Date post: | 28-Dec-2015 |
Category: |
Documents |
Upload: | dian-yosie-monica |
View: | 46 times |
Download: | 1 times |
Journal Reading
Demam Berdarah Dengue
Dengue Shock Syndrome dan Ensefalopati Dengue
Pembimbing:
dr. Sri Wahjuni, Sp.A
Disusun oleh:
Dian Yosie Monica (07120070046)
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Bhayangkara tk.I R.S Sukanto
Periode: 26 November 2012 – 2 Februari 2013
Daftar Isi
Daftar Isi...............................................................................................................................iBAB I PENDAHULUAN....................................................................................................1BAB II DEMAM BERDARAH DENGUE.........................................................................3
2.1. Definisi.....................................................................................................................32.2. Epidemiologi.............................................................................................................32.3 Etiologi......................................................................................................................72.4 Patofisiologi...............................................................................................................8
2.4.1. Imunopatogenesis 92.4.2. Volume Plasma 102.4.3. Trombositopenia 102.4.4. Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis 112.4.5. Sistem Komplemen 112.4.6. Respons Leukosit 11
2.5 Patogenesis..............................................................................................................122.5.1. Mekanisme Imunopatologis 122.5.2. Secondary Heterologous Infection 13
2.6 Manifestasi Klinis....................................................................................................172.6.1. Dengue Fever 172.6.2. Demam Berdarah Dengue172.6.3. Sindroma Renjatan Dengue 192.6.4. Ensefalopati Dengue 20
2.7. Diagnosis...............................................................................................................222.8. Pemeriksaan Penunjang..........................................................................................222.9. Tatalaksana.............................................................................................................25
2.9.1. Demam Dengue (Dd) 262.9.2. Demam Berdarah Dengue272.9.3. Sindroma Renjatan Dengue 332.9.4. Ensefalopati Dengue 39
2.10. Pencegahan...........................................................................................................41BAB III KESIMPULAN...................................................................................................47DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................48
i
BAB I
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah suatu
penyakit yang biasa ditemukan di daerah tropis maupun subtropis. DBD pertama kali
ditemukan pada tahun 1950 saat epidemik dengue di Filipina dan Thailand. Saat ini DBD
menyerang negara-negara di Asia dan menjadi penyebab utama perawatan di rumah sakit
dan kematian pada anak-anak.
DBD disebabkan oleh virus Dengue Famili Flaviviridae yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus, dengan genusnya adalah flavivirus.
Manifestasi klinis infeksi virus Dengue termasuk didalamnya Demam Berdarah Dengue
sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik, demam ringan yang tidak spesifik, Demam
Dengue, Demam Berdarah Dengue, hingga yang paling berat yaitu sindroma renjatan
dengue (DSS). Dalam praktek sehari-hari, pada saat pertama kali penderita masuk rumah
sakit tidaklah mudah untuk memprediksikan apakah penderita Demam Dengue tersebut
akan bermanifestasi menjadi ringan atau berat. 1
Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue,
antara lain faktor host, lingkungan (environment) dan faktor virusnya sendiri. Faktor host
yaitu kerentanan dan respon imun. Faktor lingkungan yaitu kondisi geografi (ketinggian
dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, musim); kondisi demografi
(kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi penduduk). Jenis nyamuk
sebagai vektor penular penyakit juga ikut berpengaruh. 1,2
Dalam waktu lima puluh tahun terakhir, insiden infeksi dengue meningkat tiga
puluh kali dengan peningkatan luas geografi ke negara-negara baru dan terjadi
penyebaran infeksi virus dengue dari daerah perkotaan ke pedesaan. Di Indonesia angka
kesakitan demam berdarah dengue (DBD) terus meningkat dari 0,05 per 100.000
1
penduduk di tahun 1968 menjadi 35,19 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, namun
angka kematian menurun dari 41,3% di tahun 1968 menjadi 0,86% pada tahun 2008.
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam
dengue (DD), DBD sampai DBD disertai syok (sindrom syok dengue = SSD).
Sejak tahun 1976, kasus dengue dihubungkan dengan keterlibatan beberapa organ
vital yang mengarah ke manifestasi yang tidak lazim (unusual) atau yang tidak normal
(atypical), dan sering berakibat fatal. Kalayanarooj dan Nimmannitya tahun 2004
mengklasifikasikan unusual manifestation infeksi virus dengue berupa keterlibatan
susunan saraf pusat (SSP), gagal fungsi hati, gagal fungsi ginjal, infeksi ganda dan
kondisi yang memperberat.
Sebagai manifestasi infeksi dengue yang paling berat, maka perlulah kita
mempelajari bagaimana mengenali gejala klinis dari tanda syok, mempelajari
patogenesisnya, serta mengetahui tata laksana kasus sindroma renjatan dengue hingga
edukasinya.
2
3
BAB II
DEMAM BERDARAH DENGUE
2.1. Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus
dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. Demam Berdarah Dengue merupakan
suatu penyakit demam berat yang sering mematikan disebabkan oleh virus dengue, ditandai
oleh permeabilitas kapiler, kelainan hemostasis dan pada kasus berat sindrom syok
kehilangan protein. DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus
dengue.
Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut :
1. Demam tidak terdiferensiasi
2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari,
ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital,
mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau uji bendung
positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien
yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada lokasi dan waktu
yang sama.
3. Demam Berdarah Dengue (dengan atau tanpa renjatan)
4
2.2. Epidemiologi
Infeksi virus Dengue telah menjadi masalah kesehatan yang serius pada banyak negara
tropis dan subtropis, oleh karena peningkatan jumlah penderita, menyebarluasnya daerah
yang terkena wabah dan manifestasi klinis berat yang merupakan keadaan darurat yaitu
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dan sindroma renjatan dengue (DSS).
Gambar 1. Penyebaran Virus Dengue di Seluruh Dunia Pada Tahun 2005
Antara tahun 1975 dan 1995, DD/DBD terdeteksi keberadaannya di 102 negara di dari
lima wilayah WHO yaitu: 20 negara di Afrika, 42 negara di Amerika, 7 negara di Asia
Tenggara, 4 negara di Mediterania Timur dan 29 negara di Pasifik Barat. Seluruh wilayah
tropis di dunia saat ini telah menjadi hiperendemis dengan ke-empat serotipe virus secara
bersama-sama diwilayah Amerika, Asia Pasifik dan Afrika. Secara global sekitar 40% dari
populasi dunia (2,5 milyar orang) memiliki resiko terutama yang tinggal di wilayah tropis
dan subtropis. Lebih dari 50 juta infeksi dilaporkan setiap tahunnya.
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang masih
menimbulkan masalah kesehatan yang besar di negara yang sedang berkembang,
khususnya Indonesia. Di Indonesia, sejak penyakit ini pertama kali ditemukan yaitu pada
tahun 1968, memperlihatkan peningkatan baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang
5
terjangkit serta tingginya kematian yang ditimbulkan. Di samping itu penyakit ini sering
muncul sebagai KLB (Rampengan, 1997). Dalam jumlah angka kesakitan (morbidity rate)
dan kematian (mortality rate) DBD di kawasan Asia Tenggara, selama kurun waktu 1985-
2004, Indonesia berada di urutan kedua terbesar setelah Thailand (WHO, 2004).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kesehatan, jika dilihat secara total
kasus DBD sepanjang tahun terus meningkat. Dalam beberapa tahun terakhir misalnya,
angka peningkatan jelas, yakni kasusnya 79.462 dan meninggal 957 tahun 2004, 95.000
kasus dan meninggal 1.350 tahun 2005, 113.640 kasus dan meninggal 1.184 tahun 2006
dan terakhir 140.000 kasus dengan 1.380 meninggal tahun 2007.
Indonesia, Myanmar, Thailand masuk kategori A yaitu : KLB/wabah siklis terulang
pada jangka waktu antara 3 sampai 5 tahun. Menyebar sampai daerah pedesaan, sirkulasi
serotipe virus beragam (WHO, 2000). Sedang di Indonesia sendiri penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) juga masih menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia,
hal ini didukung oleh data-data sebagai berikut :
Di Indonesia DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Surabaya dan
Jakarta. Pada epidemi DBD yang terjadi 1989, sebanyak 47.573 kasus dilaporkan dengan
1.527 kematian. Selama tahun 2004, dilaporkan setiap bulan dengan jumlah 78.690 kasus
dengan 954 kematian (CFR=1,2%). Wabah Desember 2004-Februari 2005 dilaporkan
sebanyak 10.517 kasus dengan 182 kematian (CFR=1,73%) untuk 30 Provinsi. Pada tahun
2005, Indonesia merupakan kontributor utama kasus DBD di Asia Tenggara (53%) dengan
jumlah kasus 95.270 kasus dan 1.298 kematian (CFR = 1,36%). Jumlah kasus meningkat
menjadi 17% dan kematian 36% dibanding tahun 2004. Jumlah kasus yang dilaporkan
merupakan yang terbesar dalam sejarah DBD di Indonesia. Kasus tertinggi yang tercatat
selama epidemik dari tahun-tahun sebelumnya adalah lebih dari 40.000 pada tahun
1988,1996, 19998, 2001, 2003 dan 2004, mencapai 72.133 kasus pada tahun 1998 dan
69.017 kasus pada tahun 2004. Di antara periode epidemik, insiden yang dilaporkan
bervariasi antara 10.000 sampai 25.000 kasus.
6
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi
disebabkan berbagai faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat
penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue, dan kondisi meteorologis.
Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian
ditemukan lebih banyak terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal
terjadinya wabah di sebuah negara, pola distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus
terbanyak berasal dari golongan anak berumur <15 tahun (86-95%). Namun pada wabah
selanjutnya, jumlah kasus golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia, pengaruh
musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat
antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari.
Kemajuan teknologi dalam bidang transportasi disertai mobilitas penduduk yang cepat
turut memudahkan penyebaran sumber penularan dari satu daerah ke daerah lainnya.
Pengamatan terbaru menunjukkan bahwa profil klinis DBD berubah dan bahwa
manifestasi neurologis lebih sering dilaporkan. Insiden yang tepat berbagai komplikasi
neurologis tidak pasti. Dilaporkan insiden ensefalopati yang merupakan manifestasi
7
Gambar 2. Jumlah kasus Demam Dengue dan DBD yang dilaporkan ke WHO dan case
fatality rate di Indonesia (tahun 1985 – 2004)
neurologi paling sering dari infeksi virus dengue didapatkan angkanya bervariasi dari 0,5-
20,9%. Laporan tahun 2003-2006 dari Uttar Pradesh, India mendapatkan 118/563 (20,9%)
dengan acute febrile ensefalopati (AFE) dan acute undifferentiated febrile illness (AUFI)
positif antibodi dengue. Selain itu terdapat laporan pergeseran usia pasien infeksi virus
dengue ke usia yang lebih tua, sedangkan ensefalopati dengue laporannya masih terbatas.
2.3 Etiologi
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Virus dengue termasuk
grup B arthropod borne virus (arboviruses) dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus,
famili Flaviviridae, yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup
terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang
lain. Seorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan
4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak
tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan
bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan
banyak berhubungan dengan kasus berat. 1,3
Perbedaan urutan nukleotida ini ternyata menyebabkan variasi dalam sifat biologis
dan antigenitasnya. Virus Dengue yang mempunyai genom dengan berat molekul 11 Kb
tersusun dari protein struktural yang terdiri dari protein envelope (E), protein pre-membran
(prM) dan protein core (C) merupakan 25% dari total protein dan protein non-struktural
yang merupakan bagian terbesar yaitu 75% dari total protein terdiri dari NS-1 dan NS-5.
Dalam merangsang pembentukan antibodi di antara protein struktural, urutan imunitas
tertinggi adalah protein E, kemudian diikuti protein prM dan selanjutnya protein C.
Sedangkan pada protein nonstruktural yang paling berperan adalah protein NS-1.
8
Terdapat masa inkubasi ekstrinsik dan masa inkubasi ekstrinsik. Masa inkubasi
ekstrinsik merupakan periode waktu perkembanganbiakan virus dalam kelenjar liur
nyamuk sampai menularkan pada manusia yang berkisar antara 8-10 hari. Masa inkubasi
intrinsik merupakan periode waktu perkembangbiakan virus di dalam tubuh manusia sejak
masuk sampai timbulnya gejala penyakit yang berkisar antara 4-6 hari.
Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian,
terutama pada anak serta sering menimbulkan wabah. Jika nyamuk Aedes aegypti
menggigit orang dengan demam berdarah, maka virus dengue masuk ke tubuh nyamuk
bersama darah yang diisapnya. Di dalam tubuh nyamuk, virus berkembang biak dan
menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan sebagian besar berada di kelenjar liur.
Selanjutnya waktu nyamuk menggigit orang lain, air liur bersama virus dengue dilepaskan
terlebih dahulu agar darah yang akan dihisap tidak membeku, dan pada saat inilah virus
dengue ditularkan ke orang lain. Populasi nyamuk ini akan meningkat pesat saat musim
hujan namun nyamuk Aedes aegypti juga dapat hidup dan berkembang biak pada bak-bak
penampungan air sepanjang tahun. Satu gigitan nyamuk yang telah terinfeksi sudah mampu
untuk menimbulkan penyakit dengue pada orang yang sehat.
Penularan demam dengue tidak terjadi langsung dari manusia ke manusia tetapi
harus melalui perantara nyamuk sehingga kita tidak perlu khawatir kontak langsung dengan
penderita demam dengue.
2.4 Patofisiologi
Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti kemudian
bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks virus-antibody, dalam sirkulasi akan
mengaktivasi sistem komplemen.
Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama
kali menyebabkan demam dengue. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang biasa terlihat pada
infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan tampak, bila seseorang mendapat infeksi
9
berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan. Dan DBD dapat terjadi bila seseorang
setelah terinfeksi pertama kali, kemudian mendapat infeksi berulang virus dengue lainnya.
Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan
konsentrasi kompleks antigen-antibodi (kompleks virus-antibodi) yang tinggi.
2.4.1. Imunopatogenesis
Gambar 3. Imunopatogenesis Dengue Berat pada Infeksi Sekunder
Tidak terdapat bukti bahwa virus menginfeksi sel endotelial, dan hanya perubahan
minor nonspesifik yang telah dideteksi pada studi histopatologik dari mikrovaskulatur.
Walaupun tidak ada jalur yang spesifik yang telah diidentifikasi berhubungan dengan
kejadian imunopatogenik dengan efek definitif pada permeabilitas mikrovaskular,
mekanisme tromboregulatori, atau keduanya, data terdahulu menunjukkan gangguan
sementara pada fungsi lapisan glikokaliks endotelial. Fungsi lapisan ini sebagai saringan
molekul, secara selektif merestriksi molekul dalam plasma berdasarkan ukurannya, muatan,
10
dan bentuk. Hipoalbuminemia dan proteinuria ditemukan diamati selama infeksi dengue;
protein sampai dan termasuk ukuran albumin merupakan yang sering kali lolos; hal ini
konsisten dengan perubahan kecil dan penting yang terjadi pada karateristik filtrasi dari
glikokaliks. Virus dan NS1 dengue diketahui melekat pada heparan sulfat, yang merupakan
kunci elemen struktural dari glikokaliks, dan peningkatan ekskresi heparan sulfat dalam
urin telah dideteksi pada anak-anak dengan infeksi yang berat.
2.4.2. Volume Plasma
Yang menentukan derajat penyakit dan membedakan antara DD dengan DBD adalah
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya
hipotensi, trombositopenia disertai dengan diatesis hemoragik. Meningginya hematokrit
pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma
ke daerah yang mendukung dugaan ini. Bukti yang mendukung dugaan ini adalah
meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu
rongga peritoneum, pleura, dan pericardium, yang pada otopsi ternyata melebihi cairan
yang diberikan melalui infus dan terdapatnya edema.
2.4.3. Trombositopenia
Merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar kasus DBD. Nilai
trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok.
Jumlah trombosit meningkat secara cepat pada masa konvalesen dan nilai normal biasanya
tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit
dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD. Trombositopenia
diduga disebabkan oleh pemusnahan trombosit oleh sistem retikuloendothelial akibat
kerusakan metamorfosis dari trombosit. Metamorfosis trombosit ini diduga diakibatkan
oleh agregasi trombosit yang menghasilkan ADP dan merusak morfologi dari trombosit.
11
2.4.4. Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis
Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang
teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun termasuk faktor II, V, VII,
VIII, X, dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi fibrin degradation product.
2.4.5. Sistem Komplemen
Bukti-bukti yang mendukung berperannya system komplemen pada DBD adalah :
• Ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam.
• Adanya kompleks imun yang bersirkulasi, baik pada DBD derajat ringan maupun
berat
• Adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompeks imun dengan derajat berat
penyakit.
2.4.6. Respons Leukosit
Terlihat peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan. Limfosit
plasma biru ialah limfosit dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai ukuran
lebih besar atau sama dengan limfosit besar, sitoplasma lebar dengan vakuolisasi halus
sampai sangat nyata, dengan daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu
tepi sel berbentuk bulat oval atau berbentuk ginjal. Kromosom inti kasar dan kadang-
kadang di dalam inti terdapat nucleoli. Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik.
Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk dan tidak bertambah biru.
12
2.5 Patogenesis
Patogenesis terjadinya DBD hingga saat ini masih diperdebatkan. Berdasarkan data yang
ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya
DBD dan sindrom renjatan dengue.
2.5.1. Mekanisme Imunopatologis
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah:
a) Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi
virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi.
Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada
monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut Antibody Dependent Enhancement
(ADE).
b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun
seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi
INFγ, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10.
c) Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi.
Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi
sitokin oleh makrofag.
d) Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a
dan C5a (Gambar 5).
13
Gambar 5. Imunopatogenesis DBD
2.5.2. Secondary Heterologous Infection
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis The Secondary Heterologous Infection
dapat dilihat pada Gambar 7 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat
infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons
antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan
proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti
dengue. Selain itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya
akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi
C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan pasien
dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung
selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar
hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapat cairan di dalam rongga serosa (efusi
pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis
dan anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting
guna mencegah kematian.
14
Gambar 6. The Immunological Enchancement Hypothesis
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain
dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi
baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan
genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia,
peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah.
Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah
yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (Gambar 2.5). Kedua
faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi
sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
15
mengakibatkan pengeluaran ADP (Adenosin Diphosphat), sehingga trombosit melekat satu
sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (Reticulo
Endothelial System) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati
konsumtif (KID = Koagulasi Intravaskular Diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(Fibrinogen Degredation Product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan
(Suhendro dkk., 2007). Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi
trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik.
Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi
aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah
yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan
oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat
syok yang terjadi.
16
Gambar 7. Patogenesis terjadinya syok pada DBD
Gambar 8. Patogenesis Perdarahan pada DBD
Pada saat terjadi kebocoran plasma, albumin, air dan elektrolit keluar dari
kompartemen intravaskular ke dalam kompartemen ektravaskular. Dengan adanya protein
dalam kompartemen ektravaskular tekanan osmotik cairan ekstravaskular meningkat yang
menyebabkan penarikan masuk air dan elektrolit dari kompartemen intravaskular ke
kompartemen ekstravaskular. Berkurangnya cairan yang masuk kembali ke kompartemen
intravaskular menyebabkan terjadinya hipovolemi intravaskular, hemokonsentrasi,
viskositas darah meningkat, aliran darah menurun, perfusi jaringan berkurang dan mungkin
terjadi renjatan dengan komplikasi yang berat yaitu Koagulasi Intravaskular Diseminata
(KID). Terkumpulnya cairan di kompartemen ektravaskular dapat bermanifestasi sebagai
cairan pleura dan asites.
Pada fase penyembuhan permeabilitas dinding vaskular membaik, kebocoran
plasma berhenti, akan tetapi sebagian albumin/protein masih ada di kompartemen
ekstravaskular dan perbedaan tekanan intra dan ekstra vaskular belum kembali normal
sehingga masih mungkin terjadi keseimbangan negatif antara cairan yang keluar dan yang
masuk kembali ke dalam kompartemen intravaskular. Pada saat semua sisa protein/albumin
ekstravaskular telah dimetabolisme maka perbedaan tekanan osmotik intra dan ekstra
17
vaskular menjadi normal kembali. Cairan ekstravaskular (efusi pleura, asites dll) diserap
kembali dan menghilang.
2.6 Manifestasi Klinis
2.6.1. Dengue Fever
Setelah tergigit nyamuk pembawa virus, masa inkubasi akan berlangsung antara 3 sampai
15 hari sampai gejala demam dengue muncul. Gejala demam dengue akan diawali oleh
perasaan menggigil, nyeri kepala, nyeri saat menggerakan bola mata dan nyeri punggung.
Kesakitan pada tungkai dan sendi akan terjadi beberapa jam sejak gejala demam dengue
mulai dirasakan. Suhu tubuh akan meningkat dengan cepat mencapai 40 derajat celcius
dengan detak nadi yang normal serta tekanan darah yang cenderung turun. Bola mata akan
tampak kemerahan. Kemerahan juga tampak pada wajah yang dengan cepat akan
menghilang. Kelenjar pada leher dan tenggorokan terkadang ikut membesar.
Demam dan gejala lain dari demam dengue akan berlangsung selama 2 hari yang
kemudian diikuti oleh penurunan suhu yang cepat dengan diiringi oleh produksi keringat
yang meningkat. Periode penurunan suhu ini biasanya berlangsung sehari, selanjutnya suhu
tubuh akan meningkat lagi dengan cepat. Saat ini seluruh tubuh pasien akan kemerahan
kecuali pada wajah.
2.6.2. Demam Berdarah Dengue
Gejalanya antara lain nyeri pada perut, perdarahan, dan syok. Bila terjadi syok maka DBD
sering disebut sindroma renjatan dengue atau DSS. Pasien dengan DSS biasanya agak sulit
untuk dipulihkan.
DBD dimulai dengan demam tinggi serta sakit kepala yang hebat. Terdapat gejala
pada saluran nafas dan saluran pencernaan berupa nyeri menelan, batuk, mual, muntah dan
nyeri perut. Syok dapat terjadi setelah 2 sampai 6 hari semenjak gejala DBD timbul. Gejala
18
syok dimulai dengan penurunan suhu tubuh tiba tiba, akral dingin, nadi lemah, dan
kebiruan pada bibir.
Pada DBD, terdapat perdarahan pada jaringan lunak, bintik perdarahan pada kulit,
muntah darah, darah pada kotoran, gusi berdarah dan mimisan. Pada beberapa kasus dapat
terjadi radang paru paru dan radang pada otot jantung atau miokarditis.
Pasien dengan DBD harus di monitor dengan ketat terutama pada hari ke empat
sejak timbulnya gejala. Bila terjadi kebiruan atau sianosis maka pasien harus diberikan
oksigen dan apabila terdapat kegagalan vaskuler maka pasien harus diinfus. Transfusi
darah diperlukan untuk mengendalikan perdarahan.
Angka kematian pasien DBD sangat tinggi antara 3 sampai 30%. Sebagian besar
kematian terjadi pada anak anak.
Menurut WHO pada tahun 1986 mengklasifikasikan DBD menurut derajat penyakitnya
menjadi 4 golongan, yaitu :
• Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7 hari, Uji
tourniquet positif, trombositopenia, dan hemokonsentrasi.
• Derajat II
Derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti petekie, ekimosis,
hematemesis, melena, perdarahan gusi.
• Derajat III
Derajat 2 ditambah dengan kegagalan sirkulasi, yang ditandai dengan nadi cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (<20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit yang dingin,
lembab dan pasien menjadi gelisah.
19
• Derajat IV
Derajat 3 ditambah syok berat, dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak
dapat diukur.
2.6.3. Sindroma Renjatan Dengue
Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke-3 sampai hari
sakit ke-7. Manifestasi syok pada anak terdiri atas :
• Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan hidung
sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang insufisien dan
menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara refleks.
• Anak yang semula rewel, cengeng, dan gelisah lambat laun kesadarannya menurun
mejadi apatis, sopor dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral.
• Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi cepat dan
lembut.
• Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang.
• Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.
• Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri
renalis.
20
2.6.4. Ensefalopati Dengue
Keterlibatan Sistem Saraf Pusat (SSP) biasanya merupakan akibat dari ensefalopati.
Manifestasi ensefalopati dengue dapat berupa sakit kepala, iritabilitas, lethargi, bingung
dan depresi, gangguan sensoris, gangguan perilaku, kelemahan saraf kranial (cranial
nerves palsies) dan kadang-kadang dijumpai kejang, penurunan kesadaran/koma, dan
paresis. Sekuele post-infeksi dapat berupa amnesia, demensia, psikosis tipe manik,
sindroma Reye, dan meningoencephalitis. Keterlibatan neurologis dapat berupa perdarahan
intrakranial, edema serebral, hiponatremia, anoksia serebral, fulminant hepatic failure,
gagal ginjal atau pelepasan produk toksik.
21
Gambar 8. Klasifikasi Infeksi Virus Dengue
Ensefalopati dengue dapat disebabkan oleh syok berat akibat syok yang
berkepanjangan dengan perdarahan ataupun kelebihan cairan atau asidosis metabolik,
gangguan metabolisme seperti sindrom Reye, penggunaan obat hepatotoksik, penyakit hati
yang mendasari seperti karier hepatitis B atau thalasemia, gangguan keseimbangan
elektrolit seperti hiponatremia dan hipokalsemia, hipoksemia, hipoglikemia, perdarahan
intrakranial, edema serebral, oklusi vaskular, gagal hati, atau gagal ginjal atau keduanya.
Berdasarkan klasifikasi DBD menurut WHO 1997 didapatkan DBD dengan syok dan DBD
tanpa syok yang mengalami ensefalopati dengue. Pada pasien dengan DBD tanpa syok,
ensefalopati dengue disertai penyakit penyerta seperti diare karena mempermudah
terjadinya gangguan elektrolit dan gangguan metabolisme.
Patofisiologi keterlibatan neurologis yang ditemukan: lesi pada jaringan yang
timbul langsung dari virus karenan neurotropicity, perdarahan kapiler, KID, dan gangguan
metabolik seperti yang disebutkan sebelumnya.
Diagnosis ensefalopati dengue berdasarkan diagnosis klinis DBD menurut kriteria
WHO (1997) dengan keterlibatan susunan saraf pusat terdiri dari onset mendadak
hiperpireksia, perubahan kesadaran sementara (gelisah, iritabel atau koma), nyeri kepala,
muntah, dengan atau tanpa kejang, serta profil cairan serebrospinal (CSS) normal.
Keterlibatan fungsi hati yang berat jika terdapat peningkatan serum transaminase lima kali
di atas nilai normal.
Manifestasi neurologis yang pernah dilaporkan selain encephalitis/encephalopathy
adalah mononeuropati, polineuropati, sindrom Guillain-Barre, dan myelitis transversal.
Kaku kuduk, mononeural palsies, dan ensefalitis dengan kejang dapat ditemukan. Kejadian
ensefalitis oleh karena invasi langsung terhadap otak sangat langka. Pada suatu penelitian
22
terhadap 378 pasien di Vietnam dengan kecurigaan infeksi SSP, 4,2% terinfeksi virus
dengue. Deteksi IgM terhadap virus dengue dan isolasi virus dengue pada cairan
serebrospinal pada pasien dengan gangguan neurologis mengindikasikan neurovirulance
dari virus dengue dan kemampuan virus ini untuk menyebabkan ensefalitis. Pada penelitian
lain pada 13 pasien yang terinfeksi dengue dan memiliki gejala neurologis, dilakukan
pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS). Tujuh pasien mengalami ensefalitis, dua di
antaranya mengalami myelitis, dan empat lainnya menunjukkan sindroma Guillain-Barre.
Paralisis akut yang bersifat flaccid ditemukan pada kasus myositis dengue pernah
dilaporkan.
Studi oleh Salomon dkk di Vietnam mendapatkan 7/21 (33,3%) pasien dengue
dengan infeksi SSP adalah infeksi primer, 13/21 (61,9%) dengan infeksi sekunder dan 1/21
(4,8%) tidak dapat diklasifikasikan. Studi tersebut menunjukkan infeksi sekunder lebih
sering menyebabkan ensefalopati dengue daripada infeksi primer.
2.7. Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif; petekie,
ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
23
2.8. Pemeriksaan Penunjang
Trombositopenia (≤100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari peningkatan
nilai hematokrit ≥20% dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa sakit.
Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan
hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DBD. Dengan patokan ini
87% kasus tersangka DBD dapat didiagnosis dengan tepat, yang dibutuhkan oleh
pemeriksaan serologis dan dapat dihindari diagnosis berlebihan.
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada
hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3
demam.
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya
gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-
Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT,
ureum/ kreatinin. Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik
melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara
tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus.
Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih
dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal.
Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis
molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcription
polymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih
sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga
relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya
hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan
serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.
24
Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu
ke-3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada
hari ke-14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke-2.
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah
pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1).
Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat
perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi
dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat
terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke-12 demam pada infeksi
primer Dengue atau sampai hari ke-5 pada infeksi sekunder Dengue.
Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai
keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini
terbaik untuk pelayanan primer.
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat
dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan
pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks.
Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.
25
Gambar 9. Pemeriksaan penunjang untuk DBD
Manifestasi Perdarahan
Uji tourniquet sebagai manifestasi perdarahan kulit paling ringan dan dapat dinilai sebagai
uji presumtif karena uji ini positif pada hari-hari pertama demam. Uji dinyatakan positif
apabila pada satu inci persegi (2.8 x 2.8 cm) didapat lebih dari 10 petekie.
Pembesaran Hati
Hati yang membesar pada umumnya dapat diraba pada permulaan penyakit dan
pembesaran hati ini tidak sejajar dengan berat penyakit; nyeri tekan seringkali ditemukan
tanpa disertai ikterus. Hati pada anak umur 4 tahun atau lebih dengan gizi baik biasanya
tidak dapat diraba. Kewaspadaan perlu ditingkatkan apabila semula hati tidak teraba
kemudian selama perawatan membesar dan/atau pada saat masuk rumah sakit hati sudah
teraba dan selama perawatan menjadi lebih besar dan kenyal, hal ini merupakan terjadinya
syok.
26
2.9. Tatalaksana
Prinsip dasar dari terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan
terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal
terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi
antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran
plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular.
Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk
menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap
kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang
masif perlu selalu diwaspadai.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia
yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak
mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis,
dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi
keluhan dispepsia.
Apabila terdapat kenaikan hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis
cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang
diperlukan sesuai seperti cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang,yaitu
rumatan ditambah defisit 6%(5-8%).
2.9.1. DEMAM DENGUE (DD)
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien dianjurkan
untuk :
• tirah baring, selama masih demam
27
• diberi obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan
• untuk menurunkan suhu menjadi <39 C, dianjurkan pemberian Paracetamol.
Asteosal/salisilat tiak dianjurkan (kontraindikasi) oleh karena dapat menyebabkan
gastritis, perdarahan atau asidosis.
• dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, disamping
air putih, dianjurkan diberikan paling sedikit selama 2 hari.
• monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.
Pada pasien DD, umumnya suhu yang turun menandakan tanda penyembuhan.
Meskipun demikian, semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang mungkin
terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan sulitnya
membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat
suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda
awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa
disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut
hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan,
perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan tanda
kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah sakit. Pada pasien yang tidak
mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi.
2.9.2. DEMAM BERDARAH DENGUE
Ketentuan umum :
Keberhasilan tata laksana DBD terletak pada deteksi dini fase kritis, yaitu saat suhu turun
(the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi,
dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan
hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma,
yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai
terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan jumlah trombosit sampai <100.000/μL atau kurang
dari 1-2 trombosit/lpb (rata-rata dihitung pada 10 lpb) terjadi sebelum peningkatan
hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih
28
mencerminkan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan.
Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma
dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan
peningkatan hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit <50.000/μL.
Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simtomatik
dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral
tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang
berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang
diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama
demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk pemberian atau dapat
disederhanakan seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Dosis Paracetamol Menurut Kelompok Umur
Umur
(tahun)
Parasetamol (tiap kali pemberian)
Dosis (mg) Tablet (1 tab=500 mg)
< 1 60 1/8
1 – 3 60-125 1/8 - ¼
4 – 6 125 – 250 ¼ - ½
7 – 12 250 – 500 ½ - 1
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi,
anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis,
sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam
pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100
ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus diberikan
disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan
antikonvulsif selama demam.
29
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode
kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam.
Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik
untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma
dan pedoman kebutuhan cairan intravena.
Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan
darah dantekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga
sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia,
pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu
sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan
dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb.
Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu
(fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume
plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan
bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama,
sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit).
Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital,
kadar hematokrit, dan jumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat,
seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan
adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.
Cairan intravena diperlukan, apabila:
• Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak
rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga
mempercepat terjadinya syok.
• Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan
yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit,
30
dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis,
diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan.
• Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang
diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang
diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu
cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2
Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang (defisit cairan 5 – 8 %)
Berat badan waktu
masuk RS (kg)
Jumlah cairan ml/kg
berat badan per hari
<7 220
7 – 11 165
12 – 18 132
> 18 88
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan
pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi. Pada
anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang
sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungan dari tabel 3 berikut.
Tabel 3
Kebutuhan Cairan Rumatan
Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)
10 100 per kg BB
10 – 20 1000 + 50 x kg (di atas 10 kg)
>20 1500 + 20 x kg (di atas 20 kg)
Sebagai contoh untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500 + (20x20)
=1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan plasma
31
tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume
cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat
diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang berlebihan dan
terus-menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma
berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular
kembali ke dalam intravaskular.
Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru dan
distres pernafasan. Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok
yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah,
tekanan nadi menyempit (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan
mendadak dari kadar hematokrit atau kadar hematokrit meningkat terus menerus walaupun
telah diberi cairan intravena.
Jenis Cairan (rekomendasi WHO) :
Kristaloid.
• Larutan ringer laktat (RL)
• Larutan ringer asetat (RA)
• Larutan garam faali (GF)
• Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
• Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
• Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)
(Catatan: Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh larutan yang
mengandung dekstran)
Koloid :
• Dekstran 40
• Plasma
• Albumin
32
2.9.3. SINDROMA RENJATAN DENGUE
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama
yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat
mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pada penderita
SSD dengan tensi tak terukur dan tekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid
sebanyak 20 ml/kg BB/jam selama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg
BB.
Penatalaksanaan Syok yang Terkompensasi (compensated shock)
Rencana penatalaksanaan pasien dengan Syok yang terkompensasi adalah sebagai berikut:
Mulai resusitasi cairan intravena dengan cairan kristaloid 5-10 ml/kg/jam selama 1
jam. Kemudian nilai ualng keadaan pasien (tanda-tanda vital, capillary refill time,
hematokrit, produksi urin). Tahap selanjutnya bergantung kondisi pasien.
Apabila kondisi pasien membaik, cairan intravena dikurangi secara bertahap menjadi
5-7 ml/kg/bb selama 1-2 jam, kemudian diturunkan lagi menjadi 3-5 ml/kg/jam selama
2-4 jam, kemudian menjadi 2-3 ml/kg/jam, dan selanjutnya disesuaikan dengan status
hemodinamika, dan dipertahankan sampai 24-48 jam.
Apabila tanda-tanda vital masih belum stabil (tetap syok), periksa hematokrit setelah
pemberian bolus pertama. Apabila hematokrit meningkat atau tetap tinggi (>50%),
ulangi pemberian cairan kristaloid secara bolus dengan 10-20 ml/kg/jam selama 1 jam.
Setelah pemberian bolus kedua, apabila ditemukan perbaikan, turunkan menjadi 7-10
ml/kg/bb selama 1-2 jam, dan kemudian turunkan kembali seperti pada poin pertama.
Apabila hematokrit menurun dibandingkan nilai rujukan (<40% pada anak atau wanita
dewasa, <45% pada pria dewasa), hal ini mengindikasikan adanya perdarahan dan
segera lakukan cross-matching dan transfusi darah segera (perhatikan poin transfusi
darah).
33
Pemberian bolus cairan kristaloid dan koloid mungkin perlu diberikan selama 24-48
jam berikutnya.
Pasien dengan syok hipotensif harus diterapi segera. Rencana tatalaksana pasien dengan
syok hipotensif adalah sebagai berikut:
Mulai resusitasi cairan intravena dengan cairan kristaloid atau koloid (jika tersedia) 20
ml/kg diberikan secara bolus dalam 15 menit untuk menyelamatkan pasien dari
keadaan syok secepat mungkin.
Apabila komdisi pasien membaik, berikan cairan kristaloid/koloid 10 ml/kg/jam
selama 1 jam. Kemudian lanjutkan dnegan infus kristaloid dan diturunkan bertahap
menjadi 5-7 ml/kg/bb selama 1-2 jam, kemudian diturunkan lagi menjadi 3-5
ml/kg/jam selama 2-4 jam, kemudian menjadi 2-3 ml/kg/jam, dan selanjutnya
disesuaikan dengan status hemodinamika, dan dipertahankan sampai 24-48 jam.
Apabila tanda-tanda vital masih belum stabil (tetap syok), periksa hematokrit setelah
pemberian bolus pertama. Apabila hematokrit menurun dibandingkan nilai rujukan
(<40% pada anak atau wanita dewasa, <45% pada pria dewasa), hal ini
mengindikasikan adanya perdarahan dan segera lakukan cross-matching dan transfusi
darah segera (perhatikan poin transfusi darah).
Apabila hematokrit tetap tinggi dibandingkan nilai rujukan, ganti cairan intravena
menjadi koloid 10-20 ml/kg sebagai bolus kedua selama 30 menit sampai 1 jam.
Setelah pemberian bolus kedua, nilai ulang keadaan pasien. Apabila kondisi pasien
membaik, 7-10 ml/kg/bb selama 1-2 jam, dan kemudian ganti kembali menjadi cairan
kristaloid dan turunkan kecepatan infus sesuai dengan poin sebelumnya. Apabila
kondisi belum stabil, ulangi pemeriksaan hematokrit setelah bolus kedua.
Apabila hematokrit menurun dibandingkan nilai sebelumnya (<40% pada anak atau
wanita dewasa, <45% pada pria dewasa), hal ini mengindikasikan adanya perdarahan
dan segera lakukan cross-matching dan transfusi darah segera (perhatikan poin
34
transfusi darah). Apabila nilai hematokrit tetap tinggi (>50%), lanjutkan pemberian
cairan koloid 10-20 ml/kg sebagai bolus ketiga selama 1 jam. Setelah pemberian bolus
ketiga, turunkan menjadi 7-10 ml/kg/bb selama 1-2 jam, dan kemudian ganti kembali
menjadi cairan kristaloid dan turunkan kecepatan infus sesuai dengan poin
sebelumnya.
Pemberian bolus berikutnya mungkin diperlukan selama 24 jam berikutnya. Kecepatan
dan volume bolus harus dititrasi sesuai dengan respon klinis. Pasien dengan keadaan
yang memburuk membutuhkan perawatan yang lebih intesif (ICU)/.
Penggantian Volume Plasma Segera
Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat 20 ml/kg BB. Tetesan diberikan
secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan
sesuai berat BB ideal dan umur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan pemberian
cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60
menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop
pemberian kristaloid dan beri cairan koloid ( Dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam.
Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid
1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan
resusitasi kristaloid dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun,
diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila
kadar hematokrit tetap tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam)
dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus
dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan kadar hematokrit.
35
Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar
hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dan
kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam.
Pemasangan CVP yang ada kadang kala pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan
lagi.
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, dibandingkan
nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kgBB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa
keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48
jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat
terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit
setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat
edema paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini
jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang
kuat, tekanan darah normal, dieresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya
fase reabsorbsi.
Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas
darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak
dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih
kompleks.
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan
dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat
KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.
36
Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan
pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak
seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.
Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien syok,
terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah
diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk
mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi.
Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun
telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian
darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma,
sel darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi trombosit
berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok
berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian.
Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan
fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi
terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan
prognosis.
Rencana tatalaksana pada komplikasi perdarahan adalah:
Berikan transfusi 5-10 ml/kgBB fresh-packed red cell atau 10-20 ml/kgBB fresh whole
blood dan observasi respon klinis. Respon klinis yang diharapkan adalah terjadi
perbaikan status hemodinamik dan keseimbangan asam-basa.
Pertimbangkan menambah transfusi darah apabila ditemukan perdarahan yang masih
berlangsung atau tidak didapatkan kenaikan hematokrit yang diharapkan setelah
37
pemberian transfusi. Dapat dipertimbangkan pemberian transfusi platelet concentrates
dan/atau fresh frozen plasma (10-15 ml/kgBB) untuk perdarahan berat.
Tindakan yang hati-hati dalam pemasangan selang nasogastrik (NGT) karena dapat
menyebabkan perdarahan hebat dan memblok jalan nafas. Selang oro-gastrik yang
dilubrikasi dapat meminimalisasi trauma selama pemasangan.
Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk
menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:
Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau
lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien
stabil.
Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
Jumlah dan frekuensi diuresis.
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskular
telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB,
sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara
lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat
diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin tetap harus dilakukan.
Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat
terkoreksi dengan baik, maka pemberian dopamin perlu dipertimbangkan.
38
Ruang Rawat Khusus Untuk DBD
Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya dirawat
di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang
perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar
hemoglobin, hematokrit, dan trombosit yang tersedia selama 24 jam. Pencatatan
merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat dibantu
oleh orang tua pasien untuk mencatat jumlah cairan baik yang diminum maupun yang
diberikan secara intravena, serta menampung urin serta mencatat jumlahnya.
2.9.4. ENSEFALOPATI DENGUE
Rekomendasi penatalaksanaan suportif pada pasien dengan ensefalopati dengue:
Pertahankan jalan nafas yang adekuat dengan terapi oksigen. Cegah atau kurangi
tekanan intrakranial dengan cara:
o Berikan cairan intravena secara minimal untuk mempertahankan volume
intravaskular, idealnya total cairan IV tidak melebihi 80% kebutuhan cairan.
o Segera ganti cairan dengan pemberian koloid lebih awal apabila hematokrit
tetap tinggi dan jumlah besar cairan IV dibutuhkan pada kasus kebocoran
plasma berat
o Berikan diuretik apabila ada indikasi atau ditemukan tanda overload cairan
o Posisi kepala ditinggikan sekitar 300
o Intubasi lebih awal untuk mencegah hypercarbia dan melindungi jalan nafas
o Perlu dipertimbangkan pemberian steroid untuk menurunkan TIK.
Dexamethasone 0,15 mg/kg/dosis IV diberikan setiap 6-8 jam.
Kurangi produksi amonia dengan cara:
o Berikan laktulose 5-10 ml setiap 6 jam untuk menginduksi diare osmotik
o Berikan antibiotik lokal
39
Pertahankan kadar gula darah pada level 80-100 mg/dl. Infus glukosa uang
direkomendasikan dengan kecepatan 4-6 mg/kg/jam.
Koreksi gangguan asam-basa atau elektrolit segera.
Berikan vitamin K1 : 3 mg untuk bayi di bawah satu tahun, 5 mg untuk balita, dan
10 mg untuk anak di atas 5 tahun.
Antikonvulsan diberikan untuk mengendalikan kejang: phenobarbital, dilantin,
diazepam secara IV sesuai indikasi.
Transfusi darah bila ada indikasi, digunakan fresh packed red cells dibandingkan
dengan produk darah lain.
Pemberian antibiotik empiris apabila dicurigai adanya infeksi bakterial.
H2-blockers atau proton pump inhibitor dapat diberikan pada kasus perdarahan
gastrointestinal.
Kurangi pemberian obat yang tidak diperlukan untuk mengurangi beban
detoksifikasi obat dalam hati.
Pertimbangkan plasmapheresis atau hemodialisa pada kasus klinis yang mengalami
perburukan.
Kriteria Memulangkan Pasien
Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini:
• Tampak perbaikan secara klinis
• Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik
• Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
• Hematokrit stabil
• Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/ml
• Output urin baik
• Tiga hari setelah syok teratasi
• Nafsu makan membaik
40
2.10. Pencegahan
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk
Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa metode yang tepat, yaitu :
A. Metode lingkungan, digunakan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain
dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi
tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan
desain rumah. Sebagai contoh:
Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu.
Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali.
Menutup dengan rapat tempat penampungan air.
Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah dan
lain sebagainya.
B. Metode biologis, pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan
pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang) dan bakteri (Bt.H-14).
C. Metode kimiawi, antara lain dengan:
D. Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk
mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu.
E. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti,
gentong air,vas bunga, kolam, dan lain-lain.
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan
mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan 3M Plus, yaitu menutup,
menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan
41
pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang
kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk,
memeriksa jentik berkala, dll sesuai dengan kondisi setempat.
Vaksin Dengue. Kadidat vaksin dengue terkemuka, ChimeriVax (Sanofi Pasteur), adalah
fomulasi tetravalen dari vaksin demam kuning 17D yang dilemahkan yang
mengekspresikan prM virus dengue dan protein E. Sulit untuk mengembangkan vaksin
dengue yang aman dan mendapatkan keseimbangan respon antibodi untuk keempat
serotipe. Namun, dalam 5 tahun terakhir, perkembangan luar biasa telah dilakukan, dan
percobaan klinis multisenter fase 2 – 3 yang didesain unutk menentukan efektivitas dari
ketiga dosis vaksin sedang berlangsung. Data hubungan imunologik dan imunitas jarang.
Pemantauan jangka panjang dari vaksin akan penting untuk memahami apakah
memudarnya imunitas vaksin memberikan kecenderungan pada penerima terhadap hasil
yang berat pada infeksi berikutnya. Kandidat lain pada fase awal perkembangan klinis
meliputi vaksin berisi virus dengue yang dilemahkan dan vaksin rekombinan subunit.
Pencegahan Dengue Dengan Skrining Transfusi Darah
Berdasarkan studi kasus yang dilakukan di Singapura pada tahun 2007, dua orang pasien
yang menerima transfusi darah (FFP) mengalami gejala mialgia dan perburukan dengan
efusi pleura dua hari setelah transfusi. Setelah dilakukan pemeriksaan dengan
menggunakan metode PCR, keduanya positif mempunyai virus dengue tipe 2 dalam darah
mereka. 12
Oleh karena itu, skrining dengue pada pasien penerima transfuse sebaiknya
dilakukan, setidaknya dengan pemeriksaan IgM dan IgG dengue untuk mencegah
komplikasi yang lebih lanjut.
42
Bagan Tatalaksana Tersangka DBD
43
Bagan Tatalaksana DBD derajat II Tanpa Peningkatan Hematokrit
44
Bagan Tatalaksana Kasus DBD derajat II Dengan Peningkatan Hematokrit >20%
45
Bagan Tatalaksana Kasus DBD Derajat III & IV
46
BAB III
KESIMPULAN
Demam berdarah dengue adalah demam berdarah yang disebabkan oleh Virus dengue yang
ditularkan oleh nyamuk betina Aedes aegypti. Manifestasi klinis dari penyakit ini mulai
dari asipmtomatis sampai demam berdarah dengue yang disertai syok atau yang disebut
sebagai dengue shock syndrome (DSS).
Infeksi primer oleh Virus Dengue mungkin memberi gejala demam dengue, apabila terjadi
re-infeksi oleh Virus Dengue dengan serotipe yang berbeda maka reaksi yang terjadi sangat
berbeda. Teori patogenesis demam berdarah dengue yang banyak dianut saat ini adalah
secondary heterologous infection. Menurut teori ini re-infeksi akan menyebabkan suatu
reaksi anamnestik antibodi. Patofisiologi utama yang membedakan demam dengue dengan
DBD adalah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume
plasma, serta diatesis hemoragik.
Dasar penatalaksanaan DSS yang utama adalah penggantian volume plasma secepat
mungkin untuk memperbaiki kehilangan volume plasma. Dengan memahami patogenesis
DBD yang baik dan adanya keterampilan yang baik untuk menegakkan diagnosis secara
dini dan pengambilan keputusan yang tepat, akan menentukan keberhasilan pengobatan
DBD.
47
DAFTAR PUSTAKA
1. Hadinegoro S.R.H, Satari H.I. Demam Berdarah Dengue, Naskah Lengkap, Pelatihan bagi
Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana
Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005.
2. Soedarmo S.S.P, et.al. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis, edisi ke-2. Jakarta : Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2002; Bab 15.
3. Titte K. Adimidjaja. Kajian masalah kesehatan Demam Berdarah Dengue. Available from :
http://www.litbang.depkes.go.id/maskes/052004/demamberdarah1.htm
4. Standar Pelayanan Medis Demam Berdarah Dengue, Buku Ajar Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Available from :
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/demam-berdarah-dengue
5. Dengue Hemorrhagic Fever, World Health Organization. Available from :
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
6. Subawa A.A.N, Yasa I.W.P.S. Pola Jumlah Trombosit Penderita Demam Berdarah
Dengue (Dbd)Pada Anak-Anak Yang Petanda Serologinya Positif (Juli 2005- Juni 2006).
Dalam : Jurnal Penyakit Dalam, Volume 8 Nomor 3. Bali : Laboratorium Patologi Klinik
FK Unud/ RS Sanglah Denpasar ; 2007. Pg.216-221.
7. Dengue Hemorrhagic Fever, Medline Plus. Available from
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001373.htm
8. Darmowandowo, Widodo. Kuliah Infeksi Virus Dengue. Continuing Education Ilmu
Kesehatan Anak XXXVI. Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI. FK Unair RSU Dr.
Soetomo Surabaya. Available from: http://www.pediatrik.com/pkb/061022015303-
6l9i130.pdf
9. Guidelines for Treatment of Dengue Fever/ Dengue Haemorrhagic Fever in Small
Hospitals. World Health Organization. Regional Office for South East Asia. New Delhi.
1999. Availble from http://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_Guideline-dengue.pdf
48
10. Zorlu, Golde. Fleck, Fiona. Dengue vaccine roll-out: getting ahead of the game. Bull World
Health Organization 2011;89:476–477 | doi:10.2471/BLT.11.030711. Available from
http://www.who.int/bulletin/volumes/89/7/11-030711.pdf
11. Alexander C. Schmidt, M.D., Ph.D. Response to Dengue Fever — The Good, the Bad, and
the Ugly? N Engl J Med 2010; 363:484-487July 29, 2010. Available from :
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcibr1005904 (
12. Paul A. Tambyah, M.B., B.S..Evelyn S.C. Koay, F.R.C.Path. Dengue Hemorrhagic Fever
Transmitted by Blood Transfusion. N Engl J Med 2008; 359:1526-1527October 2, 2008.
Singapore. Available from : http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMc0708673
13. Simmons CO, Farrar JJ. Dengue. N Engl J Med 2012; 366:1423-1432 April 12,2012.
Available from : http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra1110265
14. Maj MS Mustafa*, Lt Col VK Agrawal. Dengue Vaccine: The Current Status. DADH, HQ
6 Mtn Div, C/o 56 APO, Pin - 908406. +Associate Professor, Department of Community
Medicine, Armed Forces Medical College, Pune-411040. Available from:
http://medind.nic.in/maa/t08/i2/maat08i2p161.pdf.
15. Sumarno S., Herry G., Sri Rezeki H.H. 2002. Buku Ajar Kesehatan Anak Infeksi
dan Penyakit Tropik. Edisi I. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Halaman 176-208.
49