+ All Categories
Home > Documents > SENI MENDEKATI PARA ANTAGONIS-AGAMAIS

SENI MENDEKATI PARA ANTAGONIS-AGAMAIS

Date post: 28-Nov-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
47
1 SENI MENDEKATI PARA ANTAGONIS-AGAMAIS LUKAS BENEVIDES (MAHASISWA FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA) Abstraction This article is composed as a critical observation and response against the massive phenomena of religious radicalism in Indonesia. Religious radicalism appears because of many factors. Among them are the problems of economy, social repression, the superficial interpretation of religious doctrine in their sacred texts, the refusing of plurality, and the aim to nation disintegration. There are already many experts trying hard to describe the social phenomena, but they don’t even come into a consensus. Therefore, religious radicalism is still having the predicate of anomaly and antagonism. If so, what then can be done by the state, particularly the government to handle religious radicalism? This writing tries to respond the problem above. The first solution, every citizen has to know what and who the nation-state of Indonesia is. The identity of Indonesia is not a religion-state or a secular-state, but a Pancasila nation-state. Pancasila is the crystallizing of Indonesian culture local wisdom. So, it can be better to mention that Indonesia is a nation- state with its culture Pancasila. The founding of Indonesia as a nation-state since August 18 th , 1945 till this moment is a compromise among the multiplicity of Indonesian culture and the friction between the culture of West and East. The negotiation to reach this compromise has a very long and crucial history. If every citizen of Indonesia understands this historical identity of Pancasila, religious radicalism that orienting on disintegration can be tackle. Religious radicalism is a complex, antagonist, and anomaly social phenomena. Therefore, the second effective solution against this problem has to be comprehensive. There are several theoretical approaches that already being popular in the advance nations. They are rational discourse of Jurgen Habermas, the reconstruction of past fragmentary from Hannah Arendt, the bonding and bridging mechanism of Robert Putman, the modality of Anthony Giddens, creating new phrase in saving differend of Jean-Francois Lyotard, the ethics of
Transcript

1

SENI MENDEKATI PARA ANTAGONIS-AGAMAIS

LUKAS BENEVIDES

(MAHASISWA FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA)

Abstraction

This article is composed as a critical observation and response against the massive

phenomena of religious radicalism in Indonesia. Religious radicalism appears because of

many factors. Among them are the problems of economy, social repression, the superficial

interpretation of religious doctrine in their sacred texts, the refusing of plurality, and the aim

to nation disintegration. There are already many experts trying hard to describe the social

phenomena, but they don’t even come into a consensus. Therefore, religious radicalism is still

having the predicate of anomaly and antagonism. If so, what then can be done by the state,

particularly the government to handle religious radicalism?

This writing tries to respond the problem above. The first solution, every citizen has to

know what and who the nation-state of Indonesia is. The identity of Indonesia is not a

religion-state or a secular-state, but a Pancasila nation-state. Pancasila is the crystallizing of

Indonesian culture local wisdom. So, it can be better to mention that Indonesia is a nation-

state with its culture Pancasila. The founding of Indonesia as a nation-state since August 18th

,

1945 till this moment is a compromise among the multiplicity of Indonesian culture and the

friction between the culture of West and East. The negotiation to reach this compromise has a

very long and crucial history. If every citizen of Indonesia understands this historical identity

of Pancasila, religious radicalism that orienting on disintegration can be tackle.

Religious radicalism is a complex, antagonist, and anomaly social phenomena.

Therefore, the second effective solution against this problem has to be comprehensive. There

are several theoretical approaches that already being popular in the advance nations. They are

rational discourse of Jurgen Habermas, the reconstruction of past fragmentary from Hannah

Arendt, the bonding and bridging mechanism of Robert Putman, the modality of Anthony

Giddens, creating new phrase in saving differend of Jean-Francois Lyotard, the ethics of

2

Emmanuel Levinas, and the ideality of postmodern (freedom, plurality, tolerance). All these

approaches can be applied in Indonesia to handle the religious radicalism.

Indonesia is huge cultural nation since the era of pre-Hinduism. The founding of

nation-state Indonesia is based on the heterogenity of local wisdom crystalized into Pancasila.

Therefor, the ideology of Pancasila is a myhte concerning good life as a nation-state, a value

attracting people’s minds and actions, and as a norm guiding citizen’s behaviour. Thus,

Pancasila actually contains and reflects the affluence of Indonesian cultures. Various local

wisdoms in Indonesia since the very past time are already able to mediate and create living

well together. Thereby, Indonesia infact has its own genuine solving-problem approaches,

includes solving religious radicalism. There are more and less four most effective

approachess, namely mutual cooperation as deliberation for consensus, religious laicism as

compromistic philosophy, the norm of harmonious and honor as good life principle, and the

approach of ajrih-asih (being firm-love). If the state faces religious radicalism with these four

approaches, the religious radicalism can be solved.

Key Word: Religious Radicalism, Nation-State, Ideology Pancasila, Indonesian Culture

3

I. PENDAHULUAN

1.1 Potret Masalah Radikalisme Agama

Topik radikalisme agama merupakan masalah yang selalu faktual dan aktual di bumi

Indonesia. Wahid Institute mengeluarkan tesis bahwa kekerasan atas nama agama merupakan

masalah yang sangat serius di Indonesia. Setara Institute mencatat, pada tahun 2013 terjadi

222 insiden kekerasan atas nama agama di 20 provinsi. Kasus-kasus ini terjadi karena

pemerintah lambat dan tidak tepat menanggapi kelompok-kelompok Muslim garis keras di

Indonesia1. Fakta ini menggambarkan sepintas lalu potret proliferasi radikalisme agama yang

sangat subur di Indonesia. Masih banyak warga Indonesia yang belum menerima fakta,

apalagi memperjuangkan pluralitas agama, etnis, dan budaya di Indonesia. Akibatnya,

kekerasan atas nama agama di Indonesia sudah mencapai tingkat dan status ‘gawat-darurat’.

Liarnya gurita radikalisme agama berpotensi menebarkan ambisi disintegrasi bangsa. Negara,

pemerintah, dan segenap bangsa tidak boleh menutup mata terhadap fenomena ini bila masih

menginginkan Indonesia yang utuh.

Di awal tahun 2016, muncul dua tragedi menghebohkan masyarakat Indonesia.

Pertama, peristiwa teror tragis di jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, 14 Januari lalu.

Peristiwa pengeboman ini menewaskan 8 orang dan 27 orang menderita luka-luka. Pihak

kepolisian mengatakan bahwa eksekutor lapangan dan aktor intelektual bom Thamrin

berafiliasi dengan ISIS. Dian Juni Kurniadi, Sunakim, Muhamad Ali, dan Ahmad Muhazan

merupakan keempat pelaku yang berada di bawah arahan Bahrum Naim (Abu Rayyan).

Bahrum Naim membelot ke Suriah dan bergabung dengan ISIS sejak Mei 20142. Selain

terhubung dengan Bahrun Naim di Suriah, para pelaku Bom Thamrin juga berada di bawah

pengarahan Jamaah Ansharut Daulah yang didirikan Aman Abdurrahman. Sejak Januari

2014, Aman berbaiat ke ISIS. Sejak saat itu, Jamaah Ansharut Daulah berhaluan ISIS.

Struktur ISIS di Indonesia dikepalai oleh Aman sebagai ketua3. Peristiwa kedua adalah

fenomena Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara). Komunitas Gafatar disebut media dan banyak

pihak sebagai ormas keagamaan. Gafatar diberitakan membangun ajaran sendiri dengan

menggabungkan tiga kitab suci, yaitu, Taurat (Yahudi), Injil (Kristen), dan Al-Quran (Islam).

Ormas ini dikatakan bertujuan membangun negara sendiri di dalam NKRI. Mereka memiliki

struktur semacam ‘kenegaraan’ yang rapi. Para anggota Gafatar direkrut dari berbagai

1 http://www.news.va/en/news/asiaindonesia-widespread-religious-violence-in-ind, diakses pada 15 Maret 2016.

2 Tempo, 25-31 Januari 2016, hlm. 32-35.

3 Tempo, 1-7 Februari 2016, hlm. 28-32.

4

wilayah di Indonesia. Salah satu proyek besar mereka adalah membangun kedaulatan pangan.

Ketua umum Gafatar, Mahful M. Tumanurung, mengatakan bahwa organisasi ini sudah

mendeklarasikan pembubarannya pada 13 Agustus 20134. Namun, klaim ini dipertanyakan

menyusul kasus ‘orang hilang’ di berapa wilayah di Indonesia. Pembakaran pemukiman

kelompok Gafatar mengawali tragedi mereka. Pemerintah kemudian berinisiatif

memulangkan para warga Gafatar ke daerah asal masing-masing.

Profil kasus bom Thamrin dan Gafatar memiliki orientasi yang berbeda dan bahkan

bertentangan. Skenario bom Thamrin merupakan ekspresi radikalisme agama teroris Aman

Abdurahman dan para koleganya, sedangkan ormas Gafatar malah berusaha menyatukan para

pengikutnya dari berbagai latar agama ke dalam satu keyakinan yang bertumpu di atas tiga

kitab suci: Taurat, Injil, dan Alquran. Kedua fenomena ini mengartikulasikan dua hasrat yang

saling berkontradiktoris, yakni penolakan atas pluralitas di satu sisi dan perjuangan akan

plural-sinkretis di sisi lain. Namun, Gafatar sebenarnya bukan perjuangan atas pluralisme,

melainkan upaya totalitarianisme sinkretis yang ingin memangkas perbedaan dan

mencampurkan unsur-unsur yang berkesinambungan. Dengan kata lain, Gafatar juga

merupakan sebentuk fenomena radikalisme agama karena berpretensi menyatukan semua

heterogenitas ke dalam satu kesamaan yang mutlak.

Tragedi bom Thamrin dan Gafatar memiliki corak yang identik sebagai kasus

keagamaan. Selain itu, menariknya insiden bom Thamrin dan Gafatar hampir terjadi pada

kurungan waktu yang bersamaan, Januari 2016. Aktivitas terorisme memang sudah masif

berjalan sejak awal tahun 2000-an, tetapi bom Thamrin baru direncanakan sekitar akhir tahun

2015 dan pelaksanaannya pada 14 Januari. Sementara itu, ormas Gafatar sudah merumput di

Indonesia sejak 2011. Namun, tragedi Gafatar bermula dari penghancuran pemukiman

kelompok Gafatar di Mempawah, Kalimantan Barat dan pemulangan paksa para warga

Gafatar ke tempat asal mereka. Nasib hidup para warga eks-Gafatar akhirnya menuai

kesuraman. Para aktor bom Thamrin dan Gafatar juga memiliki keserupaan tujuan,

membangun negara Indonesia dengan konsepsi dan cara mereka sendiri. Dengan kata lain,

keduanya menuntut disintegrasi atau dekonstruksi eksistensi Republik Indonesia dan

rekonstruksi negara baru. Maka, tidak bisa dipungkiri bahwa kedua kasus di atas menambah

litani pengejawantahan radikalisme agama yang berorientasi pada disintegrasi bangsa.

Para aktor bom Thamrin dan ormas Gafatar penulis sebut sebagai para antagonis-

agamais. Disebut antagonis karena mereka melakonkan skenario sebagai pemeran-pemeran

4 Tempo, 1-7 Februasi 2016, hlm. 26.

5

yang melawan tatanan umum dan beratribut negatif. Disebut agamais karena gerakan mereka

bernuansa agama atau memiliki motif keagamaan. Dua peran ini penulis satukan dengan

terminologi para antagonis-agamais dengan maksud mereka adalah orang-orang yang

melawan tananan umum dengan motif keagamaam. Maka, semua solusi prosedural yang

penulis tawarkan dalam esai ini sebagai strategi dan taktik untuk menyikapi fenomena

radikalisme agama penulis sebut sebagai seni mendekati para antagonis-agamais.

1.2 Rumusan Permasalahan dan Metode Penelitian

Tertusuk dengan fenomena radikalisme agama yang merongong integrasi bangsa,

lantas apa yang bisa dilakukan negara? Penulis akan membahas masalah ini dalam seluruh

esai ini. Namun, sebelum mengeksplorasi topik utama pembahasan esai ini, penulis akan lebih

dulu memperjelas definisi identitas negara dan bangsa Indonesia. Penolakan akan realitas

heterogen etnis, budaya, dan agama di Indonesia acapkali disebabkan oleh ketidaktahuan dan

kekeliruan orang atas identitas negara-bangsa (nation-state) Indonesia dan identitasnya

sebagai warna negara. Maka, penulis akan mengelaborasi alur tulisan ini dengan menganalisis

dua persoalan. Pertama, apa dan siapa negara-bangsa Indonesia? Kedua, strategi pendekatan

apa yang dapat dilakukan negara untuk membendung persebaran paham radikalisme agama

yang memperjuangkan disintegrasi bangsa Indonesia? Untuk menjawab kedua masalah ini,

penulis akan menempuh jalur penelitian kepustakaan.

1.3 Tujuan Penulisan dan Sistematika Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini adalah merekonstruksi identitas bangsa Indonesia di era

ini dan mencoba menawarkan racikan taktik teoritis-atraktif untuk mereaksi eksistensi pihak-

pihak antagonistis radikalisme agama dalam negara ini. Di dalam kerangka ini, penulis

mengelaborasi alur uraian ini dengan sistematika berikut. Pertama, uraian ini dibuka dengan

pengantar berupa narasi singkat mengenai kompleksitas dan proliferasi fenomena radikalisme

agama yang tengah marak di Indonesia. Kedua, penulis akan memperjelas duduk perkara

identitas bangsa dengan menjawab pertanyaan, “siapa dan apa negara-bangsa Indonesia?”.

Bagian ini akan diklasifikasikan ke dalam beberapa subtopik. Ketiga, penulis akan

memetakan soal inti esai ini, “apa yang bisa dilakukan negara untuk menyikapi radikalisme

agama?”. Tilikan atas masalah utama ini akan dimulai dengan beberapa pendekatan yang

sudah lazim di pentas dunia. Kemudian, penulis akan menawarkan beberapa pendekatan

dengan analisis pribadi. Pada bagian analisis pribadi, penulis akan mengangkat kekayaan

6

budaya Indonesia yang bisa menjadi pendekatan menarik dan tidak kalah kualitasnya dengan

teori-teori dari luar Indonesia. Keempat, esai ini akan ditutup dengan sebuah rangkuman

umum mengenai seluruh isi esai dan sebentuk rekomendasi akademis.

7

II. IDENTITAS NEGARA-BANGSA INDONESIA

Pertanyaan mendasar yang hendak digubris penulis pada bagian ini adalah “siapa dan

apa negara-bangsa Indonesia?”. Makna di balik pertanyaan ‘siapa’ dan ‘apa’ merupakan soal

sintaksis dan semantik yang sudah lazim kita ketahui, baik dalam ruang formal (SD-

Perguruan Tinggi) maupun di dalam ruang informal seperti percakapan harian di tempat-

tempat umum. Di dalam ruang informal, percakapan dapat berlangsung tentang ‘siapa’ dan

‘apa’ tanpa definisi eksplisit. Dunia kehidupan harian kita mengandaikan bahwa implikasi di

balik kedua kata tanya ini sudah diketahui secara implisit. Dalam esai ini, tanpa membuang

makna lumrah kedua kata ini, penulis akan meneropong identitas ke-Indonesia-an kita, siapa

dan apa negara-bangsa Indonesia, dengan perspektif filsafat hermeneutika dan politik.

Sebelumnya, penulis akan memetakan definisi radikalisme agama di bawah pertanyaan ‘apa’

dan ‘siapa’ untuk memperjelas konsep radikalisme agama yang dimaksudkan dalam esai ini.

Untuk mempermudah aliran alur dan logika elaborasi, penulis akan

mengklasifikasikan topik ini ke dalam enam subtopik, yakni siapa dan apa radikalisme agama,

ihwal identitas, negara (state) dan bangsa (nation), negara-agama (religion-state) atau bangsa

beragama, negara-sekularis (secular-state) atau negara-bangsa (nation-state), Indonesia

pancasilais, Indonesia sebagai negara-bangsa berbudaya, dan diakhiri dengan sebuah sintesis.

2.1 Siapa dan Apa Radikalisme Agama?

Penjelasan para ahli sosialogi atas fenomena radikalisme agama belum menuai

kesepakatan. Masih ada keberagaman dan perbedaan paham. Namun penulis dalam esai ini

akan memahami terminologi radikalisme agama menurut arti etimologisnya dan tiga kriteria

yang ditemukan Horace M. Kallen. Secara etimologis istilah radikalisme berasal dari istilah

Latin “radix” yang berarti akar. Maka, berpikir radikal berarti penalaran yang mencari sampai

ke akar atau pola pikir yang mengakar. Tambahan isme mengkonotasikan radikalisme sebagai

paham atau pola pikir yang ekstrim. Karena itu, radikalisme agama dapat berarti pola pikir

dan penghayatan keagamaan yang terlalu mengakar. Namun mengakar di sini tidak dalam arti

mendalam, melainkan ekstrim dan berbau politik. Para ekstrimis biasanya menolak tatanan

politik tertentu dan ingin menggantikan tatanan yang ada dengan tatanan alternatif mereka.

Maka, radikalisme agama dalam arti leksikal, penulis maknai sebagai perlawanan dan

penolakan atas tatanan politik yang ada dan menggantinya dengan tatanan lain menurut

paham agamanya. Radikalisme agama berarti memaksakan ajaran agama sendiri sebagai

pedoman hidup bersama dalam suatu negara.

8

Ada pula kriteria deskripsi radikalisme Horace M. Kallen. Menurut Kallen, ada tiga

kecenderungan umum yang mencirikan radikalisme5. Pertama, radikalisme merupakan

respons terhadap kondisi yang tengah berlangsung berupa evaluasi, penolakan atau bahkan

perlawanan. Kondisi yang ditolak antara lain asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang tengah

dihayati bersama. Kedua, radikalisme tidak hanya menolak, tetapi juga berusaha mengganti

tatanan yang ada dengan tatanan lain. Ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat

atas kebenaran ideologi atau ajaran yang mereka anut. Karena itu, nyawa pun bisa mereka

korbankan demi kemenangan ideologi mereka. Dalam konteks isi seluruh esai ini, penulis

memaksudkan kelompok radikalis agama sebagai orang-orang yang menolak, melawan, dan

ingin menggantikan tatanan hidup bernegara dan berbangsa Indonesia yang dilandasi oleh

Pancasila dengan ajaran agama atau ideologi mereka yang lain. Dengan kata lain, para

radikalis agama adalah mereka yang merongrong keutuhan Indonesia dan memperjuangkan

disintegrasi bangsa.

2.2 Ihwal Identitas

Filsuf Perancis Paul Ricoeur memakai dua kata dalam bahasa Latin untuk

menggambarkan istilah identitas, yakni ipse dan idem. Ada sinonimitas parsial ekuivokalitas

antara istilah same (meme-Perancis) dan identical dalam bahasa Perancis, tetapi tidak dalam

bahasa Inggris dan Jerman. Yang sama (the same) berkontraris dengan other, contrary,

distinct, diverse, unequal, inverse6. Di dalam bahasa Indonesia, kedua kata ini memiliki

makna yang sama, kesamaan atau yang sama, tetapi ada perbedaan esensil secara

hermeneutis. Kata idem berarti being the same, the sameness, sedangkan ipse bermakna

oneself as self-same, selfhood. Identitas sebagai ipse menunjuk pada self-constancy (diri yang

tidak berubah), sedangkan sebagai idem identitas mencakupi perubahan di dalam kohesi

hidup7. Idem menunjukkn bahwa hidup manusia ada dalam permanesi waktu sehingga selalu

ada perubahan kecil. Ipse tetap sama. Idem menjawab soal “what am I?”, sedangkan ipse

menjadi “who am I?”8. Terminologi same (meme) menunjukkan ‘apanya’ (quiditas: inti) dari

sesuatu yang dibicarakan (a matter of the being or the thing in question). Sementara itu,

identitas sebagai ipse melibatkan dialektika selfhood dan sameness, yakni dialektika self dan

other than self. Bila hanya berada dalam lingkaran samenss-identity kelainan dari other than

5 Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo, Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM-IAIN, 1998, hlm. xvi-xviii.

6 Paul Ricouer, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey; Chicago and London: The University of Chicago

Press, 1992, hlm. 2-3. 7 Karl Simms, Paul Ricoeur, London: Routledge, 2003, hlm. 102.

8 Karl Simms, Paul Ricoeur, hlm. 103.

9

self tidak menghasilkan sesuatu yang baru, kecuali dalam perbandingan. Ke-liyan-an9 ini

konstitutif bagi selfhood. Selfhood dari oneself mengimplikasikan kelainan yang intim di

mana yang satu tidak bisa dipikirkan tanpa yang lain. Kata ‘as’ di sini tidak hanya

mengimplikasikan komparasi (oneself similar to another), tetapi juga implikasi (oneself in as

much as being other)10

. Bagi Ricoeur konsep karakter mampu menyatukan idem dan ipse.

Karakter terdiri dari dua disposisi, yakni habitus dan seperangkat identifikasi. Habitus

menempelkan historisitas pada karakter, suatu tanda distingtif yang dengannya seseorang

dikenali, direidentifikasi sebagai yang sama. Sementara itu, seperangkat identifikasi yang

dimaksud adalah yang dengannya yang lain masuk dalam komposisi dari yang sama. Kita

mengenal diri kita dengan mengidentifikasi diri dengan yang lain, yakni nilai, moral,

kebiasaan komunitas yang mana kita menjadi bagiannya11

.

Kompleksitas konsepsi terminologi identitas sebagaimana dikonstruksi oleh polaritas

istilah ipse dan idem di atas mendeskripsikan dua hal penting. Pertama, konsep identitas

mengandung permanensi dan perubahan sekaligus. Karakter aksidental-atributif identitas

bersifat kontigen, dapat berubah, tetapi substansinya permanen. What identitas dapat

‘menjadi’, sedangkan who identitas hanya ‘berada’. Kedua, gagasan identitas berciri

relasional. Keintiman relasi dengan yang lain menentukan fondasi identitas diri yang kokoh.

Identitas seseorang tidak bisa dibangun tanpa perjumpaan relasional dengan orang lain. No

man is an island. Kita tidak bisa mengenal diri tanpa berkonfrontasi dengan orang lain dan

dunia lain (nilai, moral, kebiasaan komunitas yang mana kita menjadi bagiannya). Pendek

kata, istilah identitas mengandung dialektika internal antara permanensi dan kontigensi,

keberadaan dan kemenjadian. Di atas kedua makna identitas inilah penulis akan berupaya

mengonstruksi identitas Indonesia di era ini. Siapa dan apa bangsa Indonesia? Eksistensi liyan

(the other) mana yang mengonstitusi bangsa Indonesia?

2.3 Negara (State) dan Bangsa (Nation)

Bila sejenak mengobservasi penggunaan istilah negara dan bangsa di dalam arena

percakapan kehidupan sehari-hari, kita tentu akan menemukan bahwa kebanyakan orang

memakai kedua diksi ini secara gamblang. Pemahaman makna kata negara dan bangsa

diandaikan secara implisit, seolah sudah dipahami sepenuhnya. Tidak jarang istilah negara

9 Penulis lebih memilih kata liyan dari pada lain dengan pertimbangan seperti yang diuraikan Budiarto Danujaya

dalam bukunya Demokrasi Disensus, Jakarta: Gramedia, 2012, hlm. xxi. 10

Paul Ricouer, Oneself as Another, hlm. 3. 11

Karl Simms, Paul Ricoeur, hlm. 103-104.

10

dan bangsa juga disinonimkan dan ditransposisikan. Apakah benar demikian? Ada banyak

definisi negara yang ditawarkan para penulis dalam berbagai literatur. Formulasi yang paling

diakui umum di era kontemporer adalah Max Weber. Weber mendefinisikan negara demikian,

“The state is a human society that (succesfully) claims the monopoly if the legitimate use of

physical force within a given territory”12

. Kekhasan konsep negara adalah suatu masyarakat

yang memiliki monopoli legitim untuk menggunakan kekerasan fisik dalam teritori tertentu.

Anthony Giddens kemudian mengklasifikasikan pandangan Weber ini ke dalam tiga poin

pokok: “(i) the existence of a regularized administrative staff able (ii) to sustain the claim to

the legitimate monopoly of control of the means of violence and (iii) to uphold that

monopoly within a given territorial area”13

.

Adapun penelitian Max Weber mengenai bangsa (nation). Weber menemukan bahwa

istilah bangsa tidak bisa dikonseptualisasi secara empiris. Sulit untuk menemukan satu kriteria

yang universal dan khas untuk mendefinisikan bangsa. Menurut penelitiannya, makna istilah

bangsa sebenarnya tidak sama sekali identik (dengan kata lain ada kemiripan) dengan

masyarakat dari suatu negara (people of a state), tidak didasarkan pada bahasa yang sama,

sentimen solidaritas etnis, ras, dan sentimen nasional. Genealogi istilah bangsa terkait dengan

“prestige” interest, yakni legenda dari suatu misi provindensial (legend of a providential

“mission”). Misi ini bisa dipikirkan sebagai sebentuk “culture” mission yang harus dipikul

dan diperjuangkan aktualisasinya oleh orang-orang yang menghuni teritori tertentu14

. Misi

providensial ini dalam kosa kata lain dapat dipahami sebagai mitos. Sementara itu, David

Miller mendeskripsikan bangsa secara lain. Bagi Miller, suatu bangsa biasanya

mengembangkan suatu mitos tentang kualitas moral dan budaya mereka yang unik,

kesuksesan militer dan politik, dan lain-lain. Suatu bangsa memiliki (baca share: berbagi)

bahasa yang diterima umum, sejarah hidup bersama, jejak-jejak budaya yang diekspresikan

tidak hanya dalam bentuk literaris, tetapi juga dalam lingkungan fisik sesuai kontruksi desa

dan kota, menurut bentuk tanah, monumen-monumen, bangunan-bangunan religius, dan lain-

lain15

.

Pendapat Weber dan Miller memiliki pertentangan dalam banyak hal, tetapi ada pula

kemiripan. Bila Weber mengatakan bahwa ras, bahasa, sentimen solidaritas nasional, dan

teritori bukan unsur esensil komposis definisi bangsa, Miller malah sebaliknya. Namun ada

12

Max Weber, From Max Weber: Essays in Sociology, trans. H.H. Gerth and C. Wright Mills, New York:

Oxford University Press, 1958, hlm. 78. 13

Anthony Giddens, The Nation-State and Violence, Cambridge: Polity Press, 1985, hlm. 18. 14

Max Weber, Economy and Society, Berkeley: University of California Press, 1978, hlm. 921-926. 15

David Miller, Political Philosophy, Oxford: Oxford University Press, 2003, hlm. 114-115.

11

satu hal yang sama pada kedua pemikir ini, yakni mitos. Weber dan Miller sepakat bahwa

identitas suatu bangsa diikat oleh suatu mitos yang sama. Mitos berbeda dengan fiksi. Mitos

bukan irasionalitas. Mitos memiliki rasionalitas hanya bisa dinalar dengan logika intern

masyarakat pemeluknya pada zamannya. Mitos adalah metode interpretasi dan artikulasi

kebenaran pada zaman tertentu dalam bentuk narasi. Mitos mengandung visi-misi akan suatu

tatanan hidup yang ideal dan kosmos. Mitos memproduksi dan mengkonservasi ajaran moral

dan nilai-nilai. Mitos merupakan produk budaya yang menjadi inspirasi material pembentukan

ideologi. Dalam bahasa politik modern, mitos sebenarnya adalah ideologi. Steger benar ketika

ia mendefinisikan ideologi sebagai “a system of widely shared ideas, patterned beliefs,

guiding norms values, and regulative ideal accepted as fact or truth by some group16

.

Firmanzah mengafirmasi gagasan in dengan mengartikan ideologi sebagai bahasa, simbol,

dan mitos17

. Persis, mitos-ideologi inilah yang menjadi ipse konsep bangsa, sedangkan

kesamaan bahasa, aspek teritori dan beberap unsur lain hanyalah idem bangsa.

Sebagai satu bangsa, Indonesia memiliki mitos. Ideologi Pancasila merupakan mitos

tersebut. Mitos ini diramu dari aneka mitos atau kearifan lokal yang tersebar di berbagai

daerah. Indonesia merupakan negara arkipologis yang terdiri dari heterogenitas suku bangsa.

Setiap suku bangsa lokal selalu memiliki mitos. Dengan kemampuan cita rasa budi dan karsa,

para bapak pendiri bangsa Indonesia berhasil menyatukan multiplisitas mitos-mitos lokal ke

dalam satu mitos bangsa, Pancasila. Visi-misi negara dan bangsa Indonesia adalah

memperjuangkan aktualisasi mitos ini.

Pemaparan di atas menunjukkan dengan jelas bahwa konsepsi negara dan bangsa

berbeda meskipun keduanya saling terkait. Bila negara berkarakter institusional, bangsa

berfitur komunal. Negara mengimplikasikan sekelompok masyarakat yang mengoperasikan

dominasi secara legitim, sedangkan bangsa merujuk pada sekumpulan masyarakat yang diikat

oleh mitos tertentu dan perjuangan untuk merealisasikan mitos tersebut. Negara dan bangsa

saling membutuhkan. Bangsa membutuhkan negara sebagai instrumen untuk

mengaktualisasikan mitos. Sementara itu, negara membutuhkan bangsa sebagai agen,

operator, dan pasien kekuasaan. Singkat kata, perpaduan negara dan bangsa bersifat

ontologis-instrumental. Sampai di sini, identitas Indonesia sudah sedikit disingkap. Indonesia

adalah negara dan bangsa yang diikat oleh mitos-ideologi Pancasila. Namun, masalahnya

apakah Indonesia adalah negara-bangsa, negara-sekularis (negara-sekularis berbeda dengan

negara-sekular. Negara sekular identik dengan negara-bangsa), atau negara-agama?

16

Firmanzah, Mengelola Partai Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, hlm. 93. 17

Firmanzah, Mengelola Partai Politik, hlm. 103.

12

2.4 Agama dan Negara

Berbagai problematika radikalisme agama dan invasi ruang privat warga di Indonesia

sering mencuat karena kekeliruan dan kesalahan interpretasi makna, fungsi, dan relasi agama

dan negara. Di satu pihak, ada kelompok tertentu yang memandang Indonesia sebagai negara-

agama (religion-state). Sebaliknya, di sisi lain banyak warga Indonesia juga memandang

Indonesia sebagai negara-sekularis. Masalahnya, bila negara Indonesia adalah negara-agama,

agama siapa yang dimaksudkan di sini? Bukankah masyarakat Indonesia jauh sebelum

kemerdekaan sudah memeluk pluralitas agama dan kepercayaan (agama menunjuk pada

agama-agama institusional-tertulis yang telah dilegalisasi negara, sedangkan kepercayaan

mengimplikasikan sistem kepercayaan lokal-lisan yang masih berbau adat-istiadat leluhur).

Sebaliknya, bila Indonesia dipahami sebagai negara-sekularis, bukankah bangsa Indonesia

sejak awal keberadaannya di atas gugusan arkipologi Nusantara sudah memiliki multiplisitas

sistem kepercayaan, bahkan sebelum agama-agama impor menguasai Indonesia? Kedua

fallacio (kesesatan logika) ini sekiranya menjadi pemantik yang membakar setiap warga

Indonesia untuk memikirkan kembal identitas bangsa Indonesia. Kalau Indonesia bukan

negara-agama atau negara-sekularis, lantas apa sebenarnya ke-Indonesia-an kita?

2.4.1 Negara-Agama (Religion-State) atau Bangsa Beragama

Masyarakat Indonesia sejak awal heterogen. Bukan hanya heterogenistas agamais,

melainkan semua hal yang merupakan produk budaya seperti bahasa, pola perilaku, tatanan

etis, sistem mata pencaharian, kepercayaan, ras, suku, pola pikir, dan lingkungan alam.

Tepatnya, Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya. Indonesia adalah

negara yang bangsanya berbudaya, kaya budaya. Atas pertimbangan keanekaragaman ini,

formulasi Pancasila, khususnya ayat satu direvisi. Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sejak

terpilih sebagai presiden dan wakil presiden pertama mendeklarasikan Indonesia sebagai

negara-bangsa (nation-state), bukan negara-agama (religion-state). Dengan demikian, klaim

bahwa Indonesia adalah negara-agama merupakan sebuah kekeliruan, kesalahan, dan

kesesatan. Pertumpahan darah, radikalisme agama, kasus-kasus SARA, dan distrintegrasi

bangsa muncul karena orang memaksakan perspektifnya dan berusaha mengubah identitas

Indonesia sebagai negara-agama. Tragedi Bom Thamrin merupakan sampel representatif

aktual paradigma ini. Kejadian Bom Thamrin adalah artikulasi ambisi koersif Aman

Abdurahman bersama para anggotanya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agama

versi mereka. Ajaran-ajaran agama sesuai tafsiran mereka, khususnya paham keselamatan

13

akhirat, menjadi legitimasi aksi brutal terorisme. Pembunuhan masal adalah tindakan heroik

bagi para teroris. Itulah sebabnya, mereka tidak segan-segan untuk mengorbankan harta dan

nyawa untuk memperjuangkan konsep negara versi mereka dan merengkuh keselamatan.

Para teroris bukan orang bodoh. Profil hidup para dalang Bom Thamrin menunjukkan

curiculum vitae mereka sebagai orang-orang berpendidikan. Itu artinya, mereka memiliki

kebenaran tertentu yang diperjuangkan. Kebenaran apa yang mereka pertaruhkan dengan

harta dan nyawa mereka? Berbagai kasus terorisme di Indonesia lazimnya muncul dengan

motif keagamaan. Orang-orang yang merasa keyakinan agamanya tidak diakomodir negara

dan merasa diri sebagai kelompok marginal cenderung bermain kekerasan. Ketika otak tidak

lagi mempan untuk memperjuangkan tujuan, otot menjadi solusi terakhir. Tentu ada banyak

motivasi yang melatari tindakan terorisme, tetapi agama merupakan motivasi pertama.

Melakukan kejahatan berdasarkan interpretasi ekstrim atas kitab suci merupakan fondasi

legitimasi yang sulit digoyahkan. Spiritualitas puritanisme ini melahirkan radikalisme agama.

Kurang lebih ada tiga alasan peran agama yang rentan kekerasan, yakni sebagai kerangka

penafsiran religius terhadap hubungan sosial (fungsi ideologi), faktor identitas, dan legitimasi

hubungan sosial18

. Pertama, sebagai ideologi agama menjadi perekat suatu masyarakat karena

memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan-hubungan sosial. Sejauh mana

suatu tantanan dianggap sebagai reprsentasi religius yang dikehendaki Tuhan? Kedua, agama

berperan sebagai faktor identitas: kepemilikan atas kelompok sosial tertentu memberi

stabilitas sosial, status, pandangan hidup, cara berpikir, etos, dan identitas etnis (Aceh

Muslim, Flores Katolik, Manado Protestan, dll). Ketiga, sebagai legitimasi etis hubungan

sosial, suatu tatanan sosial mendapatkan dukungan etis dari agama bila sesuai ajaran agama.

Abu Bakar al-Baghdadi menerjemahkan dengan baik ketiga peran agama ini. Dengan

penguasaan hukum Syariah, ia memberikan legitimasi atas tindakan-tindakan pasukan ISIS

yang tak terbayangkan di zaman ini: penyembelihan, bom bunuh diri, memerangi orang-orang

Syiah ataupun sesama Muslim lain dan semua orang yang menolak ambisinya. Ia

membenarkan kebiadaban ini dengan dalil-dalil agama19

. Perspektif Baghdadi ini diamini oleh

Aman Abdurahman dan para pengikutnya.

18

Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan Dan Diskriminasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2010, hlm. 84-85; Haryatmoko, Etika Politik & Kekuasaan, cet. 3, Jakarta: Buku Kompas, 2014, hlm. 71-73. 19

Tempo, 1-7 Februari 2016, 51-52.

14

2.4.2 Negara-Sekularis (Secular-State) atau Negara-Bangsa (Nation-State)

Istilah sekular berasal dari bahasa Latin saeculum. Secara leksikal, kata saeculum

berarti dunia, hal-hal profan atau duniawi20

. Istilah sekular ini persis berantonim dengan kata

sakral. Memasuki era modern, wacana perihal sekularisasi yang berakar kata sekular sangat

hangat di kawasan Eropa. Charles Taylor memaknai istilah sekularitas-sekularisasi dalam dua

ranah. Pertama, sekularisasi dalam institusi-institusi umumnya, secara khusus negara. Secara

sederhana sekularisasi berarti pemisahan dunia profan negara dari dunia sakral agama, atau

pengembalian negara dan agama ke dalam domainnya masing-masing. Sekularitas berarti

pelepasan atau terbebaskannya negara dari kungkungan bayang-bayang agama. Kedua,

sekularisasi dalam ruang publik. Dalam wilayah ini, sekularitas berarti segala bentuk aktivitas

manusi seperti ekonomi, sosial, politik, pendidikan, budaya, dan rekreasi, dan ajaran-ajaran

moral tidak bereferensi ke realitas ultim, Tuhan21

.

Berawal dari semangat inovatif sekularisasi ini, paham sekularisme menyembul dan

mendominasi panggung ruang publik di Eropa sejak awal menyingsingnya fajar era modern

hingga saat ini. Berbeda dengan semangat sekularisasi, tendensi sekularisme adalah

pengagungan hal-hal profan atau materi dan pengebirian eksistensi agama. Sekularisme

menganut materialisme dan ateisme. Bagi kaum sekularis (mereka yang ber-roh sekularisme),

agama tidak lain hanyalah opium yang membuat orang kecanduan, tidak sadar akan

kebudakannya, dan momok haus darah kekuasaan yang berwajah kesalehan. Kedua semangat

ini, sekularisasi dan sekularisme22

mencuat ke atas kontestasi pentas politik bersamaan

sebagai reaksi opositif-antitesis terhadap perang antar umat beragama yang menghantui Eropa

pada era pertengahan, abad 13-16. Eropa kala itu menganut sistem politik tunggal, teokrasi.

Teokrasi mencampuradukkan urusan politik dan urusan negara. Kebijakan negara ditentukan

oleh pemimpin agama. Pemimpin agama merangkap pemimpin negara dan berpredikat wakil

Tuhan, titisan ilahi, perpanjangan tangan Allah. Alhasil, perbedaan iman kepercayan antara

warga mengakibatkan peperangan. Ribuan nyawa melayang. Tragedi pilu ini menggerakan

dan memaksa banyak orang untuk menggulingkan rezim teokrasi absolutisme. Perkawinan

agama dan negara dipaksa cerai. Revolusi tidak bisa dipelak lagi. Kebencian atas instansi

agama dan para pemimpin, dalam hal ini Gereja Katolik dan Protestan, memenuhi relung hati

banyak warga. Gelombang gerakan anti agama bermunculan. Era modern Eropa dipenuhi

20

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000, hlm. 980. 21

Charles Taylor, A Secular Age, Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press, 2007, hlm. 1-2. 22

Penulis menggunakan istilah sekularis sebagai kata sifat untuk sekularisme dan istilah sekular sebagai kata

sifat untuk kata sekularitas atau sekularisasi.

15

dengan hasrat kemarahan dan kebencian atas eksistensi agama. Banyak orang beragama

meninggalkan agama. Agama tidak lagi sebagai sosok ibu yang mengayomi, tetapi malah

mengekang. Agama tidak produktif. Karena itu, untuk apa beragama?

Kekhaosan situasi sosial politik Eropa kala itu memaksa para teoritisi politik untuk

memikirkan kembali sistem politik teokrasi. Nicollo Machiavelli, Thomas Hobes, dan John

Locke adalah ketiga pemikir besar pada era itu. Bersama mereka inilah, sekularisasi menjadi

trend baru. Ketiga pemikir ini sepakat bahwa agama harus dipisahkan dari dunia politik.

Agama harus disekularkan. Bagi Machiavelli negara lebih tinggi dari agama. Agama hanya

berguna bagi negara bila menciptakan stabilitas dengan mengembangkan moralitasnya untuk

mengatur pola laku para pengikutnya23

. Realitas perang sipil memancing Thomas Hobbes

untuk memikirkan kembali kodrat manusia. Bagi Hobbes, manusia secara kodrati adalah

homo homini lupus (serigala bagi sesamanya). Karena itu, dalam keadaan alamiah manusia

selalu mengadakan kompetisi bellum omnium contra omnes (semua melawan semua). Sangat

sulit untuk membangun hidup bersama berdasarkan kodrat alamiah manusia. Maka, Hobbes

mengonstruksi negara Leviathan. Negara sebagai Leviathan dilukiskan Hobbes sebagai

manusia raksasa yang terdiri dari atas banyak manusia-manusia kecil. Hobbes memaksudkan

negara yang kekuasaan absolut berada di tangan seorang raja. Bagi Hobbes, seorang raja

harus memiliki kekuasaan yang tak tergoyahkan untuk menyatukan kepentingan dan

menumpulkan tendensi membunuh setiap warga24

. Berbeda dengan Hobbes, John Locke

memandang positif keadaan alamiah manusia. Bagi Locke, manusia dalam keadaan

alamiahnya hidup dalam keharmonisan. Kekhaosan baru muncul ketika keadaan alamiah

ditransfigurasi menjadi negara. Keadaan ini tidak bisa dikembalikan lagi ke state of nature.

Namun, negara bisa merevitalisasi kedamaian dan kesejahteraan alamiah manusia. Peran

negara ini hanya bisa dicapai bila kekuasaan negara tidak absolut. Locke mengusulkan negara

dengan triparti peran, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif25

. Konsepsi Locke ini

kemudian disempurnakan oleh Montesquei dan dianut negara-negara demokrasi hingga

dewasa ini. Ketiga pemikir besar di atas meletakan dasar teoritis sekularisasi dalam dunia

politik modern. Kekelaman masa lalu dan inspirasi dari ketiga tokoh besar di atas

melanggengkan sistem negara yang sekular hingga hari ini. Negara-negara modern entah

demokrasi entah sosialis menganut pola paradigma sekular.

23

E.A. Ress, Political Thought from Machiavelli to Stalin, New York: Palgrave Macmillan, 2004, hlm. 6-7. 24

F. Budi Hadirman, Filsafat Modern dari Machiavelii sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2007, hlm. 68-71. 25

F. Budi Hadirman, Filsafat Modern dari Machiavelii sampai Nietzsche, hlm. 80-81.

16

Konsepsi negara-bangsa (nation-state) muncul sebagai sebuah paradigma dan sistem

kenegaraan yang baru tepat dalam situasi transisi antara abad pertengahan dan modern. Ketika

rezim teokrasi absolut berakhir, paradigma nation-state muncul sebagai sistem politik baru

yang membawa angin segar. Kegelisan politis mulai tergusur oleh kedatangan harapan baru

akan kecerahan masa depan yang ditawarkan sistem nation-state. Nation-state adalah buah

dari semangat perjuangan sekularitas. Hasrat sekularisasi pasca perang agamais Eropa

melahirkan nation-state sebagai paradigma sistem negara baru yang sangat potensial dan

menjanjikan. Dengan demikian, negara-bangsa tidak lain adalah negara sekular, tetapi bukan

negara sekularisme yang anti agama. Negara-sekular sebutan lain untuk negara-bangsa dan

berbeda dengan negara-sekularis.

Secara legal-historis nation-state bermula dari Pakta Westfalia 1648 yang disepakati

pasca 30 tahun perang agama di Eropa26

. Pasca Pakta Westfalia, prosedur organisasi nation-

state dianut umum negara-negara Eropa dan negara-negara luar Eropa. Umumnya para

penulis mengasosiasikan nation-state sebagai bentuk negara yang mempersatukan

multiplisitas etnis dalam teritori tertentu. Nation-state juga acapkali diidentikan dengan

nasionalisme eksklusif yang beroposisi dengan semangat internasionalisme dan humanisme

universal. Itulah sebabnya, konsepsi dan paradigma nation-state diproblematisir dan dilabel

kedaluarsa pada era ini27

. Bagi penulis, pendefinisian di atas sangat sempit sehingga

paradigma nation-state menjadi problematis. Penulis mengusulkan pendekatan historis dan

etimologis untuk memahami terminologi ini. Sebagaimana diuraikan di atas, nation-state

muncul sebagai reaksi atas teokrasi absolut yang mengakibatkan perang saudara di Eropa

antara umat Protestan dan Katolik. Nation-state bukan tanggapan atas konflik etnis atau

perang antar negara. Etimologi term nation dan state seperti pada uraian sebelumnya juga

mengindikasikan pemaknaan yang berbeda dari pelabelan sempit di atas. Upaya penjajakan

konsepsi negara dan bangsa di atas memudahkan kita untuk memahami nation-state. Negara

adalah monopoli pemakaian kekerasan secara legitim oleh suatu masyarakat dalam lingkup

teritori tertentu untuk mengontrol kehidupan bersama, sedangkan bangsa adalah sekelompok

masyarakat yang dikonstruksi dan diikat dengan mitos tertentu. Dengan demikian nation-state

bisa diartikan sebagai penggunaan sarana kekuasaan yang legitim oleh sekelompok orang

untuk mengkonservasi dan merealisasikan mitos (ideologi) bangsa dalam teritori tertentu.

26

Haldun Gulalp (ed), Citizenship and Ethnic Conflict, London and New York: Routledge, 2006, hlm. 1. 27

Richard Higgott, “International Political Economy”, dalam Robert E. Goodin dan Philip Pettit, A Companion

to Contemporary Political Philosophy, Oxford: Blacwell, 1993, hlm. 171.

17

2.5 Indonesia Pancasilais

Setiap bangsa diikat oleh mitos atau ideologi tertentu dan negara merupakan aparatur

organisatoris untuk merealisasikan mitos ini dengan kekuasaan. Mitos (ideologi) bangsa

Indonesia adalah Pancasila. Asal-usul Pancasila memang sangat kontroversial hingga tahun

1970. Para sejarawan mempertanyakan, apakah kelima sila adalah gagasan Soekarno,

Presiden pertama Indonesia, atau Muhammad Yamin. Kontroversi ini baru berakhir ketika

Mohamad Hatta, Wakil Presiden pertama Indonesia, memberi kesaksian bahwa Pancasila

memang diformulasikan Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945. Sebelum mendeklarasikan Pancasila

sebagai ideologi bangsa, menurut Dr. Alfian (Prof. Ilmu Politik UGM 1950-an) Soekarno

meramu material Pancasila dari tiga sumber, yakni pluralitas nilai-nilai budaya lokal

masyarakat Indonesia, sosialisme Marxian, dan gagasan para pemikir Islam modern seperti

Muhammad Abduh dan Jamal al-Din al-Afgani28

. Setelah membakukan sumbangsih ketiga

sumber ini dalam lima sila, Soekarno baru mendeklarasikannya ketika ia terpilih sebagai

Presiden pertama RI. Meskipun demikian, Soekarno belum mendasari ideologi Pancasila

dengan telaah-telaah filosofis. Kekosongan fondasi filosofis ini mengundang perdebatan

sengit di antara para pemikir Indonesia. Di tengah pertikaian pendapat mengenai dasar

negara, dalam forum politik sidang Konstituante tahun 1959, seminar Pancasila I

diselenggarakan di Yogyakarta. Seminar ini merupakan upaya pendekatan akademis terhadap

masalah-masalah nasional. Awalnya, Sidang Konstituante ini berencana merumuskan UUD

sebagai pengganti UUDS 1950. Namun topik perdebatan kemudian bergeser ke dasar negara.

Pancasila diperdebatkan. Di dalam keremangan akademis inilah Prof. Dr. Dryarkara tampil

sebagai salah satu figur yang menyediakan landasan filosofis bagi Pancasila. Pandangan

Dryarkara ini diterima umum dan dikembangkan sebagai filsafat Pancasila hingga sekarang.

Dryarkara menilik Pancasila dengan kaca mata eksistensialisme Perancis. Menurut

Dryarkara Pancasila adalah sebuah artikulasi kodrat manusia. Pancasila mengekspresikan

actus essendi (cara berada manusia), yakni menjasmani, meng-Aku, dan meng-Kita29

. Cara

berada manusia tidak terpisah dari alam jasmani. Manusia tinggal dalam kesatuan dengan

dunia jasmani. Manusia membentuk alam dan sebaliknya alam membentuk manusia.

Berhadapan dengan alam, manusia tidak hanya berdistansiasi, tetapi juga menyatu dengan

alam. Manusia mempribadi dalam kontak dengan dunia jasmani. Karena itu, manusia adalah

28

Faisal Ismail, Islam, Politics and Ideology in Indonesia: a Study of the Process of Muslim Acceptance of

Pancasila, Montreal: Institute of Islamic Studies McGill University, 1995, hlm. 22-38. 29

A. Sudiarja, dkk., (ed), Karya Lengkap Driyarkara, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006, hlm. 938-

959.

18

roh yang menjasmani, atau roh yang menubuh dan sebaliknya badan yang meroh. Polaritas

antara manusia dan alam inilah yang memproduksi budaya. Budaya adalah hasil sentuhan

dunia manusia dan dunia alam. Selain menjasmani, manusia juga meng-Aku dan meng-Kita.

Meng-Aku dan meng-Kita merupakan dua cara berada yang tidak terpisahkan dan berjalan

bersamaan. Dalam filsafat manusia, Aku mengkonstitusi diri dalam konfrontasi dengan liyan,

secara khusus orang lain. Saya baru mengenal siapa saya ketika berelasi dengan orang lain.

Meng-Kita terbentuk dari meng-Aku. Kita bukan sebuah istilah kosong. Kata ganti orang

pertama jamak ‘kita’ dikonstruksi dari kata ganti orang pertama tunggal ‘saya’ dan orang

kedua tunggal dan jamak ‘kamu’. Rumusan matematisnya, saya+kamu= kita. Kita adalah

konstruksi relasi interpersonal aku dan kamu. Dengan demikian, meng-Aku pada saat yang

bersamaan sekaligus meng-Kita. Meng-Aku bukan milik eksklusif satu orang, melainkan

setiap orang. Karena itu, sebenarnya tidak ada meng-Kamu di sini. Dunia eksistensialisme

selalu bertolak dari subjek Aku. Relasi interpersonal Aku dan Aku (kamu) yang lalu

menciptakan Kita direkat oleh cinta kasih. Logika cinta kasih adalah AKU+KAMU (Aku-aku

yang lain)= KITA.

2.6 Indonesia: Negara-Bangsa Berbudaya

Pancasila bagi Soekarno bisa dipadatkan menjadi satu, yakni gotong royong.

Spiritualitas gotong royong merupakan differentia specifica (perbedaan khusus, khas) bangsa

Indonesia. Gotong royong adalah cara berada, pola dan nilai hidup yang bisa ditemukan

dalam seluruh suku bangsa lokal di tanah air Indonesia. Sebelum sila-sila Pancasila

diejawantahkan secara formal sebagai ideologi bangsa oleh Soekarno sejak 1 Juni 1945,

Pancasila sebagai budaya sebenarnya sudah dihidupi masyarakat Indonesia sejak berabad-

abad lalu. Pringgodigdo, salah satu anggota Komite V yang bertugas menginvestigasi

Pancasila, berpendapat bahwa 1 Juni 1945 hanyalah kelahiran terminologi Pancasila. Isi

Pancasila sudah berakar dalam cara berada masyarakat Indonesia sejak beberapa abad silam30

.

Kelima sila ideologi Pancasila merepresentasikan cara berada segenap insan

Indonesia. Masyarakat Indonesia ber-Tuhan. Sebelum mendeklarasikan diri sebagai negara

yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, panorama suku-suku Indonesia adalah

berkepercayaan (sila 1). Bahkan sebelum agama-agama besar dunia diimpor ke Indonesia,

masyarakat Indonesia telah memiliki kepercayaan asali. Hingga hari ini kita masih bisa

menemukan jejak-jejak kepercayaan asali ini dalam lebenswelt (dunia kehidupan), meminjam

30

Faisal Ismail, Islam, Politics and Ideology in Indonesia: a Study of the Process of Muslim Acceptance of

Pancasila, hlm. 30.

19

istilah filsuf Jerman Jurgen Habermas. Sistem kepercayaan masyarakat Indonesia bukan

keyakinan spekulatif abstrak dan sistematis, tetapi sungguh mendarat dalam kehidupan riil.

Karena itu, penyembahan terhadap wujud yang ilahi diwujudkan dalam junjungan tinggi atas

kemanusiaan (sila 2). Antropologi masyarakat Indonesia bukan manusia individualis,

melainkan komunal. Karakter khas Indonesia adalah masyarakat kolektif. Sistem

kekeluargaan orang Indonesia sangat komunal (sila 3). Kehidupan bersama ini selalu

dipimpin oleh orang-orang tertentu yang diyakini berhikmat (sila 4). Sistem permusyawaratan

representatif Indonesia saat ini mengadopsi pola tradisional masyarakat Indonesia dahulu

kala. Keputusan-keputusan yang bersangkut-paut dengan kemaslahatan komunal diambil oleh

tua-tua yang menjadi representasi warga dan diyakini sebagai perpanjangan tangan yang ilahi.

Orientasi musyawarah untuk mufakat yang diwakili sosok-sosok berhikmat adalah keadilan

sosial (sila 5). Budaya masyarakat Indonesia tidak mengenal keadilan liberal sebagaimana

digelontorkan banyak pemikir politik kontemporer seperti John Rawls. Kesejahteraan semua

orang dan keadilan sosial merupakan norma pengambilan keputusan dalam suku-suku lokal di

Indonesia.

2.7 Sebuah Sintesis

Uraian panjang di atas telah memetakan definisi dan relasi negara-bangsa, negara-

agama, negara-sekularis dan negara-bangsa (negara sekular), hakekat Pancasila, dan budaya

Indonesia. Tanpa bermaksud mengulang-ulang, penulis akan memperjelas formulasi identitas

bangsa Indonesia. Substansi atau identitas ipse bangsa Indonesia adalah mitos atau ideologi,

sedangkan unsur lainnya seperti kesamaan bahasa dan teritori adalah identitas idem atau

atribut akdisentalnya. Mitos Indonesia adalah ideologi Pancasila. Ideologi Pancasila

mengkristalkan budaya bangsa Indonesia yang beraneka ragam dan antropologi Indonesia.

Indonesia adalah negara-bangsa, bukan negara-agama atau negara-sekularis, yang disatukan

oleh mitos yang sama, yakni Pancasila. Pancasila adalah ramuan dari budaya-budaya

Indonesia, maka Indonesia tepatnya adalah negara-bangsa yang berbudaya. Kejelasan definisi

identitas negara-bangsa Indonesia ini akan sangat membantu negara menangani masalah

radikalisme agama.

20

III. SENI MENDEKATI PARA ANTAGONIS-AGAMAIS

Pada topik pembahasan sebelumnya, penulis sudah memperjelas soal identitas negara-

bangsa Indonesia. Indonesia bukan negara agama ataupun negara sekularis. Indonesia adalah

negara-bangsa yang berbudaya (beragama) dan memperjuangkan aktualisasi paripurna

struktur hidup baik bersama dalam dan dengan mitos-ideologi Pancasila. Dengan demikian,

problematika seputar identitas agen, siapa dan apa, sudah terjawab. Maka pada topik bahasan

ini, penulis akan menggali status questiones esai ini, “apa yang bisa dilakukan negara untuk

menyikapi radikalitas alteritas yang berkontradiktoris ini?”. Dengan kata lain, tindakan-

tindakan mana yang tepat bagi negara secara sosio-politis untuk mempertahankan dan

mengejar artikulasi sempurna struktur hidup bersama yang pancasilais. Upaya ini tidak lain

adalah strategi menjembatani berbagai kepentingan dan keliyanan antagonisme dalam tubuh

bangsa. Penulis akan memulai pembahasan topik ini dengan beberapa seni pendekatan yang

telah lazim di pentas dunia. Sebelumnya penulis akan memperjelas konsepsi radikalisme

agama untuk mempermudah penalaran dalam esai ini.

3.1 Negara sebagai mediasi

Negara merupakan pengejawantahan hasrat untuk hidup baik bersama dalam bentuk

institusi. Negara adalah institusionalisasi hasrat untuk membangun hidup bersama. Dalam

tataran administratif, negara merupakan aparatur pemerintahan yang mengatur hidup bersama.

Aktor atau agen hidup bersama ialah bangsa. Bangsa sendiri terkomposisi dari beragam

kelompok dan individu. Indonesia merupakan bangsa arkipologis yang memiliki diversitas

etnis, agama, dan budaya. Pluralitas eksistensi individu dan kelompok membawa di dalamnya

aneka kepentingan. Setiap kelompok dan setiap orang selalu memiliki kepentingan atau tujuan

hidup. Tidak menutup kemungkinan dalam kesamaan visi-misi, tetapi kepentingan selalu

berkarakter berbeda dan bahkan acapkali berkontradiktoris dan paradoksal. Keunikan visi-

misi setiap individu dan kelompok mempersulit unifikasi dan konsensus. Alteritas

kepentingan dan eksistensi liyan selalu menolak untuk disamakan. Penyeragaman merupakan

hegemoni, dominasi, dan berpotensi menciptakan ketidakadilan. Inilah yang disebut sebagai

fakta antagonisme.

Akan tetapi, hasrat akan hidup baik bersama merupakan suatu keniscayaan historis

dan tuntutan eksistensial. Manusia tidak mungkin mencapai kesempurnaan diri dan

kebahagian hidup dalam kesendirian. No man is an island. Aristoteles mengatakan bahwa

21

manusia adalah zoon politicon. Kebahagiaan, tujuan akhir hidup manusia, hanya tercapai bila

manusia mengaktualisasikan potensi dirinya dalam kebersamaan, entah melalui persahabatan,

entah berpolitik31

. Di tengah alteritas kepentingan dan hasrat yang sama untuk hidup baik

bersama, benturan kepentingan (conflict of interests) sangat rentan terjadi dalam hidup

bersama. Maka, peran negara sebagai institusi legal-formal adalah memediasi alteritas

kepentingan ini untuk mencegah benturan kepentingan dan membangun hidup baik bersama.

Menghadapi para ekstrimis yang menggaungkan radikalisme agama, negara harus

menemukan strategi yang tepat untuk mendekati para ekstrimis. Negara harus memediasi

kepentingan mereka dan kepentingan seluruh bangsa agar tidak terjadi disintegrasi bangsa.

Stabilitas hidup bersama adalah tanggung jawab utama dan wewenan legitim negara.

Masalahnya, bagaimana negara dapat memainkan fungsi mediatif ini di antara bermacam-

macam kubu antagonis? Pendekatan apa yang tepat bagi negara untuk menghadapi para

radikalis agama? Ada beberapa seni pendekatan yang sudah populer selama kurang lebih

empat dekade terakhir.

3.2 Beberapa Pendekatan dari Para Ahli

Pada bagian ini, penulis akan menganalisis solusi prosedural terhadap masalah

radikalisme agama dengan menawarkan beberapa seni pendekatan. Radikalisme agama

merupakan masalah sosial yang kompleks sehingga bisa ditilik dari berbagai sudut pandang.

Maka, penulis mencoba meneropong dan mendekati fenomena radikalisme agama dari

perspektif-perspektif para pemikir kenamaan dunia.

3.2.1 Diskursus Rasional—Jurgen Habermas

Pendekatan diskursus rasional ditawarkan oleh Jurgen Habermas, filsuf Jerman yang

dikenal sebagai generasi penerus mazhab Frankfurt di abad 20-21. Habermas mengatasi

kebuntuan teori kritik masyarakat yang dikembangkan oleh para pendahulunya seperti

Theodor Adorno, Max Horkheimer, dan Herbert Marcus. Kelemahan para pendahulunya

adalah menafsirkan konsep praxis hanya sebagai kemampuan teknis manusia atau tindakan

memanipulasi alam untuk kepentingan manusia32

. Implikasi pemahaman seperti ini dalam

relasi sosial adalah penggunaan tindakan strategis. Tindakan strategis adalah tindakan yang

31

Bdk. Frans Magnis-Suseno, Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 1-7,

22-23, 52. 32

Bdk. F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Jogjakarta: Kanisius, 2009, hlm. 44-46, 218-224,

250-254.

22

berorientasi pada keberhasilan seperti yang terjadi dalam tindakan mempengaruhi. Ada dua

macam mekanisme tindakan, yaitu tindakan untuk mencapai konsensus dan mempengaruhi.

Tindakan yang pertama dilakukan melalui diskursus rasional untuk mencapai pemahaman

bersama yang diterima secara intersubjektif, sedangkan mekanisme tindakan mempengaruhi

bertolak dari keyakinan monologal yang diklaim benar oleh seseorang tanpa persetujuan

orang lain33

. Habermas memecahkan kebuntuan itu dengan menunjukkan bahwa istilah praxis

bisa juga berarti tindakan rasional34

. Tindakan rasional bertumpu pada rasio komunikatif.

Habermas yakin manusia memiliki kemampuan untuk berwacana secara rasional. Implikasi

dari terobosan ini dalam relasi sosial adalah masyarakat bisa membangun relasi berdasarkan

diskursus rasional. Diskursus rasional membantu setiap peserta diskursus untuk mencapai

konsensus intersubjektif tanpa pemaksaan.

Untuk berdiskursus rasional, Habermas menunjukkan beberapa prosedur35

. Pertama,

semua orang yang mampu berbicara dan bertindak boleh berpartisipasi dalam diskursus.

Kedua, setiap peserta boleh mempermasalahkan setiap pendapat. Ketiga, setiap peserta boleh

mengajukan pendapat apapun. Keempat, setiap peserta boleh mengajukan sikap, keinginan,

dan kebutuhannya. Kelima, tak seorang pembicara pun boleh dihalangi untuk melaksanakan

hak-haknya yang tercantum dalam poin pertama hingga keempat. Prinsip utama diskursus

rasional adalah ketaatan pada asas universal. Hanya hasil diskursus atau kepentingan yang

dapat melewati tes universalisasi, dapat diterima oleh semua orang dalam kondisi yang sama,

diakui sebagai konsensus bersama36

.

Konflik muncul ketika orang tidak menggunakan kemampuan dialogisnya. Ketika

orang membisu, meskipun membisu juga adalah mengatakan sesuatu37

atau silensium juga

adalah sebuah percakapan38

, kekerasan muncul. Hannah Arendt mengatakan bahwa kekerasan

adalah komunikasi bisu paling nyata39

. Konflik kerapkali muncul karena orang dengan diam-

diam memandang yang lain sebagai lawan yang mengancam eksistensinya. Yang lain bisa

saja secara objektif menakutkan, tetapi bisa juga ketakutan itu adalah konstruksi mental

subjek yang takut dan kemudian mengobjekkan atau mengkambinghitamkan orang lain.

Teroris menyerang orang lazimnya bukan karena orang itu jahat, tetapi karena mereka

33

F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Jogjakarta: Kanisius, 2009, hlm. 35. 34

Bdk. F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, hlm. 71, 124-125, 171-172. 35

F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, hlm. 48. 36

F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, hlm. 50-51. 37

Jean-Francois Lyotard, The Differend, Minneapolis: University of Minnesota Press, 1988, hlm. 10. 38

Martin Buber, Between Man and Man, trans. Ronald Gregor Smith, London: Collins Clear-Type Press, 1947,

hlm. 19. 39

Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat, hlm. ix.

23

mempersepsi orang sebagai jahat40

. Maka sistem ketakutan subjek akan yang lain,

heterofobia, sebenarnya bersumber pada ketakutan akan dirinya sendiri, autofobia41

. Ketika

orang merasa dirinya terancam, ia akan menyerang orang lain untuk mengamankan

eksistensinya. Serangan ini tidak harus berdasarkan bukti objektif, tetapi bisa sebagai

artikulasi dari baying-bayang ketakutan personal.

Adapun dari sisi psikologi masa, munculnya kelompok-kelompok ektremis (struggle

group) acapkali disebabkan oleh tirani mayoritas. Ketidakpuasaan terhadap perlakuan

mayoritas dan rasa benci terhadap kelompok dominan menyatukan mereka hingga

membentuk struggle group. Dahrendorf mengatakan bahwa ada tiga kondisi yang mendorong

struggle group untuk melancarkan konflik: pertama, komunikasi terus-menerus di antara

orang-orang senasib; kedua, adanya seorang pemimpin yang membantu mengartikulasikan

ideologi, mengorganisasikan kelompok, dan memformulasikan kelompok dan rencana untuk

beraksi; ketiga, legitimasi kelompok di mata komunitas yang lebih luas42

.

Berkonfrontasi dengan para ekstrimis radikalisme agama, diskursus rasional menjadi

sangat urgen. Negara harus mengadakan komunikasi rasional dengan pihak-pihak konfliktual

untuk mencapai kesepakatan bersama. Pemerintah Indonesia sudah berkali-kali melakukan

pendekatan ini. Program deradikalisasi pemerintah merupakan salah satu bentuknya.

Pemerintah mengadakan diskusi dengan Aman Abdurrahman setelah ia ditangkap dan

dipenjarakan. Pemerintah juga berdiskursus secara rasional dengan Mahful M. Tumanurung,

ketua Gafatar, dan para anggota Gafatar yang dievakuasi dari Mempawah.

3.2.2 Rekonstruksi Seperpihan Masa Lalu—Hannah Arendt

Dalam bukunya The Origins of Totalitarianism, Hannah Arendt menunjukkan bahwa

totalitarianisme (Nazisme dan Stalinisme) memutuskan kontinuitas sejarah masyarakat

modern dengan menghancurkan kategori politik dan standar putusan moral masyarakat

oksidental. Akibatnya, masyarakat pasca-rezim Nazisme dan Stalinisme mengalami

kesimpangsiuran gagasan politis dan moral. Menghadapi masalah ini, Arendt mengusulkan

rekonstruksi makna masa lalu, di luar kerangka tradisi apapun, untuk mempreservasi nilai-

nilai (moral) dan pemikiran bermakna masa lalu dalam kesadaran modern. Hanya dengan

reapropriasi “the deadly impact of new thougths” kita dapat menghidupkan kembali makna

40

E. Armada Riyanto, Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hlm. 171. 41

F. Budi Hardiman, Massa, Teror, dan Trauma, Yogyakarta: Lamalera, 2010, hlm. 15-19. 42

Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial (Terj. Social Conflict), Pustaka Pelajar, 2009, hlm.

34.

24

untuk situasi era kontemporer sekarang43

. Strategi hermeneutik yang dipakai Arendt untuk

menghidupkan kembali makna masa lalu ini diadopsi dari Benjamin dan Heidegger. Benjamin

menggunakan metode historiografi fragmentaris untuk mengidentifikasi momentum-

momentum perpecahan (terputus), pemindahan, dan dislokasi dalam sejarah. Historiografi

fragmentaris ini memampukan kita untuk menemukan kembali potensi-potensi masa silam

yang hilang dengan harapan bahwa mereka dapat menemukan aktualisasi di masa sekarang.

Sementara itu, Heidegger menyumbangkan metode pembacaan dekonstruktif terhadap tradisi

filsafat Barat untuk membuka makna asli kategori-kategori dan membebaskan makna itu dari

lapisan tradisi yang distorsif. Hermeneutika dekonstruktif ini memampukan kita untuk

menemukan kembali pengalaman primordial yang sudah dilupakan tradisi filsafat.

Harapannya hermeneutik kritis dapat menyelamatkan harta masa lalu yang dilupakan

(forgotten treasure). Memang keseluruhan masa lalu tidak dapat diselamatkan lagi, tetapi kita

dapat menebus kembali elemen-elemen masa silam yang masih signifikan untuk situasi kita

sekarang. Mengambil kembali harta masa lalu itu dilakukan dengan reapropriasi kritis untuk

menemukan relevansi dan signifikansinya bagi masa sekarang dan inspirasi untuk masa

depan. Reapropriasi kritis berarti menyingkirkan klaim-klaim otoritatif tradisi dan kembali ke

genuinitas peradaban masa lalu44

.

Pendekatan Hannah Arendt di atas relatif baru di Indonesia, tetapi sudah lazim di

negara-negara Eropa dan negara-negara maju lainnya seperti Amerika Serikat dan Jepang.

Pendekatan ini sangat efektif untuk berkonfrontasi dengan para ekstrimis teroris dan ormas

Gafatar. Menghadapi kelompok-kelompok anomali seperti ini merekonstruksi masa lalu dapat

mengingatkan mereka akan perjuangan para pahlawan untuk membangun bangsa Indonesia di

atas satu dasar, Pancasila. Formulasi ideologi Pancasila sejak awal problematis. Ayat satu

sangat bernuansa Islamis. Menyikapi hal ini, para utusan dari Indonesia bagian Timur

meminta untuk diganti supaya aspirasi masyarakat Indonesia bagian timur dapat diakomodir.

Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta menanggapi positif usulan di atas demi kesatuan Republik

Indonesia. Maka, ayat satu Pancasila diubah ke dalam bentuk baku seperti sekarang. Dengan

demikian, Pancasila lahir sebagai sebuah ideologi kompromis yang diramu berdasarkan fakta

pluralitas Indonesia. Di balik kompromi ideologis ini, Pancasila sebenarnya menyimpan

gesekan dan benturan kepentingan kubu nasionalis, komunis, dan agamais Islam konservatif

yang berseteru kala itu. Tuntutan negara Islam Indonesia sudah menggema sejak diskusi awal

43

Maurizio Passerin D’Entreves, The Political Philosophy of Hannah Arendt, London & New York: Routledge,

1994, hlm. 4. 44

Maurizio Passerin D’Entreves, The Political Philosophy of Hannah Arendt, hlm. 5

25

kemerdekaan. Para founding fathers menangkap baik titik persoalannya dan berhasil

merumuskan Pancasila, dengan revisi ayat satu, sebagai jalan tengah. Akhirnya, Pancasila

menjembatani formulasi kehendak bersama untuk membangun institusi kenegaraan.

Jalan tengah yang diambil para founding fathers bukan sebuah negosiasi politik

hampa. Keputusan politik ini dilandasi perjuangan kemerdekaan yang melibatkan segenap

masyarakat Indonesia dari beragam latar budaya dan agama. Para pejuang dan pahlawan

kemerdekaan Indonesia berasal dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Kedaulatan

Indonesia tidak hanya dibangun oleh Indonesia bagian Barat (Jawa, Sumatra, Kalimantan).

Bukan hanya kaum Muslim yang mengorbankan nyawa untuk Indonesia yang jaya. Seluruh

masyarakat Indonesia, bagian Timur dan Barat, Muslim dan non-Muslim, mengorbankan jiwa

raganya untuk kemerdekaan Indonesia. Mengisafi kesatuan perjuangan dan kedalaman jiwa-

raga yang dikorbankan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, para founding fathers

merumuskan Pancasila dalam bentuk bakunya yang sekarang.

Pencerahan seputar geneologi kelahiran Pancasila dan ribuan nyawa yang beringsut

seperti di atas sangat penting untuk diangkat kembali dalam wacana publik dewasa ini.

Orientasi pengangkatan sejarah perjuangan masa lalu ini berguna untuk menyegarkan,

memperdalam wawasan historis dan menajam cita rasa kebangsaan. Sense of belonging insan-

insan Indonesia abad ini dapat dipupuk dengan menghadirkan kembali dalam wacana publik

fragmen-fragmen perjuangan para pahlawan yang tidak mengenal latar belakang agama, ras,

dan budaya. Radikalisme agama dan berbagai ekstrimisme yang berbau SARA dapat diredam

dengan cara ini. Paham-paham radikal yang diimpor dari luar dapat dibendung.

Fenomena antagonisme yang bertumbuh subur dalam tubuh bangsa saat ini sangat

potensial disebabkan oleh disorientasi historis. Wawasan warga Indonesia saat ini rentan

terbuai tawaran-tawaran semu aneka ideologi dan ajaran karena warga mengalami

keterputusan rasa kebangsaan dengan masyarakat Indonesia era perjuangan kemerdekaan.

Apabila kesatuan dan kekompakkan kerjasama warga Indonesia era pra-kemerdekaan dan

pasca-awal kemerdekaan direvitalisasi dan diaktifkan kembali dalam wacana publik,

keterputusan cita rasa kebangsaan dan disorientasi historis dapat dibangun kembali. Negara

dan pers melalui media-media sosial memainkan peran utama dalam proyek ini. Meskipun

demikian, tidak tertutup kemungkinan bagi masyarakat luas. Era ini dikenal dengan era

digital. Kita mengenal neologi-neologi seperti demokrasi digital, republik facebook, dll.

Dunia maya tiga dekade sebelumnya masih disebut sebagai dunia hiper-riil. Namun, antara

dunia maya dan dunia riil Indonesia abad 21 hampir tidak ada lagi disparitas, jurang pemisah.

26

Kalangan nitizen mayoritas berasal dari kaum muda. Bagi kaum muda, ketidakhadiran di

dunia maya sama dengan tidak ada. Dalam situasi digital seperti ini, peran negara dan pers

sangat vital untuk membangun kembali Indonesia yang bersatu di era ini dengan

merekonstruksi serpihan makna sejarah perjuangan para pahlawan yang tak pandang bulu.

3.2.3 Mekanisme Bonding dan Bridging—Robert Putman

Istilah bonding dan bridging dipopulerkan oleh Robert Putman dalam bukunya

Making Democracy Works (2004). Secara singkat, konsep bonding dan bridging berkaitan

dengan soal membangun jembatan relasi dengan orang atau kelompok lain. Putman

memaksudkan bonding sebagai membangun jaringan sosial di antara kelompok homogen,

memperkuat kapasitas kelompok marginal, dan menjaga kepentingan kelompok dari invasi

kelompok lain. Sisi negatif pendekatan bonding adalah menciptakan ruang bagi tindakan

diskriminatif, intoleransi dan memantik kebencian terhadap kelompok lain. Istilah bridging

berfungsi menyempurnakan sisi gelap bonding ini. Pendekatan bridging memungkinkan

jejaring antar kelompok sosial heterogen. Bridging memampukan berbagai kelompok berbeda

untuk berbagi wawasan dan pengalaman45

.

Kelompok-kelompok radikal-agamais sangat subur berkembang karena hanya

membangun relasi di antara sesama mereka yang seagama. Ketika orang menolak untuk

melihat diri dengan kaca mata orang lain, ia semakin buta terhadap keberbedaan. Maka

menutup diri terhadap sesama yang berbeda agama dan budaya merupakan humus bagi bibit

radikalisme agama. Indonesia adalah bangsa yang tingkatan heterogenitasnya sangat tinggi.

Maka, benturan kepentingan, bentrokan fisik, dan proliferasi satanisasi lazimnya muncul dari

kelekatan pada mekanisme bonding, membangun relasi hanya dengan sesama yang homogen.

Menyikapi pendekatan bonding seperti ini, peran negara adalah negara menyempurnakan

pendekatan bonding dengan bridging. Negara harus membongkar keengganan kelompok

homogen untuk bergaul dengan kelompok lain yang berbeda. Negara hadir sebagai fasilitator

dan mediator kelompok-kelompok homogen untuk membangun jaringan. Negara berperan

penting untuk menggerakkan dan menciptakan ruang yang kondusif bagi perjumpaan

langsung seperti kerja bakti di lingkungan Masjid oleh kaum Kristiani dan agama lain dan

sebaliknya. Keseringan perjumpaan sangat berfaedah untuk meruntuhkan prasangka buruk

dan ketertutupan. Realitas keberagaman Indonesai meniscayakan penggunaan mekanisme

bonding dan bridging untuk mencegah radikalisme agama.

45

Kompas, 27 Februari 2016, hlm. 7.

27

Mereaksi kelompok antagonis radikal yang berwawasan seperti teroris Aman

Abdurahman, Bahrun Naim, dan Gafatar sangat tidak manusiawi bila negara bermain otot.

Mereka adalah orang-orang berakal yang sebenarnya bisa diajak berwacana. Mengangkat

senjata bagi orang-orang berpengetahuan seperti in tentu merupakan alternatif terakhir. Ketika

otak tidak lagi mendapat tempat, otot menjadi jalan satu-satunya. Dalam situasi seperti ini,

peran negara yang sangat vital adalah memainkan skenario bonding dan bridging. Negara

harus tampil sebagai fasilitator yang memudahkan kelompok-kelompok ekstrimis untuk

bergaul dengan masyarakat luas. Pengalaman adalah guru terbaik yang mampu mengajarkan

orang banyak hal. Melalui mekanisme bonding, negara mencoba menjembatani relasi antar

kelompok ekstrimis dan melalui prosedur bridging negara berusaha menghubungkan

kelompok ekstrimis dengan warga luas.

3.2.4 Modalitas Anthony Giddens

Anthony Giddens menyebutkan ada tiga bentuk interaksi sosial, yakni interaksi

komunikasi, kekuasan, dan sanksi atau moralitas. Di antara ketiganya, peran modalitas paling

menentukan perubahan realitas sosial. Modalitas terdiri dari kerangka penafsiran, fasilitas,

dan norma. Penanganan kelompok-kelompok radikal sebaik apapun tanpa kejelasan modalitas

tidak akan menghasilkan perubahan. Program deradikalisasi yang hanya bermain pada ranah

diskusi atau pencerahan dan pelurusan kerangka berpikir sangat kecil kemungkinan untuk

mengubah arah hidup para teroris. Tidak cukup hanya mengubah kerangka berpikir para

ekstrimis. Negara harus menyiapkan fasilitas seperti rumah penampungan untuk membatasi

ruang gerak dan mengontrol tabiat mereka, menyiapkan lahan kerja para ekstrimis

menimbang banyak menjadi frontal karena himpitan ekonomi, dan memediasi perjumpaan

dengan umat agama lain. Selain fasilitas, negara juga harus memiliki hukum yang jelas

dengan sanksi berat untuk mencegah terulangnya aktivitas radikalisme agama. Bila program

deradikalisasi mengindahkan ketiga modalitas di atas, habitus para teroris pasti bisa diubah.

Pendekatan diskursus rasional, rekonstruksi masa lalu, dan bonding dan bridging harus

memiliki modalitas supaya efektif.

3.2.5 Pendekatan Power in Common, Act in Concert, dan Domination—Paul Ricoeur

Terminologi power in common adalah ciptaan pemikir Perancis Paul Ricoeur. Ia

mendefinisikan power in common sebagai “the capacity of the members of a historical

28

community to exercise in an indivisible manner their desire to live together”46

. Gagasan

Ricoeur ini persis terinspirasi dari ide Hannah Arendt tentang action, power, dan action in

concert. Arendt adalah seorang pemikir filsafat politik wanita keturunan Yahudi-Eropa yang

sempat mengalami kekejian diktator Hitler. Itu alasannya seluruh konstruksi pemikirannya

adalah diskursus perlawanan terhadap totalitarianisme rezim Nazisme. Ia mendefinisikan

action sebagai, “the only activity that goes on directly between men without the intermediary

of things or matter, corresponds to the human condition of plurality”47

. Arendt juga

mendefinisikan power dan action in concert sebagai, “Power corresponds to the human ability

not just to act but to act in concert. Power is never the property of an individual; it belongs to

a group and remains in existence only so long as the group keeps together”48

. Sepakat dengan

Arendt, bagi Ricoeur kekuasaan selalu merupakan properti kelompok, bukan individu.

Kekuasaan lahir dari hasrat bersama setiap orang, setiap warga, untuk membangun hidup

bersama. Karena itu, kekuasaan hanya ada bila orang bertindak bersama, action in concert.

Arendt mengusulkan pendekatan action in concert dalam mengorganisir hidup bersama. Ia

tidak setuju dengan pendekatan dominasi sebagaimana dilakukan oleh rezim Hitler.

Pendekatan power in common dalam bentuk kasar identik dengan people power sebagaimana

masyarakat Filipina melengserkan tahta presiden tiran Ferdinan Marcos pada 198649

. Namun

sejatinya, mekanisme power in common bermaksud menguatkan hasrat masyarakat untuk

membangun struktur hidup bersama tanpa kekerasan. Ricoeur sependapat dengan Arendt

dalam membedakan legitimate “power in common” dari illegitimate “power over”.

Kehidupan bernegara dan berbangsa yang baik selalu memakai kuasa bersama yang legitim.

Dominasi dan kekerasan harus dihindari. Institusi negara harus hadir sebagai perantara yang

mengarahkan kehendak warga menuju hidup baik bersama. Strategi ini tidak dilaksanakan

dengan dominasi dan kekerasan (totalitarianisme), melainkan dengan mengayomi kehendak

bersama warga.

Akan tetapi, Ricoeur juga setuju dengan Max Weber bahwa intitusi-institusi politik

dikarakterisasi oleh dominasi. Setiap negara dilahirkan oleh bentuk kekerasan tertentu.

Mengikuti Georg Jellinek, Weber memahami negara sebagai relasi dominasi antar manusia

dalam hidup bersama secara politis dengan basis sarana kekerasan yang legitim50

. Weber

46

Paul Ricoeur, Oneself as Another, hlm. 220. 47

Hannah Arendt, The Human Condition, Chicago & London: University of Chicago Press, 1958, hlm. 7. 48

Hannah Arendt, Crisis of the Republic, New York: Harcourt Brace & Company, 1972, hlm. 143. 49

Kompas, 28 februari 2016, hlm. 5. 50

Bdk. Max Weber, Economy and Society, ed. Guenther Roth and Claus Wittich, Berkeley: University of

California Press, 1978, hlm. lxxxiv.

29

mendefinisikan dominasi sebagai, “the probability that a command with a given specific

content will be obeyed by a given group of persons”51

. Meskipun institusi politik memiliki

sisi etika dalam hal memperjuangkan hidup bersama, tetapi tetap memberikan ruang bagi

penggunaan kekuasaan secara sah untuk memaksakan decision-making, bahkan dalam negara

konstitusional dan demokrasi. Dalam negara yang sangat tinggi rasionalitasnya pun masih

terdapat “archaic form” of irrationality in the tradition of authority it perpetuates”52

. Meskipun

demikian, bagi Ricoeur kekuasaan bersama lebih mendasar dari tata relasi dominasi. Karena

itu, pendekatan mediatif institusi yang pertama harus berdasarkan inisiatif komunitas politis

untuk membangun hidup bersama. Hanya dalam keadaan anarkis yang mengganggu tatanan

hidup bersama, dominasi atau kekerasan boleh dipakai. Namun, dominasi yang dimaksudkan

Ricoeur adalah penggunaan kekerasan oleh kelompok, dalam hal ini negara, aparatur

pemerintahan, bukan individu. Ricoeur, setuju dengan Arendt yang menolak totalitarianisme,

mencegah bahaya kemunculan diktator seperti pada rezim Nazi.

Negara Indonesia selama ini telah mengimplementasikan pendekatan di atas.

Menghadapi para pelaku bom Thamrin, polisi menggunakan kekuatan senjata. Ada 8 orang

meninggal dunia dan 27 orang menderita luka-luka. 8 korban yang tewas tersebut termasuk

keempat pelaku teror: Dian Juni Kurniadi, Sunakim, Muhamad Ali, dan Ahmad Muhazan.53

Tim Densus 88 juga kemudian menyisir beberapa tempat penghunian para dalang teror dan

menangkap dengan paksa beberapa terduga. Kelompok Gafatar yang mengalami kekerasan

dari warga Mempawah Kalimantan Barat juga dipulangkan dengan paksa oleh pemerintah ke

tempat asal masing-masing meskipun sampai sekarang masih banyak warga Gafatar yang

diterlantarkan. Menghadapi para separatis agamais, penggunaan dominasi dan paksaan secara

fisik kadang kala lebih tepat. Dialog penting, tetapi kekerasan juga efektif dalam situasi

tertentu.

3.2.6 Menciptakan Phrase Baru, Menyelamatkan Differend—Jean-Francois Lyotard

Pendekatan ini mungkin sangat baru di Indonesia. Terminologi differend adalah

buatan khas filsuf Perancis, Jean-Francois Lyotard. Ia mendefinisikan differend sebagai,

“… a case of conflict, between (at least) two parties, that cannot be equitably

resolved for lack of a rule of judgement applicable to both arguments. One side’s

legitimacy does not imply the other’s lack of legitimacy. However, applying a single

51

Max Weber, Economy and Society, hlm. 53. 52

David M. Kaplan, Ricoeur’s Critical Theory, USA: State University of New York Press, Albany; 2003, hlm.

132. 53

Tempo, 25-31 Januari 2016, hlm. 32-35.

30

rule of judgment to both in order to settle their differend as though it were merely a

litigation would wrong (at least) one of them (and both of them if neither side admits

this rule)54

.

Contoh yang tepat dan jelas untuk menggambarkan rujukan konkret istilah differend

adalah dua contoh yang diberikan oleh Lyotard sendiri, yakni kasus sengketa tanah antara

suatu perusahan dan kelompok wanita Aborijin di Australia, dan kasus pembantaian massal

Rezim Nazi atas orang-orang Yahudi di Auszwhitch55

. Kedua kasus ini menghadirkan situasi

yang sulit untuk diadili dengan produk hukum yang positivistik-objektif. Bila hakim harus

memutuskan, ketidakadilan akan terjadi terhadap salah satu dari kedua belah pihak. Karena

itu, untuk menghindari supresi terhadap satu genre, hakim harus menciptakan keputusan yang

dapat merangkum ‘kelainan’(otherness) dari kedua pihak yang beperkara. Dalam kasus

holocaust Auszwithc, banyak korban berjatuhan. Ada banyak saksi mata, tetapi mereka

sekaligus korban. Para saksi mata-korban ini disupresi oleh para para pelaku, anggota dan

simpatisan Nazi yang masih hidup, sehingga mereka tidak bisa menyampaikan kesaksian

mereka. Bukti nyata pembantaian masal ini pun telah dibersihkan semua jejaknya oleh

eksponen Nazi. Dalam kasus sengketa tanah di Australia, sebuah perusahan telah membeli

sebidang tanah di sebuah pulau dan akan membangun pabrik di sana. Bila proyek ini tidak

berjalan, perusahan itu akan bangkrut dan semua pekerja harus diberhentikan. Sementara itu,

sekelompok wanita aborigin mengklaim bahwa tanah itu tanah suci yang diwariskan kepada

mereka oleh leluhur. Kesucian tanah itu adalah rahasia yang hanya boleh diketahui oleh para

wanita tersebut. Biasanya diwariskan dari ibu ke anak perempuan dan seterusnya. Rahasia ni

tidak boleh diberitahukan kepada siapapun di luar lingkaran wanita-wanita tersebut. Bila

dibuka, tanah itu akan kehilangan kesuciannya dan semua anggota kelompok wanita aborigin

tersebut akan mati56

. Kasus ini dibawa ke pengadilan untuk mengecek kebenarannya.

Bagaimana seorang hakim dapat mengatasi masalah ini?

Menghadapi kedua kasus differend di atas, Lyotard meyakini bahwa seorang hakim

tidak bisa memakai pendekatan hukum berbasis asas kepastian hukum. Tidak ada hukum

tertulis yang mengatur kedua kasus di atas. Tidak ada produk undang-undang yang mengatur

kasus anomali ini. Bila dipaksakan penyelesaiannya, alih-alih menegakkan keadilan, hakim

malah menciptakan ketidakadilan. Maka, Lyotard mengusulkan soerang hakim harus keluar

dari pola hermeneutika hukumnya yang legalis dan menciptakan phrase baru untuk

54

Jean-Francois Lyotard, The Differend: Phrases in Dispute, USA, University of Minnesota, 1988, hlm. xi. 55

Jean-Francois Lyotard, The Differend: Phrases in Dispute, hlm. 3-5. 56

Simon Malpas, Jean-FrancoisLyotard, USA and Canada, Routledge, 2003, hlm. 57-58.

31

menemukan keadilan. Pendekatan ini dikonstruksi Lyotard dalam teori Language Games-nya.

Ada tiga istilah yang sangat dominan dan khas dalam konsepsi Language Games Lyotard,

yakni phrase, phrase regimen, dan genre of discourse. Phrase bukan hanya sesuatu yang

dikatakan oleh seseorang, melainkan juga sebagai sebuah tulisan-tertawa-tangisan binatang,

bahkan silensium karena “a refusal or inability to speak or respond means

something”57

.Sebuah phrase selalu terdiri dari empat elemen, yaitu “the 'addressor' who

presents the phrase, the 'addressee ‘to whom the phrase is presented, the 'reference' that the

phrase is about, and the 'sense' which is what the phrase says about the reference”58

(pengalamat atau pembicara yang menghadirkan frase, orang yang dituju yang kepadanya

frase itu disampaikan, rujukan yang menjadi isi frase, dan makna yang diungkapkan frase

tentang rujukan). Phrase regimens seperti “denoting, prescribing, showing, asking,

describing, reasoning, ordering, etc., are all different ways of relating the four instances of the

phrase universe. Different regimens would thus present different sets of relations between the

four instances that are marked in a phrase”59

. Relasi antara addressor dan addresse dalam tipe

perintah berbeda dengan tipe permohonan atau relasi reference dan sense dalam pertanyaan

berbeda dalam denotasi. Ini artinya bahwa “… phrases 'obeying different regimens are

untranslatable into one another”, tidak bisa direduksi pada satu dan atau dengan yang

lainnya60

. Adapun genres of discourse sebagai “organizing the relationships between phrase

regimens” (pengorganisasian hubungan-hubungan rezim frase). Dalam arti, sebuah genre

diskursus seperti sains dapat mencakup di dalamnya beberapa regimen seperti denotasi,

preskripsi, dll., untuk mencapai sebuah tujuan partikular. Regimen lain dapat terdiri dari

phrase yang sama. Sementara itu, “Different genres of discourse have different criteria for

judging the value of particular ways of linking onto phrases, and each genre would forbid

certain forms of linking… A genre of discourse is thus a means of giving validity to certain

forms of linkage and organizing phrases into a body of knowledge”61

.

Berhadapan dengan kasus-kasus differend, Lyotard merekomendasikan penanganan

setiap kasus ketidakadilan sesuai dengan urgensitas, konteks, dan keperistiwaannya. Biarkan

setiap masalah menampakkan diri apa adanya baru kemudian kita menanggapinya sesuai

dengan tuntutan situasinya. Dalam kerangka ini, orang tidak boleh lebih dulu menetapkan

57

Simon Malpas, Jean-FrancoisLyotard, hlm. 63. 58 Jean-Francois Lyotard, The Inhuman: Reflections on Time. Trans. Geoffrey Bennington and Rachel Bowlby,

Cambridge: Polity Press, 1988, hlm. 14. 59

Simon Malpas, Jean-FrancoisLyotard., hlm. 64. 60

Simon Malpas, Jean-FrancoisLyotard., hlm. 64. 61

Jean-Francois Lyotard, Heideqqer and 'the jews', trans. Andreas Michel and Mark Roberts, Minneapolis,

University of Minnesota Press, 19880, hlm. 48.

32

kriteria atau aturan untuk menangani masalah karena kenyataan selalu tampil dengan wajah

yang berubah-ubah. Aturan baru ditemukan ketika orang mulai berkonfrontasi dengan

masalah. Itulah sebabnya, Lyotard selalu menekankan “pre-estabilished criteria”. Selain itu,

tidak ada kriteria tunggal dalam mendeteksi masalah dan memberi solusi. Konsekuen dengan

sifat realitas yang selalu “surprising”, orang harus terbuka terhadap berbagai alternatif cara.

Dalam kerangka ini, ketidakadilan tidak boleh dikungkung dengan pendekatan saintifik-

positivis dan verbal. Dalam ruang pengadilan, hakim tidak boleh hanya mendasarkan diri

pada undang-undang yang sudah terformulasikan dan data yang dapat diobservasi dan

dipresentasikan dengan bahasa. Seorang hakim harus peka dan progresif dalam men-judge

kasus. Bahkan seorang hakim, dalam kasus tertentu, harus mendekonstruksi undang-undang

dan mengikuti fitrah etisnya untuk menemukan keadilan. Differend memang tidak sepenuhnya

tereliminir total selama instansi negara masih survival dan aktivitas politik masih langgeng.

Akan tetapi, setiap fenomena diffferend dapat diminimalisir kuantitas dan kualitasnya dengan

penanganan per-kasus sesuai dengan keperistiwaannya (the eventhood).

Pendekatan hukum di Indonesia sangat legalis-literaris. Ketika terjadi tragedi

peledakan bom Bali I pada 12 Oktober 2002 Indonesia belum memiliki UU terorisme untuk

menjerat para teroris. Padahal, ratusan nyawa orang tidak bersalah telah beringsut dari

raganya. Warga ketakutan dan negara mengalami kerugian besar. Pemerntah hanya mampu

menjerat para pelaku dengan ketentuan KUHP pasal 340 tentang pembunuhan berencana.

Menyadari kasus tragedi Bom Bali sebagai kejahatan manusiawi luar biasa, pembantai

massal, pemerintah kemudian membuat Perpu. Perpu ini kemudian dibahas bersama

parlemen, DPR RI, dan akhirnya menghasilkan UU No. 15 tahun 2002 tentang Pemberantasan

Tindakan Pidana Korupsi. Penjeratan para pelaku lewat UU ini kemudian ditolak oleh

Mahkamah Konstitusi berdasarkan permohonan judicial review Masykur Abdul Kadir, salah

seorang pelaku teror tersebut62

. Ketiadaan basis undang-undang ini membuat penindakan dan

penangan kasus para aktor Bom Bali masih berbelit hingga saat ini. Pendekatan hukum

Mahkamah Konstitusi sangat literer-legalis. Mahkamah Konstitusi hanya menerapkan

hermeneutika reproduktif dan menegakkan asas kepastian hukum, tanpa memikirkan asas

keadilan dan kemamfaatan. Cita rasa keadilan dan kemanusiaan korban, keluarga korban,

seluruh warga Indonesia, dan semua orang dinodai oleh keputusan Mahkamah Konstitusi ini.

Hal yang sama berulang lagi pada kasus Bom Thamrin. Aparat keamanan mengklaim telah

membaca tanda-tanda rencana pengeboman, tetapi mereka tidak berani menangkap karena

62

Norbertus Jegalus pernah mengupas kasus bom Bali ini dengan perspektif teori hukum progresif Prof. Dr.

Satjipto Raharjo, SH, dalam Hukum Kata Kerja, Jakarta: Obor, 2011, hlm. 247-280.

33

tidak memiliki kekuatan hukum. Sayang sekali, penegakkan keadilan melalui hukum

direduksi pada eksistensi undang-undang. Pendekatan legalis semacam ini, alih-alih

mencegah ketidakadilan, malah memproduksi keadilan. Negara tidak menghindarkan potensi

kejatuhan korban, tetapi membiarkan korban berjatuhan.

Kasus bom Thamrin dan Gafatar sebenarnya memiliki juga predikat differend. Kisah

para teroris bom Thamrin dan anggota ormas Gafatar tidak seterang dan sesederhana

kebanyakan kasus. Kedua tragedi ini menyimpan makna berlapis-lapis, sangat kompleks.

Tidak mudah untuk melabelkan satu predikat tunggal terhadap para pelaku bom Thamrin,

Aman Abdurahman (dkk) dan para anggota Gafatar. Profil hidup para pelaku teror tersebut,

baik eksekutor lapangan maupun aktor intelektual, mendeskripsikan mereka sebagai orang

cerdas dan saleh di mata orang-orang sekitar mereka. Aman Abdurahman dilahirkan di

Cimalaka, Jawa Barat 5 Januari 1972. Sejak kecil, ia dikenal sebagai sosok yang lugu dan

jarang bergaul dengan teman-teman sebaya. Namun ia lebih cerdas dibandingkan teman-

temannya. Ia menghabiskan hari-hari hanya untuk bersekolah, mengaji, dan membantu orang

tua. Ketika dewasa, Aman berkuliah di LIPIA Jakarta. Usai lulus, Aman kembali mengabdi di

LIPIA63

. Bahrun Naim merupakan lulusan Strata I Jurusan Komputer Universitas Sebelas

Maret Solo. Di dalam keluarganya, ia dikenal sebagai anak yang pendiam, tetapi pintar

mengotak-atik komputer. Selama berkuliah, ia juga terkenal memiliki karisma memimpin

organisasi kampus.

Kedua aktor di balik tragedi bom Thamrin di atas memiliki kualitas sebagai orang

berpendidikan tinggi. Namun, radikalisme juga bertumbuh subur di tengah kalangan

intelektual. Hasil penelitian LIPI (Lembaga Penelitian dan Ilmu Pengetahuan) terhadap 500

guru dan siswa wilayah Jabodetabek dalam satu dekade terakhir menyebukan bahwa 76,2%

guru dan 84% siswa menginginkan syariat Islam. Sebanyak 52,3% siswa mendukung

kekerasan untuk solidaritas agama dan 14% siswa membenarkan aksi pengeboman. 25% guru

dan 21% siswa mengatakan Pancasila sudah tidak relevan64

. Tidak jauh berbeda dari

kelompok teroris radikal, profil hidup komponen Gafatar juga rupanya bukan hanya orang-

orang kecil, melainkan juga banyak orang berpendidikan tinggi dan sudah memiliki pekerjaan

yang menjanjikan. Lantas, apakah sebodoh itu orang-orang yang cerdas dan saleh ini bertekad

melakukan bunuh diri? Apakah sebodoh itu pengikut ormas Gafatar meninggalkan keluarga

dan pekerjaan mereka hanya untuk membangun sebuah ormas yang agak utopis ini? High-

profile para pelaku kedua kubu antagonis di atas menunjukkan bahwa mereka memiliki klaim

63

Tempo, 1-7 Februari 2016, hlm. 36-37. 64

Kompas, 19 februari 2016, hlm. 4.

34

akan kebenaran tertentu. Sangat absurd bila mereka mengorbankan segala sesuatu tanpa visi-

misi yang jelas dan pendakuan akan kebenaran tertentu.

Menanggapi kedua kasus di atas, pendekatan yang ditawarkan Lyotard sangat

signifikan dan relevan. Negara tidak boleh bermain otot sewenang-wenang. Orang-orang ini

memiliki klaim akan kebenaran tertentu yang seharusnya didengarkan. Mereka tidak sebodoh

itu mengorbankan segalanya untuk memperjuangkan sesuatu yang absurd. Negara akan

menimbulkan ketidakadilan bila tergesa-gesa men-judge mereka dengan produk undang-

undang yang sudah ada. Negara harus menciptakan phrase sendiri untuk menemukan keadilan

dalam perkara para teroris bom Thamrin dan Gafatar.

3.2.7 Etika Penampakan Wajah Liyan—Emanuel Levinas

Etika Emmanuel Levinas lazimnya dikenal sebagai etika altruis. Pendekatan ini paling

sulit untuk diaplikasikan, tetapi terbuka kemungkinan. Menurut Levinas, relasi dasariah

manusia adalah etis, bukan ontologis. Relasi etis ditandai dengan penampakan wajah liyan65

yang mewartakan ketelanjangan total, ketelanjangan yang menunjukkan ketakberadayaan,

kelemahan, dan kemiskinan66

. Penampakan wajah memungkinkan hubungan etis karena ‘ada’

yang sejati bukan mengetahui, melainkan berjumpa dengan ‘yang lain’ dalam keadilan.

Penampakan wajah liyan ini memanggil dan menyandera setiap orang untuk bertanggung

jawab terhadap kerentanan liyan. Epifani wajah menolak semua upaya untuk mendefinisikan

atau mewadahi67

. Hubungan sejati dengan liyan tidak menetralisir liyan, tetapi memelihara

otentisitas liyan. Liyan sebagai yang sama sekali lain tidak merupakan objek yang menjadi

milik kita atau cair bersama saya menjadi kita. Sebaliknya, liyan menarik diri ke dalam

misterinya68

. Wajah menyapa dan mengundang simpati, empati, kekaguman. Ia mengusik

65

The other yang dimaksudkan Ricoeur di sini dalam kaitan dengan gagasan Levinas sangat berbeda dengan the

other dalam arti manusia sebagaimana dimaksudkan Ricoeur dalam konsep solicitude. Karena itu, penulis

menggunakan neologi “liyan” untuk menunjuk pada ‘the other’ Levinas sebagaimana diterjemahkan oleh

Budiarto Danujaya dalam bukunya Demokrasi Disensus, Jakarta: Gramedia, 2012. Penggunaan istilah ‘liyan’ di

sini adalah sebentuk afirmasi terhadap penjelasan Danujaya dalam catatan kaki halaman xxi pada buku yang

sama. Penulis lain juga menggunakan istilah ‘liyan’—Bdk. Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat

Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm. 140, dst. Neologi filsafat ini

sengaja dipakai untuk membedakan penggunaan kata ‘yang lain’ dalam bahasa tulis dan lisan formal dan

informal sesuai makna denotasinya. Memang ada juga penulis Indonesia yang mentransliterasi istilah filosofis

‘the other’ dengan terminologi ‘yang lain’, tetapi bagi penulis penggunaan ini kurang sederhana dan kurang

menonjolkan karakter filosofis-enigmatis-khas ‘the other’ dalam horizon filsafat Emmanuel Levinas—Bdk. Felix

Baghi, “Filsafat Alteritas dan Kemungkinan Etis Metafisik Heteronom”, dalam Frans Ceunfin & Felix Baghi,

Mengabdi Kebenaran, Maumere: Ledalero, 2005, hlm. 135-153. 66

Felix Baghi, “Filsafat Alteritas dan Kemungkinan Etis Metafisik Heteronom”, hlm. 149 67

Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2010, hlm. 102. 68

Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan dan Diskriminasi, hlm. 104.

35

perhatian dan permenungan, menghentak egoisme. Wajah tidak membiarkan orang lepas

bebas tidak beraksi. Orang ditatapkan pada penampakan yang mengusik sehingga harus

bersikap. Wajah yang menampakan dalam gambar mencair dalam afeksi sehingga

dinamismenya tidak hanya terhenti dalam persepsi, tetapi mengkristal ke dalam kesadaran69

.

Etika bukan sekadar pemikiran, melainkan pengalaman. Pengalaman etika muncul

dalam gerak kepedulian menuju liyan, menuju alteritas dan eksterioritas liyan, yakni

kebaikan. Liyan menyandera aku. Tanggung jawab aku bahkan mendahului kebebasanku dan

berakar dalam kedekatan yang terobsesi oleh liyan, dalam ketidakmungkinan untuk tidak

peduli terhadap permintaan yang diungkap oleh wajah. Wajah menolak setiap upaya untuk

memiliki dan mendominasi. Wajah mengundang aku dalam hubungan yang tidak bisa

dibandingkan dengan hubungan kekuasaan, entah kenikmatan entah pengetahuan70

. Etika

menunut kehadiran liyan, alteritas radikal, orang asing yang menguncang diriku. Yang tak

terbatas memperkenalkan diri sebagai wajah dalam resistensinya yang melumpuhkan daya-

daya kekuasaanku, dan tegak tegar, tetapi rentan tanpa perlindungan dalam ketelanjangan dan

kesengsaraannya.

Etika penampakan wajah Levinas melampaui asas keadilan karena bercorak relasi

asimetris. Etika altruisme ini hanya menuntut tanggung jawab searah, tidak ada hukum

kesetimbalan. Tanggung jawab setiap orang mendahului kebebasannya. Ukuran etis relasi kita

bukan karena kita bebas, tetapi sebelum bebas dan tanpa menghiraukan kebebasan kita, kita

langsung menolong orang yang membutuhkan bantuan. Ada kisah heroik yang dilakukan

seorang Gojek dalam tragedi Bom Thamrin. Gojek tersebut secara spontan langsung

menolong seorang wanita yang berada dalam posisi berdekatan dengan pelaku teror. Tanpa

memikirkan keselamatan dirinya dan keluarganya, Gojek tersebut langsung menyelamatkan

wanita yang hampir termakan ledakan bom. Aksi Gojek ini adalah ekspresi tanggung jawab

mendahului kebebasannya. Bila memakai kebebasan, Gojek tersebut bisa saja melarikan diri.

Namun ia tidak mempertimbangkan itu. Perbuatan Gojek ini memenuhi kriteria etis Levinas.

Pendekatan itu sangat langka dan riskan, tetapi bisa dipakai untuk mendekati para

ekstrimis agama. Kelompok-kelompok radikal biasanya memiliki keyakinan tertentu sehingga

mereka bersedia untuk membunuh dan dibunuh. Menghadapi kelompok radikal, negara harus

merasa memiliki tanggung jawab untuk membantu mereka. Tidak membantu untuk

merealisasikan taktik anarkis mereka dan mewujudkan ambisi disintegrasi mereka, tetapi

69

Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan dan Diskriminasi, hlm. 116. 70

Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan dan Diskriminasi, hlm. 117

36

menjamin kelayakan hidup mereka. Bagaimanapun kaum ekstrimis adalah juga warga negara,

bagian dari negara. Maka negara bertanggung jawab atas hidup mereka.

3.2.8 Idealitas Postmodern: Kebebasan, Keragaman, dan Toleransi

Bila pada era modern, agenda ketertujuan sosio-politik adalah kebebasan, kesetaraan,

dan persaudaraan, pada era postmodern agande ini digusur oleh idealitas kebebasan,

keberagaman, dan toleransi71

. Era postmodern ditandai dengan incredulity toward

metanarratives72

. Narasi-narasi besar atau metanarasi seperti cartesianisme, platonisme,

hegelianisme, idealisme, rasionalisme, dan realisme tidak dipercayai lagi dan didelegitimasi.

Bersamaan dengan itu, terbuka ruang bagi menyingsingnya narasi-narasi kecil. Dalam tataran

etika dan moral, era postmodern dikenal sebagai kejatuhan paham-paham besar etika seperti

teleologisme, deontologisme, dan utilitarisme. Sementara itu, narasi-narasi kecil seperti

norma-norma lokal dan fitrah etis setiap orang direvitalisasi untuk mengarahkan tindakan

personal dan praksis sosial.

Di era postmodern seperti ini sebenarnya radikalisme agama adalah sebentuk

fenomena anakronistis, tidak mengikuti arus zaman. Era postmodern merupakan fase yang

terbuka lebar terhadap alteritas secara tak terbatas. Bila, bangsa Indonesia konsekuen dengan

roh zaman postmodern, radikalisme agama akan luntur dengan sendirinya. Radikalisme

agama yang muncul atas klaim kemutlakan kebenaran agama tertentu dan mengatasi ajaran

agama lain seharusnya tidak muncul di era postmodern. Mengapa masih ada kelompok

radikal? Masalahnya, banyak warga Indonesia yang tidak berpendidikan. Padahal pendidikan

adalah pintu akses terhadap roh dunia. Maka, tugas negara adalah memfasilitasi pendidikan

warga Indonesia untuk mengubah kerangka penafsiran mereka. Negara juga berperan dalam

mendorong kelompok-kelompok radikal untuk menghidupi spiritualitas kebebasan,

keberagaman, dan toleransi. Konteks bangsa Indonesia yang sangat plural meniscayakan

ketiga asas ini dalam membangun Indonesia yang utuh. Disintegrasi bangsa dalam dicegah

ketiga setiap warga, setiap kelompok budaya, agama, dan etnis diberi ruang kebebasan untuk

hidup. Bahaya disintegrasi bangsa juga dapat dihindari dengan mengasah kesadaran warga

atas keberagaman dan meningkatkan toleransi warga.

71

Budiarto Danujaya, Demokrasi Disensus, Jakarta: Gramedia, 2012, hlm. 316. 72

Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and

Brian Massumi, United Kingdom: Mancester University Press, 1984, hlm. xxix.

37

3.3 Beberapa Pendekatan Berbasis Pancasila

Indonesia adalah bangsa yang besar sejak dahulu kala. Sejak abad IV Indonesia sudah

memiliki kerajaan Kutai di Kalimantan. Ir. Seoakarno sendiri memberi kesaksian bahwa

peradaban bangsa Indonesia bahkan sudah ada sebelum Hinduisme mendarat di Nusantara.

Kemampuan menanam padi, wayang kulit seperti Semar, Gareng, Petruk, Bagong, dan

Dawala sudah ada para era pra-Hinduisme. Masyarakat sudah memiliki sistem kepercayaan

sebelum kepercayaan Hindu tersebar di Indonesia73

. Kejayaan Indonesia mencapai puncak

pada era kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Sampai hari ini, masih ada kerajaan di Indonesia

yang memiliki pengaruh politis dan bertahan terhadap hantaman arus globalisasi. Kesultanan

Jogjakarta dan Kesultanan Surakarta merupakan dua kerajaan Islam Mataram di Indonesia

yang masih kokoh berdiri. Kekokohan eksistensi sistem kerajaan ini menunjukkan budaya

Indonesia tidak kalah beradab dengan bangsa besar lain. Bangsa Indonesia memiliki prinsip

atau norma hidup tertentu dalam kearifan lokalnya yang bernilai universal. Ketika menjadi

negara modern, para bapak pendiri berhasil merumuskan dan memaklumkan kearifan lokal itu

ke dalam mitos-ideologi Pancasila. Pancasila menjadi dasar pemersatu multiplisitas budaya-

budaya lokal Indonesia. Maka, negara sebenarnya dapat menjadikan Pancasila sebagai prinsip

dan seni mendekati masalah radikalisme agama. Ada prinsip-prinsip hidup yang

dikembangkan secara komunal, tetapi ada pula dihayati secara pribadi. Sebagai produk

budaya, prinsip-prinsip ini lebih tua dari eksistensi negara, bahkan agama-agama dan

ideologi-ideologi importiran yang dianut bangsa Indonesia sekarang. Prinsip-prinsip hidup ini

tak lekas oleh waktu sehingga dapat dijadikan pedoman dalam menanggapi masalah

radikalisme agama. Berikut penulis melampirkan empat pendekatan yang cukup diakui luas di

Indonesia.

3.3.1 Gotong Royong sebagai Musyarawah untuk Mufakat

Ketika merumuskan Pancasila, Ir. Soekarno mengatakan bahwa Pancasila dapat

dipadatkan menjadi Trisila dan atau Ekasila. Pancasila dapat dikristalkan menjadi satu sila,

yaitu gotong- royong. Soekarno mendefinisikan gotong-royong sebagai berikut.

“Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan keringat

bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan bersama,

73

Armada Riyanto, Kearifan Lokal-Pancasila Butir-Butir Filsafat ‘Keindonesiaan’, dalam Armada Riyanto,

dkk. (ed), Kearifan Lokal Pancasila, Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan, Jogyakarta: Kanisius, 2015, hlm. 18-

19.

38

keringat semua buat kebahagiaan semua, Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan

bersama! Itulah gotong-royong”74

.

Prinsip gotong royong di atas merupakan nilai hidup yang sudah dan tengah dihidup,

tetapi juga masih dikejar sebagai idealitas hidup bersama. Semua suku bangsa kecil di

Indonesia menganut dan memperjuangkan pola hidup gotong-royong ini. Dengan demikian,

gotong-royong sebenarnya mengimplikasikan suatu spiritualitas kebersamaan dalam

menghadapi masalah-masalah sosial. Prosedur musyawarah untuk mufakat persis mengalir

dari spiritualitas gotong-royong ini. Radikalisme agama adalah salah satu fenomena dan

masalah sosial. Radikalisme agama merupakan sebuah masalah yang hetero-causal,

disebabkan oleh beragam alasan. Radikalisme agama bisa lahir dari orang-orang yang merasa

kepentingannya tidak diakomodir negara dan lain sebagainya. Menghadapi masalah kompleks

seperti ini tidak cukup pemerintah berjalan sendiri. Pemerintah harus melibatkan segenap

warga Indonesia. Semua warga dimintai sumbangsihnya. Negara dalam hal ini harus berusaha

mencari solusi dengan prinsip musyawarah untuk mufakat. Pendapat dan kekuatan

masyarakat dari semua segmen perlu diperhitungkan. Penggunaan pendapat pemerintah

sendiri dapat berimbas pada penindasan dan ketidakadilan. Maka, sebaiknya menggerakan

seluruh elemen bangsa. Di dalam kerangka ini, semangat gotong-royong untuk mencegah dan

mengobati radikalisme agama harus menjadi norma sekaligus tujuan yang mengarahkan

musyawarah untuk mufakat.

3.3.2 Laicisme Religius: Filsafat Kompromistik

Laicisme merujuk pada ideologi karakteristik Perancis yang sekularis. Ideologi ini

menuntut negara benar-benar netral di depan keberagaman agama. Negara tidak turut campur

tangan dalam urusan agama dan negara melarang agama-agama mencampuri urusan politik.

Ada pemisahan total antara politik dan agama. Sementara itu, Pancasila adalah laicisme

religius. Istilah ini paradoksal, tetapi sangat membantu kita untuk memahami pandangan

Soekarno bahwa di satu sisi, negara netral di depan agama, tetapi bukan berarti negara tidak

boleh campur tangan. Negara boleh campur tangan dalam agama, tetapi sejauh semua agama

dilakukan secara sama dan sederajat. Agama boleh ambil bagian dalam urusan politik, tetapi

agama juga harus tahu bahwa hukum-hukum spesifik agama tidak boleh terlalu jauh

mencampuri urusan politik. Ada ruang bagi kolaborasi produktif politik dan agama. Indonesia

sebagai negara-bangsa beragama (bukan negara-agama) seharusnya memanfaatkan humus ini

74

A. Setyo Wibowo, “Ketuhanan Yang Mahaesa dan Filsafat Kompromi Khas Indonesia”, hlm. 58-59

39

dengan efektif. Relasi agama dan politik tidak selalu kontra-produktif seperti di negara-negara

sekularistik modern. Korelasi agama dan politik di Indonesia malah sangat produktif.

Asalkan, negara pandai dan tahu cara memediasi dengan baik.

Corak khas Pancasila adalah kompromistik. Filsafat Pancasila mencerminkan karakter

pola pikir orang Indonesia yang kompromistik. Soekarno sendiri mengatakan Pancasila

sebagai suatu kompromi.

“Pantja Sila itu dinamakan oleh perumusnya sendiri ‘suatu kompromi’ (Kuliah di

Universitas Indonesia 7 Mei 1953). Adapun kompromi itu ialah suatu persetudjuan jang

dijadikan dengan djalan damai, apalagi dengan djalan saling mengurangi tuntutanja.

Bahaja yang terkandung dalam segenap kompromi itu ialah bahwa dengan mudah dapat

ditarik kedua pihak yang bertentangan. Adalah Pantja Sila suatu kompromi antara agama

dan Negara, antara sikap hidup Barat dan Timur, antara tjita-tjita dan realitet, antara

filsafat dan hidup seharian dan sebagainja. Maka ada orang yang menitikberatkan satu

pihak hingga melalaikan pihak jang lain sedemikian itu dengan sekaligus timbullah

perbedaan paham. Djikalau Pantja Sila dipandang dari satu sudut sadja, hilanglah

keseimbangan jang terdapat didalamnja; jang tinggal suatu ekstremisme sadja, tapi bukan

Pantja Sila”75

.

Indonesia merupakan bangsa arkipologis yang memiliki pluralitas kearifan lokal.

Heterogenitas budaya, agama, dan pola pikir meniscayakan kompromi untuk membangun

kesatuan dan keutuhan. Negara-bangsa Indonesia lahir dari ketulusan dan keberanian untuk

berkompromi. Tanpa kompromi, Indonesia tidak akan pernah tampil sebagai negara

demokrasi terbesar seperti sekarang ini. Ada kelemahan dalam sifat kompromistik ini, tetapi

ada pula kelebihannya. Aspek negatifnya, individualitas dileburkan dalam kolektivitas.

Kepentingan kelompok partikular melebur ke dalam kepentingan bangsa. Semua kelompok

akhirnya sama dan setara. Ketika kelompok tertentu menuntut lebih, ingin menonjol,

Indonesia akan lenyap. Ketika muncul kelompok radikal yang menuntut ajaran agamanya

dijadikan ajaran resmi negara, menjadikan agamanya sebagai agama negara, negara-bangsa

Indonesia hilang pada saat itu. Maka, tetap bermain dalam ketegangan merupakan strategi

supaya Indonesia tetap exist. Sementara itu, aspek positifnya kemampuan kompromi

menjadikan orang Indonesia sebagai bangsa yang fleksibel dan mudah beradaptasi di mana

saja. Kemampuan saling memahami sangat kelihatan dalam sifat kompromi. Masyarakat

Indonesia menjadi bangsa paling plural yang paling mampu mewujudkan kebersatuan hidup

bersama di atas keberbedaan.

75

A. Setyo Wibowo, “Ketuhanan Yang Mahaesa dan Filsafat Kompromi Khas Indonesia”, hlm. 58.

40

3.3.3 Prinsip dasar hidup bersama: Rukun dan Hormat

Prinsip hidup rukun dan hormat merupakan dua kaidah dasar hidup yang diterima luas

di Indonesia, khususnya Jawa76

. Hidup rukun berarti manusia hendaknya bersikap sedemikian

rupa sehingga tidak menimbulkan konflik. Setiap orang berupaya menghindari potensi konflik

dalam hidup bersama. Sementara itu, kaidah hormat berarti dalam berbicara dan

membawakan diri, setiap orang hendaknya menunjukkan sikap hormat kepada orang lain

sesuai tingkatan kedudukannya. Radikalisme agama tidak akan muncul bila masyarakat

Indonesia menghidupi kaidah hidup rukun dan hormat.

Budaya Indonesia sebenarnya mampu mencegah konflik atas nama agama.

Radikalisme agama adalah produk impor. Ketika Indonesia membuka pintu terhadap

persebaran agama-agama luar, pada saat itu benih-benih radikalisme juga menyusup masuk.

Tidak salah menerima agama luar, tetapi salah bila menerapkan sistem keagamaan impor

secara ekstrim di Indonesia tanpa memperhatikan budaya lokal. Ekstrimisme biasanya lahir

dari kaum puritan yang memahami dan menghidupi agama produk luar secara literer di

Indonesia. Maka, strategi untuk membendung radikalisme agama salah satunya adalah

menginkulturasikan atau menginkarnasikan agama-agama impor dengan budaya Indonesia.

Agama-agama impor perlu membuka diri terhadap nilai-nilai budaya asali Indonesia. Budaya

masyarakat Indonesia tidak mengenal ekstremisme, puritanisme, dan superioritas individual

dan sektarian. Semua klaim ini adalah produk luar yang mengkontaminasi bangsa Indonesia.

Maka, kaidah hidup rukun dan hormat harus diapropriasi oleh semua agama importiran untuk

mencegah konflik.

3.3.4 Pendekatan “Ajrih-Asih”

Pendekatan ini dikembangkan oleh Romo Mangun dalam dunia pendidikan anak-anak.

Menurut Romo Mangun pendidikan yang baik menganut prinsip ajrih-asih. Lewat ajrih anak

perlu diajari patuh pada peraturan, disiplin, menanggapi teguran dengan serius, bahkan

kadang-kadang menerima kekerasan pedagogis tertentu. Namun, semuanya harus dilandasi

asih. Prinsip ajrih dan asih harus dipadukan. Asih melulu akan menghasilkan pemanjaan,

tetapi ajrih melulu juga akan merusak anak. Perpaduannya ajrih dan asih dengan porsi lebih

pada asih akan menghasilkan anak didik yang lebih manusiawi77

. Pendekatan ajrih-asih juga

tepat bila dikenakan pada para ekstrimis. Di satu sisi, negara harus bersikap keras terhadap

76

Bdk. F. Magnis-Suseno, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia, 1984, hlm. 38-69. 77

A. Supratiknya, “Pendidikan Dasar sebagai Infanteri”, dalam Sindhunata (ed.), Pergulatan Intelektual dalam

Era Kegelisahan, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hlm. 269.

41

mereka, tetapi di sisi lain, negara menaruh asih pada mereka. Negara menolak perbuatan jahat

mereka, tetapi menerima pribadi mereka. Artinya, nyawa mereka harus dilindungi. Negara

tidak hanya menerima co-eksistensi dengan mereka, tetapi lebih dari itu memperjuangkan pro-

eksistensi bagi mereka. Dalam keadaan seperti itu, negara menghadirkan wajah keibuan dan

kebapakan sekaligus. Sebagai bapak negara bertindak tegas. Pada saat yang sama, sebagai

ibu, negara merangkul dan mengayomi mereka.

Perbuatan jahat tidak lantas merusak pribadi. Manusia bukan jumlah total dari

tindakan-tindakannya sebagaimana didefinisikan pemikir ateis Jean-Paul Sartre78

. Manusia

lebih sebagai misteri daripada masalah sebagaimana dipahami Gabriel Marcell. Manusia tidak

bisa didefinisikan. Karena itu, sejahat apapun tindakan orang, para radikalis agama, mereka

tetapi miliki pribadi yang mistrius, yang kedalaman dirinya tidak terselami. Setiap orang

selalu baik sehingga dia berada. Raison d’etre manusia adalah bahwa manusia itu baik. ‘Baik’

pada tataran metafisik-ontologis sama dengan ‘Ada’. Omne ens est bonum (tiap kenyataan

adalah baik) karena berada dan sejauh menurut derajatnya79

. Dengan demikian, berada berarti

baik. Semua orang sudah selalu memiliki status ontologis sebagai baik. Baik secara ontologis

lebih fundamental dari baik dalam arti moral. Baik dalam kategori moral baru bisa terjadi

ketika orang sudah berada.

3.4. Sebuah Simpulan

Maraknya kekerasan atas nama agama dan aksi-aksi intoleransi adalah hasil kegagalan

negara dalam memainkan peran mediatifnya80

. Negara merupakan satu-satunya pihak

institusional yang paling bertanggung jawab terhadap gurita kekerasan atas nama agama.

Negara memiliki hak dan kewajiban konstitusional terhadap penciptaan hidup baik bersama,

termasuk menghilangkan radikalisme agama. Negara tidak bisa mendelegasikan wewenang

ini kepada institusi mana pun atau siapa saja. Indonesia belum efek mengoptimalkan fungsi

kontrol dan mediasi ini. Ada beberapa ormas di Indonesia yang dibiarkan negara menghakimi

orang lain yang berbeda keyakinan dan ajaran sesuai preferensi mereka. Pembiaraan ini

menandai kegagalan negara.

Semua semua seni pendekatan di atas, entah pendekatan para ahli entah pendekatan

khas Indonesia, pada tempat pertama adalah hak dan wewenang legal-legitim negara. Maka,

78

Jean-Paul Sartre, Existentialism and Humanism, trans. Philip Mairet, London: Methuen & Co. LTD, 1946,

hlm. 41. 79

Bdk. Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 271-273. 80

Bdk. Kompas, 26 Maret 2016, hlm. 2.

42

seni-seni pendekatan di atas hanya akan menjadi efektif dan optimal bila negara yang

memainkannya. Hanya negara yang layak dan tepat dalam mengadakan diskursus rasional

(Jurgen Habermas), merekonstruksi fragmen masa lampau (Hannah Arendt),

mengimplementasikan mekanisme bonding dan bridging (Robert Putman), menciptakan

modalitas (Anthony Giddens), menerapkan power in common, act in concert, dan domination

(Paul Ricoeur), menciptakan Phrase baru dan menyelamatkan Differend (Jean-Francois

Lyotard), menginspirasi etika penampakan wajah liyan (Emanuel Levinas), dan

memperjuangkan idealitas postmodern (kebebasan, Keragaman, dan Toleransi). Negara

merupakan institusi yang paling pantas mendorong gotong royong sebagai musyarawah untuk

mufakat, laicisme religius sebagai filsafat kompromistik, prinsip dasar hidup bersama rukun

dan hormat, dan pendekatan “ajrih-asih”.

43

IV. PENUTUP

Indonesia bukan negara agama atau negara sekularistik, melainkan negara bangsa,

bangsa yang beragama. Indonesia sebagai bangsa yang beragama tidak pertama-tama

menunjuk pada lima agama resmi yang diakui negara dan dianut warga hari ini, tetapi

mengindikasikan keadaan asali masyarakat yang sejak era pra-Hindu sudah berkepercayaan.

Bangsa Indonesia sejak awal, sebelum menerima agama-agama ‘importiran’, sudah memiliki

kepercayaan akan sosok ilahi, realitas supranatural yang berkekuatan mengatur hidup

manusia. Ideologi (mitos) Pancasila merumuskan kenyataan ini dengan padat dalam sila

pertama, bangsa yang berketuhanan.

Pancasila terbentuk dari kearifan-kearifan lokal ke-Indonesia-an. Kearifan lokal

bangsa Indonesia sejak awal sangat heterogen. Pancasila mengambil jalan tengah dengan

rumusan kompromistik yang merangkum semua kearifan lokal ini dalm lima kaidah. Selain

berkompromi dengan multiplisitas kearifan lokal, Pancasila juga merupakan konfrontasi

dengan alam pikir Barat melalui ideologi seperti Marxisme dan pandangan agama-agama

impor. Tidak hanya itu, Pancasila mencerminkan karakter khas pola pikir manusia Indonesia

yang kompromistik. Kompromi merupakan kemampuan mengambil jalan tengah yang

mengayomi semua perbedaan, tanpa memutlakkan satu pun. Kompromi merupakan kelihaian

mengambil jalan tengah. Mengambil jalan tengah adalah ekspresi kebijaksanaan. Maka,

Pancasila sebenarnya merupakan sebentuk kebijaksaan yang bermain di dalam ketegangan

antara kultur Barat yang rasional dan kultur Timur yang religius, dan berjalan di tengah

alteritas kearifan lokal ke-Indonesia-an. Inilah identitas bangsa Indonesia.

Pancasila mencerminkan identitas dinamis bangsa Indonesia. Pancasila adalah nilai-

nilai yang tengah dihidupi sekaligus cita-cita yang tengah dikejar. Pancasila menyatukan

bangsa Indonesia yang plural. Maka segala bentuk upaya yang tidak sehaluan dengan

Pancasila bukan identitas bangsa Indonesia, tetapi kiriman dari luar. Segala bentuk upaya

yang mengancam keutuhan bangsa Indonesia melawan Pancasila. Konsekuensi logisnya,

semua aktivitas yang memperjuangkan disintegrasi bangsa ditolak. Radikalisme agama yang

bertujuan mengganti tatanan yang berlaku, mengubah identitas bangsa Indonesia yang

pancasilais, harus disingkirkan.

Akan tetapi, haruskah para ekstrimis harus dilenyapkan dari bumi Indonesia?

Haruskan kelompok-kelompok separatis seperti Aman Abdurahman dan Santoso harus

disingkirkan dari tubuh bangsa Indonesia? Bukankah mereka adalah juga warga negara,

44

manusia-manusia rasional yang bertujuan, mengejar kebaikan hidup? Pendekatan kekerasan

bukan khas Indonesia. Menyelesaikan masalah dengan dominasi bukan hanya sesuatu yang

tidak lazim di Indonesia, tetapi sesuatu yang haram di panggung dunia. Pemaksaan konsensus

hidup bersama dengan kekerasan selalu sebagai opsi terakhir. Seburuk apapun orang, kita

mengecam tindakan jahatnya, tetapi mengayomi pribadinya. Bangsa Indonesia sejak dahulu

kala menyelesaikan masalah dengan musyawarah untuk mufakat, dalam bahasa Habermas

diskursus rasional atau demokrasi deliberatif. Semua pendapat yang berbeda didengarkan dan

dicari jalan tengah. Itulah prinsip kompromi, kebijaksanaan.

Para bangsa Indonesia memiliki seni sendiri dalam mendekati para antagonis. Sejak

dahulu orang Indonesia selalu bertindak tegas terhadap para pelaku kejahatan, tetapi

ketegasan itu selalu dibalut dengan cinta (asih). Bangsa Indonesia mendambakan kerukunan

hidup bersama dan selalu menghormati pribadi orang lain. Maka, negara saat ini sebaiknya

menggali dan menggunakan kebijaksanaan pancasilais Indonesia yang gotong-royong,

kompromis, penuh rukun dan hormat, dan ajrih-asih untuk mendekati kelompok-kelompok

yang mengusung radikalisme agama. Dominasi dan kekerasan adalah produk budaya asing.

Jangan biarkan budaya impor menguasai cara bertindak negara dalam menangani masalah

radikalisme agama di Indonesia.

45

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku-buku

Arendt, Hannah. 1958. The Human Condition, Chicago & London: University of Chicago

Press.

1972. Crisis of the Republic. New York: Harcourt Brace & Company.

Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Buber, Martin. 1947. Between Man and Man. Trans. Ronald Gregor Smith, London: Collins

Clear-Type Press.

Danujaya, Budiarto. 2012. Demokrasi Disensus. Jakarta: Gramedia.

D’Entreves, Maurizio Passerin. 1994. The Political Philosophy of Hannah Arendt, London &

New York: Routledge.

Effendy, Bahtiar dan Hendro Prasetyo. 1998. Radikalisme Agama. Jakarta: PPIM-IAIN.

Firmanzah. 2008. Mengelola Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Giddens, Anthony. 1985. The Nation-State and Violence. Cambridge: Polity Press.

Gulalp, Haldun. 2006. Citizenship and Ethnic Conflict. London and New York: Routledge.

Hadirman, F. Budi. 2007. Filsafat Modern dari Machiavelii sampai Nietzsche, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

2009. Menuju Masyarakat Komunikatif. Jogjakarta: Kanisius.

2009. Demokrasi Deliberatif. Jogjakarta: Kanisius.

2010. Massa, Teror, dan Trauma. Yogyakarta: Lamalera.

Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan Dan Diskriminasi. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

2014. Etika Politik & Kekuasaan, cet. 3. Jakarta: Buku Kompas.

Higgott, Richard. “International Political Economy”, dalam Robert E. Goodin dan Philip

Pettit. 1993. A Companion to Contemporary Political Philosophy. Oxford:

Blacwell.

Ismail, Faisal. 1995. Islam, Politics and Ideology in Indonesia: a Study of the Process of

Muslim Acceptance of Pancasil. Montreal: Institute of Islamic Studies

McGill University.

Kaplan, David M. 2003. Ricoeur’s Critical Theory. USA: State University of New York

Press, Albany.

46

Lyotard, Jean-Francois. 1988. The Differend: Phrases in Dispute. Minneapolis: University of

Minnesota Press.

1988. The Inhuman: Reflections on Time, trans. Geoffrey Bennington and

Rachel Bowlby, Cambridge: Polity Press.

1980. Heideqqer and 'the jews'., trans. Andreas Michel and Mark Roberts,

Minneapolis, University of Minnesota Press.

1984. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff

Bennington and Brian Massumi, United Kingdom: Mancester University

Press.

Magnis-Suseno, Frans. 2009. Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles. Yogyakarta:

Kanisius.

1984. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.

Malpas, Simon. 2003. Jean-Francois Lyotard. USA and Canada, Routledge.

Miller, David. 2003. Political Philosophy. Oxford: Oxford University Press.

Pruitt, Dean G. dan Jeffrey Z. Rubin. 2009. Teori Konflik Sosial (Terj. Social Conflict),

Pustaka Pelajar.

Ress, E.A. 2004. Political Thought from Machiavelli to Stalin. New York: Palgrave

Macmillan.

Ricouer, Paul. 1992. Oneself as Another, translated by Kathleen Blamey, Chicago and

London: The University of Chicago Press.

Riyanto, E. Armada. 2011. Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius.

Sartre, Jean-Paul. 1946. Existentialism and Humanism, trans. Philip Mairet, London:

Methuen & Co. LTD.

Simms, Karl. 2003. Paul Ricoeur. London: Routledge.

Snijders, Adelbert. 2009. Seluas Segala Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius.

Sudiarja, A. dkk (ed). 2006. Karya Lengkap Driyarkara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Supratiknya, A. “Pendidikan Dasar sebagai Infanteri”, dalam Sindhunata (ed.). 1999.

Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisaha. Yogyakarta: Kanisius.

Taylor, Charles. 2007. A Secular Age. Cambridge: The Belknap Press of Harvard University

Press.

Weber, Max. 1958. From Max Weber: Essays in Sociology. translated by H.H. Gerth and C.

Wright Mills, New York: Oxford University Press.

47

1978. Economy and Society, ed. Guenther Roth and Claus Wittich, Berkeley:

University of California Press.

2. Majalah dan Koran

Tempo, 25-31 Januari 2016.

Tempo, 1-7 Februari 2016.

Kompas, 19 Februari 2016.

Kompas, 27 Februari 2016

Kompas, 28 Februari 2016.

Kompas, 26 Maret 2016.

3. Internet

http://www.news.va/en/news/asiaindonesia-widespread-religious-violence-in-ind, diakses

pada 15 Maret 2016.


Recommended