+ All Categories
Home > Documents > DBD dan ensefalopati

DBD dan ensefalopati

Date post: 28-Dec-2015
Category:
Upload: dian-yosie-monica
View: 46 times
Download: 1 times
Share this document with a friend
Description:
Deskripsi mengenai Demam Berdarah Dengue dan sedikit tentang Ensefalopati pada kasus DHF.
Popular Tags:
74
Journal Reading Demam Berdarah Dengue Dengue Shock Syndrome dan Ensefalopati Dengue Pembimbing: dr. Sri Wahjuni, Sp.A Disusun oleh: Dian Yosie Monica (07120070046) Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
Transcript
Page 1: DBD dan ensefalopati

Journal Reading

Demam Berdarah Dengue

Dengue Shock Syndrome dan Ensefalopati Dengue

Pembimbing:

dr. Sri Wahjuni, Sp.A

Disusun oleh:

Dian Yosie Monica (07120070046)

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak

Rumah Sakit Bhayangkara tk.I R.S Sukanto

Periode: 26 November 2012 – 2 Februari 2013

Page 2: DBD dan ensefalopati

Daftar Isi

Daftar Isi...............................................................................................................................iBAB I PENDAHULUAN....................................................................................................1BAB II DEMAM BERDARAH DENGUE.........................................................................3

2.1. Definisi.....................................................................................................................32.2. Epidemiologi.............................................................................................................32.3 Etiologi......................................................................................................................72.4 Patofisiologi...............................................................................................................8

2.4.1. Imunopatogenesis 92.4.2. Volume Plasma 102.4.3. Trombositopenia 102.4.4. Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis 112.4.5. Sistem Komplemen 112.4.6. Respons Leukosit 11

2.5 Patogenesis..............................................................................................................122.5.1. Mekanisme Imunopatologis 122.5.2. Secondary Heterologous Infection 13

2.6 Manifestasi Klinis....................................................................................................172.6.1. Dengue Fever 172.6.2. Demam Berdarah Dengue172.6.3. Sindroma Renjatan Dengue 192.6.4. Ensefalopati Dengue 20

2.7. Diagnosis...............................................................................................................222.8. Pemeriksaan Penunjang..........................................................................................222.9. Tatalaksana.............................................................................................................25

2.9.1. Demam Dengue (Dd) 262.9.2. Demam Berdarah Dengue272.9.3. Sindroma Renjatan Dengue 332.9.4. Ensefalopati Dengue 39

2.10. Pencegahan...........................................................................................................41BAB III KESIMPULAN...................................................................................................47DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................48

i

Page 3: DBD dan ensefalopati

BAB I

PENDAHULUAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah suatu

penyakit yang biasa ditemukan di daerah tropis maupun subtropis. DBD pertama kali

ditemukan pada tahun 1950 saat epidemik dengue di Filipina dan Thailand. Saat ini DBD

menyerang negara-negara di Asia dan menjadi penyebab utama perawatan di rumah sakit

dan kematian pada anak-anak.

DBD disebabkan oleh virus Dengue Famili Flaviviridae yang ditularkan melalui

gigitan nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus, dengan genusnya adalah flavivirus.

Manifestasi klinis infeksi virus Dengue termasuk didalamnya Demam Berdarah Dengue

sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik, demam ringan yang tidak spesifik, Demam

Dengue, Demam Berdarah Dengue, hingga yang paling berat yaitu sindroma renjatan

dengue (DSS). Dalam praktek sehari-hari, pada saat pertama kali penderita masuk rumah

sakit tidaklah mudah untuk memprediksikan apakah penderita Demam Dengue tersebut

akan bermanifestasi menjadi ringan atau berat. 1

Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue,

antara lain faktor host, lingkungan (environment) dan faktor virusnya sendiri. Faktor host

yaitu kerentanan dan respon imun. Faktor lingkungan yaitu kondisi geografi (ketinggian

dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, musim); kondisi demografi

(kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi penduduk). Jenis nyamuk

sebagai vektor penular penyakit juga ikut berpengaruh. 1,2

Dalam waktu lima puluh tahun terakhir, insiden infeksi dengue meningkat tiga

puluh kali dengan peningkatan luas geografi ke negara-negara baru dan terjadi

penyebaran infeksi virus dengue dari daerah perkotaan ke pedesaan. Di Indonesia angka

kesakitan demam berdarah dengue (DBD) terus meningkat dari 0,05 per 100.000

1

Page 4: DBD dan ensefalopati

penduduk di tahun 1968 menjadi 35,19 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, namun

angka kematian menurun dari 41,3% di tahun 1968 menjadi 0,86% pada tahun 2008.

Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang

bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam

dengue (DD), DBD sampai DBD disertai syok (sindrom syok dengue = SSD).

Sejak tahun 1976, kasus dengue dihubungkan dengan keterlibatan beberapa organ

vital yang mengarah ke manifestasi yang tidak lazim (unusual) atau yang tidak normal

(atypical), dan sering berakibat fatal. Kalayanarooj dan Nimmannitya tahun 2004

mengklasifikasikan unusual manifestation infeksi virus dengue berupa keterlibatan

susunan saraf pusat (SSP), gagal fungsi hati, gagal fungsi ginjal, infeksi ganda dan

kondisi yang memperberat.

Sebagai manifestasi infeksi dengue yang paling berat, maka perlulah kita

mempelajari bagaimana mengenali gejala klinis dari tanda syok, mempelajari

patogenesisnya, serta mengetahui tata laksana kasus sindroma renjatan dengue hingga

edukasinya.

2

Page 5: DBD dan ensefalopati

3

Page 6: DBD dan ensefalopati

BAB II

DEMAM BERDARAH DENGUE

2.1. Definisi

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus

dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. Demam Berdarah Dengue merupakan

suatu penyakit demam berat yang sering mematikan disebabkan oleh virus dengue, ditandai

oleh permeabilitas kapiler, kelainan hemostasis dan pada kasus berat sindrom syok

kehilangan protein. DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus

dengue.

Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut :

1. Demam tidak terdiferensiasi

2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari,

ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital,

mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau uji bendung

positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien

yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada lokasi dan waktu

yang sama.

3. Demam Berdarah Dengue (dengan atau tanpa renjatan)

4

Page 7: DBD dan ensefalopati

2.2. Epidemiologi

Infeksi virus Dengue telah menjadi masalah kesehatan yang serius pada banyak negara

tropis dan subtropis, oleh karena peningkatan jumlah penderita, menyebarluasnya daerah

yang terkena wabah dan manifestasi klinis berat yang merupakan keadaan darurat yaitu

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dan sindroma renjatan dengue (DSS).

Gambar 1. Penyebaran Virus Dengue di Seluruh Dunia Pada Tahun 2005

Antara tahun 1975 dan 1995, DD/DBD terdeteksi keberadaannya di 102 negara di dari

lima wilayah WHO yaitu: 20 negara di Afrika, 42 negara di Amerika, 7 negara di Asia

Tenggara, 4 negara di Mediterania Timur dan 29 negara di Pasifik Barat. Seluruh wilayah

tropis di dunia saat ini telah menjadi hiperendemis dengan ke-empat serotipe virus secara

bersama-sama diwilayah Amerika, Asia Pasifik dan Afrika. Secara global sekitar 40% dari

populasi dunia (2,5 milyar orang) memiliki resiko terutama yang tinggal di wilayah tropis

dan subtropis. Lebih dari 50 juta infeksi dilaporkan setiap tahunnya.

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang masih

menimbulkan masalah kesehatan yang besar di negara yang sedang berkembang,

khususnya Indonesia. Di Indonesia, sejak penyakit ini pertama kali ditemukan yaitu pada

tahun 1968, memperlihatkan peningkatan baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang

5

Page 8: DBD dan ensefalopati

terjangkit serta tingginya kematian yang ditimbulkan. Di samping itu penyakit ini sering

muncul sebagai KLB (Rampengan, 1997). Dalam jumlah angka kesakitan (morbidity rate)

dan kematian (mortality rate) DBD di kawasan Asia Tenggara, selama kurun waktu 1985-

2004, Indonesia berada di urutan kedua terbesar setelah Thailand (WHO, 2004).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kesehatan, jika dilihat secara total

kasus DBD sepanjang tahun terus meningkat. Dalam beberapa tahun terakhir misalnya,

angka peningkatan jelas, yakni kasusnya 79.462 dan meninggal 957 tahun 2004, 95.000

kasus dan meninggal 1.350 tahun 2005, 113.640 kasus dan meninggal 1.184 tahun 2006

dan terakhir 140.000 kasus dengan 1.380 meninggal tahun 2007.

Indonesia, Myanmar, Thailand masuk kategori A yaitu : KLB/wabah siklis terulang

pada jangka waktu antara 3 sampai 5 tahun. Menyebar sampai daerah pedesaan, sirkulasi

serotipe virus beragam (WHO, 2000). Sedang di Indonesia sendiri penyakit Demam

Berdarah Dengue (DBD) juga masih menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia,

hal ini didukung oleh data-data sebagai berikut :

Di Indonesia DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Surabaya dan

Jakarta. Pada epidemi DBD yang terjadi 1989, sebanyak 47.573 kasus dilaporkan dengan

1.527 kematian. Selama tahun 2004, dilaporkan setiap bulan dengan jumlah 78.690 kasus

dengan 954 kematian (CFR=1,2%). Wabah Desember 2004-Februari 2005 dilaporkan

sebanyak 10.517 kasus dengan 182 kematian (CFR=1,73%) untuk 30 Provinsi. Pada tahun

2005, Indonesia merupakan kontributor utama kasus DBD di Asia Tenggara (53%) dengan

jumlah kasus 95.270 kasus dan 1.298 kematian (CFR = 1,36%). Jumlah kasus meningkat

menjadi 17% dan kematian 36% dibanding tahun 2004. Jumlah kasus yang dilaporkan

merupakan yang terbesar dalam sejarah DBD di Indonesia. Kasus tertinggi yang tercatat

selama epidemik dari tahun-tahun sebelumnya adalah lebih dari 40.000 pada tahun

1988,1996, 19998, 2001, 2003 dan 2004, mencapai 72.133 kasus pada tahun 1998 dan

69.017 kasus pada tahun 2004. Di antara periode epidemik, insiden yang dilaporkan

bervariasi antara 10.000 sampai 25.000 kasus.

6

Page 9: DBD dan ensefalopati

Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi

disebabkan berbagai faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat

penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue, dan kondisi meteorologis.

Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian

ditemukan lebih banyak terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal

terjadinya wabah di sebuah negara, pola distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus

terbanyak berasal dari golongan anak berumur <15 tahun (86-95%). Namun pada wabah

selanjutnya, jumlah kasus golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia, pengaruh

musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat

antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari.

Kemajuan teknologi dalam bidang transportasi disertai mobilitas penduduk yang cepat

turut memudahkan penyebaran sumber penularan dari satu daerah ke daerah lainnya.

Pengamatan terbaru menunjukkan bahwa profil klinis DBD berubah dan bahwa

manifestasi neurologis lebih sering dilaporkan. Insiden yang tepat berbagai komplikasi

neurologis tidak pasti. Dilaporkan insiden ensefalopati yang merupakan manifestasi

7

Gambar 2. Jumlah kasus Demam Dengue dan DBD yang dilaporkan ke WHO dan case

fatality rate di Indonesia (tahun 1985 – 2004)

Page 10: DBD dan ensefalopati

neurologi paling sering dari infeksi virus dengue didapatkan angkanya bervariasi dari 0,5-

20,9%. Laporan tahun 2003-2006 dari Uttar Pradesh, India mendapatkan 118/563 (20,9%)

dengan acute febrile ensefalopati (AFE) dan acute undifferentiated febrile illness (AUFI)

positif antibodi dengue. Selain itu terdapat laporan pergeseran usia pasien infeksi virus

dengue ke usia yang lebih tua, sedangkan ensefalopati dengue laporannya masih terbatas.

2.3 Etiologi

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Virus dengue termasuk

grup B arthropod borne virus (arboviruses) dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus,

famili Flaviviridae, yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan

DEN-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup

terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang

lain. Seorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan

4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di

berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak

tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan

bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan

banyak berhubungan dengan kasus berat. 1,3

Perbedaan urutan nukleotida ini ternyata menyebabkan variasi dalam sifat biologis

dan antigenitasnya. Virus Dengue yang mempunyai genom dengan berat molekul 11 Kb

tersusun dari protein struktural yang terdiri dari protein envelope (E), protein pre-membran

(prM) dan protein core (C) merupakan 25% dari total protein dan protein non-struktural

yang merupakan bagian terbesar yaitu 75% dari total protein terdiri dari NS-1 dan NS-5.

Dalam merangsang pembentukan antibodi di antara protein struktural, urutan imunitas

tertinggi adalah protein E, kemudian diikuti protein prM dan selanjutnya protein C.

Sedangkan pada protein nonstruktural yang paling berperan adalah protein NS-1.

8

Page 11: DBD dan ensefalopati

Terdapat masa inkubasi ekstrinsik dan masa inkubasi ekstrinsik. Masa inkubasi

ekstrinsik merupakan periode waktu perkembanganbiakan virus dalam kelenjar liur

nyamuk sampai menularkan pada manusia yang berkisar antara 8-10 hari. Masa inkubasi

intrinsik merupakan periode waktu perkembangbiakan virus di dalam tubuh manusia sejak

masuk sampai timbulnya gejala penyakit yang berkisar antara 4-6 hari.

Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian,

terutama pada anak serta sering menimbulkan wabah. Jika nyamuk Aedes aegypti

menggigit orang dengan demam berdarah, maka virus dengue masuk ke tubuh nyamuk

bersama darah yang diisapnya. Di dalam tubuh nyamuk, virus berkembang biak dan

menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan sebagian besar berada di kelenjar liur.

Selanjutnya waktu nyamuk menggigit orang lain, air liur bersama virus dengue dilepaskan

terlebih dahulu agar darah yang akan dihisap tidak membeku, dan pada saat inilah virus

dengue ditularkan ke orang lain.  Populasi nyamuk ini akan meningkat pesat saat musim

hujan namun nyamuk Aedes aegypti juga dapat hidup dan berkembang biak pada bak-bak

penampungan air sepanjang tahun. Satu gigitan nyamuk yang telah terinfeksi sudah mampu

untuk menimbulkan penyakit dengue pada orang yang sehat.

Penularan demam dengue tidak terjadi langsung dari manusia ke manusia tetapi

harus melalui perantara nyamuk sehingga kita tidak perlu khawatir kontak langsung dengan

penderita demam dengue.

2.4 Patofisiologi

Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti kemudian

bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks virus-antibody, dalam sirkulasi akan

mengaktivasi sistem komplemen.

Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama

kali menyebabkan demam dengue. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang biasa terlihat pada

infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan tampak, bila seseorang mendapat infeksi

9

Page 12: DBD dan ensefalopati

berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan. Dan DBD dapat terjadi bila seseorang

setelah terinfeksi pertama kali, kemudian mendapat infeksi berulang virus dengue lainnya.

Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan

konsentrasi kompleks antigen-antibodi (kompleks virus-antibodi) yang tinggi.

2.4.1. Imunopatogenesis

Gambar 3. Imunopatogenesis Dengue Berat pada Infeksi Sekunder

Tidak terdapat bukti bahwa virus menginfeksi sel endotelial, dan hanya perubahan

minor nonspesifik yang telah dideteksi pada studi histopatologik dari mikrovaskulatur.

Walaupun tidak ada jalur yang spesifik yang telah diidentifikasi berhubungan dengan

kejadian imunopatogenik dengan efek definitif pada permeabilitas mikrovaskular,

mekanisme tromboregulatori, atau keduanya, data terdahulu menunjukkan gangguan

sementara pada fungsi lapisan glikokaliks endotelial. Fungsi lapisan ini sebagai saringan

molekul, secara selektif merestriksi molekul dalam plasma berdasarkan ukurannya, muatan,

10

Page 13: DBD dan ensefalopati

dan bentuk. Hipoalbuminemia dan proteinuria ditemukan diamati selama infeksi dengue;

protein sampai dan termasuk ukuran albumin merupakan yang sering kali lolos; hal ini

konsisten dengan perubahan kecil dan penting yang terjadi pada karateristik filtrasi dari

glikokaliks. Virus dan NS1 dengue diketahui melekat pada heparan sulfat, yang merupakan

kunci elemen struktural dari glikokaliks, dan peningkatan ekskresi heparan sulfat dalam

urin telah dideteksi pada anak-anak dengan infeksi yang berat.

2.4.2. Volume Plasma

Yang menentukan derajat penyakit dan membedakan antara DD dengan DBD adalah

peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya

hipotensi, trombositopenia disertai dengan diatesis hemoragik. Meningginya hematokrit

pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma

ke daerah yang mendukung dugaan ini. Bukti yang mendukung dugaan ini adalah

meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu

rongga peritoneum, pleura, dan pericardium, yang pada otopsi ternyata melebihi cairan

yang diberikan melalui infus dan terdapatnya edema.

2.4.3. Trombositopenia

Merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar kasus DBD. Nilai

trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok.

Jumlah trombosit meningkat secara cepat pada masa konvalesen dan nilai normal biasanya

tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit

dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD. Trombositopenia

diduga disebabkan oleh pemusnahan trombosit oleh sistem retikuloendothelial akibat

kerusakan metamorfosis dari trombosit. Metamorfosis trombosit ini diduga diakibatkan

oleh agregasi trombosit yang menghasilkan ADP dan merusak morfologi dari trombosit.

11

Page 14: DBD dan ensefalopati

2.4.4. Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis

Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang

teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun termasuk faktor II, V, VII,

VIII, X, dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi fibrin degradation product.

2.4.5. Sistem Komplemen

Bukti-bukti yang mendukung berperannya system komplemen pada DBD adalah :

• Ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam.

• Adanya kompleks imun yang bersirkulasi, baik pada DBD derajat ringan maupun

berat

• Adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompeks imun dengan derajat berat

penyakit.

2.4.6. Respons Leukosit

Terlihat peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan. Limfosit

plasma biru ialah limfosit dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai ukuran

lebih besar atau sama dengan limfosit besar, sitoplasma lebar dengan vakuolisasi halus

sampai sangat nyata, dengan daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu

tepi sel berbentuk bulat oval atau berbentuk ginjal. Kromosom inti kasar dan kadang-

kadang di dalam inti terdapat nucleoli. Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik.

Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk dan tidak bertambah biru.

12

Page 15: DBD dan ensefalopati

2.5 Patogenesis

Patogenesis terjadinya DBD hingga saat ini masih diperdebatkan. Berdasarkan data yang

ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya

DBD dan sindrom renjatan dengue.

2.5.1. Mekanisme Imunopatologis

Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah:

a) Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi

virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi.

Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada

monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut Antibody Dependent Enhancement

(ADE).

b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun

seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi

INFγ, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10.

c) Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi.

Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi

sitokin oleh makrofag.

d) Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a

dan C5a (Gambar 5).

13

Gambar 5. Imunopatogenesis DBD

Page 16: DBD dan ensefalopati

2.5.2. Secondary Heterologous Infection

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis The Secondary Heterologous Infection

dapat dilihat pada Gambar 7 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat

infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons

antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan

proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti

dengue. Selain itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi

dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan

terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya

akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi

C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan pasien

dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung

selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar

hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapat cairan di dalam rongga serosa (efusi

pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis

dan anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting

guna mencegah kematian.

14

Page 17: DBD dan ensefalopati

Gambar 6. The Immunological Enchancement Hypothesis

Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain

dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi

baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan

genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia,

peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah.

Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah

yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain

mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi

sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (Gambar 2.5). Kedua

faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi

sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit

15

Page 18: DBD dan ensefalopati

mengakibatkan pengeluaran ADP (Adenosin Diphosphat), sehingga trombosit melekat satu

sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (Reticulo

Endothelial System) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan

menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati

konsumtif (KID = Koagulasi Intravaskular Diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP

(Fibrinogen Degredation Product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan

(Suhendro dkk., 2007). Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi

trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik.

Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi

aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah

yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan

oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi

trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat

syok yang terjadi.

16

Gambar 7. Patogenesis terjadinya syok pada DBD

Page 19: DBD dan ensefalopati

Gambar 8. Patogenesis Perdarahan pada DBD

Pada saat terjadi kebocoran plasma, albumin, air dan elektrolit keluar dari

kompartemen intravaskular ke dalam kompartemen ektravaskular. Dengan adanya protein

dalam kompartemen ektravaskular tekanan osmotik cairan ekstravaskular meningkat yang

menyebabkan penarikan masuk air dan elektrolit dari kompartemen intravaskular ke

kompartemen ekstravaskular. Berkurangnya cairan yang masuk kembali ke kompartemen

intravaskular menyebabkan terjadinya hipovolemi intravaskular, hemokonsentrasi,

viskositas darah meningkat, aliran darah menurun, perfusi jaringan berkurang dan mungkin

terjadi renjatan dengan komplikasi yang berat yaitu Koagulasi Intravaskular Diseminata

(KID). Terkumpulnya cairan di kompartemen ektravaskular dapat bermanifestasi sebagai

cairan pleura dan asites.

Pada fase penyembuhan permeabilitas dinding vaskular membaik, kebocoran

plasma berhenti, akan tetapi sebagian albumin/protein masih ada di kompartemen

ekstravaskular dan perbedaan tekanan intra dan ekstra vaskular belum kembali normal

sehingga masih mungkin terjadi keseimbangan negatif antara cairan yang keluar dan yang

masuk kembali ke dalam kompartemen intravaskular. Pada saat semua sisa protein/albumin

ekstravaskular telah dimetabolisme maka perbedaan tekanan osmotik intra dan ekstra

17

Page 20: DBD dan ensefalopati

vaskular menjadi normal kembali. Cairan ekstravaskular (efusi pleura, asites dll) diserap

kembali dan menghilang.

2.6 Manifestasi Klinis

2.6.1. Dengue Fever

Setelah tergigit nyamuk pembawa virus, masa inkubasi akan berlangsung antara 3 sampai

15 hari sampai gejala demam dengue muncul. Gejala demam dengue akan diawali oleh

perasaan menggigil, nyeri kepala, nyeri saat menggerakan bola mata dan nyeri punggung.

Kesakitan pada tungkai dan sendi akan terjadi beberapa jam sejak gejala demam dengue

mulai dirasakan. Suhu tubuh akan meningkat dengan cepat mencapai 40 derajat celcius

dengan detak nadi yang normal serta tekanan darah yang cenderung turun. Bola mata akan

tampak kemerahan. Kemerahan juga tampak pada wajah yang dengan cepat akan

menghilang. Kelenjar pada leher dan tenggorokan terkadang ikut membesar.

Demam dan gejala lain dari demam dengue akan berlangsung selama 2 hari yang

kemudian diikuti oleh penurunan suhu yang cepat dengan diiringi oleh produksi keringat

yang meningkat. Periode penurunan suhu ini biasanya berlangsung sehari, selanjutnya suhu

tubuh akan meningkat lagi dengan cepat. Saat ini seluruh tubuh pasien akan kemerahan

kecuali pada wajah.

2.6.2. Demam Berdarah Dengue

Gejalanya antara lain nyeri pada perut, perdarahan, dan syok. Bila terjadi syok maka DBD

sering disebut sindroma renjatan dengue atau DSS. Pasien dengan DSS biasanya agak sulit

untuk dipulihkan.

DBD dimulai dengan demam tinggi serta sakit kepala yang hebat. Terdapat gejala

pada saluran nafas dan saluran pencernaan berupa nyeri menelan, batuk, mual, muntah dan

nyeri perut. Syok dapat terjadi setelah 2 sampai 6 hari semenjak gejala DBD timbul. Gejala

18

Page 21: DBD dan ensefalopati

syok dimulai dengan penurunan suhu tubuh tiba tiba, akral dingin, nadi lemah, dan

kebiruan pada bibir.

Pada DBD, terdapat perdarahan pada jaringan lunak, bintik perdarahan pada kulit,

muntah darah, darah pada kotoran, gusi berdarah dan mimisan. Pada beberapa kasus dapat

terjadi radang paru paru dan radang pada otot jantung atau miokarditis.

Pasien dengan DBD harus di monitor dengan ketat terutama pada hari ke empat

sejak timbulnya gejala. Bila terjadi kebiruan atau sianosis maka pasien harus diberikan

oksigen dan apabila terdapat kegagalan vaskuler maka pasien harus diinfus. Transfusi

darah diperlukan untuk mengendalikan perdarahan.

Angka kematian pasien DBD sangat tinggi antara 3 sampai 30%. Sebagian besar

kematian terjadi pada anak anak.

Menurut WHO pada tahun 1986 mengklasifikasikan DBD menurut derajat penyakitnya

menjadi 4 golongan, yaitu :

• Derajat I

Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7 hari, Uji

tourniquet positif, trombositopenia, dan hemokonsentrasi.

• Derajat II

Derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti petekie, ekimosis,

hematemesis, melena, perdarahan gusi.

• Derajat III

Derajat 2 ditambah dengan kegagalan sirkulasi, yang ditandai dengan nadi cepat dan

lemah, tekanan nadi menurun (<20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit yang dingin,

lembab dan pasien menjadi gelisah.

19

Page 22: DBD dan ensefalopati

• Derajat IV

Derajat 3 ditambah syok berat, dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak

dapat diukur.

2.6.3. Sindroma Renjatan Dengue

Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke-3 sampai hari

sakit ke-7. Manifestasi syok pada anak terdiri atas :

• Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan hidung

sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang insufisien dan

menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara refleks.

• Anak yang semula rewel, cengeng, dan gelisah lambat laun kesadarannya menurun

mejadi apatis, sopor dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral.

• Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi cepat dan

lembut.

• Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang.

• Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.

• Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri

renalis.

20

Page 23: DBD dan ensefalopati

2.6.4. Ensefalopati Dengue

Keterlibatan Sistem Saraf Pusat (SSP) biasanya merupakan akibat dari ensefalopati.

Manifestasi ensefalopati dengue dapat berupa sakit kepala, iritabilitas, lethargi, bingung

dan depresi, gangguan sensoris, gangguan perilaku, kelemahan saraf kranial (cranial

nerves palsies) dan kadang-kadang dijumpai kejang, penurunan kesadaran/koma, dan

paresis. Sekuele post-infeksi dapat berupa amnesia, demensia, psikosis tipe manik,

sindroma Reye, dan meningoencephalitis. Keterlibatan neurologis dapat berupa perdarahan

intrakranial, edema serebral, hiponatremia, anoksia serebral, fulminant hepatic failure,

gagal ginjal atau pelepasan produk toksik.

21

Gambar 8. Klasifikasi Infeksi Virus Dengue

Page 24: DBD dan ensefalopati

Ensefalopati dengue dapat disebabkan oleh syok berat akibat syok yang

berkepanjangan dengan perdarahan ataupun kelebihan cairan atau asidosis metabolik,

gangguan metabolisme seperti sindrom Reye, penggunaan obat hepatotoksik, penyakit hati

yang mendasari seperti karier hepatitis B atau thalasemia, gangguan keseimbangan

elektrolit seperti hiponatremia dan hipokalsemia, hipoksemia, hipoglikemia, perdarahan

intrakranial, edema serebral, oklusi vaskular, gagal hati, atau gagal ginjal atau keduanya.

Berdasarkan klasifikasi DBD menurut WHO 1997 didapatkan DBD dengan syok dan DBD

tanpa syok yang mengalami ensefalopati dengue. Pada pasien dengan DBD tanpa syok,

ensefalopati dengue disertai penyakit penyerta seperti diare karena mempermudah

terjadinya gangguan elektrolit dan gangguan metabolisme.

Patofisiologi keterlibatan neurologis yang ditemukan: lesi pada jaringan yang

timbul langsung dari virus karenan neurotropicity, perdarahan kapiler, KID, dan gangguan

metabolik seperti yang disebutkan sebelumnya.

Diagnosis ensefalopati dengue berdasarkan diagnosis klinis DBD menurut kriteria

WHO (1997) dengan keterlibatan susunan saraf pusat terdiri dari onset mendadak

hiperpireksia, perubahan kesadaran sementara (gelisah, iritabel atau koma), nyeri kepala,

muntah, dengan atau tanpa kejang, serta profil cairan serebrospinal (CSS) normal.

Keterlibatan fungsi hati yang berat jika terdapat peningkatan serum transaminase lima kali

di atas nilai normal.

Manifestasi neurologis yang pernah dilaporkan selain encephalitis/encephalopathy

adalah mononeuropati, polineuropati, sindrom Guillain-Barre, dan myelitis transversal.

Kaku kuduk, mononeural palsies, dan ensefalitis dengan kejang dapat ditemukan. Kejadian

ensefalitis oleh karena invasi langsung terhadap otak sangat langka. Pada suatu penelitian

22

Page 25: DBD dan ensefalopati

terhadap 378 pasien di Vietnam dengan kecurigaan infeksi SSP, 4,2% terinfeksi virus

dengue. Deteksi IgM terhadap virus dengue dan isolasi virus dengue pada cairan

serebrospinal pada pasien dengan gangguan neurologis mengindikasikan neurovirulance

dari virus dengue dan kemampuan virus ini untuk menyebabkan ensefalitis. Pada penelitian

lain pada 13 pasien yang terinfeksi dengue dan memiliki gejala neurologis, dilakukan

pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS). Tujuh pasien mengalami ensefalitis, dua di

antaranya mengalami myelitis, dan empat lainnya menunjukkan sindroma Guillain-Barre.

Paralisis akut yang bersifat flaccid ditemukan pada kasus myositis dengue pernah

dilaporkan.

Studi oleh Salomon dkk di Vietnam mendapatkan 7/21 (33,3%) pasien dengue

dengan infeksi SSP adalah infeksi primer, 13/21 (61,9%) dengan infeksi sekunder dan 1/21

(4,8%) tidak dapat diklasifikasikan. Studi tersebut menunjukkan infeksi sekunder lebih

sering menyebabkan ensefalopati dengue daripada infeksi primer.

2.7. Diagnosis

Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:

1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.

2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif; petekie,

ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.

3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).

4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:

Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis

kelamin.

Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan

dengan nilai hematokrit sebelumnya.

Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,

hiponatremia.

23

Page 26: DBD dan ensefalopati

2.8. Pemeriksaan Penunjang

Trombositopenia (≤100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari peningkatan

nilai hematokrit ≥20% dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa sakit.

Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan

hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DBD. Dengan patokan ini

87% kasus tersangka DBD dapat didiagnosis dengan tepat, yang dibutuhkan oleh

pemeriksaan serologis dan dapat dihindari diagnosis berlebihan.

Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah

trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai

gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada

hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3

demam.

Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya

gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-

Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT,

ureum/ kreatinin. Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik

melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara

tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus.

Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih

dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal.

Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis

molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcription

polymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih

sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga

relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya

hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan

serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.

24

Page 27: DBD dan ensefalopati

Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu

ke-3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada

hari ke-14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke-2.

Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah

pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1).

Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat

perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi

dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat

terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke-12 demam pada infeksi

primer Dengue atau sampai hari ke-5 pada infeksi sekunder Dengue.

Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki

sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai

keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini

terbaik untuk pelayanan primer.

Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat

dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan

pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks.

Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.

25

Page 28: DBD dan ensefalopati

Gambar 9. Pemeriksaan penunjang untuk DBD

Manifestasi Perdarahan

Uji tourniquet sebagai manifestasi perdarahan kulit paling ringan dan dapat dinilai sebagai

uji presumtif karena uji ini positif pada hari-hari pertama demam. Uji dinyatakan positif

apabila pada satu inci persegi (2.8 x 2.8 cm) didapat lebih dari 10 petekie.

Pembesaran Hati

Hati yang membesar pada umumnya dapat diraba pada permulaan penyakit dan

pembesaran hati ini tidak sejajar dengan berat penyakit; nyeri tekan seringkali ditemukan

tanpa disertai ikterus. Hati pada anak umur 4 tahun atau lebih dengan gizi baik biasanya

tidak dapat diraba. Kewaspadaan perlu ditingkatkan apabila semula hati tidak teraba

kemudian selama perawatan membesar dan/atau pada saat masuk rumah sakit hati sudah

teraba dan selama perawatan menjadi lebih besar dan kenyal, hal ini merupakan terjadinya

syok.

26

Page 29: DBD dan ensefalopati

2.9. Tatalaksana

Prinsip dasar dari terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan

ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan

terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal

terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.

Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi

antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran

plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular.

Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk

menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap

kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang

masif perlu selalu diwaspadai.

Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia

yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak

mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis,

dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi

keluhan dispepsia.

Apabila terdapat kenaikan hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis

cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang

diperlukan sesuai seperti cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang,yaitu

rumatan ditambah defisit 6%(5-8%).

2.9.1. DEMAM DENGUE (DD)

Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien dianjurkan

untuk :

• tirah baring, selama masih demam

27

Page 30: DBD dan ensefalopati

• diberi obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan

• untuk menurunkan suhu menjadi <39 C, dianjurkan pemberian Paracetamol.

Asteosal/salisilat tiak dianjurkan (kontraindikasi) oleh karena dapat menyebabkan

gastritis, perdarahan atau asidosis.

• dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, disamping

air putih, dianjurkan diberikan paling sedikit selama 2 hari.

• monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.

Pada pasien DD, umumnya suhu yang turun menandakan tanda penyembuhan.

Meskipun demikian, semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang mungkin

terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan sulitnya

membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat

suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda

awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa

disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut

hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan,

perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan tanda

kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah sakit. Pada pasien yang tidak

mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi.

2.9.2. DEMAM BERDARAH DENGUE

Ketentuan umum :

Keberhasilan tata laksana DBD terletak pada deteksi dini fase kritis, yaitu saat suhu turun

(the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi,

dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan

hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma,

yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai

terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan jumlah trombosit sampai <100.000/μL atau kurang

dari 1-2 trombosit/lpb (rata-rata dihitung pada 10 lpb) terjadi sebelum peningkatan

hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih

28

Page 31: DBD dan ensefalopati

mencerminkan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan.

Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma

dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan

peningkatan hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit <50.000/μL.

Fase Demam

Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simtomatik

dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral

tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang

berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang

diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama

demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk pemberian atau dapat

disederhanakan seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Dosis Paracetamol Menurut Kelompok Umur

Umur

(tahun)

Parasetamol (tiap kali pemberian)

Dosis (mg) Tablet (1 tab=500 mg)

< 1 60 1/8

1 – 3 60-125 1/8 - ¼

4 – 6 125 – 250 ¼ - ½

7 – 12 250 – 500 ½ - 1

Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi,

anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis,

sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam

pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100

ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus diberikan

disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan

antikonvulsif selama demam.

29

Page 32: DBD dan ensefalopati

Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode

kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam.

Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik

untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma

dan pedoman kebutuhan cairan intravena.

Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan

darah dantekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga

sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia,

pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu

sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan

dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb.

Penggantian Volume Plasma

Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu

(fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume

plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan

bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama,

sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit).

Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital,

kadar hematokrit, dan jumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat,

seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan

adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.

Cairan intravena diperlukan, apabila:

• Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak

rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga

mempercepat terjadinya syok.

• Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan

yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit,

30

Page 33: DBD dan ensefalopati

dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis,

diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan.

• Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang

diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang

diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu

cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2

Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang (defisit cairan 5 – 8 %)

Berat badan waktu

masuk RS (kg)

Jumlah cairan ml/kg

berat badan per hari

<7 220

7 – 11 165

12 – 18 132

> 18 88

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan

pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi. Pada

anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang

sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungan dari tabel 3 berikut.

Tabel 3

Kebutuhan Cairan Rumatan

Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)

10 100 per kg BB

10 – 20 1000 + 50 x kg (di atas 10 kg)

>20 1500 + 20 x kg (di atas 20 kg)

Sebagai contoh untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500 + (20x20)

=1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan plasma

31

Page 34: DBD dan ensefalopati

tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume

cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat

diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang berlebihan dan

terus-menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma

berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular

kembali ke dalam intravaskular.

Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru dan

distres pernafasan. Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok

yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah,

tekanan nadi menyempit (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan

mendadak dari kadar hematokrit atau kadar hematokrit meningkat terus menerus walaupun

telah diberi cairan intravena.

Jenis Cairan (rekomendasi WHO) :

Kristaloid.

• Larutan ringer laktat (RL)

• Larutan ringer asetat (RA)

• Larutan garam faali (GF)

• Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)

• Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)

• Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)

(Catatan: Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh larutan yang

mengandung dekstran)

Koloid :

• Dekstran 40

• Plasma

• Albumin

32

Page 35: DBD dan ensefalopati

2.9.3. SINDROMA RENJATAN DENGUE

Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama

yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat

mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pada penderita

SSD dengan tensi tak terukur dan tekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid

sebanyak 20 ml/kg BB/jam selama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg

BB.

Penatalaksanaan Syok yang Terkompensasi (compensated shock)

Rencana penatalaksanaan pasien dengan Syok yang terkompensasi adalah sebagai berikut:

Mulai resusitasi cairan intravena dengan cairan kristaloid 5-10 ml/kg/jam selama 1

jam. Kemudian nilai ualng keadaan pasien (tanda-tanda vital, capillary refill time,

hematokrit, produksi urin). Tahap selanjutnya bergantung kondisi pasien.

Apabila kondisi pasien membaik, cairan intravena dikurangi secara bertahap menjadi

5-7 ml/kg/bb selama 1-2 jam, kemudian diturunkan lagi menjadi 3-5 ml/kg/jam selama

2-4 jam, kemudian menjadi 2-3 ml/kg/jam, dan selanjutnya disesuaikan dengan status

hemodinamika, dan dipertahankan sampai 24-48 jam.

Apabila tanda-tanda vital masih belum stabil (tetap syok), periksa hematokrit setelah

pemberian bolus pertama. Apabila hematokrit meningkat atau tetap tinggi (>50%),

ulangi pemberian cairan kristaloid secara bolus dengan 10-20 ml/kg/jam selama 1 jam.

Setelah pemberian bolus kedua, apabila ditemukan perbaikan, turunkan menjadi 7-10

ml/kg/bb selama 1-2 jam, dan kemudian turunkan kembali seperti pada poin pertama.

Apabila hematokrit menurun dibandingkan nilai rujukan (<40% pada anak atau wanita

dewasa, <45% pada pria dewasa), hal ini mengindikasikan adanya perdarahan dan

segera lakukan cross-matching dan transfusi darah segera (perhatikan poin transfusi

darah).

33

Page 36: DBD dan ensefalopati

Pemberian bolus cairan kristaloid dan koloid mungkin perlu diberikan selama 24-48

jam berikutnya.

Pasien dengan syok hipotensif harus diterapi segera. Rencana tatalaksana pasien dengan

syok hipotensif adalah sebagai berikut:

Mulai resusitasi cairan intravena dengan cairan kristaloid atau koloid (jika tersedia) 20

ml/kg diberikan secara bolus dalam 15 menit untuk menyelamatkan pasien dari

keadaan syok secepat mungkin.

Apabila komdisi pasien membaik, berikan cairan kristaloid/koloid 10 ml/kg/jam

selama 1 jam. Kemudian lanjutkan dnegan infus kristaloid dan diturunkan bertahap

menjadi 5-7 ml/kg/bb selama 1-2 jam, kemudian diturunkan lagi menjadi 3-5

ml/kg/jam selama 2-4 jam, kemudian menjadi 2-3 ml/kg/jam, dan selanjutnya

disesuaikan dengan status hemodinamika, dan dipertahankan sampai 24-48 jam.

Apabila tanda-tanda vital masih belum stabil (tetap syok), periksa hematokrit setelah

pemberian bolus pertama. Apabila hematokrit menurun dibandingkan nilai rujukan

(<40% pada anak atau wanita dewasa, <45% pada pria dewasa), hal ini

mengindikasikan adanya perdarahan dan segera lakukan cross-matching dan transfusi

darah segera (perhatikan poin transfusi darah).

Apabila hematokrit tetap tinggi dibandingkan nilai rujukan, ganti cairan intravena

menjadi koloid 10-20 ml/kg sebagai bolus kedua selama 30 menit sampai 1 jam.

Setelah pemberian bolus kedua, nilai ulang keadaan pasien. Apabila kondisi pasien

membaik, 7-10 ml/kg/bb selama 1-2 jam, dan kemudian ganti kembali menjadi cairan

kristaloid dan turunkan kecepatan infus sesuai dengan poin sebelumnya. Apabila

kondisi belum stabil, ulangi pemeriksaan hematokrit setelah bolus kedua.

Apabila hematokrit menurun dibandingkan nilai sebelumnya (<40% pada anak atau

wanita dewasa, <45% pada pria dewasa), hal ini mengindikasikan adanya perdarahan

dan segera lakukan cross-matching dan transfusi darah segera (perhatikan poin

34

Page 37: DBD dan ensefalopati

transfusi darah). Apabila nilai hematokrit tetap tinggi (>50%), lanjutkan pemberian

cairan koloid 10-20 ml/kg sebagai bolus ketiga selama 1 jam. Setelah pemberian bolus

ketiga, turunkan menjadi 7-10 ml/kg/bb selama 1-2 jam, dan kemudian ganti kembali

menjadi cairan kristaloid dan turunkan kecepatan infus sesuai dengan poin

sebelumnya.

Pemberian bolus berikutnya mungkin diperlukan selama 24 jam berikutnya. Kecepatan

dan volume bolus harus dititrasi sesuai dengan respon klinis. Pasien dengan keadaan

yang memburuk membutuhkan perawatan yang lebih intesif (ICU)/.

Penggantian Volume Plasma Segera

Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat 20 ml/kg BB. Tetesan diberikan

secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan

sesuai berat BB ideal dan umur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan pemberian

cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60

menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop

pemberian kristaloid dan beri cairan koloid ( Dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam.

Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid

1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan

resusitasi kristaloid dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun,

diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila

kadar hematokrit tetap tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam)

dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus

dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan kadar hematokrit.

35

Page 38: DBD dan ensefalopati

Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma

Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar

hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dan

kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam.

Pemasangan CVP yang ada kadang kala pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan

lagi.

Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, dibandingkan

nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kgBB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa

keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48

jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat

terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit

setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat

edema paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini

jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang

kuat, tekanan darah normal, dieresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya

fase reabsorbsi.

Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit

Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas

darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak

dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih

kompleks.

Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan

dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat

KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.

36

Page 39: DBD dan ensefalopati

Pemberian Oksigen

Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan

pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak

seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.

Transfusi Darah

Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien syok,

terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah

diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk

mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi.

Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun

telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian

darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma,

sel darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi trombosit

berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok

berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian.

Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan

fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi

terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan

prognosis.

Rencana tatalaksana pada komplikasi perdarahan adalah:

Berikan transfusi 5-10 ml/kgBB fresh-packed red cell atau 10-20 ml/kgBB fresh whole

blood dan observasi respon klinis. Respon klinis yang diharapkan adalah terjadi

perbaikan status hemodinamik dan keseimbangan asam-basa.

Pertimbangkan menambah transfusi darah apabila ditemukan perdarahan yang masih

berlangsung atau tidak didapatkan kenaikan hematokrit yang diharapkan setelah

37

Page 40: DBD dan ensefalopati

pemberian transfusi. Dapat dipertimbangkan pemberian transfusi platelet concentrates

dan/atau fresh frozen plasma (10-15 ml/kgBB) untuk perdarahan berat.

Tindakan yang hati-hati dalam pemasangan selang nasogastrik (NGT) karena dapat

menyebabkan perdarahan hebat dan memblok jalan nafas. Selang oro-gastrik yang

dilubrikasi dapat meminimalisasi trauma selama pemasangan.

Monitoring

Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk

menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:

Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau

lebih sering, sampai syok dapat teratasi.

Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien

stabil.

Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,

jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah

mencukupi.

Jumlah dan frekuensi diuresis.

Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskular

telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB,

sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara

lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat

diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin tetap harus dilakukan.

Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat

terkoreksi dengan baik, maka pemberian dopamin perlu dipertimbangkan.

38

Page 41: DBD dan ensefalopati

Ruang Rawat Khusus Untuk DBD

Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya dirawat

di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang

perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar

hemoglobin, hematokrit, dan trombosit yang tersedia selama 24 jam. Pencatatan

merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat dibantu

oleh orang tua pasien untuk mencatat jumlah cairan baik yang diminum maupun yang

diberikan secara intravena, serta menampung urin serta mencatat jumlahnya.

2.9.4. ENSEFALOPATI DENGUE

Rekomendasi penatalaksanaan suportif pada pasien dengan ensefalopati dengue:

Pertahankan jalan nafas yang adekuat dengan terapi oksigen. Cegah atau kurangi

tekanan intrakranial dengan cara:

o Berikan cairan intravena secara minimal untuk mempertahankan volume

intravaskular, idealnya total cairan IV tidak melebihi 80% kebutuhan cairan.

o Segera ganti cairan dengan pemberian koloid lebih awal apabila hematokrit

tetap tinggi dan jumlah besar cairan IV dibutuhkan pada kasus kebocoran

plasma berat

o Berikan diuretik apabila ada indikasi atau ditemukan tanda overload cairan

o Posisi kepala ditinggikan sekitar 300

o Intubasi lebih awal untuk mencegah hypercarbia dan melindungi jalan nafas

o Perlu dipertimbangkan pemberian steroid untuk menurunkan TIK.

Dexamethasone 0,15 mg/kg/dosis IV diberikan setiap 6-8 jam.

Kurangi produksi amonia dengan cara:

o Berikan laktulose 5-10 ml setiap 6 jam untuk menginduksi diare osmotik

o Berikan antibiotik lokal

39

Page 42: DBD dan ensefalopati

Pertahankan kadar gula darah pada level 80-100 mg/dl. Infus glukosa uang

direkomendasikan dengan kecepatan 4-6 mg/kg/jam.

Koreksi gangguan asam-basa atau elektrolit segera.

Berikan vitamin K1 : 3 mg untuk bayi di bawah satu tahun, 5 mg untuk balita, dan

10 mg untuk anak di atas 5 tahun.

Antikonvulsan diberikan untuk mengendalikan kejang: phenobarbital, dilantin,

diazepam secara IV sesuai indikasi.

Transfusi darah bila ada indikasi, digunakan fresh packed red cells dibandingkan

dengan produk darah lain.

Pemberian antibiotik empiris apabila dicurigai adanya infeksi bakterial.

H2-blockers atau proton pump inhibitor dapat diberikan pada kasus perdarahan

gastrointestinal.

Kurangi pemberian obat yang tidak diperlukan untuk mengurangi beban

detoksifikasi obat dalam hati.

Pertimbangkan plasmapheresis atau hemodialisa pada kasus klinis yang mengalami

perburukan.

Kriteria Memulangkan Pasien

Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini:

• Tampak perbaikan secara klinis

• Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik

• Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)

• Hematokrit stabil

• Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/ml

• Output urin baik

• Tiga hari setelah syok teratasi

• Nafsu makan membaik

40

Page 43: DBD dan ensefalopati

2.10. Pencegahan

Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk

Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan

beberapa metode yang tepat, yaitu :

A. Metode lingkungan, digunakan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain

dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi

tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan

desain rumah. Sebagai contoh:

Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu.

Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali.

Menutup dengan rapat tempat penampungan air.

Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah dan

lain sebagainya.

B. Metode biologis, pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan

pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang) dan bakteri (Bt.H-14).

C. Metode kimiawi, antara lain dengan:

D. Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk

mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu.

E. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti,

gentong air,vas bunga, kolam, dan lain-lain.

Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan

mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan 3M Plus, yaitu menutup,

menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan

41

Page 44: DBD dan ensefalopati

pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang

kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk,

memeriksa jentik berkala, dll sesuai dengan kondisi setempat.

Vaksin Dengue. Kadidat vaksin dengue terkemuka, ChimeriVax (Sanofi Pasteur), adalah

fomulasi tetravalen dari vaksin demam kuning 17D yang dilemahkan yang

mengekspresikan prM virus dengue dan protein E. Sulit untuk mengembangkan vaksin

dengue yang aman dan mendapatkan keseimbangan respon antibodi untuk keempat

serotipe. Namun, dalam 5 tahun terakhir, perkembangan luar biasa telah dilakukan, dan

percobaan klinis multisenter fase 2 – 3 yang didesain unutk menentukan efektivitas dari

ketiga dosis vaksin sedang berlangsung. Data hubungan imunologik dan imunitas jarang.

Pemantauan jangka panjang dari vaksin akan penting untuk memahami apakah

memudarnya imunitas vaksin memberikan kecenderungan pada penerima terhadap hasil

yang berat pada infeksi berikutnya. Kandidat lain pada fase awal perkembangan klinis

meliputi vaksin berisi virus dengue yang dilemahkan dan vaksin rekombinan subunit.

Pencegahan Dengue Dengan Skrining Transfusi Darah

Berdasarkan studi kasus yang dilakukan di Singapura pada tahun 2007, dua orang pasien

yang menerima transfusi darah (FFP) mengalami gejala mialgia dan perburukan dengan

efusi pleura dua hari setelah transfusi. Setelah dilakukan pemeriksaan dengan

menggunakan metode PCR, keduanya positif mempunyai virus dengue tipe 2 dalam darah

mereka. 12

Oleh karena itu, skrining dengue pada pasien penerima transfuse sebaiknya

dilakukan, setidaknya dengan pemeriksaan IgM dan IgG dengue untuk mencegah

komplikasi yang lebih lanjut.

42

Page 45: DBD dan ensefalopati

Bagan Tatalaksana Tersangka DBD

43

Page 46: DBD dan ensefalopati

Bagan Tatalaksana DBD derajat II Tanpa Peningkatan Hematokrit

44

Page 47: DBD dan ensefalopati

Bagan Tatalaksana Kasus DBD derajat II Dengan Peningkatan Hematokrit >20%

45

Page 48: DBD dan ensefalopati

Bagan Tatalaksana Kasus DBD Derajat III & IV

46

Page 49: DBD dan ensefalopati

BAB III

KESIMPULAN

Demam berdarah dengue adalah demam berdarah yang disebabkan oleh Virus dengue yang

ditularkan oleh nyamuk betina Aedes aegypti. Manifestasi klinis dari penyakit ini mulai

dari asipmtomatis sampai demam berdarah dengue yang disertai syok atau yang disebut

sebagai dengue shock syndrome (DSS).

Infeksi primer oleh Virus Dengue mungkin memberi gejala demam dengue, apabila terjadi

re-infeksi oleh Virus Dengue dengan serotipe yang berbeda maka reaksi yang terjadi sangat

berbeda. Teori patogenesis demam berdarah dengue yang banyak dianut saat ini adalah

secondary heterologous infection. Menurut teori ini re-infeksi akan menyebabkan suatu

reaksi anamnestik antibodi. Patofisiologi utama yang membedakan demam dengue dengan

DBD adalah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume

plasma, serta diatesis hemoragik.

Dasar penatalaksanaan DSS yang utama adalah penggantian volume plasma secepat

mungkin untuk memperbaiki kehilangan volume plasma. Dengan memahami patogenesis

DBD yang baik dan adanya keterampilan yang baik untuk menegakkan diagnosis secara

dini dan pengambilan keputusan yang tepat, akan menentukan keberhasilan pengobatan

DBD.

47

Page 50: DBD dan ensefalopati

DAFTAR PUSTAKA

1. Hadinegoro S.R.H, Satari H.I. Demam Berdarah Dengue, Naskah Lengkap, Pelatihan bagi

Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana

Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005.

2. Soedarmo S.S.P, et.al. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis, edisi ke-2. Jakarta : Ikatan

Dokter Anak Indonesia. 2002; Bab 15.

3. Titte K. Adimidjaja. Kajian masalah kesehatan Demam Berdarah Dengue. Available from :

http://www.litbang.depkes.go.id/maskes/052004/demamberdarah1.htm

4. Standar Pelayanan Medis Demam Berdarah Dengue, Buku Ajar Ikatan Dokter Anak

Indonesia. Available from :

http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/demam-berdarah-dengue

5. Dengue Hemorrhagic Fever, World Health Organization. Available from :

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/

6. Subawa A.A.N, Yasa I.W.P.S. Pola Jumlah Trombosit Penderita Demam Berdarah

Dengue (Dbd)Pada Anak-Anak Yang Petanda Serologinya Positif (Juli 2005- Juni 2006).

Dalam : Jurnal Penyakit Dalam, Volume 8 Nomor 3. Bali : Laboratorium Patologi Klinik

FK Unud/ RS Sanglah Denpasar ; 2007. Pg.216-221.

7. Dengue Hemorrhagic Fever, Medline Plus. Available from

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001373.htm

8. Darmowandowo, Widodo. Kuliah Infeksi Virus Dengue. Continuing Education Ilmu

Kesehatan Anak XXXVI. Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI. FK Unair RSU Dr.

Soetomo Surabaya. Available from: http://www.pediatrik.com/pkb/061022015303-

6l9i130.pdf

9. Guidelines for Treatment of Dengue Fever/ Dengue Haemorrhagic Fever in Small

Hospitals. World Health Organization. Regional Office for South East Asia. New Delhi.

1999. Availble from http://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_Guideline-dengue.pdf

48

Page 51: DBD dan ensefalopati

10. Zorlu, Golde. Fleck, Fiona. Dengue vaccine roll-out: getting ahead of the game. Bull World

Health Organization 2011;89:476–477 | doi:10.2471/BLT.11.030711. Available from

http://www.who.int/bulletin/volumes/89/7/11-030711.pdf

11. Alexander C. Schmidt, M.D., Ph.D. Response to Dengue Fever — The Good, the Bad, and

the Ugly? N Engl J Med 2010; 363:484-487July 29, 2010. Available from :

http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcibr1005904 (

12. Paul A. Tambyah, M.B., B.S..Evelyn S.C. Koay, F.R.C.Path. Dengue Hemorrhagic Fever

Transmitted by Blood Transfusion. N Engl J Med 2008; 359:1526-1527October 2, 2008.

Singapore. Available from : http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMc0708673

13. Simmons CO, Farrar JJ. Dengue. N Engl J Med 2012; 366:1423-1432 April 12,2012.

Available from : http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra1110265

14. Maj MS Mustafa*, Lt Col VK Agrawal. Dengue Vaccine: The Current Status. DADH, HQ

6 Mtn Div, C/o 56 APO, Pin - 908406. +Associate Professor, Department of Community

Medicine, Armed Forces Medical College, Pune-411040. Available from:

http://medind.nic.in/maa/t08/i2/maat08i2p161.pdf.

15. Sumarno S., Herry G., Sri Rezeki H.H. 2002. Buku Ajar Kesehatan Anak Infeksi

dan Penyakit Tropik. Edisi I. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Halaman 176-208.

49


Recommended