Post on 15-Feb-2021
transcript
ANALISIS IMPLEMENTASI MODEL COGNITIVE
APPRENTICESHIP DENGAN METODE SCAFFOLDING
TERHADAP KEMAMPUAN MATEMATIKA SISWA
Skripsi
Disusun oleh:
DEA RAHMA AULIA
11140170000023
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
i
ABSTRAK
DEA RAHMA AULIA (11140170000023). “Analisis Implementasi Model
Cognitive Apprenticeship Dengan Metode Scaffolding Terhadap Kemampuan
Matematika Siswa”. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Juli 2020.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses pembelajaran matematika
dengan menggunakan Model Cognitive Apprenticeship dan Metode Scaffolding serta
mengetahui efektifitas pembelajaran matematika jika Model Cognitive Apprenticeship
dikombinasikan dengan menggunakan metode Scaffolding. Metode penelitian ini
adalah metode kepustakaan (library research) dengan sumber data berupa artikel yang
terdiri dari 3 artikel mengenai pembelajaran dengan Model Cognitive Apprenticeship
dan 3 artikel mengenai pembelajaran dengan Metode Scaffolding. Teknik analisis data
menggunakan metode analisis isi, untuk mengkaji dan menelaah kesesuaian antara
teori Model Cognitive Apprenticeship dan Metode Scaffolding dalam proses
pembelajaran matematika. Hasil analisis data menunjukkan bahwa Model Cognitive
Apprenticeship yang dikombinasikan dengan Metode Scaffolding tidak dirasa lebih
baik. Hal tersebut dikarenakan Scaffolding yang terdapat dalam langkah Model
Cognitive Apprenticeship sudah cukup jelas. Tanpa harus menggunakan metode
scaffolding, bantuan dapat diberikan secara bertahap dengan menggunakan komponen
sequencing yang terdapat dalam model Cognitive Apprenticeship.
Kata Kunci: Model Cognitive Apprenticeship, Metode Scaffolding, Penelitian
Kepustakaan, Pembelajaran Matematika.
ii
ABSTRACT
DEA RAHMA AULIA (11140170000023). “Analysis of Implementation of
Cognitive Apprenticeship Model with Scaffolding Method in Mathematics
Learning”. Thesis of Mathematics Education Department, Faculty of Tarbiya and
Teaching Science, Syarif Hidayatullah State Islamic University of Jakarta, July 2020.
The purpose of this research is to analyze the process of learning mathematics
using the Cognitive Apprenticeship Model and the Scaffolding Method and determine
the effectiveness of mathematics learning if the Cognitive Apprenticeship Model is
combined with the Scaffolding Method. The method of this research is library research
with data sources in the form of article consists of 3 articles about the learning with
Cognitive Apprenticeship Model and 3 articles about the learning with Scaffolding
Method. The data analysis technique uses content analysis method, to study and to
examine the suitability among Cognitive Apprenticeship Model’s theory and
Scaffolding Method’s theory in the process of learning mathematics. The results of data
analysis indicate that the Cognitive Apprenticeship Model combined with the
Scaffolding Method did not feel better. This is because the scaffolding contained in the
Cognitive Apprenticeship Model’s step is quite clear. Without having to use the
scaffolding method, assistance can be given in stages using the sequencing components
contained in the Cognitive Apprenticeship Model.
Keywords: Cognitive Apprenticeship Model, Scaffolding Method, Library Research,
Mathematics Learning.
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmaanirrohiim
Alhamdulillahirobbil’aalaamiin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan segala rahmat, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis diberikan
kesempatan, kemudahan dan kelancaran untuk menyelesaikan skripsi ini. Shalawat
serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga,
sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Selama proses penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa kemampuan dan
pengetahuan penulis sangat terbatas. Namun, penulis mendapatkan banyak bantuan,
bimbingan, dan doa dari berbagai pihak yang sangat membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih
sebanyak-banyaknya kepada:
1. Ibu Dr. Sururin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Gelar Dwirahayu, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan selaku
Dosen Pembimbing II yang selalu mengingatkan penulis, selalu memberikan
bimbingan, arahan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah selalu memberikan kemuliaan dan keberkahan kepada Ibu dan
keluarga.
3. Ibu Gusni Satriawati, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Finola Marta Putri, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing I yang memberikan
masukan dan arahan kepada penulis selama pembuatan skripsi ini. Semoga Allah
selalu memberikan kemuliaan dan keberkahan kepada Ibu dan keluarga.
5. Bapak Firdausi, S.Si, M.Pd., selaku Dosen Penasihat Akademik yang telah
memberikan bimbingan dan arahan selama perkuliahan aktif hingga akhir masa
iv
studi penulis. Semoga Allah selalu memberikan kemuliaan dan keberkahan kepada
Bapak dan keluarga.
6. Ibu Moria Fatma, M.Si., selaku Dosen Pembimbing PPKT yang telah memberikan
bimbingan dan arahan selama pelaksanaan PPKT berlangsung. Semoga Allah selalu
memberikan kemuliaan dan keberkahan kepada Ibu dan keluarga.
7. Seluruh Dosen dan Staff Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan. Semoga ilmu yang Bapak
dan Ibu berikan dapat bermanfaat serta menjadi pahala yang senantiasa mengalir.
8. Kepada semua peneliti artikel yang digunakan sebagai referensi dalam penulisan
skripsi ini. Dengan adanya artikel-artikel tersebut, penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
9. Keluarga tercinta, khususnya kedua orang tua penulis Ayahanda Fudoli dan Ibunda
Ely Yusnar yang senantiasa mendoakan, memberikan dukungan baik moril dan
materil kepada penulis selama ini. Adik kesayangan penulis satu-satunya Nanda
Kurnia yang senantiasa menjadi penyemangat dan menemani penulis selama ini.
10. Sahabat-sahabat tercinta selama perkuliahan, Carlolita Hardani dan Himmatul
Aliyyah. Terima kasih telah menjadi sahabat terbaik dari awal perkuliahan yang
senantiasa menjadi tempat berbagi, menemani dan saling menyemangati, bersama
kalian kuliah terasa menyenangkan. Kalian partner travelling terbaik. Semoga
kalian senantiasa diberikan kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan
skripsi.
11. Sahabat tercinta Muchamad Eris Rizqul Ulum, S.T., yang senantiasa memberikan
semangat dan mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsi. Terima kasih
untuk semua dukungan moril dan materil yang diberikan, itu semua teramat berarti
bagi penulis. Semoga Allah memberikan kemudahan dalam tesismu dan
dimudahkan langkahmu untuk meraih cita-cita.
12. Seluruh teman-teman Jurusan Pendidikan Matematika 2014 A dan B yang telah
berbagi ilmu pengetahuan selama perkuliahan. Terima kasih kepada Sari Juniatun
v
Nikmah, S.Pd., yang selama perkuliahan telah menjadi tutor Belajar Bareng Sari
dengan sabar mengajar sehingga penulis dapat memahami materi perkuliahan.
Semoga kalian semua kedepannya bisa sukses dan meraih cita-cita kalian.
13. Teman seperjuangan selama bimbingan Kak Kurnia Nihaya, S.Pd., yang selalu
sabar memberikan masukan kepada penulis serta selalu mengingatkan penulis untuk
bimbingan. Semoga Allah memberi kemudahan kepada kakak dan kita tetap bisa
menjalin silaturahmi.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua pihak yang namanya tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu. Semoga semua doa, bantuan, dukungan, masukan dan
arahan yang diberikan kepada penulis dibalas oleh Allah SWT. Semoga Allah selalu
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Aamiin yaa robbal’alamin.
Demikian yang dapat penulis ucapkan, penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam skripsi ini. Karena itu, penulis menerima kritikan yang membangun
dan saran dari siapa saja yang membaca skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi orang lain khususnya yang telah membaca skripsi ini. Akhir
kata penulis ucapkan mohon maaf dan terima kasih.
Jakarta, Juli 2020
Penulis
Dea Rahma Aulia
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... x
BAB I .......................................................................................................................... 11
PENDAHULUAN .................................................................................................. 11
A. Latar Belakang ........................................................................................... 11
B. Identifikasi Masalah ................................................................................... 18
C. Pembatasan Masalah ................................................................................. 18
D. Rumusan Masalah ...................................................................................... 19
E. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 19
F. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 19
BAB II ........................................................................................................................ 21
KAJIAN TEORI .................................................................................................... 21
A. Acuan Teori ................................................................................................. 21
B. Hasil Penelitian yang Relevan ................................................................... 41
C. Kerangka Berpikir ..................................................................................... 42
BAB III ....................................................................................................................... 45
METODOLOGI PENELITIAN .......................................................................... 45
A. Jenis Penelitian ........................................................................................... 45
B. Sumber Data ............................................................................................... 46
C. Fokus Penelitian ......................................................................................... 47
D. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 47
vii
E. Teknik Analisis Data .................................................................................. 48
BAB IV ....................................................................................................................... 50
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................................. 50
A. Deskripsi Data ............................................................................................. 50
B. Temuan Hasil Analisis ............................................................................... 51
C. Deskripsi Data Penelitian .......................................................................... 60
D. Pembahasan dan Temuan Penelitian ....................................................... 73
BAB V ......................................................................................................................... 85
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 85
A. Kesimpulan ................................................................................................. 85
B. Saran ............................................................................................................ 86
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 87
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. 1 Statistik Perbandingan Nilai Matematika per Tahun Pelajaran 2017,
2018, 2019 ................................................................................................ 13
Tabel 4. 1 Sumber Data Penelitian .......................................................................... 50
Tabel 4. 2 .................................................................................................................... 71
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. 1 Rata-rata Nilai Ujian Nasional 2019 ................................................. 12
Gambar 2. 1 Bagan Kerangka Berpikir .................................................................. 44
Gambar 4.1 ................................................................................................................ 76
Gambar 4.2 ................................................................................................................ 76
Gambar 4.3 ................................................................................................................ 77
Gambar 4.4 ................................................................................................................ 78
file:///C:/Users/AA%20Eris/Desktop/SKRIPSI%20DEA/SKRIPSI/SIDANG%20Bismillah/Dea%20Rahma%20Aulia%2011140170000023.docx%23_Toc49335866
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 ................................................................................................................ 92
Lampiran 2 .............................................................................................................. 101
Lampiran 3 .............................................................................................................. 106
Lampiran 4 .............................................................................................................. 111
Lampiran 5 .............................................................................................................. 123
Lampiran 6 .............................................................................................................. 129
Lampiran 7 .............................................................................................................. 144
Lampiran 8 .............................................................................................................. 152
11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Matematika merupakan ilmu dasar bagi perkembangan ilmu-ilmu lainnya. Oleh
karena itu, matematika merupakan ilmu yang penting dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Ruseffendi menyatakan bahwa matematika dimulai dari
unsur-unsur yang tidak terdefinisikan (undefined terms, basic terms, primitive terms),
kemudian pada unsur yang didefinisikan, lalu aksioma/postulat, dan akhirnya pada
teorema.1 Matematika merupakan ilmu yang sistematis sehingga menuntut orang yang
mempelajarinya untuk terus berkembang dengan konsep yang telah dimilikinya.
Fungsi mata pelajaran matematika sebagai: alat, pola pikir, dan ilmu pengetahuan.2
Matematika dapat dijadikan sebagai alat untuk memecahkan masalah yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari. Selain itu, matematika merupakan suatu ilmu
pengetahuan yang memiliki berbagai macam rumus dan teorema dan juga mengajarkan
pola pikir yang sistematis untuk menyelesaikan suatu masalah. Hal ini sejalan dengan
pendapat Hudojo, matematika adalah kumpulan dari ide-ide abstrak yang diberi
simbol-simbol yang tersusun secara jelas.3 Oleh karena itu, matematika dimulai dari
pemahaman konsep hingga bentuk kompleks yang digunakan untuk memecahkan
masalah.
Melihat pentingnya matematika bagi kehidupan, maka matematika juga
merupakan salah satu ilmu yang paling penting. Di Indonesia, matematika bahkan
menjadi salah satu mata pelajaran yang masuk dalam Ujian Nasional (UN).
1 Euis Eti Rohaeti, “Analisis Pembelajaran Konsep Esensial Matematika Sekolah Menengah
Melalui Pendekatan Kontekstual Socrates”, Infinity, Vol. 1, No. 2, September 2012, h. 187. 2 Vindarini Novianti, “Pengaruh Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) Dan
Gender Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematika Siswa”, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2014, h. 1. 3 Hasratudin, “Pembelajaran Matematika Sekarang dan yang akan Datang Berbasis Karakter”,
Jurnal Didaktik Matematika, Volume 1 No. 2, 2014, h. 32.
12
Hal ini menurut Badan Standar Nasional Pendidikan, mata pelajaran yang termuat
dalam Ujian Nasional pada berbagai tingkat pendidikan formal yaitu matematika.4
Namun pada kenyataannya, hasil belajar siswa dalam matematika masih
rendah. Berdasarkan data rata-rata nilai Ujian Nasional menunjukkan bahwa nilai
matematika masih dibawah 50. Berikut gambaran statistik nilai capaian Ujian Nasional
pada tahun 2019 tingkat SMP dan SMA IPA/IPS5:
Gambar 1. 1 Rata-rata Nilai Ujian Nasional 2019
4 Ines Setiawati Putri, “Desain Didaktis Pembelajaran Matematika Untuk Mengatasi Hambatan
Epistimologis Pada Konsep Program Linear Di SMA”, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 1. 5 Kemdikbud, Nilai Rata-rata Ujian Nasional 2019, diakses pada April 2020,
(https://hasilun.puspendik.kemdikbud.go.id/)
13
Selain itu, dalam waktu tiga tahun terakhir, yakni pada tahun 2017, 2018, dan
2019 rata-rata nilai matematika pada Ujian Nasional hanya pada kisaran 47,17. Nilai
rata-rata tertinggi dicapai pada tahun 2017 dengan nilai sebesar 50,31. Kemudian, pada
tahun 2018 mengalami penurunan sebesar 6,97 sehingga nilai rata-ratanya menjadi
43,34. Pada tahun 2019, kembali naik hanya sebesar 4,53 sehingga nilai rata-ratanya
menjadi 47,87. Meski mengalami peningkatan pada tahun 2019, nilai rata-rata secara
keseluruhan masih dalam kategori kurang. Selain itu, besarnya standar deviasi pada
tiap tahunnya menunjukkan besarnya simpangan nilai dan persebaran data. Artinya
semakin besar standar deviasi semakin beragam nilai yang diperoleh siswa. Hal ini
dapat dilihat dari nilai terendah dan tertinggi siswa setiap tahunnya. Pada tahun 2017,
siswa memperoleh nilai terendah sebesar 2,50. Nilai tersebut memiliki selisih cukup
besar dengan nilai tertinggi yang diperoleh yaitu sebesar 100,00. Hal ini menunjukkan
masih besarnya ketimpangan yang terjadi dan masih rendahnya pemahaman siswa
dalam pelajaran matematika. Statistik perbandingan nilai matematika per tahun
pelajaran 2017, 2018, dan 2019 dapat dilihat pada gambar berikut.6
Tabel 1. 1 Statistik Perbandingan Nilai Matematika per Tahun Pelajaran 2017,
2018, 2019
6 Kemdikbud, Statistik Perbandingan Nilai Matematika Ujian Nasional, diakses pada April
2020, (https://hasilun.puspendik.kemdikbud.go.id/)
14
Melihat rendahnya nilai matematika yang diperoleh siswa di Indonesia, perlu
menjadi perhatian utama bagi semua kalangan, terutama guru. Ruseffendi berpendapat
bahwa suatu aktivitas yang dilakukan dengan ceramah (mendengar) akan dapat diingat
oleh siswa hanya 20%, apabila disampaikan melalui penglihatan dapat diingat oleh
siswa sebesar 50%, dan apabila suatu kegiatan dilakukan dengan berbuat maka akan
diingat oleh siswa sebesar 75%.7 Maka dari itu, siswa perlu terlibat aktif untuk
membangun sendiri pengetahuannya. Hal ini sesuai dengan karakteristik pembelajaran
konstruktivisme yang dikemukakan Driver dan Bell, diantaranya (i) siswa tidak
dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (ii) belajar harus
mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (iii) pengetahuan
bukan sesuatu yang datang dari luar, melainkan dikonstruksi secara personal, (iv)
pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan
situasi lingkungan belajar, dan (v) kurikulum bukanlah sekadar hal dipelajari,
melainkan seperangkat pembelajaran, materi dan sumber.8 Berdasarkan karakteristik
pembelajaran konstruktivisme tersebut, situasi lingkungan belajar ikut terlibat dalam
proses pembelajaran. Selain itu, teori Vygotsky menekankan pada hakekat
sosiokultural pembelajaran, yaitu siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa
dan teman sebaya.9 Lev Semenovich Vygotsky menyatakan bahwa peserta didik dalam
mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial.10 Oleh karena
itu, penting bagi guru untuk menciptakan dan kondisi lingkungan yang mendukung
untuk kegiatan pembelajaran.
7 Candra Chisara, dkk, “Implementasi Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)
Dalam Pembelajaran Matematika”, Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika (Sesiomadika), 2018, h. 66. 8 Gunawan, “Peningkatan Pemahaman Konsep Matematika Dengan Penerapan Pembelajaran
Matematika Berbasis Konstruktivisme”, Skripsi FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014, h.
3. 9 Iis Holisin, “Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)”, Didaktis, Vol. 5, No. 3, Oktober,
2007, h. 48. 10 Adi Nur Cahyono, “Vygotskian Perspective: Proses Scaffolding untuk mencapai Zone of
Proximal Development (ZPD) Peserta Didik dalam Pembelajaran Matematika”, Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika, Yogyakarta, 2010, h. 443.
15
Menurut Permendikbud Nomor 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan
Dasar dan Menengah menetapkan bahwa kompetensi yang harus dicapai pada
pelajaran matematika adalah sebagai berikut:
1. Menunjukkan sikap logis, kritis, analitis, kreatif, cermat dan teliti,
bertanggung jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan
masalah.
2. Memiliki rasa ingin tahu, semangat belajar yang kontinu, rasa percaya diri,
dan ketertarikan pada matematika.
3. Memiliki rasa percaya pada daya dan kegunaan matematika, yang terbentuk
melalui pengalaman belajar.
4. Memiliki sikap terbuka, objektif dalam interaksi kelompok maupun aktivitas
sehari-hari.
5. Memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan matematika dengan
jelas.11
Berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2016 tersebut, salah satu
kompetensi yang harus dicapai pada pelajaran matematika adalah memiliki rasa
percaya pada daya dan kegunaan matematika, yang terbentuk melalui pengalaman
belajar. Artinya pengalaman belajar menjadi penghubung antara matematika dengan
kehidupan sehari-hari, sehingga pemahaman yang diperoleh akan lebih bermakna.
Tujuan pembelajaran matematika di jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah
untuk mempersiapkan dan membekali peserta didik atau siswa dengan kemampuan
berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerjasama.12
Selain itu, Japa dan Suarjana menyatakan bahwa, “dibelajarkannya matematika kepada
semua peserta didik mulai dari tingkat sekolah dasar adalah untuk membekali mereka
11 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan
Menengah, Jakarta, 2016, h. 137. 12 Indah Nursuprianah dan R.A. Fitriyah R, “Hubungan Pola Berpikir Logis Dengan Hasil
Belajar Matematika Siswa”, Eduma Mathematics Education Learning and Teaching, Vol. 1, No. 2,
2012, h. 16.
16
berbagai kemampuan seperti: kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan
kreatif, serta kemampuan bekerja sama”.13 Dengan mempelajari matematika, artinya
siswa melatih kemampuan berpikir mereka menjadi logis, analitis, sistematis, kritis,
kreatif dan memiliki kemampuan bekerja sama.
Dalam undang-undang tentang sistem pendidikan nasional nomor 20 Tahun
2003 pasal 37 yang menyatakan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah di
Indonesia wajib memuat mata pelajaran matematika yang memiliki peranan penting
dalam berbagai ilmu untuk memajukan daya pikir manusia.14 Siti Partini menerangkan
bahwa daya pikir disebut juga sebagai kemampuan kognitif, sering diartikan sebagai
daya atau kemampuan seorang anak untuk berfikir dan mengamati, melihat hubungan-
hubungan, suatu kegiatan yang mengakibatkan seorang anak memperoleh pengetahuan
yang banyak didukung oleh kemampuannya menjelajah lingkungan, kemampuan
mengkoordinasikan motorik dan kemampuan bertanya.15 Ini berarti, matematika lebih
dari sekedar ilmu hitung, namun juga merupakan alat untuk berpikir. Dengan kata lain,
tercapainya suatu kompetensi matematika siswa jika mereka mampu berpikir logis,
analitis, dan sistematis.
Beberapa model pembelajaran telah dikembangkan untuk mengkonstruksi
pengetahuan dalam proses pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang
memfokuskan siswa belajar dengan mengkonstruksi pengetahuan pada proses
pembelajarannya adalah Cognitive Apprenticeship. Cognitive Apprenticeship pada
dasarnya untuk mendukung pembelajaran dalam ranah kognitif dengan beberapa
metode diantaranya scaffolding, modelling dan fading yang mengacu pada teori
13 Kd. Agus Mustika dan Pt. Nanci Riastini, “Pengaruh Model Polya Terhadap Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas V SD”, International Journal of Community Service
Learning, Vol. 1 (1), 2017, h. 31. 14 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/08/UU_no_20_th_2003.pdf),
diakses pada Maret 2020, h. 18. 15 Rita Dwi Astuti, “Deskripsi Kemampuan Membilang Melalui Kegiatan Bermain Ular Tangga
Pada Anak TK Kelompok A Se-Gugus V Di Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten”, Skripsi
Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Negeri Yogyakarta, Oktober, 2013, h. 11.
17
belajar kontruktivis sosial.16 Pada Cognitive Apprenticeship memuat empat komponen,
salah satunya komponen sociology yang dapat mendukung pembelajaran melalui
pengalaman. Hal ini sejalan dengan karakteristik pembelajaran konstruktivisme.
Belajar matematika melalui pengalaman dapat membantu siswa melihat
matematika secara lebih nyata. Terlebih lagi matematika merupakan sesuatu yang
abstrak bagi siswa, sehingga siswa perlu diberikan gambaran mengenai kegunaan
matematika dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan karakterisitik
matematika antara lain, (1) memiliki kajian objek yang abstrak, (2) bertumpu pada
kesepakatan (3) berpola pikir deduktif, (4) konsisten dalam sistem, (5) memiliki simbol
yang kosong dari arti, dan (6) memperhatikan semesta pembicaraan. Namun terkadang
siswa membutuhkan bantuan dalam proses mengkonstruksi pemahamannya mengenai
matematika. Cognitive Apprenticeship mengacu pada proses dimana seseorang yang
sedang belajar tahap demi tahap memperoleh keahlian melalui interaksinya dengan
pakar.17 Oleh karena itu, model Cognitive Apprenticeship dapat dikombinasikan
dengan metode scaffolding.
Scaffolding berarti pemberian bantuan kepada anak selama tahap-tahap awal
perkembangannya dan mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan
kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah
anak dapat melakukannya.18 Dalam metode ini, siswa didorong untuk belajar melalui
keterlibatan aktif mereka sendiri. Namun dalam proses pembelajaran ini siswa
mendapat bantuan atau bimbingan dari guru agar mereka lebih terarah. Dengan bantuan
ini, diharapkan dapat tercapainya kompetensi matematika siswa.
16Vanessa Paz Dennen, “Cognitive Apprenticeship In Educational Practice: Research On
Scaffolding, Modeling, Mentoring, And Coaching As Intructional Strategies”, Florida State University,
2003. 17 Rudi Santoso Yohanes, ”Teori Vygotsky Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran
Matematika”, Widya Warta, No. 02, Tahun XXXIV, Juli, 2010, h. 128. 18 Rifqia Apriyanti, “Pengaruh Metode Penemuan dengan Menggunakan Teknik Scaffolding
Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa”, Skripsi Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011, h. 14.
18
Oleh sebab itu,dalam proses pembelajaran matematika siswa harus didorong
untuk aktif dan guru harus memiliki potensi untuk memancing siswa agar rasa ingin
tahunya menjadi tinggi dan mengembangkan pemahamannya sendiri.19 Model
Cognitive Apprenticeship dan metode scaffolding menjadi salah satu alternatif
pembelajaran matematika yang perlu dikaji. Oleh karena itu, berdasarkan uraian yang
telah dipaparkan maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Analisis Implementasi Model Cognitive Apprenticeship dengan Metode
Scaffolding terhadap Kemampuan Matematika Siswa”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, terdapat beberapa
permasalahan yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Rendahnya hasil belajar siswa dalam matematika.
2. Lemahnya kemampuan siswa dalam memahami konsep matematika.
3. Kurangnya keterlibatan aktif siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya.
4. Guru yang masih belum maksimal dalam memilih model pembelajaran yang
mendukung pengalaman belajar siswa.
C. Pembatasan Masalah
Berikut merupakan pembatasan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini.
1. Kajian pustaka mengenai pembelajaran dengan Cognitive Apprenticeship yang
dikembangkan oleh Allan Collins, John Seely Brown dan Susan E. Newman.
2. Analisis pada sumber data dari hasil penelitian yang menerapkan model
Cognitive Apprenticeship pada pembelajaran matematika.
3. Analisis pada sumber data dari hasil penelitian yang menerapkan metode
Scaffolding pada pembelajaran matematika.
19 Arini Ulfah Haidayati, “Melatih Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Dalam Pembelajaran
Matematika Pada Siswa Sekolah Dasar”, Terampil Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Dasar, Vol. 4,
No. 2, Oktober, 2017, h. 144-145.
19
D. Rumusan Masalah
Dari identifikasi masalah yang telah disebutkan, dapat dirumuskan masalah
yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana proses pembelajaran dengan Model Cognitive Apprenticeship
dalam pembelajaran matematika?
2. Bagaimana pembelajaran dengan metode Scaffolding dalam pembelajaran
matematika?
3. Bagaimana proses pembelajaran matematika dengan Model Cognitive
Apprenticeship dengan metode Scaffolding terhadap kemampuan matematika?
E. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah yang telah dijelaskan, maka tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut.
1. Menganalisis proses pembelajaran dengan Model Cognitive Apprenticeship
dalam pembelajaran matematika.
2. Menganalisis pembelajaran dengan metode Scaffolding dalam pembelajaran
matematika.
3. Menganalisis proses pembelajaran matematika dengan Model Cognitive
Apprenticeship dengan metode Scaffolding terhadap kemampuan matematika.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai pembelajaran menggunakan model Cognitive Apprenticeship metode
scaffolding dalam pembelajaran matematika dan dapat dikembangkan menjadi
penelitian eksperimen.
2. Bagi guru matematika, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan landasan teori
mengenai model Cognitive Apprenticeship dengan metode Scaffolding dalam
pembelajaran matematika.
20
3. Bagi peneliti, penelitian ini menambah wawasan mengenai model Cognitive
Apprenticeship metode Scaffolding pada pembelajaran matematika.
21
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Acuan Teori
Berikut ini akan dibahas mengenai landasan teori dari model Cognitive
Apprenticeship dan metode Scaffolding. Selain itu, akan dibahas pula mengenai
keterkaitan secara teoritis mengenai penerapan model Cognitive Apprenticeship
dengan metode Scaffolding terhadap kemampuan matematika. Sebelum itu, akan
dibahas mengenai kemampuan matematika. Untuk memperoleh pemahaman lebih
mendalam tentang teori-teori tersebut, berikut merupakan penjelasannya.
1. Kemampuan Matematika
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) mengungkapkan bahwa
“mathematical power includes the ability to explore, conjecture, and reason
logically; to solve non-routine problems; to communicate about and through
mathematics; and to connect ideas within mathematics and between mathematics and
other intellectual activity”.1 Artinya bahwa kemampuan matematis mencakup
kemampuan untuk mengeksplorasi, menduga, dan bernalar secara logis. Lebih lanjut
NCTM menetapkan lima standar kemampuan matematis yang harus dimiliki oleh
siswa, yaitu kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, kemampuan
koneksi, kemampuan penalaran, dan kemampuan representasi.2 Kemampuan-
kemampuan tersebut merupakan kemampuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran
matematika. Sejalan dengan itu, Permendikbud Nomor 21 Tahun 2016 tentang
Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. Menurut Permendikbud Nomor 21
Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah menetapkan bahwa
kompetensi yang harus dicapai pada pelajaran matematika adalah sebagai berikut:
1 Mumun Syaban, “Menumbuhkembangkan Daya Matematis Siswa”, Educare, Vol. 5, No. 2,
2008, h. 58. 2 Leo Adhar Effendi, “Pembelajaran Matematika Dengan Metode Penemuan Terbimbing Untuk
Meningkatkan Kemampuan Representasi Dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP”, Jurnal
Penelitian Pendidikan, Vol. 13, No. 2, Oktober 2012, h. 2.
22
1) Menunjukkan sikap logis, kritis, analitis, kreatif, cermat dan teliti, bertanggung
jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan masalah.
2) Memiliki rasa ingin tahu, semangat belajar yang kontinu, rasa percaya diri, dan
ketertarikan pada matematika.
3) Memiliki rasa percaya pada daya dan kegunaan matematika, yang terbentuk
melalui pengalaman belajar.
4) Memiliki sikap terbuka, objektif dalam interaksi kelompok maupun aktivitas
sehari-hari.
5) Memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan matematika dengan jelas.3
Berdasarkan Permendikbud tersebut, dengan mempelajari matematika siswa
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikirnya seperti kritis, logis, analitis,
kreatif serta mampu mengkomunikasikan konsep matematika dengan jelas.
Kemampuan berpikir tersebut merupakan sebagian dari kemampuan matematika
yang ada. Selain itu, matematika juga dapat digunakan untuk memecahkan masalah,
berkomunikasi melalui matematika dan menghubungkan ide-ide dalam matematika
serta mengaitkan antara matematika dengan aktivitas intelektual lainnya. Berdasarkan
NCTM dan Permendikbud tersebut, kemampuan matematika dalam penelitian ini
adalah kemampuan berpikir yang dapat ditingkatkan dari pembelajaran matematika
seperti kemampuan pemecahan masalah, komunikasi, representasi, penalaran,
koneksi, kritis, atau kreatif. Oleh karena itu, kemampuan matematika merupakan
tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika.
2. Model Cognitive Apprenticeship
Menurut Collins, Brown dan Newman model Cognitive Apprenticeship
merupakan model instruksi alternatif yang dapat diakses dalam tipe kerangka kelas
Amerika dimana model pengajaran tersebut kembali ke magang tetapi digabung
3 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan
Menengah, Jakarta, 2016, h. 137.
23
dengan elemen sekolah.4 Dahulu sebelum sekolah ada, orang belajar melalui magang.
Secara sederhana, ini adalah proses di mana orang yang lebih berpengalaman
membantu orang yang kurang berpengalaman, memberi dukungan, dan contoh,
sehingga orang yang kurang berpengalaman mendapatkan pengetahuan dan
keterampilan baru.5 Pada awalnya, istilah “pemagangan” dilakukan dengan
menunjukkan cara kerja suatu tugas kepada pemula dan membimbingnya.
Apprenticeship atau pemagangan merupakan metode pembelajaran masa lampau
dimana seseorang belajar untuk mendapatkan keahlian atau kemahiran mengenai
suatu ilmu atau keterampilan dengan melihat langsung proses kerja dari ahli atau
orang yang lebih berpengalaman.6 Dalam pembelajaran di sekolah, pemagangan
disesuaikan dengan aktivitas para guru dan murid. Sebelum sekolah, magang adalah
cara belajar paling umum untuk memperoleh pengetahuan dengan praktik dari
ahlinya. Cognitive Apprenticeship memiliki dua penekanan khusus, yaitu pertama
proses pengajaran yang digunakan para ahli untuk menangani tugas-tugas kompleks
yang dicontohkan dan ditempatkan sesuai konteks pembelajaran mereka, dan yang
kedua adalah cognitive apprenticeship berfokus pada pengembangan proses kognitif
dan metakognitif.7 Magang kognitif mendukung integrasi akademik dan kejuruan
yang efektif dalam pendidikan sehingga siswa membangun pemahaman mereka
sendiri tentang standar akademik dan menginternalisasi proses berpikir yang
digunakan.8 Konsep magang kognitif didefinisikan sebagai “belajar melalui
pengalaman yang dipandu pada kognitif dan metakognitif, bukan fisik, keterampilan
4 Aziz Ghefaili, “Cognitive Apprenticeship, Technology, and the Contextualization of Learning
Environments”, Journal of Educational Computing, Design & Online Learning, Vol. 4, 2003, h. 1. 5 Vanessa P. Dennen dan Kerry J. Burner, The Cognitive Apprenticeship Model in Educational
Practice, (Florida State University, Tallahassee, Florida), h. 426. 6 Rina Oktaviyanthi, “Kajian Model Pembelajaran: Pendekatan Cognitive Apprenticeship
Model Case Based Reasoning Dalam Pembelajaran Matematika”, Universitas Serang Raya, 2015, h.
100. 7 Yam San Chee, “Cognitive Apprenticeship And Its Application To The Teaching Of Smalltalk
In A Multimedia Interactive Learning Environment”, Springer, Vol. 23, 1995, h. 136-137. 8 Aziz, op. cit., h. 1-2.
24
dan proses” yang berakar pada teori pembelajaran sosial.9 Jadi, model Cognitive
Apprenticeship pada penelitian ini adalah model pembelajaran yang berpusat pada
siswa dengan berfokus pada pengembangan proses kognitif sehingga siswa dapat
membangun pemahaman mereka sendiri.
Model Cognitive Apprenticeship telah dikembangkan dalam semua dimensi
agar dapat diterapkan untuk mengajar kurikulum sekolah. Untuk memfasilitasi model
Cognitive Apprenticeship, telah dikembangkan kerangka kerja yang menggambarkan
empat dimensi yang membentuk setiap lingkungan belajar, diantaranya: content,
method, sequencing, dan sociology.10
a. Content
Content merupakan jenis-jenis pengetahuan yang dimiliki siswa. Penelitian
kognitif telah membedakan jenis pengetahuan yang diperlukan untuk keahlian,
diantaranya pengetahuan konseptual, faktual, dan prosedural eksplisit.11 Berikut
kerangka kerja Allan, untuk lingkungan belajar yang ideal akan mencakup empat
kategori pengetahuan pakar.
1.1 Domain Knowledge (Pengetahuan domain)
Pengetahuan domain mencakup pengetahuan konseptual dan faktual serta
prosedur yang secara eksplisit diidentifikasi dengan subjek tertentu; ini
umumnya dijelaskan dalam buku pelajaran sekolah.12 Pengetahuan ini dapat
berupa pengetahuan awal yang dimiliki siswa. Pengetahuan semacam ini penting,
namun tidak memadai bagi beberapa siswa tentang bagaimana menyelesaikan
masalah dan melakukan tugas dalam domain. Selain itu, ketika dipelajari secara
terpisah dari konteks masalah yang realistis dan praktik pemecahan masalah ahli,
pengetahuan domain cenderung tetap tidak efektif dalam situasi yang sesuai,
bahkan untuk siswa yang sukses. Dan akhirnya, walaupun setidaknya beberapa
9 Vanessa P. Dennen dan Kerry J. Burner, op. cit., h. 427. 10 Allan Collins, John Seely Brown, dan Susan E. Newman, “Cognitive Apprenticeship:
Teaching The Craft of Reading, Writing, and Mathematics. Technical Report No. 403”, ERIC, h. 15. 11 Ibid., h. 15. 12 Ibid., h. 16.
25
konsep dapat dijelaskan secara formal, banyak seluk-beluk penting dari
maknanya yang terbaik diperoleh dengan menerapkannya dalam berbagai situasi
masalah. Memang, hanya dengan bertemu mereka dalam pemecahan masalah
nyata maka sebagian besar siswa akan mempelajari kondisi batas dan persyaratan
dari banyak pengetahuan domain mereka. Dalam matematika, sebagian besar
pengetahuan domain, selain jumlah fakta dan definisi, terdiri dari prosedur untuk
menyelesaikan berbagai jenis masalah.
2.1 Problem solving strategies and heuristics
Strategi pemecahan masalah dan heuristik pada umumnya adalah teknik
dan pendekatan yang efektif untuk menyelesaikan tugas-tugas. Dalam
matematika, heuristik untuk pemecahan masalah adalah dengan mencoba
menemukan solusi untuk kasus-kasus sederhana dan melihat apakah solusinya
dapat digeneralisasi.13
3.1 Control strategies
Strategi kontrol, seperti namanya, mengontrol proses pelaksanaan tugas.
Ketika siswa semakin banyak menyelidiki sendiri dan strategi untuk
memecahkan masalah, mereka menghadapi masalah manajemen atau kontrol
yang baru yaitu, bagaimana memilih diantara berbagai strategi pemecahan
masalah yang mungkin, bagaimana memutuskan kapan harus mengubah strategi,
dan sebagainya. Pengetahuan yang dimiliki para ahli tentang penyelesaian
masalah dapat dirumuskan sebagai strategi kontrol. Strategi kontrol
membutuhkan refleksi pada proses penyelesaian masalah untuk menentukan
bagaimana untuk melanjutkan. Hal ini dilakukan guru sepanjang proses
pembelajaran untuk melihat kendala yang dialami siswa. Strategi kontrol
beroperasi di berbagai tingkatan. Beberapa ditujukan untuk mengelola
penyelesaian masalah ditingkat global dan mungkin berguna diseluruh domain;
13 Allans Collins, The Cambridge Handbook of the Learning Sciences, Chapter 4: Cognitive
Apprenticeship, tersedia di https://www.cambridge.org/core diunduh pada tanggal 16 Juli 2020, h.49.
https://www.cambridge.org/core
26
misalnya strategi kontrol sederhana untuk menyelesaikan masalah yang
kompleks mungkin untuk beralih ke bagian baru dari masalah jika ada yang
terjebak dibagian lain. Strategi kontrol memiliki komponen pemantauan,
diagnostik dan perbaikan; keputusan tentang bagaimana melanjutkan suatu tugas
tergantung pada penilaian keadaan saat ini relatif terhadap tujuan seseorang, pada
analisis kesulitan saat ini, dan pada strategi apa yang tersedia untuk menghadapi
kesulitan.14 Pemantauan dapat direpresentasikan sebagai kegiatan yang
membantu siswa untuk menilai kemajuan mereka secara umum dengan
memberikan kriteria sederhana untuk menentukan apakah tujuan yang diberikan
tercapai atau tidak.
4.1 Learning Strategies
Strategi pembelajaran adalah strategi untuk mempelajari jenis konten lain
yang dijelaskan diatas. Seperti jenis pengetahuan proses lainnya yang telah
dijelaskan, pengetahuan tentang cara belajar berkisar dari strategi umum untuk
menjelajahi domain baru hingga strategi lokal yang lebih luas untuk memperluas
atau mengkonfigurasi ulang pengetahuan ketika kebutuhan muncul dalam
menyelesaikan masalah atau melaksanakan tugas yang kompleks.15 Untuk
belajar memecahkan matematika dengan lebih baik, ada baiknya mencoba
memecahkan contoh soal yang disajikan dalam teks sebelum membaca solusinya,
untuk memberikan dasar untuk membandingkan metode solusi sendiri dengan
metode solusi dalam buku.
b. Method
Dimensi kedua dalam kerangka kerja Cognitive Apprenticeship adalah
method. Method merupakan cara yang digunakan guru untuk pembelajaran di
kelas. Sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Collins dkk, terdiri dari enam
14 Allan Collins, John Seely Brown, dan Ann Holum, “Cognitive Apprenticeship: Making
Thinking Visible”, American Educator, 1991 (Winter), h. 13. 15 Ibid., h. 13.
27
metode pengajaran: modelling, coaching, scaffolding, articulation, reflection,
dan exploration.16
1.2 Modelling (pemodelan)
Pemodelan melibatkan seorang ahli melakukan tugas sehingga siswa dapat
mengamati dan membangun model konseptual dari proses yang diperlukan untuk
menyelesaikan tugas.17 Dalam pembelajaran, seorang ahli yang dimaksud adalah
guru. Pada tahap ini, guru dapat memberikan sebuah gambaran umum terkait
materi yang sedang dipelajari sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Gambaran umum disini dapat berupa contoh benda, sebuah video, atau
menampilkan aktivitas kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan matematika.
Ini dikarenakan dalam ranah kognitif, membutuhkan eksternalisasi proses dan
aktivitas. Oleh karena itu, dengan memberikan dan menampilkan gambaran
umum suatu materi kedalam bentuk kontekstual, maka siswa dapat mengamati,
membuat, dan mempraktikkan keterampilan yang diperlukan.
Metode modelling memiliki beberapa manfaat lainnya, yaitu
mengintegrasikan apa yang terjadi dan mengapa itu terjadi dan memperlihatkan
bagian-bagian dari suatu proses yang biasanya tidak terlihat.18 Hal ini penting
karena dengan begitu siswa akan bertanya-tanya sehingga siswa menjadi lebih
aktif dan antusias. Selain itu, dalam tahap pemodelan guru dapat melihat
pengetahuan awal siswa dan memanfaatkannya.
2.2 Coaching (pembinaan)
Coaching terdiri dari mengamati siswa saat mereka melakukan tugas dan
menawarkan petunjuk, bantuan, umpan balik, pemodelan, pengingat, kinerja
yang lebih dekat dengan kinerja pakar.19 Artinya adalah bahwa dalam tahap
16 Yam San Chee, op. cit., h. 137. 17 Gloria Kuhn, “Cognitive Apprenticeship”, Statewide Campus System, Michigan State School
of Osteopathic Medicine, 2011, h. 2. 18 Allan Collins, Educational Values and Cognitive Instruction: Implications for Reform, h.
125. 19 Allan Collins, John Seely Brown, dan Susan E. Newman, op. cit., h. 18.
28
coaching ini, siswa diberikan tugas agar guru dapat melatih siswa, dalam hal ini
dapat menggunakan lembar kerja siswa. Coaching memfokuskan pada tugas-
tugas baru yang bertujuan untuk memberlakukan dan mengintegrasikan
keterampilan mereka dalam mencapai tujuan yang dipahami dengan baik melalui
umpan balik oleh guru. Artinya, interaksi pembinaan berkaitan dengan peristiwa
atau masalah tertentu yang muncul ketika siswa berusaha untuk melaksanakan
tugas. Dalam pembinaan, siswa terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah yang
mengharuskan mereka menerapkan secara tepat dan secara aktif
mengintegrasikan keterampilan dan pengetahuan konseptual. Lewat sini,
pengetahuan konseptual dan faktual dicontohkan dalam konteks penggunaannya.
Dengan demikian pengetahuan dalam pengalaman akan membuat pembelajaran
menjadi bermakna. Coaching memiliki beberapa manfaat diantaranya:20
a) Coaching memberikan bantuan yang diarahkan pada kesulitan yang nyata.
Dengan mengamati siswa dalam situasi penyelesaian masalah, guru dapat
melihat kesulitan apa yang dialami siswa tertentu. Hal tersebut dikarenakan
guru di sekolah jarang memiliki kesempatan untuk mengamati pemecahan
masalah siswa, sebagian besar bantuan yang mereka berikan tidak benar-
benar diarahkan pada masalah yang sebenarnya dimiliki siswa.
b) Coaching memberikan bantuan pada saat-saat kritis. Pembinaan
memberikan bantuan kepada siswa ketika mereka sangat membutuhkannya.
Ketika mereka sedang berjuang dengan tugas dan paling menyadari faktor-
faktor penting yang memandu keputusan mereka. Dengan demikian, mereka
berada dalam posisi terbaik untuk menggunakan bantuan yang diberikan.
c) Coaching memberikan bantuan sebanyak yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan tugas. Pembinaan memungkinkan siswa untuk melakukan
tugas yang mungkin tidak dapat mereka selesaikan. Ini memberi mereka
perasaan bahwa mereka benar-benar dapat melakukan tugas-tugas sulit.
20 Allan Collins, op. cit., h. 127.
29
Ketika mereka menjadi lebih terampil, memberi siswa lebih banyak kontrol
atas pelaksanaan tugas.
d) Coaching menyediakan kacamata baru untuk siswa. Guru dapat membantu
siswa melihat proses dari perspektif yang sama sekali berbeda. Guru dapat
menunjukkan hal-hal yang tidak berjalan seperti yang diharapkan dan
menjelaskan alasannya.
3.2 Scaffolding
Scaffolding merujuk pada dukungan yang diberikan guru untuk membantu
siswa menyelesaikan tugas.21 Dukungan ini dapat berupa saran atau bantuan.
Ketika scaffolding disediakan oleh seorang guru, itu melibatkan guru dalam
melaksanakan bagian dari keseluruhan tugas yang belum dapat dikelola siswa.
Dengan demikian, ini melibatkan semacam upaya pemecahan masalah yang
kooperatif oleh guru dan siswa di mana maksud yang jelas adalah agar siswa
mengambil sebanyak mungkin tugas individu, sesegera mungkin. Persyaratan
scaffolding tersebut adalah diagnosis akurat tingkat keterampilan atau kesulitan
siswa saat ini dan ketersediaan langkah perantara pada tingkat kesulitan yang
sesuai dalam melaksanakan kegiatan target.22 Perlu diperhatikan bahwa guru
harus benar-benar memahami kemampuan yang dimiliki setiap siswanya,
sehingga bantuan dapat diberikan secukupnya sesuai kebutuhan siswa. Sehingga
pada akhirnya siswa mampu memecahkan masalahnya secara mandiri.
4.2 Articulation (Artikulasi)
Artikulasi mencakup cara apa pun untuk membuat siswa
mengartikulasikan pengetahuan, pemikiran, atau proses pemecahan masalah
yang mereka lakukan.23 Dalam artikulasi, guru mendorong siswa untuk
menjelaskan pengetahuan, alasan, dan strategi pemecahan masalah. Proses
artikulasi disini dapat berupa presentasi depan kelas, sehingga siswa dapat
21 Allans Collins, op.cit., h. 51. 22 Allan Collins, John Seely Brown, dan Susan E. Newman, op. cit., h. 19. 23 Ibid., h. 19.
30
menjelaskan hasil pemikiran yang mereka peroleh. Pada proses ini, siswa dilatih
dan diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan pengetahuan dan pendapatnya
dari sudut pandang siswa. Dengan ini, guru dapat melihat dan menilai
kemampuan siswa ataupun kesalahan siswa dalam proses menyelesaikan
masalah. Selain itu, guru dapat meminta siswa meringkas dan menulis kembali
hasil pembelajaran saat itu sesuai dengan apa yang mereka pahami. Kegiatan
tersebut memberikan dorongan bagi siswa untuk terlibat dalam penyempurnaan
dan reorganisasi pengetahuan. Penggunaan tugas-tugas yang dibuat oleh guru
seperti lembar kerja siswa sebagai bagian dari proses pembelajaran sangat efektif
untuk mendukung tahap artikulasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan guru.
Tugas semacam itu menuntut siswa untuk berpartisipasi dalam menghasilkan
pengetahuan dan mengevaluasi hasil kegiatan pengembangan pengetahuan
sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran kolaboratif.
Artikulasi memiliki beberapa manfaat, diantaranya:24
a) Membuat pengetahuan menjadi eksplisit. Ketika pengetahuan diperoleh, itu
hanya dapat digunakan dalam konteks yang memperoleh pengetahuan secara
otomatis. Dengan memaksa siswa untuk mengartikulasikan pengetahuan
mereka, itu menggeneralisasikan pengetahuan dari konteks tertentu sehingga
dapat digunakan dalam keadaan lain.
b) Membuat pengetahuan lebih tersedia untuk diolah kembali dalam tugas-
tugas lain. Pengetahuan yang diartikulasikan sebagai bagian dari
serangkaian ide yang saling berhubungan menjadi lebih mudah tersedia.
c) Membandingkan strategi lintas konteks. Ketika strategi diartikulasikan,
siswa dapat mulai melihat bagaimana strategi yang sama berlaku dalam
konteks yang berbeda.
d) Artikulasi untuk siswa lain mempresentasikan wawasan ke dalam perspektif
alternatif. Jika siswa mencoba menjelaskan ide (atau masalah) kepada siswa
24 Allan Collins, op.cit., h. 133-134.
31
lain, maka mereka mulai melihat ide dari sudut pandang siswa lain. Jika
mereka mendapat tanggapan dari siswa lain, mereka dapat melihat kesulitan
apa yang dimiliki siswa lain dengan gagasan itu dan bagaimana orang lain
melihat masalah yang sama. Dengan begitu, siswa dapat memasuki tahap
selanjutnya yaitu, refleksi.
5.2 Reflection (Refleksi)
Pada tahap refleksi, melibatkan siswa untuk membandingkan proses
pemecahan masalah mereka dengan proses yang dilakukan oleh seorang guru,
siswa lain, dan seorang ahli yang terkait.25 Dengan melakukan perbandingan
semacam itu dapat membantu siswa dalam mendiagnosis kesulitan mereka dan
secara bertahap menyesuaikan kinerja mereka hingga mereka mencapai
kompetensi. Selain itu, siswa juga dapat membandingkannya dengan apa yang
telah dijelaskan oleh guru. Dengan ini, siswa dapat memperoleh pemahaman
secara utuh dan benar.
Refleksi mendorong siswa untuk memikirkan tentang bagaimana hasil
kerjanya mungkin berbeda dengan siswa lain dan perubahan apa yang diperoleh
untuk menyelesaikan masalah. Hal tersebut bukan berarti cara yang mereka
gunakan salah, namun siswa dapat memilih cara yang lebih efektif dan yang lebih
mudah dipahaminya.
Refleksi memiliki beberapa manfaat, yaitu antara lain.
a) Apa yang siswa lakukan menjadi objek pembelajaran.26 Para siswa mulai
melihat kinerja mereka pada tugas-tugas sebagai data yang akan dianalisis.
Mereka mungkin tidak pernah menganggap serius apa yang telah mereka
lakukan sebelumnya. Refleksi mendorong mereka untuk memikirkan proses
mereka dari sudut pandang bagaimana mereka mungkin berbeda dan
perubahan apa yang akan mengarah pada peningkatan kinerja.
25 Yam San Chee, op. cit., h. 138. 26 Allan Collins, op. cit., h. 130.
32
b) Siswa dapat membandingkan kinerja mereka dengan orang lain.27 Refleksi
memungkinkan siswa melihat bagaimana siswa yang berbeda dan lebih
banyak ahli melakukan tugas yang sama. Ini mendorong mereka untuk
membentuk hipotesis tentang aspek apa dari suatu proses yang penting untuk
kinerja yang berhasil dan tidak berhasil.
6.2 Exploration (Eksplorasi)
Eksplorasi merupakan tahap dimana siswa mengaplikasikan apa yang telah
mereka pelajari.28 Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan
eksplorasi sangat penting bagi siswa, agar mereka dapat belajar bagaimana
menyusun pertanyaan atau masalah yang menarik dan mereka dapat
menyelesaikannya. Eksplorasi adalah dimana guru mendorong siswa menjadi
pembelajar yang independen.29 Artinya, siswa benar-benar menyelesaikan
masalahnya sendiri tanpa bantuan dari guru sedikitpun. Ini tidak hanya
memudarnya bantuan dalam pemecahan masalah, tetapi juga memudarnya
bantuan dalam pengaturan masalah. Jadi strategi eksplorasi perlu diajarkan
sebagai bagian dari strategi pembelajaran secara lebih umum. Hal ini dapat
dilakukan secara terpisah dalam pertemuan pembelajaran selanjutnya. Hal ini
dikarenakan eksplorasi sebagai metode pengajaran melibatkan penetapan tujuan
umum bagi siswa, tetapi mendorong mereka untuk fokus pada tujuan tertentu
yang menarik bagi mereka atau bahkan untuk merevisi tujuan umum ketika
mereka menemukan sesuatu yang lebih menarik untuk dikerjakan.
Pada eksplorasi ini, siswa akan membuat penemuan sendiri ketika siswa
diberikan masalah atau membuat masalahnya sendiri lalu kemudian menguji
hipotesis dan memecahkan masalahnya sendiri. Mereka akan membuatnya
menjadi berkesan dan bermakna. Mereka bahkan dapat menemukan ide-ide yang
27 Allan Collins, loc. cit. 28 Benilde Garcia-Cabrero. et al., “Design of a learning-centered online environment: a
cognitive apprenticeship approach”, Springer, 2018, h. tidak ada halaman. 29 Yam San Chee, op. cit., h. 138.
33
benar-benar baru. Tetapi bahkan ketika mereka datang dengan ide-ide lama,
mereka setidaknya akan merasakan darimana ide-ide itu berasal dan mengapa
mereka penting.
c. Sequencing
Allan telah mengidentifikasi beberapa dimensi atau prinsip yang harus
memandu urutan kegiatan pembelajaran untuk memfasilitasi pengembangan
keterampilan pemecahan masalah yang kuat.
1.3 Increasing Complexity (Peningkatan Kerumitan)
Meningkatnya kerumitan mengacu pada pembangunan urutan tugas
sehingga semakin banyak keterampilan dan konsep yang diperlukan oleh guru.30
Ada dua mekanisme untuk membantu siswa mengelola peningkatan
kompleksitas.31 Pertama, upaya yang harus dilakukan untuk mengendalikan
kompleksitas tugas. Mekanisme kunci kedua untuk membantu siswa mengelola
kompleksitas adalah penggunaan Scaffolding, yang memungkinkan siswa untuk
menangani sejak awal, dengan dukungan dari guru, serangkaian kegiatan
kompleks yang diperlukan untuk melakukan tugas yang menarik.
2.3 Increasing Diversity (Peningkatan Keragaman)
Meningkatkan keragaman mengacu pada pembangunan urutan tugas yang
lebih luas dan lebih bervariasi.32 Selain itu, ketika siswa belajar untuk
menerapkan keterampilan ke masalah yang lebih beragam dan situasi masalah,
strategi mereka menjadi bebas dari ikatan kontekstual mereka (atau mungkin
lebih akurat, memperoleh jaring yang lebih kaya dari asosiasi kontekstual) dan
dengan demikian lebih mudah tersedia untuk digunakan dalam berbagai masalah.
Hal tersebut dapat guru lakukan melalui jenis masalah pada lembar kerja siswa
dan dapat menggunakannya pada tahap eksplorasi guna untuk meningkatkan
keterampilan siswa.
30 Allan Collins, John Seely Brown, dan Susan E. Newman, op. cit., h. 20. 31 Ibid., h. 20. 32 Ibid., h. 21.
34
3.3 Global Before Local Skills
Untuk ranah kognitif, ini secara berurutan mengurutkan pelajaran sehingga
siswa memiliki kesempatan untuk menerapkan seperangkat keterampilan dalam
membangun solusi masalah yang menarik sebelum mereka diminta untuk
menghasilkan atau mengingat keterampilan tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam urutan pembelajaran ada bias terhadap mendukung keterampilan
tingkat rendah atau gabungan yang harus disatukan siswa untuk melaksanakan
tugas yang kompleks. Dalam aljabar, misalnya siswa dapat merasa lega karena
harus melakukan komputasi tingkat rendah dimana kurangnya keterampilan atau
kemampuan mereka untuk berkonsentrasi pada penalaran tingkat tinggi dan
strategi yang diperlukan untuk memecahkan masalah. Efek utama dari prinsip
sequencing ini adalah untuk memungkinkan siswa membangun peta konseptual,
jadi untuk berbicara mereka telah memiliki pengetahuan yang dibutuhkan. Secara
umum, meminta siswa membangun model konseptual, keterampilan, atau proses
yang juga didorong oleh pemodelan ahli menyelesaikan dua hal.33 Pertama,
bahkan ketika pelajar hanya mampu melaksanakan sebagian tugas, memiliki
konsepsi yang jelas model keseluruhan kegiatan keduanya membantunya
memahami bagian-bagian yang ia lakukan dan memberikan tujuan yang jelas
untuk dicapai saat ia mengambil dan mengintegrasikan lebih banyak bagian.
Kedua, kehadiran model konseptual yang jelas dari tugas target bertindak sebagai
panduan untuk kinerja pelajar, sehingga meningkatkan kemampuannya untuk
memantau kemajuannya sendiri dan untuk mengembangkan keterampilan
koreksi diri yang terkait.
d. Sociology
Dimensi terakhir dalam kerangka kerja ini menyangkut sosiologi
lingkungan belajar, dimensi kritis yang sering diabaikan dalam keputusan tentang
kurikulum dan praktik pedagogis. Aspek sosial dapat menjadi aspek pendukung
33 Ibid., h. 21.
35
dalam mencapai tujuan pembelajaran, integrasi peningkatan keterampilan dan
penghargaan sosial, membantu memotivasi dan pembelajaran di lapangan. Selain
itu, aspek-aspek tertentu dari organisasi sosial magang mendorong keyakinan
produktif tentang sifat pembelajaran dan keahlian yang penting untuk motivasi,
kepercayaan diri, dan yang paling penting orientasi mereka terhadap masalah
yang mereka hadapi saat belajar.34 Misalnya, kehadiran peserta didik lain
memberikan kalibrasi kepada peserta magang untuk kemajuan mereka sendiri,
membantu mereka mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan mereka dan dengan
demikian memfokuskan upaya mereka untuk perbaikan. Selain itu, ketersediaan
guru dapat membantu pelajar menyadari bahwa bahkan para ahli pun memiliki
gaya dan cara yang berbeda dalam melakukan berbagai hal dan bakat khusus
yang berbeda. Keyakinan semacam itu mendorong peserta didik untuk
memahami belajar karena menggunakan berbagai sumber daya dalam konteks
sosial untuk mendapatkan bantuan dan umpan balik.
Dari pertimbangan tentang masalah-masalah umum ini, Allan telah
mengabstraksikan lima karakteristik kritis yang mempengaruhi sosiologi
pembelajaran.35
1.4 Situated Learning
Sebuah elemen penting untuk belajar adalah bahwa siswa sedang
melakukan tugas dan memecahkan masalah di lingkungan yang mencerminkan
berbagai kegunaan yang pengetahuan mereka akan diletakkan di masa depan.36
Tujuan ini memiliki beberapa makna yang berbeda. Pertama, siswa akan
memahami tujuan atau penggunaan pengetahuan yang mereka pelajari. Kedua,
mereka akan belajar dengan menggunakan pengetahuan secara aktif, dan
bukannya secara pasif menerimanya. Ketiga, mereka akan mempelajari berbagai
kondisi di mana pengetahuan mereka dapat diterapkan. Keempat, pembelajaran
34 Ibid., h. 22. 35 Ibid., h. 22. 36 Allan Collins, op. cit., h. 52.
36
dalam berbagai konteks menginduksi abstraksi pengetahuan, sehingga siswa
memperoleh pengetahuan dalam bentuk ganda, keduanya terikat pada konteks
penggunaannya dan tidak tergantung pada konteks tertentu. Pengikatan
pengetahuan ini dari konteks tertentu mendorongnya menggunakan pengetahuan
ke dalam masalah baru.
2.4 Culture of Expert Practice
Budaya praktik ahli mengacu pada penciptaan lingkungan belajar di mana
peserta secara aktif berkomunikasi dan terlibat dalam, keterampilan yang
berhubungan dengan keahlian, di mana keahlian dipahami sebagai praktik
menyelesaikan masalah dan melaksanakan tugas.37 Hal tersebut dapat
disesuaikan dengan latar belakang budaya dan kondisi geografis lingkungan
sekolah berada. Ini digunakan agara dapat membantu menempatkan dan
mendukung pembelajaran dalam beberapa cara. Pertama, suatu budaya memberi
para pelajar model-model keahlian yang digunakan, ketersediaan model seperti
itu membantu peserta didik membangun dan memperbaiki model konseptual dari
tugas yang mereka coba laksanakan. Namun, lingkungan belajar di mana para
ahli hanya memecahkan masalah dan melaksanakan tugas, dan peserta didik
hanya menonton, tidak memadai untuk memberikan model yang efektif untuk
belajar, terutama dalam domain kognitif, di mana banyak proses dan kesimpulan
yang relevan diam-diam dan tersembunyi. Dengan demikian, jika pemodelan ahli
akan efektif dalam membantu siswa menginternalisasi model konseptual yang
digunakan, para ahli harus dapat mengidentifikasi dan mewakili siswa proses
kognitif yang mereka lakukan ketika mereka memecahkan masalah. Membawa
siswa ke dalam budaya praktik pakar dalam ranah kognitif melibatkan mengajar
mereka cara "berpikir seperti pakar".38 Fokus dari banyak penelitian kognitif saat
ini adalah untuk memahami dengan lebih baik apa yang sebenarnya dimaksud
37 Allan Collins, John Seely Brown, dan Susan E. Newman, op. cit., h. 23. 38 Ibid., h. 23.
37
dengan tujuan tersebut dan untuk menemukan cara untuk berkomunikasi secara
lebih efektif tentang proses yang terlibat. Dengan demikian, penciptaan budaya
praktik ahli untuk pembelajaran harus dipahami untuk memasukkan interaksi
yang terfokus antara peserta didik dan para ahli untuk tujuan penyelesaian
masalah dan melaksanakan tugas.
3.4 Intrinsic Motivation
Terkait dengan masalah pembelajaran terletak dan kultur budaya praktik
ahli adalah kebutuhan untuk mempromosikan motivasi intrinsik untuk belajar.
Lepper dan Greene (1978) dan Malone (1981) membahas pentingnya
menciptakan lingkungan belajar di mana siswa melakukan tugas karena mereka
secara intrinsik tertarik pada pembelajaran, daripada untuk beberapa alasan
ekstrinsik seperti mendapatkan nilai bagus atau menyenangkan guru.39 Secara
umum, metode modeling dan coaching, sejauh mereka mempromosikan
perolehan keterampilan terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran yang jelas,
mendukung motivasi intrinsik. Tetapi yang tak kalah penting adalah bahwa
siswa berupaya untuk melakukan tugas-tugas realistis dalam semangat.
4.4 Exploiting Cooperation
Karakteristik ini mengacu pada siswa bekerja sama dalam memecahkan
masalah. Belajar secara kooperatif menyediakan sumber tambahan bantuan
dalam scaffolding yaitu dari teman kelompoknya. Pengetahuan akan
didistribusikan kepada seluruh anggota kelompok melalui diskusi. Dengan
begitu, memungkinkan bagi siswa untuk berbagi pengetahuan dan keterampilan,
memberikan siswa peluang tambahan untuk memahami konsep dan aspek
lainnya yang diperoleh dari bekerja sama. Selain itu, siswa dapat saling
membantu, memahami alasan atau membedakan karakteristik, beberapa konsep
atau keterampilan yang baru. Beberapa siswa mungkin memiliki kemampuan
pemahaman yang lebih baik, atau telah melewati kesulitan lebih dahulu
39 Allan Collins, op. cit., h. 53.
38
dibanding siswa lainnya. Kemudian pembelajaran kooperatif dapat
menumbuhkan artikulasi siswa dengan membantu menjelaskan pemahaman yang
diperolehnya kepada siswa lainnya.
5.4 Exploiting Competition
Exploiting Competition mengacu pada strategi memberi siswa tugas yang
sama dan kemudian membandingkan apa yang mereka peroleh. Satu efek penting
dari perbandingan itu adalah memberikan fokus perhatian dan upaya siswa untuk
memperbaiki kesalahan dan meningkatkan pengetahuan. Namun, agar
persaingan ini efektif bukan untuk melihat hasil pemecahan masalah, melainkan
prosesnya, dan ini jarang terjadi. Hal ini dikarenakan beberapa siswa yang justru
terhambat oleh situasi kompetisi dan bukan termotivasi. Kompetisi ini dapat
menimbulkan masalah emosional bagi sebagian siswa dan justru berpotensi
membingungkan siswa.
3. Metode Scaffolding
Istilah scaffolding berasal dari istilah dalam ilmu teknik sipil yaitu berupa
bangunan kerangka sementara atau penyangga yang memudahkan pekerja
membangun gedung.40 Kerangka sementara yang dimaksud artinya tidak digunakan
secara terus menerus, melainkan hanya digunakan pada awal-awal pembangunan
yang kemudian tidak digunakan lagi saat bangunan sudah kuat. Dalam bidang
pendidikan, scaffolding diimplementasikan dengan makna yang sejalan dengan
scaffolding dalam ilmu teknik sipil. Scaffolding adalah bantuan seperlunya yang
diberikan oleh guru kepada siswa yang kemudian secara bertahap dikurangi, akhirnya
siswa dapat berdiri sendiri dalam melakukan aktivitas belajar.41 Pemberian sejumlah
40 Ratu Rahma Felasiva, “Pengaruh Strategi Pembelajaran REACT Dengan Teknik Scaffolding
Terhadap Kemampuan Koneksi Matematik Siswa Di SMP Negeri 11 Depok”, Skripsi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015, h. 23. 41 Akbar Sutawidjaja dan Jarnawi Afgani, Modul 1 Konsep Dasar Pembelajaran Matematika,
tersedia di http://www.pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/MPMT5301-M1.pdf diunduh
pada tanggal 13 Mei 2020, h. 1.4-1.5
http://www.pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/MPMT5301-M1.pdf
39
bantuan kepada siswa dilakukan selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian
mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung
jawab yang semakin besar setelah siswa dapat melakukannya. Perlu diperhatikan
bahwa, bantuan yang diberikan guru hanya secukupnya untuk mendukung
pemahaman siswa. Berdasarkan beberapa pendapat diatas, scaffolding adalah bantuan
secukupnya yang diberikan guru pada tahap awal-awal pembelajaran untuk
mendukung pemahaman siswa.
Scaffolding ini dapat berupa penyederhanaan tugas, memberikan petunjuk kecil
mengenai apa yang harus dilakukan siswa, pemberian model prosedur penyelesaian
tugas, menunjukkan kepada siswa apa saja yang telah dilakukannya dengan baik,
pemberitahuan kekeliruan yang dilakukan siswa dalam langkah pengerjaan tugas, dan
menjaga agar rasa frustasi siswa masih berada pada tingkat yang masih dapat
ditanggungnya.42 Guru tidak harus menjelaskan semua konsep pada siswa, agar
mereka dapat menemukan konsepnya sendiri sehingga guru hanya memberikan
petunjuk kecil. Lalu selama proses tersebut guru tetap memantau sehingga jika siswa
melakukan kesalahan, guru dapat langsung memberitahukan letak kesalahan siswa.
Berdasarkan pemahaman guru terhadap kemampuan siswa, siswa didorong dan
ditugaskan untuk mengerjakan tugas yang sedikit lebih sulit, dan selangkah lebih
tinggi dari kemampuan yang saat ini dimiliki dengan intensitas bimbingan yang
semakin berkurang. Namun begitu, guru terus mendukung siswa agar siswa tidak
menyerah dalam prosesnya.
Ada berbagai macam cara yang dapat digunakan dalam metode scaffolding.
Plister berpendapat bahwa pemanfaatan scaffolding dalam pembelajaran terdiri dari
kegiatan 1) memberikan umpan balik (feeding back); 2) memberikan kisi-kisi pada
persoalan matematika yang diberikan (giving hints); 3) memberikan instruksi
(instruction); 4) explaining, menyediakan atau memfasilitasi siswa untuk
42 Rudi Santoso Yohanes, “Teori Vygotsky Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran
Matematika”, Widya Warta No. 02 Tahun XXXIV, Juli 2010, h. 131.
40
memperoleh informasi detail terkait materi pelajaran; 5) modelling, memberikan
contoh; 6) questioning, memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mengasah
kemampuan komunikasi dan kognitif siswa.43 Kegiatan tersebut dapat digunakan
selama pemberian bantuan kepada siswa. Sementara itu, Byrnes menyatakan
Vygotsky telah mengidentifikasi empat fase pembelajaran scaffolding, yaitu (1)
pemodelan, dengan penjelasan secara verbal, (2) peniruan terhadap pemodelan guru,
(3) masa ketika guru mulai menghilangkan bantuannya, dan (4) siswa telah mencapai
level penguasaan seorang ahli.44 Fase tersebut merupakan proses yang dialami siswa
dari pengetahuan awal yang dimilikinya hingga mencapai level penguasaan konsep.
Oleh karena itu, scaffolding dapat diartikan sebagai sebuah alat penghubung untuk
menghubungkan apa yang telah diketahui siswa dengan apa yang belum diketahui
siswa hingga pada pencapaian yang akan dikuasai oleh siswa.
Applebee dan Langer, mengidentifikasi ada lima langkah dalam pembelajaran
dengan menerapkan scaffolding, antara lain:
1) Intentionality, yaitu mengelompokkan bagian yang kompleks yang akan dikuasai
siswa menjadi beberapa bagian yang spesifik dan jelas;
2) Appropriatenes, yaitu memfokuskan pemberian bantuan pada aspek-aspek yang
belum dapat dikuasai siswa secara maksimal;
3) Structure, yaitu pemberian model agar siswa dapat belajar dari model yang
ditampilkan, model tersebut dapat diberikan melalui proses berpikir, model yang
diverbalkan dengan kata-kata dan model melalui perbuatan atau performansi,
kemudian siswa diminta untuk menjelaskan apa yang telah dipelajari dari model
tersebut;
43 Wahyuning Retnodari, Widanty F. Elbas, dan Selvi Loviana, “Scaffolding Dalam
Pembelajaran Matematika”, Linear, Vol. 1, No.1, 2020, h. 18. 44 Sugeng Sutiarso, “Scaffolding Dalam Pembelajaran Matematika”, Prosiding Seminar
Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, 2009, h. 528.
41
4) Collaboration, yaitu guru melakukan kolaborasi dan memberikan respon
terhadap tugas yang dikerjakan oleh siswa, peran guru disini bukan sebagai
evaluator, tetapi sebagai kolaborator;
5) Internalization, yaitu pemantapan pengetahuan yang dimiliki siswa agar benar-
benar dikuasai dengan baik.45
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian kali ini adalah
sebagai berikut.
1. Artikel yang berjudul “Cognitive Apprenticeship: Teaching The Craft Of
Reading, Writing, And Mathematics” ini ditulis oleh Allan Collins, John Seely
Brown, dan Susan E. Newman pada tahun 1987. Artikel yang diterbitkan oleh
jurnal Eric tersebut menjelaskan tentang Cognitive Apprenticeship dan
pengembangannya. Persamaan artikel tersebut dengan penelitian ini adalah
kerangka kerja yang terdapat dalam Model Cognitive Apprenticeship. Namun,
dalama artikel tersebut tidak menjelaskan tentang penggunaannya dalam
pembelajaran matematika. Kerangka kerja yang terdapat dalam artikel tersebut
terdiri dari empat komponen, diantaranya content, method, sequencing, dan
sociology.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Novita Sari dengan judul “Efektivitas
Penggunaan Teknik Scaffolding Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Matematika
Pada Siswa SMP Swasta Al-Washliyah Medan” pada tahun 2017. Penelitian
tersebut bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan teknik scaffolding
dalam meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Hasilnya adalah teknik
scaffolding dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Persamaan
45 Umi Muti’ah, St. Budi Waluya, dan Mulyono, “Membangun Kemampuan Berpikir Kreatif
Matematis Dengan Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) Dengan Strategi Scaffolding”,
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana UNNES, 2019, h. 891.
42
penelitian tersebut dengan yang dilakukan penulis terletak pada tahap-tahap
pembelajaran yang digunakannya. Tahapan dengan pembelajaran menggunakan
scaffolding yaitu antara lain: intentionality, appropriateness, structure,
collaboration, dan internalization.46
3. Studi literatur yang dilakukan oleh Erlina dan Dori tahun 2019 berjudul
“Kecerdasan Logis Matematis Siswa SMP pada Scaffolding” terdapat dalam
jurnal Sesiomadika. Artikel tersebut mengkaji kemampuan logis matematis siswa
dalam scaffolding. Penelitian tersebut mengkaji berbagai kemampuan yang
mampu dikembangkan dengan pemberian scaffolding dilihat dari hasil penelitian
terdahulu. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Erlina dan Dori dengan
penelitian ini adalah pada penelitian ini metode scaffolding digabung dengan
model Cognitive Apprenticeship. Dari hasil kajian tersebut diperoleh pemaparan
terkait komponen-komponen kecerdasan logis matematis ditemukan berbagai
gambaran mengenai kemampuan logis matematis.47 Komponen-komponen dari
kemampuan logis matematis diantaranya memahami dan menganalisis
permasalahan, menghitung dan mengukur pola-pola angka secara logis,
memperhatikan operasi matematika, memecahkan masalah dengan berpikir
secara deduktif dan induktif.
C. Kerangka Berpikir
Matematika merupakan sesuatu yang abstrak bagi siswa, sehingga siswa perlu
diberikan gambaran mengenai kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, belajar matematika melalui pengalaman dapat membantu siswa
melihat matematika secara lebih nyata. Hal tersebut terdapat dalam Permendikbud
Nomor 21 Tahun 2016, dimana salah satu kompetensi yang harus dicapai pada
46 Novita Sari dan Edy Surya, “Efektivitas Penggunaan Teknik Scaffolding Dalam
Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Pada SIswa SMP Swasta Al-Washliyah Medan”, Edumatica,
Vol. 07, No. 01, April 2017, h. 2. 47 Erlina dan Dori Lukman Hakim, “Kecerdasan Logis Matematis Siswa SMP pada
Scaffolding”, Sesiomadika, 2019, h. 1171.
43
pelajaran matematika adalah memiliki rasa percaya pada daya dan kegunaan
matematika, yang terbentuk melalui pengalaman belajar. Selain itu dalam
matematika, pembelajaran dilakukan untuk mencapai kompetensi matematika yang
telah ditetapkan yaitu kemampuan matematika. Berdasarkan hal tersebut, dibutuhkan
suatu model pembelajaran yang mengajak siswa terlibat aktif untuk mengkonstruksi
pengetahuannya agar dapat memahami konsep matematika melalui pengalaman
belajar agar dapat mencapai kompetensi matematika yaitu kemampuan matematika.
Beberapa model pembelajaran telah dikembangkan, namun tidak semua model
memperhatikan aspek lingkungan untuk mengkonstruksi pengetahuan dalam proses
pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang memfokuskan siswa belajar
dengan mengkonstruksi pengetahuan pada proses pembelajarannya adalah Cognitive
Apprenticeship. Model pembelajaran ini juga mendukung siswa belajar melalui
pengalaman, karena model ini memiliki empat komponen untuk tercapainya
keberhasilan belajar. Keempat komponen tersebut diantaranya content, methods,
sequencing, dan sociology. Keempat komponen tersebut melingkupi pengetahuan
yang dimiliki siswa, langkah-langkah pembelajaran, bahkan faktor sosial yang dapat
mendukung aktivitas pembelajaran.
Langkah-langkah pembelajaran dalam model Cognitive Apprenticeship
dikombinasikan dengan metode scaffolding didalamnya guna membantu siswa agar
siswa tetap terarah dalam mencapai pemahamannya. Bantuan dalam Scaffolding ini
dapat berupa pemberian petunjuk kecil mengenai apa yang harus dilakukan siswa,
pemberian model prosedur penyelesaian tugas, menunjukkan kepada siswa apa saja
yang telah dilakukannya dengan baik, ataupun pemberitahuan kekeliruan yang
dilakukan siswa dalam langkah pengerjaan tugas. Adapun langkah-langkah
pembelajaran model Cognitive Apprenticeship dengan metode Scaffolding
diantaranya, (1) modelling; (2) coaching; (3) scaffolding; (4) articulation; (5)
reflection; dan (6) exploration.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis implementasi Model Cognitive
Apprenticeship dengan metode Scaffolding terhadap kemampuan matematika. Hal
44
tersebut bertujuan untuk menjadi acuan apakah Model Cognitive Apprenticeship
dengan metode Scaffolding dapat meningkatkan kemampuan matematika siswa.
Berikut akan disajikan bagan dari kerangka berpikir dalam penelitian ini.
Masalah Penelitian
Kesimpulan
Implementasi
Pembelajaran
Matematika
Content
Sociology
Cognitive
Apprenticeship
Sequencing Analisis
Modelling
Coaching
Scaffolding
Methods
Articulation
Exploration
Reflection
Kemampuan Matematika Siswa Meningkat
Gambar 2. 1 Bagan Kerangka Berpikir
45
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis proses pembelajaran
matematika dengan menggunakan Model Cognitive Apprenticeship dan metode
Scaffolding. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan
(library research). Penelitian kepustakaan adalah teknik pengumpulan data
dengan melakukan penelahaan terhadap buku, literatur, catatan, serta berbagai
laporan yang berkaitan dengan masalah yang ingin dipecahkan.1 Sementara itu,
Khatibah mengemukakan penelitian kepustakaan sebagai kegiatan yang dilakukan
secara sistematis untuk mengumpulkan, mengolah dan menyimpulkan data dengan
menggunakan metode atau teknik tertentu guna mencari jawaban atas
permasalahan yang dihadapi.2 Jadi penelitian kepustakaan dalam penelitian ini
adalah kegiatan penelitian yang dilakukan secara sistematis dengan penelahaan
buku, literatur yang kemudian dikumpulkan dan diolah untuk memperoleh
jawaban atas masalah yang dihadapi.
Penelitian kepustakaan ini dilakukan karena saat ini di dunia termasuk
Indonesia sedang menghadapi wadah pandemi Covid-19. Untuk mengantisipasi
penyebaran wabah yang meluas, pemerintah menerapkan aturan PSBB
(Pembatasan Sosial Berskala Besar). Dampak dari kebijakan tersebut, beberapa
aktivitas dibatasi dengan melakukan kegiatan di rumah saja, salah satunya kegiatan
pembelajaran. Seluruh kegiatan belajar dan mengajar dilakukan melalui sistem
jarak jauh dalam jaringan internet (online). Zed mengidentifikasi terdapat empat
ciri utama penelitian kepustakaan, yaitu:
1 Milya Sari dan Amendri, “Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam Penelitian
Pendidikan IPA”, Natural Science: Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA, 2020, h. 43. 2 Ibid., h. 44.
46
1. Peneliti berhadapan langsung dengan teks atau data angka dan bukan dengan
pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi mata berupa kejadian, orang
atau benda-benda lainnya.
2. Data pustaka bersifat ‘siap pakai’, artinya peneliti tidak pergi kemana-mana,
kecuali hanya berhadapan langsung dengan bahan sumber yang sudah tersedia
di perpustakaan.
3. Data pustaka umumnya adalah sumber sekunder, dalam arti bahwa peneliti
memperoleh bahan dari tangan kedua dan bukan data orisinil dari tangan
pertama di lapangan.
4. Kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.3
Berdasarkan ciri-ciri utama kepustakaan, peneliti hanya berhadapan dengan
teks seperti buku dan literatur ilmiah lainnya. Dengan begitu, maka peneliti tidak
perlu turun ke lapangan untuk mengambil data. Oleh karena itu, berdasarkan
kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini penelitian dalam bidang pendidikan tidak
dapat turun langsung ke lapangan untuk mengambil data, sehingga pada penelitian
ini menggunakan penelitian kepustakaan.
B. Sumber Data
Sumber data terbagi menjadi dua jenis yaitu sumber data primer dan sumber
data sekunder. Sugiyono mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sumber data
primer adalah sumber pokok yang langsung memberikan data kepada peng