JURNAL APLIKASI STATISTIKA &
KOMPUTASI STATISTIK
KATALOG BPS: 1202031 ISSN: 2086–4132
UNIT PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT SEKOLAH TINGGI ILMU STATISTIK (UPPM-STIS)
Evaluasi Perubahan Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Sebagai Dampak Kenaikan
Harga BBM di Indonesia, Periode Pebruari 2005 – Maret 2006
RITA YULIANA
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penduduk Tidak Melaporkan Peristiwa
Kependudukan
IRDAM AHMAD
Kajian Disparitas Pembangunan Ekonomi Antar Provinsi di Indonesia Berdasarkan
Indikator Makroekonomi Periode 2005 - 2009
EKOWIRA SUSILO dan RETNANINGSIH
Pendeteksian Terjadinya Fenomena Ilusi Fiskal: Studi Empirik Kabupaten/Kota di Pulau
Jawa dan Bali
DWI YUSTIANI dan NELI AGUSTINA
Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Penambangan Timah Inkonvensional (Studi
Kasus di Kelurahan Parit Padang, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, Kepulauan
Bangka Belitung Tahun 2009)
DIAN ARIEWIDAYANTI dan CHOIRIL MAKSUM
Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemiskinan di Lima Belas Provinsi Tahun 2007
AGUNG EDDY SURYO SAPUTRO dan AGUNG PRIYO UTOMO
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
ii
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK
Journal of Statistical Application & Statistical Computing
No Publikasi / Publication Number: 02700.1006
Katalog BPS / BPS Catalogue: 1202031
No ISSN / ISSN Number: 2086-4132
Ukuran Buku / Book Size: 14,8 cm x 21,5 cm
Jumlah Halaman / Number of Pages: 127 + vii
Diterbitkan oleh / Published by:
Sekolah Tinggi Ilmu Statistik
STIS-Statistics Institute
Boleh dikutip dengan menyebut sumbernya
May be cited with reference to the source
iii
JURNAL APLIKASI STATISTIKA &
KOMPUTASI STATISTIK
Pelindung : Dr. Wendy Hartanto, M.A.
Pemimpin Umum Redaksi : Dr. Budiasih
Dewan Editor : Muchlis Husin, S.E., M.A.
Dr. Hariadi Hadisuwarno
Dr. Said Mirza Pahlevi
Dr. Mohammad Dokhi
Layout Jurnal : Retnaningsih, M.E.
Agung Priyo Utomo, M.T.
iv
Evaluasi Perubahan Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Sebagai
Dampak Kenaikan Harga BBM di Indonesia, Periode Pebruari 2005 –
Maret 2006
RITA YULIANA
1-39
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penduduk Tidak Melaporkan
Peristiwa Kependudukan
IRDAM AHMAD
40-55
Kajian Disparitas Pembangunan Ekonomi Antar Provinsi di Indonesia
Berdasarkan Indikator Makroekonomi Periode 2005 - 2009
EKOWIRA SUSILO dan RETNANINGSIH
56-82
Pendeteksian Terjadinya Fenomena Ilusi Fiscal: Studi Empirik
Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dan Bali
DWI YUSTIANI dan NELI AGUSTINA
83-93
Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Penambangan Timah
Inkonvensional (Studi Kasus di Kelurahan Parit Padang, Kecamatan
Sungailiat, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung Tahun
2009)
DIAN ARIEWIDAYANTI dan CHOIRIL MAKSUM
Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemiskinan di Lima Belas Provinsi
Tahun 2007
AGUNG EDDY SURYO SAPUTRO dan AGUNG PRIYO UTOMO
94-111
112-127
JURNAL APLIKASI STATISTIKA &
KOMPUTASI STATISTIK
KATALOG BPS: 1202031
ISSN: 2086-4132
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
v
PENGANTAR REDAKSI
Puji dan syukur kita haturkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, dengan terbitnya Jurnal
Sekolah Tinggi Ilmu Statistik volume 2 pada tahun ke tiga. Dalam penerbitan ini terdapat enam tulisan
yang dibuat oleh pegawai BPS Daerah dan STIS. Tulisan pertama, Evaluasi Perubahan Tingkat
Kesejahteraan Rumahtangga Sebagai Dampak Kenaikan Harga BBM di Indonesia, Periode Pebruari 2005
– Maret 2006 oleh Rita Yuliana; tulisan kedua, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penduduk Tidak
Melaporkan Peristiwa Kependudukan oleh Irdam Ahmad; tulisan ketiga, Kajian Disparitas Pembangunan
Ekonomi Antar Provinsi di Indonesia Berdasarkan Indikator Makroekonomi Periode 2005 – 2009 oleh
Ekowira Susilo dan Retnaningsih; tulisan keempat, Pendeteksian Terjadinya Fenomena Ilusi Fiskal: Studi
Empirik Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dan Bali oleh Dwi Yustiani dan Neli Agustina; tulisan kelima,
Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Penambangan Timah Inkonvensional (Studi Kasus di Kelurahan
Parit Padang, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2009 oleh
Dian Ariewidayanti dan Choiril Maksum; dan tulisan keenam, Faktor-faktor yang Memengaruhi
Kemiskinan di Lima Belas Provinsi Tahun 2007 oleh Agung Eddy Suryo Saputro dan Agung Priyo
Utomo.
Tim Redaksi mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekan yang telah berpartisipasi memberikan
hasil penelitian ilmiah dalam jurnal ini, serta kepada rekan-rekan dosen dan rekan lainnya diharapkan
untuk mengirimkan karya-karya ilmiahnya sebagai bahan untuk tulisan di penerbitan jurnal selanjutnya.
Kritik dan saran demi perbaikan jurnal ini sangat kami harapkan.
Jakarta, Desember 2011
Budiasih
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 1
EVALUASI PERUBAHAN TINGKAT KESEJAHTERAAN
RUMAHTANGGA SEBAGAI DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM DI
INDONESIA, PERIODE PEBRUARI 2005 – MARET 2006
Rita Yuliana, S.Si, M.S.E
Abstract
The significant increase in the world oil price in 2005 caused dramatically
swelling fuel subsidy the Government had to provide. Consequently, the Government adopted a policy to reduce the subsidy by raising the fuel price. This research is aimed at calculating the size of household welfare change and at analyzing socio-economic groups significantly affected by the rise in the fuel price for the period February 2005 to March 2006. The method used in this research is the econometric analysis with cross-section data to estimate the demand system with LA/AIDS and the result is used to calculate the Compensating Variation (CV).
A number of results of this research suggest that in general the prices
variable and socio-demography variable give a significant influence on
determining the proportion of expenditure for food groups (the demand system),
ownprice elasticity shows a negative sign which means that it is in line with the
demand theory in that there is an inverse correlation between ownprice and
demand. In addition, all food groups have a positive income (expenditure)
elasticity, which means that they are normal goods. The conclusion drawn from
the results of the calculation of Compensating Variation (CV) include that there
was a decrease in household welfare (welfare loss) for the period February 2005
to March 2006 as the impact of fuel price increases in 2005.
Keywords:
LA/AIDS, Simultaneity Bias, Quality Effect, Quantity Premium, Instrument
Variable, Two step Heckman, Inverse Mills Ratio (IMR), Compensating Variation
(CV)
I PENDAHULUAN
Pada tahun 2005, terjadi kenaikan harga minyak dunia yang cukup
signifikan. Tingginya harga minyak dunia ini, telah menyebabkan
membengkaknya jumlah subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang harus
disediakan oleh Pemerintah. Di tengah terbatasnya kemampuan keuangan negara
dan adanya keinginan Pemerintah untuk mengalokasikan subsidi BBM agar lebih
tepat sasaran, Pemerintah mengambil kebijakan untuk mengurangi subsidi BBM
dengan menaikkan harga BBM. Kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM
terjadi dua kali dalam tahun 2005. Pertama, kenaikan harga BBM pada tanggal 1
Maret 2005 yang secara rata-rata naik sebesar 29%. Kedua, kenikan harga BBM
pada tanggal 1 Oktober 2005 yang secara rata-rata naik sebesar 126%. Jadi,
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
2 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
secara total rata-rata kenaikan harga BBM selama tahun 2005 adalah sebesar
155%.
Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi besar (grand strategy) untuk
mengalihkan subsidi BBM dari subsidi komoditas menuju subsidi
langsung/bantuan langsung tunai (BLT) atau subsidi melalui pembangunan
infrastruktur pedesaan. Walaupun tujuan kebijakan penarikan subsidi BBM
sangat positif, namun kenaikan harga BBM selalu mengundang reaksi kontra dari
masyarakat. Alasannya adalah dampak inflantoir yang menurunkan daya beli
(purchasing power) masyarakat. Secara psikologis, masyarakat beranggapan
kenaikan harga BBM akan selalu diikuti oleh kenaikan harga-harga barang secara
luas (inflasi). Secara logis, hal ini memang akan terjadi karena hampir semua
pelaku ekonomi menggunakan BBM, baik langsung maupun tidak langsung.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kenaikan harga BBM akan berpengaruh
kepada kemiskinan. Hal ini dapat dilihat pada beberapa indikator kemiskinan
seperti pada Tabel 1.Semua nilai indikator tersebut menunjukkan adanya kenaikan
dari kondisi Pebruari 2005 (sebelum kenaikan harga BBM) ke kondisi Maret 2006
(setelah kenaikan harga BBM).Ditinjau menurut daerah, kenaikan nilai-nilai
indikator kemiskinan di daerah perkotaan umumnya lebih tinggi daripada di
daerah perdesaan.Selain itu, Studi LPEM-FEUI (2005) menyatakan bahwa
kenaikan harga BBM pada awal Maret 2005 akan meningkatkan angka
kemiskinan sebesar 0,24%.
Tabel 1. Beberapa Indikator Kemiskinan Menurut Daerah di Indonesia,
Kondisi Pebruari 2005 dan Maret 2006
Indikator
Kemiskinan
Perkotaan Perdesaan Total
Peb
2005
Maret
2006
Peru-
bahan
(%)
Peb
2005
Maret
2006
Peru-
bahan
(%)
Peb
2005
Maret
2006
Peru-
bahan
(%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Garis
Kemiskinan
(Rp/kapita/
bulan)
150.799 174.290 15,58 117.259 130.585 11,36 129.108 151.997 17,73
Penduduk
Miskin
(Juta)
12,40 14,49 16,85 22,70 24,81 9,30 35,10 39,30 11,97
Penduduk
Miskin (%) 11,68 13,47 15,33 19,98 21,81 9,16 15,97 17,75 11,15
Sumber: BPS, Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2006
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 3
Untuk mengurangi beban pada masyarakat miskin akibat kenaikan harga
BBM 1 Oktober 2005, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 12/2005
tentang pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada rumah tangga miskin1.
Namun, perlu dipertanyakan apakah dana kompensasi tersebut cukup?
Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa telah
terjadi penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat sebagai dampak kenaikan
harga BBM terutama pada periode Pebruari 2005 – Maret 2006.Permasalahan
yang diteliti adalah berapakah besarnya perubahan tingkat kesejahteraan
rumahtangga sebagai dampak kenaikan harga BBM selama periode Pebruari 2005
– Maret 2006 tersebut?Masalah kedua yang diteliti adalah mengidentifikasi
kelompok sosial-ekonomi mana saja yang mengalami pengaruh besar terhadap
kenaikan harga BBM selama periode Pebruari 2005 – Maret 2006?
II. Teori Permintaan dan Kesejahteraan
Perilaku konsumen yang rasional menunjukkan bahwa konsumen akan
memaksimumkan kepuasannya dengan anggaran yang dimiliki. Kondisi
keseimbangan adalah kondisi di mana konsumen telah mengalokasikan seluruh
pendapatannya untuk konsumsi dan mendapatkan kepuasan tertinggi
(maksimalisasi utilitas). Cara lain adalah dengan tingkat kepuasan tertentu yang
ingin dicapai menggunakan anggaran yang paling minimal (minimalisasi
pengeluaran).
Pengertian dari permintaan adalah jumlah barang/jasa yang ingin diminta
oleh konsumen pada berbagai tingkatan harga selama periode waktu tertentu.
Fungsi permintaan adalah permintaan yang dinyatakan dalam hubungan
matematika dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Melalui fungsi
permintaan dapat diketahui hubungan antara variabel tidak bebas (dependent
variable) dengan variabel-variabel bebas (independent variables).
Umumnya, variabel yang diperhitungkan adalah variabel yang
pengaruhnya besar dan langsung, yaitu harga barang itu sendiri, harga barang lain
1 BLT atau unconditionalcash transfer (UCT) merupakan subsidi yang diberikan langsung kepada
masyarakat miskin berupa uang tunai. Nilai uang yang ditransfer kepada rumahtangga miskin
sebesar Rp 100.000 untuk setiap rumahtangga per bulannya.
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
4 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
dan pendapatan konsumen. Ada dua macam fungsi permintaan, yaitu fungsi
permintaan Marshallian dan fungsi permintaan Hicksian. Bentuk matematis
kedua fungsi tersebut adalah sebagai berikut :
XM
= f(Px, Py, I) (1)
di mana :
XM
= jumlah barang X yang diminta/fungsi permintaan Marshallian
Px = harga barang X
Py = harga barang Y
I = pendapatan
dan XH = f(Px, Py, U) (2)
di mana :
XH = jumlah barang X yang diminta/fungsi permintaan Hicksian
Px = harga barang X
Py = harga barang Y
U = utilitas
Pada fungsi permintaan Marshallian (Marshallian demand function),
jumlah barang yang diminta merupakan fungsi dari harga-harga dan pendapatan.
Fungsi permintaan Marshallian diturunkan dari maksimisasi utilitas dengan
kendala anggaran. Sementara, fungsi permintaan Hicksian (Hicksian demand
function) diturunkan dari minimisasi pengeluaran dengan tingkat utilitas konstan.
Fungsi permintaan Hicksian menunjukkan bahwa jumlah barang yang diminta
merupakan fungsi dari harga-harga dan tingkat kepuasan konsumen tertentu.
Perubahan harga suatu komoditas mempunyai dua efek, yaitu efek
substitusi dan efek pendapatan. Efek substitusi adalah perubahan dalam
mengkonsumsi suatu komoditas akibat perubahan harga komoditas tersebut atau
komoditas lain, di mana tingkat utilitas adalah konstan. Efek pendapatan terjadi
karena perubahan harga suatu komoditas menyebabkan adanya perubahan dalam
kekuatan daya belinya. Untuk barang normal, efek pendapatan berdampak positif
terhadap barang yang dikonsumsi, sebaliknya untuk barang inferior berdampak
negatif (terlebih lagi barang giffen).Untuk barang normal, efek-efek tersebut
diilustrasikan melalui Gambar 1.
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 5
Gambar 1. Efek Substitusi, Efek Pendapatan dan Efek Total dari Naiknya
Harga Barang X
Elastisitas secara umum dapat didefinisikan sebagai ukuran persentase
perubahan pada suatu variabel yang disebabkan oleh perubahan satu persen
variabel yang lain.Elastisitas pendapatan menunjukkan respon permintaan
konsumen terhadap suatu komoditas akibat terjadinya perubahan pendapatan,
elatisitas harga sendiri menunjukkan respon permintaan konsumen akibat
terjadinya perubahan harga komoditas itu sendiri, dan elastisitas harga silang
menunjukkan respon permintaan konsumen akibat terjadinya perubahan harga
komoditas lain.
Elastisitas dapat diturunkan dari fungsi permintaan. Elastisitas yang diturunkan
dari fungsi permintaan Marshallian disebut sebagai elastisitas tidak terkompensasi
(uncompensated elasticities). Sedangkan elastisitas yang didapatkan dari fungsi
permintaan Hicksian disebut sebagai elastisitas terkompensasi (compensated
elasticities).
Ketika perekonomian berubah, konsumen mungkin akan merasa lebih baik
atau lebih buruk. Para ahli ekonomi ingin mengukur bagaimana konsumen
U1
Kuantitas Y
Kuantitas X 0
B
X2
BL1 BL2
BL3
U0
X0 X1
Efek substitusi Efek pendapatan
Efek Total
A
C
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
6 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
dipengaruhi oleh perubahan perekonomian ini dan membangun beberapa
alat/metode untuk mengukurnya.
Ukuran yang klasik dari perubahan tingkat kesejahteraan adalah
consumer’s surplus. Namun, consumer’s surplus adalah ukuran yang tepat bagi
perubahan tingkat kesejahteraan jika dalam keadaan yang khusus/spesial. Ada
beberapa metode yang lebih umum untuk mengukur perubahan tingkat
kesejahteraan. Consumer’s surplus adalah kasus khusus bagi metode ini.
Compensating Variation (CV) adalah jumlah uang yang dibutuhkan untuk
membawa konsumen pada level kepuasan (utility) atau tingkat kesejahteraan
semula dengan harga yang baru. Sedangkan Equivalent Variation (EV) adalah
jumlah uang yang dibutuhkan untuk membuat konsumen berada pada level
kepuasan (utility) yang barudengan harga yang lama akibat perubahan harga.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2(A), yaitu bahwa keseimbangan
awal konsumen berada pada titik A dengan level kepuasan sebesar U0 dan garis
anggaran (budget line) BL1. Kemudian terjadi kenaikan harga barang X sehingga
keseimbangan baru berada pada titik D dengan level kepuasan sebesar U1 dan
garis anggaran (budget line) BL4. Bila px0= harga awal barang X, px
1= harga
akhir barang X, py= harga barang Y, dan e adalah fungsi pengeluaran, maka
besarnya CV dan EV secara matematik dapat ditulis sebagai berikut:
CV = e(px0, py, U0) – e(px
1, py, U0) (3)
EV = e(px0, py, U1) – e(px
1, py, U1) (4)
Selanjutnya, bila Gambar 2 (A) diturunkan menjadi kurva permintaan
Hicksian (XH) seperti terlihat pada Gambar 2 (B), maka besarnya CV dan EV
adalah luas daerah di bawah kurva permintaan yang di batasi oleh harga px0 dan
px1, atau secara matematik dapat ditulis:
0
1
0( , , )x
x
p
H
x y x
p
CV X p p U dp (5)
0
1
1( , , )x
x
p
H
x y x
p
EV X p p U dp (6)
Dalam tulisan ini dipergunakan CV, bukan EV, karena ingin dilihat
seberapa besar rumahtangga harus dikompensasi agar kembali pada tingkat
kehejahteraan semula sebelum kenaikan harga BBM terjadi.
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 7
Secara teori, fungsi permintaan dapat diturunkan dari fungsi pengeluaran
sepanjang fungsi pengeluaran tersebut memenuhi syarat (1) kontinyu dan tidak
menurun dalam harga dan utilitas serta (2) konkav dan homogen berderajat satu
terhadap harga (Silberberg, 1990).
Salah satu model permintaan yang memenuhi kondisi tersebut adalah
model AIDS yang dikembangkan oleh Deaton dan Muellbauer (1980). Model
AIDS merupakan model fungsi permintaan Marshallian dalam bentuk proporsi
pengeluaran.
Bentuk umum model AIDS adalah sebagai berikut :
j
iijijii up
ypw loglog (7)
di mana wi adalah proporsi pengeluaran komoditas i, pj adalah harga komoditas j,
y adalah total pengeluaran, dan P adalah indeks harga yang didefinisikan sebagai :
ji
i i j
iji pppP loglog2
1loglog 0 (8)
Penggunaan indeks harga seperti pada persamaan (8) membuat model AIDS
berbentuk non-linear dan sulit untuk diestimasi. Oleh sebab itu dalam penelitian-
penelitian empiris, yang sering digunakan adalah aproksimasi linier dari indeks
harga tersebut, yaitu :
log P= wi log pi (9)
Indeks harga pada persamaan (9) di atas dikenal sebagai indeks harga
Stone. Dengan menggunakan indeks harga Stone maka persamaan (7) menjadi
linier dalam harga dan pengeluaran. Fungsi tersebut dikenal sebagai aproksimasi
linier dari AIDS atau LA/AIDS (Linear Approximation/Almost Ideal Demand
System).
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
8 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Gambar 2. CV, EV, Kurva Permintaan Hicksian dan Kurva Permintaan
Marshallian Untuk Kasus Harga Barang X Naik
III Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analisis ekonometrika dengan data
cross section(Susenas Panel 2005 dan 2006) untuk mengestimasi sistem
permintaan model LA/AIDS dengan SPSS versi 15.0 dan hasilnya digunakan
untuk menghitung Compensating Variation (CV).
Kuantitas X
(A)
U1
Kuantitas Y
0
D
X3
BL1 BL2 BL3
U0
X0 X1
A
B
CV
EV
X2
C
BL4
(B)
Kuantitas X
Harga X (px)
X3 X0 X1 X2 0
D
A
B
C
XM(p,I)
XH(p,U0) XH(p,U1)
px1
px0
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 9
Model LA/AIDS berbentuk semilog sehingga rumahtangga yang dapat
dianalisis adalah rumahtangga yang mengkonsumsi seluruh jenis makanan
(kelompok makanan) yang dianalisis atau tidak ada nilai nol pada setiap
kelompok makanan yang dianalisis. Oleh karena itu dilakukan agregasi atau
penggabungan komoditas makanan menjadi kelompok yang lebih besar sehingga
jumlah data yang memenuhi syarat untuk dianalisis menjadi lebih banyak.
Tidak ada aturan dasar ataupun standar baku yang dapat digunakan dalam
penentuan jumlah kelompok komoditas yang dapat dibentuk ataupun komposisi
jenis komoditas yang dapat dikelompokkan menjadi satu kelompok untuk
keperluan analisis. Pembentukan kelompok komoditas oleh para peneliti
biasanya didasarkan pada penelitian terdahulu, keperluan studi, pangan lokal,
kandungan zat gizi pangan, sasaran kebijakan, dan pertimbangan lainnya (Moeis,
2003).
Pada penelitian ini, kelompok makanan dibentuk berdasarkan kandungan
zat gizi komoditas yang dianalisis. Kelompok makanantersebut adalah sebagai
berikut:
1. Kelompok padi dan umbi (karbohidrat).
2. Kelompok ikan, daging, telur, dan susu (protein hewani).
3. Kelompok sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan buah-buahan
(proteinnabati, vitamin dan mineral).
4. Kelompok minyak dan lemak (lemak).
5. Kelompok bahan minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi lainnya, makanan
dan minuman jadi, tembakau dan sirih (kelompok makanan lainnya).
Model LA/AIDS yang digunakan dalam penelitian ini diformulasikan
sebagaiberikut:
ii
iiii
iiij
j
ijikel
sumber
instatusmisktypedaerahlantailmsklhKRT
umurKRTjmlARTp
ypw
i
7
6543
210
lnln
lnlnlnln
(10)
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
10 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
di mana:
i,j = 1,2,3,4,5 (kelompok komoditi)
w_keli = proporsi pengeluaran kelompok komoditi ke-i
terhadap total pengeluaran makanan rumah
tangga
ln p j = logaritma natural (ln) harga estimasi kelompok
komoditi ke-j
lny/P = ln total pengeluaran konsumsi makanan
rumahtangga yang dideflasi dengan indeks
harga Stone
P = indeks harga Stone, di mana ln P= w_keli ln
pi
LnumurKR
T
= ln umur Kepala Rumah Tangga (KRT)
Lnlantai = ln luas lantai per kapita
Typedaerah = dummy type daerah (0=perkotaan,
1=perdesaan)
Statusmiski
n
= dummy status rumahtangga (0=tidak miskin,
1=miskin)
LnjmlART = ln jumlah anggota rumahtangga
LnlmsklhK
RT
= ln lama sekolah Kepala Rumah Tangga (KRT)
Sumber = dummy sumber penghasilan utama RT
(0=bukan pertanian, 1=pertanian)
JkKRT = jenis kelamin KRT (0=perempuan, 1=laki-laki)
IMRi = Inverse Mills Ratio, variabel koreksi dari harga
estimasi kelompok komoditi ke-i
ui = error term
i0, i1, i2,
i3, i4, i5,
i6, i7, i8,
i9, γij, i =
parameter dugaan
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 11
Dalam penelitian ini, pendugaan sistem permintaan model LA/AIDS
hanya menerapkan restriksi adding-up saja, sedangkan restriksi simetri ( ij= ji)
dan homogenitas ( j ij=0, untuk semua i) tidak diterapkan. Restriksi adding-up
ini dilakukan dengan cara mengurangi jumlah persamaan regresi kelompok
komoditi makanan yang diestimasi yaitu dari lima persamaan menjadi empat
persamaan dan estimasi persamaan regresi yang kelima diperoleh dari empat
persamaan yang diestimasi sehingga memenuhi syarat adding-up sebagai berikut:
0 1 2
3 4 5 6 7 8
1; 0; 0; 0; 0
0; 0; 0; 0; 0; 0
i ij i i i
i i i i i
i i i i i i
i i i i i i
Persamaan regresi yang dikurangi adalah persamaan regresi untuk kelompok
komoditi yang kelima yaitu kelompok makanan lainnya.
Sementara, rumus untuk proposi pengeluaran (budget share) dari masing-
masing rumahtangga untuk kelompok komoditi-i (w_keli) adalah:
I
i i
J
j j
kel
e
ew
i
i
1
1 (11)
dimana ej dan ei adalah nilai pengeluaran makanan komoditi-j dan kelompok
komoditi-i.
Dalam penelitian Moeis (2003) disebutkan bahwa dalam model
permintaan LA/AIDS, variabel bebas (harga) dan tidak bebas (budget share)
mempunyai hubungan secara simultan. Kondisi ini disebabkan karena
digunakannya unit value sebagai proksi dari harga. Unit value diperoleh dari hasil
pembagian antara pengeluaran rumahtangga untuk kelompok makanan tertentu
dengan jumlah unitnya. Sedangkan budget share sebagai variabel tidak bebas
diperoleh dari hasil pembagian antara pengeluaran rumahtangga untuk kelompok
makanan tertentu dengan pengeluaran total rumahtangga. Variabel bebas dan
tidak bebas sama-sama ditentukan oleh pengeluaran rumahtangga. Suatu
persamaan yang mengandung bias simultan jika digunakan dalam Ordinary Least
Square (OLS) akan menghasilkan estimator yang bias. Bias simultan karena
digunakannya unit value sebagai proksi dari harga kelompok komoditi ini dapat
diatasi dengan menggunakan variabel instrumen harga yaitu unit value yang
dikoreksi dengan mempertimbangkan pengaruh kualitas barang yang
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
12 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
dibeli/quality effect (Cox dan Wohlgenant, Heien dan Wessells, 1990; Domdora,
1991 dalam Moeis, 2003) dan jumlah yang dibeli/quantity premium (Rao, 2000
dalam Moeis, 2003).
a). Mengatasi Simultaneity Bias, Quality Effect, dan Quantity Premium dari
Data
Tahap pertama adalah menghitung logaritma dari harga rata-rata setiap
komoditi makanan di setiap desa (Ln_harga_rata_keli), dan menghitung deviasi
dari logaritma harga setiap kelompok komoditi (LDev_keli) yang dibayar setiap
rumahtangga terhadap rata-rata harga setiap kelompok komoditi di setiap desa
dengan rumus:
LDev_keli = Ln_harga_keli – Ln_harga_rata_keli (12)
di mana:
LDev_keli = deviasi dari log harga kelompok komoditi i
Ln_harga_keli = log dari harga kelompok komoditi i
Ln_harga_rata_keli = log dari harga rata-rata kelompok komoditi i di setiap
desa
Tahap kedua adalah melakukan regresi dengan menggunakan OLS yaitu
antara LDev_keli sebagai variabel tak bebas dan variabel-variabel bebas seperti
pada persamaan 10 tanpa variabel ln pj dan IMRi dengan model ekonometri
sebagai berikut:
ujkKRTsumberinstatusmisktypedaerahlantai
lmsklhKRTumurKRTjmlARTyLDev
iiiii
iiiiikeli
87654
3210
ln
lnlnlnln
(13)
Tahap ketiga adalah menghitung harga estimasi (lnharga_est_keli) dari
setiap kelompok komoditi untuk setiap rumahtangga baik rumahtangga yang
mengkonsumsi kelompok komoditi tersebut ataupun tidak, dengan rumus:
Mengkonsumsi : lnharga_est_keli= Ln_harga_keli – ^LDev_keli (14)
Tidak konsumsi:lnharga_est_keli= Ln_harga_rata_keli – ^LDev_keli(15)
di mana:
lnharga_est_keli = log harga estimasi kelompok komoditi i
Ln_harga_keli = log dari harga kelompok komoditi i
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 13
Ln_harga_rata_keli = log dari harga rata-rata kelompok komoditi i di setiap desa
^ LDev_keli = nilai estimasi LDev_keli (mengacu pada persamaan 13) dari
hasil regresi
b). Mengatasi Selectivity Bias dari Data
Masalah berikutnya yang juga harus diatasi agar hasil estimasi fungsi
permintaan tidak bias adalah masalah selectivity bias. Menurut Moeis (2003),
selectivity bias dari data terjadi karena adanya rumahtangga yang tidak
mengkonsumsi salah satu komoditi makanan disebabkan oleh beberapa hal,
misalnya pola diet rumah tangga tersebut sebagai vegetarian sehingga tidak
mengkonsumsi daging dan hewani, atau disebabkan oleh waktu pencacahannya
yang sangat pendek (seminggu) sehingga pada waktu pencacahan rumahtangga
tersebut kebetulan sedang tidak mengkonsumsi komoditi tertentu. Tidak
mengikutsertakan rumahtangga yang tidak mengkonsumsi komoditi ini dalam
estimasi akan menghasilkan dugaan parameter yang bias. Adapun cara mengatasi
selectivity bias dari data ini antara lain:
1. Dengan cara mengelompokkan komoditi makanan.
2. Dengan menggunakan two step estimation dari Heckman, yaitu menambahkan
variabel bebas IMR (Inverse Mills Ratio) pada model utama bila dengan
pengelompokkan masih terdapat rumahtangga yang tidak mengkonsumsi.
Dengan cara mengelompokkan komoditi makanan telah dilakukan yaitu
dengan memasukkan komoditi ke dalam lima kelompok seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Bila masih terdapat rumahtangga yang tidak
mengkonsumsi dalam jumlah banyak maka dilakukan two step Heckman yaitu
dengan menambah variabel bebas IMR pada model utama (persamaan 10) di
mana untuk mendapatkan IMR digunakan regresi logistik untuk mengestimasi
peluang rumahtangga mengkonsumsi suatu kelompok komoditi makanan dengan
variabel bebas harga-harga, total pengeluaran makanan, dan karakteristik
rumahtangganya. Model regresi logistik tersebut adalah sebagai berikut:
i
i
i z
z
zie
e
ep
11
1dimana Zi adalah:
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
14 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
iiiiii
iiiij
j
ijii
ujkKRTsumberinstatusmisktypedaerahlantai
lmsklhKRTumurKRTjmlARTypz
87654
3210
ln
lnlnlnlnln
(16)
Setelah mendapatkan estimasi peluang mengkonsumsi suatu kelompok
komoditi makanan dari regresi logistik (^Pi), maka dihitung nilai probit
(individual probit score) masing-masing kelompok makanan dari nilai estimasi
peluang tersebut dengan menggunakan program SPSS (variabel probit_keli).
Selanjutnya nilai IMR diperoleh dengan membagi probability density function
(PDF) dan cumulative distribution function (CDF) dalam distribusi standar
normal, dengan rumus:
dpe
e
IMRz
p
p
i
1
2
2
2
2
2
1
2
1
(17)
dimana p adalah individual probit score dan Zi adalah persamaan 16. Nilai IMR
inilah yang akan menjadi salah satu variabel bebas pada model utama LA/AIDS
(persamaan 10).
Selain dua hal di atas yaitu mengatasi simultanity bias, quality effect, dan
quantity premium serta selectivity bias dari data, dalam penelitian ini dilakukan
pula pengujian asumsi klasik dari suatu model regresi agar dapat dilakukan
estimasi dengan OLS sehingga diperoleh penduga yang linier terbaik tak bias
(Best Linear Unbiased Estimator=BLUE), diantaranya yaitu multikolinearitas dan
homoskedastisitas. Uji tidak adanya multikolinearitas dilakukan dengan
menggunakan variance-inflating factor (VIF), sedangkan uji homoskedastisitas
dilakukan dengan menggunakan Breusch-Pagan/Cook-Weisberg.Jika terjadi
heteroskedastisitas, maka digunakan regresi dengan robust sehingga diperoleh
standard error yang efisien. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan
program StataSE 8.
c). Menghitung Elastisitas dan Compensating Variation (CV)
Mengacu pada persamaan 10, dimana w_keli yang digunakan adalah
w_keli rata-rata, berikut adalah rumus untuk elastisitas pendapatan/pengeluaran
(ei), elastisitas harga sendiri (εii) dan harga silang (εij) Marshallian
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 15
(uncompensated) serta elastisitas harga terkompensasi (ε*ij) Hicksian
(compensated):
ei= 1 + βi/w_keli (18)
εii = -(1+βi) + γii/w_keli (19)
εij = γij/w_keli - βi(w_kelj/w_keli) (20)
ε*ij = εij w_kelj ei (21)
Elastisitas permintaan kelompok makanan terhadap total pengeluaran
makanan yang diperoleh dari model LA/AIDS di atas adalah elastisitas
permintaan masing-masing kelompok makanan terhadap total pengeluaran
makanan, bukan terhadap total pengeluaran rumahtangga. Untuk memperoleh
besaran elastisitas permintaan masing-masing kelompok makanan terhadap total
pengeluaran rumahtangga (sebagai proksi pendapatan rumah tangga), nilai
elastisitas total pengeluaran makanan dari hasil perhitungan dengan model
LA/AIDS tersebut (pesamaan 18) dikalikan dengan nilai elastisitas total
pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran rumahtangga.
Elastisitas total pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran rumah
tangga (pendapatan rumahtangga) diduga dengan model logaritma linier sebagai
berikut :
lny_makanan= a + b lny_tota l + u i (22)
byd
yde
total
makanan
pln
ln (23)
di mana :
y_makanan = total pengeluaran makanan rumahtangga sebulan
y_tota l = total pengeluaran rumahtangga sebulan
Selanjutnya elastisitas permintaan kelompok makanan tertentu terhadap
total pengeluaran rumahtangga atau elastisitas pendapatan dihitung berdasarkan
rumus berikut:
eiI =ei . eP (24)
di mana :
eiI =elastisitas permintaan kelompok makanan i terhadap pendapatan/
total pengeluaran rumahtangga
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
16 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
ei = elastisitas permintaan kelompok makanan i terhadap total
pengeluaran makanan (hasil analisis model LA/AIDS)
eP = elastisitas total pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran
rumahtangga (dari persamaan 23)
Untuk menghitung Compensating Variation (CV), misalkan e(p,u) adalah
fungsi pengeluaran yang didefinisikan sebagai pengeluaran minimum yang
dibutuhkan untuk mencapai tingkat utilitas tertentu, u, pada vektor harga p
(subscripts mengacu pada sebelum (0) dan sesudah (1) kenaikan harga BBM),
maka besarnya Compensating Variation (CV) adalah:
CV = e(p1, U0) – e(p0, U0) (25)
Berdasarkan persamaan 25, CV yang bernilai positif berarti terjadi penurunan
tingkat kesejahteraan (welfare loss) dan sebaliknya jika bernilai negatif berarti
terjadi kenaikan tingkat kesejahteraan (welfare gain).
Dalam model LA/AIDS, CV dapat diperkirakan dengan menggunakan a
second order Taylor expansion(Ackah, Charles dan Simon Appleton, 2006) dari
fungsi pengeluaran sebagai berikut:
Δ ln e ≈ Σ w_keli Δln pi + ½ Σ Σ w_keli ε*ij Δln pi Δln pj (26)
i=1 i=1 j=1
dimana:
w_keli = rata-rata proporsi pengeluaran kelompok komoditi i pada periode awal
atau sebelum kenaikan harga BBM (Pebruari 2005)
Δln pi
= perubahan proporsional rata-rata harga kelompok komoditi i
Δln pj
= perubahan proporsional rata-rata harga kelompok komoditi j
ε*ij = elastisitas harga terkompensasi kelompok komoditi i terhadap perubahan
harga kelompok komoditi j periode awal (Pebruari 2005)
Penggunaan persamaan 26 akan menghasilkan nilai CV berupa proporsi
atau persentase terhadap total pengeluaran rumahtangga tahun 2005. Untuk
mendapatkan nilai rupiah dari CV, besaran proporsi ini dikalikan dengan nilai
rata-rata dari total pengeluaran rumahtangga tahun 2005.
Sesuai dengan tujuan penelitian yang kedua yaitu menganalisa kelompok
sosial-ekonomi yang mengalami pengaruh besar terhadap kenaikan harga BBM
selama periode Pebruari 2005–Maret 2006, maka CV dihitung untuk beberapa
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 17
kategori rumahtangga yaitu berdasarkan type daerah (kota-desa), status
rumahtangga (miskin – non miskin), sumber penghasilan utama (pertanian – non
pertanian), dan jumlah anggota rumahtangga (1-4 dan lebih dari 4). Teknik
penghitungannya sesuai dengan rumus 26 dimana nilai proporsi pengeluaran
(w_keli) dan perubahan proporsional harga (Δln pi) yang digunakan adalah nilai
rata-rata untuk rumahtangga masing-masing kategori.
IV Hasil dan Pembahasan
Deskripsi statistik variabel terikat yang diperlihatkan pada Tabel 2 dan
untuk variabel bebas pada pembahasan berikutnya (Tabel 3) adalah merupakan
gambaran populasi.Dalam hal ini diasumsikan jumlah rumahtangga tidak
mengalami perubahan dari tahun 2005 ke tahun 2006. Asumsi ini dibuat karena
keterbatasan data yaitu tidak adanya variabel pembobot (weight) rumahtangga
untuk tahun 2006 sehingga dalam pengolahan datanya menggunakan pembobot
yang sama dengan pembobot tahun 2005. Statistik yang ditampilkan meliputi
nilai rata-rata, standar deviasi, persentase rumahtangga yang tidak mengkonsumsi
dan perubahan dari rata-rata (dalam persen).
Tabel 2. Deskripsi Statistik Variabel Terikat (Dependent Variables)Yang
Digunakan Dalam Model, Tahun 2005 & 2006
Nama Variabel dan Definisi
2005 2006 Peruba-
han
rata-rata
(%) Rata-rata
Standar
deviasi
Tidak
kon-
sumsi
(%)
Rata-
rata
Standar
deviasi
Tidak
kon-
sumsi
(%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
w_kel1=budget share kel.1
w_kel2=budget share kel.2
w_kel3=budget share kel.3
w_kel4=budget share kel.4
w_kel5=budget share kel.5
0,2173
0,1750
0,1685
0,0436
0,3957
0,1151
0,1038
0,0723
0,0234
0,1600
1,89
4,11
1,12
2,81
0,01
0,2562
0,1564
0,1603
0,0414
0,3856
0,1320
0,1005
0,0711
0,0225
0,1648
2,07
5,23
1,42
3,25
0,03
17,91
-10,60
-4,85
-5,01
-2,53
kons_kel1=1 jika w_kel1>0
kons_kel2=1 jika w_kel2>0
kons_kel3=1 jika w_kel3>0
kons_kel4=1 jika w_kel4>0
kons_kel5=1 jika w_kel5>0
0,9811
0,9589
0,9888
0,9719
0,9999
0,1361
0,1984
0,1053
0,1651
0,0080
1,89
4,11
1,12
2,81
0,01
0,9793
0,9477
0,9858
0,9675
0,9997
0,1424
0,2227
0,1183
0,1772
0,0172
2,07
5,23
1,42
3,25
0,03
-0,19
-1,18
-0,30
-0,45
-0,02
harga_kel1=unit value kel.1
harga_kel2=unit value kel.2
harga_kel3=unit value kel.3
harga_kel4=unit value kel.4
harga_kel5=unit value kel.5
2.820
8.017
2.243
4.275
1.231
798
4.631
929
1.691
507
1,89
4,11
1,12
2,81
0,01
3.586
8.298
2.417
4.657
3.195
1.015
5.085
1.019
1.813
2.290
2,07
5,23
1,42
3,25
0,03
27,15
3,51
7,76
8,93
159,49
Sumber: Hasil Pengolahan Dari Susenas Panel 2005 dan 2006
Dalam Tabel 2 terlihat bahwa proporsi pengeluaran (budget share)
kelompok 1 (padi-padian dan umbi-umbian) mengalami kenaikan sebesar 17,91%
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
18 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
selama periode Pebruari 2005 – Maret 2006, sementara proporsi pengeluaran
kelompok makanan selain itu mengalami penurunan. Penurunan proporsi
pengeluaran yang paling besar adalah kelompok 2(ikan-ikanan, daging, telur dan
susu) yaitu sebesar 10,60%. Sejalan dengan hal ini, proporsi rumahtangga yang
mengkonsumsi kelompok tersebut (kons_kel2) mengalami penurunan paling besar
yaitu sebesar -1,18%. Hal ini diduga bahwa setelah adanya kenaikan harga BBM
yang diikuti oleh harga barang-barang lainnya, rumahtangga cenderung
mengurangi konsumsi kelompok makanan ini yaitu ikan-ikanan, daging, telur dan
susu. Untuk sebagian rumahtangga, terutama di daerah pedesaan kelompok
makanan ini termasuk barang mewah.
Dilihat dari persentase rumahtangga yang tidak mengkonsumsi, semua
kelompok makanan menunjukkan adanya kenaikan.Hal ini disebabkan adanya
saling substitusi antar kelompok makanan atau karena sebagian rumahtangga
tidak lagi mengkonsumsi kelompok tersebut (karena naiknya harga-
harga).Persentase paling tinggi dimana rumahtangga tidak mengkonsumsi
kelompok tersebut adalah kelompok 2(ikan-ikanan, daging, telur dan susu) yaitu
sebesar 4,11% tahun 2005 dan 5,23% tahun 2006atau naik 1,12 poin (kenaikan
paling tinggi).
Selanjutnya, unit value semua kelompok makanan mengalami kenaikan
dari tahun 2005 ke tahun 2006.Dalam hal variasi unit value, dapat dilihat bahwa
nilai standar deviasinya untuk semua kelompok makanan cukup tinggi pada dua
tahun pengamatan.Hal ini menunjukkan adanya keheterogenan dalam unit value.
Menurut Moeis (2003), keheterogenan ini bisa disebabkan oleh efek kualitas
barang yang dibeli (quality effect) dan jumlah barang yang dibeli (quantity
premium). Oleh karena itu, pengaruh ini harus dihilangkan.
Tabel 3 berikut ini menggambarkan variabel-variabel bebas (independent
variables) yang digunakan dalam model.Jumlah variabel bebas selain dari harga-
harga adalah sebanyak 9 macam yang terdiri dari variabel kontinu sebanyak 5
macam dan variabel dummy sebanyak 4 macam.Berikut ini akan dijelaskan
variabel-variabel tersebut serta transformasi yang dilakukan dalam mengestimasi
sistem persamaan dengan model LA/AIDS.
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 19
Tabel 3. Deskripsi Statistik Variabel Bebas (Independent Variables) Yang
Digunakan Dalam Model, Tahun 2005 dan 2006
Nama Variabel Definisi
2005 2006
Rata-
rata
Standa
r
deviasi
Rata-
rata
Standa
r
deviasi
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
A. Variabel bebas kontinu
peng_mkn_sbl
n
Total pengeluaran makanan
(Rp/bulan)
570.22
2
376.02
7
606.45
0
375.59
8
jml_art Jumlah anggota rumahtangga 3,97 1,67 3,92 1,69
umur_KRT Umur kepala rumahtangga (tahun) 46,18 13,93 47,40 13,94
lama_sklh_KR
T
Lama sekolah kepala rumahtangga
(tahun) 5,64 3,27 6,67 4,45
lantai_kapita Luas lantai per kapita (m2) 20,35 22,49 20,06 19,03
B. Variabel bebas dummy
type_daerah Rumahtangga tinggal di daerah
pedesaan 0,55 0,50 0,55 0,50
status_miskin Rumahtangga miskin 0,13 0,34 0,25 0,43
sumber_pengh
sl
Sumber penghasilan utama
rumahtangga di sektor pertanian 0,34 0,47 0,36 0,48
jk_KRT Kepala rumahtangga laki-laki 0,87 0,33 0,86 0,34
Sumber: Hasil Pengolahan Dari Susenas Panel 2005 dan 2006
1. Total Pengeluaran Makanan Sebulan (Rp/bulan): Peng_mkn_sbln
Dalam penelitian ini, variabel yang berkaitan dengan pendapatan (income)
adalah total pengeluaran makanan sebulan karena model sistem permintaan hanya
menganalisis pengeluaran untuk makanan. Hal ini merujuk pada penelitian yang
dilakukan oleh Ackah dan Appleton (2006) dalam tulisannya yang berjudul “Food
Price Changes and Consumer Welfare in Ghana in the 1990s”.Dalam analisis ini
diasumsikan bahwa pengeluaran konsumsi makanan dan non makanan terjadi
pada kondisi keterpisahan (separability), sehingga konsumen dapat menentukan
preferensinya secara bebas terhadap komoditas makanan tanpa dipengaruhi oleh
pengeluaran komoditas non makanan, dan sebaliknya.Oleh karena itu, dalam
menghitung nilai elastisitas pendapatan, hasil yang diperoleh dari sistem
persamaan ini harus disesuaikan seperti pada persamaan 24.
Rata-rata total pengeluaran makanan sebulan pada tahun 2005 adalah
Rp570.222, kemudian meningkat menjadi Rp606.450 atau sekitar 6,35% pada
tahun 2006. Peningkatan ini lebih disebabkan oleh meningkatnya harga-harga
komoditi makanan akibat kenaikan harga BBM.Sementara, standar deviasi tidak
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
20 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
mengalami perubahan yang berarti.Hal ini menunjukkan bahwa variasi antar
rumahtangga tidak berbeda antara tahun 2005 dan 2006.Sedangkan standar
deviasi yang cukup tinggi menunjukkan bahwa terdapat keheterogenan dalam
pengeluaran makanan.
2. Jumlah Anggota Rumahtangga: Jml_art
Variabel ini mengukur besaran rumahtangga.Banyak penelitian tentang
fungsi permintaan memasukkan variabel ini dalam persamaannya, antara lain
Huffman dan Johnson (Oktober 2000), Ackah dan Appleton (2006), Sabrina
(2006), dan Chandra (2007).Moeis (2003) menggunakan adult equivalent sebagai
ukuran besaran rumahtangga yaitu jumlah anggota rumahtangga yang dibobot
dengan usianya. Menurut Moeis (2003), dimasukkannya variabel besaran
rumahtangga dalam sistem permintaan adalah untuk menghitung skala ekonomi
(economies of scale) suatu rumahtangga dalam aktivitas konsumsi.
Rata-rata jumlah anggota rumahtangga sebanyak 4 orang, tidak ada
perbedaan antara tahun 2005 dan 2006.
3. Lama Sekolah Kepala Rumahtangga: Lama_sklh_KRT
Kepala rumahtangga mempunyai peranan yang penting dalam
memutuskan alokasi pengeluaran rumahtangga. Tingkat pendidikan kepala
rumahtangga diduga mempengaruhi cara rumahtangga mengalokasikan
pengeluarannya (membelanjakan pendapatannya). Dalam penelitian ini
menggunakan lama sekolah dari kepala rumahtangga sebagai ukuran tingkat
pendidikannya.
Rata-rata lama sekolah dari kepala rumahtangga adalah 5,64 tahun pada
2005 dan 6,67 tahun pada 2006. Hal ini berarti rata-rata pendidikan kepala
rumahtangga hanya sampai pada tingkat sekolah dasar.Standar deviasi yang cukup
tinggi menunjukkan keheterogenan dalam lama sekolah dari kepala rumahtangga
untuk kedua tahun tersebut.
4. Luas Lantai Perkapita (m2): Lantai_kapita
Variabel ini merupakan proksi ukuran kekayaan rumahtangga, artinya luas
lantai perkapita yang tinggi menunjukkan bahwa rumahtangga tersebut
mempunyai nilai asset kekayaan yang tinggi.Ukuran kekayaan ini diduga
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 21
mempengaruhi tingkat pembelanjaan rumahtangga. Variabel ini dan dua variabel
lainnya yaitu total pengeluaran makanan dan jumlah anggota rumahtangga adalah
merupakan variabel kontrol terhadap adanya quantity premium dan quality effect
dalam unit value (Moeis, 2006).
Rata-rata luas lantai perkapita adalah 20 m2 untuk kedua tahun
pengamatan.Dengan nilai standar deviasi yang tinggi menunjukkan adanya
keheterogenan dalam data.
5. Variabel Dummy: type_daerah, status_miskin, sumber_penghsl dan jk_KRT
Selain variabel yang nilainya kontinu, dalam model ini digunakan juga
variabel dummy yang nilainya 1 dan 0 yang diduga ikut menentukan sistem
permintaan. Variabel tersebut adalah type daerah tempat tinggal rumahtangga
yaitu bernilai 1 bagi rumahtangga yang berlokasi di daerah perdesaan dan bernilai
0 untuk daerah perkotaan. Kemudian variabel status miskin dari rumahtangga
yaitu bernilai 1 untuk rumahtangga miskin dan bernilai 0 untuk rumahtangga tidak
miskin. Rumahtangga miskinadalah rumahtangga dengan pengeluaran konsumsi
perkapita sebulan di bawah garis kemiskinan.Variabel dummy berikutnya adalah
sumber penghasilan utama rumahtangga yaitu bernilai 1 untuk rumahtangga
pertanian dan bernilai 0 untuk rumahtangga non pertanian. Variabel dummy yang
terakhir adalah jenis kelamin kepala rumahtangga yaitu bernilai 1 jika kepala
rumahtangga laki-laki dan bernilai 0 jika perempuan.
Gambaran (deskripsi) tentang variabel-variabel dummy tersebut adalah
sebagai berikut.Rumahtangga yang tinggal di daerah perdesaan sebanyak 55%
pada kedua tahun pengamatan karena menggunakan rumahtangga yang sama.
Jumlah rumahtangga miskin mengalami peningkatan yaitu dari 13% pada tahun
2005 menjadi 25% pada tahun 2006, yang berarti sebanyak 12% rumahtangga
mengalami perubahan status dari rumahtangga tidak miskin menjadi rumahtangga
miskin sebagai akibat naiknya harga BBM tahun 2005.Jumlah rumahtangga
pertanian juga mengalami peningkatan yaitu dari 34% pada tahun 2005 menjadi
36% pada tahun 2006.Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 2% rumahtangga
beralih ke sektor pertanian pada tahun 2006 sebagai akibat naiknya harga BBM
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
22 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
tahun 2005. Selanjutnya, rumahtangga dengan kepala rumahtangganya laki-laki
sebanyak 87% pada tahun 2005 dan 86% pada tahun 2006.
Pada semua variabel bebas kontinu dilakukan transformasi logaritma
natural, kecuali untuk lama sekolah kepala rumahtangga karena terdapat nilai
0.Hal ini dilakukan untuk mengurangi terjadinya heteroskedastisitas.Variabel-
variabel selain variabel total pengeluaran makanan disebut sebagai variabel sosial-
demografi karena merupakan karakteristik demografi, geografi dan sosial-
ekonomi rumahtangga.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa penggunaan unit value
dalam persamaan permintaan akan menyebabkan simultaneity bias sehingga harus
dibuat variabel instrumen dari harga. Variabel harga ini dihasilkan dengan
mengoreksi unit value dari efek kualitas (quality effect) dan kuantitas (quantity
premium).Variasi unit value yang didefinisikan sebagai perbedaan persentase unit
value yang dibayar dengan rata-rata desanya diperkirakan dari perbedaan dalam
logaritma natural antara unit value yang dibayar (harga_keli) dengan unit value
rata-rata desa (harga_keli_mean) dan disebut dengan deviasi harga (LDev_keli).
Dengan menggunakan persamaan (13), dimana variabel terikatnya adalah
deviasi harga (LDev_keli) diperoleh hasil estimasi parameternya seperti terlihat
pada Tabel 4.Dalam mendapatkan model regresi yang menghasilkan estimator
yang bersifat BLUE, dilakukan pengujian asumsi dasar terlebih dahulu yaitu
homoskedastisitas dan tidak adanya multikolinearitas dengan metode seperti yang
dijelaskan dalam Metode Penelitian.
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 23
Tabel 4.Estimasi Parameter Regresi Deviasi Harga, Tahun 2005 dan 2006
Variabel Bebas Variabel Terikat
LDev_kel1 LDev_kel2 LDev_kel3 LDev_kel4 LDev_kel5
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Tahun 2005
Intersep -0,5095*** -3,0365*** -1,0153*** 0,1363* -1,8006***
ln_peng_mkn 0,0399*** 0,2256*** 0,0812*** -0,0048 0,1298***
ln_jml_art -0,0226*** -0,0399** -0,0425*** -0,0510*** -0,0656***
ln_umurKRT -0,0231*** -0,0476*** -0,0372*** -0,0207** 0,0054
lama_sklh_KRT 0,0039*** 0,0126*** 0,0024*** 0,0027*** 0,0032***
ln_luaslntkpt 0,0205*** 0,0368*** 0,0283*** 0,0096 0,0237***
type_daerah 0,0274*** 0,0744*** 0,0410*** 0,0011 0,0468***
status_miskin -0,0082 -0,0677*** 0,0136* 0,0113 0,0210**
sumber_penghsl -0,0156*** -0,0208 -0,0126** -0,0095 -0,0138**
jk_KRT -0,0079 0,0019 0,0040 -0,0035 0,0227**
Adj. R-square 0,022 0,079 0,033 0,013 0,055
F-statistic 27,286*** 97,752*** 40,485*** 16,279*** 69,167***
derajat bebas/d.o.f 10.352 10.122 10.436 10.247 10.565
Tahun 2006
Intersep -0,2851*** -2,9842*** -1,2395*** -0,0974 -4,9095***
ln_peng_mkn 0,0256*** 0,2121*** 0,0896*** 0,0093 0,3873***
ln_jml_art -0,0167*** -0,0227 -0,0512*** -0,0505*** -0,1225***
ln_umurKRT -0,0276*** -0,0343** -0,0088 -0,0072 -0,1247***
lama_sklh_KRT 0,0036*** 0,0130*** 0,0036*** 0,0011 -0,0100***
ln_luaslntkpt 0,0144*** 0,0468*** 0,0291*** 0,0077 0,0051
type_daerah 0,0277*** 0,0984*** 0,0507*** 0,0026 0,0712***
status_miskin -0,0142** -0,0474*** 0,0255*** 0,0288*** 0,0209
sumber_penghsl -0,0163*** -0,0075 -0,0120** -0,0080 -0,0196
jk_KRT -0,0180*** -0,0170 -0,0086 -0,0000 0,3188***
Adj. R-square 0,024 0,090 0,038 0,007 0,136
F-statistic 28,091*** 104,602*** 43,542*** 8,807*** 175,002***
derajat bebas/d.o.f 9.731 9.392 9.802 9.586 9.941
Sumber: Hasil Pengolahan Dari Susenas Panel 2005 dan 2006
Catatan: ***, **, *, menunjukkan estimasi signifikan secara statistik pada level
1%, 5%, dan 10%
Selanjutnya, nilai estimasi parameter dalam persamaan deviasi harga ini
digunakan untuk menghasilkan variabel instrumen harga pada kelima kelompok
makanan untuk seluruh rumahtangga dengan menggunakan persamaan 14 dan 15.
Variabel instrumen harga inilah yang akan digunakan pada pengolahan
selanjutnya yaitu estimasi regresi logistik (untuk menghasilkan variabel IMR) dan
estimasi sistem permintaan. Nama variabel ini adalah lnharga_est_keli.
Dalam mengestimasi sistem permintaan (demand system) dengan
LA/AIDS (persamaan 10), observasi yang digunakan adalah yang nilai proporsi
pengeluarannya (budget share) tidak nol, artinya hanya rumahtangga yang
mengkonsumsi kelompok makanan tersebut.Oleh karena itu, harus dikoreksi
dengan memasukkan variabel IMR agar hasilnya tidak bias (selectivity bias).
Selain itu, masalah simultaneity bias dalam mengestimasi sistem permintaan ini
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
24 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
diatasi dengan penggunaan variabel instrumen harga dimana unit value telah
dikoreksi dengan mempertimbangkan quality effect dan quantity premium.
Hal lain yang perlu dilakukan dalam mengestimasi sistem permintaan
adalah adanya restriksi-restriksi adding-up, homogeneity dan symmetry. Restriksi
yang dilakukan dalam penelitian ini hanya pada restriksi adding-up saja.
Selanjutnya, dalam mengestimasi sistem permintaan ini, dilakukan
pengujian asumsi dasar yaitu homoskedastisitas dan tidak adanya
multikolinearitas.Hasil estimasi yang telah memenuhi asumsi dasar tersebut dapat
dilihat pada Tabel 5.Seperti terlihat pada Tabel 5, nilai adjusted R-square berkisar
antara 10,6% (kelompok 3/kacang-kacangan, sayur-sayuran dan buah-buahan,
tahun 2005) sampai 53,3% (kelompok 1/padi-padian dan umbi-umbian, tahun
2005). Hal ini berarti bahwa variasi proporsi pengeluaran (budget share) dari
kelompok makanan (w_keli) dapat dijelaskan oleh model sekitar 10,6%-53,3%
dan sisanya dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Nilai adjusted R-square
yang rendah ini disebabkan oleh data yang digunakan adalah data cross-sectional.
Namun, secara bersama-sama, variabel-variabel bebas dalam model dapat
menentukan proporsi pengeluaran ini untuk semua kelompok makanan baik tahun
2005 maupun 2006.Hal ini dapat dilihat dari nilai F-statistik yang signifikan pada
level 1%.
Sebelum membahas masing-masing variabel bebas, dapat ditunjukkan
bahwa meskipun tidak dilakukan restriksi homogeneity dalam sistem persamaan,
ternyata secara otomatis restriksi ini terpenuhi dimana untuk setiap kelompok
makanan jumlah koefisien dari harga-harga sama dengan nol atau bila mengacu
pada persamaan 10, j ij=0 untuk setiap i. Dengan demikian, sistem permintaan
yang dihasilkan bersifat homogenus berderajat nol terhadap harga dan pendapatan,
yang artinya apabila harga dan pendapatan berubah dalam proporsi yang sama,
maka permintaan terhadap suatu komoditas (kelompok makanan) tidak akan
berubah. Namun, syarat symmetry tetap tidak dapat terpenuhi.
Variabel IMR (inverse Mill’s ratio) signifikan pada level 1% untuk semua
kelompok makanan, kecuali untuk kelompok 4 (lemak dan minyak) signifikan
pada level 10% di tahun 2006.Hal ini berimplikasi adanya masalah pemilihan
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 25
(selectivity problem) dalam kelompok makanan tersebut. Penggunaan IMR dalam
model akan meningkatkan R-square (Moeis, 2003).
Secara umum, variabel harga-harga dan variabel sosial-demografi
memberikan pengaruh yang signifikan dalam menentukan proporsi pengeluaran
kelompok makanan.Variabel yang sedikit signifikansinya dalam model adalah
variabel jenis kelamin kepala rumahtangga (KRT), terutama di tahun
2005.Sementara, variabel lama sekolah KRT tidak signifikan pada kelompok 3
(sayur-sayuran, kacang-kacangan dan buah-buahan) dan kelompok 4 (minyak dan
lemak) untuk tahun 2005 dan 2006.
Variabel total pengeluaran makanan yang telah dideflasi dengan indeks
Stone (ln_pengmkn_defl) mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan pada
level 1% terhadap semua proporsi pengeluaran kelompok makanan, kecuali
terhadap proporsi pengeluaran kelompok 3 (kacang-kacangan, sayur-sayuran dan
buah-buahan) tahun 2006 yang mempunyai pengaruh positif tetapi tidak
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa jika total pengeluaran makanan (yang
merupakan proksi dari pendapatan) naik, maka proporsi pengeluaran kelompok
makanan tersebut akan turun. Kondisi ini sesuai dengan Agregasi Engel yaitu
bahwa jika pendapatan meningkat maka akan dialokasikan secara proporsional
pada seluruh komoditas yang dikonsumsi.
Variabel jumlah anggota rumahtangga (ln_jml_art) mempunyai pengaruh
yang positif terhadap proporsi pengeluaran kelompok 1 (padi-padian dan umbi-
umbian), kelompok 2 (ikan-ikanan, daging, telur dan susu), dan kelompok 4
(minyak dan lemak) dan mempunyai pengaruh yang negatif terhadap proporsi
pengeluaran kelompok 3 (kacang-kacangan, sayur-sayuran dan buah-buahan)
pada kedua tahun, 2005 dan 2006. Implikasi dari hal ini adalah bahwa semakin
banyak anggota rumahtangga maka semakin banyak proporsi pengeluaran untuk
kelompok 1, kelompok 2, dan kelompok 4 serta semakin sedikit proporsi
pengeluaran untuk kelompok 3.
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
26 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Tabel 5. Estimasi Parameter Sistem Permintaan Kelompok Makanan, Tahun
2005 dan 2006
Variabel Bebas Variabel Terikat
w_kel1 w_kel2 w_kel3 w_kel4
(1) (2) (3) (4) (5)
Tahun 2005
intersep 1,5182*** -0,1975*** 0,4427*** 0,2348***
lnharga_est_kel1 0,0158*** 0,0102*** -0,0306*** -0,0037***
lnharga_est_kel2 -0,0368*** 0,0517*** -0,0133*** -0,0051***
lnharga_est_kel3 -0,0342*** 0,0195*** 0,0327*** -0,0005
lnharga_est_kel4 0,0067** -0,0026 -0,0091*** -0,0045***
lnharga_est_kel5 -0,0733*** -0,0054** 0,0019 -0,0002
ln_pengmkn_defl -0,0984*** -0,0629*** -0,0273*** -0,0168***
ln_jml_art 0,0928*** 0,0416*** -0,0012 0,0015*
ln_umurKRT 0,0199*** 0,0028 0,0064** 0,0020***
lama_sklh_KRT -0,0025*** 0,0050*** 0,00036 -0,0000
ln_luaslntkpt -0,0208*** 0,0068*** 0,0117*** 0,0017***
type_daerah 0,0377*** -0,0094*** 0,0016 0,0030***
status_miskin 0,0225*** -0,0516*** -0,0072*** 0,0020***
sumber_penghsl 0,0291*** 0,0054*** -0,0062*** 0,0028***
jk_KRT -0,0034 -0,0046 -0,0070*** 0,0003
IMR_keli (i=1,2,3,4) 0,0806*** -0,1119*** -0,1035*** -0,0169***
Adj. R-square 0,533 0,269 0,106 0,236
F-statistic 789,104*** 249,387*** 83,072*** 212,053***
derajat bebas/d.o.f 10.352 10.122 10.436 10.247
Tahun 2006
intersep 1,4761*** -0,2128*** 0,3737*** 0,2394***
lnharga_est_kel1 0,0177*** -0,0029 -0,0197*** -0,0047***
lnharga_est_kel2 -0,0361*** 0,0672*** -0,0025** -0,0025***
lnharga_est_kel3 -0,0463*** 0,0228*** 0,0265*** 0,0001
lnharga_est_kel4 0,0098*** 0,0093*** -0,0150*** -0,0036***
lnharga_est_kel5 -0,0521*** -0,0275*** -0,0202*** -0,0072***
ln_pengmkn_defl -0,1029*** -0,0440*** 0,0014 -0,0141***
ln_jml_art 0,0894*** 0,0087** -0,0188*** 0,0009
ln_umurKRT 0,0227*** 0,0005 0,0138*** 0,0042***
lama_sklh_KRT -0,0018*** 0,0040*** 0,0002 0,0000
ln_luaslntkpt -0,0255*** -0,0062*** 0,0100*** 0,0009**
type_daerah 0,0442*** -0,0014 -0,0011 0,0031***
status_miskin 0,0278*** -0,0350*** 0,0105*** 0,0008
sumber_penghsl 0,0451*** 0,0053*** 0,0044*** 0,0036***
jk_KRT -0,0048 -0,0121*** -0,0111*** -0,0011
IMR_keli (i=1,2,3,4) 0,0670*** -0,1804*** -0,1299*** -0,0062*
Adj. R-square 0,529 0,288 0,133 0,219
F-statistic 727,337*** 254,211*** 101,668*** 180,460***
derajat bebas/d.o.f 9.718 9.392 9.802 9.578
Sumber: Hasil Pengolahan Dari Susenas Panel 2005 dan 2006
Catatan:***, **, *, menunjukkan estimasi signifikan secara statistik pada
level 1%, 5%, dan 10%
Pengaruh yang positif terhadap proporsi pengeluaran juga terjadi pada
variabel umur kepala rumahtangga (ln_umurKRT) di kedua tahun 2005 dan 2006,
walaupun untuk kelompok 2 menunjukkan tidak signifikan.Hal ini mempunyai
arti bahwa semakin tua umur kepala rumahtangga maka semakin banyak proporsi
pengeluaran untuk kelompok makanan tersebut.
Variabel lama sekolah kepala rumahtangga (lama_sklh_KRT) mempunyai
pengaruh yang negatif dan signifikan 1% terhadap proporsi pengeluaran
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 27
kelompok 1 (padi-padian dan umbi-umbian) dan mempunyai pengaruh yang
positif dan signifikan 1% terhadap proporsi pengeluaran kelompok 2 (ikan-ikanan,
daging, telur dan susu) untuk tahun 2005 dan 2006. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumahtangga maka semakin sedikit
proporsi pengeluaran untuk kelompok 1 (padi-padian dan umbi-umbian) dan
semakin banyak proporsi pengeluaran untuk kelompok 2 (ikan-ikanan, daging,
telur dan susu), yang berarti pula semakin memahami pentingnya konsumsi
makanan yang berprotein (ikan-ikanan, daging, telur dan susu).
Pengaruh variabel luas lantai per kapita (ln_lualntkpt) terhadap proporsi
pengeluaran kelompok 2 (ikan-ikanan, daging, telur dan susu) mempunyai arah
yang berbeda untuk tahun 2005 dan 2006. Pada tahun 2005 mempunyai arah
yang positif, yang berarti semakin luas lantai per kapita (semakin kaya) maka
proporsi pengeluaran untuk kelompok makanan tersebut akan semakin banyak.
Hal sebaliknya terjadi pada tahun 2006 yang mempunyai arah negatif yang berarti
semakin luas lantai per kapita (semakin kaya) maka proporsi pengeluaran untuk
kelompok makanan tersebut akan semakin sedikit, yang dapat diartikan bahwa
rumahtangga kaya sangat merasakan dampak dari kenaikan harga BBM karena
terpaksa mengurangi konsumsi makanan seperti ikan-ikanan, daging, telur dan
susu.
Variabel type daerah mempunyai arah yang positif dan signifikan 1% pada
kelompok 1 (padi-padian dan umbi-umbian) dan kelompok 4 (minyak dan lemak)
untuk tahun 2005 dan 2006, yang berarti bahwa di perdesaan proporsi
pengeluaran untuk kelompok makanan tersebut lebih tinggi daripada di perkotaan.
Sedangkan pada kelompok 2 (ikan-ikanan, daging, telur dan susu) mempunyai
arah yang negatif dan signifikan 1% pada tahun 2005, yang berarti bahwa di
perdesaan proporsi pengeluaran untuk kelompok makanan tersebut lebih rendah
daripada di perkotaan. Seperti yang pernah disebutkan bahwa kelompok ini (ikan-
ikanan, daging, telur dan susu) merupakan barang yang mewah di perdesaan
sehingga proporsi pengeluarannya rendah.
Variabel status miskin mempunyai arah yang negatif dan signifikan 1%
pada kelompok 2 (ikan-ikanan, daging, telur dan susu) di kedua tahun 2005 dan
2006, yang berarti bahwa proporsi pengeluaran untuk kelompok makanan tersebut
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
28 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
bagi rumahtangga miskin lebih rendah dibandingkan dengan rumahtangga yang
tidak miskin. Sebaliknya terjadi pada proporsi pengeluaran kelompok 1 (padi-
padian dan umbi-umbian) dimana proporsi pengeluaran untuk kelompok makanan
tersebut bagi rumahtangga miskin lebih tinggi dibandingkan dengan rumahtangga
yang tidak miskin.
Variabel sumber penghasilan utama rumahtangga (sumber_penghsl)
mempunyai arah yang positif dan signifikan 1% terhadap proporsi pengeluaran
semua kelompok makanan pada kedua tahun 2005 dan 2006, kecuali terhadap
proporsi pengeluaran kelompok 3 (kacang-kacangan, sayur-sayuran dan buah-
buahan) di tahun 2005 mempunyai arah yang negatif. Arah yang positif ini
menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran untuk kelompok makanan tersebut bagi
rumahtangga pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan rumahtangga bukan
pertanian.
Sebagian besar kelompok makanan mempunyai arah yang positif untuk
harga sendiri pada kedua tahun pengamatan, 2005 dan 2006.Hanya pada
kelompok 4 (minyak dan lemak) yang mempunyai arah negatif pada kedua tahun,
2005 dan 2006.Arah yang positif mempunyai arti bahwa jika harga kelompok
makanan tersebut naik, maka proporsi pengeluaran kelompok makanan tersebut
naik.Arah yang negatif mempunyai arti sebaliknya. Kedua arah/pengaruh ini
(positif dan negatif) bisa saja terjadi mengingat bahwa proporsi pengeluaran yang
didefinisikan seperti pada persamaan (11) merupakan pembagian antara jumlah
rupiah pengeluaran kelompok makanan tertentu dengan total rupiah pengeluaran
makanan, dimana jumlah rupiah pengeluaran kelompok makanan tertentu adalah
merupakan perkalian antara unit value (proksi dari harga) dengan jumlah yang
dikonsumsi. Jika kenaikan harga lebih besar dari penurunan jumlah yang
dikonsumsi maka proporsi akan naik (arah positif), sebaliknya jika kenaikan harga
lebih kecil dari penurunan jumlah yang dikonsumsi maka proporsi akan turun
(arah negatif). Untuk melihat pengaruh harga, baik harga sendiri maupun harga
silang terhadap jumlah yang diminta sebaiknya dilihat pada nilai elastisitas
permintaan.
Nilai elastisitas permintaan dihitung dengan menggunakan persamaan 18
sampai persamaan 21 dan persamaan 24 (untuk mendapatkan elastisitas
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 29
pengeluaran).Sesuai dengan rumus dalam persamaan tersebut, nilai β (koefisien
total pengeluaran makanan) dan γ (koefisien harga-harga) diperoleh dari estimasi
parameter sistem permintaan seperti pada Tabel 5, sedangkan nilai w_keli (budget
share) yang digunakan adalah nilai w_keli rata-rata seperti terlihat pada
Tabel2.Nilai elastisitas harga sendiri dan harga silang tak terkompensasi
(Marshallian) dapat dilihat pada Tabel 6.Sedangkan nilai elastisitas harga sendiri
dan harga silang terkompensasi (Hicksian) dapat dilihat pada Tabel 7.
Sebagaimana terlihat dalam Tabel 6 dan Tabel 7, elastisitas harga sendiri
mempunyai tanda yang negatif. Hal ini sesuai dengan teori permintaan bahwa
terdapat hubungan yang terbalik antara harga sendiri dengan jumlah yang diminta,
artinya jika harga komoditi tersebut meningkat maka permintaan terhadap
komoditi tersebut akan menurun. Sementara, nilai elastisitas terkompensasi
(Hicksian) lebih kecil (nilai absolutnya) dari elastisitas tak terkompensasi
(Marshallian).Hal ini sesuai dengan teori ekonomi (persamaan Slutsky) yaitu
bahwa pada permintaan Hicksian yang ditangkap hanya efek substitusi saja
sedangkan permintaan Marshallian efek substitusi dan efek pendapatan.
Tabel 6. Elastisitas Harga Tak Terkompensasi (Marshallian), Tahun 2005 - 2006
Kelompok
Komoditi
Terhadap Harga:
Kelompok
1
Kelompok
2
Kelompok
3
Kelompok
4 Kelompok 5
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Tahun 2005
Kelompok 1 -0,8288 -0,0900 -0,0809 0,0508 -0,1583
Kelompok 2 0,1362 -0,6417 0,1718 0,0005 0,1115
Kelompok 3 -0,1466 -0,0508 -0,7789 -0,0472 0,0754
Kelompok 4 -0,0008 -0,0488 0,0533 -1,0864 0,1489
Kelompok 5 -0,0917 -0,0820 -0,1316 0,0015 -1,0109
Tahun 2006
Kelompok 1 -0,8280 -0,0779 -0,1164 0,0550 -0,0483
Kelompok 2 0,0538 -0,5266 0,1910 0,0709 -0,0671
Kelompok 3 -0,1252 -0,0171 -0,8364 -0,0939 -0,1297
Kelompok 4 -0,0263 -0,0070 0,0581 -1,0723 -0,0435
Kelompok 5 -0,0812 -0,1324 -0,0744 -0,0185 -0,8821
Sumber: Hasil Penghitungan Penulis
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
30 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Tabel 7. Elastisitas Harga Terkompensasi (Hicksian), Tahun 2005 dan 2006
Kelompok
Komoditi
Terhadap Harga:
Kelompok
1
Kelompok
2 Kelompok 3 Kelompok 4 Kelompok 5
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Tahun 2005
Kelompok 1 -0,0782 -0,0068 -0,0059 0,0010 -0,0272
Kelompok 2 0,0150 -0,0571 0,0147 0,0000 0,0224
Kelompok 3 -0,0212 -0,0059 -0,0873 -0,0014 0,0199
Kelompok 4 -0,0001 -0,0042 0,0044 -0,0231 0,0288
Kelompok 5 -0,0240 -0,0173 -0,0267 0,0001 -0,4826
Tahun 2006
Kelompok 1 -0,0997 -0,0057 -0,0088 0,0011 -0,0088
Kelompok 2 0,0078 -0,0465 0,0173 0,0017 -0,0146
Kelompok 3 -0,0254 -0,0021 -0,1063 -0,0031 -0,0396
Kelompok 4 -0,0035 -0,0006 0,0048 -0,0230 -0,0087
Kelompok 5 -0,0231 -0,0230 -0,0132 -0,0009 -0,3779
Sumber: Hasil Penghitungan Penulis
Nilai absolut elastisitas harga sendiri yang lebih besar dari satu
mempunyai arti bahwa komoditi tersebut elastis terhadap harga, artinya jika harga
naik 1% maka permintaan akan turun lebih dari 1%. Kondisi ini (elastisitas harga
Marshallian) terjadi pada kelompok 4 (minyak dan lemak) dan kelompok 5
(makanan lainnya) pada tahun 2005, sedangkan pada tahun 2006 hanya kelompok
4 (minyak dan lemak) saja.Jadi kelompok 5 mengalami perubahan dari elastis
menjadi kurang elastis pada periode 2005-2006. Selain dari dua kelompok
makanan ini, nilai absolut elastisitas harga sendiri lebih kecil dari satu, yang
artinya tidak elastis yaitu jika harga naik 1% maka permintaan akan turun kurang
dari 1%.
Bila ditinjau dari nilai elastisitas harga silang, yang merupakan substitusi
kelompok 1 (padi-padian dan umbi-umbian) adalah kelompok 2 (ikan-ikanan,
daging, telur dan susu) pada tahun 2005 dan 2006. Hal ini ditunjukkan dengan
nilai elastisitas harga silang yang positif (lihat kolom 2), yaitu jika harga
kelompok 1 meningkat maka permintaan kelompok 2 akan meningkat. Pada
kelompok 2 (lihat kolom 3), semua nilai elastisitas harga silang adalah negatif.Hal
ini berarti semua kelompok tersebut yaitu kelompok 1, kelompok 3, kelompok 4
dan kelompok 5 merupakan komplemen bagi kelompok 2. Hubungan antara
kelompok makanan yang lain apakah menjadi substitusi atau komplemen dapat
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 31
dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7 tersebut (menurut kolom), yaitu merupakan
substitusi jika bernilai positif dan komplemen jika bernilai negatif.Selanjutnya,
nilaielastisitas pendapatan (pengeluaran) dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Elastisitas Pendapatan (Pengeluaran), Tahun 2005 dan 2006
Kelompok Komoditi Tahun
2005 2006
(1) (2) (3)
Kelompok 1 0,4344 0,4702
Kelompok 2 0,5086 0,5647
Kelompok 3 0,6655 0,7928
Kelompok 4 0,4886 0,5181
Kelompok 5 1,2065 1,1108
Sumber: Hasil Penghitungan Penulis
Dalam tabel tersebut terlihat bahwa untuk kedua periode waktu yaitu 2005
dan 2006, semua kelompok makanan mempunyai nilai elastisitas pendapatan
(pengeluaran) positif, yang berimplikasi tidak ada yang terkategori inferior, atau
bahwa semua kelompok makanan merupakan barang normal. Nilai positif ini
mempunyai arti yaitu bahwa jika pendapatan naik maka jumlah permintaan juga
naik.Nilai elastisitas mengalami kenaikan dari tahun 2005 ke tahun 2006, kecuali
untuk kelompok 5 (makanan lainnya) mengalami sedikit penurunan.
Nilai elastisitas kelompok 5 (makanan lainnya) lebih dari satu yang berarti
merupakan barang mewah (luxurious). Untuk kelompok yang lain terkategori
barang pokok (necessities) karena nilainya kurang dari satu.
Selanjutnya, berdasarkan persamaan 26 dihitung nilai Compensating
Variation (CV). Hasil penghitungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel
9.Sesuai dengan persamaan 25, jika CV bernilai positif berarti terdapat penurunan
tingkat kesejahteraan (welfare loss) dan sebaliknya.
Dalam Tabel 9 terlihat bahwa semua CV bernilai positif yang berarti
terjadi penurunan tingkat kesejahteraan. Nilai CV untuk rumahtangga di
Indonesia secara umum adalah sebesar 36,0% dari total pengeluarannya di tahun
2005 atau dalam jumlah rupiah adalah sebesar Rp 381.570.
Bila dibandingkan antara rumahtangga yang tinggal di daerah perkotaan
dan perdesaan maka nilai CV perkotaan lebih tinggi yaitu masing-masing 36,3%
dan 35,5%, atau dalam jumlah rupiahnya Rp 513.067 per bulan di perkotaan
sedangkan di perdesaan hanya Rp 272.657 per bulan. Hal ini diduga karena orang
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
32 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
di perkotaan konsumsinya adalah barang-barang yang terpengaruh oleh kenaikan
harga BBM.Dengan demikian rumahtangga di perkotaan mendapatkan pengaruh
negatif yang lebih besar akibat kenaikan harga BBM tahun 2005 dibandingkan
rumahtangga di perdesaan.Hasil yang serupa juga ditunjukkan oleh Faiq (2007)
dimana CV per kapita perkotaan lebih tinggi daripada perdesaan yaitu masing-
masing Rp 50.322 dan Rp 27.119.Faiq (2007) melakukan simulasi dengan
Computable General Equilibrium (CGE) terhadap berkurangnya subsidi BBM
pada tahun 2005. Demikian pula dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Friedman dan Levinsohn (2002) dengan menggunakan data Susenas 1996 bahwa
CV daerah perkotaan lebih tinggi daripada perdesaan yaitu masing-masing 91%
dan 76% sebagai dampak krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997.
Tabel 9. Compensating Variation (CV) Untuk Beberapa Kategori
Rumahtangga di Indonesia, Periode Pebruari 2005 – Maret 2006
No. Kategori Rumahtangga Persentase Rp/bulan
(1) (2) (3) (4)
1 Indonesia 36,0 381.570
2 Kota 36,3 513.067
3 RT Miskin 36,5 238.049
4 RT Non Miskin 37,4 559.154
5 Desa 35,5 272.657
6 RT Miskin 32,3 151.951
7 RT Non Miskin 37,6 310.485
8 RT Miskin 33,9 180.575
9 Jumlah ART 1-4 33,8 121.509
10 Jumlah ART > 4 34,7 235.487
11 RT Non Miskin 37,9 432.741
12 RT Pertanian 34,5 249.479
13 RT Non Pertanian 36,9 455.569
14 RT dengan jumlah ART 1-4 36,1 320.842
15 RT dengan jumlah ART > 4 35,8 505.262
Sumber: Hasil Penghitungan Penulis
Selanjutnya, bila dibandingkan antara rumahtangga miskin dan tidak
miskin, CV yang paling besar adalah pada rumahtangga tidak miskin yaitu sebesar
37,9% atau Rp 432.741 per bulan, sementara rumahtangga miskin hanya sebesar
33,9% atau Rp 180.575 per bulan. Demikian pula bila ditinjau menurut daerah
tempat tinggal, yaitu rumahtangga miskin dan non miskin di daerah perkotaan
maupun perdesaan akan memperlihatkan pola yang sama. Hal ini dapat diduga
bahwa rumahtangga non miskin mempunyai kebutuhan yang lebih beragam
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 33
dibandingkan dengan rumahtangga miskin sehingga sangat terpengaruh dengan
naiknya harga-harga dan harus mendapatkan kompensasi yang lebih besar akibat
kenaikan harga BBM.Namun, perubahan yang sedikit (dengan CV yang lebih
kecil) bagi rumahtangga miskin adalah sangat berarti (signifikan) dalam kualitas
kehidupannya (tingkat kesejahteraannya). Dalam hal ini, hasil yang serupa juga
ditunjukkan oleh Friedman dan Levinsohn (2002) yang meneliti dampak krisis
ekonomi di Indonesia tahun 1997 yaitu bahwa CV rumahtangga non miskin lebih
tinggi daripada rumahtangga miskin dimana nilainya masing-masing adalah 82%
dan 77%. Namun, Friedman dan Levinsohn (2002) menemukan bahwa di
perkotaan, CV rumahtangga miskin lebih tinggi daripada rumahtangga non miskin
yaitu masing-masing 109% dan 90%, artinya bahwa rumahtangga miskin di
perkotaan lebih sangat menderita akibat krisis ekonomi. Sementara di perdesaan,
CV rumahtangga non miskin yang lebih tinggi daripada rumahtangga miskin yaitu
masing-masing 78% dan 70%.
Sementara, bila dibandingkan antara rumahtangga pertanian dan non
pertanian, maka CV yang paling besar pada rumahtangga non pertanian yaitu
sebesar 36,9% atau Rp 455.569 per bulan sedangkan rumahtangga pertanian
hanya sebesar 34,5% atau Rp 249.479 per bulan. Hal ini dapat diduga bahwa
rumahtangga pertanian mendapatkan sebagian keuntungan dari kenaikan harga
komoditi pertanian sehingga CV tidak sebesar rumahtangga non pertanian.
Selanjutnya, rumahtangga dengan jumlah anggota lebih dari empat orang
mendapatkan CV yang lebih tinggi dibandingkan rumahtangga dengan anggota 1-
4 orang yaitu sebesar Rp 505.262 per bulan dibanding dengan Rp 320.842 per
bulan, walaupun secara persentase tidak terlalu berbeda yaitu 35,8% dibanding
36,1%. Hal ini logis karena semakin banyak anggota rumahtangga kebutuhan dan
pengeluaran akan semakin besar.
Hal yang cukup menarik untuk dibahas adalah membandingkan nilai CV
dengan jumlah dana bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan oleh
Pemerintah kepada rumahtangga miskin. Seperti telah diketahui bahwa jumlah
dana BLT adalah Rp 100.000 per bulan per rumahtangga miskin. Dalam hal ini
tidak dilihat apakah rumahtangga tersebut mempunyai anggota sedikit (1-4) atau
banyak (>4). Jika tidak dilihat banyaknya anggota rumahtangga, berdasarkan
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
34 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
nilai CV untuk rumahtangga miskin, maka seharusnya jumlah dana yang
diberikan untuk mengkompensasi kenaikan harga BBM agar rumahtangga miskin
tetap berada pada kesejahteraan semula adalah sebesar Rp180.575 per bulan, yang
berarti terdapat kekurangan sebesar Rp 80.575 per bulan.
Sementara jika dilihat dari segi banyaknya anggota rumahtangga, maka
rumahtangga miskin dengan jumlah anggota 1-4 orang seharusnya menerima dana
kompensasi sebesar Rp 121.509 per bulan yang berarti terdapat kekurangan
sebesar Rp 21.509 per bulan. Sedangkan rumahtangga miskin dengan jumlah
anggota lebih dari 4 orang seharusnya menerima dana kompensasi sebesar
Rp235.487 per bulan yang berarti terdapat kekurangan sebesar Rp 135.487 per
bulan.
Hal lainnya adalah jika yang ingin dibedakan adalah lokasi rumahtangga
maka rumahtangga miskin di perkotaan seharusnya menerima dana kompensasi
sebesar Rp 238.049 per bulan yang berarti terdapat kekurangan sebesar
Rp138.049 per bulan. Sementara, rumahtangga miskin di perdesaan seharusnya
menerima dana kompensasi sebesar Rp 151.951 per bulan yang berarti terdapat
kekurangan sebesar Rp 51.951 per bulan.
Hasil penghitungan Compensating Variation (CV) di atas dengan
menggunakan persamaan 26 adalah berdasarkan pada proporsi pengeluran
kelompok makanan (w_keli) yang artinya bergantung pada agregasi
(penggabungan) komoditi yang dilakukan. Dalam penelitian ini tidak dilakukan
pengujian apakah dengan agregasi yang berbeda akan menghasilkan nilai CV
yang berbeda. Namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Friedman
dan Levinsohn (2002), antara CV dengan agregasi dan tanpa agregasi mempunyai
nilai yang tidak berbeda secara signifikan. Dengan demikian, hasil CV dalam
penelitian ini sudah cukup valid untuk digunakan.
Jadi berdasarkan hasil perhitungan CV akibat kenaikan harga BBM pada
tahun 2005, terlihat adanya penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia
secara keseluruhan sebesar 36,0% dari rata-rata konsumsinya sebulan. Dengan
demikian diharapkan Pemerintah dapat memberikan bantuan agar masyarakat
kembali pada tingkat kesejahteraan semula terutama bagi rumahtangga miskin.
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 35
V. Kesimpulan dan Saran
Dapat disimpulkan bahwatelah terjadi penurunan tingkat kesejahteraan
rumahtangga (welfare loss) selama periode Pebruari 2005 – Maret 2006 sebagai
dampak kenaikan harga BBM tahun 2005 yang diikuti olehkenaikan harga-harga
secara umum (inflasi).Penurunan tingkat kesejahteraan (welfare loss) atau
Compensating Variation (CV) rumahtangga di daerah perkotaan lebih tinggi
daripada daerah perdesaan.Hal ini diduga karena orang di perkotaan konsumsinya
adalah barang-barang yang terpengaruh oleh kenaikan harga BBM.Penurunan
tingkat kesejahteraan (welfare loss) atau Compensating Variation (CV)
rumahtangga tidak miskin lebih tinggi daripada rumahtangga miskin.Namun,
perubahan yang sedikit bagi rumahtangga miskin adalah sangat berarti
(signifikan) dalam kualitas kehidupannya (tingkat kesejahteraannya).
Selanjutnya, penurunan tingkat kesejahteraan (welfare loss) atau
Compensating Variation (CV) rumahtangga dengan jumlah anggota lebih dari 4
orang lebih tinggi daripada rumahtangga dengan jumlah anggota 1-4 orang. Hal
ini logis karena semakin banyak anggota rumahtangga, kebutuhan dan
pengeluaran akan semakin besar.Penurunan tingkat kesejahteraan (welfare loss)
atau Compensating Variation (CV) rumahtangga non pertanian lebih tinggi
daripada rumahtangga pertanian.Hal ini dapat diduga bahwa rumahtangga
pertanian mendapatkan sebagian keuntungan dari kenaikan harga komoditi
pertanian.
Pemberian BLT sebesar Rp 100.000 per bulan kepada rumahtangga miskin
belum cukup untuk mengkompensasi agar kondisi kesejahteraan mereka kembali
pada tingkat sebelum kenaikan harga BBM, terutama bagi rumahtangga miskin
dengan anggota lebih dari 4 orang atau bagi rumahtangga miskin di
perkotaan.Secara umum, jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengkompensasi
kenaikan harga BBM agar rumahtangga miskin tetap berada pada kesejahteraan
semula adalah sebesar kira-kira 34% dari rata-rata pengeluaran sebulan atau
sekitar Rp180.575 per bulan, yang berarti terdapat kekurangan sebesar Rp 80.575
per bulan bila dibandingkan dengan dana BLT (Rp 100.000 per bulan).
Rumahtangga miskin dengan jumlah anggota 1-4 orang
membutuhkandana kompensasi sebesar kira-kira 34% dari rata-rata pengeluaran
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
36 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
sebulan atau sekitar Rp 121.509 per bulan yang berarti terdapat kekurangan
sebesar Rp21.509 per bulan bila dibandingkan dengan dana BLT (Rp 100.000 per
bulan). Sementara rumahtangga miskin dengan jumlah anggota lebih dari 4 orang
membutuhkandana kompensasi sebesar kira-kira 35% dari rata-rata pengeluaran
sebulan atau sekitar Rp 235.487 per bulan yang berarti terdapat kekurangan
sebesar Rp 135.487 per bulan bila dibandingkan dengan dana BLT (Rp 100.000
per bulan).
Rumahtangga miskin di perkotaan membutuhkandana kompensasi sebesar
kira-kira 37% dari rata-rata pengeluaran sebulan atau sekitar Rp238.049 per bulan
yang berarti terdapat kekurangan sebesar Rp 138.049 per bulan bila dibandingkan
dengan dana BLT (Rp 100.000 per bulan). Sementara rumahtangga miskin di
perdesaan membutuhkandana kompensasi sebesar kira-kira 32% dari rata-rata
pengeluaran sebulan atau sekitar Rp 151.951 per bulan yang berarti terdapat
kekurangan sebesar Rp 51.951 per bulan bila dibandingkan dengan dana BLT (Rp
100.000 per bulan).
Berikut ini beberapa saran bagi peneliti yang berminat untuk melanjutkan
penelitian ini. Menurut Moeis (2003) terdapat tiga masalah data yang
mempengaruhi spesifikasi model sistem permintaan yang harus dipertimbangkan
yaitu simultaneity bias (bias simultan), sample selectivity bias (bias pemilihan
jenis komoditi yang dikonsumsi), dan contemporaneous correlation (standard
error tidak efisien). Dalam penelitian ini hanya mempertimbangkan dua masalah
data yaitu simultaneity bias dan sample selectivity bias, oleh karena itu disarankan
agar peneliti selanjutnya mempertimbangkan juga masalah yang ketiga yaitu
contemporaneous correlation agar diperoleh standard error yang efisien.
Selanjutnya, untuk memenuhi syarat fungsi permintaan yaitu homogeneity,
adding-up dan symmetry, dalam melakukan estimasi model sistem permintaan
harus diadakan restriksi-restriksi. Dalam penelitian ini restriksi yang dilakukan
hanya untuk syarat adding-up saja. Walaupun secara otomatis syarat homogeneity
terpenuhi, namun bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan ketiga
restriksi tersebut.
Dalam penelitian ini tidak memasukkan variabel potensi wilayah
(desa/kota) yang mungkin saja mempengaruhi sistem permintaan. Bagi peneliti
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 37
selanjutnya mungkin dapat menggunakan data Potensi Perdesaan dari survey yang
dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai variabel dalam sistem
permintaan.
Dengan adanya perbedaan kondisi antar propinsi di Indonesia, sebaiknya
Compensating Variation (CV) dihitung untuk setiap propinsi dimana dibutuhkan
data dengan sampel lebih besar. Bagi peneliti yang berminat untuk hal ini dapat
menggunakan data Susenas Modul Konsumsi dengan sampel sekitar 68.000
rumahtangga yang dilakukan setiap tiga tahun sekali oleh Badan Pusat Statistik
(BPS).Penghitungan Compensating Variation (CV) dapat dilakukan dengan hanya
menggunakan data proporsi pengeluaran satu tahun saja dan data mengenai
perubahan harga-harga, oleh karena itu bagi peneliti yang berminat untuk
menghitung CV secara cepat dapat menggunakan metode ini.Metode tersebut
pernah dilakukan oleh Friedman dan Levinsohn (2002).
Beberapa saran bagi kebijakan Pemerintah adalah bahwa untuk
mendapatkan nilai nominal (rupiah) yang layak dalam pemberian kompensasi
kepada rumahtangga miskin terhadap kenaikan harga BBM dalam bentukBantuan
Langsung Tunai (BLT) sebaiknya dikaji dengan menggunakan metode yang
cukup ilmiah, misalnya seperti yang dilakukan pada penelitian ini. Dengan
demikian dalam memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT), sebaiknya
Pemerintah melakukan pembedaan nilai nominal (rupiah) antara rumahtangga
miskin dengan anggota yang sedikit (1-4 orang) dan yang banyak (lebih dari 4
orang), atau antara rumahtangga miskin yang tinggal di perkotaan dan yang
tinggal di perdesaan.
Daftar Pustaka
Ackah, Charles dan Simon Appleton. 2006. “Food Price Changes and Consumer
Welfare in Ghana in the 1990s”.CREDIT Research Paper No. 07/03,
University of Nottingham.
Badan Pusat Statistik. 2006. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan
Tahun 2006. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2005.Susenas 2005: Pedoman Pencacahan. BPS. Jakarta.
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
38 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Chandra, Agung Dwi. 2007. “Analisis Permintaan Sayur-sayuran Menuju
Pemenuhan Sendiri di Propinsi Kep. Bangka Belitung”. Tesis PPIE.
Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Deaton, Angus and John Muellbauer. 1980. “An Almost Ideal Demand System”.
American Economis Review 70(3):312-326.
Dominick, Salvatore. 1992. Microeconomic Theory. Third Edition.The
McGraw-Hill Inc.
Engel, J.F., R.D.Blackwell, dan P.W.Miniard. 1994.Perilaku Konsumen. Binarupa
Aksara. Jakarta.
Faiq. 2007. “A General Equilibrium Analysis in Examining the Impact of Fuel
Subsidies Cut: the Case of Indobesia”. Thesis of the International
Development. The International University of Japan.
Friedman, Jed dan James Levinsohn. 2002. “The Distributional Impacts of
Indonesia’s Financial Crisis on Household Welfare: A “Rapid Response”
Methodology”. University of Michigan.
Gujarati. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. The McGraw-Hill
Companies.
Hartono, Jogiyanto. 2002. Teori Ekonomi Mikro, Analisis Matematis. Penerbit
Andi. Yogyakarta.
Henderson, James M dan Richard E. Quandt. 1980. Micro Economic Theory: a
Mathematical Approach. Third Edition. McGraw-Hill Book Company,
New York.
Huffman, Sonya Kostova dan Stanley R. Johnson. 2000. “Re-evaluation of
Welfare Changes during the Transition in Poland”.Working Paper 00-WP
255, Iowa State University.
Ikhsan, Mohamad, et al. 2005. “Kajian Dampak Kenaikan Harga BBM 2005
Terhadap Kemiskinan”. LPEM Working Paper No. 10. Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia. Jakarta.
Moeis, Jossy. P. 2003. “Indonesia Food Demand System: An Analysis of the
Impacts of the Economic Crisis on Household Consumption and
Nutritional Intake”. Dissertation of theFaculty of Columbian College of
Arts and Sciences. The George Washington University. Washington DC.
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 39
Nicholson, Walter. 2005. Microeconomic Theory: Basic Principles and
Extensions. Ninth Edition. Thomson Corporation. South-Western,
Thomson.Rahardja, Pratama dan MandalaManurung. 2004.Pengantar Ilmu
Ekonomi. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Jakarta.
Sabrina. 2006. “Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Propinsi Sumatera
Barat”.Tesis MPKP. Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Silberberg, Eugene. 1990. The Structure of Economics : A Mathematical Analysis.
Second Edition.The International Edition.Mc. Graw Hill.Inc. Singapore.
Smits, Jeroen. 2003. “Estimating the Heckman Two Step Procedure to Control
for Selection Bias with SPSS”. http://home.planet.nl/~smits jeroen.
Varian, Hal.R. 1992. Microeconomic Analysis. Third Edition. W.W. Norton &
Company, Inc. New York.Faiq. 2007. “A General Equilibrium Analysis in
Examining the Impact of Fuel Subsidies Cut: the Case of Indobesia”.
ThesisNof the International Development. The International University of
Japan.
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
40 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDUDUK
TIDAK MELAPORKAN PERISTIWA KEPENDUDUKAN
Irdam Ahmad
Dosen Tetap STEKPI School of Business and Management, Jakarta
Abstract
At least, there are three main problems in population administration system in
Indonesia, first, population administration data is not managed well and overlapped
among many government institutions, second, some people do not have identity card
which then cause problems in election voters (DPT) in 2009 general election, and third,
many people, mainly in rural area, do not report any vital events that have been
occured in their family, such as birth, death, move in and move out, to government
official in order to get population documents. This paper would like to find out factors
affecting people not reporting any vital events that have been occured in their family.
The study was conducted through a survey in the village of Cibuah of the Lebak
Regency of Banten, in 2010, involving a randomly selected sample of 117 family heads.
Logistic regression was employed to analyse the data. The results show that there are
five independent variables which has significant in affecting people not reporting any
vital events. This may suggest the possibility to improve the knowledge of the family
heads about population administration system and and their motivation to posses
population documents.
Keywords; population administration system, logistics regression, population
documents
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Secara umum, ada tiga masalah pokok pada sistem administrasi kependudukan
yang terjadi di Indonesia saat ini. Pertama, pengelolaan data administrasi kependudukan
sampai saat ini masih dirasakan tumpang tindih karena diselenggarakan oleh berbagai
instansi pemerintah yang tidak terintegrasi satu sama lain. Kedua, sebagian penduduk,
terutama yang tinggal di daerah perdesaan, masih banyak yang belum melaksanakan
tertib administrasi kependudukan, seperti tidak memiliki kartu keluarga, Kartu Tanda
Penduduk (KTP), akta kelahiran, surat nikah, dan lain-lain. Data hasil Survei Penduduk
Antar Sensus (Supas) tahun 2005 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
menyebutkan bahwa terdapat 26,2 juta penduduk dewasa tidak memiliki KTP, 12,1 juta
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2911 41
keluarga tidak memiliki Kartu Keluarga dan 10,9 juta Balita tidak memiliki Akta
Kelahiran. Ketiga, masih banyak penduduk yang tidak melaporkan berbagai peristiwa
penting kependudukan yang terjadi di lingkungan keluarga mereka kepada aparat
pemerintah setempat, misalnya adanya kelahiran, pindah, datang, menikah, bercerai atau
meninggal, sehingga data mereka tidak bisa di up date sesuai dengan kondisi terakhir.
Akibat ketiga masalah tersebut, pemerintah sering kesulitan dalam
memutakhirkan data jumlah penduduk. Disamping itu, data jumlah penduduk antara satu
instansi pemerintah dengan instansi pemerintah yang lain, juga tidak pernah sama,
misalnya antara data jumlah penduduk yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS),
yang dikumpulkan melalui Sensus Penduduk dengan data jumlah penduduk dari
Kementerian Dalam Negeri yang dikumpulkan melalui registrasi penduduk.
Untuk menata ulang dan menertibkan kembali masalah administrasi
kependudukan di Indonesia, pemerintah telah menerbitkan UU No. 23 tahun 2006
tentang administrasi kependudukan. Pada Pasal 2 misalnya, disebutkan bahwa ”setiap
penduduk mempunyai hak untuk memperoleh dokumen kependudukan”, tetapi pada
Pasal 3 disebutkan kewajiban penduduk, yaitu ”setiap penduduk wajib melaporkan
peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya kepada instansi
pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam pendaftaran penduduk
dan pencatatan sipil”.
Dari Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk memperoleh
dokumen kependudukan yang menjadi hak setiap penduduk sesuai dengan Pasal 2, maka
setiap penduduk terlebih dahulu harus melaporkan semua peristiwa kependudukan dan
peristiwa penting lainnya, seperti kelahiran, kematian, pindah, datang, dan lain-lain, yang
terjadi di lingkungan keluarganya kepada instansi pemerintah, dengan memenuhi semua
persyaratan yang diperlukan. Dengan kata lain, pemerintah menganut sistem stelsel pasif,
dimana aparat pemerintah hanya bersifat pasif menunggu laporan dari masyarakat, yang
harus aktif melaporkan berbagai peristiwa kependudukan yang terjadi di lingkungan
rumahtangga mereka.
Masalahnya adalah, masih banyak penduduk, terutama yang tinggal di daerah
pedesaan, yang tidak mengetahui peraturan perundangan tersebut dan tidak melaporkan
peristiwa kependudukan yang terjadi dalam rumahtangga mereka, seperti kelahiran,
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
42 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
pindah, datang, dan lain-lain. Hal ini terutama karena mereka belum menyadari manfaat
dari melaporkan berbagai peristiwa penting kependudukan tersebut bagi keluarga mereka.
Disamping itu, untuk melaporkan peristiwa kependudukan dan mengurus dokumen
kependudukan seperti Akta Kelahiran, KTP, dan lain-lain, bisa menghabiskan waktu
yang cukup lama dan biaya yang cukup mahal, baik untuk biaya transportasi pulang pergi
ke kantor kecamatan dan atau kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di
kota/kabupaten, maupun untuk biaya mengurus dokumen kependudukannya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi penduduk tidak mau melaporkan peristiwa kependudukan yang terjadi di
lingkungan keluarga mereka, seperti adanya kelahiran, kematian, pindah/datang,
perkawinan dan perceraian. Dengan demikian, diharapkan program sosialisasi tentang
pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil pada waktu-waktu yang akan datang dapat
dilakukan dengan lebih terarah dan lebih efektif, yang pada akhirnya diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran penduduk agar mau melaporkan setiap peristiwa kependudukan
yang terjadi di lingkungan keluarga mereka kepada aparat desa/kelurahan setempat.
Perumusan Masalah
Dari penjelasan tersebut diatas, maka perumusan masalah pada penelitian ini
adalah sebagai berikut ;
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penduduk tidak melaporkan
peristiwa kependudukan yang terjadi di lingkungan keluarga mereka.
2. Berapa peluang dari seorang kepala keluarga dengan karakteristik tertentu tidak
melaporkan peristiwa kependudukan yang terjadi di rumahtangga mereka.
Kerangka Berpikir
Secara umum, ada tujuh macam peristiwa kependudukan yang memerlukan
bukti tertulis untuk menentukan status hukum ketika seseorang mengalami suatu
peristiwa (Situmorang dan Sitanggang, 1991), yaitu ; perkawinan, kelahiran, pengakuan
anak, pengesahan anak, perceraian, kematian dan penggantian nama. Dari ke tujuh
peristiwa tersebut, peristiwa pengakuan anak, pengesahan anak serta penggantian nama,
relative banyak terjadi di Indonesia. Karena itu, ketiga peristiwa tersebut tidak
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2911 43
dimasukkan dalam penelitian ini. Sebaliknya, peristiwa perpindahan, walaupun tidak
termasuk dalam ketegori catatan sipil tetapi karena banyak terjadi di Indonesia,
dimasukkan dalam penelitian ini.
Untuk memiliki bukti tertulis dalam menentukan terhadap peristiwa kelahiran,
perkawinan, perceraian, kematian, dan perpindahan, maka yang bersangkutan atau
keluarganya harus melaporkan peristiwa tersebut ke kantor desa/kelurahan/kecamatan
atau ke kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, untuk memperoleh akta
catatan sipil atau surat pindah. Karena peristiwa-peristiwa kependudukan tersebut
dicatat dan didaftarkan, maka semua pihak yang berkepentingan akan mempunyai bukti
atau kepastian hukum tentang peristiwa kependudukan tersebut.
Ada beberapa faktor yang diduga dapat mempengaruhi seseorang untuk
melaporkan atau tidak melaporkan peristiwa kependudukan yang terjadi di lingkungan
keluarga mereka, yaitu jarak dari tempat tinggal ke kantor desa/kelurahan, umur, tingkat
pendidikan, pendapatan, jumlah anggota rumahtangga serta klasifikasi desa tempat
tinggal (urban/rural).
Jarak misalnya, diduga mempunyai pengaruh negatif terhadap keinginan
seseorang untuk melapor, dimana semakin jauh jarak tempat tinggal seseorang ke kantor
desa/kelurahanl, maka semakin kecil peluangnya untuk melaporkan peristiwa
kependudukan yang terjadi di rumahtangga mereka. Walaupun proses pembuatan
berbagai dokumen kependudukan seperti akta kelahiran, akta kematian, dan lain-lain,
dilakukan di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, yang terletak di kota
kabupaten, tetapi sebelumnya penduduk tetap harus meminta surat pengantar dari kepala
desa/kelurahan. Oleh karena itu definisi jarak yang digunakan pada penelitian ini adalah
jarak dari tempat tinggal ke kantor desa/kelurahan.
Variabel lain yang juga mempunyai pengaruh negatif terhadap keinginan
seseorang untuk melapor adalah jumlah anggota rumahtangga, dimana semakin banyak
jumlah anggota rumahtangga seseorang, yang berarti semakin sering terjadi peristiwa
kependudukan di rumahtangga tersebut, maka semakin kecil peluangnya untuk
melaporkan peristiwa kependudukan yang terjadi di lingkungan keluarga mereka kepada
aparat desa/kelurahan.
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
44 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Sementara itu, variabel tingkat pendidikan, pendapatan dan umur diduga
mempunyai pengaruh positif terhadap keinginan seseorang untuk melapor dimana
semakin tinggi tingkat pendidikan atau semakin besar pendapatan atau semakin tua umur
seseorang, maka semakin besar peluangnya untuk mau melaporkan peristiwa
kependudukan yang terjadi di lingkungan rumahtangga mereka. Demikian juga dengan
klasifikasi desa tempat tinggal, yang diduga juga mempunyai pengaruh positif terhadap
keinginan seseorang untuk melapor, dimana semakin banyak fasilitas urban tempat
tinggal seseorang, akan semakin besar peluangnya untuk melaporkan peristiwa
kependudukan yang terjadi di lingkungan rumahtangga mereka.
II. METODOLOGI PENELITIAN
Metode Pemilihan Sampel
Penelitian ini dilakukan di desa Cibuah, Kecamatan Warunggunung, Kabupaten Lebak,
Propinsi Banten pada bulan Juni tahun 2010, dengan jumlah sampel sebanyak 117
Kepala Keluarga (KK). Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan three-stage
random sampling. Pada tahap pertama, dipilih kecamatan secara simple random
sampling, dan yang terpilih adalah Kecamatan Kasemen. Pada tahap kedua dipilih satu
desa dari 12 desa yang terdapat di Kecamatan Kasemen, dan yang terpilih adalah Desa
Margaluyu. Pada tahap ketiga, dipilih dua Rukun Warga (RW) secara simple random
sampling, dan yang terpilih adalah RW 02 dan RW 05. Semua KK yang tinggal di RW
02 dan RW 05 tersebut dijadikan sampel pada penelitian ini, yaitu sebanyak 117 KK,
dan diwawancarai dengan menggunakan kuesioner seperti yang terdapat pada lampiran.
Metode Analisis
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan metode analisis statistik paling sederhana tetapi
memiliki daya menerangkan yang cukup kuat untuk menjelaskan hubungan antara
peubah bebas dengan peubah terikat dengan menggunakan tabel silang, sedemikian rupa
sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran umum terhadap masalah yang diteliti,
terutama untuk mengetahui rasio kecenderungan (odds ratio) serta hubungan antara
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2911 45
0
0
exp
( )
1 exp
k
j ji
j
k
j ji
j
x
x
x
0 1 1 2 2
0 1 1 2 2
exp ( ... )
1 exp ( ... )
k k
k k
x x x
x x x
nix ji ,...,1,1
kik xxx ...22110
peubah terikat (melaporkan/tidak melaporkan peristiwa penting kependudukan) dengan
peubah bebas, yaitu beberapa karakteristik sosial ekonomi penduduk.
Analisis Regresi Logistik Berganda
Model regresi logistik berganda biasanya digunakan untuk menganalisis data
dengan variabel terikat berbentuk kualitatif yang bersifat kategorik atau nominal (nol dan
satu), sedangkan variabel bebas dapat berbentuk kategorik maupun kontiniu. Variabel
terikat (Yi) mengikuti sebaran Bernoulli untuk setiap observasinya (Hosmer and
Lemeshow, 1989), yang mempunyai skala binary, yaitu menggunakan dua nilai
kategorik, Y = 1 menyatakan peristiwa yang “sukses” (masuk dalam kategori, yaitu tidak
melaporkan peristiwa penting kependudukan yang terjadi di lingkungan rumahtangga
mereka), sedangkan untuk Y = 0 menyatakan peristiwa yang “gagal” (tidak masuk dalam
kategori atau yang melaporkan). Sedangkan untuk variabel bebas, walaupun secara teori
bisa terdiri dari data kategorik, data kontiniu atau campuran keduanya, dalam penelitian
ini semua variabel bebas menggunakan skala kategorik (0 dan 1).
Model Regresi Logistic berganda dengan k peubah bebas adalah :
atau
dimana : Π(x) = peluang terjadinya peristiwa sukses yaitu Y = 1
βj = nilai parameter, j = 1,2, ..k, dimana k = peubah bebas
i = 1,2,3,...,n, dimana n = banyaknya observasi
Model Logistic seperti pada persamaan di atas hanya memberikan interpretasi
berupa nilai peluang peristiwa sukses apabila diberikan nilai-nilai x tertentu. Agar dapat
0
( )
1 ( )
k
j ji
j
xLn x
x
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
46 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
dilakukan interpretasi terhadap parameter-parameter model perlu dilakukan suatu
trasformasi logit yaitu dengan melogaritmakan rasio antara peluang peristiwa sukses
terhadap peluang peristiwa gagal. Dengan melakukan trasformasi logit dari Π(x), didapat
persamaan yang lebih sederhana yaitu:
g(x) =
= ln Π(x) – ln (1- Π(x)) = β0 + β1X1 + β2X2 + .... + βkXk
Persamaan model logit g(x) merupakan logaritma napier (Ln) dari g(x), sehingga
dengan mengeksponensialkan g(x) akan diperoleh nilai-nilai odds ratio yang dapat
diinterpretasikan sebagai ratio kecenderungan peristiwa sukses (Y=1) dibandingkan
dengan tidak sukses (Y = 0).
Odds Ratio Pada Regresi Logistik
Ukuran Statistik yang banyak digunakan dalam analisis model regresi logistik
berganda adalah Odds Ratio, yang merupakan ukuran untuk mengetahui tingkat
kecenderungan yaitu perbandingan odds dari dua nilai peubah bebas, antara peristiwa-
peristiwa yang masuk kategori sukses dan gagal. Nilai estimasi odds ratio diperoleh
dengan mengeksponensialkan koefisien regresi logistic dari masing-masing peubah bebas
yang masuk kedalam model peluang regresi logistic dan dinotasikan sebagai berikut ;
dengan θ didefinisikan sebagai perbandingan dua nilai odds pada X=1 dibandingkan
untuk X=0, untuk peubah terikat dua kategori.
Kategori peubah terikat dan peubah bebas yang digunakan dalam analisis logistic
adalah sebagai berikut ;
j exp
0
( )
1 ( )
k
j ji
j
xLn x
x
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2911 47
Tabel 1 Kategori Variabel Bebas dan Variabel Terikat
Peubah Nama Peubah Kategori Peubah Boneka
D1 Jarak ke Kantor Desa 1. Jauh ; > 690 m
2. Dekat ; ≤ 690 m
D1 = 1
D1 = 0
D2 Umur Kepala Rumah
Tangga (ruta)
1.Kurang Dari 40
2. 40 atau lebih
D2 = 1
D2 = 0
D3 Tingkat Pendidikan
Kepala Ruta
1. SD atau kurang
2. SLTP atau lebih
D3 = 1
D3 = 0
D4 Pendapatan
Rumahtangga
1. Kurang ;≤ 600.000
2. Cukup ; > 600.000
D4 = 1
D4 = 0
D5 Jumlah Anggota
Rumahtangga
1. Banyak ; > 4 orang
2. Sedikit : ≤ 4 orang
D5 = 1
D5 = 0
D6 Klasifikasi Tempat
Tinggal
1. Desa Rural
2. Desa Urban
D6 = 1
D6 = 0
Peubah
Terikat
Melaporkan/tidak
peristiwa
kependudukan
Tidak Melaporkan
Melaporkan
Y = 1
Y = 0
III. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Analisis Deskriptif
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, yang dimaksud dengan melaporkan
peristiwa penting kependudukan pada penelitian ini adalah jika kepala rumahtangga atau
salah satu anggota rumahtangga responden melaporkan setiap peristiwa kelahiran,
kematian, perpindahan, pernikahan dan perceraian yang terjadi di lingkungan
rumahtangga mereka kepada aparat desa/ketua RT setempat, baik secara lisan maupun
tertulis, baik memperoleh dokumen kependudukan maupun tidak memperolehnya.
Definisi tersebut sengaja dibuat agak fleksibel karena dari hasil uji coba ternyata hampir
tidak ada responden yang secara resmi atau sengaja melaporkan peristiwa penting
kependudukan yang mereka alami selama ini kepada aparat desa.
Dengan menggunakan definisi operasional tersebut, ternyata dari 117
rumahtangga yang menjadi responden pada penelitian ini, hanya sekitar 53,8 persen yang
melaporkan peristiwa penting kependudukan yang terjadi di lingkungan rumahtangga
mereka, sedangkan sisanya 46,2 persen tidak melaporkannya sama sekali kepada aparat
desa/ketua RT (lihat Tabel 2). Jika dirinci menurut jenis peristiwa kependudukan yang
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
48 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
dilaporkan, dapat diketahui bahwa persentase terendah dari peristiwa yang dilaporkan
adalah perpindahan, yaitu 23,1 persen, kemudian disusul oleh kelahiran, dengan
persentase cakupan pelaporan sebesar 30,4 persen. Persentase pelaporan yang paling
besar adalah menikah (100,0 persen) serta meninggal (96,2 persen).
Tabel 2 Persentase Penduduk Yang Melaporkan/Tidak Melaporkan
Peristiwa Penting Kependudukan Menurut Jenis Peristiwa
Peristiwa Kependudukan Melapor Tidak Melapor Jumlah
Kelahiran 17 (30,4) 39 (69,6) 56 (100)
Kematian 25 (96,2) 1 (3,8) 26 (100)
Perpindahan 3 (23,1) 10 (76,9) 13 (100)
Menikah 14 (100) 0 14 (100)
Bercerai 4 (50,0) 4 (50,0) 8 (100)
Jumlah 63 (53,8) 54 (46,2) 117 (100)
Sumber : Data Primer
Catatan : Angka dalam kurung adalah persentase
Analisa Regresi Logistik Berganda
Untuk mengetahui factor-faktor apa saja yang mempengaruhi seseorang tidak
melaporkan peristiwa penting kependudukan yang terjadi di rumahtangga mereka
kepada aparat desa, digunakan analisa regresi logistic berganda. Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, analisa regresi logistic berganda digunakan karena peubah
terikat pada penelitian ini mempunyai skala nominal dengan dua kategori (tidak
melaporkan dan melaporkan) dan mengikuti distribusi Binomial, yang parameternya
adalah sukses (p) atau gagal (1 – p).
Tabel 3 berikut ini menunjukkan ada lima factor yang berpengaruh secara nyata
kenapa seseorang tidak mau melaporkan peristiwa kependudukan yang terjadi di
lingkungan rumahtangga mereka, yaitu jarak dari tempat tinggal ke kantor
desa/kelurahan, serta interaksi antara tempat tinggal dengan umur, tempat tinggal
dengan pendapatan, pendapatan dengan jumlah anggota rumahtangga serta umur
dengan jumlah anggota rumahtangga.
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2911 49
Tabel 3 Output SPSS Hasil Analisis Regresi Logistik
Variables in the Equation
1.345 .429 9.821 1 .002 3.838 1.655 8.899
-1.409 .609 5.350 1 .021 .244 .074 .806
-2.025 .892 5.157 1 .023 .132 .023 .758
1.550 .640 5.861 1 .015 4.713 1.343 16.535
1.801 .662 7.394 1 .007 6.058 1.654 22.193
-.794 .350 5.152 1 .023 .452
JARAK
T.TGL_PP
U_J.ART
PP_J.AR
T.TGL_U
Constant
Step
1a
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Low er Upper
95.0% C.I.for EXP(B)
Variable(s) entered on step 1: JARAK, T.TGL_PP, U_J.ART, PP_J.AR, T.TGL_U.a.
Catatan :
Jarak adalah jarak dari tempat tinggal ke kantor desa/kelurahan
T.TGL_PP adalah interaksi antara tempat tinggal dengan pendapatan
U_J.ART adalah interaksi umur dengan jumlah anggota rumahtangga (ruta)
PP_J.ART adalah interaksi antara pendapatan dengan jumlah angg ruta
T.TGL_U adalah interaksi antara tempat tinggal dengan umur
Dengan membandingkan antara nilai α dengan nilai p-value yang terdapat pada
kolom sig (signifikansi) pada Tabel 3 diatas dapat diketahui bahwa kelima peubah
bebas yang masuk kedalam model regresi logistic tersebut berpengaruh secara nyata
terhadap peubah terikat, karena semua nilai pada kolom signifikansi lebih kecil dari
0,05 (5 persen).
Untuk peubah jarak misalnya, karena koefisiennya positif dan nyata dapat
disimpulkan bahwa semakin jauh jarak tempat tinggal seseorang dari kantor desa,
semakin besar peluangnya untuk tidak melaporkan peristiwa kependudukan. Sedangkan
interpretasi untuk peubah interaksi, berarti walaupun secara individu kedua peubah
bebas tersebut tidak berpengaruh terhadap peubah terikat, tetapi secara bersama-sama
(saling berinteraksi), kedua peubah tersebut berpengaruh secara nyata terhadap peubah
terikat.
Interaksi antara tempat tinggal dengan pendapatan misalnya, berarti seorang
kepala rumahtangga yang tinggal di pedesaan dan mempunyai pendapatan kurang dari
Rp 600.000 mempunyai peluang yang lebih besar untuk tidak melaporkan peristiwa
kependudukan yang terjadi di rumahtangga mereka dibandingkan dengan mereka yang
tinggal di perkotaan dan atau mempunyai pendapatan lebih dari Rp 600.000.
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
50 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Interaksi antara umur dengan jumlah anggota rumahtangga berarti penduduk
yang berumur kurang dari 40 tahun dengan jumlah anggota rumahtangga lebih dari
empat orang, mempunyai peluang yang lebih besar untuk tidak melaporkan peristiwa
kependudukan yang terjadi di lingkungan rumahtangga mereka dibandingkan dengan
mereka yang berumur lebih dari 40 tahun dengan jumlah anggota rumahtangga kurang
dari empat orang.
Interaksi antara pendapatan dengan jumlah anggota rumahtangga yang secara
bersama-sama juga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap peubah terikat,
menunjukkan bahwa rumahtangga yang mempunyai pendapatan kurang dari Rp
600.000 dengan jumlah anggota rumahtangga lebih dari empat, mempunyai peluang
yang lebih besar tidak melaporkan peristiwa kependudukan dibandingkan dengan
rumahtangga dengan pendapatan diatas Rp 600.000 dan atau anggota rumahtangga
kurang dari empat orang.
Untuk interaksi antara tempat tinggal dengan umur kepala rumahtangga, berarti
peluang seseorang tidak melaporkan peristiwa kependudukan dipengaruhi secara nyata
oleh kedua peubah tersebut secara bersama-sama. Dengan kata lain, penduduk yang
tinggal di pedesaan dan berumur kurang dari 40 tahun mempunyai pengaruh yang nyata
dan peluang yang lebih besar untuk tidak melaporkan peristiwa kependudukan yang
terjadi di lingkungan rumahtangga mereka dibandingkan dengan mereka yang tinggal di
perkotaan dan atau berumur lebih dari 40 tahun.
Tabel 3 juga memuat nilai eksponen terhadap koefisien regresi logistic dari
setiap peubah bebas, yaitu kolom Exp (B). Untuk peubah bebas jarak dari tempat
tinggal ke kantor desa/kelurahan misalnya, dengan koefisien regresi logistic sebesar
1,345, maka nilai eksponennya adalah sebesar 3,838 (e1,345
). Nilai Exp (B) tersebut
lebih dikenal dengan nilai odds ratio atau rasio kecenderungan seorang kepala
rumahtangga tidak melaporkan peristiwa kependudukan yang terjadi di lingkungan
rumahtangga.
Adapun interpretasi dari nilai Odds Ratio untuk setiap peubah bebas dan peubah
interaksi adalah sebagai berikut ;
Nilai odds ratio untuk jarak sebesar 3,838, berarti kecenderungan seorang
kepala rumahtangga yang jarak tempat tinggalnya lebih dari 690 m dari kantor
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2911 51
desa/kelurahan tidak melaporkan peristiwa kependudukan adalah 3,838 kali
lebih besar dibandingkan dengan yang jarak rumahnya kurang dari 690 m.
Nilai odds ratio untuk interaksi antara tempat tinggal dengan pendapatan sebesar
0,244 berarti kecenderungan seorang kepala rumahtangga yang tinggal di
pedesaan (rural) dan mempunyai pendapatan < 600.000 tidak akan melaporkan
peristiwa kependudukan adalah sebesar 0,244 kali dibandingkan dengan yang
tinggal di perkotaan dan mempunyai pendapatan > 600.000. Dengan kata lain,
penduduk pedesaan yang mempunyai pendapatan kurang dari Rp 600.000
mempunyai kecenderungan untuk melapor sebesar 4,1 kali lebih besar
dibandingkan dengan penduduk perkotaan (urban) yang mempunyai pendapatan
diatas Rp 600.000.
Nilai odds ratio untuk interaksi antara umur dengan jumlah anggota
rumahtangga sebesar 0,132 berarti kecenderungan seorang kepala rumahtangga
yang umurnya kurang dari 40 tahun dan jumlah anggota rumahtangganya lebih
dari 4 orang tidak akan melaporkan peristiwa kependudukan adalah sebesar
0,132 kali dibandingkan dengan yang umurnya lebih dari 40 tahun dan jumlah
anggota rumahtangganya kurang dari 4 orang. Dengan kata lain, penduduk yang
umurnya kurang dari 40 tahun dan jumlah anggota rumahtangga lebih dari 4
orang mempunyai kecenderungan untuk melapor sebesar 7,7 kali lebih besar
dibandingkan dengan penduduk yang berumur lebih dari 40 tahun dan jumlah
anggota rumahtangga kurang dari 4 orang.
Nilai odds ratio untuk interaksi antara pendapatan dengan jumlah anggota
rumahtangga sebesar 4,713 berarti kecenderungan seorang kepala rumahtangga
yang mempunyai pendapatan kurang dari Rp 600.000 dan jumlah anggota
rumahtangga lebih dari 4 orang untuk tidak melaporkan peristiwa kependudukan
adalah sebesar 4,713 kali lebih besar dibandingkan dengan yang mempunyai
pendapatan lebih dari Rp 600.00 dan jumlah anggota rumahtangga kurang dari 4
orang.
Nilai odds ratio untuk interaksi antara tempat tinggal dengan umur sebesar 6,058
berarti kecenderungan seorang kepala rumahtangga yang tinggal di daerah
pedesaan dan berusia kurang dari 40 tahun tidak akan melaporkan peristiwa
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
52 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
kependudukan adalah sebesar 6,058 kali lebih besar dibandingkan dengan yang
tinggal di perkotaan (urban) dan berumur lebih dari 40 tahun.
Estimasi Model Peluang Regresi Logistik
Metode analisis lainnya yang biasanya digunakan dari regresi logistic berganda
adalah untuk membuat estimasi peluang terjadinya peubah terikat berdasarkan persamaan
regresi logistic yang diperoleh. Dari nilai koefisien regresi logistic berganda (B) seperti
yang terdapat pada Tabel 6, dapat dibuat estimasi model peluang persamaan logistic
sebagai berikut ;
Exp (-0,794+1,345D11-2,025D21D51-1,409D41D61 +1,55 D41D51 +1,801D21D61 )
μ = -------------------------------------------------------------------------------------------------------
1 + exp (-0,794+1,345D11-2,025D21D51-1,409D41D61 +1,55 D41D51 +1,801D21D61 )
dimana :
D11 = Jarak dari tempat tinggal kategori jauh
D21D51 = Interaksi antara umur (< 40 tahun) dan jumlah anggota rumahtangga (>4)
D41D61 = interaksi antara pendapatan (<600.000) dengan tempat tinggal (rural)
D41D51 = interaksi antara pendapatan (<600.000) dengan juml. anggota ruta (>4)
D21D61 = interaksi antara umur (<40 tahun) dengan tempat tinggal (rural)
Contoh :
Jika seorang kepala rumahtangga tinggal 500 meter dari kantor desa (D11=0), berusia 35
tahun (D21=1), jumlah anggota rumahtangga 5 orang (D51 =1), mempunyai pendapatan
sebesar Rp 750.000 (D41=0) dan tinggal di pedesaan (D61 = 1), sehingga D21 * D51 = 1 ;
D41 * D61 = 0 ; D21 * D51 = 0 ; D21 * D61 = 1. Dengan memasukkan semua nilai tersebut
kedalam model persamaan regresi logistic berganda seperti tersebut diatas, maka peluang
kepala rumahtangga tersebut tidak melaporkan peristiwa kependudukan yang terjadi di
rumahtangganya diperkirakan sebesar ;
Exp (-0,794 + 1,345 (1) - 2,025 (1) - 1,409 (0) + 1,55 (0) + 1,801 (1 )
μ = -----------------------------------------------------------------------------------------------
1+Exp (-0,794 + 1,345 (1) - 2,025 (1) - 1,409 (0) + 1,55 (0) + 1,801 (1)
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2911 53
exp (0,327) 1,3868
μ = ---------------------- = --------- = 0,58
1 + exp (0,327) 2,3868
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini terungkap bahwa selama ini masyarakat tidak
melaporkan peristiwa penting kependudukan yang terjadi di lingkungan rumahtangga
mereka kepada aparat desa/kelurahan terutama disebabkan karena mereka tidak
mengetahui adanya keharusan untuk melapor. Mereka beranggapan, aparat
desa/kelurahan, cepat atau lambat, pasti akan segera mengetahui apa yang terjadi di
lingkungan keluarga mereka, baik dari anggota keluarga maupun dari penduduk
lainnya, sehingga mereka merasa tidak perlu melapor.
Dari hasil pengujian dengan menggunakan model regresi logistic berganda,
ternyata dari enam peubah bebas yang digunakan yaitu jarak dari tempat tinggal ke
kantor desa, umur, pendidikan, pendapatan, jumlah anggota rumahtangga serta
klasifikasi tempat tinggal (urban/rural), ada lima peubah bebas yang berpengaruh
secara nyata terhadap peubah terikat, yaitu jarak serta empat peubah interaksi, yaitu
interaksi antara tempat tinggal dengan umur, tempat tinggal dengan pendapatan,
pendapatan dengan jumlah anggota rumahtangga serta umur dengan jumlah anggota
rumahtangga.
Saran
Pertama, agar setiap kepala keluarga mau melaporkan berbagai peristiwa
kependudukan yang terjadi di lingkungan keluarga mereka, dan memiliki dokumen
kependudukan yang seharusnya mereka miliki, maka disarankan agar pemerintah
meningkatkan pengetahuan kepala keluarga tentang administrasi kependudukan, melalui
berbagai kegiatan penyuluhan dan sosialisasi melalui media cetak media elektronik.
Kedua, guna meningkatkan pengetahuan kepala keluarga tentang administrasi
kependudukan, disarankan agar pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
54 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Kabupaten/Kota, membangun Pusat Informasi Administrasi Kependudukan yang mudah
diakses oleh semua penduduk baik yang tinggal di perkotaan maupun di perdesaan, serta
melakukan sosialisasi tentang sistem administrasi kependudukan melalui berbagai media
cetak dan media elektronik.
Alternatif lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah, cq. Kementerian Pendidikan
Nasional, untuk meningkatkan pengetahuan penduduk tentang administrasi
kependudukan adalah dengan cara memasukkan materi sistem administrasi
kependudukan dalam mata pelajaran Geografi mulai dari tingkat SMP sampai dengan
tingkat SMA. Selama ini, materi kependudukan dalam mata pelajaran Geografi hanya
mempelajari tentang jumlah penduduk, kepadatan dan sebaran penduduk, pertumbuhan
penduduk, fertilitas dan mortalitas, dan belum ada materi tentang sistem administrasi
kependudukan di Indonesia. Padahal ini sangat penting, sebagai salah satu upaya untuk
menciptakan budaya tertib administrasi kependudukan bagi seluruh penduduk Indonesia,
yang bisa dimulai dari bangku sekolah, yaitu mulai dari tingkat SMP dan SMA.
Ketiga, untuk meningkatkan motivasi kepala keluarga dalam melaporkan peristiwa
kependudukan yang terjadi dalam keluarga mereka, maka disarankan agar pemerintah,
khususnya kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota,
menyederhanakan proses dan persyaratan yang dibutuhkan untuk mengurus berbagai
dokumen kependudukan tersebut. Bahkan kalau memungkinkan, pembuatan semua
dokumen kependudukan tersebut, tidak perlu dipungut biaya, seperti pembuatan akta
kelahiran, dimana masyarakat tidak lagi dibebani biaya pembuatan akta kelahiran, sesuai
dengan pasal 28 Undang-Undang No. 23, tahun 2002, tentang Perlindungan Anak.
Daftar Pustaka
Agresti, Alan, 1990, “Categorical Data Analysis”, John Wiley and Sons Inc, 1990.
Agung, I Gusti Ngurah, 1999, “Faktor Interaksi ; Pengertian Secara Substansi dan
Statistika”.
Departemen Dalam Negeri, 2007, Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan.
Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan, 2003, “Prosiding Rapat Kerja Regional
Administrasi Kependudukan Tahun 2002”
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2911 55
GTZ dan Kantor Menpan, 2003, ”Laporan Kunjungan Kerja Mengenai Sistem
Pencatatan Sipil di Malaysia”, www.gtzsfgg.or.id.
Haryanto, Rohadi, 2002, “Membangun Administrasi Kependudukan Dalam Era Otonomi
Daerah”.
Hosmer, Jr. David W and Stanley Lemeshow, 1989, “Applied Logistic Regression”.
Oey-Gardiner, Mayling dan Peter Gardiner, ”Reformasi Administrasi Kependudukan di
Indonesia”, 2002.
Situmorang, Victor dan Cormentyna Sitanggang, 1991, “Aspek Hukum Akta Catatan Sipil
di Indonesia”.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
56 TAHUN 3, VOLUME 2, DSEMBER 2011
KAJIAN DISPARITAS PEMBANGUNAN EKONOMI ANTAR PROVINSI
DI INDONESIA BERDASARKAN INDIKATOR MAKROEKONOMI
PERIODE 2005-2009
Ekowira Susilo dan Retnaningsih
Abstract
2005 - 2009 secondary data consisting of 22 macro-economic variables from
various publication and OECD Composite Indicators are used to analyze affect of
economic development in Indonesia. The study shows that using 5 economic
development groups, the most developed provinces include DKI Jakarta, Riau
Island (Kepri), West Jawa (Jabar), East Jawa (Jatim), Banten, North Sumatra
(Sumut), andEast Kalimantan (Kaltim). The leastdeveloped provinces
includePapua, West Sulawesi (Sulbar), Gorontalo, North Sulawesi (Sulut), West
Nusatenggara (NTB), East Nusatenggara (NTT), Bengkulu, and Jambi.
Keywords: macro-economic variables, OECD Composite Indicators
I. PENDAHULUAN
Sepanjang sejarah kemerdekaan selama lebih dari enam dasawarsa,
Indonesia telah mengalami beragam kemajuan di bidang pembangunan
ekonomi.Mulai dari perubahan struktur ekonomi dari pertanian tradisional ke
industri manufaktur dan jasa. Kemudian peningkatan pendapatan per kapita,
hingga Indeks Pembangunan Manusia (IPM)yang meningkat selama periode 1980
dan 2010 dari 0,39 ke 0,60. Selain itu, Indonesia juga memainkan peran yang
makin besar dalam perekonomian global seperti menempati urutan ekonomi ke-17
terbesar di dunia, aktif di berbagai forum internasional seperti ASEAN, APEC, G-
20, dan kerjasama bilateral lainnya, serta keberhasilan melewati krisis ekonomi
global tahun 2008 yang mendapatkan apresiasi positif dari berbagai lembaga
internasional.
Berbagai kemajuan tersebut ternyata tidak seiring dengan pencapaian
pemerataan pembangunan ekonomi yang salah satu indikasinya adalah kenaikan
gini rasio dari 0,34 ke 0,37 selama periode 2005-2009. Padahal, kesenjangan antar
wilayah(regional disparity) merupakan salah satu isu penting yang banyak
dibicarakan berbagai kalangan seiring dengan pembangunan kewilayahan, bahkan
menjadi salah satu sasaran pokok dalam Rencana Pembangunan Jangka
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 57
Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 guna mendukung pelaksanaan
pembangunan kewilayahan.
Dalam rangka mengatasi kesenjangan antar wilayah tersebut, dilakukan
evaluasi program-program mengenai upaya pengurangan kesenjangan wilayah.
Perbaikan kebijakan terkait, tentunya memerlukan suatu ukuran yang lebih
komprehensif dalam menggambarkan kondisi pembangunan di setiap daerah
sebagai dasarnya. Penelitian inihanya mencakup indikator-indikator
makroekonomiagar lebih fokus dan menghindari kompleksitas.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui pola
pembangunan ekonomi antar provinsi di Indonesia periode 2005-2009,
Membangun suatu ukuran yang dapat digunakan sebagai pendekatan untuk
menilai kemajuan pembangunan ekonomi serta peringkat dan
pengelompokkannya.Menganalisis karakteristik provinsi-provinsi berdasarkan
pola, ukuran, peringkat, dan pengelompokkan pembangunan ekonomi tersebut
II. METODOLOGI
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Publikasi
Perkembangan Beberapa Indikator Sosial Ekonomi (berbagai edisi), Statistik
Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Tahun (berbagai periode), PDRB Provinsi
Menurut Penggunaan Dan Lapangan UsahaTahun 2005-2009 yang dikeluarkan
Badan Pusat Statistik (BPS).
Penelitian ini menggunakan 22 buah variabelmakroekonomi dan dilakukan
terhadap seluruh provinsi di Indonesia periode 2005-2009.Imputasi sedikit
dilakukan pada variabel tertentu di provinsi dan tahun tertentu yang biasanya
diakibatkan karena adanya pemekaran wilayah sehingga datanya tidak tersedia.
Variabel-variabel makroekonomi ini dibagi menjadi dua subdimensi, yaitu
subdimensi input pembangunan ekonomi dan subdimensi output pembangunan
ekonomi.
Subdimensi input pembangunan ekonomi berorientasi pada masukan atau
potensi makroekonomi yang dimiliki suatu daerah dalam mendukung keseluruhan
proses pembangunan ekonomi diukur melalui variabel share sektor primer
terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masing-masing provinsi (%),
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
58 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
share sektor sekunder terhadap PDRB provinsi (%), share sektor industri terhadap
PDRB provinsi (%), share Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total
pendapatan pemerintah daerah (%), realisasi pendapatan pemerintah daerah (Rp),
realisasi belanja pemerintah daerah (Rp), realisasi belanja tidak langsung
pemerintah daerah (Rp), Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) provinsi (Rp),
dan ekspor neto (Rp).
Sementara subdimensi output pembangunan ekonomi terfokus pada sisi
output dan hasil dari proses pembangunan ekonomi suatu daerah sehingga
variabel yang digunakan adalah PDRB riil provinsi (Rp), PDRB perkapita riil
provinsi (Rp), laju pertumbuhan ekonomi provinsi (%), share PDRB provinsi
terhadap total PDRB nasional (%), Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK),
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), presentase kemiskinan (%), rata-rata upah
minimum dikurang kebutuhan minimum provinsi (Rp), rata-rata upah perbulan
(Rp), upah minimum regional (Rp), pengeluaran nonmakanan (Rp), pengeluaran
total (Rp), dan Indeks Harga Konsumen (IHK).
Metode Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yang
dikembangkan oleh Organization fo Economic Co-Operaion and
Development(OECD) dan diaplikasikan pula oleh BPS dalam melakukan kajian
awal penghitungan Indeks Pembangunan Regional (IPR) yang bertujuan untuk
menetapkan penimbang faktor. Kemudian, metode taksonomik yang pernah
digunakan UNESCO dan juga diaplikasikan oleh BPS dalam analisis disparitas
tingkat hidup antar provinsi dan analisis disparitas input pembangunanyang
berfungsi untuk membangun pola dan ukuran pembangunan ekonomi antar
provinsi berupa indeks komposit dengan penimbang faktor hasil dari metode
sebelumnya. Terakhir, analisis deskriptif yang menjelaskan karakteristik dari pola
pembangunan ekonomi, ukuran pembangunan ekonomi, pengelompokkan dan
peringkat provinsi-provinsi berdasarkan pola dan ukuran tersebut.
Dalam bukunya Handbook on Constructing Composite Indicators, OECD
menyebutkan beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam penyusunan indeks
komposit, antara lain penyusunan kerangka kerja teoritis, pemilihan variabel,
imputasi data-data yang tidak tersedia, analisis multivariat, hingga penentuan
penimbang faktor. Tahapan lain yang tidak disebutkan, sengaja tidak digunakan
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 59
dalam penelitian ini agar sesuai dengan kebutuhan. Dengan kata lain, dalam
membangun indeks komposit penelitian ini menggabungkan metode yang di
kembangkan OECD dan metode taksonomik sehingga ada beberapa modifikasi
pada tahapan kedua metode tersebut.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam membangun kerangka
kerja teoritis (OECD, 2008), yaitu mendefinisikan konsep dan menentukan sub-
kelompok (subdimensi) telah diramu pada kajian pustaka dan kerangka pikir,
mengidentifikasi kriteria pemilihan indikator sebagai panduan apakah suatu
indikator akan dikeluarkan atau dimasukkan dalam penghitungan indeks
komposit. Dalam penelitian ini, keputusan memasukkan atau mengeluarkan suatu
variabel berdasakan output analisis faktor (salah satu jenis analisis multivariat)
dengan menggunakan kriteria nilai Kaiser-Meyer-Olkin (KMO), Measure of
Sampling Adequate (MSA), dan komunalitas.
Penyusunan indeks komposit sangat dipengaruhi oleh ketersediaan data-
data yang diperlukan. Kelengkapan ketersediaan data akan menunjang
keberhasilan penyusunan indeks komposit yang mampu menggambarkan kondisi
sebenarnya di lapangan. Oleh karena itu, imputasi dilakukan pada beberapa
variabel, provinsi tertentu, dan tahun tertentu.Dengan mempertimbangkan
informasi tambahan mengenai karakteristik data dari berbagai sumber, aspek
kemudahan dan operasionalitas, serta waktu yang tersedia, metode imputasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah hot and cold deck imputation dan substitusi
rata-rata.
Tahapan berikutnya, analisis multivariat hingga penentuan penimbang
faktor akan dijelaskan secara ringkas sebagai berikut:
Analisis faktor merupakan salah satu analisis multivariat yang sering
digunakan dalam penyusunan indeks komposit dan dapat dikatakan sebagai
analisis komponen utama yang khusus.Analisis faktor mempunyai karakter
khusus yaitu mampu untuk mengurai data. Jika terdapat korelasi dari sutau set
data, maka analisis faktor akan memperlihatkan beberapa pola yang mendasari
sehingga data yang ada dapat dikurangi menjadi set faktor atau komponen yang
lebih kecil. Analisis ini dikerjakan untuk memperoleh sejumlah kecil faktor yang
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
60 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
1. Mampu menerangkan keragaman data secara maksimum;
2. Antar faktor saling bebas;
3. Setiap faktor dapat diinterpretasikan dengan lebih jelas.
Dalam analisis ini, jika suatu vektor acak X′ = [X1, X2,… ,Xp] yang
mempunyai vektor rata-rata μdan matriks ragam peragam secara linier
bergantung pada sejumlah faktor yang tidak dapat diobservasi secara langsung.
Faktor ini terdiri dariF1,F2,… ,Fm yang disebut faktor-faktor umum (common
factors) dan ε1,ε2, … , εp yang disebut sebagai faktor khusus (spesific factors),
maka model analisis faktor dapat dituliskan sebagai berikut:
X1–1= l11F1 + l11F2 + … +l1mFm + 1
X2–2 = l21F1 + l22F2 + … + l2mFm + 2
Xp–p = lp1F1 + lp2F2 + … + lpmFm + m
Atau dalam notasi matriks:
X(px1)– (px1)= L(pxm)F(mx1) + (px1)
dimana:
Xi = vektor variabel asal ke-i; i = 1, 2, … , p
i = rata-rata dari variabel ke-i; i = 1, 2, … , p
l11= pembobot (loading) dari variabel ke-i pada faktor ke-j
Fj = faktor umum ke-j; j = 1, 2, … , m
1= faktor khusus ke-i
m < p
Dengan asumsi:
1. E[F] = 0, Cov (F) = E[FF′] = I
2. E[ε] = 0, Cov (ε) = E[εε′] = Ψ=
3. F dan εindependent sehingga Cov (ε, F) = E[εF′] = 0
Sedangkan struktur kovarians dari model adalah sebagai berikut:
1. = Cov (X) = E[X–][X–]′ = LL′ + Ψ
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 61
iii hXVar 2)(
22
2
2
1
2 ... imiii lllh
kmimkikiki llllllXXCov ...),( 2211
2. Cov (X, F) = Latau ijji lFXCov ),(
m
m
i ih ...211
2
λmerupakan akar ciri dari matriks ragam peragam ataupun matriks korelasiR
2
ih disebut komunalitas (communalities) yang menunjukkan proporsi
keragaman variabel asal ke-i yang dapat dijelaskan oleh faktor umum. Sedangkan
yang tidak dapat dijelaskan oleh faktor umum akan dijelaskan oleh faktor khusus
melalui ragam khusus atau specific variance i . Sementara ijl yang disebut
sebagai loading, menunjukkan korelasi antara faktor umum yang terbentuk
dengan masing-masing variabel asal dimana semakin besar nilainya berarti
semakin erat hubungan diantara keduanya. Nilai dari loading ini menjadi dasar
penentuan variabel-variabel asal yang menyusun suatu faktor umum.
Secara garis besar, tahapan-tahapan analisis faktor dalam penelitian ini
meliputi:
1. Pengujian hipotesis mengenai korelasi antar variabel dan kelayakan untuk
dilakukan analisis faktor;
2. Ekstraksi faktor dengan nilai loading;
3. Merotasi nilai loading.
Uji Kaiser Mayer Olkin (KMO)
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah metode sampling yang
digunakan memenuhi syarat atau tidak.Uji KMO juga digunakan dalam analisis
faktor dimana untuk mengetahui apakah data tersebut dapat dianalisis lebih lanjut
atau tidak dengan analisis faktor. Rumusan uji KMO adalah:
i ji iji ji ij
i ji ij
ar
rKMO
22
2
i = 1, 2, …, p ; j = 1, 2, … , p
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
62 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
dimana: rij = Koefisisen korelasi sederhana antara variabel i dan j
aij = Koefisien korelasi parsial antara variabel i dan j
p = jumlah variabel
Penilaian uji KMO dari matriks antar variabel adalah sebagai berikut
(Nugroho, 2008):
a. 0,9 < KMO 1,00 data sangat baik untuk analisis faktor
b. 0,8 < KMO 0,9 data baik untuk analisis faktor
c. 0,7 < KMO 0,8 data agak baik untuk analisis faktor
d. 0,6 < KMO 0,7 data lebih dari cukup untuk analisis faktor
e. 0,5 < KMO 0,6 data cukup untuk analisis faktor
f. KMO 0,5 data tidak layak untuk analisis faktor
Sementara itu, untuk melihat kelayakan analisis faktor untuk setiap
variabel digunakan ukuran Measure of Sampling Adequate (MSA) yang
rumusannya hampir sama dengan KMO sebagai berikut:
j ijj ij
j ij
iar
rMSA
22
2
dimanarij merupakan koefisien korelasi dan aij merupakan koefisien korelasi
parsial. Sama halnya dengan KMO, semakin tinggi nilai MSA suatu variabel,
maka semakin baik variabel tersebut dimasukkan ke dalam analisis faktor. Suatu
variabel dianggap layak untuk dilakukan analisis faktor jika nilai MSA variabel
tersebut ≥ 0,5.
Ekstraksi faktor
Ekstraksi faktor merupakan langkah inti dari analisis faktor, yaitu
mereduksi sejumlah variabel (missal sebanyak p) menjadi sejumlah kecil faktor
(missal sebanyak m) dimana m < p dan setiap faktor terdiri dari beberapa variabel
yang memiliki korelasi kuat.Kriteria yang digunakan dalam menentukan m faktor
pada penelitian ini adalah kriteria kaiser.Dalam pendekatan dengan kriteria ini,
faktor-faktor dengan akar ciri lebih dari atau sama dengan satu (λ ≥ 1) berarti
signifikan dan dapat diikutsertakan dalam model faktor. Sebaliknya, faktor-faktor
yang memiliki akar ciri kurang dari satu (λ< 1) harus dikeluarkan dari model.
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 63
Sedangkan penentuan variabel-variabel mana saja yang dapat diwakili oleh
suatu faktor dilakukan berdasarkan nilai loading faktor tersebut.Oleh karena itu,
dalam tahap ini dilakukan estimasi nilai loading yang telah dijelaskan sebelumnya
dengan menggunakan analisis komponen utama.
Rotasi Faktor
Terdapat dua cara metode rotasi, yaitu rotasi ortogonal dan rotasi non
ortgonal (oblique). Rotasi ortogonal adalah rotasi yang mempertahankan
keortogonalan faktor-faktor atau dengan kata lain embuat sumbu kedua faktor
berasma tetap 90o. rotasi ini dilakukan manipulasi dengan cara merotasi matriks
loadingL dengan menggunakan matriks transformasi sehingga menghasilkan
matriks loading baru L*.
L*(pxm) = L(pxm) T(pxm)
dimanaT adalah matriks transformasi yang dipilih (matriks ortogonal )sehingga
TT′= T′T = I. Perumusan di atas terlihat jelas bahwa rotasi merupakan suatu
upaya untuk menghasilkan faktor penimbang baru yang lebih mudah untuk
diinterpretasikan dengan cara mengalikan faktor penimbang awal dengan suatu
matriks transformasi yang bersifat ortogonal. Walaupun telah dirotasi, matriks
kovarians (korelasi) tidak berubah karena LL′+ = LTT′L′+ = L*L*′+ ,
selanjutnya varians spesifik ( i ) dan komunalitas( 2
ih ) juga tidak berubah.
Sedangkan rotasi oblique tidak memperhatikan sifat ortogonal tersebut atau
dengan kata lain kedua sumbu faktor bersama tidak harus 90o.
Beberapa ahli menyarankan rotasi ortogonal terutama varimax (variance
of maximum).Varimax adalah rotasi ortogonal yang dapat membuat jumlah
varians dari faktor yang memuat loading kuadrat dalam masing-masing faktor
menjadi maksimum (Nugroho, 2008).Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan
rotasi ortogonalvarimax.
Pada proses rotasi varimax, matriks trasformasi T ditentukan sedemikian
rupa sehingga total keragaman kuadrat loadingmenjadi maksimum sebagai
berikut:
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
64 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
m
j
p
ii
ij
p
i i
ij
p
h
l
h
l
pV
1
2
1
4
1
4
1
dimana:
: estimasi nilai komunalitas variabel ke-i
: estimasi nilai loading variabel ke-i faktor ke-j yang telah dirotasi
p : jumlah variabel
Analisis selanjutnya adalah analisis taksonomik (taxonomic
analysis).Adapun prosedur penghitungan yang dilakukan adalah sebagai berikut
(Sritua Arief, 1993):
1. Tahap pertama adalah membentuk matriks dasar (A), dimana baris
menunjukkan provinsi sedangkan kolom menunjukkan sekumpulan variabel yang
akan digunakan dalam penelitian. Bentuk matriks dasar (A) tersebut adalah:
A=
αijk= Nilai variabel makroekonomi ke-j subdimensi ke-i dari provinsi ke-k,
dimana:
i: menyatakan subdimensi ke-i (i = 1, 2)
j :menyatakan variabel ke-j (j = 1, 2, …, ni; ni= banyaknya indikator pada
subdimensi ke-i)
k : menyatakan provinsi ke-k (k = 1, 2, …, 33)
2. Tahap kedua adalah membuat matriks rescaling, yaitu matriks yang setiap
elemennya diperoleh dari matriks dasar yang telah dilakukan penyekalaan ulang
(rescaling) data awal ke dalam skala 1-10. Rescaling ini diperlukan karena
masing-masing indikator tidak semuanya memiliki pola hubungan yang sama
dengan pembangunan ekonomi sehingga agar setiap variabel dapat mengukur
sesuatu yang sama maka perlu diseragamkan pola hubungannya. Ketentuan yang
digunakan untuk rescaling data awal adalah:
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 65
a. Untuk variabel yang mempunyai hubungan positif dengan
pembangunan ekonomi maka rumus rescaling yang digunakan adalah:
1(min)(max)
(min)9
ijij
ijijk
ijkxx
xxy
b. Untuk variabel yang mempunyai hubungan negatif dengan
pembangunan ekonomi maka rumus rescaling yang digunakan adalah:
10(min)(max)
(min)9
ijij
ijijk
ijkxx
xxy
yijk= Nilai variabel makroekonomi ke-j subdimensi ke-i dari provinsi ke-k yang
telah dilakukan rescaling,
dimana:
i:menyatakan subdimensi ke-i (i = 1,2)
j :menyatakan variabel ke-j (j = 1, 2, …, ni; ni= banyaknya indikator pada dimensi
ke-i)
k : menyatakan provinsi ke-k (k = 1, 2, …, 33)
Bentuk dari matriks rescalingdapat dinyatakan dengan:
Ay=
3. Tahap ketiga adalah membuat matriks yang sudah distandardisasi dari
matriks rescalingsebelumnya. Jika ukuran-ukuran kondisi ekonomi yang
berkaitan dengan variabel makroekonomi satuannya tidak seragam, maka perlu
diseragamkan (standardization procedure). Rumus yang digunakan untuk
menstandardisasi elemen-elemen matriks rescalingtersebut adalah:
ijyjjkjk yyy /.
ijy = (
33
1k
ijky ) / 33
33
1
2
. 1/k
jjky lyyij
dimana:
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
66 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
ijk = Nilai variabel makroekonomi ke-j subdimensi ke-i dari provinsi ke-k yang
telah dilakukanrescalingdan standardisasi
l = jumlah provinsi di Indonesia = 33
sehingga diperoleh matriks yang sudah distandardisasi sebagai berikut:
Az=
4. Tahap keempat adalah menghitung jarak antar provinsi di Indonesia untuk
setiap variabel dan membentuk isian-isian tersebut dalam bentuk matriks sebagai
berikut:
AD =
5. Tahap kelima adalah membuat Matriks Jarak (distance matrix) yaitu
matriks simetris yang merupakan hasil kali matriks jarak antar provinsi dengan
matriks transposenya. Matriks simetris tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
Distance Matrix
D =
dimana:
in
j
itjicjiab
1
2
iaa = 0 (32)
iab = iba
6. Tahap keenam adalah menentukan Pola Pembangunan. Tujuannya adalah
untuk mengetahui seberapa jauh jarak pembangunan masing-masing provinsi akan
mendekati pembangunan Provinsi DKI Jakarta sebagai daerah yang dijadikan
model/acuan. Pola dengan rumus sebagai berikut:
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 67
in
j
jojkiko
1
2
..
iko = Jarak setiap daerah dalam setiap matriks jarak (Distance Matrix)
terhadap (dari) daerah yang dijadikan model (dinyatakan dengan notasi 0).
Semakin tinggi nilai iko , maka semakin jauh jarak pembangunan masing-
masingprovinsi terhadap pembangunan Provinsi DKI Jakarta.
7. Tahap ketujuh adalah menentukan Ukuran Pembangunan (*
ik ), tujuannya
adalah untuk mengetahui bagaimana perkembangan atau kemajuan pembangunan
pada setiap provinsi di Indonesia. Adapun rumus yang digunakan untuk
menghitung ukuran pembangunan ini adalah sebagai berikut:
*
ik = io
iko
; 0 <
*
ik < 1
Jika*
ik mendekati 0 maka semakin “maju” daerah yang bersangkutan.
Jika *
ik mendekati 1 maka semakin “tidak maju” daerah yang bersangkutan.
dimana:
ikoikoio 2
33/][33
1
k
ikoiko
33
1
2 )1/()(k
ikoikoiko l
8. Terakhir, dari hasil pengukuran ukuran pembangunan dapat ditentukan
peringkat dari setiap provinsi di Indoneia dimana peringkat Provinsi DKI Jakarta
sebagai daerah yang dijadikan model selalu menduduki peringkat pertama.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Pemilihan Indikator
Output analisis faktor tahap I (Tabel 1) dalam pemilihan indikator
subdimensi input pembangunan ekonomi tahun 2005 menunjukkan bahwa nilai
KMO sebesar 0,75 yang berarti agak baik untuk dilakukan analisis faktor dan
kesembilan variabel subdimensi tersebut memiliki nilai MSA dan komunalitas
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
68 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
lebih dari 0,5 sehingga seluruh variabel tidak ada yang dikeluarkan atau dengan
kata lain layak digunakan dalam analisis faktor lanjutan.
Tabel 1. Nilai KMO, MSA, dan Komunalitas dari Output Analisis Faktor
Tahap Idalam Penentuan Indikator Subdimensi Input Pembangunan
Ekonomi Tahun 2005
KMO and Bartlett's Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. ,750
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 439,274
df 36
Sig. ,000
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 69
Kondisi yang serupa juga terjadi pada tahun 2006 dengan nilai KMO
sebesar 0,766; tahun 2007 dengan nilai KMO sebesar 0,731; dan tahun 2008
dengan nilai KMO sebesar 0,723. Sedangkan tahun 2009 memiliki kondisi yang
agak berbeda dengan nilai KMO pada tahap I sebesar 0,640 dan
variabelsharesektorindustri terhadap PDRB ternyata memiliki nilai MSA yang
kurang dari 0,5 sehingga variabel ini dicoba dikeluarkan dari analisis. Dengan
dikeluarkannya variabel tersebut pada tahap II, KMO meningkat dari 0,640
menjadi 0,688 dan tidak ada lagi variabel yang memiliki nilai MSA kurang dari
0,5 sehingga delapan variabel sisanya layak dilakukan analisis faktor lanjutan
(Tabel 2).
Tabel 2.Variabel yang Layak Digunakan dalam Analisis Faktor Subdimensi Input
Pembangunan Ekonomi Tahun 2005-2009
Variabel Input 2005 2006 2007 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Share sektor primer thd PDRB √ √ √ √ √
2. Share sektor sekunder thd PDRB √ √ √ √ √
3. Share sektor industri thd PDRB √ √ √ √ −
4. Share PAD thd pend. daerah √ √ √ √ √
5. Pendapatan pemerintah daerah √ √ √ √ √
6. Belanja pemerintah daerah √ √ √ √ √
7. Belanja TL pemerintah daerah √ √ √ √ √
8. PMTB √ √ √ √ √
9. Ekspor neto √ √ √ √ √
Keterangan: √ =layak, − =tidak layak
Kondisi yang cukup berbeda terjadi pada subdimensi output pembangunan
ekonomi. Jika pada subdimensi input pembangunan ekonomi relatif hanya
menggunakan satu tahap kecuali tahun 2009, maka pada subdimensi output
pembangunan memerlukan empat hingga lima tahap penyeleksian variabel agar
kelayakan dilakukannya analisis faktor lanjutan tercapai.
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
70 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Pada tahun 2005, nilai KMO pada tahap satu sebesar 0,556 yang artinya
data cukup layak dilakukan analisis faktor. Namun, terdapat limavariabel yang
memiliki nilai MSA kurang dari kriteria, yaitu PDRB riil, pertumbuhan ekonomi,
share PDRB terhadap total PDRB nasional, TPAK, dan IHK. IHK yang
merupakan variabel dengan nilai MSA dan komunalitas terkecil dicoba
dikeluarkan dari analisis sehingga pada tahap II, nilai KMO meningkat menjadi
0,621.Pada tahap ini, pertumbuhan ekonomi dan TPAK masing-masing memiliki
nilai MSA sejumlah 0,488 dan 0,487.Oleh karena itu, variabel TPAK tidak
diikutsertakan dari analisis pada tahap III.Hasilnya nilai KMO berubah kembali
menjadi 0,622.Selain itu, dapat dilihat juga bahwa pertumbuhan ekonomi ternyata
semakin kecil, yakni 0,396 sehingga variabel ini pun dikeluarkan.Pada tahap IV
ini, sepuluh variabel yang masih tersisa sudah memenuhi kriteria nilai MSA,
tetapi ternyata komunalitas dari TPT sangat kecil, yaitu hanya bernilai
0,175.Akibatnya, variabel ini juga dikeluarkan dari analisis pada tahap V.
Akhirnya, ini merupakan tahap terakhir karena semua kriteria kelayakan analisis
faktor sudah terpenuhi.
Dengan menggunakan cara dan kriteria yang sama, pada tahun 2006, 2007,
2008, dan 2009 berturut-turut diperoleh sebanyak 10, 9, 10, dan 9 variabel yang
layak dilakukan analisis faktor. Selama periode 2005-2009, variabel TPAK dan
TPT merupakan dua variabel yang selalu terseleksi. Sedangkan pertumbuhan
ekonomi, presentase kemiskinan, rata-rata upah dikurang kebutuhan minimum,
dan UMR adalah variabel-variabel yang pernah tereduksi pada suatu periode dan
pernah pula diikutsertakan dalam analisis pada periode lain. Variabel-variabel
yang layak dilakukan analisis faktor subdimensi output pembangunan ekonomi
dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini.
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 71
Tabel 3. Variabel yang Layak Digunakan dalam Analisis Faktor Subdimensi
Output Pembangunan Ekonomi Tahun 2005-2009
Variabel Output 2005 2006 2007 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. PDRB riil √ √ √ √ √
2. PDRB perkapita riil √ √ √ √ √
3. Pertumbuhan ekonomi − √ − √ √
4. Share PDRB √ √ √ √ √
5. TPAK − − − − −
6. TPT − − − − −
7. Presentase Kemiskinan √ √ √ √ −
8. Rata-rata upah - kebutuhan √ √ √ √ −
9. Rata-rata upah perbulan √ √ √ √ √
10. Pengeluaran nonmakanan √ √ √ √ √
11. Pengeluaran total √ √ √ √ √
12. IHK − − − √ √
13. UMR √ √ √ − √
Keterangan: √ =layak, − =tidak layak
3.2 Pembentukan Faktor dan Penentuan Penimbang Faktor Dalam Setiap
Subdimensi
Setelah diperoleh indikator yang digunakan dalam penyusunan indeks
komposit, dilakukan kembali analisis faktor terhadap indikator-indikator
tersebut.Melalui analisis tersebut akan dihasilkan faktor-faktor dominan pada
kedua subdimensi. Keragaman yang dapat dijelaskan oleh faktor-faktor dominan
tersebut akan dijadikan dasar dalam penghitungan penimbang faktor. Penimbang
faktor diperoleh melalui perbandingan antara besarnya keragaman yang dapat
dijelaskan oleh suatu faktor terhadap besarnya keragaman total yang dijelaskan
oleh seluruh faktor dominan dalam suatu subdimensi. Besarnya penimbang ini
menunjukkan seberapa penting suatu kedudukan faktor dalam subdimensinya
sehingga semakin besar penimbangnya, semakin penting kedudukan faktor
tersebut dalam suatu subdimensi.
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
72 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Berdasarkan hasil analisis faktor, subdimensi input selama periode 2005-
2009 disusun oleh dua faktor dominan, kecuali tahun 2008 yang disusun oleh tiga
faktor dominan. Seperti yang tercantum pada tabel 4 (Total Variance Explained),
hanya dua faktor yang memiliki akar ciri yang lebih dari satu, yakni faktor
pertama sebesar 5,308 dan faktor kedua sebesar 2,037.Hal ini bermakna bahwa
subdimensi input pembangunan ekonomi pada tahun 2005 terdapat dua faktor
dominan. Sementara itu, Rotated Component Matrix menunjukkan bahwa
indikator pendapatan pemerintah daerah, belanja pemerintah daerah, belanja tidak
langsung pemerintah daerah, PMTB, dan ekspor neto memiliki nilai loading yang
besar pada faktor pertama sehingga termasuk ke dalam faktor pertama.
Sebaliknya, variabel selain itu termasuk ke dalam faktor kedua.
Tabel 4. Output Analisis Faktor dalam Penentuan Indikator dan Penimbang
Faktor pada Subdimensi Input Pembangunan Ekonomi Tahun 2005
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 73
Periode berikutnya memiliki hasil yang serupa baik dari segi jumlah faktor
maupun indikator-indikator penyusunnya, kecuali pada tahun 2008 yang memiliki
tiga faktor dominan dan tentunya tahun 2009 yang memiliki jumlah indikator
delapan. Pada tahun 2008, nilai faktor yang memiliki akar ciri lebih dari satu ada
tiga, yaitu faktor pertama sebesar 5,070; faktor kedua sebesar 1,924; dan faktor
ketiga sebesar 1,062.Dengan cara yang sama, maka dapat ditentukan bahwa faktor
pertama terdiri atas indikator pendapatan pemerintah daerah, belanja pemerintah
daerah, belanja tidak langsung pemerintah daerah, dan PMTB..Faktor kedua
terdiri atas indikatorsharesektor primer terhadap PDRB, sharesektorsekunder
terhadap PDRB, share PAD terhadap pendapatan daerah. Faktor ketiga terdiri atas
indikatorsharesektorindustri terhadap PDRB dan ekspor neto.Sedangkan pada
tahun 2009, memiliki perbedaan dengan tahun 2005, 2006, dan 2007yaitu hanya
pada faktor kedua yang berjumlah tiga indikator.
Besarnya penimbang faktordapat berbeda-beda antara tahun yang satu
dengan tahun lainnya. Pada subdimensi input seperti yang tercantum pada gambar
1 berikut, ternyata selama periode penelitian, besar penimbang suatu faktor relatif
tidak berfluktuatif atau relatif samakecuali pada tahun 2008 yang memang
memiliki tiga faktor. Meskipun demikian, penimbang faktor pertama selalu lebih
besar dari penimbang faktor kedua lebih besar dari penimbang faktor ketiga dan
seterusnya.
Gambar 1. Penimbang Faktor-Faktor Dominan Dalam Subdimensi Input
Pembangunan Ekonomi Tahun 2005-2009
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
74 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Kondisi yang berbeda kembali terjadi pada subdimensi output
pembangunan ekonomi. Subdimensi ini selalu terdiri dari tiga faktor dominan di
sepanjang periode penelitian serta memiliki besar penimbang yang lebih
berfluktuatif dibandingkan dengan subdimensi input pembangunan ekonomi.
Dengan cara yang sama seperti yang dilakukan sebelumnya, maka diperoleh besar
penimbang faktorpada masing-masing tahunseperti yang ditampilkan oleh gambar
2 di bawah ini.
Gambar2. Penimbang Faktor-Faktor Dominan Dalam Subdimensi Output
Pembangunan Ekonomi Tahun 2005-2009
3.3 Karakteristik Provinsi-Provinsi Berdasarkan Pola dan Ukuran
Pembangunan Ekonomi
Penghitungan pola pembangunan dilakukan setelah penimbang faktor
sudah selesai diperoleh.Pola pembangunan (pattern of development) suatu
subdimensi dihitung dengan menggunakan rumus Gower (1971) dengan sedikit
modifikasi.Dalam hal ini penghitungan pola pembangunan dilakukan dengan
memberikan bobot yang berbeda (unequal weighting) untuk setiap atau
sekelompok indikator pada masing-masing subdimensi.Oleh karena itu,
penimbang faktor digunakan sebagai bobot tersebut.Indeks komposit atau ukuran
pembangunan diperoleh dari pola pembangunan yang telah dihitung dengan
penimbang faktor.
Pada gambar 3 (tahun 2005) dapat dilihat bahwa pola pembangunan
ekonomi subdimensi input lebih besar daripada subdimensi output. Hal ini berarti
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 75
jarak kesenjangan pembangunan yang dicapai suatu provinsi terhadap provinsi
acuan (dalam penelitian ini yang memiliki pola pembangunan terkecil sebagai
provinsi acuan ialah DKI Jakarta) pada subdimensi input lebih jauh dibandingkan
dengan subdimensi output. Kondisi ini terjadi kemungkinan akibat dari aspek
aspek masukan atau potensi dalam proses pembangunan ekonomi yang relatif
lebih timpang daripada keluaran atau hasil proses pembangunan ekonomi yang
dirasakan oleh suatu daerah. Selain itu, cukup jauhnya jarak antara provinsi-
provinsi di Indonesia dengan Provinsi DKI Jakarta masih menunjukkan bahwa
disparitas pembangunan ekonomi masih terjadi di Indonesia.
Gambar3. Pola Pembangunan Ekonomi Tahun 2005
Lima provinsi yang memiliki jarak pembangunan terdekat dengan Provinsi
DKI Jakarta selama periode 2005-2009 adalah Jawa Barat, Jawa Timur,
Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, dan Banten dengan urutan yang berbeda tiap
tahunnya (tetapi tetap menempati posisi 5 besar). Sedangkan sepuluh provinsi
yang pernah menjadi lima terjauh jarak pembangunan ekonominya dengan
Provinsi DKI Jakarta selama periode 2005-2009 adalah Papua, Nusa Tenggara
Timur, Nusa Tenggara Barat, Jambi, Bengkulu, Sulawesi barat, Maluku,
Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Riau.
Fenomena lain yang dapat dilihat adalah ukuran pembangunan ekonomi
subdimensi input dan subdimensi output relatif sama di setiap provinsi, namun
lebih fluktuatif kondisinya dibandingkan dengan pola pembangunan. Hal ini
mengindikasikan bahwa setiap provinsi relatif cukup mampu mengoptimalkan
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
76 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
input pembangunan ekonomi yang diperolehnya menjadi output pembangunan
ekonomi yang sesuai dengan input yang dimiliki (contoh tahun 2005: Gambar 4).
Gambar4. Ukuran Pembangunan Ekonomi Tahun 2005
Ada beberapa provinsi yang memiliki input pembangunan ekonomi cukup
memadai, namun outputnya kurang optimal seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan
Jawa Tengah. Sebaliknnya, ada juga provinsi yang mempunyai input
pembangunan ekonomi yang biasa, namun output yang dihasilkan cukup optimal
seperti Kepulauan Riau, Kalimantan Selatan, dan Papua Barat.
Dilihat dari segi pengelompokkannya (Tabel 5), provinsi-provinsi yang
selalu berada pada status paling maju periode 2005-2009 antara lain DKI Jakarta,
Gambar5. Peta Kemajuan EkonomiIndonesia Tahun 2005
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 77
Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Sumatera Utara, dan
Kalimantan Timur. Sedangkan provinsi yang selalu menyandang status tidak maju
periode 2005-2009 antara lain Papua, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bengkulu, dan Jambi. Sedangkan
provinsi dengan status maju, cukup maju, dan kurang maju pada periode 2005-
2009 tidak ada yang tetap statusnya setiap tahun.Contoh tahun 2005 juga disajikan
dalam bentuk peta tematik (Gambar 5).
Provinsi dengan tren cenderung meningkat dalam hal status kemajuan
pembangunan ekonominya tiap tahun terjadi di ProvinsiBali, Sumatera Selatan
dan Papua Barat. Sebaliknya, provinsi dengan tren cenderung menurun tiap tahun
terjadi di Provinsi Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan
Sulawesi Selatan.Periode yang relatif konstan perubahan status kemajuan
pembangunan ekonomi dari setiap provinsi terjadi pada periode 2005-2007,
sedangkan periode yang cenderung dinamis dalam perubahan perkembangan
setiap provinsi terjadi pada periode 2008 dan 2009.Hal ini mungkin disebabkan
oleh krisis global yang melanda dunia pada tahun 2008 sehingga perekonomian
Indonesia tidak luput dari dampak yang ditimbulkannya.
Sementara itu, jika diperhatikan lebih jauh, maka terdapat beberapa
provinsi yang memiliki kecenderungan meningkat dan menurun dalam peringkat
IDPE di Indonesia ini.Provinsi yang relatif terus mengalami perbaikan peringkat
dari tahun ke tahun adalah Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Papua
Barat. Sedangkan Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Kalimantan Selatan, dan
Sulawesi Barat adalah provinsi-provinsi yang memiliki kecenderungan menurun
peringkatnya secara nasional. Perlu diketahui bahwa kenaikan atau penurunan
peringkat IDPE secara nasional ini tidak selalu berbanding lurus dengan kenaikan
dan penurunan nilai IDPE yang dimiliki suatu provinsi.
Pengelompokkan ini berdasarkan pada batas kelas interval klasifikasi
IDPE yg dihitung dengan cara menambahkan rata-rata dengan 2σ sebagai titik
kritis provinsi paling maju dan maju; menambahkan rata-rata dengan σ sebagai
titik kritis maju dan cukup maju; mengurangirata-rata dengan σ sebagai titik kritis
cukup maju dan kurang maju; serta mengurangi rata-rata dengan 2σ sebagai titik
kritis kurang maju dan tidak maju.
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
78 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Tabel 5. Pengelompokkan Provinsi Berdasarkan Indeks Disparitas
Pembangunan Ekonomi Periode 2005-2009
Prop Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
NAD cukup maju cukup maju cukup maju Maju cukup maju
Sumut paling maju paling maju paling maju paling maju paling maju
Sumbar cukup maju cukup maju cukup maju Maju cukup maju
Riau cukup maju cukup maju cukup maju tidak maju tidak maju
Jambi tidak maju tidak maju tidak maju tidak maju tidak maju
Sumsel tidak maju tidak maju kurang maju cukup maju kurang maju
Bengkulu tidak maju tidak maju tidak maju tidak maju tidak maju
Lampung kurang maju tidak maju kurang maju tidak maju tidak maju
Babel cukup maju cukup maju cukup maju Maju kurang maju
Kepri paling maju paling maju paling maju paling maju paling maju
DKI paling maju paling maju paling maju paling maju paling maju
Jabar paling maju paling maju paling maju paling maju paling maju
Jateng paling maju maju paling maju paling maju paling maju
DIY cukup maju cukup maju cukup maju Maju cukup maju
Jatim paling maju paling maju paling maju paling maju paling maju
Banten paling maju paling maju paling maju paling maju paling maju
Bali cukup maju maju maju paling maju paling maju
NTB tidak maju tidak maju tidak maju tidak maju tidak maju
NTT tidak maju tidak maju tidak maju tidak maju tidak maju
Kalbar Maju maju cukup maju Maju cukup maju
Kalteng cukup maju tidak maju kurang maju kurang maju kurang maju
Kalsel paling maju paling maju paling maju paling maju paling maju
Kaltim paling maju paling maju paling maju paling maju paling maju
Sulut Maju maju maju Maju cukup maju
Sulteng tidak maju kurang maju tidak maju tidak maju tidak maju
Sulsel Maju cukup maju maju Maju cukup maju
Sultra tidak maju tidak maju tidak maju tidak maju tidak maju
Gorontalo tidak maju tidak maju tidak maju tidak maju tidak maju
Sulbar tidak maju tidak maju tidak maju tidak maju tidak maju
Maluku kurang maju tidak maju tidak maju tidak maju tidak maju
Malut cukup maju cukup maju kurang maju tidak maju cukup maju
Pabar cukup maju cukup maju cukup maju cukup maju paling maju
Papua tidak maju tidak maju tidak maju tidak maju tidak maju
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 79
Secara keseluruhan, peringkat provinsi berdasarkan IDPE(Tabel 6) teratas
tentu saja duduki oleh DKI Jakarta.Kemudian dususul oleh Jabar dan Kepri
merupakan provinsi yang selalu menempati urutan lima besar padaperiode
penelitian. Sumut merupakan satu-satunya provinsi di Pulau Sumatera yang
konsisten berada pada posisi sepuluh besar nasional.Lain halnya dengan DI
Yogyakarta yang merupakan satu-satunya provinsi di Pulau Jawa yang tidak
pernah masuk sepuluh besar selama periode penelitian.Kaltim dan Kalsel adalah
dua provinsi yang selalu menduduki ranking sepuluh besar di Pulau Kalimantan.
Sedangkan Bali, Sulsel, dan Sulut termasuk provinsi yang cukup konsisten pada
urutan 15 besar. Sedangkan provinsi yang konsisten berada pada peringkat
terendah dalam hal pembangunan ekonomi adalah Papua, Gorontalo, Jambi,
Bengkulu, Sulbar, Sultra, NTT, dan NTB.
Beberapa hal menarik lainnya yang dapat dilihat dari segi peringkat IDPE
ini yaitu Provinsi Kepulauan Riau yang merupakan provinsi yang relatif muda
(berdiri pada tahun 2002), namun berhasil menempati urutan kedua pada periode
2005-2008 dan peringkat keempat pada tahun 2009. Hal ini tidak terlepas dari
adanya dukungan potensi penunjang perekonomian yang dimilikinya, terutama
Sumber Daya Alam (SDA) yang kaya dan letak geografis yang strategis.
Kondisi yang hampir sama terjadi di Provinsi Kalimantan Timur sehingga
tidak aneh apabila Provinsi ini selalu menempati sepuluh besar nasional dalam hal
pembangunan ekonomi, bahkan lima besar pada tahun 2006, 2007, dan 2009.
Sementara itu, DI.Yogyakarta dan Bali termasuk kategori yang mampu
mengoptimalkan potensi perekonomiannya karena dengan peringkat PDRB
perkapita yang tidak terlalu baik, namun cukup mampu mewujudkan
pembangunan ekonomi yang relatif baik.
Sebaliknya, provinsi yang menduduki peringkat terbawah seperti
Bengkulu, Jambi, Gorontalo, Sulawesi Barat, NTB, dan NTT diakibatkan oleh
lemahnya potensi perekonomian yang dimilikinya. Kondisi paling
memprihatinkan terjadi di Provinsi Papua yang sebenarnya mempunyai potensi
ekonomi yang bagus, tetapi belum mampu mewujudkan pembangunan ekonomi
yang lebih baik bagi penduduknya.Hal ini terjadi karena Sumber Daya Manusia
(SDM) yang masih tertinggal dibandingkan provinsi-provinsi lainnya.
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
80 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Tabel 6. Peringkat Provinsi Berdasarkan Indeks Disparitas Pembangunan
Ekonomi Periode 2005-2009
Prop Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
NAD 13 16 19 24 16
Sumut 7 7 7 6 8
Sumbar 16 17 13 13 12
Riau 19 14 16 27 32
Jambi 29 28 29 26 31
Sumsel 24 22 20 17 19
Bengkulu 30 25 25 25 24
Lampung 22 23 23 20 27
Babel 21 19 18 16 20
Kepri 2 2 2 2 4
DKI 1 1 1 1 1
Jabar 3 3 3 3 2
Jateng 9 12 9 7 9
DIY 14 18 17 14 15
Jatim 5 6 6 5 3
Banten 4 5 4 4 6
Bali 15 10 10 10 11
NTB 31 31 31 31 25
NTT 27 30 28 28 28
Kalbar 12 11 14 11 17
Kalteng 20 24 21 19 21
Kalsel 6 8 8 8 10
Kaltim 8 4 5 9 5
Sulut 11 9 11 12 14
Sulteng 26 21 24 21 23
Sulsel 10 13 12 15 13
Sultra 28 29 27 23 29
Gorontalo 32 32 32 32 33
Sulbar 25 26 30 29 30
Maluku 23 27 26 30 22
Malut 17 20 22 22 18
Pabar 18 15 15 18 7
Papua 33 33 33 33 26
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 81
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan pola pembangunan ekonomi, Indikator subdimensi
inputpembangunan ekonomi selalu lebih besar daripada subdimensi output
pembangunan ekonomi pada setiap provinsi selama periode 2005-2009.Provinsi
yang memiliki kesenjangan pembangunan ekonomiterdekat dari DKI Jakarta
sebagai provinsi acuanadalah Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur,
Kepulauan Riau, dan Banten. Sebaliknya, provinsi yang memiliki kesenjangan
pembangunan ekonomi terjauh adalah Papua, NTT, NTB, Jambi, Bengkulu.
Berdasarkan ukuran pembangunan ekonomi, Indikator subdimensi input
pembangunan ekonomi dan subdimensi output pembangunan ekonomi relatif
sama dengan IDPE di setiap provinsi, namun cukup berfluktuatif selama periode
2005-2009.Provinsi yang memiliki peringkat teratas ukuran pembangunan
ekonomi sama dengan provinsi dengan kesenjangan pembangunan ekonomi
terdekat dari DKI Jakarta, begitu juga sebaliknya.
Berdasarkan hasil pengelompokkan provinsi berdasarkan IDPE periode
2005-2009, provinsi yang selalu berada pada status paling maju yaitu: DKI
Jakarta, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Sumatera Utara, dan
Kalimantan Timur. Sedangkan provinsi yang selalu berada pada status tidak maju
yaitu: Papua, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara, NTB, NTT, Bengkulu,
dan Jambi.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Sritua. (1992). Metodologi Penelitian Ekonomi. Jakarta: UI-Press.
Arsyad, Lincolin. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi
Daerah. Yogyakarta: PT. BPFE.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2009. Pencapaian
Sebuah Perubahan, Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009.
Jakarta: Bappenas.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2002. Analisis Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan
Distribusi Pendapatan. Jakarta: BPS
_________________.Perkembangan beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi
Indonesia.Berbagai edisi. Jakarta: BPS
JURNAL APLIKASI STATISTIK & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
82 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
_________________. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi.Beberapa
tahun.Jakarta: BPS
_________________. 2009. Tinjauan Ekonomi Regional Indonesia Berdasarkan
Data PDRB 2004-2009, Buku 3.Jakarta: BPS
_________________. 2009. Analisis Disparitas Tingkat Hidup Antar Provinsi.
Jakarta: BPS
_________________. 2010. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi-Provinsi
Di Indonesia Menurut Penggunaan Tahun 2005-2009. Jakarta: BPS
_________________. 2010. Analisis Disparitas Input Pembangunan. Jakarta:
BPS.
Chrisyanto, Carlos. 2006. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan
Antar Daerah Di Indonesia [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.
Ekaria. 2004. Analisis Multivariate (Multivariate Analysis). Jakarta: BPKP dan
STIS.
Johnson, Richad A. and Dean W. Wichern. 2002. Applied Multivariate Statistikal
Analysis Fifth Edition. New Jersey: Pearson Education.
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah (Reformasi,
Perencanaan, Strategi, dan Peluang). Jakarta: Erlangga.
Mardiana. 2005. Disparitas PembangunanKabupaten-Kabupaten Di Provinsi
Terhadap Kota Tanggerang Sebelum dan Sesudah Banten Menjadi
Provinsi[Skripsi]. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.
Mohant, Srimanta. 1999. Regional Analysis of Human Development in
Canada,PSC Discussion Paper Series: Vol.13- Iss. 9, Article 1.
Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD). 2008.
Handbook on Constructing Composite Indikators Methodology and User
Guide. www.oecd.org/publishing.
Pratiwi, Anik. 2010. Pengelompokkan Provinsi Di Indonesia Berdasarkan Indeks
Komposit Keberlanjutan Ketersediaan Beras [Skripsi]. Jakarta: Sekolah
Tinggi Ilmu Statistik
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 83
PENDETEKSIAN TERJADINYA FENOMENA ILUSI FISKAL:
STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA DI PULAU JAWA DAN BALI
PERIODE 2001-2008
Dwi Yustiani dan Neli Agustina
Abstract
There is a tendency of local governments to increase spending without optimizing their own-
source of income (PAD) to obtain a higher transfer from central government. There is a fiscal
illusion phenomenon in Java and Bali districts / municipalities in 2001-2008 period
characterized by bigger influence of transfer from central government as compared to their own-
source of income (PAD). Panel data regression with fixed effects model prove this fiscal illusion
phenomenon. The analysis shows that the elasticity component of transfer from central
government is greater than the elasticity of taxes and levies. The findings indicate that regional
autonomy targets, that is, local independence, hindered by fiscal illusion phenomenon. The
Government should increase financial independence of districts / municipalities, through
strengthening their own-source of income (PAD).
Key words: fiscal illusion, own-source of income, regional autonomy, financial independence.
I. PENDAHULUAN
Sejak dilaksanakannya otonomi daerah yakni 1 Januari 2001, muncul beragam respon
dari daerah dalam menyikapinya, terutama dalam hal keuangan daerah. Pelaksanaan
desentralisasi dalam lingkup otonomi daerah mempunyai beberapa misi utama yang salah
satunya adalah menciptakan efektivitas dan efisiensi pengelolaan sumber daya daerah (Soleh,
2010, hal.31). Hal ini akan mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan
daerahnya.
Kemampuan daerah dalam menyikapi adanya desentralisasi fiscal tersebut berbeda-beda,
sehingga menimbulkan ketimpangan fiscal antar daerah (horizontal imbalance) maupun
ketimpangan fiscal antara pemerintah pusat dan daerah (vertikal imbalance). Pemerintah pusat
mengatasi ketimpangan ini dengan cara memberikan bantuan dalam bentuk dana perimbang.
Ndadari (2008) menyatakan bahwa pemberian dana perimbangan ditujukan untuk mengurangi
adanya disparitas vertical dan horizontal, serta untuk membantu daerah dalam membiayai
kewenangannya.
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
84 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Namun, muncul permasalahan baru dimana berkaitan dengan tingkat kemandirian
pemerintah daerah yang pada akhirnya akan sangat tergantung pada dana perimbangan baik
berupa Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), maupun Dana Alokasi Khusus
(DAK). Proksi dari kemandirian daerah adalah kapasitas fiscal daerah yang merupakan bagian
dari formula pembagian Dana AlokasiUmum (Haryanto, BKF).
Menurut Peraturan Menteri Keuangan 245/PMK.07/2010 tentang Peta Kapasitas Fiskal
menyatakan bahwa sebagian besar pemerintah daerah dalam level provinsi memiliki kapasitas
fiskal yang rendah. Pada level provinsi didominasi oleh provinsi yang memiliki kapasitas fiscal
rendah yakni sebesar 42,24 persen. Pada level kabupaten/kota juga menunjukkan hal yang sama.
Gambar 1 menunjukkan 43,64 persen atau sebanyak 213 kabupaten/kota di Indonesia termasuk
daerah pemekaran memiliki potensi fiskal yang rendah. Artinya tingkat kemandirian atau
kecenderungan untuk tidak bergantung pada bantuan pusat termasuk kategori rendah. Selain itu,
26,43 persen atau sebanyak 129 kabupaten/kota yang memiliki kapasitas fiscal sedang, dan
sisanya sebesar 15,37 persen dan 14,54 persen kabupaten/kota memiliki kapasitas fiscal tinggi
dan sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak daerah otonom kabupaten/kota di
Indonesia yang memiliki tingkat kemandirian daerah yang rendah.
Ndadari (2008) menyebutkan bahwa tujuan otonomi daerah adalah memandirikan daerah
dengan potensi-potensi yang dimilikinya. Namun, perilaku pemerintah daerah tidak
menunjukkan hal demikian. Komponen Dana Alokasi Umum yang berperan sebagai pemerataan
fiscal untuk Pulau Jawa dan Bali mengalami peningkatan selama periode 2001-2008. Belanja
daerah untuk kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali juga mengalami peningkatan walaupun
sempat mengalami penurunan pada tahun 2005 yang diakibatkan oleh kenaikan BBM.
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 85
Gambar 1. Kapasitas Fiskal Seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia Berdasarkan
Indeks Kapasitas Fiskal menurut PMK 245/PMK.07/2010
Perkembangan belanja daerah dan DAU menunjukkan pola yang hampir sama.
Sementara itu, perkembangan PAD tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan bahkan
cenderung konstan. Kondisi di atas menunjukkan kecenderungan pemerintah daerah
menggantungkan Dana Alokasi Umum (DAU) untuk membiayai pengeluaran nyata tanpa
mengoptimalkan potensi yang dimiliki daerah. Disaat DAU yang diperoleh besar, maka
pemerintah daerah akan berusaha agar pada periode DAU berikutnya yang diperoleh tetap atau
meningkat.
Fenomena kecenderungan Pemerintah Daerah yang meningkatkan belanja daerah untuk
meningkatkan penerimaan DAU disebut sebagai suatu ilusi fiscal dalam keuangan pemerintah
daerah. Dollery dan Worthington (1996) dalam Adi (2009) menyatakan bahwa dengan
melakukan ilusi fiskal, maka keuntungan yang didapat oleh pemerintah daerah yaitu dengan
peningkatan belanja dan penurunan pendapatan pajak sehingga pemerintah daerah akan
mendapatkan bantuan dari Pemerintah Pusat yang lebih besar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengindikasi terjadinya fenomena ilusi fiscal terkait dengan
rendahnya kapasitas fiscal tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka muncul pertanyaan
penelitian yaitu:
1. Bagaimana elastisitas DAU, DAK, DBH, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap
Belanja Daerah kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali periode 2001-2008?
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
86 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
2. Apakah terjadi fenomena ilusi fiskal pada keuangan daerah kabupaten/kota di Pulau Jawa
dan Bali periode 2001-2008?
Tujuan yang dapat dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui elastisitas DAU, DAK,
DBH, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Belanja Daerah periode 2001-2008, serta
mendeteksi terjadi fenomena ilusi fiskal dalam keuangan daerah kabupaten/kota di Pulau Jawa
dan Bali periode 2001-2008. Hipotesis yang akandiujidalampenelitianinisebagaiberikut:
1. Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah
2. Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah
3. Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah
4. Pajak Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah
5. Retribusi Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah
6. Terjadi fenomena ilusi fiskal pada keuangan daerah kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali
periode 2001-2008.
II. METODOLOGI
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari 114 kabupaten/kota
di Pulau Jawa dan Bali kecuali DKI Jakarta.Data yang digunakan yaitu rawdata Realisasi APBD
periode 2001-2008, rawdata Target APBD 2002-2008 dan beberapa publikasi lainnya yang
diperoleh dari BPS RI.Selain itu digunakan juga data-data dari situs Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan (www.djpk.depkeu.go.id).
Analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis
regresi data panel. Analisis deskriptif berupa diagram boxplot digunakan untuk melihat tingkat
kemandirian daerah kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali. Analisis regresi data panel
digunakan untuk mengetahui elastisitas variabel bebas Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana
Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil terhadap pengeluaran atau belanja
daerah. Selain itu analisis data panel juga digunakan untuk mengetahui apakah terjadi ilusi fiskal
dalam keuangan daerah pada level kabupaten/kota periode 2001-2008 di Pulau Jawa dan Bali.
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 87
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam otonomi daerahadalah menuju kemandirian daerah.
Kemandirian daerah yang ditunjukkan menyangkut penerimaan PAD, yang merupakan
barometer suksesnya pelaksanaan otonomi daerah dalam mendukung terciptanya kemandirian
daerah (Haryanto).Kemandirian menggambarkan rendahnya ketergantungan daerah terhadap
sumber dana yang berasal dari luar daerah, seperti pemerintah pusat dan pemerintah yang berada
di atasnya. Semakin tinggi rasio kemandirian keuangan daerah berarti semakin rendah
ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.
Kondisi yang terlihat menunjukkan bahwa sebagian besar kabupaten/kota di Pulau Jawa
dan Bali pada periode 2001-2008 memiliki kemandirian yang sangat rendah. Artinya,
ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pusat maupun yang bersifat ekstern masih
sangat tinggi, dan terlihat pola dominasi pemerintah pusat dalam penyelenggaraan keuangan
daerah. Dengan kata lain, daerah dengan katagori ini belum mampu memaksimalkan
pelaksanakan otonomi daerah.
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
88 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Rata-Rata 12.01 13.95 12.82 13.26 14.16 12.20 12.59 13.40
Minimum 2.89 3.63 3.73 3.80 3.31 2.88 3.56 3.62
Q1 5.46 7.35 7.31 7.05 7.88 6.83 7.27 7.42
Median 7.09 9.57 9.70 9.33 10.02 8.81 9.03 8.96
Q3 12.35 15.46 14.43 15.20 15.27 13.16 14.11 14.45
Maksimum 220.29 165.72 102.61 142.18 155.48 123.65 100.17 178.28
IQR 6.89 8.11 7.13 8.15 7.39 6.34 6.84 7.04
Sumber: BPS (diolah)
Gambar 2. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di Pulau
Jawa dan Bali Tahun 2001-2008 (Persen)
Berdasarkan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah yang ditunjukkan oleh Gambar 2,
kemandirian keuangan daerah kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali periode 2001-2008 secara
rata-rata menunjukkan hasil yang masih relatif rendah yaitu dibawah 25 persen. Peningkatan
PAD tidak setara dengan peningkatan bantuan pemerintah pusat atau propinsi yang diterima oleh
daerah. Ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dan pemerintah propinsi
masih sangat tinggi.
Estimasi model dalam pendeteksian adanya fenomena ilusi fiskal dilakukan dengan
menggunakan analisis regresi data panel yang dilakukan dengan mengestimasi tiga model yaitu
model common effects, model fixed effects, dan model random effects. Dengan menggunakan
model-model tersebut dapat diketahui bagaimana pengaruh komponen pendapatan terhadap
belanja daerah seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali periode 2001-2008.
Pengujian signifikansi fixed effects digunakan untuk mengetahui apakah teknik regresi
data panel dengan model fixed effect lebih baik daripada common effects. Berdasarkan hasil
output diperoleh nilai P-value sebesar 0.0000 yang lebih kecil dari nilai α sebesar 0.05. Artinya,
hipotesis nulditolak dimana intersep kabupaten/kota adalah berbeda. Model fixed effects lebih
baik digunakan daripada model common effects.Dilanjutkan dengan pengujian Hausman untuk
memilih model terbaik antara fixed effects dan random effects.Hasil output diperoleh nilai P-
value sebesar 0.0035 yang lebih kecil dari nilai α sebesar 0.05. Artinya, hipotesis nul ditolak
yang berarti model fixed effects lebih baik digunakan daripada random effects.Berdasarkan dua
pengujian tersebut, dapat disimpulkan bahwa model terbaik yang digunakan untuk pendeteksian
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 89
adanya fenomena ilusi fiskal seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali adalah regresi data
panel dengan model fixed effect. Berdasarkan hasil pemilihan model terbaik, maka dapat
disimpulkan model terbaik yang diperoleh yaitu:
0.895032 0.001682 0.111736
0.047770 0.012033
it i it it it
it it
LNBD LNDAU LNDAK LNDBH
LNPD LNRD
Keterangan:
LNDAUit : Dana Alokasi Umum kabupaten/kota ke i tahun t
LNDAKit : Dana Alokasi Khusus kabupaten/kota ke i tahun t
LNDBHit : Dana Bagi Hasil kabupaten/kota ke i tahun t
LNPDit : Pajak Daerah kabupaten/kota ke i tahun t
LNRDit : Retribusi Daerah kabupaten/kota i tahun t
LNBDit : Belanja Daerah kabupaten/kota i tahun t
Model regresi data panel dalam pendeteksian fenomena ilusi fiskal kabupaten/kota di Pulau Jawa
dan Bali ini menggunakan pendekatan revenue enchancement, yang melihat pengaruh variabel
pendapatan terhadap variabel pengeluaran yaitu belanja daerah. Dalam Adi (2009) menyatakan
bahwa pertambahan besarnya komponen pendapatan mempunyai hubungan positif dengan
komponen pengeluaran. Hal ini disebabkan karena belanja daerah merupakan variabel terikat
yang besarnya akan sangat bergantung pada sumber-sumber pembiayaan daerah.
Tabel 1.Ringkasan Estimasi Regresi Data Panel Model Fixed Effects
Variabel Koefisien Prob. Keterangan
(1) (2) (3) (4)
LNDAU 0.895032 0.0000 Signifikan
LNDAK 0.001682 0.0000 Signifikan
LNDBH 0.111736 0.0000 Signifikan
LNPD 0.047770 0.0003 Signifikan
LNRD 0.012033 0.0099 Signifikan
Signifikanpada α=5%
Sumber: Hasil Pengolahan Menggunakan Program EViews 6.0
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
90 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Berdasarkan tabel 1, pada tingkat kepercayaan α = 5 persen, kelima variable mampu
menjelaskan variable belanja daerah sebesar 96,9 persen, sedangkan sisanya dapat dijelaskan
oleh variabel lain. Dalam pengujian secara bersama-sama (overall F-Test) semua variable bebas
yang digunakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap belanja daerah kabupaten/kota di
Pulau Jawadan Bali. Hal ini terlihat pada nilai probability statistik F sebesar 0.0000 yang lebih
kecil dari nilai α = 5 persen. Jika dilihat secara parsial, nilai statistic uji t menunjukkan dari
kelima variable bebas yang digunakan, pada α = 5 persen kelima variable signifikan yaitu
variabel DAU, DAK, DBH, Pajak Daerah, dan Retribusi Daerah.
Berdasarkan model fixed effect yang terpilih, maka perubahan belanja daerah masing-
masing kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali terhadap variable bebas memiliki nilai yang
berbeda-beda. Perubahan belanja daerah terhadap perubahan DAU adalah sebesar 0.895032.
Nilai menunjukkan bahwa setiap peningkatan perubahan DAU sebesar 1 persen dengan asumsi
variable bebas lain konstan (ceteris paribus), maka belanja daerah akan mengalami peningkatan
sebesar 0.895032 persen. Perubahan belanja daerah terhadap perubahan DAK adalah sebesar
0.001682. Nilai ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan DAK sebesar 1 persen dengan
asumsi variable bebas lain konstan (ceteris paribus), maka belanja daerah mengalami
peningkatan sebesar 0.001682 persen. Perubahan belanja daerah terhadap DBH adalah sebesar
0.111736. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan DBH sebesar 1 persen dengan asumsi
variable bebas lain konstan (ceteris paribus), maka belanja daerah mengalami peningkatan
sebesar 0.111736 persen.
Pajak daerah dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama PAD memiliki
pengaruh signifikan terhadap belanja daerah. Perubahan belanja daerah terhadap pajak daerah
adalah sebesar 0.047770. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan pajak daerah sebesar 1
persen dengan asumsi variable bebas lain konstan (ceteris paribus), maka belanja daerah
mengalami peningkatan sebesar 0.047770 persen. Sedangkan perubahan belanja daerah terhadap
retribusi daerah adalah sebesar 0.012033. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan
retribusi daerah sebesar 1 persen dengan asumsi variable bebas konstan (ceteris paribus), maka
belanja daerah akan mengalami peningkatan sebesar 0.012033 persen.
Dana Alokasi Khusus memiliki pengaruh yang lebih kecil dari pajak dan retribusi daerah
dalam peningkatan belanja daerah. Hal ini dikarenakan DAK berperan sebagai dana yang
didasarkan pada kebijakan yang bersifat darurat saja.
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 91
Model di atas tidak mempunyai implikasi proyeksi ataupun interpolasi. Artinya, dari
model yang diperoleh tersebut, pemerintah tidak perlu mengambil keputusan untuk
meningkatkan penerimaan transfer karena komponen inilah yang paling tinggi mempengaruhi
peningkatan belanja daerah. Hal ini dapat berimplikasi pada kemandirian keuangan yang akan
semakin rendah. Namun, dengan rendahnya pengaruh pajak dan retribusi daerah diharapkan
pemerintah daerah dapat meningkatkan komponen ini untuk meningkatkan kemandirian daerah.
Berdasarkan uraian di atas, maka dengan pengukuran ilusi fiskal menunjukkan kondisi
bahwa transfer pemerintah berupa DAU dan DBH memiliki pengaruh positif terbesar dalam
peningkatan belanja daerah dibandingkan dengan komponen pajak dan retribusi daerah. Hal ini
menunjukkan ketergantungan pembiayaan daerah pada DAU dan DBH sangat tinggi melebihi
kemampuan pembiayaan dari pendapatan daerah sendiri yaitu pajak daerah dan retribusi daerah.
Pemerintah daerah cenderung meningkatkan penerimaan transfer tersebut untuk pembiayaan
daerah, baik dengan cara meningkatkan belanja daerah itu sendiri. Hasil penelitian ini sesuai
dengan hasil penelitian Shah (1994), yang menyatakan bahwa pemerintah daerah akan selalu
menuntut transfer yang lebih besar dari pemerintah pusat, bukannya mengeksplorasi basis pajak.
Hal ini disebabkan karena alokasi transfer di negara-negara berkembang didasarkan pada aspek
pengeluaran pemerintah daerah tetapi kurang memperhatikan kemampuan pengumpulan pajak
(Naganathan & Sivaganam, 1999). Dengan meningkatnya belanja daerah maka akan
memberikan implikasi bahwa perolehan DAU menjadi tinggi. Hal ini seiring dengan penelitian
Widarjono(2006) yang membuktikan pengaruh transfer pemerintah terhadap pengeluaran
pemerintah lebih tinggi daripada pengaruh pendapatan daerah sendiri.
Besarnya pengaruh transfer jika dibandingkan dengan pengaruh komponen pendapatan
daerah akan sangat berpengaruh terhadap kemandirian daerah yang merupakan tujuan utama
otonomi daerah. Seharusnya pengaruh komponen PAD baik itu pajak daerah dan retribusi daerah
lebih besar jika dibandingkan pengaruh komponen transfer.
Pendeteksian ilusi fiskal melalui salah satu sumber ilusi fiskalmenunjukkan hasil bahwa
perilaku pemerintah daerah dalam merespon transfer dari pemerintah pusat adalah berbeda
dengan respon yang diberikan terhadap pendapatan daerahnya sendiri. Ketika respon pemerintah
daerah lebih besar untuk transfer dibandingkan pendapatan daerahnya sendiri maka terjadi
flypaper effect (Kusumadewi dan Rahman, 2007).Terlihat dari koefisien elastisitas DAU dan
DBH yang lebih tinggi daripada koefisien elastisitas pajak daerah dan retribusi daerah, maka
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
92 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
pendeteksian ilusi fiskal dengan menggunakan hipotesis flypaper effect dapat dibuktikan. Hal ini
juga sesuai dengan teori hipotesis flypaper effect yang dikemukakan oleh Widarjono (2004) yang
menyatakan bahwa flypaper effect terjadi ketika elastisitas transfer melebihi elastisitas
pendapatan daerahnya sendiri.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa telah terdeteksi adanya fenomena ilusi
fiskal pada keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Pulau Jawa dan bali periode 2001-
2008. Hal ini ditandai dengan lebih besarnya pengaruh komponen transfer terhadap belanja
daerah dibandingkan dengan pengaruh pajak daerah maupun retribusi daerah. Pemerintah
cenderung meningkatkan perolehan transfer dengan cara meningkatkan belanja daerah tanpa
adanya usaha untuk meningkatkan perolehan pajak maupun retribusi daerah yang merupakan
komponen pendapatan yang akan mencirikan kemandirian daerah.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam pemodelan ilusi fiskal menunjukkan bahwa DAU, DAK, DBH, Pajak Daerah, dan
Retribusi Daerah secara nyata berpengaruh positif terhadap belanja daerah. Elastisitas DAU dan
DBH lebih besar daripada elastisitas DAK, pajak daerah, dan retribusi daerah. Hal ini
menunjukkan masih tingginya ketergantungan daerah terhadap pusat. Dengan kata lain, salah
satu tujuan otonomi daerah belum tercapai maksimal.
Terjadi fenomena ilusi fiskal dalam keuangan daerah kabupaten/kota di Pulau Jawa dan
Bali periode 2001-2008 yang ditandai dengan besarnya pengaruh komponen transfer pusat
dibandingkan pendapatan daerah sendiri terhadap belanja daerah. Ilusi fiskal akan menghambat
terwujudnya tujuan otonomi daerah yaitu mencapai kemandirian daerah.
Beberapa saran yang dapat berikan adalah sebagai berikutpemerintah daerah dapat
meningkatkan keseimbangan pengalokasian belanja daerah yaitu belanja daerah dan
pembangunan agar tidak terjadi pencampuradukan kedua sifat anggaran yang dapat
menimbulkan pemborosan dan kebocoran dana. Untuk mengatasi adanya ilusi fiskal yang
menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap transfer, pemerintah daerah dapat
meningkatkan optimalisasi PAD melalui peningkatan pemungutan yang lebih giat, ketat, dan
teliti, maupun dengan pencarian sumber PAD baru. Untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan
penelitian mengenai fenomena ilusi fiskal jangka panjang dengan menggunakan cointegration
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 93
panel, serta dapat memperluas cakupan penelitian dan menambah waktu penelitian agar
diperoleh series yang lebih panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Priyo Hari dan Ekaristi.(2009). Fenomena Ilusi Fiskal dalam Kinerja Anggaran Pemerintah
Daerah.Jurnal Akuntansi Keuangan Indonesia.
Badan Pusat Statistik[BPS]. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Tahun 2006-2009.
Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik[BPS]. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota Tahun 2007-2008.
Jakarta: BPS.
Dollery, Brian E & Worthington, Andrew C. (1996).The Empirical Analysis of Fiscal
Illusion.Journal of Economic Surveys 10 (3): pp. 261-297.
Haryanto, Joko Tri. Kemandirian Daerah, Sebuah Perspektif dengan Metode Path Analysis.
Badan Kebijakan Fiskal.
Kementrian Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan 245/PMK.07/2010 tentang Peta Kapasitas
Fiskal
Kusumadewi, Diah Ayu dan Rahman, Arif.(2007). Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah pada
Kabupaten/Kota di Indonesia.JAAI Volume 11 No. 1 Hal.67-80.
Ndadari, LarasWulan dan PriyoHariAdi.(2008). PerilakuAsimetrisPemerintahDaerahTerhadap
Transfer PemerintahPusat.The 2nd
NationalConferences UKWMS.
Wahyuni, dan Adi, Priyo Hari.(2009). Analisis Pertumbuhan dan Kontribusi Dana Bagi Hasil
Terhadap Pendapatan Daerah.The 3rd
National Conference UKWMS.
Widarjono, Agus. Does Intergovernmental Transfer Cause Flypaper Effect on Local
Spending?.JurnalEkonomi Pembangunan.
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
94 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEGIATAN PENAMBANGAN
TIMAH INKONVENSIONAL
(Studi Kasus di Kelurahan Parit Padang, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten
Bangka, Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2009)
DIAN ARIEWIDAYANTI dan CHOIRIL MAKSUM
Abstract
A two-stages-sampling is used to select 110 households in Parit Padang village,
Sungailiat, Bangka Belitung province. Descriptiveanalysis indicated that about 75
percent housholds have a bad perception of inconventional tin mining, this bad
perception mostly come from those who graduated from high school or higher
education. About 75,5 percent respondents consider that information
technologies still under the minimum requirement of job safety. In terms of
gender, age groups, education and household expenditure, there are no
significant difference in perception of inconventional tin mining; but there is a
significant difference in perception of inconventional tin mining in terms of
household occupation. Logistic regression shows that perception of
inconventional tin mining influenced by job safety assessment.
Keywords: two-stages-sampling, inconventional tin mining, information
technologies,logistic regression.
I PENDAHULUAN
Timah dan lada putih merupakan dua komoditi andalan Bangka
Belitung.Hingga saat ini timah masih memegang peranan dalam perekonomian
Bangka Belitung.Hal ini terbukti dengan besarnya sumbangan sektor timah dalam
penerimaan daerah.Kontribusi sektor pertambangan dan penggalian bagi Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Bangka Belitung tahun 2007 adalah sebesar
20,40 persen (BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, 2008). Berdasarkan data
dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,
penerimaan Bangka Belitung dari royalti ekspor timah batangan selama triwulan
dua tahun 2007 meningkat tajam dibandingkan dengan periode tiga bulan
sebelumnya. Pada triwulan kedua tahun 2007, royalti yang diterima provinsi ini
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 95
mencapai 131 milyar Rupiah lebih. Sementara pada periode sebelumnya hanya
sebesar 47,7 milyar Rupiah.
Berbeda dengan komoditi timah, sejak tahun 2001 komoditi lada tidak lagi
menjadi andalan masyarakat.Hal ini dikarenakan terjadinya penurunan harga lada
yang cukup tajam di pasar internasional.Akibatnya, masyarakat berusaha beralih
ke sektor lain yang lebih mampu menyokong kehidupan mereka, terutama di
sektor pertambangan timah.
Zulkarnaindkk.(2005) menyebutkan bahwa secara kronologis, keterlibatan
masyarakat dalam penambangan timah ini tidak dapat dilepaskan dari perubahan
situasi politik yang terjadi sejak tahun 1998 melalui reformasi.Reformasi telah
memberikan ruang yang lebih luas kepada masyarakat untuk mengekspresikan
diri, sehingga secara tidak langsung menyebabkan masyarakat menjadi berani
mengalihkan perhatiannya ke pertambangan timah. Keberanian tersebut didukung
dengan adanya Surat Keterangan (SK) Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Nomor 146/MPP/Kep/4/1999 pada tanggal 22 April 1999 yang menyatakan
bahwa timah dikategorikan sebagai barang bebas (tidak diawasi) dan pencabutan
status timah sebagai komoditas strategis, sehingga tidak dimonopoli lagi oleh satu
BUMN dan dapat dieskpor secara bebas oleh siapapun.
Kegiatan penambangan timah oleh rakyat inilah yang kemudian oleh
masyarakat Bangka Belitung disebut dengan istilah Tambang Inkonvensional (TI).
Aktivitas penambangan timah rakyat ini berkembang dengan pesat.Berdasarkan
data inventarisasi lahan yang digunakan Tambang Inkonvensional yang juga
dikenal dengan sebutan Tambang Skala Kecil (TSK) pada tahun 2003 di PT.
Timah terdapat 4.515 unit TSK (yang mempunyai izin hanya 199) dan PT. Koba
Tin adalah 1.243 unit TSK (semuanya tidak mempunyai izin). Sehingga jumlah
keseluruhannya adalah 5.758 unit. Adapun data tambang inkonvensional atau
Tambang Skala Kecil (TSK) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berdasarkan
data Kepolisian Daerah Kepulauan Bangka Belitung April 2004, baik itu yang
melakukan penambangan di wilayah perizinan kuasa penambangan PT Timah
Tbk, PT Koba Tin dan wilayah Pemda, maupun yang melakukan penambangan di
lokasi terlarang adalah 6.507 unit. Dari 6.507 unit tambang inkonvensional
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
96 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
tersebut, hanya 199 unit dilengkapi dengan perizinan, sedangkan sisanya 6.308
unit tidak mempunyai izin penambangan.
Isu lain yang mencuat terkait dengan maraknya kegiatan tambang
inkonvensional adalah kurangnya keselamatan kerja dalam kegiatan penambangan
rakyat tersebut. Akibatnya banyak kasus kecelakaan kerja yang terjadi di lokasi
penambangan timah inkonvensional.Alwi (2008) menyebutkan bahwa penambang
tidak membekali diri dengan alat keselamatan kerja yang cukup dan bahkan
pemahaman tentang struktur tanah dan laut tidak memadai.Disebutkan juga bahwa
sebagian kecil saja penambang yang diikutkan dalam program jaminan sosial
tenaga kerja, sehingga ketika terjadi kecelakaan kerja dan bahkan meninggal
mereka tidak mendapat santunan apapun.
Masalah lain yang muncul adalah terkait dengan hubungan yang terjadi di
sektor primer antara sektor pertanian (terutama sub sektor perkebunan) dengan
sektor pertambangan dan penggalian. Terjadi pergeseran pekerjaan masyarakat
dari perkebunan ke sektor pertambangan. Berdasarkan data Sakernas BPS tahun
2004-2005, di Bangka Belitung telah terjadi pergeseran jumlah penduduk usia 15
tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian ke sektor pertambangan dan
penggalian. Pada sektor pertanian, tahun 2004 berjumlah 172.030 orang dan tahun
2005 berkurang menjadi 140.911. Sebaliknya, di sektor pertambangan dan
penggalian justru mengalami peningkatan dari 103.880 pada tahun 2004 menjadi
128.915 pada tahun 2005.
Pro dan kontra terkait dengan kegiatan penambangan timah
inkonvensional ini juga tentunya terjadi di wilayah Kelurahan Parit Padang yang
mana hampir 70 persen lingkungan di Kelurahan ini mempunyai lokasi
penambangan (Kelurahan Parit Padang, 2007). Untuk itu, peneliti menjadi tertarik
untuk mengkaji persepsi masyarakat Kelurahan Parit Padang terhadap kegiatan
penambangan timah inkonvensional.
Berdasarkan uraian tersebut, rumusan permasalahan pada penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah karakteristik masyarakat Kelurahan Parit Padang tahun 2009?
2. Bagaimanakah persepsi masyarakat Kelurahan Parit Padang terhadap kegiatan
penambangan timah inkonvensional?
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 97
3. Apakah terdapat perbedaan persepsi masyarakat terhadap kegiatan
penambangan timah inkonvensional jika ditinjau dari perbedaan
karakteristiknya?
4. Variabel-variabelapa saja yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap
kegiatan penambangan timah inkonvensional?
II METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei.Metode penelitian
survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan
menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok.Metode
penelitian survei ini digunakan untuk mengumpulkan data primer mengenai
karakteristik masyarakat serta persepsi mereka terhadap kegiatan penambangan
timah inkonvensional.
Penelitian ini merupakan suatu studi kasus di Kelurahan Parit Padang,
Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Dalam
studi kasus, peneliti ingin mempelajari secara intensif latar belakang serta
interaksi lingkungan dari unit-unit sosial yang menjadi subjek.
Sumber Data
Datayang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dengan
menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian.Penelitian diawali dengan
survei pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 13-15 Mei 2009.Survei
pendahuluan dilakukan untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen
penelitian yang digunakan.Melalui penelitian pendahuluan, didapat item-item
pertanyaan yang valid dan reliabel untuk mengukur persepsi masyarakat terhadap
kegiatan penambangan timah inkonvensional.Sedangkan penelitian sebenarnya
dilakukan pada 17-24 Mei 2009.
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh rumah tangga di Kelurahan
Parit Padang, dengan unit observasinya adalah kepala rumah tangga.Kepala rumah
tangga dipilih sebagai unit observasi didasarkan pertimbangan bahwa kepala
rumah tangga adalah orang yang bertanggung jawab atas seluruh anggota rumah
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
98 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
tangganya, sehingga diharapkan persepsi dari kepala rumah tangga dapat
mewakili persepsi dari rumah tangga tersebut.
Metode Pengambilan Sampel
Penelitian ini menggunakan pendekatan rumah tangga berdasarkan data
dari Kelurahan, yaitu diambil dari rumah tangga menurut Kartu Keluarga (KK)
yang masih aktif di setiap RT terpilih. Hal ini disebabkan tidak tersedianya daftar
listing rumah tangga yang up to date untuk setiap blok sensus di Kelurahan Parit
Padang. Berdasarkan hasil rekapitulasi data kependudukan Kelurahan Parit
Padang, jumlah penduduk di Kelurahan ini pada akhir Maret 2009 adalah 19.394
jiwa dengan jumlah rumah tangga sebanyak 5.236. Dari informasi tersebut dapat
diketahui bahwa rata-rata jumlah anggota rumah tangga di Kelurahan Parit
Padang adalah sebanyak 3,7 4 orang tiap rumah tangga.
Besarnya total sampel rumah tangga pada penelitian ini dihitung dengan
rumus yang digunakan pada Multiple Indicator Cluster Surveys (MICS) sebagai
berikut:
m = (1)
dimana:
m = banyaknya sampel.
Zα/2 = tingkat kepercayaan (penelitian ini menggunakan = 5%).
p = perkiraan proporsi kejadian terhadap target populasi.
1,05 = besaran untuk antisipasi nonrespon sebesar 5 persen.
deff = design effect, rasio varian suatu desain sampling dibagi varian desain
sampling acak sederhana (SRS).
e = persentase margin of error (relative standard error) terhadap p, pada
penelitian ini e yang digunakan adalah 10 persen.
k = persentase kejadian dari target populasi terhadap populasi.
= rata-rata banyaknya anggota rumah tangga.
Dari rumus di atas, jumlah sampel minimum untuk penelitian ini adalah:
m = = 100,842 101 rumah tangga
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 99
Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pengambilan sampel dua tahap (two stage sampling).Penarikan sampel bertahap
dilakukan dengan pertimbangan antara lain:
a. Tidak tersedianya kerangka sampel up to date yang memuat unit-unit
sampling terkecil (daftar rumah tangga beserta identitasnya di Kelurahan Parit
Padang).
b. Untuk menyediakan kerangka sampel sampai unit sampling terkecil,
diperlukan biaya, tenaga dan waktu yang besar).
c. Ditinjau dari biaya lebih efisien.
Unit sampling tahap pertama pada penelitian ini menggunakan satuan
lingkungan setempat, yaitu Rukun Tetangga (RT). Penggunaan RT sebagai
kerangka sampel dikarenakan tidak tersedianya kerangka sampel rumah tangga
dari tiap blok sensus di Kelurahan Parit Padang untuk dasar penarikan sampel.
Selain itu diasumsikan bahwa penggunaan RT telah memenuhi persyaratan
kerangka sampel, antara lain mempunyai batas yang jelas, perubahan tidak cepat,
mempunyai standar muatan (rumah tangga atau penduduk), mudah dikenali
dengan bantuan peta.
Pada tahap pertama dipilih 10 rukun tetangga (RT) dari 59 RT yang ada
di Kelurahan Parit Padang secara acak sederhana tanpa pengembalian (SRS WOR).
Pada tahap kedua akan dipilih 11 rumah tangga secara sistematik linier dari
masing-masing RT terpilih, sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini adalah
sebanyak 110 rumah tangga. Jumlah sampel ini telah memenuhi jumlah sampel
minimum yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam penelitian ini, aspek stimulus dan persepsi masyarakat terhadap
kegiatan penambangan timah inkonvensional diukur menggunakan skala Likert
dengan empat alternatif jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju dan
sangat tidak setuju.Keempat jawaban ini memiliki skor yang berbeda-beda sesuai
dengan jenis pernyataannya, apakah pernyataan positif atau negatif.Skala Likert
digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau
sekelompok orang tentang kejadian atau gejala sosial (Riduwan, 2008).
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
100 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Variabel tak bebas dalam penelitian ini adalah persepsi masyarakat
terhadap kegiatan penambangan timah inkonvensional. Variabel tak bebas bernilai
1 jika responden memiliki persepsi yang baik terhadap kegiatan penambangan
timah inkonvensional, sedangkan yang memiliki persepsi buruk bernilai 0.
Adapun variabel bebas yang akan diujikan adalah tingkat pengetahuan mengenai
TI, penilaian dampak TI dan penilaian keselamatan kerja dalam kegiatan TI.
Variabel-variabel tersebut disusun menjadi dua kategori (dikotomi), seperti yang
disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel1. Nama, Kategori Variabel dan Dummy yang Digunakan dalam Analisis
Regresi Logistik
Variabel Nama Variabel Kategori Variabel
Dummy Dummy
(1) (2) (3) (4) (5)
Y Persepsi terhadap
kegiatan TI
1. Baik
2. Buruk
1
0
X1 Tingkat pengetahuan
mengenai TI
1. Tahu
2. Tidak tahu D1
1
0
X2 Penilaian dampak
kegiatan TI
1. Positif
2. Negatif D2
1
0
X3 Penilaian keselamatan
kerja dalam kegiatan TI
1. Aman
2. Tidak aman D3
1
0
III HASIL DAN PEMBAHASAN
Persepsi Masyarakat
Dalam penelitian ini, persepsi masyarakat Kelurahan Parit Padang
terhadap kegiatan penambangan timah inkonvensional dibedakan menjadi dua,
yaitu masyarakat yang memiliki persepsi baik dan persepsi buruk.Responden
dalam penelitian ini adalah sebanyak 110, yang merupakan kepala keluarga dari
rumah tangga yang menjadi objek penelitian.Gambar 3 berikut menunjukkan
persepsi masyarakat Kelurahan Parit Padang terhadap kegiatan penambangan
timah inkonvensional.
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 101
0
50
100
Baik Buruk
25,5
74,5
Perse
nta
sePersepsi
Gambar Persentase Responden Berdasarkan Persepsi Terhadap Kegiatan
Penambangan Timah Inkonvensional di Kelurahan Parit Padang
Tahun 2009
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat
Kelurahan Parit Padang memiliki persepsi yang buruk terhadap kegiatan
penambangan timah inkonvensional, yaitu hampir 75 persen.Sedangkan sisanya,
25 persen masyarakat Kelurahan Parit Padang memiliki persepsi yang baik
terhadap kegiatan penambangan timah inkonvensional.
Mayoritas kepala rumah tangga di Kelurahan Parit Padang adalah laki-
laki, yaitu 85,5 persen. Sedangkan hanya 14,5 persen saja rumah tangga yang
dikepalai oleh perempuan. Jika ditinjau berdasarkan persepsi kepala rumah tangga
terhadap kegiatan penambangan timah inkonvensional, dapat diketahui
masyarakat yang memiliki persepsi yang buruk terhadap kegiatan penambangan
timah inkonvensional lebih banyak dari pada masyarakat yang memiliki persepsi
yang baik.Hal ini terjadi baik yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan.
Hampir tidak ada perbedaan persepsi antara responden laki-laki dengan responden
perempuan.
Umur responden terendah 19 tahun, sedangkan umur responden tertinggi
63 tahun.Secara umum, umur kepala rumah tangga di Kelurahan Parit Padang
menyebar diantara kelompok umur 25 – 30 tahun hingga umur 49 – 54 tahun.
Mayoritas kepala rumah tangga yang menjadi responden penelitian ini berada
pada kelompok umur 37 – 42 tahun (26,4 persen), sedangkan yang paling sedikit
berada pada kelompok umur 55 – 60 tahun dan 61 – 66 tahun (1,8 persen).
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
102 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Jika dikaitkan dengan persepsi, ditunjukkan bahwa dari semua kelompok
umur, sebagian besar memiliki persepsi yang buruk terhadap kegiatan
penambangan timah inkonvensional.
Tabel 2. Persentase Responden Menurut Persepsi Terhadap Kegiatan
Penambangan Timah Inkonvensional dan Kelompok Umur di
Kelurahan Parit Padang Tahun 2009
Persepsi Kelompok Umur
Total 19-24 25-30 31-36 37-42 43-48 49-54 55-60 61-66
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Baik 12,5 41,2 31,8 24,1 12,5 28,6 0 0 25,5
Buruk 87,5 58,8 68,2 75,9 87,5 71,4 100 100 74,5
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Tabel 2 memperlihatkan bahwa di semua kelompok umur, persentase responden
yang berpersepsi buruk lebih banyak dari pada responden yang berpersepsi baik.
Bahkan responden yang berada di kelompok umur 55-60 dan 61-66 tahun,
semuanya memiliki persepsi yang buruk terhadap kegiatan penambangan timah
inkonvensional. Hanya responden di kelompok umur 25-30 tahun yang memiliki
persentase agak berimbang antara yang berpersepsi baik dengan yang berpersepsi
buruk, dimana persentase responden yang berpersepsi baik di kelompok umur ini
adalah sebanyak 41,2 persen.
Perbedaan tingkat pendidikan akan menyebabkan perbedaan pola pikir,
sehingga diduga menyebabkan pula perbedaan persepsi. Mayoritas responden
telah menamatkan pendidikan tertinggi di jenjang SMA/sederajat, yaitu sebesar
54,5 persen. Adapun 20,9 persen yang lain telah menyelesaikan pendidikan
hingga Diploma (D1/D2/D3). Masih terdapat responden yang belum tamat SD
dan hanya menamatkan pendidikan sampai dengan SD/sederajat saja, yaitu
sebanyak 2,7 persen.Adapun keterkaitan antara persepsi masyarakat jika ditinjau
dari perbedaan tingkat pendidikannya menunjukkan bahwa persentase responden
yang tidak tamat SD, SD/sederajat dan SMP/sederajat lebih banyak yang
berpersepsi baik dari pada yang berpersepsi buruk. Sedangkan persepsi yang
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 103
buruk terhadap kegiatan penambangan timah inkonvensional, yaitu hampir 75
persen
Mayoritas responden bekerja dalam jenis pekerjaan wiraswasta, yaitu
sebanyak 32,73 persen. Jenis pekerjaan lain yang juga banyak digeluti oleh
masyarakat adalah PNS/TNI/POLRI, yaitu sebanyak 28,2 persen. Di luar kategori
jenis pekerjaan yang ada seperti yang dijelaskan pada gambar 8, dapat dilihat
bahwa sebanyak 12,7 persen berada pada kategori lainnya.
Kaitan antara persepsi terhadap kegiatan penambangan timah
inkonvensional dengan jenis pekerjaan yang digeluti responden.Dari semua jenis
pekerjaan, hanya jenis pekerjaan petani yang persentase respondennya memiliki
persepsi baik yang lebih banyak dibandingkan dengan yang memiliki persepsi
yang buruk. Sedangkan untuk jenis pekerjaan yang lain, responden yang memiliki
persepsi buruk lebih banyak dari pada yang memiliki persepsi baik. Bahkan dari
responden yang terjun di jenis pekerjaan sebagai pegawai swasta dan lainnya,
semuanya memiliki persepsi yang buruk terhadap kegiatan penambangan timah
inkonvensional.
Rata-rata pengeluaran rumah tangga di Kelurahan Parit Padang, dimana
paling banyak rumah tangganya memiliki rata-rata pengeluaran sebesar Rp
1.500.000,00 – Rp 1.999.999,00, yaitu sebanyak 29,1 persen. Bahkan 22,8 persen
rumah tangga memiliki pengeluaran sebesar Rp 2.000.000,00 atau lebih. Hanya
7,2 persen saja rumah tangga yang memiliki pengeluaran kurang dari Rp
500.000,00 per bulan. Hubungan antara persepsi responden dengan rata-rata
pengeluaran rumah tangganya per bulan, secara umum dapat diketahui bahwa
persentase responden di semua kelompok pengeluaran rumah tangga, lebih
banyak yang berpersepsi buruk terhadap kegiatan penambangan timah
inkonvensional.
Sebagian besar masyarakat telah mengetahui hal-hal mengenai TI, yaitu
92,7 persen dari total responden. Sedangkan sisanya, hanya 7,3 persen saja
responden yang tidak tahu mengenai TI. Stimulus yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah penilaian masyarakat mengenai dampak dan keselamatan
kerja dalam kegiatan TI.Penilaian masyarakat mengenai dampak TI ini dibagi
menjadi dua kategori, yaitu masyarakat yang lebih menilai TI berdampak positif
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
104 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
atau negatif. Masyarakat lebih banyak yang menilai positif penambangan timah
inkonvensional, yaitu 66,4 persen. Sisanya, sebanyak 33,6 persen responden
menilai bahwa TI berdampak negatif.Penilaian masyarakat mengenai keselamatan
kerja dalam kegiatan TI juga dibedakan menjadi dua kategori, yaitu masyarakat
yang menilai kegiatan TI sudah memenuhi keselamatan kerja dan yang belum
memenuhi keselamatan kerja.Sebagian besar responden menilai bahwa TI belum
memenuhi standar keselamatan kerja, yaitu sebanyak 75,5 persen. Sedangkan
sisanya, 24,5 persen responden menilai bahwa TI telah memenuhi standar
keselamatan kerja.
Analisis Inferensia
Uji-t untuk dua sampel independen digunakan untuk mengetahui apakah
terdapat perbedaan rata-rata skor persepsi antara responden laki-laki dengan
perempuan.Dari hasil penelitian diperoleh p-value sebesar 0,816. Nilai p-value ini
lebih besar dari α = 0,05, sehingga keputusan yang diambil adalah terima
H0,artinya, tidak ada perbedaan yang signifikan antara persepsi responden laki-
laki dengan perempuan.
Anova digunakan untuk mengetahui apakah ada perbedaan rata-rata skor
persepsi jika ditinjau dari kelompok umur responden, tingkat pendidikan terakhir
yang ditamatkan responden, jenis pekerjaan responden dan rata-rata pengeluaran
rumah tangga per bulan.Sebelum pengujian Anova dilakukan, asumsi
kehomogenan varians harus terpenuhi terlebih dahulu.Dari keempat karakteristik
responden tersebut, hanya tingkat pendidikan terakhir yang ditamatkan responden
dan rata-rata pengeluaran rumah tangga per bulan yang memenuhi asumsi tersebut
untuk pengujian Anova.
Hasil pengujian Anova untuk tingkat pendidikan terakhir yang ditamatkan
responden menghasilkan p-value sebesar 0,051. Nilai p-value ini lebih besar dari
pada α = 0,05 sehingga keputusan yang diambil adalah terima H0. Kesimpulan
yang dapat diambil adalah tidak ada perbedaan persepsi masyarakat terhadap
kegiatan penambangan timah inkonvensional jika ditinjau dari tingkat pendidikan
terakhir yang ditamatkan. Hasil yang sama diperoleh untuk rata-rata pengeluaran
rumah tangga per bulan, dimana p-value hasil pengujian adalah sebesar 0,090.
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 105
Nilai p-value ini lebih besar dari pada α = 0,05 sehingga keputusan yang diambil
adalah terima H0. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan persepsi
masyarakat terhadap kegiatan penambangan timah inkonvensional jika ditinjau
dari rata-rata pengeluaran rumah tangga per bulan.
Uji Kruskal-Wallis dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan
rata-rata skor persepsi jika ditinjau dari perbedaan kelompok umur responden dan
jenis pekerjaan yang digeluti.Dalam hal ini, pengujian dengan anova tidak dapat
dilakukan karena asumsi kehomogenan ragam tidak terpenuhi.Pengujian persepsi
dengan kelompok umur menghasilkan p-value sebesar 0,395. Nilai p-value ini
lebih besar dari pada α = 0,05 sehingga diambil keputusan terima H0. Dengan kata
lain, tidak ada perbedaan persepsi masyarakat terhadap kegiatan penambangan
timah inkonvensional jika ditinjau dari perbedaan kelompok umur. Sedangkan
untuk pengujian persepsi dengan jenis pekerjaan diperoleh p-value sebesar 0,024.
Nilai p-value ini lebih kecil dari pada α = 0,05 sehingga keputusannya adalah
menolak H0. Dari hasil tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa ada perbedaan
persepsi masyarakat terhadap kegiatan penambangan timah inkonvensional jika
ditinjau dari perbedaan jenis pekerjaan yang digeluti.
Berdasarkan hasil uji independensi Chi Square, memperlihatkan bahwa
ketiga variabel bebas masing-masing memiliki hubungan yang signifikan dengan
persepsi terhadap kegiatan penambangan timah inkonvensional pada taraf nyata 5
persen.
Metode yang digunakan untuk mendapatkan model terbaik pada penelitian
ini adalah Backward Stepwise (Wald).
Uji Simultan
Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh nilai p-value pada output
Omnibus Tests of Model Coefficients adalah 0,001. Dengan α = 5 %, maka
keputusan yang diambil adalah tolak H0, yang berarti terdapat minimal satu
variabel bebas yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kegiatan
penambangan timah inkonvensional.
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
106 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Uji Parsial (Uji Wald)
Tabel 3. Hasil Pengolahan Data Sampel dengan Menggunakan Regresi
Logistik
No. Variabel Wald Df Sig. Exp ( )
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. Penilaian
keselamatan kerja 1,669 11,892 1 0,001 5,308
2. Konstanta -1,595 29,611 1 0,000 0,203
Hasil pengujian memperlihatkan bahwa variabel yang masuk ke dalam
model regresi logistik dan memiliki pengaruh yang signifikan pada tingkat
kepercayaan 95 persen terhadap persepsi masyarakat adalah penilaian
keselamatan kerja dalam kegiatan TI. Fungsi transformasi logit untuk variabel
yang berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi masyarakat adalah sebagai
berikut.
ln = - 1,595 + 1,669 D3
Dimana:
(D) = peluang “berpersepsi baik” dalam persepsi masyarakat terhadap kegiatan
penambangan timah inkonvensional yang tergantung dari variabel
(kategori) D.
D3 = penilaian keselamatan kerja dalam kegiatan TI
Dari persamaan di atas, dapat dihitung peluang seseorang untuk memiliki persepsi
yang baik dengan penilaian keselamatan kerja tertentu. Seseorang yang menilai TI
telah memenuhi keselamatan kerja (D3 berkode 1) akan memiliki peluang untuk
berpersepsi baik sebesar 51,8 persen. Penghitungannya adalah sebagai berikut.
= = 0,518
Sedangkan apabila seseorang menilai TI belum memenuhi standar keselamatan
kerja (D3 berkode 0), maka peluang untuk berpersepsi baik adalah sebesar 16,8
persen, yang diperoleh dari perhitungan di bawah ini.
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 107
= = 0,168
Atau dengan kata lain, seseorang yang menilai kegiatan TI belum memenuhi
standar keselamatan kerja akan memiliki peluang untuk berpersepsi buruk sebesar
83,2 persen.
Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa terdapat hubungan yang positif
antara penilaian keselamatan kerja dalam TI dengan persepsi masyarakat terhadap
kegiatan penambangan timah inkonvensional.Nilai odds ratio untuk kategori
penilaian keselamatan kerja dalam TI yang terpenuhi adalah 5,308. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa masyarakat yang menilai TI telah memenuhi standar
keselamatan kerja memiliki kecenderungan lima kali untuk berpersepsi baik
dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki penilaian bahwa TI belum
memenuhi standar keselamatan kerja.
IV KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1. Dilihat dari gambaran karakteristiknya, kepala keluarga dari rumah tangga
yang merupakan responden penelitian ini memiliki persentase terbanyak
dengan karakteristik berjenis kelamin laki-laki, memiliki umur di kelompok
37-42 tahun, tingkat pendidikan terakhir yang ditamatkan SMA/sederajat,
jenis pekerjaan yang digeluti wiraswasta, dan rata-rata pengeluaran rumah
tangga per bulan Rp 1.500.000,00 s.d Rp 1.999.999,00.
2. Persentase masyarakat yang memiliki persepsi buruk terhadap kegiatan
penambangan timah inkonvensional adalah sebesar 74,5 persen, sangat jauh
berbeda dengan masyarakat yang memiliki persepsi baik (hanya 25,5 persen).
3. Tidak terdapat perbedaan persepsi masyarakat terhadap kegiatan
penambangan timah inkonvensional jika ditinjau dari perbedaan jenis kelamin,
kelompok umur, tingkat pendidikan dan rata-rata pengeluaran rumah tangga
per bulan. Akan tetapi, terdapat perbedaan persepsi masyarakat jika ditinjau
dari perbedaan jenis pekerjaan yang digeluti.
4. Persepsi masyarakat terhadap kegiatan penambangan timah inkonvensional
dipengaruhi oleh penilaian keselamatan kerja dalam kegiatan penambangan
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
108 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
tersebut. Masyarakat yang menilai TI telah memenuhi standar keselamatan
kerja memiliki kecenderungan lima kali untuk berpersepsi baik dibandingkan
dengan masyarakat yang memiliki penilaian bahwa TI belum memenuhi
standar keselamatan kerja.
Saran
Memperhatikan beberapa temuan di atas, berikut ini beberapa saran yang
dapat direkomendasikan sebagai rumusan kebijakan atau penelitian lebih lanjut.
1. Besarnya persentase masyarakat yang memiliki persepsi buruk terhadap
kegiatan penambangan timah inkonvensional seharusnya membuat Pemerintah
Daerah mengevaluasi kebijakan dalam pembinaan TI serta melihat
permasalahan TI sebagai sesuatu yang perlu dicarikan jalan keluarnya, agar
diperoleh suatu keseimbangan antara keuntungan ekonomi dan sosial
masyarakat dengan kerugian lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan
penambangan rakyat tersebut.
2. Pemerintah Daerah dan pihak terkait hendaknya secara bersama-sama menata
ulang kegiatan penambangan timah yang dilakukan oleh TI, misalnya dengan
menentukan lokasi penambangan rakyat serta pembinaan mengenai pola
penambangan yang harus memenuhi kaidah keselamatan kerja dan
berwawasan lingkungan.
3. Masyarakat hendaknya memiliki kesadaran untuk mematuhi peraturan dan
kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah dalam melakukan usaha
pertambangan rakyat, termasuk melakukan reklamasi lahan pasca
penambangan, serta bersama-sama pemerintah menangani penambang-
penambang liar agar tidak merugikan semua pihak.
4. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan menambahkan variabel-variabel
lain yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kegiatan penambangan
timah inkonvensional, misalnya lingkungan sosial dan budaya, serta mengkaji
apakah terdapat perbedaan persepsi antara masyarakat penambang dan bukan
penambang.
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 109
DAFTAR PUSTAKA
Agresti, A. (1990). Categorical Data Analysis. New York: John Wiley & Sons.
Alwi, Sadid (2 Juni 2008). Ratusan Penambang Timah Terkubur Hidup-Hidup di
Lokasi TI. 24 Januari 2009.http://web.pab-indonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=13884
Andianti, Riska. (2008). Persepsi Masyarakat Terhadap Tingkat Keamanan di
Lingkungan Sekitarnya (Studi Kasus di Kelurahan Taman Sari, Kecamatan
Taman Sari, Jakarta Barat) [Skripsi]. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu
Statistik
Arikunto, Suharsimi. (2004). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Badan Pusat Statistik. (2003). PDRB Tata Cara Penghitungan PDRB Menurut
Lapangan Usaha Buku 2. Jakarta: BPS.
__________________. (2008). Bangka Belitung dalam Angka 2008. Pangkal
Pinang: BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Bank Indonesia Palembang. (2006). Kontroversi TI dan Dampaknya Terhadap
Perekonomian Babel. 24 Januari
2009.http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/867053FA-54E5-4F1E-9D16-4B0F42B89945/10108/Boks1.pdf
Barlian, Ery. (1991). Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Industri
Plywood [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.
Daras, Usman dan Pranowo, D. (2009). Kondisi Kritis Lada Putih Bangka
Belitung dan Alternatif Pemulihannya. Jurnal Litbang Pertanian, 28(1). 28
Agustus 2009. http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/p3281091.pdf
Departemen Pendidikan Nasional. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Destyana, Aniek. (2008). Persepsi, Sikap dan Perilaku Penduduk Terhadap
Pencemaran Lingkungan di Kawasan Industri Kota Cilegon Tahun 2008
(Studi Kasus di Kelurahan Gunungsugih) [Skripsi]. Jakarta: Sekolah Tinggi
Ilmu Statistik.
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
110 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Hosmer, D.W dan Lemeshow, S. (1989). Applied Logistic Regression. New York:
John Willey and Sons, Inc.
Kelurahan Parit Padang. (2007). Perkembangan Potensi Kelurahan Parit Padang
Kecamatan Sungailiat Tahun 2005/2006. Sungailiat: Kelurahan Parit
Padang.
Kemp, J.E, ; R. Carroher; R.F. Szumki; dan W.R. Card. (1975). Planning and
Producing Audiovisual Materials. Crowell Companye: New York.
Maretta, Hermasani Tya. (2006). Persepsi Wisatawan Mengenai Kondisi
Pariwisata Candi Borobudur [Skripsi]. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu
Statistik.
Nasir, Moh. (1983). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Neolaka, Amos. (2008). Kesadaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.
Purwanto, J. (2003). Dasar-DasarMetode Penarikan Sampel. Jakarta: Sekolah
Tinggi Ilmu Statistik.
Riduwan.(2008). Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta.
Sarwono, Sarlito Wirawan. (1991). Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: Bulan
Bintang.
Siegel, Sidney. (1992). Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta:
PT. Gramedia.
Sobur, Alex. (2003). Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Sujitno, Sutedjo. (2007). Sejarah Penambangan Timah di Indonesia Abad ke 18 –
Abad ke 20. Jakarta: PT TIMAH.
Sukandarrumidi.(2004). Bahan Galian Industri. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
_____________. (2007). Geologi Mineral Logam. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Susilo, Rachmad K. Dwi. (2008). Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Rajawali Pers.
Usman, Husaini. (2008). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
JURNAL STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 111
Wahyono, Teguh. (2006). 36 Jam Belajar Komputer Analisis Data Statistik
dengan SPSS 14. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Walgito, Bimo. (2002). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.
Walpole, Ronald. E. (1992).Pengantar Statistika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Walpole, Ronald. E. dan Raymond. H. Myers. (1995). Ilmu Peluang dan Statistika
untuk Insinyur dan Ilmuwan. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Zulkarnain, Iskandar, dkk. (2005). Konflik di Kawasan Timah Bangka Belitung:
Persoalan dan Alternatif Solusi. Jakarta: LIPI Press.
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
112 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEMISKINAN
DI LIMA BELAS PROVINSI TAHUN 2007
Agung Eddy Suryo Saputro ([email protected])
Agung Priyo Utomo ([email protected])
Abstract
One of the requirements for success in poverty elevation is to identify poverty
concentration regions. In Indonesia, 15 provinces experiencing poverty index higher than
national level. Factor analysis indicate that in these 15 province, poverty are characterized
by occupation, education and housing. Logistic regression show that occupation and
education are negatively influence poverty (significance), while housing is positively
influence poverty(not significance)
Keywords :poverty index,factoranalysis,logistic regression
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
“Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi
pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung
strategi penanggulangan kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang akurat dan
tepat sasaran. Pengukuran kemiskinan yang terpercaya dapat menjadi instrumen tangguh
bagi pengambil kebijakan dalam memfokuskan perhatian pada kondisi hidup orang miskin.
Pada akhirnya, data kemiskinan yang baik dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan
pemerintah terhadap kemiskinan, membandingkan kemiskinan antar waktu dan daerah,
serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi
mereka”(BPS, 2008).
“Badan Pusat Statistik (BPS) pertama kali melakukan penghitungan jumlah dan
persentase penduduk miskin pada tahun 1984. Pada saat itu penghitungan jumlah dan
persentase penduduk miskin mencakup periode 1976-1981 dengan menggunakan data
Modul Konsumsi Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Sejak tahun 1984, setiap
tiga tahun sekali BPS secara rutin mengeluarkan data jumlah dan persentase penduduk
miskin. Sampai dengan tahun 1987, informasi mengenai jumlah dan persentase penduduk
miskin hanya disajikan untuk tingkat nasional yang dipisahkan menurut daerah perkotaan
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 113
dan perdesaan. Pada tahun 1990, informasi mengenai penduduk miskin sudah dapat
disajikan sampai tingkat provinsi meskipun beberapa provinsi masih tergabung. Provinsi-
provinsi gabungan tersebut, antara lain: Provinsi Jambi, Bengkulu, Timor Timur,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku,
dan Papua. Sejak tahun 1993, informasi mengenai jumlah dan persentase penduduk miskin
sudah dapat disajikan untuk seluruh provinsi. Sejak tahun 2002, BPS telah menyajikan data
dan informasi kemiskinan sampai tingkat kabupaten/kota dengan menggunakan data
Susenas Kor” (BPS, 2008).
Dalam kaitannya untuk menurunkan jumlah penduduk miskin, Pemerintah
Indonesia telah memberikan 3 paket bantuan program. Ketiga paket bantuan program
tersebut, yaitu sebagai berikut.
a. Paket Bantuan Program I: Bantuan dan Perlindungan Sosial
Paket bantuan ini ditujukan untuk perlindungan dan pemenuhan hak atas
pendidikan, kesehatan, pangan, sanitasi, dan air bersih. Paket ini diwujudkan dalam
bentuk Beras Miskin (Raskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesnas yang
dulu disebut Askeskin), BOS (Bantuan Operasional Sekolah), PKH (Program
Keluarga Harapan), dan BLT (Bantuan Langsung Tunai).
b. Paket Bantuan Program II: Pemberdayaan Masyarakat
Paket bantuan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak
atas partisipasi, kesempatan kerja dan berusaha, tanah, sumber daya alam dan
lingkungan hidup, serta perumahan.
c. Paket Bantuan Program III: Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK-KUR)
Paket bantuan ini bertujuan untuk perlindungan dan pemenuhan hak atas
kesempatan berusaha dan bekerja, sumber daya alam serta lingkungan hidup.
Salah satu prasyarat keberhasilan program-program pembangunan sangat
tergantung pada ketepatan mengidentifikasi target grup dan target area. Keberhasilan
program pengentasan nasib orang miskin tergantung pada langkah awal dari formulasi
kebijakan, yaitu mengidentifikasi siapa sebenarnya yang miskin dan di mana penduduk
miskin itu berada. Kedua pertanyaan tersebut, dapat dijawab dengan melihat kemiskinan
secara mikro (mengidentifikasi siapa sebenarnya yang miskin) dan melalui profil
kemiskinan (mengetahui di mana penduduk miskin berada). Kemiskinan secara mikro
dapat didekati dengan 14 variabel yang telah ditentukan oleh BPS. Empat belas variabel
tersebut berguna untuk menentukan kriteria rumah tangga miskin. Profil kemiskinan dapat
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
114 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
dilihat dari karakteristik ekonominya, sosial budaya, dan demografinya. Pertanyaan kedua
mengenai penyebaran kemiskinan dapat dilihat dari karakteristik geografisnya, yaitu
dengan menentukan di mana penduduk miskin terkonsentrasi.
Penggunaan terpenting dari profil kemiskinan adalah untuk mendukung usaha-
usaha bagi penentuan sasaran sumber daya pembangunan terhadap wilayah miskin, yang
bertujuan menurunkan kemiskinan secara makro melalui sasaran wilayah geografis.
Wilayah mana yang seharusnya mendapatkan prioritas dalam penentuan sasaran?
Sementara, pertanyaan ini hanya dapat dijawab pada tingkat makro dengan data survei,
karena terbatasnya cakupan geografis yang terkena sampel.
Jadi, hasil survei memberikan pemahaman yang luas tentang orientasi kebijakan
yang semestinya dalam menentukan sasaran wilayah. Hasil survei sebenarnya masih
bersifat terbatas dalam penentuan penempatan intervensi proyek secara geografis.
Bagaimanapun juga, angka kemiskinan secara makro yang dihasilkan dari survei tersebut
masih dapat digunakan secara luas bagi penentuan sasaran.
Pemetaan kemiskinan secara makro bertujuan untuk menggambarkan keragaman
kemiskinan dalam suatu negara, yaitu wilayah mana yang lebih sejahtera dan wilayah
mana yang kurang sejahtera. Terkadang wilayah yang mempunyai tingkat kemiskinan
secara makro yang lebih rendah, mungkin mempunyai kantong-kantong kemiskinan yang
besar dan tidak tercermin dalam statistik kemiskinan secara makro.
Pemetaan kemiskinan secara makro dalam penelitian ini didasarkan pada nilai
indeks kedalaman kemiskinan (P1).Alasan menggunakan P1 karena indeks inimerupakan
ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran setiap penduduk miskin. P1 merupakan salah
satu indikator ekonomi yang digunakan untuk mengukur kemiskinan secara makro,
semakin tinggi nilai indeks ini akan menyebabkan rata-rata kesenjangan pengeluaran setiap
penduduk miskin semakin besar. Menurut World Bank Institute tahun 2002, P1 sebagai
biaya mengentaskan kemiskinan karena indikator ini menunjukkan berapa banyak uang
yang akan ditransfer kepada penduduk miskin untuk membawa pengeluaran penduduk
miskin mencapai garis kemiskinan.
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 115
Tabel 1. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Tahun 2007 per Provinsi di Indonesia
No Provinsi 2007 No Provinsi 2007
(1) (2) (3) (1) (2) (3)
1 Papua Barat 12.97 18 Jawa Barat 2.26
2 Papua 10.84 19 Maluku Utara 2.23
3 Maluku 6.38 20 Riau 2.18
4 Gorontalo 5.57 21 Sumatera Utara 2.17
5 NAD 5.41 22 Kepulauan Riau 1.90
6 Nusa Tenggara Barat 5.13 23 Jambi 1.88
7 Nusa Tenggara Timur 4.87 24 Sulawesi Utara 1.88
8 Sulawesi Tengah 4.46 25 Sumatera Barat 1.84
9 Sulawesi Tenggara 4.33 26 Kalimantan Timur 1.81
10 Bengkulu 4.03 27 Kalimantan Barat 1.79
11 Lampung 3.94 28 Bangka Belitung 1.68
12 JawaTimur 3.91 29 Kalimantan Tengah 1.68
13 Sumatera Selatan 3.84 30 Banten 1.40
14 Jawa Tengah 3.84 31 Bali 0.94
15 DI Yogyakarta 3.80 32 Kalimantan Selatan 0.81
16 Sulawesi Selatan 2.60 33 DKIJakarta 0.59
17 Sulawesi Barat 2.59 Indonesia 2.99
Sumber: BPS. Diolah dari Susenas Modul Konsumsi tahun 2007
Informasi pada Tabel 1 menunjukkan bahwa Provinsi Papua Barat pada tahun 2007
mempunyai nilai P1 terbesar dibandingkan 32 provinsi lainnya, yaitu sebesar 12,97.
Sedangkan Provinsi DKI Jakarta mempunyai nilai P1 terkecil dibandingkan 32 provinsi
lainnya, yaitu sebesar 0,59. Indonesia mempunyai nilai P1 sebesar 2,99.
Pada tahun 2007 ada 15 provinsi dengan nilai P1 yang lebih tinggi daripada nilai P1
Indonesia. Kelima belas provinsi tersebut, yaitu: Provinsi Papua Barat, Papua, Maluku,
Gorontalo, Nangroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Bengkulu, Lampung, Jawa Timur, Sumatera
Selatan, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta.
Mengapa nilai P1 yang melebihi nilai P1 Indonesia hanya terjadi di 15 provinsi dan
faktor-faktor apa saja yang memengaruhi nilai P1 di 15 provinsi tersebut sehingga memiliki
nilai P1yang melebihi nilai P1 Indonesia pada tahun 2007? Pertanyaan inilah yang menarik
bagi peneliti untuk melakukan penelitian terhadap 15 provinsi tersebut dan meneliti faktor-
faktor yang memengaruhi nilai P1 di 15 provinsi tersebut.
Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah di atas, maka
perumusan masalah yang akan diangkat adalah sebagai berikut.
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
116 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
a. Bagaimana gambaran karakteristik penduduk miskin di 15 provinsi?
b. Faktor-faktor utama apa saja yang memengaruhi kemiskinan secara makro di 15
provinsi?
c. Bagaimana hubungan antara setiap faktor utama dengan indeks kedalaman kemiskinan
(P1)?
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Menggambarkan karakteristik penduduk miskin di 15 provinsi pada tahun 2007.
b. Mengidentifikasi faktor-faktor utama yang memengaruhi kemiskinan secara makro di
15 provinsi.
c. Mengetahui hubungan antara setiap faktor utama dengan indeks kedalaman kemiskinan
(P1).
Landasan Teori
“Strategi kebutuhan dasar (basic needs) yang digunakan BPS, sebagaimana dikutip
oleh Thee Kian Wie (1981:29), dipromosikan dan dipopulerkan oleh International Labor
Organisation (ILO) pada tahun 1976 dengan judul Kesempatan Kerja, Pertumbuhan
Ekonomi, dan Kebutuhan Dasar: Suatu Masalah bagi Satu Dunia. Strategi kebutuhan
dasar memang memberi tekanan pada pendekatan langsung dan tidak langsung, seperti
melalui efek menetes ke bawah (trickle-down-effect) dari pertumbuhan ekonomi yang
tinggi. Kesulitan umum dalam penentuan indikator kebutuhan dasar adalah standar atau
kriteria yang subjektif karena dipengaruhi oleh adat, budaya, daerah, dan kelompok sosial.
Penentuan masing-masing kebutuhan dasar mengalami kesulitan karena dipengaruhi oleh
sifat yang dimiliki oleh komponen itu sendiri, misalnya selera konsumsi terhadap suatu
jenis makanan atau komoditas lainnya”(BPS, 2008).
Beberapa teori yang mendukung penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
a. Teori Lingkaran Setan Kemiskinan oleh Ragnar Nurkse
Menurut Ragnar Nurkse, teori Lingkaran Setan Kemiskinan menjelaskan bahwa
negara-negara sedang berkembang itu miskin, karena produktivitasnya rendah, yang
mengakibatkan penghasilan penduduk rendah, dan hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan konsumsinya yang minimum sehingga tidak dapat menabung (tabungan
merupakan sumber utama pembentukkan modal masyarakat).
b. Teori Perangkap Kemiskinan oleh Malthus
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 117
Teori Malthus, menunjukkan bahwa suatu saat pertumbuhan jumlah penduduk akan
melebihi persediaan bahan makanan. Ketika keadaan ini terjadi akan mengakibatkan
jumlah bahan makanan menjadi terbatas. Penduduk berpendapatan rendah yang tidak
mendapatkan bahan makanan akan menjadi miskin.
Kerangka Pikir
Pemetaan pada profil kemiskinan setiap provinsi di Indonesia berguna untuk
melihat di provinsi mana penduduk miskin akan terkonsentrasi. Pemetaan kemiskinan
dengan menggunakan nilai P1 Indonesia akan menghasilkan 2 kelompok provinsi, yaitu:
kelompok provinsi yang mempunyai nilai P1 di atas nilai P1 Indonesia dan kelompok
provinsi yang mempunyai nilai P1 di bawah atau samadengan nilai P1 Indonesia. Penelitian
ini akan menggambarkan karakteristik penduduk miskin pada kelompok provinsi yang
mempunyai nilai P1 di atas nilai P1 Indonesia. Setiap karakteristik terdiri dari beberapa
variabel kemiskinan makro. Variabel-variabel kemiskinan tersebut akan direduksi menjadi
beberapa faktor utama yang memenuhi syarat pengujian statistik. Selanjutnya, akan dilihat
hubungan antara setiap faktor utama yang terbentuk dengan P1. Hasil penelitian ini akan
diinterpretasikan. Selanjutnya, akan dibuat kesimpulan dan saran yang sesuai dengan hasil
penelitian.
Pemetaan Kemiskinan
Gambar 1. Kerangka Pikir
Profilkemiskinansetiapprovinsi
Provinsi yang mempunyai nilai
P1> nilai P1 Indonesia
Provinsi yang mempunyainilai
P1 ≤ nilai P1 Indonesia
Karakteristikpendudukmiskin
Kesimpulandan Saran Interpretasi Faktor-faktorUtama
Hubungan antara setiap
faktor utama dengan P1
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
118 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka dirumuskan hipotesis penelitian bahwa
karakteristik pangan, pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, dan kondisi rumah tinggal
berhubungan dengan P1.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder yang bersumber pada Susenas
Modul Konsumsi tahun 1999 sampai tahun 2007 dan Susenas Kor tahun 2007 yang
dipublikasikan oleh BPS. Susenas Modul Konsumsi berisi data yang unit analisisnya
provinsi yang dipisahkan antara daerah perkotaan dengan daerah perdesaan. Susenas Kor
berisi data yang unit analisisnya kabupaten/kota. Susenas Kor Juli 2007 di deflate ke posisi
Maret 2007 agar data kemiskinan tingkat kabupaten/kota mempunyai referensi waktu yang
samadengan data kemiskinan tingkat nasional dan provinsi. Jumlah variabel yang
digunakan dalam penelitian ini berjumlah 19 variabel.
Penelitian ini akan menggambarkan karakteristik penduduk miskin di 15 provinsi
pada tahun 2007 dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif pada
penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan karakteristik penduduk miskin di 15
provinsi pada tahun 2007 dengan menampilkan tabel dan gambar (grafik ataupun diagram)
serta interpretasinya.Analisis Komponen Utama (AKU) dan analisis faktor digunakan
untuk mereduksi variabel dan membentuk faktor utama, sedangkan analisis regresi logistik
digunakan untuk melihat hubungan antara setiap faktor utama dengan P1.
III. HASIL dan PEMBAHASAN
Perkembangan Tingkat Kemiskinan Secara Makro di Indonesia Periode 1999-2007
Perkembangan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada periode 1999-2007
tampak berfluktuasi dari tahun ke tahun dan ada kecenderungan menurun dari 47,97 juta
jiwa pada tahun 1999 menjadi 37,17 juta jiwa pada tahun 2007. Pada periode 1999-2007
terjadi 2 kali peningkatan jumlah penduduk miskin, yaitu pada periode 2001-2002 sebesar
500.000 jiwa dan periode 2005-2006 sebesar 4,20 juta jiwa.
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 119
47,97
38,70 37,90 38,40 37,30 36,20 35,10
39,3037,17
0
10
20
30
40
50
60
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun
Ju
mla
h P
en
du
du
k M
isk
in
(ju
ta j
iwa
)
Sumber: BPS, diolah dari data Susenas Modul Konsumsi tahun 1999-2007
Gambar 2. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Periode 1999-2007
Berdasarkan informasi pada Gambar 2, jumlah penduduk miskin tahun 2007
sebesar 37,17 juta jiwa. Periode waktu yang digunakan BPS untuk menghitung jumlah
penduduk miskin pada tahun 2007 adalah Maret 2006 – Maret 2007. Pada periode 2006-
2007 terjadi penurunan jumlah penduduk miskin, hal ini dikarenakan pada periode tersebut
sebagian besar program pengentasan kemiskinan dari pemerintah dianggap cukup berhasil
menurunkan jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Karakteristik Penduduk Miskin di Lima Belas Provinsi Tahun 2007
Berdasarkan kelima karakteristik sebagian besar penduduk miskin di 15 provinsi
pada tahun 2007 cenderung mengeluarkan pendapatannya yang masih rendah untuk
konsumsi makanan, sehingga biaya pendidikan, kesehatan, dan rumah tinggal kurang
mendapatkan perhatian. Sebagian besar penduduk miskin di 15 provinsi cenderung
berpendidikan rendah (SD dan SLTP), sehingga penduduk miskin tersebut sulit untuk
mendapatkan pekerjaan formal.
Meskipun nilai APS (umur 7-12 tahun dan 13-15 tahun) dan angka melek huruf
cukup tinggi tetapi tidak cukup membantu penduduk miskin di 15 povinsi untuk keluar dari
masalah kemiskinan. Pendidikan yang rendah menyebabkan sebagian besar penduduk
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
120 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
miskin bekerja di sektor pertanian dan pekerjaan informal. Hal ini dikarenakan pekerjaan
di sektor pertanian dan pekerjaan informal tidak mengsyaratkan harus berpendidikan
tinggi. Kondisi ini akan menyebabkan pendapatan sebagian besar penduduk miskin di 15
provinsi cenderung rendah.
Mahalnya biaya tenaga kesehatan moderen menyebabkan sebagian penduduk
miskin di 15 provinsi cenderung menggunakan tenaga kesehatan tradisional yang lebih
murah daripada tenaga kesehatan moderen. Sebagian besar penduduk miskin di 15 provinsi
tidak menggunakan KB. Hal ini dapat mengakibatkan pertumbuhan penduduk meningkat
sehingga penduduk miskin yang bekerja mendapat tambahan beban tanggungan.
Penggunaan air bersih dan kepemilikan jamban di 15 provinsi masih sangat rendah,
hal ini menyebabkan sebagian besar penduduk miskin mudah terserang penyakit sehingga
penduduk miskin tersebut harus mengeluarkan biaya kesehatan. Jadi, setiap karakteristik
kemiskinan penduduk miskin di 15 provinsi tersebut saling berkaitan.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan Secara Makro di Lima Belas Provinsi
Tahun 2007
Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap kemiskinan diperoleh dengan cara
mereduksi 18 variabel yang telah diidentifikasikan. Setelah dilakukan penilaian kelayakan
variabel dengan cara menguji hipotesis yang menyatakan bahwa antar variabel asal tidak
berkorelasi, langkah berikutnya adalah menguji tingkat kelayakan data untuk mengetahui
apakah data dapat dilakukan proses analisis selanjutnya. Berikut hasil pengujian kelayakan
apakah data dapat dianalisis lebih lanjut.
Tabel 2. KMO and Bartlett's Test(a)
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling
Adequacy. .824
Bartlett's Test of
Sphericity
Approx. Chi-Square 6096.457
Df 153
Sig. .000
a Based on correlations
Berdasarkan informasi pada Tabel2, diketahui nilai Measure of Sampling Adequacy
(MSA) sebesar 0,824 (lebih besar dari 0,50) yang menunjukkan bahwa data baik untuk
dianalisis lebih lanjut dengan AKU maupun analisis faktor. Nilai Bartlett’s Test of
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 121
Sphericity sebesar 6096,457 dengan nilai signifikansi 0,000 yang menunjukkan bahwa
hipotesis yang menyatakan variable tidak berkorelasi ditolak pada tingkat signifikansi 5%,
berarti variabel-variabel tersebut memang berkorelasi.
Langkah selanjutnya, melihat nilai MSA pada setiap variabel yang dianalisis. Nilai
MSA ini dapat dilihat pada tabel anti-image correlation, nilai MSA ditunjukan pada
diagonal anti-image correlation. Nilai MSA ini berguna untuk mengetahui apakah sebuah
variabel sudah memiliki kecukupan observasi, agar dapat dilanjutkan dengan AKU.
Delapan belas variabel yang diteliti mempunyai nilai MSA > 0,50, sehingga 18 variabel
tersebut dapat digunakan untuk analisis selanjutnya.
Berdasarkan informasi tabel Communalities, komponen utama yang terbentuk
mampu menjelaskan keragaman semua variabel asal dengan porporsi yang cukup besar.
Variabel persalinan anak pertama mempunyai komunalitas yang paling besar dibandingkan
17 variabel lainnya, yaitu sebesar 0,966. Hal ini menunjukkan bahwa sebesar 96,60%
keragaman variabel persalinan pertama dapat dijelaskan oleh KU yang terbentuk. Variabel
KB mempunyai nilai komunalitas terkecil, yaitu sebesar 0,043. Hal ini menunjukkan
bahwa sebesar 4,30% keragaman variabel KB yang dapat dijelaskan oleh KU yang
terbentuk.
Tabel Total Variance Explained menunjukkan jumlah KU yang terbentuk. Delapan
belas variabel asal direduksi menjadi 3 KU. Ketiga KU tersebut mampu secara bersama-
sama menerangkan persentase keragaman total variabel asal sebesar 82,997%. Menurut
Johnson (2002), jumlah KU yang dipilih sudah cukup memadai jika jumlah KU tersebut
mempunyai persentase keragaman kumulatif tidak kurang dari 80% total keragaman nilai-
nilai dari variabel asal.
Ketiga KU yang terbentuk menghasilkan loading factor yang sudah tidak
berkorelasi satu sama lain dan nilai-nilainya merupakan koefisien korelasi antar variabel
asal dengan KU tersebut. Hasil pengolahan yang dihasilkan belum dapat digunakan untuk
menentukan variabel asal mana yang masuk ke dalam masing-masing KU.
Variabel-variabel asal yang dominan pada masing-masing KU (selanjutnya disebut
faktor utama) dilakukan rotasi pada matriks loading factornya. Proses rotasi pada
penelitian ini menggunakan rotasi varimax. Variabel asal dominan mempunyai rotasi yang
relatif kuat dengan faktor utama yang disusunnya.
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
122 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
Tabel 3. Rotated Component Matrix
Variabel Component
1 2 3
TidakTamatSD -.335 -.592 -.218
SLTP .074 .548 .103
SLTA .496 .293 .211
TidakBekerja .588 .259 .174
PekerjaInformal -.871 -.345 -.070
PekerjaFormal .846 .328 .041
PekerjaPertanian -.929 -.272 -.136
PekerjaBukanPertanian .933 .272 .117
KonsumsiMakanan -.565 -.353 -.266
AngkaMelek15smp24 .205 .488 .145
AngkaMelek15smp55 .203 .485 .118
APS7smp12 .221 .500 .139
APS13smp15 .245 .511 .119
PersalinanPertama .406 .887 .121
PersalinanTerakhir .416 .881 .104
KB .134 .133 -.086
AirBersih .546 .213 .578
JambanSendiri .146 .451 .814
Berdasarkan nilai loading factor hasil rotasi, setiap faktor utama dapat
diinterpretasikan sebagai berikutdengan ketentuan variabel asal akan masuk ke sebuah
faktor utama berdasarkan nilai korelasinya yang terbesar (tanda positif atau negatif
diabaikan).
a. Faktor utama pertama berkorelasi cukup tinggi dengan variabel tidak bekerja, status
pekerjaan informal, status pekerjaan formal, pekerjaan sektor pertanian, pekerjaan
sektor bukan pertanian, dan pengeluaran per kapita untuk makanan. Meskipun, variabel
berpendidikan minimal SLTA dan KB tidak berkorelasi tinggi dengan faktor utama
pertama tetapi karena kontribusi kedua variabel tersebut paling besar untuk faktor
utama pertama dibandingkan kontribusi kedua variabel tersebut terhadap faktor utama
lainnya, maka kedua variabel tersebut tetap akan dimasukkan ke dalam faktor utama
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 123
pertama. Lima variabel dari delapan variabel asal yang memberikan kontribusi terbesar
merupakan karakteristik ketenagakerjaan, maka faktor utama pertama dinamakan
faktor pekerjaan.
b. Faktor utama kedua yang terbentuk berkorelasi cukup tinggi dengan variabel tidak
tamat SD, APS, dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan. Meskipun, variabel
angka melek huruf tidak berkorelasi tinggi dengan faktor utama kedua tetapi karena
kontribusi variabel tersebut paling besar untuk faktor utama kedua dibandingkan
kontribusi variabel tersebut terhadap faktor utama lainnya, maka variabel tersebut tetap
akan dimasukkan ke dalam faktor utama kedua. Enam variabel dari delapan variabel
asal pembentuk faktor utama kedua merupakan karakteristik pendidikan, maka faktor
utama kedua dinamakan faktor pendidikan.
c. Faktor utama ketiga yang terbentuk berkorelasi cukup tinggi dengan variabel air bersih
dan kepemilikan jamban. Kedua variabel asal tersebut memberikan sumbangan relatif
besar dalam membangun faktor utama ketiga dibandingkan dengan variabel asal yang
lain. Oleh karena itu, faktor utama ketiga dinamakan faktor rumah tinggal.
Hubungan Antara Setiap Faktor Utama dengan P1 Tahun 2007
Variabel respon akan bernilai 1 jika nilai P1 kabupaten/kota melebihi nilai P1
Indonesia (2,99) dan akan bernilai 0 jika nilai P1 kabupaten/kota kurang dari samadengan
nilai P1 Indonesia. Variabel penjelas yang akan digunakan adalah faktor-faktor utama yang
terbentuk, yaitu: faktor pekerjaan, faktor pendidikan, dan faktor rumah tinggal.
Taraf nyata yang digunakan dalam uji signifikan model dan uji parameter adalah
0,05. Pada uji signifikan model jika nilai signifikan lebih kecil atau samadengan 0,05 maka
dikatakan model tersebut sudah tepat atau sesuai. Selain itu, tingkat signifikan juga dapat
dilihat melalui nilai statistik G2 yang dibandingkan dengan . Jika nilai statistik G
2
lebih besar dari nilai , maka model tersebut dikatakan sudah tepat karena paling
sedikit ada satu variabel penjelas yang berpengaruh terhadap variabel respon dalam model.
Pada uji parameter model, jika nilai signifikan suatu variabel lebih kecil atau samadengan
0,05 maka variabel tersebut berpengaruh secara nyata terhadap model.
Metode yang digunakan adalah metode enter. Penelitian ini menggunakan faktor-
faktor utama sebagai variabel penjelas. Jika ada faktor utama yang tidak signifikan
memengaruhi variabel respon, maka faktor utama tersebut tidak dihilangkan, tetapi tetap
digunakan dalam model dan tujuan dari penelitian ini melihat hubungan antara setiap
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
124 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
faktor utama dengan P1. Nilai Nagelkerke R Square sebesar 0,484 menjelaskan bahwa
ketiga faktor utama dapat menjelaskan P1 sebesar 48,4% dan 51,16% dijelaskan oleh selain
ketiga faktor utama.
Uji G2
sebesar 97,962 dan lebih besar dari (7,81). Keputusan tolak
sehingga dapat disimpulkan bahwa paling sedikit ada satu faktor utama yang berpengaruh
secara signifikan terhadap P1. NilailikelihoodinidapatdilihatpadatabelOmnibus Test of
Model Coefficients.
UjiWaldmenunjukkanbahwahanyafaktorpekerjaandanfaktorpendidikan yang
signifikanberpengaruhterhadap
P1sedangkanfaktorrumahtinggaltidakberpengaruhsecarasignifikanterhadap P1,
tetapifaktorrumahtinggaltetapakandimasukkandalam model.
Tabel4. Variables in the Equation
B S.E. Wald Df Sig. Exp(B)
Step 1(a) FAC1_1 -1.319 .202 42.541 1 .000 .268
FAC2_1 -1.327 .238 30.999 1 .000 .265
FAC3_1 .036 .184 .039 1 .843 1.037
Constant .977 .205 22.707 1 .000 2.656
a Variable(s) entered on step 1: FAC1_1, FAC2_1, FAC3_1.
dimana:
FAC1_1 = faktor pekerjaan
FAC2_1 = faktor pendidikan
FAC3_1 = faktor rumah tinggal
Berdasarkan informasi Tabel 4, akan diperoleh persamaan peluang regresi logistik
sebagai berikut.
1 2 3
1 2 3
exp(0,977 1,319 1,327 0,036 )
1 exp(0,977 1,319 1,327 0,036 )i
F F Fx
F F F
Sehingga transformasi logit dari persamaan peluang regresi logistik di atas adalah
1 2 30,977 1,319 1,327 0,036ig x F F F
Nilai koefisien faktor pekerjaan yang negatif menunjukkan bahwa hubungan faktor
pekerjaan dengan P1 adalah negatif. Jika nilai faktor pekerjaan meningkat akan
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 125
menyebabkan peluang P1 akan menurun dan mendekati nol, hal ini menunjukkan bahwa
nilai P1 akan berpeluang besar mempunyai nilai di bawah atau samadengan nilai P1
Indonesia. Nilai peluang P1 yang menurun ini menunjukkan bahwa sebagian besar
penduduk miskin di 15 provinsi pada tahun 2007 cenderung mengalami peningkatan
pengeluaran sehingga keadaan penduduk miskin tersebut cenderung lebih baik daripada
keadaan sebelumnya.
Nilai koefisien faktor pendidikan yang negatif menunjukkan bahwa hubungan
faktor pendidikan dengan P1 adalah negatif. Jika nilai faktor pendidikan meningkat akan
menyebabkan peluang P1 akan menurun dan mendekati nol, hal ini menunjukkan bahwa
nilai P1 akan berpeluang besar mempunyai nilai di bawah atau samadengan nilai P1
Indonesia. Nilai peluang P1 yang menurun ini menunjukkan bahwa sebagian besar
penduduk miskin di 15 provinsi tahun 2007 cenderung mengalami peningkatan
pengeluaran sehingga keadaan penduduk miskin tersebut cenderung lebih baik daripada
keadaan sebelumnya.
Nilai koefisien faktor rumah tinggal yang positif menunjukkan bahwa hubungan
faktor rumah tinggal dengan P1 adalah positif. Jika nilai faktor rumah tinggal meningkat
akan menyebabkan peluang P1 akan meningkat dan mendekati 1, hal ini menunjukkan
bahwa nilai P1 akan berpeluang besar mempunyai nilai di atas P1 Indonesia. Nilai peluang
P1 yang meningkat ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk miskin di 15 provinsi
tahun 2007 cenderung mengalami penurunan pengeluaran sehingga keadaan penduduk
miskin tersebut cenderung lebih buruk dari keadaan sebelumnya.
Faktor rumah tinggal ini berlawanan dengan teori, tetapi berdasarkan uji parsial
faktor rumah tinggal ini tidak signifikan memengaruhi P1.Oleh karena itu, anomali yang
terjadi pada faktor rumah tinggal terhadap P1 dalam penelitian ini tidak akan
dipermasalahkan.
IV. KESIMPULAN dan SARAN
Berdasarkan analisis yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut.
a. Perkembangan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada periode 1999-2007 tampak
berfluktuasi dari tahun ke tahun dan ada kecenderungan menurun dari 47,97 juta jiwa
pada tahun 1999 menjadi 37,17 juta jiwa pada tahun 2007.
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
126 TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011
b. Pada tahun 1999 nilai P1 cenderung menurun dari 4,33 menjadi 2,99 pada tahun 2007,
akan tetapi selama periode 1999-2007 nilai P1 berfuktuasi dari tahun ke tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa pada tahun 2007 pengeluaran sebagian besar penduduk miskin
cenderung lebih tinggi dibandingkan tahun 1999.
c. Karakteristik-karakteristik penduduk miskin di 15 provinsi pada tahun 2007, antara
lain: karakteristik pangan, pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, dan rumah tinggal.
d. Sebagian besar penduduk miskin di 15 provinsi pada tahun 2007 cenderung memiliki
ciri-ciri seperti: pengeluaran per kapita untuk makanan lebih besar daripada
pengeluaran per kapita untuk non-makanan, pendidikan masih rendah, bekerja di sektor
pertanian, status pekerjaan informal, ada yang tidak bekerja, belum menggunakan
tenaga kesehatan modern untuk persalinan anak pertama maupun persalinan anak
terakhir, belum menggunakan alat KB, tidak menggunakan air bersih, dan tidak
memiliki jamban.
e. Sebagian besar penduduk miskin di 15 provinsi pada tahun 2007 menggunakan
sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi makanan sehingga pengeluaran untuk
pendidikan, kesehatan, dan rumah tangga kurang mendapatkan perhatian. Pendidikan
yang rendah mengakibatkan penduduk miskin tidak dapat bersaing dengan penduduk
tidak miskin untuk bekerja pada pekerjaan formal sehingga penduduk miskin
cenderung tidak bekerja atau memilih bekerja di sektor pertanian, dan bekerja dengan
status pekerjaan informal.
f. Delapan belas variabel asal yang mewakili kelima karakteristik kemiskinan penduduk
miskin dapat direduksi menjadi 3 faktor utama. Ketiga faktor utama tersebut adalah
faktor pekerjaan, faktor pendidikan, dan faktor rumah tinggal.
g. Hubungan antara P1 dengan faktor pekerjaan dan faktor pendidikan adalah negatif.
Sedangkan hubungan P1 dengan faktor rumah tinggal adalah positif. Berdasarkan hasil
penelitian faktor rumah tinggal tidak signifikan memengaruhi nilai P1.
Beberapa saran yang akan diajukan adalah sebagai berikut.
a. Pemerintah diharapkan menurunkan biaya pendidikan, memperbanyak lapangan
pekerjaan formal dan sektor bukan pertanian yang bersifat padat karya. Pemerintah
diharapkan menjaga harga bahan makanan agar tetap stabil dan akan lebih baik jika
harga bahan makanan turun. Pemerintah sebaiknya lebih bersosialisasi kepada
penduduk miskin tentang KB.
JURNAL APLIKASI STATISTIKA & KOMPUTASI STATISTIK, UPPM - STIS
TAHUN 3, VOLUME 2, DESEMBER 2011 127
b. Pemerintah diharapkan meningkatkan fasilitas kesehatan dan pelayanan tenaga
kesehatan modern sampai daerah terpencil, menurunkan biaya tenaga kesehatan
modern. Pemerintah diharapkan memperbaiki infrastruktur yang telah rusak dan
menambah infrastruktur, seperti jalan di wilayah-wilayah terpencil.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik [BPS]. (2008). Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan
Tahun 2008. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik [BPS]. (2008). Data dan InformasiKemiskinan Tahun 2007, Buku 1:
Provinsi. Jakarta: BPS.
Budi, S. (19 November 2008). Gambaran Kemiskinan Indonesia. 12 April 2009.
http://[email protected].
Johnson, Richard A. 2002. Applied Multivariate Statistical Analysis. New Jersey: Prentice
Hall.
Hosmer, DW, Lemeshow S. (1989). Applied Logistic Regression. USA: A Wiley
Interscience Publication.
Ravallion, Martin. (1998). Poverty Lines in Theory and Practice: Living Standards
Measurement Study. World Bank: working paper no. 13.