i
TESIS
PENYELUNDUPAN HUKUM OLEH ORANG ASING DALAM UPAYA PENGUASAAN HAK ATAS TANAH
(Legal Offence Conducted by Foreigners in the Effort to Gain the
Right on Land)
Disusun oleh:
EKA OCTAVIANUS P 3600208009
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2013
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
PENYELUNDUPAN HUKUM OLEH ORANG ASING DALAM UPAYA PENGUASAAN HAK ATAS TANAH
Disusun dan diajukan oleh EKA OCTAVIANUS
P3600208009
Menyetujui: Komisi Penasihat,
Ketua, Anggota, Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.H. Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H.
NIP. 19671231 199103 2 002 NIP.19641231 199002 2 001
Mengetahui:
Ketua Program Studi Magister Kenotariatan
Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si. NIP. 19600621 198601 2 001
iii
PERNYATAAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Eka Octavianus N I M : P3600208009 Program Studi : Magister Kenotariatan Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul
“PENYELUNDUPAN HUKUM OLEH ORANG ASING DALAM UPAYA
PENGUASAAN HAK ATAS TANAH”, adalah benar-benar karya sendiri.
Hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya di atas tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa
pencabutan tesis dan gelar yang telah saya peroleh dari tesis tersebut.
Makassar, 2013
Yang membuat
pernyataan,
Eka Octavianus
iv
KATA PENGANTAR
Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, peneliti dapat menyusun
tesis ini dengan judul Penyeludupan hukum Oleh Orang Asing Dalam
Upaya Penguasaan Hak Atas Tanah.
Peneliti menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak sangat
peneliti harapkan demi penyempurnaan tesis ini.
Pada kesempatan ini peneliti menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.H., dan Ibu Dr. Sri Susyanti
Nur, S.H., M.H., yang telah memberikan ilmu dan waktunya untuk
membimbing dan mengarahkan peneliti dalam penyusunan tesis ini.
Juga peneliti menyampaikan ucapan terima kasih pada Ibu Dr.
Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si., yang juga telah membimbing,
memberikan petunjuk dan saran-saran kepada peneliti pada tahap awal
penyusunan tesis ini.
Selanjutnya pada kesempatan ini pula, penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Idrus Paturussi, Sp. Int., selaku Rektor
Universitas Hasanuddin Makassar.
2. Bapak Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.H., DF.M., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
v
3. Ibu Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si., selaku Ketua Program
Magister Kenotariatan Universitas Hasanuddin Makassar.
4. Notaris-notaris di Kabupaten Tabanan-Bali dan Notaris-notaris di
Makassar tempat peneliti mengadakan penelitian, yang telah
membantu memberikan informasi dan data yang dibutuhkan peneliti
selama mengadakan penelitian pada kantor-kantor mereka.
5. Bapak dan Ibu Dosen pada Program Pascasarjana Magister
Kenotariatan Universitas Hasanuddin Makassar, yang telah
memberikan bimbingan ilmu yang sangat berharga selama peneliti
mengikuti pendidikan.
6. Rekan-rekan mahasiswa Magister Kenotariatan angkatan 2008
Universitas Hasanuddin Makassar.
7. Ibu Evi dan Pak Aksa selaku Staf Administrasi dan bagian
Perkuliahan yang dengan berbagai bentuk bantuan yang telah
peneliti terima.
8. Hans Tantular Trenggono (ayah), Jong Farah Jonggono (Ibu) dan
Ika Adelya (adik) tercinta, yang telah memberikan dorongan, doa
serta pengorbanannya kepada peneliti.
9. Enny Nathalia (istri) dan Elven Oneill Trenggono (putra) tersayang
yang selalu memberikan dorongan semangat dan doa yang tulus
kepada peneliti.
10. I Gede Sena, S.H., yang telah memberi dukungan kepada peneliti.
vi
Semoga amal kebaikan semua mendapat balasan yang lebih dari
Tuhan Yang Maha Esa dan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pihak-
pihak yang membutuhkan dan masyarakat luas pada umumnya.
Makassar, 2013
( Eka Octavianus )
vii
ABSTRAK Eka Octavianus, Penyelundupan Hukum oleh Orang Asing dalam Upaya Penguasaan Hak Atas Tanah (dibimbing oleh Farida Patittingi dan Sri Susyanti Nur). Penelitian ini bertujuan mengetahui (1) kriteria penyelundupan hukum yang dilakukan oleh orang asing dalam hal penguasaan hak atas tanah, (2) akibat hukum penguasaan hak atas tanah terhadap penyelundupan hukum yang dilakukan oleh orang asing, dan (3) peranan dan tanggung jawab notaris/PPAT dalam proses penguasaan hak atas tanah oleh orang asing. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan sosioyuridis. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data dianalisis dengan analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbuatan hukum orang asing dalam hal penguasaan hak atas tanah disebut sebagai penyelundupan hukum karena akta-akta yang dibuat bertentangan dengan asas nasionalitas dan akta tersebut juga bertentangan dengan itikad baik (ada itikad buruk dalam proses pembuatan aktanya). Akibat hukum penguasaan hak atas tanah terhadap penyelundupan hukum yang dilakukan oleh orang asing adalah bahwa akta-akta notariil yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT, oleh pengadilan dinyatakan bertentangan dengan hukum sehingga tidak mempunyai kekuatan berlaku. Negara hanya mengakui legalitas kepemilikan atas tanah tersebut adalah milik WNI yang tercatat namanya di dalam sertifikat. Peranan dan tanggung jawab notaris/PPAT adalah Notaris/PPAT yang berperan dalam pembuatan akta-akta tersebut dapat ditarik sebagai pihak yang dilibatkan dalam persengketaan tersebut, dimana dapat didudukkan sebagai Tergugat, Turut Tergugat, Saksi, Tersangka ataupun Terdakwa. Kesemuanya tergantung dari keterlibatan Notaris/PPAT dan besar kecilnya kesalahan atau kelalaian Notaris dalam menjalankan jabatannya. Sehingga ketika terjadi penyelundupan hukum maka seorang Notaris/PPAT dapat dimintakan pertanggung jawabannya, yakni dapat dikenakan sanksi pemberhentian dari jabatannya atas usul MPD ke MPW dan ke Menteri. Kata kunci : penyelundupan hukum, orang asing, penguasaan hak atas tanah
viii
ABSTRACT
EKA OCTAVIANUS. Legal Offence Conducted by Foreigners in the Effort to Gain the Right on Land (Supervised by Farida Patittingi and Sri Susyanti Nur) This study aims to find out: (1) the criteria of legal offence conducted by foreigners in gaining the right on land; (2) the legal consequence of gaining the right on land in relation to the legal offence conducted by foreigners; and (3) the role and responsibility of notaries/officials authorized to make land certificates in the process of gaining rights on land by foreigners. The research was conducted as a descriptive study with socio-juridical approach. Primary and secondary data were collected through observations, interviews, and documentation. The data were analysed qualitatively.
The results reveal that the legal action conducted by foreigners in gaining the right on land is considered legal offence because its document is not in line with nationality and good intention principles. There is bad intention in making the document. As the legal consequence of gaining rights on land in relation to legal offence conducted by foreigners, the documents made before notaries/officials authorized to make land certificates are considered contradictive with the law so that they are not valid anymore. The state only recognizes the name of the Indonesian citizen mentioned in the certificate as the legal owner of the land. Notaries/officials authorized to make land certificates who are involved in making such documents can be considered involved in the dispute as the defendant, the co-defendant, the witness, the suspected, or the accused. This will depend on the involvement of notaries/officials authorized to make land certificates, and the level of mistakes they make in conducting their job. In legal offence cases, notaries/officials authorized to make land certificates can be required to be responsible for the mistakes. The sanction can be in the form of termination of the notaries/officials authorized to make land certificates. This is proposed by MPD to MPW and then to the minister.
Keywords : legal offence, foreigners, gaining the right on land.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ..................................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................... vii
ABSTRACT ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ......................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 12
C. Keaslian Penelitian .................................................................... 12
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................. 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hak-Hak Atas Tanah di Indonesia ............................................. 15
B. Hak Atas Tanah Yang Dapat Dikuasai Oleh Orang Asing......... 26
C. Transaksi Jual Beli Hak Atas Tanah ......................................... 32
D. Orientasi UUPA dan Perlindungan Kepentingan Warga Negara
Indonesia ................................................................................... 42
E. Penyelundupuan Hukum Sebagai Perbuatan Tidak Patut ........ 47
F. Peranan Notaris dan PPAT Dalam Peralihan Hak Atas Tanah
Untuk Warga Negara Asing ...................................................... 54
G. Kerangka Pikir ........................................................................... 58
H. Bagan Kerangka Pikir................................................................ 62
I. Definisi Operasional .................................................................. 63
x
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian ....................................................................... 67
B. Tipe dan Sifat Penelitian ........................................................... 67
C. Jenis dan Sumber Data ............................................................. 67
D. Populasi dan Sampel ................................................................ 69
E. Alat Pengumpulan Data ............................................................ 69
F. Analisis Data ............................................................................. 71
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perbuatan Hukum Oleh Orang Asing Yang Dapat
Dikategorikan Sebagai Penyelundupan Hukum Berkaitan
Dengan Pemilikan Hak Atas tanah ............................................ 72
B. Akibat Hukum Pemilikan Hak Atas Tanah Terhadap
Penyelundupan Hukum Yang Dilakukan Oleh Orang Asing ...... 80
C. Peranan Notaris/PPAT Dalam Proses Pemilikan Hak Atas
Tanah Untuk Warga Negara Asing .......................................... 87
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 107
B. Saran......................................................................................... 108
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beraneka ragam
suku bangsa dan budaya yang menyatukan diri dalam suatu wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apabila hal ini dikaitkan dengan
pertanahan, maka perbedaan karakteristik dan budaya tersebut
menyebabkan beragamnya pola kepemilikan, penguasaan dan
penggunaan tanah yang ada dan berkembang antara daerah yang satu
dengan yang lainnya.
Perbedaan-perbedaan tersebut bukanlah menjadi suatu masalah
tetapi justru dipandang sebagai suatu keunikan dan kekayaan budaya
bangsa Indonesia. Negara Indonesia menghargai keragaman pola
tersebut, sebagaimana tercermin dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut
Undang-Undang Pokok Agraria disingkat UUPA), bahwa negara menjamin
hak-hak masyarakat atas tanahnya dan memberikan pengakuan hak-hak
atas tanah yang ada.
Tanah dapat dijadikan sarana untuk mencapai kesejahteraan hidup
bangsa Indonesia sehingga perlu campur tangan negara turut
mengaturnya. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
selanjutnya disebut UUDNRI 1945, yang menyatakan bahwa : “Bumi, air,
2
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Maksud
kata dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Artinya, dikuasainya bumi (tanah), air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya oleh negara, semata-mata dimaksudkan agar
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk
kemakmuran dan kesejahteraan kelompok atau golongan tertentu dari
rakyat Indonesia, terlebih halnya pada elit tertentu yang membutuhkan
tanah tersebut.1Ini berarti bahwa tugas negara adalah menyelenggarakan
kesejahteraan umum bagi seluruh warganya termasuk dalam melindungi
hak-hak warga negara atas tanah.
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku yang tersebar
di seluruh nusantara. Hak Bangsa Indonesia atas tanah mempunyai
makna bahwa kepentingan bangsa Indonesia di atas kepentingan
perseorangan atau golongan. Dalam Pasal 1 ayat 1, 2 dan 3 UUPA
dinyatakan bahwa:
(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh
rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai
1 Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Bayumedia, Malang,
2007, Hal. 2.
3
karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa
bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang
angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang
bersifat abadi.
Ketentuan dalam Pasal 1 ayat 1 dan 2 tersebut di atas sejalan dengan
Penjelasan Umum II angka 1 UUPA yang menyatakan bahwa:
Bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari pemiliknya saja. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat 1, 2 dan 3 UUPA tersebut di atas,
Boedi Harsono mengatakan bahwa:2
Hak bangsa Indonesia adalah semacam hak ulayat, berarti dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional, hak tersebut merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Ini berarti bahwa hak-hak penguasaan atas tanah yang lain, termasuk hak Ulayat dan hak-hak perseorangan atas tanah yang dimaksud oleh Penjelasan Umum di atas, secara langsung maupun tidak langsung, semuanya bersumber pada Hak Bangsa. Maka dalam hubungan ini, perkataan “pula” dalam kalimat “menjadi hak pula dari bangsa Indonesia”, seharusnya tidak perlu ada. Karena bisa menimbulkan kesan, seakan-akan Hak Bangsa adalah sejajar dengan Hak Ulayat dan hak-hak perseorangan.
2 Boedi Harsono, Hukum Agraria, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1995, Hal. 195.
4
Selanjutnya UUPA menempatkan hak menguasai negara atas tanah
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan: “Atas dasar
ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.”
Dalam Pasal 2 ayat 3 UUPA yang menyatakan: “Wewenang yang
bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal
ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam
arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur”.
Sehubungan dengan ketentuan tersebut pemerintah menetapkan politik
hukum pertanahan sebagai kebijakan nasional yang berkaitan dengan
pertanahan. Negara mempunyai kewenangan untuk menentukan adanya
macam-macam hak atas tanah yang diberikan kepada dan dapat dipunyai
oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
serta badan-badan hukum.
Indonesia sebagai negara yang berdaulat mempunyai kewajiban
untuk melindungi warga negaranya (asas nasionalitas). Asas nasionalitas
ini terdapat dalam Pasal 21 ayat 1 UUPA yang menyatakan, “Hanya
warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”. Pemegang Hak
Milik mempunyai hak untuk berbuat bebas atas tanah miliknya itu, artinya
pemegang Hak Milik mempunyai hak untuk memindahtangankan
5
tanahnya itu dengan jalan menukarkan, mewariskan, menghibahkan atau
menjualnya kepada orang/pihak lain karena Hak Milik mempunyai sifat
kebendaan dan memberikan arti demikian kepada pemilik tanah, maka
sewajarnyalah Hak Milik itu hanya disediakan untuk warga negara
Indonesia saja dan warga negara asing dengan jalan apapun tidak dapat
menguasai tanah di Indonesia dengan Hak Milik.3
Menurut Herman Yulis, tanah mempunyai arti penting dalam
kehidupan manusia karena mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai social
asset dan capital asset. Sebagai social asset tanah merupakan sarana
pengikat kesatuan sosial dikalangan masyarakat Indonesia untuk hidup
dan kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor
modal dalam pembangunan.4 Tanah memiliki nilai-nilai, seperti nilai
ekonomi, nilai sosial, nilai politis, nilai religi, nilai produksi, lokasi,
lingkungan dan hukum yang harus diperhatikan keberadaannya dalam hal
kepemilikan dan penggunaan tanah oleh rakyat. Nilai-nilai ini memerlukan
pemahaman dari pemerintah selaku regulator dan aktor pembangunan
serta sektor swasta selaku investor. Mengingat hal-hal tersebut,
menyebabkan adanya kebutuhan masyarakat akan suatu peraturan,
kepastian hukum terhadap tanah sedemikian rupa, sehingga setiap
pemilik bidang tanah dapat terjamin dalam mempertahankan hak miliknya
terhadap gangguan pihak lain.
3 Bachsan Mustafa, Hukum Agraria Dalam Perspektif, Ramadja Karya, Bandung, 1988, Hal. 18
4 Achmad Rubaie, Op.Cit, Hal. 1.
6
Kota Bali sebagai salah satu tujuan wisata bagi mancannegara
telah memiliki rencana induk pembangunan ekonomi dan konsep dasar
pengembangan pariwisata, demikian pula kota Makassar sebagai pusat
perdagangan dan bisnis kawasan timur Indonesia. Semakin meningkatnya
pembangunan ekonomi dan pengembangan pariwisata berupa
pembangunan fisik sangat memerlukan penyediaan dan pengadaan tanah
seperti misalnya untuk pembangunan hotel-hotel, penginapan-
penginapan, tempat-tempat rekreasi dan sarana penunjang lainnya.
Keberhasilan Bali dan Makassar sebagai kota wisata dan pengembangan
ekonomi tidak lepas dari keberadaan investor baik dari dalam negeri
maupun dari luar negeri (orang asing) yang menanamkan modalnya
dalam berbagai bidang, baik itu dalam bidang pariwisata dan sarana
penunjang pariwisata tersebut, maupun dalam bidang ekonomi, seperti
perdagangan ekspor-impor dan mendirikan pabrik-pabrik. Banyaknya
Investor asing yang menanamkan modalnya di Bali dan Makassar, maka
semakin banyak pula warga negara asing yang tinggal atau berdomisili di
Bali dan Makassar, yang berarti mereka membutuhkan tanah untuk
tempat tinggal.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia, hanya mengenal adanya perbedaan penduduk atas
Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA).
Perbedaan penduduk tersebut berakibat pada kedudukan hukum
terhadap setiap hubungan hukum yang timbul antara warga negara asing
7
dengan tanah dan atau antara warga negara asing dengan warga negara
Indonesia terhadap tanah, seperti dalam bidang perkawinan, pertanahan
dan perjanjian lainnya.
Salah satu prinsip yang dianut UUPA adalah prinsip nasionalitas
sebagaimana disebutkan di atas bahwa hanya warga negara Indonesia
yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan tanah atau
dengan perkataan lain hanya warga negara Indonesia yang dapat
mempunyai Hak Milik, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 UUPA
bahwa:
1. Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
2. Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat
mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
3. Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini
memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau
percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga
negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah
berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya
wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak
diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu.
Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak
dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan
tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-
hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
8
4. Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat
mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku
ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 UUPA tersebut diatas, bahwa
hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik atas
tanah, sehingga ini berarti pemindahan Hak Milik atas tanah kepada orang
asing berakibat tanah tersebut menjadi tanah negara sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 26 ayat 2 UUPA, yang menyatakan: “Setiap jual
beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-
perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung
memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga
negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang
ditetapkan oleh Pemerintah termasuk dalam Pasal 21 ayat (2), adalah
batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan
ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik
tidak dapat dituntut kembali”.
Ketentuan tersebut di atas kadang diabaikan atau tidak
diperhatikan oleh para pihak (orang asing dan Warga negara Indonesia)
dalam melakukan hubungan hukum yang berkaitan dengan pertanahan.
Para pihak hanya terpaku pada ketentuan Pasal 1338 Burgerlijk Wetboek
9
(selanjutnya disingkat BW), yang menyatakan bahwa: “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali
selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan
yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian-
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”, sehingga para pihak
membuat perjanjian yang semata-mata hanya untuk memenuhi keinginan
para pihak tanpa memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku. Padahal
perjanjian yang dibuat bertentangan dengan ketentuan undang-undang
adalah batal demi hukum.
Warga negara asing hanya boleh menguasai tanah dengan status
Hak Pakai. Jangka waktu Hak Pakai yang relatif singkat membuat para
pengembang lebih memilih membangun rumah/apartemen di atas tanah
yang berstatus Hak Guna Bangunan. Adanya kecenderungan dari pihak
developer yang enggan untuk membangun rumah/apartemen di atas
tanah berstatus Hak Pakai menyebabkan sangat jarang tersedia
rumah/apartemen yang dapat dimiliki oleh orang asing. Terbatasnya
ketersediaan rumah/apartemen dengan tanah berstatus Hak Pakai yang
dapat dimiliki oleh orang asing tentunya sangat menghambat orang asing
dalam hal hendak berinvestasi. Orang asing pada umumnya
menginginkan bisa berinvestasi secara praktis, cepat dan aman.
Penerapan atas kebijakan pemerintah dalam bidang pertanahan
bagi orang asing,dalam kenyataannya harus melalui prosedur dan
10
birokrasi yang rumitjuga dari segi biaya menjadi relatif mahal. Tanah yang
berstatus Hak Pakai memiliki jangka waktu berlaku yang relatif singkat.
Bahkan jika dibandingkan dengan Hak Milik yang dapat dimiliki
seterusnya/tanpa batas waktu, sehingga hal ini menimbulkan keinginan
dari orang asing untuk dapat memiliki tanah Hak Milik.
Secara yuridis formil orang asing tidak dimungkinkan untuk memiliki
tanah berstatus Hak Milik, namun adanya praktik yang telah terjadi di Bali
dan Makassar selama ini bahwa orang asing melakukan pembelian tanah
yang berstatus Hak Milik dengan meminjam nama seseorang yang
berkewarganegaraan Indonesia (warga Bali) dan dibuat perjanjian utang
piutang yang seolah-olah orang yang dipinjam namanya tersebut telah
berhutang kepada orang asing dengan menjadikan tanah yang dibeli
tersebut sebagai jaminan utangnya. Perbuatan hukum yang dilakukan ini
mengarah pada suatu perbuatan yang bersifat penyeludupan hukum.
Orang asing yang hendak berinvestasi di Indonesia seharusnya melalui
prosedur yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di
Indonesia. Jalan pintas berupa penyelundupan hukum yang dilakukan
tersebut di atas tidak dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum.
Jika dikaji lebih lanjut, penyelundupan hukum ini dapat menimbulkan risiko
yang merugikan bagi orang asing tersebut.
Notaris adalah pejabat umum yang khusus diberi wewenang
membuat akta otentik. Memperhatikan wewenang yang diberikan kepada
Notaris dan PPAT untuk membuat akta otektik maka tidak ada pejabat lain
11
yang dapat membuat dan melangsungkan pembuatan akta-akta yang
terkait dengan penguasaan tanah yang dilakukan oleh warga negara
asing. Namun notaris selaku pejabat yang dipercayakan oleh kliennya
kerap kali memberikan jalan pintas yang mudah, cepat dan murah, tanpa
memberikan pertimbangan dan pemahaman yang cukup kepada kliennya
dalam hal keamanan secara yuridis.
Peranan notaris/PPAT menjadi sangat penting untuk dikaji lebih
dalam, terutama adanya kemungkinan penggunaan akta-akta otentik
tersebut sebagai sarana yang dilakukan oleh para pihak (orang asing dan
orang berkewarganegaraan Indonesia yang dipinjam namanya) untuk
melakukan penyelundupan hukum mengenai pemilikan/penguasaan
tanah. Sebagaimana diketahui bahwa jika orang asing bermaksud untuk
memiliki tanah di Bali maka jalan pintas yang ditempuh adalah dengan
memakai nama warga negara Indonesia (warga Bali) untuk tercatat
sebagai pemilik/pemegang hak atas tanah berdasarkan sertipikat.
Kemudian oleh notaris dibuatkan surat-surat lainnya sebagai pegangan
bagi warga negara asing selaku pembeli yang sebenarnya yaitu berupa
akta Pengakuan Utang, Surat Kuasa Menjual, akta Pengikatan Jual Beli,
Surat Pernyataan dan lain-lain. Perjanjian-perjanjian (Notariil) tersebut di
atas secara yuridis formil tidak melanggar aturan namun secara materiil
sebenarnya telah terjadi pemindahan hak milik secara terselubung, yang
12
jelas merupakan penyeludupan hukum.5
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kriteria penyelundupan hukum yang dilakukan oleh
orang asing dalam hal penguasaan hak atas tanah?
2. Bagaimana akibat hukum penguasaan hak atas tanah terhadap
penyelundupan hukum yang dilakukan oleh orang asing tersebut di
atas?
3. Sejauh mana peranan dan tanggung jawab Notaris/PPAT dalam
proses penguasaan hak atas tanah oleh warga negara asing?
C. Keaslian Penelitian
Sepengetahuan peneliti, terhadap tesis yang ada pada program
Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Hasanuddin Makassar
terdapat 1 (satu) judul tesis yang terkait tentang penyeludupan hukum
oleh orang asing dalam upaya penguasan hak atas tanah yaitu tesis
dengan judul Tinjauan Yuridis Akta Kuasa Menjual dalam Penjualan
Tanah dan Bangunan Milik Warga Negara Asing di Kabupaten Badung,
oleh I Kadek Ari Sucitha (2012).
Penelitian ini berbeda dengan tesis tersebut di atas. Tesis
tersebut hanya membahas tentang pemindahan hak atas tanah kepada
orang asing melalui kuasa mutlak, sedangkan penelitian ini tidak hanya
membahas tentang penguasaan hak milik atas tanah oleh orang asing
melalui Akta Kuasa Menjual saja tetapi lebih jauh membahas tentang
5 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan (Antara Regulasi dan Implementasi) ed. Rev,
Kompas, Jakarta, 2009, Hal. 165
13
berbagai upaya yang dilakukan oleh orang asing dalam rangka
penguasaan hak milik atas tanah melalui pembuatan akta-akta notariil.
Disamping itu dalam tesis ini juga diuraikan mengenai akibat hukum
dari pembuatan akta-akta notariil tersebut dan akta-akta lain yang
terkait serta peranan dan tanggung jawab Notaris/PPAT dalam proses
penguasaan hak atas tanah oleh orang asing.
Oleh karena itu keaslian tesis ini dapat dipertanggungjawabkan,
namun sekiranya pernah dilakukan penelitian yang sama, maka
penelitian ini diharapkan dapat melengkapinya serta dapat menjadi
bahan perbandingan.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan yaitu:
1. Untuk mengkaji dan mengetahui kriteria penyeludupan hukum yang
dilakukan oleh orang asing dalam hal penguasaan hak atas tanah.
2. Untuk mengkaji dan mengetahui akibat hukum penguasaan hak
atas tanah terhadap penyelundupan hukum yang dilakukan oleh
orang asing.
3. Untuk mengkaji dan mengetahui peranan dan tanggung jawab
Notaris/PPAT dalam proses penguasaan hak atas tanah oleh
warga negara asing.
Adapun kegunaan dari hasil penelitian yang diinginkan adalah:
1. Bagi akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sumber informasi untuk melakukan pengkajian ilmiah lebih lanjut
14
mengenai penyelundupan hukum oleh orang asing terhadap
penguasaan hak atas tanah dan diharapkan juga dapat
memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum
khususnya hukum agraria.
2. Bagi pemerintah baik pusat maupun daerah, praktisi hukum
khususnya notaris/PPAT dan aparat penegak hukum serta
masyarakat sebagai warga negara Indonesia, diharapkan dapat
dijadikan masukan untuk mencari solusi dan cara mencegah
terjadinya penyelundupan hukum oleh orang asing terhadap
penguasaan hak atas tanah.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hak-Hak Atas Tanah di Indonesia
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada
seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil
manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak
penggunaan atas tanah. Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang
yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau
mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya.
Hak-hak atas tanah yang dimaksud, antara lain:
1. Hak Milik
Hak Milik oleh UUPA diatur dalam Pasal 20 sampai dengan
Pasal 27. Hak Milik adalah Hak turun temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai atas tanah dengan mengingat fungsi sosial, yang
dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain (Pasal 20 UUPA).
Sifat dan ciri Hak Milik adalah:
a. Turun-temurun artinya Hak Milik atas tanah dimaksud dapat beralih
karena hukum dari seseorang pemilik tanah yang meninggal dunia
kepada ahli waris.
b. Terkuat artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut yang paling kuat
diantara hak-hak yang lain. Hak yang terdaftar dan adanya tanda
bukti hak.
16
c. Terpenuh artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut dapat
digunakan untuk usaha pertanian juga untuk mendirikan bangunan.
d. Dapat beralih dan dialihkan.
e. Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
f. Jangka waktu tidak terbatas.
g. Dapat dilepaskan oleh orang yang mempunyai hak atas tanah.
h. Dapat diwakafkan.
i. Dapat menjadi induk dari hak-hak atas tanah yang lain artinya dapat
dibebani dengan hak-hak atas tanah yang lain, sebaliknya Hak Milik
tidak dapat berinduk pada hak atas tanah lainnya.
Subjek hukum atas tanah dengan status Hak Milik adalah:
a. Warga Negara Indonesia.
b. Badan-badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Hak Milik ini dapat terjadi:
a. Menurut hukum adat yang diatur dengan peraturan pemerintah,
misalnya pembukaan tanah oleh seseorang.
b. Penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat keputusan
pemerintah yang memberikan Hak Milik kepada seseorang tertentu.
c. Menurut ketentuan undang-undang, misalnya hak eigendom milik
warga negara Indonesia sekarang dikonversi menjadi Hak Milik.
Hak Milik atas tanah hapus apabila tanahnya jatuh kepada
negara dan apabila tanahnya musnah. Tanah jatuh kepada negara
karena:
17
a. Pencabutan Hak Milik untuk kepentingan umum;
b. Penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
c. Ditelantarkan oleh pemiliknya (tidak dipergunakan sesuai dengan
keadaan sifat dan tujuan haknya);
d. Pelanggaran terhadap larangan pengasingan tanah kepada orang
asing sebagaimana ketentuan Pasal 21ayat 3 dan Pasal 26 ayat 2
UUPA.
2. Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 34
UUPA dan pelaksanaan lebih lanjut mengenai Hak Guna Usaha diatur
dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan
Hak Pakai Atas Tanah (selanjutnya disingkat PP 40/1996). Hak Guna
Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung
oleh negara dalam jangka waktu 25 (dua puluh lima) atau 35 (tiga puluh
lima) tahun dan dapat diperpanjang 25 (dua puluh lima) tahun, guna
perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
Sifat-sifat dari Hak Guna Usaha adalah:
a. Hak atas tanah untuk mengusahakan tanah negara guna keperluan
perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan.
b. Diberikan untuk Jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun atau 35
(tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu paling
lama 25 (dua puluh lima) tahun.
18
c. Luas minimum 5 (lima) hektare dan luas maksimum 25 (dua puluh
lima) hektare.
d. Dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain dengan cara jual beli,
tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah dan pewarisan.
e. Dapat dijadikan jaminan kredit dengan dibebani hak tanggungan.
Hak Guna Usaha hanya dapat diberikan terhadap tanah yang
langsung dikuasai oleh negara (tanah negara), jadi tidak dapat terjadi
atas suatu perjanjian antara pemilik suatu Hak Milik dengan pihak lain.
Hak Guna Usaha terjadi karena penetapan pemerintah.
Sesuai dengan Pasal 30 ayat 1 UUPA jo Pasal 2 PP 40/1996,
yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha adalah:
a. Warga negara Indonesia.
b. Badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
Berkaitan dengan subjek Hak Guna Usaha ini maka lebih lanjut
diatur dalam Pasal 3 PP 40/1996 bahwa:
a. Pemegang Hak Guna Usaha yang tidak lagi memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dalam jangka waktu satu
tahun wajib melepaskan atau mengalihkan Hak Guna Usaha itu
kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
b. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 1 Hak Guna
Usaha itu tidak dilepaskan atau dialihkan, Hak Guna Usaha tersebut
hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.
19
Sesuai ketentuan Pasal 17 PP 40/1996 bahwa Hak Guna Usaha
hapus karena:
a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan
pemberian atau perpanjangannya;
b. Dibatalkan hanya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka
waktunya berakhir karena:
1) Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atau
dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, Pasal 13 dan/atau Pasal 14;
2) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap;
c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktunya berakhir;
d. Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;
e. Ditelantarkan;
f. Tanahnya musnah;
g. Ketentuan Pasal 3 ayat (2).
3. Hak Guna Bangunan
Dalam UUPA, Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35 sampai
dengan Pasal 40 dan pelaksanaannya lebih lanjut diatur dalam Pasal
19 sampai dengan Pasal 38 PP 40/1996. Hak Guna Bangunan adalah
hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah
yang bukan miliknya sendiri, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
20
puluh) tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20
(dua puluh) tahun, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain dan
dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
Sifat-sifat dari Hak Guna Bangunan sebagai berikut:
a. Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang
bukan miliknya sendiri, misalnya Tanah Negara atau tanah milik
orang lain.
b. Jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat
diperpanjang 20 (dua puluh) tahun lagi.
c. Dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain.
d. Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak tanggungan.
Sesuai dengan Pasal 36 ayat 1 UUPA jo Pasal 19 PP 40/1996,
yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan adalah:
a. Warga negara Indonesia.
b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
Berkaitan dengan subjek Hak Guna Bangunan ini tidak berbeda
dengan ketentuan yang berlaku bagi Hak Guna Usaha sebagaimana
telah diuraikan di atas. Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna
Bangunan adalah Tanah Negara, tanah Hak Pengelolaan dan tanah
Hak Milik. Hak Guna Bangunan atas tanah negara diberikan dengan
keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Hak
Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan
21
keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk
berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan. Hak Guna Bangunan
atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian oleh pemegang Hak
Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT).
Hapusnya Hak Guna Bangunan (Pasal 35 PP 40/1996) karena:
a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan
pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian
pemberiannya;
b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak
Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya
berakhir, karena:
1) Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau
dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32; atau
2) Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang
tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara
pemegang Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik atau
perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan; atau
3) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap;
c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktu berakhir;
22
d. Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;
e. Ditelantarkan;
f. Tanahnya musnah;
g. Ketentuan Pasal 20 ayat (2).
4. Hak Pakai
Dalam UUPA, Hak Pakai diatur dalam Pasal 41 sampai dengan
Pasal 43 dan pelaksanaannya lebih lanjut diatur dalam Pasal 39
sampai dengan Pasal 58 PP 40/1996. Hak Pakai adalah hak untuk
menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau
dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian
sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-
undang ini.
Sifat-sifat dari Hak Pakai adalah:
a. Dapat diberikan oleh pemerintah maupun oleh si pemilik tanah.
b. Hak Pakai dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu atau jangka
waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk
keperluan tertentu.
c. Hak Pakai dapat diberikan dengan cuma-cuma, dengan pembayaran
atau pemberian jasa berupa apapun.
23
d. Hak Pakai hanya dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain,
sepanjang dapat izin pejabat yang berwenang apabila mengenai
tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau dimungkinkan dalam
perjanjian tertulis dari pemegang Hak Milik yang bersangkutan
apabila mengenai tanah milik atau dengan persetujuan tertulis dari
pemegang Hak Pengelolaan apabila mengenai tanah Hak
Pengelolaan.
e. Hak Pakai atas tanah negara dan atas tanah Hak Pengelolaan
dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan
sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak milik tidak dapat dijadikan
jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan.
f. Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang
mengandung unsur-unsur pemerasan.
Berdasarkan Pasal 42 UUPA jo Pasal 39 PP 40/1996, yang dapat
mempunyai Hak Pakai adalah:
a. Warga negara Indonesia.
b. Badan hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
c. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan
Pemerintah Daerah.
d. Badan-badan keagamaan dan sosial.
e. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
f. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
24
g. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.
Berkaitan dengan subjek Hak Pakai tersebut di atas, bahwa
apabila pemegang Hak Pakai tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 PP 40/1996 maka wajib dalam waktu satu
tahun pemegang hak melepaskan atau mengalihkan hak itu pada pihak
lain yang memenuhi syarat dan apabila satu tahun Hak Pakai itu tidak
dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum dengan
ketentuan hak-hak pihak lain yang terkait di atas tanah tersebut tetap
diperhatikan (Pasal 40 PP 40/1996). Ketentuan tentang tanah yang
dapat diberikan Hak Pakai dan terjadinya Hak Pakai sama dengan
ketentuan yang berlaku bagi Hak Guna Bangunan sebagaimana telah
diuraikan di atas.
Hak Pakai atas tanah Negara dan Hak Pakai atas tanah Hak
Pengelolaan diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 (dua puluh
lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20
(dua puluh) tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak
ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu
(Pasal 45 ayat 1 PP 40/1996). Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan
untuk jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan tidak
dapat diperpanjang tetapi atas kesepakatan antara pemegang Hak
Pakai dengan pemegang Hak Milik dapat diperbaharui dengan
pemberian Hak Pakai yang baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT
dan wajib didaftarkan (Pasal 49 PP 40/1996) .
25
Hapusnya Hak Pakai (Pasal 55 PP 40/1996) karena:
a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan
pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian
pemberiannya;
b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak
Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya
berakhir, karena:
1) Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau
dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52; atau
2) Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang
tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Pakai antara pemegang
Hak Pakai dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan
Hak Pengelolaan; atau
3) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap;
c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktu berakhir;
d. Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;
e. Ditelantarkan;
f. Tanahnya musnah;
g. Ketentuan Pasal 40 ayat (2).
26
Berkaitan dengan hapusnya atau tidak diperpanjang/diperbaharuinya
jangka waktu Hak Pakai, maka hal yang perlu diketahui bagi pemegang
Hak Pakai atas tanah Negara bahwa bangunan yang terdapat di
atasnya harus dibongkar, jika tidak maka bangunan dibongkar oleh
pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak Pakai.
B. Hak Atas Tanah Yang Dapat Dikuasai Oleh Orang Asing
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa berdasarkan
Pasal 42 UUPA jo Pasal 39 PP 40/1996, yang dapat mempunyai Hak
Pakai adalah:
1. Warga negara Indonesia;
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia;
3. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Pemerintah
Daerah;
4. Badan-badan keagamaan dan sosial;
5. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
6. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
7. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.
Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996
tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing
yang Berkedudukan di Indonesia (selanjutnya disingkat PP 41/1996),
menyatakan :
27
1. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki sebuah
rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan hak atas tanah
tertentu.
2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah orang asing yang kehadirannya di Indonesia
memberikan manfaat bagi pembangunan nasional.
Dari kedua ketentuan tersebut di atas,dapat dikatakan bahwa orang
asing dimungkinkan untuk mempunyai rumah dengan hak atas tanah di
Indonesia, meskipun dengan pembatasan yang demikian ketat, hal
tersebut dimaksudkan agar prinsip nasionalitas UUPA tetap terjaga
disamping agar Indonesia dapat lebih membuka diri bagi kedatangan
investor atau pengusaha asing yang akan mengembangkan usahanya di
Indonesia.Kebijakan terhadap orang-orang asing dilandasi pertimbangan,
selain demi kepentingan nasional dan melindungi kepemilikan bangsa
Indonesia, juga bahwa keberadaan orang asing di Indonesia hanyalah
untuk sementara.6
Orang asing yang berdomilisi di Indonesia hanya boleh menguasai
tanah dengan status Hak Pakai, tidak boleh dengan hak-hak lain dan
demikian pula dengan perusahaan asing hanya dapat beroperasi di
Indonesia dalam rangka penanaman modal asing dan mereka yang
diizinkan harus mendirikan suatu Perseroan Terbatas Indonesia, didirikan
dengan hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia. PP 41/1996,
6 Arie S. Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya, Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, Hal. 100.
28
mempertegas hal ini dengan menyebutkan orang asing yang dibutuhkan
dalam pembangunan di Indonesia dapat menjadi subjek Hak Pakai. Dasar
pemikiran pembatasan hak atas tanah bagi orang asing ini adalah bahwa
Indonesia sebagai negara yang masih dalam pembangunan dan sebagian
rakyatnya masih dalam keadaan yang miskin patut melindungi warga
negaranya dari kemungkinan tanah-tanahnya jatuh kepada bukan warga
negara Indonesia.
Orang asing yang berkedudukan di Indonesia adalah orang-orang
asing yang bertempat tinggal di Indonesia secara menetap dan orang
asing yang tidak tinggal di Indonesia secara menetap melainkan hanya
sewaktu-waktu berada di Indonesia. Pembedaan dalam dua golongan
tersebut berhubungan dengan dokumen yang harus ditunjukkan pada
waktu melakukan perbuatan hukum memperoleh rumah berikut hak atas
tanahnya, sebagai berikut:
1. Bagi orang asing yang menetap, harus menunjukkan Izin Tinggal
Tetap.
2. Bagi orang asing lainnya, adalah Izin Kunjungan atau Izin Keimigrasian
lainnya yang berbentuk tanda yang diterakan pada paspor atau
dokumen keimigrasian lainnya yang dimiliki oleh orang asing yang
bersangkutan.
Adanya pembedaan dua golongan tersebut berkaitan dengan
kemungkinan pemberian Hak Pakai bagi warga negara asing. Golongan
29
manakah yang dapat menjadi subyek Hak Pakai. Menurut Maria S.W.
Sumardjono ada dua penafsiran yaitu:7
Penafsiran secara sempit akan membuka peluang hanya bagi mereka yang mempunyai status menetap/gevestigd untuk menjadi subyek Hak Pakai. Alasannya adalah karena mereka ini dipandang sebagai penduduk (sesudah 15 tahun berturut-turut tinggal di Indonesia) dan pada umumnya sedang dalam proses untuk menjadi WNI. Penafsiran secara luas akan memberikan peluang yang sama bagi dua golongan WNA yang diperbolehkan tinggal di Indonesia untuk menjadi subyek Hak Pakai.
Orang asing yang kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat bagi
pembangunan nasional adalah yang kehadirannya harus memberikan
manfaat dan kontribusi terhadap pembangunan nasional serta yang
memiliki dan memerlihara kepentingan ekonomi di Indonesia dengan
investasinya untuk memiliki rumah tempat tinggal atau hunian di
Indonesia.
Cara memperoleh rumah tempat tinggal atau hunian bagi orang
asing, berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing, adalah:
(1) Pemilikan rumah dan cara peroleh hak atas tanah oleh orang asing
dapat dilakukan dengan:
a. Membeli atau membangun rumah di atas tanah dengan Hak Pakai
atas tanah negara atau Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
7 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan (Antara Regulasi dan Implementasi) ed. Rev,
Kompas, Jakarta, 2009, Hal. 158
30
b. Membeli satuan rumah susun yang dibangun di atas tanah Hak
Pakai atas tanah negara.
c. Membeli atau membangun rumah di atas tanah Hak Milik atau Hak
Sewa untuk Bangunan atas dasar perjanjian tertulis dengan pemilik
hak atas tanah yang bersangkutan.
(2) Rumah yang dapat dibangun atau dibeli dan satuan rumah susun
yang dapat dibeli oleh orang asing dengan hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah rumah atau satuan
rumah susun yang tidak termasuk klasifikasi rumah sederhana atau
rumah sangat sederhana.
Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa tata cara memperoleh rumah
tidak dapat dilepaskan dari cara memperoleh hak atas tanah tempat
rumah tersebut berdiri. Untuk memperoleh rumah tempat tinggal atau
hunian sebagaimana tersebut diatas dapat dilakukan perbuatan-perbuatan
hukum sebagai berikut:
1. Orang asing dapat membeli Hak Pakai atas tanah negara atau Hak
Pakai atas tanah Hak Milik dari pemegang Hak Pakai yang
bersangkutan berserta rumah yang berdiri diatasnya, atau membeli
tanah dengan Hak Pakai atas tanah negara atau Hak Pakai atas tanah
Hak Milik dan kemudian membangun rumah diatasnya. Pembelian Hak
Pakai tersebut dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yaitu
dibuktikan dengan akta PPAT dan kemudian mendaftarkan haknya di
Kantor Pertanahan. Demikian juga mengenai persyaratan
31
pembangunan rumah harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku,
misalnya mengenai Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
2. Orang asing dapat pula memperoleh Hak Pakai atas tanah Hak Milik
atau Hak Sewa untuk Bangunan atau persetujuan penggunaan tanah
dalam bentuk lain dari pemegang Hak Milik dan memperoleh atau
membangun rumah diatasnya.
3. Juga dalam hal rumah tempat tinggal atau hunian yang akan dipunyai
orang asing berbentuk Satuan Rumah Susun, maka orang asing
tersebut harus membeli Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang
dibangun di atas tanah Hak Pakai atas tanah negara.
Untuk mengatasi timbulnya konstruksi hukum yang kurang tepat
dan kurang diminatinya lembaga hak pakai bagi orang asing, menurut Arie
Sukanti Hutagalung yang dikutip oleh Imam Kuswahyono melihat ada tiga
solusi atau pemecahan sementara dalam praktiknya sebagai berikut:8
1. Sewa menyewa jangka panjang (long term lease) yang akan dipraktikan oleh beberapa pemilik apartemen dan pada dasarnya konsep ini juga yang mengalihkan kepemilikannya.
2. Sewa menyewa dengan kemungkinan konversi menjadi jual beli (convertible lease).
3. Konsep Nominee/Truestee yang mekanismenya diatur pemilik satuan rumah susun (yang tanahnya bukan hak pakai) tetap Warga Negara Indonesia/badan hukum Indonesia yang menerima peminjaman uang dari pihak warga negara asing untuk/sebagai biaya membeli apartemen. Sebagai jaminan atas utang itu, maka pihak Warga Negara Indonesia akan menjaminkan apartemen untuk kepentingan pihak asing.
Rumah yang boleh dimiliki oleh orang asing hanya satu buah, hal
ini berdasarkan Penjelasan Pasal 1 ayat 1 PP 41/1996. Tujuan
8 Imam Kuswahyono, Hukum Rumah Susun, Bayumedia, Malang, 2004, Hal. 96
32
pembatasan ini adalah untuk menjaga agar kesempatan pemilikan
tersebut tidak menyimpang dari tujuannya, yaitu sekedar memberikan
dukungan yang wajar bagi penyelenggaraan usaha orang asing tersebut
di Indonesia. Kehadiran PP 41/1996 ini, sebagai salah satu terobosan
dalam rangka mengantisipasi globalisasi perdagangan bebas. Kemudian
peraturan ini juga sudah mulai membuka diri untuk memberikan gairah
investasi asing dapat berkompetisi guna pengembangan investasi dalam
hal perdagangan di bidang ekonomi di Indonesia.9
C. Transaksi Jual Beli Hak Atas Tanah
Jual beli berdasarkan Pasal 1457 BW adalah suatu perjanjian,
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan. Jual beli tanah berdasarkan BW adalah merupakan perjanjian
dengan mana pihak yang satu (penjual) mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan hak atas tanah kepada pihak yang satu lagi (pembeli) dan
pihak pembeli membayar harga tanah yang telah disetujui bersama. Jadi
jual beli tanah berdasarkan BW, hak atas tanah belum beralih pada saat
jual beli itu berlangsung sedangkan jual beli tanah berdasarkan hukum
tanah nasional sekarang ialah suatu perbuatan hukum yang berupa
penyerahan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk
selama-lamanya pada saat mana pihak pembeli menyerahkan harganya
9 B.F Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Gunung Agung,
Jakarta, 2005, Hal. 160.
33
kepada penjual. Jadi pada saat jual beli itu terjadi hak atas tanah langsung
beralih dari penjual kepada pembeli.10
Perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah (termasuk
didalamnya jual beli) berdasarkan hukum tanah nasional adalah
merupakan rangkaian kegiatan pendaftaran tanah yang berkelanjutan,
oleh karenanya setiap perubahan data pendaftaran tanah, baik perubahan
data fisik ataupun perubahan data yuridis harus selalu tercatat dalam buku
tanah di Kantor Pertanahan. Transksi jual beli (peralihan) hak atas tanah
adalah termasuk dalam kegiatan pendaftaran tanah yang diatur dan
diawasi oleh pemerintah, dalam hal ini untuk pemeliharaan data. Negara
melalui pemerintah berhak mengatur serta mengawasi segala macam
perbuatan hukum yang bermaksud memindahkan hak atas tanah. Tujuan
pengaturan dan pengawasan peralihan hak atas tanah adalah untuk
menjamin ketertiban baik di bidang administrasi pertanahan maupun
ketertiban di bidang hukumnya serta menjamin adanya kepastian hak atas
tanahnya.
Untuk dapat memberikan dan menjamin adanya kepastian hukum
hak atas tanah, maka diperlukan pendaftaran hak-hak atas tanah yang
bersangkutan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 UUPA:
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10
Effendi Perangin, 401 Pertanyaan dan Jawaban Tentang Hukum Agraria, Rajawali, Jakarta, 1986, hal.73
34
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi:
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan
negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta
kemungkinan penyelenggaraannya, pertimbangan Menteri Agraria.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan
dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) di atas, dengan
ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari
pembayaran biaya-biaya tersebut.
Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA tersebut di
atas adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah (selanjutnya disingkat PP 24/1997) yang merupakan
penyempurnaan dari PP Nomor 10 Tahun 1961 dan Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997
tentang Ketentuan Pelaksanaan PP 24/1997. Adanya ketentuan-
ketentuan tersebut diharapkan dapat tercapai tertib administrasi
pertanahan dan tertib hukum pertanahan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 37 PP 24/1997, bahwa setiap
peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun (kecuali
pemindahan hak melalui lelang) hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan
35
dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Akta PPAT wajib dibuat sedemikian
rupa sehingga dapat dijadikan dasar pemindahan hak atas tanah yang
bersangkutan. PPAT dalam melangsungkan peralihan hak atas tanah,
terlebih dahulu harus meneliti tentang:
1. Subjek hukumnya, yaitu:
a. Pemilik atau yang akan mengalihkan hak atas tanah, apakah benar-
benar sebagai yang berhak dan berwenang untuk mengalihkan hak
atas tanah.
Yang harus diperhatikan bahwa penjual adalah yang berhak menjual
dan sebagai pemegang hak yang sah dari hak atas tanah dan
mengenai kewenangan menjual dari penjual harus diperhatikan
bahwa mungkin saja terjadi seseorang berhak atas suatu hak atas
tanah tetapi tidak berwenang untuk menjualnya, kalau tidak dipenuhi
syarat tertentu. Misalnya suatu hak atas tanah yang dimiliki oleh
seorang anak dibawah umur dan dalam sertipikat tanah tersebut
tercatat nama anak itu sebagai pemegang hak atas tanah, akan
tetapi anak itu tidak berwenang melakukan jual beli karena belum
dewasa walaupun anak itu yang berhak atas tanah tersebut, jual beli
hak atas tanah tersebut boleh terlaksana jika yang bertindak adalah
ayah anak itu sebagai orang yang melaksanakan kekuasaan orang
tua.
b. Yang akan menerima peralihan hak, apakah akan berhak menerima
hak atas tanah tersebut.
36
2. Objek hukumnya, yaitu:
a. Apakah hak atas tanah yang akan dialihkan tidak dalam sengketa.
b. Apakah hak atas tanah yang akan dialihkan tidak dalam sitaan.
c. Apakah ada beban hak tanggungan atas hak atas tanah tersebut.
Dengan dilakukannya penelitian tentang subjek dan objek tersebut oleh
PPAT diharapkan tidak akan ada permasalahan yang timbul sehubungan
dengan pembuatan akta peralihan hak atas tanah. Adanya pernyataan
atau pengakuan para pihak yang tidak sebenarnya, misalnya pihak
penjual mengaku telah menerima harga penjualannya padahal pada
waktu akta ditandatangani penjual belum menerimanya dan dijanjikan
baru akan dibayar oleh pembeli setelah akta ditandatangani, namun tidak
juga dibayar oleh pembeli, maka akan timbul tuntutan atas dasar
pembayaran tersebut dan PPAT tidak dapat dipersalahkan atas
pengakuan yang tidak sebenarnya tersebut.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli (peralihan) hak
atas tanah berdasarkan UUPA, yaitu:
1. Persyaratan administratif
Persyaratan administratif adalah persyaratan yang harus ada untuk
dapat dilangsungkan suatu peralihan hak atas tanah. Persyaratan ini
terdiri dari:
1) Pendaftaran tanah dan pengukuran tanah.
2) Izin peralihan hak atas tanah.
3) Surat-surat kewarganegaraan dan surat keterangan pemilikan.
37
4) Surat keterangan waris kalau tanah tersebut adalah tanah warisan.
5) Surat keterangan atau penetapan telah dilakukan pembagian
warisan bila tanah yang dimaksud masih merupakan boedel.
2. Persyaratan subjektif
Persyaratan tentang orang atau badan hukum yang melakukan
peralihan hak dan orang atau badan hukum yang menerima peralihan
hak. Tentang subjek yang melakukan peralihan atau wakil pemilik dan
berhak untuk mengalihkan tanahnya. Tentang subjek yang menerima
peralihan hak atas tanah harus benar-benar orang atau badan hukum
yang berhak menerima hak atas tanah dalam pengertian mengenai
kewarganegaraannya maupun ketentuan tentang jumlah maksimum
pemilikan hak atas tanah.
3. Persyaratan objektif
Adalah persyaratan tentang keadaan tanah yang menjadi objek yang
akan dialihkan yang meliputi bukti pemilikan dan bukti tanah yang
bersangkutan bebas dari beban-beban sita dan jaminan.
4. Persyaratan pembuatan akta peralihan hak
Pada prinsipnya pihak yang mengalihkan dan pihak yang menerima
pengalihan wajib menghadap di kantor PPAT. Pengertian diwajibkan
disini adalah diwajibkan melakukan penyerahan hak atas tanah dari
pihak yang mengalihkan dan uang dari pihak yang menerima
pengalihan atau dapat dengan pernyataan/pengakuan bahwa
penyerahan hak atas tanah dan uang benar-benar diterima oleh kedua
38
belah pihak. Hal ini sesuai dengan hukum adat yang menyatakan
bahwa jual beli harus dilakukan dengan terang dan tunai.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
992K/Sip/1979, tanggal 14 April Tahun 1980 menetapkan bahwa:
“Semenjak akta jual beli ditandatangani di depan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, hak milik atas tanah yang dijual beralih kepada pembeli.”11
Dari ketentuan dan uraian di atas dapat ditegaskan bahwa jual beli
(peralihan) hak atas tanah hanya dapat dilakukan dengan persyaratan
terang dan tunai sesuai hukum adat, juga harus oleh subjek yang berhak
dan berwenang atas objek jual beli tersebut. Namun didalam praktik
seringkali didapati subjek yang tidak berhak atas objek atas tanah
melakukan perolehan (pembelian) hak atas tanah dengan cara-cara yang
menyimpang dari ketentuan UUPA. Misalnya suatu Perseroan Terbatas
(badan hukum) hendak melakukan pembelian (perolehan) atas sebidang
tanah Hak Milik, sedangkan berdasarkan ketentuan hukum bahwa badan
hukum tidak berhak atas tanah Hak Milik, namun badan hukum tersebut
tetap menghendaki agar status tanahnya tetap Hak Milik, maka cara
perolehannya (pembelian) yang dilakukan atas tanah yang akan dibeli
tersebut diatasnamakan kepada seorang pegawainya yang dapat menjadi
subjek atas objek tanah Hak Milik, yang mana seolah-olah pembeli dari
tanah Hak Milik tersebut adalah pegawai itu dengan membuat Akta Jual
Beli dihadapan PPAT dan dilanjutkan dengan pendaftaran haknya (balik
11
R.Subekti, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Alumni, Bandung, 2006, hal.86.
39
nama) di Kantor Pertanahan. Setelah Akta Jual Beli PPAT tersebut
ditandatangani, pegawai tersebut kemudian menandatangani suatu akta
notariil “Pernyataan Pinjam Nama” dan akta “Kuasa Untuk Menjual” yang
juga dibuat dihadapan PPAT tersebut dalam jabatannya sebagai Notaris,
yang pada intinya didalam kedua akta tersebut dinyatakan bahwa pegawai
tersebut hanya dipinjam namanya oleh Perseroan Terbatas dan juga
memberikan kuasa untuk menjual kepada Perseroan Terbatas tersebut.
Contoh lainnya, seorang Warga Negara Asing (WNA) yang telah
menetap di Bali, berkeinginan untuk membeli sebidang tanah Hak Milik di
Bali yang kemudian akan didirikan sebuah rumah tinggal diatasnya
dengan mekanisme meminjam nama seorang warga Bali (WNI) dan
kemudian antara WNI dan WNA tersebut dibuat perjanjian seolah-olah
WNI telah berhutang kepada WNA atas sejumlah uang dengan
menggunakan tanah yang dibeli tersebut sebagai agunan, sehingga
perbuatan berkedok (stroman) tersebut dapat dikategorikan sebagai
penyelundupan hukum.
Meskipun berdasarkan Pasal 1338 ayat 1 BW yang menyatakan
bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, Tetapi perjanjian utang
piutang tersebut dibuat dengan itikad tidak baik, karena merupakan
tindakan penyamaran jual beli hak atas tanah dengan melibatkan orang
asing, serta perbuatan hukum ini jelas bertentangan dengan UUPA sebab
40
perbuatan tersebut telah menjurus kepada adanya unsur-unsur
penyelundupan hukum.
Selanjutnya sebagai jaminan atas pengakuan utang tersebut maka
dibuatlah akta pengikatan jaminan secara hak tanggungan yaitu Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Bilamana pemberi hak tanggungan
ternyata lalai atau tidak dapat melunasi hutangnya sesuai dengan yang
diperjanjikan, maka kreditur atau penerima hak tanggungan dapat
meminta eksekusi atas objek hak tanggungan. Kreditur pemegang hak
tanggungan mempunyai kepentingan yang besar sekali atas tetap
tingginya nilai objek hak tanggungan, terutama pada waktu kreditur
tersebut akan mengeksekusi objek hak tanggungan.12
Kemudahan yang diberikan bagi kreditur pemegang hak
tanggungan manakala debitur cidera janji, berdasarkan Pasal 20 ayat (1)
huruf a dan b dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah (selanjutnya disingkat UUHT), bahwa eksekusi atas benda
jaminan hak tanggungan yang dapat ditempuh melalui tiga cara yaitu:
1. Parate executie
Parate executie menurut Subekti seperti yang dikutip Herowati Poesoko
adalah : “Menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi
haknya, dalam arti tanpa perantaraan hakim, yang ditunjukan atas
12
J. Satrio, S.H, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, Hal. 1.
41
sesuatu barang jaminan untuk selanjutnya menjual sendiri barang
tersebut”.13
2. Titel eksekutorial
Eksekusi berdasarkan “titel eksekutorial” dilaksanakan dengan
kekuatan irah-irah yang tercantum dalam sertipikat hak tanggungan.
Sertipikat hak tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan Pasal
14 ayat (2) dan (3) berikut penjelasan UUHT, sertipikat hak tanggungan
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku
sebagai pengganti grosse akta hipotik sepanjang mengenai hak atas
tanah. Irah-irah yang dicantumkan pada sertipikat hak tanggungan
dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada
sertipikat hak tanggungan, sehingga apabila debitur cidera janji, siap
untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Penjualan dibawah tangan.
Untuk penjualan dibawah tangan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT yang menyatakan: “Atas
kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan
obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan jika
dengan demikian itu dapat diperoleh harga tertinggi yang
13
Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, LaksBang, Yogyakarta, 2008, Hal. 5.
42
menguntungkan semua pihak”. Berkaitan dengan penjualan objek hak
tanggungan yang dilakukan dibawah tangan di atas, Remy Sjahdeni,
seperti yang dikutip oleh Supriadi menyatakan: “Karena penjualan
dibawah tangan dari objek Hak Tanggungan hanya dilaksanakan
apabila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak
Tanggungan, bank tidak mungkin melakukan penjualan dibawah tangan
dari objek Hak Tanggungan atau agunan kredit itu apabila debitur tidak
menyetujuinya.14
D. Orientasi UUPA dan Perlindungan Kepentingan Warga Negara
Indonesia
Pasal 1 UUPA menyatakan:
(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh
rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa
bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang
angkasa termasuk dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang
bersifat abadi.
(4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh
bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.
14
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, Hal. 201.
43
(5) Dalam pengertian air termaksud baik perairan pedalaman maupun laut
wilayah Indonesia.
(6) Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan
air tersebut pada ayat (4) dan (5) pasal ini.
Pasal 1 ayat (1) UUPA tersebut di atas akan lebih jelas dapat
dimengerti, jika kita menelaah doktrin “wawasan nusantara”, sebagai
suatu kesatuan politik, satu kesatuan sosial budaya, satu kesatuan
ekonomi dan satu kesatuan hukum. Dengan doktrin wawasan nusantara
inilah dapat kita pahami hubungan yang bersifat abadi antara bangsa
Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa, demikian juga hubungan
dengan tubuh bumi baik yang berada di bawah air, perairan pedalaman
maupun lautan teritorial bangsa dan negara Indonesia. Negara Republik
Indonesia adalah negara Kesatuan, dan konsekuensinya kita harus
menciptakan satu kesatuan hukum nasional yang mengabdi kepada
kepentingan nasional dan warga negara Indonesia.
Dari ketentuan ayat (2) di atas, bahwa bumi, air, ruang angkasa
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan karunia
Tuhan, berarti diakui bahwa ini merupakan hak dari Tuhan dan kita
bangsa Indonesia diberinya karunia untuk memeliharanya. Dalam
penjelasan UUPA dinyatakan bahwa, “Selama rakyat Indonesia yang
bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan
ruang angkasa Indonesia itu masih ada maka dalam keadaan
bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang dapat memutuskan
44
atau meniadakan hubungan tersebut.” Adanya hubungan antara bangsa
dan bumi, air serta ruang angkasa tersebut di atas tidak berarti, bahwa
hak milik perseroangan atas (sebagian dari) bumi tidak dimungkinkan.
Hubungan itu menjadi hak ulayat, jadi bukan hubungan milik. Dalam
rangka hak ulayat dikenal adanya hak milik perseorangan.
Pasal 2 UUPA menyatakan:
(1) Atas dasar ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak Menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini
memberi wewenang untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara
tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-
45
besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan
dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia
yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak Menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah Swantantra dan masyarakat-
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, berdasarkan ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah.
Penjelasan UUPA mengenai ketentuan ini menyatakan bahwa
wewenang Hak Menguasai dari Negara ini dalam tingkatan tertinggi:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaannya.
2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian
dari) bumi, air dan ruang angkasa itu.
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Negara sebagai organisasi kekuasaan “menguasai” sehingga
membuat peraturan, kemudian “menyelenggarakan” dalam arti
melaksanakan atas penggunaan/peruntukkan, persediaan dan
pemeliharaan dari bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang
46
terkandung di dalamnya.15 Sesuai dengan Penjelasan UUPA maka hak
menguasai dari Negara tersebut meliputi atas bumi, air dan ruang
angkasa, jadi baik yang sudah ada hak seseorang maupun yang tidak
atau belum ada. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai
orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi hak itu, artinya sampai
seberapa jauh negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai hak
untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara
tersebut.
Menurut A.P. Parlindungan, Hak Menguasai dari Negara tersebut
selain pembatasan yang dibuat oleh Pasal 2 ayat (2) UUPA dapat
dikonstruksikan dalam pengertian politis, yaitu:16
1. Konstatasi hak seseorang atau badan hukum yaitu melalui lembaga
konversi atas tanah-tanah eks B.W. dan eks Hukum Adat dan atas
tanah-tanah yang dikuasai oleh pemerintah daerah otonom ataupun
yang dikuasai oleh lembaga-lembaga pemerintahan.
2. Memberikan hak-hak baru yang ditetapkan oleh UUPA seperti Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak
Pengelolaan.
3. Mengesahkan sesuatu perjanjian yang diperbuat antara seseorang
pemegang hak milik dengan orang lain untuk menimbulkan suatu hak
lain diatasnya, seperti yang kita kenal Hak Guna Bangunan di atas
tanah Hak Milik dan Hak Pakai di atas tanah Hak Milik. 15
A.P.Parlidungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1998, hal.44. 16
Ibid., hal.45.
47
Dari apa yang dinyatakan di atas, maka dapat diketahui bahwa
orientasi UUPA adalah didasarkan pada Pasal 9 ayat (1) yang
menyatakan:
(1) Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang
sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas
ketentuan Pasal 1 dan 2.
(2) Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak
atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri
sendiri maupun keluarganya.
Kemudian dipertegas lagi dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA yang
menyatakan, hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai Hak Milik.
Dari sikap ini semakin jelas kepentingan warga negara Indonesia di atas
segala-galanya baik dari segi ekonomis, sosial, politis dan dari sudut
pandang Pertanahan dan Keamanan Nasional (Hankamnas).
E. Penyelundupan Hukum Sebagai Perbuatan Tidak Patut
Penyelundupan hukum dapat dikemukakan dalam berbagai istilah
yaitu penyelundupan hukum atau Wetsumbtduiking (istilah Belanda),
Fraude a la loi (istilah Perancis), Fraus Legis (istilah latin),
Gesetzesumenung dan Handeln in Fraudem (istilah Jerman), Fraudulent
creation of point of contatcts (istilah Inggris) dan Frode alla Legge (istilah
48
Itali).17 Istilah asingnya penyeludupan hukum adalah rechtsontduiking.
Dalam hubungan dengan ketertiban umum, menurut Wirjono
Prodjodikoro yang dikutip oleh Sudargo Gautama, bahwa ketertiban
umum dan penyelundupan hukum mempunyai hubungan yang erat.
Kedua-duanya bertujuan agar supaya hukum nasional dipakai dengan
mengenyampingkan hukum asing. Hukum asing dinyatakan tidak berlaku
jika dipandang sebagai penyelundupan hukum.18Selanjutnya Sudargo
Gautama mengemukakan, pada penyelundupan hukum ini ialah bahwa
orang bersangkutan hendak berusaha supaya diperlakukan hukum yang
lain daripada apa yang harusnya akan dipergunakan jika tidak diambil
tindakan mengelakkan itu. Jadi tujuannya ialah untuk menghindarkan
suatu akibat hukum yang tidak dikehendaki atau mewujudkan suatu akibat
hukum yang dikehendaki.
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo juga menggunakan
istilah penyelundupan hukum yang antara lain menyatakan:
“Penyelundupan hukum terjadi bilamana ada seseorang atau suatu pihak
yang untuk mendapatkan berlakunya hukum asing, telah melakukan suatu
cara yang tidak dibenarkan, dengan maksud untuk menghindarkan
pemakaian hukum nasional.”19Tujuan penyeludupan hukum adalah untuk
menghindarkan suatu syarat atau akibat hukum tertentu yang tidak
dikehendaki, ataupun untuk mewujudkan atau menciptakan suatu akibat
17
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal.148. 18
Ibid. 19
Purnadi Purbacaraka Dan Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata Internasional suatu Orientasi, Rajawali, Jakarta, 1983, hal.62.
49
hukum yang dikehendaki. Jadi dengan melakukan penyelundupan hukum
seseorang berusaha supaya diperlakukan hukum yang lain daripada
hukum yang seharusnya dipergunakan.20
Wirjono Projodikoro, menggunakan istilah penghindaran
pelaksanaan hukum yang mengemukakan bahwa pada dasarnya mula-
mula peraturan itu merupakan suatu peraturan nasional akan tetapi
kemudian sebagai akibat dari suatu perbuatan seseorang itu tidak berlaku
lagi berdasarkan suatu peraturan hukum perdata internasional dari suatu
negara nasional orang itu sendiri.21
Mengenai Istilah tersebut, peneliti lebih setuju untuk menggunakan
istilah penyelundupan hukum, karena perkataan penyelundupan hukum
mengingatkan pada suatu perbuatan yang bersifat pelanggaran, demi
untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Disamping itu bahwa tujuan
perbuatan penyelundupan hukum adalah untuk menghindari berlakunya
hukum nasional, sehingga yang bersangkutan memperoleh suatu
keuntungan-keuntungan tertentu sesuai dengan keinginannya, sebab
baginya berlaku hukum asing.
Ada 2 (dua) aliran yang mengemukakan teori-teori mengenai
penyelundupan hukum ini, yaitu aliran yang menganut pendirian objektif
dan pendirian subjektif. Menurut para sarjana yang menganut pendirian
objektif ini tidak diisyaratkan bahwa perbuatan bersangkutan, yang sesuai
20
Ibid, hal 63. 21
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdata Internasional, Sumur, Bandung, 1979, hal.51-52.
50
dengan teks daripada undang-undang adalah bertentangan dengan jiwa
dan tujuannya. Menurut pendirian ini tidak penting apakah yang
merupakan maksud atau tujuan daripada orang bersangkutan. Yang
bersangkutan dapat juga beranggapan secara itikad baik bahwa apa yang
dilakukannya tidak melanggar undang-undang bersangkutan. Hijmans
menjelaskan hal ini bahwa niat subjektif dari yang bersangkutan tidak
selalu perlu dianggap sebagai faktor yang menentukan. Bukankah dalam
hal ini benar disatu pihak secara muslihat orang yang bersangkutan
hendak menyeludupkan undang-undang yang satu tetapi sebaliknya
sekaligus hendak menaklukan diri di bawah undang-undang yang lain.
Yang hanya dapat merasakan dirinya dirugikan adalah pembuat undang-
undang dari misalnya negara A (yang diselundupkan hukumnya) akan
tetapi tidak bagi pembuat undang-undang negara B (yang justru
bergembira karena hukumnya hendak dipergunakan). Di negara ketiga C
seringkali persoalan ini sama sekali tidak ada kepentingan karena tidak
mengenai sistem hukumnya, kecuali apabila isi dari hukum C ini adalah
sama bunyinya dengan kaidah-kaidah A yang telah diselundupi.
Sebaliknya pendirian subjektif meletakkan titik berat kepada niat
buruk dari yang bersangkutan. Disamping mensyaratkan bahwa
perbuatan bersangkutan harus bertentangan dengan jiwa dan makna dari
undang-undang itu diisyaratkan lagi bahwa yang bersangkutan harus
mempunyai niat siasat muslihat untuk dengan berdasarkan teks daripada
undang-undang hendak meloloskan diri dari ikatan undang-undang ini
51
dengan melakukan perbuatan-perbuatan bersangkutan.22 Niat dari yang
bersangkutan ini penting adanya untuk menentukan apakah telah terjadi
penyelundupan hukum atau tidak. Hanya setelah ternyata intensi yang
kurang baik dapat ditentukan bahwa rangkaian fakta yang menjadi bahan
ini merupakan penyelundupan hukum atau tidak.
Setelah dapat dipastikan niat dari orang yang bersangkutan dari
kenyataan fakta-fakta, dapatlah dilihat secara jelas bahwa yang telah
dilakukan benar merupakan penyelundupan hukum. Tanpa adanya niat
ini, gambaran fakta-fakta yang diberikan adalah kurang terang, sehingga
belum dapat menentukan dengan tegas apakah yang dihadapi adalah
peristiwa penyelundupan hukum atau bukan. Dengan belum nyatanya niat
yang kurang baik ini maka belum jelaslah bagi hakim untuk menentukan
apakah perbuatan tersebut harus dipandang berlaku atau tidak. Tanpa
adanya ketegasan tentang niat ini bahan fakta-fakta masih kurang
adanya, karena dengan demikian hakim kurang dapat mengadakan
pengujian apakah yang dipersoalkan ini bertentangan dengan maksud
dari pembuat undang-undang atau tidak.23
Penyelundupan hukum dapat juga dilihat dalam hubungannya
dengan hak-hak yang telah diperoleh, mengenai hak-hak yang diperoleh
ini dipergunakan untuk mengedepankan bahwa fakta-fakta atau keadaan-
keadaan hukum yang menyebabkan terhadap suatu hubungan hukum
diperlakukan suatu kaidah hukum tertentu, tidak akan mempengaruhi 22
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II Bagian 3 Buku ke-4, Alumni, Bandung, 2007, hal.295-296. 23
Ibid., hal.297-298.
52
berlakunya kaidah semula. Hubungan penyelundupan hukum dengan hak-
hak yang telah diperoleh, akan tampak nyata bahwa justru penyelundupan
hukum ini adalah bertentangan dengan hak-hak yang telah diperoleh.
Hak-hak yang diperoleh ini apabila dihubungkan dengan ketertiban umum
juga mempunyai kaitan erat pula, ketertiban umum merupakan suatu
dasar kuat untuk melakukan hukum perdata hakim sendiri.
Masalah penyeludupan hukum juga terjadi dalam bidang agraria. Di
Indonesia sering terjadi penyeludupan hukum dalam bidang agraria yang
berkaitan dengan kepemilikan hak atas tanah dan/atau bangunan,
sehubungan dengan adanya penduduk Indonesia yang karena satu dan
lain hal masih mempunyai status warga negara asing, walaupun mereka
sudah lama tinggal di Indonesia. Penyebab utama timbul masalah
penyeludupan hukum dalam bidang agraria adalah karena politik hukum
agraria Indonesia menghendaki hak milik atas tanah hanya untuk warga
negara Indonesia saja dan karena adanya penduduk Indonesia yang
masih berstatus orang asing dan berusaha untuk memiliki tanah walaupun
ada larangan undang-undang yang disebutkan dalam Pasal 26 ayat 2
UUPA. Jadi penyeludupan hukum ini karena adanya penduduk Indonesia
yang masih berstatus orang asing yang secara tidak langsung
memperoleh hak milik atas tanah Indonesia.24
Adanya ketentuan dalam bidang agraria bahwa hanya warga
negara Indonesia saja yang boleh mempunyai hubungan sepenuhnya
24
Bachsan Mustafa, Hukum Agragria Dalam Perspektif, Remdja Karya, Bandung, 1988, Hal. 36
53
dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya (Pasal 9 ayat 1 UUPA) dan dipertegas pula bahwa hanya warga
Indonesia saja yang dapat mempunyai Hak Milik maka memungkinkan
terjadinya penyeludupan hukum apabila ada orang asing yang ingin
memiliki tanah dengan status Hak Milik di Indonesia. Orang asing
termasuk perwakilan perusahaan asing hanya dapat mempunyai hak atas
tanah yang terbatas, selama kepentingan warga negara Indonesia tidak
terganggu dan juga perusahaan asing itu dibutuhkan oleh bangsa
Indonesia untuk pembangunan dan hanya sebagai komponen tambahan,
dari pembangunan ekonomi Indonesia.
Permasalahan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
perbuatan orang asing untuk dapat mempunyai tanah dengan status hak
milik di Indonesia, yang dilakukan dengan menempuh jalan yang
mengarah pada suatu perbuatan yang bersifat penyelundupan hukum,
misalnya pembelian tanah dengan cara menggunakan perbuatan
berkedok (strooman kalau laki-laki dan stroovrouw kalau perempuan).
Orang asing hendak membeli sebidang tanah hak milik namun orang
asing tersebut tidak membelinya secara langsung tetapi memakai nama
dengan mencantumkan nama seorang warga negara Indonesia.
Selanjutnya untuk menutupi perbuatannya tersebut mereka bersama-
sama ke kantor notaris untuk membuat surat kuasa yang ditandatangani
oleh orang Indonesia itu (yang dipinjam namanya). Dalam surat kuasa itu
orang asing dikuasakan sepenuhya untuk melakukan segala perbuatan
54
dan pengurusan bahkan lebih jauh lagi si orang asing diperkenankan
untuk menjualbelikan hak milik tanah yang bersangkutan. Juga seringkali
dibuat surat perjanjian hutang piutang, seolah-olah warga negara
Indonesia yang dipinjam namanya itu berhutang kepada si orang asing
dengan menjadikan tanah tersebut sebagai jaminannya.
Dengan jalan seperti tersebut di atas kemungkinan besar akan
dapat terjadi bahwa tanah milik orang Indonesia yang luas akan jatuh ke
dalam kekuasaan orang-orang asing. Suasana ini akan dapat
berkembang menjadi timbulnya kapitalis dan tumbuhnya tuan-tuan tanah
asing di Indonesia. Hal ini jelas bertentangan dengan sendi-sendi yang
terkandung dalam UUPA yang mengatur mengenai penggunaan tanah
untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
F. Peranan Notaris Dan PPAT Dalam Peralihan Hak Atas Tanah
Untuk Warga Negara Asing.
Keberadaan notaris merupakan profesi yang sangat penting dan
dibutuhkan dalam masyarakat, mengingat fungsi dari notaris adalah
sebagai pembuat alat bukti tertulis mengenai akta-akta otentik.
Kewenangan notaris berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat
UUJN), yaitu bahwa “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai
semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian
55
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan
dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh Undang-undang.” Pengecualian itu ada pada pembuatan
akta PPAT yang menjadi kewenangan PPAT, akta risalah lelang yang
menjadi kewenangan pejabat lelang, dan akta catatan sipil menjadi
kewenangan kantor catatan sipil.
Dengan demikian seorang notaris memiliki kewenangan yang
sangat luas untuk membuat akta-akta notaril yang berkaitan dengan
perjanjian mengenai pemilikan dan penguasaan atas tanah antara lain:
akta Pernyataan Pinjam Nama, Akta Pengikatan Jual Beli, Surat Kuasa
Untuk Menjual, Akta Pengakuan Hutang dan lain-lain.
Disamping pembuatan akta otentik notaris juga memberi nasehat
hukum. Notaris merupakan unsur penegak hukum yang memberikan
pelayanan hukum kepada masyarakat. Untuk memberikan landasan
hukum dan ketaatan pada asas hukum dalam pembangunan nasional,
khususnya dibidang ekonomi dan hukum maka para notaris dapat
memegang peranan yang penting. Selain membuat akta-akta yang taat
asas hukum dan perundang-undangan, maka dalam hal belum ada
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya notaris dapat
menciptakan suatu bentuk klausula baru dengan menuangkan
kesepakatan para pihak yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan oleh karenanya tidak harus
56
menjiplak begitu saja atau menelan mentah-mentah lembaga hukum baru
tersebut, tetapi sebaliknya menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi
di Indonesia dan disesuaikan pula dengan sumber dari segala sumber
hukum di negara Indonesia yakni Pancasila.
PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk
membuat alat bukti otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai
hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang akan
dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan adanya perbuatan-perbuatan hukum itu. Perbuatan-perbuatan
hukum yang dimaksud, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pembuat Akta Tanah (untuk selanjutnya disingkat PP 37/1998), meliputi :
jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan kedalam perusahaan
(inbreng), pembagian hak bersama, pemberian hak guna bangunan/hak
pakai atas tanah hak milik, pemberian hak tanggungan dan pemberian
kuasa membebankan hak tanggungan.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (4) UUHT, PPAT adalah pejabat umum
yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah,
akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian surat kuasa
pembebanan hak tanggungan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dan karenanya sifat akta yang dibuat oleh PPAT
itu adalah otentik sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 7
UUHT dan Pasal 3 PP 37/1998. Ketentuan ini sejalan dengan maksud
57
Pasal 1868 BW yang menyatakan bahwa, suatu akta otentik adalah suatu
akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu di
tempat dimana akta dibuatnya.
Memperhatikan wewenang yang diberikan kepada Notaris dan
PPAT untuk membuat akta otentik maka tidak ada pejabat lain yang dapat
membuat dan melangsungkan pembuatan akta-akta yang terkait dengan
pemilikan atau penguasaan tanah, termasuk yang dilakukan oleh Warga
Negara Asing.
Dihadapan Notaris/PPAT dilaksanakan proses transaksi jual beli
atas tanah yang berstatus hak milik yang pembeli sebenarnya adalah
warga negara asing. Oleh karena warga negara asing tidak memenuhi
syarat untuk memiliki tanah hak milik maka dipakailah nama warga negara
Indonesia untuk dipinjam namanya sebagai pihak pembeli. Akta jual beli
yang telah dibuat tersebut kemudian didaftarkan balik namanya pada
kantor pertanahan setempat sehingga sertipikat tercatat atas nama warga
negara Indonesia yang dipinjam namanya.
Sebagai pejabat umum yang “mewakili penguasa” dalam memberi
pelayanan kepada masyarakat umum teristimewah dalam pembuatan akta
otentik sebagai alat bukti sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum
di bidang keperdataan saja, maka notaris terikat pada disiplin dan
peraturan-peraturan profesi yang ketat. Juga dalam menjalankan
jabatannya notaris harus berpegang dan berpedoman pada peraturan
58
perundang-undangan yang berlaku dan seorang notaris yang baik wajib
menolak untuk membuat akta atau memberikan jasa hukum lain jika
permintaan pembuatan akta tersebut tidak sesuai atau melanggar
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
G. Kerangka Pikir
Indonesia sebagai negara yang berdaulat mempunyai kewajiban
untuk melindungi warga negaranya dengan menetapkan politik hukum
pertanahan dalam kebijakan nasional yang berkaitan dengan pertanahan.
Salah satu prinsip yang dianut UUPA adalah prinsip nasionalitas bahwa
hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik (Pasal
21 ayat (1) UUPA), sedangkan warga negara asing hanya dimungkinkan
untuk menguasai/memiliki tanah dengan status Hak Pakai. Orang asing
yang diperkenankan memiliki tanah Hak Pakai juga dibatasi dengan
persyaratan tertentu.
Kurangnya pengetahuan yang cukup dari WNA dalam memahami
peraturan dan kebijakan pemerintah di bidang hukum pertanahan dan
adanya larangan bagi orang asing untuk mempunyai tanah dengan status
hak milik, menyebabkan WNA mengambil jalan pintas untuk dapat
menguasai suatu hak atas tanah sehingga terjadi penyelundupan hukum.
Disamping itu adanya itikad yang tidak baik dari WNA juga menyebabkan
terjadinya penyelundupan hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah.
Proses penyelundupan hukum terhadap penguasaan hak atas
tanah oleh warga negara asing melibatkan pejabat/instansi yang
59
berwenang yaitu Notaris/PPAT sebagai yang memfasilitasi pembuatan
perjanjian para pihak. Dihadapan Notaris/PPAT dilaksanakan proses
transaksi jual beli atas tanah Hak Milik. Oleh karena WNA tidak memenuhi
syarat untuk memiliki tanah Hak Milik maka dipakailah nama WNI untuk
dipinjam namanya sebagai pihak pembeli. Akta jual beli yang telah dibuat
tersebut kemudian didaftarkan balik namanya pada Kantor Pertanahan
setempat sehingga sertipikat tercatat atas nama WNI yang dipinjam
namanya.
Bahwa untuk melindungi kepentingan pemilik yang sebenarnya
(WNA), maka dihadapan Notaris dibuatlah akta-akta yang terkait antara
lain:
1. Akta Pernyataan Peminjaman Nama, yang pada pokoknya
menerangkan bahwa WNI selaku pemilik yang namanya tercatat di
dalam sertipikat menyatakan dan mengakui bahwa uang yang
dipergunakan untuk membeli tanah Hak Milik tersebut adalah uang
kepunyaan WNA.
2. Surat Kuasa Menjual, yang pada pokoknya berisikan kuasa untuk
menjual/mengalihkan hak secara bagaimanapun juga atas tanah Hak
Milik tersebut kepada siapapun juga termasuk kepada penerima kuasa
sendiri (WNA) jika diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali dan tidak
akan berakhir karena sebab apapun juga (kuasa tersebut tidak akan
60
berakhir oleh karena sebab-sebab yang disebutkan dalam Pasal
1813BW).
3. Disamping itu, adakalanya dibuatkan juga akta Pengikatan Jual Beli
yang isinya antara lain memuat bahwa WNI selaku pemilik yang
namanya tercatat didalam sertipikat telah berjanji dan mengikatkan diri
untuk menjual/mengalihkan haknya kepada WNA (pemilik sebenarnya).
Pembayaran atas harga pengikatan jual beli tersebut telah dinyatakan
lunas, namun oleh karena pihak pembeli (WNA) belum memenuhi
persyaratan sebagai pemegang tanah Hak Milik maka dibuatkanlah
akta Pengikatan Jual Beli. Bahwa di dalam akta Pengikatan Jual Beli
juga dicantumkan kuasa (mutlak) kepada pihak pembeli (WNA) untuk
menjual atau mengalihkan tanah tersebut kepada pihak lain yang
ditunjuk oleh pihak pembeli. Terkadang kekuasaan yang diberikan
tersebut dibuat dalam suatu akta tersendiri yaitu Surat Kuasa Untuk
Menjual.
Kuasa (mutlak) yang diberikan kepada pihak pembeli (WNA) tersebut ada
pula yang dikonstruksikan dalam perjanjian utang-piutang. Dihadapan
Notaris dibuat akta Pengakuan Hutang yang pada pokoknya memuat
jumlah utang tertentu yang diakui sebagai utang dari WNI yang dipinjam
namanya dan akan dikembalikan dalam jangka waktu yang panjang.
Adapun yang menjadi jaminannya adalah tanah yang bersangkutan dan
dibuatkanlah akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). APHT ini
kemudian didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat dan terbitlah
61
Sertipikat Hak Tanggungan (SHT). WNA sebagai pemberi hutang
(kreditur) tercatat di dalam SHT sebagai pemegang Hak Tanggungan.
Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut (Pasal 6 UUHT).
Perjanjian-perjanjian (notariil) tersebut di atas jika dilihat, seolah-
olah tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku karena
tidak dalam bentuk secara langsung. Namun, bila isi perjanjian ditelaah
maka semua perjanjian tersebut secara tidak langsung dimaksudkan
untuk memindahkan tanah hak milik kepada warga negara asing. Hal ini
menunjukkan bahwa secara tidak langsung melalui perjanjian notariil
tersebut telah terjadi penyelundupan hukum terhadap kepemilikan hak
atas tanah, karena substansinya bertentangan dengan UUPA khususnya
Pasal 26 ayat (2) atau dengan perkataan lain substansi perjanjian tersebut
melanggar syarat obyektif perjanjian oleh karena itu akibat hukumnya
adalah batal demi hukum dan tanahnya jatuh kepada negara.
Melihat adanya perjanjian-perjanjian notariil tersebut di atas yang
merupakan penyeludupan hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah
maka diperlukan adanya penegakan hukum terhadap masalah tersebut.
Hal ini membutuhkan kerjasama semua pihak dalam mencegah terjadinya
penyeludupan hukum dalam hal pemilikan hak atas tanah.
62
H. Bagan Kerangka Pikir
Pen
yelu
nd
up
an
hu
kum
o
leh
o
ran
g as
ing
dal
am
up
aya
pen
guas
aan
hak
ata
s ta
nah
- A
sas
Nas
ion
allit
as
- It
ikad
bai
k
- B
atal
dem
i hu
kum
- Ta
nah
jatu
h k
ep
ada
neg
ara
Per
anan
dan
tan
ggu
ng
jaw
ab N
ota
ris/
PP
AT:
- P
emb
uat
an a
kta
per
nya
taan
pem
inja
man
nam
a
- P
emb
uat
an S
ura
t K
uas
a M
en
jual
- P
emb
uat
an a
kta
pen
gaku
an u
tan
g
- P
emb
uat
an a
kta
pen
gika
tan
jual
bel
i
pem
inja
man
nam
a
Pen
egak
an H
uku
m
terh
adap
pen
yelu
nd
up
an
hu
kum
yan
g d
ilaku
kan
ole
h o
ran
g as
ing
terh
adap
pen
guas
aan
hak
ata
s ta
nah
63
I. Definisi Operasional
1. Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan
pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
2. Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah.
3. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut
hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah
milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan
jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
4. Penyelundupan hukum adalah suatu perbuatan yang bertujuan
untuk menghindari (menghindarkan) berlakunya hukum nasional,
sehingga yang bersangkutan memperoleh suatu keuntungan-
keuntungan tertentu sesuai dengan keinginannya, sebab baginya
berlaku hukum asing.
5. Warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli
dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-
undang sebagai warga negara.
64
6. Warga negara asing adalah orang yang tidak terdaftar sebagai
warga negara dalam suatu negara dimana dia berdomisili.
7. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
UUJN.
8. Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun.
9. Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak
pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan
hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku
tanah yang bersangkutan.
10. Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang diberikan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor lain.
11. Surat kuasa adalah surat yang memberikan wewenang kepada
pihak (pemegang surat) untuk melakukan sesuatu yang menjadi
hak penulis surat.
65
12. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan
Notaris berdasarkan bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam
UUJN.
13. Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah akta PPAT yang berisi
pemberian Hak Tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai
jaminan untuk pelunasan piutangnya.
14. Akta Pernyataan Peminjaman Nama adalah akta yang dibuat dan
ditandatangani dihadapan Notaris, yang mana pemegang hak milik
atas tanah bertindak sebagai pembeli dan meminjamkan namanya
sehingga tercatat sebagai pemegang hak atas tanah Hak Milik
sebagaimana yang tercantum di dalam sertipikat, sedangkan
seluruh uang yang dipergunakan untuk membeli bidang tanah
tersebut adalah kepunyaan orang lain (warga negara asing).
15. Surat Kuasa Untuk Menjual adalah akta notariil yang berisi
pernyataan pemberian kuasa dari pemegang hak atas tanah Hak
Milik kepada penerima kuasa untuk menjual atau
mengalihkan/mengoperkan haknya atas tanah berikut bangunan
yang didirikan diatasnya kepada siapapun juga termasuk kepada
penerima kuasa sendiri (jika telah memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku).
16. Akta Pengikatan Jual Beli adalah perjanjian yang dibuat oleh dan
antara pihak penjual dan pihak pembeli yang menyatakan bahwa
pihak penjual berjanji dan mengikatkan dirinya untuk menjual
66
kepada pihak Pembeli dan pihak Pembeli berjanji serta
mengikatkan dirinya untuk membeli dari pihak Penjual atas tanah
Hak Milik berikut bangunan yang ada diatasnya, sesuai dengan
kesepakatan yang diperjanjikan.
17. Batal demi hukum artinya tidak memenuhi syarat objektif sahnya
suatu perjanjian, sehingga dari semula dianggap tidak pernah ada
dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
18. Dapat dibatalkan artinya tidak memenuhi syarat subjektif sahnya
suatu perjanjian sehingga salah satu pihak dapat memintakan
pembatalan itu, perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah
pihak selama tidak dibatalkan.
19. Asas Nasionalitas adalah asas yang menghendaki bahwa hanya
Bangsa Indonesia saja yang dapat mempunyai hubungan hukum
sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya atau dengan kata lain hanya warga
negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah
tanpa membedakan jenis kalamin serta sesama warga negara baik
asli maupun keturunan.
20. Memfasilitasi adalah membantu menyediakan/memudahkan suatu
pekerjaan/tugas.
67
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian tentang penyelundupan hukum oleh orang asing
dalam upaya pemilikan hak atas tanah ini telah dilakukan di kota Bali
dan kota Makassar. Dasar pertimbangan pemilihan lokasi penelitian di
kota Bali karena Bali sebagai kota tujuan wisata di Indonesia yang
paling banyak diminati oleh wisatawan mancanegara dan di kota
Makassar karena Makassar merupakan pintu gerbang perkembangan
industri, perdagangan dan perekonomian di kawasan timur Indonesia.
Banyak investor asing yang tertarik untuk menanamkan modalnya dan
menetap di kota Bali dan kota Makassar sehingga kota-kota tersebut
memiliki potensi terjadinya penyeludupan hukum oleh orang asing
dalam upaya pemilikan hak atas tanah.
B. Tipe dan Sifat Penelitian
Tipe penelitian ini merupakan suatu penelitian yang bersifat
sosio-yuridis, yaitu penelitian yang mengkaji aturan hukum yang
diberlakukan di masyarakat.Sifat penelitian ini adalah deskriptif yaitu
penelitian yang menguraikan, menggambarkan dan menjelaskan data
yang diperoleh dalam bentuk narasi.
C. Jenis dan Sumber Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data sekunder dan
68
data primer yang diperoleh melalui studi kepustakaan/studi dokumen
dan wawancara.
1. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari suatu sumber yang
sudah dikumpulkan oleh pihak lain dengan membaca bahan hukum
yaitu:
a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang merupakan
produk perundang-undangan, terdiri dari:
1) BW Buku Ketiga tentang Perikatan.
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Dan Benda-benda Yang Ada
Di Atasnya.
4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris.
5) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
Atas Tanah.
6) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh
Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.
69
b. Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang diperoleh
dari buku-buku teks(sebagaimana disebutkan dalam daftar
pustaka) dan akta-akta notaris yang berkaitan dengan
masalah penelitian.
2. Data primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya
melalui wawancara dengan responden yang dinilai memahami
masalah penelitian.
D. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pihak yang terlibat
dalam proses penguasaan hak atas tanah oleh orang asing di kota Bali
dan kota Makassar. Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan metode sampling non random. Cara non random yang
dipilih adalah purposive sampling yaitu pemilihan sampel yang
dilakukan dengan cara menentukan sendiri sampel yang dianggap
mewakili keseluruhan populasi.
Sebagai responden dalam penelitian ini yaitu Notaris/PPAT sebanyak 9
(sembilan) orang yang terdiri dari: 5 (lima) orang notaris/PPAT di
Kabupaten Tabanan-Bali dan 4 (empat) orang notaris/PPAT di Kota
Makassar.
E. Alat Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, alat yang dipergunakan adalah studi
kepustakaan/studi dokumen dan wawancara/interview. Studi
70
kepustakaan dilakukan dengan mempelajari data sekunder baik berupa
buku-buku/literatur, akta-akta notaris/PPAT dan peraturan-peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah penelitian.
Pengumpulan data melalui wawancara dilakukan terhadap responden
yang memahami masalah penelitian ini sebagaimana disebutkan di
atas. Bentuk pedoman wawancara yang digunakan yaitu terstruktur dan
semi terstruktur. Bentuk terstruktur yaitu dengan daftar pertanyaan
yang terperinci yang telah dipersiapkan sebelumnya dan diserahkan
kepada responden untuk dijawab. Bentuk semi terstruktur dipergunakan
untuk memperdalam pertanyaan yang timbul dari jawaban responden
pada waktu mengadakan wawancara dengan responden, tetapi
pertanyaannya selalu terpusat pada pokok permasalahan yang diteliti.
Dari hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa dari
(empat) notaris/PPAT di makassar tempat dilakukan penelitian, tidak
ada satupun yang pernah membuat akta-akta peralihan hak atas tanah
untuk warga negara asing yang dapat dikategorikan sebagai
penyeludupan hukum, sedangkan 5 (lima) notaris di Kabupaten
Tabanan-Bali menyatakan pernah membuat akta-akta yang dimaksud.
Adanya perbedaan tersebut disebabkan minat orang asing untuk
memiliki hak milik atas tanah di Bali lebih besar dari pada di Makassar,
hal ini dikarenakan lebih banyak orang asing yang berinvestasi dan
berdomisili di Bali dibandingkan di Makassar.
71
F. Analisis Data
Seluruh data hasil penelitian dianalisis secara kualitatif artinya
data sekunder dan hasil wawancara dianalisis secara mendalam dan
komprehensif. Penggunaan metode analisis secara kualitatif didasarkan
pada pertimbangan bahwa data yang dianalisis beragam memiliki sifat
dasar yang berbeda satu dengan yang lain, menyeluruh dan
merupakan satu kesatuan yang bulat. Penarikan kesimpulan dilakukan
dengan menggunakan logika deduktif, artinya metode menarik
kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan-pernyataan yang
sifatnya umum sehingga dari hasil penelitian yang telah diperoleh
diharapkan dapat memberikan gambaran atau uraian yang bersifat
deskriptif kualitatif.
72
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kriteria Penyelundupan Hukum Yang Dilakukan Oleh Orang Asing
Dalam Hal Penguasaan Hak Atas Tanah
Pada umumnya seorang investor yang akan berinvestasi di suatu
negara terlebih dahulu akan berusaha untuk mencari tahu mengenai
peraturan yang berlaku di negara yang bersangkutan, terutama yang
berkaitan dengan hal-hal menyangkut masalah pengurusan perizinan
serta hak dan kewajiban investor terhadap tanah dan bangunan yang
akan dijadikan sebagai tempat usaha. Status hukum yang jelas akan
memberikan jaminan dan kenyamanan bagi investor asing untuk berusaha
di suatu negara, termasuk di Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi tujuan bagi
orang asing yang hendak berwisata maupun berbisnis. Bisnis yang
dijalankan sangat erat kaitannya dengan tanah dan bangunan yang
dijadikan sebagai tempat usaha, kantor, pabrik ataupun rumah tempat
tinggal. Dengan demikian orang asing yang hendak menanamkan
modalnya pastilah berupaya untuk memiliki legalitas terhadap kepemilikan
atau penguasaan atas tanah.
Permasalahan yang kerap kali timbul berkaitan dengan
penguasaan hak atas tanah yaitu dilarangnya orang asing memiliki tanah
dengan status Hak Milik sebagaimana berdasarkan Pasal 21 ayat (1)
UUPA. Adanya kecenderungan seseorang untuk memiliki hak atas tanah
73
yang berstatus hak milik karena merupakan hak yang terkuat dan
terpenuh serta tidak ada kedaluwarsanya. Hal inilah yang menyebabkan
seseorang akan berupaya mengambil jalan pintas agar dapat menguasai
hak milik atas tanah dengan suatu perbuatan hukum yang bersifat
penyamaran (“berkedok”) dan dikualifikasikan sebagai penyelundupan
hukum. Hal ini jelas mengabaikan asas itikad baik dan nasionalitas yang
terkandung di dalam UUPA.
Ada kecenderungan pemahaman bahwa yang dilarang adalah
memiliki sedangkan menguasai tidak ada larangan. Sehingga dibuatlah
suatu perjanjian pinjam nama yang dikenal dengan istilah perjanjian
“nominee”. “Nominee adalah perjanjian yang dibuat antara seseorang
yang berdasarkan hukum tidak dapat menjadi subyek hak atas tanah
tertentu (dalam hal ini Hak Milik/Hak Guna Bangunan) yakni seorang WNA
dengan seorang WNI, yang dimaksudkan agar WNA dapat menguasai
tanah Hak Milik/Hak Guna Bangunan tersebut (secara de facto), namun
secara legal formal (de jure) tanah bersangkutan di atas namakan WNI.”25
Perjanjian Nominee tersebut dibuat oleh WNA dengan
pertimbangan antara lain :
a. Obyek perjanjian berupa tanah dengan status hak milik yang tidak
ada jangka waktunya menjadi pertimbangan utama, oleh karena
jika dibandingkan dengan jangka waktu kepemilikan dinegaranya
(99 tahun), demikian pula jika dibandingkan dengan jangka waktu 25
Maria S.W. Sumardjono, “Penguasaan Tanah Oleh WNA Melalui Perjanjian “Nominee””, (Makalah yang disampaikan pada Rapat Kerja Wilayah Ikatan Notaris Indonesia (INI) Pengurus Wilayah Bali dan NTT, Bali, 24 November 2012).
74
Hak Pakai yang mesti diperpanjang atau diperbaharui lagi (tidak
secara otomatis diperpanjang).
b. Untuk melakukan investasi dan pengurusan izin dinilai merepotkan
(jangka waktu yang relatif lama dan prosedur yang berbelit-belit).
c. Perjanjian Nominee dipandang sebagai perjanjian “legal” karena
sudah memperoleh dukungan pendapat (legal opinion) dari
konsultan hukum dan perjanjian dibuat dihadapan pejabat yang
berwenang (notaris).
d. Perjanjian Nominee dianggap memberikan rasa aman karena
pengatasnamaan sertipikat atas nama WNI hanya formalitas,
secara subtansial, melalui perjanjian yang dibuat secara faktual
WNA-lah yang merupakan “pemilik” sesungguhnya dari tanah
tersebut.
e. Perjanjian Nominee dibuat secara sukarela atas kesepakatan WNA
dan WNI.
Semua pertimbangan tersebut di atas hanyalah hal-hal positifnya dan
dilihat dari satu sudut kepentingan WNA saja, sedangkan hal-hal negatif
yang merupakan risiko dibuatnya Perjanjian Nominee sama sekali tidak
disebutkan.
Adapun konstruksi hukum dari Perjanjian Nominee yang dapat
Peneliti jelaskan dari kasus perdata yang pernah terjadi dan telah diputus
berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 980K/Pdt/2002,
sebagai berikut :
75
a. Konstruksi hukum sesuai dengan dalil dari Penggugat (WNI) :
1. Pada awalnya Penggugat (WNI) bermaksud untuk bekerjasama
dengan seorang WNA (Tergugat I) dalam bidang pariwisata berupa
usaha restoran.
2. Tergugat I (WNA) meminjamkan sejumlah uang kepada Tergugat
(WNI) untuk modal dan selanjutnya oleh Tergugat I (WNI)
digunakan untuk membeli 3 (tiga) bidang tanah sebagai tempat
usaha restoran yang akan dikerjakan bersama.
3. Dibuat akta Pernyataan dihadapan Notaris (Tergugat II), yang salah
satu isinya adalah apabila akta jual beli telah dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang yang tercatat atas nama Penggugat (WNI)
maka akta-akta dan sertipikat dimaksud dipegang dan disimpan
oleh Tergugat I (WNA).
4. Penggugat (WNI) juga memberi kuasa menjual kepada Tergugat I
(WNA). Pemberian kuasa tersebut dibuat secara tersendiri dan
tidak terpisahkan dengan pernyataan yang Penggugat buat
sebagaimana dimaksud di atas, kuasa mana tidak akan dicabut
kembali, tidak dapat dibatalkan serta tidak dapat berakhir karena
sebab-sebab apapun juga.
5. Penggugat (WNI) mengklaim bahwa 3 (tiga) bidang tanah yang
dibeli menggunakan uang Tergugat I (WNA) tersebut adalah masih
tetap menjadi miliknya.
b. Konstruksi hukum sesuai dengan dalil dari Tergugat I (WNA) :
76
1. Tergugat I adalah seorang WNA yang tidak dapat memiliki tanah
dengan status hak Milik dan oleh karenanya meminjam nama
seorang WNI (Penggugat) untuk membeli 3 (tiga) bidang tanah
yang dipergunakan untuk usaha restoran.
2. Kemudian dibuatlah akta-akta yang terkait dengan peminjaman
nama tersebut dihadapan Notaris yaitu berupa :
- Akta Pernyataan, yang berisikan pernyataan dari Penggugat
(WNI) bahwa uang yang dipergunakan untuk membeli 3 (tiga)
bidang tanah hak Milik tersebut adalah milik Tergugat I (WNA),
dan selanjutnya Penggugat (WNI) juga berjanji bila jual beli atau
sertifikatnya telah diselesaikan oleh instansi yang berwenang,
maka Tergugat I (WNA) diberikan untuk memegang dan
menyimpan sertipikat tanahnya serta melakukan perbuatan
hukum yang sekiranya tidak merugikan Penggugat (WNI),
disamping itu Penggugat (WNI) tidak akan menghalangi serta
membantu sepenuhnya bila Tergugat I (WNA) melakukan
perbuatan hukum atas tanah-tanah tersebut.
- Untuk meyakinkankan isi pernyataan tersebut di atas, Penggugat
(WNI) memberi kuasa untuk menjual kepada Tergugat I (WNA).
3. Tergugat I (WNA) di dalam dalilnya menyangkali kalau Surat Kuasa
Untuk Menjual yang diberikan oleh Penggugat (WNI) tersebut
merupakan satu kesatuan dengan akta Pernyataan. Tergugat I
(WNA) dalam dalilnya menyatakan bahwa akta Kuasa Untuk
77
Menjual tersebut tidak merupakan satu kesatuan melainkan terpisah
dan berdiri sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk mengalahkan
argumen dari Penggugat (WNI) bahwa keberadaan akta Kuasa
Untuk Menjual tersebut merupakan surat kuasa mutlak yang
bertentangan dengan instruksi Mendagri No.14/1982.
Jika memperhatikan konstruksi hukum masing-masing pihak tersebut,
dapat dipahami bahwa masing-masing pihak mengeluarkan dalilnya
dan sekaligus berusaha untuk melemahkan dalil lawannya masing-
masing dengan argumen sebagai berikut :
- Bahwa pihak Penggugat (WNI) hanya mengakui hubungan yang
terjadi adalah kerjasama dan Penggugat (WNI) hanya meminjam
sejumlah uang dari Tergugat I (WNA) untuk modal usaha dengan
membeli 3 (tiga) bidang tanah hak Milik untuk tempat usaha. Jadi
menurut Penggugat hubungan hukumnya hanya berupa kerjasama
usaha restoran dan hutang piutang saja. Selanjutnya Penggugat
(WNI) yang telah memberi kuasa menjual kepada Tergugat I (WNA),
belakangan baru mengetahui kalau surat kuasa yang diberikan itu
adalah kuasa mutlak yang bertentangan dengan instruksi Mendagri
No.14/1982. Penggugat beralasan bahwa pihak notaris (Tergugat II)
tidak memberikan penjelasan sehingga akhirnya notaris yang
bersangkutan juga digugat sebagai pihak Tergugat II.
- Sedangkan dilain pihak, Tergugat I (WNA) bermaksud untuk
menerangkan kejadiannya dimana tanah yang dibeli tersebut adalah
78
merupakan miliknya Tergugat I (WNA) namun karena status
kewarganegaraannya yang tidak memungkinkan memiliki hak milik
atas tanah maka dipinjamlah nama Penggugat (WNI) untuk membeli
dan tercatat sebagai pemegang hak atas tanah tersebut. Untuk itu
dibuatlah akta Pernyataan dan kemudian diyakinkan dengan
dibuatnya akta Kuasa Untuk Menjual. Namun oleh karena adanya
gugatan Penggugat ini yang bermaksud melumpuhkan kekuatan akta
Kuasa Untuk Menjual tersebut yang dikatagorikan sebagai kuasa
mutlak, kemudian Tergugat I (WNA) mendalilkan bahwa akta Kuasa
Untuk Menjual tersebut bukan merupakan satu kesatuan dengan
akta Pernyataan, melainkan dibuat terpisah dan berdiri sendiri. Hal ini
dimaksudkan untuk mengalahkan dalil Penggugat (WNI) namun
hakim tetap berpendirian apa yang tertulis di dalam akta Kuasa
Untuk Menjual tersebut yang dikatagorikan sebagai kuasa mutlak
sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.
- Menurut pendapat peneliti, dari konstruksi hukum tersebut dapat
disimpulkan bahwa hubungan hukum yang bersifat legal dan diakui
oleh pengadilan adalah hubungan hutang piutang saja, sedangkan
pengakuan peminjaman nama atau klaim kepemilikan tanah oleh
WNA berdasarkan alas hak berupa akta Notaris tidak dibenarkan dan
dianggap bertentangan dengan hukum pertanahan yang berlaku
sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
79
- Jika memang demikian adanya, seharusnya konstruksi hukum yang
dapat dilakukan adalah dengan pembuatan akta Pengakuan Hutang
dan pengikatan jaminan dengan Hak Tanggungan. Namun karena
niat awal mengenai pembelian tanah tersebut adalah untuk
kepentingan yang punya uang (WNA) maka dikonstruksikanlah
dengan pembuatan perjanjian Nominee.
Jika dicermati mengenai upaya yang dilakukan WNA dalam
pembuatan Perjanjian Nominee tersebut maka menurut peneliti bahwa
upaya yang dilakukan adalah juga merupakan penyelundupan hukum
yang dilakukan dengan cara menyamarkan dari perbuatan yang
sebenarnya. Perjanjian tersebut dibuat untuk maksud yang secara tidak
langsung memindahkan Hak Milik kepada WNA, yang jelas-jelas dilarang
oleh UUPA. Meskipun WNI secara legal formal masih merupakan
pemegang Hak Milik berdasarkan sertipikat tanah, namun sesungguhnya
WNA adalah pemilik secara de facto. Hal ini bertentangan dengan asas
nasionalitas yang dianut UUPA bahwa hanya Bangsa Indonesia saja yang
dapat mempunyai hubungan hukum sepenuhnya dengan bumi, air, ruang
angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya atau dengan
kata lain hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak
milik atas tanah, sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya.
Disamping itu Perjanjian Nominee tersebut di atas dibuat atas
dasar itikad tidak baik karena melanggar larangan dalam Pasal 26 ayat (2)
UUPA. Perjanjian Nominee juga berisi klausula yang berat sebelah, yakni
80
memberikan seluruh kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap tanah Hak Milik hanya kepada pihak WNA sehingga dapat
dikatakan bahwa hak atas tanah tersebut telah dikuasai oleh WNA.
B. Akibat Hukum Penguasaan Hak Atas Tanah Terhadap
Penyelundupan Hukum Yang Dilakukan Oleh Orang Asing
Pembuatan akta otentik yang dilakukan oleh notaris dapat dijadikan
sebagai alat pembuktian dimuka persidangan apabila terjadi sengketa
diantara para pihak. Dalam persengketaan tersebut tidak menutup
kemungkinan melibatkan notaris yang membuat akta otentik dan atas
keterlibatannya itu notaris harus ikut bertanggung jawab atas apa yang
telah dilakukannya. Hal demikian juga berpotensi menjadikan seorang
notaris berposisi sebagai tergugat, turut tergugat atau sebagai terdakwa
dalam suatu perkara di sidang pengadilan.26
Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan dengan
notaris/PPAT di Kabupaten Tabanan-Bali tanggal 5 Nopember 2012,
diperoleh keterangan bahwa sangat jarang terjadi sengketa mengenai
pembuatan akta-akta yang berkaitan dengan penguasaan hak atas tanah
oleh orang asing. Khususnya di Bali yang terkenal dengan kepatuhan
masyarakatnya terhadap hukum adat dan ajaran agama yang mereka
anut. Pada umumnya apa yang para pihak (WNA dan WNI) telah janjikan
akan dipenuhi dan dipatuhi serta para pihak takut untuk melanggar atau
mengingkarinya. Namun dari lima orang Notaris/PPAT di Kabupaten
26
Nico, Tanggung jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation and Studies of Business Law, Yogyakarta, 2003, Hal. 2
81
Tabanan-Bali yang peneliti wawancarai, ada satu Notaris/PPAT yang
memberikan keterangan bahwa pernah terjadi permasalahan antara
seorang WNA (Australia) yang bekerjasama dengan seorang WNI (warga
Bali) untuk membuat restoran, sebagaimana telah disebutkan sebagai
contoh kasus pada sub bab A tersebut di atas. WNI dan WNA tersebut
berperkara di Pengadilan Negeri Singaraja dengan putusan Nomor
105/Pdt.G/PN.Sgr. Tanggal 28 Maret 2001, banding ke Pengadilan Tinggi
Denpasar dengan putusan Nomor 156/Pdt/2000/PT.Dps. dan Kasasi ke
Mahkmah Agung RI dengan putusan Nomor 980 K/Pdt/2002.
Dalam perkara perdata tersebut di atas Notaris yang membuat akta
notariil didudukkan sebagai Tergugat II, sedangkan WNA sebagai
Tergugat I. Tuntutan yang diajukan kepada Notaris/PPAT dalam perkara
tersebut menyangkut masalah pembuatan akta-akta yang terkait dengan
persoalan hukum yang dipersoalkan. Penggugat menuntut pembatalan
terhadap Surat Pernyataan dan akta Kuasa Untuk Menjual yang dibuat
dihadapan notaris selaku Tergugat II. Selanjutnya Penggugat juga
menuntut Tergugat II (notaris) untuk menanggung segala akibat hukum
dari surat pernyataan dan kuasa untuk menjual tersebut serta menghukum
Tergugat II untuk mentaati putusan. Selanjutnya dari keputusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut di atas
dapat diketahui bahwa akta-akta yang dibuat dihadapan Notaris terkait
dengan penguasaan tanah oleh WNA telah gagal menjadi akta otentik
yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Akta-akta
82
tersebut dinyatakan bertentangan dengan hukum sehingga tidak
mempunyai kekuatan hukum (kekuatan berlaku).
Setelah peneliti mencermati isi putusan pengadilan tersebut dapat
diketahui bahwa yang mendasari pertimbangan pengadilan sehingga akta-
akta notaris yang dipersoalkan tersebut dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum, yaitu :
1. Bahwa ditinjau dari segi isi dari akta No…. yang dibuat oleh Notaris
……… maka akta tersebut merupakan surat kuasa mutlak yang
bertentangan dengan instruksi Mendagri No.14/1982, sehingga
surat kuasa tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum;
2. Bahwa adagium menyatakan suatu akta otentik atau dibawah
tangan hanya berisi satu perbuatan hukum, bila ada akta
mengandung dua perbuatan hukum (pengakuan hutang dan
pemberian kuasa untuk menjual tanah), maka akta ini telah
melanggar adagium tersebut dan akta tersebut tidak memiliki
kekuatan eksekusi (executorial title) ex Pasal 224 HIR;
3. Bahwa berdasarkan Pasal 21 UUPA orang asing tidak boleh
memiliki tanah dengan status Hak Milik di Indonesia oleh karena itu
apabila bukti (dalam hal ini akta-akta notaris yang dibuat)
dimaksudkan melindungi perbuatan Penggugat yang membeli
tanah sengketa tetapi tanah tersebut diatasnamakan pada
Penggugat, maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan;
83
4. Bahwa alasan-alasan yang dikemukakan oleh Tergugat tidak dapat
dibenarkan, karena orang asing dilarang memiliki tanah Hak Milik di
Indonesia berdasarkan Pasal 21 UUPA, bahwa isi akta No…. yang
merupakan surat kuasa mutlak bertentangan dengan instruksi
Mendagri Nomor 14/1982.
Dari perkara tersebut di atas dapat dipahami bahwa Pengadilan hanya
melegalkan hubungan hukum yang terjadi antara para pihak yang
berperkara (WNI dan WNA) yaitu masalah hutang piutang, sedangkan
perbuatan hukum lainnya yang dilakukan oleh orang asing yang terkait
dengan pemilikan atau penguasaan tanah berdasarkan akta notaris
berupa Surat Kuasa Untuk Menjual tidak dibenarkan dan akta notaris
tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Akta-akta notaris yang dimaksudkan untuk dijadikan sebagai dasar
pemilikan atau penguasaan tanah oleh orang asing ternyata oleh
pengadilan tidak dibenarkan dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum. Meskipun tidak mengurangi hak dari orang asing terhadap nilai
uang yang telah dipinjamkan kepada orang yang dipinjam namanya
tersebut (WNI). Namun demikian, maksud dari pembuatan akta-akta
notaris tersebut menjadi tidak mencapai tujuannya dan sudah tentu orang
asing tersebut menjadi pihak yang dirugikan secara materiil. Orang asing
hanya dapat menuntut atas nilai uang yang dipinjamkan saja berikut
bunga sebesar 6 % setahun.
84
Seandainya risiko dan akibat hukum yang timbul sebagaimana
yang diputuskan oleh pengadilan dalam Perkara Perdata Nomor
105/Pdt.G/PN.Sgr. tersebut di atas disampaikan atau dikomunikasikan
kepada orang asing yang hendak membeli tanah dengan cara melakukan
penyelundupan hukum melalui pembuatan akta-akta notaris tersebut,
maka sudah dapat dipastikan bahwa sebagian besar orang asing tersebut
tidak akan mengikuti langkah atau solusi yang dimaksud.
Permasalahan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
perbuatan orang asing untuk dapat mempunyai hak milik atas tanah di
Indonesia, yang dilakukan dengan menempuh jalan yang mengarah pada
suatu perbuatan yang bersifat penyelundupan hukum, misalnya pembelian
tanah dengan memakai kedok sebagai perjanjian utang-piutang. Dengan
mempergunakan cara penyelundupan hukum, orang asing dapat
melakukan pembelian sebidang tanah hak milik yang dimiliki oleh orang
Indonesia, dengan mencantumkan (pinjam nama) atas nama seorang
warga negara Indonesia, selanjutnya untuk menutupi perbuatannya (juga
dimaksudkan sebagai perlindungan hukum bagi orang asing) seolah-olah
terjadi utang-piutang antara warga negara Indonesia yang namanya
dipinjam tersebut kepada orang asing dan dibuat akta perjanjian
pengakutan utang dan sebagai jaminannya dibuat akta pemberian hak
tanggungan atas tanah yang dibeli tersebut.
Sehubungan dengan hal di atas dapat dikaitkan dengan ketentuan
Pasal 26 ayat 2 UUPA, yang menyatakan : “Setiap jual beli, penukaran,
85
penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain
yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak
milik kepada orang asing, kepada seseorang warga negara disamping
kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali
ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat 2 adalah batal
karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan
bahwa hak-hak pihak lain yang membebani tetap berlangsung serta
semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut
kembali.”
Ayat ini menentukan tentang adanya larangan dari perbuatan yang secara
langsung dan sengaja dimaksudkan untuk mengalihkan hak milik kepada
orang asing, juga perbuatan yang secara tidak langsung yang
dimaksudkan untuk memindahkan hak milik kepada orang asing adalah
dilarang. Contoh dari perbuatan yang dianggap langsung, misalnya jual
beli, hibah atau pewarisan atau dengan membuat surat wasiat.
Sedangkan istilah perbuatan yang diartikan sebagai perbuatan
penyelundupan hukum, misalnya dengan menggunakan kedok yang lebih
dikenal dengan istilah stroman.
Salah satu akibat hukum yang timbul terhadap perbuatan yang
menggunakan kedok stroman ini adalah batal demi hukum dan
selanjutnya tanah tersebut jatuh menjadi tanah yang langsung dikuasai
oleh negara. Hal ini tentu sangat merugikan orang asing yang telah
mengeluarkan dananya untuk berinvestasi. Disisi lain, kedudukan hukum
86
orang asing juga dapat dipersoalkan sendiri oleh pihak WNI yang dipinjam
namanya. Meskipun secara nyata WNI tersebut tidak mengeluarkan uang
sepeserpun untuk melakukan pembelian tanah tersebut, namun secara
yuridis formil tanda bukti hak berupa sertipikat adalah tercatat atas nama
WNI. Sehingga WNI yang dipakai namanya-lah yang diakui sebagai
pemilik/pemegang hak atas tanah hak milik berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Permasalahan hukum yang terjadi diantara para pihak (WNI dan
WNA) tersebut dapat terjadi jika salah satu pihak mengajukan tuntutan
hukum terkait dengan pembuatan akta-akta yang melandasi hubungan
hukum diantara mereka. Namun jika diantara WNI dan WNA tidak ada
yang saling mempersoalkan maka konstruksi hukum yang dibuat akan
berjalan dengan aman sebagaimana tujuan dari orang asing tersebut yaitu
untuk menguasai atau memiliki tanah hak milik. Maka tercapailah maksud
dari pembuatan akta-akta yang secara teoritis merupakan sarana untuk
menguasai tanah dengan melakukan penyelundupan hukum.
Sangat jarangnya persoalan hukum yang timbul di masyarakat
menjadikan kecenderungan bagi orang asing untuk melakukan upaya
penguasaan tanah Hak Milik melalui cara-cara yang dapat dikualifikasikan
sebagai penyelundupan hukum. Hal ini disatu sisi merupakan faktor
penunjang maraknya investasi orang asing didaerah-daerah yang
potensial untuk berkembang, baik dibidang pariwisata maupun bisnis.
Namun disisi lain menjadi malapetaka bagi pembangunan semangat
87
nasionalisme dan hak rakyat Indonesia terhadap tanah airnya. Dapat
dibayangkan bagaimana nasib penduduk lokal atau rakyat kecil yang akan
tergeser oleh orang asing yang tentunya dari segi ekonomi jauh lebih kuat
daripada penduduk lokal secara umum.
C. Peranan dan Tanggung Jawab Notaris/PPAT Dalam Proses
Penguasaan Hak Atas Tanah Untuk Warga Negara Asing
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UUJN bahwa wewenang notaris adalah
membuat akta otentik. Hasil akhir dari pekerjaan notaris adalah akta
otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1870 BW yang menyatakan :“Suatu
akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau
orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna
tentang apa yang dimuat didalamnya.”
Notaris merupakan suatu pekerjaan dengan keahlian khusus yang
menuntut pengetahuan luas, serta tanggung jawab yang berat untuk
melayani kepentingan umum dan inti tugas notaris adalah mengatur
secara tertulis dan otentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak
yang secara mufakat meminta jasa notaris.27
Menurut peneliti seharusnya notaris dalam membuat akta tidak
semata-mata menuangkan keinginan para pihak, akan tetapi harus
dianalisis terlebih dahulu sehingga pembuatan akta tersebut tidak
melanggar atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
27
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana, BIGRAF Publishing, Yogyakarta, 1995, Hal. 86
88
yang berlaku. Jangan sampai keberadaan akta yang dibuat oleh Notaris
tersebut dapat menimbulkan perselisihan/sengketa diantara para pihak,
ataupun dapat mengganggu ketertiban umum. Produk hukum berupa akta
otentik yang dihasilkan oleh notaris haruslah berkualitas, sehingga notaris
yang membuatnya dapat dinilai oleh masyarakat sebagai notaris yang
profesional.
Notaris yang baik haruslah memberikan solusi terhadap persoalan
hukum yang dihadapi oleh kliennya. Kecermatan dalam memberikan
solusi dapat meminimalkan risiko, baik bagi para pihak maupun bagi
notaris itu sendiri. Solusi yang menyimpang dari ketentuan hukum dapat
membahayakan para pihak dan juga notaris sendiri.
Melihat dari kewenangan yang dimiliki oleh Notaris untuk membuat
akta otentik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa peranan dan tanggung jawab
seorang Notaris/PPAT menjadi sangat dibutuhkan dalam lalu lintas
perekonomian pada umumnya dan transaksi jual beli tanah pada
khususnya. Jika anggota masyarakat hendak melakukan hubungan
hukum dalam bidang bisnis maupun pemilikan hak atas tanah, maka
sudah dapat dipastikan anggota masyarakat akan mencari dan
menggunakan jasa seorang Notaris/PPAT.
Setiap orang baik WNI maupun orang asing (WNA) menaruh
kepercayaan yang sangat besar kepada seorang Notaris/PPAT dalam
menyelesaikan persoalan menyangkut legalitas usaha yang dijalankannya
89
maupun dalam hal penguasaan aset-aset mereka. Segala urusan
dibidang pertanahan senantiasa anggota masyarakat percayakan
penyelesaiannya dengan menggunakan jasa seorang Notaris/PPAT.
Kepercayaan yang sedemikian besarnya itu masyarakat berikan kepada
Notaris/PPAT oleh karena sepanjang pengetahuan masyarakat bahwa
seorang Notaris/PPAT haruslah profesional dan memiliki keahlian khusus
dibidang pertanahan.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketentuan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang
berkepentingan agar dinyatakan dalam suatu akta otentik. Dengan ini
notaris menjamin kepastian tanggalnya, mengeluarkan grosse, salinan
dan kutipannya, semuanya itu sejauh pembuatan akta itu oleh undang-
undang tidak juga ditugaskan kepada atau dikecualikan untuk pejabat
umum lainnya. Disini dapat dilihat bahwa notaris diberikan kepercayaan
yang demikian besar, sehingga akta yang dibuatnya merupakan akta
otentik yang merupakan bukti yang sempurna bagi para pihak.
Kepercayaan yang begitu besar itu dapat dipakai sebagai pedoman,
bahwa jabatan notaris itu adalah jabatan yang amat penting dan berbobot,
sehingga jabatan notaris adalah jabatan yang tanggung jawabnya amat
berat. Hal demikian itu perlu diimbangi dengan sikap rendah hati dan
tindakan yang serius serta positif dalam menjalankan tugasnya.
90
Sebelum melakukan suatu transaksi jual beli tanah dan bangunan
terlebih dahulu para pihak akan mendatangi Notaris/PPAT yang para
pihak kenal atau yang direkomendasikan oleh kerabat atau kolega para
pihak. Kedatangan para pihak pada umumnya untuk menanyakan
prosedur pelaksanaan transaksi jual beli dan juga menanyakan perihal
besarnya biaya pajak dan biaya jasa Notaris/PPAT untuk pembuatan akta
dan pengurusan balik nama sertipikat.
Mengenai masalah orang asing yang bermaksud untuk membeli
tanah dengan status Hak Milik, tentunya akan mendapatkan penjelasan
dari Notaris/PPAT ataupun staffnya bahwa pembelian tanah dengan
status Hak Milik bagi orang asing tidak diperkenankan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. WNA hanya
memungkinkan untuk memiliki tanah dengan status Hak Pakai sesuai
dengan PP Nomor 41 Tahun 1996.
Berdasarkan wawancara dengan Notaris/PPAT di Kabupaten
Tabanan-Bali tanggal 27 Nopember 2012, diperoleh keterangan bahwa
Notaris/PPAT memberikan solusi kepada orang asing yang berkeinginan
menguasai hak milik atas tanah di kota Bali, antara lain dengan cara
meminjam nama seorang warga lokal (WNI) untuk bertindak sebagai
pembeli dan tercatat namanya di dalam sertipikat. Kemudian dibuatkan
Surat Pernyataan mengenai peminjaman nama tersebut dan akta-akta lain
seperti Akta Pengikatan Jual Beli, Surat Kuasa Untuk Menjual, Akta
Pengakuan Hutang dan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
91
Berikut ini peneliti menguraikan mengenai akta-akta yang kerap kali
dibuat berkaitan dengan penguasaan tanah hak milik oleh orang asing:
1. Pernyataan Peminjaman Nama
Pada umumnya pembuatan akta/surat Pernyataan mengenai
peminjaman nama tersebut dibuat secara dibawah tangan dan
didaftarkan (waarmerking) oleh Notaris. Adakalanya juga dibuat dalam
bentuk akta notarial dengan judul “PERNYATAAN”. Pada prinsipnya
kedua bentuk akta/surat tersebut memuat pernyataan dari orang yang
dipakai namanya untuk membeli dan tercatat sebagai pemegang hak
atas tanah sesuai bukti hak berupa Sertipikat Hak Milik (SHM), bahwa
uang yang dipergunakan untuk membeli tanah tersebut adalah uang
kepunyaan dari seorang WNA. Didalam akta/surat Pernyataan tersebut
juga menerangkan hal-hal sebagai berikut :
a. Bahwa orang yang dipinjam namanya tersebut tidak berhak untuk
menempati, menjual, menyewakan, menjaminkan atau dengan cara
apapun juga mengalihkan hak atas tanah tersebut berikut segala
sesuatu yang telah maupun kelak didirikan dan/atau tertanam di atas
tanah tersebut kepada siapapun juga tanpa persetujuan terlebih
dahulu dari WNA.
b. Bahwa orang yang dipinjam namanya tersebut mengakui dan
menyetujui bahwa jika dikemudian hari WNA diberi hak untuk
memiliki tanah tersebut menjadi atas namanya (sesuai hukum
Indonesia), maka WNI yang dipinjam namanya berjanji dan
92
mengikatkan diri untuk sepenuhnya membantu melaksanakan segala
sesuatu yang berhubungan dengan pendaftaran balik nama hak atas
tanah tersebut. WNA mengikatkan diri pula untuk membantu dan
melakukan apapun juga yang dianggap perlu apabila dikemudian
hari hak atas tanah tersebut disewakan/dialihkan dengan cara
apapun kepada pihak lain atau kepada siapapun juga oleh WNA.
c. Bahwa pernyataan ini mempunyai hak istimewa atau hak
didahulukan terhadap perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelum
maupun sesudah pernyataan ini.
d. Bahwa pernyataan ini berlaku pula terhadap semua ahli waris dari
WNI yang dipinjam namanya.
2. Akta Pengikatan Jual Beli
Akta Pengikatan Jual Beli ini dibuat dengan pihak-pihak sebagai
berikut:
a. Pihak Pertama/Pihak Penjual yaitu WNI selaku pemilik yang
namanya tercatat di dalam sertipikat.
b. Pihak Kedua/Pihak Pembeli yaitu WNA selaku pemilik uang yang
dipergunakan oleh WNI untuk membeli tanah tersebut.
Pihak Pertama berjanji dan mengikatkan diri untuk menjual/
mengalihkan haknya kepada WNA (pemilik sebenarnya) dan Pihak
Kedua berjanji dan mengikatkan diri untuk membeli/menerima
pengalihan hak dari WNI atas tanah tersebut yang berdasarkan sifat,
peruntukannya atau undang-undang dianggap sebagai barang tidak
93
bergerak. Pembayaran atas harga pengikatan jual beli tersebut telah
dinyatakan lunas, akan tetapi akta jual beli belum dapat dilaksanakan
karena belum mendapat ijin dari pihak yang berwajib. Berikut ini
beberapa klausula yang biasanya dicantumkan dalam akta Pengikatan
Jual Beli :
a. Bahwa dengan dibuatnya pengikatan ini, maka tanpa bantuan dari
Pihak Kedua, Pihak Pertama tidak berhak lagi untuk memberikan
jaminan, menyewakan, menjual atau dengan cara apapun
memberikan hak berupa apapun atas tanah tersebut kepada pihak
lain.
b. Segera setelah harga tanah dibayar lunas oleh Pihak Kedua kepada
Pihak Pertama, maka Pihak Pertama berjanji dan mengikatkan diri
untuk menjual tanah tersebut kepada Pihak Kedua atau orang/badan
lain yang ditunjuk Pihak Kedua. Pembuatan akta jual beli tersebut
akan dilakukan dihadapan Notaris/PPAT.
c. Guna lebih menjamin kedudukan Pihak Kedua atas pelaksanaan
penjualan dan pembelian pada waktunya sesuai dengan ketetapan-
ketetapan yang dimaksud, maka Pihak Pertama dengan akta
tersendiri setelah nomor akta ini sekarang untuk pada waktunya
nanti memberi kuasa kepada Pihak Kedua sebagaimana mestinya
yang demikian apabila oleh sebab apapun Pihak Pertama
berhalangan untuk melakukan sendiri penjualan tersebut untuk
menjual tanah tersebut berikut segala sesuatu yang terdapat di atas
94
tanah tersebut kepada Pihak Kedua atau orang/badan lain yang
ditunjuk oleh Pihak Kedua. Pemberian kuasa dari Pihak Pertama
kepada Pihak Kedua yang ditetapkan dalam perjanjian ini
merupakan bagian terpenting dan syarat mutlak yang tidak
terpisahkan dari perjanjian ini, yang tidak akan dibuat dan tidak
dilaksanakan tanpa adanya kuasa tersebut, kuasa mana selama
perjanjian ini berlaku tidak akan dicabut kembali, tidak dapat
dibatalkan serta tidak akan berakhir karena sebab-sebab yang
tercantum dalam Pasal 1813 BW.
d. Perjanjian ini tidak berakhir karena salah satu pihak meninggal
dunia, akan tetapi turun temurun dan harus ditaati oleh para ahli
waris dari pihak yang meninggal.
3. Surat Kuasa Untuk Menjual
Surat Kuasa Untuk Menjual atau akta Kuasa pada pokoknya berisikan
kuasa untuk menjual dan menyerahkan/mengoperkan hak atas tanah
Hak Milik tersebut kepada siapapun juga termasuk kepada penerima
kuasa sendiri (WNA) jika diperkenankan oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kuasa tersebut diberikan dengan hak
substitusi dan pembebasan pertanggungjawaban kuasa bagi penerima
kuasa, dan kuasa yang diberikan dengan akta tersebut baru berlaku
jika penerima kuasa telah memenuhi kewajibannya pada pemberi
kuasa, sebagaimana disepakati dalam akta Pengikatan Jual Beli. Akta
Kuasa tersebut dapat juga dikaitkan dengan pembuatan akta
95
Pernyataan mengenai peminjaman nama dan dicantumkan pula
ketentuan bahwa kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali dan tidak
akan berakhir karena sebab apapun juga (kuasa mana tidak akan
berakhir oleh karena sebab-sebab yang disebutkan dalam pasal 1813
BW).
4. Akta Pengakuan Utang
Akta Pengakuan Utang yang dibuat dalam hal ini memuat jumlah utang
tertentu yang diakui sebagai utang dari seorang WNI yang dipinjam
namanya. Jumlah hutang tersebut akan dikembalikan dalam jangka
waktu yang panjang, bahkan ada yang jangka waktu pengembaliannya
selama 25 (dua puluh lima) tahun. Salah satu pasal di dalam akta
Pengakuan Utang tersebut memuat mengenai adanya jaminan yang
diberikan oleh yang berutang yaitu berupa tanah dengan bukti hak
berupa sertipikat yang tercatat atas nama WNI. Adapun klausula yang
biasanya tercantum dalam akta Pengakuan Utang yang berkaitan
dengan barang jaminan yaitu :
“Untuk menjamin lebih lanjut dan pasti pembayaran kembali secara
tertib dan sebagaimana mestinya utang Pihak Pertama kepada Pihak
Kedua dari segala sesuatu atas kekuatan akta ini maupun utang yang
akan timbul dikemudian hari termasuk perpanjangan, perubahan, dan
pembaharuannya yang mungkin ada, baik karena utang pokok, bunga,
denda dan biaya apapun lainnya maka Pihak Pertama menerangkan
96
dengan ini memberi jaminan kepada Pihak Kedua atas : - Sebidang
tanah Hak Milik Nomor ………. dst. “
Dalam perjanjian (termasuk Perjanjian Pengakuan Utang) menganut
prinsip asas kebebasan berkontrak, sebagaimana dalam Pasal 1338
BW, yang menyatakan: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Hal
ini termasuk pula dalam hukum perikatan pada umumnya yang diatur
dalam BW Buku Ketiga yang menganut sistem terbuka, artinya para
pihak dapat membuat perikatan lain daripada yang diatur dalam Buku
Ketiga. Jadi ketentuan dalam Buku Ketiga baru berlaku bila para pihak
tidak mengaturnya sendiri dalam perjanjian yang mereka buat.
Sebenarnya yang dimaksud oleh Pasal 1338 BW tidak lain daripada
pernyataan bahwa tiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Dengan
demikian para pihak leluasa untuk membuat perjanjian-perjanjian dalam
bentuk apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Akta Pengakuan Utang yang dibuat dalam bentuk akta otentik
dihadapan notaris, adakalanya dimintakan atau dikeluarkan dalam
bentuk grosse agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pasal 258 Rbg/224 HIR menyatakan :"Surat asli dari pada surat hipotik
dan surat hutang yang dibuat dihadapan notaris di Indonesia dan
memakai perkataan “Atas Nama Keadilan” dikepalanya, kekuatannya
sama dengan Surat Keputusan Hakim”.
97
Namun dalam perkembangannya tidak semua Surat Hutang itu
memenuhi persyaratan sehingga dapat dikatakan mempunyai kekuatan
hukum yang sama dengan putusan pengadilan sesuai dengan
ketentuan Pasal 258 Rbg/224 HIR. Bahkan adakalanya fasilitas kredit
yang sejatinya belum merupakan utang secara riil telah dipaksakan
dibuat dalam bentuk Grosse Pengakuan Utang. Hal ini berakibat
Grosse Pengakuan Utang seperti itu dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum oleh Pengadilan. Dalam praktek, permohonan
eksekusi barang jaminan berupa tanah dan bangunan dilakukan
berdasarkan Sertipikat Hak Tanggungan yang mempunyai kekuatan
eksekutorial sesuai dengan ketentuan UUHT.
5. Akta Pemberian Hak Tanggungan
Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah akta yang dibuat
oleh/dihadapan seorang PPAT yang berisi pemberian Hak Tanggungan
kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan utang.
Dalam proses pembuatan akta peralihan hak atas tanah oleh orang
asing yang merupakan penyelundupan hukum, setelah dibuat akta
perjanjian pengakuan utang, maka selanjutnya dibuat suatu Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat dihadapan PPAT.
APHT tersebut diberikan dengan didahului suatu pernyataan bahwa
APHT tersebut dibuat sebagai jaminan pelunasan suatu utang tertentu
dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian utang
yang dibuat sebelumnya. Selanjutnya APHT tersebut wajib didaftarkan
98
pada Kantor Pertanahan yang wilayah hukumnya meliputi kedudukan
tanah dimaksud dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
setelah penandatanganan APHT untuk dicatat dalam buku tanah dan
diterbitkan Sertipikat Hak Tanggungan, agar kreditur memiliki
kedudukan yang istimewa (hak preferen).
Dari beberapa macam akta yang dibuat terkait dengan penguasaan
tanah oleh orang asing, didalam praktiknya semua akta-akta tersebut di
atas dibuat secara sekaligus oleh seorang Notaris/PPAT untuk satu kasus.
Tujuan utamanya adalah untuk memberikan keamanan secara berlapis
kepada WNA melalui banyaknya dokumen legal yang dibuat. Meskipun
jika diteliti mengenai masing-masing akta tersebut ternyata mempunyai
karekteristik yang berbeda dan tidak saling menunjang satu sama lain,
bahkan ada yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
Pembuatan akta-akta tersebut dapat peneliti terangkan dengan
rentetan peristiwa sebagai berikut :
Mr.X (WNA) meminjam nama tuan Z (WNI) untuk membeli
sebidang tanah Hak Milik Nomor 1 dan dibuatlah akta Jual Beli dari pihak
penjual kepada tuan Z. Kemudian tuan Z membuat Surat Pernyataan
secara dibawah tangan dan didaftarkan oleh Notaris atau dibuat dalam
bentuk akta notariil. Didalam surat pernyataan tersebut tuan Z
menyatakan bahwa sebenarnya uang yang dipergunakan untuk membeli
tanah tersebut adalah uangnya Mr.X. kemudian dibuatkan akta
Pengikatan Jual Beli, yang mana tuan Z berjanji dan mengikatkan diri
99
untuk menjual tanah tersebut kepada Mr.X. Disamping itu tuan Z juga
memberikan kuasa kepada Mr.X untuk menjual atau mengalihkan hak
atas tanah tersebut kepada siapapun juga termasuk kepada penerima
kuasa sendiri/Mr.X (kalau diizinkan sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku) atau pihak lain yang ditunjuk oleh penerima kuasa, kuasa
mana dituangkan kedalam Surat Kuasa Untuk Menjual. Selanjutnya dibuat
juga akta Pengakuan Utang secara notariil. Di dalam akta Pengakuan
Utang tersebut tuan Z mengakui mempunyai utang sejumlah uang kepada
Mr.X dengan jangka waktu pengembalian paling lambat selama 25 (dua
puluh lima) tahun. Dan sebagai jaminan atas pengakuan utang tersebut
maka tuan Z memberikan jaminan kepada Mr.X berupa sebidang tanah
Hak Milik Nomor 1 tersebut dan dilakukan pengikatan dengan pembuatan
Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Selanjutnya APHT ini
didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat untuk diterbitkan sertipikat
Hak Tanggungan.
Jika diperhatikan pembuatan akta-akta sebagaimana yang telah
diuraikan di atas, menurut pendapat peneliti bahwa pembuatan akta-akta
tersebut sangat berlebihan dan terjadi tumpang tindih. Jika telah dibuat
akta Pengikatan Jual Beli berarti pihak Penjual telah mengikatkan diri
untuk menjual kepada pihak Pembeli. Obyek yang telah terikat pengikatan
jual beli, seharusnya tidak boleh lagi dijadikan jaminan utang. Seharusnya
jika memang konstruksi hukumnya adalah utang piutang maka pembuatan
aktanya hanya berupa akta Pengakuan Utang dan akta Pemberian Hak
100
Tanggungan. Sedangkan jika dilakukan pembuatan akta Pengikatan Jual
Beli maka dapat dilengkapi dengan akta Kuasa Untuk Menjual.
Jika diperhatikan konstruksi hukum terhadap pembuatan akta-akta
tersebut kiranya dapat ditarik benang merah bahwa pembuatan akta-akta
yang dimaksud adalah untuk memberikan perlindungan hukum yang
dipandang cukup dan yang terbaik bagi kepentingan WNA dalam
penguasaan hak atas tanah. Seandainya konstruksi hukum peminjaman
nama dengan pembuatan akta Pernyataan dan dilengkapi dengan Surat
Kuasa Untuk Menjual serta akta Pengikatan Jual Beli, ternyata menjadi
permasalahan hukum atau dibatalkan berdasarkan hukum, maka masih
ada ikatan lain berupa persoalan utang piutang berdasarkan akta
Pengakuan Utang dan pembebanan barang jaminan berupa tanah dengan
Akta Pemberian Hak Tanggungan. Pengamanan secara yuridis yang
dilakukan secara berlapis-lapis ini juga mengindikasikan bahwa ada
keragu-raguan terhadap kekuatan hukum yang dimiliki jika hanya
dibuatkan satu konstruksi hukum saja.
Bahwa cara pandang yang demikian itu, menurut peneliti dapat
menimbulkan risiko yang lebih besar lagi dikemudian hari. Pembuatan
akta yang dilakukan secara sekaligus tersebut menunjukkan bahwa sejak
awal memang ada upaya untuk melakukan penyelundupan hukum
terhadap penguasaan hak atas tanah oleh orang asing. Dari sejak awal
pembeliannya dilakukan dengan cara menyamarkan (memakai kedok)
yaitu dengan meminjam atau menggunakan nama WNI dan kemudian
101
dibuatkan akta Peminjaman Nama serta dibuatkan juga akta Pengikatan
Jual Beli kepada orang asing (WNA) dan pemberian kuasa kepada WNA
untuk menjual/mengalihkan hak atas tanah tersebut dengan
menggunakan akta/Surat Kuasa, lalu dibuatkan akta Pengakuan Utang
dan pembebanan jaminannya dengan pembuatan akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT). Dari rentetan pembuatan akta-akta tersebut menurut
peneliti menunjukkan bahwa ada upaya penyelundupan hukum dengan
menggunakan akta-akta otentik sebagaimana disebutkan di atas. Tujuan
akhirnya adalah supaya WNA dapat menguasai tanah tersebut dan
melakukan segala tindakan yang dapat dilakukan sebagaimana layaknya
seorang pemilik. Padahal untuk maksud pemilikan oleh WNA tersebut
telah nyata-nyata dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 ayat (2)
UUPA.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan 5 (lima)
Notaris/PPAT di Kabupaten Tabanan – Bali, dapat diketahui bahwa
notaris masih tetap mempertahankan pendapat bahwa notaris sebagai
pejabat umum sesuai dengan praktiknya sekarang, hanya wajib mencatat
apa yang secara formal diajukan oleh para pihak atau dengan kata lain
seorang notaris tidak perlu mengetahui kebenaran materiil dari hal-hal
yang diajukan oleh para pihak. Padahal kalau diperhatikan bahwa suatu
akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, maka hal
ini tidak lagi dapat dibenarkan.
102
Menurut peneliti, Seorang notaris juga berkewajiban untuk
memperhatikan kebenaran materiil dari isi suatu akta, bahkan wajib
memberikan penyuluhan hukum dan bilamana perlu memperingatkan para
pihak bahwa apa yang para pihak inginkan tersebut adalah merupakan
penyelundupan hukum yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Secara materiil, notaris hendaknya juga dapat menilai atau
mengetahui perbuatan itu disengaja atau tidak. Jika disengaja apakah
perbuatan tersebut mempunyai suatu tujuan yang tidak baik, ataukah
perbuatan itu sama sekali tidak bertujuan apa-apa, dengan kata lain
mempunyai tujuan yang baik. Hal inilah yang harus secara cermat dilihat
oleh notaris yang akan membuat suatu perjanjian utang-piutang antara
warga negara Indonesia dengan orang asing dengan jaminan berupa
tanah dan bangunan. Jika terjadi hal semacam itu, maka seyogyanya
dapat dihindari atau bahkan dapat dicegah oleh karena jelas perbuatan
itu adalah merupakan suatu perbuatan yang dapat dikualifikasikan
sebagai “Perbuatan Penyelundupan Hukum”.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa
pemahaman Notaris/PPAT terhadap perbuatan yang dikualifikasikan
sebagai “Penyelundupan Hukum” ternyata tidak sama antara yang satu
dengan yang lainnya. Ada yang menanggapinya dengan sedikit diplomatis
yang mengatakan bahwa tidak ada larangan bagi notaris dalam membuat
akta-akta untuk orang asing (akta Pernyataan/Surat Pernyataan Pinjam
103
Nama, akta Pengikatan Jual Beli, Surat Kuasa Untuk Menjual, akta
Pengakuan Hutang, akta Pemberian Hak Tanggungan). Yang dilarang
oleh undang-undang adalah orang asing memiliki tanah hak milik.
Sedangkan semua akta-akta tersebut dibuat berdasarkan kesepakatan
para pihak. Hak milik atas tanah tidak bisa menjadi milik orang asing,
kecuali jika orang asing tersebut telah menjadi WNI dan telah memenuhi
persyaratan dengan undang-undang barulah tanah tersebut dapat dimiliki.
Justru karena tidak bisa memiliki tanah tersebut maka dibuatkan akta
perjanjian (pengikatan jual beli) dengan persyaratan tangguh dimana
apabila telah memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak atas tanah
hak milik, barulah akta jual beli dapat dilangsungkan.
Dari 9 (sembilan) Notaris/PPAT yang peneliti wawancarai, ada satu
pendapat notaris yang mengatakan sebagai berikut (wawancara tanggal
27 Nopember 2012): “Istilah penyelundupan hukum tidak ada dalam
UUPA. Istilah penyelundupan hukum lebih bersifat subyektif dan opini
orang perorangan. Belum ada putusan pengadilan yang mengatakan
perbuatan hukum yang dituangkan dalam akta-akta yang disebutkan
adalah “penyelundupan hukum” karenanya “tidak sah” atau “batal demi
hukum” (hukum in konkreto). Demikian pula hukum “in abstrakto”, tidak
ada dalam UUPA mengatakan perbuatan hukum sebagaimana dalam
akta-akta Pengikatan Jual Beli, kuasa jual, pengakuan hutang dan Akta
Pemberian Hak Tanggungan adalah penyelundupan hukum karenanya
batal demi hukum”.
104
Penegakan hukum tanah in abstrakto justru hanya mengenal Hak Milik,
Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha tidak boleh dimiliki oleh Warga
Negara Asing secara “aktif”. Aktif artinya dalam rangka untuk memiliki hak-
hak atas tanah tersebut, warga negara asing aktif sebagai pihak
kedua/pihak pembeli dalam akta dan menandatangani akta-aktanya.
Warga negara asing bisa memperoleh hak atas tanah untuk Hak Milik,
Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha tentulah secara pasif. Pasif
artinya karena pewarisan. Untuk yang pasif ini UUPA telah
mempersiapkan rambu-rambunya. Bila hak atas tanah diperoleh anak
secara pasif dan belum dewasa (Dwi Kewarganegaraan), menunggu
sampai anak dewasa hingga memilih kewarganegaraan mana yang akan
anak pilih. Bila setelah dewasa anak memilih berkewarga-negaraan asing,
maka dalam 1 (satu) tahun tanah hak tersebut wajib dialihkan kepada
pihak lain yang berhak sebagai subyek hak atas tanah. Dari ketentuan
tersebut secara normatif bahwa yang dimaksud Penyelundupan Hukum
tersebut tidak benar adanya.
Mencermati pendapat Notaris/PPAT tersebut di atas, menurut
peneliti memang benar semuanya adalah bersifat subyektif oleh karena
tidak ada peraturan yang secara tegas melarang notaris membuat akta-
akta yang terkait dengan penguasaan tanah oleh orang asing tersebut.
Namun walaupun demikian, jika notaris/PPAT itu lebih cermat dan jernih
dalam menganalisa persoalan yang mungkin timbul sebagai akibat dari
pembuatan akta-akta yang dapat dikualifikasikan sebagai “penyelundupan
105
hukum” tersebut maka seyogyanya seorang notaris/PPAT itu menjadi
lebih bijak dan berhati-hati. Persoalan yang mungkin timbul dari
pembuatan akta-akta tersebut harus dipahami dan dikaji lebih dalam lagi.
Janganlah karena lebih mementingkan material dalam tanda kutip, semua
pihak dapat terjebak dengan praktik yang sangat berisiko, baik bagi
notaris/PPAT itu sendiri maupun bagi para pihak dan bahkan harus
mengorbankan rasa kebangsaan dan semangat nasionalis.
Jarangnya timbul sengketa antara WNI dan WNA terkait dengan
pemilikan tanah merupakan salah satu faktor penyebab kurang
diperhatikannya faktor risiko oleh Notaris/PPAT. Sebagaimana dipahami
bahwa pembuatan akta-akta tersebut barulah mendapat perhatian khusus
oleh Notaris/PPAT yang bersangkutan jika ada permasalahan/sengketa
diantara para pihak (WNI dengan WNA). Notaris/PPAT yang terkait
dengan pembuatan akta-akta tersebut secara material akan dilibatkan dan
ditarik sebagai pihak dalam persengketaan tersebut. Disinilah baru muncul
yang namanya tanggung jawab hukum terhadap produk hukum berupa
akta-akta yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT yang bersangkutan.
Segala sesuatu yang dilakukan oleh Notaris/PPAT tersebut dalam proses
pembuatan akta-akta yang dimaksud, baik dengan sengaja atau tidak
sengaja, tidak terlepas dari suatu tanggung jawab. Notaris/PPAT yang
melakukan kesalahan maupun kelalaian dalam menjalankan tugas
jabatannya terkait dengan pembuatan akta-akta yang dibuatnya, baik
106
yang diperkarakan secara perdata maupun pidana, dapat dimintakan
pertanggungjawabannya.
Batas tanggung jawab seorang notaris/PPAT yang melakukan
kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan tugas jabatannya ditentukan
oleh besar kecilnya kesalahan atau kelalaian yang dapat dibuktikan dalam
proses persidangan perkara pidana di Pengadilan. Sedangkan batas
tanggung jawab notaris/PPAT secara perdata terhadap tuntutan para
pihak tergantung pada penuntutan yang dilakukan oleh pihak yang
dirugikan, dimana atas tuntutan perdata tersebut dan melalui proses
pembuktian dalam persidangan dan putusan pengadilanlah yang
menentukan seberapa besar tanggung jawab seorang notaris/PPAT
terhadap suatu kasus yang dipersengketakan.
107
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perbuatan hukum orang asing dalam hal penguasaan hak atas
tanah disebut sebagai penyelundupan hukum karena akta-akta yang
dibuat bertentangan dengan asas nasionalitas dan akta tersebut
juga bertentangan dengan itikad baik (ada itikad buruk dalam proses
pembuatan aktanya).
2. Akibat hukum penguasaan hak atas tanah terhadap penyeludupan
hukum yang dilakukan oleh orang asing sebagaimana dalam contoh
kasus tersebut di atas adalah bahwa akta-akta notariil yang dibuat
dihadapan Notaris/PPAT sebagai sarana untuk melakukan
penyelundupan hukum, oleh pengadilan dinyatakan bertentangan
dengan hukum sehingga tidak mempunyai kekuatan berlaku maka
Negara hanya mengakui legalitas kepemilikan atas tanah tersebut
adalah milik WNI yang tercatat namanya di dalam sertipikat.
Disamping itu tanah hak milik yang dijadikan sebagai obyek
pembuatan akta-akta tersebut secara hukum telah jatuh menjadi
tanah negara.
3. Notaris/PPAT yang berperan dalam pembuatan akta-akta tersebut
dapat ditarik sebagai pihak yang dilibatkan dalam persengketaan
tersebut, dimana dapat didudukkan sebagai Tergugat, Turut
Tergugat, Saksi, Tersangka ataupun Terdakwa. Kesemuanya
108
tergantung dari keterlibatan Notaris dan besar kecilnya kesalahan
atau kelalaian Notaris dalam menjalankan jabatannya, sehingga
ketika terjadi penyelundupan hukum maka seorang Notaris dapat
dimintakan pertanggungjawabannya selama dalam kaitannya
dengan jabatannya sebagai Notaris, yakni dapat dikenakan sanksi
pemberhentian dari jabatannya atas usul Majelis Pengawas Daerah
(MPD) ke Majelis Pengawas Wilayah (MPW) dan ke Menteri.
B. Saran
1. Notaris harus bertindak profesional dan memiliki integritas tinggi
serta semangat nasionalitas sebagaimana diamanatkan oleh UUD
1945 dan UUPA, sehingga dalam menjalankan profesinya harus
berhati-hati terutama terhadap adanya upaya yang dilakukan oleh
orang asing untuk melakukan penyelundupan hukum terhadap
penguasaan hak atas tanah melalui pembuatan akta-akta notariil.
2. Notaris seyogyanya melaksanakan peranannya dalam memberikan
penyuluhan hukum terutama kepada orang asing yang hendak
membuat akta notaris yang terkait dengan upaya
pemilikan/peguasaan tanah, sehingga diharapkan tidak melakukan
jalan pintas dengan melakukan penyelundupan hukum yang akan
merugikan orang asing itu sendiri dan pihak-pihak lain, termasuk
kepentingan yang lebih besar yaitu segenap rakyat Indonesia.
3. Seyogyanya Majelis Pengawas Daerah (MPD) dan Majelis
Pengawas Wilayah (MPW) lebih tegas dan cermat dalam
109
melakukan pengawasan kepada para notaris terkait dengan
pembuatan akta-akta notariil sehingga keontentikan akta-akta yang
dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum.
110
DAFTAR PUSTAKA
Gautama, Sudargo, 2007, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II
Bagian 3 Buku ke-4, Cet.3, Ed. Revisi, Alumni, Bandung. ----------,2007, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Cet.5,
Bina Cipta, Bandung. Hutagalung, Arie S, 2002, Condominium dan Permasalahannya,Ed.2,
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,Jakarta. Kuswahyono, Imam, 2004, Hukum Rumah Susun, Cet.1, Ed.1,
Bayumedia, Malang. Mustafa, Bachsan, 1998, Hukum Agraria Dalam Perspektif, Cet.3,
Remadja Karya, Bandung. Nico, 2003, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, CDSBL,
Yogyakarta. Parlidungan, A.P., 1998, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria,
Cet.3, Mandar Maju,Bandung. Perangin, Effendi, 1986, 401 Pertanyaan Dan Jawaban Tentang Hukum
Agraria, Cet. 1, Ed.1, Rajawali, Jakarta. ---------, 1991, Hukum Agraria Di Indonesia (Suatu Telaah Dari Sudut
Pandang Praktisi Hukum), Cet.3, Ed.1, Rajawali, Jakarta. Poesoko, Herowati, 2008, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan,
LaksBang, Yogyakarta. Prodjodikoro, Wirjono, 1979, Asas-Asas Hukum Perdata Internasional,
Cet.5, Sumur, Bandung. Purbacaraka, Purnadi Dan Agus Brotosusilo, 1983, Sendi-Sendi Hukum
Perdata Internasional Suatu Orientasi, Rajawali, Jakarta. Rubaie, Achmad, 2007, Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum, Ed.1, Cet.1, Bayumedia, Malang. Satrio, J., 1998, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak
Tanggungan,Buku 2, Citra Aditya Bakti, Bandung.
111
Sihombing, B.F., 2005, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Gunung Agung, Jakarta.
Subekti, R., 2006, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi
Mahkamah Agung, Cet.5, Alumni, Bandung. Sumardjono, Maria S.W., 2009, Kebijakan Pertanahan (Antara Regulasi
dan Implementasi), Cet. VI, Ed. Revisi, Kompas,Jakarta. ______, “Penguasaan Tanah Oleh WNA Melalui Perjanjian “Nominee”’,
(Makalah yang disampaikan pada Ratap Kerja Wilayah Ikatan Notaris Indonesia (INI) Pengurus Wilayah Bali dan NTT, Bali, 24 November 2012)
Supriadi, 2007, Hukum Agraria, Cet.1, Ed.1, Sinar Grafika,Jakarta. Tedjosaputro, Liliana, 1995, Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan
Hukum Pidana, Cet.1, BIGRAF Publishing, Yogyakarta.
112