Sekretariat :
Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125
Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]
Cp : Ali 082227015200
Tanggapan Atas Keputusan PP KAMMI
Dalam Mendukung RUU Pilkada
Oleh : Muhammad Ali Husein
Ketua Umum KAMMI Komisariat Thoriq Bin Ziyad Unsoed 2014
Gambaran Umum RUU Pilkada
RUU Pilkada yang diajukan oleh Kemendagri kedalam Prolegnas sejak 2010 sudah
menemui titik puncaknya, rencananya 25 September 2014 akan ketok palu di sidang
paripurna DPR, dengan opsi disahkan atau ditolak. Sejak perjalanannya, RUU ini mengalami
pasang surut di DPR, dan momentum pergantian kepemimpinan nasional adalah salah satu
momentum untuk mengangkat kembali isu ini. Namun banyak publik tak paham mengenai
konsentrat dari RUU ini, banyak termakan isu media dan menumpang pada politik
oportunistik.
Pertama, ada beberapa isu yang berkembang bahwa substansi RUU Pilkada adalah
pengembalian dari pemilihan langsung menjadi pemilihan tidak langsung, dan terjadi pada
semua tingkat kepala daerah. Padahal jika dicermarti, pemilihan tidak langsung yang diatur
dalam RUU Pilkada hanyalah pada tingkat provinsi yakni pemilihan Gubernur, sedangkan
untuk pemilihan Kabupaten/Kota tetap dilaksanakan pemilihan langsung.
“Gubernur dipilih oleh Anggota DPRD Provinsi secara demokratis berdasar
asas langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”
_Pasal 2 RUU Pilkada
Sedangkan untuk tingkat Kabupaten/Kota tetap dipilih secara langsung, tidak
mengikut pemilihan Gubernur yang dipilih oleh DPRD.
“Pemilihan Bupati/Walikota dilaksanakan secara demokratis berdasarkan
asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”
_Pasal 41 RUU Pilkada
Sekretariat :
Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125
Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]
Cp : Ali 082227015200
Perbedaan mendasar Pasal 2 dan Pasal 41 RUU Pilkada adalah dalam Pasal 41
dicantumkan asas umum, tidak dengan Pasal 2 RUU Pilkada. Asas umum dalam Pasal 41
adalah bahwa pemilihan Bupati/Walikota dilaksanakan secara pemilihan umum, yang berarti
dipilih langsung oleh rakyat. Sedangkan Pasal 2 tidak mencantumkan asas umum, yang berati
tidak dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Itulah mengapa RUU ini
dinamakan RUU Pilkada, bukan RUU Pemilukada. Karena tidak mencantumkan asas
umum berarti tidak dipilih secara langsung oleh rakyat.
Selain mispersepsi publik pada persoalan diatas, ketidaksampaian informasi kepada
publik kedua adalah soal bagaimana mekanisme peilihan Gubernur oleh DPRD jika nantinya
RUU ini disahkan, banyak ospi digulirkan nanti Gubernur dipilih oleh DPRD secara
musyawarah, bahkan dikait-kaitkan dengan sila ke-4 Pancasila yakni permusyawaratan.
Padahal dalam RUU Pilkada tidak dianut musyawarah oleh DPRD dalam pemilihan
Gubernur. Dianut 2 tahapan pemilihan dalam pemilihan, tahap pertama adalah pendaftaran,
seleksi dan penetapan calon, dilaksanakan oleh KPUD Provinsi. Tahap kedua adalah
pemilihan dilaksanakan oleh Panlih (Panitia Pemilihan) yang diambil dari masing-masing
fraksi di DPRD dan dilaksanakan dalam sidang paripurna DPRD Provinsi.
“Tahapan kedua sebagaimana dimaksud dalam pasal satu (1), meliputi :
(a) Penyampaian visi dan misi, (b) pemungutan dan penghitungan suara,
(c) penetapan hasil pemilihan, dan (d) penyampaian keberatan.”
_Pasal 4 (5) RUU Pilkada
“Pemungutan suara, penghitungan suara dan penetapan hasil pemilihan,
dalam pemilihan Gubernur dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD
Provinsi"
_Pasal 24 (1) RUU Pilkada
Sehingga dalam pemilihan Gubernur oleh DPRD Provinsi dilaksanakan secara
pemungutan suara seperti halnya dipilih oleh rakyat, dan dalam pasal 21 diperjelas bahwa
pemilihan oleh DPRD menyertakan kotak suara, bilik suara, surat suara, dan perlengkapan
pemungutan suara yang lain. Jadi ada pemungutan suara dalam sidang paripurna DPRD
dalam memilih Gubernur.
Sekretariat :
Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125
Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]
Cp : Ali 082227015200
Kedua, dalam RUU Pilkada, jabatan wakil kepala daerah akan dihapuskan jika RUU
Pilkada disahkan. Penjelasan mengenai penghapusan jabatan wakil kepala daerah dijelaskan
khususnya dalam pasal 2 RUU Pilkada diatas hanya menyantumkan Gubernur sebagai
jabatan kepala daerah, tidak menyertakan jabatan wakil gubernur sebagai wakil kepala
daerah. Pasal 41 RUU Pilkada juga hanya menyantumkan Bupati/Walikota sebagai jabatan
kepala daerah, tidak menyertakan jabatan wakil Bupati/Walikota sebagai wakil kepala
daerah. Berbeda dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
menyantumkan jabatan wakil kepala daerah sebagai jabatan politik dan administratif dalam
pemerintahan daerah.
“Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon
yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil.”
_Pasal 56 (1) UU No. 32 Tahun 2004 – Pemerintahan Daerah
Maka substansi lain selain mengatur tentang pemilihan tidak langsung di RUU
Pilkada adalah tentang penghapusan jabatan wakil kepala daerah, baik jabatan wakil
Gubernur, wakil Bupati, dan wakil Walikota. Jadi konsepsi yang dibangun kedepan adalah
untuk pemilihan kepala daerah selanjutnya yang bertarung secara politik hanyalah calon
kepala daerah, tidak menyertakan calon wakil kepala daerah. Berarti hanya ada calon
Gubernur, calon Bupati, dan calon Walikota, tanpa didampingi calon wakil Gubernur, calon
wakil Bupati, dan calon wakil Walikota dalam pemilihan kepala daerah kedepan jika RUU ini
disahkan. Sedangkan jabatan wakil kepala daerah diangkat setelah kepala daerah sudah
dilantik. Jadi secara substantif jabatan wakil kepala daerah adalah diangkat setelah kepala
daerah terpilih dilantik, bukan dipilih melalui pemilihan seperti memilih kepala daerah.
Posisi RUU Pilkada adalah sebagai peraturan perundangan yang mengatur hal khusus
dari UU No. 32 Tahun 2004 jo. UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Asasnya pun Lex Spesialis Derogate Lex Generalis, atau peraturan perundangan yan bersifat
khusus mengesampingkan peraturan perundangan yang bersifat umum dari UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan kata lain jika RUU Pilkada disahkan maka ia
menggantikan pengaturan khusus dari bagian yang membahas pemilihan kepala daerah di UU
No.32 Tahun 2004.
Mengartikan bahwa UU No. 32 Tahun 2004 jo. UU No. 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintahan Daerah tetap berlaku, namun bagian pemilihan kepala daerah yang semula
Sekretariat :
Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125
Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]
Cp : Ali 082227015200
diatur di UU No. 32 Tahun 2004 dipindah pengaturannya ke dalam RUU Pilkada jika nanti
disahkan. Sedangkan hal mengenai pemerintahan daerah selain tentang bagian pemilihan
kepala daerah tetap diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 jo. UU No. 12 Tahun 2008.
Hal lain yang diatur di RUU Pilkada adalah tentang siapa yang berwenang mengurus
sengketa hasil Pilkada. Jika sebelumnya MK (Mahkamah Konstitusi) di era Jimly memutus
bahwa Pilkada masuk dalam rezim pemilu (dipilih langsung oleh rakyat), dan sengketa hasil
Pilkada diselesaikan di MK. Maka MK di era Hamdan Zoelva mengeluarkan doktrin bahwa
Pilkada tidak masuk ke dalam rezim Pemilu, maka tidak dipilih langsung oleh rakyat. Dengan
demikian secara otomatis sengketa hasil Pilkada tidak lagi diselesaikan di MK, melainkan
diselesaikan di MA (Mahkamah Agung).
Secara substantif gambaran umum mengenai RUU Pilkada lebih banyak mengurus
perubahan sistem pemilihan langsung di tingkat provinsi menjadi pemilihan tidak langsung,
dan menghilangkan jabatan politik wakil kepala daerah. Adapun wakil kepala daerah
nantinya akan diangkat ketika kepala daerah terpilih sudah dilantik.
Naskah Akademik – Alasan Ilmiah dibalik RUU Pilkada
Naskah Akademik adalah sebuah alasan akademis ketika RUU diajukan oleh
Kementerian ke DPR. Berupa alasan ilmiah akademis mengenai hal-hal yang diatur dalam
RUU. Jadi RUU yang diajukan memiliki alasan kuat untuk dibahas. Naskah Akademik
mengatur landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dari RUU yang diajukan. Ketika RUU
diajukan untuk dibahas, secara otomatis Naskah Amademik ikut dilampirkan sebagai bentuk
pertanggungjawaban. Jadi, isu yang seharusya beredar di publik adalah isu yang menjadi
landasan di Naskah Akademik, bukan isu-isu tambahan di media yang kebanyakan adalah
ladasan politis.
Identifikasi masalah yang memang muncul ketika RUU Pilkada diajukan adalah
mengenai (1) Sistem pemilihan langsung atau tidak langsung, (2) Keberadaan dan
pemilihan wakil kepala daerah. Sedangkan alasan lainnya yang muncul ke permukaan
adalah alasan tambahan yang memang tidak masuk ke dalam Naskah Akademik. Baik alasan
mahalnya biaya Pemilukada yang dipilih langsung oleh rakyat, maraknya praktik
transaksional di pemilukada langsung, banyaknya penggelembungan suara, dll. hanyalah isu
Sekretariat :
Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125
Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]
Cp : Ali 082227015200
tambahan yang beredar di masyarakat, dengan kata lain tidak masuk ke dalam alasan
akademis.
Pertama, Pemilihan langsung dan tidak langsung sama-sama memiliki landasan
hukum kuat. Untuk pemilihan tidak langsung, tidak ada larangan dalam UUD ’45 untuk
melakukan pemilihan tidak langsung dalam tingkat pemilihan kepala daerah.
“Gubernur, Bupati, dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.”
_Pasal 18 (4) UUD ‘45
Tafsiran UUD ’45 bersifat literlijk, sehingga apapun yang tertulis merupakan norma.
Dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7
(1) menjelaskan bahwa hierarki peraturan perundangan tertinggi adalah UUD ’45, sehingga
tidak boleh ada peraturan perundangan yang boleh bertentangan dari UUD ’45. Sehingga apa
yang tertulis di Pasal 18 (4) UUD ’45 merupakan landasan kuat dalam memilih kepala
daerah. Pasal tersebut menjelaskan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, tidak
secara rinci diharuskan dipilih secara langsung. Sehingga penafsiran demokratis tersebut
adalah open legal system, yakni penafsiran terbuka. Bisa ditafsirkan sebagai dipilih secara
langsung maupun dipilih secara tidak langsung, karena keduanya merupakan sama-sama
demokratis.
Berbeda dengan pemilihan Presiden & Wakil Presiden dan pemilihan Legislatif yang
dalam UUD ’45 diatur harus melalui pemilihan langsung.
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat.”
_Pasal 6A UUD ‘45
Jika dibandingkan pasal 6A dan pasal 18 (4) UUD ’45, dalam pasal 6A diharuskan
memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, sedangkan di pasal 18 (4)
untuk memilih kepala daerah hanya diatur secara demokratis, berarti bisa masuk ke dalam
demokratis seara pemilihan langsung atau demokratis secara pemilihan tidak langsung.
Selain pasal 18(4) yang mengatur pemilihan kepala daerah secara demokratis, pasal
lain yang menguatkan adalah pasal 22E UUD ’45,
Sekretariat :
Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125
Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]
Cp : Ali 082227015200
“Pemilihan umum dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden
dan Wakil Presiden, dan DPRD.”
_Pasal 22E UUD ‘45
Dalam pasal 22E UUD ’45, yang diurus ke dalam Pemilu adalah untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden serta untuk memilih Legislatif. Sedangkan untuk memilih
kepala daerah tidak melalui Pemilu langsung. Maka muncul opsi bahwa untuk memilih
kepala daerah masuk ke dalam Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah), yang berarti tidak dipilih
langsung oleh rakyat. Bukan dimasukkan ke dalam Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala
Daerah). Karena asas umum dalam Pemilu (Pemilihan Umum) berarti dipilih langsung oleh
rakyat.
Selain diatur dalam UUD ’45, ketentuan Pilkada tidak langsung juga dikuatkan dalam
Pasal 37 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 37 menyebutkan,
“(1) Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil
Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan.
(2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur
bertanggung jawab kepada Presiden.”
_Pasal 37 UU No. 32 Tahun 2004
Maksud dari Pasal 37 diatas adalah bahwa Gubernur merupakan perpanjangan tangan
dari Pemerintah Pusat di provinsi, dan Gubernur bertanggung jawab kepada Pemerintah
Pusat. Dengan begitu posisi Gubernur sebagai kepala daerah tidak menganut otonomi daerah
secara penuh. Padahal setiap daerah di Indonesia kini menganut otonomi daerah sebagai
bentuk desentralisasi kewenangan dari Pusat ke Daerah. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, yang
dimaksud dengan otonomi daerah adalah :
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat ............”
_Pasal 1 (5) UU No. 32 Tahun 2004
Sekretariat :
Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125
Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]
Cp : Ali 082227015200
“Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
_Pasal 1 (7) UU No. 32 Tahun 2004
Jika dicermati dari pasal diatas, maka Gubernur dalam Pasal 37 diatas maka secara
otomatis posisi provinsi juga bukan hanya berstatus sebagai daerah otonom saja tetapi juga
merupakan wilayah kerja gubernur sebagai wakil pemerintah. Ini mengartikan Gubernur
tidak menganut konsep otonomi daerah secara penuh, karena Gubernur diberikan
kewenangan untuk mengurus daerah sendiri ditambah dengan perpanjangan tangan dari
Pemerintah Pusat, karenanya Gubernur bertanggung jawab bertanggung jawab kepada
Presiden, bukan kepada Rakyat provinsi yang memilihnya. Adapun konsep Gubernur di
provinsi lebih kepada konsep dekonsentrasi daripada desentralisasi.
“Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal
di wilayah tertentu.”
_Pasal 1 (8) UU No. 32 Tahun 2004
Gubernur merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat di provinsi,
sehingga diberikan pelimpahan kewenangan. Pelimpahan kewenangan mengartikan
kewenangan yang dibagi dari Pemerintah Pusat untuk dikerjakan oleh Gubernur di
wilayahnya. Konsepsi ini mengartikan bahwa Gubernur lebih banyak menganut konsep
dekonsentrasi ketimbang desentralisasi.
“Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil
Pemerintah.”
_Pasal 10 (5b) UU No. 32 Tahun 2004
Pelimpahan kewenangan diperkuat di Pasal 10 (5b) bahwa pelimpahan kewenangan adalah
pelimpahan sebagian urusan Pemerintah Pusat kepada Gubernur.
Berbeda dengan desentralisasi yang dalam pasal diatas diartikan sebagai penyerahan
kewenangan. Penyerahan kewenangan adalah kewenangan yang diberikan secara penuh
untuk mengatur sendiri wilayahnya tanpa ada intervensi dari pusat. Penyerahan kewenangan
berarti kewenangan yang dipisah, bukan dibagi, berarti desentralisasi memberikan
Sekretariat :
Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125
Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]
Cp : Ali 082227015200
kewenangan penuh untuk mengurus sendiri wilayahnya tanpa ada pelimpahan sebagian
urusan dari pusat untuk dikerjakan di daerah.
Naskah Akademik hlm. 4 juga menyebutkan, dalam khasanah akademik posisi
Provinsi dapat dikategorikan sebagai “Unit Antara” pemerintahan. Unit Antara adalah posisi
tengah diantara Pemerintah Pusat dan “Unit Dasar”. Unit Dasar adalah Kabupaten/Kota
yang merupakan jejang pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat. Adalah hal yang
wajar menurut pengaju RUU ini jika Kabupaten/Kota dipilih langsung oleh rakyat, karena
memang paling dekat dengan masyarakat. Setiap kebijakannya juga langsung dirasakan oleh
masyarakat. Karena kedekatan ini Kabupaten/Kota tetap dipilih oleh rakyat. Kedekatan ini
yang menjadikan pemerintahan Kabupaten/Kota diharapkan paling responsif, akuntabel,
efisien dan efektif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Lain hal dengan Gubernur di wilayah provinsi, Unit Antara hanya bertugas
mengordinasikan Kabupaten/Kota tanpa ada pelimpahan sebagian tugas kepada pemerintahan
Kabupaten/Kota. Unit Antara juga mendapat pelimpahan tugas dari Pemerintah Pusat untuk
dikerjakan di wilayahnya. Sehingga setiap kebijakan yang dieksekusi Gubernur tidak
dirasakan oleh lapisan masyarakat dasar secara langsung, berbeda dengan pemerintahan
Kabupaten/Kota yang merupakan Unit Dasar. Perbedaan tekanan tingkat elektorasi yang
berbeda dengan pemerintahan Kabupaten/Kota menjadikan Gubernur tak masalah jika dipilih
dengan metode yang berbeda.
Kedua, menyoal keberadaan dan pemilihan wakil kepala daerah, seperti dijelaskan
diatas, UUD ’45 tidak mengatur jabatan wakil kepala daerah,
“Gubernur, Bupati, dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.”
_Pasal 18 (4) UUD ‘45
Dalam UUD ’45 yang merupakan hierarki peraturan perundangan tertinggi tidak
menyantumkan jabatan wakil kepala daerah satu paket dengan jabatan Gubernur, Bupati, dan
Walikota sebagai kepala daerah. Berbeda dengan jabatan Wakil Presiden yang diatur secara
jelas di UUD ’45.
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat.”
Sekretariat :
Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125
Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]
Cp : Ali 082227015200
_Pasal 6A UUD ‘45
Jabatan Wakil Presiden secara jelas diatur dalam UUD ’45, namun tidak halnya
dengan jabatan wakil kepala daerah. Dalam pasal 18 (4) tidak menyantumkan jabatan wakil
Gubernur, wakil Bupati, dan wakil Walikota. Bahkan jabatan Menteri, Duta, dan Konsul juga
diperjelas di UUD ’45, tidak dengan jabatan wakil kepala daerah. Maka dengan ini jabatan
wakil kepala daerah dipertanyakan.
Alasan lain karena pemerintahan daerah Indonesia menganut pola Strong Mayor
System, Strong Mayor System adalah diberikannya kewenangan kuat kepada mayor atau
kepala daerah. Jika berkiblat pada pegalaman negara lain yang melaksanakan Strong Mayor
System, misalnya kota Virginia di AS, jabatan politik di Kabupaten/Kota hanyalah jabatan
mayor atau Walikota tanpa didampingi oleh wakil Walikota. Di hlm. 6 Naskah Akademik
juga disebutkan dalam pelaksanaan tugasnya mayor dibantu oleh perangkat administratif
dibawah pimpinan petugas (officer) yang dikenal dengan istilah chief of administrative
officer.Sehingga jabatan wakil kepala daerah jika berkiblat pada negara lain yang
menggunakan pola yang sama dengan pemerintahan daerah di Indonesia adalah tidak ada.
Gambaran ringkas mengenai Strong Mayor System adalah mayor atau kepala daerah
memiliki kewenangan yang sangat kuat, bahkan jauh diatas wakil kepala daerah. Dijelaskan
dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008.
“Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang: (a) memimpin
penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan bersama DPRD; (b) mengajukan rancangan Perda; (c)
menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; (d)
menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD
untuk dibahas dan ditetapkan bersama; (e) mengupayakan terlaksananya
kewajiban daerah; (f) mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan,
dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; dan (g) melaksanakan tugas dan wewenang
lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
_Pasal 25 UU No. 32 Tahun 2004
Sedangkan kewenangan wakil kepala daerah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2008 ;
Sekretariat :
Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125
Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]
Cp : Ali 082227015200
“Wakil kepala daerah mempunyai tugas: (a) membantu kepala daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan daerah; (b) membantu kepala daerah dalam
mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti
laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan,
melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan
pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup; (c)
memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan
kota bagi wakil kepala daerah provinsi; (d) memantau dan mengevaluasi
penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau
desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota; (e) memberikan saran dan
pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan daerah; (f) melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan
lainnya yang diberikan oleh kepala daerah; dan (g) melaksanakan tugas dan
wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.”
_Pasal 26 UU No. 12 Tahun 2008
Posisi kepala daerah atau mayor memiliki kewenangan besar dibandinkan dengan
posisi wakil kepala daerah. Sehingga menghasilkan subordiasi antara kepala daerah dengan
wakil kepala daerah. Padahal ketika sama-sama mencalonkan sebagai calon kepala daerah,
keduanya memiliki political appointee atau jabatan politik yang sama kuat. Calon kepala
daerah jika terpilih tidak akan bisa terpilih tanpa didampingi calon wakil kepala daerah.
Begitupun calon wakil kepala daerah jika terpilih karena berdampingan dengan calon kepala
daerah. Saat keduanya terpilih maka itu merupakan prestasi kolektif kumulatif. Keduanya
sama-sama memiliki political appointee yang memperluas basis dukungan politik keduanya,
sama-sama berdimensi politik.
Namun keadaan ini tidak berlaku jika keduanya sudah dilantik. Ketika sudah dilantik
sudah bukan lagi masuk dalam kategori political appointee, melainkan masuk kedalam
kategori administrative appointee atau jabatan administratif. Sejak dilantinya kepala daerah
dan wakil kepala daerah, wakil kepala daerah menjadi pembantu kepala daerah, hubungannya
bersifat subordinat. Wakil kepala daerah yang awalnya memiliki political appointee yang
setara dengan kepala daerah, ketika dilantik posisinya berada dibawah kepala daerah dari segi
kewenangan, protokoler, keuangan, dll. Sehingga seringkali hubungan kepala daerah dan
wakil kepala daerah tidak harmonis. Bahkan dalam beberapa kasus seringkali wakil kepala
daerah menjadi pesaing dari kepala daerah. Sehingga memunculkan pertanyaan apakah
Sekretariat :
Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125
Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]
Cp : Ali 082227015200
jabatan wakil kepala daerah dibutuhkan atau tidak, lalu jika dibutuhkan bagaimana
mekanisme dipilihnya.
Secara akademis, kedua identifikasi masalah tersebut sudah memiliki landasan, dan
secara umum gambaran diatas adalah alasan akademis yang mendasari mengapa RUU
Pilkada diajukan.
Pandangan Mahasiswa terhadap RUU Pilkada
Menanggapi sidang paripurna dan ketok palu DPR RI terhadap RUU Pilkada pada
tanggal 25 September 2014, mahasiswa turut mengawal keberjalanan RUU ini sebelum
disahkan. Apakah suatu kemunduran demokrasi atau memang sah secara hukum. Mahasiswa
kembali mengambil gilirannya sebagai kontrol pemerintah. Mahasiswa juga melakukan
kajian kritis terhadap RUU Pilkada, baik dari segi hukum dan kebermanfaatannya.
Dalam Pasal 18 (4) UUD ’45 yang sudah dijelaskan,
“Gubernur, Bupati, dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.”
_Pasal 18 (4) UUD ‘45
Definisi dipilih secara demokratis di pasal tersebut bisa diartikan dua opsi; dipilih
secara langsung dan dipilih secara tidak langsung. Karena keduanya masuk kedalam definisi
demokratis, sama-sama dengan mekanisme demokrasi baik demokrasi langsung atau tidak
demokrasi langsung atau perwakilan. Untuk kasus kepala daerah, seperti halnya pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden dan pemilihan legislatif, ada dua rezim pemilihan. Pertama
Pemilu (Pemilihan Umum) yang berarti dipilih langsung oleh rakyat, kedua pemilihan lewat
perwakilan. Dalam kasus kepala daerah, pemilihan demokratis memunculkan opsi ;
Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah) dan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah).
Asas umum dalam Pemilukada adalah dipilih oleh rakyat secara langsung, sedangkan
Pilkada tidak menyertakan asas umum dalam pemilihannya, sehingga Pilkada dilakukan
dengan mekanisme perwakilan, yaitu dipilih oleh DPRD Provinsi untuk memilih Gubernur.
Baik Pemilukada atau Pilkada sama-sama sah secara hukum, sama-sama legitimate jika
dilaksanakan. Dalam UUD ’45 mekanisme pemilihan kepala daerah tidak strict apakah harus
dilakukan dengan pemilihan langsung atau pemilihan tidak langsung.
Sekretariat :
Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125
Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]
Cp : Ali 082227015200
Ada pendapat yang berkembang kalau pemilihan kepala daerah lebih pantas secara
konstitusi jika dilakukan secara tidak langsung, bukan secara langsung, hal ini didasari pada
penjelasan mengenai pemilihan umum di UUD ’45,
“Pemilihan umum dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden
dan Wakil Presiden, dan DPRD.”
_Pasal 22E UUD ‘45
Dalam UUD ’45 bagian yang mengatur mengenai pemilihan umum tidak
menyebutkan pemilihan kepala daerah masuk ke dalam pemilihan umum, sehingga pemilihan
kepala daerah tidak dilaksanakan secara umum atau dipilih langsung oleh rakyat. Pemilihan
umum dilaksanakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, dan DPRD,
bukan untuk memilih kepala daerah.
Pertama, perlu diingat, pemilihan kepala daerah tidak masuk kedalam kategori
pemilihan umum ini tidak bersifat imperative menurut UUD. Apabila akan diadakan,
pengaturannya tergantung pada UU yang mengaturnya, bukan berarti tidak boleh sama sekali.
Negara dalam perjalanannya sudah mengalami pergantian UU yang mengatur mengenai
Pemerintahan Daerah. Mekanisme pemilihan kepala daerah juga diatur dalam UU
Pemerintahan Daerah. Sejak Reformasi digulirkan, Negara mengatur mekanisme pemilihan
Kepala Daerah pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini mengatur
pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD, tidak dipilih oleh rakyat.
Namun ketentuan ini dibatalkan oleh MK di era Jimly Asshiddiqie yang membuat
amar putusan bahwa Pilkada masuk ke dalam rezim Pemilu, sehingga meskipun di UUD ’45
tidak mengatur Pemilu diselenggarakan untuk memilih Pilkada, namun putusan MK bahwa
Pilkada masuk ke dalam rezim Pemilu dinilai tepat. Indonesia menganut sistem Presidensil
yang melaksanakan dua kali pemilu, untuk memilih Eksekutif dan Legislatif. Karena esensi
Presidensil adalah menguatkan eksekutif, eksekutif dipilih oleh rakyat, karena lebih kuat
secara akseptabilitas. Penerimaan rakyat lebih kuat jika eksekutif dipilih langsung oleh
rakyat.
Sisi positif dilaksanakannya Pemilukada secara langsung adalah, (1) rakyat bisa
melakukan kontrol secara terbuka baik kepada penyelenggara Pemilukada dan peserta
Pemilukada. (2) partisipasi publik terbuka luas untuk ikut menyukseskan pesta demokrasi
pemilihan kepala daerah, baik berpartisipasi menjadi relawan, saksi, tim kampanye, dll. (3)
Sekretariat :
Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125
Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]
Cp : Ali 082227015200
sebagai sarana kaderisasi kepemimpinan nasional, dengan dilaksanakannya pemilihan
langsung membuka kesempatan untuk melahirkan pemimpin yang berasal dari rakyat, tidak
lagi menampilkan gaya kememimpinan konvensional yang lahir dari elit DPRD. (4) sebagai
pendidikan politik bagi masyarakat, dengan diadakannya pemilihan langsung masyarakat
akan diberikan pendidikan politik oleh penyelenggara dan peserta pemilu, masyarakat juga
akan timbul rasa tanggung jawabnya dalam memilih pemimpin.
Namun pada era Hamdan Zoelva menjadi ketua MK, amar putusan yang dikeluarkan
adalah bahwa Pilkada bukan termasuk kedalam rezim Pemilu langsung. Pemilihan kepala
daerah provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi, tidak lagi dipilih secara langsung oleh
rakyat. Dengan begini MK sebagai lembaga The sole of judicial intrpreter, satu-satunya
penafsir yudisial seolah terkesan goyah dengan memutuskan putusan yang secara jelas
membatalkan putusan sebelumnya. Putusan MK era Jimly Asshiddiqie dahulu yang
mengatakan bahwa Pilkada masuk kedalam rezim Pemilu berseberangan dengan putusan MK
era Hamdan Zoelva yang memutuskan Pilkada tidak termasuk kedalam rezim Pemilu. Namun
meskipun keputusan MK yang dahulu dan sekarang terlihat goyah, hasilnya tetap bersifat
final dan mengikat.
“Putusan Mahkamah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
putusan pada tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat.”
_Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2014 pasal 39 (4)
Amar putusan MK yang memutuskan bahwa Pilkada tidak masuk kedalam rezim
Pemilu langsung menjadi memiliki dasar yang kuat setelah MK pun mendukung secara
konstitusi. MK sebagai satu-satunya penafsir yudisial tunggal menafsir bahwa Pasal 56 (1)
UU No. 32 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD ’45 dan secara hierarki peraturan
perundangan di UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, UU berada di bawah UUD ’45 dan tidak boleh bertentangan.
“Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: (a) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c) Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (d) Peraturan Pemerintah; (e)
Peraturan Presiden; (f) Peraturan Daerah Provinsi; dan (g) Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
Sekretariat :
Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125
Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]
Cp : Ali 082227015200
_Pasal 7 (1) UU No. 12 Tahun 2011
Asas yang berlaku pun Lex Superior Derogate Lex Inferior, yaitu peraturan
perundangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai derajat yang lebih
tinggi daripada peraturan perundangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih rendah. UUD
’45 yang merupakan produk MPR merupakan hierarki peraturan perundangan lain dan tidak
boleh ada yang bertentangan dengannya. Jika ada UU yang bertentangan atau buram terhadap
UUD ’45 sudah menjadi kewenangan MK untuk menguji dan memutusnya. Ketika putusan
MK adalah bahwa Pilkada di UU No. 32 Tahun 2004 bukan masuk kedalam rezim Pemilu di
UUD ’45, maka putusan MK tersebut adalah final dan mengikat.
Tindak lanjut dari putusan MK adalah dengan melegitimasi putusan MK tersebut
kedalam UU. MK hanya berwenang untuk memutus apakah UU tersebut bertentangan atau
tidak terhadap UUD. Sedangkan kewenangan diatur atau tidaknya keputusan MK
dikembalikan pada DPR dalam membuat UU. Bertentangan atau tidaknya UU terhadap UUD
’45 adalah keputusan hukum, karena merupakan produk MK. Sedangkan diaturnya hasil
putusan MK kedalam UU adalah keputusan politik, karena merupakan produk DPR. Dengan
begini bisa saja hasil putusan MK tidak dilaksanakan jika DPR berkehendak lain.
Kedua, dalam UUD ’45 tidak menuliskan sistem pemerintahan Indonesia adalah
Presidensil, namun Indonesia masuk kedalam sistem pemerintahan Presidensil bisa dilihat
dari bagaimana konstitusi mengaturnya. Bedanya Presidensil dan Parlementer adalah
bagaimana terletak pada kewenangan eksekutif dan legislatif serta mekanisme memilih
pemimpin. Presidensil berarti penguatan eksekutif, dengan diberikannya kewenangan yang
luas serta dipilih langsung oleh rakyat. Pemiluya pun dilaksanakan dua kali, untuk memilih
eksekutif dan memilih legislatif.
Sedangkan Parlementer berarti penguatan legislatif, dengan diberikannya kewenangan
yang luas serta memilih eksekutif pun menjdi kewenangan Parlemen. Pemilunya
dilaksanakan satu kali hanya untuk memilih legislatif, sedangkan eksekutif dipilih oleh
legislatif, bukan secara langsung oleh rakyat. Jadi bisa disimpulkan jika pemilihan kepala
daerah Provinsi sebagai eksekutif dipilih oleh DPRD, maka terjadi dualisme sistem
pemerintahan Presidensil dan Parlementer. Dengan dilaksanakannya Pilkada Gubernur tidak
langsung sama saja dengan memburamkan Presidensil, menjadi Presidensil setengah hati.
Dalam perjalanan Reformasi, Indonesia sudah mengalami pergantian UU
Pemerintahan Daerah yang didalamnya mengatur tentang mekanisme pemilihan kepala
Sekretariat :
Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125
Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]
Cp : Ali 082227015200
daerah. Dulu ada UU No. 22 Tahun 1999 yang mengatur bahwa pemilihan kepala daerah
dipilih oleh DPRD, bukan dipilih langsung oleh rakyat. Ketika MK era Jimly mengeluarkan
amar putusan kalau Pilkada masuk kedalam rezim Pemilu langsung, dibentuklah UU No. 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Asas UU No. 32 Tahun 2004 adalah Lex
Postorior Derogate Lex Priori, bahwa UU yang berlaku kemudian meniadakan UU
terdahulu sepanjang mengatur hal yang sama. Dengan begini UU No. 22 Tahun 1999
dihapuskan sejak UU No. 32 Tahun 2004 diundangkan, keduanya sama-sama mengatur
Pemerintahan Daerah.
Dalam UU No. 22 Tahun 1999, kepala daerah masih dipilih oleh DPRD, belum
dipilih langsung oleh rakyat.
“DPRD mempunyai tugas dan wewenang: (a) memilih Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.”
_Pasal 18 (1a) UU No. 22 Tahun 1999
Lalu MK di era Jimly memutuskan bahwa Pilkada masuk ke dalam rezim Pemilu
langsung, sehingga harus dipilih rakyat. Diundangkannya UU No. 32 Tahun 2004 dan
secara otomatis menghapuskan UU No. 22 Tahun 1999.
“Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon
yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil.”
_Pasal 56 (1) UU No. 32 Tahun 2004
Perjalanan UU No. 32 Tahun 2004 mengalami banyak hal yang harus disempurnakan,
sehingga dibentuknya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ada beberapa hal yang dirubah di UU No. 12
Tahun 2012, misalnya tentang kewenangan wakil kepala daerah, pengisian kekosongan
jabatan wakil kepala daerah, calon kepala daerah independen, dll. misalnya :
“Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah: (a)
pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik. (b) pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah
orang.”
_Pasal 59 (1) UU No. 12 Tahun 2008
Sekretariat :
Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125
Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]
Cp : Ali 082227015200
Jika RUU Pilkada disahkan maka sama saja dengan menghapuskan calon kepala daerah
independen yang diatur di UU sebelumnya.
Maka dengan dua pandangan diatas cukup rasanya jika mahasiswa membuat sikap menolak
terhadap RUU Pilkada yang tanggal 25 September 2014 akan di ketok palu di DPR.
Kesimpulan
1. Mahasiswa menolak dilaksanakannya Pilkada tidak langsung, karena tidak diaturnya
Pilkada dilaksanakan melalui Pemilu di UUD ’45 tidak bersifat imperative menurut
UUD ’45. Apabila akan diadakan, pengaturannya tergantung pada UU yang
mengaturnya, bukan berarti tidak boleh sama sekali.
2. Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensil yang melaksanakan dua kali
Pemilu, Pemilu Legislatif dan Pemilu Eksekutif. Karena esensi Presidensil adalah
menguatkan eksekutif. Sedangkan sistem pemerintahan Parlementer adalah
menguatkan Parlemen, eksekutif pun dipilih oleh Parlemen, hanya dilaksanakan satu
kali Pemilu, yaitu untuk memilih Legislatif. Adalah hal aneh jika Pilkada Provinsi
dipilih oleh DPRD, dengan begini terjadi percampuran Presidensil dan Parlementer
dalam Pilkada Provinsi.
Sikap KAMMI Kathoza Unsoed
Dengan penjelasan diatas, sudah jelas bahwa KAMMI Kathoza Unsoed menolak
RUU Pilkada. Indonesia sudah melaksanakan Pemilukada langsung sejak 2005, dan dalam
perjalanannya selalu mengalami perbaikan. Jika memang banyak kekurangan maka yang
harus diperbaiki adalah penyempurnaan sistem, perbaikan penyelenggara Pemilukada, dan
sanksi yang diberikan kepada peserta Pemilukada, bukan dengan mengganti total sistem yang
sudah berjalan.