Date post: | 28-Nov-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
1
SENI MENDEKATI PARA ANTAGONIS-AGAMAIS
LUKAS BENEVIDES
(MAHASISWA FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA)
Abstraction
This article is composed as a critical observation and response against the massive
phenomena of religious radicalism in Indonesia. Religious radicalism appears because of
many factors. Among them are the problems of economy, social repression, the superficial
interpretation of religious doctrine in their sacred texts, the refusing of plurality, and the aim
to nation disintegration. There are already many experts trying hard to describe the social
phenomena, but they don’t even come into a consensus. Therefore, religious radicalism is still
having the predicate of anomaly and antagonism. If so, what then can be done by the state,
particularly the government to handle religious radicalism?
This writing tries to respond the problem above. The first solution, every citizen has to
know what and who the nation-state of Indonesia is. The identity of Indonesia is not a
religion-state or a secular-state, but a Pancasila nation-state. Pancasila is the crystallizing of
Indonesian culture local wisdom. So, it can be better to mention that Indonesia is a nation-
state with its culture Pancasila. The founding of Indonesia as a nation-state since August 18th
,
1945 till this moment is a compromise among the multiplicity of Indonesian culture and the
friction between the culture of West and East. The negotiation to reach this compromise has a
very long and crucial history. If every citizen of Indonesia understands this historical identity
of Pancasila, religious radicalism that orienting on disintegration can be tackle.
Religious radicalism is a complex, antagonist, and anomaly social phenomena.
Therefore, the second effective solution against this problem has to be comprehensive. There
are several theoretical approaches that already being popular in the advance nations. They are
rational discourse of Jurgen Habermas, the reconstruction of past fragmentary from Hannah
Arendt, the bonding and bridging mechanism of Robert Putman, the modality of Anthony
Giddens, creating new phrase in saving differend of Jean-Francois Lyotard, the ethics of
2
Emmanuel Levinas, and the ideality of postmodern (freedom, plurality, tolerance). All these
approaches can be applied in Indonesia to handle the religious radicalism.
Indonesia is huge cultural nation since the era of pre-Hinduism. The founding of
nation-state Indonesia is based on the heterogenity of local wisdom crystalized into Pancasila.
Therefor, the ideology of Pancasila is a myhte concerning good life as a nation-state, a value
attracting people’s minds and actions, and as a norm guiding citizen’s behaviour. Thus,
Pancasila actually contains and reflects the affluence of Indonesian cultures. Various local
wisdoms in Indonesia since the very past time are already able to mediate and create living
well together. Thereby, Indonesia infact has its own genuine solving-problem approaches,
includes solving religious radicalism. There are more and less four most effective
approachess, namely mutual cooperation as deliberation for consensus, religious laicism as
compromistic philosophy, the norm of harmonious and honor as good life principle, and the
approach of ajrih-asih (being firm-love). If the state faces religious radicalism with these four
approaches, the religious radicalism can be solved.
Key Word: Religious Radicalism, Nation-State, Ideology Pancasila, Indonesian Culture
3
I. PENDAHULUAN
1.1 Potret Masalah Radikalisme Agama
Topik radikalisme agama merupakan masalah yang selalu faktual dan aktual di bumi
Indonesia. Wahid Institute mengeluarkan tesis bahwa kekerasan atas nama agama merupakan
masalah yang sangat serius di Indonesia. Setara Institute mencatat, pada tahun 2013 terjadi
222 insiden kekerasan atas nama agama di 20 provinsi. Kasus-kasus ini terjadi karena
pemerintah lambat dan tidak tepat menanggapi kelompok-kelompok Muslim garis keras di
Indonesia1. Fakta ini menggambarkan sepintas lalu potret proliferasi radikalisme agama yang
sangat subur di Indonesia. Masih banyak warga Indonesia yang belum menerima fakta,
apalagi memperjuangkan pluralitas agama, etnis, dan budaya di Indonesia. Akibatnya,
kekerasan atas nama agama di Indonesia sudah mencapai tingkat dan status ‘gawat-darurat’.
Liarnya gurita radikalisme agama berpotensi menebarkan ambisi disintegrasi bangsa. Negara,
pemerintah, dan segenap bangsa tidak boleh menutup mata terhadap fenomena ini bila masih
menginginkan Indonesia yang utuh.
Di awal tahun 2016, muncul dua tragedi menghebohkan masyarakat Indonesia.
Pertama, peristiwa teror tragis di jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, 14 Januari lalu.
Peristiwa pengeboman ini menewaskan 8 orang dan 27 orang menderita luka-luka. Pihak
kepolisian mengatakan bahwa eksekutor lapangan dan aktor intelektual bom Thamrin
berafiliasi dengan ISIS. Dian Juni Kurniadi, Sunakim, Muhamad Ali, dan Ahmad Muhazan
merupakan keempat pelaku yang berada di bawah arahan Bahrum Naim (Abu Rayyan).
Bahrum Naim membelot ke Suriah dan bergabung dengan ISIS sejak Mei 20142. Selain
terhubung dengan Bahrun Naim di Suriah, para pelaku Bom Thamrin juga berada di bawah
pengarahan Jamaah Ansharut Daulah yang didirikan Aman Abdurrahman. Sejak Januari
2014, Aman berbaiat ke ISIS. Sejak saat itu, Jamaah Ansharut Daulah berhaluan ISIS.
Struktur ISIS di Indonesia dikepalai oleh Aman sebagai ketua3. Peristiwa kedua adalah
fenomena Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara). Komunitas Gafatar disebut media dan banyak
pihak sebagai ormas keagamaan. Gafatar diberitakan membangun ajaran sendiri dengan
menggabungkan tiga kitab suci, yaitu, Taurat (Yahudi), Injil (Kristen), dan Al-Quran (Islam).
Ormas ini dikatakan bertujuan membangun negara sendiri di dalam NKRI. Mereka memiliki
struktur semacam ‘kenegaraan’ yang rapi. Para anggota Gafatar direkrut dari berbagai
1 http://www.news.va/en/news/asiaindonesia-widespread-religious-violence-in-ind, diakses pada 15 Maret 2016.
2 Tempo, 25-31 Januari 2016, hlm. 32-35.
3 Tempo, 1-7 Februari 2016, hlm. 28-32.
4
wilayah di Indonesia. Salah satu proyek besar mereka adalah membangun kedaulatan pangan.
Ketua umum Gafatar, Mahful M. Tumanurung, mengatakan bahwa organisasi ini sudah
mendeklarasikan pembubarannya pada 13 Agustus 20134. Namun, klaim ini dipertanyakan
menyusul kasus ‘orang hilang’ di berapa wilayah di Indonesia. Pembakaran pemukiman
kelompok Gafatar mengawali tragedi mereka. Pemerintah kemudian berinisiatif
memulangkan para warga Gafatar ke daerah asal masing-masing.
Profil kasus bom Thamrin dan Gafatar memiliki orientasi yang berbeda dan bahkan
bertentangan. Skenario bom Thamrin merupakan ekspresi radikalisme agama teroris Aman
Abdurahman dan para koleganya, sedangkan ormas Gafatar malah berusaha menyatukan para
pengikutnya dari berbagai latar agama ke dalam satu keyakinan yang bertumpu di atas tiga
kitab suci: Taurat, Injil, dan Alquran. Kedua fenomena ini mengartikulasikan dua hasrat yang
saling berkontradiktoris, yakni penolakan atas pluralitas di satu sisi dan perjuangan akan
plural-sinkretis di sisi lain. Namun, Gafatar sebenarnya bukan perjuangan atas pluralisme,
melainkan upaya totalitarianisme sinkretis yang ingin memangkas perbedaan dan
mencampurkan unsur-unsur yang berkesinambungan. Dengan kata lain, Gafatar juga
merupakan sebentuk fenomena radikalisme agama karena berpretensi menyatukan semua
heterogenitas ke dalam satu kesamaan yang mutlak.
Tragedi bom Thamrin dan Gafatar memiliki corak yang identik sebagai kasus
keagamaan. Selain itu, menariknya insiden bom Thamrin dan Gafatar hampir terjadi pada
kurungan waktu yang bersamaan, Januari 2016. Aktivitas terorisme memang sudah masif
berjalan sejak awal tahun 2000-an, tetapi bom Thamrin baru direncanakan sekitar akhir tahun
2015 dan pelaksanaannya pada 14 Januari. Sementara itu, ormas Gafatar sudah merumput di
Indonesia sejak 2011. Namun, tragedi Gafatar bermula dari penghancuran pemukiman
kelompok Gafatar di Mempawah, Kalimantan Barat dan pemulangan paksa para warga
Gafatar ke tempat asal mereka. Nasib hidup para warga eks-Gafatar akhirnya menuai
kesuraman. Para aktor bom Thamrin dan Gafatar juga memiliki keserupaan tujuan,
membangun negara Indonesia dengan konsepsi dan cara mereka sendiri. Dengan kata lain,
keduanya menuntut disintegrasi atau dekonstruksi eksistensi Republik Indonesia dan
rekonstruksi negara baru. Maka, tidak bisa dipungkiri bahwa kedua kasus di atas menambah
litani pengejawantahan radikalisme agama yang berorientasi pada disintegrasi bangsa.
Para aktor bom Thamrin dan ormas Gafatar penulis sebut sebagai para antagonis-
agamais. Disebut antagonis karena mereka melakonkan skenario sebagai pemeran-pemeran
4 Tempo, 1-7 Februasi 2016, hlm. 26.
5
yang melawan tatanan umum dan beratribut negatif. Disebut agamais karena gerakan mereka
bernuansa agama atau memiliki motif keagamaan. Dua peran ini penulis satukan dengan
terminologi para antagonis-agamais dengan maksud mereka adalah orang-orang yang
melawan tananan umum dengan motif keagamaam. Maka, semua solusi prosedural yang
penulis tawarkan dalam esai ini sebagai strategi dan taktik untuk menyikapi fenomena
radikalisme agama penulis sebut sebagai seni mendekati para antagonis-agamais.
1.2 Rumusan Permasalahan dan Metode Penelitian
Tertusuk dengan fenomena radikalisme agama yang merongong integrasi bangsa,
lantas apa yang bisa dilakukan negara? Penulis akan membahas masalah ini dalam seluruh
esai ini. Namun, sebelum mengeksplorasi topik utama pembahasan esai ini, penulis akan lebih
dulu memperjelas definisi identitas negara dan bangsa Indonesia. Penolakan akan realitas
heterogen etnis, budaya, dan agama di Indonesia acapkali disebabkan oleh ketidaktahuan dan
kekeliruan orang atas identitas negara-bangsa (nation-state) Indonesia dan identitasnya
sebagai warna negara. Maka, penulis akan mengelaborasi alur tulisan ini dengan menganalisis
dua persoalan. Pertama, apa dan siapa negara-bangsa Indonesia? Kedua, strategi pendekatan
apa yang dapat dilakukan negara untuk membendung persebaran paham radikalisme agama
yang memperjuangkan disintegrasi bangsa Indonesia? Untuk menjawab kedua masalah ini,
penulis akan menempuh jalur penelitian kepustakaan.
1.3 Tujuan Penulisan dan Sistematika Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini adalah merekonstruksi identitas bangsa Indonesia di era
ini dan mencoba menawarkan racikan taktik teoritis-atraktif untuk mereaksi eksistensi pihak-
pihak antagonistis radikalisme agama dalam negara ini. Di dalam kerangka ini, penulis
mengelaborasi alur uraian ini dengan sistematika berikut. Pertama, uraian ini dibuka dengan
pengantar berupa narasi singkat mengenai kompleksitas dan proliferasi fenomena radikalisme
agama yang tengah marak di Indonesia. Kedua, penulis akan memperjelas duduk perkara
identitas bangsa dengan menjawab pertanyaan, “siapa dan apa negara-bangsa Indonesia?”.
Bagian ini akan diklasifikasikan ke dalam beberapa subtopik. Ketiga, penulis akan
memetakan soal inti esai ini, “apa yang bisa dilakukan negara untuk menyikapi radikalisme
agama?”. Tilikan atas masalah utama ini akan dimulai dengan beberapa pendekatan yang
sudah lazim di pentas dunia. Kemudian, penulis akan menawarkan beberapa pendekatan
dengan analisis pribadi. Pada bagian analisis pribadi, penulis akan mengangkat kekayaan
6
budaya Indonesia yang bisa menjadi pendekatan menarik dan tidak kalah kualitasnya dengan
teori-teori dari luar Indonesia. Keempat, esai ini akan ditutup dengan sebuah rangkuman
umum mengenai seluruh isi esai dan sebentuk rekomendasi akademis.
7
II. IDENTITAS NEGARA-BANGSA INDONESIA
Pertanyaan mendasar yang hendak digubris penulis pada bagian ini adalah “siapa dan
apa negara-bangsa Indonesia?”. Makna di balik pertanyaan ‘siapa’ dan ‘apa’ merupakan soal
sintaksis dan semantik yang sudah lazim kita ketahui, baik dalam ruang formal (SD-
Perguruan Tinggi) maupun di dalam ruang informal seperti percakapan harian di tempat-
tempat umum. Di dalam ruang informal, percakapan dapat berlangsung tentang ‘siapa’ dan
‘apa’ tanpa definisi eksplisit. Dunia kehidupan harian kita mengandaikan bahwa implikasi di
balik kedua kata tanya ini sudah diketahui secara implisit. Dalam esai ini, tanpa membuang
makna lumrah kedua kata ini, penulis akan meneropong identitas ke-Indonesia-an kita, siapa
dan apa negara-bangsa Indonesia, dengan perspektif filsafat hermeneutika dan politik.
Sebelumnya, penulis akan memetakan definisi radikalisme agama di bawah pertanyaan ‘apa’
dan ‘siapa’ untuk memperjelas konsep radikalisme agama yang dimaksudkan dalam esai ini.
Untuk mempermudah aliran alur dan logika elaborasi, penulis akan
mengklasifikasikan topik ini ke dalam enam subtopik, yakni siapa dan apa radikalisme agama,
ihwal identitas, negara (state) dan bangsa (nation), negara-agama (religion-state) atau bangsa
beragama, negara-sekularis (secular-state) atau negara-bangsa (nation-state), Indonesia
pancasilais, Indonesia sebagai negara-bangsa berbudaya, dan diakhiri dengan sebuah sintesis.
2.1 Siapa dan Apa Radikalisme Agama?
Penjelasan para ahli sosialogi atas fenomena radikalisme agama belum menuai
kesepakatan. Masih ada keberagaman dan perbedaan paham. Namun penulis dalam esai ini
akan memahami terminologi radikalisme agama menurut arti etimologisnya dan tiga kriteria
yang ditemukan Horace M. Kallen. Secara etimologis istilah radikalisme berasal dari istilah
Latin “radix” yang berarti akar. Maka, berpikir radikal berarti penalaran yang mencari sampai
ke akar atau pola pikir yang mengakar. Tambahan isme mengkonotasikan radikalisme sebagai
paham atau pola pikir yang ekstrim. Karena itu, radikalisme agama dapat berarti pola pikir
dan penghayatan keagamaan yang terlalu mengakar. Namun mengakar di sini tidak dalam arti
mendalam, melainkan ekstrim dan berbau politik. Para ekstrimis biasanya menolak tatanan
politik tertentu dan ingin menggantikan tatanan yang ada dengan tatanan alternatif mereka.
Maka, radikalisme agama dalam arti leksikal, penulis maknai sebagai perlawanan dan
penolakan atas tatanan politik yang ada dan menggantinya dengan tatanan lain menurut
paham agamanya. Radikalisme agama berarti memaksakan ajaran agama sendiri sebagai
pedoman hidup bersama dalam suatu negara.
8
Ada pula kriteria deskripsi radikalisme Horace M. Kallen. Menurut Kallen, ada tiga
kecenderungan umum yang mencirikan radikalisme5. Pertama, radikalisme merupakan
respons terhadap kondisi yang tengah berlangsung berupa evaluasi, penolakan atau bahkan
perlawanan. Kondisi yang ditolak antara lain asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang tengah
dihayati bersama. Kedua, radikalisme tidak hanya menolak, tetapi juga berusaha mengganti
tatanan yang ada dengan tatanan lain. Ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat
atas kebenaran ideologi atau ajaran yang mereka anut. Karena itu, nyawa pun bisa mereka
korbankan demi kemenangan ideologi mereka. Dalam konteks isi seluruh esai ini, penulis
memaksudkan kelompok radikalis agama sebagai orang-orang yang menolak, melawan, dan
ingin menggantikan tatanan hidup bernegara dan berbangsa Indonesia yang dilandasi oleh
Pancasila dengan ajaran agama atau ideologi mereka yang lain. Dengan kata lain, para
radikalis agama adalah mereka yang merongrong keutuhan Indonesia dan memperjuangkan
disintegrasi bangsa.
2.2 Ihwal Identitas
Filsuf Perancis Paul Ricoeur memakai dua kata dalam bahasa Latin untuk
menggambarkan istilah identitas, yakni ipse dan idem. Ada sinonimitas parsial ekuivokalitas
antara istilah same (meme-Perancis) dan identical dalam bahasa Perancis, tetapi tidak dalam
bahasa Inggris dan Jerman. Yang sama (the same) berkontraris dengan other, contrary,
distinct, diverse, unequal, inverse6. Di dalam bahasa Indonesia, kedua kata ini memiliki
makna yang sama, kesamaan atau yang sama, tetapi ada perbedaan esensil secara
hermeneutis. Kata idem berarti being the same, the sameness, sedangkan ipse bermakna
oneself as self-same, selfhood. Identitas sebagai ipse menunjuk pada self-constancy (diri yang
tidak berubah), sedangkan sebagai idem identitas mencakupi perubahan di dalam kohesi
hidup7. Idem menunjukkn bahwa hidup manusia ada dalam permanesi waktu sehingga selalu
ada perubahan kecil. Ipse tetap sama. Idem menjawab soal “what am I?”, sedangkan ipse
menjadi “who am I?”8. Terminologi same (meme) menunjukkan ‘apanya’ (quiditas: inti) dari
sesuatu yang dibicarakan (a matter of the being or the thing in question). Sementara itu,
identitas sebagai ipse melibatkan dialektika selfhood dan sameness, yakni dialektika self dan
other than self. Bila hanya berada dalam lingkaran samenss-identity kelainan dari other than
5 Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo, Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM-IAIN, 1998, hlm. xvi-xviii.
6 Paul Ricouer, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey; Chicago and London: The University of Chicago
Press, 1992, hlm. 2-3. 7 Karl Simms, Paul Ricoeur, London: Routledge, 2003, hlm. 102.
8 Karl Simms, Paul Ricoeur, hlm. 103.
9
self tidak menghasilkan sesuatu yang baru, kecuali dalam perbandingan. Ke-liyan-an9 ini
konstitutif bagi selfhood. Selfhood dari oneself mengimplikasikan kelainan yang intim di
mana yang satu tidak bisa dipikirkan tanpa yang lain. Kata ‘as’ di sini tidak hanya
mengimplikasikan komparasi (oneself similar to another), tetapi juga implikasi (oneself in as
much as being other)10
. Bagi Ricoeur konsep karakter mampu menyatukan idem dan ipse.
Karakter terdiri dari dua disposisi, yakni habitus dan seperangkat identifikasi. Habitus
menempelkan historisitas pada karakter, suatu tanda distingtif yang dengannya seseorang
dikenali, direidentifikasi sebagai yang sama. Sementara itu, seperangkat identifikasi yang
dimaksud adalah yang dengannya yang lain masuk dalam komposisi dari yang sama. Kita
mengenal diri kita dengan mengidentifikasi diri dengan yang lain, yakni nilai, moral,
kebiasaan komunitas yang mana kita menjadi bagiannya11
.
Kompleksitas konsepsi terminologi identitas sebagaimana dikonstruksi oleh polaritas
istilah ipse dan idem di atas mendeskripsikan dua hal penting. Pertama, konsep identitas
mengandung permanensi dan perubahan sekaligus. Karakter aksidental-atributif identitas
bersifat kontigen, dapat berubah, tetapi substansinya permanen. What identitas dapat
‘menjadi’, sedangkan who identitas hanya ‘berada’. Kedua, gagasan identitas berciri
relasional. Keintiman relasi dengan yang lain menentukan fondasi identitas diri yang kokoh.
Identitas seseorang tidak bisa dibangun tanpa perjumpaan relasional dengan orang lain. No
man is an island. Kita tidak bisa mengenal diri tanpa berkonfrontasi dengan orang lain dan
dunia lain (nilai, moral, kebiasaan komunitas yang mana kita menjadi bagiannya). Pendek
kata, istilah identitas mengandung dialektika internal antara permanensi dan kontigensi,
keberadaan dan kemenjadian. Di atas kedua makna identitas inilah penulis akan berupaya
mengonstruksi identitas Indonesia di era ini. Siapa dan apa bangsa Indonesia? Eksistensi liyan
(the other) mana yang mengonstitusi bangsa Indonesia?
2.3 Negara (State) dan Bangsa (Nation)
Bila sejenak mengobservasi penggunaan istilah negara dan bangsa di dalam arena
percakapan kehidupan sehari-hari, kita tentu akan menemukan bahwa kebanyakan orang
memakai kedua diksi ini secara gamblang. Pemahaman makna kata negara dan bangsa
diandaikan secara implisit, seolah sudah dipahami sepenuhnya. Tidak jarang istilah negara
9 Penulis lebih memilih kata liyan dari pada lain dengan pertimbangan seperti yang diuraikan Budiarto Danujaya
dalam bukunya Demokrasi Disensus, Jakarta: Gramedia, 2012, hlm. xxi. 10
Paul Ricouer, Oneself as Another, hlm. 3. 11
Karl Simms, Paul Ricoeur, hlm. 103-104.
10
dan bangsa juga disinonimkan dan ditransposisikan. Apakah benar demikian? Ada banyak
definisi negara yang ditawarkan para penulis dalam berbagai literatur. Formulasi yang paling
diakui umum di era kontemporer adalah Max Weber. Weber mendefinisikan negara demikian,
“The state is a human society that (succesfully) claims the monopoly if the legitimate use of
physical force within a given territory”12
. Kekhasan konsep negara adalah suatu masyarakat
yang memiliki monopoli legitim untuk menggunakan kekerasan fisik dalam teritori tertentu.
Anthony Giddens kemudian mengklasifikasikan pandangan Weber ini ke dalam tiga poin
pokok: “(i) the existence of a regularized administrative staff able (ii) to sustain the claim to
the legitimate monopoly of control of the means of violence and (iii) to uphold that
monopoly within a given territorial area”13
.
Adapun penelitian Max Weber mengenai bangsa (nation). Weber menemukan bahwa
istilah bangsa tidak bisa dikonseptualisasi secara empiris. Sulit untuk menemukan satu kriteria
yang universal dan khas untuk mendefinisikan bangsa. Menurut penelitiannya, makna istilah
bangsa sebenarnya tidak sama sekali identik (dengan kata lain ada kemiripan) dengan
masyarakat dari suatu negara (people of a state), tidak didasarkan pada bahasa yang sama,
sentimen solidaritas etnis, ras, dan sentimen nasional. Genealogi istilah bangsa terkait dengan
“prestige” interest, yakni legenda dari suatu misi provindensial (legend of a providential
“mission”). Misi ini bisa dipikirkan sebagai sebentuk “culture” mission yang harus dipikul
dan diperjuangkan aktualisasinya oleh orang-orang yang menghuni teritori tertentu14
. Misi
providensial ini dalam kosa kata lain dapat dipahami sebagai mitos. Sementara itu, David
Miller mendeskripsikan bangsa secara lain. Bagi Miller, suatu bangsa biasanya
mengembangkan suatu mitos tentang kualitas moral dan budaya mereka yang unik,
kesuksesan militer dan politik, dan lain-lain. Suatu bangsa memiliki (baca share: berbagi)
bahasa yang diterima umum, sejarah hidup bersama, jejak-jejak budaya yang diekspresikan
tidak hanya dalam bentuk literaris, tetapi juga dalam lingkungan fisik sesuai kontruksi desa
dan kota, menurut bentuk tanah, monumen-monumen, bangunan-bangunan religius, dan lain-
lain15
.
Pendapat Weber dan Miller memiliki pertentangan dalam banyak hal, tetapi ada pula
kemiripan. Bila Weber mengatakan bahwa ras, bahasa, sentimen solidaritas nasional, dan
teritori bukan unsur esensil komposis definisi bangsa, Miller malah sebaliknya. Namun ada
12
Max Weber, From Max Weber: Essays in Sociology, trans. H.H. Gerth and C. Wright Mills, New York:
Oxford University Press, 1958, hlm. 78. 13
Anthony Giddens, The Nation-State and Violence, Cambridge: Polity Press, 1985, hlm. 18. 14
Max Weber, Economy and Society, Berkeley: University of California Press, 1978, hlm. 921-926. 15
David Miller, Political Philosophy, Oxford: Oxford University Press, 2003, hlm. 114-115.
11
satu hal yang sama pada kedua pemikir ini, yakni mitos. Weber dan Miller sepakat bahwa
identitas suatu bangsa diikat oleh suatu mitos yang sama. Mitos berbeda dengan fiksi. Mitos
bukan irasionalitas. Mitos memiliki rasionalitas hanya bisa dinalar dengan logika intern
masyarakat pemeluknya pada zamannya. Mitos adalah metode interpretasi dan artikulasi
kebenaran pada zaman tertentu dalam bentuk narasi. Mitos mengandung visi-misi akan suatu
tatanan hidup yang ideal dan kosmos. Mitos memproduksi dan mengkonservasi ajaran moral
dan nilai-nilai. Mitos merupakan produk budaya yang menjadi inspirasi material pembentukan
ideologi. Dalam bahasa politik modern, mitos sebenarnya adalah ideologi. Steger benar ketika
ia mendefinisikan ideologi sebagai “a system of widely shared ideas, patterned beliefs,
guiding norms values, and regulative ideal accepted as fact or truth by some group16
.
Firmanzah mengafirmasi gagasan in dengan mengartikan ideologi sebagai bahasa, simbol,
dan mitos17
. Persis, mitos-ideologi inilah yang menjadi ipse konsep bangsa, sedangkan
kesamaan bahasa, aspek teritori dan beberap unsur lain hanyalah idem bangsa.
Sebagai satu bangsa, Indonesia memiliki mitos. Ideologi Pancasila merupakan mitos
tersebut. Mitos ini diramu dari aneka mitos atau kearifan lokal yang tersebar di berbagai
daerah. Indonesia merupakan negara arkipologis yang terdiri dari heterogenitas suku bangsa.
Setiap suku bangsa lokal selalu memiliki mitos. Dengan kemampuan cita rasa budi dan karsa,
para bapak pendiri bangsa Indonesia berhasil menyatukan multiplisitas mitos-mitos lokal ke
dalam satu mitos bangsa, Pancasila. Visi-misi negara dan bangsa Indonesia adalah
memperjuangkan aktualisasi mitos ini.
Pemaparan di atas menunjukkan dengan jelas bahwa konsepsi negara dan bangsa
berbeda meskipun keduanya saling terkait. Bila negara berkarakter institusional, bangsa
berfitur komunal. Negara mengimplikasikan sekelompok masyarakat yang mengoperasikan
dominasi secara legitim, sedangkan bangsa merujuk pada sekumpulan masyarakat yang diikat
oleh mitos tertentu dan perjuangan untuk merealisasikan mitos tersebut. Negara dan bangsa
saling membutuhkan. Bangsa membutuhkan negara sebagai instrumen untuk
mengaktualisasikan mitos. Sementara itu, negara membutuhkan bangsa sebagai agen,
operator, dan pasien kekuasaan. Singkat kata, perpaduan negara dan bangsa bersifat
ontologis-instrumental. Sampai di sini, identitas Indonesia sudah sedikit disingkap. Indonesia
adalah negara dan bangsa yang diikat oleh mitos-ideologi Pancasila. Namun, masalahnya
apakah Indonesia adalah negara-bangsa, negara-sekularis (negara-sekularis berbeda dengan
negara-sekular. Negara sekular identik dengan negara-bangsa), atau negara-agama?
16
Firmanzah, Mengelola Partai Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, hlm. 93. 17
Firmanzah, Mengelola Partai Politik, hlm. 103.
12
2.4 Agama dan Negara
Berbagai problematika radikalisme agama dan invasi ruang privat warga di Indonesia
sering mencuat karena kekeliruan dan kesalahan interpretasi makna, fungsi, dan relasi agama
dan negara. Di satu pihak, ada kelompok tertentu yang memandang Indonesia sebagai negara-
agama (religion-state). Sebaliknya, di sisi lain banyak warga Indonesia juga memandang
Indonesia sebagai negara-sekularis. Masalahnya, bila negara Indonesia adalah negara-agama,
agama siapa yang dimaksudkan di sini? Bukankah masyarakat Indonesia jauh sebelum
kemerdekaan sudah memeluk pluralitas agama dan kepercayaan (agama menunjuk pada
agama-agama institusional-tertulis yang telah dilegalisasi negara, sedangkan kepercayaan
mengimplikasikan sistem kepercayaan lokal-lisan yang masih berbau adat-istiadat leluhur).
Sebaliknya, bila Indonesia dipahami sebagai negara-sekularis, bukankah bangsa Indonesia
sejak awal keberadaannya di atas gugusan arkipologi Nusantara sudah memiliki multiplisitas
sistem kepercayaan, bahkan sebelum agama-agama impor menguasai Indonesia? Kedua
fallacio (kesesatan logika) ini sekiranya menjadi pemantik yang membakar setiap warga
Indonesia untuk memikirkan kembal identitas bangsa Indonesia. Kalau Indonesia bukan
negara-agama atau negara-sekularis, lantas apa sebenarnya ke-Indonesia-an kita?
2.4.1 Negara-Agama (Religion-State) atau Bangsa Beragama
Masyarakat Indonesia sejak awal heterogen. Bukan hanya heterogenistas agamais,
melainkan semua hal yang merupakan produk budaya seperti bahasa, pola perilaku, tatanan
etis, sistem mata pencaharian, kepercayaan, ras, suku, pola pikir, dan lingkungan alam.
Tepatnya, Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya. Indonesia adalah
negara yang bangsanya berbudaya, kaya budaya. Atas pertimbangan keanekaragaman ini,
formulasi Pancasila, khususnya ayat satu direvisi. Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sejak
terpilih sebagai presiden dan wakil presiden pertama mendeklarasikan Indonesia sebagai
negara-bangsa (nation-state), bukan negara-agama (religion-state). Dengan demikian, klaim
bahwa Indonesia adalah negara-agama merupakan sebuah kekeliruan, kesalahan, dan
kesesatan. Pertumpahan darah, radikalisme agama, kasus-kasus SARA, dan distrintegrasi
bangsa muncul karena orang memaksakan perspektifnya dan berusaha mengubah identitas
Indonesia sebagai negara-agama. Tragedi Bom Thamrin merupakan sampel representatif
aktual paradigma ini. Kejadian Bom Thamrin adalah artikulasi ambisi koersif Aman
Abdurahman bersama para anggotanya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agama
versi mereka. Ajaran-ajaran agama sesuai tafsiran mereka, khususnya paham keselamatan
13
akhirat, menjadi legitimasi aksi brutal terorisme. Pembunuhan masal adalah tindakan heroik
bagi para teroris. Itulah sebabnya, mereka tidak segan-segan untuk mengorbankan harta dan
nyawa untuk memperjuangkan konsep negara versi mereka dan merengkuh keselamatan.
Para teroris bukan orang bodoh. Profil hidup para dalang Bom Thamrin menunjukkan
curiculum vitae mereka sebagai orang-orang berpendidikan. Itu artinya, mereka memiliki
kebenaran tertentu yang diperjuangkan. Kebenaran apa yang mereka pertaruhkan dengan
harta dan nyawa mereka? Berbagai kasus terorisme di Indonesia lazimnya muncul dengan
motif keagamaan. Orang-orang yang merasa keyakinan agamanya tidak diakomodir negara
dan merasa diri sebagai kelompok marginal cenderung bermain kekerasan. Ketika otak tidak
lagi mempan untuk memperjuangkan tujuan, otot menjadi solusi terakhir. Tentu ada banyak
motivasi yang melatari tindakan terorisme, tetapi agama merupakan motivasi pertama.
Melakukan kejahatan berdasarkan interpretasi ekstrim atas kitab suci merupakan fondasi
legitimasi yang sulit digoyahkan. Spiritualitas puritanisme ini melahirkan radikalisme agama.
Kurang lebih ada tiga alasan peran agama yang rentan kekerasan, yakni sebagai kerangka
penafsiran religius terhadap hubungan sosial (fungsi ideologi), faktor identitas, dan legitimasi
hubungan sosial18
. Pertama, sebagai ideologi agama menjadi perekat suatu masyarakat karena
memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan-hubungan sosial. Sejauh mana
suatu tantanan dianggap sebagai reprsentasi religius yang dikehendaki Tuhan? Kedua, agama
berperan sebagai faktor identitas: kepemilikan atas kelompok sosial tertentu memberi
stabilitas sosial, status, pandangan hidup, cara berpikir, etos, dan identitas etnis (Aceh
Muslim, Flores Katolik, Manado Protestan, dll). Ketiga, sebagai legitimasi etis hubungan
sosial, suatu tatanan sosial mendapatkan dukungan etis dari agama bila sesuai ajaran agama.
Abu Bakar al-Baghdadi menerjemahkan dengan baik ketiga peran agama ini. Dengan
penguasaan hukum Syariah, ia memberikan legitimasi atas tindakan-tindakan pasukan ISIS
yang tak terbayangkan di zaman ini: penyembelihan, bom bunuh diri, memerangi orang-orang
Syiah ataupun sesama Muslim lain dan semua orang yang menolak ambisinya. Ia
membenarkan kebiadaban ini dengan dalil-dalil agama19
. Perspektif Baghdadi ini diamini oleh
Aman Abdurahman dan para pengikutnya.
18
Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan Dan Diskriminasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2010, hlm. 84-85; Haryatmoko, Etika Politik & Kekuasaan, cet. 3, Jakarta: Buku Kompas, 2014, hlm. 71-73. 19
Tempo, 1-7 Februari 2016, 51-52.
14
2.4.2 Negara-Sekularis (Secular-State) atau Negara-Bangsa (Nation-State)
Istilah sekular berasal dari bahasa Latin saeculum. Secara leksikal, kata saeculum
berarti dunia, hal-hal profan atau duniawi20
. Istilah sekular ini persis berantonim dengan kata
sakral. Memasuki era modern, wacana perihal sekularisasi yang berakar kata sekular sangat
hangat di kawasan Eropa. Charles Taylor memaknai istilah sekularitas-sekularisasi dalam dua
ranah. Pertama, sekularisasi dalam institusi-institusi umumnya, secara khusus negara. Secara
sederhana sekularisasi berarti pemisahan dunia profan negara dari dunia sakral agama, atau
pengembalian negara dan agama ke dalam domainnya masing-masing. Sekularitas berarti
pelepasan atau terbebaskannya negara dari kungkungan bayang-bayang agama. Kedua,
sekularisasi dalam ruang publik. Dalam wilayah ini, sekularitas berarti segala bentuk aktivitas
manusi seperti ekonomi, sosial, politik, pendidikan, budaya, dan rekreasi, dan ajaran-ajaran
moral tidak bereferensi ke realitas ultim, Tuhan21
.
Berawal dari semangat inovatif sekularisasi ini, paham sekularisme menyembul dan
mendominasi panggung ruang publik di Eropa sejak awal menyingsingnya fajar era modern
hingga saat ini. Berbeda dengan semangat sekularisasi, tendensi sekularisme adalah
pengagungan hal-hal profan atau materi dan pengebirian eksistensi agama. Sekularisme
menganut materialisme dan ateisme. Bagi kaum sekularis (mereka yang ber-roh sekularisme),
agama tidak lain hanyalah opium yang membuat orang kecanduan, tidak sadar akan
kebudakannya, dan momok haus darah kekuasaan yang berwajah kesalehan. Kedua semangat
ini, sekularisasi dan sekularisme22
mencuat ke atas kontestasi pentas politik bersamaan
sebagai reaksi opositif-antitesis terhadap perang antar umat beragama yang menghantui Eropa
pada era pertengahan, abad 13-16. Eropa kala itu menganut sistem politik tunggal, teokrasi.
Teokrasi mencampuradukkan urusan politik dan urusan negara. Kebijakan negara ditentukan
oleh pemimpin agama. Pemimpin agama merangkap pemimpin negara dan berpredikat wakil
Tuhan, titisan ilahi, perpanjangan tangan Allah. Alhasil, perbedaan iman kepercayan antara
warga mengakibatkan peperangan. Ribuan nyawa melayang. Tragedi pilu ini menggerakan
dan memaksa banyak orang untuk menggulingkan rezim teokrasi absolutisme. Perkawinan
agama dan negara dipaksa cerai. Revolusi tidak bisa dipelak lagi. Kebencian atas instansi
agama dan para pemimpin, dalam hal ini Gereja Katolik dan Protestan, memenuhi relung hati
banyak warga. Gelombang gerakan anti agama bermunculan. Era modern Eropa dipenuhi
20
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000, hlm. 980. 21
Charles Taylor, A Secular Age, Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press, 2007, hlm. 1-2. 22
Penulis menggunakan istilah sekularis sebagai kata sifat untuk sekularisme dan istilah sekular sebagai kata
sifat untuk kata sekularitas atau sekularisasi.
15
dengan hasrat kemarahan dan kebencian atas eksistensi agama. Banyak orang beragama
meninggalkan agama. Agama tidak lagi sebagai sosok ibu yang mengayomi, tetapi malah
mengekang. Agama tidak produktif. Karena itu, untuk apa beragama?
Kekhaosan situasi sosial politik Eropa kala itu memaksa para teoritisi politik untuk
memikirkan kembali sistem politik teokrasi. Nicollo Machiavelli, Thomas Hobes, dan John
Locke adalah ketiga pemikir besar pada era itu. Bersama mereka inilah, sekularisasi menjadi
trend baru. Ketiga pemikir ini sepakat bahwa agama harus dipisahkan dari dunia politik.
Agama harus disekularkan. Bagi Machiavelli negara lebih tinggi dari agama. Agama hanya
berguna bagi negara bila menciptakan stabilitas dengan mengembangkan moralitasnya untuk
mengatur pola laku para pengikutnya23
. Realitas perang sipil memancing Thomas Hobbes
untuk memikirkan kembali kodrat manusia. Bagi Hobbes, manusia secara kodrati adalah
homo homini lupus (serigala bagi sesamanya). Karena itu, dalam keadaan alamiah manusia
selalu mengadakan kompetisi bellum omnium contra omnes (semua melawan semua). Sangat
sulit untuk membangun hidup bersama berdasarkan kodrat alamiah manusia. Maka, Hobbes
mengonstruksi negara Leviathan. Negara sebagai Leviathan dilukiskan Hobbes sebagai
manusia raksasa yang terdiri dari atas banyak manusia-manusia kecil. Hobbes memaksudkan
negara yang kekuasaan absolut berada di tangan seorang raja. Bagi Hobbes, seorang raja
harus memiliki kekuasaan yang tak tergoyahkan untuk menyatukan kepentingan dan
menumpulkan tendensi membunuh setiap warga24
. Berbeda dengan Hobbes, John Locke
memandang positif keadaan alamiah manusia. Bagi Locke, manusia dalam keadaan
alamiahnya hidup dalam keharmonisan. Kekhaosan baru muncul ketika keadaan alamiah
ditransfigurasi menjadi negara. Keadaan ini tidak bisa dikembalikan lagi ke state of nature.
Namun, negara bisa merevitalisasi kedamaian dan kesejahteraan alamiah manusia. Peran
negara ini hanya bisa dicapai bila kekuasaan negara tidak absolut. Locke mengusulkan negara
dengan triparti peran, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif25
. Konsepsi Locke ini
kemudian disempurnakan oleh Montesquei dan dianut negara-negara demokrasi hingga
dewasa ini. Ketiga pemikir besar di atas meletakan dasar teoritis sekularisasi dalam dunia
politik modern. Kekelaman masa lalu dan inspirasi dari ketiga tokoh besar di atas
melanggengkan sistem negara yang sekular hingga hari ini. Negara-negara modern entah
demokrasi entah sosialis menganut pola paradigma sekular.
23
E.A. Ress, Political Thought from Machiavelli to Stalin, New York: Palgrave Macmillan, 2004, hlm. 6-7. 24
F. Budi Hadirman, Filsafat Modern dari Machiavelii sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2007, hlm. 68-71. 25
F. Budi Hadirman, Filsafat Modern dari Machiavelii sampai Nietzsche, hlm. 80-81.
16
Konsepsi negara-bangsa (nation-state) muncul sebagai sebuah paradigma dan sistem
kenegaraan yang baru tepat dalam situasi transisi antara abad pertengahan dan modern. Ketika
rezim teokrasi absolut berakhir, paradigma nation-state muncul sebagai sistem politik baru
yang membawa angin segar. Kegelisan politis mulai tergusur oleh kedatangan harapan baru
akan kecerahan masa depan yang ditawarkan sistem nation-state. Nation-state adalah buah
dari semangat perjuangan sekularitas. Hasrat sekularisasi pasca perang agamais Eropa
melahirkan nation-state sebagai paradigma sistem negara baru yang sangat potensial dan
menjanjikan. Dengan demikian, negara-bangsa tidak lain adalah negara sekular, tetapi bukan
negara sekularisme yang anti agama. Negara-sekular sebutan lain untuk negara-bangsa dan
berbeda dengan negara-sekularis.
Secara legal-historis nation-state bermula dari Pakta Westfalia 1648 yang disepakati
pasca 30 tahun perang agama di Eropa26
. Pasca Pakta Westfalia, prosedur organisasi nation-
state dianut umum negara-negara Eropa dan negara-negara luar Eropa. Umumnya para
penulis mengasosiasikan nation-state sebagai bentuk negara yang mempersatukan
multiplisitas etnis dalam teritori tertentu. Nation-state juga acapkali diidentikan dengan
nasionalisme eksklusif yang beroposisi dengan semangat internasionalisme dan humanisme
universal. Itulah sebabnya, konsepsi dan paradigma nation-state diproblematisir dan dilabel
kedaluarsa pada era ini27
. Bagi penulis, pendefinisian di atas sangat sempit sehingga
paradigma nation-state menjadi problematis. Penulis mengusulkan pendekatan historis dan
etimologis untuk memahami terminologi ini. Sebagaimana diuraikan di atas, nation-state
muncul sebagai reaksi atas teokrasi absolut yang mengakibatkan perang saudara di Eropa
antara umat Protestan dan Katolik. Nation-state bukan tanggapan atas konflik etnis atau
perang antar negara. Etimologi term nation dan state seperti pada uraian sebelumnya juga
mengindikasikan pemaknaan yang berbeda dari pelabelan sempit di atas. Upaya penjajakan
konsepsi negara dan bangsa di atas memudahkan kita untuk memahami nation-state. Negara
adalah monopoli pemakaian kekerasan secara legitim oleh suatu masyarakat dalam lingkup
teritori tertentu untuk mengontrol kehidupan bersama, sedangkan bangsa adalah sekelompok
masyarakat yang dikonstruksi dan diikat dengan mitos tertentu. Dengan demikian nation-state
bisa diartikan sebagai penggunaan sarana kekuasaan yang legitim oleh sekelompok orang
untuk mengkonservasi dan merealisasikan mitos (ideologi) bangsa dalam teritori tertentu.
26
Haldun Gulalp (ed), Citizenship and Ethnic Conflict, London and New York: Routledge, 2006, hlm. 1. 27
Richard Higgott, “International Political Economy”, dalam Robert E. Goodin dan Philip Pettit, A Companion
to Contemporary Political Philosophy, Oxford: Blacwell, 1993, hlm. 171.
17
2.5 Indonesia Pancasilais
Setiap bangsa diikat oleh mitos atau ideologi tertentu dan negara merupakan aparatur
organisatoris untuk merealisasikan mitos ini dengan kekuasaan. Mitos (ideologi) bangsa
Indonesia adalah Pancasila. Asal-usul Pancasila memang sangat kontroversial hingga tahun
1970. Para sejarawan mempertanyakan, apakah kelima sila adalah gagasan Soekarno,
Presiden pertama Indonesia, atau Muhammad Yamin. Kontroversi ini baru berakhir ketika
Mohamad Hatta, Wakil Presiden pertama Indonesia, memberi kesaksian bahwa Pancasila
memang diformulasikan Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945. Sebelum mendeklarasikan Pancasila
sebagai ideologi bangsa, menurut Dr. Alfian (Prof. Ilmu Politik UGM 1950-an) Soekarno
meramu material Pancasila dari tiga sumber, yakni pluralitas nilai-nilai budaya lokal
masyarakat Indonesia, sosialisme Marxian, dan gagasan para pemikir Islam modern seperti
Muhammad Abduh dan Jamal al-Din al-Afgani28
. Setelah membakukan sumbangsih ketiga
sumber ini dalam lima sila, Soekarno baru mendeklarasikannya ketika ia terpilih sebagai
Presiden pertama RI. Meskipun demikian, Soekarno belum mendasari ideologi Pancasila
dengan telaah-telaah filosofis. Kekosongan fondasi filosofis ini mengundang perdebatan
sengit di antara para pemikir Indonesia. Di tengah pertikaian pendapat mengenai dasar
negara, dalam forum politik sidang Konstituante tahun 1959, seminar Pancasila I
diselenggarakan di Yogyakarta. Seminar ini merupakan upaya pendekatan akademis terhadap
masalah-masalah nasional. Awalnya, Sidang Konstituante ini berencana merumuskan UUD
sebagai pengganti UUDS 1950. Namun topik perdebatan kemudian bergeser ke dasar negara.
Pancasila diperdebatkan. Di dalam keremangan akademis inilah Prof. Dr. Dryarkara tampil
sebagai salah satu figur yang menyediakan landasan filosofis bagi Pancasila. Pandangan
Dryarkara ini diterima umum dan dikembangkan sebagai filsafat Pancasila hingga sekarang.
Dryarkara menilik Pancasila dengan kaca mata eksistensialisme Perancis. Menurut
Dryarkara Pancasila adalah sebuah artikulasi kodrat manusia. Pancasila mengekspresikan
actus essendi (cara berada manusia), yakni menjasmani, meng-Aku, dan meng-Kita29
. Cara
berada manusia tidak terpisah dari alam jasmani. Manusia tinggal dalam kesatuan dengan
dunia jasmani. Manusia membentuk alam dan sebaliknya alam membentuk manusia.
Berhadapan dengan alam, manusia tidak hanya berdistansiasi, tetapi juga menyatu dengan
alam. Manusia mempribadi dalam kontak dengan dunia jasmani. Karena itu, manusia adalah
28
Faisal Ismail, Islam, Politics and Ideology in Indonesia: a Study of the Process of Muslim Acceptance of
Pancasila, Montreal: Institute of Islamic Studies McGill University, 1995, hlm. 22-38. 29
A. Sudiarja, dkk., (ed), Karya Lengkap Driyarkara, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006, hlm. 938-
959.
18
roh yang menjasmani, atau roh yang menubuh dan sebaliknya badan yang meroh. Polaritas
antara manusia dan alam inilah yang memproduksi budaya. Budaya adalah hasil sentuhan
dunia manusia dan dunia alam. Selain menjasmani, manusia juga meng-Aku dan meng-Kita.
Meng-Aku dan meng-Kita merupakan dua cara berada yang tidak terpisahkan dan berjalan
bersamaan. Dalam filsafat manusia, Aku mengkonstitusi diri dalam konfrontasi dengan liyan,
secara khusus orang lain. Saya baru mengenal siapa saya ketika berelasi dengan orang lain.
Meng-Kita terbentuk dari meng-Aku. Kita bukan sebuah istilah kosong. Kata ganti orang
pertama jamak ‘kita’ dikonstruksi dari kata ganti orang pertama tunggal ‘saya’ dan orang
kedua tunggal dan jamak ‘kamu’. Rumusan matematisnya, saya+kamu= kita. Kita adalah
konstruksi relasi interpersonal aku dan kamu. Dengan demikian, meng-Aku pada saat yang
bersamaan sekaligus meng-Kita. Meng-Aku bukan milik eksklusif satu orang, melainkan
setiap orang. Karena itu, sebenarnya tidak ada meng-Kamu di sini. Dunia eksistensialisme
selalu bertolak dari subjek Aku. Relasi interpersonal Aku dan Aku (kamu) yang lalu
menciptakan Kita direkat oleh cinta kasih. Logika cinta kasih adalah AKU+KAMU (Aku-aku
yang lain)= KITA.
2.6 Indonesia: Negara-Bangsa Berbudaya
Pancasila bagi Soekarno bisa dipadatkan menjadi satu, yakni gotong royong.
Spiritualitas gotong royong merupakan differentia specifica (perbedaan khusus, khas) bangsa
Indonesia. Gotong royong adalah cara berada, pola dan nilai hidup yang bisa ditemukan
dalam seluruh suku bangsa lokal di tanah air Indonesia. Sebelum sila-sila Pancasila
diejawantahkan secara formal sebagai ideologi bangsa oleh Soekarno sejak 1 Juni 1945,
Pancasila sebagai budaya sebenarnya sudah dihidupi masyarakat Indonesia sejak berabad-
abad lalu. Pringgodigdo, salah satu anggota Komite V yang bertugas menginvestigasi
Pancasila, berpendapat bahwa 1 Juni 1945 hanyalah kelahiran terminologi Pancasila. Isi
Pancasila sudah berakar dalam cara berada masyarakat Indonesia sejak beberapa abad silam30
.
Kelima sila ideologi Pancasila merepresentasikan cara berada segenap insan
Indonesia. Masyarakat Indonesia ber-Tuhan. Sebelum mendeklarasikan diri sebagai negara
yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, panorama suku-suku Indonesia adalah
berkepercayaan (sila 1). Bahkan sebelum agama-agama besar dunia diimpor ke Indonesia,
masyarakat Indonesia telah memiliki kepercayaan asali. Hingga hari ini kita masih bisa
menemukan jejak-jejak kepercayaan asali ini dalam lebenswelt (dunia kehidupan), meminjam
30
Faisal Ismail, Islam, Politics and Ideology in Indonesia: a Study of the Process of Muslim Acceptance of
Pancasila, hlm. 30.
19
istilah filsuf Jerman Jurgen Habermas. Sistem kepercayaan masyarakat Indonesia bukan
keyakinan spekulatif abstrak dan sistematis, tetapi sungguh mendarat dalam kehidupan riil.
Karena itu, penyembahan terhadap wujud yang ilahi diwujudkan dalam junjungan tinggi atas
kemanusiaan (sila 2). Antropologi masyarakat Indonesia bukan manusia individualis,
melainkan komunal. Karakter khas Indonesia adalah masyarakat kolektif. Sistem
kekeluargaan orang Indonesia sangat komunal (sila 3). Kehidupan bersama ini selalu
dipimpin oleh orang-orang tertentu yang diyakini berhikmat (sila 4). Sistem permusyawaratan
representatif Indonesia saat ini mengadopsi pola tradisional masyarakat Indonesia dahulu
kala. Keputusan-keputusan yang bersangkut-paut dengan kemaslahatan komunal diambil oleh
tua-tua yang menjadi representasi warga dan diyakini sebagai perpanjangan tangan yang ilahi.
Orientasi musyawarah untuk mufakat yang diwakili sosok-sosok berhikmat adalah keadilan
sosial (sila 5). Budaya masyarakat Indonesia tidak mengenal keadilan liberal sebagaimana
digelontorkan banyak pemikir politik kontemporer seperti John Rawls. Kesejahteraan semua
orang dan keadilan sosial merupakan norma pengambilan keputusan dalam suku-suku lokal di
Indonesia.
2.7 Sebuah Sintesis
Uraian panjang di atas telah memetakan definisi dan relasi negara-bangsa, negara-
agama, negara-sekularis dan negara-bangsa (negara sekular), hakekat Pancasila, dan budaya
Indonesia. Tanpa bermaksud mengulang-ulang, penulis akan memperjelas formulasi identitas
bangsa Indonesia. Substansi atau identitas ipse bangsa Indonesia adalah mitos atau ideologi,
sedangkan unsur lainnya seperti kesamaan bahasa dan teritori adalah identitas idem atau
atribut akdisentalnya. Mitos Indonesia adalah ideologi Pancasila. Ideologi Pancasila
mengkristalkan budaya bangsa Indonesia yang beraneka ragam dan antropologi Indonesia.
Indonesia adalah negara-bangsa, bukan negara-agama atau negara-sekularis, yang disatukan
oleh mitos yang sama, yakni Pancasila. Pancasila adalah ramuan dari budaya-budaya
Indonesia, maka Indonesia tepatnya adalah negara-bangsa yang berbudaya. Kejelasan definisi
identitas negara-bangsa Indonesia ini akan sangat membantu negara menangani masalah
radikalisme agama.
20
III. SENI MENDEKATI PARA ANTAGONIS-AGAMAIS
Pada topik pembahasan sebelumnya, penulis sudah memperjelas soal identitas negara-
bangsa Indonesia. Indonesia bukan negara agama ataupun negara sekularis. Indonesia adalah
negara-bangsa yang berbudaya (beragama) dan memperjuangkan aktualisasi paripurna
struktur hidup baik bersama dalam dan dengan mitos-ideologi Pancasila. Dengan demikian,
problematika seputar identitas agen, siapa dan apa, sudah terjawab. Maka pada topik bahasan
ini, penulis akan menggali status questiones esai ini, “apa yang bisa dilakukan negara untuk
menyikapi radikalitas alteritas yang berkontradiktoris ini?”. Dengan kata lain, tindakan-
tindakan mana yang tepat bagi negara secara sosio-politis untuk mempertahankan dan
mengejar artikulasi sempurna struktur hidup bersama yang pancasilais. Upaya ini tidak lain
adalah strategi menjembatani berbagai kepentingan dan keliyanan antagonisme dalam tubuh
bangsa. Penulis akan memulai pembahasan topik ini dengan beberapa seni pendekatan yang
telah lazim di pentas dunia. Sebelumnya penulis akan memperjelas konsepsi radikalisme
agama untuk mempermudah penalaran dalam esai ini.
3.1 Negara sebagai mediasi
Negara merupakan pengejawantahan hasrat untuk hidup baik bersama dalam bentuk
institusi. Negara adalah institusionalisasi hasrat untuk membangun hidup bersama. Dalam
tataran administratif, negara merupakan aparatur pemerintahan yang mengatur hidup bersama.
Aktor atau agen hidup bersama ialah bangsa. Bangsa sendiri terkomposisi dari beragam
kelompok dan individu. Indonesia merupakan bangsa arkipologis yang memiliki diversitas
etnis, agama, dan budaya. Pluralitas eksistensi individu dan kelompok membawa di dalamnya
aneka kepentingan. Setiap kelompok dan setiap orang selalu memiliki kepentingan atau tujuan
hidup. Tidak menutup kemungkinan dalam kesamaan visi-misi, tetapi kepentingan selalu
berkarakter berbeda dan bahkan acapkali berkontradiktoris dan paradoksal. Keunikan visi-
misi setiap individu dan kelompok mempersulit unifikasi dan konsensus. Alteritas
kepentingan dan eksistensi liyan selalu menolak untuk disamakan. Penyeragaman merupakan
hegemoni, dominasi, dan berpotensi menciptakan ketidakadilan. Inilah yang disebut sebagai
fakta antagonisme.
Akan tetapi, hasrat akan hidup baik bersama merupakan suatu keniscayaan historis
dan tuntutan eksistensial. Manusia tidak mungkin mencapai kesempurnaan diri dan
kebahagian hidup dalam kesendirian. No man is an island. Aristoteles mengatakan bahwa
21
manusia adalah zoon politicon. Kebahagiaan, tujuan akhir hidup manusia, hanya tercapai bila
manusia mengaktualisasikan potensi dirinya dalam kebersamaan, entah melalui persahabatan,
entah berpolitik31
. Di tengah alteritas kepentingan dan hasrat yang sama untuk hidup baik
bersama, benturan kepentingan (conflict of interests) sangat rentan terjadi dalam hidup
bersama. Maka, peran negara sebagai institusi legal-formal adalah memediasi alteritas
kepentingan ini untuk mencegah benturan kepentingan dan membangun hidup baik bersama.
Menghadapi para ekstrimis yang menggaungkan radikalisme agama, negara harus
menemukan strategi yang tepat untuk mendekati para ekstrimis. Negara harus memediasi
kepentingan mereka dan kepentingan seluruh bangsa agar tidak terjadi disintegrasi bangsa.
Stabilitas hidup bersama adalah tanggung jawab utama dan wewenan legitim negara.
Masalahnya, bagaimana negara dapat memainkan fungsi mediatif ini di antara bermacam-
macam kubu antagonis? Pendekatan apa yang tepat bagi negara untuk menghadapi para
radikalis agama? Ada beberapa seni pendekatan yang sudah populer selama kurang lebih
empat dekade terakhir.
3.2 Beberapa Pendekatan dari Para Ahli
Pada bagian ini, penulis akan menganalisis solusi prosedural terhadap masalah
radikalisme agama dengan menawarkan beberapa seni pendekatan. Radikalisme agama
merupakan masalah sosial yang kompleks sehingga bisa ditilik dari berbagai sudut pandang.
Maka, penulis mencoba meneropong dan mendekati fenomena radikalisme agama dari
perspektif-perspektif para pemikir kenamaan dunia.
3.2.1 Diskursus Rasional—Jurgen Habermas
Pendekatan diskursus rasional ditawarkan oleh Jurgen Habermas, filsuf Jerman yang
dikenal sebagai generasi penerus mazhab Frankfurt di abad 20-21. Habermas mengatasi
kebuntuan teori kritik masyarakat yang dikembangkan oleh para pendahulunya seperti
Theodor Adorno, Max Horkheimer, dan Herbert Marcus. Kelemahan para pendahulunya
adalah menafsirkan konsep praxis hanya sebagai kemampuan teknis manusia atau tindakan
memanipulasi alam untuk kepentingan manusia32
. Implikasi pemahaman seperti ini dalam
relasi sosial adalah penggunaan tindakan strategis. Tindakan strategis adalah tindakan yang
31
Bdk. Frans Magnis-Suseno, Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 1-7,
22-23, 52. 32
Bdk. F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Jogjakarta: Kanisius, 2009, hlm. 44-46, 218-224,
250-254.
22
berorientasi pada keberhasilan seperti yang terjadi dalam tindakan mempengaruhi. Ada dua
macam mekanisme tindakan, yaitu tindakan untuk mencapai konsensus dan mempengaruhi.
Tindakan yang pertama dilakukan melalui diskursus rasional untuk mencapai pemahaman
bersama yang diterima secara intersubjektif, sedangkan mekanisme tindakan mempengaruhi
bertolak dari keyakinan monologal yang diklaim benar oleh seseorang tanpa persetujuan
orang lain33
. Habermas memecahkan kebuntuan itu dengan menunjukkan bahwa istilah praxis
bisa juga berarti tindakan rasional34
. Tindakan rasional bertumpu pada rasio komunikatif.
Habermas yakin manusia memiliki kemampuan untuk berwacana secara rasional. Implikasi
dari terobosan ini dalam relasi sosial adalah masyarakat bisa membangun relasi berdasarkan
diskursus rasional. Diskursus rasional membantu setiap peserta diskursus untuk mencapai
konsensus intersubjektif tanpa pemaksaan.
Untuk berdiskursus rasional, Habermas menunjukkan beberapa prosedur35
. Pertama,
semua orang yang mampu berbicara dan bertindak boleh berpartisipasi dalam diskursus.
Kedua, setiap peserta boleh mempermasalahkan setiap pendapat. Ketiga, setiap peserta boleh
mengajukan pendapat apapun. Keempat, setiap peserta boleh mengajukan sikap, keinginan,
dan kebutuhannya. Kelima, tak seorang pembicara pun boleh dihalangi untuk melaksanakan
hak-haknya yang tercantum dalam poin pertama hingga keempat. Prinsip utama diskursus
rasional adalah ketaatan pada asas universal. Hanya hasil diskursus atau kepentingan yang
dapat melewati tes universalisasi, dapat diterima oleh semua orang dalam kondisi yang sama,
diakui sebagai konsensus bersama36
.
Konflik muncul ketika orang tidak menggunakan kemampuan dialogisnya. Ketika
orang membisu, meskipun membisu juga adalah mengatakan sesuatu37
atau silensium juga
adalah sebuah percakapan38
, kekerasan muncul. Hannah Arendt mengatakan bahwa kekerasan
adalah komunikasi bisu paling nyata39
. Konflik kerapkali muncul karena orang dengan diam-
diam memandang yang lain sebagai lawan yang mengancam eksistensinya. Yang lain bisa
saja secara objektif menakutkan, tetapi bisa juga ketakutan itu adalah konstruksi mental
subjek yang takut dan kemudian mengobjekkan atau mengkambinghitamkan orang lain.
Teroris menyerang orang lazimnya bukan karena orang itu jahat, tetapi karena mereka
33
F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Jogjakarta: Kanisius, 2009, hlm. 35. 34
Bdk. F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, hlm. 71, 124-125, 171-172. 35
F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, hlm. 48. 36
F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, hlm. 50-51. 37
Jean-Francois Lyotard, The Differend, Minneapolis: University of Minnesota Press, 1988, hlm. 10. 38
Martin Buber, Between Man and Man, trans. Ronald Gregor Smith, London: Collins Clear-Type Press, 1947,
hlm. 19. 39
Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat, hlm. ix.
23
mempersepsi orang sebagai jahat40
. Maka sistem ketakutan subjek akan yang lain,
heterofobia, sebenarnya bersumber pada ketakutan akan dirinya sendiri, autofobia41
. Ketika
orang merasa dirinya terancam, ia akan menyerang orang lain untuk mengamankan
eksistensinya. Serangan ini tidak harus berdasarkan bukti objektif, tetapi bisa sebagai
artikulasi dari baying-bayang ketakutan personal.
Adapun dari sisi psikologi masa, munculnya kelompok-kelompok ektremis (struggle
group) acapkali disebabkan oleh tirani mayoritas. Ketidakpuasaan terhadap perlakuan
mayoritas dan rasa benci terhadap kelompok dominan menyatukan mereka hingga
membentuk struggle group. Dahrendorf mengatakan bahwa ada tiga kondisi yang mendorong
struggle group untuk melancarkan konflik: pertama, komunikasi terus-menerus di antara
orang-orang senasib; kedua, adanya seorang pemimpin yang membantu mengartikulasikan
ideologi, mengorganisasikan kelompok, dan memformulasikan kelompok dan rencana untuk
beraksi; ketiga, legitimasi kelompok di mata komunitas yang lebih luas42
.
Berkonfrontasi dengan para ekstrimis radikalisme agama, diskursus rasional menjadi
sangat urgen. Negara harus mengadakan komunikasi rasional dengan pihak-pihak konfliktual
untuk mencapai kesepakatan bersama. Pemerintah Indonesia sudah berkali-kali melakukan
pendekatan ini. Program deradikalisasi pemerintah merupakan salah satu bentuknya.
Pemerintah mengadakan diskusi dengan Aman Abdurrahman setelah ia ditangkap dan
dipenjarakan. Pemerintah juga berdiskursus secara rasional dengan Mahful M. Tumanurung,
ketua Gafatar, dan para anggota Gafatar yang dievakuasi dari Mempawah.
3.2.2 Rekonstruksi Seperpihan Masa Lalu—Hannah Arendt
Dalam bukunya The Origins of Totalitarianism, Hannah Arendt menunjukkan bahwa
totalitarianisme (Nazisme dan Stalinisme) memutuskan kontinuitas sejarah masyarakat
modern dengan menghancurkan kategori politik dan standar putusan moral masyarakat
oksidental. Akibatnya, masyarakat pasca-rezim Nazisme dan Stalinisme mengalami
kesimpangsiuran gagasan politis dan moral. Menghadapi masalah ini, Arendt mengusulkan
rekonstruksi makna masa lalu, di luar kerangka tradisi apapun, untuk mempreservasi nilai-
nilai (moral) dan pemikiran bermakna masa lalu dalam kesadaran modern. Hanya dengan
reapropriasi “the deadly impact of new thougths” kita dapat menghidupkan kembali makna
40
E. Armada Riyanto, Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hlm. 171. 41
F. Budi Hardiman, Massa, Teror, dan Trauma, Yogyakarta: Lamalera, 2010, hlm. 15-19. 42
Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial (Terj. Social Conflict), Pustaka Pelajar, 2009, hlm.
34.
24
untuk situasi era kontemporer sekarang43
. Strategi hermeneutik yang dipakai Arendt untuk
menghidupkan kembali makna masa lalu ini diadopsi dari Benjamin dan Heidegger. Benjamin
menggunakan metode historiografi fragmentaris untuk mengidentifikasi momentum-
momentum perpecahan (terputus), pemindahan, dan dislokasi dalam sejarah. Historiografi
fragmentaris ini memampukan kita untuk menemukan kembali potensi-potensi masa silam
yang hilang dengan harapan bahwa mereka dapat menemukan aktualisasi di masa sekarang.
Sementara itu, Heidegger menyumbangkan metode pembacaan dekonstruktif terhadap tradisi
filsafat Barat untuk membuka makna asli kategori-kategori dan membebaskan makna itu dari
lapisan tradisi yang distorsif. Hermeneutika dekonstruktif ini memampukan kita untuk
menemukan kembali pengalaman primordial yang sudah dilupakan tradisi filsafat.
Harapannya hermeneutik kritis dapat menyelamatkan harta masa lalu yang dilupakan
(forgotten treasure). Memang keseluruhan masa lalu tidak dapat diselamatkan lagi, tetapi kita
dapat menebus kembali elemen-elemen masa silam yang masih signifikan untuk situasi kita
sekarang. Mengambil kembali harta masa lalu itu dilakukan dengan reapropriasi kritis untuk
menemukan relevansi dan signifikansinya bagi masa sekarang dan inspirasi untuk masa
depan. Reapropriasi kritis berarti menyingkirkan klaim-klaim otoritatif tradisi dan kembali ke
genuinitas peradaban masa lalu44
.
Pendekatan Hannah Arendt di atas relatif baru di Indonesia, tetapi sudah lazim di
negara-negara Eropa dan negara-negara maju lainnya seperti Amerika Serikat dan Jepang.
Pendekatan ini sangat efektif untuk berkonfrontasi dengan para ekstrimis teroris dan ormas
Gafatar. Menghadapi kelompok-kelompok anomali seperti ini merekonstruksi masa lalu dapat
mengingatkan mereka akan perjuangan para pahlawan untuk membangun bangsa Indonesia di
atas satu dasar, Pancasila. Formulasi ideologi Pancasila sejak awal problematis. Ayat satu
sangat bernuansa Islamis. Menyikapi hal ini, para utusan dari Indonesia bagian Timur
meminta untuk diganti supaya aspirasi masyarakat Indonesia bagian timur dapat diakomodir.
Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta menanggapi positif usulan di atas demi kesatuan Republik
Indonesia. Maka, ayat satu Pancasila diubah ke dalam bentuk baku seperti sekarang. Dengan
demikian, Pancasila lahir sebagai sebuah ideologi kompromis yang diramu berdasarkan fakta
pluralitas Indonesia. Di balik kompromi ideologis ini, Pancasila sebenarnya menyimpan
gesekan dan benturan kepentingan kubu nasionalis, komunis, dan agamais Islam konservatif
yang berseteru kala itu. Tuntutan negara Islam Indonesia sudah menggema sejak diskusi awal
43
Maurizio Passerin D’Entreves, The Political Philosophy of Hannah Arendt, London & New York: Routledge,
1994, hlm. 4. 44
Maurizio Passerin D’Entreves, The Political Philosophy of Hannah Arendt, hlm. 5
25
kemerdekaan. Para founding fathers menangkap baik titik persoalannya dan berhasil
merumuskan Pancasila, dengan revisi ayat satu, sebagai jalan tengah. Akhirnya, Pancasila
menjembatani formulasi kehendak bersama untuk membangun institusi kenegaraan.
Jalan tengah yang diambil para founding fathers bukan sebuah negosiasi politik
hampa. Keputusan politik ini dilandasi perjuangan kemerdekaan yang melibatkan segenap
masyarakat Indonesia dari beragam latar budaya dan agama. Para pejuang dan pahlawan
kemerdekaan Indonesia berasal dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Kedaulatan
Indonesia tidak hanya dibangun oleh Indonesia bagian Barat (Jawa, Sumatra, Kalimantan).
Bukan hanya kaum Muslim yang mengorbankan nyawa untuk Indonesia yang jaya. Seluruh
masyarakat Indonesia, bagian Timur dan Barat, Muslim dan non-Muslim, mengorbankan jiwa
raganya untuk kemerdekaan Indonesia. Mengisafi kesatuan perjuangan dan kedalaman jiwa-
raga yang dikorbankan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, para founding fathers
merumuskan Pancasila dalam bentuk bakunya yang sekarang.
Pencerahan seputar geneologi kelahiran Pancasila dan ribuan nyawa yang beringsut
seperti di atas sangat penting untuk diangkat kembali dalam wacana publik dewasa ini.
Orientasi pengangkatan sejarah perjuangan masa lalu ini berguna untuk menyegarkan,
memperdalam wawasan historis dan menajam cita rasa kebangsaan. Sense of belonging insan-
insan Indonesia abad ini dapat dipupuk dengan menghadirkan kembali dalam wacana publik
fragmen-fragmen perjuangan para pahlawan yang tidak mengenal latar belakang agama, ras,
dan budaya. Radikalisme agama dan berbagai ekstrimisme yang berbau SARA dapat diredam
dengan cara ini. Paham-paham radikal yang diimpor dari luar dapat dibendung.
Fenomena antagonisme yang bertumbuh subur dalam tubuh bangsa saat ini sangat
potensial disebabkan oleh disorientasi historis. Wawasan warga Indonesia saat ini rentan
terbuai tawaran-tawaran semu aneka ideologi dan ajaran karena warga mengalami
keterputusan rasa kebangsaan dengan masyarakat Indonesia era perjuangan kemerdekaan.
Apabila kesatuan dan kekompakkan kerjasama warga Indonesia era pra-kemerdekaan dan
pasca-awal kemerdekaan direvitalisasi dan diaktifkan kembali dalam wacana publik,
keterputusan cita rasa kebangsaan dan disorientasi historis dapat dibangun kembali. Negara
dan pers melalui media-media sosial memainkan peran utama dalam proyek ini. Meskipun
demikian, tidak tertutup kemungkinan bagi masyarakat luas. Era ini dikenal dengan era
digital. Kita mengenal neologi-neologi seperti demokrasi digital, republik facebook, dll.
Dunia maya tiga dekade sebelumnya masih disebut sebagai dunia hiper-riil. Namun, antara
dunia maya dan dunia riil Indonesia abad 21 hampir tidak ada lagi disparitas, jurang pemisah.
26
Kalangan nitizen mayoritas berasal dari kaum muda. Bagi kaum muda, ketidakhadiran di
dunia maya sama dengan tidak ada. Dalam situasi digital seperti ini, peran negara dan pers
sangat vital untuk membangun kembali Indonesia yang bersatu di era ini dengan
merekonstruksi serpihan makna sejarah perjuangan para pahlawan yang tak pandang bulu.
3.2.3 Mekanisme Bonding dan Bridging—Robert Putman
Istilah bonding dan bridging dipopulerkan oleh Robert Putman dalam bukunya
Making Democracy Works (2004). Secara singkat, konsep bonding dan bridging berkaitan
dengan soal membangun jembatan relasi dengan orang atau kelompok lain. Putman
memaksudkan bonding sebagai membangun jaringan sosial di antara kelompok homogen,
memperkuat kapasitas kelompok marginal, dan menjaga kepentingan kelompok dari invasi
kelompok lain. Sisi negatif pendekatan bonding adalah menciptakan ruang bagi tindakan
diskriminatif, intoleransi dan memantik kebencian terhadap kelompok lain. Istilah bridging
berfungsi menyempurnakan sisi gelap bonding ini. Pendekatan bridging memungkinkan
jejaring antar kelompok sosial heterogen. Bridging memampukan berbagai kelompok berbeda
untuk berbagi wawasan dan pengalaman45
.
Kelompok-kelompok radikal-agamais sangat subur berkembang karena hanya
membangun relasi di antara sesama mereka yang seagama. Ketika orang menolak untuk
melihat diri dengan kaca mata orang lain, ia semakin buta terhadap keberbedaan. Maka
menutup diri terhadap sesama yang berbeda agama dan budaya merupakan humus bagi bibit
radikalisme agama. Indonesia adalah bangsa yang tingkatan heterogenitasnya sangat tinggi.
Maka, benturan kepentingan, bentrokan fisik, dan proliferasi satanisasi lazimnya muncul dari
kelekatan pada mekanisme bonding, membangun relasi hanya dengan sesama yang homogen.
Menyikapi pendekatan bonding seperti ini, peran negara adalah negara menyempurnakan
pendekatan bonding dengan bridging. Negara harus membongkar keengganan kelompok
homogen untuk bergaul dengan kelompok lain yang berbeda. Negara hadir sebagai fasilitator
dan mediator kelompok-kelompok homogen untuk membangun jaringan. Negara berperan
penting untuk menggerakkan dan menciptakan ruang yang kondusif bagi perjumpaan
langsung seperti kerja bakti di lingkungan Masjid oleh kaum Kristiani dan agama lain dan
sebaliknya. Keseringan perjumpaan sangat berfaedah untuk meruntuhkan prasangka buruk
dan ketertutupan. Realitas keberagaman Indonesai meniscayakan penggunaan mekanisme
bonding dan bridging untuk mencegah radikalisme agama.
45
Kompas, 27 Februari 2016, hlm. 7.
27
Mereaksi kelompok antagonis radikal yang berwawasan seperti teroris Aman
Abdurahman, Bahrun Naim, dan Gafatar sangat tidak manusiawi bila negara bermain otot.
Mereka adalah orang-orang berakal yang sebenarnya bisa diajak berwacana. Mengangkat
senjata bagi orang-orang berpengetahuan seperti in tentu merupakan alternatif terakhir. Ketika
otak tidak lagi mendapat tempat, otot menjadi jalan satu-satunya. Dalam situasi seperti ini,
peran negara yang sangat vital adalah memainkan skenario bonding dan bridging. Negara
harus tampil sebagai fasilitator yang memudahkan kelompok-kelompok ekstrimis untuk
bergaul dengan masyarakat luas. Pengalaman adalah guru terbaik yang mampu mengajarkan
orang banyak hal. Melalui mekanisme bonding, negara mencoba menjembatani relasi antar
kelompok ekstrimis dan melalui prosedur bridging negara berusaha menghubungkan
kelompok ekstrimis dengan warga luas.
3.2.4 Modalitas Anthony Giddens
Anthony Giddens menyebutkan ada tiga bentuk interaksi sosial, yakni interaksi
komunikasi, kekuasan, dan sanksi atau moralitas. Di antara ketiganya, peran modalitas paling
menentukan perubahan realitas sosial. Modalitas terdiri dari kerangka penafsiran, fasilitas,
dan norma. Penanganan kelompok-kelompok radikal sebaik apapun tanpa kejelasan modalitas
tidak akan menghasilkan perubahan. Program deradikalisasi yang hanya bermain pada ranah
diskusi atau pencerahan dan pelurusan kerangka berpikir sangat kecil kemungkinan untuk
mengubah arah hidup para teroris. Tidak cukup hanya mengubah kerangka berpikir para
ekstrimis. Negara harus menyiapkan fasilitas seperti rumah penampungan untuk membatasi
ruang gerak dan mengontrol tabiat mereka, menyiapkan lahan kerja para ekstrimis
menimbang banyak menjadi frontal karena himpitan ekonomi, dan memediasi perjumpaan
dengan umat agama lain. Selain fasilitas, negara juga harus memiliki hukum yang jelas
dengan sanksi berat untuk mencegah terulangnya aktivitas radikalisme agama. Bila program
deradikalisasi mengindahkan ketiga modalitas di atas, habitus para teroris pasti bisa diubah.
Pendekatan diskursus rasional, rekonstruksi masa lalu, dan bonding dan bridging harus
memiliki modalitas supaya efektif.
3.2.5 Pendekatan Power in Common, Act in Concert, dan Domination—Paul Ricoeur
Terminologi power in common adalah ciptaan pemikir Perancis Paul Ricoeur. Ia
mendefinisikan power in common sebagai “the capacity of the members of a historical
28
community to exercise in an indivisible manner their desire to live together”46
. Gagasan
Ricoeur ini persis terinspirasi dari ide Hannah Arendt tentang action, power, dan action in
concert. Arendt adalah seorang pemikir filsafat politik wanita keturunan Yahudi-Eropa yang
sempat mengalami kekejian diktator Hitler. Itu alasannya seluruh konstruksi pemikirannya
adalah diskursus perlawanan terhadap totalitarianisme rezim Nazisme. Ia mendefinisikan
action sebagai, “the only activity that goes on directly between men without the intermediary
of things or matter, corresponds to the human condition of plurality”47
. Arendt juga
mendefinisikan power dan action in concert sebagai, “Power corresponds to the human ability
not just to act but to act in concert. Power is never the property of an individual; it belongs to
a group and remains in existence only so long as the group keeps together”48
. Sepakat dengan
Arendt, bagi Ricoeur kekuasaan selalu merupakan properti kelompok, bukan individu.
Kekuasaan lahir dari hasrat bersama setiap orang, setiap warga, untuk membangun hidup
bersama. Karena itu, kekuasaan hanya ada bila orang bertindak bersama, action in concert.
Arendt mengusulkan pendekatan action in concert dalam mengorganisir hidup bersama. Ia
tidak setuju dengan pendekatan dominasi sebagaimana dilakukan oleh rezim Hitler.
Pendekatan power in common dalam bentuk kasar identik dengan people power sebagaimana
masyarakat Filipina melengserkan tahta presiden tiran Ferdinan Marcos pada 198649
. Namun
sejatinya, mekanisme power in common bermaksud menguatkan hasrat masyarakat untuk
membangun struktur hidup bersama tanpa kekerasan. Ricoeur sependapat dengan Arendt
dalam membedakan legitimate “power in common” dari illegitimate “power over”.
Kehidupan bernegara dan berbangsa yang baik selalu memakai kuasa bersama yang legitim.
Dominasi dan kekerasan harus dihindari. Institusi negara harus hadir sebagai perantara yang
mengarahkan kehendak warga menuju hidup baik bersama. Strategi ini tidak dilaksanakan
dengan dominasi dan kekerasan (totalitarianisme), melainkan dengan mengayomi kehendak
bersama warga.
Akan tetapi, Ricoeur juga setuju dengan Max Weber bahwa intitusi-institusi politik
dikarakterisasi oleh dominasi. Setiap negara dilahirkan oleh bentuk kekerasan tertentu.
Mengikuti Georg Jellinek, Weber memahami negara sebagai relasi dominasi antar manusia
dalam hidup bersama secara politis dengan basis sarana kekerasan yang legitim50
. Weber
46
Paul Ricoeur, Oneself as Another, hlm. 220. 47
Hannah Arendt, The Human Condition, Chicago & London: University of Chicago Press, 1958, hlm. 7. 48
Hannah Arendt, Crisis of the Republic, New York: Harcourt Brace & Company, 1972, hlm. 143. 49
Kompas, 28 februari 2016, hlm. 5. 50
Bdk. Max Weber, Economy and Society, ed. Guenther Roth and Claus Wittich, Berkeley: University of
California Press, 1978, hlm. lxxxiv.
29
mendefinisikan dominasi sebagai, “the probability that a command with a given specific
content will be obeyed by a given group of persons”51
. Meskipun institusi politik memiliki
sisi etika dalam hal memperjuangkan hidup bersama, tetapi tetap memberikan ruang bagi
penggunaan kekuasaan secara sah untuk memaksakan decision-making, bahkan dalam negara
konstitusional dan demokrasi. Dalam negara yang sangat tinggi rasionalitasnya pun masih
terdapat “archaic form” of irrationality in the tradition of authority it perpetuates”52
. Meskipun
demikian, bagi Ricoeur kekuasaan bersama lebih mendasar dari tata relasi dominasi. Karena
itu, pendekatan mediatif institusi yang pertama harus berdasarkan inisiatif komunitas politis
untuk membangun hidup bersama. Hanya dalam keadaan anarkis yang mengganggu tatanan
hidup bersama, dominasi atau kekerasan boleh dipakai. Namun, dominasi yang dimaksudkan
Ricoeur adalah penggunaan kekerasan oleh kelompok, dalam hal ini negara, aparatur
pemerintahan, bukan individu. Ricoeur, setuju dengan Arendt yang menolak totalitarianisme,
mencegah bahaya kemunculan diktator seperti pada rezim Nazi.
Negara Indonesia selama ini telah mengimplementasikan pendekatan di atas.
Menghadapi para pelaku bom Thamrin, polisi menggunakan kekuatan senjata. Ada 8 orang
meninggal dunia dan 27 orang menderita luka-luka. 8 korban yang tewas tersebut termasuk
keempat pelaku teror: Dian Juni Kurniadi, Sunakim, Muhamad Ali, dan Ahmad Muhazan.53
Tim Densus 88 juga kemudian menyisir beberapa tempat penghunian para dalang teror dan
menangkap dengan paksa beberapa terduga. Kelompok Gafatar yang mengalami kekerasan
dari warga Mempawah Kalimantan Barat juga dipulangkan dengan paksa oleh pemerintah ke
tempat asal masing-masing meskipun sampai sekarang masih banyak warga Gafatar yang
diterlantarkan. Menghadapi para separatis agamais, penggunaan dominasi dan paksaan secara
fisik kadang kala lebih tepat. Dialog penting, tetapi kekerasan juga efektif dalam situasi
tertentu.
3.2.6 Menciptakan Phrase Baru, Menyelamatkan Differend—Jean-Francois Lyotard
Pendekatan ini mungkin sangat baru di Indonesia. Terminologi differend adalah
buatan khas filsuf Perancis, Jean-Francois Lyotard. Ia mendefinisikan differend sebagai,
“… a case of conflict, between (at least) two parties, that cannot be equitably
resolved for lack of a rule of judgement applicable to both arguments. One side’s
legitimacy does not imply the other’s lack of legitimacy. However, applying a single
51
Max Weber, Economy and Society, hlm. 53. 52
David M. Kaplan, Ricoeur’s Critical Theory, USA: State University of New York Press, Albany; 2003, hlm.
132. 53
Tempo, 25-31 Januari 2016, hlm. 32-35.
30
rule of judgment to both in order to settle their differend as though it were merely a
litigation would wrong (at least) one of them (and both of them if neither side admits
this rule)54
.
Contoh yang tepat dan jelas untuk menggambarkan rujukan konkret istilah differend
adalah dua contoh yang diberikan oleh Lyotard sendiri, yakni kasus sengketa tanah antara
suatu perusahan dan kelompok wanita Aborijin di Australia, dan kasus pembantaian massal
Rezim Nazi atas orang-orang Yahudi di Auszwhitch55
. Kedua kasus ini menghadirkan situasi
yang sulit untuk diadili dengan produk hukum yang positivistik-objektif. Bila hakim harus
memutuskan, ketidakadilan akan terjadi terhadap salah satu dari kedua belah pihak. Karena
itu, untuk menghindari supresi terhadap satu genre, hakim harus menciptakan keputusan yang
dapat merangkum ‘kelainan’(otherness) dari kedua pihak yang beperkara. Dalam kasus
holocaust Auszwithc, banyak korban berjatuhan. Ada banyak saksi mata, tetapi mereka
sekaligus korban. Para saksi mata-korban ini disupresi oleh para para pelaku, anggota dan
simpatisan Nazi yang masih hidup, sehingga mereka tidak bisa menyampaikan kesaksian
mereka. Bukti nyata pembantaian masal ini pun telah dibersihkan semua jejaknya oleh
eksponen Nazi. Dalam kasus sengketa tanah di Australia, sebuah perusahan telah membeli
sebidang tanah di sebuah pulau dan akan membangun pabrik di sana. Bila proyek ini tidak
berjalan, perusahan itu akan bangkrut dan semua pekerja harus diberhentikan. Sementara itu,
sekelompok wanita aborigin mengklaim bahwa tanah itu tanah suci yang diwariskan kepada
mereka oleh leluhur. Kesucian tanah itu adalah rahasia yang hanya boleh diketahui oleh para
wanita tersebut. Biasanya diwariskan dari ibu ke anak perempuan dan seterusnya. Rahasia ni
tidak boleh diberitahukan kepada siapapun di luar lingkaran wanita-wanita tersebut. Bila
dibuka, tanah itu akan kehilangan kesuciannya dan semua anggota kelompok wanita aborigin
tersebut akan mati56
. Kasus ini dibawa ke pengadilan untuk mengecek kebenarannya.
Bagaimana seorang hakim dapat mengatasi masalah ini?
Menghadapi kedua kasus differend di atas, Lyotard meyakini bahwa seorang hakim
tidak bisa memakai pendekatan hukum berbasis asas kepastian hukum. Tidak ada hukum
tertulis yang mengatur kedua kasus di atas. Tidak ada produk undang-undang yang mengatur
kasus anomali ini. Bila dipaksakan penyelesaiannya, alih-alih menegakkan keadilan, hakim
malah menciptakan ketidakadilan. Maka, Lyotard mengusulkan soerang hakim harus keluar
dari pola hermeneutika hukumnya yang legalis dan menciptakan phrase baru untuk
54
Jean-Francois Lyotard, The Differend: Phrases in Dispute, USA, University of Minnesota, 1988, hlm. xi. 55
Jean-Francois Lyotard, The Differend: Phrases in Dispute, hlm. 3-5. 56
Simon Malpas, Jean-FrancoisLyotard, USA and Canada, Routledge, 2003, hlm. 57-58.
31
menemukan keadilan. Pendekatan ini dikonstruksi Lyotard dalam teori Language Games-nya.
Ada tiga istilah yang sangat dominan dan khas dalam konsepsi Language Games Lyotard,
yakni phrase, phrase regimen, dan genre of discourse. Phrase bukan hanya sesuatu yang
dikatakan oleh seseorang, melainkan juga sebagai sebuah tulisan-tertawa-tangisan binatang,
bahkan silensium karena “a refusal or inability to speak or respond means
something”57
.Sebuah phrase selalu terdiri dari empat elemen, yaitu “the 'addressor' who
presents the phrase, the 'addressee ‘to whom the phrase is presented, the 'reference' that the
phrase is about, and the 'sense' which is what the phrase says about the reference”58
(pengalamat atau pembicara yang menghadirkan frase, orang yang dituju yang kepadanya
frase itu disampaikan, rujukan yang menjadi isi frase, dan makna yang diungkapkan frase
tentang rujukan). Phrase regimens seperti “denoting, prescribing, showing, asking,
describing, reasoning, ordering, etc., are all different ways of relating the four instances of the
phrase universe. Different regimens would thus present different sets of relations between the
four instances that are marked in a phrase”59
. Relasi antara addressor dan addresse dalam tipe
perintah berbeda dengan tipe permohonan atau relasi reference dan sense dalam pertanyaan
berbeda dalam denotasi. Ini artinya bahwa “… phrases 'obeying different regimens are
untranslatable into one another”, tidak bisa direduksi pada satu dan atau dengan yang
lainnya60
. Adapun genres of discourse sebagai “organizing the relationships between phrase
regimens” (pengorganisasian hubungan-hubungan rezim frase). Dalam arti, sebuah genre
diskursus seperti sains dapat mencakup di dalamnya beberapa regimen seperti denotasi,
preskripsi, dll., untuk mencapai sebuah tujuan partikular. Regimen lain dapat terdiri dari
phrase yang sama. Sementara itu, “Different genres of discourse have different criteria for
judging the value of particular ways of linking onto phrases, and each genre would forbid
certain forms of linking… A genre of discourse is thus a means of giving validity to certain
forms of linkage and organizing phrases into a body of knowledge”61
.
Berhadapan dengan kasus-kasus differend, Lyotard merekomendasikan penanganan
setiap kasus ketidakadilan sesuai dengan urgensitas, konteks, dan keperistiwaannya. Biarkan
setiap masalah menampakkan diri apa adanya baru kemudian kita menanggapinya sesuai
dengan tuntutan situasinya. Dalam kerangka ini, orang tidak boleh lebih dulu menetapkan
57
Simon Malpas, Jean-FrancoisLyotard, hlm. 63. 58 Jean-Francois Lyotard, The Inhuman: Reflections on Time. Trans. Geoffrey Bennington and Rachel Bowlby,
Cambridge: Polity Press, 1988, hlm. 14. 59
Simon Malpas, Jean-FrancoisLyotard., hlm. 64. 60
Simon Malpas, Jean-FrancoisLyotard., hlm. 64. 61
Jean-Francois Lyotard, Heideqqer and 'the jews', trans. Andreas Michel and Mark Roberts, Minneapolis,
University of Minnesota Press, 19880, hlm. 48.
32
kriteria atau aturan untuk menangani masalah karena kenyataan selalu tampil dengan wajah
yang berubah-ubah. Aturan baru ditemukan ketika orang mulai berkonfrontasi dengan
masalah. Itulah sebabnya, Lyotard selalu menekankan “pre-estabilished criteria”. Selain itu,
tidak ada kriteria tunggal dalam mendeteksi masalah dan memberi solusi. Konsekuen dengan
sifat realitas yang selalu “surprising”, orang harus terbuka terhadap berbagai alternatif cara.
Dalam kerangka ini, ketidakadilan tidak boleh dikungkung dengan pendekatan saintifik-
positivis dan verbal. Dalam ruang pengadilan, hakim tidak boleh hanya mendasarkan diri
pada undang-undang yang sudah terformulasikan dan data yang dapat diobservasi dan
dipresentasikan dengan bahasa. Seorang hakim harus peka dan progresif dalam men-judge
kasus. Bahkan seorang hakim, dalam kasus tertentu, harus mendekonstruksi undang-undang
dan mengikuti fitrah etisnya untuk menemukan keadilan. Differend memang tidak sepenuhnya
tereliminir total selama instansi negara masih survival dan aktivitas politik masih langgeng.
Akan tetapi, setiap fenomena diffferend dapat diminimalisir kuantitas dan kualitasnya dengan
penanganan per-kasus sesuai dengan keperistiwaannya (the eventhood).
Pendekatan hukum di Indonesia sangat legalis-literaris. Ketika terjadi tragedi
peledakan bom Bali I pada 12 Oktober 2002 Indonesia belum memiliki UU terorisme untuk
menjerat para teroris. Padahal, ratusan nyawa orang tidak bersalah telah beringsut dari
raganya. Warga ketakutan dan negara mengalami kerugian besar. Pemerntah hanya mampu
menjerat para pelaku dengan ketentuan KUHP pasal 340 tentang pembunuhan berencana.
Menyadari kasus tragedi Bom Bali sebagai kejahatan manusiawi luar biasa, pembantai
massal, pemerintah kemudian membuat Perpu. Perpu ini kemudian dibahas bersama
parlemen, DPR RI, dan akhirnya menghasilkan UU No. 15 tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindakan Pidana Korupsi. Penjeratan para pelaku lewat UU ini kemudian ditolak oleh
Mahkamah Konstitusi berdasarkan permohonan judicial review Masykur Abdul Kadir, salah
seorang pelaku teror tersebut62
. Ketiadaan basis undang-undang ini membuat penindakan dan
penangan kasus para aktor Bom Bali masih berbelit hingga saat ini. Pendekatan hukum
Mahkamah Konstitusi sangat literer-legalis. Mahkamah Konstitusi hanya menerapkan
hermeneutika reproduktif dan menegakkan asas kepastian hukum, tanpa memikirkan asas
keadilan dan kemamfaatan. Cita rasa keadilan dan kemanusiaan korban, keluarga korban,
seluruh warga Indonesia, dan semua orang dinodai oleh keputusan Mahkamah Konstitusi ini.
Hal yang sama berulang lagi pada kasus Bom Thamrin. Aparat keamanan mengklaim telah
membaca tanda-tanda rencana pengeboman, tetapi mereka tidak berani menangkap karena
62
Norbertus Jegalus pernah mengupas kasus bom Bali ini dengan perspektif teori hukum progresif Prof. Dr.
Satjipto Raharjo, SH, dalam Hukum Kata Kerja, Jakarta: Obor, 2011, hlm. 247-280.
33
tidak memiliki kekuatan hukum. Sayang sekali, penegakkan keadilan melalui hukum
direduksi pada eksistensi undang-undang. Pendekatan legalis semacam ini, alih-alih
mencegah ketidakadilan, malah memproduksi keadilan. Negara tidak menghindarkan potensi
kejatuhan korban, tetapi membiarkan korban berjatuhan.
Kasus bom Thamrin dan Gafatar sebenarnya memiliki juga predikat differend. Kisah
para teroris bom Thamrin dan anggota ormas Gafatar tidak seterang dan sesederhana
kebanyakan kasus. Kedua tragedi ini menyimpan makna berlapis-lapis, sangat kompleks.
Tidak mudah untuk melabelkan satu predikat tunggal terhadap para pelaku bom Thamrin,
Aman Abdurahman (dkk) dan para anggota Gafatar. Profil hidup para pelaku teror tersebut,
baik eksekutor lapangan maupun aktor intelektual, mendeskripsikan mereka sebagai orang
cerdas dan saleh di mata orang-orang sekitar mereka. Aman Abdurahman dilahirkan di
Cimalaka, Jawa Barat 5 Januari 1972. Sejak kecil, ia dikenal sebagai sosok yang lugu dan
jarang bergaul dengan teman-teman sebaya. Namun ia lebih cerdas dibandingkan teman-
temannya. Ia menghabiskan hari-hari hanya untuk bersekolah, mengaji, dan membantu orang
tua. Ketika dewasa, Aman berkuliah di LIPIA Jakarta. Usai lulus, Aman kembali mengabdi di
LIPIA63
. Bahrun Naim merupakan lulusan Strata I Jurusan Komputer Universitas Sebelas
Maret Solo. Di dalam keluarganya, ia dikenal sebagai anak yang pendiam, tetapi pintar
mengotak-atik komputer. Selama berkuliah, ia juga terkenal memiliki karisma memimpin
organisasi kampus.
Kedua aktor di balik tragedi bom Thamrin di atas memiliki kualitas sebagai orang
berpendidikan tinggi. Namun, radikalisme juga bertumbuh subur di tengah kalangan
intelektual. Hasil penelitian LIPI (Lembaga Penelitian dan Ilmu Pengetahuan) terhadap 500
guru dan siswa wilayah Jabodetabek dalam satu dekade terakhir menyebukan bahwa 76,2%
guru dan 84% siswa menginginkan syariat Islam. Sebanyak 52,3% siswa mendukung
kekerasan untuk solidaritas agama dan 14% siswa membenarkan aksi pengeboman. 25% guru
dan 21% siswa mengatakan Pancasila sudah tidak relevan64
. Tidak jauh berbeda dari
kelompok teroris radikal, profil hidup komponen Gafatar juga rupanya bukan hanya orang-
orang kecil, melainkan juga banyak orang berpendidikan tinggi dan sudah memiliki pekerjaan
yang menjanjikan. Lantas, apakah sebodoh itu orang-orang yang cerdas dan saleh ini bertekad
melakukan bunuh diri? Apakah sebodoh itu pengikut ormas Gafatar meninggalkan keluarga
dan pekerjaan mereka hanya untuk membangun sebuah ormas yang agak utopis ini? High-
profile para pelaku kedua kubu antagonis di atas menunjukkan bahwa mereka memiliki klaim
63
Tempo, 1-7 Februari 2016, hlm. 36-37. 64
Kompas, 19 februari 2016, hlm. 4.
34
akan kebenaran tertentu. Sangat absurd bila mereka mengorbankan segala sesuatu tanpa visi-
misi yang jelas dan pendakuan akan kebenaran tertentu.
Menanggapi kedua kasus di atas, pendekatan yang ditawarkan Lyotard sangat
signifikan dan relevan. Negara tidak boleh bermain otot sewenang-wenang. Orang-orang ini
memiliki klaim akan kebenaran tertentu yang seharusnya didengarkan. Mereka tidak sebodoh
itu mengorbankan segalanya untuk memperjuangkan sesuatu yang absurd. Negara akan
menimbulkan ketidakadilan bila tergesa-gesa men-judge mereka dengan produk undang-
undang yang sudah ada. Negara harus menciptakan phrase sendiri untuk menemukan keadilan
dalam perkara para teroris bom Thamrin dan Gafatar.
3.2.7 Etika Penampakan Wajah Liyan—Emanuel Levinas
Etika Emmanuel Levinas lazimnya dikenal sebagai etika altruis. Pendekatan ini paling
sulit untuk diaplikasikan, tetapi terbuka kemungkinan. Menurut Levinas, relasi dasariah
manusia adalah etis, bukan ontologis. Relasi etis ditandai dengan penampakan wajah liyan65
yang mewartakan ketelanjangan total, ketelanjangan yang menunjukkan ketakberadayaan,
kelemahan, dan kemiskinan66
. Penampakan wajah memungkinkan hubungan etis karena ‘ada’
yang sejati bukan mengetahui, melainkan berjumpa dengan ‘yang lain’ dalam keadilan.
Penampakan wajah liyan ini memanggil dan menyandera setiap orang untuk bertanggung
jawab terhadap kerentanan liyan. Epifani wajah menolak semua upaya untuk mendefinisikan
atau mewadahi67
. Hubungan sejati dengan liyan tidak menetralisir liyan, tetapi memelihara
otentisitas liyan. Liyan sebagai yang sama sekali lain tidak merupakan objek yang menjadi
milik kita atau cair bersama saya menjadi kita. Sebaliknya, liyan menarik diri ke dalam
misterinya68
. Wajah menyapa dan mengundang simpati, empati, kekaguman. Ia mengusik
65
The other yang dimaksudkan Ricoeur di sini dalam kaitan dengan gagasan Levinas sangat berbeda dengan the
other dalam arti manusia sebagaimana dimaksudkan Ricoeur dalam konsep solicitude. Karena itu, penulis
menggunakan neologi “liyan” untuk menunjuk pada ‘the other’ Levinas sebagaimana diterjemahkan oleh
Budiarto Danujaya dalam bukunya Demokrasi Disensus, Jakarta: Gramedia, 2012. Penggunaan istilah ‘liyan’ di
sini adalah sebentuk afirmasi terhadap penjelasan Danujaya dalam catatan kaki halaman xxi pada buku yang
sama. Penulis lain juga menggunakan istilah ‘liyan’—Bdk. Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat
Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm. 140, dst. Neologi filsafat ini
sengaja dipakai untuk membedakan penggunaan kata ‘yang lain’ dalam bahasa tulis dan lisan formal dan
informal sesuai makna denotasinya. Memang ada juga penulis Indonesia yang mentransliterasi istilah filosofis
‘the other’ dengan terminologi ‘yang lain’, tetapi bagi penulis penggunaan ini kurang sederhana dan kurang
menonjolkan karakter filosofis-enigmatis-khas ‘the other’ dalam horizon filsafat Emmanuel Levinas—Bdk. Felix
Baghi, “Filsafat Alteritas dan Kemungkinan Etis Metafisik Heteronom”, dalam Frans Ceunfin & Felix Baghi,
Mengabdi Kebenaran, Maumere: Ledalero, 2005, hlm. 135-153. 66
Felix Baghi, “Filsafat Alteritas dan Kemungkinan Etis Metafisik Heteronom”, hlm. 149 67
Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2010, hlm. 102. 68
Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan dan Diskriminasi, hlm. 104.
35
perhatian dan permenungan, menghentak egoisme. Wajah tidak membiarkan orang lepas
bebas tidak beraksi. Orang ditatapkan pada penampakan yang mengusik sehingga harus
bersikap. Wajah yang menampakan dalam gambar mencair dalam afeksi sehingga
dinamismenya tidak hanya terhenti dalam persepsi, tetapi mengkristal ke dalam kesadaran69
.
Etika bukan sekadar pemikiran, melainkan pengalaman. Pengalaman etika muncul
dalam gerak kepedulian menuju liyan, menuju alteritas dan eksterioritas liyan, yakni
kebaikan. Liyan menyandera aku. Tanggung jawab aku bahkan mendahului kebebasanku dan
berakar dalam kedekatan yang terobsesi oleh liyan, dalam ketidakmungkinan untuk tidak
peduli terhadap permintaan yang diungkap oleh wajah. Wajah menolak setiap upaya untuk
memiliki dan mendominasi. Wajah mengundang aku dalam hubungan yang tidak bisa
dibandingkan dengan hubungan kekuasaan, entah kenikmatan entah pengetahuan70
. Etika
menunut kehadiran liyan, alteritas radikal, orang asing yang menguncang diriku. Yang tak
terbatas memperkenalkan diri sebagai wajah dalam resistensinya yang melumpuhkan daya-
daya kekuasaanku, dan tegak tegar, tetapi rentan tanpa perlindungan dalam ketelanjangan dan
kesengsaraannya.
Etika penampakan wajah Levinas melampaui asas keadilan karena bercorak relasi
asimetris. Etika altruisme ini hanya menuntut tanggung jawab searah, tidak ada hukum
kesetimbalan. Tanggung jawab setiap orang mendahului kebebasannya. Ukuran etis relasi kita
bukan karena kita bebas, tetapi sebelum bebas dan tanpa menghiraukan kebebasan kita, kita
langsung menolong orang yang membutuhkan bantuan. Ada kisah heroik yang dilakukan
seorang Gojek dalam tragedi Bom Thamrin. Gojek tersebut secara spontan langsung
menolong seorang wanita yang berada dalam posisi berdekatan dengan pelaku teror. Tanpa
memikirkan keselamatan dirinya dan keluarganya, Gojek tersebut langsung menyelamatkan
wanita yang hampir termakan ledakan bom. Aksi Gojek ini adalah ekspresi tanggung jawab
mendahului kebebasannya. Bila memakai kebebasan, Gojek tersebut bisa saja melarikan diri.
Namun ia tidak mempertimbangkan itu. Perbuatan Gojek ini memenuhi kriteria etis Levinas.
Pendekatan itu sangat langka dan riskan, tetapi bisa dipakai untuk mendekati para
ekstrimis agama. Kelompok-kelompok radikal biasanya memiliki keyakinan tertentu sehingga
mereka bersedia untuk membunuh dan dibunuh. Menghadapi kelompok radikal, negara harus
merasa memiliki tanggung jawab untuk membantu mereka. Tidak membantu untuk
merealisasikan taktik anarkis mereka dan mewujudkan ambisi disintegrasi mereka, tetapi
69
Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan dan Diskriminasi, hlm. 116. 70
Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan dan Diskriminasi, hlm. 117
36
menjamin kelayakan hidup mereka. Bagaimanapun kaum ekstrimis adalah juga warga negara,
bagian dari negara. Maka negara bertanggung jawab atas hidup mereka.
3.2.8 Idealitas Postmodern: Kebebasan, Keragaman, dan Toleransi
Bila pada era modern, agenda ketertujuan sosio-politik adalah kebebasan, kesetaraan,
dan persaudaraan, pada era postmodern agande ini digusur oleh idealitas kebebasan,
keberagaman, dan toleransi71
. Era postmodern ditandai dengan incredulity toward
metanarratives72
. Narasi-narasi besar atau metanarasi seperti cartesianisme, platonisme,
hegelianisme, idealisme, rasionalisme, dan realisme tidak dipercayai lagi dan didelegitimasi.
Bersamaan dengan itu, terbuka ruang bagi menyingsingnya narasi-narasi kecil. Dalam tataran
etika dan moral, era postmodern dikenal sebagai kejatuhan paham-paham besar etika seperti
teleologisme, deontologisme, dan utilitarisme. Sementara itu, narasi-narasi kecil seperti
norma-norma lokal dan fitrah etis setiap orang direvitalisasi untuk mengarahkan tindakan
personal dan praksis sosial.
Di era postmodern seperti ini sebenarnya radikalisme agama adalah sebentuk
fenomena anakronistis, tidak mengikuti arus zaman. Era postmodern merupakan fase yang
terbuka lebar terhadap alteritas secara tak terbatas. Bila, bangsa Indonesia konsekuen dengan
roh zaman postmodern, radikalisme agama akan luntur dengan sendirinya. Radikalisme
agama yang muncul atas klaim kemutlakan kebenaran agama tertentu dan mengatasi ajaran
agama lain seharusnya tidak muncul di era postmodern. Mengapa masih ada kelompok
radikal? Masalahnya, banyak warga Indonesia yang tidak berpendidikan. Padahal pendidikan
adalah pintu akses terhadap roh dunia. Maka, tugas negara adalah memfasilitasi pendidikan
warga Indonesia untuk mengubah kerangka penafsiran mereka. Negara juga berperan dalam
mendorong kelompok-kelompok radikal untuk menghidupi spiritualitas kebebasan,
keberagaman, dan toleransi. Konteks bangsa Indonesia yang sangat plural meniscayakan
ketiga asas ini dalam membangun Indonesia yang utuh. Disintegrasi bangsa dalam dicegah
ketiga setiap warga, setiap kelompok budaya, agama, dan etnis diberi ruang kebebasan untuk
hidup. Bahaya disintegrasi bangsa juga dapat dihindari dengan mengasah kesadaran warga
atas keberagaman dan meningkatkan toleransi warga.
71
Budiarto Danujaya, Demokrasi Disensus, Jakarta: Gramedia, 2012, hlm. 316. 72
Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and
Brian Massumi, United Kingdom: Mancester University Press, 1984, hlm. xxix.
37
3.3 Beberapa Pendekatan Berbasis Pancasila
Indonesia adalah bangsa yang besar sejak dahulu kala. Sejak abad IV Indonesia sudah
memiliki kerajaan Kutai di Kalimantan. Ir. Seoakarno sendiri memberi kesaksian bahwa
peradaban bangsa Indonesia bahkan sudah ada sebelum Hinduisme mendarat di Nusantara.
Kemampuan menanam padi, wayang kulit seperti Semar, Gareng, Petruk, Bagong, dan
Dawala sudah ada para era pra-Hinduisme. Masyarakat sudah memiliki sistem kepercayaan
sebelum kepercayaan Hindu tersebar di Indonesia73
. Kejayaan Indonesia mencapai puncak
pada era kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Sampai hari ini, masih ada kerajaan di Indonesia
yang memiliki pengaruh politis dan bertahan terhadap hantaman arus globalisasi. Kesultanan
Jogjakarta dan Kesultanan Surakarta merupakan dua kerajaan Islam Mataram di Indonesia
yang masih kokoh berdiri. Kekokohan eksistensi sistem kerajaan ini menunjukkan budaya
Indonesia tidak kalah beradab dengan bangsa besar lain. Bangsa Indonesia memiliki prinsip
atau norma hidup tertentu dalam kearifan lokalnya yang bernilai universal. Ketika menjadi
negara modern, para bapak pendiri berhasil merumuskan dan memaklumkan kearifan lokal itu
ke dalam mitos-ideologi Pancasila. Pancasila menjadi dasar pemersatu multiplisitas budaya-
budaya lokal Indonesia. Maka, negara sebenarnya dapat menjadikan Pancasila sebagai prinsip
dan seni mendekati masalah radikalisme agama. Ada prinsip-prinsip hidup yang
dikembangkan secara komunal, tetapi ada pula dihayati secara pribadi. Sebagai produk
budaya, prinsip-prinsip ini lebih tua dari eksistensi negara, bahkan agama-agama dan
ideologi-ideologi importiran yang dianut bangsa Indonesia sekarang. Prinsip-prinsip hidup ini
tak lekas oleh waktu sehingga dapat dijadikan pedoman dalam menanggapi masalah
radikalisme agama. Berikut penulis melampirkan empat pendekatan yang cukup diakui luas di
Indonesia.
3.3.1 Gotong Royong sebagai Musyarawah untuk Mufakat
Ketika merumuskan Pancasila, Ir. Soekarno mengatakan bahwa Pancasila dapat
dipadatkan menjadi Trisila dan atau Ekasila. Pancasila dapat dikristalkan menjadi satu sila,
yaitu gotong- royong. Soekarno mendefinisikan gotong-royong sebagai berikut.
“Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan keringat
bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan bersama,
73
Armada Riyanto, Kearifan Lokal-Pancasila Butir-Butir Filsafat ‘Keindonesiaan’, dalam Armada Riyanto,
dkk. (ed), Kearifan Lokal Pancasila, Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan, Jogyakarta: Kanisius, 2015, hlm. 18-
19.
38
keringat semua buat kebahagiaan semua, Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan
bersama! Itulah gotong-royong”74
.
Prinsip gotong royong di atas merupakan nilai hidup yang sudah dan tengah dihidup,
tetapi juga masih dikejar sebagai idealitas hidup bersama. Semua suku bangsa kecil di
Indonesia menganut dan memperjuangkan pola hidup gotong-royong ini. Dengan demikian,
gotong-royong sebenarnya mengimplikasikan suatu spiritualitas kebersamaan dalam
menghadapi masalah-masalah sosial. Prosedur musyawarah untuk mufakat persis mengalir
dari spiritualitas gotong-royong ini. Radikalisme agama adalah salah satu fenomena dan
masalah sosial. Radikalisme agama merupakan sebuah masalah yang hetero-causal,
disebabkan oleh beragam alasan. Radikalisme agama bisa lahir dari orang-orang yang merasa
kepentingannya tidak diakomodir negara dan lain sebagainya. Menghadapi masalah kompleks
seperti ini tidak cukup pemerintah berjalan sendiri. Pemerintah harus melibatkan segenap
warga Indonesia. Semua warga dimintai sumbangsihnya. Negara dalam hal ini harus berusaha
mencari solusi dengan prinsip musyawarah untuk mufakat. Pendapat dan kekuatan
masyarakat dari semua segmen perlu diperhitungkan. Penggunaan pendapat pemerintah
sendiri dapat berimbas pada penindasan dan ketidakadilan. Maka, sebaiknya menggerakan
seluruh elemen bangsa. Di dalam kerangka ini, semangat gotong-royong untuk mencegah dan
mengobati radikalisme agama harus menjadi norma sekaligus tujuan yang mengarahkan
musyawarah untuk mufakat.
3.3.2 Laicisme Religius: Filsafat Kompromistik
Laicisme merujuk pada ideologi karakteristik Perancis yang sekularis. Ideologi ini
menuntut negara benar-benar netral di depan keberagaman agama. Negara tidak turut campur
tangan dalam urusan agama dan negara melarang agama-agama mencampuri urusan politik.
Ada pemisahan total antara politik dan agama. Sementara itu, Pancasila adalah laicisme
religius. Istilah ini paradoksal, tetapi sangat membantu kita untuk memahami pandangan
Soekarno bahwa di satu sisi, negara netral di depan agama, tetapi bukan berarti negara tidak
boleh campur tangan. Negara boleh campur tangan dalam agama, tetapi sejauh semua agama
dilakukan secara sama dan sederajat. Agama boleh ambil bagian dalam urusan politik, tetapi
agama juga harus tahu bahwa hukum-hukum spesifik agama tidak boleh terlalu jauh
mencampuri urusan politik. Ada ruang bagi kolaborasi produktif politik dan agama. Indonesia
sebagai negara-bangsa beragama (bukan negara-agama) seharusnya memanfaatkan humus ini
74
A. Setyo Wibowo, “Ketuhanan Yang Mahaesa dan Filsafat Kompromi Khas Indonesia”, hlm. 58-59
39
dengan efektif. Relasi agama dan politik tidak selalu kontra-produktif seperti di negara-negara
sekularistik modern. Korelasi agama dan politik di Indonesia malah sangat produktif.
Asalkan, negara pandai dan tahu cara memediasi dengan baik.
Corak khas Pancasila adalah kompromistik. Filsafat Pancasila mencerminkan karakter
pola pikir orang Indonesia yang kompromistik. Soekarno sendiri mengatakan Pancasila
sebagai suatu kompromi.
“Pantja Sila itu dinamakan oleh perumusnya sendiri ‘suatu kompromi’ (Kuliah di
Universitas Indonesia 7 Mei 1953). Adapun kompromi itu ialah suatu persetudjuan jang
dijadikan dengan djalan damai, apalagi dengan djalan saling mengurangi tuntutanja.
Bahaja yang terkandung dalam segenap kompromi itu ialah bahwa dengan mudah dapat
ditarik kedua pihak yang bertentangan. Adalah Pantja Sila suatu kompromi antara agama
dan Negara, antara sikap hidup Barat dan Timur, antara tjita-tjita dan realitet, antara
filsafat dan hidup seharian dan sebagainja. Maka ada orang yang menitikberatkan satu
pihak hingga melalaikan pihak jang lain sedemikian itu dengan sekaligus timbullah
perbedaan paham. Djikalau Pantja Sila dipandang dari satu sudut sadja, hilanglah
keseimbangan jang terdapat didalamnja; jang tinggal suatu ekstremisme sadja, tapi bukan
Pantja Sila”75
.
Indonesia merupakan bangsa arkipologis yang memiliki pluralitas kearifan lokal.
Heterogenitas budaya, agama, dan pola pikir meniscayakan kompromi untuk membangun
kesatuan dan keutuhan. Negara-bangsa Indonesia lahir dari ketulusan dan keberanian untuk
berkompromi. Tanpa kompromi, Indonesia tidak akan pernah tampil sebagai negara
demokrasi terbesar seperti sekarang ini. Ada kelemahan dalam sifat kompromistik ini, tetapi
ada pula kelebihannya. Aspek negatifnya, individualitas dileburkan dalam kolektivitas.
Kepentingan kelompok partikular melebur ke dalam kepentingan bangsa. Semua kelompok
akhirnya sama dan setara. Ketika kelompok tertentu menuntut lebih, ingin menonjol,
Indonesia akan lenyap. Ketika muncul kelompok radikal yang menuntut ajaran agamanya
dijadikan ajaran resmi negara, menjadikan agamanya sebagai agama negara, negara-bangsa
Indonesia hilang pada saat itu. Maka, tetap bermain dalam ketegangan merupakan strategi
supaya Indonesia tetap exist. Sementara itu, aspek positifnya kemampuan kompromi
menjadikan orang Indonesia sebagai bangsa yang fleksibel dan mudah beradaptasi di mana
saja. Kemampuan saling memahami sangat kelihatan dalam sifat kompromi. Masyarakat
Indonesia menjadi bangsa paling plural yang paling mampu mewujudkan kebersatuan hidup
bersama di atas keberbedaan.
75
A. Setyo Wibowo, “Ketuhanan Yang Mahaesa dan Filsafat Kompromi Khas Indonesia”, hlm. 58.
40
3.3.3 Prinsip dasar hidup bersama: Rukun dan Hormat
Prinsip hidup rukun dan hormat merupakan dua kaidah dasar hidup yang diterima luas
di Indonesia, khususnya Jawa76
. Hidup rukun berarti manusia hendaknya bersikap sedemikian
rupa sehingga tidak menimbulkan konflik. Setiap orang berupaya menghindari potensi konflik
dalam hidup bersama. Sementara itu, kaidah hormat berarti dalam berbicara dan
membawakan diri, setiap orang hendaknya menunjukkan sikap hormat kepada orang lain
sesuai tingkatan kedudukannya. Radikalisme agama tidak akan muncul bila masyarakat
Indonesia menghidupi kaidah hidup rukun dan hormat.
Budaya Indonesia sebenarnya mampu mencegah konflik atas nama agama.
Radikalisme agama adalah produk impor. Ketika Indonesia membuka pintu terhadap
persebaran agama-agama luar, pada saat itu benih-benih radikalisme juga menyusup masuk.
Tidak salah menerima agama luar, tetapi salah bila menerapkan sistem keagamaan impor
secara ekstrim di Indonesia tanpa memperhatikan budaya lokal. Ekstrimisme biasanya lahir
dari kaum puritan yang memahami dan menghidupi agama produk luar secara literer di
Indonesia. Maka, strategi untuk membendung radikalisme agama salah satunya adalah
menginkulturasikan atau menginkarnasikan agama-agama impor dengan budaya Indonesia.
Agama-agama impor perlu membuka diri terhadap nilai-nilai budaya asali Indonesia. Budaya
masyarakat Indonesia tidak mengenal ekstremisme, puritanisme, dan superioritas individual
dan sektarian. Semua klaim ini adalah produk luar yang mengkontaminasi bangsa Indonesia.
Maka, kaidah hidup rukun dan hormat harus diapropriasi oleh semua agama importiran untuk
mencegah konflik.
3.3.4 Pendekatan “Ajrih-Asih”
Pendekatan ini dikembangkan oleh Romo Mangun dalam dunia pendidikan anak-anak.
Menurut Romo Mangun pendidikan yang baik menganut prinsip ajrih-asih. Lewat ajrih anak
perlu diajari patuh pada peraturan, disiplin, menanggapi teguran dengan serius, bahkan
kadang-kadang menerima kekerasan pedagogis tertentu. Namun, semuanya harus dilandasi
asih. Prinsip ajrih dan asih harus dipadukan. Asih melulu akan menghasilkan pemanjaan,
tetapi ajrih melulu juga akan merusak anak. Perpaduannya ajrih dan asih dengan porsi lebih
pada asih akan menghasilkan anak didik yang lebih manusiawi77
. Pendekatan ajrih-asih juga
tepat bila dikenakan pada para ekstrimis. Di satu sisi, negara harus bersikap keras terhadap
76
Bdk. F. Magnis-Suseno, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia, 1984, hlm. 38-69. 77
A. Supratiknya, “Pendidikan Dasar sebagai Infanteri”, dalam Sindhunata (ed.), Pergulatan Intelektual dalam
Era Kegelisahan, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hlm. 269.
41
mereka, tetapi di sisi lain, negara menaruh asih pada mereka. Negara menolak perbuatan jahat
mereka, tetapi menerima pribadi mereka. Artinya, nyawa mereka harus dilindungi. Negara
tidak hanya menerima co-eksistensi dengan mereka, tetapi lebih dari itu memperjuangkan pro-
eksistensi bagi mereka. Dalam keadaan seperti itu, negara menghadirkan wajah keibuan dan
kebapakan sekaligus. Sebagai bapak negara bertindak tegas. Pada saat yang sama, sebagai
ibu, negara merangkul dan mengayomi mereka.
Perbuatan jahat tidak lantas merusak pribadi. Manusia bukan jumlah total dari
tindakan-tindakannya sebagaimana didefinisikan pemikir ateis Jean-Paul Sartre78
. Manusia
lebih sebagai misteri daripada masalah sebagaimana dipahami Gabriel Marcell. Manusia tidak
bisa didefinisikan. Karena itu, sejahat apapun tindakan orang, para radikalis agama, mereka
tetapi miliki pribadi yang mistrius, yang kedalaman dirinya tidak terselami. Setiap orang
selalu baik sehingga dia berada. Raison d’etre manusia adalah bahwa manusia itu baik. ‘Baik’
pada tataran metafisik-ontologis sama dengan ‘Ada’. Omne ens est bonum (tiap kenyataan
adalah baik) karena berada dan sejauh menurut derajatnya79
. Dengan demikian, berada berarti
baik. Semua orang sudah selalu memiliki status ontologis sebagai baik. Baik secara ontologis
lebih fundamental dari baik dalam arti moral. Baik dalam kategori moral baru bisa terjadi
ketika orang sudah berada.
3.4. Sebuah Simpulan
Maraknya kekerasan atas nama agama dan aksi-aksi intoleransi adalah hasil kegagalan
negara dalam memainkan peran mediatifnya80
. Negara merupakan satu-satunya pihak
institusional yang paling bertanggung jawab terhadap gurita kekerasan atas nama agama.
Negara memiliki hak dan kewajiban konstitusional terhadap penciptaan hidup baik bersama,
termasuk menghilangkan radikalisme agama. Negara tidak bisa mendelegasikan wewenang
ini kepada institusi mana pun atau siapa saja. Indonesia belum efek mengoptimalkan fungsi
kontrol dan mediasi ini. Ada beberapa ormas di Indonesia yang dibiarkan negara menghakimi
orang lain yang berbeda keyakinan dan ajaran sesuai preferensi mereka. Pembiaraan ini
menandai kegagalan negara.
Semua semua seni pendekatan di atas, entah pendekatan para ahli entah pendekatan
khas Indonesia, pada tempat pertama adalah hak dan wewenang legal-legitim negara. Maka,
78
Jean-Paul Sartre, Existentialism and Humanism, trans. Philip Mairet, London: Methuen & Co. LTD, 1946,
hlm. 41. 79
Bdk. Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 271-273. 80
Bdk. Kompas, 26 Maret 2016, hlm. 2.
42
seni-seni pendekatan di atas hanya akan menjadi efektif dan optimal bila negara yang
memainkannya. Hanya negara yang layak dan tepat dalam mengadakan diskursus rasional
(Jurgen Habermas), merekonstruksi fragmen masa lampau (Hannah Arendt),
mengimplementasikan mekanisme bonding dan bridging (Robert Putman), menciptakan
modalitas (Anthony Giddens), menerapkan power in common, act in concert, dan domination
(Paul Ricoeur), menciptakan Phrase baru dan menyelamatkan Differend (Jean-Francois
Lyotard), menginspirasi etika penampakan wajah liyan (Emanuel Levinas), dan
memperjuangkan idealitas postmodern (kebebasan, Keragaman, dan Toleransi). Negara
merupakan institusi yang paling pantas mendorong gotong royong sebagai musyarawah untuk
mufakat, laicisme religius sebagai filsafat kompromistik, prinsip dasar hidup bersama rukun
dan hormat, dan pendekatan “ajrih-asih”.
43
IV. PENUTUP
Indonesia bukan negara agama atau negara sekularistik, melainkan negara bangsa,
bangsa yang beragama. Indonesia sebagai bangsa yang beragama tidak pertama-tama
menunjuk pada lima agama resmi yang diakui negara dan dianut warga hari ini, tetapi
mengindikasikan keadaan asali masyarakat yang sejak era pra-Hindu sudah berkepercayaan.
Bangsa Indonesia sejak awal, sebelum menerima agama-agama ‘importiran’, sudah memiliki
kepercayaan akan sosok ilahi, realitas supranatural yang berkekuatan mengatur hidup
manusia. Ideologi (mitos) Pancasila merumuskan kenyataan ini dengan padat dalam sila
pertama, bangsa yang berketuhanan.
Pancasila terbentuk dari kearifan-kearifan lokal ke-Indonesia-an. Kearifan lokal
bangsa Indonesia sejak awal sangat heterogen. Pancasila mengambil jalan tengah dengan
rumusan kompromistik yang merangkum semua kearifan lokal ini dalm lima kaidah. Selain
berkompromi dengan multiplisitas kearifan lokal, Pancasila juga merupakan konfrontasi
dengan alam pikir Barat melalui ideologi seperti Marxisme dan pandangan agama-agama
impor. Tidak hanya itu, Pancasila mencerminkan karakter khas pola pikir manusia Indonesia
yang kompromistik. Kompromi merupakan kemampuan mengambil jalan tengah yang
mengayomi semua perbedaan, tanpa memutlakkan satu pun. Kompromi merupakan kelihaian
mengambil jalan tengah. Mengambil jalan tengah adalah ekspresi kebijaksanaan. Maka,
Pancasila sebenarnya merupakan sebentuk kebijaksaan yang bermain di dalam ketegangan
antara kultur Barat yang rasional dan kultur Timur yang religius, dan berjalan di tengah
alteritas kearifan lokal ke-Indonesia-an. Inilah identitas bangsa Indonesia.
Pancasila mencerminkan identitas dinamis bangsa Indonesia. Pancasila adalah nilai-
nilai yang tengah dihidupi sekaligus cita-cita yang tengah dikejar. Pancasila menyatukan
bangsa Indonesia yang plural. Maka segala bentuk upaya yang tidak sehaluan dengan
Pancasila bukan identitas bangsa Indonesia, tetapi kiriman dari luar. Segala bentuk upaya
yang mengancam keutuhan bangsa Indonesia melawan Pancasila. Konsekuensi logisnya,
semua aktivitas yang memperjuangkan disintegrasi bangsa ditolak. Radikalisme agama yang
bertujuan mengganti tatanan yang berlaku, mengubah identitas bangsa Indonesia yang
pancasilais, harus disingkirkan.
Akan tetapi, haruskah para ekstrimis harus dilenyapkan dari bumi Indonesia?
Haruskan kelompok-kelompok separatis seperti Aman Abdurahman dan Santoso harus
disingkirkan dari tubuh bangsa Indonesia? Bukankah mereka adalah juga warga negara,
44
manusia-manusia rasional yang bertujuan, mengejar kebaikan hidup? Pendekatan kekerasan
bukan khas Indonesia. Menyelesaikan masalah dengan dominasi bukan hanya sesuatu yang
tidak lazim di Indonesia, tetapi sesuatu yang haram di panggung dunia. Pemaksaan konsensus
hidup bersama dengan kekerasan selalu sebagai opsi terakhir. Seburuk apapun orang, kita
mengecam tindakan jahatnya, tetapi mengayomi pribadinya. Bangsa Indonesia sejak dahulu
kala menyelesaikan masalah dengan musyawarah untuk mufakat, dalam bahasa Habermas
diskursus rasional atau demokrasi deliberatif. Semua pendapat yang berbeda didengarkan dan
dicari jalan tengah. Itulah prinsip kompromi, kebijaksanaan.
Para bangsa Indonesia memiliki seni sendiri dalam mendekati para antagonis. Sejak
dahulu orang Indonesia selalu bertindak tegas terhadap para pelaku kejahatan, tetapi
ketegasan itu selalu dibalut dengan cinta (asih). Bangsa Indonesia mendambakan kerukunan
hidup bersama dan selalu menghormati pribadi orang lain. Maka, negara saat ini sebaiknya
menggali dan menggunakan kebijaksanaan pancasilais Indonesia yang gotong-royong,
kompromis, penuh rukun dan hormat, dan ajrih-asih untuk mendekati kelompok-kelompok
yang mengusung radikalisme agama. Dominasi dan kekerasan adalah produk budaya asing.
Jangan biarkan budaya impor menguasai cara bertindak negara dalam menangani masalah
radikalisme agama di Indonesia.
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-buku
Arendt, Hannah. 1958. The Human Condition, Chicago & London: University of Chicago
Press.
1972. Crisis of the Republic. New York: Harcourt Brace & Company.
Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Buber, Martin. 1947. Between Man and Man. Trans. Ronald Gregor Smith, London: Collins
Clear-Type Press.
Danujaya, Budiarto. 2012. Demokrasi Disensus. Jakarta: Gramedia.
D’Entreves, Maurizio Passerin. 1994. The Political Philosophy of Hannah Arendt, London &
New York: Routledge.
Effendy, Bahtiar dan Hendro Prasetyo. 1998. Radikalisme Agama. Jakarta: PPIM-IAIN.
Firmanzah. 2008. Mengelola Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Giddens, Anthony. 1985. The Nation-State and Violence. Cambridge: Polity Press.
Gulalp, Haldun. 2006. Citizenship and Ethnic Conflict. London and New York: Routledge.
Hadirman, F. Budi. 2007. Filsafat Modern dari Machiavelii sampai Nietzsche, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
2009. Menuju Masyarakat Komunikatif. Jogjakarta: Kanisius.
2009. Demokrasi Deliberatif. Jogjakarta: Kanisius.
2010. Massa, Teror, dan Trauma. Yogyakarta: Lamalera.
Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan Dan Diskriminasi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
2014. Etika Politik & Kekuasaan, cet. 3. Jakarta: Buku Kompas.
Higgott, Richard. “International Political Economy”, dalam Robert E. Goodin dan Philip
Pettit. 1993. A Companion to Contemporary Political Philosophy. Oxford:
Blacwell.
Ismail, Faisal. 1995. Islam, Politics and Ideology in Indonesia: a Study of the Process of
Muslim Acceptance of Pancasil. Montreal: Institute of Islamic Studies
McGill University.
Kaplan, David M. 2003. Ricoeur’s Critical Theory. USA: State University of New York
Press, Albany.
46
Lyotard, Jean-Francois. 1988. The Differend: Phrases in Dispute. Minneapolis: University of
Minnesota Press.
1988. The Inhuman: Reflections on Time, trans. Geoffrey Bennington and
Rachel Bowlby, Cambridge: Polity Press.
1980. Heideqqer and 'the jews'., trans. Andreas Michel and Mark Roberts,
Minneapolis, University of Minnesota Press.
1984. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff
Bennington and Brian Massumi, United Kingdom: Mancester University
Press.
Magnis-Suseno, Frans. 2009. Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles. Yogyakarta:
Kanisius.
1984. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.
Malpas, Simon. 2003. Jean-Francois Lyotard. USA and Canada, Routledge.
Miller, David. 2003. Political Philosophy. Oxford: Oxford University Press.
Pruitt, Dean G. dan Jeffrey Z. Rubin. 2009. Teori Konflik Sosial (Terj. Social Conflict),
Pustaka Pelajar.
Ress, E.A. 2004. Political Thought from Machiavelli to Stalin. New York: Palgrave
Macmillan.
Ricouer, Paul. 1992. Oneself as Another, translated by Kathleen Blamey, Chicago and
London: The University of Chicago Press.
Riyanto, E. Armada. 2011. Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius.
Sartre, Jean-Paul. 1946. Existentialism and Humanism, trans. Philip Mairet, London:
Methuen & Co. LTD.
Simms, Karl. 2003. Paul Ricoeur. London: Routledge.
Snijders, Adelbert. 2009. Seluas Segala Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius.
Sudiarja, A. dkk (ed). 2006. Karya Lengkap Driyarkara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Supratiknya, A. “Pendidikan Dasar sebagai Infanteri”, dalam Sindhunata (ed.). 1999.
Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisaha. Yogyakarta: Kanisius.
Taylor, Charles. 2007. A Secular Age. Cambridge: The Belknap Press of Harvard University
Press.
Weber, Max. 1958. From Max Weber: Essays in Sociology. translated by H.H. Gerth and C.
Wright Mills, New York: Oxford University Press.
47
1978. Economy and Society, ed. Guenther Roth and Claus Wittich, Berkeley:
University of California Press.
2. Majalah dan Koran
Tempo, 25-31 Januari 2016.
Tempo, 1-7 Februari 2016.
Kompas, 19 Februari 2016.
Kompas, 27 Februari 2016
Kompas, 28 Februari 2016.
Kompas, 26 Maret 2016.
3. Internet
http://www.news.va/en/news/asiaindonesia-widespread-religious-violence-in-ind, diakses
pada 15 Maret 2016.