+ All Categories
Home > Documents > UKW Memantapkan Profesionalitas, Wawasan dan Etika Wartawan

UKW Memantapkan Profesionalitas, Wawasan dan Etika Wartawan

Date post: 23-Mar-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
173
UKW Memantapkan Profesionalitas, Wawasan dan Etika Wartawan
Transcript

UKWMemantapkan

Profesionalitas, Wawasan dan Etika Wartawan

Kutipan Pasal 44 ayat 1 dan 2 Undang-UndangRepublik Indonesia tentang HAK CIPTA:

Tentang Sanksi Pelanggaran Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang HAK CIPTA, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 jo. Undang-Undang No. 12 Tahun 1997, bahwa:

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau mem-perbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

UKWMemantapkan

Profesionalitas, Wawasan dan Etika Wartawan

Penyunting

Usman Yatim

UKW Memantapkan Profesionalitas, Wawasan dan Etika wartawan

Penyunting: Usman YatimISBN: 978-602-7936-04-1

Cetakan I: 2014Disain cover: Apat Supriyono ([email protected])

Diterbitkan oleh: Penerbit RMBOOKSPT. Wahana Semesta IntermediaAnggota IKAPIGraha Pena Jakarta, Lt.1Jln. Kebayoran Lama No.12 Jakarta Selatan 12210Telp. 021-53699507 (Hunting), Fax. 021-53671716

Bekerjasama dengan: Panitia Hari Pers Nasional (HPN) 2014Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat

Dicetak Oleh :PT. Semesta Rakyat Merdeka

Hak cipta dilindungi undang-undangAll Rights Reserved

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Daftar Isi

Sambutan Ketua Umum PWI Pusat ix

Sambutan Ketua Panitia HPN 2014 xiii

Pengantar Editor: UKW Memantapkan Profesionalitas, Wawasan dan Etika Wartawan xxx

Bagian IPENGALAMAN MENGIKUTI UKW

Sisca Oktri Santi (Yeyen)UKW: Dari ‘Bamanuang Surang’ Sampai Panitia yang Simpatik 1

Rizal Rudi SuryaSeru dan Menegangkan tapi Puas 6

Nurkarim Nehe,SE,MSPPerlu Berulang Kali Ikut UKW 9

Zul Anwar Ali MarbunUKW Ciptakan Wartawan Profesional 12

Doddi IrawanUKW untuk Uji Nyali 20

Syapi’i SyarkawiUKW Jembatan Menuju Kemajuan 22

Izwan SholiminDag Dig Dug Saat Ikut UKW 26

HerlinaUKW Mengukur Tingkat Kompetensi Wartawan 28

Saibansah DardaniSpirit Kompetensi Wartawan Kepri 31

B Richard H NainggolanSenior pun Harus Disegarkan 34

Dedy SuwadhaInsyaallah Dapat Tunjangan 37

Herianto SHUntung Ada Selamat 42

Eddy SupriatnaSering Dilakukan, Sulit Disebutkan 46

James TobingHonor Penguji Harus Memadai 49

Sakti Sawung Umbaran UKW Memang Harus Diikuti 52

Sihono HTUKW Mematangkan Profesionalisme Wartawan 55

Dion DB PutraKegalauan Robertus Prasetiyo 58

Ursula Putri PontoUKW Menentukan Kelayakan Wartawan 63

Sabaruddin T PauluhSantai aja Bung Jack…! 65

Bagian IIMENGEMBANGKAN KUALITAS UKW

Hermansyah, SEJaga Citra PWI, Tegakkan Wibawa Lembaga Penguji UKW 71

Drs Muhammad SyahrirMenjadi Penguji SKW Suatu Kehormatan 75

Dedi Sahputra Jaga Wibawa dan Marwah Lembaga Penguji 80 Gungde AriwangsaMengawal Profesionalisme Wartawan dengan UKW 85

Bob IskandarUKW Suatu Realita Profesionalitas Wartawan Indonesia 88

Rita Sri HastutiMenjadi Wartawan yang Membanggakan 91

Theo Yusuf Ms SH MH UKW Peningkatan Kualitas Profesi yang Terukur 102

Sihono HT Menentukan Kompetensi Wartawan 99

Hj Lili Irianti Mala SHPenguji UKW Juga Harus Kompeten 102

Leo Dapot SiahaanMenjadi Seorang Penguji SKW 106

Drs. Taufan Pamungkas, M.SiBila Aku Jadi Penguji Kompetensi Wartawan 112

Bagian IIIUKW MEMBANGUN PERS

Khairul Jasmi SPd MMWartawan Perlu Menguasai Marketing 119

Syamsul HudaUKW, Profesionalisme dan Kesejahteraan Wartawan 125

Dadang Hermawan Menuju Industri Pers yang Kondusif 130

HudonoStandar Kompetensi Wartawan Tak Bisa Ditawar 134

Ainur RohimMenjaga Independensi Wartawan 137

Ir Suwardi Thahir MSiUKW Mengangkat Citra dan Profesionalitas Wartawan 146

ix

“Menjaga Semangat Berdemokrasi dan Kebebasan Berekspresi”

Assalamualaikum Wr. Wb.Syukur Alhamdulillah kita panjatkan ke hadirat Ilahi bahwa kita

masih dianugerahi begitu banyak nikmat, terutama nikmat kesehatan dan kemampuan berpikir jernih, agar selalu mampu melahirkan karya-karya yang bermanfaat baik bagi masyarakat pers pada khususnya maupun bagi bangsa dan negara ini pada umumnya.

Masyarakat seringkali menempatkan pers dengan sejumlah sebutan, salah satunya sebagai pilar keempat demokrasi setelah lembaga yudikatif, legislatif dan eksekutif. Sebutan semacam ini merupakan harapan

H. Margiono

SambutanPenanggung Jawab Hari Pers Nasional 2014

x

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

dari masyarakat, dan sekaligus menjadi tantangan para wartawan dan pengelola perusahaan pers. Oleh karena, masyarakat semakin kritis dan cerdas, sehingga mereka juga menuntut wartawan yang sadar akan profesi, beretika jurnalistik, terampil dalam menyikapi kemajuan zaman dan membela kepentingan publik.

Tahun ini pers nasional kembali harus membuktikan harapan masyarakatnya, karena Indonesia memasuki kelanjutan babak berdemokrasi melalui pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum presiden. Apalagi, masyarakat semakin memiliki akses informasi dari berbagai sumber melalui produk kemajuan teknologi informasi berbasis internet. Pers bukan lagi menjadi satu-satunya sumber informasi.

Sekalipun demikian, tidak dapat dipungkiri, pers juga memanfaatkan internet dan informasinya tetap dipercaya masyarakat karena pers memiliki kode etik jurnalistik yang sudah menjadi hukum besi, yakni “akan patah kepercayaan masyarakat bilamana pers melanggar kode etiknya.” Hal semacam ini sejalan pula dengan kenyataan berkaitan tingkat kepercayaan masyarakat berinformasi di internet. “If you lie, you die.” ( Jika Anda berbohong, maka Anda mati). Inilah realitas dalam keterbukaan informasi.

Menghadapi realitas inilah pers, terutama wartawan, semakin perlu meningkatkan kompetensi dengan senantiasa memperkaya wawasannya. Salah satunya wartawan menulis buku. Buku adalah mahkota bagi wartawan, di tengah kesibukan berkarya jurnalistik di perusahaan persnya masing-masing.

Dalam kaitan inilah, kita patut bersyukur atas terbitnya buku-buku karya wartawan dan tokoh pers nasional yang diterbitkan dalam peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2014. Hal ini telah dimulai sejak Hari Pers Nasional (HPN) 2011 di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Selama ini buku-buku yang ditulis oleh kalangan pers tidak wajib murni ilmiah-akademis sebagaimana banyak dilakukan oleh pakar di perguruan tinggi. Namun demikian, para wartawan atau tokoh pers patut pula kita yakini bahwa gagasan yang dituangkan dalam bentuk artikel dan telaah kritis bergaya jurnalistik layak bersanding dengan karya ilmiah populer.

xi

Saya secara khusus menghaturkan banyak terima kasih kepada para wartawan dan tokoh pers nasional yang telah meluangkan waktu dan berbesar hati menyumbangkan buah pikirnya, sehingga menjadi tradisi penerbitan buku-buku ini.

Berbagai tulisan berkaitan dengan jurnalistik, kinerja pers, perusahaan multimedia massa, etika dan hukum pers, serta tema-tema lain yang disajikan oleh wartawan dan tokoh pers ini layak menjadi referensi melek media (media literacy) guna menambah wawasan para pemangku kepentingan pers nasional yang bersemboyan: “Kemerdekaan Pers dari dan untuk Rakyat.” Dan, tahun ini Hari Pers Nasional (HPN) yang puncak acaranya berlangsung di Bengkulu, Bumi Bunga Rafflesia, berfokus mengenai “Pers Sehat, Rakyat Berdaulat.”

Bengkulu memiliki sejarah panjang bagi masyarakat dunia dengan kehadiran Sir Thomas Stamford Raffles selaku Gubernur Bengkulu untuk kepentingan Kerajaan Inggris pada 1818 hingga 1824. Bersama pakar botani Dr. Arnoldi, Raffles menjumpai bunga berukuran besar yang kemudian dikenal dengan nama Rafflesia Arnoldi.

Sejarah nasional juga mencatat posisi strategis Bengkulu, karena salah seorang bapak bangsa dan proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, Soekarno, diasingkan pemerintah penjajah Belanda pada 1938 hingga 1942. Di Bengkulu inilah, Soekarno mematangkan sejumlah gagasannya, termasuk untuk mewujudkan kemerdekaan negerinya, Indonesia. Tidak sedikit catatan penting ditorehkan Soekarno mengenai cita-cita bangsanya untuk merdeka di Bengkulu.

InsyaaAllah gagasan Soekarno demi bangsanya juga dapat memberikan semangat insan pers nasional melalui penerbitan buku-buku ini menuju kebaikan bagi kehidupan berdemokrasi dan menjaga kebebasan berekspresi maupun kebebasan pers seluas-luasnya untuk kepentingan rakyat.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, 9 Februari 2014

xii

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

xiii

Bagi wartawan, buku adalah monumen. Dengan kata lain, puncak karya seorang wartawan adalah menulis buku. Tidak heran bila banyak wartawan yang telah merasa cukup lama di lapangan,

kemudian menulis buku.Sebuah pepatah Cina yang sering disebut-sebut oleh para motivator

penulisan, mengatakan, “seburam-buramnya catatan, lebih baik daripada lupa”. Dengan menuliskan pengalaman-pengalamannya—baik yang sudah pernah diungkap di media maupun yang belum—dalam sebuah buku, maka jejak-jejak pemikiran sang penulis terekam di dalamnya. Itulah yang diinginkan seorang wartawan. Segala kegelisahannya, pemikirannya yang kritis—yang mungkin tak semua bisa diungkapkan di media massa—dapat dikeluarkannya di dalam buku.

Rita Sri Hastuti

SambutanKetua Panitia Pelaksana HPN 2014

Bagi wartawan, menulis adalah segalanya. Menulis tidak saja membuat dirinya “diakui”, tetapi lebih dari itu–menulis adalah sesuatu yang membahagiakan. Namun, lebih dari itu, buku yang ditulis oleh wartawan sangat diharapkan dapat ikut mencerdaskan bangsa, karena isinya yang berdasarkan pengamatan panjang dapat memperluas cakrawala pemikiran pembacanya.

Itulah sebabnya beberapa tahun terakhir, Hari Pers Nasional (HPN)—yang diselenggarakan setiap tahun pada tanggal 9 Februari bertepatan dengan Hari Ulang Tahun PWI dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden RI No. 5 tahun 1985—ditandai dengan penerbitan buku-buku yang ditulis oleh wartawan Indonesia.

Sesuai dengan yang diamanatkan UU Pers Nomor 40/1999, Pasal 3 bahwa fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Meski tidak melalui media cetak atau elektronik, wartawan yang berkompetensi tinggi akan mempunyai pikiran yang sama dalam memilih topik dan bahasa dalam buku yang ia terbitkan. Artinya, melalui buku, dia juga memberikan informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

Melihat semakin bertambahnya jumlah buku yang diterbitkan dalam rangka HPN, tentu sangat menggembirakan. Hal itu menandakan bahwa memang semakin banyak wartawan Indonesia yang tidak saja ingin merekam pengalamannya, tetapi juga berbagi pengalaman dan pemikiran sebagai bagian ikut mencerdaskan bangsa.

Dengan demikian, tema HPN 2014, “Pers Sehat Rakyat Berdaulat”, tak semata-mata diperlihatkan melalui media massa, tetapi juga melalui buku-buku yang ditulis oleh wartawan Indonesia.

Selamat membaca, semoga bermanfaat bagi Anda.

Jakarta, 9 Februari 2014

xv

Pengantar Editor

UKW Memantapkan Profesionalitas, Wawasan dan Etika Wartawan

Margiono terpilih kembali sebagai Ketua Umum PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat Periode 2013–2018. Susunan Pengurus Pusat PWI sudah pula terbentuk dan untuk pertama

kali diumumkan di hadapan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, 23 Oktober 2013 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Margiono memimpin PWI untuk periode kedua setelah peserta Kongres PWI ke-23, 19–20 September 2013, di Banjarmasin memilihnya secara aklamasi. Margiono didampingi Ilham Bintang sebagai Ketua Dewan Kehormatan dan Tarman Azzam sebagai Ketua Dewan Penasihat.

Hal baru dalam struktur PWI Pusat kali ini adalah keberadaan Komisi Kompetensi dan Komisi Pendidikan yang posisinya dinilai sangat penting dan strategis. Selain itu, dua direktur program yang baru dihadirkan pula, yaitu Direktur UKW (Uji Kompetensi Wartawan) dan Direktur SJI (Sekolah Jurnalisme Indonesia). Mudah ditebak, Komisi Kompetensi tentu berkaitan dengan Direktur UKW dan Komisi Pendidikan dengan Direktur SJI. Keberadaan komisi dan direktur baru tersebut sudah jelas menunjukkan arah kebijakan PWI yang mengedepankan pendidikan sebagai upaya memantapkan sosok wartawan Indonesia yang profesional, berwawasan dan beretika.

Margiono tatkala di depan Kepala Negara menyatakan kembali tentang komitmen program PWI yang menekankan kepada pendidikan. Istilah dia, jika ada 10 program PWI, maka program 1 sampai 8 adalah berkenaan dengan pendidikan, sedangkan selebihnya adalah dan lain-lain. Bila ditanya lagi apa program yang lain-lain, jawabannya juga tidak

xvi

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

lepas dengan pendidikan. Biarpun, nama program tidak dibumbui kata pendidikan, tetap saja memiliki semangat pendidikan. Itulah komitmen yang paling digelorakan oleh Margiono.

Berpijak kepada komitmen itu, UKW tidak lepas dari semangat pendidikan. Istilah pendidikan sendiri secara sederhana sering juga dipahami sebagai pembelajaran. Bicara soal pembelajaran maka pada hakikatnya adalah perubahan. Bila disebut PWI berkomitmen pada pendidikan maka arahnya adalah perubahan, pembaruan. Masa jabatan pertama kepemimpinan Margiono di PWI sudah menunjukkan adanya perubahan tersebut, namun pada periode kedua ini, perubahan itu akan terus dilanjutkan dan dimantapkan. Salah satunya memunculkan Komisi Kompetensi dan Direktur UKW.

Program UKW mulai dijalankan sekitar dua tahun terakhir masa kepengurusan PWI Pusat 2008-2013. UKW merupakan program nasional dari masyarakat pers Indonesia, dicanangkan saat Hari Pers Nasional (HPN) 2010 yang dikenal dengan deklarasi Piagam Palembang. Sebagai program nasional, UKW dilaksanakan menggunakan dasar hukum, Peraturan Dewan Pers Nomor: 1/Peraturan - DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan (SKW). PWI sebagai organisasi profesi wartawan yang tertua dengan jumlah anggota terbesar, merasa berkewajiban melaksanakan UKW. Hal ini sesuai dengan tujuan PWI, antara lain mewujudkan kehidupan pers nasional yang merdeka, profesional, bermartabat, dan beradab.

Buku ini yang diberi judul: “UKW Memantapkan Profesionalitas, Wawasan dan Etika Wartawan” diterbitkan dalam rangka menyambut Hari Pers Nasional (HPN) 2014 yang puncaknya diperingati di Bengkulu, 9 Februari 2014. Buku ini berisikan tulisan para wartawan anggota PWI yang memaparkan pengalaman mengikuti UKW, termasuk sejumlah wartawan senior utusan PWI Provinsi yang mengikuti pelatihan calon penguji UKW. Mereka menyampaikan berbagai kesan dan sekaligus pemahaman tentang UKW. Pemahaman itu antara lain, UKW sebagai alat ukur atau menilai kelayakan seorang wartawan, apakah kompeten dan profesional. Semua mereka yang menulis dalam buku ini sepakat tentang pentingnya UKW, meski semula banyak pula masih penuh tanda tanya dan ragu-ragu. Beberapa di antaranya, mempertanyakan dampak dan tindak lanjut setelah mengikuti UKW, termasuk terkait pengaruhnya pada peningkatan kesejahteraan wartawan.

Pengakuan bahwa UKW penting dan perlu memang wajar

xvii

mengingat salah satu untuk menilai kelayakan suatu profesi adalah tentang adanya sertifikasi kompetensi, sebagaimana profesi lain, seperti dokter, notaris, pengacara, guru dan dosen. Bahkan dalam era globalisasi dan pasar bebas saat ini, hampir semua jenis pekerjaan yang menekankan profesionalisme dituntut memiliki sertifikasi kompetensi. Tentu pemahaman kompeten dan profesional meski memiliki hakikat sama, tetap saja punya kekhasan masing-masing. Paling tidak, sertifikasi kompetensi wartawan Indonesia sekarang ini belum sepenuhnya dapat dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan. Kompetensi wartawan kini baru sebatas penekanan bersifat idealisme profesi yang mengacu pada sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. Keterkaitan atau pengaruh tingkat kompetesi dengan kesejahteraan tentunya nanti tetap harus ada, dan ini perlu ada upaya yang harus dilakukan.

Bagaimana pun sebagai proses awal, kompetensi dengan penekanan pada sikap (awareness), pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skill) atau dalam materi UKW dipopulerkan dengan SPK, harus dapat dijadikan landasan profesionalisme wartawan. Dewan Pers telah membakukan SPK dalam bentuk segitiga dengan menempatkan sikap pada pucuk, pengetahuan bagian tengah, dan ketrampilan pada landasan (bawah). Sebagai ruang, bangunan segitiga ketrampilan menempati ruang lebih luas, besar dan banyak yang dipahami bahwa kompetensi awal yang utama dan harus terus menerus dibangun dan dikembangkan adalah ketrampilan.

Wujud kompetensi wartawan berawal dilihat dari ketrampilannya, misal dalam kualitas menulis berita dari sudut pandang bahasa. Sedangkan kedalaman isi berita dilihat dari wawasan yang bermuatan pengetahuan, serta nilai-nilai (hukum dan etika) yang dimiliki wartawan. Hal-hal tersebut banyak diutarakan para penulis dalam buku ini. Tegasnya, seorang wartawan dapat disebut kompeten dan profesional manakala setiap saat dapat menunjukkan produk, karya jurnalistiknya. Hal itulah mengapa almarhum Rosihan Anwar tidak ada yang meragukan kompetensi dan profesionalitas kewartawanannya karena beliau sampai akhir hayat terus menulis.

Membaca buku ini, buat para wartawan yang sudah mengikuti UKW tentulah akan menyegarkan kembali pemahaman tentang UKW yang berperan memantapkan jati diri sebagai wartawan profesional, berwawasan, dan beretika. Mereka yang telah ikut UKW dapat mengingat, mendalami lagi berbagai materi UKW yang pernah dihadapi. Sedang mereka yang belum diharapkan dapat merasa tergugah

xviii

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

dan menjadikannya sebagai salah satu rujukan bila mengikuti UKW. Begitu pula, para wartawan senior, bila berkeinginan dan telah menjadi penguji, buku ini pun cukup bermanfaat untuk dibaca. Berbagai kritikan dan masukan dalam penyelenggaraan UKW, termasuk terhadap penguji patut juga dicermati dalam buku ini.

UKW adalah bagian dari proses pendidikan. Selama ini, dunia pendidikan banyak mengenal adanya kegiatan “input –proses-output”. UKW dapat dilihat sebagai alat untuk melihat output pendidikan. Dapat juga diartikan, UKW haruslah selalu dipahami sebagai bagian dari kegiatan pendidikan. Selain juga buat PWI, UKW sangat terkait dengan penataan dan pengembangan organisasi. Keanggotaan PWI ke depan harus mengacu kepada sertifikasi wartawan. Mereka yang terlibat dalam UKW harus menyadari tentang makna dan semangat pendidikan, terlebih PWI memang telah berkomitmen membangun profesionalitas, wawasan dan etika wartawan lewat pendidikan.

Lagi-lagi, pendidikan, pembelajaran yang dimaksud adalah perubahan. Biasanya, awal suatu perubahan bersifat positif selalu tidak mengenakkan, mengundang rasa sakit, paling tidak secara psikis. Perubahan sering memunculkan penolakan sikap dan prilaku status quo. Kondisi sama juga terjadi dalam kehidupan sosial, politik dan kemasyarakatan, termasuk dalam kehidupan berorganisasi, dunia usaha dan lainnya. Pengembangan program UKW ke depan, bila dilandaskan sesuai komitmen PWI saat ini, yaitu pada semangat pendidikan, haruslah tolok ukurnya dicermati dari perubahan yang terjadi. Manakala perubahan signifikan tidak terlihat, kita dapat menilai dan menyebut bahwa kita gagal dan mengingkari komitmen.

Lantas apa yang akan dilakukan Direktur UKW dalam menjalankan programnya hingga 2018? Jawabannya sederhana: melaksanakan program yang telah dikomitmenkan Ketua Umum PWI Pusat. Landasan utama geraknya: Peraturan Dasar (PD) dan Peraturan Rumah Tangga (PRT) PWI, program yang telah ditetapkan Kongres, dan arah kebijakan Ketua Umum PWI Pusat. Tugas-tugas pelaksanaan program itu berorientasi pada perubahan yang mengedepankan keterbukaan, kejujuran, dan beretika.

Pasal 16 Peraturan Rumah Tangga (PRT) PWI menyebutkan, salah satu tugas, wewenang, dan tanggung jawab Ketua Bidang Organisasi adalah “Mengelola Uji Kompetensi Wartawan” (ayat 4 butir c). Sedangkan Pasal 17 ayat 1) PRT menyatakan, “Ketua Departemen dan direktur program di bawah koordinasi Ketua Umum.” Adapun ayat

xix

3) PRT mengatakan, Tugas, wewenang,dan tanggung jawab Direktur Program: a. Menjalankan tugas khusus yang dilimpahkan oleh ketua umum; dan b. Bekerjasama dengan pihak-pihak terkait sesuai dengan bidang tugasnya. Tentu saja, Direktur UKW dapat memahami tugas, wewenang dan tanggung jawabnya, yaitu melaksanakan program UKW dalam upaya memantapkan profesionalitas, wawasan dan etika wartawan. Semoga!

Jakarta, 9 Februari 2014

Usman Yatim

(Direktur UKW PWI Pusat)

Jajaran Pengurus PWI Pusat 2013 – 2018 berpose bersama setelah rapat peleno pertama, 31 Oktober 2013. (ist)

BAB I

PENGALAMAN MENGIKUTI UKW

1

Pengalaman Mengikuti UKW

“Jangan sampai telat ya! Jam delapan acara sudah dimulai. Lima belas menit telat, didiskualifikasi. Wartawan harus disiplin. Jangan lupa bawa laptop!”

Kalimat panitia penerima pendaftaran itu terus terngiang. Telat sedikit diskualifikasi, maka bisa hilang semua harapan untuk jadi wartawan bersertifikat. Bagaimana kalau ternyata ban bocor di jalan dan sepagi itu belum ada tukang tambal ban yang buka? Bagaimana kalau tiba-tiba sakit perut mencret-mencret. Dan, bagaimana-bagaimana yang lain jadi terpikirkan. Membuat saraf tegang jelang hari ‘H’, terutama mengingat kata ‘diskualifikasi’ tadi.

Sisca Oktri Santi (Yeyen)Wartawati Harian Umum Koran Padang/Peserta UKW Muda PWI Sumbar

UKW: Dari ‘Bamanuang Surang’ Sampai Panitia

yang Simpatik

2

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Begitulah ketegangan yang dirasa jelang mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) di Padang, tepatnya di Hotel Grand Zuri, selama dua hari, Senin-Selasa (18-19 Nopember 2013).

Hari PertamaHari ‘H’ pun tiba. Senin, 18 Nopember 2013, diawali dengan pagi

yang menegangkan. Kehawatiran muncul. Laptop dual core bocor baterainya. Bagaimana kalau ternyata nanti seperempat jam saja laptop itu sudah mati? Adakah colokan yang dekat dengan tempat duduk penulis untuk menancapkan kabel laptop ini?

Pukul setengah tujuh, motor sudah dipanaskan. Tiba di lokasi, syukurlah belum pukul setengah delapan. Rekan-rekan wartawan sudah berdatangan. Mereka ada wartawan yang bertugas di Padang dan ada juga wartawan-wartawan media daerah utusan media masing-masing. Panitia acara bertebaran. Wajah-wajah tegang berseliweran.

Kegiatan diawali dengan pembekalan berupa Safari Jurnalistik, yang merupakan kegiatan pra-UKW, bahan penguat bagi para peserta yang akan menjalani UKW. Safari Jurnalistik diisi para pemateri yang kredibel. Mereka berasal dari PWI pusat dan rekanan PWI, Astra International Tbk. Sosok-sosok pemateri berhasil menggugah para peserta UKW.

Seorang Marah Sakti Siregar, misalnya, yang merupakan Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat dan juga aktif di berbagai media serta pelatihan, mampu memahamkan para peserta bahwa ada perbedaan mendasar penulisan bersifat investigasi dengan penulisan bersifat in depth reporting, yang selama ini kebanyakan dianggap sama oleh penulis berita.

Sertifikasi Kompetensi Wartawan dan Kode Etik Jurnalistik serta materi lainnya membuat para wartawan peserta UKW menjadi paham bagaimana mereka seharusnya menjalani profesi kewartawanan. Materi diberikan Sekjen PWI Pusat, Hendri Ch. Bangun dan anggota Komisi Pendidikan PWI Pusat, Encub Soebekti.

Tak kalah mengesankan adalah berbagi ceritanya Kepala Humas Astra International Tbk Pusat, Yulian Warman. Pria yang diandalkan Astra pusat untuk urusan kehumasan ini ternyata berlatarbelakang wartawan yang sudah menggeluti bidang kewartawanan sejak masa Orde Baru.

Kisah hidup Yulian Warman sempat membakar jiwa penulis, terlebih saat mengetahui dia pernah menolak tawaran pihak tertentu yang ingin menghentikan dia menulis berita terkait pihak tersebut. Kala itu, yang

3

Pengalaman Mengikuti UKW

ditawarkan uang ratusan juta ditambah rumah dan mobil. Dengan idealismenya, gaji yang hanya Rp 1 juta lebih sedikit kala itu dirasa lebih nyaman daripada tawaran kemewahan tersebut.

Safari Jurnalistik kemudian berakhir. Peserta kembali tegang saat panitia mengumumkan ujian sertifikasi dimulai usai pembekalan. Senyum pun hilang dari wajah kebanyakan para peserta.

Ujian DimulaiPanitia UKW yang berasal dari PWI Provinsi Sumatra Barat sigap

membantu peserta yang panik. Panitia berulang kali mengingatkan agar peserta tidak perlu cemas. “Apa yang dicemaskan. Ini kan sudah pekerjaan kita sehari-hari. Percaya diri saja di hadapan penguji,” ujar Pak Yan, salah seorang panitia, kepada penulis. Melalui mike, Heranof, salah seorang calon penguji yang magang sebagai penguji dalam UKW, juga menenangkan peserta dengan suara khas penyiar RRI-nya.

Ujian hari pertama diawali dengan pembukaan UKW, penjelasan teknis UKW, dan pembagian kelompok. Ada tiga kelompok ujian: Utama (empat anggota), Madya (13 anggota), dan Muda (14 anggota). Untuk menguji kelompok ini, ada lima orang penguji yang berasal dari PWI pusat dan tiga orang penguji magang (berstatus calon penguji) dari PWI Prov. Sumbar. Penulis tergabung dalam kelompok Muda dengan Penguji Iskandar Zulkarnain (Lampung Post) dan penguji magang, Heranof Firdaus (RRI Padang).

Kelompok Muda, selain diuji Iskandar Zulkarnain juga ada satu kelompok Muda lainnya yang diuji oleh Usman Yatim dan penguji magang Khairul Jasmi dan Infai. Penulis merupakan peserta termuda. Bang Bus, wartawan Haluan yang bertugas di Pariaman, tak henti mengingatkan agar penulis jangan cemas. Kami, peserta, saling menguatkan. Awal ujian, peserta melakukan simulasi Rapat Redaksi, bergabung dengan kelompok Madya.

Hari Kedua: Ketegangan MemuncakKebanyakan di antara peserta merasa deg-degan saat diminta

menyerahkan 20 nomor ponsel narasumber yang nantinya diacak tim penguji untuk dihubungi. Ini merupakan salah satu materi pengujian terkait dengan materi uji Fasilitas Jejaring.

Satu per satu materi ujian diberikan. Wawancara Tatap Muka, Kebijakan Rubrikasi, Merancang Isi Rubrik, Wawancara Cegat, Menyunting Berita, dan beberapa materi uji lainnya jadi santapan

4

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

peserta. Rekan-rekan wartawan mulai kusut-masai. Pakaian yang tadinya rapi mulai berantakan. Wajah yang tadinya sumringah mulai tampak hilang akal, kalang-kabut dikejar waktu.

Tim Muda diberikan simulasi Jumpa Pers. Konsentrasi tingkat tinggi tercipta. Semua berperan seperti keseharian mereka. Tidak ada yang direkayasa. Spontanitas dan daya kritis dinilai penguji. Setelah itu, peserta menjalani uji materi Wawancara Cegat. Tak membuang waktu, peserta bergegas menjalankannya. Tibalah saatnya colokan laptop menjadi rebutan. Usai melakukan jumpa pers dan wawancara cegat, peserta diberi waktu singkat untuk menulis berita. Mereka yang bocor baterai laptopnya memburu colokan listrik yang sekejap jadi idola. Bersila di lantai pun tak jadi soal, demi bisa berada di dekat colokan listrik. Semua berlomba. Serius, berkonsentrasi, mengetik berita.

Cekatannya panitia dalam membantu peserta sangat dirasakan. Panitia betul-betul membantu dalam hal ini. Printer yang hanya satu dan jadi idola kedua setelah colokan listrik, diakomodir panitia dengan baik untuk mencetak berita para peserta sehingga semua peserta bisa terlayani. Peserta yang tampak ‘bamanuang surang’ didekati panitia dan dihibur agar tidak merasa cemas.

Fasilitas Jejaring adalah materi uji terakhir yang dilalui kelompok Muda. Helaan napas panjang terdengar dari beberapa peserta. Wajah-wajah terlepas dari beban mulai terlihat. Terakhir, tibalah waktu yang dinanti, pengumuman hasil ujian!

Penutupan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI di Padang, Sumatera Barat, 19 November 2013 (Foto Zaki Iskandar)

5

Pengalaman Mengikuti UKW

Jadi MisteriSemua peserta dikumpulkan dalam satu ruangan setelah mereka

berpencar sesuai kelompok dan materi uji yang diikuti. Debaran jantung kembali terasa saat momen penutupan acara. Nuansa kaku dan tegang kemudian bisa dicairkan oleh sikap simpatik para penguji, Marah Sakti Siregar dan Encub Soebekti, misalnya.

Tibalah dibacakan hasil ujian. Peserta yang tegang menanti hasil, dibuat tambah penasaran. Rupanya panitia sangat menjaga kode etik dan sopan santun, menjaga tenggang rasa terhadap peserta yang tidak lulus dalam ujian kali ini, dengan hanya mengumumkan jumlah peserta yang lulus dan tidak lulus. Hasil penilaian bahkan tidak bisa diintervensi siapapun!

Diketahuilah sebanyak 26 peserta lulus pada UKW kali ini. Sisanya lima peserta masih harus menempa lagi kompetensi. Sebagaimana dikatakan Marah Sakti, mereka yang tidak lulus bukan berarti tidak kompeten, namun menunjukkan kompetensi yang masih tertunda. Begitulah! Kami para peserta, hingga acara berakhir, tidak mengetahui siapa rekan-rekan yang lulus ujian, terutama siapa yang belum kompeten, kecuali diri mereka sendiri. Hasil pastinya tentulah baru diketahui hanya dengan penyerahan sertifikat dan kartu (tanda lulus) UKW yang nantinya menurut informasi dari panitia akan dikirim ke kantor redaksi masing-masing.

Bagaimanapun, apa pun hasilnya, penulis tetap sangat bersyukur. Terutama kepada pimpinan redaksi tempat penulis mengabdi, H. Adi Bermassam penulis sangat berterima kasih. Diutusnya penulis mengikuti UKW ini, kompetensi penulis semakin jelas, terutama di bagian mana yang harus diasah lagi. Bila tidak mengikuti UKW ini, tentu penulis saat tersebut belum paham bagaimana sesungguhnya seorang wartawan itu bertugas dalam garis kewartawanannya, menuju jurnalisme profesional. Terima kasih Harian Umum Koran Padang. Melalui Koran Padang penulis bisa mengikuti UKW untuk pertama kalinya, yang manfaatnya dirasa besar dalam upaya penulis meningkatkan kemampuan di bidang jurnalistik. ***

6

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Seorang wartawan yang benar-benar wartawan, mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sesungguhnya tidaklah sulit. Hal yang diujikan dalam UKW merupakan rekonstruksi ulang apa yang dikerjakan sehari-hari. Jadi, kalau benar-benar seorang wartawan, pasti bisa mengerjakan soal yang diberikan penguji.

Lain halnya kalau wartawan ‘jadi-jadian’. Mereka pasti akan kesulitan menyelesaikan soal yang diberikan penguji. Saat ini khususnya setelah era reformasi bergulir, banyak lahir wartawan ‘jadi-jadian’. Dengan tidak adanya keharusan memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), membuat banyak lahir media massa. Ibaratnya seperti ‘cendawan di musim penghujan’.

Rizal Rudi SuryaHarian Analisa, Medan/PWI Cabang Sumatera Utara

Seru dan Menegangkan tapi Puas

7

Pengalaman Mengikuti UKW

Munculnya ratusan bahkan mungkin ribuan media massa dalam berbagai bentuk di negara ini, berbanding lurus dengan lahirnya banyak wartawan. Sayangnya, tidak semua media melakukan seleksi untuk menerima wartawan. Akibatnya banyak wartawan yang tidak memenuhi kualitas. Maka, muncullah mereka yang disebut wartawan ‘jadi-jadian’.

Di samping wartawan ‘jadi-jadian’, bermunculan pula wartawan ‘senior’. ‘Senior’ yang dimaksud di sini, bukan karena lamanya menekuni dunia kewartawanan melainkan karena rambutnya sudah putih ketika terjun ke dunia wartawan. Mereka ini langsung sudah menjadi wartawan ‘senior’ meski jam terbangnya masih sedikit. Bahkan karena ke-senior-an itu ada di antaranya yang langsung menjadi redaktur, redaktur pelaksana bahkan pemimpin redaksi.

Wartawan ‘jadi-jadian’ dan ‘senior’ ini kemudian yang tergagap-gagap ketika menjawab soal dari penguji. Bagaimana tidak tergagap-gagap, misalnya ketika baru satu atau dua tahun menjadi wartawan kemudian menjadi redaktur pelaksana, lantas ikut UKW dengan level Wartawan Utama. Jangankan merancang sebuah liputan investigasi, untuk membuat tajuk rencana saja tidak bisa karena belum pernah dikerjakannya sama sekali. Saya mencermati seseorang yang ‘katanya’ redaktur, namun mengedit berita saja tidak bisa.

Wartawan sebenarnya saja pun tidak mudah untuk lulus UKW. Mengapa tidak mudah? Mengingat waktunya sangat terbatas, membuat banyak yang gagal menyelesaikan soal yang sebenarnya selalu dilakukan sehari-hari. Keadaan ini yang memunculkan kesan UKW menjadi seru dan menegangkan. Seru dan menegangkan karena kita, selain berkejaran dengan waktu yang terbatas juga harus bersaing dengan peserta lain menjadi yang tercepat.

Semakin cepat selesai maka semakin cepat untuk di-print karena printer-nya terbatas. Agar bebas dari antrean kita harus secepatnya selesai untuk kemudian diserahkan kepada penguji dan dinilai. Kalau terlambat selesai maka nantinya akan selalu terlambat karena harus mengantre di mesin printer dan penguji. Sementara yang selesai duluan sudah bisa mengerjakan materi UKW berikutnya.

Namun, ada kepuasan tersendiri apabila usai mengikuti UKW dan kemudian dinyatakan lulus. Kita akan merasa benar-benar menjadi seorang wartawan sesuai dengan tingkat kompetensinya. Kepuasan ini kemudian menimbulkan perasaan ‘rindu’ akan suasana ujian yang menegangkan dan seru itu.

Saya menyarankan sebaiknya kelulusan tetap ditentukan sesuai

8

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

dengan standar yang ditetapkan. Kalau belum layak untuk diluluskan sebaiknya tidak diluluskan! Hal itu karena untuk menjadi wartawan memang harus tetap dapat bekerja di bawah tekanan waktu dan deadline. UKW dapat dijadikan parameter apakah kita memang benar-benar seorang wartawan dengan tingkat standar kompetensi tertentu atau tidak.

Wartawan yang ingin mengikuti UKW sebaiknya mengukur atau melihat diri sendiri terlebih dahulu. Sudah di posisi mana kemampuan kita? Kalau memang kemampuan kita masih pada kategori wartawan muda jangan dipaksakan untuk ‘bertarung’ di level madya atau utama. Sejalan dengan pertambahan waktu kalau mau terus belajar maka tahapan itu pasti akan bisa dicapai. Harus diingat, menjadi wartawan yang benar-benar wartawan pada era kemajuan zaman yang serba canggih ini tidak mudah. Kita harus mampu mengikuti cepatnya perkembangan zaman.

Jadi kata kuncinya, kita harus mau terus belajar dan meningkatkan kemampuan diri. UKW merupakan salah satu parameter yang bisa digunakan untuk mengukur sejauh mana kapasitas diri kita. Tapi tanpa UKW-pun kita harus tetap meningkatkan kualitas diri masing-masing. Ingat, wartawan bekerja untuk masyarakat! Kalau wartawan tidak berkualitas pasti informasi, dan edukasi yang diberikan tidak bisa meningkatkan kecerdasan masyarakat pula. Belajar-belajar dan teruslah meningkatkan kapasitas diri masing-masing.***

9

Pengalaman Mengikuti UKW

Metode Uji Kompetensi Wartawan (UKW) ternyata menguak banyak sisi-sisi kelemahan wartawan yang selama ini merasa sudah mapan dengan kode etik dan profesionalisme, apalagi bagi saya anggota PWI. Pernah menjabat Ketua PWI Perwakilan Kisaran (meliputi Kabupaten Asahan, Kota Tanjungbalai), lalu setelah pemekaran pemerintahan Kabupaten Asahan Sumatera Utara, pernah menjabat Ketua PWI Perwakilan Kabupaten Asahan.

Dua periode menjadi Ketua PWI Perwakilan, aktif menjadi wartawan Waspada sejak 27 November 1991, mulai menjadi Calon Anggota PWI tahun 1992, sampai sekarang dipercaya sebagai Kepala

Nurkarim Nehe, SE.,MSP

Perlu Berulang Kali Ikut UKW

10

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Biro Harian Waspada di Kisaran (meliputi Kabupaten Asahan, Kota Tanjungbalai,Kabupaten Batubara), dosen mata kuliah Praktek Jurnalistik dan Bahasa Indonesia Jurnalistik di FKIP Prodi Bahasa Indonesia Universitas Asahan, lima kali wartawan Terbaik Waspada, dan narasumber seminar, lokakarya, workshop, pelatihan jurnalistik, ternyata saya belum “utuh” sebagai seorang wartawan.

Pertama bergulir, saya dipercaya langsung UKW Madya dan dinyatakan lulus. Ketika saya dipanggil kembali untuk mengikuti UKW Utama, 7 - 8 Oktober 2013 di Medan, bukan main senang dan bangganya, selain mengukuhkan diri sebagai wartawan nasional, saya ingin ‘telanjang” melihat sisi-sisi kelemahan saya.

Bertemu kembali dengan Atal Depari yang “keras, cerewet, tegas, sedikit humoris tetapi amat disiplin” bukan membuat kendur semangat saya bahkan semakin memuncak. Setelah pembukaan dan pengarahan, kami memasuki substansi UKW. UKW level Wartawan Utama, kami diwajibkan “membuat media” lengkap dengan susunan redaksi.

Saya dipercaya kawan-kawan sebagai Pemimpin Redaksi, padahal di antara peserta UKW Utama semua redaksi kecuali saya. Wapemred Anton Panggabean, Redpel Martohap Simarsoit, Sekretaris Redaksi Muhammad Tariq (salah seorang Rdaktur Waspada), Redpel satu Ngatirin dan Redpel II Yuswar.

Kesadaran, pengetahuan dan keterampilan kami dituntut sesuai job description yang telah ditentukan. Mulai mengevaluasi rencana liputan, menentukan bahan layak siar, mengarahkan liputan investigasi, menulis opini, kebijakan rubrikasi, rapat redaksi dengan kriteria dan indikator kerja.

Atal Depari sebagai penguji sangat keras, apalagi ketika memastikan kami apakah memiliki akurasi jejaring narasumber. Menyuntung karya jurnalistik, mengompilasi bahan liputan jadi karya jurnalistik, berita layak siar, merencanakan mengoordinasikan dan melakukan liputan mendalam (indepth reporting) dan investigasi (investigative reporting), membuat peta berita untuk pedoman arah kebijakan redaksi, evaluasi pemberitaan, manajerial keredaksian, visioner, evaluasi total dan memiliki jiwa kepemimpinan.

Dua hari “digodok” dalam UKW Utama oleh Atal Depari dan timnya, terasa jiwa raga bagaikan “ikan Pepes”, tetapi suasana yang terbangun secara total karena di ruang yang sama ada UKW Muda dan UKW Madya, membuat “pasar sembako” itu bagaikan sebuah kantor media sesungguhnya. Kesan yang timbul adalah teamwork, tahan

11

Pengalaman Mengikuti UKW

bertugas dalam tekanan waktu dan kebutuhan, kekeluargaan, disiplin dan tentu saja motivasi menjadi wartawan yang beretika, berwawasan luas, mematuhi hirarki posisi serta hirarki jadwal dan profesional.

Apabila wartawan di seluruh Indonesia sudah dan mampu melewati Uji Kompetensi Wartawan ini tentu saja “wajah buruk pers saat ini” akan lenyap. Media akan muncul dengan materi berkualitas karena diproduksi oleh mereka yang berkualitas.

Kalau boleh menyarankan, tentu saja ini menyangkut pembiayaan, UKW tidak hanya dilakukan di ibukota propinsi (dalam konteks ini Medan ibukota Propinsi Sumatera Utara), tetapi bergilir di tiap kabupaten/kota sehingga efek sosialisasi wartawan bersertifikasi dengan standar kompetensinya bisa sampai ke tingkat paling bawah. Hal ini juga sebagai motivasi dan shock terapy bagi “Wartawan Kacangan” dan informasi yang jelas soal wartawan bagi masyarakat luas. Pembiayaan tentu saja bisa dilakukan dengan sistem sharing.

Saran lain, UKW Utama menurut saya akan terasa lebih ideal lagi jika dilakukan minimal lima hari. Kemudian rentang waktu antara UKW ke UKW berikutnya harus semakin dekat sehingga target standarisasi wartawan Indonesia segera tercapai.

Publik sudah jengah dengan tingkah polah “orang orang yang mengaku wartawan”. Masyarakat sudah “risau” melihat isi materi penyiaran media media tertentu. Ini kesan dan saran saya sebagai salah satu peserta UKW Utama, Medan, Sumatera Utara.***

12

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Kompetensi adalah karakter dasar dari seorang yang memungkinkan mereka mengeluarkan kinerja superior dalam pekerjaannya. Seorang berkompeten adalah orang yang dengan keterampilannya mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan tidak membuat kesalahan (Trotter dalam Saifuddin 2004). Sedangkan Amstrong (1998) merumuskan, kompetensi adalah knowledge (pengetahuan), skill (keterampilan) dan kualitas individu untuk mencapai kesuksesan pekerjaan.

Fenomena yang muncul dewasa ini, penggunaan atau standar kompetensi semakin menjadi suatu trend dalam berbagai organisasi. Kompetensi membedakan pengetahuan kerja (job knowledge) dalam

Zul Anwar Ali MarbunWakil Pemimpin Redaksi Surat Kabar GEBRAK

UKW Ciptakan Wartawan Profesional

13

perilaku tersirat (underlying behaviors) seseorang dalam organisasi.Studi yang dilakukan University of Michigan School of Bussiness

telah membuat kerangka acuan (template) kompetensi berupa lima kompetensi yang dibutuhkan yaitu kredibilitas personal (personal credibility), kemampuan mengelola perubahan (ability to manage changes), kemampuan mengelola budaya (ability to manage culture), mendistribusikan praktek sumber daya manusia (delivery of human resources practice), dan pengetahuan tentang bisnis (knowledge of the bussiness).

Studi yang dilakukan Universitas Michigan Amerika Serikat itu menunjukkan betapa kompleksnya suatu kompetensi tersebut karena meliputi beberapa variabel yang rumit. Namun, jika hendak diaplikasikan ke dalam wujud kompetensi wartawan, setidaknya seperti apa yang dikatakan seorang wartawan senior empat zaman, Rosihan Anwar bahwa kapan pun zamannya, wartawan dituntut harus kompeten. Wartawan berwawasan keilmuan, profesional dan beretika. Jika tidak, maka matilah jurnalisme.

Menjadi wartawan merupakan hak asasi seluruh warga negara. Tidak ada ketentuan yang membatasi hak seseorang untuk menjadi wartawan. Namun, dalam melaksanakan tugasnya, wartawan harus memiliki standar kompentensi. Standar kompetensi menjadi alat ukur profesionalisme wartawan.

Standar Kompetensi Wartawan (SKW) yang tertuang dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1 tanggal 2 Februari 2010, diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. Standar ini juga untuk menjaga kehormatan pekerjaan wartawan dan bukan untuk membatasi hak asasi warga negara menjadi wartawan. Kompetensi wartawan pertama-pertama berkaitan dengan kemampuan intelektual dan pengetahuan umum. Kompetensi wartawan melekat pemahaman tentang pentingnya kemerdekaan berkomunikasi, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.

Kompetensi wartawan meliputi kemampuan memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan penyuntingan berita, serta bahasa. Dalam hal terakhir ini juga menyangkut kemahiran melakukannya, seperti juga kemampuan yang bersifat teknis sebagai wartawan profesional, yaitu mencari, memperoleh, menyimpan, memiliki, mengolah, serta membuat dan menyiarkan berita.

Untuk mencapai standar kompetensi, seorang wartawan harus mengikuti uji kompetensi (UKW) yang dilakukan oleh lembaga

Pengalaman Mengikuti UKW

14

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

yang telah diverifikasi Dewan Pers, yaitu perusahaan pers, organisasi wartawan, perguruan tinggi atau lembaga pendidikan jurnalistik.

Penulis mengikuti UKW tingkatan Wartawan Utama angkatan pertama di Provinsi Sumatera Utara yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, 27-28 Desember 2011 di Hotel Garuda Plaza Medan. Penulis mendapatkan pencerahan serta pemahaman yang lebih mendalam betapa pentingnya kompetensi wartawan guna menciptakan wartawan yang profesional.

Selama dua hari mengikuti UKW, penulis mendapatkan role model dan kategori kompetensi yang meliputi kesadaran (awareness), mencakup kesadaran tentang etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi. Kemudian pengetahuan (knowledge), mencakup teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum, dan pengetahuan khusus. Selanjutnya keterampilan (skills), mencakup kegiatan 6M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi), serta melakukan riset/investigasi, analisis/prediksi, serta menguasai penggunaan alat dan teknologi informasi.

Kesadaran (awareness)Wartawan dalam melaksanakan pekerjaannya sangat dituntut

menyadari norma-norma etika dan ketentuan hukum. Garis besar kompetensi kesadaran wartawan ini sangat diperlukan bagi peningkatan kinerja dan profesionalisme wartawan. Garis besar kesadaran tersebut pertama mencakup kesadaran terhadap etika dan hukum.

Kesadaran akan etika sangat penting dalam profesi kewartawanan, sehingga setiap langkah wartawan, termasuk dalam mengambil keputusan untuk menulis atau menyiarkan masalah atau peristiwa, akan selalu dilandasi pertimbangan yang matang. Kesadaran etika juga memudahkan wartawan dalam mengetahui dan menghindari terjadinya kesalahan-kesalahan seperti melakukan plagiat atau menerima imbalan. Wartawan pun dengan kesadaran ini akan tepat dalam menentukan kelayakan berita atau menjaga kerahasiaan sumber.

Kurangnya kesadaran pada etika dapat berakibat serius berupa ketiadaan petunjuk moral, sesuatu yang dengan tegas mengarahkan dan memandu pada nilai-nilai dan prinsip yang harus dipegang. Kekurangan kesadaran juga dapat menyebabkan wartawan gagal dalam melaksanakan fungsinya.

Wartawan yang menyiarkan informasi tanpa arah berarti gagal

15

menjalankan perannya untuk menyebarkan kebenaran suatu masalah dan peristiwa. Tanpa kemampuan menerapkan etika, wartawan rentan terhadap kesalahan dan dapat memunculkan persoalan yang berakibat tersiarnya informasi yang tidak akurat dan bias, menyentuh privasi, atau tidak menghargai sumber berita. Hal itu menyebabkan kerja jurnalistik menjadi buruk.

Menghindari hal tersebut, wartawan wajib memiliki integritas, tegas dalam prinsip, dan kuat dalam nilai. Artinya, wartawan dalam melaksanakan misinya harus beretika, memiliki tekad untuk berpegang pada standar jurnalistik yang tinggi, dan memiliki tanggung jawab.

Selain itu, wartawan wajib melayani kepentingan publik, mengingatkan yang berkuasa agar bertanggung jawab, dan menyuarakan yang tak bersuara agar didengar pendapatnya. Wartawan kemudian berani dalam keyakinan, independen, mempertanyakan otoritas, serta menghargai perbedaan.

Wartawan harus terus meningkatkan kompetensi etikanya. Wartawan yang terus melakukan hal itu akan lebih siap menghadapi situasi yang pelik. Untuk meningkatkan kompetensi etika, wartawan perlu mendalami Kode Etik Jurnalistik maupun kode etik organisasi wartawan.

Sebagai pelengkap pemahaman etika, wartawan dituntut untuk memahami dan sadar ketentuan hukum yang terkait dengan kerja jurnalistik. Pemahaman tentang hal ini juga perlu terus ditingkatkan. Wartawan wajib menyerap dan memahami Undang-Undang Pers, menjaga kehormatan, dan melindungi hak-haknya.

Selanjutnya wartawan harus mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan penghinaan, pelanggaran terhadap privasi, dan berbagai ketentuan dengan narasumber (seperti off the record, sumber-sumber yang tak mau disebut namanya atau confidential sources).

Kompetensi hukum menuntut penghargaan pada hukum, batas-batas hukum, dan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat dan berani untuk memenuhi kepentingan publik dan menjaga demokrasi.

Kesadaran selanjutnya yang harus dimiliki seorang wartawan adalah kepekaan jurnalistik. Kepekaan ini merupakan naluri dan sikap diri wartawan dalam memahami, menangkap, dan mengungkap informasi tertentu yang bisa dikembangkan menjadi suatu karya jurnalistik.

Komponen kesadaran ketiga yang wajib dimiliki seorang wartawan adalah jejaring dan lobi. Hal ini penting mengingat wartawan dalam

Pengalaman Mengikuti UKW

16

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

tugasnya mengemban kebebasan pers yang sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat harus sadar, kenal, dan memerlukan jejaring dan lobi yang seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya.

Jejaring dan lobi tersebut menjadi sumber informasi yang dapat dipercaya, akurat, terkini, dan komprehensif serta mendukung pelaksanaan profesi wartawan. Seorang wartawan dituntut secara terus menerus membangun jejaring dengan banyak narasumber, membina relasi, memanfaatkan akses yang sudah terjalin, menambah dan terus memperbarui basis data relasi. Namun dalam membina jejaring dan lobi tersebut, seorang wartawan harus tetap dan senantiasa menjaga sikap profesional dan integritas yang tinggi sehingga tidak terjerumus dalam penyalahgunaan.

Pengetahuan (knowledge)Wartawan dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang teori dan

prinsip jurnalistik, pengetahuan umum, serta pengetahuan khusus. Wartawan juga perlu mengetahui berbagai perkembangan informasi mutakhir.

Pengetahuan teori dan prinsip jurnalistik mencakup pemahaman yang mendalam tentang teori dan prinsip jurnalistik termasuk bidang komunikasi. Memahami dan menguasai teori jurnalistik dan komunikasi ini sangat penting bagi wartawan untuk memudahkan wartawan dalam menjalankan tugas profesinya.

Kemudian, seorang wartawan dituntut memiliki pengetahuan umum yang memadai sehingga cakrawala berpikirnya tidak sempit. Pengetahuan umum yang dibutuhkan mencakup pengetahuan umum dasar tentang berbagai masalah seperti sosial, budaya, politik, hukum, sejarah, dan ekonomi. Wartawan dituntut untuk terus menambah pengetahuan agar mampu mengikuti dinamika sosial dan kemudian menyajikan informasi yang bermanfaat bagi khalayak.

Begitu juga dengan pengetahuan khusus harus dimiliki seorang wartawan. Pengetahuan khusus tersebut mencakup pengetahuan yang berkaitan dengan bidang liputan. Pengetahuan ini diperlukan agar liputan dan karya jurnalistik yang dibuat wartawan lebih bermutu.

Keterampilan (skills)Wartawan mutlak menguasai keterampilan jurnalistik seperti teknik

peliputan, teknik menulis, teknik mewawancara, dan teknik menyunting. Selain itu, wartawan juga harus mampu melakukan riset, investigasi,

17

analisis, dan penentuan arah pemberitaan serta terampil menggunakan alat kerjanya termasuk teknologi informasi.

Keterampilan peliputan mencakup keterampilan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi (enam M). Format dan gaya peliputan maupun penulisan harus terkait dengan medium dan khalayak (segmen) media masing-masing. Keterampilan riset dan investigasi mencakup kemampuan menggunakan sumber-sumber referensi dan data yang tersedia; serta keterampilan melacak dan memverifikasi informasi dari berbagai sumber.

Keterampilan analisis dan penentuan arah pemberitaan mencakup kemampuan mengumpulkan, membaca, dan menyaring fakta dan data kemudian mencari hubungan berbagai fakta dan data tersebut. Pada akhirnya wartawan dapat memberikan penilaian atau arah perkembangan dari suatu berita.

Keterampilan menggunakan alat dan teknologi informasi mencakup keterampilan menggunakan semua peralatan termasuk teknologi informasi yang dibutuhkan untuk menunjang tugas jurnalistik. Perangkat teknologi yang cukup menunjang kinerja wartawan adalah handphone, kamera, laptop atau komputer dengan segala perangkatnya, serta penguasaan internet.

Kompetensi KunciKompetensi kunci merupakan kemampuan yang harus dimiliki

wartawan untuk mencapai kinerja yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan tugas pada unit kompetensi tertentu. Kompetensi kunci tersebut terdiri dari 11 (sebelas) kategori kemampuan, yaitu: 1. Memahami dan menaati etika jurnalistik; 2. Mengidentifikasi masalah terkait yang memiliki nilai berita; 3. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi; 4. Menguasai bahasa; 5.Mengumpulkan dan menganalisis informasi (fakta dan data) dan informasi bahan berita; 6. Menyajikan berita; 7. Menyunting berita; 8. Merancang rubrik atau kanal halaman pemberitaan dan atau slot program pemberitaan; 9. Manajemen redaksi; 10. Menentukan kebijakan dan arah pemberitaan; 11. Menggunakan peralatan teknologi pemberitaan.

Masing-masing jenjang dituntut memiliki kompetensi kunci yang terdiri dari kompetensi Wartawan Muda yakni melakukan kegiatan, kompetensi Wartawan Madya mengelola kegiatan, dan kompetensi Wartawan Utama mengevaluasi dan memodifikasi proses kegiatan.

Pengalaman Mengikuti UKW

18

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Elemen Unjuk KerjaElemen unjuk kerja merupakan bentuk pernyataan yang

menggambarkan proses kerja pada setiap elemen kompetensi. Elemen kompetensi disertai dengan kriteria unjuk kerja harus mencerminkan aktivitas aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja.

Elemen Kompetensi Wartawan Muda meliputi mengusulkan dan merencanakan liputan; menerima dan melaksanakan penugasan; mencari bahan liputan termasuk informasi dan referensi; melaksanakan wawancara; mengolah hasil liputan dan menghasilkan karya jurnalistik; mendokumentasikan hasil liputan dan membangun basis data pribadi; serta membangun dan memelihara jejaring dan lobi.

Elemen Kompetensi Wartawan Madya meliputi menyunting karya jurnalistik wartawan; mengompilasi bahan liputan menjadi karya jurnalistik; memublikasikan berita layak siar; memanfaatkan sarana kerja berteknologi informasi; merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan berkedalaman (indepth reporting); merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan investigasi (investigative reporting); menyusun peta berita untuk mengarahkan kebijakan redaksi di bidangnya; melakukan evaluasi pemberitaan di bidangnya; membangun dan memelihara jejaring dan lobi; memiliki jiwa kepemimpinan.

Elemen Kompetensi Wartawan Utama meliputi menyunting karya jurnalistik wartawan; mengompilasi bahan liputan menjadi karya jurnalistik; memublikasikan berita layak siar; memanfaatkan sarana kerja berteknologi informasi; merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan berkedalaman (indepth reporting); merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan investigasi (investigative reporting); menyusun peta berita untuk mengarahkan kebijakan redaksi; melakukan evaluasi pemberitaan; memiliki kemahiran manajerial redaksi; mengevaluasi seluruh kegiatan pemberitaan; membangun dan memelihara jejaring dan lobi; berpandangan jauh ke depan (visioner); dan memiliki jiwa kepemimpinan.

Wartawan yang belum mengikuti atau tak lulus uji kompetensi dinilai belum kompeten. Wartawan yang sudah kompeten dibuktikan dengan sertifikat dan kartu yang dikeluarkan Dewan Pers bersama lembaga penguji.

Wartawan yang telah lulus uji kompetensi namanya dicantumkan di website Dewan Pers sesuai tingkatannya yakni tingkatan Wartawan Muda, Wartawan Madya dan Wartawan Utama. Nama medianya juga turut dicantumkan. Masyarakat dapat mengaksesnya secara terbuka.

19

Sementara untuk menjadi penguji SKW, seorang wartawan harus terlebih dahulu lulus uji kompetensi tingkatan Wartawan Utama. Mereka yang memiliki nilai uji tertinggi diprioritaskan mengikuti Trainer of Trainer (ToT) yang diselenggarakan lembaga penguji.

Mengikuti magang pada pelaksanaan uji kompetensi wartawan (UKW) adalah salah satu syarat kelulusan menjadi calon penguji. Setelah dinilai lulus mengikuti ToT dan magang, barulah seorang Wartawan Utama sah dinyatakan sebagai penguji SKW. Terima kasih. Semoga bermanfaat. ***

Pengalaman Mengikuti UKW

Suasana kegiatan UKW di Provinsi Lampung

20

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Bertepatan dengan ditunjuknya Provinsi Jambi sebagai tuan rumah peringatan Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2012, banyak fasilitas dan kompensasi diberikan oleh Pengurus PWI Pusat pada PWI Jambi. Salah satunya menjadi penyelenggara Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Seluruh dana ditanggung oleh PWI Pusat, kecuali tempat pelaksanaan ujian yang mesti disediakan oleh PWI Jambi.

Bisa dibilang UKW pertama di Jambi pada penghujung tahun 2011 itu gratis. Seluruh peserta tidak dipungut biaya sepeser pun. Namun, karena gratis itulah, para peserta jadi ketar-ketir menghadapi ujian. Peluang tidak lulus terbuka lebar, lantaran para penguji sudah dapat dipastikan bakal tidak punya beban dalam menentukan kelulusan peserta.

UKW dibagi tiga tingkatan, muda, madya dan utama, sesuai posisi atau jabatan peserta pada media tempatnya bekerja saat itu. Dalam

Doddi IrawanPemimpin Redaksi InfoJambi Koran/Wakil Pemimpin Redaksi infojambi.com/ Wartawan Utama

UKW untuk Uji Nyali

21

menentukan tingkatan yang akan saya ikuti, hati saya jadi galau. Pasalnya, dengan posisi Pemimpin Redaksi Mingguan InfoJambi Koran dan Wakil Pemimpin Redaksi Media Online Infojambi.com, tentu saya wajib memilih ikut pada tingkat Wartawan Utama.

Hal jadi persoalan bukanlah materi ujiannya. Menulis tajuk, mengatur dan menghitung biaya liputan, menentukan berita layak siar hingga jejaring, rasanya tidak ada masalah bagi saya. Rasa cemas muncul lantaran saya melihat para penguji adalah wartawan-wartawan senior yang menduduki jabatan penting di media-media besar nasional. Apalagi jam terbang mereka sudah sangat tinggi.

Saya berpikir, apakah pekerjaan pemimpin redaksi di media lokal sistemnya sama dengan media-media terbitan ibukota? Logika saya mengatakan, yang namanya pemimpin redaksi tentu saja sama di mana-mana, yang membedakan hanya di mana media itu diproduksi. Tak ada istilah media pusat dan media daerah. Pers di manapun sama, pers nasional.

Meski cemas, saya akhirnya mendaftar sebagai peserta UKW tingkat utama. Tujuan saya hanya satu, ingin mengukur kemampuan saya memegang jabatan pemimpin redaksi. Saya beranggapan, ini saatnya saya melihat sampai di mana profesionalitas saya sebagai seorang pemimpin redaksi. Akhirnya, masuklah nama saya dalam 19 daftar peserta UKW tingkat utama yang pertama kali digelar di Jambi itu.

Singkat cerita, semua mata uji saya lewati dengan mulus. Tidak ada satu pun yang tidak bisa saya lakukan. Menulis tajuk —yang membuat banyak teman berkeringat dingin— justru itu yang paling gampang saya selesaikan. Tajuk murni saya buat di kelas tempat berlangsungnya ujian, bukan dibawa dari rumah.

Akhirnya, ketika nama peserta yang lulus diumumkan, saya pun lulus. Bahkan, ketika penguji saya, Bang Atal S Depari, memperlihatkan daftar nilai kami selama ujian, nama saya ada di peringkat dua di antara tujuh nama pemimpin redaksi lainnya, yang tiga di antaranya berasal dari grup media besar di Indonesia.

Saya pun puas dengan hasil itu. UKW telah menunjukkan bahwa saya berkompeten menjadi seorang pemimpin redaksi. Satu hal yang menggembirakan hati saya, meski akhirnya tidak kesampaian, salah seorang anggota tim penguji menawarkan saya memegang jabatan pemimpin redaksi di media yang akan didirikannya. Walau rencana itu akhirnya batal, setidaknya ada orang yang melirik kemampuan saya. (***)

Pengalaman Mengikuti UKW

22

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Mendengar ada Ujian Kompetensi Wartawan (UKW) di Jambi saya langsung senang dan merespon positif. Sudah terbayang biayanya pasti murah, apalagi digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Jambi di bawah komando salah satu guru jurnalistik saya, Drs Mursyid Sonsang, 7-8 Juni 2013.

Bila keluar daerah, UKW pasti mahal dan super sulit. Diuji oleh penguji tingkat nasional dan harus merogoh kocek dalam-dalam untuk biaya hotel dan ongkos pesawat.

Sebagai persiapan, materi Sekolah Jurnalistik Indonesia(SJI) yang pernah diikuti mulai saya lahap. Selanjutnya nomor telepon kenalan satu persatu saya cek kembali. Ini memang harus saya lakukan, sebab informasi dari senior, kekuatan “jejaring” peserta adalah salah satu penentu untuk lulus.

Syapi’i SyarkawiHarian Pagi Radar Bute/Peserta UKW Utama, Angkatan II UKW PWI Cabang Jambi, 7-8 Juni 2013

UKW Jembatan Menuju Kemajuan

23

Pengalaman Mengikuti UKW

Dua Bupati langsung saya coba hubungi, H Sudirman Zaini (Bupati Bungo) dan H Sukandar (Bupati Tebo). Bupati Sukandar langsung bersambung, sementara Bupati H Sudirman Zaini baru bisa via ajudan.

Belum puas, Wakil Bupati Bungo H Mashuri orang berikutnya yang saya telepon, kemudian Hamdi Wakil Bupati Tebo. Beberapa nama berpengaruh lain juga menjadi sasaran untuk memperkuat jejaring saya, seperti Ketua KPU Provinsi Jambi Subhan, anggota DPR RI Elviana. Lalu level anggota DPRD Bungo ada nama Syarkoni Syam, saat ini Wakil Ketua DPRD Bungo, termasuk Kemenag Bungo H Abdurrahman dan sejumlah nama lain.

Perasaan saya cukup lega, hampir semua yang saya hubungi memberi respon positif. Walau cukup sulit memberi penjelasan tentang UKW, karena bagi para pejabat ini UKW adalah hal baru, tetapi Alhamdulillah semua siap membantu.

Jelang mendaftar saya dibuat bingung menentukan pilihan, antara level utama dan madya. Kemampuan rasanya baru mampu untuk Madya, hitung-hitung meminimalisir risiko tidak lulus. Desakan ikut tingkat Utama justru datang lebih kuat dari pimpinan di Kantor, Fauzi. Alasannya cukup rasional, sehari-hari saya sebagai penanggung jawab redaksi, maka harus lulus UKW Utama.

Ketika pilihan sudah mantap, keraguan kembali muncul menit-menit jelang UKW dibuka. Setelah melihat wartawan yang lebih senior justru hanya ikut di Madya, ditambah lagi ada sayembara dari juru bicara Tim penguji, memberi kesempatan bagi peserta yang ragu-ragu untuk tak paksakan diri dan ada kesempatan menukar pilihan untuk terakhir kalinya.

Saya langsung berpikir Tingkat Utama memang betul-betul sulit, sehingga harus ada sayembara seperti itu. Untungnya, saya berhasil meyakinkan hati, tetap memberanikan diri ikut jenjang utama karena saya berpikir Tuhan pasti membantu, asal mau belajar setiap saat.

Beban pikiran kembali berat ketika memulai ujian, selain terbayang setiap bahan uji sulit, saya juga dibebani karena harus ujian bersama peserta yang saya anggap lebih pintar dan senior. Peluang mereka lulus tentu bagi mereka lebih besar dari saya.

Walau penguji Wasekjen PWI pusat, Junaidi Tjunti Agus mengucapkan kalimat pembuka dengan meminta semua peserta tetap pada posisi santai dan rileks, tetap saja tak bisa banyak membantu.

24

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Bahan uji seperti Rapat Redaksi, Mengevaluasi Rencana Liputan, Menentukan Bahan Layak Siar, Mengarah Liputan Investigasi, Menulis Tajuk Rencana, Kebijakan Rubrikasi dan Jejaring, bila dibayangkan ini tentu tak begitu sulit. Sebagai penanggung jawab redaksi itu menjadi konsumsi sehari-hari, bila lupa paling tidak bisa buka buku atau internet.

Masalahnya, suasana memang sangat berbeda ketika hal itu diujiankan. Semuanya harus diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat. Apalagi teknik ujian berbeda dari bayangan saya semula, yang mengira lebih banyak soal tanya jawab saja.

Tekanan ujian memang membuat saya dan teman-teman sangat stres. Bayangkan saja, di bawah tekanan, Anda harus menterjemahkan setiap bahan uji dalam bentuk tulisan dengan waktu 30 menit, tentu bukan perkara mudah.

Kondisi bertambah kalut, ketika hal yang semula tak menjadi kendala tiba-tiba bermasalah. Laptop kehabisan baterai, print-out yang harus antri, parahnya lagi printer yang disediakan panitia sempat rusak karena melayani banyak peserta.

Posisi sulit seperti ini, saya dan peserta lain seolah-olah dipaksa adu kecepatan. Apa pun masalahnya, saya tetap tak boleh terlambat, lembar jawaban harus selesai tepat waktu, bila dilanggar konsekwensinya adalah gagal.

Para wartawan PWI Provinsi Jambi mendapat sertifikat kompetensi yang diserahkan Ketua Umum PWI Pusat Margiono, saat kegiatan HPN 2012 di Jambi (ist)

25

Pengalaman Mengikuti UKW

Apalagi penguji memberi sinyal yang bisa lebih cepat bakal mendapat poin tambahan. Di sinilah rasanya kemampuan untuk bekerja lebih cepat, lebih tepat dan akurat betul-betul diuji.

Alhamdulillah, hari pertama tetap bisa dilalui. Saya juga berhasil lulus, meski ada nilai yang jeblok karena kurang cepat. Belum hilang stres usai ujian, memasuki malam saya dipaksa lembur hingga pukul 03.00 dini hari.

Walau dalam ujian, saya tetap saja punya tanggung jawab redaksi di Bungo karena sebahagian besar pemegang halaman juga ikut UKW, maka beberapa materi berita harus diselesaikan dari jarak jauh.

Ditambah lagi tugas menyusun daftar jejaring juga harus tuntas sebelum tidur, jumlahnya jauh lebih banyak dari perkiraan. Penguji meminta 25 orang, sama sekali tak boleh di bawah pejabat eselon II, dan harus dikumpulkan jelang pukul 08.30 pagi.

Andai semua alat tersedia di hotel tentu tak banyak masalah bagi saya untuk menyelesaikan tugas-tugas itu. Masalahnya, saya dihadapkan pada perangkat yang terbatas dan harus ke warnet.

Lebih berat ketika memikirkan risiko tak selesai, yang terlambat dianggap mengundurkan diri. Dari pada gagal, tentu saya lebih memilih lembur di antara teman-teman yang tertidur pulas.

Itulah filosofi ujian, rintangannya pasti banyak. Meski cukup berat saat dijalani, ketika mendengar hasil akhir semuanya terasa bermanfaat, apalagi mendengar kata pamungkas penguji “anda berkompeten”.

Bagi teman-teman yang belum UKW tak perlu menganggap UKW super sulit. Ujian memang di mana-mana pasti berat, tapi ujian membuat siapapun lebih bernilai.

Bagi saya, UKW adalah jembatan menuju kemajuan. UKW mengkonstruksi modal untuk itu, seperti disiplin, terpaksa belajar, mengetahui kelemahan kita dan berdoa secara sungguh-sungguh.

Rasanya tak salah bila saya menyebutkan UKW adalah ajang pendidikan bagi tugas jurnalis ke depan. Kepada semua penguji dan panitia, saya mengucapkan terima kasih. Saya merasakan usai UKW tugas-tugas yang selama ini dianggap sulit bisa dikerjakan lebih mudah. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat. ***

26

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Girang campur aduk, saat saya dinyatakan lulus sebagai Wartawan Madya pada uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang diselenggarakan oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), di Badan Diklat Provinsi Jambi, 2011.

Bingung campur galau. Bukan karena memikirkan beratnya materi ujian, tapi membayangkan betapa malunya, kalau tidak lulus. Tentu saja, saya akan dicap tidak layak sebagai wartawan. Tak banyak persiapan untuk menghadapi UKW yang dilaksanakan dua hari tersebut. Saya memang tak tahu apa yang harus dipersiapkan.

Kegalauan itu sedikit meluber kala tim penguji menguraikan poin-poin yang menjadi penilaian UKW. Jejaring. Ya, poin itu menjadi salah satu penilaian utama, selain tentang bagaimana menilai sebuah berita layak tayang atau tidak. Masih ada beberapa materi lainnya seperti

Izwan SholiminRedaktur Pelaksana infojambi.com/lulusan UKW Wartawan Madya

Dag Dig Dug Saat Ikut UKW

27

Pengalaman Mengikuti UKW

membuat rencana liputan investigasi dan rapat redaksi.Peserta UKW untuk wartawan madya kala itu kalau saya tidak salah

ada sekitar 20-an orang. Peserta dibagi dalam kelompok kecil, 5-7 peserta dengan satu penguji.

Sebenarnya prosesi ujiannya tidak terlalu formal, lebih santai, hanya memang dasar sudah keburu dag dig dug dari awal, suasana ujian pun menjadi ikut tegang.

Ada hal sangat berkesan bagi saya saat ikut UKW. Peserta diwajibkan membuat daftar jejaring sebanyaknya. Kemudian penguji memilih secara acak sesuka hatinya jejaring mana yang akan ditelepon oleh peserta.

Ok, kini giliran saya yang menyodorkan daftar jejaring ke hadapan penguji. Ada 20 daftar jejaring yang saya ajukan, salah satunya Kapolres Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar), Simanjuntak. Awalnya saya ragu untuk memasukkan nama Kapolres Tanjabbar itu. Wong saya baru sehari kenal sama beliau.

Celakanya lagi, penguji malah menunjuk nama Kapolres itu. Dag dig dug di dada semakin kencang. Pertanyaan di benak adalah maukah Kapolres itu mengangkat telpon saya. Ternyata yang saya pikirkan salah, Kapolres tersebut dengan akrab menerima telpon saya.

Beruntung Kapolres itu orangnya ramah. Cerita pun berlanjut. Saya juga terkejut dengan sapaan awal Kapolres saat menerima telepon. Sangat-sangat bersahabat. “Halo Wan, apo kabar,” ujar Kapolres saat mengawali perbincangan telepon dengan saya.

Sontak saya terkejut, ternyata Kapolres yang menyapa saya seolah sudah kenal lama. Saya juga tidak perlu bersusah payah menjelaskan identitas saya. Perbincangan ringan pun berlanjut di hadapan penguji. Setelah ujian jejaring selesai, sesak di dada lenyap. Dag dig dug di awal sudah berkurang. Kalau materi lain sih sudah biasa dilakukan sehari-hari.

Seluruh materi uji sudah selesai dilaksanakan. Alhamdulillah, akhirnya saya dinyatakan lulus sebagai Wartawan Madya. ***

28

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Awalnya saya membayangkan ikut UKW (Uji Kompetensi Wartawan) suatu momok menakutkan, terlebih mendengar komentar senior-senior yang pernah ikut tes sebelumnya. Banyak di antara mereka menakuti-nakuti. Hingga saya sempat pesimistis dan beranggapan UKW belum penting bagi saya. Hingga suatu hari, kami mendapat pengarahan dari Pimpinan Redaksi Metro Riau yang menyarankan agar kami ikut salah satu organisasi wartawan. Pasalnya banyak di antara kami di Metro Riau yang belum masuk organisasi. Akhirnya saya tertarik ikut PWI setelah 13 tahun jadi wartawan.

Hal yang sama terjadi, lagi-lagi saya dihadapkan untuk segera ikut UKW. Menurut beberapa penguji di PWI tersebut UKW sangat penting untuk menjadikan kita sebagai wartawan yang kompeten dan

HerlinaWartawan Senior Metro Riau/Peserta UKW Madya

UKW Mengukur Tingkat Kompetensi Wartawan

29

Pengalaman Mengikuti UKW

bukan asal-asalan. Usai tes PWI saya kembali dilema, apakah UKW ini memang penting. Hingga pada suatu hari salah seorang klien tetap saya mengatakan, kalau dia sudah dapat saran dari Dewan Pers untuk bisa menolak wartawan yang tidak mengantongi kartu UKW.

Batin saya kembali berontak apa sebegitu pentingnya UKW untuk seorang wartawan? Bukankah saya sudah 13 tahun menjadi wartawan dan dikenal di mana-mana? Namun, kegelisahan saya kembali terjawab ketika Pimpinan Redaksi Metro Riau, Ahmad Rodhi memberikan pengarahan kepada kami agar segera ikut UKW yang kebetulan diadakan 23-24 Desember 2013.

Dalam keadaan kurang sehat, saya akhirnya memutuskan untuk ikut UKW dan menyiapkan segala persyaratan. Tepat 23 Desember 2013, saya ikut tes yang notabene ditakuti teman-teman sejawat saya yang belum pernah ikut. Ketika melangkahkan kaki di Hotel Ratu Mayang tempat saya ujian, saya semakin gemetaran dan lemas. Dengan langkah gontai, saya terus memasuki ruangan tempat kami ujian.

Benar saja, sesuai dugaan saya ternyata di sana banyak peserta yang juga ketakutan dan mulai pesimistis, apakah bisa lulus atau tidak. Dengan sedikit berjiwa pahlawan, saya akhirnya mengatakan kepada teman di sebelah saya, “lebih baik kita mencoba dari pada belum sama sekali. Kalaupun kita gagal untuk ujian berikutnya kita pasti bisa melewatinya.” Saya sendiri bingung entah dari mana kata-kata itu keluar, tiba-tiba saja mengalir dan membuat teman di kanan kiri saya mengiyakan.

Tepat pukul 09.00 WIB acara dimulai dengan pembukaan dari ketua penguji dari pusat. Lagi-lagi saya disentakkan dengan kata-kata di mana setiap peserta yang diuji harus mendapatkan nilai minimal 70. kalau di bawah itu dianggap gugur. Dalam hati, kata-kata penghibur yang saya patrikan ke teman-teman tadi sirna sudah. Saya kembali dibaluti keraguan. “Tuhan berikan saya kekuatan,” ucap saya dalam setiap doa yang dipanjatkan.

Alhasil sesi demi sesi saya lewati dengan penuh kejutan. Jantung saya semakin berdegup kencang setiap kali penguji kami menyebutkan nilai-nilai yang diberikan dari sesi-sesi yang mereka sajikan. Luar biasa, di sanalah saya tahu begitu beratnya menjadi seorang wartawan yang kompeten seperti yang diinginkan Dewan Pers. Tapi saya tak mau menyerah, sesi demi sesi saya lewati dengan penuh kekhawatiran hingga dua hari berselang.

Namun, Tuhan masih menyayangi saya dan memberikan kesempatan

30

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

untuk menjadikan saya wartawan yang kompeten meski saat ini saya baru di tingkat Madya. Bagi saya, materi yang diujikan kepada kami sama sekali tidak terlalu asing, karena semua memang kami lakukan dalam pekerjaan sehari-hari, namun karena namanya ujian tetap aja menegangkan.

Sementara pengujinya juga sangat kompeten dan menguasai semua bidang sehingga saya menganggap ujian kemarin sebuah pembelajaran dari saya tidak tau jadi tau. Hikmah lain yang bisa saya ambil dari ujian kemarin adalah, dalam UKW ini kita bisa mengukur diri kita, layak atau tidak kita menjadi seorang wartawan atau redaktur atau pimpinan redaksi sekalipun. UKW ini bisa menjawab seberapa kompentennya kita dan layak menjadi wartawan sejati dan profesional di depan narasumber dan bargaining dengan perusahan tempat kita bekerja. ***

UKW Riau Angkatan IV, 23 – 24 Desember 2013 dibuka dan ditutup oleh Ketua Komisi Pendidikan PWI Pusat Hendro Basuki. (ist)

31

Pengalaman Mengikuti UKW

SABTU, 23 Maret 2013, di Hall Hotel PIH (Pusat Informasi Haji) Batam Center, saya berdiri di atas podium di depan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat, Hendry CH Bangun, yang duduk berdampingan dengan Ketua PWI Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Ramon Damora, Deputi Ketua Badan Pengusahaan (BP) Batam Priyanto dan para peserta Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI Kepri ke-4.

Sebagai Ketua Panitia UKW PWI Kepri IV, momentum itu sungguh menjadi kebanggaan tersendiri. Bangga, karena PWI Kepri sudah berhasil melaksanakan program Dewan Pers dan juga PWI Pusat itu dengan sungguh-sungguh. Kebanggaan kedua, karena baru pada UKW kali inilah Sekjen PWI Pusat berkesempatan hadir dan menjadi

Saibansah DardaniKetua PWI Keperi Bidang Hubungan Internasional dan Wartawan Majalah Pengusaha Indonesia Jakarta di Batam.

Spirit Kompetensi Wartawan Kepri

32

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

penguji. Kebanggan ketiga, dan ini yang paling terkesan bagi saya, adalah

atensi para wartawan di Provinsi Kepri untuk mengikuti tes komptensi ini. Bahkan, sejumlah wartawan senior yang memiliki posisi penting di medianya, juga menjadi peserta. Salah satunya adalah B Richard H Naninggolan, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Tribun Batam.

Tentu ada konsekuensi “malu besar” yang sedang mengintai sahabat saya Richard Nainggolan ketika memutuskan untuk menguji kompetensi dirinya ketika itu. Apa yang akan dihadapinya di kantor, di mata anak buahnya sendiri, di depan para narasumbernya, di mata atasannya dan seterusnya, jika saja penguji dari PWI Pusat itu memutuskan dirinya tidak kompeten?

Besarnya konsekuensi yang telah menghadang di depan mata itulah, ada beberapa pejabat media di Kepri yang memutuskan untuk mundur. Memilih tidak jadi ikut UKW IV ini dengan berbagai dalih dan alasan. Tapi beberapa hari kemudian, terdengar kabar bahwa alasan sesungguhya adalah besarnya konsekwensi yang harus dihadapi jika tidak lulus uji kompetensi. Belum lagi cerita-cerita “mengerikan” soal para penguji dari PWI Pusat yang tidak mau kompromi. Tegas dan tidak pandang bulu. Jika tidak memenuhi salah satu standar kompetensi, maka seorang peserta uji harus rela menghadapi keputusan pahit, tidak lulus.

Karena itulah, beberapa petinggi media di Kepri kemudian memilih untuk mengikuti UKW di Jakarta. Barangkali, kalau ujian di Jakarta, resikonya lebih kecil. Kalau pun tidak lulus, hal itu tidak akan diekspose oleh media lokal terbiatan Kepri. Dan tentu saja, tidak diketahui oleh narasumber dan anak buah di kantor.

Berangkat dari semangat yang sama, para wartawan di Provinsi Kepri sangat antusias untuk mengikuti UKW. Bahkan, sebagai Ketua Panitia, saya harus mengambil keputusan pahit. Menolak sebagian wartawan yang ingin ikut tes UKW. Pasalnya, kuota telah habis. Maklum, ada batasan maksimal bagi seorang penguji untuk menjalankan tugasnya. Mereka hanya boleh menguji maksimal 7 orang peserta uji. Lebih dari itu, hasilnya tidak maksimal dan tidak direkomendasi oleh Dewan Pers. Untuk itu, melalui tulisan ini, saya mohon maaf kepada teman-teman yang terpaksa tak bisa ikut tes UKW itu.

Selain tiga kebanggaan tersebut, ada satu kondisi sedih yang masih tersisa. Yaitu, jumlah peserta uji pada UKW IV yang belum kompeten masin bertengger di angka 10% dari total peserta 49 orang.

Untunglah, ada sedikit kata-kata penghibur yang disampaikan oleh

33

Pengalaman Mengikuti UKW

Sekjen PWI Pusat Hendry CH Bangun kepada para wartawan Kepri yang belum kompeten. Mereka itu diharapkan jangan berkecil hati dan terus meningkatkan ilmu jurnalistik. Dengan begitu, delapan wartawan yang belum berhasil itu bisa mengulang lagi dalam UKW yang digelar selanjutnya.

Padahal, saya bersama dengan teman-teman pengurus PWI Kepri sudah bertekad kuat untuk menjadikan momentum UKW IV ini sebagai UKW 100%. Seratus persen peserta, kompeten! Tapi mimpi kami masih jauh. Banyak kerja-kerja besar yang harus kami lakukan di Kepri untuk meningkatkan kualitas wartawan dan kompetensi mereka.

Tentu saja, kami tidak bisa merealisasikan mimpi kami itu sendirian. Ada peran PWI Pusat di sana, peran Dewan Pers, peran pemerintah, peran manajemen perusahaan pers, peran pengusaha, peran masyarakat sebagai narasumber dan peran semua pihak. Wartawan bekerja berdasarkan atas mandat yang diberikan oleh masyarakat, yaitu, kepercayaan. Kepercayaan untuk mencari, mengumpulkan dan mengolah berita. Lalu, disajikan kepada masyarakat dengan sentuhan kompetensi yang lulus uji. Di sanalah, peran “semua pihak” itu.

Jika tidak ada “perlakuan beda” antara wartawan yang kompeten dan wartawan yang belum kompeten, maka apalah gunanya PWI menggelar UKW di seluruh Indonesia itu? Perlakuan beda itu bisa diterjemahkan bermacam-macam. Misalnya, peran pengusaha pers adalah memberikan perhatian lebih kepada wartawan yang kompeten daripada yang belum. Peran pemerintah adalah mengalokasikan sejumlah anggaran untuk terus meningkatkan ketrampilan dan kompetensi wartawan. Peran masyarakat adalah memberikan akses lebih besar kepada wartawan kompeten untuk menjalankan tugas mereka. Dan seterusnya.

Mimpi besar itulah yang ingin kembali kami angkat sebagai salah satu poin bahasan untuk segera dicarikan solusi aplikatifnya. Bertepatan dengan momentum Hari Pers Nasional (HPN) 2014 di Bengkulu. Inilah kepentingan seluruh wartawan di Indonesia. Kepentingan yang harus diperjuangkan oleh para wartawan sendiri. Tidak bisa hanya menunggu uluran pihak manapun. Tidak ada yang bisa mengubah nasib wartawan, kecuali para wartawan itu sendiri. *

34

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

UJI Kompetensi? Apakah saya yang sudah menjalani profesi sebagai jurnalis sejak tahun 1996 ini kompetensinya masih diragukan sehingga harus diuji kembali. Nyaris semua desk dan jabatan di bidang redaksi sudah pernah saya jalani dengan penuh suka dukanya. Tak dipungkiri, selalu ada anggapan senior pasti paling berkompeten, orang yang lebih tua atau lebih dahulu terjun ke dunia jurnalistik dan berpengalaman pasti paling pintar dan paling hebat. Padahal tanpa disadari euforia senioritas itu justru sering kali justru membuat lembaga tempatnya berkarya mengalami stagnan di tengah iklim dunia komunikasi dan informasi yang berbeda.

Kadang kita tidak menyadari zaman telah berubah. Garis antara senior dan junior kini bukan ditentukan masa lalu tapi masa kini. Mereka

B Richard H NainggolanWartawan Harian Tribun Batam

Senior pun Harus Didengarkan

35

Pengalaman Mengikuti UKW

yang dulu cerdas tidak lagi bisa dipastikan cerdas saat ini, jika inovasi dan kreativitas jurnalistiknya tak lagi mampu menjawab kebutuhan pembaca atau pemirsa.

Ketika Dewan Pers menetapkan peraturan No.1/ Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Uji Kompetensi Wartawan, tentu kekuatiran pertama adalah kelulusan saya. Bagaimana jika saya yang menduduki posisi pengambil kebijakan (editorial policy) di lembaga tempat saya bekerja, tidak lulus uji kompetensi?

Semua orang (yang merasa senior) tentu punya keberanian sendiri menjawab pertanyaan tersebut. Bagi saya, itu tidak sekadar sebagai tantangan untuk membuktikan saya berkompeten, tetapi juga menjadi kesempatan untuk mengukur apakah keyakinan saya sebagai senior itu beralasan atau sekadar kebetulan sudah lama menjalani profesi sebagai jurnalis.

Pertanyaan yang muncul dalam diri saya menggelitik. Jika di lembaga tempat saya bekerja saya dianggap berkompeten menduduki jabatan penentu sebagai pemimpin redaksi, apakah di lembaga lain saya layak menyandang predikat jurnalis yang berkompeten. Itulah yang menjadi alasan saya mengikuti Uji Kompetensi 2013 tinggat Utama yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Kepri atas nama PWI Pusat. Risiko lulus atau tidak lulus menjadi nomor dua dari tujuan saya. Jika saya lulus pun, saya berharap menjadi lebih segar di usia karier jurnalistik yang belasan tahun.

Dan jika saya gagal di uji kompetensi, saya telah siap untuk memperoleh sebuah pelajaran penting. Orang senior pun masih perlu belajar dan terus disegarkan untuk menjawab perubahan.

Secara polos, seorang wartawan saya yang mengikuti uji kompetensi bersama-sama tetapi untuk level wartawan muda bertanya. Apakah tidak malu kalau nanti tidak lulus? Bisa hilang pamor media yang dipimpin kalau pemimpin redaksinya tidak lulus uji kompetensi. Saya justru balik bertanya. Mengapa malu? Justru saya merasa beruntung karena saya akan dinilai secara obyektif oleh penguji tanpa melihat kedudukan saya, tetapi kemampuan saya secara pribadi sebagai pekerja bidang jurnalistik.

Beruntung, saya akhirnya dinyatakan lulus uji kompetensi Tingkat Wartawan Utama. Pengalaman ikut uji kompetensi membuat saya semakin yakin, siapa pun tetap harus belajar dan terus disegarkan secara obyektif.

Secara pribadi ada dampak spiritual yakni kebanggaan dan

36

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

kepercayaan diri yang bertambah ketika saya dinilai berkompeten oleh lembaga pers di negeri ini. Saya gembira karena tidak saja dianggap berkompeten oleh lembaga tempat saya bekerja sehingga memberi kepercayaan dan tanggung jawab dengan posisi saya saat ini, tetapi juga diberi kepercayaan oleh Dewan Pers memegang kartu Wartawan Utama. ***

*B Richard H Nainggolan

Wartawan Utama :4380-PWI/WU/DP/III/2013/28/08/67 PWI : 32.00.17055.13 Media : HR Tribun Batam Pengalaman : 1996-2000: Wartawan/redaktur HR Pos Kupang 2000-2005: Redaktur HR Tribun Jabar 2005-2008: Menprod/Redpel HR Tribun Batam 2008-2012: Pemimpin Redaksi Tribun Manado 2012-2012: Wapemred Bangka Pos Grup 2012-sekarang: Wapemred Tribun Batam/ BintanNews

37

Pengalaman Mengikuti UKW

Penuh ragu dan pada bertanya-tanya. Apa itu UKW, memang ada manfaatnya? Itulah pertanyaan yang dilontarkan semua calon peserta Uji Kompetensi Wartawan yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Kepri, pertama kali 21-22 Januari 2012.

Wajar, istilah UKW menjadi hal baru karena bertahun-tahun menggeluti profesi wartawan, baru kali ini diuji keabsahan seorang layak atau tidak disebut wartawan.

“Emang buat apa ikut ujian itu, toh tanpa itu pun kita juga wartawan, dan juga boleh meliput dan membuat berita. Emang, kalau tidak ada surat atau sertifikat itu, kita dilarang. Tidak kan, jadi apa pengaruhnya,”tutur seorang redaktur di tempat saya bekerja.

Dedy SuwandhaBendahara PWI Kepri/Wartawan Bersertifikat Madya & Utama/Tribun Batam & Bintan News

Insya Allah Dapat Tunjangan

38

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Beban untuk menjelaskan pertanyaan itu, serasa sangat susah karena sebagai ketua pelaksana UKW I di Provinsi Kepri, pengalaman pun tidak ada, dan memang untuk penyelenggaraan pertama ini, kami pengurus PWI juga menjadi peserta UKW.

Jadi panitia, plus menjadi peserta ujian. Ditambah lagi, beban harus lulus menjadi tambahan tekanan lebih kejam dari dead line sebuah berita.

Saya harus urus editing berita yang layak naik cetak, bercampur mempersiapkan segala hal untuk menjamu tim penguji dari PWI Pusat, plus harus belajar juga apa itu kode etik jurnalistik, serta UU Pers.

Kembali ke pertanyaan seorang redaktur yang memang bukan terlibat dengan organisasi profesi, harus dijawab agar penjelasan secara kritis akan mampu mempengaruhi pendapat wartawan di kantor saya.

Saya pun menjelaskan sesuai kemampuan otak saya. “Gini bro, ujian itu buat kita, dan untuk kita yang akan membedakan kita dengan wartawan yang tidak tamatan kampus alias sarjana. Semua orang bisa jadi reporter tapi, tidak semua orang disebut berprofesi sebagai wartawan. Reporter menulis berita asal bisa, tapi apakah mereka mengetahui, apakah tulisannya bisa dipertanggungjawabkan.”

Nah itu baru penjelasan pertama yang disambut dengan kata sederhana. “ Ye lah,” papar redaktur wanita ini.

Dengan berlalu, teman sejawat redaktur ini, saya pun melanjutkan penjelasan ke reporter dan redaktur lainnya. Walau dalam lingkungan ruangan merokok, penjelasan UKW yang pertama ini adalah harus dipegang untuk seorang reporter.

Reporter yang membuat berita, reporter yang mewawancara nara sumber dan menkonfirmasi berita, yang juga berperan untuk menentukan arah beritanya seperti apa.

Reporter menulis dengan fakta sebenarnya dan lengkap konfirmasinya, jelas memenuhi unsur dan kaidah jurnalistik. Celakanya, reporter menulis dan terbawa emosi dan opini (seperti gosip) ini akan berdampak pada produk beritanya.

Jika berita mengacu kepada keberpihakan negatif dan mengarah pencemaran nama baik, maka proses hak jawab saja tidak akan cukup, dan narasumber merasa keberatan, maka proses pidana akan membayangi reporter dan media tempat mereka bekerja.

Jika menyangkut ranah hukum pidana, di sinilah peran Dewan Pers. Baik nanti sebagai saksi ahli atau di awal memberikan solusi dan pendapatnya.

39

Pengalaman Mengikuti UKW

Nah, bagaimana kita akan didengar Dewan Pers, jika kita sendiri tidak terdaftar nama sebagai wartawan di Dewan Pers, dan jalan dengan UKW inilah yang akan membantunya.

“ Oh, iya juga ya,”ujar reporter mengangguk-anggukan kepalanya.Usai menjelaskan berbatang rokok, percakapan itu pun berakhir.

Sebagai ketua pelaksana saya harus bekerja. Saya pun melengkapi penjelasan itu dengan menempel kertas pengumuman di dinding pengumuman redaksi.

Satu tugas terlaksana. Tugas berlanjut, dan penjelasan berulang-ulang harus dilakukan dengan teman-teman dari media lain di Batam. Beruntung kebersamaan panitia dari berbagai media sangat kompak, dan saling menguatkan pentingnya UKW tersebut. Padahal dalam hati sendiri, baik sebagai panitia dan peserta, tetap bertanya, benar nggak itu yang dijelaskan ke teman-teman.

Menariknya, di tengah keraguan dan kurang peduli reporter atau redaktur media lokal ternama ikut UKW, keinginan ikut serta reporter atau wartawan mingguan atau tabloid biro daerah ikut UKW waktu itu cukup tinggi. Mereka bertanya syarat, selain izin pemred (pemimpin redaksi) media masing-masing. Kami panitia menetapkan juga syarat ijazah terakhir calon peserta.

Rapat penguji UKW, di PIH Batam Centre, menjelang UKW Kepri, 22 Maret 2013. (ist)

40

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Maklum, mereka mingguan ini bukan anggota PWI Kepri, dan dalam hati integritas media mereka dipertanyakan. Untuk tetap mengakomodasi, kami memberikan formulir dan tentu akan diseleksi panitia. “Bagi kami dengan ikut ujian ini, akan jelas kemampuan kami seorang wartawan. Lulus kan kebanggaan juga, jika tidak nasiblah,” tutur kawan bermarga Medan ini.

Peran keberpihakan Pemred ternyata cukup menentukan penting atau tidak UKW diikuti.

Sukses peserta terpenuhi setelah pemred masing-masing media ikut pada UKW tingkat utama, menjelang seminggu pelaksanaan.

Tidak saja sibuk mengurus tempat dan materi, panitia juga berdebar-debar menunggu hadirnya para tim penguji dari PWI Pusat. Tim penguji yang hadir antara lain Noeh Hatumena, Ismet Rauf, Usman Yatim, Kamsul Hasan dan Uyun Achidiat

Hasil dari UKW angkatan I yang digelar PWI Kepri ini, yang dinyatakan lolos dan mendapatkan setrifikasi kompeten hanya 33 orang dari 35 jumlah peserta. Mereka yang dinyatakan kompeten dan berhak mendapatkan setifikasi tingkat Muda masing-masing, Rozi Zulhendra (Posmetro), Teguh Joko Lismanto (Posmetro), Mesa Haris (Posmetro), Zabur A (Tribun Batam), Wiliam Seipattiratu (Batam Pos), Muhamad Rafi (tabloid Tajam), Eddy Supriatna (Haluan Kepri), Zaki Setiawan (Haluan Kepri) Abas (Tanjungpinang Pos) Martua Butar-Butar (Tanjungpinang Pos), Martunas Situmeang (Tanjungpinang Pos), Adi Wiyono (Batam TV) dan Ahmad Taher (Batam Pos), Herman (Radar Kepri).

Untuk tingkat Madya yang dinyatakan Kompeten antara lain Said Sirajudin (Posmetro), Alib Murniman (Posmetro), Muslim Piliang (RRI), Alfian Zainal (Tribun Batam), Dedy Suwadha (Tribun Batam) M Syahdan (Haluan Kepri), Andi (Haluan Kepri), Ramli (Haluan Kepri), Abd Hamid (Batam Pos), Heri Sembiring (Batam Pos), Freddy (Majalah Tras) dan Dwi Kemalawaty (Radar Kepri).

Selanjutnya untuk tingkat Utama yang lulus UKW masing-masing, Ramon Damora (Posmetro), Haryanto (Posmetro), Ahmad Suroso (Tribun Batam), Yon Erizon (Haluan Kepri), Arham (Tanjungpinang Pos), Saibansah Dardani (Majalah Pengusaha Indoneisa) dan Moel Akhyar (Tabloid Putra Kelana).

Nama-nama di atas dapat dilihat oleh masyarakat atau narasumber bisa mengetahui status wartawan tersebut apakan sudah kompeten dan memiliki sertifikasi melalui alamat website Dewan Pers, www.

41

Pengalaman Mengikuti UKW

dewanpers.org. Nama-nama wartawan yang sudah bekompeten dan memiliki sertifikat sesuai tingkatannya dapat terlihat dalam website itu. Bahkan foto wartawan itu sendiri akan ditampilkan beserta biodata singkatnya.

Pelaksanaan UKW ditutup dengan penyerahan secara simbolik piagam tanda peserta. Terbaik Utamanya Ramon Damora, Terbaik Madya Dedy Suwadha dan terbaik Muda Bagong Sastranegara. Usai menyerahkan piagam ke seluruh peserta, di sinilah inti tulisan ini diungkap.

“Buat apa ya kalau udah lulus, bakal naik gaji nanti, bakal dapat tunjangan kah, atau langsung jadi redaktur kalau udah lama reporter?” celoteh peserta yang disambut tertawa peserta lainnya.

Sejenak saya pun terdiam, dan membenarkan pertanyaan itu. Otak saya pun berpikir, dan membandingkan profesi yang hampir 10 tahun saya geluti. Guru adalah profesi, dokter juga profesi dan begitu juga dengan pengacara. Dua profesi di atas begitu mendapat perhatian penuh dari pemerintah pusat. Ragam tunjangan jabatan dan kompetensi mereka pegang berdampak lurus dengan gaji yang mereka terima setiap bulan. Wajar, dana itu telah dialokasikan dalam APBD dan APBN tiap tahunnya.

Lalu bagaimana profesi wartawan, bisakah kawan-kawan menikmati apa yang dirasakan oleh profesi seperti guru atau dokter? Tentu pertanyaan ini dapat dijawab jika memang organisasi kewartawanan bisa mengupayakannya.

Ragam argumen dan penelitian tentu diperlukan untuk mewujudkan. Jika wartawan pemegang kartu UKW bisa sejahtera, baik dari gaji kantor ditambah insentif atau tunjangan dari pemerintah, tentu pendapat wartawan amplop yang ditentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat diminimalisir.

Tidak ada yang tidak mungkin, jika cerita tunjangan ini dapat diwujudkan. Hanya kita yang satu profesi yang bisa memperjuangkan, dan Insya Allah, kalau niat baik untuk bersama akan bisa dikabulkan. Jumat 6 Desember 2013 (***)

42

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Pagi itu, Januari 2012, ruangan di Hotel PIH Batam terasa beda. Wajah-wajah yang hadir di ruangan itu terlihat tegang, cemas, dan serius. Tidak ada tawa lepas, termasuk saya.

Apalagi, saat Bapak M. Noeh Hatumena, yang mewakili pengurus PWI Pusat sekaligus menjadi penguji mulai membuka acara dan menjelaskan soal latar belakang serta manfaat Uji Kompetensi Wartawan (UKW) bagi wartawan. Satu kalimat yang bikin cemas: Tak ada jaminan semua kompeten!

Wajar rasa tegang dan cemas menghias. Soalnya, ini merupakan tes UKW pertama di Kepri. Jadi, belum ada bocoran seperti apa tesnya. Kita masih meraba-raba. Apalagi dalam pemaparan itu disebutkan juga jika salah satu mata uji gagal, maka gagal semua ujian yang kita lakukan.

Herianto SHWartawan Utama/PWI Riau

Untung Ada Selamat

43

Sebenarnya, bukan soal tesnya itu yang membuat tegang. Tapi, tekanan mental seandainya tidak kompeten. Apa kata teman-teman di kantor. Lalu kawan-kawan seperjuangan di organisasi PWI. Saya yakin, pasti akan menjadi gunjingan yang akan dibicarakan terus menerus. Dan, pastinya setiap ada tes UKW.

Apalagi, saat tes UKW angkatan I di Kepri itu digelar, saya yang mengoprak-oprak teman-teman di media saya bekerja, agar pada ikut tes UKW semua. Bahkan saya setengah memaksa mereka ikut ujian. Jawabannya tentu beragam. Ada yang langsung bilang siap. Ada yang bilang berani tapi belum siap, dan ada yang minta agar nunggu ujian berikutnya.

Sebetulnya, apa yang jadi pertanyaan teman-teman sama juga yang ada di kepala saya. Apa sih materi yang akan diujikan. Tapi, agar teman-teman saya mau ikut, maka saya bilang saja, pokoknya tesnya tak jauh dengan apa yang kita kerjakan selama ini. Itulah, yang membuat mantap keinginan kawan-kawan untuk ikut. Sebenarnya, saya sendiri grogi tapi sengaja saya simpan, agar kawan-kawan tetap percaya diri.

Ujian pun dimulai. Peserta dibagi dalam tiga tingkatan, yakni wartawan utama, madya, dan muda. Tingkat Madya dan Muda dibagi lagi menjadi kelompok kecil yang beranggotakan 7 peserta. Kebetulan saya ikut dalam kelompok utama bersama 6 sahabat saya dari media lain, Saibansah Dardani, Yon, Arham, Ahmad Suroso, Mul Akhyar, dan ketua PWI Kepri Ramon Damora. Pengujinya adalah Pak M. Noeh Hatumena, wartawan senior, mantan pimpinan di LKBN (Lembaga Kantor Berita Nasional) Antara.

Bisik-bisik sebelum tes dimulai. Penguji untuk tingkat utama ini disebut-sebut sebagai penguji killer. Sepintas memang apa yang dibisikkan sahabat saya itu mendekati kenyataan. Kelihatan angker, karena sosoknya pendiam. Tapi, setelah ujian dimulai justru saya sangat suka dengan cara mengujinya. Asyik, tegas tapi bijaksana.

Ada tujuh materi yang diujikan untuk tingkat utama, yakni memimpin rapat redaksi, mengevaluasi rencana liputan, menentukan bahan liputan layak siar, menulis opini atau tajuk, mengarahkan liputan investigasi, kebijakan/merancang rubrikasi, jejaring dan lobi. Nilai minimal untuk bisa lulus masing-masing materi 70, dengan skala 0-100. Bagi peserta yang tak puas dengan penilaian penguji, boleh menggugatnya.

Setelah tes berjalan, akhirnya ketegangan itu pun cair. Seperti rabaan awal, ternyata tes yang dilakukan sama seperti apa yang kita kerjakan sehari-hari. Untuk media yang saban hari terbit, kegiatan rutin seperti

Pengalaman Mengikuti UKW

44

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

yang diujikan itu memang makanan sehari-hari.Hal menyenangkan, saat tes dilakukan kita bisa berdiskusi dengan

penguji. Banyak masukan yang kita terima. Bahkan, ada beberapa kasus yang akhirnya membuka wawasan saya agar lebih berani dalam kegiatan jurnalistik. Apalagi dengan pengalaman segudang dari Pak M. Noeh Hatumena di dunia kewartawanan, sehingga sejujurnya saya harus berterima kasih karena telah diberi kesempatan untuk menimba ilmu darinya.

Sebenarnya, dari semua mata uji yang dilakukan, ada satu mata uji yang membuat tegang bahkan mendekati stress, yakni jejaring dan lobi. Di sini, peserta diminta menghubungi langsung narasumber. Kapasitas dan jabatan narasumber menjadi penilaian.

Kata Pak Noeh, untuk tingkat wartawan utama harus pejabat pusat. Minimal setingkat menteri atau lembaga tinggi negara. Nama pejabat yang dihubungi akan mempengaruhi nilai. Tentunya, semakin tinggi jabatan, maka akan semakin tinggi pula nilai yang didapat.

Ini yang membuat lemas. Soalnya, meski nilai kita sebelumnya bagus, tapi kalau ‘’jatuh’ dalam ujian jejaring, maka hangus semua nilai mata uji yang sudah kita lakukan sebelumnya, alias tidak kompeten. Di sinilah ketegangan itu memuncak. Nasib kita juga ditentukan oleh orang lain.

Ya, kalau diangkat telepon kita, kalau tidak habislah. Apalagi uji jejaring dan lobi ini dilakukan di hari Minggu, di mana pejabat pada libur. Belum lagi kalau pas kita telepon lagi ada rapat, lagi shalat, atau lagi pergi ke toilet. Soalnya, ada teman saya yang pas menelepon pejabat itu lagi menghadiri undangan pesta. Mungkin karena ramai, jawabannya ya cuma: hallo, hallo, tidak kedengaran. Lagi undangan, sms saja.

Sebenarnya, sebelum tes dimulai, saya sudah menghubungi beberapa orang pejabat dari sekitar 20-an orang pejabat yang daftarnya saya setorkan ke penguji. Pejabat-pejabat itu saya minta agar mengangkat telepon kalau saya bel. Bahkan, saya sempat bercanda mengancam. ‘’Pak kalau tidak diangkat akan bertambah satu orang lagi pengangguran.’’

Sayangnya, nama-nama yang sudah saya hubungi itu sudah ditelepon duluan oleh peserta lain di tingkat utama. ‘’Nama-nama itu barusan dihubungi, harus orang yang berbeda,’’ kata Pak Noeh.

Duh, skenario meleset. Akhirnya, saya hubungi pak Hardi Selamat Hood, senator DPD RI dari Kepri. Saya memang belum menghubungi untuk buat janji sebelumnya. Tapi sekali telepon langsung diangkat. Syukurlah, Pak Selamat bikin selamat.

45

Dan, alhamdulillah, setelah dilakukan evaluasi dan penilaian, akhirnya saya dinyatakan kompeten. Bersyukurnya, seluruh peserta di tingkat utama (tujuh orang) semuanya dinyatakan kompeten. Ditambah, wartawan media tempat saya bekerja yang ikut UKW juga dinyatakan kompeten semua. Plong. Lega rasanya. Rasa penat selama dua hari mengikuti uji kompetensi wartawan terlunasi karena dinyatakan kompeten.

Hanya, dalam perkembangan selanjutnya, banyak kawan-kawan yang bertanya, apa manfaat dari UKW itu? Apakah kalau seorang wartawan yang sudah mengantongi sertifikat kompeten, maka gajinya akan naik dan dibedakan dengan wartawan yang belum kompeten? Banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain.

Tentu saja jawaban yang saya lontarkan jawaban normatif. Di era kebebasan seperti ini memang dituntut seorang wartawan yang profesional. Wartawan yang teguh dengan kode etik jurnalistik, dan harus didukung keilmuan, pengetahuan luas sekaligus mengaktualisasikannya

Tapi, ada juga teman wartawan yang mempertanyakan, bukankah yang menilai seorang wartawan itu kompeten atau tidak adalah pembaca, bukan penguji. Dari karya-karya yang dibuatnya itu akan kelihatan apakah wartawan itu memang kompeten atau hanya abal-abal.

Terlepas dari perdebatan itu, secara pribadi saya tetap setuju wartawan memang harus ada uji kompetensi. Di sinilah akan terlihat apakah yang dilakukan oleh seorang wartawan itu memang benar-benar pekerjaan jurnalistik, atau hanya mengaku-ngaku sebagai wartawan. Dari materi yang diujikan jelas, kalau memang kegiatan itu benar-benar dikerjakan sehari-hari, maka yakin pasti kompeten.

Atau, sudah layak dan pas kah posisi yang dijabatnya di media itu? Bisa jadi, mestinya jabatan yang dibebankan itu belum saatnya mereka emban, tapi karena perlakuan khusus sehingga dikarbit dan bisa menduduki jabatan penting dalam sebuah media.***

Pengalaman Mengikuti UKW

46

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Uji Kompetensi Wartawan (UKW) adalah barometer untuk menentukan standarisasi bagi pewarta dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai agen perubahan di Indonesia. Semua hal yang diujikan melalui tim dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat adalah segala sesuatu yang biasa dan rutin dilakoni untuk melaksanakan tugas sebagai jurnalistik.

Namun yang namanya manusia, bukan makhluk yang sempurna, sudah barang tentu ada kekurangan. Jadi ada merasakan grogi dan was-was ketika menjalaninya. Ironisnya, hal-hal positif ‘termakan’ dengan pikiran negatif. Padahal sebelum menjalaninya, telah mempersiapkan diri dengan membaca segala wacana yang berhubungan dengan kerja kewartawanan. Mulai dari menghafal kode etik jurnalistik hingga

Eddy SupriatnaWartawan Haluan Kepri/Wartawan Madya

Sering Dilakukan, Sulit Disebutkan

47

Undang-Undang nomor 40 Tahun 1999 tentang pers.Meskipun sudah menghafal dengan baik setiap BAB, Pasal hingga

Ayat-ayat yang tertuang dari aturan itu, tetap saja belum mampu mengobati resah dan gelisah. Jadi ada kesan UKW itu sendiri seperti sosok hantu, belum tahu bentuknya tetapi sudah terkalahkan dengan rasa takut terlebih dulu.

Setelah menjalani tahapan demi tahapan yang diujikan tersebut, baru rasa takut, gelisah dan gundah gulana pun sirna. Apalagi mampu melewati setiap tahapan itu dengan baik dan atau dinyatakan lulus oleh penguji. Seketika, hal negatif muncul dengan sendirinya. Di antaranya sudah merasa menjadi wartawan hebat dengan embel-embel baru sebagai wartawan yang kompeten.

Mengingat kembali perjalanan untuk mengikuti UKW itu sendiri, sebenarnya setiap tahapan itu adalah sesuatu yang biasa dijalani. Namun secara teori, harus diakui memang mengalami kesulitan untuk menyebutkannya. Meskipun mengetahuinya, bahkan ada keraguan untuk mengatakannya. Namun hal positif dari UKW itu sendiri, dapat memperbaharui ilmu jurnalistik yang dimiliki, baik secara teori maupun praktek.

Setelah lulus dan mendapat gelar wartawan kompeten, menjadi tantangan tersendiri tentunya. Dengan label baru itu, ada harapan besar yang digantungkan kepada wartawan yang bersangkutan. Setidaknya, mampu mengubah citra dan bayangan gelap tentang dunia kewartawanan itu sendiri. Setiap tahapan dalam UKW itu dapat dijadikan pedoman dalam menjalankan aktivitas jurnalistik.

Hal di atas hanya dampak biasa dari sebuah bentuk target utama sebenarnya dari tujuan UKW itu sendiri. Pasalnya, UKW itu adalah suatu metode sederhana untuk melakukan pendataan terhadap jumlah wartawan. Soalnya, begitu mudahnya seseorang untuk mendapatkan kartu pers maka semakin banyak dugaan pencederaan terhadap kode etik jurnalistik. Wartawan seolah tidak memerlukan suatu pelatihan khusus sehingga siapapun mudah mendapat predikat wartawan. Banyak ditemukan, mulai dari tukang ojek, wanita malam dan orang-orang yang belum layak, dengan mudah untuk mendapat status wartawan.

Tidak dapat dipungkiri, kondisi ini membuat situasi dan kondisi serta kredibelitas jurnalis ternodai. PWI sebagai organisasi profesi wartawan, begitu pula Dewan Pers lembaga yang melindungi kebebasan pers, banyak menerima laporan dari masyarakat. Laporan itu menyatakan merasa dirugikan dengan tindakan wartawan dan banyak yang tersakiti

Pengalaman Mengikuti UKW

48

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

akibat dari kinerja jurnalis.Untuk itu, diperlukannya suatu metode dan pola khusus untuk

mencegahnya. UKW inilah yang menjadi langkah untuk mencegah segala sesuatu yang akan mencederai kinerja kita. Sebagai insan yang senang menuangkan segala sesuatunya melalui tulisan, tentu saja saya tidak menginginkan profesi ini memunculkan dampak dan citra negatif dalam kehidupan masyarakat.

Langkah masyarakat pers untuk melaksanakan uji kompetensi ini patut didukung penuh. UKW ini dapat membenahi marwah dunia jurnalistik. Kita kembali pada konsep demokrasi: dari, untuk dan oleh kita.***

49

Ujian Kompetensi Wartawan (UKW) yang saya ikuti diselenggarakan atas kerjasama PWI Pusat dengan PT Astra, Tbk. Ujian yang dilaksanakan di kantor PWI Jaya cukup baik dan bermutu. Artinya, apa yang dilakukan tim penguji sebenarnya tidak telalu sulit. Apa yang menjadi materi uji kepada peserta ujian atau UKW, adalah pekerjaan sehari-hari di kantor. Kecuali peserta uji tidak pernah melakukan pekerjaan sebagai Pemimpin Redaksi ataupun setidaknya belum memperoleh predikat Redaktur Pelaksana, tentulah akan kewalahan.

Saya selaku peserta uji jenjang utama dinyatakan lulus oleh tim penguji saat itu. Bapak Marah Sakti Siregar, menyatakan bangga karena yang lulus dengan status Wartawan Utama masih sedikit. Apalagi

Pengalaman Mengikuti UKW

James TobingPemimpin Umum/Pemimpin Redaksi SK Dialog, Jakarta.

Honor Penguji Harus Memadai

50

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

yang tanda tangan kartu pers kompetensi itu adalah orang tua saya saat mengkal di Mahkamah Agung yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pers, Bapak Profesor DR.Bagir Manan, SH,MH. Jadi saya kini memiliki dua Kartu Pers, yaitu satu lagi yang menandatangani Ketua Umum PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat yang juga petinggi di Koran Jawa Pos Grup, Bapak Margiono.

Saran saya, tempat dan sarana serta prasarana kegiatan UKW haruslah lebih memadai. Ruangan haruslah setenang mungkin. Penguji sudah seharusnya tegas kepada peserta uji, apakah tingkat Muda, Madya dan Utama. Peralatan seperti laptop dan Modem ataupun flasdisk harus benar-benar sudah disiapkan. Bila peralatan tidak lengkap dapat menjadi pengganggu kelancaran UKW.

Penguji sudah selayaknya mengajak bincang-bincang peserta yang akan diuji guna mengetahui latar belakang ilmu pengetahuan maupun statusnya di tempat kerja. Hal ini penting guna dijadikan pegangan bagi penguji. Penguji harus adil dan tidak berpihak. Janganlah membantu yang tidak layak atau belum kompeten. Hal ini sangat berbahaya karena kredibilitas lembaga penguji akan menjadi taruhan. Kalau belum kompeten silakan mengulang kembali dengan batasan waktu yang telah ditentukan oleh kesepakatan lembaga uji.

Wawancara awal oleh penguji terhadap yang diuji sangat penting. Penguji jangan menyamaratakan status peserta yang diuji. Sebab, ada beberapa pertanyaan yang ada di modul sulit dijawab. Contohnya, menjawab pertanyaan seandainya peserta uji adalah pemimpin redaksi merangkap pemilik. Pastilah beda penjelasannya di jawaban dengan yang murni pekerja digaji sebagai pemimpin redaksi. Jadi penguji harus bisa membedakannya.

BiayaMasalah biaya UKW tidak terlalu mahal dan masih terjangkau.

Namun, sudah selayaknya PWI Pusat melakukan lobi-lobi guna mendapatkan sponsor untuk pelaksanaan UKW. Tolong honor penguji besarnya memadai. Begitu juga pendamping penguji juga harus diberi honor

Sanksi bagi penguji yang melanggar dalam hal pemberian nilai harus jelas. Tim pengawas penguji juga harus ada. Jadi jangan hanya mengawasi peserta uji tapi juga pengujinya. Bila perlu di akhir ujian para peserta uji diberikan selebaran angket tentang penguji dengan beberapa kriteria.

51

Kesan saya, penguji sepertinya hanya itu-itu saja. Penguji juga harus punya standar TOT (Training of Trainers). TOT buat penguji Muda, Madya maupun Utama harus dapat dibedakan. “Bagaimana penguji UKW untuk Utama sementara belum pernah menjadi pemimpin redaksi di sebuah penerbitan. Padahal pengalaman menjadi pemimpin redaksi sangat relevan dengan mata uji Utama.

Nilai pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang selama ini 30 kalaulah boleh dinaikkan menjadi 40. Artinya, bila seseorang peserta uji sudah tidak memahami atau mengetahui Kode Etik Jurnalistik, mau jadi apa. Sebab, KEJ adalah wajah dari Pers Indonesia.

Saya sependapat, UKW perlu terus dilanjutkan, menjadi program utama. Tidak hanya PWI Pusat tapi segenap PWI tingkat provinsi. UKW kita perlukan agar jelas mana yang benar-benar wartawan dan mana yang bukan wartawan. Identitas wartawan profesional dan kompeten harus ditunjukkan dengan memiliki sertifikat kompeten dan Kartu Pers yang dikeluarkan Dewan Pers bersama organisasi profesi, seperti PWI. Lewat UKW, profesionalisme wartawan Indonesia yang berwawasan dan beretika dapat pula ditingkatkan.

Demikian catatan kecil saya dari mengikuti UKW yang diselenggarakan di PWI Jaya. Terima kasih.

Pengalaman Mengikuti UKW

52

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Uji Kompetensi Wartawan? Proyek apalagi ini. Demikian pikiran pertama di benakku. Sedangkan pemilihan siapa yang berhak mendapat Press Card Number One saja tidak jelas walaupun sebenarnya sudah ada acuannya. Terasa betul itu sangat subyektif walau mungkin pemikiranku sendiri pun subyektif.

Perasaanku mengatakan, aku sudah memenuhi kriteria untuk mendapatkan Press Card Number One. Nyatanya tetap saja tidak, atau jangan-jangan tidak bakal mendapatkan sertifikat itu. “ Emang masalah buat gue,” mungkin begitulah ungkapan sekarang. Terpenting kita senang dan mau bertanggung jawab dalam melaksanakan kerja sebagai wartawan. Bahasa “Melayu jangkung”nya mungkin tetap menjaga wartawan dan harkat sebagai manusia.

Sakti Sawung UmbaranPenguji UKW /PWI Jaya

UKW Memang Harus Diikuti

53

Pengalaman Mengikuti UKW

Lah, sudah tiap kali melakukan praktik sebagai wartawan kok masih diuji lagi. Lagi pula memangnya siapa PWI yang bisa-bisanya mengeluarkan kebijakan? Untuk menjadi penguji UKW (Uji Kompetensi Wartawan) pun rasanya sudah pantas seperti beberapa teman yang menerima tugas itu.

Tapi sisi lain hati ini mengatakan , jangan pusingkan keadaan yang sering terjadi seperti itu. Lagi pula buat apa hidup kalau tidak “ rock and roll.” Tidak senang tantangan. Sebenarnya hati ini senang juga. Maka jadilah, aku mendaftarkan diri ikut UKW angkatan pertama. Hasilnya, aku memang dinyatakan kompeten tapi harus jujur pula memang seperti sering terjadi, kembali aku merasakan diri ini memang banyak kekurangan dan patut terus belajar.

Pengalaman sangat berharga adalah betapa kita merasakan harus disiplin, terutama disiplin berpacu dalam melodi, eh maaf, berpacu dengan waktu dan menjalankan etika yang mungkin selama ini sering kulanggar ,sengaja atau tidak.

Intinya, UKW memang pantas dilakukan, harus diikuti untuk orang yang punya kesadaran, senang tantangan dan ingin mempunyai kelayakan, termasuk orang macam diriku yang mungkin tipis batasan antara pede (percaya diri) dan narsis. Setidaknya, untuk berkelakar ala wartawan aku biasa mengatakan ini lho aku, sudah ikut UKW, bukannya sekadar mampu mendekati teman yang punya kesempatan dipercaya sebagai pengambil keputusan.Kiranya UKW berguna untuk insan pers yang memiliki pemahaman serupa dan juga punya kesadaran yang jernih.

Kemudian, aku mendapat kepercayaan menjadi salah satu anggota tim penguji. Tentu masih banyak kekuranganku tapi setidaknya aku bisa belajar menghargai orang dan menghargai diri sendiri walaupun masih juga berasa pemilihan menjadi penguji kelompok muda, madya atau utama juga masih “koncoisme” tidak jelas. Mudah-mudahan sih tidak demikian. Lagi-lagi “Emang gue pikirin?”

Aku bukan siapa-siapa tapi siapa juga yang bisa melarang aku mengajukan buah pikiran yang merdeka. Hendaknya, siapapun penguji jangan punya keinginan membentuk peserta uji sesuai kehendak mereka. Mengujilah dengan acuan yang sudah diatur dan disepakati sehingga sebenarnya mata uji tidak perlu seolah mencari kesalahan satu-sama lain.

Kasihan jika sampai ada orang yang butuh, menggunakan ajang UKW ini sebagai mata pencarian (sebenarnya sah saja) dan melakukan

54

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

hal apapun untuk selalu dikirim sebagai penguji, masa bodoh dengan orang lain. Berkata seolah-olah dia idealis, punya otak, padahal sebenarnya tidak bersikap. Mudah-mudahan ini tidak ada. Bukankah insan pers harus bersikap tapi sikap yang bagaimana?

Nilai mata uji yang meliputi etika dengan demikian patut mendapatkan apresiasi. Patut ada pembobotan. Ada lagi hal yang juga jangan sampai mengganggu. Pemilihan anggota tim penguji, siapa yang sering, siapa yang seperti pelengkap saja jangan sampai terjadi. Ini kalau mau menegakkan harkat dan martabat. Semoga UKW makin maju, makin berkualitas, makin bermartabat dan makin mencakup hal positif. Mari bekerja. ***

Sekjen PWI Pusat Hendry Ch Bangun membuka resmi kegiatan UKW sekaligus menyampaikan petunjuk teknis UKW. (ist)

55

Pengalaman Mengikuti UKW

DALAM menjalani kehidupan, termasuk menekuni dunia kewartawanan, saya lebih mengutamakan proses dari pada tujuan akhir. Meski usia dan pengalaman kerja sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan kartu atau pengakuan kompeten dari Dewan Pers, saya lebih memilih mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW).

Mengikuti UKW pertama yang dilaksanakan PWI Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), 11-12 November 2011, bukan tanpa beban. Sebagai Ketua PWI DIY bebannya sangat berat. Selain mengatasi persoalan atau kegelisahan diri sendiri, saya juga berusaha menenangkan peserta lain, anggota PWI.

SihonoKetua PWI DI Yogyakarta/Penguji UKW

UKW Mematangkan Profesionalisme Wartawan

56

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Jujur, ketika memberikan sambutan dan mengharap teman-teman wartawan untuk tenang mengikuti ujian, saya sebenarnya dalam hati juga merasa was-was. Soalnya materi ujian tidak tahu, sistem penilaiannya juga tidak mengerti. Lebih dari itu, pengujinya juga belum diketahui sehingga rasa was-was tidak lulus itu wajar dan manusiawi.

Dengan beban yang berat itu, justru memacu saya untuk belajar dan mempersiapkan diri mengikuti ujian kompetensi wartawan dengan sungguh-sungguh. Dengan persiapan yang matang, alhamdulillah saya dinyatakan kompeten oleh penguji untuk Kategori Wartawan Utama dengan nilai tertinggi.

Selanjutnya, tiga peserta dengan nilai tertinggi UKW diminta PWI Pusat untuk mengikuti Training of Trainer (ToT) di Cisarua, Bogor, Jawa Barat ( Jabar), sebagai syarat menjadi penguji. Syarat untuk menjadi penguji UKW dari PWI tidak hanya nilai tertinggi saat mengikuti ujian dan mengikuti ToT, tetapi juga harus membuat makalah, magang tiga kali dan dinilai kelayakannya oleh Dewan Penguji.

Tiga kali magang, saya lakukan di Yogyakarta (DIY), Solo ( Jateng), dan Surabaya ( Jatim). Menjadi pemagang itu ujian yang cukup berat. Kita harus membiayai sendiri transportasi dan akomodasinya, serta dinilai oleh penguji utama atau penguji yang menjadi mentor.

Penilaian itu meliputi unsur integritas, obyektivitas, dan kompetensi. Integritas terkait dengan kejujuran, ketelitian, tanggung jawab, dan kesungguhan. Sedangkan obyektivitas meliputi penilaian sesuai fakta, bukan karena hubungan, dan tidak menerima pemberian. Kemudian kompetensi, yakni penilaiannya sesuai dengan standar pedoman uji kompetensi PWI.

Setelah mengikuti semua prosedur, akhirnya saya ditetapkan sebagai Penguji UKW dari PWI Pusat. Sampai Desember 2013, saya sudah menguji UKW di berbagai wilayah di Indonesia, antara lain di Yogyakarta (DIY), Semarang ( Jateng), Tegal ( Jateng), Denpasar (Bali), Manado, Aceh (NAD), dan Kendari (Sultra).

Dari beberapa wilayah tempat uji kompetensi wartawan itu, pengalaman yang mengesankan, saat saya menguji di Kendari, Sulawesi Tenggara. Malam terakhir ujian, 15 November 2013, pukul 22.47.16, HP-ku berdering. Setelah saya buka, ternyata SMS dari salah satu peserta yang saya nyatakan belum kompeten untuk materi uji Menulis Feature.

Isi pesannya “Selamat malam bang, mohon maaf mengganggu jam istirahatnya, saya ..... (maaf, nama tidak saya sebutkan) yang ikut UKW

57

Pengalaman Mengikuti UKW

tadi, mohon pertimbangannya bang, apakah saya ini lulus UKW soalnya ada satu yang tidak kompeten, sekali lagi mohon info supaya bisa tenang bang. Tks bang”.

Pesan itu mengusik pikiran dan menjadi tantangan saya tentang bagaimana memberi pengertian kepada peserta UKW tersebut agar bisa menerima hasil ujiannya. Ada sembilan materi yang diujikan untuk peserta UKW kategori Wartawan Madya. yakni Rapat Redaksi, Identifikasi Liputan, Analisis Bahan Liputan Terjadwal, Investigasi, Menulis Feature, Menyunting, Isi Rubrik, Jejaring, dan Evaluasi Liputan.

Dari Sembilan materi uji itu, peserta yang sms itu belum kompeten untuk Penulisan Feature. Maka saya jawab SMSnya, “Maaf mas, ada satu mata uji (Penulisan Feature) yang tidak sesuai dengan syarat kompeten (minimal 7 paragraf/alinea). Tadi karya mas, hanya 5 paragraf. Saya tidak bisa ngatrol, karena hasil karya dilampirkan dan dikirim ke Dewan Pers. Kali ini belum kompeten untuk Wartawan Madya (redaktur). Jangan patah semangat, karena besok justru akan lebih baik dari wartawan lain, asal terus belajar dan memperbaiki diri” (terkirim 22:03:26, 15-11-2013).

Alhamdulillah, salah satu peserta UKW di Kendari Sultra, 14-15 November 2013 itu, menerima dengan kebesaran hati. “Oke bang, sukses untuk abang,” inilah balasan SMS-nya.

Akhirnya, saya akan tetap meyakini bahwa proses akan mematangkan seseorang dari kehidupannya, baik kehidupan sehari-hari, maupun dalam menekuni profesinya. Menjalani profesi kewartawanan dari bawah, mulai magang, reporter, redaktur, redaktur pelaksana, sampai pemimpin redaksi merupakan proses yang mematangkan seseorang menjadi wartawan profesional. Jalan pintas tidak akan pernah mematangkan seseorang.***

58

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Robertus Rimawan Prasetiyo galau! Editor Online Harian Pagi Tribun Manado yang punya blog pribadi www.robertussenja.com tersebut dinyatakan tidak lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW) untuk kelompok muda yang diselenggarakan PWI Pusat di Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara, Juli 2012. Di tempat kerjanya, Robertus pun tercatat sebagai karyawan terbaik pada tahun 2011.

“Jelas tidak terima. Saya galau, mungkin galau tingkat akut mengalahkan anak alay nusantara,” kata Robertus ketika saya bertanya kepadanya bagaimana perasaanmu tidak lulus UKW? Sampai saat ini Robertus selalu mengingat nama Ibu “Siti”, pengujinya kala itu. “Bu Siti oh Bu Siti. Beliau akan selalu saya kenang,” ujarnya sambil terkekeh.

Dion DB PutraKetua PWI Provinsi Nusa Tenggara Timur

Kegalauan Robertus Prasetiyo

59

Pengalaman Mengikuti UKW

Awalnya, kata Robertus, dia menganggap penguji bersikap subjektif saat menilai berita features yang dia tulis. Karangan khas itu menurut penguji tidak melewati standar nilai minimal. “Saat itu saya menganggap penguji sangat subjektif, muncul dugaan penguji menilai bukan kemampuan saya tapi karena faktor suka dan tidak suka. Setelah itu saya print tulisan saya lalu menyiapkan surat gugatan untuk penguji UKW atas ketidaklulusan saya. Bahkan saya menyampaikan kepada atasan saya bahwa selama ini dipercaya sebagai editor online, edit berita rekan-rekan reporter tapi uji kompetensi tak lulus. Itu artinya saya tak mampu. Kalau memang tak mampu lebih baik saya jangan jadi editor online dan kembali jadi reporter, turun ke lapangan untuk belajar kembali,” kata Robertus.

Mendengar keluhan itu, atasannya yakni Pemimpin Redaksi Tribun Manado Ribut Raharjo dan Koordinator Liputan Charles Komaling dan Wakil Koordinator Liputan Donald Aswin Lumintang membesarkan hari Robertus. Mereka menekankan bahwa penguji UKW dari PWI Pusat tentu menguji sesuai kriteria yang sudah dipatok. Ketika seorang wartawan dinyatakan tak lulus UKW, artinya dia belum berkompeten. Hal itu tidak berkorelasi dengan posisi Robertus dalam institusi media sebagai wartawan senior atau editor.

“Atasan saya menyarankan agar mengikuti tes kembali di periode selanjutnya dan diminta membuktikan kalau saya mampu. Itu yang menjadi pijakan saya. Ikut uji kompetensi yang diselenggarakan PWI memang berat, berat bukan karena lelah tapi lebih pada psikis. Kalau lulus uji itu wajar karena profesi saya sehari-hari namun kalau tak lulus merasa malu luar biasa, karena dianggap tak mampu. Pada UKW selanjutnya bulan Oktober 2012 di Manado, saya datang dengan tekad kuat.

Sebelum ikut UKW, saya belajar. Buku tes yang lalu kembali saya pelajari, apa-apa saja yang sekiranya bisa menggagalkan uji kompetensi, saya minimalisir. Saya ingin membuktikan bahwa saya mampu, mampu karena saat kuliah sudah bertahun-tahun ikut pers mahasiswa. Sambil kuliah jadi reporter radio dan presenter televisi di kota asal saya di Yogyakarta dan empat tahun sebagai wartawan lalu naik jadi editor, saya yakin saya bisa,” kata Robertus dengan mimik semangat.

Pengalaman pahit pada UKW pertama menyadarkan Robertus menyiapkan diri dengan sungguh-sungguh. Dan, dia meraih hasil di luar prediksinya sendiri. Dari seorang pecundang, dia tampil sebagai pemenang!

60

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

“Ternyata di luar perkiraan, saya malah dinyatakan sebagai peserta yang lulus terbaik untuk uji kompetensi wartawan muda. Saya diundang maju ke panggung menerima sertifikat secara simbolis dari penguji. Puji Tuhan, luar biasa. Sikap awal membenci penguji kini sebaliknya, justru saya mengucapkan terima kasih karena saya mendapatkan pelajaran penting, tak terlupakan, amazing, spektakuler.

Bu Siti memang istimewa. Penguji ‘killer’ yang patut jadi standar. Bayangkan kalau semua penguji UKW seperti Bu Siti hanya ada dua kemungkinan, kemungkinan pertama banyak wartawan andal tercipta dan kemungkinan kedua banyak wartawan tak lulus uji kompetensi,” kata Robertus Prasetiyo.

Bangga sebagai WartawanSaya tidak hanya menemui Robertus Prasetiyo yang belajar dari

kegagalannya mengikuti UKW. Saya pun sempat berbincang dengan beberapa wartawan lagi, peserta UKW baik yang berlangsung di Manado maupun di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka yang sudah melalui UKW dan dinyatakan lulus oleh tim penguji merasa lebih percaya diri dan bangga menjalani profesinya.

Perasaan itu antara lain diungkapkan Yudith Rondonuwu, wartawati Harian Tribun Manado yang merupakan Peserta Terbaik Kelompok Madya UKW yang diselenggarakan PWI Pusat di Manado, Oktober 2012.

“Setelah ikut uji kompetensi saya menyadari betapa pentingnya mengerti teori-teori jurnalistik dan penerapannya di lapangan. Kemudian belajar kerja sama tim, mengelola berita agar tidak menjadi bumerang bagi masyarakat. Sebab, satu goresan pun bisa menghancurkan kehidupan satu orang bahkan satu lembaga atau negara. Mengikuti uji kompetensi membuat saya merasa sangat bangga menjadi wartawan. Apalagi tidak semua yang ikut ujian kompetensi bisa lulus, itu artinya ada standar yang membuat kualitas seorang wartawan benar-benar teruji,” demikian Yudith.

UKW menuntut seorang wartawan tiada henti belajar. Begitu pelajaran yang dipetik wartawati senior Harian Umum Pos Kupang yang juga anggota PWI Provinsi NTT Apolonia Mathilde Dhiu. “Bagi saya, mengikuti UKW dari PWI Pusat di Kupang tahun 2012 sangat mengesankan. Saat saya diberitahu mengikuti UKW, saya bertanya-tanya, ujian apa lagi ini? Saya kemudian baca beberapa referensi. Walau sudah baca dan menyiapkan diri, saat masuk Hotel Silvya Kupang

61

Pengalaman Mengikuti UKW

mengikuti ujian, saya tetap deg-degan juga. Ada rasa risih, padahal saat itu saya sudah sembilan tahun menjadi wartawan Pos Kupang dan pernah meliput di beberapa bidang seperti Pendidikan, Humaniora, Ekonomi Bisnis dan Politik,” tutur Apolonia.

“Rasa tidak percaya diri tetap menyelimuti. Apalagi melihat penguji dari PWI Pusat pada serius. Tahap demi tahap ujian saya lalui, baik mengenai perencanaan materi sebelum liputan, rapat perencanaan, wawancara, penulisan dan editing. Saya juga diminta menghubungi 10 narasumber. Saya bersyukur bisa melalui ujian tersebut dengan baik dan dinyatakan lulus. Di sini saya sadar bahwa sejatinya wartawan harus terus belajar dan belajar, memperkaya diri dengan membaca, banyak mendengar dan melihat,” demikian Apolonia.

Menurut Apolonia, UKW merupakan keniscayaan. Di tengah kemajuan pers yang begitu pesat, UKW sangat penting bagi insan pers. Ke depan, semua wartawan harus mengantongi sertifikat kompetensi sehingga tidak ada lagi wartawan abal-abal yang hanya bermodal kartu pers. PWI sebagai organisasi profesi kewartawanan paling terkemuka

UKW NTT di Kupang, 20 Desember 2012. (ist)

62

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

di Indonesia tetap menjadi pionir dalam hal ini.Pandangan yang sama disampaikan Bernadus Tokan, Wartawan

LKBN ANTARA Biro NTT dan juga anggota PWI Provinsi NTT. Bernadus mengikuti UKW di Kupang, Desember 2012 untuk kelompok wartawan madya dan lulus.

“Pesan saya kepada teman-teman seprofesi, khususnya yang ada di NTT untuk segera mengikuti ujian komptensi wartawan karena ibarat seorang pengemudi. pengemudi harus memiliki surat izin mengemudi (SIM) jika hendak membawa kendaraan. Kalau Anda tidak punya SIM, maka Anda tidak boleh membawa kendaraan. Begitupun wartawan, UKW menentukan apakah seorang wartawan itu memenuhi standar kompetensi atau tidak. Jika tidak, dia tidak pantas menyandang profesi sebagai wartawan,” kata Bernadus.

Manfaat besar telah dikecapi wartawan yang sudah mengikuti UKW. Ujian itu menjadi suluh bagi mereka untuk tetap setia pada profesi dan terus mengembangkan kapasitas dirinya. Kesan ini diungkapkan wartawan SCTV yang juga Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia ( IJTI) Cabang NTT, Didimus Payong. Didimus mengikuti UKW yang digelar PWI, Desember 2012 di Kupang.

“UKW yang digelar PWI punya daya saing yang luar biasa bila dibandingkan dengan UKW yang digelar organisasi lainnya. Saya merasakan manfaat yang sangat besar dari para penguji. Dari UKW, saya disadarkan bahwa kualitas seorang wartawan sangat bergantung kepada individu yang bersangkutan dan UKW akan memastikan seseorang kompeten atau tidak. Keberpihakan PWI untuk meningkatkan kualitas insan pers nasional sudah dirasakan peserta yang sudah lulus UKW. Semoga PWI terus melakukan gebrakan baru agar melebar menggait organisasi wartawan lain yang nyaris mati suri di negeri ini. Jayalah kepemimpinan PWI,” demikian harapan Didimus.***

63

Saya mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) di Manado, Sulawesi Utara, 10 – 11 Desember 2013, yang diselenggarakan oleh PWI Sulut, untuk wartawan profesional bersertifikat Utama. Jujur saja awalnya saya berpikir uji kompetensi wartawan ini hanya sebagai sebuah kegiatan formalitas, sekadar menunjukan bahwa seorang wartawan sudah diuji kompetensinya. Ternyata saya salah besar!

Setelah mengikuti UKW, saya baru tahu bahwa UKW ini benar – benar menguji seorang wartawan dari sisi kemampuan dan mental sebagai wartawan, juga secara manajerial dalam mengatur redaksi sebuah media.

Ursula Putri PontoCahaya TV Manado

UKW Menentukan Kelayakan Wartawan

Pengalaman Mengikuti UKW

64

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Saya juga paham bahwa profesi saya sebagai wartawan bukan semata untuk gagah-gagahan, bisa memberitakan sesuatu dan tugas saya selesai. Namun, ada tanggung jawab profesi yang menuntut integritas sebagai seorang yang bermoral, beretika, independen, kritis, serta cerdas dalam berpikir. Selain itu, juga santun dalam bertutur dan bersikap, sehingga menjadi pribadi yang berkompeten, layak disebut sebagai wartawan sesungguhnya. Seorang pemberi informasi yang benar, adil, jujur dan faktual kepada khalayak.

Dengan mengikuti UKW, wawasan akan terbuka melalui mata uji yang diberikan sesuai dengan tingkatan uji yang diikuti, dan kita paham melalui materi uji tentang bagaimana pola pikir, pola kerja dan pola tugas serta tanggung jawab sebagai wartawan yang profesional.

Semoga semua wartawan khususnya di Sulawesi Utara dan seluruh Indonesia segera mengikuti Uji Kompetensi Wartawan, sehingga profesi sebagai wartawan tidak lagi disepelekan saat kita bertugas sebagai wartawan. Tugas wartawan sama penting seperti profesi lainnya. Mari segera ikuti UKW !

UKW PWI Sulawesi Utara di Manado, 10 – 11 Desember 2013. (ist)

65

Sebagaimana rekan lainnya, saya tidak bisa pungkiri, perasaan saya campur aduk : antara siap dan ragu untuk mengikuti Ujian Kompetensi Wartawan (UKW), yang baru pertama kali dilaksanakan di Kendari oleh PWI Sulawesi Tenggara, medio Nopember 2013, di salah satu hotel di Kendari.

Siap, karena inilah momentum untuk membuktikan bahwa saya benar-benar wartawan dan ingin menguji sejauh mana kemampuan saya sebagai wartawan, yang sudah berkarir kurang lebih 10 tahun.

Sabarudin T PauluhPeserta Angkatan Pertama UKW Utama di Kendari, Pimpinan Redaksi Koran Tribun, Kendari dan Ketua PWI Perwakilan Kolaka masa bakti 2012-2015.

Santai aja Bung Jack...!

Pengalaman Mengikuti UKW

66

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Namun tak bisa dipungkiri, perasaan ragu sempat menyelimuti ketika pembukaan berlangsung. Djunaedi Tjunti Agus, selaku Koordinator Penguji sekaligus yang menjadi tim penguji untuk kelompok Wartawan Utama, dalam pengantar kata saat pembukaan berlangsung sempat menyinggung, bahwa sebagian besar wartawan masih banyak yang masih enggan mengikuti UKW, termasuk wartawan di ibukota Jakarta.

Hal yang membuat keder kami sebagai peserta baru karena Pak Djunaedi sempat membuka sedikit “bocoran”. Selama ini ternyata dalam UKW banyak yang tidak berhasil atau istilahnya “belum kompeten”. Peserta terpaksa harus pulang tanpa hasil dan harus mengulang.

Saya berpikir, mungkin inilah, kenapa masih banyak wartawan “beken” yang enggan mengikuti UKW. Saya berpikir: Tidak Lulus dalam UKW, bukan berarti karir jurnalistik kami tamat. Tapi, perasaan malu dan gengsi, itulah yang mungkin menghantui munculnya keraguan sebagian wartawan untuk mengikuti UKW.

Apalagi, Pak Djunaedi sempat membocorkan: di Jakarta dan Jawa Barat, ada Pimpinan Redaksi, bahkan Ketua PWI masih enggan, atau

Suasana simulasi rapat redaksi dalam kegiatan UKW (ist)

67

menunda-nunda untuk ikut UKW. Sontak saja, kami pun semakin keder dan secara mental ikut terbebani.

Ketika hari pertama UKW mulai berjalan. Kebetulan materi uji pertama yang diberikan Pak Djunaedi adalah Jejaring. Tak bisa dipungkiri, bulir-bulir keringat kami mengalir di tengah dinginnya mesin pendingin ruangan, termasuk senior saya Sudirman dan Bung Jack (Zakaria Sidik).

Penyebabnya, karena sejumlah narasumber penting yang sudah kami list, ternyata sebagian ada yang tidak aktif, sebagian lagi ada yang tidak menjawab. Berhadapan dengan kondisi seperti ini, beban mental kami seperti drop. Salah satu dari kami sempat nyeletuk . “Saya ujian skripsi di depan banyak dosen saja saya tidak gugup, tapi ketika UKW saya seperti orang baru belajar, saya bleng,” nyeletuk Agus Sanaa yang duduk tepat di sampingku.

Namun, bersyukur hari pertama dengan penuh doa, kami bertujuh, peserta UKW Utama berhasil melewati ujian pertama. Selanjutnya, memasuki hari kedua, beban mental kami semakin menegangkan. Sebab, setiap materi ujian di-deadline harus selesai dikerjakan dan dikumpul dalam waktu hanya 30 menit.

Sebagai wartawan kami memang sering bekerja dalam deadline waktu yang sudah ditentukan, tetapi tidak seketat ini. “Tersisa 10 menit”. Instruksi penguji ini membuyarkan spot jantung kami. Apalagi sebagian dari kami ada yang baru sampai setengah dari tugas yang dikerjakan sesuai instruksi penguji. Deadline waktu, benar-benar membuat kami ujian dalam tekanan. Belakangan, saya baru memetik hikmah, bahwa dunia jurnalistik adalah dunia kerja yang penuh tekanan.

Satu kesan menarik yang lucu, mengaduk mental dan nyaris membuat putus asa sehingga sempat berpikir lebih baik pulang sebelum UKW berakhir, tatkala insiden kecil terjadi yang dialami senior saya, Bung Jack. Hasil ujian materi Rubrikasi yang sudah siap disetor di hadapan penguji, tiba-tiba lenyap dari Laptop Acer miliknya.

Entah kenapa? Namun, kondisi ini sempat membuatnya panik. Dicari di sejumlah file termasuk di kotak sampah, tak ditemukan. Saya dan Agus Sanaa yang mencoba membantu mengutak atik laptop Bung Jack untuk menemukan filenya yang hilang, juga tak menemukan.

“Mati saya, saya pulang saja, gagal saya, kenapa bisa begini kasian,” keluh Jack sambil memukul-mukul jidatnya. Bulir-bulir keringat mengucur di kepalanya. Padahal Ac ruangan cukup dingin. “Sudahlah Bung Jack, santai saja, ini pasti dibijaksanai,” kataku menghibur perasaan

Pengalaman Mengikuti UKW

68

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALITAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Bung Jack yang sudah putus asa , dan sudah bulat ingin pulang saja.Syukur, Pak Djunaedi berbaik hati memberi kesempatan terkhusus

kepada Bung Jack untuk mencari filenya yang tiba-tiba hilang dari ketikan. Dan, beruntung, tim IT dari panitia yang membantu, berhasil mengutak atik laptop Bung Jack dan menemukan kembali hasil ujian yang sempat lenyap. “Alhamdulillah, masih selamatkah, terimakasih ya Allah,” ujar Bung Jack seraya mendekapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya.

Rupanya, saya memetik satu hikmah pelajaran dalam UKW ini : Pertama, dunia jurnalistik harus diselami secara siap dalam penuh tekanan (Deadline waktu). Kedua, senantiasa menjaga sikap dan mental yang tenang, tidak mudah panik dan fokus mendengar arahan atau petunjuk kerja yang diinstruksikan dari penguji .

Bagi saya: UKW sepertinya gampang-gampang susah. Akan gampang mengerjakan tugas, apabila kita memahami petunjuk dan instruksi penguji sesuai dalam buku pedoman UKW. Akan terasa sulit, apabila kita tidak menyimak baik apa instruksi penguji.

Akhirnya, dari 21 peserta UKW Angkatan pertama di Kendari, terdiri dari 7 Wartawan Muda, 7 Wartawan Madya dan 7 Wartawan Utama, ternyata hasilnya setelah di umumkan, hanya ada satu yang Belum Berkompeten dari kelompok Madya. Sementara kami di kelompok Utama semuanya dinyatakan lulus atau bahasa UKW: Kompeten.

Terima kasih UKW. Sebagian kalangan wartawan boleh saja masih mempersoalkan substansi dan out put yang dapat diperoleh dari UKW terkait peningkatan kesejahteraan wartawan, namun bagi saya UKW sangat penting. UKW merupakan salah satu bagian dari pembelajaran untuk menjaga dan meningkatkan profesionalisme wartawan.

Saya harus menyampaikan terimakasih, kepada tim penguji, karena UKW Angkatan pertama di Kendari berjalan Sukses. Kebetulan, saya masuk dalam kelompok Wartawan Utama bersama 6 orang wartawan yang lebih senior dari saya. Saya duduk satu meja berhadapan dengan Ketua PWI Sultra, Sudirman Duhari, Pimpinan Redaksi Media Sultra, Zakaria Sidik alias Bung Jack, Kepala Pemberitaan RRI Kendari, Agus Sanaa, dan Sarjono, keduanya wartawan senior Antara, Rudi Iskandar, Redaktur Pelaksana Media Sultra dan Abdul Halim, wartawan senior Media Indonesia/Metro Tv dan saya sendiri. Salam UKW...!***

Bagian IIMENGEMBANGKAN KUALITAS

UKW

71

Mengembangkan Kualitas UKW

Penguji Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI Pusat harus dapat berupaya meningkatkan pengetahuan dan kemampuan, antara lain soal syarat dan ketentuan. Begitu pula tentang pengetahuan uji kompetensi dimaksud. Hal ini penting. Soalnya saya melihat, sebelum menentukan seseorang kompeten atau tidak sebagai wartawan pada tingkat Muda, Madya dan Utama, sosok penguji harus lebih dahulu berkompeten sehingga tidak menimbulkan kesulitan saat menjalankan tugas sebagai seorang penguji UKW PWI.

Apalagi seluruh mata uji dalam UKW harus berlandaskan Kode Etik Jurnalistik. Oleh karena itu, UKW tidak hanya sebagai ajang

Hermansyah, SEHarian Analisa Medan/PWI Sumatera Utara/Peserta TOT UKW PWI

Jaga Citra PWI, Tegakkan Wibawa Lembaga Penguji

UKW

72

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

“verifikasi” bagi wartawan profesional, melainkan juga bermanfaat untuk penambah wawasan bagi para wartawan. Karenanya, tersirat juga keinginan menjadikan lembaga UKW untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme serta menjaga harkat dan martabat wartawan sebagai penghasil karya intelektual.

Apalagi keberadaan PWI Pusat sebagai salah satu lembaga penguji Kompetensi Wartawan yang ditetapkan Dewan Pers, PWI harus didukung oleh sosok penguji yang memenuhi syarat dan ketentuan, termasuk menjaga citra dan krebilitas PWI Pusat sebagai organisasi penghimpun terbesar dengan jumlah 14 ribu wartawan profesional di tanah air.

Selain memiliki kewajiban menjaga citra dan wibawa PWI seorang penguji juga harus memiliki tekad dan termotivasi untuk menjaga kualitas dan wibawa PWI Pusat. Apalagi mengingat adanya ketentuan tegas Dewan Pers yang dapat mencabut atau membatalkan status organisasi kewartawanan sebagai Lembaga Penguji Standar Kompetensi Wartawan apabila organisasi wartawan tidak memenuhi ketentuan yang sudah ditetapkan.

Penguji pemulaBeranjak dari hal itu, saya punya niat menjadi penguji UKW semata-

mata selain ingin berbuat untuk membesarkan organisasi juga terselip keinginan, bagaimana mengangkat citra lembaga penguji UKW PWI sebagai lembaga yang kredibel dan dipercaya. Diakui sebagai seorang penguji pemula akan berhadapan dengan berbagai problem dan tantangan. Apalagi pelaksanaan sertifikasi wartawan ini berlangsung secara transparan, obyektif dan mudah dipahami, khususnya dalam hal penilaian. Bagian ini saya nilai sangat vital, mengingat penilaian itulah pokok pangkal suatu uji kompetensi. Angkalah yang menyatakan seseorang kompeten atau belum kompeten sebagai wartawan, sebagaimana dinyatakan Sekjen PWI Pusat Hendry Ch Bangun dalam sambutan sebagai tim penyusun buku “Pedoman Uji Kompetensi Wartawan PWI Pusat”.

Oleh karena itu sebagai seorang penguji, saya berupaya memahami batasan yang jelas mengapa seseorang mendapat nilai tertentu. Begitu pula sebagai peserta yang diuji harus mengerti mengapa nilai itu yang diberikan. Dengan demikian, kalau sudah sama-sama memahami sehingga saat penandatangan lembar penilaian keduanya, baik penguji maupun peserta dalam kondisi puas. Tanpa menghalangi berbeda

73

Mengembangkan Kualitas UKW

pendapat dengan penguji, sebagai peserta dibenarkan untuk melakukan banding. Tentunya dengan syarat dan ketentuan baku yang telah ditetapkan oleh PWI.

Dalam hal itu, sebagai penguji tentunya harus memiliki kepiawaian dan wibawa sehingga orang yang diuji harus puas dengan nilai yang diberikan. Artinya bukan pula menjadi seorang “pemurah” dalam memberi angka karena dengan alasan takut bila ada proses banding dari peserta, atau sosok penguji yang pelit sehingga mendapat gelar “the killer” yang selalu jadi sandungan untuk dapat jadi wartawan kompeten, sehingga harus tetap melakukan banding karena tidak puas dengan nilai diberikan. Pendapat semacam itu tentunya bisa ditepis kalau seorang penguji piawai dan berwibawa.

Sebagai seorang penguji, harus sangat memahami tugas berat yang akan dihadapi, tapi yang terpenting adalah bagaimana kita memiliki sikap independen dan benar-benar didukung pengetahuan tentang uji kompetensi serta ilmu yang diuji. Selain itu, penanganan peserta uji juga bisa berbeda, terutama bila seorang peserta satu daerah dengan penguji. Soal lobi dan permintaan akan sulit dihindari. Bila kemampuan peserta yang diuji kompeten dan layak mendapat nilai plus, mungkin tidak jadi soal.

Munculnya masalah bila peserta uji di bawah kemampuan rata-rata serta lebih patal lagi ternyata berasal dari lingkungan wartawan “abal-abal” tapi karena cukup dikenal di lingkungan media sehingga bisa bermohon melalui pihak ketiga. Soal ini yang mungkin akan sedikit jadi masalah bila kita ingin menegakkan citra dan wibawa lembaga penguji UKW. Sikap tegas dan tanpa kompromi mungkin lebih baik, daripada ragu-ragu karena hubungan pertemanan.

Paling baik lagi, bila di antara penguji UKW disilang daerah kerjanya. Penguji UKW dari Sumatera Utara bisa di-BKO (bawah kendali operasi) kan ke PWI cabang lainnya di luar Sumut, sehingga persoalan tadi bisa dihindari. Paling penting lagi bisa menghindari permintaan dan bermacam katabelece yang akan sulit dihindari mengingat seorang wartawan memiliki hubungan dan pertemanan yang luas. Menghindari hal itu, model penguji yang di“BKO”kan lebih pas, terutama untuk tidak terjadi konflik kepentingan dan berbagai persoalan di daerah lokasi UKW berlangsung.

Jika berbagai persoalan non teknis semacam itu bisa dihindari, Insya Allah sebagai penguji PWI Pusat saya bisa menjamin hasil UKW akan berlangsung secara fair dan tanpa intervensi yang bisa memberi “warna”

74

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

dalam pemberian angka yang meloloskan seorang wartawan dalam uji kompetensi dimaksud. Dengan demikian, kewibawaan penguji juga bisa terjaga dan lebih penting lagi hubungan pertemanan tetap berjalan tanpa ada hal lain yang melatarbelakingnya.***

08-10 Juni 2012, Bogor.

75

Mengembangkan Kualitas UKW

Menjadi wartawan merupakan hak asasi seluruh warga negara. Tidak ada ketentuan yang membatasi hak seseorang untuk menjadi wartawan. Namun, dalam melaksanakan tugasnya, wartawan harus memiliki standar kompentensi. Standar kompetensi menjadi alat ukur profesionalisme wartawan.

Standar Kompetensi Wartawan (SKW) yang tertuang dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1 tertanggal 2 Februari 2010, diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. Standar ini juga untuk menjaga kehormatan pekerjaan wartawan dan bukan untuk membatasi hak asasi warga negara menjadi wartawan.

Drs. Muhammad SyahrirPemimpin Umum Harian REALITAS/Ketua PWI Provinsi Sumatera Utara

Menjadi Penguji SKW Suatu Kehormatan

76

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Kompetensi wartawan pertama-pertama berkaitan dengan kemampuan intelektual dan pengetahuan umum. Kompetensi wartawan melekat pemahaman tentang pentingnya kemerdekaan berkomunikasi, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.

Kompetensi wartawan meliputi kemampuan memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan penyuntingan berita, serta bahasa. Hal yang terakhir ini juga menyangkut kemahiran melakukannya, seperti juga kemampuan yang bersifat teknis sebagai wartawan profesional, yaitu mencari, memperoleh, menyimpan, memiliki, mengolah,serta membuat dan menyiarkan berita.

Untuk mencapai standar kompetensi, seorang wartawan harus mengikuti uji kompetensi yang dilakukan oleh lembaga yang telah diverifikasi Dewan Pers, yaitu perusahaan pers, organisasi wartawan, perguruan tinggi atau lembaga pendidikan jurnalistik. PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dalam hal ini telah ditetapkan sebagai salah satu lembaga penyelenggara UKW (Uji Kompetensi Wartawan).

Wartawan yang belum mengikuti atau tidak lulus uji kompetensi dinilai belum kompeten. Wartawan yang sudah kompeten dibuktikan dengan sertifikasi yang dikeluarkan Dewan Pers bersama lembaga penguji. Tingkatan kompetensi wartawan terdiri dari Wartawan Muda, Wartawan Madya dan Wartawan Utama.

Sementara untuk menjadi penguji SKW, seorang wartawan harus terlebih dahulu lulus uji kompetensi tingkatan Wartawan Utama. Mereka yang memiliki nilai uji tertinggi diprioritas mengikuti Trainer of Trainer (ToT) yang diselenggarakan lembaga penguji. Mengikuti tiga kali magang pada pelaksanaan UKW, salah satu syarat kelulusan menjadi calon penguji.

Setelah dinilai lulus mengikuti ToT dan magang, barulah seorang pemegang sertifikat Wartawan Utama sah dinyatakan sebagai penguji SKW. Penulis mengikuti ToT, 8 – 10 Juni 2012 di Gadog, Bogor,Jawa Barat. Sedangkan untuk magang, penulis baru mengikutinya dua kali, berarti masih tersisa satu kali magang lagi.

KehormatanBagi penulis, jika nanti telah dinyatakan lulus menjadi penguji

SKW PWI Pusat, hal ini merupakan suatu kehormatan besar. Sebagai kehormatan, tentu penulis harus menjaga dengan sebaik-baiknya melalui pelaksanaan tugas sebagai penguji yang sungguh-sungguh,bertanggung jawab, tekun, disiplin, dan bertindak dengan benar. Komitmen tersebut

77

Mengembangkan Kualitas UKW

dibutuhkan mengingat kompetensi wartawan merupakan proses kematangan ilmu, keterampilan/skill, moral dan etika bagi seorang wartawan dalam menjalankan tugasnya yang senantiasa dilandasi prinsip-prinsip hukum, demokrasi, dan kemanusiaan.

Kompetensi bisa melindungi wartawan dari ancaman yang bisa mengganggu tugas profesionalnya, sekaligus mampu menjadi pelindung bagi masyarakat. Pers yang bebas adalah dambaan masyarakat, bahkan menjadi indikator bagi demokrasi di sebuah negara. Apalagi demokratis atau tidaknya sebuah negara ditentukan oleh kebebasan persnya. Sedangkan bagi pers sendiri, kebebasan dalam menjalankan tugasnya adalah sebuah kehormatan karena dipercaya untuk menjadi pelayan masyarakat.

Agar nilai-nilai kehormatan itu bisa dicapai dan diterapkan, maka proses pengujian seorang wartawan menuju kompeten haruslah berlandaskan tujuan, sebagaimana ditetapkan Dewan Pers. Pertama, meningkatkan kualitas dan menghasilkan wartawan profesional. Kedua, menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers. Ketiga, mampu menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik. Keempat, menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual. Kelima, dapat menghindarkan diri dari penyalahgunaan profesi. Dan keenam, dapat menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers.

Mencapai tujuan tersebut diperlukan pemahaman yang mendalam melalui model dan kategori kompetensi, yaitu: Kesadaran (awareness): mencakup kesadaran tentang etika dan hukum, kepekaan jurnalistik,serta pentingnya jejaring dan lobi. Pengetahuan (knowledge): mencakup teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum, dan pengetahuan khusus. Keterampilan (skills): mencakup kegiatan 6 M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi), serta melakukan riset/investigasi, analisis/prediksi, serta menguasai penggunaan alat dan teknologi informasi.

Kompetensi kunci merupakan kemampuan yang harus dimiliki wartawan untuk mencapai kinerja yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan tugas pada unit kompetensi tertentu. Kompetensi kunci terdiri dari 11 (sebelas) kategori kemampuan, yaitu: 1. Memahami dan menaati etika jurnalistik; 2. Mengidentifikasi masalah terkait yang memiliki nilai berita; 3. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi; 4. Menguasai bahasa; 5.Mengumpulkan dan menganalisis informasi (fakta dan data) dan informasi bahan berita; 6. Menyajikan berita; 7. Menyunting

78

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

berita; 8. Merancang rubrik atau kanal halaman pemberitaan dan atau slot program pemberitaan; 9. Manajemen redaksi; 10. Menentukan kebijakan dan arah pemberitaan; 11. Menggunakan peralatan teknologi pemberitaan. Masing-masing jenjang dituntut memiliki kompetensi kunci terdiri atas,Kompetensi Wartawan Muda: melakukan kegiatan, Kompetensi Wartawan Madya: mengelola kegiatan,dan Kompetensi Wartawan Utama: mengevaluasi dan memodifikasi proses kegiatan.

Selain itu patut juga dipahami elemen unjuk kerja yang merupakan bentuk pernyataan yang menggambarkan proses kerja pada setiap elemen kompetensi. Elemen kompetensi disertai dengan kriteria unjuk kerja yang juga harus mencerminkan aktivitas aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja. Materi yang juga harus dikuasai seorang penguji SKW dalam melaksanakan uji kompetensi adalah perangkat uji yang mengacu pada elemen kompetensi. Perangkat uji kompetensi tersebut disusun berdasarkan tingkatan kompetensi wartawan muda, madya, dan utama yang juga mencakup aspek kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan.

Perangkat uji kompetensi bersifat terbuka dan terukur, serta dapat dilihat oleh peserta, penguji dan pengamat. Lembar uji kompetensi dilengkapi dengan kolom penilaian yang ditandatangani oleh penguji dan peserta. Penguji wajib menjelaskan kepada peserta tentang Kriteria Unjuk Kerja (KUK), panduan penilaian, dan kompetensi kunci yang terdapat pada masing-masing unit kompetensi sebelum ujian dilaksanakan. Selain itu penguji menjelaskan metode penilaian dan perangkat uji yang digunakan, serta penguji dan peserta menandatangani hasil penilaian.Sedangkan pilihan metode yang digunakan dalam UKW, antara lain uji lisan, peragaan/simulasi, praktik unjuk kerja, jawaban tertulis,pengamatan, dan metode lain yang terkait.

Hal lain yang harus dipahami,penguji harus tahu bahwa soal ujian kompetensi disiapkan oleh lembaga penguji dengan mengacu ke perangkat uji kompetensi. Penguji juga harus objektif, dan wartawan yang diuji dinilai kompeten jika memperoleh hasil minimal 70 dari skala penilaian 10 – 100. Penguji harus tahu pula bahwa dalam lembar penilaian tercantum identitas peserta dan media, tanggal pelaksanaan, unit kompetensi, identitas penilai dan lembaga penguji, nilai dan catatan penilaian. Lembar penilaian tersebut harus diisi dan ditandatangani oleh penguji dan peserta uji.

Perangkat uji kompetensi yang bersifat terbuka dan terukur ini perlu terus dipertahankan dengan disertai proses evaluasi yang terjadwal

79

Mengembangkan Kualitas UKW

maupun dilakukan secara insidentil oleh Tim Etik UKW. Dengan demikian, seorang penguji akan berpikir ulang jika secara sembarangan atau bersifat subjektif dalam menyatakan seorang peserta uji sudah kompeten atau belum kompeten. Hal ini sangat berguna untuk menjaga citra PWI di mata publik, sekaligus membuang kesan atau anggapan sementara pihak yang bernada miring bahwa kelulusan peserta uji UKW PWI ”bisa diatur”. ****

80

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Perkembangan dunia jurnalistik di Indonesia ditandai beberapa fase yang berlangsung dari tahun ke tahun, yang menunjukkan proses metamorphosis jati diri wartawan Indonesia. Secara lebih jauh juga kemudian menggambarkan bagaimana kebutuhan akan profesionalisme yang ditandai dengan tingkat pendidikan, wawasan, kemampuan akan teknologi informasi wartawan serta bahasa--menjadi prasyaratnya.

Perjalanan sejarah kewartawanan Indonesia dimulai masa penjajahan Belanda dan diakhiri pada masa kontemporer saat ini di mana perkembangan teknologi begitu mempengaruhi keberadaan profesi wartawan.

Dedi SahputraRedaktur Pelaksana Artikel Harian Waspada Medan/PWI Sumatera Utara/Wartawan Utama

Jaga Wibawa dan Marwah Lembaga Penguji

81

Mengembangkan Kualitas UKW

Fase Masa Penjajahan, wartawan adalah juga seorang pejuang. Tentu saja cuma ada koran (media massa cetak) pada saat itu—dengan tampilan masih sangat sederhana. Isi koran pada saat itu merefleksikan suara rakyat Indonesia. Sebut saja seperti Bintang Timoer, Bintang Barat, Java Bode, dan Medan Prijaji. Orang yang menjadi wartawan pada saat itu adalah orang yang memiliki semangat perjuangan. Sedangkan masalah pendidikan serta ketrampilan menulis bukanlah syarat utama untuk bisa menjadi wartawan.

Fase Masa Revolusi Fisik; Ini juga adalah masa kemerdekaan dan pada masa masuknya Jepang dan agresi militer yang dilakukan Belanda pada saat itu. Koran-koran seperti Asia Raja, Sinar Baru, Suara Asia, Tjahaja dan Sinar Matahari merupakan media yang terbit di tengah tekanan penjajah pada masa itu. Harian Waspada termasuk salah satu koran yang diterbitkan ketika itu, tepatnya 11 Januari 1947. Pada masa ini koran didirikan dengan semangat perjuangan melawan penjajahan. Koran adalah alat penyambung informasi kepada para pejuang yang bergerilya di hutan, ataupun kepada rakyat yang tinggal jauh dari pusat-pusat pemerintahan, baik disampaikan secara langsung maupun berkembang dari mulut ke mulut. Tidak mengherankan, di masa ini wartawan juga adalah pejuang kemerdekaan. Orang yang menjadi wartawan adalah orang yang juga punya semangat perjuangan. Maka untuk jadi wartawan, tidak ada syarat harus pandai (kompeten) menulis atau tidak pandai menulis.

Fase Masa Orde Baru; sekira tahun 70-an wajah wartawan mulai bergeser. Fase ini wartawan banyak diisi oleh para seniman. Umumnya seniman adalah orang-orang yang gemar mengekspresikan diri melalui media massa, tulisan dan gambarnya. Penampilan wartawan pada masa itu adalah eksentrik. Indentifikasi terhadap wartawan di masa ini adalah orang yang mengenakan topi pet, pakai rompi, dan menyandang kamera yang bergantung di leher. Awal fase ini, wartawan sudah mulai memiliki prasyarat pandai menulis meski jenjang pendidikan belum menjadi persoalan. Selanjutnya secara perlahan persoalan pendidikan menjadi prioritas. Mulai dari wartawan tidak sekolah, tamatan SD, SMP, dan terakhir untuk menjadi wartawan berpendidikan SMA sederajat. Fenomena ini berlangsung sebelum masa reformasi.

Fase Masa reformasi; ditandai dua fenomena yakni, industri pers dirambah perkembangan teknologi informasi dan kran kebebasan pers yang berdampak pada munculnya beragam media baru secara bebas. Dari perkembangan teknologi informasi, maka seorang wartawan harus

82

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

sudah dilengkapi kemampuan menggunakan teknologi informasi. Syarat untuk menjadi wartawan secara pendidikan adalah mengenyam bangku perguruan tinggi. Masa ini mulai banyak wartawan fase Orde Baru yang menyesuaikan diri, melanjutkan pendidikan formal sampai ke tingkat sarjana bahkan pascasarjana.

Ketrampilan dalam bidang tugasnya di dunia jurnalistik dan profesionalisme dalam menjalankan tugasnya telah menjadi perhatian khusus. Saat yang sama, kran kebebasan membuat tumbuhnya media-media baru tanpa dilengkapi dengan standar kompetensi kewartawanan. Hal ini menimbulkan berbagai konsekuensi di antaranya keluhan berbagai stakeholders akan ketidakprofesionalan wartawan dalam kinerjanya. Kenyataan itulah, adanya kompetensi wartawan, khususnya, adalah suatu yang harus menjadi perhatian untuk menjawab tantangan ke depan.

Kompetensi WartawanKompetensi adalah karakter dasar dari seorang yang memungkinkan

mereka mengeluarkan kinerja superior dalam pekerjaannya. Seorang yang berkompeten adalah orang yang dengan ketrampilannya mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan jarang atau tidak pernah membuat kesalahan (Trotter dalam Saifuddin 2004). Sedangkan Amstrong (1998) merumuskan kompetensi adalah knowledge, skill dan kualitas individu untuk mencapai kesuksesan pekerjaan.

Fenomena yang muncul di masa sekarang ini, bahwa penggunaan atau standar kompetensi semakin menjadi suatu tren dalam berbagai organisasi. Kompetensi membedakan pengetahuan kerja (job knowledge) dalam perilaku tersirat (underlying behaviors) seseorang dalam organisasi. Studi yang dilakukan University of Michigan School of Bussiness telah membuat kerangka acuan (template) kompetensi berupa lima kompetensi yang dibutuhkan yaitu kredibilitas personal (personal credibility), kemampuan mengelola perubahan (ability to manage changes), kemampuan mengelola budaya (ability to manage culture), mendistribusikan praktek sumber daya manusia (delivery of human resources practice), dan pengetahuan tentang bisnis (knowledge of the business).

Studi ini menujukkan betapa kompleksnya suatu kompetensi itu, meliputi beberapa variable yang rumit. Jika hendak diapikasikan ke dalam wujud kompetensi wartawan, setidaknya seperti apa yang dikatakan seorang wartawan senior empat zaman, Rosihan Anwar

83

Mengembangkan Kualitas UKW

bahwa kapanpun zamannya, wartawan dituntut harus kompeten. Maksudnya; berwawasan keilmuan, profesional dan beretika. Jika tidak, matilah jurnalisme ini.

Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa wartawan di setiap zamannya haruslah orang yang berkompeten di bidangnya. Perlu disadari pula, kompetensi di tiap-tiap zaman berbeda sesuai perkembangan yang terjadi dan lingkungan yang mempengaruhi pada waktu itu. Masa revolusi fisik, kompetensi wartawan adalah semangat juangnya untuk membela kepentingan bangsanya. Dia harus memiliki wawasan kebangsaan yang tinggi dan beretika dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.

Berbeda dengan wartawan yang hidup di zaman sekarang, dia juga harus memiliki etika dalam menjalankan tugasnya, selain juga orang yang akrab dengan teknologi, berwawasan ilmu yang diukur dari tingkat pendidikan formal maupun non formalnya. Profesional dalam arti ini adalah memahami dan mematuhi aturan main dalam menjalankan tugas profesinya.

Menjadi Penguji KompetensiUraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam dinamika masyarakat

yang tumbuh seiring dengan perkembangan teknologi, maka kompetensi wartawan adalah sebuah keniscayaan. Selanjutnya adanya Standar Kompetensi Wartawan (SKW) yang terlembaga adalah suatu

Ketua Umum PWI Pusat Margiono dan Sekjen Henry Cc Bangun, saat memberikan arahan pada TOT UKW PWI. (ist)

84

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

keharusan. Mengacu pernyataan Rosihan Anwar di atas: SKW harus ada kalau tidak ingin jurnalisme mati.

Oleh karena itu, seandainya saya menjadi seorang penguji SKW maka yang saya lakukan adalah:

Terus menerus secara paripurna meningkatkan kompetensi diri.1. Menjaga dan meningkatkan secara bertahap konsistensi dalam 2. melakukan dan memberikan penilaian SKW--hanya berdasarkan pada kemampuan dan kompetensi wartawan yang diuji, sehingga tidak ada kepentingan lain yang berada di atasnya.Menjaga independensi untuk tidak menjadi suatu rekomendasi 3. sebagai dasar penilaian kompetensi wartawan.Menjaga marwah lembaga penguji kompetensi dengan 4. mengedepankan prinsip keadilan dalam menilai kompetensi wartawan.Mendorong meningkatkan standar secara berkala dalam 5. pengujian SKW.Mendorong peningkatan profesionalitas penguji dengan terus 6. menerus melakukan pertemuan-pertemuan membahas berbagai masalah yang muncul untuk semakin menetapkan suatu bentuk baku penilaian yang menjadi pedoman.Mendorong peningkatan profesionalitas manajemen pengujian 7. seperti, mulai mekanisme seleksi pendaftaran wartawan yang ikut ujian, syarat-syarat pendaftaran, pengaturan tempat pengujian dilakukan, jangka waktu pengeluaran kartu dan sertifikat lulus uji kompetensi dll.Mendorong wartawan perusahaan penerbitan untuk 8. meningkatkan kompetensi wartawannya dengan mendorong berbagai diskusi, dialog dan pertemuan-pertemuan.Mendorong peningkatan nilai kompetensi atau nilai pentingnya 9. kompetensi dengan menjadikan SKW sebagai syarat utama dalam berbagai kegiatan yang bersentuhan dengan profesi kewartawanan.

Satu hal sangat penting dan jangan sampai terabaikan dari suatu lembaga penguji kompetensi wartawan adalah wibawa dan marwah lembaga penguji itu sendiri. Hemat penulis, kesembilan hal di atas, setidaknya, adalah hal yang mesti dilakukan agar suatu lembaga penguji bisa disegani eksistensinya.***

85

Mengembangkan Kualitas UKW

Setiap wartawan dituntut untuk terus meningkatkan keprofesionalannya. Apalagi... “pekerjaan wartawan sendiri sangat berhubungan dengan kepentingan publik karena wartawan adalah bidan sejarah, pengawal kebenaran dan keadilan, pemuka pendapat, pelindung hak-hak pribadi masyarakat, musuh penjahat kemanusiaan seperti koruptor dan politisi busuk.” (Pedoman Uji Kompetensi Wartawan PWI Pusat)

Dalam kaitan itu, sangatlah tepat pelaksanaan program Uji Kompetensi Wartawan yang dilaksanakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia yang ditetapkan oleh Dewan Pers. Sesuai dengan tantangan zaman maka seorang wartawan dalam melaksnakan tugas sudah harus memiliki standar kompetensi yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers. Melalui standar kompetensi inilah akan diketahui

Gungde AriwangsaWartawan Senior Harian Suara Karya, peserta UKW PWI Jaya jenjang Wartawan Utama

Mengawal Profesionalisme Wartawan dengan UKW

86

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

tolok ukur profesionalitas wartawan. Selain itu standar kompetensi wartawan amat penting untuk menjaga

kehormatan pekerjaan wartawan. Bahkan standar kompetensi ini juga untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat.

Hadirnya program uji kompetensi wartawan barangkali masih menimbulkan rasa gamang. Pasalnya, program ini termasuk terbilang baru. Selain itu banyak yang mempertanyakan apa bedanya dengan program ujian wartawan yang pernah dilaksanakan PWI sebelum masa reformasi bergulir di Indonesia.

Berdasarkan pengalaman dan keterangan beberapa peserta yang telah mengikuti UKW maka setelah setelah mendapat pengarahan dan melakoni ujian, sikap gamang itu langsung berubah drastis. Mereka hampir semua merasakan suatu manfaat besar dari program ini.

Dari ujian ini semua peserta seperti mendapat suntikan semangat baru tentang tugas sebagai wartawan. Melalui uji komptensi ini bisa dilihat kekurangan yang ada dalam pelaksanaan tugas kewartawan selama ini. Uji kompetensi menyadarkan tentang pentingnya manajemen keredaksian dan pemasaran media.

Uji kompetensi memberikan kesadaran, media dibuat juga untuk pembaca. Dalam hal ini, ditumbuhkan pengetahuan tentang perlunya memperhatikan segmen pembaca dan persaingan dengan kompetitor. Hal ini mengharuskan adanya keseriusan dalam perencanaan liputan sampai penerbitan berita.

Demi mencapai hasil maksimal dalam masalah keredaksian dan pemasaran media maka para wartawan perlu menghayati betul peran dan tugas sesuai dengan jenjang kualifikasi kompetensi kerja wartawan yang meliputi jenjang wartawan muda, wartawan madya dan wartawan utama. Wartawan muda dituntut memiliki kompetensi dalam melakukan kegiatan, wartawan muda dalam mengelola kegiatan dan wartawan utama dalam mengevalusi dan memodifikasi proses kegiatan.

Dari elemen unjuk kerja setiap jenjang kompetensi wartawan terlihat betapa pentingnya pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang harus dimiliki. Bila semua elemen itu bisa dilaksanakan dengan baik maka barulah wartawan itu pantas disebut kompeten sesuai dengan jenjangnya. Dengan berstatus kompeten maka wartawan itu memiliki kemampuan untuk memahami, menguasai dan menegakkan profesi jurnalistik atau kewartawanan serta kewenangan untuk menentukan (memutuskan) sesuatu di bidang kewartawanan. Hal ini menyangkut kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.

87

Mengembangkan Kualitas UKW

Penilaian ObyektifMelihat dari tujuan standar kompensi wartawan yang meliputi enam

butir dalam Pedoman Uji Kompetensi Wartawan PWI Pusat maka uji kompetensi wartawan ini perlu ditangani oleh penguji-penguji yang telah melalui jenjang uji kompetensi dan juga mengikuti program TOT (Training of Trainers) yang dilakukan PWI. Para penguji diharapkan mampu memberikan penilaian obyektif sehingga para lulusan uji kompetensi wartawan bisa benar-benar profesional.

Dalam upaya mencapai penilaian yang obyektif tersebut para penguji tentunya sudah harus menguasai pedoman pengujian yang dikeluarkan PWI. Setelah itu bagaimana penguji bisa menerjemahkan pedoman itu kepada peserta melalui pengarahan dan dialog sebelum ujian berlangsung. Dengan demikian penguji bisa menilai sesuai dengan proses kerja keredaksian yang ada dalam kondisi sehari-hari media massa.

Tetapi sesuai dengan perkembangan zaman dan juga tantangan dan serta godaan dalam tugas kewartawanan maka penguji diharapkan bisa mengambil penilaian tegas dalam soal kode etik jurnalistik. Penguji harus benar-benar memperhatikan kompetensi wartawan dalam hal kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.

Poin-poin penting dalam uji kompetensi sesuai dengan jenjang yang ada perlu dijelaskan sehingga peserta uji bisa mendapat gambaran tentang hasil yang akan dicapai nanti. Dari sini, peserta bisa mengetahui batasan penilaian. Dengan demikian, baik penguji maupun peserta akan sama-sama puas dalam menandatangani lembar penilaian.

Dari proses ujian dan juga pelaksanaan TOT maka terlihat jelas, UKW memiliki arti penting dalam menjaga dan meningkatkan profesionalisme wartawan. Untuk itu program ini perlu terus digalakan dan juga diinformasikan secara berkala kepada masyarakat pers dan juga masyarakat umum agar semua mengetahui bahwa semua memang bisa menjadi wartawan namun tidak semua bisa menyandang status kompeten sebagai wartawan.

PWI perlu memperjuangkan agar dalam penerbitan pers yang benar perlu memiliki wartawan yang kompeten untuk bidang-bidang tertentu dengan jenjang tertentu. Harapan lainnya tentu status kompeten seorang wartawan juga nantinya bisa diimbangi dengan fasilitas yang kompeten pula.***

88

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Kegiatan UKW (Uji Kompetensi Wartawan) memiliki dampak positif bagi organisasi kewartawanan yang ada di Indonesia, khususnya organisasi wartawan PWI. Di beberapa daerah di Indonesia, kegiatan UKW ini banyak sekali diminati dan diikuti oleh wartawan muda, termasuk pada saat diadakan rekrutmen dan seleksi wartawan oleh pihak media.

Mereka merasakan betapa besar manfaat UKW menunjang profesi mereka di media tempat mereka berkiprah. PWI sebagai perencana dan pelaksana UKW bagi wartawan Indonesia yang tergabung dalam organisasi PWI atau bahkan yang belum menjadi anggota PWI dan

Bob IskandarPengurus PWI Pusat/Wartawan Utama

UKW Suatu Realita Profesionalitas Wartawan

Indonesia

89

Mengembangkan Kualitas UKW

sudah dimulai sejak tahun 2011, dinilai oleh para pemangku kepentingan sebagai suatu bukti kesungguhan luar biasa. Organisasi kewartawanan PWI telah berupaya keras menjaga martabat profesi wartawan yang banyak dinodai oleh mereka yang mengaku berprofesi wartawan dengan kinerja buruk atau negatif.

UKW ini akan menjadi jelas mana wartawan profesional yang kompeten dan bersertifikasi dan mana wartawan yang amatiran. Pimpinan Daerah merasa sangat berkepentingan sekali agar wartawan-wartawan yang meliput di kantor, wilayah mereka adalah wartawan profesional yang kualitas kemampuan jurnalistiknya terukur dan dapat dipertanggung jawabkan. Nantinya, kualitas berita, kualitas siaran yang dimuat di media pun akan menjadi bermutu tentunya.

Dengan demikian, masyarakat Indonesia akan mendapatkan informasi yang bernilai tambah, informasi yang bermanfaat, berdaya guna dan berhasil guna. Selain itu, akan terjadi “ simbiose mutualistis “ yang memberi keuntungan bagi para pemangku kepentingan baik itu dari kalangan Pemerintah, organisasi wartawan dan media serta masyarakat luas sehingga dengan demikian akan terciptalah wartawan Indonesia yang bermutu dan betul-betul bertanggung jawab.

Bila pemahaman seperti di atas ke semua lembaga pemerintahan, baik itu eksekutif, legislatif dan yudikatif termasuk juga swasta, maka sudah bisa dipastikan pelaksanaan UKW ke depan akan menjadi lebih mudah dan lancar. Dengan demikian, khususnya bagi organisasi wartawan yang nirlaba dan juga bagi media yang belum memiliki kemampuan finansial, dapat menyerahkan proses UKW-nya dengan bantuan pihak ketiga. Dalam konteks ini, PWI dapat menjadi penyelenggara sebagaimana telah dilakukan dalam kurun waktu tahun 2012 sehingga akan semakin banyak wartawan yang mengikuti UKW dan akan semakin terpetakan kompetensi wartawan anggota PWI khususnya dan wartawan di Indonesia pada umumnya.

Dari pelaksanaan UKW yang dilakukan oleh PWI selama ini, terlihat tidak semua peserta bisa dengan mudah untuk “Lulus “ dengan prosentase yang tinggi. Ada juga nilainya di bawah harapan yang seyogyanya, hal ini ternyata pesertanya bukan karena tidak mampu tetapi karena mereka belum terbiasa saja. Hal itu karena PWI memberikan waktu sehari kepada peserta UKW agar lebih dapat memahami proses Uji Kompetensi ini. PWI telah menyiapkan tim penguji untuk pelaksanaan UKW ini dengan standar persyaratan yang cukup tinggi sehingga hasil yang tercapai tentunya yang memiliki kualitas di atas rata

90

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

rata. Hal itu yang menjadi harapan dan tujuan PWI dalam memajukan kualitas wartawannya dan wartawan Indonesia. Ayo majulah wartawan Indonesia, bravo UKW. ***

91

Mengembangkan Kualitas UKW

Sudah sejak lama pengurus PWI Pusat merasakan keprihatinan yang sangat besar terhadap kualitas wartawan Indonesia. Apalagi masyarakat sekarang sangat kritis dan tidak segan-segan untuk melaporkan tentang tindakan-tindakan wartawan yang negatif di lapangan, antara lain yang berkaitan dengan ancaman, pemerasan dan sejenisnya. Mereka juga tidak segan-segan mengatakan bahwa wartawan sekarang banyak yang bekerja tanpa pemahaman Kode Etik Jurnalistik.

Keputusan Dewan Pers meluluskan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai lembaga penguji kompetensi wartawan – yang secara resmi diumumkan oleh Ketua Tim Verifikasi Dewan Pers Wina Arma-

Rita Sri HastutiAnggota Komisi Pendidikan PWI Pusat 2013 – 2018/Wartawan Utama.

Menjadi Wartawan yang Membanggakan

92

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

da Sukadi pada tanggal 25 Juli 2011 di Auditorium TVRI – sungguh melegakan. Sebab, dengan demikian, keinginan PWI untuk melakukan pembenahan atas wartawan Indonesia – paling tidak terhadap anggota PWI yang menyebar di 33 provinsi seluruh Indonesia – dapat segera terlaksana.

Sebagaimana dikatakan oleh Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, PWI sebagai organisasi wartawan tertua di Indonesia, dan memiliki anggota terbanyak, tentu saja memiliki tugas lanjutan menguji kompetensi anggotanya maupun nonanggota secara nasional.

Hal tersebut selaras dengan yang selalu ditekankan oleh Ketua Umum PWI Pusat Margiono dalam berbagai kesempatan bahwa PWI Pusat mempunyai program kerja meningkatkan kompetensi anggota melalui pendidikan dan pelatihan jurnalistik. “Dari sepuluh program, ada sembilan program yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan wartawan,” kata Ketua Umum PWI Pusat.

Program yang digencarkan dalam program PWI Pusat antara lain adalah Safari Jurnalistik, program yang sudah berlangsung sejak tahun 2003, dengan mengirim tim pelatih dari PWI Pusat ke daerah-daerah bekerja sama dengan PWI Cabang Daerah. Pelatihan jurnalistik ke daerah-daerah ini dalam rangka meningkatkan profesionalisme wartawan.

Kemudian, sejak periode Ketua Umum Margiono, dimulai pula Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI). Dengan sekolah yang dicanangkan di Palembang bertepatan dengan Hari Pers Nasional 2010 ini, diharapkan semakin banyak wartawan yang mempunyai keprofesionalan yang prima. Dengan demikian dapat mempercepat realisasi Standar Kompetensi Wartawan.

Pentingnya SKWSKW (Standar Kompetensi Wartawan) adalah kemampuan wartawan

untuk memahami, menguasai, dan menegakkan profesi jurnalistik atau kewartawanan serta kewenangan untuk memutuskan sesuatu di bidang kewartawanan. Hal itu menyangkut kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan.

Dalam Pelatihan Bagi Pelatih/Calon Pelatih Tingkat Nasional PWI Pusat pada 8-10 Juni 2012 di Gadog, Jawa Barat, Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr.Soetomo (LPDS) Priyambodo RH, menekankan bahwa wartawan dalam melaksanakan tugas harus memiliki standar kompetensi yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers. Standar

93

Mengembangkan Kualitas UKW

kompetensi menjadi alat ukur profesionalitas wartawan. Standar kompetensi wartawan diperlukan untuk melindungi

kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. Standar ini juga untuk menjaga kehormatan pekerjaan wartawan dan bukan untuk membatasi hak asasi warga negara menjadi wartawan,” ujar Priyambodo yang juga Ketua Bidang Multimedia PWI Pusat.

Tujuan SKW adalah menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik dan melindungi kepentingan publik. Secara khusus Dewan Pers dan Lembaga Pendidikan Dr.Soetomo (LPDS) yang sudah lebih dulu menangani UKW (Uji Kompetensi Wartawan), merinci tujuan SKW:

Meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan1. Menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan 2. persMenegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik3. Menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi 4. khusus penghasil karya intelektualMenghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan5. Menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam indus-6. tri pers.

Sebagaimana yang selalu diingatkan oleh tokoh pers Tribuana Said, bahwa praktisi jurnalistik wajib mengetahui dan menaati kaidah-kaidah etika yang menuntun dalam menjalankan tugas jurnalistik. Sebagai praktisi pers, wartawan wajib melaksanakan tugasnya tidak saja secara benar tetapi juga secara baik.

Dengan menaati Kode Etik Jurnalistik, dipastikan mampu melaksanakan tugas secara benar, karena mampu mengutamakan akurasi, pemberitaan yang berimbang, menggunakan sumber-sumber terpercaya dan kompeten di bidangnya, menghormati hak privasi orang lain, dan prinsip-prinsip etika jurnalistik lain. Sedangkan wartawan yang baik adalah yang selalu menyiapkan diri sebelum turun ke lapangan, antara lain memahami cara melakukan wawancara, menguasai teknik meliput, mematuhi tata bahasa, dan cara menulis.

Kompetensi wartawan terutama berkaitan dengan kemampuan intelektual dan pengetahuan umum. Di dalamnya melekat pemahaman tentang pentingnya kemerdekaan berkomunikasi, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Kompetensi wartawan meliputi kemampuan memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, kemampuan mencari, memperoleh, menyimpan, memiliki, mengolah serta membuat dan menyiarkan berita, penyusunan dan penyuntingan berita, serta bahasa.

94

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Nah, untuk mencapai standar kompetensi, seorang wartawan harus mengikuti uji kompetensi yang dilakukan oleh lembaga yang telah diverifikasi oleh Dewan Pers, yaitu perusahaan pers, organisasi wartawan, perguruan tinggi atau lembaga pendidikan jurnalistik. Dalam hal ini, PWI adalah lembaga kedua sebagai penguji kompetensi wartawan, setelah LPDS.

Uji KompetensiMenurut catatan yang diberikan LPDS, sebagai lembaga pertama

yang diakui sebagai penguji kompetensi wartawan, untuk melaksanakan uji kompetensi, diperlukan perangkat uji yang disusun berdasarkan tingkatan kompetensi wartawan – muda, madya, dan utama – yang mencakup aspek kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan.

Dalam hal ini, menurut Hendry Ch.Bangun, Sekjen PWI Pusat, hal esensial yang ingin ditularkan PWI dalam setiap uji kompetensi adalah pentingnya perencanaan dalam proses keredaksian di setiap tingkatan kompetensi.

Pada jenjang kompetensi Wartawan Muda, diharapkan kemampuannya dari mulai mengusulkan liputan dalam Rapat Redaksi, tidak sekadar menerima penugasan. Termasuk wartawan yang “ngepos”, yang notabene tak banyak ada di kantor pusat, tetap harus mempunyai kemampuan yang sama. “Rapat adalah proses bottom-up penting. “Wartawan Muda yang tahu lapangan, idenya tersalur dan merasa diapresiasi,” ujar Hendry Ch.Bangun dalam Pelatihan bagi Pelatih/Calon Pelatih yang diselenggarakan oleh PWI Pusat.

Pada jenjang Wartawan Madya – pada umumnya pada tingkatan redaktur atau produser – diharapkan menjadi penghubung jenjang Wartawan Utama yang tahu visi-misi perusahaan dan Wartawan Muda yang memahami lapangan. Dalam pertemuan jenjang Madya dan Muda di dalam satu Rapat Redaksi, diharapkan yang jenjang Madya dapat menyerap ide dari masyarakat melalui yang Muda.

Sementara pada jenjang Wartawan Utama – yang telah melalui tahapan Muda dan Madya – sangat diandalkan dalam penguasaan jurnalistik, penghayatan visi-misi perusahaan, mengetahui segmen, dan memiliki jejaring.

Penguasaan tersebut membuatnya mempunyai peran yang sangat penting di dalam Rapat Redaksi, karena setelah menyerap usul liputan, juga mampu memberikan pengarahan, mendudukkan masalah, dan memberi tips yang ia peroleh dari jejaring sehingga jenjang Wartawan

95

Mengembangkan Kualitas UKW

Madya dapat mengisi medianya dengan konten yang bermutu dan bersaing.

Sikap PengujiBahan uji semuanya sudah disusun dengan rapi oleh para pendahulu,

tinggal lagi para penguji yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan di lapangan. Dalam hal ini, penguji tentu diharapkan sudah mempunyai kemampuan sebagaimana yang akan diujikan. Sebagaimana dikatakan oleh Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat Marah Sakti Siregar, penguji perlu berkonsentrasi penuh agar dapat melakukan pengujian dan penilaian secara lengkap, yakni melalui proses pengamatan, pemeriksaan hasil uji tertulis, dan uji lisan satu per satu dari peserta uji.

Namun, di luar dari kemampuan teknis, ada hal penting yang harus dipegang oleh penguji, yaitu yang berkaitan dengan ketegasan dan “kekuatan iman”. Ketegasan dalam hal ini antara lain karena penguji perlu disiplin yang ketat dalam mengelola waktu. Sementara “kekuatan iman” yang dimaksud adalah keteguhan dalam memberikan jarak dengan peserta uji. Bila “tidak kuat iman” seorang penguji maka mempunyai peluang untuk “didekati” oleh peserta uji. Kedekatan dengan teman sesama wartawan misalnya, memungkinkan penguji lemah hati bila tidak diniatkan untuk “kuat iman”.

Dua hal itulah yang seharusnya menjadi pegangan utama seorang penguji UKW, kemampuan teknis kewartawanan dan “kekuatan iman”. Seandainya penulis menjadi penguji UKW, tentulah harus berpegang pada kedua kemampuan tersebut.

Piagam PalembangBeruntunglah sebagian besar perusahaan pers di Indonesia juga

mempunyai semangat yang sama. Pemberlakukan Standar Kompetensi Wartawan telah mendapat dukungan dari 19 perusahaan pers besar di Indonesia, melalui penandatanganan Piagam Jakarta di puncak acara Hari Pers Nasional 2010 di Palembang, di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam Piagam Palembang itu, ke-19 perusahaan pers tersebut – antara lain Kelompok Kompas-Gramedia, Jawa Pos, Bintang Group, Pikiran Rakyat, Bali Post, TVRI, RRI, dan LKBN Antara – menyatakan kesediaan untuk mengikatkan diri pada empat peraturan di bidang pers, yaitu Kode Etik Jurnalistik, Standar Perlindungan Profesi Wartawan, Standar Perusahaan Pers, dan Standar Kompetensi Wartawan.

96

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Secara lebih rinci, dari enam butiran di dalam Piagam Palembang tentang Kesepakatan Perusahaan Pers Nasional itu, ada dua butiran yang secara khusus menyatakan dukungan mereka terhadap pentingnya Standar Kompetensi Wartawan.

Butir 1: Kami menyetujui dan sepakat, bersedia melaksanakan sepenuhnya Kode Etik Jurnalistik, Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Wartawan, dan Standar Kompetensi Wartawan, serta akan menerapkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan-ketentuan yang berlaku di perusahaan kami.

Butir 2: Kami menyetujui dan sepakat memberikan mandat kepada lembaga independen yang dibentuk Dewan Pers melakukan verifikasi kepada kami, para penanda tangan naskah ini, untuk menentukan penerapan terhadap kesepakatan ini. Kepada lembaga itu kami juga memberikan mandat penuh untuk membuat logo dan atau tanda khusus yang diberikan kepada perusahaan pers yang dinilai oleh lembaga tersebut telah melaksanakan kesepatan ini.

PenutupCita-cita PWI Pusat untuk bisa mengangkat wartawan Indonesia

profesional seutuhnya sekarang tak bisa sekadar cita-cita. Sudah harus segera diwujudkan. Karena semua elemen sudah mendukung.

Di antaranya, PWI Pusat mempunyai kekuatan dalam tim pelatih yang selama ini bekerja bersama bidang pendidikan pimpinan Marah Sakti Siregar, untuk pelaksanaan Safari Jurnalistik dan Sekolah Jurnalisme. Namun, yang lebih memicu semangat, adalah adanya pengukuhan PWI Pusat oleh Dewan Pers sebagai lembaga penguji kompetensi wartawan.

Semua materi pengujian juga sudah disiapkan. Bahkan perusahaan-perusahaan pers, melalui Piagam Palembang, juga sudah menyatakan kesiapannya melaksanakan program Standar Kompetensi Wartawan.

Saatnya kita menjadi wartawan yang membanggakan, yang dapat diandalkan menulis dengan arif, yang mampu mendudukkan perkara secara jelas, bahkan sebaiknya dapat memberikan pencerahan bagi pembaca. Seorang wartawan sebaiknya tidak menjadi pihak yang memanasi pihak-pihak yang bertikai.

Semoga cita-cita PWI berhasil! **

97

Mengembangkan Kualitas UKW

Uji Kompetensi Wartawan (UKW) bagian dari pelaksanaan Pasal 15 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers yang intinya memberikan amanat kepada dewan Pers untuk meningkatkan kualitas profesi kewartawaanan.

Dewan pers dalam melaksanakan UKW, menggandeng lembaga pers lainnya, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Asosiasi Jurnalistik Indonesia (AJI) dan Lembaga Pendidikan Dr. Soetomo (LPDS), termasuk juga Antara sebagai kantor berita nasional. Tentu semua pihak wajib mengapresiasinya karena UKW bermakna bukan hanya meningkatkan kualitas profesi wartawan. UKW juga

Theo Yusuf Ms SH MHPenulis, Mantan Pemred Majalah Perundang-undangan Antara dan Mantan Kepala Pemberitaan Ekonomi dan Keuangan Antara.

UKW Peningkatan Kualitas Profesi yang Terukur

98

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

dapat mendorong semua pihak, termasuk para pengujinya untuk terus mengaktualisasikan diri berkarya lewat tulisan di media dan buku.

Pada titik itu, hampir setiap peringatan Hari Pers Nasional, Ketua Umum selalu mengisyaratkan pentingnya peningkatan kualitas wartawan. Kini Direktur UKW ditugasi menyusun rencana jangka pendek, menengah dan panjang hingga tahun 2018. Tujuannya meningkatkan kualitas UKW lebih baik dan berkeadilan. Jika wartawan sudah dinyatakan lulus UKW, dipastikan memahami kode etik jurnalistik. Dia tentu mahir dalam membuat berita lempang, features dan opini. Pengujinya--pun dituntut lebih dari itu, yakni mempunyai kemampuan lebih dari yang diuji. Termasuk jenjang akademisnya, dan punya jaringan narasumber yang lebih luas dan berbobot.

Secara internal, UKW juga dapat mendorong mengubah Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga PWI. Pasal 17 ayat (6) poin a dan b PDPRT PWI menyebutkan, (a) untuk jabatan ketua berlaku syarat sudah menjadi anggota biasa PWI, sekurang-kurangnya lima tahun, pernah menjadi pengurus propinsi, dan bersertifikat wartawan utama. (b) Untuk jabatan lain berlaku syarat sudah menjadi anggota biasa PWI sukurang-kurangnya satu tahun.

Poin (b) tersebut ke depan perlu ditambahkan dengan mempunyai sertifikat kompetensi (utama/madya/muda). Mengapa? Seorang wartawan, tentu sudah melewati jejang uji, apalagi untuk jenjang madya sudah paham soal memimpin rapat, membuat budgeting liputan dan mempunyai jaringan narasumber secara luas. Sedangkan mereka yang sudah melawati status wartawan muda dapat memahami berita lempang dan kode etik jurnalistiik. Dampak dari perbaikan itu, akan menjadikan para anggota PWI jauh lebih berkualitas, benar-benar tempat berhimpun wartawan profesional yang ditandai memiliki sertifikat kompetensi.

Saat ini, banyak terjadi konflik pemilihan ketua PWI propinsi lantaran yang dapat memilih berstatus anggota biasa tapi ada yang menduga kartu anggota biasa dapat “disulap” oleh pihak tertentu. Akibatnya, daftar pemilih (DPT) jumlah dituding sering amburadul lantaran tidak ada kontrol ketat. UKW adalah sarana baik menjadikan anggota PWI lebih profesional dan terukur. Selain dilihat dari kartu anggota organisasi profesi, wartawan juga dilihat dari kartu kompetensi yang dimiliki. Inilah makna lain pentingnya UKW terus dilaksanakan dengan cara profesional yang dapat pula diuji oleh semua pihak secara fair. ***

99

Mengembangkan Kualitas UKW

MENILAI delapan sampai sembilan materi uji kompetensi wartawan dalam waktu dua hari tidaklah mudah. Apalagi waktu efektifnya hanya sekitar 11 jam. Namun dengan Metode Dewata (Bali), dalam waktu dua jam, penguji sudah bisa mengetahui apakah peserta Uji Kompetensi Wartawan (UKW) itu kompeten atau belum kompeten.

Dewata merupakan akronim atau singkatan bebas dari Dokumen, Wawancara, dan Tulisan. Metode Dewata adalah cara cepat dan tepat untuk menilai UKW dengan menggabungkan unsur data isian dokumen, hasil wawancara, dan karya tulisannya (berita untuk Wartawan Muda, feature Wartawan Madya, dan opini/tajuk Wartawan Utama).

Sihono HTKetua PWI DI Yogyakarta/Penguji UKW

Menentukan Kompetensi Wartawan

100

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Dokumen, antara lain berisi data diri peserta UKW dan riwayat kerja kewartawanannya. Mulai tahun berapa menjadi wartawan dan di media apa? Pernah menduduki jabatan apa dan tahun berapa? Apakah sudah tergabung dalam organisasi wartawan? Juga contoh karya jurnalistik yang dihasilkan.

Sedangkan wawancara dilakukan untuk mengetahui apakah yang ditulis dalam dokumen data diri dan daftar riwayat kerjanya itu benar atau tidak. Data penting yang perlu dikonfirmasikan adalah lama kerja menekuni profesi wartawan, jabatan, nama media, dan nama organisasi wartawan. Kejujuran, faktor penting untuk menentukan wartawan kompeten atau belum kompeten.

Tulisan berkaitan dengan unjuk kerja peserta UKW. Kelompok Wartawan Muda diminta menulis berita, kemudian kelompok Wartawan Madya menulis feature, dan kelompok Wartawan Utama menulis opini atau tajuk. Kunci pokok untuk menilai wartawan itu kompeten atau belum kompeten pada karya jurnalistiknya.

Jika setiap penguji menilai 5 peserta UKW, maka dengan Metode Dewata, hanya memerlukan waktu dua jam (120 menit) sudah bisa mengetahui wartawan kompeten atau belum kompeten. Rinciannya 30 menit untuk meneliti dokumen (setiap peserta 6 menit), 30 menit

Penguji UKW (ist)

101

Mengembangkan Kualitas UKW

wawancara (setiap peserta 6 menit), dan 60 menit unjuk kerja menulis (semua peserta diberi waktu 30 menit untuk menulis, dan masing-masing peserta 6 menit untuk koreksi).

Menurut Tim Perumus Standar Kompetensi Wartawan dari Dewan Pers, ada Sembilan materi ujian untuk kategori Wartawan Muda, yakni Merencanakan/Mengusulkan Liputan/Pemberitaan, Mencari Bahan Liputan Acara Terjadwal, Wawancara Tatap Muka, Wawancara Cegat (Doorstop Interview), Menulis Berita, Menyunting Berita Sendiri, Menyiapkan Isi Rubrik, Rapat Redaksi, dan Membangun Jejaring.

Untuk kategori Wartawan Madya juga ada Sembilan materi ujian, yakni Mengidentifikasi/Mengkoordinasikan Liputan/Pemberitaan, Analisis Bahan Liputan Acara Terjadwal, Merencanakan Liputan Investigasi, Menulis Berita/Feature, Menyunting Sejumlah Berita, Merancang Isi Rubrik, Rapat Redaksi–Analisis Pemberitaan, Mengevaluasi Hasil Liputan/Pemberitaan, Membangun dan Memelihara Jejaring serta Lobi.

Kategori Wartawan Utama ada 8 materi uji, yakni Rapat Redaksi, Mengevaluasi Rencana Liputan, Menentukan Bahan Liputan Layak Siar, Mengarahkan Liputan Investigasi, Menulis Opini/Tajuk, Kebijakan Rubrikasi, Rapat Evaluasi Redaksi, dan Fasilitasi Jejaring.

Sebenarnya untuk menguji kompetensi wartawan yang terpenting pada uji keterampilan menulis dan kejujuran peserta. Sedangkan materi lain yang dirumuskan Dewan Pers dalam Standar Kompetensi Wartawan, sejatinya untuk menambah nilai (bobot) kompetensi. Meski demikian, proses pembelajaran, transfer ilmu pengetahuan, wawasan, dan pengalaman, dari penguji ke peserta juga tidak kalah penting sehingga harus dilakukan. ***

102

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Insan pers yang menyandang profesi wartawan harus memiliki standar kompetensi yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers itu sendiri. Standar kompetensi itu menjadi tolak ukur profesionalitas seorang wartawan.

Kompetensi wartawan berkaitan dengan kemampuan intelektual dan pegetahuan umum maupun pengetahuan khusus tentang kewartawanan, di antaranya seperti memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan penyuntingan berita serta bahasa. Selain itu juga menyangkut kemahiran melakukannya, termasuk kemampuan bersifat teknis sebagai wartawan profesional yaitu mencari, memperoleh, menyimpan, memiliki, serta membuat dan menyiarkan berita.

Hj Lili Irianti Mala SHWartawan Senior SKH Kalimantan Post/Penguji UKW

Penguji UKW Juga Harus Kompeten

103

Mengembangkan Kualitas UKW

Untuk mencapai standar kompetensi, seorang wartawan harus mengikuti uji kompetensi oleh lembaga yang telah diverifikasi Dewan Pers, yaitu perusahaan pers, organisasi wartawan, perguruan tinggi atau lembaga pendidikan jurnalistik. Wartawan yang belum mengikuti uji kompetensi dinilai belum memiliki kompetensi sesuai standar. Demikian pula wartawan yang telah mengikuti uji kompetensi tetapi tidak mencapai nilai standar yang ditetapkan berarti wartawan itu belum kompeten.

Uji Kompetensi Wartawan (UKW) merupakan uji kemampuan, pemahaman dan penguasaan serta penegakkan profesi jurnalistik atau kewartawanan serta kewenangan untuk menentukan atau memutuskan sesuatu di bidang kewartawanan.

UKW dilakukan oleh tenaga-tenaga penguji yang tentu saja harus memiliki nilai tambah dibandingkan wartawan yang akan diuji, maksudnya agar penguji benar-benar menguasai permasalahan atau materi yang akan diujikan, termasuk dalam penilaian.

Pengalaman Ikut UKW Pengalaman penulis yang mengikuti UKW di PWI Cabang

Kalimantan Selatan telah melihat dan merasakan sendiri bahwa tenaga-tenaga penguji yang diturunkan PWI Pusat adalah orang-orang atau insan pers yang memiliki nilai tambah dibandingkan dengan kami peserta uji, yaitu sangat menguasai permasalahan yang menjadi mata ujian. Mereka begitu meyakinkan sehingga kami peserta UKW takluk dan merasakan bahwa mereka memang kompeten untuk menguji.

Mereka yang tampil sebagai penguji pada UKW ke-2 di PWI Cabang Kalimantan Selatan itu adalah para wartawan atau tokoh pers dengan jam terbang tinggi dan sudah tidak diragukan lagi kredibilitasnya dan integritasnya , diantaranya seperti Hendry CH Bangun, Marah Sakti Siregar, Atal S Depari, Usman Yatim, serta beberapa tokoh pers lagi yang penulis lupa namanya.

Kebetulan pada UKW ke-2 yang digelar PWI Cabang Kalimantan Selatan itu, penulis termasuk peserta yang dinyatakan lulus sebagai wartawan yang sudah kompeten dengan nilai terbaik dan diberi kesempatan untuk menjadi calon penguji UKW.

Bangga bercampur bimbang sempat berkecamuk dalam benak penulis ketika PWI Pusat memberikan kesempatan untuk menjadi calon penguji. Bangga karena kesempatan itu datang pada diri penulis dan tidak semua wartawan bisa mendapatkannya, dan ragu apakah

104

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

penulis bisa atau sanggup seperti halnya para penguji yang harus punya nilai tambah dibandingkan para wartawan yang akan diuji.

Ikut TOT Calon Penguji UKW Berkat dorongan dari keluarga dan kawan-kawan terdekat termasuk

Ketua PWI Cabang Kalsel, Drs.Fathurrahman, penulis memantapkan diri menerima tawaran dari PWI Pusat untuk menjadi calon penguji UKW dan pada 8 – 10 Juni 2012 penulis telah mengikuti ‘Training Of Trainers’ (TOT) Calon Penguji Standar Kompetensi Wartawan di Bogor Jawa Barat.

Melalui TOT calon penguji di Bogor, Jawa Barat itu, para narasumber telah membuka wawasan penulis bagaimana seharusnya seseorang wartawan yang telah kompeten itu bisa menjadi penguji serta memiliki nilai tambah seperti halnya para penguji yang lain.

Melalui TOT itu pula penulis jadi tahu bahwa nilai tambah itu mutlak dimiliki. Untuk menjadi seorang penguji, penguasaan tentang masalah pers yang sebenarnya sudah menjadi bidang atau bagian dari tugas penulis selaku wartawan sekaligus redaktur saat ini. Ada hal yang mutlak, artinya seluk beluk kewartawanan dengan berbagai aturannya seperti Kode Etik Jurnalistik maupun aturan lainnya dikuasai.

Nilai tambah dengan menguasai materi uji adalah salah satu upaya untuk menaklukkan peserta uji dan meyakinkan mereka bahwa penguji memang layak atau kompeten untuk melakukan pengujian.

Selain itu yang juga teramat penting, seorang calon penguji bila telah dinyatakan sebagai penguji haruslah menguasai dan menerapkan Kode Etik Penguji Kompetensi Wartawan. Kode etik penguji itu antara lain menyebutkan bahwa seorang penguji itu harus memiliki integritas yaitu melakukan tugasnya secara jujur, teliti, bertanggung jawab dan bersungguh-sungguh. Menunjukkan kesetiaan dalam segala hal yang berkaitan dengan profesi dan organiasasi dalam melaksanakan tugas. Dengan pengalaman kerja selama 23 tahun lebih sebagai wartawan di media yang sama, rasanya penulis sudah memenuh kriteria ini.

Sebagai calon penguji, penulis juga harus memiliki yaitu melakukan penilaian berdasarkan fakta hasil unjuk kerja, berupa tulisan serta demonstrasi unjuk kerja yang dilakukan di depan penguji. Tidak melakukan penilaian dengan latar belakang hubungan/keterkaitan dengan peserta secara positif maupun negatif. Sebagai penguji, penulis juga akan menolak suatu pemberian yang terkait dengan keputusan penilaian maupun karena pertimbangan profesi.

105

Mengembangkan Kualitas UKW

Penguji juga harus kompeten atau layak menyandang predikat itu, yaitu melaksanakan pegujian sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan tidak melenceng dari pedoman pengujian yang tertuang dalam buku Pedoman Uji Kompetensi yang disusun oleh Tim PWI Pusat.

Sebagai penguji, penulis akan terus berupaya meningkatkan kemahiran profesi, keefektifan dan kualitas hasil pekerjaan. Menghargai sesama penguji dan juga peserta uji, tidak mengumbar atau menjelek-jelekan penguji lain maupun peserta ujinya, selama dan sesudah proses pengujian, kecuali dalam proses evaluasi Sidang Penguji.

Tentu saja, penguji harus tahu tentang rambu-rambu yang diperbolehkan maupun tidak diperbolehkan saat melakukan pengujian, dan bila rambu-rambu itu dilanggar, penguji harus siap menerima konsekuensi berupa sanksi seperti yang sudah diatur dalam kode etik penguji.

Nah, bila memang sudah benar-benar dinyatakan sebagai penguji, maka semua aturan, pedoman maupun hal-hal lainnya terkait pengujian kompetensi wartawan harus penulis pahami dan terapkan, termasuk siap menerima sanksi bila melakukan pelanggaran.***

UKW PWI Kalsel, 5-6 Okt 2012 (Foto: Rudynov)

106

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Menjadi seorang Penguji SKW (Standar Kompetensi Wartawan) harus mengerti dan mengetahui lebih dahulu sejarah SKW, Pedoman UKW (Uji Kompetensi Wartawan) yang disusun oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat, dan dapat mempersiapkan mental.

Menjadi seorang penguji yang nanti akan menyatakan seseorang kompeten atau tidak kompeten sebagai wartawan bukanlah perkara mudah. Selain objektifitas keputusan, pamor dan gengsi penguji secara perorangan dan kelembagaan juga harus dijaga.

Setelah membaca pedoman dan hasil dialog dengan beberapa penguji senior, diketahui bahwa SKW lahir saat peringatan HPN (Hari Pers Nasional) 2010 di Palembang, Sumatera Selatan, saat Standar

Leo Dapot SiahanWartawan Utama/Sekretaris PWI Papua

Menjadi seorang Penguji SKW

107

Mengembangkan Kualitas UKW

Kompetensi Wartawan (SKW) diangkat ke pemukaan dan merupakan salah satu di antara butir “Piagam Palembang” tentang Kesepakatan Perusahaan Pers Nasional pada 9 Februari 2010.

Ada enam hal yang disetujui dalam kesepakatan itu. Khusus untuk butir satu, yang disetujui adalah: melaksanakan sepenuhnya Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Standar Perusahaan Pers (SPS), Standar Perlindungan Wartawan (SPW) dan Standar Kompetensi Wartawan (SKW).

Kendati menjadi wartawan merupakan hak asasi seluruh warga negara, bukan berarti setiap warga negara bisa melakukan pekerjaan kewartawanan. Tentu harus ada alat ukur dalam melaksanakan profesi kewartawanan itu. Pekerjaan wartawan berhubungan langsung dengan kepentingan masyarakat atau publik. Bahkan, dinyatakan “wartawan adalah bidan sejarah”. Sebagai bidan, artinya ikut secara aktif mengembangkan dan membesarkan dan mendewasakan sejarah.

Sebagai profesi yang terhormat, wartawan wajib mengawal kebenaran dan keadilan, melakukan perlindungan terhadap hak-hak pribadi masyarakat, serta menjadi musuh penjahat kemanusiaan seperti, koruptor dan politik busuk, dan haram menjadi bagian dari musuh. Dalam melaksanakan tugasnya, wartawan harus memiliki standar kompetensi yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers. Standar kompetensi itu menjadi alat ukur profesionalitas wartawan.

Tujuan SKW tidak muluk-muluk tetapi hanya untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan. Sekaligus untuk jadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers. Di samping itu, sebagai alat untuk menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik.

Melalui SKW diharapkan, wartawan bisa menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus yang merupakan penghasil karya intelektual. Selain itu, menghindari penyalahgunaan profesi wartawan, serta menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers, dia juga harus berupaya melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat guna menjaga kehormatan pekerjaan wartawan.

SKW bukan untuk membatasi hak-hak warga negara menjadi wartawan, tetapi melalui SKW wartawan akan diuji kemampuan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan. Dalam SKW, melekat pemahaman tentang pentingnya kemerdekaan berkomunikasi, berbangsa dan bernegara yang demokratis.

Kemampuan untuk memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan penyuntingan berita, serta bahasa juga lobi atau

108

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

jejaring, tidak dapat dilepaskan dari kompetensi wartawan. Hal ini juga menyangkut kemahiran melakukan kemampuan yang bersifat teknis. Di sinilah, kita dapat mengetahui tentang profesionalitas wartawan dalam mencari, memperoleh, menyimpan, memiliki, mengolah, membuat dan menyiarkan berita.

Seorang wartawan harus mengikuti uji kompetensi guna mendapat SKW tersebut. Dewan Pers sudah menetapkan lembaga yang diverifikasi sebagai pelaksana uji kompetensi dan salah satunya adalah PWI, yang telah menyatakan lolos komptensi banyak wartawan dari tiga kualifikasi kompetensi wartawan muda, madya dan utama.

Selain PWI ada organisasi wartawan lain dan perusahaan pers, perguruan tinggi juga lembaga pendidikan jurnalistik yang dapat melaksanakan uji kompetensi. Wartawan yang belum mengikuti uji kompetensi dinilai belum memiliki kompetensi sesuai dengan SKW yang telah ditetapkan Dewan Pers.

Hendry Ch Bangun saat TOT (Training of Trainer) Calon Penguji SKW PWI di Bogor 8-10 Juni 2012 mengatakan, SKW harus baku dan menjadi pegangan ukuran dan dasar. Standar itu juga berarti sebagai model bagi karakter unggulan. Dengan kompetensi itu dapat dilihat kemampuan yang menggambarkan tingkatan khusus menyangkut kesadaran, pengetahuan dan keterampilan seorang wartawan.

Wartawan adalah seorang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik, berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik. Informasi itu bisa juga dalam bentuk lain yang menggunakan media cetak, media elektronik, multi media dan segala jenis saluran lainnya.

Dengan kata lain, pengertian kompetensi wartawan adalah kemampuan untuk memahami, menguasai dan menegakkan profesi jurnalistik atau kewartawanan, serta kewenangan untuk menentukan sesuatu di bidang kewartawanan. Melalui SKW itu akan diperoleh rumusan kemampuan kerja wartawan yang sudah disepakati menggunakan model dan kategori, yaitu: kesadaran (awareness), pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill).

Kesadaran itu mencakup kesadaran tentang etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi. Pengetahuan meliputi teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum dan pengetahuan khusus. Sementara keterampilan dijabarkan dalam kegiatan 6 M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan

109

Mengembangkan Kualitas UKW

menyampaikan) informasi, serta melakukan riset dan investigasi, analisis dan prediksi, maupun menggunakan alat dan teknolgi informasi.

Kesadaran akan etika dan hukum sangat penting dalam profesi kewartawanan. Sehingga, setiap langkah wartawan, termasuk dalam mengambil keputusan untuk menulis atau menyiarkan masalah atau peristiwa, akan selalu dilandasi pertimbangan yang matang. Kesadaran etika juga akan memudahkan wartawan dalam mengetahui dan menghindari terjadinya kesalahan, seperti melakukan plagiat atau menerima imbalan. Dengan kesadaran ini, wartawan akan tepat dalam menentukan kelayakan berita atau menjaga kerahasiaan sumber.

Kurangnya kesadaran akan etika dapat berakibat serius berupa ketiadaan petunjuk moral, yaitu sesuatu yang tegas mengarahkan dan memandu pada nilai-nilai dan prinsip yang harus dipegang. Kekurangan kesadaran juga dapat menyebabkan wartawan gagal dalam melaksanakan fungsinya.

Elemen kompetensi wartawan muda, dimulai dari mengusulkan dan merencanakan liputan, menerima dan melaksanakan penugasan, mencari bahan liputan, termasuk informasi dan referensi, melaksanakan wawancara, mengolah hasil liputan dan menghasilkan karya jurnalistik, mendokumentasikan hasil liputan dan membangun basis data pribadi serta membangun dan memelihara jejaring atau lobi.

Untuk wartawan muda ada 9 elemen dengan berkas atau dokumen unit warna hijau, mulai dari, merencanakan atau mengusulkan liputan, mencari bahan liputan, wawancara tatap muka, wawancara cegat, menulis berita, menyunting berita sendiri, menyiapkan rublik dan rapat redaksi serta membangun jejaring.

Sedangkan elemen kompetensi wartawan madya, dimulai dari menyunting karya jurnalistik wartawan, mengompilasi bahan liputan menjadi karya jurnalistik, mempublikasikan berita layak siar, merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan keberdalaman (indepth reporting) juga liputan investigasi (investigative reporting), menyusun peta berita untuk mengarahkan kebijakan redaksi dibidangnya. Melakukan evaluasi pemberitaan dibidangnya, membangun dan memelihara jejaring atau lobi serta memiliki jiwa kepemimpinan.

Wartawan madya memiliki 9 elemen ujian dengan dokumen unit warna kuning mulai mengidentifikasi atau koordinasi liputan, analisan bahan liputan terjadwal, merencanakan liputan investigasi, menulis berita atau feature, menyunting berita, merancang isi rublik, rapat

110

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

redaksi, evaluasi hasil liputan (rapat redaksi) dan membangun jejaring. Menurut Djunaedi Tjunti Agus, di antara uji di kelompok madya

masih terdapat perbedaan pengertian atau pelaksanaan ujian di antara para penguji, sehingga diperlukan ada perbaikan dan pernyempurnaan dalam beberapa mata uji yang masih menimbulkan multi tafsir. Untuk itu, alangkah baik segera dilakukan penyempurnaan tersebut.

Untuk wartawan utama, memilik elemen kompetensi meliputi, menyunting karya jurnalistik wartawan, mengompilasi bahan liputan menjadi karya jurnalistik, mempublikasikan berita layak siar, merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan keberdalaman (indepth reporting) juga liputan investigasi (investigative reporting), menyusun peta berita untuk mengarahkan kebijakan redaksi dibidangnya. Melakukan evaluasi pemberitaan dibidangnya, memiliki kemahiran manajerial redaksi, mengevaluasi seluruh kegiatan pemberitaan, membangun dan memelihara jejaring atau lobi, berpandangan jauh ke depan/visioner serta memiliki jiwa kepemimpinan.

Ada 8 elemen uji untuk kelompok wartawan utama dengan dokumen unit warna biru meliputi, mengevaluasi rencana liputan, menentukan bahan liputan layak siar, mengarahkan liputan investigasi, menulis opini dan tajuk, kebijakan rubrikasi, rapat redaksi, membangun dan memelihara jejaring, serta rapat evaluasi redaksi.

Menyadari dan mengetahui serta mengerti akan pedoman SKW, menjadi modal kuat saya untuk bisa menjadi seorang penguji, ditambah lagi pengalaman pernah melihat apa saja yang dilakukan penguji SKW PWI pada 14 April 2012 di Jayapura. Saya ketika itu menjadi peserta Uji SKW di kelas Utama.

Tentu menjadi penguji sangat berat, sebab akan menentukan apakah seseorang bisa dinyatakan kompeten atau tidak menjadi wartawan muda, madya dan juga utama. Bayangan ini diperkuat dialog dengan beberapa penguji yang saya kenal. Hampir semua menceritakan susahnya posisi seorang penguji, karena perasaan berbenturan dengan kenyataan. Posisi penguji terkadang disegani, tetapi terkadang juga dianggap enteng. Namun, tidak ada dari para penguji yang saya kenal itu menyerah, bahkan meminta mundur sehingga dalam benak saya, jadi penguji memiliki tantangan dan sesuatu yang menarik.

Setelah dinyatakan kompeten menyandang wartawan utama melalu pelaksanaan UKW tahap pertama yang diselenggarakan PWI Cabang Papua 13 – 14 April 2012 di Jayapura, mengantarkan saya mengikuti Pelatihan Calon Penguji Standar Kompetensi Wartawan PWI Pusat

111

Mengembangkan Kualitas UKW

(TOT ke-4) di Bogor 8-10 Juni 2012. Harapan semakin besar, semangat semakin kuat, karena menjadi

penguji bisa menjadi wadah berbagi pengalaman dengan sesama penguji yang sebagian besar adalah pemimpin media dengan jam terbang tinggi, dengan keragaman latar belakang dan jenis media yang berbeda. Selain itu juga memiliki tantangan dan problematik, yang dimulai dari takaran SKW itu sendiri, di mana penguji harus menerapkan satu standar atau patokan baku yang menjadi ukuran dan dasar dalam bidang kewartawanan yang bermacam (cetak, siaran dan siber).

Latar belakang pendidikan dan tempat kerja peserta yang beragam menjadi tantangan pertama bagi penguji, selain merasa masih baru yang membutuhkan adaptasi. Penguji harus mampu mengendalikan peranannya agar tetap pada posisi disegani peserta uji. Semua itu akan teratasi dengan modal keterampilan komunikasi, jam terbang dalam dunia jurnalistik yang mapan, dan tingkat kompetensi penguji itu sendiri.

Saya berkesimpulan dan bekeyakinan, menjadi seorang penguji yang baik, mampu menjaga serta meningkatkan kredibilitas PWI sebagai salah satu lembaga penguji yang dipercayai oleh Dewan Pers adalah konsisten pada pedoman, dan tetap pada posisi objektif. Manakala seorang penguji mencoba keluar dari pedoman yang sudah disusun, di situlah awal masalah yang akan diterima oleh penguji, sebab kebijakan dan toleransi dalam menentukan sikap terhadap peserta adalah ruang perdebatan antara penguji dan peserta. Tegasnya, dalam melaksanakan pengujian, seorang penguji harus benar-benar objektif atau dengan bahasa yang agak keras “penguji harus menggunakan kacamata kuda”. ****

Para penguji UKW saat pembukaan UKW Provinsi

Papua di Jayapura (ist)

112

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Kebebasan pers di Indonesia yang bergulir bersamaan dengan lahirnya Era Reformasi, nyaris tak terbendung. Dalam era tersebut, pers seakan menjadi pers yang tanpa kendali. Siapa saja dengan mudah mendirikan atau membuat media. Rekruitmen wartawannya pun hampir tanpa kriteria. Tentu hal ini berdampak pada output-nya, yaitu penulisan karya jurnalistik yang keluar dari pakem. Pencampuran berita dan opini mewarnai berita-berita di berbagai media massa. Etika jurnalistik pun merupakan kemustahilan. Berita-berita yang dihasilkan sebagaian besar wartawan cenderung subyektifitas, tidak mengutamakan prinsip keberimbangan.

Drs. Taufan Pamungkas, M.SiPWI Cab. Papua/Peserta TOT Calon Penguji SKW di Bogor, 8-10 Juni 2012

Bila Aku Menjadi Penguji Kompetensi Wartawan

113

Mengembangkan Kualitas UKW

Hingga kini, setelah sekian tahun reformasi masih saja nampak tulisan-tulisan di berbagai media yang cenderung mengabaikan etika dan prinsip jurnalistik. Oleh karena itu, menurut saya sangat tepat saat peringatan Hari Pers Nasional 2010, dicetuskan Piagam Palembang yang salah satunya mendeklarasikan perlunya Standar Kompetensi Wartawan Indonesia.

Pentingnya Uji Kompetensi WartawanSebagaimana dimaklumi bahwa untuk menjadi wartawan

merupakan hak asasi seluruh warga negara, namun demikian bukan berarti setiap warga negara dapat melakukan pekerjaan kewartawanan. Ada ketentuan dan “alat ukur” yang perlu dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan profesi kewartawanan itu.

Sebagai profesi, pekerjaan wartawan berhubungan langsung dengan kepentingan masyarakat atau publik. Bahkan HM Yousri Nur Raja Agam dalam tulisannya: Standar Kompetensi Wartawan Alat Ukur Profesionalitas Pers: 2011), mengatakan, “wartawan adalah bidan sejarah. Nah, sebagai bidan, artinya ikut secara aktif mengembangkan dan membesarkan dan mendewasakan sejarah”. Sebagai profesi yang terhormat, maka wartawan wajib mengawal kebenaran dan keadilan, melakukan perlindungan terhadap hak-hak pribadi masyarakat, serta menjadi musuh penjahat kemanusiaan seperti koruptor dan politik busuk.

Dalam melaksanakan tugasnya, wartawan harus memiliki standar kompetensi yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers. Standar kompetensi itu menjadi alat ukur profesionalitas wartawan, yaitu Standar Kompetensi Wartawan (SKW). SKW ini diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat guna menjaga kehormatan pekerjaan wartawan. Jadi, bukan untuk membatasi hak-hak warga negara menjadi wartawan. Melalui SKW ini pula wartawan akan diuji kemampuan intelektual dan pengetahuan umumnya. Sebab, di dalam SKW itu melekat pemahaman tentang pentingnya kemerdekaan berkomunikasi, berbangsa dan bernegara yang demokratis.

Kemampuan untuk memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan penyuntingan berita, serta bahasa tidak dapat dilepaskan dari kaitan kompetensi wartawan. Hal ini juga menyangkut kemahiran melakukan kemampuan yang bersifat teknis. Di sinilah dapat diketahui tentang profesionalitas wartawan dalam mencari, memperoleh, menyimpan, memiliki, mengolah, membuat dan menyiarkan berita.

114

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Seorang wartawan harus mengikuti uji kompetensi guna mencapai SKW tersebut. Dewan Pers sudah menetapkan lembaga yang diverifikasi sebagai pelaksana uji kompetensi itu. Selain organisasi wartawan dan perusahaan pers, juga dapat dilaksanakan oleh perguruan tinggi dan lembaga pendidikan jurnalistik. Nantinya wartawan yang belum mengikuti uji kompetensi dinilai belum memiliki kompetensi sesuai dengan SKW yang ditetapkan Dewan Pers.

Tujuan SKW ini adalah untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan. Sekaligus untuk jadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers. Di samping itu, sebagai alat untuk menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik. Dengan adanya SKW ini, maka dapat menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual. Selain itu untuk menghindari penyalahgunaan profesi wartawan, serta menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers.

Uji Kompetensi Wartawan adalah sebuah keniscayaan dan merupakan tuntutan jaman terhadap pers agar kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat terlindungi sekaligus menjaga harkat dan martabat wartawan, dan pada akhirnya akan terjadi interaksi positif yang sebenarnya antara pers, pemerintah dan masyarakat.

Peranan PengujiPentingnya Uji Kompetensi Wartawan bagi seorang wartawan,

sebagai mana telah saya uraikan di atas, tidak terlepas dari peran para penguji SKW sendiri. Sebagaimana telah disyaratkan, bahwa penguji SKW adalah Wartawan Utama dan telah mengikuti pelatihan atau TOT yang diselenggarakan oleh lembaga penguji yang telah diverifikasi Dewan Pers.

Bagi seorang penguji, menurut saya harus memiliki standar baku yang dapat dijadikan ukuran dan dasar dalam bidang kewartawanan dengan bermacam media massa, yaitu cetak, elektronik, maupun media baru (cybernet), serta latar belakang dan tingkat pendidikan para wartawan yang beragam.

Oleh karena itu para menguji, harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk menyampaikan dan menjelaskan kepada para peserta UKW tentang konsep-konsep SKW. Konsep-konsep dimaksud meliputi aspek pengetahuan, ketrampilan atau keahlian, dan sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan. Para peserta akan memiliki pengetahuan tentang kompetensi wartawan yaitu kemampuan

115

Mengembangkan Kualitas UKW

untuk memahami, menguasai dan menegakkan profesi jurnalistik atau kewartawanan, serta kewenangan untuk menentukan sesuatu di bidang kewartawanan. Hal itu menyangkut kesadaran (awareness), pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill). Dengan standarisasi penguji wartawan ini akan diperoleh rumusan kemampuan kerja wartawan yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, keahlian dan sikap kerja yang terkait dengan pelaksanaan tugas kewartawanan itu sendiri.

Hal-hal yang perlu dipedomani secara praktis sebagaimana dikemukakan Marah Sakti Seregar dalam TOT Calon Penguji SKW ke-4, 8-10 Juni di Bogor adalah pola pengujian berkelompok. Di sini, kemampuan dan konsentrasi penguji sangat dibutuhkan. Dengan waktu ketat yang tersedia, penguji harus menyelesaikan pengujian dan penilaian secara lengkap, menyangkut proses pengamatan, pemeriksaan hasil uji tertulis dan uji lisan kepada masing-masing peserta uji.

Hal lain yang perlu diperhatian bagi seorang penguji adalah, mempelajari berkas bahan uji yang dihimpun dalam bundelan. Lembar Uji Kompetensi tersebut menjadi acuan bersama dalam proses UKW. Penguji harus menjelaskan apa yang harus dikerjakan peserta. Lembar tersebut juga menjadi acuan penguji dalam memberikan penilaian dan evaluasi dari hasil kerja peserta. Para penguji dituntut jeli memeriksa dan mencermati hasil kerja masing-masing peserta, sehingga tidak terjadi kesalahan penyerahan lembar jawaban dan lembar UKW. Selain itu penguji juga perlu mengendalikan ketegangan para peserta.

Tentang Uji Lisan atau dialog, merupakan tahap uji yang menuntut pengetahuan dan ketrampilan khusus penguji. Dalam tahapan ini, penguji harus bisa melihat dan mengetahui apakah peserta memiliki kompetensi yang sebenarnya. Dengan dialog, penguji juga bisa mengetahui apakah hasil kerja peserta menyontek, hafalan atau telah menyiapkan jawaban sebelumnya, atau peserta benar-benar menguasai materi uji kompetensi.

Faktor disiplin waktu juga sangat penting dalam kompetensi wartawan. Oleh karena itu penguji harus bisa mengatur waktu agar bisa sesuai dengan pedoman, dan juga sesuai dengan waktu yang sudah ditetapkan oleh panitia pelaksana UKW. Kendati demikian, perlu ada toleransi waktu pada para perserta, di mana telah disepakati antara 5 sampai 15 menit. Mengingat waktu yang disediakan pada para penguji juga ketat, maka penguji harus bisa memanfaatkannya guna memeriksa hasil kerja peserta. Misalnya dengan menyiasati melakukan penilaian saat peserta mengerjakan tugas tertulis.

116

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Memberitahuan Hasil PenilaianStandar penilaian UKW dinyatakan kompeten jika dapat mencapai

nilai 70, satu saja dari materi Unjuk Kerja yang dijalani peserta mendapatkan nilai di bawah 70, maka peserta dinyatakan belum kompeten. Oleh karena itu, penguji hendaknya dapat memilih waktu yang tepat menyampaikan atau memberitahukan hasil penilaiannya kepada peserta. Ini dimaksudkan agar peserta terutama yang mendapatkan nilai di bawah 70 tidak kaget dan tetap mengikuti tahapan UKW sampai selesai sehingga peserta tersebut dapat mengetahui, materi uji mana yang perlu dipelajari kembali. Peserta yang dinyatakan belum kompeten masih dapat mengikuti UKW periode berikutnya.

Hak BandingBagi Peserta yang dinyatakan belum kompeten, memiliki hak banding.

Hal ini mencerminkan pelaksanaan UKW yang terbuka dan terukur. Metode pengujiannya antara penguji dan peserta UKW dihubungkan dengan bahan uji yang sudah disiapkan. Dalam hal ini, PWI Pusat telah menyiapkan berkas UKW sesuai dengan tingkat wartawan.

Dalam proses pengujian yang bersemangat edukatif dan egaliter, bila terdapat peserta yang tidak sependapat dengan hasil penilaian penguji, peserta dapat menyatakan tidak setuju atas penilaian tersebut dan menyatakan banding. Ia harus konsultasi lebih dahulu dengan pengawas atau Ketua Tim Penguji yang saat itu bertugas, untuk selanjutnya akan diteruskan kepada Majelis Banding yang dibentuk PWI Pusat selaku lembaga pelaksana UKW.***

Aki Iskandar, penguji UKW,

mengamati peserta yang mengerjakan

tugas UKW (ist)

Bagian III

UKW MEMBANGUN PERS NASIONAL

119

UKW Membangun Pers Nasional

Sesungguhnya, hanya wartawan yang memenuhi standar kompetensi sajalah yang bisa dipekerjakan di lembaga usaha pers. Untuk mengetahui, apakah seorang wartawan disebut kompeten atau sebaliknya perlu dilakukan pengayakan yang jelimet. Itulah yang dilakukan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dalam melaksanakan “amanat” Dewan Pers melalui Uji Kompetensi Wartawan (UKW).

UKW, tak lain menguji apa yang dirancang dan dikerjakan wartawan secara individu atau kelompok pada “hari ini” untuk berita hari ini, atau berita besok. Untuk surat kabar harian misalnya, berita yang tersaji hari ini, merupakan kerja hari kemarin. Kerja kemarin itu bisa diketahui,

Khairul Jasmin SPd MMPemred Harian Singgalang Padang/Anggota Komisi Kompetensi PWI Pusat 2013 – 2018.

Wartawan Perlu Menguasai Marketing

120

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

setelah memperbandingkan dengan kompetitor atau tingkat kepuasan pelanggan. Apakah kemarin tim Anda bekerja keras atau sekadarnya saja.

UKW tidak menguji pengetahuan umum seseorang secara mendalam, juga tidak keahlian lain, selain bidang jurnalistik. Jurnalistik adalah keterampilan, bukan ilmu. Sama seperti guru, berdiri di depan kelas bukanlah ilmu tapi keterampilan. Apa yang ia ajarkan, adalah ilmu. Keterampilan, nyaris tidak bisa mengacu pada buku, tapi pada praktik. Ibarat belajar bersepeda, dengan latihanlah, maka kita pandai mengayuhnya, bukan karena buku.

UKW yang dilaksanakan selama dua hari, merupakan cara yang efektif untuk mengetahui tingkat keterampilan seorang wartawan, siapapun dia. Apapun bidangnya. Standar Kompetensi Wartawan (SKW) mengatur pelaksanaan UKW dengan beberapa perangkat kerja yang disusun oleh Dewan Pers.

Apa saja kerja wartawan sehari-hari, itulah yang diuji. Mulai dari mengusulkan ide liputan, meliput, membuat berita, serta memiliki jejaring yang luas. Wartawan juga harus bisa menulis pendek dan menulis panjang, semisal feature. Semua wartawan pada saatnya, harus terlibat dan aktif dalam rapat redaksi. Bagaimana materi berita bisa diracik jika rapat redaksi tidak pernah ada. Padahal rapat itu gunanya untuk menentukan materi layak siar. Untuk layak, apa saja yang harus dilakukan. Bahkan dalam rapat itu, dilakukan evaluasi rencana liputan yang disusun dan disepakati kemarin. Pada tingkat lebih tinggi, yang disebut wartawan utama, dia juga harus bisa menyusun kebijaksan rubrikasi. Saat ini, di tengah persaingan yang ketat, rubrikasi merupakan sebuah produk yang ditawarkan pada pembaca yang nyaris tidak loyal pada satu produk, apalagi di daerah. Kemudian wartawan utama juga harus bisa menulis tajuk, sebab tajuk rencana merupakan sikap dan pandangan sebuah media. Satu hal lagi, apa ia gaptek dengan teknologi terkini?

Jika Saya Jadi PengujiAda pertanyaan yang diajukan, yaitu jika saya jadi seorang penguji

UKW, apa saja yang akan dilakukan? Pertama tentu mengikuti petunjuk dalam buku babon. Secara akademis dituntut terus belajar dan belajar. Belajar bisa dari buku, dari orang per orang dan dari pengalaman sebagai Pemimpin redaksi di Harian Singgalang, Padang. Untuk yang disebut terakhir, luar biasa pengalaman yang bisa saya dapat. Salah satu

121

UKW Membangun Pers Nasional

contohnya, seseorang dituduh menipu dan korban melapor ke polisi. Si pelapor bersama polisi memberi keterangan dan wartawan diberi foto copy bukti laporan polisi. Redaktur hukum kemudian menurunkan berita tersebut. Pada hari berita itu terbit, datanglah orang yang dilaporkan ke kantor protes “kenapa ia tidak diwawancarai?” Selama ini, laporan polisi saja di banyak media sudah cukup, namun tidak di Padang. Orang yang dilaporkan, siapapun dia, harus dimintai keterangan.

Pengalaman lain ketidakprofesionalan wartawan, menulis nama orang acap salah, berita seolah-olah wawancara langsung padahal copy paste. Banjir sebatas lutut, ditulis sedada orang dewasa serta banyak hal lain. “Kalau semua wartawan bekerja sesuai kode etik, semua beres, tak ada masalah,” kata Atal Depari, penguji UKW, Ketua Bidang Pembinaan Daerah PWI Pusat. Ini sangat benar, sebab kode etik akan menggiring wartawan bekerja profesional dan pada gilirannya menumbuhkan kepercayaan. Jujur pada diri sendiri, setia pada profesi dan tidak mengkhianati konsumen/pembaca.

Menaklukkan KelasSaya sependapat dengan argumen Marah Sakti Siregar, penguji

UKW dan Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat. Menurut dia, penguji harus “menaklukkan” peserta uji. Saya menyebutnya “menaklukkan kelas”. Selama delapan tahun saya belajar ilmu mendidik, penguasaan kelas, alat peraga, ilmu jiwa anak, ilmu jiwa perkembangan serta berbagai hal tentang seluk-beluk pendidikan, maka satu hal yang terus terpatri dalam ingatan saya sebagai calon guru: kelas harus dikuasai.

Dalam sebuah kelas selalu berlaku kurva normal, ada yang bandel, ada yang baik serta baik sekali dan ada yang rata-rata. Komposisi anak bandel dalam sebuah kelas tak lebih dari 5 sampai 10 persen. Karena itu, mereka harus ditaklukkan terlebih dahulu. Anak-anak pintar juga harus ditaklukkan, karena kita bisa kedodoran. Asumsi umum peserta sebuah kelas, adalah orang yang berdiri di depan, lebih jago dari mereka. Namun jika penampilan kita sebagai penguji tidak meyakinkan, maka ambruklah semuanya.

Menaklukkan sebuah kelas bisa dengan sedikit narsis, bisa juga tanpa hal itu, melainkan dengan berbicara tentang hal-hal penting profesi kewartawanan. Cara berbicara, intonasi, tutur yang teratur, bisanya bisa “memukau” kelas.

122

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

MarketingKalau menguji UKW saya akan menaati petunjuk teknis dalam

babon, namun akan ada beberapa hal yang mesti saya cermati atau ditambahkan, sebagai pelengkap belaka. Saya akan menguji sejauh mana seorang wartawan menguasai ilmu marketing media. Ini penting, karena ia bekerja bukan sekadar terima gaji, tapi untuk membangun lembaga persnya sendiri. Jika ia bekerja pergi pagi pulang sore, seperti pegawai negeri belaka, maka ia takkan maju-maju. Mengerti pemasaran tidaklah menyalahi ilmu jurnalistik. Misalnya, ketika Piala Dunia di Brazil, maka selera konsumen sedang condong ke sana. Inilah saatnya tim redaksi ikut “membantu” teman-temannya di bidang marketing untuk menjual konten yang bagus.

Itulah rubrikasi yang jelimet, tepat sasaran dan sesuai selera konsumen. Selera konsumen adalah hal paling penting dalam bisnis pers. Konsumen bisa jadi loyal kalau lembaga pers bisa dipercayai. Kepercayaan adalah jantung pers itu sendiri. Pers yang dipercaya, jika wartawannya profesional, tidak abal-abal. Wartawan akan professional jika ilmunya cukup. Membangun media dengan ilmu yang cukup akan membesarkan media itu dan pada gilirannya kesejahteraan karyawan akan terjamin. Wartawan yang sejahtera, semoga bisa berbuat jujur dan setia pada profesi serta lembaga tempat ia bekerja.

Wartawan harus menggeser cara pandangnya dari menganggap masyarakat sebagai pembaca, pendengar atau pemirsa, sebagai konsumen. Konsumen punya makna jauh lebih dalam ketimbang sebagai pembaca belaka. Jika pembaca telah diposisikan sebagai konsumen, maka wartawan harus bertindak professional. Keluhan pembaca, adalah masukan berharga bagi sebuah media.

Tips Buya HamkaUntuk pekerja pers, Buya Hamka punya tips yang ringan namun

cerdas. Menurut Buya, wartawan itu harus mencatat segalanya, namun dalam perjalanan ke kantor, gugurkan satu-satu, hingga yang tinggal hanya yang perlu saja. Yang perlu itu, kemudian buat menjadi berita atau feature di dalam kepala Anda. Sesampai di kantor, hanya tinggal mengetiknya saja, bukan membuatnya.

Tips ini, juga dilengkapi dengan langkah-langkah lain, yaitu menggali ide liputan dan kemudian mengusulkannya. Siapa saja di surat kabar saya harus mengusulkan ide liputan. Siapa saja juga harus protes kenapa beritanya tidak dimuat. Siapa saja, setiap pagi, melihat di papan besar

123

UKW Membangun Pers Nasional

terpampang perbandingan semua surat kabar harian di Padang. Mata uji UKW selain melihat apakah wartawan bisa bekerja cepat

akurat dan punya daya kejut setiap hari, juga dimaksudkan untuk meneropong sisi lain. Sisi lain itu: Kesadaran profesi dan penghayatan kode etik. Kode etik seperti enteng saja, padahal itulah teraju wartawan. Penyimpangan terhadap kode etik, akan menyebabkan terjadi kesalahan dalam berita. Masalah yang hari ini banyak dikeluhkan konsumen, karena wartawan tidak mematuhi kode etik. Sengaja melanggarnya karena merasa tidak ada sanksi dari pihak manapun. Buya Hamka mengingatkan agar wartawan bekerja hati-hati.

Terlepas dari tips Buya Hamka itu, UKW juga mendeteksi pengetahuan umum dan khusus si wartawan. Banyak wartawan, tak menonton, tak mendengar dan tak sempat membaca berita yang ia liput. Tak baca koran orang lain, apalagi membandingkannya dengan hasil kerja kompetitor.

Hal enteng tapi sangat penting adalah penguasaan teknologi, terutama dengan internet dan telepon genggam. Wartawan tak harus ke kantor tiap pagi, karena terjebak macet seperti di Jakarta, tapi bisa menggunakan kecanggihan teknologi.

Tiga HalRumusan kompetensi wartawan tak banyak benar. Hanya ada tiga,

pertama kesadaran (awareness), mencakup kesadaran tentang etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi. Sehebat apapun wartawan tanpa memiliki kesadaran, ia hanya akan melukai kesadaran publik dan akan sepi sendiri.

Kedua pengetahuan (knowledge). Ini meliputi teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum dan pengetahuan khusus. Serta ketiga keterampilan (skills) jurnalisme: mencakup kegiatan 6 M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyiarkan informasi), serta mengunakan alat dan teknologi informasi. Jadi bukan wartawan lisan, hanya ngomong saja yang pandai, disuruh menulis, tak bisa. “Anda tulis itu, Anda kan wartawan,” kata almarhum Rosihan Anwar, satu kali di Padang kepada seorang wartawan yang bicara berapi-api.

Lewat tiga hal ini kita dapat melihat apakah seseorang itu bisa menjadi wartawan kompeten atau harus melewati beberapa pengayaan lagi. Selain itu, uji kompetensi juga sebagai proses pembelajaran lewat unjuk kerja, uji lisan, dan dialog. Dalam literatur pendidikan modern

124

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Minangkabau yang membesarkan Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Yamin dll itu, ketiga hal ini menjadi hal penting di sekolah: Pandai menulis, pintar berbicara dan piawai berpidato/dialog.

PenutupPada gilirannya, wartawan harus bisa “buka praktik” dan tidak

melakukan malpratik, sebab tindakan itu merusak nama baik dan mencederai orang lain. Wartawan harus mengerti betul tugasnya, paham rambu-rambu.

Ia harus paham di level mana ia bekerja, sebagai reporter, redaktur dan top redaksi. Seorang reporter, mengerti bagaimana ia harus menjalankan tugas di lapangan, memahami kode etik, menghindari hal-hal yang bisa mencelakakan dirinya membuat berita press clear. Redaktur, bukan sekadar mengedit, tapi memberi bobot atas tulisan reporter. Ia harus bisa menulis panjang, tulisannya haruslah bagai camar di teluk, indah dan hemat. Inilah penguasaan bahasa, tidak tergelincir dalam hal-hal elementer. Sementara redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi, mengetahui selera pasar hari demi hari, bulan demi bulan. Ia paham bisnis pers luar dalam. Bahkan sesungguhnya harus mengerti berapa biaya produksi. Di bagian desk mana sering blunder dan di desk mana sering unggul dan seterusnya.

Saya yakin, jika insan pers bekerja sesuai acuan buku babon, tidak ada masalah yang ditemukan dalam keseharian. Bahkan, secara pasti oplah surat kabar, rating siaran akan meningkat. Paling pasti, semua harus taat kode etik. Menggunakan jejaring pun harus sesuai acuan kode etik, jangan asal telepon, misalnya. Tengah malam buta, masih saja menelepon narasumber.

UKW menggiring wartawan menjadi pekerja pers yang baik. ***

Simulasi jumpa pers dalam kegiatan UKW Propinsi

Sumbar, 19 Nopember 2013. (ist)

125

UKW Membangun Pers Nasional

Gerakan reformasi 1998 mengantarkan terjadinya peralihan rezim yang berkuasa di Indonesia, dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Kemerdekaan pers merupakan salah satu buah yang didapat dari gerakan peralihan itu. Dengan payung regulasi UU No. 40/1999 tentang Pers insan pers Indonesia menghirup udara kemerdekaan pers yang sudah sejak lama diimpikan.

Menggeliatnya sektor ekonomi dan dan berkembangnya teknologi informasi setelah proses peralihan rezim itu merangsang dan mendorong pertumbuhan industri media yang konsekuensinya juga diikuti melonjaknya jumlah wartawan. Sayangnya pertumbuhan jumlah media

Syamsul HudaWakil Kepala Sekolah Jurnalisme Indonesia PWI Jateng/Wartawan radio Rasika FM Semarang

UKW, Profesionalisme dan Kesejahteraan Wartawan

126

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

yang pesat itu kurang diimbangi dengan tersedianya tenaga wartawan yang menjadi tulang punggung produk media.

Akibatnya mudah ditebak, di era kemerdekaan pers terjadi penurunan kualitas. Dari sisi wartawan dapat dilihat dari rendahnya kualitas produk jurnalistik yang di kemudian hari menimbulkan berbagai macam persoalan karena masyarakat merasa dirugikan akibat pemberitaan media yang tidak profesional.

Ketua Dewan pers Prof Dr Bagir Manan berulang-ulang mengatakan dalam setiap kali Dewan Pers melakukan mediasi antara media dengan pihak-pihak yang dirugikan diperoleh data 80 persen media melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik. Bentuk pelanggarannya sebagian besar tulisan tidak berimbang, tidak akurat, korban kejahatan susila tidak dilindungi sampai dengan sikap wartawan atau media yang kurang profesional.

Dari situ, sesungguhnya dapat dilihat bahwa persoalan pers atau jurnalisme Indonesia dalam era kemerdekaan pers ini masih berkutat pada rendahnya kompetensi wartawan. Ini sangat ironis sekali, di tengah-tengah kesempatan untuk mengekspresikan kebebasan, ternyata di lingkungan internal pers sendiri masih belum mampu menyelesaikan persoalan internalnya, yakni kompetensi dan profesionalisme.

Hal ini akan membahayakan dan dapat mengancam masa depan kemerdekaan pers nasional kalau tidak segera ditanggulangi. Dewan pers sebagai institusi yang diamanati untuk melindungi kemerdekaan pers segera mengambil langkah. Berawal dari desakan masyarakat pers pada saat berlangsungnya peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2007 di Samarinda Kaltim, Dewan Pers pada tahun 2010 menerbitkan Peraturan Dewan Pers nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan ( SKW ).

Regulasi ini mengamanatkan kepada setiap wartawan agar dalam pelaksanaan tugas-tugas jurnalistik membekali diri dengan standar kompetensi yang memadai. Mencapai standar kompetensi yang menjadi alat ukur profesionalisme itu, wartawan harus mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang dilakukan oleh lembaga yang sudah diverifikasi Dewan Pers, yakni perusahaan pers, organisasi wartawan, perguruan tinggi atau lembaga pendidikan jurnalistik.

Semarak UKWPWI sebagai organisasi wartawan merespon sinyal yang disampaikan

Dewan Pers itu dengan menyiapkan diri menjadi lembaga penguji

127

UKW Membangun Pers Nasional

UKW. Setelah lolos verifikasi organisasi wartawan tertua ini langsung tancap gas. Bidang pendidikan yang diamanatkan kongres PWI di Aceh (2008) sebagai program unggulan langsung disinkronkan dengan program UKW di seluruh tanah air.

Kegiatan yang berorientasi peningkatan SDM melalui pendidikan yang dikemas dalam kegiatan Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) , Safari Jurnalistik, Karya Latihan Wartawan, diklat-diklat jurnalistik lainnya selalu diakhiri dengan UKW. Semaraknya program UKW yang digelar di seluruh penjuru tanah air oleh PWI melalui pengurus cabang dan perwakilan yang ada semakin menggelorakan dan menyemarakkan jagat pendidikan wartawan di tanah air.

Untuk menyemangati para pengurus PWI baik di pusat maupun di daerah, ketua umum PWI Pusat , Margiono dalam setiap kesempatan selalu melakukan “indoktrinasi” bahwa kalau ada 10 program PWI di mana pun levelnya, 9 di antaranya harus berorientasi pada pendidikan dan peningkatan SDM wartawan, sisanya baru bidang-bidang yang lain-lain.

Bidang Pendidikan, seperti SJI dan Safari Jurnalistik berorientasi UKW

PWI Cabang Jawa Tengah sebagai bagian dari pers nasional turut terpacu. Hingga kini telah menggelar lima kali UKW yang pelaksanaannya tidak hanya diselenggarakan di pusat ibukota provinsi Jawa Tengah (Semarang), tetapi mulai bergeser ke daerah-daerah. Hal ini untuk mensosialisasikan program unggulan ini supaya lebih dikenal dan dipahami oleh masyarakat sampai di level paling bawah.

128

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Melalui UKW ini seluruh wartawan bisa bercernin diri untuk mengetahui siapa dirinya sebenarnya, sejauhmana kemampuannya dalam menekuni dunia jurnalisme, pada level apa dirinya di ranah jurnalisme terkait dengan pembagian kategori yang ada di ranah kewartawanan, wartawan muda, madya atau utama?

Dari evaluasi diri melalui UKW itu, para wartawan dapat memperoleh informasi riil bahwa dirinya berada pada level muda, madya atau utama. Kendati menggunakan istilah ujian, dalam UKW tidak kenal lulus dan tidak lulus, tetapi sudah kompeten atau belum kompeten yang hasil penilaian ujian dilakukan secara terbuka, antara peserta UKW dengan penguji sama-sama menyepakati nilai hasil ujian, termasuk sudah kompeten atau belum kompeten.

Kerja keras yang dilakukan oleh PWI sebagai organisasi profesi dalam menata dan meningkatkan kualitas SDM wartawan agar memenuhi standar profesionalisme ternyata belum mampu menjawab persoalan besar pers nasional.

Setelah dinyatakan kompeten, para penguji UKW mendapat berondongan pertanyaan dari peserta UKW. Setelah wartawan berstatus kompeten dan profesional, lantas bagaimana? Apakah dengan bekal kompetensi dan profesional itu akan disusul dengan peningkatan kesejahteraan?

Ini merupakan pertanyaan yang sangat wajar. Dewan Pers harus mengapresiasi program SKW yang dilaksanakan lembaga-lembaga penguji dan telah ditaati oleh para wartawan yang mengkonfirmasi kemampuannya melalui UKW. Setelah tiga tahun program SKW berjalan Dewan Pers perlu mengkonfirmasi para pemangku kepentingan di ranah pers untuk melakukan evaluasi guna mencari jalan keluar yang dihadapi oleh lembaga penguji atas pertanyaan peserta UKW yang telah dinyatakan kompeten itu.

KonfirmasiJawaban tentang kesejahteraan wartawan berada di ranah perusahaan

media di mana wartawan itu berkarier. Piagam Palembang 2010 yang ditandatangani 19 grup perusahaan media di hadapan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono saat berlangsungnya HPN 2010 dapat dijadikan pintu masuk Dewan Pers untuk mengkonfirmasi dan mencari jawab kepada perusahaan media atas pertanyaan seputar kesejahteraan wartawan setelah dinyatakan kompeten.

Memang saat itu hanya 19 grup perusahaan media yang mendukung

129

UKW Membangun Pers Nasional

profesionalisme wartawan melalui sisi peningkatan kesejahteraan wartawan. Konon setelah ditandatangani piagam Palembang sejumlah perusahaan media menyusul untuk turut serta menyepakatinya. Selain piagam Palembang, Dewan Pers juga memiliki perangkat regulasi untuk mengkonfirmasi perusahaan media.

Peraturan Dewan Pers nomor 04/Peraturan-DP/III/2008 tentang standar perusahaan pers juga dapat dijadikan tolok ukur sejauhmana perusahaan media memperhatikan kesejahteraan wartawan. Regulasi ini mengamanatkan kepada perusahaan media untuk memberi upah kepada wartawan setara dengan upah minimum provinsi sebanyak 13 kali dalam satu tahun (poin ke-8).

Selain itu disusul poin ke-9 bahwa perusahaan media memberikan kesejahteraan lain kepada wartawan seperti bonus, asuransi dan pembagian laba bersih perusahaan yang diatur dalam kesepakatan kerja bersama. Bagi Dewan Pers, implementasi atas Piagam Palembang dan Peraturan Dewan Pers nomor 04 tahun 2008 dirasa sebagai sesuatu yang rumit karena banyak kepentingan dan persoalan yang melingkupinya. Bahkan mungkin lebih pelik dibanding persoalan profesionalisme wartawan.

Namun demi mewujudkan pers yang sehat di era kemerdekaan pers, Dewan Pers perlu melakukan langkah-langkah kongkrit dan solutif, karena ternyata masih ada persoalan lain di luar hal yang terkait dengan rendahnya kualitas wartawan yang sejak tiga tahun berselang sudah dilakukan upaya-upaya kongkrit melalui UKW.

Persoalan itu adalah kesiapan, kemampuan dan kemauan perusahaan media yang masih perlu dipacu agar dapat mendukung profesionalisme wartawan melalui ketersediaan upah atau pendapatan wartawan sebagaimana diamanatkan Peraturan Dewan Pers no 4/2008 itu.

Kita semua tentu berharap dan menghendaki pers nasional dapat hidup dan tumbuh sehat. Menuju ke sana tidak hanya sisi profesionalisme wartawan yang dikritisi dan didorong untuk terus meningkat kemampuannya sehingga memenuhi standar kompetensi, tetapi ada pihak lain yang perlu didorong yakni keseriusan perusahaan media mengimbangi dari apa yang telah dilakukan oleh para wartawan dalam upayanya mencapai level kompeten dan profesional. ***

130

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Wartawan di Indonesia merupakan profesi yang terbuka dan menjadi hak asasi seluruh warga negara. Tidak ada ketentuan yang membatasi hak seseorang untuk menjadi wartawan. Latar belakang pendidikan apa pun bisa menjadi wartawan, sehingga bukan lulusan ilmu jurnalistik saja yang mempunyai kesempatan untuk menjadi wartawan.

Pembatasan lebih banyak dilakukan oleh perusahaan pers. Kriteria pendidikan, umur, dan pengetahuan ditentukan perusahaan pers yang disesuaikan dengan produk jurnalistik yang dihasilkannya. Beragam perusahaan pers yang ada sekarang mulai dari cetak, televisi, dalam jaringan (online), radio membutuhkan kriteria wartawan yang berbeda.

Dadang HermawanWartawan senior harian Pikiran Rakyat/PWI Cabang Jawa Barat

Menuju Industri Pers yang Kondusif

131

UKW Membangun Pers Nasional

Apalagi dari setiap perusahaan pers itu mempunyai segmen pasar sendiri, sehingga kapasitas wartawan yang dibutuhkan menjadi semakin kompleks.

Namun begitu, profesi wartawan dari seluruh perusahaan pers mempunyai sebuah kesamaan, mereka berhubungan dengan kepentingan publik. Selain itu banyak juga julukan yang diberikan kepada wartawan, seperti bidan sejarah, pengawal kebenaran dan keadilan, pemuka pendapat, serta pelindung hak-hak pribadi masyarakat, hingga julukan musuh penjahat kemanusiaan seperti koruptor. Di sisi lain, tidak sedikit juga kalangan yang mencibir. Terutama publik yang selama ini berhubungan dengan wartawan yang hanya melakukan pemerasan, pencemaran nama baik, dan mencari proyek.

Berangkat dari kondisi inilah, dalam melaksanakan tugasnya wartawan harus memiliki standar kompetensi yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers. Standar kompetensi ini menjadi alat ukur profesionalisme wartawan.

Dewan Pers selaku payung dari semua perusahaan pers dan organisasi wartawan mulai memikirkan bentuk standar kompetensi wartawan sejak tahun 2008. Melalui berbagai pertemuan, rancangan standar kompetensi wartawan terus dipertajam. Hingga akhirnya standar kompetensi wartawan ini ditetapkan Dewan Pers pada 2 Februari 2010.

Pemberlakuan standar kompetensi wartawan mendapat dukungan dari 19 perusahaan pers besar di Indonesia melalui penandatanganan Piagam Palembang pada Hari Pers Nasional di Palembang 9 Februari 2010. Piagam Palembang ini antara lain memuat kesediaan perusahaan pers untuk mengikatkan diri pada empat peraturan di bidang pers, satu di antaranya adalah standar kompetensi wartawan. Peraturan lainnya yakni, kode etik jurnalistik, standar perlindungan profesi wartawan, dan standar perusahaan pers.

Kompetensi wartawan adalah kemampuan wartawan memahami, menguasai, dan menegakkan profesi jurnalistik atau kewartawanan serta kewenangan untuk menentukan sesuatu di bidang kewartawanan. Hal ini menyangkut kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan.

Kesadaran (awareness) mencakup kesadaran tentang etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi. Pengetahuan (knowledge) meliputi teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum, dan pengetahuan khusus. Keterampilan (skills) meliputi kegiatan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi (6M). Selain itu juga melakukan riset/investigasi, analisis/

132

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

prediksi, serta menggunakan alat dan teknologi informasi.Standar kompetensi wartawan diperlukan untuk melindungi

kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. Standar ini juga untuk menjaga kehormatan pekerjaan wartawan dan bukan membatasi hak asasi warga negara menjadi wartawan.

Tujuan standar kompetensi wartawan adalah untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme wartawan, menjadi acuan system evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers, menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik, menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual, menghindari penyalahgunaan profesi wartawan, dan menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers.

Untuk mencapai standar kompetensi, seorang wartawan harus mengikuti uji kompetensi yang dilakukan oleh lembaga yang telah diverifikasi Dewan Pers, yakni perusahaan pers, organisasi wartawan, perguruan tinggi, atau lembaga pendidikan jurnalistik. Wartawan yang belum mengikuti uji kompetensi dinilai belum memiliki kompetensi sesuai standar.

Terdapat tiga jenjang standar kompetensi wartawan, yakni wartawan muda, madya, dan wartawan utama. Elemen kompetensi wartawan muda terdiri dari, mengusulkan dan merencanakan liputan, menerima dan melaksanakan penugasan, mencari bahan liputan termasuk informasi dan referensi, melaksanakan wawancara, mengolah hasil liputan dan menghasilkan karya jurnalistik, serta mendokumentasikan hasil liputan dan membangun basis data pribadi.

Elemen kompetensi wartawan madya terdiri dari, menyunting karya jurnalistik wartawan, mengompilasi bahan liputan menjadi karya jurnalistik, mempublikasikan berita layak siar, memanfaatkan sarana kerja berteknologi informasi, merencanakan, mengkoordinasikan dan melakukan liputan berkedalaman (indepth reporting) dan liputan investigasi, menyusun peta berita untuk mengarahkan kebijakan redaksi di bidangnya, melakukan evaluasi pemberitaan di bidangnya, membangun dan memelihara jejaring, dan memiliki jiwa kepemimpinan.

Elemen wartawan utama hampir sama dengan elemen wartawan madya hanya dengan tambahan melakukan evaluasi pemberitaan secara keseluruhan, menyusun peta berita untuk mengarahkan kebijakan redaksi secara keseluruhan, memiliki kemahiran manajerial redaksi, mengevaluasi seluruh kegiatan pemberitaan, dan berpandangan jauh ke depan (visioner).

133

UKW Membangun Pers Nasional

Kini, sekitar 3 tahun sudah uji kompetensi dilaksanakan di berbagai penjuru tanah air. Sudah lebih dari tiga ribu wartawan mengantungi sertifikat uji kompetensi dari jenjang wartawan muda, madya, hingga utama. Perusahaan pers juga berbondong-bondong mengikutkan wartawannya dalam UKW, bukan saja perusahaan yang mengikatkan diri pada Piagam Palembang, namun sudah berkembang lebih jauh lagi.

Dengan kemajuan ini tentunya kita berharap apa yang menjadi tujuan dari sertifikasi wartawan ini bisa terwujud. Menjadikan sebuah industri pers yang kondusif bagi negara dan bangsa. Sebuah industri pers yang bisa maju berdampingan baik dari sisi bisnis maupun dari sisi fungsi pers nasional.

Bagi wartawan, sertifikasi ini juga diharapkan bisa dijadikan sebuah batu loncatan di lingkungan publik maupun di perusahaannya. Kita sangat berharap hasil uji kompetensi ini juga bisa dijadikan bahan pertimbangan kemajuan karier oleh perusahaan pers. Sebaliknya bagi perusahaan, tentunya uji kompetensi ini akan mempermudah dalam proses penilaian kinerja dan kapasitas wartawan. ***

UKW Bengkulu I, 11-12 Desember 2012 (ist)

134

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Kehadiran Standar Kompetensi Wartawan (SKW) tak bisa ditawar-tawar lagi. SKW bukan saja dibutuhkan oleh kalangan wartawan, melainkan juga masyarakat. Masyarakat berhak mendapat informasi yang akurat, cepat, berimbang, bermanfaat dan beretika. Informasi yang demikian hanya bisa dihasilkan oleh wartawan yang profesional. Untuk mengukur profesionalisme wartawan itulah diperlukan seperangkat alat ukur yang kini lebih dikenal dengan istilah Standar Kompetensi Wartawan. Hanya wartawan yang telah lolos uji kompetensi dan dinyatakan kompeten—sebagaimana ditetapkan Dewan Pers—yang

Drs. Hudono SHWartawan utama, Redaktur Pelaksana di SKH Kedaulatan Rakyat dan Wakil Ketua PWI Yogyakarta Bidang Pembelaan Wartawan.

Standar Kompetensi Wartawan Tak Bisa Ditawar

135

UKW Membangun Pers Nasional

berhak menyandang wartawan profesional. Namun untuk mencapai hal itu, tidak semudah yang dibayangkan.

Tidak semua gagasan baru yang bermanfaat selalu mendapat respons positif masyarakat, termasuk kalangan pers. Sungguh ironis, di tengah tuntutan profesionalisme di berbagai bidang, termasuk di bidang media massa, masih ada yang mempertanyakan urgensi atau pentingnya SKW. Terkadang muncul pertanyaan bernada ‘nyinyir’ di kalangan jurnalis sendiri, misalnya, untuk apa mengikuti uji kompetensi wartawan? Tanpa uji kompetensi, bukankah wartawan sudah diterima masyarakat? Apakah uji kompetensi bisa mengubah nasib wartawan (secara finansial) ? Masih banyak lagi pertanyaan sejenis yang bernada meragukan atau bahkan menganggap tidak penting SKW.

Justru inilah tantangan yang harus kita hadapi. Masyarakat, utamanya masyarakat pers harus mendapat pemahaman yang memadai tentang apa dan bagaimana SKW. Sosialisasi tentang SKW harus benar-benar merata agar tidak ada ketimpangan pemahaman antara daerah satu dengan lainnya. Selama masa transisi penerapan SKW, hendaknya benar-benar digunakan Dewan Pers, PWI serta masyarakat pers untuk mengoptimalkan sosialisasi. Tak bisa dipungkiri, masih ada—untuk tidak mengatakan banyak—kalangan pers yang tidak memahami pentingnya SKW seperti diuraikan di atas.

Mengukur Kompetensi Tiga elemen dasar yang dirumuskan Dewan Pers untuk mengukur

kompetensi wartawan, yang meliputi kesadaran (etika, hukum, kepekaan jurnalistik, jejaring dan lobi), pengetahuan (teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum dan khusus) serta keterampilan (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, didukung riset/investigasi, analisis, serta kemahiran menggunakan alat teknologi informasi), kiranya cukup memadai. Artinya, seorang wartawan dikatakan kompeten bila memenuhi kualifikasi 3 elemen tersebut sekaligus.

Tiga elemen itu kemudian dijabarkan dalam rumusan unjuk kerja atau tugas yang terukur dan bisa dinilai. Dalam kaitan itu, muncul tiga kategori kompetensi wartawan, yaitu wartawan muda, madya dan utama yang masing-masing telah ditentukan rumusan unjuk kerjanya untuk dinilai.

Namun disadari, ketika rumusan unjuk kerja itu diterapkan, ternyata tak semulus yang diharapkan. Maksudnya, masih ada yang perlu

136

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

diperbaiki atau disempurnakan. Intinya, jangan sampai terjadi seseorang yang bukan wartawan lolos uji kompetensi. Hal yang demikian bisa diantisipasi sedini mungkin, sehingga uji kompetensi wartawan tidak salah sasaran.

Yogya Jadi ContohUji Kompetensi Wartawan di Yogya bisa menjadi contoh. Baru

pertama kali terjadi di Indonesia, seluruh peserta lolos uji kompetensi. Sebanyak 49 peserta yang mengikuti uji kompetensi, semua dinyatakan lolos alias kompeten. Mengapa? Karena, mereka memang telah memiliki kualifikasi dasar sebagai wartawan.

Bagi PWI Yogya, selaku panitia di daerah, sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan lolosnya peserta 100 persen. Sebab, sejak awal, panitia menerapkan persyaratan ketat siapa saja yang boleh mengikuti uji kompetensi. Selain lebih mengutamakan anggota PWI yang sudah jelas jejak rekamnya, panitia juga mewajibkan surat rekomendasi dari pemimpin redaksi dari media mainstream. Hal yang demikian, memang sempat membuat ketidaknyamanan di kalangan jurnalis yang bekerja di media yang kurang dikenal.

Tapi, demi mewujudkan profesionalisme, segala hal yang bernuansa ‘ewuh pekewuh’ harus diabaikan. Alhasil, semua peserta yang mengikuti uji kompetensi wartawan di Yogya benar-benar wartawan atau wartawan asli, bukan wartawan bodrek, bukan pula wartawan ‘abal-abal’

Ini merupakan seleksi awal yang sangat bermanfaat. Bukan saja memudahkan penguji, melainkan juga bagi PWI Yogya sekaligus bisa digunakan sebagai sarana pendataan ulang atau verifikasi mana yang benar-benar wartawan dan bukan. Dibanding pusat, PWI daerah tentu sangat hafal dan lebih tahu kapasitas anggotanya, pun lebih paham terhadap mereka yang sebenarnya tidak layak disebut sebagai wartawan.

Dengan seleksi awal yang superketat ini, maka uji kompetensi di Yogya benar-benar merupakan rekonstruksi tugas harian para wartawan. Jauh lebih penting lagi, uji kompetensi benar-benar diikuti oleh wartawan, bukan lainnya. Mereka yang bukan wartawan, atau mungkin sering disebut wartawan bodrek, atau wartawan ‘abal-abal’ sudah tersingkir sejak awal. Tolok ukurnya juga sangat mudah. Bila mereka tidak bisa membuat berita (kemampuan dasar minimal), dipastikan mereka bukan wartawan, sehingga dilarang mengikuti uji kompetensi. Kiranya model seleksi di Yogya ini bisa diterapkan di daerah lain. Semoga!

137

UKW Membangun Pers Nasional

Era reformasi ditandai dengan banyaknya media baru bermunculan. Bak cendawan di musim hujan. Pemilik, investor dan pengelola media baru itu sebagian besar merupakan ‘pemain baru’ di dunia jurnalistik. Spirit yang diusung lebih mengarah kegiatan jurnalistik sebagai entitas ekonomi-bisnis dengan target final maksimalisasi profit.

Fakta dan praktek jurnalistik pascareformasi seperti itu memang tak bertentangan dengan fungsi pers sebagaimana diamanatkan di UU Nomor 40/1999. Pada pasal 3 ayat 2 UU 40/1999 disebutkan bahwa “Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.”

Ainur RohimAinur Rohim, wartawan senior Suara Merdeka di Surabaya dan Wakil Ketua I (Bidang Organisasi) PWI Cabang Jatim.

Menjaga Independensi Wartawan

138

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Penjabaran ketentuan pasal ini sangat gamblang dan kasatmata. Bahwa pers tak semata-mata memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Pers dalam perspektif UU 40/1999 merupakan lembaga bisnis. Pers bukan sekadar alat perjuangan untuk mewujudkan tujuan negara dan masyarakat dalam perspektif positif. Dalam konteks kekinian, pers menjadi entitas ekonomi-bisnis yang bisa menguntungkan kepada investor, pemilik modal, dan awak pers yang terlibat di dalamnya.

Penjabaran lebih detail atas realitas tersebut dalam konteks kekinian adalah munculnya fenomena konglomerasi bisnis pers. Maknanya ada investor dan pengusaha besar tertentu--biasanya core business awalnya tak berhubungan langsung maupun tak langsung dengan pers--tapi kemudian melakukan diversifikasi usaha bisnis dan masuk ke dunia pers. Fakta ini sah-sah saja dan tak bertentangan dengan regulasi yang ada.

Lebih menohok lagi, konglomerat yang memiliki bisnis di banyak sektor ekonomi itu juga terjun di ranah politik praktis. Si konglomerat itu menguasai banyak akses ekonomi dan politik, sehingga membuat peluang independensi pers dan awak yang terlibat di dalamnya terancam.

Ini adalah fakta dan fenomena khas pers pascareformasi. Pers menjadi kurang atau bahkan tak independen vis a vis pemilik modal dan konglomerat, sedangkan relasi pers vis a vis rezim politik yang berkuasa relatif independen. Pada titik tertentu di era sekarang, independensi pers masih rawan mengalami guncangan, gangguan, dan ancaman dari pihak-pihak lain dari kalangan pemerintah maupun nonpemerintah. Justru independensi pers dan awak pers yang terlibat di dalamnya dengan pemilik modal atau investor sangat lemah dan rentan.

Kalau sudah demikian, apakah pers seperti itu layak dikatakan pers profesional? Marah Sakti Siregar (2012) dalam makalahnya berjudul ‘Tantangan dan Problematik Penguji Uji Kompetensi Wartawan (UKW)’ mengatakan bahwa saripati dari Standar Kompetensi Wartawan (SKW) yang digariskan Dewan Pers dan kini diimplementasikan beberapa lembaga pers, salah satunya PWI, adalah sikap kerja profesional wartawan.

Apa itu sikap kerja profesional wartawan? Marah Sakti menyatakan bahwa pertama, wartawan harus memiliki integritas. Maksudnya, tegas dalam prinsip dan kuat dalam nilai. Dalam menjalankan

139

UKW Membangun Pers Nasional

profesinya wartawan harus beretika, berpegang teguh pada standar jurnalistik yang tinggi, dan memiliki tanggung jawab. Kedua, melayani kepentingan publik. Artinya, menyuarakan yang tak bersuara agar didengar suaranya. Ketiga, berani dalam keyakinan. Artinya, mengingatkan kepada yang berkuasa agar bertanggung jawab (amanah), kritis, dan obyektif. Dan keempat, independen. Artinya, terbuka dan menghargai perbedaan.

Bagaimana potret prinsip independensi wartawan di Indonesia, baik di era Orde Baru maupun era sekarang? Bagaimana prinsip independensi itu diimplementasikan dunia pers di negara-negara lain? Secara garis besar, prinsip independensi wartawan belum bisa diterapkan secara kaffah (menyeluruh) dan perfect dalam praktik pers nasional. Demikian pula di banyak negara lain tak jarang terjadi distorsi atas penjabaran prinsip ini di lapangan. Problem paling berat penerapan prinsip ini dalam kinerja pers sehari-hari adalah pada wartawan dengan liputan bidang politik dan pemerintahan. Kedua bidang ini berhubungan langsung dengan kepentingan publik, terutama terkait dengan public policy yang akan dirumuskan, diputuskan, dan diimplementasikan penguasa. Karena itu, wartawan politik dan pemerintahan rawan intervensi, desakan, dan atau ancaman agar memberitakan atau tak memberitakan policy secara keseluruhan atau sebagian yang tak dikehendaki untuk disebarluaskan ke publik.

Independensi Pers Era Orba Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku ‘Elemen-Elemen

Jurnalisme’ tidak menyebutkan unsur netralitas sebagai elemen dunia jurnalistik. Kovach-Rosenstiel agaknya menyadari bahwa netralitas bukan isu utama dan tidak mungkin meminta seseorang wartawan untuk netral. Dalam skala tertentu, wartawan harus bersikap dan mengadvokasi kepentingan publik saat berhadapan dengan kepentingan antidemokrasi. Dalam hal ini, netral bukan pilihan dan justru menunjukkan ketidakberanian bersikap.

Seorang wartawan boleh bersikap. Persoalan itu bukan pada pilihan dia untuk bersikap, tapi pada rasionalisasi dan alasan dia menentukan sikap tersebut. Pertanyaannya adalah: Apakah sikap itu diambil berdasarkan hati nurani dan proses reportase melalui prosedur verifikasi yang benar. Dan apakah sikap itu didasarkan pada pilihan independen dan tak terkooptasi kekuatan

140

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

apapun? Oleh sebab itu, Kovach dan Rosenstiel menempatkan keberimbangan sebagai salah satu isu, dan independensi sebagai isu utama.

Di Negara dunia ketiga seperti Indonesia, independensi dinilai Kovach sebagai elemen yang paling penting. Tidak mudah bekerja sebagai wartawan di Indonesia. Saat masa Orde Baru, negara menekan media massa dan para jurnalis dalam memberitakan sebuah peristiwa. Saat sebuah peristiwa sensitif menyentuh kepentingan penguasa, maka redaksi akan mendapat telepon dari lembaga militer agar tak memberitakannya atau memperhalus berita yang akan diturunkan. Jika masih membangkang, maka si wartawan siap- siap dipanggil dan media massa bersangkutan harus siap untuk dibreidel.

Karena itu, di kalangan praktisi pers Indonesia saat itu, dikenal adanya 3 jalur substansi berita. Pertama, jalur hijau, yakni materi berita yang layak dipublikasikan dan disiarkan ke masyarakat. Kedua, jalur kuning, yakni materi berita tak kadangkala diizinkan disiarkan atau dalam tempo tertentu tidak diizinkan untuk ditayangkan. Ketiga, jalur merah, yakni materi berita yang berhubungan dengan kepentingan subyektif dan bersifat sensitif penguasa. Dulu di era Orba sebagian besar perusahaan pers dan wartawannya menghindari secara sadar berita-berita kritis tentang keluarga Presiden Soeharto, bisnis TNI, bisnis anak-anak Presiden Soeharto, dan lainnya.

Sejumlah peristiwa breidel terjadi di Tanah Air selama masa Orde Baru. Kita masih ingat saat peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) terjadi di tahun 1970-an (era bulan madu pers dengan Orde Baru), sejumlah media massa harus menikmati breidel. Media massa saat itu dituduh bertanggung jawab karena dinilai ikut mengompori massa agar menentang modal asing dari Jepang. Puncaknya adalah aksi unjuk rasa menentang Perdana Menteri Jepang Tanaka yang berkunjung ke Indonesia yang berujung rusuh di kawasan Senen dan wilayah Jakarta lainnya. Pemberitaan yang mengkritisi modal asing dinilai tak sejalan dengan kebijakan pembangunanisme Soeharto.

Sejak saat itu, hubungan media massa dengan pemerintah mengalami ketegangan. Pemerintah memutuskan hanya ada Pers Pancasila. Dalam definisi Soeharto, pers Pancasila adalah pers yang selaras dengan program-program pembangunan dan tidak memberitakan

141

UKW Membangun Pers Nasional

fakta-fakta yang memunculkan destabilisasi politik dan keamanan nasional. Inilah era di mana media massa harus menyensor diri mereka sendiri dengan sangat ketat dan ekstra prudent, ketimbang dipenggal oleh pedang breidel.

Wartawan di lapangan pun harus pandai-pandai melakukan liputan dan penulisan. Mereka memilih topik-topik yang relatif aman, karena toh pada akhirnya, hasil liputan yang terlampau tajam bisa disensor redaksi. Dalam hal penulisan, wartawan masa Orde Baru harus pandai-pandai memilih diksi dan pilihan kata yang mengandung eufemisme.

Janet Steele dalam buku Wars Within menceritakan bagaimana sulitnya menulis berita sensitif di masa Orde Baru. “Kami biasa guyon dengan uang Rp10 ribu untuk sebuah lead. Kamu bisa buatkan saya lead? Kalau bisa, saya beri kamu Rp10 ribu. Kira- kira seperti itulah,” kata Susanto Pudjomartono, wartawan Tempo, dalam buku itu.

Tidak semua narasumber mau bicara terbuka. Maka wartawan hanya berhadapan dengan sumber-sumber resmi pemerintahan. Untuk mendapatkan berita eksklusif, wartawan berteman dengan pejabat- pejabat negara. Dalam satu sisi, kedekatan ini positif karena dengan demikian, media massa bisa mendapat berita-berita bagus sekaligus melakukan lobi-lobi untuk mengamankan perusahaan media. Namun di sisi yang lain, kedekatan ini memunculkan risiko mudahnya wartawan terkooptasi oleh narasumber. Wartawan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan narasumber.

Inilah yang menjadi problem wartawan politik di mana pun. Berbeda dengan jurnalis hukum dan kriminal, jurnalis yang meliput bidang politik bekerja dengan isu dan kebijakan publik. Ini bukan sesuatu yang enteng, karena terkadang isu-isu itu abstrak dan ideologis. Tak pandai-pandai melangkah, isu politik bisa menghancurkan media massa atau justru menghancurkan kredibilitas.

Isu politik yang menghancurkan bisa kita simak dari kasus pembreidelan Sinar Harapan pada tahun 1973. Saat itu, Sinar Harapan memuat berita Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1973, sebelum Soeharto membacakannya secara resmi. Panda Nababan, wartawan Sinar Harapan saat itu, mendapatkan bocoran dari sejumlah narasumber di kalangan teknokrat Orde Baru yang disebut Mafia Berkeley. Mereka berkepentingan agar RAPBN yang

142

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

mereka susun bisa lolos, dan tidak diintervensi pejabat militer sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Dengan memberitakan RAPBN sebelum dibacakan Soeharto, sebenarnya SH telah ‘menyelamatkan’ kepentingan para teknokrat agar RAPBN tidak diutak-utik. Namun hasilnya: SH dibreidel selama sepuluh hari, 3-10 Januari 1973.

Independensi Pers versus Pemilik Modal Di era keterbukaan pers, tantangan independensi tidak semakin

lunak. Tantangan kini tidak datang dari pemerintah yang otoriter, melainkan justru dari masyarakat dan pemilik modal. Kekuatan-kekuatan massa, organisasi dan partai politik, bisa sedemikian sensitif terhadap pemberitaan media. Merasa dirugikan oleh sebuah pemberitaan, mereka biasa memilih jalan kekerasan dengan menggunakan massa menyatroni kantor media. Kita masih ingat bagaimana kantor Jawa Pos disatroni Banser NU pada 2000, sehingga tak terbit sehari.

Tantangan terberat tentu saja dari pemilik media massa. Di negeri ini, kepemilikan media massa terpusat pada orang-orang tertentu. Sebut saja Vivanews.com, TV One, Anteve, dan beberapa televise lokal yang dimiliki Keluarga Bakrie. Jawa Pos menguasai sejumlah media massa di berbagai penjuru di tanah air. Hary Tanoe memiliki Seputar Indonesia, Okezone.com, RCTI, MNC, Global TV. Surya Paloh memiliki Metro TV dan Media Indonesia.

Sebagian besar pemilik media di Indonesia membentuk konglomerasi dan berkecimpung di dunia bisnis dan politik. Aburizal Bakrie adalah Ketua Umum Partai Golkar yang bersemangat menjadi calon presiden pada Pilpres 2014. Surya Paloh memimpin Partai Nasional Demokrat. Begitu juga dengan Hary Tanoe yang ikut dalam kepengurusan Partai Hanura. Dahlan Iskan, bos Jawa Pos, adalah salah satu menteri kabinet Susilo Bambang Yudhoyono

Kepemilikan media yang terpusat ini, tentu saja, mempengaruhi kebijakan politik di tingkat redaksi. Idealnya, ada konsep tembok api (firewall) antara ruang redaksi dengan manajemen perusahaan. Namun idealitas tersebut sulit berlaku di Indonesia. Pilihan kebijakan redaksional media massa kerapkali melihat kepentingan sang pemilik media, dan menjadi bemper bagi sang pemilik tersebut.

Sebut saja isu Lumpur Lapindo Brantas Inc di Kecamatan Porong, Sidoarjo. Berbeda dengan Metro TV atau media lainnya yang cukup gencar memberitakan perkembangan semburan lumpur Lapindo yang

143

UKW Membangun Pers Nasional

sudah berjalan enam tahun, TV One dan Anteve relatif steril dari isu-isu panas soal tersebut. Sekalipun ada berita soal lumpur Lapindo, saringan atau filter berita telah berjalan ketat dan sangat selektif: redaksi tidak memilih isu yang menohok sang bos, namun memilih isu yang menguntungkan. Cerita soal warga Sidoarjo yang berjalan kaki ke Jakarta untuk menuntut keadilan tidak begitu di-blow up oleh media massa yang dimiliki Bakrie.

Di lapangan, tentu saja ini memunculkan persoalan bagi sang jurnalis. Di satu sisi, sebagai jurnalis, ia harus mendengarkan kata hati dan berpihak kepada kebenaran serta kepentingan publik. Namun di lain pihak, memberitakan sesuatu yang merugikan pemilik media bisa berakibat buruk: jika tidak mendapat sanksi, ia bisa dipecat. Lagi pula, sekalipun ia berkomitmen memberitakan dengan objektif, boleh jadi pimpinan redaksi atau redaktur pelaksana justru tak sependapat dan ujung-ujungnya beritanya tak terpakai.

Apa yang Harus Dilakukan?Dalam kondisi seperti ini, seorang jurnalis memiliki

banyak pilihan dari mulai lunak hingga radikal. Pilihan jalan lunak adalah menuruti apa pun yang dikehendaki redaksi untuk melindungi kepentingan pemilik media. Jurnalis memilih jalan aman dan tak berkonflik dengan atasannya. Ruang redaksi tak selamanya demokratis.

Pilihan berikutnya adalah radikal, yakni melawan garis redaksi. Andreas Harsono, dalam kursus jurnalisme sastrawi, pernah bercerita tentang Kovach. Kovach memilih keluar dari surat kabar tempatnya bekerja, karena berlawanan dengan sikapnya sebagai jurnalis. Jumlah orang yang memilih jalan Kovach ini, tentu amat sedikit. Namun tetap ada.

Pilihan moderat adalah mengakomodasi kepentingan pemilik media pada batas-batas tertentu, dan mencoba memasukkan suara-suara publik dalam reportase. Pilihannya adalah keberanian dan kejelian dalam menentukan angle berita. Di sinilah verifikasi, sebagaimana dikatakan Kovach, berlaku. Dengan disiplin verifikasi, topik berita bisa ditempatkan dengan akurat.

Butuh keberanian memang untuk memilih opsi moderat sekalipun. Namun Majalah Tempo pernah melakukannya, saat menulis salah satu proyek Ciputra yang telah membiayai majalah itu. Ciputra marah dan akhirnya tak mau menghadiri acara tasyukuran Tempo.

144

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Pelajaran dari Negeri Paman SamSalah satu media massa di Amerika Serikat yang mencoba

menerapkan aturan independensi cukup ketat adalah The New York Times. Sebagaimana dijelaskan Ignatius Haryanto, New York Times menyadari bahwa informasi adalah kekuasaan. Oleh sebab itu, dalam kode etik internal redaksi, Times melarang para anggota redaksi menggunakan posisi mereka sebagai wartawan untuk melakukan penyelidikan dan peliputan, demi tujuan di luar tujuan jurnalisme.

Bahkan, The New York Times sangat berhati-hati terhadap hubungan romantis narasumber dengan jurnalis mereka. Dalam kode etik Times disebutkan: ‘sangat jelas bahwa hubungan romantis antara narasumber dengan wartawan bisa menimbulkan pemihakan tertentu. Oleh karena itu, anggota redaksi yang memiliki hubungan pribadi yang dekat dengan seseorang yang mungkin akan mereka temui pada saat peliputan berita, penulisan berita, pengeditan berita, haruslah

Penyerahan piagam kepada tiga peserta UKW PWI Jatim Ke-5, 23-24 Agustus 2013, di Surabaya. Kegiatan UKW ini diselenggarakan kerjasama PWI dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. (ist)

145

UKW Membangun Pers Nasional

membuka hubungan ini kepada editor yang ada.’Dalam urusan politik, New York Times berhadapan dalam beberapa

situasi krisis. Tahun 1961, Times terkait dengan krisis Kuba. Kala itu, Times menerima bocoran bahwa Kennedy akan menyerbu Teluk Babi, Kuba. Tujuannya menghancurkan Fidel Castro. Perdebatan terjadi di tubuh Times. James Reston, jurnalis Times, menyarankan kepada Pemimpin Umum Orvil Dryfuss untuk tidak menerbitkan laporan rencana penyerbuan tersebut. Dryfuss setuju. Namun, sejumlah editor menentangnya. Clieff Daniel, wartawan Times, menolak sikap swasensor. Begitu juga editor lainnya.

Ujung-ujungnya penyerangan ke Teluk Babi gagal. Kritik yang berkembang Times terlalu protektif terhadap kepentingan Amerika. Andaikata Times mau menyiarkan berita bocoran itu, mungkin Kennedy tak terlalu malu dengan kegagalan itu, dan kerusakan lebih luas bisa dicegah.

Dalam hal Pentagon Papers, New York Times malah pernah berhadapan dengan sensor negara. Wartawan Times memperoleh bocoran tentang kajian Perang Vietnam. Di sana terungkap kebobrokan rencana Perang Vietnam. Pembocor adalah Daniel Ellsberg, salah satu ilmuwan yang menjadi tim pengkaji. Publikasi dokumen itu sempat menimbulkan perdebatan. Apalagi negara bermaksud mencegahnya. Untunglah di pengadilan, Times menang. Negara tidak bisa mencegah publikasi tersebut. Akhirnya, demokrasi yang menang. (***)

146

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

Satu di antara sekian banyak buah reformasi yang belum terselesaikan saat ini adalah masalah pers, terutama yang berkaitan dengan kompetensi wartawan dan perusahaan pers yang mempekerjakan wartawan. Kenyataan ini sangat menggelisahkan dan tidak bisa dipungkiri karena sejak reformasi bergulir, kebebasan yang diamanatkan dalam UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan etika menjalankan profesi yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik belum sepenuhnya dipahami oleh wartawan.

Kebebasan yang ada dipahami secara berlebihan sehingga kebablasan. Aturan etika yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik dan UU

Ir. Suwardi Thahir MSiWartawan senior Harian FAJAR, Makassar/Peserta Pelatihan bagi Pelatih/Calon Penguji (Training of Trainers/TOT) IV Tingkat Nasional PWI Pusat, 8 – 10 Juni 2012 di Bogor.

UKW Mengangkat Citra dan Profesionalitas Wartawan

147

UKW Membangun Pers Nasional

Pokok Pers malah diselewengkan dan menyuburkan praktik-praktik kotor atas nama profesi ini. Jabatan pemimpin redaksi yang dulu sangat sulit, jadi gampang disandang, yang penting mempunyai modal.

Sementara itu, longgarnya saringan terhadap pemimpin redaksi diikuti dengan semakin mudahnya menjadi wartawan karena memang tidak ada ketentuan yang membatasi hak seseorang untuk menjadi wartawan. Boleh dibilang, wartawan adalah pilihan terakhir setelah melamar dan tidak diterima bekerja di suatu tempat atau profesi lain. Akibatnya, profesi yang dulu sangat dihargai, terhormat, dan membanggakan berubah menjadi biasa-biasa saja, bahkan cenderung tidak membanggakan lagi karena tercampur oleh orang yang sebenarnya tidak layak jadi wartawan. Kehadiran mereka menyebabkan citra dan profesionalitas wartawan “menguap”.

Mereka -- oknum wartawan-- menjadikan profesi ini sebagai tempat untuk memeras. Dalam praktiknya, para oknum wartawan ini bangga sebagai wartawan, akan tetapi tidak mampu bekerja sebagai jurnalis. Mereka tidak meliput, tidak pula membuat berita, apalagi menyiarkan berita. Istilah lama muncul kembali, seperti muntaber (muncul tanpa berita), WTS (wartawan tanpa surat kabar), “wartawan koboi”, “wartawan abal-abal” dan “wartawan bodrex”, yakni wartawan yang membuat sumber berita sakit kepala.

Keluhan terhadap tingkah-laku oknum wartawan selama ini memang nyaring terdengar dan nyaris memekakkan telinga. Hampir semua kalangan mengeluh karena sikap dan tindak-tanduk mereka. Keberadaan oknum wartawan ini sering diperparah dengan manajemen media tempat mereka bekerja yang tidak profesional. Fenomena ini banyak dirasakan oleh pejabat, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), pengusaha, selebriti dan masyarakat umum. Di lain pihak, pengetahuan dasar seorang wartawan juga perlu terus diperbaiki karena berbagai kekurangan.

Menurut Hafied Cangara dalam buku Komunikasi Politik, Konsep, Teori dan Strategi, (2009), wartawan masih memiliki banyak kekurangan, bukan saja kekurangan dalam hal pendidikan, akan tetapi wartawan juga kurang wawasan, kurang pengalaman, kurang kematangan, di samping kurang pendapatan.

Selain itu, perkembangan teknologi informasi yang pesat ikut menambah ‘keruh’ suasana dunia jurnalistik. Masyarakat tidak hanya sering menerima informasi yang tidak lengkap sesuai kaidah jurnalistik, serta perlakuan tak nyaman dari oknum wartawan media cetak, akan

148

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

tetapi juga mendapat ‘getah’ dari ketidakprofesionalan wartawan elektronik, radio, televisi, dan online. Mereka sering melakukan trial by press (melakukan penghakiman terhadap perkara yang belum diputuskan pengadilan). Menurut Mahbub Junaidi, seperti dikutip Hafied Cangara, jika tidak berpegang teguh pada kode etik, maka wartawan berpotensi berperilaku jahat, sama halnya teroris.

Namun demikian, masih terbuka harapan untuk memperbaiki citra wartawan dan media karena pada dasarnya masih banyak wartawan yang menjalankan profesi ini dengan benar, bahkan dapat hidup dengan layak sebagai wartawan, mendapat apresiasi dan penghargaan masyarakat.

Priyambodo RH pada pelatihan bagi pelatih/calon penguji (Training of Trainers/TOT) IV Tingkat Nasional PWI Pusat, 8 – 10 Juni 2012 di Bogor menyatakan, wartawan adalah bidan sejarah, yang harus mampu menjalankan peran sebagai pengawal kebenaran dan keadilan, pemuka pendapat, pelindung hak-hak pribadi masyarakat, musuh penjahat kemanusiaan seperti koruptor dan politisi busuk. Jadi pada dasarnya, profesi wartawan adalah pekerjaan mulia karena menjadi penyampai kebenaran dan memusuhi kejahatan.

Jika membandingkan peran yang melekat pada wartawan, seperti yang disampaikan Priyambodo dan kenyataan yang terjadi di lapangan, maka tampak ada sesuatu yang salah dalam perkembangan dunia pers belakangan ini, yakni profesi ini banyak dihuni wartawan dan perusahaan pers yang tidak kompeten. Padahal, sebagai pilar demokrasi keempat setelah trias politika (legislative, eksekutif dan yudikatif – Montesque) pers harus dijalankan oleh wartawan profesional untuk memenuhi fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial (UU No 40 Tahun 1999, pasal 3 ayat 1). Atau dengan kata lain, wartawan dan perusahaan media harus kompeten.

Priyambodo dalam kesempatan yang sama menyatakan, bahwa kompetensi wartawan meliputi kemampuan memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, serta bahasa. Dalam hal yang terakhir ini juga menyangkut kemahiran melakukannya, seperti kemampuan yang bersifat teknis sebagai wartawan profesional, yaitu mencari, memperoleh, menyimpan, memiliki, mengolah, menyampaikan informasi (6M). Untuk mencapai kompetensi yang dimaksud, maka seorang wartawan harus mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang dilakukan oleh lembaga yang telah diverifikasi dan mendapat persetujuan Dewan Pers.

149

UKW Membangun Pers Nasional

Mengapa Harus UKW?Tujuan UKW (Uji Kompetensi Wartawan) adalah mengembalikan

peran dan fungsi pers dengan menakar kemampuan seorang wartawan, apakah sudah bekerja berdasarkan etika dan hukum pers, yakni Kode Etik Jurnalistik dan UU No 40 Tahun 1999. Apakah mereka memahami jurnalistik dan manejemen pemberitaan. Artinya dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya, seorang wartawan harus berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik, sehingga tidak melanggar UU No 40 Tahun 1999.

Mereka harus memiliki kemampuan berupa keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan kesadaran (awareness). Bahkan, seiring perkembangan teknologi dan penyiaran, wartawan media elektronik juga harus mematuhi Pedoman dan Perilaku Penyiaran dan UU No 32 tahun 2003 tentang Penyiaran. Selanjutnya Priambodo, mengutip Dewan Pers, memilah tujuan standar kompetensi wartawan menjadi, (1). Meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan, (2). Menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers, (3). Menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik, (4). Menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual, (5). Menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan, dan (6). Menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers.

Profesi wartawan memiliki risiko yang sangat tinggi, bukan saja dalam bentuk delik sehingga bisa menjadi tuntutan pengadilan, tetapi juga rawan terhadap kekerasan, penculikan, dan pembunuhan. Atas dasar itu, Hafied Cangara (2009) mengatakan, tanggung jawab seorang wartawan akan mengarah kepada masyarakat dan dirinya, profesi, dan juga Tuhannya. Semua tanggung jawab itu akan kembali pada integritas dan komitmen dari si wartawan sendiri secara teguh dalam memegang prinsip kode etik profesi, dalam hal ini kode etik jurnalistik karena tanpa disertai tanggung jawab apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan, cenderung akan berbuat salah. Dalam praktik jurnalistik, sebagian wartawan cenderung melupakan hal ini, mungkin dianggap sepele atau memang tidak mau tahu, sehingga muncul istilah “wartawan abal-abal”.

Menurut Bagir Manan dalam buku Menjaga Kemerdekaan Pers di Pusaran Hukum (2011), langkah meniadakan wartawan “abal-abal” adalah: Pertama, terhadap perusahaan pers. Harus ada tindakan nyata terhadap perusahaan pers yang mempekerjakan “wartawan abal-abal”

150

UKW MEMANTAPKAN PROFESIONALISTAS, WAWASAN DAN ETIKA WARTAWAN

atau “wartawan bodrex”. Dalam perusahaan pers yang bersangkutan tidak mengetahui tingkah laku wartawannya, didorong untuk mengambil tindakan terhadap wartawan yang bersangkutan. Kedua, terhadap sumber berita. Sumber berita wajib mengetahui identitas wartawan yang datang dan menolak dan melaporkan kepada Dewan Pers, organisasi wartawan, perusahaan pers, “wartawan abal-abal” atau “wartawan bodrex” yang melakukan tindakan tak terpuji atau melanggar hukum. Ketiga, Dewan Pers dan organisasi wartawan yang mengetahui atau mendapat laporan wajib mengambil tindakan terhadap perbuatan “wartawan abal-abal” atau “wartawan bodrex”.

Pernyataan Bagir Manan –selaku Ketua Dewan Pers-- tersebut, menunjukkan bahwa memang masih banyak wartawan yang berpraktik sebagai “wartawan abal-abal” atau “wartawan bodrex”. Mereka meresahkan dan merusak citra wartawan. Langkah untuk mencegah mereka juga jelas, namun kenyataannya mereka tumbuh subur.

Untuk mengembalikan citra dan profesionalitas, wartawan harus bebas dan tidak berperilaku seperti wartawan abal-abal”, kemudian bekerja berdasarkan kode etik dan perundang-undangan yang berlaku, yakni kode etik jurnalistik, patuh pada UU No 40 Tahun 1999. Bagi wartawan media elektronik, harus mengikuti aturan pedoman perilaku penyiaran dan UU No 32 Tahun 2003. Wartawan juga harus memahami serta UU No 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (KIP).

Dengan demikian, kebebasan pers harus dipraktikkan dengan benar sesuai kaidah etika dan hukum, profesional dalam mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, serta membuat dan menyampaikan informasi. “Wartawan abal-abal” atau “wartawan bodrex” atau apa pun namanya terlebih dahulu harus dibersihkan dalam praktik jurnalistik. Dengan demikian, sebuah pers yang bebas dalam kemerdekaan pers akan menyediakan informasi yang lengkap dan bermutu, sehingga bisa menjadi acuan karena diperlukan dalam membuat berbagai keputusan, baik oleh kalangan swasta maupun pemerintah.

Bila melihat perangkat etika dan hukum yang ada, maka pekerjaan wartawan akan lebih mudah dan tidak mungkin diisi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Untuk memperbaiki kondisi yang ada sekarang, maka diperlukan suatu cara dan sistem yang mampu menyadarkan dan memperbaiki semua pihak yang terlibat dalam dunia pers, mulai dari wartawan, pengusaha media, organisasi pers, dan pemerintah.

151

UKW Membangun Pers Nasional

Cara yang dimaksud adalah uji kompetensi, yakni seorang wartawan harus mencapai standar kompetensi yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers. Uji kompetensi ini akan menjadi saringan bagi oknum wartawan, dan meloloskan mereka yang potensial untuk berkembang dan professional. Lembaga penguji memiliki kredibilitas tinggi karena telah diverifikasi oleh Dewan Pers.

Bagi wartawan, lolos uji kompetensi menjadi wajib karena dengan memperoleh gelar wartawan kompeten, maka kita yakin wartawan bersangkutan memiliki dan menguasai (1). Keterampilan: mencakup kegiatan 6M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi), (2). Pengetahuan: mencakup teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum dan pengetahuan khusus dan (3). Kesadaran: mencakup kesadaran tentang dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi. Kategori kompetensi tersebut merupakan kemampuan dasar yang membagi wartawan dalam tiga tingkatan, yakni pemula, madya dan utama. Apabila semua wartawan telah diuji dan kompeten berdasarkan tiga tingkatan tersebut, maka wartawan akan mendapatkan kembali citranya sebagai profesi terhormat dan membanggakan.

Kalau semua wartawan sudah disertifikasi sebagai wartawan kompeten dan perusahaan pers bertindak sesuai amanah Piagam Palembang, maka ke depan kita tidak akan mendengar keluhan atau ‘cacian’ terhadap wartawan. Mereka yang tidak kompeten menjalankan profesi ini akan kalah bersaing oleh wartawan kompeten, dan hilang dengan sendirinya. Peran wartawan sebagai pilar keempat demokrasi seperti yang sering kita dengungkan akan benar-benar tercapai.

Akhirnya, wartawan sebagai profesi yang selama ini dianggap pekerjaan yang tidak mampu memberi pendapatan yang baik, akan menjadi profesi menarik, seperti halnya profesi dokter, notaris dan pengacara karena bisa memberi kehidupan layak. Tugas kita selanjutnya, menjaga, memelihara dan meningkatkan kemampuan para wartawan agar citra dan profesionalitas wartawan tidak kembali seperti pada masa-masa awal reformasi hingga beberapa tahun terakhir. ***


Recommended