+ All Categories
Home > Documents > MAKALAH EVALUCION TEOLOGIS DAN ETIKA

MAKALAH EVALUCION TEOLOGIS DAN ETIKA

Date post: 14-May-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
24
MAKALAH EVALUCION TEOLOGIS DAN ETIKA DISUSU OLEH LUKAS LOGHE KAKA NIM : 1815145756 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
Transcript

MAKALAH

EVALUCION TEOLOGIS DAN ETIKA

DISUSU OLEH

LUKAS LOGHE KAKA

NIM : 1815145756

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UVERSITAS NEGERI JAKARTA

2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang

Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga saya

dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Terimahkasih kepada Drs. Aloma Sarumaha sebagai dosen

pembimbing dalam menyelesaikan makalah yang berjudul ‘’

Evalucion Teologis dan etika ‘’ sebagai Tugas Akhir semester.

Didalam makalah ini, saya akan membahas tentang

Teologis dan Etika . Penulis menyadari bahwa dalam

pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu kritik dan saran dari semua teman-teman

khususnya dari Drs. Aloma Sarumaha sebagai Dosen

pembimbing yang bersifat membangun sangat saya harapkan

demi penyempurnaan makalah ini, semoga makalah ini menambah

khasana ilmu pengetahuan secara khusus mata kulia agama

katolik.

Jakart

a, 01 Januari 2015

Penu

lis

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Etika merupakan salah satu moral yang dilandasi agama,

budaya, perilaku mana yang baik dan buruk. Etikat itu

penjabarannya berdasarkan etika. Etikat adalah aturan sopan

santun dan tata cara pergaulan yang baik antara sesama

manusia. “Etikat bisa disebut sebagai golden rules yang

menyatakan perlakukan orang lain sebagaimana kamu yang ingin

diperlakukan. Karena itu, orang yang memahami etikat

memperlakukan orang lain dengan baik dan respek, sehingga

akan lebih diterima dalam pergaulan.

Etikat bisa diartikan sebagai rambu-rambu yang membantu

mengetahui apa yang harus dilakukan dan yang tidak boleh

dilakukan dalam situasi tertentu. Hal utama yang juga

menjadi dasar dari etikat adalah adat-istiadat atau tradisi

dari daerah dan negara tertentu. Prinsip-prinsip dalam

etikat selalu tetap, tidak berubah, bersifat universal, dan

tak terbatas waktu dan tempat. Terdapat tiga prinsip dalam

etikat, yaitu respek, empati dan kejujuran. Sangat penting

untuk menunjukkan penghargaan kepada setiap orang dengan

kelebihan, kekurangan, kesamaan dan perbedaan yang ada.

B. TUJUAN MAKALAH INI

Adapun tujuan makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Makna Teologis: “Ehyeh Asyer Ehyeh” (Aku Adalah Aku)

2. Menjelaskan Arti Atika

3. Menjelaskan Jenis – jenis Etika

BAB II

PEMBAHASAN

A. MAKNA TEOLOGIS:"EHYEH ASYER EHYEH"(AKU ADALAH AKU)

Sejak Kitab Suci Perjanjian Baru ditulis oleh rasul-rasul

Kristus, tetragramaton (keempat huruf suci YHWH, Yahweh)

diterjemahkan dalam bahasa Yunani Kyrios (Tuhan). Cara ini

mengikuti kebiasaan Yahudi, yang juga diikuti oleh Yesus dan

rasul-rasulnya, yang biasanya melafalkan Yahweh dengan

Adonāy (Tuhan) atau Ha-Shem (Nama segala nama). United Bible

Societies (UBS) dan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) juga

mengikuti kebiasaan ini, yang dibenarkan dan diikuti oleh

orang Yahudi modern sekarang, untuk menerjemahkan Yahweh

dengan The LORD (dengan huruf besar semua). Yang pertama

kali menggugat tradisi penerjemahkan nama Allah ini adalah

kelompok restorasionisme yang menamakan diri Jehovah’s

Witnesses (Saksi-saksi Yehuwa).

Kelompok ini, dengan bangga telah mengembalikan Yahweh

dalam Perjanjian Baru, meskipun teks asli dari rasul-rasul

sendiri tidak mempertahankannya. Timbul pertanyaan: Bolehkah

“nama diri” (the proper name) diterjemahkan? Ada “kelompok

sempalan” lain akhir-akhir ini yang berpendapat,

menerjemahkan Nama YHWH dalam bahasa-bahasa lain berarti

menghujat Nama-Nya. Tetapi mengapa Yesus dan Rasul-rasul-Nya

tidak mempertahankan Nama tersebut? Semua pertanyaan ini

hanya bisa dijawab apabila kita memahami apakah makna “nama”

dalam teologi dan kebudayaan Yahudi, yang melatarbelakangi

kehidupan Yesus yang “lahir dari seorang perempuan yang

takluk kepada hukum Taurat” (Galatia 4:4), dan diikuti oleh

murid-murid Yesus serta Gereja-Nya sampai hari ini.

1. Nama Yahweh (TUHAN): Asal-usul dan Makna Teologis

Nama Yahweh untuk pertama kalinya dinyatakan kepada

Nabi Musa (Keluaran 6:1). Allah menyatakan diri kepada

Nabi Musa dalam nyala api yang keluar dari semak duri, dan

ketika Allah mengutusnya menghadap kepada Firaun untuk

membawa umat Israel keluar dari Mesir, Musa bertanya:

“Bagaimana tentang Nama-Nya? (Ibrani: Mah symo). Apakah

yang harus kujawab kepada mereka?” (Keluaran 3:13).

Patut dicatat pula, cara biasa untuk menanyakan nama

seseorang dalam bahasa Ibrani memakai kata ganti Mi,

“Siapakah” (bandingkan dengan kata Arab, Man). Tetapi di

sini dalam ayat ini dipakai “Bagaimana (mah) tentang Nama-

Nya?” Mah symo, sejajar dengan bahasa Arab: Ma smuhu,

menuntut suatu jawaban yang lebih jauh, yaitu memberikan

arti (“apa dan bagaimana”) atau hakikat dari nama itu.

Bukan sekedar menunjukkan nama, melainkan lebih dari itu

makna yang menunjuk kepada “Kuasa di balik Dia yang di-

Nama-kan.”

Jadi, kita tidak bisa memahaminya seperti nama-nama

makhluk pada umumnya: Suradi, Yakub, Hendarto, dan lain-

lain. Pertanyaan Nabi Musa ini lalu dijawab Allah dalam

bahasa Ibrani: Ehyeh asyer ehyeh—Aku adalah Aku (Keluaran

3:14). Dengan firman itu Allah menyatakan siapakah Diri-

Nya. Secara gramatikal, apabila Allah sendiri yang

mengucapkan Nama-Nya, maka kita menjumpai bentuk ehyeh

(Aku Ada), sedangkan apabila umat Allah yang mengucapkan

tentu saja memakai kata ganti orang ketiga Yahweh (Dia

Ada).

Bagaimana pula secara gramatikal akhirnya kita

menemukan bentuk Yahweh? Menurut sebuah tafsir dalam

bahasa Ibrani yang cukup representatif (karena berasal

dari kalangan rabbi-rabbi Yahudi sendiri), memang bentuk

Yahweh tersebut berkaitan erat dengan kemahahadiran Ilahi,

baik dahulu, kini dan yang akan datang. Keberadaan Allah

apabila dikaitkan dengan ketiga aspek waktu tersebut,

dalam bahasa Ibrani adalah: hayah, “Ia telah Ada” (He

was), howeh, “Ia Ada” (He is), dan yihyeh, “Ia akan Ada”

(He will be). Maksudnya di sini, Allah itu Mahakekal,

tidak terikat oleh aspek waktu, dan hal itu dibuktikan

dengan kekuasaan-Nya yang selalu dinamis.

Dari deksripsi di atas, jelas bahwa Perjanjian Baru

lebih mengacu kepada makna teologis di balik Nama itu,

yaitu kuasa-Nya yang hidup dan bukan mempertahankan secara

harfiah huruf-huruf mati tersebut. Terjemahan Nama Yahweh

ini, antara lain dapat kita baca dalam Wahyu Yohanes: “Aku

adalah Alfa dan Omega, yang ada yang yang sudah ada dan

yang akan datang, Yang Mahakuasa” (Wahyu 1:8).

Perhatikanlah, ungkapan yang dicetak miring (kursif).

Dalam bahasa Yunani: ho on kai ho en kai ho erksomenos, ho

Pantakrator. Frase ini merupakan terjemahan dari sebuah

doa (Siddur) Yahudi dari zaman pra-Kristen hingga

sekarang, yaitu doa Adon ’olam yang sangat terkenal, yang

memuat keterangan dari Nama Yahweh yang pantang diucapkan

itu: Ve hu hayah we hu hoveh we hu yihyeh le tif’arah (Ia

yang sudah ada, yang ada, dan yang akan ada, kekuasaan-Nya

kekal sampai selama-lamanya).

2. “Nama” dan “Pribadi” dalam Alkitab

Dalam kebudayaan Yahudi yang melatar belakangi Alkitab,

“nama” selalu terkait erat dengan “pribadi”. Dalam Kitab

Suci, “nama” dapat dirumuskan dalam tiga dalil:

1. Nama adalah pribadi itu sendiri;

2. Nama adalah pribadi yang diungkapkan; dan

3. Nama adalah pribadi yang hadir secara aktif.

Apabila ketiga pengertian ini diterapkan untuk Allah,

maka penjelasan sekaligus dalil-dalilnya sebagai berikut:

1. Nama menunjuk kepada Pribadi itu sendiri

Dalam Alkitab nama seseorang selalu diidentikkan dengan

pribadi seseorang. Lenyapnya seseorang sering disebut

“namanya hilang”. Misalnya, doa Israel ketika mereka

dikalahkan dalam sebuah peperangan: “…mereka akan

melenyapkan nama kami dari bumi ini, dan apakah yang Kau

lakukan untuk memulihkan Nama-Mu yang besar itu?” (Yosua

7:9). Dalam hal Allah digambarkan lebih dramatis lagi,

sebab TUHAN identik dengan “Sang Nama”. Imamat 24:11 dalam

teks bahasa asli: Wayyiqov ben ha isyah ha yisrael et ha

Syem… (Anak perempuan Israel itu menghujat Sang Nama

dengan mengutuk...) Karena itu, Terjemahan Baru/ TB (1974)

LAI menerjemahkan: “Anak perempuan Israel itu menghujat

Nama TUHAN dengan mengutuk…) Dari contoh ayat di atas,

jelaslah bahwa Nama menunjuk kepada Pribadi yang

di-”Nama”-kan. Karena itu, yang dipentingkan bukan

penyebutan Nama Ilahi Yahweh dalam bahasa asli Ibrani,

melainkan lebih menunjuk kepada Pribadi Allah itu sendiri.

Allah yang Mahakekal, Maha Esa, Mahahidup dan menyatakan

Diri-Nya kepada manusia.

2. Nama adalah Pribadi yang Diungkapkan

Apabila Amsal 18:10 menyebut bahwa Nama TUHAN (syem

Yahweh) adalah menara yang kuat, maksudnya tidak lain

adalah Pribadi Allah yang hidup dengan kekuasaan Ilahi-Nya

yang menjaga dan melindungi kita umat-Nya. “Nama” di sini

menunjuk kepada apa yang diketahui tentang Pribadi-Nya.

Contoh yang lebih jelas, Yesaya 30:27 dalam bahasa Ibrani:

Hinneh, syem Yahweh ba mimerhaq…” Secara harfiah

terjemahannya: “Perhatikanlah, Nama TUHAN datang dari

tempat-Nya yang jauh…” Mengapa dikatakan “Nama TUHAN

datang”, dan tidak cukup dikatakan saja “TUHAN datang”?

Jawabannya, Nama di sini untuk menekankan “pengungkapan

Pribadi-Nya”. Tepat sekali, LAI menerjemahkan: “TUHAN

datang menyatakan Diri-Nya dari tempat yang jauh…” Di

sini, syem (Nama) diterjemahkan “menyatakan Diri-Nya”.

Jadi, sekali lagi bukan dalam makna mempertahankan secara

harfiah penyebutan Ibrani Yahweh , se-bagaimana

ditafsirkan Saksi-saksi Yehuwa, dan di-ikuti oleh kelompok

“bidat baru” Kristen tertentu pada tahun-tahun terakhir

ini di Indonesia.

3. Nama adalah Pribadi yang hadir secara aktif

Makna ketiga dari Nama adalah kehadiran aktif Pribadi

itu dalam kepenuhan sifat-Nya yang diungkapkan. Mazmur

76:1 menyebutkan: “…Nama-Nya masyhur di Israel”,

dibuktikan dengan perbuatan-perbuatan Allah yang dasyat

yang dialami oleh umat Israel. Begitu pula, di Gunung

Karmel Nabi Elia mengusulkan “peperangan” Nama Tuhan

dengan nama ilah-ilah selain-Nya. “Nama” dalam hal ini

menunjuk kepada Pribadi yang hadir, yang dibuktikan dengan

menjawab doa orang yang menyeru Nama-Nya.

“Kemudian biarlah kamu memanggil nama ilah-mu (be shem

elohekhem) dan akupun akan memanggil Nama Tuhan (beshem

Yahweh), maka ilah yang menjawab dengan api, Dialah Allah

(ve hayah ha-elohim asyer yaeneh be esh hu ha-elohim)” (1

Raja-raja 18: 24).

Demikianlah apabila teks Ibrani di atas secara harfiah

diterjemahkan dalam bahasa Arab: “…wa al-ilah alladzi

yujiibu binarin faa huwa Allah”. Secara gramatikal, dalam

konteks ayat tersebut, Allah adalah “al-Ilah alladzi

yujiibu binarin” (Ilah yang menjawab dengan api itu).

Maksudnya, Allah adalah Ilah (sembahan) yang Mahakuasa,

dan Dia telah membuktikan kekuasaan-Nya sebagai Allah yang

Hidup.

Kutipan ini juga membuktikan bahwa kata ALLAH dalam bahasa

Arab memang berasal dari Al-Ilah [yang berarti Sang Ilah

Yang Satu], dan bukan “nama diri” (the proper name). [Nama

itu sejak awal dipakai untuk menghormati Sang Ilah

Tertinggi, Ilah di atas segala ilah—sebelum akhirnya

dipakai oleh kaum pagan Arab.] Nama Diri Allah adalah YHVH

atau Yahweh [yaitu Sang Elohim Yang Satu, Ha-Elohim],

seperti disebutkan dibuktikan dengan “peperangan nama” di

gunung Karmel di mana Yahweh tampil sebagai pemenang,

karena Ia adalah Allah yang menjawab doa umat-Nya. Ia

adalah Pribadi Ilahi yang benar-benar hadir secara aktif:

Ketika seluruh rakyat melihat kejadian itu, sujudlah

mereka serta berkata: Tuhan, Dialah Allah! Tuhan, Dialah

Allah (1 Raja-Raja 18:39). Dalam bahasa aslinya, seruan

itu berbunyi: Yahweh, hu ha elohim! Yahweh, hu haelohim.

Dalam terjemahan bahasa Arab: Ar Rabb, huwa Allah! Ar

Rabb, huwa Allah (Tuhan, Dialah Allah! Tuhan, Dialah

Allah). Jadi, jelaslah bahwa dalam hal “Nama Diri” Yahweh,

semua umat Kristen sepakat. Masalahnya, baik UBS maupun

LAI hanya mengikuti tradisi lama yang juga diikuti oleh

Yesus, murid-murid-Nya dan Gereja Tuhan sepanjang abad,

bahwa sekalipun nama Yahweh tetap dipertahankan dalam teks

bahasa asli Kitab Suci (Perjanjian Lama) tetapi tidak

membaca nama ilahi itu. Karena itu, kita dapat

menerjemahkan nama Yahweh itu dalam bahasa-bahasa lain,

seperti yang dicontohkan oleh para penerjemah Alkitab

dalam bahasa Yunani (Septuaginta) yang kemudian diikuti

oleh rasul-rasul yang menulis Perjanjian Baru.

B. ETIKA

Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa

Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat.

Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep

yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai

apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah

atau benar, buruk atau baik. Menurut Martin [1993], etika

didefinisikan sebagai “the discipline which can act as the

performance index or reference for our control system“.

Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self

control“, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dan

untuk kepentingan kelompok social (profesi) itu sendiri.

Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in

mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan

diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi,

dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk

penyimpangan maupun penyalah-gunaan keahlian

(Wignjosoebroto, 1999).

Sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari

masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional

tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi

pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi

kepada masyarakat yang memerlukannya.

Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat

yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Etika

tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan

bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini

ditentukan oleh bermacam-macam norma. Norma ini masih dibagi

lagi menjadi norma hukum, norma moral, norma agama dan norma

sopan santun.

Norma hukum berasal dari hukum dan perundangundangan, norma

agama berasal dari agama sedangkan norma moral berasal dari

suara batin. Norma sopan santun berasal dari kehidupan

sehari-hari, sedangkan norma moral berasal dari etika. Etika

(ethics) berarti moral sedangkan etiket (etiquette)berarti sopan

santun.

C. BEBERAPA JENIS ETIKA

Etika dapat ditinjau dari beberapa pandangan. Dalam

sejarah lazimnya pandangan ini dilihat dari segi filosofis

yang melahirkan etika filosofis, ditinjau dari segi teologis

yang melahirkan etika teologis, dan ditinjau dari pandangan

sosiologis yang melahirkan etika sosiologis.

a) Etika filosofisEtika filosofis adalah etika yang dipandang dari sudut

filsafat. Kata filosofis sendiri berasal dari kata

“philosophis” yang asalnya dari bahasa Yunani yakni:

“philos” yang berarti cinta, dan “sophia” yang berarti

kebenaran atau kebijaksanaan. Etika filosofis adalah

etika yang menguraikan pokok-pokok etika atau moral

menurut pandangan filsafat. Dalam filsafat yang

diuraikan terbatas pada baik-buruk, masalah hak-

kewajiban, maslah nilai-nilai moral secara mendasar.

Disini ditinjau hubungan antara moral dan kemanusiaan

secara mendalam dengan menggunakan rasio sebagai dasar

untuk menganalisa.

b ) Etika teologisEtika teologis adalah etika yang mengajarkan hal-hal

yang baik dan buruk berdasarkan ajaran-ajaran agama. Etika

ini memandang semua perbuatan moral sebagai:

1. Perbuatan-perbuatan yang mewujudkan kehendak Tuhan atau

sesuai dengan kehendak Tuhan.

2. Perbuatan-perbuatan sebagai perwujudan cinta kasih

kepada Tuhan

3. Perbuatan-perbuatan sebagai penyerahan diri kepada

Tuhan.

Orang beragama mempunyai keyakinan bahwa tidak mungkin

moral itu dibangun tanpa agama atau tanpa menjalankan

ajaran-ajaran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Sumber

pengetahuan dan kebenaran etika ini adalah kitab suci.

c ) Etika sosiologisEtika sosiologis berbeda dengan dua etika sebelumnya.

Etika ini menitik beratkan pada keselamatan ataupun

kesejahteraan hidup bermasyarakat. Etika sosiologis

memandang etika sebagai alat mencapai keamanan,

keselamatan, dan kesejahteraan hidup bermasyarakat. Jadi

etika sosiologis lebih menyibukkan diri dengan pembicaraan

tentang bagaimana seharusnya seseorang menjalankan hidupnya

dalam hubungannya dengan masyarakat.

d )  Etika Diskriptif dan Etika NormatifDalam kaitan dengan nilai dan norma yang digumuli dalam

etika ditemukan dua macam etika, yaitu :

1. Etika Diskriptif

Etika ini berusaha meneropong secara kritis dan rasional

sikap dan perilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia

dalam kehidupan sebagai sesuatu yang bernilai. Etika ini

berbicara tentang kenyataan sebagaimana adanya tentang nilai

dan pola perilaku manusia sebagai suatu fakjta yang terkait

dengan situasi dan realitas konkrit. Dengan demikian etika

ini berbicara tentang realitas penghayatan nilau, namun tidak

menilai. Etika ini hanya memaparkan, karenyanya dikatakan

bersifat diskriptif.

2. Etika Normatif

Etika ini berusaha untuk menetapkan sikap dan pola

perilaku yang ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia

dalam bertindak. Jadi etika ini berbicara tentang norma-norma

yang menuntun perilaku manusia serta memberi penilaian dan

hiambauan kepada manusia untuk bertindak sebagaimana

seharusnya. Dengan demikian etika normatif memberikan

petunjuk secara jelas bagaimana manusia harus hidup secara

baik dan menghindari diri dari yang jelek.

Dalam pergaulan sehari-hari kita menemukan berbagai

etika normative yang menjadi pedoman bagi manusia untuk

bertindak. Norma-norma tersebut sekaligus menjadi dasar

penilaian bagi manusia baik atau buruk, salah atau benar.

Secara umum norma-norma tersebut dikelompokkan menjadi dua

yaitu:

a) Norma khusus

Norma khusus adalah norma yang mengatur tingkah laku dan

tindakan manusia dalam kelompok/bidang tertentu. Seperti

etika medis, etika kedokteran, etika lingkungan, etika wahyu,

aturan main catur, aturan main bola, dll. Di mana aturan

tersebut hanya berlaku untuk bidang khusus dan tidak bisa

mengatur semua bidang. Misal: aturan main catur hanya bisa

dipakai untuk permainan catur dan tidak bisa dipakai untuk

mengatur permainan bola.

b) Norma Umum

Norma umum justru sebaliknya karena norma umum bersifat

universal, yang artinya berlaku luas tanpa membedakan kondisi

atau situasi, kelompok orang tertentu. Secara umum norma umum

dibagi menjadi tiga (3) bagian, yaitu :

1. Norma sopan santun.Norma ini menyangkut aturan pola tingkah

laku dan sikap lahiriah seperti tata cara berpakaian, cara

bertamu, cara duduk, dll. Norma ini lebih berkaitan dengan

tata cara lahiriah dalam pergaulan sehari-hari, amak

penilaiannnya kurang mendalam karena hanya dilihat sekedar

yang lahiriah.

2. Norma hukum.Norma ini sangat tegas dituntut oleh masyarakat.

Alasan ketegasan tuntutan ini karena demi kepentingan

bersama. Dengan adanya berbagai macam peraturan, masyarakat

mengharapkan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan

bersama. Keberlakuan norma hukum dibandingkan dengan norma

sopan santun lebih tegas dan lebih pasti karena disertai

dengan jaminan, yakni hukuman terhadap orang yang melanggar

norma ini. Norma hukum ini juga kurang berbobot karena hanya

memberikan penilaian secara lahiriah saja, sehingga tidak

mutlak menentukan moralitas seseorang.

3.  Norma moral. Norma ini mengenai sikap dan perilaku manusia

sebagai manusia. Norma moral menjadi tolok ukur untuk

menilai tindakan seseorang itu baik atau buruk, oleh karena

itu bobot norma moral lebih tinggi dari norma sebelumnya.

Norma ini tidak menilai manusia dari satu segi saja,

melainkan dari segi manusia sebagai manusia. Dengan kata

lain norma moral melihat manusia secara menyeluruh, dari

seluruh kepribadiannya. Di sini terlihat secara jelas,

penilannya lebih mendasar karena menekankan sikap manusia

dalam menghadapi tugasnya, menghargai kehidupan manusia, dan

menampilkan dirinya sebagai manusia dalam profesi yang

diembannya. Norma moral ini memiliki ciri-ciri yaitu :

1. Norma moral merupakan norma yang paling dasariah,

karena langsung mengenai inti pribadi kita sebagai

manusia.

2. Norma moral menegaskan kewajiban dasariah manusia

dalam bentuk perintah atau larangan.

3. Norma moral merupakan norma yang berlaku umum

4. Norma moral mengarahkan perilaku manusia pada

kesuburan dan kepenuhan hidupnya sebgai manusia.

BAB III

SECARA METAFISIK

A. METAFISIKA

Metafisik merupakan kata yang berasal dari Bahasa Yunani

yakni : Μετά (meta) = "setelah atau di balik", dan ΦΎΣΙΚΑ (phúsika) =

"hal-hal di alam"). Metafisika adalah cabang filsafat yang

mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia.

Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas.

Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti:

Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat

manusia di dalam semesta? Cabang utama metafisika adalah

ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan

hubungan antara satu dan lainnya. Penggunaan istilah "metafisika"

telah berkembang untuk merujuk pada "hal-hal yang di luar dunia

fisik". Toko buku metafisika, sebagai contoh, bukanlah menjual

buku mengenai ontologi, melainkan lebih kepada buku-buku mengenai

ilmu gaib atau sihir, pengobatan alternatif, dan hal-hal

sejenisnya.

Beberapa Tafsiran Metafisika Dalam menafsirkan hal ini,

manusia mempunyai beberapa pendapat mengenai tafsiran metafisika.

Tafsiran yang pertama yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam

ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supernatural) dan hal-hal

tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan

dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran

supernaturalisme. Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang

misalnya animisme. Selain paham di atas, ada juga paham yang

disebut paham naturalisme. Paham ini amat bertentangan dengan

paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa

gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat

gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat di alam itu

sendiri, yang dapat dipelajari dan dapat diketahui. Orang-orang

yang menganut paham naturalisme ini beranggapan seperti itu

karena standar kebenaran yang mereka gunakan hanyalah logika akal

semata, sehingga mereka menolak keberadaan hal-hal yang bersifat

gaib itu. Dari paham naturalisme ini juga muncul paham

materialisme yang menganggap bahwa alam semesta dan manusia

berasal dari materi. Salah satu pencetusnya ialah Democritus

(460-370 S.M).

Adapun bagi mereka yang mencoba mempelajari mengenai makhluk

hidup. Timbul dua tafsiran yang masing saling bertentangan yakni

paham mekanistik dan paham vitalistik. Kaum mekanistik melihat

gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala

kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah

sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif dengan hanya

sekedar gejala kimia-fisika semata.

Berbeda halnya dengan telah mengenai akal dan pikiran, dalam

hal ini ada dua tafsiran yang juga saling berbeda satu sama lain.

Yakni paham monoistik dan dualistik. sudah merupakan aksioma

bahwa proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang

zat (objek) yang ditelaahnya. Dari sini aliran monoistik

mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat,

keduanya (pikiran dan zat) hanya berbeda dalam gejala disebabkan

proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama.

Pendapat ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistik.

Dalam metafisika, penafsiran dualistik membedakan antara zat dan

kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara substansif.

Aliran ini berpendapat bahwa yang ditangkap oleh pikiran adalah

bersifat mental. Maka yang bersifat nyata adalah pikiran, sebab

dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas ada.

BAB IV

SECARA POSITIF

A. BERPIKIR POSITIF

Berpikir positif merupakan sikap mental yang melibatkan

proses memasukan pikiran-pikiran, kata-kata, dan gambaran-

gambaran yang konstruktif (membangun) bagi perkembangan

pikiran kita. Pikiran positif menghadirkan kebahagiaan,

sukacita, kesehatan, serta kesuksesan dalam setiap situasi

dan tindakan kita. Apapun yang pikiran kita harapkan,

pikiran positif akan mewujudkannya. Jadi berpikir positif

juga merupakan sikap mental yang mengharapkan hasil yang

baik serta menguntungkan.

Tidak semua orang menerima atau mempercayai pola

berpikir positif. Beberapa orang menganggap berpikir positif

hanyalah omong kosong, dan sebagian menertawakan orang-orang

yang mempercayai dan menerima pola berpikir positif.

Diantara orang-orang yang menerima pola berpikir positif,

tidak banyak yang mengetahui cara untuk menggunakan cara

berpikir ini untuk memperoleh hasil yang efektif. Namun,

dapat dilihat pula bahwa semakin banyak orang yang menjadi

tertarik pada topik ini, seperti yang dapat dilihat dari

banyaknya jumlah buku, kuliah, dan kursus mengenai berpikir

positif. Topik ini memperoleh popularitas dengan cepat.

Kita sering mendengar orang berkata: “Berpikirlah

positif!”, yang ditujukan bagi orang-orang yang merasa

kecewa dan khawatir. Banyak orang tidak menganggap serius

kata-kata tersebut, karena mereka tidak mengetahui arti

sebenarnya dari kata-kata tersebut, atau menganggapnya tidak

berguna dan efektif.

B. CATATAN PENUTUP

Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa

Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat.

Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang

dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah

tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar,

buruk atau baik. Menurut Martin [1993], etika didefinisikan

sebagai “the discipline which can act as the performance index or

reference for our control system“.

Firman Tuhan adalah satu-satunya perisai yang paling ampuh

untuk berhadapan segala sesuatu dan keyakinan. Biarkan kita

membangun diri kita dengan iman yang paling suci dan berdoa di

dalam Roh Kudus. Senantiasa berada di dalam lingkaran kasih Allah

sementara kita menunggu belas kasihan Yesus Kristus yang akan

membawa kita kepada hidup yang kekal (Yud. 20). Sebagaimana kita

telah mengakhiri pertandingan yang baik, "aku telah mencapai

garis akhir dan aku telah memelihara iman" (2Tim 4:7-8), oleh

sebab itu mari kita senantiasa percaya dan dengan gembira menaati

Dia. Menjadi orang yang taat dan menjadi manusia beriman yang

kelak mendapat pujian dari Allah.


Recommended