Post on 31-Mar-2019
transcript
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
1
‘TUHAN’ PADA KACA MATA THOMAS AQUINAS DAN AL
ASY’ARI
Oleh: S. Syaifuddin.
Abstrak
Obviously, some truths about God surpass what reason can
demonstrate. Our khowledge of them will therefore require a different
source of divine truth, namely, sacred teaching. According to aquinas,
sacred teaching contains the most complate and reliable account of what we
profess about God. Of course, whether sacred teaching is authoritative vis-
a-vis divine realities depends on whether what it says about God is true. In
other side, Al Asy‟ari put as one of the first to try to apply kalam or ratinal
argument to the defence of ortodox doctrine, one of it is related concept of
God.. He seems to have been the first to do this in a way acceptable a large
body of ortodox opinion. He had the advantage of having intimate and
detailed knowlegde of the views of the Mu‟tazila.
A. Pendahuluan
Setiap manusia mempunyai fitrah berupa kepercayaan terhadap
adanya Zat Yang Maha Kuasa, yang dalam istilah agama disebut
Tuhan. Fitrah manusia tersebut adalah fitrah beragama tauhid yang
dijadikan Allah SWT pada saat manusia itu diciptakan.1 Dalam
kehidupan sehari-hari Tuhan digambarkan sebagai Zat yang
supranatural dan serba absolut sehingga sulit untuk dipahami.
Kesulitan dalam memahami adanya dan hakikat Tuhan inilah yang
akhirnya menimbulkan berbagai aliran dan paham. Oleh sebab itu
keinginan manusia untuk dapat memahami tentang Tuhan telah
1 Nasruddin Razaq, Dienul Islam , Cet 5, (Bandung: PT al-Ma‟arif, 1982), hal.
77.
2
melahirkan berbagai macam pertanyaan tentang Tuhan.2 Dari
berbagai pertanyaan itu yang dianggap penting adalah apakah Tuhan
itu benar-benar ada? Jika memang benar ada bagaimana pembuktian
dan argumen-argumennya.
Berangkat dari pertanyaan di atas muncullah keinginan untuk
mengungkap lebih dalam lagi tentang argumen Tuhan menurut 2 orang
tokoh, Thomas Aquinas dan Al-Asy‟ari. Sebagaimana diketahui
Thomas Aquinas (1225-1274 M) seorang filosof Kristen dilahirkan di
Roccasecca, dekat Aquina, Italia, dari keturunan bangsawan terkemuka
dan masuk ordo Dominikus, mengajar di Paris. Seorang ahli teologi
terbesar dari Gereja pada abad pertengahan. Ia berhasil memadukan
antara pikiran kristiani dengan sistem filsafat Aristoteles.3 Thomas
Aquinas hidup dalam zaman kejayaan bagi filsafat dan teologi
skolastik.4 Ia berperan penting sekali dalam perdebatan-perdebatan
antara universitas-univertas dan ordo-ordo membiara. Terutama dialah
yang membela ajaran Aristoteles terhadap serangan-serangan aliran
lain.5
Sedang dari tradisi skolastik muslim, ketokohan Imam al-
Asy'ari seorang ulama pendiri mazhab As-Ari‟yah (260H/873M
sampai dengan 324 H/935 M) selalu dan tetap diperhitungkan. Karena
pemikirannya yang sangat luas di negeri kita banyak berpengaruh di
2Abdul Majid, Dkk, Al-Islam, Bagian I, (Malang: Pusat Dokumentasi dan
Publikasi Universitas Muhammadiyah Malang, tth), hal. 111. 3 Linda Smith dan William Raeper, Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan
Sekarang, terj P. Hardono Hadi, (Yogyakarta: Kanisius Anggota IKAPI Yogyakarta,
2000), hal. 47. Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, PT.
Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994, hal. 256. Habeyb, Kamus Populer, Pustaka Pelajar
(Anggota IKAPI), Yogyakarta 2001, hal. 19. 4 Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), hal. 66.
5 Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984),
hal.54.
3
kalangan kaum muslimin sampai sekarang, Bahkan pun beliau juga
dikenal sebagai salah seorang penyusun serta pionir dari suatu aliran
dalam ilmu kalam. Sejak kecil hingga berusia 40 tahun, al-Asy'ari
diasuh dan berguru dengan ayah tirinya, Abu Ali al-Jubba‟i, tokoh
besar Mu‟tazilah di Bashrah, sehingga ia sangat menguasai masalah-
masalah kemu‟tazilahan. Integritasnya dalam paham mu‟tazilah diakui
gurunya sehingga al-Jubba‟i sering mempercayakannya berdebat
tentang mu‟tazilah dengan pihak lain.6
Dalam konteksnya tentang soal ketuhanan, baik Thomas
Aquinas maupun al-Asy'ari sangat terkenal pendapat dan ajarannya
tentang argumen-argumen pembuktian adanya Tuhan. Oleh karena itu
yang menjadi masalah bagaimana argumen-argumen pembuktian
tentang adanya Tuhan menurut kedua tokoh itu? Dengan dapat
dijawabnya argumen-argumen tersebut, diharapkan dapat dicari
persamaan dan perbedaan pandangan kedua ahli itu guna menambah
keyakinan tentang adanya Tuhan. Karena tanpa adanya keyakinan
yang kuat tentang eksistensi Tuhan, maka bukan tidak mungkin akan
memperlemah semangat pengamalan dan penghayatan terhadap ajaran
agama.
B. Teori Ketuhanan
1. Tuhan Dalam Perspektif Filosof Muslim
„Tuhan‟ adalah masalah yang tidak pernah tuntas untuk dikaji
dari berbagai disiplin ilmu. Setiap orang pada dasarnya memerlukan
Tuhan apalagi manakala ia seorang diri merenungi akan dirinya dari
mana dan hendak kemana. Tepatlah apa yang dikatakan oleh Louis
6 Abu al-Hasan al-Asy‟ari, Maqaalaat Al-Islaamiyyin Waikhtilaaf Almushalliin,
jilid I, (Kairo Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1369 H/1950 M). hal.70.
4
O.Kattsoff: “Ketika perang dunia ke-II berkecamuk ada suatu
ungkapan yang populer bahwa di dalam lubang-lubang perlindungan
tidak ada penganut ateisme.” Makna yang dikandung ungkapan itu
kiranya menyebutkan bila seseorang terjebak dalam situasi yang
membahayakan jiwanya, tentu ia mengakui adanya Tuhan. Dalam
keadaan semacam itu orang merasakan betapa perlunya Tuhan, dan
sebagai konsekuensinya harus mengakui adanya Tuhan.7
Sehubungan dengan itu kajian ini hendak ditujukan pada
pemikiran beberapa filosof muslim, namun demikian tentu tidak
semuanya dan tentu saja hanya sekilas pandang. Di antara filosof
muslim yang dimaksud:
a. Al-Kindi
Al-Kindi adalah filosof pertama dalam dunia filsafat Islam.
Al-Kindi adalah filosof muslim yang berusaha untuk
menyelaraskan agama dan filsafat. Posisi al-Kindi yang meyakini
bahwa agama dan filsafat atau nalar dan wahyu bisa diselaraskan
kemudian terulang kembali dalam sejarah peradaban manusia
beberapa abad kemudian, melalui apa yang dilakukan oleh Santo
Thomas Aquinas dalam tradisi Kristen beberapa abad kemudian.8
Al-kindi, selain dari filosof, adalah juga ahli ilmu
pengetahuan. Pengetahuan ia bagi ke dalam dua bahagian:
“Pengetahuan ilahi (devine science), sebagaimana yang tercantum
dalam Qur‟an yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh Nabi
dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan. Pengetahuan
7 Lois O.Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa, Soejono Soemargono, cet 7,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996), hal. 443. 8 Pradana Boy, Filsafat Islam , Sejarah, Aliran dan Tokoh, (Malang: Universitas
Muhammadiah Malang, 2003), hal. 87. Lihat juga Ali Mahdi Khan, Dasar-dasar Filsafat
Islam Pengatar Ke Gerbang Pemikiran, terj. Subarkah, (Bandung: Yayasan Nuansa
Cendekia, 2004), hal. 47.
5
manusiawi (human Science) atau falsafat. Dasarnya adalah
pemikiran (ratio-reason). Filsafat bagi Al-Kindi adalah
pengetahuan tentang yang benar (knowledge of truth).9 Yang benar
pertama (the first truth) bagi al-Kindi adalah Tuhan, Falsafat yang
paling tinggi adalah falsafat tentang Tuhan.10
Al-Kindi menyifati Tuhan dengan istilah-istilah baru.
Menurutnya Tuhan adalah yang benar dan tinggi serta dapat disifati
dengan sebutan-sebutan negatif, seperti Tuhan bukan materi, tak
berbentuk, tak berjumlah dan tak berhubungan. Tuhan juga tak
dapat disifati dengan ciri-ciri yang ada di alam. Tuhan tak berjenis,
tak terbagi dan tak berkejadian. la abadi, oleh karena itu, la Maha
Esa dan selain- Nya adalah terbilang.11
Dalil-dalil al-Kindi dalam
membahas tentang kemaujudan Allah bertumpu pada keyakinan
akan hubungan sebab akibat segala sesuatu yang maujud pasti ada
yang mewujudkan. Rangkaian sebab ini terbatas. Oleh karena itu,
perlu ada sebab pertama atau sebab sejati, yaitu tiada lain adalah
Allah sendiri yang tak berjenis. Dengan kata lain, bahwa dalam
pencariannya itu, al-Kindi mengikuti jalur ahli logika.
Al-Kindi dalam bukunya "Rasa'il al-Kindi al-Falsafiyah"
menjelaskan bahwa alam ini dijadikan oleh Allah dari tidak ada
kepada ada. Di samping itu pula Allah, juga yang mengendalikan
dan mengatur serta menjadikannya sebagai sebab bagi yang lain.
Alam ini diciptakan Allah dari tiada, dan oleh karenanya al-Kindi
menyanggah teori mengenai ke-qadim-an alam seperti yang
9 Pradana Boy ZTF, op. cit, hal. 89.
10 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam , cet. 9, (Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1995), hal. 9. 11
M.M. Syarif, The History of Muslim Philosopy, Bagian ke-3 “The
Philosopher”, terj, Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1993), hal.21
6
dikatakan oleh Aristoteles. Menurut al-Kindi, di alam ini terdapat
berbagai gerak antara lain gerak yang menjadikan dan yang
merusak, dan gerak yang seperti ini ada empat sebabnya, yaitu:
sebab material, formal, pembuat dan sebab tujuan. Sebab-sebab
tersebut pada akhirnya bertemu pada ”Sebab Pertama” yang
menyebabkan segala kejadian dan kemusnahan di alam ini, yakni
Allah SWT.12
b. Al-Razi
Al-Razi adalah seorang rasionalis yang hanya percaya pada
kekuatan akal dan tidak percaya pada wahyu serta perlunya nabi-
nabi. Nama lengkap Al-Razi adalah Abu Bakar Muhammad Ibn
Zakaria Al-Razi, lahir di Ray, suatu kota dekat Teheran, di tahun
863 masehi, dan wafat pada tahun 925 Masehi.13
Al-Razi berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk
mengetahui apa yang baik serta apa yang buruk, untuk tahu pada
Tuhan dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Manusia
dalam pendapatnya, pada dasarnya mempunyai daya berpikir yang
sama besarnya, dan perbedaan timbul karena berlainan pendidikan
dan berlainan suasana perkembangannya.14
Dalam falsafatnya
mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ia dekat pada falsafat
Pythagoras, yang memandang kesenangan manusia sebenarnya
adalah kembali kepada Tuhan dengan meninggalkan alam materi
ini. Untuk kembali kepada Tuhan, roh harus terlebih dahulu
disucikan dan yang dapat menyucikan roh adalah ilmu
pengetahuan dan berpantang mengerjakan beberapa hal. Bagi Al-
12
Abuddin Natta. Op.cit, hal. 122-123. 13
Harun Nasution, op. cit, hal. 18-23. 14
Bakker , Sejarah Filsafat Dalam Islam , cet.1, (Yogyakarta: Yayasan
Kanisius, 1978), hal. 42.
7
Razi sebagaimana dilihat, jalan mensucikan roh adalah filsafat.
Dalam hal faham Pythagoras ada transmigration of souls dan ini
dalam faham al-Razi tidaklah jelas. Al-Razi dengan demikian dekat
menyerupai zahid, dalam hal hidup kebendaan. Tetapi ia
menganjurkan moderasi, jangan terlalu bersifat zahid tetapi pula
jangan terlalu mencari kesenangan. Manusia jangan pula sampai
tidak makan atau berpakaian, tetapi makan dan berpakaian sekedar
untuk memelihara diri.15
c. Al-Farabi
Al-Farabi adalah filosof Muslim yang bergelar al-Muallim
al-Tsani atau The Second Master (guru kedua) setelah Aristoteles
yang bergelar al-Muallim al-Awwal atau The First Master (guru
pertama),16
nama lengkapnya, Abu Nasr Muhammad ibn
Muhammad ibn Tarakhan ibn Uzalagh al-Farabi.17
Ia lahir di
Wasij, suatu desa di Farab (tansoxania) di tahun 870 M. Menurut
keterangan ia berasal dari Turki dan orang tuanya adalah seorang
jenderal. Ia sendiri pernah menjadi hakim. Dari Farab ia kemudian
pindah ke Bagdad, pusat ilmu pengetahuan di waktu itu, di sana ia
belajar pada Abu Bishr Matta ibn Yunus (penterjemah), dan tinggal
di Bagdad selama 20 tahun. Kemudian ia pindah ke Aleppo dan
tinggal di Istana Saif al-daulat memusatkan perhatiannya pada
pengetahuan dan falsafat.
Isi dari falsafat al-Farabi adalah falsafat emanasi atau
pancaran, yaitu dengan falsafat ini al-Farabi mencoba menjelaskan
bagaimana yang banyak bisa timbul dari yang satu. Tuhan bersifat
15
Pradana Boy, ZTF, op. cit, hal. 100. 16
Pradana Boy, op. cit, hal. 109 17
JWM.Bakker SY, op. cit, hal. 32.
8
maha satu tidak berobah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak,
maha sempurna dan tidak berhajat pada apapun, kalau demikian
hakekat sifat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak
ini dari yang maha satu? menurut al-Farabi alam terjadi dengan cara
emanasi.
Tuhan sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari
pemikiran ini timbullah maujud lain, Tuhan merupakan wujud
pertama dan dengan pemikiran itu timbulah wujud kedua yang juga
mempunyai substansi. Ia disebut akal pertama, (first intelligence)
yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berfikir tentang wujud
pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga disebut akal
kedua, (second intellegence). Wujud kedua atau akal pertama itu
juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbullah langit pertama
(first heaven). Pada pemikiran wujud kesebelas/.akal kesepuluh,
berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari akal
kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang
menjadi dasar dari keempat unsur, api, udara, air dan tanah.
Jadinya ada 10 akal dan 9 langit yang kekal berputar sekitar
bumi. Akal kesepuluh mengatur dunia yang ditempati manusia ini.
Tentang qidam (tidak bermula) atau baharunya alam, al-Farabi
mencela orang yang mengatakan bahwa alam ini menurut
Aristoteles adalah kekal. Menurut al-Farabi alam terjadi dengan
tidak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi
secara berangsur-angsur, tetapi sekaligus dengan tak berwaktu.
Alam terjadi melalui ciptaan sekaligus tanpa waktu oleh
Tuhan yang Maha Agung. Tidak jelas apa yang dimaksud al-
Farabi. Sebagian penyelidik berpendapat bahwa bagi al-Farabi
alam ini baharu. Tetapi De Boer mengatakan alam bagi al-Farabi
9
qadim (tidak bermula). Yang jelas bahwa materi asal dari alam
memancarkan dari wujud Allah dan pemancaran itu terjadi dari
qidam. Pemancaran diartikan penjadian. Materi dan alam dijadikan
tetapi mungkin sekali bersifat qidam.18
Jiwa manusia sebagai mana halnya dengan materi asal
memancarkan dari akal kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles ia juga
berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya: gerak,
mengetahui, berpikir, akal potensial, akal aktual, akal mustafad.
Akal potensial menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang
dapat yang dapat ditangkap dengan pancaindra, aktual aktual
menangkap arti-arti dan konsep. Sedangkan akal mustafad
mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan
atau menangkap inspirasi dari akal yang di atas dan di luar diri
manusia yaitu akal kesepuluh yang diberi nama akal aktif (active
intellect) yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk segala yang ada
semenjak azal. Hubungan akal manusia dengan akal aktif sama
dengan hubungan mata dengan matahari. Mata melihat karena ia
menerima cahaya dari matahari. Akal manusia dapat menangkap
arti-arti dan bentuk-bentuk karena mendapat cahaya dari akal
aktif.19
d. Ibnu Sina
Ibnu Sina, nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Husain
iben Abdullah iben Sina, Ia bergelar Abu Ali. Bagi ibnu Sina sifat
wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan di atas
18
Harun Nasution, Op. Cit, hal. 20 19
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal.
18.
10
segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Esensi, dalam faham
ibnu sina, terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal.
Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai
kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya.
Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak
mengherankan kalau dikatakan bahwa ibnu sina telah terlebih
dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialism dari
filosof-filosof lain. 20
Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat
mempunyai kombinasi berikut:
a. Essensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa
ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani‟ yaitu sesuatu yang mustahil
berwujud. Sebagai umpamanya, adanya sekarang ini, juga
kosmos lain di samping kosmos yang ada.
b. Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak
mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin yaitu
sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak
berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak
ada, kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
c. Essensi yang tidak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Di sini
essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud; essensi dan wujud
adalah sama dan satu. Disini essensi tidak dimulai oleh tidak
berwujud dan kemudian berwujud. Sebagaimana halnya dengan
essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib
mempunyai wujud selama-lamanya. Yang serupa ini disebut
.20
Ibrahim Madzkur, Filsafat Islam, Metode dan Penerapannya, terj.Wahyudi,
dkk, , (Jakarta: 1988), hal. 211.
11
mesti berwujud yaitu Tuhan Wajib al-wujud inilah yang
mempunyai mumkin al-wujud.
Dengan argumen ini Ibnu Sina ingin membuktikan adanya
Tuhan menurut logika21
2. Dalil Pembuktian Adanya Tuhan
Sifat manusia mempercayai Tuhan pencipta alam ini terdapat
bersama dengan adanya tubuh manusia, sebagaimana yang
ternyatasemenjak zaman yang dikenal sampai hari ini.22
Setiap
manusia mempunyai kecenderungan untuk membuktikan wujud
Tuhannya, bahkan secara langsung, seperti Nabi Musa sendiri pernah
meminta agar Dia memperlihatkan diri kepadanya. (Q.S. al-
A‟raf:143)23
Tuhan Allah itu ada tetapi bagaimana dapat dibuktikan dan
diuraikan adanya Allah ini? Dalam hal ini ada berbagai macam dalil
dan jalan dapat digunakan. Beberapa di antaranya:
a. Dalil Fisika
Dalil ini mula-mula dipakai oleh Abdul Huseli Al-Allaf,
seorang ahli dalam mazhab Mu'tazilah, pengikut Wasil bin Atha'.
Dia memulai Dalil ini dengan teori atom. Bahwa alam ini baik yang
berupa zat padat, zat cair ataupun zat gas, semuanya dapat dibagi-
bagi hingga ke bagian yang terkecil yang biasa disebut orang
molekul. Molekul-molekul ini satu sama lainnya saling tarik-
menarik. Karena kekuatan tarik-menarik inilah terjadi benda-benda
21
Harun Nassution, op.cit, hal. 34 22
Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, jilid 1,
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1984), hal. 95. 23
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya,
(Surabaya: DEPAG RI, 1978), hal. 243.
12
itu. Tiap-tiap molekul itu terjadi dari atom-atom yang teratur
valensinya, teratur beratnya, dan juga teratur persejiwaannya satu
dengan lainnya. Tiap-tiap atom ini berputar-putar di sekitar atom-
atom yang lain.
Dari perputaran atom inilah kemudian timbul daya tarik
menarik antara molekul-molekul. Kalau atom-atom itu tidak
berputar-putar, tidak akan ada daya tarik-menarik, maka tidak akan
ada satu pun benda di alam ini.24
Timbul pertanyaan: Siapakah
gerangan yang memutar dan menggerakkan atom- atom yang
sebanyak itu? Sudah barang tentu karena ada gerakan pasti ada yang
menggerakkan dan yang menggerakkan atau memutar ini tidak ada
lain kecuali Tuhan. Jadi jelaslah, bahwa Tuhan itu ada.
Atau dalil Fisika ini dapat diuraikan begini; di dalam alam
ini, ada susunan dan peraturan yang amat bagus. Dengan teratur
sekali bumi bergerak mengitari matahari dalam waktu 365 hari 5
jam 49 menit 12 detik, sedang bulan mengitari bumi dalam waktu 29
hari 12 jam 44 menit dan 3 detik. Begitu juga planet-planet dan
bintang-bintang lainnya. Semuanya berjalan dengan teratur sekali di
angkasa raya, dan tak sekalipun pernah berantuk atau bertubrukan
satu sama lain.
Kemudian dengan adanya susunan yang demikian hebat dan
adanya peraturan alam semesta yang harmonis ini, dapatkah terjadi
dengan sendirinya? Tentu saja tidak dapat, dan tentulah semua itu
terjadi dan berlaku karena ada yang mengendalikan dan
mengaturnya. Adapun yang mengendalikan dan mengatur ini, tidak
24
Humaidi Tatapangarsa, Kuliah Akidah Lengkap, (Surabaya: PT.Bina Ilmu
Surabaya, 1999), hal. 44.
13
ada lain kecuali Tuhan. Jadi makin jelas, bahwa Tuhan itu memang
ada.25
b. Dalil Akhlak
Manusia mempunyai perasaan moral yang tertanam dalam
jiwa dan hati sanubarinya. Perasaan moral ini, tidak diperoleh dari
pengalaman dalam hidupnya di dunia, tetapi merupakan
pembawaannya sejak lahir. Dengan perasaan moral itu, orang merasa
bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menjauhi perbuatan-perbuatan
buruk dan menjalankan perbuatan-perbuatan baik.
Dan perasaan berkewajiban melakukan perbuatan baik dan
menjauhi perbuatan buruk itu sama sekali tidak tergantung pada
akibat-akibat yang akan timbul dari perbuatan itu. la harus berbuat
baik semata-mata, karena perintah yang datang dari dalam hati
sanubarinya untuk berbuat baik. Demikian pula ia merasa
berkewajiban untuk menjauhi perbuatan buruk semata-mata, karena
perintah yang timbul dari dalam hati nuraninya.
Perintah dari dalam hati ini, bersifat absolut dan universil
(categorical imperative). Perbuatan baik dilakukan karena perintah
memang demikian. Dan pekerjaan jahat dijauhi, karena perintah
juga mengatakan demikian. Perbuatan baik dilakukan dan perbuatan
buruk di jauhi karena itu adalah kewajiban manusia.
Dalam pada itu menurut pengalaman yang sering terjadi
didunia, dapat diketahui bahwa tidak selamanya perbuatan-
perbuatan baik membawa kepada kebaikan, dan perbuatan buruk
acapkali pula tidak mendapat hukuman sebagaimana mestinya.
Dengan demikian antara apa yang terjadi dalam kehidupan di dunia
25
Ibid., hal. 38.
14
dan perintah yang datang dari dalam sanubari, ada kalanya
kontradiksi dalam praktek. Tetapi sungguhpun demikian, manusia
tetap merasa bahwa ia berkewajiban mendengar perintah
sanubarinya itu.
Suasana kehidupan duniawi yang seringkali pincang atau tidak
adil itu menimbulkan suatu perasaan, yaitu pasti ada kehidupan yang
kedua dibalik kehidupan yang pertama yang sekarang ini. Hidup
yang kedua ini kekal abadi, dan dalam hidup yang kekal inilah
perbuatan-perbuatan baik yang belum mendapat balasan baik, dan
perbuatan-perbuatan buruk yang belum mendapat hukuman, akan
memperoleh balasannya masing-masing. Yang baik dibalas baik,
yang buruk diganjar hukuman.
Dan adanya pembalasan yang demikian itu tidak bisa terjadi
dengan sendirinya, tetapi pastilah pembalasan yang adil itu berasal
dari satu zat yang maha adil, dan zat inilah yang disebut Tuhan.
c. Dalil Kesaksian
Untuk membuktikan benar tidaknya sesuatu persoalan,
diperlukan adanya kesaksian. Dalam dunia peradilan misalnya,
hakim yang jujur tak akan menjatuhkan vonis kepada terdakwa,
bilamana persoalan yang menyangkut terdakwa belum jelas dan
meyakinkan, dan untuk meyakinkan ini juga diperlukan adanya
saksi-saksi.
Orang banyak percaya bahwa kota-kota seperti Kairo,
Moskow, Washington, Mekkah dan lain-lain itu ada. Kepercayaan
itu pada umumnya bukan karena mereka telah pernah datang
menyaksikannya, tetapi karena menurut kata orang yang pernah
datang ke sana, bahwa kota-kota tersebut memang ada. Jadi juga
berdasarkan atas kesaksian.
15
Bahwa Tuhan itu ada, juga dapat dibuktikan karena adanya
sejumlah para saksi yang telah ada dari masa ke masa, yang telah
berhasil membuktikan bahwa Tuhan itu ada, berkata, mendengar,
melihat dan bertindak dengan hebatnya. Mereka para saksi adanya
Tuhan ini terdiri dari manusia-manusia pilihan, berakhlaq luhur,
dapat dipercaya, tak pernah berdusta. Mereka itulah para Nabi dan
Rasul Tuhan yang pernah lahir di muka bumi. Jadi, berdasar
kesaksian-kesaksian para Nabi, memang Tuhan itu ada.
d. Dalil Inayah dan Ikhtiro‟
Dalil Inayah dikemukakan oleh Ibnu Rusyd atau Averroes,
seorang filosof Islam terkenal yang hidup antara tahun 1126-1198.
Selain dalil Inayah ini, Ibnu Rusyd mengemukakan pula dalil
Ikhtiro. Kedua dalil Ibnu Rusyd ini, dalam soal pembuktian adanya
Tuhan dinilai oleh para ulama sebagai dalil-dalil yang paling kuat
dan tidak berbelit-belit, sebab kedua dalil tersebut tidak saja sesuai
dengan akal pikiran, tetapi juga cocok dengan ayat-ayat Al-Quran.
Inayah artinya perhatian, perindahan. Maksudnya ialah
perhatian/perindahan Tuhan, dalil ini menyatakan bahwa alam ini
dan segala isinya sesuai betul dengan kehidupan manusia dan
makhluk-makhluk yang lain. Umpamanya siang dan malam,
matahari dan bulan, pergantian musim,hewan tumbuh-tumbuhan dan
hujan, dan lain sebagainya. Semuanya sesuai betul dengan
kehidupan manusia, seolah-olah semuanya itu memang dijadikan
untuk kepentingan manusia.26
26
Abu Ahmadi, op. cit, hal. 270.
16
Persesuaian ini, tentu saja tidak terjadi secara kebetulan,
tetapi terjadi karena penciptaan yang rapi dan teratur yang
berdasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan. Bahkan juga persesuaian
itu menunjukkan adanya perhatian/pemeliharaan dari Sang Pencipta
tadi terhadap alam semesta ini.
Dalam pada itu adanya perhatian dan kebijaksanaan Tuhan,
nampak jelas pula pada diri manusia, terutama ketika masih bayi.
Mula-mula manusia dikeluarkan dari perut ibu dengan tidak
mengetahui apa-apa. Tetapi kemudian akal manusia berangsur-
angsur maju sedikit demi sedikit, sesuai dengan perkembangan
jasmaninya.
Andaikata sejak lahir itu manusia telah diberi akal yang telah
bekerja, tentulah manusia akan merasa berat dibalut erat-erat
tubuhnya, tentulah manusia akan gelisah benar berhubung kekuatan
badannya belum dapat memenuhi kehendak akalnya, dan selain itu
kalau manusia lahir telah berakal, tentulah mereka tidak akan
mendapatkan kasih sayang orang tua, sebagaimana halnya bayi-bayi
yang lahir dengan tidat berakal.
Dengan demikian, kelahiran manusia dengan keadaan bodoh
dan belum dapat memikirkan sesuatu, adalah bersesuaian benar
dengan keadaan manusia yang masih bayi. Kemudian setelah
manusia itu bertambah besar, akal manusiapun naik dan maju pula,
sehingga sesuai dengan perkembangan jasmaninya.
Ini semua, mustahil dapat terjadi dengan sendirinya, tetapi
pastilah ada yang menjadikan, yaitu Tuhan. Dialah yang telah
memperhatikan dan memelihara segala sesuatu yang diciptakannya,
17
sehingga segalanya sesuai betul dengan keadaan masing-masing
hasil ciptaannya itu.27
Dapat disimpulkan, bahwa dalil Inayah berusaha untuk
membuktikan adanya Tuhan, khusus dari segi adanya perhatian atau
perindahan kapada segala yang ada ini, sehingga segalanya ada dan
berlaku sesuai benar dengan kepentingan dari masing-masing
makhluk. Adapun dalil Ikhtiro' artinya penciptaan. Sesuai dengan
artinya ini, maka Dalil Ikhtiro‟ berusaha membuktikan adanya
Tuhan, khusus dari segi penciptaan alam semesta ini. Dalil ini
ditegakkan atas dua dasar.
Dasar pertama; bahwa keadaan segala yang berwujud inilah
mukhtaro' (diciptakan). Dasar kedua : bahwa keadaan tiap-tiap yang
diciptakan mempunyai mukhtari'nya (penciptanya). Dari dua dasar
itu dapat ditarik kesimpulan bahwa segala yang ada di alam ini,
pastilah mempunyai Fail Mukhtari'nya (pembuat yang
menciptakannya atau Sang Pencipta). Dan Fail Mukhtari' ini tiada
lain kecuali Tuhan Allah. Pada prinsipnya, dalil ikhtiro‟
menetapkan, bahwa alam ini baru ada, sesudah diadakan, Tiap-tiap
yang baru tentulah dengan sendirinya berhajad kepada yang
mengadakannya. Tidak mungkin sekiranya alam ini dapat
mengadakan dirinya sendiri. Dan yang mengadakan segalanya ini,
dialah Tuhan yang Wajibul Wujud.28
27
A.Hanafi, Pengantar Teologi Islam , (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003),
hal. 239-263. 28
T.M.Hasbi Ash Shiddiqy, Al-Islam , jilid 1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971),
hal. 57-65. Bandingkan uraian J.W.M.Bakker, Sejarah Filsafat Dalam Islam ,
(yogyakarta:Yayasan Kanisius, 1978), hal. 73-82.
18
C. Figur Thomas Aquinas dan Al-Asy’ari serta Pemikiran Mereka
1. Figur Thomas Aquinas dan Pandangannya tentang „Tuhan‟
Thomas Aquinas adalah seorang ahli teologi Katolik dan
filosof. Dilahirkan di Italia dan belajar di bawah asuhan pendeta-
pendeta Benedictine dan Dominican, juga belajar pada universitas-
universitas di Naples, Paris dan Cologne. Ia menerima gelar Doktor
dalam teologi dari Universitas Paris dan mengajar di sana sampai
1259.29
Thomas Aquinas dianggap sebagai filosof skolastik terbesar.
Dalam semua institusi pendidikan Katolik yang mengajarkan filsafat,
sistemnya diajarkan sebagai satu-satunya sistem yang benar; ini sudah
menjadi aturan baku yang ditetapkan oleh Leo XIII pada tahun 1879.
Oleh karena itu, St. Thomas tidak hanya penting dalam sejarah, tetapi
pengaruhnya tetap hidup, seperti Plato, Aristoteles, Kant, dan Hegel
bahkan, sebenarnya melebihi dua tokoh yang disebut terakhir.
Dalam beberapa hal, ia banyak mengikuti Aristoteles, sehingga
orang Stagyrite ini, dikalangan umat Katolik-hampir-hampir
mempunyai otoritas sebagai salah seorang Bapa; mengkritiknya dalam
masalah filsafat murni dianggap kafir.30
St. Thomas adalah putra dari pangeran Aquino, yang kastilnya,
di kerajaan Nepal, dekat dengan Monte Cassino, dimana pendidikan
“dokter. Angelic” ini bermula. Selama 6 tahun ia belajar di universitas
Frederick II Nepal; kemudian ia menjadi pengikut Dominican dan
pergi ke Cologne, untuk belajar di bawah bimbingan Albertus Magnus,
ahli Aristotelian terkemuka dikalangan para filosof pada waktu itu.
29
Linda Smith, dan William Raeper, Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan
Sekarang, terj P. Hardono Hadi, (Yogyakarta: Kanisius Anggota IKAPI Yogyakarta
2000), hal. 46 30
K.Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta:Kanisius, Yogyakarta, 1999),
hal. 129.
19
Setelah menjalani pendidikan di Cologne dan Paris, ia kembali ke
Italia, di mana ia menghabiskan sisa-sisa hidupnya kecuali selama tiga
tahun, 1269-1272.31
ia mengadakan analisa sejarah pemikiran filosof
Yunani dan Arab, lalu menempatkan pemikiran mereka dalam arus
pemikiran filsafat waktu itu, bahkan juga mengkritik pemikiran
mereka.32
Thomas Aquinas adalah seorang santo, mistikus, dan teolog
serta metafisikus. Aquinas pergi ke sekolah di bawah para
Benediktindi pertapaan terkenal di Monte Cassino dan kemudian
belajar di Universitas Napoli. Pada Tahun 1244, ia menjai seorang
Dominikan ordo yang baru saja didirikan dari para pertapa (miskin).
Keluarganya menjai ngeri dan menculiknya, tetapi Thomas tetap teguh
dan memilih caranya sendiri.33
Aquinas meneruskan belajarnya di Paris dsan Cologne di
bawah bimbingan Albertus Agung. Ia adalah orang yang besar,
lamban; dan mahasiswa yang lain menyebutnya “ lembu bodoh”.
Namun kecerdasannya tidak diragukan, dan Albertus Agung
menyatakan: “lembu bodoh ini akan memenuhi dunia dengan
lenguhannya.” Aquinas pergi ke Paris lagi pada Tahun 1254 dimana
dua tahun kemudian, ia menjadi Profesor penuh. Ia mengajar di Paris
dan Italia sampai kematiannya pada tahun 1274 dalam perjalanannya
menuju ke Konsili lyons. Karyanya dikutuk di Paris dan oxford, dan
tidak disetujui lagi sampai lima puluh tahun setelah kematiannya. Ia
diangkat menjadi santo pada tahun 1323. Sewaktu sedang
mempersembahkan misa pada bulan Desember 1273, Aquinas
31
Ibid, hal. 599. 32
Hassan Shadiliy, Ensiklopedi Indonesia, Op.cit, hal. 253. 33
Delfgaauw, Bernard, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, alih bahasa, Soejono
Soemargono, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1992), hal. 56.
20
mempunyai pengalaman yang mungkin merupakan suatu
penampakkan atau kegagalan syaraf. Ia berhenti menulis. Sewaktu
didesak untuk meneruskan, ia memberitahu sekretarisnya “Saya tidak
dapat, karena semua yang telah saya tulis kelihatan seperti jerami.”
Buah karya Aquinas sangatlah banyak, Summa Theologica-nya
saja memuat lebih dari dua juta kata. Summa Theologica adalah
penyajian telogi secara sistematik, yang ditulis bagi para calon
biarawan dalam kependetaan, dan juga merupakan rangkuman definitif
filsafat Katolik.34
Seluruh karyanya ditulis dalam rentang waktu dua
puluh tahun. Dua karya utama Aquinas adalah: Summa Contra
Gentiles atau “Pedoman Melawan Kaum Kafir”, ditulis bagi mereka
yang tidak percaya akan iman Kristen; dan Summa Theologica
“Pedoman Teologi”, ditulis untuk orang-orang Kristen, khususnya
bagi para pertapa muda yang mempelajari teologi.35
Bahasa Latin Aquinas padat tetapi jernih. Ia menunjukkan
perhatian pada pernyataan yang jernih dan tepat. Perhatian seperti itu
merupakan ciri Abad Pertengahan, dan memberi filsafat Aquinas suatu
tingkat modern pada waktu perhatian mengenai filsafat dan bahasa
menjadi terkait secara erat sekali.36
Thomas Aquinas mendasarkan filsafatnya pada kepastian
adanya Tuhan. Ia mengetahui banyak ahli teologi percaya pada adanya
Tuhan hanya berdasarkan pendapat umum. Ada juga ahli teologi yang
menganggap eksistensi Tuhan tidak dapat diketahui dengan akal; itu
hanya dapat diketahui berdasarkan iman. Menurut Thomas Aquinas,
34
Robert C.Salomon &Kathleen M.Higgins, Sejarah Filsafat, terj. Saut Pasaribu,
(Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002), hal. 289. 35
Ibid 36
Smith dan William Raeper, Ide-ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang,
(Yogyakarta: Kanisius, (Anggota IKAPI), 2000), hal. 47.
21
eksistensi Tuhan dapat diketahui dengan akal. Untuk membuktikan
pendapatnya ini ia mengajukan lima dalil (argumen) seperti yang
diringkaskan berikut ini.
Argumen pertama diangkat dari sifat alam yang selalu
bergerak. Di dalam alam ini segala sesuatu bergerak. Dari sini
dibuktikan bahwa Tuhan ada. Bierman dan Gould menamakan
argumen ini argumen gerak.37
Jelas sekali bahwa alam ini bergerak.
Setiap yang bergerak pasti digerakkan oleh yang lain sebab tidak
mungkin suatu perubahan dari potensialitas bergerak keaktualitas
bergerak tanpa ada penyebabnya, dan penyebab itu tidak mungkin ada
pada dirinya sendiri. Dengan kata lain, tidak mungkin sesuatu bergerak
sendiri. gerakan adalah perubahan dari potentia ke actus; potentia
tanpa sebab lain tidak mungkin actus. Akan tetapi, timbul persoalan:
bila sesuatu bergerak hanya karena ada penggerak yang
menggerakkannya, tentu penggerak itu pun memerlukan pula
penggerak di luar dirinya. Bila demikian, terjadilah penggerak
berangkai yang tidak terbatas. Konsekuensinya adalah tidak ada
penggerak. Menjawab persoalan ini Thomas Aquinas mengatakan
bahwa justru karena itulah maka sepantasnya kita sampai pada
penggerak pertama, yaitu penggerak yang tidak digerakkan oleh yang
lain. Itulah Tuhan.38
Argumen kedua disebut sebab yang mencukupi (efficient
cause). Ringkasannya kira-kira sebagai berikut. Di dalam dunia
inderawi kita saksikan adanya sebab yang mencukupi. Tidak ada
sesuatu yang mempunyai sebab pada dirinya sendiri. Sebab, bila
37
Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, alih bahasa, Soejono
Soemargono, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1992), hal. 43. 38
Hamzah Yaqub, Filsafat Agama, Titik Temu akal dengan Wahyu, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hal. 51.
22
demikian, ia mesti menjadi lebih dulu dari pada dirinya. Ini tidak
mungkin. Dalam kenyataannya yang ada adalah rangkaian sebab dan
musabab. Seluruh sebab berurutan dengan teratur: penyebab pertama
menghasilkan musabab, musabab ini menjadi penyebab yang kedua
yang menghasilkan musabab kedua, musabab kedua ini menjadi
penyebab yang ketiga yang menghasilkan musabab yang ketiga, dan
begitu seterusnya sehingga terjadi rangkaian penyebab. Itu berarti
bahwa membuang sebab sama dengan membuang musabab. Artinya,
bila tidak ada sebab pertama, tentu tidak akan ada rangkaian sebab itu
tadi, dan ini akan berarti tidak akan ada apa-apa. Nyatanya apa-apa itu
ada. Oleh karena itu, wajarlah untuk menyimpulkan adanya sebab
pertama, dan itu Tuhan.39
Argumen ketiga adalah argumen kemungkinan dan keharusan
(possibility and necessity). Kita menyaksikan di dalam alam ini segala
sesuatu bersifat mungkin ada dan mungkin tidak ada. Adanya alam ini
bersifat mungkin. Kesimpulan itu kita ambil karena kenyataannya isi
alam dimulai dari tidak ada, lalu muncul, lantas berkembang, akhirnya
rusak atau hilang. Kenyataan itu, yaitu alam berkembang menuju
hilang, membawa kita kepada konsekuensi bahwa alam-alam ini tidak
mungkin selalu ada karena ada dan tidak ada tidak mungkin menjadi
sifat sesuatu sekaligus dalam waktu yang sama. Bila sesuatu yang tidak
mungkin ada, ia tidak mungkin ada. Nah, mestinya sekarang ini tidak
ada sesuatu. Ini berlawanan dengan kenyataan. Kalau demikian, harus
ada sesuatu yang ada sebab tidak mungkin muncul yang ada bila ada
pertama itu tidak ada. Sebab, bila pada suatu waktu tidak ada sesuatu,
maka tidak mungkin muncul sesuatu yang lain. Jadi, ada pertama itu
39
Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, alih bahasa, Soejono
Soemargono, (Yogyakarta: PT. Tiara, 1992), hal. 87.
23
harus ada karena adanya alam dan isinya ini. Akan tetapi, ada pertama
itu, ada yang harus ada itu dari mana? terjadi lagi rangkaian penyebab.
Kita harus berhenti pada penyebab yang harus ada, itulah Tuhan.40
Argumen keempat memperhatikan tingkatan yang terdapat
pada alam ini. Isi alam ini masing-masing berkelebihan dan
berkekurangan, misalnya dalam hal kebaikan, keindahan, kebenaran.
Ada orang yang dihormati, ada yang lebih dihormati, ada yang
terhormat. Ada indah, lebih indah, terindah. Benar juga demikian.
Tingkatan tertinggi menjadi sebab tingkatan dibawahnya.
Api yang mempunyai panas adalah sebab untuk panas
dibawahnya. Yang maha sempurna, yang maha benar, adalah sebab
bagi sempurna dan benar pada tingkatan dibawah-Nya. Tuhan, karena
itu, adalah tingkatan tertinggi. Begitu juga tentang ada. Tuhan
memiliki sifat ada yang tertinggi; ada yang dibawahnya disebabkan
oleh ada yang tertinggi itu.41
Argumen kelima berdasarkan keteraturan alam. Kita saksikan
isi alam dari jenis yang tidak berakal bergerak atau bertindak menuju
tujuan tertentu, dan pada umumnya berhasil mencapai tujuan itu,
sedangkan mereka itu tidak mempunyai pengetahuan tentang tujuan
itu. Dari situ kita mengetahui bahwa benda-benda itu diatur oleh
sesuatu dalam bertindak mencapai tujuannya. Sesuatu yang tidak
berakal mestinya tidak mungkin mampu mencapai tujuan. Nyatanya
mereka mencapai tujuan. Itu tidak mungkin seandainya tidak ada yang
mengarahkan mereka. Yang mengarahkan itu pastilah berakal dan
mengetahui. Kita lihat anak panah diarahkan oleh pemanah. Yang
40
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, 1, (Yogyakarta: Kanisiu,
1980), hal. 107. 41
Smith dan William Raeper, Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang,
terj P. Hardono Hadi, (Yogyakarta: Kanisius Anggota IKAPI, 2000)
24
mengarahkan alam semesta ini haruslah ada, harus berakal dan
berpengetahuan. Itulah Tuhan.42
Demikian lah lima argumen tentang
adanya Tuhan. Argumen ini amat terkenal pada abad pertengahan.
Argumen ini ditulis oleh Thomas Aquinas dalam summa theologica.43
Setelah Thomas Aquinas merasa berhasil menyusun argumen-
argumen di atas, dan ia merasa filsafat itu telah membuktikan adanya
Tuhan, selanjutnya ia berusaha menjelaskan sifat-sifat Tuhan itu.
Menurut Thomas Aquinas, Tuhan tidak tersusun dari esensi dan
aksidensi, karena itu Tuhan tidak dapat berubah. Tuhan tidak memiliki
potentia. Ia semata-mata actus, Ia form murni. Lebih lanjut ia
menyatakan bahwa Tuhan sama dengan esensinya. Untuk memahami
ini hendaknya kita telah mengetahui bahwa sesuatu terdiri atas esensi
dan aksidensi. Tatkala orang membuat definisi, hanya sifat esensi
itulah yang disebut; sifat-sifat aksidensi dibuang. Tuhan bukan terdiri
dari esensi dan aksidensi; Tuhan seluruhnya esensi. Kita pun telah
mengetahui bahwa bila sesuatu hanya esensinya, yaitu definisinya saja,
maka pengertiannya tetap. Karena Tuhan hanya esensi, maka Tuhan
tidak pernah mengalami perubahan. Yang berubah itu adalah sifat-sifat
aksidensi.44
Berbeda dengan Augustinus, Thomas Aquinas berpendapat,
bahwa Tuhan tidak berbuat semuanya; perbuatan Tuhan dibatasi oleh
kebaikan. Jadi Tuhan tidak bebas sebebas-bebasnya dalam berbuat.
Tentang penciptaan, Aquinas berpendapat bahwa Tuhan menciptakan
alam semesta dari tiada, sekaligus jadi berlawanan dengan teori
42
Ak. Bierman dan James A. Gould, Op cit, hal. 640-641 43
John Herman Randall, Reading In Philoshophy, (New York: Barnes and Noble
, Inc, New York, 1950), hal. 271-272. 44
Frederick Mayer, A. History of Ancient & Medieval Philosophy, (New York:
America Book Company, 1950), hal. 455.
25
Darwin. Dalam mencipta itu Tuhan tidak dipengaruhi oleh apapun,
karena itu ia tidak memerlukan penciptaan secara evolusi. Tentang
cara Tuhan menciptakan alam semesta kelihatan tidak dibicarakan oleh
Thomas Aquinas. Apakah ia menganut teori emanasi? Itu amat
mungkin karena penciptaan dari tiada biasanya hanya dapat dipahami
melalui teori emanasi.45
Sungguh wajar muncul pertanyaan : apa tujuan Tuhan
menciptakan alam semesta ini? Thomas Aquinas menjawab bahwa
tujuannya adalah memperlihatkan kebaikan Tuhan. Melalui penciptaan
itu Tuhan bermaksud memperlihatkan kesempurnaan-Nya, kemaha
kuasaan-Nya. Orang skeptis bertanya, mengapa isi alam ini banyak dan
bertingkat-tingkat? Thomas Aquinas menjawab bahwa dalam
keragaman ciptaan ini terdapat penjelasan tentang sifat-sifat keilahian
Tuhan, merupakan penjelasan kemurahan Tuhan, yang sebenarnya
Tuhan dapat saja menciptakan isi alam ini sama.
Menurut Thomas Aquinas alam ini tidak kekal. Sekalipun
demikian, menurut pendapatnya akal tidak dapat membuktikan apakah
alam ini kekal atau kah tidak kekal. Sedangkan menurut Aristoteles
alam ini kekal. The Motion of the physical universal is eternal…. Bila
bergerak itu kekal, tentu fisik alam semesta alam ini kekal.46
Dalam kaitannya tentang kosmologi, yang terpenting di dalam
kosmologi Aquinas ialah pandangannya tentang matter dan from.
Menurut pendapatnya, matter tidak dapat ada terpisah dari form. Bila
terpisah, kata Aquinas, tentu akan terdapat kontradiksi sebab matter itu
tidak jelas. Pada Aristoteles, matter dan form terpisah/ masiiig-inasing
45
Ibid, hal. 458. 46
Albert E.Avey, Handbook in the History of Philosophy, (New York, Barnes &
Noble, t.th.), hal.31-33.
26
otonom47
. Setiap benda terdiri atas bahan (matter) dan sifat (form).
Kalau Ai-ida melihat sepotong emas, maka zat (matter) emas ialah
bendanya itu, sedangkan kuningnya emas, susunan kiinianya, dan lain-
lain sifatnya, adalah sifat (form). Nah, tentulah Anda tidak mungkin
meinisahkan zat emas dari sifat emas. Anda tidak dapat membedakan
zat air dan sifat air. Tatkala Anda mengenal air yang Anda kenal, itu
adalah matter dan form-nya. Demikianlah jalan pikiran Aquinas. Justru
teori Aristoteles itulah yang sulit dipahaini.
Perbedaan antara manusia dan malaikat menurut Aquinas ialah
karena malaikat tidak mempunyai tubuh/ jadi tidak mempunyai matter.
Mereka semata-mata form, sedangkan manusia mempunyai matter
dan form.
Dalam hal ruang dan waktu Aquinas sama dengan Aristoteles.
Ruang tidak dapat dipikirkan terlepas dari eksistensi benda. la tidak
menerima paham yang mengatakan bahwa ruang tidak terbatas karena
hal ini berlawanan dengan ajaran Kristen. Adapun waktu/ ia ditentukan
oleh gerak. Sebagaimana halnya ruang, waktu juga terbatas. Alasan
yang diajukan oleh Aquinas untuk menopang pendapatnya mengenai
ruang dan waktu tidak memuaskan. Itu tidak mengherankan karena
persoalan ruang dan waktu merupakan dua persoalan filsafat yang sulit
dipecahkan.
Adapun Pandangan Aquinas tentang jiwa amat sederhana.
Katanya, jiwa dan raga mempunyai hubungan yang pasti: raga
menghadirkan matter dan jiwa menghadirkan form, yaitu prinsip-
prinsip hidup yang aktual. Kesatuan antara jiwa dan raga bukanlah
terjadi secara kebetulan. Kesatuan itu diperlukan untuk terwujudnya
47
Ibid, hal. 32.
27
kesempurnaan manusia. Yang dimaksud dengan jiwa oleh Aquinas
ialah kapasitas intelektual (pikir) dan kegiatan vital kejiwaan lainnya.
Oleh karena itu, Aquinas mengatakan bahwa manusia adalah makhluk
berakal. Konsekuensinya ialah jiwa harus membimbing raga karena
jiwa lebih tinggi daripada raga. Akan tetapi jiwa itu bergantung juga
pada raga; kegiatan raga mempengaruhi jiwa. Selanjutnya Aquinas
membuat perbedaan yang tajam antara tiga tipe jiwa: jiwa vegetatif,
yaitu jiwa yang mengatur tetumbuhan; jiwa sensitif yang mengatur
kehidupan hewan; dan jiwa rasional yang mengatur kehidupan
manusia 48
. Jiwa rasional inilah yang merupakan manifestasi
kehidupan yang tertinggi yang menyuguhkan supremasi intelek di atas
benda (tetumbuhan) dan hewan.
Sekalipun jiwa itu memiliki kesatuan (jiwa itu satu), ia dapat
dibagi dalam kemampuannya. Kemampuan itu ialah kemampuan
mengindera (sensation), kemampuan pikir (reason), dan nafsu
(appetite) yang mencakup kemauan. Jiwa bersifat material, sama
dengan Augustinus. Bukti yang menunjukkan bahwa jiwa bersifat
imaterial ialah jiwa itu mampu memikir- kan objek-objek yang
imaterial dan mampu memikirkan yang universal.
Dengan mengikuti ajaran Kristen, Aquinas berpendapat bahwa
jiwa akan hidup kembali. Jiwa, di sana nanti, akan hidup kembali
sesudah kematiannya dan ia akan disatukan dengan jasad. Ini sama
dengan teori Al-Ghazali.
Selanjutnya Aquinas mengajarkan bahwa kita seharusnya me
nyeimbangkan akal dan iman: akal membantu membangun dasar dasar
filsafat Kristen. Akan tetapi, harus selalu disadari bahwa hal itu tidak
48
Mayer, op cit, hal. 459.
28
selalu dapat dilakukan karena akal terbatas. Akal tidak dapat
meniberikan penjelasan tentang kehidupan kembali (resurrection) dan
penebusan dosa. Akal juga tidak akan mampu membuktikan kenyataan
esensial tentang keimanan Kristen. Oleh karena itu, ia berpendapat
bahwa dogma-dogma Kristen itu tepat sebagaimana yang disebutkan
dalam firman-firman Tuhan.
Berdasarkan uraian itu kita dapat mengetahui adanya dua jalur
pengetahuan dalam filsafat Aquinas. Jalur itu ialah jalur akal yang
dimulai dari manusia dan berakhir pada Tuhan, dan yang kedua ialah
jalur iman yang dimulai dari Tuhan (wahyu), didukung oleh akal.
Aquinas membagi pengetahuan menjadi tiga bagian: pengetahuan
fisika, matematika, dan metafisika. Dari yang tiga ini metafisikalah
yang lebih banyak mendapat perhatiannya, yang menurut pendapatnya
dapat menyajikan abstraksi tingkat tertinggi.49
Sehubungan dengan teorinya di atas maka di dalam filsafat
Aquinas, filsafat dapat dibedakan dari agama dengan melihat
penggunaan akal. Filsafat ditentukan oleh penjelasan sistematis akidah,
sedangkan agama di tentukan oleh keimanan. Sekalipun demikian,
perbedaan itu tidak begitu jelas karena pengetahuan sebenarnya adalah
gabungan kedua-duanya. Agama dapat pula dibagi dua. Yang pertama
ialah agama natural yang dibentangkan di atas akal, dan yang kedua
ialah agama wahyu yang dibentangkan di atas iman.
Di dalam doktrinnya tentang pengetahuan, Aquinas adalah real
is moderat. la tidak sependapat dengan Plato yang mengajarkan bahwa
alam semesta ini mempunyai eksistensi yang objektif. la mengajarkan
bahwa alam semesta ini berada dalam tiga cara. Pertama, sebagai
49
Mayer, op cit, hal. 461
29
sebab-sebab di dalam pemikiran Tuhan (anter em); kedua,. sebagai
idea dalam pikiran manusia (post rem); dan ketiga, sebagai esensi
sesuatu (in rein).
Dapat dicatat di sini bahwa Aquinas mencoba menjembatani
dua ekstriinitas: extreme nominalism dan extreme realism.
Nominalisme ialah suatu ajaran dalam filsafat skolastik yang
menyatakan bahwa tidak ada eksistensi abstrak yang sungguh-sungguh
objektif; yang ada hanyalah kata-kata dan nama-nama; yang benar-
benar real ialah fisik yang partikular ini saja (Runes: 210). Realisme
ialah salah satu ajaran dalarn filsafat yang mengatakan bahwa realitas
universal abstrak sama dengan atau lebih tinggi daripada realitas
fisik50
.
Aquinas melakukan harmonisasi antara kedua ekstrem itu
dengan cara memperlihatkan bahwa alam semesta mempunyai
berbagai pengertian bila diterapkan pada Tuhan, manusia, dan alam.
Sains, menurutnya, berkenaan dengan alam jenis ketiga, yaitu alam
sebagai esensi. Konsep-konsep sains tidak membenci pada hal-hal
yang bersifat materi, sebab manusia dilahirkan tidak membawa idea-
idea imaterial. Menurut pendapat Aquinas, pikiran tidak akan berisi
apa-apa bila tidak menggunakan indera. Proses pengetahuan dimulai
dari penginderaan, yang memberikan kepada kita persepsi tentang
suatu objek di dalam alam. Persoalan yang dihadapkan kepada
Aquinas ialah bagaimana persepsi itu diterjemahkan ke dalam idea-
idea yang dapat dipikirkan. Untuk menyelesaikan masalah ini Aquinas
menggunakan istilah intelek aktif yang bertugas menjelmakan unsur-
unsur dalam alam semesta, lalu menciptakan jenis-jenis yang dapat
50
Dagobert Runes, Dictionary Of Philosophy, (New Jersey:Totowa, 1971), hal.
264
30
dipikirkan. Intelek aktif itulah, yang memberikan kepada kita keadaan
susunan alam semesta. Melalui intelek aktif kita dapat memahaini
prinsip-prinsip pertama yang mengatur semua kenyataan.51
Pengalaman, menurut Aquinas, bukanlah suatu proses yang
kacau; pengalaman menyatakan prinsip-prinsip universal tentang
eksistensi. Kualitas-kualitas partikular tidaklah terpisah-pisah; mereka
mempunyai kualitas yang esensial dalam keseluruhan. Tugas sainslah
untuk mengklasifikasikan dan menguraikan kualitas-kualitas itu. Sains,
oleh karena itu, bersangkutan dengan alam semesta. Oleh sebab itu,
semakin universal sains, semakin penting kedudukannya bagi
kesejahteraan manusia.
Kalau dibandingkan dengan pandangan modern tentang sains,
teori Aquinas amat berbeda. Menurut pandangan filsafat sains modern,
pencapaian terbaik pada sains bila ia lebih menjurus kepada objek-
objek yang partikular. Sains modern tidak memberikan penghargaan
yang tinggi kepada masalah-masalah imaterial. Bagian imaterial itu
merupakan bagian pembahasan metafisika. Sedangkan pada Aquinas
tadi, sains akan semakin tinggi nilainya bila ia semakin universal.
Dalam konteksnya dengan argumen Tuhan dan implikasinya,
bahwa Thomas Aquinas mempekuat pembuktian adanya Tuhan
dengan mengkaitkan pada bahasan nilai etika. Dalam hal ini nilai etika
tertinggi pada etika Aquinas ialah Kebaikan Tertinggi. Kebaikan
Tertinggi tidak dapat dicapai dalam kehidupan sekarang. Kita harus
menunggu hari kelak ketika kita memperoleh pandangan yang
sempurna tentang Tuhan. Pandangan etika Aquinas menekankan
superioritas tentang kebaikan keagamaan. Karenanya ia banyak
51
Rizal Mustanyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), hal. 68.
31
membahas iman. la toleran terhadap orang-orang yang tidak beriman
dan bekerja sama dengan mereka, tetapi ia juga terang-terangan
menuduh mereka kafir. Orang-orang kafir itu akan mengalami lepas
hubungan dengan Tuhan. Bila mereka terus saja deinikian, mereka
akan mati dalam hukuman. Tentang kematian yang deinikian Gereja
tidak akan memberikan hukuman, tetapi dunia akan memberikan
hukuman.52
Dasar kebaikan ialah kemurahan hati (charity) yang menurut
Aquinas lebih dari sekadar kedermawanan atau belas kasihan.
Kemurahan hati itu terdapat di dalam jiwa yang penuh cinta. Cinta
kepada Tuhan datang pertama kali, dari situ muncul cinta kepada
selain Tuhan. Akan tetapi, konsepnya tentang cinta tidak menyeluruh
karena tidak mencakup orang kafir.
Kehidupan pertapa (ascetic) memainkan peranan yang kuat di
dalam etikanya. Oleh karena itu, ia setuju kepada St. Augustinus yang
mengajarkan bahwa kehidupan membujang (celebacy) lebih baik
daripada kawin. Hidup dalam perkawinan itu rendah. Pengaruh
Aquinas cukup besar pada abad-abad selanjutnya melalui pendapat-
pendapatnya bahwa perkawinan tidak boleh cerai karena hal itu
berlawanan dengan hukum masyarakat dan menentang Tuhan.
Monogami adalah watak asli manusia. la juga menentang keras
pembatasan kelahiran. Kedudukan ayah dalam keluarga adalah yang
tertinggi, jadi ia mendukung patrilineal (menarik garis keturunan dari
pihak ayah) yang memang berkembang pada Abad pertengahan.
Mengenai kebebasan kemauan (free will) ia menyatakan bahwa
manusia berada dalam kedudukan yang berbeda dari Tuhan. Tuhan
52
Linda Smith dan William Raeper, Ide-Ide Filsafat Dan Agama Dulu Dan
Sekarang, (Yogyakarta: Kanisius , 2000), hal. 46.
32
selalu benar sedangkan manusia kadang-kadang salah. Manusia selalu
dihadapkan kepada bermacam-macampilihan. Dalam memilih itu
manusia dipengaruhi oleh tuntutan materi. Kadang-kadang manusia
dihinggapi keraguan sebagaimana sering kita meragukan adanya
kehidupan di akhirat. Oleh karena itu, manusia sering memilih sesuatu
yang rendah dan itu membimbing manusia menjauhi Tuhan. Kita dapat
memperoleh kebebasan sempurna dengan cara meimilih sesuatu yang
akan membawa kepada kebahagiaan abadi dan mendekatkan kita
kepada sifat-sifat ilahi.
Kemauan manusia tidak ditentukan oleh sesuatu di luar dirinya.
Oleh karena itu,bila kita memilih yang salah, layaklah kita mendapat
hukuman. Manusia itu pada akhirnya akan mampu mengenal Tuhan,
bila berusaha. Itu dapat dicapai dengan akal, wahyu, atau dengan
intuisi. Namun, ia hanya tertarik sedikit pada pembahasan tentang
intuisi, karena itu ia tidak percaya kepada adanya pencerahan Ilahi
(ilmu mukasyafah dalam tashawwuf Islam). Pikiran lebih penting
daripada kemauan; demikian pendapatnya. Melalui pikiran itulah kita
akan sampai kepada kepastian.
Tentang autoritas sosial, menurut Aquinas, itu berakar pada
sifat-sifat. manusia; sifat-sifat itu didapat dari Tuhan. Negara dan
manusia akan tetap ada sekalipun, inisalnya, manusia tidak terusir dari
surga. Karena manusia adalah makhluk sosial, maka ia cenderung
hidup berkelompok. Kehidupan berkelompok itu merupakan natural
law (hukum alam). Aturan hidup berkelompok itu dibuat dalam suatu
sistem hukum negara. Tujuannya haruslah kesejahteraan warga negara.
Sifat manusia sebenarnya tidak menyenangi tirani. Monarki lebih
sesuai dengan watak manusia. Negara berpijak pada organisasi
keluarga yang mendapat keadaannya dari Tuhan: berkeluarga memang
33
naluri yang didapat manusia dari Tuhan. Keluarga merupakan
organisasi sosial yang pertama sebelum adanya masyarakat. Keluarga
sebagai lembaga sosial bersifat tetap, tidak berubah, sekalipun ada
pengaruh dari kekuasaan yang lebih tinggi dan ada pengaruh dari
adanya kebutuhan-kebutuhan.
Di belakang teori Aquinas itu sesungguhnya terbentang suatu
perspektif sejarah yang telah berkembang pada Abad Pertengahan.
Sebelum Aquinas tampil terdapat anggapan bahwa dahulu kehidupan
manusia ada di dalam surga; di sana keadaannya manusia itu tanpa
kesalahan dan tanpa dosa warisan. Dari sini lahirlah anggapan bahwa
keluarga adalah sesuatu yang amat esensial dalam masyarakat dan
merupakan institusi yang tidak dapat berubah. Timbul pula anggapan
pada para penulis zaman itu bahwa sejarah dimulai dari ketinggian,
kehormatan, dan eksistensi yang memuasknn sekalipun sejarah
sebagaimana kita saksikan, dimulai dari kehidupan yang buas dan
biadab. Pada studi selanjutnya, pelajar Abad Pertengahan menghadapi
idea tentang surga, dan mereka mengharapkan keselamatan. Akan
tetapi, pelajar zaman sekarang kehilangan cita-cita tatkala mereka
mempelajari sejarah karena mereka melihat bahwa sekalipun modern,
manusia ini masih dibungkus oleh kebutahurufan hampir dalam segala
hal.53
Sesudah terusir dari surga, menurut penulis-penulis Abad
Pertengahan, manusia itu menemui anarki, perpecahan, dan
permusuhan. Melalui organisasi kelompoklah manusia dapat menjamin
kehidupannya yang lebih aman. Bangsa-bangsa yang telah ada
53
http://media http://media.isnet.org/off/Xtian/Aquinas/bio.html, hal. 2
34
sebelum turunnya wahyu Kristen adalah sekadar percobaan dalam
organisasi manusia.
Menurut Aquinas, hukum ada empat macam, yaitu hukum
abadi, hukum alam, hukum Tuhan, dan hukum manusia. Harus ada
hukum yang pasti dalam penciptaan dan pengaturan alam semesta;
inilah yang dimaksud dengan hukum abadi, yaitu suatu rencana (blue
print) yang mengatur penciptaan dan pengaturan alam semesta ini.
Esensi hukum ini tidak dapat dipahami oleh manusia; bekasnya dapat
dilihat pada hukum alam. Hukum alamlah yang menyebabkan semua
makhluk mendapat kesempurnaannya, mencari kebaikan dan
menghindari kejahatan. Hukum alam menyediakan kehidupan bagi
manusia dengan segala haknya seperti hak untuk berketurunan dan hak
untuk hidup di dalam masyarakat.54
Sementara hukum alam itu sudah dikenal umum oleh manusia
karena setiap saat manusia berhubungan dengannya, hukum Tuhan
adalah hukum Kristen yang mempunyai kedudukan yang istimewa.
Hukum ini dikenal melalui wahyu Tuhan yang diberikan karena
kemurahan-Nya. Ten Commandement adalah salah satu contoh hukum
Tuhan. Adapun hukum manusia dibagi menjadi jus gentium dan jus
civile. Di dalam hukum manusia hadir hukum alam dalam kasus-kasus
tertentu. Misalnya menurut hukum alam, membunuh adalah perbuatan
salah, tetapi terserah pada hukum manusia untuk menjatuhkan
hukuman apa yang sesuai bagi pelanggar. Hukum manusia tidak
berwenang melanggar prinsip-prinsip fundamental seperti merampas
atau membunuh. Bila dilanggar, akan runtuhlah semua kerangka
pengaturan alam.
54
Mayer, Frederick, Op. Cit.
35
Menurut Aquinas, tujuan masyarakat dan individu-individu
adalah kebahagiaan yang abadi dan mengenal Tuhan. Negara hanya
dapat membantu secara tidak langsung dalam usaha mencapai tujuan
itu. Gerejalah yang bertugas membantu manusia secara langsung
mencapai tujuan itu. Hidup di bumi mestilah menuju eksistensi hari
akhirat. Tugas dan tanggung jawab negara ialah menyediakan kondisi
ini untuk meraih kebahagiaan di akhirat.
Agama dan moral berhubungan amat erat pada Abad
Pertengahan. Oleh karena itu, dapatlah dipahaini mengapa Aquinas
begitu yakin terhadap hubungan agama dan moral. Katanya, tingkah
laku moral dapat dikembangkan secara penuh bila penguasa
menghormati dan mematuhi agama serta menyatukan diri secara pasti
dengan undang-undang Gereja. Menghukum orang kafir adalah tugas
raja; itu harus dilakukannya berdasarkan iman. Aquinas
mengemukakan deinikian karena menurut pendapatnya keberhasilan
penguasa bergantung pada kebaikan moralnya.
Menurut Aquinas ciri pemimpin yang berwibawa terletak pada
moralnya; ia harus bijak, karena itu pemimpin harus menempatkan
penggunaan akal dalam mengatur negara. Peinimpin harus menonjol
dalam rasa keadilannya (sense of justice) dan ia harus bertakwa kepada
Tuhan serta hormat kepada hukum moral. Penguasa harus sederhana
dalam kehidupannya, menghindari sifat tamak. Pendorong seseorang
yang ingin menjadi penguasa yang baik ialah pahala di surga, bukan
kebesaran atau kemenangan. Kedudukan penguasa sebenarnya
mewakili sebagian kedudukan Tuhan dalam mengatur alam semesta.
36
Oleh karena itu, raja harus menerapkan ajaran Tuhan, lebih dari orang
lain.55
Di dalam filsafat agama, Aquinas mengatakan bahwa manusia
tidak akan selamat tanpa perantaraan Gereja. Dalam hal ini ia sama
benar dengan Augustinus: outside the Church no salvation can be
found. Sakramen-sakramen Gereja perlu. Sakramen itu mempunyai
dua tujuan: pertama menyempurnakan manusia dalam penyembahan
kepada Tuhan, kedua menjaga manusia dari dosa. Baptis mengatur
permulaan hidup, penyesalan (confirmation) untuk keperluan
pertumbuhan manusia, dan sakramen mahakudus (eucharist) untuk
menguatkan jiwa. Dosa dapat dihilangkan dengan dua cara: dengan
penebusan dosa (penance) dengan ini kita mengadakan penyesalan
terhadap dosa-dosa kita dan dengan perminyakan suci (extreme
unction) yang mempersiapkan untuk kehidupan abadi. Lebih jauh lagi,
sakramen mempunyai pengertian kemasyarakatan.
Filsafat Aquinas mendapat perlawanan dari para filosof lain
yang se zaman dengannya. Perlawanan terhadap filsafat Aquinas
didasarkan atas dua alasan, yaitu alasan filosofis dan alasan pribadi.56
Dari sisi filsafat, perlawanan terhadap ajarannya memang besar. Ini
terutama disebabkan terlalu banyaknya ia menggunakan akal,ia hanya
sedikit tertarik pada intuisi karena ia tidak percaya kepada adanya
kekuatan dalam (intuisi) yang dengan melaluinya manusia dapat
memperoleh pengetahuan yang pasti. Banyak pemikir yang
berpendapat bahwa Aquinas terlalu dipengaruhi oleh pemikir Yunani,
dan sebagai akibatnya ia banyak mengenalkan unsur-unsur yang tidak
55
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani II, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal. 298. 56
Tom Jacobs, Paham Allah dalam Filsafat, agama-Agama dan Teologi,
(Yogyakarta: Kanisius, 1978), hal. 185.
37
konsisten dalam keimanan Kristen. Pendekatannya yang rasional
merupakan penyebab penolakan. sepanjang Abad Pertengahan
biasanya orang mengikuti St. Bernard yang meyakini bahwa iman
dapat digunakan sebagai dasar tolak dalam segala usaha manusia.
Kelebihan Aquinas terletak pada uraiannya yang sistematis.
Sekalipun demikian, orang akan banyak menemukan kontroversi
dalam pemikirannya. Alasan lain menolak Aquinas ialah karena
keortodokannya. la tidak yakin bahwa manusia sendirian mampu
mengenal Tuhan; hanya dengan melalui Gerejalah orang dapat
mengenal Tuhan.57
Adapun yang menaikkan popularitasnya ialah sifatnya yang
moderat: Sementara mengakui kehidupan pertapa, ia juga mengakui
bahwa perkawinan dan sistem keluarga menduduki posisi sentral
dalam teori politiknya. Bahkan ia berpendapat bahwa berketurunan
adalah sebagian dari hukum alam. Dapat juga ditambahkan bahwa titik
tolak Aquinas adalah empiris. Oleh karena itu, sebagian teorinya dapat
dikombinasikan dengan riset-riset ilmu modern.
2. Al Asy’ari, Figur dan Pemikirannya
Nama lengkap al-Asy‟ari adalah Abu Hasan Ali ibn Ismail ibn
Ishaq ibn Saalim ibn Ismail ibn Abdullah ibn Musa ibn Bilal ibn
Burdah ibn Abu Musa al-Asy‟ari. Dilahirkan di Bashrah (Irak) dan
meninggal di Baghdad.58
Mengenai tanggal lahirnya terdapat
perbedaan pendapat. Ibn Khallikan, dalam wacananya mengenai
riwayat hidup al-Asy‟ari menyebutkan bahwa dia dilahirkan tahun
57
John K.Roth, Op. Cit, hal. hal. 144. 58
JWM.Bakker, Sejarah Filsafat Dalam Islam , (Yogyakarta: Yayasan Kanisius,
1978), hal.55.
38
260H atau 270/873 atau 883 dan wafat di Baghdad tahun 330/941
atau tak lama sesudah itu.59
Menurut Shibli Nu‟mani dan Ibn al-Asakir
(penulis kitab Tabyin Kidzb al Muftari, mengenai riwayat hidup dan
ajaran-ajaran Asy‟ari), dia dilahirkan tahun 270/873 dan wafat tahun
330/941.60
Al-Asy‟ari dimakamkan di antara Karkh dan Bab al-Bashrah
(Pintu Gerbang Bashrah). Beliau adalah keturunan dari Abu Musa al-
Asy‟ari, salah seorang sahabat Nabi yang terkenal. Al-Asy‟ari, dimasa
mudanya diasuh oleh tokoh Mu‟tazilah Bashrah, Abu „Ali Muhammad
ibn Abd al-Wahhab al-Jubba‟i dan sebagai muridnya pula maka dia
menganut mahzab Mu‟tazilah hingga berusia empat puluh tahun.
Setelah itu pikirannya berubah secara tiba-tiba dan suatu hari dia
berangkat ke masjid Bashrah di mana dia mempermaklumatkankan,
“Orang yang mengenalku pasti tahu siapa aku, dan orang yang tidak
mengenalku ketahuilah bahwa aku adalah Abu al-Hasan „Ali al-
Asy‟ari, bahwa saya dahulu berpendapat, al-Qur'an itu makhluk,
bahwa Allah tidak akan dapat dilihat mata manusia, dan bahwa
manusia adalah pencipta perbuatan-perbuatannya. Ketahuilah !
sekarang saya bertaubat dan tidak lagi sebagai seorang mu‟tazilah.
Semua pendapat itu saya tinggalkan dan mulai sekarang saya akan
membantah paham-paham Mu'tazilah serta menunjukkan titik lemah
dan cacatnya.61
59
Ibn Khallikan, Wafayat al-A‟yan, (Kairo Mesir: Maktabah al-Nahdlah al-
Misriyyah, tth.), hal. 454 60
M M.Syarif, Aliran-Aliran Filsafat Islam, terj. Karsidi Diningrat, (Bandung:
t.p., 1993), hal. 72. 61
Muslim Ishak, Sejarah dan Perkembangan Teologi Islam, Duta Grafika,
Semarang, 1968, hal.109. Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.67.
39
Apa penyebab berubahnya pikiran al-Asy'ari itu, tidak sukar
diketahui dengan pasti. Dalam karyanya Ilm al-Kalam, Shibli
mengatakan bahwa “ perubahan tersebut terjadi karena adanya
petunjuk yang diperolehnya dari mimpi”.62
Al-Asy'ari menulis sejumlah buku, dan dikatakan oleh Ibn
Furak bahwa jumlah karangannya itu mencapai 300 buah. Ibn „Asakir
Dimasyqi menyebutkan 93 judul, namun hanya sedikit yang lestari dan
dinumrasikan oleh Brockelmann. Karyanya yang berjudul al-Ibanah „
an ushul al-Dianah,63
dicetak di Hyderabad, Deccan (India sekarang
Banladesh), tahun 1321 / 1903 dan sebuah risalah kecil berjudul
risalah fi ihtihsan al-Khaudh fi‟l kalam, dicetak tahun 1323 / 1905 dan
dicetak ulang di Hyderabad tahun 1344 / 1925.
Karya-karya al-Asy'ari lainnya yang terkenal adalah al-
Maqalat al-Islamiyyin64
(diterbitkan di Istanbul tahun 1348 / 1929),
Kitab Al-Syarh Wa‟l-Tafshil, Luma‟, Mu‟jaz, I‟adat Al-Burhan dan
Tab‟in. Dari semua ini Maqalat Al-Islamiyyin Wa Ikhtilaf Al-
Mushaliyyin merupakan buku paling otentik mengenahi paham dari
berbagai aliran tentang dogma-dogma dan doktrin-doktrin agama. Al-
maqalat ditulis jauh lebih dulu dibanding buku-buku lainnya menganai
subyek yang sama seperti karya Ahmad Syahratstani yang berjudul al-
Milal wa al-Nihal65
dan karya Ibn Hazm yang berjudul al-Fashl fai‟l
Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal.
62
Ibid. 63
Buku ini sudah diterjemahkan oleh Afif Muhammad dengan judul Ajaran-
ajaran Asya‟ri, Pustaka Bandung, 1986 64
Buku ini sudah diterjemhkan oleh H.A Natsir Yusub, Karsidi Diningrat,
dengan judul Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam, Buku 1, (Bandung: Pustaka
Setia, 1998), dan Buku 2-nya diterjemahkan oleh Rosihan Anwar, dan Taufik Rahman
pada Penerbit yang sama. 65
Buku ini sudah diterjemahkan oleh Karsidi Diningrat dengan judul Sekte-sekte
Islam, Pustaka Bandung, 1996.
40
Ibn Taimiyah dalam karyanya, Minhaj al-Sunah, mengatakan
bahwa buku paling komprehensif dari semua buku mengenai faham
berbagai aliran tentang prinsip-prinsip pokok Islam yang pernah dia
baca adalah Maqalat Al-Islamiyyin karya al-Asy'ari dan bahwa al-
Asy'ari membahas paham-paham berbagai aliran itu secara amat
terperinci, suatu rincian yang tidak dilakukan oleh para penulis lain
dalam bidang yang sama.
Adapun prinsip-prinsip pemikiran al-Asy‟ari tentang „Tuhan‟ berdasar
teologi al-Asy‟ari adalah sebagai berikut:
a. Konsep Tentang Tuhan dan Hakikat Sifat-Sifat Tuhan
Menurut al-Asy‟ari, Allah itu satu, unik, kadim, dan wujud;
Dia bukan substansi, bukan tubuh, bukan aksiden, tidak terbatas oleh
arah dan oleh ruang. Dia memiliki sifat-sifat seperti mengetahui,
berkuasa, hidup, berkehendak, dia mendengar dan melihat serta
berfirman.
Dalam masalah sifat-sifat Tuhan terdapat dwi-aliran pemikiran
yang dihadapi oleh al-Asy‟ari. Di satu pihak terdapat kaum
Shifatiyyah (kaum Atributis), Mujassimah (kaum Anthropomorfis) dan
kaum Musyabbihin (orang-orang yang memperbandingkan Tuhan
dengan makhluk-Nya) yang berpendapat bahwa Tuhan memiliki segala
sifat sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur'an dan bahwa segala
sifat seperti tangan, kaki, telinga, mata dan Dia bersemayam di atas
„Arsy (kursi) mesti diartikan secara literal (harfiyah. Paham tentang
sifat-sifat Tuhan seperti itu merupakan anthropomorfisme murni,
mengandung arti bahwa Tuhan memiliki eksistensi jasadi. Di lain
pihak terdapat aliran Mu'taziliyyah yang berpendirian bahwa Tuhan itu
41
Esa, kadim, unik, wujud (ada) dan pada-Nya tiada dualisme sama
sekali. Dia tidak memiliki sifat sama sekali, sifat-sifat yang terpisah
dari esensi-Nya. Esensi-Nya, misalnya, adalah mengetahui, berkuasa,
melihat, berkehendak, dll. Menurut mereka, sifat-sifat Tuhan itu tiada
lain daripada dan bukan tambahan bagi esensi-Nya.
al-Asy‟ari mengemukakan pandangannya yang dapat dikata,
merupakan suatu rekonsiliasi antara kedua pandangan ekstrim tersebut.
Sejalan dengan paham Shifatiyyah dan bertentangan dengan paham
Mu'taziliyyah serta pada filosof (yakni, mereka yang terpengaruh
filsafat Yunani).
Kaum Shifatiyyah ekstrim berpendirian bahwa sifat-sifat Tuhan
yang berbau tajsim atau mengisyaratkan bahwa Tuhan bereksistensi
jasadi harus dipahami secara harfiah. Berbeda dari mereka, al-Asy‟ari
menyatakan bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat yang
kelihatannya mirip dengan sifat-sifat manusia, tetapi hal itu jangan
diartikan secara literal belaka. Semua sifat-sifat demikian mesti
dipahami secara bila kaifa, tanpa dibuntuti dengan pertanyaan :
bagaimana, dan bila tasybih, tanpa mencari perbandingannya. 66
Di sinilah aliran al-Asy‟ari mengemukakan prinsip bahwa
sifat-sifat Tuhan itu unik dan pada dasarnya berbeda dari sifat-sifat
makhluk dan dengan demikian jangan diperbincangkan. Prinsip ini
dikenal dengan doktrin mukhalafah, atau perbedaan makhluk.
Berdasarkan doktrin ini, bila suatu sifat atau istilah diaplikasikan
kepada Tuhan, maka istilah atau sifat tersebut mesti dipahami secara
unik dan jangan dipahami seperti kita memahaminya terhadap
makhluk. Karena doktrin mukhalafah itulah maka al-Asy‟ari
66
Abu al-Hasan al-Asya‟ri, al-Ibanah an Ushul ad-Diyanah,(Kairo: ath-
Thaba‟ah al-Munirah Jami‟ah al-Azhar, tth), hal. 47
42
berpendirian bahwa kita tidak boleh menyebutkan sifat Tuhan selain
daripada yang termaktub secara jelas di dalam al-Qur'an. Sifat-sifat
Tuhan berbeda dari sifat makhluk, bukan dalam tingkatannya tetapi
dalam jenisnya, yakni dalam segenap hakikatnya.
Berbeda dari kaum Mu'taziliyyah, al-Asy‟ari mengatakan
bahwa “Tuhan memiliki sifat-sifat yang melekat pada-Nya tetapi sifat-
sifat itu tambahan bagi esensi-Nya”.67
Sifat-sifat ini kadim, tetapi tidak
identik dengan esensi-Nya, tetapi tidak berbeda sekali atau lain dari
pada esensi-Nya. Tuhan mengetahui, misalnya, berarti bahwa Tuhan
memiliki pengetahuan sebagai suatu sifat, yang berada pada-Nya, dan
walaupun sifat itu betul-betul tidak sama dengan esensi-Nya, tetapi
sifat itu bukanlah sesuatu yang betul-betul berbeda atau lain daripada
esensi-Nya. Di sini, al-Asy‟ari menganut paham yang betul-betul sulit
untuk dipahami.
Mereka tidak sependapat dengan Mu'taziliyyah dan mereka
tidak menyatakan bahwa sifat-sifat Tuhan itu idntik dengan esensi-Nya
sebab ini mereka anggap penyangkalan atas keberadaan sifat-sifat.
Meraka tidak pula dapat menegaskan bahwa sifat-sifat eternal itu
betul-betul berbeda, atau lain daripada dan terpisah dari Tuhan, sebab
bila dikatakan demikian berarti yang kadim itu banyak dan ini
menyalahi keesaan-Nya.
Dengan demikian, meraka berpendapat bahwa sifat-sifat Tuhan
itu, dalam satu pengertian, tercakup dalam dan pada pengertian lain,
terpisah dari, esensi Tuhan.68
Sudah lumprah bahwa menurut al-
Asy‟ari esensi (mahiyyah) dan sifat-sifat adalah hal yang berbeda dan
67
Ibid. hal. 291 68
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1986), hal. 71
43
keduanya tidak dapat ada kecuali pada Tuhan,yang Mahawujud.
Menurut al-Asy‟ari, makna atau konotasi (mafhum) sesuatu dengan
realitanya (haqiqah) tidaklah sama, dengan demikian maka sifat-sifat
Tuhan adalah bukan esensi-Nya, yakni sifat-sifat itu memiliki makna
sendiri (lain). Makna dzat (esensi) berbeda dari makna sifat-sifat lain.
Esensi Tuhan, misalnya, bukan mengetahui atau berkuasa atau
bijaksana, namun pada hakikatnya (haqiqah) sifat-sifat itu terdapat
dalam esensi-Nya, dan dengan demikian sifat-sifat itu tidak berbeda
dari atau lain daripada esensi-Nya.
Untuk mendukung pandangan tersebut, al-Asy‟ari
mengemukakan argumen-argumen berikut. Argumen analogis yang
dikemukakan al-Asy‟ari, pertama: perbuatan-perbuatan Tuhan
membuktikan bahwa Tuhan itu mengetahui, berkuasa, dan
berkehendak; itu juga membuktikan bahwa Dia memiliki pengetahuan,
berkuasa (daya), kehendak, dll. Apa yang terbukti pada makhluk mesti
terbukti pula pada khaliknya.69
Bagi manusia, kata “mengetahui”
berarti orang yang memiliki pengetahuan dan bahkan memiliki akal
sehat dan dia (orang itu) dapat membedakan antara esensi dan sifatnya.
Dengan analogi serupa, esensi Tuhan harus dibedakan dari sifat Tuhan.
jangan pula dipahami bahwa sifat dan esensi itu bercampur dalam diri
Tuhan. jadi, sifat-sifat Tuhan tidak identik dengan esensi-Nya., seperti
yang dipahami oleh Mu'taziliyyah. Tetapi gaya berpikir analogis ini
amatlah lemah, sebab apa yang benar pada makhluk tidak mesti benar
pada khalik. Namun berdasarkan doktrin mukhalafah, pengetahuan
atau kekuasaan atau kehendak Tuhan itu sebetulnya adalah sifat-sifat
69
Muslim Ishak, Sejarah dan Perkembangan Teologi Islam, (Semarang: Duta
Grafika, Semarang, 1968), hal. 117.
44
aqliyyah (rasional) yang menunjukkan makna yang betul-betul
berbeda dari dan bila diterapkan pada makhluk-Nya.
Kedua, mereka berpendapat bahwa bila semua sifat Tuhan
identik dengan esensi-Nya, maka esensi Tuhan merupakan suatu
kombinasi sifat-sifat homogen yang bertentangan, misal, Tuhan itu
penyayang (rahim) dan juga Mahakeras (qahhar); kedua sifat yang
bertentangan ini merupakan esensi Tuhan, yang esa, unik, tunggal
(ahad), dan itu absurd (mustahil).
Selanjutnya, mereka berpendapat bahwa jika semua sifat Tuhan
itu identik dengan esensi-Nya dan bila, misalnya, Dia mengetahui,
berkuasa dan hidup itu adalah dengan esensi-Nya sendiri, berarti tak
ada gunanya jika kita katakan bahwa Tuhan itu punya sifat. Makanya,
sifat-sifat Tuhan itu tidak identik dengan esensi-Nya.
Ketiga, jika sifat-sifat Tuhan itu tidak berbeda dari esensi-Nya,
maka makna berbagai sifat yang berbeda-beda pasti akan sama, sebab
esensi Tuhan merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dibagi-bagi
lagi. Arti mengetahui, berkehendak, dan hidup, misalnya, semuanya
pasti akan sama dan dengan begitu arti penegtahuan bisa bermakna
kekuasaan, atau kekuasaan bisa berarti kehidupan, dan seterusnya.70
Ini
juga suatu kemustahilan. Sifat-sifat Tuhan yang tidak sama (berbeda-
beda makna) itu menunjukkan adanya arti yang berlainan dan dengan
demikian maka sifat-sifat tersebut tidak dapat identik dengan esensi-
Nya. Esensi Tuhan itu satu dan Dia memiliki banyak sifat yang secara
azali berada pada diri-Nya dan, walau tidak identik dengan esensi-Nya,
namun sifat-sifat itu tidaklah berbeda sama sekali dari esensi-Nya.
70
Abul Hasan Ismail al-Asya‟ri, Maqaalaat al-Islaamiyyin wa-Ikhtilaaf al-
Mushalliin, (Kairo Mesir: Maktabah al- al-Nahdlah al-Misriyyah, Kairo, Mesir, tth), hal.
484
45
b. Masalah Kehendak Bebas
Mengenai masalah free will atau kemampuan manusia untuk
memilih dan menghasilkan perbuatan, lagi-lagi al-Asy‟ari menganut
paham tengah-tengah, yakni mereka berada di antara paham libertarian
yang dianut Mu'taziliyyah dan paham fatalistik oleh Jabariyyah.
Jabariyyah berpendapat bahwa tindakan manusia sudah ditentukan
sebelumnya (sebelum manusia menghasilkan perbuatan itu) dan telah
ditetapkan oleh Allah. Manusia tidak berkuasa untuk berbuat apapun.
“Segala sesuatu,” tegas mereka, “ adalah dari Allah.” Allah berkuasa
absolut atas segala sesuatu termasuk atas kehendak dan tindakan
manusia. Mu'taziliyyah dan Qadariyah, di lain pihak, berpendapat
bahwa manusia memiliki kekuasaan penuh untuk menghasilkan suatu
perbuatan dan memiliki kemerdekaan penuh dalam memilih
perbuatannya walaupun kekuasaan atau daya untuk berbuat itu
memang diciptakan pada dirinya oleh Allah.
Penganut al-Asy‟ari mengambil jalan tengah. Mereka
membedakan antara kreasi (khalq) dengan akuisisi (kasb) bagi suatu
perbuatan. Tuhan, menurut al-Asy‟ari adalah pencipta (khaliq)
perbuatan manusia dan manusia adalah orang yang berusaha untuk
mendapatkannya (muktasib). “ perbuatan manusia diciptakan oleh
Allah, makhluk atau manusia tidak dapat menciptakan perbuatan apa
pun.71
“Tiada pencipta selain Allah dan dengan begitu maka perbuatan
manusia pun adalah ciptaan-Nya.”72
Menurut mereka., kekuasan atau daya (qudrah) ada yang
orisinal (qadimah) dan ada pula yang merupakan perolehan (haditsah).
Dari yang dua ini yang efektif hanyalah yang orisinal. Daya perolehan
71
Ibid, hal. 291. 72
Al-Asya‟ri, al-Maqaalaat, op.cit, hal.539-554.
46
tidak dapat menciptakan apa-apa. Daya yang dimiliki manusia adalah
pemberian Tuhan dan dengan demikian daya itu merupakan daya
perolehan, yakni sesuatu yang diperoleh manusia.73
Kata al-Asy'ari,
“Arti kasb yang sebenarnya adalah terjadinya sesuatu atau peristiwa
karena adanya daya perolehan (derived power), dan peristiwa itu
terjadi melalui akuisisi (kasb), yakni manusia menggunakan daya
pemberian dari Tuhan.”74
maka dengan demikian, Tuhan adalah
pencipta perbuatan manusia dan manusia adalah yang mendapatkannya
(akuisitor).
Manusia tidak dapat menciptakan apa pun; dia tidak dapat
menghasilkan suatu perbuatan. Hanya Allah-lah yang dapat
menciptakan, sebab kreasi absolut hanya merupakan hak prerogatif
Tuhan. Tuhan menciptakan pada manusia kekuasaan dan kemampuan
untuk menunaikan suatu perbuatan. Tuhan juga menciptakan pada
manusia daya untuk memilih secara bebas (ikhtiyar) antara dwi-
alternatif antara benar dan salah. Kebebasan untuk memilih pada
manusia ini tidak dapat menghasilkan suatu perbuatan, sudah
kebiasaan atau tabiat Tuhan untuk menciptakan perbuatan yang selaras
dengan pilihan dan daya yang diciptakan oleh Allah, baik pada awal,
ketika terjadi atau pun setelah perbuatan itu selesai.
Manusia hanya bebas memilih alternatif dan juga bebas untuk
mendapatkan (iktisab) pahala dari Tuhan bila pilihannya benar atau
mendapatkan siksa jika pilihannya salah. Jadi, demi menghindari
paham fatalis, al-Asy‟ari memberlakukan doktrin akuisisi (kasb) yang
dengannya, mereka pikir, mereka dapat menegaskan bahwa pada
manusia terdapat kehendak bebas (free will) dan manusia bertanggung
73
Ibid, hal. 542 74
MM.Syarif, Op. Cit, hal. 68.
47
jawab atas perbuatannya. Namun free will di sini berbeda dengan
yang dimaksud oleh Mu'taziliyyah : sebetulnya, menurut al-Asy‟ari,
manusia tidak memiliki kekuasaan efektif malainkan hanya memiliki
perolehan yang dengannya dia mendapatkan andil dalam menghasilkan
suatu perbuatan.
Dalam perbuatan manusia yang disengaja terdapat dwi-sebab.
Tindakan adalah dampak atau akibat dari perpaduan kausa asa, Tuhan,
dengan pilihan dan niat manusia, muktasib (akuisator), yakni pihak
yang memiliki kekuasaan tak efektif sebab yang dimilikinya itu
merupakan kekuasaan perolehan. Allah menciptakan dengan dwi-cara :
dengan bertempat (mahall) atau tanpa tempat. Perbuatan manusia
adalah ciptaan Allah dengan mahall.75
“Tuhan menciptakan, pada
manusia, kekuasaan, kemampuan, pilihan dan kehendak untuk
menunaikan suatu perbuatan. Sedangkan manusia, yang dianugerahi
kekuasaan perolehan ini, bebasmemilih salah satu alternatif dan bebas
menghendaki atau berniat untuk melakukan suatu perbuatan dan,
selaras dengan niat atau pilihan ini, Allah menciptakan dan
menyempurnakan perbuatan itu.76
Adanya niat atau kehendak inilah yang mengakibatkan manusia
harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Manusia sama sekali tidak
bisa berinisiatif dan tidak pula dapat menghasilkan apapun. Tetapi
sempurnanya suatu perbuatan tidak terlepas dari niat dan pilihan
manusia juga. Jadi, manusia akan mendapatkan pahala atau siksa
sebagai imbalan atas perbuatan yang dipilihnya itu baik atau buruk.
Pilihan manusia adalah kesempatan bagi timbulnya perbuatan, dimana
75
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal.
124. 76
Al-Syahrastani, op.cit, hal. 53.
48
penyebab perbuatan itu adalah Allah, yang selaras dengan pilihan itu.
Dalam hal ini paham al-Asy‟ari sangat mendekati paham
Okasionalisme Malebranche di Eropa pada delapan setengah abad
kemudian. Kesesuaian antara pilihan manusia dengan kreasi Tuhan ini,
menurut al-Asy‟ari bukanlah karena adanya kesesuaian yang telah
diciptakan Allah sebelumnya, tetapi karena sudah kebiasaan atas tabiat
Tuhan untuk menciptakan kesesuaian itu kapan saja perbuatan manusia
dilakukan. Singkatnya, itulah solusibagi free will yang dikemukakan
oleh al-Asy‟ari. Pandangan al-Asy‟ari mengenai masalah ini tidak
terlepas dari kesulitan logis dan etis. Sebetulnya mereka sangat sulit
untuk merekonsiliasikan ketentuan mutlak dari Tuhan bagi segala
peristiwa dengan tanggungjawab manusia atas perbuatannya. Sebagian
al-Asy‟ari angkatan berikutnya, khususnya Imam Fakhr al-Din al-Razi,
sama sekali tidak mengakui doktrin akusiasi, supaya terlepas dari
tuduhan bahwa dia menganut paham fatalisme, dan memilih untuk
menganut paham determinisme semata.77
c. Masalah Akal dan Wahyu Serta Kriteria Baik dan Buruk
Dalam masalah menyangkut landasan atau sumber kebenaran
dan realita, yakni apakah landasannya adalah akal atau wahyu, al-
Asy‟ari berbeda pendapat dari Mu'taziliyyah. Namun kedua mazhab
sama-sama mengakui pentingnya akal dalam memahami agama secara
rasional, namun titik perbedaannya adalah dalam soal apakah dalam
hal ini lebih fundamentalis adalah akal atau wahyu dan, dalam masalah
konflik, mana yang harus diutamakan, apakah akal atau wahyu.78
Mu'tazilah berpendapat bahwa akal lebih fundamentalis daripada
77
Shibli Nu‟mani, op.cit, hlm 72. 78
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi
Asmin, (Bandung: Bumi Aksara, 2002), hal. 187.
49
wahyu dan dengan demikian mesti didahulukan (dalam menangani
konflik) daripada wahyu. Wahyu hanyalah mengkonfirmasikan apa
yang diterima akal dan, jika terdapat konflik antara keduanya, maka
yang lebih didahulukan adalah akal, sementara wahyu harus
dinterpretasikan sedemikian rupa sehingga selaras dengan akal.
al-Asy‟ari, di lain pihak, berpendapat bahwa wahyu lebih
fundamentalis daripada akal dan wahyu dan merupakan landasan
kebenaran dan realita. Dan akal hanya berperan mengkonfirmasikan
apa yang dikemukakan oleh wahyu. Bila terjadi konflik antara akal dan
wahyu, maka yang harus diutamakan adalah wahyu. Inilah salah satu
prinsip yang membedakan antara kalam rasional Mu'taziliyyah dengan
kalam ortodoks al-Asy‟ari. Bila akal dijadikan sebagai satu-satunya
dasar kebenaran dan realita, termasuk kebenaran dan realita mengenai
prinsip atau konsep dasar Islam yang paling pokok, maka itu
merupakan filsafat spekulasi murni dan bukan suatu teologi doktrinal
pada suatu agama tertentu, terutama Islam. Islam dilandasi dengan
prinsip pokok yang pada hakikatnya di luar jangkauan indera manusia,
tidak dapat dibuktikan secara rasional. Prinsip-prinsip ini, pertama,
mestinya dipercayai berdasarkan wahyu. Wahyulah yang sebenar-
benarnya merupakan landasan bagi realita dan kebenaran doktrin-
doktrin pokok Islam itu. Agama ini, yang berdasarkan wahyu harus
dirasionalisasikan. Islam sebagai sebuah agama tidak syak lagi,
mengakui pentingnya rasio. Namun tak berarti akal atau berpikir
analitik merupakan satu-satunya dasar sumber Islam sebagai sebuah
agama. Menilai Islam dan prinsip-prinsip dasarnya, tidak diragukan
lagi, adalah dengan akal, tetapi apa yang dinilai (dipikirkan) tentu saja
tidak mesti tunduk kepada keputusan akal. Maka akal mesti dibawah
wahyu. Fungsi akal adalah untuk merasionalisasikan agama dan bukan
50
untuk mempertanyakan validitas atau kebenaran prinsip-prinsipnya
yang sudah jelas dilandasi oleh wahyu sebagaimana terkandung di
dalam al-Qur'an dan Sunah.79
Masalah kriteria baik dan buruk timbul sebagai buntut masalah
akal dan wahyu. Dan masalah ini merupakan salah satu persoalan
paling kontroversial dalam tentang Islam. Menurut Mu'tazilah, patokan
atau kriteria untuk menilai baik dan buruknya suatu perbuatan adalah
dengan akal, bukan dengan wahyu. Kebenaran dan nilai moral dari
sesuatu dan dari perbuatan manusia mesti diputuskan oleh akal.
Menurut mereka, secara moral baik dan buruk itu bersifat obyektif,
baik dan buruk tidak dapat terlepas dari sesuatu dan dari perbuatan,
dan itu sudah tabiatnya begitu, jadi baik dan buruk dapat diketahui dan
ditentukan oleh akal.
Berbeda dengan Mu'tazilah, paham yang dikemukakan al-
Asy‟ari adalah bahwa landasan atau kriteria atau patokan untuk
menentukan baik dan buruk adalah wahyu dan bukanlah akal. Baik dan
buruknya (husn wa qubh) perbuatan bukanlah sifat yang sudah menjadi
tabiat pada sesuatu dan pada tindakan manusia. Baik dan buruk
hanyalah aksiden (a‟rad). Perbuatan dengan sendirinya tidak ada yang
baik dan buruk. Baik dan buruk dijadikan oleh hukum Allah.
d. Masalah Melihat Tuhan (Ru‟yat)
Mengenai melihat Tuhan, al-Asy‟ari, demi rekonsiliasi, lagi-
lagi menganut posisi di tengah-tengah, yakni antara pandangan
anthropomorfis yang dianut Zhahiriyyah dan aliran lainnya di satu
pihak dengan paham yang dianut Mu'tazilah dan para filosof di pihak
lain. Kaum muslim aliran ultra ortodoks dan Zhahiriyyah, pada
79
CA.Qodir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, terj. Hasan Basri,
1989, hal. 56.
51
khususnya, berpendapat bahwa Allah itu mungkin dilihat dan orang
yang saleh tentu akan melihat-Nya. Dia berada pada berbagai arah dan
Dia mungkin saja ditunjukkan. Mu'tazilah dan para filosof menyangkal
pendapat bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, sebab bila
demikian berarti Tuhan itu bereksistensi jasmani. Dan itu mustahil. al-
Asy‟ari, berbeda dari paham umat Muslim ortodoks, menyatakan
bahwa Allah itu dapat dilihat;80
tapi mereka tidak sepakat mengenai
apakah Tuhan dapat ditunjukkan. Mereka menerima prinsip filsafat
bahwa apa saja yang menempati ruang atau arah mestilah temporal,
padahal Allah tidak temporal. Pengakuan ini mengakibatkan mereka
dihantui kerumitan, sebab bila Tuhan tidak “meruang dan mewaktu”
dan hanya sesuatu yang demikianlah (yang meruang dan mewaktu)
yang dapat dilihat, maka Tuhan tidak dapat dilihat;81
namun konklusi
ini bertentangan dengan paham mereka bahwa Tuhan dapat dilihat.
Jadi, untuk mengatasi kesulitan ini mereka menyatakan bahwa suatu
benda, biarpun benda itu tidak ada di depan orang yang melihatnya,
mungkin saja untuk dilihat.82
Ini alasan yang lemah dan ganjil sekali,
sebab bertentangan dengan segenap prinsip optika.
Tuhan itu mungkin untuk dilihat meskipun indera penglihatan
kita tidak memperoleh “kesan”obyek yang mengenai indera itu. selain
itu, mungkin juga Tuhan menciptakan pada manusia kapasitas untuk
melihat-Nya tanpa kondisi-kondisi visi semestinya, misalnya adanya
obyek yang dilihat secara konkret dalam ruang dan waktu yang
konkret, syarat moral bagi indera penglihatan biasa tidak adanya
penghalang terhadap persepsi, dst. Dan sekalipun Tuhan itu tidak
80
Ibid, hal. 582-602 81
Al-asyari, al- Ibanah, op.cit, hal. 9. 82
Shibli Nu‟mani , op.cit, hal. 63.
52
meruang dan mewaktu ”namun mungkin saja Dia menjadikan diri-
Nya terlihat oleh makhluk-Nya bagaikan bulan purnama.”mereka
selanjutnya mengatakan bahwa tanpa adanya impresi (kesan) pada
organ penglihatan kita pun Tuhan tetap mungkin dilihat dengan alasan
lainnya. Secara praktis, antara “sensasi” (penginderaan) dan “pantulan
citra” itu kecuali bahwa penginderaan memiliki suatu sifat
tambahanatas sifat-sifat yang lazim terdapat pada keduanya dan sifat
tambahan ini, yakni kesan pada organ indera yang dihasilkan oleh
obyek eksternal, tidak membuat perbedaan dalam mempersepsi suatu
obyek. Jadi, kendatipun dalam melihat Tuhan tidak terdapat kesan ini,
tetap saja hal itu disebut “melihat”. Bagi pelajar psikologi mana pun,
kelemahan argumen ini nampak sekali, sebab suatu “pantulan
citra”hanya mungkin jika didahului oleh suatu kesan pada organ
indera, jadi, kesan obyek merupakan prasyarat bagi adanya pantulan
citra.
Mu'tazilah berpendapat bahwa bila Tuhan dapat dilihat, maka
kapan dan di mana saja Dia dapat dilihat, baik karena esensi-Nya
begitu atau karena sifat pada-Nya yang tak bisa terpisah dari esensi-
Nya. Jadi, bila Tuhan dapat dilihat dalam segala zaman, berarti
sekarang pun dapat dilihat. Dan jika Dia dapat dilihat sekarang,
mestilah kita melihat-Nya sekarang, sebab jika segala syarat
“penglihatan” sudah ada, maka hal melihat mesti terjadi. al-Asy‟ari
menjawab keberatan itu dengan cara yang amat naif seraya
mengatakan, “kami tidak menyatakan bahwa melihat-Nya secara
aktual mesti terjadi biarpun segenap syarat yang delapan itu memang
ada”. al-Asy‟ari memperkuat pandangan mereka dengan ayat al-
Qur'an. Dinyatkan di dalam al-Qur'an, Musa memohon kepada Allah,
“Ya Allah, tunjukkanlah diri-Mu kepadaku supaya aku dapat melihat-
53
Mu.” Seandainya melihat Tuhan itu mustahil, tidak mungkin Musa
berkata demikian. Sebab dapat diduga bahwa apakah dia tahu bahawa
itu mustahil atau tidak, yang jelas hal itu tidak masuk akal, sebab orang
cerdas seperti dia tak mungkin tidak tahu ketidakmungkinan itu dan
tak mungkin meminta sesuatu yang tak mungkin dipenuhi.83
e. Pembuktian Adanya Allah
Kaum al-Asy‟ari menggeluti pembuktian adanya Tuhan dan
mereka jadikan sebagai dari kajian-kajian ketuhanan. Al-Asy'ari
memulai buku Al-Luma' (sorotan) dengan pasal tentang Wujud al-Sani
(adanya Sang Pencipta). Langkah ini kemudian diikuti oleh murid-
muridnya.84
Untuk meneguhkan adanya Allah, al-Asy'ari memaparkan
berbagai pola pembuktian alami. Sebagai contoh, perkembangan
manusia dari sperma menjadi segumpal darah, kemudian menjadi
daging, merupakan bukti yang pasti akan adanya Sang Pencipta Yang
Maha Kuasa dan Maha Mengetahui.85
Mereka bertumpu pada bukti teleologis. Untuk itu mereka
mengatakan bahwa alam yang rumit penciptanya dan kokoh aturannya
itu pasti bersumber pada sebab yang mengatur dan menata, sedangkan
karya-karya yang kokoh menunjukkan ilmu dan hikmah si Pencipta.86
Kaum al-Asy‟ari adalah kaum Sifatiah (yang mengatakan
bahwa Allah punya sifat-sifat) seperti halnya kaum Salaf. Mereka
meneguhkan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya, dan membedakan
sifat yang disifati (al-Mausuf). Jadi Allah mengetahui dengan ilmu,
83
Al-Asy'ari, al-Ibanah fi Usul al-Diyanah, Heiderabad, edisi pertama, hal. 9. 84
Al-Asy'ari, al-Luma' fi al-Radd „ala Ahl al-Ziyaq wa al-Bida‟ (Kairo: Nahdlah
al-Misriyyah, 1950), hal. 6-7. 85
Ibid 86
Al-Syahrastani, Nihayah, London 1934, hal. 67
54
berkuasa karena sifat kuasa. Sifat-sifat Allah adalah al-'Ilmu (Maha
Mengetahui), al-Qudrah (Maha Kuasa), al-Hayah (Maha Hidup), al-
Iradah (Maha Berkehendak), al-Sama' (Maha Mendengar), al-Basar
(Maha Melihat) dan al-Kalam (Maha Berfirman). Semua ini adalah
sifat-sifat azali (eternal) dan abadi. Menegaskan sifat berarti
menegasikan yang disifati, sebagaimana halnya menegasikan aksi
berarti menegasikan subyek yang beraksi.87
Mereka menolak al-Ta'til (pandangan yang mengosongkan
Allah dari sifat-sifat atau Allah tidak punya sifat-sifat) dalam berbagai
macam coraknya, baik nihilisasi Sang Pencipta dari Ciptaan-Nya
maupun nihilisasi Sang Pencipta dari sifat-sifat-Nya.88
Mereka
menolak al-Tasybih dan al-Tajsim, dan mereka menyerahkan kepada
Allah teks-teks agama yang memberikan kesan demikian, atau mereka
takwilkan, karena Allah sama sekali tidak menyamai makhluk-Nya.
Bukan Substansi, bukan jisim juga bukan aksidensia, tidak bertempat
di dalam ruang dan waktu, juga tidak bisa menerima aksidensia-
aksidensia dan hal-hal temporal.89
Kekuasaan Allah adalah satu, dan
diterapkan pada semua hal yang menjadi obyek kekuasaan-Nya, maka
apapun yang ada di alam ini haruslah lahir dari kekuasaan-Nya. Ilmu
Allah SWT adalah azali dan mencakup semua obyek pengetahuan,
tanpa melalui indera maupun pembuktian. Melihat Allah dengan
pandangan mata adalah boleh, karena setiap yang ada bisa dilihat.
Meneguhkan bahwa Allah bisa dilihat tidak berarti tasybih dan tajsim,
87
Al-Bagdadi, al-Farq, hal. 322 - 323. 13 88
Al-Syahrastini. Whayah al-iqdam, hal. 123. 89
Ibid., hal. 103.
55
sebab melihat di sini tidak sama dengan kita melihat benda benda di
dunia.90
Wajah-wajah (orang yang beriman) pada hari itu berseri-seri.
Mereka memandang Tuhannya. (Al-Qiyamah:22-23). Firman Allah
adalah sifat azali. Al-Qur'an adalah firman Allah oleh sebab itu, bukan
makhluk.91
Demikian teori itu secara global. Kami berusaha untuk
mengulas teori-teori ini seperti yang ada pada orang yang
mengatakannya juga pada murid-muridnya. Pemaparan ini akan
menjelaskan bagaimana kaum al-Asy‟ari memegangi benar pandangan
guru mereka, di samping mengungkapkan sebagian aspek yang mereka
usahakan untuk ditonjolkan. Kami tidak akan bisa mengulas semua
kaum al-Asy‟ari di sepanjang fase sejarah mereka. Untuk itu kami
cukup hanya menjelaskan tokoh-tokoh besar mereka, juga orang-
orang yang punya andil dalam menyebarluaskan dan memperkuat
mazhab ini. Kami akan memegangi hanya sumber yang memang
mereka tulis sendiri, agar kami bisa menjelaskan seterang dan sedapat
mungkin sikap mereka dalam menghadapi problematika ketuhanan.
Untungnya, zaman melestarikan sebagian hasil karya mereka.
D. Penutup
Argumen Thomas Aquinas dan al-Asy‟ari tentang Tuhan.
Thomas Aquinas mengemukakan lima argumen tentang Tuhan.
Pertama, diangkat dari sifat alam yang selalu bergerak. Di dalam alam
ini segala sesuatu bergerak. Dari sini dibuktikan bahwa Tuhan ada.
Kedua, Argumen kedua disebut sebab yang mencukupi (efficient
cause). Ketiga, argumen kemungkinan dan keharusan (possibility and
90
Al-Asy'ari, al-Luma', hal. 32. 91
16 Al-Bagdadi, al-Farq, hal. 325.
56
necessity). Kita menyaksikan di dalam alam ini segala sesuatu bersifat
mungkin ada dan mungkin tidak ada. Keempat, memperhatikan
tingkatan yang terdapat pada alam ini. Isi alam ini masing-masing
berkelebihan dan berkekurangan, misalnya dalam hal kebaikan,
keindahan, kebenaran. Ada orang yang dihormati, ada yang lebih
dihormati, ada yang terhormat. Ada indah, lebih indah, terindah. Benar
juga demikian. Tingkatan tertinggi menjadi sebab tingkatan
dibawahnya. Kelima, Argumen kelima berdasarkan keteraturan alam.
Kita saksikan isi alam dari jenis yang tidak berakal bergerak atau
bertindak menuju tujuan tertentu, dan pada umumnya berhasil
mencapai tujuan itu, sedangkan mereka itu tidak mempunyai
pengetahuan tentang tujuan itu. Dari situ kita mengetahui bahwa
benda-benda itu diatur oleh sesuatu dalam bertindak mencapai
tujuannya. Sesuatu yang tidak berakal mestinya tidak mungkin mampu
mencapai tujuan. Adapun argumen al-Asy‟ari tentang Tuhan sebagai
berikut; pertama, kita wajib percaya bahwa Tuhan Allah adalah wajib
al-Wujud, karena adanya berita wahyu dan perintah Tuhan dan hal itu
dapat ditangkap oleh akal pikiran kita. Bukti wujudnya Tuhan adalah
adanya alam semesta ini, pasti ada yang menciptakannya, yaitu Allah
SWT. Karena Tuhan itu wujud, maka pastilah dapat dilihat oleh
manusia. Kedua, Sebagai seorang yang pernah mengikuti paham
mu‟tazillah, al-Asy‟ari juga menghargai akal. Tetapi akal manusia
hanya mampu mengetahui adanya Tuhan dan fungsi akal hanya
sebagai saksi penguat yang membenarkan apa yang disampaikan oleh
wahyu. Akal tidak boleh menghakimi wahyu. Apabila bertemu nash
yang tidak sesuai dengan akal, maka diterima apa adanya dan tidak
boleh dita‟wilkan. Mereka beranggapan bahwa karena akal manusia
sangat terbatas, sehingga tidak mampu memahami wahyu secara
57
lengkap dan sempurna. Ketiga, manusia dapat melihat Tuhan di
akherat karena Tuhan itu maujud, setiap yang maujud memungkinkan
untuk dapat dilihat.
Persamaan dan perbedaan argumen Thomas aquinas dan al-
Asy‟ari tentang Tuhan. Persamaan pemikiran Thomas Aquinas dan al-
Asy‟ari yaitu pada sikapnya yang menganggap akal dan wahyu sangat
penting untuk mengenal dan menyakini eksistensi Tuhan. Di samping
itu keduanya merupakan tokoh skolastik pada masanya. Sedangkan
perbedaannya Thomas Aquinas menyakini adanya hukum sebab akibat
(kausalitas) dalam menyakini keberadaannya Tuhan. Sedangkan al-
Asy‟ari meragukan hukum sebab akibat (kausalitas). Al-Asy‟ari
menyangkal bahwa hukum kausalitas itu memiliki kebenaran yang
kuat. Tidak ada satu makhluk pun menjadi sebab akibat bagi segala
sesuatu. Sesuatu atau wujud (makhluk) tidak memiliki daya atau
kausalitas apapun yang dapat menghasilkan suatu akibat. Daya yang
nampaknya dimiliki manusia dan obyek-obyek sebetulnya bukanlah
daya efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid, Dkk, Al-Islam, Bagian I, Malang: Pusat Dokumentasi dan
Publikasi Universitas Muhammadiyah Malang, tth.
Abu al-Hasan al-Asy‟ari, Maqaalaat Al-Islaamiyyin Waikhtilaaf
Almushalliin, jilid I, Kairo Mesir: Maktabah al-Nahdah al-
Misriyyah, 1369 H/1950 M .
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf (Dirasah Islamiah IV),
cet, 1, Citra Niaga, Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam , Kairo: Maktabah al-Misriyah, 1936.
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
58
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir: Musthafa al-Baby al-
Khalaby, 1967.
A.Hanafi, Pengantar Teologi Islam , Jakarta: Pustaka al-Husna Baru,
2003.
Amin Syukur, Pengantar Studi Islam , Semaranng: Teologia Press
bekerjasama dengan CV.Bima Sejati, Semarang, 2000.
Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat,Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, alih bahasa, Soejono
Soemargono, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1992.
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya Dengan Sosio-
Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko
dkk, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Dagobert Runes, Dictionary Of Philosophy, New Jersey:Totowa, 1971.
Frederick Mayer, A. History of Ancient & Medieval Philosophy, New
York: America Book Company, 1950.
Hamzah Yaqub, Filsafat Agama, Titik Temu akal dengan Wahyu, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1992.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, 1, Yogyakarta: Kanisiu,
1980.
Harun Nasution, Falsafat Agama , Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam , cet. 9, Jakarta:
PT. Bulan Bintang, 1995.
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
Humaidi Tatapangarsa, Kuliah Akidah Lengkap, Surabaya: PT.Bina Ilmu
Surabaya, 1999.
59
Ibn Khallikan, Wafayat al-A‟yan, Kairo Mesir: Maktabah al-Nahdlah al-
Misriyyah, tth .
John Herman Randall, Reading In Philoshophy, New York: Barnes and
Noble , Inc, New York, 1950.
Juhaya S.Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta:Yayasan Pria,
2003.
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan : Kisah Pencarian Tuhan Yang
Dilakukan Oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen dan Islam
Selama 400 Tahun, terj. Zainul Am, cet. 2, Bandung: Mizan,
Anggota IKAPI, 2001.
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1976.
Linda Smith dan William Raeper, Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan
Sekarang, terj P. Hardono Hadi, Yogyakarta: Kanisius Anggota
IKAPI Yogyakarta, 2000.
Lois O.Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa, Soejono Soemargono,
cet 7, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996.
Muslim Ishak, Sejarah dan Perkembangan Teologi Islam, Duta Grafika,
Semarang, 1968, hal.109. Harun Nasution, Teologi Islam
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press,
1986.
M.M. Syarif, The History of Muslim Philosopy, Bagian ke-3 “The
Philosopher”, terj, Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1993.
Nasruddin Razaq, Dienul Islam , Cet 5, Bandung: PT al-Ma‟arif, 1982.
Pradana Boy, Filsafat Islam , Sejarah, Aliran dan Tokoh, Malang:
Universitas Muhammadiah Malang, 2003.
Rizal Mustanyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002.
Robert C.Salomon &Kathleen M.Higgins, Sejarah Filsafat, terj. Saut
Pasaribu, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002.
60
Smith dan William Raeper, Ide-ide Filsafat dan Agama Dulu dan
Sekarang, Yogyakarta: Kanisius, (Anggota IKAPI), 2000.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia,
(Jakarta: Jambatan Jakarta, 1990.
Tom Jacobs, Paham Allah dalam Filsafat, agama-Agama dan Teologi,
Yogyakarta: Kanisius, 1978.
T.M.Hasbi Ash Shiddiqy, Al-Islam , jilid 1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971.
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya,
Surabaya: DEPAG RI, 1978.
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, jilid 1,
Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1984