+ All Categories
Home > Documents > Tanggapan Atas Keputusan PP KAMMI Dalam Mendukung RUU Pilkada

Tanggapan Atas Keputusan PP KAMMI Dalam Mendukung RUU Pilkada

Date post: 20-Feb-2023
Category:
Upload: unsoed
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
16
Sekretariat : Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125 Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected] Cp : Ali 082227015200 Tanggapan Atas Keputusan PP KAMMI Dalam Mendukung RUU Pilkada Oleh : Muhammad Ali Husein Ketua Umum KAMMI Komisariat Thoriq Bin Ziyad Unsoed 2014 Gambaran Umum RUU Pilkada RUU Pilkada yang diajukan oleh Kemendagri kedalam Prolegnas sejak 2010 sudah menemui titik puncaknya, rencananya 25 September 2014 akan ketok palu di sidang paripurna DPR, dengan opsi disahkan atau ditolak. Sejak perjalanannya, RUU ini mengalami pasang surut di DPR, dan momentum pergantian kepemimpinan nasional adalah salah satu momentum untuk mengangkat kembali isu ini. Namun banyak publik tak paham mengenai konsentrat dari RUU ini, banyak termakan isu media dan menumpang pada politik oportunistik. Pertama, ada beberapa isu yang berkembang bahwa substansi RUU Pilkada adalah pengembalian dari pemilihan langsung menjadi pemilihan tidak langsung, dan terjadi pada semua tingkat kepala daerah. Padahal jika dicermarti, pemilihan tidak langsung yang diatur dalam RUU Pilkada hanyalah pada tingkat provinsi yakni pemilihan Gubernur, sedangkan untuk pemilihan Kabupaten/Kota tetap dilaksanakan pemilihan langsung. “Gubernur dipilih oleh Anggota DPRD Provinsi secara demokratis berdasar asas langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil.” _Pasal 2 RUU Pilkada Sedangkan untuk tingkat Kabupaten/Kota tetap dipilih secara langsung, tidak mengikut pemilihan Gubernur yang dipilih oleh DPRD. “Pemilihan Bupati/Walikota dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.” _Pasal 41 RUU Pilkada
Transcript

Sekretariat :

Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125

Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]

Cp : Ali 082227015200

Tanggapan Atas Keputusan PP KAMMI

Dalam Mendukung RUU Pilkada

Oleh : Muhammad Ali Husein

Ketua Umum KAMMI Komisariat Thoriq Bin Ziyad Unsoed 2014

Gambaran Umum RUU Pilkada

RUU Pilkada yang diajukan oleh Kemendagri kedalam Prolegnas sejak 2010 sudah

menemui titik puncaknya, rencananya 25 September 2014 akan ketok palu di sidang

paripurna DPR, dengan opsi disahkan atau ditolak. Sejak perjalanannya, RUU ini mengalami

pasang surut di DPR, dan momentum pergantian kepemimpinan nasional adalah salah satu

momentum untuk mengangkat kembali isu ini. Namun banyak publik tak paham mengenai

konsentrat dari RUU ini, banyak termakan isu media dan menumpang pada politik

oportunistik.

Pertama, ada beberapa isu yang berkembang bahwa substansi RUU Pilkada adalah

pengembalian dari pemilihan langsung menjadi pemilihan tidak langsung, dan terjadi pada

semua tingkat kepala daerah. Padahal jika dicermarti, pemilihan tidak langsung yang diatur

dalam RUU Pilkada hanyalah pada tingkat provinsi yakni pemilihan Gubernur, sedangkan

untuk pemilihan Kabupaten/Kota tetap dilaksanakan pemilihan langsung.

“Gubernur dipilih oleh Anggota DPRD Provinsi secara demokratis berdasar

asas langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”

_Pasal 2 RUU Pilkada

Sedangkan untuk tingkat Kabupaten/Kota tetap dipilih secara langsung, tidak

mengikut pemilihan Gubernur yang dipilih oleh DPRD.

“Pemilihan Bupati/Walikota dilaksanakan secara demokratis berdasarkan

asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”

_Pasal 41 RUU Pilkada

Sekretariat :

Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125

Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]

Cp : Ali 082227015200

Perbedaan mendasar Pasal 2 dan Pasal 41 RUU Pilkada adalah dalam Pasal 41

dicantumkan asas umum, tidak dengan Pasal 2 RUU Pilkada. Asas umum dalam Pasal 41

adalah bahwa pemilihan Bupati/Walikota dilaksanakan secara pemilihan umum, yang berarti

dipilih langsung oleh rakyat. Sedangkan Pasal 2 tidak mencantumkan asas umum, yang berati

tidak dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Itulah mengapa RUU ini

dinamakan RUU Pilkada, bukan RUU Pemilukada. Karena tidak mencantumkan asas

umum berarti tidak dipilih secara langsung oleh rakyat.

Selain mispersepsi publik pada persoalan diatas, ketidaksampaian informasi kepada

publik kedua adalah soal bagaimana mekanisme peilihan Gubernur oleh DPRD jika nantinya

RUU ini disahkan, banyak ospi digulirkan nanti Gubernur dipilih oleh DPRD secara

musyawarah, bahkan dikait-kaitkan dengan sila ke-4 Pancasila yakni permusyawaratan.

Padahal dalam RUU Pilkada tidak dianut musyawarah oleh DPRD dalam pemilihan

Gubernur. Dianut 2 tahapan pemilihan dalam pemilihan, tahap pertama adalah pendaftaran,

seleksi dan penetapan calon, dilaksanakan oleh KPUD Provinsi. Tahap kedua adalah

pemilihan dilaksanakan oleh Panlih (Panitia Pemilihan) yang diambil dari masing-masing

fraksi di DPRD dan dilaksanakan dalam sidang paripurna DPRD Provinsi.

“Tahapan kedua sebagaimana dimaksud dalam pasal satu (1), meliputi :

(a) Penyampaian visi dan misi, (b) pemungutan dan penghitungan suara,

(c) penetapan hasil pemilihan, dan (d) penyampaian keberatan.”

_Pasal 4 (5) RUU Pilkada

“Pemungutan suara, penghitungan suara dan penetapan hasil pemilihan,

dalam pemilihan Gubernur dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD

Provinsi"

_Pasal 24 (1) RUU Pilkada

Sehingga dalam pemilihan Gubernur oleh DPRD Provinsi dilaksanakan secara

pemungutan suara seperti halnya dipilih oleh rakyat, dan dalam pasal 21 diperjelas bahwa

pemilihan oleh DPRD menyertakan kotak suara, bilik suara, surat suara, dan perlengkapan

pemungutan suara yang lain. Jadi ada pemungutan suara dalam sidang paripurna DPRD

dalam memilih Gubernur.

Sekretariat :

Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125

Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]

Cp : Ali 082227015200

Kedua, dalam RUU Pilkada, jabatan wakil kepala daerah akan dihapuskan jika RUU

Pilkada disahkan. Penjelasan mengenai penghapusan jabatan wakil kepala daerah dijelaskan

khususnya dalam pasal 2 RUU Pilkada diatas hanya menyantumkan Gubernur sebagai

jabatan kepala daerah, tidak menyertakan jabatan wakil gubernur sebagai wakil kepala

daerah. Pasal 41 RUU Pilkada juga hanya menyantumkan Bupati/Walikota sebagai jabatan

kepala daerah, tidak menyertakan jabatan wakil Bupati/Walikota sebagai wakil kepala

daerah. Berbeda dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang

menyantumkan jabatan wakil kepala daerah sebagai jabatan politik dan administratif dalam

pemerintahan daerah.

“Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon

yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil.”

_Pasal 56 (1) UU No. 32 Tahun 2004 – Pemerintahan Daerah

Maka substansi lain selain mengatur tentang pemilihan tidak langsung di RUU

Pilkada adalah tentang penghapusan jabatan wakil kepala daerah, baik jabatan wakil

Gubernur, wakil Bupati, dan wakil Walikota. Jadi konsepsi yang dibangun kedepan adalah

untuk pemilihan kepala daerah selanjutnya yang bertarung secara politik hanyalah calon

kepala daerah, tidak menyertakan calon wakil kepala daerah. Berarti hanya ada calon

Gubernur, calon Bupati, dan calon Walikota, tanpa didampingi calon wakil Gubernur, calon

wakil Bupati, dan calon wakil Walikota dalam pemilihan kepala daerah kedepan jika RUU ini

disahkan. Sedangkan jabatan wakil kepala daerah diangkat setelah kepala daerah sudah

dilantik. Jadi secara substantif jabatan wakil kepala daerah adalah diangkat setelah kepala

daerah terpilih dilantik, bukan dipilih melalui pemilihan seperti memilih kepala daerah.

Posisi RUU Pilkada adalah sebagai peraturan perundangan yang mengatur hal khusus

dari UU No. 32 Tahun 2004 jo. UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

Asasnya pun Lex Spesialis Derogate Lex Generalis, atau peraturan perundangan yan bersifat

khusus mengesampingkan peraturan perundangan yang bersifat umum dari UU No. 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan kata lain jika RUU Pilkada disahkan maka ia

menggantikan pengaturan khusus dari bagian yang membahas pemilihan kepala daerah di UU

No.32 Tahun 2004.

Mengartikan bahwa UU No. 32 Tahun 2004 jo. UU No. 12 Tahun 2008 tentang

Pemerintahan Daerah tetap berlaku, namun bagian pemilihan kepala daerah yang semula

Sekretariat :

Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125

Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]

Cp : Ali 082227015200

diatur di UU No. 32 Tahun 2004 dipindah pengaturannya ke dalam RUU Pilkada jika nanti

disahkan. Sedangkan hal mengenai pemerintahan daerah selain tentang bagian pemilihan

kepala daerah tetap diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 jo. UU No. 12 Tahun 2008.

Hal lain yang diatur di RUU Pilkada adalah tentang siapa yang berwenang mengurus

sengketa hasil Pilkada. Jika sebelumnya MK (Mahkamah Konstitusi) di era Jimly memutus

bahwa Pilkada masuk dalam rezim pemilu (dipilih langsung oleh rakyat), dan sengketa hasil

Pilkada diselesaikan di MK. Maka MK di era Hamdan Zoelva mengeluarkan doktrin bahwa

Pilkada tidak masuk ke dalam rezim Pemilu, maka tidak dipilih langsung oleh rakyat. Dengan

demikian secara otomatis sengketa hasil Pilkada tidak lagi diselesaikan di MK, melainkan

diselesaikan di MA (Mahkamah Agung).

Secara substantif gambaran umum mengenai RUU Pilkada lebih banyak mengurus

perubahan sistem pemilihan langsung di tingkat provinsi menjadi pemilihan tidak langsung,

dan menghilangkan jabatan politik wakil kepala daerah. Adapun wakil kepala daerah

nantinya akan diangkat ketika kepala daerah terpilih sudah dilantik.

Naskah Akademik – Alasan Ilmiah dibalik RUU Pilkada

Naskah Akademik adalah sebuah alasan akademis ketika RUU diajukan oleh

Kementerian ke DPR. Berupa alasan ilmiah akademis mengenai hal-hal yang diatur dalam

RUU. Jadi RUU yang diajukan memiliki alasan kuat untuk dibahas. Naskah Akademik

mengatur landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dari RUU yang diajukan. Ketika RUU

diajukan untuk dibahas, secara otomatis Naskah Amademik ikut dilampirkan sebagai bentuk

pertanggungjawaban. Jadi, isu yang seharusya beredar di publik adalah isu yang menjadi

landasan di Naskah Akademik, bukan isu-isu tambahan di media yang kebanyakan adalah

ladasan politis.

Identifikasi masalah yang memang muncul ketika RUU Pilkada diajukan adalah

mengenai (1) Sistem pemilihan langsung atau tidak langsung, (2) Keberadaan dan

pemilihan wakil kepala daerah. Sedangkan alasan lainnya yang muncul ke permukaan

adalah alasan tambahan yang memang tidak masuk ke dalam Naskah Akademik. Baik alasan

mahalnya biaya Pemilukada yang dipilih langsung oleh rakyat, maraknya praktik

transaksional di pemilukada langsung, banyaknya penggelembungan suara, dll. hanyalah isu

Sekretariat :

Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125

Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]

Cp : Ali 082227015200

tambahan yang beredar di masyarakat, dengan kata lain tidak masuk ke dalam alasan

akademis.

Pertama, Pemilihan langsung dan tidak langsung sama-sama memiliki landasan

hukum kuat. Untuk pemilihan tidak langsung, tidak ada larangan dalam UUD ’45 untuk

melakukan pemilihan tidak langsung dalam tingkat pemilihan kepala daerah.

“Gubernur, Bupati, dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah

daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.”

_Pasal 18 (4) UUD ‘45

Tafsiran UUD ’45 bersifat literlijk, sehingga apapun yang tertulis merupakan norma.

Dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7

(1) menjelaskan bahwa hierarki peraturan perundangan tertinggi adalah UUD ’45, sehingga

tidak boleh ada peraturan perundangan yang boleh bertentangan dari UUD ’45. Sehingga apa

yang tertulis di Pasal 18 (4) UUD ’45 merupakan landasan kuat dalam memilih kepala

daerah. Pasal tersebut menjelaskan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, tidak

secara rinci diharuskan dipilih secara langsung. Sehingga penafsiran demokratis tersebut

adalah open legal system, yakni penafsiran terbuka. Bisa ditafsirkan sebagai dipilih secara

langsung maupun dipilih secara tidak langsung, karena keduanya merupakan sama-sama

demokratis.

Berbeda dengan pemilihan Presiden & Wakil Presiden dan pemilihan Legislatif yang

dalam UUD ’45 diatur harus melalui pemilihan langsung.

“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh

rakyat.”

_Pasal 6A UUD ‘45

Jika dibandingkan pasal 6A dan pasal 18 (4) UUD ’45, dalam pasal 6A diharuskan

memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, sedangkan di pasal 18 (4)

untuk memilih kepala daerah hanya diatur secara demokratis, berarti bisa masuk ke dalam

demokratis seara pemilihan langsung atau demokratis secara pemilihan tidak langsung.

Selain pasal 18(4) yang mengatur pemilihan kepala daerah secara demokratis, pasal

lain yang menguatkan adalah pasal 22E UUD ’45,

Sekretariat :

Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125

Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]

Cp : Ali 082227015200

“Pemilihan umum dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden

dan Wakil Presiden, dan DPRD.”

_Pasal 22E UUD ‘45

Dalam pasal 22E UUD ’45, yang diurus ke dalam Pemilu adalah untuk memilih

Presiden dan Wakil Presiden serta untuk memilih Legislatif. Sedangkan untuk memilih

kepala daerah tidak melalui Pemilu langsung. Maka muncul opsi bahwa untuk memilih

kepala daerah masuk ke dalam Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah), yang berarti tidak dipilih

langsung oleh rakyat. Bukan dimasukkan ke dalam Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala

Daerah). Karena asas umum dalam Pemilu (Pemilihan Umum) berarti dipilih langsung oleh

rakyat.

Selain diatur dalam UUD ’45, ketentuan Pilkada tidak langsung juga dikuatkan dalam

Pasal 37 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 37 menyebutkan,

“(1) Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil

Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan.

(2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur

bertanggung jawab kepada Presiden.”

_Pasal 37 UU No. 32 Tahun 2004

Maksud dari Pasal 37 diatas adalah bahwa Gubernur merupakan perpanjangan tangan

dari Pemerintah Pusat di provinsi, dan Gubernur bertanggung jawab kepada Pemerintah

Pusat. Dengan begitu posisi Gubernur sebagai kepala daerah tidak menganut otonomi daerah

secara penuh. Padahal setiap daerah di Indonesia kini menganut otonomi daerah sebagai

bentuk desentralisasi kewenangan dari Pusat ke Daerah. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, yang

dimaksud dengan otonomi daerah adalah :

“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat ............”

_Pasal 1 (5) UU No. 32 Tahun 2004

Sekretariat :

Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125

Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]

Cp : Ali 082227015200

“Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah

kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan

dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

_Pasal 1 (7) UU No. 32 Tahun 2004

Jika dicermati dari pasal diatas, maka Gubernur dalam Pasal 37 diatas maka secara

otomatis posisi provinsi juga bukan hanya berstatus sebagai daerah otonom saja tetapi juga

merupakan wilayah kerja gubernur sebagai wakil pemerintah. Ini mengartikan Gubernur

tidak menganut konsep otonomi daerah secara penuh, karena Gubernur diberikan

kewenangan untuk mengurus daerah sendiri ditambah dengan perpanjangan tangan dari

Pemerintah Pusat, karenanya Gubernur bertanggung jawab bertanggung jawab kepada

Presiden, bukan kepada Rakyat provinsi yang memilihnya. Adapun konsep Gubernur di

provinsi lebih kepada konsep dekonsentrasi daripada desentralisasi.

“Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah

kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal

di wilayah tertentu.”

_Pasal 1 (8) UU No. 32 Tahun 2004

Gubernur merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat di provinsi,

sehingga diberikan pelimpahan kewenangan. Pelimpahan kewenangan mengartikan

kewenangan yang dibagi dari Pemerintah Pusat untuk dikerjakan oleh Gubernur di

wilayahnya. Konsepsi ini mengartikan bahwa Gubernur lebih banyak menganut konsep

dekonsentrasi ketimbang desentralisasi.

“Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil

Pemerintah.”

_Pasal 10 (5b) UU No. 32 Tahun 2004

Pelimpahan kewenangan diperkuat di Pasal 10 (5b) bahwa pelimpahan kewenangan adalah

pelimpahan sebagian urusan Pemerintah Pusat kepada Gubernur.

Berbeda dengan desentralisasi yang dalam pasal diatas diartikan sebagai penyerahan

kewenangan. Penyerahan kewenangan adalah kewenangan yang diberikan secara penuh

untuk mengatur sendiri wilayahnya tanpa ada intervensi dari pusat. Penyerahan kewenangan

berarti kewenangan yang dipisah, bukan dibagi, berarti desentralisasi memberikan

Sekretariat :

Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125

Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]

Cp : Ali 082227015200

kewenangan penuh untuk mengurus sendiri wilayahnya tanpa ada pelimpahan sebagian

urusan dari pusat untuk dikerjakan di daerah.

Naskah Akademik hlm. 4 juga menyebutkan, dalam khasanah akademik posisi

Provinsi dapat dikategorikan sebagai “Unit Antara” pemerintahan. Unit Antara adalah posisi

tengah diantara Pemerintah Pusat dan “Unit Dasar”. Unit Dasar adalah Kabupaten/Kota

yang merupakan jejang pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat. Adalah hal yang

wajar menurut pengaju RUU ini jika Kabupaten/Kota dipilih langsung oleh rakyat, karena

memang paling dekat dengan masyarakat. Setiap kebijakannya juga langsung dirasakan oleh

masyarakat. Karena kedekatan ini Kabupaten/Kota tetap dipilih oleh rakyat. Kedekatan ini

yang menjadikan pemerintahan Kabupaten/Kota diharapkan paling responsif, akuntabel,

efisien dan efektif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Lain hal dengan Gubernur di wilayah provinsi, Unit Antara hanya bertugas

mengordinasikan Kabupaten/Kota tanpa ada pelimpahan sebagian tugas kepada pemerintahan

Kabupaten/Kota. Unit Antara juga mendapat pelimpahan tugas dari Pemerintah Pusat untuk

dikerjakan di wilayahnya. Sehingga setiap kebijakan yang dieksekusi Gubernur tidak

dirasakan oleh lapisan masyarakat dasar secara langsung, berbeda dengan pemerintahan

Kabupaten/Kota yang merupakan Unit Dasar. Perbedaan tekanan tingkat elektorasi yang

berbeda dengan pemerintahan Kabupaten/Kota menjadikan Gubernur tak masalah jika dipilih

dengan metode yang berbeda.

Kedua, menyoal keberadaan dan pemilihan wakil kepala daerah, seperti dijelaskan

diatas, UUD ’45 tidak mengatur jabatan wakil kepala daerah,

“Gubernur, Bupati, dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah

daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.”

_Pasal 18 (4) UUD ‘45

Dalam UUD ’45 yang merupakan hierarki peraturan perundangan tertinggi tidak

menyantumkan jabatan wakil kepala daerah satu paket dengan jabatan Gubernur, Bupati, dan

Walikota sebagai kepala daerah. Berbeda dengan jabatan Wakil Presiden yang diatur secara

jelas di UUD ’45.

“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara

langsung oleh rakyat.”

Sekretariat :

Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125

Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]

Cp : Ali 082227015200

_Pasal 6A UUD ‘45

Jabatan Wakil Presiden secara jelas diatur dalam UUD ’45, namun tidak halnya

dengan jabatan wakil kepala daerah. Dalam pasal 18 (4) tidak menyantumkan jabatan wakil

Gubernur, wakil Bupati, dan wakil Walikota. Bahkan jabatan Menteri, Duta, dan Konsul juga

diperjelas di UUD ’45, tidak dengan jabatan wakil kepala daerah. Maka dengan ini jabatan

wakil kepala daerah dipertanyakan.

Alasan lain karena pemerintahan daerah Indonesia menganut pola Strong Mayor

System, Strong Mayor System adalah diberikannya kewenangan kuat kepada mayor atau

kepala daerah. Jika berkiblat pada pegalaman negara lain yang melaksanakan Strong Mayor

System, misalnya kota Virginia di AS, jabatan politik di Kabupaten/Kota hanyalah jabatan

mayor atau Walikota tanpa didampingi oleh wakil Walikota. Di hlm. 6 Naskah Akademik

juga disebutkan dalam pelaksanaan tugasnya mayor dibantu oleh perangkat administratif

dibawah pimpinan petugas (officer) yang dikenal dengan istilah chief of administrative

officer.Sehingga jabatan wakil kepala daerah jika berkiblat pada negara lain yang

menggunakan pola yang sama dengan pemerintahan daerah di Indonesia adalah tidak ada.

Gambaran ringkas mengenai Strong Mayor System adalah mayor atau kepala daerah

memiliki kewenangan yang sangat kuat, bahkan jauh diatas wakil kepala daerah. Dijelaskan

dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008.

“Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang: (a) memimpin

penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang

ditetapkan bersama DPRD; (b) mengajukan rancangan Perda; (c)

menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; (d)

menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD

untuk dibahas dan ditetapkan bersama; (e) mengupayakan terlaksananya

kewajiban daerah; (f) mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan,

dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan; dan (g) melaksanakan tugas dan wewenang

lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

_Pasal 25 UU No. 32 Tahun 2004

Sedangkan kewenangan wakil kepala daerah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2008 ;

Sekretariat :

Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125

Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]

Cp : Ali 082227015200

“Wakil kepala daerah mempunyai tugas: (a) membantu kepala daerah dalam

menyelenggarakan pemerintahan daerah; (b) membantu kepala daerah dalam

mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti

laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan,

melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan

pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup; (c)

memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan

kota bagi wakil kepala daerah provinsi; (d) memantau dan mengevaluasi

penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau

desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota; (e) memberikan saran dan

pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan

pemerintahan daerah; (f) melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan

lainnya yang diberikan oleh kepala daerah; dan (g) melaksanakan tugas dan

wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.”

_Pasal 26 UU No. 12 Tahun 2008

Posisi kepala daerah atau mayor memiliki kewenangan besar dibandinkan dengan

posisi wakil kepala daerah. Sehingga menghasilkan subordiasi antara kepala daerah dengan

wakil kepala daerah. Padahal ketika sama-sama mencalonkan sebagai calon kepala daerah,

keduanya memiliki political appointee atau jabatan politik yang sama kuat. Calon kepala

daerah jika terpilih tidak akan bisa terpilih tanpa didampingi calon wakil kepala daerah.

Begitupun calon wakil kepala daerah jika terpilih karena berdampingan dengan calon kepala

daerah. Saat keduanya terpilih maka itu merupakan prestasi kolektif kumulatif. Keduanya

sama-sama memiliki political appointee yang memperluas basis dukungan politik keduanya,

sama-sama berdimensi politik.

Namun keadaan ini tidak berlaku jika keduanya sudah dilantik. Ketika sudah dilantik

sudah bukan lagi masuk dalam kategori political appointee, melainkan masuk kedalam

kategori administrative appointee atau jabatan administratif. Sejak dilantinya kepala daerah

dan wakil kepala daerah, wakil kepala daerah menjadi pembantu kepala daerah, hubungannya

bersifat subordinat. Wakil kepala daerah yang awalnya memiliki political appointee yang

setara dengan kepala daerah, ketika dilantik posisinya berada dibawah kepala daerah dari segi

kewenangan, protokoler, keuangan, dll. Sehingga seringkali hubungan kepala daerah dan

wakil kepala daerah tidak harmonis. Bahkan dalam beberapa kasus seringkali wakil kepala

daerah menjadi pesaing dari kepala daerah. Sehingga memunculkan pertanyaan apakah

Sekretariat :

Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125

Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]

Cp : Ali 082227015200

jabatan wakil kepala daerah dibutuhkan atau tidak, lalu jika dibutuhkan bagaimana

mekanisme dipilihnya.

Secara akademis, kedua identifikasi masalah tersebut sudah memiliki landasan, dan

secara umum gambaran diatas adalah alasan akademis yang mendasari mengapa RUU

Pilkada diajukan.

Pandangan Mahasiswa terhadap RUU Pilkada

Menanggapi sidang paripurna dan ketok palu DPR RI terhadap RUU Pilkada pada

tanggal 25 September 2014, mahasiswa turut mengawal keberjalanan RUU ini sebelum

disahkan. Apakah suatu kemunduran demokrasi atau memang sah secara hukum. Mahasiswa

kembali mengambil gilirannya sebagai kontrol pemerintah. Mahasiswa juga melakukan

kajian kritis terhadap RUU Pilkada, baik dari segi hukum dan kebermanfaatannya.

Dalam Pasal 18 (4) UUD ’45 yang sudah dijelaskan,

“Gubernur, Bupati, dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah

daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.”

_Pasal 18 (4) UUD ‘45

Definisi dipilih secara demokratis di pasal tersebut bisa diartikan dua opsi; dipilih

secara langsung dan dipilih secara tidak langsung. Karena keduanya masuk kedalam definisi

demokratis, sama-sama dengan mekanisme demokrasi baik demokrasi langsung atau tidak

demokrasi langsung atau perwakilan. Untuk kasus kepala daerah, seperti halnya pemilihan

Presiden dan Wakil Presiden dan pemilihan legislatif, ada dua rezim pemilihan. Pertama

Pemilu (Pemilihan Umum) yang berarti dipilih langsung oleh rakyat, kedua pemilihan lewat

perwakilan. Dalam kasus kepala daerah, pemilihan demokratis memunculkan opsi ;

Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah) dan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah).

Asas umum dalam Pemilukada adalah dipilih oleh rakyat secara langsung, sedangkan

Pilkada tidak menyertakan asas umum dalam pemilihannya, sehingga Pilkada dilakukan

dengan mekanisme perwakilan, yaitu dipilih oleh DPRD Provinsi untuk memilih Gubernur.

Baik Pemilukada atau Pilkada sama-sama sah secara hukum, sama-sama legitimate jika

dilaksanakan. Dalam UUD ’45 mekanisme pemilihan kepala daerah tidak strict apakah harus

dilakukan dengan pemilihan langsung atau pemilihan tidak langsung.

Sekretariat :

Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125

Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]

Cp : Ali 082227015200

Ada pendapat yang berkembang kalau pemilihan kepala daerah lebih pantas secara

konstitusi jika dilakukan secara tidak langsung, bukan secara langsung, hal ini didasari pada

penjelasan mengenai pemilihan umum di UUD ’45,

“Pemilihan umum dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden

dan Wakil Presiden, dan DPRD.”

_Pasal 22E UUD ‘45

Dalam UUD ’45 bagian yang mengatur mengenai pemilihan umum tidak

menyebutkan pemilihan kepala daerah masuk ke dalam pemilihan umum, sehingga pemilihan

kepala daerah tidak dilaksanakan secara umum atau dipilih langsung oleh rakyat. Pemilihan

umum dilaksanakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, dan DPRD,

bukan untuk memilih kepala daerah.

Pertama, perlu diingat, pemilihan kepala daerah tidak masuk kedalam kategori

pemilihan umum ini tidak bersifat imperative menurut UUD. Apabila akan diadakan,

pengaturannya tergantung pada UU yang mengaturnya, bukan berarti tidak boleh sama sekali.

Negara dalam perjalanannya sudah mengalami pergantian UU yang mengatur mengenai

Pemerintahan Daerah. Mekanisme pemilihan kepala daerah juga diatur dalam UU

Pemerintahan Daerah. Sejak Reformasi digulirkan, Negara mengatur mekanisme pemilihan

Kepala Daerah pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini mengatur

pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD, tidak dipilih oleh rakyat.

Namun ketentuan ini dibatalkan oleh MK di era Jimly Asshiddiqie yang membuat

amar putusan bahwa Pilkada masuk ke dalam rezim Pemilu, sehingga meskipun di UUD ’45

tidak mengatur Pemilu diselenggarakan untuk memilih Pilkada, namun putusan MK bahwa

Pilkada masuk ke dalam rezim Pemilu dinilai tepat. Indonesia menganut sistem Presidensil

yang melaksanakan dua kali pemilu, untuk memilih Eksekutif dan Legislatif. Karena esensi

Presidensil adalah menguatkan eksekutif, eksekutif dipilih oleh rakyat, karena lebih kuat

secara akseptabilitas. Penerimaan rakyat lebih kuat jika eksekutif dipilih langsung oleh

rakyat.

Sisi positif dilaksanakannya Pemilukada secara langsung adalah, (1) rakyat bisa

melakukan kontrol secara terbuka baik kepada penyelenggara Pemilukada dan peserta

Pemilukada. (2) partisipasi publik terbuka luas untuk ikut menyukseskan pesta demokrasi

pemilihan kepala daerah, baik berpartisipasi menjadi relawan, saksi, tim kampanye, dll. (3)

Sekretariat :

Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125

Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]

Cp : Ali 082227015200

sebagai sarana kaderisasi kepemimpinan nasional, dengan dilaksanakannya pemilihan

langsung membuka kesempatan untuk melahirkan pemimpin yang berasal dari rakyat, tidak

lagi menampilkan gaya kememimpinan konvensional yang lahir dari elit DPRD. (4) sebagai

pendidikan politik bagi masyarakat, dengan diadakannya pemilihan langsung masyarakat

akan diberikan pendidikan politik oleh penyelenggara dan peserta pemilu, masyarakat juga

akan timbul rasa tanggung jawabnya dalam memilih pemimpin.

Namun pada era Hamdan Zoelva menjadi ketua MK, amar putusan yang dikeluarkan

adalah bahwa Pilkada bukan termasuk kedalam rezim Pemilu langsung. Pemilihan kepala

daerah provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi, tidak lagi dipilih secara langsung oleh

rakyat. Dengan begini MK sebagai lembaga The sole of judicial intrpreter, satu-satunya

penafsir yudisial seolah terkesan goyah dengan memutuskan putusan yang secara jelas

membatalkan putusan sebelumnya. Putusan MK era Jimly Asshiddiqie dahulu yang

mengatakan bahwa Pilkada masuk kedalam rezim Pemilu berseberangan dengan putusan MK

era Hamdan Zoelva yang memutuskan Pilkada tidak termasuk kedalam rezim Pemilu. Namun

meskipun keputusan MK yang dahulu dan sekarang terlihat goyah, hasilnya tetap bersifat

final dan mengikat.

“Putusan Mahkamah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

putusan pada tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat.”

_Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2014 pasal 39 (4)

Amar putusan MK yang memutuskan bahwa Pilkada tidak masuk kedalam rezim

Pemilu langsung menjadi memiliki dasar yang kuat setelah MK pun mendukung secara

konstitusi. MK sebagai satu-satunya penafsir yudisial tunggal menafsir bahwa Pasal 56 (1)

UU No. 32 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD ’45 dan secara hierarki peraturan

perundangan di UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, UU berada di bawah UUD ’45 dan tidak boleh bertentangan.

“Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: (a) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c) Undang-Undang/Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (d) Peraturan Pemerintah; (e)

Peraturan Presiden; (f) Peraturan Daerah Provinsi; dan (g) Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota.

Sekretariat :

Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125

Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]

Cp : Ali 082227015200

_Pasal 7 (1) UU No. 12 Tahun 2011

Asas yang berlaku pun Lex Superior Derogate Lex Inferior, yaitu peraturan

perundangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai derajat yang lebih

tinggi daripada peraturan perundangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih rendah. UUD

’45 yang merupakan produk MPR merupakan hierarki peraturan perundangan lain dan tidak

boleh ada yang bertentangan dengannya. Jika ada UU yang bertentangan atau buram terhadap

UUD ’45 sudah menjadi kewenangan MK untuk menguji dan memutusnya. Ketika putusan

MK adalah bahwa Pilkada di UU No. 32 Tahun 2004 bukan masuk kedalam rezim Pemilu di

UUD ’45, maka putusan MK tersebut adalah final dan mengikat.

Tindak lanjut dari putusan MK adalah dengan melegitimasi putusan MK tersebut

kedalam UU. MK hanya berwenang untuk memutus apakah UU tersebut bertentangan atau

tidak terhadap UUD. Sedangkan kewenangan diatur atau tidaknya keputusan MK

dikembalikan pada DPR dalam membuat UU. Bertentangan atau tidaknya UU terhadap UUD

’45 adalah keputusan hukum, karena merupakan produk MK. Sedangkan diaturnya hasil

putusan MK kedalam UU adalah keputusan politik, karena merupakan produk DPR. Dengan

begini bisa saja hasil putusan MK tidak dilaksanakan jika DPR berkehendak lain.

Kedua, dalam UUD ’45 tidak menuliskan sistem pemerintahan Indonesia adalah

Presidensil, namun Indonesia masuk kedalam sistem pemerintahan Presidensil bisa dilihat

dari bagaimana konstitusi mengaturnya. Bedanya Presidensil dan Parlementer adalah

bagaimana terletak pada kewenangan eksekutif dan legislatif serta mekanisme memilih

pemimpin. Presidensil berarti penguatan eksekutif, dengan diberikannya kewenangan yang

luas serta dipilih langsung oleh rakyat. Pemiluya pun dilaksanakan dua kali, untuk memilih

eksekutif dan memilih legislatif.

Sedangkan Parlementer berarti penguatan legislatif, dengan diberikannya kewenangan

yang luas serta memilih eksekutif pun menjdi kewenangan Parlemen. Pemilunya

dilaksanakan satu kali hanya untuk memilih legislatif, sedangkan eksekutif dipilih oleh

legislatif, bukan secara langsung oleh rakyat. Jadi bisa disimpulkan jika pemilihan kepala

daerah Provinsi sebagai eksekutif dipilih oleh DPRD, maka terjadi dualisme sistem

pemerintahan Presidensil dan Parlementer. Dengan dilaksanakannya Pilkada Gubernur tidak

langsung sama saja dengan memburamkan Presidensil, menjadi Presidensil setengah hati.

Dalam perjalanan Reformasi, Indonesia sudah mengalami pergantian UU

Pemerintahan Daerah yang didalamnya mengatur tentang mekanisme pemilihan kepala

Sekretariat :

Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125

Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]

Cp : Ali 082227015200

daerah. Dulu ada UU No. 22 Tahun 1999 yang mengatur bahwa pemilihan kepala daerah

dipilih oleh DPRD, bukan dipilih langsung oleh rakyat. Ketika MK era Jimly mengeluarkan

amar putusan kalau Pilkada masuk kedalam rezim Pemilu langsung, dibentuklah UU No. 32

Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Asas UU No. 32 Tahun 2004 adalah Lex

Postorior Derogate Lex Priori, bahwa UU yang berlaku kemudian meniadakan UU

terdahulu sepanjang mengatur hal yang sama. Dengan begini UU No. 22 Tahun 1999

dihapuskan sejak UU No. 32 Tahun 2004 diundangkan, keduanya sama-sama mengatur

Pemerintahan Daerah.

Dalam UU No. 22 Tahun 1999, kepala daerah masih dipilih oleh DPRD, belum

dipilih langsung oleh rakyat.

“DPRD mempunyai tugas dan wewenang: (a) memilih Gubernur/Wakil

Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.”

_Pasal 18 (1a) UU No. 22 Tahun 1999

Lalu MK di era Jimly memutuskan bahwa Pilkada masuk ke dalam rezim Pemilu

langsung, sehingga harus dipilih rakyat. Diundangkannya UU No. 32 Tahun 2004 dan

secara otomatis menghapuskan UU No. 22 Tahun 1999.

“Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon

yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil.”

_Pasal 56 (1) UU No. 32 Tahun 2004

Perjalanan UU No. 32 Tahun 2004 mengalami banyak hal yang harus disempurnakan,

sehingga dibentuknya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ada beberapa hal yang dirubah di UU No. 12

Tahun 2012, misalnya tentang kewenangan wakil kepala daerah, pengisian kekosongan

jabatan wakil kepala daerah, calon kepala daerah independen, dll. misalnya :

“Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah: (a)

pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai

politik. (b) pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah

orang.”

_Pasal 59 (1) UU No. 12 Tahun 2008

Sekretariat :

Griya Satria Indah Sumampir, Jl. Lapis Lazuli Blok L No. 8 Purwokerto Utara 53125

Webblog : kammithoriqbinziyad.blogspot.com , Email : [email protected]

Cp : Ali 082227015200

Jika RUU Pilkada disahkan maka sama saja dengan menghapuskan calon kepala daerah

independen yang diatur di UU sebelumnya.

Maka dengan dua pandangan diatas cukup rasanya jika mahasiswa membuat sikap menolak

terhadap RUU Pilkada yang tanggal 25 September 2014 akan di ketok palu di DPR.

Kesimpulan

1. Mahasiswa menolak dilaksanakannya Pilkada tidak langsung, karena tidak diaturnya

Pilkada dilaksanakan melalui Pemilu di UUD ’45 tidak bersifat imperative menurut

UUD ’45. Apabila akan diadakan, pengaturannya tergantung pada UU yang

mengaturnya, bukan berarti tidak boleh sama sekali.

2. Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensil yang melaksanakan dua kali

Pemilu, Pemilu Legislatif dan Pemilu Eksekutif. Karena esensi Presidensil adalah

menguatkan eksekutif. Sedangkan sistem pemerintahan Parlementer adalah

menguatkan Parlemen, eksekutif pun dipilih oleh Parlemen, hanya dilaksanakan satu

kali Pemilu, yaitu untuk memilih Legislatif. Adalah hal aneh jika Pilkada Provinsi

dipilih oleh DPRD, dengan begini terjadi percampuran Presidensil dan Parlementer

dalam Pilkada Provinsi.

Sikap KAMMI Kathoza Unsoed

Dengan penjelasan diatas, sudah jelas bahwa KAMMI Kathoza Unsoed menolak

RUU Pilkada. Indonesia sudah melaksanakan Pemilukada langsung sejak 2005, dan dalam

perjalanannya selalu mengalami perbaikan. Jika memang banyak kekurangan maka yang

harus diperbaiki adalah penyempurnaan sistem, perbaikan penyelenggara Pemilukada, dan

sanksi yang diberikan kepada peserta Pemilukada, bukan dengan mengganti total sistem yang

sudah berjalan.


Recommended