulis menggunakan panduan
praktis yang dikembangkan oleh Triharjanto NS (2008) untuk mengkaji cara
penulisan dan bentuk surat. Di samping itu, penulis mengacu pendapat Ubol
(1981:8) analisis kesalahan adalah deskripsi dan penjelasan yang sistematis
mengenai kesalahan pemakaian bahasa, baik secara tertulis maupun lisan ketika
menggunakan bahasa target, karena bahasa dikaji berbentuk paragraf. Teori ini
diterapkan dalam interpretasi data yang dilaksanakan dengan deskripsi dan
penjelasan secara sistematis.
Metode dan teknik penelitian yang digunakan adalah metode dan teknik
perolehan data, analisis data, penyajian hasil analisis (Sudaryanto, 2016:156-157).
Populasi penelitian ini adalah keseluruhan kesalahan pemakaian bahasa Indonesia
pada surat resmi yang dibuat oleh lembaga Universitas Udayana dan fakukltas di
lingkungannya. Pengambilan sampel data bersumber pada Kantor Pusat
Universitas Udayana dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
II. PEMBAHASAN
Pada pembahasan ini, penulis mendeskripsikan dan mengkaji
permasalahan yang dijabarkan pada pendahuluan. Masalah yang dibahas adalah
seperti berikut: 1) bagaimana tata cara penulisan surat resmi; 2) apa sajakah
304 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
unsur-unsur surat dan fungsinya; 3) bagaimanakah permasalahan dan kajian
pemakaian bahasa dalam surat resmi mencakup: ejaan, kata (pembentukan kata,
istilah, dan diksi); 4) bagaimanakah permasalahan bentuk dan isi surat resmi yang
benar. Agar lebih jelas, pembahasan masalah disajikan seperti berikut.
1. Tata Cara Penulisan Surat Resmi
Surat resmi memiliki tata cara penulisan. Tata cara adalah aturan atau
pedoman yang harus diikuti oleh seorang penulis surat atau para administrator di
lembaga atau tempat bekerja. Setiap lembaga (kantor) memiliki aturan penulisan
yang lazim digunakannya.
Aturan penulisan surat resmi secara umum dapat dilihat dari:
a) pemakaian bahasa (media tulis) yang digunakan;
b) isi surat (pesan) yang disampaikan; dan
c) bentuk/format penulisan surat resmi.
Pemakaian bahasa (media tulis) yang digunakan dalam menulis surat resmi
artinya bahwa seorang penulis surat (para administrator) harus menguasai bahasa
yang digunakan. Kalau bahasa Indonesia tulis dipakai sebagai medianya, seorang
penulis surat (administrator) harus menguasai kaidah bahasa tulis atau aturan-
aturan bahasa Indonesia yang berlaku, seperti kaidah tata bahasa, EYD, kata,
kalimat efektif, dan paragraf, serta teks atau wacana. Kesalahan penulisan aturan
bahasa akan menyebabkan kesalahan makna dan berefek pada nilai/kualitas
lembaga pembuat surat.
Penulisan isi surat (pesan) yang disampaikan oleh seorang penulis surat
kepada penerima surat artinya bahwa seorang penulis surat harus menguasai
kedudukan masalah yang diperbincangkan serta latar belakangnya. Selain itu,
pesan yang disampaikan oleh penulis surat harus efektif, praktis, dan efisien.
Pesan atau informasi yang disampaikan bersifat efektif artinya pesan atau
informasi itu sesuai dengan sumber aslinya atau tepat dan benar dapat diterima
oleh pembaca/penerima surat. Pesan (informasi) bersifat praktis artinya surat itu
dapat menyimpan rahasia pesan (informasi) yang disampaikan. Sedangkan, pesan
(informasi) bersifat efisien (ekonomis) artinya penulisan pesan yang disampaikan
kepada penerima surat tidak terlalu banyak menghabiskan biaya.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 305
Denpasar, 25-26 September 2018
Penulisan surat resmi dilihat dari bentuknya berarti bahwa seorang penulis
harus mengetahui teknik pembuatan surat, posisi sebagai pembuat surat,
pemahamaan bidang pekerjaan, serta peraturan-peraturan yang berhubungan
dengan itu. Pengetahuan tentang teknik pembuatan surat artinya seorang penulis
surat harus tahu tentang penggunaan kertas surat, pengetikan surat, dan bentuk-
bentuk surat yang lazim digunakan dalam kantor/lembaga tempat bekerja.
Pengetahuan tentang posisi (kedudukan) sebagai pembuat surat harus
diketahui, misalnya apakah dia sebagai direktur atau kepala bagian, kepala seksi,
dst. Dan kepada siapa yang ditujukan surat tersebut. Sehingga pemakaian bahasa
dalam kata ganti orang harus disesuaikan dan pilihan kata (diksinya) pun
disesuaikan dengan konteks pembicaraan (komunikasi).
Di sisi lain, seorang penulis surat memahami bidang pekerjaannya.
Seorang penulis surat atau para administrator harus memahami bidang
pekerjaannya artinya dia harus tahu, mengerti, dan menerima tugas-tugas di
bidangnya sehingga pekerjaannya itu dapat dijiwai sehingga rasa nyaman akan
muncul. Sikap seorang penulis surat (administrator) seperti ini akan dapat
berkomunikasi/berkorespondensi secara lancar, baik dalam internal lembaga
maupun eksternal lembaga.
2. Unsur-unsur Surat dan Fungsinya
Unsur-unsur surat resmi dalam bahasa Indonesia mencakup 1) kepala
surat/kop surat, 2) tempat dan tanggal pembuatan surat, 3) nomor surat, 4)
lampiran, 5) hal, 6) alamat yang dituju, 7) salam pembuka, 8) paragraf pembuka,
9) paragraf isi, 10) paragraf penutup, 11) salam penutup, 12) jabatan pembuat
surat/penanda tangan surat, 13) tanda tangan, 14) nama penanda tangan, 15) NIP,
16) tembusan. Setiap unsur surat resmi tersebut memiliki fungsi masing-masing.
Berikut dijelaskan fungsi surat seperti di bawah ini.
1) Dalam kepala surat/kop surat, penulis surat biasanya mengisikan logo surat
yang berfungsi sebagai alat pengenal, alat pemberian informasi, dan sebagai
alat promosi atau tanda advertensi (iklan) (Triharjanto, 2009:13). Kepala surat
juga memiliki fungsi penting sebagai identitas lembaga.
2) Tempat dan tanggal surat berfungsi menunjukkan keberadaan surat itu ditulis
dan sebagai bukti kapan surat itu ditulis (Triharjanto, 2009:14). Jika dalam
306 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
kepala surat sudah dicantumkan tempat/alamat surat, penulis surat tidak perlu
menuliskan tempat lagi pada tanggal surat.
3) Nomor surat berfungsi sebagai petunjuk pencatatan bagi petugas administrasi.
Selain itu, surat berfungsi untuk mempermudah pengaturan dan pencarian
surat serta sebagai petunjuk jumlah surat yang keluar dalam satu periode
(Triharjanto, 2009:14).
4) Lampiran berfungsi sebagai petunjuk tentang dokumen yang disertakan
bersama surat. Jumlah lampiran pada setiap surat berbeda tergantung
kebutuhan dan urgensi dari setiap surat (Triharjanto, 2009:15).
5) Hal atau perihal dalam surat berfungsi sebagai (1) intisari secara keseluruhan,
(2) pokok permasalahan untuk diketahui penerima surat, (3) acuan bagi
petugas administrasi (Triharjanto, 2009:15).
6) Alamat yang dituju harus ditulis lengkap dan jelas berfungsi sebagai petunjuk
alamat surat yang dikirim (Triharjanto, 2009:16).
7) Salam pembuka (wacana awal) berfungsi sebagai penghormatan awal kepada
penerima surat (yang dituju oleh penulis surat). Kata-kata yang lazim
digunakan sebagai salam pembuka seperti kata Dengan hormat, Tuan yang
terhormat, Assalamualaikum (Triharjanto, 2009:16).
8) Paragraf pembuka berfungsi sebagai pengantar dari isi surat (paragraf inti
atau pokok) (Triharjanto, 2009:17).
9) Paragraf isi berfungsi untuk menceritakan hal inti (pokok) surat. Paragraf isi
(paragraf penghubung) bisa terdiri dari beberapa paragraf agar hal yang
diceritakan menjadi jelas (Triharjanto, 2009:18).
10) Paragraf penutup berfungsi sebagai menutup isi pembicaraan dalam surat atau
mempertegas bahwa pembicaraan dalam paragraf isi (penghubung) telah
selesai (Triharjanto, 2018:20).
11) Salam penutup berfungsi sebagai pemberian hormat terakhir dari
pembicaraan secara tertulis. Salam penutup sebagai kebalikan salam
pembuka.
12) Jabatan pembuat surat (orang yang menandatangani surat) berfungsi sebagai
petunjuk identitas formal dalam lembaga tempat bekerja.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 307
Denpasar, 25-26 September 2018
13) Tanda tangan dalam surat berfungsi bahwa surat yang dikirim kepada
penerima surat ada yang bertanggung jawab.
14) Nama penanda tangan dan NIP berfungsi bahwa pengirim surat menunjukkan
identitasnya dan memang benar bekerja pada lembaga yang ada pada kepala
surat (kop surat).
15) Tembusan surat yang dikirim berfungsi sebagai bukti surat sudah dikirim dan
untuk inventarisasi (Triharjanto, 2009:12-13).
3. Analisis Pemakaian Bahasa Indonesia dalam Surat Resmi
Bahasa Indonesia dalam surat resmi harus digunakan dengan baik dan
benar. Pemakaian bahasa Indonesia yang baik dalam surat resmi adalah
pemakaian ragam (variasi) bahasa sesuai dengan situasi (formal), situasi, dan
kondisi ketika membuat surat. Pemakaian bahasa yang benar adalah pemakaian
kaidah (tata bahasa) atau aturan-aturan berbahasa tulis dalam surat resmi, seperti
ejaan bahasa Indonesia, kata (pembentukan kata, istilah, dan diksi), kalimat
efektif, dan paragraf. Berikut disajikan contoh kalimat dalam bahasa surat yang
salah kemudian diperbaiki sesuai dengan aturan berbahasa Indonesia yang baik
dan benar.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 309
Denpasar, 25-26 September 2018
Perbaikan dan kajian surat
Data 1
Perbaikan surat
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA Jln. Jendral Sudirman Denpasar, 80232, Telp. 224133, 241929, Fax. 241930
Kampus Bukit Jimbaran, Telp. 701810, Fax. 701810,
e-mail: [email protected]
No. :
Lamp. : -
Hal : Undangan Rapat
Yth. Para Dosen/Pengajar Mata Kuliah Umum (MKU)
pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana
di Denpasar/Bukit Jimbaran
Dengan hormat,
Dengan ini, kami sampaikan undangan sehubungan dengan masa perkuliahan
semester genap T.A. 2016/2017 akan dimulai tgl.6 Februari s.d. 19 Mei 2017.
Untuk itu, kami mengharapkan kehadiran para dosen/pengajar MKU nanti pada:
hari/tanggal : Jumat, 3 Februari 2017;
waktu/pk : 14.00 Wita—selesai;
tempat : Gedung M.M. Lt.III FEB Unud;
acara : Rapat penugasan dosen.
Demikian undangan ini disampaikan. Atas perhatian dan kehadirannya, kami
sampaikan terima kasih.
30 Januari 2017
Hormat kami,
a.n. Dekan
Wakil Dekan I
NI NYOMAN KERTIYASA
NIP 196207171986012001
Tembusan:
1. Dekan FEB
2. Arsip
Logo
Unu
d
310 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Kajian Surat
Dari perbaikan surat (data 1) penulis deskripsikan sebagai berikut.
Berdasarkan unsur-unsur pemakaian bahasa Indonesia, ditemukan kekeliruan dan
kesalahan penulisan surat tersebut.
Dari segi penulisan ejaan ditemukan:
1) penulisan Undangan Rapat diberi garis bawah seharusnya hanya
digarisbawahi pada kata Undangan dan Rapat;
2) penulisan kata Pada dan di- seharusnya ditulis pada karena sebagai kata
penghubung, di- seharusnya tidak diberi tanda penghubung;
3) penulisan tanda baca : (titik dua) yang diikuti uraian diakhiri dengan tanda
titik koma (;). Hal ini ditemukan pada jadwal mengundang pada surat
tersebut;
4) penulisan kata Pebruari seharusnya Februari (KBBI).
Dari segi penulisan kata (diksi) ditemukan:
1) penulisan Kepada Yth. seharusnya hanya ditulis salah satu kata Kepada atau
Yth. karena maknanya sama sehingga penulisan kata tidak mubazir;
2) penulisan di- Tempat seharusnya ditulis di Denpasar/di Bukit Jimbaran karena
FEB berlokasi di dua tempat tersebut agar keberadaannya jelas;
3) penulisan kata berupa singkatan gelar yaitu M M seharusnya ditulis M.M.
(Magister Manajemen).
Dari segi penulisan kalimat efektif ditemukan:
1) penulisan kop surat tersebut sudah lengkap tetapi dalam penulisan tanggal
surat tidak perlu diisi tempat penulisan surat (Denpasar, 30 Januari 2017)
cukup 30 Januari 2017;
2) penulisan kalimat pada paragraf pengantar ditemukan kesalahan seperti
berikut.
Sehubungan dengan masa perkuliahan semester genap T.A. 2016/2017 yang
akan dimulai tanggal 6 Pebruari sampai dengan 19 Mei 2017, …. Uraian ini
sebenarnya adalah paragraf pengantar dalam surat tersebut, tetapi ditulis
menjadi satu dengan paragraf penghubung sehingga fungsi kalimat tersebut
kurang jelas.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 311
Denpasar, 25-26 September 2018
Perbaikannya seperti berikut.
Dengan ini (dengan surat ini), kami sampaikan undangan sehubungan dengan
masa perkuliahan semester genap T.A. 2016/2017. Perkuliahan akan dimulai
tgl. 6 Februari s.d. 19 Mei 2017.
Setiap kalimat harus mengandung unsur subyek, predikat, dan + keterangan.
Kalimat pertama:
Dengan ini (dengan surat ini) berfungsi sebagai keterangan.
Kami berfungsi sebagai subjek (pengirim surat).
Sampaikan berfungsi sebagai predikat.Undangan berfungsi sebagai objek.
Sehubungan dengan masa perkuliahan semester genap T.A. 2016/2017
berfungsi sebagai keterangan.
Kalimat kedua:
perkuliahan sebagai subyek
akan dimulai sebagai predikat
tgl. 6 Februari s.d. 19 Mei 2017 sebagai keterangan.
Dari segi penulisan paragraf ditemukan:
Penulisan surat pada data satu ditemukan kesalahan paragraf pembuka,
penghubung (isi), dan paragraf penutup. Perbaikan paragraf pembuka sudah
dijabarkan di atas dalam kajian kalimat efektif. Paragraf penghubung (isi) harus
ditulis tersendiri terpisah dari paragraf pembuka dan penutup agar isinya jelas.
Demikian pula penulisan paragraf penutup harus ditulis dengan kalimat-kalimat
yang jelas.
Perbaikannya seperti berikut.
Untuk itu, kami mengharapkan kehadiran para dosen/pengajar MKU nanti pada:
hari/tanggal : Jumat, 3 Februari 2017;
waktu/pk. : 14.00 Wita – selesai;
tempat : Gedung M.M. Lt.III FEB Unud;
acara : Rapat penugasan dosen.
Perbaikan paragraf penutup
Demikian undangan ini disampaikan. Atas perhatian dan kehadirannya kami
sampaikan terima kasih.
312 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Kajian kalimat pertama pada paragraf penutup yaitu Demikian berfungsi sebagai
keterangan, undangan ini berfungsi sebagai subjek, disampaikan berfungsi sebagai
predikat. Kajian kalimat kedua yaitu Atas perhatian dan kehadirannya berfungsi
sebagai keterangan, kami berfungsi sebagai subjek dan sampaikan berfungsi
sebagai predikat, dan terima kasih berfungsi sebagai keterangan.
314 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Bentuk dan isi surat
Data 2
Perbaikan surat
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS UDAYANA Alamat : Kampus Unud Bukit Jimbaran Badung, Bali
Telepon (0361) 701954, Fax. (0361) 701907
Laman : www.unud.ac.id
Nomor : 1057/UN.14.1B/TU.01.02/2017 6 Februari
2017
Lamp : Satu gabung
Hal : Sertifikasi Jabatan Arsiparis
Yth. Deputi Bidang Pembinaan Kearsipan
Arsip Nasional Republik Indonesia
di jalan Ampera Raya No. 7 Jakarta 12560
Dengan hormat,
Dengan ini, kami informasikan bahwa dalam upaya menindaklanjuti surat ANRI
no. PK.00.00/3029/2016, tanggal 17 November 2016 perihal Sertifikasi Jabatan
Fungsional Arsiparis 2017.
Berdasarka hal itu, kami mohon untuk diikutsertakan dua orang Arsiparis
Universitas Udayana a.n. 1) I Ketut Redana, S.SOS. dan 2) I Nyoman Subaga,
S.SOS. Kedua biodata calon peserta terlampir.
Demikian informasi ini disampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami
sampaikan terima kasih.
Hormat kami,
Kepala Biro Umum
KETUT AMOGASIDI
NIP
196012311986031009
Tembusan :
1. Wakil Rektor II
2. Arsip
Logo
Unud
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 315
Denpasar, 25-26 September 2018
Kajian Bentuk dan Isi Surat
Bentuk dan isi surat resmi pada data dua ditemukan kesalahan dan
kekeliruan penulisannya. Agar surat tersebut baik dan benar, penulis perbaiki
seperti pada perbaikan surat pada data dua.
Penulisan surat resmi pada data dua dari segi bentuk dapat dikaji sebagai
berikut.
1) Penulisan tempat pembuatan surat tidak perlu diisi karena dalam kop surat
sudah tertera dan lengkap sehingga menjadi mubazir.
2) Penulisan salam pembuka (Dengan hormat,) perlu diisi sebagai tata cara (etika)
berbahasa tulis yang akan dapat menunjukkan kualitas suatu lembaga.
3) Bentuk penulisan surat seharusnya dituangkan pada tiga paragraf yaitu paragraf
pembuka (pengantar), paragraf isi (penghubung), dan paragraf penutup. Yang
dalam hal ini tidak lengkap ditulis.
4) Penulisan salam pembuka harus diikuti salam penutup (Hormat kami,) yang
dalam hai ini tidak dicantumkan (dituliskan).
Berdasarkan isi surat resmi yang ditulis dapat dikaji seperti berikut.
1) Paragraf pembuka (pengantar) belum jelas dijabarkan pada data dua sehingga
mengaburkan makna surat tersebut.
2) Paragraf isi (penghubung) yang mengantar pesan dalam surat sebaiknya ditulis
pada sebuah paragraf isi.
3) Paragraf penutup harus dituangkan secara jelas dalam beberapa kalimat yang
hanya mengandung sebuah ide pokok.
III. SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
Berdasarkan uraian dan kajian tata cara penulisan dan fungsi surat resmi
dapat disimpulkan seperti berikut. Setiap penulis surat resmi, baik untuk lembaga
pemerintah maupun swasta harus menggunakan unsur-unsur surat dan memahami
fungsi surat resmi. Penulisan surat resmi dengan menggunakan Bahasa Indonesia
316 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
ditemukan kesalahan dan kekeliruan, seperti unsur ejaan, kata, kalimat efektif, dan
paragraf. Dari unsur bentuk penulisan surat ditemukan ketidaklengkapan sehingga
melanggar tata cara (etika) berbahasa tulis resmi. Selain itu ditemukan
ketidakjelasan isi surat yang dituangkan dalam paragrap pembuka dan
penghubung.
3.2 Saran
Penulis menyarankan bahwa sebagai konseptor surat harus mengikuti tata
cara (etika) berbahasa tulis resmi agar lembaga yang dipromosikan dinilai positif
dan berkualitas oleh masyarakat penerima surat. Selain itu, konseptor surat harus
mengikuti aturan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, serta harus
mengetahui posisinya sebagai konseptor surat.
DAFTAR PUSTAKA
Akhadiah, M.K., dkk. 1985. Buku Materi Pokok Bahasa Indonesia. UNT 112/2
SKS/Modul 1-3 dan 4-6. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Universitas Terbuka.
Dalman. 2011. Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ichan. 1983. Tata Administrasi Kekaryawanan. Jakarta: Djambatan.
Langacker, Ronald W. 1972. Fundamentals of Linguistic Analysis. New York:
Harcourt Brace Jovanovich.
NS, Triharjanto. 2008. Pedoman Menulis Surat, Cetakan II. Yogyakarta: Hanggar
Kreator.
Pratjihno. 1983. Penuntun Penyusunan Surat Keputusan. Jakarta: Djambatan.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
Razak, Abdul. 1985. Kalimat Efektif, Struktur, Gaya dan Variasi. Jakarta: PT
Gramedia.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Sanata
Dharma University Press.
Sudaryanto. 2016. Cerdas Menulis Karya Ilmiah. Yogyakarta: Sanata Dharma
University Press.
Surono, Ig. 1982. Teknik Membuat Surat. Jawa Tengah: Intan 1982.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 317
Denpasar, 25-26 September 2018
Ubol, Charas. 1981. An Error Analysis of English Compositions by Thai
Students. Singapore: Seameo Regional Language Centre.
Yunisa, Nanda. 2015. Pedoman Umum EYD dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah. Jakarta: Victory Inti Cipta.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 318
Denpasar, 25-26 September 2018
PENINGGALAN ARKEOLOGI
DI WILAYAH DESA ADAT KEMONING
MERUPAKAN PENGARUH CORAK BUDAYA HINDU/INDIA
SEBAGAI AKIBAT HUBUNGAN SECARA MARITIM
Ni Wayan Herawathi
Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Penelitian terhadap tinggalan arkeologi di wilayah Desa Adat Kemoning
bertujuan merekontruksi segala aspek kehidupan (sejarah, tingkah laku serta
proses budaya) masyarakat di masa lampau. Desa Adat Kemoning memiliki
banyak tinggalan maupun nilai budaya/tradisi yang masih dilakukan masyarakat,
antaralain; seperti arca-arca, batu-batu bertuah/batu prasejarah, prasasti dari
tembaga dan rontal, relief-relief pewayangan di tembok, pelinggih-pelinggih kuna,
gerbang (paduraksa dan candi bentar) pura, keris/tombak, dll.
Artefak/tinggalan arcanya cukup banyak, dengan berbagai tokoh yang
diarcakan, antara lain arca-arca trimurti (brahma, wisnu, siwa), arca rsi, arca
bhatara di gumi (wujud leluhur Desa Kemoning mengendarai kuda), arca
telanjang sebagai lambang kesuburan/mohon punya anak, arca panji sebagai
bhatara kesenian (tari dll), arca bhatara/bhatari, arca ganesha, serta yang lainnya,.
Desa Adat Kemoning memiliki banyak pura kuna, antara lain; pura
kahyangan tiga, pura dang kahyangan, pura-pura yang letaknya sebagai penyirang
(timur laut, tenggara, arat laut, serta barat daya), pura-pura kawitan, pura-pura
paibon, serta banyak lagi pelinggih/penyiwian bhatara.
Posisipura-puratersebut yang menunjukkanpolaletak di segala penjuru mata
angin menunjukkan bahwa penataan Desa Adat Kemoning di masa lalu
berdasarkan atas konsep mandala. Mandala adalah konsep wilayah kesucian
dengan batas-batasnya. Kajianatas data–data di atas juga menunjukkan bahwa
aliran yang berkembang di Desa Adat Kemoning adalah aliran Siwa Sidhanta.
Seluruh arca-arca yang dikaji tesebut memilik fungsi yang berbeda-beda,
yaitu ada yang berfungsi sebagai simbol Beliau (sebagai pretime bhatara), sebagai
bagi anarsitektur bangunan, serta ada sebagai arca-arca penjaga (dwarapala).
Seluruharcatersebutmenunjukkandarimasa yang berbeda, yaitu dari masa
pembuatan Bali Kuna akhir, Masa Bali Madya, Masa Gelgel bahkan arca-arca
jaman kolonial. Hal ini berarti masyarakat Kemoning tumbuh dan berkembang
mulai masa-masa itu sampai sekarang. Seluruh corak tinggalan di desa ini sebagai
wujud pengaruh corak budaya Hindu India akibat hubungan antar negara maritim
lainnya.
Keywords; Kemoning, Arkeologi, Inventarisasi, pelestarian.
1. Pendahuluan
Untuk membangun bangsa yang besar maka tidak cukup hanya
pembangunan sektor pisik/material saja, tetapi harus berimbang dengan
pembangunan di bidang mental/budaya, sehingga mampu menumbuhkan karakter
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 319
Denpasar, 25-26 September 2018
bangsa. Menjadikan masyarakatmampu mengenal, memahami, mengembangkan
serta mengimplementasi nilai-nilai budaya luhur bangsanya ke dalam kehidupan
sehari-hari. Sebagaimana yang dilakukan di Desa Adat Kemoning, Klungkung
saat ini. sedang menelusuri jejak-jejak sejarah/budaya kunanya dari masa lampau
sampai masa-masa berikutnya.
Pura Puseh Desa Adat Kemoning, Klungkung sisi barat daya.
Arca-arca, dll di Gedong Pejenengan Pura Puseh Kemoning, Klungkung.
Arca-arca, dll di Gedong Pejenengan Pura Puseh Kemoning, Klungkung.
320 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Adapun pokok permasalahan yang akan dikaji, sebagai berikut:Tinggalan-
tinggal anarkeologi sapa saja terdapat di Desa Adat Kemoning?. Apa fungsi
masing-masing tinggalan tersebut pada zamannya?. Sejak kapan adanya
tinggalan-tinggalan tersebut?, terkait dengan periodisasi
makakapanadanya/keberadaan masyarakat Desa Adat Kemoning tersebut?.
Tujuan pendalaman kali ini bersifat teoritis dan praktis. Tujuan teoritis
adalah untuk menjawab permasalahan yang telah ditentukan. Melalui hasil
penelitian nanti diharafkan mampu menambah perbendaharaan teori atau
peristiwa budaya masa lalu, dalam memperkaya garbha ilmiah arkeologi.
Sedangkan tujuan praktis diharafkan hasil penelitian nanti mampu memberikan
gambaran kekunaan/sejarah atau segala sesuatu tentang Desa Adat Kemoning di
masa lalu.
Dalam usaha memecahkan masalah di atas penulis menggunakan beberapa
cara/metode penelitian, antara lain: Studi Pustaka adalah pengumpulan data dari
literatur/dokumen yang relevan dengan permasalahan. Dengan cara ini
dimaksudkan sebagai pegangan sebelum dan sesudah melakukan penelitian
dilapangan. Studi kepustakaan dapat berupa buku bacaan yang ada di desa,
laporan, dan majalah ilmiah maupun bentuk publikasi lainnya ( Surskhmad, 1981
: 47).Dengan studi kepustakaan diharapkan dapat diketahui konsep mengenai
peninggalan arkeologi/kekunaan yang ada di wilayah Desa Adat Kemoning,
Klungkung tersebut. Observasi dilaksanakan dengan mengamati langsung obyek
penelitian di lapangan. Usaha pengumpulkan data dengan cara ini dilakukan
secara sistematis dengan prosedur yang standart. Dalam observasi ini dilakukan
beberapa cara yaitu pengamatan, pencatatan, pendeskripsian, pemotretan atau bila
perlu juga penggambaran.Deskripsi baik secara kwantitatif maupun kwalitatif
(uraian verbal). Pencatatan (pendeskripsian) terhadap tinggalan arkeologi di
wilayah peneltian nanti baik dalam bentuk, ukuran-ukuran, warna, serta
dilengkapi dengan penggambaran.Wawancaradilakukan secara langsung
bertanya/mencari keterangan pada orang-orang (informan) yang mengetahui
inggalan-tinggalan yang ada di wilayah tersebut.
Pengolahan data dilakukan setelah seluruh data terkumpul, yaitu berupa
analisa, komparatif dan sintesa. Analisa dilakukan terhadap seluruh data yang
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 321
Denpasar, 25-26 September 2018
diperoleh pada tahapan sebelumnya,. baik data primer maupun sekunder
kemudian diolah (dianalisa) baik secara kwantitatif (jumlah) maupun secara
kwalitatif (analisis yang didasari atas isi atau kualitas data), Selain itu dalam
penelitian kali ini penggunaan obyek pembanding (komparatif) mutlak dilakukan
untuk memperkuat dalam sintesa (pengambilan kesimpulan). Sintesa dilakukan
pencetusan konsep baru berdasarkan atas unsur kesamaan di antara seluruh data-
data tersebut, kemudian diambil kesimpulan untuk menjawab tujuan penelitian
ataupun hipotese yang telah ditentukan sebelumnya.
2 Hasil dan Pembahasan
Arca-arca tokoh dewa/bhatara bhatari/leluhur utuh sebanyak 30 buah arca
(sebanyak 26 arca tersimpan di Gedong Pejenengan Pura Puseh Kemoning, 1
buah arca tersimpan di Pura Petingar Kemoning, 2 buah arcadi Pesimpenan
Bhatara Dalem di Pura Puseh Kemoning, serta 1 buah arca di Pura Uluwatu
Kemoning), Arca tidak utuh sebanyak 9 buah di Gedong Pejenengan Pura Puseh
Kemoning, serta 2 buah arca tidak utuh di Pura Petingar, Kemoning. Hampir
seluruh arca ini merupakan arca-arca kuna berdasarkan atas style masa pembuatan
sebelum jaman Gelgel. Keseluruhan arca ini menunjukkan 3 tahapan waktu
pembuatan, yaitu arca-arca yang ukurannya agak besar maka penulis golongkan
ke masa pembuatan Bali Kuna Akhir, kemungkinan abad 12 masehi – 13 masehi.
Sedangkan arca yang stylenya kuna tetapi lebih kecil, seukuran dengan
pretime(simbol beliau)maka penulisgolongkan ke masa Samprangan Gelgel (abad
14 – 16 masehi). Kecuali terdapat Arca Bhatara di Gumi sedang berkuda termasuk
pendamping beliau,serta Arca Acintya yang stylenya dari masa Gelgel.
Kenapa penulis menggolongkan ke masa setelah pemerintahan Raja
Udayana?,sebab jejaknya menunjukkan bahwa leluhur desa ini ingin apa yang
terdapat di Pura Pucak Penulisan, Bangli ada juga di pura-pura di Desa
Kemoning. Selain itu kwalitas bahannya lebih lemah(batu paras/semi andesit)
daripada material arca-arca di Pura Pucak Penulisan dari batu andesit murni/kuat.
Di samping itu juga arca sedikit lebih kecil dari arca-arca yang ada di Puca Pucak
Penulisan, Bangli. Sehingga bisa diinterpretasi bahwa ada jeda/jarak masa
pembuatan arca-arca Pura Pucak Penulisan dengan arca-arca di Desa Kemoning
Klungkung.
322 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Adapun kesesuaian/kesamaan/kemiripan arca-arca tersebut terletak pada
tata busana dan coraknya, sikap tangan dan atribute yang dibawa, apalagi
mahkotanya menunjukkan sejaman serta sikap/mimik semadi dengan mata
setengah terbuka atau yang kelihatan terpejam, tenang. Ketika membayangkan
kesan figur/gaya arca-arca kuna di Desa Kemoning ini menunjukkan
kemiripan/sama dengan figur arca-arca pancuran Goa Gadjah, Gianyar yang juga
sejaman dengan periodisasi arca-arca Pura Pucak penulisan, Bangli (periodisasi
arca-arca Bali menurut Stutterheim). Hal yang mentakjubkan adalah adanya
lingga di Pura Puseh Kemoning yang ada guratannyasebagai simbolis tempat
keluar air,ternyata sama dengan guratan pada lingga yang ada di Pura Pucak
Penulisan, Bangli. Selain itu bentuk arca Ganesha mirip dengan yang ada di Pura
Pucak Penulisan, Bangli. Serta adanya arca Brahma Catur Muka di Gedong
Pejenengan Pura Puseh Kemoning Klungkung, sama persis dengan arca Catur
Muka di Pura Pucak Penulisan, Bangli.
Berdasarkan misteri-misteri tersebut di atas, maka penulis perkirakan
bahwa leluhur Desa Kemoning menjadikan Pura Pucak Penulisan sebagai kiblat
religius mereka. Penulis semakin yakin bahwa masyarakat di Desa Kemoning
sudah ada sejak jaman tidak jauh waktunya/setelah masa Udayana/Penulisan
tersebut, sekitar masa Bali Kuna Akhir/Awal Bali Madya berlanjut ke masa-masa
selanjutnya.
Fungsi arca-arca yang diteliti ini secara keseluruhan menunjukkan
beberapa fungsi, yaitu sebagai arca pretime/simbolis beliau seperti arca-arca di
Gedong Pejenengan Pura Puseh Kemoning, arca Bhatara Bhatari di Pesimpangan
Bhatara Dalem Pura Puseh Kemoning, arca Bhatara/Bhatari di Pura Petingar,
Kemoning serta arca Bhatara di Pura Uluwatu Kemoning, serta yang lainnya yang
digunakan sebagai media ketika memuja beliau. Fungsi arca sebagai
penjaga/dwarapala/kinara-kinari biasanya ada di dekat pintu sebagai pengawal
beliau. Serta arca-arca sebagai patahan/bagian dari arsitektur bangunan, termasuk
seluruh relief yang ada di tembok-tembok penyengker entah bercerita atau tidak
semua itu merupakan arca dalam ukuran 2 dimensi. Biasanya berfungsi sebagai
pengruwat agar tempat suci yang ditempatinya menjadi sakral religius.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 323
Denpasar, 25-26 September 2018
3. KESIMPULAN
Kesimpulannya bahwa pakraman Desa Adat Kemoning sudah ada sejak masa
pemerintahan raja-raja Bali Kuna Akhir/abad 12 – 13 masehi, sejaman dengan
prasasti Celepik, Tojan, Gelgel, sedangkan nama desa yaitu―Kemoning‖dikenal
sejak jaman Gelgel. Berarti nama yang lebih dahulu belum dikenal/tertindih
dengan nama selanjutnya. Nama yang sebelumnya inilah yang selalu menjadi
pikiran bagi penulis untuk selalu ditelusuri, atau memang belum ada namanya.
Jika pakraman di wilayah Kemoning ini sudah ada sejak Bali kuna Akhir/Awal
Bali Madya maka bisa ditafsirkan bahwa kehidupan masyarakat sudah mulai pada
masa-masa sebelumnya, terbukti dari banyaknya terdapat batu-batu bertuah pada
pelinggih pura-pura di Kemoning.Berarti tradisi prasejarah masih dijalankan pada
masa-masa selanjutnya.
Daftar Pustaka
Ardana, I Gusti Gede, 1971 Pengertian Pura di Bali, Proyek Pemeliharaan dan
Pengembangan Kebudayaan Daerah Bali.
Gopinatha Rao, TA, 1971 Element of Bali Ikonography, no.11, part II, Daw
Prenting House, Bombay.
Goris R, 1938 Keadaan Pura-Pura di Bali, diperbanyak oleh IHD Denpasar.
1948 Sejarah Bali Kuna, Percetakan Bali,Singaraja.
Kempers, A.J. Bernet, 1959. Ancient Indonesian Art, Harvard University Press
Cambrigde Massachussett.
Moleong, Lexy J., 2005.MetodelogiPenelitianKualitatif. Bandung :Remaja
Rosdakarya.
Soekmono,1963.Ilmu PurbakaladanSejarah Indonesia. MISI Jilid I, Hal.159-169.
Sttuterheim, W.F, ttOudheden Van Bali, Terjemahan I
GustiNgurahTjakra Hotel Dirga Pura, Denpasar.
.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 324
Denpasar, 25-26 September 2018
PARIWISATA BUDAYA:
MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERIMBANG
ANTARA PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN BALI
Nyoman Reni Ariasri
Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali
ABSTRAK
Industri pariwisata sebagai bentuk kegiatan pembangunan ekonomi di Bali
diberi label Pariwisata Budaya. Bagi sebagian besar orang yang berkecimpung di
dalam pembagunan memandang label tersebut mengandung paradoksal. Ciri
eksploitatif pembangunan ekonomi bertentangan dengan pembangunan
kebudayaan yang bersifat heritage, bersifat pelestarian.
Fenomena perkembangan masyarakat Bali setelah mendapat pengaruh
pengembangan industri Pariwisata menarik untuk diamati. Apakah pengembangan
Pariwisata Budaya merupakan ―pembangunan berlanjut‖ (sustainable
development) di Bali? Di mana pembangunan berlanjut berarti pembangunan yang
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat di masa sekarang tanpa menghambat
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (Tjatera, tth.:1).
Atau dengan kata lain apakah ―Pariwisata Budaya‖ yang dekembangkan di Bali
merupakan pembangunan berimbang antara pembangunan pariwisata dan
kebudayaan Bali?
Karya tulis ini dicoba untuk menganalisis konsep Pariwisata Budaya
sebagai sarana untuk menyeimbangkan pembangunan antara pembangunan
industri pariwisata dengan pembangunan kebudayaan yang sama pentingnya.
Terutama kaitannya dengan identitas masyarakat Bali sebagai masyarakat agraris
yang berhadapan dengan industrialisme yang melekat pada industri pariwisata.
Kata kunci: pariwisata budaya, pembangunan, identitas
1. Pendahuluan
Sejak dahulu, masyarakat Bali dikenal sebagai masyarakat agraris sehingga
kebudayaannya dikenal sebagai kebudayaan agraris. Sebagai masyarakat agraris,
masyarakat Bali telah berhasil mengembangkan sistem pengairan (irigasi) yang
dapat dikatakan sebagai system indigenous (Pitana, 1989:10). Oleh karena itu,
masyarakat Bali pada dasarnya adalah masyarakat dengan mentalitas petani yang
memiliki ciri: (a) homogen dalam pekerjaan dan pandangan; (b) berorientasi pada
masa lampau dengan sedikit variasi orientasi masa kini; (c) menilai tinggi rasa
kekeluargaan dan solidaritas sosial; (c) berkembangnya pandangan bahwa
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 325
Denpasar, 25-26 September 2018
manusia tunduk pada alam dan atau mencoba hidup selaras dengan alam; serta (d)
berada dalam kondisi ekonomi substantif (Triguna, 2003: 2).
Ciri-ciri masyarakat agraris tersebut melekat sebagai identitas masyarakat
Bali dalam kurun yang sangat panjang. Namun, sejak pariwisata berkembang
menjadi andalan pengembangan ekonomi, ciri masyarakat agraris yang melekat
sebagai identitas masyarakat Bali mulai memudar. Dalam keadaan demikian
masyarakat Bali ada dalam transisi antara masyarakat dengan kehidupan
perekonomian sektor pertanian sebagai mata pencaharian pokok dengan
pengembangkan pariwisata. Dengan kata lain, masyarakat Bali ada dalam
tegangan antara tetap mempertahankan diri sebagai masyarakat tradisional (yang
agraris), mengembangkan diri menjadi masyarakat modern (dengan memilih
industri jasa pariwisata), atau menggabungkan keduanya dalam keselarasan.
Menurut Nehen (1994:93), terjadi transformasi ekonomi berupa loncatan
masyarakat primer (pertanian) ke masyarakat tersier (pariwisata) di Bali.
Apabila dilihat dari prioritas pembangunan perekonomian Bali yang
dicanangkan pemerintah sudah jelas bahwa sektor pertanian dan pariwisata
menjadi andalan (Wiranatha, 2003:14). Secara teoretis kedua sektor itu dari segi
tipologi masyarakatnya telah menampakkan ketegangan antara masyarakat
tradisional (pertanian) dan sektor modern (pariwisata).
Pembangunan perekonomian seperti itu memang diharapkan memberikan
pertumbuhan yang seimbang kepada ketiga sektor perekonomian (pertanian,
pariwisata, dan kerajinan) yang menjadi basis kegiatan perekonomian masyarakat
Bali hingga kini. Pertumbuhan salah satu sektor akan dapat menarik sektor
lainnya karena ketiga sektor perekonomian tersebut memiliki hubungan ―back
and forward‖ yang amat erat. Banyak ahli meyakini bahwa teori keseimbangan
ketiga sektor tersebut dapat diterapkan. Namun demikian, banyak pula yang
memiliki pandangan yang berbeda, khususnya mengenai keterkaitan antara sektor
pariwisata dan pertanian. Hermans (1981), Winpenny (1982), dan Mickler (1994)
percaya bahwa bila sektor pariwisata semakin berkembang pada suatu daerah
yang sebelumnya mengandalkan sektor pertanian, maka akan sangat mungkin
terjadi sektor pertanian yang sebelumnya menjadi urat nadi kehidupan
perekonomian akan mati secara perlahan. Hal ini disebabkan beberapa hal, antara
326 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
lain peralihan tataguna lahan, peralihan tenaga kerja sektor pertanian ke sektor
pariwisata, dan peralihan suplai air dari industri pertanian ke industri pariwisata.
Perubahan dan dinamika merupakan suatu ciri yang sangat hakiki dalam
masyarakat dan kebudayaan. Adalah suatu fakta tak terbantahkan, bahwa
―perubahan‖ merupakan suatu fenomena yang selalu mewarnai perjalanan sejarah
setiap masyarakat dan kebudayaannya. Tidak ada suatu masyarakatpun yang statis
dalam arti yang absolut (Pitana, 1994:3).
2. Pembangunan Pariwisata sebagai Fenomena Perubahan Sosial di Bali
Kajian teoretik mengenai ―perubahan sosial‖, menurut Marx, Weber, dan
Durkheim sudah sangat dikenal di Eropa sejak beberapa abad yang lalu.
Pandangan-pandangan mereka kemudian menjadi ―mainstream‖ kerangka
berpikir bagi sosiolog-sosiolog setelah era mereka berakhir (Wiryohandoyo,
2002:57—59).
Seperti dinyatakan oleh Storey (2003:172—173), perubahan sosial
mengimplikasikan tingkat konsensus yang tinggi. Ini berarti, masyarakat tidak
sedang berada dalam situasi tanpa konflik. Pada dasarnya perubahan sosial
diperlukan untuk membatasi konflik dan menyalurkannya pada saluran yang aman
secara ideologis. Di dalam hal ini perlakuan yang dilakukan oleh kelas atau
kelompok dominan untuk mengatasi konflik tiada lain kecuali memelihara dan
mempertahankan perubahan sosial dan mempertahankannya secara terus-menerus
dengan memberi konsesi pada kelas atau kelompok subordinatnya.
Menurut Mc. Kean (1973:26), Pariwisata adalah satu rangkaian di dalam
tradisi modern:
―Tourism is very much a part of the modern tradition, but it is
built on the foundation laid during the little and great tradition,
without which it would never been started and without which it
will not florish in the future‖.
Pandangan Mc. Kean tersebut sejalan dengan keadaan masyarakat Bali yang
telah memasuki Pariwisata dalam kurun waktu cukup lama, berada dalam stigma
antara kebudayaan modern (pariwisata) dengan kebudayaan tradisional (petani).
Masyarakat Bali yang pada dasarnya adalah masyarakat agraris mengalami
perubahan sosial akibat dominasi pariwisata yang lebih menjanjikan peningkatan
taraf hidupnya. Di sini tampak Pariwisata apabila dianalogikan sebagai
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 327
Denpasar, 25-26 September 2018
―kelompok penguasa‖ yang dominan di dalam suatu masyarakat yang secara
eksklusif melestarikan dominasinya (terhadap masyarakat Bali yang agraris)
dengan melegitimasi kekuasaannya melalui ―persetujuan spontan‖. Dalam pada
itu, kelompok subordinat menciptakan negoisasi konsesus politik maupun
ideologis yang menyusup ke dalam kelompok dominan maupun yang didominasi
(Strinati, 2003: 188—189).
3. Pariwisata sebagai Pengemban Involusi Kultural dalam Masyarakat Bali
Pada latar belakang terdahulu telah diuraikan sedikit ciri masyarakat Bali
sebagai masyarakat agraris. Pada perkembangannya kemudian, mengalami
pergeseran-pergeseran seiring dengan kemajuan (progress) dalam berbagai bidang
kehidupan, termasuk dalam sistem mata pencaharian. Menurut Mc. Kean
(1973:19—27) kehidupan masyarakat Bali pada masa kini, secara keseluruhan
menggambarkan ciri-ciri masyarakat dengan klasifikasi masyarakat dengan tradisi
kecil, tradisi besar, dan tradisi modern (dalam Geriya, 1995:3).
Seiring perkembangan zaman, masyarakat Bali kemudian lebih terbuka.
Interaksi dengan masyarakat luar Bali kemudian lebih intensif dilakukan.
Terutama penaklukan Belanda atas Bali yang terjadi antara tahun 1846—1906,
membuat masyarakat Bali semakin intens berinteraksi dengan masyarakat luar
Bali. Kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1849, Badung pada
tahun 1906, dan Klungkung pada tahun 1908. Kemudian sejak kemerdekaan
Indonesia tahun 1945, di mana pulau Bali kemudian menjadi bagian Negara
Republik Indonesia, menyebabkan masyarakat Bali semakin intens mendapat
pengaruh luar (cf. Geriya, 1995:4). Dengan demikian, ciri-ciri masyarakat modern
pun kemudian melekat pula dalam kebudyaan Bali.
Ciri modernitas tersebut selanjutnya bersamaan dengan Pariwisata sebagai
manifestasi modernisasi dalam masyarakat Bali. Dengan demikian, Pariwisata
dalam arus modernitas merupakan pengemban involusi kultural. Di mana
Pariwisata mengarahkan perkembangan kebudayaan ke suatu arah modernitas.
Pariwisata pada satu sisi berdampak positif karena telah memberi kontribusi tidak
kecil pada kesejahteraan masyarakat Bali, begitu pula dalam perkembangan
kebudyaan Bali. Pariwisata telah mendorong munculnya kreatifitas baru dalam
berkesenian. Ambil contoh misalnya dalam bidang seni pertunjukkan, telah
328 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
muncul sendratari ramayana untuk konsumsi tourisme. Berbagai bentuk kesenian
yang dahulunya hampir tidak pernah dipentaskan lagi, tiba-tiba muncul kembali
dikemas sebagai daya tarik Pariwisata.
4. Penutup
Berdasarkan uraian terdahulu, dapatlah dipahami bahwa pembanguna
sektor industri pariwisata sebagai sarana ekonomi dapat berjalan beriring dengan
pembangunan kebudayaan Bali. Walapun upaya hegemoni yang terjadi akibat
industri pariwisata yang mendominasi kehidupan masyarakat, namun dengan
konsep Pariwisata Budaya, kedua aras pembangunan dapat berjalan secara
seimbang sesuai dengan porsinya.
Sesuai dengan konsepsinya, Pariwisata Budaya memberi kemungkinan
industri pariwisata tidak menghegemoni pembangunan kebudayaan di Bali.
Bahkan sebaliknya, industri pariwisata memberikan kemungkinan untuk
mengembangkan kebudayaan sebagai komoditi pariwisata tanpa harus
menisbikannya. Dengan demikian, konsepsi Pariwisata Budaya justru
mewujudkan pembangunan berimbang antara pariwisata dan kebudayaan Bali
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 329
Denpasar, 25-26 September 2018
DAFTAR PUSTAKA
Geriya, Wayan. 1995. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional,
Global: Bunga Rampai Antropologi Pariwisata. Denpasar: Upada
Sastra.
Hermans, D. 1981. ―The Encounter of Agriculture and Tourism: A Catalan Case‖.
Annals of Tourism Research. 8 (3): 462—479.
Mc. Kean, Philip Frick. 1973. ―Cultural Involution Tourist Balinese and the
Process of Modernization in an Anthropological Perspective‖.
Disertasi Ph.D. pada Jurusan Antropologi Universitas Brown USA,
Mickler, M. 1994. ―Developement at The Crossroads Versus the Environment in
Bali, Indonesia. IOCPS Paper No. 37. Nedlands, Western Australia:
Indian Ocean Centre for Peace Studies, The University of Western
Australia.
Nehen, I Ketut. 1994. Transformasi Ekonomi di Bali: Loncatan Masyarakat
Primer ke Masyarakat Tersier dalam Dinamika Masyarakat dan
Kebudyaan Bali (Pitana, I Gde (ed). Denpasar: Penerbit BP.
Pitana, I Gde. 1989. Jointly-Manage Subak: Roles of Farmers and
Government in Irrigation Management in Bali. Manila: The
Faculty of the Graduate School Ateneo de Manila University.
Strinati, Dominic. 2003. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya
Populer. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Tjatera, I Wayan. tth. “Pembangunan Berlanjut (Sustainable Development)”.
Materi Kuliah Studi Pembangunan Program Magister (S2) Kajian
Budaya Universitas Udayana.
Triguna, Ida Bagus Gede Yuda. 2003. ―Kearifan Lokal Di Lingkungan Keluarga‖.
Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.
Winpenny, J.T. 1982. ―Some Isues in The Identification and Appraisal of Tourism
Projects in Developing Countries‖. Tourism Managemant. 3 (4):
218—221.
Wiranatha, Agung Suryawan. 2003. ―Potret Bali Kini dan Masa Depan‖ dalam
Jurnal Ilmiah Dinamika Kebudayaan. Denpasar: Lembaga Penelitian
Universitas Udayana.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 330
Denpasar, 25-26 September 2018
KEPERCAYAAN DALAM SIKLUS KEHIDUPAN
PADA MASYARAKAT SUNDA PESISIR
(KECAMATAN PAMEUNGPEUK, KABUPATEN GARUT,
JAWA BARAT)
Risma Rismelati, Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
ABSTRAK
Setiap bangsa di berbagai belahan dunia ini pastinya memiliki tradisi leluhur
yang bertahan dan berkembang dari generasi ke generasi. Tradisi tersebut
kemudian menjadi sebuah identitas diri yang mencerminkan nilai-nilai budaya
yang unik dan berkarakter. Menurut Clyde Kluckhohn dalam Pelly (1994), nilai
budaya merupakan sebuah konsep beruang lingkup luas yang hidup dalam alam
pikiran sebagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang paling
berharga dalam hidup. Nilai budaya itu akhirnya tumbuh menjadi suatu
kepercayaan masyarakat yang dijadikan sebagai aturan paling mendasar dalam
menjalani siklus kehidupan. Hal ini dapat dilihat secara nyata dalam siklus
kehidupan masyarakat Sunda di wilayah pesisir Jawa Barat. Fokus kepercayaan di
sini adalah bentuk-bentuk tradisi yang masih dilakukan secara turun temurun
dalam fase kehidupan manusia, seperti fase kelahiran, pernikahan, dan kematian.
Maka dari itu penelitian ini akan fokus mengkaji kepercayaan yang berkaitan
dengan siklus kehidupan pada masyarakat Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa
Barat. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan metode kualitatif deskripstif.
Dalam memupu data digunakan metode lapangan karena peneliti terjun langsung
ke masyarakat, melakukan wawancara langsung pada nara sumber dan
melakukan metode survey melalui penyebaran daftar kuesioner.
I. Pendahuluan
Indonesia adalah bangsa yang memiliki keberagaman suku dan budaya.
Setiap suku memiliki keberagaman adat atau kebiasaan dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari maupun upacara adat yang berupa seremonial yang
menggunakan berbagai ritual yang berbeda-beda di setiap pelaksanaannya. Tidak
jarang pula adat ini turut mengatur segala aspek kehidupan masyarakatnya
terutama hal-hal yang krusial, misalkan seperti melahirkan, khitanan, menikah dan
meninggal. Proses perjalanan hidup manusia tersebut dikenal dengan istilah siklus
atau daur kehidupan manusia. Antara fase yang satu dengan fase berikutnya saling
berkesinambungan. Karena untuk mencapai suatu fase kehidupan, manusia harus
melewati lebih dulu fase sebelumnya. Dalam tiap-tiap fase kehidupan tersebut,
manusia dihadapkan pada lingkungan yang membesarkan mereka. Oleh karenanya
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 331
Denpasar, 25-26 September 2018
terdapat interaksi sosial dalam pembentukan karakter seorang manusia. Dalam
interaksi sosial tersebut biasanya dilakukan penanaman nilai-nilai seperti nilai
agama, nilai sosial, dan nilai budaya yang berlaku bagi masyarakat tersebut.
Penanaman nilai-nilai tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, satu di
antaranya melalui pembelajaran dari suatu kepercayaan yang dianggap dapat
menjadi aturan atau rambu-rambu dalam bersikap dan bertingkah laku di
kehidupan sehari-hari.
Berkaitan dengan artiekl ini, penulis mengkaji kepercayaan dalam siklus
kehidupan suatu masyarakat yang menjadi aturan dalam menjalani kehidupan
sehari-hari. Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat
Sunda di wilayah Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pemilihan
wilayah tersebut didasarkan pada dugaan kuat peneliti bahwa masyarakat di
wilayah itu masih memiliki kepercayaan terhadap hal-hal yang boleh dan tidak
boleh, harus dan tidak harus dilakukan dalam tiap-tiap fase kehidupan manusia.
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bentuk-bentuk
kepercayaan dalam siklus kehidupan masyarakat Sunda di wilayah Pameungpeuk,
Kabupaten Garut, Jawa Barat.
II. Kajian Teori
Menurut Clyde dan Kluckhohn dalam Pelly (1994), nilai budaya merupakan
sebuah konsep beruang lingkup luas yang hidup dalam alam pikiran sebagian
besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang paling berharga dalam hidup.
Nilai budaya itu akhirnya tumbuh menjadi suatu kepercayaan masyarakat yang
dijadikan sebagai aturan paling mendasar dalam menjalani siklus kehidupan. Hal
ini dapat dilihat secara nyata dalam siklus kehidupan masyarakat Sunda di
wilayah pesisir Jawa Barat. Fokus kepercayaan di sini adalah bentuk-bentuk
tradisi yang masih dilakukan secara turun temurun dalam fase kehidupan manusia,
seperti fase kelahiran, pernikahan dan kematian.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan
mengambil dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.
Sumber data primer adalah data di lapangan mealui participant observation.
Selanjutnya, untuk melengkapi data primer, digunakan pula data sekunder, yaitu
332 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
sumber kepustakaan. Dalam penelitian ini, untuk memperoleh sumber data primer
digunakan teknik partisipant observation (Adler dan Adler, 1994: 377), indepth
interview (Fontana dan Frey, 1994: 365‒366), dan studi kepustakaan. Partisipant
observation dipilih untuk menjalin hubunan baik dengan informan. Pengamatan
dilakukan ke lapangan atau ke lokasi penelitian untuk memperoleh deskripsi
mengenai kepercayaan dalam siklus kehidupan masyarakat Sunda di kecamatan
Pameungpeuk, Kabupaten Garut Jawa Barat.
Pameungpeuk merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Garut,
Provinsi Jawa Barat yang berjarak sekitar 86 km dari pusat kota Garut ke selatan.
Pusat pemerintahannya berada di Desa Mandalakasih. Kecamatan ini terletak di
wilayah Garut Selatan dan menjadi pusat kecamatan paling berkembang di
kawasan ini. Kecamatan Pameungpeuk sebelumnya disebut Nagara karena diduga
akan ramai seperti pelabuhan Sunda Kelapa di Jakarta (dahulu Batavia). Awalnya
kecamatan ini merupakan bagian dari Kabupaten Soekapoera sebelum menjadi
bagian dari Kabupaten Garut. Sedari zaman Belanda, Pameungpeuk dikenal
sebagai salah satu destinasi wisata pesisir laut selatan karena keindahan alamnya.
Sehingga, sejak zaman penjajahan Belanda pulalah, infrastruktur jalan dari kota
Garut menuju Pameungpeuk sudah terbangun. Penjajah memiliki kepentingan
membangun jalan untuk mempermudah akses pengangkutan hasil perkebunan teh
dan karet. Dulunya, perkebunan teh membentang dari Cikajang hingga Neglasari.
Kini, tanaman teh hanya dijumpai sepenggal-sepenggal. Perkebunan karet di
kawasan seperti Cilaut, Nagara, dan Cimari juga tak lagi berproduksi. Selain
kejutan kelokan tajam, pemandangan pepohonan hutan, dan perkebunan teh,
jalanan menuju Pameungpeuk juga menghadirkan kecantikan air terjun alami.
Keindahan air terjun dengan sungai-sungai berair jernih ini semakin menjadi
limpahan pemandangan jika wisatawan menempuh jalan dari arah Ciwidey atau
Pengalengan menyusuri pantai selatan menuju Pameungpeuk. Selain itu, obyek
wisata yang digadang-gadang untuk promosi tak lain adalah Pantai Cilauteureun.
Teluk Cilauteureun menjadi zona wisata yang luar biasa yang menghadap
langsung ke Samudra Indonesia (melalui https://naratasgaroet.net/2016/06/24/
sadjarah-pameungpeuk-poesaka-soenda-1924/ dan https://travel.kompas.com/
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 333
Denpasar, 25-26 September 2018
read/2015/03/25/122700327/Kenangan.Sepenggal.Pameungpeuk diakses pada 3
September 2018)
Secara administratif, kecamatan Pameungpeuk terdiri atas 8 desa, yakni Desa
Bojong, bojong kidul, Jatimulya, Mancagahar, Madalakasih, Paas, Pameungpeuk
dan Sirnabakti (Laporan Bulanan Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut,
Juni 2018).
III. Pembahasan
Siklus kehidupan manusia merupakan putaran hidup yang dialami manusia
secara berulang-ulang secara tetap dan teratur. Berkait dengan artikel ini, putaran
hidup yang dibahas meliputi kelahiran, pernikahan, dan kematian. Sebelum
seorang ibu malahirkan, dia menjalani proses kehamilan terlebih dulu.
Berdasarkan penuturan dari narasumber, adat kebiasaan dalam menjaga orang
yang hamil, dengan maksud melindunginya dari pengaruh buruk atau jahat para
Lelembut (makhluk halus) atau Dedemit (siluman) dan dari pengaruh buruk
kekuatan alam sekitar yang juga bersifat gaib. Upaya perlindungan itu dilakukan
dengan berbagai cara seperti mengadakan selamatan; membekali orang hamil
dengan benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan penolak bala atau sebagai
jimat guna menangkal atau melenyapkan pengaruh jahat yang merusak, yang
ditimbulkan oleh makhluk halus atau kekuatan alam yang tidak terlihat itu;
mengawasi dan menjaga agar yang hamil tidak melanggar pantrangan (pantangan)
dari karuhun (leluhur). Untuk yang pertama kali hamil, orang tuanyalah yang akan
menanganinya. Tapi bagi yang telah dua atau tiga kali hamil, dapat melakukannya
sendiri. Masa awal kehamilan sampai tiga bulan dikatakan ngandeg atau nyiram.
Setelah genap tiga bulan, baru dikatakan hamil, saat itulah diadakan selamatan
pertama (salametan tilu bulanna). Hidangan yang disajikan berupa bubur beureum
dan bubur bodas, kue-kue tradisional dan nasi kuning, sebagai suguhan untuk para
pembaca doa dan antaran untuk para tetangga dekat. Setelah selamatan hamil tiga
bulan, diadakan lagi selamatan pada masa kehamilan genap lima, tujuh dan
sembilan bulan. Intinya harus mengikuti bilangan ganjil.
Dalam selamatan yang kedua kalinya, diadakan hajat bangsal. Gabah padi
(Bengsal) diwadahi dengan bokor dan di atasnya ditutup dengan waluh (labu). Hal
334 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
ini mengandung kias, yakni kata Bengsal secara metronomis bertautan dengan
kata waluya (selamat). Kata bengsal dalam ucapan orang Sunda sering muncul
dalam bentuk kata majemuk balabengsal yang berarti segala kesialan. Jadi,
maksud dari hajat bengsal sudah bisa ditebak, yaitu menghilangkan segala
kesialan dan diganti dengan kawaluyaan (keselamatan). Selamatan yang ketiga
kalinya diadakan pada saat kehamilan genap tujuh bulan yang juga merupakan
selamatan yang terbesar di antara keempat selamatan. Selamatan ini disebut
tingkeban atau babarik atau babarit. Sejak tingkeban segala urusan pengawasan
dan penjagaan berada di tangan paraji, tidak lagi di tangan orang tua. Dalam
selamatan keempat kalinya, ketika hamil sembilan bulan, diadakan sedekah lolos
(penganan dari tepung beras bergula yang dilumuri dengan minyak dari santan,
dibungkus dengan daun pisang, sehingga mudah lepas) adalah kias agar pada saat
bersalin, bayi keluar dengan lancar dan selamat, sedangkan lampu merupakan kias
agar bayinya menjadi anak yang terang hatinya. Selanjutnya, Paraji meminta agar
keluarga yang hamil mengadakan persediaan berbagai ramuan yang diperlukan
untuk digunakan pada saat sebelum dan sesudah bersalin. Ramuan itu berupa
bijibijian, akar-akaran, daun-daunan, dan umbi-umbian tertentu yang di pedesaan
tidak terlalu sulit diperoleh karena bisa dipetik di alam sekitar. Karena itulah masa
kehamilan sembilan bulan biasa pula disebut bulan alaeun yang berarti bulan saat
memetik.
Siklus yang kedua yaitu pernikahan. Adat pernikahan yang masih
dilaksanakan oleh masyarakat adalah adat siraman. Narasumber menuturkan
bahwa untuk siraman pengantin menggunakan kembang tujuh rupa dan uang koin,
biasanya dilaksanakan sehari sebelum pernikahan dilangsungkan. Fungsinya
untuk membersihkan diri pengantin dan dijauhkan dari hal-hal buruk. Selanjutnya
ada daun sirih yang digunakan pada saat sawéran, ditambah dengan uang seribu,
fungsinya supaya langgeng berumah tangga. Kemudian prosesi tarik menarik
ayam bakakak antara pasangan suami dan istri. Siapa yang mendapatkan potongan
ayam paling besar, berarti rezekinya lebih besar.
Siklus kehidupan yang ketika adalah kematian. Dalam hal kematian,
masyarakat sudah dipengaruhi oleh agama Islam, jadi ada sebagian kebiasaan
yang telah bergeser namun ada juga yang masih dipertahankan. Berdasarkan hasil
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 335
Denpasar, 25-26 September 2018
wawancara dengan narasumber, dalam hal yang dipertahankan adalah kemenyan
sebagai wewangian ketika jenazah disemayamkan di rumah duka. Selain itu,
tanaman hanjuang yang harus ditanam di lokasi pemakaman. Bagi masyarakat
Sunda tanaman hanjuang tidak saja untuk estetika, melainkan juga dikeramatkan.
Mereka mengartikan tanaman hanjuang sebagai pembatas ruang. Berkait dengan
kematian seseorang, tanaman hanjuang digunakan sebagai pembatas makam yang
satu dengan makam yang lainnya (Sunarni, International Seminar Prasasti III;
Current Research in Linguistics, tanpa tahun).
IV. Simpulan
Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik simpulan bahwa masyarakat
Sunda pada umumnya dan masyarakat Sunda di pesisir yaitu di Kecamatan
Pameungpeuk, Kabupaten Garut khususnya, masih menjalankan tradisi dalam
siklus kehidupan mereka. Tradisi tersebut dijalankan sebagai bentuk
penghormatan terhadap leluhur yang mewarisi tradisi. Meskipun demikian, seiring
dengan perkembangan zaman dan masuknya agama Islam ke Indonesia, ada
beberapa tradisi yang hilang karena dianggap tidak relevan lagi dengan
perkembangan zaman atau dengan ajaran baru tersebut. Namun, hilangnya tradisi
tidak secara serta merta melainkan melalui proses yang panjang yang terjadi
dalam lingkup masyarakat pendukungnya.
Daftar Pustaka
Buku
Adler, Peter dan Patricia A. Adler. 1994. ―Observational Techniques‖ dalam
Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (ed.) Handbook of
Qualitative Research. London-New Delhi: Sage Publications.
Ekadjati, Edi. S. 2009. Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah (Cetakan
Ketiga). Jakarta: Pustaka Jaya.
Fontana, Andrea dan James H. Frey. 1994. ―Interviewing The Art of Science‖
dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (ed.) Handbook of
Qualitative Research. London-New Delhi: Sage Publications.
Laporan Bulanan Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Juni 2018.
Soelaeman, Moenandar. 2007. Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar (Cetakan
Keempat). Bandung: Refika Aditama.
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
336 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Sunarni, Nani. ―The Socio-Cultural Values of The Lexeme ‗Hanjuang‘ in The
Sundanese Language: A Study in Ethnolinguistics‖. Makalah pada
International Seminar Prasasti III: Current Research in Linguistics.
Tanpa tahun.
Yus, Rusyana dkk. 1989. Pandangan Hidup Orang Sunda: Seperti tercermin
dalam Kehidupan Masyarakat Dewasa ini (Tahap III). Bandung: Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1988.
Website
―Kenangan Sepenggal Pameungpeuk‖, melalui https://travel.kompas.com/
read/2015/03/25/122700327/Kenangan.Sepenggal.Pameungpeuk diakses
pada 3 September 2018.
Putri, Amanda. 2015. Ritus-ritus atau Tata Cara Kelahiran – Pendewasaan melalui
www.shiritoriofficial.wordpress.com/2015/03/11/japan-fact-8/amp/,
diakses pada 15 Januari 2018.
―Sadjarah Pameungpeuk‖, melalui https://naratasgaroet.net/2016/06/24/ sadjarah-
pameungpeuk-poesaka-soenda-1924/ diakses pada 3 September 2018.
Sumber Lisan
1. Nama : Drs.Yusuf Firdaus
Jabatan : Sekretaris Kecamatan Pameungpek, Kabupaten Garut
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 337
Denpasar, 25-26 September 2018
JEJAK AWAL KEMARITIMAN PADA CADAS LIANG PU’EN
DI LEMBATA NTT
Rochtri Agung Bawono, Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, Kristiawan, Coleta Palupi
Titasari
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Lembata merupakan pulau di sebelah timur Pulau Flores yang terletak di
wilayah Wellacea. Wilayah ini sejak masa Plestosen telah terpisah dengan pulau-
pulau di sekitarnya. Lembata sebagai salah satu pulau di Kepulauan Nusa
Tenggara merupakan salah satu jembatan penghubung (land bridge) dalam
konteks migrasi manusia dari kepulauan Asia Tenggara ke Australia. Jejak-jejak
migrasi yang sangat penting untuk diungkap yaitu jejak maritim.
Jejak kemaritiman di Lembata dibuktikan oleh temuan pahatan cadas
(petroglyph) Liang Pu‘en Desa Hingalamamengi. Terdapat beberapa pahatan
perahu dengan bentuk yang beragam. Banyaknya pehatan perahu menunjukkan
bahawa budaya maritim telah mendarah daging pada masyarakat Lembata sejak
dulu. Demikian juga perahu sebagai satu-satunya alat transportasi untuk
bersubsistensi di lautan dan bermigrasi antarpulau.
Kata kunci: maritim, petroglyph, pahatan perahu, subsistensi, migrasi
1. Pendahuluan
Lembata merupakan salah satu gugusan pulau di Nusa Tenggara yang
dahulu disebut Pulau Kawela atau Lomblen. Luasan Pulau Lembata yaitu
1.266,39 km² yang pesisirnya merupakan batas alam dengan daratan lainnya
(www.id.wikipedia.org). Jika menilik pada lokasinya yang terletak di Nusa
Tenggara maka Pulau Lembata pada Masa Plestosen merupakan wilayah yang
tidak tergabung dengan Paparan Sunda ataupun Paparan Sahul tetapi merupakan
Wallacea yang terpisah setiap pulau-pulaunya.
Masyarakat Lembata sangat akrab dengan kehidupan maritim misalnya di
pesisir selatan terdapat Desa Lamalera dan Lamakera yang terdapat tradisi
perburuan mamalia laut (cetacean). Tradisi berburu ini diduga sudah ada sejak
400 tahun yang lalu bahkan lebih (Salim, 2011) yang biasa disebut Nuang Leva
atau Lamaholot yang berarti musim berburu. Tradisi berburu ini menggunakan
senjata yang tradisional dan perahu tradisional yang disebut paledang.
338 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Perahu selain sebagai sarana berburu, juga satu-satunya alat transportasi
antarpulau. Keberadaan sarana ini kemungkinan besar sudah digunakan saat
migrasi awal manusia memasuki Pulau Lembata yang secara geografis memang
terpisah dengan pulau lainnya sejak Masa Plestosen.
Penelusuran jejak-jejak maritim di Lembata perlu dilakukan untuk
mengetahui bukti tentang pola migrasi dan pola subsistensi masyarakat pada masa
lalu sehingga eksistensinya dapat diketahui oleh masyarakat masa kini.
2. Metodologi
Dalam Teori Interaksi Simbolik dijelaskan bahwa keberadaan manusia
selalu memberikan makna untuk berkomunikasi. Menurut George Herbert Mead
menjelaskan bahwa manusia bertindak berdasarkan makna simbolis yang muncul
dalam situasi tertentu yang tercermin dalam pikiran, diri, dan masyarakat (West
dan Turner, 2008). Melalui media apapun manusia dapat menciptakan karya yang
dapat dimaknai sehingga memudahkan berkomunikasi dengan individu lain.
Petroghlyph merupakan bukti adanya eksistensi masyarakat masa lalu untuk dapat
dimaknai dan berkomunikasi dengan generasi sesudahnya sehingga jejaknya
terekam hingga saat ini.
3. Pembahasan
Pulau Lembata yang terdapat di wilayah Wallacea merupakan wilayah
penghubung antara Daratan Asia dengan Benua Australia. Temuan terbaru
menunjukkan bahwa Pulau Flores telah dihuni oleh Homo erectus dan Homo
floresiensis sejak 800.000 tahun lalu berdasarkan temuan fosil dan artefak di
Cekungan Soa dan Leang Bua Manggarai (Jatmiko 2015a; 2015b). Demikian juga
di Gua Lene Hara Timor Leste terdapat temuan artefak mata kail dari kerang yang
menunjukkan bahwa masyarakat di Pulau Timor sudah melangsungkan eksploitasi
lautan untuk bersubsistensi kurang lebih 45.000 tahun lalu (O‘Connor et al, 2005;
Langley and O‗Connor: 2016). Bukti temuan di antara dua wilayah di barat dan
timur Pulau Lembata memberikan asumsi bahwa Pulau Lembata juga merupakan
salah satu jembatan penghubung migrasi manusia masa lalu menuju Benua
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 339
Denpasar, 25-26 September 2018
Australia yang hanya dapat dilalui melalui jalur laut karena pulau-pulau yang
terpisah sejak Masa Plestosen hingga Holosen saat ini.
Lebih menarik bahwa Gua Lene Hara memiliki petroglyph berupa kedok
muka pada dinding gua, sehingga memiliki persamaan dengan temuan baru di
Lembata yaitu Situs Liang Pu‘en Desa Hingalamamengi dengan keragaman
pahatan yang melimpah. Secara umum pahatan di Liang Pu‘en berupa kedok
muka (wajah), orang, perahu, ular, dan pahatan geometris (Bawono, dkk.2018).
Temuan baru lainnya di Lembata yaitu Situs Tene Koro berlokasi di Uaq Loroq
dekat Desa Dolulolong di pesisir utara Lambaste. Jenis seni cadas (pictograph)
yang ditemukan adalah sebuah perahu dengan warna putih yang dihasilkan oleh
suatu pigmen pewarna (S.O‘Connor et al. 2018). Belum diketahui secara pasti
usia kedua situs tersebut, tetapi merujuk pada beberapa sebarannya di Nusantara
diperkirakan berusia 3.500 -2.000 tahun yang lalu yang merupakan karya
masyarakat Austronesia.
Penggambaran perahu yang terdapat di Situs Liang Pu‘en memperlihatkan
bentuk yang beragam. Salah satunya pahatan perahu hanya dua garis yang agak
melengkung dan dibagian dalamnya terdapat garis-garis vertikal mempertemukan
dua garis horizon tersebut. Bagian atas bidang tersebut terdapat pahatan manusia
yang seolah-olah sedang melangkah atau berlari. Pada bidang yang lain terdapat
gambaran perahu serupa berupa garis lengkung horizon yang dipotong-potong
oleh garis vertikal.
Bentuk perahu yang lebih menarik yaitu dipahatkan lengkungan panjang
dengan garis-garis vertikal pada bagian dalamnya, sedangkan pada salah satu
bagian ujung (depan) dipahatkan bentuk menyerupai kepala kuda. Pada bagian
atasnya terdapat seorang manusia yang melakukan aktivitas memancing (?).
Gambar 1. Pahatan perahu dan aktivitas manusia
340 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Pahatan bagian tengah perahu tersebut masih menjadi dugaan yang
kemungkinan digambarkan sebagai papan dinding perahu (planked boat) ataukah
hiasan pada dinding luar perahu. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Penggambaran aktivitas manusia yang dipahatkan diatas perahu mendukung
dugaan kuat bahwa perahu tersebut bukan perahu arwah, tetapi merupakan perahu
yang difungsikan untuk sarana transportasi atau cara bersubsistensi dalam berburu
binatang laut. Terlebih lagi penggambaran dua lengkungan seolah
memperlihatkan aktivitas sedang memancing di tengah lautan. Posisi kaki yang
tidak lurus ke bawah merupakan penggambaran sempurna bahwa aktivitas di laut
selalu dipengaruhi oleh gelombang sehingga keseimbangan tubuh selalu
diperlukan. Demikian juga kebahagian ketika mendapatkan binatang buruan juga
mencerminkan gambaran posisi kaki yang tidak lurus ke bawah.
Penggambaran makhluk pada bagian hulu dapat kita telusuri pada perahu-
perahu nusantara, sebagai contoh jukung di Bali yang bagian hulunya
digambarkan bentuk kepala ikan cucut yang lincah. Bentuk menyerupai kepala
kuda pada bagian hulu perahu merupakan hal yang sangat menarik, karena kuda
merupakan binatang darat sehingga sedikit memiliki perbedaan bentuk
penggambaran dengan jukung di Bali. Makna atas kuda pada manusia
pemahatnya kemungkinan memposisikan kuda sebagai binatang tunggangan
(sarana transportasi darat) yang memiliki kelincahan dan kecepatan, sehingga
harapan atas penggambaran tersebut yaitu perahu yang ditumpangi tersebut dapat
lincah dan cepat bergerak ketika berada di lautan. Walaupun penggambaran
tersebut sebagai bentuk pemaknaan, tetapi penggambaran tersebut sangat menarik
jika dapat ditelusuri bentuk asli perahu yang masih memberikan gambaran-
gambaran pada hulu perahu yang dihasilkan oleh masyarakat pada masa lalu.
Makna tersebut secara visual mudah dicerna oleh penikmat seni cadas tersebut,
baik pada masa lalu maupun masa kini.
Lukisan dan pahatan perahu yang terdapat di Lembata merupakan salah
satu bukti budaya maritim sudah dikenal masyarakat pada masa lalu. Perahu
sebagai sarana transportasi antarpulau difungsikan untuk bermigrasi ke wilayah
luar dan masuk Lembata. Demikian juga perahu dapat difungsikan sebagai sarana
bersubsistensi di laut guna mendapatkan binatang buruannya.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 341
Denpasar, 25-26 September 2018
4. Simpulan
Lukisan (pictograph) dan pahatan (petroglyph) perahu yang terdapat di
Lembata menunjukkan eksistensi masyarakat masa lalu terkait budaya maritim.
Situs-situs tersebut sebagai bukti jejak awal maritim hingga saat ini yang dapat
ditemukan. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mencari jejak maritim yang lebih
tua dibanding situs-situs yang sudah ditemukan.
5. Ucapan terima kasih
Terima kasih kami haturkan kepada Ketua LPPM dan Dekan Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Udayana yang telah mendanai Penelitian Unggulan
Program Studi (PUPS) pada Tahun Anggaran 2018.
Daftar Pustaka
Bawono, R.A, N K P Astiti Laksmi, Kristiawan, dan CP Titasari. 2018. Eksplorasi
Tinggalan Arkeologi di Desa Hingalamamengi Kecamatan Omesuri,
Kabupaten Lembata Nusa Tenggara Timur. Laporan Penelitian. Tidak
diterbitkan.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lembata
Jatmiko, 2015a.‖Situs Kobatuwa, Cekungan Soa (Flores Tengah): Padang Artefak
Batu‖ dalam Flores dalam Lintas Budaya Prasejarah di Indonesia Timur.
Hal: 19-37. Jakarta: Galangpress.
Jatmiko, 2015b.‖Liang Bua Gua Hunian Manusia Purba Homo Floresiensis‖
dalam Flores dalam Lintas Budaya Prasejarah di Indonesia Timur. Hal:
19-37. Jakarta: Galangpress.
Langley, M.C. and S. O‗Connor. 2016. An Enduring Shell Artefact Tradition
from Timor-Leste: Oliva Bead Production from the Pleistocene to Late
Holocene at Jerimalai, Lene Hara, and Matja Kuru 1 and 2. PLoS ONE
11(8).
O‘Connor, Sue, Julien Louys. Shimona Kealy. Hendri A. F. Kaharudin. 2018.
―Unusual Painted anthropomorph in Lembata island extends our
understanding of rock art diversity in Indonesia‖ dalam Artikel Rock Art
Research.
O‘Connor, Sue, Mattew Spinggs, dan Peter Veth. 2005. ―On the Cultural History
of the Aru Islands: Some Conclusions‖ dalam Terra Australia Vol 22. p:
307-314.
Salim, Dafiudin. 2011. ―Konservasi Mamalia Laut (Cetacea) di Perairan Laut
Sabu Nusa Tenggara Timur‖. Jurnal Kelautan Vol. 4 No. 1. Hal: 24-41.
342 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
West, Richard dan Lynn H Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis
dan Aplikasi. Edisi 3 (Terjemahan). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 343
Denpasar, 25-26 September 2018
PURI TAMAN SABA : SIMBOLISASI PENDIDIKAN SENI BUDAYA
BALI
Sulandjari
Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Seni Tari Legong Keraton yang sampai kini menjadi salah satu aset andalan
Pariwisata Budaya Bali, dikenal secara nasional bahkan internasional. Sebagai
seni tari klasik, tarian ini diyakini menjadi sumber inspirasi munculnya tari kreasi
baru di Bali. Keluarga Puri Taman di desa Saba mempunyai andil besar dalam
melestarikan,mengembangkan serta mewariskan atau menyebar luaskan tarian ini
dalam berbagai versi.Tari Legong Keraton Jobog dikenal sebagai seni tari khas
dan kebanggaan masyarakat desa Saba. Kontribusi keluarga Puri Taman dalam
membina seni budaya ini bermula dari tahun 1911. I Gusti Gede Oka yang
kemudian dilanjutkan oleh puteranya I Gusti Bagus Jelantik,dan sesudah tahun
1945 mencapai puncak perkembangannya di bawah pimpinan dan binaan I Gusti
Gede Raka Saba. Pembinaan seni tari dilakukan baik lewat pendidikan informal (
sanggar tari di puri ), maupun pendidikan formal ( di sekolah/perguruan tinggi ).
Konsistensi puri sebagai sumber kreatifitas dalam konteks kearifan lokal,juga ada
dalam bentuk seni-seni sastra, lukis, ukir bahkan upaya membantu kebutuhan
ekonomi seniman. Puri membentuk Koperasi Simpan Pinjam untuk seniman dan
masyarakat umum desa Saba.
Pertanyaan utamanya adalah sejauh mana peran Puri Taman dalam
dinamika budaya dan pariwisata di Bali? Nilai-nilai keteladanan apa yang bisa
diangkat untuk meningkatkan potensi seni budaya Bali secara berkelanjutan?
Kata kunci : Peran Puri, pendidikan, dinamika budaya, keteladanan, pariwisata
Pendahuluan
Puri di Bali merupakan bentuk sistem pemerintahan tradisional yang sampai
sekarang masih menunjukkan perannya yang signifikan khususnya dalam bidang
sosial budaya. Hal ini terjadi karena tokoh puri mampu berkiprah dalam aktifitas
dan kreatifitas budaya dari sejak masa kerajaan,kolonial,era revolusi,post
kemerdekaan hingga masa post modern, milenial sekarang ini. Seniman yang
berasal dari keluarga puri, biasanya bukan saja sebagai seorang penikmat seni
tetapi juga sebagai pencipta karya seni yang memainkan peran yang signifikan
dalam kehidupan budaya Bali dimana terdapat relasi yang kuat antara aspek religi
dengan seni seperti seni –seni tari,karawitan,lukis,patung. Keterkaitan erat antara
seni dan budaya Bali yang mewarnai semangat keluarga puri, mengakibatkan seni
tetap terpelihara hingga sekarang di lingkungan puri.Bahwa seni dan budaya Bali
344 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
ini dapat dipahami dalam teks dan konteks yang melingkupinya, beserta jiwa dan
semangat jamantetap dipertahankan agar seni dan budaya Bali terus berkelanjutan
melalui aktualisasi kreatifitas seni budaya.
Aktualisasi bidang seni yang digerakkan oleh tokoh puri beserta seniman –
seniman yang ada untuk mempertahankan kesenian di Bali, juga dilakukan oleh
keluarga Puri Taman Saba. Puri yang sebelumnya disebut Puri Agung Saba ini
terletak di wilayah Banjar/Desa Pekraman Desa Saba. Saba merupakan desa
pantai yang berada di Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali. Di tempat
ini, pada tahun 1911 ini tari legong yang berasal dari Puri Paang Sukawati,
dikembangkan oleh I Gusti Gede Oka dengan membentuk sekha legong di desa
Saba. Pada tahun 1920 an pembinaan dan kepemimpinan dilanjutkan oleh
puteranya I Gusti Bagus Jelantik Perkembangan seni tari ini mencapai puncaknya
( setelah tahun 1945 ) ketika sekha ini di pimpin dan dilatih oleh I Gusti Gede
Raka yang juga dikenal sebagai Anak Agung Raka Saba, keponakan beliau yang
sejak usia remaja sudah menunjukkan kemampuannya dalam menabuh/kendang
dan menari. Teknik menyerupai gaya bermain silat menambah kelenturan gerak
tubuh penari, sehingga menambah keindahan daya seni dalam tari. Tari Legong
gaya Saba ini kemudian dikenal sebagai tari legong keraton Saba ( Hasil
Wawancara dengan I Gusti Ngurah Seramasara, pada tanggal 5-4-2018 di kantor
YPWK Denpasar).
Dalam perkembangannya sekha legong ini dengan dikoordinir oleh puri.
sering mengadakan atraksi ke berbagai wilayah di Bali, dan keluar Bali ( keraton
Solo, Jakarta ) bahkan sampai ke luar negeri. Begitu populernya Tari Legong
Keraton Saba di bawah asuhan I Gusti Gede Raka Saba, sehingga dalam
pandangan orang/turis asing, Bali identik dengan Legong Keraton Saba. Tahun
1950 an Presiden Sukarno mengundang tamu-tamu asing ke Bali Hotel di
Denpasar untuk menyaksikan pergelaran Tarian Legong Keraton Saba. Pada
gilirannya tari ini menjadi seni tari klasik yang menjadi sumber inspirasi bagi
munculnya tari kreasi baru.
Semangat untuk terus mengembangkan seni terus dilakukan oleh keluarga
puri. Daya kreatifitas untuk memajukan tari Legong Keraton Saba menghasilkan
beberapa jenis tari legong, seperti Legong Jobog, Lasem, Semara Dahana,
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 345
Denpasar, 25-26 September 2018
Bapang,Candrakanta. Tari Legong Jobog Saba hingga kini terkenal sebagai tarian
klasik khas daerah Saba yang unik dan tinggi nilai aestetikanya. Kenyataan
bahwa Tari Legong Keraton Saba tetap bertahan dan berkelanjutan sebagai salah
satu seni tari kebanggan dan aset pariwisata budaya Bali, tidak bisa dilepaskan
dari peran keluarga puri terutama dalam mewariskan keahlian seni tari ini , baik
melalui pendidikan formal dan informal. Sebagai pengajar pelajaran Seni Tari
Legong di KOKAR, ASTI ( Akademi Seni Tari Indonesia ), I Gusti Gede Raka
atau Anak Agung Raka berhasil meluluskan anak didiknya, antara lain seorang
maestro seni Prof.Dr. I Made Bandem ( Hasil Wawancara dengan I Wayan Soma
Baskara, pada tanggal 21 April 2018, di Desa Pesinggahan Klungkung)
Keluarga puri terus berusaha melakukan regenerasi demi tetap eksisnya
Legong Keraton Saba, hal ini ditandai dengan diadakannya aktifitas seni dan
pelatihan seni tari Legong Keraton Saba di puri, di bawah asuhan dan pimpinan
salah seorang putera beliau, I Gusti Ngurah Serama Semadi. Selain dunia seni,
aktifitas lainnya adalah di bidang sosial ekonomi dan politik. Puri hingga sekarang
mengelola koperasi simpan pinjam untuk warga seniman di desa Saba.Leluhur
puri I Gusti Ayu Alit menjadi figur yang termashyur keahliannya dalam usada
Bali. Raja Gianyar dan Karangasem pernah disembuhkan dari sakitnya.Di
samping itu kiprah I Gusti Gede Raka sebagai salah seorang anggota keluarga puri
dalam bidang politik cukup penting, yakni sebagai ketua PNI (Partai Nasionalis
Indonesia ) ranting Desa Saba. Kontribusi keluarga puri seperti I Gusti Gede Raka
dalam berbagai bidang inilah, yang menjadikan tokoh ini dijuluki sebagai ―macan
Saba‖.
Deskripsi di atas menimbulkan pertanyaan lebih lanjut tentang seberapa
besar peran Puri Taman Saba dalam dinamika budaya dan pariwista di Bali? Nilai
keteladanan apa yang menjadi potensi dalam mewujudkan keberlanjutan seni
budaya Bali, ditengah gerusan iklim budaya modern sekarang ini ?
Puri Taman Saba Sebagai Rumah Seni
Tradisi untuk meneruskan dan mewariskan seni budaya Bali, khususnya tari
Legong Keraton di antara generasi ke generasi berikutnya, dilakukan keluarga
puri dengan konsisten. Diawali pada tahun 1911 ketika seni Tari Legong untuk
346 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
pertamakalinya dibina dan dikembangkan oleh I Gusti Gede Okadi antara warga
desa Saba. Salah satu caranya adalah seniman ini mengajak beberapa warga Saba,
dan puteranya ke desa Sukawati untuk belajar tari Legong. Dengan cara ini tari
legong dapat berkembang di wilayah Desa Saba, sehingga dibentuklah sekha
legong di puri. Setelah tahun 1920 an, kepemimpinan sekha ini diwarisi oleh
putera beliau, yakni I Gusti Bagus Jelantik, yang merangkap sebagai pelatih tari.
Setelah tahun 1945 atau pada masa Revolusi Phisik kepemimpinan, pembinaan
dan pelatihan diteruskan oleh keponakan I Gusti Bagus Jelantik, yakni I Gusti
Gede Raka Saba. Ketika tokoh seniman ini meninggal dunia pada tahun
2000,aktifitas dan pembinaan seni budaya di Saba diteruskan oleh puteranya I
Gusti Ngurah Serama Semadi yang juga dikenal sebagai Anak Agung Ngurah Rai
Saba. Sejak tahun 1980 an tokoh seniman ini sering membantu ayahnya melatih
dan mengajar tari Legong Keraton dan seni karawitan baik di sanggar tari di puri,
maupun di sekolah SMK Negeri 3 Sukawati hingga kini ( Hasil Wawancara
dengan I Gusti Ngurah Wirasrama, pada tanggal 14-4-2018 di Puri Taman Saba).
Ini menunjukkan bahwa keluarga puri melakukan regenerasi seni tari Legong
Keraton khususnya tetap eksis di tengah perkembangan dunia wisata yang
mengglobal.
Di tengah suasana perang ( Revolusi Phisik ) yang kurang kodusif , puri
tetap melakukan aktifitas pembinaan tari Legong, sambil melatih kemampuan
ilmu bela diri pencak silat. Gaya gerakan ilmu bela diri inilah pada gilirannya,
membawa pengaruh mempermudah melakukangerakan tari legongyang
mengutamakan keseimbangan, melalui perpaduan gerak yang lembut tetapi tegas (
Hasil Wawancara dengan I Gusti Ngurah Seramasara, pada tanggal 14-4-2018 di
Puri Taman Saba). Apalagi hal ini juga diimbangi dengan kemampuan menabuh
kendang I Gusti Gede Saba Raka yang berfungsi mengatur setiap gerak penari
sesuai pakemnya,sehingga memperihatkan struktur tari yang estetis. Tarian
Legong Keraton Saba dengan iringan seni karawitan hasil olahan jiwa seni budaya
puri , menambah sifat klasik yang memancarkan keagungan dan keindahan.
Di bawah pimpinan I Gusti Raka , Tari Legong Keraton Saba mengalami
perkembangan dan menjadi sangat dikenal di wilayah Bali, bahkan dikenal secara
nasional dan internasional. Di bawah asuhan tokoh seniman ini sekha Legong
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 347
Denpasar, 25-26 September 2018
Keraton ini mengadakan pertunjukan sampai ke luar Bali, seperti Keraton Solo,
Jakarta bahkan ke Perancis, London,Itali. Bahkan dalam pandangan orang asing,
Bali diidentikkan dengan Tari Legong Keraton. Sekitar tahun 1960 an merupakan
masa dimana Presiden Sukarno giat mempromosikan Bali sebagai destinasi wisata
dunia. Tamu asing, khususnya tamu negara termasuk tokoh nasional seperti
BungHatta , para duta besar diundang ke Bali untuk menyaksikan pertunjukan
kesenian budaya Bali. Salah satunya adalah tarian Legong Keraton Saba, bahkan
presiden sendiri termasuk seorang pengagum seni tari klasik ini, khususnya
Legong Keraton tentang Prabu Lasem. Tarian ini bertemakan kisah asmara yang
romantis, dengan gaya tarian yang eksotik.Keberhasilan promosi wisata ini
ditandai dengan munculah agen perjalanan wisata Bali antara lain adalah
Woworuntu dari Sulawesi Utara yang memiliki hotel Tanjung Sari di Sanur, dan
James Ferdi yang menetap di daerah Sindu Sanur Bali. Kemasyhuran tari klasik
Legong Keraton Saba ini menjadikan I Gusti Gede Raka Saba diundang untuk
melatih tarian ini ke wilayah Buleleng( Hasil Wawancara dengan A.A Gde
Ngurah, pada tanggal 30 April 2018, di Jl.Udayana Singaraja ).
Panggilan jiwa terus mengembangkan seni budaya Bali ini, diwujudkan oleh
anggota keluarga puri seperti I Gusti Gede Raka untuk melatih tari Legong
Keraton di sanggar tari di puri, dan mengajar seni tari Legong Keraton di KOKAR
dan kemudian ASTI di Denpasar, dari tahun 1978 hingga 1980. Pada tahun yang
sama siswa-siswa KOKAR banyak berlath tari dan karawitan di sanggar tari di
puri. Beberapa anak didiknya di ASTI yang sekarang menjadi tokoh seniman tari
dan karawitan, seperti Prof. Dr I Made Bandem dan Prof.Dr.Ni Ketut Arini ( Hasil
Wawancara dengan I Made Pasca Wirasutha, pada tanggal 30 April 2018, di
Jl.Udayana Singaraja).
Aktifitas seni budaya Bali di puri, tidak saja membina seni tari, karawitan/
seni musik gamelan tetapi juga dalam bidang seni lukis ( seperti lukisan tentang
Sutasoma) pemahat patung, dan mentranskripsikan naskah lontar yang tersebar di
Bali. Misalnya Widhi Sastra Raga yang membicarakan tentang ciri dunia dan sifat
manusia. Lukisan Sutasoma ini disumbangkan kepada kantor Pengadilan Tinggi I
Denpasar. Buku hasil transkripsi I Gusti Gede Raka yang berjudul Wedawa
Tatwa, dan Semani Gama dimanfaatkan sebagai sumber acuan oleh seorang tokoh
348 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
sejarawan Bali Ida Bagus Sidemen dalam karya tulisannya yang berjudul
Wilwatikta.
Legong Keraton Saba : Kreasi Seni Puri
Seiring dengan perkembangan waktu, Legong Keraton Saba sebagai seni
tari klasik di Bali dikembangan dalam berbagi kreasi/ jenis. Di Saba yang
dianggap sebagai daerah sumbernya tari legong, terdapat beberapa jenis tari
sebagai buah karya kreasi I Gusti Gede Raka , yakni : 1. Legong Keraton Lasem,
2. Legong Keraton Sudarsana, 3. Legong Keraton Semaradahana. Jenis tari legong
lain yang dikembangkan di Saba adalah Legong Keraton Candrakanta; Legong
Keraton Jobog, dan Bapang. Tari Legong merupakan tarian klasik Bali yang
memiliki perbendaharaan gerak yang sangat kompleks, yang terjalin erat dengan
tabuh pengiring yang banyak dipengaruhi oleh gambuh ( I Wayan Dibia, 2015 : 9
). Legong Keraton terdiri atas dua kata , yakni leg yang berarti gerak tari yang
luwes, lemah gemulai, dan gong yang berarti gamelan. Leg dan gong yang
digabung menjadi legong yang berarti gerakan tari yang diikat oleh gamelan yang
mengiringinya. Gamelan yang biasa dipakai mengiringi tari legong adalah
gamelan semar pagulingan dan gamelan gong kebyar. Gong Kebyar adalah salah
satu bentuk seni pertunjukan musik yang lahir di wilayah Bali Utara ( Buleleng ),
dengan ciri sangat dinamis. Gamelan Gong Kebyar memiliki bentuk dan teknik
permainan yang variatif dan kompleks, yang bercirikan suara tabuhan yang keras ,
karena hasil pukulan serentak pada alat-alat gamelan . Karena keunikannya ini
gong kebyar tumbuh dan berkembang menjadi salah satu genre seni pertunjukan
di Bali, yang hingga kini banyak dikenal masyarakat ( Prof.Dr.I Wayan
Dibia,SST.,M.A, 2015: 14-21)
Ada kalanya tari legong ini ditarikan oleh dua orang gadis atau lebih, dan
biasanya salah satu diantara mereka berperan sebagai condong yaitu peran
pertama yang tampil di pentas untuk memulai tari legong. Ada pula tari legong
yang dibawakan oleh sau atau dua pasang penari tanpa menampilkan tokoh
condong . Salah satu ciri khas Tari Legong adalah para penarinya memainkan
kipas ( kecuali condong ) sebagai alat bantu, dan penarinya tidak melakukan
dialog verbal. Menurut sejarahnya Tari Legong , sudah ada pada belahan kedua
abad 19. Tarian ini biasanya dipertunjukkan di lingkungan istana di Bali. Diyakini
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 349
Denpasar, 25-26 September 2018
bahwa timbulnya ide untuk menciptakan tarian ini berawal dari mimpi seorang
pangeran di Sukawati yang sedang sakit keras, melihat dua orang gadis menari
dengan lemah gemulai diiringi gamelan yang sangat indah dan merdu. Ketika
pangeran itu sembuh, maka mimpinya itu dimaknai dengan menciptakan tarian
dengan iringan gamelan lengkap seperti yang dilihat dalam mimpinya
(http://dunia-kesenian.blogspot.co.id/2014/tari-legong-tarian). Kisah ini
memberikan pemahaman kepada kita bahwa Tari Legong berasal dari daerah
Sukawati. Setidaknya kisah yang menjadi latar belakang sejarah ini dimaksudkan
untuk memberikan legalitas bagi istana Sukawati sebagai pencipta seni tari klasik
Legong. Sekaligus ini membuktikan bahwa puri merupakan pusat aktifitas untuk
mengembangkan dan mengaktualisasikan kreatifitas seni budaya di Bali. Di
sinilah letak peran puri Saba dalam konteks dinamika perkembangan seni budaya
Bali sebagai aset pariwisata budaya di Bali. Desa Saba dimana puri ini berada,
boleh dikatakan merupakan daerah pantai. Masyarakat pantai yang biasanya lebih
terbuka dan mudah menerima inovasi dari luar, mengadaptasi dan kemudian
mengembangkannya dengan keratifitas seninya. Di Saba,Tari Legong yang
kemudian dikenal sebagai Legong Keraton ini dikembangkan menjadi beberapa
jenis. Beberapa jenis Legong Keraton yang populer di Saba , misalnya Legong
Keraton Lasem, Legong Jobog dan Legong Sudarsana,dan Semaradahana. Legong
Lasem ini diawali oleh tarian seoang condong, kemudian baru diikuti oleh dua
orang penari utamanya. Tarian ini mengkisahkan bagian dari cerita Panji pada
masa Kerajaan Kediri sekitar abad 13. Sementara Legong Keraton Jobog,
langsung ditarikan oleh sepasang penari tanpa didahului oleh condong. Tarian ini
mengambil tema ceritanya dari kisah Ramayana, yakni tentang persaingan antara
dua bersaudara Sugriwa dan Subali yang saling memperebutkan jimat ayahnya.
Kemudian tari Legong Keraton Sudarsana menggambarkan pertempuran antara
Patih Sudarsana dengan Diah Pranacitra utusan janda sakti Dewi Jambawati.
Karena Diah Pranacitra kalah, Dewi Jambawati membantu, menyerang Patih
Sudarsana dalam wujud rangda. Legong Semaradahana menggambarkan
terbunuhnya Dewa Kamajaya (Semara) dan Dewi Ratih oleh Dewa Shiwa yang
marah karena mereka mengganggu pertapaannya.Para dewa di kahyangan
memohon kepada nya untuk menghidupkan kembali mereka, tetapi Dewa Shiwa
350 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
menolak.Sebagai gantinya mengirim arwah Dewa Semara ke hati laki-laki, dan
arwah Dewi Ratih ke hati wanita.
Fokus pada tujuan untuk terus mengembangkan kreatifitas seni tari, maka
bertempat di sanggar tari di Puri Taman, seniman Saba yang dimotori oleh I Gusti
Ngurah Serama Semadi giat melatih dan mendidik untuk menekuni Tari Legong
Keraton, seperti Legong Lasem,dan seni karawitan bagi warga generasi muda di
banjar. Bahkan anak sekolah TK di banjar ini sudah dilatih menari legong.
Pendidikan tari dan seni karawitan ini selain diikuti oleh warga muda banjar
Saba,juga banyak diikuti oleh warga muda dari luar wilayah banjar. Semua
kegiatan itu tidak dipungut biaya, bahkan gamelan milik puri sewaktu-waktu bisa
digunakan. Apabila ada pentas maka kostumnya sudah disiapkan oleh puri.
Pendidikan atau pelatihan tari legong ini boleh dikatakan dapat menuhi fungsi
adanya tari legong, yakni selain sebagai sarana untuk pertunjukan dan hiburan,
juga berfungsi sebagai ungkapan keindahan atau aktivitas keindahan dan kreatif,
serta untuk mengikat dan mempererat rasa persatuan.Keberhasilan puri dalam
membina pengembangan tari legong keraton ini dengan kreasinya, telah mampu
membangun seni tari ini dengan identitas kreasi Saba. Sekarang ini apabila
masyarakat umum/ Bali berpendapat tentang tarian legong, otomatis akan
menyebutnya sebagai Legong Saba. Bisa dikatakan bahwa hal ini merupakan
bentuk pengakuan terhadap keberhasilan puri dan seniman Saba dalam membina
dan mengaktualisasikan secara berkelanjutan seni tari legong . Sebagai tarian
Gambar1 Tari Legong
Semaradahana
(sumber:www.tradisikita.my.id)
Gambar2 Tari Legong Lasem
(sumber :
indomenari.blogspot.com)
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 351
Denpasar, 25-26 September 2018
daerah Bali yang sudah menjadi milik nasional, dan dikagumi masyarakat
internasional, kesenian ini menjadi kebanggaan nasional yang bisa difungsikan
untuk memperkokoh nilai kearifan lokal dalam skala nasional.
Kesimpulan
Pariwisata Bali diuntungkan dengan berbagai aktifitas dan kreatifitas Puri
Taman yang beresensi pada mengajar, mendidik dan mewariskan atau
mentransformasikan seni tari Legong Keraton gaya Saba sebagai aset pariwisata
nasional ciri khas budaya Bali, kepada generasi penerus secara berkelanjutan.
Sejak masa kolonial, kemerdekaan hingga sekarang seni tari klasik produk budaya
bangsa ini tetap eksis sebagai suatu bentuk kearifan lokal, yang terus dikenal
berkat aktifitas dan kreatifitas berbagai pihak yang mengembangkannya menjadi
berbagai jenis variant yang menarik. Pada gilirannya aset wisata budaya Bali ini
tidak mudah tergerus oleh pengaruh baru akibat dinamika pariwisata yang
mengglobal. Dinamisasi khususnya seni tari legong dan seni lainnya, seperti
karawitan telah menempatkan seni ini sebagai bagian budaya yang hidup, karena
memiliki kontribusi dalam memajukan pariwisata di Bali.
Konsistensi puri dalam menjaga dan mengembangkan seni tari legong
sebagai produk budaya bangsa, merupakan contoh bagaimana cara menghargai dan
bangga terhadap budaya milik sendiri. Mampu menjaga eksistensi seni produk
budaya Bali yang berskala nasional, internasional ini melalui langkah pendidikan
formal dan informal,dan mewariskannya kepada generasi penerus untuk
dikembangkan.Pada gilirannya puri berfungsi sebagai benteng budaya dari
gempuran nilai-nilai baru di jaman milenia ini.
Daftar Pustaka
Dibia, I Wayan.2015. Gong Kebyar.Pengaruh dan Sumbangannya Terhadap
Kesenian Bali. Singaraja: Gedung Laksmi Graha
Dibia, I Wayan 2017. Tiga Berlian Seni Pertunjukan Wisata Bali Legong,Kecak
Barong. Denpasar : LP2MPP ISI Denpasar
352 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III
Denpasar, 25-26 September 2018
Daftar Informan
1. Baskara, I Wayan Soma ( 25 tahun )
Pekerjaan: Karyawan Dinas Sosial Budaya Kab.Klungkung
2. Ngurah, A.A Gde ( 64 tahun )
Pekerjaan: Koordinator Tari Listibia Singaraja
3. Serama Sara, I Gusti Ngurah ( 56 tahun )
Pekerjaan : Dosen ISI Denpasar
Alamat : Puri Taman Saba, Desa Saba Gianyar
4. Serama Semadi, I Gusti Ngurah ( 40 tahun )
Pekerjaan : Guru Tari KOKAR Denpasar
Alamat : Puri Taman Saba, Desa Saba Gianyar
5. Wirasrama, I Gusti Ngurah ( 64 tahun )
Pekerjaan : Guru Bahasa Daerah SMA Saraswati Gianyar
Alamat : Puri Taman Saba, Desa Saba Gianyar