60
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Hasil Penelitian
1. Sejarah Holding Company BUMN di Indonesia.
Holding Company merupakan suatu istilah yang sering didengar dalam proses
restrukturisasi perusahaan. Dalam Black’s Law Dictionary sendiri Holding
Company memiliki pengertian “a company that ussualy confines its activities to
owning stock in, and supervising management of other companies. A holding
company ussualy owns a controlling interest in the companies whose stock it
holds”. Holding Company sendiri memiliki konsep dasar yaitu pembentukan
badan hukum baru sebagai relasi kendali asimetris yang membawahi kedua
BUMN dengan mempertahankan eksistensi kedua BUMN atau lebih.98
Di Indonesia holding company lebih sering dikenal sebagai bentuk “group”.
Bentuk concern atau group ini dapat terjadi melalui dua cara. Cara pertama adalah
dengan sengaja didirikan PT baru dan yang kedua adalah dengan jalan mengambil
alih saham dari PT yang sudah ada dan sudah berjalan yaitu dewasa ini lebih
dikenal dengan sebutan sebagai “akuisisi”.99 Penerapan sistem holding company
sering diterapkan pada sektor swasta diantaranya adalah PT. Astra International,
PT. Japfa, Salim Group, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, praktek holding
company juga merambah badan usaha yang dimiliki oleh negara. Berbagai
Perseroan mulai menerapkan sistem holding ditandai dengan PT. Semen Gresik
yang kini berubah menjadi PT. Semen Indonesia pertama kali menerapkannya.
Konsep holdingisasi pada sektor semen sendiri sebetulnya sudah digagas pada
saat kepemimpinan Mantan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN, Tanri
Abeng. Melalui Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 5-
326/MK.016/1995, konsep holding pertama kali diberlakukan dalam perusahaan
dengan status BUMN. Dalam Surat Menteri Keuangan tersebut pemerintah
98 Toto Pranoto, Restrukturisasi BUMN Menjadi Holding Company, Jurnal, Universitas Indonesia,
Jakarta, Hlm. 3. 99 Rudhi Prasetya, Op.Cit, Hllm. 64.
61
mengkonsolidasi ketiga perusahaan semen tersebut, dan memilih PT. Semen
Gresik menjadi induk perusahaan (holding company), kemudian PT. Semen
Gresik mengakusisi PT. Semen Padang dan PT. Semen Tan Long sebagai
subsidiary atau anak perusahaan.100
Selanjutnya, yang melakukan proses holdingisasi pada BUMN adalah BUMN
yang bergerak di bidang pupuk. PT Pupuk Indonesia (Persero) yang saat itu
menjadi induk perusahaan yang ditandai dengan Peraturan Pemerintah No. 28
Tahun 1997 yang menunjuk PT. Pupuk Sriwidjadja (Persero) sebagai induk
perusahaan (holding company). PT. Pupuk Indonesia (Persero) membawahi anak
perusahaan diantaranya PT Petrokimia Gresik (PKG), PT. Pupuk Kujang (PKC),
PT. Pupuk Kalimantan Timur (PKT), PT Rekayasa Industri (rekind), hingga PT.
Pupuk Iskandar Muda. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut menyebutkan:
Pasal 2 ayat (2) Nilai penambahan modal Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar Rp. 1.829.290.000.000,- (satu triliun
delapan ratus dua puluh sembilan miliar dua ratus sembilan puluh juta rupiah)
dengan perincian sebagai berikut:101
a. Saham perusahaan (Perseroan) PT. Pupuk Kalimantan senilai
Rp.936.232.000.000,00 (sembilan ratus tiga puluh enam miliar dua ratus
tiga puluh dua juta rupiah).
b. Saham perusahaan (Persero) PT. Petrokimia Gresik senilai Rp.
396.420.000.000,00 (tiga ratus sembilan puluh enam miliar empat ratus
dua puluh juta rupiah).
c. Saham perusahaan (Persero) PT. Pupuk Kujang senilai Rp.
228.210.000.000,00 (dua ratus dua puluh delapan miliar dua ratus sepuluh
juta rupiah).
d. Saham perusahaan (Persero) PT. Pupuk Iskandar Muda senilai Rp.
266.428.000.000,00 (dua ratus enam puluh enam miliar empat ratus dua
puluh delapan juta rupiah).
100 Dwi Soetjipto, Op. Cit, Hlm. 22 101 Pasal 2 ayat (2), Peraturan Pemerintah Nomor. 28 Tahun 1997 tentang Penambahan
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Pupuk Sriwidjadja.
62
Atas pengalih sahaman modal negara tersebut menjadikan PT. Pupuk Sriwidjadja
pemilik saham mayoritas pada keempat perusahaan yang sekaligus menjadikan
PT. Pupuk Sriwidjadja sebagai induk perusahaan (holding company). Dalam hal
ini PT. Pupuk Sriwidjadja bertindak sebagai operator holding yakni induk
perusahaan menjalankan kegiatan usaha dan mengendalikan anak usaha. Kegiatan
usaha perusahaan biasanya menentukan jenis usaha yang harus dipenuhi oleh
induk perusahaan tersebut. Namun, dalam perjalanannya dilakukan proses
pemisahan (spin off) dengan mendirikan anak perusahaan bernama PT. Pupuk
Sriwidjadja Palembang serta pengalihan tugas dan kepemilikan aset perusahaan
Perseroan PT. Pupuk Sriwidjadja (Persero) kepada PT. Pupuk Sriwidjadja
Palembang. Dengan adanya keberadaan PT. Pupuk Sriwidjadja Palembang
mengakibatkan perubahan bentuk holding yang awalnya berbentuk operating
holding menjadi investmen holding.
Dalam perjalanan proses holding BUMN, akhirnya pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan
Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan
Terbatas sebagai payung hukum unutuk pembentukan holding BUMN. Dengan
adanya Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 2005 ini proses pembentukan
BUMN dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 19. Tahun 2003 tentang
BUMN. Pasal 2 ayat (2) huruf d, Pasal 3 ayat 1, Pasal 5 huruf c, dan Pasal 7
dikaitkan dengan penjelasan Pasal 4 Undang-Undang 19 Tahun 2003 tentang
BUMN. Berdasarkan Pasal-Pasal tersebut, saham negara pada suatu BUMN yang
dijadikan penyertaan modal, dikategorikan sebagai “aset-aset negara lainnya”
sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) huruf d Peraturan Pemerintah
Nomor. 44 Tahun 2005.
Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 2005 juga menjelaskan bahwa dalam hal
aset-aset negara lainnya tersebut dimasukkan dalam APBN, maka prosesnya
dilakukan melalui mekanisme APBN yaitu “pencatatan aset dimaksud dalam
APBN sebagai penerimaan dan sekaligus dikeluarkan sebagai Penyertaan Modal
Negara (PMN)”. Dalam konteks pengalihan saham untuk pembentukan holding
selama ini, Pemerintah tidak lagi melalui mekanisme APBN (mencatat sebagai
63
penerimaan dan dikeluarkan sebagai PMN), karena pada saat awal negara
melakukan penyertaan modal yang kemudian berubah menjadi saham yang
dialihkan, sudah melalui APBN sehingga statusnya menjadi Kekayaan Negara
Dipisahkan. Dalam penjelasan Pasal 4 Undang-Undang 19 Tahun 2003 tentang
BUMN, dijelaskan bahwa Kekayaan Negara Dipisahkan dari APBN untuk
dijadikan penyertaan modal yang selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya
tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya
tunduk pada prinsip-prinsip perusahaan.
Setelah proses pembentukan holding di sektor pupuk, pemerintah melanjutkan
kegiatan pembentukan holding di sektor lainnya yaitu pembentukan holding di
sektor perkebunan. Pembentukan holding perkebunan sendiri berdasarkan
ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2014 tentang Penambahan
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia kedalam Modal Saham Perusahaan
Perseroan PT. Perkebunan Nusantara III sebesar 90% yang berasal dari
pengalihan saham milik negara Republik Indonesia pada PT Perkebunan
Nusantara I, II, IV sampai dengan XIV.
Dengan adanya penambahan Penyertaan Modal Negara ke dalam Modal Saham
PT Perkebunan Nusantara III (Persero), mengakibatkan:102
Pertama, PT Perkebunan Nusantara, I, II dan IV sampai dengan XIV berubah
menjadi Perseroan Terbatas yang tunduk sepenuhnya pada Undang-Undang No.
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kedua, PT Perkebunan Nusantara III
menjadi pemegang saham PT. Perkebunan Nusantara I, II, dan IV sampai dengan
XIV. Ketiga, Kepemilikan saham milik negara Republik Indonesia pada PT
Perkebunan Nusantara I, II, dan IV sampai dengan XIV masing-masing menjadi
10%.
102 Pasal 3, Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2014 tentang Penambahan Penyertaan
Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan Nusantara III.
64
2. Perkembangan Pembentukan Holding Company BUMN di Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 2007 ada tiga bentuk aksi
korporasi yang dapat menimbulkan kepemikan saham yaitu penggabungan
(merger), pengambilalihan (akuisisi), dan pemisahan (spin off). Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 memberikan definsi penggabungan (merger) sebagai:103
Perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan
aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum
kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan
hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.Akibat
hukum dari proses penggabungan ini maka, aktiva dan pasiva dari Perseroan yang
menggabungkan diri diserahkan sepenuhnya pada Perseroan yang menerima
penggabungan.
Sedangkan pengambil alihan (akuisisi), perbuatan hukum yang dilakukan oleh
badan hukum atau perseorangan untuk mengambilalih saham Perseroan yang
mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut. Pengambilalihan
saham ini mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan tersebut.
Dalam proses pengambil alihan (akuisisi) terdapat dua macam yaitu akuisisi
yuridis dan akuisisi ekonomis. Akuisisi yuridis adalah pengambilalihan
perusahaan melalui pengambilalihan saham dari perusahaan yang bersangkutan,
sedang dimaksud dengan akuisisi ekonomis adalah pengambilalihan aset dari
perusahaan, yang diambil alih hanya semata-mata asetnya, umpamanya mesin-
mesin, tanah, bangunan pabrik, alat peralatannya, termasuk hak intelektualnya
seperti merek dan patennya.104
Selanjutnya adalah, pemisahan (spin off) yang juga merupakan salah satu cara
untuk medapatkan kepemilikan saham atas suatu Perseroan. Pemisahan sendiri
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha
yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum
103 Pasal 1 butir 9, Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 104 Rudhi Prasetya, Perseroan Terbatas (Teori dan Praktik), Jakarta: Sinar Grafika, 2011, Hlm. 141.
65
kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan
beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau lebih.
Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah
mengatur mengenai kebolehan orang perorangan atau badan hukum memiliki
saham pada perusahaan lain yaitu dengan cara penggabungan (merger),
pengambil alihan (akuisisi), dan pemisahan (spin off). Selain aturan tersebut
terdapat larangan kepemilikan cross holding sebagaimana ditetapkan dalam Pasal
36 Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 2007. Namun demikian, seiring dengan
perkembangan holding company aturan-aturan tersebut tidak lagi dapat
mengakomodir dan memberikan batasan yang jelas.
Perkembangan holding yang cepat dalam BUMN, membuat Pemerintah
membentuk Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 perubahan terhadap
Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 2005. Dibentuknya Peraturan Pemerintah
ini merupakan upaya untuk memperjelas dan mempertegas dasar hukum
pembentukan holding BUMN.
Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 sering disebut sebagai
“PP Holding”. Holding yang dibentuk setelah Peraturan Pemerintah Nomor. 72
Tahun 2016 ini adalah holding tambang, migas. Di sektor tambang, Pemerintah
membentuk holding di sektor tambang melalui Peraturan Pemerintah Nomor. 47
Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia
ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Indonesia Asahan
Aluminium.
Pasal 2 ayat (1) penambahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 sebanyak:105
a. 15.619.999.999 (lima belas miliar enam ratus sembilan belas juta sembilan
ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh
105 Pasal 2 ayat 1, Peraturan Pemerintah Nomor. 47 Tahun 2017 tentang Penambahan
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Indonesia Asahan Aluminium.
66
sembilan) saham serie B pada Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Aneka
Tambang Tbk;
b. 4.841.053.951(empat miliar delapan ratus empat puluh satu juta lima
puluh tiga sembilan ratus lima puluh satu) saham serie B pada Perusahaan
Perseroan (Persero) PT. Timah Tbk;
c. 1.498.087.499 (satu miliar empat ratus sembilan puluh delapan juta
delapan puluh tujuh empat ratus sembilan puluh sembilan) saham serie B
pada Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Bukit Asam Tbk;
d. 21.300 (dua puluh satu tiga ratus) saham pada PT. Freeport Indonesia.
Dapat disederhanakan bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 47 Tahun 2017
kepemilikan saham negara dalam PT. Bukit Asam, PT. Timah, PT. Aneka
Tambang dan PT. Freeport dialihkan kepada PT. Inalum. Sehingga PT. Inalum
menjadi pemegang saham mayoritas dalam keempat PT tersebut. Akibat
hukumnya, keempat perusahaan yang dialihkan sahamnya tunduk pada ketentuan
Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Akan tetapi,
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 negara tetap
memiliki kontrol terhadap keempat PT tersebut karena memiliki saham serie A.
Pembentukan holding selanjutnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah
pembentukan holding di sektor migas. Pemerintah membentuk holding migas
melalui Peraturan Pemerintah Nomor. 6 Tahun 2018 tentang Penambahan
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham
Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Pertamina. Dalam Pasal 2 ayat (1)
Penambahan penyertaan modal negara sebagimana dimaksud dalam Pasal 1
sebanyak 13.809.038.755 (tiga belas miliar delapan ratus sembilan juta tiga puluh
delapan tujuh ratus lima puluh lima) saham serie B pada Perusahaan Perseroan
(Persero) PT. Perusahaan Gas Negara Tbk yang telah ditempatkan dan disetor
penuh oleh negara.106
106 Pasal 2 ayat (1), Peraturan Pemerintah Nomor. 6 Tahun 2018 tentang Penambahan
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Pertamina.
67
Atas hal tersebut kepemilikan saham negara pada PT. Perusahaan Gas Negara
dialihkan pada PT. Pertamina, yang menjadikan PT. Perusahaan Gas Negara
tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 40. Tahun 2007. Selain itu seperti
holding tambang yang terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun
2016 tetap memiliki saham serie A pada PT. Perusahaan Gas Negara sehingga
negara tetap memiliki kontrol terhadap PT. Perusahaan Gas Negara.
3. Masalah-Masalah Hukum yang timbul dalam Holding Company
BUMN di Indonesia.
Pembetukan Holding Company saat ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah
Nomor. 72 Tahun 2016 sebagai payung hukum. Akan tetapi beberapa kalangan
menilai bahwa lahirnya Peraturan Pemerintah ini akan menimbulkan berbagai
masalah hukum. Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara
dan Perseroan Terbatas memiliki permasalahan dari aspek formal, yang
dimaksudkan disini adalah Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 tidak
cukup dijadikan sebagai payung hukum pembentukan holding. Alasannya, BUMN
diatur dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 19. Tahun 2003 tentang BUMN
maka jika pemerintah ingin membentuk holding di perusahaan dengan status
BUMN. Pemerintah wajib mengeluarkan aturan yang setara dengan Undang-
Undang.
Secara aspek substansi atau materiil, isi dari Peraturan Pemerintah Nomor. 72
Tahun 2016 dinilai menabrak Undang-Undang yang ada diatasnya. Aturan
tersebut dinilai memiliki substansi yang bertentangan dengan UU Nomor. 19
Tahun 2003 tentang BUMN, UU Nomor. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, dan UU Nomor. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Perhatian
serius adalah dalam Peraturan Pemerintah ini mengesampingkan peran DPR RI
dalam melakukan fungsi anggaran dan pengawasan.
Sebagai contoh dalam Pasal 2A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun
2016 merujuk atau merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal sebelumnya,
yaitu Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah yakni sumber penyertaan modal
68
negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kekayaan negara berupa:107
a. Dana segar;
b. Barang milik negara;
c. Piutang negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas;
d. Saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas, dan/atau;
e. Aset negara lainnya
Dari kutipan isi Pasal/ayat di atas, dapat dijelaskan bahwa ketentuan pada Pasal 2
ayat (2) huruf d “saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas”
merupakan rincian dari sumber penyertaan modal negara yang berasal dari APBN
yang diantaranya adalah saham milik negara pada BUMN atau Perseroan
Terbatas;
Jadi jelas bahwa menurut Pasal 2 ayat (2) “saham milik negara pada BUMN atau
Perseroan Terbatas” merupakan bagian dari anggaran pendapatan dan belanja
negara. Namun, dalam Pasal 2A ayat (1) di Peraturan Pemerintah yang sama
diatur tanpa mekanisme APBN. Jadi dengan sendirinya ketentuan dalam Pasal 2A
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 bertentang dengan Pasal 2
ayat (2) di Peraturan Pemerintah yang sama.
Selain itu Pasal 2A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 juga
dianggap mengkerdilkan fungsi DPR RI. Dimana dalam Pasal 2A ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa penyertaan
modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada
BUMN atau Perseroan Terbatas kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain,
dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme APBN, maka dengan
sendirinya proses penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara
berupa saham milik negara pada BUMN tidak melalui proses pembahasan dan
persetujuan DPR RI sebagai lembaga representasi rakyat dan dianggap telah
menghilangkan peran dan fungsi DPR RI.
107 Pasal 2 ayat 2, Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan
dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara atau Perseroan Terbatas.
69
Pasal 2A sendiri juga dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor. 19
Tahun 2003 dimana dalam Pasal 2A ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor. 72
Tahun 2016 disebutkan bahwa “anak perusahaan BUMN sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal sebagai berikut:108
a. Mendapatkan penugasan Pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum,
dan/atau;
b. Mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau pemerintah, termasuk
dalam pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu
sebagaimana diberlakukan bagi BUMN.
Padahal dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 19 Tahun 2003 tentang
BUMN pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk
menyelenggarakan fungsi dan kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan
maksud dan tujuan kegiatan BUMN. Artinya, yang hanya dapat diberikan
penugasan khusus oleh pemerintah hanyalah BUMN sendiri.
Pasal 2A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 sendiri dianggap
juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara. Dimana dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016
disebutkan bahwa Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara
berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas kepada BUMN
atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui
mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. Padahal dalam Pasal 24 ayat
(2) Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2003 menyebutkan pemberian
pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman/hibah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD.
Dari seluruh Pasal yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun
2016. Pasal 2A lah yang paling banyak mengandung masalah hukum. Maka dari
itu, pemerintah perlu mensikapi hal ini secara hati-hati.
108 Pasal 2 ayat (7), Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 tentang Penyertaan dan
Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
70
B. Analisis.
1. Sistem Pengaturan Holding Company di Indonesia.
Kemakmuran rakyat harus menjadi keharusan dalam setiap penguasaan dan
pengusahaan sumber daya alam dan hal itu dituangkan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi, bahwa “bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Kemakmuran rakyat dalam konteks penguasaan sumber
daya alam harus mampu memberikan manfaat yang maksimal bagi seluruh rakyat
Indonesia yang merupakan bagian terpenting dari penguasaan sumber daya
alam.109 Dalam Pasal 33 ayat 2 secara jelas menerangkan bahwa cabang-cabang
produksi yang penting menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi, air, dan
kekayaan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari sini,
nampak jelas bahwa Indonesia merupakan negara kesejahteraan (welfare state).
Manfaat ekonomi diupayakan untuk sejalan pula dengan aspek sosial dan
lingkungan melalui upaya konservasi sumber daya alam. Prinsip keadilan antar
generasi meletakkan tiga kewajiban mendasar bagi generasi sekarang dalam
konservasi sumber daya alam, yaitu: (1) conservation of option, menjaga agar
generasi mendatang dapat memilih kuantitas keanekaragaman sumber daya alam,
(2), conservation of quality, menjaga kualitas lingkungan agar lestari, dan (3)
conservation of access, menjamin generasi mendatang minimal memiliki akses
yang sama dengan generasi sekarang atas titipan kekayaan alam ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa.
Kemakmuran rakyat dalam dimensi filsafat dilihat dalam perspektif pemikiran
Jeremy Bentham dalam filsafat utilitarinisme. Pengusahaan sumber daya alam
intergenerasi maupun antargenerasi, dapat dilihat melalui pemikiran Jeremy
Bentham dengan teori utilitarinisme. Pemikiran tentang utilitarisme ini lazim
digunakan dalam menganalisis kemanfaatan melalui kacamata filsafat.
109 Ahmad Redi, Hukum Sumber Daya Alam Dalam Sektor Kehutanan, Jakarta:Sinar Grafika,
Cetakan Pertama, 2014, hlm.39
71
Utilitarisme disebut pula teleologis, sebab menurut teori ini kualitas etis suatu
perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan perbuatan.110
Prinsip utilitarinisme dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam sangat
relevan digunakan sebagai landasan. Prinsip utilitarisme sangat mengedepankan
suatu kemanfaatan dari suatu pengaturan (hukum) akan berkorelasi dengan tujuan
bangsa Indonesia dalam aspek pengelolaan sumber daya alam sebagaimana
tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang menjadikan sumber daya alam digunakan untuk sebesar-esar
kemakmuran rakyat.
Prinsip “the greatest happines of the greatest number” merupakan pokok
pemikiran yang sangat relevan dengan kondisi Pemerintah Indonesia yang
membuka pintu pengusahaan pada sumber daya alam. Kembali pada Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 frasa
“dikuasai oleh negara” dan “sebesar-besar kemakmuran rakyat” merupakan frasa
doktrinal yang penting dalam pengusahaan (kegiatan usaha) kekayaan alam
Indonesia. Atas dasar pasal inilah kekayaan alam Indonesia harus dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk kebesaran rakyat Indonesia. Pada ayat (4) dan (5)
secara implisit menekankan pada pelaksanaan demokrasi ekonomi dan reformasi
pengelolaan BUMN serta peran dan partisipasi swasta.111
Sebagai usaha dalam merealisasikan Pasal 33 ayat (3) Pemerintah Indonesia
membentuk badan usaha dimana bertujuan untuk mengelola sumber daya alam
yang memiliki potensi strategis untuk dikelola dan menyejahterakan rakyat.
Badan Usaha inilah yang sering dikenal dengan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Atas dasar tersebut Pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor. 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara sebagai payung hukum atau dasar
hukum BUMN. Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa Badan Usaha Milik Negara
yang selanjutnya disebut BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
110 Ibid, hlm. 40. 111 Riant Nugroho dan Randy R. Wrihatnolo, Op.Cit, Hlm. 3.
72
Khusus untuk BUMN, pembinaan usaha diarahkan guna mewujudkan visi yang
telah dirumuskan. Paling tidak ada 3 visi yang saling terkait, yakni visi founding
fathers yang ada dalam UUD NKRI 1945, visi dari lembaga/badan pengelola
BUMN, dan visi masing-masing perusahaan BUMN. Kesemuanya ini ini hanya
dapat diterjemahkan dalam ukuran yang jelas untuk dijadikan pedoman dalam
pembinaan. 112
Lebih lanjut, Pasal 2 secara ayat (1) secara jelas menyatakan bahwa maksud dan
tujuan pendirian BUMN adalah:
a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada
umumnya;
b. Mengejar keuntungan;
c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat
hidup orang banyak;
d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan
oleh sektor swasta dan koperasi;
e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Memasuki tahun 1990, kinerja BUMN secara bisnis “dipertanyakan”. Kontribusi
BUMN dari dividen terhadap total penerimaan bukan pajak pada tahun anggaran
1990/1991 adalah Rp. 1.096 triliun terhadap Rp. 7,801 triliun menjadi Rp. 1,477
triliun terhadap Rp. 7,801 triliun. Artinya, jika pada 1990/1991 kontribusi dividen
BUMN terhadap penerimaan bukan pajak adalah 46%, pada 1995/1996
kontribusinya merosot menjadi 18,9% saja.113 Perolehan negara dari pajak
penghasilan BUMN terhadap total penerimaan pajak pada 1990/1991 adalah Rp.
1,438 triliun terhadap Rp. 20,52 triliun. Artinya, pada 1990/1991 kontribusinya
adalah 41,2%, dan lima tahun kemudian merosot menjadi 9,8% saja.
Bahkan Tanri Abeng, pernah mengukur hasil yang seharusnya diperoleh negara
dari mdoal investasi, katakan dengan rata-rata pengembalian (ROE) sebesar 20%
112 Riant Nugroho dan Randy R. Wrihatnolo, Op.Cit, Hlm. 2. 113 Ibid, Hlm. 14.
73
seperti halnya terjadi pada badan-badan usaha yang efisien, secara keseluruhan
BUMN justru membuat value destruction lebih dari Rp. 12,5 triliun per tahun.114
Sementara itu, per 31 Desember 1997, beberapa BUMN terlibat di banyak sektor
perekeonomian nasional, dengan total aset sebesar Rp. 461,6 triliun. Di antara 160
BUMN di bawah pengawasan kantor Menteri Negara Pendayagunaan BUMN, 74
perusahaan atau 42,6% termasuk dalam kategori baik dan baik sekali. Sementara
sisanya sebesar 53,8% berada pada kondisi kurang baik dan tidak baik, dengan
kondisi rata-rata tidak efisien. Indikasi lainnya adalah rendahnya tingkat Return
Of Investment (ROI) dan Return Of Equity (ROE). Rata-rata ROI dan ROE relatif
rendah 3,5% dan 9,6%. Keduanya jauh dibawah tingkat pengeluaran modal yang
normalnya 14% atau bahkan 60% pada kondisi yang semakin tertekan.115
Kinerja
Keuangan
1997
(a)
1998
(b)
b/a
(%)
Rp (miliar) % Rp (miliar) %
Pendapatan 52.647,0 100 81.649,8 100 155,2
Laba Usaha 8.532,0 16,2 17.668,6 21,6 207,1
Lb.Sbl.Pjk 9.072,9 17,0 17.614 21,5 194,1
Tabel 1.1 Kinerja Keuangan BUMN
Inefisiensi dalam tubuh BUMN sendiri terjadi atas berbagai faktor. Pertama,
bukan semata-mata kesalahan para profesional pengelolanya, namun karena
struktur organisasi dan keberadaannya yang tidak menguntungkan. Dengan berada
di bawah departemen teknis, otomatis terjadi kecenderungan dari para
pengelolanya untuk menjaga hubungan “ekstra baik” dengan pimpinan
departemen teknisnya daripada konsumennya. Ini tidak aneh karena pada akhirnya
penentuan siapa yang berhak menduduki posisi puncak dalam BUMN tidak lebih
banyak ditentukan oleh prestasi bisnis atau customernya, melainkan lebih kepada
departemen yang membawahinya.
114 Ibid, Hlm. 15. 115 Ibid, Hlm. 16.
74
Kedua, ada kecenderungan BUMN dijadikan cash-cow bagi pejabat tinggi
pemerintah dan para kroninya. Baik dengan mekanisme pemberian fasilitas
khusus, monopoli pemasaran, monopoli pasokan, bahkan sampai pada
kemungkinan adanya penyimpangan ketika BUMN tersebut dinyatakan merugi
dan kerugian itu dipulihkan sebagai penyertaan modal pemerintah.
Ketiga, lingkungan dalam organisasi BUMN sendiri memang tidak
memungkinkan bagi tumbuhnya semangat bersaing dan terus-menerus
mengembangkan kemampuan, baik secara perseorangan maupun kelembagaan.
Pertama, karena struktur organisasinya menjadi birokratis. Kedua, karena adanya
monopoli yang diberikan pemerintah dalam berbagai bentuk.116
Atas berbagai kondisi masalah yang terdapat dalam BUMN, berdasarkan
ketentuan Pasal 72 ayat (1) menyebutkan bahwa restrukturisasi dilakukan dengan
maksud untuk menyehatkan BUMN agar dapat beroperasi secara efisien,
transparan, dan profesional.117 Selanjutnya, dalam Pasal 72 ayat (2) disebutkan
bahwa restrukturisasi sendiri memiliki tujuan:
a. Meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan;
b. Memberikan manfaat berupa dividen dan pajak kepada negara;
c. Menghasilkan produk dan layanan dengan harga kompetitif kepada
konsumen; dan
d. Memudahkan pelaksanaan privatisasi;
Upaya restrukurisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam tubuh
BUMN haruslah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 4 ayat (6) yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara dalam
rangka pendirian atau penyertaan ke dalam BUMN dan/atau Perseroan Terbatas
yang sebagian sahamnya dimiliki oleh negara, diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
116 Ibid, Hlm. 17. 117 Pasal 72 ayat (1), Undang-Undang Nomor. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara.
75
Seperti yang sudah dijelaskan dalam melakukan upaya untuk merestrukturisasi
Pemerintah mengambil berbagai pola atau bentuk diantaranya adalah merger,
akuisisi, spin-off, likuidasi, dan holding company. Penulisan ini difokuskan pada
rekstrukturisasi dengan pola holding company. Maka pemerintah, membentuk
Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor. 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan Dan
Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara Dan Perseroan
Terbatas. Peraturan Pemerintah ini lazim dikenal dengan “PP Holding”.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2016 terdapat Pasal yang diubah dan
ditambahkan terkait penyertaan modal negara dalam proses restrukturisasi yaitu:
a. Ketentuan angka 8 Pasal 1 diubah menjadi:
Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan pengadministrasian penyertaan
negara dalam BUMN dan Perseroan Terbatas.
b. Pada ketentuan ayat (2) dan ayat (3) terdapat perubahan di mana sumber
penyertaan modal negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara di mana bukan berasal dari proyek-proyek yang dibiayai oleh
APBN tapi berasal dari saham milik negara pada BUMN atau Perseroan
Terbatas.
c. Diantara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) Pasal yakni Pasal 2A
yaitu:118
Pasal 2A
1. Penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa
saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau
Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa
melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
2. Dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dijadikan
penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian besar
118 Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan
Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
76
saham dimiliki oleh BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak
perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham
dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar.
3. Kekayaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang
dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN atau Perseroan
Terbatas, bertransformasi menjadi saham/modal negara pada BUMN
atau Perseroan Terbatas tersebut.
4. Kekayaan negara yang bertransformasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), menjadi kekayaan BUMN atau Perseroan Terbatas.
5. Kepemilikan atas saham/modal negara pada BUMN atau Perseroan
Terbatas dicatat sebagai investasi jangka panjang sesuai dengan
presentase kepemilikan Pemerintah pada BUMN atau Perseroan
Terbatas.
6. Anak perusahaan BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
kepemilikan sebagian besar saham tetap dimiliki oleh BUMN lain
tersebut.
7. Anak perusahaan BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal sebagai berikut:
a. Mendapatkan penugasan Pemerintah atau melaksanakan pelayanan
umum; dan/atau
b. Mendapatkan kebijakan khusus negara/atau Pemerintah, termasuk
dalam pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu
sebagaimana diberlakukan bagi BUMN.
Secara aspek hukum penulis berpendapat, ada dua substansi yang menjadi fokus
utama dari Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016. Pertama, yaitu
memperjelas dan mempertegas proses pembentukan holding BUMN.
Mempertegas dan memperjelas bahwa penyertaan modal ke BUMN atau
Perseroan Terbatas (yang sudah ada saham milik negara) dapat dilakukan dengan
mengalihkan saham pada BUMN lain. Selama ini “saham” sebagai salah satu
sumber penyertaan modal dikategorikan dalam “aset negara lainnya”. Ketentuan
ini bukan merupakan hal baru karena hanya memperjelas dan mempertegas dasar
hukum pembentukan holding yang selama ini menjadi pegangan Pemerintah.
77
Pengalihan saham menjadi kewenangan pemerintah tanpa melalui mekanisme
APBN, karena pada saat pertama menjadi saham, sudah melalui APBN, sehingga
statusnya menjadi “kekayaan negara dipisahkan”. Dalam Penjelasan Pasal 4
Undang-Undang Nomor 19. Tahun 2003 tentang BUMN disebutkan bahwa
kekayaan negara dipisahkan tidak lagi mengikuti mekanisme APBN. Disamping
itu, pengalihan saham tidak menyebabkan jumlah saham negara berkurang secara
absolute dalam catatan neraca Pemerintah Pusat. Ketentuan ini bukan merupakan
hal baru karena hanya memperjelas dan mempertegas dasar hukum pembentukan
holding yang selama ini menjadi pengangan Pemerintah.
Kedua, mengatur kontrol negara kepada BUMN menjadi anak perusahaan holding
BUMN. Pengaturan mengenai kontrol negara atas BUMN yang menjadi anak
perusahaan holding BUMN dimana negara tetap memiliki saham dengan hak
istimewa saham serie A dwiwarna dengan hak untuk menyetujui antara
lain:pengangakatan anggota direkasi dan anggota komisaris, perubahan anggaran
dasar, perubahan struktur kepemilikan saham, penggabungan, peleburan,
pemisahan, pembubaran, serta pengambil alihan perusahaan oleh perusahaan lain.
Kontrol juga dilakukan dalam mempertegas bahwa BUMN induk harus tetap
memiliki saham mayoritas di anaknya yang eks BUMN.
Dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 dianggap dapat
menjual kepemilikan saham kepada pihak swasta. Akan tetapi, penulis melihat
bahwa konsep penjualan dan pengalihan saham adalah dua hal yang berbeda.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa penjualan adalah proses, cara,
atau perbuatan menjual.119 Sementara pengalihan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah proses, cara, perbuatan mengalihkan; pemindahan; penggantian;
penukaran; pengubahan. Maka, berdasarkan pengertian tersebut jika ada yang
berpendapat bahwa Peraturan Pemerintah tersebut dijadikan sebagai alat legalisasi
pemerintah untuk menjual aset negara kepada swasta.
119 pengalihan/peng·a·lih·an/ n proses, cara, perbuatan mengalihkan; pemindahan;
penggantian; penukaran; pengubahan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
78
Penulis melihat bahwa jika terjadi penjualan saham, maka ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 ini tidak bisa dijadikan sebagai
payung hukum untuk menjual aset negara dalam hal ini BUMN ke pihak swasta.
Apabila pemerintah ingin menjual aset negara dalam hal ini privatisasi maka dasar
hukum yang digunakan adalah Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor. 17
tahun 2003 tentang Keuangan Negara yaitu Pemerintah Pusat dapat melakukan
penjualan dan/atau privatisasi perusahaan negara setelah mendapat persetujuan
DPR120, Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor. 19 Tahun 2003 tentang
BUMN yang menyatakan terhadap perusahaan yang telah diseleksi dan memenuhi
kriteria yang telah ditentukan, setelah mendapat rekomendasi dari Menteri
Keuangan, selanjutnya disosialisasikan kepada masyarakat serta dikonsultasikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat.121 Selanjutnya yang mengatur tentang
ketentuan privatisasi adalah Peraturan Pemerintah Nomor. 33 Tahun 2005 yang
menyebutkan bahwa untuk membahas dan memutuskan kebijakan tentang
privatisasi sehubungan dengan kebijakan lintas sektoral, pemerintah membentuk
sebuah Komite Privatisasi sebagai wadah koordinasi.122 Dalam aturan tersebut
dinyatakan jelas bahwa ketika pemerintah ingin melakukan suatu proses
privatisasi atau penjualan saham kepada pihak swasta haruslah melibatkan Komite
Privatisasi dan Persetujuan DPR RI.
Hal ini merupakan ketentuan baru untuk menjaga eksistensi atau kontrol
pemerintah terhadap BUMN yang menjadi anak perusahaan holding BUMN yang
selama ini belum diatur. Penegasan bahwa BUMN menjadi anak perusahaan
holding BUMN, tetap diperlakukan sama dengan BUMN antara lain:
mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau pemerintah, termasuk dalam
pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagimana
diberlakukan bagi BUMN antara lain terkait dengan proses dan betuk perizinan,
hak untuk memperoleh HPL, kegiatan perluasan lahan dan/atau keikutsertaan
dalam kegiatan-kegiatan kenegaraan atau pemerintah yang melibatkan BUMN.
120 Pasal 24 ayat (5), Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 121 Pasal 82 ayat (2), Undang-Undang Nomor. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. 122 Pasal 10 ayat (1), Peraturan Pemerintah Nomor. 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi
Perusahaan Perseroan (Persero).
79
Secara aspek ekonomis penulis melihat pembentukan holding merupakan sesuatu
yang dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas kinerja perusahaan dan
menciptakan nilai tambah dalam perusahaan. Sebagai contoh dalam holding di
sektor semen, Pada tahun 1974 hanya ada tiga perusahaan semen di pasar
Indonesia yaitu Semen Padang, Semen Gresik, dan Semen Tan Long. Namun
pada, tahun berikutnya, kapasitas produksi tersebut turun karena ketiga pabrik
tersebut kalah bersaing dengan pabrik semen swasta. Hal ini dilatarbelakangi
karena pemerintah pada saat itu pemerintah tidak memiliki modal untuk
menambah pabrik. Maka, atas problem tersebut pemerintah menginbrengkan atau
mengalihkan saham kepemilikan pada PT. Semen Padang dan PT. Semen Tan
Long pada PT. Semen Gresik dan menunjuk PT. Semen Gresik yang sekarang
berubah nama menjadi PT. Semen Indonesia sebagai induk perusahaan.
Gambar 1.1. Produksi Semen Indonesia.
Dalam gambar 1.4 terlihat peningkatan produksi pada sektor semen setelah
terjadinya proses holding company dalam PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk,
80
PT. Semen Padang (Persero) Tbk, dan PT. Semen Tan Long (Persero) Tbk.
Penulis melihat jika proses holding diterapkan dengan tepat maka akan mengatasi
inefisiensi kinerja dalam perusahaan dan menciptakan nilai tambah. Akan tetapi,
jika konsep holding itu sendiri gagal, maka pembentukan holding akan menambah
birokrasi dan memperpanjang rantai keputusan dan juga biaya.
Penulis melihat, dengan penerapan konsep holding pada sektor semen yang
tergolong berhasil. Hal ini dikarenakan makin meningkatnya kapasitas produksi
maka penulis melihat konsep holding yang akan diterapkan ke dalam sektor
tambang, perbankan, migas, infrastruktur, perumahan akan berhasil akan tetapi
dengan syarat pemerintah berhitung secara matang terkait konsep holding pada
setiap sektor. Pembentukan holding sendiri hanya akan bermanfaat jika
peningkatan efisiensi dan biaya adanya sinergi akibat economic of scale. Jika
tidak ada penurunan biaya, peningkatan pendapatan, maka pembentukan holding
dapat dikatakan gagal.
Sebelum terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 pengaturan aspek
hukum mengenai holding company masih minim dan dianggap sumir. Dengan
adanya Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 ini membuat holding
company memiliki payung hukum. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016
ini juga disebut sebagai “PP holding” karena PP ini sendiri merupakan perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan
dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan
Terbatas dinilai tidak cukup mengatur tentang inisiasi pembentukan holding
sektoral di Indonesia.
Saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas pada hakikatnya
merupakan kekayaan negara yang sudah dipisahkan dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, sehingga pengalihan saham dimaksudkan untuk dijadikan
penyertaan BUMN atau Perseroan Terbatas tidak dilakukan melalui mekanis
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.123 Untuk menjaga tidak lepasnya anak
123 Penjelasan Pasal 2A ayat 1, Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
81
perusahaan tersebut dalam hal dugaan privatisasi oleh negara terhadap BUMN
pada Pasal 6 disebutkan bahwa kepemilikan sebagian besar saham tetap dimiliki
oleh BUMN yang dijadikan holding.124
Kepemilikan mayoritas yang dimaksudkan adalah bahwa BUMN Induk tetap
memiliki lebih dari 50% saham pada perusahaan anak eks BUMN. Hal ini
berguna agar negara tetap dapat melakukan kontrol melalui BUMN Induk serta
terkait pula dengan perlakuan anak perusahaan disamakan dengan BUMN.
Perlakuan khusus ini yaitu adalah proses dan bentuk perizinan, hak untuk
memperoleh HPL, kegiatan perluasan lahan dan/atau keikutsertaan dalam kegiata-
kegiatan kenegaraan yang melibatkan BUMN. Negara memiliki saham dengan
hak istimewa pada anak perusahaan dari BUMN Induk sebagaimaa yang
dimaksud dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar antara lain ialah
hak untuk menyetujui:125
a. Pengangkatan anggota direksi dan anggota komisaris;
b. Perubahan anggaran dasar;
c. Perubahan struktur kepemilikan saham;
d. Penggabungan, peleburan, pemisahan, dan pembubaran, serta pengambil
alihan perusahaan oleh perusahaan lain.
Kegiatan restrukturisasi holding sendiri dimaksudkan untuk memperbaiki struktur
permodalan seperti pengurangan presentase kepemilikan saham oleh negara
sebagai akibat pengeluaran saham baru yang tidak diambil bagian oleh negara
(dilusi), pergeseran atau pengalihan saham milik negara pada BUMN atau
Perseroan Terbatas kepada BUMN sebagai penyertaan modal negara anta lain
dalam rangka pembentukan perusahaan induk BUMN (holding). Perbedaan
pembentukan holding pada BUMN dan BUMS adalah payung hukum, jika dalam
proses pembentukan holding BUMS hanya berdasarkan keputusan RUPS maka,
124 Penjelasan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 tentang tentang Tata Cara
Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
82
pembentukan holding dalam BUMN haruslah menggunakan payung hukum yaitu
Peraturan Pemerintah.
2. Pembentukan Holding Company pada BUMN dengan Studi Kasus
Holding BUMN pada sektor Infrastruktur.
Pembentukan Holding Infrastruktur oleh Pemerintah merupakan bagian dari
Rightsizing policy. Rightsizing merupakan salah satu cara untuk mendapatkan
jumlah dan skala BUMN yang lebih ideal dengan mengadakan
regrouping/konsolidasi BUMN secara sektoral untuk mematahkan kembali jumlah
masing-masing BUMN sektoral tersebut.126
Jika induk Perseroan disebut dengan holding, maka proses pembentukan holding
dapat dilakukan dengan tiga prosedur yaitu:127
a. Prosedur terprogram, perusahaan holding telah direncanakan sejak awal
bisnis.
b. Prosedur residu,perusahaan besar dengan berbagai unit bisnis, dipecah
sesuai sektor usahanya, dibuat entitas baru yang mandiri. Sisanya residu
masih dalam perusahaan asal, dijadikan holding.
c. Prosedur penuh, ini dilakukan kepada sekumpulan perusahaan dengan
kepemilikan yang sama, tidak terkonsentrasi dalam suatu perusahaan
induk prosedur penuh paling sesuai untuk BUMN saat ini.
Dalam prosedur penuh, perusahaan yang menjadi holding dibentuk dengan cara:
a. Memilih salah satu dari kumpulan perusahaan tadi untuk dijadikan
holding. Holding ini seperti biasa disebut holding operasional, karena
BUMN ini selalu membawahi BUMN lainnya, juga masih terbebani
dengan operasi bisnisnya sendiri. Biasanya BUMN ini yang dipilih sebagai
holding adalah perusahaan yang paling sehat, atau kepemilikannya 100%
dikuasai oleh pemerintah.
b. Membentuk satu perusahaan baru untuk dijadikan holding. Biasa disebut
holding finansial, karena pendapatan utamanya berasal dari dividen anak
126 Dwi Soetjipto, Op.Cit, Hlm. 22. 127 Munir Fuady, Op.Cit, Hlm. 84
83
perusahaan. Holding ini akan mengatur strategi investasi, kordinasi dan
sinergi diantara anak-anak perusahaannya. Karena setiap entitas juga harus
berbisnis, maka bisnis entitas baru ini (yang menjadi holding), adalah
bisnis jasa yang menunjang penguatan anak perusahaan, seperti advisor
bagi perusahaan, pelatihan dan lainnya.
c. Mengakusisi perusahaan lain yang bisnisnya memiliki keterkaitan, untuk
dijadikan holding. Proses ini lebih rumit untuk BUMN, mengingat
pemangku kepentingan di BUMN sangat luas. Banyak aspek yang harus
dilalui untuk melakukan aksi korporasi.
Pemerintah saat ini sedang gencar untuk membentuk holding, seperti yang
diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo bahwa holding ini bertujuan untuk
menciptakan BUMN yang kuat, lincah, dan mampu bersaing dengan perusahaan-
perusahaan luar. Holding sendiri akan dibentuk secara sektoral yaitu
dikelompokkan dan dipilih induk perusahaan sesuai dengan jenis dan kegiatan
usahanya yang sama. Holding itu akan terdiri dari sektor minyak dan gas,
pertambangan, perbankan, perumahan, infrastruktur, dll.
Gambar 1.2. Roadmap Holding Company pada Sektor Infrastruktur.
84
Gambar 1.1 adalah struktur holding dalam infrastruktur, dimana nantinya
pemerintah berencana akan menunjuk PT. Hutama Karya sebagai induk
perusahaan. Dipilihnya PT Hutama Karya sebagai induk perusahaan bukan tanpa
alasan, hal ini disebabkan PT Hutama Karya memiliki kinerja yang baik dan
keuangan yang sehat serta kepemilikan negara 100% dalam saham PT Hutama
Karya.
Group holding infrastruktur ini sendiri akan dianggotai oleh PT. Waskita Karya
(Persero) Tbk, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, PT
Indra Karya (Persero) Tbk, PT Yodya Karya (Persero) Tbk.128 Untuk proses
pembentukan holding nantinya, PT Hutama Karya akan mengakuisi saham PT
Waskita Karya sebesar 65%, PT Wijaya Karya sebesar 70%, PT Jasa Marga
sebesar 70% dan saham PT Indra Karya dan PT Yodya Karya masing-masing
sebesar 100%.
No Pemegang Saham Presentase (%)
1 Negara Republik Indonesia/ GOI 70.00
2 BPJS Ketenagakerjaan –JHT 2.87
3 BNYM SA/NV AS Cust Of Employees Provident Fund-2039844119 2.85
4 PT TASPEN (PERSERO) – THT 0.56
5 BBH BOSTON S/A VANGRD EMG MKTS STK INFD 0.53
6 BPJS KETENAGAKERJAAN – JKK 0.41
7 GIC S/A GOVERNMENT OF SINGAPORE 0.37
8 RD PREMIER ETF INDO STATE- OWNED COMPANI 0.36
9 JPMCB NA RE-VANGUARD TOTAL INTERNATIONAL 0.35
10 PT AIA FINL - UL EQUITY 0
Gambar 1.2 Struktur Kepemilikan Saham Pada PT. Jasa Marga (Persero)
Tbk.
Gambar 1.2 merupakan struktur kepemilikan saham dalam PT. Jasa Marga
(Persero) Tbk. Dapat dilihat bahwa negara, menguasai 70% persen saham yang
terdapat dalam PT. Jasa Marga. Saham sebesar 70% inilah yang akan
diinbrengkan atau dialihkan kepemilikannya terhadap PT. Hutama Karya
128 https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3514136/kapan-holding-bumn-konstruksi-
dan-perumahan-dibentuk. Diakses pada tanggal 20-05-2018, pukul 17:02.
85
sehingga saham 70% tadi akan menjadi milik PT. Hutama Karya dan PT. Hutama
Karya akan menjadi pemegang saham mayoritas dalam PT. Jasa Marga.
Gambar 1.2 Struktur Kepemilikan Saham Pada PT. Waskita Karya
(Persero) Tbk.
Gambar 1.3. Struktur Kepemilikan Saham Pada PT.Waskita Karya
(Persero) Tbk.
Gambar 1.3 adalah struktur kepemilikan saham dalam PT. Waskita Karya. Dalam
tabel terlihat bahwa Pemerintah Republik Indonesia memegang saham sebesar
86
hampir 70% atau lebih tepatnya 66,04%. Dengan pembentukan holding ini,
kepemilikan saham negara sebesar 66,04% akan diinbrengkan atau dialihkan
berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 terhadap PT.
Hutama Karya yang menjadikan PT. Hutama Karya pemilik saham mayoritas
terhadap PT. Waskita Karya.
Owners Percentage of Ownership
Government of the Republic Indonesia 65%
Public 35%
Gambar 1.4 merupakan Struktur Kepemilikan Saham Dalam PT. Wijaya
Karya.
Sementara itu dalam 3 perusahaannya yaitu PT. Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT.
Yodya Karya (Persero) Tbk, dan PT Indra Karya (Persero) Tbk. Negara dalam hal
ini Pemerintah Republik Indonesia masing-masing memiliki saham sebesar 65
persen, 100 persen penuh, dan 100 persen penuh. Maka dengan proses
pembentukan holding infrastruktur. Kepemilikan saham tersebut akan
diinbrengkan kepada PT. Hutama Karya sebagai induk perusahaan, sehingga PT.
Hutama Karya akan menjadi pemegang saham mayoritas dalam struktur
kepemilikan saham masing-masing perusahaan.
Atas proses pembentukan holding berdasarkan akusisi tersebut. Penulis
berpendapat bahwa, pengambilalihan sendiri dilakukan dengan cara pengambil
alihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh Perseroan
melalui Direksi Perseroan atau langsung dari pemegang saham.129 Pasal 125 ayat
2 Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
menjelaskan bahwa pengambil alihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau
perorangan. Dan dalam hal ini PT. Hutama Karya selaku badan hukum
mengambil alih kepemilikan saham dari Perseroan yang menjadi anggota holding
yakni PT Waskita Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, PT Wijaya
Karya (Persero) Tbk, PT Yodya Karya (Persero) Tbk, PT Indra Karya (Persero)
Tbk.
129 Pasal 125 ayat 1, Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
87
Maka, akibat hukum dalam proses pengambil alihan selanjutnya diatur dalam
Pasal 125 ayat 3 Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 2007 yang menyebutkan
bahwa pengambil alihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambil
alihan saham yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan
tersebut. Apabila Pasal ini dikaitkan dengan holding infrastruktur maka, PT
Hutama Karya selaku badan hukum yang mengakusisi kelima PT yang sudah
disebutkan diatas menjadi induk perusahaan yang mempunyai kontrol terhadap
kelima perusahaan yang sudah diakuisisi tersebut.
Jika ditinjau lebih lanjut dengan pengaturan aspek hukum Peraturan Pemerintah
Nomor. 72 Tahun 2016. Maka, dalam Pasal 2A ayat 2 menyebutkan bahwa dalam
hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dijadikan penyertaan modal negara pada
BUMN lain sehingga sebagian besar saham dimiliki oleh BUMN lain, maka
BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib
memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar.130
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah yang sama, maka negara masih tetap
memiliki kontrol terhadap kelima anak eks BUMN yang sahamnya dialihkan ke
PT. Hutama Karya. Hal ini dikarenakan negara masih memiliki saham serie A dan
yang dialihkan adalah saham serie B.
Di dalam Pasal 2A ayat 2 tersebut ada frasa “negara wajib memiliki saham
dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar”. Frasa yang dimaksud
hak istimewa kemudian diatur dalam penjelasan Pasal 2A ayat 2 yaitu yang
dimaksud dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar antara lain
untuk menyetujui:131
a. Pengangkatan anggota direksi dan anggota komisaris;
b. Perubahan anggaran dasar;
c. Perubahan struktur kepemilikan saham;
130 Pasal 2A ayat 2, Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan
dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. 131 Penjelasan Pasal 2A ayat 2, Peraturan Pemerintah Nomor. 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara atau Perseroan Terbatas.
88
d. Penggabungan, peleburan, pemisahan, dan pembubaran, serta pengambil
alihan perusahaan oleh perusahaan lain.
Maka, dalam hal ini PT Hutama Karya sebagai pihak yang mengakuisisi saham
BUMN lain yakni kelima Perseroan tersebut berhak untuk menentukan susunan
atau komposisi direksi, komisaris, melakukan perubahan anggaran dasar dan
penggabungan, peleburan, pemisahan atas kelima Perseroan tersebut.
Tujuan utama dibentuknya holding infrastruktur pertama, adalah untuk melakukan
percepatan pembangunan jalan tol. Dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun
2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dari 255 proyek
strategis yang tertera dalam balam beleid itu, 47 proyek merupakan jalan tol dan
ditargetkan dapat terbangun sepanjang 1.000 km pada tahun 2019 atau rata-rata
harus sepanjang 200 km pertahun. Kedua, memastikan bisnis model yang
sustainable dan self-financed dan ketiga menjadi regional champion.132
Melihat analisa diatas sesuai dengan penjabaran holding company pada bab
sebelumnya penulis melihat bahwa, model holding company yang diterapkan
dalam komposisi ini adalah dengan menunjuk salah satu Perseroan yang memiliki
kinerja baik selain itu kepemilikan penuh negara pada Perseroan ini menjadikan
landasan kuat pemerintah untuk menunjuk PT Hutama Karya sebagai induk
perusahaan.
Langkah selanjutnya PT. Hutama Karya melakukan akuisisi terhadap lima
perusahaan yakni PT Waskita Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk,
PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Yodya Karya (Persero) Tbk, PT. Indra Karya
(Persero) Tbk. Langkah akuisisi yang dilakukan oleh PT. Hutama Karya
menjadikan PT Hutama Karya memegang komposisi lebih dari 51% saham dalam
setiap Perseroan. Atas hal tersebut, memudahkan PT Hutama Karya untuk
mengendalikan kelima anak perusahaan tersebut.
Jika ditinjau dari jenisnya maka, penerapan holding yang dipimpin oleh PT
Hutama Karya adalah operating holding company, dimana induk perusahaan
132 Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Progres Roadmap BUMN Dalam Rangka Penciptaan
Nilai Tambah dan Kemandirian Keuangan yang Bekelanjutan, 2015, hlm. 17
89
dalam hal ini PT Hutama Karya menjalankan kegiatan usahanya dan
mengendalikan kelima anak perusahaan tersebut agar dapat saling bersinergi.
Operating holding company sendiri dibagi ke dalam berbagai model grup usaha
yaitu, grup usaha horizontal, grup usaha, kombinasi, dan grup usaha vertikal.
Melihat group yang terdapat dalam holding infrastruktur, grup usaha ini
merupakan grup usaha vertikal dimana jenis usaha masing-masing perusahaan
masih tergolong serupa, hanya produk yang dihasilkan saja berbeda, sebagai
contoh PT Waskita Karya, PT Wijaya Karya dan PT Hutama Karya bergerak di
bidang Construction sementara PT Indra Karya dan PT Yodya Karya bergerak di
sektor Consulting Engineers sementara PT Jasa Marga bergerak di bidang Toll
Operation.
Ditinjau dari segi keterlibatan equity atau melihat sampai sejauh mana holding
company terlibat dalam saham ada berbagai macam diantaranya holding company
afiliasi, holding company non kompetitif, holding company kombinasi dan
holding company subsidiary. Jika, melihat struktur kepemilikan saham PT
Hutama Karya dalam setiap Perseroan maka dapat dikategorikan bahwa ini
merupakan salah satu holding company susidiary, holding subsidiary sendiri
adalah holding dimana suatu Perseroan memegang 51% saham perusahaan
anaknya dalam hal ini kelima perusahaan tersebut.
3. Dampak Pembentukan Holding Company pada BUMN di
Indonesia.
Banyak aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam pembentukan holding
company. Karena pada dasarnya masing-masing Perseroan baik sebagai anak
perusahaan maupun sebagi holding company merupakan suatu “legal entity”
tersendiri maka tanggung jawab mereka ditentukan oleh masing-masing kesatuan
hukumnya. Sebagai badan usaha yang berbentuk Perseroan terbatas sendiri-
sendiri, maka masing-masing terlepas satu dengan yang lainnya dalam hal
tanggung jawab terhadap pihak ketiga sebatas harta yang dimiliki oleh Perseroan
yang bersangkutan sebagai badan hukum.
90
Karena masing-masing anak perusahaan maupun dengan holding company
terpisah badan hukumnya, maka jika ada tuntutan hukum terhadap anak
perusahaan, tuntutan itu tidak dapat ditujukan kepada anak perusahaan yang lain
atau terhadap holding company nya. Demikian pula sebaliknya. Berbagai
permasalahan akan timbul dalam pembentukan holding diantaranya adalah.133
Pertama, mengenai perlindungan kepentingan karyawan. Perlindungan
kepentingan karyawan. Perlindungan ini menyangkut misalnya hak-hak karyawan
dalam hal terjadinya kepailitan atas suatu anak perusahaan dan akan terjadi
pemutusan hubungan kerja. Untuk hal-hal seperti itu perlu ada kejelasan
(disclosure) agar semuanya menjadi jelas dan transparan misalnya kemungkinan
karyawan yang bersangkuran “ditampung anak perusahaan lain atau holding nya.
Kedua, adalah menyangkut perlindungan pihak kreditur. Karena masing –masing
perusahaan dalam suatu holding company merupakan badan hukum yang terpisah
pihak kreditur dapat mengantisipasi dengan mengatur secara tegas dalam kontrak
mengenai perluasan tanggung jawab terhadap pihak lain. Misalnya ditegaskan
dalam kontrak bahwa anak perusahaan lain dalam group yang sama atau bahkan
pengurusnya menjadi corporate guarantor atau personal guarantor yang akan
ikut bertanggung jawab jika terjadi wanprestasi. 134
Masalah lain yang kiranya perlu diatur lebih lanjut, dalam peraturan perundang-
undangan untuk melindungi kreditur adalah dalam hal suatu holding company
yang menerapkan sistem sentralisasi secara ketat. Jika ini terjadi, akan adil jika
holding company juga dapat diminta tanggung atas perbuatan atas anak
perusahaannya yang merugikan pihak lain. Hal seperti ini di Jerman misalnya
disebut sebagai tanggung jawab untuk seluruhnya dan tanggung jawab bersama
(joint and several). Demikian pula kalau misalnya anak perusahaan”terpaksa”
melakukan suatu perbuatan karena “dorongan” holding nya atau perusahaan
holding memperoleh “manfaat secara langsung” dari perbuatan tersebut. Tentu
dalam hal ini tidak adil jika anak perusahaan tersebut bertanggung jawab sendiri.
133 Ahmad Yani dan Gunawan Widjadja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas,
Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2000, Hlm. 156. 134 Ibid, Hlm. 156.
91
Ketiga adalah, dalam hal induk perusahaan gagal menempatkan modal saham
terhadap anak perusahaan sementara anak perusahaan yang bersangkutan terlibat
dalam kegiatan besar dan beresiko tinggi. Dalam hal seperti ini juga wajar kalau
induk perusahaan tersebut dimintakan tanggung jawabnya. Demikian pula dalam
hal terjadi kepailitan atas anak perusahaan.135 Patut diduga penyebabnya adalah
kesalahan manajemen induk perusahaan juga berpengaruh terhadap anak
perusahaannya. Jadi tidak adil kalau hanya anak perusahaan yang bertanggung
jawab sendiri.
Keempat, perlu adanya perlindungan kepentingan saham minoritas yang tentu
posisinya lemah dari kesewenangan pemegang saham mayoritas. Misalnya ada
upaya transfer keuntungan dari anak perusahaan ke anak perusahaan lain yang
merugikan pemegang saham minoritas.136
Pembentukan holding company sendiri harus disikap dengan penuh hati-hati. Hal
ini bukan tanpa sebab, berbagai masalah dapat muncul akibat dari pembentukan
holding ini mulai dari faktor internal hingga faktor eksternal. Melihat dari
kacamata internal BUMN sendiri akan ada berbagai faktor yang akan
menimbulkan masalah hukum. Berkaitan dengan status pegawai BUMN. Kondisi
seperti ini bisa saja terjadi ketika pola merger yang dilakukan melahirkan satu
badan hukum BUMN baru sementara badan hukum yang lama menjadi hilang.
Selain itu adalah dengan perusahaan itu sendiri khususnya mengenai status
tertentu ketika badan hukum tertentu “hilang” pasca dilakukan merger. Potensi
ketiga adalah berkaitan dengan rezim perizinan. Hal ini juga mesti diperhatikan
lantaran aspek perizinan cukup krusial bagi kelangsungan perusahaan terutama
BUMN. Pokok permasalahannya adalah apakah izin-izin yang telah dikantongi
sebelum dilakukan merger tetap berlaku pasca dilakukan merger.
Dari kacamata eksternal, Pembentukan Holding Company yaitu menggabungkan
beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam satu induk usaha
sesungguhnya melanggar hukum. Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha,
holding pada BUMN pada dasarnya melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun
135 Ibid. 136 Ibid.
92
1999 tentang Persaingan Usaha. KPPU berpendapat bahwa pembentukan ini
sebetulnya bisa dibuktikan karena pada prinsipnya ini adalah rule of reason.
Prinsip rule of reason sendiri dapat diidentifikasikan sebagai “yang dapat
mengakibatkan”. Kata-kata tersebut menyiratkan, bahwa apakah suatu tindakan
dapat menimbulkan praktek monopoli yang bersifat menghambat persaingan
dapat dibuktikan.
Dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ada hal yang tidak diperbolehkan
yaitu adalah:137
a. Perjanjian yang dilarang yang berupa;
1. Penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa (perjanjian
oligopoli)
2. Penetapan harga atau mutu suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar
oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama,
penetapan harga secara diskriminatif terhadap barang dan atau jasa yang
sama untuk pembeli yang berbeda, penetapan harga di bawah harga pasar
dan larangan menjual kembali barang atau jasa yang dibeli dengan harga
yang lebih rendah daripada harga yang lebih rendah daripada harga yang
telah diperjanjikan (perjanjian penetapan harga).
3. Pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau
jasa (perjanjian pembagian wilayah).
4. Penghalangan untuk melakukan usaha yang baik untuk tujuan pasar dalam
negeri maupun luar negeri. Penolakan penjualan setiap barang dan jasa
(perjanjian pemboikotan).
5. Pengaturan produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa untuk
mempengaruhi harga (perjanjian kartel).
6. Pembentukan gabungan perusahaan atau Perseroan yang lebih besar
dengan tetap menjaga atau mempertahankan kelangsungan hidup masing-
masing perusahaan atau Perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk
137 Abdul R.Saliman, Hermansyah dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis untuk Perusahaan,
Jakarta:Prena Media, 2005, Hlm. 207-208.
93
mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa
(perjanjian trust).
7. Penguasaan pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat
mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan
(perjanjian oligopoli).
8. Penguasaan produksi sejumlah produk yang termasuk ke dalam rangkaian
produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian
produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam
suatu rangkaian langsung maupun tidak langsung (perjanjian integrasi
vertikal).
9. Persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya
memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut
kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu; persyaratan bahwa
pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali
barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu atau pada tempat
tertentu; persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa
tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lainnya dari
pemasok; penentuan harga atau potongan harga tertentu denganpersyaratan
harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pemasok atau tidak
akan membeli barang dan atau jasa yang sejenis dari pesaing pemasok
(perjanjian tertutup).
10. Perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat (perjanjian dengan pihak luar negeri).
b. Kegiatan yang dilarang.
Kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat juga dilarang Undang-Undang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat yang meliputi:138
138 Ibid.
94
1. Penguasaan atas produksi dan pemasran barang atau jasa kegiatan
(monopoli).
2. Penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan
jasa dalam pasar bersangkutan (kegiatan monopsoni).
3. Penolakan atau penghalangan pengusaha tertentu untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; penghalangan
konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya tidak melakukan
hubungan usaha dengan pengusaha pesaing; pembatasan peredaran
atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; praktik
monopoli terhadap pengusaha tertentu; jual rugi atau penetapan harga
yang sangat rendah utuk menyingkirkan atau mematikan usaha
pesaingnya di pasar yang bersangkutan; dan kecurangan dalam
menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian
dari komponen harga barang dan atau jasa (kegiatan penguasaan
pasar).
4. Persengkokolan dengan pihak lain untuk mengatur dan menentukan
pemenang tender dan atau mendapatkan informasi kegiatan usaha
pesaingnya diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan dan atau
menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku
usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang
ditawarkan atau dipasok di pasar yang bersangkutan menjadi
berkurang, baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang
dipersyaratkan (kegiatan persengkokolan).
c. Posisi Dominan
Posisi Dominan dapat pula mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan atau persaingan usaha yang tidak sehat. Karena itu, posisi dominan
sebagaimana diatur dalam ketentan Pasal 25 sampai 29 Undang-Undang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat juga
dilarang.
95
Dalam ketentuan Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat juga dilarang ditentukan
bahwa pelaku usaha memiliki potensi dominan apabila;139
1. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50%
atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu.
2. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usuaha menguasai
75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu.
Sementara itu, posisi dominan bisa timbul melalui hal-hal berikut ini:
1. Jabatan rangkap pada lebih dari satu perusahaan dalam pasar
bersangkutan yang sama atau memiliki keterkaitan yang erat dalam
bidang dan jenis usaha atau sevara bersama-sama menguasai pangsa
pasar produk tertentu (Pasal 26).
2. Pemilikan saham mayoritas pada perusahaan sejenis dengan bidang
usaha yang sama dan pasar yang sama (Pasal 27).
3. Pemilikan saham mayoritas pada perusahaan sejenis bidang usaha
yang sama dan pasar yang sama (Pasal 27).
4. Penggabungan, peleburan, dan pengambil alihan (Pasal 28 dan Pasal
29).
Dalam beberapa kesempatan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
menilai, pembentukan holding company atau penggabungan yang tengah digodok
Kementerian BUMN berpotensi mencederai persaingan usaha. Tresna Soemardi,
Anggota Komisioner KPPU menyatakan bahwa “holding itu pasti sangan
berpotensi, karena kan menjadi besar, kalau sudah besar berarti berpotensi”.
Lanjutnya, “Karena, kan holding itu menjadi besar, kemudian menaikkan harga
lantaran sudah menguasai hingga 90 persen dan bisa menetapkan harga, kok
setelah holding harga makin mahal, itu bisa kena” tandasnya.140
Atas ketentuan yang sudah terdapat dalam Undang-Undang Larang Praktik
Monopoli dan Tidak Sehat. Maka, pemerintah perlu berhati-hati dalam melakukan
139 Ibid, Hlm. 209. 140 https://economy.okezone.com/read/2016/08/22/320/1470178/kppu-akan-awasi-proses-
holding-bumn. Diakses pada 25-02-2018, pukul. 00:03.
96
tindakan holding pada BUMN. Karena beberapa kajian sudah memberikan
pendapat bahwa langkah pemerintah dalam membentuk holding ini justru akan
menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat dan mematikan sektor swasta.